Life is journey not a destinantion ...

Alap-Alap Liang Kubur

INDEX WINTARA
Dua Pendekar Buntung --oo0oo Dewi Jalang Dari Gunung Tanggul

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

Langit mendung menutupi suasana tanah pekuburan. Hari itu tanah pekuburan nampak ramai. Semua orang berdiri mematung menghadapi mayat membujur terbungkus kain kafan. Di sebelah mayat telah tersedia liang lahat yang cukup dalam. Hampir seluruh mata memandangi mayat pucat pasi itu.
Hari itu seorang putri tunggal Ki Wirayuda telah tewas di tangan seorang tokoh berilmu tinggi. Padahal Ki Wirayuda sendiri seorang tokoh silat yang sangat disegani. Selain berilmu tinggi, ia juga memiliki banyak cabang perguruan. Oleh karena itu kebanyakan yang menghadiri pemakaman tidak lain orangorang persilatan. Mereka benar-benar turut belasungkawa.
Istri Ki Wirayuda tidak mengikuti upacara pemakaman. Ia sengaja diam dalam sebuah kereta. Entah sudah berapa kali ia tidak sadarkan diri. Begitu juga Ki Wirayuda. Ia hampir tidak tahan saat jenasah mulai dimasukkan ke dalam liang kubur.
Pemimpin upacara pemakaman melihat lakilaki yang tengah dilanda duka ini meninggalkan keramaian. Tidak satupun dari para pelayat itu berani menyapa atau mengikuti ke mana ia pergi. Mereka hanya menunduk hormat serta memberi jalan.
Suara tanah yang mulai menguruk kembali liang kubur menggetarkan jantung Ki Wirayuda. Ia berusaha untuk tidak mendengarnya. Langkahnya semakin cepat menuju sebuah kereta. Istrinya sudah siuman dan tengah menunggu kedatangan Ki Wirayuda.
Tapi sebelum ia mendekati kereta, Ki Wirayuda menatap langsung seorang tua telanjang dada berdiri di bawah pohon kering memegangi sebuah cangkul bernoda lumpur. Ki Wirayuda masih ingat akan siapa gerangan orang tua itu. Dialah yang telah mengabdikan dirinya selama berpuluh-puluh tahun di tanah pemakaman ini. Tugasnya sebagai penggali kubur. Untuk anak tunggal Ki Wirayuda, dia pula tadi yang menggalinya.
"Terimalah ini, Ki Karantungan. Anggap saja sebagai upah tambahan dariku." kata Ki Wirayuda sambil memberikan beberapa keping uang logam ke dalam tangan orang tua itu.
"Terimakasih. Tuan Saya berterima kasih sekali. Dan juga turut belasungkawa." jawab orang tua bernama Ki Karantungan. Sambil menggenggam erat uang pemberian Ki Wirayuda.
"Aku betul-betul merasa kehilangan anakku, Ki..." ujar Ki Wirayuda. Pandangannya pada sebuah kerumunan yang mengelilingi makam putra tunggalnya.
"Bagaimanapun aku tidak akan terima atas perlakuan ini." katanya lagi. Ki Karantungan menelan ludah. Lalu...
"Siapa orang yang telah berbuat keji ini? Kematian putra tuan sangat mengerikan," tanya Ki Karantungan.
Ki Wirayuda tidak langsung menjawab. Kematian putranya masih membayang terus. Dia tidak bisa melupakan bagaimana keadaan jasad putra tunggalnya saat ditemukan. Tubuh anaknya hampir putus menjadi dua. Dalam hal ini Ki Karantungan sendiri dapat melihat raut wajah Ki Wirayuda diliputi oleh dendam.
"Ini semua perbuatan Gentara Karma! Dia harus menebus nyawa anakku!" sumpah Ki Wirayuda dengan tubuh gemetar.
"Astaga...! Benarkah ini perbuatan Gentara Karma?" Ki Karantungan si penggali kubur tak percaya.
"Sediakan saja satu liang kubur lagi. Setelah itu kau akan tahu mayat siapa yang ku bawa nanti." jawab Ki Wirayuda. Setelah itupun ia melangkah lagi menuju kereta di mana istrinya telah menunggu.
Upacara pemakaman telah selesai, para pelayat mulai menghambur meninggalkan gundukan tanah yang masih baru. Semuanya mendekati ke arah di mana Ki Wirayuda berdiri di samping kereta. Si Penggali kubur Ki Karantungan masih berdiri di bawah pohon memperhatikan mereka.
"Guru... Kita harus mencari Gentara Karma sekarang juga. Kematian den Arimbang mesti diselesaikan cara persilatan." Begitu kata mereka ketika mendekat di hadapan Ki Wirayuda.
"Kalian bicara apa! Gentara Karma bukan tandingan kalian. Mencari keparat itu sama saja mengantarkan nyawa. Biar aku sendiri yang akan berhadapan dengannya!" jawab Ki Wirayuda. Orang-orang itu yang ternyata para muridnya tidak berani membantah.
"Kakang... Gentara Karma harus mampus hari ini juga. Bawa mayatnya ke hadapanku." kata wanita dalam kereta itu.
"Tenanglah, istriku. Anjing itu takkan hidup sampai sore nanti.!" Ki Wirayuda menghibur istrinya. Setelah berkata begitupun ia tidak memperdulikan semua para muridnya. Ia terus melangkah menuju di mana kudanya tadi ditambatkan.
"Kalian semua boleh pulang boleh tetap menunggu di sini. Dan jangan coba-coba ada yang membuntuti," kata Ki Wirayuda dengan nada dingin. Mendengar ucapan itupun semua muridnya tertunduk seakan mematuhinya. Maka tanpa bicara apa-apa lagi laki-laki setengah tua itu menaiki kudanya. Dengan sekali helaan saja, kuda itu berlari kencang. Semua mata memandang kepergian Ki Wirayuda. Lalu setelah Ki Wirayuda tidak nampak dari pandangan. Mereka berbalik memandang seorang perempuan dalam kereta.
Wajah perempuan itu sangat pucat. Kedua matanya membengkak akibat banyak mengeluarkan air mata. Saat itu ia masih sesenggukan,...
"Pulang saja. Tidak perlu menunggu guru kalian di sini. Dia pasti akan pulang menyeret Gentara Karma." katanya dengan pandangan kuyu. Dua orang penarik kereta langsung mengendalikan kuda penarik. Yang lain berjalan membuntuti kereta itu. Dalam sekejap tanah pemakaman kembali sunyi.
Kepergian mereka bagaikan serombongan iringiringan yang semakin jauh meninggalkan tanah pekuburan. Si penggali kubur menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian mereka. Ia menghela napas meninggalkan pohon kering. Cangkulnya yang bernoda tanah basah tersandang di bahu. Langkah-langkahnya yang tegap menginjak tanah pemakaman. Ditatapnya pula kuburan putra tunggal Ki Wirayuda. Makam itu menyebar bau wangi kembang segar.
Di sekitarnya nampak kuburan-kuburan lain yang memenuhi tanah pemakaman. Patok-patok nisan tumbuh malang melintang menghalangi jalannya. Ki Karantungan menurunkan cangkulnya di tanah agak lapang. Sampai di situ ia menggali lagi. Tenaga rentangannya dikerahkan untuk membuat satu lubang lagi. Benturan-benturan cangkulnya menghantam permukaan tanah. Mengeruk gumpalan-gumpalan tanah merah.
"Hhhh... Entah siapa yang bakal jadi penghuninya nanti." gumam Ki Karantungan. Keringat membanjir di sekujur tubuhnya. Manakala ia terus menghentakkan cangkulnya semakin kuat dan cepat. Tanpa mengenal lelah, sekalipun matahari mencorot terik membakar kulit hitamnya.
Sementara itu Ki Wirayuda memacu kuat-kuat kuda tunggangannya. Saat ia mulai masuk daerah lembah. Selama itu pula ia seperti tidak sabaran untuk menemui Gentara Karma. Pandangannya selalu lurus ke depan. Menerobos hutan belukar. Juga alang-alang yang menghampar menghalangi langkah-langkah kudanya.
Derap kaki kuda seakan memecahkan kesunyian pekatnya hutan. Apalagi teriakan-teriakan helaan Ki Wirayuda yang menggelegar. Burung-burung dan para penghuni hutan seakan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah pasti kedatangan laki-laki itu menjumpai Gentara Karma tidak lain untuk membalas dendam atas kematian putra tunggalnya. Dia sudah membayangkan bagaimana harus memperlakukan terhadap pembunuh itu. Apalagi Ki Wirayuda sudah mencium kalau Gentara Karma salah seorang tokoh sesat berilmu tinggi.
Sebagai seorang pentolan persilatan, ia akan mengadu nasib untuk menghadapi Gentara Karma. Kalau pembunuh itu telah memutus duakan tubuh anaknya, mungkin Ki Wirayuda akan membalas dengan memenggal kepalanya atau mencincangnya sekalian!
Untuk itulah Ki Wirayuda semakin memacu kudanya. Hutan yang begitu lebat menakutkan dilewati. Alang-alang bercampur duri telah diterjang. Tidak perduli permukaan tanah yang berbaur dengan lumpur menghambat perjalanannya. Ki Wirayuda tahu benar di tempat tinggal Gentara Karma. Tidak sulit untuk mencarinya. Saat itupun sudah nampak sosok bangunan runtuh berdiri usang. .....Ki Wirayuda dapat melihat tiga orang berjagajaga di sekitar bangunan usang tersebut. Ia tidak peduli apapun yang dilihatnya. Ia terus nekad membawa kudanya mendekati bangunan itu.

*
* *



--¦::: « 2 » :::¦--

Tiga orang menghadang saat Ki Wirayuda memasuki pelataran bangunan usang. Kudanya meringkik-ringkik saat ketiganya mencabut senjata.
"Bagus. Kau hanya mengantarkan nyawa mendatangi tempat kami, Ki Wirayuda. Ha-ha-ha-ha... Kau memang pantas mampus untuk menemani anakmu!" bentak ketiga orang itu. Senjata-senjata mereka yang berupa golok panjang sangat tajam berkilat. Tanpa membabatkan kudanya lagi Ki Wirayuda langsung melompat dari atas pelana. Dia langsung berdiri menghadapi ketiga orang itu. Sorot matanya nanar serta buas.
"Suruh keluar Gentara Karma. Kalian boleh ikut mampus nanti bersamanya!" jawab Ki Wirayuda. Sebelah tangannya sigap menarik gagang pedang. Ketiga orang penghadangnya menyambut lebih dulu.
"Menghadapi kami bertiga belum tentu kau sanggup!" Salah seorang dari mereka menyerang dengan babatan golok. Yang dua lagi menyerang dari posisi lain. Babatan golok mereka berdesing bareng mengarah kepala Ki Wirayuda.
Laki-laki yang sudah dipengaruhi oleh dendam ini cepat berkelit ke bawah. Pedangnya menangkis keras sambaran-sambaran golok. Menghadapi serangan dari tiga arah yang berlawanan, sama sekali bukan halangan. Karena dalam waktu yang sangat cepat ia sudah dapat menjatuh gulingkan dua orang lawan. Sambaran balasan pedangnya jangan dikata, sekalipun tiga orang lawannya menggunakan jurus-jurus golok yang sangat tangguh, Wirayuda dapat mematahkan serangan lawan-lawannya.
Tidak percuma Ki Wirayuda memimpin beberapa perguruan. Juga tidak sedikit tokoh sesat yang bertekuk lutut atau tewas di bawah kakinya. Kiranya ia memiliki ilmu pedang yang sangat tangguh. Setiap sambaran pedangnya berkelebat bagai serentetan sinar siap menumbangkan lawan.
Entah pada jurus yang keberapa, tiga orang lawannya bergelintingan tewas. Rata-rata tenggorokan mereka tersayat dan menyemburkan darah. Ki Wirayuda menatap mereka dengan posisi masih mementang jurus pedangnya.
"Plok...! Plok...! Plok...!" Ki Wirayuda mendengar suara tepukan tangan, cepat ia menoleh ke arah suara. Darahnya seperti mendidih saat munculnya seseorang bertampang menyeramkan tahu-tahu berdiri di tengah-tengah pintu bangunan. Serta merta Ki Wirayuda menudingkan pedangnya ke arah orang itu.
Gentara Karma! Kau pikir setelah membunuh anakku kau dapat hidup tenang?... Jangan beranggapan begitu!" Ki Wirayuda geram. Laki-laki yang berdiri di tengah-tengah pintu bangunan usang itu hanya tersenyum.
"Kematian putramu itu atas kesalahannya sendiri. Siapa suruh coba-coba mengusik ketenangan kami. Akupun tidak bermaksud membunuhnya saat itu. Tapi ilmu pedangnya sangat membuat aku gusar. Cara menghentikannya harus membunuhnya terlebih dahulu. Maafkan atas kekhilafan ku ini, Ki Wirayuda,..." Tenang sekali Gentara Karma bicara. Ki Wirayuda tambah geram.
"Untuk itu kaupun harus tahu kalau kedatanganku ini akan menagih hutang darah. Semuanya akan ku maafkan bila kau benar-benar telah mampus di tanganku!" Ki Wirayuda melompat maju. Serta merta sambaran pedangnya berputar. Tapi Gentara Karma cepat pula lompat menghindar.
"Tunggu, Ki...! Bukankah sudah cukup hutang darah ini kau tebus dengan tiga orang anak buahku?" sahut Gentara Karma. Lentingan tubuhnya tadi cukup jauh menghindari sambaran pedang. Ki Wirayuda cepat berbalik.
"Seratus orang macam mereka pun belum bisa menghapuskan hutang darah ini dibanding dengan satu nyawa anjingmu, Gentara Karma!" Ki Wirayuda mengarahkan pedangnya maju ke depan. Leretan sinar menjurus dan hampir tidak dapat dihindari oleh orang menyeramkan macam Gentara Karma.
"Kalau begitu, apa boleh buat. Kita memang harus bertempur mati-matian." jawab Gentara Karma. Iapun tidak kalah hebat mulai mengeluarkan jurusjurus mautnya. Menghadapi serangan-serangan Ki Wirayuda, Gentara Karma sengaja tidak menggunakan senjatanya. Padahal kalau ia mau, Gentara Karma dapat menarik langsung gagang golok panjangnya dari pinggang.
Ia sengaja menghadapi lawannya dengan tangan kosong. Hal itu betul-betul membuat Ki Wirayuda kehilangan muka. Karena ia tahu, Gentara Karma salah seorang ahli dalam menggunakan golok. Semua orang persilatan tahu. Kalau Gentara Karma memiliki jurus yang sangat ditakuti.
Begitu juga dengan Gentara Karma. Ia bukannya tidak tahu kalau pentolan rimba persilatan ini hampir merajai seluruh tanah Sungkawarang dalam ilmu pedang. Ia harus hati-hati dalam menghadapi setiap sambaran pedang. Maka nampaklah lesatanlesatan tubuh Gentara Karma yang begitu lincah. Babatan pedang Ki Wirayuda bergerak tanpa mengenal ampun. Sambaran pedangnya berdesing nyaring mengikuti ke mana gerak gerik lawannya bergeser menghindar.
Sudah tentu Gentara Karma yang menghadapinya tanpa menggunakan senjata itu merasa kewalahan. Api dendam yang membakar jantung Ki Wirayuda mempengaruhinya. Sehingga setiap serangannya nampak ganas dan mematikan.
Demi mempertahankan nyawanya, Gentara Karma melesat mundur ke belakang. Dalam pada waktu itupun ia cepat menarik goloknya. Terlihat bilah golok yang panjang berwarna hitam namun panjang. Golok itu langsung menyambut sambaran pedang Ki Wirayuda. Benturanpun tak dapat dielakkan. Kedua senjata itu beradu memercikkan bunga api.
Dengan menggunakan senjata goloknya, Gentara Karma lebih mudah membalas serangan. Ki Wirayuda agak tersentak saat senjatanya beradu saling bentur. Dirasakannya sambaran golok Gentara Karma disertai dengan tenaga dalam penuh. Menghadapi itu pula Ki Wirayuda terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya.
Setiap sambaran pedang bergerak sangat cepat. Tidak terlihat lagi bentuk pedang di tangan Ki Wirayuda. Yang nampak hanya leretan-leretan sinar putih disertai desingan angin yang bergerak menggetarkan senjata lawan.
"Mana jurus maut mu yang sangat ditakuti orang-orang persilatan, Gentara Karma...! Mana! Tunjukkan jurus Golok Pembelah Langit padaku!" bentak Ki Wirayuda. Gentara Karma melesat ke atas. Tahutahu saja ia sudah hinggap di atas reruntuhan atap bangunan. Karuan saja Ki Wirayuda lompat menyusul.
"Menghadapi orang macam kau tidak perlu aku susah-susah mengeluarkan jurus Golok Pembelah Langit. Dengan jurus dasarpun kau pasti mampus!" Ujar Gentara Karma. Sudah tentu ucapan itu membakar telinga Ki Wirayuda. Maka dengan sengit ia lancarkan Sapuan Pedang Halilintar. Gentara Karma cobacoba menyambut. Tapi ia tidak menyangka kalau tubuhnya hampir terpelanting jatuh. Bagusnya ia memiliki ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Gentara Karma tetap dapat mengendalikan dirinya berdiri pada puncak atap.
Pertarungan di atas reruntuhan bangunan tidak dapat dipastikan siapa yang bakal menang. Keduanya nampak begitu sengit saling lancarkan serangan. Babatan-babatan pedang serta sambaran golok berkelebat saling bentur. Teriakan-teriakan mereka seakan meruntuhkan bangunan usang tersebut. Manakala mereka selalu melompat-lompat dari sasaran.
"Bangsat! Rupanya kau tidak boleh dianggap main-main, Ki Wirayuda! Rasakan ini! Hreaaaaa...!" Teriak Gentara Karma. Tidak tanggung-tanggung lagi ia lepaskan juga jurus andalannya itu. Golok berwarna kehitaman yang kini merupakan seleret sinar gelap menyeruak menimbulkan suara yang bergemuruh.
"Yeaaaaaaa...!" Ki Wirayuda kepalang menyambut. Diam-diam pula ia melepaskan jurus pedang yang bernama Kilat Menggulung Hujan. Pedangnya bergerak zig zag, namun kelihatan begitu cepat menjurus ke segala arah. Tapi yang pasti menyambut hantaman Golok Pembelah Langit.
"Bledaaaaar...! Sreeet...! Craaaas...!" benturan senjata mereka saling bentur. Kali ini benturannya lebih keras. Benturannya menimbulkan suara yang amat memekakkan telinga. Tapi tak urung juga keduanya jatuh menggelinding dari reruntuhan atap bangunan itu. Senjata-senjata mereka pun berpentalan berdenting nyaring di tanah pelataran berbatu.

*
* *



--¦::: « 3 » :::¦--

Kedua jago dari aliran yang berbeda ini berebut bangkit. Mereka saling tatap dan mementang jurus. Senjata-senjata mereka menyilang menancap di tanah. Bibir Ki Wirayuda bergetar. Ia menahan sakit akibat sabetan golok Gentara Karma yang melukai di bagian pangkal lengannya. Sungguh parah dan nyaris putus.
Terlebih-lebih Gentara Karma. Sorot matanya menandakan rasa sakit yang sangat hebat. Sambaran pedang Ki Wirayuda mengakibatkan perutnya robek dan menghamburkan darah. Namun luka itu sama sekali tidak dirasakannya.
"Kita sama-sama telah terluka, Ki Wirayuda. Sebentar lagi kita berdua bakal mati. Bagiku tidak ada untung ruginya bila tewas." Gentara Karma menyeringai.
"Kau boleh mampus! Tapi aku tidak!" jawab Ki Wirayuda menatap garang. Gentara Karma tidak perduli dengan usus terburai bercampur darah di perutnya. Sikapnya malah seperti menantang. Hal itu betulbetul membuat Ki Wirayuda semakin murka.
Sekalipun Ki Wirayuda hampir kehilangan sebelah lengannya, ia tidak ragu-ragu menerjang dengan sebuah hantaman yang paling keras. Di tempat itu pula lawannya tetap berdiri menyambut. Hantaman Ki Wirayuda "dapat ditepis, lalu Gentara Karma berusaha membalas. Tapi darah yang keluar begitu banyak membuat dirinya semakin lemah.
Tendangan Ki Wirayuda yang bergerak cepat tanpa bisa dihindari menghantam tenggorokannya. Maka tak kepalang tubuh Gentara Karma mencelat membentur dinding bangunan usang itu. Tak pelak lagi tubuh lelaki menyeramkan ini ambruk dengan kepala remuk. Ki Wirayuda sendiri sudah kehabisan tenaga. Ia tidak mampu melancarkan serangan lagi. Ia hanya menatap Gentara Karma berusaha bangkit dengan payah.
"He-he-he-he... Aku puas mati di tangan mu, Ki Wirayuda. Ayo jangan tanggung-tanggung. Aku sudah siap menerima ajal." ujar Gentara Karma. Wajahnya sudah tidak karuan tertutup oleh darah. Katanya itu jelas menantang.
"Kau memang pantas mampus, Keparat. Kematianmu di sini tidaklah menyenangkan.
Istriku juga orang-orang persilatan harus menyaksikan." kata Ki Wirayuda sambil melangkah. Nampak sekali ia menahan sakit pada pangkal lengannya.
"Lebih mengasyikkan lagi. Di sana kau boleh sesuka hatimu. Mau penggal mau potong atau cincang, terserah." Jawab Gentara Karma sembrono.
"Kau akan lebih parah dari apa yang kau bayangkan!" ujar Ki Wirayuda, kuda miliknya mendatangi. Ia meringkik-ringkik puas melihat majikannya telah mengakhiri pertarungan. Ki Wirayuda meraih segulungan tambang yang tergantung di pelana.
"Tapi yang jelas kau bakal mampus tersiksa!" kata Ki Wirayuda lagi. Dengan tali itu ia mengikat seluruh tubuh Gentara Karma. Lakilaki ini sudah tidak berdaya. Tapi Gentara Karma masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membuat Ki Wirayuda jengkel.
"Keparat kau. Kenapa musti diikat macam maling jemuran? Aku sudah menyerahkan diri, tak bakal aku kabur!"
"Kau boleh mengoceh apa saja, Gentara Karma. Memaki diriku juga boleh!" ucap Ki Wirayuda tak perduli. Setelah selesai mengikat, tokoh sakti ilmu pedang ini menariknya.
Kemudian mengaitkan pada kudanya. Lalu sendiri menunggangi.
Gentara Karma tidak bergerak. Apalagi saat Ki Wirayuda menghela kudanya kuat-kuat. Lari kuda itu sangat cepat menyeret tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha...!" Tubuh tak berdaya itu tertawa terbahak-bahak. Padahal tubuhnya terasa hancur membentur permukaan tanah berbatu. Belum lagi ketika ia mulai terseret pada tanah berumput penuh duri. Bilur-bilur berlumur darah memenuhi sekujur tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha... Rasanya aku tidak bakal mati. Yang kau lakukan ini sangat ringan bagiku!" celoteh Gentara Karma. Tubuhnya terseret makin deras. Terdengar benturan benturan nyaring saat tubuh penuh darah itu menerpa bebatuan dan batang-batang pohon kering.

* * *



Langit memerah. Tapi suasana tanah pekuburan kembali ramai. Orang-orang persilatan kembali berdatangan. Ki Karantungan si penggali kubur berdiri menatap kedatangan mereka. Sebuah lubang kubur menganga tersedia di hadapannya. Keringat Ki Karantungan belum kering. Juga nafasnya masih memburu setelah menguras tenaganya untuk menggali lubang itu. Ditatapnya pula sebuah kereta berlari kencang menuju tempat itu. Dari situ Ki Karantungan dapat melihat seorang perempuan yang tidak lain istri Ki Wirayuda duduk dalam kereta. Semua orang persilatan seperti tidak sabaran menunggu sesuatu. Mereka semua sudah berkumpul tepat pada makam Arimbang.
Perempuan itu turun dari kereta dengan tergesa-gesa. Ia langsung berlari mendekati Ki Karantungan yang berdiri menghadapi sebuah lubang.
"Mana Ki Wirayuda? Mana dia...?" tanyanya terburu-buru.
"Belum datang. E-e... benarkah ia telah menewaskan Gentara Karma?" Ki Karantungan balik bertanya.
"Kami datang kembali ke sini karena mendengar kabar dari para penduduk Desa Sungkawarang. Mereka pasti tidak bohong." jawab istri Ki Wirayuda. Si penggali kubur manggut-manggut.
"Sukurlah... sebenarnya aku khawatir sekali terhadap dirinya."
"Demikian pula aku, Ki.... Kalau Ki Wirayuda tidak datang sore ini, terpaksa aku yang kan turun tangan." ujar perempuan ini.
Ki Karantungan tersenyum. Wajah keriput termakan usia itu menampakkan raut wajah yang agung.
"Kenapa berbuat senekad itu? Bukankah kau sudah mendengar kabar dari pada penduduk? Ki Wirayuda bukanlah seorang tokoh silat yang mudah diperdaya. Aku yakin beliau pasti akan datang ke sini." jawab Ki Karantungan.
Tanah pekuburan semakin penuh. Dan hari semakin gelap. Orang-orang persilatan hampir putus asa menunggu kedatangan Ki Wirayuda. Tapi beberapa saat kemudian semua kepala menoleh ke arah suara derap kaki kuda yang berderak-derak kencang. Semuanya pun berlari menyusul. Langkah-langkah mereka begitu semangat setelah melihat Ki Wirayuda adanya.
Di belakang kudanya terseret sosok tubuh berlumuran darah bercampur tanah.
"Ki Wirayuda datang....' Dia betul-betul membawa si keparat Ki Gentara Karma...!" teriak mereka.
Ki Karantungan bersama istri Ki Wirayuda serempak menoleh. Apa yang didengar serta dilihatnya benar. Ki Wirayuda memenuhi janjinya. Tubuh Gentara Karma sudah tidak karuan lagi. Apalagi semua orang persilatan yang menggiringnya itu tidak hentihenti melancarkan hantaman. Tubuhnya terus terseret bersama larinya kuda yang mengarah pada Ki Karantungan.
"Hebat, benar-benar hebat! Rupanya kau telah menyediakan liang kubur untukku!" Ujar Gentara Karma. Ki Wirayuda hampir tidak percaya melihat sosok Gentara Karma masih tetap sehat bugar. Meskipun seluruh tubuhnya sudah membanjir darah. Dengan geram pula ia turun dari kudanya. Istrinya datang menyambut.
"Kau terluka kakang? Astaga lengan mu "
"Tidak apa-apa, Andini. Luka ini tidak beberapa. Dalam waktu yang singkat pasti akan sembuh." jawab Ki Wirayuda. Lalu ia menoleh pada Ki Karantungan...
"Bagaimana, Ki... Apakah kau telah menggali lubang untuk anjing ini?" tanyanya. Ki Karantungan diam seperti beku. Tapi Ki Wirayuda sudah dapat melihat di hadapannya sebuah lubang yang cukup dalam dan besar.
"Bagus. Hari ini juga seperti apa yang telah aku katakan, Gentara Karma harus mampus di hadapan istriku. Juga seluruh orang-orang persilatan, hendaknya hal ini menjadi bahan pelajaran bagi kita. Setiap musuh yang berdiri pada pihak sesat, sebaiknya kita hancur leburkan!"
"Kau terlalu banyak bicara Ki Wirayuda. Mau bunuh cepat bunuh! Tidak perlu khotbah macam itu!" bentak Gentara Karma. Tubuhnya tetap terikat. Mendengar ucapan itupun Nyi Andini istri Ki Wirayuda menjadi kalap. Serta merta ia menendang tubuh Gentara Karma.

*
* *



--¦::: « 4 » :::¦--

Sekali tendang tubuh terikat Gentara Karma mencelat sekaligus langsung masuk ke dalam lubang yang telah disediakan. Semua orang yang memenuhi tempat itu diam tak bersuara. Mereka begitu kagum akan kehebatan Nyi Andini. Perempuan berilmu tinggi ini memandang geram pada laki-laki terikat lemas dalam liang kubur.
"Tindakanmu yang paling kusukai, Nyi. Aku memang ingin sekali mampus." ujar Gentara Karma. Ia balas menatap tatapan nanar Nyi Andini.
"Nyawa anakku terlalu mahal. Kau akan menerima ajalmu dengan penuh kesakitan!" bentak Nyi Andini.
"Kenapa tidak cepat-cepat kau lakukan, Nyi. Aku sudah siap menerima." jawab Gentara Karma. Nyi Andini berpaling pada Ki Karantungan.
"Kubur dia, Ki...." perintah Nyi Andini tidak main-main.
"Tapi, Nyi... Gentara Karma masih hidup." Ki Karantungan gugup.
"Timbun dia dengan tanah! Biar dia tahu bagaimana sakitnya manusia menjelang ajal!" perintah Nyi Andini makin keras. Ki Karantungan kikuk. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Bagaimanapun Ki Karantungan mengenal betul siapa adanya Gentara Karma. Sepertinya ada sesuatu rahasia yang tersimpan di antara mereka berdua.
"Aku tidak tega, Nyi...." Ki Karantungan beralasan.
"Lakukan saja, Ki Karantungan. Kenapa mesti ragu-ragu." ujar Gentara Karma. Ki Karantungan makin kikuk. Mendengar itu Nyi Andini bertambah gusar.
"Manusia tidak kenal mampus. Rasakan ini...!" Nyi Andini terpaksa menimbun lubang itu sendiri. Kedua lengannya mengais-ngais menguruk dengan tanah. Demi melihat itu Ki Wirayuda ikut membantu. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di tempat itu.
Tertimbun tanah dalam liang itu, Gentara Karma meronta-ronta sekuat tenaga. Namun ikatan yang begitu erat membuat dirinya tidak berkutik. Manakala tanah semakin menimbun. Semua orang menatap ngeri melihat Gentara Karma tertimbun hidup-hidup. Semakin tertutup. Semakin lemas dan lemas. Sampai akhirnya benar-benar teruruk tanpa sisa.
Jeritan panjang terdengar melengking meskipun tubuh Gentara Karma telah tertimbum. Gundukan tanah yang telah membukit itu bergerak-gerak. Nyi Andini langsung menginjak-injak gundukan tanah berlumpur sampai rata dengan permukaan tanah. Nampak bengis dan tanpa ampun. Ki Wirayuda sendiri melihat istrinya bagai kesetanan.
Sesaat kemudian tempat itu berubah sunyi. Nyi Andini memandang berkeliling menatap seluruh orangorang yang hadir menyaksikan peristiwa itu. Ki Karantungan diam seribu bahasa. Sebagai seorang penggali kubur, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia belum beranjak dari situ saat orang-orang mulai meninggalkan gundukan tanah satu persatu.
Ki Wirayuda menuntun Nyi Andini melangkah. Perempuan itu langsung menuju kereta yang siap menunggu. Sebelum Ki Wirayuda mendekati kudanya. Ia menemui Ki Karantungan. Ia memberi lagi beberapa keping uang logam. Sebenarnya Ki Karantungan enggan menerimanya.
"Tenagamu cukup terkuras hari ini, Ki... Orang macam Ki Karantungan ini tidak semestinya bekerja keras sebagai penggali kubur." ucap Ki Wirayuda.
"Semestinya memang aku sudah beristirahat. Tapi rasanya enggan untuk meninggalkan pekerjaan yang telah mendarah daging ini." jawab Ki Karantungan.
"Jangan terlalu memaksakan tenagamu. ujar Ki Wirayuda.
"Sekarang hari hampir gelap. Kami harus kembali ke perguruan. Mungkin besok-besok aku akan menjengukmu." kata Ki Wirayuda lagi. Setelah itupun ia benar-benar meninggalkan Ki Karantungan sendiri. Sekali lompat ia sudah hinggap di atas pelana.
Maka rombongan itupun segera meninggalkan tanah pekuburan. Ki Wirayuda berjalan membawa kudanya beriringan dengan kereta yang ditumpangi Nyi Andini. Perasaan mereka sore itu benar-benar puas. Pembunuh anaknya telah membayar dengan nyawanya juga. Itu berarti hutang darah telah tuntas. Siapapun adanya Gentara Karma mereka tidak perduli. Biar seluruh orang-orang aliran sesat membuat perhitungan atas perlakuan ini, mereka akan tetap meladeni. Orang-orang aliran sesat memang meski ditumpas. Mereka pantas dimusnahkan. Ki Karantungan berdiri mematung menghadapi gundukan tanah dingin. Manakala hari makin gelap gulita. Angin semilir berdesir menerpa kulit rentanya. Tanah pekuburan kembali sunyi. Seperti mati. Orangorang persilatan maupun kelompok Ki Wirayuda sudah sirna dari pandangan matanya.
Dengan lesu ia melangkah meninggalkan makam tanpa nisan itu. Ditujunya sebuah gubuk kecil yang cuma satu-satunya berdiri di sudut tanah pekuburan. Ki Karantungan memang tinggal di situ. Demi melakukan tugas yang sangat membosankan dan menguras tenaga dia menghabiskan sisa hidupnya dengan menggali kubur. Ketika ia memasuki pintu gubuknya, pasukan kelelawar beterbangan menyingkir.
Bagi Ki Karantungan hal semacam itu sudah tidak mengejutkan lagi. Ia sudah terbiasa dengan keadaan yang demikian. Malah setiap malam ia terus dihibur oleh suara-suara burung bantu maupun suarasuara lain yang menakutkan. Ia sama sekali tidak terpengaruh. Mungkin karena terlalu lamanya ia tinggal di tanah pekuburan. Dan juga tugasnya sebagai penjaga sekaligus penggali kubur.

* * *



Suatu peristiwa yang tidak masuk di akal sehat. Semua orang yang mendengar peristiwa kematian Gentara Karma seakan tidak percaya. Bagi orang-orang persilatan yang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, mungkin Ya! Tapi bagi mereka yang tidak sempat menghadiri peristiwa di tanah pekuburan, tidak mungkin percaya begitu saja.
Tapi setelah melihat adanya gundukan tanah tanpa nisan, juga diperkuat dengan cerita-cerita orang setempat. Mereka semua jadi tidak habis pikir. Bagaimanapun mereka sukar mempercayainya. Gentara Karma seorang tokoh sesat yang tidak kenal ampun. Ilmunya yang setinggi langit tidak mungkin bisa dikalahkan begitu saja. Apalagi mereka mendengar kalau Gentara Karma sampai menyerah. Bahkan sampai menerima hukuman yang demikian rupa.
Sekalipun mereka tahu Ki Wirayuda memang pentolan orang-orang persilatan. Tapi mereka bisa mengukur akan kehebatan tokoh sakti dari aliran putih itu. Ki Wirayuda sendiri di pesanggrahannya merasa tidak habis pikir. Ia seperti merasa ada kelainan sewaktu menghadapi Gentara Karma. Rasa tidak mungkin jika ia bisa mengalahkan begitu cepat. Setahunya, Gentara Karma seorang tokoh yang sulit dijamah.
Sejak hari itu Ki Wirayuda selalu nampak termenung. Namun ia dapat menyembunyikan perasaan itu di hadapan istrinya. Kematian putra tunggalnya memang suatu pukulan berat. Kedua suami istri ini betul-betul seperti kehilangan segalanya. Bagi Nyi Andini, ia sudah merasa puas. Karena ia telah melakukan apa yang dianggapnya jalan terbaik terhadap pembunuh anaknya.
Den Arimbang putra tunggal mereka sebenarnya seorang anak muda yang tangguh dan telah menguasai penuh seluruh ilmu-ilmu yang diwarisi oleh Ki Wirayuda. Sepak terjangnya dalam dunia persilatan sangat mengagumkan. Semuda itu ia sudah dapat menyingkirkan beberapa pentolan orang dari aliran sesat.
Tidak mengherankan kalau ia sering mewakili ayahnya dalam menghadapi kerusuhan-kerusuhan dalam dunia persilatan. Tapi nasib buruk telah menjeratnya ke jalan lain. Ia harus berhadapan dengan Gentara Karma. Semua orang tahu kalau Gentara Karma sangat sukar untuk diatasi. Sudah banyak orangorang persilatan yang ambruk di kakinya. Tidak segansegan pula Gentara Karma mengirim Den Arimbang ke akherat. Tapi sekarang kedua orang tua mereka sudah membalas atas kematiannya. Mungkin Den Arimbang akan merasa puas dan tidak mati penasaran.

*
* *



--¦::: « 5 » :::¦--

Untuk mencari kebenaran adanya berita kematian Gentara Karma. Dua pasangan pendekar dari Bukit Sinimbung diutus untuk mendatangi pemukiman Ki Wirayuda. Pasangan pendekar yang tidak lain suami istri itu bernama Wita Soma dan Mawarni Runi. Dua suami istri ini cukup memiliki ilmu yang tinggi. Mereka berdua sanggup melakukan perjalanan jauh. Segala rintangan apa pun dapat diatasi.
Dua pendekar ini tanpa mengenal lelah menerobos lebatnya hutan. Mengarungi tanah perbukitan terjal juga lembah ngarai. Manakala panas terik mencorot menggarangi mereka. Dua kuda mereka yang ditunggangi melangkah lesu kelelahan.
Untunglah di hadapan sana banyak menghampar rerumputan hijau. Ada juga sebuah telaga dengan airnya yang bening. Pohon-pohon subur banyak tumbuh di sekitar tempat itu. Kedua pendekar ini membawa kuda mereka ke sana.
Wita Soma langsung turun dari atas pelana begitu sampai di tepian telaga. Ia bagaikan menemukan sumber kehidupan ketika melihat beningnya air. Belum meminumnya saja perasaannya sudah demikian segar. Maka tidak ragu-ragu lagi Wita Soma mereguk dengan kedua belah telapak tangannya.
"Segar... Sungguh segar, Mawarni. Kita bisa minum sepuasnya atau bila perlu kita mandi sekalian di sini!" teriak Wita Soma. Mawarni Runi menatap melepaskan senyum terhadap suaminya. Ia juga ikut turun dari atas pelana kuda. Langkahnya langsung menuju ke samping Wita Soma yang nampak mengguyur sekujur tubuhnya dengan air telaga.
"Kakang... Rasanya aku ingin mandi. Seharian ini terasa sekali panas. Apakah kau tidak bisa merasakan kalau tubuhmu sudah tujuh rupa baunya." ujar Mawarni Runi.
"Mandilah sepuasmu. Aku masih terlalu letih. Setelah itu kita boleh mencari tempat peristirahatan untuk malam ini." jawab Wita Soma.
"Kakang pun harus mandi biar tidak bau." Mawarni Runi mulai membuka pakaiannya.
"Ya... ya... Aku pasti mandi." Wita Soma menatap lekuk-lekuk tubuh istrinya. Betapa putih halus seluruh kulit Mawarni Runi. Setiap laki-laki pasti akan tergiur bila melihatnya. Buah dada yang mengkal, berisi padat. Ditambah lagi dengan wajah yang cantik. Rambutnya terurai sebatas pinggang saat Mawarni Runi melepaskan ikat rambutnya.
"Byuuuur...!" lamunan Wita Soma buyar. Air telaga menyiprat ke wajahnya saat istrinya terjun ke telaga. Beberapa detik kemudian ia menyembul dari permukaan air.
"Yang kau katakan benar, Kakang. Air di sini begitu segar." ujar Mawarni Runi. Maka Wita Soma langsung membuka seluruh pakaiannya. Secepatnya ia terjun.
Keduanya menyelam. Permukaan air beriakriak. Mereka ke sana ke mari. Saling kejar melepaskan senda gurau setelah seharian penuh mengarungi perjalanan yang melelahkan. Dalam keriangan itu mereka dikejutkan oleh suara ringkik kuda. Keduanya serentak kaget. Sebagai seorang pendekar, mereka selalu awas dan waspada.
"Cepat berpakaian. Ada seseorang yang mengintai kita." Wita Soma berlari ke tepi telaga. Lalu menyambar pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia langsung mengenakannya.
"Anjing busuk mana yang berani mengusik ketenangan kita, Kakang? Biar kuhantam matanya agar juling." bentak Istri Wita Soma. Perempuan bugil itupun mulai mengenakan pakaiannya.
"Entahlah... Tingkahnya macam setan gentayangan. Menclak sana menclok sini. Dikiranya kita tidak tahu kalau kelakuannya itu sudah terlihat," jawab Wita Soma. Dia memang sudah melihat satu sosok bayangan berkelebat dari pohon ke pohon. Namun nyatanya sosok itu terus berlalu tanpa menunjukkan diri. Kedua pasangan pendekar ini tidak mengejarnya. Sengaja mengawasi sosok itu pergi menghilang.
"Dia hanya memperingatkan kita agar cepat meninggalkan tempat ini. Huh! Perduli apa. Lagi pula siapa yang mau berlama-lama di sini." gerutu Wita Soma. Kedua kuda mereka melangkah mendekat.
"Kira-kira siapa, Kakang?" tanya Mawarni Runi. Perempuan ini telah rapi berpakaian. Dia langsung menerima seekor kuda yang diberikan oleh suaminya.
"Mungkin seperti katamu tadi. Gerak-geriknya macam anjing busuk. Orang macam itu tidak perlu dipikirkan. Ayo, Mawarni. Sebentar lagi hari akan gelap. Di sebelah sana ada bangunan usang. Kita bisa beristirahat di nana." ajak Wita Soma. Dia sudah siap menunggangi kudanya. Mawarni Runi tidak menyahut. Rambutnya yang basah dibiarkan tergerai sebatas pundak, Cepat sekali ia melesat ke atas kudanya.
"Jalan sini, setelah menembus alang-alang itu kita akan menemukan bekas reruntuhan bangunan. Dulu aku pernah singgah di sana. Suasananya nampak bersih. Entah sekarang." ujar Wita Soma menggiring kudanya. Istrinya mendampingi.
Rumput alang-alang kering tidak jauh menghampar. Sebentar saja mereka sudah menerobos. Alang-alang itu hampir setinggi perut kuda. Saat itu hari mulai gelap. Langit kemerahan bercampur hitam menghiasi cakrawala.
Seperti apa yang diketahui Wita Soma. Ternyata benar. Setelah mereka menerobos alang-alang. Dari situ mereka sudah dapat melihat berdirinya bekas sebuah bangunan usang. Adapun sebenarnya bangunan itu tempat kediaman Gentara Karma. Di tempat itulah Ki Wirayuda menumpas tiga orang anak buah Gentara Karma sekaligus menyeret Gentara Karma itu sendiri.
Tapi mana tahu kalau tempat itu pernah terjadi peristiwa luar biasa. Apalagi bagi kedua pendekar ini. Sekarang mereka memasuki pelataran reruntuhan bangunan tersebut. Tanpa ragu-ragu pula mereka menambatkan kuda-kudanya di depan bangunan.
"Bah! Tempat macam ini kau bilang nyaman. Tidakkah kau cium bau busuk ini?" ujar Mawarni Runi. Perempuan ini sudah tahu dari mana asal bau busuk itu. Karena ia dapat melihat sepasukan tikus-tikus liar berlari meninggalkan tiga sosok kerangka manusia. Wita Soma mengangkat bahu.
"Dulu tidak seperti ini suasananya. Mungkin di dalam sana tidak akan seperti ini." jawab Wita Soma. Ia melangkah masuk menjajaki anak tangga batu. Mawarni Runi mengikutinya.
"Apa tidak ada tempat lain lagi?"
"Ada. Kau boleh bermalam di dalam hutan belantara sana." gurau Wita Soma.
"Lebih baik di sana dari pada harus terkurung dalam bangunan ambruk yang pengap ini." Balas Mawarni Runi.
"Tidak, Istriku... Bila kita membuat api unggun suasana buruk macam ini akan lain." Wita Soma memunguti serpihan-serpihan kayu. Mawarni Runi hanya berpangku tangan mengawasi suaminya. Pandangannya ke luar mengawasi dua ekor kuda yang tertambat di pelataran bangunan.
Api unggun meletup-letup menerangi ruangan pengap itu. Bau busuk seakan hilang terbius oleh hangatnya api unggun. Pasangan pendekar ini duduk berdampingan bersandar pada dinding batu berlumut. Mereka menikmati suasana hangatnya malam.
Cuaca terang mendadak saja berubah hitam. Bulan yang tadinya bersinar penuh kini mulai tertutup awan berarak. Malam itu kian mendung menakutkan. Kedua pendekar yang berada di dalam bangunan tersentak kaget saat sambaran petir bersama datangnya hujan menghantam permukaan tanah berbatu..
"Traaaaazs... Glalaar!"
Dua pendekar ini berjingkat bangkit. Di tatapnya hujan begitu deras. Begitu juga dengan hembusan angin yang membawa masuk percikan-percikan air hujan bagaikan mata jarum.
"Kakang, kuda kita di luar kehujanan. Bawa saja mereka masuk ke dalam. Tempat ini cukup luas kok. Kasihan, mereka akan mati kedinginan." bisik Mawarni Runi. Wita Soma mengencangkan ikat pinggangnya, lalu ia melompat ke luar menerobos derasnya hujan.
"Sial! Kenapa mendadak hujan begini! gerutu Wita Soma. Keduanya meringkik-ringkik basah kuyup. Mereka meronta-ronta menghindari derasnya hujan. Tapi tali ikatan yang mengikat kuda-kuda itu begitu kuat dan tak mungkin terlepas.

*
* *



--¦::: « 6 » :::¦--

Wita Soma menyeret dua ekor kudanya masuk ke dalam ruangan hangat. Saat itu Mawarni nampak tengah menambahi serpihan kayu bakar. Api unggun semakin meletup-letup menggarang mereka. Tubuh Wita Soma tak urung jadi keluncum. Pakaiannya basah kuyup.
Dia menghenyakkan pantatnya di sebelah Mawarni Runi. Perempuan ini merinding menyentuh tubuh Wita Soma yang basah dingin.
"Keringkan dulu pakaianmu, Kakang. Nanti masuk angin," ujar Mawarni Runi seraya ia membuka baju kuyub suaminya. Tapi Wita Soma malah menyambutnya dengan menarik lengan istrinya ke dalam pelukan. Mawarni Runi berontak.
"Buka dulu bajumu. Ini basah semua." kata istrinya lirih. Wita Soma menurut. seperti anak kecil yang ditelanjangi. Istrinya pula yang menggarang seluruh pakaian Wita Soma. Dan laki-laki ini seperti tidak sabaran. Ia menarik lagi lengan Mawarni Runi. Perempuan ini pura-pura meronta. Tapi tak urung tubuhnya masuk jua ke dalam dekapan Wita Soma.
Suasana ruangan makin hangat. Dua ekor kuda berdiri salah tingkah. Kaki-kaki mereka perlahan menyepak-nyepak lantai. Di luar hujan bertambah deras. Angin bertiup kencang. Suara geledek bersahutan tanpa mengeluarkan petir.
Sosok hitam berdiri kaku di balik pintu Gemericiknya tetes air dari baju hitam yang kuyub sama sekali tak terdengar. Wajahnya yang menyeramkan terus mengawasi pasangan pendekar itu saling gumul. Jelas wajahnya yang menyeramkan itu bukanlah wajah asli. Wajah cukup menjijikkan itu tidak lebih sebuah topeng.
Demi mengetahui adanya seseorang melihat pergumulan mereka, Mawarni Runi tersentak kaget. Hampir saja ia memekik ketakutan. Serta merta ia mendorong tubuh Wita, Soma yang menindih kuat. Wita Soma sendiri kaget bukan kepalang.
"Ada apa, Mawarni...?" tanya Wita Soma keheranan.
"Aku melihat hantu menyeramkan. Dia ada di sana." tunjuk Mawarni Runi ke arah pintu. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Sosok hitam menyeramkan telah pergi menghilang. Wita Soma jadi penasaran. Ia berjingkat bangkit berlari ke arah pintu batu.
Di balik derasnya hujan Wita Soma memandang berkeliling. Laki-laki ini mempertajam penglihatannya. Jangankan hantu, seekor lalatpun tidak nampak di ujung penglihatannya. Wita Soma kembali masuk.
"Ah, kau ini hanya mengada-ada, Istriku. Perasaanmu hanya terpengaruh oleh mayat-mayat tadi." ujarnya sambil mengelus-elus bulu lebat di leher kudanya. Laki-laki ini melangkah lagi mendekati istrinya.
"Kau tidak akan percaya, Kakang. Aku melihatnya sendiri kalau hantu itu berdiri di sana mengawasi kita. Wajahnya...." Mawarni Runi tidak meneruskan kata-katanya. Karena Wita Soma cepat memotong.
"Kalaupun ada hantu di sini. Pastilah dia hantu kesepian." cetus Wita Soma tidak perduli. Dia mulai membelai lagi tubuh istrinya. Tapi Mawarni Runi mengelak. Birahinya telah beku saat ia melihat wajah menyeramkan tadi. Bagaimanapun perempuan itu tidak bisa melupakan sosok menakutkan itu. Menghadapi ini Wita Soma hanya menghela nafas panjang. Lesu pula ia menyambar pakaiannya yang digarang di atas api unggun.

* * *



Hujan deras masih terus menyiram Desa Singkawarang. Banyak air yang tergenang mana-mana. Apalagi di sekitar tanah pemakaman. Tanah mereka makin becek bagai lumpur darah. Ada juga beberapa makam tua yang rata dengan genangan air. Bahkan patok-patok nisannya hampir hanyut terbawa air.
Saat itu sosok tubuh kekar berlari kencang menerobos derasnya hujan. Tapak kakinya mengoyak tanah pekuburan. Meski dalam keadaan gelap gulita, masih nampak kelihatan kalau ia seorang anak muda. Baju bulunya yang dikenakan telah keluncum basah. Juga rambutnya yang gondrong selalu meneteskan air bergerak-gerak kaku.
Langkah larinya semakin cepat tatkala hampir mendekati sebuah gubuk reyot. Gubuk itu cuma ada satu-satunya di sudut tanah pemakaman. Kerlip lampu pelita menerangi ruangan gubuk itu. Sosok renta Ki Karantungan nampak duduk di atas balai menghisap daun kawung. Ia dapat terlindung dari derasnya hujan meskipun berada di atas gubuk. Dari situ Ki Karantungan bukannya tidak tahu kalau ada seorang anak muda berlari ke arahnya. Ki Karantungan menyambut berdiri ketika pemuda basah kuyup itu telah berdiri di hadapannya.
"Maaf, Ki... Aku. tidak sempat mencari tempat berteduh. Tidak disangka pula hujan demikian derasnya. Kalau boleh saya akan menumpang berteduh." ujar pemuda itu yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti adanya.
"Oh silahkan... Silahkan, Den." sambut Ki Karantungan sambil menggigit lintingan daun kawung. Ia membuka pintu gubuk. Mempersilahkan masuk.
"Ah aku cuma tamu tak diundang. Juga bukan orang ningrat. Mana pantas aki memanggil dengan sebutan aden. Panggil saja aku Wintara." Pemuda ini melangkah masuk mengikuti Ki Karantungan.
"Lalu apa artinya aki yang miskin ini. Hhh... Maaf, tempatnya kotor sekali. Sudah beberapa hari ini aki tidak mengurusnya. Silahkan... Silahkan duduk. Yang ada hanya balai reyot ini." kata Ki Karantungan ramah. Wintara tersenyum mengangguk. Laki-laki renta ini sibuk menuangkan air kendi.
"Den Wintara dari mana?" tanya Ki Karantungan sambil meletakkan gelas bambu di samping Wintara. Pemuda ini menyeka air di sekitar wajah dengan lengan.
"Aku baru saja dari Desa Curing Kencana.
Sampai di sini mendadak hujan." jawab Wintara.
"Baru saja? Kau berolok-olok, Den Wintara. Desa Guring Kencana sangat jauh dari sini. Menuju ke sana akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Ki Karantungan mengawasi pemuda itu. Melihat dari bentuk tubuhnya yang kekar serta pakaiannya yang sangat aneh, pastilah anak muda ini bukan orang sembarangan. Tidak mungkin pula kalau pemuda ini manusia biasa berani menempuh perjalanan yang sangat jauh. Dari keyakinannya itu Ki Karantungan sudah tahu kalau Wintara adalah seorang pendekar berilmu tinggi. 
"Kenapa nampak heran begitu, Ki. Perjalanan menuju ke mari memang kutempuh selama tiga hari penuh. Rasanya pun aku sudah lelah betul." Wintara berbohong. Padahal ia harus menempuhnya hanya dalam satu harian saja. Itupun dia harus menggunakan kecepatan larinya.
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Den.! Pendekar-pendekar berilmu tinggi memang selalu tidak menonjolkan diri. Jarang kutemui seorang pendekar muda yang rendah hati." ujar Ki Karantungan. Kedua lengannya bermaksud menutupi pintu gubuk. Agar udara tidak terlampau dingin. Tapi tanpa diketahui oleh Wintara, lelaki renta ini membelalakkan matanya. Ia Memandang ke luar setengah tidak percaya. Dalam kegelapan malam dan derasnya hujan, mata rentanya melihat jelas kuburan tanpa nisan seperti bergetar hebat. Takut dilihat pula oleh Wintara, ia cepat-cepat menutup pintu gubuk. Lalu berusaha menutupi sikapnya yang agak kikuk. Wintara betul-betul tidak menyadarinya.
"Aki bicara apa? Aku ini bukan seorang pendekar juga bukan apa-apa. Apalagi sampai memiliki ilmu setinggi langit. Rasanya tidak mungkin bagiku. Kalau hanya untuk sekedar membela diri memang aku cukup menguasai. Makanya aku bisa sampai dengan selamat di sini." ucap Wintara makin akrab. Rasa gugup Ki Karantungan tidak nampak selama ia menemani Wintara, Namun kedua bola matanya yang jujur selalu melirik ke arah pintu. Pandangannya seakan ingin menerobos ke balik pintu melihat kejadian pada kuburan tanpa nisan yang baru saja dilihatnya bergetar.
Di luar sana di balik derasnya hujan. Kuburan tanpa nisan bergetar hebat.
"Ztraaaaas... Glaaar...'." Bersamaan dengan sambaran kilat gundukan tanah retak seperti terjadi gempa. Di luar dugaan pula gundukan tanah itu terkuak lebar. Dari dalamnya muncul sosok tubuh Gentara Karma bercampur lumpur tanah. Ke dua tangannya mengais membersihkan kotorankotoran tanah. Lalu bangkit sebagaimana layaknya orang yang bangun dari tidur.

*
* *



--¦::: « 7 » :::¦--

Cicit burung-burung yang memenuhi atap bangunan tua menghiasi suasana pagi berkabut. Sinar matahari menerobos melalui celah-celah daun dari pepohonan yang banyak tumbuh di sekitar bangunan tua itu. Membuyarkan semua kabut putih yang merambat di sekitar anak tangga batu.
Semalaman suntuk pasangan pendekar ini tidak dapat memejamkan mata. Mawarni Runi masih membayangkan wajah seram menakutkan. Keduanya saling duduk diam menghadapi api unggun yang sebenarnya sudah padam. Bau busuk ketiga mayat yang tergeletak di pelataran bangunan tercium lagi.
Mawarni Runi mendengus mengusir bau busuk itu.
"Masih mau berdiam di sini terus?" ujar Mawarni Runi bangkit dari duduknya.
"Terserah kau." jawab Wita Soma mengangkat bahu.
"Tapi aku pikir hari. masih terlalu pagi. Segan rasanya melangkah ke tanah yang becek ini." kata Wita Soma lagi. Mawarni Runi nampak kesal. Ia melangkah keras mendekati kudanya.
"Kalau kau tidak mau berangkat sekarang, biar aku sendiri yang meneruskan perjalanan!" Kesal menggerutu.
"E-e-e... Tunggu dulu! Mana bisa aku biarkan kau pergi sendiri?" Wita Soma bangkit menyusul. Isterinya sudah siap di atas pelana. Ia juga langsung melesat menunggangi kuda satunya lagi. Mawarni Runi tetap cemberut.
"Apa nanti kata Ki Wirayuda kalau kau hanya sendirian sampai di sana?" ujarnya lagi.
"Bagus kalau masih punya rasa tahu diri." tukas isterinya. Cemberut begitu Mawarni Runi tambah cantik. Dua kuda mereka menerobos bergantian melewati pintu bangunan. Wita Soma berusaha membawa kudanya berdampingan. Tanpa menoleh mereka melewati tiga sosok mayat berbau busuk. Mereka terus meninggalkan bangunan yang hampir runtuh.
Terasa lega nafas mereka setelah berada jauh. Saat itupun mereka harus menerobos hutan belukar. Udara masih sangat dingin. Sekitar tanah yang mereka lalui masih becek tergenang air bekas hujan semalam. Perlahan kabut mulai sirna terbawa angin pagi. Meski rawan, hutan belukar nampak lebih indah dalam suasana pagi. Namun ketenangan langkah kuda mereka mendadak goyah. Kuda-kuda mereka meringkikringkik. Sukar sekali kedua pendekar ini menjinakkannya. Kuda-kuda mereka bagai liar tak mengenal tuannya lagi. 
Barulah tahu apa yang menyebabkan mereka terguncang-guncang demikian. ternyata sosok tubuh bercampur lumpur telah menghadang. Raut wajah penghadang itu bersih dari noda-noda lumpur. Hanya darah kering yang masih menghiasi sekitar wajahnya. Kedua pendekar ini melompat dari pelana. Membiarkan kuda-kuda mereka menyingkir.
"Diakah hantu yang mengganggu ketenangan kita semalam?" bisik Wita Soma mengernyitkan alis.
"Bukan. Keadaannya memang hampir sama buruk, tapi jelas bukan dia." jawab Mawarni Runi dengan berbisik pula. Wita Soma melangkah maju menatap sosok baju berlapis lumpur.
"Ki Sanak, Ilmu apa yang kau gunakan sehingga kuda kami lari terbirit-birit, jelas kemunculan ki Sanak membawa alamat yang kurang baik." Mendengar ucapan itu, penghadang ini menyeringai seperti mengejek.
"Kau ini sungguh pikun, Kakang. Tidakkah kau kenali kalau kutu busuk ini tidak lain si Keparat Gentara Karma?" Mawarni Runi melangkah mendampingi Wita Soma.
"Kalaupun aku percaya dia Gentara Karma, pastilah mahluk jelek ini setan gentayangannya." tukas Wita Soma.
"Kalian boleh menganggap aku setan gentayangan, iblis atau siluman, ... Terserah Yang jelas, berhadapan denganku kalian bakal mampus. Asal tahu saja. Aku memang Gentara Karma." Sosok penuh lumpur menuding pasangan pendekar ini.
"Berita apa sebenarnya yang kita dengar ini kakang? Bukankah Gentara Karma sudah mampus? Kenapa sekarang kunyuk ini ada di hadapan kita?"
"Siapapun dia, apa susahnya menyingkirkan penghalang! Minggir...!" Wita Soma nyeruduk. Serta merta ia melepaskan hantaman. Sosok penuh lumpur yang ternyata Gentara Karma menyingkir bagai angin. Gerakannya langsung menyambut hantaman Mawarni Runi yang datang dari arah belakang. Seranganserangan isteri Wita Soma lebih gencar. Namun selalu saja Gentara Karma dapat menghindar dengan kecepatan geraknya.
"Siapa bilang Gentara Karma mati! Orang yang mengatakan itu yang bakal mati nanti!" bentak Gentara Karma. Ketika ia menyambut hantaman Isteri Wita Soma, Perempuan ini memekik. Tulang lengannya terasa patah. Karuan saja tubuhnya terhuyung mundur.
Melihat itupun Wita Soma merangsak main. Serangannya lebih gencar. Pendekar dari Bukit Sinimbung ini tidak tanggung-tanggung melepaskan pukulan. Dan nampaknya pula Gentara Karma agak kewalahan menghadapi hantaman yang beruntun. Dua hantaman sekaligus menghantam dadanya.
Wita Soma terkejut sekali dua hantamannya tadi bagai menyentuh benda kenyal. Padahal ia yakin bila lawannya tidak akan sanggup bertahan. Ia sudah membayangkan kalau tadi Gentara Karma bakal jatuh ambruk dengan menyembur darah. Tapi yang ia lihat sama sekali di luar dugaannya. Gentara Karma tidak bergeming sedikitpun. Hantaman itu seakan tidak berarti.
Kini kedua pendekar dari bukit Sinimbung ini menyerang serempak. Hantaman-hantaman mereka bergulung-gulung merencah sosok penuh lumpur. Tapi saat Gentara Karma membalas serangan, kedua pasangan pendekar ini terhuyung mundur. Bersamaan dengan itu pula Gentara Karma melepaskan tendangan memutar.
"Deees!"
Jelas tendangan itu masuk ke perut Mawarni Runi. Tak urung perempuan ini terjungkal ambruk. Wita Soma cepat berlari melindungi. Tapi ia pun mengalami nasib yang sama.
"DEEEER!"
Pukulan Gentara Karma menghantam punggung serta lehernya.
Darah menyembur dari mulut Wita Soma. Hal itu tidak membuatnya jera. Dia bangkit lagi mementang jurus. Mawarni Runi sudah siaga kembali. Terjangannya melesat bagai terbang.
Menghadapi dua serangan dari pendekarpendekar tangguh, Gentara Karma tidak gentar. Setiap perguruan atau pendekar lain yang bercokol di tanah Sungkawarang pasti tahu akan kehebatan mereka. Selain itu mereka tahu kalau pasangan pendekar ini memiliki satu pukulan yang sangat dahsyat. Jurus itu bernama Tinju Karang. Jurus ini pula yang merupakan jurus andalan pasangan pendekar ini.
Sekarang mereka diam-diam tengah menyusun tenaga inti untuk melepaskan ilmu andalan mereka. Selama itu pula mereka terus mencecar Gentara Karma. Sosok penuh lumpur ini terus menyambut memapaki serangan-serangan mereka. Dan pada satu kesempatan,
"Deees...! Blaaaaar...!"
Pasangan pendekar dari bukit Sinimbung melepaskan Tinju Karang berbarengan. Pukulan itu menghantam dahsyat Gentara Karma. Tubuhnya yang kotor penuh lumpur jatuh bergulingan. Untuk sesaat diam tak berkutik.
Wita Soma menghantam bagian dadanya. Pastilah seluruh tulang iga Gentara Karma rontok. Mawarni Runi menghantam bagian perut dan yakin sekali kalau lambung Gentara Karma pasti pecah. Seperti yang sudah-sudah memang demikian. Setiap lawannya tidak akan dapat bangkit setelah mendapat hantaman Tinju Karang. Tapi mendadak saja mereka membelalakan mata sambil saling pandang. Perlahan Gentara Karma dapat bangkit tanpa kurang satu apapun.
"He-he-he-he... Inikah ilmu dahsyat orangorang bukit Sinimbung? Kalau hanya sebegini kenapa setiap orang-orang aliran sesat merasa takut." ujar Gentara Karma melangkah maju. Wita Soma maupun Mawarni Runi merasa heran. Mereka bermaksud melancarkan pukulan lagi. Hantaman-hantaman Tinju Karang bergulung-gulung menderu. Gentara Karma tetap menyambut dengan terjangan yang disertai sambaran kedua tangannya.
"Bleeedar!"
Hantaman mereka beradu dahsyat. Gentara Karma berjumpalitan di udara. Tapi dua pendekar dari bukit Sinimbung mencelat tidak kepalang tanggung. Mereka jatuh tepat di bawah kaki kuda mereka yang sedari tadi meringkik-ringkik.
Wita Soma merasa tidak akan sanggup menghadapi Gentara Karma. Maka meskipun seluruh tubuhnya terasa hancur ia berusaha melompat ke atas pelana.

*
* *



--¦::: « 8 » :::¦--

"Mawarni ! Tinggalkan bangsat itu. Dia bukan tandingan kita!" teriak Wita Soma. Ia membawa kudanya mendekati Mawarni Runi. Perempuan ini tidak sempat meraih kudanya. Karena ia sibuk menghadapi serangan-serangan Gentara Karma.
Sudah tentu menghadapi Gentara Karma akan sia-sia. Mawarni Runi hanya menghindar dan mencaricari kesempatan agar bisa melompat ke atas kudanya untuk kemudian lari. Tapi serangan Gentara Karma sangatlah gencar dan bertubi-tubi.
Wita Soma tidak sempat untuk turun lagi. Ia menyambar tubuh istrinya dari serangan-serangan Gentara Karma. Mengetahui adanya Wita Soma sudah menunggangi kudanya. Mawarni melesat ke atas. Tapi saat tubuh ramping itu masih berada di udara. Gentara Karma melepaskan hantaman...
"Des!"
Mawarni Runi memekik. Darah menyembur. Sebelum jatuh ke tanah, Wita Soma dapat menyambar. Sayang cengkeraman Wita Soma tidak begitu kuat. Ia hanya dapat menarik rambut panjang isterinya. Meskipun begitu Mawarni Runi dapat ditarik naik ke atas kuda.
Tapi sebelum itu rupanya Gentara Karma lancarkan satu sabetan pukulan karate. Hantaman itu tepat mengenai tulang leher. Wita Soma memekik ngeri. Yang dapat ia raih bukan tubuh isterinya. Tapi hanya kepala buntung Mawarni Runi yang bergelimang darah. Tubuh ramping isterinya tanpa kepala kelojotan di tanah. Pada batas potongan leher menyembur darah bagai air mancur. Wajah Wita Soma pucat pasi. Manakala Tawa Gentara Karma kian mengekeh menakutkan.
"Jahanam...! Kau harus menebus nyawa isteriku...!" teriak Wita Soma lantang. Ia serta kudanya menerjang maju ke arah Gentara Karma. Laki-laki penuh lumpur ini tidak menyingkir selangkahpun. Ia malah menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh.
"Kau boleh bandingkan pukulan Tinju Pasir dengan pukulan Tinju Guntur Geledek....Hraaaa!" serta merta Gentara Karma menghempaskan tinjunya ke depan.
Akibatnya sangat luar biasa sekali. Kuda yang ditunggangi Wita Soma mendadak terdorong dan jatuh terguling di tanah. Wita Soma sendiri mencelat membentur batang pohon besar. Lalu berdegum di tanah. Tulang punggung Wita Soma remuk. Karuan saja ia tidak dapat bangkit lagi. Pendekar dari bukit Sinimbung ini mengerang-ngerang tanpa daya.
"Kau telah mati, Wita Soma. Tanpa ku bunuhpun kau bakal mati dengan sendirinya." ujar Gentara Karma. Ia meninggalkan tubuh Wita Soma tergeletak di bawah pohon. Langkah lelaki penuh lumpur mendekati sosok tubuh ramping tanpa kepala. Ia menatap kagum tubuh ramping Mawarni Runi yang telah kaku. Tanpa ragu pula Gentara Karma memreteli semua baju perempuan itu. Maka dalam sekejap tubuh perempuan tanpa kepala telah bugil polos.
Wita Soma seakan ingin menjerit sekuatkuatnya. Bahkan kalau sanggup berdiri ia akan melabrak Gentara Karma. Bagaimana tidak? Dilihatnya tubuh penuh lumpur itu menindih rakus tubuh bugil isterinya. Nafsu binatangnya dilampiaskan pada tubuh kaku tanpa kepala itu. Demi melihatnya, Wita Soma memejamkan matanya erat-erat. Rahangnya terkatup bergemeretak. Serta dengan tubuh yang bergetar.

* * *



Ketika Wintara bangun, Ki Karantungan sudah tidak ada di dalam gubuknya. Ruangan itu telah rapi bersih. Tidak seperti keadaan semalam. Matanya masih terasa sepat, tapi masih bisa dilihat tanah pekuburan itu becek berlumpur.
Pendekar Kelana Sakti ini berjingkat bangkit manakala dilihatnya sosok Ki Karantungan nampak berdiri pada sebuah gundukan tanah yang lebih mirip sebuah kuburan tanpa nisan. Apalagi letaknya di antara kuburan-kuburan lain. Lama berdiri memandangi sosok renta itu, kepala Wintara teras agak pusing.
Dalam hal ini Ki Karantungan sengaja membubuhkan semacam obat bius ke dalam air minum Wintara. Itulah sebabnya Wintara sampai tertidur pulas dan bangun kesiangan Hal itu guna menyembunyikan kejadian semalam. Saat Ki Karantungan melihat kuburan Gentara Karma Retak di balik hujan geledek.
Maka pagi-pagi sekali Ki Karantungan bangun tanpa diketahui oleh Wintara. Iapun dapat bebas membetulkan kuburan yang terbongkar itu. Dan secepat itu pula ia membereskan kuburan tanpa nisan seperti sedia kala.
Rasa pening di kepala Wintara mulai berangsur-angsur menghilang. Ia kertakan seluruh tulangtulang sendinya. Perlahan ia keluar untuk menemui Ki Karantungan. Si penggali kubur dapat mengetahui dari pintu gubuk yang berderit terbuka. Sebelum Wintara mendekat, Ki Karantungan menyambut lebih dahulu.
"Apa yang kau kerjakan sepagi ini, Ki..." tegur Wintara.
"Akibat hujan deras semalam beberapa kuburan longsor. Yah jadi terpaksa harus diperbaiki." jawab Ki Karantungan berbohong. Padahal ia hanya membetulkan kuburan Gentara Karma. Dan sekarangpun si penggali kubur ini yakin sekali kalau di dalam liang kubur telah kosong tanpa jenasah.
"Merepotkan sekali? Kiranya untuk orang tua semacam Ki Karantungan sudah tidak pantas menangani tugas ini." Wintara kembali masuk ke dalam gubuk mengikuti langkah Ki Karantungan.
"Seharusnya memang demikian. Tapi sampai saat ini belum ada pengganti untuk tugas yang melelahkan ini."
"Ajukan saja keluhan aki pada kepala desa."
"Sudah, beliau tengah mencari beberapa orang untuk menggantikan tugasku sebagai penggali kubur." jawab Ki Karantungan cepat.
"Setelah bebas tugas, aki bagaimana?" Wintara berhenti melangkah, karena Ki Karantungan berdiri diam di depan pintu gubuk. Lelaki renta ini seperti menarik nafas panjang.
"Itulah yang aki pikirkan. Di desa Sungkawarang ini aki tidak punya sanak saudara. Aki tidak tahu harus pergi ke mana setelah bebas tugas. Mari silahkan masuk... Maaf kalau aki belum sempat menyediakan makanan."
"Ah... Tidak perlu, Ki. Aku cukup prihatin atas kehidupan Ki Karantungan. Pagi ini aku menemuimu untuk mohon pamit." Wintara tersenyum.
"Kenapa harus terburu-buru, Den Wintara." sergah Ki Karantungan.
"Justru suasana pagi seperti ini membuat kita sehat. Apalagi kalau berjalan kaki." jawab Wintara. Ki Karantungan tidak bisa menghalangi. Dan memang sebenarnya Ki Karantungan menginginkan agar Wintara segera cepat-cepat meninggalkan tempatnya.
Hebatnya, rasa ketidaksukaan Ki Karangtugan tidak nampak.
"Selamat tinggal, Ki. Jagalah dirimu baikbaik..." Wintara memberi salam. Tanpa menjawab Ki Karantungan melepaskan kepergian Wintara. Selama meninggalkan tanah pekuburan itu Wintara tidak menoleh. Yang ia rasakan hanya kesejukan pagi itu.
Kicau burung mengiringi setiap langkahnya. Jejaknya menapak jelas di sepanjang jalan tanah merah. Wintara melenggang semakin cepat melalui pohonpohon besar yang tumbuh di kedua sisi jalan. Dedaunan yang rimbun masih nampak basah bekas hujan semalam. Sesekali pula Wintara harus melompati genangan air yang menghalangi jalannya.
Sampai ditikungan jalan. Wintara tidak menemukan jalan lagi. Buntu. Di hadapannya menghadang hutan belukar. Bercampur semak-semak setinggi dua meter lebih. Sebagai seorang pengelana, Wintara tidak perduli dengan aral melintang. Langkahnya terus menerobos. Semakin jauh masuk ke dalam belukar, ketinggian semak agak berkurang. Juga tanah sekitar hutan belukar agak jarang ditumbuhi pohon-pohon besar, Wintara bisa leluasa meneruskan perjalanan.
Di dalam lebatnya belukar itu nampak beberapa gubuk terpencil. Kehadirannya yang berjalan lenggang itu menjadi perhatian para penduduk setempat. Keadaan Wintara nampak lebih buruk dibanding dengan orang-orang kampung. Pakaian bulunya yang nampak begitu usang serta celananya yang telah koyak pada ujung kakinya membuat orang-orang yang dilaluinya tidak perlu menghormat. Wintara sama acuhnya. Dia sendiri malah yang cengengesan bila berpapasan pada penduduk gubuk terpencil itu. Langkahnya pun semakin jauh meninggalkan mereka.
Saat matahari mulai tinggi di ufuk Timur, Wintara baru keluar dari hutan semak. Bukit tinggi membentang dihiasi langit biru.

*
* *



--¦::: « 9 » :::¦--

Mendadak saja Wintara dikejutkan oleh suara benturan senjata. Juga suara teriakan seorang wanita penuh semangat melepaskan hantaman-hantaman. Saat itu seorang perempuan bersenjatakan pedang tengah menghadapi empat orang lawan. Wintara mengernyitkan alis mengawasi pertarungan itu.
Tergerak pula jiwa satrianya untuk turun membela perempuan itu. Padahal ia tahu benar kalau perempuan itu memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi. Dan nampaknya pula keempat lawannya mulai keteter. Namun dilihatnya pertarungan itu tidaklah seimbang, empat lawan satu. Maka tanpa kompromi lagi pendekar Kelana Sakti segera melesat. Kehadirannya yang tabu-tahu saja berada diantara mereka membuat semua terkejut. Apalagi Wintara langsung menggebrak dengan sebuah jurus.
Empat orang laki-laki bersenjatakan tombak bercagak dua mundur serempak. Masing-masing mendapat satu pukulan di dada. perempuan yang mendapat pertolongannya diam keheranan. Tapi begitu empat lelaki ini mengira bala bantuan itu dari pihak si jago pedang. Lalu salah seorang dari lelaki ini segera memberi aba-aba. Serentak pula semua nya berjingkat lari.
"Anak muda. Kau telah menggagalkan kami. Kau akan tahu rasa nanti!" bentak mereka semakin jauh berlari. Mendengar itu Wintara hanya balas menatap. Tapi ia sendiri mendadak terkejut. Karena sesuatu benda runcing menyentuh lehernya. Wintara tidak bergerak. Ia hanya melirik perempuan cantik namun setengah tua menudingkan pedangnya. Penampilan perempuan ini yang serba bagus nampak bagai seorang gadis remaja.
"Nona... Apa-apaan ini. Aku baru saja mengusir keempat manusia usil itu. Jelas aku berada dipihakmu, Nona. Kenapa kau bertindak begini?" sapa Wintara.
"Kau memang usil, Pemuda sialan! Tanpa kehadiranmu keempat orang itu pasti sudah jadi mayat!" jawab perempuan itu sengit.
"Ah, jauhkan dulu mata pedangmu ini nona. Baru kita bicara baik-baik." ujar Wintara. Tangannya bermaksud menyingkirkan pedang yang menuding di lehernya, tapi....
"Tidak bisa! Perlu kau ketahui kedatangan ku ke tanah Sungkawarang memang tengah berurusan dengan orang-orang Ki Wirayuda. Tapi kau malah bertindak tolol! Sebagai gantinya, kau harus mampus!" Perempuan ini geram. Wintara tak bisa berkutik, bergerak sedikit saja pasti lehernya akan robek. Nampaknya pula perempuan cantik ini tidak main-main.
"Nona... Tidak bisakah kita bicara sebentar?"
"Sudah kukatakan tidak bisa!"
"Kalau begitu, kenapa bersikap begini terus. Kalau mau bunuh, coba kalau berani!" Wintara nyolot. Karuan saja perempuan ini menghentakan pedangnya. Tapi sebelum itu Wintara menepis gagang pedang dengan dibarengi gerakannya. Dengan begitu ia terhindar dari sambaran pedang. Sedangkan pendekar Kelana Sakti bergerak cepat ke belakang.
"Bocah tengik! Di hadapan Srikaton Munggel berani jual lagak? Benar-benar cari penyakit!" sumbar perempuan yang mengaku dirinya Srikaton Munggel. Seraya ia memutar balikkan pedangnya menyambar ke depan. Wintara melompat ke samping. Tapi sambaran pedang terus mencecar.
"Empat orang-orang Ki Wirayuda boleh lari melihat kebolehan mu, tapi aku putri sakti dari Gunung Tunggul jangan di samakan!" Pedang di tangannya berputar sangat cepat, sehingga nampak seleretan sinar yang bergulung-gulung siap membawa maut. Setengah mati Wintara mengelak.
Perempuan ini boleh dikata lihai dalam ilmu pedang. Setiap gerakannyapun selalu nyaris mengena. Namun bagi pendekar Kelana Sakti serangan-serangan itu masih dapat dielakan. Bahkan sudah sampai pada jurus yang kedelapan pun Srikaton Munggel belum dapat menjatuhkan lawannya. Hal ini membuat Srikaton Munggel makin gigih lancarkan serangan.
"Ayo keluarkan semua ilmu yang kau dapat dari Gunung Tunggul! Aku gembel busuk sekaligus bocah tengik ingin tahu sampai mana kebolehanmu!" Wintara mengejek. Gerakan-gerakannya licin. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana ke mari menghindari setiap sambaran pedang. Mendengar ucapan itu pula Srikaton Munggel makin gusar. Serangannya makin nafsu. Hal ini mengakibatkan ia kehilangan keseimbangan. Selama itu pula Wintara belum membalas serangan.
"Kalau belum cukup ilmu, jangan turun gunung. Bantu saja emakmu di dapur!" oceh Wintara Lagi. Kali ini sambaran pedang Srikaton Munggel tidak main-main. Sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat bersama tikaman pedang yang tajam mengarah.
"Hreaaaaa...!" Wintara menyambut dengan pukulan Bayu Menghempas Tebing. Srikaton Munggel memekik. Pedangnya bergetar sampai ke pangkal lengan. Dan ia sendiri ambbruk tanpa bisa mengimbangi.
"Soal urusanmu dengan orang-orang Ki Wirayuda, aku tak ambil pusing. Tapi sikap mu itu yang memuakkan, Srikaton!" Wintara memandangi perempuan dari Gunung Tunggul bangkit berdiri.
"Pergilah dari hadapanku! Kau boleh urus dirimu terhadap orang-orang Ki Wirayuda. Tak ada untungnya mencampuri urusan kalian!" ujar Wintara. Diapun segan berhadapan dengan Srikaton lagi. Maka dengan tidak perduli ia membalikkan tubuh sambil melangkah. Tentunya perempuan ahli dalam ilmu pedang ini, tidak akan terima diperlakukan begitu.
"Bocah sialan. Jangan merat. Kau pikir pukulan tahi kerbaumu itu dapat membuatku jera? Kau boleh hindari ini!" Wintara benar-benar tak peduli, manakala Srikaton Munggel menerjang dari arah belakang. Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat. Bersama desiran angin yang mengarah deras. Wintara membalikkan tubuh. Serta merta ia lepaskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Trlaaak....! Aaaikht...!"
Pedang Srikaton Munggel terlepas. Srikaton Munggel sendiri terbanting hebat. Dadanya terasa sesak. Wintara balik nyengir.
"Dasar perempuan tidak baik. Begitukah gurumu mengajari main bokong?" Wintara tahan amarah.
"Jangan sebut-sebut guruku! Kalau beliau tahu, tubuhmu akan hancur lebur!" tukas Srikaton Munggel sambil mengusap tetesan darah dari sela bibirnya.
"Sekali-sekali boleh juga kau bawa guru mu untuk menghadapi aku. Asal tahu saja, aku Pendekar Kelana Sakti tak bakal mundur barang selangkah pun!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu Wajah Srikaton berubah kecut. Kiranya inilah sosok pendekar urakan maha sakti itu. Tidak menyangka pula kalau ia harus berhadapan secara kebetulan. Baru tahu pula kalau kepandaian Pendekar Kelana Sakti jauh berada di atasnya. Nama besar pendekar sial ini memang bukan nama kosong, pikir Srikaton Munggel, ia bangkit menudingkan pedang. Tanpa mengelak Wintara tetap berdiri di hadapannya.
"Ingat bocah pendekar! Mengingat kita tidak pernah berurusan maupun tidak saling kenal, aku mengalah hari ini. Tapi bila suatu saat kita bertemu tahu sendiri. Aku tidak segan-segan lagi untuk mencincangmu!" sumbar Srikaton Munggel. Sambil menahan malu.
Ia menyarungkan pedangnya ke pinggang, lain berjingkat merat. Wintara hanya memandangi kepergian Srikaton Munggel. Ia hanya menggelengkan kepala mengartikan ucapan Srikaton Munggel yang cuma gertak sambal.
Dari mana asal perempuan hebat itu, Wintara tak ambil pusing. Di mana letak Gunung Tunggul pun ia tidak tahu. Yang jelas ia tidak boleh bertindak sembarangan. Mengenai Srikaton Munggel maupun orangorang Ki Wirayuda sama sekali asing. Pertemuan yang hanya sekilas itu cukup membuat dirinya bisa mempertimbangkan. Srikaton Munggel jelas seorang tokoh sesat. Tapi belum bisa dipastikan.
Apa latar belakangnya sampai-sampai tokoh ahli dalam ilmu pedang macam Srikaton Munggel berani datang ke tanah Sungkawarang ini. Dalam hal ini Wintara tahu kalau empat orang tadi adalah para pengikut Ki Wirayuda. Jelas Ki Wirayuda bercokol di desa ini. Begitu seriusnya empat orang pengikut Ki Wirayuda mati-matian menghadapi Srikaton Munggel ketika dilihatnya tadi. Kalau saja Wintara tidak keburu datang, pastilah ke-empat orang itu sudah celaka.

*
* *



--¦::: « 10 » :::¦--

Masih dalam berpikir, tiba-tiba saja Wintara dikejutkan oleh derap kaki kuda yang begitu cepat. Spontan ia menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya seekor kuda lari tunggang langgang dengan seorang penunggang yang nampaknya tengah terluka.
Lebih terkejut lagi ketika Wintara dapat melihat jelas penunggang kuda itu membawa sesuatu. Penunggang kuda itu sendiri seperti terombang ambing di atas pelana. Semakin dekat semakin jelas apa yang dibawanya itu. Wintara hampir tidak percaya. Bulu kuduknya berdiri.
Penunggang kuda itu menggenggam sebuah kutungan kepala seorang perempuan. Darah menetes di setiap langkah kuda. Wintara melompat minggir saat kuda itu berlari cepat melaluinya. Kiranya sosok penunggang kuda tidak lain dari pendekar dari bukit Sinimbung. Wita Soma. Dia sudah setengah pingsan terbawa oleh kudanya kemana lari.
Tergerak pula dalam keinginan Wintara untuk mengikuti kuda itu. Maka dengan kecepatan larinya, Wintara berusaha mengimbangi. Tak urung ia harus mengikuti lari kuda yang tak terkendali. Menelusuri sebuah jalan becek. Lari Wintara bagai terbang.
Di sebuah persimpangan tajam, Wita Soma tidak kuat lagi duduk di atas pelana. Tubuhnya ambruk bersama menggelindingnya kutungan kepala Mawarni Runi. Kudanya ikut berhenti, seakan menunggu majikannya bangkit kembali. Wintara menahan nafas memperhatikan raut wajah pucat Wita Soma.
Tubuh pingsan itu penuh luka memar. Sekitar pinggangnya mengembar darah. Pastilah tulang pinggangnya telah remuk, pikir Wintara. Tapi ia yakin kalau orang ini cuma pingsan. Tanpa ragu Wintara memeriksa seluruh tubuh penuh luka. Pertolongan pertama Pendekar Kelana Sakti menotoki tiap-tiap jalan darah.
"Terlambat saja barang sedikit, orang ini tak akan tertolong lagi." desah Wintara. Hati-hati ia merebahkan Wita Soma di tanah berumput. Ia melirik pula kutungan kepala seorang perempuan tergeletak di tanah.
"Manusia mana yang telah bertindak sekeji ini? Begitu banyakkah orang-orang jahat di Sungkawarang? Benar-benar edan." Wintara tak habis pikir. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Pemukiman terpencil begitu jauh. Lagi pula mana mungkin ia harus membawa Wita Soma kesana. Tentunya para penduduk terpencil itu akan ketakutan.
Kembali ke gubuk Ki Karantungan? Rasanya tidak mungkin. Biar saja tunggu sampai siuman. Ingin tahu pula kutungan kepala siapa yang dibawanya ini. Juga apa yang membuat dia begitu parah. Wintara memotes selembar pelepah daun pisang. Ditutupinya kutungan kepala itu. Lalu kembali duduk di pinggiran jalan menunggui Wita Soma.
Sebentar kemudian Wita Soma mulai siuman. Tubuhnya menggeliat-geliat tapi setelah dirasakan betapa sekujur tubuhnya sangat sakit, Wita Soma mengerang hebat, Wintara bangkit menotok lagi. Kali ini di bagian belakang tulang leher. Akibatnya Wita Soma seperti tidak merasakan sakit.
"A.. Akh...Di-dimana ini...? Ma-mana is.. istriku...?" Wita Soma bergerak bangkit. Tapi sekujur tubuhnya kaku.
"Tenang... Tenang, Sobat. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu...?" tanya Wintara memegangi tubuh Wita Soma. Pendekar dari bukit Sinimbung ini balas menatap.
"Jangan takut. Aku menemukan anda dalam keadaan begini. Perbuatan siapa ini?" Wintara membuka pelepah daun. Kutungan kepala seorang perempuan menghadap ke arah Wita Soma, maka...
"Mawarni.... Mawarni...!" Wita Soma berteriak histeris.
"Diakah istrimu?" Wintara menutup kembali.
"Gentara Karma... Ini perbuatan Gentara Karma. Orang-orang bukit Sinimbung harus tahu. Gentara Karma harus mendapat balasan atas kematian istriku...! Sobat... Tolong bebaskan aku dari totokan ini. Aku harus menemui Ki Wirayuda." Wita Soma mencengkeram lengan Wintara kuat-kuat berusaha bangkit.
"Ki Wirayuda?" ulang Wintara. Ia berpikir sebentar. Lalu...
"Sebaiknya aku antar kau ke Sana. Luka-lukamu sangat parah. Di manakah pemukiman Ki Wirayuda itu?" Wintara membawa bangkit tubuh Wita Soma.
"Siapakah kau ini, terhadap Ki Wirayuda saja tidak kenal. Beliau salah seorang tokoh aliran lurus yang sangat ditakuti. Tolong naikan aku ke atas kuda dan juga kepala istriku itu." Pinta Wita Soma. Wintara menghela nafas. Berniat memenuhi permintaan pendekar bukit Sinimbung. Hal itu tentunya ia harus membebaskan totokannya. Tapi, akan sanggupkah Wita Soma menahan rasa sakit setelah terbebas dari totokannya? Wintara jadi serba salah. Belum habis berpikir, Tiba-tiba saja...
"Itu dia orangnya...! Kebetulan sekali kita bisa menjumpainya di sini!" Terdengar sebuah teriakan. Wintara jadi terkejut. Tahu-tahu saja ia telah terkurung oleh belasan orang.
"Astaga! Rupanya ia baru saja melukai sobat kita Pendekar Bukit Sinimbung!" teriak mereka. Wintara makin tidak habis pikir. Ia memandang berkeliling pada dua belas orang yang mengurungnya. Diantara orang-orang itu ada empat orang yang tadi berhadapan dengan Srikaton Munggel.
"Hm... Orang-orang Ki Wirayuda rupanya." kata Wintara dalam hati. Belasan orang itu serentak mencabut senjata.
"Biar Srikaton Munggel lolos dari kita! Tapi kita telah mendapat satu orang perusuh ini!" bentak mereka lagi siap menyerang.
"Kalian apa-apaan...!" bentak Wita Soma. Ia tetap terbaring di atas tanah berumput.
"Kalian bermaksud hendak mencelakai kami? Bukankah kalian para pengikut Ki Wirayuda?" kata Wita Soma Geram. Ia melindungi kutungan kepala isterinya. Setiap orang memandang jijik.
"Tujuan kami bukanlah untuk menyakiti anda, Pendekar Wita Soma. Tapi terhadap cecurut kecil ini. Seluruh orang-orang persilatan tahu kalau orangorang aliran sesat telah menerobos ke desa ini." jawab mereka. Yang lain siap menyerang. Wintara tenangtenang saja.
"Sungguh bodoh kalian semua! Justru pemuda ini yang telah menolongku!" bela Wita Soma.
"Tidak mungkin. Kami melihat sendiri kalau anak muda itu bersekutu dengan Srikaton Munggel!"
"Kalau dia ingin, bermaksud jahat. Dia sudah dari tadi membunuhku!" Jawaban Wita Soma sangat tepat. Ucapan itu membuat mereka serentak diam.
"Benar! Apa yang diucapkan pendekar bukit Sinimbung memang benar!" Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggema. Suara itu parau namun masih jelas kedengaran. Semua mata mencari-cari sumber suara itu.
"Kalian secepatnya membawa pendekar Wita Soma untuk menemui Ki Wirayuda! Suara itu menggema lagi. Namun sosok orang berteriak itu belum juga menunjukkan diri.
Wintara menatap ke atas. Sebelah telapak tangannya memungut batu kerikil. Dengan cepat pula ia melempar ke atas. Ke arah rimbunnya dedaunan. Batu kerikil meluncur deras bak peluru.
"Bocah hebat! Jangan menyerang! Baik aku akan menampakkan diri!" Rimbunan daun itu bergoyang-goyang. Dari situ melesat sosok berbaju serba hitam. Sebelum menginjak tanah tubuhnya berjumpalitan.
Dan begitu ia hinggap di hadapan mereka. Orang-orang Ki Wirayuda, Pendekar Wita Soma maupun Wintara sangat terkejut. Mengapa tidak. Sosok serba hitam itu berwajah buruk mirip hantu gentayangan. Tapi cepatnya mereka tahu kalau wajah buruk itu hanyalah sebuah topeng.
Para pengikut Ki Wirayuda ini berbalik mengurung sosok menyeramkan.
"Tunggu dulu, tiada maksud jahat atas penghadanganku ini. Sama sekali tiada maksud apa-apa." Sosok menyeramkan itu melangkah tenang. Lalu ia berkata lagi "Kecuali untuk mengingat pada segenap
orang-orang persilatan agar berhati-hati di tanah Sungkawarang. Juga perlu kalian sampaikan pada Ki Wirayuda. Bahwa ia telah membuat kesalahan besar." Setelah berkata begitupun sosok menyeramkan itu melesat lagi kemudian menghilang. Mereka tidak mengejar. Karena sosok menyeramkan cepat lenyap.

*
* *



--¦::: « 11 » :::¦--

Bulan penuh menerangi pelataran bangunan usang. Sekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar bagai sepasukan raksasa. Tanah merah yang tergenang air berkilat bagai perak. Bangunan usang itu berdiri tegar menyeramkan. Saat itu sosok hitam berlompatan dari pohon ke pohon. Gerakannya sangat lincah. Jelas tujuan sosok hitam itu menuju bangunan usang tersebut.
Tanpa ragu sosok hitam itu menjajaki anak tangga yang membawa tubuhnya memasuki ruangan gelap. Barulah kita tahu kalau sosok hitam itu tidak lain sosok berwajah menyeramkan. Sosok yang pernah mengintai pasangan pendekar dari bukit Sinambung, juga pernah berhadapan dengan orang-orang Ki Wirayuda bersama pendekar Kelana Sakti di persimpangan jalan.
Di dalam ruangan pengap itu telah menunggu seseorang. Meskipun dalam suasana remang, kita dapat melihat seseorang itu berpakaian penuh lumpur kering. Dialah sosok Gentara Karma. Sosok wajah menyeramkan masuk ke dalam ruangan menemui Gentara Karma.
"Ha-ha... Sobat Siluman Muka Buruk, akhirnya kita bertemu lagi." sambut Gentara Karma. Terhadap sosok berwajah menyeramkan ini Gentara Karma menyebut Siluman Muka Buruk.
"Senang rasanya bertemu orang seperti engkau!" kata Gentara Karma lagi. Siluman Muka Buruk hanya diam. Sepertinya ia tidak suka dengan pertemuan gelap itu.
"Di antara kita memang saling kenal. Kedatanganku ke sini bukan untuk bergabung. Tidak lebih untuk menengokmu saja." jawab Siluman Muka Buruk dingin.
"Apa maksudmu?" tanya Gentara Karma. Lalu ia meneruskan kata-katanya...
"Di Sungkawarang ini hanya kita berdua yang memiliki Ilmu Mati Pamungkas. Kau jangan berlagak alim, Siluman Muka Buruk. Kita ditakdirkan harus bergabung untuk menguasai dunia persilatan."
"Benar. Tapi sudah lama pikiranku telah berubah. Kita berdua sebenarnya telah mati, Gentara Karma. Kau harus ingat itu." Ujar Siluman Muka Buruk. Gentara Karma tertawa mengekeh.
"Kita berdua telah mengalami nasib yang sama. Lahir dari liang kubur. Tapi apakah kau rasakan kalau diri kita ini sudah mati? Kita masih bisa bicara, masih bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Kurang apa? Itukah yang disebut mati?"
"Kita berdua sudah mati. Jantungmu tidak berdenyut! Hatimu tidak lagi memiliki perasaan, dan juga tidak bernafas dengan udara. Kau tidak bisa menyangkal lagi kalau kita sudah mati."
"Itulah kehebatan Ilmu Mati Pamungkas. Selama kita hidup dari kematian, kita tidak pernah akan mati lagi." jawab Gentara Karma.
"Dan yang harus kau ingat "
"Kita berdua berdiri pada pihak aliran sesat." Bicara Gentara Karma bernada murka.
"Sekarang tidak lagi. Aku tidak berdiri di pihak manapun. Dunia persilatan hanya membuat diri ku semakin jenuh." ujar Siluman Muka Buruk.
"Katakan saja kau takut!" bentak Gentara Karma.
"Bukan takut atau tidak memanfaatkan Ilmu Mati Pamungkas. Kau pikir memiliki ilmu itu cukup enak? Bayangkan saja, kita semakin lama-semakin tua. Apa jadinya kalau kita tidak pernah mati?" kata Siluman Muka Buruk.
"Kalau begitu sebaiknya kita bertempur sampai di antara kita berdua ada yang betul-betul mampus!" Murka Gentara Karma.
"Percuma. Di antara kita tidak akan ada yang mati."
Mendengar itu Gentara Karma menghantam tinjunya ke tembok. Tembok dinding yang setebal satu jengkal ambrol berlubang. Apa yang dikatakan Siluman Muka Buruk benar. Sebenarnya pula Siluman Muka Buruk tidak gentar melihat kemarahan Gentara Karma. Maka setelah ia melihat Gentara Karma cukup tenang. Sosok berwajah buruk melangkah mundur...
"Kau boleh melakukan apa saja kemauanmu. Yang jelas aku tidak ingin terlibat." Siluman Muka Buruk melesat ke luar. Dalam sekejap sosok hitam itu lenyap dalam kepekatan malam. Gentara Karma melangkah ke luar. Ia tidak perduli ke mana Siluman Muka Buruk pergi. Pandangannya hanya menatap terangnya bulan purnama.
"Manusia dungu...! Manusia bodoh...! Tidak tahu arti Ilmu Mati Pamungkas. Tidak tahu ribuan musuh membentang di depan mata! Dasar tolol !" Teriakan Gentara Karma nyaring memecah suasana malam.

* * *



Ki Wirayuda tidak percaya dengan penuturan Wita Soma yang terbaring penuh dengan balutan. Terlebih-lebih Nyi Andini. Kedatangan pendekar dari bukit Sinimbung ini benar-benar merepotkan. Wintara yang juga berada di tempat itu jadi serba salah. Ia selalu dicurigai oleh orang-orang Ki Wirayuda. Tindakan itu memang wajar, karena Wintara orang asing.
Apalagi empat pengikut Ki Wirayuda mengatakan kalau Wintara bersekutu dengan Srikaton Munggel. Juga membantu Srikaton Munggel ketika mereka hendak meringkusnya. Sekalipun tindakan Wintara itu hanya terjadi karena salah paham, hal itu cukup membuat Ki Wirayuda menyesali. Mungkin juga tidak ada lagi kesempatan untuk menemui Srikaton Munggel.
"Ki Wirayuda... Sobat Wintara tidak bersalah. Dia hanya pendatang asing yang belum mengenai seluk beluk tanah Sungkawarang." ujar Wita Soma. Lukanya agak membaik. Ia sudah bisa bersandar pada dinding kamar. Hari itu mereka baru saja selesai menguburkan kutungan kepala Mawarni Runi.
"Aku memang memakluminya, Pendekar Wita Soma. Cuma harus juga ku sesali. Srikaton Munggel seorang tokoh sesat yang mendampingi Gentara Karma. Sangat disayangkan ia lolos." Tak ada kata lain yang diucapkan Ki Wirayuda.
"Siapa sobat Wintara mu ini? Tentulah bukan manusia sembarangan. Empat orang-orangku saja lari terbirit-birit dibuatnya." ujar Nyi Andini yang sebenarnya nada ucapan itu mengandung sindiran.
"Kiranya hal itu tidak lagi dipersoalkan. Lebih baik kita membicarakan perihal kemunculan Gentara Karma. Bukankah begitu saudara Pendekar Wita Soma?" kata Wintara
"Benar. Gentara Karma harus menerima hukuman yang setimpal. Aku harus menyerahkan bangsat itu ke bukit Sinimbung." sumpah Wita Soma. Ki Wirayuda dan Nyi Andini saling pandang.
"Ucapanmu sangat ngelantur, Pendekar Wita Soma. Mungkin saja kau salah lihat. Tidak mungkin orang itu Gentara Karma. Sebab Gentara Karma sekarang telah menjadi makanan cacing di liang kubur." ucap Ki Wirayuda.
Wintara keheranan. Wita Soma merasa seperti tidak ditanggapi. Bagaimanapun Wita Soma yakin siapa gerangan orang yang telah membunuh istrinya maupun membuat dirinya jadi terluka parah seperti ini. Terhadap Gentara Karma, Wita Soma sangat mengenalinya. Dia sendiri jadi bingung setelah mendengar pengakuan Ki Wirayuda.
"Semua orang-orang tanah Sungkawarang menyaksikan bagaimana Gentara Karma menerima ajalnya di dalam liang kubur. Mereka ikut menguruknya hidup-hidup!" Nyi Andini meyakinkan.
"Mana ada orang lain yang memiliki pukulan Tinju Guntur Geledek, selain Gentara Karma." tukas Wita Soma.
"Jelas ia bukan hantu gentayangan seperti yang kalian kira. Dia mengaku dirinya belum mati. Bahkan ia telah membuat aku mati kutu. Ilmunya makin sempurna. Belum tentu sepuluh orang seperti kita sanggup menghadapinya."
Ki Wirayuda maupun Nyi Andini menelan ludah. Bagaimana mereka harus mempercayai ucapan Wita Soma? Dendamnya saja selama ini belum terhapus. Lagi pula Gentara Karma memang telah dikuburnya hidup-hidup. Mereka berdua bersama orang-orang persilatan melihat betapa Gentara Karma tewas menderita. Untuk sementara keluarga Ki Wirayuda terpaksa mengalah.
"Baiklah... Aku mempercayai penuturan mu itu, Pendekar Wita Soma. Kita lihat saja perkembangannya. Nanti setelah sembuh kita boleh mencari orang yang memiliki pukulan Tinju Guntur Geledek." ujar Nyi Andini jadi tenang melihat percakapan tegang itu berubah dingin.

*
* *



--¦::: « 12 » :::¦--

Kemunculan laki-laki yang memiliki ilmu Tinju Guntur Geledek, ternyata bukan isapan jempol belaka. Juga bukan cerita ngawur Pendekar dari bukit Sinimbung. Banyak orang mengatakan hantu Gentara Karma kini gentayangan, Baik siang maupun malam selalu saja ada korban.
Penduduk Tanah Sungkawarang benar-benar resah. Gentara Karma tidak segan-segan membunuh siapa saja orang yang tidak disukainya. Apalagi orangorang persilatan. Di sana sini telah banyak bergelimpangan mayat mereka. Yang dadanya bolong, yang kehilangan lengannya, yang buntung kakinya, juga yang terbaring tanpa kepala.
Darah membercak di mana-mana. Setiap langkah Gentara Karma selalu mengundang maut. Di sudut desa banyak para penduduk yang kehilangan anak gadisnya. Setiap malam hampir setiap anak gadis mereka tewas secara mengerikan. Setiap korban perempuan selalu terdapat luka di tenggorokan yang nyaris putus. Setelah tewas, Gentara Karma sempat pula memperkosa mereka. Suatu kelebihan super maniak.
Peristiwa itu cepat tersebar membuat semua penduduk Sungkawarang semakin gelisah. Hal itu bukannya tidak diketahui oleh Ki Wirayuda. Tapi ia belum percaya kalau ia belum menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Untuk itu ia tetap merahasiakan pada Pendekar dari bukit Sinimbung. Meskipun demikian Nyi Andini tetap menyebarkan orang-orangnya untuk mencari kebenaran berita itu secara diam-diam.
Telah satu minggu Wintara berada di dalam pemukiman Ki Wirayuda. Dirinya merasa seperti terkurung. Sehingga ia tidak mengetahui apa yang tengah terjadi di luar.
Satu-satu tempat yang cukup tenang adalah lereng bukit Tunggul. Lereng itu memang tidak berpenduduk. Hutan-hutan-nya yang lebat tak terurus, juga banyak binatang buas yang berkeliaran. Tidak pernah ada seorang pendatang atau orang-orang yang bermaksud membuat tempat tinggal di sana. Bagi orang yang tahu, mereka mengenal adanya seorang tokoh tua bersama seorang perempuan cantik tinggal di sana. Ilmunya sangat luar biasa.
Yang membuat orang-orang itu takut adalah karena dua tokoh berilmu tinggi itu tidak suka dengan adanya pendatang yang mengusik ketenangan Gunung Tunggul. Guru serta murid sakti itu tidak segan-segan membantai para pendatang. Mereka adalah Srikaton Munggel bersama gurunya Nilasari Grewek. Guru dan murid ini sama-sama telengasnya menjaga Gunung Tunggul.
Saat itu Srikaton Munggel kembali ke puncak Gunung Tunggul. Ia membatalkan niatnya untuk bertemu Ki Wirayuda. Dan sekarang ia telah menemui satu persoalan yang amat berat. Persoalan yang sama sekali tidak dapat dimengerti. Hal itu harus cepat diberitahukan pada sang guru, Nilasari Grewek. Maka ketika ia menjajaki puncak gunung itu langkahnya semakin cepat.
Kediaman Nilasari Grewek nampak tenang. Merupakan sebuah bangunan batu. Nampak pula bangunan itu mirip bekas sebuah candi. Hampir seluruh dindingnya banyak di tumbuhi tumbuhan merambat sampai ke atas genting. Di depan pelatarannya tumbuh alang-alang menghijau sebatas pinggang. Srikaton menerobos menerjang hamparan alang-alang.
"Murid centil. Mengapa kembali begitu cepat? Apakah kau sudah mencari tahu berita itu?" Terdengar suara sambutan dari dalam bangunan. Jelas itu suara Sang guru. Srikaton Munggel tidak menjawab. Langkahnya cepat masuk ke dalam bangunan. Nilasari Grewek nampak duduk bersemedi di sudut ruangan. Rambut putih berubah terjuntai sampai ke lantai. Bajunya yang serba merah membuat dirinya nampak kekar meskipun usianya hampir mencapai tiga perempat abad.
"Gentara Karma tidak mati seperti apa kata orang. Guru. Dia masih malang melintang dalam dunia persilatan." kata Srikaton Munggel sambil menghenyakkan dirinya pada sebuah tumpukan jerami kering.
"Bagus. Berarti masih ada harapan untuk melanjutkan pertunanganmu dengan Gentara Karma. Hik-hik-hik-hik...." jawab Nilasari Grewek sambil tertawa mengikik.
"Lebih baik batalkan saja pertunangan itu. Aku sudah muak melihat tingkah Kakang Gentara Karma. Gara-gara ulahnya, orang-orang Ki Wirayuda mengetahui kehadiranku di tanah Sungkawarang." gerutu Srikaton Munggel. Tingkahnya bagaikan gadis remaja yang manja.
"Hik-hik-hik-hik... Mana mungkin orang-orang Ki Wirayuda berani mengusikmu, Cah Ayu...." Nilasari Grewek bangkit, lalu berjalan ke arah Srikaton. Perempuan muda ini mendadak nangis tersenguksenguk.
"Siapa bilang! Mereka hampir saja membunuhku." tukas Srikaton Munggel disertai deraian air mata.
"Astaga... Sampai sejauh itu mereka berani mengusik?... Tapi aku tidak percaya, Srikaton. Aku berani bertaruh. Ki Wirayuda sendiri pun tidak akan sanggup menghadapimu. Ilmu pedang mereka jauh di bawah kemampuan kita. Mana bisa terjadi begitu?"
"Seseorang telah membuat aku malu di hadapan orang-orang Ki Wirayuda. Dia berilmu tinggi. Ilmu pedangku tidak ada artinya." Srikaton Munggel menyeka air matanya.
"Siapa dia? Pasti bukan Ki Wirayuda?" Nilasari Grewek seperti marah.
"Memang bukan. Dia mengaku seorang pendekar." ujar Srikaton.
"Pendekar? Pendekar apa? Aku banyak tahu tentang ratusan pendekar yang ada muka bumi ini." ujar Nilasari Grewek dengar nada kesal. Terhadap Srikaton Munggel murid semata wayang ini. Sang Guru teramat menyayanginya. Tentu saja ia jadi murka mendengar murid tunggalnya dihina orang.
"Dia mengaku dirinya Pendekar Kelana Sakti."
"Pendekar Kelana Sakti?..." Nilasari Grewek berpikir sebentar, lalu....
"Hik-hik-hik-hik-hik... Apa hebatnya pendekar yang tidak punya arah tujuan itu? Berani betul ia membuat malu muridku di hadapan orang-orang Ki Wirayuda. Ia belum tahu siapa kita, Cah Ayu." gerutu sang guru. Rambut putihnya tergerai sampai sebatas pinggang bergerak-gerak.
"Ilmu pedang tingkat tinggi yang kumiliki masih bisa diatasi, bahkan ia sempat memaki dan menantang kita berdua!" Srikaton Munggel membakar.
"Bangsat...! Pendekar tak tahu penyakit! Di mana dia sekarang? Hah?" Nilasari Grewek terbakar emosi. rang!"
"Di mana lagi kalau bukan di tanah Sungkawa"Cepat berbenah. Kita cari pendekar sialan itu sampai dapat. Sekalian kita obrak abrik aki-aki keparat Wirayuda sampai mampus!" Sang Guru berjingkat. Srikaton Munggel mengencangkan ikat pinggangnya. Pedangnya berkilat terserong di pinggang.
"Kita tidak perlu lagi mencari Kakang Gentara Karma, Guru. Guru akan menyesal bila menjumpainya. Tindakannya sangat jorok. Suka memperkosa mayat-mayat perempuan. Itu yang membuat aku tidak suka lagi padanya."
"Itu berkat kesalahanmu sendiri, Srikaton. Orang macam Gentara Karma mana bisa menyimpan birahi. Kalau ia suka memperkosa mayat, itu tandanya Gentara memiliki suatu kelebihan. Kau akan beruntung memiliki suami macam dia. Ayo berangkat." ajak Nilasari Grewek. Saat ia menerobos alang-alang yang menghampar di pelataran bangunan batu, rambut serta bajunya bergerak-gerak tertiup angin. Srikaton Munggel bermalas-malasan melangkah.
"Cepat, Cah Ayu... Setelah kita membereskan pendekar sial itu, Gentara Karma akan kuseret untuk hidup bersamamu menguasai Gunung Tunggul." Nilasari menunggu Srikaton Munggel. Murid tunggalnya itu agak segan mendengar ucapan gurunya.
Mereka memang berdiri pada aliran sesat. Soal membunuh jangan ditanya. Tanpa berkedippun ia bisa membunuh. Sama mudahnya membalik telapak tangan. Tapi kalau harus bertunangan dengan seorang lelaki yang gemar meniduri mayat perempuan, amit-amit dah, pikir Srikaton Munggel. Lebih baik ia jadi perawan tua. Atau sebaliknya. Srikaton, terpaksa harus mencuri para pemuda gagah untuk kebutuhan nafsunya. Dia bebas memilih juga bebas membunuhnya, toh itu lebih baik dari pada harus tidur bersama seorang lelaki menjijikkan seperti Gentara Karma.

*
* *



--¦::: « 13 » :::¦--

Kian lama keadaan Wita Soma berangsur membaik. Pendekar dari bukit Sinimbung ini sudah dapat berdiri. Bahkan ia kini nampak bergerak-gerak mengkertakkan seluruh tulang-tulang sendinya. Terdengar gemeretak. Kalau ia bisa sembuh begitu cepat, itu berkat bantuan Wintara yang senantiasa ikut terkurung dalam kamar.
Tanpa sepengetahuan Ki Wirayuda maupun Nyi Andini, setiap hari Wintara menyalurkan tenaga inti pada Wita Soma. Itulah sebabnya kalau hari ini Wita Soma sudah merasa tidak kurang suatu apa. Pendekar dari bukit Sinimbung ini benar-benar berterima kasih sekali. Meskipun sekarang ia harus kehilangan istrinya.
Seperti biasa Ki Wirayuda bersama Nyi Andini menengok keadaan mereka. Mereka masih tetap curiga terhadap Wintara. Tapi Wintara bersikap biasa-biasa saja. Ia juga berharap agar Wita Soma cepat sembuh, agar ia bisa selekasnya keluar dari pemukiman Ki Wirayuda.
"Nampaknya anda telah sehat betul, Pendekar Wita Soma." tegur Ki Wirayuda. Kehadirannya diiringi oleh Nyi Andini.
"Rasanya memang demikian, Ki... Lebih bagus bukan? Karena sekarang aku bisa mencari si keparat Gentara Karma." Wita Soma mengenakan pakaiannya.
"Bukankah kau juga akan meringkus orang yang memiliki ilmu Tinju Guntur Geledek? Dengan bantuan sobat Wintara, Gentara Karma tidak akan lolos."
Mendengar itu Ki Wirayuda terkesiap. Selama ini perasaannya selalu dihantui oleh kemunculan Gentara Karma yang sepak terjangnya lebih brutal dan menantang. Tapi sampai saat ini baik Ki Wirayuda maupun Nyi Andini belum pernah melihat Gentara Karma dengan mata kepalanya sendiri.
"Kalau boleh, aku bersama Pendekar Wita Soma akan meninggalkan pemukiman ini sekarang." tukas Wintara.
"Bukan aku melarang, aku masih khawatir akan keadaan Pendekar Wita Soma yang belum sembuh betul." ujar Nyi Andini. Sikap Nyi Andini agak lain. Garis mukanya menampakkan tengah dilanda ketakutan.
"Kita akan sama-sama mencari Gentara Karma. Kita-kita pula yang akan mengadilinya." kata Ki Wirayuda. Wita Soma tidak bisa berkata lain.
"Tidak ada waktu untuk menunda-nunda, Ki. Orang semacam Gentara Karma tidak perlu diberi kesempatan luang. Kau boleh tidak mempercayai mengenai adanya sosok Gentara Karma. Kau boleh percaya pada keyakinanmu kalau kalian pernah mengubur Gentara Karma hidup-hidup. Sebaiknya kita mencari jalan masing-masing menurut pengalaman sendiri." Wita Soma bicara tegas. Sejak lama ucapan Wita Soma selalu tidak diabaikan.
Tapi sekarang setelah mendengar ucapan pendekar Wita Soma, Ki Wirayuda bagaikan tertikam belati di ulu hatinya.
Sementara itu keadaan di luar sangat gaduh. Orang-orang yang berada di dalam ini mendadak terkejut. Nyi Andini langsung berlari ke luar diikuti Ki Wirayuda, begitu juga dengan dua pendekar ini. Semuanya berlari ke depan pelataran.
Mereka dapat melihat langsung belasan para pengikut Ki Wirayuda mengurung seseorang. Seseorang ini tidak lain dari sosok hitam berwajah menyeramkan. Siapa lagi kalau bukan Siluman Muka Buruk. Melihat itu, Wintara maupun pendekar dari bukit Sinimbung sudah tidak asing lagi.
Siluman Muka Buruk melangkah maju bermaksud mendekati majikan mereka, tapi belasan orang itu menghalangi dengan hunusan senjata mereka. Dari golok, pedang, sampai tongkat dengan mata pisau bercagak dua. Namun semua itu tidak digubris. Dia hanya bergerak memutar lengan kanan serta kirinya, maka beberapa penghadang bergulingan ambruk. Melihat inipun Nyi Andini serta Ki Wirayuda bertambah murka.
"Monyet busuk! Sungguh lancang berani memasuki tempat ini serampangan!" bentak Ki Wirayuda seraya maju.
"Sudah, Kakang. Jelas maksud kedatangannya akan mengacau. Belah saja kepalanya...!" gertak Nyi Andini.
"Sabar tuan dan nyonya...! Kedatanganku ini demi keselamatan kalian. Suruh menyingkir semua anak buah kalian." ujar Siluman Muka Buruk semakin maju. Ia menjatuhkan lagi dua orang penghalang. Pukulan-pukulan yang dilancarkan tidak berarti sama sekali. Hanya membuat para pengikut Ki Wirayuda terpelanting tanpa luka. Wintara dapat melihat itu.
"Keselamatan apa? Berani betul kau meremehkan kami!" hardik Nyi Andini. Ki Wirayuda bersiap melepaskan hantaman.
"Sebaiknya kalian menyingkir semua dari tempat ini. Kalau tidak kalian bakal tewas di tangan Gentara Karma." kata Siluman Muka Buruk.
"Apa katamu? Gentara Karma akan datang ke mari? Bagus secepatnya suruh ia ke mari! Kepalanya mestinya kupenggal untuk kujadikan Tumbal!" Pendekar Wita Soma sengit. Iapun melompat ke depan menghadapi Siluman Muka Buruk.
"Pendekar Wita Soma syukurlah kau nampak sehat-sehat saja. Sebaiknya kaupun kembali ke bukit Sinimbung. Percuma menghadapi Gentara Karma." kata Siluman Muka Buruk. Saat itu Ki Wirayuda sudah melepaskan sebuah hantaman. Sosok hitam menyeramkan ini cepat menangkis.
"Bangsat rendah!" hardik Wita Soma.
"Kaupun akan sama mampusnya dengan Gentara Karma! Hreaaaaa...!" Wita Soma bergerak maju. Hantamannya menyilang mendera. Melihat itupun Nyi Andini tidak tinggal diam. Serta merta ia menerjang dengan babat pedang. Wintara tenang-tenang saja di depan pintu. Melihat para pentolan persilatan berdatangan menggempur Siluman Muka Buruk, para pengikut Ki Wirayuda berjingkat mundur.
"Tuan-tuan pendekar, hendaklah mengerti akan maksudku. Saat sekarang Gentara Karma amat berbahaya. Aku hanya memperingati kalian." ujar Siluman Muka Buruk lantang. Seraya ia menyambut sekaligus serangan-serangan itu. Sosok hitam nampak lincah. Ia bergerak kian ke mari memapaki tiap serangan. Ki Wirayuda sengit. Hantamannya selalu tidak mengena. Wita Soma yang melancarkan pukulan Tinju Karangnya selalu saja dapat ditangkis. Nyi Andini yang bersenjatakan pedang melepaskan babatan-babatan pedang. Sinar putih menyilaukan bergulung-gulung menyambar. Namun hanya dengan sekali gerakan, tangan Siluman Muka Buruk menghantam ke depan "Bug!"
Nyi Andini memekik. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Punggungnya serasa berdenyut.
"Kalian betul-betul tidak bisa dikasihani! Jangan keras kepala dan cepat tinggalkan tempat ini!" hardik Siluman Muka Buruk. Melihat tiga pendekar ini mengepung kembali. Wintara menghentakkan kakinya, maka secepat angin tubuhnya langsung hinggap di hadapan sosok menyeramkan. Terhadap Pendekar Kelana Sakti ini, Siluman Muka Buruk masih memandang muka.
"Pendekar muda. Hanya kau yang bisa mengatasi kebodohan ini. Bujuk mereka agar mengetahui adanya malapetaka!" ujar Siluman Muka Buruk.
"Pendekar sakti. Mohon anda memberikan penjelasan yang jelas. Kami semua benar-benar tidak mengerti." kata Wintara.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan. Kalau orang-orang tidak kenal takut ini selalu menyerangku?" Siluman Muka Buruk balik bicara. Wintara menoleh ke arah tiga pendekar yang berdiri di belakangnya. Mereka sudah bersiap-siap menyerang lagi.
"Berapa orang yang kau utus untuk mencari Gentara Karma, Ki Wirayuda?... Apakah mereka sudah kembali? Ayo jawab." tanya Siluman Muka Buruk. Ki Wirayuda menggeram tidak menjawab. Harus pula sosok menyeramkan ini terpaksa menjawab sendiri.
"Kesepuluh orang utusan itu telah tewas di tangan Gentara Karma. Kau tidak perlu menyembunyikan perasaanmu, Ki. Itu suatu pukulan untukmu. Dan juga kematian mereka termasuk sepak terjang Gentara Sukma yang selama ini meresahkan orangorang persilatan maupun penduduk Sungkawarang, adalah akibat tindakanmu terhadap Gentara Sukma." Suara Siluman Muka Buruk lantang. Ki Wirayuda tidak berani menyahut. Kesepuluh orang utusannya memang belum kembali. Selama ini Ki Wirayuda merahasiakannya. Mungkin sekarang telah menjadi tulang belulang tanpa kubur.
Dalam keterbisuan itu, mendadak terdengar suara tawa yang melengking, "Hik-hik-hik-hik-hikhik...!" Tawa yang melengking itu disertai dengan tenaga dalam yang sempurna.

*
* *



--¦::: « 14 » :::¦--

Serempak semuanya menoleh ke arah suara itu, maka mereka melihat sosok Nilasari Grewek bersama murid tunggalnya, Srikaton Munggel. Sang Guru terus melepaskan suara tawa yang amat menusuk gendang telinga. Cepat Siluman Muka Buruk menepuk kedua telapak tangannya. Suara tawa itu mendadak berhenti. Dua pendekar perempuan ini melangkah terburu-buru mendekati mereka.
"Hik-hik-hik.... Ki Wirayuda.... Hik-hik-hik.... Sebenarnya aku tidak akan turun gunung kalau saja murid tunggalku ini tidak dihina oleh para pengikutmu." ujarnya mengekeh. Ia mengelus-elus rambut halus Srikaton Munggel.
"Guru, pendekar sial yang menantang kita kebetulan ada di sini." bisik Srikaton Munggel sambil memoncongkan bibirnya ke arah Wintara. Wintara sudah mengerti apa yang dimaksudkan perempuan itu.
"Sabar, Muridku... sabar. Jangan terburu, buru.... Toh mereka bakal mampus semua. Hik-bik-hikhik "
"Bagus, guru dan murid sudah menampakkan diri. Semua orang-orang aliran sesat mesti dihukum. Celakanya, kalian berhadapan denganku, Tua bangka keriput!" bentak Ki Wirayuda. Nyi Andini bersiap-siap menghadapi Srikaton Munggel.
"Nilasari Grewek. Urusanmu hanya mencari Gentara Karma untuk maksud tertentu. Jangan cobacoba mengusik orang-orang ini. Pergilah! Aku segan berhadapan dengan] orang pikun macam kau." ujar Siluman Muka Buruk.
"Sialan kau manusia jelek! Aku jijik melihat rupamu yang busuk itu. Rupanya kau yang terlebih dahulu mesti dikirim ke akherat. Jiaaaa...!" Serta merta Nilasari Grewek lepaskan satu hantaman dahsyat. Pukulan itu serasa bagai angin taufan. Siluman Muka Buruk memapakinya dengan pukulan Tirai Tebing. Kedua tangannya bergerak menyilang.
"Mumpung ada di depan mata. Kenapa kita diam saja!" bentak Nyi Andini menerjang Srikaton. Perempuan dari Gunung Tunggul ini tidak gentar menyambut. Melihat istrinya sudah bertindak, Ki Wirayuda datang membantu. Wintara tidak tinggal diam. Sekali lesatan tubuhnya ia sudah menyambar melepaskan pukulan ke punggung Srikaton. Perempuan ini memekik mundur.
"Ki Wirayuda.... Nyi Andini Menyingkirlah! Biar olehku manusia-manusia sesat ini ku lumpuhkan." Wintara lepaskan pukulan Bayu Menghantam Karang. Jurus yang teramat dahsyat. Ki Wirayuda maupun Nyi Andini sampai terhuyung terkena sambaran anginnya.
"Pendekar sialan! Lagi-lagi kau ikut campur urusanku! Mampuslah!" Srikaton Munggel sengit. Ia sudah tahu kalau berhadapan dengan Pendekar Kelana Sakti tidak bakal mampu. Maka ia menghadapinya sambil bergeser ke samping gurunya.
Saat itu Nilasari Grewek sudah melepaskan kurang lebih sembilan jurus. Selama itu pula Siluman Muka Buruk selalu menyambutnya. Keduanya samasama melancarkan serangan gencar. Dalam hal ini nampak Nilasari sudah berada di atas angin. Di luar dugaan Nilasari Grewek lepaskan pukulan Jari Tombak. Tanpa bisa menghindar Siluman Muka Buruk tertembus jari-ari runcing Nilasari ke dadanya. Sosok menyeramkan itu menghadapi tanpa memekik. Manakala Jari Tombak semakin menembus ke jantung.
Dan saat Nilasari menarik kembali tangannya. Segumpal jantung ikut terbawa, bercampur dengan darah kehitaman berbau busuk. Siluman Muka Buruk berdiri tegar tanpa merasakan sakit. Malah di luar dugaan ia membalas serangan. Hantamannya keras menyampok pelipis Nilasari Grewek. Nenek keriput itu tersungkur kelojotan. Namun ia masih dapat bangkit dengan cepat.
"Manusia jelek! Aku ingin tahu sampai di mana batas kekuatanmu tanpa jantung! Hreaaa !" Pendekar Sakti Bukit Tunggul ini menerjang deras. Siluman Muka Buruk menyambut dengan pukulan menyilang.
"Dueeeees!"
Kembali Nilasari Grewek memekik, kali ini ia menyemburkan darah. Tubuhnya terhuyung mundur.
Sebagai majikan tanah Sungkawarang, tidak mungkin Ki Wirayuda dan Nyi Andini tinggal diam. Keduanya maju serempak lancarkan serangan pada Srikaton Munggel yang saat itu sibuk menghadapi gempuran Wintara. Sambaran pedang Nyi Andini hampir menghantam putus leher murid tunggal Nilasari Grewek. Pukulan disertai tenaga dalam Ki Wirayuda menyerempet perut. Tapi saat Srikaton membalas serangan. Dua majikan tanah Sungkawarang ini terlempar jauh. Melihat itupun Wintara tidak tanggung-tanggung lepaskan Tinju Bayu Delapan Penjuru. Pukulan itu sangat menyesakkan dadanya. Mata Srikaton Munggel merem melek menahan sakit. Tubuhnya berguling ke arah Pendekar Wita Soma yang masih menyaksikan pertarungan seru itu.
Pendekar Wita Soma nampaknya tidak menyianyiakan kesempatan. Saat tubuh Srikaton masih bergulingan. Ia lancarkan sebuah tendangan ke bawah. Maka tak pelak tendangan itu menghantam perut.
"Jreess!"
Srikaton Munggel makin kelojotan, tapi saat itu Nilasari Grewek sempat meninggalkan Siluman Muka Buruk. Ia langsung menyambar tubuh murid tunggalnya. Pendekar Wita Soma terkejut pula mendapat hantaman dari Nilasari Grewek.
Dua murid dan guru ini benar-benar telah kehilangan muka. Kehadirannya di pemukiman Ki Wirayuda hanya menjadi bulan-bulanan mereka. Apalagi Siluman Muka Buruk terus mencecar tanpa berhenti. Malah serangannya sekarang ini bagaikan banteng tengah mengamuk. Serangan-serangan balasan Nilasari tidak diperdulikannya. Meski repot macam itu, Nilasari Grewek sempat menyambar tenggorokan Siluman Muka Buruk dengan Jari Tombak.
"Jraaaas...!"
Darah hitam menyembur dari kulit tenggorokan yang robek berlubang.
Suatu pemandangan yang mengerikan. Siluman Muka Buruk mendapat deraan-deraan dari Nilasari Grewek. Pukulan-pukulan, Jari Tombak seakan mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Namun tanpa perduli apa-apa Siluman Muka Buruk terus bertahan sambil membalas serangan-serangan itu.
Wintara tidak sampai hati melihat Siluman Muka Buruk terluka parah demikian. Serta merta ia melompat sambil melepaskan hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru. Pukulan itu tidak kepalang tanggung menghantam. Nilasari Grewek tidak sanggup bertahan. Ia beserta murid tunggalnya terlempar beberapa meter. Begitu juga dengan Siluman Muka Buruk. Ia terpelanting berkali-kali.
Merasakan hebatnya pukulan itu, Nilasari Grewek cepat menarik tubuh Srikaton Munggel yang tanpa daya. Sikapnya seperti orang yang akan melarikan diri. Wintara tidak menyangka kalau Siluman Muka Buruk masih bisa berdiri tanpa kurang suatu apa. Tubuhnya seperti hancur penuh luka-luka sayatan. Namun tidak banyak darah yang keluar. Kecuali bercakbercak darah yang menghitam berbau busuk.
"Pendekar sial. Siapa gurumu sampai-sampai aku yang telah banyak makan asam garam dunia persilatan ini dibuat tidak berdaya." Nilasari Grewek mengatur nafasnya. Sebelah tangannya memegangi tubuh Srikaton Munggel.
"Soal guruku, tidak perlu kau ketahui. Nama besar guruku pantang disebut di hadapan orang-orang sesat macam kalian."
"Pendekar muda...! Jangan biarkan dia lolos! Bangsat renta itu sangat licik!" bentak Siluman Muka Buruk. Dilihat dari nada ucapannya sosok menyeramkan ini mulai berpihak pada Wintara.
Tapi sebelum Wintara melepaskan hantaman lagi. Guru dan murid dari Gunung Tunggul ini terlanjur melarikan diri. Hanya dalam sekejap keduanya sudah melesat jauh. Serta merta Nilasari terus menggerutu.
"Pendekar sial...! Moga-moga jangan bertemu lagi!" teriakan itu hilang bersama lenyapnya dua pendekar wanita dari Gunung Tunggul. Siluman Muka Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Pendekar muda.... Kenapa kau biarkan dua cecunguk itu melarikan diri? Kau bisa menumpas mereka tadi." ujarnya.
"Dua perempuan sesat itu tidak berarti, Ki Sanak. Lagi pula persoalan yang sebenarnya bukan mengurusi orang-orang Gunung Tunggul!" jawab Wintara tenang.
"Maksudmu kalian akan nekad berhadapan dengan Gentara Karma? Betul-betul tidak tahu penyakit." kata Siluman Muka Buruk.
"Sudah tahu kami tidak takut penyakit kau masih juga menghalangi. Pergilah dari hadapan kami Siluman Muka Buruk!" Bentak Ki Wirayuda. Tanpa menyahut Siluman Muka Buruk melangkah mundur. Lalu ia melesat pergi jauh. Semua pendekar itu memandang aneh terhadap Siluman Muka Buruk. Jelas jantungnya sudah terkorek ke luar. Juga tubuhnya penuh luka, bagaimana ia tidak mati?

*
* *



--¦::: « 15 » :::¦--

Siang itu juga tanah pemakaman Sungkawarang penuh sesak oleh orang-orang yang datang berduyun-duyun. Saat itu rombongan Ki Wirayuda tengah membongkar sebuah kuburan. Ki Wirayuda sendiri bersama Nyi Andini berdiri menatap anak buahnya menggali tanpa berkedip. Di sebelah sana Wintara bersama Pendekar Wita Soma, berdiri pula menatap tegang. Semakin lama lubang semakin dalam tergali.
"Ke mana Ki Karantungan? Kenapa ia tidak ada di pemakaman ini?" tanya Nyi Andini. Ki Wirayuda cepat menjawab.
"Entahlah. Di gubuknya aku tidak menemui dia." Ki Wirayuda terus menatap para pengikutnya mengucurkan keringat menggali tanah di mana mereka pernah menanam tubuh Gentara Karma hidup-hidup di situ. Wajah Ki Wirayuda makin tegang pula. Semakin dalam mereka menggali, mereka tidak menemukan apa-apa.
"Cukup!" bentak Ki Wirayuda.
"Kalian telah menggali lebih dari kedalaman semula. Kita tidak menemukan tanda adanya mayat keparat itu." Ki Wirayuda berkata geram.
"Hal ini kita perlu tanyakan pada Ki Karantungan, Kakang."
"Justru diapun telah lenyap dari tempat ini." Wintara dan Pendekar Wita Soma saling pandang. Wintara juga bukannya tidak pernah ke pemakaman ini. Juga ia telah mengenal Ki Karantungan si penggali kubur. Mungkinkah ia bersekongkol mengeluarkan Gentara Karma dari liang kubur? Semuanya tidak habis pikir. Dalam pada itu Ki Karantungan melangkah sendiri. Ia meninggalkan rombongan itu. Langkahnya sangat cepat. Melihat itupun Nyi Andini cepat mengikuti. Keduanya sama-sama melesat dengan kecepatan larinya.
Wintara dan Pendekar Wita Soma turut mengejar. Seluruh orang-orang yang berada di situ berubah keheranan. Para pengikut Ki Wirayuda tetap tinggal di situ, membiarkan kedua majikannya pergi.
"Kakang.... Kau hendak ke mana?" seru Nyi Andini menyusul. Tanpa menjawab Ki Wirayuda terus memacu larinya. Wintara dan Wita Soma menyusul di belakang. Mereka menerobos hutan belukar. Empat orang berilmu tinggi berlari saling kejar. Dalam beberapa saat mereka telah menembus hutan tersebut. Di hadapan mereka kini menghampar alang-alang. Dari kejauhan mereka dapat melihat sebuah bangunan batu yang telah usang. Bangunan itu dikelilingi dengan pohon-pohon besar.
Wita Soma baru menyadari. Kalau ia pernah singgah di situ bersama istrinya. Maka ia mempercepat mengejar langkah larinya. Keempatnya terus berlari menerobos alang-alang. Tapi mereka di kejutkan oleh suara teriakan.
"Pendekar-pendekar tolol! Kalian hanya mengantarkan nyawa dengan percuma! Kembali! Dan tinggalkan tanah Sungkawarang!" teriakan itu menggema. Tapi mereka masih mengenali suara itu.
"Siluman Muka Buruk, kau selalu menguntit kami. Sebaiknya kau yang buru-buru merat dari Sungkawarang!" hardik Ki Wirayuda. Sosok Siluman Muka Buruk tidak menampakkan diri. Ki Wirayuda tidak perduli. Ia sudah menjajaki tangga batu yang menuju masuk ke dalam bangunan. Tiga pendekar yang berlari di belakangnya cepat mengiringi Ki Wirayuda. Empat pendekar berilmu tinggi ini membelalakkan matanya. Mengapa tidak. Keempatnya serentak melihat sosok Gentara Karma tengah menggeluti sosok mayat perempuan bugil. Gentara Karma seakan tidak perduli dengan kehadiran empat orang ini. Ia malah semakin bernafsu merengkuh mayat perempuan itu. Nyi Andini hampir muntah melihat pemandangan jorok seperti itu.
Sosok mayat perempuan memang bertubuh mulus tanpa cela. Namun kedua rongga matanya nampak berlubang mengembar darah. Sedangkan dua biji matanya berserakan di lantai berdebu.
Serta merta Ki Wirayuda melepaskan sebuah tendangan menghantam pinggang Gentara Karma. Laki-laki tengah menindih mayat perempuan mencelat membentur tembok.
"Manusia laknat! Pandai juga kau meloloskan diri dari liang kubur. Tapi sekarang mana bisa lari lagi!" Bentak Ki Wirayuda siap lancarkan serangan. Gentara karma bangkit menggeliat. Giginya gemeretak menahan amarah. Berdiri menantang.
"Satu.... Dua.... Tiga.... Empat! Bagus hari ini empat nyawa akan melayang sekaligus. Kebetulan pula kau datang bersama Nyi Andini, Ki Wirayuda! Kau tahu benar seleraku!" ujar Gentara Karma. Nyi Andini betul-betul terhina. Pendekar Wita Soma sudah tidak sabaran. Ia menerjang lebih dulu. Tinju Karang bergulung menderu-deru menghantam Gentara Karma. Tapi laki-laki berbaju penuh lumpur kering ini tidak bergeser menyambut hantaman itu.
"Rupanya belum jera juga merasakan hantaman Tinju Guntur Geledek! Sambut ini.... Hraaaaa...!" Sekonyong-konyong Gentara Karma melepaskan sebuah hantaman.
"Blaaaar...!"
Wita Soma memekik hebat tubuhnya terbanting membentur dinding batu. Kepala hampir remuk.
Nyi Andini bersama Ki Wirayuda merangsak maju. Pedang Nyi Andini bergerak sukar dihindari. Pukulan-pukulan Ki Wirayuda mencecar bagian dada. Dengan gesit Gentara Karma berkelit.
"Anak muda, kenapa tidak maju sekalian. Apakah kau takut mati?" ejek Gentara Karma, sebelah lengannya memapaki serangan Ki Wirayuda. Tapi tusukan tajam pedang Nyi Andini tidak bisa dielakan. Pedang itu menembus di perut Gentara Karma. Lalu di tariknya pedang itu kuat-kuat ke samping.
"Breeeet...!"
Perut Gentara Karma robek semakin lebar. Ususnya terburai. Namun laki-laki penuh lumpur kering ini tetap berdiri tegar, seolah-olah luka yang dahsyat itu tidak dirasakan sama sekali. Ki Wirayuda jadi terkejut. Dalam pada itu Gentara Karma melepaskan Tinju Guntur Geledek ke arah mereka berdua.
"Blaaaar...!"
Hantaman itu deras menerjang. Ki Wirayuda dan istrinya sampai terlempar ke luar bangunan. Keduanya menyemburkan darah. Gentara tertawa terkekeh-kekeh.
"Kini giliranmu, Pendekar ingusan! Hraaaat...!" Gentara Karma lepaskan lagi sebuah hantaman. Wintara bergerak cepat menyingkir. Melihat betapa mudahnya Wintara menghindar, Gentara Karma makin gigih lancarkan serangan berikut. Tinju Bayu Delapan Penjuru Wintara cepat bertindak. Maka "Bledaaaar. !"
Hantaman mereka saling bentur. Keduanya sama-sama terlempar. Membentur dinding tembok,
"Hebat-hebat...! Baru kali ini Tinju Guntur Geledek ku mendapat saingan." kata Gentara Karma tergelak-gelak. Ususnya yang terburai bergerak-gerak menjijikkan.
"Sambut lagi ini, anak muda!" Gentara karma murka. Wintara tetap menyambut, sekalipun ia masih merasakan sakit ketika hantaman mereka tadi saling bentur. Tak urung Wintara juga menyemburkan darah. Apalagi saat Gentara Karma lepaskan sebuah tendangan. Tubuh Wintara bergulingan ke luar. Empat pendekar berusaha bangkit. Tubuh mereka seperti bergetar. Menatap Gentara Karma yang melangkah ke luar. Tinju Guntur Geledek memang tidak boleh dianggap ringan. Pantas Pendekar Wita Soma hampir mati dibuatnya.
"Sudah kukatakan kalian bukan tandingan Gentara Karma!" Terdengar teriakan menggema Siluman Muka Buruk. Sekarang sosok menyeramkan ini menampakkan diri. Lesatan tubuhnya sangat ringan. Berjumpalitan di udara kemudian hinggap di hadapan empat pendekar yang siap-siap menghadapi Gentara Karma.
"Siluman Muka Buruk, menyingkirlah. Kau tidak perlu menakut-nakuti kami!" bentak Ki Wirayuda seraya menerjang. Begitu juga dengan Nyi Andini. Babatan pedang bergerak cepat bagai kilatan angin. Wita Soma tidak ketinggalan melancarkan jurus Tinju Karang, warisan dari bukit Sinimbung. Siluman Muka Buruk tidak bisa menghalangi mereka.
Mendapat serangan dari tiga orang itu, Gentara Karma malah maju menerjang. Kedua lengannya berputar. Menghantam Ki Wirayuda dan Wita Soma tanpa ampun mereka berdua terguling ambruk dengan tulang iga yang remuk. Nyi Andini yang bersenjatakan pedang, murka melancarkan babatan pedang lebih dahsyat.
"Crak...! Crak...! Crak!" Tanpa ampun pedang Nyi Andini menebas berkali-kali di tubuh Gentara Karma. Laki-laki penuh lumpur kering ini tetap berdiri tanpa kesakitan, Nyi Andini benar-benar terkejut. Ia bisa melihat jelas luka-luka babatan pedangnya begitu dalam merobek bagian dada. Bahkan sebuah sabetan pedangnya sempat menembus sampai ke jantung. Ia mulai gentar. Di luar dugaan Gentara Karma lepaskan Tinju Guntur Geledek. Tak kepalang Nyi Andini mencelat bersama pedangnya yang entah ke mana.

*
* *



--¦::: « 16 » :::¦--

Begitu tubuhnya ambruk ke tanah. Darah menyembur banyak dari mulutnya. Sedangkan tubuhnya tidak berkutik lagi. Karena seluruh tulang dadanya rontok. Melihat itu pun Ki Wirayuda cepat berlari ke arah istrinya. Didapati tubuh istrinya telah lemas tanpa nyawa.
Siluman Muka Buruk belum beranjak dari tempatnya. Ia saling pandang dengan Wintara. Pendekar Wita Soma hampir tidak dapat berdiri. Nafasnya tersengal-sengal karena tulang iganya patah.
"Siluman Muka Buruk, kenapa kau berada di sini? Bukankah kau tidak akan mencampuri urusanku?" ujar Gentara Karma. Tubuh tanpa luka itu tidak mengeluarkan darah sama sekali. Hanya Siluman Muka Buruk yang tahu mengapa demikian.
"Sekarang terpaksa aku harus mencampuri urusanmu, Gentara Karma. Mulai saat ini tidak ada lagi korban tangan jail mu. Karena kita akan mati bersama-sama." ucap Siluman Muka Buruk.
"Chis! Sampai leburpun kita tidak bakalan mati. Menyingkirlah jangan halangi aku!" Gentara Karma menerjang Jelas terjangannya itu mengarah pada sosok Ki Wirayuda. Tapi sebelum Gentara Karma dapat melepaskan hantaman, Siluman Muka Buruk menghalangi dengan sebuah pukulan. Begitu juga dengan Wintara yang sejak tadi sudah mengatur pernafasannya. Pendekar Kelana Sakti tidak segan-segan lancarkan Bayu Menghempas Tebing. Jurus ini cukup dahsyat. Gentara Karma terhempas mundur ke belakang.
Hantaman Wintara tidak berhenti sampai di situ. Siluman Muka Buruk juga terus lancarkan serangan-serangan yang sebenarnya tak berarti bagi Gentara Karma.
Sepak terjang ketiga orang ini mengoyak permukaan tanah. Setiap serangan serta hantaman mereka beradu nyaring. Gentara Karma pantang mundur menghadapi mereka berdua.
"Anak muda, kau membuang-buang tenaga percuma. Sebaiknya bawa pergi mereka dari sini." kata Siluman Muka Buruk menyerang Gentara Karma dengan pukulan-pukulan beruntun.
"Tidak, Ki Sanak. Kau yang harus menyingkir dari sini. Tidak kau lihatkah luka-lukamu yang demikian parah?" jawab Wintara melepaskan tendangan. Gentara Karma terhuyung ke belakang. Namun masih dapat maju membalas.
"Kau tidak akan mengerti, Anak muda." Siluman Muka Buruk menepis hantaman Gentara Karma.
"Banyak mulut! Seharusnya kau berpihak kepadaku, manusia jelek!" bentak Gentara Karma. Ia menyambut serangan mereka dengan Tinju Guntur Geledek yang dilancarkan secara berturut-turut. Setengah mati Wintara menghindarinya. Secepatnya ia menyusun kekuatan dengan Menyibak Tirai Bayu. Maka hantaman-hantaman Gentara Karma berderakderak melenceng. Siluman Muka Buruk cukup tercengang melihat kebolehan Pendekar Kelana Sakti.
Dan pada jurus yang kesebelas, Wintara menggebrak dengan Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Duaaaar...!"
Tubuh Gentara Karma mencelat ke belakang. Selama tubuhnya melayang di udara Gentara Karma menjerit-jerit. Tapi tak lama ia hinggap kembali di tanah sambil menyeringai. Wintara bergidik melihatnya. Kalau manusia biasa, pastilah sudah tewas terkena hantaman tadi. Sekarang ia hampir kehabisan tenaga. Untunglah saat itu Siluman Muka Buruk menggantikan posisi Wintara. Perkelahian mereka malah nampak lebih seru. Selain jurus-jurus mereka begitu dahsyat. Juga setiap terjangan mereka bagaikan harimau lapar yang saling mematikan.
Dalam pertarungan itu tampak Gentara Karma sudah berada di atas angin. Hantaman-hantamannya selalu mengena telak di tubuh Siluman Muka Buruk. Namun sekeras apapun pukulan Gentara Karma sama sekali tidak dirasakan. Bahkan ketika Gentara Karma lancarkan pukulan karate. Tak terduga hantaman itu memukul putus pangkal lengan Siluman Muka Buruk. Jelas kutungan tangan itu terbanting jatuh di tanah. Tapi Siluman Muka Buruk tetap seperti tidak merasakan sakit.
Barulah Wintara mempunyai satu kesimpulan. Kalau mereka berdua memiliki ilmu kebal rasa. Jalan satu-satunya mungkin harus memenggal kepalanya. Maka dengan gerakan yang sangat cepat, Wintara menyambar pedang Nyi Andini yang tergeletak di tanah. Lalu diteruskan terjangannya mengarah pada pertarungan.
Teriakan Wintara menggelegar saat pedang di tangannya berkelebat menyambar putus kepala Gentara Karma. Kepala itu menggelinding di tanah. Siluman Muka Buruk melangkah mundur. Apalagi Wintara. Ia masih terkejut melihat tubuh Gentara Karma tetap berdiri meski tanpa kepala. Yang lebih menakutkan lagi. Kutungan kepada itu masih bisa bicara.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Baru tahu sekarang, bukan. Gentara Karma bukan orang yang gampang mati."
"Anak muda, pergi! Bawa mereka jauh-jauh!" perintah Siluman Muka Buruk. Wintara masih berpikir keheranan. Manakala tubuh tanpa kepala itu bergerak maju menyerang Wintara. Tapi Wintara bisa menghindarinya, karena hantaman-hantaman yang dilancarkan itu membabi buta tanpa arah. Sepertinya pula serangan-serangan itu dikendalikan oleh kepala yang tergeletak di tanah.
Maka dengan reflek Wintara menendang kutungan kepala. Sekali sambar kutungan kepala itu mencelat.
"Des!"
Hinggap tepat di antara cabang pohon. Saat itu juga.
"Waaaarght...!" Kutungan kepala itu menjeritjerit. Terjepit erat di antara cabang pohon dan tidak mungkin terlepas. Bau busuk menyebar menusuk hidung. Bersamaan dengan itu perubahan pada kutungan kepala terjadi. Kutungan kepala Gentara Karma berubah hitam seperti arang. Lalu jeritan itu berhenti. Siluman Muka Buruk mendadak berjingkat menghindari serangan tubuh Gentara Karma. Tanpa kepala serangan Gentara Karma tidak menentu arah. Gerakannya bagaikan orang buta. Hal itu memudahkan Siluman Muka Buruk menyerangkan hantamanhantamannya. Namun tak urung juga Siluman Muka Buruk terkena hantaman nyasar.
Serta merta Wintara datang membantu. Tubuh mencelat Siluman Muka Buruk dapat ditangkap. Setelah itupun Wintara melompat maju menghadapi tubuh Gentara Karma yang terus melancarkan Tinju Guntur Geledek. Tanpa ambil resiko Wintara menghadapi hantaman-hantaman itu. Dia juga melepaskan pukulan maut Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!"
Hantaman mereka beradu. Tubuh Gentara Karma mencelat. Wintara jatuh duduk. Tapi ia terus lancarkan Tinju Bayu Delapan Penjuru disambung lagi dengan Bayu Menghantam Karang. Tak urung tubuh Gentara Karma terus didera dengan hantamanhantaman maut Pendekar Kelana Sakti.
Tubuh itu terus melayang tersangkut pada cabang pohon juga. Tubuh itu seperti kelojotan berontak. Namun tubuh yang bergerak-gerak itu membuat dirinya semakin terjepit di sela-sela cabang pohon.
Seperti yang telah terjadi dengan kutungan kepala Gentara Karma. Tubuh itupun mnyebarkan bau busuk. Tubuh itu tidak meronta-ronta lagi. Kulitnya yang penuh luka seperti hangus menjadi arang. Wintara memandangi perubahan itu dengan perasaan jijik. Siluman Muka Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Kau telah memecahkan kelemahan Ilmu Mati Pamungkas, Anak muda. Aku bersama Gentara Karma memang telah menguasai ilmu itu. Tapi sampai saat ini aku tidak mengetahui kelemahannya. Sungguh hebat." ujar Siluman Muka Buruk. Lengannya tinggal sebelah.
"Kau...?" Wintara balas menatap. Pantas ia tidak merasakan rasa sakit. Kiranya mereka memiliki Ilmu Mati Pemungkas, pikir Wintara. Saat itu Pendekar Wita Soma bangkit berdiri. Dengan perlahan ia melangkah pula. Ki Wirayuda masih memeluki mayat istrinya. Ia hanya memandangi para pendekar itu.
"Sebenarnya pula, jasad ku telah mati dua puluh tahun yang lalu. Aku dapat hidup kembali dari liang kubur karena memiliki ilmu tersebut. Selama hidup di atas kematian. Orang-orang yang memiliki ilmu itu tidak akan mati lagi. Tapi sekarang ilmu Mati Pamungkas telah terpecahkan." kata Siluman Muka Buruk tertunduk.
"Ki Sanak, kau sangat berbeda dengan Gentara karma. Padahal sudah menguasai ilmu Mati Pamungkas. Tapi kau tetap berada di jalan yang benar."
"Benar. Semula aku berdiri pada aliran sesat. Tapi setelah hidup kembali, aku masih merasakan betapa sakitnya manusia menerima kematian. Untuk itu pikiranku jadi berubah."
"Manusia gagah siapakah sebenarnya anda. Mengapa selalu menutupi wajah dengan topeng yang sangat menakutkan itu?" tanya Pendekar Wita Soma.
"Hanya untuk penyamaran. Banyak orang yang masih mengenali aku. Tapi kalian akan tahu sekarang." ujar Siluman Muka Buruk. Sebelah lengannya menarik kulit tipis menyeramkan yang menutupi wajahnya.
Sekejap itu pula tiga pendekar yang berada di situ terkejut bukan kepalang. Di hadapan mereka tidak lain sosok Ki Karantungan, si penggali kubur.
"Ki Karantungan?" Serempak mereka heran.
"Ya, memang aku." katanya datar.
"Kami betul-betul tidak menyangka...." kata Wintara tak berkedip. Ki Karantungan hanya tersenyum.
"Ilmu Mati Pamungkas sudah tidak ada artinya. Pendekar Kelana Sakti telah memecahkan rahasia kelemahan ilmu tersebut. Tanpa menyentuh tanah, penganut ilmu itu akan mati menjadi kerak tanah." kata Ki Karantungan sambil menunjuk ke arah sosok tubuh menghitam tersangkut di celah cabang pohon.
"Hidupku tidak ubahnya bagai mayat hidup.
Hampa tak punya selera. Kenikmatan hidup bisa dirasakan dari yang mati. Sungguh menjijikkan, bukan?" ujar Ki Karantungan melangkah mundur.
"Ki Karantungan, apa yang hendak kau lakukan?" Wintara berusaha menyusul.
"Tetapi diamlah di situ, Pendekar Kelana Sakti. Aku telah menemukan jalan yang ku anggap paling baik untuk diriku." Ki Karantungan menghalangi dengan sebelah lengannya.
Di luar dugaan tubuh Ki Karantungan melesat ke atas. Sebelah tangannya meraih cabang tertinggi. Membiarkan dirinya tergantung demikian rupa. Maka kejadian seperti Gentara Karma terjadi pada Ki Karantungan.
Wintara tidak menatap ke atas. Bau busuk menyebar luas. Pendekar dari bukit Sinimbung bersama Ki Wirayuda menyaksikan sampai tuntas proses perubahan tubuh Ki Karantungan yang berangsur-angsur menjadi arang. Lalu jatuh ke bawah, pecah berkepingkeping bagai kaca.
Kedua orang penganut Ilmu Mati Pamungkas telah lenyap. Tapi bukan berarti cerita ini berakhir begitu saja. Selama orang-orang yang berpihak pada aliran sesat belum tuntas. Pendekar Kelana Sakti belum bisa meninggalkan tanah Sungkawarang. Apalagi dua perempuan sesat dari Gunung Tunggul! masih berkeliaran. Suatu waktu Srikaton Munggel bersama gurunya akan muncul kembali untuk membuat perhitungan. Jelas dua perempuan itu berilmu sangat tinggi. Ki Wirayuda bersama pendekar dari Bukit Sinimbung belum tentu mampu menghadapinya.
Nab, untuk itu para pembaca sekalian bisa mengikuti kisah selanjutnya dalam: "Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul"

TAMAT



INDEX WINTARA
Dua Pendekar Buntung --oo0oo Dewi Jalang Dari Gunung Tanggul
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.