Life is journey not a destinantion ...

Bukit Kepala Singa

INDEX NAGA GENI
Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung --oo0oo Tragedi Di Tengah Kabut

MAHESA WULUNG
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

PERAHU YANG MEMBAWA Mahesa Wulung, Pandan Arum, Gagak Cemani dan Palumpang serta rombongannya telah tiba kembali di bandar Muara Demak. Sejak tiba di tempat ini, Palumpang tak habis herannya melihat keramaian yang ada. Nampaknya, semenjak ia mengasingkan diri dengan rakitnya di lautan, Palumpang hampir tidak pernah menginjakkan
kaki ke bandar pelabuhan, apalagi ke kota-kota besar.
Memang keramaian-keramaian manusia itulah yang dihindarinya selama ini. Tak tahunya, sekarang ia telah menyaksikan kembali. Tambahan lagi, banyak terjadi perubahan-perubahan baru yang sangat berbeda dengan keadaan waktu ia masih pemuda beberapa belas tahun yang lalu.
"Aku harap Anda tidak berkeberatan untuk menjadi tamuku beberapa waktu di Demak nanti," ujar Mahesa Wulung kepada Palumpang.
"Dengan senang hati aku menerima tawaran Andika," sahut Palumpang seraya tersenyum.
"Asal saja tidak untuk selamanya."
"Ehh, jadi Anda akan kembali lagi ke laut?" Mahesa Wulung bertanya serta menatap ke arah Palumpang dengan keheranan.
Palumpang tersenyum kepada sahabatnya.
"Andika tak perlu heran, Mahesa Wulung! Lautan telah menjadi darah dagingku. Dalam urat-urat tubuhku, seolaholah telah mengalir air laut yang setiap kali memberikan panggilan untuk turun ke sana."
Sesaat Mahesa Wulung mengangguk-angguk, memahami akan segala tutur kata sahabatnya yang berkulit hitam coklat ini. Sebagai perwira laut, iapun banyak mengetahui seluk-beluk para pelaut dan nelayan, yang hampir setiap harinya berkecimpung di lautan dan betapa besar kecintaan mereka kepada laut.
Tak antara lama mereka telah mendapatkan beberapa ekor kuda yang telah dipinjamkan oleh petugaspetugas bandar Muara Demak. Dan segeralah mereka berpacu ke arah selatan, menyusuri Sungai Tuntang.
Mahesa Wulung seperti tak sabar lagi untuk menginjakkan kakinya ke kota Demak. Banyak hal-hal yang harus diselesaikannya. Laporan-laporan tentang masa cutinya yang sedikit melebihi waktu dan kejadiankejadian lain yang dialaminya selama ini. Lebih-lebih pengalamannya yang terakhir sekali, di mana ia hampir saja diseret di depan Ki Rikma Rembyak di Pulau Mondoliko.
Kini Mahesa Wulung telah tahu dengan pasti bahwa Pulau Mondoliko menjadi pusat dari kekuatan lawan yang bermaksud mengacau negara.
Sudah barang tentu hal itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun sekali lagi Mahesa Wulung harus berpikir dua kali, begitu ia memikir-mikir untuk menggempur pulau tersebut dengan kapal-kapal armada Demak.
"Hmm, pekerjaan itu tidak begitu mudah," gumam Mahesa Wulung sambil menggeprak kudanya.
"Jika perang terbuka tersebut dilancarkan, maka pastilah akan menimbulkan korban yang tidak sedikit di pihak armada Demak. Apalagi dengan kekuatan mereka yang tersembunyi di sana, menjadikan Pulau Mondoliko seperti benteng setan yang sukar ditembus."
Demikianlah Mahesa Wulung berpikir-pikir dalam perjalanan itu, sementara kawan-kawannya sibuk pula memacu kudanya, kabur ke arah selatan.
Seperti mencoba membalik-balik sebuah buku, Mahesa Wulung terus berpikir dan mengenang segala kejadian yang telah dialaminya beberapa waktu yang akhir ini.
Ketika kenangannya sampai pada pertarungan melawan Surokolo dan betapa senjata jala dari lawannya itu masih mampu melumpuhkan tubuhnya, tiba-tiba saja Mahesa Wulung terlonjak kaget, seperti disengat oleh sesuatu.
Yah, memang patutlah jika Mahesa Wulung lalu menjadi kaget, karena sesungguhnya ia hampir-hampir tak dapat mempercayainya akan hal itu! Bukankah ia telah memakai sebuah cincin yang bernama Galuh Punar yang katanya sanggup menolak dan melindungi dirinya dari serangan-serangan racun berbisa?
Tetapi toh kenyataannya ia tak mampu menanggulangi senjata jala berbisa dari Surokolo! Percikan pikiran tadi sungguh di luar dugaan, sehingga untuk beberapa saat ia membiarkan kudanya berhenti memacu dan beberapa lompatan ia tertinggal di sebelah belakang.
Keruan saja Pandan Arum menjadi tercengang-cengang dan buru-buru ia menjaga kekasihnya itu.
"Kakang Wulung, mengapa engkau...?"
"Ooh, tidak apa-apa, Adi. Maaf aku agak 'melawan' tadi," sambung Mahesa Wulung menutupi dirinya. (Editor: 'melawan' apa, ya?).....
Pandan Arum merasa tidak puas dengan jawaban kekasihnya, tapi sebagaimana ia telah sekian lama mengenal sikap-sikap dan pribadi Mahesa Wulung, maka ia membiarkan saja sikap kekasihnya itu. Sesungguhnya ia tahu pula, bahwa Mahesa Wulung tengah memikirkan sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin akan membawa mereka ke arah pengalamanpengalaman yang baru dan mendebarkan!
Mereka masih terus berpacu, sebagaimana pikiran Mahesa Wulung yang juga berpacu untuk menekuni tentang cincin pusakanya si Galuh Punar tadi. Sambil lalu, ia berkali-kali melirik ke arah jari manisnya yang sebelah kiri untuk menatap cincin bermata kuning yang melekat dengan indahnya.
Dengan beragu sejenak, Mahesa Wulung melihat cincinnya tersebut dan terdengarlah gumamnya yang lembut, yang cuma terdengar oleh telinganya sendiri.
"Hmm, ia tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Seolah-olah ia telah kehilangan kekuatan dan sinarnya!" 
Pikiran Mahesa Wulung berputar kembali dan ia menebak-nebak sendiri.
"Memang batu Galuh Punar ini telah berkali-kali memberikan keajaibannya. Tapi sekarang...? Akh, memang batu ini diciptakan oleh Tuhan dan semua menurut kehendakNya. Jika cincin ini telah kehilangan saktinya, maka ia tidak lebih merupakan batu biasa saja!"
Mereka terus berpacu.
"Tetapi... ada kemungkinan lain yang bisa terjadi, sehingga cincin Galuh Punar ini tidak mampu bekerja! Yakni... jika cincin ini ditukar dengan cincin lain yang serupa!" begitu pikir Mahesa Wulung diam-diam.
"Namun di mana hal ini bisa terjadi dan seandainyapun benar, mengapa hal itu perlu dilakukan? Dan apa maksudnya?"
Sampai sebegitu jauh Mahesa Wulung tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi yang bermunculan dari rongga dadanya. Seperti orang yang meminum jamu pahit, Mahesa Wulung terpaksa menelan mentah-mentah segala pertanyaan itu.
"Heh, baiklah. Hal ini akan kupikirkan lebih lanjut di Demak nanti. Mungkin dengan ketenangan yang ada, aku dapat memecahkan teka-teki dan mengenal seluk-beluk tentang cincin Galuh Punar ini."
Mahesa Wulung akhirnya menghentikan pemikiran ke arah cincinnya tadi, akan tetapi, belum lagi ia selesai seluruhnya, mendadak saja seluruh rombongannya telah dikejutkan oleh sebuah lolong tangis yang panjang dan menyayat-nyayat hati.
Suara tangis tadi jelas suara orang perempuan dan berasal dari sebelah timur. Dan seperti digerakkan bersama, mereka serentak menoleh ke arah sana.
Beberapa orang penduduk tampak pula berlari-lari ke arah itu memasuki sebuah halaman rumah pedesaan.
"Hee, apa yang terjadi di sana?" gumam Gagak Cemani.
"Rupanya sebuah bencana, Kakang!" ujar Mahesa Wulung menyahut.
"Aku harus memeriksa ke sana!" sahut Tungkoro pula.
"Marilah kita melihat ke sana sebentar. Siapa tahu ada hal-hal penting yang berguna bagi kita!"
Sambil berkata Tungkoro memutar kudanya ke arah timur dan menderap ke arah sana, disusul oleh Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Pandan Arum dan Palumpang.
Jarak rumah tersebut dengan jalan yang dilalui oleh rombongan Mahesa Wulung kurang lebih sejauh lima puluhan tombak. Satu jarak yang cukup jauh untuk orang yang berjalan kaki. Namun bagi mereka yang berkuda ini, tidak ada kesulitan apapun. Dengan sekali geprakan saja kuda-kuda mereka telah melesat ke arah timur, menuju ke rumah pedesaan tersebut.
Suara lolongan tangis makin jelas terdengar ketika Mahesa Wulung serombongan telah sampai di sebuah tikungan jalan yang menuju ke rumah ini.
"Huuu... huuuu... Oooo, alah Simbah. Mengapa engkau meninggalkan kami... huuuu," begitulah terdengar ratapan tangis yang cukup memilukan.
Mahesa Wulung dan kawan-kawannya serentak meloncat turun dari punggung kuda dan segera berlarian memasuki halaman rumah itu.
Sementara itu beberapa orang yang melihat kedatangan rombongan Mahesa Wulung segera menyibak dan memberi jalan pada mereka.
Terlebih lagi ketika mereka melihat bahwa Tungkoro mengenakan ikat pinggang merah dan pedang lebar keprajuritan Demak, orang-orang segera menyambutnya.
"Pembunuhan, Tuan!" seru seorang penduduk yang beruban dan tua.
"Pembunuhan yang kejam dan aneh!"
"Haah, pembunuhan?!" seru Tungkoro kaget, seperti pula Mahesa Wulung dan kawan-kawan lainnya tak habis kagetnya.
"Mari kita periksa, Kakang Mahesa Wulung!"
"Baik. Ayolah, Adi."
"Hee, minggir, Kisanak dan para sanak kadang. Biar tuan-tuan ini memeriksa kejadian ini," seru orang tua tadi yang rupa-rupanya adalah salah seorang jagabaya di situ.
Mahesa Wulung dan Tungkoro segera mendekat ke arah korban. Tampaklah oleh mereka, seorang gadis dengan meratap memeluk seorang kakek tua yang tersandar di bawah sebatang pohon sawo.
Kakek tua yang tersandar itu telah memejamkan mata dan pucat sekali. Pada sudut mulutnya terlihat bercak darah hitam yang membeku. Dan yang membuat Mahesa Wulung kaget ialah terlihatnya sebuah bekas telapak tangan pada dada si kakek yang tak berbaju tadi. Bekas telapak tangan tadi berwarna merah kebiruan.
"Alangkah dahsyatnya!" desis Tungkoro begitu pandangan matanya menatapi bekas telapak tangan yang mengecap pada dada si kakek tua.
Mahesa Wulungpun terbelalak melihatnya, dan gumamnya kemudian, "Mmm, belum pernah aku menjumpai kejadian yang seperti ini. Tahukah Kakang Cemani tentang telapak tangan tersebut?"
"Memang luar biasa. Tetapi aku yakin bahwa si pembunuh adalah orang yang liar atau mungkin pula dari golongan hitam," ujar Gagak Cemani.
"Eeh? Kakang Cemani dapat memastikan?" sahut Mahesa Wulung pula.
"Jika tidak begitu, mengapa ilmu yang sedahsyat itu hanya digunakan untuk membunuh kakek tua ini?" berkata Gagak Cemani seraya memaling ke arah gadis yang masih terisak-isak di dekat tubuh kakek itu.
"Bukankah begitu, Nona?"
Gadis itu mengangguk lemah dan berkata dengan pelannya, "Benar, Tuan. Kakekku adalah orang yang baik-baik. Dia cuma seorang pemahat saja yang kerjanya membuat pahatan-pahatan dan ukir-ukiran. Oleh sebab itu kami menjadi heran bahwa ada orang yang telah membunuhnya...," kata-kata gadis itu terhenti sejenak sebab isak-isakan tertahan terdengar memenuhi mulutnya.
"Jadi tidak sepatutnya bukan, bila kakek Nona mempunyai lawan?" sela Mahesa Wulung.
"Itu... itu kami tidak tahu, Tuan," sambung si gadis malang tadi.
"Sebab memang beberapa tahun ia pernah meninggalkan keluarga kami."
"Hah, jadi dia pernah pergi juga?!" ujar Mahesa Wulung dengan kagetnya.
"Agaknya pada saat-saat itulah ada sesuatu kejadian penting yang Nona tidak mengetahuinya dan ada sangkut pautnya pula dengan peristiwa ini."
Gadis itu mengangguk ragu, tapi dari tatapan dan sorot matanya, agaknya ia bisa memahami akan segala kata-kata Mahesa Wulung.
"Haai, Adi Wulung. Coba perhatikan ini dulu!" sahut Gagak Cemani menyela sambil menunjuk ke arah dada kakek tersebut dan kemudian iapun menempelkan telinganya ke dada si korban.
"Dengarlah. Masih ada detak-detak lemah sekali yang berasal dari jantungnya! Rupa-rupanya pukulan telapak tangan ini tidak dilancarkan dengan sepenuhnya."
Kata-kata Gagak Cemani tadi ternyata membuat orang-orang di situ pada terlonjak kaget.
Maka seperti orang yang tidak percaya dan tanpa sadar si gadis menggoncang-goncang lengan Gagak Cemani seraya berkata, "Aah, benar... benarkah katakata Tuan itu? Atau Tuan sekedar bermaksud menghibur kesedihanku saja?"
"Hee, itu benar, Nona. Tapi sabar dahulu. Biar sahabatku ini mencocokkan perkataanku tadi," begitu kata Gagak Cemani seraya berpaling dan bertanya kepada Mahesa Wulung yang sedang memeriksa tubuh kakek tua itu,
"Bagaimana, Adi Mahesa Wulung? Apakah ia bisa kita tolong?"
"Kata-katamu benar, Kakang Cemani," berkata Mahesa Wulung.
"Ada sedikit kemungkinan bahwa ia akan dapat tertolong."
"Ya, tolonglah kakekku ini, Tuan," sela gadis di samping gagak Cemani dengan nada yang penuh harapan.
"Baiklah. Akan kami usahakan untuk menolong jiwanya," ujar Gagak Cemani.
"Tapi terlebih dahulu harus kami bawa ke dalam rumah dan tubuhnya harus terbaring dengan baik. Setelah itu barulah kami bisa merawatnya."
Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang penduduk di situ, tubuh kakek tua itu telah digotong ke dalam rumahnya dan kini dirawat oleh Gagak Cemani serta Palumpang.
Sedangkan Mahesa Wulung masih sibuk bercakapcakap dengan orang-orang di luar rumah. Agaknya ia tengah bertanya-tanya dengan mereka tentang kakek tua yang malang itu.
Selain itu, Mahesa Wulung tak henti-hentinya memperhatikan halaman rumah si gadis yang dihiasi dengan beberapa buah patung pahatan dari batu sungai yang berwarna hitam.
Bentuk-bentuk patung binatang seperti lembu dan harimau dalam keadaan duduk. Manusia dan patungpatung berpakaian raja seperti yang pernah dilihatnya dalam relief-relief candi di daerah Tambak Baya dan Mentaok.
Mahesa Wulung lalu menjadi kagum akan karyakarya pahatan si kakek tua ini. Betapa besar bakat dan rasa seninya dapat terukur dan terlihat pada karya pahatan itu semua.
Jika seandainya kakek tadi hidup di jaman Rakai Panangkaran di saat-saat pembangunan candi-candi Borobudur dan sekitarnya, pastilah kakek tadi akan dapat mengembangkan bakatnya seluas mungkin.
Tapi di jaman sekarang, di mana patung tidak lagi menjadi bagian penting dari setiap bangunan, sejak saat itulah seni pahatan dan mematung menjadi mundur. Kecuali di Pulau Bali yang pernah didengarnya. Mereka masih terus melangsungkan seni pahat dan mematung.
Yang sekarang masih dapat dilihatnya hanyalah di daerah Jepara. Seni ukir kayu masih terpelihara baik di sana sebagai seni kerajinan rakyat.
Sesaat kemudian, Mahesa Wulung melangkah ke dalam pintu masuk rumah si kakek tua. Di balai-balai yang beralaskan tikar anyaman, kakek itu dibaringkan dengan baik.
Agaknya Palumpang dan Gagak Cemani telah merawat dan mengobatinya. Di sebelah yang lain tampak si gadis yang tadi menangis, kini telah tenang dan menunggu kakeknya. Di sebelahnya, tampaklah Pandan Arum duduk dengan tekun, memperhatikan pengobatan tersebut.
Mahesa Wulung melangkah dengan pelannya mendekati balai-balai si kakek. Namun perhatian tiba-tiba terpaku pada sebuah meja kecil yang terletak di sebuah sudut rumah.
Entah mengapa hatinya tiba-tiba seperti terguncang. Bahkan Mahesa Wulung menjadi heran, mengapa nalurinya tergerak untuk melihat ke arah meja kecil tadi, sekaligus tertarik ke arah benda yang tergeletak di atasnya.
Dengan penuh perhatian Mahesa Wulung mengamatinya. Ternyata di atas meja kecil tadi terdapat sebuah pahatan patung yang terbuat dari batu putih dan mempunyai bentuk yang aneh. Pahatan patung yang menarik perhatian Mahesa Wulung itu berbentuk kepala dari seekor singa yang menganga ke atas, seolaholah mulut singa tadi sedang meraung.
Mahesa Wulung dengan mudahnya dapat mengenal bentuk kepala singa itu karena pada kepala dan sebelah belakang telinga, terdapat pahatan dengan goresan menjurai dan ujungnya melengkung merupakan ikalan rambut yang panjang.
Dan kemudian saja si pendekar Demak yang berotak tajam itu teringat akan patung-patung singa di daerah Candi Borobudur.
Yang membuat ia sangat heran ialah bentuk pahatan kepala singa tadi. Mengapa tidak dibuat seluruhnya, lengkap dengan badannya?
Sekali lagi Mahesa Wulung mengamatinya dan lamakelamaan patung kepala singa itu seolah-olah merupakan bentuk sebuah puncak gunung yang menjulang dan menganga ke atas! "Aku tak habis mengerti," demikian ujar Mahesa Wulung di dalam hatinya.
"Pahatan kepala singa itu dapat menarik perhatianku. Mungkin karena penempatannya yang sangat khusus dan beralaskan kain sutera merah itulah sebabnya. Hal ini hanya bisa dijelaskan oleh si kakek atau cucu gadisnya itu. Hmm, mudah-mudahan kakek tua ini dapat tertolong jiwanya!"
Pendekar Demak ini mendekati Gagak Cemani dan duduk di dekatnya. Mereka kini telah mengerumuni balai-balai si kakek tua.
"Bagaimana, Kakang Cemani? Ada harapan baginya?" tanya Mahesa Wulung kepada sahabatnya.
"Aku harap demikian, Adi Wulung," jawab Gagak Cemani seraya mengelus kumisnya.
"Telah kami usahakan sebaik-baiknya dan mudah-mudahan ia tertolong."
"Badannya telah hangat kembali," ujar Palumpang sambil menghapus beberapa butir air keringat yang muncul di dahi si kakek tua.
"Dan jantungnya mulai berdetak lebih keras."
Kini pusat perhatian tertumpah kepada si kakek tua yang terbaring di tengah-tengah mereka. Dadanya yang terluka telah dibalut dengan secarik kain bersih dan dibubuhi ramuan obat yang dibawa oleh Palumpang.
Tubuh si kakek mulai tampak lebih segar, tidak sepucat ketika Mahesa Wulung dan rombongannya menjumpainya. Juga urat-urat darahnya mulai tampak menggembung kembali. Agaknya darahnya telah mulai mengalir lancar, setelah beberapa waktu lamanya berdetak jantungnya lebih keras.
"Mmm... hehh... aduuuh...," demikian keluh yang keluar dari mulut si kakek.
"Ooh, Kakek! Kakek!" seru si gadis kegirangan bercampur haru dan memelukkan tangannya ke arah tubuh si kakek.
"Tahan dulu!" seru Palumpang sambil mencegah gerakan si gadis. Secepat itu pula Pandan Arum menahan si gadis untuk tidak melanjutkan maksudnya.
"Ooh, mengapa Tuan menahanku?"
"Maaf, itu demi keselamatan kakek Anda sendiri!" berkata Palumpang.
"Jika Anda memeluknya dan disertai isakan atau rasa haru yang meluap-luap, maka akan terloncat dan teralirlah getaran-getaran diri Anda ke tubuh si kakek. Dan karena tubuhnya masih belum kuat, maka tidak mustahil bahwa getaran-getaran tubuh Anda akan menghancurkan isi rongga dadanya. Dan akibatnya, kakek Anda akan mati dengan segera."
Mendengar ini, si gadis tadi terlonjak kaget serta menjadi ketakutan dan secepatnya ia menarik kembali kedua belah tangannya ke belakang disertai desisan menyesal.
"Ooh, maaf, Tuan."
"Tak apa, Nona," ujar Palumpang seraya tersenyum.
"Aku dapat memahami perasaan Anda."
"Sekarang, dapatkah Anda menyalurkan hawa sakti ke dalam tubuhnya?" bertanya Gagak Cemani kepada Palumpang.
"Ya. Sekaranglah saatnya," kata Palumpang seraya mengulurkan kedua belah tangannya untuk masingmasing menggenggam sebelah tangan kiri dan tangan kanan si kakek.
Palumpang kemudian memejamkan mata dan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang sukar didengar.
Sebenarnya memang Palumpang tengah bekerja menyalurkan hawa sakti untuk memulihkan tenaga dan kekuatan si kakek yang telah hilang. Pada wajah Palumpang, terbitlah bintik-bintik keringat kecil-kecil yang semakin lama makin bertambah besar dan kemudian menetes jatuh. Jelaslah bahwa pekerjaan tadi cukup berat baginya, seperti yang terlihat pada wajah Palumpang dengan mengucurkan keringat serta membara merah.
Hampir tak seorangpun melepaskan pandangan mata dari adegan yang cukup menegangkan ini. Terutama bagi si gadis sendiri.
Larangan si Palumpang untuk tidak memeluk si kakek tua ini, telah cukup mengguncangkan perasaan si gadis. Namun atas tutur kata Palumpang dan penjelasan-penjelasan Pandan Arum, telah membuat pengertian dan rasa terima kasih kepadanya.
Suasana yang tegang tadi makin memuncak dan meledak, merupakan jeritan kaget dari mulut orangorang di situ berbareng si kakek tua tiba-tiba bangkit dengan mata yang nyalang membelalak sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Ooh, tidak! Tidak! Aku tak mau ikut bersamamu lagi. Pergi! Pergi, kau Tangan iblis jahanam!"
Sambil berteriak demikian, si kakek tua tersebut meronta-ronta seperti hendak melesat kabur dari balai-balai tempat tidurnya.
Akan tetapi Palumpang cukup cekatan. Dengan dibantu pula oleh Gagak Cemani serta Mahesa Wulung, ia akhirnya dapat menahan gerakan si kakek.
"Tenang, Bapak! Sabarlah! Sebutlah nama Tuhan Yang Maha Besar agar kekuatan Bapak pulih kembali," demikian kata Palumpang dalam nada yang tenang dan penuh wibawa, sehingga si kakek tua itu berangsur-angsur mengendorkan dan kemudian menghentikan gerakannya.
"Ooh, di mana aku sekarang! Masih hidupkan aku ini?!" keluh si kakek tua dengan mengernyit-ngernyitkan matanya, seakan-akan ia tak mau percaya dengan pandangan yang ada di depannya. Namun ketika ia melihat wajah si gadis yang ada di sampingnya, berserulah ia dengan tiba-tiba, "Cucuku, Sekarwengi! Oohh!"
Si gadis yang bernama Sekarwengi ini lalu memeluk kakeknya disertai cucuran air mata, dan kali ini memang tak perlu dicegah lagi karena tenaga si kakek telah pulih. Sambil menatap ke arah para penolongnya berkatalah dia, "Tuan-tuan, kami bersyukur atas bantuan dan pertolongan yang telah Andika berikan. Perkenalkanlah, ini kakekku, Selakriya."
Suasana kini berganti meriah. Penuh dengan suasana gembira dan wajah-wajah cerah. Kakek Selakriya segera memperkenalkan diri kepada Mahesa Wulung, Palumpang, Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tungkoro.
Sekarwengi kemudian menyiapkan minuman untuk para tamu. Sementara itu, di luar, para tetangga si Kakek Selakriya ikut menengok ke dalam untuk ikut menyatakan ucapan selamat dan kemudian mereka satu demi satu pulang ke rumahnya masing-masing.
"Aku tak menyangka bahwa hidupku masih panjang," ujar Selakriya kepada para tamunya.
"Pukulan maut si Tangan Iblis itu sungguh dahsyat, dan ketika terkena olehnya, pandanganku seketika gelap dan napasku seperti putus. Ketika aku roboh ke tanah, aku masih sempat mendengar derai ketawanya yang memekakkan telinga."
"Hmm, jadi orang tersebut bernama Tangan Iblis?!" desah Mahesa Wulung.
"Untunglah bahwa ia tidak memukul Bapak dengan tenaga yang penuh. Agaknya ia mengandalkan bahwa dengan tenaga pukulan yang ringan, ia akan sanggup merobohkan sampai mati seorang tua yang seperti Andika ini."
Kakek tua itu manggut-manggut dengan ucapan Mahesa Wulung dan membenarkannya.
"Tetapi apakah sebabnya si Tangan Iblis itu sampai memusuhi Andika?" bertanya kembali Mahesa Wulung kepada Kakek Selakriya.
"Apakah Andika telah berbuat kesalahan kepadanya?!"
"Sebab aku telah menolak ajakannya untuk mengikuti sampai ke Pulau Mondoliko," kata Kakek Selakriya.
"Aku tak ingin pergi ke sana untuk kedua kalinya. Sekali saja sudah cukup dan aku merasa hidup di tengah-tengah para iblis."
"Jadi Andika pernah datang ke sana?" seru Mahesa Wulung saking kagetnya.
"Apakah yang Andika kerjakan di sana?" bertanya Gagak Cemani menyela.
Kakek Selakriya termenung sejenak sambil mengusap-usap jenggotnya yang kelabu, lalu berkata kembali, "Sebenarnya aku tak ingin untuk mengungkitungkit ataupun mengenang kembali peristiwa itu. Tetapi karena inipun agaknya penting untuk saya ceriterakan kepada Tuan-tuan, maka tak ada salahnya, jika aku tuturkan kembali."
"Kami tidak keberatan dan dengan senang hati akan mendengarkan penuturan Andika," Gagak Cemani berkata, sedang hatinya telah tidak sabar untuk mengetahui riwayat si Kakek Selakriya yang pernah tinggal di Pulau Mondoliko itu.

* * *




--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

KAKEK SELAKRIYA menarik napas panjang seolaholah ia ingin mengumpulkan semua pikirannya guna ditumpahkan dalam ceritera yang akan dituturkannya.
"Ceriteranya cukup panjang," begitu kata Kakek Selakriya memulai ceriteranya.
"Beberapa tahun yang lalu aku sering mengembara kemana-mana bersamasama dengan anakku yang laki-laki. Kami berkelana untuk mencari pengalaman dan memperdalam bakat yang kami punyai, yakni memahat dan mengukir batu untuk kami jadikan patung dan hiasan-hiasan lainnya. Bangunan-bangunan candi seperti Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan sering kami kunjungi. Bahkan kami pernah juga sampai ke Candi Penataran di Jawa Timur. Kami mempelajari patung-patung dinding yang ada di candi-candi tersebut. Ternyata banyak corak tadi makin berubah ke corak wayang kulit seperti yang terdapat di Candi Penataran, Jago dan lainlainnya.
"Ternyata hal ini banyak gunanya bagi kami sehingga selain pengalaman bakat kamipun bisa lebih berkembang.
"Selama mengembara itu, bila kami mendapat pesanan untuk menghias bangunan rumah yang baru, tentu kami kerjakan dengan senang hati dan penuh semangat.
"Demikianlah, maka nama kami mulai dikenal di beberapa tempat di mana kami membuat karya-karya kami.
"Perjalanan kami teruskan ke daerah timur menjelajahi wilayah Pulau Jawa di sebelah sana. Ternyata di daerah timur itu jauh lebih banyak bangunan-bangunan kuna yang bertebar di beberapa tempat.
"Peninggalan bangunan-bangunan dari kerajaan Majapahit, Singasari masih dapat terlihat dengan baik dan megahnya.
"Pada suatu hari, sampailah kami di kota Banyuwangi dan kami akan tinggal di sana beberapa lama, untuk mencari pengalaman yang baru.
"Di suatu sore, ketika kami tengah membuat sebuah ukir-ukiran patung kayu, datanglah seorang setengah tua yang gagah, berpakaian bagus dan memakai dastar cara Bali."

* * *



"Selamat sore, sobat!" sapa si pendatang tadi kepada Selakriya dan anaknya.
"Bolehkah aku mengganggu sebentar?"
"Ehh, mm, tentu Kisanak... tentu kami tak keberatan untuk itu," ujar Selakriya kepada tamunya.
"Adakah yang Anda perlukan dari kami?"
Tamu tadi tersenyum ramah sambil duduk ke atas sebuah balok kayu di dekat Selakriya, lalu berkata memperkenalkan diri.
"Aku bernama Wayan Arsana, datang dari Pulau Bali."
Selakriya menjabat tangan Wayan Arsana seraya menyebut namanya.
"Nama saya Selakriya, dan ini anakku, Sunutama namanya."
Ketiga orang itu kemudian saling berkenalan dan bercakap-cakap dengan ramahnya. Tampaklah Wayan Arsana mengagumi karya pahatan patung kayu Selakriya yang menggambarkan sang Bima Sena bertarung dan dililit oleh seekor ular naga. Karya tersebut sungguh mengagumkan bagi Wayan Arsana yang baru datang itu.
"Sungguh mengagumkan karya pahatan Andika ini," kata Wayan Arsana.
"Belum pernah aku melihat karya yang sehebat itu."
"Ahh, Anda terlalu memuji berlebih-lebihan, dan itu membuat kami merasa malu," ujar Selakriya merendahkan diri.
"Bukankah Pulau Bali penuh dengan pemahat-pemahat dan pengukir terkenal?"
"Betul kata Andika, Ki Selakriya," sambung Wayan Arsana.
"Namun toh aku dapat mengagumi hasil karya Andika. Meskipun corak pahatan Andika berlainan dengan corak daerahku, namun keindahan tetap terbayang dalam karya ini."
"Ehh, apakah itu benar, Ki Wayan?" berkata Selakriya sedikit segan, karena sanjungan tadi.
"Oo, itu aku katakan dengan sebenarnya, Ki Selakriya," sahut Wayan Arsana.
"Keindahan akan tetap mempunyai nilai-nilai keindahan walaupun coraknya berlainan. Seperti tarian dari Pulau Jawa dan di Bali ataupun dari pulau-pulau lainnya, akan tetap mempunyai keindahan sendiri-sendiri."
"Hmm, agaknya Anda seorang pengagum kesenian, Ki Wayan."
"Itu memang benar, sobat. Dan kedatanganku kemari inipun karena hal tersebut," ujar Wayan Arsana.
"Aku telah mendengar nama Andika beberapa waktu yang lalu, ketika seorang sahabatku yang datang dari Banyuwangi membawa serta sebuah karya pahatan patung kayu yang menggambarkan seekor garuda menyambar seekor ular. Kata sahabatku, patung tersebut adalah hasil karya seorang pemahat yang bernama Selakriya yang saat ini tinggal menetap beberapa waktu di kota Banyuwangi. Aku sangat mengagumi karya tersebut. Karenanya aku memutuskan untuk datang kemari serta menemui Andika."
"Ooh, terima kasih, Ki Wayan," gumam Selakriya.
"Telah jauh-jauh Anda datang dari seberang, untuk menjumpaiku di kota Banyuwangi ini. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bila kami menghargai kedatangan Anda ini."
"Ketahuilah Ki Selakriya, bahwa kedatanganku kemari ini ingin menawarkan suatu pekerjaan untuk Anda."
"Pekerjaan?" desis Selakriya seperti tak mau percaya akan pendengarannya.
"Apakah itu, Ki Wayan Arsana?"
"Kami sedang membangun sebuah rumah tinggal yang baru. Dan saya ingin agar di dalamnya dihias dengan patung-patung hasil karya dari Andika. Selain itu, gapura pintu gerbang rumah belum dimulai. Maksud saya, semuanya itu kami tawarkan kepada Andika."
"Senang sekali kami dengan tawaran Anda, Ki Wayan Arsana," ujar Selakriya.
"Tapi apakah itu tidak akan berbeda dengan corak-corak yang telah ada di sana?"
"Justru itulah, Ki Selakriya. Saya mengharap agar Andika memadukan corak dan gaya dari Jawa dengan corak-corak dari Bali," ujar Wayan Arsana dengan ramahnya.
"Dengan begitu, maka pintu gerbang rumahku akan mempunyai gaya yang sedikit lain tapi akan tetap indah."
Selakriya manggut-manggut mendengar usul Wayan Arsana tadi. Ia tak menyangka bahwa ada orang lain yang begitu besar menaruh minat kepada dirinya.
"Baiklah, Ki Wayan. Aku tak keberatan dengan permintaan Anda tadi. Tapi aku belum tahu apakah anakku akan menyetujuinya pula."
"Aku akan ikut, Ayah! Aku akan membantu Ayah menyelesaikan pintu gerbang itu," sahut Sunutama sambil menggoncang-goncang lengan ayahnya.
"Naah, itu bagus! Bagus!" seru Wayan Arsana gembira.
"Kapankah kalian berdua dapat berangkat?"
"Mungkin sehari, dua hari lagi, setelah patung sang Bima ini selesai," ujar Selakriya.
"Dan tentu Anda tidak terlalu tergesa-gesa, bukan?"
"Baiklah, Ki Selakriya," berkata Wayan Arsana diselingi wajah yang cerah.
"Aku akan kembali ke tempat penginapanku di sebelah timur kota. Dua hari lagi aku akan kemari untuk menjemput kalian."
"Terima kasih," sahut Selakriya seraya mengantar tamunya ke luar dari halaman rumah.
Tapi untuk sesaat Wayan Arsana berpaling kembali untuk menatapkan pandang ke arah patung sang Bima dan tiba-tiba berkatalah ia, "Ki Selakriya, bagaimana jika patung itu aku beli sekalian, untuk menghias rumahku?"
"Eh, jadi Anda berminat pula terhadap patungku ini?" ujar Selakriya pula.
"Begitulah jika Anda tak keberatan," Wayan Arsana berkata.
"Berapapun akan saya bayar untuk patung itu."
"Syukurlah jika Anda menyukainya. Dua hari lagi akan melihat keseluruhannya."
Wayan Arsana sebentar kemudian berpamit lagi dan melangkah ke arah timur, sementara sang rembulan telah mulai muncul di langit timur.
Ki Selakriya berdua terus mengikuti langkah-langkah tamunya dengan pandangan cerah, sampai akhirnya Wayan Arsana lenyap di sebuah tikungan jalan.
"Ooh, kita bakal mendapat pekerjaan yang lebih besar, Ayah! Dan lagi kita akan mengunjungi Pulau Bali," seru Sunutama kegirangan.
"Seolah-olah aku telah dapat melihat lemah-gemulai dari tarian penari-penari di sana "
"Jangan lekas-lekas bergembira, Sunutama!" desah Selakriya kepada anaknya yang masih hijau itu.
"Kalau pekerjaan atau tugas kita bertambah besar, itu berarti bahwa tanggung jawab kitapun makin bertambah lebih berat lagi!"
"Eeh, maksud Ayah?"
"Ketahuilah, Nak. Bahwa tanggung jawab seseorang itu akan selalu lebih berat daripada yang sudahsudah. Apalagi jika orang tersebut mendapat pekerjaan atau tugas yang lebih besar. Sebagai misal, seorang anak kecil akan selalu dibimbing oleh orang tuanya. Disuap, dimandikan, digendong dan sebagainya. Tapi jika ia makin meningkat dewasa, maka tanggung jawabnya akan lebih besar pula. Ia tidak lagi dimandikan, tapi akan mandi sendiri. Begitu pula ia akan menyuapkan makanan sendiri ke mulutnya. Kemudian, jika ia makin tua, maka akan dicarinya sendiri sandang pangan dan pekerjaan yang diingininya untuk menjamin kesejahteraan keluarganya. Nah, itulah yang aku maksudkan, Nak."
Si pemuda Sunutama menundukkan kepala dengan perhatian yang tercurah kepada tutur kata ayahnya itu. Terasa benar, betapa ia masih terlalu hijau untuk memahami hal-hal yang baru.
"Sekarang aku lebih mengerti, Ayah. Terima kasih untuk nasehat Ayah," kata Sunutama.
"Ya, itu bagus, Ngger," ujar Selakriya dengan rasa gembira.
"Marilah kita menyudahi dulu pekerjaan kita. Ringkaslah alat-alat pemahat kita dan segala sesuatunya. Besok kita akan melanjutkannya kembali."
Selakriya dan anaknya kemudian memberesi perabotnya ke dalam rumah, dan halaman itu kini telah sepi kembali. Beberapa ekor kunang-kunang beterbangan di sela-sela dedaunan, kesana-kemari seperti akan mencari, ke manakah gerangan manusia-manusia yang tadi duduk-duduk di halaman ini?
Akan tetapi agaknya kunang-kunang tadi tidak mengerti bahwa di sela-sela semak di seberang halaman rumah tersebut, terlihatlah sepasang mata yang mengawasi ke arah rumah Selakriya dengan tajamnya, seolah-olah sepasang mata burung hantu yang mengintai mangsanya.
Tatapan mata yang tajam itu seperti akan menembus dinding rumah dan menghunjam kepada para penghuninya, yakni Selakriya dan anaknya.
Hmm, siapakah sebenarnya si pengintai ini dan apa pula maksudnya dengan mengamat-amati Selakriya berdua?
Ternyata kemudian bahwa si pengintai tadi terenengan menggerundal, "Keparat! Jadi si Wayan Arsana akan mengambil kedua orang itu untuk menjadi pembantunya! Baiklah. Akan kutunggu kelak, sampai di mana ia tahan melaksanakan tugasnya dan untuk itu aku akan membuat perhitungan kepada mereka!"
Habis berkata demikian maka bayangan tadi lalu memutar tubuh dan meloncat meninggalkan tempat itu, laksana bayangan hantu, menembus malam yang semakin larut.

* * *




--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

PADA SIANG yang cerah di hari itu, Selakriya bersama Sunutama kelihatan tersenyum-senyum puas menikmati hasil karyanya yang baru saja selesai. Sebentar-sebentar mereka menghapus keringat yang mengalir di dahinya. Betapapun kepanasan, namun mereka tak merasakannya, karena perhatian mereka lagi tercurah kepada patung pahatan sang Bima yang lagi bertarung melawan seekor naga.
Memang sungguh mengagumkan. Kedahsyatan dan keperwiraan tercermin di dalam karya tersebut, menimbulkan semangat bagi siapa yang melihatnya. Kegagahan sang Bima Sena bergelut menghadapi rintangan yang tidak kecil. Meskipun tubuhnya telah dibelit oleh sang naga, toh Sang Bima tidak menjadi ketakutan dan tetap berjuang melawan lawannya, sehingga akhirnya ia ke luar sebagai pemenang.
Ketika itu matahari bergeser lebih ke barat. Dari arah timur muncullah si Wayan Arsana berjalan menuju ke arah rumah pondokan Selakriya, si pemahat yang terkenal itu.
"Selamat siang, Ki Selakriya," sapa Wayan Arsana memberi salam kepada si pemahat.
"Eeh, kedatangan Anda bertepatan dengan selesainya patung ini," ujar Selakriya mempersilahkan tamunya masuk ke halaman.
"Apakah Anda telah menyiapkan diri untuk keberangkatan itu?" Wayan Arsana bertanya.
"Untuk itu, kami telah bersiap."
"Bagus, sobat. Sore nanti, kita akan menuju ke bandar dan kita menyeberang dengan perahu layar."
Sunutama tersenyum dan bersinar-sinar matanya mendengar tentang perahu layar itu, dan karenanya iapun bertanya, "Paman Wayan, apakah itu perahu yang besar?"
"Oo, memang itu perahu layar yang besar," kata Wayan Arsana.
"Apakah Angger pernah pula naik perahu?"
"Pernah pula, tapi itu hanya perahu kecil saja di sebuah sungai."
"Heh, heh, heh itu sama saja, Nak. Cuma bedanya, kalau kita berperahu di sungai, airnya hanya tenang saja alirannya. Sedang di laut nanti, ombaknya jauh lebih besar daripada aliran air di sungai tadi. Nah apakah Angger juga berani berlayar menempuh ombakombak laut itu nanti?"
"Jika Paman berani... aku pun berani," ujar Sunutama sambil tersenyum lebar.
"Ha, ha, ha. Engkau bocah yang bersemangat, Angger Sunutama. Cocok sekali jika engkau putra Ki Selakriya," kata Wayan Arsana memuji.
Ketika matahari makin condong ke barat, Selakriya dan puteranya telah berkemas-kemas dengan barangnya. Bersama Wayan Arsana, mereka bergegas melangkah ke arah timur. Mereka singgah pula sebentar ke pondokan Wayan Arsana untuk mengambil barang-barangnya, setelah itu mereka langsung menuju ke bandar.
Beberapa perahu tampak berjejer di sana dan sebuah di antaranya telah siap untuk menyeberang. Memang jarak antara Banyuwangi dan Pulau Bali tidak terlalu jauh. Dan satu kota pelabuhan di Pulau Dewata itu yang paling dekat ialah Gilimanuk, sehingga di setiap harinya berhilir-mudiklah perahu-perahu layar yang menghubungkan kedua kota tersebut.
"Hooi! Kami telah menunggu!" terdengar seruan dari tukang perahu kepada Wayan Arsana bertiga.
"Ah, rupanya Anda telah memesan tempat," kata Selakriya seraya menoleh ke arah Wayan Arsana.
Sambil mengangguk, Wayan Arsana melambai ke arah perahu tadi.
"Benar, Ki Selakriya. Sebab aku kuwatir kalau-kalau kita tidak kebagian tempat. Dan lagi Andikapun belum tahu agaknya, bahwa perahu itu sudah menjadi langgananku untuk menyeberang kemari."
"Senang juga, ya. Rupanya Anda sering melakukan perjalanan keliling."
"Sebagai seorang saudagar memang aku sering berkeliling. Seluruh Pulau Bali dan pesisir-pesisir Jawa Timur telah aku jelajahi."
"Akh, untung sekali kami berdua dapat bertemu dengan Anda," kata Selakriya.
"Jika tidak, belum tentu kami mampu mengadakan perjalanan semahal ini."
"Heh, heh, heh. Itulah namanya nasib. Agaknya para dewa telah mempertemukan kita, Ki Selakriya."
Sebentar kemudian mereka bertiga telah turun ke perahu dan penyeberangan itupun dimulailah. Dengan lajunya haluan perahu membelah permukaan air dan angin sore yang kencang mengembangkan layar-layar bagai sayap-sayap raksasa.
Beberapa penumpang tampak pula duduk bersamasama Wayan Arsana, Selakriya dan Sunutama. Di antara deretan penumpang tadi, tampaklah seorang berpakaian bagus, berbaju sutera merah dan berwajah angker dengan kumisnya yang kaku.
Orang inilah yang lebih dulu memperkenalkan diri kepada Wayan Arsana bertiga. Dengan senyum ramahnya pula ia menawarkan makanan yang dibawanya kepada Wayan Arsana.
"Jimbaran," si kumis kaku menyebutkan namanya, kemudian ia menyampaikan secawan tuak kepada Wayan Arsana.
"Minumlah ini, sobat. Cocok sekali untuk hawa sore yang sejuk ini."
Mendengar orang ini menyebutkan nama Jimbaran, Ki Wayan Arsana terperanjat sesaat. Sebab ia seperti pernah mendengar nama tersebut, tapi entah di mana, iapun sudah lupa.
Namun dasar Wayan Arsana tidak mempunyai prasangka apapun, maka ia buru-buru menerima cawan tembikar berisi tuak yang diberikan oleh Jimbaran kepadanya.
Sesudah menyampaikan tuak tadi, si kumis kaku Jimbaran memperlihatkan senyumnya yang tajam, senyum yang bernada merendahkan.
Wayan Arsana menjadi kaget luar biasa begitu jarijemari tangannya memegang cawan berisi tuak tadi. Ternyata cawan tadi belum seluruhnya dilepaskan oleh genggaman jari-jari Jimbaran. Dengan begitu, maka Wayan Arsana mengira telah terdapat perbedaan waktu, antara saat penyerahan cawan dari tangan Jimbaran dan penerimaan pada tangannya. Sehingga wajarlah bila hal itu menimbulkan kecanggungan seperti di atas.
Akan tetapi kemudian Wayan Arsana benar-benar sangat terkejut bila perkiraannya semula adalah meleset. Kecanggungan tersebut bukan disebabkan oleh selisih waktu, tetapi memang disengaja oleh Jimbaran untuk menguji kekuatan Wayan Arsana.
"Satu permainan yang berbahaya!" kata Wayan Arsana di dalam hati.
"Agaknya ia mempunyai kebiasaan demikian!"
Kini terlihatlah adegan yang menarik dan mendebarkan hati. Masing-masing tangan kanan Jimbaran dan Wayan Arsana melekat dan memegang cawan berisi tuak itu. Tarik-menarik terjadi antara kedua orang itu untuk memperoleh tuak yang cuma secawan. Meskipun mereka tetap duduk pada masing-masing tempatnya, namun kedua tangan mereka saling bergetar mengadu tenaga dalam.
Wajah Wayan Arsana mulai nampak berkeringat. Rupanya iapun bukan orang sembarangan dan sedikit banyak mempunyai ilmu pula.
Melihat hal ini, Sunutama menyenggol-nyenggol lengan ayahnya sebagai maksud memberi tahu akan adu tenaga dalam antara Wayan Arsana melawan Jimbaran.
"Sttt," desis Ki Selakriya kepada anaknya agar berdiam diri menghadapi keadaan ini. Ia sendiri belum tahu, apakah yang akan diperbuatnya dalam menghadapi peristiwa yang demikian menggetarkan hati itu.
Butir-butir peluh menitik juga pada wajah Jimbaran, satu pertanda bahwa iapun telah mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi dibanding dengan Wayan Arsana, hal itu kelihatan besar bedanya.
Kalau wajah Wayan Arsana tampak tegang dan basah oleh keringat serta sebentar-sebentar meringis menahan rasa sakit yang mulai merayap pada tangannya, sebaliknya Jimbaran masih tampak segar! Bahkan mulut Jimbaran sebentar memperlihatkan senyum bangga, sehingga Selakriya dan Sunutama makin berdebar-debar dadanya. Mereka merasa kuatir akan keselamatan Wayan Arsana yang telah menjadi sahabatnya ini.
Jika Wayan Arsana ternyata akan kalah dan ketumpahan tuak ini tidaklah begitu menimbulkan kecemasan. Tapi jika tenaga dalam itu sampai meruntuhkan atau paling sedikit mencederai dada sahabatnya, inilah bakal membuat kegaduhan!
Keadaan makin gawat ketika tangan-tangan Wayan Arsana dan Jimbaran pada bergetar dengan hebatnya. Beberapa saat kemudian dapatlah dibayangkan bila Wayan Arsana akan menderita kalah.
Tiba-tiba saja, satu kejadian yang tidak disangka telah terjadi begitu cepat! Salah seorang penumpang yang duduk di pojok, berkerudung kain batik dan bercaping bambu serta berdiam diri saja dari tadi, tahutahu telah bersin dengan kerasnya.
"Haaa... haaa... haa, sin!"
Jimbaran terkejut bukan kepalang. Kalau suara bersin saja ia tidak bakal terkejut ataupun heran setengah mati. Tapi kali ini bersin yang ia jumpai terasa aneh dan luar biasa. Bersama bersin tadi terpancarlah satu semburan angin panas yang langsung membentur lengan kanan Jimbaran. Satu rasa pedih yang menyengat tulang telah menyerangnya dan keruan saja Jimbaran menjerit kesakitan.
"Aaaghh!"
Dan seketika itu pula Jimbaran melepaskan pegangannya pada cawan berisi tuak yang telah menjadi bahan perebutan.
Wayan Arsana dengan tenangnya kemudian menuangkan tuak itu ke dalam mulutnya, sementara Jimbaran mengutuk-ngutuk, seraya mengurut lengan kanannya yang terasa bagai terbakar oleh kobaran api.
Mata Jimbaran melirik tajam ke arah si caping bambu, dan seketika itu meletuplah marahnya.
"Keparat! Kau mengganggu permainanku, heei?! Kowe akan memperlihatkan kesaktianmu?"
"Ohh, tidak, Tuan. Tidak! Aku tak bermaksud begitu," ujar pria bercaping bambu itu seraya membungkuk-bungkuk setengah ketakutan.
"Aku tidak sengaja berlaku demikian."
"Kurang ajar. Ternyata engkau pandai memutar lidah!" bentak Jimbaran dengan wajah kemerah-merahan.
"Aku ingin tahu apakah engkau mampu pula memutar tenagamu!"
Begitu berkata, Jimbaran seketika menerjang ke depan dibarengi satu pukulan tinju yang langsung menghajar wajah pria bercaping.
Melihat hal ini, Wayan Arsana, Selakriya, Sunutama dan segenap penumpang lainnya berseru kaget. Mereka percaya bahwa pukulan yang dilancarkan oleh Jimbaran ini bukan sekedar gertakan untuk menakutnakuti saja, tapi adalah pukulan yang sepenuh tenaga. Malahan pula dilambari oleh kemarahan yang meluap.
Weesstt!
Suara mendesau terdengar menggetarkan telinga, namun si pria bercaping cukup memindahkan duduknya dan akibatnya pukulan Jimbaran cuma memperoleh udara kosong.
Sudah barang tentu si kumis kaku Jimbaran itu memaki-maki dan selanjutnya ia memutar tubuh serta kembali melancarkan serangannya.
Pukulan yang kedua segera melanda ke arah kepala lawan, tepat di saat itu pula kedua tangan lawannya telah didorong ke depan menyambutnya.
Blaaakk!
Terdengar sebuah benturan keras disusul oleh raung kesakitan dan tubuh Jimbaran yang terpental jatuh di geladak perahu.
"Heiii! Ohh... celaka! Berhenti, Tuan-tuan. Jangan berkelahi di atas perahuku ini!" teriak para tukang perahu yang ketakutan dan kalang kabut, karena badan perahu ini telah tergoyang-goyang.
Melihat itu pula, merekapun sadar bahwa kedua orang yang sedang berkelahi itu pasti memiliki tenaga dalam serta ilmu yang cukup tinggi.
Menjadi semakin penasaran si Jimbaran ketika dua serangannya tadi telah kandas begitu saja tanpa mampu menyinggung tubuh si caping bambu.
"Setan iblis! Kau menyepelekan aku, hah!" seru Jimbaran seraya menyingkap bajunya sekaligus melolos sebilah keris yang terselip di pinggang.
"Coba kau hadapi pusakaku ini kalau mampu!"
"Bagus! Sekarang jelaslah bahwa kau tidak mempunyai watak ksatria. Selagi lawanmu bertangan kosong, kau telah mencabut senjata!"
Jimbaran mengutuk.
"Persetan! Tak perlu banyak mulut!"
Sambil berkata itu, Jimbaran memamerkan ketrampilannya memainkan keris. Dengan hanya menggunakan telunjuk tangan kanannya, ia memutar keris tadi seperti gasing. Kemudian disertai seruan pendek, keris tadi tahu-tahu telah berpindah ke tangan kiri, dan selanjutnya pula keris tersebut berpindah-pindah antara tangan kanan dan kiri, sehingga membingungkan siapa saja yang melihatnya!
Diam-diam si caping bambu mengakui kepandaian Jimbaran dalam berolah senjata, dan karenanya tak mengherankan bila Jimbaran berani malang-melintang serta membuat perkara di muka umum!
Dalam pada itu, disebabkan saking sibuknya perhatian segenap penumpang perahu kepada pertarungan tadi, mereka tidak merasa bahwa sebuah perahu lain telah mendekat dan merapatkan badan perahunya kepada perahu yang ditumpangi oleh Wayan Arsana, Selakriya dan orang lainnya. Sambil berteriak nyaring, Jimbaran tahu-tahu telah menikam ke dada si caping bambu, tetapi lawannya ini dengan sigapnya mengelak dan berbareng itu pula sisi tangannya telah menampar pergelangan tangan Jimbaran, sehingga dengan teriakan mengaduh, keris tersebut telah terlepas.
Hal ini membikin si laki-laki bercaping bambu itu bersenang sesaat. Hanya sayang, bahwa kegembiraan itu cuma sesaat, sebab dalam gerakan yang gesit, Jimbaran menggerakkan tangan kiri dan... hup! Kerisnya yang terlepas tadi tertangkap lagi dan berpindah ke tangan kiri!
"Hua, ha, ha, ha," terdengar ketawa Jimbaran sambil menimang-nimang kerisnya.
"Bukalah matamu lebar-lebar. Kau berhadapan dengan Jimbaran, pendekar pilih tanding dari Gunung Batur! Apakah kamu punya nama, sampai berani melawanku?!" Sesaat itu pula Jimbaran bersuit dan beberapa orang meloncat turun dari perahu asing yang telah merapat tadi.
Melihat ini semua, penumpang dari perahu pertama serempak terkejut, kecuali Jimbaran sendiri.
Beberapa orang di antara mereka ada yang berteriak, "Perompak!"
Dan keruan saja keadaan di situ menjadi panik seketika.
Sunutama dengan ketakutan berlindung di belakang Ki Selakriya yang telah siap dengan sebilah kapak kecil bertangkai agak panjang.
Sedang Wayan Arsana, diam-diam pula telah bersiap dengan sebilah keris yang dihunusnya dari punggung. Meskipun ia jarang dan boleh dikatakan tidak pernah berkelahi, tetapi melihat pengacauan ini, ia tidak segan-segan untuk turun tangan.
Tiba-tiba terdengarlah ketawa yang menggelegar dari salah seorang perompak yang baru saja turun dari perahu asing yang telah merapat itu. Di tangannya tergenggam sepucuk pedang mengkilat yang ujungnya agak melengkung ke depan.
"Hii, ha, ha, ha, ha. Bukankah kedatanganku ini tepat, Adi Jimbaran?!" seru si perompak yang berpedang serta berwajah bengis itu. Giginya tampak kehitamhitaman. Dengan dua lobang pula yang menghias kedua ujung telinga, menambah keangkeran dari wajahnya.
Jimbaranpun lalu ketawa girang.
"Bagus, Kakang Jembrana! Hari ini kita akan memperoleh uang banyak-banyak!"
"Keparat! Jadi kau adalah komplotan dari perompak-perompak busuk ini, hah?" seru Wayan Arsana seraya mengacungkan kerisnya ke arah Jimbaran.
"Heh, heh. Lihatlah, Kakang Jembrana," ujar Jimbaran serta menoleh ke arah samping.
"Dialah si saudagar kaya yang sombong. Duitnya banyak dan sebentar lagi akan kita kuras habis!"
Mata Jembrana bersinar-sinar mendengar tutur kata adik seperguruannya ini, lalu katanya kemudian, "Ha ha, ha. Tapi kau pernah bilang pula bahwa si Wayan kaya ini mempunyai harta yang lebih menarik?!"
"Itu benar, Kakang Jembrana! Istri dan anak gadisnya sangat cantik!" sahut Jimbaran disusul oleh ketawanya yang merentet memuakkan. Begitu pula Jembrana ikut tertawa.
Sebaliknya, Wayan Arsana terperanjat dengan Jimbaran yang serba tahu itu. Maka tak habis-habisnya ia menatap tajam mengawasi wajah Jimbaran.
Dan sesaat kemudian, Wayan Arsana berseru kaget.
"Heii, bukankah aku telah mengenal wajah dan tampangmu itu?! Engkaulah bekas pelayanku yang dulu minggat dengan membawa barang-barang ber-
harga kepunyaanku!"
"Akh, ternyata otakmu masih dapat berpikir baik. Kuakui, memang akulah orang itu! Tahukah kamu, bahwa aku sengaja menyamar dan menyelidiki tempatmu?!"
Tiba-tiba saja sebelum percakapan mereka dilanjutkan, terdengarlah seseorang berkata dengan lantangnya, "Bagus, Jimbaran! Sekarang aku tahu siapakah engkau sebenarnya!"
Baik Jimbaran sendiri, ataupun Jembrana serta rekan-rekannya yang lain pada terkejut kaget! Mereka serentak memandang ke arah laki-laki bercaping yang baru saja berkata dengan lantangnya itu.
Sebentar kemudian, mereka melihat betapa dengan tenangnya laki-laki bercaping itu membuka caping serta meletakkannya di sudut geladak perahu. Sedang kerudung kain batiknyapun ditanggalkannya.
Maka terlihatlah dengan jelas, siapa sesungguhnya laki-laki itu.
Wajahnya masih tampan, meski telah kelihatan berumur sekitar tiga puluhan. Sebilah keris terselip di punggungnya. Ia mengenakan kain berbunga-bunga berwarna emas sampai ke pangkal dada. Begitu pula ikat kepalanya berwarna merah dengan bunga-bunga berwarna emas.
Wajah Jimbaran dan I Jembrana sesaat menjadi kaget, begitu pula Wayan Arsana dan orang-orang lainnya.
"Kamu tak usah heran!" seru laki-laki tadi yang baru saja menanggalkan capingnya itu kepada Jimbaran bersama rekan-rekannya.
"Akulah Ngurah Jelantik yang telah sekian lamanya mencari-carimu!"
Mendengar nama itu, hampir semuanya berseru kagum. Sebab siapakah belum mengenal akan nama Ngurah Jelantik, si pendekar kerajaan dari Singaraja? Apalagi nama Jelantik adalah nama-nama yang angker, yang hanya dimiliki oleh pendekar-pendekar sakti dan gagah berani!
Merasa tanpa ada jalan keluar secara gampang, Jimbaran serta I Jembrana, diikuti oleh rekan-rekannya serentak menyerang ke arah Ngurah Jelantik dan penumpang-penumpang lainnya.
Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru di atas geladak perahu tersebut. Untungnya di antara penumpang tadi tidak terdapat seorang wanitapun.
Ngurah Jelantik cepat bertindak. Sebelum para perompak itu merangsak para penumpang yang tidak tahu apa-apa, ia telah melolos keris di punggungnya yang panjangnya hampir satu lengan. Dan selanjutnya ia menerjang ke depan, menyambut serangan Jembrana yang datangnya bagai kilat.
Sementara itu pula, serangan Jimbaran telah disambut oleh Wayan Arsana. Keduanya menggunakan senjata keris sehingga pertarungan mereka seimbang tampaknya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya bertempur dengan kapaknya melawan beberapa perompak anak buah Jembrana. Gerakan Ki Selakriya cukup tangkas dan ia selalu berusaha melindungi Sunutama serta beberapa penumpang lain.
Dalam pada itu, tiga orang awak perahu pertama, berusaha sebisa-bisanya untuk ikut membantu Ngurah Jelantik, Wayan Arsana serta rekan-rekannya dalam menghadapi serangan perompak-perompak tadi.
Bunyi gemerincing senjata beradu, teriak-teriak peperangan serta bersimpang-siurnya gerakan manusia yang lagi berperang itu benar-benar mengerikan. Tapi memang begitulah seharusnya jika mereka tidak ingin mati.
Bahkan bagi mereka yang tidak pernah berkelahipun terpaksa mempertahankan diri dengan cara yang sebisa-bisanya. Dorongan naluri untuk mempertahankan diri memaksa mereka untuk bertempur melawan para perompak tadi.
Angin sore yang bertiup kencang terasa menamparnampar kulit dan cahaya merah sang matahari mewarnai segenap permukaan air, dinding-dinding perahu dan segenap penumpangnya lagi gigih dan sibuk bertempur.

* * *



Pertarungan di geladak perahu semakin bertambah dahsyat. Ngurah Jelantik yang harus menghadapi terjangan I Jembrana tidak pernah sedikitpun merasa gentar. Pedang lengkung I Jembrana berputar-putar laksana badai mengamuk, mengurung setiap bagian tubuh pendekar Ngurah Jelantik.
Memang hebat ilmu pedang dari Jembrana tadi. Dalam hati, Ngurah Jelantikpun memuji akan kehebatan ilmu pedang lawannya yang jarang ada duanya.
Hanya saja lawan yang dihajar oleh ilmu pedang I Jembrana ini, bukankah orang sembarangan. Nama Ngurah Jelantik telah banyak dikenal hampir di segenap daerah Pulau Dewata ini. Banyak sudah para penjahat atau gerombolan-gerombolan perusuh yang dibasmi olehnya sampai ludes.
Maka di saat ia harus menghadapi serangan-serangan I Jembrana sekarang ini, Ngurah Jelantik telah mengetrapkan ilmunya "Layang-layang Menempuh Hujan", sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh Ngurah Jelantik telah meloncat kesana-kemari, menyelinap di antara tebasan-tebasan pedang I Jembrana yang datangnya bertubi-tubi bagai curahan air hujan.
Sampai sejauh ini, Ngurah Jelantik belum membalas dengan serangan. Ia cuma menyelinap dan meloncat kesana-kemari menghindari pedang Jembrana. Hanya sekali-sekali saja ia menangkis dengan keris panjangnya.
Memang sebenarnya, Ngurah Jelantik sedang memancing kemarahan Jembrana, sebab ia sudah melihat bahwa Jembrana mempunyai tampang orang yang lekas naik darah. Dengan kemarahan seseorang, lebihlebih kemarahan yang meluap-luap, akan menyebabkan perhatian dan pemusatan pikiran menjadi buyar serta hilang berantakan.
Begitu pula I Jembrana. Ketika ia merasa dipermainkan oleh lawannya, gerakan pedangnya ditumpahkannya semakin hebat, sehingga ujung pedang tidak lagi tampak, tetapi yang kelihatan kemudian cuma berkelebatannya sinar putih.
Ngurah Jelantik sekali lagi bermaksud menguji lawan. Entah bagaimana cepat dan caranya, sebab tahutahu terjadilah adegan yang mengejutkan.
"Hiaatt!" teriak Jembrana dibarengi sebuah tikaman maut ke arah dada lawannya dan kemudian dadanya menjadi mongkok bangga begitu ia merasakan bahwa ujung pedangnya telah menembus sasaran yang empuk.
Blesss!
"Mampus kowe, Jelantik!"
I Jembrana yakin bahwa Ngurah Jelantik akan segera roboh terjengkang ketika pedangnya ini dicabut kembali dari dada lawannya. Oleh sebab itu Jembrana cepat-cepat mencabut kembali pedangnya. Namun hampir saja ia berteriak ketika dirasanya bahwa pedangnya sama sekali tak bergeming dan sukar ditarik kembali.
Dan yang membuat lebih kaget lagi ialah ketika kedua matanya menatap dengan jelas bahwa ujung mata pedangnya bukannya menancap di dada Ngurah Jelantik, tetapi cuma menelusup di antara ketiak lawannya sebelah kiri.
Sesungguhnya hal ini memang disengaja oleh Ngurah Jelantik untuk merontokkan semangat lawan. Sambil tersenyum, pendekar dari Singaraja ini membiarkan lawannya berkutat mencabut pedangnya kembali.
Ketika keringat dingin mulai mengalir di leher I Jembrana, Ngurah Jelantikpun merasa bahwa permainan ini sudah cukup. Maka dengan gerakan tibatiba, ia melepaskan pedang I Jembrana seraya kaki kanannya mengait ke depan
Weet! Brukkk!
I Jembrana terjengkang jatuh ke belakang terdorong oleh daya tariknya kembali, diiringi oleh jerit mengaduh.
Namun dasar dirinya telah memiliki daya tahan luar biasa, maka secepat kilat iapun melenting berdiri kembali dalam gerakan gesit, segesit belalang.
Sementara itu, Wayan Arsana tampak bertarung sengit melawan Jimbaran dalam tataran yang seimbang. Keris mereka berseliweran saling mencari sasaran tubuh lawannya.
Hingga sejauh itu masih belum ada tanda-tanda bahwa Jimbaran akan sanggup menundukkan lawannya. Wayan Arsana ini ternyata mampu bergerak lincah seperti burung sikatan, melesat kesana kemari setiap senjata Jimbaran mengancam dan kemudian mematukkan kerisnya bila ia melihat pertahanan yang lowong dari Jimbaran.
Pada gebrakan kedua puluh, Jimbaran berhasil menjegal Wayan Arsana, ketika musuhnya ini menangkis serangannya.
Wayan Arsana jatuh terjerembab ke geladak, sementara itu Jimbaran tidak membuang kesempatan dan memburunya dengan tikaman mematikan. Wuuusssttt... Craaak.
Jimbaran melotot matanya bila kenyataannya keris tadi tidak menancap di dada Wayan Arsana, tapi menancap pada geladak perahu. Sedang tubuh Wayan Arsana telah berguling ke samping dua putaran sekaligus mengirim tendangan kaki dengan jitu.
Plaaakk!
"Aaaaugh!" Jimbaran terpelanting sambil menjerit, begitu tendangan kaki Wayan Arsana menerjang pelipisnya.
Dengan terhuyung-huyung, Jimbaran bangun kembali, tapi ia menjadi kaget sebab kerisnya masih menancap dan tertinggal pada geladak perahu. Sedangkan Wayan Arsana telah berdiri mengancam dengan kerisnya, membuat semangat Jimbaran seperti terbang rasanya.
"Hmm, bangunlah dan cabut kerismu kembali. Aku tak ingin melawan seorang yang tak bersenjata!" seru Wayan Arsana.
Jimbaran menggeram marah seraya mencabut kerisnya kembali.
"Terlalu sombong kau, keparat! Kini giliranku! Haaiit!"
Seperti harimau luka, Jimbaran menubruk Wayan Arsana dengan nekad, dan keduanya jatuh bergulingan di atas geladak perahu.
Mereka saling mengancam dengan keris-kerisnya sambil bergulingan dan tindih-menindih silih berganti. Tiba-tiba Jimbaran menjerit parau seraya bangkit berdiri sambil menebahkan tangan kirinya ke atas dadanya yang mengucurkan darah segar.
Rupanya jerit Jimbaran tadi terdengar oleh I Jembrana, dan ia menjadi kaget seketika. Harapannya untuk dapat menguasai perahu menjadi buyar.
Ia tak mengira sama sekali bahwa iapun menjumpai tokoh tangguh Ngurah Jelantik ini. Tiba-tiba I Jembrana mengibaskan tangan kirinya dan belasan uang kepeng beterbangan ke arah Ngurah Jelantik dengan suara bersiutan mendesing.
Tetapi secepat itu pula pendekar Singaraja tersebut menggerakkan tangan kirinya membuat beberapa gerakan memutar di udara dan sesaat kemudian lenyaplah belasan uang kepeng tadi dari udara.
I Jembrana seperti tak percaya melihat itu semua. Kedua matanya makin membeliak begitu menatap tangan kiri Ngurah Jelantik yang dikembangkan. Belasan uang kepengnya yang dilempar tadi semuanya terselip di antara celah jari-jari tangan kirinya.
"I Jembrana! Semua uangmu masih lengkap. Sekarang, terimalah kembali! Haah!" seru Ngurah Jelantik sekaligus mengibaskan tangan kirinya ke depan sehingga uang-uang logam tadi menyambar kembali ke arah pemiliknya semula, yakni I Jembrana. Keruan saja jagoan dari Gunung Batur ini kalang kabut berusaha menghindari bahaya yang mengancamnya. Ia berusaha meloncat ke atas, tapi kurang cepat dan dua buah keping uang logam masih sempat mengenainya. Satu menyambar ikat kepalanya sampai lepas, sebuah lagi menancap ke lengan kanannya sehingga pedangnya terlepas seketika sambil menjerit.
"Aaarghh!"
Kekagetannya tidak sampai di situ saja. Ketika ia mendaratkan kakinya ke atas geladak perahu, mendadak saja keris Ngurah Jelantik menyambar di mukanya, dan alangkah kaget serta malunya sewaktu ia mendapatkan kumisnya telah terkupas separo.
I Jembrana makin sadar dan makin ngeri hatinya. Sekarang tahulah ia, bahwa musuh yang dihadapinya ini mempunyai banyak kelebihan daripada dirinya.
Merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai harapan untuk menang ataupun bertahan lebih lama lagi, maka I Jembrana tiba-tiba bersuit keras memberi isyarat kepada rekan-rekannya untuk lari meninggalkan tempat itu. Rasanya memang itulah jalan yang paling tepat!
Melihat ini Ngurah Jelantik kaget dan cepat-cepat ia berusaha mencegat lawannya, begitu juga Wayan Arsana, Ki Selakriya dan beberapa tukang perahu, bersama-sama ikut mengejar para perompak yang berlari ke arah perahunya.
Namun sekonyong-konyong mereka melihat I Jembrana menggerakkan tangan kirinya dan membanting sesuatu ke geladak perahu, disusul satu ledakan memekakkan telinga berbareng tersebarnya asap mengepul ke udara yang berwarna hitam.
"Munduuurrr! Asap beracun!" teriak Ngurah Jelantik kepada rekan-rekannya seraya menutup mulut serta hidungnya.
Dalam sekejap mata, asap beracun telah memekat, mengaburkan pandangan dan menghalangi para pengejar. Karena mereka tidak mau mati konyol, seketika pengejaran tadi dihentikan.
Dari arah kabut terdengarlah teriakan I Jembrana, "Kalian unggul hari ini. Tapi jangan keburu bangga. Tunggulah lain saat nanti!"
Ngurah Jelantik hanya dapat menggeretukkan giginya mendengar ancaman musuhnya tadi. Kalau hanya menurutkan nafsu amarah saja, mungkin ia sudah akan lari sendirian mengejar mereka.
Akan tetapi kemudian iapun insaf, bahwa musuh dapat berbuat lebih leluasa dari balik kabut itu tanpa dapat diketahui lebih lanjut oleh pihaknya. Dengan demikian, tidak mustahil bila pengejaran itu dilanjutkan, musuh sudah siap memberondongkan senjatasenjatanya sehingga akan menimbulkan banyak korban.
Untunglah Ngurah Jelantik sebagai pendekar yang telah matang dan mengendap pribadinya mampu mengekang amarahnya. Maka ia cuma berdiam diri, membiarkan musuhnya itu lolos. Namun tak urung giginya gemeretak menahan diri sedang matanya berkilat-kilat seperti hendak menembus kabut hitam di depannya.
Beberapa saat kemudian, kabut tadi makin menipis dan menghilang, tersaput oleh angin sore yang bertiup kencang. Di saat itu juga tampaklah oleh Ngurah Jelantik dan rekan-rekannya, bahwa perahu perompak yang semula merapatkan diri, kini telah berlayar menjauh, melarikan diri seperti anjing bercawat ekor karena ketakutan.
Para penumpang perahu penyeberang itu masih termangu-mangu di atas geladak sambil mengawasi perahu perompak yang kabur, sedang senjata-senjata mereka masih tergenggam di tangan.
Ki Selakriya masih menggenggam kapaknya dengan noda-noda darah yang menempel pada mata kapak itu. Begitu pula ujung keris Wayan Arsana masih ada bekas oleh darah.
Ternyata di atas geladak perahu, masih tergeletak seorang anak buah I Jembrana dengan menderita luka parah, sedang di sampingnya tergolek mayat seorang perompak lainnya. Agaknya mereka tidak sempat diselamatkan oleh kawan-kawan perompaknya yang kabur tadi.
Di pihak Ngurah Jelantik, tiga orang penumpang mendapat cedera kecil. Berbeda sekali dengan pihak perompak. Menilik dari banyaknya ceceran-ceceran darah yang banyak mengotori geladak perahu, bolehlah dipastikan bahwa di pihak perompak banyak yang menderita luka.
"Mereka telah kabur!" desah Ngurah Jelantik.
"Kita aman sekarang."
"Untunglah Andika bersama kami," ujar Wayan Arsana seraya menyarungkan kerisnya yang telah dibersihkan.
"Jika tidak, mungkin kami telah bergelimpangan menjadi mayat."
"Ah, janganlah Anda terlalu merendahkan diri," ujar Ngurah Jelantik.
"Akupun kagum akan ketrampilan Anda bermain keris. Kesemuanya itu adalah berkat kerja sama kita dan juga berkat pertolongan para Dewata."
Wayan Arsana, Ki Selakriya serta penumpang-penumpang lainnya mengangguk-angguk oleh kata-kata itu. Dalam batin, mereka tidak menyangkal akan kebenaran ujar si pendekar Ngurah Jelantik dari Singaraja tadi.
"Saudara-saudara tidak perlu heran," kembali Ngurah Jelantik melanjutkan kata-katanya.
"Aku telah membuntuti Jimbaran sejak ia mulai menyeberang dari Gilimanuk menuju ke Banyuwangi."
"Aah, sungguh menarik tutur Andika ini," ujar Wayan Arsana kagum.
"Aku tak menyangka bahwa Jimbaran yang berwajah baik itu menjadi anggota dari kawanan perompak."
"Hmm, itu patut menjadi bahan renungan bagi kita. Bahwa tidak semua yang buruk itu memiliki isi yang buruk. Dapat pula bahwa sesuatu yang kelihatan baik mempunyai isi yang buruk! Eeh, maaf jika kata-kataku ini lebih mirip dengan pidato," berkata Ngurah Jelantik disertai batuk-batuk kecil bernada segan.
"E, e, e. Tak mengapa, Tuan," sela Ki Selakriya ikut berkata.
"Sesuatu yang baik tidak perlu disembunyikan, dan aku kagum dengan tutur kata Andika tersebut."
"Terima kasih," balas Ngurah Jelantik seraya memandang Selakriya dan mengamati kapak bertangkai yang dipegangnya.
"Eeh, Kisanak bersenjata kapak? Dan Anda akan mengunjungi Pulau Dewata?"
"Dia sahabatku, Tuan," sambung Wayan Arsana.
"Namanya Ki Selakriya, seorang pemahat yang cukup terkenal. Aku bermaksud mengajaknya ke Pulau Bali dan mengundangnya untuk mengerjakan pahatan-pahatan di rumahku."
"Mmm, saya pernah juga mendengar nama Kisanak, dan beruntung bahwa sekarang saya dapat berjumpa dan berkenalan dengan Anda," berkata Ngurah Jelantik seraya memperkenalkan diri kepada Ki Selakriya.
"Saya bernama Ngurah Jelantik dari Singaraja."
Sesudah saling berkenalan dan sementara para penumpang yang menderita luka-luka diobati, para tukang perahu lalu kembali ke tempat tugasnya masingmasing.
Kemudian, perhatian Ngurah Jelantik, Wayan Arsana dan Ki Selakriya beralih kepada seorang anggota perompak yang terluka parah dan tertinggal di situ. Orang tersebut telah dirawat pula, meski harapan untuk tetap hidup sangat tipis. Pada dadanya terdapat bekas-bekas luka yang lebar dan cukup dalam. Keadaan sudah sangat lelah dan bicarapun sudah terlalu sukar untuknya. Karenanya Ngurah Jelantik menjadi cemas, sebab ia banyak membutuhkan keterangan dari orang tersebut.
"Lekas kau katakan, siapa nama pemimpinmu? Jelaskanlah pada kami, supaya dosa-dosamu menjadi ringan!" desak Ngurah Jelantik kepada orang yang luka parah tadi.
Si perompak ini rupanya menyadari akan segala dosa-dosanya, dan setitik harapan untuk meringankan dosanya telah timbul dengan pertanyaan Ngurah Jelantik tadi.
"Aku... ses... sangsi. Apakah... kal... kalian akan mampu... meng... hadapi... nya," ujar si perompak, sambil sebentar-sebentar menyeringai menahan sakit.
"Nam... namanya... ialah... si... si Tang... si Tangan... Iblis...! Hhh... hh "
"Telah berlalu!" gumam Ngurah Jelantik pelahan.
"Dan dia telah menyebutkan nama yang menakutkan...
si Tangan Iblis!"
"Memang menakutkan!" sahut Wayan Arsana menegaskan kata-kata sahabatnya.
"Nama si Tangan Iblis banyak membuat ciut hati orang-orang di pesisir barat dan selatan Pulau Bali."
"Itu tidak keliru. Si Tangan Iblis kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa dan belum pernah ada lawan yang masih hidup bila bertarung menghadapinya," ujar Ngurah Jelantik.
"Oleh sebab itu para pembesar di Singaraja telah menugaskanku untuk menyelidiki si Tangan Iblis tersebut. Akh, masih panjang tugas ini untuk diselesaikan, dan agaknya Andika berduapun tertarik pula oleh hal ini."
Wayan Arsana mengangguk.
"Kami kagum begitu melihat jurus-jurus gerakan dari tata kelahi Andika. Berkeberatankah bila Anda mengajarkan beberapa diantaranya kepada kami?"
"Oo, dengan senang hati saya bersedia mengajarkannya. Tapi di manakah Anda tinggal?" Ngurah Jelantik bertanya.
"Di sebelah timur Gilimanuk," jawab Wayan Arsana pasti.
"Tuan dapat singgah dan menginap beberapa hari di sana sebelum kembali ke Singaraja."
"Terima kasih untuk itu," Ngurah Jelantik berkata seraya mengeluarkan senyumnya.
Perahu penyeberang ini terus meluncur menuju ke arah timur, setelah beberapa saat yang lewat mereka telah meluncurkan ke air dua sosok tubuh tak bernyawa dari anak buah perompak I Jembrana.
Sang matahari telah mencium cakrawala barat dan menarik sinarnya untuk bersama-sama tenggelam di kaki langit sana. Daratan Pulau Bali telah tampak dan mulai membayang di sebelah timur. Beberapa perahu nelayan mulai tampak dan berpapasan dengan perahu penyeberang yang ditumpangi Ngurah Jelantik, Wayan Arsana, Ki Selakriya dan Sunutama.
Kini mereka dapat menarik nafas lega setelah penyeberangan ini melalui suatu bahaya yang hampirhampir merenggut nyawa dan menghancurkan mereka.
Pucuk-pucuk pohon nyiur yang semakin jelas tampak berjejer di sepanjang pantai, seperti mengelu-elukan, melambai ke arah perahu itu sebagai ucapan selamat datang. Lampu-lampu perahu yang berkelipkelip digoyangkan oleh angin tak ubahnya sekawanan kunang-kunang bertebaran di atas riak air dan gemercik, menambah suasana keindahan yang tergambar dari panorama senja di pantai Pulau Dewata.
Dari sana pula, terdengar sayup-sayup bunyi gamelan yang mengalun bersama angin senja, seperti melambangkan pulau yang hidup dan selalu bergerak, seirama gerak ujung tangan gadis-gadis yang menari dan putaran mata yang lincah selalu.

* * *




--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

GILIMANUK, sebuah kota bandar yang sangat ramai di pantai barat Pulau Bali. Di setiap harinya tak kurang belasan perahu yang menyeberang ke barat hilir mudik menghubungkan antara Gilimanuk dengan Banyuwangi, sebuah kota di pantai timur Pulau Jawa.
Di sebelah timur Gilimanuk, sedikit di luar kota, terdapatlah sebuah rumah yang megah dan berhalaman luas. Sebuah dinding halaman masih belum selesai dikerjakan, demikian pula gapura, pintu gerbang masuk ke halaman belum ada sama sekali,
Pada pagi itu, beberapa orang tampak berjalan-jalan di halaman yang luas. Seorang di antaranya memegang selembar kain putih bergambar dan ia membicarakan sesuatu dengan tiga orang di sampingnya.
"Sungguh pantas dan tepat bila gapura itu dibangun di sini," ujar seorang berwajah tampan, mengulasi terhadap gambar bentuk gapura yang tertera pada lembaran kain tersebut.
"Anda memang seorang pemahat yang ulung, Ki Selakriya."
"Tuan Ngurah Jelantik, apakah pujian tadi patut untuk diriku yang kecil ini?" Ki Selakriya berkata merendah diri.
"Heh, heh, heh. Aku berkata dengan setulus hatiku, Ki Selakriya. Anda tak usah sungkan-sungkan," sambung Ngurah Jelantik.
"Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih pada Andika," kembali berkata Ki Selakriya.
"Pujian Tuan Ngurah Jelantik tadi memang sudah sepatutnya, Ki Sela," ujar Wayan Arsana seraya menepuk bahu sahabatnya.
"Anda telah berhasil menggabungkan gaya-gaya pahatan Jawa dengan gaya pahatan dari Pulau Dewata ini. Dan inilah yang sebenarnya saya maksud."
"Kapankah gapura ini dapat mulai kita kerjakan?" bertanya Ki Selakriya mengalihkan persoalan.
"Eh, jika Anda telah siap, besokpun dapat kita mulai, Ki Sela," kata Wayan Arsana dengan senangnya.
"Lebih cepat selesai, itu lebih baik. Apakah sudah Anda catat segala kebutuhan-kebutuhan itu?"
"Semuanya telah tercatat dan sekarang anakku si Sunutama tengah memesankannya."
"Itu bagus, Ki Sela," kata Wayan Arsana pula.
"Namun Anda harus pula menyisihkan waktu untuk setiap sore. Anda belum lupa bukan, bahwa Ki Ngurah Jelantik akan mengajarkan beberapa jurus silat kepada kita?"
"Akh, ya, ya. Seperti jurus gerakan Burung Layanglayang menirukan beberapa gerakan yang pernah dilihatnya dari pendekar Ngurah Jelantik."
"Heh, heh, he, he. Anda mempunyai ingatan yang tajam, Ki Sela," sahut Ngurah Jelantik dengan keheranan, begitu ia melihat bahwa Ki Selakriya mampu menirukan gerakan-gerakan jurus silatnya dengan baik.
"Itu pertanda kalau Anda memiliki dasar-dasar yang cukup matang."
"Tuan Ngurah, apakah anakku si Sunutama diijinkan pula untuk ikut berlatih bersama kita?"
"Oo tentu, Ki Sela. Biarlah ia mengikutinya, sebab ini memang perlu bagi seorang pemuda seperti dia. Mempertahankan dan menjaga diri harus dilambari dengan bermacam ilmu dan kepandaian."
Wajah Sunutama yang berdiri di situ menjadi cerah mendengar penuturan pendekar Ngurah Jelantik tersebut.
"Heei, Sunutama. Jangan cengar-cengir melompong. Lekas berikan hormatmu kepada pendekar Ngurah Jelantik yang akan menjadi gurumu!" ujar Ki Selakriya kepada anaknya.
Tanpa menunggu perintah lagi dari ayahnya, Sunutama segera membungkuk hormat ke hadapan pendekar Ngurah Jelantik sebagai penghormatan seorang calon murid kepada gurunya.
"Aah, sudah, sudah," ujar Ngurah Jelantik seraya menepuk bahu Sunutama.
"Jangan terlalu dalam engkau membungkuk, Nak. Tegaklah kembali. Engkau telah kuterima sebagai muridku."
Kesanggupan Ngurah Jelantik untuk melatih Wayan Arsana, Ki Selakriya dan Sunutama tadi ternyata dikerjakannya dengan baik dan cermat.
Dan begitulah, pada setiap sore sesudah mengaso dari pekerjaannya, keempat orang tadi berlatih dengan giatnya. Setahap demi setahap, sehari demi sehari, Wayan Arsana bertiga telah diajari mulai dari langkahlangkah dasar sampai ke tingkat yang harus dicapai.
Bagi Wayan Arsana ataupun Ki Selakriya, mereka tak mengalami kesulitan apapun, sebab sebelum latihan itu, mereka telah mempunyai dasar-dasar yang cukup matang, sehingga bekal tadi seperti minyak licin yang mempermudah keduanya menerima segala pelajaran dari pendekar Ngurah Jelantik. Sedang Sunutama agak lain keadaannya. Dasar yang ada pada dirinya tidak seberapa, maka seharusnya ia akan banyak mengalami kesulitan dan bekerja keras.
Untunglah bahwa Ki Selakriya dan Wayan Arsana banyak memberikan petunjuk dan bantuannya, sehingga bagi Sunutama yang mula-mula mengalami kesulitan-kesulitan, akhirnya dapat mengatasinya.
Juga berkat kerajinan Sunutama sendiri yang kadang-kadang suka menekuni berlama-lama antara gerakan ayahnya sendiri, gerakan Wayan Arsana serta gerakan Ngurah Jelantik dan kemudian menggabungkannya sekali, menyebabkan dirinya memperoleh ilmu gerakan dan jurus-jurus yang agak lain atau baru sama sekali.
Tentu saja pendekar Ngurah Jelantik inipun dibuat tercengang oleh kemampuan Sunutama dalam menerima pelajaran. Pada diri pemuda Sunutama ini, Ngurah Jelantik seolah-olah dapat melihat dirinya sendiri pada masa-masa usia belasan tahun.
Bahkan sesaat ia terkenang semasa mudanya sewaktu ia belajar pada gurunya. Hampir saja ia mendapat marah dari sang guru karena ia mengolah sendiri gerakan dan jurus-jurus gurunya dengan menggabungkannya dengan jurus-jurus dari luar perguruan. Memang gurunya mempunyai peraturan yang keras. Sebelum seseorang lulus, ia tidak diperkenankan menciptakan jurus-jurus tersendiri.
Dan sekarang ini, ia hampir melihat hal tersebut pada diri Sunutama, namun itu tidak menjadi persoalan lagi baginya. Jaman telah berganti dan peraturanperaturan yang menghambat kemajuan tidak boleh diteruskan.
Tanpa terasa, Ngurah Jelantik telah hampir sebulan tinggal di rumah saudagar Wayan Arsana. Sedang Ki Selakriya pun hampir menyelesaikan separo lebih gapura yang dipesan oleh Wayan Arsana.
Banyak orang yang mengagumi hasil pekerjaan Ki Selakriya dan puteranya. Meski belum selesai seluruhnya, gapura tadi telah memperlihatkan kemegahan dan keindahannya, hingga tak mengherankan bila ini banyak menarik perhatian orang-orang di daerah itu.
Selama ini diam-diam Ki Selakriya menaruh rasa heran pada putranya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa Sunutama memiliki semangat yang begitu hebat dan tangguh. Pagi harus membantu ayahnya dalam menyelesaikan gapura, dan sorenya berlatih tata kelahi serta membela diri, bukankah pekerjaan ringan. Namun toh itu dapat dikerjakan oleh Sunutama dengan baik.
Kekaguman seorang tua kepada puteranya membuat Ki Selakriya memperhatikan Sunutama lebih daripada biasanya. Dan akhirnya orang tua itu mengetahui sebab-sebab dari kemajuan puteranya.
Pada suatu sore, sebelum latihan dimulai, Ki Selakriya berjalan-jalan untuk menghirup udara segar. Ditempuhnya jalan yang menuju ke utara, sebuah jalan rintisan yang dinaungi oleh pohon-pohon sawo.
"Hmm, sejak pekerjaan berakhir, tak kulihat lagi batang hidung Sunutama. Kemana anak nakal ini pergi," begitu gerundal Ki Selakriya sambil melangkahkan kakinya menempuh jalan rintisan tadi.
"Kalau ia sampai datang terlambat waktu latihan, ah, aku yang akan mendapat malu di hadapan Tuan Ngurah."
Jalan yang lagi ditempuh oleh Ki Selakriya sering naik turun dan berbelok-belok. Rumput yang menghijau, dedaunan yang bergoyangan terhembus angin banyak menghiasi sepanjang jalan itu.
Tiba-tiba, Ki Selakriya dibuat kaget oleh sebuah percakapan manusia yang lamat-lamat terdengar dari arah utara.
"Suara itu menuju kemari!" desis Ki Selakriya seraya meloncat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon sawo dan semak-semak di bawahnya.
Orang tua ini berdebar-debar pula hatinya selagi bersembunyi. Sebenarnya ia merasa tak ada perlunya bertindak demikian tadi, tapi entah mengapa bahwa nalurinya telah mengajak dia untuk meloncat dan bersembunyi ke tepi jalan.
Suara percakapan dan ketawa terdengar saling berganti, menggambarkan suasana gembira dan kecerahan hati.
Ketika dari arah utara Ki Selakriya melihat dua sosok tubuh yang berjalan berdampingan, ia semakin membenamkan kepalanya ke balik semak-semak di depannya untuk lebih hati-hati menyembunyikan diri.
Mendadak saja mulut Ki Selakriya ternganga kaget, begitu juga kedua matanya melotot seperti tak mau percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ooh... bukankah itu Sunutama dan... Ni Made Maya?!" desis Ki Selakriya saking herannya.
"Jadi mereka telah saling bersahabat?!"
Ki Selakriya kini tahu dan segera dapat menebak dengan sendirinya, bahwa gadis itulah yang memberi dorongan semangat pada anaknya. Dan ini lebih meyakinkannya ketika ia mendengar percakapan kedua remaja tadi.
"Aku lebih senang jika Kakang sudi membawakan bumbung tempat air ini setiap harinya," terdengar Made Maya berkata. Suaranya empuk dan diseling lirikan mesra membuat Sunutama kelabakan hatinya.
"Tentu aku merasa bahagia memenuhi permintaanmu ini. Tapi apakah ayahmu akan menyetujuinya pula?"
"Eeh, mengapa tidak?" sahut Made Maya seraya mencubit lengan Sunutama.
"Apakah aku kurang pantas untuk dirimu?"
"Aduuh," desah Sunutama sambil menggenggam jari-jemari Made Maya yang mencubitnya.
"Bukan itu sebabnya. Tetapi ayahmu, paman Wayan Arsana, adalah seorang saudagar kaya! Sedang aku?"
"Hah, itu lagi yang Kakang katakan. Bukankah Kakang juga seorang pemahat yang berbakat? Dan ayah juga senang kepada Andika," ujar Made Maya sambil memberengut, tapi tak urung warna merah jambu mengembang pada pipinya.
"Cobalah engkau terus memberengut begitu, Adik Made Maya," berkata Sunutama menggoda.
"Ternyata, makin marah engkau makin bertambah cantik...!"
"Iih, Kakang selalu menggodaku... iih, ih...," dengan membanting-banting telapak kakinya ke tanah, gadis itu menghentikan langkahnya dan berdiri merengut.
Dengan sedikit kebingungan, Sunutama berhenti pula menanti Made Maya yang berhenti di tepi jalan. Kalau semula ia bermaksud sedikit menggoda gadis itu, kini dia sendirilah yang ketakutan.
Pelahan pemuda Sunutama menghampiri Made Maya, sementara tangan kanannya memetik sekuntum bunga mawar merah dari semak batang pohon mawar di tepi jalan itu. Dengan hati-hati, Sunutama menyisipkan kuntum mawar tadi ke sanggul Made Maya dan gadis ini membiarkannya.
"Adi Maya masih marah?" ujar Sunutama pelahan.
"Maafkan aku, ya "
Made Maya tidak lagi merengut, tapi juga tidak berkata kecuali membalas dengan senyum atas kata-kata Sunutama tadi.
Melihat ini semua, Ki Selakriya berdebar-debar dadanya. Bagaimanakah Sunutama sampai bisa intim dan kenal dengan Made Maya, puteri dari Wayan Arsana itu?
Tapi kemudian dapat diingatnya, bahwa setiap kali Sunutama membantunya bekerja membangun gapura itu, pasti dilihatnya Made Maya berdiri mengawasinya dari kejauhan. Begitu pula gadis ini selalu ikut menghidangkan makanan setiap hari di rumah Wayan Arsana. Dan pada saat-saat demikian itulah rupanya kedua remaja tadi saling berkenalan.
Ki Selakriya masih saja berdiam diri mengawasi kedua remaja tadi dan mendadak saja didengarnya Sunutama berteriak nyaring, "Heei, siapa bersembunyi di situ! Ayo, lekas keluar menunjukkan muka!"
Sambil berteriak tadi, Sunutama mengacungkan tangannya ke arah selatan, ke arah di mana Ki Selakriya bersembunyi.
Hal ini membuat Ki Selakriya kaget bukan main. Hatinya bertanya-tanya sendiri oleh hal ini yang dianggapnya sangat keterlaluan.
"Heh, tentu dia telah mengetahui bahwa aku bersembunyi di sini dan ancamannya tadi pasti ditujukan kepada diriku!"
"Heei, lekas keluar! Apakah maksudmu bersembunyi mendekam di sana. Awas, jangan sampai menunggu aku bertindak!" terdengar lagi Sunutama berteriak mengancam.
Untuk kedua kalinya, telinga Ki Selakriya menjadi marah mendengar teriakan anaknya itu, sebab bagaimanapun juga ia merasa bahwa ancaman tadi benarbenar ditujukan kepada dirinya.
Karenanya pula Ki Selakriya akan segera keluar dari persembunyiannya agar Sunutama mengetahui bahwa yang bersembunyi di situ adalah dirinya.
Hampir saja Ki Selakriya akan meloncat ke luar jika dari arah sampingnya, kira-kira empat lima tombak jauhnya, terdengar bunyi berkerosak berbareng meloncatnya sesosok bayangan manusia.
Ki Selakriya terpaksa berdiam tetap pada tempatnya karena sesungguhnya iapun kaget dengan munculnya orang tadi.
"Heh, jadi selain aku, ada pula orang lain yang mengintai Sunutama?!" gumam Ki Selakriya.
"Biarlah sementara aku tetap tinggal di tempatku. Jika keadaan genting, baru aku keluar dari semak ini."
Orang yang tadi meloncat keluar segera datang di hadapan Sunutama sambil bertolak pinggang.
"Hah, rupanya engkau bermulut besar, ya! Sudah lama kunanti-nantikan saat itu!"
"Sebab itu, segera katakan. Apa maksudmu yang sebenarnya, dan siapa pula namamu?!" berkata Sunutama.
"Baik. Ketahuilah, bahwa aku bernama Wasi Bera yang seharusnya mengerjakan gapura rumah si Wayan Arsana itu. Tapi si kaya itu tak mau membayar tinggi dan terlalu kikir! Sekarang malah kau bersama ayahmu yang membuatnya!"
"Hmm, maaf, Kisanak. Itu bukan urusanku. Kami tak tahu-menahu soal itu. Jika Kisanak gusar, bergusarlah kepada Tuan Wayan Arsana."
"Kau kuperingatkan! Jangan kau lanjutkan menyelesaikan gapura itu jika kalian masih menyayangi jiwamu!"
"Ehh, Kisanak mengancamku? Sayang, bahwa kami bukan orang-orang pengecut," ujar Sunutama dengan tegasnya.
"Haa, kau akan pamer keberanianmu di hadapan anak si saudagar kikir ini, heeh?!" Seru Wasi Bera disertai mulutnya yang menyeringai mencemooh dan tahu-tahu ia melesat mengirim satu tendangan ke arah Sunutama.
"Heeeaaatt!"
Made Maya berteriak kecil melihat serangan tadi yang datangnya seperti kilat. Dalam saat yang bersamaan pula Sunutama berkelit dan menebaskan tangannya menyambut serangan kaki Wasi Bera.
Wesst. Plaaak!
Tangan Sunutama tergetar disertai tubuhnya terhuyung ke samping, sedang Wasi Bera sendiri terpelanting jatuh di atas tanah dengan jeritan parau.
"Huaaaaduh! Kurang ajar! Kau membuat aku malu, hah! Awas yang ini, hait!" Kembali Wasi Bera menerjang dengan pukulan tangan yang deras.
Sekali lagi Sunutama mengunjukkan diri dengan satu loncatan ke atas, melambung bagai seekor belalang menyongsong serangan lawan.
Wasi Bera kaget bukan main melihat sepak terjang Sunutama tadi. Ia melihat bahwa kedua belah tangan Sunutama menerkamkan jari-jari ke arah dirinya. Maka satu benturan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.
Blaaarrr!
Seperti dua buah durian runtuh, kedua orang tadi rebah ke tanah Sunutama, lebih dulu menapakkan kakinya, sementara Wasi Bera jatuh meloso akibat benturan yang cukup menggoncangkan tubuhnya.
Ki Selakriya yang melihat pertarungan tadi dari tempat persembunyiannya menjadi kagum bercampur dada berdentang-dentang. Dilihatnya kembali bahwa Wasi Bera bangun dengan sempoyongan serta memakimaki.
"Kau bocah keparat!" sela Wasi Bera.
"Tapi awas, kuperingatkan kau sekali lagi, jika gapura itu kalian teruskan sampai selesai, hari itu pula akan kuhancurkan bersama kawan-kawanku!"
Habis berkata begitu, Wasi Bera meloncat ke timur meninggalkan tempat tersebut. Made Maya buru-buru mendapatkan Sunutama seraya bertanya dengan suara terbata-bata.
"Kakang mendapat luka?"
"Tidak, Adi Maya. Aku baik-baik saja."
Ki Selakriya segera muncul pula, keluar dari tempat persembunyiannya, membuat Sunutama bersiap-siap kembali karena mengira bahwa musuhnya telah datang lagi untuk bertarung.
"Ooh, Ayah!" seru Sunutama menjemput ayahnya dengan perasaan kaget karena Ki Selakriya tidak datang lewat jalan biasa, tapi meloncat dari semak belukar di tepi jalan.
"Aku telah melihat semuanya, Sunutama," berkata Ki Selakriya dengan menoleh ke timur ke arah di mana Wasi Bera meloncat dan hilang di antara semak-semak.
"Orang tadi tampaknya bersungguh-sungguh dan sangat berbahaya."
"Tapi bukankah ia telah melarikan diri, Ayah? Dan tampaknya pula ilmunya tidak seberapa."
"Hmm, kau harus bisa membedakan antara kalah dan mengalah! Apakah engkau yakin bahwa Wasi Bera tadi takut menghadapimu?"
"Ehh, jadi ?"
"Bisa juga dia baru memberi gertakan sebagai permulaan. Dan mungkin juga ada teman-teman lain yang menunggunya. Marilah kita periksa tempat di mana ia melarikan diri," ujar Ki Selakriya seraya mengajak pula kepada Made Maya untuk ikut serta.
"Ikutlah sebentar, Angger Made Maya."
Segera ketiga orang tersebut memeriksa tempattempat yang dianggap mencurigakan, dan ternyata apa yang dikuatirkan oleh Ki Selakriya itu patut mendapat perhatian, sebab mereka mendapatkan jejak-jejak kaki manusia di balik semak-semak.
"Lebih dari satu orang!" desis Sunutama kepada ayahnya.
"Telapak-telapak kaki ini mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Jadi jelas bahwa semula ada beberapa orang yang tinggal di balik semak-semak ini."
Sunutama mengangguk melihat kenyataan yang ada di hadapannya.
"Jika demikian, hal ini harus diketahui pula oleh Paman Wayan Arsana."
"Memang begitulah seharusnya," berkata Ki Selakriya.
"Karena persoalan ini sebenarnya adalah persoalan Tuan Wayan Arsana dan akhirnya menyangkut pula kita semua."
"Marilah kita segera pulang, Paman," Made Maya menyela.
"Ayah dan juga Paman Ngurah Jelantik harus segera pula mengetahuinya."
Ketiganya segera bergegas pulang melalui jalan yang menuju ke arah selatan dengan langkah yang agak tergesa kemudian membelok ke sebuah tikungan dan lenyap di balik kelebatan pohon-pohon sawo.

* * *




--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

APAPUN YANG TELAH diyakini akan kebenarannya, tidak perlu dilepaskan hanya karena sebuah ancaman yang bermaksud menggagalkan hal itu. Begitulah tekad Ki Selakriya dengan ancaman dari Wasi Bera beberapa hari yang telah lalu. Tanpa berubah semangat dan daya ciptanya, Ki Selakriya dan Sunutama terus menyelesaikan gapura gerbang dari rumah saudagar Wayan Arsana. Apalagi setelah keduanya mendapat banyak pelajaran dan gemblengan dari pendekar Ngurah Jelantik, mereka lebih percaya akan kepercayaan dan kekuatan diri pribadinya.
Hari bertambah hari makin sempurnalah hasil pekerjaan Ki Selakriya berdua. Kekaguman dan pujian banyak tertumpah kepada karya yang begitu indah dan megahnya.
Maka tidak heran bahwa hasil karya tadi cepat menjadi terkenal di daerah sekelilingnya dan ini pulalah agaknya mengapa Wesi Bera benar-benar menjadi marah. Ia merasa disepelekan oleh Ki Selakriya. Ancaman yang dahulu pernah diberikan kepada Sunutama ternyata tidak memberikan hasil sama sekali. Dan kini ia mengetahui bahwa gapura itu hampir selesai seluruhnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Selakriya dan beberapa orang pembantunya menghaluskan ukir-ukiran pada pintu gerbang itu, tiba-tiba terdengarlah bunyi mendesing dari arah timur, menuju ke arah mereka.
"Tiarap semua!" seru Ki Selakriya kepada orangorang di dekatnya dan ia sendiripun bertiarap.
Siingngng. Tjlaapp!
Sebuah anak panah menancap di dinding batu tak jauh dari kepala Ki Selakriya bertiarap.
"Sungguh hebat!" desis Ki Selakriya.
"Pasti dilambari oleh tenaga dalam yang luar biasa! Jika tidak, mana mungkin anak panah ini bisa menembus dinding batu?"
Sunutama yang bekerja di sebelah lain segera berlari-lari mendapatkan ayahnya, sebab dengan mendekati penyelesaian pintu gerbang tersebut hati Sunutama makin berdebar-debar mengingat ancaman dari Wasi Bera.
"Apa yang terjadi, Ayah?" seru Sunutama seraya mencabut anak panah tadi dari dinding.
"Seseorang mencoba menembakku dengan anak panah itu!" Ki Selakriya bangkit dari tiarapnya dan kemudian ikut mengamati anak panah tersebut.
"Ada suratnya!" desis Ki Selakriya dengan menunjuk sebuah gulungan kain kecil yang terikat pada pertengahan batang anak panah.
Sunutama segera melepas gulungan secarik kain tadi dan selembar surat segera didapatinya.
"Ancaman terakhir dari Wesi Bera!"
"Apa katanya?"
"Dia akan menyerbu kemari dan menghancurkan segalanya, termasuk pintu gerbang dan kita semua!"
"Oh, dia sungguh sesat! Kasihan orang yang seperti dia," ujar Ki Selakriya pula.
"Wah, dia menyebut-nyebut nama Jembrana yang akan membelanya!"
"Naa, jadi peristiwa di dalam perahu beberapa waktu yang lalu, ternyata ada hubungannya dengan si Wasi Bera ini."
"Mudah-mudahan Tuan pendekar Ngurah Jelantik berhasil menghimpun kekuatan orang-orang di sini," Sunutama berkata dengan nada setengah kuatir dan penuh harapan.
Kekuatiran kedua ayah beranak ini sudah tentu bisa dimaklumi, sebab ancaman tersebut pasti akan membawa korban yang tidak sedikit jumlahnya bila pertarungan itu benar-benar terjadi.
Kadang-kadang Ki Selakriya mau menyesali dengan menerima pekerjaan ini yang akhirnya membawa malapetaka. Namun Wayan Arsana sendiri telah menjernihkan perasaan Ki Selakriya, bahwa sesungguhnya dialah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang bakal terjadi.
Demikianlah pada akhirnya, tiga hari kemudian, selesailah pintu gerbang yang megah menghubungkan sebuah dinding setinggi satu tombak yang mengelilingi rumah saudagar Wayan Arsana dengan kukuhnya.
Ketegangan segera muncul ketika matahari semakin bergeser ke kaki langit di sebelah barat. Di sana-sini tampaklah orang berjaga-jaga dengan senjata di tangan, menanti setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Di dekat pintu gerbang, berdirilah Wayan Arsana, pendekar Ngurah Jelantik, Ki Selakriya, Sunutama dan beberapa orang lagi.
"Mereka telah berjaga-jaga," ujar Wayan Arsana kepada Ngurah Jelantik.
"Mudah-mudahan tidak akan mengecewakan," sahut pendekar Ngurah Jelantik dengan mengawasi dan setengah menghitung terhadap orang-orang yang berjaga di sekeliling.
"Tadi telah aku terangkan lagi secara singkat akan tugas-tugas mereka."
"Jika Wasi Bera benar-benar melaksanakan ancamannya, maka dialah sebab dan pangkal segala malapetaka ini! Untunglah Andika berada di sini, jika tidak entahlah nanti."
"Menurut Ki Selakriya, si Wasi Bera juga menyebutnyebut nama Jembrana dalam ancamannya," berkata Ngurah Jelantik.
"Ini menandakan bahwa kedua orang tersebut telah bersekutu untuk memusuhimu."
Tetapi percakapan mereka tiba-tiba terhenti karena seorang penjaga datang ke hadapan mereka dengan tergopoh-gopoh dan memberikan laporan.
"Tuan Wayan Arsana. dari arah selatan telah muncul orang-orang berkuda menuju kemari."
"Sekarang juga siapkan teman-temanmu!" ujar Wayan Arsana.
"Pukullah kentongan tanda bahaya." Maka sebentar kemudian berkumandanglah bunyi kentongan tanda bahaya menggema di segenap pelosok halaman dan rumah Wayan Arsana.
Debu berkepul-kepul mulai tampak di sebelah selatan dan bergerak mendekati arah pintu gerbang yang megah itu. Ketika makin bertambah dekat, segeralah tampak orang-orang yang berkuda dengan kencangnya. Wajah mereka beringas seperti wajah para iblis yang kelaparan! Begitu nyata kegarangan mereka, mengerikan hati siapa saja yang melihatnya.
Di barisan depan tampaklah I Jembrana, disusul oleh Jimbaran yang berdampingan dengan Wasi Bera. Di belakangnya lagi terdapat tidak kurang dari dua puluh orang berkuda yang berpacu seperti orang-orang gila.
Ketika jarak mereka mencapai kira-kira sepuluh tombak lebih dari dinding gapura rumah Wayan Arsana, kuda I Jembrana tiba-tiba terjungkal roboh terperosok dalam lobang tanah. Disusul oleh kuda Jimbaran dan Wasi Bera dan dua orang lagi di belakang. Namun dengan tangkasnya pula mereka berlima meloncat turun sebelum tubuh-tubuh mereka tertindih oleh kuda-kuda tersebut.
"Tinggalkan kuda-kuda itu dan ikuti saya!" teriak I Jembrana seraya menyerbu ke depan bersama segenap anak buahnya.
"Hancurkan rumah itu!"
Tetapi pihak Wayan Arsanapun tidak tinggal diam. Mereka berloncatan keluar dari pintu gerbang menyambut para penyerbu yang ganas itu, dan seketika itu pula terjadilah pertempuran hebat.
I Jembrana segera menerjang ke arah Ngurah Jelantik, musuh lamanya yang sangat dinantinya, sedang Jimbaran meloncat ke depan Wayan Arsana dan menyerangnya. Sementara itu Ki Selakriya telah mencegat Wasi Bera berbareng Sunutama memimpin orangorang untuk menghadapi para pengikut Jembrana.
Tempat yang semula sepi dan segar oleh angin sore, kini penuhlah dengan teriakan dan jerit pertempuran yang disertai oleh gemerincing senjata beradu.
Pedang Jembrana terus mengurung tubuh pendekar Ngurah Jelantik tanpa sedikitpun memberi kesempatan pada lawannya.
Pendekar Ngurah Jelantik terpaksa memeras keringatnya untuk menghadapi mata pedang Jembrana yang selalu mengejar dan mematuknya.
Berkali-kali ia menghindar dan menangkis senjata lawannya, sementara hatinya mengakui bahwa Jembrana kali ini jauh kelihatan lebih bebat daripada waktu ia menjumpainya yang pertama kali.
Jimbaran yang melawan Wayan Arsana kelihatan bertempur dengan sangat bernapsu dan ganas. Tikaman kerisnya yang mematikan selalu mengancam si saudagar.
Meskipun demikian, Wayan Arsana sangat cekatan menjaga diri. Ia meloncat kesana-kemari dengan gerakan selincah burung sikatan, membingungkan lawannya. Keris panjangnya mampu menusuk kesana-kemari memapaki setiap senjata lawan yang selalu memburunya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya memutar senjata kapaknya menandingi pedang lebar di tangan Wasi Bera yang selalu menebas mengeluarkan angin santer, dan suara berdesing.
Apa yang ditemui oleh Wasi Bera sekarang, benarbenar membuatnya kecewa. Kalau pada beberapa hari yang lalu ia pura-pura melitikan diri seketika melawan Sunutama, kini ia menghadapi lawan yang benarbenar tangguh. Ia telah merasa menumpahkan segala jurus-jurus dan ilmunya, tapi sampai begitu jauh toh belum berhasil mendesak Ki Selakriya yang menjadi lawannya.
Selain tiga lingkaran pertempuran tadi terlihat pula satu kancah pertempuran yang bergerombol di dekat pintu gerbang. Itulah pertempuran antara Sunutama dan para penjaga melawan para anak buah Jembrana, seolah-olah bagai dua gerombolan semut yang bertarung berebut sarang.
Ternyata Sunutama sangat pandai mengatur dan memimpin para penjaga tadi. Bagai pagar besi, mereka mendesak mundur penyerang-penyerang tersebut dan di antaranya beberapa orang penyerang telah roboh terluka parah.
Wasi Bera makin penasaran menghadapi lawannya. Lebih-lebih ketika iapun sadar bahwa Ki Selakriya adalah orang yang membangun gapura, yang seharusnya dikerjakan dan menurut anggapannya orang itulah yang menjadi saingannya.
Dengan begitu ia ingin membalaskan sakit hatinya dengan merobohkan Ki Selakriya, sekaligus membunuhnya. Begitulah akibat kesesatan yang dilambari oleh rasa iri telah membutakan mata hati Wasi Bera dan mata hati siapapun yang tidak waspada dan mawas diri.
Wasi Bera bertempur seperti orang kemasukan setan. Tandangnya sangat ganas dan mengerikan, karena didorong oleh kemarahan yang meluap-luap dan rasa iri yang bercampur aduk menjadi satu.
Karenanya tidak mengherankan bila setapak demi setapak Ki Selakriya terdesak oleh serangan-serangan Wasi Bera yang datangnya bagai badai mengamuk.
"Ha, ha, ha. Sekarang tahu rasa kau, pemahat yang sombong! Hari ini akan tamat riwayatmu bersama ambruknya pintu gerbang buatanmu itu!" seru Wasi Bera seraya meloncat ke sana ke mari, mengejar gerakan Ki Selakriya yang berusaha menghindar.
"Persetan!" geram Ki Selakriya "Kalau aku menjadi dirimu, pasti akan malu karena sebagai seorang dewasa kau masih ditempeli oleh perasaan kekanakkanakan!"
Mendelik mata Wasi Bera mendengar perkataan musuhnya, maka seketika itu menyemburlah mulutnya menumpahkan segala kemarahan.
"Setan alas! Kau bilang aku masih bersikap kanak-kanak?!"
"Habis? Memang begitu sih kenyataannya! Kalau kau mengaku dewasa mengapa berlaku setolol anak kecil?" ujar Ki Selakriya.
"Kau masih berani mengatakan aku sebagai anak kecil! Kau lihat kumisku ini, hah?!"
"Heh, mengapa dengan kumismu?!"
"Ini sebagai tanda bahwa aku telah lebih dari dewasa, tolol!" bentak Wasi Bera sambil memutar pedangnya, sampai mengeluarkan bunyi meraung.
"Hih, hih, seekor anak kucing pun sudah memiliki kumis. Maka janganlah kumis dijadikan patokan untuk pernyataan dewasa!" ujar Ki Selakriya semau-maunya, sekedar menghibur hatinya yang merasa tegang.
"Gila! Sudah hampir mampus, masih berani berlagak! Mampuslah segera! Hiah!"
Satu lompatan secepat belalang disertai tebasan pedang telah dilakukan oleh Wasi Bera dengan tiba-tiba ke arah leher Ki Selakriya.
Weeesssttt!
Cepat sekali gerakan ini, namun Ki Selakriya bukanlah orang tolol yang mau kehilangan lehernya! Ia telah cukup mendapat gemblengan dari pendekar Ngurah Jelantik dan di saat-saat yang berbahaya ini, ia tidak pernah melupakannya! Maka begitu diserang secara tiba-tiba, kedua kakinya telah menjejak tanah dan tubuhnya melenting ke atas.
Dua gerakan tadi telah dilakukan berbareng susulmenyusul dengan cepatnya, sehingga untuk pandangan mata biasa akan sukar menangkapnya.
Sedang mereka sendiri tidaklah demikian. Malahan sambil melenting tadi, kaki kanan Ki Selakriya menggampar lengan kanan Wasi Bera yang menggenggam pedang lebar.
Seketika Wasi Bera memekik kaget dan pedangnya lepas dari jari-jarinya. Tapi dengan gerakan mengagumkan, tahu-tahu tangan kirinya telah menyambut kembali pedang tadi, sekaligus ditangkiskan ke arah kapak Ki Selakriya yang menyambar kepalanya dari atas.
Traaangng!
Kedua senjata tersebut berbenturan keras dan kedua orang ini terdorong surut beberapa langkah disertai rasa nyeri pada telapak tangan mereka.
Tapi hebat si Wasi Bera. Sesaat setelah terpental ia menerjang maju dengan membabatkan pedang lebarnya. Keruan saja Ki Selakriya seperti tercekat saking kagetnya, dan ketika pedang lawan tadi menebas ke arahnya, buru-buru ia menangkis dengan senjata kapaknya, meskipun ia belum siaga sepenuhnya.
Claaang!
Pedang lebar Wasi Bera menerjang kapak Ki Selakriya dengan dahsyat, menggoncangkan tangan si pemahat sehingga untuk kedua kalinya Ki Selakriya terdorong ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wasi Bera maka secepat itu pula kaki kanannya mendupak pundak Ki Selakriya, sampai lawannya terpekik dan tubuhnya terpental menggelinding di tanah diiringi oleh gelak ketawa kemenangan Wasi Bera.
Ki Selakriya cepat-cepat berusaha bangun, namun tiba-tiba terasalah bahwa pundaknya menjadi pegal dan nyeri seperti dirambati oleh ratusan semut.
"Urat darahku terkena dupakan!" desis Ki Selakriya dengan bergeleyoran dan akhirnya mendeprok duduk.
Sekali lagi ia mencoba bangun, namun tiba-tiba ia terkejut ketika sebuah tangan halus berjari ramping telah menahan pundaknya dari belakang.
"Biarlah engkau istirahat dulu, Paman Selakriya. Amukan Wasi Bera akan kulayani," terdengar pula suara halus dan merdu, membuat Ki Selakriya seperti dalam mimpi dan hampir-hampir tak percaya akan pendengarannya tadi.
"Ooh, Andika... Andika...," guguplah Ki Selakriya begitu ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya.
"Benarkah...?"
"Inilah aku, Paman Selakriya. Namaku Made Maya, dan tentunya Andika tidak lupa, bukan?" ujar seorang gadis yang berdiri di belakangnya dengan berpakaian ringkas dan rambut disanggul rapi. Sebilah keris terselip di punggung dan pada tangan kirinya tergantung seuntai kalung rantai yang panjang dengan sebilah logam runcing seperti mata tombak.
Ki Selakriya masih saja melongo seperti orang gendeng, karena ia tak habis mengerti mengapa gadis semanis Made Maya yang selama ini hanya diketahuinya suka bersikap manis dan lemah gemulai, kini akan maju bertempur.
"Jadi Angger akan bertempur?" ujar Ki Selakriya meyakinkan.
"Si Wasi Bera itu bukan orang sembarangan, Angger Made Maya."
"Karena itu saya akan mengukurnya dengan tenagaku, Paman. Sementara itu Paman bisa memulihkan tenaga."
"Baiklah, Angger Made Maya. Tapi hati-hatilah menghadapinya," ujar Ki Selakriya sambil duduk bersila untuk mengatur napas.
Begitu Made Maya disetujui oleh Ki Selakriya, maka terus kakinya menjejak tanah dan melesat ke depan mendapatkan Wasi Bera yang masih tertawa-tawa dengan sombongnya.
Bahkan, begitu Wasi Bera melihat siapa yang datang, ia terus saja membuka mulut, menggerendeng.
"Eeh, bocah ayu. Kau akan menyerahkan diri, Denok? Mari-mari, biar kugendong, kupondong pulang ke rumahku dan menjadi istriku!"
"Kurang ajar! Kau ngawur, ngomong seenakmu saja!" teriak Made Maya.
"Sebaiknya, sebelum mulutmu mengomel lebih nyeleweng, rasakanlah senjataku ini! Hyaaat!"
Wasi Bera seketika geragapan menerima serangan Made Maya yang pertama, sebab ujung senjata rantai gadis ini tahu-tahu telah mematuk wajahnya.
Untunglah Wasi Bera tidak kalah cepat gerakannya. Sebagai murid Jembrana, ia tidak mudah digertak dengan serangan pertama. Maka secepat kilat ia membuang diri menggelundung di tanah, menjauhi lawannya.
Sementara itu hati Wasi Bera tak habis heran tentang ketangkasan dan keberanian Made Maya yang berani turun ke gelanggang pertempuran.
Rupanya, Made Maya telah mempunyai perhitungan tentang gerakan lawannya, sehingga ia tidak terkejut sewaktu Wasi Bera menggelundungkan diri. Dalam gerakan sebat ia terus berloncatan membuntuti Wasi Bera sambil menghajarkan senjata rantainya ke arah lawannya yang lagi menggelinding.
Clap! Clap! Clap!
Begitulah ujung senjata rantai Made Maya yang runcing tadi bertubi-tubi mematuk di dekat leher Wasi Bera yang masih mujur bisa menyelamatkan diri dengan berguling terus-menerus.
Akan tetapi, lama kelamaan Wasi Bera menjadi jengkel sebagai sasaran senjata lawan yang masih terus mengejar. Maka dengan tiba-tiba tangan kirinya berkelebat ke arah Made Maya dan seketika itu juga melesatlah empat buah pisau kecil ke tubuh si gadis.
Melihat itu, Ki Selakriya berseru dari jauh memperingatkan Made Maya yang juga telah waspada akan gerakan lawannya, "Awas, Maya! Pisau-pisau terbang!"
"Heeiit!" sambil berseru Made Maya melenting ke atas menghindari pisau-pisau terbang lawannya dan kemudian ia menyampokkan senjata rantainya ke bawah.
Traaang!
Pisau-pisau tersebut tersampok runtuh ke tanah membuat pemiliknya berjingkrak kaget. Wasi Bera terheran-heran, bagaimana mungkin senjata pisau terbangnya ajaran I Jembrana bisa diruntuhkan oleh lawannya, seorang gadis pula?
"Ayo, Wasi Bera! Jangan termangu! Sambutlah kembali seranganku ini!" terdengar teriakan Made Maya mengiringi senjata rantainya yang menyambar ke arah Wasi Bera.
Sedikit geragapan Wasi Bera cepat bersiaga kembali, sementara serangan Made Maya datang seperti kilat. Pedang lebar Wasi Bera segera menyambutnya. Tetapi... rantai berujung mata tombak tersebut seperti bermata dan begitu ditangkis oleh pedang lebar Wasi Bera, ia terus melentur ke atas lalu menyelonong menyambar kepala lawan.
"Akh," lenguh Wasi Bera seraya mengendap tanpa mengira bahwa gerakannya kalah cepat dengan senjata rantai Made Maya.
"Celaka!" desis si Wasi Bera disusul oleh bunyi menjambret dan teriakan tertahan, ketika ikat kepala Wasi Bera kesambar lepas dari kepala dan sebuah luka goresan telah menghias dahinya. Darah segar menetes seketika. Putus asa mulai melanda diri Wasi Bera setelah ia mendapat cedera pertama dari lawannya. Kalau semula ia hampir merobohkan dan membinasakan Ki Selakriya, sekarang malah sebaliknya, ia hampir binasa di tangan Made Maya si gadis ayu penolong Ki Selakriya itu.
Justru keputus-asaan ini menimbulkan rasa nekat, seperti naluri manusia pada umumnya, bila hidupnya terancam maka timbullah semangat untuk mempertahankan hidup dan keselamatannya. Begitu pula Wasi Bera, setelah ia merasa bahwa musuhnya mempunyai tataran ilmu yang lebih tinggi dari dirinya, mengamuklah ia dengan segenap tenaga.
Dengan melancarkan tebasan-tebasan pedang lebarnya, ia mengamuk, menyambut Made Maya. Kini, gerakan pedang lebar Wasi Bera berubah seperti gulungan badai sinar putih yang mengerikan. Bagi lawan yang biasa saja, jangan diharap masih bisa bertahan diri. Salah-salah, ia pasti akan tercacah seperti daging adonan perkedel.
Namun gadis ayu Made Maya ini tidak bisa dianggap ringan. Tubuhnya berjumpalitan, meloncat kesana-kemari menembus dan menyelinap gulungan sinar pedang Wasi Bera, tak ubahnya segumpal asap yang mengambang di udara, selalu lolos dari bahaya.
Wasi Bera makin merasa bahwa serangan-serangan ini lebih bersifat menjaga diri dari serangan senjata rantai Made Maya, sedang gadis yang menjadi lawannya tadi sangat sukar dirobohkan. Entah, sampai berapa lama ia mampu bertahan dengan cara begitu.
Di sebelah lain, terlihatlah pertempuran yang seimbang antara Wayan Arsana melawan Jimbaran. Kedua orang ini telah menghabiskan belasan jurus, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa yang bakal terdesak dan kalah.
"Hee, mengapa engkau tak lekas-lekas menyerah, saudagar kikir?!" seru Jimbaran mengejek.
"Serahkan semua harta bendamu dan rumahmu yang bagus ini, supaya kami bisa mengampuni kesalahanmu!"
"Eh, mengapa bukan engkau saja yang bertekuk lutut di hadapanku?! Dosamu sudah cukup banyak, pengkhianat Jimbaran!" jawab Arsana sementara kerisnya menangkis tikaman Jimbaran yang semakin gencar datangnya. Sesaat terdengarlah gerundalnya, "Rupanya Jimbaran telah membuka jurus-jurus intinya!" pikir Wayan Arsana kemudian.
"Biarlah ia memuaskan diri, sebab akupun belum mengeluarkan jurus-jurus inti ajaran pendekar Ngurah Jelantik!"
Serangan keris Jimbaran ternyata memang gesit dan tangkas. Berkali-kali Wayan Arsana menjadi terperanjat karena ujung keris Jimbaran selalu tiba-tiba mengancam tubuhnya. Kadang-kadang tanpa tahu gerakan tangan Jimbaran yang menyerang, tahu-tahu keris lawannya itu telah menyelonong dengan mendesing.
Inilah yang hebat. Jelaslah bahwa serangan Jimbaran mengandalkan kecepatan gerak, dan karenanya pula Wayan Arsana tidak mau memandangnya dengan sebelah mata.
Sesaat kemudian, Wayan Arsana melompat surut dan memasang kuda-kudanya, berdiri dengan tegar dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ha, ha, ha. Keluarkanlah segenap kesaktianmu, saudagar sombong!" seruan sombong Jimbaran terdengar.
"Hari ini kita akan membuat perhitungan habishabisan!"
Wayan Arsana menahan diri akan ucapan lawannya yang terdengar memerahkan telinga, lalu sesaat kemudian ia menginyarkan ujung kerisnya ke dada Jimbaran, seolah-olah sedang memilih tempat, kemana keris itu harus ditancapkan.
Keruan saja Jimbaran malah tertawa melihat sikap Wayan Arsana tadi. Bukankah jarak antara mereka berdua cukup jauh, sedang ia sendiri telah menyiapkan puncak ilmu kerisnya yang menggentarkan hati. Maka, apakah yang harus dikuatirkan dari Wayan Arsana itu?
"Hiaaat!"
Sambil berteriak keras, Wayan Arsana meloncat ke depan beberapa langkah. Kerisnya membuat gerakan bersilang.
Ini sangat mengagetkan Jimbaran. Dan belum lagi ia sadar, terasalah seleret sinar menyentuh dadanya disusul rasa sakit seperti kesambar petir.
Wreeettt!
Jagoan dari Gunung Batur ini membelalak, sebab baju yang menutup dadanya sobek dan sebuah luka menyilang tergores di situ.
"Peringatan terakhir, sobat!" seru Wayan Arsana sambil meloncat ke samping. Keris di tangannya masih basah oleh darah segar pada ujungnya.
"Sebelum keris ini benar-benar bersarang di dadamu, lebih baik menyerahlah!"
Jimbaran tidak berani membuka mulut karena ia belum habis kagetnya dengan dadanya yang terluka tadi. Matanya nanar menatap lawannya, kemudian melihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Di sebelah selatan, I Jembrana makin sibuk menghadapi serangan Ngurah Jelantik yang gencar itu. Puluhan jurus mereka telah bertempur dan Jembrana masih melihat betapa Ngurah Jelantik masih bertubuh segar tanpa menunjukkan tanda-tanda kelelahan seperti dirinya sendiri.
Pendekar dari Singaraja itu terus mencecar lawannya, tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk mengambil nafas ataupun beristirahat.
Dan tidak itu saja yang membingungkan Jembrana, sebab selain tikaman-tikaman keris, tangan kiri dan kaki Ngurah Jelantik ikut pula melancarkan seranganserangan dahsyat, seolah-olah anggota-anggota badannya itu masing-masing mempunyai mata, sehingga di mana kelihatan pertahanan Jembrana lowong, ke situ pula tangan dan kaki Ngurah Jelantik menerjang.
Dua jurus berikutnya, tubuh Jembrana telah basah oleh keringat dan rasa lelah telah mulai menyerangnya. Hal inilah yang benar-benar ditakutkan olehnya sejak tadi.
"Aku harus melancarkan jurus terakhir dari ilmu pedang ajaran Bapa Tangan Iblis! Jurus Karang Pecah dari Bukit Kepala Singa ini harus kuhadapkan kepada Ngurah Jelantik. Aku ingin tahu, apakah ia mampu menahan jurus ini!" demikian gerundal Jembrana diikuti tubuhnya meloncat ke samping.
Tangan kiri Jembrana menyilang di depan dada dan tangan kanan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepala. Bibir Jembrana kelihatan komat-kamit mengucapkan sesuatu.
Mendadak saja, pedang di atas kepala tadi berputar seperti pusaran air dan suara mendesing terdengar menyerikan telinga.
Ngurah Jelantik terperanjat. Cepat-cepat ia mengarahkan tenaga dalamnya, bersamaan tubuh Jembrana melesat ke arahnya, menebaskan pedangnya yang telah bergerak dengan jurus sakti Karang Pecah.
Dalam detik yang menegangkan tadi, pendekar Ngurah Jelantik menyilangkan kerisnya untuk menyongsong tebasan ilmu pedang Karang Pecah lawannya tadi dan sesaat kemudian terdengarlah bunyi benturan keras dan bunga api yang memercik.
Claaangng! Tangan Ngurah Jelantik seperti terbakar api ketika rasa panas dan getaran hebat merambat akibat benturan senjatanya melawan pedang Jembrana. Dan akibatnya, keris di tangannya terpelanting lepas lalu tercampak di tanah.
Melihat ini, bukan main gembiranya Jembrana. Maka mulutnya lantas tertawa terbahak-bahak seperti orang mabuk.
"Haha, ha, ha. Nyatanya tidak seberapa tenagamu, pendekar raja. Sekarang kau harus mampus di tanganku keparat!"
Jembrana memang tak mau melewatkan kesempatan yang lowong ini. Selagi lawannya bertangan kosong, masakan dibiarkan begitu saja. Apalagi setelah ia tahu, bahwa Ngurah Jelantik masih bertubuh limbung akibat benturan dengan tenaga pukulan pedangnya. Maka inilah kesempatan baik buat merobohkan lawannya.
Namun sebenarnya, Ngurah Jelantikpun telah sadar bahwa akibat dari benturan tadi tubuhnya terguncang limbung, sehingga cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak lebih jauh akibat-akibat lain yang bisa timbul.
"Mati kowe sekarang! Hiaah!" teriak Jembrana seraya menebaskan pedangnya ke tubuh Ngurah Jelantik dengan hati yang mantap membayangkan bahwa sekejap kemudian pasti tubuh lawannya akan sempal, terbelah oleh pedangnya yang masih dilandasi oleh jurus tebasan Karang Pecah.
Akan tetapi, mendadak saja Ngurah Jelantik membuka mulut mengeluarkan jeritan keras sebagai luapan rasa amarahnya. Dan ternyata jeritan tadi cukup mempengaruhi pemusatan tenaga Jembrana. Maka di saat itu pulalah, secepat kilat tangan kiri Ngurah Jelantik menangkis lengan kiri Jembrana dan tangan kanannya mengirim jotosan keras ke dada Jembrana.
Bluukkk! "Hoooeek!"
Jembrana terhenyak ke belakang dan pedangnya terlepas jatuh. Ia sempoyongan menjauh dari lawannya seperti ketakutan melihat hantu.
Dari mulut Jembrana mencerocos darah segar menganak sungai mengalir ke luar meskipun kedua bibirnya mencaprut, mengerinyut seperti hendak menahan darah tersebut. Ia masih terus berjalan beberapa langkah senggoyoran untuk kemudian jatuh terduduk mendeprok dan mulutnya memuntahkan darah segar ke tanah.
"Hooekk!"
Ngurah Jelantik segera memungut kerisnya kembali dan membiarkan Jembrana duduk bersila mengatur tenaganya yang telah punah, akibat luka dalam yang parah setelah terkena pukulan Ngurah Jelantik tadi.
Sudah terang bahwa Jembrana menderita luka dalam dan untuk menyembuhkannya akan memakan waktu yang lama. Di saat itulah ia akan mudah menangkapnya dan menyerahkannya ke Singaraja.
Sementara itu, Jimbaran yang terluka oleh senjata Wayan Arsana sempat pula melihat kakak seperguruannya mendeprok terluka dalam. Karenanya, semangatnya seperti terbang. Kalau kakak seperguruannya saja telah terluka, apalagi sampai melontakkan darah segar, rasanya sangat tipis untuk bisa memenangkan pertempuran ini.
Sedang dia sendiri masih tangguh menghadapi Wayan Arsana, meski dadanyapun telah terluka. Jimbaran kemudian telah mengambil keputusan nekat untuk melancarkan serangan terakhir.
"Dia atau saya yang mati!" gumam Jimbaran.
"Atau lebih baik mati bersama!" Sambil menggumam itu, Jimbaran mengambil ancang-ancang dan kakinya menjejak tanah. Tubuh Jimbaran melesat ke depan seperti seekor garuda menyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah Wayan Arsana. Di tangannya, sebilah keris telah siap menikam lawan.
Sudah barang tentu Wayan Arsana tak membiarkan diri, secepat kilat iapun melesat ke udara menyongsong terkaman Jimbaran dengan kerisnya pula.
Maka sesaat itu tampaklah kedua orang itu saling menyambar di udara, laksana dua ekor garuda yang bertarung dengan senjata masing-masing siap di tangan.
Plaaakk! Bless! "Aaargh!"
Yang terlihat sungguh hebat. Ketika tangan kiri Wayan Arsana dapat menangkis keris Jimbaran, secepat itu pula tangan kiri Jimbaran menggempur pundak Wayan Arsana. Namun di saat itu pulalah Wayan Arsana menghunjamkan kerisnya ke lambung Jimbaran sekuat tenaga.
Keduanya kemudian jatuh di tanah seperti dua ekor garuda yang patah sayapnya. Jimbaran jatuh terhempas pada punggungnya, sedang Wayan Arsana masih kuasa mendaratkan kakinya lebih dulu dengan selamat.
Sambil menggerung merintih-rintih, Jimbaran merangkak ke arah Jembrana yang masih duduk bersila mengatur tenaga. Pada lambungnya masih tertancap keris Wayan Arsana dengan darah yang menetes-netes di sepanjang jalan.
Wayan Arsana sendiri masih berusaha untuk tetap tegak berdiri, tapi tiba-tiba ia sempoyongan lalu bersandar pada sebongkah batu. Dada dan nafasnya kelihatan tersengal-sengal dan terlihatlah darah mengalir dari mulutnya.
Lingkaran pertempuran Made Maya cukup dekat dengan tempat jatuhnya Wayan Arsana tadi. Betapa sangat kagetnya ketika Made Maya mengetahui bahwa ayahnya terluka dalam, dan kini bersandar pada sebongkah batu di dekatnya.
"Ayaah!" desis Made Maya dengan wajah yang membayangkan kecemasan. Betapapun tangguhnya hati gadis ini dalam menghadapi lawan, tapi begitu melihat ayahnya kena terluka hatinya serentak tergetar.
Tiba-tiba wajah Made Maya bersemu merah dan sorot matanya makin tajam ketika ia memaling ke arah Wasi Bera.
Terdengar Made Maya menggeram dan ini membuat Wasi Bera terperanjat ketika ia melihat perubahan sikap gadis ini.
Wasi Bera menjadi bergidik dan meremang bulu tengkuknya, sebab di balik kecantikan wajah Made Maya, ia seolah-olah melihat kegalakan seekor harimau yang siap mencaplok dirinya.
Cepat Wasi Bera menyiapkan serangkaian pertahanan diri, ketika ia merasa bahwa sebentar lagi gadis itu akan menerkam.
"Hiaatt! Kau tebuslah dosa-dosamu, Wasi Bera. Terimalah ini!" teriak Made Maya seraya mencelat ke depan menghajarkan senjata rantainya ke arah Wasi Bera.
Wesss! Clanng!
Wasi Bera sekali berhasil menangkis serangan ujung rantai lawannya. Tapi ternyata untuk kedua kali, ketiga dan selanjutnya ujung rantai yang runcing itu mematuk-matuk ke dadanya dan ia tak sempat menangkis.
"Aaaaarrrggghhh," Wasi Bera terlonjak ke belakang. Pada dadanya terlihatlah lobang-lobang seperti lobanglobang rumah lebah yang mengucurkan darah.
Sungguh mengerikan keadaan Wasi Bera yang dadanya berlobang-lobang akibat terjangan ujung senjata rantai Made Maya. Biarpun begitu, Wasi Bera masih menyimpan tenaga terakhir. Ia lantas saja mengamuk sebisanya asal saja pedangnya menebas-nebas ke arah Made Maya, tanpa mempedulikan darahnya yang cerocosan keluar dari luka-lukanya.
Dalam saat yang bersamaan, Sunutama yang memimpin para penjaga dalam mengusir dan melawan perampok-perampok anak buah Jembrana, mengalami kemajuan pula. Tiga orang lawan telah roboh tak bernyawa dan beberapa lagi berkaparan terluka parah. Tambahan lagi setelah mereka melihat bahwa pemimpin merekapun telah roboh dan terluka parah, semangatnya menjadi kendor, seperti kerupuk tersiram air. Setapak demi setapak para penyerbu mengundurkan diri.
Hampir boleh dipastikan, bahwa pihak Wayan Arsana akan segera memenangkan pertempuran dengan kehancuran di pihak para penyerbu.
Wasi Bera yang sejak tadi mengobat-abitkan pedangnya kini makin merasa lelah, apalagi darahnya telah banyak yang mengalir ke luar. Pandangannya telah berkunang-kunang dan makin menggelap, untuk sesaat kemudian iapun roboh terjungkal.
Cepat Made Maya berlari mendapatkan ayahnya yang bersandar pada sebongkah batu, dan terluka dalam.
"Oh, Andika cedera, Ayah?!" seru Made Maya seraya memeriksa tubuh ayahnya yang tersandar.
Wayan Arsana terbatuk-batuk dan tersenyum, lalu berkata pelahan, "Tenanglah, Made Maya, aku cuma terluka ringan. Tak apa-apa. Tapi... ehh, ngomongomong engkaupun pandai bersilat dan merobohkan si Wasi Bera."
Made Maya menunduk ke bawah.
"Ekh, tadi cuma sekedarnya, Ayah."
"Heran. Heran," gumam Wayan Arsana.
"Dari mana kau mempelajari ilmu silat dan bertarung sedemikian hebat?"
"Dari... eh, dari...," gerendeng Made Maya tak dilanjutkan.
"Dan juga engkau memiliki senjata yang aneh, Maya?" tegur Wayan Arsana kembali seraya menatap senjata rantai yang tergenggam dalam tangan Made Maya.
Wayan Arsana lalu menebak-nebak, siapakah yang mengajar dan membimbing anak gadisnya. Ia sendiri tidak pernah menyuruh atau menyerahkan Made Maya untuk dididik ilmu persilatan. Sehari-harinya ia hanya mengetahui Made Maya membantu urusan rumah tangga dan tindak-tanduknya gemulai penuh pesona. Karenanya ia menjadi heran sewaktu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Made Maya mampu bertempur dengan gesit dan tangguhnya.
"Dari mana, Nak, engkau mendapatkan semua itu?" kembali Wayan Arsana bertanya kepada putrinya.
"Engkau katakan terus-terang, Nak. Aku tak akan marah, malah justru sebaliknya. Ayah akan merasa bangga terhadapmu. Jika boleh aku ingin mengucapkan terima kasih kepada gurumu."
"Guruku... adalah...," belum lagi Made Maya melanjutkan bicaranya, mendadak satu bayangan manusia berkelebat hinggap di atas tembok pagar pekarangan rumah Wayan Arsana.
"Hua, ha, ha ha! Bagus! Bagus! Teruskanlah bertempur! Sebentar lagi tempat ini akan kubanjiri dengan darah!" demikian bayangan manusia yang hinggap tadi mengumbar suara diseling dengan ketawa berkakakan yang menggoncangkan dada. Dengan sombong dan bertolak pinggang ia berseru, "Hmm, Jimbaran dan Jembrana telah terluka parah. Juga Wasi Bera telah menggeletak di sana. Heh, heh, heh. Cukup terlambat, tapi tak apa-apa, sebab sebentar kemudian nyawa kalian, para pengikut Ngurah Jelantik akan kucabut sebagai pengganti murid-muridku yang telah kalian robohkan!"
Ancaman itu benar-benar memukau seperti sihir jahat yang mempengaruhi semangat seseorang. Sambil kemudian menyapukan pandangan matanya ke bawah ia berkata kembali. Suaranya keras.
"Kalian belum mengenalku, heei?! Inilah si Tangan Iblis dari bukit kepala Singa!" Kemudian, sambil menunjuk ke arah anak buah Jembrana, ia berseru, "Hee, kalian lanjutkan pertempuran ini dan aku akan membelamu! Mana Ngurah Jelantik? Mana Wayan Arsana dan itu pemahat Selakriya yang berkurang-ajar terhadap anak muridku? Akan kurobek-robek mulutnya, akan kupatah-patah tulang belulangnya!" begitu teriakan Tangan Iblis menggetarkan.
Mendengar ancaman tadi, tiba-tiba dua orang penjaga menjadi panas hati, lalu cepat-cepat melesat naik ke atas pagar tembok membabatkan senjata parangnya ke arah Tangan Iblis yang masih bertolak pinggang.
Melihat dua orang lawan menghampiri dirinya, Tangan Iblis cuma mencibirkan bibir memandang rendah. Sebegitu cepat kedua penjaga tadi menyerang, secepat itu juga kedua tangan si tokoh yang menyebutkan diri Tangan Iblis, telah berkelebat ke depan berbareng.
Plak! Plak! "Eaaargh!"
Kedua orang penjaga tadi terjengkang roboh berdebuk di atas tanah dan masing-masing pada dadanya tergambar sebuah telapak tangan yang kemerahan hangus, sementara darah hitam kental meleleh dari sudut bibirnya. Mereka telah mati!
Hampir semua yang melihat kejadian ini terhenyak kaget bercampur ngeri. Bagaimana mungkin, bahwa dengan sekali tepak, kedua orang penjaga tadi telah mati! Tapi toh hal itu benar-benar terjadi di depan mata mereka sendiri.
Tiba-tiba Tangan Iblis telah melesat turun menerjang ke arah para penjaga lainnya.
Plaak! Plaakk!
Kembali Tangan Iblis melancarkan hempasan telapak tangannya dan menyusul dua orang penjaga lainnya terpelanting roboh dengan menghamburkan darah kental dari mulutnya. Sedang dada mereka terluka dengan bekas telapak tangan si Tangan Iblis.
Sungguh hebat gerakan ilmu si Tangan Iblis itu, dan malahan ia tertawa sinis ketika seorang penjaga lainnya menyerangnya dari belakang dengan sebilah tombak.
"Hyaat!"
Si Tangan Iblis cuma mengegoskan sedikit tubuhnya ke samping, sehingga tombak tadi menyelonong menembus udara melompong.
Berbareng itu kedua tangannya beruntun. Plaakk! Plak!
Tangan kiri menebas tombak sampai patah dan tangan kanan menggaplok punggung si penjaga yang menyerang, sampai terdengar gemeretak seperti tulang patah dan sebuah cap telapak tangan tertera di atas punggung si penjaga yang malang.
"Hoooekk!" korban kelima terjungkal ke tanah dengan melontakkan darah kental dan mati seketika, tanpa sesambat.
Suasana jadi tegang dan mencengkam, seolah-olah elmaut lagi menari-nari di situ mencari korban-korban yang baru.
Matahari yang telah rendah benar masih menyinarkan sinar kemerahan, menimbulkan suasana makin seram. Semuanya terkena cahaya merah jingga seperti tenggelam dalam cahaya api neraka.
Melihat itu semua, menguatirkan akan jatuhnya lebih banyak korban pada pihaknya, Ngurah Jelantik menggenjot kaki melesat ke arah si Tangan Iblis yang masih mengamuk.
Seorang korban lagi jatuh digaplok oleh tangan mautnya si Tangan Iblis tepat di saat Ngurah Jelantik tiba di situ.
"He, he, he, berani benar kau menyambutku, heh! Mau mengantar nyawa rupanya?!" seru Tangan Iblis sambil mencibir. Wajahnya seram dengan hidung yang melengkung seperti paruh burung dan kumisnya yang lebat membuat Tangan Iblis benar-benar memiliki wajah iblis.
"Akulah si Ngurah Jelantik!"
"Hooh? Jadi kaulah yang bernama Ngurah Jelantik itu, pendekar sakti dari Singaraja. Pantas! Pantas! Kalau begitu kaupun harus mampus!" Sambil mengakhiri bicaranya, Tangan Iblis menggerung keras dan sebelah tangannya lantas mengirim satu jotosan maut mematikan.
Untung Ngurah Jelantik cukup waspada. Ia mengelit ke samping dan ganti ia menghajarkan tebasan tangannya ke pundak Tangan Iblis.
Ternyata si Tangan Iblis ini sangat gesit, sebab merasa diserang, ia buru-buru menarik diri memaling ke arah lawan dan bersiaga. Tangan kirinya mengibas, menangkis pukulan Ngurah Jelantik hingga terjadilah benturan dahsyat yang tak terelakkan.
Ngurah Jelantik tergetar tangannya dan bergeser dari tempatnya sejengkal sambil kemudian mundur sempoyongan, tapi tak sampai roboh.
Melihat ini, si Tangan Iblis mau tak mau merasa heran akan ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya. Telah beberapa lawan yang berani membentur tenaga pukulannya akan roboh kehilangan tenaga, tetapi Ngurah Jelantik ini ternyata lebih kebal.
Ketika lawannya sempoyongan, secepat kilat Tangan Iblis menebahkan telapak tangannya ke kepala Ngurah Jelantik! Inilah saat yang paling berbahaya bagi pendekar dari Singaraja tersebut.
Dengan sebat Ngurah Jelantik menjatuhkan diri di tanah lalu menggulingkan ke kiri. Tangan Iblis terus mengejar dengan pukulan mautnya, sehingga tanah di tempat Ngurah Jelantik berguling telah berlobanglobang setelah terhajar oleh tenaga pukulan tadi.
Tiba-tiba Ngurah Jelantik melesat bangun sesudah tangannya menyambar sebilah pedang yang tergeletak di situ.
Sebentar saja, pedang tadi telah diputarnya dan berkali-kali melancarkan tikaman serta tebasan maut ke arah Tangan Iblis.
"Heh, heh. Kau kira pedangmu bisa menggertak diriku? Sekarang lihatlah ini. Heup!" begitu berteriak, kedua tangan si pendekar Tangan Iblis menyambut bacokan pedang Ngurah Jelantik, kemudian menjepit batang pedang tadi dengan kedua belah sisi telapak tangannya.
Bagai disambar geledek kagetnya Ngurah Jelantik setelah kena ditangkap pedang tersebut oleh lawannya. Maka ia menggeram marah dan kedua tangannya berkutat untuk mencabut kembali pedangnya.
Meskipun telah mengerahkan segenap tenaga, pedang tersebut tidak bergeming sedikitpun, seolah-olah terjepit oleh dinding baja.
Untuk melepaskan pedang tadi, terang Ngurah Jelantik tidak berani. Sebab dengan begitu dalam jarak yang pendek lawannya akan bersenjata, sedang dia cuma bertangan kosong. Dan bukankah ini sama dengan menyerahkan nyawa ke hadapan si Tangan Iblis!
"Heh, heh, heh," ketawa si Tangan Iblis dengan puas.
"Sekarang kau dapat berbuat apa, hah?!"

* * *



Sampai di sinilah selesai seri Naga Geni "Bukit Kepala Singa" untuk Anda. Segera akan menyusul kepada para pembaca, seri Naga Geni "Tragedi Di Tengah Kabut" yang tak kalah seru, romantis dan mencekam. Akan Anda ketahui siapa sebenarnya si Tangan Iblis dan bagaimana dengan Ngurah Jelantik yang sakti itu.

TAMAT



INDEX NAGA GENI
Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung --oo0oo Tragedi Di Tengah Kabut

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers