Life is journey not a destinantion ...

Batu Lahat Bakutuk

INDEX SURO BLONDO
Persekutuan Orang Orang Sakti --oo0oo-- Nagari Batas Ajal

SURO BLONDO
PENDEKAR BLO'ON
Karya : D. Affandy

Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.

--₪֍¦ SATU ¦֍₪--

Tidak satu pun rumah terlihat di tengahtengah dataran tandus itu. Dalam sehari dua kali terlihat burung gagak hinggap di celah-celah sebuah bukit. Entah apa yang dilakukan oleh burung gagak ini tidak seorang pun yang tahu. Karena memang belum pernah ada orang yang berani datang ke daerah yang cukup angker ini.
Hanya bila kita mau melihat lebih dekat lagi, terlebih-lebih ke celah-celah bukit. Maka di sana ada sebuah pemandangan misterius yang mengundang tanya. Rupanya diantara tiga buah bukit cadas yang mengapit dataran sempit tersebut terlihat puluhan tengkorak menggeletak di atas tanah. Melihat keadaannya yang sudah berlumut, tentulah orang ini telah lama meninggal bahkan mungkin sudah berpuluh-puluh tahun. Dan barangkali pula sebelum meninggal mereka mengalami perlakuan yang sadis. Sebab diantara tengkorak itu ada yang retak, banyak pula giginya yang rontok bahkan ada pula yang remuk tulang pelipisnya.
Diantara lima belas tengkorak kepala itu ada satu yang masih berambut, wajahnya terbalut kulit seakan tidak berdaging sedangkan rambutnya panjang menjela. Sudah matikah dia?
Ternyata orang ini belum mati, ia masih mampu mengangkat kepala, walau tubuhnya mulai batas leher ke bawah tertimbun tanah. Terkadang kepala itu tertunduk atau terkulai di atas tanah.
Kak! Kak!
Tiba-tiba seekor burung gagak menyambar di atas kepalanya sambil memperdengarkan suara ribut. Orang yang tubuhnya terbenam ini angkat kepala, menengadah ke atas disertai sesungging senyum hampa.
"Gagak sahabatku! Kau datang lagi? Datang dengan membawakan kehidupanku!" rintih si laki-laki.
Kekkk!
Seakan mengerti burung tersebut menyahut ia hinggap di atas pasir persis di depan hidung orang ini. Si laki-laki membuka mulutnya, setangkai buah-buahan yang dibawa oleh burung hitam ini dimakannya. Tidak satu pun buah tersisa. Burung berbulu hitam ini memperhatikan si laki-laki dengan tatapan iba.
"Sahabatku hitam?!" Berkata orang ini "Kau lihatlah tengkorak kawan-kawanku! Mereka semua telah meninggalkan aku seorang diri. Aku sudah tidak ingat lagi sudah berapa puluh tahun aku dipendam disini, di dalam tanah jahanam ini!"
Kaaaakkk!
Si burung menyahut sekaligus gelengkan kepala.
"Kau tentu tidak tahu, sama seperti diriku ini. Mau gila rasanya aku, ingin mati saja aku ini seperti kawan-kawanku. Aku tahu tanah ini mengandung racun jahat, kurasa tubuhku sekarang sudah hancur. Sahabatku apakah semua ini pertanda bahwa hidupku segera akan berakhir?" keluh si laki-laki seakan penuh penyesalan.
Keeeeek!
Sang gagak menguik lagi, kedua kakinya mencakar-cakar tanah yang menimbun leher orang ini. Lalu tiba-tiba saja ia menadahkan paruhnya ke langit. Ketika itu langit memang mendung, suasana berubah gelap sedangkan angin bertiup dengan kencang sekali. Burung hitam tersebut tampak berubah gelisah, berulang kali terdengar suara pekikannya.
"Mengapa harus takut sahabatku, hitam? Tidak ingatkah kau selama aku dikubur disini hidup-hidup belum pernah sekalipun turun hujan? Bahkan angin pun belum pernah berhembus sekencang ini. Gagak! Apakah ini pertanda bala atau bahagia? Atau nasibku akan lebih celaka dari kawan-kawanku yang sudah mati? Gagak hitam, kurang bagaimana lagi nasib mempermainkan diriku ini? Kurang bagaimana aku bersikap baik pada sesama manusia? Perempuan sundel itu benar-benar telah menyengsarakan aku lahir batin!" dengus si laki-laki dengan perasaan tidak senang.
Trat! Traat! Gleeer!
Didahului oleh serangkaian kilat yang menyambar, petir pun menggelegar sambung menyambung tiada henti. Burung gagak semakin bertambah gelisah.
"Inilah saat yang kunanti-nantikan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Dewata kepadaku, gagak." ucap si laki-laki, seraya menengadahkan wajahnya ke langit. Ketika itu hujan memang turun dengan derasnya. Petir menggelegar tiada henti, rambut laki-laki ini pun basah.
Buummm!
Terjadi ledakan di suatu tempat, maka tanah bergetar dengan dahsyatnya. Kemudian guncangan semakin bertambah hebat saja, seakan ada makhluk raksasa yang hendak keluar dari dalam perut bumi. Si laki-laki mulai cemas. Dalam hati ia panjatkan doa agar tidak terjadi malapetaka lagi atas dirinya.
Gllllkh...! Brool!
Tiba-tiba saja tanah yang menghimpit dan memendam tubuh orang ini selama berpuluhpuluh tahun rengkah terbelah. Seakan-akan ada satu kekuatan gaib yang membelahnya. Burung gagak yang sejak tadi mendampingi sekarang bergeser menjauh. Terbang di atas batu di salah satu bukit diantara tiga buah bukit cadar yang mengelilingi lapangan sempit tersebut.
Laki-laki berambut panjang menjela kelihatan girang bukan main. Begitu senangnya ia terbebas dari tanah yang memendamnya selama bertahun-tahun sampai ia berteriak-teriak seperti orang setengah gila. Tentu saja suara teriakannya tenggelam ditelan deru suara hujan. Tanpa sadar ia merayap naik, maka terlihatlah sebuah pemandangan menakjubkan membalut sekujur tubuhnya. Bagian tubuh orang ini berwarna putih. Tapi hampir di seluruh permukaan tubuhnya terdapat akar-akaran yang melibat dengan erat mulai dari telapak kaki, perut, dada dan juga kedua tangannya. Akar-akaran tersebut bukan cuma satu atau dua buah saja. Jumlahnya tidak terhitung. Ini merupakan suatu keanehan juga mengingat di tempat itu tidak satu pun pohon ada yang tumbuh.
Setelah keluar dari timbunan tanah, maka orang ini berusaha melepaskan akar-akaran yang melibat tubuhnya. Namun baru saja ia menyentuh salah satu dari akar-akaran tadi, ia menjerit kesakitan. Laki-laki berambut panjang ini sempat tercengang karenanya.
Ia masih penasaran, disentuhnya lagi akarakaran yang melibat tubuhnya. Kali ini terlihat ada loncatan cahaya yang menyambar, untung orang ini cepat menarik tangannya, sehingga cahaya putih melesat dan terus menghantam bukit yang terdapat di sebelah kirinya.
Duum!
Bukit bergetar dan mengeluarkan pijaran bunga api...... Orang ini terkagum-kagum dan seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menoleh ke arah burung gagak yang masih tetap berdiri tegak tidak jauh di batu bukit sebelah kiri.
"Gagak, sudah berapa lama aku dipendam? Kurasa ada dua puluh tahun bukan? Selama itu, gagak. Tubuhku kini digelayuti akar, bukan sembarang akar, kurasa akar batuah atau mungkin akar bakutuk. Atau mungkin akar sakti ini muncul dari bumi ketujuh? Kau lihatlah tangantanganku pun terbungkus akar-akaran. Kutanyakan padamu apakah ini termasuk pengaruh kutuk perempuan keparat itu?"
Kekk!
Si gagak menyambut sambil gelengkan kepala. Laki-laki gondrong ini juga sama menggeleng, sama-sama bingung. Sampai akhirnya ia berkata.
"Marilah kita pergi dari neraka ini! Aku akan mencarinya kemana pun ia bersembunyi!" ucap orang ini tegas.
Orang ini selanjutnya melangkah satu-satu meninggalkan bukit kembar tiga, bekas neraka penyiksaan yang telah dijalaninya dengan berbagai penderitaan dan cobaan berat yang hampirhampir tidak dapat dipikulnya.

* * *



Sange tiga puluh tahun yang lalu memang jauh berubah bila dibandingkan saat ini. Dulu Sange adalah sebuah kota perdagangan kecil yang cukup ramai. Penduduknya hidup berdampingan dengan damai dan juga suka bergotong-royong. Namun sekarang segala-galanya telah berubah. Sange menjadi sebuah tempat yang sepi angker dan seakan telah kembali ke jaman ratusan tahun yang silam. Patung-patung batu terdapat dimana-mana, baik yang berujud seperti manusia, laki, perempuan anak-anak maupun patungpatung dalam bentuk hewan.
Tidak ada yang tahu apakah patungpatung ini dipahat oleh seorang pematung yang ulung atau mereka dulunya adalah manusia yang kemudian dikutuk menjadi patung.
Tiga puluh tahun adalah sebuah misteri, keanehan, keajaiban dan kemisteriusan yang tidak terungkap ini. Tidak ada manusia tempat untuk bertanya. Sange daerah tertutup, daerah dimana setiap ada yang berani menginjakkan kaki di tanah ini tidak akan pernah kembali ke dunia ramai. Pagi itu setelah hampir dua hari dua malam Sange dan sekitarnya di guyur hujan lebat. Terlihat seorang laki-laki berbadan kurus berambut awut-awutan berpakaian penuh tambalan tampak melintas di kota mati tersebut. Ia menunggang kuda berbulu hitam, sama seperti orangnya. Kuda tunggangan ini pun kurus kering seperti cacingan. Di bahu orang ini terdapat senjata aneh berbentuk kebutan. Melewati kota mati Sange, orang ini langsung cengengesan.
"Ratu Leak memang manusia sakti mandraguna. Tidak percuma aku berguru dengannya. Persekutuan sejati yang sama-sama mendatangkan keuntungan! Ha ha ha...!" Habis tertawa orang ini sejenak menghentikan lari kudanya. Rupanya ia tertarik dengan patung perempuan yang berada di pinggir jalan. Wajah patung memang kelihatan sangat cantik sekali. Matanya terpejam, tapi seperti ada air mata yang menetes di sudut-sudut matanya. Seakan patung batu itu menangis.
"Patung yang indah, sayang Ratu Leak berpesan padaku agar jangan menyentuh satu pun patung yang terdapat di seluruh daerah Sange ini! Sekarang kata sepakat sudah samasama aku capai. Pendekar Blo'on! Huh...!" paras laki-laki tua ini tiba-tiba saja berubah.
"Melalui tangannya semua malapetaka akan terjadi. Malapetaka yang membuat rimba persilatan di nusantara ini jadi geger, tapi mereka juga akan dibuat tidak akan percaya. Dunia sudah terbalik, Ratu Leak punya rencana! Ha ha ha...! Jika dulu bocah ajaib itu sempat memburuku sampai ke Madura, jika dulu aku juga tidak dapat memiliki bayi ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro itu! Sekarang sudah waktunya kegemparan lain timbul! Sekarang waktunya golongan putih menjadi heboh!" kata si laki-laki bertampang angker yang tidak lain adalah Kala Demit. Untuk lebih jelasnya siapa tokoh yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan orang tua Suro Blondo! (Dalam Episode Neraka Gunung Bromo & Bayang-Bayang Kematian),
"Huh, untuk apa aku membuang-buang waktu percuma! Rasanya lebih cepat aku sampai ke tempat tinggal Ratu Leak akan lebih baik lagi!" guman Kala Demit.
"Heaa...! Hiyaaa...!" Tali kekang kuda dihentakkan dengan keras, kuda hitam kurus kering meringkik panjang sambil batuk-batuk dua kali. Tidak berselang lama binatang tunggangan ini pun sudah melesat meninggalkan kota mati. Suasana hening kembali.
Ternyata keheningan tersebut tidak berlangsung lama. Di tempat yang baru saja ditinggalkan oleh Kala Demit muncul sosok tubuh berpenampilan aneh. Orang ini berjalan hanya dengan sebelah kakinya. Sedangkan kaki yang lainnya tersambung dengan sebuah besi pipih berbentuk seperti gergaji. Kedua tangan orang ini juga putus sebatas siku, bagian yang putus itu disambung dengan sebuah gaitan, sedangkan yang satunya lagi terpasang sebuah tombak besar berwarna kuning. Wajah orang ini dalam keadaan hancur, walau bagian yang hancur itu telah mengering. Tokh tetap meninggalkan bekas-bekas luka yang mengerikan.
Sreng! Sreng! Breng! Breng!
Setiap orang ini berjalan sambil melompat, maka terdengar suara aneh yang ternyata setelah diperhatikan rupanya gergaji yang tersambung di kaki kanannya itulah yang bergesekan dengan tanah atau batu sehingga menimbulkan suara yang membuat linu telinga.
Dia adalah seorang laki-laki juga kepalanya hingga ke dagu lonjong, sedangkan bagian rambutnya lancip. Orang ini tiba-tiba saja melompat di atas atap bangunan yang telah membatu. Kemudian memicingkan matanya memandang di kejauhan. Ia hanya melihat sisa-sisa debu yang mengepul tinggi di udara.
"Siapa yang bisa merobah dunia jika bukan nafsu angkara murka. Tiga ratus tahun nafsu terpidana dalam neraka, tapi sekarang malah semakin angkuh. Kotaku, tanahku Sange, kini menjadi belantara batu. Ratu Leak... kapankah kutuk laknatmu berakhir?" desis orang ini. Kaki kanannya yang tersambung gergaji digesek-gesekkan di atas atap batu, sehingga menimbulkan suarasuara yang menyakitkan telinga.
"Gila... tanah ini tanah mengandung kutuk, semua tempat terkena kutuk. Keluargaku, saudara-saudaraku. Dan semua yang ada di Sange ini terkena kutukan. Ohhk, betapa malangnya. Kemana perginya para Peri dan Dewata, apakah mereka semua sudah tidak menghiraukan manusia, apakah Dewata sudah tidur semua atau mereka menulikan telinga. Ratu Leak; aku tidak tahu muslihatmu aku juga tidak tahu rencana busukmu. Tapi kurasa Dewata tidak kena kau tipu. Wayan Tandira pemimpin suku, pemimpin Negeri yang selalu hidup dimana dan dalam waktu kapan saja. Uhh... huk huk huk...! Benarkah pemimpin orang-orang Sange ini masih ada? Sudah dua puluh tahun ia tidak terlihat di mana keberadaannya." rintihnya penuh kepiluan.
"Aku Ktut Bacasona tidak mungkin berpangku tangan selama-lamanya, baru saja tandatanda itu berakhir. Kurasa sekaranglah waktunya bagiku, orang yang terselamat dari malapetaka itu untuk membuat perhitungan. Orang-orang Negeri yang menjadi patung harus segera dibebaskan dari kutuk!"
Ktut Bacasona tiba-tiba saja menoleh ke belakang. Sekejap tadi ia merasa mendengar suara gemerisik batu seperti diinjak oleh seseorang. Memperhatikan agak lama, ternyata ia tidak melihat sesuatu apapun. Ktut Bacasona melompat dari atas atap batu, lalu melakukan pemeriksaan berulang-ulang.
"Rasanya tidak mungkin ada orang berkeliaran di sini selain orang tadi. Semua orang di Sange ini sudah dikutuk menjadi batu. Mereka mustahil dapat menjadi manusia kembali sebelum Ratu Leak dapat dimusnahkan!" tegas Ktut Bacasona.
Ia terus mencari-cari kian kemari, hingga ia merasa lelah sendiri. Untuk sekedar diketahui, Ktut Bacasona adalah satu-satunya manusia yang luput dari kutukan Ratu Leak. Sebab tiga puluh tahun yang lalu ketika kutukan dijatuhkan oleh Ratu Leak untuk daerah Sange, orang ini sedang berada di Jawa. Mengenai hubungannya dengan Wayan Tandira. Ia masih terhitung saudara satu guru. Dulu sebelum Ratu Leak melancarkan sepak terjangnya di daerah Sange. Wayan Tandira adalah pemimpin Negeri Sange, ia penghulu adat sekaligus pemimpin di masyarakatnya.
Wayan Tandira di waktu itu termasuk seorang pemuda yang sakti mandraguna, karena di waktu kecilnya ia gemar sekali berguru baik dalam hal ilmu olah kanuragan maupun ilmu silat. Kalangan persilatan di waktu itu tidak ada yang berani mengganggunya, karena ia memiliki pukulan dahsyat yang dikenal dengan nama 'Belengguh' dan 'Cambuk Neraka'. Kedua pukulan ganas ini benar-benar sangat sulit dicari tandingannya. Sebab setiap sasaran yang terkena serangan ini akan menjadi leleh seperti lilin yang terbakar.
Demikianlah Wayan Tandira memimpin Sange dari tahun ke tahun. Sampai pada suatu saat muncul Ratu Leak. Perempuan yang mengaku datang dari jurang neraka ini mengusik kepemimpinan Wayan Tandira. Bahkan hampir seluruh daerah Kuta telah dikuasainya. Ada juga beberapa tokoh sakti di daerah itu yang mencoba melakukan perlawanan. Namun mereka semuanya tewas di tangan Ratu Leak, kalau pun ada yang masih bertahan hidup nasib mereka pun lebih sengsara lagi. Ratu Leak dengan kesaktiannya mampu mengutuk seseorang menjadi batu.
Ketika Wayan Tandira yang penyabar ini sudah tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Maka ia pun menghadapi tantangan Ratu Leak. Maka terjadilah pertempuran sengit yang disaksikan oleh seluruh penduduk Negeri Sange.
Dalam pertempuran sehari itu, Wayan Tandira ternyata tidak mampu menandingi kesaktian Ratu Leak. Ia kalah, sebagai hukuman atasnya. Wayan Tandira bersama orang-orang kepercayaan dikubur dalam keadaan hidup-hidup mulai sebatas leher ke bawah Di Bukit Kembar Tiga Terlaknat.
Saat Ktut Bacasona kembali, ia telah mendapati Negerinya berubah menjadi belantara batu. Tidak tahu kepada siapa ia harus bertanya. Yang jelas ketika itu pula muncul Ratu Leak. Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya, maka terjadi perkelahian sengit antara Ktut Bacasona dengan Ratu Leak. Dalam kejadian ini dapat ditebak, Ktut Bacasona ternyata kalah dan ia dibuntungi satu kaki dan kedua tangannya secara kejam oleh Ratu Leak.
Bertahun-tahun ia hidup merana dalam kesengsaraan dan penuh penderitaan. Namun Ktut Bacasona adalah seorang laki-laki berhati baja yang tidak mudah putus asa. Ia mengasingkan diri di ujung pulau Bali. Dimana tempat itu tidak termasuk dalam wilayah kutukan Ratu Leak. Sampai tadi malam ia melihat tanda-tanda seperti yang diterimanya dari Dewata bahwa kutuk Ratu Leak mulai melemah, ini merupakan suatu pertanda bahwa ia harus mulai bergerak.
"Sudah tidak ada lagi waktu bagiku untuk tetap bertahan disini! Aku harus melakukan penyelidikan dimana kira-kira si Jahanam itu bersembunyi...!" dengus Ktut Bacasona.
Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, laki-laki berwajah mengerikan ini langsung meninggalkan Sange.

 



--₪֍¦ DUA ¦֍₪--

Pemuda berbaju biru ini merasa seperti sedang bermimpi saja. Bagaimana tidak? Tadi malam ia sampai di ujung timur pulau Jawa. Disana ia mendengar orang-orang bicara tentang Kala Demit. Sang musuh besar yang telah ikut membunuh ayah dan ibunya ketika terjadi heboh besar di gunung Bromo. Waktu itu ia pernah mencari laki-laki berambut jabrik ini dan juga mencari kedua katai bersaudara (dalam Episode Bayang-Bayang Kematian). Tapi sampai ia bertemu dengan Dewi Kerudung Putih di daerah itu, musuh besarnya konon pergi ke Madura. Sekarang untuk kedua kalinya Pendekar Mandau Jantan mendengar orang yang sangat dibencinya itu.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi ia pun melakukan pengejaran sampai ke pinggiran pantai. Dan Kala Demit ternyata telah menyeberang sampai ke Bali. Suro Blondo alias Pendekar Blo'on tidak tinggal diam ia dengan menumpang sebuah perahu melakukan pengejaran. Sayang sampai di tengah-tengah lautan perahunya bocor, seakan memang ada orang yang hendak mencelakakannya. Lalu siapa? Mustahil Kala Demit yang telah melakukannya? Dia sama sekali tidak mengetahui kehadiran Pendekar Blo'on di daerah itu. Masih untung si konyol memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Sehingga ia dapat mempergunakan sepotong papan pecahan perahu untuk mencapai daratan terdekat.
Namun sekarang ia setelah sampai di pinggir pantai, si konyol jadi terheran-heran. Daerah yang ditujunya seperti tidak berpenghuni. Suro memandang ke sekelilingnya dengan mulut termonyong-monyong.
"Edan, aku tadi malam melihat satu titik kecil, seperti sebuah perahu. Kurasa perahu Kala Demit, jalannya cepat, meliuk-liuk. Rasanya perahu itu menghilang disini. Tapi tidak mungkin! Di sekeliling ku yang ada hanya belantara batu, pohon-pohon menjadi batu, rumah batu, patungpatung manusia dari batu, kambing batu, ayam batu dan semuanya serba batu! Apa yang terjadi di sini? Apa mungkin aku mendatangi tempat yang tidak pernah terusik oleh orang luar sama sekali? Celaka aku, kok ya begini sialnya! Lalu apa yang harus kulakukan?" pikir Suro sambil garuk-garuk kepala, bingung.
Ia hampir melangkahkan kakinya, namun ketika melihat ke arah pantai sebelah kiri. Pandangan matanya tertumbuk pada sebuah perahu.
"Hmm, sekarang tahulah aku. Kala Demit memang menuju tempat ini. Apa urusannya datang ke sini? Mau mati saja kok memilih tempat yang jauh. Dasar manusia sesat!" Tergesa-gesa Pendekar Blo'on datang menghampiri. Namun alangkah terkejutnya pemuda rambut kemerahan ini ketika melihat bahwa perahu yang dihampirinya hanya sebuah batu panjang mirip perahu. Suro gelengkan kepala sambil meneliti.
"Adalah suatu hal yang mustahil jika sampan batu ini dapat dipergunakan berlayar. Ia pasti tenggelam sebelum sampai ke tengah-tengah laut sana. Eeh, ada yang terasa aneh disini. Mengapa setelah duduk di atas perahu ini aku mencium bau harum semerbak seperti wangi tubuh wanita? Apa mungkin ada orang lain disini?" batin Pendekar Mandau Jantan meragu. Ia melompat dari dalam perahu ini, lalu kembali menoleh ke arah papan perahu yang dipergunakannya untuk menyelamatkan diri tadi. Mata Suro membulat lebar, ia mengusap-usap matanya beberapa kali. Apa yang terlihat tidak berubah, papan sisa perahu bekas dipakainya juga telah berubah menjadi batu.
"Naga-naganya ada yang tidak beres terjadi disini. Atau apa memang otakku yang sudah tidak beres?" Pemuda ini garuk-garuk kepala lagi.
"Jika setiap yang datang ke sini langsung berubah menjadi batu, bukan mustahil aku juga sebentar lagi segera menjadi patung batu!" Teringat sampai disini tanpa sadar tengkuknya tiba-tiba saja meremang berdiri.
Ia memutuskan untuk segera mencari tahu tentang keanehan-keanehan yang terjadi. Sementara itu di luar sepengetahuannya ada sinar hitam yang terus membayanginya. Sinar itu di lain waktu langsung menghantam tubuh Suro tanpa menimbulkan rasa. Itulah sinar kutuk milik Ratu Leak yang selalu bergentayangan di bawah kekuasaan iblis untuk menghancurkan orang-orang yang dikehendaki oleh penguasa segala ilmu hitam tersebut. Adalah sesuatu yang sangat luar biasa jika Suro tidak mempan bahkan tidak terpengaruh oleh sinar hitam yang biasanya dapat menjadikan orang lain menjelma menjadi batu. Bahkan sinar hitam yang berada di bawah pengaruh kekuatan iblis itu sekarang seakan-akan bergerak mundur menjauh hingga kemudian menghilang tertiup angin.
Lalu mengapa Suro tidak dapat dipengaruhi oleh pengaruh kutukan Ratu Leak? Sebagaimana telah sama kita ketahui, Pendekar Blo'on Suro Blondo terlahir pada malam satu asyuro. Malam paling keramat dan paling tinggi dalam hitungan masyarakat Jawa. Malam satu Asyuro adalah malam penuh berkah, malam suci yang paling tinggi bila dibandingkan hari-hari lainnya. Sadar atau tidak Suro dilindungi oleh kekuatankekuatan gaib yang berasal dari rahmat Tuhan. Itulah sebabnya saat kelahirannya dua puluh tahun yang silam membuat gempar kalangan rimba persilatan. Ia dijuluki si bocah ajaib sebagaimana diramalkan oleh seorang pertapa di Pantai Laut Selatan Ki Begawan Sudra. Tiga tanda-tanda aneh dalam diri Suro memang sama persis sebagaimana yang dikatakan oleh pertapa Sakti tersebut. Antara lain ada sebuah tompel besar di punggung, kulitnya putih bersih dan rambut hitam kemerah-merahan.
Tompel yang terdapat pada bagian punggung Suro antara lain adalah sebagai penangkal dari segala macam ilmu sihir maupun kutukan secara alami, sedangkan rambutnya yang kemerahan adalah jalan pelepasan bagi tenaga dalamnya bila kemarahannya telah meluap.
Kini Suro telah melangkahkan kakinya menuju daerah pedalaman. Setiap tempat yang dilaluinya pasti menimbulkan rasa heran yang mendalam. Di sana sini ia melihat patung batu.
"Eeh, patung bisa menangis? Ini manusia atau patung? Kalau patung mustahil bisa menangis?!" Suro berhenti lalu mengusap-usap pipi patung perempuan. Semakin diusap semakin banyak air mata yang keluar. Tiba-tiba tanah terasa bergetar. Pada kesempatan itu pula terdengar suara tawa menyentak tidak jauh di belakangnya. Reflek si konyol cepat menoleh ke belakang. Sayang ia tidak melihat siapapun di sana terkecuali patung juga.
"Apa patung itu yang baru saja tertawa? Patung kok bisa tertawa?" gerutu Suro. Ia segera datang menghampiri, termonyong-monyong ia memperhatikan patung laki-laki. Bibir patung dalam keadaan terkatup rapat.
"Engkaukah yang baru tertawa tadi?" tanya Pendekar Blo'on.
Tidak ada jawaban. Suro rupanya masih kurang yakin, sehingga ia memperhatikan patung tersebut dengan lebih seksama lagi. Ternyata patung memang tidak juga bicara. Pendekar Blo'on gelengkan kepala, bosan.
"Anak manusia, aku melihat tanah Sange hatiku jadi sedih. Tidakkah kau sedih melihat angkara murka manusia? Patung yang kau dekati itu andai saja mampu bicara pasti sudah menjerit. Lebih dari itu ada satu hal yang membuat aku jadi heran. Mengapa kau tidak menjadi patung batu setelah memasuki tanah kutukan ini? Apa yang kau punya? Kulihat tampangmu tidak meyakinkan, apakah kau punya barang rahasia?" tanya sebuah suara. Suro tertegun, memandang berkeliling seperti orang yang sedang bingung. Sekali lagi ia tidak melihat ada orang lain disitu, tapi mengapa ia mendengar suara orang bicara?
"Hooiii... kau hantu apa manusia juga sepertiku. Seandainya manusia mengapa tidak mau tunjukkan diri? Atau kau takut padaku?" seru Suro setengah berteriak.
"Aku manusia juga seperti dirimu itu. Sayang aku tidak mampu keluar dari pondok jahanam ini karena kaki dan tanganku terbelengguh rantai kutukan! Datanglah ke sini, kau bantu aku niscaya kelak aku juga menolongmu...!" sahut suara tadi.
Suro Blondo nyaris tidak dapat menahan tawa. Jika orang yang bicara itu menolong dirinya saja tidak mampu, bagaimana ia dapat menolong orang lain?
"Engkau ini lucu, rantai kutukan itu terbuat dari apa? Menolong dirimu saja kau tidak becus, bagaimana kau dapat menolongku?" ejek Suro sambil tertawa-tawa.
"Jika tikus dapat masuk ke dalam lubang yang kecil, apakah gajah dapat masuk ke lubang tikus? Kau telah menginjakkan kaki ke daerah yang paling berbahaya dalam hidupmu. Nah apakah kau juga masih ingin berleha-leha? Cepatlah kau kemari sebelum Ratu Leak melihatmu!"
"Siapa Ratu Leak?"
"Pemuda tolol, jangan cuma garuk-garuk kepala melulu. Cepat kau ke sini!" geram suara tadi seakan tidak sabar.
Pendekar Mandau Jantan tampak raguragu. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri rumah yang berada di depannya. Pintu rumah berselimut debu, seakan sudah berpuluh-puluh tahun pintu tersebut dalam keadaan tertutup. Suro mendorong pintu sekuat tenaga. Pintu ternyata tidak bergeming. Suro mendorong lagi. Hasilnya... pintu tetap tidak bergerak.
"Edan... mengapa pintu jadi begini? Siapa yang menguncinya?" pikir murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api. Merasa kesal, Pendekar Mandau Jantan ini berteriak.
"Hei orang di dalam, pintu sudah ku dorongdorong. Seperti yang kau lihat pintu seakan melawanku. Siapa sih sebenarnya yang telah mengunci pintu ini?" tanya si konyol serius.
"Hmm, aku terkunci di dalam rumah ini sudah sejak tiga puluh tahun yang lalu. Siapa yang mengunci? Tentu saja perempuan terkutuk Ratu Leak. Aku tidak punya kekuatan untuk melepaskan pukulan. Tiga puluh tahun tubuhku terantai dan tertotok pula. Sungguh sial nasibku, akan lebih sial lagi jika kau tidak mampu membuka pintu itu. Daripada kau hanya bengongbengong begitu, mengapa tidak cepat lepaskan pukulan?!" jawab suara dari dalam.
Suro Blondo sampai melompat mundur saking kagetnya. Tiga puluh tahun orang itu mengaku dalam keadaan terantai dan tertotok. Adalah sesuatu yang luar biasa jika orang di dalam rumah itu dapat bertahan hidup. Lalu Ratu Leak itu siapa hingga dapat menjatuhkan kutukan?
"Pemuda rambut merah macam buntut kuda, mengapa kau tidak cepat bertindak?"
"Jangan khawatir, aku segera mengambil tindakan. Menjauhlah kau dari balik pintu. Aku takut niatku hendak menolong malah mencelakakan kau pula. Awas...!" teriak Pendekar Mandau Jantan. Seraya melompat mundur kedua tangan digosok-gosokkan satu dengan yang lainnya. Tidak lama setelah pemuda Ajaib ini menyalurkan tenaga dalam ke bagian telapak tangannya! Maka kedua tangan Suro hingga sebatas pergelangan tangan telah berubah memutih laksana salju. Rupanya si konyol sudah siap melepaskan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'.
"Hiyaa...!"
Pemuda ini tiba-tiba saja mendorongkan kedua tangannya ke depan. Selarik sinar putih menderu bergulung-gulung disertai menebarnya hawa dingin yang menusuk-nusuk. Lalu....
Buuum! Terjadi ledakan keras menggelegar. Tanah pasir bergetar hebat. Pintu hancur berkepingkeping, debu dan serpihan-serpihan pintu bertaburan di udara. Ketika puing-puing itu luruh kembali di tanah. Maka terlihatlah kegelapan di dalam rumah. Suro melangkah masuk, orang di dalam terbatuk-batuk.
"Orang di dalam apakah kau masih hidup?" Bertanya Suro Blondo dengan serius.
"Uhuk uhuk uhuk...! Ya aku masih hidup, kau hebat, pukulan apa yang baru kau lepaskan tadi? Aku mencium hawa maut!" sahut suara dari dalam.
"Mengapa kau rewel sekali. Mungkin aku melepaskan pukulan Nenek Bawel Kehilangan Susur, bisa jadi pukulan Setan Gila Main Congklak! Mengapa cerewet?" Suro bersungut-sungut.
"Keadaan di dalam ini gelap sekali. Aku tidak tahu kau di sebelah mana!" Orang di dalam bangunan tertawa mendengar ucapan Pendekar Blo'on.
"Jangan tertawa, kasih tahu aku, engkau berada di sebelah mana?" bentak Suro semakin kesal.
"Beloklah ke kiri!" sahut orang itu. Suro tertegak, kini ia baru menyadari bahwa orang yang diajaknya bicara memiliki ilmu memindahkan suara. Jika seseorang memiliki ilmu yang langka ini saja tidak mampu memutus belengguh rantai kutuk Ratu Leak, Suro tidak dapat membayangkan betapa tingginya kesaktian yang dimiliki oleh Ratu Leak. Suro belok ke kiri, di tengah-tengah kegelapan itu ia melihat seorang laki-laki duduk dengan kaki dan tangan terikat terbelenggu rantai sebesar ujung lidi. Suro Blondo tergelak-gelak melihat benda kecil yang sebagian membenam ke dalam tanah ini.
"Tua bangka sepertimu punya guna apa? Rantai sekecil ini saja kau tidak mampu memutuskannya. Padahal dengan tenaga kasar saja pun kau sudah dapat berbuat banyak. Ha ha ha...!"
"Manusia terkadang memang suka tertipu dengan apa yang dilihatnya. Kau harus tahu pemuda gendeng, rantai ini bagian lainnya menembus ke dalam bumi ke tujuh. Jika kau merasa hebat, coba kau putuskan benda kutukan ini dengan tenagamu atau kau lepaskan seribu pukulanmu jika kau punya kemampuan!" kata lakilaki tua itu tanpa maksud meremehkan.
"Mari biar kucoba!" sahut si konyol, sewot. Rantai kutukan ditariknya kiri kanan. Tapi rantai sebesar ujung lidi ini sedikit pun tidak bergeming. Wajah si pemuda memerah, matanya mendelik dan berputar-putar liar seakan tidak percaya.
"Kalau dibilang edan, memang lebih gila. Aku mana bisa dibuat percaya jika tidak menyaksikannya sendiri. Rantai kutukan ini sangat kuat sekali. Darimana Ratu Leak mendapatkan benda celaka ini? Sebaiknya aku pergunakan tenaga dalam!" batin si bocah Ajaib dalam hati.
Dengan mengandalkan tenaga dalam, mulailah ia berusaha memutus rantai tersebut. Bergetar kedua tangannya di saat seluruh tenaga terkumpul di kedua tangan.
"Huh, sia-sia, sia-sia! Sampai mencret pun kau tidak mungkin dapat memutus rantai kutukan celaka ini.!" dengus si kakek.
"Bagaimana kalau kulepaskan pukulan saktiku?!"
"Jika pukulanmu tidak dapat menghancurkannya, salah-salah pukulanmu membuatku mati konyol! Kurasa jika kau punya senjata, mungkin ada sedikit harapan bagiku untuk menghirup udara kebebasan!"
"Senjata?" seru Pendekar Mandau Jantan. Ia jadi ingat dengan mandau dibalik pinggangnya. Tanpa bicara lagi, pemuda ini segera mengeluarkan senjata. Mandau berwarna hitam dengan empat lubang miring digenggamnya erat-erat.
"Renggangkan kedua kakimu orang tua jika tidak ingin kehilangan kaki. Nasibmu bisa semakin malang dan merana jika kau harus kehilangan kedua kaki!" Suro berteriak keras. Mandau Jantan diangkat tinggi-tinggi. Setelah itu yang terdengar hanyalah suara ringkik, tangis dan suara tawa berkepanjangan. Sinar hitam berkiblat dan....
Traanggg...!
Terlihat adanya bunga api berpijaran seperti kunang-kunang yang bertaburan di udara. Terdengar ada suara tawa kegirangan. Orang yang baru tertawa tadi adalah si kakek terbelenggu rantai selama puluhan tahun. Sedangkan Suro meringis kesakitan, tangannya yang memegang hulu Mandau tergetar keras dan lecet.
"Cepat anak tolol, kaki sudah kau bebaskan, sekarang hanya tinggal kedua tanganku! Wah... senjatamu memang hebat, aneh tapi hebat. Bisa meringkik seperti kuda sakit ayan, bisa menangis seperti nenek-nenek kehilangan pacar barunya dan bisa tertawa seperti orang gila! Ayo... cepatlah, aku sudah tidak sabar untuk menghirup udara bebas!" kata si kakek senang bukan main. Rupanya dalam kegelapan si kakek tidak dapat melihat sebagaimana ekpresi Pendekar Blo'on saat itu.

 



--₪֍¦ TIGA ¦֍₪--

Suro Blondo cemberut, kalau tidak mengingat ia baru saja bertemu dengan orang ini tentu ia marah.
"Ayo orang muda, aku punya banyak rahasia yang pantas kau ketahui. Jika kau tidak mau membantu membebaskan aku, mana aku sudi mengatakan padamu apa yang aku ketahui." tegas si kakek.
"Orang tua sableng! Kau bicara seenak perutmu, kau tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Kau bicara tentang segala macam barang rahasia apa kau kira aku suka melihat tempattempat yang kau rahasiakan? Kurasa yang tersembunyi di tempat rahasia itu adalah barang yang sudah bulukan, keriput jelek dan jamuran. Apalagi mengingat tiga puluh tahun tidak pernah dicuci. Ha ha ha...!" Si Konyol tertawa ngakak. Orang tua yang tangannya masih terbelenggu rantai kutukan menyumpah-nyumpah.
"Pemuda gila dari mana kau? Bicaramu ngelantur, tampangmu penuh keedanan tidak tahunya kata-katamu lebih edan lagi. Awas aku pasti akan membunuhmu!" Ancam si kakek.
Si pemuda pencongkan mulutnya lalu tersenyum.
"Jika sekarang aku sudah tahu niat busukmu, untuk apa aku susah payah membebaskanmu? Kau adalah tua bangka yang tidak pandai membalas guna. Aku tidak punya urusan denganmu, lebih baik sekarang aku pergi saja!" Suro bangkit berdiri.
"Hei, orang gila tunggu dulu! Kau akan menyesal bila meninggalkan aku begitu saja. Apalagi jika sampai kau terperangkap di batu Lahat Bakutuk. Seumur hidup kau tidak akan pernah selamat, hayo jangan malu-malu jangan segansegan. Kau bantu aku pasti aku tidak akan melupakan budi baikmu...!"
"Kau mengertakku?" tanya Pendekar Blo'on ragu-ragu.
"Kau lihatlah wajahku, kau lihat pula mataku yang buta, apakah orang buta sepertiku punya hati sekeji itu?"
"Hehh...!" Suro melengak kaget. Ia sama sekali tidak menyangka kalau orang tua itu buta. Sebab suasana di dalam ruangan pengap itu memang gelap sehingga ia tadi tidak begitu memperhatikan keadaan si kakek.
"Jadi kau buta? Wah kalau begitu maafkanlah aku orang buta. Kini aku kembali untuk membebaskan rantai celaka itu!" kata Suro. Mandau di tangan kembali diangkatnya tinggi-tinggi.
Wuut! Triing!
"Ha ha ha...! Sekarang aku bebas, aku bebas...!" Si kakek buta tiba-tiba saja menghambur keluar dari pintu yang bobol. Ia menari-nari, berjingkrak-jingkrak bahkan menyanyi-nyanyi, hilanglah kepedihan dan derita yang dirasakannya selama berpuluh-puluh tahun. Sebaliknya Suro hanya bisa melongo dan geleng-geleng kepala.
"Aku heran melihat orang tua ini. Matanya buta tetapi seperti melihat saja. Ia berlari tanpa menabrak satu penghalang pun." batin si pemuda. Ia melangkah keluar meninggalkan rumah tua itu, berdiri di depan pintu sambil memperhatikan orang yang baru saja ditolongnya. Ternyata orang ini sudah berjalan menjauh tanpa menoleh-noleh lagi. Suro merasa dipermainkan.
"Orang tua buta, tunggu...!" teriak Suro jengkel.
"Aku tidak punya waktu, keadaan begini mendesak. Jika kau ingin tahu apa yang aku ketahui, sebaiknya kau ikuti aku. Jika tidak, terserah kau mau pergi ke mana! Satu hal yang perlu kau ketahui, daerah ini sangat berbahaya. Ratu Leak kudengar-dengar ingin membunuh Penghulu Siluman Kera Putih dan seorang kakek tua bangka yang konon berambut merah sepertimu!" jelas si kakek buta seenaknya.
Pendekar Mandau Jantan tercengang mendengar kata-kata yang diucapkan si kakek buta. Suro berpikir apakah kakek yang dimaksudkan oleh si kakek buta ini Penghulu Siluman Kera Putih gurunya atau memang ada PenghuluPenghulu lainnya. Lalu siapa kakek rambut merah yang seperti dikatakan oleh kakek buta ini?
"Hei, kakek melek tapi tidak bisa melihat! Kau harus jelaskan orang yang baru kau katakan itu!" pinta Suro.
"Ha ha ha! Huk huk huk...! Aku tidak punya waktu, kau dengar? Lebih baik kau ikuti aku saja!" dengus si kakek buta dengan sikap acuh tak acuh. Saking kesalnya Suro sampai garuk-garuk kepala berulang-ulang.
"Kakek buta, apakah untuk mengatakan siapa namamu saja kau juga tidak punya waktu?" teriak si pemuda sengit.
"Aku Si Buta Mata Kejora!" jawab si kakek singkat.
Pendekar Blo'on baru saja hendak menanyakan beberapa hal lainnya. Sayang Si Buta Mata Kejora telah menghilang dari depannya. Karena masih penasaran, pemuda ini segera mengerahkan ajian Kilat Bayangan. Inilah ilmu lari cepat yang dimiliki oleh Pendekar Blo'on.

* * *



Laki-laki berpakaian penuh tambalan bersenjata kebutan itu membelok di sebuah tikungan. Ia memperhatikan suasana di sekelilingnya, dan setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar situ, ia melompat turun dari atas punggung kudanya. Pantat kuda kurus dielus-elusnya sebanyak tiga kali. Kuda meringkik keras, kemudian berlari kencang sekali. Kuda itu menuju ke sebuah rumah gubuk reot kemudian menghilang dari pandangan mata.
Laki-laki berambut awut-awutan tersenyum. Ia berjalan menghampiri pintu rumah batu diketuknya sebanyak tiga kali. Tidak terdengar suara jawaban apa-apa terkecuali desiran angin halus.
"Uwa, apakah kau mendengarku?" tanya si laki-laki.
Lalu terdengar suara jawaban pelan seorang wanita seakan datang dari sebuah tempat yang jauh.
"Masuklah, pintu tidak pernah terkunci, wahai murid keponakanku!"
Laki-laki bersenjata kebutan melangkah masuk. Segera menyambar bau yang teramat busuk. Laki-laki ini seakan tidak perduli, atau ia memang sudah terbiasa dengan bau-bauan seperti ini.
"Kau datang untuk yang kedua kalinya di Sange ini, murid keponakanku. Apa kabar gurumu Tua Tengkorak Mata Api?" bertanya suara tadi.
"Guru si mata satu dalam keadaan baikbaik saja."
"Lalu bagaimana kabar tanah Jawa?"
"Tanah Jawa biasa-biasa saja, cuma penduduknya semakin padat, karena orang-orangnya bunting dan beranak terus!" sahut si laki-laki rambut jabrik.
Orang ini memperhatikan suasana di dalam ruangan yang cuma diterangi cahaya pelita minyak. Satu hal yang patut diketahui, bahwa di ruangan itu hanya laki-laki itu sendiri. Tidak ada siapa-siapa di situ, jadi ia bicara dengan suara gaib yang datang dari sebuah tempat jauh.
"Bagaimana dengan tanganmu?" tanya suara gaib itu lagi.
"Berkat pertolongan uwa guru dulu. Tanganku kini sudah normal kembali. Aku bersumpah akan membalas semua kegagalan yang terjadi dulu!" kata si laki-laki.
"Hi hi hik! Tiga puluh tahun aku menunggu, murid keponakanku. Guru musuh besarmu itu adalah musuh gurumu dan juga musuhku yang paling besar. Aku akan melakukan pembalasan yang setimpal melalui tangan muridnya sendiri...! Aku punya kuasa di Sange ini, hingga pemimpin Negeri pun kubenamkan dalam tanah. Masyarakatnya kukutuk menjadi batu. Aku Ratu Leak, ratu dari segala ratu peri. Hik hik hik...! Murid keponakanku, mengapa kau datang kemari dengan menyamar sebagai Kala Demit?"
"Kala Demit adalah musuh terbesar Pendekar Blo'on, orang itu kabarnya telah membunuh orang tua si tolol di lereng Bromo. Jika aku tidak melakukan penyamaran, aku khawatir ia tidak dapat masuk ke dalam perangkap kita. Sakit hati ini harus terbalas, uwa...!" geram orang ini.
Tiba-tiba ia teringat dengan kenangan pahit dua tahun yang lalu, dimana ia kalah bertarung dengan Pendekar Blo'on. Bukan hanya itu saja, ia bahkan nyaris kehilangan tangannya, masih beruntung dalam keadaan yang sangat keritis muncul gurunya. Untuk lebih jelasnya (Dalam Episode Pemikat Iblis terdiri dari tiga Episode). Karena Tua Tengkorak Mata Api tidak sanggup menyambung tangan muridnya yang putus, maka mereka tidak kembali ke Ciruyung, Tua Tengkorak Mata Api membawa muridnya ke Sange. Di situlah saudara seperguruannya berada. Berkat kesaktian yang dimiliki oleh Ratu Leak, tangan yang terbabat putus oleh senjata, Pendekar Blo'on dapat tersambung lagi.
Rasa sakit dalam hati orang ini masih belum kunjung tersembuhkan. Pengalaman pahit sebagai orang yang terkalahkan masih menggores ingatannya. Ia telah kehilangan Perkasa, patung hasil ciptaan pematung Kelana. Dan yang telah dihidupkan oleh gurunya dengan tumbal perawan dan bantuan iblis.
Jika dulu gurunya kehilangan mata karena ulah Malaikat Berambut Api, ia hampir kehilangan tangan karena ulah Pendekar Blo'on. Murid dan guru sama-sama menyimpan dendam membara. Lalu sekarang apa susahnya jika ia menuntut balas sedangkan Pendekar Blo'on sudah terpancing datang ke Sange karena penyamarannya sebagai Kala Demit.
"Kau lebih banyak diam, apakah kau mendapat musibah di perjalanan?" bertanya suara tanpa rupa.
"Tidak! Justru penyamaranku ini telah berhasil mendatangkan Pendekar edan itu kesini." sahut Kala Demit palsu. Kemudian enak saja ia menanggalkan pakaian luarnya. Setelah pakaian luar ditanggalkan, ia mengusap wajahnya. Maka lepas pula rambutnya yang awut-awutan. Sekarang tiada kumis dan tidak ada pula jenggot. Wajah licin, berkulit bersih dan cantik. Bila bagian tangan diusap maka kulit yang penuh kerut merut itu pun berubah halus. Ternyata ia memakai topeng tipis terbuat dari bahan semacam kulit. Kini ia telah menjelma menjadi gadis yang teramat cantik, bukan lagi sebagai Kala Demit musuh besar Pendekar Blo'on. Tapi ia mungkin saja menjadi orang yang lebih berbahaya dari Kala Demit bagi Suro Blondo. Tubuh gadis ini ramping menggiurkan, setiap laki-laki yang memandangnya pasti langsung jatuh cinta mati-matian.
"Berkat petunjuk uwa guru yang dapat menembus alam gaib. Penyamaranku yang sempurna itu telah mendatangkan hasil. Seekor kakap tolol, yang dulu hampir saja membuat aku mampus kini sudah berada di mulut kail. Ia tidak mungkin dapat lolos, rencana uwa Ratu Leak untuk mendatangkan kedua gurunya pasti berhasil. Kakap berikut kedua bapak moyangnya sudah dapat dipastikan memakan umpan kita. Umpan yang telah uwa persiapkan selama berpuluhpuluh tahun;" ujar si gadis.
"Mustika Jajar!" berkata suara tanpa rupa dengan suara parau.
"Apapun yang telah kurencanakan, bukan hanya sekedar menghancurkan Pendekar Blo'on dan kedua gurunya. Aku punya rencana yang lebih besar dari semua itu. Hanya saat ini aku tidak dapat mengatakannya padamu. Kepadamu kupesankan agar bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan, karena baru saja ku tahu iblis yang menjadi kaki tanganku mengatakan bahwa ia tidak sanggup membuat Pendekar Blo'on menjadi patung. Dalam arti kutukku seakan tidak mempan. Entah apa yang dimiliki oleh Pendekar bego itu. Yang jelas aku masih punya beribu-ribu cara untuk membuatnya hancur! Ingat kegagalan baktimu pada gurumu sendiri merupakan peristiwa yang sangat memalukan. Jangan sampai terulang lagi, jangan sampai!" tegas suara tanpa rupa dengan suara keras berapi-api.
"Aku mengerti uwa guru. Pemuda itu datang mengejar aku ke Sange ini seorang diri. Ia pasti merasa berada di sebuah negeri belantara batu. Patung-patung hasil kutukan uwa tidak mungkin dapat diajaknya bersahabat, bicara atau tempat bertanya. Cuma yang membuat aku heran mengapa ia tidak dapat termakan kutukmu? Bukankah kutuk uwa Ratu Leak tetap berlaku bagi siapa saja yang tidak uwa kehendaki?" ujar Mustika Jajar dengan kening berkerut.
Suara tanpa ujud terdiam, hingga membuat Betina Dari Neraka menjadi gelisah.
"Tirai alam gaib yang baru saja kusingkap mengatakan. Bahwa pemuda itu memiliki tiga tanda-tanda ajaib. Satu diantaranya adalah penangkal kutukan."
"Apakah penangkal itu berupa benda, uwa?"
"Dia bukan berupa benda, penangkal alami itu sudah ada sejak ia dilahirkan. Ujudnya berupa sebuah tompel...!"
"Hanya tompel?" Mata yang indah itu terbelalak lebar.
"Hanya tompel saja, tapi mengapa kutukanmu tidak dapat menguasai jiwa dan raganya?" tanya si gadis dengan perasaan heran bukan main.
Suara tanpa ujud tertawa rawan.
"Bukan hanya tompel biasa. Kalau pun ada orang punya sejuta tompel di tubuhnya, hal itu tidak ada artinya bagiku. Mungkin karena ia terlahir pada malam satu Asyuro, dimana setiap ilmu dituakan. Malam itu adalah hari yang penuh berkah, rahmat Tuhan tercurah-curah dari langit. Tapi engkau tidak usah merasa risau, aku sudah punya cara untuk menangani pemuda ini. Dia bukan rintangan yang sulit. Kau lihat jika seluruh Sange ini saja dapat kutaklukkan, apa sulitnya mengurus bocah setolol dia!" Lega hati Mustika Jajar. mendengarnya.
"Hi hi hi...! Pendekar Blo'on, musibah apalagi yang paling memalukan bagi seorang Pendekar andai ia telah kehilangan seluruh kesaktiannya! Ia akan merasakan pembalasanku, berpuluhpuluh penderitaan nanti yang akan dirasakannya." geram Iblis Betina Dari Neraka.
"Hmm, tindakanmu memang patut kupuji. Tapi kau tidak boleh turun tangan tanpa seizinku!" cegah suara tanpa rupa.
Mustika Jajar tampak kurang puas mendengar jawaban suara tanpa rupa.
"Mengapa harus begitu? Dulu aku yang merasakan malunya, yang merasai sakitnya dan aku pula yang merasakan penderitaannya. Sedangkan uwa Ratu tidak punya sangkut paut apa-apa antara persoalanku dengan Pendekar Blo'on." dengus si gadis.
"Hik hik hik! Kau telah berhutang tangan padaku, kau juga telah berhutang kesaktian dariku. Aku berkuasa penuh atas daerah ini, aku memang tidak punya kepentingan tertentu dengan Pendekar tolol itu, tapi dengan kedua gurunya aku punya persoalan yang sangat besar!"
Meskipun kurang puas mendengar jawaban suara tanpa rupa ini, Mustika Jajar terpaksa memendam kekesalahannya dalam hati.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" Bertanya si gadis dengan wajah cemberut.
"Kau harus tetap menyamar sebagai Kala Demit. Dengan begitu pasti Pendekar tolol itu terus bersemangat mengejarmu. Sekali waktu pancinglah dia mendekati Batu Lahat Bakutuk. Dari sanalah segala-galanya akan dimulai. Pendekar Blo'on akan mengalami nasib yang sangat tragis. Hik hik hik...!"
"Jadi...??"
"Mulai sekarang coba kau pastikan dimana pemuda itu berada. Jangan kau lupakan tugas lain, jika kau bertemu dengan siapa saja harap kau bereskan! Mulai saat ini kau harus mempergunakan segala macam kesaktian yang kuberikan padamu. Sedangkan segala ilmu yang diberikan oleh gurumu tidak berlaku disini!"
"Jika pemuda itu telah kutemukan?"
"Kau bawa dia ke Batu Lahat Bakutuk. Karena di sanalah jalan menuju kehancuran bagi orang-orang yang tidak kukehendaki.! Hik hik hik!" suara tanpa rupa tergelak-gelak.
Suasana di dalam ruangan berubah sunyi, Iblis Betina Dari Neraka terdiam untuk sejenak lamanya. Apa yang dikatakan Ratu Leak masih mengiang di telinganya. Ia percaya sekali Ratu Leak mampu menghancurkan dunia persilatan karena begitu tingginya kesaktian yang dimilikinya. Kalau dipikir-pikir Ratu Leak memang mempunyai cita-cita yang tinggi, ia ingin menjadikan seluruh nusantara ini sebagai tanah kutukan. Ia ingin mengembalikan manusia ke jaman batu, manusia dijadikan patung batu, hewan batu dan semuanya serba batu. Tetapi rasanya ada yang lebih penting dari semua itu, hanya Ratu Leak sendiri yang mengetahuinya. Tidak lama gadis cantik menggiurkan yang selalu memakai pakaian merangsang ini merias wajahnya kembali. Tidak sampai sepemakan sirih ia telah berubah dalam penyamarannya sebagai Kala Demit. Mustika Jajar kemudian keluar meninggalkan rumah batu, berjalan cepat menghampiri kuda kurus berbulu hitam.

 



--₪֍¦ EMPAT ¦֍₪--

Kuda bertubuh kurus kering itu meringkik keras ketika Kala Demit melompat ke atas punggungnya. Kala Demit yang tidak lain adalah Iblis Betina Dari Neraka tanpa menoleh kanan kiri langsung membedal kudanya menuju Batu Lahat Bakutuk.
Namun baru beberapa puluh batang tombak, tiba-tiba saja kelihatan sesosok tubuh melayang dari kerimbunan semak-semak yang membatu. Kuda kurus mengangkat kakinya tinggitinggi.
Sreng! Sreng!
Di depan Kala Demit kini telah berdiri seorang laki-laki berdagu lonjong berkepala lancip seperti kerucut. Sebelah kakinya tersambung dengan sebuah gergaji, sedangkan kedua tangannya yang putus disambung dengan gaitan dan juga tombak. Kala Demit sipitkan matanya, memandang ke arah orang ini disertai senyum mengejek.
"Orang aneh, menyingkirlah dari hadapanku!" teriak Kala Demit tidak sabar. Dalam hati ia merasa heran juga melihat orang berkaki gergaji bertangan gaitan dan tombak tidak terkena kutukan. Atau karena pengaruh kutukan Ratu Leak sudah mulai melemah?
"Kulihat kau orang asing di Sange ini. Tidak ada orang asing yang dapat berkeliaran dengan bebas terkecuali ia punya hubungan tertentu dengan Ratu Leak! Perempuan keparat itu adalah manusia jahanam. Setiap orang yang bersahabat dengannya, ia berarti jahanam lainnya yang harus mampus di tanganku!" dengus Ktut Bacasona.
Wajah di balik topeng Kala Demit berubah merah padam mendengar kata-kata pedas yang dilontarkan oleh laki-laki berkepala lancip ini.
"Manusia gila, tidak ada hujan tidak ada angin kau marah-marah di depan orang yang belum kau kenal sama sekali!" maki Kala Demit.
"Hak hak hak! Terlalu lama hidup menderita, aku pun sudah tidak tahu bagaimana caranya agar dapat tertawa lebih baik. Kau orang pertama yang kulihat. Demi kebesaran pemimpin Negeri Wayan Tandira! Aku akan memenggal kepalamu, dan yang paling ringan menyeretmu di depan tulang-belulangnya ke bukit Kembar Tiga!" dengus Ktut Bacasona.
"Huh, apa yang kau bisa. Keadaan tubuhmu saja sudah membuatku prihatin. Sayang ucapanmu terlalu menghina Ratu Leak. Jadi tidak ada jalan lain bagimu terkecuali segera berangkat ke neraka. Kupindahkan nyawamu dari raga kasarmu ke langit! Eeh... bukan ke langit, tapi ke jurangnya neraka Jahanam! Hi hi hi...!"
"Bangsat! Kudengar suara tawamu rasanya kau bukan laki-laki. Kau pasti perempuan yang menyaru sebagai laki-laki! Semakin bertambah jelas saja kedudukanmu di mataku. Tidak bisa disangkal, kau pasti anak buahnya si tukang kutuk Ratu Leak!"
"Banyak mulut, siya...!" Kala Demit menggebrak kudanya. Ia mengacungkan jari telunjuknya. Sebaris sinar berwarna putih kuning dan merah melesat dengan hebatnya ke arah Ktut Bacasona. Laki-laki ini sempat kaget juga begitu merasakan sambaran angin panas menghantam wajahnya.
Breng!
Cepat sekali Ktut melompat ke samping. Sinar putih kuning dan merah terus menghantam angin.
Buuummm!
Batu di belakang Ktut Bacasona hancur berkeping-keping. Terlihat percikan bunga api memijar di udara. Meremang tengkuk si laki-laki, ia tidak dapat membayangkan bagaimana andai pukulan tadi menghantam dirinya. Memang Mustika Jajar barusan tadi melepaskan serangan yang dikenal dengan nama 'Tusukan Jari Penghantar Maut'. Salah satu ilmu langka warisan Ratu Leak. Mustika Jajar dari gurunya memang mewarisi berbagai ilmu kesaktian. Namun oleh Ratu Leak segala macam kesaktian yang diturunkan Tua Tengkorak Mata Api untuk sementara tidak boleh dipergunakan.
"Masih juga kau dapat menghindar kunyuk berkaki gergaji!" dengus Kala Demit palsu. Dua jari telunjuknya kiri kanan diacungkannya lagi ke depan.
Wut! Wuut!
Dua baris sinar tiga warna lebih panas melabrak Ktut Bacasona. Laki-laki ini terkesiap. Satu serangan cepat mungkin saja dapat dihindarinya. Tapi kali ini dua serangan datang sekaligus. Hebatnya lagi di tengah jalan dua larik sinar membelah menjadi enam bagian. Enam bagian sinar melesat ke arah enam titik kematian di tubuh Ktut Bacasona.
"Mati aku!" maki si kaki gergaji. Ia tidak punya pilihan lain. Segera tangannya yang bersambung dengan tombak dan gaitan di putar. Angin menderu. Laki-laki ini tiba-tiba merasakan adanya satu dorongan yang sangat dahsyat namun tidak terlihat. Ktut Bacasona terus putar tangan yang tersambung dengan senjata sambil melompat.
Bum! Buum!
Sinar putih kuning merah seperti pecah bertaburan di udara bagaikan kunang-kunang yang bertebaran saat membentur senjata Ktut Bacasona tadi. Ktut menjerit kesakitan. Ia melepas dua senjata yang tersambung dengan tangan dan sempat meleleh. Tangan-tangannya yang memang sudah buntung sebatas lengan melepuh. Orang ini menggerung, sementara Kala Demit bergelak-gelak mengumbar tawanya.
Ktut Bacasona segera sadar bahwa lawan memiliki kepandaian yang mungkin lebih tinggi darinya. Ia harus mengambil tindakan jika tidak ingin dirinya celaka. Secepat kilat tubuhnya melayang, ia mempergunakan senjata gergaji di kakinya.
Sing! Sing! Sing!
Suara mendesing-desing menggema di udara bisu. Serangan ini jelas telak dan menggorok leher. Kala Demit mendengus sengit, karena begitu rendahnya serangan lawan. Maka ia terpaksa berguling-guling.
Breng!
Serangan luput, sebagian gergaji menghantam batu di depannya hingga membuat lubang mengerikan sebanyak enam puluh mata gergaji. Kala Demit bergidik ngeri. Sebelum bangkit lawan telah berbalik, seakan dapat berjalan di udara lawan hantamkan senjata mautnya.
Praang!
Kala Demit memaki, tangannya nyaris tanggal, ia jatuh tunggang langgang sambil terus berguling-guling.
"Keparat berkaki gergaji ini benar-benar tidak dapat dipandang enteng! Ia harus tahu rasa!" maki orang ini. Melihat lawan mengambang dan melakukan penyerangan dari udara. Kala Demit tiba-tiba lepaskan pukulan dahsyat 'Neraka Perut Bumi'. Serangan maut ini juga warisan Ratu Leak. Sontak Ktut Bacasona merasakan adanya sinar kemilau yang membutakan mata. Suasana seperti bagai di neraka, masih di udara terdengar suara jeritan Ktut Bacasona, tubuhnya tersentak ke belakang. Kemudian jatuh terhempas dalam keadaan hangus.
"Hi hi hi...! Pukulan yang luar biasa. Ilmu kesaktian uwa Ratu Leak memang hebat. Kini terbuka mataku, bahwa cita-cita uwa berdasarkan atas keyakinan yang kuat! Hi hi hi...! Manusia kaki gergaji! Mampuslah kau... mampus... mampus...!" maki Kala Demit. Seraya melompat kembali ke atas punggung kudanya. Tali kekang kuda disentakkan dengan keras, maka melesatlah kuda tersebut meninggalkan debu-debu yang berterbangan.

* * *



Kuda putih itu seakan-akan memang berjalan di atas laut. Ia menerjang gelombang laut pantai barat dengan langkah lebar dan tidak pernah mengenal rasa lelah. Yang menakjubkan laut yang sedemikian dalam itu hanya sampai setinggi lututnya saja. Ia memang seekor kuda raksasa yang sangat luar biasa besarnya. Di atas punggung kuda tersebut duduk seorang laki-laki berpakaian putih berselempang putih, memakai ikat kepala warna putih. Dilihat dari jauh, orang ini tidak ubahnya seperti seekor lalat yang hinggap di punggung kuda.
Ombak di pantai laut barat kian menggila, si laki-laki berumur sekitar lima puluh tahun menyandarkan punggungnya pada punggung kuda. Kakinya yang bersilangan terguncangguncang. Sementara kuda putih yang terus berlari di laut dalam namun cuma setinggi lututnya meringkik keras. Bila kuda ini mengeluarkan suara, maka suaranya menimbulkan gelombang laut yang kian menggila.
"Ada apa Kaki Langit? Aku tidak melihat dan mendengar apa-apa. Apakah kau ada melihat sesuatu?" bertanya laki-laki baju putih selempang putih. Seraya duduk, memandang ke depan, terlihat olehnya gugusan sebuah pulau.
"Kita sudah sampai, Putih Kaki Langit. Aku mencium bau kutukan itu. Aku mengendus sesuatu yang sangat aku benci, Batu Bakutuk telah memperlihatkan kehebatannya. Aku tidak menyangka, betina sinting itu sudah mengetahui rahasianya! Ayolah... jangan kau ragu-ragu, pengaruh kutuk tidak akan berlaku bagi dirimu dan diriku!" kata si lakilaki, wajahnya muram. Sehitam mendung yang bergelayut di kaki langit.
Kuda putih meringkik lagi, sampai di pinggir pantai ia berhenti. Bukan main tinggi binatang tunggangan tersebut. Seakan-tingginya hampir menggapai langit. Pantasan saja laut yang begitu dalam hanya sampai sebatas lututnya. Jika saat itu ada orang yang melihat pemandangan ini, tentu saja tidak akan percaya melihat tinggi dan besarnya kuda berbulu putih tersebut.
Laki-laki berselempang dan berbaju putih berdiri di atas punggung kudanya. Bibirnya yang tertutup kumis putih berkemak-kemik. Samarsamar terdengar suaranya seakan datang dari sebuah lubuk yang teramat dalam.
"Datuk Nan Gadaing Paluih, itu namaku. Jalan melintas darat, langkah menyeberang laut. Putih Kaki Langit sahabat sejati dari alam gaib. Raksasa membawa tuah si kecil. Si kecil membawa tuah si raksasa. Alam gaib beda dari alam nyata, yang nyata tidak mampu menembus alam gaib. Mata kasat sampai binasa tidak becus meneropong kegelapan. Datuk Nan Gadang Paluih mampu melakukannya. Si Putih Kaki Langit sahabatku alam gaib. Ia biji matoku, si besar sahabatnya yang kecil. Yang kecil sahabat si besar. Maka kembali ke bentuk umumnya kuda! Kembali... li li li...!" suara laki-laki yang bernama Datuk Nan Gadang Paluih menggema di seantero penjuru pantai.
Kuda raksasa yang tubuhnya menjulang tinggi ke langit meringkik keras, tubuhnya tergetar. Lalu terjadi proses penyusutan yang sungguh aneh bahkan sulit dipercaya. Kuda raksasa itu terus berproses, mengecil semakin bertambah kecil. Hingga akhirnya terjadi proses aneh itu setelah tubuhnya sebesar kuda pada umumnya.
"Putih Kaki Langit, Ngarai Sianok telah kita tinggalkah! Semua ini gara-gara Batu Bakutuk yang dicuri oleh betina jalang itu. Tiga puluh tahun, Kaki Langit. Coba kau bayangkan. Aku baru mengetahui batu sakti itu hilang setelah adikku Ratu Penyair Tujuh Bayangan pergi ke tanah orang Jawa. Kita sudah ketiwasan (terlambat). Kau lihat patung-patung batu itu. Mereka masih manusia juga, manusia menjadi batu karena pengaruh kutuk!" kata si laki-laki sengit. Untuk lebih jelasnya siapa Ratu Penyair dan Datuk ini (dalam episode Undangan Maut).
"Ayoo sahabatku, kita selidiki di mana jejaknya wanita jalang itu! Jalanmu biar lebih cepat agar selamat!" kata Datuk Nan Gadang Paluih. Ia menyentuh ubun-ubun Si Putih Kaki Langit, kuda itu sepontan melesat dengan kecepatan laksana kilat. Hanya dalam waktu sekejapan mata, kuda tidak terlihat lagi.

* * *



Suro masih memperhatikan kakek buta di depannya. Hampir sepanjang malaman orang ini menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kutuk di tanah Sange. Terkadang hati pemuda ini menjadi jerih, terkadang timbul kegeramannya. Dan tidak jarang ia memaki perbuatan si durjana Ratu Leak.
"Anak tolol, aku sering minta petunjuk pada dewata. Aku merasa Dewata berkenan membebaskan rakyat negeri Sange dari kutukan. Nanti, setelah kehadiranmu ini. Berkah kehadiranmu di sini, membebaskan mereka. Tapi aku melihat ada tanda-tanda bahwa kau juga akan mengalami celaka disini!" kata si Buta Mata Kejora.
Saking kagetnya Suro sampai melompat dari atas tikar rombeng yang didudukinya. Saat itu mereka memang duduk di dalam rumah bobrok agak jauh dari Sange. Sebenarnya tidak dapat dikatakan rumah, karena atap dan dindingnya tidak ada, hanya tiang-tiangnya saja.
"Jangan kau menakut-nakuti aku, kakek buta! Aku pun tidak sudi menolong orang jika nyawaku sendiri terancam. Orang tolol namanya jika untuk kepentingan orang lain ia harus merelakan nyawanya!" celetuk Suro sambil bersungutsungut.
"Apakah kau tidak sadar kalau dirimu itu Pendekar tolol? Mustahil kau dapat keluar dari Sange ini sebelum menghadapi kenyataan, kau sudah mulai masuk dalam perangkap dan jeratjerat setan!" dengus Si Buta Mata Kejora.
Suro memandang ke atas, karena rumah tidak beratap ia dapat langsung melihat langit yang biru. Ia memperhatikan kedua tangan dan kakinya. Lalu terdengar tawanya....
"Kuakui kau memang manusia aneh, kek. Adalah salah besar kalau kau mengatakan aku sudah masuk ke dalam jerat-jerat setan. Kedua kakiku masih bebas bergerak. Di sekeliling ku tidak ada perangkap terkecuali gubuk reot yang tidak beratap dan berdinding ini! Ha ha ha...! Kau menipu mana kena aku ditipu! Orang buta mau mengadali orang melek, mana mungkin eeh, mana mungkin?!"
"Ternyata kau memang tolol, bukan tampangmu saja yang bego, jalan fikiranmu juga menunjukkan kedunguan otakmu! Apa yang kukatakan itu hanyalah kiasan saja, adakah kau bisa mengerti?!" hardik Si Buta Mata Kejora.
"Kau orang buta yang tidak tahu diri. Kalau terus memaki, biar aku minggat dari sini. Hiduplah bersama masyarakatmu yang telah dikutuk menjadi patung-patung yang dungu, patung bego yang biasanya cuma keluarkan air mata!" dengus murid Penghulu Siluman Kera Putih sengit.
"Olala... tidak usah ngotot, saling tarik urat leher dalam keadaan begini tidak ada gunanya. Kau merupakan penentu, jika kau salah langkah maka kedua gurumu, pun bisa celaka?!"
"Bualan apa lagi yang kau berikan. padaku, kakek buta. Mana kena guruku ditipu. Mereka adalah orang-orang cerdik yang tidak bisa termakan muslihat apapun!" Si konyol rupanya terlalu yakin dengan kemampuan yang dimiliki oleh kedua gurunya. Sehingga sedikit pun ia tidak mau percaya dengan ucapan Si Buta Mata Kejora
"Percuma saja aku berdebat dengan orang bodoh sepertimu. Daripada berdebat lebih baik kita berangkat ke Batu Lahat Bakutuk!"
"Bicaramu ngaco, kakek buta. Kalau kau sudah bosan bicara mengapa tetap duduk di sini? Ayo berangkat!!" Suro bangkit berdiri diikuti oleh Si Buta Mata Kejora. Mereka keluar meninggalkan bangunan reot menempuh padang-padang berbatu di tengah-tengah teriknya panas matahari Belum jauh mereka meninggalkan gubuk
reot itu, tiba-tiba terdengar suara burung di atas kepala mereka. Si Buta Mata Kejora, angkat wajahnya menghadap langit. Suro tertawa terkekehkekeh melihat kakek ini seperti gelisah.
"Ha ha ha! Seratus kali kau memandang ke langit, mana kau tahu apa yang berada di atasmu! Eeeeh, kulihat wajahmu berubah pucat, kek! Apakah burung gagak itu yang membuatmu takut?" ejek Pendekar Blo'on.
"Pemuda sedeng, kau melihat tapi tidak tahu apa yang kau lihat. Bukankah yang terbang di atas kita seekor burung gagak?" tanya Si Buta Mata Kejora tercekat.
"Kau menebak begitu karena aku sudah mengatakannya padamu, apa sesungguhnya yang membuatmu takut? Kau seperti melihat hantu, padahal matamu buta??" Suro garuk-garuk kepala.
"Burung gagak itu adalah burung pendamping pimpinan kami! Sekarang aku tidak tahu bagaimana nasibnya dipendam Ratu Leak di Tiga Bukit Kembar! Burung gagak.... akh, aku mencium baunya. Dia bukan gagak yang lain. Dia pendamping pemimpin negeri itu! Anak muda, coba kau lihat apakah kau tidak melihat ada orang lain disini?"
Suro Blondo mengedarkan matanya, selain burung gagak yang terbang berputar-putar di atas kepala mereka memang tidak ada siapa pun di situ. Suro gelengkan kepala. Namun akhirnya tertawa sendiri setelah menyadari ketololannya.
"Orang buta ini mana melihat isyaratku!"

 



--₪֍¦ LIMA ¦֍₪--

"Bagaimana anak muda? Mengapa kau diam saja seperti orang tuli yang sangat bego?" bertanya Si Buta Mata Kejora tidak sabar.
"Mata budek kuping buta! Tidak ada siapasiapa disini selain kita berdua dan burung jelek itu!" sahut Suro Blondo dengan mulut terpencong.
"Kak!"
"Wuut!
Burung gagak yang terbang berputar-putar di atas Suro tiba-tiba menukik dan menyambar.
"Weit, kakek buta. Burung itu marah kukatain jelek! Bagaimana ini?" tanya Suro. Pontang panting ia menghindari patukan paruh burung yang terus menyerangnya dengan cepat dan bertubi-tubi.
"Ha ha ha! Mampuslah kau. Binatang itu sangat memahami bahasa manusia. Kau menghinanya, sekarang kau rasakan sendiri akibatnya!" teriak si kakek sambil terus tertawa-tawa.
"Kek!" Wuur!
Suro terus mengelak atau sesekali menyampok burung itu. Burung gagak hitam cepat berkelit begitu merasakan adanya sambaran angin yang sangat keras. Tiba-tiba terdengar suitan panjang. Burung gagak bergerak menjauh namun di belakang Pendekar Blo'on tiba-tiba menyambar angin dingin yang sangat luar biasa sekali
"Aih...!"
Tubuh pemuda ini meliuk, kemudian bersalto ke samping kiri. Di depannya terdengar suara dentuman bagai letusan gunung. Si Buta Mata Kejora tergontai-gontai. Suro terhuyung sambil leletkan lidah. Ia tidak kekurangan satu apapun, hanya dadanya mendenyut sakit. Cepat ia putar kepala. Dan matanya pun kontan terbelalak.
"Astaga! Kakek buta, lihatlah ada manusia kayu, eeh... maksudku manusia akar datang kesini. Apakah dia masih saudaramu, atau anakmu?!" seru pemuda rambut kemerah-merahan ini kaget. Saking tidak percayanya ia sampai ingin kencing.
"Kau bicara apa? Hendak menipuku lagi?" dengus si kakek buta tidak percaya,
"Pentang matamu lebar-lebar, dari leher badan, tangan dan kakinya terbungkus akar. Aku tidak tahu apakah dia manusia sungguhan atau kayu berjalan!" kata Suro, sementara orang yang disebut-sebutnya sudah berjalan mendekat ke arahnya.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri wajahnya?" perintah Si Buta Mata Kejora. Suro garuk-garuk kepala, bibirnya terpencong, monyong-monyong sebentar lalu memandang ke arah laki-laki di depannya dengan kedua mata menyipit.
"Kau dengar baik-baik. Dia laki-laki seperti kita juga, kumis ada sedikit mungkin cuma beberapa helai. Jenggotnya kurasa sekitar sepuluh biji. Rambutnya panjang, dagunya kokoh! Apakah kau mengenalnya, kek?" Mata buta yang memutih keseluruhannya tampak berkeriapan. Kening si kakek berkerut dalam. Tiba-tiba ia berseru...
"Tunggu!" Seraya melangkah maju ke depan.
"Aku rasanya mengenal wajahnya. Dan Si Buta Mata Kejora tiba-tiba saja menjatuhkan diri dan berlutut.
"Wayan Tandira pemimpin kami, benarkah engkau Wayan Tandira?!" desis orang ini sambil sesunggukan.
Orang yang dipanggil Wayan Tandira bergeming pun tidak. Malah kedua bibirnya terkatup rapat. Otot-otot rahangnya menegang.
"Aku mengenalmu sebagai penduduk Sange ini, kakek Buta Mata Kejora. Aku menghargaimu sebagai orang tua dan manusia. Aku membencimu karena telah bersekutu dengan musuh! Keadaan negeri begitu buruk, nasib masyarakat-ku benar-benar hina dina. Kau ketua adat, mengapa kau gadaikan harga diri dan kepercayaan masyarakat pada pemuda asing ini!" dengus laki-laki yang sekujur tubuhnya diselimuti akar-akaran aneh, sinis.
"Ampun beribu ampun. Para dewata melihat, para dewata mendengar, pemuda ini sama sekali bukan musuh kita! Ia ingin bekerja sama dengan kita guna menghancurkan Ratu Leak dan merampas Batu Bakutuk! Engkau salah menilai, engkau salah sangka, pemimpin negeri!" jelas Si Buta Mata Kejora.
"Terlalu lama dipendam dalam tanah, rasanya aku sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Aku tidak suka melihat kunyuk tolol itu! Dia harus kubunuh!"
"Jangan...!" teriak Si Buta Mata Kejora. Pendekar Mandau Jantan mula-mula memang dapat menahan diri mendengar ucapan Wayan Tandira. Namun karena laki-laki rambut panjang ini terlalu mencurigainya. Sekarang ia tidak dapat lagi menahan kesabarannya.
"Manusia akar, rambut gondrong! Aku benci melihat manusia sombong, tapi aku lebih benci lagi mendengar ucapanmu! Kau bukan memikirkan negerimu, kau juga tidak memikirkan masyarakatmu yang berdiri mematung menjadi batu. Kau hanya mementingkan kekuasaanmu! Manusia bermental kerdil macammu buat apa menjadi pemimpin?" desis Suro marah bukan main.
Wayan Tandira melotot, kupingnya terasa panas hingga bergerak-gerak. Pikirnya pemuda itu tampangnya seperti orang tolol, tapi bicaranya menyakitkan.
"Aku tahu apa yang aku perbuat? Aku rela dipendam selama hampir tiga puluh tahun dalam tanah semata-mata karena demi rakyatku!" sahut Wayan Tandira semakin sengit.
"Itu manusia tolol namanya!" ejek Pendekar Blo'on, dalam hati ia tertawa karena melihat lawan ternyata terpancing dengan kata-katanya.
"Kalau merasa jadi orang pintar mengapa mau dipendam segala. Lawan saja kalau perlu sampai ada yang mampus. Apa guna kau jadi laki-laki, apa guna kau punya barang. Kalau merasa menjadi banci lebih baik barangmu dipajang saja di jidad...!"
"Suro...!" Si Buta Mata Kejora bermaksud mencegah kata-kata Suro yang serampangan itu. Namun sudah terlambat, Suro nyengir kuda. Lawan langsung menggebraknya dengan serangkaian serangan yang sangat mematikan lagi tidak ada putus-putusnya.
"Walah emak, ada orang gila mengamuk!" seru Suro. Dengan lincah ia menghindari serangan-serangan gencar yang dilakukan oleh Wayan Tandira. Ia berjingrak-jingkrak, mengelak sambil melompat atau terkadang berjongkok. Di lain waktu pemuda ini garuk-garuk sekujur tubuhnya. Dari bibirnya yang termonyong-monyong terdengar suara ngak-ngik-nguk yang tidak ada putusputusnya.
Wayan Tandira merasa kesal melihat kenyataan setiap serangan yang dilancarkannya tidak mendatangkan hasil. Sekonyong-konyong ia melompat ke depan, tangan mencengkeram ke bagian lambung sedangkan, kaki kiri lepaskan tendangan menggeledek. Dalam keadaan berjongkok Suro melesat ke udara. Dua serangan beruntun yang dilakukan oleh Wayan Tandira mengenai tempat kosong. Si konyol berputar di udara, kakinya yang menekuk mendadak terjulur seperti gerakan kepala ular yang mematuk. Wayan tidak sempat tarik wajahnya. Dan....
Dhaak!
Kepala laki-laki rambut panjang itu sempat tersentak ke belakang. Terdengar suara jeritan pendek, Wayan terhuyung-huyung sambil memaki. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam ke bagian tangan. Sehingga kedua tangan pemuda itu yang terbalut akar-akar aneh berwarna putih laksana perak. Sontak udara berubah menjadi panas, Si Buta Mata Kejora keluarkan seruan kaget.
"Pukulan 'Blenggu'...!" desisnya seakan memberi peringatan pada Suro Blondo
Pemuda rambut kemerah-merahan melangkah mundur sejauh dua tindak.
"Hup! Huup !"
"Jurus 'Kacau Balau'..!" gumam si pemuda menyebut nama jurus yang dipergunakannya. Sepontan tubuhnya meliuk-liuk, langkahlangkahnya tidak teratur dan setiap gerakan yang dilakukannya benar-benar serampangan terkesan seperti gerakan orang mabuk berat. Inilah jurus menghindar paling kacau yang tokoh-tokoh di rimba persilatan sendiri tidak pernah memilikinya.
Wuss! Wuus! Blaar!
"Weit-weit kiamat!" maki Suro. Ternyata pukulan maut yang dilepaskan oleh Wayan Tandira mengenai tempat kosong. Suro sambil terhuyung-huyung langsung berbalik dan balas lepaskan pukulan 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'. Seketika terlihat sinar merah redup melesat dari telapak tangan Pendekar Blo'on yang terkembang. Wayan Tandira melompat, serangan pertama luput, sayang pukulan susulan tidak dapat dihindarinya lagi.
Buuum! "Wuaarrrkkh...!"
Wayan Tandira menjerit keras sambil berguling-guling. Bagian dadanya yang terlibat akarakaran memang tidak cedera. Tapi bagian leher hingga ke wajah terasa panas seperti di panggang bara api.
Laki-laki ini menggeram, diam-diam Suro sendiri sempat terperangah. Tadi ketika sebagian pukulan yang dilepaskannya menghantam bagian dada dan perut lawan. Ia melihat sinar hitam memancar dari akar-akaran aneh yang membelit tubuh Wayan. Ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat aneh. Seakan akar-akaran itu mengandung sebuah kekuatan tersembunyi. Hal ini yang membuat Suro tertegun cukup lama, sikapnya yang lengah ini segera dimanfaatkan oleh lawan untuk menyerangnya dengan pukulan 'Cambuk Neraka'.
"Cambuk Neraka'! Awas...!!" Si Buta Mata Kejora kembali berteriak memberi peringatan.
Wuuk! Glaar! "Akh...!"
Pendekar Mandau Jantan menjerit tertahan, tubuhnya terpelanting dan terus tergulingguling. Ada darah yang menetes di sudut-sudut bibirnya. Wayan Tandira terkekeh senang, Si Buta Mata Kejora jadi prihatin, walaupun matanya tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, tapi perasaannya mengatakan bahwa Pendekar yang terlahir di gunung Bromo dan besar di gunung Mahameru tersebut sedang terancam bahaya besar. Ia sebenarnya ingin membantu, tapi merasa serba salah, sebab orang yang dihadapi oleh murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Murid Malaikat Berambut Api ini adalah ketua negeri Sange.
"Hentikanlah perkelahian!" seru Si Buta Mata Kejora.
"Kepala adat, jangan kau coba mencegahku atau kau bersedia menemani pemuda ini ke neraka?!" dengus Wayan Tandira tidak senang.
"Dewi Dewata, dia bukan mata-mata dan bukan pula kaki tangan Ratu Leak. Hentikanlah, kumohon!"
"Mohonlah pada setan dan orang-orang yang mati gentayangan akibat ulah manusia jalang itu. Hiyaa...!" teriak Wayan Tandira berapiapi. Tanpa bicara apa-apa lagi tubuhnya tiba-tiba saja melesat ke arah Suro. Pemuda konyol yang sudah dilanda kejengkelan ini sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah ia pergunakan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'. Dan tangannya di silangkan, sebelah kaki diangkat dan ditekuk. Splak!
Dukk! Duukk! "Heh...!"
Wayan terdorong mundur lalu jatuh terduduk. Sebaliknya Suro menjerit kesakitan. Bukan akibat benturan tenaga dalam, melainkan karena kedua tangannya yang sempat bersentuhan dengan akar-akaran seperti tersengat puluhan ekor ular berbisa.
Sungguh pun begitu ia segera berdiri kembali. Memandang ke depan, dilihatnya Wayan Tandira dalam keadaan berlutut sambil memegangi wajahnya. Laki-laki itu menangis terisakisak, entah apa yang membuatnya begitu.
"Kau tadi mau membunuhku, mengapa sekarang malah menangis? Apakah kau rindu pada anak isterimu, pemimpin negeri?"
"Huk huk huk! Entah mengapa aku seakan-akan melihat dewata marah padaku bila aku menyerangmu tadi. Kurasa ucapan Ketua adat benar, kau bukan musuh sebagaimana yang kuduga!" kata Wayan Tandira terisak-isak.
"Huk huk huk! Aku juga senang jika kau mau sadar" Suro meniru tangisan Wayan Tandira.
"Lalu sekarang apa yang hendak kau perbuat? Apakah bertarung denganku lagi sampai salah seorang diantara kita ada yang mampus. Manusia bodoh itu namanya, aku sendiri jelek-jelek begini masih punya banyak pertimbangan!"
"Aku tidak ingin bertarung denganmu, cukup!" sahut Wayan di sela-sela isak tangisnya.
"Lalu apakah kau juga berniat mencari Ratu Leak?" tanya Suro.
"Hem...!" Wayan Tandira menggeram.
"Perempuan itu harus kubunuh! Tiga puluh tahun aku dipendamnya hidup-hidup. Kau lihat, tubuhku yang terbalut akar ini. Aku telah berusaha memotongnya tapi tidak bisa. Semua ini gara-gara Ratu Leak keparat itu! Sudahlah, tinggalkan aku disini, aku tidak ingin ada orang yang melihatku, aku malu. Huk huk huk...!"
"Pemimpin negeri, bukankah lebih baik jika kita bersama-sama pergi ke Batu Lahat Bakutuk!" Si Buta Mata Kejora ikut bicara. Namun orang yang diajaknya bicara gelengkan kepala.
"Pergilah kalian kesana lebih awal. Mungkin nanti aku akan menyusul!" sahut Wayan Tandira.
Laki-laki berambut gondrong yang sekujur tubuhnya diselimuti akar ini langsung melangkah pergi. Suro hanya garuk-garuk kepala, ia menarik tangan Si Buta Mata Kejora untuk segera meninggalkan tempat itu.

* * *



--₪֍¦ ENAM ¦֍₪--

"Inikah tempatnya, kakek buta? Aku mencium bau maut di sini. Aku juga mengendus bau kelicikan!" Berkata pemuda baju biru. Ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Banyak juga pohon-pohon di sekitar bukitbukit itu, akan tetapi pohon-pohon tersebut menjadi batu akibat kutukan Ratu Leak. Tengkuk Suro meremang berdiri, ia menoleh ke arah kakek buta yang berdiri tidak jauh di sebelahnya. Ternyata kelihatannya kakek ini merasa jerih.
"Ada lagikah tempat yang lebih mengerikan dari tempat ini?"
"Hemm, ada. Bukit Kembar Tiga Terlaknat! Di sanalah Wayan Tandira dan anak buahnya dibenam. Aku heran jika kemudian ia muncul dengan tubuh dipenuhi akar-akaran." sahut Si Buta Mata Kejora.
"Kurasa disana banyak pohon!"
"Tidak satu pun!"
"Lalu akar-akaran sakti itu apakan mungkin datang dari perut bumi? Terlalu banyak kejadian-kejadian ganjil disini" gumam Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Tempat ini sunyi, seakan tidak berpenghuni. Apa tujuanmu membawa aku ke sini?" tanya Suro Blondo, perasaannya mulai tidak enak.
"Karena di daerah ini Ratu Leak kudengar bersembunyi."
Pendekar Blo'on kelihatannya seperti tidak puas mendengar jawaban si kakek.
"Aku terkadang merasa heran melihat dirimu, matamu buta tapi kau tau semua tempat yang kau lalui. Aku terkadang merasa tidak yakin kalau kau benar-benar buta?!" kata si pemuda sambil tersenyum mencibir.
"Mengapa keadaanku yang kau persoalkan. Waspadalah wahai Pendekar Tolol! Aku mencium adanya bahaya di sekitar kita!!" Si Buta Mata Kejora memperingatkan.
Suro cepat meneliti keadaan di sekeliling mereka. Pemuda ini memang tidak melihat sesuatu, tapi aneh. Sekujur tubuhnya bertambah merinding. Dalam pada itu sekonyong-konyong terdengar suara ringkik kuda di kejauhan.
"Ada orang datang ke sini, kakek. Tahukah kau siapa orangnya?" tanya Pendekar Mandau Jantan, seraya memandang ke arah datangnya suara. Belum sempat Si Buta Mata Kejora mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja ada sesuatu yang seperti melompati kepala mereka.
"Hieehhh...!"
"Heh...!" Suro pentang matanya lebar-lebar, seakan ia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.
"Kala Demit? Bagaimana ia bisa hadir di sini? Mengapa tangannya masih utuh? Padahal aku pernah membuatnya buntung!" batin si pemuda. Untuk lebih jelasnya bentrok antara Kala Demit dan Pendekar Blo'on dalam episode terdahulu.
"Terkejut bocah ajaib?" Kala Demit tersenyum mencibir.
"Kau? Bagaimana kau dapat menyambung tanganmu?" tanya Suro.
Kala Demit tertawa ngakak, angin bertiup sepoi-sepoi. Suro mencium bau sesuatu yang sangat khas, bau harum khas perempuan. Sebagaimana seperti yang didapatinya di perahu batu pinggir pantai.
"Bukan sesuatu yang sulit, Pendekar Blo'on!" Kala Demit mendengus sengit.
"Sekarang perhitungan itu harus dimulai, Pendekar Blo'on. Tahukah kau bahwa orang yang paling kubenci di kolong langit ini tidak lain adalah kunyuk bertampang tolol sepertimu?"
Saking geramnya Suro garuk-garuk kepala sampai berulang-ulang. Ia teringat kira-kira bagaimana kematian orang tuanya ketika terjadi kekacauan di gunung Bromo dulu.
"Kala Demit manusia iblis! Apakah tidak salah yang kudengar? Seharusnya akulah yang menuntutmu. Karena kau dan Sepasang Iblis Pegat Nyawa telah membunuh kedua orang tuaku. Mengapa sekarang jadi tebolak, eeh... terbalik. Aku yang sudah, gila apa kau yang sudah sinting?" maki Suro.
"Siapa manusia yang kau ajak bicara, Pendekar tolol?" Tiba-tiba saja Si Buta Mata Kejora bertanya.
"Dia bukan manusia, tapi iblis yang menyaru sebagai manusia!" sahut Pendekar Blo'on sengit.
"Kurasa dia punya hubungan tertentu dengan Ratu Leak, Suro. Kalau kita dapat meringkusnya hidup-hidup. Kita bisa mengorek keterangan dari mulutnya!" Si kakek mengisiki.
"Bagaimana kalian dapat mengorek keterangan dariku, jika jiwa kalian lebih dulu kukorek dan segera kukirim ke neraka?"
"Huh, aku ingin melihat untuk yang kedua kalinya apakah kau dapat membuktikan mulut besarmu itu? Kuragukan jangan-jangan cuma mulutmu saja yang pintar bicara, atau kau mengagulkan Ratu Leak itu, eh...?!" ejek Suro begitu mencemo'oh.
"Bangsat! Hiaaa...!"
Dengan masih menunggang kuda hitamnya yang kurus kering itu. Kala Demit hantamkan kedua tangannya kanan kiri secara berturut-turut. Sinar putih, kuning dan merah bertebaran di udara bagaikan kunang-kunang. Si Buta Mata Kejora langsung tutup hidungnya begitu merasakan nafasnya menjadi sesak. Suro menghindar ke samping dan diam-diam sempat terkejut juga ketika menyadari bahwa Kala Demit tidak mempergunakan pukulan sebagaimana pernah dipergunakan dulu ketika berhadapan dengannya.
Pemuda ini tidak dapat berdiam lebih lama. Lalu secara cepat ia kibaskan kedua tangannya siap lepaskan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'. Kala Demit palsu yang pernah matimatian bertarung dengan pemuda ini saat terjadi ledakan pertama lepaskan pukulan susulan dengan kekuatan berlipat ganda.
Serangan seperti ini benar-benar tidak pernah diduga oleh Suro Blondo. Akibatnya sungguh buruk sekali bagi Suro, tubuhnya yang terhantam pukulan 'Neraka Perut Bumi' kontan terpelanting. Lebih celaka lagi punggungnya terhempas batu.
Braak! Batu hancur berantakan, Suro menggeliat dan berusaha bangkit berdiri. Kala Demit acungkan jari telunjuknya siap lepaskan serangan 'Tusukan Jari Penghantar Maut'. Dua baris sinar melesat dari ujung jemari tangan Kala Demit, dalam waktu bersamaan Si Buta Mata Kejora yang rupanya merasa khawatir lepaskan pukulan pula. Sinar biru memotong di pertengahan jalan. Hingga kembali terdengar suara ledakan dan serangan Kala Demit jadi melenceng
Si Buta Mata Kejora sempat tergontaigontai, melihat hal ini Suro jadi tertawa-tawa. Ia sendiri tidak suka bertarung secara keroyokan seperti itu.
"Kakek buta! Aku belum mampus, kelenger pun belum. Tidak usah main kroyok. Nanti apa kata orang-orang rimba persilatan melihat kejadian ini?" dengus Suro.
"Tidak perduli apa kata setan-setan rimba persilatan!" sahut Si Buta Mata Kejora, tidak kalah sengitnya.
"Tiga puluh tahun rakyat negeri Sange menderita kutukan, mereka terjemur panas, tersiram hujan tanpa mampu bergeser dari penderitaan. Siapa yang memperdulikan mereka? Siapa yang mau mengerti nasib mereka, hayo siapa?!"
"Tentu saja kita sendiri. Sudahlah minggir dulu, nanti jika kau melihat aku sudah terkapar dan tidak ada nafasnya. Kau boleh sesuka hatimu melabrak Kala Demit!"
"Huh, orang-orang golongan putih mengaku orang paling bersih dan yang paling jujur. Kenyataannya kalian tidak ubahnya seperti kecoakecoa pengecut yang cuma pandai main keroyok!" teriak Kala Demit yang merasa berada di atas angin.
Suro Blondo sama sekali tidak menanggapi. Ia menggenjot tubuhnya, gerakan kilat yang disertai salto ini cepat bukan main. Tahu-tahu tinjunya sudah menghantam kaki kuda Kala Demit.
Praak!
Kuda meringkik keras, tulang kaki belakangnya hancur. Kala Demit melihat kejadian ini terpaksa lepaskan tendangan, Suro lebih cepat lagi melompat ke belakang. Serangan tidak mengenai sasaran, Kala Demit langsung melompat dari punggung kuda sebelum binatang tunggangan itu tersungkur ke tanah.
Kini mereka saling serang dengan jarak yang begitu rapat. Sekonyong-konyong Kala Demit merubah jurus-jurus serangannya. Ia sempat berputar dua kali, lalu sambil membentak keras sikunya menghantam dada Suro. Sayang si konyol sudah berkelit, dadanya di miring-miringkan ke depan sedangkan kepala condong ke belakang. Gerakan-gerakan seperti monyet ini dikenal dengan nama 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Wuuut! "Haes...!"
Si pemuda sentakkan dadanya ke belakang, sejurus kemudian kaki Kala Demit telah menyodok ulu hatinya. Des! Des!
Tubuh pemuda ini sempat terpelintir, namun betapa cerdiknya pemuda bertampang ketolol-tololan ini. Ia berputar setengah lingkaran sebelum punggungnya jatuh ke tanah belakang tumitnya menghantam pinggang lawan pula.
Buuk! "Huugkh!"
"Bangsat! Ternyata kau masih dapat juga cari selamat! Heaa...!" Kala Demit katupkan bibirnya rapat-rapat. Tiba-tiba saja ia memutar-mutar kedua tangannya di atas kepala. Tubuhnya meliuk sedemikian rupa, dua kali ia jungkir balik. Dan....
Wuut!
Hantaman yang mengarah rusuk kiri luput. Suro membalas dengan melepaskan tendangan pula.
Wuss!
Ternyata serangan balasan yang dilakukannya juga tidak mengenai sasaran. Suro sempat tertegun sambil leletkan lidah. Ia merasa ada sesuatu yang aneh pada lawannya. Gerakan orang ini mirip dengan gerakan perempuan. Apakah Kala Demit mempelajari ilmu-ilmu baru yang membuat sifat dan tingkah lakunya seperti seorang wanita?
Tidak ada waktu lagi bagi Suro Blondo untuk berpikir lebih jauh. Kala Demit lepaskan pukulan 'Pemusnah Raga Penebus Jiwa'. Kala Demit membalikkan punggung tangannya, dari bagian punggung tangan itu tiba-tiba saja menderu segulung angin topan disertai hawa panas bukan main. Si Buta Mata Kejora terpaksa melompat dan menyingkir. Udara di sekeliling tempat itu terasa panas bukan alang kepalang.
"Manusia setan ini benar-benar ingin merampas nyawaku! Apa boleh buat, hmm...!" Suro mengadu kedua telapak tangannya. Lagi tangan kiri kanan diangkatnya sejajar dengan wajah. Setelah itu secepat kilat didorongkannya ke depan.
Zzzzzzzt!
Sontak terdengar suara jeritan di manamana. Sinar merah hitam menderu, suasana panas semakin bertambah panas berganda. Deru kedua pukulan tersebut sudah tidak dapat dibendung-bendung. Kemudian terjadilah ledakan yang sangat keras sekali.
Bluaar! "Akh...!"
Kala Demit sempat tergontai-gontai, bibirnya meneteskan darah. Ada bagian wajahnya yang sempat terobek. Ia tidak ingin hal ini dilihat oleh lawannya. Itulah sebabnya selagi debu panas masih menutupi udara. Selagi lawannya berusaha bangkit berdiri dengan menahan luka dalam dan pakaian robek besar di dada kiri. Kala Demit meninggalkan kalangan pertempuran.
Apa yang dilakukan oleh lawan ternyata sempat dilihat oleh Pendekar Mandau Jantan ini sehingga ia berteriak sambil mengejar.
"Setan hina dina, tidak akan kubiarkan kau lolos dari tanganku untuk yang kedua kalinya!"
Si Buta Mata Kejora pun mengikuti Suro, tapi ia kalah cepat dari pemuda itu. Ternyata Kala Demit tanpa menoleh-noleh lagi terus melarikan diri. Ia tidak perduli dengan teriakan Suro. Tampaknya ia memang sengaja melarikan diri melalui jalan berbatu yang sempit lagi sulit. Hingga kemudian ia menghilang di balik gundukan batu besar.
"Heh, baru saja ia lewat sini. Mengapa tibatiba saja bisa menghilang seperti setan?" batin Suro dengan kening berkerut.
"Mustahil aku tidak melihatnya jika ia lari ke lain tempat. Kala Demit, bagaimana pun manusia bukanlah setan. Aku harus mencarinya sampai dapat!"
Suro Blondo berputar-putar mengitari sekeliling batu. Rasanya tidak ada tempat yang dapat dijadikan persembunyian Kala Demit. Sekali lagi ia berputar, lalu terlihat olehnya sebuah pundasi panjang seperti sebuah makam berbatu.
"Ada makam? Makam siapa? Cuma ada satu makam di sini!" kata Pendekar Blo'on.
Duk! Jduk! Duk!
"Tolong... siapapun yang ada di luar sana, tolonglah!" rintih sebuah suara dari balik makam tersebut. Kejut pemuda ini bukan alang kepalang.
"Siapa? Mengapa bisa sampai terkubur di situ?" tanya Suro, lalu garuk-garuk kepala, bingung.
"Seseorang telah menguburkan aku di sini. Tolonglah, aku sudah hampir tidak dapat bernafas!" sahut sebuah suara di balik makam batu.
Terdorong oleh rasa ingin menolong dan mengingat mungkin perempuan itu telah dijerumuskan oleh Kala Demit ke makam batu itu. Maka Pendekar yang besar di gunung Mahameru itu segera datang menghampiri.
Namun baru saja ia menginjak ujung makam batu, makam tersebut langsung melesat ke dalam. Suro yang dalam keadaan berjongkok tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
"Awaaaas! Jebakan!!" teriak sebuah suara. Namun terlambat, bayangan putih tadi bahkan berusaha menyambar punggung Suro. Namun sangat disayangkan daya luncuran lebih cepat lagi. Ketika sosok bayangan putih hendak masuk ke dalam lubang tersebut. Maka batu menutup kembali.
Blaaang! "Heh...!"
Bayangan putih itu ternyata adalah seorang gadis berkerudung ia menghela nafas dengan wajah diwarnai perasaan cemas.
"Aku baru melihatnya, nasib celaka apa yang terjadi padanya? Bagaimana aku harus menolong jika sudah begini?" Si gadis mengeluh, hatinya menjadi masgul.
"Suro...! Pendekar tolol, kemana engkau?" kata sebuah suara. Si gadis cepat menoleh.
"Astaga!" serunya ketika ia melihat di depannya berdiri seorang kakek bermata buta.
"Aku mencium bau perempuan. Siapa kau?" tanya Si Buta Mata Kejora.
"Kakek, apakah kau sahabatnya Pendekar Blo'on, Suro Blondo?" tanya si gadis yang tidak lain adalah Dewi Kerudung Putih. Untuk lebih jelasnya dalam Episode Bayang-Bayang Kematian.
"Kau mengenalnya, apakah kau juga sahabatnya?"
"Begitulah! Suro memang sahabatku, sudah lama aku mencarinya!" Lalu Dewi Kerudung Putih memperkenalkan diri termasuk menyebut asal usulnya dari pantai selatan.
"Lalu sekarang kemana pemuda gendeng itu? Aku tidak melihat dia berlari mengejar Kala Demit kesini?" jelas Si Buta Mata Kejora.
Dek!
Berdebar dada si gadis. Selalu saja ia merasa tidak enak bila ada orang menyebut-nyebut Kala Demit. Dan ia sadar betul kalau Suro benarbenar menghendaki nyawa Kala Demit karena tokoh sesat itu telah membunuh orang tuanya di gunung Bromo.
"Aku pun baru melihatnya, barusan ia mendekati makam batu ini. Aku tidak tahu siapa yang hendak ditolongnya dan apa yang menarik perhatiannya. Tiba-tiba makam batu amblas ke bawah. Ia terperosok ke dalamnya, aku tidak sempat menolong. Maafkan aku...!" kata Dewi Kerudung Putih.
"Ah... ah... celaka... ini adalah Liang Lahat Bakutuk. Dia telah terperangkap. Siapa yang menjebaknya? Kaaau...!!" Si Buta Mata Kejora menggembor marah.

 



--₪֍¦ TUJUH ¦֍₪--

Betapa berubahnya wajah Si Buta Mata Kejora melihat kenyataan ini. Liang Lahat Bakutuk entah apapun yang berada di dalamnya tetap merupakan bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan Pendekar Blo'on. Lalu siapa gadis ini? Jangan-jangan ia hanya mengaku-ngaku sebagai sahabatnya Suro Blondo, padahal dialah yang telah menjerumuskan Suro ke dalam Liang Lahat Bakutuk. Siapa dapat menduga isi hati manusia?
"Anak gadis orang berkerudung! Apakah aku bisa percaya dengan penjelasanmu ini. Setahuku dia tadi mengejar Kala Demit, orang itu menghilang lalu muncul engkau. Bagaimana aku tidak curiga?" kata Si Buta Mata Kejora. Ucapan si kakek buta tentu membuat marah Dewi Kerudung Putih.
"Orang tua, memang diantara kita baru saling kenal. Tapi antara aku dan Suro sudah lama saling mengetahui siapa diri masing-masing. Kau tidak perlu bercuriga padaku. Seandainya Liang Lahat ini dapat terbuka aku pasti orang pertama yang akan menyusul ke dalam untuk mengetahui bagaimana keadaannya!"
Penjelasan Dewi Kerudung putih ini rupanya masih juga kurang bisa diterima oleh Si Buta Mata Kejora. Ia bingung karenanya menjadi ragu untuk dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan. Si kakek kemudian bicara dengan suara lantang.
"Maafkan aku, untuk percaya pada orang lain bagiku sangat sulit sekali, apalagi orang itu baru saja kukenal."
"Jika kau tidak mau mempercayai ucapan manusia, siapa lagi orang yang kau percayai dalam hidup di dunia ini?" dengus Dewi Kerudung Putih.
"Entahlah!" Si Buta Mata Kejora gelengkan kepala ragu. Sekonyong-konyong dan di luar dugaan tiba-tiba saja, tinjunya menderu dan menghantam wajah si gadis.
"Hait! Apa-apaan kau...?!" teriak Dewi sambil mengelakkan serangan si kakek buta.
Wuut!
Serangan kilat itu lewat sejengkal di atas kepala Dewi Kerudung Putih. Serangan pertama luput, si kakek lepaskan tendangan kilat pula. Angin keras menyambar, Dewi saking kesalnya langsung menangkis dengan siku kiri.
Duuk!
Dewi Kerudung Putih terhuyung ke belakang, Si Buta Mata Kejora sempat tergetar tubuhnya. Bagian kakinya terasa linu seperti orang yang terserang penyakit reumatik.
"Lebih baik kau hentikan perkelahian gila ini!" seru si gadis, marah bercampur cemas. Marah karena si kakek tidak dapat membedakan lawan dan kawan. Cemas karena ia menghawatirkan keselamatan Pendekar Blo'on.
"Mana bisa, sebelum aku tahu siapa kau yang sesungguhnya!" Si Buta Mata Kejora tetap ngotot.
"Orang tua gila. Otakmu benar-benar sudah tidak dapat kau pergunakan untuk berfikir. Atau kau memang orang sinting yang gila berkelahi?!"
"Terserah apa pendapatmu, yang jelas aku tidak mau tahu sebelumnya benar-benar bersih sebagai kawan atau lawan!" sahut Si Buta Mata Kejora.
"Hiiih...!"
Kakek buta sekonyong-konyong melompat, tangannya mencengkeram wajah Dewi Kerudung Putih. Namun si gadis melompat, lalu lepaskan pukulan 'Badai Seribu'. Sebagaimana telah samasama kita ketahui (dalam Episode Bayang-Bayang Kematian), Dewi Kerudung Putih adalah gadis aneh yang lebih suka tinggal di atas perahu.
Kini serangan menderu, hawa dingin mencucuk disertai meluncurnya sinar putih. Sebuah pukulan yang tidak dapat dianggap enteng, namun Si Buta Mata Kejora menyampok dengan ujung lengan bajunya.
Byaar! "Uth...!"
Si Buta Mata Kejora yang semula menganggap enteng serangan lawan sempat terhuyung. Ujung lengan bajunya robek dan seperti ada ratusan batang jarum menusuk-nusuk dagingnya. Menggigil tubuh si kakek, ia kerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa dingin tersebut. Dalam hati ia memuji kesaktian yang dimiliki oleh lawannya.
"Sudah kubilang, hentikan kakek buta? Apakah tidak terlintas dalam benakmu bagaimana nasib Pendekar Blo'on saat ini?" lagi-lagi Dewi Kerudung Putih berteriak memperingatkan.
"Aku belum lagi kalah! Mana aku bisa diajak bicara?!" kata Si Buta Mata Kejora.
Sesabar-sabarnya Dewi Kerudung Putih, tentu lama-kelamaan menjadi gusar juga. Ia salurkan tenaga dalam ke bagian tangannya, tangan itu digerakkannya ke bawah, lalu ia tarik ke atas dan kemudian dihantamkannya ke arah lawan.
"Gelora Laut Selatan'!" teriak si gadis menyebut nama pukulan yang dilepaskannya.
Wuusss!
"Walah, pukulan yang keji!" dengus Si Buta Mata Kejora. Laki-laki tua ini angkat tangannya tinggi-tinggi lalu dirangkapkan di atas kepala. Begitu kedua tangan menyatu, maka berpijarlah sebaris sinar kuning, lalu melesat ke depan dengan kecepatan berganda. Benturan keras tidak dapat dihindari lagi.
Terjadi letupan, dua sosok tubuh tampak terpental. Satu semburkan darah, sedangkan satunya lagi menggeliat di atas tanah seperti orang yang meregang ajal.
"Ha ha ha...! Keluar juga kecap dari dadaku, bocah? Tapi kurasa kau juga menderita luka dalam, kepalang tanggung mengapa kita tidak mengadu jiwa sekalian?" ejek Si Buta Mata Kejora.
"Setan alas! Tua bangka buta ini keras kepala sekali!" maki Dewi Kerudung Putih. Ia terpaksa berguling-guling ketika merasakan adanya sambaran angin melabrak tubuhnya.
Wuut! Wuut! Buum! Buum!
Pukulan yang dilepas oleh Si Buta Mata Kejora hanya mengenai angin. Melabrak batu pohon di belakangnya hingga hancur berantakan. Dewi Kerudung Putih tidak dapat membayangkan bagaimana jika dirinya yang terkena serangan itu. Setelah gagal untuk yang kesekian kalinya,
Si Buta Mata Kejora memang seperti tidak puas. Tiba-tiba saja ia mencabut senjata aneh berbentuk bulan sabit. Senjata itu cara penggunaannya adalah dengan dilemparkan setelah diputar-putar lebih dulu. Dan memang itulah yang dilakukan oleh Si Buta Mata Kejora saat ini.
Siing!
Senjata aneh tersebut membelah udara, berputarnya di udara sedemikian cepat, Dewi Kerudung Putih siap mencabut senjatanya ketika menyadari betapa berbahayanya serangan senjata maut itu. Namun tiba-tiba saja dalam keadaan yang menegangkan demikian, terdengar suara ringkikan kuda yang panjang. Terlihat pula bayangan putih berselempang putih berkelebat.
Tap!
Senjata maut berbentuk aneh itu ditangkap oleh bayangan tadi. Si Buta Mata Kejora walau tidak melihat namun terkejut sekali melihat kenyataan ada orang dapat menangkap senjata mautnya selagi masih melayang dan berputar di udara. Sementara kuda berlari cepat mendekat, sehingga ketika tubuh bayangan putih melayang turun, dalam sekejapan mata saja sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Senjata bengkok seperti bulan di timang-timang di atas telapak tangan yang putih halus seperti sutera.
Laki-laki berambut putih, berkumis dan berjenggot putih memandang ke arah kakek buta dengan tatapan mata aneh. Si Buta Mata Kejora kedip-kedipkan matanya.
"Aku tidak melihat, tapi aku dapat merasakan ada orang yang datang kesini! Perkenalkan namamu, atau engkau masih ada hubungan tertentu dengan gadis itu?" tanya si kakek dingin.
"Hhm, aku Datuk Nan Gadang Paluih! Datang dari jauh tanah Andalas mencari si terkutuk Ratu Leak. Kulihat bukan matamu saja yang buta, tapi hatimu juga dipenuhi angkara murka! Gadis itu tidak bersalah, mengapa kau menyerangnya mati-matian dan hendak pula membunuhnya?" dengus si baju putih Selempang Putih.
"Terlalu banyak penderitaan dan kesengsaraan membuatku marah. Terlalu banyak kutukan membuat aku mudah curiga pada siapa saja."
"Kecurigaan yang membabi buta! Kalau kau merasa tidak mampu menguasai amarahmu, silahkan kau tumpahkan emosimu atasku! Aku ingin melihat seberapa hebat ilmu-ilmu sakti orang Sange!" tantang sang Datuk.
Si Buta Mata Kejora tidak langsung menjawab. Salah satu kehebatan orang dari Andalas ini tentu dibuktikan dengan menangkap senjata miliknya ketika masih melesat di udara. Dan mengingat nada ucapannya yang seakan membenci Ratu Leak. Rasanya orang ini pun punya urusan penting dengan perempuan yang telah menjatuhkan kutuk itu.
"Maaf, aku mempunyai dua kali kebutaan karena tidak melihat tingginya gunung Agung di depanku. Sebenarnya aku menghawatirkan nasib sahabat baruku, Pendekar Blo'on. Ia terjebak di Liang Lahat Bakutuk! Karena kulihat gadis itu berada disini, maka aku bercuriga padanya janganjangan ia mata-mata Ratu Leak...!" jelas si kakek buta.
"Adanya Liang Lahat Bakutuk bermula dari Batu Lahat Bakutuk. Sekarang ini terciptalah neraka terkutuk karena batu batuah itu jatuh ke tangan orang yang salah. Sebuah liang lahat, hemm... dimanakah tempatnya?" tanya Datuk Nan Gadang Paluih.
Dewi Kerudung Putih tanpa diminta langsung menunjuk ke arah makam tanpa nisan dengan dasar seperti batu pelataran berwarna putih. Si laki-laki datang mendekati.
"Liang lahat ini besarnya seribu kali dari besarnya batu Bakutuk milikku yang dicuri Ratu Leak! Sebuah adi kesaktian turun temurun yang diwariskan kakek buyutku. Kini aku harus merampasnya sebelum merenggut korban lebih banyak lagi." batin Datuk Nan Gadang Paluih.
"Bagaimana orang tua? Apakah kita dapat menjebol makam batu ini?" tanya Dewi Kerudung Putih tidak sabar.
Datuk Nan Gadang Paluih gelengkan kepala.
"Kurasa sahabatmu sengaja dipancing oleh lawannya untuk mendekati jebakan ini. Liang lahat ini tidak mungkin dibuka, terkecuali dengan Batu Lahat Bakutuk pula. Tapi di dunia ini cuma satu Batu Lahat dan yang cuma satu-satunya itu telah dicuri oleh Ratu Leak kurang lebih sekitar tiga puluh lima tahun yang silam!" jelas si Datuk.
"Bagaimana nasib kawanku?" tanya si gadis semakin khawatir.
"Itu yang sulit, nasib manusia tidak seorang pun yang tahu. Dengan batu itu Ratu Leak bisa punya seribu rencana."
"Biar aku bobol Makam terkutuk celaka ini!" dengus Si Buta Mata Kejora.
Datuk Nan Gadang Paluih sama sekali tidak mencegah, ia sadar betul usaha apapun yang dilakukan kakek keras kepala ini tidak akan mendatangkan hasil. Sebab sepengetahuannya pula tidak ada pukulan sakti manapun yang mampu menghancurkan barang-barang yang tercipta dari Tuah Batu Lahat Bakutuk! Sementara itu Si Buta Mata Kejora sudah siap melepaskan pukulan saktinya. Sebentar saja kedua tangannya telah berubah memerah. Si Buta Mata Kejora tiba-tiba saja hantamkan kedua tangannya ke arah liang lahat di depannya.
Terjadi guncangan yang sangat keras sekali, kilatan sinar merah berbalik dan nyaris menghantam pemiliknya jika saja ia tidak cepat membuang diri dan berguling-guling.
Si Buta Mata Kejora gelengkan kepala dengan wajah sepucat mayat. Dadanya terguncang dan jantung berdenyut lebih keras lagi. Sayang kakek yang keras kepala ini tidak mengenai rasa jeri, walau pada kenyataannya batu liang lahat selebar setengah depa dan sepanjang dua meter tidak mengalami kerusakan walau sedikit pun.
"Aku harus mencobanya lagi!" berseru si kakek, penasaran.
"Kau tidak akan dapat merubah sesuatu apa pun. Apa yang kau lakukan hanya akan siasia saja!" Datuk Nan Gadang Paluih memperingatkan. Percuma saja peringatan itu bagi kakek dekil ini. Ia kembali menyiapkan pukulan 'Angin Biru'. Orang-orang di Sange tahu pasti kehebatan pukulan yang satu ini.
"Huuup...!"
Si Buta Mata Kejora tarik kedua tangannya ke belakang. Tiba-tiba saja kedua tangannya dihantamkannya ke hamparan batu liang lahat di depannya.
Wuuuk! Duuumm! Wuaas!
Si Buta Mata Kejora menjerit histeris, tubuhnya terdorong ke belakang. Mulutnya menyembur darah, orang ini terkapar terhantam pukulannya sendiri. Nafas Si Buta Mata Kejora megap-megap, Datuk Nan Gadang Paluih datang menghampiri.
"Banyak sekali orang celaka di dunia ini termakan tulah sendiri. Kepandaian sebesar kelingking mana bisa mengungkit gajah! Dasar bodoh keras kepala pula...!" gerutu Sang Datuk.
"Bagaimana keadaannya, Datuk?" tanya Dewi Kerudung Putih.
"Ini namanya mampus tidak hidup pun segan. Anak dara, menjauhlah. Aku akan mengobatinya!" ucap Datuk Nan Gadang Paluih tegas. Salah satu tokoh dari Andalas ini kemudian mengambil batu sebesar lengan.
"Hendak kau apakan dia Datuk?" Si gadis merasa khawatir kalau orang berbaju putih berselempang putih ini malah mencelakai Si Buta Mata Kejora. Sehingga ia pun melompat menghadang.
"Anak kuciang! Menyingkir kataku, dia sudah mau mampus! Kalau tidak cepat kutolong aku khawatir darah semakin menggumpal di setiap pembuluh darahnya.!" bentak sang Datuk. Meskipun ragu-ragu Dewi Kerudung Putih terpaksa mematuhi perintah orang ini
Datuk Nan Gadang Paluih menelungkupkan badan Si Buta seenaknya sendiri. Kemudian batu yang berada dalam genggamannya dihantamkan ke sekujur tubuh Mata Kejora. Tentu orang ini menjerit-jerit kesakitan seperti orang yang sekarat. Namun Datuk Nan Gadang Paluih sama sekali tidak menghiraukan jeritan kakek buta. Ia terus memukul-mukul tubuh si kakek.
"Aaakh... celaka, kau orang gila! Mengapa kau malah memukuli badanku, apakah kau hendak membunuhku?!" teriak Si Buta Mata Kejora.
"Diam, kau orang yang hendak mampus tahu apa? Penyakitmu kau cari sendiri. Aku lebih tahu apa yang tidak kau ketahui!" dengus sang Datuk.
"Kau mengobatiku, mengapa harus menyiksa seperti ini?" jerit si kakek manakala hantaman batu di tubuhnya tidak juga berhenti.
"Mulutmu bisa diam atau nggak? Apa kau ingin agar aku memukul mulutmu dengan batu juga?"
"Kau orang gila?" maki si kakek. Plok!
"Akh...!" Si Buta Mata Kejora menjerit. Datuk Nan Gadang Paluih rupanya menampar pipi si kakek. Sementara itu darah mengalir di sudutsudut bibir si kakek. Seketika ia merasa ada perubahan dalam dirinya. Ia merasakan nafas menjadi longgar, tubuh terasa enteng. Diam-diam ia merasa takjub atas apa yang dilakukan oleh Datuk Nan Gadang Paluih. Rupanya saat memukuli si kakek tadi, Datuk Nan Gadang Paluih diamdiam mengerahkan tenaga dalam untuk menghancurkan darah yang bergumpal pada setiap pembuluh darah Si Buta Mata Kejora, hingga sakit mendera yang dirasakannya hampir hilang sama sekali.
"Ohk, ternyata kau orang hebat!" puji Si Buta Mata Kejora.
"Aku merasa berterima kasih padamu!" kata si kakek.
"Mengapa kau malah memikirkan segala terima kasih? Batuku, batuku! Batu Lahat Bakutuk. Aku harus memikirkan cara bagaimana agar dapat menembus penutup liang Lahat ini?!" desis laki-laki setengah baya itu cemas. Bukan hanya Datuk Nan Gadang Paluih saja yang bingung, Dewi Kerudung Putih dan Si Buta Mata Kejora juga bingung memikirkan nasib Pendekar Blo'on.

 



--₪֍¦ DELAPAN ¦֍₪--

Suro seperti tercampak ke jurang neraka yang panas di lamun api. Liang Lahat yang menjebloskan dirinya dalam perangkap maut itu seakan tanpa dasar, gelap dan di sana sini terdengar suara jeritan mengerikan. Suara-suara itu terus terdengar menggidikkan telinga yang mendengarnya. Dan hal itu berlangsung terus selama tubuhnya melayang dan melayang. Hingga akhirnya ia terjatuh. Jatuh di atas daging busuk terbakar. Di sana sini terdapat bangkai-bangkai yang bertimbun, mayat-mayat itu semuanya sudah hancur. Sungguh aneh memang jika mereka ternyata masih bertahan hidup. Orang-orang sengsara yang berada di jurang liang lahat itu entah siapa dan entah datang dari mana. Namun kelihatannya mereka mengalami berbagai-bagai penyiksaan. Sosok-sosok setengah mayat setengah manusia ini menggapai-gapai ke arah Suro. Melihat pemandangan yang mengerikan itu tengkuk Pendekar Blo'on meremang berdiri.
Ia bergerak mundur, ruangan di dasar liang lahat itu seakan tidak mengenal batas.
"Siapakah mereka? Apa sekarang aku sudah mati?" pikir Suro, bingung. Pemuda baju biru mencubit tangannya. Terasa sakit sekali, "Jelas aku belum mati. Aku masih hidup, segar bugar dan belum sinting!"
"Hraagk!"
"Harrk...!"
Di tengah-tengah suara jerit kesakitan itu tiba-tiba saja terdengar erangan panjang di belakangnya. Suro cepat menoleh, dalam kegelapan ia melihat beberapa sosok tubuh berlidah panjang bermata bolong mendekatinya. Bukan hanya mendekat, ternyata mereka menyerang Pendekar Blo'on. Suro berlari menghindar di tengah-tengah kerumunan manusia mayat yang sedang mengalami bermacam-macam siksaan. Ternyata manusia-manusia setengah mayat yang menyerangnya tidak melakukan pengejaran. Suro sampai di tengah-tengah orang yang kaki dan tangannya dirantai, sementara besi panas menembus mulai dubur sampai ke bagian ubun-ubun. Begitu ngerinya melihat penderitaan mereka. Suro sampai memekik-mekik tertahan.
"Aku seperti berada di dalam neraka! Ohk... bagaimana ini! Aku harus mencari jalan keluar!" Suro garuk-garuk kepala, bingung. Di tengah-tengah kebingungannya itulah sayupsayup terdengar suara yang seakan datang dari arah gemuruh api yang menyala-nyala di sisi kirinya.
"Suro Blondo Pendekar Blo'on, Hi hi hi...! Selamat datang di tempat kami. Bukankah kau dapat merasakan penyambutan kami yang sangat ramah?" Seperti orang linglung Suro memandang ke arah suara. Ia tidak melihat apa-apa terkecuali orang yang sedang disiksa. 
"Ya, penyambutanmu sangat luar biasa. Ketakutanku membuat aku ingin kencing, kengerianku membuat aku ingin berak. Tempat apakah ini?" tanya Suro keluarkan keringat dingin.
"Inilah salah satu singgasana untuk seorang tamu agung sepertimu...!" sahut suara yang seakan datang dari tengah kobaran api disertai tawa dingin menggidikkan.
"Kau siapa?" bentak Suro, seraya menutup hidungnya. Bau busuk bangkai memang sangat menyengat sekali. Sehingga Suro mau muntah dan kepalanya pusing tujuh keliling.
"Aku bukan siapa-siapa?"
"Kau iblis terkutuk!" maki Suro geram.
"Tindakanmu sangat pengecut. Kau telah menjebakku secara licik!"
"Hik hik hik...! Hari ini kulihat seorang Pendekar Besar dalam keadaan ketakutan. Hari ini kulihat betapa wajah seorang Pendekar berubah pucat seperti mayat. Engkau akan mati pelan-pelan dalam ketakutan!"
"Setan! Kau...!" Suro tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena dari arah belakang ada sepasang tangan busuk meneteskan nanah dan lendir menyergapnya. Lalu dari depan, dari samping kiri datang beramai-ramai.
"Ekh...! Mati aku emak, setengah manusia setengah mayat ini mencekikku. Ekh... mati emak...!" pekik Suro. Ia pun meronta-ronta. Jepitan sosok-sosok busuk semakin kuat saja. Dari balik kobaran api terdengar suara cekikikan.
Suro marah, ia meronta, lalu hantamkan sikunya kanan kiri. Dua orang yang memitingnya dengan tangan terpental. Pendekar Blo'on terus meronta-ronta. Hingga orang-orang yang menyerangnya berpelantingan roboh. Mereka bangkit kembali, dan entah dari mana datangnya jumlah mereka semakin bertambah banyak.
"Aku tidak mungkin membuang tenaga dengan percuma. Yang aku butuhkan saat ini adalah jalan keluar dari neraka ini!" guman Suro dalam hati. Pemuda ini segera berlari ke ruangan lain. Setiap ada yang menghadangnya ia lepaskan pukulan menggeledek.
Tapi langkah Suro tiba-tiba terhenti, di depannya ia melihat seperti ada sungai. Sungai yang airnya tidak mengalir sama sekali, air sungai itu berwarna merah kekuning-kuningan!
"Orang-orang tersiksa, bunuh pemuda yang bergelar Pendekar Mandau Jantan itu!" Kembali terdengar suara mengguntur bernada perintah. Dari segala penjuru ruangan yang gelap namun panas itu bermunculan sosok setengah mayat setengah manusia menyerbu ke arah Suro. Pemuda ini tercekat.
"Naga-naganya aku bisa mati konyol jika harus melayani mereka!" maki si pemuda.
"Bunuh! Bunuh!" terdengar suara ributribut memerintah. Lalu terdengar sahutan yang lainnya.
"Bunuh, jadikan dia teman kita dalam penyiksaan!"
Orang-orang yang menyerbu ke arah Suro semakin bertambah banyak saja. Pemuda ini terpaksa lepaskan pukulan sakti secara beruntun. Orang-orang yang mengalami berbagai macam penyiksaan ini berpelantingan. Suro memang merasa tidak punya pilihan lain lagi. Ia segera melompat ke sungai yang membelah tengah-tengah ruangan.
"Ukh...! Hoeeeek...!"
Pendekar Blo'on langsung muntah. Air sungai itu ternyata terdiri dari campuran nanah dan darah yang busuk. Dalamnya sampai sebatas leher. Suro memaki-maki. Dari kobaran api terdengar suara tawa cekikikan. Tokh akhirnya Pendekar Blo'on dapat juga sampai ke seberang. Pemuda ini lalu berlari ke lain tempat. Ternyata di seberang sungai ini pun ruangannya sangat luas tanpa batas. Setelah berjalan ke sana kemari, ia melihat seperti ada cahaya.
"Matahari? serunya.
"Ada cahaya matahari menerobos masuk ke sini. Berarti dunia luar tidak jauh lagi dari sini. Tapi dari mana aku bisa mengetahui jalan keluar bagiku? Tidak ada pintu tidak ada jendela. Semua dinding berlumuran darah...!" Pemuda ini lalu meneliti, tiba-tiba ia melihat di antara dinding yang berlumuran darah itu terdapat sebuah pintu yang terkuak lebar.
"Aneh, aku tadi tidak melihat pintu di sudut sana, mengapa pintu itu tiba-tiba saja ada? Apakah aku salah melihat?" Suro garuk-garuk kepala. Pintu terkuak semakin lebar. Dari dalamnya muncul seorang gadis dalam keadaan polos tanpa pakaian. Yang mengejutkan Suro, gadis itu cukup dikenalnya. Dia tidak lain adalah Dewi Bulan. Dewi Bulan berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Darah muda Pendekar Blo'on berdesir, keadaan gadis ini sangat menantang sekali. Sepasang payudaranya putih membusung, kedua pahanya demikian mempesona. Belum pernah Suro melihat pemandangan seperti ini dalam hidupnya. Untuk lebih jelasnya siapa Dewi Bulan (dalam Episode Hianat Empat Datuk).
"Bulan...!" desis Suro, ia mengerjabkan matanya berulang-ulang. Dewi Bulan tiba-tiba saja lenyap dari pandangan matanya. Di depannya kini berdiri Dewi Arimbi, keadaan gadis ini pun sama seperti Dewi Bulan tadi. Untuk mengetahui siapa Dewi Arimbi (dalam Episode Memburu Manusia Setan). Suro semakin terpana.
"Arimbi...??" Lagi-lagi Suro menyebut orang yang pernah dikenalnya. Ia usap matanya berulang-ulang. Sosok telanjang Dewi Arimbi tiba-tiba saja sirna. Kemudian berganti dengan sosok lain, seorang gadis juga. Gadis misterius yang sebagian wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lembut. Siapa lagi jika bukan Dewi Kerudung Putih.
"Gila, apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan diriku?" desis Suro bingung. Ia menjambak rambutnya. Dan tiba-tiba terdengar suara teriakannya yang panjang melengking.
"Haaaarkh...!"
Sosok Dewi Kerudung Putih pun lenyap. Suro memandang lurus ke depan. Ia sempat terkesiap, karena di depannya berdiri seorang gadis cantik, si betina jalang Mustika Jajar. Gadis itu menyeringai, ia berdiri tegak dengan kedua tangan bersilang di depan dada.
"Kkk... kau...?!" Suro keluarkan seruan kaget.
"Hik hik hik...! Terkejut Pendekar Mandau Jantan keparat? Kau tentu menyangka tanganku sudah tidak dapat tersambung lagi bukan? Mandau jahanam senjatamu memang telah memutus tanganku. Tapi seperti yang kau lihat musuh besarku. Sekarang aku tidak kekurangan sesuatu apa pun! Apa jawabmu kini setelah kau terperangkap dalam kekuatan Batu Lahat Bakutuk? Apakah kau masih hendak memamerkan pukulan atau jurus-jurus picisan yang kala itu sangat kau bangga-banggakan? Hik hik hik...!" Sosok gadis yang ternyata Iblis Betina Dari Neraka, tertawa terkikik-kikik. Hilang sudah rasa kaget di hati Suro. Sekarang ia malah ikut-ikutan tertawa sambil menggaruk rambutnya berulang-ulang.
"Mustika Jajar perempuan yang penuh keedanan. Apakah setelah kehilangan Perkasa kau sekarang sudah mendapatkan yang lebih besar lagi. Ha ha ha... kasihan juga nasib kekasihmu yang patung itu. Sekarang aku dapat bayangkan betapa kesepiannya dirimu. Lagipula di dunia ini sulit mencari laki-laki sehebat dan sebesar Perkasa. Aku pernah melihatnya sebelum kau berhasil menguasainya dulu. Hebat, lho. Anu gajah saja masih kalah besar!" ejek Suro
Merah padam wajah gadis itu bukan kepalang. Jika menuruti kata hatinya ingin rasanya ia melabrak Pendekar Blo'on. Tapi ia ingat pesan uwa gurunya, Ratu Leak.
"Pemuda gila! Tertawalah sepuasmu, nanti kau akan menangis dalam penderitaan yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia manapun di dunia ini...!" teriak Mustika Jajar.
Suro sama sekali tidak terpancing dengan ucapan Iblis Betina Dari Neraka. Mulut pemuda itu tiba-tiba termonyong-monyong.
"Penderitaan yang bagaimana kau maksudkan? Kata orang jika sudah dalam pelukanmu bukan penderitaan yang kudapatkan, tapi kebahagiaan berpacu dalam nafsu. Aihk, perempuan keblinger. Sekarang aku sedang bingung aku dan kau apakah sudah berada di neraka atau sorga?!"
"Inilah nerakamu, neraka bagi seorang pendekar konyol! Kau akan mampus, gurumu juga akan menyusulmu!" maki si gadis.
"Ha ha ha...! Ancamanmu itu sudah entah yang keberapa kalinya kudengar. Sebelum aku mati, maukah kau menjelaskan padaku siapa yang melakukan pekerjaan licik ini? Dan eeh... satu lagi, apakah kau melihat Kala Demit?" tanya Suro.
"Nanti kau akan mendengar semua penjelasan setelah di neraka? Sekarang terimalah ajalmu!" tegas Iblis Betina Dari Neraka. Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dari bibirnya yang kemerah-merahan itu. Beberapa pintu lainnya segera terbuka. Tiga orang gadis berwajah bengis dan sadis muncul. Mereka membawa tali penjerat yang disimpul pada setiap bagian ujungnya.
"Tiga orang telah cukup untuk menjerat leher, kaki tanganmu! Rasanya belum komplit jika belum kuundang Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya!" sinis suara Mustika Jajar.
Plok-plok-plok!
Sebelum hilang gema suara tepukan Mustika Jajar. Terdengar suara bergemuruh. Lantai rupanya tergetar keras, lalu terjadi keretakan di sana sini. Getaran disertai ledakan-ledakan terus terjadi. Sehingga tampak sinar merah merekah seperti bara.
"Haaang...!" Muncul sosok tubuh tinggi besar, bagian kepalanya terdapat sebuah tanduk. Di ujung tanduk itu terdapat sinar berkilau-kilauan. Suro tertegak melihat semua keanehan demi keanehan ini. Memandang ke arah sosok berkulit hitam berwajah seperti kera Suro tutupi matanya. Entah makhluk apa yang baru keluar dari dalam bumi ini. Matanya besar-besar, hidungnya lebar. Sedangkan mulutnya meneteskan darah. Ia hanya mendengar sebentar tadi Iblis Betina Dari Neraka menyebut enam buah kata 'Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya'. Apa yang akan dilakukan oleh makhluk kera ini? Apapun yang terjadi Suro harus bersikap lebih hati-hati.
"Suro, kau lihatlah, makhluk ini dan gadisgadis bengis itu hanya tinggal menunggu perintahku. Sebuah kata kuucapkan, maka nasibmu segera berakhir sampai disini saja!" ancam Mustika Jajar.
"Sebuah ancaman tidaklah membuat nyaliku ciut. Dan kematian bukanlah sesuatu yang aku takuti. Kau bebas berbuat apa saja, karena neraka ini memang mungkin daerah kekuasanmu! Ha ha ha...!"
"Tentu aku tidak bodoh, Suro. Kematianmu tidak secepat itu, nanti sudah ada yang mengaturnya. Sekarang tugas Penghela Neraka untuk meringkusmu! Laksanakan!" perintah Mustika Jajar.
"Hem...!"
Tiga gadis berpakaian serba hitam langsung berpencar mengatur posisi. Suro dengan sudut matanya mengitarkan perhatiannya. Tahutahu secepat bayangan....
Wuuut!
Tiga buah tali bersimpul menjerat Pendekar Blo'on. Serangan mendadak ini segera dielakkan oleh Suro. Namun tiga gadis bengis kembali melontarkan tali di tangan mereka. Sementara Mustika Jajar dan Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya memperhatikan semua ini dari jarak yang tidak jauh.
Set!
"Aih, hampir saja...!" seru Pendekar Blo'on. Pemuda ini terus melompat atau berkelit menghindar. Tetapi serangan yang dilancarkan oleh ketiga gadis bengis ini semakin bertambah hebat dan ganas. Sehingga Pendekar Blo'on terpaksa mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Inilah salah satu jurus yang sangat dikhawatirkan oleh Mustika Jajar, karena dulu ia juga pernah merasakan kehebatan jurus tersebut.
"Sergap!!" teriaknya memperingatkan gadisgadis yang sedang berusaha meringkus Suro. Apa yang diperintahkan oleh Mustika memang tidak mudah untuk melaksanakannya. Karena berulang kali tali berbentuk jerat bersimpul ini selalu mengenai bayangan Suro Blondo.
"Tebar!" Si gadis kembali memberi aba-aba. Seketika salah seorang dari mereka langsung melesat ke udara. Yang satunya lagi menyerang dari bawah, sedangkan yang lainnya berputar-putar mengitari Suro.
Wut! Wut! Wut!
Serangan beruntun yang datang dari berbagai arah ini membuat Suro tercengang. Ia segera berguling-guling, sehingga jerat tali yang dari atas lolos dari samping kiri juga lulus. Namun yang dari arah belakangnya tidak dapat dihindari oleh pemuda ini.
Sreet! Buk!
Bagaikan durian jatuh Suro terpelanting dengan pantat menghantam lantai lebih dulu. Pemuda ini meringis kesakitan, hatinya menyumpah. Kakinya yang terjerat tali disentakkan. Suro berguling-guling tangannya cepat melepaskan tali yang mengikat kaki kiri. Sayang gerakannya kalah cepat. Tali kembali meluncur dan kali ini menjerat tangan kanannya.
Set!
Bagaikan seekor kerbau yang hendak dijagal keadaan Suro Blondo saat itu. Mustika Jajar tertawa terkikik-kikik. Walau pun begitu pendekar Mandau Jantan tetap berusaha meronta.
Wuut!
Sebuah tali yang dilontarkan gadis bengis ketiga meluncur. Namun Pendekar Blo'on sudah menghindar. Dua orang menarikkan tali yang menjerat kaki kiri dan tangan kanan.
Buuuk!
"Wadow, setan kapiran!" maki Suro. Dalam keadaan yang serba sulit itu Suro menyalurkan tenaga dalamnya kebagian tangan yang terbebas. Gadis ketiga masih berusaha menjeratkan talinya ke bagian tubuh lawan. Namun Suro licin seperti belut. ka.
"Pentang!" Perintah Iblis Betina Dari NeraDua gadis langsung menarik tali-tali yang telah menjerat kaki dan tangan lawannya. Suro yang merasa diperlakukan seperti hewan menggeram marah.

 



--₪֍¦ SEMBILAN ¦֍₪--

Dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali Pendekar Blo'on lepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir' ke arah tiga gadis berwajah angker ini. Terdengar suara jeritan di sana-sini. Sinar merah hitam menggebu.
Buum!
Terjadi suara ledakan tiga kali berturutturut. Ketiga gadis itu menjerit kesakitan di saat hawa panas menghantam tubuh mereka. Sungguh pun orang-orang ini terluka, tetapi anehnya mereka sudah bangkit berdiri. Lebih celaka tubuh mereka semakin meninggi. Si pemuda sempat tercengang melihat kejadian yang aneh ini. Ia sudah tidak punya waktu lebih lama. Tubuhnya masih dalam keadaan terikat, maka melalui tangan yang bebas itu ia mencoba mengambil Mandau dari warangkanya.
"Jangan beri kesempatan padanya untuk melakukannya!" teriak Mustika Jajar memberi aba-aba.
"'Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya'! Lakukanlah tugasmu!"
Sosok berkulit hitam berwajah seperti monyet besar menggeram. Sinar merah yang keluar dari ujung tanduknya langsung melesat bergulung-gulung ke arah Suro. Pemuda ini gabungkan dua pukulan, lalu hentakkan kedua tangannya ke arah sinar merah yang datang menyerang secara bergulung-gulung seperti angin puyuh tersebut.
Blak! "Ekh...!"
Pendekar Mandau Jantan terkesiap. Pukulan "Neraka Hari Terakhir' yang dilepaskannya hanya membuat sosok hitam bertanduk merah ini bergetar saja. Sedangkan pusaran angin sinar merah terus melabraknya. Suro memekik tertahan. Sedapat mungkin ia berusaha membebaskan diri dari gulungan sinar tersebut. Tangan kanan melepaskan pukulan. 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar' sedangkan tangan kiri lepaskan pukulan "Ratapan Pembangkit Sukma'.
Wus! Tup! Tup!
"Aih, celaka...!" seru Suro. Pukulan yang dilepaskannya seakan amblas tersedot sinar yang keluar dari tanduk makhluk berwajah monyet tersebut. Pontang-panting pemuda ini selamatkan diri.
Pak! Pak! Sinar merah tiba-tiba menyergap dan melibatnya. Suro meronta, sekujur tubuhnya tiba-tiba seperti diperas mulai dari ujung kaki. Pemuda konyol ini menjerit setinggi langit seluruh badannya menggeletar hebat, ia merasa seperti ada beribu tangan gaib yang meremasnya dengan kekuatan yang semakin menggila. Remasan itu kian lama bergerak ke arah perut, dada dan akhirnya ke sekujur tubuh. Telinga, hidung dan mulut Pendekar Blo'on mengucurkan darah. Suro merasa pandangan matanya berkunang-kunang, tubuh tidak bertenaga dan pandangan mata kemudian menggelap hingga akhirnya ia tidak sadarkan diri.
Iblis Betina Dari Neraka tertawa bergelak. Tiga gadis berwajah angker segera mementang tangan, kaki Pendekar Blo'on ini ke empat jurusan.
"Bawa dia ke ruangan pengadilan!" ucapan Mustika Jajar ditujukan pada tiga gadis yang dikenal sebagai 'Juru Siksa'. Orang-orang ini segera menyeret dengan kasar lawan mereka. Mustika Jajar lalu menoleh ke arah 'Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya'. Seraya berkata "Kau datang dari dasar Neraka Perut Bumi atas panggilan Batu Lahat Bakutuk. Kau tidak boleh kembali ke tempat asalmu sebelum Ratu Leak memberimu izin. Mulai sekarang tugasmu adalah merintangi tokoh-tokoh golongan putih yang mana pun yang coba-coba memasuki Liang Lahat Bakutuk ini. Adakah kau mengerti?"
"Aku mengerti...!" sahut Sang Pelucut Segala Ilmu Segala Daya sambil menggeram.
"Nah disinilah tempatmu! Jangan pergi ke mana pun sebelum ada perintah dariku atau perintah dari Ratu Leak...!" tegas Mustika Jajar.
Sosok hitam berwajah seperti monyet besar bertanduk merah memancarkan cahaya anggukkan kepala sambil menggeram pula.
Mustika Jajar tanpa menunggu lebih lama segera meninggalkannya. Suasana pada bagian ruangan itu berubah menjadi sunyi. Mungkin pada ruangan-ruangan lain yang seperti neraka itu penyiksaan terus berlangsung.

* * *



Datuk Nan Gadang Paluih duduk menekur di atas bahu, kuda putihnya berdiri tegak tidak jauh di sampingnya. Ia memang sedang bingung memikirkan cara bagaimana agar dapat menembus Liang Lahat Bakutuk. Rasanya jalan keluar itu memang sulit dicari. Tapi jika ia tetap berdiam diri, keadaan akan bertambah lebih parah lagi. Ratu Leak bisa menjebak mereka semua. Batu Lahat Bakutuk mempunyai kekuatan yang sungguh dahsyat. Dengan kekuatan yang terkandung dalam batu tersebut. Ratu bisa berbuat apa saja
"Rajo di atas rajo. Batu Lahat Bakutuk adalah rajanya batu-batu gaib. Siapa sangka urusan bisa menjadi begini rumit? Sekarang orangorang sakti tidak ubahnya seperti sampah. Ratu Leak punya kuasa, tanpa Batu Lahat Bakutuk. Seribu Ratu Leak tidak kupandang sebelah mata. Bangsat, jauh-jauh dari Ngarai Sianok hanya berpusing-pusing memikirkan nasib si batu."
"Putih Kaki Langit...!" gumannya ditujukan pada kuda di sampingnya.
"Apa pendapatmu tentang hal ini?"
Kuda alam gaib tersebut meringkik panjang. Seraya, kuda itu mendekati Datuk Nan Gadang Paluih. Mulutnya terbuka ke arah pinggang sang Datuk. Lalu sesuatu disentakkan. Ikat pinggang Datuk Nan Gadang Paluih terlepas. Datuk terbelalak.
"Angin Pelebur Petaka?! Apa maksudmu kau menarik angkin sakti ini? Apakah ingin agar aku menghantam pintu Liang lahat itu dengan angin ini?"
"Hik! Hiiiik...!"
Si Putih Kaki Langit keluarkan ringkikan pendek. Kepala digoyang-goyangkan ke atas dan ke bawah. Tahulah Datuk Nan Gadang Paluih apa yang dikehendaki oleh kuda tersebut. Laki-laki berbaju putih berselempang putih mendekati pintu Liang Lahat Bakutuk.
Sementara itu Dewi Kerudung Putih dan Si Buta Mata Kejora berdiri tegak tidak jauh dari Liang Lahat di mana Suro terperosok di dalamnya. Dua orang ini juga sama bingungnya. Kelihatannya sampai saat itu mereka masih belum menemukan cara untuk menghancurkan pintu penutup Liang Lahat Bakutuk.
Kini perhatian Dewi Kerudung Putih tertuju pada Datuk Nan Gadang Paluih. Tokoh dari Andalas ini mulai memutar-mutar, angkin Pelebur Petaka. Sekejap saja angin menderu-deru. Udara semakin memanas, wajah sang Datuk semakin lama semakin menegang. Angkin tiba-tiba meluncur deras menghantam batu. 
Buuuuum!
Terdengar dentuman keras bukan main. Cahaya Putih seperti kunang-kunang bertebaran di udara. Tanah bergetar pintu Liang Lahat bergetar, sayang tidak terjadi kehancuran di situ. Datuk Nan Gadang Paluih demi melihat semua ini goyangkan kepala.
"Putih Kaki Langit, Angkin Pelebur Petaka rasa-rasanya seperti tidak berguna. Benar kataku, ini buktinya!" seru Datuk Nan Gadang Paluih ditujukan pada kuda gaibnya.
"Hiik!"
"Aku tidak mau melakukannya lagi, Putih! Kita harus menunggu waktu yang baik. Kulihat pengaruh kutuk Ratu Leak sudah mulai melemah!" ujar sang Datuk.
Dewi Kerudung Putih melangkah mendekati. Kelihatannya ia ingin mengatakan sesuatu. Baru saja mulutnya terbuka, tiba-tiba saja terdengar suara pelan seseorang.
Ujung timur dan ujung barat

Manusia mana yang dapat menempuh jaraknya?
Bumi Gusti Allah sungguh besar luasnya
Kekuasaannya meliputi segala
Rahmat dan kasih sayangNya tidak pernah terputus
Diberikan pada semua yang bersukur atau tidak bersukur
Lalu apa rasa terima kasih manusia?
Hidupnya hanya menuruti keinginan nafsu rendah.
Sombongnya, angkuhnya, melebihi pencipta-nya
Setiap jalan pasti ada ujungnya
Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya
Hidup manusia tidak kekal, pasti binasa
Bila langit menangis, bumi menjadi subur
Aku... aku, siapa aku...?


Serentak ketiga orang yang berdiri di tepi Liang Lahat itu menoleh dan memandang ke arah datangnya suara. Di atas batu tidak jauh dari kuda putih. Terlihat seorang laki-laki berbadan pendek memakai topeng-topengan berbentuk wajah anak kecil duduk mencangkung dengan kedua tangan menopang dagu. Orang ini tidak memakai baju, celananya hitam. Di dadanya yang telanjang terlihat sebuah ketapel dan kompeng (dot) anak kecil. Pertama melihat penampilan orang memakai topeng anak kecil ini Dewi Kerudung Putih ingin tertawa. Sebaliknya Datuk Nan Gadang Paluih kerutkan keningnya.
Apa yang dikatakan oleh laki-laki pendek memakai topeng itu bukan tidak punya makna tertentu. Lalu siapa orang di balik topeng bocah ini? Datuk Nan Gadang datang mendekati. Si lakilaki tertawa ha ha hi hi.
"Wahai Kisanak yang bicara dalam sair! Dapatkah kau sebutkan siapa dirimu?" tanya Datuk Nan Gadang Paluih. Yang ditanya tertawa lagi. Lalu tutupi wajahnya. Setelah itu ia menjawab seperti orang yang bersair.

Untuk menutup rasa malunya manusia memakai topeng
Sadar tidak sadar manusia suka memakai topeng
Bicara manusia dengan topeng, langkah manusia juga dengan topeng
Topeng-topeng yang nakal
Penutup rasa malu dan kebusukan
Bila topeng-topeng bertanggalan?
Itu namanya kiamat
Berhadapan dengan Tuhan tidak perlu memakai topeng
Karena Tuhan melihat langsung isi hati manusia
Topeng adalah aku
Aku adalah topeng
Topeng-topeng adalah bagian hidup manusia
Aku topeng
Topeng itu aku!


Berubah wajah Datuk Nan Gadang Paluih seketika mendengar kata-kata yang diucapkan oleh laki-laki pendek bertopeng bocah. Ia sekarang sudah berumur hampir lima puluh atau enam puluh tahun. Dulu gurunya ketika masih kecil pernah bercerita ada seorang tokoh aneh berumur sekitar seratus lima puluh tahun. Jadi jika benar orang ini adalah Manusia Topeng alias Setan Topeng. Berarti umurnya sekarang hampir dua ratus tahun.
"Engkaukah yang bergelar Manusia Topeng?" tanya Datuk Nan Gadang Paluih. Yang ditanya kembali tertawa ha ha hi hi.

Tidak di langit tidak di bumi itu tempat tinggalku!
Jika mau tahu siapa aku, kenalilah diri sendiri
Langit luas bumi luas
Di perut bumi petaka menanti
Topeng aku
Aku topeng!


Jawaban ini sudah cukup jelas bagi Datuk Nan Gadang Paluih siapa adanya laki-laki pendek bertopeng bocah ini. Dulu ia mendengar Manusia Topeng memiliki kepandaian tinggi, walau pun wataknya sulit ditebak. Untuk itulah Datuk Nan Gadang Paluih langsung menjura hormat.
"Aku manusia rendah tidak berguna mengucapkan salam selamat datang padamu!" ucapnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sebaliknya Dewi Kerudung Putih tentu merasa terheran-heran melihat tingkah sang Datuk yang seakan terlalu berlebihan terhadap orang yang belum mereka kenal sama sekali. Dewi tentu tidak mau bersikap merendah seperti itu. Ia tetap tegak di tempatnya memandangi Datuk Nan Gadang Paluih dan laki-laki pendek memakai topeng bocah silih berganti.
Kebanyakan orang bijak bersikap dan bertingkah laku seperti orang bodoh!
Sedikit ilmu sombong selangit! Hi hi hi Ha ha ha!
Pusing pusing memikirkan Liang Lahat mengapa tidak dikencingi saja??
Datuk Nan Gadang Paluih, Dewi Kerudung Putih maupun Si Buta Mata Kejora yang sejak tadi hanya diam saja ternganga. Manusia Topeng ini bicara asal keluar saja. Apa mungkin ucapannya dapat dipercaya? Inilah yang dipikirkan oleh Datuk Nan Gadang Paluih.
Lagipula kalau benar siapa sanggup melakukannya? Di situ ada Dewi, mau ditaruh dimana rasa malu ini? Karena melihat ketiga orang ini tidak juga bergerak. Manusia Topeng melompat mendekati Liang Lahat.

 



--₪֍¦ SEPULUH ¦֍₪--

Ia menghadap ke arah Dewi Kerudung Putih, lalu seenaknya saja tarik celana hitamnya hingga sebatas lutut.
Seeerrr!
Dewi Kerudung Putih memekik kaget. wajahnya merah karena malu dan ia cepat menyingkir ke tempat aman. Manusia Topeng tertawa ha ha hi hi. Datuk Nan Gadang Paluih juga pentang matanya, bukan karena ngeri atau ngiler melihat anunya Setan Topeng, yang membuatnya terperanjat justru, pintu batu Liang Lahat yang terkena kencing Manusia Topeng tampak mengepulkan asap putih menebar bau pesing dan bau telur busuk.
Asap putih semakin lama semakin menebal, meliuk-liuk di udara untuk akhirnya lenyap. Penutup batu liang lahat hancur menjadi debu. Setelah itu diteliti oleh Dewi Kerudung Putih, ternyata hanya bagian atas saja yang hancur. Batu penutup liang lahat setebal setengah hasta tidak hancur seluruhnya.
Manusia Topeng terdiam, ia mendongak ke langit. Setelah itu memperhatikan orang-orang di sekelilingnya satu demi satu.

Kencing memang sudah kukencingi.
Mempan tidak mempan!
Tapi kurasa ada cara ada jalan
Ketapelku...
Senjata sakti Pembelah Bumi
Ingin kulihat! Ingin kulihat!


Manusia Topeng lepas ketapelnya yang tanpa karet itu, terkecuali terikat tali berwarna hitam. Datuk Nan Gadang Paluih kerutkan keningnya. Si Buta Mata Kejora coba pertegas pendengaran.
"Aku dengar ada suara mendengung!" bisiknya ditujukan pada Dewi Kerudung Putih. Walau cemberut gadis itu tetap menjawab juga.
"Ya, Manusia, Topeng keluarkan ketapel butut. Aku tidak tahu apa saja yang akan dilakukan oleh orang-orang gila disini!"
"Jangan sembarangan kau bicara! Dia bukan manusia biasa seperti kita..,.!" ujar Si Buta Mata Kejora. Sekonyong-konyong terdengar suara Manusia Topeng.

Yang megah belum tentu kokoh
Yang butut belum tentu rapuh


Wajah Dewi merah padam mendengar sindiran Manusia Topeng. Laki-laki Pendek memakai topeng bocah ini tiba-tiba acungkan ketapel cabang dua di tangannya tinggi-tinggi. Cabang ketapel lalu dihantamkannya ke arah batu liang lahat.
Tum! Tum! Tum!
Tiga tempat dihantam, tiga lubang besar tercipta. Dari dalam liang lahat yang bolong menguap bau busuk menyengat. Manusia Topeng tertegak, wajah di balik topeng pucat pasi. Akibat pengerahan tenaga sakti tadi serta pengaruh sinar yang membalik membuat dada Manusia Topeng sakit mendenyut dan sesak luar biasa.
Laki-laki bertopeng bocah ini usap-usap dadanya beberapa kali. Si Buta Mata Kejora seperti tidak sabar dan ingin cepat-cepat masuk ke dalam lubang di depannya.
"Jangan ada yang turun!" berteriak Datuk Nan Gadang Paluih memberi peringatan.
"Aku pemilik Batu Lahat Bakutuk, kira-kiranya apa yang terjadi di bawah sana aku sudah dapat menerka!" Lalu Sang Datuk mengambil Angkin Pelebur Petaka yang saat itu telah dijadikan ikat kepalanya. Angkin warna Putih dilecutkan ke udara.
Sreset!
Angkin tersebut mendadak saja berubah panjang dengan lebar lebih kurang setengah tombak.
"Di bawah sana setelah mencium bau busuk ini pasti telah diciptakan neraka jadi-jadian. Aku yakin Suro tercebur ke bawah sana. Kita harus membuat jembatan terselamat dengan menggunakan Angkin Pelebur Petaka! Kepada Manusia Topeng harap hancurkan sisa-sisa batu penutup Liang Lahat Bakutuk ini!" pinta Datuk Nan Gadang Paluih.
Manusia Topeng tertawa ha ha hi hi. Ia menggigit-gigit kompengnya, sedangkan wajahnya tetap tertutup rapat. Orang ini tiba-tiba melompat mundur. Tangan diputar-putar di atas kepala, bibirnya mendesis seperti orang yang meniup air panas.
"Heaa! Jebol... bol... bol...!"
Dihantamnya sisa-sisa penutup batu lahat tersebut. Sisa batu bercampur tanah muncrat di udara. Terlihat sebuah lubang besar menganga berbentuk empat persegi panjang.
Bau busuk semakin bertambah menyengat. Datuk Nan Gadang Paluih setelah melihat lubang yang menguak lebar di depannya langsung kibaskan angkinnya ke dalam lubang tersebut.
Sret!
Maka terbentang sebuah jembatan angkin yang cukup lebar. Jembatan angkin itu oleh Datuk diperkirakan melewati sungai penyelamatan, yaitu sungai nanah bercampur darah.
"Aku mencium bau api yang membakar! Apakah angkinmu tidak terbakar wahai anak lima setengah hari! Hi hi hi...!" Ucapan Manusia Topeng ditujukan pada Datuk Nan Gadang Paluih.
"Api neraka jejadian tidak mungkin dapat menghanguskan angkin Pelebur Petaka! Siapa yang ingin berangkat duluan cepat lalui jembatan angkin ini!" perintah Datuk Nan Gadang.
"Ha ha ha...! Siapa mau berangkat ke neraka duluan, silakan!" Manusia Topeng menimpali.
"Aku sendiri meskipun ingin melihat Ratu Leak yang konon cantik luar biasa tidak mau lewat jembatan di atas neraka. Aku ingin mencari jalan lain yang lebih selamat!" kata laki-laki berbadan pendek ini. Selesai bicara tubuhnya mendadak saja raib dari pandangan mata. Ketiga orang yang berada di pinggir-pinggir liang lahat terkejut sekali, terlebih-lebih Dewi Kerudung Putih yang sejak tadi meremehkan orang aneh setengah gila itu.
"Biar aku yang menyeberangi jembatan angkin ini. Aku percaya dengan kebenaran Datuk Nan Gadang Paluih. Aku sudah tuaan, kalau langkahku sampai meleset dan tercebur ke neraka ciptaan Ratu Leak aku tidak menyesal. Ha ha ha...!" Dan Si Buta Mata Kejora ini pun naik ke atas jembatan angkin. Tubuhnya dalam waktu singkat melesat ke dalam liang lahat Bakutuk.
Kini tinggal giliran Dewi Kerudung Putih, gadis ini kelihatan ragu-ragu untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Si Buta Mata Kejora
"Kau tunggu apa lagi, anak dara? Jembatan angkin itu tidak dapat kupertahankan lebih lama!" datuk Nan Gadang Paluih memperingatkan.
"Baiklah, terlanjur aku datang dari jauh. Ratu Leak harus kita ringkus! Walaupun ia punya kesakitan sebanyak buih di lautan!" Dan gadis ini kemudian naik ke jembatan angkin. Tubuhnya dalam waktu singkat telah meluncur ke dalam Liang Lahat tersebut.
Sayup-sayup ia mendengar jerit orangorang kesaktian. Udara sontak menjadi panas luar biasa. Seolah-olah ia sedang menuju ke dalam tungku pembakaran. Datuk Nan Gadang Paluih menoleh ke arah kuda putihnya. Kuda alam gaib itu meringkik panjang seakan memberi persetujuan.
"Putih Kaki Langit! Bersiagalah kau di sini, nanti jika aku memerlukan bantuanmu aku akan memanggilmu!" pesan sang Datuk.
Kuda meringkik lagi, Datuk Nan Gadang Paluih segera melangkah ke atas jembatan angkin. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.

* * *



Kedua kaki dan kedua tangan Suro dipentang, simpul-simpul tali yang mengikatnya begitu kuat. Bagian ujung tali tergantung begitu saja seakan ada kekuatan gaib yang menahannya. Di bawah sosok Suro yang tidak sadarkan diri, sejarak dua tombak api tampak menyala-nyala. Baju pemuda itu sebagian telah meleleh terjilat api. Namun masih belum ada tanda-tanda bahwa pemuda ini akan segera sadar.
Tiga gadis bengis yang dikenal dengan julukan Sang Jurus Siksa terus mengawasi. Ekspresi mereka sama sekali tidak menunjukkan rasa belas kasihan.
Tidak lama terdengar suara langkahlangkah kaki mendekat ke arah mana Sosok Pendekar Blo'on tergantung. Yang datang ternyata Mustika Jajar alias Iblis Betina Dari Neraka.
"Bagaimana keadaannya?" bertanya gadis cantik berpakaian merangsang itu ditujukan pada salah seorang gadis yang berada di sebelahnya.
"Ia pingsan berat, mungkin juga hampir mampus!" sahut gadis bengis itu ringan.
"Murid keponakanku! Kematiannya ada di tanganku. Kau tidak usah mencemaskannya. Pendekar edan ini dapat kita jadikan apa saja sesuai dengan kehendakku. Melalui tangannya kita tidak usah bersusah payah mencari dan membunuh kedua gurunya. Nanti aku akan menjadikannya sebagai alat pembunuh yang baik! Seluruh rimba persilatan akan menjadi gempar dengan peristiwa yang bakal terjadi. Seorang Pendekar besar membunuh gurunya sendiri apakah ini bukan peristiwa yang menghebohkan? Hik hik hik! Tapi yang lebih penting dari semua itu wahai murid keponakanku. Sekarang kita mulai kedatangan tamu. Tamu agung yang kematiannya juga sudah ditentukan disini! Biar mereka kesasar dan jalanjalan ke neraka dulu! Kalian sebagai anggota tuan rumah wajib menyambut kedatangan mereka!" kata suara tanpa rupa yang tidak lain adalah Ratu Leak.
Sang Juru Siksa dengan diikuti oleh Iblis Betina Dari Neraka kemudian segera menuju ke pintu utama. Sedangkan sosok Suro yang terikat tali dan dalam keadaan mengambang di udara kemudian kelihatan bergerak mengambang. Seakan ada kekuatan yang tidak terlihat telah memindahkannya. Bagaimana nasib Pendekar Blo'on yang dalam keadaan pingsan dan kehilangan hampir seluruh kekuatannya itu? Seperti apakah rupa Batu Lahat Bakutuk dan sedasyat apa kekuatan yang terkandung di dalamnya? Mampukah Datuk Nan Gadang Paluih merampas benda sakti miliknya itu? Atau ia malah menjumpai kebinasaan setelah berada di dalam Liang Lahat Bakutuk? Bagaimana pula dengan pemimpin negeri, Wayan Tandira? Nantikan kelanjutannya!!

TAMAT



INDEX SURO BLONDO
Persekutuan Orang Orang Sakti --oo0oo-- Nagari Batas Ajal
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.