Life is journey not a destinantion ...

Undangan Maut

INDEX SURO BLONDO
Hianat Empat Datuk --oo0oo-- Neraka Neraka

SURO BLONDO
PENDEKAR BLO'ON
Karya : D. Affandy

Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.

--₪֍¦ 1 ¦֍₪--

Gunung Merbabu selayang pandang hanya berupa dataran tinggi menjulang ke langit. Di senja hari bagian lerengnya nampak sunyi. Sebelum mencapai lereng gunung, di bagian lembahnya terdapat sebuah telaga, dan dari pinggiran telaga itulah jalan satu-satunya untuk mencapai lereng ataupun puncak Merbabu. Hampir bisa dipastikan orang tidak berani datang ke tempat ini. Selain tempatnya sangat rawan. Daerah ini merupakan tempat kediaman manusia aneh Gajah Munding alias Gajah Gemuk dan Gajah Kerempeng. Pada masa itu tokoh-tokoh persilatan baik dari utara, selatan, timur dan barat begitu menaruh hormat dan takut kepada dua tokoh bersaudara ini karena ketinggian ilmu silatnya. Terhitung tokoh angkatan tua namun memiliki perawakan awet muda itu hanya sekali turun gunung. Yaitu ketika terjadinya geger di Gunung Bromo pada saat menjelang kelahiran seorang bayi ajaib alias Suro Blondo. Tapi itupun terjadi sekitar delapan belas tahun yang lalu. Setelah kegagalannya mendapatkan bayi ajaib tersebut, masih ditempat yang sama mereka membawa seorang bayi perempuan yang akhirnya mereka angkat menjadi murid dan mereka beri nama Dewi Bulan. Kini gadis itu sudah dewasa dan telah turun gunung pula setelah mereka gembleng dengan berbagai ilmu olah kanuragan. Jika dulu Gunung Merbabu selalu diwarnai dengan suara-suara teriakan seorang gadis yang sedang melatih ilmu silatnya. Maka kini Gunung Merbabu berubah sunyi seperti kuburan.
Melihat ke lembah, tepatnya di pinggir telaga. Tampak seorang laki-laki tua duduk mencakung. Laki-laki ini memakai baju dari anyaman daun lontar. Begitu juga dengan topi capingnya. Dandanannya kedodoran, kedua mata kecil seperti mata ikan lele. Jika ia menarik kailnya ke permukaan air. Maka tercium bau busuk yang menusuk. Karena umpan kail itu tidak lain merupakan potongan-potongan tangan manusia yang sengaja dibusukkan.
  Satu dua makhluk panjang melata dari dalam air menggelepar dan mengeluarkan suara mendesis-desis. Jelas yang memakan mata kailnya bukanlah ikan ataupun belut, melainkan ular-ular berbisa yang sangat mematikan.
  Ular-ular yang tertangkap mata kailnya itu, langsung ia masukkan ke dalam kepis. Sebuah tempat yang terbuat dari anyaman kulit rotan berpenutup.
  Sementara gerakan mata kailnya semakin bertambah cepat. Setiap mata kail disentakkan, maka yang terlihat hanyalah ular-ular berbisa yang menggelepar kesakitan. Hampir dua jam ia berbuat seperti itu sampai kemudian ia menarik nafas lega.
  "Kepis ini sudah penuh. Aku Datuk Mambang Pitoka hanya dapat memberikan hadiah seperti ini pada Penghulu Iblis alias Datuk Raka Tendra. Duh seandainya aku masih muda, tentu aku ikut tanding Pibu. Dengan begitu jika aku keluar sebagai pemenangnya. Maka aku berhak mendapatkan Maya Swari sebagai isteriku yang sah." kata Buto Terenggi alias Datuk Mambang Pitoka ini sambil mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
"Maya Swari adalah lambang keagungan dari seluruh putri iblis yang cantik. Sayang kini usiaku sudah tidak muda lagi. Datuk Raka Tendra dengan kebiasaannya yang aneh tentu telah menyebar undangan. Jika ia mengundang seluruh kalangan persilatan baik yang hitam dan yang putih. Tentu ia mempunyai tujuan yang lain sesekali. Putrinya Maya Swari juga mempunyai keinginan yang aneh. Ia hanya mau bersuamikan pemuda yang dapat mengalahkannya. Padahal adalah sangat berbahaya jika ia sampai mendapat suami dari golongan lurus. Ha ha ha...! Mungkin perlu aku memberi tahu sobatku itu." Datuk Mambang Pitoka penguasa rimba kegelapan ini tiba-tiba saja menepuk keningnya.
"Mengapa harus kuurus? Tokh sebagai sesama iblis kami punya urusan sendiri-sendiri."
  Kakek tua bertampang angker ini bangkit berdiri. Tidak lama ia membalikkan badan dan baru saja hendak melangkah ketika ia mendengar suara mendesir. Matanya yang kecil kemudian mengerjap. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di sekitarnya selain dirinya sendiri.
  "Aku ini iblis. Kalau ada setan yang berusaha menggodaku. Berarti geblek yang tidak memandang muka pada golongannya sendiri." Datuk Mambang Pitoka menggumam seorang sendiri.
  "Kau berani memasuki daerah orang lain dan berani mencuri ular berkhasiat milik kami. Kembalikan ular Kayangan milik kami!"
  Buto Terenggi terkesiap begitu mendengar suara seseorang yang disampaikan melalui ilmu menyusupkan suara tersebut. Cepat sekali ia berpaling ke arah datangnya suara.
  Pada saat itulah ia melihat dua orang lakilaki hanya mengenakan koteka. Yang satu berbadan gemuk luar biasa sehingga mirip gajah bunting sedangkan yang satunya berbadan kurus kering macam jerangkong hidup. Anehnya walaupun laki-laki gemuk itu mempunyai badan besar sekali. Tapi gerakannya cepat sedangkan langkahnya ringan. Berbeda dengan yang berbadan kurus. Langkah kakinya terasa begitu berat namun mantap. Mereka memakai senjata berbentuk gaitan. Disambung dengan sebuah rantai memanjang tapi hanya diselempangkan di bahu. Buto Terenggi begitu melihat kehadiran dua tokoh ini agak terkesiap. Namun kemudian tawanya terdengar.
  "Majikan Gunung Merbabu. Ah... sudah lama sekali kita tidak bertemu. Terimalah hormat sesama sahabat!" Buto Terenggi merangkap kedua tangannya ke depan dada kemudian membungkukkan kepala sebanyak tiga kali. Dua pendatang yang tidak lain adalah Gajah Gemuk alias Gajah Munding dan Gajah Kerempeng ini saling pandang sesamanya. Melihat dandanan laki-laki asing di depan mereka rupanya Gajah kurus langsung mengenali.
  Buto Terenggi adalah tokoh aliran sesat yang sangat jarang sekali muncul di rimba persilatan. Sekali saja laki-laki yang sangat ahli dalam mempermainkan senjata toya ini muncul. Pastilah ada sebuah peristiwa yang sangat besar bakal terjadi.
  "Kami lihat sejak tadi kisanak mencangkung di pinggir telaga tempat kami memelihara ular Kayangan. Apakah yang anda perbuat?"
  "Bukan ingin tapi aku telah mengambil ular-ular Kayangan ini untuk seorang sahabat hendak mencarikan jodoh buat anaknya. Apakah saudara Gajah sudah mendapatkan undangannya?" Gajah gemuk dan Gajah Kerempeng berpandangan sejenak, kemudian sama menggelengkan kepala.
  "Belum!".....
  "Kalau begitu anggaplah kedatanganku ini mewakili keluarga besar Diraja Penghulu Iblis Raka Tendra. Satu purnama mendatang datanglah kalian ke gunung Pangrangko. Siapa tahu anda merupakan orang yang beruntung mendapatkan putri agung Maya Swari untuk menjadi pendamping di sini. Selamat tinggal...!"
  "Hei tunggu...!" teriak Gajah Krempeng ketika melihat Buto Terenggi bermaksud meninggalkan mereka. Tetapi laki-laki berpakaian kedodoran ini sama sekali tidak menghiraukannya. Sehingga membuat Gajah Gemuk melompat ke depan menghadang langkah Buto Terenggi. Bukan main cepatnya gerakan laki-laki dengan berat hampir dua ratus kali ini. Sehingga dalam waktu sepersekian detik ia telah berada di depan Buto Terenggi. Buto Terenggi terkejut, tapi kemudian langsung tertawa membahak.
  "Bukan main, sungguh aku tidak percaya kehebatan sesepuh gunung Merbabu jika tidak melihatnya sendiri hari ini!"
  "Mau percaya atau tidak bukan urusan. Kisanak telah melakukan pencurian barang yang sangat langka dan berharga. Kau hanya boleh meninggalkan lereng Merbabu ini setelah mengembalikan ular-ular Khayangan milik kami!"
  "Wah... masalahnya akan jadi runyam jika aku melayani gajah bunting dan gajah kurang makan ini. Walaupun aku tidak merasa ragu bahwa aku belum tentu kalah menghadapi mereka. Apa yang harus aku lakukan?" batin Buto Terenggi.
  "Masalah kecil janganlah diperbesar. Aku mau membayar seratus ular Kayangan dengan seratus uang emas. Bagaimana? Apakah kalian setuju?"
  "Kami tidak setuju. Ular Kayangan itu bertelur selama seratus tahun sekali. Siapapun yang memakannya, akan menambah kekuatan tenaga dalamnya menjadi sepuluh kali lipat. Dan kami tidak pernah memperjual belikannya."
  "Kalau tidak dijual dan dibeli. Jika begitu aku memintanya dari kalian secara hormat hai orang gagah!" ujar Datuk Mambang Pitoka.
  "Tidak bisa. Kembalikan barang itu!" Gajah Krempeng bersikeras.
  Merasa tidak punya jalan lain lagi. Datuk Mambang Pitoka langsung mengebutkan ujung jubahnya, sehingga terlihat lima sinar merah berbentuk bintang menderu ke arah kedua Gajah.
  "Setan alas!" Dua-duanya menggerung, dua tangan melambai ke arah senjata-senjata rahasia yang menyerang secara cepat ini.
  Wuuk! wuus! Tring! Tring!
  Enam buah senjata rahasia dibuat terpelanting. Bahkan dua diantaranya berbalik menyerang tuannya sendiri. Buto Terenggi adalah tokoh sesat berpengalaman bahkan ia mempunyai julukan Datuk Mambang Pitoka, karena dianggap memiliki kepandaian setingkat dengan para mambang (Makhluk alam gaib). Dengan tenang sekali ia acungkan jari telunjuknya ke arah lain. Sehingga senjata rahasia yang berbalik menyerangnya itu melenceng dari sasaran dan menancap di batang pohon di belakangnya.
  Hanya lima detik pohon itu berubah layu dan daun-daunnya langsung berguguran. Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng sempat tercengang dibuatnya. Namun sebagai orang yang sudah melihat kehebatan setiap datuk. Tentu mereka tidak perlu merasa kagum.
  "Datuk, kami akui kehebatan racun yang terkandung dalam senjata rahasiamu itu. Tapi kami bukan anak kecil yang dapat kau takuttakuti. Jika kau tetap tidak mau mengembalikan ular-ular Khayangan kami ke dalam telaga. Hari ini kami bersumpah untuk mengikat permusuhan kepadamu!"
  "Urusan ini ada baiknya kalau kita bicarakan di gunung Pangrangko satu purnama mendatang!" Selesai dengan ucapannya. Tiba-tiba Datuk Mambang Pitoka menyambitkan sesuatu ke arah Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Karena terkejut dan tidak menyangka datangnya serangan gelap ini. Maka Gajah Krempeng langsung menyambutnya dengan satu tendangan yang cukup keras. Sehingga membuat benda berbentuk bulat macam bahan peledak itu mengeluarkan bunyi mendesis yang disertai dengan menebarnya asap tebal. Seketika itu juga suasana di sekeliling mereka berubah menjadi gelap berselimut kabut.
  "Bangsat! Iblis itu benar-benar mengecoh kita." teriak Gajah Gemuk sambil membantingbanting kakinya. Sehingga membuat tanah yang diinjaknya amblas sampai sebatas dengkul. Kenyataan ini membuat Gajah Krempeng menggerutu.
"Seharusnya kita kejar setan itu kakang. Ularular berkhasiat milik kita yang telah ditangkapnya tentu jumlahnya cukup banyak juga."
  "Ya... kurasa tidak ada gunanya. Kalau memang benar di gunung Pangrangko akan ada pertemuan yang sangat besar. Mengapa kita tidak ke sana saja? Kita bisa melihat apa yang akan terjadi disana sekalian mencari tahu bagaimana kabarnya murid kita Dewi Bulan sekarang? Apakah ia telah berhasil menemukan pembunuh orang tuanya atau belum."
  "Tapi... bukankah kita sendiri punya pantangan untuk membunuh? Apalagi sampai meninggalkan gunung Merbabu ini?" Gajah Krempeng rupanya teringat akan sumpahnya.
  "Sudahlah... lupakan masalah itu. Kita berangkat sekarang "
  Nampaknya Gajah Krempeng memang merasa tidak punya pilihan lain lagi. Ia terpaksa mengikuti keinginan kakang kandungnya sebagaimana yang terjadi ketika mereka hendak ke gunung Bromo delapan belas yang lalu.

 



--₪֍¦ 2 ¦֍₪--

  Hujan petir, angin menderu-deru. Goa Darah yang terletak di kaki bukit gunung Gede ini untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun terkena siram air hujan. Jika orang mengetahui kejadian ini tentu mereka terheran-heran. Sebab Goa Darah mereka kenal mempunyai semacam tabir gaib yang melindungi gua sepenuhnya berwarna merah darah ini dari hempasan air hujan terpaan badai. Bahkan masyarakat Jawa bagian barat merasa yakin sekali bahwa Goa Darah menyimpan misteri gaib hingga saat ini.
  Sementara itu dalam keadaan hujan angin sedemikian rupa di mulut pintu Goa Darah terlihat sosok bayangan berpakaian putih berkulit hitam macam arang sedang meneliti bagian dalam gua yang berwarna kemerah-merahan itu. Petir menyambar, sehingga sekilas cahaya kuat yang membersit tadi menerangi wajah hitam legam berambut jarang. Wajah itu tidak ubahnya seperti tengkorak hidup. Matanya mencorong seperti mata setan. Betapa mengerikan penampilannya, melebihi buruknya setan penghuni kubur. Ia baru saja melangkahkan kaki kanannya menuju ke bagian ruangan tengah gua tersebut. Ketika cahaya merah dari dalam gua melabrak tubuhnya. Cahaya itu sedemikian dahsyat dan dingin membekukan. Namun si pendatang rupanya telah bersikap waspada. Sehingga ia melompat ke samping kiri. Belum sempat ia menjejakkan kakinya. Dari bagian samping menyambar cahaya yang sama. Tidak pelak lagi tubuhnya langsung tergontaigontai terkena sambaran cahaya merah yang menyerangnya secara aneh ini.
  Ia mengeluh pendek. Namun kemudian mulutnya memaki menumpahkan kata-kata yang sangat kotor sekali. Dengan cepat ia bangkit berdiri kemudian merapat ke dinding gua. Sementara matanya tidak pernah lepas dari sebuah benda bersegi tiga yang terletak di tengah-tengah gua itu. Permata tersebut sejak tadi terus memancarkan cahaya berwarna putih kemilau. Tapi setiap cahaya yang melesat meninggalkan permata itu selalu berwarna merah. Dan cahaya dari prisma permata persegi tiga itulah yang rupanya telah menyerang perempuan macam tengkorak hidup berkulit hitam macam arang. Sungguh ini merupakan sebuah kejadian yang sangat langka. Dan perempuan berkulit hitam ini juga bukan perempuan sembarangan.
  Dia adalah tokoh aliran sesat dari daerah kulon. Ia sangat ditakuti oleh golongan putih, disegani oleh golongan hitam karena memiliki jurusjurus tongkat hitam yang sangat diandalkannya. Sudah begitu banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi yang tewas di ujung tongkatnya yang berkepala harimau ini. Terlebih-lebih saat ia malang melintang di rimba persilatan tiga belas tahun yang lalu.
  Beberapa tahun belakangan ia dikabarkan telah mengasingkan diri di daerah Labuhan. Entah mengapa hari ini ia sengaja muncul ke lereng gunung Gede. Yang jelas hingga sampai detik ini ia terus berusaha mendekati Prisma permata yang terjepit di tengah-tengah batu mirip meja altar tersebut. Sekali lagi ia berusaha menggapai batu Permata dengan mempergunakan tongkatnya. Keringat dingin mengucur di sekujur wajahnya yang menyerupai tengkorak, perlahan tongkat itu bergerak. Baru saja menyentuh salah satu sisi Prisma tiba-tiba kilat melesat dari Prisma itu dan menghantam tongkat ditangan Setan Hitam.
  "Uuh...!"
  Tangan yang kurus kering itu bergetar keras, hawa dingin menusuk menyengat bagian jemarinya. Untung ia memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai tarap diatas sempurna. Sehingga senjata yang sangat diandalkannya itu tidak sampai terlepas dari tangannya.
  "Gelo betul. Apa yang kudengar selama ini ternyata bukan omong kosong belaka. Terlanjur aku mendapat undangan merah. Aku harus memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa di depan Diraja Penghulu Iblis. Dan Prisma gaib kini telah berada di depan mata. Aku harus segera mengambilnya." Setelah berkata begitu, dengan segenap kecerdikan yang dimilikinya ia melepaskan baju putihnya. Di balik baju ia tidak memakai apa-apa, sehingga terlihatlah buah dadanya yang peot menggelantung seperti karung basah.
  Baju itu kemudian dilemparkannya ke arah Kristal dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Spontan cahaya merah menyambar. Baju yang dilemparkan oleh Setan Hitam alias Nyanyuk Pingitan langsung disambar oleh cahaya merah. Hingga membuat baju tersebut terbakar. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Setan Hitam. Seraya langsung melompat dan bergulingguling. Di lain kejap ia sudah menyambar Kristal Permata tersebut.
  Sedetik kemudian di tengah-tengah hujan yang membadai terdengar suara menggemuruh yang begitu dahsyat. Nyanyuk Pingitan tercekat. Sementara ia terpaksa memasukkan Prisma Kristal yang telah dicurinya ke dalam kantong kulit yang telah dipersiapkannya.
  "Oh... mengapa jadi begini? Apakah karena kekuatan gua ini tergantung pada Prisma Kristal yang baru saja kuambil?" Setan Hitam menggumam dalam hati. Tokh ia sudah tidak sempat berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu langit-langit gua mulai runtuh. Batu-batu berjatuhan. Sementara altar tempat bersemayamnya Prisma Kristal tadi mulai menunjukkan keretakan disana-sini.
  Krraaaak !
  Setan Hitam laksana kilat melompat keluar dari dalam gua. Pada saat yang sama pula terdengar suara dahsyat menggelegar.
  Bumm! Buum!
  Gua runtuh. Setan Hitam tercengang ketika melihat sinar merah menerangi reruntuhan gua. Sinar merah itu seperti muncul dari dalam bumi.
  "Aku tidak mau mengambil resiko. Aku harus meninggalkan tempat ini segera!"
  Belum selesai dengan ucapannya ia telah melesat pergi sambil membawa Prisma Permata Sakti curian.
  Tidak sampai sepuluh menit setelah Nyanyuk Pingitan meninggalkan Gua Darah. Dari reruntuhan gua yang memancarkan cahaya merah menyala bagaikan lava gunung ini muncul tangan berwarna kemerah-merahan. Batu-batu yang berasal dari reruntuhan gua berpelantingan.
  "Hoaaarkh...! Hraaaakk...!" Brol! Bool!
  Muncullah sosok tubuh. Tingginya mencapai lima meter. Sekujur badannya yang berwarna merah bagaikan darah ditumbuhi bulu-bulu lebat. Bukan main besarnya makhluk ini. Yang cukup mengherankan, kepala manusia berbulu ini berujud kepala harimau. Mempunyai dua pasang taring yang panjang. Matanya mencorong bagaikan mata binatang malam.
  "Gila... siapa orangnya yang berani mencuri Kristal Sakti milikku. Siapa orangnya yang telah membuat hancur istanaku. Kristal diambil. Dunia benar-benar hendak kiamat. Seluruh Jawa ini bisa tenggelam menjadi lumpur api." Serak dan berat suara manusia merah ini. Matanya yang liar itu memandang ke sekelilingnya. Dan hidungnya mulai mengendus-endus. Tiba-tiba ia tertawa, tapi dalam tawanya mengandung kesedihan. Gunung Gede bergetar hebat karena pengaruh suara tawanya itu. Sementara goa Darah kini telah berubah menjadi lautan lumpur panas yang mengobarkan api menyala-nyala. Panas yang ditimbulkannya menyebar ke seluruh tempat-tempat yang berdekatan dengan bekas Goa Darah tersebut. Sehingga mengundang ketakutan siapa saja.
  "Benar-benar keterlaluan. Benda penjaga keseimbangan bumi telah diambil oleh orang pintar tapi bodoh. Aku tidak melihat orangnya, tapi melihat baunya. Aku harus mencarinya... harus...!"
  Dengan langkah-langkah kakinya yang berat menggetarkan setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Ia melangkah menuju arah matahari terbit. Hanya malam hari saja ia berjalan. Pada siang hari ia tidur disembarang tempat yang tersembunyi dari perhatian orang.
  Siapakah Manusia Merah dengan tinggi lima meter ini? Sekitar dua abad yang silam. Seorang Kyai Sakti mandraguna yang tinggal di gunung Jati sering melakukan perjalanan ke daerah Banten. Dalam perjalanan yang berulang itu, terkadang ia singgah di tempat-tempat tertentu sebelum mencapai tempat tujuan. Karena beliau masih begitu muda dan belum punya istri pula. Di daerah Jampang kulon kebetulan ia kenal seorang gadis bernama Restu Abadi. Gadis cantik ini anak seorang bajingan besar bernama Malim Kuswara. Cinta diantara mereka ternyata bersambut. Setelah dua tahun mereka menjalin hubungan. Akhirnya mereka menikah. Ketika Restu Abadi hamil, maka terjadi banyak keanehan. Setiap malam istri Kyai Tapa ini sering menggerunggerung seperti harimau. Suatu malam Kyai Tapa bermimpi bahwa anak yang akan terlahir dari rahim istrinya ini akan terlahir dengan dua rupa. Yaitu kepala harimau sedangkan badan seperti manusia biasa cuma ditumbuhi bulu.
  Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi, sang Kyai mulai menyelidiki keanehan kehamilan yang terjadi pada isterinya. Akhirnya diketahui, rupanya sebelum malam pertama. Ada raja Jin yang datang kepada Restu Abadi, dan menggaulinya sebagaimana layaknya suami isteri. Dalam hal ini, Kyai tidak dapat menyalahkan istrinya. Karena Raja Jin itu telah menyaru sebagai diri sang Kyai. Dengan tekunnya ia meminta pada sang khalik agar dipertemukan dengan Raja Jin yang dia anggap telah mencoreng harga dirinya.
  Dalam pertempuran yang berlangsung selama seratus hari tidak ada henti itu. Ternyata tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Mereka akhirnya sama-sama mengangkat ikrar agar tidak bermusuhan lagi. Sebagai imbalannya. Bila anak itu terlahir kelak ia harus ditempatkan di dalam sebuah gua yang tidak pernah didatangi manusia. Sedangkan istrinya harus rela dibuang ke pulau Andalas.
  Raja Jin ternyata setuju. Sungguhpun Restu Abadi yang merasa tidak bersalah tidak menyetujuinya. Demikian juga halnya dengan Malim Kuswara ayah kandung Restu Abadi. Pertempuran antara anak menantu dengan mertua ini tidak dapat dihindari lagi. Tapi karena begitu tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Kyai Tapa. Malim Kuswara tewas di tangan menantunya. Begitu anak mereka terlahir, maka pergilah Restu Abadi meninggalkan Jampang Kulon dengan membawa luka hati dan dendam membara. Ia tidak lagi menghiraukan anaknya yang terlahir dengan keadaan yang sangat mengguncangkan hatinya itu.
  Kyai Tapa sendiri setelah membawa anak Jin itu ke Goa Darah langsung mengasingkan diri ke Gunung jati. Tidak ada yang tahu, anak Jin alias manusia Merah yang diberi nama Soma Sasra ini selalu memberontak dan menimbulkan guncangan di sekitar pulau Jawa. Khususnya di daerah Jawa Barat. Raja Jin diam-diam meletakkan sebuah Kristal Permata di tengah-tengah altar untuk meredam gerakan sang anak yang setengah manusia dan setengah binatang ini. Tapi siapa sangka hari ini setelah dua ratus tahun mendekam di dasar perut bumi Prisma Permata itu ada yang mengambilnya. Karena memang tidak ada yang tahu bagaimana tabiat dan sepak terjang Manusia Merah ini. Alangkah baiknya jika kita ikuti sepak terjang Soma Sasra selanjutnya. Benarkah dia hanya ingin mencari Kristal sakti miliknya itu atau punya maksud lain setelah ia terbebas dari penjara perut bumi selama ratusan tahun.
  Pada saat yang sama, sebuah perahu kecil meluncur menyeberangi selat Sunda. Pemandangan senja yang remang-remang dengan latar belakang gunung Krakatau yang terus mengepulkan asap, merupakan keindahan tersendiri bagi yang melihatnya. Tapi bila melihat ke arah orang yang sedang meluncur kencang dengan perahunya ini sangat jauh bertolak belakang. Wajah laki-laki ini hanya sebagian saja yang tertutup kulit. Sedangkan bagian lainnya tertutup daging busuk bernanah. Matanya juga hanya sebelah, sedangkan mata kirinya membentuk lubang yang sangat dalam.
  Sesekali bibirnya yang rusak bopengbopeng dan hampir tanggal ini menyunggingkan seulas senyum. Namun senyum itu malah sedemikian menyeramkan.
  "Jauh sudah jalan kutempuh. Akhirnya aku menjadi bosan. Ha ha ha...! Letih nian aku mencari akhirnya aku diam sendiri. Ha ha ha... Undangan merah undangan maut. Tanah Jawa lama tidak kudatangi, masihkah kini para iblis ingat pada Alang Sitepu. Mudah-mudahan Bungkuk Lima tetap di kenang. Aku akan datang... ya... datang atas undang merah...!"
  Alang Sitepu alias Bungkuk Lima berdiri di atas perahunya yang terus meluncur kencang. Tokoh hitam yang kondang karena ilmu sihirnya ini kemudian tertawa-tawa.
  "Gunung Sibayak telah jauh di belakang sana. Gunung Pangrangko kini menjadi tujuan. Ha ha ha... apa kabar orang Jawa?"
  Wajah yang sangat mengerikan dengan mata yang cuma tinggal sebelah ini memandang ke satu arah. Kini Labuhan telah terlihat olehnya. Ia pun menyeringai, kemudian tertawa. Gemuruh suara tawanya menggema diantara deburan ombak yang kian menggila.

 



--₪֍¦ 3 ¦֍₪--

  Gadis berbaju kuning gading memakai ikat kepala warna putih ini tiba-tiba hentikan langkah. Wajahnya yang cantik rupawan dengan tahi lalat di dagu tampak tertutup oleh anak-anak rambutnya. Ia sibakkan anak rambut yang tergerai diwajahnya. Setelah itu ia melangkah lagi. Pada saat berjalan seperti itulah ia teringat dengan orang-orang yang telah membunuh ayah dan ibunya. Balung Raja, Braja Musti dan Baja Geni semuanya sudah mati. Hanya Ki Rambe Edan saja yang luput dari kematian. Teringat akan musuh-musuh besarnya yang sudah mampus. Terbayang pula oleh si gadis seorang pemuda. Pemuda tampan berambut kemerah-merahan namun bertampang tolol. Dialah Suro Blondo,
  Entah mengapa akhir-akhir ini ia selalu teringat pada pemuda itu. Bahkan setiap tidur ia sering bermimpi bertemu dengan Suro Blondo. Ke mana perginya pemuda yang dikaguminya ini ia tidak tahu. Mungkin ia masih memburu musuh besarnya yang hingga sampai detik ini Suro Blondo tidak tahu dimana rimbanya.
  "Angin oh angin. Mengapa hatiku selalu bergetar? Matahari-matahari, dimana dia gerangan?" Dewi Bulan gadis rupawan ini menggumam dalam hati. Tiba-tiba saja wajahnya berubah memerah. Ia menjadi malu pada dirinya sendiri. Bukankah ketika bersama Suro Blondo dulu tidak pernah mengatakan bahwa ia mencintai dirinya? Mengapa kini ia seperti orang yang kasmaran saja?
  Dengan wajah masih tetap memerah, Dewi Bulan tiba-tiba memutar langkah dan bermaksud meninggalkan Cisarua. Tapi gerakannya segera tertahan ketika ia mendengar suara nyanyian seseorang. Oh, ternyata bukan nyanyian. Tapi orang yang sedang melantunkan bait-bait syair. Dengan seksama Dewi Bulan mulai mencari-cari, kemudian terlihatlah olehnya seorang perempuan cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Bajunya berwarna kembang-kembang. Namun tipis, sehingga lekuk lengkung tubuhnya yang menggiurkan itu terlihat dengan jelas.
  Bibir si perempuan yang kemerahan selalu menyunggingkan senyum sedih. Di tanah Jawa tidak seorang pun yang kenal dengan dirinya terkecuali hanya tokoh-tokoh tertentu saja.
  Karena sesungguhnya ia berasal dari tanah seberang. Di tanah Andalas orang mengenalnya sebagai Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Ahli dalam penyamaran sedangkan ilmu kepandaiannya sangat sulit diukur.
  Dewi Bulan dengan seksama memperhatikan perempuan yang berdiri membelakanginya itu untuk beberapa saat lamanya. Kemudian ia mendengar suaranya yang begitu merdu menggetarkan hati.
  Tidak kering dilanda panas, tidak lekang dilanda hujan. Jawa dan Sumatera hanya dipisahkan oleh sebuah selat. Dua golongan terjebak dalam tradisi, kemunafikan dan angkara murka. Undangan merah yang disebar para setan telah kudapatkan. Undangan maut untuk para iblis. Di Gunung Pangrangko huru hara akan berlangsung. Sayang pengantin yang diharap hanyalah iblis busuk yang menipu mata. Orang-orang sakti datang sendiri. Jodoh yang diharap ternyata hanya seorang pemuda bertampang tolol. Maya Swari putri cantik. Kecantikannya melebihi putri-putri raja. Dasar celaka... hik... hik... hikk...!! Malang benar gadis yang mencinta.
  Dewi Bulan terkejut sekali mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir si perempuan. Entah mengapa jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Seingatnya pemuda bertampang tolol hanyalah pendekar Blo'on seorang. Apakah mungkin Suro Blondo yang dimaksudkan oleh perempuan itu. Atau ada pemuda tolol lainnya? Tapi siapa yang dimaksudkannya dengan gadis yang mencinta? Adakah dirinya? Kalau memang benar berarti perempuan berbaju kembang-kembang itu tahu segala. Sudah menjadi adat Dewi Bulan. Ia serba ingin tahu, wataknya keras dan tidak mau mengalah. Tapi bila ia sudah merasa jatuh cinta kepada seseorang, maka ia akan mempertaruhkan nyawanya demi orang yang sangat dikasihi.
  Kini rasa penasaran itu telah membuatnya melompat ke depan menghampiri perempuan baju kembang-kembang. Sungguhpun gerakan Dewi Bulan begitu pelan bahkan kehadirannya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Namun perempuan itu cepat membalikkan badannya. Ketika melihat kehadiran orang lain disitu, perempuan baju kembang-kembang ini mengerutkan keningnya. Tatapan matanya yang mempesona penuh rasa curiga.
  "Siapakah kau bocah cantik?" tanya perempuan baju kembang-kembang.
  Dewi Bulan malah cemberut.
  "Seharusnya akulah yang bertanya siapa, Nisanak! Karena orang yang berpakaian sepertimu tidak lain hanyalah sebangsanya memedi atau perempuan murahan. Sebagaimana syair-syair yang Nisanak ucapkan barusan tadi!" Entah mengapa Dewi Bulan merasa tidak dapat mengendalikan kata-katanya. Apa yang diucapkannya meluncur begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya.
  "Aku datang memenuhi undangan merah! Datuk Nan Gadang Paluih abangku. Ngarai Sianok tempat tinggalku. Wahai Dara, mengapa kau menjadi marah. Kulihat matamu memancarkan gejolak hasrat cinta. Katakanlah padaku Ratu penyair Tujuh Bayangan...!!"
  Dewi Bulan tentu saja terkesiap mendengar ucapan perempuan baju kembang-kembang ini. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa perempuan itu tidak lain adalah Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Jelas ia berasal dari Sumatera. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh gurunya dulu. Bahwa di negeri seberang itu ada beberapa tokoh sakti yang benar-benar sangat ditakuti bahkan mempunyai kepandaian selaksa ilmu. Diantara mereka adalah, Ratu Penyair Tujuh Bayangan, Datuk Nan Gadang Paluih, setelah itu Datuk Panglima Kumbang, dan juga Datuk Alang Sitepu. Laki-laki yang disebutkan terakhir ini merupakan seorang ahli sihir kenamaan yang sangat ditakuti oleh golongan sesat dan golongan lurus. Masih ada satu lagi tokoh yang tidak dapat dianggap remeh. Dialah si Dewa Kudu dari Indera Giri Hilir. Cuma tokoh yang satu ini konon hanya tinggal legenda saja. Bahkan kabarnya sudah meninggal sekitar lima belas tahun yang lalu. Tapi kuburannya tidak seorangpun yang dapat menyambanginya.
  Sekarang Dewi Bulan berhadapan dengan salah satu tokoh dari tanah seberang. Namun melihat penampilannya, rupanya gadis ini tidak percaya bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini merupakan tokoh kosen sebagaimana yang pernah diceritakan oleh gurunya. Apalagi bila melihat perempuan ini masih sangat muda sekali.
  Tapi untuk membuat persoalan bukanlah kebiasaannya. Lagipula diantara mereka baru kali ini bertemu. Rasanya tidak pantas jika ia mencari-cari perkara hanya karena ingin mengetahui kehebatan orang lain.
  "Ternyata anda Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Datang memenuhi undangan merah? Siapakah yang mengundangmu?"
  "Hik hik hik! Tahukah kau dimana gunung Pangrangko, anak baik?" tanya Ratu Penyair Tujuh Bayangan tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi Bulan. Sehingga membuat gadis berwatak keras ini merasa diabaikan.
  "Kalaupun aku tahu, tidak nantinya aku tunjukkan padamu!" dengusnya kesal bukan main.
  "Ratu Penyair Tujuh Bayangan tidak bisa ditolak, anak manis! Di puncak Pangrangko akan terjadi peristiwa besar. Jawa ini bisa menjadi lautan lumpur api seluruhnya jika prisma Permata tidak dapat dikembalikan ke asalnya."
  "Siapa percaya dengan bualan seorang penyair?"
  Sikap yang sungguh meremehkan ini membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan menjadi dongkol.
  "Aku tahu kau ingin mengujiku. Tapi baiklah jika kau tidak mau bekerja sama secara baikbaik denganku. Aku akan mengajarimu untuk bersikap baik pada orang tua sepertiku. Lima jurus kuberikan padamu. Jika kau kalah maka kau harus menuruti apa yang aku mau!"
  Dewi Bulan tentu saja tertawa lebar. Bagaimanapun ia seorang murid dua tokoh sakti. Ilmu kepandaiannya sudah hampir mencapai tarap sempurna. Bagaimana mungkin Ratu Penyair Tujuh Bayangan dapat memastikan lamanya sebuah pertarungan?
  "Kau terlalu sombong, Ratu Penyair. Sebaiknya selalulah kau ingat bahwa diatas langit selalu masih ada langit lagi!"
  "Hik-hik-hik! Jangan keburu marah. Urusanku di puncak Pangrangko tidak bisa ditunda. Sekarang lihat serangan...!"
  Ratu Penyair Tujuh Bayangan tiba-tiba menyambar ranting kayu yang tergeletak tidak jauh di bawah kakinya. Ranting kayu kering yang semula kaku itu kini berubah melemas bagaikan rambut. Ketika ranting itu dikebutkan menuju delapan penjuru jalan darah. Maka angin pun bergelung-gelung melabrak Dewi Bulan.
  Gadis ini terkesiap dibuatnya, ia segera dapat mengetahui hanya orang yang memiliki tenaga dalam diatas sempurna saja yang mampu melakukannya. Sementara itu Dewi Bulan terpaksa melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari totokan lawannya. Tapi baru saja ia menjejakkan kakinya diatas tanah. Ranting kayu yang kini telah berubah keras seperti asalnya telah meluruk deras ke arah urat besar pada bagian perutnya. Hanya dengan mengandalkan jurus 'Kupu-kupu Menari di Atas Bunga' saja ia masih mampu menghindari serangan lawannya.
  "Keluarkan senjata yang kau punya!" perintah Ratu Penyair Tujuh Bayangan sambil bergerak lagi.
  Dewi Bulan merasa nafasnya semakin menyesak, sedangkan jantungnya seolah-olah berhenti berdenyut. Apalagi ketika Gatri Kencana ini memutar ranting ditangannya melebihi kecepatan titiran. Tidak ayal lagi Dewi Bulan terdorong mundur. Kini sadarlah gadis berwatak keras itu bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya Gajah Gemuk dan Gajah Kurus bukan hanya sekedar omong kosong belaka.
  Sebaliknya pada saat tengah berfikir dan sambil menghindari serangan lawannya ini. Dewi Bulan dikejutkan lagi oleh suara Ratu Penyair Tujuh Bayangan yang seakan datang dari delapan penjuru arah.
  "Melihat jurus-jurus silatmu. Rasanya tidak salah jika kau sesungguhnya murid dua Gajah di tanah Jawa!"
  "Huh, bagaimana kau tahu?"
  "Hik-hik-hik! Aku adalah penyair yang dapat membaca isi kepala orang. Gerakan tubuhmu adalah duplikat gerakan Gajah Kurus dan Gajah Gemuk. Apakah kau mau mungkir?"
  Sebagai jawabannya Dewi Bulan langsung mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya.
  Sing!
  Wuut! Wuut!
  Pedang itu berputar sedemikian cepat. Terdengar suara menderu-deru. Di tangan Dewi Bulan pedang andalan itu seakan berubah menjadi banyak. Menusuk membabat bahkan menyodok ke arah empat jalan darah. Rupanya ketika ia Dewi telah mengerahkan jurus 'Tarian Sang Walet'. Salah satu jurus ciptaan bersama kedua gurunya.
  Untuk beberapa jurus Gatri Kencana tampak terdesak mundur. Namun hanya beberapa saat saja, begitu ia telah melihat jurus-jurus lawannya. Maka ia bergerak maju menerobos pertahanan Dewi dengan serangan ranting ditangannya yang dapat melentur seperti oyot kayu dan dapat berubah kaku seperti baja. Cepat bukan main serangan itu. Hingga tahu-tahu salah satu ujung ranting sudah berada di depan hidung Dewi. Gadis ini tentu saja tidak menghendaki hidungnya hancur. Ia menangkis sambil melompat mundur.
  Traang!
  Dewi Bulan terkejut, tangannya terasa sakit bagai ditusuk ribuan batang jarum. Tidak disangka kesempatan yang singkat itu dipergunakan oleh lawannya.
  Tutts...!
  Gadis bertahi lalat di dagu ini mengeluh tanpa mampu menggerakan tubuhnya lagi. Sadarlah ia bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini telah menotoknya.
  "Bagaimanapun kau kalah pengalaman dan umur bila dibandingkan aku. Empat jurus kau telah takluk, sekarang antar aku ke puncak Pangrangko!"
  "Kau telah bertindak curang. Kalau guruku tahu, kau pasti hanya tinggal nama saja!" maki Dewi Bulan tanpa mampu menggerakan tubuhnya ketika Gatri Kencana memanggulnya.
  "Gurumu datang gurumu kugebuk mampus! Jangan pamer guru di depanku!" dengusnya. Sekali berkelebat, maka Dewi Bulan merasakan tubuhnya dibawa lari laksana terbang.

 



--₪֍¦ 4 ¦֍₪--

  Di lereng gunung Pangrangko ada sebuah puri bertingkat yang cukup tinggi. Di belakang puri itu ada sebuah bangunan lainnya. Bangunan besar dikelilingi tembok tinggi ini pada hari-hari sebelumnya terasa sepi. Hanya para penghuninya saja yang keluar masuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Diluar kedua bangunan ini ada sebuah panggung yang tampaknya baru saja dipersiapkan. Panggung yang cukup luas ini dihiasi dengan bermacam-macam janur. Tidak jauh dari panggung tersusun kursi-kursi terbuat dari bahan jati. Adapula sebuah podium lainnya. Disamping podium terdapat dua buah kursi mempelai yang dihiasi dengan beraneka bunga-bungaan. Rupanya akan ada pesta besar-besaran disini. Terbukti dengan mulai hadirnya para tamu-tamu undangan. Setiap tamu selalu menunjukkan undangan yang diberikan untuk para undangan sekitar satu purnama yang lalu. Jadi tidak sembarang orang dapat menghadiri pesta tersebut. Tanpa undangan merah yang dibuat oleh tuan rumah. Maka orang itu tidak dapat mengikuti acara pibu. Dan siapapun yang dapat mengalahkan putri Maya Swari dalam acara unjuk kebolehan itu. Maka dialah yang akan menjadi suaminya.
  Kini para undangan itu mulai memenuhi bangku-bangku yang kosong. Sementara itu didalam sebuah ruangan besar di dalam bangunan yang terletak dibelakang puri tampak seorang laki-laki berpakaian seperti seorang raja dan bertampang bengis sedang menerima kehadiran dua orang tamu. Tamu pertama adalah laki-laki tua pembawa kepis berpakaian anyaman daun lontar sedangkan capingnya terbuat dari daun lontar pula.
  Sedangkan tamu yang kedua adalah seorang nenek renta berkulit hitam bermuka bopeng. Kulitnya tipis, sehingga dilihat sepintas lalu hanya berupa jerangkong hidup. Tatapan mata perempuan ini mencorong, rambutnya jarang dan ada beberapa tusuk kundai dari perak yang langsung menancap di batok kepalanya. Agaknya kedua tamu ini merupakan sahabat terdekat tuan rumah. Terbukti laki-laki bengis berpakaian bangsawan ini menerima mereka secara khusus pula.
  "Sudah lama kita tidak bertemu Datuk Mambang Pitoka dan Nyanyuk Pingitan. Setelah dua puluh tahun, bagaimana kabar anda sekalian?" Tuan rumah yang tidak lain adalah Raka Tendra berjuluk Penghulu Iblis ini memulai pembicaraan dengan suaranya yang serak berat seperti dicekik setan. Buto Terenggi angkat wajahnya. Setan Hitam alias Nyanyuk Pingitan tertawa mengikik,
  "Sebagaimana yang Datuk lihat, kami dalam keadaan sehat dan semakin berisi." kata Nyanyuk Pingitan kemudian.
"Dua puluh tahun yang lalu putrimu masih orok. Tidak disangka kini telah dewasa dan cantik. Selain itu tentu ia mewarisi semua ilmu yang kau miliki Datuk?" Buto Terenggi menimpali "Diraja Penghulu Iblis pasti memberikan yang terbaik untuk putrinya. Apalagi Maya Swari adalah anak tunggal. Ha ha ha...!"
  "Dengan kehadiran sahabat berdua. Aku Diraja Penghulu Iblis dengan rendah hati tentu berharap agar Anda membantu keamanan disini kalau terjadi sesuatu yang tidak kita ingini dalam acara Pibu nanti."
  "Ah... Diraja terlalu berlebihan. Kami tentu saja membantu tanpa diminta sekalipun. Tapi menurutku, siapa orangnya yang berani mengusik ketenteraman anda, terkecuali orang-orang yang ingin cepat mampus?"
  "Lagipula kepandaian kami manalah ada apa-apanya bila dibandingkan Ahda Diraja Penghulu Iblis. Untuk itu demi kehormatan persahabatan kita. Hanya dapat membawakan oleh-oleh ular Kayangan untuk acara penentuan pilihan suami bagi putri Anda." Datuk Mambang Pitoka kemudian menurunkan anyaman rotan yang berbentuk kepis di mana didalam kepis itu penuh berisi ular-ular Kayangan yang terus mendesisdesis.
  "Hmm, ular Kayangan ini kudengar punya khasiat yang sungguh sangat luar biasa. Ia dapat melipat gandakan tenaga dalam seseorang dalam waktu hanya beberapa jam saja. Selain itu darahnya membuat kita tetap awet muda. Sungguh ini merupakan suatu pemberian yang tidak ternilai harganya."
  "Anda terlalu berlebihan, Sahabat. Aku hanya dapat berpartisipasi. Menurutku sebelum acara dimulai sore nanti. Bukankah lebih baik jika ular-ular itu diolah secepatnya. Dengan begitu para tamu undangan dapat merasakan khasiatnya." kata Datuk Mambang Pitoka.
  "Betul. Aku setuju." sahut Raka Tendra. Ia kemudian bertepuk tangan. Seorang pengawal masuk ke dalam ruangan dan mengambil kepis berisi ular-ular itu.
  Sementara Nyanyuk Pingitan kini telah mengeluarkan sebuah tabung bambu yang sudah tua dan kusam. Di dalam tabung bambu itu terdapat ratusan ekor lebah beracun. Yang tentu saja sudah sangat terlatih dengan baik. Ia kemudian menyerahkannya pada Diraja Penghulu Iblis. Seraya berkata: "Aku tidak dapat memberikan kado barang-barang berkhasiat selain mainan yang tidak ada guna ini. Terimalah Diraja...!"
  Raka Tendra tercenung dengan alis berkerut dalam.
"Ah... sahabat terlalu merendah. Tawon merah siapa yang tidak kenal. Bisanya sangat mematikan. Dikolong langit ini hanya Anda saja yang memilikinya. Pemberian ini merupakan satu kehormatan pula yang tidak mungkin terlupakan."
  Tokoh golongan sesat itu kemudian tertawa-tawa. Rupanya mereka selalu cocok dalam berbagai hal.
  Pada saat yang sama di jalan utama pada penerima tamu undangan yang terdiri dari muridmurid Raka Tendra sendiri semakin sibuk melayani para tamu yang datang. Sampai menjelang tengah hari pemeriksaan berjalan dengan cukup lancar. Tapi tidak lama kemudian ketika muncul seorang pemuda berambut kemerahan berwajah tampan namun berkesan tolol kekanak-kanakan. Maka suasanapun berubah menjadi lain.
  "Mana bendera undangan merah yang seharusnya kau bawa hari ini?" tanya petugas penerima tamu pada pemuda berbaju biru ini dengan mata melotot. Pendekar Blo'on nyengir kuda, lalu garuk-garuk kepalanya. Akal cerdiknya segera berjalan. Karena ia memang tidak pernah diundang oleh siapapun. Tentu ia tidak dapat menunjukkan bendera merah yang dimaksudkan. Sebab apa yang dilakukannya saat ini adalah mencari musuh besar yang telah membunuh kedua orang tuanya. Tapi ketika di tengah jalan ia melihat banyak orang yang menuju ke gunung Pangrangko ini, mau tidak mau ia menjadi heran ada apakah gerangan? Dan ia jadi ingin mengetahuinya.
  "Undangan itu hilang ketika aku sedang mandi di kali. Maafkan aku kawan."
  "Jika kau tidak dapat menjaga keselamatan undangan itu. Berarti kau tidak dapat menjaga kehormatan penghulu kami. Bagaimana mungkin manusia sepertimu dipandang muka oleh ketua dan raja kami!" dengus sang penerima tamu. Sedangkan kawan si penerima tamu sedikitpun tidak menghiraukan Suro Blondo. Ia malah sibuk memeriksa identitas tamu-tamu yang lainnya.
  Kesempatan lengah yang cuma sekejap ini langsung dimanfaatkan oleh Suro Blondo. Ditariknya penerima tamu itu ke tempat yang aman. Seraya kemudian berbisik.
  "Tenanglah, aku sahabat baik putri Maya Swari. Jika kau melarangku masuk ke ruangan tamu. Tentu ia akan mencari-cari aku. Bagaimana kalau kita berdamai saja. Aku bisa memintakan bagimu dua keping emas untuk kebaikanmu itu." Penerima tamu tentu saja terkejut mendengar keterus terangan si pemuda. Padahal yang sesungguhnya Suro Blondo sendiri mendengar Maya Swari dari orang-orang yang dijumpainya di jalan.
  "Benarkah kau kawannya?" tanya penerima tamu ragu-ragu.
  "Tentu saja. Apakah kau perlu kupanggilkan puteri. Tapi jika dia sampai marah. Harap resiko ditanggung sendiri."
  Rupanya penerima tamu yang masih terhitung murid Diraja Penghulu Iblis begitu takluk pada anak gurunya. Sehingga tanpa banyak kata lagi ia segera menyuruh pendekar Blo'on berlalu.
  "Jangan kau cerita pada siapapun karena kau tidak membawa bendera undangan. Diraja Penghulu Iblis bisa menghukumku."
  "Jangan takut, kalau ada apa-apa tentu Maya Swari akan membelamu." pemuda ini menyeringai. Sambil bersiul-siul ia melangkah pergi.
  Ketika Pendekar Blo'on sampai di bagian penerima tamu terakhir dilihatnya semua kursi yang tersedia telah penuh terisi. Kalaupun ada kursi yang kosong letaknya jauh dari panggung laga dan juga panggung kehormatan. Karena terdorong oleh rasa keingin tahuannya. Maka Pemuda ini terpaksa duduk di tempat terpisah dekat beberapa ekor kuda yang ditambatkan dan juga dikelilingi ayam.
  "Ha ha ha...! Duduk dengan kuda lebih baik daripada dengan para iblis bertampang macan. Eeh... ada pula yang gundul seperti tuyul dan ada pula yang jelek seperti hantu. Ha ha ha... masa bodoh. Menunggu acara dimulai aku jadi mengantuk nih!" kata pemuda itu. Ia bersandar di batang pohon di mana bangku yang didudukinya berada. Tapi aneh ia tidak dapat memejamkan matanya. Apalagi ketika melihat para tamu semakin banyak saja jumlahnya.
  Setengah jam kemudian Suro Blondo melihat seorang gadis berpakaian pengantin berwajah cantik luar biasa menuju singgasana pelaminan yang terletak di samping podium. Pemuda ini mementang matanya lebar-lebar. Ia memang harus mengakui bahwa gadis itu cantik luar biasa. Tidak seperti tampang para tamu undangan, kalaupun ada yang perempuan tetap saja jelek menakutkan.
  "Luar binasa... eh, luar biasa. Gadis itukah yang ingin menjadi pengantin? Tapi sungguh aneh, pengantin pria masih belum ketahuan siapa orangnya. Sekarang ia sudah memakai gaun pengantin. Apakah dengan pakaian itu ia akan bertarung dengan orang-orang gagah untuk menentukan siapa yang dapat mengalahkannya?"
  Suro Blondo garuk-garuk kepala. Ia terus memandang ke arah gadis cantik bergaun pengantin kini mulai duduk di pelaminan tunggal. Melihat kecantikan gadis itu, tiba-tiba saja ia teringat pada Dewi Bulan. Ia tidak tahu entah kemana gadis itu sekarang. Sejak pertemuan terakhir mereka (Dalam Episode Hianat Empat Datuk). Konon Dewi Bulan ingin menyambangi gurunya di gunung Merbabu.
  Lamunan pemuda ini seketika buyar saat ia melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan menuju ke podium yang terletak disebelah pelaminan tunggal. Dibelakang laki-laki itu menyertai pula seorang laki-laki dan perempuan yang rupanya sengaja mengawalnya.
  Acara di tempat yang terbuka itu kemudian dimulai. Seluruh hadirin yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh golongan sesat terdiam.
  "Saudara-saudara!" Diraja Penghulu Iblis membuka ucapannya.
"Hari ini saya sengaja mengundang saudara-saudara kemari. Pertamatama adalah untuk bertatap muka dan saling mengenal secara lebih dekat lagi. Sedangkan yang kedua adalah untuk menentukan siapa yang paling pantas untuk menjadi calon pendamping putriku. Inilah peraturan yang ditetapkan oleh putriku sendiri. Itu sebabnya saya meminta saudara dari setiap perguruan membawa murid terbaiknya. Siapa tahu ia mempunyai keberuntungan berjodoh dengan murid sekaligus putri tunggalku. Putriku tidak menghendaki harta benda, tapi ia ingin punya suami yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari kepandaian yang dimiliki-nya. Sambil mengikuti acara tanding untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pendamping putriku. Sebaiknya nikmati hidangan yang telah kami sediakan!" Diraja Penghulu Iblis meninggalkan podium, seraya menghampiri putrinya yang duduk lengkap dengan pakaian pengantin. Mereka kemudian terlibat pembicaraan serius.
  Maya Swari meninggalkan pelaminan. Sekejap ia menghilang di ruangan ganti setelah itu muncul lagi lengkap dengan pakaian ringkas berwarna biru pula.
  Ia melompat keatas panggung kayu dengan gerakan yang sangat ringan sekali. Sementara itu seorang pembawa acara mulai membacakan tata cara dan aturan main di atas panggung. Para hadirin berdecak kagum melihat kecantikan sang dara. Bahkan diantara mereka ada yang bertepuk tangan segala. Suasana yang hiruk pikuk itu terhenti begitu tata cara permainan dibacakan.
  "Peserta dinyatakan kalah, bila jatuh sampai ke luar arena. Sedangkan putri Maya Swari dinyatakan kalah bila peserta dapat menotoknya. Peserta diperkenankan memakai senjatanya masing-masing. Pertandingan ini digelar selama dua hari. Siapapun punya kesempatan untuk mencoba. Terkecuali mereka yang telah berumur diatas tiga puluh tahun. Sekian...!"
  Pembawa acara melompat turun dari panggung. Posisinya digantikan oleh seorang pemuda berkepala gundul, mukanya bopeng-bopeng menakutkan. Hidungnya bengkok seperti paruh burung kakaktua dan badannya tegap berisi. Sebelum bicara ia membungkuk hormat pada hadirin dan pada Maya Swari.
  "Aku murid pertama perguruan Alam kubur. Bagus Indrajit namaku. Semoga Anda berkenan main-main denganku barang sejurus dua jurus!"
  Maya Swari tersenyum, namun hatinya mendongkol karena lawan yang dihadapinya mempunyai tampang begitu buruk. Dalam hati ia bertekad ingin secepatnya menjatuhkan laki-laki itu.
  "Silahkan saudara!"
  Dengan tenangnya Maya Swari memperhatikan setiap gerakan Bagus Indrajit. Dimatanya pemuda ini ternyata memang memiliki tenaga yang cukup besar, gerakannya lincah dan setiap serangan yang dilancarkannya terarah pada bagian-bagian yang sangat berbahaya. Tidak salah ketika itu si pemuda telah mempergunakan jurus 'Semilir Senja Dalam Sepi'. Ini merupakan jurus tingkat kedua yang pernah diajarkan oleh gurunya Bageng Jaliteng. Rupanya ia sadar bahwa Maya Swari merupakan anak seorang tokoh besar rimba persilatan. Sehingga ia tidak mau meremehkan lawannya. Sebaliknya Maya Swari sendiri hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna tampak berkelebat menghindari setiap serangan yang datang tidak ubahnya seperti burung walet yang menghindari tetesan air hujan. Hanya dalam waktu singkat lima jurus telah terlewati. Keringat telah membasahi sekujur tubuh Bagus Indrajit. Namun sampai sejauh itu ia belum berhasil menjatuhkan lawannya. Jangankan menjatuhkan, menyentuh salah satu pakaian lawan saja ia tidak mampu.
  Suara-suara sumbang mulai terdengar. Maya Swari semakin lama semakin cepat dalam menghindar. Disatu kesempatan dengan diawali teriakan melengking tinggi. Gadis cantik ini menerjang ke depan. Tendangan kilat dilakukannya disusul dengan pukulan beruntun. Tendangan itu dapat dihindari oleh Bagus Indrajit. Bahkan pukulan yang dilepaskan oleh Maya dapat dielakkannya. Tapi ketika Maya meneruskannya dengan tendangan susulan. Pemuda ini jadi terdesak.
  Wuuk! Buuk! Buuk!
  "Wuaakh...!" Bagus Indrajit terpelanting dan jatuh ke bawah panggung tanpa mampu mempertahankan diri. Seketika terdengarlah gemuruh suara hadirin mengeluk-elukan Maya Swari.
  Dalam pada itu dari bawah panggung melesat seorang pemuda berompi cokelat. Wajahnya cukup lumayan. Sebagaimana yang dilakukan lawan terdahulu, kini pemuda berompi cokelat inipun menjura hormat setelah itu tanpa basa basi langsung menyerang dengan mempergunakan sepasang pedang pendek. Keadaan tentu semakin bertambah seru, sedangkan Suro Blondo yang menyaksikan pertandingan itu hanya gelenggeleng kepala.
  Sejenak mari kita tinggalkan pertarungan diatas panggung itu. Kita lihat apa yang terjadi di jalan utama menuju tempat keramaian itu.

 



--₪֍¦ 5 ¦֍₪--

  "Berhenti...!" salah seorang petugas penerima undangan tiba-tiba membentak garang. Laki-laki gemuk luar biasa dan laki-laki kurus nggak ketulungan terpaksa menghentikan langkahnya. Dengan cepat dua orang penerima tamu yang bertugas digerbang utama datang menghampiri.
  "Tunjukkan bendera undangan pada kami!" kata salah seorang diantaranya. Gajah Gemuk dan Gajah Kurus saling pandang. Lalu dua-dua tersenyum.
  "Undangan itu terpaksa kami buang karena ada orang-orang tertentu yang menghendaki nyawa kami. Bukankah begitu adik Gajah Kurus?" Gajah Gemuk kemudian memberi isyarat pada adiknya. Dengan gerakan cepat dan tidak terduga-duga, tiba-tiba Gajah Kurus menotok urat gerak di tubuh penerima tamu sehingga membuat kedua pemuda itu menjadi kaku tidak mampu bergerak-gerak lagi.
  "Ha ha ha...!"Begini lebih baik bagi kalian!" kata Gajah Gemuk.
"Bagaimana Adikku?"
  "Kalau sudah tidak ada aral melintang, sebaiknya kita naik ke gunung Pangrangko sekarang juga." desah Gajah Kurus.
  "Mari...!"
  Kedua tokoh aliran lurus ini kemudian melanjutkan perjalanannya. Karena jalan yang akan mereka lewati selalu dijaga ketat oleh anak buah Diraja Penghulu Iblis. Maka Gajah Gemuk dan Gajah Kurus terpaksa bekerja keras merobohkan orang-orang itu tanpa membunuhnya.
  Ternyata mereka berhasil menyusup juga. Karena mereka ini bukan termasuk orang-orang yang diundang. Mau tak mau mereka terpaksa menyaksikan adu ketangkasan itu dari sebuah tempat bersembunyi tidak jauh dari panggung.
  "Banyak juga orang-orang yang datang untuk mengikuti acara pemilihan calon suami ini, Kakang."
  "Diraja Iblis memang mempunyai seorang putri yang aneh. Kalau cuma untuk menentukan siapa suaminya. Mengapa harus orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dapat mengalahkannya. Tokh diatas ranjang nanti ia tetap akan kalah dan selalu berada di bawah. Kurasa faktor yang terpenting bukan itu adikku. Siapa tahu ia punya niat untuk mengumpulkan seluruh orang-orang persilatan agar sudi bergabung dengan mereka."
  "Bagaimana Kakang bisa beranggapan seperti itu?" tanya Gajah Kurus sambil terus memantau pertarungan yang sedang berlangsung diatas panggung antara Maya Swari dengan seorang pemuda berbaju putih bersenjata kampak.
  "Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati para iblis siapa yang tahu?"
  Gajah Kurus menganggukkan kepala.
"Urusan kita kemari hanyalah untuk mengambil ular Kayangan yang telah dicuri oleh Buto Terenggi. Apakah kita akan mencampuri urusan Raka Tendra?"
  "Tergantung. Kalau ini menyangkut urusan rimba persilatan dan mengancam kaum golongan putih. Masa' kita hanya menjadi penonton saja. Coba sekarang perhatikan ke bawah pohon itu!"
  "Ya... aku sudah melihatnya. Seorang pemuda berambut hitam kemerahan berbaju biru itu kan?"
  "Betul. Ia bukan bergabung sebagaimana undangan lainnya, dia malah berkumpul dengan kuda. Tampangnya tolol kekanak-kanakan, apakah kau tidak tertarik untuk mengetahuinya apa sesungguhnya yang ia cari di tempat ini...?"
  "Tampangnya tolol begitu, apakah dia bukan anggota para iblis?" Gajah Kurus tampak meragu.
  "Hmm, tatapan matanya begitu lain. Aku yakin dia bukan undangan Diraja Penghulu Iblis. Tapi sebaiknya kita lihat apa yang akan dilakukannya." Gajah Kurus mengangguk setuju.
  Sementara itu diatas panggung Pibu, kini Maya Swari telah berhadapan dengan seorang pemuda lain bertelanjang dadanya. Badannya kekar berotot. Kulitnya hitam legam macam pantat kuali. Ia menjura hormat sebelum memperkenalkan diri.
  "Nisanak. Aku Pito Lukito ingin minta petunjukmu!"
  "Katakan dari mana asal usulmu!"
  "Aku dari tanah seberang, tidak punya guru...!"
  "Hmm, majulah!"
"Heaaa...!"
  Diawali dengan suara bentakan keras menggelegar, Pito Lukito yang sudah melihat kehandalan lawannya ini langsung melancarkan serangan-serangan yang mematikan. Sungguhpun pemuda ini mengaku tidak pernah berguru, tapi serangan-serangan yang dilancarkannya cukup dahsyat dan terarah. Maya Swari menyadari kenyataan ini. Tanpa mengenal rasa lelah setelah menjatuhkan sepuluh lawan terdahulu kini ia berusaha merangsak dan menembus pertahanan lawannya.
  Perlu diketahui ketika mengalahkan sepuluh lawannya tadi. Tidak seorangpun yang mampu menyentuh badannya. Kini dengan senjatanya berbentuk sebuah celurit ia merangsa dengan ganasnya. Angin serangan menderu-deru. Sungguhpun begitu dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata, Maya Swari masih sempat menghajar perut Pito Lukito dengan satu tendangan keras.
  Deek! Wees!
  Pito Lukito terjajar tapi tidak sampai keluar dari kalangan pertempuran. Tepuk sorai hadirin terdengar. Tapi hanya sesaat, karena mereka segera melihat bahwa pita biru pengikat rambut Maya Swari kena ditebas putus. Gadis itu sempat ciut nyalinya. Buru-buru ia merapikan rambutnya yang tergerai.
  "Bukan main!" Raka Tendra, Buto Terenggi dan Nyanyuk Pingitan berseru memuji.
  Dalam pada itu Maya Swari telah bergerak lagi. Tubuhnya mencelat ke depan jemari tangan terkembang mencengkeram batok kepala. Sedangkan kaki menendang kearah lambung.
  Gerakan ini dikenal dengan jurus 'Memagut Bisa Mencabut Kepala'. Tidak sembarang orang dapat menghindar dari kematian jika tidak berpengalaman benar dalam menghindar.
  "Huup! Heaa...!"
  Pito Lukito rupanya sadar benar akan hal ini. Ia miringkan setengah badannya, celurit ia goyang ke kiri dan menghantam ke kanan. Rupanya serangan dahsyat ini hanya tipuan saja. Ketika Pito Lukito membalasnya dengan tipuan pula. Ia malah tertipu mentah-mentah. Benar lambungnya dapat diselamatkan. Tapi kepalanya yang gondrong berhasil dicengkeram oleh Maya Swari. Dengan kekuatannya yang tidak terdugaduga diputarnya Pito Lukito dengan kaki terayun di udara. Dalam keadaan berputar seperti itu ia hadiahkan satu pukulan ke bagian tengkuk.
  Dhakk...! "Waaakh...!"
  Mulut Pito Lukito menyembur darah. dengan keadaan setengah mampus tubuhnya dilemparkan keluar panggung. Pemuda ini jatuh terguling-guling dibawah panggung dalam keadaan sekarat. Seruan memuji terdengar. Dalam pada itu terdengar suara seseorang yang begitu lantang.
  "Putri Diraja memang hebat. Sayang tidak ada lawan yang tangguh. Semua cap lonceng disini jadi pecundang, huh sungguh memalukan!" ucapan bernada mengejek ini tentu mengundang perhatian setiap orang. Tidak terkecuali tuan rumah Diraja Penghulu Iblis.
  Mereka segera mencari-cari asal datangnya suara. Maka terlihatlah oleh mereka seorang pemuda berbaju biru duduk ongkang-ongkang dibawah pohon sambil mengelus-elus pantat kuda.
  Buto Terenggi berbisik pada Raka Tendra.
"Bocah tolol itulah yang tadi bicara!"
  "Sebaiknya suruh dia maju ke panggung!" balas Raka Tendra sambil menganggukkan kepala.
  Buto Terenggi maju menghampiri Suro Blondo. Di tempat persembunyiannya Gajah Gemuk berbisik pada Gajah Kurus.
  "Bocah itu lancang sekali mulutnya. Tidak tahukah dia sedang berada di sarang macan yang sedang berpesta?"
  "Kita lihat apakah dia punya kepandaian?" Gajah Kurus menimpali.
  Sementara Buto Terenggi telah datang menghampiri.
  "Kau yang bicara tadi, bocah?" Suro Blondo garuk-garuk kepala.
  "Apakah kau merasa punya kemampuan sehingga berani menghina orang lain...?"
  "Aku tidak tahu. Kulihat putri itu hebat bukan main. Tapi apa gunanya membuat panggung lawakan yang tidak lucu, kalau orang yang bermain diatasnya hanya orang-orang seperti badut!" kata pendekar Blo'on sambil tersenyum-senyum.
  Merah wajah Buto Terenggi seketika. Rahangnya terkatup rapat. Ia pun kemudian menggeram marah.
  "Jika kau merasa punya kebiasaan mengapa tidak cepat naik keatas panggung?" bentaknya berang.
  "Aku baru akan melakukannya!" ujar si pemuda.
  Karena merasa tidak sabar. Datuk Mambang Pitoka langsung menyentakkan tangan pendekar Blo'on. Tubuh si pemuda ini langsung melayang hingga membuatnya jatuh terduduk diatas panggung. Semua orang berdecak kagum melihat besarnya tenaga yang dimiliki oleh Buto Terenggi. Tapi mereka segera maklum setelah mengetahui siapa orangnya.
  "Lihatlah, orang yang mencuri ular-ular kita ada disitu. Apakah kita gebuk sekarang?"
  "Jangan adik Kurus. Kita harus melihat situasi, naluriku mengatakan akan terjadi huru hara disini." kata Gajah Gemuk di tempat persembunyiannya.
  Sementara itu Ratu Penyair Tujuh Bayangan juga sudah berada di tempat keramaian. Hanya ia yang datang bersama Dewi Bulan sengaja bersembunyi diatas pohon. Sungguhpun ia datang dengan membawa undangan, tapi kecurigaannya mulai timbul ketika melihat para petugas penerima tamu tewas dalam keadaan tertotok. Kecurigaan Ratu Penyair Tujuh Bayangan semakin bertambah kuat melihat orang-orang yang tewas itu pertama tentunya dalam keadaan tertotok, baru sejam kemudian dibunuh. Jelas antara si penotok dengan si pembunuh merupakan orang yang berlainan.
  Kini diatas pohon itu Ratu Penyair dan Dewi Bulan yang tertotok urat gerak dan suaranya dapat menyaksikan ke tengah-tengah panggung tanpa ada seorangpun yang melihat mereka. Dewi Bulan yang tidak mampu bicara itu tentu saja terkesiap melihat Suro Blondo terlempar ke atas panggung. Sungguhpun ia melihat orang lain yang melemparkannya. Artinya tetap sama saja, jika pendekar Blo'on yang memenangkan pertandingan ini ia berhak memperistri Maya Swari. Tanpa terasa jantung Dewi Bulan berdetak kencang dan wajahnya pun bersemu merah.
  Dibelakangnya Ratu Penyair Tujuh Bayangan yang melihat kejadian ini hanya tersenyumsenyum saja.
  "Pemuda itu meskipun tampangnya tolol kekanak-kanakan, ganteng bukan?" sindirnya kemudian. Untung Dewi Bulan tidak dapat bicara, kalau tidak ia pasti sudah menyemburnya dengan caci maki.
  Diatas panggung Suro Blondo dengan terpincang-pincang sudah bangkit berdiri. Sesungguhnya ia tidak kekurangan sesuatu apa. Ketika ia dilemparkan tadi ia bahkan telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi badannya dari pengaruh benturan. Tapi karena kini ia berada di tengah-tengah orang-orang berkepandaian tinggi dan terdiri dari para tokoh sesat pula. Mau tidak mau ia mengambil sikap seperti orang yang tidak punya kepandaian sama sekali.
  "Bicaramu selangit, seakan kau mempunyai kesaktian segudang." dengus Maya Swari. Rupanya setelah melihat ketampanan si pemuda yang sangat lain dari lainnya, gadis ini merasa tertarik juga.
  "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud melawanmu, Nisanak!" kata si pemuda, lalu menyeka keringat yang mengalir dikeningnya.
  "Huh... siapa sudi memaafkan kau. Terlanjur kau naik kepanggung ini. Kau mau tidak mau, suka tidak suka harus menerima gebukanku!" kata Maya Swari. Dan entah mengapa kini ia punya perhatian khusus pada pemuda berambut hitam kemerah-merahan ini.

 



--₪֍¦ 6 ¦֍₪--

  "Baiklah. Kuterima gebukanmu tapi jangan kuat-kuat!" Pendekar Blo'on menyeringai. Ini membuat Maya Swari menjadi mangkal. Cepat ia menggeser langkahnya kesamping kiri. Kaki depan ditekuk, sementara tangan terkembang di depan dada. Jelas sekali Raka Tendra mengetahui bahwa putrinya mengerahkan salah satu jurus yang sangat berbahaya. Padahal pemuda itu sungguhpun anaknya mempergunakan jurus biasa belum tentu lawan dapat menghindarinya. Raka Tendra segera dapat mengambil kesimpulan bahwa anaknya memang bermaksud menghabisi lawannya.
  "Yeaa...!"
  Maya Swari melompat ke depan. Tangannya terkembang menghantam ke dada. Cepat bukan main gerakan ini sehingga orangpun dapat membayangkan dengan sekali pukul pemuda berambut hitam kemerahan ini roboh dan paling tidak terluka dalam cukup parah.
  "Jangan kelewat kejam...!" desis Suro Blondo lalu pencongkan mulutnya. Setelah itu ia melompat ke samping. Ia pergunakan jurus Kera putih Memilah Kutu. Gerakan menghindar yang dilakukannya terkesan asal jadi dan sembarangan. Tubuhnya terhuyung ke depan, ketika hantaman tangan lawan datang ia tarik ke kiri, lalu terhuyung pula ke kanan. Sedangkan kaki dengan lincahnya melompat-lompat lalu....
  Wuus!
  Satu liukan indah dilakukannya. Sehingga serangan beruntun Maya Swari mengenai sasaran kosong. Para hadirin terlebih-lebih Raka Tendra tertegun. Jurus serta serangan anaknya itu terkenal cepat dan tidak pernah meleset. Tapi aneh, jika kali ini lawan dengan gerakan yang kacau dapat menghindari serangan itu.
  Maya Swari kertakan rahangnya. Tangan kiri diputarnya, lalu tangan kanan menghantam ke bagian wajah lawan sedang kaki menendang ke arah perut. Ini merupakan gerakan yang sulit dilakukan oleh orang lain secara sempurna. Sekejap ia melompat lalu lepaskan tendangan dan pukulan secara beruntun. Sambil berjingkrakjingkrak Suro Blondo terpaksa melompat ke belakang dan terus ke belakang. Orang memperkirakan sebentar lagi pemuda bertampang tolol kekanak-kanakan ini pasti jatuh dari panggung. Tapi siapa sangka begitu sampai di ujung panggung ia bersalto sebanyak tiga kali. Bahkan ia masih sempat pula melakukan serangan balasan.
  Bet!?
  Tangannya melayang mencakar ubun-ubun lawan. Maya Swari terpaksa berguling-guling selamatkan kepala.
  "Ha ha ha...!" Pendekar Blo'on tertawa ngakak.
"Hati-hati, Nisanak!"
  "Jangan bangga! Heyaa...!" Maya Swari sambil berteriak melompat berdiri tangannya menghantam lutut si pemuda. Karena serangan itu bertubi-tubi dan penuh variasi. Suro Blondo kali ini terpaksa melompat lagi, tangan menghantam kiri kanan dan depan. Ia berjongkok dan seperti seekor monyet berjingkrak-jingkrak ia melayani serangan lawannya.
  Yang aneh dari serangan balasan yang dilakukan kali ini adalah setiap menyerang dari mulutnya keluar suara raungan seperti suara hiruk pikuk monyet di hutan. Suara ini membawa pengaruh tidak ringan, karena gerakan silat serta konsentrasi lawan jadi terpecah-pecah.
  "Hiiik!" Maya Swari rupanya segera menyadari apa yang harus dilakukannya untuk menghilangkan pengaruh suara pendekar Blo'on. Sehingga ia berteriak keras sekali. Pertarungan itu semakin lama berlangsung semakin seru. Semua pihak berdecak kagum. Termasuk juga orangorang yang bersembunyi di balik pohon maupun yang diatas pohon.
  "Anak itu tampangnya tolol dan kekanakkanakan. Tapi siapa sangka ia mempunyai ilmu silat yang sangat langka." komentar Buto Terenggi seakan memuji.
  "Aku seperti pernah mengenal jurus-jurus aneh seperti itu. Tapi aku lupa kapan dan dimana." Raka Tendra menimpali.
  "Tenaga dalamnya berada diatas tenaga dalam Maya Swari" Nyanyuk Pingitan buka suara.
"Sayang kita tidak tahu dia berasal dari golongan mana!"
  "Kita lihat dulu apakah ia mampu menghadapi ilmu pedang putriku. Jika dia lolos dari kematian. Nanti kita dapat bertanya darimana asal pemuda itu."
  Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah Kurus juga sedang berembuk dan membicarakan Pendekar Blo'on.
  "Kurasa di kolong langit ini hanya Penghulu Siluman Kera Putih Batara Surya saja yang memiliki ilmu kera semacam ini. Tapi apakah kau yakin dia muridnya Batara Surya?"
  "Aku kurang tahu, Kakang. Menurut apa yang kudengar Batara Surya tidak pernah memungut seorang murid pun. Ia lebih suka berkumpul dengan monyet-monyet siluman kaumnya."
  "Tapi... ah, ini lebih gila lagi. Lihatlah jurus yang dimainkannya itu. Lima puluh tahun yang lalu aku seperti pernah melihat jurus yang sangat kacau sebagaimana yang dimainkan oleh pemuda itu. Tidak! Jurus ini lebih dahsyat dari jurusjurus kera putih." Bantahnya sendiri.
  "Kacau balau? Bukankah jurus itu hanya dimiliki oleh Malaikat Berambut Api?"
  Gajah Gemuk manggut-manggut.
"Benar... aku baru ingat jurus yang sekarang dimainkan oleh pemuda itu sama persis dengan jurus Kacau Balau ciptaan Malaikat Berambut Api. Tapi apa hubungannya? Apakah dia muridnya? Konon Malaikat Berambut Api manusia sakti mandraguna itu tinggal di Pulau Seribu Satu Malam dan tidak punya seorang murid pun."
  "Ya... dan gadis itu walaupun kini bersenjata pedang mungkin tidak sampai lima jurus dimuka segera menjadi pecundang!" kata Gajah Gemuk menimpali.
  Apa yang dikatakan oleh Gajah Kurus memang bukan hanya sekedar bualan saja. Sungguhpun Maya Swari telah menggerakkan jurus pedang yang paling sangat diandalkannya. Hingga sejauh itu ia masih belum dapat menciderai lawannya. Jangankan melukainya, sedangkan merobek pakaian si pemuda saja ia tidak mampu.
  Ketika Suro Blondo melancarkan serangan balik dengan perpaduan dua jurus, yaitu jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau dan Jurus Kacau Balau. Maka Maya Swari segera terdesak. Gadis cantik ini semakin memperhebat gerakan pedangnya dan juga melipat gandakan tenaga dalamnya. Sejauh itu ia masih belum mampu menembus pertahanan lawannya. Bahkan setiap serangan-serangan yang dilancarkannya selalu tertahan. Permainan pedangnya terbatas dan selalu membalik nyaris mengenai diri sendiri.
  Diatas pohon Dewi Bulan yang turut menyaksikan pertempuran itu diam-diam mulai cemas. Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu, tapi jauh di lubuk hatinya jika Pendekar Blo'on dapat memenangkan pertandingan ini berarti dia akan menjadi suami Maya Swari. Siapa yang tidak sedih melihat pemuda yang dicintainya secara diam-diam menjadi suami orang lain. Secara kebetulan itupun tengah dipikirkan oleh Suro Blondo. Kalau dia mau tentu sejak tadi Maya Swari dapat dijatuhkannya. Tapi konsekwensinya ia harus menjadi suami Maya Swari. Padahal inilah yang tidak dikehendakinya. Bukan karena Maya Swari jelek rupa. Dibandingkan Dewi Bulan, Kecantikan Maya Swari tidak ubahnya bagai pinang di belah kampak. Artinya samasama cantik dan menawan. Mengingat Maya Swari merupakan putri dari tokoh sesat, hal ini tidak sejalan dengan jalan hidup yang ditempuhnya. Lagipula ia masih harus mencari musuh besar orang tuanya yang hingga kini belum ketahuan dimana rimbanya.
  Sekarang ia harus mencari jalan lain, paling tidak ia harus mengalah. Tapi jika itu dilakukannya, ia pasti mati ditangan si gadis yang begitu ganas. Dalam keadaan bingung begitu rupa, serangan-serangan Maya Swari semakin bertambah gencar kembali. Tokh sebagai orang berpengalaman Diraja Penghulu Iblis, Buto Terenggi dan Nyanyuk Pingitan sudah dapat mengetahui bahwa pemuda berambut hitam kemerahan itu kini sengaja mengalah. Dalam arti sebenarnya ia sudah memenangkan pertarungan sejak beberapa jurus tadi. Apapun alasannya, pemuda itu sudah pantas menjadi pendamping Maya Swari sebagaimana isyarat gadis itu kepada ayahnya. Celakalah bagi Suro Blondo karena usahanya ini tidak mendatangkan hasil. Ketika Diraja Penghulu Iblis bertepuk tangan dan angkat bendera putih. Maka Maya Swari melompat mundur. Tidak lama penguasa gunung Pangrangko ini melompat ke atas panggung, memandang untuk beberapa saat lamanya, lalu tersenyum ditujukan pada Maya Swari anaknya.
  "Sesungguhnya kau telah kalah, Anakku. Pemuda ini pantas menjadi pendampingmu. Bagaimana apakah kau mau mungkir?" pertanyaan ini membuat wajah Maya Swari yang putih susu berubah memerah seperti tomat masak. Ia sendiri harus mengakui bahwa Suro Blondo memang hebat, kalau dia mau mungkin sejak tadi ia sudah menjadi pecundang. Dihatinya ia beranggapan bahwa pemuda berambut hitam kemerahan itu sengaja mengalah karena takut kepada orang tuanya. Kini setelah ayahnya naik ke atas panggung maka semakin bertambah jelaslah persoalannya.
  "Siapakah namamu, anak muda?" tanya Raka Tendra dengan suara keras.
  Suro Blondo menjadi bingung sebentar, lalu garuk-garuk kepala. Mungkinkah ia harus berterus terang? Sedangkan ia berhadapan dengan orang-orang yang tidak satu golongan.
  "Jika keadaan sangat memaksamu untuk berdusta karena kau merasa ragu menilai kebaikan orang lain. Berbohongpun tidak akan ada salahnya!" kata-kata yang pernah diucapkan oleh gurunya seakan mengiang kembali di telinganya.
"Mengapa kau diam?"
  Pertanyaan ini membuat si pemuda tersentak kaget.
  "Na.. namaku, namaku Pangeran Linglung." jawab si pemuda sekenanya. Raka Tendra kerutkan kening sedangkan Maya Swari sebagaimana tamu lainnya ikut tertawa. Dibalik tempat persembunyiannya Gajah Gemuk bicara
  "Bocah itu ternyata hanya orang gendeng yang memiliki kepandaian tinggi."
  "Tenanglah, kita lihat saja apa yang akan terjadi!" Gajah Kurus Krempeng menimpali.
  Pembicaraan diatas panggung terus berlangsung.
  "Apakah kau tidak berdusta?"
"Tidak."
  "Siapa gurumu?" tanya Raka Tendra dengan sorot mata penuh selidik.
  Suro Blondo nyengir lagi.
"Aku tidak pernah berguru. Aku hanya melihat gerak gambar ditebing batu lalu kutiru."
  "Benarkah begitu?"
"Ya..."
  "Apa pekerjaanmu?"
  "Sejak jadi yatim piatu aku menggembala kuda milik orang kaya di Banyuwangi. Karena kuda-kuda itu beranak terus, aku kewalahan dan lari hingga ke sini...." Jawaban Suro Blondo yang tenang itu membuat Raka Tendra harus percaya, walau dihatinya curiga. Sebaliknya para undangan tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban yang sangat polos itu.
  "Tahukah kau bahwa kau memenangkan pertandingan ini?"
  Suro Blondo menggeleng.
  "Kau menang, berarti kau berhak menjadi pendamping putriku. Kurasa Maya Swari setuju bukankah begitu?" Raka Tendra menoleh pada putrinya. Maya Swari menundukkan kepala malumalu, padahal memang setuju.
  "Tapi... ee... bagaimana ini...!"
  "Menolak pinangan iblis berarti mati. Tidak sadarkah kau bahwa ini merupakan satu kehormatan bagimu!" ketus sekali suara Diraja Penghulu Iblis.
  Sementara di atas pohon Dewi Bulan yang dalam keadaan tertotok dan terus didampingi oleh Ratu Penyair Tujuh Bayangan segera palingkan mukanya ke arah lain. Tapi satu permintaan Suro Blondo yang diajukan kepada Raka Tendra paling tidak membuat hatinya lega.
  "Kehormatan itu dapat kuterima. tapi aku punya satu syarat. Jika syaratku diterima tentu bukan halangan bagiku untuk menjadi suami putri yang cantik ini."
  "Apakah syaratmu?"
  "Karena aku seorang Pangeran, walaupun hanya Pangeran Linglung. Aku punya pembantu paling setia. Kelak dia akan datang sendiri bila melihat majikannya ada disini."
  "Ha ha ha...! Jangankan hanya satu kacung, sepuluh kacung pun jika kau punya tidak mengapa kalau kau mau membawanya kemari."
"Terimakasih-terimakasih...!"
  "Jadi kau telah setuju untuk menjadi mantuku?"
  Pendekar Blo'on tersenyum-senyum, lalu anggukan kepala. Melihat ini tentu Maya Swari girang bukan main. Sebaliknya Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng memaki-maki.
  "Anak tolol! Kepandaian tinggi. tapi mau menjadi menantu iblis. Dasar edan!"
  "Tenanglah Adik Krempeng. Kurasa ia punya tujuan tertentu. Kita lihat saja." kata Gajah Gemuk.
  Di atas panggung Raka Tendra mulai mengumumkan pertunangan Maya Swari dengan Pendekar Blo'on yang mengaku sebagai Pangeran Linglung. Sementara itu Buto Terenggi dan Nyanyuk pingitan sedang berbincang-bincang dengan seorang tamu yang baru saja datang. Tamu itu memiliki badan agak bungkuk, matanya cuma sebelah, wajahnya mengerikan karena membusuk disana sini. Melihat cara Buto Terenggi yang bermata kecil seperti ikan lele itu menghormat. Jelas tamu yang datang bukan tamu sembarangan. Dia tidak lain Si Bungkuk Lima alias Datuk Alang Sitepu dari gunung Sibayak.
  "Maaf, kami terlambat menyambut tamu yang datang dari jauh. Silakan mengambil tempat Raja Penyihir. Sebentar lagi pesta besar segera diadakan!" Nyanyuk Pingitan mempersilahkan manusia bungkuk bau bangkai ini mengambil tempat tidak jauh dari panggung.
  "Hmm, Inikah orangnya yang akan menjadi mantu Raka Tendra?" tanya Datuk Alang Sitepu sambil tersenyum. Tapi senyumnya itu dimata orang lain tidak ubahnya seperti seringai menakutkan. Dan bibir itu sendiri seperti hendak tanggal ketika ia sedang bicara.
  "Benar Datuk Alang." yang menjawab adalah Buto Terenggi.
  "Hanya seseorang badut mengapa harus dijadikan mantu...?" Datuk Alang yang sangat dikenal di pulau Jawa karena ilmu sihirnya yang hebat-hebat, meludahkan air sirihnya ke tanah. Rumput yang terkena air ludah laki-laki ini langsung hangus menebar asap berbau busuk sekali.
"Lagi pula pemuda itu belum mampu menotok calon pengantin perempuan. Mengapa adu kepandaian dihentikan?" Datuk Alang Sitepu protes.
  "Pemuda itu mungkin takut melakukannya, Datuk. Mungkin pula ini caranya dalam menghormati calon istrinya. Ia tidak mau mempermalukan calon isteri di depan orang banyak."
  Pembicaraan antar tokoh ini terus berlangsung. Sementara Maya Swari dan Suro Blondo telah digiring meninggalkan panggung untuk dirias di kamar pengantin.

 



--₪֍¦ 7 ¦֍₪--

  Pada saat yang sama Satu Penyair Tujuh Bayangan sudah melepaskan totokan pada bagian jalan suara Dewi Bulan. Begitu terbebas dari totokan gadis ini langsung bicara.
  "Sebenarnya aku sudah memenuhi keinginanmu. Sekarang bebaskan aku! Pemuda itu perlu ditolong. Aku tidak suka ia kawin dengan anak iblis!" semburnya.
  Ratu Penyair Tujuh Bayangan tersenyum.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kulihat tatapan matamu dan kau menyukainya. Tapi jangan khawatir aku pasti akan membantumu. Kini niatku telah berubah setelah melihat Raja Penyihir ada disini. Kurasa ada yang tidak beres bakal terjadi!"
  Dewi Bulan terkejut bukan main mendengar Ratu Penyair Tujuh Bayangan menyebutnyebut tentang ahli sihir.
  "Nisanak, siapakah kau sesungguhnya.
  Kau berdiri dipihak mana?"
  "Di tengah-tengah. Iblis juga sahabatku, walau tidak jarang aku juga berkawan dengan orang-orang lurus. Tapi jangan takut. Aku paling tidak bisa melihat kekejian." desah Ratu Penyair.
  "Kudengar tadi pemuda itu menyebut tentang kacung. Kalau kau bisa menyamar, sebaiknya menyamarlah sebagai kacung. Sementara aku sendiri akan menyelidik apa yang tersembunyi dibalik undangan merah ini!"
  Tees! Tees!
  Ratu Penyair Tujuh Bayangan membebaskan totokan Dewi Bulan. Sebelum berkelebat pergi ia masih sempat berpesan.
  "Hati-hati kau bertindak. Sekali langkahmu tercium oleh mereka. Maka setiap jengkal tanah disini akan mendapat pengawasan yang sangat ketat dari anggota mereka!"
  Dewi Bulan yang semula merasa curiga atas kehadiran Ratu Penyair Tujuh Bayangan, kini hanya menganggukkan kepala. Secara diamdiam ia meninggalkan pohon yang mereka jadikan tempat bersembunyi sejak tadi.
  Sementara itu sepasang mempelai telah disandingkan. Dandanan Pendekar Blo'on sangat lucu sekali. Tidak jauh dari kursi pengantin, para hadirin kini sedang berpesta pora. Tidak lupa ular Kayangan yang telah dimasak dengan cara khusus disajikan. Bau arak wangi dan aneka roma berbagai jenis makanan berbaur menjadi satu. Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk merasa menjadi lapar seketika.
  "Kita harus ikut mencicipi hidangan itu sekaligus menyelidik apakah ular-ular berkhasiat milik kita telah menjadi hidangan ini!"
  "Jangan...!" cegah Gajah Krempeng.
"Aku seperti mencium bau sesuatu yang sangat khas. Kurasa inilah yang dinamakan Racun Pelumpuh akal."
  "Apa?" Gajah Gemuk belalakkan mata.
"Racun Pelumpuh Akal? Aku tahu kini. Bukankah racun itu gunanya untuk menghilangkan akal sehat seseorang. Siapakah yang memakannya ia akan menjadi patuh pada orang yang menguasainya. Tapi untuk apa Diraja Penghulu Iblis melakukannya?"
  "Kurasa ada rencana besar dibalik semua ini. Jika orang-orang itu telah keracunan, tentu mereka tidak ubahnya seperti orang bodoh. Mereka akan menjadi penurut dan melakukan semua perintah orang yang telah meracunnya. Dan kurasa ini ada hubungannnya dengan ular Khayangan milik kita yang dicuri oleh Buto Terenggi. Jika ular-ular itu sekarang telah diolah dan dihidangkan, bukankah para undangan yang telah terkena racun akan memiliki tenaga cukup besar untuk membantu Diraja Penghulu Iblis. Tenaga mereka yang berlipat ganda itu akan sangat berguna sekali. Tidak ada orang yang dapat menghentikan mereka...!"
  Gajah Krempeng bergidik seram.
  "Aku hampir tidak percaya mereka punya rencana besar. Rencana apa?" desis Gajah Gemuk.
  "Itu gunanya jika kita mau menyelidik. Sebelum kita pergi apakah kau melihat ada bayangan berkelebat dari atas pohon tadi?"
  "Aku tidak melihatnya, perhatianku selalu tertuju pada pemuda itu."
  "Sudahlah, sekarang sudah waktunya kita bergerak!"
  Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng kemudian keluar dari tempat persembunyiannya. Kemudian dengan mengendap-endap mereka mulai mengitari bangunan besar itu dari belakang. Tepat seperti yang dikatakan oleh Gajah Krempeng. Para undangan yang terdiri dari tokohtokoh aliran hitam ini setelah menyantap hidangan tampak berubah lain. Tatapan mereka tampak kosong, sementara keringat terus bercucuran di kening dan tubuh mereka. Anehnya tidak seorangpun diantara mereka yang berani bicara. Saat itu hari sudah berubah senja. Matahari hanya tinggal bayang-bayang merah yang menyeruak di celah-celah dedaunan.
  Suro Blondo yang duduk di samping Maya Swari tentu saja merasa heran sekali melihat perubahan ini. Cuma ia tidak mau menanyakan pada Maya Swari. Saat malam tiba, pengantin masuk ke dalam kamar mereka. Sementara para undangan sekarang malah bertindak menjadi pengawal di luar bangunan yang cukup besar itu. Kenyataan ini memang sangat mengherankan. Bagaimana mungkin orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi ini bisa takluk bahkan kini seperti telah berubah menjadi para abdi yang paling setia pada Diraja Penghulu Iblis.
  Hanya orang-orang yang mempunyai otak cerdas saja yang tahu, bahwa Diraja Penghulu Iblis telah mempergunakan cara yang paling halus untuk membuat tokoh-tokoh golongan menjadi tunduk padanya. Itulah kunci dari kehebatan 'Racun Pelumpuh Akal'. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini mulai bertindak dengan sangat hati-hati. Sedikit banyak ia menjadi lega juga ketika melihat seorang pengawal merangkap murid Diraja Penghulu Iblis mengantar seorang laki-laki berkumis tipis dengan tahi lalat di dagu ke kamarnya. Walaupun sebenarnya Suro Blondo merasa kaget atas kemunculan Dewi Bulan yang tidak disangka-sangka ini. Tapi ia telah bertekad untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapinya. Ia lalu tertawa melihat sang kacung ini yang sempat mendelik padanya.
  "Ah.... Maya... inilah kacung yang kumaksudkan itu. Dia sangat setia dan jujur. Aku mau saat ini ia mendampingi aku!"
  "Aku tentu saja tidak keberatan, Kakang Pangeran...!" Maya Swari memperhatikan kacung yang berkumis tipis dan berpakaian kedodoran ini.
"Siapa namamu?"
  "Margonda, Gusti Putri."
  "Margonda nama yang cukup bagus. Tolong sediakan hidangan buat kami malam ini, Margonda!" kata Maya Swari lembut. Dan sebenarnya walaupun ia anak dedengkotnya para iblis Maya Swari sebenarnya berhati lembut, polos dan penuh pengertian.
  "Baik, segera hamba kerjakan." Margonda alias Dewi Bulan berlalu meninggalkan ruangan pengantin itu dengan dikawal oleh seorang pengawal bersenjata tombak. Pengawalan ini sesungguhnya membuat Margonda tidak dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi sebelumnya ia telah mendapat kisikan dari Ratu Penyair Tujuh Bayangan bahwa semua makanan disitu telah dibubuhi Racun Pelemah Akal. Apapun alasannya yang jelas tuan rumah punya maksud-maksud yang tidak baik. Ketika ia sampai di dapur tidak tahunya hidangan itu untuk pengantin telah disediakan. Jadi Margonda hanya tinggal membawanya sekarang. Hidangan ini jelas tidak boleh dimakan oleh Suro Blondo kalau ingin dirinya selamat. Tapi bagaimana membuang nya dan menggantikannya dengan hidangan lain. Sedangkan pengawal itu terus mengawasi gerak geriknya.
  Bagi Dewi Bulan alias Margonda sebenarnya tidak sulit untuk merobohkan seorang pengawal. Tapi setiap sudut selalu dijaga oleh orangorang tertentu. Jika ia nekad membungkam pengawal yang terus mengikutinya. Bukan mustahil penyamarannya akan terbongkar. Dalam keadaan bingung seperti itu tiba-tiba Dewi Bulan teringat sesuatu. Ia menyelipkan sepotong ubi di tengahtengah nampan tanah. Di tengah-tengah potongan ubi rebus itu ia susupkan dua butir pil berwarna putih. Dua obat mujarab pemberian gurunya ini bukan sembarang obat. Karena diambil dari bisa ular merah dicampur ramuan lain. Fungsinya akan melumpuhkan pengaruh racun lainnya didalam tubuh seseorang setelah itu racun ular merah itu setelah bekerja tidak akan membahayakan keselamatan jiwa yang memakannya.
  Tidak lama kemudian ia telah sampai kembali di kamar pengantin. Maya Swari tentu saja terheran-heran ketika melihat Suro Blondo menyambar potongan ubi itu lalu memakannya dengan lahap.
  "Aih... Kakang, mengapa makan ubi. Bukankah hidangan lainnya cukup lezat?" tegurnya.
  "Biasanya sebelum makan yang enak-enak kacungku ini memang kuminta menyediakan sepotong ubi. Kalau tidak manalah makanku lahap!"
  Maya Swari yang sesungguhnya benarbenar sangat mencintai Suro Blondo sejak pandangan pertama langsung tersenyum. Dengan dibantu oleh Margonda ia meletakkan hidangan itu diatas meja kecil. Sikap Maya Swari yang begitu manja membuat Dewi Bulan selalu menundukkan kepala.
  Hidangan telah tersedia Margonda meninggalkan ruangan pengantin. Ketika Suro Blondo hendak mencicipi salah satu hidangan. Tiba-tiba Maya Swari mencegahnya.
  "Kakang sebaiknya makanan ini kita bubuhkan penyedap khusus." desah gadis itu. Tapi diam-diam keningnya berkerut. Dalam aroma hidangan dia seperti mencium bau Racun Pelemah Akal. Siapa yang telah membubuhkannya? Sungguhpun ia kebal terhadap racun itu. Tapi bagaimana jika racun yang berbau harum sebagai aroma masakan ini termakan oleh suaminya? Untuk menghindari kecurigaan Suro Blondo ia berpura-pura untuk membubuhkan penyedap khusus. Padahal ia ingin membubuhkan penangkal racun itu agar Suro Blondo terhindar dari bahaya. Maya Swari menjadi curiga pada ayahnya. Jangan-jangan sang ayah sengaja meracuni Suro Blondo. Tapi apa tujuannya?
  Sementara itu Suro Blondo sudah mencomot salah satu masakan dan memakannya sebelum Maya Swari membubuhkan penyedap sebagaimana yang dikatakannya tadi.
  "Kakang mengapa dimakan?" tanya Maya Swari dengan terkejut.
  "Bukankah hidangan ini khusus disediakan buatku?"
  Mendengar ucapan Suro Blondo, gadis itu jadi kehilangan kata-kata. Mereka pun makan bersama-sama. Tentu saja setelah Maya Swari membubuhkan menyedap berwarna merah di dalam botol. Selesai makan Maya Swari tidak langsung tidur. Ia pamitan untuk bicara dengan ayahnya sebentar. Ini kesempatan baik Dewi Bulan untuk bicara dengan Suro Blondo.
  "Aku benci melihat kau berdekatan dengan gadis itu. Walaupun aku tahu kau hanya berpura-pura menjadi suaminya. Kesempatan itu tidak akan kau dapatkan bila kau tidak makan obat didalam ubi tadi. Tahukah kau bahwa hidangan ini telah dibubuhi Racun Pelemah Akal?"
  "Aku sudah tahu, tapi tidak tahu nama dan jenis racunnya. Reaksi obat yang kau berikan sudah kurasakan sejak tadi. Bagaimana kau bisa sampai kemari. Dan apa sesungguhnya rencana Diraja Penghulu Iblis?"
  "Yang tidak penting jangan ditanya dulu. Yang jelas seseorang telah membawaku kemari dan sekarang sedang menyelidik. Kurasa Diraja Penghulu Iblis dan kawan-kawannya punya rencana besar dan keji. Kuharap kau tidak tidur dengan anak gadis itu malam ini!"
  "Kau cemburu?" tanya si pemuda sambil cengengesan.
  Dewi Bulan merengut.
"Jangan banyak omong. Kau mempunyai kepandaian lebih tinggi dariku. Sebaiknya kau mulai menyelidik sebagaimana yang dilakukan oleh kawanku!"
  "Kalau begitu kau harus menyamar menjadi aku sedangkan aku menggantikanmu!"
  "Bagaimana dengan rambutku? Apakah kau dapat menirunya?"
  Dewi Bulan membuka penutup kepalanya. Rambutnya yang tergerai dan berwarna hitam kini telah berwarna kemerah-merahan. Rupanya sebelum masuk ke dalam ruangan pengantin ia telah mewarnai rambutnya dengan sejenis daun yang ditumbuk halus
  Tanpa bicara lagi ia langsung merias wajah Pendekar Blo'on. Cara kerjanya cekatan sekali. Karena sesungguhnya Dewi Bulan sangat ahli dalam menyamar. Hanya sebentar Suro Blondo telah berganti rupa seperti Morganda sang pelayan. Sedangkan Dewi Bulan sendiri segera bertukar pakaian dengan si pemuda. Karena pakaiannya berlapis-lapis, tentu auratnya tidak terlihat. Tidak sampai sepuluh menit Dewi Bulan telah berubah seperti Suro Blondo pemuda ini berdecak kagum atas keahlian yang dimiliki oleh Dewi Bulan.
"Bukan main. Kau hebat. sayang kini aku harus menjadi seorang kacung!"
  "Jangan cerewet!" kata Dewi Bulan ketus.
"Sekarang bukan saatnya bersenda gurau. Sekali terbongkar, maka celakalah kita semua!"
  Dewi Bulan yang telah menyaru sebagai Suro Blondo ini segera menyuruh Pendekar Blo'on yang telah bertukar menjadi Morganda sang kacung keluar meninggalkan kamar. Ia sendiri kemudian enak-enakan merebahkan tubuhnya yang terasa penat diatas kasur empuk. 
  "Sialan. Balas dendam dia rupanya. Aku hampir saja mendapatkan yang enak diatas enak. Nggak tahunya sekarang harus menjadi kacung!" Pemuda ini hampir saja menggaruk rambutnya. Namun ketika ia teringat sedang berada dalam penyamaran. Maka keinginannya itu diurungkan. Tidak lama setelah melewati beberapa kamar yang cukup banyak jumlahnya. Secara mengendapendap ia menembus kegelapan malam yang pekat. Di sebuah ruangan pribadi, Maya Swari rupanya pada saat yang bersamaan sedang berdebat dengan ayahnya. Gadis pengantin baru ini memandang tajam pada sang ayah yang tampak
  duduk tenang-tenang.
  "Ayah... aku tidak menyangka ayah begini tega!" Maya Swari terisak.
"Pangeran Linglung siapapun dia adalah pemuda pilihanku. Mengapa ayah memberinya racun Penghilang Ingatan?"
  "Tokh bukan kau yang ayah racuni. Ayah hanya ingin membuat semua orang patuh dan tunduk pada ayah, terkecuali tiga tokoh yang sedang menunggu di ruangan pertemuan."
  "Apa tujuan Ayah yang sebenarnya?" tanya Maya Swari heran.
  "Ayah belum dapat mengatakannya, meskipun pada anaknya sendiri. Yang jelas Ayah curiga pada Pangeran Linglung."
  "Apa yang Ayah curigai? Ia begitu lugu, polos dan bersahaja."
  "Dunia ini penuh dengan tipu-tipu Anakku. Kau tidak tahu karena kau belum matang benar. Kalau ada apa-apa, sebaiknya bicarakan saja besok. Ayah harus menjumpai mereka sebelum kesempatan besar ini hilang!" Raka Tendra bangkit berdiri. Tanpa menghiraukan kemarahan Maya Swari ia meninggalkan sang anak termenung sendirian.
  Di dalam ruangan pertemuan pembicaraan mulai berlangsung. Buto Terenggi, Nyanyuk Pingitan dan Datuk Alang Sitepu dan Raka Tendra berkumpul membentuk lingkaran.
  "Jadi Prisma Permata itu telah didapatkan?" Yang bertanya adalah laki-laki hancur sebelah bermata satu.
  "Sudah. Aku yang telah mencurinya dari Goa Darah!" jawab Nyanyuk Pingitan membanggakan diri.
"Goa Darah yang sangat ditakuti itu ternyata tidak ada apa-apanya. Kuakui memang Prisma Permata yang konon mengandung kekuatan magis itu sempat merepotkan aku. Tapi kenyataannya kau dapat mengatasinya."
"Kurasa gua itu sekarang sudah hancur. Bukankah begitu, Nyanyuk Pingitan?" tanya Buto Terenggi was-was.
  "Ya... gua itu telah hancur karena kekuatan yang menjaganya sudah kuambil. Dengan Prisma Permata di tangan kita, siapa lagi yang tidak tunduk pada kita? Kita dapat mendirikan sebuah kerajaan besar setelah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Hik hik hik!"
  "Sungguhpun begitu masih ada bahaya lain yang mengancam kita. Kita tidak boleh lengah!" kata Raka Tendra.
  "Apa itu?" Nyanyuk Pingitan dan Datuk Alang Sitepu bertanya.
  "Menurut yang kudengar. Konon Prisma Kristal Permata itu sebenarnya adalah sebuah kunci yang menentukan kebebasan setengah anak manusia dan setengah anak jin. Dengan dibukanya Prisma Permata itu. Berarti Soma Sastra si Manusia Merah terbebas dari hukuman Kyai Tapa. Tidak seorangpun tahu bagaimana perangai manusia setengah jin itu. Karena selama ini ia memang tidak pernah muncul. Dan lagipula, jika Goa Darah hancur. Pulau Jawa ini terancam tenggelam dalam bahkan menjadi lautan lumpur api. Ini adalah sebuah sumpah yang pernah dituturkan oleh nenek moyangku dulu!"
  "Tidak usah khawatir Diraja Penghulu Iblis. Semua yang Anda dengar hanyalah dongeng. Jika kerajaan telah kita bangun, siapa yang tidak tunduk pada kita?" desis Datuk Alang Sitepu.
"Kau punya Racun Pelemah Akal. percobaanmu terhadap para undangan saja telah terbukti. Jadi apa lagi yang kau risaukan. Seratus datang seratus tunduk dan patuh di bawah perintah. Kita semua punya keahlian masing-masing. Jadi apa yang ditakutkan?"
  "Memang. Untuk lebih meyakinkan lagi. Kurasa tidak ada salahnya sekarang ini Nyanyuk Pingitan menunjukkan Prisma Kristal yang telah Anda curi dari Goa Darah itu!"
  "Jangan!" Datuk Alang Sitepu mencegah.
"Jika Prisma Permata itu sampai keluar dari kantung kulit beruang milik Nyanyuk Pingitan. Kekuatannya akan menyerang orang-orang disekelilingnya. Terkecuali aku yang memegangnya."
  Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang itu memang tidak dipungkiri oleh Nyanyuk Pingitan. Sehingga tanpa merasa curiga lagi ia menyerahkannya pada raja Penyihir. Mata Datuk Alang yang cuma sebelah itu terpejam, ia kemudian membaca mantra hitam yang dimilikinya. Setelah itu dengan tangan-tangan yang bergetar ia mengeluarkan Prisma Kristal dari kantung kulit beruang.
  Begitu Prisma Kristal dikeluarkan. Maka terpancarlah cahaya merah. Ini merupakan keanehan tersendiri. Karena sebetulnya Prisma Permata itu berwarna putih kemilau.
  "Hanya sebentar aku dapat menahannya. Apakah semua yang hadir disini telah puas melihatnya?"
"Cukuplah, Datuk!" kata Raka Tendra. Datuk Alang Sitepu memasukkan kembali
  Prisma Permata itu ke dalam kantungnya. Mereka baru saja hendak melanjutkan pembicaraan ketika secara tiba-tiba terdengar suara jerit kematian diluar gedung itu.

 



--₪֍¦ 8 ¦֍₪--

  Tapi entah karena apa, atau mungkin pula karena pengaruh kekuatan Prisma Kristal itu. Mereka yang berada di dalam ruangan pertemuan itu sama sekali tidak bergerak. Malah terus melanjutkan pembicaraan. Dua bayangan yang ikut mengintip pembicaraan mereka berkelebat menuju arah yang berlawanan. Yang satu ke belakang yang satunya lagi ke depan. Selain itu masih ada lagi dua bayangan lainnya yang bergerak ke arah bagian depan bangunan.
  Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? Entah darimana datangnya sosok serba merah dengan tinggi lima meter dan hanya memakai koteka ini muncul begitu saja. Begitu datang ia langsung membantai orang-orang yang bertugas jaga malam. Kakinya menendang, tangan mencekeram siapa saja yang terdekat dengannya.
  Bila telah berada dalam genggamannya, maka pengawal Diraja Penghulu Iblis ini langsung dibantingnya. Korban mulai berjatuhan. Pasukan pemanah yang berada di atas bangunan tidak tinggal diam. Mereka melepaskan anak-anak panah kearah manusia merah ini. Tapi sungguh sayang sekali. Manusia merah ini ternyata kebal terhadap semua jenis senjata. Suro Blondo yang telah menyamar sebagai Margonda melihat kejadian ini dengan mata melotot.
  "Betul-betul edan. Apakah dia juga iblis dari neraka? Tapi mengapa malah membunuh orang-orang Diraja Penghulu Iblis?"
  Di sudut lain Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng juga sama tercekat. Tapi sebagai tokoh angkatan tua mereka langsung teringat sesuatu.
  "Manusia merah itu bukankah anak raja jin yang menitis di rahim istri Kyai Tapa?"
  "Kau tidak salah Kakang. Ternyata kabar yang pernah kita dengar dulu bukan dongengan anak-anak. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga ia terbebas dari penjara Gua Darah."
  "Bagaimana? Apakah kita tinggalkan tempat ini?"
  "Tidak bisa! Apakah Kakang tidak dengar rencana gila para tokoh sesat itu? Kita harus menghentikan mereka!"
  "Bagaimana dengan manusia merah?"
  "Kita tidak tahu dia berada dipihak mana. Tapi aku yakin dia datang kemari untuk mengambil Kristal Permata itu."
  "Apakah kita harus turun sekarang?"
"Jangan!" cegah Gajah Krempeng. Walaupun Kakang punya badan tidak kalah besar dengan manusia merah. Tapi tingginya Kakang kalah. Lebih baik kita pancing agar Raka Tendra dan kawan-kawannya keluar."
  Belum sempat kedua manusia Gajah ini bergerak. Tiba-tiba terdengar suara teriakan menggelegar. Angkasa bagai terbelah. Kegelapan malam berubah terang benderang karena dari mulut manusia merah menyembur lidah api pada saat ia bicara.
  "Siapa yang merasa telah mencuri Perisma Permata harap segera menyerahkan diri kepadaku! He... anak-anak setan apakah kalian tidak mendengar seruanku?"
  Jangankan orang yang bisa mendengar, orang tuli sekalipun bila mendengar gelegar suara manusia merah itu pasti akan terkejut.
  Karena tidak seorangpun ada yang menjawab pertanyaannya. Manusia merah Soma Sastra langsung mengamuk. Para undangan yang sekarang berada dalam posisi menjadi pengawal langsung bergerak mengeroyok manusia merah dari empat penjuru arah. Tentu saja serangan mereka cukup berarti dan berbahaya sekali karena orangorang ini terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan tentu saja mempunyai pengalaman dalam bertarung pula.
  Anak Jin ini bukan sembarangan. Selain mempunyai kekebalan tubuh yang sangat luar biasa. Juga setiap bacokan lawan hanya menimbulkan pyaran bunga api.
  "Serang terus jangan beri kesempatan bagi si raksasa ini hidup!"
  Teriakan-teriakan seperti itu terus terdengar di tengah-tengah suara denting senjata yang tidak ada habis-habisnya.
  Tapi apa yang mereka lakukan hanya siasia saja karena tubuh Manusia Merah alotnya bukan main. Di lain pihak Manusia Merah ini selain menginjak-injak para pengeroyoknya juga menendang dan melempar. Mereka yang dibanting langsung mati tanpa mampu bangkit lagi. Ada yang lehernya patah, tulang iganya remuk dan ada juga yang isi perutnya hancur. Lebih celaka lagi, manusia merah Soma Sastra ini hanya memporak porandakan lawan-lawannya tapi juga mulai membakar bangunan besar milik Diraja Penghulu Iblis. Hanya dalam waktu singkat tempat itu menjadi lautan api. Sebenarnya kemanakah perginya Diraja Penghulu Iblis dan kawankawannya? Marilah kita lihat di ruangan pertemuan.
  Ketika terjadi keributan di luar. Rupanya Nyanyuk Pingitan dipersilahkan untuk melihatnya. Sedangkan tiga tokoh perencana lainnya tetap melanjutkan pembicaraan didalam ruangan pertemuan.
  Sampai di depan pintu Nyanyuk Pingitan melihat mayat-mayat bergelimpangan. Sementara mereka yang masih bertahan hidup adalah para undangan yang kini telah menghambakan diri secara sukarela karena pengaruh Racun Pelemah Akal. Sungguh khasiat Ular Kayangan benarbenar terbukti dengan berlipatnya tenaga yang mereka miliki, sungguhpun mereka ini mendesak sosok tinggi besar berwarna merah dengan tinggi lima meter ini bagaikan banteng. Tetap saja mereka tidak berdaya untuk menjatuhkan Soma Sastra.
  Setelah mengetahui siapa manusia merah itu. Maka Nyanyuk Pingitan perempuan kering seperti mayat hidup ini langsung melaporkan kejadian ini pada kawan-kawannya.
  Disini Datuk Alang Sitepu punya peranan. Mereka mengambil keputusan kilat untuk menyelamatkan Prisma Permata dan bangunan milik Diraja Penghulu Iblis dari kehancuran.
  "Hanya dengan selubung tipuan pandang, kurasa Soma Sastra untuk sementara dapat terkecoh. Kita harus menciptakan bangunan tiruan dan para pengawal tiruan pula. Sementara singgasanamu yang asli berada dalam lingkup tabir gelap yang kuciptakan."
  "Apakah anak raja Jin itu tidak mengetahui tipuanmu?" Diraja Penghulu Iblis ragu-ragu.
  "Dia tidak akan tahu. Paling tidak untuk sementara waktu. Kita berempat, mari kita gabungkan seluruh kekuatan kita untuk menciptakan sebuah kehendak!" kata Datuk Alang Sitepu merasa yakin.
  Laki-laki tua berwajah rusak ini kemudian meletakkan Prisma Permata dibawah telapak tangannya. Secara teratur telapak tangan Diraja Penghulu Iblis, Nyanyuk Pingitan dan juga Buto Terenggi saling tindih menindih. Ketika mereka mengerahkan tenaga dalamnya sementara Raja Penyihir membaca mantra-mantra. Maka terjadilah perubahan yang begitu halus dan tidak terlihat oleh kasat mata. Gedung tiruan yang sama persis, tercipta. Sedangkan gedung yang aslinya terselubung kabut kegelapan. Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tidak merasakan perubahan ini.
  Dapat dibayangkan jika tokoh-tokoh berkepandaian tinggi seperti mereka sempat terkecoh. Tentu kekuatan sihir di bantu dengan kekuatan Prisma Permata itu sangat hebat sekali. Sebaliknya manusia merah pun begitu juga. Hanya Pendekar Blo'on saja yang sempat merasakan perubahan mendadak ini.
  Mengapa hanya Suro Blondo saja yang dapat merasakan perubahan ini? Sebagaimana kita ketahui, anak ajaib ini terlahir pada malam satu Suro. Dalam hitungan hari dan bulan, malam satu Asyuro adalah malam tertinggi dari sekian banyaknya hari. Satu Asyuro malam keramat yang penuh berkah dan keajaiban. Salah satu keajaiban itu ia tidak mempan sirep dan segala sesuatu yang berbau sihir. Tapi akibat matanya yang tidak dapat ditipu itu, kini ia terheran-heran sendiri. Hatinya bertanya-tanya, siapakah yang telah menciptakan bangunan tiruan itu. Mengapa manusia merah yang sedang mengamuk membabi buta itu tidak mengetahuinya? Pertanyaanpertanyaan ini tentu saja tidak terjawabkan jika ia tidak mendengar suara seseorang seperti mengingatkannya.
  "Pengantin baru! Aku tahu kau hanya menyamar, sekarang kau berubah menjadi kacung pula. Sedangkan pacarmu menjadi dirimu dan tidur di kamar pengantin menggantikan dirimu. Aku adalah orang yang berdiri dipihakmu. Untuk itu kau harus dengar ucapanku yang tidak pernah kuulang ini."
  Jelas orang yang bicara itu siapapun adanya adalah orang yang memiliki tenaga dalam tinggi dan mempunyai ilmu mengirimkan suara pula.
"Apa yang kau lihat barusan adalah permainan sihir. Datuk Alang Sitepu penyihir kelas satu. Belum lagi di bantu oleh Nyanyuk Pingitan, Buto Terenggi dan juga Diraja Penghulu Iblis orang tua Maya Swari. Sungguhpun Maya Swari cinta padamu, dan kau tentunya tidak berminat kawin dengannya. Kau dan tokoh-tokoh aliran lurus harus bahu membahu menghancurkan Raja penyihir bersama kawan-kawannya. Memang agak sulit, apalagi Prisma Kristal Permata yang menjadi kunci keseimbangan tanah Jawa ini telah jatuh di tangan mereka. Kedudukan mereka akan menjadi kuat. Kau harus dapat mempengaruhi Manusia Merah itu agar dapat kau tarik di pihakmu. Perlu kau tahu manusia merah itu mempunyai pendirian yang tidak menentu. Ia mudah terpengaruh meski oleh musuh besarnya sekalipun."
  "Apakah Prisma Permata itu miliknya?" potong Suro Blondo tiba-tiba.
"Prisma permata itu sesungguhnya kunci pintu tempat dipenjarakan di Goa Darah. Kau tidak usah tanya siapa yang telah memenjarakannya. Yang jelas kini Goa Darah tempat bernaungnya selama satu abad telah hancur. Lumpur panas di mana-mana. Tanah yang keras pun akan menjadi leleh. Dan gara-garanya karena Prisma itu juga."
  "Tapi... apa dayaku. Yang ku tahu disini aku hanya bersama Dewi Bulan. Kalau kulihat Manusia Merah itu saja rasanya aku akan repot menaklukannya belum lagi menghadapi Raja Penyihir, Datuk Mambang Pitoka, Nyanyuk Pingitan dan juga Diraja Penghulu Iblis?" 
  "Jangan takut, gurunya Dewi Bulan juga ada disini."
  "Apa maksudmu?"
  "Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tidak jauh dari sini. Aku sudah memberitahukan hal ini pada mereka. Kalau manusia merah sudah dapat kujatuhkan, tentu kalian tinggal menyeretnya di tempat yang aman dan membujuknya?"
  "Bagaimana dengan Dewi Bulan! Aku takut penyamarannya terbongkar dan dia akan mendapat kesulitan!" ujar Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk kepalanya.
  "Ah... rupanya kau selalu mengkhawatirkan pacarmu, kau tidak perlu merisaukannya. Lagipula aku akan selalu memantau keadaan di sini. Yang terpenting kalian bertiga harus dapat meyakinkan bahwa kau berada di pihak manusia merah."
  "Ah, Manusia Merah macam apakah dia?"
"Jangan garuk-garuk melulu macam monyet. Sudah kubilang ia anak Raja Jin yang malang. Nah... sekarang bersiap-siaplah kau untuk menyeretnya ke tempat yang aman!"
  Bisikan yang didengar oleh Pendekar Blo'on tiba-tiba lenyap. Angin kencang disertai bau harum semerbak bergerak cepat ke arah manusia merah yang sedang membantai anak buah Diraja Penghulu Iblis. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang Suro Blondo.
  "Edan... benar-benar edan! Angin wangi malah membuatku mengantuk!" Karena merasa yakin rasa kantuk itu diciptakan oleh seseorang yang sempat mengirimkan pesan padanya tadi. Maka Suro Blondo segera mengerahkan hawa murninya untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyerangnya.
  Kini tatapan matanya tertuju pada Manusia Merah itu. Dengan jelas ia dapat melihat sisasisa anak buah Diraja Penghulu Iblis bergelimpangan. Terakhir Manusia Merah yang tergelimpang dengan disertai suara berdebum. Suro Blondo langsung meninggalkan tempat persembunyiannya. Satu dua lawan Manusia Merah yang masih berusaha bertahan dihajarnya hingga tunggang langgang. Begitu sampai ia tercengang.
  "Ya ampun, Manusia Merah ini besarnya tidak ketulungan. Bagaimana aku bisa mengangkatnya?" pikir Pendekar Blo'on. Si bocah Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro ini mengangkat tubuh Manusia Merah.
  "Hekh...!"
  Sampai mata si konyol mendelik, sedikitpun tubuh Manusia Merah ini tidak bergeming. Mulut si pemuda termonyong-monyong, ia mengelilingi tubuh raksasa tersebut sambil menggelengkan kepala terus.
  "Orang ini besarnya seperti tiga ekor gajah yang lagi bunting. Kalau pun kukeluarkan tenaga dalam seluruhnya sampai aku mencret mana mungkin aku dapat mengangkatnya?"
  Suro berjongkok dan termenung dengan dagu menopang di kedua tangannya. Ia tidak habis pikir bagaimana caranya menyeret orang ini.
"Sekarang ia dalam keadaan pulas karena pengaruh pembius. Tentu tidurnya tidak akan lama. Sebaiknya aku tarik tangannya!" pikir Suro.
  Maka ia pun memegang lengan Manusia Merah yang hampir sebesar pahanya. Tenaga dalam dikerahkan, niat segera dilaksanakan. Namun hasilnya tetap seperti tadi.
  "Gila betul!" Suro Blondo menggerutu, lalu garuk-garuk kepalanya.
  Pendekar Blo'on memutar lagi, lalu kali ini bagian kaki yang ditariknya. Dasar Suro Pendekar geblek, kalau tangannya saja tidak dapat diseret apalagi kakinya.
  "Goblok, tolol, bego dll. Bagaimana mungkin aku dapat mengangkat manusia macam ikan paus ini?" gerutu Pendekar Blo'on. Ia mendekati kepala Manusia Merah, menarik kuping dan hidungnya namun tetap tidak membuat Manusia Merah terjaga.
  "Mana katanya guru Dewi Bulan akan membantuku? Apakah orang tadi cuma membohongiku?"
  Selagi Pendekar Blo'on tercenung seperti itulah, tiba-tiba saja terdengar suara, maka Pendekar Blo'on malah tercengang pula.
  "Anak perempuan orang. Dalam keadaan seperti ini tidak cukup waktu bagi kita. Cepat bantu kami menyeretnya ke tempat yang aman. Cepatlah, sebelum pengaruh Sirep Ratu Penyair Tujuh Bayangan punah!"
  "Walah, aku sudah menyeretnya tadi, tapi tubuhnya berat bukan main. Bagaimana kalau kita bangunkan saja!"
  "Goblok betul! Kalau dia bangun nanti mengamuk lagi. Apakah kau becus menghadapinya?"
  "Tentu saja kita bersama-sama. Tapi aku merasa yakin dia bakal menjadi sahabatku...!" kata Suro sambil nyengir.
  "Hei... jangan cengengesan...!" teriak si gemuk macam raksasa.
  "Ssst... kalau bicara jangan keras-keras, nanti orang ini bangun!" desis si Kerempeng.
  "Habis bocah ini goblok banget!" kata si gemuk bersungut-sungut.
  Suro walaupun cengengesan tapi tidak bicara apa-apa. Manusia dengan berat lebih dari dua ratus kati itu cemberut.
  "Benar-benar gila! Makan apa manusia yang satu ini? Ia hampir sama besar dengan Manusia Merah, cuma kalah tinggi saja." batin Pendekar Blo'on terkagum-kagum.
  Dengan mengerahkan tenaga biasa mana mereka kuat mengangkat Manusia Merah. Mereka terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk menggotong Manusia Merah itu untuk dipindahkan ke tempat yang aman.

 



--₪֍¦ 9 ¦֍₪--

  Maya Swari masuk ke kamar pengantinnya lagi. Di lihatnya Suro Blondo alias Pangeran Linglung tidur di atas ranjang. Sampai sejauh itu Maya Swari tidak tahu bahwa suaminya telah di gantikan oleh Dewi Bulan alias pelayan Margonda.
  "Kakang Pangeran Linglung, apakah kau sudah tidur?" tanya si gadis bermanja-manja.
  "Uaah... aku penat sekali. Habis makan, habis minum langsung mengantuk...!" sahut Pangeran linglung si Dewi Bulan.
  Maya merebahkan tubuhnya di samping Pangeran Linglung palsu. Di pandanginya pemuda bertampang ketolol-tololan itu. Tiba-tiba ia mengecup bibir Pangeran Linglung dengan sepenuh gejolak hasrat cinta yang menggebu-gebu. Pangeran Linglung ini tentu memerah wajahnya. Tapi dalam hati geli juga.
  "Gadis tolol, kalau kau tahu bahwa aku punya dua mulut juga, punya dua bukit. Tentu tidak begini jadinya?" gerutu Dewi Bulan.
  "Kakang...?!" Maya Swari memeluk Pangeran Linglung. Untung tangannya melingkar di bagian perut gadis yang tengah menyamar tersebut. Coba kalau di bagian dada, Wah celaka...
  "Ada apa?"
  "Kakang, aku jadi teringat ketika kakang mengatakan pernah jadi tukang mengurus kuda. Mengapa mau-maunya kakang bekerja seperti itu?" tanya Maya dan nafasnya yang harum menyapu wajah Pangeran Linglung palsu
  "Mencari pekerjaan itu sulit. Banyak kalangan berpendidikan tinggi saja menganggur sampai sekarang. Aku hanya yatim piatu...!" kata Pangeran Linglung ngawur.
"Tidak sekolah terkecuali hanya tulis baca dan berhitung. Sedangkan kau anak orang kaya, segala kebutuhanmu tercukupi, tentu kau tidak pernah merasakan bagaimana pahitnya penderitaan!"
  "Aku kasihan melihat nasibmu Kakang, coba kalau kita bertemu sejak kecil, tentu kehidupanmu tidak jelek-jelek amat!"
  "Goblok, kalau kau tahu siapa aku. Kau tentu akan mengamuk membabi buta bahkan mungkin membunuhku!" maki Dewi Bulan dalam hati.
  "Ya, nasib orang sendiri-sendiri. Manusia hidup punya cobaan yang berbeda-beda. Kalau semua orang jadi kaya, tentu tidak ada yang miskin, kalau semua jadi raja siapa rakyatnya?" jawab Pangeran Linglung.
  "Ahk, ternyata kau pandai juga Kakang!" puji Maya.
  Tiba-tiba ia menggeliatkan tubuhnya. Gerakannya sangat menarik, dadanya yang kenyal tampak menantang. Dewi tidak dapat membayangkan bagaimana jika si konyol itu yang berada di samping Maya.
  "Kakang, ah..,!" Mata Maya setengah terpejam.
  Sebagai gadis yang sudah dewasa dan cukup matang. Tentu Dewi mengerti apa yang diinginkan oleh Maya. Walau pun ia belum punya pengalaman sama sekali. Nalurinyalah yang mengatakan begitu.
  Untuk tidak menimbulkan kecurigaan Maya, maka meskipun dengan rasa jijik Pangeran Linglung mendekap-dekap dan membelai.
  "Kakang, rupanya kau belum punya pengalaman sama sekali dalam bercinta, ya...?"
  "Wah, belum tuh." kata pengantin laki-laki tersipu.
  "Bohong! Biasanya laki-laki suka menipu. Terkadang mereka belum menikah, tapi pengalamannya dengan perempuan bermacam-macam. Apakah Kakang mau mungkir?"
  "Itu laki-laki lain. Laki-laki iseng hidung belang-belang. Mereka memang suka jajan. Lalu terkena penyakit kotor, nah nanti kalau keturunan rusak, anak yang disalahkan, Tuhan yang diomeli. Padahal buah setiap pohon selalu jatuh tidak jauh dari batangnya."
  "Aih, Kakang... ternyata walaupun tampangmu bego Kakang sangat pintar sekali!" puji Maya.
  Tiba-tiba ia mencium bibir Pangeran Linglung palsu. Mula-mula Dewi hanya diam saja. Namun karena kemudian ia mengingat penyamarannya agar tidak terbongkar. Maka Dewi dengan terpaksa membalas ciuman Maya. Nafas putri iblis ini mulai tersengal-sengal. Lampu di dalam ruangan dipadamkannya.
  "Jangan dimatikan, aku tidak bisa tidur, takut hantu!" protes Dewi Bulan si Pangeran Linglung palsu.
  "Kakang penakut!" Maya Swari menggerutu namun penuh kemanjaan.
  Ia memeluk Pangeran Linglung, bibirnya yang kemerah-merahan mendesis dan merengek. Dengan terpaksa Pangeran Linglung menyelinapkan tangannya di dada Maya. Gadis itu merintih ketika jemari tangan sang Pangeran membelai lembut dadanya. Tanpa malu-malu gadis Maya melepaskan kancing-kancing kemejanya. Sehingga dada Maya yang putih itu tersembul dari balik pakaiannya. Ternyata Maya memang menginginkan suasana sebagaimana yang terjadi pada pengantin baru umumnya. Dewi Bulan kelabakan, bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi. Sedangkan antara dirinya dengan Maya sama saja. Tidak dapat di bayangkan Dewi bagaimana seandainya Pangeran Linglung yang berada di samping Maya. Tentu setabah-tabahnya laki-laki akan bobol juga bendungan Maya. Duh, Cemburunya Dewi Bulan.
  Untunglah Pangeran Linglung ini punya otak yang cerdik. Sehingga dengan caranya yang tentu saja rahasia ia dapat memuaskan Maya Swari. Malam pengantin pun terasa hangat menggebu-gebu. Suasana di luar genting dan kamar pengantin berubah sunyi. Waktu berlalu sebagaimana hari-hari sebelumnya.
  Keesokan harinya ketika Maya terjaga tanpa busana. Dilihatnya Pangeran Linglung masih mendengkur di sampingnya. Pakaiannya rapi sebagaimana pakaian orang yang baru saja pulang dari pesta. Maya melihat dirinya sendiri. Sprei yang berwarna putih itu masih tetap bersih. Tidak ada noda-noda darah disitu. Maya pun tidak merasakan sakit pada bagian bawah perutnya. Maya tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil tidak sebagaimana mestinya. Padahal waktu menikah ia masih suci, gadis ting ting. Lalu siapa yang salah? Diam-diam Maya jadi curiga, kecurigaannya itu tetap ia pendam. Ia harus menyelidik siapa sesungguhnya Pangeran Linglung? Setelah mengenakan pakaiannya kembali yang berantakan, maka Maya segera bergegas ke kamar mandi. Ia sengaja tidak mau membangunkan suaminya. Apa yang bakal terjadi? Terbongkarkah penyamaran Dewi Bulan? Bagaimana jika Manusia Merah tersadar. Mampukah Suro dan guru Dewi Bulan mempertahankan diri? Ketegangan semakin memuncak, keserakahan, ambisi dan nafsu jelek manusia menimbulkan angkara murka. Bagaimana nasib si konyol ini?

TAMAT



INDEX SURO BLONDO
Hianat Empat Datuk --oo0oo-- Neraka Neraka
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.