Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Pendekar Tanpa tanding. Show all posts
Showing posts with label Pendekar Tanpa tanding. Show all posts

Serial Wisang Geni (Pendekar Tanpa Tanding)

SINOPSIS :

23 tahun yang lalu, Wisang Geni kecil lolos dari pembunuhan. Pembunuhan yang meminta korban kedua orang tuanya, dan kehancuran perguruan silat Lemah Tulis. Setelah dewasa dan cukup tangguh, mulailah Wisang Geni mencari satu persatu musuh yang menghancurkan perguruan Lemah Tulis yang membunuh kedua orang tuanya.
Dalam pengelanaannya, Wisang Geni mendapat berbagai penemuan dan pengalaman aneh, yang membuat dirinya semakin Sakti, dan bertemu dengan wanita-wanita yang kelak menjadi istri-istrinya. Tidak semua petualangannya berjalan mulus, beberapa kali Wisang Geni hampir kehilangan nyawanya, kisah cintanya pun berliku, karena salah satu wanita yang dicintainya adalah bibi gurunya. Bahkan dalam suatu kejadian Wisang Geni kehilangan nyawa istrinya.

* * *


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) John Halmahera
Wisang Geni - Pendekar Tanpa Tandingan
John Halmahera, Surabaya
Wastu Lanas Grafika bekerja sama dengan Masjarakat Tjerita Silat, 2000.
Cetakan pertama: Wastu Lanas Grafika, Surabaya, Desember 2008.

 
   
  WISANG GENI
(Pendekar Tanpa Tanding)
 

JILID 1

Peristiwa Ganter
25 Tahun Kemudian
Cinta Pertama
Perpisahan
Lembah Cemara
Pendekar Lalawa
Dendam Turun Menurun
Persaingan Asmara
Nyawa Bayar Nyawa
Pendekar Nomor Satu
Jurus Penakluk Raja
Pertarungan Puncak
Wulan dan Sekar

JILID 2

Rahasia Kidung
Limabelas Purnama
Pendekar Tanah Seberang
Menunggang Angin
Pertarungan Argowayang
Perkawinan
Perempuan Hamil
Selamat Tinggal
Goa Cinta di Tebing Cinta
Damai Itu Indah
Bunga Talasari
Memburu Cinta
Tarung Untuk Cinta

 

Semoga cerita John Halmehaera, bisa diambil pelajaran dan hal hal baiknya oleh kita sebagai hamba Allah SWT.

Tarung Untuk Cinta

INDEX WISANG GENI
Memburu Cinta --oo0oo-- TAMAT

WISANG GENI
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera

--↨֍¦ ¦֍↨--

Malam hari waktu Geni dan Sekar nginap di desa Pandan, saat bersamaan Gayatri bersama Susmita dan Ayeshak pergi menemui nakhoda perahu. Mereka mendengar kabar perahu akan berangkat besok siang, padahal menurut perhitungan Gayatri, paling cepat Wisang Geni baru akan tiba satu hari kemudian.
"Kita harus memberi uang tambahan sebagai penggembira kepada nakhoda, agar mau menunda keberangkatan perahu sekitar dua hari," kata Susmita dalam perjalanan. Tetapi tiga perempuan itu lupa membawa uang.
Mendadak Gayatri teringat kalung emasnya, ia meraba lehernya. Kepada sang nakhoda, Gayatri menyodorkan kalung emas dengan liontin bergambar garuda, hadiah perkawinannya dari permaisuri Tumapel, Waning Hyun.
"Ini sebagai jaminan, kamu simpan, nanti besok siang akan aku tebus. Tolong tunda keberangkatan kapalmu dua hari, aku menanti seseorang. Dia akan menemuiku di sini dua hari lagi" Nakhoda itu tersenyum Ia berlaku ramah dan sopan.
"Tentu orang yang ditunggu itu sangat penting buat nona- nona."
"Ya dia suamiku, aku harus ketemu dia dulu"
"Maafkan saya, nona, kalau boleh tahu, kalung ini milik keraton Tumapel. Boleh aku tahu siapa nona?" Ia bertanya sopan sambil menolak menyentuh kalung itu.
"Kalung ini hadiah perkawinanku dari permaisuri Waning Hyun, dan supaya kamu tahu, suamiku Wisang Geni punya hubungan erat dengan keraton Tumapel."
"Benar juga perkiraanku, nona pasti orang penting, nama suami nona sangat terkenal di seluruh tanah Jawa. Untuk dia, untuk nona saya akan kerjakan permintaan nona, tetapi maaf saya tidak berasi menyentuh kalung emas itu."
Ia mengantar tiga perempuan itu sampai ke tempat yang aman.
"Saya masih hulubalang keraton Tumapel, bagi kami para hulubalang melihat kalung tersebut sama seperti berhadapan dengan yang mulia permaisuri. Sehingga permintaan nona sama dengan perintah keraton yang harus saya patuhi. Perahu ini akan berangkat sesuai permintaan nona yang muka."
"Gila, hebat sekali suamimu itu, bagaimana mungkin dia bisa bersahabat dengan permaisuri raja, eh Gayatri, kamu musti ngajak kita berdua mengunjungi keraton," tukas Ayeshak gembira. Dua kakak ipar makin kagum ketika Gayatri menjelaskan bahwa Wisang Geni adalah kakak seperguruan dari permaisuri Waning Hyun.
Esok harinya, semua penumpang menerima pengumuman, penundaan jadwal berangkat Ditunda selama dua hari, kata nakhoda ada sedikit perbaikan di lambung perahu. Bagi para pedagang, penundaan sudah merupakan hal yang biasa dan sering terjadi. Sepanjang hari Gayatri hanya menunggu kedatangan kekasihnya. Sewaktu malam tiba Gayatri mulai diserang perasaan ragu. Apakah Geni akan datang menjemputnya? Bagaimana kalau dia tidak datang? Bagaimana kalau dia mendapat halangan yang tak mampu dia atasi sehingga terlambat tiba di sini?
Keesokan pagi, nakhoda datang menemuinya. Ia memohon maaf, tak bisa lagi menunda keberangkatan, karena khawatir ketemu topan di tengah lautan. Ia hanya bisa menunda satu hari, sehingga sesuai perhitungan angin, maka siang hari, perahu sudah harus berangkat "Maafkan saya, nona yang mulia."
Matahari sangat terik. Udara panas. Pelabuhan sangat sibuk. Banyak pedagang dan pekerja pelabuhan lalu lalang naik turun perahu. Awak kapal sudah mempersiapkan layar. Gayatri duduk bertopang dagu di buritan, memandang jauh ke daratan, mengharap munculnya Wisang Geni. Ibunya dan dua kakak iparnya, ikut-ikutan gelisah. Tiga perempuan itu terkadang ragu akan kesetiaan Wisang Geni.
"Apakah dia akan datang, demi wanita yang dicintainya? Apakah dia benar- benar mencintai Gayatri?"
Empat perempuan itu tidak mengetahui ketika itu Yudistira sudah berdiri di belakang mereka. Suaranya terdengar lirih, "Dia pasti akan datang, tak ada seorang laki-laki pun yang bodoh dan gila yang mau melepas isterinya yang cantik pergi ke tanah seberang tanpa dia berusaha mencegahnya. Kata- kataku berlaku jikalau dia sangat mencintai isterinya. Jikalau cintanya cepat luntur, maka dia tidak akan menyusul Gayatri ke Jedung."
Yudistira menepuk pundak putrinya.
"Tetapi ayah punya firasat bahwa dia tak akan melepaskan engkau, jika dia terlambat karena sesuatu sebab, dia pasti akan menyusul mencarimu ke Himalaya. Percayalah pada ayahmu Sebenarnya aku ingin sekali berjumpa Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa ini. Aku ingin menjajal ilmu silatnya, juga ingin tahu jurus apa yang dia gunakan sehingga bisa menaklukkan kekerasan hati Gayatri putriku yang cantik ini."
Mendengar itu, tangis Gayatri semakin menjadi-jadi. Satyawati memeluk putrinya, mengelus-elus kepalanya. Hatinya terguncang menyaksikan kesedihan putri belahan jiwanya.
Saat itu perahu layar sudah bergerak melaut......
"Tak ada harapan lagi, suamiku sudah melupakan aku" Gayatri merasa tubuhnya lemas. Airmata sudah memenuhi sepasang mata coklatnya membual pandangannya kabur.
Samar-samar, karena terhalang butiran airmata, sepertinya ia melihat sepasang kuda sedang berlari kencang menuju ke arah perahu. Gayatri masih seperti orang linglung, tanpa sadar dia menggumam, suaranya lirih dan memelas, "Itu kudaku si Putih, dan di depannya itu si Hitam, siapa penunggangnya, apakah dia suamiku Wisang Geni?"
Rupanya suara batinnya itu mendapat jawaban. Saat itu terdengar suara siulan khas Wisang Geni. Nyaring, memekakkan telinga. Suara siul itu panjang.
Bagai tersentak dari alam khayal Gayatri kembali berpijak di alam nyata. Gayatri berseru, "Itu suamiku, Geni oh akhirnya kamu datang juga, kekasihku." Suaranya lirih tetapi padat nada gembira dan bahagia.
Mendadak saja siulan panjang itu terhenti, sesaat laut sunyi senyap. Lalu terdengar suara mengumandang, "Gayatri, isteriku, kekasihku, aku datang."
Gayatri mengucak matanya, menghapus airmatanya, kini ia bisa melihat nyata. Ia melihat Geni melompat turun dari punggung si Hitam yang sedang berlari kencang. Lelaki itu berlari pesat di samping kudanya. Ia bahkan melewati kecepatan kuda. Debu dan dedaunan tersibak diterjang angin puyuh kecepatan Geni. Tidak hanya sendirian, di belakang Geni, seorang wanita berlari kencang. Dia Sekar.
Begitu sampai di ujung dermaga, Geni melompat dan melayang ke laut sambil meneriakkan tertawa khas dari lembah kera. Ia tak lagi bersiul. Suara tawanya mengumandang di laut lepas, menimbulkan suasana magis yang seram. Dia berlari di atas permukaan laut, di antara kecipak ombak. Mendekati perahu, ia melempar sepotong papan ke permukaan laut. Kakinya menjejak papan dan saat berikut ia melayang turun di geladak perahu. Selang beberapa saat kemudian Sekar juga melayang turun berpijak di geladak.
"Suamiku, akhirnya kamu datang juga," kata Gayatri di tengah kekaguman semua orang yang menyaksikan sepak terjang Geni termasuk para pedagang dan awak kapal.
Nakhoda itu sempat berkomentar, "Rupanya dialah orang yang ditunggu-tunggu si nona Gayatri, inikah Wisang Geni yang berjuluk Pendekar Tanah Jawa itu, wuah hebat sekali ilmu silatnya."
Geni menyahut seruan Gayatri dengan gairah.
"Ke mana pun kamu pergi Gayatri, aku akan mengejarmu, ke Himalaya pun aku akan mengejarmu" Lelaki itu berdiri tidak jauh dari Gayatri. Ia melihat isterinya dikelilingi orang-orang yang wajahnya hampir mirip satu sama lain. Geni membungkuk memberi hormat tetapi tidak bergerak mendekat. Dia berhati- hati.
Gayatri hendak berlari ke arah Geni tetapi tangan ibunya menggenggam erat.
"Jangan, jangan begitu, sabar dulu anakku," bisiknya perlahan. Dia membatalkan niatnya, dia memandang suaminya dengan pandangan penuh cinta dan bahagia. Gundah, gelisah dan ketakutan sudah sirna dari wajah cantiknya.
"Suamiku akan membereskan semua persoalanku," katanya dalam hati. Yudistira dan semua keluarga memerhatikan lelaki itu.
Dilihatnya Wisang Geni sosok lelaki biasa, cukup tampan tetapi aura kelaki-lakiannya lebih menonjol. Rambutnya beruban, panjang, putih keperakan, tubuhnya sawo matang dan kekar. Dari sepak terjangnya, terlihat jelas tingkat ilmu silatnya yang tinggi. Satu tombak di belakang Geni, seorang perempuan cantik jelita berdiri dengan siaga dan kuda-kuda mantap.
Menyaksikan ilmu ringan tubuh ketika Wisang Geni lari membelah ombak dan siulannya yang bertenaga, diam-diam Yudistira merasa kagum. Itulah kepandaian pendekar kelas utama. Ketika Geni menginjak kakinya di geladak perahu, tak ada bunyi suara. Ia mendarat seringan kupu-kupu tetapi geladak kapal seperti bergetar.
Pada saat berbarengan, Geni merasa ada orang menyerang dirinya.
Ia ingat janjinya pada Gayatri. Sesaat dia diam, tidak melawan. Saat berikutnya dia merasa hawa pukulan itu ganas dan bisa menewaskannya. Dia tak bisa diam begitu saja menanti maut. Dia bereaksi melapisi seluruh tubuhnya dengan tenaga Wiwaha dan dua tangannya menangkis sekaligus menolak pukulan yang mengarah dada dan kepalanya.
"Dessss! Dessss!" Tangan dua pendekar itu beradu di udara.
Wisang Geni tidak menduga, ilmu silat lawan cukup aneh. Jurus pukulan lawan itu bergelombang, saat tangan bentrok saat berikut pukulan lawan menerobos masuk dan menghantam pundak Geni. Karena pukulan lawan itu adalah pukulan susulan maka tenaganya tidak lagi penuh. Namun tetap saja Wisang Geni terdorong tiga tindak ke belakang, jatuh dan terduduk di geladak.
Gayatri berteriak, "Geni, kenapa kamu diam." Pada saat yang sama, Sekar berkelebat dan menghadang di depan Geni, sambil teriak keras, "Kamu curang, pengecut, kamu membokong!"
Orang itu, ternyata Wasudeva Tanpa merasa malu dia melanjutkan serangan, dia ingin menghabisi Wisang Geni. Tetapi Sekar menghadapinya dengan gesit dan terampil. Dia heran melihat gadis cantik jelita tetapi punya ilmu silat yang tinggi. Dalam beberapa jurus Sekar berhasil menghalau semua serangan Wasudeva
Masih dalam posisi duduk bersila di geladak, Geni mengerahkan pernapasan Wiwaha. Tenaga dinginnya berganti panas, dalam porsi paling maksimal berputar-putar dan menyembuhkan luka di pundaknya
Gayatri berseru, suaranya serak tanpa gelisah.
"Geni, mengapa kamu tidak melawan?"
"Aku sudah berjanji padamu aku tidak akan tarung melawan keluargamu, ayah atau kakakmu." Geni batuk-batuk, darah meleleh dari sudut mulutnya. Tampaknya memang agak parah, namun sebenarnya luka Geni sudah lebih membaik setelah pengerahan tenaga Wiwaha itu. 
Gayatri berteriak, suaranya keras bercampur kemarahan.
"Geni kamu terluka. Dia bukan keluargaku, dia Wasudeva, dia akan membunuhmu"
Mendengar itu Geni sadar dan mengerti mengapa serangan orang itu demikian ganas dan keji. Jika tidak memiliki tenaga Wiwaha dipastikan dia sekarang sudah tewas tergeletak di geladak kapal "Aku tak boleh diam dan manda dipukul," pikirnya Dia melejit dan berdiri tegar di atas geladak. Dia berkata pada isterinya, "Sekar, kamu mundur, aku akan bereskan binatang ini."
Sekar mundur ke belakang Geni. Dia mendengar Gayatri memanggilnya, "Mbakyu, kemari dekat aku." Dua lelaki itu berhadapan.
Wajah Wasudeva tampak beringas. Mana mau dia melepas korbannya. Dia mengetahui lawannya terluka, karena pukulannya tadi mengena telak. Meskipun ada semacam tenaga tolakan dari tubuh Geni, tetapi dia yakin lawannya itu sudah terluka Dia melihat Wisang Geni ibarat ikan sudah masuk jaringnya. Dia tak mau menyia-siakan kesempatan yang ada. Dia bahkan tak peduli apakah perbuatannya membokong itu mendatangkan cela dan aib, dia tak bisa berpikir lain kecuali rasa cemburu dan kebenciannya harus dia lampiaskan. Dia harus membunuh Wisang Geni, karena laki- laki itu telah merebut Gayatri dari tangannya dan telah menikmati keindahan dan kecantikan Gayatri.
Peluang sudah di depan mata, sekarang atau tidak sama sekali, berpikir demikian Wasudeva merancang serangan berantai yang dahsyat Jurus Arjapura ini belum pernah ia peragakan karena selama ini semua lawannya rontok lewat jurus-jurus ringan.
Melihat jurus itu Yudistira terkesiap, ia mengenal jurus maut Sapno Tasafar Haimeri Dilka Yeh Bhawarhai (Inilah perjalanan impian, inilah pusaran tujuan hatiku). Jurus ini pernah dipakai sahabatnya, Arjapura, tarung dan membunuh belasan perampok gurun yang tangguh.
Wisang Geni terkesiap. Jurus lawan itu aneh, pukulan yang mengarah ke kiri mendadak bisa berubah ke kanan, atas menjadi bawah dan sebaliknya. Saat itu Geni masih dalam pemulihan tenaga Wirvaha. Ia bergerak pesat, mengelak jika tahu diri terancam, merunduk dan melompat untuk menghindar, geraknya tidak leluasa karena tenaganya belum pulih. Tendangan Wasudeva menerpa pahanya dan jiwanya kini terancam jurus lawan yang mengarah titik kematian. Dia teringat pesan Eyang Sepuh, "jika terdesak, tangkis dan balas menyerang. Jangan bertahan, karena menyerang adalah lebih menguntungkan." Dan Geni tak lagi mengelak, ia balas menyerang. Serangan lawan dibalas serangan. Geni bergerak bagai pusaran, tangan membuat lingkaran, tubuhnya ikut berputar seperti gaya menari.
Tujuh kali terdengar bentrokan tangan. Wasudeva merasa pukulannya membentur tembok yang bersifat membal. Dia heran bagaimana mungkin seorang yang sudah terluka tenaga dalamnya masih punya tenaga sehebat itu. Hal ini membuat dia penasaran, dia memukul sambil menambah kekuatan tenaga pukulannya.
Dalam beberapa gebrakan tadi Wisang Geni telah peroleh keuntungan, tenaga pukulan lawan memancing tenaga Wiwaha bereaksi. Proses penyembuhan luka bahkan lebih cepat dari perkiraan. Inilah kelebihan tenaga dalam Wiwaha yang bagaikan mukjizat.
Bentrokan tangan yang kedelapan membuat Wasudeva mundur beberapa langkah, Wisang Geni pun mundur beberapa langkah. Keduanya kini terpisah jauh. Wisang Geni memberi hormat pada Wasudeva.
"Kamukah yang bernama Wasudeva, kukira tadi kamu salah seorang anggota keluarga isteriku, itu sebabnya aku tidak melawan sehingga kamu bisa memukulku. Sebab aku sudah berjanji tidak akan bertarung dengan keluarga isteriku, apa pun alasannya."
Semua orang mendengar ucapan lelaki bernama Wisang Geni itu. Sebelum Gayatri menyahut. Yudistira berkata dengan suaranya yang serak berwibawa, "Aku ayah Gayatri, namaku Yudistira. Dia ini ibunya. Dan dua lelaki itu kakaknya, Arjun dan Shankar. Orang yang bertarung denganmu itu, Wasudeva, lelaki yang merasa jodohnya telah kamu rampas!"
Wisang Geni membungkuk memberi hormat pada Yudistira, Arjun, Shankar dan tiga wanita yang berdiri di samping Gayatri.
"Aku yang rendah ini, Wisang Geni, menghatur salam hormat kepada keluarga isteriku." Dia kemudian menoleh kepada Wasudeva.
"Mengapa kamu memukul dan menyerangku tanpa basa-basi sedikit pun. Itu namanya serangan gelap."
Wajah Wasudeva merah padam saking marahnya.
"Jahanam busuk, hari ini aku akan mencabut nyawamu, bersiaplah untuk mati."
Gayatri berteriak, "Curang, kamu pengecut, kamu membokong orang, kemudian menantang orang yang terluka." Ia menoleh ke arah Sekar yang berdiri di sampingnya.
"Mbakyu, ayo kita lawan dia."
"Sabar adik, pasti Geni bisa mengatasi dia."
Gayatri masih belum puas. Ia berseru, "Aku sudah katakan sebelumnya padamu Wasudeva, kamu tak akan bisa menang lawan suamiku."
Pada detik itu Yudistira berseru kepada nakhoda perahu, "Putar kembali perahumu ke pelabuhan, kerugian nanti aku yang tanggung, Arjun dan Shankar, jika ia tidak memutar kembali perahu layar ini, kamu patahkan kemudi dan layarnya."
Dua ibu dan anak, Satyawati dan Gayatri seperti mendengar sesuatu yang datang dari alam mimpi. Hampir tidak bisa dipercaya, mendengar Yudistira memerintahkan perahu untuk kembali ke daratan.
Keheranan semakin bertambah ketika Yudistira berkata kepada Wasudeva, "Ayahmu adalah pendekar ternama, kamu juga seorang pendekar Himalaya yang punya kehormatan.
Kamu harus memberi lawanmu itu waktu istirahat untuk memulihkan tenaganya. Dan kamu pendekar Wisang Geni, berapa lama kamu membutuhkan waktu memulihkan tenagamu?"
"Terimakasih atas kemurahan hati paduka tuan, hamba yang rendah hanya butuh sedikit waktu untuk menghilangkan capek." Dia kemudian memainkan empat posisi semedi Wiwaha. Dalam sekejap, uap tipis melayang di atas kepalanya. Hanya dalam waktu yang sangat singkat Geni sudah siap.
"Pendekar Wasudeva yang terhormat, silahkan tuan memilih tempat pertarungan."
Tenaga dalam Wisang Geni sudah pulih seperti sediakala.
Ia tidak terluka parah. Hanya kena guncangan yang tidak terlalu berbahaya. Ketika pukulan menerpa pundaknya, saat itu juga tenaga Wiwaha yang melapis tubuh Geni telah memunahkan sebagian besar pukulan lawan. Itu sebab dia hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri.
Tadi ketika darah menetes dari ujung mulut Geni, tangan Gayatri dingin, basah dan berkeringat. Sekarang wanita cantik itu tampak tenang, dia percaya kekasihnya akan menyelesaikan kemelut persoalan keluarganya.
Yudistira merasa heran bercampur kagum, bagaimana mungkin setelah terluka oleh pukulan telak lawannya, Wisang Geni bisa secepat itu pulih.
"Mungkin saja ia terlalu memaksa diri, padahal tenaganya belum seluruhnya pulih," gumam Yudistira dalam batin.
Kala itu, perahu sudah berbalik arah menuju pelabuhan.
Para pekerja siap-siap untuk melempar sauh. Saat yang sama Wasudeva berteriak marah, "Kamu yang seharusnya memilih tempat yang layak menjadi kuburan bagimu"
Wasudeva menyerang gencar. Pukulannya tetap saja aneh. Ia memainkan jurus andalan lainnya Is Mein Doobjana Zarasa Lamba Chupata Khwab Milgaya (Banyak waktu yang lenyap kini telah kembali)) dan Hum Samundar Ke Andaarchale (Menuju kedalaman laut samudera).
Wisang Geni tak mau memandang ringan jurus-jurus aneh lawan. Ia meladeni dengan pikiran terpusat pada gerak lawan. Ke mana arah serangan lawan datang, Geni mengelak gesit.
Ia membalas serangan dengan serangan, kakinya tak lagi memijak lantai perahu. Dia melayang dengan ringan, namun pukulannya terasa berat berbobot menimbulkan kesiuran angin panas dan dingin bergantian. Bentrokan tangan berulang kali, jerit marah Wasudeva mewarnai serangannya yang mau adu jiwa.
Limapuluh jurus berlalu, Wasudeva unggul di atas angin karena sepertinya Geni ragu-ragu. Gayatri melihat ini, ia berseru, "Geni kenapa kamu tidak memainkan jurus Leysus dan Prahara? Kamu ingatkan cerita penderitaan kakak Manisha, meskipun kakakku itu sudah mati tetapi dia tetap kakak iparmu. Serang dia!"
Wisang Geni sibuk menghindar dan menangkis serangan gencar lawan. Mendadak suara Wasudeva seakan memecah gendang telinganya. Itu gema suara yang aneh. Geni mendengarnya sangat keras, hampir memecahkan gendang telinganya, sedang bagi telinga orang lain terdengar normal. Teriakan Wasudeva itu mengandung sihir dan magis tingkat tinggi.
Yudistira tahu jurus apa itu! Arjapura pernah menceritakan kepadanya tentang hebatya jurus Bahutzara Hashtato Tothodasa Pagal Chaknahai (Tertawa terus dan kamu akan seperti orang gila).
"Tidak lama lagi kamu akan gila, kamu mati, lalu isterimu akan menjadi isteriku, Yudistira tak bisa menghalangi karena sudah bersumpah merestui jodohku dengan Gayatri. Aku akan meniduri isterimu yang montok itu setiap pagi, setiap siang dan setiap malam. Tetapi aku juga akan memukulinya setiap hari lantaran sudah berani mengkhianati cintaku," suara Wasudeva itu mendengung dan menusuk serta menggelitik telinga Wisang Geni.
Geni limbung, pikirannya terganggu. Tetapi bayangan Gayatri ditiduri dan disiksa lelaki itu memancing amarah Geni. Memang ungkapan dan suara Wasudeva yang dikemas dengan kekuatan tenaga sihir itu bertujuan membangkitkan amarah dan membuyarkan konsentrasi Geni sehingga mudah dihancurkan.
Memang benar adanya, pikiran Wisang Geni terganggu. Beberapa jurus berikutnya, dua pukulan menerpa dada dan pundaknya. Wasudeva berteriak, "Mampus kamu" Wasudeva menambah bobot serangan sambil berkata tajam, "Gayatri akan kupaksa melahirkan anak-anakku, ia kuperkosa dengan kasar setiap hari, tak pernah berhenti dan kamu akan menyaksikan itu dari dalam kuburanmu" Teringat akan sifat angin yang bisa melenyapkan suara apa saja, Geni sadar bahwa dia tidak boleh membiarkan tenaga suara lawan mengganggunya. Dia kemudian meredam suara keras di telinganya dengan mendengarkan desir angin sepoi, "dengarlah suara angin, suara keindahan alam, suara dari alam kemerdekaan."
Dia berhasil menetralisir tekanan dan magis sihir suara lawannya. Meskipun demikian dia tetap menangkap kata-kata tajam Wasudeva yang menghina isterinya. Ungkapan jorok dan kasar lawannya itu telah mendorong amarahnya melewati puncak kesabaran.
Dalam marahnya secara spontan Geni memutar tubuh bagai gasing, gerakan itu telah menciptakan pusaran angin dingin yang keras, dua tangannya membuat putaran lingkaran kecil dan besar. Geni memukul, menggunakan segenap tenaga Wiwaha yang bagai air bah menerpa apa saja yang menghadang di depannya. Wasudeva pun memukul dengan seluruh kekuatan, dia yakin pukulannya akan menghancurkan tenaga Wisang Geni. Terdengar suara keras. Dua tangan bentrok, beradunya dua tenaga dahsyat. Keduanya terpental. Geni mundur dua langkah, dia berjongkok, siaga untuk adu pukulan lagi. Wasudeva terlempar empat langkah, dia menggeliat di lantai, matanya melotot penuh kebencian. Dua tangannya patah begitu pun dadanya yang melesak ke dalam. Darah meleleh tak hentinya dari mulut, hidung, mata dan telinga. Saat berikut dia mati tanpa bersuara.
Wisang Geni memperlihatkan jurus hebatnyayang mengandalkan "sifat angin" dengan tenaga Wiwaha yang sempurna. Jurus itu telah menampung seluruh tenaga pukulan lawan dan mengembalikannya dalam sekejap mata menjadi satu pukulan dengan tenaga berlipat ganda yang tidak mungkin bisa diterima oleh kekuatan Wasudeva.
Pertarungan itu dahsyat. Semua terpesona. Saking leganya karena lepas dari ketegangan, Satyawati lupa memegang tangan putrinya. Gayatri melepaskan diri dari pegangan ibunya. Dia melompat dan memeluk suaminya.
"Kamu luka?"
Geni berkata lirih, "Aku tidak terluka. Sebenarnya aku tak ingin membunuh, tetapi laki-laki itu tak akan mau berhenti. Aku tak punya pilihan lain. Gayatri, tadi aku jatuh dan muntah darah karena terlalu letih. Kamu tahu, aku melakukan perjalanan lima hari tanpa istirahat dari gunung Bromo ke Welirang dan langsung menuju Jedung. Aku seperti orang gila mendengar kabar kamu dibawa pulang ke Himalaya. Apa saja akan aku lakukan untukmu Gayatri. Apa pun yang terjadi aku tak pernah menyesal kawin denganmu, bahkan aku sangat bahagia. Dan kamu tahu kebahagiaan ini begitu indah sehingga layak jika harus kutukar dengan jiwaku yang tak berarti ini."
"Wasudeva pantas mati, perbuatannya yang membuat kakak Manisha mati, pantas untuk dibayar dengan jiwanya. Terimakasih kamu lelah membalaskan sakit hati Manisha." Gayatri bicara sambil tetap memeluk suaminya. Dia tidak malu-malu melakukan itu di depan orangtua dan kakak- kakaknya.
Sambil memeluk dan mengelus kepala Gayatri, dia berkata lirih, "Sesungguhnya aku sudah bosan dengan perkelahian, pertarungan, tak pernah ada habisnya. Dendam tak pernah akan habis. Jika kalah mati, jika menang selalu ada orang yang menuntut balas. Tidak akan pernah selesai. Tidak lama lagi, mungkin keluarga Wasudeva akan mencari aku menuntut balas, hutang nyawa bayar nyawa."
Yudistira mendengar semua perkataan Geni, ia tak begitu heran. Sesungguhnya dia tak pernah mengira Geni bisa mengalahkan Wasudeva. Bukankah tadi, beberapa pukulan Wasudeva telak menerpa tubuhnya. Dia masih terpukau dengan jurus yang dimainkan Wisang Geni, jurus yang mampu menciptakan pusaran angin topan dingin dan yang terasa sampai radius beberapa tombak.
Ayah Gayatri ini merasa kagum "Ilmu silat anak muda ini biasa saja, tetapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat kelas utama. Bagaimana mungkin seorang yang masih muda bisa memiliki tenaga dalam setinggi itu. Waktu aku seusia dia, tenaga dalamku tak sehebat dia," katanya dalam hati.
Pada waktu itu, sang nakhoda perahu menghampiri Gayatri yang masih duduk di sisi suaminya. Ia membungkuk memberi hormat.
"Nona yang mulia, kami sudah terdesak waktu, harus berangkai secepatnya demi menghindari angin topan di laut dekat Malaka. Jika tidak berangkat hari ini, kami harus menunda tujuh hari dan semua pedagang ini akan menderita rugi besar. Mohon petunjuk nona." Nakhoda itu berkata dengan sopan dan ramah.
Gayatri bingung. Namun Yudistira dan Satyawati lebih bingung menyaksikan betapa nakhoda itu tunduk dan patuh pada Gayatri. Memecah kesunyian, Satyawati berkata pada suaminya, "Aku akan sangat gembira jika kita menunda keberangkatan, suamiku."
Yudistira bertanya pada nakhoda, adakah perahu besar menuju Malaka atau Puchet dalam waktu dekat ini. Nakhoda menjawab hormat "Ada perahu besar datang dari Kuangchou sekitar sepuluh hari lagi, biasanya berlabuh di Jedung sekitar empatbelas hari."
Yudistira menghela napas. Semua anggota keluarga, termasuk Gayatri dan Geni memandang wajah lelaki itu, menanti perinlah yang keluar dari mulutnya "Kita tunda keberangkatan. Barang dagangan yang mudah busuk, kita jual pada mereka." Ia menunjuk para pedagang yang sejak awal nonton dari pinggiran.
"Kita turun kedarat," berkata demikian ia melangkah menuruni tangga perahu.
Nakhoda memberanikan diri bertanya, "Tuan yang mulia, bagaimana dengan mayat orang ini?"
"Dia mati dalam pertarungan secara terhormat, dia mati di atas lautan, maka tolong makamkan dia di tengah laut dengan penuh kehormatan, berapa biayanya minta pada isteriku." Yudistira melangkah menuruni tangga.
Arjun, Shankar dan isterinya mengatur penjualan barang dagangan serta memerintah pembantu dan pekerja kapal memindahkan barang lainnya ke darat. Tidak lama kemudian perahu itu melaut.
Pelabuhan Jedung mulai sepi, tinggal rombongan Yudistira yang sedang berteduh dari sengatan matahari siang yang terik. Mereka berteduh di sekitar pohon beringin. Yudistira jalan mondar-mandir. Semua mata mengikuti gerak geriknya.
"Aku tak punya pilihan, hukuman tetap harus dijalani, Gayatri telah melakukan kesalahan besar, ia tetap harus dihukum"
Semua orang diam Wisang Geni memberi hormat pada Yudistira, "Salam hormatku untuk paduka yang mulia, pendekar Yudistira."
Yudistira menegur dengan suara datar, "Mengapa kamu memanggil aku paduka yang mulia, aku bukan raja, jangan panggil aku dengan sebutan itu."
"Maaf, aku menyebut paduka yang mulia, karena tuan adalah raja bagi Gayatri, raja yang memegang kekuasaan mati dan hidupnya Gayatri. Dan Gayatri adalah isteriku, maka aku harus menyebut tuan dengan sebutan itu, paduka yang mulia Aku belum berani memanggil ayah mertua, kecuali ada perintah dari tuan."
Melihat Yudistira diam, Wisang Geni melanjutkan bicara, "Paduka tuan adalah ayah dari perempuan paling istimewa yang pernah kutemui dalam hidupku, aku mencintainya sepenuh hati, dan aku sangat berbahagia lantaran dia telah memberi aku, hari-hari penuh warna cinta." Dia melanjutkan setelah menelan ludah. Rasa gugupnya sudah hilang.
"Aku patut berterimakasih padamu, karenanya layak memberimu sesuatu paling berharga milikku, yakni nyawaku. Bunuhlah aku, ini pemberian tulus yang menyelesaikan semua persoalan paduka tuan dan putri tuan serta semua orang di dunia persilatan, ambillah."
Yudistira berkata dingin, "Kamu pintar bicara, apakah kamu sungguh-sungguh mau berkorban jiwa untuk isterimu?"
"Aku bersungguh-sungguh, aku tak akan melawan, seharusnya aku bunuh diri tetapi aku enggan melakukan perbuatan kaum pengecut. Aku bukan pengecut, aku laki-laki sejati. Inilah jalan yang kupilih, sebagai tanda cintaku kepada putrimu Tetapi sebagai permohonan terakhir aku minta isteriku dibebaskan dari hukuman, sayangilah dia, cintailah dia." Wisang Geni tersenyum pahit.
Satyawati dan seluruh keluarga diam terpaku. Keringat dingin. Yudistira menoleh pada putrinya.
"Kamu mau bicara, bicaralah."
Perempuan itu duduk bersanding suaminya, dia merangkul erat lengan suaminya.
"Ayah, ibu dan kakak juga kakak ipar, aku ibarat Sawitri yang mencintai suaminya tanpa pamrih.
Dalam hidup ini hanya satu kali aku dipilih dan memilih. Aku sudah tentukan pilihanku, dan aku tidak akan bergeser dari pilihanku. Jadi jika ayah membunuh suamiku, maka harus membunuh aku juga, bunuhlah kami bertiga kalau memang ayah tetap berpegang pada tradisi dan hukum itu." Dia tak sanggup menahan tangisnya lagi. Sementara Geni di sampingnya telah mematikan seluruh perasaannya, dia sudah tak peduli lagi dengan harapan ataukah ancaman.
"Bukan bertiga, tetapi berlima." Sekar mendekat duduk di samping Gayatri. Tangannya merangkul pundak Gayatri.
"Apa maksudmu, bertiga tadi? Maksudmu lima, siapa lagi?" Suara Yudistira agak ragu-ragu.
"Dia ada dalam kandunganku, dia anakku berdua Wisang Geni. Dan putrimu juga hamil, semua kami di sini lima nyawa. Satu di antaranya adalah cucumu sendiri itu pun jika kamu mau mengakuinya." Nada suara Sekar datar, tidak ada getaran rasa ragu dan takut.
"Jadi cerita itu benar, bahwa kalian berdua hamil, dan Gayatri putriku juga hamil?" Sepasang mata Yudistira menyelidik wajah putrinya, ingin menemukan tanda kebohongan di situ.
Tak ada kebohongan, Gayatri sudah berurai airmata.
Matanya basah, kerongkongannya kering, ia tak bisa bersuara. Ia manggut-manggut.
"Benar ayah, aku hamil. Inilah akhir hidupku, hilang harapan membahagiakan suamiku dengan memberinya seorang anak. Ke mana perginya kebahagiaanku itu?"
Lelaki itu mengembangkan tangannya yang kekar.
"Kemari Gayatri, mendekatlah pada ayahmu" Tetapi putrinya menggeleng kepala. Suaranya serak, patah-patah.
"Aku tetap dengan suamiku, tak mau berpisah dengannya, bunuhlah kami, cepat lakukan ayah supaya aku tidak merasa sakit lagi."
Semua anggota keluarga tertegun. Drama itu sangat mengiris hati. Arjun dan Shankar protes, "Ini tidak adil, semuanya ulah Wasudeva tetapi kita sekeluarga yang menanggung deritanya. Ayah, kau pikirkan dulu, mereka tidak bersalah."
Satyawati, Susmita dan Ayeshak saling peluk dengan tangis. Ketiganya tak mau menyaksikan drama gila itu. Terdengar suara Yudistira, "Kemarilah Gayatri, anak bodoh. Kamu kira selama ini aku buta dan tuli? Aku tak pernah berpikir akan menghukum kamu, apalagi membunuh atau menyuruh kamu bunuh diri."
Ucapan itu mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Wajah Gayatri menengadah menatap ayahnya. Dia sepertinya tak percaya mendengar ucapan ayahnya.
"Benarkah ayah tidak menghukum aku?"
Sekali lagi Yudistira mengembangkan dua tangan, kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya. Mendadak ada pusaran angin besar membetot tubuh Gayatri. Dia menarik tubuh putrinya ke dalam pelukan. Tangannya yang besar mengelus kepala dan rambut Gayatri, menengadahkan wajah putrinya lalu menciumi pipi dan keningnya.
"Tidak, aku tidak akan menghukum kamu atau pun suamimu."
Gayatri masih menangis.
"Apakah karena aku sedang hamil?"
"Tidak benar. Sejak berada di negeri Jawa ini, aku mempelajari semua sebab dan akibat. Aku tidak mau membuat kesalahan dua kali. Aku sudah kehilangan Manisha, putriku yang kucintai, aku tak mau lagi kehilangan kamu. Aku sudah tahu banyak tentang perilaku Wasudeva, aku tahu dia ibarat binatang sedang putriku ibarat dewi, tak akan mungkin bersatu" Dia berhenti sesaat, kemudian tertawa lirih.
"Tetapi aku terikat sumpah setia persahabatan, aku tak berdaya, syukurlah suamimu telah membebaskan aku dari sumpahku, Wasudeva sudah mati. Aku berterimakasih pada Wisang Geni, kamu kemarilah menantu!" Wisang Geni berdiri dan menghampiri. Ia memberi hormat dengan menyentuh ujung kaki ayah mertuanya. Yudistira tertawa. Satyawati berdiri di sampingnya ikut tertawa.
"Entah sudah berapa kali ia tertawa hari ini, perubahan yang luar biasa," gumam isterinya dalam hati.
Sebelah tangan Yudistira memeluk Gayatri, tangan lainnya merangkul Geni. Suara Gayatri terdengar riang, "Ayah, apakah suamiku sudah boleh memanggil ayah mertua kepadamu?"
Yudistira tertawa.
"Wisang Geni, pergilah memberi hormat pada ibu mertua dan kakak-kakak iparmu"
Setelah memberi hormat dan menyalami keluarga isterinya, Geni menghampiri isterinya. Gayatri melompat dan merangkul suaminya.
"Aku bahagia sekarang, semua beres. Tak ada lagi ganjalan dalam hatiku, tak ada gundah, tak ada ketakutan, semua sudah selesai dan sesuai keinginanku." Suara Gayatri mesra. Kemudian dia lari menghambur memeluk Sekar.
"Terimakasih mbakyu, kamu sudah banyak membantu aku."
Keluarga besar itu berangkat kembali ke gunung Welirang.
Yudistira mengaku menyukai suasana di lereng gunung itu. Tetapi tujuan utama sebenarnya adalah merayakan pernikahan Wisang Geni dengan Gayatri dan Sekar.
"Tetapi kami bertiga sudah menikah dalam adat Himalaya, ayah.
Lihat, aku tak pernah menanggalkan adat kampungku kan?"
"Lantas siapa yang menikahkan kalian?"
Gayatri merasa terlanjur bicara. Kini ia diam. Ingat janjinya tidak akan membuka rahasia. Ayahnya pasti akan menghukum Kumara dan Malini juga Urmila dan Shamita. Sekonyong- konyong Yudistira berseru, "Hei, kalian berempat keluar dari persembunyianmu atau kuparahkan kakimu"
Dari balik rumah yang terpisah agak jauh, Kumara, Malini, Urmila dan Shamita, melangkah pelan. Ada rasa khawatir.
"Hari ini aku membebaskan semua kesalahan keluarga dan muridku. Kalian ikut kita pergi ke rumah Gayatri di lereng gunung Welirang," kata Yudistira.
Di tempat agak terpisah Gayatri sedang mengelus-elus leher si Putih dan si Hitam.
"Eh Geni, mana Prawesti, apakah dia menanti kita di rumah?"
Geni teringat Prawesti dan Manohara yang mungkin tak lama lagi akan tiba di Jedung. Geni memeluk isterinya, "Gayatri isteriku, aku ingin bicara padamu tentang sesuatu yang penting, tetapi kamu tak boleh marah, pelan-pelan saja."
"Apa? Kamu mau cerita bahwa kamu sudah mendapatkan tambahan selir lagi, begitu?" Matanya yang coklat menatap suaminya. Dia tersenyum geli melihat Geni serba kikuk.
Wisang Geni terkejut.
"Bagaimana kamu bisa tahu persis apa yang hendak kuceritakan?"
Gayatri menunjuk ke arah Barat. Dua perempuan berjalan berdampingan dengan menuntun sepasang kuda. Geni berkata lirih.
"Iya, gadis itu namanya Manohara, dia yang memberi aku bunga talasari."
Geni terpaku, ketika dua gadis itu muncul. Prawesti memeluk Gayatri, menciumi wajahnya. Gayatri tertawa. Ia menoleh pada Manohara yang berdiri terpaku di situ.
Prawesti berkata pada gadis itu, "Ayo cepat beri hormat pada kakak Gayatri."
Manohara mendekati Gayatri.
"Tetapi aku rasa aku lebih tua."
Gayatri memotong, "Manohara, namamu Manohara kan?
Prawesti lebih tua dari aku, kamu juga lebih tua. Tetapi aturan dalam rumah tangga Wisang Geni harus jelas. Isteri pertama, kamu panggil dia mbakyu Sekar meskipun kamu lebih tua. Aku isteri kedua, kamu juga harus panggil kakak. Sebabnya, Sekar dan aku adalah isteri, sedang kamu dan Prawesti adalah selir yang akan membantu dan melayani, bagaimana setuju?" Tak perlu berpikir lama-lama Manohara cepat mengangguk mengiyakan.
"Setuju, kakak Gayatri."
Mendadak saja muncul Yudistira dan Satyawati "Ada kejadian apa? Siapa dua gadis cantik ini?" tanya Satyawati sambil mengamati Prawesti dan Manohara.
"Oh kalau kamu, aku pernah melihatmu di Welirang," sambil ia menunjuk Prawesti.
Wisang Geni diam serba salah. Manohara yang lugu dan berani, menjawab meski sedikit malu-malu, "Kami adalah selir kakangmas Geni."
Satyawati terkejut, menutup mulurnya dengan tangan. Tetapi sebelum ibu dan ayahnya mengucap sepatah kata, Gayatri berkata dalam bahasa Himalaya.
"Ayah, ibu, aku setuju suamiku mengambil selir. Aku dan Sekar berdua tidak mampu melayaninya. Ayah tahu hampir setiap malam bahkan siang juga, suamiku maunya bercinta. Lagipula Geni, Sekar dan aku sudah memberitahu mereka, kami berdua adalah isteri sedang mereka berdua hanya selir atau pembantu.
Apalagi sekarang aku dan Sekar sedang hamil, sudah tentu kami bagaikan permaisuri yang harus dilayani. Sekarang ibu dan ayah mengerti?"
Satyawati mengiyakan.
"Kamu cerdas, kupikir kamu bisa mengatur persoalan rumah tanggamu."
Yudistira sambil tersenyum, "Kupikir aku perlu belajar dari anak mantuku."
Satyawati mencubit lengannya.
"Jangan sekali-kali belajar ilmu itu, itu ilmu sesat," katanya tertawa.
Setelah bebenah semua barang-barang bawaan, rombongan Yudistira berangkat menuju gunung Welirang. Esok harinya, di tengah perjalanan Geni berkata kepada ayah dan ibu mertuanya.
"Ada Prawesti dan Manohara yang bisa menjadi penunjuk jalan, aku bersama Sekar dan Gayatri mau mengambil jalan lain, nanti kita bertemu di rumahku saja." Yudistira menggoda.
"Kenapa, kamu sudah tidak tahan lagi melihat isterimu? Sudah berapa hari kamu berpisah dengannya?"
Geni mengangguk dan tersenyum pada mertuanya.
"Tujuh hari dan aku sudah hampir gila memikirkan dia." Ia menggamit lengan dua isterinya. Geni melompat ke punggung si Hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si Putih.
Ketiganya kabur sambil tertawa-tawa. Gayatri sudah kembali kepada wataknya yang periang.
Arjun, Shankar, Ayeshak dan Susmita bertanya pada ayahnya.
Yudistira menjawab gembira, "Mereka pergi berbulan madu."

* * *



Suatu hari di penghujung bulan Srawana, Wisang Geni, Sekar dan Gayatri duduk di tepian danau. Manohara dan Prawesti berlatih dan main-main di air terjun bersama Susmita dan Ayeshak.
Meskipun sudah makan jamu kuat talasari, namun Sekar dan Gayatri jarang berlatih silat Hari itu keduanya sudah hamil sekitar seratus hari, sudah lebih sepertiga perjalanan "Menurut hitungan ibu, aku akan melahirkan anakmu di sekitar bulan Magada, atau jika sedikit terlambat di bulan Phalguna. Sekar juga tak berselisih jauh dengan aku. Geni kamu menyukai anak perempuan atau laki-laki." Melihat suaminya diam, Gayatri melanjutkan, "Kalau di kampungku, seorang suami lebih suka jika punya anak laki-laki, bahkan ada yang sangat marah begitu mengetahui anaknya yang lahir seorang baji perempuan. Kamu sendiri bagaimana Geni?"
"Aku tidak tahu, tetapi perasaanku sama saja, tidak ada bedanya anak laki-laki atau perempuan, menurutmu anak itu perempuan atau laki-laki?"
"Setelah ibu memeriksa kandunganku, katanya anak laki- laki. Sekar juga mengandung anak laki-laki."
"Ibumu punya ilmu meramal begitu?"
"Bukan meramal, di kampungku ibu sudah membantu seratus lebih ibu hamil yang melahirkan anak, bahkan sebelum lahir ibu bisa memastikan bayinya laki atau perempuan. Ibu ahli soal itu."
Geni mendekat, memeluk isterinya.
"Gayatri, bilang sama ibumu, tetap saja tinggal di sini bersama kita, supaya kamu melahirkan dengan selamat."
Ada suara batuk kecil di belakang mereka. Yudistira muncul bersama Satyawati "Oh kamu mau ibu mertuamu tinggal di sini, lantas aku harus ke mana, kamu buang aku ke mana, menantu?"
"Oh tidak ayah mertua, kalau ibu mertua menetap di sini, tentu saja ayah mertua juga tinggal bersama."
"Boleh saja. Tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa mengalahkan aku dalam pertarungan seru, bagaimana bagus kan syaratnya?"
Geni terkejut, apalagi Gayatri. Keduanya berdiri dan memandang dua orangtua itu.
"Ayah, apakah aku tidak salah dengar?"
Yudistira menjelaskan pertarungan tersebut merupakan bagian dari janjinya pada ayahnya, pendekar Himalaya, Lahagawe. Bagaimanapun juga janji itu harus disempurnakan.
"Kamu mewakili kakek gurumu, Suryajagad dan aku mewakili ayahku, Lahagawe. Kita tarung, jika kamu menang maka aku akan menetap di sini bersama istriku sampai Gayatri dan Sekar mdahirkan. Jika aku menang, aku akan tentukan apa yang kumau dan kamu sekeluarga tak boleh ingkar. Aku pikir ini cukup adil."
"Tidak bisa begitu, bagaimana mungkin aku harus tarung melawan ayah mertua sendiri, tidak mungkin."
"Kamu tidak bisa menghindar, Geni. Ini bagian dari hidup yang sudah kamu jalani, dan bagian dari hidupku juga. Kita bertarung hanya sebatas menang dan kalah, tak akan ada yang terluka atau mati. Aku juga tak mau melukai atau dilukai menantuku sendiri."
Geni bingung. Tak menyangka akan ada kejadian seperti ini.
"Percuma ayah mertua, aku jelas tidak akan bisa bertarung, bahkan bergerak pun mungkin tak bisa.
Pertarungan ini aneh. Ayah mertua apakah tak bisa dihindari saja, jelas tak ada manfaat menang atau kalah."
Satyawati menengahi "Geni, pertarungan ini sudah harus terjadi sesuai janji dan sumpah ayah mertuamu Tetapi jalan terbaik sudah kami pikirkan, tidak akan menyalahi aturan pertarungan juga tidak menimbulkan ancaman bahaya cidera atau maut. Kalian bertarung di atas permukaan danau, dalam jarak sepuluh tombak. Tidak ada bentrokan tangan. Ayah mertuamu akan memainkan dua jurus andalannyayang harus kamu patahkan yaitu Atehai Zaminpar Kabbijeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi) dan Likhna Hai Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Senjata yang digunakan, adalah air. Siapa yang tenggelam, dia kalah. Geni, sebaiknya kau mainkan jurus paling hebat dari kakek Suryajagad dan ingat, kamu harus berupaya menang agar ibu bisa menemani Gayatri dan Sekar sampai mereka berdua melahirkan."
"Geni, kita bertarung pada senja nanti," kata Yudistira yang menggandeng isterinya kembali ke rumah. Geni dan Gayatri saling pandang. Sekilas Wisang Geni teringat percakapannya dengan Gayatri beberapa waktu lalu. Waktu itu Gayatri menjelaskan kehebatan jurus andalan perguruannya, Likhna Hai Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan). Jurus ini memerlukan pengerahan tenaga dalam tinggi, untuk mengolah benda di sekitar tubuh kemudian melontarkannya ke arah lawan. Bisa saja debu, daun-daunan, bebatuan, ranting dan pokok kayu Itu sebab dinamai "menulisnya di rembulan".
"Jurus itu diciptakan kakek setelah dia pulang dari kekalahan lawan Ki Suryajagad. Jurus lainnya, Atehai Zaminpar Kabbiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), jurus yang menguras tenaga lawan, menarik dan menyalurkan ke bumi. Jurus ini sudah lama, namun belakangan mengalami perubahan sehingga berkembang kian tangguh."
Geni tukar pikiran dengan dua isterinya. Ia pernah tarung lawan Kumara dan Malini, dua tahun lampau. Ia ingat sepasang suami isteri itu menggunakan tenaga bumi. Semua pukulannya disedot dan ditarik kemudian disalurkan ke bumi.
"Itulah jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), namun pasti akan berlipat ganda kehebatannya jika dimainkan ayah, kamu harus hati-hati, bisa-bisa tenagamu dikuras habis membuat kamu tak mampu lagi meniduri aku," goda Gayatri sambil tertawa genit.
Perempuan itu tampak cantik luar biasa, mataya berbinar- binar dan mulutnya merah merekah. Geni tiba-tiba saja bergairah, ia memberi isyarat pada isterinya. Gayatri menggeleng.
"Tak lama lagi kamu sudah harus bertarung, mana sempat lagi. Geni kamu harus bertarung sungguh- sungguh supaya ibu bisa menetap bersama kita, kamu harus menang."
"Kamu membela siapa, ayahmu atau suamimu?"
"Aku membela kamu suamiku, sebab jikakamu menang, aku tidak perlu pulang ke Himalaya selama-lamanya dan ibu bisa menemani kita sampai aku dan Sekar melahirkan. Kamu tahu Geni, terkadang aku takut memikirkan saat melahirkan nanti, pasti sakit. Aku akan bahagia jika ibu ada di sampingku. Makanya kamu harus menang."
Tidak lama berselang senja pun tiba. Seluruh anggota keluarga hadir, nonton di tepian danau. Tak seorang pun ketinggalan, termasuk Gajah Lengar, Gajah Nila dan keluarga serta murid Lemah Tulis.
Yudistira melangkah santai di atas permukaan danau.
Kakinya melayang, tak tampak kecipak air, pertanda langkahnya sangat ringan Ia menanti di tengah danau. Wisang Geni masih di tepi danau sedang berpikir tarung sungguh- sungguh atau sekadar tarung untuk mengalah.
"Jika kamu tak sungguh bertarung, hukumannya akan berat, mungkin saja kalian kubawa ke Himalaya atau Gayatri sendiri yang kubawa ke Himalaya," kata si ayah mertua.
"Ayo, cepat menantu, aku sudah tidak sabar lagi."
Tiba-tiba timbul kegembiraan dalam hati Geni, mengapa tidak menjajal ilmu silat ayah mertuanya.
"Selama ini boleh dikata aku tak pernah kalah dalam pertarungan. Aku tak pernah dapat lawan imbang."
Berpikir begitu dia kemudian melangkah santai ke tengah danau. Sama hebatnya dengan Yudistira, langkah Geni pun tidak menyentuh permukaan air, kakinya melayang.
Tanpa menanti lebih lama lagi, Yudistira menggerakkan tangan ke bawah berputar-putar, air danau di sekitar tubuhnya bergolak. Lalu tangan itu ke atas. Bersamaan gumpalan air yang besar ikut naik. Ia memutar tangannya, air itu membentuk bola besar di tangannya, kemudian ia mendorong, "Menantu, awas!" Gumpalan air yang seperti bola, meluncur deras ke arah Wisang Geni. Di Himalaya yang sebagian daerahnya selalu tertutup salju, Yudistira biasa memainkan jurus ini dengan salju.
Terpisah sepuluh tombak Wisang Geni berdiri menatap ayah mertuanya. Ia melihat semua gerakan tadi.
"Berpikir sederhana, pikiran lebih cepat dari angin, pikiran lebih kuat dari air, pikiran bisa mengalahkan serangan lawan."
Dia memutar tubuh, putaran perlahan. Dua tangan mengembang ke samping memutar dalam bentuk lingkaran besar dari arah bawah ke atas. Air di sekitar kakinya tersibak dan meluncur dalam bentuk memanjang seperti tongkatke arah Yudistira. Gumpalan air bertemu di tengah, beradu, pecah berantakan dan luluh ke danau.
Pertarungan menggunakan air berlangsung seru, makin lama makin menarik. Gumpalan air yang digunakan menyerang lawan selalu berganti-ganti bentuk. Yudistira akhirnya memainkan jurus simpanannya.
"Anak mantu, tadi itu aku hanya menggunakan jurus Likhna Hai Chandse Hokar (Aku akan menulisnya di rembulan), sekarang aku menggabungnya dengan jurus Atehai Zaminpar Khabiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), hati-hati, kamu bisa tenggelam kena peluru air ini."
Yudistira menggerakkan dua tangan, mengangkat sebelah kakinya bergantian, terkadang melompat dan melayang di udara. Hebat.
Serangan Geni seperti ditangkap dan dikembalikan dengan kecepatan lebih dahsyat. Hebatnya lagi, air yang dikembalikan itu semakin berat dan besar. Geni terpaksa menghadapinya dengan menyalurkan segenap tenaga Wiwaha. Tetapi serangan Yudistira semakin menggila, "Awas anak mantu, ini lebih hebat lagi" Bentuk air kini menjadi lebih padat dan meluncur deras ke arah Geni. Geni kewalahan, hanya bisa bertahan. Geni memutar tubuh bagai gasing, tangannya ikut berputar, kaki sebelahnya diangkat Air di sekitar tubuhnya tersibak membentengi tubuhnya. Tenaga yang ia mainkan adalah tenaga Wiwaha, bergantian panas dan dingin.
Serangan Yudistira luruh ketika membentur dinding tembok air di seputar tubuh Geni. Akhirnya Yudistira menghentikan serangan, dia terengah-engah melangkah ke tepian.
Sementara Geni masih memainkan jurus bela dirinya. Ia bahkan tidak tahu bahwa serangan ayah mertuanya sudah berhenti.
Terdengar teriakan Gayatri, menusuk gendang telinganya.
"Geni, berhenti, tarung sudah selesai, kamu bertarung sendirian."
Saat berikutnya ia sadar, serangan sang ayah mertua sudah berhenti. Ia memperlambat gerakan sampai akhirnya berhenti. Geni kehabisan nafas, letih, sangat letih. Ia tadi telah mengerahkan Seantero kekuatan batinnya, seperti pelita kehabisan bahan bakai. Geni bahkan tak kuat berdiri, ia tenggelam
Gayatri hendak menolong namun Sekar yang sudah terbiasa latihan di laut kidul, bergerak lebih cepat Sekar menyelam dan menarik suaminya ke permukaan. Nafas Geni sengal-sengal. Keduanya berenang ke tepian.
Yudistira gembira. Dia tadi sengaja menguji ilmu silat menantunya. Dia kagum akan ketangguhan Geni. Dia mencolek lengan menantunya.
"Geni, kamu tadi kalah, jadi ayah akan mengajak Gayatri pulang kampung ke Himalaya."
Cepat Geni menyahut, "Tidak bisa, tadi itu aku yang menang, ayah mertua meninggalkan gelanggang lebih dahulu, itu tandanya kalah. Itu artinya ibu dan ayah mertua harus menetap di sini."
"Geni, bersikaplah sebagai ksatria, kamu kalah, tadi kamu tenggelam dan kalau aku tidak berteriak memperingatkan, tentu sampai sekarang kamu masih bersilat sendirian di danau, bahkan mungkin sampai besok." Gayatri tertawa cekikikan.
"Mengapa kamu berbalik membela ayahmu, tadi kita sepakat membantu aku melawan ayah mertua." Geni menepuk bokong isterinya. Gayatri membalas mencubit lengannya. Geni menoleh pada Sekar, "Menurutmu siapa yang menang, aku kan?" Sekar mengangkat bahu, "Aku tidak ikut campur," katanya sambil tertawa.
Dari jauh terdengar suara Satyawati, "Geni, ayah mertuamu sudah mengambil keputusan akan menetap di sini. Ia ingin menyaksikan kelahiran cucunya, katanya ia akan memberi obat agar cucunya tidak beruban seperti Pendekar Tanah Jawayang bernama Wisang Geni." 
Geni tersenyum. Ia memandang dua isterinya yang tampak cantik. Sekar menjulurkan lidah, menggoda. Satu tangan Geni memeluk erat Sekar, satu lainnya menarik Gayatri merapat.
Geni tampak bernafsu. Gayatri berbisik, "Jangan di sini, aku malu banyak ikan yang nonton. Ayo kita bertiga ke Tebing Cinta, kita bercinta sepuasnya semalaman. Tidak ada yang mengganggu, tak ada Manohara, tak ada Prawesti."
"Baik, bertiga kita ke Tebing Cinta. Aku ingin bercinta dan memiliki kalian berdua malam ini dan sepanjang hidupku.
Semua manusia harus tahu betapa aku tergila-gila pada Sekar dan Gayatri, isteriku, kekasihku dan cintaku."

SELESAI



INDEX WISANG GENI
Memburu Cinta --oo0oo-- TAMAT

Memburu Cinta

INDEX WISANG GENI
Bunga Talasari --oo0oo-- Tarung Untuk Cinta

WISANG GENI
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera

--↨֍¦ ¦֍↨--

Hari itu akhir dari bulan Asadha. Senja yang sejuk di lereng gunung Welirang. Prawesti masuk bilik tidur memberitahu Sekar dan Gayatri adanya serombongan orang datang. Bertiga mereka menuju beranda rumah, berdiri memandang ke kaki gunung. Seketika itu juga Gayatri tahu "Itu rombongan orangtuaku," katanya lirih. Jantungnya berdebar-debar.
Dua pendekar Lemah Tulis, Gajah Nila dan Gajah Lengar mendengar ucapan Gayatri. Keduanya merasakan kejanggalan melihat air muka perempuan itu muram padahal seharusnya gembira bertemu dengan orangtua dan keluarganya. Gayatri menoleh kepada dua lelaki itu, "Kangmas, mbakyu Sekar dan adik Westi, ada beberapa permohonanku kepada kalian." Dia menghirup udara dengan tarikan panjang, melepasnya perlahan, kemudian melanjutkan bicaranya, suaranya bergetar.
"Satu, apa pun yang terjadi kalian jangan bentrok dengan siapa pun dari rombongan itu. Mereka adalah keluargaku, kalian juga keluargaku, aku tak mau terjadi tarung.
"Dua, tujuan orangtuaku kemari adalah membawa aku pulang ke Himalaya dan aku tidak berani menentang keinginan mereka, aku harap kalian tidak ikut campur.
"Tiga, apa pun yang terjadi pada diriku, sampaikan pesan pada suamiku bahwa aku menyintainya sampai ajalku.
Katakan pada Geni cepat susul aku ke pelabuhan Jedung, jangan sampai terlambat, karena sesungguhnya aku tidak rela pulang ke Himalaya." Begitu teringat suaminya, Gayatri tak sanggup lagi membendung tangis.
"Aku sangat menyintainya"
Setelah mengutarakan permintaan dan pesannya, Gayatri tampak lemas bagaikan baru saja menyelesaikan pekerjaan yang sangat berat. Air mata masih membasahi pipinya, Gayatri berpegang pada pagar beranda. Sekar dan Prawesti memeluk, mengelus punggung dan bahu Gayatri. Mereka ikut menangis. Rombongan tamu makin mendekat.
Gayatri melepas diri dari pelukan dua sahabatnya. Dia menghapus dan membersihkan airmata di pipinya, memaksa senyum gembira Dia menoleh pada Sekar dan Prawesti.
"Jangan perlihatkan bahwa kita baru saja menangis." Lalu kepada Gajah Lengar, "Kangmasberdua ingat pesanku tadi, jikalau kangmas menyayangi aku, kangmas tak akan melupakan atau melanggar pesanku tadi." Ia tersenyum puas ketika Gajah Lengar dan Gajah Nila mengangguk mengiyakan.
Rombongan itu berhenti di depan rumah. Dua kereta kuda dan sembilan kuda tunggang. Gayatri setengah berlari menghampiri ayahnya Ia merunduk menyentuh kaki ayahnya Sang ayah memeluk sambil mengelus punggung dan mencium kepalanya Kemudian berkata dengan nada penuh kasih sayang dan rindu.
"Pergilah kepada ibumu, dia sangat merindukan kamu"
Dia menghampiri dan melakukan yang sama pada ibunya, menyentuh ujung kaki kemudian menghambur ke dalam pelukan ibunya. Dia memeluk erat ibunya. Tidak tertahankan lagi, dia menangis tersedu-sedu.
Sekar dan Prawesti masih berdiri terkesima menatap wajah Satyawati, tidak ada bedanya dengan Gayatri, sama cantik, kulit sama putih, seperti pinang dibelah dua. Bahkan tubuhnya pun sama tinggi dan sama langsing. Perbedaan mencolok hanya pada pengaruh usia. Satyawati merenggangkan pelukan, menatap wajah putrinya.
"Gayatri, kamu tampak sehat, malah agak gemuk, kau bahagia?" Dia menghapus airmata putrinya
"Iya ibu, aku bahagia, sangat bahagia." Gayatri menciumi wajah ibunya, dan berusaha tersenyum
"Eh pakaianmu itu, pakaian pendekar Jawa, iya?" Satyawati tersenyum Gayatri juga senyum malu-malu.
"Kamu pergilah jumpai kakak-kakakmu, mereka juga merindukan adiknya, si bontot yang kabur," kata ibunya
Dia beranjak menyalami semua keluarganya, kakak dan iparnya Tapi dia tidak mau memandang Wasudeva yang berdiri kaku memerhatikannya Dia menggandeng Susmita dan Ayeshak, dua kakak iparnya. Mereka bisik-bisik, "Kakak, apakah ayah sudah memberitahu apa yang akan dia lakukan padaku?"
Susmita menjawab, "Belum."
Lantas Ayeshak berbisik agak keras, "Kami berdua pasti akan membelamu, jangan khawatir adik ipar."
Berdiri di depan rumah Yudistira memandang sekeliling......
Pemandangan yang luar biasa. Dia takjub dan terpesona melihat keindahan danau dan air terjun. Mendadak saja, dia berlari-lari sambil bersiul. Siulannya keras melengking, gaungnya menggema di mana-mana. Ia berlarian ke danau, air terjun, mendaki tebing. Tanpa dia sadari, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang tinggi. Kakinya kelihatan tidak menyentuh tanah. Dia berlari di atas permukaan danau, langkahnya cepat dan ringan. Melihat tingkah laku ayahnya, Gayatri tertawa kecil, tanpa sadar ia menggumam, "Aneh, kelakuan ayah itu mirip yang dilakukan Wisang Geni."
Ibunya mendengar.
"Mirip? Apanya yang mirip?"
"Iya Bu, mirip sekali, ketika Wisang Geni sangat bergembira akan sesuatu kejadian, dia akan bersiul keras dan berlarian seperti orang kesurupan, persis seperti apa yang ayah lakukan. Bahkan sampai menyelam ke dalam danau. Ketika ia selesai dan masuk rumah, pakaiannya basah kuyup."
Satyawati memandang keliling, mencari-cari.
"Gayatri, mana suamimu, mengapa ia tidak keluar berkenalan?"
Gayatri merunduk. Ia berkata lirih, "Ia pergi ke gunung Bromo, mencari obat, katanya dalam waktu enam hari ia sudah akan kembali. Hari ini baru hari keempat."
"Siapa yang sakit, kamu sakit Gayatri?"
"Tidak ibu, aku tidak sakit," Gayatri menggeleng, tetap merunduk, tak berani menatap mata ibunya.
Didesak akhirnya Gayatri mengaku, bahwa Geni mencari jamu untuk penguat kandungan dan menambah kekuatan pada sang bayi Ibunya terkejut, lalu wajahnya gembira "Kamu hamil? Oh anak bodoh, mengapa tidak dari tadi kau katakan." Keduanya berpelukan. Mendadak seperti teringat sesuatu, Satyawati memegang tangan putrinya.
"Ibu pikir, sebaiknya kita rahasiakan dulu, jangan beritahu siapa pun, ayah atau kakakmu"
Selang beberapa saat kemudian Yudistira masuk ke dalam rumah. Pakaiannya basah kuyup, masing-masing tangannya menggenggam ikan yang cukup besar dan yang masih menggelepar. Satyawati tertawakecil melihat suaminya, "Benar juga katamu, memang mirip, ayahmu juga basah kuyup." Gayatri menundukkan kepala, tidak menjawab namun dalam hatinya ia tertawa.
Tampak Yudistira tertawa senang. Istrinya takjub, sebab belakangan ini, selama perjalanan ke tanah Jawa, dia jarang melihat suaminya tertawa.
"Pemandangan sangat indah.
Udara sejuk. Air danau dingin dan banyak ikan. Ini dia, aku tangkap dua ekor yang paling besar, biar Ayeshak yang memanggang." Wasudeva berkeliling rumah. Dia tadi melihat Gayatri.
Hatinya terbetot melihat perempuan itu yang begitu cantik, montok dan menggairahkan. Nafsu birahinya berkobar melihat lekuk tubuh dan lenggang Gayatri.
"Aku bisa gila memikirkan perempuan itu. Sekarang dia bahkan lebih cantik dan lebih montok. Aku harus dapatkan dia, suaminya harus kubunuh, harus!" Suara hatinya itu seperti bara apiyang makin membakar kebenciannya terhadap suami Gayatri.
"Bagaimana mungkin, lelaki lain bisa mendapatkan Gayatri yang begitu cantik, sungguh tidak adil. Ini tak boleh terjadi, aku harus merebutnya kembali."
Dia berkehling mencari-cari lelaki yang bernama Wisang Geni. Kata orang, rambut lelaki itu semuanya ubanan, putih keperakan. Dia melihat Gajah Lengar dan Gajah Nila serta beberapa murid lelaki, tak ada yang cocok. Ia menenangkan diri, tak perlu tergesa-gesa, pasti nanti akan ketemu lelaki itu.
"Sebaiknya sekarang aku melakukan pendekatan pada Gayatri," gumamnya.
Memasuki ruangan, dilihatnya Gayatri duduk berempat Satyawati, Susmita dan Ayeshak.
"Ibu mertua, aku ingin bicara dengan Gayatri di luar ruangan, boleh?" Pertanyaan Wasudeva itu setengah mendesak dan sangat mendadak membuat Satyawati gugup.
Sebelum ibunya menjawab, Gayatri mendahului dengan ketus, "Maaf, aku tidak boleh bicara dengan tuan, sebab aku sekarang sudah menjadi isteri Wisang Geni. Aku juga tak mau bicara dengan tuan, lagipula aku tak punya urusan dengan tuan."
Wajah Wasudeva merah seperu kepiting direbus. Ia marah dan malu "Aku perlu bicara dengan kamu, sebab tidak lama lagi kamu akan menjadi janda, dan aku akan menikah dengan kamu"
"Siapa bilang aku akan menjadi janda?"
"Aku! Aku memastikan kamu akan menjadi janda, karena aku akan membunuh Wisang Geni. Tidak ada yang bisa mencegah aku membunuh suamimu itu."
Gayatri menjawab dengan berani.
"Kamu tak akan ungkulan menghadapi suamiku, ilmu silatnya tinggi dan ia pendekar tanpa tandingan. Lagipula, aku hanya menikah satu kali dalam hidupku. Ada yang lebih penting lagi yang tuan harus tahu, aku hanya mencintai seorang lelaki dan dia adalah suamiku Wisang Geni."
Laki-laki itu menatap tajam, pandangannya penuh dendam dan amarah. Sesaat kemudian ia berbalik dan melangkah keluar kamar.
Dari ruangan dalam Yudistira muncul dengan tersenyum Ia senyum misterius. Rupanya ia mendengar seluruh pembicaraan.
"Gayatri, kamu membuat laki-laki itu marah." Dia memandang keempat wanita itu, "Malam nanti kita sekeluarga kumpul semua, istriku, anakku dan menantuku."
Malam itu saat Wisang Geni menggeluti tubuh Manohara di gunung Bromo, saat yang sama Gayatri gelisah berhadapan dengan ayahnya.
"Aku sangat menyintai anak-anakku. Barangkah aku terlalu berlebihan memanjakan kamu, sehingga kamu berani mencoreng arang di wajahku, berani mengotori nama dan kehormatanku. Gayatri, kau sudah kujodohkan dengan Wasudeva Lalu kau kabur ke tanah Jawa, kau kawin sembunyi tanpa restu orangtua. Kau kawin dengan lelaki dari golongan luar. Begitu banyak keburukan yang telah kaubuat, coba berikan alasanmu, ayah ingin tahu," katanya dengan sungguh- sungguh.
Gayatri pernah membayangkan suatu waktu nanti ia akan menghadapi saat-saat mencekam seperti malam ini. Saat di mana ia diadili dan hukuman ayahnya akan dijatuhkan. Ketika ia memutuskan kabur dari Himalaya, ia sadar hukumannya berat. Ketika ia memastikan menikah dengan Wisang Geni, ia juga tahu hukumannya akan lebih berat. Mungkin saja hukumannya adalah mati.
Tetapi ia telah menjatuhkan keputusannya, rela mati ketimbang menikah dengan Wasudeva yang telah menghamili kakaknya dan yang kemudian tidak mau bertanggungjawab. Ia tahu pasti dia akan dihukum. Tadinya ia pasrah, bahkan bertekad mengikuti jejak Manisha, bunuh diri. Tapi keadaan sudah berbeda dibanding saat tekad ia cetuskan. Sekarang ia telah merasakan nikmatnya cinta, bahagianya menyinta dan dicinta Wisang Geni. Bahkan dia kini hamil, ada bayi dalam kandungannya, buah dari percintaan dan kebahagiaannya.
Sekarang ini keinginan hidup bergejolak dalam dirinya. Ia ingin hidup lebih lama lagi bersama Geni. Dia ingin mencicipi kebahagiaan hidup lebih lama lagi, bahkan jika mungkin selama-lamanya.
"Aku tidak mau mati!" Tekadnya dalam hati
Dia mengumpulkan segenap keberaniannya, sesaat kemudian menjawab tegas, "Aku kabur dari Himalaya, karena aku tak mau kawin dengan Wasudeva, jikalau aku dipaksa kawin, lebih baik aku menyusul kakak Manisha, bunuh diri.
Aku senang bisa kabur, jadi aku tak perlu terjun dari tebing yang tinggi, bunuh diri, karena sebenarnya aku takut melakukannya."
Selanjutnya dia menceritakan asal muasal kisah perkenalannya dengan Wisang Geni. Semuanya. Tak ada yang ia tutup-tutupi. Dan perkenalan di gubuk reyot saat ia hendak diperkosa penjahat sampai pertemuan di gunung Argowayang yang berakhir dengan pernikahan. Tetapi dia tidak menceritakan malam di desa Gondang ketika Wisang Geni merenggut perawannya. Rahasia percintaan yang begtuu indah di malam itu disimpannya untuk diri sendiri.
Dia meyakinkan ayahnya bahwa keputusannya itu sangat tepat untuk dirinya sendiri.
"Ayah, dia sangat menyintai aku, dia rela melakukan apa saja demi aku, dia lelaki yang bertanggungjawab, dia menghargai aku sebagai wanita dan sebagai isteri, tetapi pada saatnya dia bisa tegas. Ia juga telah memenuhi syarat sumpahku, ilmu silatnya jauh lebih tinggi di atas aku, ia seorang suami idaman."
"Mengapa kamu tidak mau menikah dengan Wasudeva?"
Gayatri berpikir, kini saatnya dia berterusterang menceritakan kisah sedih Manisha, tentang Wasudeva menghamili kakaknya kemudian meninggalkan Manisha begitu saja tanpa niat bertanggungjawab. Itu sebabnya Manisha bunuh diri melompat dari tebing.
Tetapi ia belum sempat membuka mulut, Satyawati memotong pembicaraan. Putri kepala suku Namcha ini berbicara dalam bahasa Namcha. Cuma dia dan suaminya saja yang mengerti bahasa salah satu suku terbesar di gunung Bharwa di Timur Himalaya. Tak seorangpun di ruangan itu yang mengerti pembicaraan Satyawati dan suaminya, tidak juga Wasudeva yang sembunyi-sembunyi nguping di balik dinding.
Satyawati bicara dengan nada rendah, "Ada seseorang nguping di balik dinding, lagipula rahasia ini sebaiknya tidak diketahui oleh kedua putramu Laki-laki itu memang putra sahabatmu, tetapi tidak tahu bahwa putrimu yang tertua,
mati akibat ulah laki laki itu" Dia menatap suaminya yang mendengar dengan seksama, kemudian melanjutkan.
"Dia memerkosa putrimu, satu kali, dua kali. menjanjikan akan mengawini anakmu itu, putrimu jatuh cinta dan bersedia melakukan hubungan intim berulangkali, buntutnya hamil. Tetapi laki-laki itu ingkar janji, ia tidak datang melamae, dia bahkan menghilang. Makin hari perut Manisha makin besar, empat bulan hamil putrimu kemudian menceritakan seluruh kejadian padaku. Terus terang saja, aku tak berani melapor padamu, kamu tahu mengapa, sebab setiap aku membuka percakapan tentang laki-laki itu, kau selalu menjawab bahwa dia itu putra sahabatmu, dan harus diperlakukan istimewa."
"Tunggu!" Yudistira memotong penuturan isterinya.
"Waktu itu, aku memberitahu Manisha bahwa aku sudah menerima lamaran Mahesh dan segera merundingkan hari pernikahan.
Aku ingat wajah putriku pucat, tubuhnya gemetar. Itulah terakhir kali aku melihat wajahnya yang cantik. Esok harinya, aku menerima kabar buruk dia mati bunuh diri, terjun dari tebing." Dia berhenti sesaat lantas melanjutkan, "Aku pikir, ada sesuatu yang ganjil yang tidak aku ketahui. Kamu tahu-, beberapa hari sebelumMahesh datang melamar, aku memenuhi undangan Arjapura bertemu di suatu tempat, dia menjelaskan akan melamar Gayatri menjadi isteri Wasudeva, dan Manisha akan dijodohkan dengan Mahesh, putra sahabatnya. Pernikahan akan dirayakan bersama-sama."
Dia berhenti sejenak kemudian melanjutkan dengan mimik wajah yang keras.
"Sekarang ini aku bisa mereka-reka cerita selengkapnya, kira-kira begini, Wasudeva menghamili Manisha, setelah itu dia jatuh cinta pada Gayatri, ia batal mengawini Manisha, dia memaksa ayahnya melamar Gayatri dan menjodohkan Mahesh dengan Manisha. Putriku Manisha malu karenanya dia bunuh diri. Gayatri mengetahui keburukan lelaki itu, kabur ke tanah Jawa."
Melihat isterinya mengangguk tanda membenarkan ceritanya, Yudistira melanjutkan bicara, "Tetapi kulihat Wasudeva itu sangat menyintai Gayatri, buktinya dia masih mau mengawini Gayatri meski putri kita itu sudah menjadi isteri orang lain."
Isterinya menggelengkan kepala.
"Bukan lantaran menyintai Gayatri, lebih tepatnya dia ingin mewarisi ilmu silat andalanmu Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), sekarang kamu terkejut kan?"
Melihat suaminya terdiam, Satyawati melanjutkan, "Ayahmu menceritakan ini padaku, dia berpesan agar aku dan putrimu waspada menjagamu. Katanya, kamu terlalu jujur dan percaya diri, kamu tak akan pernah percaya siapa pun yang memperingatkan adanya bahaya yang mengancam, sampai bahaya itu datang sendiri baru kamu percaya. Tetapi pada saat itu mungkin sudah terlambat, bahaya itu telah membunuhmu"
Yudistira berkata lirih, "Sebenarnya aku sudah tahu sebagian dari penuturanmu, aku tahu Wasudeva tidak layak menjadi suami Gayatri, terutama setelah aku pelajari sifat dan kelakuannya selama perjalanan, aku tahu ia memerkosa dan menganiaya wanita di tengah perjalanan. Tetapi persoalan Gayatri kabur dan kawin secara diam-diam, itu merupakan kesalahan tersendiri."
"Tetapi semua berpangkal pada kisah Wasudeva dan Manisha, itu yang membuat Gayatri terpaksa berbuat kesalahan. Aku mohon padamu, suamiku, ampunilah Gayatri, dia adalah belahan jiwaku."
Setelah pembicaraan dengan isterinya yang memakan waktu cukup lama, Yudistira menatap Gayatri.
"Aku bicara dengan ibumu dalam bahasa yang tidak kalian mengerti, karena memang tidak perlu kalian tahu. Sekarang ini aku belum tetapkan hukuman bagi Gayatri yang telah berbuat kesalahan besar." Dia menoleh pada dua putranya.
"Besok kita berangkat ke Jedung, jika ada perahu tujuan Malaka atau Puchet, kita langsung pulang. Besok pagi semua sudah harus siap. Satu hal penting, kalian semua bertanggungjawab jika Gayatri kabur lagi, aku tak mau hal itu terjadi. Gayatri akan dihukum setiba kita di perguruan Himalaya. Dan mengenai
laki-laki itu, dia harus membayar semua kesalahannya, aku tidak akan mengampuni orang yang telah menghina dan menganiaya anakku."
Tanpa sadar, Gayatri menyahut spontan, "Dia tidak bersalah, suamiku tidak bersalah. Ayah, kami menikah karena suka sama suka, dan aku rela menjadi isterinya." Selesai bicara, Gayatri merasa heran atas keberaniannya. Dari mana datangnya keberanian tadi?
Yudistira tersenyum misterius.
"Kamu tak mengerti apa yang ayah katakan." Dalam hatinya ia berkata, "Daki-laki yang kumaksud itu Wasudeva, dia harus membayar kesalahannya."
Sampai tengah malam Yudistira duduk menyendiri di tepi danau.
"Wasudeva harus membayar dosanya terhadap Manisha, mungkin aku akan bentrok dengan Arjapura, dan pasti banyak korban berjatuhan. Tetapi apa boleh buat Laki- laki itu tetap harus dihukum, dia telah melanggar kehormatan keluarga dan harga diriku. Tetapi, Wisang Geni, apa salahnya? Ia tak bersalah, ia menyintai Gayatri dan mereka kawin karena saling menyinta. Hanya sehebat apa ilmu silatnya? Ia cucu murid Suryajagad, ia Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa, pasti silatnya sangat unggul. Aku ingin menjajalnya. Apakah sebaiknya aku menunggu dia kembali dari Bromo?"
Semalaman itu Gayatri berada di bilik bersama ibu dan dua kakak iparnya.
"Ibu katakan kepada ayah, aku akan menyusul ke Jedung bersama suamiku, aku tak kan ingkar janji. Biarkan aku tetap di sini menanti suamiku."
Ibunya menggeleng kepala.
"Tidak bisa begitu putuku!
Sebenarnya ayahmu sudah melunak, jika didesak lagi dengan permintaan itu dia bisa berbalik keras dan kaku, sabarlah Gayatri, jika suamimu itu menyintaimu seperti katamu, dia pasti akan menyusul."
Sekembali dari danau, Yudistira didatangi Wasudeva yang mohon keberangkatan ditunda, dan mereka sebaiknya menanti Wisang Geni pulang. Karena dia ingin tarung sekaligus membunuh lelaki itu. Yudistira menolak.
"Esok, hari pertama bulan Srawana, ada perahu ke Puchet, berangkat hari lima bulan Srawana. Kita bisa tepat waktu tiba di Jedung, langsung pulang ke Himalaya. Kau ikut bersama kita. Tetapi aku peringatkan kamu, jangan kamu coba mengganggu wanita-wanita yang ada di rumah ini." Wasudeva terkejut, bertanya-tanya, apakah Yudistira tahu selama ini ia sering memerkosa wanita.
Esoknya, hari pertama bulan Srawana, fajar baru menyingsing, rombongan siap-siap berangkat. Gayatri memeluk Sekar dan Prawesti. Ketiganya menangis. Gayatri menangis di pundak Sekar.
"Mbakyu Sekar, ajak Geni cepat menyusul ke pelabuhan Jedung, waktu sangat sempit, satu hari saja terlambat maka aku sudah berangkat ke Himalaya."
Sekar tersedu-sedu mengiyakan.
"Aku tunggu dia di sini, kita pasti akan menyusulmu, secepatnya. Itu pasti adikku, jangan khawatir."
Saat itu tanpa setahu Gayatri dan Sekar yang masih berpelukan, Prawesti menghampiri Yudistira dan isterinya.
"Pendekar Himalaya yang kenamaan, kamu tidak pantas dan tidak adil jika menghukum putrimu Kalau kamu lakukan itu, maka kamu adalah seorang ayah yang tak punya tanggungjawab, ayah yang jahat, dan sedikit pun tidak menyayangi kemanusiaan."
Alis Yudistira berdiri. Ia menatap gadis cantik ini.
"Kamu siapa, berani lancang bicara padaku?"
"Aku orang kecil, tetapi jika kamu memang suka membunuh, kamu ambil nyawaku sebagai penukar hukuman Gayatri, karena aku lihat kamu ini seorang ayah yang haus darah."
Tubuh Yudistira gemetar, saking marahnya.
"Aku tanya, kamu siapa, apa hubunganmu dengan Wisang Geni?"
"Aku isteri Wisang Geni!"
Saat itu Gayatri dan Sekar sudah melihat apa yang dilakukan Prawesti.
"Gayatri lihat, itu Prawesti sedang bicara dengan ayahmu. Anak edan itu, apa yang dia lakukan?" Gayatri menggeleng kepala.
"Aku sudah berpesan padanya, jangan menentang ayahku. Tetapi dia melanggar pesanku.
Mbak, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Melihat Yudistira memegang dahi, isterinya tahu suaminya sedang berpikir keras, memikirkan sesuatu yang pelik. Tak sabar Satyawati bertanya kepada Prawesti.
"Jadi kamu itu isteri Wisang Geni, dan Gayatri juga isterinya, begitu maksudmu?"
Diam-diam di dalam hati Prawesti memaki Wisang Geni. Berita ini pasti membangkitkan amarah orangtua Gayatri. Ia menjawab lirih, "Aku pikir kakak Gayatri sudah memberitahu kalian. Tetapi biarlah, karena aku sudah terlanjur akan kuceritakan seluruhnya. Pendekar Himalaya yang terhormat, anak menantumu yang namanya Wisang Geni itu, dia punya tiga isteri. Nomor satu, Sekar, itu orangnya," sambil ia menunjuk arah Sekar.
Ia melanjutkan, "Nomor dua, kakak Gayatri. Nomor tiga, aku, Prawesti. Mungkin di masa datang, dia akan menambah isteri lagi, sebab sekarang ini Sekar dan Gayatri sedang hamil. Itu sebab dia pergi ke gunung Bromo, mencari obat penguat kandungan. Dia ingin banyak anak. Kamu akan menjadi kakek dari banyak cucu, pendekar Himalaya."
Yudistira merasa darahnya seperti mendidih. Bagaimana mungkin ada cerita gila macam ini. Tanpa sadar, ia berteriak, keras dan membahana.
"Gayatriiiiiiii!"
Teriakan itu dilandasi tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya memantul menggema di tebing dan hutan. Semua orang terkejut. Prawesti kaget, mundur sampai di dekat Sekar dan Gayatri. Dalam hati Gayatri berteriak, "Mati aku sekarang!"
Satyawati menggenggam tangan suaminya. Tangan itu gemetar. Sesaat kemudian Yudistira diam, menenangkan diri.
"Ini benar-benar gila, kisah ini lebih gila dari cerita dan kisah yang pernah kudengar. Gayatri, kamu kawin dengan lelaki yang sudah beristeri?"
Kalimat terakhir ini dia kirim lewat tenaga dalam sehingga hanya Gayatri sendiri yang mendengarnya. Gayatri mengirim suara juga dengan tenaga serupa.
"Maafkan aku, ayah, aku jatuh cinta padanya karena dia sangat mencintaiku, dia sangat kasmaran padaku!"
Yudistira tertawa.
"Baik kita lihat bersama nanti, apakah dia benar-benar mencintaimu dan apakah dia sungguh pendekar sejati, kuharap saja kata-katamu benar dan suamimu itu menyusul kita ke Jedung. Kita tunggu dia di Jedung."

* * *



Pada malam di penghujung bulan Asadha, saat Gayatri sedang menghadapi pertemuan keluarga di rumahnya di lereng Welirang, saat yang sama Wisang Geni bertengkar dengan Manohara di dalam goa kecil itu.
"Kau bisa saja menawan aku di sini dengan tidak mengantarkan aku keluar dari hutan kamboja dan padang ilalang, itu urusanmu. Tetapi aku tetap harus berangkat besok pagi, isteriku sedang menanti aku."
Manohara mendekap Geni.
"Aku tak pernah berpikir akan menawanmu di sini, aku bukan perempuan murahan yang licik. Aku akan mengantarmu keluar tetapi aku akan membuntuti sampai gunung Welirang. Aku akan mohon, kalau perlu mengemis pada Sekar dan Gayatri, aku hanya ingin bersamamu sampai hari tua."
Geni menolak, alasannya ia perlu menghemat waktu, jalan cepat agar tidak terlambat.
"Apanya yang terlambat," tukas gadis cantik itu.
"Malam kemarin, kamu mengatakan tidak terburu-buru dan masih ada sisa waktu dua malam lagi, tetapi sekarang ini kamu bilang akan terlambat. Tidak perlu beralasan katakan saja kalau kamu sudah bosan, kalau kau cuma pura-pura menyintai dan menyukai aku, kamu kan sudah puas selama dua hari meniduri aku, merayu dan merayu, tak pernah berhenti."
Geni diam saja. Manohara semakin liar.
"Aku pikir Sekar dan Gayatri pasti mau menerima aku sebagai selirmu. Tak ada wanita yang sanggup menjadi isterimu, melayanimu sendirian, dengan kekuatan dan nafsumu yang tidak normal itu. Kamu perlu paling tidak empat atau lima selir selain dua istrimu itu. Sekarang baru Prawesti, masih ada lowongan tiga selir lagi.
Kenapa? Kamu takut pada Gayatri, takut pada Sekar? Lucu sekali, pendekar tanpa tandingan di tanah Jawa ini takut pada isteri-isterinya."
Wisang Geni menerkam gadis itu.
"Mulutmu tajam. Kamu ini memang kucing liar." Ia memeluk Manohara, menepuk- nepuk bokongnya macam orangtua yang memarahi dan memukuli pantat anaknya yang nakal.
"Benar apa kataku, kamu sudah terangsang lagi, kan," sambil berkata demikian, Manohara berontak dan mengecup mulut lelaki itu Malam itu, Geni kembali menggeluti tubuh molek Manohara, sementara di tempat lain Gayatri menangis dalam pelukan Satyawati berulang kak menyebut nama Geni, sampai ia tertidur. Dalam tidurnya Gayatri bermimpi berpelukan dengan Geni di sebuah goa kecil di tengah kebun bunga di istana keraton Tumapel.
Esok pagi, ketika fajar menyingsing di hari pertama bulan Srawana, pada saat Gayatri pamitan dengan keluarga Gajah Lengar dan Gajah Nila serta murid-murid Lemah Tulis lainnya, saat yang sama di kaki gunung Bromo, Wisang Geni terbangun dari tidur lelap.
Manohara masih terbaring bugil di sampingnya. Geni teringat isterinya. Ia harus berangkat sekarang ini. Samar- samar ia melihat cahaya fajar menerobos sela pintu goa. Ia mengenakan pakaian. Manohara terjaga.
"Aku ikut." Suara gadis itu tegas.
Manohara cepat mengenakan pakaian.
"Aku ikut, aku tak mau ditinggal. Aku ikut, ke neraka pun aku ikut, kamu tak punya hak mencegah aku."
Geni tak bisa lagi menghalangi tekad si gadis.
"Bagaimana dengan gurumu, kamu kan harus pamitan dengan dia."
Manohara tertawa genit.
"Itu tandanya kamu setuju, begitu kan suamiku?"
"Bukan suami, kamu bukan isteriku tetapi selir."
"Kamu salah, Geni. Aku memang selir, tetapi kau tetap
suamiku."
"Sudah tak perlu berdebat lagi, aku tanya tentang gurumu"
Manohara mendekat dan memeluk Geni.
"Kau sudah menyatakan menyintai, menyukai aku dan selalu bernafsu jika aku di dekatmu Itu saja sudah cukup bagiku, aku tak perlu yang lain, belakangan nanti baru aku pamitan pada guru, pasti ia tidak akan marah."
Keduanya bergegas berangkat. Begitu keluar dari kawasan ilalang, keduanya bersamplokan jalan dengan tiga perempuan. Kalandara, Kemara dan Dumilah. Tiga perempuan itu kaget.
Geni tersenyum, agak malu. Manohara melompat mendekati gurunya, memeluk dan berbisik di telinganya, "Ibu, aku sudah menjadi isteri Wisang Geni, dua malam dia meniduri aku, sekarang aku ikut dengannya menemui Sekar dan Gayatri, dua isterinya itu."
Gurunya itu diam, agak bingung.
"Apakah kamu sudah pikir matang dan masak, bisakah kamu mendapatkan cintanya, apakah dia bukannya hanya mempermainkan kamu, nak?"
"Memang aku tidak punya pengalaman dalam bercinta tetapi aku tahu dia tidak mempermainkan aku, jangan khawatir, aku bisa membawa diri, ibu" Kalandara memberi hormat, "Tuan pendekar, pertarungan di desa Bangsal telah mengangkat namamu sebagai pendekar tanpa tandingan, kamu yang nomor satu di tanah Jawa ini.
Ilmu silatku jauh di bawah kehebatanmu, aku tak akan bisa menuntutmu jika semisal kamu mempermainkan Manohara, tetapi sebagai pendekar terhormat aku mengharap kamu memelihara Manohara dengan baik. Jangan sia-siakan dia. Dia anak yang baik, aku mengambilnya sejak bayi, tidak tahu siapa ayah ibunya, ia sudah seperti anakku sendiri, aku sangat menyayanginya, berat bagiku berpisah dengannya."
Lalu dengan agak malu-malu dia memandang Geni dan bertanya, "Kapan-kapan kalau aku kangen kepadanya, boleh aku berkunjung?"
Wisang Geni membungkuk hormat "Sekarang ini ibu adalah ibu mertuaku, jadi kapan saja ibu mau berkunjung aku persilahkan, tapi jika boleh aku memberi saran, jauhi permusuhan dengan siapa pun dan jauhi keraton yang mana pun juga. Tetapi bagaimanapun juga semua terserah padamu. Sekarang aku mohon pamit, sekalian mengajak Manohara."
Gadis itu pamitan dengan kedua kakak perguruan dan ibu angkatnya kemudian berlari menyusul Geni. Sesampainya di desa kecil itu, Geni menyisipkan uang ke pemilik kandang dan mengambil si Hitam "Kuda bagus, ini pasti kuda unggulan, perkasa seperti tuannya," kata Manohara tersenyum menggoda.
"Kamu naiklah, biar aku berlari," kata Geni.
Perjalanan dilakukan tanpa henti, istirahat sejenak hanya untuk makan siang. Waktu senja mereka tiba di desa kecil dekat kali Bejik. Manohara memohon agar istirahat "Pahaku lecet."
Geni setuju karena perjalanan sudah lebih dari separuh. Jika besok pagi berangkat, mungkin malamnya sudah tiba di Welirang Keduanya bermalam di rumah penduduk. Manohara mengeluh, tubuhnya pegaL Ia hendak keluar kamar, Geni menegur.
"Mau ke mana?" Agak malu gadis itu menjawab mencari tukang pijit. Geni merasa lucu.
"Memang kamu kenapa, capek?"
Gadis itu menggeleng. Geni menggapai, "Kenapa kamu tidak minta tolong padaku?"
Manohara menyahut cepat, "Tidak boleh, mestinya aku memijit kamu, kamu kan suamiku jadi aku yang harus melayanimu"
Geni menarik tangannya.
"Kubantu dengan tenaga dalam." Ia menyuruh Manohara membuka baju atasnya, lalu menyalurkan tenaga Wiwaha melalui punggung si gadis.
Manohara merasa tenaga panas merasuk ke semua bagian tubuh. Keringat merembes dari pori-pori si gadis, menebar aroma wangi bunga. Selesai pengobatan, hari sudah malam. Di luar gelap. Gadis itu berpakaian, lalu keluar, "Aku mencari makanan."
Esoknya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka berdua menunggang si hitam. Karena pahanya lecet, gadis itu duduk menyamping di depan Geni. Ia bercerita, terkadang kisah humor membuat Geni tertawa. Suatu saat ia menoleh memandang lekat wajah Geni.
"Sebenarnya kamu tidak terlalu tampan, tetapi ada sesuatu dalam tubuhmu yang memancar daya tarik. Pertama lihat kamu, aku langsung jatuh cinta.
Ketika kamu memegang gemas bokongku, aku tahu kamu juga tertarik padaku. Sejak itu aku mengkhayalketemu denganmu Aku sepatutnya berterimakasih pada Dewi Obat sehingga kamu pergi mencari bunga talasari, tanpa itu mungkin seumur hidup aku tak pernah ketemu kamu, tak pernah bisa menjadi isterimu Sekarang ini aku bahagia." Ia memeluk Geni, "Aku menyintaimu"
Geni memperlambat lari si hitam. Manohara menggumam, "Kamu terangsang, sayang?" Geni mengangguk. Manohara menuntun tangan Geni ke buah dadanya.
"Aku juga, Geni." Dia menunjuk.
"Di semak itu saja."
Geni menunjuk ke depan, "Di depan tidak jauh lagi, ada gubuk tua."
Ketika Geni bercinta dengan Manohara di gubuk tua dekat kaki gunung Welirang, pada saat yang sama Gayatri dan rombongan tiba di desa Tangkur yang jaraknya setengah hari perjalanan ke pelabuhan Jedung.
Gayatri merenung.
"Oh Geni kamu ada di mana, saat ini kamu pasti di tengah jalan dan malam nanti tiba di rumah. Esok pagi atau mungkin malam ini juga kamu berangkat ke Jedung. Jikalau kita dengan perjalanan lamban bisa tiga hari, kamu mungkin bisa dua hari, berarti tiga hari lagi baru kamu tiba di Jedung."
Geni masih berpelukan dengan Manohara. Dari gubuk itu ke rumah di lereng Welirang, sekitar setengah hari.
"Jika berangkat sekarang, kita sampai di rumah pada malam hari. Kamu capek?"
Manohara memang merasa capek, meskipun sudah dibantu dengan tenaga dalam. Perjalanan berkuda serta pergumulan dengan Geni, membuat ia merasa letih. Tetapi ia tak mau mengecewakan kekasihnya.
"Aku tidak terlalu capek, ayo kita berangkat biar cepat sampai dan istirahat di rumah."
Malam hari, Geni dan Manohara tiba di rumah. Ia memanggil nama Sekar dan Gayatri. Namun yang keluar menjemput Sekar, Prawesti bersama Gajah Lengar, Gajah Nila dan isteri mereka.
"Mana Gayatri?" Geni termenung mendengar cerita Sekar.
"Jadi waktu aku bercinta dengan Manohara, pada saat itu Gayatri menghadapi saat kritis diadili ayahnya. Dia menderita saat aku asyik bercinta, ini benar- benar gila, aku memang gila," katanya dalam hati Tak lupa Geni memperkenalkan Manohara kepada Sekar dan Prawesti. Sebenarnya ketiganya sudah saling kenal. Tidak diduga mereka kini berkumpul satu rumah sebagai isteri sang pendekar Wisang Geni.
"Sekarang juga aku berangkat ke Jedung, sendiri, karena aku akan melakukan perjalanan cepat, jika kalian ikut maka hanya memperlambat perjalanan."
Tetapi Sekar memaksa ikut, "Aku tak tahu apa yang menghadangmu di perjalanan, karenanya aku harus ikut. Biar cepat, kita menunggang si hitam dan si putih. Prawesti dan Manohara menyusul dengan kuda lain."
Prawesti menyahut, "Baik, kami berdua menyusul." Dia mengajak Manohara mempersiapkan perbekalan. Tak lama kemudian, setelah menerima buntalan pakaian dan bekal makanan, Geni dan Sekar berangkat.
Sepasang kuda perkasa itu berlari tak kenal lelah. Geni bahkan memaksa perjalanan malam hari. Meskipun gelap namun ia masih mengenal jalanan dari Welirang menuju Dayu. Keesokannya mereka sudah melewati desa Dayu. Mereka memacu kudanya terus. Malam harinya tiba di desa Pandan, mereka istirahat di rumah penduduk.
Meskipun letih namun Geni lebih mengutamakan Sekar yang sedang hamil. Dia membantu dengan penyaluran tenaga dalam memulihkan tenaga isterinya. Selesai membantu isterinya, Geni mengambil posisi semedi.
"Kita istirahat sekadarnya, tengah malam nanti kita melanjutkan perjalanan," kata Geni sambil semedi menata tenaga dalamnya.
Selesai semedi Geni melihat isterinya sedang berbaring memunggungi dia. Sesaat dia bimbang dan ragu. Dia merasa tidak tega membangunkan Sekar tetapi pada sisi lain dia ingin secepatnya tiba di Jedung. Dia menggamit lengan isterinya.
"Sekar, kita berangkat sekarang."
"Kamu berangkat sekarang saja tetapi sendirian. Aku menyusul besok pagi atau besok siang." Suara Sekar lirih dan dingin. Samar-samar Geni menangkap suara sesegukan dan isak tangis yang ditahan-tahan.
"Sekar, ada apa, mengapa kamu menangis? Kamu letih?" Geni memegang lengan isterinya. Tetapi Sekar menepis tangan suaminya, dia berkata ketus, "Jangan pura-pura, aku lebih suka kalau kamu berterus terang, itu lebih baik bagiku meskipun misalnya terasa pahit."
"Aku tidak mengerti apa persoalannya, mengapa kamu mendadak marah seperti ini?" tanya Geni lirih.
Perempuan itu membalik tubuh. Matanya menatap dengan penuh kemarahan. Ada api di dalam mata yang indah itu.
"Terimakasih kamu sudah membantu aku dengan tenagamu yang hebat, tenagaku sudah pulih, aku sudah siap menunggang kuda sehari semalam lagi bahkan kalau perlu dua hari dua malam sampai aku mati di atas punggung kuda."
"Aku tahu kamu marah, tetapi apa salahku?"
Kata-kata Geni itu menambah kemarahan Sekar.
"Aku tahu, Geni. Kamu membantu aku bukan karena sayang dan cinta, tetapi supaya aku bisa menunggang kuda sehari semalam lagi, iya kan. Supaya kamu cepat bertemu dengan Gayatri-muyang sangat kau cintai itu."
Wisang Geni bingung. Dia tahu isterinya marah. Tidak biasanya Sekar marah. Berarti ada sesuatu yang telah menyinggung perasaannya yang membuat dia marah.
"Iya kamu benar, kita melakukan perjalanan cepat ke Jedung supaya tidak terlambat sebab kita harus mencegah jangan sampai Gayatri dibawa pulang ayahnya ke Himalaya."
Mendengar itu, Sekar meledak dalam tangis dan marah.
"Kamu telah membohongi aku, selama ini aku mempercayai kamu, percaya bahwa kamu mencintai aku. Aku mohon padamu Geni, jangan bohongi aku dengan rayuan manismu itu. Katakan dengan jujur, kamu tidak mencintai aku, kamu hanya kasmaran pada tubuhku. Katakan, tak usah ragu, sebab aku tak akan berubah, tetap saja mencintai kamu sebagaimana adanya cintaku yang kemarin. Cintaku tetap sama seperukemarin maupun hari ini. Cintaku tak akan luntur., tapi tolong jangan bohongi aku, jangan menyakiti aku dengan membohongi aku."
Geni memegang tangan isterinya, menciumi tangan yang jari-jarinya lentik.
"Aku tidak pernah bohong, aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, itu hal yang benar, bukan rayuan atau kebohongan. Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu, mengatakan aku membohongi kamu?"
Dia menarik tangannya dari genggaman suaminya.
"Aku tak mau pergi sekarang, aku tak mau berdebat, aku ngantuk dan mau tidur. Kalau kamu mau pergi, pergilah, tinggalkan aku di sini, biar aku mati ditelan macan jangan urusi aku, kamu pergilah ke Jedung urus isterimu itu!"
Pada akhirnya Geni mengerti mengapa Sekar mendadak marah.
"Oh dia cemburu," katanya dalam hati. Geni bergerak sebat, tangannya menotok urat di pundak isterinya. Karena tak menduga akan diserang, Sekar tak bisa berkelit.
Seandainya mengetahui akan diserang pun Sekar tidak akan mampu mengelak. Dua tangannya lemas, tetapi kakunya masih bertenaga. Dia hendak bergerak, tetapi tangan Geni sudah menotok pangkal pahanya. Sekar rubuh di dipan.
"Geni, mau apa kamu?"
"Apa lagi, ya mau memeluk kamu."
"Aku tak mau, tidak mau!"
"Sekarang, ceritakan padaku, mengapa kamu marah, kamu cemburu?"
"Aku tidak cemburu Gayatri adalah adik dan sahabatku. Tetapi aku marah karena merasa kamu bohongi. Tenagamu mumpuni, kamu mampu melakukan perjalanan gila seperti ini. Tetapi aku tidak sekuat kamu, apalagi dalam keadaan hamil. Tetapi kamu tidak memikirkan aku, apakah aku kuat atau letih atau mau mati, kamu hanya memikirkan Gayatri. Hanya Gayatri yang ada di dalam benakmu Padahal kamu sering berbisik di telingaku, Oh Sekar, aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, kamu lebih istimewa dari Gayatri atau perempuan mana pun. Itu rayuan beracun. Aku hanya mohon padamu, sejak malam ini, jangan merayuku lagi, jika perlu tubuhku, kamu hanya perlu berteriak Sekar kemari, aku ingin bercinta denganmu! Maka aku akan datang, buka pakaian dan membiarkan kamu meniduri aku. Bagiku itu lebih jelas dan lebih jujur."
Wisang Geni tertawa geli. Sekar melotot merasa disepelekan. Dia hendak bicara tetapi tangan Geni cepat membungkam mulurnya. Sekar meronta dan menggigit tangan yang membungkam mulurnya. Geni membiarkan. Mata Sekar melotot tetapi tidak tega menyakiti suaminya, akhirnya gigitan itu mengendur.
"Maafkan aku, Sekar. Aku sungguh goblok, aku tidak berpikir waras. Seharusnya aku memberimu waktu istirahat, aku berlaku tidak pantas memaksa kamu berkuda sehari semalaman. Maafkan aku, isteriku." Dia melihat mata isterinya berbinar, ada rasa gembira. Geni melanjutkan, "Sekar, aku tidak pernah membohongi kamu Aku berkata jujur bahwa aku hanya mencintaimu seorang," Geni menarik tangannya dari mulut isterinya.
"Kamu bohong, bohong!" Sekar berteriak. Sesaat kemudian dia melanjutkan lirih, "Kamu mencintai Gayatri. Adapun aku, kamu hanya butuh tubuhku, butuh cara aku melayanimu dalam bercinta."
Wisang Geni memeluk dan menciumi leher isterinya yang berkeringat lalu tangannya yang kekar memegang dua pipi perempuan cantik itu.
"Kamu dengar Sekar, jangan keras kepala, aku hanya mencintai kamu seorang!"
"Jangan bohong, katakan saja, kamu mencintai Gayatri dan kamu akan mati apabila tidak bertemu dengannya di Jedung, kamu juga akan mati jika dia pergike Himalaya, dan kamu akan mengajak semua orang-orangmu pergi ke Himalaya mengejar cintamu yang hilang itu. Katakan saja Geni, jangan khawatir, aku tidak akan berubah, aku tetap mencintaimu," Sekar bicara berapi-api meski dengan nada yang rendah dan lirih.
Lelaki itu diam. Pikirannya bekerja.
"Jika Gayatri dibawa pulang ke Himalaya karena aku terlambat datang, apakah aku akan menyusul dia ke Himalaya? Mengajak semua isteriku?
Atau pergi sendirian? Bagaimana jika sesampai di Jedung, Gayatri sudah dihukum dan tewas misalnya, apa yang akan aku lakukan?"
Melihat suaminya diam, Sekar beranggapan semua tuduhannya benar. Sekar memeluk suaminya, amarahnya reda.
"Geni, aku tetap mencintaimu, aku akan ikut kamu, ke mana pun, ke Himalaya pun aku ikut. Tetapi kamu tak perlu merayuku dan membohongi aku, jujur saja, aku tak akan marah. Aku hanya marah jika aku dibohongi."
Geni duduk di pembaringan, menatap mata indah isterinya.
Mendengar ucapan Sekar yang legowo itu, Geni semakin mencintainya.
"Sekar, aku sudah lama berpikir tentang diriku dan hubunganku dengan kamu, Wulan, Gayatri dan perempuan lain. Sekarang baru aku sadar, bahwa sesungguhnya cintaku hanya satu, aku tidak bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Aku hanya mencintai satu perempuan, perempuan lain cuma nafsu birahi!" Sekar memotong cepat, "Dia, Gayatri! Iya kan?"
Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya, Geni melanjutkan dengan mimik serius.
"Pertanyaanmu tadi, jikalau Gayatri dibawa paksa ayahnya, apakah aku akan menyusul ke Himalaya? Aku bisa menjawabnya sekarang ini karena aku sudah tahu siapa sebenarnya perempuan yang paling kucinta " Sekar menatap suaminya, diam menanti ucapan selanjutnya.
"Bagiku tidak penting, apakah Gayatri pulang ke Himalaya atau tetap di sini. Juga tidak penting apakah aku akan menyusul ke Himalaya atau tidak. Aku bisa saja tidak menyusul Gayatri ke Himalaya, hal itu tidak besar artinya bagiku. Artinya aku bisa hidup meskipun tanpa Gayatri, seperti halnya Wulan, aku bisa hidup setelah Wulan mati. Terhadap Gayatri, Wulan, Prawesti dan semua perempuan, aku hanya ingin meniduri mereka, aku tidak mencintai mereka, aku hanya bernafsu. Jika mereka pergi, aku bisa mendapatkan perempuan lain. Tak ada bedanya." Geni menatap isterinya dengan sinar mata yang memancarkan sejuta makna cinta.
"Tetapi terhadap perempuan bernama Sekar, aku nicimuiaiiiya, aku tidak mau kehilangan dia, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku menjalani hidup tanpa dia di sisiku." Geni memeluk dan mencium isterinya. Sekar bereaksi dengan liar.
"Geni, benarkah apa yang kudengar, benarkah kamu mencintai aku seperti itu?"
"Terhadapmu aku mencinta dan bernafsu. Kepada Gayatri dan perempuan lain, hanya nafsu birahi belaka."
"Apakah itu rayuanmu lagi, ataukah ungkapan jujur? Sejak kapan kamu mengetahui perbedaan itu?"
"Aku jujur, Sekar. Sejak di hutan cemara, aku sudah mencintaimu Tapi selama ini kupikir aku mencintai kalian semua. Pertanyaanmu tadi telah menggugah hati dan pikiranku. Seandainya kamu, yang dibawa lari ke Himalaya, aku tidak akan ragu dan akan segera menyusulmu apa pun resikonya. Tetapi jika Gayatri, aku masih akan mempertimbangkan resiko untung ruginya, ini adalah perasaanku yang paling jujur. Aku ingin cepat sampai di Jedung karena ingin mencegah keberangkatan Gayatri, itu tanggungjawabku sebagai suami" Sekar menciumi wajah dan leher suaminya.
"Geni, aku merasa aku adalah perempuan paling beruntung di kolong langit, paling bahagia. Aku mencintaimu, suamiku, dengan segenap raga dan jiwaku" Keduanya larut dalam bhahinya cinta. Selesai bercinta, Sekar berbisik, "Aku bahagia suamiku." Dia memijit dan mengelus-elus tubuh Geni sampai suaminya tertidur pulas. Keesokan harinya, tubuh suami isteri itu bugar kembali. Sebelum matahari terbit, keduanya sudah berada di atas kuda tunggangan.

* * *



INDEX WISANG GENI
Bunga Talasari --oo0oo-- Tarung Untuk Cinta
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.