Life is journey not a destinantion ...

Tragedi Di Tengah Kabut

INDEX NAGA GENI
Bukit Kepala Singa --oo0oo Berakhir Di Ujung Fajar

MAHESA WULUNG
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

CAHAYA SENJA semakin melenyap ketika pertempuran di sekeliling halaman rumah saudagar Wayan Arsana berlangsung dengan serunya. Beberapa ekor kelelawar terbang mencericit, seolah-olah ketakutan dan menjauhi medan pertempuran. Sesekali terdengar pula himbauan suara burung hantu dari sela pepohonan, menambah seramnya suasana di situ yang sebelumnya telah dipenuhi bunyi rintihan, erangan dan teriakan perang ataupun gemerincingnya senjata beradu.
Betapa kaget si pendekar Ngurah Jelantik ketika mata pedangnya kena dijepit oleh sisi kedua telapak tangan lawannya, si Tangan Iblis yang sakti. Biarpun ia telah setengah mati dan sekuat tenaga berusaha mencabut pedangnya, ternyata itu tidak banyak gunanya. Dengan demikian, sia-sialah ia berkutat mengerahkan tenaga, sedang kenyataannya pedang tadi tidak sedikitpun bergeming dari tempatnya, seakan-akan telah terjepit di antara dua dinding baja yang kokoh.
"Heh, heh, heh," terdengar kembali si Tangan Iblis ketawa sinis.
"Mengapa tidak kau biarkan saja pedang ini terlepas, haa?! Apakah senjata ini terlalu berharga, sampai engkau begitu menyayanginya?!"
Memenuhi anjuran ini, terang si Ngurah Jelantik tidak berani. Sebab dengan begitu toh sama artinya dengan menyerahkan nyawanya kepada si Tangan Iblis.
"Keparat! Kau bisa tertawa! Apakah yang kau anggap lucu saat ini?!" seru Ngurah Jelantik sambil terus mengerahkan tenaga dalamnya.
"Engkau sendirilah yang lucu saat ini!" ujar Tangan Iblis.
"Masakan sudah terang tidak mampu mencabut kembali pedang ini dari telapak tanganku, kok engkau masih tetap ngotot?"
"Tutup mulutmu yang bau busuk itu! Baru memperlihatkan kepandaian rendah saja, engkau telah sombong keliwat batas!" bentak si Ngurah Jelantik, sehingga Tangan Iblis makin marah mendengarnya. Baginya, kata-kata tadi merupakan ejekan yang pedas.
"Baiklah. Akan kuakhiri permainan kosong ini," ujar Tangan Iblis sambil menggeram marah.
"Semoga engkau tidak kaget karenanya."
Selesai berkata, tiba-tiba tanpa terduga si Tangan Iblis melepaskan genggaman telapak tangannya pada pedang Ngurah Jelantik, sehingga pendekar dari Singaraja ini terpental ke belakang oleh daya tariknya sendiri dan nyaris ia jatuh terjengkang di atas tanah.
Tap!
Mendadak si Ngurah Jelantik seperti tersentak tangannya dan sesaat kemudian ia menceloskan pandangan matanya ke depan. Alangkah kagetnya bila tahu-tahu Tangan Iblis telah berada kembali di depannya, dengan kedua sisi telapak tangannya menjepit mata pedang Ngurah Jelantik.
"Heh, heh. Aku terpaksa memegang pedangmu ini kembali, sebab aku tak sampai hati membiarkan engkau terjatuh tunggang-langgang menanggung malu!" terdengar Tangan Iblis mengejek lawannya.
Wajah Ngurah Jelantik menjadi semerah bara mendengar kata-kata lawannya. Maka sekali ini Ngurah Jelantik merubah tenaganya, ia tidak berusaha mencabut pedang tadi, tapi justru sebaliknya, ia mengerahkan tenaganya untuk mendorong dan mencobloskan batang pedangnya ke arah Tangan Iblis.
Keruan saja lawannya terkejut setengah mati sewaktu ia merasakan perubahan tadi. Namun toh itu cuma berlangsung dalam sekejap, sebab, sekali lagi Ngurah Jelantik menjadi mati kutu apabila pedangnya tetap membisu tanpa mau bergerak sedikitpun.
Pada detik berikutnya mendadak saja si Tangan Iblis melepaskan pegangannya disusul tubuhnya berkelit ke samping. Akibatnya, Ngurah Jelantik lalu terdorong ke depan dengan terhuyung-huyung dan dapat dipastikan bahwa ia akan jatuh tersungkur ke atas tanah.
Namun sementara itu, si Ngurah Jelantik menjadi kian marah setelah merasa dipermainkan oleh lawannya. Maka secepat kilat ia berbalik dan membacokkan pedang tadi ke arah Tangan Iblis.
Siiingngng! Tap!
Si Tangan Iblis dengan tepatnya menyambut bacokan pedang lawannya dengan menjepit pedang tersebut pada kedua sisi telapak tangannya. Maka hal ini sudah diulangnya untuk yang ketiga kalinya.
"Heh, heh. Sekarang lihatlah pedangmu ini baikbaik!" gereneng si Tangan Iblis seraya tangannya tibatiba bergerak membengkok disusul oleh bunyi berdentang logam patah.
Pletaak. Tangngng!
Tahu-tahu batang pedang tersebut terpatah dan kutung menjadi dua bagian, mengejutkan hati siapa saja yang melihatnya. Satu pameran tenaga dalam yang hebat dan patut dipuji.
Belum habis kekagetan orang-orang melihat hal itu, mendadak saja tangan kanan si pendekar Tangan Iblis telah berkelebat ke depan dengan gerakan cepat, sukar ditangkap oleh mata dan kedua jari tangannya menjentik pundak Ngurah Jelantik dengan tiba-tiba.
Plak! Pluuk!.....
"Aah!" desis Ngurah Jelantik kesakitan dan kaget, begitu pundaknya merasa nyeri seperti disengat oleh lebah berbisa.
Sesaat kemudian satu perasaan lemas dan hilang semangat telah menjalar ke seluruh tubuh, sehingga Ngurah Jelantik lalu merasakan tubuhnya seolah-olah seperti tak bertulang lagi.
Sedetik kemudian rebahlah Ngurah Jelantik menggelosor di tanah, menggelumpruk seperti segumpal kapas yang kesiram air.
"Ooh, aku tertotok oleh jari Tangan Iblis! Celaka, habis riwayatku sekarang!" pikir Ngurah Jelantik ketika dirinya telah rebah tertelentang di atas tanah tanpa daya dan setengah lumpuh.
Segera pula, Ngurah Jelantik memejamkan kedua matanya, siap menyambut kematian yang akan dijatuhkan oleh lawannya, si Tangan Iblis. Hatinya telah pasrah kepada Dewa akan segala nasib dan lelakon yang bakal terjadi kemudian.
Terdengar langkah si Tangan Iblis makin mendekat ke arah tubuhnya yang tertelentang di tanah, dan kemudian berkumandang tawa kemenangan si Tangan Iblis.
"Heh, heh, heh. Kau harus mati sekarang, sobat! Terimalah pukulan telapak mautku ini dan hiruplah udara segar ini banyak-banyak buat terakhir kalinya! Haeet!"
Dengan tanpa ampun, Tangan Iblis telah menghantamkan pukulan telapak mautnya ke bawah, tepat terarah ke dada Ngurah Jelantik.
Blaaaaarr!
Sebuah benturan keras seperti ledakan petir terdengar dengan dahsyatnya, mengejutkan orang-orang di situ.
Saking kagetnya, begitu telapak tangannya membentur benda yang keras, si Tangan Iblis melemparkan diri ke samping dengan sebat, sementara hatinya penuh bertanya-tanya, apakah yang terjadi sesungguhnya dengan tubuh lawannya itu? Mungkinkah pukulannya tadi meleset dan mengenai batu? Tapi itupun mustahil, sebab sewaktu terjadi benturan tadi, ia merasakan adanya tenaga dorongan yang membentur tangannya.
Memang ia tadi telah melihat sesuatu yang berkelebat, justru tepat di saat ia memukulkan telapak mautnya ke dada Ngurah Jelantik! Maka hal inilah yang membuatnya terheran-heran.
Selesai mendaratkan kedua kakinya ke tanah, si Tangan Iblis lantas terperanjat seketika, sebab matanya yang tajam telah melihat sesosok tubuh manusia berdiri dengan kokohnya di dekat tubuh Ngurah Jelantik yang tergeletak di tanah.
Sementara itu, Ngurah Jelantikpun terkejut dan begitu membuka matanya, lantas saja ia menampak adanya sesosok tubuh yang berdiri di dekatnya, sambil memandang tajam ke arah Tangan Iblis.
Orang ini sudah cukup tua, terbukti dari rambut, kumis dan jenggotnya yang telah memutih kapas. Pada tangan kanannya tampak tergenggam selembar selendang cukin yang berwarna kuning, menjuntai ke bawah laksana seekor ular.
"Uh...! Uh...! Uh...!" Terdengar bunyi batuk dari mulut si kakek berambut kapas itu, seraya mengacungkan tangan kirinya ke arah Tangan Iblis dan berkata dengan suara yang tenang dan berwibawa, "Kau telah membuat keributan di sini dan menyebar kematian! Sungguh tercela perbuatanmu ini! Karenanya, lekaslah minggat dari tempat ini! Atau jika engkau bandel, aku harus terpaksa menindakmu, heh?! Uh...! Uh...! Uh!"
"Tua bebangkotan! Sudah bertubuh reyot dan tinggal mampus saja masih gatal ingin turun tangan?!" seru si pendekar Tangan Iblis sangat mendongkol dan penasaran.
Melihat selendang berwarna kuning yang tergenggam di tangan si kakek tua itu, ia dapat sedikit menebak, bahwa itulah agaknya senjata yang tadi telah membentur pukulan telapak mautnya.
"Sebut dulu namamu, tua bangkotan. Setelah itu barulah kita mengukur tenaga!" seru Tangan Iblis dengan mata menyipit, memandang rendah kepada kakek tua di hadapannya ini.
"Uh...! Uh...! Bagus! Namaku adalah Wiku Salaka! Apakah cukup berarti nama itu bagi dirimu, pengacau?!" ujar si kakek tenang-tenang.
Wajah si Tangan Iblis berkerut seperti tengah mengingat suatu, kemudian setengah pucat manakala ia dapat mengenal bahwa itulah nama salah seorang dari cucu murid Empu Barada yang terkenal sakti dan berilmu tinggi.
Kini tahulah Tangan Iblis, bahwa ia tengah berhadapan dengan lawan yang tidak boleh dipandang dengan sebelah mata. Si kakek berambut kapas itu ternyata bukan orang sembarangan seperti yang ia sangka sebelumnya.
Diam-diam Tangan Iblis jelalatan melirik ke tanah, dan ia melihat sebatang tombak tergeletak di situ. Maka secepat kilat tangannya menyambar tombak tersebut dan siap menyerang si kakek Wiku Salaka.
Tapi dengan gerakan yang tak terduga, Wiku Salaka menyerang lebih dulu dengan kibasan selendang kuningnya yang berubah menjadi keras seolah palu godam, menghajar patah tombak di tangan pendekar Tangan Iblis menjadi dua potong!
Keruan saja si Tangan Iblis kaget setengah mati melihat kehebatan senjata kakek tua itu, dan ini sudah cukup memberinya peringatan untuk lebih berlaku hati-hati dalam menghadapinya.

* * *



Dalam satu gebrakan pertama dan telah runtuh, ternyata menyebabkan hati si Tangan Iblis seperti tercekat oleh duri dalam menghadapi si kakek Wiku Salaka. Ini pula seperti menjadi pertanda buruk bagi dirinya, bahwa kemenangan akan sukar dicapai.
Selama malang-melintang di dunia persilatan, belum pernah ia terpukul runtuh oleh lawannya dalam gebrakan awal seperti kejadian yang lewat tadi. Tombak yang dipegangnya kena terhajar patah oleh selendang si kakek bangkotan. Memandang senjata lawannya yang cuma berwujud selembar selendang tapi mampu berubah menjadi sekeras logam, iapun sadar bahwa lawannya ini memiliki tenaga dalam yang dahsyat dan jarang tandingannya.
Jauh di sebelah timur, sang purnama telah muncul di balik pepohonan seperti tengah mengintip mereka yang lagi berhadapan untuk bertarung. Sinarnya kemudian dengan lambat merambah ke segenap arena pertempuran di sekitar halaman rumah Wayan Arsana, yang terletak di sebelah timur Gilimanuk.
Di sana-sini tampak para korban yang berkaparan di tanah, sebagian mati dan sebagian lagi luka-luka.
Made Maya masih menjaga ayahnya, si saudagar Wayan Arsana yang terluka dalam. Di sebelah lainnya, Ki Selakriya masih duduk juga mengatur tenaganya yang telah banyak hilang, akibat bertempur melawan Wasi Bera. Ia merasa beruntung bahwa Made Maya telah turun tangan menolongnya. Jika tidak, mungkin ia sudah binasa di tangan Wasi Bera itu. Namun di samping rasa syukurnya tadi, iapun menjadi takjub ketika ia menyaksikan Made Maya mampu bertempur dan mengalahkan lawannya sampai roboh.
Dari sekian orang yang paling heran, Sunutamalah yang hampir tak percaya menyaksikan Made Maya bisa merobohkan lawannya. Selama mengenal gadis ini, belum pernah ia melihat Made Maya berlatih silat, apalagi memperlihatkan minatnya terhadap masalah per- silatan. Sedang kenyataannya, Made Maya mempunyai ilmu dan tataran persilatan yang cukup tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari ilmu yang telah dimilikinya.
Inilah yang luar biasa. Terbukti bahwa selama ini Made Maya mampu merahasiakan dirinya, merahasiakan ilmu silat yang begitu hebat.
Dengan munculnya si kakek Wiku Salaka yang kini berhadapan dengan Tangan Iblis, sementara pertempuran terhenti. Semua seolah-olah seperti terpukau untuk menyaksikan bagaimana kedua tokoh tersebut berhadapan dan kemudian bertempur.
Memang begitulah, kini pusat perhatian tertuju kepada si kakek Wiku Salaka dan si Tangan Iblis. Mereka berhadapan, saling memandang dengan sorot mata yang tajam, menembusi udara senja.
Mendadak saja, si Tangan Iblis bergerak dengan kecepatan yang luar biasa membabatkan potongan tombak yang masih tergenggam di tangannya.
Wuuuss!
Tapi si kakek Wiku Salaka lebih cepat! Selendang di tangannya menyambar dan sisa tombak di tangan si Tangan Iblis sempal menjadi serpihan, terhajar oleh selendang tersebut.
Kembali orang berteriak kagum melihat kehebatan tandang si kakek yang berambut kapas. Lebih-lebih si Tangan Iblis sendiri. Menghadapi pendekar Ngurah Jelantik saja ia mampu, malahan berhasil melumpuhkannya. Padahal Ngurah Jelantik adalah pendekar terkenal dari Singaraja. Akan tetapi sekarang, ia seperti mati kutu, sebab bukankah lawan yang kini dihadapi jauh lebih tua, yang seharusnya lebih mudah untuk dirobohkan.
Rupanya si kakek itu tidak mau membuang-buang waktu lagi, sebab sebelum Tangan Iblis mempersiapkan diri kembali ia telah melancarkan serangan selendangnya.
Tangan Iblis mulai mengeluh di dalam hati, setelah kakek tua ini ternyata tidak mau memberi kesempatan kepadanya untuk bernapas.
Selendang Wiku Salaka merupakan sebuah senjata yang paling aneh dan sangat berbahaya. Dengan dilandasi tenaga dalam ia mampu berubah-ubah sesekali seperti baja keras yang mampu memporak-porandakan setiap benda yang dihajarnya sampai berkeping-keping. Di lain saat, selendang itu ujungnya dapat mematuk-matuk lemas, seperti mulut seekor ular yang siap mencaplok mangsa. Sehingga seluruhnya selendang kakek Wiku Salaka dapat bergerak dengan jurus maut sebanyak empat puluh bagian.
Masih mujur bagi Tangan Iblis bahwa ia memiliki kegesitan dan simpanan ilmu yang cukup, sehingga dengan meloncat dan berjumpalitan kesana-sini ia menghindar dari kejaran selendang si kakek yang selalu mengancam nyawanya.
Hingga saat itu, Tangan Iblis masih bertangan kosong, sebab ia tak pernah mendapat kesempatan untuk melolos pedangnya yang tergantung di pinggang. Tambahan lagi, selama ia turun tangan di tempat itu, selalu saja mengandalkan ilmu pukulan telapak mautnya. Tak tahunya sekarang ia telah ketanggor lawan yang hebat!
Telah dicobanya beberapa kali menghantam kakek Wiku Salaka dengan pukulan mautnya, tapi semuanya telah gagal. Apalagi sempat menyentuh tubuh si kakek, mendekat saja pun sukar, disebabkan oleh hajaran si selendang kakek Wiku Salaka tadi.
"Hee, kakek bangkotan! Mengapa tak kau biarkan aku mencabut pedangku, sedang engkau sendiri menggenggam senjata?! Nah, apa itu adil namanya?!" seru Tangan Iblis seraya masih berloncatan menghindar. Oleh seruan tadi, kakek Wiku Salaka memanggutmanggutkan kepala lalu berkata, "Eeh, eh. Bagus, bocah ingusan! Cabutlah senjatamu! Cabutlah dia lekaslekas, supaya orang-orang tidak bakal mengatakan, bahwa Wiku Salaka seorang pengecut karena membunuh lawannya yang tak bersenjata!"
Sungguh hebat ucapan kakek berambut putih ini. Sifat ksatria dan kebijaksanaan tergambar di dalamnya cukup mengagumkan bagi telinga-telinga yang mendengarnya, termasuk pula si Tangan Iblis sendiri.
Berbareng itu, kakek Wiku Salaka mengendorkan serangannya, untuk memberi kesempatan kepada si Tangan Iblis yang hendak mencabut pedangnya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Tangan Iblis buru-buru melolos senjatanya dan balas menyerang ke arah si kakek Wiku Salaka.
Sebentar kemudian berlangsunglah pertempuran yang lebih hebat karena masing-masing telah bersenjata di tangannya. Pedang di tangan si Tangan Iblis, menyambar-nyambar dengan ganasnya, berkilatan tertimpa cahaya rembulan yang lagi mengembang. Namun itu hanya sedikit menolong terhadap kedudukan Tangan Iblis, sebab kembali selendang si kakek Wiku Salaka mencecarnya dengan serangan-serangan berantai yang dahsyat mematikan.
Detik-detik selanjutnya, keringat dingin si Tangan Iblis bercucuran keluar dari lubang kulitnya, manakala tenaganya seperti terkuras habis oleh serangan si kakek yang dahsyat. Berkali-kali si Tangan Iblis terpaksa mengerahkan kekuatannya sewaktu ujung selendang kakek Wiku Salaka membentur pedangnya. Terasa kemudian pada setiap benturan, rasa nyeri kelewat batas, seolah-olah puluhan jarum lembut merayap ke tangan kanannya.
Dan akhirnya, pada suatu ketika... ujung selendang Wiku Salaka membentur dengan serunya pada pedang Si Tangan Iblis, disusul bunyi berdentang logam patah.
Klaaangng!
Patahlah sudah pedang si Tangan Iblis!
Saking kagetnya, si Tangan Iblis terhenyak lalu terpelanting roboh ke belakang disertai wajah kepucatan dan nafasnya tersengal-sengal. Pikirnya, "Celaka! Sekali ini habis riwayatku!"
Kakek Wiku Salaka telah mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang menggenggam selendang, siap disabetkan ke tubuh Tangan Iblis yang telah kepayahan terlentang di depannya. Semua menahan napas mengikuti adegan yang menegangkan dan mencengkam perasaan.
Namun diam-diam telah terjadi sesuatu yang tidak mudah diketahui sebab-sebabnya. Ketika tangan Wiku Salaka telah terangkat tinggi dan sorot matanya menatap tajam ke wajah Tangan Iblis, tiba-tiba bergeloralah satu perasaan aneh yang menyelinap ke hati si kakek ubanan ini. Tiba-tiba saja ia seperti telah mengenal wajah si Tangan Iblis. Seolah-olah ia telah mengenalnya sama sekali, sehingga membuatnya termangu beberapa saat. Selanjutnya, Wiku Salaka menurunkan tangan yang semula telah siap menghajarkan selendangnya ke tubuh Tangan Iblis.
"Tangan Iblis! Bangunlah, dan cepatlah berlalu dari tempat ini selekasnya, sebelum aku merubah niatku!" ujar kakek Wiku Salaka dengan suara yang berwibawa.
"Lekaas!"
Si Tangan Iblis seperti tak mau percaya dengan kata-kata si kakek yang baru saja hampir membunuhnya. Namun ia segera bangkit perlahan-lahan ketika didengarnya sekali lagi Wiku Salaka berkata, "Aku masih ingin memberimu kesempatan untuk memperbaiki dirimu! Karenanya, lekaslah pergi dari tempat ini!"
Semua orang tertegun menyaksikan adegan yang cukup aneh ini. Seseorang yang telah bertempur matimatian, ketika ia berhasil mengalahkan lawan dan tinggal membunuhnya sekali, semudah orang memijit buah tomat, tiba-tiba saja telah mengurungkan niatnya.
Agaknya si kakek Wiku Salaka ini tak sampai hati mengakhiri nyawa si Tangan Iblis. Terbukti bahwa ia telah melepaskan lawannya tersebut, untuk cepatcepat berlalu, meninggalkan tempat ini.
Akhirnya dengan langkah terseok-seok si Tangan Iblis telah bangkit dan kemudian melangkah meninggalkan halaman rumah Wayan Arsana, dengan diikuti oleh pandangan mata orang-orang di situ.
Sebuah geram tertahan terdengar dari mulut Tangan Iblis, sambil berjalan itu. Entah, apakah itu geram kemarahan atau geram pertanda kelelahan dirinya. Juga kedua tangannya mengusap debu-debu yang melekat pada kulit dan pakaiannya.
Sekonyong-konyong, sehabis ia mengusap-usap pinggangnya, berbaliklah si Tangan Iblis ke belakang ke arah Wiku Salaka sementara tangan kanannya mengibas dengan kecepatan yang hebat dan menakjubkan!
Di saat yang pendek itu, beterbanganlah belasan jarum beracun, berkeredapan seperti kunang-kunang menyambar ke arah kakek Wiku Salaka.
Hampir semuanya terpekik melihat hal ini, sebab jaranglah orang mampu menangkis serangan senjata rahasia yang berjarak pendek dan tiba-tiba ini.
Made Maya yang masih berjongkok di samping ayahnya lekas-lekas berseru dengan kecemasan, "Kakek! Awas! Jarum beracun!"
Untunglah, si kakek Wiku Salaka sendiri telah waspada sejak tadi, ketika ia membiarkan si Tangan Iblis berlalu meninggalkan tempat itu. Maka secepat kilat ia melolos selendang kuning yang telah dikalungkan pada lehernya, untuk selanjutnya ditebaskan ke udara menyapu jarum-jarum beracun milik Tangan Iblis:
Kejadian ini begitu cepatnya. Sebagian jarum tadi terpental balik dan bersarang pada pundak si Tangan Iblis, sampai seketika mulut pendekar ini berteriak kesakitan.
"Aauucchh!"
"Huh, bocah ingusan mencoba berlaku curang?!" desis si kakek Wiku Salaka seraya menggeram jengkel.
"Sekarang, rasakanlah senjatamu itu sendiri. Huh, aku tak perlu kuatir, sebab toh engkau memiliki obat penawarnya!"
Si Tangan Iblis peringisan menahan sakit, lalu berjalan dengan cepat dan sedikit sempoyongan mendekati I Jembrana dan Jimbaran yang lagi mengerang kesakitan. Dengan tidak banyak berkata, si Tangan Iblis lalu mencabut keris yang melekat pada lambung Jimbaran dan membantingnya ke tanah.
"Mari kita pulang!" ujar Tangan Iblis kepada kedua muridnya, dan sekali sambar, ia telah memanggul mereka di pundaknya untuk kemudian dibawanya kabur ke arah selatan.
Beberapa orang sisa pengikut Jembrana, segera pula lari terbirit-birit setelah mengetahui bahwa pemimpin-pemimpin mereka kabur meninggalkan tempat itu. Teman-temannya yang terluka sempat pula mereka bawa. Yang tertinggal kemudian adalah orangorang yang terluka parah dan mayat yang berkaparan di tanah.
Wiku Salaka, Sunutama, Made Maya dan sisa dari penjaga-penjaga pengikut Wayan Arsana segera merawat dan mengurus korban-korban pertempuran tadi. Untuk pendekar Ngurah Jelantik, segera si kakek Wiku Salaka dapat membebaskan kelumpuhan tubuhnya akibat tertotoknya jalan darah. Tapi untuk Wayan Arsana dan Ki Selakriya, tidaklah bisa disembuhkan seketika, karena keduanya terluka dalam sehingga memerlukan beberapa hari untuk memulihkan tenaga dan kesehatan tubuh mereka.
Di pendapa rumah Wayan Arsana tampaklah kemudian kesibukan orang-orang yang merawat dan mengobati orang-orang terluka. Suasana menjadi tenang, masing-masing terlibat dengan kesibukan kerjanya, hanya sesekali terdengar erangan dan rintihan dari orang-orang yang tengah dirawat luka-lukanya.
Wayan Arsana duduk dengan punggung tersandar, demikian pula dengan Ki Selakriya. Di dekat mereka duduk pula si Made Maya mendampingi ayahnya.
"Eeh, jadi Bapa Wiku Salakalah yang mengajarmu bersilat dan menjadi gurumu?" berkata Wayan Arsana kepada putrinya.
"Benar, Ayah," sahut Made Maya.
"Kakek Wikulah yang menjadi guruku."
Wayan Arsana kemudian manggut-manggut dengan keterangan putrinya. Satu keheranan lagi baginya, bahwa kakek Wiku Salaka atau yang selama ini dikenalnya sebagai ayah mertuanya, jadi ayah dari istrinya, mempunyai kepandaian silat yang begitu hebat. Ingin rasanya Wayan Arsana banyak bertanya tentang hal itu kepada Made Maya ataupun Wiku Salaka sendiri. Tapi, melihat kesibukan dan suasana yang demikian repot, maka mau tak mau Wayan Arsana terpaksa mengurungkan niatnya.
"Biarlah lain kali akan kutanyakan kepada Bapa Wiku Salaka," pikir Wayan Arsana seraya melempar pandang ke halaman yang kini makin terang-benderang oleh cahaya rembulan.
Beberapa orang penjaga tampak mondar-mandir menjaga pintu gerbang. Sang malampun terus berjalan dengan tenangnya, seperti tak pernah menggubris bahwa pertempuran baru saja terjadi, dan kini berakhir dengan kemenangan pihak Wayan Arsana, setelah terusirnya si Tangan Iblis dan beberapa sisa anak buahnya.

* * *




--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

SINAR MATAHARI yang terik seolah-olah tak kuasa menembuskan hawa panasnya yang menyengat kulit, ke lereng-lereng kaki gunung yang diselimuti oleh kabut putih yang berarak-arak, melayang dengan malasnya. Gunung ini, yang disebut orang dengan nama Gunung Merbuk, berdiri menjulang tinggi merupakan pagar di sebelah timur bagi kota Gilimanuk.
Di sebuah lerengnya di daerah selatan, hari itu tampak adanya kesibukan kecil yang sebenarnya agak mengherankan, sebab daerah itu biasanya tidak pernah dirambah oleh manusia.
Sedang hari itu beberapa gubuk darurat yang beratap daun ilalang telah berdiri di lereng selatan dan beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga di antaranya.
"Rasanya seperti tak sabar untuk terus-menerus menunggu pondok yang bobrok ini. Enakan yang ikut dengan pemimpin, mereka dapat beraksi mengeluarkan ilmu-ilmu simpanan dan keberaniannya!" ujar seorang penjaga yang dengan malas duduk bersandar pada kaki batang pohon asam.
Seorang temannya yang duduk di samping, beringsut dan menoleh seraya berkata, "Ah, kau mau berlagak jagoan, Dregil?"
"Hmm, mengapa tidak? Bukankah itu pula yang kita inginkan?!" sahut teman penjaga yang bernama Dregil.
"Apakah Kakang Arje juga tidak kepingin begitu?"
"Heh, heh! Masih enak yang tinggal di sini," berkata si Arje.
"Apakah kau kira, bertempur itu tidak mempertaruhkan nyawa?"
"Benar. Itu benar! Namun toh kita bertempur di samping pemimpin. Dan beliau adalah orang yang sakti dan selalu menang dalam setiap pertempuran. Mendengar namanya saja, orang akan bergidik dan berlutut untuk memenuhi segala permintaannya!" kembali Dregil mengomong.
Arje rupanya sangat mengantuk, dan ia tidak lagi menanggapi omongan Dregil dengan ulasannya, tapi ditanggapinya dengan mulutnya yang menguap, melenguh bagai sapi kekenyangan.
Dengan mendongkol, Dregil melihat mulut temannya yang menguap lebar tadi, lalu kepalanya membayangkan persamaan mulut temannya dengan mulut seekor buaya. Lalu, tiba-tiba Dregil tersenyum sendiri seperti orang gendeng, manakala dalam ingatannya terlintas pikiran yang iseng, bagaimana seandainya ke dalam mulut tadi dimasukkan seekor kadal hidup, seperti yang dilihat di samping kakinya sekarang ini?
Mendapat pikiran jahil tadi, tangan si Dregil tibatiba menubruk si kadal yang tengah lenggat-lenggot di dekat kakinya. Tapi sang kadal lebih dulu mencium bahaya yang mengancamnya, hingga dengan sebat ia lari ke bawah semak.
Tinggal si Dregil yang gerenengan sendiri setelah kecepatan tangannya masih bisa dikalahkan oleh seekor kadal. Kembali ia mengawasi si Arje yang kini telah sesengguran mendengkur dengan nikmat di sebelahnya. Akhirnya Dregilpun turut menguap setelah berkalikali ia menatapi Arje. Rasanya, kantuknya telah timbul, terpengaruh oleh kepulasan sahabatnya, dan kemudian dua orang itupun tertidur pulas.
Beberapa waktu kemudian, sebelum mereka tertidur sepemakan sirih lamanya, datanglah seorang penjaga lain ke tempat itu dan ia lantas menggelenggelengkan kepalanya, melihat kedua temannya tersebut.
"Hee, Arje, Dregil! Bangun, lekas!" seru si penjaga yang baru datang seraya mengguncang-guncang kaki Dregil dan Arje dengan keras.
Mendadak saja, Dregil terbangun, sekaligus menebas pedang lebarnya ke depan dengan cepatnya.
"Ahh, edan orang ini!" seru si penjaga yang baru datang sambil meloncat ke atas menghindari tebasan pedang si Dregil yang nyaris memenggal tangannya.
"Tahan! Kau sudah kesurupan setan rupanya!"
Dregil terlongoh mendengar seruan tadi dan buruburu ia menarik serangannya.
"Maaf, sobat! Baru saja aku bermimpi melihat seekor kadal yang hendak melahap kakiku. Maka aku secepat kilat membacoknya dengan pedang ini. Tak tahunya, tangan Andalah yang mengguncang-guncang kakiku. Harap Anda suka memaafkanku, sobat."
"Tak apalah," gumam si penjaga yang berwajah garang memperlihatkan rasa mengkalnya.
"Sudah waktunya kalian berdua menjaga! Mengapa masih tidur saja? Lekaslah bertugas!"
"Ngngng... baiklah kami berjaga," ujar Dregil dan Arje bersama, lalu bangkit dan menggeloyor ke arah selatan sambil menggerutu.

* * *



Sementara itu, seorang nenek yang berwajah buruk berjalan menerobos semak-belukar menempuh hutan yang menutupi kaki selatan Gunung Merbuk. Sebentar-sebentar ia mengerutkan keningnya dan bersungut-sungut sambil bibirnya komat kamit menggerundal.
"Bocah tolol! Lagi-lagi meninggalkan orang tua kelewat lama! Sudah kuperingatkan jangan semaunya pergi mengeluyur, tapi masih tetap bandel. Dasar bocah gendeng. Apakah ia mau mengandalkan ilmunya yang masih kurang seperempat tataran?! Heh, kadangkadang ia sampai jauh mengembara, mendatangi kotakota dan pulau-pulau. Yang sering diceriterakan, ia senang mengunjungi Bukit Kepala Singa yang terletak di tengah-tengah Pulau Mondoliko. Heh, bocah gelandangan!"
Demikianlah nenek tua berwajah buruk tapi senantiasa menggerundal di sepanjang perjalanan. Menilik ucapan dan kata-katanya, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dia sangat menyayangi putranya dan kini dengan susah payah mencarinya menerobos hutan, menyeberangi jurang-jurang dan menempuh bahaya.
"Hmm, aku akan mencarinya ke Gilimanuk, seperti yang pernah ia katakan kepadaku beberapa waktu yang lalu," lagi si nenek mengomel.
"Tapi aku juga heran kepadanya, mengapa ia sangat tertarik kepada kota sekecil Gilimanuk itu? Apakah ada sesuatu itu yang menarik perhatian dan menahannya di sana?"
Langkah si nenek berwajah buruk ini sangat aneh. Di tanah yang rata, ia tetap berjalan seperti biasa, selangkah demi selangkah sambil tertatih-tatih menggunakan tongkatnya yang berwarna hitam mengkilat berukir-ukir amat indah. Akan tetapi, bila ia melewati tebing ataupun jurang, dengan enaknya ia meloncatinya semudah bila ia melangkah di tanah yang rata.
Sungguh menakjubkan gerakan si nenek ini. Ketika ia meloncat tadi, tampaklah kakinya dengan sebat mencapai sasaran yang dikehendaki, sementara mulutnya berkikikan mengeluarkan suara tertawa seperti suara kuda betina yang binal. Sama sekali ia tak mencemaskan bahaya yang menghadangnya seperti terpancar pada wajah dan sorot matanya yang tajam.
Bila di tengah jalan ia menghadapi binatang-binatang liar, cukuplah dengan mengobat-abitkan tongkat hitamnya yang segera mengeluarkan suara mendesisdesis, dan menyingkirlah kabur si binatang liar tadi dengan ketakutan.
Semua tingkah laku si nenek bertongkat ini, tentu akan menimbulkan ketakjuban yang luar bisa. Sebab bagaimana mungkin orang setua dia mampu menyeberangi jurang dengan sekali loncat saja?
Namun sayang, tentu saja orang tak akan dapat melihat keanehan si nenek tadi, sebab dia tidak sembarangan memperlihatkannya di depan orang lain. Dengan demikian maka orang lain akan tetap menganggapnya sebagai seorang tua yang lumrah tanpa keanehan-keanehan apapun.
Ketika si nenek hampir mencapai kaki gunung sebelah selatan, diam-diam dua pasang mata telah mengintainya. Kedua-duanya tengah berbisik-bisik ketika si nenek berwajah buruk melewati sebuah pohon beringin yang besar dan bercabang-cabang rimbun.
"Sstt, kau lihat itu, Dregil?!"
"Heh. Yah, aku melihatnya. Seorang nenek kudisan yang bertongkat...," gumam yang seorang sambil meringis.
"Mengapa, Adi Dregil? Apakah itu nenekmu?"
"Huss! Ngomong seenaknya. Nenekku sudah mati
dua tahun yang lalu!" sahut Dregil.
"Heh, heh, sayang bahwa sebentar lagi mungkin si nenek kudisan itu akan mati!" ujar si Arje seraya menyungir-nyungirkan hidungnya karena seekor lalat yang mengganggu.
"Weh, mati? Apa sebabnya?" si Dregil kaget.
"Kau lihat bukan, bahwa si nenek itu tidak memakai caping?!" kata Arje kembali, membuat Dregil makin bingung.
"Huh, apa hubungannya dengan caping?! Masak, orang tidak memakai caping lantas mati!" gerundal Dregil uring-uringan.
Arje tidak menggubris kata-kata temannya, malahan ia memuntir telinga si Dregil sambil berbisik, "Kau cukup tolol, sobat! Coba, kau dapat melihat pada sebuah cabang beringin yang tengah dilewati nenek itu?"
"Ooh, celaka!" desis Dregil, begitu ia menurut katakata Arje seraya melihat ke cabang pohon beringin tersebut.
"Seekor ular!"
"Naa, itulah sebabnya aku mengatakan bahwa si nenek akan mati, karena kepalanya pasti disambar oleh mulut si ular yang nampaknya rakus sekali."
"Mari kita menolongnya, Kakang Arje," ujar Dregil sambil mengawasi ke depan.
"Menolongnya?!" desis Arje dengan nyungir.
"Apa pula perlunya menolong seorang nenek bangkotan yang tak ada gunanya? Biarlah ia dicaplok dan mampus. Kecuali kalau dia adalah seorang gadis yang cantik! Huh, pasti akan kutolong dengan segera!"
Dregil mengerdip-ngerdip mendengar tutur kata sahabatnya, lalu iapun berkata, "Eh, betul juga, ya. Biarlah ia dicaplok ular. Aku kepingin melihat adegan itu!"
Begitulah bisik-bisik si Dregil dan Arje yang bersembunyi di balik semak belukar sambil mengawasi nenek tua yang terhuyung-huyung berjalan melewati pohon beringin raksasa.
Keduanya makin berdebar-debar ketika dari atas cabang pohon beringin itu, meluncur tubuh seekor ular yang menyambar dengan cepatnya ke bawah. Dregil dan Arje hampir dapat memastikan bahwa mulut ular itu akan tepat mencaplok kepala si nenek bertongkat, namun tiba-tiba kedua orang itu berbareng melongo, sewaktu dengan sebat, si nenek bertongkat meloncat ke samping menghindari sambaran sang ular.
Dregil menggosok-gosokkan jarinya ke mata, sebab ia tak mau percaya melihat kecekatan si nenek yang dengan mudahnya menghindari sambaran maut. Lebih-lebih lagi dengan Arje yang semula telah memastikan kematian si nenek, sekarang menjadi melompong.
Si ular sendiri bukan main marahnya. Ia mengeluarkan desisan hebat menggerakkan kepalanya kesanakemari, siap menyerang kembali. Sedang si nenek tinggal berdiri dengan sambil mengobat-abitkan tongkat hitamnya.
Rupanya saja sang ular merasa dipermainkan oleh mangsanya. Maka secepat kilat ia menyambar kembali dengan gerakan kilat.
Tetapi tiba-tiba si nenekpun bergerak cepat dan lincah meloncat kesana-kemari menerobos di antara sambaran-sambaran maut si ular yang kelaparan.
Dregil dan Arje melompong, begitu mereka menyaksikan adegan yang menakjubkan ini. Dan sesaat kemudian, keduanya melihat adegan yang lebih menarik lagi, hampir sukar dipercaya. Tampak si nenek tua menebas tongkat hitamnya beberapa kali dibarengi bunyi benturan beberapa kali yang mirip ledakan mercon, dan sesaat berikutnya tubuh ular tersebut menggelantung runtuh ke tanah dengan kepala yang hancur dan leher yang patah-patah.
Si nenek tua ini menatapi tubuh ular yang telah mengelumpruk mati di tanah sambil mengusap-usap tongkat hitamnya.
"Cuhh!" Si nenek meludah ke bangkai ular dan menggerundal.
"Binatang edan! Orang sudah peyot dengan kulit yang alot begini masih akan dimangsa. Kini mampus kowe, huh!"
Kembali si nenek melangkahkan kaki, berjalan ke arah barat dengan tenangnya, seolah-olah ia tidak pernah mengalami apa-apa.

* * *



Dalam pada itu Dregil dan Arje yang selalu mengawasi nenek tadi, lalu berbisik-bisik.
"Kakang Arje, kau lihat sendiri bukan? Nenek itu luar biasa," Dregil berkata.
"Benar. Tapi karenanya pula, aku jadi curiga. Siapakah dia sebenarnya?" ujar Arje dan tangannya telah meraba hulu pedangnya.
"Mari kita cegat dia, lalu kita tanya apa perlunya sampai keluyuran di tempat ini?"
"Ehh, tapi apa perlunya, Kakang Arje? Bukankah kalau kita berdiam diri, malah nenek itu tidak akan mengetahui tempat kita ini?"
"Heei, apakah kau lupa, bahwa si Tangan Iblis telah memerintahkan kita, agar setiap orang yang berani lewat di sini, dicegat dan kemudian tanyai apa tujuannya? Jika membahayakan kita, bunuh saja!" Arje berkata pasti.
"Tapi apakah yakin bahwa kita mampu menghadapinya. Bukankah ular ganas itu telah dibunuhnya dengan tongkat di tangannya?"
"Hah, tentang ular itu, mungkin secara kebetulan saja dapat dibunuhnya. Siapa tahu ular tadi tengah kelaparan dan tidak memiliki kekuatan. Dengan demikian, kan mudah membunuhnya?"
Dregil mengerdip-ngerdip.
"Baiklah, aku setuju mencegatnya. Tapi kau harus berani menghadapinya, Kakang Arje!"
"Jangan kuatir. Aku nanti yang akan pertama menegurnya!" sahut Arje.
"Ayo, lekas kita menghalanginya!"
Bagaikan serigala mencium mangsa, keduanya berloncatan dari semak-semak lebat dan berhentilah mereka di tengah jalan, tepat di depan si nenek bertongkat dengan sikap menghadang.
Sesaat itu pula si nenek terkejut, tapi saat berikutnya ia tertawa mengikik terpingkal-pingkal seperti anak kecil melihat sesuatu yang lucu.
"Hi, hi, hi. Kalian membikin aku terkejut, bocahbocah!" ujar si nenek manggut-manggut.
"Apa maksud kalian dengan malang-melintang di depanku ini, heei?" Mendengar dirinya disebut bocah-bocah, Dregil dan
Arje menjadi naik darah seketika.
"Kau tak boleh ngomong seenakmu, nenek peyot! Kau telah masuk daerahku ini, dan tanpa keperluan yang harus kau katakan kepada kami, engkau harus kembali!" seru Arje. Suaranya penuh nada ancaman.
"Hee?! Hih, hi, hi, hi. Sejak kapan daerah ini di bawah kekuasaanmu?" kata si nenek acuh tak acuh.
"Kurang ajar! Banyak ngomong, kau nenek peyot!" seru Dregil.
"Lekas kau sebutkan, siapa namamu dan apa tujuanmu di sini?"
Nenek tua itu mengangkat dahi mendengar pertanyaan yang kasar lalu sorot matanya berkilatan marah. Tapi aneh, sebentar pula sorot matanya jadi redup. Agaknya ia masih dapat menahan diri.
"Ha, ha, ha. Betul, nenek peyot. Katakan saja apa perlumu sampai keluyuran di daerah ini?!" seru Arje tak mau ketinggalan.
"Bagus, bocah! Bagus! Aku bernama Nyi Durganti. Nah, puas bukan? Itulah namaku yang kalian inginkan!"
"Durganti? Hmm, nama yang aneh," desis Arje tercengang.
"Lalu apa tujuanmu kemari?"
"Kau ingin tahu tujuanku? Hmm, aku tengah mencari anakku yang minggat dari rumah."
"Dan siapa nama anakmu itu? Laki-laki atau perempuan?!" bertanya pula si Dregil dengan gencar sambil bertolak pinggang.
Nenek Durganti mengerinyitkan dahinya. Wajahnya yang penuh kerut-merut serta beberapa bintik dengan warna kulit yang kuning kehijauan seperti mayat, benar-benar menyeramkan. Begitu menghadapi Dregil dan Arje yang memberondongkan pertanyaan-pertanyaan, ia lantas jengkel, katanya kemudian, "Keparat! Kalian masih ingusan! Tidak tahu adat! Kalian menanyaiku seperti memeriksa seorang pesakitan!"
"He, heh, he. Lucu! Lucu," seru Arje diiringi ketawanya.
"Wajahmu makin peyot, Nek!"
"Heh, he. Betul! He, he, he. Betul!" ujar Dregil membetulkan pendapat si Arje.
"Kalau marah, wajahnya makin peyot!"
"Hyaatt!" teriak nenek Durganti seraya menyabetkan tongkat hitamnya ke depan, menyapu ke arah dada Dregil dan Arje.
Dengan kekagetan yang luar biasa, Dregil dan Arje buru-buru membuang diri ke samping, terus bergulingan menjauh dari lawannya.
"Naa, ayolah teruskan mementang mulut, bocah ingusan! Baru sekian saja sudah gelagepan!" ejek nenek Durganti disusul ludahnya meloncat dari bibir.
Terang bahwa Dregil dan Arje tidak mengira bahwa si nenek kempong-perot itu mampu melabrak dengan gerakan tongkat yang tiba-tiba. Untung saja bahwa keduanya mempunyai ilmu yang lumayan. Jika tidak, mana bisa mereka lolos dengan mudahnya dari serangan tongkat hitam si nenek.

* * *




--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

TANPA MEMBUANG waktu, keduanya segera melolos pedangnya seraya bangkit dan bersiaga, sementara si nenek Durganti masih berkikikan ketawa.
"Huh! Seranganmu sungguh mengagumkan, nenek reyot! Tapi jangan kau kira bahwa kami tak sanggup melawanmu?!" berkata Arje seraya melentur-lenturkan pedangnya.
"Bagus! Cobalah mulai. Aku ingin tahu sampai berapa lama kalian mampu menghadapiku?!" kata nenek Durganti. Tangannya telah menggenggam pertengahan batang tongkat, siap diputarnya untuk menghadapi kedua lawannya.
"Ayo, bocah ingusan, jangan malumalu. Majulah berbareng kemari, supaya tidak kepalang tanggung!"
Seperti akan meledak dada Dregil dan Arje mendengar tantangan nenek Durganti tersebut. Maka secepat kilat keduanya menyerbu bersama, menebaskan pedang yang berkilat-kilat di tangannya.
"Jeeaah!"
Kalau pedang Arje mengancam kepala si nenek Durganti, pedang Dregil bergerak menyapu ke arah lutut.
Ternyata memang serangan mereka saling bergerak dengan jurus berpasangan dan tentu saja serangan begini akan sukar untuk dihadapi. Dan celakanya lagi, Arje juga mengibaskan tangan kirinya, disusul beberapa pisau kecil menyambar ke arah nenek Durganti.
"Tobat! Serangan beruntun!" desis nenek Durganti saking kagetnya mendapat serangan yang begitu ganas dan penuh nafsu.
Tetapi sesaat kemudian, nenek Durganti dengan tenang menghadapi serangan lawan, sebab untuk menghadapi gerakan yang buas diperlukan ketenangan. Makin tenang, makin jelas ia dapat mengikuti gerakan lawan. Maka itulah sebabnya nenek Durganti tiba-tiba melesat miring ke depan dengan menggerakkan kedua tangannya berbareng, berserabutan kesana-kemari. Tangan kiri menyapu ke depan tubuh, sedang tangan kanannya menggenggam tongkat yang berputar seperti baling-baling.
Tap! Tap! Tap! Trang Traaangng!
Beberapa bunyi benturan terdengar beruntun susul-menyusul dan sesaat kemudian Dregil serta Arje terhuyung ke belakang sambil mulutnya peringisan menahan rasa sakit dan pedih yang membakar jari-jari tangan kanannya
Mereka terpaksa kagum bahwa kedua senjata pedangnya kena ditangkis oleh putaran tongkat hitam si nenek Durganti yang bergerak ke atas dan ke bawah. Malahan dengan melongo, keduanya menatap tangan kiri nenek tua tadi. Pada tiap-tiap sela-sela jari-jemarinya terseliplah pisau-pisau kecil yang tadi dilempar oleh Arje.
Melihat kenyataan ini, secepat kilat Arje bersuit nyaring memberi isyarat tanda bahaya kepada temantemannya yang masih tinggal di dalam gubuk-gubuk darurat di sekitar tempat tersebut.
Sungguh mengagumkan bahwa nenek Durganti masih tetap tenang, bahkan ia tertawa cekikikan, ketika sesaat kemudian beberapa teman Arje berloncatan keluar dari balik semak-semak, langsung mengepungnya.
"Hi, hi, hih. Mari, kalian semua! Kita bermain-main menghilangkaN kantuk. Hi, hik. Coba kuhitung semuanya. Satu, dua, tiga, empat, lima, tambah satu lagi, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh! Wah, wah, hampir dua regu pasukan lengkap dengan senjata. Ini sudah cukup banyak. Hayo, sekarang marilah, silakan membuka serangan!" berkata nenek Durganti menantang, sementara Arje dan teman-temannya telah bersiaga.
Siapakah yang tidak jengkel mendengarkan tantangan nenek reyot yang berlagak perkasa ini? Lebihlebih Dregil dan Arje, kelihatan mengkerot-kerotkan giginya menahan marah.
"Kawan-kawan! Keroyok nenek bangkotan ini! Cacah-cacah tubuhnya sampai lumat! Lekas!" teriak Arje memberi aba-aba, yang seketika disambut oleh teriakan kawan-kawannya.
Mereka bersepuluh serentak bergerak menyerang si nenek Durganti dengan cara berpasangan, masingmasing dua orang menyerang berturut-turut, susulmenyusul sebagai ombak laut yang ganas.
Biar bagaimanapun, nenek tua ini menghadapi kesepuluh lawannya dengan tenang. Meski seolah-olah hujan serangan senjata mengurungnya, ia dengan sebat memutar tongkat hitam di tangannya menyambut setiap serangan.
Ketika ternyata nenek itu masih tangguh menghadapi serangan-serangan tersebut, Arje dan kawankawannya merubah siasat. Mereka membentuk satu lingkaran yang mengepung nenek Durganti dengan ketatnya, tanpa ada tempat yang lowong untuk diterobos. Kesepuluh lawan nenek Durganti tersebut kemudian bergerak melingkar, seperti roda yang tengah berputar, membuat lawan yang belum kenyang pengalaman akan pusing. Dan justru inilah yang dikehendaki oleh mereka. Bila lawannya sudah pusing, maka serangan serentak akan mereka lancarkan seketika. Tapi, dapatkah nenek Durganti tadi menjadi pusing? Ini tak dapat dipastikan, kecuali ia sedikit kelihatan terhuyung.
"Serang!" teriak Arje dan seketika kesepuluh pengepung tadi bergerak ke dalam, melancarkan serangan-serangan dahsyatnya.
Weeesssttt Trrraaangng!
Nenek Durganti menangkis dan tubuhnya melenting ke udara lalu meloncat ke luar dari lingkaran kepungan kesepuluh lawannya.
Akan tetapi mereka tangguh pula. Lingkaran manusia inipun bergerak cepat ke samping mencegat loncatan si nenek, sehingga akhirnya, begitu nenek Durganti tiba di tanah, ia telah mendapatkan dirinya tetap dalam kepungan musuh.
Kini tahulah dia, bahwa kesepuluh lawannya akan sangat sukar untuk dirobohkan satu persatu, jadi harus secara serentak pula. Oleh sebab itu, nenek Durganti telah bersiaga sepenuhnya, lebih-lebih ketika lawan-lawannya meluruk kembali melancarkan serangan. Kali ini nenek Durganti tidak menghindar tapi tetap tinggal di dalam lingkaran pengepungan dengan memutar tongkat hitamnya.
Traang! Trang! Triing!
Benturan-benturan senjata terjadi dan kesepuluh pengepung tadi terhuyung ke belakang, begitu senjatasenjata mereka beradu lawan tongkat si nenek Durganti.
Detik berikutnya, dalam saat yang singkat, Durganti bergerak lebih cepat lagi, sangat mengagumkan. Ia meloncat berkeliling, ke sana-ke mari sambil tangan kirinya berserabutan menotok jalan darah kesepuluh lawannya seperti pada sisi leher, pundak ataupun dada.
"Aaakh! Aduuuh! Tobat!" seru mereka hampir berbareng dengan tubuh-tubuh kaku seperti arca yang bernyawa, begitu tubuh mereka kena ditotok oleh jarijari Durganti yang ampuh.
Si nenek itu kini berdiri tenang di tengah lawanlawannya yang telah kaku, kemudian berkata, "Naaa, bocah-bocah ingusan! Sekarang bagaimana keinginan kalian? Apakah masih ingin membandel dan sombong di hadapanku, hah? Hi, hi, hi, hi. Jika mau, aku bisa meninggalkan kalian dalam keadaan begini, supaya tubuh-tubuh kalian dapat disantap oleh binatangbinatang buas di hutan ini."
"Jangan pergi, nenek! Kami bertobat!" seru Arje dan kawan-kawannya serentak.
"Tolong bebaskan kami! Kami mengaku kalah!"
"Hi, hi, hi, jadi kalian cukup puas dengan permainan ini? Baiklah, aku akan membebaskan kalian. Tapi kalian harus sanggup membantuku! Juga harus meminta maaf! Bagaimana? Sanggup?"
"Sanggup!" ujar kesepuluh lawan yang telah bertubuh kaku.
"Kami meminta maaf kepada nenek Durganti."
"Hi, hi, hi. Bagus," seru nenek Durganti sambil berloncatan keliling membebaskan totokan jalan darah kepada seseorang lawannya dan sebentar kemudian Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah sembuh dan pulih seperti sediakala. Mereka merasa bagai terbebas dari kematian yang hampir mengancamnya.

* * *



Arje, Dregil dan kedelapan kawannya berdiri menggerombol di hadapan nenek Durganti dengan kepala tertunduk. Mereka yang semula menganggap ringan dan sepele terhadap lawannya yang telah tua renta ini, kini merasa malu begitu nenek Durganti telah menaklukkan mereka kesemuanya.
Sebaliknya si nenek itu masih tersenyum-senyum puas, kemudian ia menebarkan pandangan matanya ke depan dan berkata, "Hih, hi, hi. Siapa kalian berdua yang pertama mencegatku?" Nenek Durganti berkata seraya menunjuk ke arah Dregil dan Arje dengan jarijarinya yang berkuku panjang.
"Saya Dregil dan ini si Arje," ujar Dregil.
"Sekarang jelaskan kepadaku, apakah keperluan kalian sampai menggerombol dan membuka gubukgubuk di sini?"
"Kami sedang menunggu pemimpin kami," berkata Dregil.
"Dan sekarang sudah seharusnya ia tiba di sini."
"Ke mana perginya?"
"Ke Gilimanuk."
"Haa, ke Gilimanuk, katamu?" seru nenek Durganti dengan kaget.
"Siapa nama pemimpinmu itu, bocah?"
"Dia bernama si Tangan Iblis!"
"Si Tangan Iblis?!" berseru lebih keras si nenek Durganti sampai kesepuluh orang di depannya terguncang kaget, sebab dada mereka sesaat berdentang hebat oleh seruan si nenek yang terisi tenaga dalam.
"Mengapa terkejut, Nenek? Apakah nama Tangan Iblis cukup menggentarkan bagi Nenek?" ujar Dregil.
"Menggentarkan? Tentu saja!" sahut nenek Durganti.
"Tapi bukan karena takut kepadanya!"
"Jadi maksud Nenek...?!" sela Dregil menegaskan.
"Aku sudah lama mencarinya!" nenek Durganti di-
barengi ketawa cekikikan bernada gembira sampai tubuhnya berguncang-guncang dan rambutnya yang terurai lepas awut-awutan itu ikut tergerak berhamburan melambai-lambai.
"Sebab, kalian harus tahu sekarang, bahwa si Tangan Iblis itu adalah puteraku! Kalian mengerti, hah?! Buka kupingmu lebar-lebar. Tangan Iblis yang menjadi pemimpin kalian itu adalah anakku!"
Mendengar perkataan tadi, Dregil dan kawan-kawannya bagai disambar petir kagetnya. Mereka serentak membungkuk hormat ke hadapan nenek Durganti seraya berkata ketakutan, "Harap dimaafkan perlakuan kami yang kurang pantas tadi."
"Hi, hi, hi, sudah kuampuni, kalian," berseru nenek Durganti.
"Tak kukira bahwa Tangan Iblis bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi jelaskan kepadaku, Dregil, apa sebabnya ia pergi ke Gilimanuk?"
"Mereka sedang menyerbu rumah seorang saudagar kaya," kata Dregil pula, membuat nenek Durganti terkejut.
"Wah, kelewat berani anak ini," gereneng Durganti.
"Mudah-mudahan ia tidak menemui kesulitan di sana. Hai, Dregil. Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya mereka telah pulang?!"
"Benar, Nenek. Malah seharusnya mereka sudah tiba tadi malam!"
"Ooo, jadi terlambat artinya," kata Nenek Durganti dengan hati berdebar-debar.
"Kalau ternyata demikian, marilah Dregil, siapkan diri kalian untuk menyusul si Tangan Iblis!"
Sebentar kemudian terlihatlah kesibukan mempersiapkan diri untuk perjalanan ke barat menuju ke Gilimanuk. Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh munculnya sesosok tubuh manusia yang bermandi keringat dan beberapa luka berdarah tampak menghiasi tubuhnya. Nenek Durganti dan orang-orang menolongnya.
"Tolong! Aduh, Ki Tangan Iblis terluka," rintih orang yang terluka tadi dengan terengah-engah, menandakan bahwa ia telah menempuh perjalanan yang jauh.
"Di mana teman-teman yang lain?" berkata Dregil.
"Dan Ki Tangan Iblis berada di mana?"
"Ki Tangan Iblis terluka bersama I Jembrana dan Jimbaran, tertinggal di belakang sana. Tapi untunglah kita telah lolos dari kejaran mereka!"
Nenek Durganti seperti tak sabar mendengar orang menyelesaikan kata-katanya. Karena ia telah lama mencari Tangan Iblis dan kini mendengar bahwa anaknya telah mendapat luka, maka cepat-cepat ia berkata, "Dregil! Arje! Bawalah separuh teman-teman mengikuti aku. Yang separuh tinggal di sini, merawat orang yang luka-luka. Pasti akan datang lagi lainnya!"
Selesai berkata, Nenek Durganti telah meloncat ke barat disusul oleh Dregil, Arje, dan tiga orang temannya. Sebentar saja tampaklah bayangan-bayangan manusia yang berlari, berloncatan menerobos semak dan jalan-jalan kecil tak ubahnya kijang-kijang yang lagi berkejaran.
Dregil dan Arje serta kawan-kawannya terpaksa mengerahkan tenaga untuk dapat mengikuti loncatan dan lari si Nenek Durganti yang berada di sebelah depan. Tak urung mereka mengumpat-umpat di dalam hati, di samping rasa kagum terhadap Nenek Durganti yang sudah tua renta, tapi malah mengalahkan mereka, terutama dalam ilmu tenaga dalam dan tata kelahi.
Nenek Durganti yang berlari paling depan selalu memasang telinga dan menebarkan pandangan matanya meskipun ia tengah berlari begitu cepat. Rambutnya yang terurai lepas dan berkibar-kibar tertiup angin menimbulkan pandangan yang menyeramkan di samping wajahnya yang berkeriput dan berwarna seperti mayat.
Ketika mereka sampai pada sebuah mata air, tibatiba nenek Durganti mengacungkan tangan kirinya ke atas, dan seketika itu pula Dregil dan kawan-kawannya segera berhenti.
Tak jauh dari tepian mata air, tiga sosok tubuh tengah tergeletak dengan mengerang kesakitan. Seorang di antaranya berlepotan darah pada mulut dan di sebelahnya, seorang lagi menebah lambungnya yang mengalirkan darah. Sedang di depan mereka nampak seorang yang kelihatannya masih mampu mengatasi dirinya telah mencoba untuk duduk. Pada pundak kiri orang ini kelihatan satu bengkak kebiruan yang mengalirkan darah kental kehitaman.
"Anakku... Tangan Iblis!" berseru nenek Durganti seraya berlari mendekati orang yang bengkak pada pundaknya.
"I Jembrana dan Jimbaran juga luka!" seru Dregil dengan cemasnya. Ia tidak mengira bahwa ketiga orang sakti tadi dapat menderita kekalahan dan luka-luka. Maka dapatlah Dregil membayangkan bahwa lawan dan musuh yang mereka hadapi memiliki kesaktian yang hebat.
"Kau terluka, Nak?!" sapa si nenek seraya memeriksa pundak Tangan Iblis yang bengkak.
"Terkena apa ini?!"
"Senjata jarumku sendiri. Ia terpental balik kena tangkisan senjata lawan," ujar Tangan Iblis disertai ceritera singkatnya tentang pertempuran dahsyat di sebelah timur Gilimanuk.
"Tapi Ibu tak usah cemas, sebab aku telah minum obat penawarnya."
"Hmm, lawanmu bernama Wiku Salaka?! Aku belum pernah mendengarnya," nenek Durganti berkata pula, sementara tangannya mengurut-urut tempattempat di sekitar pundak Tangan Iblis yang bengkak.
"Biarlah lain kali kau ceritakan lebih jelas tentang pertempuran itu. Sekarang yang penting kau dan temantemanmu yang terluka harus segera mendapat perawatan."
Dregil, Arje, dan ketiga temannya cepat membantu membuat usungan dari bambu untuk membawa I Jembrana dan Jimbaran yang terluka parah. Sedang Tangan Iblis sendiri mampu berjalan dengan dibantu oleh ibunya. Ni Durganti.
Akhirnya rombongan ini bergerak ke timur dengan pelahan melewati jalan-jalan rintisan kecil yang menembus kerimbunan pohon-pohon raksasa dalam hutan di kaki selatan Gunung Merbuk.
Di sepanjang perjalanan, timbullah pertanyaan-pertanyaan di dalam diri si nenek Durganti tentang lawan yang baru saja mengalahkan Tangan Iblis. Ia tidak mengerti mengapa Tangan Iblis yang telah digemblengnya itu, masih dapat dikalahkan oleh lawannya begitu saja. Bahkan terkena oleh senjata rahasianya sendiri. Bukankah ini sangat memalukan bagi seorang jagoan seperti Tangan Iblis?
Namun kemudian Nenek Durgantipun menjadi sadar, bahwa gemblengan yang diberikan kepada putranya belum selesai seluruhnya. Sehingga kekalahan si Tangan Iblis masih bisa dimaklumi. Satu hal yang menjadi jelas baginya ialah tentang lawan yang bernama Wiku Salaka. Setidak-tidaknya ia berilmu setingkat dengan dirinya.

* * *




--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

SANG WAKTU TERUS BERJALAN. Pagi, siang, sore, dan malam, dan seterusnya kembali lagi sang pagi dengan sinar mataharinya yang segar dan hangat. Begitulah irama waktu selalu berulang-ulang tanpa membosankan. Meskipun sang pagi hadir di setiap harinya, namun toh setiap kali ada suasana yang berlainan sejalan dengan irama kehidupan manusia dan alam sekitarnya.
Berangsur-angsur kesehatan Wayan Arsana, si saudagar kaya yang berumah di sebelah timur Gilimanuk, telah pulih dan sembuh berkat rawatan ayah mertuanya, yakni Ki Wiku Salaka.
Dalam waktu yang sama, Ki Selakriya telah pula memperoleh kesehatannya kembali, sesudah ia beristirahat cukup lama. Pemahat ini masih tinggal bersama puteranya, Sunutama, dalam rumah Wayan Arsana.
Dan Ki Selakriya kini mendapat satu kegembiraan yang tak terhingga, ketika Wayan Arsana mengajaknya untuk merundingkan peningkatan hubungan antara Sunutama dan Made Maya.
"Apakah Anda tidak keberatan jika Sunutama menjadi suami Made Maya?" tanya Wayan Arsana kepada sahabatnya yang waktu itu duduk-duduk bersama di ruang pendapa.
"Ooh, satu kehormatan bagi saya, Ki Wayan," ujar Ki Selakriya berseri-seri gembira.
"Tapi apakah kiranya patut jika keluarga Andika yang kaya raya itu mengambil Sunutama sebagai menantu? Eh, maksud saya, bukannya kami terlalu membedakan antara miskin dan kaya. Tetapi bukankah di sini berlaku pembagian kasta-kasta di dalam masyarakat?"
"Eh, janganlah Anda terlalu memusingkan soal itu, Ki Sela. Seorang saudagar seperti saya ini, bisa tergolong kasta Waisya. Dan seorang pemahat yang baik seperti Anda, juga termasuk kasta Waisya. Jadi setidaktidaknya kita berada dalam kedudukan yang sejajar."
Ki Selakriya mengangguk-angguk dengan hati yang puas dan ia berkata pula, "Terima kasih atas keterangan Andika tadi. Dengan demikian aku tidak merasa sungkan-sungkan lagi."
"Dan lagi," ujar Ki Wayan Arsana melanjutkan bicaranya, "yang penting bahwa kedua calon suami istri tersebut saling cinta-mencintai, seperti halnya Ananda Sunutama dan Made Maya. Nah, semoga Anda tak lagi merisaukan hal itu."
"Sekali lagi terima kasih," kata Ki Selakriya.
"Namun harap Andika tidak keberatan untuk menerima hadiah perkawinan dari saya, sebagai mas kawin untuk Ananda Made Maya. Untuk itu kami telah mengerjakan dua buah patung singa, merupakan sepasang patung pengawal pintu gerbang yang bentuknya kami ambil dari patung singa di Candi Borobudur."
"Hmm, akan kami terima dengan senang hati karyakarya Anda itu. Terima kasih," berkata Wayan Arsana dengan mata yang berkaca-kaca saking terharunya. Kalau yang diberikan oleh sahabatnya itu berwujud harta benda tentulah itu merupakan hal yang lumrah, apalagi bagi Ki Wayan Arsana yang kaya raya dan berlebih-lebih dalam harta bendanya. Tapi yang diberikan Ki Selakriya ternyata adalah patung pahatan hasil daya cipta yang tentu nilainya akan lebih tinggi daripada harta benda yang dapat diserahkan Ki Selakriya.
Rupanya tidak Wayan Arsana saja yang berkacakaca matanya, Ki Selakriyapun demikian pula. Rasa harunya tak terkira, bahwa pengharapan dan cita-citanya sebagai seorang tua, kini telah terlaksana. Akhirnya Sunutama telah mendapat jodohnya, seorang gadis yang baik budi pekertinya dan pandai dan berilmu tinggi pula. Itulah Made Maya.

* * *



Sementara itu, seorang yang berperawakan gagah dan mengenakan caping lebar, tengah berpacu ke arah timur. Kudanya diderapkannya dengan cepat meninggalkan debu-debu dan kerikil bertaburan. Sebentar ia menoleh ke arah barat, menatap pintu gerbang rumah Ki Wayan Arsana yang menjulang tinggi dengan megahnya.
"Hmm, terpaksa aku harus kembali dulu ke Singaraja, dan memberi laporan kepada pimpinan tamtama," demikian desah si penunggang kuda yang tidak lain adalah pendekar Ngurah Jelantik.
"Melihat luka Jimbaran dan Jembrana yang cukup parah, pastilah mereka tidak akan hidup lebih lama dari satu minggu. Namun aku akan tetap membuntuti mereka, sebelum aku tahu dengan pasti tentang kematian mereka! Sedang munculnya tokoh jagoan seperti si Tangan Iblis itu, benar-benar di luar dugaan! Dia berilmu tinggi dan mempunyai kekuatan yang tangguh. Untung saja kakek Wiku Salaka turun tangan untuk ikut mengusir si Tangan Iblis. Jika tidak, mungkin rumah Wayan Arsana seisinya telah dihancurkannya. Sayang aku belum banyak mengetahui tentang si Tangan Iblis ini, dan semoga saja pimpinan tamtama di Singaraja dapat banyak memberikan keterangan tentang dia."
Ngurah Jelantik terus memacu kudanya dan ketika ia sekali lagi menoleh ke belakang, pintu gerbang dan rumah Wayan Arsana telah lenyap dari pandangannya, tertutup oleh pepohonan.
Kini pusat perhatian Ngurah Jelantik dipusatkannya ke depan, ke arah jalan yang akan ditempuhnya. Jalan-jalan ini masuk ke bawah pohon-pohon raksasa, menerobos hutan yang lebat, bagaikan masuk ke dalam pelukan raksasa rimba yang menyeramkan. Jalan tersebut sangat lengang dan sepi seolah-olah anginpun tiada bertiup di situ, bisu dan mencengkam perasaan.
Sebenarnya, jaranglah orang yang berani lewat sendirian di jalan yang menerobos lewat hutan ini. Kalau toh ada, tentulah mereka menyeberang dengan cara berombongan, lengkap dengan para pengawal yang bersenjata, sebab seringlah perampok-perampok mencegat orang-orang yang lewat di situ, untuk merampas harta bendanya. Selain itu, tidak jarang mereka dibayangi oleh binatang-binatang buas, seperti harimau ataupun ular yang besar kebanyakan hidup di tempattempat lembab dan suram.
Ternyata pendekar Ngurah Jelantik tidak dipengaruhi oleh hal-hal itu, terbukti dengan enaknya ia menggeprak kudanya menempuh hutan yang lembab di depan.
Apabila Ngurah Jelantik makin jauh masuk ke dalam perut hutan, segera ia merasakan hawa yang lembab. Cahaya matahari cuma kuasa menembus berkasberkas sinarnya ke dasar hutan sehingga pemandangan di situ tampak lebih seram, laksana alam impian yang penuh kengerian. Ditambah pula dengan banyaknya sulur dan akar-akaran yang berjuntai dari atas dahan-dahan pepohonan, sempurnalah keseraman yang menjelma di situ.
Tiba-tiba, Ngurah Jelantik terperanjat ketika kudanya meringkik-ringkik kecil serta mengangguk-anggukkan kepala. Bersamaan kemudian, telinga pendekar Singaraja yang sangat peka itu telah mendengar suarasuara manusia dari ujung jalan yang tengah ditempuhnya.
"Kau telah mencium bahaya, Hitam?" kata Ngurah Jelantik seraya menepuk-nepuk leher kudanya.
"Tenang saja di sini, aku akan melihatnya!"
Ngurah Jelantik kemudian membelokkan kudanya ke dalam semak di tepi jalan, lalu dengan sebatnya ia turun ke tanah.
Segera setelah ia menambatkan tali kekang kudanya ke sebuah dahan pohon, lekas-lekas ia mengendap-endap maju ke depan dengan hati-hati. Dahandahan kering yang kelihatan berserakan di tanah, selalu dihindarinya agar tidak menimbulkan suara, karena injakan kakinya yang melangkah setapak demi setapak dalam gerakan yang sangat lambat.
"Heh, siapa kiranya yang berada di tempat ini selain aku?" gumam Ngurah Jelantik.
"Kedengarannya mereka bercakap-cakap dengan kerasnya. Pertengkaran barangkali!"
Apa yang menjadi perkiraan Ngurah Jelantik dalam dirinya tadi ternyata mendekati kebenaran. Begitu jarijarinya menguak dedaunan semak yang menghalang di depan mata, terlihatlah beberapa orang berwajah bengis menghadang di tengah jalan, sedang di depan mereka berdirilah seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang memanggul sapu lidi bertangkai serta bungkusan barang yang terikat pada batang sapu tersebut.
"Kami bukan orang kaya, Tuan. Kami tak membawa apa-apa yang bernilai. Maka kami mohon kepada Tuan-tuan sekalian, agar kami boleh melanjutkan perjalanan," ujar laki-laki tua dengan wajah ketakutan sementara tangan kirinya memegang lengan gadis yang berdiri di sampingnya dalam sikap yang melindungi.
"Sejak tadi belum kau sebut namamu! Dan juga nama gadis cantik di sebelah itu!" teriak seorang bersenjata pedang, berikat kepala merah.
"Apa perlunya kau tanyakan namanya, Kakang Arje?! Yang perlu kan bungkusan yang dibawa mereka?!" ujar seorang teman di dekatnya.
"Hus, diam dulu kau, Dregil!" berkata Arje.
"Siapa tahu mereka masih ada hubungan keluarga dengan saya."
"Lekas sebut namamu, Pak!" sambung Dregil pula.
"Siapa tahu bahwa nama gadis ini akan cocok untuk nama calon istriku?!"
"Saya bernama Ki Sukerte, Tuan," laki-laki tua berkata.
"Dan anak gadisku ini adalah Putu Tantri."
"Ha, ha, ha. Bagaimana, Kakang Arje? Bukankah cocok sekali bila Putu Tantri menjadi istri saya?!" ujar Dregil sambil berjingkrakan senang.
"Dan bungkusan mereka, kita rampas pula!"
"Bagus!" puji Arje.
"Kau berpikir cemerlang, Dregil. Sebab itu lekas-lekas kita mintai bungkusan tersebut dari mereka!"
"Jangan, Tuan. Bungkusan ini cuma berisi kainkain tua yang tidak berharga," keluh Ki Sukerte.
"Keparat! Apa kau ingin dipaksa untuk menyerahkan benda-benda itu, hei?!" seru Arje dengan mengancamkan pedangnya ke depan, mengarah ke dada Ki Sukerte.
"Lekas! Jangan tunggu sampai hilang kesabaranku!"
"Ooh, kasihanilah kami, Tuan. Bungkusan ini adalah satu-satunya bekal kami di perjalanan. Jangan Tuan-tuan memintanya."

* * *



Sementara itu, Ngurah Jelantik yang bersembunyi mengintai di balik dedaunan semak, ikut berdebardebar hatinya melihat peristiwa yang ada di hadapannya. Ia telah melihat bahaya yang tengah mengintai. Menuruti gerak hati dan darma ksatria, sudah sepantasnyalah bila ia cepat-cepat tampil ke depan untuk turun tangan memberikan bantuannya kepada Ki Sukerte dan anak gadisnya. Namun sebagai seorang pendekar yang telah kaya akan pengalaman, ia lalu menjadi curiga dan menangguhkan niatnya tadi. Sebab ia tak habis mengerti mengapa kedua orang ini berani menempuh perjalanan melewati hutan yang kelewat angker dan penuh bahaya. Untuk mencari mati, barangkali? Itupun tidak mungkin! Mestinya mereka memang sengaja lewat di hutan ini. Dengan begitu dapatlah disimpulkan bahwa keduanya termasuk orangorang pemberani. Dan satu hal lagi yang meragukan hati Ngurah Jelantik adalah sikap serta gerakan Ki Sukerte. Meskipun ia nampak ketakutan, namun posisi tubuhnya selalu menunjukkan kesiagaan dalam menghadapi bahaya yang mengancamnya. Seperti tangan kanan yang menggenggam erat batang sapu, sementara kaki kiri terbuka ke depan setengah langkah dan kaki kanan serong ke belakang.
"Lekas serahkan bungkusan barangmu itu! Cepat! Kau dengar dengan telingamu, hee!" tiba-tiba terdengar teriakan Arje yang membuat Ngurah Jelantik ikut terkejut. Nampaknya ia telah kehilangan sabar dan mengancam dengan pedangnya yang berkilat kepada Ki Sukerte.
"Jangan, Tuan! Jangan bermain-main dengan pedang setajam itu. Tuan telah menakuti anak saya!" ujar Ki Sukerte ketakutan.
"Nah, jika demikian, lekaslah kau serahkan barangbarangmu itu! Ayo!" bentak Arje sambil bergerak maju mendekati Ki Sukerte berdua.
"Tidak! Maaf, Tuan. Kami tak mempunyai apa-apa yang patut kami serahkan untuk Tuan-tuan sekalian!" seru Putu Tantri.
"Sebab tak ada barang-barang kami yang berharga untuk dijual."
"He, he, he. Kalau untuk kau, bocah manis, cukup kau serahkan dirimu untuk menjadi istriku," ujar Dregil menyela.
"Sedang untuk ayahmu, cukup menyerahkan bungkusan barang itu!"
Ki Sukerte dan Putu Tantri tidak lekas-lekas menjawab, kecuali keduanya berusaha melarikan diri. Sayang bahwa teman-teman Dregil dan Arje telah waspada, sehingga ketika keduanya bergerak mencurigakan, para penghadang telah lebih dulu mencegatnya.
"Ooo, jadi kalian berdua telah nekad, yaa?!" teriak Arje sangat marah.
"Jika demikian kami tidak mempunyai pilihan lain, selain memaksa kalian untuk menyerahkan barang-barangmu!"
"Kawan-kawan! Cepat kita ringkus keduanya! Tapi yang perempuan jangan dilukai, sebab ia menjadi bagianku!" seru Dregil pula.
Sekejap itu pula, Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah menyerang Ki Sukerte dan mengincar bungkusan yang dibawanya. Kenekadan Ki Sukerte ternyata telah menimbulkan kecurigaan di pihak Arje dan Dregil. Pikir mereka, kalau toh bungkusan itu cuma berisi kainkain tua ataupun barang-barang tak berharga, mengapa tidak lekas-lekas diserahkan saja kepada mereka?
Dengan agak terkejut, Ki Sukerte buru-buru menangkiskan tangkai sapunya ketika sebuah tebasan pedang Arje menyerang dari depan.
Clang!
Benturan seru terdengar nyaring dan Arje secepat kilat melompat ke samping, sedang tangannya tergetar hebat.
Dalam waktu yang sama dan singkat, Dregil telah pula menyerang dari samping dengan sebuah tombak. Karenanya, Ki Sukerte secepatnya memutar tangkai sapunya ke samping menangkis tombak lawannya sebelum mata tombak tersebut menembus lambungnya.
Sungguh berat gerakan Ki Sukerte. Sebab di samping menanggulangi serangan lawan, iapun masih harus melindungi Putu Tantri dari gerayangan tangantangan pengeroyoknya.
"Hyaaatt!" jeritan mengagetkan dari mulut Arje melengking, bersama pedangnya menebas dari sebelah kiri Ki Sukerte, yang saat itu tengah menahan serangan tombak dari Dregil.
Waaak!
Tiba-tiba tali pengikat bungkusan Ki Sukerte kena terbabat putus, sehingga bungkusan tadi terbuka berserakan setelah jatuh terhempas di tanah.
Ki Sukerte dan anak gadisnya terkejut ketika bungkusan tadi terjatuh, terlebih-lebih lagi bagi Arje dan kawan-kawannya. Mereka sesaat seperti ternganga melihat isi bungkusan Ki Sukerte yang terserak di tanah. Tampaklah kitab-kitab daun lontar, beberapa lembar kain tua yang usang dengan beberapa corat-coret dan dua buah kipas yang mengeluarkan cahaya putih gemerlapan, menyilaukan mata.
"Sepasang Kipas Perak!" desis Arje dan Dregil, begitu melihat kipas gemerlapan tadi.
"Pastilah! Itu barang berharga yang pernah kita jumpai!"
"Ha, ha, ha. Ternyata kau masih mempunyai barang berharga, Pak!" Dregil berkata.
"Kau telah mencoba mengelabui kami. Akhirnya hukuman beratlah yang akan kau terima!"
Ki Sukerte tidak lagi memperhatikan kata-kata ancaman dari Dregil, melainkan ia segera berkata kepada anak gadisnya, "Putu Tantri, tunggu apa lagi kau? Cepat bereskan barang-barang kita yang tumpah ini, Nak! Dan peganglah sepasang Kipas Perak itu!"
Dengan gerakan hebat, Putu Tantri telah membungkus kembali barang-barang yang berserakan di dekat kakinya, sementara Ki Sukerte berjaga-jaga melindunginya dengan sapu lidi bertangkai.
Hampir semua mata terpaku melihat kecepatan Putu Tantri bergerak. Sesudah ia membungkus kembali barang-barang tadi, lalu diselempangkan ke punggung, dan kedua ujung bungkusan kain tadi ditalikan ke dadanya.
Kedua kipas perak telah tergenggam masing-masing pada tangan kiri dan kanan Putu Tantri, dan karenanya, para pengepung tadi terkekeh-kekeh geli melihat sikap tersebut.
"Ha, ha, ha, ha. Kau akan menari, bocah ayu?!" seru Dregil yang suka memandang remeh kepada setiap orang yang menjadi lawannya.
Tetapi alangkah kagetnya kemudian, sebelum Dregil melanjutkan kata-katanya, mendadak saja Putu Tantri telah mengibaskan kipasnya ke depan yang mengembang terbuka dengan bunyi menjetar! Bersamaan itu pula menyambarlah angin dingin menampar ke depan Dregil dengan santernya.
"Huh!" desis si Dregil sambil nyungir-nyungir mengatasi rasa kagetnya.
"Jadi kau mampu pula untuk melayani tombakku ini? Baiklah, kau boleh main-main dengan kipasmu beberapa jurus, tapi setelah itu kau akan kuringkus dalam pelukanku. Heh, heh, heh!"
Bagaimanapun juga, pendekar Ngurah Jelantik yang mengikuti peristiwa ini dari tempat persembunyiannya, menjadi kian tertarik.
Arje sudah semakin penasaran menghadapi Ki Sukerte yang menggunakan sapu lidi bertangkai sebagai senjata. Rasanya memang sangat aneh hal itu jika dipikirkan oleh si Arje yang bersenjata pedang dan kini berputar secepat kitiran mencecar ke arah Ki Sukerte. Terpaksa Arje berpikir keras untuk ini. Berkali-kali sudah, ia terpaksa menghindari sodokan-sodokan sapu lidi yang berujung runcing dan tajam dari lawannya. Bahkan ia menjadi semakin marah ketika diketahuinya bahwa Ki Sukerte pandai pula bertempur menghadapi serangan pedangnya.
Makin bertambah hebat pertempuran tersebut, apabila kawan-kawan Arje dan Dregil telah menerjang pula ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
"Maaf, Tuan-tuan," seru Ki Sukerte sambil bertempur.
"Sapu lidiku ini biasa untuk menyapu sampahsampah kotoran, tapi sekarang terpaksa kugunakan untuk menghadapi Tuan-tuan sekalian. Sekali lagi harap dimaafkan!"
"Keparat!" sumpah si Arje mendengar ejekan lawannya yang telah menyamakan dirinya dengan sampah kotoran.
"Kau harus mati sekarang!"
Beberapa saat telah berlalu. Kelihatannya Ki Sukerte dan anak gadisnya agak kerepotan menghadapi keroyokan anak buah Tangan Iblis yang telah makan gemblengan ini. Meskipun senjata sapu lidi Ki Sukerte berhasil melukai salah seorang di antara pengeroyoknya, tetapi sama sekali tidak memperingan tekanan dari pihak lawan.
Dalam pada itu, sepasang kipas perak di tangan Putu Tantri berkilatan menyambar-nyambar kesanakemari dengan dahsyatnya dan jaranglah dari lawanlawannya yang langsung berani membentur dengan senjata mereka. Namun agak sayang bahwa jurusjurus yang digunakan oleh Putu Tantri terasa kurang sempurna.
Ngurah Jelantik yang masih saja sembunyi, hampirhampir meloncat untuk membantu Ki Sukerte berdua. Tapi mendadak saja terdengarlah jeritan mencicit yang sangat kerasnya mengiringi berkelebatannya bayangan manusia yang meloncat dari semak-semak bagaikan keluar dari liang persembunyiannya.
Mereka yang sibuk bertempur, seketika terhenti sejenak dengan kemunculan tokoh ini. Rasa kaget bercampur pukau menyebabkan mereka tidak dapat berkata-kata untuk beberapa saat lamanya. Bahkan mereka mundur beberapa langkah ke belakang, ketika tokoh manusia tadi meloncat ke tengah arena pertempuran.
Dengan demikian, arena tadi seakan-akan terpisah menjadi dua bagian. Yang sebelah adalah pihak Arje, Dregil, dan kawan-kawannya, sedang di sebelah lain berdirilah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Perawakan tokoh yang baru muncul ini agak pendek, namun tegap dan agak bundar pula. Wajahnya tidak tampak bengis, tapi dari sinar matanya yang sipit terbayanglah sifat kelicikan dan penuh siasat. Ia memakai kain berbunga-bunga coklat dan celana hitam, tanpa baju. Sedang kulit tubuhnya kehitaman, berbulu-bulu panjang. Yang agak lucu adalah kumis orang tersebut. Cuma beberapa lembar, panjang-panjang dan kaku. Dihubungkan dengan gigi depannya yang besarbesar dan selalu meringis, tidaklah bisa disalahkan jika orang menyamakan wajah tadi dengan wajah seekor tikus hutan.
"Cih! Cih! Cih! Kalian membuat onar di sini, keparat!" ujar manusia bulat pendek tadi seraya menunjuk ke pihak Arje dan Dregil.
"Kalian mencoba merampas barang-barang milik orang berdua ini, ha?!"
"Persetan! Ini urusan kami! Apa pula kepentinganmu, sampai kau berani turut campur! Apakah kau belum tahu bahwa kami adalah anak buah si Tangan Iblis?!" teriak Dregil sangat marah.
"Tangan Iblis?" ulang manusia bulat pendek seraya berpikir-pikir sebentar.
"Cih! Aku tak kenal namanya! Tidak peduli si Tangan Iblis atau si Tangan Gendruwo, aku tidak takut karenanya. Sebab bagi Bagus Wirog tidak ada yang perlu ditakuti, tahu?! Kalau kalian ingin tahu kepentinganku, barang-barang milik kedua orang inilah yang sejak tadi telah kuincar!"
"Kurang ajar! Jadi kita mempunyai maksud yang sama, sobat!" seru Dregil.
"Kau boleh merampasnya bila telah mengalahkan kami terlebih dahulu!"
"Eee, jadi terangnya kalian menantangku, ya?!" berteriak Bagus Wirog serta mencabut dua buah cambuk pendek berwarna hitam mengkilat dari ikat pinggangnya. Dengan anyamannya yang beruas-ruas, maka cambuk tadi miriplah dengan dua buah ekor tikus yang telah terpotong.
Mendengar kesombongan lawannya yang cuma seorang diri, Dregil menggeretukkan giginya. Segera ia berkata kepada kawannya, "Kakang Arje, biar aku pecahkan kepala si Bagus Wirog ini bersama kawankawan. Kau jagalah Ki Sukerte berdua, supaya jangan lepas sebagai buruan kita!"
"Bagus, Adi Dregil. Cepatlah bertindak!" seru Arje, bersamaan Dregil telah menerjang ke arah lawan disertai beberapa kawannya. Bagai macan-macan kelaparan, mereka melesat ke depan dan senjata-senjata di tangannya berkelebat menyambar kepala Bagus Wirog. Akan tetapi lawan mereka yang bulat pendek bergigi tikus ini tidak lekas menjadi gentar oleh serangan membadai tadi.
Bagus Wirog ternyata bukan lawan yang dapat diduga kekuatannya. Biasanya seorang yang diserang seperti itu pasti akan menghindar ataupun jika ia orang yang tangguh, pastilah akan bersiaga menangkisnya dengan segala pengerahan tenaga. Namun tidaklah begitu dengan Bagus Wirog ini. Begitu senjatasenjata lawan beramai-ramai menghujan ke arah dirinya, ia cepat berjongkok dan memutar kedua cambuk pendeknya di atas kepala.
Plak! Plaak! Plaak! Taarrr!
Seketika itu juga Dregil dan kawan-kawannya menjerit kaget, sebab senjata-senjata mereka seolah-olah telah menerjang bantalan karet. Itulah tangkisan Bagus Wirog.
Dengan begitu maka Dregil dan kawan-kawannya terpental surut beberapa langkah dengan tangan kesemutan, sedang Bagus Wirog sendiri cuma terkekehkekeh kegelian, masih dalam sikap jongkok.
Untuk jurus tangkisan yang hebat tadi, diam-diam Ngurah Jelantik mengangguk-angguk kagum dari tempat persembunyiannya.
"Siapakah tokoh yang menamakan dirinya Bagus Wirog itu?" demikian pikir Ngurah Jelantik.
Dregil menjadi penasaran dan hampir tidak percaya, bahwa senjata-senjata mereka tidak mampu menembus putaran cambuk pendek dari Bagus Wirog. Maka Dregil meloncat kembali sambil menyapukan mata tombaknya ke arah Bagus Wirog lalu disusul pula dengan serangan kawan-kawannya berbareng. Dengan demikian maka pertempuran hebat berlangsung kembali di tengah hutan yang lebat dan berkabut tipis.
Dalam pada itu, Arje dan tiga orang kawan-kawannya masih terus menjaga kedua lawannya, yakni Ki Sukerte dan Putu Tantri. Namun sampai sejauh ini mereka tidak berbuat apa-apa, sebab perhatian mereka sama-sama tertarik ke arah pertempuran dahsyat antara Bagus Wirog melawan Dregil dan kawan-kawannya.
Sinar matahari yang sangat terik dan panas itu rupanya telah mulai menghangatkan dasar hutan dan permukaan tanahnya, sehingga uap air beramai-ramai melayang ke atas, merupakan kabut tipis yang menerawang bagai sutera.
Bagus Wirog sungguh menakjubkan gerakannya. Cepat dan cekatan menerobos serangan lawannya kesana-kemari, sementara kedua cambuk pendek hitam di tangannya berkali-kali mematuk ke arah pertahanan lawan yang kosong dan lengah. Sekali-kali ia bergulingan di tanah untuk kemudian meloncat ke atas dengan lincah, bagaikan seekor tikus menerkam lawannya.
Kini Dregil dan kawan-kawannya mulai mengucurkan keringat dingin setelah berkali-kali senjata-senjata mereka gagal menyentuh tubuh Bagus Wirog. Sedang sebaliknya, lawannya yang bertubuh bulat pendek ini kelihatan semakin segar saja. Bahkan sekarang cambuk pendeknya bertambah ganas.
Pada jurus berikutnya, mendadak saja Bagus Wirog melenting ke atas dan tiba-tiba cambuk kirinya melecut kepala salah seorang kawan Dregil, sedang cambuk kanannya menghajar tangan seorang lawannya yang lain.
"Waaarrgh!"
Semuanya terkejut ketika dua jeritan berbareng mengumandang memasuki udara, disusul dengan dua tubuh kawan Dregil terjungkal roboh dalam keadaan kepala retak dan yang seorang tangannya patah!
Keruan saja Dregil dan kawan-kawannya yang masih tinggal menjadi ngeri juga melihat kedua kawannya roboh dalam keadaan mengerikan. Sehingga kemudian mereka terdesak oleh terjangan-terjangan cambuk Bagus Wirog yang datang laksana prahara.
Melihat hal itu, Arje tidak mau tinggal diam menonton kawan-kawannya semakin terdesak. Maka secepat kilat ia melesat dan langsung menerjang Bagus Wirog dengan tebasan-tebasan pedangnya yang dilambari oleh segenap kekuatan dan kemarahan.
Meskipun Dregil telah dibantu oleh Arje dan kawankawan lainnya, namun Bagus Wirog sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Tambahan tenaga Arje tadi seolah-olah cuma tuangan setetes air ke dalam laut tanpa memberi pengaruh dan perubahan suasana.
Terpaksalah mereka mengakui akan kelebihan Bagus Wirog ini dan mati-matian mempertahankan diri. Inilah yang benar-benar di luar dugaan. Kalau semula mereka berada di pihak penyerang, kini berbalik sebagai pihak yang diserang.
"Cih! Cih! Cih! Lekaslah minggat dari sini!" seru Wirog sambil meloncat kesana-kemari tanpa memberi kesempatan lowong kepada lawan-lawannya untuk sekadar bernafas lega.

* * *



Ngurah Jelantik berdebar-debar pula menyaksikan pertempuran itu. Iapun bertanya-tanya dalam hati, apakah sanggup kiranya jika suatu saat ia menolong Ki Sukerte dan Putu Tantri serta menghadapi Bagus Wirog ini?!
Arje, Dregil, dan para pengikutnya semakin terdesak lebih hebat lagi. Dapatlah dipastikan, bahwa mereka akan berantakan untuk lima jurus kemudian.
"Hih, hi. Hi. Masih belum mau lari? Apakah kalian menunggu sampai kedua cambukku ini memecahkan batok-batok kepalamu?!" seru Bagus Wirog, sementara kedua cambuknya terus beraksi.
Dalam saat yang demikian kritisnya, sekonyongkonyong dua buah sinar menyambar tubuh Bagus Wirog dari balik semak belukar. Untunglah si tokoh bulat pendek ini cepat melenting ke udara dan dua buah pisau runcing menghunjam ke dalam batang pohon di sebelahnya.
Bagus Wirog kemudian mendarat kembali di tanah dan mulutnya komat-kamit mengumpat, "Keparat! Siapa main gila-gilaan ini?! Hayo lekas ke luar, menunjukkan batang hidungmu, supaya dapat kupecahkan sekali!"
Iapun tertegun, ketika sebagai jawaban kata-katanya, muncullah seorang berperawakan gagah dari balik semak-semak, melangkah ke tengah arena pertempuran dengan tenangnya.
"Kakang Jimbaran!" seru Dregil dan Arje dalam suara gembira dan penuh harapan.
"Si wajah tikus ini telah mengganggu kami!"
"Jangan cemas! Akupun ingin mencoba kekuatannya!" kata Jimbaran sambil melesat dengan gerakan tiba-tiba, sedang kakinya telah melancarkan tendangan hebat yang sukar diikuti mata!
Buuk!
Paha Bagus Wirog tanpa ampun terhajar oleh tendangan Jimbaran, sehingga tubuhnya terguling dan menggelinding seperti bola. Tetapi sungguh di luar dugaan, ketika kemudian tubuh Bagus Wirog melenting balik dan menerjang ke arah Jimbaran dalam kecepatan tinggi, sampai lawan-lawannya kebingungan untuk sesaat. Plaakk!
Pundak Jimbaran ganti terkena tendangan kaki Bagus Wirog sampai tubuhnya terguncang dan jatuh terduduk.
Arje, Dregil, dan kawan-kawannya tercekat melihat kejadian tadi. Berbareng mereka menerjang ke arah Bagus Wirog dan sesaat kemudian, Jimbaran setelah bangkit ikut pula mengurung si tokoh bulat pendek itu.
Ki Sukerte dan Putu Tantri masih saja berdiri tercenung mengawasi pertempuran tadi. Kalau mereka mau lari, sebenarnya mudah saja, meskipun dijaga oleh tiga orang anak buah Dregil. Hanya saja mereka memang sengaja untuk masih tinggal di situ sambil menyaksikan pertempuran dan jurus-jurus yang digunakan oleh pihak Jimbaran dan pihak Bagus Wirog.
Tampaklah bahwa Jimbaran dan kawan-kawannya mengamuk. Mereka bertempur menggunakan jurus berantai yang menghantam lawan dengan gerakan teratur dan sambung-menyambung tanpa ada saat yang lowong sedikitpun. Kini angin kemenangan ganti berpihak pada Jimbaran dan kawan-kawannya. Kemenangan yang semula hampir diperoleh si Bagus Wirog, menjadi buyar dengan datangnya Jimbaran di pihak lawan.
Agaknya masih beruntunglah buat Bagus Wirog, karena dimilikinya kegesitan yang luar biasa. Sehingga kendati dirinya telah terdesak, masih saja ia mampu meloloskan diri dari sentuhan senjata-senjata lawannya.
"Celaka! Aku makin terdesak!" desis Bagus Wirog bersungut-sungut gelisah.
"Ketiga lawanku yang utama ini, memiliki tenaga gabungan yang luar biasa. Sangat sulit untuk memecahkan tenaga mereka seorang diri. Untuk laripun rasanya sangat sukar! Mereka telah mengepungku dari segenap arah, tak ubahnya satu lingkaran mata rantai baja! Hmm, biar kucoba untuk beberapa saat lagi!"
Dari tempat persembunyiannya, Ngurah Jelantik seperti terpukau menyaksikan pertempuran tadi. Matanya terus saja melotot, sebab ia memang merasa sayang untuk berkedip sebentar saja dan melewatkan adegan-adegan di depannya. Jurus-jurus yang digunakan oleh Bagus Wirog sungguh menarik hatinya, serta diam-diam ia mencatat di dalam otaknya yang cerdas.
Bagus Wirog yang semula berusaha mengatasi tekanan dari pihak lawannya, ternyata tidak berhasil dengan baik. Malahan hampir-hampir saja pedang Jimbaran sempat membacok kepalanya, jika ia tidak lekas-lekas membuang diri ke samping serta bergulingan di tanah.
Tampaklah Bagus Wirog terengah-engah dengan mulut menyeringai, hingga giginya yang besar-besar menonjol keluar tak ubahnya sikap seekor tikus yang ketakutan karena kalah berkelahi dan menanti ajalnya.
Melihat itu, Jimbaran dan kawan-kawannya telah bersiap melancarkan serangan terakhir yang pasti mematikan. Dengan langkah perlahan mereka mendekati Bagus Wirog, sementara senjata-senjata di tangannya gemerlapan oleh sinar matahari.
Baik Ngurah Jelantik maupun Ki Sukerte dan Putu Tantri sama tergetar hatinya melihat adegan yang tegang itu. Meskipun Bagus Wirog dan pihak Jimbaran semula sama-sama bermaksud jahat, merampas barang-barang Ki Sukerte, namun kini keadaan Bagus Wirog benar-benar memilukan dan patut dikasihani.
Mendadak saja, si tokoh bulat pendek itu mendongakkan kepalanya ke atas dan mengeluarkan jeritan panjang mencicit yang seketika memenuhi udara di tengah hutan dengan menggetarkan dada siapa saja. Jeritan tadi lebih mirip jeritan seekor tikus daripada jeritan seorang manusia. Karenanya, tidak mengherankan bila Ki Sukerte berdua, Ngurah Jelantik, maupun Jimbaran beserta anak buahnya hampir-hampir tidak bisa mempercayai bahwa jeritan tadi keluar dari mulut Bagus Wirog, si manusia bulat pendek.
Berbareng selesainya kumandang dan gema jeritan mencicit dari Bagus Wirog tadi, terdengarlah suara gemeresak daun semak belukar dan rerumputan di sebelah timur mereka, seolah-olah bunyi injakkan kaki berpuluh-puluh banyaknya.
Suara berderak dan gemerisik tadi makin dekat dan sesaat kemudian terlihatlah satu pemandangan yang membuat Jimbaran serta semua orang yang berada di tempat itu mengeluarkan jeritan tertahan. Sebab dari sela dedaunan dan rumput-rumput muncullah belasan ekor tikus hutan yang besar-besar, berbulu hitam kecoklatan dan bergigi tajam. Dari gerakannya yang gesit dan mulutnya yang menyeringai mengeluarkan liur, dapatlah diketahui bahwa puluhan tikus tadi sangat liar.
Namun mengherankan pula, ketika binatang-binatang pengerat ini berhenti dan menggerombol di samping dan di belakang Bagus Wirog sambil mencicitcicit, menciumi kakinya seakan-akan memeriksa kaki Bagus Wirog mengalami cedera atau tidak.
Siapakah tidak mengkirik dan berdiri bulu tengkuknya melihat pemandangan yang ganjil dan menyeramkan ini? Bagus Wirog yang berdiri tegap di sekitar puluhan tikus-tikus hutan ini tak ubahnya raja dari para tikus liar tersebut. Apalagi wajahnya yang agak mirip-mirip tikus itu menyebabkan keganjilan tersebut benar-benar mencekam perasaan orang-orang yang berada di sekeliling tempat tersebut. Terlebih-lebih bagi Jimbaran dan anak buahnya yang semula mengepung rapat-rapat terhadap Bagus Wirog, kini dengan sendirinya mundur-mundur ke belakang dengan hati kecut.
Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tibatiba saja Bagus Wirog telah mencicit keras sambil menunjukkan jarinya ke arah Jimbaran dan anak buahnya. Maka seketika itu juga, puluhan tikus hutan yang bergerombol di sekitar Bagus Wirog menyerbu berloncatan, meluruk bagai air bah, ke arah mereka dengan suara bergemuruh dan mencicit-cicit.
Seorang anak buah Jimbaran yang berdiri paling depan mencoba untuk menebaskan pedangnya, tapi binatang-binatang pengerat yang liar ini lebih cepat menyerangnya.
"Awas, Ktut!" teriak teman-temannya.
Tapi terlambat! Dalam sekejap mata, pada tubuh orang itu telah bergayutan puluhan ekor tikus yang mencercah badannya dengan gigi-gigi tajam dan bekerja cepat.
"Tikus-tikus keparat! Pergi! Pergiii!" teriak histeris terdengar dari mulut si Ktut yang sejurus kemudian telah terguling roboh di tanah.
Sambil bergulingan tadi, si Ktut berusaha mengibas-ibaskan tangan dan kakinya yang kini telah menghitam karena hampir-hampir tertutup oleh tubuhtubuh tikus hutan yang mengeroyoknya.
Putu Tantri yang melihat kejadian ini, mendekap erat-erat ayahnya, Ki Sukerte. Hampir saja gadis ini pingsan karena tak tahan melihat adegan yang ngeri dan menyeramkan tadi.
"Aaakh! Tolong! Tolooongng! Aduuh... sakit., sakiiit!" Jerit kesakitan dan parau terdengar dari mulut si Ktut yang masih berusaha berkutat melepaskan tikus-tikus yang kini telah mulai menggerogoti tubuhnya, sehingga darahpun bercucuran membasahi tubuh dan tanah di sekitarnya.
Ternyata bau darah segar dan amis itu sangat menarik selera tikus-tikus lain yang belum ikut mengeroyok tubuh si Ktut, sehingga dengan cepat mereka beramai-ramai menyerbu ke tubuh manusia yang telah tidak berdaya dan kini berkelojotan di tanah setengah mati.
Boleh dikatakan semua mata terpukau menghadapi adegan yang paling mengerikan yang belum pernah terjadi selama hidup mereka. Apalagi kini mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Sedang Ngurah Jelantik yang sedari tadi masih saja terpukau di tempat persembunyiannya, seperti tidak mau percaya untuk meyakini bagaimana puluhan tikus liar bisa diperintah oleh seorang manusia, dan berani menyerang manusia pula! Tapi pertanyaan ini memang tak pernah bisa terjawab manakala perhatian tertumpah pada adegan yang mengerikan ini. Si korban sudah tak mampu berbuat apa-apa dan sesaat kemudian ia masih berusaha merangkak, tapi toh akhirnya jatuh kembali di tanah dan menggelepar-gelepar sangat mengharukan.
"Waaarrrggghhh!"
Terdengarlah jerit berkepanjangan dan itulah merupakan jerit terakhir dari mulut si Ktut. Tubuhnya terhampar di tanah tanpa berkutik, sementara puluhan tikus liar itu dengan lahapnya menggerogoti kulit dagingnya. Gigi-gigi setajam pahat mereka, bekerja dengan cepatnya. Memotong, menggerek dan mencercah tubuh sang korban untuk kemudian dilahap dan pindah ke dalam perut-perut mereka, yang tampaknya selalu lapar serta keranjingan daging segar.
Jimbaran dan anak buahnya seketika terbang semangatnya melihat sepak terjang tikus-tikus lain yang telah membinasakan salah satu kawannya dalam sekejap saja. Mereka menjadi sibuk menjaga diri supaya tidak ikut direncah oleh tikus-tikus tersebut. Beberapa orang, termasuk Jimbaran, Dregil, dan Arje, dengan lincahnya menggebrak tikus-tikus yang mencoba merangsak tubuh mereka. Namun terpaksa mereka terheran-heran dan kewalahan, ketika tikus-tikus yang digebrak tadi, begitu terjatuh, lalu serentak menyerbu kembali ke arah mereka dengan ganasnya.
Sementara itu, Putu Tantri menjerit dan terisak-isak ketika pandangan matanya menatap ke arah tubuh si Ktut yang malang. Ternyata tubuh si korban dalam waktu singkat telah merupakan kerangka tulang dengan sedikit sisa-sisa daging merah yang melekat di sana-sini. Sedang di sekitarnya, puluhan tikus yang telah selesai berpesta-pora tadi kelihatan duduk-duduk sambil mulutnya masih berkomat-kamit, mengunyah sisa-sisa daging dan darah segar yang masih berlepotan di sekitar mulut.
Sebentar kemudian mereka ramai lagi mencicit-cicit dan menatapkan pandangan matanya ke arah Jimbaran serta anak buahnya. Mata hewan-hewan kanibal tadi memancarkan perasaan yang selalu haus akan daging dan darah dari manusia-manusia yang berdiri di hadapannya. Hal ini dapat pula diketahui oleh Jimbaran yang senantiasa waspada. Setelah dia melihat kematian si Ktut dan betapa nekadnya binatangbinatang liar tadi dalam menghadapi lawannya, maka cepat-cepat ia memberi tahu kepada anak buahnya.
"Awas, tunggu aba-abaku! Kita harus segera menyingkir dari binatang-binatang terkutuk ini!"
Bagus Wirog tertawa terkekeh-kekeh melihat tingkah ketakutan dan kengerian dari Jimbaran dan anak buahnya. Seraya duduk di atas sebongkah batu besar ia mengejek dan berseru ke arah mereka, "Ha, hi, hi, hi! Mengapa tidak lekas-lekas angkat kaki dari tempat ini?! Apakah kalian ingin seperti temanmu tadi?! Tinggal tulang dan mampus dalam sekejap mata?!"
Selesai dengan kata-katanya, Bagus Wirog mengacungkan tangannya ke arah rombongan Jimbaran disertai jeritan mencicit-cicit yang ke luar dari mulutnya. Serentak para tikus liar tadi menyerbu, menggemuruh ke arah manusia-manusia di depannya. Dari mulutnya terdengar bunyi mencericit riuh, seolah-olah saling mengatakan, mana manusia-manusia yang bakal direncak sebagai korbannya.
Akan tetapi Jimbaran telah mengambil satu keputusan untuk menyingkir dari tempat itu. Bagaimanapun juga, sebagai manusia, Jimbaran dan kawankawannya tidak sudi mati konyol di mulut binatangbinatang pengerat yang lahap daging itu. Kalau toh ia mati, lebih baik mati di tangan manusia-manusia yang menjadi lawannya. Sedang kini yang dihadapi oleh mereka adalah para tikus liar. Dan alangkah rendah dan hinanya menurut mereka, jika seandainya sampai mati dikeroyok oleh binatang tersebut.
"Mundur!" teriak Jimbaran kepada kawan-kawannya, dan serentak mereka berloncatan ke belakang untuk kemudian kabur ke arah utara.
Kepergian gerombolan Jimbaran tadi diiringi oleh gema ketawa Bagus Wirog yang terkekeh-kekeh mengumbar ketawa puasnya. Sementara itu, para tikus ikut pula mencericit ramai sambil mengangguk-anggukan kepala. Malahan satu dua ekor di antaranya, berloncatan menjungkit-jungkit, bagai luapan rasa gembiranya. Tempat tersebut telah penuh oleh tikus-tikus dan sekarang hanya Ki Sukerte serta Putu Tantri yang tinggal di situ, di samping Bagus Wirog sendiri. Beberapa ekor tikus masih tampak menggerogoti kerangka si Ktut hingga menimbulkan pemandangan yang mengerikan, tapi juga mengharukan.
"Cih! Cih! Chih! Para pengecut telah kabur!" kata Bagus Wirog menggeleng-gelengkan kepala.
"Mengapa tidak sedari tadi, sebelum kawannya yang seorang ini mampus?!"
Ki Sukerte dan Putu Tantri sesaat masih terpaku di tempatnya ketika Jimbaran dan kawan-kawannya meninggalkan tempat tersebut. Mereka tersadar dan kaget oleh bentakan Bagus Wirog yang tiba-tiba mengacungkan tangan.
"Heeii, kalian berdua! Hi, hi, hi. Sekarang kamulah yang akan mendapat giliran berikutnya untuk diganyang oleh tikus-tikus ini! Kecuali jika Anda menyerahkan semua barang-barangmu, termasuk sepasang kipas perak di tangan bocah manis itu!"
Ki Sukerte memandang sesaat ke samping, kepada Putu Tantri, lalu berkata kepada Bagus Wirog keraskeras, "Kau manusia biadab! Mana bisa barang-barang pusaka ini mesti kami serahkan kepadamu dengan enaknya!"
"Jadi kalian ingin kekerasan untuk mempertahankan barang-barang butut itu?!"
"Cobalah untuk mengambil barang-barang ini dari tanganku, kalau mau! Mereka akan kupertahankan mati-matian! Bukankah begitu, Putu Tantri?!"
Gadis yang memegang sepasang kipas perak itu mengangguk mantap seraya memasang jurus mempertahankan diri, sebab ia telah yakin bahwa sebentar kemudian bakal terjadi pertarungan ramai.
"Kalau begitu, matilah kalian!" seru Bagus Wirog serentak mengacungkan tangannya, disusul kemudian puluhan tikus tadi menyerbu dengan liarnya ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Kedua ayah dan anak ini cepat menggunakan senjatanya, menghadapi para tikus yang telah siap merencah tubuh tanpa ampun. Kedua kipas perak di tangan Putu Tantri berkali-kali berkelebatan menyambar para tikus yang berani mendekat ke arahnya, namun patut dikagumi bahwa tikus-tikus tadi mampu mengelak dengan gesitnya. Dengan demikian untuk sementara Putu Tantri berhasil menanggulangi serangan tikustikus tersebut, akan tetapi ia tak berhasil membunuh seekorpun. Jadi tampaklah bahwa masing-masing saling serang-menyerang dan mengelak tanpa korban yang jatuh.
Entah apa sebabnya para tikus itu tidak berani lebih seru menyerang Putu Tantri. Apakah disebabkan gadis ini bersenjata kipas perak yang selalu menyambar-nyambar melindungi diri, ataukah memang mereka sengaja mempermainkan Putu Tantri. Sebab bisa juga dimaklumi, setelah gadis itu kelelahan, tentulah suatu saat ia akan terlengah dan di saat itulah para tikus tadi merencah dan melahap tubuhnya!
Berbeda dengan Ki Sukerte yang bersenjata sapu bertongkat. Seganas tikus-tikus itu menyerang, secepat itu pula senjata aneh tadi berputar disertai sambaran-sambaran yang mematikan. Seekor di antara tikus-tikus tadi segera terhajar oleh ujung lidi-lidi yang tajam dan seketika terpelanting jatuh di antara kawankawannya dengan keadaan tubuh luka-luka mencucurkan darah.
Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang aneh, tapi juga mengerikan. Dan ternyata inilah nanti yang mempengaruhi kelemahan pertahanan Ki Sukerte dan Putu Tantri. Si tikus yang terluka tadi, begitu tubuhnya terjatuh di antara kawan-kawannya, segera dikeroyok dan direncah oleh para tikus lainnya sampai tubuhnya hancur dan lumat dalam sekejap mata, untuk kemudian dilahap oleh mereka! Inilah yang aneh! Apakah karena mereka marah melihat seorang di antara kawannya terluka dan kemudian menghukum serta membunuhnya sendiri? Ataukah barangkali mereka masih kelaparan, sehingga begitu melihat kawannya terluka dan bakal mati dengan cuma-cuma, segera diganyangnya sendiri?!
Keruan saja Putu Tantri menjadi ngeri dan pertahanan dirinya menjadi kendor. Hal ini mempengaruhi pula Ki Sukerte. Melihat anaknya kehilangan semangat, iapun menjadi putus asa. Maka terdesaklah mereka oleh puluhan tikus-tikus tadi dan bisa dipastikan bahwa keduanya segera akan mengalami kematian tragis, seandainya sebuah bayangan manusia tidak segera melesat ke arah mereka.
"Kisanak! Janganlah takut! Aku membela kalian!" seru bayangan manusia tadi yang tidak lain adalah pendekar Ngurah Jelantik.
"Teruskan pertahankan dengan senjata-senjata Anda!"
"Baik! Terima kasih, sahabat," ujar Ki Sukerte pula.
"Nah, Putu Tantri, bangkitkan lagi keberanianmu!"
Maka sekejap kemudian ketiga orang itu memainkan senjata-senjatanya dengan hebat, dilandasi oleh ilmu permainannya yang matang sehingga pertempuran tadi menjadi kian seru. Ketiga orang ini dapat merobohkan beberapa ekor tikus setelah dengan matimatian bertempur sengit melawan hewan-hewan pengerat tadi.
Itupun sebenarnya telah merupakan kemajuan yang dapat mereka capai, sebab sesungguhnya tikus-tikus tersebut mampu bertempur seperti naluri manusia, seperti menyerang, mengelak gerak tipuan, dan sebagainya. Rasanya, mereka telah memiliki kecakapan tadi dengan latihan dan melewati percobaan-percobaan yang terinci.
Maka tak heranlah, meskipun beberapa ekor dari tikus-tikus tadi telah binasa, yang lainnyapun masih gigih dan sengit melancarkan serangan-serangannya. Agaknya saja pertempuran ini akan menelan waktu yang lebih lama.
Bagus Wirog yang sejak semula masih duduk di atas batu besar itu diam-diam telah menggeram marah, sesudah sekian lama mengikuti pertempuran tersebut. Ia mulai menjadi risau begitu dilihatnya beberapa ekor tikus pengikutnya telah binasa oleh senjatasenjata ketiga lawannya.
"Keparat!" desis Bagus Wirog.
"Ada yang membela kedua orang calon korbanku. Tunggulah sepak terjangku yang segera akan datang melandanya! Haaatt!"
Tubuh Bagus Wirog melesat, berkelebat dengan gesitnya, segesit loncatan tikus-tikus liar yang berada di situ. Ia langsung menerjang ke arah Ngurah Jelantik, sementara kedua cambuk hitam pendek di tangannya dengan deras melayang ke pundak lawan.
"Awas, Tuan!" seru Putu Tantri dari samping, ketika ia melihat serangan kilat Bagus Wirog yang datang dengan dahsyatnya.
Pendekar Ngurah Jelantik cepat memutar tubuh seraya mengibaskan pedangnya ke samping, menangkis terjangan cambuk Bagus Wirog.
Blaarr!
Sebuah letupan membisingkan terdengar sewaktu pedang Ngurah Jelantik berbenturan dengan kedua cambuk pendek Bagus Wirog.
"Uhh!" keluh si Ngurah Jelantik sambil terpental ke belakang akibat benturan tadi. Hampir saja ia jatuh tunggang-langgang ke arah puluhan tikus-tikus di situ, jika saja ia tidak cepat-cepat berjumpalitan ke atas, memunahkan pengaruh dari benturan lawannya itu.
"Bagus! Bagus! Tapi seranganku tidak sampai sekian saja, sobat! Inilah dia sambungannya!" seru Bagus Wirog dengan kerasnya. Ngurah Jelantik yang telah melesat turun segera disambut oleh serangkaian serangan dari Bagus Wirog. Akan tetapi, sejak ia hampir roboh oleh benturan senjata lawannya yang bulat pendek itu, segeralah ia menyiapkan diri. Sebab sejak itulah ia mengetahui ukuran kekuatan dan ilmu Bagus Wirog yang sesungguhnya sangat hebat dan kemungkinan berada di atas tingkatan dirinya. Karenanya, pertempuran menjadi lebih hebat.
Dengan turun tangannya Bagus Wirog ke arena pertempuran, sesungguhnya membuat keadaan Ki Sukerte dan Putu Tantri menjadi terancam kembali oleh serangan-serangan tikus liar tadi, sebab untuk menanggulangi Bagus Wirog, terpaksalah Ngurah Jelantik mencurahkan dan memusatkan perhatiannya sepenuhnya kepada lawannya. Ini berarti ia tidak lagi sempat memberikan bantuannya kepada Ki Sukerte dan Putu Tantri dalam menghadapi tikus-tikus tersebut.
Pada sesungguhnya, meskipun ia sibuk bertempur melawan Bagus Wirog, pendekar Ngurah Jelantik berkali-kali melempar pandang ke arah Ki Sukerte dan anak gadisnya. Ia merasa tidak sampai hati membiarkan kedua orang itu bertempur sendirian melawan hewan-hewan pengerat yang liar dan senantiasa haus korban. Justru perhatian Ngurah Jelantik berkali-kali menjadi terpecah karenanya. Memanglah kalau dipikirpikir, keadaan sama-sama serba sulit, baik bagi Ngurah Jelantik maupun bagi Ki Sukerte dan Putu Tantri sendiri.
"Rasakanlah olehmu, sobat! Sebentar lagi mereka berdua akan binasa dilahap oleh tikus-tikus ini, sedang engkau sendiri juga akan mampus di tanganku!" seru Bagus Wirog.
"Salahmu sendiri mengapa engkau sampai campur tangan!"
"Hah, jangan main gertak terhadapku, iblis! Aku masih mampu menghadapi seranganmu! Sekarang, apa lagi yang akan engkau keluarkan?!"
Ucapan Ngurah Jelantik tadi betul-betul memerahkan telinga Bagus Wirog. Ia tidak lekas menjawabnya, kecuali sesaat kemudian mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit keras.
Keruan saja Ngurah Jelantik menjadi kaget dan hampir tidak percaya bahwa suara jeritan tikus tadi bisa keluar dari mulut Bagus Wirog.
Detik berikutnya, puluhan ekor tikus hutan yang liar dan masih segar bermunculan dari balik semak belukar seakan-akan baru saja keluar dari liang rumahnya. Mereka langsung menyerbu Ngurah Jelantik, selagi ia sibuk dan gigih bertempur melawan Bagus Wirog.
"Ha, ha, ha. Hiruplah udara segar sebanyak-banyaknya dan tataplah wajahku baik-baik sebelum tubuhmu hancur dicacah mereka. Atau barangkali kau lebih suka mati karena senjataku ini, haa?!" seru Bagus Wirog dengan mencecar terus-menerus ke arah Ngurah Jelantik.
Mendapat serangan ganda dari tikus-tikus dan Bagus Wirog sendiri, Ngurah Jelantik menjadi kian kerepotan. Keringatnya bercucuran membasahi setiap kulitnya, dan hampir saja pedangnya terlepas karena telapak tangannyapun telah licin. Tambahan lagi, hatinya pun kian risau, ketika melihat ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri. Mereka telah pula nampak akan keletihannya serta keputus-asaan yang membayang dari wajahnya. Jika seandainya Ngurah Jelantik tadi sendirian saja, agaknya tak akan malulah jika ia mengambil langkah seribu, melarikan diri dari Bagus Wirog serta para tikus liar tadi. Tapi bukankah ia masih harus mengingat kedua orang lain yang patut ditolong dan diselamatkan dari kebinasaan? Dalam keadaan yang menegangkan, di mana kebinasaan telah mengancam kepada Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, serta Putu Tantri, sekonyong-konyong terdengarlah bunyi dengungan yang sambung-menyambung membahana ke segenap sudut-sudut daun pepohonan dan pelosok-pelosok hutan di sekitar arena pertempuran tadi.
Hal ini mengagetkan siapa saja, baik manusia-manusia maupun puluhan tikus-tikus yang berada di situ, sehingga tanpa disadari pertempuran menjadi kendor beberapa saat.
Mulut-mulut para tikus pengikut Bagus Wirog pada saling mencericit, seperti membayangkan satu kegelisahan yang mulai merayapi hati segenap makhluk yang berada di tempat itu, seperti burung-burung unggas yang beterbangan menyingkir ke udara, disusul beberapa ekor bajing berloncatan dengan paniknya.
Dengungan tadi makin jelas terdengar, turun naik mengalun dari arah selatan bagai sebuah alunan musik yang mampu menggetar dan merobohkan segenap isi hutan.
Nguuggng....
Digerakkan oleh naluri yang sama, mereka serentak mengawaskan mata ke arah selatan, di mana daundaun seperti tergetar dan sesaat kemudian menampaklah segumpal kabut putih yang mengalir ke utara menembus dedaunan dengan diiringi bunyi berisik dan mendengung.
"Ohh! Apakah itu yang datang?! Hantu?!" pikir pendekar Ngurah Jelantik dengan perasaan panik.
"Celaka ini. Bertambah lagi bahaya yang mengancam "
Tak berbeda dengan Ki Sukerte dan Putu Tantri yang berdiri dengan cemas. Keduanya tidak mengira bahwa perjalanannya telah menemui rintangan-rintangan yang sangat berbahaya. Pencegatan oleh orangorangnya Jimbaran, kemudian Bagus Wirog, dan kini bahaya apalagi yang tersembunyi di belakang suara berdengung itu.
Setiap dada makin berdebar-debar manakala gumpalan awan putih tadi semakin mendekat ke arah mereka, tanpa ada yang bisa mengetahui apakah sebenarnya itu.
Mendadak saja gumpalan awan putih tadi meluruk ke bawah, menyebar ke arah bekas arena pertempuran laksana sebuah gumpalan awan mendung yang pecah dan menyebarkan air hujan.
"Tawon putih!" teriak Bagus Wirog dalam nada suara parau dan berbau panik ketakutan, ketika ia dapat mengenal bahwa gumpalan kabut awan yang meluruk dan memencar ke arahnya itu, adalah serombongan lebah-lebah berbisa yang ratusan jumlahnya! Dan celakanya, kawanan lebah putih berbisa tadi langsung menyerangnya.
Keruan saja Bagus Wirog secepat kilat memutar kedua cambuk pendeknya untuk melindungi tubuhnya dari serangan kawanan lebah berbisa tadi. Sedang para tikus pengikut Bagus Wirog, menjadi kalang-kabut setelah mereka diserang oleh beratus-ratus lebah berbisa dari udara.
Berbeda sewaktu mereka menghadapi manusia yang bertubuh lebih besar dan mudah menyerangnya, akan tetapi mereka sekarang berhadapan dengan lawan-lawan yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan sengat-sengat berbisa.
Beberapa ekor tikus segera terkena sengatan lebah putih itu dan sejurus kemudian berkaparan di tanah dengan tubuh kaku tanpa nyawa.
Sungguh hebat serangan lebah putih yang mematikan tersebut, sehingga patutlah bahwa Bagus Wirog bertempur mati-matian menjaga dirinya. Tapi terjadi pula satu keanehan, bahwa lebah-lebah tadi cuma menyerang Bagus Wirog dan tikus-tikusnya. Sedang Ki Sukerte, Putu Tantri, serta Ngurah Jelantik, cuma dilewatinya, tanpa diusik sedikitpun. Itulah pula sebabnya mereka bertiga jadi terbengong-bengong keheranan, menyaksikan pertempuran aneh yang selama hidupnya baru sekali ini dilihatnya.

* * *




--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

TIKUS-TIKUS YANG MATI KAKU karena sengatan lebah-lebah beracun makin bertambah jumlahnya. Bangkai-bangkainya berserakan terkapar di sana-sini, sementara yang masih hidup dengan sibuknya berloncatan kesana-kemari menghindari serangan lawan yang tidak kurang ganasnya. Hal ini tidak sedikit menimbulkan kekacauan pada gerombolan tikus-tikus tadi. Kadang-kadang mereka saling bertubrukan ketika berloncatan menghindari serangan lebah putih.
Demikian pula Bagus Wirog makin kerepotan dan terdesak meskipun ia dengan hebatnya memutar kedua cambuk pendek secepat kitiran berpusing. Memang ia berhasil pula meruntuhkan beberapa ekor lebah, tapi itupun setelah sekian lama bertempur matimatian.
"Serangga keparat!" teriak Bagus Wirog mengumpatumpat dengan kemarahan yang memuncak, seraya mengeluarkan jurus-jurus puncak dari permainan cambuk hitamnya. Benar-benar seperti orang kerasukan setan sepak terjang Bagus Wirog sekali ini, sampai tak memperdulikan keadaan sekeliling, kecuali pusat perhatiannya cuma tertuju ke arah lebah-lebah putih yang beterbangan mengeroyok dan berkeliling di sekitarnya.
Namun tak lama kemudian, ketika kakinya kena tabrak oleh seekor tikus, Bagus Wirog seperti teringat kembali kepada nasib para tikus anak buahnya itu. Dan seketika bukan main kagetnya, begitu ia tepat melempar pandangan matanya ke arah sekeliling. Tampaklah dengan jelas, tidak kurang dari dua puluh ekor tikus pengikutnya, telah mati kaku tergeletak di tanah. Kini sadarlah bahwa keadaan tidak begitu menguntungkan bagi dirinya serta segenap tikus-tikus tadi. Kalau toh ia mampu bertahan dalam menghadapi serangan lebah-lebah itu, berarti akan lebih banyak kor-
ban yang jatuh di pihak tikus-tikus anak buahnya.
Bagus Wirog segera mengeluarkan jeritan mencicit yang panjang disusul dengan tubuhnya meloncat ke arah semak belukar di sebelah timur. Demikian pula dengan serentak, para tikus anak buahnya menarik diri dari tempat pertempuran untuk kabur ke arah timur, mengikuti Bagus Wirog.
Sebentar saja Bagus Wirog dan tikus-tikusnya telah lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal kemudian hanyalah bangkai-bangkai tikus yang telah mati kaku. Sedang lebah-lebah putih itu masih beterbangan berkeliling di atas bekas arena pertempuran, bagai gumpalan awan putih yang berdengungan membisingkan.
Karenanya, Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, dan Putu Tantri merasa cemas. Sebab, setelah kaburnya Bagus Wirog dan tikus-tikusnya, tidaklah mustahil bahwa lebah-lebah berbisa itu akan ganti menyerang diri mereka!
Namun, mendadak saja berkelebatlah satu bayangan bertubuh ramping dari arah selatan, menuju ke arah mereka sambil bersenandung merdu.
"Lebah putih lebah sayang, terbang rendah melayang-layang. Orang baik patut disayang, orang jahat pasti diserang. Ha, ha, ha. Maaf, sahabat-sahabat sayang. Andika semua tak perlu kuatir dengan lebah putihku ini!" ujar seorang gadis cantik yang masih remaja sekali sambil berloncatan mendekati Ngurah Jelantik bertiga.
Gerakan yang ringan hampir tanpa suara membuat gadis remaja ini seakan-akan melayang dan Ngurah Jelantik bertiga menjadi kagum karenanya.
"Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan Nona!" ujar Ngurah Jelantik seraya mengangguk kepada gadis remaja tadi.
"Dan perkenalkanlah, saya bernama Ngurah Jelantik, sedang mereka ini adalah Ki Sukerte dan Putu Tantri."
"Aah, sama-sama, Tuan. Sesama makhluk, kita wajib tolong-menolong," berkata si gadis remaja sambil melempar senyum manis yang menggetarkan hati Ngurah Jelantik.
"Nama saya adalah Tanjung," demikian si gadis remaja memperkenalkan diri dan mendadak saja sesosok bayangan orang tua melesat ke arah mereka berbareng Tanjung berseru.
"Oh, itu kakek saya, Ki Tutur telah datang. Sekarang aku harus pergi meninggalkan Andika bertiga."
"Maaf, Tuan-tuan. Cucuku ini sangat nakal. Ia terlalu jauh menggembalakan lebah putihnya," seru si kakek Tutur seraya menyambar pinggang si Tanjung dan kabur ke arah selatan, bersama lebah-lebah putih yang terbang mengelompok bagai gumpalan awan putih yang berdengungan di sepanjang jalan.
Pendekar Ngurah Jelantik, Ki Sukerte dan Putu Tantri menghela nafas dengan lenyapnya Ki Tutur, Tanjung, dan lebah-lebah putihnya, di balik pepohonan yang lebat. Mereka merasa sayang bahwa kejadian tadi telah berlalu dengan cepatnya tanpa suatu perkenalan yang lebih mendalam. Akhirnya merekapun telah bersiap-siap melanjutkan perjalanannya masingmasing.
"Kami bermaksud mengunjungi sanak keluarga yang tinggal di daerah Gilimanuk," ujar Ki Sukerte ketika berpamitan dengan pendekar Ngurah Jelantik.
"Semoga kita dapat berjumpa lagi dalam keadaan sehat dan selamat."
"Saya pun harus secepatnya melanjutkan perjalanan ke Singaraja," Ngurah Jelantik berkata sambil menyiapkan tali-temali kudanya.
"Nah, aku permisi sekarang, Ki Sukerte. Selamat jalan dan selamat tinggal."
"Selamat jalan, Tuan," ujar Ki Sukerte dan Putu Tantri hampir berbareng.
"Berhati-hatilah. Semoga Dewata Agung melindungi Anda!"
Pendekar Ngurah Jelantik memacu kudanya ke arah timur, menyusuri jalan rintisan dan lenyap di balik pepohonan. Sedang Ki Sukerte bersama Putu Tantripun telah melangkahkan kakinya, melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah barat, di mana sang matahari merayap ke arah sana pula dengan lambatnya.
Beberapa ekor burung layang-layang berbondongan kembali ke sarangnya dengan tergesa, seolah-olah takut kemalaman di tengah perjalanan.

* * *



Beberapa orang yang tengah duduk-duduk berkumpul di dekat pohon-pohon ilalang di tengah hutan, mendadak saja dibikin terkejut oleh munculnya beberapa orang dengan langkah tergesa-gesa dan terengahengah. Wajah-wajah mereka berkilat basah oleh keringat dan kotor dengan debu yang menutupi kulit-kulit tubuhnya. Begitu pula pakaian dari beberapa orang di antara mereka telah sobek-sobek di sana-sini disertai luka-luka kecil berdarah.
Tampak sekali bahwa mereka telah kelelahan serta suasana kecemasan masih belum lepas dari wajahwajahnya. Malahan di antara mereka segera merebahkan diri di atas rerumputan dengan nafas yang bersesakan.
"Heei, mengapa kalian ini?!" berseru seorang berwajah garang yang duduk di situ.
"Apa yang telah terjadi, Jimbaran?! Katakan lekas!"
"Ses... sesuatu yang mengerikan...," sahut Jimbaran tergagap-gagap.
"Seorang kawan kami... yakni si Ktut, telah tewas...!"
"Haah, tewas katamu?!" seru Tangan Iblis sambil mengguncang-guncang bahu Jimbaran.
"Sebutkan, siapa yang telah berbuat sekurang ajar itu, hee?!"
"Waktu itu kami telah mencegat dua orang di daerah selatan, lalu tiba-tiba saja muncul seorang manusia bulat pendek yang membawa tikus-tikus berjumlah puluhan. Ia menolong kedua orang tadi dan bertempur dengan kami. Ternyata mereka sangat kuat, hingga si Ktut menjadi korban keroyokan tikus-tikus liar dan dilahapnya sampai habis! Akhirnya, kami terpaksa mengundurkan diri," demikian tutur ceritera Jimbaran.
Si Tangan Iblis terperanjat sesaat mendengar nasib seorang anak buahnya yang mati secara konyol dimakan oleh tikus-tikus liar tadi. Akan tetapi, segera ia berkata dengan nada marah, "Naah, sudah berkali-kali aku katakan, supaya jangan mengganggu siapapun di tempat ini! Kau tahu, itu sangat berbahaya bagi tempat pondokan kita yang tersembunyi di sini. Apakah otakmu tidak berpikir, bahwa tindakanmu tadi bisa membawa orang-orang lain ke tempat ini?!"
Jimbaran tertunduk ketakutan menghadapi kemarahan Tangan Iblis, maka katanya kemudian, "Maaf, Kakang, kami terlengah waktu itu "
"Heei, kau belum menyebutkan nama lawanmu yang bertubuh bulat pendek tadi?!" ujar Nyi Durganti menyela.
"Siapakah dia?!"
"Oooh, betul, Nyai. Nama orang itu adalah Bagus Wirog!" ujar Jimbaran gugup.
"Hooh! Si keparat Bagus Wirog telah keluyuran sampai di daerah ini?!" seru Nyi Durganti dengan kaget.
"Ngngng, ini berbahaya. Bagus Wirog bukanlah orang sembarangan. Ia sangat sakti dan mempunyai rombongan tikus-tikus seperti yang diceriterakan oleh Jimbaran tadi."
"Jadi, Ibu telah mengenalnya?" gerendeng Tangan Iblis.
"Apakah ia bermusuhan dengan Ibu?"
"Benar, Angger. Aku telah mengenal Bagus Wirog itu. Memang kami pernah berselisih kecil, tapi kalian tak usah kuatir. Aku sanggup menghadapinya."
"Terima kasih, Ibu. Kembali tentang penyerbuan ke rumah saudagar Wayan Arsana, kapankah itu bisa kita laksanakan?!"
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar perkataan anaknya, si Tangan Iblis, dan kemudian menggumam, "Hm, kau masih penasaran terhadapnya, Ngger! Apakah perlunya mengusik orang-orang tolol itu?"
"Ibu," ujar Tangan Iblis dengan lembutnya, "sebenarnya kami dapat melupakan hal itu. Namun sayang sekali bahwa kami telah mendapat penghinaan yang sangat keterlaluan. Mereka melepaskan kami dengan iringan ketawa dan ejekan. Terlebih lagi dengan si tua Wiku Salaka yang telah memandangku dengan sebelah mata saja, benar-benar merupakan hinaan yang tidak mudah terlupakan. Aku adalah putra Nyi Durganti. Mendapat hinaan begitu, apakah itu secara tidak langsung menampar muka Ibu?!"
Nyi Durganti menghela napas panjang, begitu Tangan Iblis rampung mengutarakan pendapatnya. Apa yang diutarakan anaknya tadi banyak benarnya. Namun sebab musabab bibit persengketaan itu, dirasanya tidak mempunyai sangkut paut dengan dirinya. Bukankah si Tangan Iblis sekadar mempaut dengan dirinya? Bukankah si Tangan Iblis sekadar membela anak muridnya, yakni Jembrana dan Jimbaran setelah berselisih dengan Wayan Arsana? Dan kebetulan pula, seorang sahabat Jimbaran yang bernama Wasi Bera telah terlibat dalam persoalan mereka. Dengan demikian apakah itu sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab Tangan Iblis sendiri? Akan tetapi, sekali lagi sifat orang tua, mendengar anaknya kalah dan katanya mendapat penghinaan, siapakah yang tidak akan terbakar hatinya?
Pertimbangan manusia kadang-kadang memang mudah condong ke arah sepihak. Jarang yang bisa bertahan bahwa untuk yang salah harus disalahkan, sedang yang benar harus tetap benar. Apalagi jika itu sudah menyangkut hubungan keluarga. Tentunya hanya seorang ksatrialah yang mampu bersifat adil dan seimbang. Baginya tidak akan ada sifat-sifat sahabat atau keluarga, sebab ia selalu memandang manusia mempunyai hak yang sama. Sehingga pertimbangannya akan bersifat umum menyeluruh.
Tetapi sekali lagi hal itu sangatlah sukarnya. Seperti halnya Nyi Durganti yang telah mendengar penjelasan dari Tangan Iblis, segera hatinya terbakar oleh kemarahan yang menyala bagaikan obor. Apalagi didasari oleh pertimbangan hati yang dangkal, maka Nyi Durganti tidak mempunyai lagi pertimbangan lain, selain harus membela Tangan Iblis dengan sungguh-sungguh.
"Baiklah, Angger Tangan Iblis. Kita akan mencari hari yang baik, dan aku perlu memikirkan satu siasat yang jitu. Aku mengharap bisa langsung memukul benggol-benggolnya, tanpa banyak menimbulkan korban di pihak orang-orang rendahan yang tidak tahu apa-apa!"
"Terima kasih, Ibu. Hanya itulah yang ananda harapkan," berkata Tangan Iblis. Mukanya berseri-seri puas sepuas anak kecil yang dijanjikan oleh ibunya untuk mendapatkan kembang gula manis.
"Tapi kalian harus memperhatikan, pimpinan adalah di Tangan Iblis, sedang segala sesuatu harus mendengar nasehatku terlebih dulu. Ingatlah akan bahaya pasukan kerajaan! Jika kalian bertindak liar semaumaunya, aku akan cuci tangan dari perkara ini!" demikian bicara Nyi Durganti dengan tandasnya.
"Kami akan mematuhi segala nasehatmu, Ibu," berkata Tangan Iblis sekali lagi dengan senangnya.
"Saya akan memerintahkan seluruh pengikutku untuk memperhatikan hal itu."
Dalam pada itu, Dregil dan Arje tengah membantu mengobati kawan-kawannya yang terluka. Kebanyakan adalah luka-luka bekas gigitan tikus-tikus liar pengikut Bagus Wirog, ketika mereka bertempur beberapa saat yang lalu.
Kadang kala Dregil dan Arje masih meremang bulu tengkuknya bila teringat akan kematian seorang kawannya akibat keroyokan tikus-tikus liar. Kedua orang tadi seperti sukar mempercayai, betapa tubuh si Ktut dapat habis kulit dagingnya dalam sekejap mata oleh rencahan gigi tikus-tikus tadi. Dan yang membuatnya lebih heran adalah perawakan, wajah dan tindak-tanduk Bagus Wirog yang menyerupai seekor tikus.
Semua itu diceritakannya kepada kawan-kawan lainnya yang tidak ikut bertempur pada waktu itu. Karenanya, keruan saja mereka tercengang-cengang keheranan mendengar penuturan ceritera si Dregil dan Arje.
"Apakah engkau kira-kira berani menghadapi tikustikus itu, Parse?" bertanya Dregil sambil cengingisan setengah mengejek, kepada temannya yang bertubuh gemuk di sebelahnya.
"Weeh, tentu saja berani. Kalau memang itu menjadi lawan kita, haruslah kita lawan!" temannya yang bernama Parse berkata dengan penuh semangat.
"Hi, hi, hi. Semangatmu hebat! Tapi aku kuatir bahwa tubuhmu yang gemuk itu akan menarik selera tikus-tikus tadi," kata Dregil menggoda.
"Atau mungkin saja kau berani menghadapinya asal tikus-tikus tadi ompong, tanpa gigi. Sehingga mereka cuma mampu menjilat-jilati tubuhmu saja. Hi, hi, hi."
"Huss! Ngawur sekali bicaramu," potong Parse cemberut.
"Bagaimana kalau kita membawa kucing-kucing untuk melawan mereka?!"
"Satu usul yang baik! Hmmm, tapi di mana kita harus mencari kucing-kucing dalam jumlah yang banyak?" sambut si Dregil.
"Dan lagi, untuk seekor kucing, paling-paling ia hanya sanggup menelan dua ekor tikus hutan itu. Sedang jumlah tikus tadi pasti ratusan jumlahnya! Nah, bukankah itu merupakan persoalan yang cukup sulit dan memusingkan?! Salah-salah malah kucing-kucing itu yang akan dilahap oleh gerombolan tikus liar tadi! Sayang, engkau tidak ikut kami waktu itu. Ternyata tikus-tikus tersebut sangat terlatih dan mampu menghindari senjata-senjata yang mengancamnya."
"Jika demikian, lebih baik aku tidak ikut bertempur melawan binatang-binatang tadi. Aku lebih senang tinggal di sini menjaga pondok, atau membantu memasak makanan," sahut Parse.
"Hi, hi, hi. Memang itulah pekerjaan yang paling cocok buatmu!" ujar Dregil diiringi ketawa segenap kawan-kawan lainnya yang berada di sekelilingnya.
"He, he, he. Apabila sudah sampai pada persoalan masakan, saya kira Parselah yang paling cocok."
Suasana menjadi gembira beberapa saat, dan itu cukup menghibur hati mereka yang tengah bergurau, tanpa mengetahui bahwa para pemimpinnya tengah merencanakan penyerbuan ke rumah saudagar Wayan Arsana di daerah Gilimanuk. Dan boleh dipastikan, bahwa pertempuran kali ini akan lebih hebat, karena Nyi Durganti yang sakti, yakni ibu si Tangan Iblis sendiri, akan turun tangan membantu mereka di gelanggang pertempuran.
Entah kapan rencana itu akan dilaksanakan. Barangkali satu minggu lagi, atau sebulan kemudian, dan mungkin juga pada keesokan harinya, tak seorang di antara mereka yang mengetahuinya. Yang jelas saja, mereka melihat bahwa para pemimpinnya seperti si Tangan Iblis, Nyi Durganti, I Jembrana, Jimbaran dan seorang lagi yang bertubuh kurus, dengan sibuknya kasak-kusuk melakukan perundingan.
Kabut putih yang sebening sutera mulai mengambang di udara seiring dengan merendahnya sang matahari ke cakrawala barat. Beberapa ekor kelelawar berkepak mengembangkan sayapnya, beterbangan ke udara mencari makanannya, tanpa menggubris manusia-manusia yang bergerombol di dekat pondok-pondok ilalang di hutan tadi.

* * *



Di suatu malam, ketika sang purnama mulai mengembang di langit dengan megahnya, sinarnya telah merambah ke segenap permukaan bumi, sampai daerah Gilimanukpun bermandi cahaya perak.
Beberapa sosok tubuh dengan lincahnya mengendap-ngendap di balik semak-semak hutan kecil yang terletak di sebelah timur rumah Wayan Arsana. Mereka tampak berhenti dan membicarakan sesuatu dengan segenap rombongannya yang terdiri tidak kurang dari delapan orang lebih.
"Dengarkan sekali lagi baik-baik. Terutama dengan Adi Jimbaran yang pernah membuat kesalahan!"
Semuanya mengangguk, kecuali seorang wanita berwajah mayat kepucatan yang mendengarkan peringatan tadi dengan tenangnya. Itulah dia, Nyi Durganti.
"Ingatlah, bahwa ini bukan penyerbuan yang sebenarnya, melainkan sekadar peringatan untuk mengguncangkan perasaan mereka! Nah, maka janganlah melakukan suatu tindakan apapun tanpa isyarat dari saya!" begitu Tangan Iblis memperingatkan para pengikutnya.
"Jangan kuatir, Kakang. Aku akan memimpin mereka agar tinggal di tempat ini baik-baik," ujar I Jembrana berjanji.
"Baik. Sekarang kita bisa berangkat, Ibu," Tangan Iblis berkata kepada Nyi Durganti.
"Mereka akan menunggu kita di sini."
"Ayo, Tangan Iblis. Ikuti aku!" seru Nyi Durganti sambil meloncat dengan gesitnya meninggalkan tempat itu, laksana seekor kijang.
Tangan Iblis segera menyusulnya dengan melesat ke arah timur, mendekati arah tembok rumah Wayan Arsana. Keduanya merupakan dua bayangan hitam yang berkelebatan ringan, tak ubahnya dua iblis yang tengah mencari korbannya.
Keduanya kemudian melesat ke atas tembok pagar tanpa menimbulkan suara, untuk melanjutkan berloncatan dari genting atap rumah satu ke genting lainnya. Gerakan mereka sangat cepat dan sebatnya, sehingga orang biasa tak akan tahu tentang penyelundupan ini, apalagi sampai mengetahui rencana-rencana yang tengah tergambar di otak Tangan Iblis bersama ibunya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat bekasbekas hiasan janur yang telah agak kering di halaman rumah itu.
"Bekas-bekas pesta, Ibu!" bisik Tangan Iblis kepada Nyi Durganti di sebelahnya.
"Agaknya belum lama berlangsung. Mungkin kemarin, atau dua hari yang lalu."
"Biarlah, kita melaksanakan rencana kita," ujar Nyi Durganti.
Kembali mereka berloncatan memutar. Dan ketika mencapai halaman rumah, Tangan Iblis berhenti sesaat di atas genting, seraya menatapi dua buah patung singa yang berdiri megah di depan pintu rumah.
"Ssst, mengapa berhenti di sini?" gereneng Nyi Durganti kepada anaknya.
"Adakah sesuatu yang penting sampai engkau menghentikan langkahmu?"
"Lihatlah dua buah patung singa itu, Bu. Aku jadi teringat dengan Pulau Mondoliko."
"Apa hubungannya?!"
"Aku tiba-tiba mendapat satu pikiran yang selama ini tengah kucari-cari. Tak tahunya pemecahan itu telah kudapatkan di tempat ini."
"Ah ayolah, Ngger! Kita harus cepat-cepat melaksanakan pekerjaan kita," desak Nyi Durganti.
"Tentang patung singa itu, pikirkan saja belakangan."
"Baik, Ibu," sahut Tangan Iblis sambil meloncat kembali bersama Nyi Durganti ke arah utara, menelusuri segenap pojok rumah.
Dalam saat yang bersamaan pula, di sebuah pertamanan, jauh di sebelah utara yang masih termasuk lingkungan rumah saudagar Wayan Arsana, dua orang muda-mudi sedang asyik bercengkerama. Yang putri sangat cantik, sedang prianya berwajah tampan. Wajah si putri tadi masih menampakkan bekas-bekas cukuran upacara pengantin dan sanggulnya dihiasi bungabunga harum yang semerbak mengambar di udara terang bulan. Keduanya duduk di atas kursi panjang terbuat dari batu putih dan saling memandang mesra.
"Kau tak menyesal bersuamikan aku, Made Maya?" bertanya si pria sambil mengusap pipi pengantin putri yang montok merah jambu itu.
"Jangan katakan itu, Kakang Sunutama," ujar Made Maya, sementara jari-jarinya menutupi bibir suaminya, seperti takut kalau suaminya berkata-kata lebih lanjut.
"Apakah Kakang masih menyangsikan cinta kasihku?"
"Bukan begitu, Adi Maya. Hanya aku sedikit kuatir kalau kedudukan kita dipandang tidak seimbang oleh mata masyarakat."
"Ahh, itu tak usah dipikirkan, Kakang. Mereka toh cukup menghargai Kakang Sunutama sebagai pemahat ulung di daerah ini."
Sunutama manggut-manggut mendengar tutur kata istrinya.
"Syukurlah jika demikian, Dinda. Aku tak pernah menyangsikan cintamu."
"Ooh, Kakang...," keluh Made Maya seraya merebahkan kepalanya ke dada Sunutama yang bidang dan tegap, membuat laki-laki muda itu tergetar hatinya.
"Heei, mengapa kau menangis, Maya?" sapa Sunutama dengan membelai-belai rambut istrinya. Butiran air mata yang mengalir keluar dari sudut mata Made Maya berkilatan tertimpa cahaya perak rembulan, bagaikan intan permata.
"Aku berbahagia, Kakang. Berbahagia sekali," keluh Made Maya dan memeluk tubuh suaminya lebih erat.
"Lihatlah sang purnama itu, Maya. Ia seperti menertawakan dirimu, karena Dinda telah meruntuhkan butiran air mata bahagia," berkata kemudian Sunutama dengan mengusap leher Made Maya, sampai menggelinjangkan kegelian.
Sambil tersenyum manja Made Maya merangkul leher suaminya dan Sunutama membiarkannya. Sekejap kemudian sepasang temantin baru itu telah terhanyut dalam kemesraan bermandikan cahaya perak sang rembulan. Huk...! Huk...! Huuukk...!
Siulan burung hantu terdengar memecah kesunyian, mengagetkan tiba-tiba Sunutama dan Made Maya.
"Ooh, aku takut, Kakang Sunutama," ujar Made Maya dengan manjanya.
"Suara burung hantu itu sangat menyeramkan."
"Eh, masakan seorang pendekar seperti kau ini takut mendengar suara burung hantu?" desah Sunutama menggoda.
"Apakah tidak mungkin, bahwa burung hantu tersebut memberi salam dan ucapan selamat kepada kita?"
"Aku merasa sebaliknya, bahwa ia memberi isyarat akan datangnya marabahaya," sahut Made Maya.
Sunutama tidak lekas menjawab, melainkan ia mengangkat hidungnya ke udara dan menggerundal, "Coba dengarkan baik-baik, Made Maya. Aku mendengar gerakan yang lembut sekali. Entah bunyi daun terjatuh atau bunyi lainnya aku belum tahu. Sebaiknya kita berhati-hati, Dinda."
Belum lama mereka menyelesaikan kata-katanya, mendadak saja berkelebatlah dua bayangan hitam dari arah selatan dan langsung turun ke tengah pertamanan, membuyarkan kabut malam yang tengah melayang.
Made Maya hampir berteriak mendengar suara berisik yang mengiringi turunnya dua sosok tubuh manusia ke tengah pertamanan. Yang lebih mengagetkannya adalah wajah kaku mayat dari seorang di antara kedua pendatang itu. Mereka mengeluarkan derai ketawa bernada berat yang tertahan di dalam mulutnya. Agaknya mereka cukup berhati-hati dan berusaha agar orang lain tidak akan mendengarnya.
"Siapa kalian?! Datang secara gelap di tempat ini?" seru Sunutama bersiaga.
"Bagus kalau kalian bertanya. Tapi coba perhatikan baik-baik siapa aku ini!" seru si wajah garang yang tidak lain adalah Tangan Iblis.
"Tangan Iblis! Kaulah yang telah merusak ketentraman di sini beberapa waktu yang lalu?!" berseru Sunutama dengan beraninya, begitu mengenal wajah si pendatang.
"Jangan banyak mulut. Hari ini aku akan mengadakan pembalasan!" sahut Tangan Iblis.
"Ibu, apakah pendapatmu sekarang?"
"Robohkan yang laki-laki, tapi jangan kau bunuh! Biar aku yang akan menangkap perempuannya!" ujar Nyi Durganti seraya bersiaga pula dengan terkamannya. Jari-jari tangannya mengembang disertai sorot mata yang mengerikan seperti hantu.
Made Maya yang melihatnya, seolah-olah telah menghadapi hantu leak yang ganas. Serentak hatinya menjadi bergetar ketakutan. Namun iapun telah bertekad melawan.
Di saat itu pula Tangan Iblis melesat ke depan, melancarkan serangannya kepada Sunutama yang telah bersiaga sepenuhnya. Maka sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang sangat seru di tengah pertamanan yang semula bersuasana tenang.
Sunutama sudah pernah melihat sepak terjang si Tangan Iblis, karenanya ia sangat berhati-hati dan tidak mau gegabah menghadapi lawannya ini.
"Heh, heh. Kau mampu bertahan berapa jurus menghadapi seranganku ini, ha?!" ujar Tangan Iblis dengan melancarkan tendangan kakinya.
Wuuutt!
Sunutama cukup waspada dan mengeluarkan gerakan gesit berjungkir balik ke udara untuk kemudian turun ke bawah sambil menyapukan kedua tangannya ke arah kepala Tangan Iblis dengan gaya ketam mencapit belut.
"Setan!" gerundal Tangan Iblis lantaran kaget dengan serangan Sunutama yang tanpa terduga. Namun dasar ia telah banyak pengalaman, maka secepat kilat ia menjatuhkan diri ke bawah.
Tak tahunya, Sunutama kembali melancarkan serentetan serangan maut dengan dupakan kaki ke arah dada Tangan Iblis, yang saat itu masih tertelentang di tanah.
"Heeit, jangan gegabah!" seru Tangan Iblis sambil menerjangkan kakinya ke atas menyambut dupakan Sunutama yang mendatang dengan derasnya.
Blaakk!
Benturan keras terjadi, dengan akibat Sunutama terpelanting ke belakang, sedang Tangan Iblis pun peringisan menahan rasa kesemutan yang menjalar di kakinya akibat benturan tadi
"Kurang ajar! Bertenaga pula orang muda ini!" umpat Tangan Iblis.
"Sayang aku tak boleh membinasakannya!"
Dengan sedikit pusing, Sunutama cepat bersiaga kembali untuk menghadapi lawannya.
"Heei, Angger Tangan Iblis! Jangan bermain-main seperti anak kecil. Lekaslah robohkan anak itu!" seru Nyi Durganti.
"Tunggu apalagi?!"
"Baik, Ibu. Tapi dia cukup bandel!" sahut Tangan Iblis.
"Sebentar lagi, barangkali dua jurus kemudian!" Demikian teriakan pasti dari Tangan Iblis dan sambil menggeram marah, ia melipat-gandakan serangannya kepada Sunutama.
Sementara itu, Made Maya merasa kerepotan menghadapi serangan Nyi Durganti. Apalagi nenek berwajah mayat ini selalu menyorotkan sinar matanya yang penuh pesona dan memukau. Serangan-serangan yang dilancarkannya seperti lenyap tak berbekas dalam tangkisan Nyi Durganti. Dan inilah yang membuatnya cemas. Seolah-olah lawannya berwujud bayangan belaka, sehingga setiap kali diserang, dengan mudahnya ia menangkis.
Kesulitan istrinya ini telah dilihat oleh Sunutama. Maka gerakannya makin nekad. Namun ini menimbulkan kelengahan, dan dua jurus kemudian, seperti sudah diramalkan oleh Tangan Iblis, Tangan Iblis menerkam pundaknya.
Plaak! "Aakh!"
Sunutama mengaduh pendek dan pandangannya menjadi kabur. Berbareng roboh pingsan, mulutnya menyebut nama istrinya, "Made Mayaaa. !"
"Kakang Sunutama...!" seru Made Maya kecemasan dan dengan marahnya ia mendamprat ke arah Nyi Durganti.
"Kalian jahat! Awas aku akan berteriak jika kalian tidak minggat dari tempat ini. Apakah kalian ingin berhadapan dengan Kakek Wiku Salaka dan pendekar-pendekar lainnya?!"
Mendengar ini Nyi Durganti secepat kilat menyapukan tangannya ke depan dan mengusap wajah Made Maya yang seketika jatuh pingsan di tangan Nyi Durganti.
"Nah, sekarang tempelkan surat peringatan itu!" seru Nyi Durganti kepada Tangan Iblis.
"Lekaslah, Ngger!"
Tangan Iblis pun cepat melemparkan sebilah pisau yang bertempelkan secarik kain bertulis ke arah sebatang pohon di pertamanan, sementara Nyi Durganti telah memondong tubuh Made Maya.
"Hei, keparat! Kalian mengacau!" jerit sesosok tubuh ramping bersenjatakan sepasang kipas perak di tangannya dan menyerang Nyi Durganti.
"Terimalah serangan si Putu Tantri ini! Heeitt!"
Nyi Durganti yang sakti itu tidak gugup sedikitpun. Ia cukup mengibaskan kepalanya sehingga rambutnya yang terurai panjang menghajar lengan Putu Tantri sampai gadis ini merasa kesakitan dan lumpuh sesaat. Kesempatan ini digunakan oleh Nyi Durganti dan Tangan Iblis untuk kemudian melesat ke atas genting dan berloncatan cepat ke arah selatan, kabur tanpa
menimbulkan suara.
"Toloooooong! Maling! Maliingng!" teriak Putu Tantri sambil mendeprok kesakitan di tanah, mengagetkan segenap isi rumah saudagar Wayan Arsana dan mereka berlarian ke arah taman, di mana satu tragedi di tengah kabut baru saja terjadi.
Sampai di sini selesailah seri Naga Geni "Tragedi di Tengah Kabut", dan segera akan menyusul seri Naga Geni, yakni "Berakhir di Ujung Fajar". Di situ akan kita ketahui nasib Made Maya selanjutnya, yang ternyata membawa serentetan peristiwa yang mengharukan, tegang dan sangat menarik.

SELESAI



INDEX NAGA GENI
Bukit Kepala Singa --oo0oo Berakhir Di Ujung Fajar
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.