Life is journey not a destinantion ...

Bidadari Kuil Neraka

INDEX WINTARA
Jago-Jago Rogojembangan --oo0oo Setan Gila Dari Lereng Ungaran

WINTARA
Pendekar Kelana Sakti
Karya : Buce L. Hadi

--¦::: « 1 » :::¦--

Ki Rondo Mayit mengamuk kalap ketika ia mendengar berita kematian putranya. Tidak ada seorang pun yang dapat meredakan amarahnya. Karena dalam ruangan itu memang hanya dia sendiri. Seluruh ruangan itu berderak-derak. Apa yang ada di hadapannya dihancurkan. Meja yang penuh dengan peralatan terbalik hancur belah hanya dengan sekali tendang. Termasuk juga dua buah peti yang bersandar di dinding batu. Kedua peti yang tingginya hampir sama dengan tubuh Ki Rondo Mayit tidak luput dari kemurkaannya. Peti-peti hancur, ia menghentikan amukannya. Nafasnya masih memburu menahan amarah. Lalu ia melangkah ke luar. Rambutnya yang putih kusut sebatas bahu bergerak-gerak saat ia melangkah.
Udara dingin menghembus tubuhnya saat ia berdiri di tengah pintu bangunan yang hampir ambruk itu. Matanya memerah menatap jauh cakrawala. Kedua telapak tangannya mengepal erat. Terdengar bunyi gemeretak tulang-tulang jarinya.
"Manusia mana yang mampu membunuh anakku...! Siapa dia gerangan...! Aku tidak yakin kalau Raden Mas Kinanjar Swantaka yang melakukannya. Kematian Wadak Keling maupun dua mayat hidup itu, aku tak perduli!" katanya geram setelah berada di luar bangunan.
"Tapi untuk kematian anakku, orang itu harus menerima balasannya!" Tiba-tiba saja kakinya menendang hancur batu yang menonjol di permukaan tanah. Lalu tubuhnya melesat berlari kencang. Sebentar saja manusia berambut putih itu sudah jauh menghilang dari pandangan mata. Namun teriakannya masih saja menggelegar terdengar.
"Raden keparat! Orang-orang pilihan keparat!
Kalian tunggu pembalasanku!"

*
* *



Pagar bambu yang setinggi tiga tombak itu rapi berderet membatasi tanah lapang yang cukup luas. Padahal beberapa hari yang lalu tempat itu sempat porak poranda. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada waktu itu sudah tidak nampak lagi. Orang-orang Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat memperbaiki pagar bambu itu meskipun keadaan mereka banyak yang luka-luka. Dan Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri cukup prihatin terhadap keadaan mereka. Sebelumnya jumlah mereka lebih banyak dari yang sekarang. Hampir separuh dari mereka tewas akibat serangan mendadak yang terjadi di tempat itu.
Meski mereka kehilangan hampir separuh dari jumlah mereka. Orang-orang itu tetap gigih membangun benteng pertahanan di daerah itu. Mereka setuju sekali kalau setiap sudut tanah Rogojembangan didirikan benteng-benteng pertahanan. Dengan adanya benteng pertahanan, Rogojembangan akan tetap aman dan tentram.
Tenda-tenda besar masih berdiri di tengahtengah lapangan itu. Di sana sini terdapat bangunan yang hampir jadi. Meskipun bangunan itu terbuat dari kayu dan setengah batu, bangunan itu nampak kokoh dan kuat. Tapi yang jelas pondokan-pondokan yang hampir jadi itu sudah bisa ditempati. Malah lebih nyaman daripada di dalam tenda. Di antara sekian banyak berderetnya pondokan-pondokan, ada sebuah podokan yang sudah betul-betul rampung.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bersama orangorangnya berada di situ. Mereka dalam keadaan aman. Beberapa prajurit menjaganya di luar. Lalu sisanya meneruskan pekerjaan mereka membangun benteng. Nampak sekali kesibukan-kesibukan mereka. Raden Mas Kinanjar Swantaka duduk berderet melihat dari dalam ruangan pondokan itu. Juga termasuk beberapa orang yang duduk berderet melingkar ke arahnya. Mereka tidak lain adalah Wintara, Umbara Komang dan Pendekar Wanita Kembar Cambuk Seriti. Beberapa prajurit berdiri juga di dalam ruangan itu.
Dari kancing bajunya yang terbuka nampak jelas balutan-balutan yang melilit di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sedari tadi pula Wintara memperhatikan luka-lukanya. Nampaknya luka-luka itu sudah berangsur membaik. Umbara Komang duduk bersila bersandar pada dinding, kedua matanya terpejam sambil mendengkur. Tapi orang-orang yang ada di ruangan itu tidak memperdulikannya. Apalagi wanita kembar yang bersila di sebelahnya, mereka bersikap masa bodoh terhadap Umbara Komang.
"Semestinya kita sudah harus ada di kerajaan untuk membawa upeti-upeti ke sana. Tapi mengingat saudara Tangan Besi dan temannya belum sampai ke sini, kita terpaksa menunggu mereka." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka mengawali pembicaraan.
"Tapi mereka sudah melewati batas perjanjian, Raden. Kami khawatir saudara Tangan Besi dan Langkung Daro tewas dalam melakukan tugasnya." Cambuk Kembar Seriti Kuni memberikan pendapat.
"Jangan berperasaan khawatir seperti itu, Seriti Kuni.... Mereka berdua bukan termasuk orang-orang yang mudah diperdaya." jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Memang betul, Raden... Menurut perintah dalam tiga hari mereka harus kembali ke sini. Tapi sekarang sudah telat lima hari Halangan apa yang membuat mereka begitu telat.... Kalau Raden Mas sengaja menunggu mereka, apa kata orang-orang kerajaan nanti? Paling tidak mereka akan khawatir juga terhadap kita. Tidak pantas kalau orang-orang kerajaan datang ke mari yang mengambil upeti " ujar Seriti Kuni yang tidak berbeda dengan Seriti Wuni. Keduanya menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Jadi bagaimana menurutmu jalan yang terbaik ?"
"Secepatnya kita berangkat ke kerajaan, kalaupun saudara Tangan Besi dan saudara Langkung Daro masih hidup mereka pasti datang ke sini lagi. Lagipula tanpa mereka apa halangannya. ? Raden Mas Kinanjar Swantaka orang kepercayaan kerajaan, jangan sampai Raden kehilangan muka." jawab Seriti Kuni.
"Apa yang dikatakan Seriti Kuni adalah benar. Upeti harus secepatnya sampai ke kerajaan " Wintara ikut angkat bicara. Umbara Komang masih tetap mendengkur.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tak usah cemas! Tentunya Pendekar Kembar Seriti akan bersedia mengawal, bukankah begitu ?" kata Wintara lagi, matanya berkedip ke arah wanita kembar itu.
"Kau pun harus ikut serta, Pendekar Muda!" sahut Seriti Wuni.
"Jangan lupa ajak temanmu itu." Seriti Kuni menunjuk Umbara Komang. Pandangan Raden Mas Kinanjar Swantaka mengarah ke situ pula, maka ia tersenyum.
Umbara Komang tetap mendengkur pulas. Sudah tentu ia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka mengancingkan bajunya. Balutan-balutan yang melilit di tubuhnya tertutup. Luka-luka itu masih terasa sakit. Tapi tidak apa-apa. Hanya luka luar.
"Bukan aku tak percaya dengan kalian...." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, ia bangkit berdiri. Yang lain tetap bersila pada tempatnya. Lalu....
"Kalau saja Pendekar Tangan Besi dan Langkung Daro ada di sini, kekuatan kita akan lebih terjamin lagi. Sebab daerah yang akan kita lewati amatlah berbahaya. Tidak ada jalan lain selain melintasi perbukitan tandus yang memanjang sampai ke Ungaran. Bukit tersebut telah dikuasai oleh perampok-perampok yang tidak kenal ampun. Apalagi mereka tahu kita membawa upeti yang tidak sedikit jumlahnya."
"Raden, kita-kita ini bertugas demi kerajaan... Demi tanah air!. Apapun halangannya kita harus berusaha menghadapi. Lebih baik kita mati dalam tugas daripada diam berpangku tangan di sini." kata Seriti Kuni. Adiknya, Seriti Wuni diam berpikir.
"Aku mengerti.... Kalian memang bermaksud baik." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, sambil kedua matanya memandang orang-orang yang bekerja di luar sana. Kemudian ia berkata lagi,
"Kalau kita-kita semua berangkat, siapa yang akan mengawasi orang-orang bekerja di sini, siapa pula yang akan menjamin bila terjadi sesuatu ? Haaaaaaah," Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik nafas. Pembicaraan mereka putus. Ucapan Raden Mas Kinanjar Swantaka memang betul. Kedua-duanya sama penting. Orang-orang yang ada di situ dan upeti yang akan diantar sama-sama memerlukan pengawal.
"Siapa di antara kalian yang mau mengawal upeti dan mengawal di sini ?"
"Aku !" jawab mereka serempak. Hanya Umbara Komang yang tetap mendengkur.
"Ah! Itu sama bodohnya ! Dalam hal ini kalian akan ku bagi menjadi dua bagian. Hanya itu jalan terbaik. Kalian tinggal mencari keputusan." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka tersenyum ramah. Semuanya diam. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah menuju ke sudut ruangan. Di situ terdapat sebuah meja. Di atasnya terdapat empat buah peti ukuran kecil. Orang itu mengusap-usap salah satu peti.
"Kalau kalian tetap diam biarlah aku yang akan memberi keputusan... Menurut pemikiran ku, Pendekar Cambuk Seriti Kembar tetaplah di sini. Sebenarnya bukan aku merendahkan kalian. Bukan sama sekali... Dalam hal ini aku sengaja memilih Wintara dan sahabat silumannya "
"Apa? Aku bukan siluman! Aku Umbara Komang!" Tiba-tiba saja Umbara Komang bangkit. Setelah ia berkata begitu, ia meneruskan tidurnya.

*
* *




--¦::: « 2 » :::¦--

Panas terik matahari menggarang ketiga orang yang menunggangi .....kuda menyusuri lembah sunyi. Ketiga ekor kuda itu berjalan tenang membawa tuannya. Paling tengah duduk tegak sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tubuhnya bergoyang-goyang saat kudakudanya melangkah tenang menyusuri jalan itu. Wintara dan Umbara Komang mengiringi di samping kiri dan kanan Masing-masing kuda mereka membawa dua buah peti. Peti-peti diikat erat menyatu dengan pelana. Tebing-tebing curam di kedua sisi jalan. Umbara Komang tidak bisa diam di atas pelananya.
"Dewa.... Sebenarnya mau ke mana kita ini? Rasanya kita menyusuri lorong maut yang sangat panjang." kata Umbara Komang kesal. Tingkah lakunya sangat aneh.
"Tenanglah, Umbara.... Akan kubawa kau ke sarang siluman jahat. Pasti kau akan senang...." kata Wintara menghibur.
"Apa? Mendengar adanya siluman jahat tanganku jadi gatal...! Di mana mereka?"
"Masih jauh... Tenang saja jangan ribut! Pelanpelan saja kita berjalan... Awas jangan sampai mereka terbangun, kita akan celaka...." Raden Mas Kinanjar Swantaka menakut-nakuti. Tapi Umbara Komang malah kegirangan.
"Siluman-siluman jahat mesti dimusnahkan! Biar saja mereka bangun semua! kenapa harus takut...!" Lalu Umbara Komang memacu kudanya berjalan paling depan. Sebentar saja kuda itu berada jauh. Nampak kuda itu berputar-putar ke sekeliling lembah.
"Keluar siluman...! Keluar! Ayo keluar kalian semua! Aku siluman, Eh bukan! Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang raja dari para siluman akan menggorok leher kalian!" Umbara Komang berteriakteriak. Tidak ada jawaban. Hanya suaranya yang bergema di sekeliling lembah. Umbara Komang berhenti berteriak. Lalu ia memberi aba-aba pada Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendekatinya.
"Sssst... Siluman-siluman itu benar ada. Mereka bersembunyi di sekeliling sini! Kalian dengar tadi mereka mengikuti suara ku!" katanya sambil menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Kedua orang yang menghampiri hanya tersenyum. Mereka mengerti apa yang dimaksudkan Umbara Komang. Laki-laki berpenyakit saraf itu mengira gema suaranya adalah suara para siluman. Mereka berjalan beriringan lagi.
"Biar saja mereka bersembunyi.... Itu karena mereka takut!" ujar Wintara.
"Siluman yang suka sembunyi adalah siluman yang baik!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menimpali. Umbara Komang manggut-manggut sok mengerti. Kini ia duduk dengan gagah di atas kudanya. Memandang ke atas penuh keangkuhan.
"Siluman jahat tidak ada yang berkeliaran di sini... Nanti tak lama kita akan menjumpai silumansiluman jahat... Tapi aku rasa mereka takut melihat kita. Karena raja dari para siluman ada di sini...!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka lagi. Umbara Komang makin kembang kempis hidungnya. Bibirnya mencibir sombong.
Mereka kembali berjalan dengan menunggangi kuda-kudanya. Lembah-lembah di situ tidak begitu curam lagi. Udara masih dapat berhembus meski matahari bersinar terik. Mereka baru merasakan kalau hari itu begitu cerah. Namun begitu mereka tetap waspada akan bahaya yang bakal dari kedua sisi jeram. Para perampok biasanya di sana. Dan mereka memang telah memastikan wilayah rawan.
Mereka bertiga mendadak berhenti ketika mendengar banyak derap kaki kuda dari arah belakang. Ketiganya serempak menoleh ke arah kuda-kuda yang berlarian di belakangnya. Kuda-kuda itu makin lama makin dekat. Nampak dua ekor kuda menarik sebuah kereta yang amat bagus. Kuda-kuda lainnya mengiringi berderet di depan dan belakang.
Melihat kuda-kuda yang begitu banyak, Wintara segera menepi ke pinggir jalan. Umbara Komang maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka mengikuti. Kuda-kuda mereka berjajar di pinggiran jalan. Mereka memberi jalan kepada belasan kuda yang berlari terburu-buru. Kereta kuda yang berada paling tengah pada barisan itu nampak tenang melaju. Di dalam kereta itu nampak jelas sekali seorang perempuan muda duduk sendirian. Mereka melaju terus tidak memperdulikan ketiga orang yang menunggangi kudanya di pinggiran jalan.
Ketiga orang itu pun dapat melihat wajah perempuan muda di dalam kereta itu. Wajah yang ayu nan anggun. Sinar matanya penuh kelembutan yang jarang dimiliki oleh perempuan manapun. Siapa saja yang melihatnya pasti tergetar. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka saat itu. Kedua matanya tidak berkedip ketika mereka beradu pandang.
Umbara Komang hampir melompat menyerang mereka, tapi cepat Wintara dapat menahannya.
"Mereka bukan siluman jahat, Umbara... Mereka siluman baik-baik!" sergah Wintara. Umbara Komang tenang kembali. Rombongan kuda itu telah menjauh. Yang mereka lihat hanyalah segumpalan asap mengepul di antara kaki-kaki kuda mereka.
Raden Mas Kinanjar Swantaka masih memandangi kepergian kereta yang kian lama kian jauh menghilang. Sedari tadi ia tidak berkedip. Wintara dapat memperhatikannya, betapa Raden Mas Kinanjar Swantaka terpesona pada perempuan muda itu.
Wintara pun mengakui akan keanggunannya, kecantikannya bahkan kelembutan yang memancar dari kedua sinar mata yang indah. Tapi bagi Wintara hanya cukup untuk mengagumi saja. Lain tidak!
"Dia memang sangat cantik, Raden... Dan pantas untuk dijadikan selir." Wintara menggoda. Raden Mas Kinanjar Swantaka tersentak dari lamunannya. Ia sudah merasa dengan sindiran itu. Maka ia cepatcepat mengendalikan kudanya meneruskan perjalanan. Namun dalam hatinya masih membayang seraut wajah yang sangat menawan.
"Begitu banyak para pengawalnya, pastilah gadis itu bukan orang sembarangan. Apalagi berani melintasi lembah ini. Bagaimana kalau sampai di bukit sana?" kata Wintara yang menyusul di belakang bersama Umbara Komang.
"Mudah-mudahan saja mereka selamat dalam perjalanan... Kuharap sekali...." Raden Mas Kinanjar Swantaka berkata pelan.
Ketiganya tidak lagi berjalan perlahan. Raden Mas Kinanjar Swantaka yang memimpin di depan memacu kudanya lebih cepat. Wintara maupun Umbara Komang hanya mengikuti berusaha mengimbangi. Sengaja Wintara membiarkan orang ningrat itu berjalan paling dulu. Membiarkan dirinya bersama angannya yang kasmaran.
Setengah harian penuh sudah mereka melintasi daerah lembah. Kini mereka mengarungi dataran kering berbatu. Di mana pada dataran itu banyak menghampar tulang belulang berserakan. Namun bagi mereka bertiga pemandangan semacam itu tidak berarti sama sekali. Malah tulang berulang itu hancur berderak-derak terinjak oleh kaki-kaki kuda mereka.
Pandangan mereka membentur pada sebuah bangunan yang hampir roboh. Bangunan itu pula yang bakal mereka lewati. Setelah mereka menyeberangi sebuah jembatan kayu yang menghubungkan ke mulut jurang yang membentang di hadapan mereka, barulah mereka dapat melihat jelas bangunan yang telah termakan usia. Perlahan sekali mereka melintasi halaman muka bangunan tersebut.
Mata Raden Mas Kinanjar Swantaka terbelalak ketika ia melihat ke bawah di depan pintu. Sosok tubuh terkapar membiru dan menyebarkan bau busuk. Tubuh itu penuh dengan pisau-pisau kecil menembus di kulitnya. Ia langsung turun dari kuda yang di tunggangi. Wintara dan Umbara Komang hanya memperhatikan.
"Langkung Daro! Astaga...!" Keluar pekikan dari mulut Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wintara turun dari kudanya mendekat. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan itu. Sebelum orang itu masuk, tubuh Umbara Komang melesat dan tiba-tiba saja menghalangi langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka....
"Tahan.... Jangan masuk ke sini! Aku tahu betul kalau di sini sarang siluman jahat!" Begitu katanya. Melihat tindakan Umbara Komang, orang ningrat itu hampir marah. Tapi ia segera dapat menguasai amarahnya....
"Justru itu, Umbara Kita mesti membasminya sekarang!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil menyingkirkan tubuh Umbara Komang yang menghalangi langkahnya. Umbara Komang membiarkan orang itu masuk tapi ia sendiri pun ikut masuk pula ke dalam. Pada ruangan pertama mereka tidak melihat apaapa. Namun pada ruangan kedua, mereka hanya melihat barang-barang serta papan-papan yang telah hancur berkeping-keping. Tidak ada satu manusiapun di dalam sana. Lalu mereka keluar lagi. Wintara masih menunggu di luar.
"Tidak ada tanda-tanda orang tinggal di sini.... Apa sebenarnya yang terjadi pada Langkung Daro!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap mayat itu. Umbara Komang termangu. Sepertinya ia teringat akan sesuatu yang pernah dialaminya. Terbayang sekali wajah seram seseorang berambut putih kusut dengan gusi tanpa gigi di saat menyeringai. Wajah itu kian menghantui perasaannya. Membuat dirinya kalap. Tiba-tiba saja ia berteriak dan mengamuk seperti ingin menghancurkan bangunan itu.

*
* *




--¦::: « 3 » :::¦--

Setiap pukulan Umbara Komang mampu menghancurkan dinding batu. Tendangannya pun demikian. Kalau saja Wintara tidak cepat menahannya, mungkin bangunan itu akan hancur. Terhadap Wintara, Umbara Komang sangat takluk. Ia menghentikan amukannya.
"Kau melakukan tindakan yang salah, Umbara Komang. Kalau kau menghancurkan bangunan ini, salah-salah kau sendiri yang akan terkubur hidup-hidup di sini!" bentak Wintara. Umbara Komang tertunduk, sepertinya ia menyesali perbuatannya. Tidak terasa kedua tinjunya mengalirkan darah.
Sekarang ia menatap angkuh ke arah bangunan itu. Kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka memandang aneh.
"Aku ingat sekarang. Istana ini tempat berdiamnya Siluman Berambut Putih! Hati-hati terhadap dirinya! Dia banyak menguasai siluman!" kata Umbara Komang dengan tiba-tiba.
"Siluman Berambut Putih?" Wintara bergumam.
"Yahhhh. Nanti kalau ketemu Siluman Putih kita bereskan dia! Sekarang kita kubur saja jasad Langkung Daro ini...."Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai menggali lubang, sebelumnya ia meraih tonggak kayu yang digunakan untuk menggali. Wintara datang membantu. Umbara Komang tidak berdiam diri. Kedua tangannya ikut membantu menggali tanah. Maka dengan sebentar saja lubang itu sudah siap.
Selesai menguburkan jasad Langkung Daro, mereka meneruskan perjalanan. Kali ini mereka nampak serius. Ketiganya nampak hanyut dengan pikiran masing-masing. Apalagi sekarang mereka melewati padang tandus. Angin yang berhembus bercampur dengan debu. Keringat mereka berbaur dengan debu-debu yang beterbangan.
Perjalanan mereka memang masih sangat jauh. Untuk mencapai daerah kerajaan mereka harus menempuh setengah harian lagi. Untunglah mereka membawa banyak perbekalan. Tiap-tiap kuda mereka terdapat kantong perbekalan. Mereka lebih banyak membawa persediaan air. Nampak pula mereka sesekali meneguk pundi-pundi air mereka.
Tebing-tebing tegar nampak menakutkan. Tidak ada tumbuhan yang kelihatan menghijau. Semuanya kering serba tandus. Batang-batang pohon banyak tumbuh di atas tebing-tebing itu. Cabang-cabangnya yang plontos tanpa daun bagai cakar-cakar makhluk yang amat mengerikan. Dari situ pula, tiba-tiba saja berjatuhan batu-batu sebesar kepala menghujani ketiga orang yang berjalan menunggangi kuda.
Batu-batu tersebut menggelinding bersuara bagai gemuruh. Ketiga orang yang berada di bawahnya cepat menoleh ke atas. Lalu dengan sigap mereka menghindari hujan batu yang datangnya dari atas tebing. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan. Debudebu pasir menutup bagai asap tebal. Dan ketika batubatu itu berhenti menghujani mereka. Asap debu perlahan pudar.
Pandangan mereka masih samar tertutup asap debu. Meskipun demikian mereka dapat melihat puluhan sosok berdiri di atas tebing menatap garang ke bawah. Puluhan orang itu melihat betapa repotnya mereka menghindari batu-batu yang masih menggelinding nyaris menimpa. Tidak satupun batu-batu itu yang berhasil menyentuhnya. Ketiga orang itu meskipun duduk di atas kuda dapat menghindarinya dengan mudah.
Separuh dari orang-orang yang berdiri di atas tebing meluruk turun ke arah tiga orang yang masih berusaha menghindari hujan batu. Suara-suara mereka begitu ribut, mendengar dari nada teriakan mereka pastilah mereka akan menyerang. Mereka juga nampak mengacung-acungkan senjatanya! Dari pisau, golok, pedang, bahkan panah sekalipun nampak jelas di tangan mereka.
"Tangkap mereka hidup-hidup dan ambil semua upeti yang mereka bawa...!" terdengar teriakan seseorang dari atas tebing sana. Sosok itu berdiri pada tonjolan batu yang paling tinggi. Tubuh hitam itu berdiri tegak menyaksikan anak buahnya menyerang ketiga orang yang berada di bawahnya.
"Kita juga perlu kuda-kuda mereka!" Sosok yang berdiri paling tinggi teriak lagi.
"Itu perampok-perampok yang kuceritakan tempo hari, Wintara... Dan kita memang memasuki wilayah kekuasaannya. Mereka pasti menginginkan upeti-upeti yang kita bawa...." Raden Mas Kinanjar Swantaka melirik peti-peti kecil di belakang kuda Wintara dan Umbara Komang. Ia khawatir dan tidak ingin upeti-upeti itu jatuh ke tangan mereka. Wintara tetap tenang menatap para perampok itu mendekat berdatangan.
"Wueeeeh...! Inikah siluman-siluman jahil itu? Bagus!" kata Umbara Komang ia membawa kudanya maju ke depan. Wintara membiarkannya, ia melihat Umbara Komang melompat dari kudanya dan maju menyerang para perampok yang sudah turun. Tendangannya menjatuhkan tiga orang sekaligus....
"Hayo kalian turun semua...! Siluman-siluman jelek yang jahat harus lenyap dari muka bumi !
Heaaaaaaat!" Lengannya berputar. Kembali dua orang bergelimpangan dengan muka yang berlumuran darah. Para perampok itu tidak hanya menyerang Umbara Komang, mereka berpencar mencari sasaran lain. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai turun menyambut serangan-serangan mereka. Senjatasenjata mereka berkelebat, namun Wintara dapat dengan mudah mengatasi. Bahkan setiap kali Wintara melakukan serangan balasan, tubuh-tubuh banyak yang berpentalan.
Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka, meskipun ia dalam keadaan yang terluka ia masih bisa menyambut serangan-serangan itu. Sekalipun para perampok itu tahu tiga orang itu memiliki ilmu yang sangat luar biasa, mereka tidak gentar sedikitpun.
"Bantu mereka. Cepat.... Tangkap mereka hidup-hidup!" Terdengar lagi teriakan sosok yang berdiri tegap. Maka menghamburanlah sisa orang-orang yang masih berdiri atas tebing. Mereka meluruk ke bawah bagai air bah. Dengan disertai suara-suara teriakan orang-orang itu maju menerjang. Beberapa orang berusaha mendekati dua ekor kuda yang membawa petipeti kecil. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang sempat melihat mereka langsung melompat dan melancarkan tendangan...
"Deeeeees."
Orang-orang yang baru saja mengambil petipeti itu memekik dengan tubuh-tubuh yang terbanting keras. Namun masih saja orang-orang berwajah garang datang merebut peti-peti itu. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak akan mengijinkannya. Orang-orang itupun harus menyingkirkannya lebih dahulu. Tapi mana mampu mereka menyingkirkan Raden Mas Kinanjar Swantaka?
Para perampok itu berdatangan seperti tidak pernah ada habisnya. Mereka memang berilmu tinggi, tapi menghadapi puluhan orang secara keroyokan mana mungkin mereka bisa bertahan lama. Wintara sendiri selalu mundur-mundur mengatur siasat. Setiap ia mundur melangkah, hantamannya selalu memakan korban. Selalu saja begitu. Karena Wintara tidak mungkin berdiri di situ terus menghadapi para perampok-perampok itu, sementara mereka menyerang dari segala arah.
"Kau raja siluman keparat...! Akulah lawanmu...!" Umbara Komang berlari menanjak ke atas tebing. Namun tidak mudah! para perampok berdatangan menghalanginya. Babatan-babatan senjata mereka hampir merencah tubuhnya. Sosok hitam berdiri tenang melihat pertempuran itu. Sinar ma tanya memancar sinar amarah yang luar biasa terhadap Umbara Komang. Maka ia pun melesat ke bawah ke arah Umbara Komang. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali bahaya yang akan datang. Karena Umbara Komang tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Sampaisampai ia lalai. Dan tahu-tahu saja sebuah tendangan menghantam kepalanya...
"Der!"
Sudah tentu Umbara Komang memekik bergelintingan. Setelah melancarkan tendangan, sosok hitam itu melesat lagi. Gerakannya cepat bagai kilat. Ia tidak lagi naik ke atas tebing. Tubuhnya yang gesit meluncur deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ringan sekali ia melesat di udara, sebelah tangannya berkelebat menyambar...
Saat Raden Mas Kinanjar Swantaka membereskan lawan-lawannya, matanya sempat melihat sosok hitam berkelebat melancarkan serangan...
"Weeees!" Serangan itu luput. Karena Raden Mas Kinanjar Swantaka keburu merunduk. Dalam keadaan tubuh masih di udara sosok hitam itu masih sempat melancarkan tendangannya.
"Deeees!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak sempat menghindar lagi. Tubuhnya bergulingan. Mulutnya mengeluarkan darah. Sosok hitam itu tidak berhenti menyerang, sekali kakinya menghentak tubuhnya melesat lagi dan tahu-tahu tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bekukannya. Sebelah lengannya mengarahkan pedang pendek ke tenggorokkan laki-laki ningrat itu. Ujung pedangnya menggores kulit leher. Terasa sekali perihnya.
"Hentikan...! Kalian lihat ke mari!" teriak sosok hitam itu. Maka segera saja Wintara melompat jauh menghindari serangan-serangan dan melihat keadaan Raden Mas Kinanjar Swantaka terancam. Umbara Komang masih sibuk menjatuhkan lawan-lawannya...
"Hei manusia gila...! Kau ingin majikan mu ini mampus?" teriak sosok hitam lagi.

*
* *




--¦::: « 4 » :::¦--

Kuil itu berdiri kokoh pada dataran berbatu. Setiap sudut-sudutnya terdapat nyala api yang berkobar-kobar. Membuat seluruh kuil itu nampak terang benderang. Kuil itu hampir mirip dengan sebuah candi. Bentuknya bertingkat-tingkat. Dan pada tingkat paling atas berdiri sebuah patung. Entah patung apa. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Kepala patung itupun sudah tidak ada. Pada tingkat atas tersebut nampak sebuah ruangan yang sangat terang. Belasan pelita dari kuningan tergantung pada tiap-tiap tiang penyanggah. Dalam ruangan itu pula ada dua orang duduk bersila saling berhadapan.
Di luar sangat dingin dan gelap. Terdengar sayup-sayup rintih kesakitan. Suara itu berasal dari halaman kuil di mana banyak berdiri tonggak-tonggak kayu tinggi yang berderet mengelilingi halaman tersebut. Tiap-tiap tonggak itu pula terikat sosok-sosok tubuh yang sudah berlumuran darah. Dari situ rintihan kesakitan berasal. Pada tingkat kedua ruangan itu mirip sebuah tempat persembahan korban, sekeliling ruangan itu terdapat altar-altar yang berukuran cukup besar. Di atas altar itu masing-masing terdapat sosok tubuh seorang perempuan telanjang bulat. Mereka terlentang pasrah dengan kedua lengan dan kaki terikat rantai mengangkang.
Pada beberapa altar yang sudah tak tampak terurus, nampak beberapa kerangka tulang manusia yang terlentang dengan rantai-rantai yang erat membelenggu. Ruangan itu nampak suram. Seluruhnya hampir dipenuhi dengan asap keputihan. Namun tempat itu tetap dingin dan selalu terdengar dari mulut-mulut para wanita yang terbelenggu membugil.
Rintihan-rintihan kesakitan yang sangat mengganggu itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi kedua orang-orang yang tetap duduk bersila berhadapan. Satu dari kedua orang itu berambut putih kusut. Satu lagi seorang lelaki berambut menggulung di atas kepalanya, ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Keduanya terlibat satu pembicaraan yang serius. Beberapa pelayan yang mengenakan pakaian serba hitam pula datang menghidangkan makanan. Setelah itu mereka ke luar lagi. Lalu kedua orang ini melanjutkan pembicaraannya.
"Bukannya aku tak mau membantu mu, Ki Rondo Mayit.... Masalahnya sangat berbahaya. Kau terlalu berangan-angan muluk. Kita-kita ini berdiri pada jalan hitam, siapapun tidak ada yang akan mendukung kita. Apalagi dengan caramu yang tidak benar itu... Pantas saja putra mu tewas di tangan orangorang Raden Mas Kinanjar Swantaka." kata orang berjubah hitam sambil meraih pundi arak. Diapun menenggaknya.
"Semua yang telah terjadi ya memang harus terjadi. Tapi paling tidak aku harus membalas dendam. Raden keparat itu harus mampus di tanganku... Karena dia harus membayar darah anakku yang tertumpah! Aku harap kau mau membantuku, Kama Lodra!" Ki Rondo Mayit menatap orang yang duduk bersila di hadapannya. Setelah meminum beberapa kali tenggakan Kama Lodra menjawab.
"Aku bersedia membantumu, tapi ada satu permintaanku... Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kerajaan!"
"Berarti kau takut!" Ki Rondo Mayit mencela.
Kama Lodra tersenyum, lalu....
"Bukannya takut.... Kehidupan di sini serba cukup! Aku tidak kurang satu apapun! Dan aku cukup mengerti apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Tentunya kau sendiri yang merasa takut terhadap orangorang yang melindungi Raden Mas Kinanjar Swantaka... Bukankah begitu ?" jawab Kama Lodra.
"Kau salah! Pendapatmu sangat salah! Terhadap siapapun aku tidak takut! Apalagi hanya membunuh raden keparat itu, Huh! Apa susahnya Aku
hanya kurang dukungan "
"Lalu kau akan meminta dukungan kepadaku...? Ha ha ha ha sungguh cerdik kau Ki Rondo Mayit. Aku mengakui pernah berutang budi padamu... Kau memojokkan aku...! Ha ha ha ha. Kelak kalau sudah menguasai Rogojembangan jangan melupakan aku!" Keduanya tertawa. Ruangan tingkat atas jadi riuh oleh tawa-tawa mereka.

*
* *



Sementara itu di luar kuil nampak puluhan kuda berjalan mendekat. Suara derap kaki kuda mereka memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin. Seseorang bertopeng hitam dan berpakaian serba hitam pula berjalan membawa kudanya paling depan. Beberapa anak buahnya di belakang mengiring tiga orang tawanan yang terikat dengan tambang berhubungan. Rombongan memasuki halaman kuil yang penuh dengan sosok-sosok tubuh terikat pada sebatang tonggak yang mengelilingi halaman itu.
Ketiga tawanan itu dapat melihat tubuh-tubuh tergantung bermandikan darah sambil mengerangerang menahan sakit. Pastilah mereka korban-korban dari perampokan mereka. Sungguh biadab, pikir Raden Mas Kinanjar Swantaka yang terikat paling tengah. Di lehernya mengancam sebilah dang yang setiap saat dapat merenggut nyawa.
Wintara dan Umbara Komang tak dapat berbuat apa-apa. Mereka bertiga terdorong terus oleh beberapa mata tombak yang mengarah di punggung.
"Ra-ra-raden...." Terdengar rintihan dari sosok tubuh yang tergantung di antara tiang tonggak. Merasa ada yang memanggilnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah suara itu, dan bukan main terkejutnya. Sosok tubuh itu nampak jelas diterangi dengan api yang berkobar-kobar di sudut kuil.
"Pendekar Tangan Besi...!" Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik tak percaya.
"Maafkan aku, Raden.... aku gagal dalam menjalankan tugas.... Mereka menghadang dalam perjalanan," suara itu lemah sekali. Begitu juga dengan tubuhnya yang tergantung.
"Kau tidak gagal, Pendekar Tangan Besi Bala Tlenges sudah tewas di tangan kita...! Sekarang dibunuh mereka pun aku puas!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap iba.
Sebatang tombak mendorong punggung, Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lagi. Tapi baru saja ia melangkah tiga kali matanya tertuju pada sebuah kereta yang amat bagus. Ia masih ingat betul kereta tadi yang dijumpainya dalam perjalanan. Ia pun belum lupa dengan wanita muda yang berada dalam kereta itu. Apakah ia juga telah tertawan di sini? Kalau ya wanita muda itu tentunya akan celaka. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah membayangkan kengerian yang pasti akan dialami si cantik jelita itu. Ia tidak merasakan tusukan-tusukan mata tombak di punggungnya. Rasa sakit itu seakan-akan tak berarti setelah melihat kereta kuda diam berdiri tak bergeming. Wintara yang memperhatikannya langsung menarik tali pengikatnya. Wintara tidak ingin tombak itu menembus lebih dalam di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Para perampok itu turun dari kuda-kudanya dan langsung menambatkannya berjajar di halaman kuil yang sangat luas. Suara-suara mereka ribut dan tempat itupun menjadi gaduh. Setelah menambatkan kudanya sosok bertopeng itu melepaskan ikatanikatan tali yang mengikat empat buah peti berukir. Mereka pun menaiki anak tangga memasuki ruangan. Anak buah yang lain menggiring ketiga tawanan memasuki ruangan bawah.
Dari luar pintu yang terkunci ketiga tawanan mendengar rintihan-rintihan beberapa perempuan. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih cepat mendekati ruangan itu. Pintu dengan gembok sebesar kepalan tangan itu dibuka, maka ketiganya melihat altar-altar yang berderet di sekeliling ruangan. Mereka melihat pula sosok-sosok perempuan bugil terlentang terbelenggu rantai di atasnya. Para perampok mendorong tubuh ketiganya masuk ke dalam. Kemudian mengunci kembali pintu itu.
"Di mana ini... Di mana...?" Umbara Komang celingukkan.
"Di istana siluman! Kita jadi tawanan mereka. Lihat itu para siluman baik pun tertawan di sini bersama kita...." jawab Wintara sambil memoncongkan mulutnya ke arah wanita-wanita yang terlentang di atas pilar. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah mengitari seluruh altar. Matanya menatapi satu persatu wajah wanita-wanita itu. Mereka memang rata-rata berwajah menarik. Bentuk tubuh mereka pun aduhai. tapi tidak satupun wanita yang mirip dalam anganangannya. Sampai ia melangkah ke ruangan sudut, ia melihat di atas altar seonggrokan kerangka tulang terbelenggu rantai. Dan wanita yang ditemuinya tadi siang betul-betul tidak ada. Raden Mas Kinanjar Swantaka makin cemas. Wintara melangkah mendekat.
"Keparat! Mereka pasti telah berbuat kotor atau membunuhnya!"
"Belum tentu, Raden... Wanita itu teramat istimewa. Mungkin mereka menawannya di ruangan lain. Berdoa saja, mudah mudahan dia tak kurang satu apa pun!" ujar Wintara di sebelahnya. Umbara Komang nampak mengelilingi melihat satu persatu wanitawanita yang terlentang di atas altar Iapun bergidik. Namun ia masih saja berkeliling menatap tubuh-tubuh bugil itu.

*
* *




--¦::: « 5 » :::¦--

Esok paginya ketika matahari menyembul dari balik bukit, ketiga tawanan itu diseret ke luar. Halaman kuil telah penuh dengan perampok. Namun saat tiga tawanan memasuki halaman, mereka semua menyingkir ke pinggir. Membiarkan ketiganya berdiri di tengah-tengah halaman. Tak lama muncul pula sosok hitam bertopeng menuruni anak tangga. Ia bersama dua orang laki-laki yang setengah tua. Mereka pun memasuki halaman kuil.
"Ayah, Paman... Itulah tawanan-tawanan kita yang baru." kata sosok hitam bertopeng. Kedua orang yang berjalan di sebelahnya membelalakkan mata. Terlebih-lebih pada seorang yang berambut putih kusut. Ia tidak percaya melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka dan Umbara Komang berada di situ terikat. Ki Rondo Mayit segera melompat. Dan ketika ia berada dekat Raden Mas Kinanjar Swantaka, lengannya siap terangkat memecahkan kepala. Namun cepat sosok bertopeng itu menepis "Plaak!" Hantaman Ki Rondo Mayit melenceng.
"Apa yang hendak Paman lakukan...?" Sosok bertopeng itu menggenggam lengan Ki Rondo Mayit.
"Serahkan manusia keparat ini padaku! Juga manusia gila yang di sebelahnya!"Ki Rondo Mayit geram. Sebelah tangannya bergerak lagi siap menghantam.
"Tunggu, Paman! Mereka tawananku! Paman tidak bisa berbuat semaunya di sini! Paman hanya tamu, kami akan menghormati jika Paman bersikap sopan terhadap tuan rumah." Mereka saling tatap. Ki Rondo Mayit makin geram. Lalu ia menoleh ke arah Kama Lodra.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa! Di sini anakku yang berkuasa." jawab Kama Lodra sambil mengangkat bahu. Tiba-tiba saja Umbara Komang berteriak....
"Hey Kerak Neraka! Siluman ompong, kita ketemu lagi... He he he he " ucapan itu tertuju pada Ki Rondo Mayit.
"Anjing-anjing siluman mu sudah jadi abu semua. Apa kau tidak ingin menyusul mereka? He he he he... Aku khawatir mereka tidak bisa nenen!" ejek Umbara Komang. Muka Ki Rondo Mayit memerah. Sosok bertopeng berjalan mengelilingi kereta kuda yang masih berada di pinggir halaman. Umbara Komang bersikap aneh memandang sosok bertopeng yang berjalan mengelilingi mereka. Manusia bertopeng itu berdiri di hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia menatap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Mana gadis itu.... Kau boleh berbuat sesuka hatimu, asal kau bebaskan dia!" Kata Raden Mas Kinanjar Swantaka. Manusia bertopeng mengangkat wajahnya.
"Boleh saja! Tapi langkahi dulu mayat ku !"
"Jangan percaya, Raden.... Mereka semua perampok laknat!" Beberapa orang yang tergantung di tiang nampak berteriak-teriak. Mereka masih hidup meskipun telah berlumuran darah.
"Siapapun tak ada yang hidup di sini! Mereka akan membantai kita satu persatu!" Pendekar Tangan Besi yang ikut tergantung itu ikut berteriak. Mendengar teriak-teriakan itu sosok bertopeng menghentakkan kedua kakinya, maka tubuhnya lentur berputar di udara. Dalam pada itu ia menarik gagang pedangnya. Lalu "
Breeet..! Breet!"
Kepala dua orang yang tergantung menggelinding di tanah bersamaan dengan hinggapnya kedua kaki manusia bertopeng. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang tergantung kelojotan. Dari leher mereka yang kutung memancur deras darah merah bagai air mancur.
Bagi para perampok kejadian semacam itu adalah hal yang biasa. Tapi bagi ketiga tawanan ini, tindakan itu sangatlah di luar kemanusiaan. Ketiganya nampak diam saat sosok bertopeng mendekati lagi.
"Aku pun hendak melakukan hal yang sama terhadap kalian!" kata manusia bertopeng.
"Tentunya kau pun telah membunuh gadis itu! Biadab!" Kinanjar Swantaka geram.
"Yang kau tanyakan selalu gadis itu, kau cemburu?" Umbara Komang menyahut. Manusia bertopeng itu gelagapan, Lalu tangannya melayang menampar pipi Umbara Komang. Terasa sekali tamparan itu. Tapi Umbara Komang malah mencibir. Nampak sosok bertopeng itu mengangkat pedangnya lagi, lalu dengan secepat kilat....
"Treeees!" Ia membabat ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Semua orang termasuk anak buahnya berdecak kagum. Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun pakaiannya tidak robek segorespun. Padahal tadi babatannya sangat kencang dan terarah. Hanya tambang-tambang pengikat tubuhnya saja yang putus. Itu bukan berarti Raden Mas Kinanjar Swantaka memiliki ilmu kebal. Bukan sama sekali.
Sosok bertopeng sengaja memutuskan tambang pengikat dengan cara itu. Hal itu berarti ia menunjukkan ilmu pedang yang sangat luar biasa. Dan tanpa basa basi ia melangkah ke arah salah seorang anak buahnya yang berdiri di pinggir halaman. Sebelum sosok bertopeng mendekat, anak buahnya itu menyerahkan pedangnya. Sosok bertopeng menerimanya lalu melemparkan pedang itu ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dengan sigap pula laki-laki itu menyambarnya. Pedang itu telah terhunus dalam genggamannya.
"Aku akan membebaskan kalian ke luar dari sini bila kau mampu melumpuhkan aku, Raden. Pergunakanlah pedang itu baik-baik! Nyawa kedua orangmu itu berada di tanganmu...!" kata sosok bertopeng yang sudah mulai mengeluarkan jurus pedangnya.
"Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau juga akan membebaskannya?" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Jangan kau pikirkan gadis itu, Raden. Dia tidak apa-apa.... Pikirkan saja bagaimana caranya kau dapat melumpuhkan aku! Ayo kita mulai!"
Keduanya berhadapan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum mengeluarkan jurusnya. Wintara menarik tubuh Umbara Komang ke samping halaman. Mereka bersatu dengan para perampok. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit menyaksikan di atas deretan anak tangga.... Dan tanah lapang itu menjadi sunyi dengan seketika. Di tengah-tengah halaman berdiri dua sosok tubuh menggenggam pedang. Mereka siap bertarung. Kedua mata Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap pedang lawannya berkilat bergerak-gerak. Kini iapun mulai mengeluarkan jurus pedangnya.
Dengan garang sosok bertopeng maju. Pedangnya menjurus ke depan....
"Traaaang!" Raden Mas Kinanjar Swantaka bergeser menyambar tusukan itu dengan pedangnya. Lalu pedang itu berkelebat di atas kepalanya menangkis sinar yang siap membelah kepalanya....
"Traaang." Kembali pedang mereka beradu.
Cukup kewalahan juga ia menghadapi serangan-serangan sosok bertopeng yang datang bertubitubi. Kalau saja ia lengah sedikit, sudah pasti tubuhnya akan mendapat luka yang tidak ringan. Apalagi sekarang pedang itu berputar-putar deras bagai selaret sinar yang amat menyilaukan. Dan babatan-babatan pedang itu menjurus ke bagian-bagian lemah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itupun dengan sigap menyambar babatan-babatan pedang itu.
Setiap gerakan pedangnya disertai teriakanteriakan nyaring. Begitu juga dengan dentingan beradunya senjata mereka. Benturan itu sampai mengeluarkan percikanpercikan api. Gerakan mereka sendiri terlihat seperti dua ekor harimau yang saling terjang menjatuhkan. Bukan hanya pedang mereka yang bergerak, tangan serta kaki mereka pun mencari sasaran. Hantamanhantaman mereka tidak jarang saling beradu.
Sosok hitam menghantam keras pedangnya, namun dengan sekali samber Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil menepisnya. Karena babatan pedang itu keras, tubuhnya sampai terhuyung sewaktu menangkis. Kesempatan itu digunakan baik-baik oleh sosok bertopeng. Tendangannya berhasil menjatuhkan lawan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat bangkit, sosok bertopeng datang lagi dengan serangannya yang lebih gencar. Babatan pedangnya menyambar bagai kilatan sinar. Namun Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menghentakkan tubuhnya. Sehingga babatan pedang itu luput. Saat tubuh itu melesat ke atas, ia membalas serangan....
"Deees!" Hantaman itu telak mengena bagian punggung sosok bertopeng. Tubuhnya terhuyung.
Melihat hantaman yang begitu dahsyat, para anak buahnya beringsut hendak menyerang. Tapi mereka segera menghentikan langkah-langkahnya saat melihat sosok hitam itu bergerak maju dengan disertai babatan pedang lebih keras. Sambil menjatuhkan tubuhnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambar babatan pedang itu dengan pedangnya "Trlaaak"!
Benturan itu sangat keras, pedang mereka terlepas. Tubuh mereka pun bergulingan di tanah.
Keduanya sama-sama bangkit berbareng. Kini mereka bertarung tanpa senjata. Hantaman-hantaman mereka berkelebat.
Teriakan mereka pun makin menggelegar. Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menunduk saat sosok bertopeng mengarahkan tendangannya ke arah kepala. Ia cepat pula menangkis dengan kedua tangannya...
"Plaak!" Namun ketika laki-laki itu bangkit berdiri untuk membalas serangan, tahu-tahu sebuah jotosan mengenai dadanya. Raden Mas Kinanjar Swantaka terjungkal ke belakang, pada saat itu kakinya masih sempat menyambar keras ke wajah sosok bertopeng. Tubuh itupun nampak sempoyongan.
Namun ia masih saja maju menyerang. Kedua lengannya bergerak cepat menghantam.
Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan menghindarinya.

*
* *




--¦::: « 6 » :::¦--

Asap-asap debu mengepul saat tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan. Namun serangan-serangan sosok bertopeng belum juga berhenti, manakala lelaki yang bergulingan itu semakin terdesak. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk bangkit berdiri. Ia hanya menangkis serangan-serangan itu dengan kedua kakinya.
Wintara yang masih terikat menganggap pertarungan itu seimbang. Sosok bertopeng maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka sama-sama mengeluarkan ilmu andalan mereka. Dalam mengeluarkan ilmu-ilmu pukulannya sosok bertopeng tidak tanggung-tanggung lagi. Meski dalam keadaan bergulingan di tanah, tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka dapat menghindar dengan gesit. Dan sungguh di luar dugaan saat ada kerenggangan di antara mereka, Raden Mas Kinanjar Swantaka menghentakkan kedua lengannya. Maka sebentar saja ia sudah bersalto di udara. Keadaan seperti itu pula tidak di-sia-siakan oleh sosok bertopeng. Dengan tiba-tiba tendangannya memutar ke belakang ke arah tubuh lelaki yang baru menginjak tanah...
"Deees!" Tepat mengenai bagian pinggang. Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya tetap tegar berdiri menanti serangan berikutnya.
Terdengar lagi suara teriakan dari sosok bertopeng. Tubuhnya melesat menerjang. Sebelah lengannya menyambar lalu sebelah lagi bergantian menyerang. Raden Mas Kinanjar Swantaka menangkis berkali-kali serangan itu sampai terasa berdenyut seluruh tulang lengannya. Iapun tidak tinggal diam. Saat-saat ia menangkis ia sempat melancarkan jotosannya. Meskipun tidak mengenai, cukup membuat sosok bertopeng kehilangan kontrol. Maka cepat sekali tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar. Telapak tangannya menampar keras ke muka. Lalu dengan bahu dan bermaksud akan membanting. Namun sosok bertopeng keburu me runduk. Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak dapat mencekal kedua bahu itu. Kesepuluh jarinya hanya dapat menarik topeng penutup wajahnya.
Wintara tersentak kaget, apalagi Umbara Komang. Tampangnya yang blo'on menganga lebar. Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri hampir tak percaya dengan penglihatannya. Darahnya seperti terkesiap melihat sosok berpakaian hitam tanpa topeng. Berdiri di hadapan dengan rambut yang tergerai tertiup angin. Wajahnya yang anggun jelita menatap jelas ke arahnya.
Mimpikah ia? Kenapa justru lawannya seorang perempuan cantik. Perempuan itu tidak lain penumpang kereta kuda yang di temuinya kemarin siang. Astaga...! Si cantik yang anggun mempesona kini berhadapan dengannya. Perempuan muda itu tersenyum. Betapa trenyuh hati Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia masih memandangi tidak percaya. Tahu-tahu saja gadis itu melancarkan serangan paling dahsyat... Der! Tendangan memutarnya menggedor dada. Lalu menyusul lengannya menghantam tulang tenggorokan...
"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka jatuh dengan seketika. Kedua matanya masih memandang wajah anggun
Wintara dan Umbara Komang berontak. Tapi beberapa bilah pedang telah menempel di leher mereka terlebih dahulu. Mereka diam kembali. Tak mampu berbuat apa-apa. Mereka tak dapat menolong Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya memalingkan muka ia tidak berani menatapnya. Manakala kaki perempuan itu telah menginjak tubuh yang masih terlentang menahan sakit.
"Kau sudah kalah, Raden... Itu berarti menetap tinggal di sini untuk kemudian kukirim ke akherat seperti lainnya!" kata gadis itu menyeringai. Lalu ia memberi aba-aba pada seluruh anak buahnya. Mereka cukup mengerti dan patuh. Serempak mereka membawa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara dan Umbara Komang di giring kembali ke dalam ruangan di mana banyak altar berderet dengan tubuh-tubuh perempuan bugil di atasnya.
"Untuk yang satu ini... Pisahkan dari mereka!" Sebelum Raden Mas Kinanjar Swantaka dibawa, gadis itu memberi perintah. Orang-orang yang membawa Raden Mas Kinanjar Swantaka membelok ke kiri. Di sana ada lagi sebuah ruangan. Nampaknya ruangan itu cukup bersih terawat.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit masih berdiri pada anak tangga yang berderet ke atas. Mereka menunggu kedatangan gadis itu yang melangkah ke arah mereka. Setelah dekat mereka, gadis itu memeluk Kama Lodra.
"Kau hampir saja celaka, Dewi Rakuntili... Untunglah kau cerdik!" sapa Kama Lodra.
"Dan nampaknya ia terpesona sekali dengan kecantikanmu itu." katanya lagi.
"Dewi Rakuntili... Aku mengerti akan kekerasan watak mu. Tapi kuharap kau mau mengerti... Raden Mas Kinanjar Swantaka adalah musuhku. Ia telah membunuh anak ku. Aku harus membalaskan dendam mumpung ia ada di sini...." Ki Rondo yang berdiri di sebelah Kama Lodra angkat bicara. Mendengar ucapan itu Dewi Rakuntili cemberut lalu....
"Ucapan Paman seperti seorang pengecut! Kenapa Paman tidak melaksanakannya sewaktu dia belum jadi tawananku! Tidak bisa, Paman! Sudah kubilang, Paman hanya seorang tamu di sini dan tidak dapat sewenang-wenang kalau masih di mau hormati !"
Setelah berkata begitu Dewi Rakuntili menanjak ke atas. Langkah-langkahnya cepat menjajaki tiap-tiap anak tangga.
"Dewi!" Kama Lodra, ayahnya memekik memanggil. Namun Dewi Rakuntili tidak peduli. Ia memasuki ruangan paling atas. Kama Lodra menggelengkan kepala.
"Kalau ia mempertahankan tawanannya, berarti ia mendapatkannya dengan susah payah juga. Pendapatnya memang benar. Aku tidak bisa menyalahkan anakku." kata Kama Lodra. Ki Rondo Mayit tertunduk. Sejak tadi ia memang sudah dibuat malu oleh seorang gadis yang muda belia.
"Beginikah caranya membantu diriku...? Tidak sangka kau pandai mendidik anak!" kata Ki Rondo menyindir. Lalu keduanya melangkah ke atas. Kama Lodra hanya diam. Mereka berjalan berdampingan. Tak berapa lama sampailah mereka pada ruangan atas. Dewi Rakuntili sudah berada di situ. Pakaiannya sudah tidak serba hitam lagi. Kini ia mengenakan pakaian sebagaimana layaknya seorang perempuan. Rambutnya yang tadi kusut kini rapi terjuntai sebatas pinggang. Setelah ia menatap Ki Rondo Mayit, ia membuang muka lagi.
"Hasil rampokan ada di sana... Rupanya mereka hendak mengantarkan upeti. Isinya pun lumayan, aku sudah melihatnya." Kata Dewi Rakuntili sikapnya acuh di hadapan cermin. Kedua tangannya sibuk memasang anting-anting di kedua daun telinganya. Ia pun dapat menatap kedua orang itu lewat cermin.
"Ayah pasti tidak percaya kalau kukatakan uang emas semua." katanya lagi.
"Ayah percaya." jawab Kama Lodra sambil turun duduk bersila di lantai yang berlapis karpet sulaman indah. Ki Rondo Mayit mengikuti.
"Lalu kenapa ayah nampak murung? Kurang puaskah atas hasil yang kudapatkan kemarin?" Dewi Rakuntili selesai berdandan. Ia pun melangkah mendekati ke arah mereka yang duduk bersila saling berhadapan. Kama Lodra tersenyum saat putrinya yang tangguh itu duduk di sebelahnya. Tercium aroma yang sangat harum.
"Kau telah membuat Ki Rondo Mayit kehilangan muka, Anakku... Aku yang merasa tidak enak. Apalah artinya segelintir nyawa untukmu. Serahkan saja Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Di tanganmu atau di tangan Ki Rondo Mayit akan sama saja hasilnya. Laki-laki itu pasti mati...." Suara Kama Lodra datar. Mata Dewi Rakuntili membelalak.
"Itukah yang membuat ayah nampak murung hari ini? Kalau hanya untuk menguasai tanah Rogojembangan sekarang sudah sangat mudah. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah berada di sini. Apa lagi yang menjadi halangan?" jawab Dewi Rakuntili.
"Ini bukan soal menguasai daerah, Dewi. Tapi soal dendam!" Kama Lodra mendelik.
"Apa ayah pikir Ki Rondo Mayit mampu menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Mendengar itu Ki Rondo Mayit hampir bangkit dari duduknya. Tapi ia cepat menguasai diri. Ia berusaha tetap tenang sekalipun ucapan itu sangat menyakitkan. Dewi Rakuntili tersenyum sinis. Kama Lodra menghela nafas.
"Berfikirlah yang matang, Anakku... Ayah pernah berhutang budi pada Ki Rondo Mayit. Sekaranglah saatnya untuk membalasnya...." kata Kama Lodra. Dewi Rakuntili mengernyitkan alis seperti tidak mengerti dengan apa yang diucapkan ayahnya.
"Hutang budi...? Hutang budi apa? Kupikir selama ini Ayah tidak pernah berhutang budi terhadap siapapun "
"Ada anakku! Dulu sewaktu ibumu hendak melahirkan kau, aku titipkan ibumu ke pada Ki Rondo Mayit agar bisa mengurusnya.... Sementara itu aku melanglang buana untuk mencari daerah kekuasaan... Aku sudah bayangkan betapa repotnya Ki Rondo Mayit mengurus ibumu saat itu dan aku menganggap tidak akan pernah melupakan budinya...." tutur Kama Lodra. Dewi Rakuntili diam. Dalam pikirannya berkecamuk selaksa uneg-unegnya yang tak terpecahkan. Kedua bola matanya menatap nanar ke arah laki-laki berambut putih tak terurus. Lalu ia bangkit berdiri menunjukkan wataknya yang keras.
"Baik. Sebagai balas budi aku serahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka padamu! Tapi dengan satu syarat, kau harus membunuh laki-laki itu di hadapanku. Itupun setelah ia sembuh dari luka-lukanya... Kurasa itu cukup adil!" Setelah bicara lantang begitu ia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar itu berderak menutup.

*
* *




--¦::: « 7 » :::¦--

Dewi Rakuntili melangkah menuju sebuah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka terkurung. Ia membawa sebuah cawan dari batok kelapa yang telah hitam mengkilat. Dalam batok itu terisi penuh cairan berwarna kehitaman. Melihat pintu terkuak lebar, Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah pintu. Ia melihat gadis yang telah menghajarnya sampai luka-luka begini. Pandangannya tidak lepas menatap wajah yang demikian anggunnya. Gadis itu memasuki ruangan. Pakaiannya yang gemerlapan membuat gadis itu seperti lemah lembut. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia gadis yang sangat sadis dan liar. Semuanya tidak nampak pada dirinya. Walaupun baru saja ia menghadapi seorang gadis berilmu tinggi yang nyaris merenggut nyawanya. Gadis itu menatap tajam menyerahkan batok hitam berkilat. Mereka saling tatap. Seperti ada getaran....
"Borehkan seluruh luka-lukamu dengan ini "
"Aneh! Kenapa tidak dengan mata pedang kau mengobati luka-luka ini. Bukankah kau menginginkan nyawaku...." Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mau menerima batok kelapa itu. Dewi Rakuntili tidak memaksa, ia meletakkannya di atas meja.
"Bagianmu memang harus mati. Tapi jangan harap kau akan mendapat kematian dengan mudah. Sekarang kau sudah mengenalku, bukan? Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Bagiku kau tidak lebih iblis jahanam berkedok bidadari. Tapi aku yakin bahwa kau masih punya perasaan. Terbukti sekarang kau memberi aku ramuan obat untuk luka-lukaku."
"Lalu kau pikir aku berbaik hati terhadapmu ? Hih! Lucu...! Sekalipun kau sembuh dari luka-lukamu mana mungkin aku membiarkan kau pergi begitu saja. Itu perbuatan tolol! Kalau kau lepas dari sini, tentunya kau akan datang kembali bersama pasukanmu ke mari !"
"Sudah tahu akan bahayanya, kenapa tidak langsung membunuhku saja!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat.
"Sekarang jangan banyak tanya! Borehi saja luka-lukamu itu. Nanti setelah kau sembuh kau akan tahu sendiri " Dewi Rakuntili bicara pelan.
"Sama sekali tak akan kusentuh ramuan obat itu! Biar aku cepat-cepat mati!"
"Keras kepala...! Heaaat...!" Tiba-tiba saja Dewi Rakuntili menghantam bagian belakang kepala...
"Deees!" Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka ambruk tak sadarkan diri di atas tumpukan rumput kering sebagai alas tidur. Dewi Rakuntili membuka baju yang dikenakan laki-laki yang terbaring pingsan. Cepat pula ia memborehi tubuh kekar Raden Mas Kinanjar Swantaka dengan cairan kental kehitaman. Telapak tangannya yang halus itu menyusuri seluruh tubuh yang terbaring itu. Setelah selesai ia sengaja tidak menutup baju itu kembali. Lalu ia pun keluar dan mengunci pintu ruangan. la tidak langsung melangkah, Dewi Rakuntili berdiri di balik pintu itu dengan kedua lengan merapat di dada.
"Kau jangan pura-pura pingsan, Raden.., Kancingkan kembali bajumu itu, nanti masuk angin...!" Dewi Rakuntili membentak. Di dalam ruangan Raden Mas Kinanjar Swantaka memicingkan matanya. Lalu....
"Aku pura-pura pingsan, karena ingin membuktikan bahwa kau gadis yang lembut! Ternyata dugaanku semua benar! Kalau boleh ku tahu, siapa namamu...!" Terdengar jawaban dari dalam ruangan itu. Dewi Rakuntili tidak menjawab. Ia tertunduk mendengar ucapan itu. Kemudian ia melangkah meninggalkan ruangan yang mengurung Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Di ruangan bawah semua anak buahnya sudah lama menunggu. Mereka semua menunduk hormat ketika Dewi Rakuntili melewati. Langkahnya semakin tenang saat ia mendekati pintu ruangan. Ia dapat melihat keadaan di dalam ruangan bawah melalui lubang berterali besi pada pintu. Wintara nampak duduk di lantai. Umbara Komang berjalan berkeliling menatap perempuan-perempuan yang tidak pernah berhenti merintih di atas altar-altar.
"Langit mau runtuh! Bumi bakal goncang! Sayang aku tidak dapat membebaskan bidadaribidadari yang tertawan ini... Menyebalkan !" Umbara Komang menggerutu.
Bagi Wintara ini merupakan suatu pengalaman pahit. Selama ia mendapatkan julukan Pendekar Kelana Sakti baru kali ini merasa terkurung begini. Apalagi harus bercampur dengan para tawanan wanita bugil. Tidak adakah ruangan yang lebih pantas untuk mereka berdua...?
Wintara mengawasi setiap sudut ruangan itu. Ia tidak menyadari kalau Dewi Rakuntili mengawasi pula dari lubang pengintai pada pintu. Mereka masih nampak terikat dengan tambang sebesar ibu jari melilit di sekujur tubuh.

*
* *



Menjelang gelap kedua orang dalam ruangan itu nampak duduk bersandar pada dinding. Umbara Komang tidak bisa memejamkan matanya, karena sedari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi. Nampak pula ia menggaruk-garuk perutnya. Tiba-tiba saja Wintara bangkit berdiri. Ia melangkah menuju pintu yang terkunci dari luar. Dari lubang pengintai ia dapat melihat beberapa orang berjaga di luar. Dan di halaman yang diterangi api unggun berkobar-kobar nampak pula puluhan orang berpesta pora. Kemudian matanya mengarah pada Umbara Komang. Ia seperti duduk serba salah.
"Kita harus melakukan sesuatu, Umbara Komang... Cepat berbaring." bisik Wintara sambil melangkah mendekati. Umbara Komang dapat mendengar, namun ia tidak bereaksi.
"Sebentar lagi mereka datang ke mari untuk mengantarkan makanan... Cepat berbaring." bisik Wintara lagi. Kali ini ia harus mendorong tubuh sahabatnya sampai terguling.
"Diam dan jangan mengeluarkan suara...." Umbara Komang masih belum mengerti. Wintara ikut berbaring di belakangnya. Mulutnya mengarah pada ikatan yang ada di belakang Umbara Komang. Gigi-giginya berusaha membuka ikatan-ikatan itu. Memang tidak gampang melakukannya. Apalagi ikatan itu demikian kuat. Namun berkat usaha yang gigih Wintara berhasil juga membuka ikatan-ikatan itu. Tulang rahangnya terasa kaku. Umbara Komang baru mengerti. Ia pun bangkit melepaskan diri dari lilitan tambang. Lalu mereka bergantian melepaskan ikatan-ikatan itu.
"Cepat...! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya " Wintara tidak sabar. Dari luar ruangan terdengar langkah beberapa orang mendekati ruangan di mana Wintara dan Umbara Komang berusaha membuka tambang-tambang yang membelit sekujur tubuh mereka. Terdengar pula langkah-langkah itu berhenti di depan pintu, lalu suara gembok yang gemeretak berbarengan dengan itu pintupun membuka lebar. Nampaklah tiga orang memasuki ruangan. Dua orang masuk dengan membawa dua buah nampan berisi makanan. Seorang lagi berkacak pinggang sambil memainkan anak kunci.
Ruangan itu tetap sepi. Tubuh-tubuh bugil di atas tiap-tiap altar nampak lemas. Ada yang sudah membiru, mungkin mati. Wintara dan Umbara Komang duduk seolah-olah tenang bersandar pada dinding. Umbara Komang cengengesan. Tapi ketika kedua orang itu merunduk meletakkan makan di atas lantai, tahu-tahu...
"Bleduk...! Bleduk!" Kedua kepala mereka beradu dengan lutut Umbara Komang. Kedua orang itupun langsung menggelosoh pingsan dengan masingmasing kepala retak. Seorang lagi yang tadi asyik memainkan anak kunci, membelalakkan mata. Ia berjingkat langsung kabur. Mulutnya hampir membuka, tapi sebelum ia berteriak.... Sebuah pukulan menghantam di belakang kepalanya...
"Deer!" Orang itu langsung mati.
"Ambil kunci-kuncinya...." teriak Wintara. Ternyata Wintara belum terbebas dari ikatan-ikatan tambangnya. Tanpa buang waktu Umbara Komang meraih kunci-kunci yang berkumpul jadi satu itu di lantai. Sebelum Umbara Komang menyerahkan kunci-kunci itu, Wintara berjalan mendekat. Ia membalikkan tubuhnya di hadapan Umbara Komang. Laki-laki berpenyakit saraf itu mengerti maksudnya. Maka ia menggigit gantungan kunci-kunci itu. Kedua tangannya sibuk membuka tambang-tambang pengikat yang membelit di tubuh Wintara. Sekarang Umbara Komang dapat membuka ikatan-ikatan itu dengan cepat. Setelah Wintara terbebas ia cepat menyambar gantungan kunci dari mulut lelaki itu.
Wintara mendekati salah satu perempuan bugil yang nampak merintih-rintih terlentang di atas altar. Dan ia berusaha membuka gembok yang mengunci rantai-rantai itu.
"Buka juga gembok-gembok yang membelenggu teman-temanmu, Ingat jangan ribut! Di sana ada makanan." kata Wintara setelah membuka belenggu rantai salah seorang tawanan perempuan. Telunjuknya mengarah pada dua buah nampan berisi makanan yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu mengangguk. Iapun menerima kunci dan langsung bangkit menuju ke sebelah altar. Iapun mulai membuka gembok yang membelenggu teman-teman senasibnya.
"Kalian tetap diam di sini. Sampai aku kembali baru aku membawa kalian ke luar." kata Wintara memperingatkan. Umbara Komang berjaga-jaga di balik pintu. Di luar halaman memang banyak para perampok yang tengah berpesta pora. Dan sekeliling tempat itu cukup terang.
Wintara menutup pintu tahanan itu dan membiarkan para perempuan-perempuan bugil terkurung di dalamnya. Lalu keduanya berjalan perlahan-lahan di samping dinding. Langkah mereka hati-hati sekali. Dan hampir tidak mengeluarkan suara.

*
* *




--¦::: « 8 » :::¦--

Di depan halaman kuil itu terang benderang oleh api unggun yang meletup-letup berkobar. Begitu juga dengan suara-suara tawa mereka. Seluruh halaman jadi riuh. Ada juga beberapa wanita penghibur yang menjadi sasaran utama mereka. Yang lain menyantap daging panggang atau menenggak arak. Obrolan mereka simpang siur tidak jelas terdengar.
Sementara itu dua sosok terus mengendapendap berjalan menyusuri dinding. Mereka menuju sebuah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka tersekap. Untunglah tadi siang Wintara sempat melihat di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka dipisahkan.
Jadi mereka tidak perlu lagi susah-sudah
mencari. Mereka cepat menyelinap saat mendekati ruangan itu. Dua orang penjaga nampak berdiri di depan pintu ruangan. Senjata-senjata mereka nampak berkilat tertimpa sinar api. Begitu juga dengan kunci yang tergantung di pinggang salah seorang itu. Dari balik tembok Wintara sudah yakin pasti pintu ruangan terkunci. Manakala dua penjaga itu terus mengawasi setiap pelosok. Keduanya berjalan hilir mudik. Telapak tangan mereka siap menggenggam gagang pedang.
Tidak ada cara lain. Wintara maupun Umbara Komang harus menyingkirkan mereka. Maka dengan tiba-tiba Wintara menghantam punggung Umbara Komang. Begitu kaget Umbara Komang memekik tertahan. Tapi suara itu dapat didengar oleh dua penjaga tawanan.
"Hei! Siapa itu...!" Salah seorang dari mereka membentak. Ia mulai curiga dan melangkah ke balik dinding. Satu orang lagi mengikuti di belakang.
"Ah, paling-paling tikus berkelahi berebut bangkai!" Orang yang berjalan belakangan berjalan santai. Tapi ia sempat terbengong saat melihat temannya hilang be gitu cepat menyelinap ke balik tembok. Rupanya Wintara cepat menarik dan memuntir leher seorang penjaga. Umbara Komang siap menyambut seorang lagi. Begitu kepala seorang penjaga itu menyembul dari ujung tembok, ia melihat sosok temannya sudah terlentang kaku, dan tahu-tahu...
"Deeeos!" Tinju Umbara Komang bersarang di tenggorokan. Orang itupun ambruk tak sadarkan diri karena tulang lehernya remuk!
Sigap sekali Wintara merampas kunci dari pinggang orang yang sudah tak sadarkan diri itu. Lalu dengan hati-hati keduanya berlari ke arah pintu.
"Raden...." Wintara berbisik sambil mengetuk pintu besi. Umbara Komang berjaga-jaga mengawasi orang-orang yang berkumpul di halaman.
"Siapa...!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil bangkit dari tumpukan jerami kering sebagai alas tidur. Ia melangkah ke balik pintu membalas mengetuk.
"Aku! Wintara dan Umbara Komang! Bersiap-siaplah kita harus lari malam ini Wintara menyahut. Tangannya cepat membuka gembok. Umbara Komang melihat beberapa orang akan melewati tempat itu jadi serba salah!
"Waaaaah...! Siluman-siluman jahat keburu datang...! Wei! Wei! Sana pergi...! Pergi...!" Umbara Komang teriak-teriak. Suaranya kencang sekali. Keempat orang yang baru datang itu langsung menoleh. Dan mereka pun segera berlarian menuju ke ruang tahanan. Semuanya mencabut senjata. Wintara belum juga membuka gembok, karena kunci itu agak kaget sedikit.
"Ada orang...! Ada orang...!" Mereka berteriak. Orangorang yang berada di halaman kuil menoleh ke arah teriakan. Maka mereka semua bangkit. Mereka melihat empat orang temannya menghadapi seorang berilmu tinggi di depan ruang tawanan. Wintara masih juga mengutak-atik gembok. Umbara Komang sigap menyambut keempat penyerangnya yang bersenjata.
Pedang maupun golok berkelebat ke sana ke mari ke setiap Umbara Komang menghindar. Kedua lengannya berputar-putar menangkis seranganserangan mereka. Salah satu dari mereka berlarian ke arah Wintara yang masih sibuk. Orang itu mengangkat pedangnya siap mengarah ke punggung. Umbara Komang yang sempat melihat itu langsung melompat dan menendang orang itu....
"Deeees!" Sampai terpental. Saat itupun Wintara sudah berhasil membuka pintu. Dan orang yang terpental itu langsung masuk ke dalam menimpa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman meluruk menerjang ke arah itu. Senjata-senjata mereka mencereng siap men jemput maut. Umbara Komang mempercepat gerakannya melancarkan serangan ke arah tiga orang itu. Kakinya menendang keras...
"Deees!" Gerakan tubuhnya lentur menghindari babatan pedang. Lalu tangannya bergerak ke atas menghantam kepala. Wintara juga melancarkan serangan menjatuhkan satu demi satu orang-orang yang mulai berdatangan menyerbu. Raden Mas Kinanjar Swantaka keluar dari ruangan. Ia melihat betapa semrawut pemandangan di hadapannya. Ia pun melihat Wintara bersama Umbara Komang dengan gigih menghadapi para perampok itu.
"Raden...! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar kami berdua yang menghadapi mereka...!" teriak Wintara. Lengannya menghantam batok kepala salah seorang musuhnya "Cepat, Raden...!" Wintara berteriak lagi, kali ini tendangannya menjatuhkan dua orang sekaligus. Umbara Komang tidak kalah gesit! Orang-orang yang berdatangan itu dibuatnya bergelimpangan. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka masih tetap diam di tengah-tengah pintu. Bagaimana ia harus pergi dari situ? Semua jalannya tertutup oleh pertempuran mereka. Sebenarnya ia pun sudah gatal ingin ikut membantu menghabisi para perampok itu. Namun setiap orang yang berusaha mendekatinya, Wintara lebih dulu memberinya sebuah hantaman. Tidak memberi kesempatan untuk Raden Mas Kinanjar Swantaka menunjukkan kebolehannya.
"Hematlah tenagamu, Raden. Dan cepat pergi dari sini!" Wintara bergeser hampir saja kepalanya terbelah oleh babatan pedang, tapi ia cepat membalas serangan itu dengan tendangan. Dalam pada itu, Raden Mas Kinanjar Swantaka menerjang menerobos gempuran itu. Semua yang dikatakan Wintara memang benar. Ia mesti pergi dari situ. Dan ia percaya kalau Wintara bersama Umbara Komang dapat mengatasi serangan-serangan itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak dan tak dapat dihitung dengan jari.
Untuk menerobos ke luar tidaklah mudah. Raden Mas Kinanjar Swantaka harus menerjang sambil melancarkan serangan. Dari tangan sampai kaki terus bergerak menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalan. Ia tidak perduli lagi senjata-senjata mereka berkelebat ke sana ke mari memburunya. Menghadapi dengan tangan kosong amatlah berbahaya. Maka sewaktu Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil menangkis babatan pedang, ia cepat meraih pedang itu dari tangan lawannya.
Maka seleret sinar putih berputar berkilat menjatuhkan beberapa orang dengan bergelimangan darah. Teriak kesakitan mereka menggelegar. Begitu juga teriakan-teriakan Wintara dan Umbara Komang yang berbarengan dengan gerakan-gerakan mereka di saat melancarkan serangan. Mereka berdua sama sekali tidak merasa kesulitan menghadapi para pengeroyok yang demikian banyaknya. Setiap babatan senjata mereka dapat dengan mudah dihindari.
Benturan-benturan senjata terdengar nyaring di saat Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pedangnya melindungi diri. Puluhan orang yang memburunya dapat terdorong menyingkir. Ada juga yang terguling dan terkena pedang teman sendiri. Sampai
betul-betul di hadapannya tidak ada lagi yang menghalangi. Pada gerakan yang terakhir Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pedangnya ke belakang...
"Breeeeert!" Lima orang yang masih mengejarnya di belakang ambruk kelojotan dengan masing-masing perut mereka robek!
Setelah itupun Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat melarikan diri dari kepungan orang-orang penghuni kuil. Namun orang-orang itu masih saja terus mengejar. Wintara yang sempat melihat langsung menarik tangan lengan Umbara Komang ke atas, keduanya beterbangan di udara. Lalu berlari menginjakinjak kepala yang bergerombol menyerang. Keduanya sama-sama menghentakkan kakinya dan tahu-tahu saja hinggap di hadapan orang-orang yang mengejar Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka pun tidak sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu.
Kini halaman itu jadi kacau balau. Semuanya mengepung Wintara dan Umbara Komang. Dua orang ini betul-betul alot. Meskipun tanpa menggunakan senjata, para penyerang itu sulit sekali menyentuh senjatanya ke arah mereka. Saat itupun jumlah mereka sudah berkurang banyak. Di sana sini telah bergelimpangan sosok-sosok tubuh berlumuran darah. Nampak pula Umbara Komang dan Wintara semakin gigih menjatuhkan lawan-lawannya. Meskipun keduanya sudah benar-benar terkepung. Tidak mungkin lagi dapat ke luar.
"Ha ha ha ha...! Siluman-siluman keparat macam kalian tidak pantas mengisi istana ini...! Hayo maju semua! Biar kalian cepat kukirim ke dasar neraka...!" Umbara Komang menerjang sambil berteriak. Kedua lengannya bergerak menjatuhkan satu demi satu orang-orang itu. Wintara maju terus menyambut serangan-serangan mereka.
"Sekarang kalian baru tahu rasa! Aku raja siluman yang bakal menghancurkan batok kepala kalian...!" Sambil berkata demikian, Umbara Komang melesat sambil menendangi gerombolan itu. Tangannya bergerak menghantam kepala-kepala yang berada di bawahnya.

*
* *




--¦::: « 9 » :::¦--

Ki Rondo Mayit bangkit dari pembaringannya sewaktu mendengar suara ribut-ribut di halaman luar kuil. Ia langsung keluar dari kamarnya. Saat itu Kama Lodra juga bermaksud keluar. Keduanya berlari ke arah jendela dan melihat peristiwa yang terjadi di bawah. Bukan main terkejutnya mereka. Mereka melihat para tawanan berontak melarikan diri.
Kama Lodra melangkah cepat ke arah kamar Dewi Rakuntili. Ia langsung mengetuk pintu kamar kuat-kuat. Dewi Rakuntili yang berada di dalam tertidur pulas tersentak bangun.
"Dewi... Cepat bangun! Para tawanan melarikan diri!" Kama Lodra berteriak lantang. Mendengar itu Dewi Rakuntili cepat bangun. Tanpa mengganti pakaian tidurnya yang sangat tipis ia melangkah membuka pintu. Ki Rondo Mayit masih mengawasi pertempuran dari atas jendela.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak ada di antara mereka!" katanya setelah Dewi Rakuntili mendekat ke jendela. Dewi Rakuntili langsung melesat menerobos jendela. Tubuhnya melayang ke bawah. Dia hinggap di lantai dasar tanpa mengeluarkan suara. Ia terus berlari menuju ke sebuah ruangan. Dan ia menjadi geram sekali ketika tiba di ruangan itu. Pintu tahanan yang tadi menyekap Raden Mas Kinanjar Swantaka telah terbuka lebar. Beberapa belas anak buahnya bergelimpangan tak karuan. Di dalam ruangan itupun sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah raib.
Dengan geram ia keluar lagi dari ruangan itu. Keduanya menatap nanar ke arah pertempuran. Di situpun ia tidak melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka, kecuali Umbara Komang dan Wintara mengamuk dahsyat menjatuhkan para anak buahnya.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit terjun dari tingkat atas ke lantai dasar. Gerakannya ringan sekali. Mereka hinggap di lantai bagaikan dua helai daun kering yang tertiup
"Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-benar telah kabur! Ayah dan Paman tolong awasi mereka! Biar aku yang mengejar raden keparat itu! Pasti dia belum jauh dari sini!" Dewi Rakuntili berlari kencang. Gerak tubuhnya yang gempal nampak jelas menembus dari pakaiannya yang tipis membayang. Tubuhnya gesit melompati tiap-tiap kepala anak buahnya. Kepalakepala itu tidak ubahnya bagai batu loncatan. Maka sebentar saja ia sudah melewati arena pertarungan. Ia tidak lagi memperdulikan Wintara dan Umbara Komang mengatasi anak buahnya. Karena ia sudah dapat melihat Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit maju membantu anak buahnya.
Wintara dan Umbara Komang merasa aneh melihat para pengeroyoknya segera minggir semua. Dan tahu-tahu saja mereka melihat dua sosok berdiri di hadapan dengan wajah angker. Mereka langsung melancarkan serangan. Gerak-gerak jurus mereka nampak aneh. Sudah pasti mereka bukan orang sembarangan.
"Kau bagianku, siluman bule! Kenapa tidak dari tadi kau menampakkan diri!" kata Umbara Komang menyambut serangan Ki Rondo Mayit. Kedua hantaman mereka membledar beradu. Begitu juga dengan Wintara. Kama Lodra mengeluarkan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Setiap pukulannya menimbulkan suara angin yang bergemuruh. Menerpa seluruh tubuh Wintara. Mana mau Wintara diperlakukan begitu, iapun segera menghimpun tenaga dalamnya. Lalu dengan suara teriakan yang dahsyat ia melancarkan serangan balasan.
"Dueeees!" Hantaman mereka beradu. Keduanya sama-sama terdorong oleh pukulan-pukulan tenaga dalam mereka sendiri.
Orang-orang yang tadi menyingkir datang lagi menyerang. Senjata-senjata mereka berkelebat mencecar! Wintara berlompatan di udara menghindari. Namun kedua matanya tidak lepas mengawasi sosok Kama Lodra yang diam-diam datang melancarkan sebuah pukulan. Begitu pukulan itu datang, Wintara melompat lagi. Maka hantaman itu hanya mengenai sasaran lain.
Di lain pihak, Umbara Komang masih menghadapi Ki Rondo Mayit. Merekapun tidak luput dari serbuan para perampok. Sambil menangkis serangan Ki Rondo Mayit, Umbara Komang memutar tangannya ke belakang...
"Deeees!" Beberapa orang pembopong bergulingan dengan darah menyembur dari mulut mereka. Saat itu pula Ki Rondo Mayit tidak menyia-nyiakan kesempatan. saat Umbara Komang melancarkan hantaman ke belakang. Tendangan Ki Rondo Mayit masuk menghantam dadanya. Umbara Komang mundur seloyongan. Sudut bibirnya mengalir darah. Tapi ia tidak membiarkan darah itu mengalir. Umbara Komang menghisap kembali ke dalam perutnya.
Dengan gerakan yang deras ia maju membalas melancarkan dua pukulannya sekaligus. Ki Rondo Mayit cepat merunduk sambil sebelah kakinya menyapu bagian bawah...
"Bug!" Umbara Komang yang kurang hati-hati itu terpaksa terpelanting jatuh. Melihat itu para penyerang lainnya meluruk menerjang tubuh Umbara Komang yang masih bergulingan di tanah. Ki Rondo Mayit membiarkan orang-orang itu. Baginya Umbara Komang tidaklah begitu penting. Ia yakin Umbara Komang tidak mungkin mampu menghindari serangan-serangan penghuni kuil. Apalagi sekarang Umbara Komang dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi.
Ki Rondo Mayit tersenyum sinis melihat Umbara Komang bergelintingan menghindari serbuanserbuan orang-orang yang bersenjata. Setiap kali senjata-senjata mereka hampir mengena di tubuh Umbara Komang. Ada juga yang hanya menyerempet pakaiannya hingga robek. Kelihatannya memang sangat sukar untuknya lolos dari kepungan itu. Terbukti Umbara Komang tidak sempat bangkit berdiri. Ia hanya bergelintingan menghindar atau membalas serangan.
Wintara sendiri setengah mati menghadapi kepungan-kepungan itu. Apalagi setiap saat yang tak terduga Kama Lodra melancarkan serangan yang tidak kepalang tanggung mendera di tubuhnya. Ia sudah beberapa kali terkena hantamannya. Mulutnya-pun sudah berlumuran darah.
Sekali waktu ia mengerahkan seluruh tenaganya dengan di barengi kedua lengan yang berputar keras. Maka orang-orang yang berada di dekatnya menghambur berpentalan. Setelah sekelilingnya agak renggang, Wintara melesat ke atas dan bersalto di udara. Tubuhnya menjurus ke arah Umbara Komang yang telah berlumuran darah akibat babatan-babatan senjata yang menyerempet di tubuhnya. Tiba-tiba saja para pengeroyok itu jatuh bergelimpangan. Wintara langsung melancarkan tendangan maupun pukulan setelah tiba di tempat itu. Umbara Komang cepat bangkit saat Wintara berada di hadapannya. Para pengeroyok itu berdatangan lagi menerjang.
Sebelum para penghuni kuil mendekat menyerang, Wintara langsung menarik tubuh Umbara Komang. Ia memapahnya dan membawa lari dari tempat itu.
"Kejar! Jangan sampai mereka lolos!!" bentak Kama Lodra. Para anak buahnya berlarian mengejar. Senjata mereka mengacung-acung mengancam. Begitu juga dengan Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit. Keduanya sama-sama lari mengejar. Kecepatan lari mereka memang lebih cepat dibanding dengan sisa-sisa anak buahnya yang kurang lebih kini berjumlah tiga puluh orang.
Sebentar saja kedua orang tua itu sudah berada jauh di depan orang-orang yang masih berlari mengejar. Sebentar-sebentar Kama Lodra menoleh ke belakang.
"Ayo cepat kejar...! Kejar...! Lari kalian seperti keong!" Bentaknya sambil berlari. Mendengar bentakan yang demikian orang-orang itu memacu kecepatan larinya. Sampai ada yang terbatuk-batuk. Sebenarnya bisa saja mereka mengejar dengan menunggangi kuda. Tapi mana sempat lagi mereka mengambil kuda sedangkan keadaannya sudah mendadak begitu. Dengan terpaksa pula mereka sekarang berlari.
Suasana malam yang gelap menguntungkan bagi Wintara yang membawa tubuh Umbara Komang. Ia dapat berlari tanpa kelihatan. Hanya sayang daerah itu merupakan dataran padang batu yang sangat luas. Tidak ada tempat satu pun untuk bersembunyi. Mereka memang berada jauh dari kejaran orang-orang penghuni kuil. Umbara Komang malah cengar-cengir dalam papahan Wintara. Tawanya malah lebih keras sewaktu Wintara menggerutu. Dengan kesal Wintara melepaskan papahannya...
"Bruugg!" Tubuh Umbara Komang terbanting.
"Kalau mau cepat berada di akherat tetap diam di sini! Tapi kalau mau selamat ikuti aku!" bentak Wintara. Umbara Komang menoleh ke belakang. Samarsamar melihat puluhan orang mengejar. Dengan mata yang membelalak Umbara Komang bangkit sendiri, lalu ngacir....
"Hiiiiy... Siluman-siluman jahat itu sangat banyak, aku tidak sanggup menghadapinya. Kita pasti tewas di rencah oleh mereka, Dewa. !" Katanya sambil
berlari terengah-engah menyusul langkah-langkah cepat Wintara.
"Apakah kau terluka?" kata Wintara setelah Umbara Komang berhasil membayanginya.
"Entahlah! Yang ku rasakan seluruh punggung terasa perih...! Sebenarnya aku tidak takut terhadap mereka, sayang siluman berambut kusut ada di situ!" jawab Umbara Komang.
"Kau kenal pada siluman berambut kusut itu?"
"Siapa yang tidak kenal padanya! Dialah Siluman penguasa yang pernah bersarang di Rogojembangan!" jawab Umbara Komang cepat. Wintara menanggapi serius. Mereka makin cepat berlari mendahului para pengejarnya di belakang yang jauh tertinggal.
Sementara itu Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit tetap berada paling depan dari ketiga puluh orang anak buahnya. Mereka dapat mengetahui ke mana arah Wintara dan Umbara Komang melarikan diri. Mereka dapat melihat tapak-tapak kakinya yang menyeplak di dataran berpasir. Dengan begitu mereka sangat mudah mencari tawanan mereka.

*
* *




--¦::: « 10 » :::¦--

"Raden...!" Teriakan Dewi Rakuntili bergema.
Suasana gelap pekat dan dingin.
"Kau tak dapat lolos dari sini, Raden! Aku bakal mendapatkan kau kembali!" Teriakannya selalu menggema. Tapi tidak pernah ada jawaban. Sukar sekali menentukan di mana adanya Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Kedua matanya yang jeli benarbenar seperti buta. Dan dirasakannya debu pasir menerpa kulitnya yang mulus saat angin berhembus kencang.
"Raden...! Aku tak segan-segan lagi membunuhmu jika kau kutemui!" Kembali gema-gema suara Dewi Rakuntili memenuhi malam yang gelap. Larinya nampak cepat sekali. Langkah-langkahnya bersuara bagai derap kaki kuda.
Sebenarnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa mendengar teriakan-teriakan Dewi Rakuntili yang menggema-gema itu. Ia sengaja tidak menjawabnya agar tidak diketahui di mana ia berada. Padahal jarak mereka tidak begitu jauh dan Dewi Rakuntili mengejarnya dengan benar. Hanya saja suasana yang gelap itu membuat ia tidak dapat memastikan buruannya. Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mengetahui Dewi Rakuntili mengejarnya makin lama makin dekat, mempercepat larinya. Kain bajunya berderap tertiup angin dan gesekan gerakannya. Cepat Dewi Rakuntili menoleh ke arah suara itu. Ia yakin di situlah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia lari mengejar.
"Kau sudah kudapatkan, Raden...! Kau pasti mati!" teriaknya.
Laki-laki yang berlari di depannya tidak perduli. Meskipun ia cukup yakin ia masih dalam buruannya. Sebab itu laki-laki itu tidak pernah berhenti dari langkah-langkahnya yang bergerak cepat.
Saat itu udara makin dingin dan malam tetap gelap. Angin pasir menderu-deru menakutkan. Debudebu pasir beterbangan menerpa tubuh mereka. Keringat mereka sudah lengket bercampur dengan debudebu itu. Yang terlihat dari kejauhan hanyalah dua sosok saling lari mengejar. Keduanya nampak telah lelah. Lari mereka tidak secepat seperti tadi. Keduanya kadang berlari kadang pula berjalan. Begitu seterusnya.
Tidak terasa pula hari hampir pagi. Langit yang semula hitam kelam, kini nampak kebiruan mengambang di atas cakrawala. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah beberapa kali terjatuh. Manakala pasir telah membenam kedua telapak kakinya.
Dewi Rakuntili berjalan perlahan menatap lakilaki itu jatuh bangun dari permukaan pasir yang luas menghampar. Langkah-langkahnya demikian pasti meskipun nampak terhuyung menahan lelah. Semangatnya timbul kembali saat dirinya mendekati sosok tubuh lelaki merangkak menyeret diri. Kedua kaki Dewi Rakuntili yang gemetar mendadak melangkah cepat. Pasir-pasir yang membenam sampai semata kaki berhamburan saat ia melarikan diri mengejar sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka. Jejak-jejaknya bagaikan lubang-lubang yang sangat dalam yang kemudian hilang kembali seperti pasir-pasir yang longsor dari atas bukit pasir.
Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit dan berusaha berlari lagi. Tapi teriakan Dewi Rakuntili yang menggelegar itu mengagetkannya. Laki-laki itu menoleh ke belakang dan ia tidak sempat lagi menghindari terkaman yang datang dari arah belakang. Keduanya jatuh bergulingan. Sebelah tangan Dewi Rakuntili menghantam dada. Tapi untuk hantaman yang kedua, Raden mas Kinanjar Swantaka berhasil menangkisnyaa. Gerakannya yang sangat lemah membuat mereka nampak seperti berpelukan.
Dalam dekapan yang begitu erat, Dewi Rakuntili tidak dapat melancarkan hantaman-hantamannya. Gadis itu meronta-ronta sekuat tenaga. Rontaan itu demikian lemas. Sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka mendorong kedua lengannya. Tubuh Dewi Rakuntili terdorong bergulingan. Laki-laki itu cepat bangkit dan melangkah dengan lunglai meninggalkan Dewi Rakuntili yang berusaha bangkit lagi. Wajahnya sudah tidak karuan tertutup debu. Bentuk keanggunannya seperti hilang. Hanya kedua matanya yang nanar memerah nampak jelas membelalak.
Namun begitu Dewi Rakuntili masih terus berusaha mengejar. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha tidak perduli. Tapi lagi-lagi terjangan Dewi Rakuntili datang menerkam. Kembali keduanya bergulingan. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha menghindari hantaman Dewi Rakuntili. Sebelum hantamannya mengena laki-laki itu memutar tubuhnya. Membuat posisi Dewi Rakuntili berada di bawah. Sigap sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka membekap dari atas. Lelaki itu hanya menamparnya kuat-kuat. Dan Dewi Rakuntili memekik! Tubuhnya terlentang seperti tak bertenaga. Tapi begitu Raden Mas Kinanjar Swantaka beringsut bangun, kaki Dewi menendang ke atas...
"Bug!"
Lelaki itu terbanting ke belakang. Dadanya terasa ngilu. Kedua-duanya nampak bangkit terduduk saling berhadapan. Nafas mereka memburu menunjukkan wajah-wajah yang amat menyeramkan.
"Kau akan mampus di sini, Raden.... Kita akan mengadu jiwa!"
"Aku akan lebih suka kalau kita mati bersama!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Dewi Rakuntili bangkit dengan geram. Langkahnya yang sempoyongan dipaksakan menerjang lakilaki di hadapannya menyamping. Kedua lengannya bersiap ke atas. Maka hantaman itu beradu. Raden Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan tendangannya. Tapi sebelum tendangan itu bergerak Dewi Rakuntili menjatuhkan diri. Sebelah lengannya menangkis tendangan....
"Plaak!" Akibat tepisan yang demikian kuat, laki-laki itu terbanting. Tubuhnya berdegum mengeluarkan asap-asap debu. Bersamaan dengan itu pula Dewi Rakuntili menerjang menerjang tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka yang masih bergulingan. Keduanya jatuh menggelinding saling hantam. Mereka baru menyadari kalau matahari mulai menampakkan diri di balik pasir memancarkan sinar keperakan. Namun demikian udara masih menyebarkan hawa dingin. Di luar dugaan pasir di atas mereka meluruk menimbun. Keduanya cepat-cepat bangkit sebelum mereka tertimbun.
Dewi Rakuntili yang nampak lemas itu terpeleset jatuh. Melihat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka menendang keras ke arah tubuh ramping Dewi Rakuntili. Semua itu dilakukan semata-mata agar gadis beringas selamat dari timbunan pasir yang datang bak air bah. Dan tindakan Raden Mas Kinanjar Swantaka ternyata tidak sia-sia. Dewi Rakuntili selamat dari badai pasir yang tiba-tiba datang melanda. Laki-laki itu berhasil menyelamatkan orang lain, tapi dirinya diri tidak dapat menghindari saat pasir menimbun seluruh tubuhnya.
Dengan pandangan yang samar, Dewi Rakuntili dapat melihat bagaimana saat ia diselamatkan dan bagaimana juga saat Raden Mas Kinanjar Swantaka meronta-ronta di kala pasir-pasir menimbuninya hiduphidup. Ia sendiri tidak dapat bangun akibat tendangan yang sangat keras tadi. Dia hanya menatap pasir-pasir mulai rata dengan permukaan tanah bersama angin yang membuat debu-debu beterbangan.
Sambil menahan sakit ia beringsut bangun, kemudian menyeret tubuhnya ke arah di mana tadi Raden Mas Kinanjar Swantaka tertimbun. Susah sekali ia mencapainya, karena padang pasir yang membukit ini membuatnya harus merosot ke bawah lagi. Dan ia tidak henti-hentinya mendaki. Namun tetap saja. Tubuhnya yang lemah tak berdaya selalu merosot ke bawah. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba saja kedua matanya membelalak lebar....
Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas sana, dari permukaan bukit pasir menyembul sebelah lengan. Lengan itu nampak bergerakgerak menyingkirkan pasir-pasir yang terkuak semakin membesar. Lalu muncul lagi sebelah lengan lainnya. Gadis itu makin tak percaya. Apalagi saat ia melihat sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka menyembul. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Seluruh tubuhnya telah penuh dengan pasir. Sosok itu bergerak-gerak berusaha ke luar dari timbunan. Untuk mengangkat tubuhnya saja laki-laki itu sudah tidak sanggup. Ia hanya mengandalkan kedua lengannya yang membawanya keluar dari timbunan itu.
Matanya menatap nanar ke arah perempuan yang juga nampak kepayahan di bawahnya. Perempuan itu balas menatap sambil duduk dengan kedua lengan yang menahan tubuhnya di atas permukaan pasir. Dan saat Raden Mas Kinanjar Swantaka benarbenar ke luar dari timbunan pasir, Dewi Rakuntili ambruk pingsan. Begitu juga dengan laki-laki itu yang berjalan tersaruk-saruk. Dengan tiba-tiba pandangannya berputar. Ia tidak kuat lagi untuk melangkah.
Maka tubuh itu menggelosoh ambruk! Tubuhnya menggelinding deras... akhirnya ia pun jatuh terlentang tak sadarkan diri tidak jauh dari sosok Dewi Rakuntili. Keduanya sama-sama terlentang menantang matahari yang kian lama semakin tinggi mencorot.

*
* *




--¦::: « 11 » :::¦--

"Itu mereka! Lekas kejar!" teriak Kama Lodra melihat sosok Wintara dan Umbara Komang berjalan tenang, maka ketiga puluh anak buahnya berlarian. Wintara dan Umbara Komang yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke belakang.
"Astaga! Mereka masih saja mengejar!" Wintara kaget. Umbara Komang melotot.
Keparat! Siluman-siluman itu punya tenaga apa!" Umbara Komang ketakutan menatap kedua orang yang berlari paling depan.
"Itu siluman rambut kusut kenapa tidak mau mampus saja!" gerutunya lagi. Wintara segera menarik lengan Umbara Komang mengajaknya berlari lagi. Mereka memang nampak sudah tak bertenaga, tapi melihat para pengejarnya demikian gigih membuat mereka memeras tenaganya.
Sementara itu di belakang mereka Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit meninggalkan jauh orang-orang yang berlari mengikuti. Ketiga puluh orang itu larinya sudah simpang siur. Banyak juga di antaranya yang jatuh bangun. Ada juga yang tidak kuat meneruskan larinya. Yang jelas mereka semua tidak bakal sanggup lagi mengikuti cara lari kedua orang yang mendahului di depan. Percuma saja Kama Lodra memberinya semangat. Belum-belum mereka ada yang bergelintingan pingsan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah memakan tenaga yang sedikit. Mereka telah menempuh semalaman penuh. Sampai sekarang matahari mulai tinggi di ufuk Timur.
Bagi Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sebenarnya sama-sama lelah dan telah kehabisan tenaga. Hanya mereka berusaha menyembunyikannya. Kalau saja mereka sanggup berlarian semalam suntuk, adalah wajar! Karena mereka berdua memang memiliki ilmu kecepatan lari yang sangat luar biasa. Kedua buruannya yang berada di depan hampir terkejar.
Wintara dan Umbara Komang sudah tidak dapat menambah kecepatan larinya. Apalagi sekarang mereka mengarungi lautan padang pasir yang sangat luas. Setiap kakinya melangkah, padang pasir membenam ke mata kaki. Mereka betul-betul terdesak. Berusaha tetap lari adalah percuma dan bukan jalan satusatunya yang terbaik. Lambat laun tenaga mereka akan habis, dan para pengejarnya akan mendapatkan mereka pula. Maka dengan bringas Wintara membalikkan tubuhnya berdiri menantang. Umbara Komang yang terlanjur berlari terpaksa pula berhenti menatap ke arah Wintara tidak mengerti. Ia balik lagi melangkah mendekat Wintara.
"Dewa akan bunuh diri! Mereka akan merencah kita!" kata Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia seolah-olah berdiri menantang kedua orang yang berlari makin dekat.
"Bukan bunuh diri, Umbara! Tapi kita yang akan membunuh siluman-siluman itu!"
"Oh, iya iya.... Mereka memang silumansiluman yang mesti di berantas!"
"Awaas!" Wintara mendorong tubuh Umbara Komang saat Kama Lodra datang melancarkan tendangan terbangnya ke arah mereka. Umbara Komang ke pinggir sempoyongan. Wintara juga. Tapi ia cepat di sambut oleh Ki Rondo Mayit dengan sebuah jotosan....
"Des!" Tepat mengenai muka. Sehabis menghantam begitu tampak sekali tubuh Ki Rondo Mayit terhuyung, maka Wintara membalas dengan tendangannya. Meskipun agak terhuyung Ki Rondo Mayit masih dapat menangkis tendangan itu. Malah Wintara yang jatuh tergelincir.
Melihat Wintara terguling ke arah Kama Lodra. Umbara Komang menahan gerakan Kama Lodra yang berniat melancarkan serangan ke bawah. Tendangan Umbara Komang mengenai kedua lengan lelaki tua yang mengenakan jubah serba hitam. Mendapat kesempatan itu Wintara cepat bangkit dan melancarkan sabetan lengannya.
"Des!" tubuh Kama Lodra terbanting.
Saat itu ketiga puluh orang anak buah Kama Lodra sudah berdatangan. Mereka tidak perlu diberi komando lagi. Dengan serempak mereka mencabut senjata dan menyerang Wintara. Umbara Komang terbelalak melihat senjata-senjata mereka nampak putih berkilat menyilaukan. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit segera menyingkir membiarkan anak buahnya mengepung dua orang buruannya. Saat-saat itu mereka berdua berusaha menghimpun tenaga.
Menghadapi kepungan itu Wintara maupun Umbara Komang tidak mengalami kesulitan. Para penyerang itu melancarkan serangan tanpa tenaga. Babatan-babatan senjata mereka nampak lamban, malah lebih cepat dibanding dengan gerak hantaman Wintara atau tendangan Umbara Komang. Sungguh-sungguh menghajar mereka. Wintara sengaja membuat para penyerangnya jatuh pingsan, Tapi untuk Umbara Komang, ia tidak pernah tanggung-tanggung melancarkan hantamannya. Kalau lawan-lawannya tidak patah tulang atau batok kepala mereka tidak remuk, Umbara Komang kurang puas. Untuk itulah ia nampak mulai kehabisan tenaga. Sementara itupun Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sudah dapat melihat dan mengukur kekuatan kedua orang itu. Kama Lodra beringsut melangkah bermaksud ikut menyerang. Tapi Ki Rondo Mayit segera menahannya. Kama Lodra berhenti melangkah, saat itupun ia sempat melihat Umbara Komang jatuh terkena babatan pedang.
"Putri mu telah mengecewakan aku, Kama Lodra! Ia telah mengingkari janji! Sampai sekarang ia belum kembali. Pastilah ia sudah tewas di tangan raden keparat itu!"
"Kau bicara apa, Ki Rondo Mayit! Dua orang buruan kita sudah ada di sini! Kenapa berbicara soal putri ku! Hancurkan saja mereka dulu, setelah itu kita berdua mencari mereka!"
"Ah tidak perlu! Itu urusanmu! Bagiku kedua orang itu tidak begitu penting! Yang kuperlukan nyawa raden sial itu! Aku pergi sekarang mencari mereka! Urus saja kedua orang itu olehmu!" Setelah berkata begitu Ki Rondo Mayit melesat meninggalkan tempat itu. Kama Lodra tidak dapat menghalanginya. Matanya hanya menatap kepergian Ki Rondo Mayit yang berlalu menjauh. Kemudian beralih ke arah pertarungan. Di situ ia melihat Umbara Komang mengamuk menjatuhkan satu demi satu para anak buahnya. Padahal darah telah mengucur deras dari luka di pinggangnya. Begitu juga dengan Wintara. Ia sudah semakin kalap menghantam lawan-lawannya. Babatan-babatan senjata yang begitu banyak berkelebat sama sekali tidak ada yang mengena di tubuh Wintara.
Sekalipun Wintara nampak keteter. Kama Lodra berbalik mundur, bukan karena takut menghadapi kedua orang buruannya itu. Tapi ia merasa khawatir akan nasib putrinya. Ia takut kalau putrinya betulbetul tewas di tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sebab sampai sesiang ini belum juga kembali. Menurut sepengetahuannya, ia selalu berhasil dalam bidang apapun. Dan dapat kembali lebih awal. Apalagi Ki Rondo Mayit sekarang pergi menyusul. Bagaimana kalau Dewi Rakuntili berhasil membawa Raden Mas Kinanjar Swantaka? Tentunya Ki Rondo Mayit akan merampasnya dari tangan Dewi Rakuntili. Ia tahu benar watak anak perempuan tunggalnya. Watak yang keras dan tidak bakal dengan mudah menyerahkan miliknya yang sudah didapat. Dia memang pernah berjanji akan menyerahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Tapi sekarang suasananya lain...! Kama Lodra berpikir panjang. Lalu dengan tiba-tiba saja ia menghentakkan kedua kakinya berlari meninggalkan pertarungan. Membiarkan para anak buahnya matimatian menggempur dua pendekar perkasa.
"Weiiii! Siluman tengik! Mau lari ke mana kau!" bentak Umbara Komang sambil melancarkan hantamannya ke dada lawan. Darah menyembur bagai air mancur! Umbara Komang melangkah cepat, tapi beberapa orang menghadangnya. Dua orang lagi melompat memegangi kedua kakinya.
"Ha ha ha ha cecoro-cecoro busuk! Apa-apaan kalian! Lepas!" Umbara Komang berteriak-teriak. Wintara jadi geli melihatnya. Melihat kelucuan itu, tenaga Wintara seperti muncul kembali. Terbukti sekali hantamannya bergerak menjatuhkan tiga orang sekaligus. Memang tidak telak, tapi cukup membuat ketiganya menjerit-jerit!
Dua orang itu masih memegangi kaki Umbara Komang manakala di hadapannya berdatangan orangorang membabatkan senjatanya. Sebelum senjatasenjata itu berkelebat, Umbara Komang melesat ke atas. Dua orang yang memegangi kakinya sampai ikut terbang ke atas. Maka babatan-babatan senjata itu hanya mengenai kedua orang itu sampai salah satu dari tubuh mereka ada yang hampir putus. Dan Umbara Komang sendiri yang masih berada di udara menghantam kepala mereka satu persatu.
Wintara bertambah yakin akan kehebatan Umbara Komang. Tapi sedikitnya ia masih khawatir akan keadaan tubuhnya yang
banyak mengeluarkan darah. Setelah Wintara berhasil menjatuhkan dua orang penyerang, ia melompat ke arah Umbara Komang....
"Dewa jangan khawatir! Aku tidak apa-apa! Lihat " Umbara Komang memutar lengannya. Dan seorang pembokong itu terlentang ambruk menyemburkan darah. Saat Umbara Komang menghantam, Wintara dapati mimik yang menyeringai menahan sakit.
"Kau memang hebat, Umbara! Tapi bagaimana pun aku harus membantumu! Kau tidak perlu menghajar mereka sampai tewas! Itu akan membuang tenagamu saja...
"Seperti ini saja!" Wintara menendang ke depan
"Der!"
Perlahan tapi pasti. Dan dua orang bergulingan dengan kelojotan untuk kemudian diam tak berkutik.
"Dengan begitu kita sudah mengurangi lawanlawan brengsek itu! Cepat menyingkir! Urusi saja luka di pinggangmu, Umbara... Mereka tinggal sedikit, aku sanggup menghabisi mereka!" Wintara melancarkan tendangan memutar ke depan menghantam pergelangan tangan hingga senjata-senjata mereka mental berbareng. Lalu sebelah kakinya menyambar lagi beruntun membuat orang-orang itu jatuh bergelimpangan.

*
* *




--¦::: « 12 » :::¦--

Matahari bergeser semakin tinggi dengan menyebarkan panas teriknya ke setiap permukaan tanah berpasir yang menghampar itu. Dua sosok tubuh masih terlentang menantang matahari dengan nafas yang tersendat-sendat perlahan. Tubuh mereka telah berlapis pasir yang berwarna coklat kehitaman. Rambut keduanya sudah nampak kaku penuh debu.
Sesekali angin berhembus meniup mereka. Dan Dewi Rakuntili berusaha membuka kedua kelopak matanya yang sayu menatap panas menyilaukan. Bibirnya yang pucat retak bergetar. Lemah sekali ia menoleh ke samping kiri di mana sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka terkapar mulai sadar. Gadis itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya yang lemah membuat ia tidak mampu bergerak lagi. Matanya terpejam.
"A-a-air.... Air.... hhhhhh" Gadis itu merintih. Raden Mas Kinanjar Swantaka mendengar itu. Ia pun segera menoleh ke samping. Sosok Dewi Rakuntili terlentang lemas dengan nafas yang terputus-putus. Lelaki itu merangkak bangun. Akan tetapi ia terjatuh lagi berguling. Ia pun telah benar-benar kehabisan tenaganya. Sekali lagi ia merangkak bangun. Lalu berjalan ke arah Dewi Rakuntili.
Ia menatap gadis itu mengucurkan keringat dengan wajah yang pucat serta bibir yang kering retak. Tubuhnya nampak gemetar. Ia tetap terlentang saat Raden Mas Kinanjar Swantaka di sampingnya. Tangan lelaki itu gemetar menarik gagang pedang pendek yang terselip di pinggang Dewi Rakuntili. Gadis itu hanya diam pasrah.
"Kau menang, Raden.... hhhhhhh. Kau boleh membunuhku!" Suara Dewi Rakuntili lirih. Raden Mas Kinanjar Swantaka mengangkat pedang pendek tinggitinggi. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar matahari Dewi Rakuntili menatap mata pedang dengan tak berkedip. Di luar dugaan, Raden
Mas Kinanjar Swantaka menghantam pedang itu ke arah lengannya sendiri. Pedang pendek menancap dalam di lengannya. Darahpun menetes ke luar. Tetesan darah itu sengaja diarahkan ke mulut Dewi Rakuntili.
Lelaki itu mengangkat kepala Dewi Rakuntili agak berdiri. Kemudian ia melekatkan luka yang masih mengalirkan darah ke mulut. Membiarkan gadis itu menghisapnya. Tanpa setetes darahpun yang terbuang percuma. Bibir mungil itu kini basah lagi dengan cairan merah.
Entah sampai berapa lamanya, tubuh lelaki itu ambruk lagi ke tanah. Dewi Rakuntili terduduk menatap sosok yang ambruk terlentang. Ia menyeka cairan merah yang tersisa di sekitar bibirnya. Tubuhnya masih gemetar, dan berusaha meraih pedang pendek yang masih dalam genggaman Raden Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itu diam tak bergeming. Dewi Rakuntili mengarahkan mata pedang pendek ke dada lelaki itu. Nafasnya kian memburu. Pedang pendek berkilat siap menembus dada. Tapi apa yang akan dilakukan Dewi Rakuntili tidaklah sekejam itu! Gadis itu melemparkan pedangnya jauh-jauh....
"Bagus, Dewi Rakuntili! Nyawa anjingnya memang bagianku !" Tiba-tiba saja terdengar suara yang amat berat dari belakang. Dewi Rakuntili menoleh....
"Ki Rondo Mayit !" Dewi Rakuntili menatap sosok tubuh berambut putih kusut menyeringai menyeramkan. Laki-laki setengah tua itu melangkah dekat.
"Tidak, Ki Rondo Mayit! Kau tidak boleh membunuhnya!" Dewi Rakuntili menghalangi dengan kedua lengannya. Ki Rondo Mayit berhenti melangkah.
"Kau sudah berjanji padaku, Dewi." jawabnya tenang.
"Betul! Tentunya kau masih ingat dengan janji ku itu. Kau boleh membalas dendammu, asalkan Raden Mas Kinanjar Swantaka telah sembuh betul!"
"Hm... Lalu membiarkan keparat itu melarikan diri lagi...? Tidak bisa, Dewi! Sekarang saatnya yang tepat, kau tidak bisa menunda-nunda lagi!" Ki Rondo Mayit melangkah kian dekat.
"Diam di tempat, Ki! Sekali lagi melangkah aku tidak segan-segan menghadapimu!" Dewi Rakuntili mengancam. Ki Rondo Mayit tertawa mengekeh....
"He he he he.... Kau pikir aku ini apa dapat digertak macam itu? Hah! Di sini kau bukan seorang penguasa, Dewi. Kau tidak punya wewenang apapun terhadapku. Menyingkirlah kalau masih ingin hidup lama!" Kedua lengan Ki Rondo Mayit siap-siap mengeluarkan jurus.
Melihat itu Dewi Rakuntili berdiri cepat menghadapi laki-laki setengah tua berambut putih kusut. Kedua matanya menatap liar bagaikan betina yang haus darah. Ki Rondo Mayit bergidik melihat sosok ramping berlapis debu. Wajah anggunnya tidak nampak sama sekali.
"Jangan heran kalau sekarang aku menolongnya, Ki.... Dia tidak patut kubunuh atau kuserahkan padamu! Karena dia telah menyelamatkan nyawaku!"
"Oh pantas sekarang telah menjadi anjing penjilat!"
"Tutup mulutmu!" Bersamaan dengan itu, Dewi Rakuntili melancarkan tinjunya ke arah muka Ki Rondo Mayit. Lelaki setengah tua itu hanya bergeser sedikit, maka serangan itu meleset ke samping. Dengan mudahlah bagi Ki Rondo Mayit membalas serangan.
"Des!"
Tubuh ramping itu bergulingan. Hantaman keras itu membuat Dewi Rakuntili menyemburkan darah.
"Bukan salahku, Dewi! Kau sendiri yang memaksa aku bertindak kejam!"
"Bangsat! Jangan sombong tua bangka keparat!" Dewi Rakuntili bangkit lagi. Kali ini hantamannya bergerak cepat. Dan hantaman itu hampir mengenai kepala Ki Rondo Mayit, untunglah lelaki itu cepat merunduk. Tapi tiba-tiba saja Ki Rondo Mayit memekik hebat dan terhuyung mundur. Ternyata dalam kesempatan itu Raden Mas Kinanjar Swantaka yang baru saja siuman dari pingsannya langsung melancarkan hantaman keras. Kesempatan itu pula Dewi Rakuntili ikut ambil bagian.... Sewaktu Ki Rondo Mayit mundur terhuyung, gadis itu melancarkan tendangan. Tepat mengenai punggung dan sampai memuntahkan darah. Dewi Rakuntili cepat berlari melindungi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang nampak bangkit berdiri.
Dengan geram pula Ki Rondo Mayit maju menerjang, kedua lengannya berputar di barengi dengan tendangan yang sangat keras. Untuk menghadapi pukulan-pukulan itu mereka dapat menangkisnya, tapi tendangan yang sangat keras itu sama sekali tidak dapat di-bendung. Kedua-duanya jatuh bergulingan.
Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat bangun, Ki Rondo Mayit menerjang lagi dengan serentetan serangan.
"Sudah kepalang tanggung, Dewi! Rupanya kalian berdua memang harus mampus di tanganku... Hreaaaaaa!"
Angin pukulan ki Rondo Mayit bergulunggulung. Kedua sasarannya belingsatan menghindar. Mereka yakin hantaman yang bertubi-tubi itu sudah tentu di sertai tenaga dalam yang dahsyat. Kalau saja sampai terkena, pastilah mereka akan tamat riwayatnya.
Sekalipun Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka telah kehabisan tenaga, mereka masih dapat menghindari serangan-serangan maut itu. Mereka berdua bergantian saling melindungi. Bahkan menangkis saling bergantian. Namun sekuatkuatnya mereka, bagi Ki Rondo Mayit tidaklah berarti. Sekali Ki Rondo Mayit kerahkan tendangannya....
"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka yang bermaksud menyambut tendangan itu tidak sempat menangkis lagi. Terasa sekali dadanya rontok. Ia mundur terhuyung dengan darah menyembur. Dewi Rakuntili datang membalas. Teriakannya menggelegar berbareng dengan sambaran lengan kanannya yang menghantam deras, Ki Rondo Mayit hanya menepak dengan telapak tangannya lalu kakinya naik ke atas menendang perut
"Der!"
Dewi Rakuntili terlempar melintir! Begitu tubuhnya jatuh di tanah, debu-debu pasir berdegum mengepul. Seluruh tulang-tulang sendinya rontok. Ia berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
Ki Rondo Mayit menyeringai. Kedua tangannya mengepal erat dan siap menghantam lagi. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit meskipun dengan gerakan yang lunglai. Ia bersiap-siap menghalangi bilamana laki-laki setengah tua berambut putih kusut melancarkan serangan. Dewi Rakuntili menatap ngeri. Saat Ki Rondo Mayit maju menerjang ke arah Dewi Rakuntili, cepat sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka bergerak menghalangi, tapi lelaki berambut putih kusut tidak kalah sigap. Sebelum ia melancarkan hantaman ke arah Dewi Rakuntili, ia menghantam perut Raden Mas Kinanjar Swantaka terlebih dahulu. Tubuh itu terbanting di samping Dewi Rakuntili. Dan ki Rondo Mayit tetap meneruskan niatnya... Hantamannya berkelebat menyambar batok kepala gadis itu, tapi....
"Plaaaak!" Sosok bayangan lain muncul menggagalkan hantaman itu. Ki Rondo Mayit mundur selangkah, dirasakan kedua pergelangan tangannya berdenyut.
Dan di saat ia menoleh ke arah sosok bayangan tadi, mata Ki Rondo Mayit terbelalak! Begitu juga dengan Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sosok Kama Lodra berdiri tenang dengan tatapan penuh amarah ke arah Ki Rondo Mayit.
"Sudah kuduga kedatanganmu ini ke sini pasti akan membawa bencana, Ki! Untung aku cepat datang ke sini!" kata Kama Lodra yang mulai melangkah.
"Itu lebih bagus, Ki! Biar kau saksikan kematian putri mu akibat keangkuhan wataknya yang kelewat sombong! Tapi setelah memandang kau, aku masih memberi kesempatan untuk kau membawanya pulang!" Ki Rondo Mayit berkata sinis.
"Kau meremehkan aku, Ki Rondo Mayit! Aku memilih kita bertarung saja. Aku rasa kau tidak keberatan, bukan?" jawab Kama Lodra sambil membantu putrinya bangkit.

*
* *




--¦::: « 13 » :::¦--

"Aku setuju! Dan itu berarti akan ada tiga mayat bergelimpangan tanpa kubur di sini... Mari Kama Lodra, kita yang sama-sama tua ini belum pernah saling menjajal ilmu!" Ki Rondo Mayit menantang. Kama Lodra tetap tenang. Ia melihat putrinya membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, Kama Lodra. Aku tidak akan menyentuh putri mu sebelum mengirimmu ke neraka. Dan juga jangan coba-coba melarikan diri dari sini kalau tidak ingin ku sebut sebagai pengecut!" Ki Rondo Mayit membetulkan ikat pinggangnya, lalu ia bersiapsiap mengeluarkan jurus-jurus maut. Kama Lodra membuka jubah hitamnya.
Maka terlihatlah tubuhnya yang setengah telanjang itu nampak kekar dan berisi. Rambut hitamnya tetap tergulung di atas kepala. Ia pun tidak kalah dahsyat menunjukkan jurusjurusnya.
Ki Rondo Mayit tidak membuang-buang waktu. Teriakannya menggelegar, bersamaan dengan lesatan tubuhnya menerjang Kama Lodra. Kedua lengannya berputar menimbulkan suara angin yang bergemuruh bergulung-gulung. Kama Lodra menyambut dengan kedua telapak tangannya yang mendorong keras ke depan. Sampai akhirnya hantaman mereka beradu dahsyat.... Suara benturan itu membledar nyaring memecah kesunyian gurun tandus berpasir.
"Tidak kusangka kau sehebat ini, Kama Lodra!" kata Ki Rondo Mayit sambil melancarkan tendangan memutar dengan kedua kaki yang menghantam bergantian.
"Kau menghina, Ki Heaaat!" Kama Lodra melesat ke atas menghindari tendangan yang beruntun itu. Dan ia sempat terkesiap karena tahu-tahu saja sebelah jotosan Ki Rondo Mayit nyaris menghantam jantungnya. Untunglah Kama Lodra cepat memutar lengannya ke depan melindungi. Dan cepat menangkap lengan Ki Rondo Mayit.
Secepat itulah Kama Lodra melancarkan pukulannya menghantam punggung...
"Bug!" Ki Rondo Mayit memekik. Kama Lodra membiarkan lawannya terhuyung maju. Saat itu Kama Lodra sudah hinggap di tanah. Lelaki tua berambut putih kusut membalikkan tubuhnya. Ia menatap geram.
"Pukulanmu hebat, Ki.... Tapi jangan senang dulu, sambut ini.... Haaaaat!" Tubuh ki Rondo Mayit melesat. Kedua kakinya tidak menyentuh tanah seakan-akan dirinya terbang menjurus ke arah Kama Lodra. Gerakan kedua tangannya sukar untuk dipastikan. Namun begitu Kama Lodra tetap berhati-hati, karena ia yakin serangan yang dilancarkannya pasti lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Ketika hantaman-hantaman itu menjurus ke arahnya, Kama Lodra melesat ke atas lagi. Sambil berjumpalitan di udara Kama Lodra menepis hantaman-hantaman itu dengan kedua telapak tangannya.
"Bledaaaar!"
Serangan itu luput, tapi Kama Lodra tidak menyangka sama sekali akan tendangan yang bergerak menyerbu. Sebelum Dewi Rakuntili melancarkan serangan, Kama Lodra menahannya. Gadis itu hanya berdiri di belakang ayahnya dengan nafas yang memburu. Kama Lodra berdiri dengan sikap bersiap-siap menghadapi......
"Menyingkirlah, Dewi.... Dia bukan tandingan mu!" Bisiknya. Dewi Rakuntili mundur....
Setelah berkata begitu, Kama Lodra maju ke depan menyambut hantaman Ki Rondo Mayit yang datang dengan tiba-tiba. Kembali hantaman-hantaman mereka bergulung-gulung. Tubuh kedua orang tua itu saling kelit melancarkan serangan. Tendangan maupun hantaman mereka saling bentrok hingga menimbulkan suara-suara yang memekakkan telinga.
Dua sosok tubuh tua itu bertarung bagai dua ekor harimau lapar. Meraung-raung saat melancarkan serangan. Kama Lodra tidak tanggung-tanggung lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Setiap hantamannya selalu berisi tenaga penuh. Hal itu membuat Ki Rondo Mayit gelagapan dibuatnya. Dan harus pula menangkis hantaman-hantaman Kama Lodra.
Namun semua denyutan di lengannya itu sama sekali tidak dirasakannya. Walaupun Kama Lodra masih melancarkan pukulan-pukulan maut beruntun. Jago tua Ki Rondo Mayit memang sangat sukar untuk dijatuhkan. Ia masih bisa bertahan dari hantamanhantaman yang mendera di tubuhnya. Apalagi serangan-serangan Kama Lodra tidak pernah berhenti dan selalu mengincar.
Di luar dugaan tubuh Ki Rondo Mayit melayang ke atas. Tahu-tahu kedua telapak tangannya mencengkeram lengan-lengan Kama Lodra. Lalu begitu ia menjatuhkan diri, sebelah kaki Ki Rondo Mayit masih menggedor dada Kama Lodra. Kama Lodra menyemburkan darah. Dan posisinya masih dalam cengkeraman Ki Rondo Mayit. Setelah menendang, laki-laki berambut putih kusut menghantam kepalanya dengan sabetan lengannya....
"Des!" Tulang leher Kama Lodra terasa copot! Ia terhuyung mundur kemudian jatuh ambruk!
"Ayah...!" Pekik Dewi Rakuntili berlari ke arah Kama Lodra.
"Tenang, Dewi. Aku tidak apa-apa. Kau menyingkirlah...!" jawab Kama Lodra sembari berusaha bangkit.
"Heh! Kenapa musti sok pahlawan, Kama Lodra.... Biarkan putri mu itu ikut menyerang. Atau kalau perlu sekalian dengan Raden keparat itu! Kalian boleh maju semua!" Ki Rondo Mayit melangkah maju. Raden Mas Kinanjar Swantaka kepalang maju, ia maju lebih dulu. Tapi disambut oleh tendangan Ki Rondo Mayit "Weeees!" Untunglah Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menarik kembali tubuhnya ke belakang. Namun untuk tendangan yang kedua, laki-laki itu tidak dapat menghindarinya lagi...
"Des!" Tubuhnya terlempar deras dan hampir menimpa tubuh Dewi Rakuntili. Gadis itu tidak menghindar, malah menjaganya sehingga tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak terbanting. Setelah itu Dewi Rakuntili lompat menerjang.
Amarahnya telah meluap. Dan juga ia tidak mengontrol dirinya...
Setelah merebahkan diri menghindari serangan gadis itu, Ki Rondo Mayit membalas dengan tendangan...
"Deeeeer!
Dewi Rakuntili memekik. Tubuhnya terbanting berdegum di tanah berpasir. Darah mengalir dari mulutnya. Ki Rondo Mayit menatap puas melihat gadis itu tidak dapat bangkit lagi.
Saat itu tubuh Kama Lodra berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan itu pula Raden Mas Kinanjar Swantaka juga melesat dari arah lain, Ki Rondo Mayit yang mengetahui adanya serangan dari dua arah langsung merentangkan kedua tangannya.
Kedua lengan itu menyambut tendangan dan hantaman dari arah yang berlawanan. Dan ternyata serangan-serangan dari arah yang berlawanan itu hanya sampai di situ. Kama Lodra dan Raden Mas Kinanjar Swantaka masih terus mencecar Ki Rondo Mayit. Merasa tidak sanggup mengatasinya, Ki Rondo Mayit sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan menjauh. Tapi mana mau dua orang itu membiarkan Ki Rondo Mayit bergeser dari tempatnya. Maka keduanya datang lagi menerjang.
Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat ke atas, tendangannya cepat menyambar. Begitu juga dengan Kama Lodra, hantamannya yang berkelebat beruntun sukar diikuti oleh pandangan mata.... Namun hanya dengan sekali sentak, Ki Rondo Mayit dapat menepis tendangan itu yang hampir menghantam kepalanya. Lalu sambil mundur ia menangkis hantamanhantaman yang mendesak ke dada.
Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan dua puluh jurus. Namun tidak ada tanda-tanda bagi mereka dapat menjatuhkan Ki Rondo Mayit. Laki-laki berambut putih kusut yang sangat luar biasa itu selalu dapat menghindar atau menangkis hantamanhantaman mereka. Sekalipun mereka tahu kalau lawan yang dihadapinya itu memiliki ilmu yang sangat tangguh, Kama Lodra maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mundur dalam selangkah.

*
* *



Saat itu Wintara dan Umbara Komang telah menjatuhkan lawan-lawannya. Kini mereka yang tadi berjumlah tiga puluh orang, sekarang tinggal empat orang. Keempat orang itu pun seperti ragu-ragu menyerang. Mereka telah kehilangan kekuatan. Seluruh permukaan dataran berpasir telah bergelimpangan sosok-sosok penghuni kuil.
Wintara dan Umbara Komang yang sudah berlumuran darah menatap keempat orang itu dengan sorot mata yang menakutkan. Pedang-pedang mereka memang masih tergenggam, tapi pedang-pedang itu seperti gemetar menahan takut. Umbara Komang maju menyeringai. Dan keempat orang itu mundur berbareng. Umbara Komang tertawa mengekeh!
"Sudah tahu takut masih saja berdiri di situ! Ayo merat...! Kalau masih mau mampus cepat ke mari maju!" bentak Umbara Komang menunjukkan wajah yang amat mengerikan. Keempat lawannya saling pandang. Lalu sambil melemparkan pedang-pedang mereka, kemudian berbalik lari pontang panting. Wintara menatap mereka menggelengkan kepalanya.
"Dasar dungu! Kembali ke kuil pun mereka percuma! Mereka akan memakan waktu yang sangat lama! Dia kira gampang mengarungi padang pasir sedemikian luasnya? Kita berduapun pasti mati kehausan di sini " kata Wintara setelah Umbara Komang berjalan mendekatinya.
"Lalu bagaimana dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka? Aku rasa ia pun sudah jadi santapan para siluman padang pasir!" sahut Umbara Komang yang berjalan lunglai. Keduanya sama-sama lemas seperti kehabisan tenaga. Angin-angin makin kencang berhembus.

*
* *




--¦::: « 14 » :::¦--

Namun dengan tiba-tiba saja Wintara dan Umbara Komang menoleh ke belakang. Ia mendengar suara teriak-teriak. Tampaklah empat sosok tubuh berlarian mendekat ke arah mereka. Salah seorang dari keempat orang itu jatuh dan tidak bangkit lagi, lalu yang tiga berlari terus. Umbara Komang menatap tak mengerti.
"Ada apa gerangan, sehingga mereka berlari balik ke mari...?" Wintara heran. Tapi sebelum mereka berfikir, mereka menemukan jawabannya. Jauh di belakang orang-orang itu telah mengejar segerombolan kuda dengan penunggang-penunggangnya. Jumlahnya hampir belasan.
"Sekarang mati kita! Musuh-musuh berdatangan lagi!" kata Wintara.
"Apakah mereka siluman-siluman jahat juga?" Umbara Komang mempertajam penglihatannya. Wintara memeluk bahu Umbara Komang sebelah tangan.
"Di neraka ini mana ada yang berpihak kepada kita. Kecuali muzizat dari Tuhan."
"Tuhan.... Kenapa Dewa mengharapkan keajaiban Tuhan? Bukankah Dewa bisa berbuat apa saja?" Umbara Komang menatap ketiga orang yang hampir mendekati mereka. Orang-orang itu lari tunggang langgang.
"Tuhan itu ada di mana-mana, Goblok! Semua makhluk ciptaan-Nya kebanyakan memohon padaNya...! Kau juga makhluk ciptaan-Nya. Aku juga "
Wintara menjelaskan dengan kesal.
"Dan juga aku bukan dewa yang patut kau sembah! Aku juga siluman. Sayang kita berdua di sini bakal mampus!" kata Wintara lagi.
"Heh, suara apa itu...?" Umbara Komang mendengar sesuatu yang lain. Di antara suara deru derap kaki belasan kuda, mereka mendengar suara gletargletar cambuk yang tidak pernah berhenti. Manakala gerombolan berkuda itu semakin dekat mendatangi ketiga orang yang lari tunggang langgang itu telah berjatuhan kehabisan nafas. Apa yang membuat mereka nampak ketakutan sekali ?
"Mereka.... Mereka...." Tiba-tiba saja Umbara Komang berjingkrak-jingkrak. Wintara baru tersadar dengan apa yang dilihatnya. Kedua perempuan yang menunggangi kudanya paling tengah nampak jelas sekali....
"Astaga.... Mereka Pendekar Kembar Cambuk Seriti!" Seru Wintara. Lalu keduanya melompat-lompat sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Hooy...! Hooy...!" teriak mereka. Gerombolan kuda itu datang mendekat. Mereka memang gerombolan perempuan yang dipimpin oleh Pendekar Kembar Cambuk Seriti. Dan kedua wanita kembar ini tidak percaya pula dengan apa yang mereka lihat.
"Wintara...! Umbara Komang...!" Kedua wanita kembar itu berteriak.
"Aku mengira kalian berdua mayat-mayat hidup. Lihat saja rupa kalian sudah tidak nampak." Gurau Seriti Kuni. Wintara memperhatikan perempuanperempuan itu. Ternyata mereka adalah para tawanan di kuil yang pernah mereka bebaskan.
"Kalian dari sana?" Tanya Wintara, Seriti Wuni turun dari kudanya setelah mendekati kedua lelaki yang tetap berdiri.
"Ya, tidak satu orang pun yang hidup di sana!" Kata Seriti Kuni, ia melemparkan dua pundi air ke arah Wintara. Lelaki berbaju kulit binatang itu menangkapnya sekaligus, kemudian melemparkan satu pundi air pada Umbara Komang. Mereka langsung meminum air itu. Seriti Kuni meneruskan pembicaraannya.
"Aku menemukan mereka dalam sebuah ruang tahanan. Mereka menceritakan bahwa kalian yang melepaskan dari belenggu-belenggu rantai. Di kuil itu pula kutemukan empat buah peti berisi upeti yang kalian bawa tempo hari. Dari situ kami memilih kesimpulan bahwa kalian mendapat kesulitan.... Mana Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Seriti Kuni membetulkan letak empat buah peti kecil yang agak miring. Wintara tidak menjawab, ia masih menenggak air minum. Begitu juga Umbara Komang. Lama sekali mereka menunggu jawaban Wintara. Belasan perempuan yang di belakangnya diam di atas kuda. Dan setiap kuda membawa perbekalan air dalam pundi.
"Seperti katamu tadi.... Raden Mas Kinanjar Swantaka mendapat kesulitan dan repotnya aku sendiri tidak tahu di mana dia berada." jawab Wintara sambil menyiram kepalanya dengan sisa air minum. Umbara Komang mengikuti.
"Bagaimana kalian berdua sampai punya niat menyusul kami?" Wintara balik bertanya.
"Di Rogojembangan cukup aman. Lagi pula siapa yang betah berdiam diri di sana... Apa kalian kira kedatangan kami ini bermanfaat?" Jawab Seriti Wuni. Umbara Komang nyengir. Ia tidak berani menatap gadis itu.
"Ooow... Jelas kedatangan kalian ini bagaikan utusan-utusan dari surga." kata Wintara serius. Ia menyerahkan kembali pundi air yang telah kosong.
"Kalau begitu, kenapa kalian masih berdiam diri di sini. Bukankah lebih baik kita langsung mencari Raden Mas Kinanjar Swantaka...?" kata Seriti Wuni menyeret kudanya ke hadapan Wintara dan ia sendiri melangkah ke arah kuda yang ditunggangi Seriti Kuni.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas dirinya." katanya lagi sambil naik duduk di belakang Seriti Kuni. Dengan sigap pula
Wintara langsung melompat ke punggung kuda yang diserahkan tadi. Tanpa diperintah Umbara Komang langsung naik ke belakang Wintara. Lalu Wintara memacu kudanya memimpin mereka berjalan paling dulu...
"Hreaaaaa...! Hreaaaaaa!" Maka gerombolan penunggang kuda itu bergerak lagi. Dan asap-asap debu mengepul-ngepul bertebaran di atas permukaan tanah berpasir.

*
* *



Teriakan Ki Rondo Mayit menggelegar bersamaan dengan itu hantamannya maju ke depan...
"Des!"
Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya terhuyung mundur. Namun ia masih bisa bertahan untuk tetap tidak jatuh. Kama Lodra cepat menghalangi saat Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya lagi. Hantamannya membentur lengan Ki Rondo Mayit dengan keras. Mendapat serangan seperti itu, Ki Rondo Mayit berbalik menghadapi Kama Lodra. Sebelah lengannya memutar, Kama Lodra cepat menangkis. Maka terlihatlah gaya-gaya jurus mereka seperti dua sosok bayangan hitam yang melintir saling melancarkan pukulan. Gerak-gerak hantaman mereka tidak jelas terlihat. Tahu-tahu saja lengan mereka saling beradu dan menimbulkan suara yang membledar nyaring.
Gigih sekali Kama Lodra melancarkan serangan. Hantaman-hantamannya menjurus ke bagian bawah dan atas. Sedikitnya Ki Rondo Mayit merasa kewalahan menghadapinya. Kedua matanya tidak berkedip sedikit pun. Pandangannya yang jeli terus mengawasi setiap gerakan Kama Lodra.
Bahkan ketika tendangan Kama Lodra menjurus ke depan, Ki Rondo Mayit hanya bergeser mundur ke belakang. Kedua telapak tangannya menepis tendangan itu. Di luar dugaan, tubuhnya yang lentur mendadak berguling berjumpalitan di tanah. Kama Lodra melesat menyusul Ki Rondo Mayit dengan berjumpalitan di udara. Dalam keadaan seperti itu kedua lengan Kama Lodra beruntun menghantam. Ki Rondo Mayit yang masih bergulingan di tanah sama sekali tidak dapat disentuh. Malah ketika ia membalas dengan tendangan yang mengarah ke atas. Tiba-tiba saja Kama Lodra memekik hebat...! "Deeeer!"
Tendangan itu mengena telak di dada. Tubuh Kama Lodra langsung berdegum di tanah. Bagai air mancur, darah menyembur dari mulutnya. Belum sempat ia bangun, Ki Rondo Mayit datang melompat dan tahu-tahu saja jotosannya menghantam tenggorokannya.
Kama Lodra mengejang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar. Saat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat melancarkan serangan. Suara teriakan itu dapat di dengar. Maka dengan cepat Ki Rondo Mayit mencengkeram tubuh Kama Lodra dan melemparkan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendekat. Langkah lelaki muda itu terhalang. Saat tubuh mereka saling tabrak, Ki Rondo Mayit melancarkan tendangannya ke arah mereka.
"Deeeer!"
Tendangan itu menghantam punggung Kama Lodra. Dengan demikian ambruklah tubuh Kama Lodra bersama tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Ki Rondo Mayit makin garang menyerang. Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat bergeser dari tindihan tubuh Kama Lodra. Sambil mundur sempoyongan, lelaki muda itu menghindari hantaman Ki Rondo Mayit. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka kewalahan. Melihat itu Kama Lodra cepat bangkit menerjang, meskipun tubuhnya telah terluka parah ia masih mampu mengalihkan serangan-serangan Ki Rondo Mayit. Tapi tindakannya itu hanya berlanjut sebentar, karena dengan telengas Ki Rondo Mayit menghantam kepala itu hancur berderak, kemudian menyusul dengan berdegumnya tubuh telanjang dada ke tanah dengan nyawa melayang.

*
* *




--¦::: « 15 » :::¦--

Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ketika mendengar suara rintihan Dewi Rakuntili. Dan ia melihat gadis itu mulai bangkit berdiri. Sesaat kemudian ia berpaling lagi ke arah Ki Rondo Mayit yang tertawa menyeringai. Rambut putih kusutnya bergerak kaku tertiup angin. Mulutnya yang tanpa gigipun menganga menyeramkan. Langkahnya kian dekat bergeser.
Dewi Rakuntili melangkah berjalan ke hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka Wajahnya tetap menatap Ki Rondo Mayit penuh amarah. Ki Rondo Mayit terus menyeringai bagai melihat mangsa yang siap di mangsa.
Ketika Ki Rondo Mayit bergerak maju, Raden Mas Kinanjar Swantaka yang berada di belakang Dewi Rakuntili langsung menarik lengan gadis itu. Kemudian kakinya maju ke depan menendang.....
"Des!"
Tepat mengenai perut. Saat itu pun Dewi Rakuntili tidak tinggal diam. Meski pun berada dalam pelukan Raden Mas Kinanjar Swantaka, sempat pula melancarkan tendangan...
"Deer!" Ki Rondo Mayit makin terdorong mundur. Namun setelah ia merentangkan kedua tangannya lalu berputar di atas rasa sakit itu seperti hilang. Ki Rondo Mayit makin maju menunjukkan wajah yang garang. Tapi baru saja ia melangkah ke depan, pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu. Ia cepat menoleh memandang jauh. Dilihatnya belasan kuda berlari kencang. Terdengar pula gletar-gletar cambuk dan helaan-helaan para penunggang kuda itu. Ki Rondo Mayit mempertajam penglihatannya.
Belasan kuda itu berhenti, tapi dua ekor kuda di antaranya bergerak maju terus. Gletar cambuk makin keras. Ki Rondo Mayit dapat melihat dengan jelas. Tiaptiap kuda ditunggangi oleh dua orang. Salah satu kuda itu ditunggangi oleh dua wanita kembar memainkan cambuk-cambuknya. Dan satu lagi, dua orang laki-laki yang ditemuinya di kuil. Laki-laki berambut putih kusut itu tidak perduli melihat kedatangan mereka. Ia kembali menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka dan Dewi Rakuntili. Langkahnya yang secepat kilat berbareng dengan hantaman-hantaman yang keras mendera, Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menangkis. Tapi Dewi Rakuntili tidak sempat lagi mengelak. Lengan kiri Ki Rondo Mayit cepat berkelebat menghantam dadanya. Sebelum hantaman kedua menyambar lagi, Raden Mas Kinanjar Swantaka menghalangi dengan tubuhnya. Dengan telak punggungnya menerima hantaman itu. Keduanya jatuh bergulingan di tanah berpasir. Ki Rondo Mayit masih mengejar dan siap melancarkan hantaman-hantaman.
Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun Dewi Rakuntili diam terlentang menatap Ki Rondo Mayit datang dengan lengan siap menghantam. Tiba-tiba saja terdengar gletar cambuk. Dan mendadak saja lengannya yang siap menghantam itu tertahan oleh lilitan cambuk. Pendekar Kembar Cambuk Seriti sudah berada di situ. Dengan garam pula Ki Rondo Mayit menarik lengannya. Tanpa diduga pula, Seriti Kuni yang melancarkan cambuknya tertarik sampai jatuh terguling. Seriti Wuni yang duduk di belakangnya tidak sempat menahan, karena lengan itu menarik dengan disertai tenaga luar biasa. Saat itu pula Wintara dan Umbara Komang turun dari kudanya langsung meluruk berlarian ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Tapi sebelum mereka mendekati, sebuah tendangan memutar Ki Rondo Mayit menyambut. Cepat keduanya menarik mundur. Seriti Wuni dan Seriti Kuni berdatangan melancarkan cambuk-cambuknya. Sebentar saja tubuh Ki Rondo Mayit telah terbelit oleh kedua cambuk itu. Namun laki-laki berambut putih kusut itu tetap tak menghiraukan lilitan cambuk. Tubuhnya masih saja maju menerjang Wintara dan Umbara Komang.
"Siluman kusut! Aku pikir kau telah mampus jadi kerak pasir!" gerutu Umbara Komang. Tubuhnya melesat ke atas sambil menghantam. Ki Rondo Mayit menyambut dengan kedua lengannya. Hantaman itu beradu. Sekalipun tubuhnya terbelit dua utas cambuk, Ki Rondo Mayit masih bisa melancarkan tendangannya ke atas. Maka Umbara Komang yang masih berada di udara memekik sambil memegangi dadanya yang terasa remuk!
"Cecurut sableng! Kau boleh mampus lebih dulu!" Ketika Umbara Komang jatuh ke tanah, Ki Rondo Mayit langsung menginjak dadanya. Umbara Komang kelojotan. lalu Ki Rondo Mayit menghentakkan kedua tangannya menarik kedua cambuk yang melilit di tubuhnya. Maka dua wanita kembali itu tertarik ke atas dan mereka tidak dapat menghindari, kepala mereka saling bentur. Seriti Kuni maupun Seriti Wuni jatuh bergulingan sambil memegangi kepala masing-masing. Wintara cepat menarik tubuh Umbara Komang yang masih terlentang menahan sakit. Dan berusaha menangkis serangan-serangan Ki Rondo Mayit yang diarahkan pada Umbara Komang.
Serangan Ki Rondo Mayit kini beralih pada Wintara. Laki-laki setengah tua itu memiliki ilmu dan daya tahan tubuh yang sangat kuat. Maka sebelum Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya, Wintara lebih dulu menyambut dengan sodokan lengannya dengan tubuhnya merunduk ke tanah. Jotosan yang mengarah tepat ke ulu hati itu membuat Ki Rondo Mayit tersentak kaget. Dan tiba-tiba saja kaki Wintara naik ke atas menghantam muka. Kontan Ki Rondo Mayit ambruk celentang. Saat itu pun Wintara berjingkat bangun. Umbara Komang masih terbaring lemas. Dua pendekar Kembar Cambuk Seriti berusaha bangun meski dengan kepala pusing.
Mendapat tendangan yang menghantam keras di bagian muka, Ki Rondo Mayit merasakan pandangannya berputar. Ia melihat sosok Wintara berdiri berderet lebih dari satu. Keadaan seperti itu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mendadak saja tubuh Wintara maju menerjang melancarkan hantaman yang beruntun. Beberapa hantaman Wintara bersarang telak. Tapi saat Ki Rondo Mayit memutar lengannya ke depan, Wintara gelagapan menyambutnya. Ki Rondo Mayit sengaja melancarkan serangan membabi buta. Namun begitu salah satu hantamannya berhasil menjatuhkan Wintara. Anak muda itu sendiri merasakan kerasnya hantaman itu.
Pandangan Ki Rondo Mayit masih membayang. Ia sempat menoleh ke samping melihat dua wajah kembar datang menyerang. Sosok-sosok itu begitu banyak berdatangan. Sukar sekali bagi Ki Rondo Mayit untuk menentukan yang asli. Maka sebelum wanita kembar itu mendekat, Ki Rondo Mayit mengerahkan seluruh tenaganya menghantami setiap bayangan yang ada dalam pandangan matanya. Sudah tentu dua pendekar kembar sukar mengatasi hantaman-hantaman yang datang bertubi-tubi. Keduanya bergulingan sambil menyemburkan darah. Mereka ambruk seperti tidak dapat bangkit lagi.
Wintara melompat cepat menangkis hantaman Ki Rondo Mayit yang nyaris mengenai kedua wanita kembar yang berusaha bangkit berdiri. Melihat adanya seseorang yang menghalangi niatnya, Ki Rondo Mayit segera membalikkan hantamannya terhadap orang itu. Wintara gelagapan dan tidak sempat menghindari hantaman yang melanda di dadanya. Pada saat yang sama pun ketika Wintara mencelat, ia sempat melancarkan tendangannya. Dan tendangan itu menghantam keras Ki Rondo Mayit sampai jatuh terduduk.
Wintara yang jatuh terlentang cepat bangun bersila. Kedua telapak tangannya nampak menyatu di depan dada. Lalu dalam posisi seperti itu tubuh Wintara melesat maju menerjang. Kedua kakinya yang bersila tidak menyentuh tanah. Ki Rondo Mayit masih terduduk menghimpun tenaga dalamnya. Dan tahu-tahu saja Wintara sudah berada di depannya mendorong kedua telapak tangannya.
"Dueeeeer!"
Ki Rondo Mayit terpekik dengan tubuh yang terlempar ke belakang. Wintara masih mendorong terus dengan telapak tangannya. Sampai keduanya nampak terpaku diam duduk saling berhadapan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap tajam sambil memeluk tubuh Dewi Rakuntili. Umbara Komang bangkit menyeringai menahan sakit. Begitu juga Pendekar Kembar Cambuk Seriti yang menatap nanar. Mereka semua membelalakkan mata ketika melihat sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri terhuyung. Wintara duduk bersila menunduk. Tiba-tiba saja sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri di hadapan Wintara menyemburkan darah. Lalu dengan lunglai tubuh renta itu ambruk untuk selama-lamanya. Wintara tetap duduk bersila.
Melihat itu Pendekar Kembar Cambuk Seriti berlari ke arahnya. Sebelum mereka mendekat, Wintara sudah bangkit terlebih dahulu. Keringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Rupanya ketika tadi Wintara melancarkan kedua telapak tangannya, ia mengerahkan semua tenaga inti secara menyeluruh. Dengan cara itu ia sengaja mengadu nyawa dengan Ki Rondo Mayit.
"Apakah kau terluka?" Seriti Wuni khawatir.
Wintara tersenyum menggeleng.
"Ah, syukurlah! Aku melihat benturan tenaga dalam tadi begitu dahsyat. Semula aku begitu takut akan celaka." Seriti Kuni mendekati.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sekujur tubuhku terasa ngilu." jawab Wintara. Lalu ketiganya menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka memapah tubuh Dewi Rakuntili melangkah mendekati mereka. Langkah-langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri nampak limbung.
Dewi Rakuntili membuka matanya perlahan, ia merasa tubuhnya melayang dalam papahan seseorang. Dan saat kedua matanya membuka lebar, ia melihat jelas seseorang itu tidak lain Raden Mas Kinanjar Swantaka.
"Ayahmu tewas, Dewi.... Kami tidak bisa menyelamatkannya." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka pelan.
"Tapi musuhnya itu telah tewas pula." bisik lelaki itu lagi. Dewi Rakuntili mengawasi sekitar permukaan hamparan pasir. Sosok Ki Rondo Mayit terkapar kaku tanpa nyawa masih mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Kau pun akan membunuhku, bukan Bunuh saja sekarang " kata Dewi Rakuntili.
"Kami akan membawa dirimu ke Rogojembangan."
"Aku memang bersalah. Dan pantas menerima hukuman apa saja.... Sekalipun hukuman mati yang kuterima." Kedua lengan Dewi Rakuntili melingkar erat di leher Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya saling pandang.
"Sebelum aku menerima hukuman mati, aku minta makamkan ayahku sebagaimana layaknya.... Hanya itu, Raden.... Aku harap kau mau memenuhi permintaanku."
"Ayahmu memang akan kami kuburkan secara baik-baik.... Dan lagi di Rogojembangan, kau tidak akan dihukum. Apalagi sampai dihukum mati "
"Lalu ?" Dewi Rakuntili heran.
"Kau akan kujadikan selir ku!"
"Hah ?!"
Wintara maupun Pendekar Kembar Cambuk Seriti tertawa malu mendengar ucapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka bertiga serempak tertunduk. Tapi tiba-tiba saja ia tersentak kaget. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka....
"Ha ha ha ha.... Siluman rambut kusut telah mampus! Siluman penghuni kuil juga telah modar ! Sekarang aku bebas...! Bebas...! Hua ha ha ha ha ha.... Aku mau pergi ke mana aku suka! Dan...." Umbara Komang berhenti berteriak. Sorot matanya memandang tajam ke arah orang-orang yang berdiri di situ. Wintara hanya tersenyum saja....
"Aku tidak mau lagi mengikuti kalian!" kata Umbara Komang lagi. Lalu dengan sombong Umbara Komang melompat ke atas kuda.
"Aku tidak mau lagi menempuh bahaya Repot kalau sampai berurusan dengan siluman-siluman lagi " Setelah berkata begitu Umbara Komang memacu kudanya.
Sementara itu belasan orang yang menunggangi kuda berdatangan menuju tempat itu. Beberapa orang turun dari kudanya menyerahkan pundi-pundi air kepada Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dewi Rakuntili meraih pundi air itu dan langsung menenggaknya. Kemudian sisa air minum di siramkan ke wajah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Maka berderailah tawa mereka.....

TAMAT



Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.