Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung
tanztj
August 16, 2016
INDEX NAGA GENI | |
Pembalasan Rikma Rembyak --oo0oo Bukit Kepala Singa |
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo
--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--
Angin sore bertiup santer sekali dan matahari perlahan-lahan telah bergeser rendah ke cakrawala barat dengan warna membara.
"Heh, heh, heh. Kau mau membela Pakerti?" ujar Surokolo sambil mencibir.
"Hah, bocah itu telah buntung dan pasti akan segera mampus kehabisan darah. Itulah hukuman bagi siapa yang berani menentang kekuasaan Rikma Rembyak!" Surokolo melotot ke arah Mahesa Wulung dengan pandangan tajam, lalu berkata pula, "Dan kau! Segera pula akan mendapat hukuman dari tanganku ini!"
"Jangan coba menakut-nakuti aku!" berkata Mahesa Wulung.
"Kalian berdiri di tanah pemerintahan Demak, dan hukuman selalu menantimu!"
"He, kau ganti mengancamku, hah?! Keparat!" Surokolo mengumpat dengan marahnya.
"Kau kira pemerintahan Demak berlaku atas kami?! Bah! Kami toh bukan orang-orang Demak, karenanya kami bebas berbuat sekehendak hati!"
"Kakang Surokolo. Apakah ia akan kita biarkan untuk mengoceh terus-menerus?" demikian seru seorang berwajah bengis yang mempunyai luka membengkak pada kening atasnya.
"Tidak, Bedor," sahut Surokolo.
"Sebentar lagi akan kita ringkus si Mahesa Wulung ini. Kaulah nanti yang akan pertama-tama menangkapnya. Bukankah engkau dulu mengatakan demikian kepadaku?"
"Benar, Kakang Surokolo," sambung Bedor seraya tangannya mengusap-usap bengkak di kepalanya.
"Memang itulah yang aku inginkan."
"Tapi ingatlah baik-baik, Bedor!" berkata Surokolo memperingatkan si Bedor.
"Orang ini harus kita tangkap, hidup atau mati. Jangan sampai ia dapat meloloskan diri. Yang penting, kalian harus bisa meringkusnya dengan cepat!"
"Ohh tentu, Kakang Surokolo. Kali ini aku akan lebih berhati-hati."
"Bagus, Bedor!" berkata pula Surokolo.
"Kau boleh membuat bengkak di atas kepala Mahesa Wulung, sebagaimana ia telah membuat bengkak kepalamu."
Bedor menjadi bertambah merah matanya, dan katanya kemudian, "Yah, dia telah melemparku di Asemarang beberapa waktu yang lalu. Bengkaknya masih membekas sampai hari ini. Kini kedua tanganku telah gatal dan siap untuk meremas kepalanya!"
"Heh, jadi kamulah pengintai gelap yang telah kuhadiahi dengan kepalan batu itu?!" sela Mahesa Wulung setengah mengejek, membuat Bedor menggeram marah.
Sriiiinng!
Bedor tanpa menunggu lebih lama telah menghunus pedangnya dan memberi aba-aba.
"Adi Salung dan Balur! Siapkan teman-teman untuk meringkus bergejil ini!" Bedor segera melesat lebih dulu ke arah Mahesa Wulung dengan sebuah tebasan maut!
Untungnya Mahesa Wulung telah waspada. Serangan yang tiba-tiba, dahsyat tapi juga terburu nafsu ini, dapat dihindarinya dengan melangkah ke samping. Berbareng saat itu juga kaki dan tangan Mahesa Wulung bergerak cepat. Kaki kanan mengait dan tangan kiri menyabet ke pundak si Bedor.
Wessst! Buug! "Eaarrhh!"
Bedor tersungkur jungkir-balik di tanah dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Mahesa Wulung masih berdiri dengan tenangnya bagaikan tonggak baja yang berakar di tanah, sementara pandangannya masih menatap kepada si Gombong yang kelihatan ragu-ragu dan sedikit bingung.
"Gombong, sekali lagi kuperingatkan mumpung belum kasip. Sadarlah atas kesesatanmu selama ini!" ujar Mahesa Wulung memperingatkan si Gombong.
"Insyaflah dan berdiri di sampingku! Aku akan memaafkan segala kesalahanmu."
Oleh kata-kata Mahesa Wulung, semua pandangan mata lalu tertuju ke arah Gombong.
Malahan oleh kata-kata Mahesa Wulung tadi, Gombong seperti dilemparkan terhadap satu angan-angan dan lamunan tentang kedudukan sebenarnya dari dirinya sendiri.
Memang ia mengakui, bahwa sebelum dirinya memasuki dan mengabdikan dirinya di Demak sebagai seorang prajurit kawal, ia telah banyak berhutang budi kepada Surokolo. Dan itu tidak sedikit yang ia dapatkan. Uang, bahan makanan dan masih banyak halhal lainnya yang telah dilimpahkan Surokolo kepada dirinya. Maka mengingat itu semua, sudah sepatutnya bila ia membalas budi kepada Surokolo.
Dan untuk itu, ia telah bersedia menuruti perintah Surokolo untuk memancing Mahesa Wulung datang ke tempat itu!
Kendatipun demikian, dalam sebuah relung di hatinya, Gombong terpaksa mengakui penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan itu, sehingga kata-kata Mahesa Wulung yang menyebutkan bahwa dia telah berkhianat terhadap atasannya, adalah benar belaka! Terus terang saja Gombong mengakui dalam hati.
"Yah, itu memang benar! Aku telah berkhianat kepada Pendekar Demak ini, kepada Wiratamtama atasanku." Dan ia tahu jelas hukuman apakah yang bakal diterimanya. Dipancung atau digantung sampai mati, itulah yang akan didapatnya. Begitulah kesadaran Gombong lebih terbuka kini.
Bahkan ia teringat akan sumpah prasetya yang diucapkannya ketika ia mulai memasuki alam keprajuritan, bahwa ia akan setia kepada Kerajaan Demak dan pemerintahannya. Setia kepada segenap pimpinan dan atasannya.
Sumpah prasetya tadi dahulu diucapkan di depan rekan-rekannya dan kini wajah rekan-rekannya itu seolah-olah terbayang kembali satu demi satu di rongga matanya, dengan mengejek dan menghinanya karena ia telah mengkhianati sumpah prasetya tadi!
Gombong menjadi malu kepada dirinya sendiri. Malu kepada setiap benda yang ada di sekitarnya, karena mereka itu seolah-olah telah melontarkan kutukan dan umpatan atas pengkhianatannya.
Dalam pada itu Bedor telah bangkit. Mulutnya mengeluarkan geram marah, apalagi ketika Mahesa Wulung menyapanya.
"Heh, heh. Masih berani?!"
Semakin marah si Bedor. Cepat ia memungut kembali pedangnya dan bersiap menyerang kembali ke arah Mahesa Wulung. Sekonyong-konyong gerakannya terhenti oleh bentakan Surokolo.
"Tahan! Aku tak ingin orang ini mempermainkan anak buahku! Biar aku sendiri yang menyelesaikannya. Ki Rikma Rembyak tentu akan senang memperoleh hasil jerih payahku ini!"
"Bagus! Itulah yang lebih kusenangi! Aku lebih senang langsung menghadapi yang benggolan macam tampangmu ini, daripada menghadapi tikus-tikus kecil sebangsa Bedor itu!" ejek Mahesa Wulung dengan siasat memancing kemarahan lawan-lawannya dan itu rupanya berhasil, sebab tahu-tahu Surokolo telah melesat, menerjang dengan pukulan maut ke arah dada Mahesa Wulung.
"Hiaaaat! Jebol dadamu, laknat!" Weer!.....
Pukulan Surokolo menimbulkan suara berdesau, seribut angin puyuh melanda lawannya.
Tetapi sekali lagi Mahesa Wulung telah bersiaga menangkis pukulan tersebut.
Blaaaarrr!
Mahesa Wulung tergeser surut beberapa langkah untuk kemudian jatuh terduduk dengan pandangan mata berkunang-kunang. Sedangkan Surokolo terpental cekakaran ambruk di tanah sambil meringis-ringis.
Namun sungguh hebat orang ini! Bertepatan Mahesa Wulung mulai berdiri, iapun meloncat bangkit seraya tertawa-tawa menggelegar.
"Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kali inilah aku mendapatkan seorang lawan yang pilih tanding. Ayo, Mahesa Wulung, bersiaplah untuk serangan-serangan berikutnya! Heeit!"
Surokolo tak menunggu lebih lama lagi. Secepat kilat ia meloncat, menyerang dengan jurus-jurus mautnya ke arah lawannya yang telah bersiaga pula.
Begitulah, sekarang mereka terlibat dalam perang tanding yang dahsyat. Surokolo diam-diam telah mulai mengetrapkan segala ilmu simpanannya dan selanjutnya ia telah bertekad untuk mencurahkan dan memeras segala ilmunya dalam batas kemungkinan yang ada, dalam menghadapi Mahesa Wulung. Disadari oleh Surokolo, bahwa Mahesa Wulung adalah seorang pendekar yang namanya cukup menggetarkan setiap dada gerombolan hitam dan lawan-lawannya. Dengan tegangnya, Bedor mengikuti perkelahian itu. Demikian pula dengan Salung, Balur, Gombong dan segenap pemimpin dan atasannya.
Gombong seperti tersadar dari mimpinya dan mendapati dirinya telah terlibat dan terjerumus dalam keadaan yang rumit dan gawat! Dapatkah ia memperbaiki dirinya?
Kepada Wiratamtama Mahesa Wulung yang seolaholah telah terkepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya. Wajahnya lalu tunduk ke bawah, seperti merenungi bumi dan menebak, berapa butir pasir yang ada di bawahnya itu.
"Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!" bentak Surokolo keras-keras.
"Tak perlu kau banyak omong dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah kenyataan! Kini kau berhadapan langsung dengan Surokolo! Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar dan tahu kini, heei?!"
"Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan memang aku tengah mencari-carimu untuk membuat perhitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pakerti!" ujar Mahesa Wulung.
"Pakerti?! Hah, bocah itu telah cedera dan mungkin akan segera mampus kehabisan darah. Itulah hukuman bagi siapa yang berani menentang Rikma Rembyak!" teriak Surokolo sambil melotot.
"Dan kau! Segera pula akan mendapat hukuman dari tanganku!"
Orang-orang lainnya tak lepas mengikuti setiap jurus dan gerak dari kedua pendekar yang lagi bertarung itu.
Di sebelah utara awan mendung mulai mengumpul dan di langit yang suram mulai muncul kilat yang bersambungan. Sejalan itu pula, tampaklah pertempuran antara Mahesa Wulung dan Surokolo makin mendahsyat. Apalagi Mahesa Wulung telah pula menggunakan pedangnya ketika ia melihat bahwa Surokolo pun telah menghunus belatinya yang berlekuk dan berpamor beras wutah.
Gombong dan rekan-rekannya dibuat terpukau oleh pertarungan itu. Kedua pendekar tersebut mampu bergerak lincah, seperti dua ekor burung sikatan, tapi sekali waktu juga segarang dua ekor harimau yang saling menerkam.
Tiba-tiba saja Surokolo mencabut sesuatu dari balik bajunya, dan begitu dikebutkan, maka terkembanglah sebuah jala yang bening dan gemerlap di tangan lawannya. Keruan saja Mahesa Wulung menjadi kaget dan lebih kaget lagi bila jala itu telah mulai menyerang dirinya. Dengan terkaman-terkaman dan sambaran yang hebat seperti cakar raksasa, jala di tangan Surokolo tadi selalu mendesaknya. Bahkan ia tak habis heran, bila tebasan-tebasan pedangnya tak mampu menyobek jala itu.
"Heeiit!" Mendadak saja Surokolo melenting dan kemudian menyambar Mahesa Wulung dengan kedua senjatanya. Detik itu Mahesa Wulung telah siap menangkis dan tahu-tahu jala Surokolo telah begitu cepat meluncur dan menerkam dirinya.
"Aaukh!" desis Mahesa Wulung ketika kulit dagingnya yang tersentuh oleh tali-temali jala tadi menimbulkan rasa pedih dan mengalirlah rasa yang aneh! Mahesa Wulung berontak, namun tiada faedahnya sama sekali. Rasa letih, malas dan mengantuk yang dialirkan oleh tali-temali jala tersebut telah menerkam tubuh Mahesa Wulung dan membuatnya lemas dan tak berdaya sama sekali! Serentak itu pula pengikut-pengikut Surokolo meringkusnya.
"Heh, he, ha, ha, ha. Kutangkap kau sekarang, monyet! Dan inilah pembalasan dari Rikma Rembyak. Tentu beliau akan senang menerimamu. Karenanya menurut sajalah, supaya kami tak berlaku kasar kepadamu!" ujar Surokolo.
"Wheh! Ternyata cuma sedemikian kekuatan Mahesa Wulung ini, Kakang Surokolo," berkata Bedor sambil bertolak pinggang di samping Surokolo.
"Dengan kekuatanmu saja ia telah dapat kita ringkus. Apalagi jika dia berhadapan sendiri dengan Ki Rikma Rembyak, pastilah sedari tadi telah terpukul mampus!"
Kemarahan terpancar dari sinar mata Mahesa Wulung yang menatap dengan tajamnya ke arah Surokolo dan para pengikutnya. Mereka telah berdiri mengelilinginya tak ubahnya para pemburu yang telah berhasil menangkap binatang buronannya.
"Heh, heh, ha, ha. Lihatlah pada diriku, Mahesa Wulung!" berkata Surokolo kembali.
"Terjerat tak berdaya di dalam jaring seperti ikan. Sekali-sekali jangan mencoba untuk memutus tali jala yang terbuat dari bahan serat istimewa. Percuma saja, dan mungkin hanya senjata seampuh Kiai Pleret atau Kiai Sengkelat yang sanggup menyobeknya!"
Mahesa Wulung menggeram marah, meskipun dirinya telah terjerat dalam jaring yang merupakan jala itu. Yang ia tak habis heran adalah getaran aneh yang dipancarkan oleh tali-tali jala ketika menyentuh badannya. Rasa letih dan mengantuk telah menyerangnya membuat tubuhnya seperti lumpuh di segenap sendi tulang-tulang dan ototnya.
"Kau boleh ketawa sekarang, Surokolo! Ketawalah sepuasmu, agar kelak engkau tak perlu lagi ketawa jika berhadapan sekali lagi dengan diriku!" berkata Mahesa Wulung dengan lantangnya.
Surokolo mengerutkan dahi oleh kata-kata Mahesa Wulung yang kelewat berani tadi. Sejenak kemudian Surokolopun tersenyum lebar seraya berkata, "Heh, setelah dirimu terjerat dalam jala wasiatku ini, apakah engkau memastikan akan berhasil lolos kembali?!"
"Memang demikianlah kata hatiku ini!" sahut Mahe sa Wulung tegas.
Si Bedor rupanya saja sudah tidak dapat menahan geram hatinya oleh kata-kata Mahesa Wulung yang pernah melukainya itu. Maka berkatalah dia, "Keparat! Mahesa Wulung gila! Masih berani membuka mulut besarmu, hah! Bagaimana Kakang Surokolo, apakah akan kita biarkan saja musuh ini?!"
"Balaskan sakit hatimu, Bedor! Itu aku ijinkan!" sambung Surokolo.
"Asal saja engkau jaga, agar ia tidak mati cuma-cuma di sini, sebab ia harus mati di tangan Ki Rikma Rembyak sendiri!"
Serentak kedua mata si Bedor menjadi berkilat-kilat saking gembiranya.
"Terima kasih, Kakang Surokolo. Hari ini aku akan membalaskan sakit hatiku kepada Mahesa gila itu!"
"Kakang Bedor," kata si Balur pula, "bolehkah aku membantumu?"
"Ooo, itu usul yang bagus, Balur," sahut Bedor.
"Bantulah aku dengan sepuas hatimu. Juga Adi Salung dan lain-lainnya boleh membantuku pula."
"Heh, nyatanya kalian adalah pengecut-pengecut kotor yang memuakkan!" teriak Mahesa Wulung.
"Kalian cuma berani terhadap lawan-lawan yang telah tak berdaya. Apakah kau masih mengingat kejadian yang baru berselang, Bedor? Kau telah jungkir balik di tanah olehku. Di saat itu jika aku mau membereskanmu, tentulah telah sedari tadi kulakukan! Tapi itu tak perlu, sebab musuh utamaku adalah Rikma Rembyak dan tokoh-tokoh andalannya seperti Surokolo itu!"
"Ah, edan kowe! Masih berani mengoceh, ya? Terimalah ini, hiiiah!" Bedor dengan sebat meloncat dan kepalan tangannya menghajar dagu Mahesa Wulung. Seketika itu pula, tubuh si pendekar tamtama Demak terjengkang dari duduknya dengan teriakan tertahan. Bedor tidak berhenti sampai di situ, sebab begitu di lihatnya Mahesa Wulung berusaha untuk bangun, tiba-tiba ia telah melancarkan tendangan kaki ke punggung Mahesa Wulung, sehingga sekali lagi pendekar Demak inipun terjerembab kembali ke tanah.
"Aaaghhh!"
Tidak bisa si Balur tinggal diam melihat hal ini. Secepat kilat iapun melancarkan tendangan kakinya ke lambung Mahesa Wulung. Begitu pula Salung beraksi dengan pukulan-pukulan berat ke tubuhnya, hingga beberapa kali terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ataupun keluhan pendek dari mulut Mahesa Wulung yang kini telah mengucurkan darah akibat siksaan mereka itu.
Pada saat tubuh Mahesa Wulung menjadi bulanbulanan dari pukulan dan tendangan pengikut-pengikut Surokolo, si Gombong menjadi bergetar hatinya. Betapapun ia semula telah bersedia untuk menjebak dan menangkap Mahesa Wulung, tapi sama sekali ia tak menduga bahwa keadaan akan menjadi berkembang sedemikian buruknya.
Tambahan lagi, dalam dada si Gombong terjadi gelora perasaan yang bercampur-baur. Antara kewajibannya sebagai anggota gerombolan Ki Rikma Rembyak dan kesetiaannya sebagai prajurit kawal dari Demak. Pergulatan perasaan antara kejahatan dan pengkhianatan melawan kebaikan dan kejujuran.
Oleh sebab itu tak heran bila Gombong berdiam diri mematung, menatap rekan-rekannya yang tengah menghajar Mahesa Wulung.
Makin lama Gombong menjadi tak senang melihat perbuatan mereka itu, dan mendadak saja ia telah meloncat ke depan, ke arah Bedor dan kawan-kawannya berada. Dalam pada itu, si Bedor dan orang-orang lainnya yang lagi sibuk tidak melihat adanya satu bayangan yang meloncat ke arah mereka. Tahu-tahu setelah bayangan itu begitu dekat dan berseru dengan suara yang mengagetkan.
"Berhenti! Kalian pengecut busuk!"
Bedor, Salung dan Balur serta beberapa orang lainnya segera dapat mengenal suara itu, dan mereka menjadi terlongoh keheranan, sebab bayangan tadi tidak lain adalah si Gombong!
Kekagetan mereka tidak sampai di situ saja, karena sebelum mereka menyadari tentang maksud si Gombong yang sebenarnya, mendadak saja kawannya yang bertubuh kekar dan bermata sipit ini telah menggerakkan kedua tangannya menyampok ke kiri dan ke kanan.
Buuk! Praak! Plaak!
Baik Bedor, Salung maupun Balur terjengkang roboh di tanah dengan perasaan kaget yang tak terhingga sambil melotot memandang ke arah Gombong yang berdiri di hadapan mereka. Sedang orang-orang lainnya terpaksa mundur ke belakang dengan herannya pula.
Bedor masih terduduk seraya menghapus darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya yang terluka oleh pukulan si Gombong. Begitu pula keadaannya dengan si Balur yang mengelus-elus pelipisnya yang bengkak berdarah ataupun Salung yang menutup hidungnya dengan kedua belah tangannya karena mengucurkan darah.
"Oooh, kau sudah gila, Kakang Gombong?!" seru Balur dan Salung. Berbareng keduanya meloncat bangkit serta menghadap ke arah Gombong.
"Bukan aku yang gila, tapi kalianlah!" ujar Gombong dengan lantangnya, sementara Surokolo yang masih agak bingung mengawasi saja dari tempatnya tanpa berbuat sesuatu apa.
"Keparat! Kau membela tawanan ini, Kakang Gombong? Kau ternyata orang yang bermuka dua dan merupakan musuh dalam selimut!" umpat Balur serta berpaling kepada Salung, berkata mengajak sahabatnya ini.
"Ayo, Salung. Kita bereskan sekali si Gombong ini!"
Selesai berkata, mereka berdua segera melolos goloknya, dan kedua orang ini cepat menerjang ke arah Gombong. Senjata mereka menebas dan menusuk dengan gerakan lincah, tetapi sangat ganas!
Wess! Sreetttt! Sreet!
Demikianlah golok-golok si Balur dan Salung bergulung dan berputar mengurung Gombong yang tanpa takut meloncat ke sana-ke mari seraya menangkis senjata mereka beberapa kali.
Surokolo belum berbuat apa-apa melihat pertarungan ini. Pada pikirnya, pastilah Bedor bertiga akan segera dapat menyelesaikannya.
Sesungguhnya Bedorpun telah bangkit lalu menggenggam pedangnya dan terjun ke dalam lingkaran pertempuran yang kelihatan makin seru.
Mahesa Wulung diam-diam mengikuti juga pertempuran itu. Meski tubuhnya sakit-sakit dan wajahnya penuh luka berdarah, tapi dengan seksama ia menyaksikannya.
Pertempuran keempat orang itu terus menghebat dan tiba-tiba pada jurus ke limabelas, Gombong melancarkan permainan puncak dari ilmu pedangnya ke arah lawan-lawannya.
Beruntunglah bahwa pada detik itu Bedor sempat berkelit dan meloncat ke samping, sedang Salung dan Balur agak sial nasibnya karena ia tidak begitu cepat. Mata pedang si Gombong dengan gesitnya mematuk dada Salung dan ketika ujung pedang itu menyerong ke bawah, sempat pula menebas putus ikat pinggang si Balur.
Surokolo terkejut melihat hal ini. Demikian pula dengan Bedor serta kawan-kawan lainnya. Mereka melihat, betapa Salung menebah dadanya yang terluka mengucurkan darah sambil meringis kesakitan.
Namun begitu pandangan mata mereka sampai pada Balur, hampir saja mereka tak dapat menahan ketawanya, karena celana dan kain si Balur melorot lepas ke bawah dan menumpuk pada ujung kakinya.
Merasa bahwa tubuh bagian bawahnya tak tertutup sama sekali, si Balur menjerit kaget bercampur malu. Kemudian cepat-cepat ia memungut kembali kain dan celananya lalu terbirit-birit lari ke balik semak pohon bakau.
Surokolo tak bisa lagi membiarkan Gombong berbuat semaunya, maka cepat-cepat ia melompat ke depan Gombong sekaligus menghunus pisau belatinya yang berlekuk itu. Serunya.
"Gombong, kau telah bertindak kelewat batas! Terimalah ini! Hiiaaatttt!"
Gombong sedikit terkejut melihat belati Surokolo memagut ke dadanya, namun segera ia memutar pedangnya seperempat putaran guna menangkis serangan senjata Surokolo.
Traaak!
Benturan kedua senjata terjadi. Dalam saat yang sama pula, tangan kiri Surokolo dengan dahsyatnya menerjang ke dada si Gombong, membuat orang ini terguncang ke belakang seperti dihempaskan oleh topan yang mengamuk. Tanpa berdaya, Gombong mencelat ke belakang beberapa langkah.
Akan tetapi, Gombong dengan beraninya telah bersiaga dan siap kembali menerjang ke depan. Sayanglah bahwa ia tak melihat sesosok tubuh yang bergerak di belakang tubuhnya.
Hanya tahu-tahu ia merasakan sebuah sambaran benda tajam pada punggungnya dan kemudian terasalah sesuatu yang panas mengalir membasahi punggung.
Sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya bahwa Bedor berdiri dengan menggenggam pedang yang ujungnya telah basah oleh darah segar.
Kini tahulah ia, bahwa Bedor telah menyerang dan melukai punggungnya! Sambil menggeram marah, Gombong bersiap untuk mengamuk dengan sekuat tenaganya. Agak sayang kiranya, bahwa belum lagi Gombong beranjak, Surokolo telah menerjang dengan belatinya lebih dahulu.
Blesss! Claap! "Eearrhhh!"
Ujung belati berpamor beras wutah milik Surokolo itu telah menghunjam dalam-dalam ke dada Gombong disusul oleh darah segar memuncrat keluar.
"Mampus kau, pengkhianat!" seru Surokolo serta mencabut kembali belatinya dari dada si Gombong.
Tak ubahnya sebuah patung, tubuh Gombong sesaat berdiri kaku, lalu bergoyang-goyang. Pedangnya lalu terlepas jatuh di tanah. Matanya yang mendelik menahan sakit itu, tiba-tiba menatap ke arah Mahesa Wulung yang tergolek di tanah dalam jeratan jala.
Dengan langkah terhuyung-huyung Gombong mendekati Mahesa Wulung, dan tepat di dekatnya, Gombong segera roboh dengan tubuh berlepotan darah.
"Tuan... Wira... Tam... tama... Mahesa Wulung," ujar Gombong terputus-putus kepada Mahesa Wulung yang terbaring di sampingnya.
"Aku tak... dapat berbuat banyak."
Mahesa Wulung tersenyum haru oleh kata-kata Gombong yang diseling oleh batuk-batuk sesak tadi. Jawabnya, "Kau telah berbuat lebih banyak, Gombong. Anda telah berlaku jantan!"
"Sayang... aku tak... dapat lagi menolong Tuan." Gombong berkata kembali.
"Semoga... Tuhanlah... yang akan menolong Tuan."
"Tak usah... kuatir, Gombong," sambung Mahesa Wulung pula.
"Aku pasti akan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka."
"Apakah Tuan sudi memaafkan segala kesalahan dan perbuatanku yang sesat ini..., Tuan?"
"Yah. Aku akan memaafkanmu, Gombong," berkata Mahesa Wulung.
"Semua kesalahanmu aku hapus dan aku maafkan."
"Dan apakah aku akan mati sebagai prajurit kawal yang baik..., Tuan?" tanya Gombong sambil terengahengah.
"Ya, ya. Itu benar, Gombong," sambut Mahesa Wulung.
"Kau akan tewas sebagai prajurit yang baik!"
"Teri... ma... ka... sih, Tuan... aaakhhh!" Gombong mengakhiri kata-katanya berbareng kepalanya terkulai layu bagaikan sebatang pohon yang ditebang. Matilah sudah si Gombong dan tubuhnya tergolek di samping Mahesa Wulung.
Beberapa orang segera menolong Salung yang terluka dan mengobatinya, sementara itu Bedor telah dipanggil oleh Surokolo untuk menerima perintah-perintah berikutnya.
"Siapkan perahu layar kita, Bedor! Cepat!" perintah Surokolo.
"Matahari telah mencium cakrawala barat dan kita harus selekasnya meninggalkan pantai ini!"
"Baik, Kakang Surokolo," sahut Bedor seraya lari ke tepi air dan memberitahu teman-temannya akan perintah dari Surokolo tadi.
Beberapa orang segera kelihatan bergegas menyiapkan sebuah perahu layar yang tersembunyi di balik pohon-pohon bakau.
"Ha, ha, ha. Sayang bukan, bahwa Gombong tak berhasil menolongmu?! Sekarang dia telah mampus! Sebentar lagi engkau kuhadapkan ke depan Ki Rikma Rembyak di sarangnya!" ujar Surokolo kepada Mahesa Wulung.
"Kakang Surokolo," berkata Balur, "bagaimana dengan Mahesa Wulung ini? Apakah jaring jala ini kita lepas sekarang?"
"Jangan sekarang, Balur. Nanti saja di dalam perahu. Kalian tak perlu repot-repot. Lempar saja tubuhnya ke dalam perahu," demikian perintah Surokolo.
Sekonyong-konyong, setelah mereka menyalakan obor-obor, terdengar suara berdesir di sebelah selatan, membuat mereka terperanjat.
Tepat di sebelah selatan muncullah sesosok bayangan manusia, begitu juga dari arah tenggara dan barat daya. Ketika cahaya obor menyentuh wajah mereka, segera Balur dapat mengenal satu di antara mereka.
"Kakang Surokolo," desis si Balur seraya menunjuk ke arah tokoh yang datang dari selatan, "itulah Gagak Cemani dan kawan-kawan Mahesa Wulung lainnya!"
"Siapkan senjata kalian!" kata Surokolo kepada si Balur, Bedor dan beberapa orang pengikutnya yang berada di sebelah belakang.
"Jangan bergerak! Kalian telah terkepung!" seru Gagak Cemani dengan lantang.
"Dan bebaskan kembali sahabat kami Mahesa Wulung itu!"
Suasana menjadi hening sejenak. Tetapi Surokolo yang berotak licin ini tiba-tiba membungkuk dan mengacungkan belatinya ke dada Mahesa Wulung disertai tertawanya yang terkekeh-kekeh.
"Heh, he, heh. Jangan coba menakut-nakuti kami! Lihatlah sahabatmu ini. Jika kalian bergerak ke arah kami, maka nyawa Mahesa Wulung ini akan terbang oleh senjataku!"
Gagak Cemani serta kedua bayangan yang tidak lain adalah Tungkoro dan Pandan Arum seketika tertegun dari gerakannya. Mereka terpaksa menghentikan langkahnya untuk menyerang Surokolo karena ancaman maut yang tertuju kepada Mahesa Wulung benarbenar sangat gawat.
"Nah, itu bagus," kembali berkata Surokolo kepada Gagak Cemani.
"Kalian tentu ingin sahabatmu ini baikbaik saja, bukan?! Karenanya, biarkan kami meninggalkan pantai ini dengan tenang!"
Melihat ketiga sahabatnya itu ragu-ragu oleh ancaman Surokolo, Mahesa Wulung segera pula berseru kepada Gagak Cemani.
"Kakang Gagak Cemani! Jangan perdulikan tentang diriku! Serbulah mereka dan binasakan Surokolo beserta orang-orangnya!"
"Hah, ha, ha, ha. Berkaok-kaoklah sepuas hatimu, Mahesa Wulung. Aku yakin bahwa sahabat-sahabatmu cukup pandai dan tidak akan membiarkan dadamu jebol oleh senjataku ini! Bukankah begitu, sobat-sobat?!" ujar Surokolo sambil memberi isyarat kepada Bedor dan Balur untuk mengangkat tubuh Mahesa Wulung ke dalam perahu mereka.
Begitulah, dengan ancaman keselamatan Mahesa Wulung oleh Surokolo, Gagak Cemani bertiga dibuat tidak berdaya sama sekali. Mereka membiarkan tubuh Mahesa Wulung digotong ke arah perahu, sebab mereka kuatir jika dirinya bergerak, maka Surokolo akan benar-benar melaksanakan ancamannya, yakni membunuh Mahesa Wulung dengan senjatanya!
Sebentar saja Surokolo dan orang-orangnya telah naik ke dalam perahunya dan bergeraklah ke arah utara, persis seekor naga yang muncul dari sela-sela pohon bakau. Bersamaan dengan itu, Pandan Arum tak bisa lagi membendung air matanya dan hampir-hampir saja ia roboh tak sadarkan diri bila Gagak Cemani serta Tungkoro tidak lekas-lekas menolongnya.
Tiga orang prajurit Demak yang datang bersama Gagak Cemani tampak tengah memeriksa mayat Gombong.
* * *
--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--
Langkah pertama yang paling tepat bagi seseorang yang mendapat cemooh atau hinaan, adalah bermawas diri. Tepatnya ialah mengaca atau meninjau diri sendiri.
Jika cemooh tadi memang benar, berarti bahwa diri kita yang mempunyai kekurangan. Dan sudah sepantasnyalah bahwa kita segera memperbaiki apa-apa yang kurang pada diri kita tadi.
Namun hal itupun memerlukan jiwa dan sikap yang teguh. Memanglah, bagi jiwa yang lemah dan mudah putus asa, sebuah hinaan atau cemooh akan merupakan alat penghancur yang hebat.
Akan tetapi tidaklah demikian buat orang-orang yang mempunyai keteguhan jiwa. Justru, sebuah hinaan akan membuatnya makin kokoh dan bekerja keras dalam mengejar semua kekurangan-kekurangan tersebut. Seperti halnya Bambang Ekalaya yang ditolak oleh Dorna untuk menjadi muridnya, justru membuat sang Ekalaya makin keras tekadnya. Maka dibuatnyalah patung sang Dorna. Dan selanjutnya di depan patung tiruan tadi belajarlah Ekalaya dengan rajinnya dalam hal memanah, seolah-olah seperti ia belajar di hadapan sang guru itu sendiri. Sehingga akhirnya dapatlah Ekalaya menyamai kepandaian sang Arjuna dalam hal memanah.
Begitulah juga kiranya bagi seorang pemuda yang bernama Palumpang, terpaksa memencilkan diri dari kawan-kawan nelayan lainnya. Semenjak ia diejek oleh kawan-kawannya, disebabkan ketidak-mampuannya untuk lebih lama menyelam di dalam laut, Palumpang segera memisahkan diri dari mereka.
Sungguh malu rasanya bagi Palumpang, apabila ia setiap kali teringat akan kejadian beberapa waktu berselang yang telah dialaminya.
Waktu itu mereka mengadakan lomba ketangkasan untuk menyelam di dalam air, disaksikan oleh para keluarga nelayan. Di antara mereka tak ketinggalan pula gadis-gadis cantik ikut menonton perlombaan tersebut. Dan itu pulalah kiranya yang membuat semangat mereka berkobar untuk memenangkan diri dalam lomba menyelam itu.
Palumpang, sebagai anggota nelayan dari daerah Muara Serang tak ketinggalan pula untuk mengikutinya. Tetapi sayang sekali, dan kejadian inilah yang akhirnya menyebabkan si Palumpang menjadi bahan tertawaan dan cemoohan dari kawan-kawan nelayan lainnya.
Begitu aba-aba diberikan, maka berterjunanlah mereka ke dalam laut dari bibir-bibir perahu. Busa putih dan gelembung-gelembung air laut bertebaran dan memutih di permukaan air laut, diiringi oleh soraksorai para penonton.
Belum lagi sepemakanan sirih lamanya, tiba-tiba Palumpang telah memunculkan kepalanya di permukaan air, dan seketika pecahlah sorak-sorai ejekan dan cemooh dari mulut para penonton disertai tangan-tangan mereka pada menunjuk-nunjuk ke arah Palumpang.
"Ha, ha, ha, ha. Lihatlah kawan-kawan! Di sana ada kambing kecemplung air," terdengar ejekan dari salah seorang penonton.
"Ya, benar. Heh, heh, heh," sambung yang lainnya pula.
"Lebih baik menyelam di tempat tidur saja, Nak!"
"Hoh, ho, ho, kau kurang pantas menjadi pelaut, Bung!" seru penonton yang lain, dan begitulah, bermacam-macam ejekan dilontarkan kepada Palumpang, membuat pemuda ini cuma tertunduk diam menahan malu.
Secara jujur, Palumpang sendiri mengakui bahwa dialah yang paling kalah. Dilihatnya, bahwa kawankawan lainnya masih belum muncul sampai saat itu.
Palumpang segera berenang ke tepi dan meninggalkan para penonton tadi dengan rasa malu dan kecewa. Meskipun di saat itu Palumpang cuma berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun, tetapi di dalam hatinya ia berteriak sekeras-kerasnya, "Awas! Kalian boleh mengejekku sekarang ini. Tapi tunggulah beberapa waktu lagi. Akan kutunjukkan kepada kalian, siapa aku sebenarnya! Aku akan berlatih diri dan kalian akan kutantang untuk pertandingan menyelam dalam air!"
Maka sejak kejadian itulah Palumpang lalu memisahkan diri dari kawan-kawannya. Rupanya Palumpang termasuk pemuda yang memiliki keluhuran budi dan ia mampu mengetrapkan diri dalam keadaan yang sebenarnya. Peristiwa tadi yang diawali dengan ejekan dan cemooh telah membajakan diri Palumpang. Bukannya ia menjadi putus asa ataupun hancur, tapi malah sebaliknya! Mula-mula sekali, dibuatnya sebuah rakit yang cukup lebar dari lonjoran-lonjoran bambu dan batang pohon. Sesudah siap, rakit tersebut diturunkan ke laut serta didayungnya ke tengah.
Mulai hari itu, Palumpang benar-benar menggembleng dirinya. Dengan seutas tali yang cukup panjangnya, Palumpang telah mengikatkannya pada pinggang.
Sambil menghirup udara yang banyak, ia menerjunkan diri ke air. Tubuhnya menembus permukaan air laut, meluncur ke bawah dengan pesatnya.
Namun seperti peristiwa di dalam perlombaan menyelam dahulu, kembali Palumpang tak mampu bertahan diri untuk lebih lama tinggal di dalam air.
Dadanya seakan-akan mau meledak karena terlalu lama menahan udara di dalamnya. Karenanya dalam sekejap mata Palumpang telah menggenjotkan kakinya ke bawah dan tubuhnya meluncur kembali naik ke permukaan air.
Begitu sampai di atas permukaan air dan mencapai rakitnya, mulut Palumpang kelihatan megap-megap, bagaikan seekor ikan yang kekeringan air.
"Huuh, pantas mereka berani mengejekku!" desah Palumpang seraya mengusap-usap rambutnya.
"Nah, akan kucoba lagi sekarang!"
Untuk kedua kalinya, Palumpang terjun kembali ke air, dan sekali ini ia berhasil memperpanjang waktunya untuk menyelam di dalam air.
Berbagai cara telah dicobanya untuk melatih paruparunya, menyimpan udara dan menghematnya di dalam air, sehingga lama-kelamaan Palumpang telah terbiasa dengan alam sekitarnya.
Air laut, ombak, rakitnya, udara terbuka, angin, burung dan binatang-binatang laut yang berbagai corak telah dikenalnya dengan baik. Mereka itu seolah-olah telah menjadi sahabatnya, merupakan bagian dari hidupnya.
Bila lapar, Palumpang tak terlalu pusing untuk mencari makanan. Dengan sebentar menyelam ia akan segera dapat menangkap beberapa ekor ikan yang dikehendaki dan selanjutnya ia memanggangnya di daratan.
Demikianlah, akhirnya Palumpang menjadi seorang penyelam ahli dan tangguh. Itu semua telah dicapainya berkat latihan-latihan yang rajin dan ulet, sementara waktupun telah lewat tanpa pernah dihitung oleh Palumpang lagi.
Latihan! Sekali lagi latihan! Dan itu semua menyebabkan Palumpang seperti tak memerlukan lagi untuk berkumpul dengan kawan-kawannya.
Sang waktupun terus berjalan dan kini Palumpang tidak saja mahir menyelam, tapi juga terus melatih dirinya dalam ilmu keseimbangan tubuh.
Bila ombak laut menjadi besar dan angin ribut bertiup, maka rakit Palumpang itu terombang-ambing ke sana-ke mari bagai sepotong sabut kelapa.
Dan di saat itulah Palumpang kembali menggembleng dirinya. Dengan duduk bersila dan memusatkan perhatian, ia menjaga keseimbangan dirinya untuk tetap bertahan pada permukaan rakitnya meskipun ombak besar menghempasnya ke sana-ke mari.
Sepintas lalu, pemandangan ini menimbulkan kekaguman, tapi juga kengerian dan keseraman, sebab siapakah orangnya yang tidak akan gemetar bila menyaksikan sebuah rakit dengan seorang penumpangnya duduk bersila tenang, meskipun timbul tenggelam di sela-sela ombak yang menggulung ganas!
Dari hari ke hari, panas matahari selalu membakar kulitnya, dan di malam hari, udara dingin menggelut tubuhnya sehingga tubuh Palumpang menjadi hitam mengkilat. Rambutnya menjadi panjang, terikat oleh selembar kain ikat kepala merah tua. Sedang kumis dan jenggotnya melebat tumbuh menghias wajahnya, menambah suasana keangkeran dan kekerasan.
Dalam keadaan sekarang ini, Palumpang sudah bukan seperti Palumpang beberapa tahun yang lalu, yang mudah terbakar amarahnya oleh kata-kata orang lain. Kini ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan melebihi teman-teman lainnya.
Namun ketika ia telah memiliki semua kepandaian, Palumpang tidak lagi mempunyai maksud untuk kembali menantang teman-temannya, guna mengadu ketahanan diri dalam menyelam di dalam air.
Maksud tadi sudah tidak lagi ada padanya. Semboyannya, buat apakah suatu kepandaian mesti dipamerkan dan dipertontonkan di hadapan orang lain?
Memanglah, Palumpang kini telah berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Jiwa dan pribadinya yang telah mengendap, tercermin jelas dalam sikap dan tindaktanduknya.
* * *
Pada suatu malam, ketika Palumpang tengah bersila di atas rakitnya yang diayun-ayunkan gelombang itu, tiba-tiba hidungnya telah menangkap bau sebuah perahu dan manusia.
Sebenarnya ia tak perlu heran untuk hal itu, tetapi entah mengapa bahwa nalurinya mengatakan kalau ada sesuatu yang perlu diperhatikan dan menarik.
Palumpang mengambil dayung, dan setelah sejenak ia berdiri serta dapat mengetahui munculnya sebuah perahu, segeralah ia mendayungkan rakitnya untuk mendekati perahu tersebut. Belum lagi mendayung sepuluh kali, tiba-tiba ia berhenti. Tampaklah Palumpang merenung sejenak sambil terus mengawasi perahu tadi.
"Hmmm, ada dua orang penjaga yang selalu mondar-mandir di depan kamar buritan!" menggumam si Palumpang seorang diri.
"Dan dua obor yang dipasang di sebelah haluan!"
Secermatnya ia mengawasi gerak-gerik perahu yang berlayar menuju ke arah timur laut, sementara itu pula ia memasang dua bilah mancung, atau kelopak bunga kepala yang berbentuk seperti badan perahu, pada kedua belah kakinya.
"Aku menjadi sangat tertarik pada perahu tersebut, dan rasanya ada sesuatu yang tidak beres di sana!" desah Palumpang seraya meloncat ke air sambil sekaligus mengetrapkan segenap ilmunya.
"Aku akan selidiki perahu itu!"
Tap! Tap!
Kedua kaki Palumpang yang beralaskan kelopak bunga kelapa itu mendarat di air dan secepatnya digerakkan ke depan dan belakang silih berganti.
Akibatnya sungguh mengagumkan. Palumpang seketika dapat meluncur berjalan di atas air, sehingga seolah-olah bukan manusia tampaknya, tetapi hantu laut.
Bintang di langit kelam bertaburan dengan indahnya, dan perahu yang diintai oleh Palumpang itu membelah air dan maju ke depan dengan tenangnya.
Gerakan Palumpang semakin hati-hati apabila kedudukannya telah dekat dengan buritan perahu tadi. Sebentar kemudian dengan tangkasnya ia telah menggantungkan kedua belah tangannya pada buritan.
Telinganya yang cukup tajam segera dapat menangkap pembicaraan kedua pengawal perahu tadi.
"Ahh, untunglah Surokolo cukup tangguh menghadapi si Mahesa Wulung itu!" terdengar suara bernada serak dari salah seorang pengawal.
"Hi, hi, hi. Tentu saja Kakang Surokolo dapat meringkus Mahesa Wulung," sambung suara lain yang sedikit besar.
"Bukankah ia termasuk pendekar pilihan dari Pulau Mondoliko?!"
"Namun apakah Kakang Surokolo kiranya mampu melaksanakan tugasnya, seandainya ia tidak memiliki jala sutera sakti itu?"
"Huss, kau jangan meragukan kesaktian Kakang Surokolo! Dengan jala ataupun tidak, aku yakin bahwa Surokolo akan sanggup merampungkan tugasnya!"
"Dan sekarang bagaimana keadaan tawanan kita, si Mahesa Wulung itu?"
"Tubuhnya telah terikat keras-keras dan tak seorangpun yang tahu bila Mahesa Wulung telah kita tangkap dan kini berada dalam perahu ini!"
"Meskipun demikian, kita harus tetap waspada, sebab tawanan kita itu sangat berharga bagi Ki Rikma Rembyak! Dan kau tahu? Hadiah besar telah menanti kita!"
"Ha, ha, ha. Benar kawan.... Tapi aneh?! Kupingku mendengar sesuatu di sebelah buritan perahu kita ini!"
"Sesuatu? Yah... bunyi deburan air yang aku dengar
selama ini."
"Goblok kowe! Dengar baik-baik. Nah, ada dengusan nafas dari arah dinding buritan. Pasti ada sesuatu yang mencurigakan di sebelah sana. Mari, kita periksa bersama!"
Mendadak saja, belum lagi mereka melangkahkan kakinya sampai lima langkah, tiba-tiba melentinglah satu tubuh manusia dari arah buritan dan berputar di udara satu putaran, untuk selanjutnya menerjang ke bawah dengan gesitnya!
Betapa kagetnya kedua orang penjaga itu tak dapat dibayangkan lagi. Tambahan pula, melihat tampang si pendatang tersebut, mereka segera mengira bahwa hantu laut telah mendatangi mereka!
Dengan serentak mereka menyiapkan senjatanya. Tetapi sekali lagi mereka tak berdaya apa-apa ketika bayangan manusia tadi tahu-tahu telah menotokkan kedua ujung jari-jari dari kedua belah tangannya ke leher mereka.
Tuk! Tuuk! Braak!
Entah bagaimana rasanya, mendadak saja kedua penjaga yang bernasib sial itu roboh menggeletak setengah lumpuh, dengan mulut yang bisu tak dapat berkata-kata.
Bagaikan orang lagi bermimpi, kedua penjaga ini dapat melihat semua kejadian di depannya, akan tetapi ia tak mampu berbuat apa-apa, bergerakpun mereka tak kuasa!
Dan mereka menyaksikan, betapa si pendatang itu membuka kamar buritan dengan cekatan, kemudian masuk ke dalamnya.
Dugaan Palumpang semula yang mencurigai akan perahu ini ternyata benar. Dan juga dari pembicaraan kedua penjaga itu, Palumpang pun segera tahu bahwa perahu ini membawa muatan yang paling berharga, yakni pendekar Mahesa Wulung!
Bagi Palumpang, nama tersebut sudah tidak asing lagi meskipun ia sendiri belum pernah mengenal dan berjumpa sendiri dengan orangnya.
Masih cukup segar dalam ingatan Palumpang ketika beberapa saat yang silam di waktu ia masih bersamasama hidup sebagai nelayan. Pada saat itu, hampir semua nelayan menjadi takut untuk berlayar terlalu jauh ke tengah Laut Jawa, sebab di sana, sering muncul Kapal Hantu yang dahsyat dan menakutkan.
Sudah tak terhitung banyaknya perahu-perahu yang dibinasakan sampai ke penumpang-penumpangnya sekaligus! Untungnya sebuah kapal dari armada Demak yang dipimpin oleh Mahesa Wulung telah berhasil membinasakan Kapal Hantu tadi.
Dan kini Palumpang telah mendengar, bahwa Mahesa Wulung telah tersekap dan ditawan di dalam perahu ini. Maka tanpa membuang waktu lagi, Palumpang segera memeriksa seluruh kamar buritan dan sebentar kemudian, pada sebuah sudut kamar yang terlindung oleh tumpukan-tumpukan karung, dapatlah ia menjumpai seseorang yang duduk meringkuk dengan tangan dan kakinya terikat sedang mulutnya pun tersumbat oleh ikatan selembar kain.
Keduanya saling terperanjat ketika pandangan mata mereka saling bertemu. Palumpang ragu-ragu sejenak, lalu berkata.
"Benarkah Anda yang bernama Mahesa Wulung?"
"Aah! Uh! Uh!" jawab orang itu dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali.
"Oo, maaf, Kisanak. Aku lupa membuka kain ini lebih dahulu," ujar Palumpang seraya melepas ikatan kain yang menyumbat mulut Mahesa Wulung.
"Benar, sobat!" ujar Mahesa Wulung.
"Akulah yang bernama Mahesa Wulung. Tapi... dari manakah Andika tahu tentang diriku ini?!"
"Nanti akan kuceritakan lebih lanjut," berkata Palumpang dengan hormatnya.
"Tapi ikatan tali yang melilit tubuh Andika ini harus aku lepaskan terlebih dahulu!"
"Yah, itu lebih baik," jawab Mahesa Wulung, sambil matanya mengawasi, betapa dengan cekatan si penolong ini melepas semua tali-temali tadi dengan sebilah pisau kecil. Sebentar kemudian, bebaslah tubuhnya.
"Perkenalkan Tuan, nama saya Palumpang," kata Palumpang seraya menjabat tangan Mahesa Wulung. Namun ia terkejut, dan begitu pula dengan Mahesa Wulung sendiri, ketika tangan pendekar Demak ini tidak mampu untuk menyambut jabatan tangan dari Palumpang.
"Ookh, aku telah dilumpuhkan oleh mereka!" desah Mahesa Wulung.
"Harap dimaafkan jika saya tak mampu menyambut tangan Saudara."
"Dilumpuhkan?!" desis Palumpang seraya memeriksa segenap bagian tubuh Mahesa Wulung.
"Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa urat-urat ataupun jalan darah Anda tertotok oleh sesuatu!"
"Memang begitu, sobat," jawab Mahesa Wulung.
"Aku terlumpuh bukan disebabkan terkena totokan urat atau jalan darah, tetapi disebabkan oleh senjata jala sutera yang meringkus diriku."
"Jika demikian, agaknya tubuh Andika telah terkena bisa pelumpuh!"
"Rupa-rupanya memang demikian," sambung Mahesa Wulung seraya mengeluh.
"Akh, tak perlu Andika cemas," jawab Palumpang pula.
"Aku akan berusaha menolong Andika keluar dari perahu ini!"
"Terima kasih. Tapi aku tak mampu berenang dengan keadaan tubuh semacam ini."
"Itu tak menjadi soal. Andika berteguh hati saja...," ujar Palumpang sambil mengangkat tubuh Mahesa Wulung dan memondongnya ke luar dari kamar buritan.
Di luar, pada geladak perahu itu masih tergeletak kedua orang pengawal perahu yang tadi telah dilumpuhkan oleh Palumpang.
Serentak Mahesa Wulung menatapkan pandangannya ke arah orang-orang itu. Iapun berkata kepada Palumpang.
"Sebentar, sobat. Lihatlah pada pinggang pengawal yang berikat kepala kuning itu. Pedangku ada padanya, dirampasnya ketika aku terlumpuh."
Palumpang mengangguk dan dengan sebatnya ia meloloskan pedang Mahesa Wulung yang terselip pada pinggang si pengawal berikat kepala kuning.
Kedua pengawal itu ternganga melihat si pendatang itu telah membebaskan dan menolong Mahesa Wulung keluar dari kamar buritan.
Akan tetapi, mereka cuma ternganga saja tanpa dapat berbuat sesuatu. Malahan mereka menjadi terbengong, sewaktu Palumpang mengenakan kembali terompahnya yang terbuat dari seludang bunga kelapa itu dengan cekatan.
"Heh, heh, heh," tawa Palumpang serta menoleh ke arah kedua pengawal itu.
"Katakan pada pemimpinmu, bahwa seorang hantu laut telah merampas tawananmu! Heh, heh, heh!"
Begitu rampung berkata, Palumpang dengan sebatnya sambil memondong Mahesa Wulung telah meloncat terjun ke air, membuat pengawal-pengawal itu melototkan mata seperti tak mau percaya oleh penglihatannya.
Seorang di antaranya dengan nekad telah membenturkan kepalanya kepada sebuah tong kayu yang seketika menggelinding dengan suara berderak.
Oleh suara itu, beberapa awak perahu tampak berloncatan ke luar dari kamar geladak dan kamar haluan termasuk Surokolo sendiri.
Mereka berseru kaget dan serentak mereka samasama memandang ke arah samping timur perahu, ketika kedua pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala serta melototkan matanya ke arah timur sebagai isyarat.
"Whaah?!" Seru Surokolo, begitu ia melihat sesosok tubuh dengan memondong tubuh yang lain telah meluncur dan berloncatan, berjalan di atas permukaan air laut, bagai ikan terbang.
"Siapa mereka?!" bentak Surokolo, seraya memandang kedua pengawal perahu itu.
"Uh! Uuh!" jawab kedua orang pengawal yang tengah lumpuh tersebut disertai kepalanya menggelenggeleng pertanda akan ketidak-tahuannya.
"Hemm, kalian berdua telah dilumpuhkan mereka," kata Surokolo bernada geram.
"Baiklah, kalian harus kubebaskan dulu!"
Sambil berkata demikian, Surokolo menggerakkan tangannya dan begitu ujung-ujung jarinya menyentil sisi leher dari kedua orang pengawal itu, serentak mereka terbangun dari kelumpuhannya seraya membungkuk-bungkuk hormat.
"Nah, sekarang lekas jelaskan tentang kedua orang tadi! Dan bagaimana tawanan kita sampai bisa lolos!" Surokolo membentak keras, menyebabkan dua pengawal tersebut mengerutkan leher saking takutnya.
"Ampun, Tuan," ujar seorang yang lebih tua.
"Waktu kami tengah berjaga, tiba-tiba saja tanpa suara dan asal-usulnya meloncatlah satu bayangan manusia yang berwajah dan berperawakan seram dari arah buritan. Dalam saat yang demikian gentingnya itu, maka kami segeralah melolos senjata-senjata kami. Tetapi tanpa diduga, si pendatang tadi tahu-tahu telah menotok leher kami dan membuat lumpuh! Akhirnya tanpa dapat berbuat sesuatu, kami cuma dapat melihat bahwa si pendatang itu menggotong keluar tubuh Mahesa Wulung, sambil mengejek bahwa dialah yang bergelar Setan Laut, si penolong."
Surokolo mengangguk-angguk puas oleh keterangan ini, namun kembali ia berseru marah.
"Kenapa kau tidak mau berteriak, heei?! Goblok! Kalian tidak bertanggung jawab! Tahu?!"
"Ooh, maaf, Tuan. Kami begitu kaget oleh kemunculan si pendatang itu dan kami tak sempat berteriak!"
"Nah, itulah kesalahan kalian!" sahut Surokolo pula.
"Untuk itu kalian nanti harus bertanggung jawab di hadapan Ki Rikma Rembyak sendiri!"
"Aduuh," keluh kedua penjaga tadi dengan putus asanya. Mereka telah menduga bahwa Ki Rikma Rembyak akan marah sejadi-jadinya. Oleh sebab itu keduanya semakin ketakutan, dan dalam keadaan yang demikian itu, sering pula menimbulkan perbuatan-perbuatan nekad. Seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, maka kedua penjaga itu meloncat ke arah pinggiran perahu untuk menerjunkan diri ke arah laut.
Sebagai seorang pemimpin, agaknya Surokolo telah dapat meraba setiap kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga ia tidak menjadi kaget oleh tindakan kedua orang penjaga yang hendak membuang diri ke laut.
"Tangkap keduanya!" bentak Surokolo menggelegar lantang berbareng segenap anak buahnya berloncatan dengan cepatnya untuk meringkus mereka.
Surokolo tertawa gelak-gelak dan merasa puas ketika matanya melihat bahwa kedua penjaga yang mencoba melarikan diri tadi telah tertangkap hidup-hidup.
"Ha, heh, heh, heh, heh. Kau berdua, si tikus busuk akan kuhadapkan di muka Ki Rikma Rembyak! Dan sekarang, ayo kawan-kawan! Jebloskan mereka ke dalam kamar tahanan!"
"Jangan! Jangan!" teriak kedua penjaga itu dengan wajah tegang ketakutan.
"Aku tak mau ditahan di kamar bawah!"
"Hoh, ho, ho. Jadi kalian tak mau ditahan di sana?" ujar Surokolo dengan mulut menyeringai lebar.
"Apakah kamu ingin tinggal di puncak tiang layar dengan terikat erat-erat?"
Kedua penjaga tadi cuma terdiam tanpa berani membuka mulut ataupun menatap pandangan mata Surokolo. Yang terasa oleh mereka adalah keputusasaan dan kematian yang segera akan dijumpainya apabila mereka tiba di Pulau Mondoliko.
Kini mereka sadar, bahwa menjadi pengikut Ki Rikma Rembyak bukanlah pekerjaan yang ringan sematamata. Selain keberanian serta kesetiaan, merekapun harus cerdas, dan hal inilah yang kurang dipunyai oleh kedua pengawal tadi.
Mereka tidak lekas-lekas berteriak ketika Palumpang muncul, sehingga tiada orang lain yang mengetahuinya kecuali mereka berdua sendiri.
Biarpun begitu, tak habis juga keheranan mereka ketika Palumpang tadi dengan mudahnya berjalan dan berloncatan di atas permukaan air laut dengan lincahnya.
Meskipun kejadian tadi dilihatnya beberapa saat yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun seolah-olah masih terbayang jelas di rongga mata mereka, betapa si pendatang itu telah menyerobot tawanan mereka dan kemudian memondongnya serta membawanya terjun ke air, itu semua masih dapat diingat baik-baik oleh mereka.
Kedua penjaga tadi tak dapat lagi menggerakkan tubuhnya, sebab tangan-tangan awak perahu lainnya dengan jari-jemarinya yang kuat telah mencengkeram dan menyekap erat tubuh-tubuh mereka.
Yang tampak oleh mereka berdua hanyalah sorotsorot mata liar dan tajam dari para awak perahu tadi. Kesan yang semula membayangkan persahabatan kekal, kini berubah dengan pandang kecurigaan dan kebencian seluruhnya.
Bagi awak perahu lainnya, kedua pengawal tersebut telah menjadi barang menjijikkan yang tidak patut tinggal bersama mereka lagi!
"Hukuman kalian akan menjadi lebih berat, karena kalian telah mencoba melarikan diri!" seru Surokolo.
"Har... harap diampuni, Tuan," keluh si penjaga tua
sambil membungkuk-bungkuk rendah sekali saking takutnya. Sedang penjaga yang satunyapun ikut pula ketakutan, karena dalam hatinya mereka telah menduga bahwa hukuman akan segera jatuh pada mereka.
"Hmm, jadi kalian minta diampuni?" gumam Surokolo.
"Tapi apakah kalian sadar bahwa melepaskan ataupun membiarkan seorang tawanan lari, akan men dapat hukuman mati dari Ki Rikma Rembyak?!"
Bagai mendengar guruh di telinganya, kedua pengawal tadi terhenyak tanpa dapat berkata-kata apapun.
Dengan menghembuskan nafas resah, beberapa saat kemudian si pengawal tua berkata kembali.
"Kami berdua telah berbuat sebisanya, Tuan. Namun serangan si setan laut tadi benar-benar diluar dugaan kami."
"Ehhh, aku tak mau mendengar alasan-alasan dari mulutmu. Salah atau tidak, kalian dibebaskan atau harus dihukum, hanya Ki Rikma Rembyaklah yang boleh memutuskannya! Karena kalian pun tentu tahu bahwa yang terlepas tadi adalah Mahesa Wulung, yang tidak lain adalah musuh besar Ki Rikma Rembyak dan juga musuh kita semua!" seru Surokolo serta melotot tajam. Kemudian Surokolo berpaling ke arah salah seorang anak buahnya yang berperawakan kekar dan bermata kecil, lalu berseru, "Klowong! Lekas jebloskan kedua pengkhianat ini ke kamar bawah!"
"Baik, Kakang!" sahut si tubuh kekar yang bernama Klowong tadi lalu memberi isyarat kepada beberapa orang untuk bergerak.
Kedua orang pengawal yang bersalah itu tanpa berkutik segera diseret ke bawah, ke dalam kamar geladak yang biasa digunakan untuk menyekap tawanan-tawanan rendahan dan perantaian.
* * *
--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--
Dengan sedikit lupa-lupa ingat, ia masih dapat menggambarkan kembali semua lelakon beberapa saat yang telah lewat.
Mula-mula ia dapat mengingat betapa seseorang telah menolongnya keluar dari perahu para penjahat yang hendak menyeretnya ke Pulau Mondoliko!
Mahesa Wulung melayangkan pandangan matanya ke daerah sekeliling, dan mendadak saja ia berseru keheranan bercampur kaget.
"Heeii! Aku masih di tengah laut?!"
Begitu kagetnya, Mahesa Wulung melongo menatap ombak-ombak besar bermain berhempasan di sekelilingnya. Ia mendapatkan dirinya tergolek di tengahtengah rakit yang cukup lebar. Pada sebuah ujungnya terikatlah sebuah peti kayu berukir berwarna kehitaman.
Semakin heranlah Mahesa Wulung ketika ia cuma mendapati dirinya hanya seorang tergeletak di atas rakit ini.
"Uuh, ke mana si penolongku ini?" gumamnya sambil berusaha duduk dengan bersusah-payah.
"Aku masih lumpuh terkena racun senjata Surokolo!" Meskipun telah berusaha, Mahesa Wulung tidak berhasil menguasai dirinya, dan dengan mendesah, ia rubuh kembali ke geladak rakit.
Di kala itu, di antara celah deburan ombak laut, muncullah sesosok bayangan manusia berloncatan dengan lincah dan cekatan.
Melihat itu Mahesa Wulung tertegun penuh takjub. Kalau pada beberapa tahun yang lalu ia pernah melakukan hal semacam itu dengan menggunakan terompah kayu, tapi kali ini yang dilihatnya, adalah jauh lebih sempurna. Orang yang meloncat-loncat di atas permukaan air laut itu, seolah-olah seperti berjalan di atas permukaan tanah keras yang biasa. Jika ada ombak yang agak tinggi, kadangkala orang itu melesat di atas puncak ombak tadi dan membiarkan dirinya meluncur terbawa arus serta kemudian meloncat kembali ke atas puncak gulungan ombak seperti semula.
Namun ternyata bukan itu saja yang membuat Mahesa Wulung kagum, sebab orang tersebut makin jelas dan dekat. Ternyata kedua kakinya menggunakan dua buah seludang bunga kelapa, sedang agak jauh di belakangnya berloncatanlah beberapa ekor ikan terbang yang mengejarnya.
"Heeh, he, he. Bagus, sobat. Bagus sekali!" berkata si peloncat ombak tadi tertuju ke arah ikan-ikan terbang itu.
"Kalian hampir dapat mengejarku!"
Sewaktu mereka hampir sampai di dekat rakit, si peloncat ombak berseru lagi.
"Sobat-sobat yang baik, hari ini sampai di sini saja permainan kita!"
Para ikan-ikan terbang tadi dengan cepatnya memutar haluan dan mereka berbelok ke arah utara sampai akhirnya lenyap di antara celah-celah deburan ombak.
Si peloncat air yang tidak lain adalah Palumpang, lalu meloncat naik ke atas rakitnya. Dan iapun berseru gembira ketika ia melihat Mahesa Wulung telah siuman kembali dari pingsannya.
"Waakh, syukurlah jika Anda telah sadar!" berkata Palumpang.
"Nah, sebentar lagi kita akan mendarat di pantai. Ini aku telah mengumpulkan bahan-bahan obat untuk mengobati kelumpuhanmu."
Palumpang berkata begitu sambil menunjukkan kantongan jaring yang berisi rumput-rumput laut dan beberapa bahan lainnya. Di antaranya tampaklah beberapa ekor ikan tangkur kuda yang masih bergerakgerak hidup.
"Hoo! Anda telah menyelam ke dasar laut?!" komentar Mahesa Wulung serta memandangi kantongan jaring yang dibawa oleh Palumpang.
"Benar. Jauh di bawah sana tersimpanlah kekayaan lautan yang tak terhingga harganya. Aku akan mencoba mengobati tubuhmu dengan ramuan yang akan kubuat nanti."
"Hmm, mengapa Anda berusaha menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?" bertanya Mahesa Wulung kepada Palumpang yang duduk di sebelahnya.
"Aneh juga pertanyaan Andika," sambung Palumpang diiringi senyuman polos.
"Tapi baiklah Andika ketahui, bahwa semula aku tak mengira bahwa Andika berada di dalam perahu mereka sebagai tawanan untuk Ki Rikma Rembyak. Hanya nalurikulah yang mengatakan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan patut aku curigai pada perahu tersebut. Maka tanpa menunggu lebih lama, aku secepatnya mendekati perahu tadi, sehingga dari percakapan dua orang pengawal mereka, akupun dapat mengetahui siapakah sebenarnya Andika ini!" demikian tutur kata Palumpang yang diungkapkan dalam kata-kata tenang dan penuh rasa hormat.
"Dan selanjutnya, akupun menyelamatkan Andika karena nama Andika telah cukup dikenal luas. Secara tidak langsung, Andika pernah menolong nasib para nelayan ketika Andika berhasil menghancurkan Kapal Hantu."
Dengan manggut-manggut Mahesa Wulung mendengarkan itu semua dan iapun berkata pula, "Jika boleh aku duga dan menilik dari kepandaian yang Anda miliki, rupanya Andapun termasuk seorang pendekar gemblengan!"
"Heh, heh, heh. Perkiraan Andika tentang diriku ternyata kurang tepat," sela Palumpang sambil tersenyum.
"Maksud Anda?" seru Mahesa Wulung dengan kagetnya pula.
"Aku bukan seorang pendekar seperti yang Andika duga tadi. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dan belum pernah aku berbentrok ataupun bertempur melawan seseorang, sampai beberapa hari yang lalu ketika aku terpaksa menotok lumpuh kedua pengawal perahu yang menawan Andika."
Mahesa Wulung tercengang sesaat seperti tidak habis percaya oleh keterangan Palumpang tadi. Sehingga akhirnya Palumpangpun terpaksa menceritakan riwayat dan asal-usul tentang dirinya. Mulai ia diejek dan dihina sampai akhirnya ia menggembleng dirinya sendiri di tengah laut dengan rakitnya.
"Nah, begitulah sekadar riwayat diriku yang sesungguhnya," kata Palumpang ketika ia mengakhiri ceritanya.
"Betapapun seorang pendekar memiliki kesaktian, toh setiap kali ia akan menjumpai yang jauh lebih sakti daripada dirinya. Dan sesungguhnya pula, di situlah seorang pendekar akan teruji sampai di manakah ia telah mendalami ilmunya!"
"Anda memang benar. Hanya saja kita mesti ingat bahwa kesaktian yang digunakan untuk maksud-maksud jahat dan diselewengkan, maka akibatnya akan membawa bencana."
Palumpang ganti tersenyum oleh kata-kata Mahesa Wulung, dan jenggotnya yang lebat itu dielus-elusnya beberapa kali, lalu ia menyeletuk, "Mm, pendirian Andika ternyata tepat dengan pendirianku."
"Terima kasih."
"Berbaringlah Andika baik-baik. Aku akan mendayung rakit ini ke arah pantai," berkata Palumpang seraya memungut sebilah dayung panjang yang telah tersedia di atas rakit.
Beberapa saat kemudian, rakit yang ditumpangi mereka telah bergerak membelah air ke arah pantai dalam kelajuan yang penuh.
* * *
Di pantai utara Demak yang membujur dengan megahnya berhempasanlah sepanjang tepinya, buih-buih ombak yang bertaburan.
Di sela pepohonan bakau, tertambatlah sebuah rakit, jauh dari tempat yang sering dijangkau oleh perahu-perahu atau tangan manusia.
Sungguh sepi tempat itu. Suasana lengang dan cuma gemersik dedaunan atau kadang-kadang pekikan burung camar pantai terdengar sekali-sekali.
Sesungguhnya memang tempat demikianlah yang sering didatangi oleh Palumpang dan dipilihnya, bila saja ia merindukan daratan atau ada sesuatu kepentingan yang diperlukannya di sini.
Dengan tenangnya Mahesa Wulung berbaring beralaskan daun-daun kering yang disusun oleh Palumpang seperti kasur tipis dan cukup empuk.
Di dekat pendekar Demak ini, tampaklah Palumpang menunggui sebuah periuk tanah yang tengah terjerang di atas perapian tungku darurat. Agaknya tungku itu dibuat oleh Palumpang secara tergesa-gesa namun cukup baik. Dari beberapa batu karang yang disusun membentuk lingkaran dan sebuah lubang untuk memasukkan kayu bakarnya, maka terbentuklah tungku darurat tadi.
Mata Palumpang tak henti-hentinya mengawasi isi periuk tanah yang tengah direbusnya itu, karena ternyata telah mulai mendidih.
Bunyi kemerusuk dari cairan mendidih diikuti oleh asap putih yang mengalun keluar dari periuk, membawa bebauan yang sedap setengah harum.
Ketika Mahesa Wulung mencium bau tersebut, dia meneguk.
"Mmm, agaknya Anda membuat masakan istimewa, Palumpang."
"Ini kusiapkan untuk Andika," tukas Palumpang, seraya menyenduk-nyenduk masakannya itu dengan sebilah pisau kecil.
"Ramuannya kutemukan sendiri selama aku mengasingkan diri di atas rakitku ini. Mudah-mudahan saja kelumpuhan Andika segera tersembuhkan olehnya."
Bau sedap dan harum tadi betul-betul menimbulkan selera makan Mahesa Wulung, yang selama ditawan dalam perahu Surokolo hampir tak pernah menerima makanan yang layak.
Dan rasanya Mahesa Wulung seperti tidak sabar menanti masakan tersebut, kentara dari sikapnya yang beberapa kali meneguk air liurnya. Hal itu membuat Palumpang tersenyum kecil dan ia segera mempercepat pekerjaannya.
Dengan mangkuk-mangkuk aneh yang terbuat dari kulit lokan kerang yang selebar daun teratai, Palumpang lalu menuangkan masakan dari periuk tadi ke dalamnya.
"Nah, marilah segera Andika melahap masakanku ini, agar kesembuhan akan segera Andika dapat daripadanya," demikian Palumpang mempersilakan Mahesa Wulung.
"Andika tidak usah sungkan-sungkan kepadaku."
"Aah, terima kasih," sahut Mahesa Wulung seraya menyambut mangkuk kulit kerang tadi.
"Masakan Anda sungguh sedap baunya."
"Dan pakailah sepasang cupit tulang ikan cucut ini untuk menjumput sayur di dalamnya," begitu ujar Palumpang dan sepasang cupit itupun segera sampai ke tangan Mahesa Wulung yang telah duduk bersandar pada sebuah gumpalan batu karang.
Demikianlah, kedua sahabat tadi duduk di dekat perapian dan menikmati masakan yang dibuat dari ramuan-ramuan istimewa ciptaan Palumpang. Dia sendiri hanya mencicipi sedikit saja, sebab sebenarnya memang masakan tadi dibuat khusus untuk Mahesa Wulung.
Tanpa merasa malu-malu lagi Mahesa Wulung telah menyikat habis makanan tadi pada mangkuk pertamanya, dan kemudian disusul dengan mangkuk kedua.
Apa yang dirasa oleh Mahesa Wulung adalah kenikmatan dan kesegaran. Maka tak heran bila Mahesa Wulung memuji kepandaian sahabatnya di dalam hati.
Akan tetapi selang beberapa waktu setelah menghabiskan masakannya, Mahesa Wulung merasakan perubahan pada dirinya. Itulah sebabnya mengapa pendekar Demak ini segera menatap wajah Palumpang.
"Sekarang ramuan tadi telah mulai bekerja!" cetus Palumpang.
"Andika tidak perlu cemas dan marilah aku tolong untuk berbaring."
Mahesa Wulung dengan ditolong oleh Palumpang, lalu membaringkan diri, tertelentang dengan tenang. Satu rasa yang aneh, rasa kepanasan telah timbul di dalam tubuhnya. Seolah-olah ia tengah dirubung oleh tungku api dan ini menyebabkan keringatnya mulai bercucuran menerocos keluar dari lubang kulitnya.
"Nah, mungkin Andika sekarang bakal tidak per caya oleh penglihatan sendiri. Ramuan tadi, sari-sarinya akan meresap ke segenap daging, kulit dan setiap tubuh Andika. Mereka akan secara cepat mendesak hawa racun dan bisa yang telah melumpuhkan Anda, untuk keluar dari kulit. Haah, sekarang inilah dia!" seru Palumpang,
Kata-kata Palumpang tadi ternyata memang benar. Air keringat Mahesa Wulung yang keluar tadi, makin lama makin berwarna kehijauan dan akhirnya berubah hitam.
Pada saat itulah Mahesa Wulung menyeringai-nyeringai seperti menahan sakit yang amat hebat. Namun itu tidaklah lama. Setelah keringat hitam tadi keluar, rasa sakit, pedih dan nyeri segera lenyap secara berangsur-angsur.
Hawa segar terasa oleh pori-pori kulit Mahesa Wulung yang telah sembuh dan bebas dari pengaruh racun dan bisa.
Mahesa Wulung tersenyum kepada Palumpang dan berkata.
"Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Kisanak. Andika telah menyembuhkanku." Demikian Mahesa Wulung berkata seraya menggerakkan tangannya.
"Heee, tanganku sekarang tidak lumpuh lagi!" cetus Mahesa Wulung seraya menatap tangannya dan juga kedua belah kakinya telah dapat digerakkan secara normal, seperti sediakala. Dan akhirnya duduklah ia di atas tanah.
"Janganlah Andika terlalu banyak bergerak lebih dahulu," berkata Palumpang menasehati sahabatnya.
"Sekarang, keringat-keringat hitam yang masih menempel pada kulit tubuh Andika akan kubersihkan!"
Palumpang lalu mengambil sebuah bunga karang dari kantong kulitnya dan ditutul-tutulkan pada keringat hitam tadi, sampai akhirnya bersih sama sekali.
Biarpun telah sembuh dari gangguan racun pelumpuh itu, Mahesa Wulung masih terpaksa harus menuruti peraturan-peraturan dari sahabatnya yang berwajah seram dan berkulit kehitaman itu.
Memang Palumpang ternyata tidak tanggung-tanggung dalam menolong sahabat barunya ini. Ia mengharap agar Mahesa Wulung memperoleh kembali sepenuhnya akan kesehatan dan kekuatan tubuhnya.
Seringkali pula Mahesa Wulung tinggal sendiri di pantai tersebut untuk menunggu Palumpang turun ke laut, guna mencari ramuan-ramuan obat dan bahan makanan untuk bekal mereka.
* * *
"Hah! Andika ternyata sangat mahir mempergunakan alat itu!" seru Palumpang dari atas rakit kepada Mahesa Wulung yang dengan lincah dan tangkasnya berjalan dan berloncatan di atas air laut dengan mempergunakan terompah seludang bunga kelapa itu!
"Oo, jangan terlalu keheranan, Palumpang. Jauh sebelum ini aku memang pernah memakai alat serupa ini," kata Mahesa Wulung seraya mendekati rakit dan meloncat ke atasnya.
"Dan sesungguhnya aku masih jauh lebih heran akan kekuatan Anda yang mampu menyelam di dalam air hampir seperdelapan hari lamanya."
"Heh, heh, heh. Andika rupa-rupanya telah menghitungnya dengan teliti. Hanya seorang yang berpengalaman luas dan berilmu tinggilah yang mampu mengerjakannya."
Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kata-kata Palumpang yang berisi sanjungan, dan iapun berkata pula, "Apakah kira-kira aku boleh mengangkatmu sebagai guru dalam ilmu menyelam ini?"
Palumpang terhenyak sesaat, namun kemudian iapun tertawa terkekeh-kekeh sampai bahunya terguncang.
"Heh, heh, apakah aku mempunyai potongan untuk itu dan pantas menjadi gurumu?!"
"Bagi saya, seorang guru tidaklah harus berkedudukan tinggi, berwajah tampan ataupun berpakaian bagus. Yang penting adalah keluhuran budinya, kecintaannya terhadap sesama umat dan "
"Cukup... cukup," sela Palumpang tersipu-sipu.
"Aku tak tahan terhadap kata-katamu itu," begitu kata Palumpang seraya menyeringai dengan wajah lucu.
"Baiklah, Andika akan kuangkat menjadi muridku."
Sebenarnya, Palumpang pun merasa bersyukur di dalam hati karena mendapat murid seorang pendekar yang namanya telah jauh terkenal. Meski pada mulanya ia merasa sungkan, tapi akhirnya hilanglah hal itu berkat sikap Mahesa Wulung yang pandai membawa diri dan ramah-tamah.
Tanpa kesukaran apapun, Mahesa Wulung mampu mempelajari ilmu menyelam dari Palumpang, dan tidak jarang keduanya bersama-sama sering melatih diri di dalam air.
Sedang yang kelihatan kemudian, hanyalah sebuah rakit yang terayun-ayun di atas air ke sana-ke mari tanpa penghuni. Tak tahunya di sebelah bawah sana kedua penumpangnya tengah bersila di dasar laut seperti arca. Atau, jika mereka tidak bersila, maka berenanglah menyelam ke sana-ke mari ke setiap sudut batu karang dan rerumputan laut.
* * *
--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--
Untuk itu, memang Ki Rikma Rembyak tidak ingin memperpanjang waktu. Baginya, jika terdakwa sudah terang bersalah, maka harus dihukum secepatnya. Dan siang itu, kedua orang pengawal yang terhukum lalu digiring ke arah sebuah teluk, dengan diikuti oleh seluruh penghuni pulau para pengikut Ki Rikma Rembyak.
Berita tentang lolosnya Mahesa Wulung dari perahu Surokolo, secara diam-diam membuat gembira bagi Jagal Wesi. Juga Andini Sari yang menaruh rasa simpati kepada Mahesa Wulung, sejak ia ditolongnya di daerah Jurang Mati beberapa waktu yang silam, dengan diam merasa bersyukur bahwa pendekar Demak itu dapat lolos kembali.
Dengan begitu, maka hadiah dari Ki Rikma Rembyak yang disediakan bagi tertangkapnya Mahesa Wulung masih belum ada yang menerimanya. Seribu keping emas untuk Mahesa Wulung! Begitu tawaran Ki Rikma Rembyak kepada segenap pendekar-pendekar bawahannya yang diucapkan paling akhir.
Wajah kedua orang hukuman tadi semakin bertambah pucat ketika iring-iringan Ki Rikma Rembyak tiba di teluk kecil yang berdinding karang. Daerah itu memang kelihatan agak aneh. Dinding karang yang mengelilingi teluk itu cukup tinggi, sedang mulut dari teluk yang berhubungan dengan laut sangatlah kecil, dan di situ terpasang sebuah pintu kayu besi yang berlapis logam. Bila air surut, maka pintu kayu besi yang tebal tadi ditutup sehingga teluk kecil tersebut tetap berisi air.
Orang tidak perlu bertanya-tanya lagi terhadap kepentingan teluk kecil yang aneh ini, sebab mereka telah tahu bahwa Ki Rikma Rembyak memiliki kegemaran yang aneh-aneh dan ganjil.
Seperti teluk kecil ini yang sekarang dikelilingi oleh seluruh pengikut Ki Rikma Rembyak dan berdiri di atas dinding-dinding teluk, merupakan satu pemandangan yang aneh!
Ki Rikma Rembyak juga berdiri di situ dan segera ia membacakan keputusan hukuman kepada kedua terdakwa itu. Surokolo sudah menduga sebelumnya, kalau kedua orang ini pasti dijatuhi hukuman mati oleh pemimpinnya.
Dan itu memang benar. Segera ia mendapat abaaba dari Ki Rikma Rembyak.
"Dorong ke bawah!"
Kedua pengawal terhukum itu menjerit ketakutan sewaktu tangan-tangan algojo mendorong tubuhnya ke bawah. Keduanya terpelanting ke bawah dan sesaat kemudian langsung diterima oleh air teluk yang tenang dengan suara berdebur keras.
Byuuurrr!
"Hua, ha, ha, ha," tawa Ki Rikma Rembyak meledak ketika melihat dua orang hukuman itu tercebur ke air teluk.
Seluruh perhatian dan pusat pandangan mata diarahkan kepada dua orang ini. Sesungguhnya, hukuman itu lebih diarahkan sebagai hiburan bagi Ki Rikma Rembyak dan para pengikutnya.
Kedua orang hukuman tadi cepat-cepat menguasai diri dan berenang ke arah tepian teluk. Mereka berenang dengan cekatan. Mereka tidak lagi mengingat apakah mereka akan mampu memanjat keluar dinding teluk yang cukup terjal setinggi lebih kurang sepuluh kali orang berdiri. Yang penting mereka secepatnya tiba di tepian teluk.
Agaknya mereka telah menduga dan membaui adanya sebuah bahaya yang telah mengintai mereka, datangnya dari dasar teluk ini. Begitulah naluri mereka berkata! Jika tidak, mengapakah mereka dilemparkan ke dalam teluk itu? Dan apa pula perlunya?
Tiba-tiba buih-buih besar dan gelembung-gelembung air bermunculan dari dasar air dan muncul di permukaan dalam letupan-letupan gemuruh. Semua pandangan makin tegang.
Dan mendadak saja, meledaklah jeritan-jeritan kagum dan ngeri, seiring dengan munculnya belalai-belalai raksasa dari bawah air.
"Gurita raksasa!" desis Jagal Wesi kaget. Begitu pula Andini Sari, Surokolo, Bido Teles, Soma Karang, Sigayam, Blending dan lain-lainnya menjadi terkejut bukan main.
Kedua orang hukuman yang tengah berenang itulah yang paling terkejut! Sewaktu mereka menoleh ke belakang, tampaklah beberapa belalai-belalai raksasa yang berwarna abu-abu kebiruan dan berbintik-bintik biru dan putih telah terjulur ke arah tubuh mereka.
Seketika itu pula, guguplah mereka dan gerakan renang mereka menjadi lebih cepat, namun juga menjadi tak keruan karena dicampuri oleh rasa takut dan kaget yang luar biasa.
Salah seorang hukuman di antaranya yang berwajah lebih tua, menjadi tertinggal di belakang dan sebuah belalai gurita raksasa tahu-tahu telah menerkamnya.
"Aaaarrgghhh!"
Tawanan berwajah tua menjerit parau, begitu ujung belalai tadi membelit pundak dan lehernya. Keruan saja orang ini menggapai-gapaikan tangannya sebagai luapan rasa takut dan rasa paniknya.
Kepala dari gurita itu sebagian muncul di atas permukaan air, seperti mengintai akan sasaran yang telah ditangkapnya. Dua buah matanya yang kecil kekuningan menatap tajam ke arah korbannya.
Kini si korban sudah tak berdaya lagi. Tubuhnya terseret oleh tangan belalai gurita ke arah mulutnya yang bergigi paruh seperti paruh burung betet.
"Aaaaaahh!" pekik terakhir dari mulut si korban berbareng tubuhnya lenyap di bawah kepala gurita raksasa. Busa bergumpal-gumpal menggelegak ke permukaan air tercampur warna merah darah mengambang mengerikan, sebagai pertanda tamatnya riwayat si korban karena terlahap seluruh tubuhnya ke dalam mulut gurita raksasa tadi.
Melihat nasib kawannya tersebut, maka si pengawal muda yang berenang di sebelah depan cepat-cepat menambah gerakannya, dan untunglah ia telah tiba di pantai teluk ini.
Begitu mendarat, orang hukuman yang kedua dan masih muda tadi dapat menarik nafas lega serta kemudian menyandarkan diri ke dinding teluk yang terdiri dari batu karang terjal yang sangat tinggi.
Surokolo, Jagal Wesi, Andini Sari serta para penonton lain yang menyaksikan kejadian tersebut kini dapat menarik nafas lega, sebab masih ada yang selamat dari ancaman gurita raksasa tadi. Untuk sementara ketegangan menjadi reda dengan selamatnya si orang hukuman muda. Tetapi benarkah bahwa dia akan terbebas dari maut yang tengah mengancamnya? Memang gurita raksasa tadi tidak berusaha mengejarnya. Agaknya ia telah cukup puas dengan melahap seorang korban dan kini dibiarkannya yang seorang itu lepas dari incarannya.
Melihat ke bawah pula, Ki Rikma Rembyak lalu tertawa tergelak-gelak, bagai ketawa hantu yang seketika bergaung memantul ke segenap dinding karang.
Ketawa tadi ternyata membuat semua orang yang berada di tempat tersebut sama-sama menatap ke arah Ki Rikma Rembyak, sebab seolah-olah hawa maut telah tersebar karenanya dan ketawa tadi adalah sebagai isyarat.
Betul juga akhirnya!
Sekali lagi Ki Rikma Rembyak tertawa pendek serta berteriak ke arah orang hukuman tersebut.
"Tikus kecil! Kau kira akan dapat lolos hidup-hidup dari tempat ini, heeeii?! Perhatikan tanah di sekitarmu!"
Orang hukuman muda ini melihat ke bawah dengan ketakutan, begitu didengarnya ancaman si iblis berambut panjang itu.
"Aaakh!" keluhnya yang berputus asa terdengar.
"Celaka ini!"
Tiba-tiba, tanah pasir di sekitar orang hukuman itu berdiri terdengar gemerisik. Sesaat kemudian, lubanglubang kecil pada permukaan tanah menjadi semakin lebar dan muncullah ketam-ketam kecil sebesar ibu jari.
"Ooh, kiranya ketam-ketam yang lucu saja!" gerundal si orang hukuman seraya mengusap peluh dinginnya. Sejenak, takutnya menjadi reda.
Akan tetapi benarkah ketam-ketam kecil itu binatang yang lucu dan tidak perlu ditakuti? Memang pada umumnya seperti demikian. Ketam-ketam kecil yang banyak hidup di tepi-tepi pantai itu adalah binatang yang penakut sekali. Apabila nampak olehnya sesuatu makhluk mendekatinya, maka secepat kilat ia akan lari dan masuk ke dalam lubang tanah yang merupakan pintu liang rumahnya, serta bersembunyi di situ. Delapan kaki dan dua capit kecil pada tubuhnya bergerak cepat ke samping. Dengan demikian gerakan berjalan atau berlari dari ketam ini selalu miring, ke samping kiri atau kanan. Sungguh lucu tampaknya!
Namun, ketam-ketam kecil dari teluk maut milik Ki Rikma Rembyak ini lain lagi. Secepat ia keluar dari lubang-lubang rumahnya, mereka serentak bergerak perlahan-lahan mendekati si orang hukuman.
Maka sesungguhnya inilah awal ketegangan yang terakhir! Ketam-ketam kecil tersebut bergerak bersama. Dari segenap lubang tanah, mereka bermunculan. Kaki-kakinya yang kecil bergerak dan menimbulkan suara gemerisik pada pasir yang dilaluinya.
Bukan main takutnya si orang hukuman tadi, sehingga dengan nekadnya ia bermaksud memanjat dinding karang terjal di belakangnya.
Ternyata usahanya tadi adalah sia-sia belaka, sebab dinding karang tadi cukup licin juga. Kiranya hanya orang-orang berilmu tinggilah yang mampu melakukannya. Tidak seperti si orang hukuman muda tadi, yang kemudian tergelincir jatuh!
Tubuhnya terhempas di pasir. Cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dilihatnya ketam-ketam kecil tadi telah mengepung dirinya!
Akhirnya, karena terjepit oleh ketakutan dirinya, si orang hukuman tadi mempunyai keberanian sedikit. Kaki kanannya terangkat ke atas dan selanjutnya menginjak hancur beberapa ekor ketam yang terdepan.
Breeekkk! Kriiyesss!
Namun bukan main kagetnya. Ketika kaki kanannya beraksi, tahu-tahu kaki kirinya merasa sakit dan pedih. Ternyata di kulit dagingnya, beberapa ekor ketam kecil telah menggigitnya.
Cepat-cepat ia menghentakkan kaki kirinya ke tanah. Kembali beberapa ekor ketam hancur terinjak oleh kakinya. Tetapi ketam-ketam yang tadi menempel pada kaki kirinya tidak juga lepas ataupun jatuh. Dengan begitu, si orang hukuman itu menjadi semakin ketakutan dan ngeri. Apalagi ketika ketam-ketam itu mulai menyerang kaki kanannya pula, ia sudah berada pada puncak ketakutannya!
Akhirnya iapun berlari ke sana-ke mari sambil melolong-lolong seperti orang gila. Ke mana saja ia menginjakkan kakinya, di situ pulalah ketam-ketam kecil lainnya menggerayangi dan merambati kakinya.
Kini sebagian ketam-ketam tadi telah memanjat tubuhnya ke atas sambil menggigit-gigit. Keruan saja ia bertambah kalang-kabut dan mencak-mencak ke sanasini sehingga akhirnya iapun jatuh terantuk batu pada kakinya.
Dan inilah sebenarnya detik-detik terakhir dari hidupnya. Karena demikian tubuhnya jatuh tergolek di tanah, secepat itu pulalah ketam-ketam kecil tersebut menerkam tubuhnya!
Dalam sekejap mata, tubuhnya telah dikerumuni oleh ketam-ketam kecil. Lolong dan jerit kesakitan keluar dari mulutnya.
Beberapa kali si orang hukuman ini menggulingkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, namun itu tidak mempengaruhi ketam-ketam kecil yang telah mulai menggumpal dan menggerogoti daging tubuhnya.
Darah merah segar berkucuran dari luka-luka gigitan ketam-ketam kecil tadi membasahi tanah di sekitarnya. Karenanya pula, ketam-ketam lainnya semakin mengeroyoknya. Terakhir sekali, orang itupun menjerit panjang untuk kemudian tubuhnya tak berkutik sama sekali! Berakhirlah riwayatnya sudah.
Melihat ini Ki Rikma Rembyak tersenyum puas dan menarik-narik rambutnya sebagai pertanda kegembiraan yang meluap-luap.
Sementara itu, Andini Sari masih saja menutup wajahnya dengan kedua belah tangan, sesudah ia melihat tontonan yang mengerikan itu.
Hatinya tidak sampai menyaksikan kematian yang begitu mengerikan dan kejam. Jika ia pernah menyaksikan orang yang mati di medan pertempuran, itu tidak begitu menggoncangkan hatinya, karena semua itu sudah wajar. Sedang kematian yang baru saja disaksikan ini, jauh lebih mengerikan. Secara perlahan-lahan, menyakitkan dan merupakan siksaan hebat!
Di sebelah yang lain, Jagal Wesi juga memalingkan kepala, melengos untuk menghindarkan pandangan matanya dari tubuh si orang hukuman yang telah bermandi darah dan tak berbentuk itu!
Para penonton, anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya seperti terpesona, termasuk Soma Karang, Bido Teles, Surokolo, Sigayam dan lain-lain. Setidak-tidaknya, hal itu merupakan contoh bagi mereka, tentang hukuman bagi siapa saja yang dianggap berkhianat dan berani menentang kepada Ki Rikma Rembyak.
Dengan demikian, ketakutan kepada Ki Rikma Rembyak makin bertambah dan kesetiaan kepadanya menjadi lebih besar. Memang inilah tujuan sebenarnya dari maksud Ki Rikma Rembyak yang baru saja menghukum kedua orang bekas anak buahnya itu.
Hanya saja, ia tidak menduga bahwa dengan mempertunjukkan kekejaman dan siksaan-siksaannya selama ini, beberapa orang di antara anak buahnya menjadi tidak senang, termasuk pula Jagal Wesi dan Andini Sari sendiri!
* * *
Malam hari, sesudah pelaksanaan hukuman terhadap kedua anak buahnya, Ki Rikma Rembyak lalu mengumpulkan para pendekar pengikutnya di pendapa rumahnya.
"Kalian memang cukup sakti dan tangguh, tapi toh masih kurang teliti! Buktinya, Mahesa Wulung masih belum tertangkap sampai saat ini!" bentak Ki Rikma Rembyak sambil menuding dan menunjukkan tangannya ke wajah Soma Karang, Bido Teles, Surokolo, Sigayam dan lain-lainnya.
"Dengar kalian, heeii! Hadiah seribu keping emas telah tersedia untuk kalian, jika Mahesa Wulung berhasil kamu tangkap!"
"Ampun, Tuan," sambung Surokolo memberanikan diri.
"Masih banyak para pendekar utusan Andika yang belum pulang sampai hari ini. Siapa tahu, bahwa merekapun akan berhasil melaksanakan tugasnya dan menyeret si bedebah Mahesa Wulung itu ke hadapan Tuanku!"
Ki Rikma Rembyak termenung sesaat dan berkatalah ia kepada Surokolo, "Ngengngg. Pendapatmu itu benar, Surokolo. Memang sebaiknya aku akan menunggu mereka."
"Andika masih ingat," sahut Surokolo pula, "Kakang Talipati si peniti tombak yang sakti masih belum kembali. Demikian pula Kakang Tangan Iblis yang bertangan petir, serta Lampor Anom dan lain-lainnya. Mereka telah berjanji akan berusaha mati-matian untuk menangkap Mahesa Wulung!"
"Heh, heh, he, he. Bagus! Bagus. Hampir saja aku melupakan mereka itu. Jika begitu aku tidak perlu kuatir. Pertemuan kita kali ini cukuplah sekian dahulu, dan kalian boleh kembali ke tempat masing-masing," kata Ki Rikma Rembyak.
Para pendekar itu kemudian meninggalkan pendapa rumah pemimpinnya, tepat sang rembulan mulai muncul dari balik awan mendung.
* * *
Cahaya yang semula redup-redup kini menjadi terang kembali menerangi segenap sudut Pulau Mondoliko. Menerangi lekuk-lekuk batu karang, pepohonan, seluruh pantai dan apa saja yang terdapat di situ, seperti pula sebuah bangunan bukit karang yang berlubang kepundan di tengahnya, merupakan bentuk sebuah kepala singa berambut panjang dan menengadah ke atas dengan mulut menganga. Sungguh dahsyat dan mengagumkan bangunan tersebut. Orang sukar menduga, apakah bangunan tadi dipahat dari sebuah bukit karang ataukah disusun secara bertahap??
Sekonyong-konyong tampaklah sesosok bayangan manusia yang mengendap di antara batu-batu karang dan mendekati Bukit Kepala Singa tersebut dalam loncatan-loncatan panjang dan cekatan.
Dari sekilas sinar rembulan yang menimpa tubuh orang ini, dapatlah terlihat satu perawakan yang kekar dan gagah. Gerakannya mirip seekor tupai, sangat hati-hati dan cermat. Terkadang tubuhnya seperti melekat pada bukit karang dan kemudian meloncat ke tempat lain tanpa membuat suara yang ribut.
Kiranya Bukit Kepala Singa ini bukanlah satu bangunan yang sembarangan dan remeh. Hal ini akan segera terbukti, sebab di sebuah lekukan dinding karangnya, terlihatlah tiga sosok bayangan manusia yang lain tengah mengawasi.
Ketiganya adalah para penjaga Bukit Kepala Singa. Pembicaraan mereka masih berkisar pada peristiwa yang baru saja terjadi, yakni tentang dihukum matinya kedua orang anak buah Surokolo oleh Ki Rikma Rembyak sendiri.
Mendadak saja seorang di antara mereka dapat melihat sesosok tubuh kekar manusia yang menghampiri lubang kepundan dari mulut singa di sebelah atas. Dalam sekejap pula ia segera memberitahu kepada dua orang temannya.
"Ssttt, lihatlah! Ada orang yang menghampiri puncak Bukit Kepala Singa! Ia telah memasuki daerah terlarang."
"Ayo cepat kita menangkapnya!" ujar penjaga yang lain sambil menepuk bahu temannya.
Maka serentak pula ketiganya berloncatan ke atas dalam kecepatan yang menakjubkan. Terang sekali bahwa ketiganya berilmu tinggi. Sambil memburu, mereka menyiapkan senjata, yang seorang bersenjata tombak, sedang dua orang lainnya bersenjata pedang!
"Berhenti di tempat!" seru penjaga bertombak bersamaan kedua orang temannya telah mengepung orang asing tadi.
"Dari mana kau datang?!"
Sejenak orang asing yang telah terkepung itu menatap ketiga penjaga.
"Buat apa kalian bertanya?! Aku juga penghuni Pulau Mondoliko ini!"
"Setan alas!" gerundal penjaga tadi.
"Kau akan menyombong, hah?! Kau belum tahu, kalau kakimu telah menginjak daerah terlarang?!"
"Daerah terlarang?! Hmm, jika begitu, malah kebetulan. Aku ingin mengetahui apakah yang terlarang di sini. Kalian bertiga telah membikin kaget sewaktu aku tengah menghampiri puncak Bukit Kepala Singa ini," ujar orang asing tadi dengan enaknya.
"Kamu belum tahu? Aku berdiri di sini untuk melihat pemandangan yang indah di sekitarnya."
"Bohong! Kau mesti tengah memata-matai dan menyelidiki tempat ini!" ujar si penjaga bertombak seraya memberi isyarat kepada kedua temannya.
"Pedang Kembar, lekas kita ringkus orang ini hidup-hidup! Biar kita jadikan umpan di Teluk Maut!"
"Bagus, Kakang Sitongkol!" jawab kedua penjaga bersenjata pedang itu.
"Kami telah siap dengan pedang maut ini!"
"Oooo, kalian bertiga akan memaksaku?! Mari kerjakanlah jika kalian sanggup!" Si orang asing berkata berani. Wajahnya yang bulat telur dan tampan kelihatan sangat tenang. Rambutnya disanggul di atas, berikat kepala lebar berbunga-bunga dan pada pinggangnya tergantung sebilah pedang pendek bertangkai tebal.
"Mampus kowe!" teriak ketiga orang penjaga, sekaligus menerjang si orang asing dengan senjata-senjatanya.
Disertai bunyi berdesing, ujung sepasang pedang dan tombak tersebut mencoblos dan menebas ke tubuh lawan yang berpedang pendek. Namun betapa kagetnya mereka, bila tiba-tiba orang asing tadi melenting ke atas dengan satu putaran sambil kedua tangannya bergerak ke arah pinggang.
Sriiiingnggg!
Ternyata orang asing tersebut telah mencabut pedang pendeknya dan terkejut pulalah ketiga lawannya ketika pedang pendek itu dapat terpisah menjadi dua bilah pedang pendek tipis!
Seketika itu pula pertempuran hebat segera terjadi di puncak Bukit Kepala Singa. Kedua orang penjaga yang bergelar Pedang Kembar mengeluarkan ilmu pedangnya, sehingga dalam sekejap mata pedang-pedang lebar mereka bergulung-gulung melibat lawannya.
Demikian pula Sitongkol tak tinggal diam dengan tombaknya. Dengan ilmu permainan dan jurus-jurus maut, ia memutar tombak tadi dalam gerakan yang saling bersahutan. Sebentar mata tombaknya seperti paruh seekor garuda, mematuk lawan. Tapi dalam saat yang lain, pangkal tombaknya menyapu garis pertahanan lawan, laksana sabetan ujung dari ekor ular naga yang lagi murka!
Dengan serangan-serangan hebat dari Sitongkol dan kedua orang rekannya itu, sudah boleh dipastikan bahwa lawan mereka akan segera roboh dan pecundang!
Akan tetapi, orang asing yang bersenjata pedang pendek dan berwajah bulat tampan ini, dengan berani dan mudahnya menghalau setiap ujung senjata lawan yang berani mendekatinya.
Merasa akan ketangguhan lawannya, Sitongkol bertiga makin menjadi marah. Kini sadarlah mereka bahwa orang asing itu telah sengaja datang ke tempat mereka untuk mencari mati. Maka tidak mengherankan bila Sitongkol bertiga telah menumpahkan segenap kepandaian dan ilmunya untuk menumpas lawan.
Si wajah tampan berpedang pendek, mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari serangan lawan, sehingga terpaksalah ia lebih berwaspada.
Sementara itu pula, kedua orang pendekar Pedang Kembar makin mempercepat serangan-serangannya dan tampaklah ujung-ujung pedangnya memburu terus-menerus ke tubuh lawannya.
"Hyaaat!"
Si wajah tampan menerkam ke atas dan kedua ujung pedang pendek di kedua belah tangannya menyambar ke arah kepala lawan-lawannya.
Gerak serangan si wajah tampan ini sungguh di luar dugaan, dan ketiga lawannya terpaksa mengumpat-umpat sambil menghindar.
Wessst. Breettt! "Uuaarh!"
Sitongkol menjerit, ketika sebuah ujung pedang pendek lawannya yang berwajah tampan itu, menyambar dan menyayat pipinya. Darah segar seketika memercik keluar.
Tapi hanya untuk sebuah luka saja, Sitongkol justru makin bertambah liar dan beringas. Sebagai seorang anak buah Ki Rikma Rembyak yang telah kaya akan pengalaman dan seluk-beluk pertempuran, Sitongkol segera dapat mengukur akan tingkat kepandaian dan ilmu lawannya.
Menurut perhitungannya, ilmu lawannya yang berwajah tampan ini tidak terlalu jauh selisihnya dengan ilmu yang ia miliki.
Tetapi yang ia tak habis mengerti, apabila ia mengeluarkan jurus-jurus puncaknya, lawannya tersebut senantiasa berhasil mengatasi. Dari kenyataan-kenyataan tersebut, Sitongkol menduga bahwa lawannya tidak seluruhnya mengeluarkan ilmu.
Kedua pendekar Pedang Kembar telah bangkit memperbaiki diri dan beberapa kali masih terdengar umpatan dari mulutnya.
Sejurus kemudian serangan mereka bertambah hebat dan rupanya, si wajah tampan mulai terdesak pula. Beberapa kali ia berada dalam posisi dan kedudukan yang kurang menguntungkan. Hanya berlandaskan kenekadan dan kegesitan belakalah, ia masih selalu sempat meloloskan diri dari senjata-senjata lawan yang datangnya bagai curahan hujan.
Di tengah dahsyatnya pertarungan itu, melesatlah satu bayangan manusia, lalu menerjunkan diri ke tengah arena. Dengan kedua tangannya yang kosong, si pendatang baru ini menyerang ke arah Sitongkol dan kedua pendekar Pedang Kembar.
Tentu saja Sitongkol bertiga terperanjat dan lebih kaget lagi bila wajah si pendatang itu penuh corengmoreng dengan warna-warna kotor. Sehingga dengan demikian menjadi tersamarlah wajah orang tersebut.
"Keparat! Kau turut campur dengan urusan kami.
Heei! Siapa pula kamu ini?!" teriak Sitongkol dengan mendongkol.
"Kau berusaha menyembunyikan wajahmu?"
"Jangan cerewet!" bentak si wajah coreng-moreng.
"Kamu bertiga telah mengeroyok orang ini dan bermain-main dengan hebatnya," berkata begitu si pendatang itu segera mengelus-elus kumisnya yang tebal.
"Sekarang aku ingin meramaikan permainan ini dan bersama pemuda ini!"
"Yaah. Jadi kau mau membelanya, bukan?!" ujar Sitongkol sambil meludah ke tanah.
"Boleh. Boleh. Sebentar lagi engkaupun akan mampus oleh ujung-ujung senjata kami! Kau berhadapan dengan Sitongkol, tahu!"
"Sombong sekali kau, sobat! Sambutlah ini. Hyaaat!" Si wajah coreng-moreng menebaskan sisi telapak tangannya.
Serentak bersiutlah bunyi sambaran angin maut ke arah Sitongkol yang seketika cekakaran menangkis serangan tersebut dengan melintangkan batang tombaknya di muka kepala.
Werrr! Pletakkk!
Tombak Sitongkol terpatah menjadi dua oleh tebasan tangan si wajah coreng-moreng. Suara berderak terdengar.
Hampir semuanya kaget oleh kejadian ini, lebihlebih dengan Sitongkol sendiri. Walaupun begitu, tombaknya yang menjadi pendek itu masih digenggamnya dengan erat dan dengan senjata tersebut pula ia melancarkan serangan-serangannya.
Sementara itu, sepasang pendekar Pedang Kembar tampak seimbang dalam pertempurannya menghadapi lawannya, si wajah tampan. Hanya saja keseimbangan ini tidaklah berlangsung lebih lama, sebab mereka sudah tidak lagi dibantu oleh Sitongkol.
Melewati jurus kedua puluh, si wajah tampan melakukan satu gerakan menerobos, ketika sepasang pendekar Pedang Kembar menebaskan pedangnya ke arah kepala dari samping kiri dan kanan berbareng.
Sreettt! Wreekkk!
"Eaahhh!" Jerit salah seorang dari kedua pendekar Pedang Kembar sambil memegang lambungnya yang baru saja tersobek oleh pedang pendek si wajah tampan. Namun tiba-tiba si wajah tampan tergelincir kakinya.
Sitongkol kaget sekali oleh robohnya rekan tadi, dan di saat itulah kedua tangan lawannya yang kokoh menyambar tangan kanan Sitongkol yang menggenggam tombak.
"Uuukh!" Keluh Sitongkol kaget, begitu si wajah coreng-moreng telah menyambar tombaknya. Maka dengan menggerakkan segenap kekuatan, Sitongkol berusaha mati-matian melepaskan diri.
Melihat sikap Sitongkol tadi, si wajah coreng-moreng seperti tidak terpengaruh sama sekali, malahan ia meringis kegirangan dan berkata pula dengan geramnya, "Sitongkol yang sombong, cobalah lolos dari kedua tanganku ini!"
Sekali lagi Sitongkol berusaha melepaskan diri, tapi di saat itu pula, si wajah coreng-moreng menghentakkan kedua tangan ke atas dengan daya tarik yang hebat.
Maka tanpa ampun lagi tubuh Sitongkol ikut terangkat ke atas, dan ketika si wajah coreng-moreng sekali lagi memutar gerakan tangannya ke bawah, maka tubuh Sitongkol terhempas ke bawah, ke atas permukaan batu karang dengan kerasnya.
Brruuukkk! "Heekkk!"
Leher Sitongkol patah sedang kepalanya remuk berdarah, dan matilah ia seketika.
Tetapi si wajah coreng-moreng melihat bahaya lain yang tengah mengancam rekannya, si wajah tampan!
Ketika itu si wajah tampan tengah tergelincir sesudah ia selesai merobohkan salah seorang dari kedua pendekar Pedang Kembar. Dalam kesempatan ini, pendekar kedua dari Pedang Kembar telah siap menebaskan pedangnya ke leher si wajah tampan dengan marahnya.
Untunglah saja, si wajah coreng-moreng telah waspada lebih dulu. Secepat kilat ia melesat ke arah lawan, berbareng kepalan tangan kanannya tepat menerjang ke tulang punggung pendekar kedua dari Pedang Kembar.
Kreekkk!
Terdengar derak tulang patah dan pendekar kedua Pedang Kembar terjungkal roboh dengan melontakkan darah segar dari mulutnya.
"Aaarghh!"
Si wajah tampan segera berdiri dan menatap ke arah si wajah coreng-moreng, kemudian berkata.
"Ah, siapa Anda dan mengapa bersusah payah menolongku?"
Si wajah coreng-moreng tersenyum lebar. Katanya, "Maaf, Nona Andini Sari. Saya tidak mengharapkan leher yang jenjang dan lembut itu tergores oleh pedang orang ini."
Bukan main terkejutnya si wajah tampan, ketika dirinya dipanggil dengan nama Andini Sari oleh si penolong. Akan tetapi ia jadi tersipu-sipu sewaktu ia mendapatkan ujung sanggulnya telah terlepas dan terurai di pundaknya.
"Semoga Andika tak keberatan dengan nama yang aku sebutkan tadi," ulang si wajah coreng-moreng seraya tersenyum.
Si wajah tampan yang sesungguhnya memang Andini Sari menggeleng pelan dan tiba-tiba iapun berseru dengan wajah berseri.
"Haaai, aku mengenal suaramu! Engkaukah Saudara Jagal Wesi?!"
Sambil tersenyum pula, si wajah coreng-moreng berkata pelan, "Heh, heh, heh. Ingatan Nona memang tajam! Tidak keliru lagi hal itu. Akulah Jagal Wesi."
"Mmm, mengapa pula Anda berada di tempat ini?" tanya Andini Sari seraya mengatur kembali gelung sanggulnya yang terlepas.
"Aku tak sengaja kemari," sambung Jagal Wesi.
"Namun ketika aku melihat Andika mengendap-endap dan menginjak ke daerah terlarang Bukit Kepala Singa ini, aku jadi bercuriga. Saya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh Andika di sini."
"Jadi Anda semula tidak mengetahui, kalau yang mengendap-endap itu adalah saya?" bertanya Andini Sari pula.
"Sama sekali saya tidak mengetahuinya," ujar Jagal Wesi.
"Karenanya pula saya jadi tertarik ketika Andika menuju daerah ini."
"Sebenarnya aku ingin mengetahui, mengapakah tempat ini dijadikan daerah terlarang oleh ayahku Ki Rikma Rembyak."
"Nona Andini Sari ingin tahu?" sahut Jagal Wesi.
"Lihatlah ke lubang kepundan atau mulut dari Bukit Kepala Singa ini. Dari situ sering aku melihat adanya bintang berekor yang meluncur keluar dan terbang ke angkasa!"
"Bintang berekor?!" ulang Andini Sari dengan kagetnya.
"Keluar dari mulut Bukit Kepala Singa ini?! Ya, memang aku sering melihatnya, tapi tidak kuketahui kalau bintang berekor tadi meluncur dari sana!"
"Marilah kita melihatnya," ajak Jagal Wesi pula.
"Sudah lama saya pun ingin melihatnya. Secara kebetulan kita telah merobohkan ketiga orang penjaga di sini."
"Baik. Lekaslah kita mendekati mulut kepundan itu," ujar Andini Sari berbareng kakinya meloncat ke arah puncak bukit, diikuti oleh Jagal Wesi.
Dalam waktu singkat, keduanya telah sampai pada tepi lubang kepundan yang berbentuk mulut singa, dengan gigi-giginya terukir melingkar sepanjang tepi lubang.
"Heei, ada cahaya api dari dalam!" desis Andini Sari takjub.
"Lihatlah di bawah sana. Ada sebuah busur panah raksasa!"
"Benar!" sambung Jagal Wesi yang telah pula mengintip ke dalam lubang kepundan.
"Sebuah gendewa panah yang berukuran luar biasa! Apa pula gunanya benda sebesar itu?"
"Aku pun tidak tahu!" sela Andini Sari.
"Agaknya ayahku telah melakukan rencana-rencana dan pekerjaan besar!"
"Dan itulah yang menyebabkan daerah ini terlarang!" ujar Jagal Wesi.
"Kiranya, sudah cukup pekerjaan kita ini. Marilah kita kembali. Aku mendengar langkah-langkah kaki dari sebelah sana!"
"Tapi bagaimana ketiga penjaga yang telah mati itu?" sahut Andini Sari.
"Apakah kita biarkan sehingga penjaga-penjaga lain mengetahuinya?"
"Jangan kuatir. Akan kulemparkan tubuh mereka ke Teluk Maut di sebelah utara, bisa dihabiskan oleh gurita raksasa. Ayo, bantulah mengangkat tubuhtubuh ini ke pundakku dan kita selekasnya pergi ke sana."
Cepat-cepat Andini Sari membantu Jagal Wesi mengangkat mayat ketiga orang penjaga tersebut dan mereka lalu melangkah ke arah utara, menuruni kaki bukit serta lenyap di balik gerombolan pohon-pohon.
Sebentar itu pula tempat tersebut menjadi sepi kembali. Hanya desir angin malam yang melanda dinding-dinding Bukit Kepala Singa terdengar mendesau. Lubang kepundan yang merupakan mulut dari bentuk Bukit Kepala Singa itu masih saja menganga ke atas, persis mulut iblis raksasa yang siap mencaplok korban.
Tak seorangpun yang bakal mengira bahwa di tempat tersebut baru saja terjadi pertarungan sengit yang memakan korban tiga orang penjaga bukit itu. Dan tak seorang pula yang mengira bahwa di tengah-tengah gerombolan Ki Rikma Rembyak yang kejam dan jahat ini, masih ada beberapa gelintir manusia yang berhati baik, tahu membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.
Namun sanggupkah mereka kiranya untuk mempertahankan diri di tengah-tengah suasana kalut dan hitam itu? Hanya mereka sendirilah yang bisa menjawabnya.
* * *
--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--
Seorang gadis berwajah murung, senantiasa menatap ke arah laut dengan tatapan pandang yang sayu. Seolah-olah ia menapak dunia yang kosong dan datar di hadapan matanya. Begitulah lamunannya, sampaisampai ia tak mengetahui, bahwa di dekatnya telah berdiri seorang laki-laki berjubah dan berkumis melintang.
"Aku tahu perasaan Andika, Adi Pandan Arum," ujar si laki-laki berjubah.
"Namun percayalah bahwa kita segera mendapatkannya kembali."
"Mengapa Kakang Gagak Cemani dapat berkata demikian," desah Pandan Arum tanpa berpaling kepada Gagak Cemani yang berbicara di sampingnya.
"Adimas Mahesa Wulung bukanlah orang yang sembarangan," sambung Gagak Cemani.
"Ia cukup sakti dan ulet. Aku yakin bahwa Adi Mahesa Wulung akan dapat menjaga dirinya."
"Sukar aku bayangkan, Kakang Cemani," sahut Pandan Arum pula.
"Bagaimana Kakang Mahesa Wulung yang telah teringkus tanpa daya dalam jala lawannya, masih akan dapat menyelamatkan dirinya?"
"Aku tak menyangkal bahwa Andika berpendapat demikian. Tapi pendapat tersebut kurang kuat, sebab hanya berpegang dan berdasarkan pandangan sekilas, yakni pada waktu peristiwa itu terjadi. Sedang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi sesudah itu Adi Pandan Arum belum memperhitungkannya!"
Pandan Arum jadi termenung oleh tutur kata Gagak Cemani. Pendekar dari daerah timur ini yang usianya beberapa tahun lebih tua daripada Mahesa Wulung, ternyata sangat baik kepadanya.
Malahan Pandan Arum sendiri telah menganggapnya sebagai kakak kandung, yang setiap kali bersedia membantu dan menasehatinya bila Pandan Arum tampak murung dan susah.
Gagak Cemani sendiri telah maklum akan kesedihan gadis itu. Bukankah Pandan Arum telah melihat dengan mata kepala sendiri, ketika Mahesa Wulung kena ringkus dan diculik oleh Surokolo dengan perahunya? Memang, kehilangan seorang kekasih adalah menyedihkan.
Kini mereka berusaha mencari dan mengejar jejak perahu Surokolo tadi. Dengan menyewa sebuah perahu dan dibantu oleh beberapa orang prajurit Demak dan sahabat-sahabatnya, mereka telah berlayar ke arah timur laut, menyelusuri sepanjang pantai utara Demak yang membujur jauh sampai ke daerah bandar Jepara, pusat pangkalan dari Armada Demak.
"Masihkah Kakang Mahesa Wulung dapat kita selamatkan?" bertanya kembali Pandan Arum.
"Tentu dapat, Adi Pandan Arum. Jika ternyata perlu, kita akan minta dengan resmi bantuan perahuperahu Armada Demak untuk menggempur pusat persembunyian Surokolo dan begundal-begundalnya."
"Ooo, terima kasih, Kakang Gagak Cemani," Pandan Arum berkata dengan nada gembira.
"Betapa aku harus membalas kebaikan Kakang tadi?"
"Mmhh, janganlah Adi sungkan-sungkan begitu. Bukankah saya pernah pula ditolong oleh Adi Mahesa Wulung beberapa waktu yang lalu?"
Pandan Arum mengangguk pelan, sementara seorang awak kapal mendekati mereka berdua dan Gagak Cemani segera menyambutnya.
"Bagaimana, Saudara Tungkoro, apakah kita telah mendapat jejak-jejak yang kita perlukan?"
Tungkoro menggeleng perlahan dan berkata, "Belum ada jejak-jejak yang penting seperti yang kita harapkan. Namun beberapa orang nelayan telah bercerita bahwa mereka pernah melihat sebuah rakit yang terapung-apung dengan penumpangnya di tengah lautan di sekitar tempat ini!"
"Eeh, coba Andika ulangi sekali lagi," pinta Pandan Arum sambil tercengang.
"Sebuah rakit dengan penumpangnya pernah terlihat di sekitar tempat ini," berkata kembali Tungkoro keheranan.
"Agaknya, inikah petunjuk yang kita cari? Begitukah pendapat Andika, Nona Pandan Arum?"
"Hiya, ya. Memang aku berpendapat demikian," kata Pandan Arum.
"Hanya sayang kita tidak mengetahui tempatnya yang pasti."
"Hmm, mudah-mudahan kita dapat menemukan rakit tersebut," sambung Gagak Cemani pula.
"Telah cukup jauh kita meninggalkan bandar Muara Demak."
Perahu yang mereka naiki memang telah jauh menempuh ombak dan kini melaju di tengah lautan. Daratan pantai Demak tampak merupakan deretan hitam dengan puncak-puncak pohon kelapa yang melambai oleh tiupan angin.
* * *
Di tengah-tengah ombak yang menggelombang dan naik turun serta membuih itu, terlihatlah sebuah rakit yang terayun-ayun seperti barang mainan ke sana-ke mari. Dan yang mengagumkan adalah kedua orang penumpangnya. Tanpa memperdulikan suasana dan keadaan rakit yang terombang-ambing oleh ombak tadi, mereka duduk-duduk dengan tenangnya.
Bahkan mereka kelihatan asyik berbicara dan berbincang-bincang. Bagi siapa yang belum mengetahui tentang kedua orang ini, mungkin akan mengira bahwa keduanya adalah sepasang boneka yang dipaku pada lantai rakit, dan sengaja dilarung atau dihanyutkan ke laut sebagai upacara selamatan.
Namun terdengarlah salah seorang dari mereka menyapa rekannya yang seorang lagi.
"Badanku telah sehat kembali, Palumpang. Mungkin sebentar waktu lagi aku akan pulang ke Demak."
"Aku tahu, tugas Andika cukup banyak dan negara Demak sangat membutuhkan orang-orang yang seperti Andika ini. Setia, berbudi luhur dan sakti. Ketigatiganya merupakan tritunggal yang penting, lebih-lebih bagi setiap orang yang mengabdikan diri kepada negara."
Mahesa Wulung manggut-manggut oleh ucapan Palumpang tadi. Dalam hati ia menyetujuinya. Ia tidak menyangka bahwa Palumpang yang jarang bergaul dengan manusia lain itu, mampu berpikir dengan cemerlang.
"Jika boleh, saya ingin mengajak Anda untuk bersamaku ke Demak. Tentu Anda akan kami terima dengan baik dan saya mengharap sudilah Anda menjadi penasehat dalam lingkungan keprajuritan," ujar Mahesa Wulung.
"Ajakan Andika ini sangat membesarkan hatiku," sahut Palumpang.
"Tapi itu terlalu besar dan tinggi buat seorang nelayan liar semacam aku ini."
"Jadi, maksud Anda, akan seterusnyalah keadaan Anda begini? Tinggal di atas rakit dan jauh dari pergaulan ramai?"
"Sudah kukatakan bukan, sejak kita bersahabat dan saling berkenalan, bahwa aku sengaja menjauhi dunia ramai untuk memperoleh ketenangan diri?"
"Mmm, aku masih ingat hal itu," sambung Mahesa Wulung pula.
"Maaf, aku tak bermaksud mendesak Anda."
"Tak mengapa," ujar Palumpang.
"Perlu pula Andika mengetahui pendirianku tadi. Bukan berarti aku tak menghendaki atau meremehkan pergaulan ramai sehari-hari, tetapi semata-mata aku bermaksud menguranginya. Harap Andikapun tidak lalu menjadi berprasangka yang keliru tentang diriku."
Sekali lagi Mahesa Wulung menggumam setuju dan sesaat kemudian berkata pula.
"Pendirian Anda sangat teguh. Karenanya saya bergembira mempunyai sahabat seperti Anda."
"Maka, biarlah aku tetap tinggal di atas rakit ini saja. Dan Andika tentu lebih mudah mencariku di sini," ujar Palumpang.
"Heh, heh, he. Jangan lupa hidangan masakanku, bubur tangkur kuda akan selalu menyambut Andika."
"Eh, ehm, tapi... tapi "
"Apanya yang tetapi?"
"Saya kuatir kalau saya terpaksa akan menghabiskan beberapa mangkuk masakan Anda itu."
"Heh, heh, heh, heh. Ya, aku ingat hal itu. Semula aku pun kuatir kalau diriku sendiri sampai tidak kebagian masakan tadi. Heh, heh, heh."
Sejenak mereka teringat ketika keduanya saling berkenalan dan makan-makan di tepi pantai. Teringat pula betapa waktu itu Mahesa Wulung dengan lahapnya menyikat habis makanan yang disediakan oleh Palumpang. Ternyata makanan tadi berkhasiat menyembuhkan Mahesa Wulung.
Begitulah keduanya tertawa berbareng mengenang kejadian dan pengalaman-pengalaman masa lalu. Suara tawa mereka mengalun bersama buih ombak yang menghempas bergulung-gulung, seakan-akan ikut merasakan kegembiraan dua orang sahabat ini.
Sekonyong-konyong, Mahesa Wulung dan Palumpang berbareng menghentikan ketawanya. Keduanya menatap ke arah utara, dengan pandangan menyelidik ke arah deburan dan gelombang-gelombang laut.
"Andika mendengar sesuatu?" Palumpang bertanya seraya menengadah mendongakkan hidungnya ke atas.
"Hidungku mencium sesuatu yang asing. Mungkin ini merupakan bahaya buat kita!"
Mau tak mau Mahesa Wulung terpaksa dibikin kagum dan takjub oleh ketajaman hidung sahabatnya ini. Tetapi di saat itu, telinganya sendiri juga menangkap suara putaran angin yang mendesing-desing dari arah utara, sehingga iapun berkata, "Tidak keliru, sobat. Saya pun mendengar suara aneh dari arah utara!"
Terpaksa keduanya memutar duduknya ke arah utara dan siap-siap menanti sesuatu yang datang dari arah itu.
Dan inilah dia. Bersamaan dengan terangkatnya gelombang laut yang tinggi, muncullah seorang manusia berambut pendek, kaku seperti ijuk, meluncur di atas buih gelombang laut sambil tertawa-tawa dengan suara berderak seperti perahu pecah, menyeramkan.
Sedang di tangan kanannya tampaklah sebuah tali panjang yang selalu berputar dengan ujungnya berbentuk roda logam berduri.
"Hua, ha, ha, ha. Kiranya di sinilah kalian bersembunyi, para kelinci!" ujar manusia berambut ijuk tadi tertuju kepada Mahesa Wulung dan Palumpang.
Roda logam berduri tersebut mempunyai lingkaran cincin, tepat di tengah sumbu dari salah satu sisinya. Sedang ujung talinya pun bercincin logam, dan di situlah cincin dari sumbu roda berduri tadi terikat. Dengan demikian, maka roda berduri tadi mampu berputar ke segala arah sesuai dengan putaran talinya.
"Ha, ha, ha, ha. Kamu belum tahu? Akulah yang bergelar Talipati, si peniti buih!" berkata si rambut ijuk tadi seraya memutar-mutar talinya yang berujung roda berduri. Sementara itu kedua kakinya selalu dengan lincah meniti dan meloncat-loncat di atas buih yang memutih bertebaran di atas permukaan air laut.
Betapa kuatnya tenaga dalam si rambut ijuk Talipati ini, membuat Mahesa Wulung dan Palumpang terhenyak kaget dan terlongoh keheranan. Seolah-olah mereka tengah berhadapan dengan seorang iblis yang berjalan di atas air. Biarpun keduanya pernah pula berjalan di atas air, tapi toh mereka masih menggunakan alas kaki yang terbuat dari kelopak seludang bunga kelapa. Sedang Talipati ini, kedua telapak kakinya telanjang saja, tanpa selembar alas apapun. Dan inilah yang sebenarnya membuat kagum kepada Mahesa Wulung dan Palumpang. Diam-diam keduanya meraih masing-masing sepasang seludang kelapa.
Meskipun demikian, keduanya dapat menguasai diri dan tetap tenang dengan duduk bersila di atas rakitnya. Sejenak kemudian Mahesa Wulung berkata nyaring.
"Talipati, kedatanganmu memang mengagetkan! Dan kami menjadi heran, apakah kepentinganmu terhadap kami berdua?!"
"Hua, ha, ha. Kau berpura-pura bengong? Tak apalah jika demikian," ujar Talipati sambil mencibirkan bibir.
"Engkau tentulah si Mahesa Wulung, yang lolos dari perahu sobatku Surokolo. Aku telah mendengar segala pembicaraan kalian dan tanpa setahu kamu, aku telah membayangimu sejak lama!"
"Heh, memang akulah yang bernama Mahesa Wulung, dan sekarang apa yang kau kehendaki!" kata Mahesa Wulung sekaligus memberi isyarat kepada Palumpang supaya berhati-hati.
"Bagus! Kau mau berterus terang di hadapan Talipati. Jiwa ksatriamu sungguh tidak kuragukan," sahut Talipati.
"Ketahuilah, bahwa aku akan menangkapmu kembali. Kalian berdua akan kuringkus seperti dua ekor kelinci ompong!"
"Hoo, jadi terangnya engkaupun komplotan dari Surokolo?!" Mahesa Wulung menyahut.
Talipati menggeram.
"Goblok! Kau kelinci goblok! Aku bukan komplotan dari Surokolo. Aku pendekar yang berdiri sendiri! Kami tengah berlomba untuk menangkapmu, ngerti?!"
"Hm, kami bukan kelinci-kelinci goblok seperti yang engkau katakan!" terdengar Palumpang ikut bicara.
"Kau boleh saja menangkap kami. Tapi itu tidak akan semudah yang kau kira!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan kata-kataku tadi. Heeitt!" terdengar Talipati berteriak seraya memutar tali yang berujung roda berduri ke arah selatan. Maka seketika itu juga menyambarlah roda berduri dengan suara berdesing menyakitkan telinga.
Wuuttst! Nguuungng!
Tak terbayangkan betapa kagetnya Mahesa Wulung serta Palumpang. Roda berduri yang berkilatan dan menyilaukan mata itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mereka.
Beruntung, bahwa mereka berdua sejak tadi telah berwaspada terlebih dahulu. Sehingga di saat roda berduri tadi menyambar rendah, keduanya secepat kilat mengendapkan diri rapat-rapat ke lantai rakit.
Nguungng!
Roda berduri lewat menyambar beberapa jengkal di atas kepala Mahesa Wulung dan Palumpang dengan kecepatan dahsyat dan menderu bagaikan angin topan.
"Hia, ha, ha, ha. Kalian kaget bukan?!" seru Talipati serta menarik kembali senjatanya.
"Maaf, dua kelinci goblok. Itu tadi hanyalah sekadar perkenalan terdahulu. Ha, ha, ha!"
Mahesa Wulung terhenyak kagum. Ternyata dengan lincahnya Talipati mampu mengulur dan menarik senjatanya. Dengan demikian, untuk menghadapi sasaran-sasaran yang jauh, ia tidak mendapat kesukaran apapun.
"Untuk serangan berikutnya, harap Andika berhatihati," berkata Mahesa Wulung memperingatkan Palumpang. Peringatan itu ternyata tidak sia-sia, sebab tiba-tiba Talipati telah menyambarkan senjatanya kembali dengan gerakan membelah.
Seketika itu pula roda berduri yang berkilatan menyambar ke bawah ke arah rakit sasarannya dan tepat di saat itu, berserulah Mahesa Wulung kepada sahabatnya.
"Loncaat!"
Syrat.... Syraat Byaaarrr!
Suara berderak terdengar berbareng dengan hancurnya rakit milik Palumpang berkeping-keping seperti bekas dipotong-potong oleh mata gergaji.
Talipati tertawa terkekeh-kekeh girang, karena pikirannya telah memastikan bahwa kedua buronannya itu akan mampus. Dengan demikian ia akan dapat menyeret tubuh mereka ke hadapan Ki Rikma Rembyak. Hadiah uang emas seribu keping telah terbayang-bayang di rongga matanya, seakan-akan telah tergenggam di dalam tangannya.
Akan tetapi bukan buatan kagetnya, sewaktu ia mendapatkan Mahesa Wulung dan Palumpang telah berloncatan lincah di atas permukaan air. Oleh sebab itu tak mengherankan kalau Talipati mengutuk-ngutuk, bergerundalan kalang-kabut bagaikan kakek-kakek yang kebakaran jenggot.
Kiranya, bukan hanya dirinya sajalah yang mampu berjalan di atas permukaan air. Kini berdirilah di hadapannya dua orang lain yang menjadi musuhnya dalam posisi dan sikap yang sama.
Pada saat itu juga, terlihatlah sebuah pemandangan yang ganjil dan menakjubkan. Di atas permukaan air laut yang menggelombang, berloncatanlah tiga orang manusia bagaikan tiga ekor serangga anggang-anggang yang lagi bermain-main di atas air. Talipati tidak tinggal diam lagi. Kembali ia memutar senjata roda berdurinya dan menerjanglah senjata hebat tadi ke arah Mahesa Wulung dan Palumpang, dengan suara mendesau dan kecepatan yang sukar diukur. Sebentar lagi, pertarungan hebatpun pasti terjadi.
Sukar dibayangkan, betapa bahaya dan gawatnya menghadapi serangan senjata aneh yang datang dan perginya laksana kilat tanpa diketahui juntrungannya. Memang jarak antara Talipati dan kedua lawannya ini, cukup jauh. Tetapi dengan senjata yang bertali panjang sedemikian, rasanya tak ada halangan apapun untuk menerjang sasaran yang jauh.
Mahesa Wulung merasa, seolah-olah ia tengah menghadapi amukan senjata cakra milik Sang Prabu Kresna. Begitulah memang, senjata roda berduri milik Talipati ini mirip dengan senjata cakra. Hingga untuk melawannya, terpaksalah Mahesa Wulung dan Palumpang memeras tenaga dan kepandaiannya. Mereka mengendap, mletik ke sana-ke mari untuk menghindari serangan-serangan maut tadi.
"Hua, ha, ha, ha. Sekarang kalian tahu, bukan? Dengan siapa kamu berhadapan sekarang ini! Masihkah kalian ingin memamerkan kekuatanmu?!" teriak Talipati secara sombong, sedang tangan kanannya senantiasa memutar-mutar senjata roda berdurinya. Berbareng pula tangan kirinya menggenggam segulungan tali hitam mengkilat.
"Hmm, selamanya kita belum pernah berkenalan ataupun bertemu dan kita belum pernah saling merugikan. Tetapi mengapakah kita saling baku-hantam?" berkata Mahesa Wulung dengan tenangnya.
Talipati mencerengkan mata, lalu mulutnya bergerundal.
"Berlagak pilon, heei?! Untuk satu pertarungan yang telah kuimpi-impikan ini, tidak perlu kita saling kenal-mengenal lebih dahulu!"
"Jelasnya, engkau telah lama mengincarku, heh?!" sahut Mahesa Wulung pula.
"Nah, sekarang engkau telah lebih tahu, bukan?" ujar Talipati.
"Memang untuk hadiah seribu keping emas yang banyak itu, aku bersedia menyabung nyawa!"
"Jika demikian, mengapa sahabatku ini ikut pula kau musuhi?!"
"Heh, heh, heh. Engkau terang menjadi musuhku. Maka siapa saja yang menjadi sahabatmu berarti pula menjadi musuhku!" demikian kata Talipati seraya menyabetkan senjatanya ke arah Mahesa Wulung.
Roda berduri itu berputar menyambar kembali ke arah kepala Mahesa Wulung, namun pendekar Demak ini ternyata masih mencintai kepalanya, maka tak ayal lagi ia mengendapkan diri ke bawah.
Wessst!
Senjata maut milik pendekar berambut ijuk itu menyambar sangat rendahnya di atas kepala Mahesa Wulung. Untungnya saja ia tidak terlambat dengan gerakannya. Jika tidak, pasti batok kepalanya akan terpapas seperti buah kelapa.
"Gila! Kau bisa lolos dari senjataku ini, hah! Lagi mujur nasibmu kali ini, kelinci goblok!" berkata Talipati setengah jengkel.
"Baiknya kau coba sekali lagi menangkisnya. Hyaaatt!"
Tanpa ampun, senjata roda berduri menyambar lagi ke tubuh Mahesa Wulung. Kali ini arahnya sangat rendah sehingga tidak mungkin lagi jika Mahesa Wulung harus mengendap pula.
"Yaakkk!" Mahesa Wulung menggeram sambil melenting ke atas, laksana seekor belalang mencelat dengan gerakan ringan.
Talipati terpaksa mengutuk-ngutuk mendapatkan bahwa dua serangannya yang bertubi-tubi bisa dielakkan oleh lawannya. Dalam pada itu, belum lagi Talipati mengulang serangannya, mendadak ia mencium desiran angin datang dari arah samping.
Secepat kilat Talipati menengok ke samping dan alangkah kagetnya ketika dilihatnya Palumpang menyerang dengan tikaman pisau tulang ikan yang putih kekuningan dan runcing.
Serangan berbahaya ini tampaknya sukar dihindari. Tapi bagi Talipati yang kenyang pengalaman, tidaklah membuatnya gugup. Secepat kilat ia membuang diri ke samping sementara kedua kakinya lincah meniti buih ombak yang memutih dan berhempasan.
Sreeettt! "Huuhh!"
Terdengar Talipati mengeluh ketika ia dapat lolos dari serangan pisau tulang milik Palumpang. Ketika ia meraba sudut bajunya, ternyata telah sobek sepanjang satu jari.
Inilah yang membikin Talipati kaget setengah mati. Tak menyangka bahwa gerakannya masih kalah cepat dari tikaman pisau Palumpang. Biarpun tubuhnya tidak cedera, Talipati cukup jengkel karena pisau lawannya masih sempat merobek ujung bajunya.
Dari gerakan-gerakan ketiga pendekar tadi, timbullah gelombang-gelombang air laut yang berpusingpusing menggetarkan hati siapa yang melihatnya.
Beberapa ekor burung camar terbang menjauh sambil mengepak-ngepakkan sayapnya saking ketakutan.
Ketika Talipati makin gencar melakukan serangannya, Mahesa Wulung melesat ke depan seraya memutar pedangnya. Betapapun besarnya bahaya, ia tak mau terlalu memberi hati dan cuma berloncatan menghindar.
Talipati sangat kaget. Ia melihat tubuh lawannya ini melesat bagai sebuah meteor, sedang di tangannya tergenggam sebilah pedang berkilat siap menyerang dirinya. Tentu saja Talipatipun bukan seorang bodoh. Segera ditariknya senjata roda berduri dalam ukuran jarak pendek, untuk menyongsong serangan Mahesa Wulung.
Werrr! Traaang!
Benturan kedua senjata terjadi, diiringi loncatan asap panas mengepul ke udara. Sementara itu pedang Mahesa Wulung tergetar hebat seperti baru saja membentur dinding baja yang tebal. Sedang Talipati sendiri cepat meloncat ke belakang beberapa langkah disertai perasaan heran berlebih-lebihan. Senjata roda berduri di tangannya memental ke samping beberapa kali. Dengan demikian sadarlah, bahwa ia telah menjumpai lawan yang tangguh.
Palumpang tidak mau kalah. Melihat Talipati menghindar ke belakang, iapun menerjangnya dari arah samping sambil mengibaskan tangannya.
"Hiyaatt!"
Seketika itu pula melesatlah belasan duri ikan beracun ke arah Talipati.
Namun si peniti buih ini memang luar biasa. Sebelum duri-duri beracun tadi menembusi tubuhnya, ia telah lebih dulu menyampok runtuh dengan putaran senjatanya, roda berduri. Ketawanyapun terdengar pula.
"Hua, ha, ha, jangan mengimpi untuk bisa menjatuhkan Talipati si peniti buih!"
Sehabis berkata, Talipati menarik kembali senjata roda berdurinya. Kemudian dengan perlahan-lahan dan lebih teratur, Talipati memutar lagi senjata mautnya.
Werrr... sring... sring.
Roda berduri tersebut bertubi-tubi menyambar sasarannya, tanpa memberi banyak waktu yang lowong kepada Mahesa Wulung berdua.
Begitulah, pendek kata mereka berdua selalu mengambil langkah yang bertentangan! Dan karena ini pula Talipati semakin mengamuk sejadi-jadinya.
Pertempuran terus berlangsung dengan hebat seolah-olah tidak akan ada akhirnya. Sampai sejauh itu, Talipati masih belum tahu, bagaimana ia harus merobohkan kedua lawannya itu. Sebaliknya, Mahesa Wulungpun belum menemukan jalannya, bagaimanakah cara menaklukkan Talipati yang bersenjata dahsyat dan ganjil ini. Apalagi si iblis peniti buih ini sangat lincahnya bergerak di atas permukaan air laut, di atas buih yang berserakan tersebar di sana-sini.
Diam-diam Mahesa Wulung mengagumi ilmu peringan tubuh dan tenaga dalam Talipati yang mampu membuat dirinya ringan dan lincah bergerak di atas air tanpa alas kaki apapun. Berbeda dengan dirinya dan Palumpang yang masih melengkapi kakinya dengan sepasang seludang bunga kelapa, sehingga memungkinkan kakinya meluncur ringan ke sana-ke mari di atas permukaan air.
* * *
Ketika tengah berlangsungnya pertarungan dahsyat seperti itu, matahari lagi bersinar dengan teriknya, meskipun beberapa awan mendung bergumpalan melaluinya.
Dari arah selatan, sebuah perahu layar membelah air sangat lajunya. Layarnya mengembang dengan indah seolah sayap raksasa keputihan menjulang ke udara.
Di atas geladak perahu tampaklah beberapa orang sibuk mondar-mandir melempar pandangannya ke segenap arah, ke setiap penjuru permukaan laut. Begitu pula yang berada di atas puncak tiang layar, selalu mengawasi permukaan air, seperti tengah mencari sesuatu yang amat penting.
Memang benar. Mereka tengah mencari rakit yang dikabarkan oleh sementara nelayan sering mondarmandir terapung di laut dengan dua orang penumpangnya.
Seorang berjubah yang tidak lain adalah Gagak Cemani sibuk dengan teropongnya memeriksa ke segenap bagian dari cakrawala di depannya.
Tak jauh dari Gagak Cemani, berdiri pula Pandan Arum dengan pikiran yang cemas, terlihat dari caranya menggigit-gigit bibirnya yang merah delima, sebagai penahan getaran hatinya.
"Hoiii!" teriak seorang pengawas di ujung tiang layar.
"Perahu dari timur laut!"
Oleh teriakan tadi, baik Gagak Cemani, Pandan Arum, Tungkoro dan setiap penghuni geladak perahu menatap ke arah timur laut. Sebuah perahu nelayan muncul dari arah sana. Seorang penumpangnya tampak melambai-lambaikan tangannya ke arah perahu Pandan Arum.
Karenanya Gagak Cemani segera berseru kepada juru kemudi.
"Dekatkan ke arah perahu nelayan itu! Awas hati-hati dan pelan!"
Sejurus itu pula kedua perahu tadi saling mendekat.
Si penumpang perahu nelayan cepat berseru kembali.
"Hooi, harap hati-hati mengambil arah utara. Di sana tengah terjadi sesuatu yang mengerikan!"
"Heeii, apa yang mengerikan?!" teriak Gagak Cemani dengan lantangnya.
"Sebuah pusaran angin dengan sinar yang berkilatan muncul di sana!" kembali si nelayan berseru.
"Lihatlah burung-burung camar yang terbang ketakutan di atas itu! Jika boleh kunasehatkan, janganlah mengambil arah utara!"
"Terima kasih, sobat!" ujar Gagak Cemani pula.
"Memang itulah yang kami cari!"
Terperanjat si nelayan tadi mendengar kata-kata Gagak Cemani. Begitu pula beberapa orang temannya ikut tercengang. Si nelayan tua menggeleng-gelengkan kepala seraya mulutnya bergumam komat-kamit lalu kedua tangannya diusapkan ke wajahnya, dan kedengaran gumamnya.
"Semoga Anda semua dilindungi Tuhan!"
Agaknya, si nelayan tua tadi baru saja mengucapkan doanya kepada perahu Pandan Arum tersebut.
Kemudian kedua perahu itupun saling menjauh, masing-masing dengan tujuannya sendiri. Perahu Pandan Arum terus melaju ke utara tanpa menggubris tutur kata kecemasan dari mulut nelayan tua itu.
Keteguhan hati setiap penumpangnya seperti juga teguhnya kerangka perahu yang mampu menempuh dan menahan getaran serta hempasan gelombanggelombang lautan.
"Agaknya tengah terjadi keributan di sebelah utara sana, Adi Pandan Arum," gumam Gagak Cemani.
"Jadi benar juga kata nelayan tua tadi," sahut Pandan Arum.
"Bahwa di sebelah sana ada sesuatu yang mengerikan!"
"Menilik dari burung-burung camar yang terbang ketakutan itu, memang agaknya ada apa-apa di sana! Mudah-mudahan bukan hantu laut saja yang kita temui di sana."
"Aah, Kakang Cemani mau menakut-nakuti Pandan Arum?!" gumam Pandan Arum seraya memberengut sehingga Gagak Cemani tersenyum. Pendekar berjubah yang telah menganggap si Pandan Arum sebagai adiknya sendiri kadang-kadang tidak segan untuk melucu, sekadar untuk menghibur terhadap kecemasan Pandan Arum.
Mendadak gadis ini berseru seraya menunjuk ke air laut.
"Heei, lihatlah, Kakang Cemani! Perhatikanlah di bawah itu! Potongan dan serpihan-serpihan kayu tampak terapung-apung terbawa ombak. Apakah itu tidak kelihatan ganjil?!"
Gagak Cemani dan orang-orang lainnya segera pula memperhatikan permukaan air laut. Mereka dapat melihat banyaknya potongan-potongan kayu terombangambing ke sana-ke mari. Di antaranya terdapatlah potongan-potongan kayu yang masih terikat dengan seutas tali pada ujungnya.
Melihat itu Pandan Arum seketika berseru dengan lantang, "Itu adalah pecahan dari sebuah rakit. Ya, bekas-bekas rakit yang hancur!"
Gagak Cemani mengangguk, membenarkan pendapat Pandan Arum. Dalam hati ia mengakui ketajaman pikiran gadis ini dan kemudian iapun berkata.
"Memang benar. Itu adalah bekas-bekas kayu dari sebuah rakit. Jika begitu pasti ada sebab-sebab lain yang menyebabkan pecahnya rakit tersebut."
"Mungkin jawabannya ada di sebelah utara sana, seperti yang ditakutkan oleh nelayan tua tadi," begitu sahut Pandan Arum.
"Ya, jawabannya saya kira ada di sana," sambung Gagak Cemani seraya mengarahkan teropongnya kembali ke arah utara.
Tiba-tiba Gagak Cemani seperti orang linglung. Ia memeriksa teropong panjangnya dan menggosok-gosok kedua ujung kacanya dengan lengan bajunya, seperti mencoba membersihkan alat itu dari kemungkinankemungkinan debu yang melekat dan mengotori sehingga menimbulkan pemandangan-pemandangan yang mengganggu.
Sesudah itu Gagak Cemani malah mengucek-ngucek kedua matanya, sehingga Pandan Arumpun menjadi bertanya-tanya dalam hati.
"Aneh sungguh kelakuan Kakang Cemani." Iapun kemudian berkata kepada Gagak Cemani, "Hei, apakah Andika melihat hantu laut, Kakang Cemani?!"
"Ehh, aku tak tahu, Adi. Lihatlah dengan teropong ini. Ada sesuatu yang bergerak-gerak dan berloncatan di sebelah sana," kata Gagak Cemani seraya menyerahkan teropong panjang kepada Pandan Arum.
"Rupanya seperti bentuk manusia, tetapi mereka berloncatan di atas permukaan air!"
Pandan Arum segera memasang teropongnya dan betullah apa yang dikatakan oleh Gagak Cemani tadi. Di antara deru dan hempasan gelombang laut, Pandan Arum dapat melihat tiga bayangan manusia berpusar berloncatan di atas permukaan air, sehingga iapun menyeletuk.
"Kakang Cemani. Aku yakin itulah yang ditakutkan oleh nelayan tua tadi. Di antara gerakangerakan tadi memang terlihat adanya sinar yang berkilatan berputar-putar!"
"Nah, ke sanalah kita akan menuju, Adi Pandan Arum," sambung Gagak Cemani pula.
Pandan Arum makin berdebar-debar dadanya, ketika perahu makin menuju ke arah utara. Sedang Gagak Cemanipun memberi aba-aba kepada juru mudi.
"Arahkan ke utara lurus!"
Haluan perahu membelah permukaan air, menyibakkan gelombang laut laksana ikan lumba-lumba yang lagi berenang dan berkejaran.
Meskipun telah begitu cepatnya, namun toh seluruh awak kapal merasa bahwa perahunya masih sangat lambat, lebih-lebih dengan Pandan Arum sendiri.
Ketika Pandan Arum mengarahkan teropongnya kembali, berserulah ia dengan kaget, "Kakang Cemani! Itu adalah tiga orang manusia yang berloncatan di atas permukaan air. Tidak keliru lagi. Kelihatannya mereka tengah bertempur, Kakang Cemani!"
"Bertempur?" ulang Gagak Cemani heran.
"Mari aku pinjam teropong itu. Aku tak habis mengerti dengan mereka!" Demikian Gagak Cemani menerima kembali teropong dari tangan Pandan Arum dan secepatnya ia melihat ke arah utara.
"Betul! Mereka adalah tiga orang manusia yang lagi bertempur! Sungguh menakjubkan!"
Memang menakjubkan. Ketiga manusia yang dilihat oleh mereka tadi, tidak lain adalah Talipati, Mahesa Wulung dan Palumpang yang tengah bertempur dengan sengitnya. Beberapa puluh jurus mereka telah menghabiskannya, namun sampai saat itu mereka masih tampak segar-bugar dan bersemangat. Satu hal yang jarang dapat ditemui!
Ketika pertempuran hebat masih akan berlangsung lebih lama, Mahesa Wulung belum bermaksud menggunakan cambuk Naga Geninya, sebab ia tidak akan memakainya bila keadaan tidak betul-betul gawat.
Tiba-tiba Talipati mendongakkan kepala seraya menggerendeng, "Keparat! Teman-temanmu berdatangan, Mahesa kerdil. Kau pasti akan main keroyok. Nah, sampai jumpa lagi dalam arena pertarungan yang akan datang!"
Habis berkata, Talipati memutar tubuhnya lalu melesat ke utara bersama-sama gulungan ombak laut dan lenyaplah ia dari pandangan mata! Menakjubkan sekali.
Mahesa Wulung menarik nafas dan berpaling ke arah selatan. Begitu pula Palumpang yang berhidung tajam segera berseru.
"Lihatlah, sebuah perahu menghampiri kita."
Keduanya segera menampak sebuah perahu layar yang laju, meluncur ke arah mereka. Semula kedua sahabat ini masih bertanya-tanya, siapakah gerangan yang berperahu mendatangi mereka. Namun Mahesa Wulung segera berseri wajahnya, bila telinga tajamnya mendengar teriakan nyaring yang telah dikenalnya, dengan memanggil-manggil namanya.
"Kakang Mahesa Wulungngng...!"
Itulah suara Pandan Arum! Dan karenanya Mahesa Wulung serta Palumpang segera berloncatan menyambut perahu tadi.
Sesungguhnyalah Mahesa Wulung telah mengenal dan hafal akan suara tadi. Dengan suaranya saja Mahesa Wulung telah dapat membayangkan betapa wajah orangnya, potongan tubuhnya dan rambutnya yang hitam bergelombang tersanggul dengan ujungnya terurai ke pundak.
Begitulah, kalau seseorang telah mencintai, maka apa saja yang bersangkut-paut dengan orang yang dikasihi tadi akan mudah terbayang olehnya. Suatu daya ingat dan daya bayang yang kuat telah terbukti di sini, seirama dengan pemusatan pikiran yang sempurna.
Agaknya tak bedanya dengan orang yang menonton pesawat televisi, maka ia tidak saja mampu melihat orang yang dikasihi tadi, tapi juga dapat melihat kejadian-kejadian yang telah lewat seolah-olah kejadian tadi masih berlangsung di hadapannya.
Oleh sebab itu, tak usah diherankan bila pemusatan pikiran dan daya bayang yang dilakukan sangat berlebih-lebihan tanpa dikendalikan secara bijaksana akan menyebabkan orang bertingkah-laku kurang wajar, mengarah seperti orang yang tidak waras. Kadangkadang ia tertawa sendiri, berkata-kata dan menangis terhadap bayangan yang dilihatnya tadi. Rupanya itu pulalah sebabnya mengapa seseorang yang jatuh cinta kepada seseorang lalu dikatakan sedang menderita "sakit cinta" atau "lara wuyung" dalam istilah Jawa. Teriakan jarak jauh yang dilontarkan oleh Pandan Arum itupun bukan sekadar teriakan biasa, tapi dilambari oleh tenaga dalam yang kuat.
Melihat adegan ini, Palumpang sesaat tertegun sendiri dan hampir-hampir ia tertinggal oleh Mahesa Wulung yang berloncatan dengan pesatnya ke arah selatan untuk mendekati perahu tersebut.
"Haai, tunggulah aku, sobat!" seru Palumpang seraya mengejar di belakang Mahesa Wulung.
"Andika terlalu cepat! Aku jadi tertinggal karenanya!"
Mahesa Wulung menengok ke belakang oleh teriakan sahabatnya, dan iapun lalu terkejut bila ternyata si Palumpang memang tertinggal agak jauh di belakangnya.
Dengan segera ia memperlambat sedikit gerakannya seraya berkata.
"Heh, heh, maaf, sobat Palumpang. Kekasihku berada di perahu itu. Kau dengar teriakannya, bukan? Pastilah ia telah kecemasan sejak tertangkapnya aku oleh Surokolo itu!"
"Ooo, jadi diakah Nona Pandan Arum, seperti yang pernah Andika ceritakan?" sahut Palumpang dengan wajah cerah.
"Pantas Andika telah terbirit-birit menyongsongnya. Akh, anak muda, anak muda!"
Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kelakar sahabatnya tadi, dan keduanya telah menjadi semakin dekat perahu yang datang dari arah selatan.
Begitu sampai, maka Mahesa Wulung berdua berloncatan ke atas geladak perahu dengan gerakan selincah belalang.
Tap! Tap! Tap!
Keempat kaki mereka yang berseludang bunga kelapa mendarat dan melekat ke atas geladak perahu, membuat seluruh awak perahu tersebut keheranan dan takjub.
"Kakang Wulung!" seru Pandan Arum seraya memeluk Mahesa Wulung dengan eratnya, seperti tidak akan mau melepaskannya kembali.
"Engkau tidak apa-apa, Kakang!"
"Aku telah ditolong oleh sahabatku ini. Namanya adalah Palumpang," ujar Mahesa Wulung memperkenalkan sahabatnya yang berkulit hitam itu.
"Aku telah cemas dengan kepergianmu, Adi Mahesa Wulung. Sejak perahu Surokolo itu bertolak dan membawa dirimu, kami menjadi sangat kuatir," ujar pendekar berjubah si Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung.
"Aku telah menjadi agak lengah waktu itu," sahut Mahesa Wulung.
"Tapi Surokolo memang orang yang sakti. Demikian pula dengan lawan yang baru kami jumpai tadi. Ia pandai meniti buih dan bersenjata roda berduri. Ia bergelar Talipati, si peniti buih. Baiknya aku ceritakan semua pengalamanku tadi untuk lain kali."
"Akan kembalikah kita ke Demak?" bertanya Gagak Cemani.
"Ataukah terus ke Jepara?"
"Kita kembali saja ke Demak, Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung.
"Banyak persoalan yang harus kita bicarakan di sana."
Dan tak lama kemudian, aba-aba untuk memutar haluan terdengar mengumandang di segenap sudut perahu.
"Kembali ke Demak!"
Seperti seekor ular naga, perahu panjang itu memutarkan diri lalu berbalik ke arah selatan dengan lajunya. Angin laut berhembusan dengan cepatnya, melanggar tali-temali perahu dan layar bersiutan seperti bunyi siulan-siulan merdu yang menggembirakan. Hingga di sini, selesailah seri Naga Geni "Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung". Segera menyusul seri Naga Geni yang berjudul "Bukit Kepala Singa". Salam buat pembaca-pembaca tersayang.
TAMAT
INDEX NAGA GENI | |
Pembalasan Rikma Rembyak --oo0oo Bukit Kepala Singa |