Jejak Telapak Iblis
tanztj
August 16, 2016
INDEX NAGA GENI | |
Laki Laki Di Atas Bukit --oo0oo Arca Ikan Biru |
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo
--¤¤¦ « BAGIAN I » ¦¤¤--
Sungguh suatu senja yang tak berbeda dengan senja-senja yang lain. Namun bagi mereka yang masih duduk-duduk di ruangan tamu rumah Ki Selakriya, agak terasa adanya ketakjuban dan sesuatu yang mencekam di senja itu.
Perhatian mereka tak putus-putusnya terpancang pada sebuah ikat pinggang kulit yang berada di tangan Mahesa Wulung.
"Ini sangat berguna bagi kita, Ki Sela!" ujar Mahesa Wulung sambil menunjuk denah rahasia dari Bukit Kepala Singa yang tergambar pada ikat pinggang tersebut.
"Yah, memang demikian, Tuan. Beruntung bagi kita semua, bahwa ikat pinggang berisi denah rahasia itu dapat saya selamatkan. Mudah-mudahan saja Tuan dapat memanfaatkannya dengan baik."
"Jangan khawatir, Ki Sela. Harapan Bapak pasti kupenuhi. Aku akan mempelajari dan membawanya pula ke Demak."
"Jadi Tuan bersedia menghancurkan bukit terkutuk itu?!" desis Ki Selakriya dengan mata bersinar keriangan.
"Begitulah, Bapak."
"Ooh, heh. Syukurlah, Tuan. Syukurlah. Dengan begitu hatiku akan merasa tentram. Bagaimanapun juga, bapak ikut bertanggung jawab terhadap Bukit Kepala Singa itu," demikian ujar Ki Selakriya.
"Tapi... tetapi...?"
"Mengapa, Bapak?" sahut Mahesa Wulung ketika orang tua itu menampakkan wajah ragu-ragu dan setengah takut.
Sedang yang lainpun ikut keheranan dengan perubahan Ki Selakriya ini. Gagak Cemani, Pandan Arum, Palumpang, Tungkoro dan Sekarwangi penuh bertanya-tanya di dalam hati. Mereka menunggu penjelasan dari kakek tua ini.
"Aku ternyata masih hidup! Jadi... bagaimanakah jika Tangan Iblis mengetahuinya? Pastilah dia akan berbuat lebih kejam lagi, sampai dia yakin benar bahwa aku telah mati."
Mereka yang mendengar segera memahami hal itu, sementara Mahesa Wulung lalu berkata, "Kekhawatiran itu jangan Andika besar-besarkan, Ki Sela. Serahkanlah hal tersebut kepada kami. Keselamatan Bapak akan kami jaga dari kemungkinan-kemungkinan tindakan Tangan iblis. Untuk itu, kami akan menempatkan beberapa orang prajurit di sekitar rumah ini, sementara kami kembali ke Demak dan mencari jejak Tangan Iblis!"
"Terima kasih, Tuan. Ehh, saya telah membuat Andika semua menjadi kerepotan dan menambah persoalan. Harap dimaafkan orang tua yang tak berguna seperti saya ini."
"Jangan berkata demikian, Ki Sela," sahut Gagak Cemani.
"Apa yang baru saja Andika serahkan kepada Adi Mahesa Wulung, ternyata jauh lebih berharga dari pada pertolongan yang kami berikan kepada Andika. Karenanya, justru kamilah yang seharusnya lebih banyak berterima kasih kepada Ki Sela."
Mendengar percakapan dan kata-kata yang dikeluarkan oleh Ki Selakriya, Palumpang diam-diam merasa kagum. Betapapun Ki Sela merendahkan diri, namun kemuliaan dan kebaikan budi tetap bersinar pula, bagai sinar matahari yang menembus kabut awan.
"Tapi siapakah yang akan tinggal di sini, menemani Ki Selakriya, sementara kita masuk ke kota Demak?" bertanya Palumpang seraya menatap ke arah Mahesa Wulung serta sahabat-sahabatnya yang lain.
"Bagaimanakah jika aku saja yang tinggal di sini?"
Mahesa Wulung mengangkat kening lalu menyahut, "Aah, bukankah Andika sebagai tamuku di Demak?! Mengapa Andika akan tinggal di sini? Saya kira, Adi Tungkoro dapat pula tinggal di sini sementara kita kembali ke Demak dan mengirimkan beberapa orang prajurit yang akan tinggal di sini."
"Maaf, Sobat. Aku masih agak canggung untuk memasuki kota besar dan bergaul dengan banyak orang. Mungkin kepalaku akan menjadi pusing dan jatuh pingsan... heh, heh, heh. Karenanya, biarlah saya tinggal sementara di sini sambil menunggu kedatangan prajurit-prajurit itu nanti. Aku akan menyusul Andika kemudian. Dalam pada itu, siapa pula yang tahu bahwa Ki Selakriya masih harus membutuhkan beberapa ramuan obat yang bisa saya siapkan?"
Mahesa Wulung manggut-manggut lalu tersenyum dan berkata penuh pengertian, "Baiklah, Sobat Palumpang. Mungkin hal itu baik juga, sebab tentunya Adi Tungkoro akan segera memberi laporan-laporan kepada para pimpinan di Demak."
"Saya harap Andika semua tidak akan tergesa-gesa kembali ke Demak. Hari telah cukup gelap," ujar Ki Selakriya menyela.
"Memang demikian, Ki Sela," sambung Mahesa Wulung pula.
"Kami tidak akan berangkat sekarang, tetapi besok, pada saat matahari telah terbit setinggi tombak.".....
Tiba-tiba Mahesa Wulung menghentikan bicaranya sewaktu Palumpang meletakkan jari telunjuknya ke depan bibirnya sendiri. Sedang tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah pintu samping, sebagai pintu masuk kedua yang terdapat di sebelah selatan.
Seketika suasana menjadi tegang, namun Gagak Cemani dengan gesitnya melesat ke arah pintu samping dan membukanya secara tiba-tiba.
Kreettt!
"Ki Jagabaya!" terdengar desisan kaget bercampur takjub ketika di depan pintu yang dibuka secara tibatiba tadi terlihatlah seorang tua, masih dalam sikap orang memasang telinga, mendengarkan suatu pembicaraan. Karena itu pula, si Jagabaya tadi menjadi blingsatan seperti sikap kera kena sumpit, menggeleng dan menengok ke kanan kiri menderita malu.
"Eh, ehh..., ses... saya hanya... kebetulan saja lewat di sini, Tuan-tuan. Saya biasa melakukan ronda berkeliling di wilayah ini," begitu si Jagabaya berkata dengan gugup dan terputus-putus.
"Harap Tuan-tuan tidak terganggu."
Wajah si Jagabaya yang tersentuh oleh cahaya beberapa dian minyak kelapa dari ruang tersebut, membuat lebih jelas betapa wajah itu tampak kepucatan.
"Eh, tak mengapa, Ki Jagabaya," ujar Gagak Cemani.
"Jadi Andika biasa meronda seorang diri?!"
"Beb... beb... begitulah, Tuan," jawab si Jagabaya masih gugup.
"Sekarang permisi..., dan selamat malam...," si Jagabaya tadi menyelesaikan kata-katanya sambil tergesa-gesa melangkah pergi dari tempat itu.
Gagak Cemani sangat merasa curiga, maka iapun bermaksud menahan si Jagabaya tadi, tetapi di saat itu juga Mahesa Wulung menahan maksud Gagak Cemani, seraya berbisik, "Jangan! Biarkan ia berlalu, Kakang Cemani."
"Hmm," gumam Gagak Cemani menahan perasaan yang bergemuruh di dalam dadanya. Meski ia rasanya mau mengejar orang itu, tapi terpaksalah diurungkan karena Mahesa Wulung telah mencegahnya. Dalam pada itu iapun sadar bahwa maksud Mahesa Wulung tadi pasti dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang masak.
Mahesa Wulung sendiri yang telah berada di ambang pintu, segera dapat melihat sosok tubuh si Jagabaya yang berjalan tergesa-gesa, kemudian berloncatan lalu lenyap di balik rumpun-rumpun pohon bambu di sebelah timur.
"Maaf, aku membuatmu kecewa, Kakang," gumam Mahesa Wulung pelahan.
"Tapi mudah-mudahan siasatku ini berjalan baik."
"Hah, Adi Wulung membuat siasat?!"
"Benar, Kakang Cemani," sahut Mahesa Wulung kembali.
"Biarlah ia melarikan diri, dan jika ternyata ia mempunyai kawan-kawan pastilah mereka akan saling berhubungan. Nah, di saat itulah kita akan menyergapnya."
"Bagus. Aku menyetujui rencanamu, Adi Wulung."
"Sekarang, baiknya kita memeriksa jejak-jejaknya,
Kakang Cemani. Siapa tahu ia meninggalkan jejak atau tanda-tanda yang dapat kita kenal?!"
"Pikiran yang tajam. Ayolah kita periksa bersama," ujar Gagak Cemani lalu melangkah keluar dan disusul Mahesa Wulung di belakangnya. Semuanya segera memeriksa sepanjang tepi dinding luar dan merabaraba tanah yang mungkin meninggalkan tanda-tanda tertentu.
"Hee, Adi Wulung! Lihatlah ini!" seru Gagak Cemani seraya berjongkok ke tanah dengan pandangan mata membelalak tertuju ke bawah seperti orang yang melihat barang aneh.
Karuan saja Mahesa Wulung buru-buru mendekati Gagak Cemani dan mengawasi ke tanah, ke arah mana pula sahabatnya ini menunjukkan jari telunjuknya.
"Hah?!" desah Mahesa Wulung begitu tatapan matanya sampai ke arah jejak-jejak yang aneh. Sentuhan sinar rembulan yang belum begitu tinggi cukup membuat jelas suasana di situ. Demikian pula dengan jejak-jejak tersebut.
"Lihatlah, Adi Wulung! Ternyata jejak kaki ini dapat membuat hancur batu-batuan yang diinjaknya!" kata Gagak Cemani.
"Orang biasa tak mungkin melakukannya!"
"Jadi orang tersebut pasti memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi!" sahut Mahesa Wulung sambil meraba pecahan-pecahan batu di sekitar jejak kaki tersebut.
"Rupanya saja ia sengaja memamerkan kesaktiannya kepada kita!"
"Mungkin memang begitu."
"Hmmm, si Jagabaya tadi ternyata bukan orang sembarangan!" Mahesa Wulung berkata menggerendeng seperti orang yang merasa tidak senang. "Lalu apa maksudnya?"
"Jelas ia memata-matai kita dengan mendengarkan pembicaraan kita tentang Bukit Kepala Singa tadi!" sambung Gagak Cemani.
"Maka itulah yang aku khawatirkan, Adi Wulung! Bagaimana kalau kita membuntutinya?!"
Mahesa Wulung berpikir cepat dan kemudian berkata, "Baiklah! Asal tidak terlalu dekat dan semoga kita mendapat keterangan lebih banyak."
"Kakang Wulung! Hendak ke mana Andika berdua?!" bertanya Pandan Arum yang telah tiba di luar seraya membawa ranting menyala guna menerangi tempat tersebut.
"Ssstt! Ada sesuatu yang penting! Masuklah kembali ke dalam, dan tutup pintu rapat-rapat. Kami akan berjalan-jalan sebentar di luar."
Pandan Arum mengangguk, namun ia berbisik juga, "Bagaimana harus kukatakan kepada mereka?!"
"Katakan saja bahwa kami berdua akan menghirup udara segar untuk beberapa saat."
"Baiklah, Kakang. Tapi... hati-hatilah," ujar Pandan Arum dengan nada cemas, lebih-lebih setelah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani bergegas meloncat ke arah timur, untuk membuntuti si Jagabaya.
Maka buru-buru Pandan Arum kembali ke arah pintu dan memenuhi pesan-pesan dari kekasihnya, sedang pintu tersebut lalu ditutupnya dari dalam dengan rapat.
Kedua sahabat yang berilmu tinggi itu lalu berloncatan di antara semak-semak dan sekali-kali mengendap-endap sambil memeriksa tempat di sekelilingnya.
Rumpun bambu terdapat di sana-sini dengan lebatnya. Terkadang bergeritlah bunyi pergeseran antara cabang-cabang dengan batang bambu menimbulkan suara yang cukup mendirikan bulu tengkuk, menyeramkan.
Beberapa batang bambu yang melengkung ke tanah malahan kadang-kadang tampak bagaikan tangantangan hantu yang tengah mencegat mangsa.
"Kakang Cemani. Bukankah ke arah ini, si Jagabaya tadi melarikan diri?" bisik Mahesa Wulung kepada sahabatnya, pendekar berjubah dan berkumis melintang.
"Tidak keliru! Tapi tak terdapat tanda apa-apa di sini, Adi Wulung!" balas Gagak Cemani sambil menebarkan pandangan mata ke arah keliling.
"Sungguh aneh."
"Memang! Ia seperti lenyap ditelan pohon-pohon di sini," desis Gagak Cemani perlahan.
"Dan tempat ini terlalu sepi!" berbisik Mahesa Wulung di dekat telinga Gagak Cemani.
"Sangat mencurigakan. Berhati-hatilah!"
"Saya merasa seperti ada sesuatu yang mengawasi kita, Kakang Cemani!"
"Saya pun merasa demikian, Adi."
Ketegangan segera mencekam kedua pendekar ini. Tanpa diperintah mereka telah bersiaga sepenuhnya, untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi.
Telinga mereka dengan tajamnya menjaring suarasuara dan setiap gerakan yang mencurigakan. Namun sampai sejauh itu, tak satu suarapun yang aneh kedengaran, kecuali desiran angin yang menggoyangkan dedaunan.
Mendadak saja, ketika Mahesa Wulung dan Gagak Cemani tengah mengawasi pohon-pohon di sekelilingnya, berdesirlah sambaran-sambaran angin yang datang tanpa keruan sumbernya.
Wesstt... sringng... sring... sring...! Begitulah desingan-desingan mengurung Mahesa Wulung berdua dengan derasnya laksana air hujan.
"Heeiitt!" dengus Mahesa Wulung sambil meloncat ke udara, sedang Gagak Cemani pun berbuat yang sama.
"Lindungi dirimu, Kakang Cemani!"
Peringatan Mahesa Wulung tadi ternyata memang tepat. Sebab itulah Gagak Cemani secepat kilat mencabut golok panjangnya sekaligus diputarnya melindungi tubuh.
Dalam detik yang sama, Mahesa Wulung tanpa ayal menghunus pedangnya lalu diputarnya sederas putaran angin. Kiranya memang itulah cara satu-satunya yang paling tepat, sebab yang datang mengurung mereka adalah sambaran-sambaran paku baja.
Trang.... Tak... tak... taaakk!
Kedua pendekar ini dengan lincahnya memutar senjatanya masing-masing di tangan menyampok runtuh belasan paku baja yang tengah menyambarnya.
"Paku-paku baja!" desis Mahesa Wulung dengan geramnya.
"Menyerang secara gelap... keparat! Aku harus bertindak keras. Hiaatt!"
Begitu Mahesa Wulung berseru, maka tangan kirinya mendorong ke depan ke arah pepohonan di sekeliling berkali-kali sambil berputar di udara.
Braak! Kraasss! Braass!
Satu demi satu pepohonan di sekeliling tumbang terhempas di bumi bagaikan dihajar oleh angin badai. Rupanya Mahesa Wulung telah menggunakan pukulan jarak jauh ajaran dari gurunya, si Pendekar Bayangan. Gagak Cemani yang berada di sebelah Mahesa Wulung, tak kalah herannya melihat hal ini. Ia dengan sepenuhnya kagum oleh ilmu tersebut, yang dilancarkan ke tempat-tempat di sekeliling guna mencegah serangan lebih lanjut dari lawan gelapnya ini.
Ketika pohon-pohon di sekeliling mereka roboh, terlihatlah satu bayangan hitam meloncat kabur sambil mengutuk-ngutuk dan sesaat kemudian disusul suara ketawa yang bergema.
"Heh, ha, ha, ha. Kali ini aku tak dapat lebih lama bermain-main menemanimu, Sobat. Tapi lain kali kita akan bertemu lagi!"
"Itulah penyerang gelap yang kita cari, Kakang Cemani!" seru Mahesa Wulung sambil mendaratkan kakinya ke tanah, disusul oleh Gagak Cemani.
"Tapi tinggal suara pantulannya, Adi! Orangnya telah kabur lebih dahulu," sambung Gagak Cemani.
"Ia bergerak kelewat cepat. Memang ia punya kelebihan juga, Kakang Cemani. Sayang kita tak dapat menangkapnya!"
"Jadi jelaslah bahwa si Jagabaya itu orang yang berilmu tinggi!" demikian Gagak Cemani mengambil kesimpulan.
"Namun ada juga kemungkinan lain."
"Heh, kemungkinan lain?"
"Benar, Adi. Mungkin pula bahwa si penyerang gelap tadi bukan si Jagabaya sendiri."
"Kalau begitu, orang lain?" tanya Mahesa Wulung.
"Benar."
"Berarti si Jagabaya ini tidak sendirian."
"Sebaiknya kita periksa lebih teliti, Adi Wulung. Kita dapat mendatangi rumah si Jagabaya itu besok pagi," berkata Gagak Cemani sambil memungut beberapa paku baja dari tanah dan mengamat-amatinya.
"Marilah kita kembali sekarang, Kakang Gagak Cemani. Sudah cukup lama kita meninggalkan rumah Ki Selakriya. Pasti mereka telah menanti kita."
"Ayo!" sahut Gagak Cemani seraya menyimpan paku-paku baja tadi, lalu menyertai Mahesa Wulung kembali ke arah barat.
"Kita menghadapi persoalan baru, rupanya."
"Hmm," desah Mahesa Wulung seraya menghela napas.
"Kita telah terlibat persoalan baru, meski segala sesuatunya kait-mengait dari soal-soal yang terdahulu."
"Ujarmu tidak keliru, Adi Wulung," sambung Gagak Cemani.
"Segala peristiwa di alam kehidupan ini sering saling mempengaruhi dan berhubungan antara yang satu dengan yang lain."
Mahesa Wulung mengangguk tanpa berkata apapun kecuali melangkahkan kakinya menuruti jalan kecil yang semula dilewatinya. Daun-daun bambu masih berdesiran tergoyang oleh sentuhan angin malam yang lembut, bagaikan turut mengiringi langkah-langkah kedua pendekar itu kembali ke rumah Ki Selakriya. Dering suara jengkerik terdengar di sana-sini, sedang bulan makin naik dan menebarkan warna sinar peraknya ke permukaan bumi.
--¤¤¦ « BAGIAN II » ¦¤¤--
"Ki Sela, apakah Andika kenal baik dengan si Jagabaya di kampung ini?" bertanya Mahesa Wulung membuka percakapan mereka.
"Ooh, ya. Tentu saja aku mengenalnya dengan baik," Ki Selakriya menjawab pasti.
"Masih ingatkah Tuan, tentang seorang setengah tua yang menyambut Andika ketika aku terluka oleh pukulan Telapak Iblis? Nah, itulah si Jagabaya Ki Carang yang sangat baik."
Kedua pendekar itu mengangguk-angguk setengah tidak percaya oleh keterangan Ki Selakriya, sebab bukankah tadi malam mereka memergoki si Jagabaya berdiri di belakang pintu.
"Tetapi kami telah mencurigainya semalam, Ki Sela," ujar Mahesa Wulung.
"Mencurigai Ki Carang ketika kami membuka pintu dengan tiba-tiba. Ternyata ia berada di situ."
"Ya, ya. Aku dapat memahami kecurigaan Tuantuan. Hanya sayang sekali aku tak melihat dengan jelas wajah si Jagabaya itu. Dan lagi agaknya sudah sepatutnya bahwa seorang jagabaya sering berkeliling kesana-kemari secara diam-diam guna menjaga keamanan."
"Tapi yang ini lain, Ki Sela," terdengar Gagak Cemani ikut bicara.
"Ketika kami sapa, malah melarikan diri. Dan Andika tahu? Sewaktu kami berdua mencari jejaknya, kami telah diserang secara gelap oleh senjatasenjata ini!" demikian Gagak Cemani berkata seraya menunjukkan tiga buah paku baja kepada Ki Selakriya.
"Hah? Paku baja!" desis Ki Selakriya.
"Aku belum begitu mengenal dengan senjata ini. Tapi apakah Tuan-tuan telah yakin bahwa hal itu adalah serangan gelap dari Ki Carang?"
"Memang kami belum pasti. Justru kami ingin menyelidiki hal itu, sebab tak urung hal ini menyangkut keselamatan denah rahasia Bukit Kepala Singa, yang berarti pula menyangkut keselamatan negara kita semua," begitu Mahesa Wulung menjelaskan persoalannya.
"Aaih, itu benar, Tuan," sambung Ki Selakriya.
"Jadi bagaimana maksud dan rencana Andika berdua?!"
"Kami akan mengunjungi rumah Ki Carang dan menyelidikinya secara diam-diam," Gagak Cemani menjelaskan rencananya.
"Bagaimanakah jika Ki Sela kami harap mengawani kami ke sana?"
"Yah, aku setuju, Tuan. Aku akan mengantar Andika berdua ke sana. Dengan begitu kita tidak terlalu mencurigakan dan kita akan bertamu ke rumahnya."
"Terima kasih, Ki Sela."
"Kita bisa berangkat sekarang ini juga, Tuan," Ki Sela mengajak kedua pendekar itu berangkat.
"Mudahmudahan ia tidak pergi ke mana-mana."
Sejurus kemudian mereka bertiga telah melangkah pergi meninggalkan halaman dan menuju ke arah jalan rintisan kecil menuju ke arah timur.
Diam-diam Mahesa Wulung dan Gagak Cemani saling berpandangan. Sebab mereka tahu bahwa semalam mereka telah melewati jalan ini juga sewaktu mengejar si Jagabaya.
Jalan yang ditempuh semakin ke timur tatkala dengan tiba-tiba Ki Selakriya berseru kaget, "Huh! Luar biasa! Apakah yang terjadi di sini semalam?! Lihatlah, Tuan! Pohon-pohon di sini roboh dan tumbang ke tanah. Agaknya semalam telah terjadi angin ribut atau mungkin ada hantu berkelahi di sini."
Mahesa Wulung kembali menatap ke arah Gagak Cemani. Keduanya sama-sama mengangkat dahi dan tersenyum dikulum begitu mendengar tutur kata Ki Selakriya.
"Mungkin begitu, Ki Sela," terdengar Gagak Cemani membenarkan.
"Untung tidak menimbulkan korban."
"Ya, marilah kita berbelok ke kanan melintas ke jalan lain," Ki Selakriya menggumam.
"Aku segan melewati tempat tersebut. Siapa tahu ada kekuatankekuatan aneh yang tersembunyi di situ."
Tanpa berkata apa-apa, kedua pendekar ini mengikuti langkah Ki Selakriya sambil tersenyum-senyum kecil. Tapi kemudian Gagak Cemani menggamit Mahesa Wulung agar senyumnya tidak sampai terlihat oleh Ki Selakriya.
Beberapa kali mereka melewati bulak rumput bambu kemudian ladang jagung yang cukup lebar. Di sebelahnya tampaklah sebuah rumah berukuran sedang dengan halaman yang bersih dan rapi.
Ki Selakriya kemudian memasuki halaman rumah tersebut diikuti Mahesa Wulung dan Gagak Cemani yang hatinya mulai berdebar-debar di dalam dadanya.
"Inilah rumah kediaman Ki Carang," tutur Ki Selakriya kepada kedua pendekar di belakangnya.
"Andika berdua dapat mulai memeriksa segala sesuatunya sekarang."
"Terima kasih, Ki Sela," gumam Mahesa Wulung seraya menyenggol lengan Gagak Cemani agar mereka mulai menjalankan tugasnya.
Setelah mereka lebih jauh memasuki halaman, tahu-tahu seorang perempuan berusia separo tua datang menyongsong mereka bertiga dari arah pintu masuk.
"Ehh, bukankah ini Ki Selakriya?! Si pemahat ulung dari Demak?!" demikian sapa si perempuan separo tua serta diiringi ketawa yang ramah.
"Aah, Nyi Carang selalu memperolok-olokku setiap aku datang sowan ke mari!" sahut Ki Selakriya seraya tertawa-tawa pula.
Mahesa Wulung di dalam hati dapat mencatat hal ini dengan baik.
"Hmm, jelas agaknya bahwa Ki Selakriya telah mengenal lebih jauh dengan keluarga si Jagabaya ini."
"Nyai, kedatanganku ke mari adalah untuk menengok Ki Carang dan sekaligus memperkenalkan kedua orang tamuku ini. Sejak aku menderita luka beberapa hari yang lalu, aku belum sempat bertemu lagi dengan Ki Carang. Apakah kabarnya, Nyai?"
Perempuan setengah baya ini menyudahi senyumnya disusui helaan napas panjang seperti menahan sesuatu yang agak berat. Katanya kemudian, "Syukurlah jika Andika telah sembuh kembali, Ki Sela. Tetapi sobatmu tidak demikian untung."
"Elho. Tidak untung bagaimana, Nyai?"
"Itu. Ki Jagabaya Carang. Sehari kemudian sesudah ia menjumpaimu dalam keadaan luka, iapun mendapat kecelakaan dan sampai hari ini tak bisa berjalan! Sepanjang hari ia terbaring di balai-balai tempat tidurnya."
"Hah?!" Ki Selakriya berseru kaget. Tapi yang paling kaget adalah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani sendiri. Kedua pendekar ini terpaku bisu tanpa berkata apapun.
Betapa mereka dapat begitu saja menerima penuturan Nyi Carang yang mengatakan bahwa suaminya telah menderita sakit, sedang semalam mereka berdua dapat melihat dengan jelas bahwa si Jagabaya berdiri di depan pintu rumah Ki Selakriya?!
"Jadi ia tak pernah pergi keluar rumah?!" bertanya Ki Selakriya dengan wajah yang menampakkan rasa bingung.
Nyi Carang menggeleng-gelengkan kepala sambil menggumam.
"Aaah, Andika ini bagaimana, Ki Sela? Ia bangun dari tempat tidurnya saja masih harus ditolong. Maka mengherankan bila ia dapat menginjakkan kaki keluar rumah."
Ki Selakriya berpaling ke samping dan menatap Mahesa Wulung serta Gagak Cemani. Meski Ki Selakriya tak berkata apapun, namun dari sorot matanya dapatlah Mahesa Wulung berdua memahami bahwa Ki Selakriya menunjukkan kenyataan yang bertentangan.
"Kami ingin sekali berjumpa dengan suamimu," kembali Ki Selakriya memecah kesunyian.
"Ya, ya. Tentu. Marilah masuk ke dalam. Andika bertiga dapat segera menjumpainya." Nyai Carang mempersilahkan mereka ke tempat di mana terdapat sebuah balai-balai kayu.
Di atas balai-balai tersebut terbaringlah seorang laki-laki setengah tua, yang kira-kira lebih muda beberapa tahun daripada Ki Selakriya.
Ketika Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat mengenali wajah orang yang terbaring itu, dada mereka seperti tergoncang oleh gempa, sebab wajah itu adalah wajah Ki Carang, si Jagabaya yang semalam telah dilihatnya di balik pintu!
"Aaa, Andika sudi menengokku, Sobat?!" seru Ki Jagabaya Carang dari tempatnya berbaring. "Sialan. Aku sekarang yang ganti sakit dan terbaring seperti kain tua tanpa daya."
"Semoga Andika lekas sembuh, Ki Carang. Dan ini, perkenalkanlah dua orang penolongku dan juga tamuku...," ujar Ki Selakriya pula.
Si Jagabaya Carang mengangguk kepada Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Terima kasih Andika berdua sudi datang kemari. Perkenalkan, nama saya adalah Ki Carang."
"Saya Mahesa Wulung," berkata Mahesa Wulung memperkenalkan diri.
"Sedang di sampingku ini Gagak Cemani."
"Kecelakaan macam apakah yang telah mencederai kakimu, Ki Carang?" kembali Ki Selakriya bertanya.
Sementara itu Mahesa Wulung dan Gagak Cemani saling berpandangan penuh tanda tanya. Dasar lagi bagi Mahesa Wulung yang otaknya penuh dengan pengalaman, iapun lalu menjadi curiga terhadap perihal sakitnya si Jagabaya Carang. Apakah hal ini bukan sekedar siasat dan tipuan untuk mengelakkan pertanyaan-pertanyaan lainnya?
"Hehh, inilah sakitku yang membuatku tak dapat berjalan," Ki Carang berkata seraya menyingkapkan kain selimut yang menutupi kakinya.
Maka tampaklah segera satu pemandangan yang membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani, dan Ki Selakriya terkejut bukan main.
Pada kaki kanan Ki Carang terlihatlah satu bengkak kebiruan yang tampaknya sangat menimbulkan rasa sakit, sehingga keterangan Ki Carang tentang keadaan dirinya dapatlah dipahami.
Ki Selakriya bertiga yang duduk di tepi balai-balai lebar itu tak lepas pandangan matanya dari kaki Ki Carang tadi, seolah mereka masih meragukan hal tersebut.
"Ki Carang, aku tak sampai hati melihat deritamu itu. Bolehkah aku mengusulkan sesuatu?" bertanya Ki Selakriya.
Jagabaya itu menghela napas, lalu berkata pula, "Apakah dayaku, Ki Sela? Bermacam-macam ramuan jamu untuk meredakan dan menyembuhkan bengkakku ini tak berhasil saya gunakan. Dan putuslah harapanku sudah. Mungkin sudah kehendak nasib bahwa saya akan terbaring lumpuh begini."
"Janganlah berkata demikian, Ki Carang," sambung Ki Selakriya.
"Kau lihat dengan diriku! Semula aku tak mempunyai harapan untuk hidup lagi. Namun berkat pertolongan Tuan-tuan berdua ini, maka aku masih dapat menikmati udara segar dan panasnya sinar matahari. Karenanya jika Andika tidak berkeberatan, biarlah mereka berdua memeriksa kakimu," begitu Ki Selakriya berkata lalu berpaling ke arah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Bagaimana, Tuan, apakah Andika berdua tidak berkeberatan?"
"Ehm. Dengan senang hati kami akan memeriksanya, Ki Sela," sahut Mahesa Wulung.
"Mudahmudahan tidak terlalu berat."
Sebentar kemudian, Mahesa Wulung dan Gagak Cemani memeriksa kaki Ki Carang yang bengkak kebiruan dengan seksama. Bagi kedua pendekar yang telah banyak memahami segala macam luka dan cedera, itu tidaklah begitu sukar. Namun di saat itulah timbul kegelapan yang begitu sukar. Sebab dari pemeriksaan itu, Mahesa Wulung dan Gagak Cemani terpaksa tergeleng-geleng.
"Ini cedera yang sungguh-sungguh dan menurut tanda-tandanya yang pasti, si Jagabaya ini telah mendapat bencana kurang lebih lima atau empat hari yang lalu," demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam.
"Jadi tak mungkin ia dapat berjalan-jalan keluar dari rumah ini! Jika demikian, siapakah yang berdiri di balik pintu rumah Ki Selakriya? Bukankah wajahnya juga wajah dari orang ini juga?!"
Agaknya saja Gagak Cemanipun menjadi kebingungan dengan peristiwa itu, terlihat bahwa ia cuma berdiam diri sambil mengelus-elus kumisnya.
Suasana sesaat seperti bisu dan kaku. Untunglah kemudian muncul Nyai Carang sambil membawa talam berisi mangkuk-mangkuk minuman dengan sekendi air minum beserta sepinggan jadah ketan.
"Bengkak ini dapat disembuhkan, Ki Carang. Tapi tentu saja memakan waktu beberapa hari!" ujar Mahesa Wulung.
"Dan kamipun harus meminta bantuan dari teman kami yang seorang lagi. Sekarang ini ia tinggal di rumah Ki Sela."
"Syukurlah, Ki sanak," desis Ki Carang lagi.
"Namun kami ingin pula mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bapak," Gagak Cemani ikut bicara.
"Pertanyaan apakah, Ki sanak? Silahkan!"
Gagak Cemani segera mengambil satu bungkusan kain dari ikat pinggangnya dan dibukanya di depan Ki Carang seraya berkata, "Kenalkah Bapak dengan benda-benda ini?!"
"Hahh! Itu... itu...," desis Jagabaya Carang dengan wajah kepucatan.
"Di mana Ki sanak mendapatnya?"
"Semalam, Ki Carang. Tak Jauh dari rumah Ki Selakriya," sahut Mahesa Wulung pula.
"Mengapa sampai berada di tangan Ki sanak?"
"Semalam kami diserang dengan paku-paku baja
ini, tapi untunglah kami dapat menghindarkannya," kembali Gagak Cemani memberi penjelasan.
"Celaka diriku!" desis Jagabaya Carang.
"Mengapa Anda berkata demikian?"
"Paku-paku baja itu adalah senjataku!"
"Senjata dari Ki Carang?!" terdengar Ki Selakriya berseru.
"Ya, benar! Senjata paku baja ini adalah senjata ciri yang khusus tentang diriku!" kata Ki Carang.
"Dengan sendirinya tentu Ki sanak berdua mengira bahwa akulah yang menyerang Andika berdua, bukan?!"
"Begitulah memang perkiraan kami yang semula," Mahesa Wulung menegaskan dirinya.
"Tetapi dengan melihat cedera bengkak pada kaki Andika, pastilah hal itu tidak mungkin."
"Yah, memang tidak mungkin. Tambahan lagi, aku masih cukup waras untuk tidak sembarangan menggunakan senjata ciri khusus seperti ini!" kata Ki Carang dengan suara berat.
"Di samping itu kita tidak bermusuhan, bukan?"
"Hah, itu benar, Ki Carang. Akan tetapi ada satu hal lagi yang menyebabkan kami menyangka bahwa Andikalah yang menyerang kami semalam. Tentu saja kami bertiga ingin mendengar penjelasan-penjelasan dari Ki Carang sendiri."
Jagabaya Carang menjadi kian tertarik oleh tutur kata Mahesa Wulung tadi, maka segera ia bertanya, "Hal apakah yang Ki sanak maksudkan itu?"
"Nah, dengarlah baik-baik, Ki Carang," ujar Mahesa Wulung menjelaskan.
"Semalam kami tengah mengobrol dengan Ki Selakriya di rumahnya. Di antaranya ada hal-hal penting yang kami bicarakan. Pada saat itu kami tiba-tiba merasa ada seseorang yang mendengar dan memata-matai dari balik pintu masuk. Maka secepatnya kami membuka pintu tersebut, dan ternyata di situ berdirilah seseorang yang berwajah seperti Andika, Ki Carang! Wajah yang mirip sekali sehingga kami tak ada alasan lain untuk menyangkal bahwa orang itulah Ki Carang sendiri!" Mahesa Wulung berhenti sejenak, seolah-olah masih memberi kesempatan berpikir kepada Ki Carang.
"Hehh... ya. Aku telah mendengarnya. Coba teruskan dengan ceritera tadi," ujar Ki Carang disertai wajah kepucatan.
"Akhirnya kami membuntuti orang tersebut ketika tak lama kemudian belasan paku-paku baja menyerang kami," demikian Mahesa Wulung menyudahi penuturannya.
"Jika demikian maka baiklah aku menjelaskan kepada Andika bertiga, mengapa kakiku sampai menderita cedera seperti ini," berkata Ki Carang.
"Itu lebih baik, Ki Carang, Ceriterakanlah lebih jelas kepada Tuan-tuan berdua ini. Sebab Tuan Mahesa Wulung ini tidak lain adalah seorang wiratamtama dari Demak."
"Ohh, baik, Gusti. Baik..., hamba akan berceritera dengan sejelas-jelasnya," ujar Ki Carang kemudian dengan wajah ketakutan dan gugup.
"Jangan merubah sikap, Ki Carang. Tetaplah seperti semula dan tidak perlu membungkuk-bungkuk seperti ini. Nah, lanjutkanlah ceriteramu tadi," gumam Mahesa Wulung kepada Jagabaya Carang.
Memang sikap si Jagabaya Carang tidak dapat disalahkan, sebab ia sangat merasa rendah hati. Jabatan seorang jagabaya seperti dirinya akan seberapa besarnya bila dibandingkan dengan kedudukan dan pangkat wiratamtama dari kerajaan?!
"Malam itu," demikian Ki Carang memulai ceriteranya, "yakni sehari sesudah saya menjumpai Tuantuan di depan rumah Ki Selakriya, saya telah diserang di tengah hutan bambu. Ternyata para penyerang tadi lebih dari seorang dan jelasnya mereka telah mengeroyokku! Salah seorang dari penyerang tadi marahmarah dan berkata mengapa aku masih bersedia menjadi seorang jagabaya dan suka mencampuri urusan orang lain. Maka saat itu juga terjadilah pertempuran seru di tengah hutan bambu. Tapi sayang, sebelum saya sempat menggunakan senjata khususku ini, tibatiba saja seorang lawanku telah menghajar kaki kananku dengan pukulan sisi telapak tangan yang hebat, sehingga membuatku lumpuh setengah pingsan. Aku merasa beberapa orang menggeledahi pakaianku, sesaat sebelum aku pingsan sama sekali.
"Ketika kemudian aku sadar, aku mendapati bahwa kaki kananku telah sakit dan mulai bengkak kecil membiru. Tetapi yang lebih kaget lagi, sewaktu aku meraba ikat pinggangku ternyata sekantong senjata paku baja milikku telah hilang! Dengan susah payah aku merangkak pulang sampai keadaanku seperti Andika ketahui sekarang ini."
Baik Mahesa Wulung, Gagak Cemani maupun Ki Selakriya terpekur mendengar penuturan Jagabaya Carang tadi. Lebih-lebih bagi Mahesa Wulung berdua.
Kalau semula ia bersama Gagak Cemani telah berkeyakinan bahwa sasaran yang mereka cari adalah si Jagabaya itu, maka di saat ini juga keyakinan tadi menjadi lenyap.
Jalan yang semula terang, kini menjadi gelap kembali, seakan menyesatkan kedua pendekar yang hendak melewatinya. Oleh karenanya pula Mahesa Wulung dan Gagak Cemani terbisu untuk beberapa saat.
"Masih ada sesuatu yang kurang jelas, Ki Carang," tiba-tiba Gagak Cemani melanjutkan bicara, "yaitu tentang wajah seorang asing yang mirip dengan wajah Andika."
"Hmm, aku belum dapat mengerti hal itu, Tuan," ujar Ki Carang.
"Jelas bahwa nama saya telah ternoda dalam peristiwa ini."
"Ada dua kemungkinan mengenai wajah itu!" Mahesa Wulung menyela.
"Pertama, orang tersebut sengaja menggunakan semacam topeng dengan maksud melibatkan nama Ki Carang. Sedang kemungkinan kedua orang tersebut memang benar-benar memiliki wajah itu. Mungkin dia adalah salah seorang dari saudara Ki Carang."
"Ya! Keduanya memang serba mungkin!" ujar Ki Carang pula.
"Akupun mempunyai seorang adik yang berwajah mirip dengan wajahku. Tapi ia telah pergi meninggalkanku belasan tahun yang lalu. Dan sejak itu saya tak mendengar lagi kabar beritanya."
"Siapakah nama adik Andika itu, Ki Carang?" Gagak Cemani bertanya pula.
"Jika tidak berkeberatan, biarlah kami sedikit banyak mengetahui tentang dirinya."
"Namanya adalah Jaka Rebung," jawab Ki Carang seraya menghela napas.
"Dia pergi meninggalkanku karena satu pertengkaran kecil yang berkisar soal keluarga."
"Itu sudah cukup, Ki Carang," potong Gagak Cemani pula.
"Kami tak ingin mencampuri urusan keluarga Andika. Cukuplah dengan keterangan itu saja pada kami."
"Terima kasih. Semua keteranganku semoga berguna bagi Tuan-tuan berdua."
"Kembali tentang cedera pada kakimu ini, Ki Carang," kata Gagak Cemani seraya memungut tabung kecil dari ikat pinggangnya dan menuangkan beberapa butir obat yang berwarna hijau ke atas telapak tangannya.
"Minumlah nanti obat ini dan jalan darah yang terhenti pada cedera bengkak itu akan menjadi lancar kembali."
"Ooh, terima kasih, Tuan."
"Belum cukup dengan itu, Ki Carang. Tunggulah nanti. Seorang temanku yang bernama Palumpang akan datang kemari dan ia akan mengurut serta membalut luka bengkak itu dengan ramu-ramuan jamunya."
Ki Carang menjadi berseri-seri wajahnya saking gembira dan kemudian ia meletakkan tiga butir obat pemberian Gagak Cemani ke dalam mangkuk di sebelahnya. Selanjutnya ia mempersilahkan ketiga tamunya ini untuk meneguk minuman serta mencicipi jadah ketannya, dan pembicaraanpun berkisar ke soalsoal biasa yang sehari-hari.
Tampak benar keramahan yang terjelma dalam pembicaraan mereka. Malahan Nyi Carangpun ikut keluar dan menemani ketiga tamunya dengan membawa pisang rebus.
Ketika matahari mulai condong ke kaki langit di sebelah barat, Ki Selakriya, Mahesa Wulung, dan Gagak Cemani segera meminta diri. Sedang senja nanti Palumpang akan datang ke tempat Ki Carang untuk mengobati bengkak pada kakinya.
* * *
Sehari kemudian, pada saat matahari telah muncul di balik pepohonan hutan di sebelah timur, Mahesa Wulung telah mempersiapkan kudanya bersama yang lain.
Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro sudah membereskan bekal-bekal dan barang-barangnya. Tampak pula Ki Selakriya, Sekarwangi dan Palumpang membantunya.
Seperti rencana semula, Palumpang tetap tinggal di rumah Ki Selakriya untuk beberapa hari sambil menunggu kedatangan beberapa orang prajurit Demak yang akan tinggal di sekeliling Ki Selakriya.
"Hati hatilah, Sobat Palumpang," ujar Mahesa Wulung sambil tersenyum ramah.
"Jagalah Ki Selakriya dan Sekarwangi baik-baik."
"Heh, heh, heh. Andika tak perlu khawatir, Sobat Wulung," sahut Palumpang.
"Akan kujaga mereka dengan sebaik-baiknya."
"Terima kasih," ujar Mahesa Wulung sambil menjabat tangan sahabatnya itu, disusul oleh Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro. Ki Selakriya dan Sekarwangipun tidak ketinggalan untuk mengucapkan selamat jalan kepada rombongan yang akan pergi itu.
Tak lama kemudian, Mahesa Wulung berempat telah menderapkan kudanya meninggalkan halaman rumah Ki Selakriya, sementara beberapa orang penduduk di situ ikut melambai-lambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan.
Debu berkepul-kepul mengalun ke udara meninggalkan bekas-bekas jalan yang dilalui oleh rombongan kecil yang menuju ke arah Demak.
"Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung.
"Persoalan menjadi kian berbelit-belit, lebih-lebih dengan lenyapnya jejak penyerangan gelap yang bersenjatakan paku baja itu."
"Memang, Adi Wulung," sambung Gagak Cemani.
"Namun aku yakin bahwa persoalannya pasti akan dapat kita pecahkan."
"Bagaimana dengan Kakang Cemani? Apakah kirakira si penyerang gelap itu ada hubungannya dengan Tangan Iblis?"
"Masih terlalu samar-samar, Adi Wulung. Dari keduanya dapatlah kita catat adanya dua peristiwa dalam satu lingkungan, meski dalam saat yang agak berlainan," Gagak Cemani berkata menggambarkan pendapatnya.
"Peristiwa dilukainya Ki Selakriya oleh Tangan Iblis dan cederanya Ki Carang oleh penyerang gelap yang merampas senjata paku bajanya, benar-benar cukup menyulitkan. Tapi yang lebih penting adalah melaporkan dan memeriksa denah rahasia Bukit Kepala Singa pemberian Ki Sela, ke Demak!"
"Benar, Kakang Cemani. Sabuk kulit berisi gambar rahasia itu telah aku bawa dan sekarang aku pasang pula pada pinggangku," ujar Mahesa Wulung seraya menepuk ikat pinggang kulit pemberian Ki Selakriya.
"Nah, bukankah hal itu sangat penting. Dan siapa tahu dari ikat pinggang tersebut, akan tercium pula jejak-jejaknya Tangan Iblis."
"Aku tak mengira bahwa Sugatra yang bergelar Tangan Iblis itu telah sampai di daerah Demak!"
"Satu pertanda bahwa daerah ini telah kemasukan musuh-musuh gelap," ujar Gagak Cemani. "Bahkan salah seorang prajurit kawal telah mengkhianatimu. Andika masih ingat, Adi Wulung?"
"Benar, Kakang Cemani. Aku masih ingat betapa Gombong, si prajurit kawal itu, pernah menjebakku, meski akhirnya ia mati dan menyesal atas perbuatannya," ujar Mahesa Wulung menjelaskan. (Bacalah Seri Naga Geni 17, Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung)
Gagak Cemani manggut-manggut mengerti dan iapun teringat, betapa Mahesa Wulung telah diculik oleh Surokolo beberapa waktu yang lalu.
Mereka berempat makin mempercepat pacu kudanya ke arah selatan melewati tanah-tanah persawahan yang sangat subur. Beberapa kali mereka berpapasan dengan orang-orang desa yang menggendong barang-barang dagangan seperti sayur-mayur dan lainlainnya.
"Rasanya aku ingin lekas-lekas sampai ke Demak," desah Mahesa Wulung.
"Terlalu banyak persoalanpersoalan yang harus kita selesaikan."
"Heh, heh, heh," Gagak Cemani tertawa menggelegas.
"Selama manusia itu hidup akan selalu ada persoalan-persoalan yang melibatnya. Hal itu harus kita hadapi dengan dada terbuka, Adi Wulung. Anggaplah sebagai satu ujian saja. Mana yang lebih kuat dan tabah, dialah yang bakal mengatasi persoalan itu. Sedang yang lemah, pastilah dia bakal terseret dan tenggelam di dalamnya."
"Heh, yah, kiranya memang begitu," desah Mahesa Wulung seraya mengangkat muka saking kagumnya dengan tutur-kata sahabatnya Gagak Cemani tadi.
Keempatnya terus berpacu dan membelok ke kanan memasuki jalan agak besar yang di kiri kanannya penuh ditumbuhi oleh pohon-pohon asam. Itulah jalan yang menuju ke kota Demak.
--¤¤¦ « BAGIAN III » ¦¤¤--
Jalanan di situ cukup sepi dan awan mendung berarak-arak menambah suasana kesenyapan yang menimbulkan kebekuan dan keseraman.
Kalau bayangan yang satu bertubuh ramping dengan rambut disanggul di atas, maka yang seorang lagi bertubuh pendek sedikit gemuk.
"Ayolah, Paman Dunuk! Aku tak sabar lagi untuk tiba di rumah Ki Sungkana. Mari kita berjalan saja," demikian seru si tubuh ramping, gadis bersanggul yang berwajah manis membulat telur itu.
Pada pinggangnya terselip sebatang tongkat hitam mengkilap. Larinya sangat cepat, tak ubahnya lari seekor kijang.
"Weh, weh. Baik, Angger. Tapi jangan cepat-cepat!" seru laki-laki bertubuh pendek gemuk yang mengikuti lari si gadis dengan sedikit susah payah. Tapi ternyata iapun cukup gesit pula.
Ketika Ki Dunuk merasa sedikit tertinggal di belakang, maka berserulah ia dengan komat-kamit, "Tun! Atun! Atuuunnn! Engkau terlalu cepat berlari."
Namun gadis itu seperti tidak mendengar seruan Ki Dunuk.
"Cepatlah, Paman Dunuk! Susullah aku! Pakailah ilmu lari yang telah kau pelajari itu!" seru gadis bertongkat hitam seraya tersenyum, melihat betapa lakilaki gemuk pendek itu terguncang-guncang mengikuti larinya, tak ubah sebuah bola yang menggelinding di atas tanah berbatu-batu.
Ki Dunuk masih berkomat-kamit, sedang gerundalnya terdengar.
"Weh, weh. Angger Tuntari memang gesit. Dan benar pula kalau aku harus menggunakan ilmu lari. Jika tidak, mustahil aku sanggup menyusulnya."
Maka sesaat kemudian iapun mengetrapkan ilmu larinya dengan landasan ilmu penataan irama napas dan langkah kaki. Ki Dunuk cukup sebat untuk itu. Biarpun langkah kakinya tidak lebar-lebar karena tubuhnya yang pendek, tapi ia mampu menggerakkannya dengan cepat, berganti-ganti tak ubahnya putaran baling-baling.
Sebentar itu pula, keduanya telah berlari dengan cepatnya hampir-hampir sukar ditangkap mata, kecuali dua sosok tubuh bagai bayangan hitam susulmenyusul tanpa henti.
Kini tampaklah bahwa Ki Dunuk tidak terpaut terlalu jauh jaraknya dengan lari si gadis ramping itu. Paling-paling ia cuma terpaut dua langkah saja di belakangnya, dan itu sudah lebih untung baginya. Keduanya melewati jalan-jalan yang sunyi dan arahnya makin ke luar kota, menuju ke arah barat.
Gadis bertongkat hitam yang bernama Tuntari itu tidak mengurangi larinya. Baginya ia harus cepat-cepat tiba di rumah Ki Sungkana, salah seorang sahabat ayahnya yang paling akrab.
Demikianlah perintah ayahnya. Ia harus tiba di sana sebelum senja hari dan menerima sesuatu dari Ki Sungkana yang kemudian harus disampaikan kepada ayahnya.
Tapi barang apakah yang akan diterimanya itu, ia tak diberitahu, bahkan ayahnya sendiri juga tidak mengetahuinya. Yang ia masih ingat adalah datangnya seorang utusan Ki Sungkana ke rumahnya dengan menyerahkan sebuah surat untuk ayahnya.
Surat tadi menyatakan bahwa ayahnya atau salah seorang utusannya harus segera mengambil sebuah barang penting ke rumah Ki Sungkana.
Sekarang dialah yang mewakili ayahnya untuk mengambil barang tersebut, ditemani oleh Ki Dunuk, salah seorang pembantu ayahnya yang telah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Satu perasaan aneh telah menyelinap di dalam dada Tuntari, menimbulkan degupan dan detak-detak keras. Dengan sendirinya gadis ini sibuk menerka-nerka, apakah gerangan yang bakal dijumpainya. Mengapa hatinya tiba-tiba saja merasa cemas tak tentu arahnya. Adakah bahaya di depannya?
Namun apa yang dirasakan oleh Tuntari tadi benarbenar telah terjadi. Tak berapa jauh jaraknya dari Tuntari dan Ki Dunuk berlari-lari, berlangsunglah satu pertempuran seru di sebuah halaman rumah yang cukup lebar dan terpelihara rapi. Sayangnya pertarungan yang kini tengah berlangsung, telah membuat porakporanda halaman tersebut.
Beberapa tanaman bunga dan pohon-pohon buah telah hancur terbabat oleh senjata dan terinjak-injak kaki, sehingga terbayanglah betapa serunya pertarungan ini.
"Ki Sungkana! Kau tak bakal mampu bertahan lama meski beberapa orang pembantu telah membelamu!" teriak seorang bertubuh tegap berpakaian warna coklat sedang mulutnya tertutup oleh kain selendang yang membalut lehernya. Pada tangan kanannya tergenggam sebilah pedang pendek yang bermata tajam pula kedua belah sisinya.
"Keparat! Mengapa dengan pengikutmu sebanyak itu engkau mengepung rumahku?! Apa yang kaukehendaki?!" ujar Ki Sungkana dengan beraninya, sementara sebilah keris telah siap di tangan kanannya.
"Ha, ha, ha. Jangan berlagak linglung dan melompong, Sobat Sungkana! Aku tahu bahwa engkau menyimpan barang berharga, yang mahalnya melebihi emas intan! Ha, ha, ha. Serahkan saja barang itu kepadaku!"
"Tahu apa aku, tentang barang yang kau maksud itu?!" ujar Ki Sungkana disertai dada berdebaran.
"Ha, ha, ha. Masih pura-pura pilon, hee?! Bukankah engkau menyimpan Arca Ikan Biru?!" seru si mulut berselubung dengan lantangnya.
Mendengar ini, bukan main terkejutnya hati Ki Sungkana. Sebab memang sesungguhnya ia memiliki dan menyimpannya dengan hati-hati apa yang disebut Arca Ikan Biru tadi. Ia masih ingat betul bahwa kurang lebih dua pekan yang lalu, di saat ia mengunjungi daerah Bandar Asemarang telah bertemu dengan seorang tua yang turun dari sebuah perahu besar.
Pelaut tadi menjumpai Ki Sungkana dan menanyakan selanjutnya, apakah Ki Sungkana seorang jujur dan tidak memusuhi pemerintahan Demak? Ini adalah satu pertanyaan yang kelewat aneh! Akan tetapi Ki Sungkana telah menjawabnya dengan tegas dan ramah, bahwa dirinya adalah termasuk orang yang demikian.
Maka tiba-tiba saja pelaut tua ini mengeluarkan sebuah arca kecil berbentuk ikan, terbuat dari batu permata biru. Itulah sebabnya kemudian disebut Arca Ikan Biru. Kepada Ki Sungkana, benda tadi ditawarkan dengan disertai pesan agar benda tersebut segera disampaikan kepada salah seorang narapraja yang akan meneruskannya ke Demak.
Akhirnya Ki Sungkana membeli benda itu dari tangan si pelaut tua. Sekali lagi ia mendengar pesan dari orang ini bahwa Arca Ikan Biru itu sangat penting artinya bagi kerajaan.
Dan Ki Sungkana sendiri tahu bahwa ia mempunyai salah seorang sahabat yang kebetulan menjabat seorang narapraja di Asemarang dan kepadanyalah Ki Sungkana bermaksud akan menyerahkan barang berharga itu. Tetapi sekarang, benda tersebut akan dirampas oleh beberapa orang yang menyerang rumahnya. Maka sudah tentu Ki Sungkana tidak akan membiarkan hal itu dan dengan tekadnya ia akan mempertahankan Arca Ikan Biru di dalam tangannya!
"Jadi kau masih membandel, ya?!" terdengar kembali seruan keras dari mulut lawannya yang berpedang pendek itu.
Ki Sungkana tak menjadi gentar oleh ancaman ini dan dengan lantangnya ia menyahut, meski dengan mengelakkan jejak benda berharga itu, "Kau salah alamat! Seandainya aku memiliki barang tersebut, pasti kupertahankan mati-matian!"
Si pedang pendek menggeram marah oleh jawaban Ki Sungkana, namun sekelumit keragu-raguan muncul pula di dalam dadanya. Jangan-jangan Ki Sungkana tidak menyimpan benda yang dicarinya itu.
Akan tetapi segala sesuatunya telah terlambat, seandainya saja ia bermaksud menarik serangannya terhadap Ki Sungkana ini. Bahkan mungkin akan menimbulkan hal-hal yang merugikan dirinya. Tampaklah beberapa pengikutnya telah bertempur.
Maka ia harus melanjutkan tindakannya ini dan segera menumpas Ki Sungkana beserta seluruh penghuni rumahnya!
"Mampuslah dengan pedangku ini!" teriak si pedang pendek seraya meloncat maju dengan menyabetkan senjatanya ke arah Ki Sungkana.
Ki Sungkana itupun kemudian tidak membiarkan dadanya terobek oleh pedang lawannya, dengan memutar tubuh ke belakang setengah lingkaran tanpa lupa merendahkan kepala.
Maka lewatlah pedang lawan itu sejauh satu jengkal di sisi kepalanya. Namun terkejut juga Ki Sungkana dibuatnya. Sambaran pedang itu ternyata sangat cepatnya, meski meleset dari sasaran.
Rupanya, Ki Sungkana tidak sekedar mengendap saja dengan percuma, sebab kakinya tak ketinggalan mengirimkan satu tendangan ke pinggang lawan dengan cukup deras.
Si Mulut Bertudung melihat hal itu dan segera berusaha menghindarkan diri, tetapi ia tak mempunyai waktu secukupnya hingga tendangan Ki Sungkana berhasil pula menggempur pinggangnya. Terasalah suatu deraian rasa sakit seolah-olah pinggangnya akan patah berkeping-keping.
Sambil mengumpat-umpat, si Mulut Bertudung mengaduh kesakitan dan terhuyung-huyung ke samping, sementara Ki Sungkana berusaha mengejarnya dengan satu tikaman maut dengan kerisnya.
"Hyaaatt!"
Meskipun pinggangnya masih merasa sakit, si Mulut Bertudung tidak menyia-nyiakan dirinya untuk jadi sasaran keris lawannya. Ia menjatuhkan diri ke tanah dan mengguling-guling menjauh dan kemudian tubuhnya melenting ke atas seperti ulat.
Kagum juga Ki Sungkana melihat ketrampilan lawannya, dan karenanya ia menerjang kembali dengan kerisnya! Pertempuran hebatnya segera terjadi.
Dalam pada itu, beberapa orang pembantu Ki Sungkana tak kalah serunya bertarung melawan para pengikut si Mulut Bertudung. Gema senjata beradu dan teriakan-teriakan terdengar riuh, menambah keseraman suasana.
Ternyata bahwa para pengikut si Mulut Bertudung ini sangat tangkas dan ganasnya. Tandang geraknya tampak liar seperti sekawanan iblis yang sedang mengerubut mangsa. Setelah beberapa saat bertempur memeras tenaga dan menumpahkan segenap kepandaiannya, ternyatalah bila para pembantu Ki Sungkana mulai terdesak oleh lawan-lawannya. Mereka terkurung oleh libatanlibatan senjata golok dan pedang dari pengikut si Mulut Bertudung. Rupanya saja mereka telah menggunakan ilmu serangan berantai yang gerakannya selalu bertautan susul-menyusul. Dengan begitu lawanlawan yang dihadapi dengan cara ini akan menjadi buyar dan kewalahan.
Bila mereka tak memiliki ilmu bertempur yang ampuh, jangan harap sanggup menanggulangi para pengikut si Mulut Bertudung.
Rupanya Ki Sungkana yang lagi gigih bertarung melawan pemimpin menyerbu ini dapat memahami kerepotan para pembantunya, maka setapak demi setapak ia berusaha mendekati titik pertempuran mereka agar segera ia dapat membantu orang-orangnya yang tampak terdesak itu.
Sayang sekali akhirnya. Tampaknya saja si Mulut Bertudung dapat mencium maksud Ki Sungkana itu, maka serta-merta ia mempergencar serangan pedangnya.
Mata pedang pendek si Mulut Bertudung tampak menjadi puluhan, bahkan sesaat kemudian berbareng si penyerang aneh ini berseru, maka mata pedangnya menjadi ratusan, menyerang bagian-bagian pertahanan Ki Sungkana yang lemah.
Buat sesaat, Ki Sungkana memang terkejut, tapi iapun meningkatkan serangannya pula dan kerisnya sekali-sekali berhasil menyelusup ke dalam putaran pedang pendek si Mulut Bertudung.
Bahkan keris itu pula berhasil menyentuh pakaian si Mulut Bertudung, hingga lawannya ini mengutukngutuk manakala beberapa bagian pada pakaiannya terobek.
"Kau pandai juga berolah senjata, Ki Sungkana!" seru si Mulut Bertudung dengan nada geram.
"Aku sengaja masih memberi kesempatan kepadamu untuk berlagak!"
"Jangan coba-coba menggertak! Aku masih sanggup melayanimu bertempur sampai malam nanti!" balas Ki Sungkana dengan terus menggerakkan kerisnya.
"Lekaslah minta ampun kepadaku!"
"Apa perlunya?!"
"Supaya hidupmu masih kuampuni!"
"Heh, heh. Pantasnya kau bercakap-cakap dengan anak kecil yang masih ingusan," seru Ki Sungkana, "sehingga mendengar gertakanmu ini, akan gemetar menangis!"
"Terlalu sombong! Coba kau sambut bacokanku ini. Hyaatt," terdengar si Mulut Bertudung berteriak dan tiba-tiba saja pedang pendeknya mematuk ke arah kepala Ki Sungkana.
Hampir saja pedang itu sempat membuat lobang pada kepala Ki Sungkana, jika orang tua ini tidak lekas-lekasnya mengendap ke bawah.
Wess!
"Keparat setan! Gesit juga gerakanmu!" umpat si Mulut bertudung sambil mengejar terus gerakan tubuh lawannya, dan pedangnya laksana kilat yang menyerbu dan menerjang dengan dahsyatnya.
Apalagi seperti si Mulut Bertudung ini yang melandasi setiap serangannya dengan tenaga dalam yang cukup tangguh.
Traangng!
Tiba-tiba saja keris Ki Sungkana membentur pedang lawannya, ketika pedang ini mencoba menikam dari arah samping.
"Huh!" desah Ki Sungkana begitu kerisnya membentur pedang lawan. Terasa telapak tangannya sangat nyeri sebab keris tadi seolah-olah membentur dinding baja yang tebal. Tubuhnya bergetar dan surut beberapa langkah.
Tidak hanya Ki Sungkana, si Mulut Bertudung pun terperanjat ketika saja pedangnya hampir terpelanting lepas. Hanya saja ia agak lebih unggul dari lawannya sebab tubuhnya tak bergeming ataupun tergetar surut.
"Hmm, aku masih lebih unggul dari lawanku!" desis
si Mulut Bertudung seraya tersenyum kecut.
"Akhirnya toh aku pasti dapat merobohkannya!"
"Eaarhh!" Terdengar jeritan dari lingkungan pertempuran antara pembantu-pembantu Ki Sungkana melawan para pengikut si Mulut Bertudung.
Seorang pembantu Ki Sungkana roboh dengan dada sobek, menghamburkan darah segar karena tebasan golok lawannya. Hal ini terang mempengaruhi temantemannya, sehingga sedikit banyak hati mereka tergetar cemas.
Suara gemerincing senjata makin seru dan bungabunga api memercik ke sana-sini menambah gempar dan kalut. Malahan tak antara lama, terdengar pula teriakan parau berbareng korban kedua di pihak pembantu-pembantu Ki Sungkana. Orang tersebut tersungkur dan pundak sempal karena dilanggar golok lawan.
Ki Sungkana makin tak sabar melihat beberapa anak buahnya telah roboh bermandi darah. Akhirnya ia menggenjotkan kaki dan tubuhnya melenting ke arah lingkaran pertempuran yang telah kalut.
Sekali ini, Ki Sungkana melesat tanpa memberi kesempatan. Si Mulut Bertudung mendahului tindakan lawannya. Iapun meloncat ke udara sehingga berpapasanlah keduanya di udara bersamaan kedua senjatanya beradu dengan dahsyatnya.
Traaangng...!
Keduanya hinggap kembali di atas tanah bagai dua ekor jago yang habis melambung dan berlaga di udara. Ki Sungkana tertatih-tatih ke samping, namun ia masih dapat bertahan dan menguasai keseimbangan tubuhnya.
Sedang si Mulut Bertudung tertawa terkekeh-kekeh, manakala kedua kakinya mendarat di tanah dengan mantapnya, seolah kedua telapak kaki itu mencengkeram bumi tanpa bergeming sedikitpun.
Melihat ini, hati Ki Sungkana berdesir pula. Kini ia tahu bahwa setidak-tidaknya si Mulut Bertudung itu berada di atasnya dalam tingkat ilmunya. Ia mempunyai beberapa kelebihan daripada dirinya.
"Hmm, aku harus menyerang secepat kilat," desis Ki Sungkana sambil melesat dengan tusukan kerisnya ke arah tubuh lawan yang masih berdiri kokoh sambil tertawa-tawa.
Si Mulut Bertudung menyadari bahaya ini dan berkelit ke samping, namun tiba-tiba terasalah lengannya seperti disengat lebah. Pedih dan panas. Ketika ia menengok ke samping ternyatalah bahwa lengannya tergores mengucurkan darah.
"Kurang ajar!" geram si Mulut Bertudung penuh kemarahan dan sebentar menyeringai pedih.
"Kau harus menebus lebih mahal untuk kesombonganmu ini, Ki Sungkana!"
"Hiaah!" Tubuh si Mulut Bertudung tiba-tiba saja berbalik dan pedang pendeknya menyambar ke lutut Ki Sungkana yang belum bersiaga sepenuhnya.
Keruan saja gerak naluri Ki Sungkana bekerja cepat. Ia melenting ke udara menghindari sambaran pedang tersebut. Mendadak saja, dalam saat yang singkat dan berbareng, si Mulut Bertudung menggerakkan tangan kirinya ke depan.
Sing! Sinngg! Sinngg! Beberapa sinar hitam menyambar langsung ke arah Ki Sungkana dengan derasnya, tak ubahnya sambaran ular-ular ganas yang menyerang mangsa.
Ki Sungkana tahu hal itu, namun kejadian ini terjadi begitu sangat cepatnya dan tanpa ampun lagi sinarsinar hitam tadi sebagian besar menerkam dirinya!
"Eaaarrrgh...!" jerit parau melontar dari mulut Ki Sungkana ketika terasa bahwa lengan dan bahunya menjadi pedih bukan main. Ia lalu terhuyung-huyung, sementara tangan kirinya berusaha meraba bahu kanan dan lengannya yang kini menjadi panas serasa terbakar dan setengah lumpuh.
"Senjata rahasia!" desis Ki Sungkana ketika jarijemarinya menyentuh benda-benda runcing semacam jarum berukuran kelewat besar bersarang pada daging bahu dan lengannya.
Biarpun rasa sakit mulai menyerang sendi-sendi tulang lengan dan bahunya, Ki Sungkana berusaha buat bertahan diri. Sinar matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap kepada lawannya: si Mulut Bertudung.
"Hah, ha, ha, ha. Bagaimana Ki Sungkana? Cukup nikmat, bukan, senjata rahasiaku itu?!" ejek si Mulut Bertudung seraya menyeringai kepuasan.
Ki Sungkana menggeram marah, telinganya terasa terbakar oleh bara api yang panas. Dengan langkahlangkah pelahan dan terhuyung ia bersiaga kembali untuk serangan terakhir.
"Heh, heh. Hai, bocah-bocah!" seru si Mulut Bertudung kepada para pengikutnya yang lagi sibuk bertempur.
"Jangan kepalang tanggung. Binasakan setiap pembantu dan penghuni rumah Sungkana ini!"
Kemarahan makin memuncak di kepala Ki Sungkana, menyebabkan ia mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melancarkan serangan balasan dengan kerisnya.
Tetapi ia lebih terkejut lagi begitu ia menerjang ke depan, si Mulut Bertudung telah mendahului dengan gerakan pedangnya.
Breettt!
"Aaakkk!" Ki Sungkana terhenyak berdiri, sesaat sesudah lambungnya merasa dingin dan pedih, terobek oleh pedang lawan. Darah panas terasa membasahi kakinya.
Sambil tertatih-tatih ia bersandar pada dinding rumah, sementara kerisnya tercampak lolos dari tangannya yang kini setengah lumpuh. Ia sudah tak mampu berbuat apa-apa dan dirinya telah pasrah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang untuk ajalnya.
"Ha, ha, ha! Begitu lebih baik, Sungkana. Sedotlah udara sore yang terakhir sebelum pedangku ini membelah badanmu!" seru si Mulut Bertudung serta melangkahkan kakinya perlahan-lahan ke arah Ki Sungkana yang bersandar seperti pohon layu tanpa daya.
Tubuhnya terasa makin lemah dan kini tidak lagi mampu bersandar, tapi perlahan-lahan merosot ke bawah untuk kemudian jatuh terduduk sambil menebah lambungnya.
Melihat ini, si Mulut Bertudung semakin mengumbar ketawa berderai mengalun di udara sore. Hatinya semakin puas meski seandainya Arca Ikan Biru itu tidak dijumpainya, toh ia berhasil menumpas Ki Sungkana! Lawannya itu kini telah tak berdaya, tak ubahnya seekor ikan yang kekeringan air, terjelapak menanti ajal. Hanya sorot matanya saja yang masih menatap senjata pedang di tangan si Mulut Bertudung.
Ujung pedang tersebut bergerak-gerak dan semakin bertambah dekat seolah-olah mengiramakan tarian maut, apalagi Ki Sungkana telah sadar bahwa tak ada sedikitpun kesempatan untuk menghindari.
Iapun tahu bahwa para pengikut si Mulut Bertudung telah mengepung rumahnya dengan serapatrapatnya. Bahkan tampak pula olehnya bahwa pintu pagar batu halaman rumah telah pula dijaga oleh empat anak buah si Mulut Bertudung dan menutupnya dari dalam.
Dengan demikian tipis sekali harapan orang luar yang berani menolongnya. Apalagi pintu tersebut terbuat dari kayu yang cukup tebal. Sedang letak rumahnya sendiri terletak jauh di luar kota, jauh dari keramaian manusia sehari-hari.
Kembali ditatapnya pedang lawannya yang sebentar lagi pasti menerkam tubuhnya. Ki Sungkana buruburu memejamkan mata untuk menjaga agar ia tabah menghadapi saat kematian.
Telinganya kini mendengar langkah-langkah yang semakin dekat, diiringi rentetan ketawa yang menggila dan kata-kata kemenangan.
"Haaa, terimalah pedangku ini, Sobat! Hyaat!" Traaangngng!
"Haduuhh!" teriakan sesambat meluncur dari bibir si Mulut Bertudung, manakala sebuah bayangan hitam yang ramping melesat masuk dari arah luar pagar tembok dan langsung menghajarkan tongkat hitam ke sisi pedang pendeknya yang hampir membacok tubuh Ki Sungkana. Si Mulut Bertudung tidak hanya sekedar terkejut biasa tapi terkejut dan luar biasa, sebab hanya dengan benturan itu saja tubuhnya telah terpental dan bergulingan seolah-olah ia telah terlanggar oleh tenaga raksasa yang sukar ditakar kekuatannya.
Dalam saat itu tangannya serasa terbakar dan hampir saja pedangnya terlepas seandainya ia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga untuk mati-matian mempertahankannya.
"Setan! Siapa engkau? Berani turut campur urusanku, huh!" gerundal si Mulut Bertudung untuk menutupi tangan kanannya yang masih kesemutan menggenggam pedang.
"Heh, heh, heh. Jangan berpura-pura, Sobat! Tanganmu merasa kesemutan, bukan?" ujar si penyerang dengan suara nyaring yang tidak lain adalah Tuntari, si gadis bertongkat hitam.
Si Mulut Bertudung berjingkrak kaget mendengar ucapan penyerang. Sungguh tepat ucapan tadi. Ternyata memang jari-jari tangan kanannya masih pegalpegal.
"Hmm, kau mencari mati, hah?!" seru si Mulut Bertudung seraya bersiaga kembali.
"Kaukira, dengan seorang diri akan sanggup menghadapi kami yang sekian banyaknya?!"
"Tak usah banyak cakap! Lihat saja nanti!" seru Tuntari dengan tenangnya. Tongkat hitam di tangannya telah siap.
"Kau gadis sombong! Sayang sekali kalau aku harus membunuhmu! Lekas berlalu dari depan mataku!"
Braaaasss! Daaarr!
Tiba-tiba terdengar benturan hebat.
Si Mulut Bertudung terperanjat bukan main oleh suara benturan yang hebat tadi, dan berpalinglah ia ke arah tembok halaman.
Sedang Tuntari cuma tersenyum kecil saja.
Ketika semua pandangan si Mulut Bertudung dan para anak buahnya tertuju ke arah pintu, dapatlah mereka menyaksikan satu pemandangan yang mengagetkan penuh pesona.
Pintu gerbang kayu tadi sempal dan pecah, sedang keempat anak buah si Mulut Bertudung yang berjaga di situ terpelanting dan tercampak ke atas tanah bagai lembaran-lembaran daun kering, tanpa dapat bangun kembali, kecuali menggeliat-geliat diiringi mulutnya menggerung-gerung kesakitan.
Kemudian di tengah-tengah daun pintu yang telah berantakan itu muncullah seorang bertubuh gemuk pendek, dan masuklah ia ke dalam halaman, dalam langkah-langkah tenang.
Beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang telah bersiaga menyambutnya, menjadi mundur teratur dan bersiap mengepungnya.
"Paman Dunuk!" seru Tuntari keras-keras.
"Jangan tanggung-tanggung menghadapinya! Mereka adalah orang yang kejam dan tidak berperi-kemanusiaan. Berilah hajaran dan jangan kasih ampun!"
Bersamaan teriakan gadis itu, salah seorang anak buah si Mulut Bertudung mencoba menerjang maju seraya menebaskan goloknya ke arah Ki Dunuk.
"Hyaaatt... mampus kau!"
"Hupp!" Ki Dunuk gesit menggerakkan kedua belah tangannya dan tahu-tahu si penyerang tadi tertangkap tangan. Dengan sekali pelintiran tangan, golok tadi terlepas dari tangan si penyerang dan ia bergelinjang manakala tubuhnya tahu-tahu telah diangkat oleh kedua belah tangan Ki Dunuk.
"Kembali ke teman-temanmu!" seru Ki Dunuk sekaligus menggerakkan kedua tangannya ke depan dan tubuh si penyerang tadi tanpa ampun meluncur deras lalu menimpa tubuh teman-temannya yang lain!
Broakk!
"Earrghh!" Si penyerang yang terlempar tadi mendadak menjerit keras sewaktu merobohi temantemannya. Ternyatalah bahwa sebuah golok temannya telah menancap tubuhnya tanpa disengaja! Seketika tubuhnya berkelojotan dan sesaat kemudian matilah ia.
Melihat hal ini, hati anak buah si Mulut Bertudung lainnya menjadi tergetar, namun tak ada pilihan selanjutnya, selain mereka serentak menyerang berbareng ke arah Ki Dunuk.
Sekilas kemudian terjadilah pertempuran dahsyat di dekat pintu gerbang tembok rumah Ki Sungkana. Sementara itu beberapa pembantu Ki Sungkana yang masih hidup segera terjun ke tengah arena pertempuran dan berdiri di pihak Ki Dunuk.
Si Mulut Bertudung menggeram marah, karenanya iapun menerjang ke arah Tuntari dengan pedang pendeknya dan sekali ini ia tak setengah-setengah menumpahkan ilmunya, karena ia sadar bahwa gadis yang menjadi lawannya ini memiliki ilmu yang tinggi.
Pedang pendek si Mulut Bertudung bergerak lebih hebat daripada yang sudah-sudah. Kini bergulunggulung merupakan kilasan-kilasan cahaya yang mengurung tubuh Tuntari.
Sebenarnya untuk menghadapi seorang lawan lebih-lebih seorang gadis saja, tak perlu ia menggunakan ilmu simpanannya itu. Tetapi yang dihadapi sekarang adalah Tuntari, seorang gadis yang telah matang dalam ilmu tatakelahi dan tenaga dalam. Itulah sebabnya, mengapa si Mulut Bertudung dengan serunya menyerang Tuntari tanpa sedikitpun memberi kelonggaran.
Berkali-kali pedangnya terjulur, mematuk ke arah tubuh gadis itu, tapi setiap saat itu pula tongkat hitam di tangan Tuntari bergerak cepat memapakinya.
Kembali si Mulut Bertudung menyumpah-nyumpah, sebab setiap kali pedangnya berbentur, seketika tangannya berguncang kepedihan. Untunglah saja pedangnya tidak terlepas dari jari-jemarinya.
Dari pengalaman itu, maka selanjutnya si Mulut Bertudung selalu berusaha menghindari benturanbenturan langsung dengan senjata tongkat Tuntari, kecuali sentuhan-sentuhan sepintas saja yang ia berani menghadapinya.
--¤¤¦ « BAGIAN IV » ¦¤¤--
Mereka tampak semakin jelas kalau terdesak oleh gempuran Ki Dunuk dan sisa-sisa pembantu Ki Sungkana. Bahkan setelah belasan jurus berlangsung, beberapa orang di antaranya telah toboh terkapar di tanah.
Memang harus diakui bahwa Ki Dunuk itu memiliki tenaga besar. Meskipun badannya gemuk pendek tapi sama sekali tidak mengurangi kelincahannya dalam bergerak. Serudukan tangannya saja mirip dahsyatnya dengan serudukan seekor banteng, sehingga beberapa anak buah si Mulut Bertudung yang terkena telah terpental muntah darah.
Rupanya saja si Mulut Bertudung terpaksa menggunakan cara terakhir, cara di mana ia berhasil merobohkan Ki Sungkana, yakni dengan senjata-senjata rahasianya.
Maka tak antara lama iapun melambung ke atas dengan satu serangan menyambar, laksana seekor garuda, sementara tangan kirinya secara cepat bergerak lincah menebarkan senjata-senjata rahasianya ke arah Tuntari.
"Hiiaah! Mampus kau sekarang!" Traang... taang... taangng!
Ternyata Tuntari tidak kurang gesit dan waspada menghadapi serangan yang demikian tiba-tiba itu. Tahu-tahu tongkat hitamnya telah menjadi dua bagian dan berputar menangkis serangan senjata rahasia dari lawannya.
Bunyi benturan dari tangkisan tongkat gadis itu telah memukul dan mementalkan balik semua senjata rahasia milik si Mulut Bertudung, sehingga hampir saja mengenai kembali kepada pemiliknya sendiri, seandainya si Mulut Bertudung tidak lekas-lekas berputar ke udara.
Tidak hanya itu saja yang mengagetkan si Mulut Bertudung, sebab dengan sekali lirikan saja ia telah tahu bahwa sesungguhnya tongkat di tangan Tuntari tadi adalah berisi sebilah pedang kecil dan panjang!
Gadis inipun menggunakan kesempatan berikutnya. Selagi si Mulut Bertudung hendak mendaratkan kakinya, secepat kilat ia melesat menghadap dengan sambaran tongkat pedangnya.
Wesss Syraattt!
"Aauuhhh!"
Si Mulut Bertudung mengaduh tertahan sebab lengan kirinya tahu-tahu telah terobek oleh mata tongkat pedang lawannya. Darah segar mengucur menetesnetes jatuh di atas tanah.
Terdengar si Mulut Bertudung menggeram saking marahnya. Sekali lagi ia berusaha menerjang maju dengan pedang pendeknya, tapi buat kedua kalinya pula tongkat pedang Tuntari menangkis dengan serunya.
Traangng! "Uuh?!"
Hampir tak percaya si Mulut Bertudung melihat bahwa pedang pendeknya terpental lepas begitu mudahnya. Hal ini seakan-akan menyadarkan bahwa tak berguna lagi untuk melanjutkan pertempuran ini.
Secepat kilat ia memutar tubuhnya untuk kabur, meski akhirnya ia dibuat kaget sebab secara tiba-tiba pundak kanannya seperti disengat lebah! Panas dan nyeri!
Si Mulut Bertudung melirik pundak kanannya, kemudian ke arah lawannya. Kiranya gadis itu telah sekali lagi menggerakkan tongkat pedangnya dan kini pundak kanannya telah terluka kembali!
Sedang Tuntari sendiri cuma tersenyum-senyum tajam sambil menggerakkan tongkat pedangnya ke kanan-kiri, tak ubahnya seorang anak kecil manja yang mengobat-abitkan sebatang lidi permainannya! Sungguh mengagumkan tapi juga mengerikan! Gadis ini yang mempunyai watak keras dan tak mau mengalah tetap bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
"Keparat! Kau lebih beruntung hari ini!" seru si Mulut Bertudung seraya menahan sakitnya dengan peringisan.
"Tapi lain kali aku akan merobohkanmu!"
Selesai berkata demikian, si Mulut Bertudung meloncat ke sisi tembok dengan sisa-sisa tenaganya dan berhasil menggantung pada puncak tembok batu dari halaman itu. Akan tetapi, rupanya gadis yang berwatak keras ini tidak mau begitu saja melepaskan lawannya. Lebihlebih setelah si Mulut Bertudung mengeluarkan ancamannya. Maka iapun melesat mengejar ke arah yang sama dengan ancaman pedangnya.
"Keparat! Kau telah berlaku kejam kepada penghuni rumah ini! Sekarang terimalah hukumanmu!" teriak Tuntari seraya menggerakkan pedangnya.
Sekonyong-konyong, sebelum tongkat pedang Tuntari menyentuh tubuh si Mulut Bertudung, bertiuplah angin santer mengiringi turunnya sesosok tubuh berpakaian serba hitam menggenggam sebatang tongkat panjang yang pada kedua ujung dilengkapi dengan dua buah mata tombak!
"Babo! Babo! Wong denok ayu, jangan kau ganggu orang ini!" seru si pendatang. Ternyata orang ini berperawakan sedang, rambutnya disanggul di atas sedang kumis dan jenggotnya lebat.
Ketika ia datang menimbulkan angin santer sehingga terpaksalah Tuntari meloncat ke samping mengurungkan maksudnya karena terhalang oleh si tokoh pendatang!
"Heei, Ki sanak! Masih termasuk apakah engkau dengan musuhku ini, sampai engkau turun tangan membelanya?!" seru Tuntari dengan geram.
"Heh, heh, heh. Hi, hi, hi. Dia bukan apa-apaku, Wong denok ayu!" sahut si pendatang seraya menggaruk-garuk kumisnya.
"Jika demikian apa perlunya?!"
"Aku butuh uang dan ia pasti bersedia membayarku bila aku membelanya dari seranganmu, Bocah ayu!"
Tuntari terkejut oleh kata-kata tersebut. Sungguh aneh perangai orang ini! Demikian pikir gadis yang bertongkat pedang. Hampir saja ia tak dapat mempercayai kata-kata tadi, seandainya si Mulut Bertudung yang kini hampir berhasil tiba di puncak pagar batu, tidak berteriak keras-keras.
"Haaaiii, Wasi Sableng! Kau selalu membuntuti diriku! Jangan kau berharap akan mendapat uang dari tanganku!"
Sesaat Wasi Sableng agak terkejut namun kemudian ia terkekeh-kekeh dengan tawanya, lalu berkata, "Bagus! Jadi kau lebih menghargai uang daripada nyawamu?!"
"Persetan! Kau boleh mengoceh semaumu!" berteriak si Mulut Bertudung penuh marah, seperti orang gila layaknya.
"Baiklah jika demikian, Anak bandel!" sahut Wasi Sableng seraya memaling ke arah Tuntari dan berkata, "Nah, Bocah ayu! Kau lebih beruntung karena orang yang akan kutolong ternyata tidak membutuhkan pertolongan tersebut. Sekarang kau bebas bertindak, Bocah ayu! Nah, jangan ragu-ragu lagi. Akan kau coblos dadanya? Atau kau tebas sampai putus kedua lengan atau kakinya? Dan bagaimana jika lehernya kau penggal saja, Bocah denok ayu?! Silahkanlah, dia tak bakal sanggup mengelak ataupun menyelamatkan dirinya."
Si Mulut Bertudung terperanjat oleh kata-kata Wasi Sableng yang demikian memberi angin kepada gadis Tuntari. Apalagi jika diingatnya bahwa sebagian besar tubuhnya masih tergantung di sisi tembok bagian dalam.
Dengan demikian, itu merupakan satu sasaran empuk bagi Tuntari yang telah bersiaga dengan tongkat pedangnya. Tampak olehnya bahwa gadis itu mulai melangkah ke arah pagar tembok di mana tubuhnya masih bergelantung.
Seketika keringat dingin mengalir turun dari dahinya dan ia ketakutan setengah mati. Sepintas lalu terbayanglah kematian yang bakal tiba. Mungkin tubuhnya akan terbelah dua oleh tongkat pedang Tuntari yang panjang dan kecil.
Jika sampai ia mati, maka semua barang miliknya tak akan berguna lagi. Juga beberapa kantong uang emas yang ada di rumah, tak akan punya arti apa-apa lagi.
Jadi, apakah salahnya bila ia kehilangan uang beberapa keping di saat segawat ini, demi kelangsungan hidupnya?! Sungguh goblok! Apakah harta lebih berharga daripada nyawa?
Berpikir itu semua, si Mulut Bertudung segera berseru keras-keras, tertuju kepada Wasi Sableng, "Hai, Wasi Sableng! Cegah tindakan gadis itu! Aku bersedia membayarmu. Aku butuh pertolonganmu sekarang!"
Keruan saja Tuntari terkejut oleh hal itu, sehingga untuk sesaat ia menjadi ragu, seolah-olah menantikan Wasi Sableng atas teriakan tawaran dari si Mulut Bertudung.
Wasi Sableng tertawa terkekeh-kekeh kesenangan, dan katanya kemudian, "Ha, ha, ha, ha. Bagus! Mau bayar berapa engkau untuk pertolonganku ini?"
"Lima keping uang emas!" seru si Mulut Bertudung.
"Terlalu pelit kau, Bocah edan!" bentak Wasi Sableng.
"Jika nyawamu cuma seharga lima keping uang emas itu, mungkin gadis inipun sanggup membayar sebanyak itu untuk memperoleh nyawamu!"
"Kujadikan sepuluh keping uang emas!"
"Masih terlalu murah, Sobat!"
"Dua puluh keping!"
"Ha, ha, ha. Tidak! Sekarang kau tahu berapa mahal nyawamu?"
"Jadi berapa maumu? Limapuluh keping?"
"Hah, ha. Aku menghendaki semua uang yang kaubawa sekarang! Jika tidak, maka aku akan membiarkan gadis ini mencabut nyawamu!"
"Jangan! Jangan kau biarkan gadis itu melakukan hal tersebut! Kau boleh mendapatkan semua uangku...!" ujar si Mulut Bertudung seraya mengambil kantong uangnya dengan susah-payah.
Melihat ini, Wasi Sableng manggut-manggut dengan diiringi suara ketawa yang mampu menggetarkan dada siapa saja, kemudian berseru nyaring, "Nah, sekarang lemparkan ke bawah!"
Si Mulut Bertudung segera menuruti perintah Wasi Sableng. Ia melemparkan kantong uangnya ke bawah sambil melirik ke arah Wasi Sableng dan Tuntari yang berada di bawah sana.
"Hyaatt!"
Tiba-tiba Wasi Sableng menggerakkan tangan kanannya menarik kembali ke belakang dan terjadilah satu hal yang hampir sukar dipercaya oleh mata.
Baik si Mulut Bertudung sendiri maupun Tuntari ternganga kagum oleh hal itu, sebab baru sekali inilah mereka menjumpai kejadian seaneh begitu.
Kantong uang si Mulut Bertudung yang meluncur ke bawah, tiba-tiba berganti arah dan melayang dengan cepatnya ke arah tangan kanan Wasi Sableng, seperti tersedot oleh tenaga dalamnya yang cukup hebat!
"Hah, ha, ha. Bagus, bagus! Nah, Bocah denok ayu, sekarang aku telah dibayar olehnya. Maka berarti aku menjadi pembelanya sekarang! Kau tak boleh lagi mengganggunya!" seru Wasi Sableng dengan lantang, mengejutkan si Mulut Bertudung dan Tuntari.
Akhirnya si Mulut Bertudung tersenyum-senyum gembira, sebab dengan begitu ia bakal terlindung dari ancaman gadis bertongkat pedang yang hampir saja mencabut nyawanya.
Sebaliknya dengan Tuntari, ia menjadi marah bukan main dengan sikap dan tindakan Wasi Sableng. Karenanya iapun bersiaga untuk meneruskan maksudnya.
"Wasi Sableng! Jangan kau menggertakku seperti anak kecil. Menyingkirlah dari ancaman pedangku. Biar kubereskan lawanku itu!" seru Tuntari seraya mengancamkan pedangnya ke arah Wasi Sableng karena orang tersebut telah menghadang jalannya.
"Bocah denok ayu! Aku memperingatkan sekali lagi kepadamu. Jangan kau teruskan maksudmu, atau aku terpaksa bertindak terhadapmu," sahut Wasi Sableng seraya tangan kanannya menyimpan kantong uang pemberian si Mulut Bertudung ke dalam bajunya sedang tangan kirinya bersiaga dengan tombak yang berujung dua.
"Keparat! Aku kepingin mencoba kesaktianmu! Hyaatt!" teriak Tuntari seraya melesat ke depan, menerjang Wasi Sableng dengan tongkat pedangnya.
"Huh, kau tak bakal mengalahkan aku, Denok ayu!" seru Wasi Sableng seraya mengegoskan tubuhnya ke kiri sedikit dan loloslah ia dari serangan pertama Tuntari.
Dalam pada itu, si Mulut Bertudung yang kini telah berhasil mencapai puncak pagar batu, menjadi tersenyum-senyum senang karena dirinya sekarang yang menjadi penonton dari adegan pertempuran itu.
Terlihatlah betapa Wasi Sableng selalu berhasil mengelakkan setiap serangan Tuntari dengan mudahnya, seolah-olah tengah mempermainkan seorang anak kecil.
Kendati demikian diam-diam Wasi Sableng mengakui bahwa gadis Tuntari ini adalah calon pendekar terbaik. Kegesitannya sangat mengagumkan meski tenaga dalamnya masih jauh di bawah tingkatnya.
Beberapa saat kemudian. Traangng!
Tiba-tiba tongkat pedang Tuntari menghajar tangkai tombak Wasi Sableng yang melintang di depannya. Keduanya tergetar, lebih lagi dengan kedua sisi senjata yang saling bersentuhan telah mengepulkan asap panas!
Kiranya dua orang itu telah mengerahkan tenaga dalamnya. Namun yang akhirnya paling terkejut adalah Tuntari sendiri, sebab begitu tongkat pedangnya menempel pada tombak Wasi Sableng, terasalah bahwa tenaganya seperti tersedot oleh tenaga dalam lawannya, tak ubahnya sebatang logam yang disedot oleh besi sembrani!
Dengan sekuat tenaga, Tuntari berusaha mengerahkan kekuatannya untuk menarik diri secepat mungkin. Bila sampai terlambat, pastilah tenaganya akan habis terkuras sehingga akibatnya berarti kelumpuhan mutlak pada dirinya!
Keadaan menjadi semakin tegang dan boleh dipastikan bahwa sebentar lagi Tuntari akan roboh dengan tubuh yang lumpuh. Sedang Ki Dunuk yang menyaksikan kejadian tersebut segera berusaha menolong Tuntari, tapi sayang bahwa iapun masih harus menyingkirkan beberapa sisa anak buah si Mulut Bertudung yang berusaha mempertahankan diri.
Rupanya memang Tuntari masih bernasib baik. Mendadak saja satu angin keras menerjang wajah Wasi Sableng, sehingga tokoh yang berpakaian serba hitam ini terdorong ke belakang beberapa langkah seraya berseru kaget.
Dengan demikian terbebaslah gadis Tuntari dari tenaga sedotan Wasi Sableng yang dahsyat itu. Dalam hati Tuntari mengucapkan syukur bahwa dirinya telah terbebas dari bencana.
Sekarang, baik Tuntari, Wasi Sableng sendiri maupun si Mulut Bertudung menjadi terkejut ketika mereka melayangkan pandangnya ke arah tembok pagar batu di sebelah timur. Dari sana terdengarlah getaran ketawa yang menggelegas disertai perbawa dingin yang aneh.
Di sana di atas pagar tembok batu itu, berdirilah seorang laki-laki bertubuh tegap, berkepala gundul, serta mengenakan jubah berwarna kuning.
Pada tangan kirinya tergenggam seuntai tasbeh berwarna hitam, sementara tangan kanannya ditekuk di depan dada dalam sikap abhaya-pasta yang bertujuan menentramkan suasana.
"Sadhu... sadhu... sadhu... semoga kejahatan akan tersingkir dari tempat ini! Aku melihat seorang berilmu sakti mencoba menghancurkan seorang tunas yang masih hijau!" ujar si Jubah Kuning dengan suara tenang tapi menyelusup ke segenap relung-relung hati para pendengarnya.
"Heeii! Kau jangan menggertakku, Gundul!" seru Wasi Sableng dengan sombongnya.
"Apakah kau ingin mencoba kesaktianku, haa?! Dan siapa pula namamu?"
"Berbahagialah orang yang sabar, bijaksana dan mampu menahan nafsu. Aku, Bikhu Gandhara, hanya mohon agar Ki sanak cepat-cepat meninggalkan tempat ini!"
"Tak perlu ngoceh berkhotbah di hadapan Wasi Sableng, Bikhu Gandhara! Kaulah yang seharusnya lekas-lekas menyingkir!" berseru pula Wasi Sableng seraya meloncat marah.
"Hmm, sayang sekali hatimu telah dikuasai oleh kemarahan dan kebencian! Orang yang demikian tidak akan mencapai kebenaran serta ketenangan!"
Wasi Sableng menjadi makin marah oleh kata-kata si Jubah Kuning, maka secepat kilat ia melesat ke arah tembok timur seraya menusukkan tombaknya.
Tapi belum lagi ia mencapai separo jarak mendadak saja Bikhu Gandhara mengibaskan tasbihnya ke depan dan seketika berhembuslah udara dingin dengan kencangnya memapaki loncatan Wasi Sableng, sehingga tokoh ini tergoncang dan terpental balik sejauh hampir dua tombak!
Untunglah bahwa Wasi Sableng masih mampu menguasai dirinya dengan berputar di udara mematahkan tenaga dorong dari Bikhu Gandhara.
"Tobat! Babo! Babo! Hebat benar kesaktianmu, Gandhara!" desis Wasi Sableng seraya mendarat ke tanah dengan sedikit cekakaran dan hampir jatuh.
"Nah, sudah kukatakan, Ki sanak. Kekerasan akan merugikan dirimu sendiri. Karenanya lekaslah menyingkir dari tempat ini dan biarlah suasana ketenangan kembali seperti sediakala! Sadhu... sadhu... sadhu....," demikian ucapan si Jubah Kuning seraya meloncat turun ke dalam halaman dengan gerakan yang sangat ringan, seolah-olah sebatang daun kering yang melayang turun ke atas tanah.
Si Mulut Bertudung yang berada di puncak pagar tembok batu menjadi sangat kaget. Hatinya berdebardebar aneh melihat pertandingan aneh antara kedua tokoh kuat itu.
Sementara di depan pintu gerbang masuk, Ki Dunuk masih terus gigih bertempur. Rupanya saja di antara sisa-sisa anak buah si Mulut Bertudung masih ada yang memiliki ilmu yang cukup tangguh, terbukti bahwa mereka masih dapat bertahan.
Tuntari dapat menarik napas lega meski tenaganya masih belum pulih seluruhnya. Akibat sedotan tenaga dalam dari Wasi Sableng tadi, terasa sendi-sendi tulangnya pada ngilu-ngilu seperti hendak copot. Seandainya pertandingannya melawan Wasi Sableng tadi masih berlangsung, boleh jadi tenaganya akan lumpuh dan tulang-tulangnya retak, ataupun hancur.
Dengan begitu, kedatangan si Jubah Kuning itu sangat menolong jiwanya. Namun ia heran pula bahwa si Jubah Kuning itu belum dikenalnya sama sekali.
Kini ia menatap dengan penuh perhatian ke arah dua orang sakti yang telah berhadap-hadapan. Tampaknya mereka telah bersedia menghadapi setiap kemungkinan.
Hanya saja terlihat jelas dua perbedaan pada kedua tokoh tersebut. Kalau pada diri Bikhu Gandhara tampak adanya ketenangan diri disertai wajah yang sumeh dan cerah penuh kesabaran, sedang pada wajah Wasi Sableng tercermin adanya kemarahan yang meluap, membuat kulit mukanya merah menyala.
"Kau berani membuat malu diriku di hadapan bocah-bocah ini, Setan!" teriak Wasi Sableng.
"Untuk itu kau harus membayar dengan nyawamu!"
"Hmm, sabarlah, Ki sanak!"
Sementara keadaan menjadi tegang, warna merah senja seperti membakar langit di sebelah barat, hingga suasana di situ kian tampak dipenuhi oleh warnawarna api dan kemerahan yang menyala-nyala, seperti marahnya Wasi Sableng terhadap lawannya.
"Kau tak semudah itu menyuruh aku pergi meninggalkan tempat ini, Gandhara!" teriak Wasi Sableng.
"Jadi apa maumu, Ki sanak?!"
"Aku ingin mencoba kepandaianmu!"
"Hmm, masih juga mempertahankan kekerasan," ujar Bikhu Gandhara seraya tersenyum ramah. Satu hal yang benar-benar mengagumkan. Betapa ia dapat menguasai diri dan bersabar mendapat kata-kata kasar dari Wasi Sableng.
Namun kesabaran itu justru membuat Wasi Sableng menjadi lebih berkobar marahnya. Sebab kesabaran Bikhu Gandhara tampak bagai satu ejekan yang menyakitkan hatinya.
"Coba kau terima ini, Gandhara!" seru Wasi Sableng seraya mendorongkan tenaga dalam lewat tangan kanannya ke arah si Jubah Kuning.
Nampak sepintas lalu bahwa dorongan tangan Wasi Sableng ini tidak berarti apa-apa, namun dapatlah selintas terlihat betapa dahsyatnya oleh Tuntari maupun si Mulut Bertudung yang masih terpaku takjub di atas pagar tembok batu.
Begitu tenaga dorongan tadi melintas, beberapa daun tua yang kebetulan tersentuh olehnya seketika menjadi hangus! Akan tetapi si Jubah Kuning tidak menjadi gentar karenanya. Iapun mendorongkan tangan kanannya ke depan dan terlontarlah suatu tenaga dalam yang tidak kalah dahsyatnya.
Desssss...! Suatu asap putih mengepul ketika dua tenaga dalam itu bertemu di udara tak ubahnya bara api yang tersiram seember air.
"Babo, babo! Kowe memang hebat!" umpat Wasi Sableng seraya berjingkrak dan menggaruk-garuk kepala saking marah dan bingungnya. Namun sesaat kemudian ia menggenggam erat-erat tombaknya yang bermata tajam pada kedua ujungnya.
"Tapi aku belum mau kalah!"
Melihat ini Bikhu Gandhara tetap tenang-tenang saja. Kini tangan kirinya melipat ke dada sementara tangan kanannya menggenggam erat tasbih hitamnya, seolah-olah seperti orang yang lagi semadhi memusatkan perhatian.
"Hyaattt!" tiba-tiba dengan teriakan menggeledek, Wasi Sableng melesat ke depan dan menusukkan tombaknya ke arah si Jubah Kuning. Gerakan ini sangat cepat dan sukar ditangkap oleh mata sehingga karenanya, Tuntari terpekik kecemasan.
Serangan ini sangatlah hebatnya. Boleh dipastikan bahwa si Jubah Kuning pasti terhunjam oleh tombak Wasi Sableng yang bergerak begitu pesatnya. Cuma saja Bikhu Gandhara tidak kalah gesit. Diliukkannya tubuhnya ke samping sedikit namun itu sudah cukup buat menghindari sambaran tombak Wasi Sableng.
Siingng....
"Oooss....! Babo! Babo! Keparat. Sanggup pula menghindar, hee?!" serapah Wasi Sableng seraya cepat-cepat menahan dorongan gerak tubuhnya sendiri, sebab jika tidak pastilah tubuhnya bakal menabrak dinding tembok batu di depannya.
Kembali Wasi Sableng memutar tubuh, dan bersiaga kembali dengan tombaknya yang baru saja gagal melakukan tugasnya. Sudah barang tentu ia semakin marah kalang kabut oleh tindakan lawannya.
Kedua belah tangannya kini berpegang erat pada sisi pertengahan dari tangkai tombak tersebut, kemudian diiringi satu bentakan kecil, diputarnyalah tombak tadi dengan cepatnya. Seolah-olah Wasi Sableng kini menggenggam sebuah payung yang selalu berputar di depannya. Sungguh mengerikan bila menghadapi serangan yang demikian. Lingkaran luar dari tombak yang berputar ini tampak berkilat-kilat karena kedua mata tombaknya tersentuh oleh sinar-sinar matahari senja.
Selain menakutkan, putaran senjata Wasi Sableng tadi menerbitkan pusaran angin panas, akibatnya terjadi pergeseran antara udara dengan mata tombaknya yang telah dilandasi dengan tenaga dalam.
Wess... wess... wess...!
"Ha, ha, ha, sekarang hadapilah serangan ini, jika engkau berani, Gundul berjubah!" seru Wasi Sableng beringas. Setapak demi setapak ia menyiapkan jurus serangan kilat.
Sekalipun hatinya berdesir, si Jubah Kuning tetap memperlihatkan ketenangan yang mengagumkan menghadapi sikap lawannya itu.
Inilah yang mengagumkan.
Tuntari diam-diam mencatat peristiwa ini, yang sesungguhnya merupakan satu pelajaran yang bernilai tak terhingga. Seperti ketenangan yang mantap dari Bikhu Gandhara ini, membuat Tuntari semakin kagum.
Ketenangan memang sangat berguna bagi siapapun orangnya, lebih-lebih dalam menghadapi setiap bahaya atau kejadian luar biasa. Dengan ketenangan maka setiap orang dapat lebih jelas menyadari apa yang kini dihadapi. Tentu saja ketenangan tadi dibarengi oleh kewaspadaan diri yang senantiasa siap memberikan tanggapan dalam bentuk apapun, sesuai dengan kebutuhan.
"Heeitt!" Satu teriakan keras meledak keras disusul satu loncatan gesit yang merupakan serangan kilat paling hebat dari Wasi Sableng. Tokoh berpakaian hitam ini melesat seperti angin. Tombaknya berputar mengancam tubuh si Jubah Kuning yang menjadi lawannya.
Kejadian berikutnya sukar dibayangkan. Sanggupkah si Jubah Kuning menanggulangi serangan kilat Wasi Sableng ini? Baik Tuntari maupun si Mulut Bertudung sama-sama berdebar mengikuti perkembangan berikutnya. Boleh dipastikan bahwa pertarungan ini jauh lebih seru.
Wess... claangng! Terdengar satu benturan nyaring, membuat kaget hati siapa saja. Terutama Tuntari, si Mulut Bertudung, dan Wasi Sableng sendiri.
Yang mereka lihat hanyalah Bikhu Gandhara menyampokkan tasbihnya sewaktu tombak Wasi Sableng menerjang dirinya. Sesudah itu si Jubah Kuning kembali berdiri tenang dengan wajah cerah, seperti tidak membayangkan suatu kejadian apapun.
Sedang Wasi Sableng sendiri berdiri terlongohlongoh keheranan, sebab ketika ia menatap senjatanya, tombak itu ternyata telah bengkok melengkung separo lingkaran tanpa bisa digunakan lagi, kecuali hanya berguna untuk menakut-nakuti anak kecil saja.
Meremang bulu tengkuk Wasi Sableng mengalami hal begini. Benar-benar sekarang ia tahu bahwa lawannya yang berjubah kuning itu jauh lebih tinggi tingkatan ilmunya. Dan rasanya ia tak bakal memperoleh kemenangan apapun melawan Bikhu Gandhara, seperti terbukti beberapa kali serangan mautnya terpatah di tengah jalan.
"Babo, babo! Kita sudahi dulu pertandingan ini! Kau boleh berbangga atas kelebihanmu, Gandhara. Akan tetapi tunggulah lain kali. Aku akan menantangmu kembali," teriak Wasi Sableng dengan wajah yang marah bercampur malu, sementara tangannya mencampakkan tombaknya yang rusak ke atas tanah.
"Hmm, aku menyesal harus merusakkan tombakmu, Ki sanak. Tapi apa boleh buat, karena engkau menyenangi kekerasan. Sekarang berlalulah dari depan hidungku, jika engkau masih menyenangi nyawamu. Bikhu Gandhara lebih menyukai kedamaian," ujar si Jubah Kuning dengan kata-kata yang tenang, lembut tapi penuh wibawa.
Tanpa menggubris lagi sebenarnya ia telah merasa kalah dan jerih hatinya. Wesi Sableng lalu menggenjotkan kakinya ke tanah, lalu melesat ke luar dengan melewati pagar tembok batu.
Si Mulut Bertudung tak punya pilihan lainnya, demi Wasi Sableng meninggalkan tempat itu. Maka iapun segera meloncat keluar, turun dari puncak pagar batu dengan mulut bersungut-sungut karena si penolongnya telah dikalahkan oleh si Jubah Kuning.
Sedang sisa-sisa anak buah si Mulut Bertudung yang lagi bertempur melawan Ki Dunuk serta empat orang pembantu Ki Sungkana, secepat kilat telah menerobos keluar pintu gerbang, kabur menyelamatkan diri.
Mereka berlima cepat-cepat mendapatkan Tuntari yang lagi berbicara dengan si Jubah Kuning, Bikhu Gandhara.
Ki Dunuk berlima merangkap kedua tangan lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasihnya.
"Andika telah menolong kami, Sang Bikhu Gandhara. Terimalah ucapan terima kasih yang tak terhingga beserta salam hormat."
"Damai... damai... damai. Semoga kalian selalu dikarunia kebijaksanaan dan kesabaran, para ki sanak," ujar si Jubah Kuning dengan ramahnya.
"Oh, jika Bapak tidak turun tangan, entah apa yang bakal aku alami," desah Tuntari seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Sudah sewajibnya manusia saling tolong-menolong, Angger. Aku kebetulan saja lewat di luar pagar ketika tiba-tiba telingaku menangkap adanya bentrokan senjata. Maka aku cepat-cepat masuk ke tempat ini." Si Jubah Kuning berhenti sejenak seraya menatap ke arah Ki Sungkana yang mengelumpruk kepayahan. Ia mengeluarkan sebuah kantong kecil berwarna kuning dan berkata lagi, "Orang itu saya kira memerlukan pertolongan dengan segera. Nah, gadis yang baik, minumkanlah obatku kepada orang itu. Tenaganya pasti akan segera pulih kembali."
"Terima kasih, Bapak," ujar Tuntari seraya menerima kantong kuning dari tangan Bikhu Gandharapati.
"Nah, Ki sanak semua. Kedamaian telah kembali dan aku minta permisi. Semoga kalian selalu selamat, dan bahagia. Sadhu... sadhu... sadhu...," demikian si Jubah Kuning berkata lalu melesat ke luar meninggalkan halaman rumah Ki Sungkana, dengan melompati pagar tembok batu.
* * *
"Lekaslah, Ki sanak. Kau ambil air minum, agar obat ini segera kuminumkan kepadanya," ujar Tuntari kepada salah seorang dari keempat pembantu Ki Sungkana yang masih hidup.
"Baik, Nona," ujar orang tersebut seraya buru-buru berlari ke dalam rumah guna mengambil air. Sebentar itu pula ia telah ke luar dengan membawa sebuah lodong tanah liat.
Akhirnya Tuntari berhasil meminumkan obat itu ke mulut Ki Sungkana dibantu oleh Ki Dunuk dan seorang lagi. Sedang seorang lainnya telah mengambil selembar kain dari dalam rumah guna membalut lukaluka Ki Sungkana.
Dian lampu minyak kelapa telah pula dipasang, sementara sebuah obor dipasang di dalam halaman, menerangi tempat itu untuk menggantikan sinar senja yang semakin menipis.
Para pembantu Ki Sungkana yang tiga orang sibuk memeriksa korban-korban dari pertempuran. Ternyata dari kedelapan pembantu Ki Sungkana, tiga orang telah tewas dan seorang luka-luka parah. Mereka segera merawatnya baik-baik. Dari pihak anak buah si Mulut Bertudung, tujuh orang telah meninggal.
"Ooh, siapakah Andika yang telah sudi menolongku?" desah Ki Sungkana seraya menatap ke wajah Tuntari.
"Eh, aku seperti pernah melihatmu, Nak."
"Mungkin begitu, Paman. Aku bernama Tuntari, puteri dari Ki Demang Cundraka di Desa Peterongan," ujar Tuntari dengan ramahnya.
"Aah, ya, ya. Aku masih ingat itu. Dan kedatanganmu ini pasti diutus Ki Cundraka, bukan?!"
"Benar, Paman. Aku memang diutus Ayahanda untuk menjemput sebuah benda berharga dari Paman Sungkana. Beliau sendiri lagi berkunjung ke desa lain."
"Baiklah, Angger. Memang ayahmu dulu telah berkata demikian. Jika ia berhalangan pasti akan dikirimnya seorang utusan kemari. Tak tahunya engkau sendirilah, Angger Tuntari," ujar Ki Sungkana.
"Nah marilah masuk ke dalam rumah. Akan kuberikan benda itu kepadamu."
Ki Sungkana kemudian dibantu oleh Ki Dunuk dan Tuntari, dipapahnya masuk ke dalam, sementara keempat pembantu sibuk dengan masing-masing tugasnya.
Mereka bertiga segera memasuki ruangan besar setelah melewati pintu kayu yang tebal. Agaknya saja inilah ruang kerja dari Ki Sungkana.
"Aku tak melihat keluarga lainnya, Paman?!" bertanya Tuntari ketika kesenyapan mencekam tempat itu.
"Itulah yang lebih untung. Mereka tengah berkunjung ke sanak keluarga di tengah kota. Seandainya mereka di rumah, pastilah akan kalang kabut ketika terjadi penyerbuan tadi."
Tuntari mengangguk-angguk.
Ki Sungkana mendekati sebuah tiang kamar yang berukir indah, dan sebentar kemudian tampak memutar salah sebuah sisinya.
Ki Dunuk dan Tuntari menjadi kagum, karena tibatiba sebuah sisi tiang terbuka, merupakan pintu kecil yang terahasia. Ruangan atau relung dalam tiang berukir tadi memang digunakan oleh Ki Sungkana guna menyimpan benda-benda paling berharga. Sebagai seorang saudagar, Ki Sungkana memang patut memiliki tempat-tempat seperti itu.
Tampaklah kemudian Ki Sungkana memungut sesuatu benda dari dalam relung tadi yang merupakan bungkusan kain sutera biru.
Ditunjukkannya bungkusan tersebut kepada Ki Dunuk dan Tuntari, yang telah duduk di atas lantai beralaskan permadani indah. Setelah ia meletakkan bungkusan tadi di atas permadani, maka berkatalah ia, "Angger Tuntari, dengarlah baik-baik segala pesanku sebelum Angger menerima benda ini dari tanganku."
Tuntari dan Ki Dunuk mengangguk penuh pengertian.
"Nah, itu bagus," Ki Sungkana melanjutkan bicaranya sambil membuka bungkusan sutera biru di depannya. Maka terlihatlah sebuah arca ikan yang terbuat dari batu permata biru, lebih kurang sebesar telapak tangan.
"Arca ikan ini sangat penting artinya bagi Demak, dan aku telah sepakat untuk menyerahkannya kepada ayahmu, Adimas Demang Cundraka, yang kemudian akan meneruskannya ke Demak."
Kini Tuntari dapat menyadari betapa pentingnya benda itu bagi kerajaan. Namun sampai saat ini ia belum paham. Dalam hal apakah benda tersebut sampai mempunyai nilai yang sangat tinggi. Apakah karena ia merupakan benda bersejarah, atau sebuah pusaka, barangkali?
Maka tak heran bila si Mulut Bertudung dan anak buahnya berusaha memburu benda ini. Untunglah bahwa kedatangannya sangat tepat, sehingga ia berhasil membela Ki Sungkana dari kekejaman si Mulut Bertudung.
"Angger Tuntari, terimalah benda ini dan jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kau harus membelanya mati-matian. Bila perlu kau harus mengorbankan kepentinganmu guna membela Arca Ikan Biru ini," ujar Ki Sungkana pula.
"Bagaimanakah Angger, apakah Angger keberatan?"
"Sama sekali tidak, Paman."
"Itu bagus. Segala seluk-beluk tentang Arca Ikan Biru ini hanya aku dan ayahmulah yang tahu. Karenanya, berhati-hatilah menjaga benda ini." Ki Sungkana berpaling pula ke arah Ki Dunuk.
"Dan kepada Andika pula, aku berharap agar Andika menjaga Angger Tuntari dengan sebaik-baiknya."
"Itu sudah sewajibnya, Ki Sungkana. Sejak kecil aku dibesarkan oleh orang tua Ki Cundraka bersamasama, sehingga Ki Cundraka sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Demikian pula dengan Angger Tuntari," begitu kata Ki Dunuk seraya menundukkan kepala.
"Syukurlah, Ki Dunuk," sambung Ki Sungkana seraya tersenyum puas.
"Aku sangat menghargai kesetiaan Andika yang sebesar itu."
Suasana hening sejenak ketika Tuntari menerima dan mengamati Arca Ikan Biru di tangannya. Gadis ini tampak meneliti dengan seksama.
"Angger Tuntari dan Dunuk," tiba-tiba Ki Sungkana memecah kesepian, "waktu sangat berguna bagi Andika. Karenanya, lekas-lekaslah kalian sampaikan benda ini kepada Adimas Demang Cundraka."
"Ehh, jadi kami berdua harus meninggalkan Paman Sungkana sekarang juga?" kata Tuntari setengah kaget, begitu mendengar tutur kata Ki Sungkana.
"Benar, begitulah! Saya kira tidak ada pilihan lain," sahut Ki Sungkana pula.
"Bagaimana dengan Andika?"
"Tak perlu Angger cemaskan. Bukankah beberapa orang pembantuku masih ada?" Ki Sungkana menjelaskan.
"Mereka akan mengurus dan merawatku dengan baik."
"Jika kehendak Paman demikian, aku tidak berkeberatan," sambung Tuntari seraya membungkus benda berharga dengan pembungkus sutera biru.
"Dan kami berdua mohon permisi sekarang juga."
"Silahkan, Angger. Simpanlah ia baik-baik dan hatihatilah di jalan," kata Ki Sungkana.
"Keadaanku telah lebih baik daripada tadi. Andika berdua tak perlu khawatir. Yang lebih berguna kalian pikirkan adalah secepat-cepatnya membawa Arca Ikan Biru ini dengan selamat."
Begitulah akhirnya Tuntari dan Ki Dunuk mengundurkan diri dan meninggalkan Ki Sungkana di dalam kamarnya dengan perasaan yang berat, mengingat luka-luka yang diderita oleh saudagar itu.
Mereka berdua segera meninggalkan halaman rumah Ki Sungkana. Keempat pembantu saudagar itupun mengucapkan selamat jalan dan rasa terima kasihnya. Mereka mengantarkan Tuntari dan Ki Dunuk sampai ke pintu gerbang pagar halaman.
Di saat itu pula, Ki Dunuk diam-diam melirik ke arah daun pintu gerbang yang berantakan karena terjangan tenaganya beberapa saat yang lalu. Tersenyum juga tokoh gemuk pendek ini ketika merasakan akibat tindakannya. Tapi hal itu terpaksa dilakukannya, karena itulah satu-satunya jalan bagi dirinya untuk menerobos masuk. Berbeda dengan Tuntari yang sanggup melesat melewati dinding tembok batu untuk masuk ke halaman.
Mereka berdua lalu melangkah ke arah timur, melewati jalan sunyi yang kini telah ditelan malam. Pohon-pohon yang besar di sepanjang tepi jalan ini tak ubahnya raksasa-raksasa malam sedang berjaga dengan ketatnya. Sedang di langit barat, sisa-sisa warna merah senja telah lenyap di balik pepohonan yang telah menghitam pula, menandakan bahwa sang matahari telah tenggelam dan beradu di balik pelukan kaki langit.
Sebentar-sebentar mereka berdua masih sekalisekali menoleh ke belakang, mengawasi bentuk rumah Ki Sungkana yang makin jauh dan mengecil, sebelum akhirnya lenyap di balik pepohonan.
Tuntari tidak perlu khawatir lagi karena ia telah menyimpan bungkusan Arca Ikan Biru ke dalam bajunya, sehingga tak seorangpun yang mengetahui bahwa mereka berdua membawa barang sangat berharga.
--¤¤¦ « BAGIAN V » ¦¤¤--
Hari telah senja, sehingga latihan-latihan keprajuritan telah selesai dan kini halaman luas itu menjadi sunyi senyap kecuali beberapa prajurit yang masih berjaga di tempat-tempat tertentu, seperti pada kedua pintu gerbang.
Di dalam pendapa Balai Ksatryan, diterangi oleh dian-dian minyak, duduklah beberapa orang dengan asyik memperbincangkan sesuatu.
"Hmmm, semuanya telah saya catat, Anakmas," ujar Ki Tambakbayan, perwira paling tua yang duduk di depan Mahesa Wulung. Semua dicatatnya di atas selembar kain dengan cairan tinta, sedang di depannya, tergeletak selembar ikat pinggang kulit dengan gambar tanah Bukit Kepala Singa.
"Jadi jelaslah bahwa Bukit Kepala Singa itu sangat berbahaya bagi kita. Karenanya sangatlah berbahaya untuk menyerbu tempat itu secara langsung."
"Saya telah merencanakan untuk menerobos pertahanan mereka secara diam-diam," sahut Mahesa Wulung.
"Mudah-mudahan hal ini dapat saya rencanakan lebih teliti sebelum maksud itu benar-benar dilaksanakan."
"Ikat pinggang ini boleh kau simpan kembali, Anakmas Mahesa Wulung. Suatu saat pasti sangat berguna bagimu."
"Terima kasih."
"Anakmas masih harus membicarakan hal ini lebih lanjut dengan para Wiratamtama Laut di banjar Jepara," berkata kembali Ki Tambakbayan.
"Namun hal tersebut harus benar-benar engkau rahasiakan, sebab tidak mustahil bila Rikma Rembyak menyebar kaki tangannya untuk mengetahui segala gerak-gerik kita."
Mahesa Wulung mengangguk-angguk mengerti. Sepintas itu juga ia teringat akan pengkhianatan si Gombong yang ternyata adalah kaki tangan dari Rikma Rembyak. (Bacalah Seri Naga Geni 16, 17, Pembalasan Rikma Rembyak dan Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung) Maka sudah selayaknya kalau ia harus lebih berhati-hati, meski nasib manusia berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa.
"Dan Anakmas juga harus tinggal di Demak untuk beberapa waktu, sebab ada hal-hal penting lainnya yang mesti diketahui oleh Anakmas Mahesa Wulung," berkata kembali Ki Tambakbayan dengan suara yang ramah.
"Dengan senang hati, Paman," ujar Mahesa Wulung.
"Kebetulan sekali saya ingin menggembirakan dua orang sahabat yang telah banyak berjasa menolong diriku. Mereka adalah Kakang Gagak Cemani dan Ki sanak Palumpang yang saat ini masih tinggal di rumah Ki Selakriya di daerah Muoro Demak."
"Hmm. yah. Akupun mengucapkan terima kasih kepada Andika, Angger Gagak Cemani," sambung Ki Tambakbayan seraya menatap ke arah Gagak Cemani yang duduk di sebelah Mahesa Wulung.
"Sayang sekali aku belum ketemu dengan Ki sanak Palumpang. Ehh, kapankah Anakmas mengirimkan beberapa prajurit ke rumah Ki Selakriya?"
"Besok pagi setelah orang-orangnya kita pilih."
"Baiklah. Sekarang Anakmas boleh beristirahat
sambil memikir-mikirkan tugas-tugas dan rencana selanjutnya." Akhirnya, sebentar kemudian mereka telah selesai dengan pembicaraannya dan keluar meninggalkan pendapa Balai Ksatryan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Tungkoro segera mengambil kuda-kuda mereka di tempat tambatan. Setelah itu mereka bertiga berpacu ke arah selatan menuju ke tempat bermalam. Sedang Pandan Arum, tinggal di rumah salah seorang keluarga pegawai istana yang masih terhitung keluarga mendiang Empu Baskara.
Namun malam itu terjadilah sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh Mahesa Wulung bertiga. Selagi mereka berpacu ke arah selatan, mendadak saja kuda Mahesa Wulung meringkik-ringkik berjingkrakan seperti terkejut.
Rupanya Mahesa Wulung segera dapat menangkap isyarat kudanya, bahwa ia telah mencium sesuatu yang asing sehingga ia mengeluarkan sikap yang demikian.
"Ada sesuatu yang diciumnya, Kakang!" bisik Mahesa Wulung seraya menarik-narik tali kekang kuda.
"Rupanya ia mencium bahaya!" desis Gagak Cemani.
"Jika begitu, kita terjang saja ke depan!" seru Tungkoro yang tampaknya sudah tidak sabar lagi.
"Daripada kita yang diserang, lebih baik kita mendahuluinya!"
"Sabar, Adi Tungkoro," potong Mahesa Wulung.
"Ada beberapa hal yang kita belum tahu pasti. Apakah kita telah pasti bahwa seandainya ada berapa orang bersembunyi di balik semak-semak bambu di depan kita, apakah mereka bermaksud menghadang dan menyerang kita?!"
Tungkoro terdiam oleh kata-kata Mahesa Wulung. Ternyata memang ia berpikir terlalu keras dan sedikit bernafsu untuk lekas-lekas bertempur.
Tiba-tiba Gagak Cemani memberi peringatan kepada kedua orang sahabatnya, "Sttt. Dengarlah, ada gerakan di balik semak-semak di depan. Bersiap-siaplah dengan senjatamu."
Belum lagi lama Gagak Cemani selesai berkata demikian, mendadak saja dua orang penunggang kuda keluar dari balik semak-semak di depannya, lalu berpacu cepat ke arah selatan.
"Itu dia, orang yang mengintip kita!" seru Tungkoro.
"Mereka memata-matai kita!" ujar Mahesa Wulung
dengan kagetnya.
"Kita harus berbuat sesuatu!"
"Kejar mereka!" teriak Gagak Cemani seraya menderapkan kudanya ke arah selatan, disusul oleh Mahesa Wulung dan Tungkoro.
Sebentar saja terjadilah kejar-mengejar ke arah selatan antara Mahesa Wulung bertiga dengan kedua pengintai.
Kedua orang asing itu ternyata pandai mengendarai kudanya. Mereka berpacu seperti dua orang gila yang dikejar setan. Terlebih lagi sewaktu Mahesa Wulung berteriak menyapanya, mereka menjadi semakin cepat memacu kudanya.
"Heei! Siapa kalian? Tunggu!"
Debu dan batu-batu kerikil bertebaran oleh terjangan-terjangan kaki-kaki kuda mereka, mengaburkan pandangan. Namun hal itulah yang membuat kejarmengejar itu menjadi semakin seram dan mendebarkan.
Tanpa terasa, mereka semakin jauh menginjak daerah selatan. Tepat di saat itu pula, Mahesa Wulung bertiga berhasil mendekati kedua orang asing di depannya.
"Hiaah!" seru Mahesa Wulung dan Gagak Cemani berbareng seraya meloncat dari punggung kudanya untuk menerjang kedua orang di depan.
Keduanya bergerak sangat cepat sampai-sampai Tungkoro tidak begitu jelas melihat gerakan mereka, sebab tahu-tahu Mahesa Wulung dan Gagak Cemani telah menerjang kedua orang buronan itu sampai terpelanting jatuh dari punggung kudanya. Sedang kedua sahabatnya itu sendiri tampak oleh Tungkoro mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan lincahnya, tak ubahnya dua ekor bajing yang meluncur dari atas pohon.
Kendatipun demikian, Mahesa Wulung menjadi kaget pula bila mengetahui dua buronan tersebut segera berdiri tegak sesudah mereka bergulingan di atas tanah berbatu-batu ketika terjatuh dari punggung kudanya.
Bahkan tidak itu saja kekagetan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, sebab begitu kedua buronan tadi berdiri, segera menyerang dengan golok di tangan yang telah terhunus.
Akan tetapi lawan-lawan yang harus mereka hadapi adalah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, dua pendekar yang telah lulus dari beberapa gemblengan.
Hanya Tungkoro yang tetap duduk terpaku di atas punggung kudanya, seolah penonton yang menyaksikan dua pasang jago aduan lagi berlaga di gelanggang.
Pertarungan tersebut berlangsung seru tapi tidak sampai mencapai dua puluh jurus, seperti yang terlihat kemudian bahwa Mahesa Wulung melancarkan tebasan telapak tangan tepat menghajar pergelangan tangan kanan dari lawannya.
Prakk!
"Aduuhh!" seru lawan Mahesa Wulung kesakitan berbarengan goloknya tercampak lepas. Orang ini kemudian berdiri setengah kaku sambil mendesis-desis menahan pergelangan tangan kanannya yang seolaholah remuk.
Sedang Gagak Cemanipun bertindak dengan cepatnya. Kedua ujung jari tangan kanannya secara gesit menotok tengkuk lawannya, membuat orang ini seperti disengat kala dan tahu-tahu goloknya runtuh ke tanah sementara tubuhnya terasa kaku-kaku.
"Ampun... aduh! Ampun, Tuan!" rintih kedua orang tersebut dengan ketakutan.
"Jangan... jangan sakiti "
"Baik! Tapi lekas katakan. Apa maksudmu bersembunyi di balik pepohonan ketika kami lewat!" bentak Gagak Cemani dengan tajamnya kepada kedua orang tawanan itu.
"Ka... kami tidak sengaja, Tuan."
"Bohong! Kau jangan mengelabuhi kami! Kalian pasti memata-matai kami bertiga!" ujar Gagak Cemani.
"Ti... tidak "
"Kalian ingin kubikin lumpuh sama sekali?!"
"Jangan, Tuan. Jangan "
"Sebab itu katakan cepat! Kalian datang dari manakah?" tanya Gagak Cemani lebih garang.
"Bab... baik... eh... kami... kami "
"Lekas katakan, dan kami akan mengampuni kalian berdua!" ujar Mahesa Wulung pula.
"Kalian pengikutpengikut siapa?"
"Kami... kami "
Wuuss! Plaakk! Plaakk! "Aarrgghh."
Tiba-tiba saja bertiup angin santer dibarengi dua benturan keras disusul kedua tubuh tawanan itu menggeliat kesakitan dan menjerit, untuk kemudian roboh ke tanah dengan masing-masing punggungnya berbekas telapak tangan kemerahan!
"Jejak Telapak Iblis!" desis Mahesa Wulung.
"Yang dilontarkan dengan pukulan jarak jauh," seru Gagak Cemani menyambung seraya menatap ke arah sekeliling. Bulan tiga perempat memancarkan sinar peraknya membuat tempat di situ cukup terangnya untuk dilihat oleh mata.
Mahesa Wulung tidak membuang waktu. Naluri dan otaknya bekerja cepat. Kalau kedua orang korban itu roboh menghadap ke arah barat sedang luka-luka mereka pada punggung, maka pastilah penyerangan itu datang dari arah timur. Dan memang di sana Mahesa Wulung melihat adanya sebuah semak pohon ilalang yang cukup lebat.
Maka seketika Mahesa Wulung melancarkan pukulan jarak jauh ajaran Pendekar Bayangan ke arah semak ilalang tersebut. (Bacalah Seri Naga Geni ke 6 dan ke 8, Munculnya Pendekar Bayangan dan Keruntuhan Netra Dahana)
Ssttt... Braasshh!
Bagai diterkam angin prahara, semak ilalang tadi tergoncang dan sebagian di antaranya terbetot sampai ke akar-akarnya, lalu berhambur ke udara.
Mendadak saja, satu bayangan hitam melesat keluar dari balik semak-semak ilalang untuk kemudian terus kabur ke arah selatan dengan gerakan secepat kilat, diiringi ketawa berderai berkepanjangan.
Tungkoro yang masih berada di punggung kuda menjadi berdiri bulu tengkuknya, seolah-olah ia baru saja menyaksikan hantu yang berlari.
Hampir saja Mahesa Wulung tak percaya melihat peristiwa tersebut. Buru-buru pendekar wiratamtama ini melancarkan pukulan jarak jauhnya yang disebut "Pukulan Angin Bisu" ke arah bayangan tadi. Blaasshhh!
"Heeitt?" si bayangan menjadi berseru kaget, tapi dengan gesit ia melenting berputar di udara, menghindari serangan bisu ini hingga lewat di bawahnya dan selanjutnya ia kabur dan lenyap di pepohonan daerah selatan.
Sekali lagi Mahesa Wulung bermaksud mengejarnya, tapi Gagak Cemani segera menahannya seraya berkata, "Tahan, Adi Wulung! Kukira orang tadi cukup jerih terhadap kita. Jaraknyapun cukup jauh sehingga lebih banyak kemungkinan untuk tidak berhasil! Di lain saat pastilah kita akan menemukannya. Kita akan mulai memburu jejak telapak iblis!"
Mahesa Wulung segera dapat memahami hal itu.
"Dan lagi," demikian Gagak Cemani melanjutkan bicaranya, "masih banyak tugas-tugas penting yang mesti Adi Mahesa Wulung lakukan bagi kepentingan yang lebih besar."
"Terima kasih, Kakang Cemani. Aku yakin bahwa orang tersebutlah yang bernama Tangan Iblis!" ujar Mahesa Wulung.
"Akupun mengira demikian."
"Terbukti seperti bekas pukulan telapak tangan pada punggung kuda korban ini," ujar Mahesa Wulung seraya memperhatikan kedua korban.
"Tak berbeda dengan bekas luka di dada Ki Selakriya dahulu."
"Dan dia telah membunuh kedua orang ini, agar tidak berbicara apapun. Besar kemungkinan mereka adalah anak buahnya sendiri!" Gagak Cemani berkata.
Tungkoro pun segera mendekat dan turun dari kudanya untuk kemudian ikut meneliti korban-korban tersebut. Ternyata Tungkoro pun dapat mengenal bekas pukulan telapak tangan itu.
"Bagaimana dengan kedua korban ini?" bertanya Gagak Cemani seraya menatap ke wajah Mahesa Wulung dan Tungkoro, seakan menantikan jawaban.
"Hmm..., tinggalkan saja di sini. Dalam perjalanan pulang, akan kita cari rumah penduduk terdekat, agar mereka mengubur kedua korban ini," ujar Mahesa Wulung.
"Saya kira, hal itu cukup baik, Kakang Wulung," Tungkoro menyahut serta sekali lagi melempar pandang ke bawah.
"Hei, lihat, Kakang. Sebuah kantong uang agaknya!" Tiba-tiba Tungkoro menunjuk sesuatu di dekat kedua korban itu, serta memungutnya.
"Yaa, benar. Sekantong uang!"
"Bawalah saja, Adi Tungkoro. Nanti akan kita berikan kepada penduduk yang menguburkannya," Mahesa Wulung berkata, lalu mulai menyiapkan kudanya.
"Sekarang marilah kita kembali."
Tak antara lama, mereka bertiga telah berpacu kembali ke arah utara, menempuh jalan yang tadi dilaluinya. Dari kejauhan terdengarlah bunyi himbauan burung hantu, memilukan hati dan menyelusup di antara celah-celah pepohonan.
* * *
Dalam pada itu, jauh di sebelah selatan, berloncatanlah sesosok bayangan manusia dengan gerakangerakan ringan tak ubah belalang lagi berkejaran.
Dari satu batu ke batu, dari pohon ke pohon, kedua kakinya bergerak melesat berganti-ganti, menandakan betapa ia memiliki ilmu peringan tubuh dan loncatanloncatan yang baik.
Sambil berloncatan itu, terdengarlah satu gerundalan dari mulutnya dalam nada marah dan jengkel, "Tak kusangka aku menjumpai orang yang memiliki tenaga pukulan sedemikian hebat, sampai-sampai mampu menjebol semak ilalang ke akar-akarnya. Huh, terpaksa aku harus kabur, karena memang belum waktunya aku mengadu tenaga dan kesaktian dengan dia!"
Orang ini terus meloncat-loncat ke arah selatan dan sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, ke arah mana Mahesa Wulung hampir menggempur dirinya dengan pukulan Angin Bisu.
Hatinya masih merasa panas dan mendongkol. Kalau saja ia menuruti amarahnya, rasanya ia mau melabrak hancur lawannya itu. Hanya saja ia merasa belum waktunya berhadapan langsung dengan Mahesa Wulung.
Ketika orang ini menghampiri sebuah pohon beringin tua yang besar iapun berhenti dari loncatannya. Matanya menyapu ke segenap penjuru dan sebentar kemudian iapun bersuit nyaring.
Seketika berloncatanlah belasan sosok tubuh manusia dari balik lipatan-lipatan akar beringin raksasa tadi, lalu menyambut kedatangan orang ini dengan membungkuk hormat.
Seorang berlengan satu lalu maju ke depan seraya berkata hormat, "Guru, agaknya Andika mengalami sesuatu?"
"Benar, Jimbaran! Aku terpaksa membunuh dua orang di antara anak buahku sendiri, karena mereka hampir membuka rahasia tentang diriku. Jelasnya, mereka hendak berkhianat!"
"Sudah sepatutnya mereka mendapat hukuman dari Tangan Iblis," geram Jimbaran, murid utama dari Tangan Iblis yang hanya berlengan kanan saja. Sedang tangan kirinya telah terpenggal putus ketika bertempur melawan Tawes di tanah Gilimanuk, di pulau Dewata pada beberapa waktu yang silam.
"Dan satu hal lagi, Jimbaran. Baru saja aku mendapat serangan yang cukup hebat dari seorang lawan yang tadi telah menangkap kedua orang anak buahku itu!" kata Tangan Iblis sambil mengepal-ngepalkan tangan.
"Satu waktu aku ingin berhadapan dengan orang ini!"
"Aku berharap, Andika dapat mengalahkannya, Guru," sambung Jimbaran.
"Kami semua bersedia membantu Andika untuk hal ini."
"Bagus, Jimbaran. Tapi ada tugas lebih penting dari Kakang Rikma Rembyak yang harus kita kerjakan dan inilah yang harus pertama-tama kita laksanakan, sebelum soal-soal kecil lainnya," begitu kata Tangan Iblis.
"Malam ini kita tak ada kerja lain. Suruhlah orangorang kita."
"Baik, Guru," sahut Jimbaran seraya meninggalkan Tangan Iblis untuk melaksanakan perintahperintahnya.
Sebagian dari anak buah Tangan Iblis kembali ke rongga-rongga batang pohon beringin tua itu untuk beristirahat. Enam orang tampak berjaga-jaga di beberapa tempat, sedang Tangan Iblis sendiri melesat ke atas pohon dan hinggap di atas cabang pohon bagaikan seekor kelelawar hinggap.
Di situ tersedialah tumpukan daun-daun ilalang yang dianyam tebal bagaikan kasur untuk tempat tidur bagi Tangan Iblis, pemimpin dari rombongan tersebut.
Sebentar kemudian tampak sepi pohon beringin tua itu, seakan-akan membayangkan satu keangkeran yang mengerikan seperti kebanyakan orang percaya bahwa beringin tua yang sebesar itu pasti ditempati oleh hantu-hantu, jin setan yang suka mengganggu manusia. BAGIAN VI
Angin siang bertiup cukup santernya di sepanjang sungai yang mengalir di sebelah barat kota Asemarang. Jauh di daerah selatan dari sungai ini, terdapat daerah perbukitan batu-batu karang yang kelihatan angker.
Di situ terlihatlah sisa-sisa sebuah kerangka perahu besar yang konon kabarnya terdampar dari hempasan gelombang. Sebuah jangkar raksasa berkarat dapat terlihat di situ pula, merupakan pemandangan tragis dari sisa-sisa pengalaman dan riwayat sebuah perahu.
Agak ke selatan, di celah lekukan bukit-bukit, terdapatlah sebuah rumah yang pintu gerbangnya terpahat dari batu-batu karang.
Menilik dari pintu gerbang itu serta dua orang penjaga yang tinggal di situ, dapat dikira-kira bahwa tempat itu adalah milik orang yang kaya atau paling tidak berpengaruh.
Memang sebenarnyalah demikian. Rumah berpintu gerbang batu itu adalah milik seorang saudagar kaya bernama Arya Demung. Selain terkenal sebagai saudagar, Arya Demung pun tergolong orang yang berilmu dan sakti.
Hal itu tak perlu diherankan, sebab iapun termasuk salah seorang tokoh persilatan di daerah itu. Namanya cukup terkenal dan ditakuti oleh orang luar maupun oleh para pengikutnya sendiri.
Di siang itu udara cukup panas, seolah-olah membakar wajah-wajah manusia yang lagi berkumpul dan duduk-duduk di halaman rumah yang dirindangi oleh pohon-pohon sawo.
Bintik-bintik keringat menempel di dahi Arya Demung yang tampak kemerahan. Ternyata bukan sekedar disebabkan panasnya siang, tapi oleh suasana yang baru saja dilaporkan oleh si Mulut Bertudung dengan nada setengah takut.
"Goblok! Jadi gagal juga kau mencari benda tersebut?!" gereneng Arya Demung jengkel.
"Benda seperti Arca Ikan Biru tersebut sangat penting artinya bagi kita. Maka sungguh celaka jika benda itu sampai jatuh ke tangan orang lain!"
"Kami sudah menjatuhkan Ki Sungkana, Kakang Arya. Tetapi mendadak saja datanglah seorang gadis bersama seorang gemuk pendek yang langsung menghajar kami," demikian si Mulut Bertudung menjelaskan sekali lagi.
"Menurut katanya, ia bernama Tuntari dan si gemuk pendek itu disebut Ki Dunuk!"
"Hmm, mereka adalah orang-orangnya Ki Demang Cundraka, sahabat karib dari Sungkana!" desis saudagar Arya Demung.
"Tapi kau tadi menyebut nama Wasi Sableng itu pendekar yang angot-angotan, suka bertindak semau diri. Bukankah ia dapat kau ajak agar berpihak dengan kita?!"
"Memang saya bermaksud demikian, Kakang Arya Demung. Tetapi ketika Wasi Sableng dikalahkan oleh Bikhu Gandharapati, ia telah kabur tanpa kuketahui arah tujuannya dengan membawa sekantong uangku!" ujar si Mulut Bertudung.
"Jadi sebenarnya Wasi Sableng itu dapat kita gunakan," sambung Arya Demung.
"Orang seperti dia, yang suka hidup royal dan bermewah-mewah, pasti banyak membutuhkan uang dan kita dapat mencukupinya, bukan?"
"Benar, Kakang Arya Demung."
"Sebab itu, engkau harus secepatnya berusaha mencari Wasi Sableng dan katakan kepadanya, bahwa ia kuundang ke rumahku," kata Arya Demung seraya mengeluarkan sekantong uang dari balik bajunya.
"Berikan ini kepada Wasi Sableng sebagai hadiah persahabatan dari Arya Demung."
Dengan tergopoh, si Mulut Bertudung menyambut kantong uang tersebut dari tangan Arya Demung.
"Akan kucari Wasi Sableng sampai ketemu dan kuajak kemari."
Arya Demung manggut-manggut puas mendengar kesanggupan si Mulut Bertudung, si pendekar yang menjadi tangan kanannya.
"Hati-hatilah terhadapnya, sebab ia orang yang aneh dan sukar ditebak kata hatinya. Perlakukan dia dengan baik, karena tugasmu harus dapat mengambil hatinya."
Belum lagi si Mulut Bertudung mengundurkan diri, mendadak saja datanglah seorang penjaga pintu gerbang dengan mengantar seorang tamu berperawakan kecil, berikat kepala hijau tua dan yang lebih mengherankan adalah matanya yang cekung dengan sinar tajam.
"Haaa, kau sudah datang, Klenteng!" seru Saudagar Arya Demung kepada si tamu yang berkulit agak hitam.
"Terimalah salam hormatku, Ki Demung!" berkata si tamu yang bernama Klenteng seraya melangkah memberi hormat kepada tuan rumah.
Si Mulut Bertudung tidak menjadi heran dengan kedatangan si tamu yang bermata cekung dan berkulit hitam itu, sebab ia telah mengenalnya beberapa waktu yang lalu, ketika Klenteng, yaitu salah seorang pengikut Arya Demung, berhasil menyelusup dan bekerja sebagai tukang sapu di rumah Ki Sungkana.
"Bagaimana, Klenteng? Adakah berita baru yang sangat penting?!" ujar Arya Demung menanyakan kabar yang diharap-harapkannya dari tamu ini.
"Ki Demung boleh percaya, apa yang akan kuceritakan ini membuat persoalan Arca Ikan Biru menjadi lebih jelas," demikian kata Klenteng memulai jawabannya.
"Ya, ya. Itulah yang aku tunggu. Berita itu sangat kunanti-nanti darimu, Klenteng!" gumam Arya Demung seperti tidak sabar.
"Nah, coba katakan cepat!"
"Setelah penyerbuan Sobat si Mulut Bertudung ke rumah Ki Sungkana, ternyata Arca Ikan Biru tersebut telah diserahkan ke tangan Tuntari dan Ki Dunuk!"
"Haaahh?! Celaka! Benda itu sangat berguna bagi kita! Kau tahu?!" gereneng Arya Demung sambil melotot.
"Sekarang kau harus menyelidiki kembali tentang benda itu!"
"Baik, Ki Demung. Yang jelas, benda tersebut pasti akan berada di tangan Demang Cundraka!" sahut Klenteng.
"Ya, itu memang jelas! Justru hal inilah yang harus kau selidiki dengan segera! Setelah Arca Ikan Biru itu berada di tangan Demang Cundraka, selanjutnya akan berpindah ke tangan siapa lagi?! Nah, inilah tugasmu!"
"Hua, ha, ha, ha. Ki Saudagar! Ki Saudagar Demung! Keluar lekas!" begitulah tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah pintu gerbang diiringi ketawa yang menggetarkan udara siang.
Sudah barang tentu Arya Demung, Klenteng, dan si Mulut Bertudung menjadi terkejut bukan main, sebab baru sekali inilah mereka mendengar adanya kelancangan yang melewati batas, seperti teriakan-teriakan yang memanggil nama Arya Demung tadi. Ini merupakan satu kejadian yang aneh dan luar biasa.
Nama Arya Demung merupakan nama yang ditakuti oleh setiap penduduk di sekitar tempat ini. Mereka akan selalu berhati-hati untuk menyebut nama itu, tidak seperti teriakan yang baru saja terdengar sangat gegabahnya!
Maka sudah boleh dipastikan bahwa si peneriak tadi pastilah orang yang mencari kesulitan. Kalau bukan berarti tantangan, maka berarti pula kesengajaan bunuh diri.
Karena sesungguhnya, Arya Demung sangat keras menjaga namanya, bahkan tidak segan untuk turun tangan bagi setiap orang yang berani mengucapkan namanya secara sembrono. Beruntunglah kalau orangnya hanya ditampar, sedang biasanya pastilah akan disobeknya mulut orang yang malang itu.
Arya Demung bersama orang-orangnya serentak berdiri dan berlari-lari ke arah pintu gerbang. Malahan segenap penghuni rumah itu pada bertebaran keluar, laksana sebuah sarang lebah yang kena usik, hingga semua penghuninya marah-marah.
Sementara berlarian ke arah pintu gerbang, si Mulut Bertudung berkata kepada Arya Demung, "Kakang Arya, jika tidak keliru suara tersebut adalah suara Wasi Sableng. Aku masih bisa mengenalnya!"
"Jika demikian, itu merupakan keuntungan bagi kita! Ayo, kita sambut orang yang bermulut besar itu!" seru Arya Demung sambil berlari pula.
Sebentar saja mereka telah sampai di pintu gerbang batu dan dua orang penjaga serentak melapor kepada Saudagar Arya Demung.
"Kami telah berusaha mengusirnya, Ki Demung. Tetapi orang itu membandel dengan berteriak-teriak seperti orang gila!"
"Biarlah aku yang menghadapinya," ujar Arya Demung dengan nada gusar, lalu melempar pandang ke arah halaman di luar pintu gerbang batu karang.
Di sana terlihatlah seorang berpakaian hitam-hitam sedang membrakoti seruas batang tebu manis. Sikap orang ini kelihatan ceroboh, apalagi sambil menikmati tebu manis tadi, ia duduk menongkrong di atas sebongkah batu.
"Heei, Ki Saudagar! Saudagar Demung! Keluarlah lekas. Aku sangat haus!" demikian teriak si baju hitam tanpa menggubris bahwa di tengah pintu gerbang telah terpagar oleh manusia. Merekapun telah bersenjata pula di tangannya.
"Diaammm! Mulutmu bisa kusobek nanti!" seru Saudagar Arya Demung dengan mendongkol dan marah.
"Ehh?! Heh, he, he, he. Sudah keluar orangnya?! Heh, he, he, he. Mana yang bergelar Arya Demung?" demikian ucapan cerewet terus meluncur dari mulut si baju hitam.
"Aku kepengen ketemu dengan orangnya... heh, he, he, he."
Mendengar kesembronoan orang asing ini, tiba-tiba majulah salah seorang anak buah Arya Demung dengan golok terhunus. Teriakannya kemudian, "Keparat, orang asing. Sebelum majikanku bersedia dan sudi menyambutmu, terlebih dahulu sambutlah golokku ini!"
"Heeit! Cari gara-gara kau! Niih!" teriak orang asing berbaju hitam sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah si penyerang tadi.
Tanpa terelakkan, ruas tebu yang barusan dibrakoti seketika melesat dan langsung bersarang ke pelipis si penyerang tersebut, hingga orangnya roboh berkelojotan bermandi darah, mengerikan!
Hampir semua mulut yang menyaksikan kejadian itu pada melongo di samping hati mereka merasa keder pula. Orang asing yang dikira sepele itu, ternyata memiliki ilmu tinggi, seperti terbukti mampu menimpukkan seruas tebu sampai menancap di pelipis salah seorang dari rekannya.
"Heh, he, he, he. Sambutan yang cukup manis. Tapi sayang, kepalanya terpaksa kusumbat dengan ruas tebu. Mudah-mudahan ia dapat berpikir lebih baik kelak! Dengan begitu baru pantas ia menghadapi Wasi Sableng!" demikian kata si baju hitam yang tidak lain adalah Wasi Sableng.
"Ayo, siapa penyambut yang berikutnya?"
"Sabarlah, Ki sanak!" kata Arya Demung seraya maju ke depan.
"Hmm. Heh, heh. Siapa pula engkau?! Tampaknya engkau lebih berhati-hati dari orang itu!" Wasi Sableng bertanya serta sesaat menatap ke arah si penyerang yang sial dan malang. Beberapa orang anak buah Arya Demung segera menggotong tubuh si korban dan dibawanya masuk ke dalam pendapa.
"Harap Sobat tidak bergusar dengan sambutan orang tersebut," sahut Arya Demung.
"Akulah orangnya yang engkau cari! Aku bernama Arya Demung."
"Babo! Babo! Toblas..., eh, toblas! Memang engkaulah yang aku cari-cari!" ujar Wasi Sableng seraya menggosok-gosok kumisnya yang penuh serabut tebu.
"Hari amat panas! Kau dengar teriakanku tadi? Aku butuh minuman dan uang! Lekas berikan kepadaku!"
"Wasi Sableng! Aku telah memaafkan kelancanganmu! Tapi perkara uang dan minuman, tidak akan semudah itu engkau memperoleh dari tanganku!" sahut Arya Demung kemudian.
"Kecuali engkau dapat mengalahkanku!"
"Sangat setuju!" seru Wasi Sableng seraya bersiaga dengan jurus pembukaan yang sangat aneh! Betapa tidak mengherankan, bila Wasi Sableng cuma berdiri mengangkangkan kaki dengan tangan kiri bertolak pinggang, sementara tangan kanan menggaruk-garuk kepala tak ubahnya orang yang sakit gatal.
"Ayolah mulai, Saudagar Arya Demung!"
"Awas, Wasi Sableng! Jika engkau kalah, harus kau cium ujung kakiku ini!" teriak Arya Demung dengan hati panas. Diiringi geraman marah, tahu-tahu ia telah melesat ke depan, menyerang Wasi Sableng sambil berseru, "Sambut ini jika mampu!"
Mereka yang melihat gerakan ini menjadi terkesiap, ketika tubuh Arya Demung meluncur pesat seperti anak panah lepas dari busurnya, disertai angin yang santer.
Wesss....
Tiba-tiba....
"Haahh?" desah kekagetan meluncur dari mulut Arya Demung, manakala Wasi Sableng menggeliat kecil dengan gerakan sederhana, namun membuat terkaman mautnya telah meleset!
Akan tetapi Arya Demung pun bukan orang sembarangan. Sebelum ia terlanjur kena dorong tenaganya sendiri, cepat ia memutar dirinya dan melancarkan satu tendangan kaki yang dahsyat.
Wasi Sableng terperanjat buat sesaat. Cepat-cepat ia menangkiskan tangan kirinya yang ditekuk ke dalam, menyongsong dupakan kaki Arya Demung sebelum serangan tersebut benar-benar menyentuh dadanya.
Tangkisan dari Wasi Sableng ini dapat diketahui pula oleh Arya Demung, namun ia tak berusaha merobah gerakannya, agar kakinya tetap membentur tangan lawannya. Bagaimanapun juga ia telah bertekad untuk mencicipi ilmu dan kepandaian Wasi Sableng, si pendekar angot-angotan.
Maka terjadilah satu benturan yang tidak ringan dengan suara bergebruk keras dan menggetarkan setiap dada yang mendengarnya.
Duukk!
Arya Demung terpaksa berjumpalitan untuk mendaratkan kakinya yang terasa panas bagai dibakar oleh api, sementara Wasi Sableng yang menangkis, hampir saja terpelanting!
Untunglah ia masih mampu menguasai keseimbangan tubuhnya, sehingga akibatnya ia cuma jatuh terduduk di tanah sambil mulutnya bergerundalan, "Hengng! Boleh juga tenaganya. Demi anggur minuman selodong dan uang sekantong, aku akan bertarung mati-matian untuk mengalahkannya!"
Sampai di sini selesailah Seri Naga Geni "Jejak Telapak Iblis", dan akan menyusul Seri Naga Geni berjudul "ARCA IKAN BIRU". Lebih mengasyikkan dan mengikat pembaca untuk segera mengetahui apakah sebenarnya Arca Ikan Biru itu, dan bagaimana dengan tokoh-tokoh yang mengincarnya.
TAMAT
INDEX NAGA GENI | |
Laki Laki Di Atas Bukit --oo0oo Arca Ikan Biru |