Life is journey not a destinantion ...

Pedang Ular Emas

INDEX WINTARA
Dewi Jalang Dari Gunung Tanggul --oo0oo TAMAT

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

"Terkutuk! Orang-orang aliran lurus hendaknya mampus disambar geledek! Biar semua jadi arang gelondang!" Sumpah serapah Nenek berbaju serba merah yang larinya cepat bagai angin. Rambut putihnya tergerai sebatas pinggang tergerak-gerak setiap kakinya melangkah. Ia yang tidak lain Nenek keriput Nilasari Grewek terus berlari menerobos hutan belukar nan lebat.
Sebilah pedang berkilau keemasan tergenggam erat di tangan kanannya. Pedang itu dibabatkan ke depan berkali-kali, menebas ranting-ranting pohon yang menghalangi langkahnya.
Pandangannya lurus nyalang mengandung murka. Selama ia berlari gerutunya tidak pernah putus.
"Srikaton Munggel juga sialan! Beraniberaninya ia dihadapan ku berpihak pada orang-orang aliran lurus. Mudah-mudahan ia mampus ditelan bumi!" Saat itu Nilasari Grewek sudah menembus hutan belukar. Dihadapannya membentang sebuah perkampungan terpencil yang sunyi. Namun begitu para penduduknya banyak berkeliaran mengisi kesibukan sehari-hari.
Tidak segan pula Nilasari Grewek menginjakkan kaki ke desa terpencil tersebut. Kehadirannya sangat mengejutkan penduduk kampung. Mereka betul-betul keheranan menatap seorang nenek keriput yang terus menggerutu dan langsung duduk pada sebuah balai di depan sebuah gubuk.
"Aku yang telah banyak malang melintang dalam dunia persilatan, sama sekali tidak diberi muka. Tidak ingat selama tiga puluh tahun hidup aku yang mengurusi. Dasar murid tidak tabu diri. Sebaiknya cepat-cepat mampus saja kalian semua!"
Mendengar sumpah serapah itu beberapa penduduk yang kebetulan mendengar jadi ingin tertawa. Mereka menganggap telah kehadiran seorang nenek pikun. Tak urung juga penduduk yang lain berdatangan ikut menertawai.
Nilasari Grewek tidak perduli dikerubungi oleh para penduduk yang berbagai usia maupun jenis. Tahu-tahu saja tempat itu telah penuh dengan orangorang yang mengerubunginya.
"Adisena, siapa nenek ini sebenarnya?" bisik salah seorang penduduk. Adisena yang juga berada di situ mengangkat bahu.
"Mana aku tabu. Coba saja kau tanyakan, siapa tahu dia nenek moyangmu." jawab Adisena bergurau.
"Monyong. Nenek moyangku tidak ada yang sejelek ini!" Gerutu sahabatnya. Ia menepuk punggung Adisena lalu tertawa nyengir.
Tapi lama kelamaan Nilasari Grewek menyadari juga kalau dirinya menjadi tontonan orang banyak. Maka ia menghardik kuat-kuat.
"Kalian semua mau apa, hah! Ayo pergi!" bentaknya, seraya bangkit menggertak. Tapi mana mau mereka menyingkir. Meskipun nenek keriput itu menghunuskan pedang.
"Nenek sinting, sebaiknya kau yang mesti pergi dari sini. Desa ini bukan tempatmu!" jawab mereka. Nilasari menggeram demi mendengar kata-kata itu. Maka murka sekali ia melemparkan pedangnya ke hadapan orang yang berbicara tadi Cepat pula orang itu beringsut mundur. Sehingga luput dari lemparan pedang. Namun pedang itu tepat menancap tegak di atas permukaan tanah.
Melihat kemarahan itu para penduduk mundur beberapa langkah. Mata mereka semua menatap ke arah pedang yang menancap tegak. Sedangkan Nilasari Grewek tetap duduk kembali mengangkat sebelah kakinya di atas balai.
"Wuaaah... Tidak salahkah penglihatan ku? Coba kau lihat pedang itu, Adisena. Bukankah itu pedang emas?" kata mereka. Nilasari Grewek mencibir.
"Astaga Itu emas murni!" Mata Adisena terbelalak. Yang lain juga menatap kagum ke arah pedang tersebut.
"Tidak terpikirkan olehmu, seandainya pedang emas itu menjadi milik kita?" kata mereka.
"Kita bisa menjualnya dan dapat membangun desa ini." jawab Adisena mantap.
"Bayangkan saja berapa banyak uang yang akan kita terima nanti." sambung Adisena.
"Kalau begitu kenapa tidak kita ambil saja. Toh, nenek pikun itu tidak ada artinya bagi kita." Salah seorang diantara mereka melangkah maju ke arah pedang yang tertancap di tanah.
Meski acuh, Nilasari Grewek dapat melirik. Maka saat orang itu hendak menarik Pedang emas, Nenek Keriput yang duduk tenang ini tidak segan-segan lepaskan sebuah hantaman.
"Buuug...! Arrrrrght...!" Celaka bagi orang itu. Tubuhnya langsung ambruk di tanah. Mulutnya menyembur darah dengan tulang iga yang remuk. Hingga tewas seketika. Kejadian tersebut membuat orangorang yang berada di situ jadi berbalik ngeri. Tapi tidak membuat gentar beberapa orang lelaki yang masih berdiri menghadapi Nilasari Grewek.
"Nenek Keriput! Kau telah membunuh seorang sahabat kami. Sungguh berani bertindak sembarangan." Mereka mengepung. Di antaranya ada yang mencabut golok.
"Jangan ada yang coba-coba menyentuh Pedang Ular Emasku! Kalian akan celaka semua!" bentak Nilasari Grewek.
"Percuma kau bicara begitu. Kau telah menewaskan satu penduduk desa ini. Kamilah yang akan menghukum mu nenek busuk!" Mereka menerjang serempak. Menghadapi serangan-serangan itu Nilasari Grewek tidak perlu bangkit. Kedua tangannya cepat memutar menyambut mereka. Setiap telapak tangannya memapaki serangan mereka.
"Splaaak....! Splaaak...! Splaaak...!"
Mereka bergelimpang terhuyung. Sambutan itu cukup membuat para penduduk semakin murka. Mereka bangkit lagi. Dan kali ini serangan mereka lebih gencar. Menghadapi serangan dari enam orang, nenek berbaju merah itu tidak bisa terus menerus sambil duduk. Sekali ia hentakkan kedua kakinya. Nilasari Grewek melesat menjauh. Hantaman golok serta pukulan mereka luput. Hanya balai yang berderak hancur.
Cepat mereka berbalik menatap ke arah Nilasari Grewek yang sudah berdiri di hadapan Pedang Ular Emas. Keenam orang lawannya garang menerjang. Cepat pula Nilasari Grewek mencabut pedang yang tertancap itu. Lalu ia membabat ke depan.
Membersitlah sinar keemasan bagai setengah lingkaran. Dibarengi pula dengan jeritan yang menyayat. Tiga orang ambruk dengan perut menghamburkan darah.
Adisena membelalakkan mata. Ia segan untuk maju menyerang lagi. Dua orang temannya bergidik menatap tiga orang tewas mengerikan. Sedangkan Nilasari Grewek telah siap menghadapi mereka. Jurus pedangnya ngawur nampak begitu menakutkan.
Seluruh orang-orang kampung menyingkir mundur. Mereka tidak berani mendekat. Apalagi kaum perempuannya. Hampir rata-rata tidak berani menatap ke arah pertempuran.
"Penduduk sialan! Kedatanganku ke sini sama sekali tidak menyulitkan kalian, tapi justru kalian yang mencari kesulitan sendiri. Nah, majulah bila ingin mengambil pedang dari tanganku! Hayo...!" tantang Nilasari Grewek. Mata tuanya menatap jalang.
Adisena yang memimpin gerakan itu jadi gelagapan. Dua orang temannya sudah tidak sabaran melihat sikap nenek berbaju merah.
"Tunggu apa lagi, Adisena. Pedang di tangannya jauh lebih mahal dari pada jiwa keriput ini!" bentaknya. Nilasari Grewek hanya menyeringai. Sigap ia menyambut serangan dari ketiga lawannya. Pedangnya membersit kembali memutuskan senjata-senjata mereka. Namun demi mendapatkan pedang yang terbuat dari emas murni, mereka tidak gentar sedikitpun. Tidak berpikir kalau nenek keriput yang tengah mereka hadapi adalah seorang renta yang sangat berilmu tinggi. Tidak menyangka pula kalau kepala kedua penyerangnya tiba-tiba putus menggelinding.
Melihat itupun Adisena berjingkat mundur. Ia tidak berani lagi menyerang. Orang-orang kampung terpencil itu serempak menjerit ngeri. Mereka berlarian bersembunyi.
Tapi mendadak pula Nilasari Grewek bergetar. Adisena menatap keheranan. Ia tidak berani melangkah. Di luar dugaan Nilasari Grewek memuntahkan darah. Keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Mulutnya menghambur darah kehitaman.
"Anak muda Aku tidak segan-segan menghabiskan seluruh penduduk desa ini. Kelima orang temanmu itu sebagai peringatan. Dan sekarang kalian semua harus patuh," Suara Nilasari Grewek parau. Kedua matanya mengembang air karena menahan rasa sakit yang meluap dari dalam dadanya.
"Aku sekarang yang menguasai desa ini. Kalian harus melayani aku seperti seorang raja. Mengerti...!"
Adisena mengangguk perlahan. Takut kalaukalau Pedang Ular Emas itu membersit ke arah tenggorokannya. Dia hanya berani berdiri jauh. Menatap Nilasari Grewek menyeka lumuran darah di sekitar mulut.
"Sekarang suruh penduduk desa ini keluar semua, mereka tidak perlu takut lagi. Cepat!" Perintah nenek berambut putih. Ia kembali duduk bersila di atas balai. Sedangkan Adisena yang masih ketakutan langsung menyuruh para penduduk desa agar keluar.
Maka dalam sekejap saja mereka keluar dari gubuknya masing-masing. Dengan langkah ngeri, mereka semua berjalan mendekat ke arah Nilasari Grewek. Para perempuan mendekapi anak-anak mereka.
Memandang itu Nilasari Grewek menyeringai seram. Sepertinya ia tengah menghitung jumlah penduduk yang sangat sedikit. Tapi ia cukup puas dengan adanya orang-orang itu. Serta merta ia bangkit berdiri.
"Mulai sekarang akulah pemimpin kalian. Aku yang akan memerintahkan kalian. Bila ada yang cobacoba membangkang, Pedang Ular Emas akan bicara. Mengerti!"
Tidak ada yang berani menjawab. Mereka diam dengan kepala tertunduk.
"Bagus. Itu tandanya kalian penduduk yang patuh.".....
Nilasari Grewek terbatuk-batuk. Mulutnya menghamburkan lendir-lendir darah kehitaman. Lalu...
"Aku perlu satu gubuk yang cukup bagus. Aku minta kalian membuatnya sekarang. Juga mayatmayat ini perlu kalian urusi, kalau perlu buang saja ke hutan biar dimakan binatang buas." perintah Nilasari Grewek.
"Dan kau anak muda..." kata Nilasari Grewek dengan mata yang tertuju pada Adisena.
"Tolong carikan aku seorang tabib. Atau apa saja yang dapat menyembuhkan luka-lukaku ini. Ingat, jangan coba-coba membantah bila tidak segera mampus!"
Nilasari Grewek memang tengah terluka. Mungkin para pembaca sekalian masih ingat pada bagian akhir kisah Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul. Sewaktu ia bertempur menghadapi para pendekar aliran lurus, seorang pendekar maha sakti bernama Pendekar Kelana Sakti ikut menggempur tokoh hebat penguasa Gunung Tunggul ini. Sehingga ia harus terkena hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dari si Pendekar Kelana Sakti. Sekarang ia sengaja meninggalkan Gunung Tunggul demi menghindari serbuan-serbuan para pendekar tersebut.
"Kenapa masih diam saja! Cepat lakukan apa yang aku perintahkan tadi!" bentak nenek keriput bringas.

*
* *



--¦::: « 2 » :::¦--

Dengan langkah yang terburu-buru, Adisena menelusuri tepian hutan. Ia sudah meninggalkan jauh desanya. Langkahnya cepat tanpa pernah berhenti. Tapi sesekali ia menoleh ke belakang.
Ia tidak mengira sama sekali kalau nenek keriput yang diduganya pikun ternyata jauh sangat hebat. Belum pernah ia menemukan orang setangguh dalam usia Nilasari Grewek. Dan sungguh terpaksa pula sekarang ia menjadi budaknya. Bukan hanya dirinya yang tunduk terhadap nenek penguasa Gunung Tunggul, Tetapi juga seluruh penduduk desa terpencil itu.
Sebenarnya satu kesempatan bagi Adisena untuk melarikan diri. Namun ia bukanlah seorang pengecut meskipun dalam keadaan ketakutan.
Tujuannya benar-benar ingin menemui seorang dukun ahli pengobatan. Dimana sang dukun sakti itu tinggal diantara lebatnya hutan. Adisena tahu benar letaknya. Maka ia pantang ragu-ragu melangkahkan kakinya.
Sebentar saja ia sudah dapat melihat sebuah gubuk. Tidak besar namun cukup bersih dan terawat. Di situlah tinggal seorang dukun bernama Kumbayana. Sudah sering Adisena datang ke sana untuk meminta pertolongan. Dan kehadirannya sekarang sudah dapat di ketahui. Kumbayana yang berada di depan gubuknya menanti kedatangan Adisena.
Kumbayana seorang laki-laki setengah tua berwajah buruk. Kedua matanya yang besar serta hidungnya yang pesek, tidak lebih bagaikan wajah seorang Buto Ijo. Kalau saja baru pertama kali melihat pasti akan merasa ketakutan.
"Ada apa, Adisena? Kehadiranmu hari ini lain sekali." sambut Kumbayana ketika Adisena datang terengah-engah.
"Sebenarnya tidak ada satupun penduduk yang butuh pengobatan, Paman. Tapi hari ini kami benarbenar butuh pertolongan. Seorang tua berilmu tinggi tahu-tahu datang mengamuk." Jelas Adisena. Kumbayana mengernyit tak mengerti.
"Astaga... Sampai sejauh itukah tindakannya?"
"Paman pasti tidak akan mengira kalau dari penduduk desa sudah lima orang yang tewas. Untuk itulah aku datang ke sini memohon pertolongan." ujar Adisena.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Nenek berilmu tinggi itu rupanya tengah terluka. Ia memaksa kami mencari pengobatan, kalau sampai gagal habislah semua penduduk kampung." kata Adisena. Dukun berwajah menyeramkan itu diam sejenak. Bagaimana ia bisa membunuh lima orang sekaligus kalau dalam keadaan terluka, Kumbayana tak habis pikir.
"Luka apa yang dideritanya itu, Adisena?" tanya Kumbayana.
"Entahlah. Kelihatannya ia mengeluarkan darah hitam dari mulutnya, sebaiknya paman segera ke sana sekarang demi keselamatan penduduk desa." ujar Adisena tidak sabaran.
"Tunggu dulu, bagaimana mungkin orang yang telah berbuat jahat itu harus ditolong? Sebaiknya kita balas saja atas kejahatannya itu." jawab Kumbayana.
"Tidak bisa, Paman. Nenek tua itu sangat sakti. Salah-salah kita yang bakal celaka."
"Kalau begitu pergilah kau dulu. Sebentar aku menyusul." jawab Kumbayana. Ia sendiri tidak perduli dengan Adisena. Kumbayana memasuki gubuknya. Sementara itu Adisena malas melangkah kembali ke desanya. Ia sengaja menunggu Dukun berwajah menyeramkan keluar. Dan bermaksud pergi bersamasama.
"Sebaiknya kita berangkat bersama, Paman. Aku khawatir iblis itu tidak mempercayai ku." kata Adisena setelah melihat Kumbayana keluar membawa perlengkapan. Lelaki setengah tua itu tidak menjawab. Langkahnya sigap mendahului langkah Adisena yang berjalan di belakang mengikuti.

* * *



Kembalinya Srikaton Munggel dalam keluarga Pedang Ular, ada kalanya membuat Umbayani gembira bercampur sedih. Srikaton Munggel ternyata, benar kakaknya. Dia tidak lain Umbamayu. Kakak perempuan yang telah hilang selama dua puluh tahun. Sudah pasti pertunangan Umbayani gagal total dengan Arso Lumbing.
Apalagi Arso Lumbing telah membeberkan apa yang telah dialami bersama Umbamayu. Keterusterangan Arso Lumbing itu memupuskan harapan Umbayani. Tapi untunglah Umbayani cukup mengalah dan mengerti. Yang ia pikirkan sekarang adalah keselamatan kakaknya dan Pedang Ular Emas yang kini berada di tangan Nilasari Grewek.
Sampai saat ini Umbamayu belum juga sadar dari pingsannya. Kian lama tubuhnya kian pucat membiru. Terlentang di atas tempat tidur empuk. Di sampingnya Arso Lumbing setia menunggu. Umbayani dan Resi Wesakih menatap seakan menunggu kesadaran Umbamayu.
Sementara itu di luar pekarangan Perguruan Pedang Ular tetap tidak berubah. Para penjaga yang terdiri dari para murid Pedang Ular terus berjaga. Mereka mengetahui apa yang telah melanda perguruannya. Itulah sebabnya mereka memperketat penjagaan.
Di dalam sebuah ruangan, Umbamayu tetap diam tidak sadarkan diri. Arso Lumbing hampir cemas memikirkannya. Karena ia betul-betul menyintainya.
"Lukanya teramat parah. Mirip seperti apa yang pernah dialami ayahmu dua puluh tahun yang lalu. Pastilah Umbamayu terkena hantaman Tombak Gunung yang sangat dahsyat itu." ujar Resi Wesakih. Ia seperti putus asa melihat keadaan Umbamayu.
"Kita harus dapat menolongnya, Paman. Kalau tidak, aku akan kehilangan Umbamayu lagi." kata Umbayani sedih. Ia menyelimuti tubuh Umbamayu dengan kain tebal. Tubuh Umbamayu tidak bergeming sedikitpun.
"Kita harus berusaha demi keselamatan kakakmu ini, Umbayani. Aku pernah tahu ada seorang dukun sakti bernama Kumbayana. Dan kau Arso Lumbing, tiada gunanya hanya duduk menunggu tanpa upaya." ujar Resi Wesakih. Lalu ia keluar dari ruangan itu. Umbayani mengikutinya.
"Kemana harus kita cari dukun sakti itu, Paman?"
"Beberapa mil dari perguruan ini." jawab Resi Wesakih. Mereka memasuki ruangan lain. Di ruangan itu duduk seorang anak muda berpakaian baju bulu binatang. Pemuda ini langsung bangkit ketika melihat kedatangan mereka.
"Keadaan Umbamayu amat parah, Wintara. Kalau kita tidak segera mengobatinya, Umbamayu akan celaka." kata Resi Wesakih.
"Jadi apa yang harus kita perbuat?" sahut Wintara.
"Kita harus membawanya ke Belantara Sawungan. Mudah-mudahan Kumbayana dapat menghilangkan pengaruh hantaman Tombak Gunung. Cuma Kumbayana satu-satunya orang yang mengerti segala macam obat." jawab Resi Wesakih. Umbayani hanya berdiri di samping laki-laki bungkuk berambut putih itu.
"Kumbayana?" ulang Wintara.
"Ya, dia orang persilatan juga. Tapi ia tidak berpihak pada aliran manapun. Semoga saja ia masih tetap tinggal di Belantara Sawungan."
Ketiganya berhenti bicara, karena saat itu Arso Lumbing muncul keluar dari kamar sambil memapah tubuh Umbamayu yang berselimut kain tebal. Wintara dapat melihat wajah Umbamayu pucat pasi. Arso Lumbing langsung mendekati mereka.
"Ayah, biarlah aku yang akan ke Belantara Sawungan. Keadaan Umbamayu amat serius." ujarnya terhadap Resi Wesakih.
"Mana bisa begitu. Kau sendiri belum tentu bisa melindungi Umbamayu. Bagaimanapun kita semua harus ikut." tukas Resi Wesakih.
"Apa yang dikatakan Resi Wesakih benar, sobat Arso Lumbing. Semestinya kita harus berangkat bersama-sama. Mengingat situasi sekarang tengah genting." ujar Wintara.
"Keselamatan Umbamayu amatlah penting. Karena hanya dia yang tahu di mana Nilasari Grewek berada. Bagaimanapun Pusaka Pedang Ular Emas harus kembali ke tangan kita." kata Umbayani.
"Hm, untuk menuju ke Belantara Sawungan kita memerlukan sebuah kereta kuda."
"Jangan khawatir, Paman. Di sini masih ada satu kereta kuda yang masih bagus." ujar Umbayani seraya ia melangkah keluar dari ruangan itu. Beberapa penjaga langsung diperintahkan agar menyiapkan kereta tersebut.
Orang-orang itu langsung menariknya keluar kandang. Beberapa ekor kuda juga di tarik keluar. Mereka mulai memasang tali-tali yang menghubungkan ke kereta. Sebentar saja kereta itu sudah siap dengan dua ekor kuda.
Saat itu Arso Lumbing sudah berdiri di depan pintu gedung. Ia memapah tubuh Umbamayu. Menunggu kereta kuda yang berjalan ke arahnya. Tanpa diperintah, Arso Lumbing langsung menaiki kereta tersebut.
Resi Wesakih yang tahu jalan arah Belantara Sawungan sengaja mengendalikan di depan. Umbayani ikut mendampingi Arso Lumbing menjaga Umbamayu. Sedangkan Wintara mengawal dengan kuda tersendiri.
Beberapa murid Perguruan Pedang Ular ikut pula mengawal. Tanpa menunggu-nunggu waktu lagi kereta kuda itu langsung berangkat. Yang lain mengikuti di belakang. Hingga merupakan sebuah iringiringan pendek.
Belasan murid yang menjaga perguruan cepat menutup pintu gerbang saat rombongan itu sudah meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menyangka kalau Umbamayu masih dapat ditemukan. Padahal selama dua puluh tahun ini mereka sudah betul-betul melupakan akan peristiwa itu. Bahkan sama sekali, ada yang tidak mengetahuinya.
Di dalam sebuah kereta yang tengah berjalan itu, sosok Umbamayu tetap diam dalam penjagaan Arso Lumbing dan Umbayani. Di depan kereta Resi Wesakih memecuti cemeti menghela kuda-kuda yang menarik kereta. Wintara mengiringi di samping. Sedangkan di belakang kereta berderet belasan murid-murid perguruan Pedang Ular. Mereka rata-rata menunggangi kuda. Meskipun begitu langkah-langkah mereka tetap perlahan mengikuti arus perjalanan laju kereta. Namun tak urung iring-iringan itu semakin lama semakin jauh meninggalkan perguruan.
Tujuan mereka adalah Belantara Sawungan. Di mana seorang dukun sakti bernama Kumbayana tinggal. Resi Wesakih kenal baik terhadap Kumbayana. Dua puluh tahun yang lalu Kumbayana pernah hampir berhasil menyelamatkan ayah Umbayani dari luka pukulan Tombak Gunung. Hanya saja saat itu keadaan majikan pedang Ular teramat parah. Makanya sekarang Resi Wesakih bertekad untuk menemui Kumbayana, berupaya untuk mengobati luka Umbamayu. Dengan harapan bisa disembuhkan.
Sebab keselamatan Umbamayu adalah suatu kunci untuk mendapatkan kembali Pusaka Pedang Ular. Bagaimanapun Umbamayu harus diselamatkan. Dia harus tetap hidup meneruskan dalam memimpin Perguruan Pedang Ular. Sebagai anak tertua, Umbamayu pantas mewarisi Pedang Ular Emas. Umbayani cukup mengakui. Sebagai seorang adik ia harus mengerti dengan keadaan yang sekarang.

*
* *



--¦::: « 3 » :::¦--

Hampir seharian penuh, para penduduk desa terpencil telah menyelesaikan sebuah gubuk. Para lelaki bergotong royong membangun gubuk tersebut di tengah-tengah gubuk lain. Desa terpencil itu letaknya di sekitar tepian belantara Sawungan.
Sedari tadi Nilasari Grewek petantangpetenteng tidak sabaran. Ia ingin cepat-cepat beristirahat. Seharian penuh kerjanya menggerutu terus, bahkan tidak segan-segan ia memukul bila melihat salah seorang dari mereka bermalas-malasan.
Sekarang gubuk itu sudah rapi betul. Mereka tinggal membersihkan bagian luarnya saja. Melihat itupun langkahnya cepat memasuki gubuk barunya, tapi sebelum ia memasuki gubuk itu. Nilasari Grewek menarik salah seorang yang tengah membersihkan halaman gubuk.
"Mana si keparat Adisena itu, hah! Kenapa sampai matahari gelap ini ia belum juga muncul? Mana dia?" bentaknya. Karuan saja orang itu jadi ketakutan setengah mati. Karena ia tahu meskipun ia seorang nenek keriput, namun hantamannya dapat membuat orang menyemburkan darah.
"Sabar, Nek.... Sabaaar... Letak Belantara Sawungan cukup jauh dari sini. Sabar saja, Adisena pasti kemari bersama Kumbayana." jawabnya ketakutan. Orang itu merungkut dalam cengkraman Nilasari Grewek.
"Ingat! Kalau sampai malam ini Adisena tidak kembali, kalian semua bakal celaka. Mayat-mayat kalian akan menjadi jembatan pintu gubuk ini!" katakata Nenek berbaju merah ini mengerikan. Dengan kasar ia melepaskan cengkeramannya. Lalu ia sendiri memasuki gubuknya. Suasana menjadi hening. Banyak para penduduk yang menatap ngeri. Dan merekapun mulai meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gubuknya masing-masing.
Namun baru saja mereka bubar terdengar lagi sebuah teriakan parau Nilasari Grewek. Dia berdiri angker di tengah-tengah pintu gubuk.
"Woooy... Penduduk-penduduk tolol. Jangan enak-enakan kalian pergi dari sini. Cepat sediakan makanan yang enak buatku. Aku lapar sekali! Awas kalau tidak.
Mendengar itupun penduduk desa itu saling pandang. Bagaimana mereka harus menyediakan makanan yang enak-enak. Desa terpencil itu tidak mempunyai apa-apa. Kalau soal beras mereka memang tidak pernah kehabisan. Dan setiap hari pula mereka kebanyakan makan nasi campur garam. Sekarang mereka dituntut untuk mengeluarkan makanan yang lezat. Satu-satunya jalan mereka harus mengorbankan binatang peliharaan mereka secara bergantian.
"Tidak ada makan yang enak, kalian akan ku bantai satu persatu! Mengerti?" bentaknya parau. Ia kembali masuk ke dalam gubuk. Untuk kemudian ia tidak muncul-muncul. Para penduduk desa terpencil itu merasa tertekan. Selama ini mereka amat rajin dan menyayangi semua peliharaannya. Untuk menyembelihnya saja kalau ada keperluan tertentu. Tapi bagaimana mereka sanggup menolak permintaan si Penguasa Baru itu? Tindakannya yang kejam dan sadis membuat mereka tidak berkutik,
Demi menjaga nyawa keluarga serta menyelamatkan malapetaka yang terjadi di desa itu, terpaksa pula mereka menuruti keinginan-keinginan Nilasari Grewek. Meskipun dalam hati mereka berontak.
Mereka juga akan tetap khawatir. Karena Adisena sampai saat ini belum juga kembali. Ia takut kalau-kalau Adisena lari tidak memenuhi perintah nenek keriput itu. Jelas mereka akan celaka semua. Mereka bisa melihat ketika nenek itu membantai lima orang penduduk kampung sekaligus. Keluarga dari para korban itu saja tidak ada yang berani menangisi atas kematian mereka. Sebab mereka amat takut sekali akan tindakannya yang gampang mencabut nyawa orang. Apalagi setiap ucapannya tidak pernah main-main.
Tapi kekhawatiran itu segera lenyap ketika penduduk desa melihat sosok Adisena datang bersama Kumbayana. Hampir semuanya meluruk menyambut kedatangan mereka.
"Untung saja kau cepat datang, Adisena. Kalau tidak kami semua akan celaka di sini." kata mereka. Mereka juga langsung mengantarkan Kumbayana ke arah gubuk yang ditinggali Nilasari Grewek.
"Kami semua betul-betul terancam. Tadi siang sudah lima orang yang tewas. Dua orang luka-luka. Kami tidak bisa berbuat apa-apa."
"Tolonglah kami, Paman. Bagaimana caranya bisa mengusir nenek keparat itu." Mendengar suara ribut-ribut, Nilasari Grewek langsung keluar dari gubuk. Dari depan pintu ia sudah melihat kerumunan orang. Kemunculan Nilasari Grewek membuat suasana malam itu hening kembali. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan suara.
"Kalian aku perintahkan untuk menyiapkan makanan! Mana makanan itu! Mana!" bentaknya sambil menyeringai.
"Soal makanan harap nenek berilmu tinggi bersabar sebentar. Kedatangan kami ini kiranya..." Mereka tidak meneruskan kata-katanya. Karena saat itu nenek berbaju serba merah mengangkat sebelah telapak tangannya ke atas. Ia sudah melihat Adisena berada diantara kerumunan itu. Juga seorang tua berwajah sangat mirip dengan Buto Ijo.
"Oh, kiranya dukun hebat itu tidak lain sobat Kumbayana. Tidak kusangka wajah jelek mu itu tidak pernah berubah." sapa Nilasari Grewek. Terhadap Kumbayana, penguasa Gunung Tunggul ini cukup mengenalinya.
"Tak kusangka pula kalau yang hendak meminta pertolongan padaku seorang tokoh Penguasa Gunung Tunggul adanya." jawab Kumbayana, sorot matanya tajam menatap nenek berambut putih.
"Sudah tahu begitu, kau jangan macam-macam Kumbayana. Aku memang tengah terluka dan membutuhkan pertolongan dari orang macam kau. Masuklah." Nilasari Grewek memberi jalan. Kumbayana tidak langsung masuk ke dalam gubuk. Ia menatap orangorang kampung terlebih dahulu.
"Hati-hati, Paman.... Nenek itu terlalu berbahaya. Kita tidak bisa salah sedikit." pesan Adisena. Kumbayana mendengus, lalu ia membalikkan tubuh dan segera melangkah ke arah pintu gubuk.
Nilasari Grewek sudah menunggu dalam ruangan. Ia duduk bersila. Tangannya menggenggam sebilah pedang berkilau keemasan. Melihat itu Kumbayana kernyitkan alis, namun karena matanya terlalu besar tetap saja seperti biasa. Betapa terkejut ia melihat Pedang Ular Emas berada dalam tangan Nilasari Grewek. Bagaimana mungkin sampai terjadi? Kumbayana tak habis pikir. Kumbayana berjalan ke arah di mana Nilasari duduk bersila, tapi...
"Jangan terlalu mendekat, Kumbayana. Duduklah di situ!" Nilasari Grewek tudingkan pedangnya ke dada Kumbayana. Laki-laki Buto Ijo ini tidak mengelak. Terpaksa ia duduk bersila pula.
"Kau tidak nampak sakit, Nilasari Grewek." ujar Kumbayana.
"Jangan menghibur diriku. Kelihatannya memang tidak. Tapi jelasnya aku tengah terluka."
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau tengah terluka kalau aku tidak dapat memeriksanya? Aku bukan seorang dukun sakti seperti yang kau bayangkan." jawab Kumbayana. Nilasari Grewek menatap liar. Serta merta ia bangkit berdiri dan membuka pakaian bagian atasnya.
"Nah, kau lihat!" Nilasari memperlihatkan bagian tubuhnya. Memang nampak bekas-bekas telapak tangan yang memar menghitam. Demi melihat itu Kumbayana sangat tersentak.
"Kau telah terkena pukulan dari orang yang berilmu tinggi, rupanya. Setahuku, tiada orang yang sanggup menghadapimu. Siapakah dia gerangan." tanya Kumbayana keheranan. Ia bergerak bangkit agar lebih jelas dapat melihat bekas-bekas luka itu.
Tapi Nilasari Grewek kembali menudingkan Pedang Ular Emasnya lagi. Kumbayana menghela nafas.
"Dua puluh tahun yang lalu memang tiada orang yang sanggup mengalahkan aku, tapi nyatanya sekarang aku harus dipecundangi dengan seorang bocah yang bau kencur. Apalagi dia berani mengaku dirinya sebagai Pendekar Kelana Sakti." tutur Nilasari Grewek.
"Pendekar Kelana Sakti? Selama hidupku baru pernah kudengar nama pendekar itu. Dari mana ia mendapatkan ilmu yang setinggi langit itu? Paling tidak kita harus mengenali siapa gurunya. Masakah kita-kita yang tua ini tidak mengenalinya?"
"Jangan banyak komentar, Kumbayana. Sanggupkah kau menyembuhkan luka-luka ini?" tukas Nilasari Grewek. Kumbayana tidak segera menjawab. Tapi sebentar kemudian...
"Melihat dari bekas-bekas luka itu pasti lah teramat parah. Bagaimana seandainya aku tidak sanggup mengobatimu, Nilasari Grewek?" jawab Kumbayana.
"Gampang saja. Kau beserta penduduk desa ini akan bergelimpangan tanpa nyawa."
"Kau pikir mudah mengobati orang dengan jarak yang terpisah seperti ini?" ujar Kumbayana. Ia menatap Nilasari Grewek merogoh sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Ternyata ia mengeluarkan beberapa butir pil berwarna hitam.
"Aku curiga kaupun akan merebut pedang ini dari tanganku. Karena sebelumnya kita memang pernah bentrok dalam urusan Pedang Ular Emas. Aku khawatir pula kalau kau akan meracuni aku nanti." Nilasari Grewek menyerahkan butir-butir pil hitam itu. Kumbayana menerima dengan begitu saja.
"Racun itu amat mematikan. Sebagai jaminan, kau harus menelannya. Dan kau tidak perlu takut. Aku punya penawarnya. Telanlah. Lalu kau boleh mulai mengobatiku. Tapi ingat jangan coba-coba menyentuh pedang ini." kata Nilasari Grewek sambil hati-hati meletakkan Pedang Ular Emas di sudut ruangan. Tanpa ragu-ragu Kumbayana langsung menelan butir-butir pil racun tersebut. Ia tidak memikirkan akan bahayanya. Tindakannya semata-mata untuk menyelamatkan penduduk desa terpencil. Sebab ia tahu benar watak jahat yang ada pada diri Nilasari Grewek. Yang ia tidak habis pikir adalah Pedang Ular Emas. Bagaimana pedang itu bisa berada di tangannya.? Sekarang harus pula ia mengobati luka-luka penguasa Gunung Tunggul.
Bisa atau tidak itu tergantung nanti. Yang jelas sekarang ia harus berusaha menyenangkan Nilasari Grewek. Atau paling tidak mengurangi rasa sakitnya. Selama itu pula Kumbayana hati-hati sekali dalam mengobati luka-luka bekas pukulan di tubuh Nilasari Grewek.
Cara pengobatan Kumbayana lain dari pada yang lain. Jarang dilakukan oleh tabib macam manapun. Kumbayana tanpa menggunakan ramuan obat ataupun apa. Kecuali seperangkat pedang-pedang kecil yang berukuran dua kali dari batang jarum. Alat-alat pengobatan tersebut terbuat dari emas murni.
Lima batang pedang kecil sengaja ditusukkan di sekitar luka memar. Tubuh Nilasari Grewek terlentang tanpa merasakan sakit akibat dari tusukantusukan pedang-pedang kecil. Kumbayana memang ahli dalam bidang itu. Ia dapat mencari dan menancapkan pedang-pedang emas di setiap jalan darah. Sebentar saja bekas-bekas hitam memar segera berubah. Menjadi merah seperti dialiri darah. Ternyata lukaluka itu tidak hanya satu. Masih ada tiga bekas pukulan lagi. Sementara itu keringat Kumbayana sendiri telah mengucur membasahi sekujur tubuhnya.

*
* *



--¦::: « 4 » :::¦--

Rupanya pengaruh racun yang diberikan Nilasari Grewek mulai bereaksi. Wajah Kumbayana berubah pucat. Membuat wajah Buto Ijonya makin nampak menyeramkan. Meskipun ia menyadari akan hal itu, Kumbayana tetap melakukan pengobatan terhadap Nilasari Grewek. Ia paksakan dirinya sampai tuntas.
Hingga dalam waktu yang sangat singkat Kumbayana berhasil menghilangkan bekas-bekas memar hitam di tubuh Nilasari Grewek.
"Untuk malam ini cukup sekian dulu. Lukalukamu amat parah. Akan kita teruskan besok." ujar Kumbayana menyeka keringat yang membasahi sekujur wajah pucatnya.
"Heh, tidak bisakah kau menyembuhkannya sekarang? Kau jangan mempermainkan aku, Kumbayana!" bentak nenek keriput terlentang.
"Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku. Masakah kau masih kurang percaya? Malah sekarang aku yang telah keracunan. Berikan sekarang penawarnya." kata Kumbayana.
"Enak saja! Sebelum aku sembuh betul, tidak bakal aku berikan penawarnya. Juga jangan khawatir. Kau tidak akan mati secepat ini. Racun itu akan bekerja setelah tiga hari suntuk." jawab Nilasari Grewek. Kumbayana betul-betul merasa dipermainkan. Namun demi menjaga tidak terjadinya keributan laki-laki ahli pengobatan ini menahan emosi.
"Asalkan kau berjanji tidak menyakiti para penduduk, aku bersedia memenuhi permintaanmu." ujar Kumbayana.
"Itu soal nanti. Pokoknya siapapun yang bermaksud membangkang atau berniat menyentuh Pedang Ular Emas akan celaka. Termasuk juga kau." kata Nilasari Grewek seraya bangkit. Ia mengenakan kembali pakaiannya. Setelah itu ia mengambil juga pedang yang di letakkan di sudut ruangan. Ia kembali duduk berhadapan dengan Kumbayana yang nampak memberesi peralatannya.
"Umurmu masih ada dua hari lagi, Kumbayana. Aku pasti memberikan penawarnya." kata nenek berambut putih ini acuh. Keadaannya dirasakan jauh lebih baik.
"Kau harus ingat janjimu itu, Nilasari. Selama ini kita tidak pernah bermusuhan. Aku tidak pernah pusing dengan sepak terjang mu dalam dunia persilatan. Juga dengan Pedang Ular Emas, sama sekali aku tidak tertarik."! kata Kumbayana sungguh-sungguh.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti karena mendengar suara pintu gubuk di ketuk orang. Nilasari Grewek langsung menoleh ke arah itu. Kiranya beberapa penduduk yang mengantarkan makanan. Tercium bau aroma ayam bakar.
"Bagus, kalian harus terus patuh padaku. Letakkan saja makanan itu di situ, lalu kalian boleh keluar." perintah Nilasari Grewek. Orang-orang itu segera keluar setelah meletakkan hidangan di atas balai kayu. Kembali dalam ruangan itu Nilasari Grewek menghadapi Kumbayana.
"Atas pertolonganmu, kita boleh makan bersama. Silahkan."
Belantara Sawungan memang sebuah hutan yang sunyi. Tidak ada tanda-tanda binatang buas berkeliaran di sana. Yang ada hanyalah burung-burung dan kijang saling berlarian. Apalagi di sekitar itu terdapat sebuah telaga dengan airnya yang hening. Membuat belantara Sawungan nampak seperti sebuah taman. Kalau hutan itu nampak rapi terurus, sebenarnya Kumbayana yang berdiam di situ kerap kali menebangi pohon-pohon kasar maupun rumput-rumput liar. Sehingga kelihatan dataran itu ditumbuhi dengan rumput-rumput yang halus.
Pemandangan macam itu dapat terlihat meskipun dalam keadaan malam. Karena bulan yang mengambang di atas sana bersinar penuh membiaskan sinarnya menerobos belantara Sawungan.
Saat itu sebuah iring-iringan mengawal sebuah kereta kuda menelusuri jalan berumput. Roda kereta berderak-derak melindas rumput lunak. Resi Wesakih tenang mengendalikan kereta tersebut. Ia membawanya ke arah sebuah gubuk yang dari kejauhan nampak gelap. Tanpa ragu Resi Wesakih membawa keretanya menuju ke sana. Di belakang nya belasan pengawal berkuda terus mengikuti. Wintara tenang menunggangi kudanya di samping kereta.
Setelah tiba di muka gubuk gelap itu. Iringiringan pengawal kereta berhenti. Resi Wesakih turun. Ia langsung memeriksa sekitar gubuk..
"Kita sudah sampai di tempat Kumbayana. Tapi kenapa gubuknya nampak gelap? Apakah ia sudah tidak tinggal disini lagi." ujar Resi Wesakih. Ia berdiri dihadapan pintu yang tertutup rapat. Arso Lumbing yang sedari tadi berada di dalam kereta menjaga Umbamayu bersama Umbayani langsung keluar dari kereta.
"Betulkah ini tempat kediaman Kumbayana? Jangan-jangan kita salah alamat." kata Arso Lumbing.
"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul. Tempat inipun nampaknya belum banyak berubah." jawab Resi Wesakih, lalu...
"Kumbayana...! Kumbayana....!" Teriak Resi Wesakih seraya ia mengetuk-ngetuk pintu gubuk, namun tetap tiada jawaban, karena gubuk itu memang kosong.
"Nyalakan api. Dan periksa tempat ini." ujar Wintara yang mulai turun dari kudanya.
Belasan pengawal berkuda itu segera turun, di antaranya mulai membuat obor.
Sebentar saja empat batang obor telah menyala menerangi tempat itu. Resi Wesakih diberinya satu. Ia menerangi tiap-tiap sudut. Bahkan pandangannya coba-coba menerobos masuk ke dalam gubuk.
"Ia tidak ada di dalam, rupanya ia tengah bepergian." ujar Resi Wesakih. Dalam keadaan terang itu ia dapat melihat sebuah pelita besar tergantung di depan pintu, maka dengan obornya ia menyalakan pelita itu.
"Kita masuk saja. Tidak baik udara di luar buat Umbamayu. Ah, Kumbayana lupa mengunci pintu. Syukurlah." Resi Wesakih masuk paling dulu. Diikuti oleh Arso Lumbing dan Umbayani. Di dalam ruangan gubuk mereka cukup diterangi dengan lampu obor. Tapi Resi Wesakih ternyata masih menemukan sebuah pelita lagi.
Ruangan itu nampak rapi dan bersih. Dari ruang tamu sampai kamar tidur di tata sedemikian indah.
"Ia belum lama pergi, lihat saja asap api masih menyala dalam tungku. Letakkan saja Umbamayu dalam kamar itu. Kita tunggu Kumbayana datang." kata Resi Wesakih. Arso
Lumbing menuruti perintah ayahnya. Hati-hati sekali ia merebahkan tubuh perempuan yang sangat di cintainya. Umbayani menyelimuti dengan kain tebal.
"Apakah tindakan kita ini tidak terlalu ceroboh?" ujar Wintara.
"Bagaimana kalau Kumbayana kurang senang atas kelancangan kita ini?"
"Terpaksa, Wintara. Aku pikir ia akan mengerti." jawab Resi Wesakih. Sementara itu belasan orang pengawal hanya menunggu di luar gubuk. Untunglah mereka membawa perlengkapan perjalanan. Sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengatasi udara dingin malam itu. Namun mereka harus pula membuat api unggun.

* * *



Di lain tempat, tepatnya di sebuah desa terpencil, nampak sunyi di bawah sinar rembulan. Kerik binatang malam mengiringi suasana malam yang sudah menjadi kodratnya. Musik alam itu tidak pernah berubah dari zaman ke zaman. Gubuk-gubuk di terangi dengan lampu-lampu pelita kecil yang berkelap kelip tertiup angin. Sesekali pula angin berdesir kencang. Untuk kemudian lenyap sebagaimana layaknya angin.
Kumbayana belum juga dapat memejamkan matanya. Dia duduk bersila di sudut ruangan. Nilasari Grewek nampak telah tertidur mendengkur. Kedua tangan keriputnya nampak memeluk erat Pedang Ular Emas. Dengkurnya panjang bersahut-sahutan.
Keringat Kumbayana membanjir di sekujur tubuhnya. Diam-diam pula ia mengerahkan tenaganya melawan pengaruh racun yang mengeram di dalam tubuh. Namun ternyata racun yang baru saja ditelannya teramat dahsyat. Sampai sejauh ini ia belum juga dapat mempengaruhi racun tersebut. Hampir putus asa Kumbayana dengan upayanya. Manakala tubuhnya semakin pucat pias.
Dalam kesunyian itu ia mendengar suara yang berderak-derak nyaring. Dibarengi pula dengan suara derap kaki kuda. Juga suara orang berteriak-teriak menakutkan. Sesaat Kumbayana tersentak kaget. Mendadak saja ia bangkit dan mengintip dari celahcelah dinding kayu.
"Astaga. ! Sekelompok pengacau!" pekik Kumbayana dalam hati.
Dilihatnya beberapa orang menunggangi kuda tengah membakari atap jerami gubuk. Belasan orang lainnya nampak mendobrak pintu. Pemimpinnya yang bertampang garang berteriak memerintah.
"Porak porandakan tempat ini! Bakar habis! Ambil semua barang-barangnya....! Huaha-ha-haha !"
Seketika api membesar meletup-letup. Orangorang kampung berlarian keluar dari gubuk. Mereka lari pontang panting sambil menjerit-jerit. Namun para pengacau itu tidak membiarkan begitu saja. Senjatasenjata mereka yang tajam berkilat berkelebat menyambari tiap-tiap penduduk desa.
"Tolol! Jangan main bunuh saja! Ambil perempuan-perempuan cantiknya!" teriak pemimpin rombongan itu. Ia tetap duduk di atas kudanya yang meringkik-ringkik. Ia menatap semua anak buahnya mulai menggondol barang-barang juga mereka tidak segan-segan lepaskan hantaman kepada siapa saja yang berusaha menahannya. Beberapa orang sudah mendapatkan gadis-gadis cantik desa itu. Di bawah dekapan mereka gadis-gadis itu menjerit meronta-ronta.
Suasana malam yang tadi sunyi sepi berubah hingar bingar. Letupan gubuk yang terbakar berderak nyaring. Tergerak dalam hati Kumbayana untuk menolong mereka. Maka tanpa menunggu waktu lagi ia terus melesat mendobrak pintu gubuk yang baru saja tadi siang selesai dibangun. Pintu itu berderak hancur bersama melesatnya keluar tubuh Kumbayana.
Rupanya pula suara derak pintu dan ributribut di luar mengejutkan nyenyaknya Nilasari Grewek. Serta merta ia bangkit seperti orang tersiram air panas. Ia langsung berjingkat melangkah keluar. Dilihatnya Kumbayana tengah menghadapi beberapa orang. Kumbayana sendiri tidak perduli dengan keadaannya yang tengah keracunan. Tapi nampaknya kemampuannya itu dapat menggulingkan beberapa orang dengan sekali hantam.
Dengan adanya Kumbayana, para perampok agak sulit melakukan niatnya. Karena berkali-kali Kumbayana dapat menghalangi mereka. Bahkan gadisgadis yang telah mereka kumpulkan itu dapat terlepas semua. Kumbayana mati-matian menghadapi serangan senjata mereka.
Dari pedang sampai golok berkelebat menyambar di tubuhnya, namun tidak satu pun yang mengena. Gerakan Kumbayana sangat licin dan sukar untuk dilukai. Nilasari Grewek yang memandang dari kejauhan cukup kagum, tapi bagi pemimpin pengacau itu. Tidak!
"Dasar dungu semua! Menghadapi seekor tikus jelek saja kalian tidak becus! Minggir ! Aku Tala Metu akan mengadu jiwa dengannya!" Sambil berteriak begitu pemimpin yang bernama Tala Metu langsung melompat dari kudanya lancarkan serangan.
Mendapat serangan mendadak, Kumbayana agak gelagapan. Tak di sangka pula Tala Metu memiliki kepandaian yang berimbang. Setiap hantamannya berderak saling bentur.

*
* *



--¦::: « 5 » :::¦--

Dan nyatanya kemarahan Tala Metu benarbenar telah meluap. Hantaman-hantamannya itu membuat Kumbayana bergerak-gerak mundur menghindar. Namun di karenakan kepandaian mereka berimbang, Kumbayana selalu dapat memapaki serangan-serangan itu. Teriakan serta benturan-benturan hantaman mereka berderak menggelegar.
"Rampok busuk! Percuma saja usaha kalian, desa ini tidak memiliki apa pun! Kau akan pulang dengan tangan kosong!" bentak Kumbayana. Seraya ia berusaha membalas serangan. Tala Metu cepat menangkis.
"Itu karena adanya dirimu disini, Buto Ijo! Kalau tidak kami sudah dapat membawa gadis-gadis desa ini!" jawab Tala Metu. Serangannya datang lebih gencar lagi.
"Sayang, aku tidak akan membiarkannya! Haait!" Sebelah lengannya memutar ke samping menyambut serangan Tala Metu.
"Ha-ha-ha-ha...! Kau pikir aku takut? Jangan menyesal kalau kepalamu menggelinding di sini!" Tala Metu memberi aba-aba. Maka seluruh anak buahnya segera mengurung Kumbayana. Senjata-senjata mereka siap merencah. Serempak pula mereka menerjang. Babatan-babatan senjata mengarah maut pada Kumbayana.
"Sreeet....!' Dalam kesigapan itu, tiba-tiba saja beberapa anak buah Tala Metu menjerit di sertai dengan ambruknya tubuh mereka. Seleret sinar keemasan membersit menjatuhkan dua orang lagi.
Tala Metu membelalakan mata. Ia tidak percaya melihat seorang nenek berbaju merah tiba-tiba saja muncul menjatuhkan beberapa anak buahnya. Matanya lebih melotot lagi. Saat ia melihat Nilasari Grewek menggunakan Pedang Ular Emas di tangannya. Manakala pedang itu terus berputar merobohkan orang-orang Tala Metu.
"Siapa pun yang berniat mengacau desa ini takkan ku beri ampun, karena mulai sekarang akulah ketua mereka!" bentak Nilasari Grewek. Ia menghentikan babatan pedangnya karena anak buah Tala Metu beringsut mundur semua.
"Tolol! Kenapa mundur! Hayo gempur lagi!" perintah Tala Metu. Kontan mereka maju lagi.
"Takut apa dengan segala nenek keriput begitu! Rencaaah! Bikin mampus kedua-duanya!"
Saat itu Kumbayana tidak perlu gentar. Dengan adanya Nilasari Grewek ia akan sanggup mengusir para perampok itu. Apalagi sekarang anak buah Tala Metu sudah berkurang.
Babatan-babatan senjata mereka disambut dengan sambaran pedang. Kumbayana melepaskan hantaman yang bergulung-gulung ke depan. Hantaman tangan kosongnya dapat menjatuhkan dua orang sekaligus. Lain Nilasari Grewek, sekali sambar, Pedang Ularnya merenggut empat nyawa. Melihat itu pun Tala Metu bergidik ngeri. Sambaran pedang Nilasari Grewek bagaikan seleret sinar keemasan. Anak buahnya kurang lebih tinggal enam orang. Ia harus terpaksa turun tangan.
"Selama lima belas tahun jadi perampok, ternyata hanya mengandalkan cecoro-cecoro ini! Hayo Tala Metu! Kita boleh bertarung di sini." tantang Nilasari Grewek, ia sempat melirik Kumbayana menghadapi beberapa anak buah Tala Metu. Melihat itu Nilasari Grewek melesat ke arah Kumbayana. Lalu ia mendorong kuat-kuat tubuh Kumbayana ke belakang. Nilasari Grewek menggantikan posisinya, lalu secepat kilat pedangnya berkelebat menyambar senjata-senjata mereka...
"Traaaang!" Senjata mereka sapat semua.
"Sungguh tolol kau, Kumbayana. Tidak sadarkah kalau dirimu itu tengah keracunan? Makin banyak bergerak makin cepat pula kau bakal mampus!" ujar Nilasari Grewek.
"Untuk itulah, kau mesti memberikan penawarnya!" jawab Kumbayana.
"Tidak. diam saja kau di situ! Biar aku yang menghadapi manusia-manusia jahanam ini!" Nilasari Grewek tidak putus-putusnya memutar pedang. Leretan-leretan sinar keemasan berkelebat kesana kemari. Bersamaan dengan itu, anak buah Tala Metu bergelimpangan satu persatu sambil menjerit menyayat.
"Bangsat!" Tala Metu mengumbar murka.
"Kalau kami manusia-manusia jahanam, lalu kau pikir dirimu apa, keriput Renta? Kau lebih busuk dari jahanam!" Tindakan Tala Metu tidak kepalang tanggung. Ia nekad maju menyerang meskipun dengan tangan kosong.
"Kau kira dengan menggunakan Pedang Ular Emas dapat menggertak ku? Sambut ini! Hraaaat...!" Tala Metu maju melompat. Serangan itu sangat cepat. Nilasari Grewek tidak menyambut, ia hanya bergerak mundur menghindari pukulan yang berturut-turut gencar mengarah.
Menghadapi serangan-serangan Tala Metu, Nilasari Grewek sengaja melayani dengan sebelah lengan. Ia mencari-cari kesempatan untuk melancarkan hantaman Tombak Gunung yang sangat ampuh itu. Manakala Tala Metu menyerang tidak perduli.
"Kau boleh keluarkan jurus Tombak Gunung mu itu, Nilasari Grewek! Selama lima belas tahun aku sudah dapat memecahkan jurus itu! Hayo keluarkan!" teriak Tala Metu yang ternyata sudah dapat membaca maksud Nilasari Grewek, maka dengan sewot nenek Penguasa Gunung Tunggul lepaskan kuat-kuat hantaman Tombak Gunung dengan sebelah tangannya.
"Bledaaaar.....!" Tala Metu memekik. Tubuhnya terhuyung mundur beberapa meter. Tapi ia tetap bersikap berdiri menantang.
"Sekarang ini pukulan Tombak Gunung tidak ada artinya, Nenek peyot! Hayo keluarkan lagi!" ejek Tala Metu. Nilasari Grewek bukan main marahnya. Serta merta ia berjingkat mulai melancarkan serangan lagi, tapi Tala Metu yang sangat cerdik cepat bergeser. Sehingga hantaman kedua dari Nilasari Grewek nyeplos mengenai angin.
Anak buah Tala Metu yang tinggal dua orang itu tidak berani maju. Mereka hanya mengawasi ketuanya tengah menghadapi seorang nenek berilmu tinggi. Mereka berdua tidak mungkin dapat mengalahkannya. Begitu juga terhadap Kumbayana. Mereka sudah dapat mengukur akan kehebatan dukun sakti itu.
Saat itu juga Nilasari Grewek tidak setengahsetengah. Ia tahu benar akan nama besar perampok macam Tala Metu. Maka serangannya mulai dengan menggunakan Pedang Ular Emas. Sebenarnya pula mereka berada pada pihak yang sama. Baik Nilasari Grewek maupun Tala Metu dari kesatuan partai aliran sesat. Kalau sekarang mereka bertempur mati-matian, itu dikarenakan pendirian mereka yang berbeda.
Padahal kalau orang-orang aliran sesat tahu akan tindakan Nilasari Grewek menghadapi 'orang sendiri', Partai aliran sesat akan turun tangan menggempur penguasa Gunung Tunggul itu. Meskipun sudah tahu akan akibatnya, Nilasari Grewek bersikap tidak kepalang tanggung. Sekarang ia sudah memiliki satu andalan. Sekalipun seluruh orang-orang Partai aliran sesat bakal datang menggempur, Nilasari akan bertekad menghadapinya dengan pusaka Pedang Ular Emas. Pedang Ular Emas berkelebat sangat cepat. Desiran anginnya deras mendorong tubuh Tala Metu. Bersamaan dengan itu pula....
"Breeeet!"
Tala Metu terkesiap. Tahu-tahu saja dadanya sudah tergores dan mengeluarkan darah. Lukanya cukup dalam. Tala Metu menggeram menahan sakit. Belum sempat lagi ia membalas serangan. Seleret sinar keemasan membersit menyambar tenggorokan. Seketika Tala Metu berdiri kaku. Kedua matanya terbeliak lebar. Dari tenggorokannya menyembur darah bagai air mancur.
Nilasari Grewek maupun Kumbayana hanya berdiri menatap Tala Metu berdiri kaku. Penduduk desa yang tengah bersembunyi sempat ketakutan menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Sementara kobaran api bergulung-gulung makin besar tanpa bisa di tanggulangi. 
"Kau licik. Keriput Renta.... Hhhh.... Tanpa Pedang Ular Emas di tanganmu, hhh. Kau tidak ada artinya... Hhh..." Suara Tala Metu terputus-putus. Nilasari Grewek menyeringai. Sebelah lengannya yang menggenggam pedang bergetar hebat.
"Banyak omong! Cepat pindah ke akherat!" Kuat-kuat Nilasari Grewek hantamkan pedangnya menyilang....
"Zpraaaaaaas !"
Orang-orang yang berada di situ memekik ngeri melihat tubuh Tala Metu terputus menjadi dua. Potongan-potongan tubuh tersebut ambruk di tanah dengan bersimbah darah. Begitu juga dengan Pedang Ular Emas di tangan Nilasari Grewek. Bilah pedang yang meliuk-liuk bagai tubuh ular memerah bercampur darah.
Nenek itu tetap menyeringai menatap dua potong tubuh yang menggeletak di tanah. Sementara itu dua orang anak buah Tala Metu yang masih nampak lari ketakutan. Melihat itupun beberapa orang kampung terdiri dari laki-laki semua tidak tinggal diam. Mereka mengejar dua orang itu.
Ketika mereka di dapati, para penduduk desa habis-habisan mereka mencincang. Nilasari Grewek cukup puas melihat tindakan seperti itu.
"Yang lain jangan hanya menonton! Cepat padamkan api!" perintah Nilasari Grewek. Para penduduk desa baru menyadari kalau sedari tadi api meletupletup membakar habis beberapa gubuk. Lalu mereka pun berlarian berusaha memadamkan api.
"Padamkan secepatnya! Jangan sampai merambat pada gubuk-gubuk lainnya!" Nenek berbaju merah ini berteriak-teriak kalang kabut. Setelah itupun ia berjalan mendekati Kumbayana. Laki-laki Buto Ijo ini nampak pucat sekali. Bibirnya sudah nampak membiru.
"Kau juga sangat bodoh, Kumbayana! Sudah tahu ada serangan, tidak memberi tahu aku! Akibatnya racun yang kuberikan itu malah berjangkit lebih cepat. Aku tidak bisa mengukur lagi kapan kau akan mampus!" gerutu Nilasari Grewek seraya ia menarik tubuh Kumbayana memasuki gubuknya.
"Biar saja aku mampus! Untuk apa kalau hidup tetap keracunan seperti ini? Siapa yang tahan!" jawab Kumbayana.
"Mulutmu benar-benar bau! Kalau kau mampus, siapa yang akan mengobati aku? Enak saja kalau ngomong!"
"Berikan penawar racunmu itu!" Kumbayana mengikuti langkah Nilasari Grewek. Mereka langsung duduk di dalam ruangan itu. Nampak pula Nilasari Grewek menggeram.
"Sekali lagi bicara, Pedang Ular Emas akan menggorok lehermu, tahu!" kata Nilasari Grewek melotot. Kumbayana diam seketika. Terhadap Nilasari Grewek ia agak gentar, karena Kumbayana tahu Nilasari Grewek tidak pernah main-main dalam bertindak. Meskipun keadaan Kumbayana seperti mau mati, tapi ia tetap menyayangi nyawa nya.
Sementara itu di luar jadi hiruk pikuk. Penduduk desa yang terdiri dari laki-laki maupun perempuan bekerja keras memadamkan api. Mereka juga berani menerobos untuk menyelamatkan para penduduk yang terkurung oleh kobaran api.

*
* *



--¦::: « 6 » :::¦--

Belasan murid-murid perguruan Pedang Ular Emas serentak bangkit berdiri. Mereka menyaksikan kobaran api. Dari tempat tinggal Kumbayana memang terlihat dengan jelas kobaran api yang menghanguskan desa terpencil. Karena jarak desa tersebut hanya beberapa kilo meter dari situ.
Mereka mengira kobaran itu akibat hutan yang terbakar. Tak urung juga murid-murid perguruan Pedang Ular ini jadi ikut kalang kabut. Keributan itu dapat didengar oleh Wintara dan Resi Wesakih. Begitu juga Arso Lumbing dan Umbayani yang tengah menjaga Umbamayu di dalam gubuk. Para pentolan persilatan ini segera melangkah keluar untuk melihat kegaduhan di luar.
"Astaga api apa itu?" pekik Resi Wesakih. Ia hampir tidak percaya melihat kobaran api begitu besar.
"Sepertinya kebakaran hutan." ujar Arso Lumbing.
"Bukan. Tidak mungkin di malam sedingin ini terjadi kebakaran hutan. Pastilah ada sesuatu yang kurang beres di sana." Tukas Umbayani. Gadis ini memang lebih cerdik. Siapa yang menyangka pula kalau dalam Belantara Sawungan ada desa terpencil.
Wintara hanya mengamati kobaran api yang meletup-letup terdengar sayup. Perasaannya agak lain. Maka...
"Umbayani, apakah tidak sebaiknya memerintahkan anak buahmu untuk menyelidikinya? Kebakaran seperti ini amat membahayakan." ujar Wintara.
"Betul katamu itu, Pendekar Wintara. Kalau dibiarkan hutan ini akan habis terbakar." sambut Resi Wesakih.
"Biarlah aku bersama orang-orang Pedang Ular yang akan melihat ke sana." kata, Arso Lumbing. Ia melangkah ke arah di mana kuda-kuda mereka ditambatkan. Umbayani memerintahkan beberapa orang untuk ikut bersama Arso Lumbing. Separuh dari mereka langsung menunggangi kuda menuju di mana kobaran api berada.
Arso Lumbing berjalan paling dulu. di belakangnya mengikuti enam orang berkuda. Mereka memacu kudanya kuat-kuat. Memburu waktu, menembus kepekatan malam dalam belantara.
Helaan-helaan mereka menggema di malam sesunyi itu. Manakala letup-letup api terdengar semakin dekat. Selama menuju ke arah itu mereka tidak mendapat halangan apa pun. Jalan-jalan di Belantara Sawungan sangat mudah ditempuh. Dengan begitu mereka lebih cepat sampai pada tujuan.
Kobaran api nampak semakin jelas. Dan mereka sekarang tahu penyebab kebakaran itu. Dugaan mereka tentang kebakaran hutan ternyata meleset. Yang mereka lihat adalah kebakaran beberapa gubuk di desa terpencil.
Mereka langsung memasuki perkampungan kecil tersebut. Di mana para penduduknya sibuk kalang kabut memadamkan api. Tapi kedatangan rombongan Arso Lumbing membuat para penduduk desa itu ketakutan kembali. Melihat orang-orang berkuda, semuanya berlarian menyingkir.
"Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!" teriak mereka rata-rata lari ke arah gubuk Nilasari Grewek. Arso Lumbing jadi tidak mengerti. Ia bersama enam orang pengawalnya jadi keheranan. Apalagi ketika melihat semua penduduk desa berlarian mengurung sebuah gubuk.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini. Mereka sepertinya tengah meminta pertolongan seseorang." tanya Arso Lumbing dalam hati.
"Ketua....! Ketua.....! Gerombolan-gerombolan itu datang lagi!" Mereka berteriak-teriak di depan pintu gubuk. Sudah tentu Nilasari Grewek yang berada di dalamnya bersama Kumbayana keluar. Serta merta Nilasari Grewek membuka pintu gubuknya kuat-kuat. Dan ia melihat puluhan orang di depan gubuk.
"Ada apa ribut-ribut lagi! Bukankah kalian kuperintahkan memadamkan api!" bentak Nilasari Grewek. Tapi kata-katanya seperti tersendat. Tanpa di sengaja kedua mata tuanya melihat rombongan Arso Lumbing. Wajahnya mendadak berubah kecut.
Begitu juga dengan putra tunggal Resi Wesakih. Ia seperti mati duduk di atas kudanya. Pandangannya tidak percaya saat dilihatnya Nilasari Grewek berdiri menggenggam Pedang Ular Emas.
"Oww... Rupanya tikus-tikus busuk ini sudah sampai di Belantara Sawungan. Bagus! Kalian hanya mengantarkan nyawa dengan percuma!" Nilasari Grewek melangkah. Para penduduk desa memberi jalan.
"Kebetulan pula kita bisa bertemu di sini, Nenek pengecut! Cepat serahkan Pedang Ular Emas itu padaku! Karena kau bukan haknya!" ujar Arso Lumbing.
"Cuih! Aku tidak akan berbuat setolol itu, Anak muda! Pusaka Pedang Ular Emas sudah berada di tanganku, mana bisa aku menyerahkannya begitu saja!" jawab Nilasari Grewek angkuh.
"Kalau begitu aku akan mengambilnya bersama kepalamu!" Arso Lumbing langsung lompat dari kudanya seraya menarik pedang. Ia sudah melupakan soal kebakaran. Di hadapannya ada persoalan baru yang lebih penting. Arso Lumbing betul-betul tidak menyangka kalau ia bisa bertemu dengan Nilasari Grewek di belantara sesunyi ini. Iapun tidak tanggungtanggung lagi langsung menudingkan pedangnya. Namun Nilasari Grewek cepat berjingkat menghindar. Mengetahui apa yang bakal terjadi orang-orang desa itu segera menjauh. Enam orang pengawal Arso Lumbing serempak turun mencabut senjata.
Mereka berlarian mengepung Nilasari Grewek. Nenek Penguasa Gunung Tunggul ini gesit menghindari serangan-serangan mereka. Arso Lumbing menatap curiga pada laki-laki berwajah 'Buto Ijo' yang berdiri di muka pintu.
"Arso Lumbing, kalau ingin pedang pusaka ini kau boleh menghadapi aku! Dan kau Kumbayana, tetap diamlah di situ kalau tidak ingin racun di tubuhmu segera menjalar lebih parah!" teriak Nilasari Grewek. Padahal dirinya sudah terkepung.
Mendengar ucapan itupun Arso Lumbing seperti disambar geledek. Laki-laki berwajah 'Buto Ijo' ini ternyata Kumbayana adanya. Orang yang mereka cari untuk mengobati Umbamayu. Maka ia cepat-cepat melompat ikut mengurung Nilasari Grewek.
"Saksikan saja bagaimana aku mengirim putra tunggal Resi Wesakih ke akherat!" kata Nilasari Grewek lantang. Tangan siap melepaskan babatan pedang. Kumbayana pun baru tahu kalau pemuda tampan yang barusan di tatapnya adalah putra tunggal Resi Wesakih. Sekarang ia melihat bagaimana Arso Lumbing bersama pengawalnya menggempur Nilasari Grewek.
"Sekarang kau tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, Nenek keparat!" bentak Arso Lumbing memimpin penyerangan. Babatan pedangnya berkelebat menyambar kepala. Melihat tindakan itu, enam orang pengawalnya lebih semangat lepaskan serangan gencar.
Menghadapi serbuan sedemikian rupa, Nilasari Grewek nampaknya tidak gentar. Dengan pedang andalannya ia hadapi serbuan-serbuan mereka. Malah serangan balasannya lebih dahsyat. Manakala Pedang Ular Emas ditangannya bergerak memutar, dua orang pengawal Arso Lumbing bergelimpangan dengan luka yang hebat. Kontan dua orang itu kelojotan.
Sudah tentu Arso Lumbing tidak akan membiarkan semua anak buahnya tewas. Ia tahu benar niat Nilasari Grewek ini. Serangan balasannya sengaja diarahkan pada anak buah Arso Lumbing dahulu. Sedangkan serangan Arso Lumbing yang sudah terlanjur kalap itu tidak diperdulikan.
"Kalian menyingkir semua! Nenek keparat ini bukan tandingan kalian! Menyingkir!" teriak Arso Lumbing mencecar babatan pedangnya. Seleret sinar keputihan berkelebat terus-menerus menggagalkan tiap serangan Nilasari Grewek.
"Kalian bawa pergi laki-laki tua bernama Kumbayana itu! Cepat !" Pedang Arso Lumbing menangkis serangan Pedang Ular Emas. Ia tidak menyadari kalau pusaka Pedang Ular Emas tidak bisa di anggap sepele. Ia baru sadar setelah melihat pedangnya patah dua ketika pedang mereka saling bentur.
Sementara itu empat orang pengawal Arso Lumbing sudah membantu dua orang temannya yang terluka. Mereka mendekati pula sosok laki-laki berwajah 'Buto Ijo' yang sedari tadi berdiri di depan pintu gubuk.
"Kaukah yang bernama Kumbayana dukun yang sangat terkenal itu?" tanya mereka. Kumbayana tidak menjawab. Ia menatap keheranan pada orangorang yang mendatanginya.
"Kalian siapa?" Kumbayana balik bertanya.
"Sebaiknya kau ikut kami, Kumbayana. Resi Wesakih dan orang-orang Pedang Ular tengah menunggu di sana." jelas mereka.
Kumbayana agak gembira mendengar ucapan mereka. Sebentar ia menatap pertarungan Nilasari Grewek dengan Arso Lumbing.
"Di mana mereka?" tanya Kumbayana lagi.
"Di gubukmu." jawab mereka hampir serempak. Kumbayana tidak ragu-ragu lagi. Tanpa sepengetahuan Nilasari Grewek diam-diam ia mengikuti para pengawal itu. Namun akhirnya Nilasari Grewek dapat mengetahuinya pula. kemarahannya makin melonjak. Ia bermaksud mengejar, tapi Arso Lumbing tetap menghalangi dengan sambaran pedangnya. Meskipun pedang miliknya itu tinggal separuh.
Tindakan Arso Lumbing ini sangat ceroboh. Ia tidak memperhitungkan akan kehebatan tokoh sesat penguasa Gunung Tunggul. Apalagi sosok Nilasari Grewek menggunakan Pedang Ular Emas. Setiap sambaran pedangnya menyebarkan tenaga dalam yang teramat dahsyat. Selama ia menghindari seranganserangan itu Arso Lumbing harus mundur-mundur terhuyung. Kesempatan itu digunakan Nilasari Grewek untuk melepaskan pukulan Tombak Gunung.
"Des !"
Pukulan tersebut tanpa bisa dihindari, Arso Lumbing terjungkal hebat. Tubuhnya hampir saja masuk ke dalam kobaran api. Manakala api semakin membesar merambat membakari setiap gubuk. Semua pengawalnya sudah tidak nampak. Begitu juga dengan Kumbayana. Ia ikut lenyap bersama orang-orang itu.
Sementara penduduk desa tersebut berlari menyingkir dari sengatan api yang membakar tubuh. Mereka tidak memiliki harapan lagi. Semua gubuk sudah terbakar habis. Api meletup-letup bagai neraka jahanam.
Di tengah-tengah, Arso Lumbing setengah mati bergulingan menghindari sambaran pedang. Nenek Penguasa Gunung Tunggul mendesaknya ke arah kobaran api. Dan Arso Lumbing benar-benar telah masuk dalam perangkapnya. Tidak mungkin ia harus masuk ke dalam api tersebut. Serta merta ia nekat bangkit menyambut serangan Nilasari Grewek.
Anak muda macam Arso Lumbing ini memang bukan lawan sembarangan. Kepandaiannya jauh satu tingkat dari Tala Metu. Itulah sebabnya ia sanggup mengimbangi serta menahan hantaman Tombak Gunung yang dimiliki Nilasari Grewek, tapi menghadapi Pedang Ular Emas, Arso Lumbing harus kelabakan. Tanpa di duga-duga....
"Sreeet...! Sreeeet !"
Sekujur tubuh Arso Lumbing yang melompatlompat bagai seekor kijang terasa nyeri. Tahu-tahu pakaiannya sudah terkoyak sampai menembus kulit tubuhnya.

*
* *



--¦::: « 7 » :::¦--

Sambaran pedang Nilasari Grewek tidak berhenti sampai di situ. Melihat Arso Lumbing kepayahan dengan luka-lukanya, Nenek Penguasa Gunung Tunggul mengarahkan babatan pedang ke bagian leher. Teriakannya lantang disertai dengan tenaga yang sangat keras.
"Hreaaaaa !"
Leretan sinar keemasan membersit, namun sinar keemasan itu mendadak terputus.... Karena...
"Zplaaaak!"
Lengan Nilasari Grewek seperti bergetar. Seseorang telah menggagalkan niatnya. Arso Lumbing tetap berdiri dipinggiran kobaran api. Baik Nilasari Grewek maupun Arso Lumbing membelalakan mata. Karena di saat itu mereka melihat sosok pendekar mengenakan pakaian bulu binatang berdiri di antara mereka.
"Sobat Wintara, syukurlah kau datang tepat pada waktunya!" ujar Arso Lumbing. Wintara menjawab tersenyum...
"Aku curiga dengan kebakaran yang sangat besar ini, sobat Arso Lumbing. Maka aku datang sendiri kemari."
"Bangsat! Kiranya anjing buduk macam Pendekar Kelana Sakti telah berani pula mengusik! Baiklah, malam ini kalian akan mampus bersama putra Resi Wesakih!" bentak Nilasari Grewek.
"Aku tidak pernah pusing dengan segala sepak terjangmu, Nenek keriput. Tapi karena kau merebut Pedang Ular Emas dari tangan Umbayani, aku harus terpaksa campur tangan!" jawab Wintara. Nilasari Grewek menatap geram...
"Anjing penjilat! Kau boleh rasakan ini! Hraaaaa !"
Nilasari Grewek lepaskan hantaman Tombak Gunungnya. Tapi Wintara yang selalu berhati-hati itu cepat bertindak memapak dengan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar....!" Hantaman mereka beradu. Keduanya terdorong mundur beberapa langkah. Wintara cepat menyusun kekuatan lagi. Nenek Penguasa Gunung Tunggul nampaknya sudah menyerang. Kali ini ia melancarkan dua serangan sekaligus. Jurus Tombak Gunung digabungkan dengan babatan Pedang Ular Emas. Akibatnya sangat dahsyat sekali.
Wintara yang menyambutnya dengan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru itu nyaris ambruk ke tanah. Hantaman Tombak Gunung melenceng ke samping. Babatan Pedang Ular Emas membuat Wintara terkesiap menghadapinya. Untunglah ia cepat merunduk.
"Kau boleh selalu unggul dalam menghadapi aku, Pendekar ingusan! Tapi sekarang jangan cobacoba lagi bertingkah! Heaaaaa.....!" Sekali lagi Nilasari Grewek membersitkan Pedang Ular Emas. Wintara melompat mundur ke belakang sambil lepaskan jurus Menyibak Tirai Bayu....
"Aiiiiik......!" Nilasari Grewek memekik hebat. Hantaman itu rupanya mengena tepat di tubuh Nilasari Grewek. Tubuhnya mundur terhuyung. Melihat itupun Wintara terus melompat ke depan. Dua hantamannya siap di lancarkan lagi. Tapi Wintara cepat mengurungkan niatnya. Karena Nilasari Grewek cepat menghindar berlari ke arah kerumunan para penduduk desa yang ketakutan.
"Kalian ingin cepat-cepat mampus rupanya! Kenapa hanya diam menonton? Hayo bantu aku menghabiskan dua orang keparat itu!" bentak Nilasari Grewek pada orang-orang desa.
Wintara dapat melihat betapa para penduduk desa merasa seperti tertekan. Dan nampak pula mereka sangat ketakutan terhadap Nilasari Grewek.
"Tunggu apalagi! Hayo gempur mereka!" perintah Penguasa Gunung Tunggul, maka dengan sangat terpaksa mereka semua berlari menghambur mengurung Wintara dan Arso Lumbing. Serangan-serangan mereka ragu-ragu dan ngawur. Dua pendekar ini dapat dengan mudah menangkis atau menghindar. Selama menghadapi para penduduk desa keduanya tidak pernah melakukan serangan balasan. Karena mereka tahu, tindakan orang-orang itu hanya dikarenakan ancaman Nilasari Grewek.
Namun begitu, kedua pendekar ini cukup direpotkan. Serangan-serangan penduduk desa makin gencar. Perempuan, laki-laki, tua, muda, semua ikut menggempur. Di tengah-tengah kobaran api yang meletup-letup kian riuh oleh suara-suara teriakan mereka.
"Hentikan serangan.....! Hentikan serangan !"
Di antara suara-suara teriakan itu, terdengar suara yang lebih lantang. Kiranya seorang lelaki yang cukup berani. Ia menghalangi tiap-tiap serangan penduduk desa.
"Kalian telah bertindak salah! Jangan menyerang lagi...!" Laki-laki ini berdiri melindungi Wintara dan Arso Lumbing.
"kataku hentikan !" Ia berteriak lebih keras.
"Adisena, kita harus menuruti perintah nenek itu, kalau tidak kita akan celaka!" jawab mereka. Ternyata laki-laki pemberani itu Adisena adanya.
"Sekarang tidak perlu lagi menuruti perintahnya! Kalian lihat di sana. Tua bangka itu sudah pergi! Dia sengaja menggunakan kita untuk jalan melarikan diri!" teriak Adisena. Demi mendengar itu semuanya serentak menoleh ke belakang. Tidak ada lagi sosok Nilasari Grewek di sana. Yang ada hanya kobaran api menjilat habis gubuk-gubuk. Lalu mereka seperti menyesal telah bertindak ceroboh.
"Nenek keriput itu adalah seorang tokoh sesat. Gara-gara kalian, kami telah gagal melumpuhkannya." ujar Arso Lumbing.
"Maafkan kami, pendekar-pendekar gagah. Nenek itu telah menguasai kami. Kami tidak dapat berbuat apa-apa di bawah ancamannya yang tidak pernah main-main." jawab Adisena.
"Syukurlah kalau sekarang kalian telah menyadarinya. Sekarang apa tindakan kalian?" kata Wintara. Mereka semua diam. Tidak satupun yang berani menjawab.
"Tidak ada jalan lain. Kami semua tidak berani menghadapi nenek berilmu tinggi itu. Sekarang kami berharap akan berlindung terhadap pendekarpendekar yang gagah ini. Sebab kami yakin tua bangka itu pasti akan membantai kami satu demi satu seperti apa yang pernah ia lakukan terhadap teman-teman di kampung ini." jawab Adisena. Wintara dan Arso Lumbing berpikir sebentar. Apa yang mereka khawatirkan benar adanya. Nilasari Grewek memang selalu bertindak telengas. Hal ini perlu di pikirkan.
"Baiklah untuk sementara kalian boleh bergabung dengan kami. Kita berkumpul saja di gubuk Kumbayana." jawab Arso Lumbing. Mendengar keputusan itu para penduduk ini amat gembira.
"Bukankah Kumbayana telah pergi bersama para pengawal tadi?" ujar Adisena.
"Hm.... Kalian tidak perlu cemas. Ia bersama orang-orang kami. Di sana ia akan aman." tukas Arso Lumbing.
"Sekarang kalian padamkan saja kobaran api ini. Setelah itu kita berangkat ke Belantara Sawungan." kata Wintara. Mendengar perintah itu, Adisena memimpin para penduduk bekerja keras memadamkan api. Dua pendekar ini tidak hanya berpangku tangan. Mereka ikut pula bahu membahu. Apalagi mereka berilmu tinggi. Dengan ilmu peringan tubuh kedua pendekar ini menyambar cepat ember-ember berisi air.

* * *



Kicau burung saling cicit memamerkan suaranya yang merdu. Saat itu sang mentari menyinari permukaan Belantara Sawungan. Dan udara masih sangat dingin menyengat kulit.
Di sekitar gubuk Kumbayana banyak orang duduk menahan rasa ngantuk. Mereka tidak lain para penduduk desa terpencil yang mengungsi. Semalaman suntuk mereka tidak tidur. Karena harus bekerja keras menanggulangi kebakaran yang membakar hangus gubuk-gubuk mereka.
Para murid Perguruan Pedang Ular melayani mereka. Membantu membuat dapur-dapur umum. Di kejauhan sana masih mengepul asap kehitaman membumbung tinggi ke langit. Orang-orang itu masih memikirkan nasib gubuknya yang kini menjadi arang.
Sementara itu di dalam gubuk, nampak beberapa orang tengah duduk mengelilingi Kumbayana. Keadaannya jauh lebih parah. Racun yang diberikan oleh Nilasari Grewek telah menjalar. Seluruh tubuhnya pucat. Bibirnya tidak lagi merah. Kini berubah hampir biru pucat, serta kedua kelopak matanya yang lebar menyeramkan nampak kuyu. Detak jantungnya sangat keras.
Sukar sekali bagi Kumbayana untuk bernafas. Sudah sejak tadi Wintara maupun Resi Wesakih mengadakan pertolongan Mereka menyalurkan tenaga inti ke tubuh Kumbayana. Namun usaha mereka nampaknya hanya sia-sia. Hampir satu jam lebih mereka lakukan pertolongan, tapi tidak ada tanda-tanda perubahan pada diri Kumbayana.
"Hanya membuang-buang tenaga saja. Kalau begini terus, kita tidak dapat mengobati Umbamayu. Gadis itu jauh lebih parah dan mesti ditolong." ujar Kumbayana. Ia seperti hendak bangkit. Wintara berusaha menahan.
"Bagaimana kau bisa mengobatinya kalau kau sendiri tengah keracunan begini." kata Wintara. Kumbayana tersenyum pahit.
"Tak apa, Pendekar muda. Keselamatan Umbamayu lebih kita utamakan. Umurku masih ada satu hari lagi, masih sempat membuat penawar racun tersebut." jawab Kumbayana. Tubuhnya memang agak lemah. Waktu berdiri, Arso Lumbing dan Umbayani membantunya. Begitu juga saat ia melangkah berjalan. Dua muda mudi ini harus menuntunnya.
"Tolong ambilkan peralatan ku di atas meja." kata Kumbayana pada Wintara yang berdiri memperhatikan. Kumbayana melangkah ke arah sebuah kamar. Hati-hati sekali Arso Lumbing dan Umbayani menuntun. Di kamar itu terbaring sosok Umbamayu dengan tubuh yang dingin.
"Cah Ayu, malang benar nasibmu. Sudah sekian lama terpisah dengan keluarga, harus pula terkena hantaman Tombak Gunung. Aku pun masih meragukan. Apakah masih bisa mengobatinya?" ujar Kumbayana setelah melihat sosok Umbamayu.
"Sungguh kami merasa kurang enak meminta pertolongan kepadamu, Kumbayana. Kalau memang merasa lelah jangan dipaksakan." kata Arso Lumbing. Umbayani memijit-mijit tubuh Umbamayu. Ia membetulkan letak selimut tebal.
"Sudah menjadi kewajiban menolong orang yang terluka. Itu memang tugasku." jawab Kumbayana.
Wintara masuk membawa peralatan dukun sakti Kumbayana. Sebuah bungkusan kecil diserahkan pada dukun sakti itu. Resi Wesakih ikut masuk mengikuti Wintara.
Setelah menerima bungkusan itu, Kumbayana langsung membukanya. Kiranya bungkusan itu berisi belasan pedang kecil. Pedang-pedang kecil itu berukuran sebesar mata jarum, Terbuat dari emas murni. Suatu buatan yang sangat sempurna.
Kumbayana duduk di samping Umbamayu yang terbaring. Arso Lumbing membantu membuka selimut tebal yang menyelubungi tubuh Umbamayu.
"Hal ini mengingatkan aku pada peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Sayang waktu itu aku belum sanggup mengobati akibat hantaman Tombak Gunung, sehingga majikan Perguruan Pedang Ular tidak bisa di selamatkan. Hari ini pun aku khawatir akan gagal."
"Kita tidak akan penasaran bila sudah melakukan usaha, Kumbayana." tukas Arso Lumbing.

*
* *



--¦::: « 8 » :::¦--

Terlebih dahulu Kumbayana merendam pedang-pedang kecil ke dalam air panas. Umbayani membuka seluruh pakaian yang melekat ditubuh Umbamayu. Pendekar-pendekar lelaki sudah tidak berada dalam ruangan itu. Saat Kumbayana mulai mengobati Umbamayu mereka sudah berada di luar gubuk.
Mereka melihat para penduduk desa yang mengungsi tengah menikmati teh hangat. Ada pula yang rebahan melepaskan rasa ngantuk. Para murid Perguruan Pedang Ular nampak sedang memberi makan kuda. Asap hitam yang mengepul di ujung sana mulai menipis. Resi Wesakih duduk di depan gubuk. Wintara berdiri memandang ke langit. Hanya Arso Lumbing yang nampak cemas. Ia takut akan kehilangan Umbamayu.
"Nilasari Grewek memang sangat licik. Dari dulu orang-orang persilatan selalu terkecoh. Entah sudah berapa banyak nyawa yang melayang di tangannya." ujar Resi Wesakih mengawali pembicaraan.
"Dia memang berilmu setinggi langit, dan lagi selalu mendapat kesempatan melarikan diri." jawab Wintara.
"Tapi yang kudengar dari Kumbayana, bahwa Nilasari Grewek juga tengah terluka. Dia berusaha mati-matian menahan Kumbayana, bahkan sampai meracuninya."
"Sungguh biadab! Ingin meminta pertolongan tapi malah meracuninya." gerutu Wintara.
"Bukan Nilasari Grewek kalau ia bersikap baikbaik. Kalau ada kesempatan, biar kepalanya kuhancurkan." tukas Arso Lumbing. Pemuda tampan ini sangat dendam terhadap Penguasa Gunung Tunggul. Pakaiannya tetap terkoyak. Tapi luka-luka babatan pedang sudah dibalut.
"Jangan khawatir, Nilasari Grewek pasti tidak pergi terlalu jauh dari sini. Ia masih membutuhkan pertolongan Kumbayana. Kita masih punya harapan untuk merebut kembali Pedang Ular Emas." kata Resi Wesakih.
Di dalam ruangan khusus, Umbayani menatap keheranan melihat cara-cara pengobatan yang dilakukan Kumbayana. Tubuh Umbamayu yang telanjang tanpa selembar benang itu mendapat cara pengobatan yang sangat mengerikan. Tiap-tiap persendiannya telah menancap sebatang pedang kecil.
Setiap kali Kumbayana menancapkan pedang itu, Umbayani hampir tidak tahan melihat. Ia sudah membayangkan betapa sakitnya. Untunglah Umbamayu dalam keadaan tidak sadar. Kurang lebih pedang-pedang kecil itu telah digunakan sebanyak dua belas batang. Dari telapak kaki, lutut, pinggang, pangkal lengan bahkan sampai tulang dahi. Selama melakukan itu Kumbayana menguras habis tenaganya. Keringat telah mengucur membasahi tubuhnya. Selama itu pula Umbayani membantu menyeka keringat Kumbayana.
Pengobatan macam itu dilakukan kurang lebih hampir dua jam penuh. Kumbayana menghela nafas ketika ia selesai menancapkan pedang kecil terakhir. Lalu mencuci kedua tangannya dengan air hangat yang tersedia di sampingnya.
Umbayani menutup kembali tubuh Umbamayu dengan selimut tebal. Membiarkan pedang-pedang kecil yang menancap di seluruh persendian Umbamayu ikut tertutup.
"Cuma ini yang bisa aku lakukan, Umbayani. Kita lihat saja hasilnya nanti." ujar Kumbayana seraya bangkit dari tempat pembaringan.
"Mudah-mudahan saja berhasil, biar aku yang menjaganya di sini." kata Umbayani. Gadis ini menuntun Kumbayana keluar dari ruangan itu.
"Umbamayu memang harus dirawat dan dijaga. Sebab pedang-pedang kecil itu tidak selamanya menancap terus menerus." tukas Kumbayana. Mereka sudah berada di luar ruangan. Dan menemui para pendekar lain yang berada di depan gubuk.
Di luar nampak ramai sekali, para penduduk yang tengah mengungsi nampak sedang beristirahat. Para Pendekar ini menyambut kehadiran Kumbayana.
"Bagaimana, Kumbayana. Nampaknya kau lelah sekali." ujar Resi Wesakih. Laki-laki berambut putih ini memberikan tempat duduk. Umbayani hati-hati sekali mendudukan Kumbayana.
"Belum bisa dipastikan. Kalian sudah terlambat membawanya kemari. Keadaannya lebih parah dari ayahnya dulu." Mendengar ucapan Kumbayana Arso Lumbing nampak gelisah sekali.
"Sekarang tinggal memikirkan bagaimana menawarkan racun yang mengeram di tubuhmu, Kumbayana. Apakah ada jalan lain yang dapat kami bantu?" tukas Wintara.
"Aku memang seorang dukun sekaligus ahli dalam pengobatan. Tapi menghadapi racun ini, aku benar-benar tidak berdaya." jelas Kumbayana. Wajahnya sangat pucat, sepertinya peredaran jalan darah tersumbat. Wajah 'Buto Ijo' nya nampak memelas. Phisyiknya pun sangat lemah.
"Satu-satunya jalan, harus menemui Nilasari Grewek untuk meminta penawarnya. Ku pikir cuma itu!" ujar Arso Lumbing.
"Enak saja kalau ngomong! Kemana kita harus mencari nenek keriput itu?" tukas Resi Wesakih, ayahnya. Kembali semuanya diam. Tidak ada sepatah katapun yang dapat memecahkan persoalan itu.
Umbayani berjalan masuk kembali ke dalam gubuk. Langsung ditemui kakaknya yang terbaring penuh dengan pedang-pedang kecil. Ia menatap iba wajah cantik Umbamayu. Sosok yang tidak berdaya. Tanpa bersuara ia duduk di sebelah sosok terbaring itu.
Udara sejuk dapat masuk melalui jendela yang terbuka. Juga sinar matahari menerobos menghangati mereka. Tapi mendadak saja kedua mata Umbayani membelalak. Pedang yang menancap di tulang dahi Umbamayu mengeluarkan darah hitam kental. Melihat itupun, Umbayani jadi sangat takut.
"Kumbayana....! Kumbayana....!" Spontan ia berteriak-teriak. Mendengar teriakan Umbayani dari dalam ruangan di mana Umbamayu terbaring, para pendekar di luar gubuk ini berlarian masuk ke dalam. Wintara cepat menuntun masuk Kumbayana. Mereka berkumpul semua dalam ruangan itu. Semuanya menatap darah kehitaman meleleh di sekitar tulang dahi Umbamayu.
"Tenanglah.... Tenanglah. Darah hitam ini adalah darah mati akibat hantaman Tombak Gunung. Syukurlah bisa keluar secepatnya." ujar Kumbayana. Perlahan lelaki pucat pasi ini mencabut pedang pendek dari tulang dahi.
"Harapannya sangat tipis. Masih ada sebelas mata pedang lagi di tubuhnya." kata Kumbayana lagi. Melihat itupun Arso Lumbing menyeka darah hitam yang meleleh.
"Selama darah hitam itu masih keluar, bersihkan terus." perintah Kumbayana.
"Apakah pedang-pedang kecil ini akan menyedot keluar darah mati yang mengeram di tubuh Umbamayu?" tanya Umbayani.
"Hm.... Seperti yang sudah-sudah, pedangpedang kecil ini mesti dicabut setelah mengeluarkan darah mati. Biasanya satu hari sekali pedang ini mesti dicabut, berarti sebelas hari lagi kita mesti menjaganya." jawab Kumbayana.
"Kejadian in tidak apa-apa, tidak perlu gelisah, Arso Lumbing." kata Kumbayana lagi, Putra tunggal Resi Wesakih ini memang nampak cemas dengan keadaan Umbamayu.
"Biarkan saja Umbamayu beristirahat tenang di sini. Harap dijaga saja." ujar Kumbayana. Ia bangkit dari tempat pembaringan. Wintara bantu Kumbayana melangkah keluar. Resi Wesakih mengikutinya. Arso Lumbing bersama Umbayani menjaga Umbamayu.
"Rasanya aku hampir tidak tahan dengan hidup begini. Aku yakin beberapa saat lagi akan tewas keracunan." kata Kumbayana ketika berada di luar gubuk.
"Jangan putus asa, Kumbayana. Kalau masih punya semangat hidup, kau akan selamat." jawab Resi Wesakih.
"Seperti yang dikatakan Arso Lumbing. Aku harus menemui Nilasari Grewek. Cuma itu jalan satusatunya." kata Kumbayana.
"Tindakan itu akan membahayakan diri mu, kita tahu siapa Nilasari Grewek."
"Tidak mungkin dia akan bersikap buruk terhadapku. Karena Nilasari Grewek masih membutuhkan pertolongan. Akulah orang yang dapat menyembuhkan luka-lukanya." jawab Kumbayana.
"Kalau begitu, aku akan mengawal selama mencari tokoh sesat itu." Usul Wintara.
"Aku rasa tidak perlu. Bukannya aku menganggap remeh, tapi kalau dalam hal ini ada campur tangan orang-orang persilatan malah akan menjadi rusuh." Kumbayana tersenyum getir.
"Lalu anda akan pergi sendiri dalam keadaan seperti ini?"
"Tentu saja tidak. Aku akan pergi bersama Adisena. Aku kira dia dapat membantu. Dan juga tidak mengundang curiga bagi Nilasari Grewek." jawab Kumbayana.
Saat itu kebetulan Adisena mendatangi mereka sambil membawa sebuah nampan besar berisi makanan. Pemuda ini meletakkan nampan itu di atas balai di depan gubuk.
"Adisena, harap kau ikut aku menelusuri Belantara Sawungan. Kita harus cari kembali Nilasari Grewek." ujar Kumbayana.
"Aku....? Kenapa mesti aku?" Adisena gelagapan.
"Jangan khawatir Adisena, aku berani jamin kau tidak akan apa-apa."
Adisena gelagapan. Ia tidak bisa mengelak. Kepergian merekapun tidak bisa dihalangi. Para pendekar ini hanya memberikan restu agar mereka berhasil menemui Nilasari Grewek. Tapi akankah Penguasa Gunung Tunggul itu mau memberikan penawar racun tersebut? Bagaimana nanti kalau sikap Nilasari Grewek malah mencelakakan mereka? Kumbayana yang dalam keadaan parah itu tidak mungkin dapat mengatasi. Apalagi Adisena tidak berkemampuan apa-apa.
Dengan menggunakan kereta kuda, Adisena membawa Kumbayana menerobos belantara Sawungan. Roda kereta berderak-derak menggilas dataran berumput. Selama dalam perjalanannya Adisena selalu menoleh kanan dan kiri, dirinya merasa was-was.
Kumbayana yang berada dalam kereta kuda duduk bersila. Kedua matanya dapat melihat keluar melalui jendela kereta. Ia benar-benar berharap akan menemui Nilasari Grewek. Saat itu mereka sudah jauh meninggalkan gubuknya.
Sekarang harus dilalui bekas-bekas puing terbakar. Tidak ada yang nampak gubuk utuh. Rata-rata telah hangus rata dengan tanah. Sementara asap kehitaman mulai pupus terbawa angin. Mereka berhenti di tempat itu. Mereka mengira Nilasari Grewek dapat di temuinya.
Namun tempat itu sangat sunyi. Tiada satu sosokpun yang nampak. Apalagi sosok Nilasari Grewek. Yang ada hanya hembusan debu menyiram muka.
"Nilasari Grewek....! Di mana kau! Keluarlah. Aku membawa Kumbayana!" teriak Adisena sambil menutup wajahnya dari hembusan debu hitam bercampur asap. Suara Adisena menggema. Tapi mereka tidak mendengar adanya jawaban.
"Jalan terus, Adisena! Cari ke tempat lain!" Perintah Kumbayana. Roda keretapun berderak lagi bersama helaan Adisena mencambuk kuda penarik.

*
* *



--¦::: « 9 » :::¦--

Kereta itu terus melaju semakin menembus belantara Sawungan. Seharian penuh telah mereka lewati. Namun belum juga ditemukan sosok Nilasari Grewek. Adisena yang mengendalikan kereta kuda nampak sudah sangat lelah. Begitu juga Kumbayana yang berada di dalam kereta itu. Manakala hari mulai gelap. Kumbayana memerintahkan beristirahat di tempat itu.
Kumbayana tidak perlu merasa takut dalam belantara tersebut. Sebagai orang yang telah hidup puluhan tahun dalam hutan itu, ia tabu benar akan keadaan hutan Sawungan. Tidak ada satu ekor binatang buaspun yang berkeliaran di situ. Kecuali burungburung dan binatang jinak lainnya.
Tapi bagi Adisena, ia takut sekali. Karena ia harus berjaga sendirian di luar kereta. Suara binatang malam dan udara dingin amat menakutkan.
Sementara itu suasana malam menyelubungi gubuk Kumbayana. Para penduduk yang mengungsi sudah tertidur lelap di sembarang tempat. Maka pelataran gubuk yang bersih itu nampak dipenuhi orang. Udara yang dingin tidak mereka perdulikan.
Para murid Perguruan Pedang Ular berjaga-jaga bergantian. Wintara duduk sendiri di teras gubuk berlantai kayu. Letupan api unggun sayup-sayup terdengar di sampingnya.
Di dalam sebuah ruangan, Umbayani sudah tertidur lelap juga. Seharian penuh ia menjaga Umbamayu. Kini Arso Lumbing yang menjaganya. Di sudut ruangan itu Resi Wesakih duduk merenung. Ruangan itu di terangi dua buah lampu pelita. Arso Lumbing dapat melihat wajah cantik Umbamayu terlentang belum sadarkan diri.
Tiba-tiba saja angin bertiup kencang menerpa daun jendela. Suara itu sampai berderak keras. Membangunkan Umbayani yang sudah terlelap tidur. Angin menerobos ke dalam ruangan kamar. Menyibak selimut penutup tubuh Umbamayu. Cepat-cepat Arso Lumbing membetulkan letak selimut, tapi baru saja ia hendak menutupinya. Ia terkejut setengah mati.
Mata ngantuk Umbayani juga jadi terbelalak. Melihat itupun Resi Wesakih bangkit dari duduknya. Mereka melihat dua pedang kecil yang menancap pada telapak kaki Umbamayu mengeluarkan darah hitam.
Seperti apa yang diperintahkan Kumbayana, Resi Wesakih perlahan-lahan mencabut kedua pedang tersebut. Umbayani mempersiapkan air hangat. Arso Lumbing membersihkan kedua telapak kaki Umbamayu yang meleleh darah mati.
"Dua pedang dicabut sekaligus. Apakah itu dibenarkan, Paman?" tanya Umbayani.
"Bukankah ia memerintahkan satu hari satu pedang yang mesti dicabut?"
"Itu kalau satu pedang yang telah mengeluarkan darah mati." jawab Resi Wesakih.
"Ayah, dari telapak kaki ini terlalu banyak darah keluar." ujar Arso Lumbing khawatir.
"Bersihkan saja terus. Usahakan sampai keluar semua." tukas Resi Wesakih. Arso Lumbing menurut. Ia membersihkan darah-darah hitam di kaki Umbamayu dengan air hangat. Umbayani bangkit menutup jendela.
"Daya tahan tubuh Umbamayu sangat kuat. Masih ada harapan bisa sembuh." tutur Resi Wesakih.
Memang betul. Andaikata orang lain yang terkena hantaman Tombak Gunung pasti sudah binasa. Tapi untuk Umbamayu tidak. Mungkin dikarenakan perempuan ini bekas murid Nilasari Grewek. Sedikit banyaknya ia telah memiliki dasar-dasar jurus Tombak Gunung.
Kekhawatiran mereka agak berkurang ketika suatu hari tubuh Umbamayu berangsur-angsur hangat. Tubuhnya tidak lagi pucat seperti sebelumnya. Bibirnya yang mungil nampak merah, terkadang pula nampak bergetar.
Apalagi ketika dua buah pedang kecil di bagian lututnya mencairkan darah kehitaman. Arso Lumbing makin bersemangat membersihkannya. Itu berarti sudah lima batang pedang kecil keluar dari tubuh Umbamayu. Dalam waktu dua hari saja, lima pedang kecil sudah dikeluarkan. Betul-betul luar biasa. Berarti masih ada tujuh batang lagi di tubuh Umbamayu.
Meskipun begitu Umbamayu nampak sudah berusaha membuka kedua matanya. Hal itu membuat Arso Lumbing dan yang lainnya sangat senang. Melihat itu Umbayani mengeluarkan air mata. Ia tidak dapat menahan rasa gembiranya.
Sementara itu Umbamayu membuka matanya. Pandangannya masih samar, dan dirasakan kedua bola matanya perih. Namun ia masih dapat melihat tiga orang berdiri di samping pembaringan.
"Umbamayu... Umbamayu... Kau tidak apaapa...?"
Bibir Umbamayu bergetar. Ia mendengar suara itu. Seketika kepalanya jadi pening. Ia seperti pernah mendengar nama itu. Entah kapan, entah siapa Umbamayu. Nama Umbamayu itu membuat ingatan mundur. Kenangan pahit selama itu tergambar di luar kesadarannya. Ia pernah menggendong seorang gadis kecil sambil berteriak-teriak.... Umbamayu Umbamayu... Ia masih ingat betul akan nama gadis kecil yang menjadi sebagian hidupnya. Umbayani! Yah Umbayani. Ia pernah mempunyai seorang adik bernama Umbayani.
Tapi satu perpisahan yang telah terlupakan sekarang tergambar kembali dalam benaknya. Suatu pertempuran telah terjadi di wilayah Perguruan Pedang Ular. Seorang nenek berbaju merah telah memisahkan dirinya dari Umbayani. Hidup sekian lama bersama nenek Penguasa Gunung Tunggul dalam kekerasan, yang membuat dirinya menjadi Srikaton Munggel. (Baca: Alap-Alap Liang Kubur dan Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul).
Entah berapa banyak orang-orang persilatan yang tewas di tangannya selama menjadi murid Nilasari Grewek. Gambaran itu jelas sekali diingat. Teriak kesakitan. Darah menyembur kemana-mana. Kejam serta sadis. Semua itu didikan Nilasari Grewek. Nenek itu berusaha menempa Umbamayu menjadi seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun. Berangsur-angsur penglihatannya pulih. Tiga orang jelas berdiri di sampingnya. Saat itu Wintara masuk menemui mereka. Melihat pendekar Kelana Sakti ini. Umbamayu amat terkejut. Bagaimana pun ia masih mengenalinya. Pendekar inilah yang selalu membuat Umbamayu bersama gurunya lari terbiritbirit....
"Umbamayu, kau nampak hampir sehat. Bagaimana perasaanmu?" tanya Resi Wesakih. Air mata Umbayani berderai. Kedua belah pipinya telah basah. Ia berdiri paling dekat dengan Umbamayu.
"Bu-bu-bukan-kah k-kk-kau gadis yang perpernah k-kk-ku-lu-kai duu-lu?" ujar Umbamayu terputus-putus. Ia berpegangan dengan lengan Arso Lumbing. Pemuda tampan ini hampir meremasnya.
"Perbuatanmu tidak bisa disalahkan, kakak.... Aku.... Aku Umbayani." jawab gadis itu. Tangisnya berderai. Resi Wesakih mengelus-elus rambut Umbayani.
"K-kk-kau Um-umm-Umbayani?" Sambil menghapus air matanya Umbayani mengangguk. Mata Umbamayu pun berkaca-kaca. Ia tidak percaya dengan pengakuan itu.
"Benar Umbamayu, gadis ini adalah adik mu. Umbayani. Aku rasa kaupun masih mengenaliku. Akulah Resi Wesakih yang pernah mengabdi di dalam Perguruan Pedang Ular terhadap Ayahmu. Arso Lumbing adalah anakku. Teman mainmu dulu."
"Be-be-benarkah....?" Umbamayu bermaksud bangkit. Tapi sekujur tubuhnya terasa. sakit sekali. Ia pun dapat melihat sebagian tubuhnya telah menancap batang-batang pedang kecil sebanyak tujuh batang.
"Jangan bergerak dulu, Umbamayu. Kau tengah terluka parah, kau terkena hantaman Tombak Gunung. Di sini kami tengah merawatmu." Resi Wesakih merebahkan kembali tubuh Umbamayu. Perempuan ini menatap ke arah langit-langit kamar.
Hantaman Tombak Gunung. Cuma Nilasari Grewek yang memilikinya. Ia pernah lihat keampuhan jurus tersebut. Kalau sekarang ia terbaring sedemikian rupa, ia memang telah terkena hantaman Tombak Gunung. Dikarenakan ia memisahkan diri dari Nilasari Grewek. Nenek Penguasa Gunung Tunggul itu amat murka setelah diketahui Umbamayu hidup bersama Arso Lumbing.
Sudah ada tanda-tanda kesembuhan pada diri Umbamayu. Tapi ada lagi masalah baru yang mesti mereka pikirkan. Mengenai diri Kumbayana. Ia telah pergi selama dua hari bersama Adisena. Sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Keadaan mereka perlu diketahui. Untuk itu Wintara memutuskan diri mencari mereka.
Mereka tahu pasti kalau Kumbayana tengah keracunan. Dalam waktu yang sangat singkat Kumbayana akan binasa. Kalau Kumbayana tewas dalam perjalanan pastilah Adisena sudah memberi kabar. Sebagai satu-satunya orang yang dapat mengimbangi kepandaian Nilasari Grewek, Wintara harus mencari mereka. Atas persetujuan Resi Wesakih, Wintara berangkat hari itu juga.
Dan pada malam harinya. Suasana malam ini agak lain. Tidak seperti biasanya angin berhembus demikian kencang. Berkali-kali orang-orang yang berada di pelataran gubuk Kumbayana harus menyalakan kembali api unggun. Pada malam itu, mereka tidak cukup hanya membuat satu api unggun. Pelataran gubuk sangat diterangi oleh empat tumpukan kayu bakar.
Meskipun udara sangat dingin, sudah banyak orang-orang berbaring tertidur. Begitu juga dengan Resi Wesakih. Kepalanya sudah terkantuk-kantuk dalam sebuah ruangan. Kedua matanya terasa berat dan tidak kuasa menahan ngantuk.
Sedari tadi Umbayani yang tengah menjaga Umbamayu bersama Arso Lumbing sudah menguap berkali-kali. Sampai akhirnya pada tengah malam, keduanya betul-betul terlena dalam tidurnya. Keduanya sama-sama rebah di samping kanan kiri pembaringan. Umbamayu tetap terbaring di atas pembaringan itu. Berselimut kain tebal.
Sementara di luar, suara binatang malam mengkerik berselubung hawa dingin. Baik para pengungsi maupun murid-murid perguruan Pedang Ular, semua sudah tertidur lelap. Mereka dapat melepaskan lelah di sekitar tempat api unggun yang menghangati tubuh.
Tak ada seorangpun yang menyadari kalau ada sosok tubuh melesat keluar dari dalam gubuk. Dalam suasana gelap itu sukar untuk dipastikan sosok siapa gerangan. Yang jelas saat sosok itu pergi menjauh di telan kegelapan malam, tidak terjadi apa-apa.
Ketenangan itu berakhir sampai esok pagi, ketika langit mulai merah menampakkan sinar matahari, Umbayani bangun terlebih dahulu. Dan ia terkejut setengah mati ketika dilihatnya tempat pembaringan kosong.
"Arso Lumbing, bangun....! Arso Lumbing !"
Umbayani membangunkan Arso Lumbing. Pemuda ini menggeliat. Resi Wesakih yang tidur di ruangan lain terbangun mendengar suara Umbayani. Ia langsung masuk ke dalam ruangan itu. Arso Lumbing nampak gelagapan terbangun.
"Tidakkah paman melihat kemana Umbamayu?" tanya Umbayani.
"Umbamayu...?" Resi Wesakih keheranan. Ia melihat pembaringannya kosong. Jendela kamarpun terbuka lebar. Pada lantai ruangan yang terbuat dari kayu papan banyak membercak tetes-tetes darah hitam. Bercak-bercak itu menuju ke arah jendela..
"Astaga.... Umbamayu melarikan diri. Cepat kita ikuti jejaknya."

*
* *



--¦::: « 10 » :::¦--

Roda kereta terus berderak membawa kereta itu semakin masuk ke Belantara Sawungan. Adisena yang mengendarai kuda dimuka kereta sudah bosan berteriak-teriak memanggil-manggil nama Nilasari Grewek. Tokoh sesat Penguasa Gunung Tunggul itu tidak juga menampakkan diri.
Adisena sendiri sebenarnya sudah merasa curiga terhadap Kumbayana yang berada di dalam kereta. Sejak dua hari ini dukun sakti itu tidak mengeluarkan suara. Mengingat Kumbayana tengah keracunan, Adisena khawatir akan Kumbayana yang bakal tewas dalam perjalanan.
Untuk menghilangkan rasa khawatirnya itu, Adisena sengaja berteriak-teriak terus....
"Nilasari Grewek! Tunjukanlah dirimu! Kumbayana ada disini !" Suara Adisena menggema menyeruak lebatnya hutan.
"Keluarlah Nilasari Grewek !"
Dalam pada itu terdengar suara gemereseknya dedaunan pohon. Disertai dengan suara angin yang bergemuruh. Cepat Adisena menoleh. Nampak sosok berbaju merah meluncur deras ke arahnya sambil menudingkan pedang. Melihat itupun Adisena cepat melompat dari atas kereta. Sampai jatuh bergulingan.
Sosok berbaju merah itu terus meluncur dengan babatan pedangnya. Pedang bersinar keemasan membersit berkali-kali menghantam kereta kuda itu. Terjangan gesit bagai angin berpindah-pindah menghancurkan dinding-dinding kereta.
Sosok berbaju merah itu tidak lain Nilasari Grewek adanya. Ia menyeringai sadis menatap kereta kuda yang hancur berantakan. Dua ekor kuda penarik meringkik-ringkik ketakutan. Saat itu Kumbayana nampak duduk tenang bersila. Tubuhnya sangat pucat bagai pelepah daun pisang. Wajah Buto Ijo-nya nampak kuyu.
"Kumbayana sialan! Rupanya sengaja kau membiarkan aku mati! Jangan mimpi yang mulukmuluk! Tidak kau sadarikah kalau dirimu itu tengah keracunan juga?" ujar Nilasari Grewek. Kumbayana tetap diam.
"Percuma saja kedatanganmu ini. Luka-luka di tubuhku sudah terlanjur mengeram. Dan kaupun tidak mungkin akan mendapatkan penawar racun! Mampus saja sekalian." gerutu Nilasari Grewek.
"Tidak! Kedatangan Kumbayana mencari kau tidak lebih untuk mengobatimu! Kau tidak boleh membiarkan Kumbayana binasa begitu saja!" sergah Adisena melindungi Kumbayana. Terasa sekali tubuh Kumbayana sangat dingin.
"Pemuda tolol! Bisa apa kau mati-matian melindungi keparat itu? Rupanya ingin pula mampus bersamanya!" Nilasari Grewek murka. Lengannya siap membersitkan Pedang Ular Emas. Adisena memang tidak becus apa-apa, tapi ia lebih baik mati dari pada harus terlunta-lunta dalam Belantara Sawungan sendirian. Maka ia tidak bereaksi saat Nilasari Grewek mulai menerjang.
"Tahaaaan...!" Tiba-tiba saja Kumbayana berteriak. Nilasari Grewek ngurungkan niatnya. Ia berbalik memandang Kumbayana yang pucat pias.
"Dari pada kau membunuhnya, lebih baik kau membunuhku saja! Adisena bukanlah lawanmu! Aku puas binasa di tanganmu. Sebab aku yakin beberapa saat lagi pun kau akan binasa. Jangan selalu kau sembunyikan rasa sakitmu itu, Nilasari Grewek! Jangan kira aku tidak tahu kalau kau tengah terluka parah. Aku bisa mengukur masa hidupmu itu tinggal beberapa hari lagi. Besok. Lusa atau nanti, kau akan binasa dengan sendirinya." tutur Kumbayana. Mendadak Nilasari Grewek jadi kecut.
Mendadak pula dadanya terasa sakit. Saat itu juga ia memuntahkan darah. Memang tidak bisa di pungkiri. Selama ini Nilasari Grewek terus menerus memuntahkan darah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Tulang-tulangnya pun terasa remuk.
"Jujur saja! Apakah masih memerlukan pengobatan dariku? Kalau tidak, lebih baik kau bunuh aku di sini!" ujar Kumbayana.
Bagi Nilasari Grewek tidak ada pilihan. Siapa manusia yang ingin cepat mati. Lagi pula apa gunanya ia memiliki Pedang Ular Emas kalau sebentar lagi ia akan binasa?
"Baiklah untuk hari ini aku mengalah. Kau bersama anak muda itu boleh hidup. Tapi mulai sekarang kau harus mengobatiku!"
"Kemarilah!" kata Kumbayana sembari merogoh sebuah bungkusan kecil dari ikat pinggangnya. Seperti yang sudah kita ketahui isi bungkusan itu seperangkat pedang-pedang kecil.
Melihat itupun Nilasari Grewek tidak ragu-ragu mendekati Kumbayana.
"Tidak kusangka kau dapat bertahan dari racun ku itu, Kumbayana. Tadinya aku sudah mengira bahwa kau sudah mampus!" kata Nilasari Grewek yang langsung duduk bersila berhadapan dengan Kumbayana. Mereka duduk di atas kereta yang telah hancur. Adisena tetap tidak menjauh dari Kumbayana.
"Bagian depan tidak perlu lagi, berbaliklah. Punggungmu harus dirawat agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah." Kumbayana mempersiapkan beberapa batang pedang kecil. Nilasari Grewek memang merasakan sakit di sekitar dada, maka ia cepat berbalik duduk bersila membelakangi Kumbayana. Nenek berbaju merah ini membuka sebagian bajunya tanpa diperintah.
Sebagai seorang dukun sakti ia sudah tahu apa yang mesti di lakukan. Tanpa banyak bicara Kumbayana mulai bekerja. Sebatang pedang kecil di tancapkan perlahan-lahan pada tulang leher. Nilasari Grewek meringis.
"Kenapa sakit sekali?"
"Karena kau terlalu banyak bergerak. Diamlah, aku akan menancapkan dua batang pedang sekaligus di tulang belikat mu." Kumbayana mempersiapkan dua batang pedang kecil. Nilasari Grewek menahan nafas menanti rasa sakit.
Saat Kumbayana melihat dua tulang belikat di punggung Nilasari Grewek, Kumbayana membuka mata lebar-lebar. Serta merta ia menancapkan dua pedang kecil itu kuat-kuat....
"Creeeep!.....Creeeep! Aaaaaarght!"
Tak urung Nilasari Grewek jadi kelojotan. Tubuhnya berguling membuat pedang-pedang kecil menancap semakin dalam.
"Bangsat kau, Kumbayana! Kau ingin membunuhku rupanya!" bentak Nilasari Grewek menyemburkan darah lagi.
"Ha-ha-ha-ha-ha Aku tidak bodoh, nenek keriput! Siapa sudi mengobati seorang tokoh sesat macam kau!" teriak Kumbayana, . ia bangkit berdiri di atas kepingan-kepingan kereta. Kedua lengannya berputar mengembangkan jurus. Seketika itu juga tubuh pucatnya berangsur hilang. Tubuhnya kembali normal seperti sedia kala.
"Keparat! Diam-diam rupanya kau menginginkan juga Pedang ini. Jangan harap kau bisa mendapatkannya, Kumbayana!" jawab Nilasari Grewek geram. Ia bangkit menantang.
"Hua-ha-ha-ha ! Siapa yang tidak tergiur melihat Pedang Ular Emas itu, Nilasari Grewek! Aku yang sudah tua ini masih ingin memilikinya!" ujar Kumbayana.
"Tidak! Pusaka ini sudah menjadi milik ku! Lagi pula kau akan mampus karena racun ku!" Nilasari Grewek melangkah mundur. Kedua tangannya siap melancarkan serangan.
"Bukanlah Kumbayana si Dukun Sakti kalau harus binasa oleh karena racun! Mana lagi racunracunmu itu. Keluarkan semua! Biar ku telan habis di depan hidungmu!" tantang Kumbayana.
"Bangsaaaat....!" Nilasari menerjang. Babatan pedangnya menjurus ke depan. Di luar dugaan Kumbayana dapat mengelak dengan melompat salto ke atas. Adisena menyingkir dari situ.
Nilasari Grewek terus mencecar dengan babatan pedangnya. Sinar-sinar keemasan membersit kesana kemari. Namun dengan lincah Kumbayana selalu dapat mengelak.
Sebenarnya kepandaian Nilasari Grewek jauh lebih tinggi dari Kumbayana. Namun di karenakan Nilasari Grewek tengah terluka, gerakannya nampak sangat lambat. Selama menghadapi Penguasa Gunung Tunggul ini pula Kumbayana selalu berhati-hati. Yang amat ditakutinya adalah Pedang Ular Emas. pedang itu seakan memberi pengaruh kekuatan terhadap Nilasari Grewek.
Sambaran pedangnya selalu cepat bagai kilat membawa maut. Meskipun serangan Nilasari Grewek agak ngawur, Kumbayana agak sulit melakukan serangan balasan. Karena Pedang Ular Emas selalu membersit melindungi Nilasari Grewek.
Saat itu, Wintara yang tengah mencari Kumbayana dan Adisena merasa tersesat dalam Belantara Sawungan yang lebat itu. Ia sama sekali tidak menemui jejak mereka. Yang ia lihat hanyalah semak-semak merimbun tiada habisnya.
Bagi pendekar Kelana Sakti ini, ia sudah tidak tahu kemana harus membawa kudanya. Sepanjang yang ia lihat hanyalah pohon-pohon besar mengelilingi. Jalan kembali pulang pun sudah tidak tahu lagi. Tapi sebagai seorang pengelana, ia pantang menyerah dalam menentukan langkahnya.
Dalam ketersesatannya itu, Wintara mendadak tersentak. Karena dari kejauhan ia dapat melihat sosok tubuh berlari sangat kencang. Sosok itu nampak jelas seorang perempuan. Mengenakan pakaian yang sangat ganjil. sosok tubuh mulus yang hanya ditutupi selembaran kain tebal.
Tergerak bagi Wintara untuk mengikuti sosok itu. Maka setelah sosok perempuan itu agak jauh, Wintara menghela kudanya kuat-kuat. Menyusul kemana sosok itu pergi.

* * *



Sementara itu pula Resi Wesakih tengah memimpin pendekar-pendekar muda mengikuti bercakbercak darah hitam. Tetes-tetes darah itu membekas setiap jarak tiga meter. Dan jelas kelihatan di atas permukaan rerumputan dataran Belantara Sawungan.
"Ayah, mungkinkah Umbamayu dapat berlari sejauh ini?" ujar Arso Lumbing menyusul langkah Resi Wesakih. Pemuda ini lari berdampingan dengan Umbayani.
"Melihat dari jejak tapak kakinya ia hanya seorang diri. Tapi langkah-langkahnya sangat luar biasa. Menandakan ia menggunakan ilmu pelari yang sangat cepat." jawab Resi Wesakih.
"Aku khawatir ada seseorang yang melarikan Umbamayu, Paman." kata Umbayani.
"Maksudmu Nilasari Grewek?" tukas Resi Wesakih. Tatapannya terus menyusuri bercak-bercak darah hitam tanpa menghentikan langkahnya.
"Tidak mungkin, Umbayani. Kalau Nilasari Grewek yang datang semalam melarikan Umbamayu, kita-kita sudah tewas semua di saat tertidur pulas. Jadi menurut ku, ini tindakan Umbamayu sendiri." kata Resi Wesakih lagi. Dua pendekar muda di belakangnya dapat menyusul. Sekarang mereka beriringan.
"Kenapa Umbamayu bertindak senekad ini, bukankah ia sedang terluka? Aku khawatir tindakannya itu akan mencelakakan diri nya sendiri." ujar Umbayani.
"Kita lihat saja nanti, sampai di mana bercakbercak darah ini berakhir. Mudah-mudahan Umbamayu tidak kurang satu apa pun." Resi Wesakih masih memimpin perjalanan. Mengikuti bercak-bercak darah hitam yang semakin jelas di dataran berumput Belantara Sawungan.

*
* *



--¦::: « 11 » :::¦--

Pertarungan masih terus berlangsung. Nilasari Grewek mati-matian mempertahankan Pedang Ular Emas. Kumbayana berusaha keras merebutnya. Serangan-serangannya selalu pupus disambut dengan babatan Pedang Ular Emas.
"Kerahkan terus tenagamu, Nilasari Grewek! Hayo kuras semua! Biar kau cepat-cepat mampus! Haha-ha-ha-ha. ! ujar Kumbayana. Nilasari Grewek marah semakin hebat.
"Lebih baik kita mati bersama! Biar tidak satupun di antara kita menguasai pedang ini Hraaaa!"
Terjangan nenek berlumuran darah ini sangat dahsyat. Kumbayana cepat menyingkir. Namun saat tubuhnya bergerak ke samping Kumbayana sempat melepaskan sebuah hantaman.
"Deees !" Nilasari Grewek memekik. Tubuhnya
ambruk terbanting di tanah. Darah segarpun menyembur. Kumbayana memasang jurus lagi. Nilasari Grewek berusaha bangkit meskipun terhuyung.
"Kalau tahu begini, harusnya kau sudah kubunuh sejak dulu! Rupanya kau lebih licik dari keparat manapun!" gerutu Nenek sesat ini. Kumbayana hanya tertawa mendengar ucapan itu.
"Melumpuhkan engkau, harus menggunakan cara halus. Sekarang diri rentamu sudah tidak berarti lagi. Mampuslah! Hiaaaa....!" Serta merta Kumbayana lepaskan sebuah tendangan geledek.
"Deeeer.....!" Kontan Nilasari Grewek mencelat jauh. Pedang Ular Emas sampai terlepas dari genggamannya. Melihat itupun Kumbayana langsung melompat menyambar pedang tersebut.
Nilasari Grewek betul-betul di buatnya tidak berkutik. Tatkala ia bangkit. Pedang Ular Emas sudah tidak berada di tangannya lagi. Pandangannya yang suram dapat melihat Kumbayana berdiri menghunuskan pedang bersinar keemasan.
Kumbayana mendadak tersentak kaget. Cepat ia membalikkan tubuhnya ke belakang. Mata tuanya dapat melihat sosok tubuh perempuan cantik berdiri berselubung selimut tebal. Saat itu terdengar pula derap kaki kuda melangkah cepat ke arah itu. Kumbayana makin gelagapan. Ia tidak menyangka kalau gadis berselimut yang tidak lain Umbamayu adanya bisa sampai ke tempat itu. Begitu juga dengan Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini langsung turun dari kudanya berjalan melangkah ke arah Kumbayana.
"Syukurlah kau telah merebut Pedang Ular Emas dari tangan Nilasari Grewek. Kebetulan pula Umbamayu berada di sini. Sebaiknya pedang itu diserahkan padanya." ujar Wintara. Jawaban Kumbayana lain. Pedang Ular Emas ditangannya membersit ke arah dada Pendekar Kelana Sakti....
"Weees!" Wintara sudah membayangkan dan berhati-hati. Ia melesat mundur ke belakang.
"Apa yang kau lakukan ini, Kumbayana. Kau...!" Wintara keheranan. Begitu juga dengan Umbamayu. Perempuan ini cepat melompat maju, tapi Kumbayana cepat pula menghunuskan pedangnya ke arah mereka.
"Jangan mimpi orang-orang pedang ular akan mendapatkan kembali pedang ini. Sekarang urusannya jadi lain. Ingin mendapatkan pedang ini harus berani menukar dengan kepala kalian." ujar Kumbayana.
"Kau bergurau, Kumbayana?" Wintara kernyitkan alis. Kumbayana tidak menjawab, malah ia lepaskan babatan pedang dengan keras. Angin berdesing mendorong tubuh Wintara beberapa langkah ke belakang....
"Siuuuuut!" Benar-benar dahsyat! Dan tidak main-main.
"Hua-ha-ha-ha ! Kau pikir aku ini anak ingusan yang suka bercanda? Jangan berolok-olok. Terus terang, aku sengaja ingin memiliki pedang ini. Siapapun yang menghalangi, akan tahu akibatnya." jawab Kumbayana. Wajah Buto Ijo nya menyeringai. Umbamayu menatap geram. Di tubuhnya masih menancap tujuh batang pedang kecil. Tapi tidak nampak karena terselubung selimut tebal.
"Kami memang telah salah menilai orang. Wajah buruk memang selalu menunjukkan sifat aslinya seperti wajah yang kau miliki itu, Kumbayana." kata Wintara. Matanya terus mengawasi Pedang Ular Emas di tangan Kumbayana.
"Berani menghina wajahku, itu tandanya kalian harus minggat ke akherat! Heaaaa.....!" Serta merta Kumbayana maju menyerang. Wintara bergeser ke samping seraya ia menarik tubuh Umbamayu menghindari sambaran pedang. Tapi mendadak Kumbayana memekik sambil tubuhnya ambruk berguling. Pedang Ular Emas terlepas dari tangannya. Pedang itu tergeletak persis di antara mereka.
"Heh, keparat Kumbayana. Ada satu yang tidak kau ingat." Nilasari Grewek nampak berdiri tegak. Rupanya dialah tadi yang melepaskan hantaman ke arah Kumbayana. Nenek ini penuh darah di mulutnya. Kumbayana meringis berusaha bangkit.
"Kau melupakan kalau Nilasari Grewek masih memiliki pukulan dahsyat bernama Tombak Gunung! Hik-hik-hik-hik....! Sudah kau rasakan tadi, bukan?" ujar Nilasari Grewek. Ia langsung menoleh ke arah pedang yang tergeletak di tanah. Wintara bersama Umbamayu bersiap siaga menyambar pedang tersebut. Suasana jadi nampak tegang.
"Heh, Srikaton Munggel. ternyata kau masih hidup pula. Kukira kau sudah menjadi makanan cacing." Terhadap Umbamayu, Nilasari Grewek masih menyebut Srikaton Munggel.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau jangan turut campur urusanku! Menyingkirlah!" Sambil berkata begitu, Nilasari Grewek melompat bermaksud menyambar Pedang Ular Emas yang tergeletak di tanah. Tapi rupanya Umbamayu tidak kalah siap. Perempuan berselimut kain tebal ini ikut melompat. Juga Kumbayana, meskipun tubuhnya terasa lemas, ia ikut berlomba merebut Pedang Ular Emas.
Sebagai seorang pendekar tua yang banyak berpengalaman, Nilasari Grewek tidak langsung menyambar pedang itu. Tapi terlebih dulu ia melepaskan tendangan memutar.
Wintara yang sudah melihat gelagat kurang baik, cepat melompat menyambar tubuh Umbamayu. Sehingga tendangan memutar Nilasari Grewek luput dan hanya mengenai di tubuh Kumbayana.
Usaha yang dilakukan Nilasari Grewek ini sangat sempurna. Dengan begitu semua saingannya tersingkir, maka dengan leluasa dapat menyambar Pedang Ular Emas. Begitu Pedang Ular Emas berada di tangannya Nilasari Grewek langsung menyabet ke samping....
"Craaaas....!" Malang bagi Kumbayana. Ia tidak sempat menghindari sambaran pedang yang mengarah ke tenggorokannya. Tidak pula sempat memekik ketika tubuhnya ambruk bersama dengan kepalanya yang menggelinding bagai bola ke tanah.
Darah menghambur di sekitar tempat itu. Wintara menatap tenang. Umbamayu bersiap-siap menghadapi Nilasari Grewek. Melihat dua orang inipun Nilasari Grewek tidak tanggung-tanggung menerjang. Babatan pedangnya membersit menimbulkan suara angin yang bergemuruh. Mengeluarkan cahaya emas menyilaukan.
"Mundduuuur.....!" teriak Wintara sambil melesat ke belakang. Umbamayu ikut berjingkat menghindari sambaran pedang. Selama tubuhnya melesat, perempuan itu mencabut dua batang pedang pendek yang menancap di pangkal lengannya. Lalu dengan reflek Umbamayu melemparkannya ke depan....
"Creeep....! Creeeep.....! Wuaaaaa !"
Nilasari memekik hebat. Lemparan kedua pedang kecil Umbamayu tepat menembus di kedua biji mata Nilasari Grewek. Nenek berlumuran darah ini menggelepar-gelepar memekik. Matanya gelap serta perih.
Umbamayu menatap ngeri. Bagaimanapun Nilasari Grewek adalah mantan gurunya. Ia pernah hidup selama tiga puluh tahun bersamanya. Tapi setelah mengingat tindak tanduknya yang telah memisahkan kehidupannya dari keluarga, Umbamayu jadi berubah murka.
Ketika ia hendak melepaskan serangan, Wintara menahan Umbamayu. Tindakan Umbamayu itu akan membawa celaka. Sebab, meskipun Nilasari Grewek telah buta parah, ia terus memutar Pedang Ular Emas. Tindakan itu memang untuk melindungi tubuhnya dari serangan. Apalagi sebelah lengannya terus melepaskan hantaman Tombak Gunung. Dia lepaskan hantaman itu kemana suka. Wintara dan Umbamayu malah berbalik kewalahan menghadapi hantamanhantaman tersebut. Hantaman Tombak Gunung yang selalu nyeplos itu mengenai batang-batang pohon besar. Mengakibatkan batang-batang pohon itu tumbang berdegum di tanah, bahkan ada yang menimpa tubuh Kumbayana.
Sungguh dahsyat, Nilasari Grewek mengamuk sejadi-jadinya. Baik Wintara dan Umbamayu tidak ada yang berani mendekat.
Mereka hanya menyambut dengan hantamanhantaman jarak jauh.
Umbamayu mencabut sekaligus empat batang pedang pendek yang masih menancap di tubuhnya. Satu persatu pedang-pedang itu dilemparkan mengarah pada Nilasari Grewek bagai senjata rahasia.
Namun pedang-pedang kecil berpentalan saat membentur putaran Pedang Ular Emas di tangan Nilasari Grewek. Bahkan pedang-pedang kecil itu patah berkeping-keping.
Melihat itupun Wintara segera lepaskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Hreaaaa.....!" Kedua telapak Wintara maju ke depan. Hantaman itu membentur segulungan sinar keemasan. Benturannya terdengar nyaring. Manakala Nilasari Grewek semakin kuat memutar Pedang Ular Emas, Wintara pun terus melancarkan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaar....! Bledaaar ! BledaaaaaaSelama hantaman itu membentur keduanya terdorong mundur. Di luar dugaan pula Nilasari Grewek memuntahkan darah. Tanah dimana ia berpijak telah penuh dengan lumuran darah.
Wintara sendiri sudah benar-benar kehabisan tenaganya. Tidak mungkin ia terus menerus lancarkan Tinju Bayu Delapan Penjuru. Ia hanya membuang tenaganya dengan percuma. Sementara putaran Pedang Ular Emas mendengung kian kencang.
Umbamayu tidak tahu apa yang mesti ia lakukan. Nilasari Grewek memang bukan tandingannya. Apalagi ia menggunakan Pedang Ular Emas. Dirinya seakan bukan apa-apa bagi Penguasa Gunung Tunggul itu. Ia hanya menatap bagaimana Wintara menghadapi serangan-serangan Nilasari Grewek.
Sekarang ia agak terkejut melihat jurus-jurus baru Wintara. Dirinya yang berdiri begitu dekat dengan Pendekar Kelana Sakti seperti terasa dingin. Jelas hawa dingin itu berasal dari tubuh Wintara.
Hantaman-hantaman Tombak Gunung menyebar kemana-mana, Wintara tahu benar akan akibat hantaman tersebut, maka dengan mengerahkan seluruh tenaga sisanya, ia lepaskan hantaman yang paling dahsyat. Hantaman yang selama ini menjadi andalan dan jarang ia gunakan kecuali dalam keadaan terdesak seperti ini.
"Hraaaaaaa.....!" Serta merta Wintara berteriak menghempaskan pukulan andalannya yang bernama: Selaksa Bayu Penjerat nadi, maka "Bluaaaaaar. !" Seketika Nilasari Grewek memekik. Mendadak seluruh tubuhnya kaku. Jalan darahnya seakan terhenti. Lengannya yang menggenggam Pedang Ular Emas berputar lemah. Kemudian berhenti. Tubuh renta Nilasari Grewek kaku bagai seonggok patung. urat-uratnya menonjol seakan hendak keluar dari kulitnya. Di luar dugaan pula Pedang Ular Emas jatuh ke tanah. Serta merta Umbamayu melompat menyambar Pedang Ular Emas itu, kemudian langsung membabat menyilang....
"Craaaas!" Tubuh Nilasari Grewek terpotong menjadi dua. Darah menyembur bagai air mancur mengotori wajah cantik Umbamayu.
Sementara itu Wintara jatuh terduduk di tanah. Ia baru saja mengadu nyawa. Untunglah hantaman Selaksa Bayu Penjerat Nadi tepat mengenai sasarannya. Kalau tidak hantaman itu akan berbalik memakan dirinya sendiri. Untuk itu, Wintara menarik nafas dalamdalam. Dalam hati Pendekar kelana Sakti ini, merasa bersyukur. Karena telah menunaikan tugasnya dengan jurus maut tersebut.
Umbamayu berdiri terpekur menatap dua potong tubuh Nilasari Grewek. Pedang Ular Emas di tangannya masih membaur darah. Adisena yang sedari tadi menyaksikan pertempuran itu merungkut takut. Ia tidak berani keluar dari balik persembunyiannya.
"Umbamayu... Kau tidak apa-apa?" ujar Wintara yang sudah dapat bangkit berdiri. Ia paksakan dirinya melangkah ke arah Umbamayu.
"Kau sangat hebat, Pendekar Kelana Sakti. Tanpa adanya kau, setan tua ini tidak akan binasa. Aku sangat malu bertemu dengan kau." jawab Umbamayu.
"Kenapa harus malu? Tindakanmu tadi sudah cukup sebagai penebus dosa-dosamu. Ternyata kau seorang perempuan hebat." tukas Wintara. Lalu ia menoleh ke arah Adisena.
"Keluarlah, Adisena. Untuk apa bersembunyi terus. Semua iblis telah binasa. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan." Adisena masih gemetar. Namun ia beranikan diri keluar dari persembunyiannya. Melihat itupun Wintara hampir tertawa.
"Sebenarnya kaupun cukup berani, Adisena. Dan lagi..." Ucapan Wintara terputus, karena didengarnya suara langkah-langkah orang menuju ke tempat itu. Kiranya mereka adalah rombongan Resi Wesakih. Umbayani langsung berlari ketika sampai ke tempat itu. Namun setelah melihat wajah Umbamayu berlumur darah, gadis ini tidak berani mendekat. Terlebih-lebih Umbamayu menggenggam Pedang Ular Emas. Mereka melihat pula sosok Nilasari Grewek dan Kumbayana tewas mengerikan. Semuanya saling bisu menatap Umbamayu yang berdiri menatap Umbayani. Arso Lumbing melangkah ke samping Umbamayu. Perempuan ini langsung jatuh ke dalam pelukan Arso Lumbing.
"Benarkah dia Umbayani adikku?" Suara Umbamayu bergetar.
"Benar, Umbamayu. Dan kau bukan Srikaton Munggel lagi. Kau Umbamayu." jawab Arso Lumbing. Umbamayu tersenyum getir. Perlahan ia menyerahkan Pedang Ular Emas pada Umbayani. Gadis ini tidak perduli dengan pemberian itu, Umbayani malah berlari mendekati Umbamayu, dan ia memeluknya erat-erat. Umbamayu balas memeluk.
"Maafkan aku, Umbayani. Semua sudah terjadi." bisik Umbamayu.
"Aku tidak perduli. Asalkan kita berkumpul lagi, aku akan senang. Dan harus ingat, kau tengah hamil." balas Umbayani menderaikan air mata.
"Ternyata kau seorang yang hebat. Dapat mengalahkan Nilasari Grewek, musuh kita." ujar Umbayani lagi.
"Kau salah Umbayani. Seharusnya kata-kata itu ditujukan pada sobat Wintara. Tanpa dia, kita semua bakal binasa. Dan ada satu permintaanku untukmu." bisik Umbamayu.
"katakanlah..." tuntut Umbayani.
"Meski tidak memiliki kepandaian, dia seorang pemberani dan jujur. Bagaimana kalau kau kujodohkan dengannya." Suara Umbamayu agak keras. Semua orang dapat mendengarnya.
"Aah..." Pipi Umbayani memerah.
Adisena salah tingkah. Yang lain tertawa. Suara tawa mereka berderai memenuhi suasana Belantara Sawungan.
Arso Lumbing langsung memapah tubuh Umbamayu dan menaiki ke atas kuda yang sebenarnya milik Wintara. Pemuda ini hanya menuntun kuda itu berjalan. Lainnya berjalan mengikuti.
Adisena berjalan paling belakang. Ia agak kikuk mengikuti mereka. Apalagi setelah mendengar gurauan Umbamayu. Selama melangkah pikirannya tidak menentu.
"Adisena, ayo cepat. Galon pengantin tidak boleh lemas begitu." teriak Umbayani. Jantung Adisena seperti kena sambar geledek. Dilihatnya Umbayani berdiri menunggu. Maka ia berlari sekencangkencangnya mendekati gadis itu.

TAMAT



INDEX WINTARA
Dewi Jalang Dari Gunung Tanggul --oo0oo TAMAT

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers