Api Di Puncak Sembuang
tanztj
September 19, 2016
INDEX SURO BLONDO | |
Pendekar Kucar Kacir --oo0oo-- Rahasia Pedang Berdarah |
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
SURO BLONDO
PENDEKAR BLO'ON
Karya : D. Affandy
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
--₪֍¦ 1 ¦֍₪--
Si baju biru seka keningnya, lalu garuk kepala berulang-ulang. Keningnya mengerenyit.
"Istana dalam keadaan sepi, mustahil pangeran Suprana berada di tempat? Lalu ke mana? Menurut Si Kucar-Kacir, Pangeran gila itu pasti kembali ke istana. Aku khawatir sekali puteri Saba sudah diapa-apainya. Aku harus menyelidik ke dalam istana itu." tegas Suro dalam hati. Untuk menghindari perajurit-perajurit kerajaan, ia mengambil jalan di bagian belakang.
Pemuda tampan bertampang ketolol-tololan ini kemudian melompati benteng istana yang menjulang tinggi. Ia sampai di taman kaputren. Baru saja ia menyelinap diantara rumpun-rumpun bunga yang terdiri dari beraneka rupa itu. Suro mendadak hentikan langkah, memandang ke depan dengan mata terpentang lebar.
Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata terdapat sebuah kolam berair jernih. Di dalam kolam tidak kurang dari lima orang gadis sedang mandi. Dan di tepian kolam sepuluh gadis sedang berjemur sambil bersenda-gurau. Si konyol kerjabkan matanya, gadisgadis itu semuanya dalam keadaan telanjang bulat.
"Ckk... cck...! Ini rupanya gadis-gadis peliharaan pemuda edan itu. Mereka sama sekali tidak bermalu. Pamer aurat, bertelanjang ria. Ada yang putih, ada yang hitam, ada pula yang kuning. Terlalu banyak bukit kembar yang mubajir di taman kaputren ini." Suro tiba-tiba senyum sendiri.
"Bukit-bukit itu ada yang lebat, ada yang gersang bahkan ada yang tidak berhutan sama sekali. Apa habis dicukur atau hutannya memang gundul terkena polusi? Kalau aku punya istri sebanyak itu, tidak sampai setahun di depan aku segera mati loyo! Gila...!!" Suro tersenyum. Selanjutnya ia menyelinap ke bagian lain. Di dalam istana penjagaan memang cukup ketat. Suro terpaksa menotok dan melucuti pakaian seorang perajurit. Setelah mengenakan pakaian perajurit yang dibiarkan cuma berkolor saja. Suro dengan bebas dapat memasuki ruangan-ruangan istana yang sangat banyak sekali.
"Aneh, mereka sama sekali tidak berada di sini. Lalu kemana perginya Pangeran gila Suprana?" batin Pendekar Mandau Jantan bingung. Ia kemudian memasuki sebuah ruangan yang tidak lain adalah kamar para gadis yang menjadi budak-budak nafsu Kumbang Pemikat. Begitu masuk ia langsung menutup pintu.
Di sini pun Suro melihat pemandangan yang luar biasa. Bayangkan tidak kurang dari belasan gadis hanya memakai pakaian teransparan berwarna putih. Di balik pakaian itu mereka sama sekali tidak memakai apa-apa. Salah seorang diantaranya begitu melihat kehadiran Suro yang berpakaian prajurit langsung membentak.
"Perajurit sialan! Berani sekali kau memasuki ruangan surga. Apakah kau ingin kepalamu dipancung!" Lantang suara gadis berlekuk dagu itu.
Karena Suro tetap tidak beranjak dari situ, maka ia segera datang menghampiri.
"Kau tidak tuli, bukan?"
Suro menggeleng. Lalu ia menempelkan telunjuk ke bibirnya. Si konyol membuka penyamarannya.
"Heh...!" Gadis tadi terkejut serentak melangkah mundur. Sedangkan kawan-kawannya berhamburan menghampiri Suro. Hamba-hamba nafsu ini kelihatannya terpesona melihat ketampanan Suro.
"Siapakah Kisanak?" tanya gadis yang membentaknya tadi. Diam-diam ia pun merasa tertarik.
"Aku tidak perlu menjelaskan namaku. Aku ingin bertanya apakah Pangeran Suprana ada di istana ini?!"
Belasan gadis itu saling pandang. Lalu gadis yang berlekuk di dagu spontan menjawab.
"Aku Sri Asih, kepala gadis-gadis Sorga Dunia. Kalau pertanyaanmu itu ku jawab. Apakah kau bersedia memberikan kehangatan pada kami semua?" tantang si gadis, bibirnya yang kemerahan itu mengembangkan seulas senyum mengundang gairah.
Suro jadi bingung. Gadis itu bukan sedikit, lagipula ia bukan tipe pemuda mata keranjang, atau tikus yang mudah masuk perangkap hanya karena setelah melihat terasi mubazir.
"Anu... jawab dulu pertanyaanku...!" sahut Suro gugup dan sekujur tubuhnya pun langsung keringatan.
Sri Asih menghampiri, mengelus-elus dada Suro sambil berkata......
"Aku suka padamu. Kau pasti seorang pemuda perkasa yang dapat memuaskan dahaga kami!"
"Hust, kalau kalian dahaga minum sebanyakbanyaknya. Lebih baik kalian bantu aku, kelak aku akan membantu kalian!" jawab Suro tegas.
"Tidak semudah itu, melihat tampangmu yang tolol begitu apa mungkin kau becus menghadapi Pangeran Suprana, Tuhan kesenangan dunia."
Sri Asih ragu-ragu. Lalu salah seorang kawannya yang berambut panjang berdada montok menimpali.
"Lebih baik kasih keterangan padanya, kakak. Siapa tahu kelak dia dapat menolong kita!"
"Usulmu bagus juga Kumala." Sri Asih menanggapi. Sedangkan pada saat itu gadis-gadis lainnya sudah mulai ada yang mendekap dan memeluk Suro. Pemuda itu merasa risih, namun ia tidak berani bertindak, khawatir gadis-gadis itu membuat kegaduhan. Kemudian Sri Asih menjawab.
"Pangeran Suprana dan panglima Sang Bala tidak berada di tempat, mungkin mereka sekarang sedang mengejar puteri Saba yang telah dilarikan oleh seseorang. Kumbang Pemikat sekarang sedang terluka, mereka juga bersama Tabib Dewa Sesat." jelas gadis itu.
Lega juga hati Suro mendengar semua itu. Namun ia tidak tahu siapa yang telah melarikan puteri Saba. Kini ia menyadari sedang berhadapan dengan orang-orang licik. Sedangkan mengenai Tabib Dewa Sesat, menurut gurunya dulu tokoh berkepala botak ini memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli meramu obat juga racun.
"Terima kasih atas keterangan kalian. Lain hari jika segala urusan telah selesai, aku datang ke sini lagi untuk membebaskan kalian." tegas Pendekar Blo'on.
Sri Asih dan Kumala kelihatannya dapat mengerti. Tapi gadis-gadis lainnya tidak perduli.
"Kau mana boleh pergi begitu saja, arjunaku. Kemarilah, beri kami kepuasan." desis gadis-gadis itu.
Mereka pun berebut memeluk Suro, diantaranya bahkan ada yang berusaha melucuti pakaian Suro, ada juga yang tangannya gentayangan ke bagian selangkangan Suro. Tidak jarang pula yang menjatuhkan ciuman bertubi-tubi ke bibir dan wajah Suro. Pemuda ini jadi kelabakan, lalu menotok gadis-gadis yang mengerubuti mereka, sampai kemudian terdengar suara Kumala.
"Hentikan! Biarkan tuan ini pergi, dan jangan ada yang coba melapor pada Iblis Peruntuh Mahkota." ancam Kumala.
Mereka yang belum sempat tertotok langsung bergerak mundur. Sri Asih membuka jendela sambil memberi isyarat pada Suro untuk mendekat.
"Saudara, bagaimana pun kami ingin kembali menjadi orang baik. Saudara harapan kami. Untuk itu aku membantumu, lekaslah pergi, sebelum perajuritperajurit itu curiga. Sebelum itu aku harus tahu, bagaimana nasib kawan-kawan kami yang tertotok? Apakah mereka segera mati?"
Suro terpaksa menahan tawa.
"Tidak! Mereka tetap panjang umur, tidak lama totokan akan punah sendiri!" kata Suro.
Tanpa menunggu lebih lama, Suro langsung keluar dari jendela. Kemudian ia bergerak meninggalkan kerajaan Pasundan yang terletak di lembah Kahuripan itu.
Setelah cukup jauh si konyol meninggalkan kerajaan. Maka berhentilah ia di bawah sebatang pohon. Ia gelisah, lalu setelah toleh sana toleh sini ia membuka celananya.
"Aku khawatir burungku sudah diambil oleh gadis-gadis tadi!" katanya seorang diri. Lalu ia memeriksa dan akhirnya tersenyum.
"Aman! Aku punya tetap di tempat, ia masih mengeram untung telurnya tidak pecah!" Suro menarik celananya ke atas lagi. Saat ia meraba ke bagian pinggang maka pucatlah wajah pemuda itu.
"Senjataku!" desisnya dengan suara bergetar. Ia meraba-raba lagi, namun senjata andalannya Mandau Jantan tetap tidak ditemukannya.
Suro mondar-mandir sambil menepuk-nepuk keningnya. Bingung! Wajahnya sebentar memucat sebentar memerah, ia coba mengingat-ingat di mana senjata itu tertinggal atau kalau benar di curi oleh orang lain siapa orangnya?
"Apa mungkin yang mencuri senjataku perempuan-perempuan yang berada dalam istana tadi?" pikir Suro.
"Rasanya tidak mungkin. Hmm, aku bisa mampus menghadapi persoalan besar nanti tanpa senjata itu! Siapa yang mencurinya, bagaimana mungkin aku sampai tidak tahu senjataku telah berpindah tangan?"
Suro terdiam lagi, bibirnya bersungut-sungut. Ada rasa geram di hatinya, ia takut senjata maut itu di salah gunakan orang. Ia pun tersentak kaget ketika teringat sesuatu.
"Tidak salah, orang yang mengambil senjata sampai aku tidak merasakannya pastilah hanya orang yang memiliki kepandaian tinggi dalam hal mencuri!" desis Pendekar Blo'on. Lalu ia teringat pertemuan yang kedua kalinya dengan gadis berpakaian hitam. Bukankah pada puteri Saba ia pernah mengaku sebagai Maling Cerdik. Waktu itu ketika Suro hendak berangkat ke kerajaan Pasundan dalam usahanya menyelamatkan puteri Saba ia bertubrukan dengan gadis itu.
"Kurang ajar betul, dia benar-benar maling yang sangat lihai. Aku harus mencarinya sebelum bertemu dengan orang-orang yang harus kutumpas! Hh, sekarang aku harus pergi, aku rasa dia juga menuju ke bukit Sembuang." Batin Pendekar Blo'on. (Untuk lebih jelasnya siapa gadis berbaju hitam itu dalam Episode Pendekar Kucar Kacir). Suro bangkit berdiri, dengan mengerahkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan. Pemuda itu dalam sekejap saja sudah tidak terlihat batang hidungnya.
* * *
Seperti diceritakan dalam episode terdahulu, Tabib Dewa Sesat waktu itu bersedia mengobati racun jahat ular kuning yang mengeram di tubuh Pangeran Suprana alias Kumbang Pemikat alias Iblis Peruntuh Mahkota. Sebagai imbalan ia berhak mendapatkan puteri Saba sebagaimana yang diminta oleh Tabib sesat berkepala botak ini. Kelicikan dibalas dengan kelicikan. Ketika Pangeran Suprana mengingkari janjinya. Tidak tahu tabib ini juga sebelumnya telah memberi racun dalam salah satu obat yang diberikannya pada Pangeran Suprana.
Pemuda itu tidak punya pilihan lain. Ia pun mengabulkan permintaan sang Tabib. Tapi ketika mereka hendak mengambil sang puteri, gadis itu lenyap.
Kini Tabib Dewa Sesat tanpa menghiraukan Pangeran Suprana dan Sang Bala yang menyusul tidak jauh di belakangnya terus melakukan pengejaran. Sekejab tadi ia sempat melihat berkelebatnya bayangan merah sambil memondong puteri Saba.
Ia mengejar sambil berteriak-teriak. Namun bayangan merah itu sedikit pun tidak menoleh bahkan mempercepat larinya. Dalam waktu singkat sang Tabib telah tertinggal jauh. Adalah suatu kenyataan yang sangat mengejutkan bila hal ini dapat terjadi mengingat sang Tabib adalah tokoh aliran hitam yang berpengalaman di samping memiliki ilmu lari 'Kijang Kencana'. Dalam keadaan berlari itu pula terlintas dalam benaknya apa dan siapa orang yang telah melarikan puteri Saba.
Orang yang dikejar pun menghilang. Sambil memaki-maki sang Tabib hentikan langkahnya. Rasa geram mewarnai dirinya. Sekilas ia menoleh ke belakang. Dilihatnya Sang Bala turus mengejar dengan menunggang kuda. Ia tidak melihat Pangeran Suprana, pemuda yang telah disembuhkan dari racun ular kuning, namun kini harus menderita keracunan lagi akibat perbuatannya sendiri.
"Manusia berwajah dingin ini aku tidak tahu sampai dimana kehebatannya. Aku tidak mau bentrok dengannya. Lebih baik aku mencari Pedang Penyebar Bencana. Jika senjata itu sudah kudapatkan, aku dapat menghancurkan orang-orang itu, kelak aku dapat menguasai istana sambil uncang-uncang kaki! Ha ha ha...!" Sang Tabib tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil jalan ke kiri dan terus melanjutkan perjalanannya.
Tidak lama muncul Sang Bala. Laki-laki itu terus memacu kudanya menempuh jalan ke kanan. Namun sampai setengah jam kemudian ia juga tidak berhasil mendapatkan apa yang dicarinya. Orang yang telah melarikan puteri Saba lenyap bagai ditelan bumi, demikian pula dengan Tabib Dewa Sesat.
Dalam keadaan bingung itulah, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras di udara.
Sang Bala menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya Pangeran Suprana telah berada di atas punggang Elang Perak. Burung raksasa yang besarnya dua kali lipat dari rajawali.
"Hiiiihk...!"
Elang perak menguik keras. Kepakan sayapnya yang semakin rendah membuat pohon-pohon terguncang keras, sedangkan kuda yang ditunggangi Sang Bala memberontak.
"Saudaraku Pangeran Suprana. Buruan kita lenyap! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Dari atas punggung Elang Perak yang masih melayang-layang di udara Iblis Peruntuh Mahkota menyahuti.
"Sekarang lebih baik cari Tabib Dewa Sesat dulu. Racun yang diberikannya dalam obat itu tampaknya tidak bisa dianggap enteng. Itu racun Serat Raga, dua puluh tujuh hari mendatang jika aku tidak menemukan pemunahnya, tubuhku akan hancur. Cepatlah cari jahanam berkepala botak itu. Rampas obat pemunahnya, jika obat itu ditelan maka kau korek perutnya!" teriak Kumbang Pemikat sambil memegangi dadanya.
"Baik, saudaraku. Tidak kubiarkan kau menderita. Aku siap mengorbankan jiwa dan ragaku demi tegaknya kerajaan Sorga Dunia!" sahut Sang Bala.
Pembunuh berdarah dingin yang tidak kenal asal usulnya dan murid tertua Dewa Kubu ini segera menggebah kudanya ke arah selatan. Untuk lebih jelas siapa Dewa Kubu, (dalam episode Undangan Maut). Sementara Elang Perak kembali membubung tinggi ke udara, kemudian meluncur ke arah bukit Sembuang.
* * *
--₪֍¦ DUA ¦֍₪--
Dengan perasaan tidak enak Pendekar Kucar Kacir melakukan pemeriksaan.
"Mayat-mayat ini bukan perajurit kerajaan. Aku tidak tahu mereka datang dari daerah mana. Kurasa mereka orang-orang dunia persilatan! Tapi siapa yang telah membunuhnya? Kening mereka berlubang, eh... aku seperti melihat angka-angka." Pangeran Demak Pati alias Si Kucar Kacir meneliti. Ternyata bukan angka, huruf-huruf yang mungkin dari paku-paku beracun." si pemuda menggumam. Setelah membersihkan darah kering di bagian kening si mayat. Maka terlihatlah dua baris kata. 'El Maut'.
"Siapa El Maut? Setan atau manusia juga seperti diriku. Tempat ini rasanya sudah tidak aman seperti dulu. Aku merasakan hawa pembunuhan dimana-mana. Ini berarti orang-orang telah memusatkan perhatiannya ke bukit ini. Edan... ada-ada saja. Aku sendiri tidak tahu dimana Pedang Pemersatu itu disembunyikan ayahanda. Tapi... eh, apa itu...!" Serentak Pendekar Kucar Kacir bersurut langkah. Ia melihat ada sepasang mata memancarkan cahaya merah mengawasinya dari semak belukar yang gelap.
"Apa mungkin ada harimau disini? Perasaanku semakin tidak enak saja!" desis Pendekar Kucar Kacir.
Belum lagi ia sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar suara erangan yang membuat seluruh lereng bukit bergetar. Lalu terdengar lagi bentakan mengakhiri suara erangan tadi "Sudah banyak nyawa yang tercabut. Sudah banyak jiwa yang terbang ke langit. Aku yang mengirim mereka dengan paksa. Kini kau datang lagi menambah jumlah yang ada! Bukit Sembuang sudah tidak nyaman. Kemana Jasa Raga? Apakah dia telah melupakan aku si tua bangka?" teriak suara di balik semak belukar.
Mendengar disebut-sebutnya almarhum ayahandanya. Pendekar Kucar Kacir jadi kaget. Ia tidak tahu orang itu berada dipihak mana, namun apapun resikonya ia harus berterus-terang.
"Siapapun dirimu, harap tunjukkan diri! Aku Pangeran Demak Pati putera almarhum raja Jasa Raga. Aku datang kemari untuk mengambil Pedang Penyebar Bencana agar tidak jatuh ke tangan Pangeran Suprana,"
"Hik hik hik...! Apa jawabmu jika kutanya tentang kematiannya?" bentak suara tadi. Kemudian dari semak-semak keluar sosok tubuh tua renta. Pendekar Kucar-Kacir memperhatikan dengan tatapan tidak berkedip. Ternyata dia adalah seorang perempuan, berpakaian hitam kotor, rambut awut-awutan. Sepasang matanya merah memancarkan cahaya. Wajahnya yang mengerikan itu terdapat lima luka yang sangat dalam seperti dicakar harimau. Walau pun luka-luka itu telah sembuh, namun meninggalkan bekas yang sedemikian rupa.
Dengan terbungkuk-bungkuk ia terus mendekati Pangeran Demak Pati. Si pemuda tidak berani berlama-lama memperhatikan nenek renta itu.
"Kau tadi mengatakan puteranya raja Jasa Raga?" Dingin suara si nenek.
"Ya...!" sahut Pangeran Demak Pati.
"Bagus!" teriak si nenek.
"Jika ayahmu tidak pernah cerita padamu tentang El Maut. Kau akan kukirim ke neraka dengan arwah penasaran!"
Tiba-tiba saja ia mengangkat tangannya. Dari setiap ujung jemari si nenek tiba-tiba melesat cairan berwarna putih yang membentuk seperti tali. Serangan itu berkecepatan di atas suara. Sehingga Pangeran Demak tidak sempat lagi menghindar. Tahu-tahu tubuhnya sudah dibelit cairan berpilin-pilin itu. Hanya dalam waktu sekejap cairan tadi telah mengering. Kini bentuknya benar-benar seperti tali yang kuat membelenggu tubuh si pemuda.
Pangeran Demak Pati memberontak, namun usahanya itu hanya sia-sia. Semakin ia bergerak tali tersebut semakin erat menjeratnya.
"Apa salahku?" tanya Pendekar Kucar Kacir tidak berdaya.
"Hik hik hik! Aku tidak perlu jelaskan apa salahmu. Seharusnya kau sudah kubinasakan. Aku memberimu hidup beberapa lagi lagi, setelah itu kau akan kubunuh!" dengus El Maut.
"Huh, aku tidak takut mati. Tapi kau harus menjelaskan mengapa kau membunuh orang yang tidak bersalah?"
"Diam...!" bentak si nenek.
Simpul-simpul tali yang terbuat dari cairan aneh disentakkan. Dilain waktu tubuh Pendekar Kucar Kacir telah berada di atas bahu El Maut. Sekali perempuan aneh bermata seperti harimau ini menjejakkan tubuhnya. Maka si pemuda merasa dirinya seperti dibawa terbang.
Tidak sampai sepemakan sirih ia telah dibawa ke dalam sebuah gua yang terdapat di puncak bukit Sembuang. Pendekar Kucar Kacir terheran-heran sendiri. Seingatnya dulu ketika ia berumur belasan tahun ia pernah ikut ke bukit itu. Dia tidak melihat ada gua di sana, namun sekarang? Gua itu cukup luas, ini mengingatkan tempat persembunyiannya dulu di daerah Ciujung. Namun yang membuat pemuda ini kaget adalah terdapatnya mayat-mayat yang tergantung dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.
El Maut mencampakkan Pendekar Kucar-Kacir di lantai Gua. Ia memaki-maki dalam hati karena nenek renta itu sama sekali tidak punya belas kasihan.
"Mayat-mayat yang telah kering itu seperti kau lihat." menjelaskan El Maut.
"Mereka masuk ke bukit ini beberapa hari yang lalu. Tujuannya adalah mencari Pedang Penyebar Bencana. Aku mengawetkannya agar menjadi pelajaran bagi orang-orang serakah. Huh... mengapa setiap tersadar dari tidurku aku harus membunuh! Raja Jasa Raga, mana raja itu? Apakah dia sudah lupa pada janji-janjinya? Apakah dia sudah lupa dengan El-Maut?" Si nenek tiba-tiba menggerung, lalu menangis. Tangisnya sungguh terasa memilukan hati.
"Untuk apa aku bangkit dari tidurku jika kesengsaraan saja yang kulihat. Ah... aku harus menggantungmu! Kelak di keningmu akan kuberi tanda El Maut. Semua orang yang datang ke bukit ini akan kuperlakukan sama seperti dirimu!"
"Tunggu...!" Cegah si pemuda ketika melihat si nenek hendak menggantungnya.
"Kau hendak bicara apa, lekas katakan!" perintah El Maut.
"Anda menyebut-nyebut almarhum ayahandaku. Sebenarnya ada hubungan apa antara ayahku dengan dirimu?" tanya Pangeran Demak penasaran.
Wajah yang rusak seperti bekas cakaran harimau itu tampak berubah-ubah. Matanya yang memancarkan cahaya aneh berkedip-kedip. Lalu terdengar suara tangisnya yang tidak terbendung.
"Bila kujelaskan, hancur hatiku. Bila kupendam sakit perasaanku. Aku memilih hancur hati biar dapat menggantungmu!" Si nenek menggerakkan tangannya. Lima tali yang mengikat Pendekar Kucar Kacir terangkat. Tali-tali itu tersangkut di langit-langit gua. Tubuh pemuda itu kemudian tergontai-gontai dengan kaki di atas kepala menghadap bawah. Pangeran Demak Pati tidak tinggal diam. Ia meronta, si nenek memandanginya sambil berkata.
"Jika kau terus begitu, bila tali itu lepas. Maka kepalamu akan hancur. Hik hik hik! Aku tidak banyak waktu untuk bicara denganmu! Aku harus keluar!"
"He, tunggu...!" Putera mahkota kerajaan Pasundan ini berteriak. Namun percuma saja. Karena El Maut sudah tidak ada lagi di gua itu. Pangeran Demak mulai merasa kepalanya mendenyut dan berat sekali. Melirik ke lantai gua ia melihat batu-batu runcing menghadap kepalanya. Sekarang dia bingung sendiri, karena ia tidak tahu siapa perempuan aneh tersebut. Yang membuatnya terheran-heran. Mengapa ia kenal dengan almarhum ayahandanya? Atau mereka memang punya hubungan tertentu?
Pendekar Kucar Kacir sendiri bingung memikirkan semua ini. Pada saat itulah dari lorong bagian dalam gua mancul seorang gadis berpakaian hitam ringkas.
Melihat gerak geriknya yang mencurigakan, Pendekar Kucar Kacir langsung menegurnya.
"Hei, nisanak. Siapakah kau?"
Gadis itu memandang pada sang Pangeran, keningnya mengerenyit. Kemudian ia segera mengenali. Dia tidak lain adalah pemuda yang terkapar di atas bukit. Waktu itu adiknya menangisi pemuda tersebut.
"Oh kau! Rupanya kau tidak mati, pengemis muda. Tidak kulihat kau bersama gadis itu! Jadi dia sudah meninggalkanmu! waktu itu aku memang menyarankan agar dia kawin lagi. Untuk apa kawin dengan pemuda pengemis!"
Sekarang mengertilah Pangeran Demak Pati siapa gadis ini. Waktu itu puteri Saba adiknya bercerita tentang gadis yang mengaku dirinya Maling. Tapi bagaimana gadis ini bisa masuk ke ruangan gua tanpa diketahui oleh El Maut?
Ketika Suro dan Maling Jenaka alias Maling Cerdik ini bertemu untuk kedua kalinya tanpa sengaja. Setelah bertabrakan dengan pemuda konyol itu si gadis yang bernama Gadis ini segera menuju ke bukit Sembuang. Berhubung ia sendiri kurang paham arah yang ditujunya, kebetulan di tengah perjalanan ia melihat serombongan laki-laki berkuda berasal dari selatan. Setelah mencuri dengar pembicaraan mereka baru ia tahu bahwa orang-orang itu pergi ke bukit Sembuang.
Maka secara diam-diam Gadis mengikuti rombongan ini. Namun perjalanan mereka tidak mulus. Sampai di lereng bukit mereka dihadang oleh seorang nenek sakti bermata menyala seperti bara. Mereka semua terbunuh secara mengerikan. Kening mereka ditembusi paku yang mengukir dua buah kata mendirikan roma. El Maut. Selain itu tiga pimpinan orangorang dari selatan ini juga tertangkap. Maling Cerdik mengikuti si nenek dan ingin tahu apa yang akan dilakukannya pada pimpinan orang-orang selatan itu.
Ternyata sesampainya di dalam gua. Ketiga laki-laki yang menjadi pimpinan rombongan disiram dengan sejenis cairan. Mereka melolong-lolong kesakitan. Tubuh mereka mengepulkan asap berwarna putih. Mereka gembong-gembong persilatan dari Pantai Selatan itu tewas seketika dalam keadaan berdiri kaku.
Orang-orang ini digantung, Gadis memperhatikan kejadian ini di tempat persembunyiannya yang aman. Ketika El Maut keluar kembali meninggalkan gua. Maka Maling Jenaka menyelinap masuk untuk mencari Pedang Penebaran Bencana. Karena menurut perhitungannya pedang tersebut memang disimpan di dalam gua.
Namun Gadis tidak menemukan Pedang Pemersatu tersebut. Bahkan ia sendiri hampir ketahuan karena El Maut, manusia misterius itu telah kembali dengan membawa seorang pemuda yang telah terikat dengan tali yang tercipta dari lendir aneh.
Yang membuat Maling Cerdik heran, nenek renta tersebut tidak membunuh pemuda itu sebagaimana yang dilakukannya pada tiga gembong Pantai Selatan. Kini setelah tidak mendapatkan apa yang dicarinya, ia bermaksud meninggalkan gua tersebut. Itulah sebabnya tanpa menghiraukan Pangeran Demak Pati ia berbalik.
"Tunggu! Tolong bebaskan aku dari gantungan celaka ini!" teriak Pangeran Demak dengan perasaan dongkol.
"Huh, untuk apa aku bebaskan kau. Aku tidak punya waktu, lagipula kekasih bukan saudara juga bukan. Biarlah kau digantung di situ sampai mampus! Aku Maling cerdik tidak punya waktu!" dengus si gadis. Tanpa basa basi lagi ia langsung berkelebat pergi.
Sekarang hilanglah harapan Pendekar Kucar Kacir untuk menyelamatkan diri. Ia memandang ke sekeliling ruangan sambil mencari akal bagaimana caranya dapat membebaskan diri dari tali terkutuk itu.
* * *
Di tikungan jalan bayangan merah menghentikan langkah. Puteri Saba dalam pondongannya segera diturunkan. Totokan kini sudah dibebaskan. Begitu terbebas sang puteri yang arif langsung berlutut.
"Kakek siapapun adanya anda, aku puteri Saba patut menghaturkan rasa terima kasih yang dalam!" katanya dengan perasaan terharu.
Kakek baju merah berjenggot dan berambut merah menggumam. Tatapan matanya penuh wibawa, wajahnya sejuk penuh ketenangan.
"Manusia tidak pantas menyembah manusia. Walau pun orang itu mempunyai pangkat dan kedudukan tinggi. Berdirilah puteri Saba, aku hanya melakukan apa yang menjadi kewajibanku sebagai manusia!" kata kakek rambut merah.
"Aku berhutang nyawa dan kehormatan, siapakah engkau kakek?" tanya puteri Saba.
"Bersukurlah pada Gusti Allah. Aku adalah Malaikat Berambut Api!" sahut si kakek.
Puteri Saba terkejut, dia pernah mendengar nama besar tokoh Pantai Selatan yang konon berdiam di Pulau Seribu Satu Malam itu. Dan pulau itu sendiri hingga sekarang tidak seorang pun tahu di mana letaknya secara pasti.
"Saya beruntung bertemu dengan tokoh besar seperti anda, kek. Sayang urusan kerajaan begini rumit, jika tidak aku ingin berguru padamu!" ucap puteri Saba serius.
Malaikat Berambut Api menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah mengangkat murid selain pada cucuku sendiri. Sekarang aku sedang mencarinya."
"Siapa muridmu, kek?"
"Suro Blondo, pemuda konyol yang tingkahnya seperti orang kurang waras!" jelas Malaikat Berambut Api sambil menjelaskan ciri-ciri muridnya secara terperinci.
Puteri Saba tampak berubah cerah wajahnya. Pemuda yang berjuluk Pendekar Blo'on itu tentu dia pernah bertemu. Pemuda itu pula yang telah menyelamatkan Pangeran Demak Pati dari pukulan beracun Sang Bala, dia juga yang mati-matian membela putera puteri kerajaan ketika Pangeran Suprana menyerang mereka dengan Elang Peraknya, (agar lebih jelas dalam Episode Pendekar Kucar Kacir). Tanpa ragu-ragu lagi puteri Saba menceritakan pertemuannya dengan Pendekar itu.
"Jadi sekarang dimana dia?"
"Waktu Pangeran Jahanam itu menculik aku, ia bersama dengan kakanda Pangeran Demak Pati. Entah sekarang?"
Puteri Saba kemudian menceritakan semua yang sedang terjadi. Kakek yang sangat jarang tersenyum apalagi tertawa ini kerutkan keningnya.
"Persoalanmu kelihatannya memang rumit. Mengenai Tabib Dewa Sesat aku sudah kenal kelicikannya. Sedangkan pemuda ingusan yang kau sebutsebut sebagai Pangeran Suprana sama sekali aku tidak mengenalnya. Lalu dimana mahkota itu sekarang?"
"Disimpan Guru Kami Setan Trompet." jawab puteri Saba. Malaikat Berambut Api angguk-anggukan kepala.
"Menurutmu siapa guru Pangeran Suprana?" tanya si kakek selanjutnya.
"Saya kurang pasti, kek. Menurut yang kudengar dari pembicaraan antara Pangeran Suprana dengan Sang Bala yaitu panglima perangnya sendiri, guru mereka adalah tokoh dari Andalas yang berjuluk Dewa Kubu!"
"Dewa Kubu?!" desis kakek Dewana, kerut merut di keningnya semakin bertambah dalam.
Ia langsung ingat, dulu Dewa Kubu juga pernah menjambangi tanah Jawa ketika istrinya Nini Palayangan melarikan diri. Dia juga pernah membuat kegemparan dimana-mana. Tokoh yang satu ini sakti bukan main, jurus-jurus silatnya beragam. Selain itu tokoh setengah roh setengah manusia ini juga punya tunggangan perkasa yaitu berupa seekor burung langka yang diberi Nama Elang Perak.
"Apakah guru bocah gila yang mengaku Tuhan itu pernah datang ke sini?" tanya kakek Dewana.
"Belum pernah, entah saat ini. Tapi yang saya tahu selama ini Pangeran Suprana selalu menunggang Elang Perak!" jelas puteri Saba.
Mata Malaikat Berambut Api menyipit. Lama juga ia terdiam. Ada kegelisahan di wajah kakek ini.
* * *
--₪֍¦ TIGA ¦֍₪--
"Merupakan suatu kehormatan yang sangat besar jika kakek bersedia membantu kami!" kata puteri Saba dengan hati gembira. Belum sempat Malaikat Berambut Api menanggapi ucapan gadis berpakaian putih itu. Tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa seseorang yang seakan datang dari delapan penjuru angin. Puteri Saba melengak kaget, sebaliknya kakek aneh Malaikat Berambut Api hanya diam dengan mata menyipit.
"Sampai pusing aku mencari, tidak tahunya calon istriku dilarikan kunyuk merah di sini!" kata sebuah suara begitu suara tawanya melenyap.
Set!
Dari balik sebatang pohon besar tampak meluncur sosok bayangan berpakaian hitam.
Kepalanya gundul, alisnya berwarna putih tanpa jenggot dan kumis. Sebelum kehadirannya tadi terdengar suara berdengung seperti suara ribuan lebah yang pindah sarang.
Kini setelah melihat siapa kakek berpakaian merah di depannya kakek gundul itu sempat merendek kaget.
"Cuh! Tidak disangka engkau yang konon telah mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu Malam sekarang gentayangan di rimba persilatan. Apakah engkau ingin juga memiliki Pedang Penebar Bencana? Jika itu yang kau inginkan, aku bersedia membantumu! Tapi tolong kau berikan puteri Saba kepadaku. Karena sesuai perjanjian dengan Pangeran Suprana, dia telah dihadiahkan padaku!" kata Dewa Sesat. Rupanya diantara mereka ini sebagai tokoh angkatan tua sudah saling mengenal dan kelihatannya Tabib Dewa Sesat merasa jeri berhadapan dengan Malaikat Berambut Api.
"Kesesatanmu sejak dulu tidak berkurang Wisang Geni!" dengus kakek rambut merah menyebut langsung nama Tabib Dewa Sesat.
"Kau inginkan gadis ini, kalau kau punya nyali ambillah dari tanganku!"
"Cuh! Aku tidak mau cari perkara denganmu, namun jika terpaksa apa boleh buat!" bentak Sang Tabib.
Tiba-tiba secepat kilat ia hantamkan tinjunya ke wajah Dewana. Kakek rambut merah maklum betapa serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin mendesir menebar hawa panas, Malaikat Berambut Api sama sekali tidak menggeser tubuhnya. Saat tinju sudah berada di depan hidungnya sang kakek miringkan kepala ke kanan. Lalu tangannya menepis.
Plaak! "Ukh...!"
Tepisan yang keras ini membuat Sang Tabib terhuyung-huyung. Namun ia cepat berbalik dan langsung melepaskan tendangan. Kakek Dewana melompat ke udara. Lalu kakinya menyapu ke arah dada. Sambil melompat mundur selamatkan dada Sang Tabib memaki. Si botak meludah lagi. Ia sadar betul siapa lawan yang dihadapinya. Seorang tokoh sakti yang memiliki kepandaian di atas Penghulu Siluman Kera Putih.
Sekarang ia kerahkan tenaga dalamnya, matanya setengah terpejam. Sadarlah Malaikat Berambut Api kalau lawannya bermaksud mengadu kesaktian dari jarak jauh.
Di masa itu memang sangat jarang tokoh-tokoh rimba persilatan yang bertarung dengan jarak jauh. Terkecuali tokoh-tokoh kosen. Si kakek tersenyum melihat kenyataan ini.
"Tabib Dewa Sesat! Kau benar-benar gegabah dengan langkahmu itu! Huh!" Si kakek mendengus. Lalu ia rangkapkan kedua tangannya di atas dada. Sekejap kemudian menggeletarlah tubuh masing-masing lawan. Puteri Saba terpaksa menyingkir. Hawa panas dan dingin seakan saling tindih untuk sama-sama menghancurkan.
Keringat sebesar-besar jagung bercucuran membasahi sekujur tubuh sang Tabib. Dari ubunubun Malaikat Berambut Api mengepul asap tipis, sementara rambut di kepalanya tegak berdiri tampak seakan menyala seperti bara.
"Heps!"
Tabib Dewa Sesat pelan-pelan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Tapi ia merasakan suatu tenaga yang tidak terlihat seakan membenamkannya ke perut bumi. Kakek botak terkesiap, ia coba menahan serangan yang Maha dahsyat ini. Kakinya tiba-tiba amblas. Sementara lawan di depannya tampak tenangtenang saja.
Satu pemandangan mengerikan terlihat kini. Wajah si kakek tampak mengelam. Rambutnya yang semakin bertambah merah berkibar-kibar. Mata sang tabib melotot. Tampaknya ia mati-matian mempertahankan diri.
"Gila! Aku tidak pernah melihat ada tokoh mempunyai kemajuan sepesat ini dalam waktu sepuluh tahun saja." maki Sang tabib.
Sementara itu kakinya semakin membenam jauh hingga sampai sebatas paha. Dalam kesempatan itulah terdengar seruan Malaikat Berambut Api.
"Tabib Dewa Sesat! Jika kau tidak mau menyingkir dari hadapanku! Hanya dalam waktu singkat nyawamu tidak akan tertolong!"
"Jahanam!" maki si kakek botak.
"Untuk makianmu itu! Aku akan hadiahkan sebuah kenang-kenangan padamu!" dengus kakek Dewana dingin.
Malaikat Berambut Api tiba-tiba saja menggoyangkan jari telunjuknya. Ada tenaga besar yang tidak terlihat meluncur deras ke arah Tabib Dewa Sesat.
"Wuaakh...!"
Sang Tabib menjerit keras dengan mulut menyemburkan darah kental bergumpal-gumpal. Ia terkulai setengah pingsan setengah sadar.
Malaikat Berambut Api dengan sikap mengancam menghampirinya. Kakinya menginjak punggung sang Tabib yang setengah membungkuk.
"Aku sudah tua, kau sudah tua. Terus-terang sekarang kami akan pergi ke bukit Sembuang. Jika kau muncul disana, maka aku akan membunuhmu!" ancam si kakek.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Malaikat Berambut Api. Padahal Tabib Dewa Sesat sendiri adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli dalam masalah obat dan racun.
"Sekarang apa jawabmu?" tanya kakek rambut merah setelah melihat lawannya hanya diam saja.
"Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah! Aku bersumpah, kapan pun jika ada kesempatan untuk membunuhmu, aku pasti membunuhmu!" geram sang Tabib.
"Sayang aku tidak suka membunuh lawan yang sudah tidak berdaya." sahut kakek Dewana. Selanjutnya ia berpaling pada puteri Saba.
"Mari kita tinggalkan sampah dunia ini, puteri!"
Malaikat Berambut Api tanpa menoleh lagi langsung menyambar lengan puteri Saba. Gadis itu merasa tubuhnya melayang seringan kapas. Tabib Dewa Sesat mengobati luka-luka dalam yang dideritanya. Bagaimana pun jika luka dalamnya telah sembuh ia tetap meneruskan niatnya untuk pergi ke bukit Sembuang.
* * *
Setelah melihat tidak adanya jalan lain kiranya Pangeran Suprana telah mengerahkan seluruh bala tentaranya ke bukit Sembuang. Sementara penderitaannya karena racun Serat Raga semakin bertambah hebat. Bila racun itu menyerang, maka sekujur tubuhnya menggigil. Kini perhatiannya benar-benar terpecah belah. Yang pertama ia ingin segera mendapatkan pedang Pemersatu dan mahkota itu, sedangkan yang kedua yang tidak kalah pentingnya ia harus mencari Tabib Dewa Sesat untuk merampas obat pemunah racun tersebut. Demikianlah iring-iringan bala tentara kerajaan yang sangat besar itu bergerak bagaikan air bah. Sementara itu Iblis Peruntuh Mahkota tetap berada di atas burung tunggangannya yang terus melayanglayang di udara.
"Kiiiik...!"
Elang Perak memekik keras. Ia mulai bergerak liar hingga membuat Pangeran Suprana kerutkan keningnya.
"Ada apa sahabatku?"
"Hiiii...!"
Elang Perak terbang merendah. Pangeran Suprana memandang ke bawah. Tiba-tiba ia berseru kegirangan ketika melihat sosok tubuh berpakaian kulit harimau tampak duduk di atas batu besar.
"Guru...!"
Serentak dengan seruan Kumbang Pemikat ini, maka perajurit-perajurit kerajaan hentikan kudanya. Elang Perak melayang-layang lalu hinggap di depan kakek berpakaian kulit harimau. Dengan terhuyunghuyung Pangeran Suprana melompat turun dari punggung Elang Perak. Ia langsung menghaturkan sembah.
"Sungguh satu keberuntungan guru telah menyusul ke tanah kelahiran muridmu! Tapi...!"
Dewa Kubu, laki-laki yang wajahnya tertutup rambut panjang menjela itu menyahut.
"Aku tahu kau dalam keadaan terluka. Coba hadapkan wajahmu padaku!" pinta kakek itu.
Pangeran Suprana mengangkat wajahnya, sementara itu para perajurit kerajaan menunggu dengan perasaan cemas. Dewa Kubu terkejut sekali melihat wajah Iblis Peruntuh Mahkota yang telah berubah biru.
"Kau keracunan muridku, racun Serat Raga. Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya penuh amarah.
"Tabib keparat Dewa Sesat!" sahut Pangeran Suprana menahan geram.
"Hmm, manusia kurcaci itu pasti telah melicikimu. Sungguh keji racun itu. Aku tidak punya obat pemunahnya, tapi aku dapat menyembuhkannya!" kata Dewa Kubu.
Tokoh dari Andalas ini kemudian memerintahkan muridnya agar mendekat. Pangeran Suprana mendekati gurunya. Setelah mereka saling berhadaphadapan, maka Dewa Kubu menempelkan telapak tangannya di punggung si pemuda. Tenaga sakti dikerahkannya, tubuh Pangeran Suprana menggigil. Wajahnya tampak mengejang, lalu terdengar suara jeritannya yang melolong-lolong bagaikan kerbau disembelih.
Dari setiap celah pori-pori di tubuh pemuda itu keluar cairan berwarna biru berbau tidak sedap Dewa Kubu terus mengerahkan tenaga dalamnya, sampai kemudian Pangeran itu terkulai tidak sadarkan diri. Perajurit kerajaan tampak khawatir melihat keadaan raja mereka yang mengkhawatirkan. Dewa Kubu tanpa menghiraukan perajurit-perajurit itu segera mengurut bagian-bagian tubuh muridnya. Tidak sampai sepemakan sirih pemuda itu sudah sadar kembali.
"Guru, terima kasih atas pertolonganmu!" ucapnya dengan penuh rasa syukur. Kini pengaruh racun Serat Raga telah hilang dalam dirinya.
"Jangan kau pakai segala macam peradatan. Sekarang coba jelaskan apa sebenarnya yang akan kau cari di bukit Sembuang?!"
Iblis Peruntuh Mahkota langsung menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Sementara gurunya nampak mendengarkan dengan seksama.
"Kalau itulah yang kau kehendaki, aku bisa membantumu! Salah satu dari apa yang kau inginkan telah aku dapat dari manusia yang berjuluk Setan Terompet!" Dewa Kubu mengeluarkan sesuatu dari buntalan yang dibawanya. Setelah terlihat benda itu ternyata mahkota kerajaan yang sah. Bukan main girangnya hati Pangeran Suprana tidak tertahankan.
"Bagaimana guru, bisa mendapatkannya?" sera Pangeran Suprana.
"Tentu aku merampasnya dari tangan Setan Terompet dan merampas nyawanya juga! Sudahlah, sekarang lebih baik kau kerahkan perajurit-perajurit itu untuk mengadakan pembersihan di bukit Sembuang. Kalau kau merasa yakin pedang itu ada disana, nanti kita ambil!" janji Dewa Kubu.
Tanpa menunggu-nunggu lagi, Pangeran Suprana segera memerintahkan ratusan perajurit itu ke bukit Sembuang. Setelah perajurit-perajurit pergi. Ia kembali menghadap gurunya.
"Apa yang akan kita lakukan, guru?"
"Itu kita atur nanti. Sekarang aku ingin tahu kemana saudara tuamu Sang Bala?" tanya Dewa Kubu.
"Dia kuperintahkan untuk mencari pedang dan puteri Saba di bukit itu juga. Apakah guru ingin menjumpainya?" tanya Kumbang Pemikat pula.
"Rasanya perjalanan yang kulakukan cukup melelahkan. Aku ingin istirahat di kerajaanmu. Kudengar kau menyimpan gadis-gadis cantik di istanamu. Aku yang sudah tua ini ingin juga mencicipi bagaimana lezatnya daun muda!" kata Dewa Kubu.
"Gampang diatur. Marilah kita pulang ke istana dulu. Guru nanti hanya tinggal memilih mana yang guru inginkan!"
Murid dan guru yang sama-sama gilanya ini kemudian kembali ke istana dengan menunggang Elang Perak.
* * *
Hujan turun tiada henti. Di bagian jendela bangunan tua yang berada di bukit Cadas Lintang tampak seorang berpakaian serba biru duduk sambil memegangi lututnya. Sekali ia memandang ke depannya, lalu mendongak ke langit.
"Hujan deras sekali. Perjalananku jadi terhalang, persoalan yang harus kuhadapi padahal sangat banyak sekali. Aku khawatir senjata itu dipergunakan untuk maksud-maksud yang tidak baik oleh Maling Jenaka. Sayang sekali gadis secantik dia jadi maling. Rasanya kalau bertemu aku tidak dapat mengampuninya. Akan kuhajar dia sampai mampus, atau aku akan menciumnya sampai hidung atau wajahnya rusak. Kurasa lebih bagus lagi kalau kucium bibirnya sampai dower!" gerutu si pemuda. Lalu ia menggaruk rambutnya yang agak basah.
Pada saat itu ia mendengar suara langkahlangkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa. Suro Blondo langsung menyelinap ke balik tembok yang sudah rapuh. Tidak lama muncul seorang laki-laki bertubuh tambun bermata merah seperti kurang tidur.
"Bocah bengal itu sudah tidak pulang-pulang, sekarang entah pergi kemana? Jangan-jangan ia tidak laksanakan perintahku. Aku Dewa Petir, Dewa Maling dan Dewa Copet. Kalau dia berani melanggar perintah aku bersumpah akan mengawinkan dia dengan pemuda mana pun yang aku suka. Biar dia jangan banyak ulah. Biar nanti dia tahu rasa kalau sudah punya suami. Aku rasanya kewalahan mengatur dia!" Kakek berwajah awet muda ini mengomel sendiri.
Seraya duduk di lantai bangunan tua itu. Herannya lagi meskipun tadi ia berlari-lari di tengah hujan, namun pakaiannya tidak basah. Suro yang mengintip dari bagian luar bangunan saja sampai tercengang-cengang.
"Dia mengatakan dirinya maling dan copet, dewanya lagi. Jangan-jangan orang ini gurunya gadis itu. Bangsat! Sekejap lagi senjata itu harus kuminta!" geram Suro dalam hati.
Selagi Pendekar Blo'on sibuk bicara dengan dirinya sendiri, Dewa Petir bicara lagi.
"Seharusnya ia sudah muncul ke sini, kasih laporan bagaimana perkembangan di bukit Sembuang. Dasar sial, ia masih belum datang, juga!"
Kakek tambun menyandarkan punggungnya ke dinding tembok. Matanya segera terpejam. Dalam waktu tidak lama kakek ini pun segera tertidur.
* * *
--₪֍¦ EMPAT ¦֍₪--
Ketika melihat seraut wajah di depannya, Dewa Petir bukannya marah melainkan tertawa terbahakbahak.
"Tikus buduk! Ha ha ha...! Kau pemuda gila kesasar dari mana? Mukamu celemongan bekas kecupan bibir. Apa kau habis pesiar dengan para pelacur? Kau benar-benar gila!!" kata Dewa Petir sambil memegangi perutnya.
"Jangan tertawa, kudengar tadi kau mengatakan dirimu Dewa Copet! Serahkan muridmu untuk kelancangannya telah mencopet senjataku!" dengus Suro bersungut-sungut.
"Heh, pemuda edan! Boleh-boleh saja kau bicara, tapi bekas kecupan bibir merah di pipimu itu hapus dulu!"
Suro jadi melengak. Ia khawatir kakek tambun itu mempermainkan dirinya. Namun begitu ia tetap keluar dari bangunan tua tersebut. Setelah sampai dekat air tergenang yang jernih maka ia pun berkata.
"Astaga! Sudah berhari-hari bekas kecupan ini tanpa aku sadari. Pantasan orang-orang di jalan semua mentertawaiku!" Cepat-cepat Suro membasuh mukanya. Setelah bersih ia masuk lagi. Kakek tambun memandangnya sebentar, lalu tertawa lagi.
"Sudah berapa hari kau dipeluki pelacur. Bicaramu ngelantur tidak karuan. Eeh... barusan kau mengatakan muridku mencuri senjatamu. Apa betul bicaramu?"
"Aku tidak berdusta! Waktu itu dia menabrakku, dan senjataku lenyap!"
Mata Dewa Petir melotot.
"Kau sempat bertabrakan dengan muridku. Kurang ajar sekali. Belum jadi suami isteri sudah berani tabrakan! Kalau muridku sampai hamil aku akan membunuhmu!" ancam Dewa Petir sinis. Bibir Suro termonyong-monyong.
"Bicaramu jangan ngelantur orang tua. Dia yang sengaja menabrakku, dan kami sama-sama berpakaian. Bagaimana hanya dengan begitu saja orang bisa hamil!"
"Waktu itu barangmu dimana?" tanya Dewa Copet. Entah mengapa begitu bertemu dengan Suro Blondo ia langsung menyukai pemuda bertampang ketolol-tololan itu.
Karena si kakek tetap tidak mau serius maka Suro menunjuk-nunjuk keningnya.
"Kupajang di jidad ini!"
Lagi-lagi Dewa Petir tertawa membahak. Pemuda berambut kemerahan itu benar-benar kocak, Dewa Petir cepat merasa akrab.
"Guru, aku datang!" kata sebuah suara.
Tidak lama setelah suara merdu tadi lenyap. Maka muncul sosok gadis bertubuh ramping berpakaian hitam ringkas. Gadis itu kelihatan kaget ketika melihat Suro juga berada di situ.
"Guru. Mengapa monyet jelek ini kau biarkan disini! Dia mata-mata kerajaan guru!" tegas Maling Jenaka tidak senang.
"Ha ha ha! Mau mata-mata kerajaan atau mata setan mana aku perduli. Sekarang cepat kau laporkan hasil penyelidikanmu!"
"Dengan adanya dia disini?" Gadis membelalakkan matanya.
"Biarkan saja, dia tidak bisa apa-apa." sergah Dewa Petir.
Kemudian dengan bersungut-sungut Maling Cerdik menceritakan kejadian demi kejadian di bukit Sembuang. Pendekar Blo'on jadi kaget juga ketika gadis itu menyebut-nyebut Pendekar Kucar Kacir.
"Hei kamu maling! Bagaimana keadaan sahabatku itu. Apakah dia masih hidup?" tanya Suro ingin tahu.
"Perlu apa kau bertanya padaku!"
"Kurang ajar, mentang-mentang di depan gurumu kau berani bicara begitu apa kau kira aku takut dengan Dewa Maling?" dengus Suro tidak kalah ketusnya.
Melihat suasana yang tidak menyenangkan ini Dewa Petir langsung berdiri gerakannya ringan saja. Ia memandang pada muridnya.
"Gadis! Menurut pemuda itu kau telah mencuri senjatanya. Kalau benar cepat berikan!" perintah si kakek.
Kening Gadis mengerenyit. Tidak biasanya gurunya membela orang yang tidak dikenalnya.
"Mengapa guru membelanya?!" protes Maling Jenaka.
"Kau lihatlah baik-baik, tampangnya yang menyedihkan itu. Barangkali dia sudah yatim piatu. Apa kau tega mencuri senjata pemuda seperti dia? Cepat kau kembalikan senjatanya!"
Maling Jenaka cemberut, meskipun begitu membuat wajahnya semakin ayu sedap dipandang.
"Dari semula aku memang menduga. Dia pemuda yang tidak becus apa-apa. Terbukti ketika senjatanya kuambil dia tidak tahu" dengus gadis itu sinis. Suro garuk-garuk kepala.
"Aku tidak mau melayani perempuan, nanti dikira orang banci! Urusanku tidak sedikit, diantara kita tidak ada silang sengketa. Kembalikanlah senjataku!
Atau...!" Suro ragu-ragu
"Atau apa?" tantang si Gadis.
"Kau punya tangan punya kaki, silakan ambil sendiri dari balik pinggangku!"
Merah kelam wajah Pendekar Blo'on. Dan gadis itu tampaknya sengaja mempermainkan Suro. Dan senjata pemuda itu diambilnya karena iseng saja, bukan untuk apa-apa.
"Kalau dikira aku pengecut, keterlaluan namanya. Apa susahnya berhadapan dengan maling sepertimu!"
Pendekar Blo'on tiba-tiba saja melompat. Tangannya bergerak menyambar pinggang Maling Jenaka. Gadis berkelit. Dewa Copet tertawa-tawa melihat perkelahian antara muridnya dengan pemuda berambut kemerahan itu.
Serangan tadi luput. Suro menggaruk rambutnya, sedangkan Gadis mentertawai lawannya. Sambil menggeram si konyol menyerang lagi, kali ini kelihatannya ia tidak mau bersikap setengah-setengah lagi. Segera ia mengerahkan kemampuannya. Gerakan pemuda ini mulai grubak-grubuk. Sekali-sekali ia berjingkrak atau berjongkok sambil melompat-lompat menghindari serangan balasan. Bibirnya mendesis disertai suara ngak ngik nguk seperti suara monyet. Bila serangan yang dilakukannya tidak mengenai sasaran, Suro menggaruk tubuhnya.
Gerakan yang terkesan seperti langkah-langkah seekor monyet ini tidak bisa dipandang enteng. Terbukti gadis sudah mulai keluarkan keringat dalam menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh si pemuda.
Wuut!
Serentak Suro menghantam wajah dan perut Gadis bertubi-tubi. Serangan kilat itu menimbulkan deru angin dingin, Gadis sontak mundur ke belakang. Hatinya diam-diam kaget tidak menyangka lawan ternyata mempunyai jurus-jurus simpanan yang hebat dan aneh.
Suro terkesan tidak memberi kesempatan lagi, Gadis terus mundur dan mundur. Hingga pada suatu saat ia pun melompat ke udara.
"Hia...! "
"Haiit!"
Tangan yang halus mulus itu menampar kepala Suro. Pemuda ini miringkan tubuhnya. Serangan tangan lolos, namun tendangan kaki meluncur ke bagian pundaknya. Serangan ini terkenal cepat sesuai dengan nama jurus yang dipergunakannya, 'Camar Menepuk Buih'. Sehingga Dewa Petir sendiri merasa yakin kini si pemuda tidak dapat menghindarinya.
"Huh...!"
Sambil mendengus, tiba-tiba saja Suro berbalik dengan gerakan cepat sulit diikuti mata.
Plak!
Benturan keras itu membuat Gadis tergetar. Walau pun ia masih dapat menjejakkan kakinya, tapi ia sempat goyah juga. Gadis kolokan ini tentu bertambah marah. Sekarang ia mendahului menyerang dengan jotosan-jotosan kilat yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Namun Suro sudah berkelebat lenyap. Terdengar suara tawa disana-sini hingga membuat konsentrasi lawan terganggu. Ke arah bayangan-bayangan biru itulah Gadis melepaskan pukulan namun tidak satu pun serangan yang dilancarkannya mengenai sasaran.
Kesempatan ini dilakukan Suro untuk menyergap. Walaupun Gadis mencoba menghindar ia masih kalah cepat dengan lawannya. Dalam waktu singkat Gadis sudah kena dipeluknya. Karena posisi senjata itu tidak diketahui persis letaknya sehingga tangan Suro bergerak seperti menggerayanginya. Ia bahkan sempat meraba dada si gadis. Lalu mendapati senjatanya di pinggang kiri Maling Jenaka.
Merasa diperlakukan kurang ajar, Gadis menggerakkan lututnya tepat menghantam selangkangan si konyol.
Duuk!
Sambil memegangi senjatanya Suro tergulingguling. Karena terasa mulas bukan main, maka ia pun pegangi perutnya. Gadis yang merasa dipermainkan apalagi mengingat dadanya sempat dipegang-pegang oleh si konyol tadi langsung saja bergebrak.
Terpincang-pincang Suro menghindar. Gerakan yang dilakukannya bukan grubak-grubuk lagi atau berjingrak seperti monyet. Melainkan sudah ngawur tidak beraturan. Rupanya pendekar Blo'on telah mempergunakan jurus kacau balau.
Melihat lawan sulit ditaklukkan, maka Gadis dengan geram mencabut pedang tipis. Di saat itulah terdengar suara seruan,
"Tahan...!!"
Maling Cerdik cepat menoleh. Ternyata Dewa Copet yang telah mencegahnya.
"Guru, mengapa kau membelanya? Aku akan membunuh pemuda sontoloyo ini. Ia telah mempermalukan aku!" dengus Maling Jenaka masih tidak dapat menahan kegusarannya.
"Aku tidak menyuruh kalian saling bunuh! Muridku tidakkah kau lihat kehebatan di balik ketololannya? Semestinya kau maklum dia bukan lawanmu! Ayo cepat simpan pedang itu kembali!!" perintah Dewa Copet.
Kesal si murid manja ini banting-banting kakinya. Dewa Petir tersenyum lalu hampiri Pendekar Mandau Jantan.
"Kulihat gerakan silatmu yang kacau, kulihat pula jurus-jurusmu yang hampir sama dengan tingkah monyet. Hayo mengaku siapa gurumu?"
Suro menyimpan senjatanya.
"Aku Suro Blondo!"
"Aku tidak tanya namamu, goblok!"
"Aku tidak mau jawab siapa guruku, tolol!" Suro balas memaki.
"Kau tidak mau mengatakannya, tapi aku sudah bisa menebak siapa gurumu. Gadis, muridku. Ketahuilah pemuda ini pasti muridnya dua tokoh sakti Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api. Hayo mungkir?"
Suro kelabakan sekaligus tercengang. Bagaimana kakek tambun ini dapat mengetahui siapa gurunya.
"Bukankah apa yang kukatakan ini betul semua, Suro?"
"Ya, aku tidak dapat memungkirinya. Lalu kakek ini siapa?" tanya Suro suaranya berubah lunak.
"Apakah Penghulu Siluman Kera Putih tidak pernah bicara padamu?"
Suro menggeleng.
"Aku ini Dewa Petir, sahabatnya juga yang sudah karatan. Mujur sekali sahabatku punya murid setampan kau. Sayang aku kurang akrab dengan Malaikat Berambut Api. Wah, ini kegembiraanku yang gila. Aku punya murid cantik, sahabatku punya murid tampan, meskipun tolol. Bukankah cocok jika kalian mulai saat ini kujodohkan? Ha ha ha...!"
"Guru??" Maling Jenaka protes dengan muka cemberut.
Sedangkan Suro melongo.
"Macam-macam saja ulah Dewa Maling ini. Kenalpun aku belum dengan mereka. Enak saja main jodohkan seperti ayam!" gerutu Suro dalam hati.
"Bagaimana Suro, apakah kau setuju?" desak Dewa petir.
"Entahlah, kek. Urusanku begitu banyak. Aku perlu membantu Pangeran Demak Pati. Pedang Pemersatu kerajaan Pasundan harus ditemukan. Rasanya untuk saat ini aku belum sempat berpikir masalah yang bersifat pribadi. Lagi pula, akh... maafkan aku, kek. Aku bukan bermaksud mengecewakanmu!"
Tanpa malu-malu Dewa Petir pun mengakui bahwa ia juga memang bermaksud memiliki pedang itu untuk menambah koleksi senjatanya. Namun sekarang setelah mendengar keterangan Suro. Ia malah bersimpati untuk membantu pemuda itu.
"Baiklah, masalah jodoh nanti bisa kubicarakan langsung dengan Penghulu Siluman Kera Putih sahabatku. Sekarang aku ikut ke bukit Sembuang!" kata Dewa Petir memutuskan.
Muridnya yang bernama Gadis terus cemberut. Tampaknya ia kurang suka melihat sikap gurunya yang kelewat baik pada si konyol itu. Ia menjadi malu dengan pembicaraan gurunya tentang perjodohan. Seakan ia Gadis perawan cantik yang tidak laku kawin.
"Tunggu apa lagi, Maling Cerdik. Sekarang kita berangkat, mengapa bengong di situ?"
"Cih, kalau guru membicarakan masalah jodoh lagi. Aku bersumpah akan meninggalkanmu untuk selama-lamanya!" ancam Maling Cerdik cemberut.
"Ha ha ha...! Ada apa rupanya, kalau kau tidak suka aku juga tidak mau memaksa! Bukankah begitu, Sur...!" Dewa Petir tidak melanjutkan ucapannya karena Suro ternyata telah meninggalkan mereka.
"Apa kataku, bukankah dia juga tidak suka dijodohkan!" cibir Maling Cerdik.
"Kalau kalian yang muda-muda tidak suka. Berarti cuma aku yang suka. Benar-benar anak muda sekarang bodoh semua!" Dewa Petir mengomel.
* * *
El Maut nenek renta berambut riap-riapan itu terus mendekam di tempat persembunyiannya. Sementara itu tidak jauh di bawah lereng bukit sana terlihat dua orang laki-laki yang satu bertubuh kurus kering dan satunya berperawakan sedang sambil melakukan pendakian tampak terlibat percakapan serius.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan muridmu Pangeran Demak Pati. Lihatlah, sejak tadi kita menjumpai mayat-mayat yang sudah membusuk...!"
"Kakang Sapta Dewa, aku Setan Terompet! Bersumpah jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kedua muridku itu. Aku akan menuntut balas pada para pelakunya!" jawab si kurus. Kemudian ia meniup terompetnya sehingga terdengar suara yang menyakitkan gendang-gendang telinga.
"Hentikan tiupanmu itu, berisik!" maki kakek bertubuh sedang. Melihat kebiasaannya yang suka bersin-bersin, tidak salah dialah orangnya yang berjuluk Ki Bersin alias Sapta Dewa. (Untuk lebih jelasnya baca Episode Pendekar Kucar Kacir.)
"Lagi pula apa kebisaanmu sejak dulu. Kau sudah pernah kojor ketika menghadapi Dewa Kubu. Kalau bukan karena aku cepat hadir disana, kau pasti benar-benar mampus selamanya! Hasyiih...!"
"Ssst...!" Setan Terompet memberi isyarat agar saudaranya jangan berisik.
"Aku merasa seperti ada orang yang mengawasi kita!"
Sapta Dewa hentikan langkahnya. Kemudian ia memandang ke sekelilingnya.
"Mungkin karena kau sudah pernah mengalami mati, sehingga pendengaranmu jadi rusak!"
Aki Braja alias Setan Terompet sama sekali tidak menyahut. Ia terus mengamati suasana di sekelilingnya dengan cermat.
* * *
--₪֍¦ LIMA ¦֍₪--
"Siapa kalian?"
"Aku Sapta Dewa sedangkan yang ini adikku, Setan Terompet. Kami mencari murid bernama Pangeran Demak Pati." sahut Ki Bersin, tanpa menjelaskan tujuan lainnya yaitu ingin mencari Pedang Penebar Bencana.
"Hmm, sia-sia saja kalian mencari muridmu! Siapa saja yang datang ke bukit Sembuang ini dengan tujuan mencari Pedang Penebar Bencana. Dia harus menerima hukumanku! Aku El Maut sebagai penjaga pedang itu tidak akan membiarkan tangan yang usil menjamahnya!"
Sekarang baik Setan Terompet maupun Ki! Bersin jadi mengerti. Untuk tidak mencari perkara. Maka secara cerdik Ki Bersin bertanya.
"Apakah Nisanak menawan muridku?"
"Hi hi hi! Muridmu sudah ku tawan menjalani hukuman gantung. Dia terlalu gegabah karena menginginkan pedang Pemersatu."
"Jadi sekarang dia sudah tewas di tanganmu?" tanya Setan Terompet dengan mata melotot.
"Belum, esok atau lusa mungkin aku akan membunuhnya!" dengus El Maut tegas.
"Jangan kau bunuh dia! Lebih baik kau ampuni jiwanya. Pendekar Kucar Kacir adalah putera pertama almarhum raja Jasa Raga. Ia mencari pedang itu semata-mata karena tidak ingin jatuh di tangan Pangeran Suprana yang sesat dan mengaku dirinya sebagai Tuhan Kenikmatan Dunia. Kerajaan Pasundan saat ini sedang kacau. Pangeran Suprana dan gurunya Dewa Kubu harus dihentikan!" jelas Setan Terompet.
El Maut terdiam. Wajah di balik rambut yang menjuntai itu mengerenyit.
"Aku baru bangun dari tidurku, keadaan simpang siur. Agar kalian tahu. Raja Jasa Raga adalah muridku yang suka lupa pada gurunya. Ia selalu ingat diriku bila dirinya dalam keadaan terdesak. Sekarang pemuda yang bernama Demak Pati itu harus ku tawan. Sampai nanti segalanya menjadi terang dan jelas. Nah menyingkirlah kalian! Aku mendengar suara derap ratusan kuda ke sini!"
Serentak Ki Bersin dan Setan Terompet mempertajam pendengarannya. Memang mereka mendengar ada suara langkah-langkah kuda yang dipacu dengan cepat ke arah bukit itu.
"Bukankah lebih baik kami membantumu! Apapun yang terjadi kita harus bahu membahu demi tegaknya kembali kerajaan Pasundan!" ujar Ki Bersin.
"Aku tidak meminta kalian untuk berbuat itu. Tapi jika kalian menghendaki. Jangan salahkan aku jika kalian mampus di tangan mereka!" tegas El Maut. Kedua kakak beradik dari Kutai itu menunggu. Tidak lama kemudian bermunculan ratusan perajurit penunggang kuda. Ketika melihat ada tiga orang laki-laki dan perempuan menghadang mereka, para perajurit itu menghentikan tunggangannya.
"Siapa kalian? Sebaiknya menyingkir! Kami perajurit kerajaan bermaksud mengobrak-abrik tempat ini untuk mencari pedang Pemersatu kerajaan yang disimpan di bukit ini!" teriak seorang perwira dengan suara lantang.
"Perajurit ini sudah di bawah pengaruh Pangeran Suprana!" Ki Bersin mengisiki El Maut melalui ilmu menyusupkan suara.
Maka sebagai jawaban. El Maut mengedipkan matanya lima kali berturut-turut ke arah perajuritperajurit itu.
Sepuluh larik sinar merah panas bukan main meluncur laksana kilat meluncur menghantam para penunggang kuda yang berada di bagian depan. Mereka tidak sempat lagi mengelak atau menghindar. Maka di sana sini terdengar suara jeritan yang mengerikan. Para perajurit termasuk dua perwira yang malang itu jatuh dari atas kudanya dengan dada berlubang.
Apa yang terjadi selanjutnya setelah kematian perwira dan perajurit benar-benar sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ratusan perajurit kerajaan yang dilanda marah bagaikan air bah yang tidak terbendung lagi langsung mengepung dan mengeroyok ketiga tokoh ini. Denting senjata segera terdengar bercampur suara hiruk pikuk dan ringkik kuda.
Setan Terompet mempergunakan senjata andalannya, yaitu meniup terompetnya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Demikian pula Ki Bersin. Ia bersin-bersin terus. Tentu saja baik suara terompet mau pun suara bersin Sapta Dewa membuat perajuritperajurit yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi langsung berpelantingan dari atas kuda mereka.
Telinga dan hidung mengucurkan darah. Mereka tewas dengan mata melotot dan syaraf otak hancur. Namun, walau kawan-kawan mereka tewas secara menggenaskan. Serangan dari perajurit-perajurit lainnya kian menghebat. Di tengah-tengah amukan kuda yang mulai sulit dikendalikan oleh penunggangnya. Ki Bersin, Setan Terompet dan El Maut menghindari bacokan senjata. Hujan senjata tidak kepalang tanggung.
El Maut tetap mengedip-ngedipkan matanya. Atau terkadang ia mengangkat tangannya. Dari sepuluh jari tangannya itu meluncur cairan berwarna putih yang membelit perajurit-perajurit di depannya.
Cairan putih cepat sekali mengering dan berubah seperti tali yang tidak dapat diputuskan meskipun dengan mempergunakan pedangnya.
Pertempuran sengit ini terus berlanjut, darah mulai membasahi lereng bukit Sembuang. Kelihatannya masih belum kelihatan ada tanda-tanda bahwa perajurit itu akan mundur.
Suara terompet, suara bersin terus menggema. Di samping itu Sapta Dewa juga mempergunakan tangan kosong untuk menghajar lawan-lawannya. Keadaan semakin bertambah seru saja.
Walaupun begitu Ki Bersin dan Setan Terompet yang menghadapi gelombang serangan besar itu tidak luput dari luka-luka. Mereka terus mengamuk membabi buta. Menghadapi keroyokan besar dengan berbagai senjata yang mengancam dari setiap sudut. Memang harus diakui sangat menguras tenaga dan segenap kemampuan yang ada.
Walau pun demikian, mereka ini adalah tokohtokoh yang mempunyai kepandaian tinggi. Apalagi nenek yang berjuluk El Maut itu. Tidak seorangpun tahu sampai dimana dan seberapa tinggi kehebatannya.
Semakin lama semakin banyak sajalah perajurit yang bergelimpangan diantara mereka ada yang dalam keadaan terikat simpul tali aneh yang tercipta dari lendir tersebut.
"Desak mereka supaya meninggalkan bukit ini!" teriak Setan Terompet.
"Jangan cuma bicara saja, mari kita bahu membahu membantai mereka!" sahut Ki Berlin dengan suara keras.
"Sialan, perajurit ini kentut dulu sebelum mati!" kata Setan Terompet lalu meniup terompetnya keraskeras.
Dua orang laki-laki berkuda yang berada di depannya langsung berpentalan.
"Huakh...!"
"Oh, kakang Bersin. Orang ini ku hibur tapi nyawanya malah terbang ke neraka!" Setan Terompet menggerutu.
"Suara terompetmu tidak berkenan di hatinya, ia memilih cari hiburan di neraka!" Ki Bersin menimpali.
"Manusia jahanam!" Maki seorang perajurit, ia mengayunkan pedangnya yang besar dan panjang.
"Haiat...!"
Setan Terompet merundukkan kepala. Lalu menangkis dengan mempergunakan terompetnya.
Treeng! "Wakh...!"
Perajurit terpental dari kudanya. Mulut terompet yang lebar ditutupkan ke kepala perajurit itu, kemudian punggungnya ditendang hingga mengeluarkan suara berderak
"Akh...!"
Terdengar jeritan panjang. Perajurit itu menggelinjang lalu terdiam untuk selama-lamanya. Melihat hal ini kawan-kawannya segera menyerbu. Namun dari arah samping Eli Maut telah mengedipkan matanya, sinar merah meluncur deras ke arah perajurit-perajurit itu.
Tes! Tes! Tes! "Ukh...!"
Lagi-lagi perajurit bergelimpangan. Melihat jumlah mereka semakin bertambah sedikit saja. Maka ciutlah nyali sisa-sisa perajurit itu. Mereka tanpa dikomando lagi langsung berserabutan menyelamatkan diri.
Ki Bersin tidak mau membiarkan para perajurit kerajaan itu lolos begitu saja. Ia bermaksud melakukan pengejaran, namun El Maut mencegahnya.
"Biarkan saja! Percuma saja kita membantai mereka, orang-orang itu hanya menjalankan perintah rajanya."
"Lihat!" Setan Terompet tiba-tiba berseru. Ia menunjuk ke satu arah di mana saat itu tampak seorang laki-laki bertubuh besar berseragam panglima muncul dengan menunggang seekor kuda berbulu putih.
Laki-laki ini tampaknya kaget sekali ketika melihat mayat-mayat perajurit yang bergelimpangan roboh. Seperti kita ketahui Sang Bala waktu itu sedang mengejar sosok bayangan yang melarikan puteri Saba. Namun ia kehilangan jejak. Ia sama sekali tidak memimpin para perajurit itu.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan keji ini?" tanya Sang Bala dengan sorot mata dingin menggidikkan.
"Kami!" Ki Bersin menyahuti.
"Kalian telah lancang tangan. Di dunia ini cuma aku yang punya hak mencabuti nyawa manusia!" dengus tangan kanan Pangeran Suprana yang masih terhitung saudaranya sendiri itu.
"Lalu apa tujuanmu kemari setelah melihat anak buahmu jadi bangkai?" tanya Setan Terompet disertai senyum mencibir.
"Pertama aku ingin mencari pedang Penebar Bencana untuk kuberikan pada saudaraku Pangeran Suprana. Sedangkan yang kedua aku harus menyingkirkan orang-orang yang menjadi penghalangku!" tegas Sang Bala.
Ki Bersin, Setan Terompet saling berpandangan. Sedangkan El Maut hanya mendengus. Lalu matanya kembali mengedip terarah pada Sang Bala.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar merah menghantam tubuhnya. Sama sekali ia tidak mengalami cedera apa-apa. El Maut tersentak kaget. Sang Bala tersenyum sinis.
"Sebelum kalian mampus, keluarkan apa saja yang kalian miliki!" teriak Sang Bala.
Seraya lalu menggebrak kudanya menerjang El Maut. Melihat keadaan seperti ini dan setelah menyadari lawannya kebal senjata. Maka Ki Bersin dan Setan Terompet tidak tinggal diam.
Mereka langsung mengeroyok Sang Bala.
Setan terompet meniup terompetnya dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki. Sehingga lereng bukit Sembuang seakan hendak runtuh. Sebaliknya demikian juga dengan Ki Bersin. Dalam bersinnya ia mengerahkan tenaga dalam tinggi. Sehingga di tempat itu jadi hingar-hingar seperti mau kiamat saja.
Celakanya Sang Bala tidak terpengaruh dengan bunyi-bunyian yang dapat menghancurkan gendanggendang telinga itu. Malah ia mengimbanginya dengan tawa membahak. Sehingga kekuatan-kekuatan dahsyat itu saling menghimpit.
"Hiaa...!"
Sang Bala berteriak melengking tinggi. Kudanya tersungkur dengan telinga serta hidung mengeluarkan darah. Ki Bersin dan Setan Terompet jatuh terpelanting.
Ujung terompet hancur. Dengan cekatan mereka bangkit berdiri. El Maut tidak tinggal diam melihat orang-orang yang baru dikenalnya dalam keadaan terdesak.
Tangannya bergerak ke depan. Lima ujung jemarinya mengeluarkan lendir dan terus meluncur menghantam Sang Bala. Hanya dalam waktu singkat sang pembunuh ini sudah tidak mampu bergerak lagi. Namun tenaga yang dimilikinya sungguh sangat luar biasa. Ia meronta, tali-tali yang terbuat dari lendir itu putus. Ki Bersin yang telah melepaskan pukulan dahsyat bertubi-tubi namun tidak menghasilkan apa-apa kini jadi sasaran. Sang Bala mencengkeram tubuhnya, lalu Ki Bersin dibantingnya dengan keras. Tenaga luncuran yang sedemikian dahsyat membuat Ki Bersin tidak dapat menyelamatkan diri. Untung sebelum kepalanya terhempas di atas batu, El Maut sudah menyambarnya.
Maka selamatlah Ki Bersin dari maut. Kini yang menjadi sasaran Sang Bala adalah Setan Terompet. Tiba-tiba tangannya menyambar dengan cepat. Tapi Setan Terompet telah melepaskan pukulan dan dia melompat mundur sambil memaki.
"Jadah!"
Mendengar makian Sang Bala hanya mendengus. Kakinya menendang, angin bersuit. Setan Terompet lepaskan tinjunya.
Buuk! Kraak!
Kaki Sang Bala tidak mengalami cidera sedangkan tangan lawannya remuk. Setan Terompet meraung keras dalam kesakitan yang amat sangat. Dalam pada itu El Maut berpikir keras, kalau tubuh lawan kebal, berarti ia harus mencari titik kelemahan Sang Bala.
Kemudian ia menyambar pedang perajurit yang tergeletak tidak jauh darinya. Dengan gerakan secepat walet terbang El Maut mencecar dengan pedangnya. Tubuh Sang Bala ternyata keras bukan main. Sementara itu ia telah berhasil mencengkeram Ki Bersin. Tidak lama kakek tua itu pun sudah dihantam kepalanya hingga remuk. Ki Bersin dicampakkan begitu saja, nyawanya melayang. Setan Terompet melihat ini jadi terkesiap. Ia bermaksud melompati mayat saudaranya. Dengan ajian Pati Darah tentu saudaranya itu dapat hidup kembali. Tapi usaha yang dilakukannya tidak mudah. Karena lawan selalu menghalangi gerakannya. Akhirnya Setan Terompet jadi nekad dan berusaha menerobos pertahanan lawannya.
Justru apa yang dilakukannya berakibat fatal pada dirinya sendiri. Ketika ia mengirimkan pukulan dengan tangan kirinya yang masih utuh, sang bala berkelit. Secepat kilat ia menangkap Setan Terompet. Laki-laki itu dibanting lalu diinjak-injaknya. Sehingga Setan Terompet pun menemui ajalnya.
El Maut jadi geram sekali. Ia mengambil pedang lainnya. Selagi lawan sedang memandangi mayat musuh-musuhnya. Maka secara asal-asalan El Maut menusukkan pedang itu ke dubur Sang Bala.
Bless!
Kali ini apa yang dilakukannya benar-benar berhasil. Sang Bala menjerit. Ia meronta dan tangannya menyampok ke kanan dan ke kiri. Gerakannya ini tidak beraturan. Ia berusaha mencabut pedang yang menancap di pantatnya. Usaha ini tidak mendatangkan hasil. Rupanya memang disanalah letak titik kelemahan Sang Bala. Tidak lama Sang Bala sudah terhuyung-huyung, kemudian ia roboh sambil mengerang kesakitan. El Maut melihat lawannya sekarat langsung melompat mendekati. Pedang di tangan diayunkan ke arah batang leher lawannya.
Cras!
Kepala Sang Bala terpisah dari badannya. Rupanya setelah bagian kelemahan laki-laki ini tertambus pedang. Maka tubuh Sang Bala sudah tidak kebal lagi terhadap berbagai jenis senjata.
Kening Sang Bala ditancapi paku-paku, sehingga terlihatlah dua buah kata 'El Maut'. Kepala itu kemudian digantungnya di atas pohon sejarak satu batang tombak dari atas tanah. Sehingga siapapun yang datang dapat, melihatnya.
El Maut memanggul mayat Setan Terompet dan Ki bersin untuk dibawanya ke dalam gua.
* * *
--₪֍¦ ENAM ¦֍₪--
Sementara tangannya terus meremas-remas dada kedua gadis yang dalam keadaan polos telentang menemaninya. Gadis-gadis itu tampak tersenyum, mereka sama sekali tidak mengenai rasa malu meskipun saling mempertontonkan auratnya.
Kenyataan guru kurang waras ini selama dua hari berada di istana sudah delapan wanita yang diajaknya tidur bersama. Ia tidak ubahnya seperti buah kelapa, semakin tua semakin berminyak. Gadis-gadis itu tampaknya juga mendapatkan kepuasan lebih besar dari pada harus melayani Pangeran Suprana.
"Hmm, jika aku masih muda. Tentu aku sanggup bermesraan dengan kalian empat orang sekaligus. Aku suka melihat keadaan kalian yang polos seperti ini!" kata Dewa Kubu.
Tidak lama berselang, si kakek pun kembali mencumbu perempuan cantik yang berada di sebelahnya. Sedangkan gadis yang satunya lagi tampaknya juga tidak sabar menunggu giliran. Mereka tidak ubahnya seperti binatang yang tidak punya rasa malu. Walaupun mereka berhubungan intim dengan disaksikan oleh perempuan lain mereka tidak merasa risih. Lalu terdengar suara rintihan-rintihan manja. Dewa Kubu terus menghempas-hempas. Hingga akhirnya terdengar suara erangan panjang. Tubuhnya pun terdiam.
Begitulah perbuatan terkutuk itu terjadi silih berganti. Bila si kakek sudah merasa bosan, maka ia memanggil perempuan lainnya. Setelah hari menjelang malam, Dewa Kubu keluar dari kamarnya dengan wajah lesu seperti orang yang baru saja melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Muridku! Kau benar-benar telah menciptakan sorga di istanamu! Kau murid yang berbakti, aku merasa terhibur dan betah disini!" kata si kakek tanpa malu-malu.
"Cita-citaku memang sudah hampir berhasil, guru. Guru juga telah menyelamatkan aku. Sekarang yang merisaukan hatiku, hingga saat ini saudara tuaku Sang Bala mengapa belum kembali? Dan perajurit baru saja melapor mereka hampir saja musnah terbantai. Ternyata si bukit Sembuang sudah ada orang yang menghadang mereka."
Dewa Kubu menyibakkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajahnya.
"Ha ha ha...! Siapa yang sanggup membuat Sang Bala tewas? Tubuhnya kebal dan titik kelemahannya tidak seorang pun yang tahu terkecuali aku!" sahut Dewa Kubu penuh keyakinan.
"Lalu siapa yang dihadapi oleh perajurit-perajuritmu itu?"
"Dua orang laki-laki tua dan seorang perempuan renta. Perempuan itu menyerang dengan mempergunakan matanya. Ia juga meringkus perajuritperajuritku dengan mempergunakan cairan yang dapat berubah menjadi benang-benang putih yang berpilin!" jelas Iblis Peruntuh Mahkota.
Kening dibalik wajah yang tertutup rambut itu berkerut dalam. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan itu. Juga laki-laki yang ciri-cirinya baru saja disebutkan muridnya.
"Jangan kau merasa khawatir. Aku Dewa Kubu, setengah manusia setengah roh. Mereka semua akan mendapat bagian diriku. Siapapun yang bercokol di bukit Sembuang akan ku sikat habis. Sampai pedang Pemersatu kutemukan dan menjadi milikmu!" janji Dewa Kubu.
"Sekarang masalahnya hanya tinggal pedang itu dan puteri Saba. Gadis cantik yang membuat aku tergila-gila dan tidak enak makan tidak enak tidur. Selain itu aku juga harus memastikan Pangeran Demak Pati dan pemuda berambut kemerahan itu mati di tanganmu, guru."
"Hal itu tidak perlu kau ragukan. Esok pagipagi aku segera berangkat! Kalau kau mau menunggu besok kita bisa berangkat bersama. Tapi kalau tidak sabar, terserah bagaimana maumu!"
"Guru dapat melakukan perjalanan secepat angin. Sedangkan aku memilih berangkat ke sana sekarang juga!" Pangeran Suprana memutuskan.
"Sekarang?"
"Ya, kurasa Elang Perak tidak akan tersesat kemana-mana, bukankah binatang itu lebih tajam penglihatannya pada malam hari?!"
"Ya, itu salah satu kelebihan yang dimiliki Elang Perak. Mengingat segala ilmu yang telah kuberikan padamu, rasanya aku tidak perlu mengkhawatirkan keselamatanmu!" ujar Dewa Kubu tanpa raguragu.
"Malam ini guru boleh bersenang-senang di istana sorga ini dengan gadis-gadis yang guru sukai. Besok pagi jangan lupa menyusulku. Sekarang aku mohon pamit!" kata Pangeran Suprana.
Ia segera meninggalkan ruangan pribadinya setelah mengenakan mahkota asli lambang kekuasaan raja. Malam itu juga Pangeran dengan menunggang Elang Perak segera meninggalkan singgasana.
* * *
Sesosok bayangan berkelebat di antar pohonpohon pinus yang menjulang ke langit. Orang ini kelihatannya heran melihat nyala obor di sana sini. Ia terus menyelinap di antara pohon yang satu dengan yang lainnya.
"Nyala obor itu mengapa tidak bergerak! Apa mungkin orang-orang kerajaan sudah sampai dan mengepung daerah ini? Atau ada kelompok lain yang mencoba mempertahankan bukit setelah tahu Pedang Pemersatu ada di sini?" desis sosok berbaju hitam sambil meludah. Ia mendekati salah satu obor itu, ia jadi bersurut langkah. Ternyata di sana tidak ada siapa pun. Obor ditancapkan ke tanah seperti sengaja dipasang ke sekeliling bukit.
"Obor-obor ini jumlahnya ratusan. Adalah pekerjaan yang gila bila seseorang melakukan perbuatan ini. Eh... aku seperti melihat salah suatu di dekat obor itu?" batin si laki-laki
Ternyata ia menemukan sepotong kayu berisi sebaris kalimat peringatan.
'Melewati obor apalagi mendaki ke puncak bukit berarti kematian!'
El Maut
Laki-laki botak mendengus, lalu meludahkan sirihnya. Ia memandang ke atas bukit. Tokh ia tidak melihat apa-apa terkecuali kegelapan yang mencekam.
"Sebelum aku memutuskan untuk ke atas sana. Lebih baik aku teliti ke sekeliling bukit ini!" katanya memutuskan. Lebih kurang sepuluh batang tombak ia melangkah. Tiba-tiba melihat sebuah pemandangan mengerikan yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tumpang tindih, serta darah yang menggenang disana-sini.
"Gila, ternyata telah terjadi pembantaian disini. Mereka perajurit-perajurit kerajaan. Lalu siapa yang telah melakukannya?" desis si botak. Ia melangkah mundur ke samping. Tapi kepalanya malah menyenggol sesuatu. Ketika ia meneliti, maka tengkuknya pun merinding. Apa yang tersentuh oleh kepalanya tadi ternyata adalah potongan kepala manusia dengan mata melotot lidah terjulur.
"Siapa yang menggantung kepala ini? Pastilah ini kepala milik Sang Bala yang mengejarku beberapa hari yang lalu. Aku yakin pembunuhnya memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Apakah orang yang bergelar El Maut itu? Bukankah El Maut artinya si Pencabut Nyawa?"
Krosak!
Laki-laki botak ini tiba-tiba dikejutkan oleh suara berisik di samping kirinya. Cepat ia membalikkan tubuhnya ke arah datangnya suara.
"Siapa disitu?" bentaknya dengan suara bergetar, tanya.
"Situ sendiri siapa?" Yang ditanya balas ber"Jangan sembunyi di situ, cepat tunjukkan diri atau aku akan menghajarmu!" ancamnya.
"Lihatlah bangkai di depanmu. Jumlahnya mencapai ratusan, jika ditambah dengan darahmu. Itu pun belum cukup untuk membasahi seluruh bukit ini. Aku tahu kau datang ke sini pasti menginginkan pedang itu!" dengus sebuah suara.
"Jahanam, tunjukkan dirimu!" teriak si botak. Lalu melepaskan pukulan jarak jauh ke arah datangnya suara. Terjadi ledakan, namun tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
Si botak heran, tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya hingga membuatnya terlonjak kaget. Cepat sekali ia berbalik. Di depannya tampak seorang pemuda berbaju biru sedang cengar-cengir sambil garukgaruk kepala.
"Siapa kau?"
"Aku... ha ha ha...! Aku adalah orang yang ingin menambah jumlah korban disini." sahut si pemuda seenaknya.
"Kau yang telah memasang obor dan membunuh perajurit-perajurit itu? Cepat katakan!!" bentak si botak yang tidak lain adalah Tabib Dewa Sesat.
"Yang memasang obor boleh jadi setan penunggu bukit ini."
"Jadi bukan kau yang membunuh perajuritperajurit itu?" Tabib Dewa Sesat yang semula telah menciut nyalinya kini bertambah semangat lagi. Apalagi setelah melihat tampang si pemuda yang tidak begitu menyakinkan dan terkesan seperti orang bodoh.
"Jika kau punya tujuan ingin mencari pedang Penebar Bencana. Aku juga bisa membuatmu seperti mayat-mayat itu!" tegas Pendekar Blo'on.
"Keparat! Kau kira dirimu siapa, eh...?" dengus Tabib Dewa Sesat penasaran.
"Aku Suro Blondo, Pendekar Blo'on! Ingat baikbaik, aku Pendekar Blo'on!" Tingkah si pemuda terkesan sangat meremehkan.
"Huh, hanya kunyuk bodoh rupanya! Apa pun tujuanmu ke bukit ini, aku harus menyingkirkan orang yang coba-coba menghalangi langkahku!" geram Tabib Dewa Sesat.
Kakek botak itu tiba-tiba melolos tali pinggangnya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis yang dapat berubah kaku sesuai dengan pengerahan tenaga dalam dan sangat tajam sekali.
Seketika pedang itu meluncur membelah bahu Suro. Pemuda itu pencongkan mulutnya. Dengan gerakan ringan ia berkelit menghindar. Serangan lawannya tiba-tiba berbalik, kini mengancam rusuk Suro.
Cepat bukan main serangan itu, Suro berjumpalitan. Lalu masih dalam keadaan bersalto ia menendangkan kakinya seperti gerakan kaki belakang kuda.
Duuk!
Tabib Dewa Sesat langsung terjajar. Ia menggeram marah, setelah itu si botak menyerbu lagi dengan babatan pedangnya yang kian menghebat mengurung gerakan Suro Blondo. Pemuda ini segera mengerahkan jurus khusus menghindar yang dikenal dengan nama 'Kacau Balau'. Setiap gerakan kaki maupun tangan Suro sudah tidak beraturan. Aneh, cepat dan terkesan serampangan.
Gerakan yang grubak-grubuk itu ternyata, membuat serangan-serangan yang dilancarkan oleh kakek botak selalu gagal dari apa yang diharapkannya.
"Hiya...!" Tabib Dewa Sesat disertai dengan bentakan keras tiba-tiba merubah jurus-jurus pedangnya. Sekarang senjata itu terus memburu bagaikan seekor burung terbang. Lalu berbalik, mengikuti gerakan Suro Blondo. Pemuda cerdik bertampang Blo'on ini tidak tinggal diam. Tiba-tiba ia melompati bahu lawannya. Dalam pada itu kepala lawan yang licin dielus-elusnya kemudian dihantamnya dengan siku. Dewa Sesat langsung terhuyung-huyung. Kepalanya jadi pusing. Sehingga untuk sesaat ia kehilangan konsentrasi. Ini merupakan penghinaan bagi dirinya, lawan pemuda itu mampu menyentuh kepala bahkan menghantam dengan sikunya. Dengan kemarahan berkobar-kobar ia berbalik, sementara Suro bersiul-siul sambil melonjak kegirangan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh lawan. Pedangnya meluncur, Suro tersentak kaget. Ia cepat berkelit, serangan pedang luput. Namun kaki Tabib Dewa Sesat menghantam pinggangnya.
"Ukh...!"
Suro sempoyongan, ia menggeliat seperti cacing kepanasan. Belum lagi ia sempat melancarkan serangan balasan. Tinju lawannya sudah menghantam bagian dada.
Diegkh...!
Kali ini Pendekar Blo'on benar-benar terpelanting. Darah menyembur ke udara.
"Melihat gerakanmu, aku tahu kau muridnya Malaikat Berambut Api. Kepalang tanggung, kalau tidak dapat kukalahkan gurunya. Dapat membunuh muridnya pun sudah menjadi kepuasan bagiku!" teriak Tabib Dewa Sesat dengan penuh nafsu membunuh.
Pedang tipis diputar-putarnya di atas kepala. Suara angin menderu disertai berkelebatnya cahaya putih menyilaukan mata. Setelah itu si kakek botak menerjang dengan pedang terhunus. Suro merasa jiwanya benar-benar dalam keadaan terancam.
Di saat tubuh lawannya masih mengambang di udara. Maka pemuda berambut hitam kemerahan ini lepaskan pukulan 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'. Terlihat sinar biru kemerah-merahan meluncur ganas dari telapak tangan Suro. Kakek botak terkesiap, ia jadi gugup. Pedang yang semula dipergunakan untuk menyudahi hidup lawannya kini terpaksa diputar untuk melindungi keselamatannya.
Buuuum!
Tabib Dewa Sesat menjerit tertahan. Ia terguling-guling sambil mendekap dadanya. Meskipun luka dalam yang dideritanya akibat pukulan tadi cukup parah. Namun setelah menelan obat mujarab yang dibuatnya sendiri ia bangkit lagi. Dalam keadaan gelap begitu mana Suro dapat memastikan lawannya tewas atau masih bertahan.
Pemuda itu perlahan bangkit sambil membersihkan debu yang menempel di bajunya. Di saat itulah ia merasa adanya sambaran angin yang begitu cepat. Ia terperangah melihat lawannya membacokkan pedang ke bagian ke kepala.
Cepat sekali ia meliukkan tubuhnya. Posisi pedang kini berubah menusuk. Suro dengan mulut terpencong memaki, lalu melompat. Dan....
Breet! "Akh !"
Pemuda ini menjerit, ketiaknya terserempet pedang dan mengucurkan darah. Tabib Dewa Sesat tidak puas dengan apa yang dicapainya. Ia berbalik, pedang terarah memenggal ke bagian kepala.
"Setan! Sudah melukai ketiak kini minta kepala!" maki Suro Blondo. Sing!
Sambil meredam kemarahannya, Pendekar Mandau Jantan ini cabut senjata. Sehingga seketika itu juga terdengar suara ringkik kuda, suara kuda berubah jadi rintihan tangis, kemudian berubah lagi menjadi tawa berkepanjangan sesuai dengan cara si pemuda menggerakkan Mandau tersebut. Terjadi benturan keras. Pedang Tabib Dewa Sesat patah dua, Mandau terus meluncur dan menghantam lengan Tabib Dewa Sesat.
Tes!
Dapat dibayangkan betapa ampuhnya senjata Suro Blondo. Tangan lawan putus. Betapa tajamnya senjata itu sampai-sampai Tabib tidak merasakan sakit apa-apa. Ia baru sadar ketika melihat tangannya jatuh dekat kakinya. Cepat potongan tangan diambilnya. Lalu ia melemparkan sebuah benda berwarna hitam ke arah Suro.
Terjadi ledakan disertai menebarnya kabut hitam. Suro yang bermaksud mengejar jadi urung dan terbatuk-batuk.
Sayup-sayup di kejauhan ia mendengar suara seseorang penuh ancaman.
"Hari ini kau membuat rasa maluku bertambah-tambah. Lain kali aku akan mencarimu untuk mengadakan perhitungan lagi!"
"Bagus, lain hari aku lebih senang mengambil kemaluanmu, agar tidak punya malu sama sekali!" kata Suro tidak kalah kerasnya.
Pemuda itu kemudian mengobati luka di bagian ketiaknya. Sambil menggerutu mendaki ke puncak Bukit Sembuang.
"Sialan, jalan tolak pinggang sebelah begini. Nanti orang menyangka aku sok jagoan! Padahal karena luka celaka di ketiakku ini!"
* * *
--₪֍¦ TUJUH ¦֍₪--
"Diam! Bila kau jatuh, kau bisa mampus seketika!" bentak El Maut.
"Bukankah kau yang gila membunuh ingin mengakhiri riwayatku?"
"Setan! Aku kata diam, kau harus diam. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu!" gerutu si nenek.
Tidak lama Pendekar Kucar Kacir sudah berada di lantai gua dengan kepala terlebih dulu menyentuh tanah.
Si nenek berambut awut-awutan yang matanya senantiasa memancarkan cahaya merah ini meludahi tangannya. Tangan yang sudah basah oleh ludahnya sendiri kemudian diusapkannya ke bagian tali-tali yang mengikat Pangeran Demak Pati. Secara menakjubkan tali-tali yang tercipta dari cairan lendir putih itu meleleh
Begitu terbebas Pangeran Demak Pati langsung melompat berdiri. Dengan sewot ia menuding El Maut.
"Kau manusia keterlaluan. Sudah kau gantung aku selama berhari-hari kini tiba saatnya bagimu untuk terima hukuman dariku!" Baru saja ia katubkan mulutnya ia memukul El Maut. Tapi pukulannya melenceng, karena sesungguhnya keseimbangan memang belum pulih benar.
Pemuda ini jatuh bangun, padahal El Maut sama sekali tidak bergeser dari tempatnya berdiri.
"Kau perlu waktu untuk mengembalikan tenaga dalammu. Tetaplah kau disini aku ada membawa oleholeh yang mengejutkan buatmu!" El Maut meninggalkan Pangeran Demak. Si pemuda tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Menyangka ia akan menjalani hukuman mati, maka cepat ia bersila untuk memulihkan kondisinya yang belum normal.
Bruk! Bruuk!
Terdengar suara bergedebukan. Pangeran Demak kaget, lalu buka matanya lebar-lebar. Pemuda ini tiba-tiba meraung begitu mengenali salah satu dari mayat yang dibawa oleh El Maut.
"Guru...! Huhu hu...!" serunya. Serta merta ia melompat dan menubruk gurunya yang telah kaku menjadi mayat. Pangeran Demak Pati menangis dan terus menangis. Tiba-tiba ia menengadahkan wajahnya dan memandang penuh rasa benci pada si nenek.
"Kk... kau telah membunuhnya! Guruku telah kau bunuh?! Apa dosanya, apa salahnya dan mana mahkota itu?" seru Pendekar Kucar Kacir.
"Bocah edan, main tuduh sembarangan. Kau sangka aku telah membunuhnya! Coba kau tanya pada mayat itu siapa yang telah membunuhnya?"
"Gila! Mana mungkin dia dapat bicara? Lalu siapa yang telah membunuhnya?" dengus Pendekar Kucar Kacir marah.
"Yang membunuh gurumu dan saudaranya adalah Panglima Kerajaan!" jelas El Maut dengan sikap acuh tak acuh.
"Dan kau hanya berdiam diri menonton? Sang Bala itu manusia keparat, kalau kau tidak menggantungku di sini. Tentu aku sudah dapat membunuhnya. Sial betul nasibku! Orang ini pasti saudaranya guruku!"
"Memang, namanya Ki Bersin. Manusia sepertimu becus apa, Pangeran goblok? Kalau gurumu saja bisa kojor di tangan Sang Bala, apalagi manusia bertampang sepertimu itu. Kepandaian yang kau miliki itu tidak ada arti sama sekali jika harus menghadapi Sang Bala!" ejek El Maut meremehkan.
"Hmm, kau kira aku manusia pengecut macam apa, nenek jelek. Cepat tunjukkan dimana Sang Bala. Aku akan membawa tangannya untukmu!" teriak Pangeran Demak Pati tidak senang.
"Sekarang dia sudah mampus, kepalanya bahkan sudah kugantung. Kalau suka makan dagingnya, bangkai Panglima itu ada di lereng bukit sana!" kata El Maut sambil menunjuk keluar gua.
Pangeran Demak Pati kontan terdiam, ia sendiri heran melihat sikap si nenek yang telah berubah lunak.
"Katanya kau mau membunuhku, mengapa sekarang tidak kau bunuh?" pancing si pemuda.
"Kau benar-benar keturunannya Jasa Raga. Ketahuilah, aku dulu adalah guru ayahmu. Pedang Penebar Bencana sengaja kuberikan pada ayahmu karena ia kuanggap sebagai murid yang bijaksana." tegas si nenek. Kini gantian Pangeran Demak Pati yang terkesima.
"Kalau benar ayahmu telah mangkat, aku sangat menyesalkannya. Lalu siapa yang telah membunuhnya?" Mendengar El Maut adalah guru almarhum ayahnya, maka sikap Pendekar Kucar Kacir pun berubah lunak.
"Ayahanda meninggal secara misterius. Beliau diracun orang. Sekarang setelah kerajaan jatuh ke tangan Pangeran Suprana, aku merasa yakin dialah yang telah membunuh ayah. Aku ingin tahu, benarkah ayah ada menyimpan pedang itu di sini?"
"Sekitar dua belas tahun yang lalu, ayahmu memang menitipkan pedang maut itu padaku." sahut El Maut sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.
"Waktu itu ia mengatakan ada yang tidak beres dalam istana. Ia punya firasat akan terjadi perebutan kekuasaan secara halus. Kini baru kusadari bahwa apa yang dikatakannya memang benar. Sampai sekarang senjata itu ada padaku, karena asalnya memang dari aku pula. Kudengar kau punya seorang adik! Lalu dimana adikmu sekarang?"
Ditanya tentang puteri Saba, Pangeran Demak Pati jadi sedih.
"Waktu itu ia diculik oleh Pangeran Suprana. Aku dan Suro Blondo tidak dapat mencegahnya karena Pangeran jahanam itu melarikan diri bersama Elang Perak! Dan...!"
"Sssst...!" El Maut memberi isyarat pada, Pendekar Kucar Kacir agar diam. Sementara perempuan renta berwajah buruk bekas cakaran harimau itu mengendap-endap mendekati mulut gua. Ketika melihat ada bayangan lain di mulut gua, maka El Maut langsung bersembunyi di balik batu besar. Tidak lama tampak seorang pemuda berbaju biru masuk ke dalam gua dengan berkacak pinggang tapi hanya tangan kanannya saja.
Begitu melihat Pangeran Demak Pati. Pemuda ini jadi kegirangan dan langsung menyalami Pendekar Kucar Kacir dengan tangan kirinya.
"Aha, kita bertemu lagi, Kucar Kacir! Bagaimana keadaanmu? Kupikir kau sudah mati seperti orangorang di lereng bukit itu, lho! Eh... mengapa kau malah bengong! Dulu ada tetanggaku yang mati karena bengong terlalu lama!" kata si pemuda yang tidak lain adalah pendekar Blo'on.
"Aku gembira bertemu denganmu, tapi kau jangan bicara sembarangan!" Demak Pati mengisiki, sedangkan matanya tiada henti memperhatikan batu besar yang terletak dekat gua.
"Apa yang membuatmu takut? Setan pasti tunggang langgang melihat aku" celetuk Suro. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling gua.
"Eh, mayat-mayat itu sejak kapan kau membuat ikan asin disini?" tanya Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm, lancang sekali kau masuk ke dalam gua ini. Kau pemuda gila dari mana?" bentak El Maut yang baru saja keluar dari tempat persembunyiannya.
Suro dengan cepat menoleh ke belakangnya. Ia kerutkan kening dengan mulut termonyong-monyong.
"Siapa dia?" tanya Suro ditujukan pada Pendekar Kucar-Kacir.
"Dia nenek guruku!" jawab si pemuda.
"Nenek gurumu mengapa jelek amat?"
"Jangan sembarangan kau bicara!"
"Apa tadi yang baru saja kau ucapkan pemuda geblek?" tanya El Maut dengan mata melotot.
Kini giliran Pendekar Blo'on yang telan ludah setelah melihat betapa mata perempuan tua itu memancarkan cahaya merah menyilaukan.
"Maafkan sahabatku ini, Nek. Dia memang agak sinting, maklum waktu lahir umurnya belum genap sembilan bulan." Pendekar Kucar Kacir menengahi. Rupanya ia merasa tidak enak bila sampai nenek renta itu menurunkan tangan kejam pada sahabatnya Pendekar Blo'on.
Dikatakan sinting Suro langsung cemberut.
"Betul nek, aku agak sinting. Tapi kawanku ini sangat miring. Ia bahkan punya penyakit gila yang dapat menular. Dan...!"
"Diam!" El Maut membentak garang.
"Gua ini bukan pasar tempat orang jual bacot!"
Suro memegang mulutnya.
"Bacotnya siapa yang dijual, nek!" celetuk Suro hingga membuat El Maut semakin bertambah gusar saja.
"Rupanya kau ingin agar aku membunuhmu!" geram El Maut.
Nenek renta itu tiba-tiba saja mengedipkan matanya. Dua larik sinar merah meluncur ke arah Suro. Pemuda ini dengan kalang kabut segera bergerak menghindar. Sehingga kedua sinar tadi menghantam dinding gua di belakang Suro. Terjadi ledakan. Ketika Suro menoleh ke arah bekas ledakan, maka wajahnya pun mendadak berubah pucat. Untung bukan dirinya yang jadi sasaran kalau tidak ia bisa mampus.
"Apakah kau ingin nasibmu seperti batu itu, pemuda edan?" bentak El Maut.
"Oh, mudah-mudahan dijauhkan Tuhan, nek. Maafkan aku!" kata Suro, lalu pemuda itu menjura hormat.
"Huh, kau katakan padaku apa tujuanmu datang kemari?" tanya El Maut dengan tatapan penuh selidik.
Suro garuk-garuk kepala.
"Ketika kulihat banyak obor dipasang di sekeliling bukit ini. Maka aku mengira ada pesta besar. Tidak tahunya kulihat banyak perajurit-perajurit yang tewas di bawah sana. Lalu aku bertemu dengan Tabib Dewa Sesat. Ia mencari pedang Penebar Bencana. Dia kemudian bentrok dengan aku. Tangannya dapat kubuntungi. Tapi dia juga dapat melukai ketiakku. Lihatlah aku terpaksa bertolak pinggang seperti ini!"
Melihat cara Suro bicara sebenarnya El Maut merasa geli sendiri. Namun sedikit pun ia tidak tertawa atau tersenyum. Dalam kesempatan itu Pendekar Kucar Kacir bertanya tentang adiknya puteri Saba.
"Maaf kawanku. Aku memang telah sampai di istana. Sayang aku tidak menemukan puteri Saba, Pangeran gila itu pun tidak kulihat batang hidungnya. Sedangkan batang yang lain mungkin ada bersama pemiliknya. Kerajaanmu benar-benar telah berubah menjadi sorga terkutuk. Banyak bukit-bukit dan hutan rimba mubazir disana." Jelas Suro sambil menahan senyum.
"Apa maksudmu bukit dan hutan rimba. Mungkinkan istana kami sekarang sudah tidak terurus lagi?"
"Oh, kau ini Pangeran goblok. Lebih baik kau memelihara kambing dari pada memelihara ketololanmu!" kata Suro disertai tawa terkekeh-kekeh.
"Cukup! Kau benar-benar pemuda tolol, pewaris kerajaan yang bodoh. Kawanmu yang sinting itu kan bermaksud bicara tentang aurat perempuan. Artinya di istanamu sekarang bercokol perempuanperempuan pemuas nafsu pangeran jahanam itu, bukankah begitu pemuda sedeng?!" maki El Maut.
"He he he! Begitulah kurang lebih, nek. Dan nenek jangan marah, apa yang kukatakan ini adalah yang sesungguhnya!"
"Sudah, jadi kalian bersahabat. Pemudapemuda seperti kalian memang seperti pinang di belah dua. Sama gobloknya sama tololnya dan sama-sama miring. Sekarang aku ingin tanya di mana Pangeran itu dan gurunya?"
"Wah aku juga tidak tahu, nek. Kalau tahu buat apa aku ke sini?"
"Sontoloyo, kau dengan Pangeran Demak Pati sama saja seperti manusia tidak punya guna." gerutu El Maut.
Suro Blondo hanya dapat cengengesan, sedangkan Pendekar Kucar Kacir memilih diam.
"Keadaan di sini benar-benar sudah tidak aman lagi. Sekarang kalian semua ikut!" perintah perempuan renta itu. Suro dan Pendekar Kucar Kacir segera mengikuti dari belakang. Lorong di dalam gua itu ternyata cukup panjang dan berliku-liku di samping banyak jebakan disana-sini. Sampai-sampai El Maut memperingatkan.
"Ikuti setiap langkahku, jangan sampai menyimpang kalau tidak ingin mampus!"
"Kau dengar itu, Kucar-Kacir, jangan salah langkah. Nanti isi perutmu bisa berantakan!" kata Suro menimpali.
Si nenek renta berpakaian hitam hentikan langkah dan berpaling.
"Kulihat mulutmu sejak tadi seperti mulut perempuan! Kalau kau tidak mau diam aku bisa membunuhmu!"
Pendekar Blo'on langsung terdiam, El Maut melanjutkan perjalanan lagi yang segera diikuti oleh kedua pemuda itu. Sampai di ujung gua, ternyata lorong itu semakin menyempit.
El Maut mendorong batu, lalu menekan-nekan sebuah tombol, sehingga terdengarlah suara bergemuruh, seolah-olah gua seperti hendak runtuh. Pendekar Kucar Kacir terpaksa tutupi telinga.
Sesuatu yang menakjubkan kemudian terlihat begitu pintu batu terbuka. Sebuah ruangan yang luas terhampar di depan mereka. Ruangan itu seperti singgasana kecil. Bagian dinding gua dan langit-langitnya dihias sedemikian rupa. Sehingga suasana di dalamnya terasa nyaman dan sejuk sekali.
"Masuk!" perintah El Maut. Dengan patuh kedua pemuda itu segera melakukan apa yang diperintahkan oleh El Maut. Setelah mereka berada di dalam ruangan luas itu, maka pintu batu tadi menutup dengan sendirinya.
"Kalian berdiri di situ. Jangan melangkah kemana-mana! Aku tahu lawan yang akan kita hadapi cukup berat. Aku sendiri belum tahu apakah aku mampu mengalahkan manusia setengah roh yang berjuluk Dewa Kubu itu. Mungkin hanya pedang Pemersatu itu saja yang dapat menandingi kesaktiannya. Tapi jika pedang itu ku cabut dari rangkanya, terkecuali yang memegang senjata itu. Maka manusia yang berada di sekelilingnya akan hancur menjadi debu. Aku tidak main-main bicara, aku menjelaskan kharisma pedang yang penuh keajaiban itu sesungguhnya. Kalau keadaan terpaksa, kalian pergilah dariku sejauhjauhnya." pesan El Maut.
Setelah melihat kedua pemuda itu saling menganggukkan kepala tanda mengerti. Maka El Maut segera mendekati ranjang berselimut berbagai jenis kulit binatang buas.
Ujung bagian sisi ranjang ditekannya. Lagi-lagi terdengar suara bergemuruh. Dinding gua di samping ranjang terbuka sedikit berbentuk empat persegi.
El Maut melangkah menghampiri dinding, dimana pada bagian itu terlihat seperti ada cahaya putih memancar. Sebuah rangka pedang terlihat. Hanya di dalam ruangan semakin bertambah dingin. Namun cahaya putih yang terdapat di dalam lubang empat persegi itu terus memancar. Entah benda apa yang memancarkan cahaya itu, hanya El Maut saja yang tahu.
"Inilah pedang Penebar Bencana!" jelas si nenek renta pada kedua pemuda di depannya.
Suro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata hulu pedang berbentuk tengkorak manusia. Pada bagian warangkanya yang berwarna hitam berukir tulang belulang berserakan. Senjata itu jelas menyimpan kekuatan gaib yang sangat keji. Sementara itu lubang berbentuk persegi empat tadi telah menutup. Suro ingin bertanya benda apa yang memancarkan cahaya kemilau tadi, namun urung.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini! Besok, begitu matahari sudah berada di kaki langit. Kau dan Pangeran Demak Pati segera pergi ke bagian utara bukit! Sedangkan aku harus menempuh daerah selatan!" tegas si nenek. Seraya lalu menyelinapkan senjata yang menghebohkan itu ke balik pakaiannya.
* * *
--₪֍¦ DELAPAN ¦֍₪--
Terdengar suara pekik keras suara burung mengelilingi bukit Sembuang. Waktu itu kabut tebal masih menyelimuti puncak bukit, embun menetes di pucuk dedaunan. Di angkasa sana terlihat seekor burung raksasa tampak melayang-layang di udara. Di atas punggung burung tersebut duduk seorang pemuda berwajah tampan dengan gagahnya. Rambutnya berkibar-kibar.
Tiga kali pemuda itu mengelus leher Elang Perak. Lalu terdengar suaranya ditujukan pada burung tersebut.
"Terbangkan aku ke bawah sana. Aku melihat burung-burung gagak, rasanya perajurit-perajuritku mati di sana." kata Pangeran Suprana, suaranya sungguh tidak sedap didengar.
"Hiii...!"
Elang Perak meluncur cepat ke bawah, seakan mengerti apa yang dikatakan oleh majikannya. Tidak lama burung raksasa itu pun telah menjejakkan kakinya di atas dataran yang luas.
"Kau tunggulah di sini, sahabat. Jika ada yang tidak beres, kau siap-siap melindungi aku!" pesan sang Pangeran.
"Kaak!"
Elang Perak memekik keras. Pangeran Suprana segera meninggalkan tunggangannya. Ia menyelinap di balik semak-semak. Matanya terbelalak ketika melihat mayat-mayat perajuritnya bergeletakan dalam keadaan menyedihkan. Karena hari sudah mulai terang. Maka pemuda ini sebentar saja sudah melihat potongan kepala Sang Bala yang tergontai-gontai tertiup angin.
Pemuda ini memekik keras. Ia menangisi potongan kepala saudara tua seperguruannya yang mengerikan itu.
"Suadaraku, mengapa begini buruk nasibmu? Tidak kusangka kau yang kebal pukulan kebal senjata menemui ajal begini menyedihkan. Siapa yang melakukan perbuatan ini padamu? Siapa?" pekik Iblis Peruntuh Mahkota.
Walaupun Pangeran ini menangis air mata darah. Rasanya kepala yang telah terpisah dari badannya ini mustahil menyatu kembali.
Pangeran Suprana tiba-tiba saja bangkit berdiri. Matanya berubah merah karena menahan tangis dan amarah.
"Jahanam, kepada penghuni bukit harap tunjukkan diri. Aku bersumpah tidak akan tinggal diam melihat panglimaku diperlakukan begini rupa! Aku akan melakukan pembalasan melebihi kejamnya manusia manapun yang paling kejam di permukaan bumi ini! Hea...!"
Dalam amarahnya yang tiada terkirakan itu. Pangeran Suprana seperti orang yang kesurupan melepaskan pukulan saktinya ke arah pohon-pohon pinus yang terdapat di sekelilingnya.
Terdengar suara ledakan-ledakan yang hiruk pikuk disana sini. Pohon-pohon bertumbangan, diantaranya bahkan ada yang terbakar. Cukup lama juga pemuda ini mengumbar kemarahannya. Hingga akhirnya ia terengah-engah sendiri.
Di kala ia sedang dilanda kegusaran seperti itulah, tiba-tiba terlihat dua bayangan berkelebat. Yang satu berpakaian hitam bertubuh ramping. Sedangkan satunya lagi bertubuh tambun. Sekejap saja di depan Pangeran Suprana tampak berdiri seorang kakek dan seorang gadis cantik dengan lekuk yang manis di dagunya.
"Mengamuk membabi buta seperti orang gila. Apakah kau benar-benar orang yang tidak waras Pangeran Gila?" tanya si kakek yang tidak lain adalah Dewa Petir.
"Kalian siapa?" tanya Pangeran Suprana, seraya memandang tajam pada gadis di samping Dewa Maling.
"Aku Dewa Petir, datang ke sini adalah untuk membantu sahabatnya Pendekar Blo'on untuk mendapatkan pedang Penebar Bencana!" jawab si kakek.
"Oh begitu rupanya? Siapapun orangnya yang tidak berada di pihakku, berarti dia musuhku yang nyata. Setiap musuh wajib bagiku untuk melenyapkannya dari permukaan bumi ini!" Pangeran Suprana mendengus tajam.
Burung raksasa melihat majikannya terlihat perdebatan tampak mulai gelisah.
"Pangeran jahanam! Kudengar kau mengakui dirimu sebagai Tuhan! Ingin kulihat, jika tidak matimati barulah aku berpikir untuk bersekutu denganmu!"
"Ya, sebagai imbalannya. Tentu aku punya hak meniduri gadis cantik yang bersamamu itu!" kata Pangeran bermahkota raja ini disertai tawa bergelak-gelak.
"Bangsat! Biarkan aku yang membungkam mulutnya yang kurang ajar itu!" teriak Gadis yang lebih dikenal dengan julukan Maling Jenaka.
Gadis itu langsung kirimkan satu pukulan ke arah Pangeran Suprana. Serangan itu cukup terarah, namun dengan mudah lawan dapat menghindarinya bahkan balas melepaskan tendangan. Angin bersuit tajam, Maling Jenaka terpaksa bersalto. Pangeran Suprana mengejar, serangan balasan yang dilakukannya benar-benar terarah pada bagian-bagian sensitif di tubuh lawannya. Sesungguhnya ia memang bermaksud kurang ajar pada gadis itu.
Maling Jenaka tampaknya menyadari apa yang diinginkan oleh lawan yang ia dengar memang suka mencabuli gadis-gadis yang masih perawan. Ia membentak garang dan kerahkan jurus 'Mengukir Batu Memecah Karang", salah satu jurus terhebat yang dimilikinya.
Untuk beberapa jurus lamanya Pangeran Suprana tampak terdesak. Kesempatan ini tidak disiasiakan oleh Gadis. Ia cabut pedangnya, begitu senjata berkiblat di udara. Maka pedang itu seakan berubah menjadi banyak! Bergerak menusuk terarah ke sepuluh jalan darah, hingga membuat lawannya terpaksa bergerak mundur untuk kemudian balik menyerang dengan jurus-jurus anehnya.
Maling Jenaka tidak perduli. Ia tetap bertahan atau menyerang setiap ada kesempatan. Pemuda tampan itu tiba-tiba saja bersalto, Gadis menggerakkan pedangnya ke atas. Tapi lawan sudah meluncur deras di belakangnya. Dengan tangan terkembang dihantamnya punggung Maling Jenaka. Tidak ayal lagi Maling Jenaka tersungkur dengan mulut menyemburkan darah. Dari sini dapat diketahui bahwa Maling Jenaka ini bukanlah tandingan murid Dewa Kubu.
Dewa Petir alias Dewa Copet alias Dewa Maling tidak tinggal diam. Ia segera menyerbu ke depan.
"Bagus! Rasanya kau sedikit berisi, ingin ku tahu apa kehebatan di balik julukanmu!" dengus Pangeran Suprana. Tanpa membuang waktu ia sambut serangan gencar yang dilancarkan Dewa Petir. Rupanya ia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan tenaga dalam yang dimiliki oleh Dewa Petir. Sehingga ia pun menangkis serangan lawan.
Duuk! "Hmm...!"
Iblis Peruntuh Mahkota menggumam pelan, tubuhnya sempat tergetar namun Dewa Petir juga tidak kalah kagetnya. Lawan masih muda, tidak disangka memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi, disamping itu mengandung hawa racun pula. Kini masing-masing lawan tampaknya memang sama-sama ingin menyelesaikan pertarungan itu dengan cepat. Pangeran Suprana murid gemblengan Dewa Kubu tiba-tiba melompat, tinju dan tendangannya menderu. Kakek tambun melihat betapa tangan lawan telah berubah menghitam sebatas siku. Ia pun kerahkan tenaga dalam lindungi diri dari pengaruh racun. Maka serangan beruntun itu bukan dihindarinya, tapi malah ditepisnya secara tepat.
Plak!
Duk! Duk! "Wuakh...!"
Dewa Petir terdorong mundur, lawan menyeringai sinis. Lalu secepat kilat ia lepaskan pukulan 'Penghancur Bala'. Sinar hitam pekat menebar bangkai menderu. Dewa Petir terkesiap, namun ia tiba-tiba mengadu kedua tangannya. Sehingga terdengarlah suara menggeledek. Dari sela-sela jemari tangannya mencuat sinar pelangi.
Sinar itu meluncur deras ke satu arah. Hawa panas dan dingin datang silih berganti, hingga akhirnya terdengar sebuah ledakan yang sangat dahsyat.
Dentuman itu membuat sebuah lubang besar, tanah berhamburan di udara. Dewa Petir jatuh terduduk dengan kaki menekuk. Pangeran Suprana terhuyung-huyung seperti orang bingung sambil memegangi dadanya.
Melihat kejadian ini Elang Perak tidak tinggal diam. Begitu sayapnya mengepak maka menderulah angin laksana topan. Melihat burung raksasa itu hendak menyerang gurunya. Maka Gadis tidak tinggal diam. Ia cabut pedang kembali. Dengan penuh keberanian ia menyerang burung tersebut sambil lepaskan pukulan bertubi-tubi. Pukulan jarak jauh yang dilakukannya hanya sia-sia. Karena begitu Elang Perak mengepakkan sayapnya, maka buyarlah serangan Gadis.
Di rimba persilatan, si kakek sampai diberi julukan Dewa Petir karena setiap tangannya diadu satu dengan lain akan mengeluarkan suara menggeledek seperti petir. Namun kini berhadapan dengan Pangeran Suprana ia merasa kesulitan untuk menjatuhkannya.
Sungguh pun demikian ia tetap bertekad membunuh Pangeran itu. Kumbang Pemikat bangkit lagi membangun serangan-serangan yang lebih gencar.
Tanpa mereka sadari kini pertempuran sudah berlangsung tiga puluh jurus masih belum ada tandatanda siapa yang kalah dan siapa yang menang. Maka bertarunglah mereka dengan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sementara itu menghadapi burung raksasa yang tampaknya sangat terlatih itu Gadis mulai kerepotan, bahkan ia sampai jatuh bangun menghindari hantaman sayap, patukan paruh ataupun cengkeraman cakar Elang Perak. Setiap Elang Perak mengepakkan sayapnya lebih keras sambil memekik nyaring. Maka angin laksana badai topan menderu, hantaman angin membuat Maling Jenaka terguling-guling.
Kini Elang perak terbang rendah, sementara itu pula baik Pangeran Suprana maupun Dewa Petir mulai sama-sama terluka.
"Kiiiik!"
Sang raksasa berputar-putar di atas kepala Gadis. Terbangnya miring lalu menukik secepat kilat. Gadis mengibaskan pedangnya ke arah sayap Elang Perak. Senjata malah terpental, sayap Elang Perak tidak dapat ditembus karena terlindung bulu yang sedemikian lebat. Maling Jenaka terkesiap, sementara Elang Perak sudah menukik lagi, walau Gadis sudah merundukkan tubuhnya. Punggung si ayu masih kena dihantam.
Braak! "Aaaa...!"
Gadis baju hitam memekik, tubuhnya terlempar dan menderita luka dalam cukup parah. Dewa Petir tentu saja menjadi khawatir begitu mendengar suara teriakan muridnya. Ia pun berpaling, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Pangeran Suprana. Ia meluruk cepat ke depan. Lalu ia hantamkan pukulan menggeledek ke arah dada Dewa Petir.
Dess!
Kakek tambun memekik kaget. Ia tergulingguling dengan darah mengucur dari mulutnya. Pangeran Suprana walau pun merasa lelah luar biasa kini cabut pedangnya dan bermaksud mengakhiri perlawanan Dewa Petir. Di saat itulah dua bayangan putih dan biru berkelebat. Yang satu menghantam tangan Pangeran Suprana hingga pedang terlepas. Sedangkan bayangan biru lepaskan pukulan ke arah Elang Perak yang hampir berhasil mencengkeram dada Maling Jenaka dengan maksud dibawanya terbang dalam ketinggian untuk kemudian dijatuhkan.
"Kiiik!"
Elang Perak menjerit, pukulan jarak dekat yang dilepaskan pemuda baju Biru sempat melukai bagian dada burung raksasa itu. Hingga bulu-bulunya berhamburan. Elang Perak membubung tinggi dilanda amarah dan kesakitan. Si baju biru yang tidak lain adalah Pendekar Blo'on cepat menolong Gadis yang terkapar dengan nafas megap-megap.
"Telanlah obat ini sebelum elang itu datang lagi!"
Gadis menerimanya, sambil menelan obat itu ia
memandang pada Suro dengan tatapan penuh arti.
"Burung keparat itu tidak dapat kita hadapi begitu saja, ia bahkan lebih berbahaya dari majikannya!" berkata Gadis dengan suara tersendat-sendat.
"Kau masukkan ini dalam kantongmu, jika nanti keadaan memaksa lepaskan dia ke dalam telinga Elang Perak!"
Suro dengan bingung menggenggam tangan Gadis yang mulai terbuka. Ternyata setelah dilihat gadis baju hitam ini memberinya seekor jangkrik. Dengan cepat Suro sudah dapat mengerti apa yang diinginkan oleh Maling Jenaka.
Ia memasukkan jangkerik ke dalam sakunya.
Pada waktu itu, Pendekar Kucar Kacir sudah melindungi Dewa Petir dengan menghunus pedang siap menghadapi Pangeran Suprana yang masih belum hilang dari rasa kagetnya.
"Bangun, paman! Marilah kita hadapi si jahanam ini sampai takdir menentukan, dia atau kita yang mati.!" desis si pemuda penuh rasa kebencian. Pada hakekatnya Dewa Petir adalah orang yang sudah banyak berpengalaman. Sehingga dalam waktu yang singkat ia sudah dapat memulihkan luka dalam yang dideritanya.
Melihat kehadiran Pendekar Blo'on dan Pangeran Demak Pati yang tiba-tiba ini. Pemuda bermahkota itu sadar semakin bertambah berat lawan yang dihadapi. Padahal tadi ia sudah hampir mencapai kemenangan. Namun apalah artinya mereka dibandingkan dengan kemewahan yang ia miliki. Semua musuh yang berada di situ harus ditumpasnya, hingga tidak lagi menjadi duri dalam daging selamanya.
"Pangeran dungu! Janganlah kau pernah bermimpi dapat merebut tahta kerajaan lagi. Kau lihat mahkota di kepalaku? Kini aku hanya tinggal mencari pedang itu! Kalian semua akan kubunuh!" teriak Iblis Peruntuh Mahkota.
"Kita lihat saja nanti!" sahut Pangeran Demak Pati.
Mengingat betapa liciknya lawan mereka, maka kini secara bahu membahu Dewa Petir dan Pendekar Kucar Kacir menyerang lawannya. Pangeran Suprana bersuit nyaring memanggil Elang Perak untuk membantu.
Di udara terdengar sahutan. Elang Perak meluncur ke bawah lagi. Sekarang yang menjadi incaran utamanya adalah Pendekar Blo'on, pemuda yang sempat melukai dirinya?!
Wuees!
Elang Perak menyambar, Suro terpaksa kerahkan jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau. Gerakan pemuda ini benar-benar sangat cepat luar biasa. Seakan-akan tubuhnya bertambah banyak. Sang Elang sesaat menjadi bingung. Serangannya melenceng dan malah menghantam batu-batu di sekeliling mereka hingga berantakan.
Namun rupanya sang Elang mempunyai penglihatan yang lebih tajam dari manusia biasa. Terbukti, sekarang ia sudah bergerak mengikuti kemana saja Suro mencoba menghindar.
Pendekar Mandau Jantan kalang kabut.
"Awas Suro!" teriak Maling Jenaka ketika melihat paruh burung hampir mematuk kepala Suro.
Suro membanting tubuhnya, dengan keadaan terlentang ia lepaskan pukulan Ratapan Pembangkit Sukma. Angin kencang laksana badai salju menderu. Elang Perak rupanya cerdik pula, ia mengepakkan sayapnya keras-keras. Pukulan membalik, nyaris menghantam Pendekar Blo'on.
Pemuda ini berguling-guling menjauh. Tepat dimana dia telentang tadi terdengar dentuman menggelegar. Akibatnya sebuah lubang besar tercipta, si konyol urut dada, seka keringat dingin di wajahnya sambil golang-goleng kepala dengan muka pucat.
"Hiii...!"
Elang Perak memekik tidak puas. Kini serangannya semakin menghebat. Gadis yang mulai mengkhawatirkan keadaan Suro akhirnya turun tangan juga. Kelihatannya ia sudah tidak mengkhawatirkan keselamatannya lagi, meskipun ia sendiri masih terluka.
Sebenarnya dengan terjunnya Maling Jenaka, membuat Suro semakin bertambah repot. Karena ia juga harus melindungi keselamatan Gadis. Dugaan si konyol tidak meleset. Baru sepuluh jurus di depan Gadis sudah kena dicengkeram Elang Perak.
Pendekar Blo'on, murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api itu tentu tidak tinggal diam. Sebelum Elang Perak terbang tinggi membawa gadis. Ia menyambar ekor burung raksasa tersebut. Pada bagian buru ekor elang itulah ia pontang-panting bergelantungan sambil berusaha mencapai punggung binatang raksasa tersebut.
"Tetaplah kau bertahan! Usahakan kau berpedang pada kakinya agar ia tidak mudah menjatuhkanmu!" kata Suro memperingatkan.
"Kakinya kelewat besar!" sahut Maling Jenaka panik. Untuk pertama kali dalam hidupnya gadis ini baru mengenal rasa takut.
"Kalau begitu pegang jarinya!" teriak Suro Blondo.
Elang Perak terus membubung tinggi menerbangkan dua anak manusia dalam isyarat maut.
Apa yang terjadi pada Maling Jenaka dan Pendekar Blo'on bukan tidak dilihat oleh Dewa Petir dan Pendekar Kucar Kacir. Namun mereka sama sekali tidak dapat menolong, karena pertempuran dengan lawan sedang berlangsung seru dan menegangkan.
Walau pun Pangeran Suprana mempunyai kepandaian tinggi. Dikeroyok sedemikian rupa lamakelamaan terdesak juga. Di saat itulah sambil membabatkan pedangnya Pendekar Kucar Kacir berseru.
"Akuilah kau yang telah meracuni, ayahanda, Patih, Panglima, Penasehat kerajaan dan juga ibundaku ratu Diah Mustika!"
"Ha ha ha...! Kau bertanya tentang orang-orang yang sudah menjadi cacing tanah. Memang akulah yang telah mengirim mereka ke liang kubur!" jawab Iblis Peruntuh Mahkota disertai tawa membahak.
"Manusia jahanam!" maki Pendekar Kucar Kacir.
Dewa Petir mengadu kedua tangannya lagi.
Terdengar ledakan disertai melesatnya sinar pelangi ke arah Pangeran Suprana. Pemuda ini cepat menghindar, sehingga serangan itu tidak berhasil mengenai dirinya. Namun pada saat itu pula ujung pedang Pangeran Demak menembus celah-celah rusuknya.
Pemuda ini menjerit, laksana kilat Pendekar Kucar Kacir mencabut pedang berlumuran darah, sekali lagi ia menusuk lambung Pangeran Suprana. Iblis Peruntuh Mahkota tergelimpang roboh. Begitu geram dan dendamnya Pangeran Demak Pati sehingga ia mengayunkan pedang berulang-ulang ke arah mayat lawannya. Kalau saja tidak dicegah oleh Dewa Petir. Tentu tubuh Pangeran Suprana yang sudah tidak bernyawa terus dicincangnya hingga tidak berbentuk lagi.
"Tidak baik kau memperlakukan orang yang sudah mati seperti itu!"
"Dia telah membuat sengsara kami selama bertahun-tahun, bahkan dia pula yang membuat kami menjadi yatim piatu!" dengus si pemuda kesal.
"Tokh sekarang dia sudah memperoleh ganjaran akibat perbuatan sendiri" sergah Dewa Petir.
"Aku khawatir dengan nasib muridku dan pemuda itu. Tadi kulihat mereka dibawa ke arah sana!"
Barulah Pendekar Kucar Kacir tersadar.
"Akh, betul. Aku baru ingat dengan Suro! Mari kita cari mereka!" ajak si pemuda sambil menyarungkan pedangnya kembali.
Maka berjalanlah kedua orang ini meninggalkan mayat Pangeran Suprana yang sudah mulai membeku. Dalam perjalanan Pendekar Kucar-Kacir sibuk memasukkan mahkota kerajaan ke balik pakaiannya.
* * *
Laki-laki berpakaian kulit harimau yang berjalan mengambang di atas tanah itu tampak hentikan langkahnya. Dari sela-sela rambut yang menutupi wajahnya ia mengedarkan pandangan.
Ia tahu pasti ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-geriknya sejak tadi. Karena di tunggu tidak muncul juga, akhirnya ia membentak.
"Aku mencium bau busuk kehadiranmu disini. Aku juga mencium bau darah muridku yang telah kau bunuh! Nyawamu, dan pedang itu bagiku tidak berharga dibandingkan nyawa muridku Sang Bala. Kalau kau benar-benar El Maut cobalah datang ke hadapanku. Aku ingin tahu apakah kau mampu mencabut nyawaku?!" Kakek berpakaian kulit harimau mendengus geram.
Lalu terdengar suara jawaban yang tidak kalah dinginnya.
"Kudengar kebesaran namamu. Kubayangkan kesaktianmu, ku hitung pula kemampuanmu. Kuakui kau salah satu tokoh dari Andalas. Tapi mengingat jalanmu yang sesat, bagiku lebih baik menumpas manusia yang bergelar Dewa Kubu. Hingga kenyataan akan membuktikan siapa yang akan terkapar menjadi bangkai!"
Begitu hilang suara tadi, maka tampak melesat sosok bayangan. Kemudian di depan Dewa Kubu yang kakinya tidak menjejak tanah itu berdiri seorang nenek setengah bongkok berwajah mengerikan, sedangkan sebagian rambutnya menutupi wajah angker tersebut
"Mahkota sudah didapat, sekarang serahkan Pedang Pemersatu berikut nyawamu!" kata Dewa Kubu serius.
"Hi hi hi...! Pedang bukan milik nenek moyangmu, kerajaan bukan pula milik muridmu! Sedangkan nyawa, rasanya segan meninggalkan raga rongsokan ini!" sinis suara nenek bungkuk tersebut.
"Kau segera akan tahu siapa Dewa Kubu!" teriak si kakek. Ia sentakkan rambutnya. Lalu duduk bersila dengan keadaan mengambang dua jengkal di atas tanah. Maka dilain waktu ia sudah bergerak melakukan serangan hebat dengan rambutnya yang telah berusaha menjadi kaki laksana kawat baja.
El Maut adalah tokoh sakti pula yang memiliki berbagai keanehan baik dalam ilmu maupun jurusjurus silatnya. Melihat serangan itu, maka ia tidak tinggal diam.
* * *
--₪֍¦ SEMBILAN ¦֍₪--
Set! Set!
Dua sinar melenceng dan menghantam pohon yang terdapat di sampingnya. Pohon hangus terbakar, El Maut sudah menduga, sebagaimana muridnya Sang Bala, tentu Dewa Kubu ini juga kebal dengan pukulan atau pun senjata. Sehingga ia bersiap-siap dengan serangan berikutnya. Sepuluh jari diangkat serentak tinggi-tinggi ke udara. Lalu dari setiap ujung jari itu meluncur cairan putih menghantam rambut Dewa Kubu.
Si kakek menganggap enteng serangan ini. Sehingga rambutnya terus meluncur menghantam dada si nenek.
El Maut berguling-guling, sedangkan Dewa Kubu mulai menyadari ada sesuatu yang terasa aneh pada rambutnya. Benar saja rambutnya yang panjang itu sekarang menyatu padu dengan lainnya sehingga sulit digerakkan. Ia menjerit marah dan kini menghujani lawan dengan pukulan-pukulan yang menggeledek.
El Maut ternyata sangat lincah dalam menghindari setiap serangan lawannya. Sambil berkelit dan mengumbar jurus-jurus andalan, terkadang ia mengedipkan matanya sehingga bertaburanlah sinar merah balas menghujani lawannya.
Sebuah pertempuran yang sangat seru dan menegangkan terus berlangsung. Mereka kelihatannya sama-sama mengincar kelemahan lawannya. Namun El Maut tidak mengulur-ulur waktu. Segera ia mengerahkan jurus 'Menipu Pandang Mengukur Jarak'.
Nenek renta itu kembali menjentikkan jemarinya, sehingga cairan merah melesat dari setiap ujung jarinya yang berlubang. Cairan itu tidak ditepis oleh Dewa Kubu. Ia melesat tinggi ke udara. Sambil berjumplitan ia sambitkan keris-keris kecil berwarna kuning ke arah lawan. El Maut meniup. Senjata-senjata rahasia rontok. Melihat ini Dewa Kubu lepaskan pukulan ke arah El Maut.
Melihat sinar hitam menggebu-gebu hendak memanggang tubuhnya. Maka El Maut lepaskan pukulan pula. Sehingga terjadilah dentuman-dentuman keras menggeledek.
El Maut sempat terjajar, dadanya mendenyut sakit. Dewa Kubu tertawa membahak lalu lepaskan pukulan lagi.
Namun lawan tiba-tiba saja lenyap. Tahu-tahu sudah berada di belakang si kakek sambil lepaskan pukulan pula.
Wuuk! Duk!
El Maut lagi-lagi dibuat kaget. Ia tidak ubahnya seperti menghantam batu karang saja layaknya. Dalam pada itu pula, Dewa Kubu berbalik kakinya menghajar dengan telak.
Des!
El Maut tergontai-gontai. Namun sambil menggeram marah ia sudah menyerang kembali. Anehnya si kakek sama sekali tidak menghindar. Si nenek terus menghujaninya dengan pukulan. Tiba-tiba terdengar seruan di sampingnya.
"Apakah kau sudah gila. Tunggul kayu kau hajar!" kata Dewa Kubu yang rupanya telah mempergunakan ajian 'Pelebur Mata'. Dapat dibayangkan betapa tingginya kesaktian yang dimiliki oleh Dewa Kubu ini. Padahal El Maut adalah tokoh yang sangat kawakan dan sudah matang dalam ilmu tenaga dalam. El Maut terperangah melihat kenyataan bahwa ia menghajar batang pohon yang sudah kering.
Di waktu ia sedang lengah itulah Dewa Kubu melepaskan tiga kali tendangan beruntun ke arah dada lawannya.
Duk! Duk! Duk!
Tendangan pertama membuat El Maut terjajar, tendangan kedua membuat dadanya mengalami guncangan hebat, sedangkan tendangan ketiga membuatnya mengalami luka dalam yang hebat.
El Maut terhempas. Nafasnya megap-megap, dalam keadaan sekarat seperti itu, ia melihat lawannya bermaksud mengakhiri hidupnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Ia mengambil pedang berikut warangkanya dari balik pakaian yang berlumuran darah. Cepat sekali ia hendak mencabut Pedang Penebar Bencana. Karena ia tahu, tidak seorang pun yang dapat bertahan menghadapi kharisma senjata mustika itu. Siapapun orangnya selain pemegang itu sendiri akan hancur menjadi debu terkena cahaya pedang itu. Namun pada waktu itu terdengar suara bentakan keras.
"Jangan kau lakukan itu, Gayatri!" pinta sebuah suara seolah-olah memperingatkan.
Dewa Kubu bersurut mundur, tadi wajahnya sempat pucat melihat lawan hampir mencabut Pedang Penebar Bencana. Sebaliknya El Maut jadi kaget pula mendengar seseorang menyebut namanya.
Rasanya di dunia ini hanya tinggal beberapa orang saja yang mengetahui namanya. Jantungnya berdebar keras. Antara percaya dan tidak, namun juga penuh kebencian. Dalam keadaan telentang tidak berdaya sambil memegangi pedang ia teringat peristiwa sekitar lima puluh tahun yang lalu. Ada yang indah, menyenangkan, menjengkelkan, menyakitkan, benci dan akhirnya berubah menjadi dendam.
Pabila Dewa Kubu menoleh maka di sampingnya terlihat seorang kakek berpakaian serba merah, berjanggut dan berambut merah berdiri tegak dengan mata menyorot tajam.
El Maut coba meneliti siapa yang baru bicara tadi. Dalam pandangannya yang semakin mengabur, meskipun samar ia masih kenal dengan Malaikat Berambut Api. Dadanya tiba-tiba saja menyesak dan El Maut pun tidak sadarkan diri.
Kejadian ini tidak dilihat oleh Dewana alias Malaikat Berambut Api. Pada saat itu pula berkelebat sosok bayangan lain, bayangan itu menyambar pedang dalam dekapan si nenek. Hanya sekejap saja, lalu bayangan tadi menghilang laksana setan.
"Kakek!" seru Puteri Saba. Seraya menunjuk ke arah El Maut. Maka terkejutlah Malaikat Berambut Api melihat Pedang Penebar Bencana lenyap dari pandangan mata.
"Siapa yang mengambilnya?" teriak si kakek gusar.
"Ada bayangan tadi mengambil pedang itu, bahkan saya tidak sempat mengenali wajahnya!" sahut puteri Saba gugup.
"Puteri, kau uruslah nenek El Maut! Aku bersumpah akan mencabik-cabik tua bangka setengah manusia setengah roh ini dengan sepuluh jariku!" geram Malaikat Berambut Api dengan wajah kelam membesi.
Entah ada hubungan apa antara kakek rambut merah ini dengan El Maut, namun kelihatannya ia begitu gusar.
"Malaikat Rambut Api!" kata Dewa Kubu dengan suara lebih rendah.
"Diantara kita tidak ada permusuhan dan silang sengketa apa-apa. Mengapa kita harus saling bunuh?"
Kakek Dewana mendengus.
"Pangeran Suprana adalah muridmu. Dia telah membuat kehancuran moral wanita. Kau bersekutu untuk merebut pedang itu. Dan kau hampir membunuh El Maut!"
"Perempuan itu apamu?" tanya Dewa Kubu.
"Rahasiaku terpendam di lima petala bumi" sahut si kakek. Mendengar pertanyaan Dewa Kubu tadi Malaikat Berambut Api merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Rambut si kakek yang merah itu seakan-akan berubah menyalakan api. Dewa Kubu tersentak. Ia dulu sering juga mendengar kehebatan manusia aneh yang satu ini. Kini untuk mundur sudah kepalang tanggung, ia pun ingin menjajaki tokoh misterius itu.
Maka terjadilah pertempuran yang sengit sekali. Dewa Kubu kini benar-benar merasa mendapat lawan yang seimbang atau boleh jadi memiliki kepandaian di atasnya.
Untuk sementara kita tinggalkan dulu dua tokoh sakti yang sedang terlihat pertempuran sengit itu. Kita ikuti Suro Blondo dan Maling Jenaka yang sedang terombang ambing dipermainkan Elang Perak yang bermaksud mencelakai mereka.
Saat itu Elang Perak terbang menjauh meninggalkan Bukit Sembuang. Meskipun terbangnya tidak begitu tinggi, namun jika mereka sempat terjatuh pasti mati juga.
Suro yang telah berada di punggung Elang Perak bingung memikirkan bagaimana caranya menghentikan burung itu. Sedangkan ia sendiri melihat kenyataan bahwa Gadis tidak mungkin dapat bergelantungan seperti itu dalam waktu yang lebih lama lagi.
"Maling! Jika kutebas pangkal sayapnya ini dengan senjataku, kalau ia jatuh maka kau bisa mati tertimpa tubuhnya. Atau lehernya saja kupotong? Kalau begitu aku juga bisa mati." Suro tampak ragu-ragu.
"Masukkan jangkrik ke telinganya, goblok!" teriak Gadis.
Justru itu yang ditakutinya. Burung itu kepalanya terus bergoyang-goyang. Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain lagi. Dengan hati-hati ia terpaksa memanjat leher burung dengan bersusah payah. Berulang kali ia nyaris jatuh karena Elang Perak terus bergerak-gerak. Namun lama kelamaan ia pun berhasil memasukkan jangkerik itu ke dalam lubang telinga sang elang.
Sang jangkerik tentu saja masuk terus ke dalam liang telinga Elang Perak. Hingga kemudian terlihatlah reaksinya. Elang Perak memekik keras, terbang dengan tidak beraturan, sedangkan kepala terus digeleng-gelengkan tidak menentu.
Lama kelamaan ia pun memberontak. Bergerak kian kemari dan terbangnya semakin merendah seperti bingung bercampur kesakitan.
"Di depan sana ada air! Eh telaga yang cukup besar. Jika elang ini ke sana sebaiknya kita terjun!" teriak Gadis merasa ada harapan.
Terbang sang Elang semakin oleng, ternyata seperti dugaan Gadis, elang itu meluncur di atas telaga.
"Hayo terjun!" perintah Suro.
Keduanya pun langsung terjun ke dalam telaga berkedalaman dua batang tombak. Elang Perak terus bergerak tidak tentu arah seperti kesurupan sambil memekik-mekik, sampai akhirnya hilang dari pandangan mata. Dua sosok tubuh di permukaan air telaga. Yang satu mengambang tidak bergerak sedangkan satunya lagi tampak bingung.
"Dia pingsan! Aku harus menolongnya!" kata Suro Blondo dengan perasaan cemas.
Gadis dibawanya berenang ke tepi telaga, pakaian Maling Jenaka basah kuyup, kancing bajunya ada satu yang lepas, sehingga dadanya yang putih mulus dan mencuat kencang terlihat nyata. Pakaian gadis ini memang tidak utuh lagi, sobek di sana sini terkena cengkeraman cakar Elang Perak.
Suro dengan hati berdebar segera mengangkat Gadis, kemudian membawanya ke tempat terlindung untuk diobati.
Sementara saat itu pertempuran antara kakek Dewana dan Dewa Kubu sedang seru-serunya. Mereka sama mengumbar pukulan mereka juga sama-sama mengerahkan jurus-jurus yang paling dahsyat. Sehingga puteri Saba sendiri merasa kepalanya jadi mendenyut melihat bayangan-bayangan di depannya yang saling hantam dan pukul ini.
Kakek licik berpakaian kulit harimau sama sekali tidak dapat mempergunakan ajian-ajiannya yang dapat mengelabui mata lawannya. Karena lawannya tidak dapat ditipu.
Sampai akhirnya manusia setengah roh ini merasa tidak ada gunanya ia terus bertahan bertempur, karena pedang Penebar Bencana telah berpindah tangan. Ia memilih lebih baik mengejar bayangan yang telah melarikan pedang Pemersatu tadi. Walau pun saat itu dirinya boleh dikata belum kalah dan ia sendiri memang tidak dapat mencedrai Malaikat Berambut Api yang tangguh itu.
Dewa Kubu kemudian merapal inti dari segala kesaktian yang dimilikinya sehingga tidak lama berselang tubuhnya menghilang dari pandangan kakek Dewana.
Malaikat Berambut Api terkesiap melihat lawannya lenyap. Ia hanya mendengar gelak suara tawa di kejauhan.
"Jangan merasa menang, Malaikat Rambut Api. Kau belum dapat mengalahkan aku. Di suatu saat setelah pedang Pemersatu kudapatkan, bahwa kau bukanlah apa-apa. Kau sangat kecil dimata Dewa Kubu!"
"Bangsat! Manusia pengecut!" geram si kakek.
Lalu ia menghampiri El Maut. Ternyata nenek itu belum sadarkan diri juga.
"Puteri, sebaiknya kita bawa dia ke tempat tinggalnya di atas bukit itu. Mari ikuti aku, jika dia sembuh. Aku berjanji untuk mengambil pedang itu dari pencurinya!" kata si kakek sambil memanggul tubuh El Maut.
Puteri Saba hanya mampu menganggukkan kepala. Begitu banyak persoalan-persoalan lain muncul di luar dugaan dan rasanya sangat sulit di mengerti. Siapa sesungguhnya yang melarikan pedang Penebar Bencana. Ada hubungan apa Malaikat Berambut Api dengan El Maut?
TAMAT
INDEX SURO BLONDO | |
Pendekar Kucar Kacir --oo0oo-- Rahasia Pedang Berdarah |