Arca Ikan Biru
tanztj
August 16, 2016
INDEX NAGA GENI | |
Jejak Telapak Iblis --oo0oo Pendekar Empat Serangkai |
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo
--¤¤¦ « BAGIAN I » ¦¤¤--
Di depan pintu gerbang yang terpahat dari batu karang itu, masih terlihat dua orang yang bertanding mengadu tenaga dengan tangan kosong. Sedang di sekitar mereka masih berdiri belasan pasang mata yang mengawasi kedua tokoh tadi dengan pandangan melotot kagum dan takjub. Mereka ini adalah para pengikut Saudagar Arya Demung, yang dengan hati berdebardebar senantiasa mengikuti gerakan pemimpinnya yang lagi bertarung melawan Wasi Sableng, si jagoan kawakan yang berwatak aneh.
Arya Demung diam-diam merasa jengkel karena beberapa kali serangannya ke arah Wasi Sableng telah terpatah di tengah jalan. Tubuh lawannya itu seolaholah bagaikan bayangan yang bergerak berseliweran sangat cepatnya.
Apakah nantinya ia akan terpaksa mengaku kalah kepada Wasi Sableng di depan hidung anak buahnya ini? Rasa kekhawatiran ini sedikit banyak mempengaruhi gerakan tubuhnya, walau cuma sesaat saja.
"Sudahlah, Ki Saudagar! Serahkan saja sekantong uang dan selodong tuak kepadaku, agar Anda tidak susah-susah lagi mencucurkan keringat untuk permainan ini!" demikian seru Wasi Sableng, disusul ketawa mengkikik tak ubahnya seorang anak kecil yang mempermainkan jengkeriknya.
Seketika wajah Arya Demung diwarnai oleh warna merah, saking geram dan marahnya. Masakan seorang pendekar seperti dia tidak mampu mengalahkan seorang lawan seperti Wasi Sableng itu!? Bukankah nama Arya Demung telah terkenal malang melintang di daerah barat daya, sehingga akan memalukan kalau ia tak sanggup menanggulangi lawannya itu.
Maka sudah sewajarnya bila Arya Demung mengerahkan segenap tenaga dan ilmunya, guna menghadapi serangan-serangan Wasi Sableng yang gencar itu.
"Kau terlalu congkak, Sobat! Apakah kau akan sanggup menerima seranganku ini, haa?! Aeeittt!!!" teriak Arya Demung seraya melenting ke depan dengan melancarkan satu tendangan maut yang tak terhitung dahsyatnya, sampai menimbulkan suara berdesis.
Ternyata Wasi Sableng tergagap buat sesaat oleh datangnya tendangan kaki lawannya. Untung ia secara naluriah meliukkan tubuhnya ke samping, dan tendangan berat tadi nyaris menggampar bahunya.
"Huh, bertingkah juga kau!" desis Arya Demung bercampur kagum, dan secepat kilat iapun memutar gerakan tubuhnya sambil melancarkan kembali tendangan geledeknya dengan sebelah kakinya yang lain.
Wesss!!!
Sekali lagi Wasi Sableng melenting menghindarkan serangan itu dan tiba-tiba ia menerkam ke bawah dengan gerakan yang gesit.
"Haarrh?!" dengus Arya Demung sangat terperanjat, bila saja sesuatu yang kuat terasa telah menjepit lehernya, tak bedanya belitan belalai seekor gajah.
Tapi lebih terkejut lagi ketika ia melirik ke samping. Ternyata belitan yang menjepit lehernya itu, adalah belitan dari lengan si Wasi Sableng yang semula dianggapnya sebagai lawan yang ringan dan boleh disepelekan.
"Heh, heh, heh. Heh, heh, heh. Kegesitanmu tidak seberapa, Ki Saudagar!" gereneng Wasi Sableng seraya mencibir mencemooh.
Dalam pada itu, Si Mulut Bertudung, Klenteng dan segenap pengikut Arya Demung tampak bersiaga dan bergegas untuk menolong pemimpinnya yang kini telah diringkus lehernya oleh Wasi Sableng.
Namun mereka terperanjat ketika Arya Demung berseru lantang, "Kalian jangan bergerak! Ini adalah urusan kami berdua. Tak usah kamu cemas. Aku belum benar-benar kalah olehnya!"
Teriakan Ki Saudagar tadi cukup menakjubkan. Bukan saja bagi segenap anak buahnya sendiri, tapi lawannyapun ikut terkejut pula oleh hal itu.
Wasi Sableng mengerutkan dahinya dan ia berkata dalam hati, "Luar biasa! Dengan jepitan pada lehernya ia masih sanggup untuk berteriak begitu lantang. Satu tanda bahwa dia memiliki ilmu yang tinggi!"
Belum selesai Wasi Sableng menyadari rerasannya tadi, mendadak saja lawannya ini berteriak lagi, "Heei, kalian tak usah cemas, Anak-anak. Lihatlah dengan mudah aku akan melepaskan diri! Aku akan lolos dari tangan Wasi Sableng ini!"
Begitulah teriakan Arya Demung dan tiba-tiba ia berkomat-kamit lalu tubuhnya bergetar seperti orang terkena sakit demam, membuat Wasi Sableng ikut tergetar pula tubuhnya dengan satu ketakjuban yang tak terpahami.
Maka sesaat kemudian, entah bagaimana asal mulanya, Arya Demung tahu-tahu dapat meloloskan kepalanya dari kungkungan lengan Wasi Sableng, dibarengi teriakan mengagetkan,
"Hyaaatt... lepas kataku!".....
Hampir setiap mulut pada melongo ketika Arya Demung dengan mudah meloloskan diri tak ubahnya seekor belut yang lolos dari genggaman tangan manusia.
"Gerakannya dan tubuhnya licin bagaikan belut!" desis Wasi Sableng sambil ia mengejar gerakan tubuh lawannya dengan sebuah terkaman kilat.
Akan tetapi sekali ini, justru Wasi Sablenglah yang menjadi lebih terkejut, sebab begitu kedua tangannya terjulur dengan terkamannya ke depan, maka sepasang jari-jari tangan yang kokoh telah mengunci kedua pergelangan tangannya.
"Heei, kau...?!" seru Wasi Sableng sewaktu menyadari bahwa Arya Demunglah yang menangkap kedua pergelangan tangannya. Hampir-hampir ia tak dapat mempercayainya apa yang terjadi pada dirinya.
"Heh, heh, heh. Sekarang giliranku, Sobat!" kata Arya Demung sambil ia mengerahkan tenaganya untuk kemudian menghentakkan tubuh Wasi Sableng ke samping dengan kerasnya, sehingga tubuh lawannya tersebut terlempar dan terhempas bagaikan sebuah bola permainan.
Selintas saja dapat dibayangkan bahwa tubuh Wasi Sableng bakal rontok tulang-tulangnya akibat hempasan itu, jika seandainya ia tidak lekas-lekas mengatasi keadaan ini.
Dengan mengandalkan kelincahan gerakannya, Wasi Sableng membuat putaran tubuhnya di tengah udara, mematahkan tenaga serangan tadi dan betul-betul mirip dengan kelincahan seekor kera.
Bruuukkk! Kedua telapak kaki Wasi Sableng tepat mendarat dan berpijak di atas tanah dengan iringan suara berdebuk keras, bagaikan sepasang cakar garuda yang menancap ke bumi.
Itulah suatu hal yang luar biasa. Karenanya Wasi Sableng tetap tegak berdiri, tak seperti lawan-lawan Arya Demung yang lain, yang biasanya akan remuk untuk sekali banting saja. Korban-korbannya kebanyakan bertubuh ringsek. Kendatipun demikian, meskipun Wasi Sableng dapat mendarat kembali dengan selamat, namun ternyata bahwa kedua telapak kakinya telah amblas ke dalam tanah sampai ke batas mata kaki, disertai asap tipis mengepul ke atas.
Hati Wasi Sableng seketika mencelos setengah mati, mengalami hal seperti ini. Apa ini bukan berarti bahwa tenaga dalam dari Arya Demung yang melemparkannya berukuran kelewat hebat?!
Sementara itu, Arya Demung yang melihat ketangguhan Wasi Sableng terpaksa manggut-manggut gembira. Demikian pula Si Mulut Bertudung, Klenteng dan lain-lainnya sama-sama menarik napas panjang.
Biarpun lontarannya tadi tidak sampai mencederai lawannya, Arya Demung tidak menjadi berkecil hati, bahkan ia segera dapat meraba seberapa takaran tenaga lawannya ini. Maka semakin gembiralah dirinya, seandainya ia berhasil mengikat persekutuan dengan Wasi Sableng.
"Hmmm, cukup pantas orang ini bila menjadi sekutuku! Dengan bantuannya, pasti aku sanggup merebut Arca Ikan Biru yang sangat berharga itu," demikian pikir Saudagar Arya Demung sambil bersiap siaga kembali untuk menghadapi lawannya.
Biarpun ia sendiri tak kalah ilmunya, toh masih harus memperhatikan lawannya, serta berhati-hati sekali dalam mengambil langkah-langkah yang paling tepat, sebab dari gerakan tubuh Wasi Sableng yang tidak terlalu besar, cukup membuat debu-debu tanah mengepul ke udara. Satu pertanda bila Wasi Sableng ini bukan lawan sembarangan.
Bagi Arya Demung sendiri, hal ini merupakan tambahan pengalaman yang jarang ditemui, maka sudah seharusnya ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tadi.
Selama ini, ia telah menyusun diri dan kehidupannya dengan mengandalkan ilmunya sampai akhirnya ia dapat menjadi seorang saudagar yang kaya raya dan berpengaruh di daerah Asemarang. Perjumpaannya dengan Wasi Sableng ini merupakan kesempatan untuk menguji, sampai di manakah kelebihan dan kekurangan ilmunya selama ini.
Tak antara lama Arya Demung telah memulai lagi serangan-serangannya dengan bertangan kosong belaka. Gerakannya sangat cepat dan ia memutari lingkaran di mana tubuh Wasi Sableng berdiri. Inilah gerakan ilmu Lingkaran Roda yang mendasarkan gerakan berputar dengan kecepatan tinggi, sehingga akan membuat lawan yang dikitari akan menjadi pusing, dan di saat-saat demikian serangan penutup pasti akan berhasil merobohkan lawannya.
Kenyataannya memang demikian. Ketika Wasi Sableng melihat gerakan tubuh Arya Demung ini, mulai timbullah rasa peningnya. Untung saja pendekar yang angot-angotan ini masih bisa berpikir agak tenang.
"Huupp!" dengus Wasi Sableng seraya melenting keluar dari lingkaran gerak tubuh lawannya. Sayangnya terpaksalah mulutnya mencomel-comel, manakala Arya Demungpun menyusul gerakannya, dan ketika ia berhasil mendarat, tahu-tahu tubuhnya telah berada kembali di dalam kepungan tubuh Arya Demung yang senantiasa bergerak melingkarinya.
"Bukan main!" desis Wasi Sableng penuh kagum kepada lawannya. Tapi sekali lagi pendekar aneh ini berbuat seenaknya diri. Dengan tenangnya ia duduk di tanah sementara tangannya mengeluarkan seruas batang tebu dari balik baju dan membrakotinya. Terdengar mulutnya mencepak-cepak memamah serabutserabut tebu dan menghisap sari gulanya.
"Edan!" seru Arya Demung dalam gerakannya.
"Kau mengaku kalah, bukan!? Buktinya kau telah berhenti dan mendeprok di tanah!"
"Heh, heh. Siapa bilang aku telah kalah?! Itu kan mulutmu sendiri yang ngomong! Menyentuh tubuhku saja engkau belum mampu, kenapa sudah berani mengaku menang?"
"Lalu apa maksudmu dengan mengesot di tanah seperti itu!?" bentak Arya Demung jengkel. Sebab seolaholah lawannya telah tidak sudi lagi melayani serangannya. Bahkan ia telah berkesan bahwa dirinya yang selalu bergerak cepat mengelilingi kedudukan Wasi Sableng itu, kini menjadi bahan tontonan yang murah.
"Inipun termasuk salah satu silatku, Sobat!" seru Wasi Sableng dengan mengandung kelakar, meski itupun dianggap sesuatu yang luar biasa oleh lawannya.
"Lekas melawan aku!" Arya Demung berteriak.
"Atau kau harus dipaksa dengan tembakan panah dari orang-orangku?"
"Weh, weh, kau mulai tidak sabar, Sobat!?" ujar Wasi Sableng.
"Bagus! Bagus! Aku akan memenuhi keinginanmu!! Tapi lebih dulu sambutlah barang sampah yang tak berharga ini, sebab teriakanmu telah mengganggu seleraku dalam menikmati ruas-ruas tebu ini!! Hiaattt!"
Dengan gerakan gesit Wasi Sableng menimpukkan serabut-serabut sampah tebu ke segenap arah, di mana tubuh Arya Demung bergerak. Tentu saja Arya Demung tidak berani memandangnya remeh, sebab Arya Demung telah melihat sendiri, betapa pendekar angotangotan yang menjadi lawannya itu dapat merobohkan seorang anak buahnya dengan bersenjatakan seruas batang tebu saja! Apalagi kini! Arya Demung dapat melihat jelas bahwa serabut-serabut sampah tebu itu meluncur ke arah dirinya, bagaikan belasan jarum-jarum berbisa! Keruan saja Arya Demung menjadi kaget dan seketika melentingkan diri ke udara guna menghindari serabut-serabut tebu yang mengancamnya.
Wasi Sableng dapat melihat hal itu pula, ketika tubuh Arya Demung menghindari serabut tebunya, maka tanpa memberi kesempatan lagi iapun melesat ke udara menyambut gerakan tubuh lawannya.
Seketika itu pula terlihatlah dua tubuh manusia berpapasan di udara dengan serangkaian seranganserangan yang saling bergempur sangat seru dan mengagumkan!
Wesss. Plak! Plaakk! "Huuhh?"
"Hah, ha, ha, ha. Bagaimana, Sobat Demung? Apakah Anda telah puas?" seru Wasi Sableng sambil tertawa-tawa kesenangan. Sementara tangan kanannya melipat ke belakang tubuh.
"Asem! Memang aku telah puas dengan pertunjukanmu!" sahut Saudagar Arya Demung meringis.
"Tapi kau tak mampu menandingiku, bukan?! Ini merupakan ujung dari kekalahanmu...!"
Tangan kiri Wasi Sableng sibuk menggarukgarukkan kepala seraya berkata, "Mana boleh engkau berkata demikian, Sobat? Kau kira aku belum mampu menghilangkan kesombonganmu!? Heh, heh, heh, coba periksa barang-barangmu. Apakah tidak ada sesuatu yang hilang!?"
Kata-kata ini bagai sengatan lebah, terasa mengagetkan hati Arya Demung. Maka cepat-cepat ia memeriksa tubuh dan tiba-tiba berseru, "Kantong uangku! Heei, jatuh ke mana dia?"
"Weh, heh, heh. Ternyata kau sama gobloknya dengan diriku, Sobat!" dengus ketawa Wasi Sableng sangat riuhnya , lalu tangan kanannya yang melipat ke belakang ditunjukkannya ke depan, membuat Arya Demung dan para pengikutnya terbelalak kaget, sebab pada genggaman jari-jemari tangan Wasi Sableng tadi tergantunglah sekantong uang milik Arya Demung yang semula disangkanya jatuh! "Lihat ini, Sobat. Sekarang jadi milikku. Kau setuju, bukan!?"
Arya Demung masih ternganga dan sejurus kemudian berserulah ia, "Heh, jadi... jadi kau... curi kantong uangku itu, hah?! Hmm, bagus, bagus! Karenanya aku lebih senang seandainya Anda mau bergabung sebagai sahabatku, sebab aku bersedia membayarmu lebih banyak dari yang sekantong itu!"
"Uang ini akan kugunakan untuk membeli tuak dan anggur kesukaanku."
"Ha, ha, ha. Itu tak usah kau takutkan, Wasi Sableng! Di dalam rumahku tersedia beberapa tempayan dan gentong penuh berisi minuman yang lezat-lezat," ujar Arya Demung bergirang, sebab ia boleh berharap bahwa Wasi Sableng akan bersedia menjadi sahabat dan sekutunya.
"Kau tahu Sobat Wasi Sableng, bahwa kita mempunyai selera yang sama? Hih, hih, hih!"
"Jadi aku boleh minum sepuas-puasku!"
"Hi, hi, hi. Tentu saja boleh! Perutmu tidak akan sanggup menampung persediaan tuak dan anggurku."
"Baik. Jika kata-katamu itu dapat kupegang, aku bersedia mengikat persahabatan dengan dirimu!"
Arya Demung, Si Mulut Bertudung dan segenap pengikut mereka berjingkrak gembira mendengar pernyataan Wasi Sableng tadi. Seolah-olah mereka mendapat runtuhan gunung emas.
Dengan bergabungnya Wasi Sableng tadi, bolehlah diharap bahwa mereka akan jauh lebih kuat dan perkasa. Pendekar angot-angotan itu selain tangguh, juga memiliki kecerdikan-kecerdikan seperti terlihat, bahwa ia berhasil menyambar kantong uang Arya Demung selagi mereka berlintasan dan bergerak di udara beberapa saat yang lalu.
Bukankah itu semua merupakan satu kecerdikan dan kecepatan gerak yang sukar dicari tandingannya?! Satu kepandaian yang tidak dimiliki oleh setiap orang!
"Ha, ha, ha. Marilah Sobat Wasi Sableng. Silahkan masuk ke dalam pendapa rumahku untuk beristirahat dan mereguk anggur dan tuak persediaanku! Ayolah, Sobat!" seru Arya Demung serta merangkul pundak Wasi Sableng lalu diajaknya masuk ke dalam rumah pendapa, diikuti oleh Si Mulut Bertudung, Klenteng dan para pengikut lainnya. Mereka mengiringkan kedua pendekar jagoan itu dengan gembira.
Si Mulut Bertudung bergumam sendiri, "Hmm, ternyata Wasi Sableng nampak lebih hebat daripada saat ia bertempur melawan Bikhu Gandharapati di halaman rumah Ki Sungkana! Apakah ia menggembleng dan meningkatkan diri dalam waktu yang singkat. Atau memang sebenarnya justru Bikhu Gandharapati itu benar-benar seorang yang sakti mandraguna?"
Begitulah mereka akhirnya duduk-duduk di pendapa rumah Saudagar Arya Demung, sementara beberapa wanita pelayan yang masih muda tampil ke arah mereka dengan membawa lodong-lodong dan kendi keramik berisi minuman.
Tawa riang dan penuh kegembiraan bergema di ruangan itu, apalagi para wanita belia itu melayani minuman sambil tersenyum-senyum gairah penuh pesona.
Wasi Sableng bahkan berusaha menarik pinggang salah seorang wanita tadi, tapi Arya Demung mencablek tangan sahabatnya seraya berkata lirih, "Husss, jangan keburu nafsu, Sobat! Bersabarlah. Engkau toh akan mendapat salah satu di antara mereka nanti! He, he, he!"
Ruangan itu makin tergetar oleh suara tawa dan obrolan dari mereka yang minum-minum dengan puas, melicin-tandaskan semua minuman yang tersedia di situ.
Sementara itu, jauh di tempat lain, di Dusun Peterongan, terlihatlah satu ketenangan yang meliputi segalanya. Pohon-pohon bergoyang tertiup angin pagi yang sejuk dan segar. Beberapa ekor burung berkejaran di sela-sela dedaunan dengan kicau kegembiraan.
Dari sebuah kandang di belakang rumah, muncullah seorang anak laki-laki kecil berumur kurang lebih sembilan tahun. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk pendek, untuk penggiring lima ekor kerbau yang telah berjalan di depannya. Sebentar anak itu melihat ke samping rumah.
"Ayo, Ayunda Tuntari! Kita berangkat sekarang. Kan kerbau-kerbau ini telah rindu untuk berkubang dan memamah rumput hijau?!" ujar anak laki-laki tadi kepada seorang gadis yang lagi memutar-mutar tongkat hitamnya. Tampaknya ia tengah melatih jurus-jurus silatnya.
"Ayunda ternyata lebih mencintai tongkat itu daripada diriku! Huhh!"
Berkata begitu, anak laki-laki sembilan tahun itu tak ketinggalan mencungir-cungirkan hidung dan bibirnya untuk menggoda kakak perempuannya tadi. Meski berkesan nakal, tapi menimbulkan pula kesankesan lucu yang segar.
"Hai, kau berani menggodaku, bocah nakal!" dengus Tuntari seraya meloncat ke arah anak tersebut dengan cepatnya. Tahu-tahu, entah bagaimana mulanya, tangan Tuntari telah menjewer telinga si bocah nakal.
"Hayo, Mundong, coba kau berani nakal lagi?!"
Bocah yang bernama Mundong tidak berani melawan dan cuma menggebruk-gebrukkan kedua kakinya berganti-ganti ke tanah seraya mulutnya pecucapecucu.
"Ngengng, Ayunda cuma berani sama adik... itu tandanya Ayunda tidak sayang kepadaku "
Tuntari cuma tersenyum geli dan gemas. Ia tahu bahwa jewerannya terhadap telinga adiknya itu hanyalah berpura-pura saja, dan yakin tidak menyakitinya. Tapi kenyataannya, si Mundong telah bersikap benarbenar kesakitan, sehingga hal ini menyebabkan Tuntari kegelian dibuatnya.
Kemudian gadis bertongkat hitam itu memeluk adiknya seraya mencium pipinya sambil berkata, "Nih, siapa bilang Ayunda tidak menyayangi adiknya. Nah, kau berangkatlah lebih dahulu, Anak manis, nanti ayunda akan menyusulmu!"
Mundong tersenyum-senyum, demi ayundanya berkata demikian dan terasa bahwa jari-jari kakaknya menggosok-gosok rambutnya yang hitam mulus. Satu kesayangan seorang kakak terasa olehnya.
"Baiklah, Ayunda! Aku berangkat duluan!"
Tuntari tersenyum kecil, begitu si Mundong menyusul kerbau-kerbau yang berlenggang perlahan dan kemudian meloncat gesit ke atas punggung dari salah seekor kerbau itu. Sekali lagi si Mundong melambailambaikan cambuknya ke arah kakaknya, dan gadis inipun membalas dengan lambaian tongkatnya.
Kini Tuntari melangkah perlahan ke arah pendapa rumah itu, sambil menyelipkan tongkat hitamnya ke ikat pinggang. Ketika ia menoleh ke arah timur, dilihatnya si Mundong bersama lima ekor kerbau itu telah melewati rumpun bambu.
Dengan menghela napas, gadis itu mendekati halaman pendapa, di mana seorang laki-laki setengah tua tengah meneliti dan mengamat-amati sebuah benda di tangannya yang berwarna biru cemerlang, berbentuk ikan.
"Arca Ikan Biru!" gumam Tuntari perlahan sambil mendekati pendapa tadi. Sejenak ia teringat betapa terharunya sewaktu menerima benda berharga itu dari tangan Ki Sungkana yang dalam keadaan luka-luka.
"Heh, mudah-mudahan Paman Sungkana sembuh kembali."
Laki-laki setengah tua tersebut cepat-cepat memalingkan kepala, begitu telinganya menangkap langkahlangkah halus dari samping rumah.
"Haaa, kau Tuntari. Adikmu sudah berangkat?" bertanya laki-laki tersebut yang tidak lain adalah Ki Demang Cundraka.
"Sudah, Ayah! Sebentar lagi aku akan menyusulnya," sahut Tuntari seraya mengambil tempat duduk di samping Demang Cundraka.
"Apakah Ayah telah memeriksa Arca Ikan Biru itu?"
"Mm, sudah... sudah. Tapi aku tak tahu, di mana letak nilai dan kepentingannya sampai benda ini diincar oleh banyak orang," desah Demang Cundraka, seraya mengangkat Arca Ikan Biru dan menentangkan benda tersebut ke arah luar, di mana sinar matahari mulai memancar dari tepi langit.
"Apakah Ayah tidak cukup hanya menyerahkan benda ini ke Demak tanpa mengutik-utiknya?" bertanya Tuntari.
"Memang itu yang baik. Namun aku tak mempunyai maksud jahat, jika berkeinginan mengetahui selukbeluk dari Arca Ikan Biru ini," sambung ayah Tuntari.
"Jika aku berhasil mengetahuinya, setidak-tidaknya akan tahu betapa penting dan harus kujaga matimatian dari setiap bahaya."
"Apakah tidak mungkin bila Arca Ikan Biru ini benar-benar sekedar permata berukir yang berbentuk ikan?" bertanya Tuntari.
"Itupun mungkin, Angger," jawab Demang Cundraka.
"Karenanya aku harus memeriksanya seteliti mungkin." Tuntari menghela napas, mengetahui betapa Arca Ikan Biru ini merupakan barang penting yang harus diserahkan segera ke Demak, seperti permintaan Ki Sungkana kepada ayahnya ini.
"Ehh," desah Tuntari.
"Permisi Ayah, aku harus menyusul adik Mundong dengan kerbau-kerbaunya!" Sambil berkata Tuntari mengundurkan diri dari tempat duduknya.
"Ya, ya. Hati-hatilah engkau mengawani adikmu, Tuntari!" ujar Demang Cundraka seraya tersenyum gembira. Ia menatap ke arah halaman dan tampaklah betapa anak puterinya itu meloncat-loncat gesit ke arah timur dengan gerakan gesit bagai belalang bercanda.
Sesaat kemudian Demang Cundraka telah sibuk kembali memeriksa Arca Ikan Biru yang masih berada di tangannya. Kadang-kadang ditimangnya benda ini dan sebentar kemudian diterawangkannya kembali ke arah luar.
"Hhh, sampai di mana benda ini dinyatakan sebagai benda berharga. Aku harus berhasil memecahkannya. Harus!" kembali mendesah Demang Cundraka karena rasa keinginan-tahunya tentang seluk-beluk benda yang berada di tangannya.
Memang ia melihat bahwa antara ukiran kepala dan bentuk tubuh dari Arca Ikan Biru ini, terdapat satu guratan yang dalam, seolah-olah memisahkan bentuk kepala dan tubuh.
"Ini memang garis insang yang aneh!" desis Demang Cundraka, dan ketika ia berulang menerawangkan bentuk itu ke arah cahaya matahari, tampaklah bahwa pada bagian dalam atau bagian perut dari Arca Ikan Biru ini sangat gelap, sedang bagian lain dan tepinya kelihatan terang karena tembus cahaya!
"Rupanya ada sesuatu di dalam Arca Ikan Biru ini!" gumam Ki Cundraka seraya menarik bagian kepala dan bagian tubuh arca tersebut ke arah yang berlainan.
Tapi semua itu sia-sia saja, sebab benda tersebut tetap tak bergeming sedikitpun, seolah-olah memang bagian kepala dan tubuhnya benar-benar menjadi satu, merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Hal ini tidak membuat Demang Cundraka berputus asa, dan ia berpikir lebih-keras lagi.
"Kalau dengan gerakan mencabut dan menarik tidak berhasil, bagaimana jika kurobah dengan gerakan memutar kepala?"
Mula-mula Demang Cundraka memutar kepala arca ikan ini ke kanan, tapi tetap tak bergerak sedikitpun. Maka dirobahnya dengan putaran ke kiri, dan ternyata bagian kepala arca ikan itu bergerak!
"Huh?" desis Demang Cundraka kaget, maka diteruskannya memutar bagian kepala tadi terus ke kiri diiringi hati yang berdebar-debar sangat kerasnya.
Bagian kepala arca ikan itu makin memisah, sementara guratan batas leher atau insang tadi semakin melebar. Rupanya, bagian kepala dan tubuh memang dihubungkan oleh sebuah bagian membuat seperti sekerup, sehingga benda ini hanya dapat dipisahkan dengan cara memutar, jadi bukan dengan cara menarik dan mencabutnya.
Tak lama kemudian, terpisahlah bagian kepala dengan badan, dan ini membuat Demang Cundraka bergemetaran tangannya. Lebih-lebih sewaktu ia melihat bahwa lobang pada bagian badan arca ikan itu menyimpan segulungan kain berwarna putih.
Dengan hati-hati, dipungutnya gulungan kain tersebut dari tempatnya, yakni dari lobang perut arca ikan ini! Kemudian dibukanya pelahan-lahan. Di situ terdapat tulisan yang dapat dibacanya dengan jelas, meskipun belum keseluruhannya dibaca. Dilihatnya lebih teliti lagi seperti tak mau percaya untuk menerima begitu saja, apa yang tertulis di situ.
"Bahaya tengah mengancam kota Asemarang!" desis Demang Cundraka gemetar. Cepat ia meraih ledeng berisi air minum di sampingnya untuk direguk guna menghapus kekagetannya.
Hampir-hampir Demang Cundraka tak dapat mempercayai apa yang diketemukannya ini. Ia tak mengira sama sekali bahwa ketika bagian kepala dan perut dari Arca Ikan Biru ini dapat dipisahkan, ternyata di dalamnya berisi gulungan kain dengan sebuah tulisan yang membuat Demang Cundraka menjadi gemetar.
"Orang-orang Rikma Rembyak akan menyerang bandar Asemarang...!" desis Demang Cundraka begitu mulutnya mengeja huruf-huruf yang tertulis di situ.
"Mereka datang pada saat bulan purnama penuh. Mmmm, berarti saat ini masih berapa pekan lagi datangnya...!"
Demang Cundraka masih termangu-mangu seraya memegangi Arca Ikan Biru dan surat rahasia tadi. Gumamnya terdengar kembali.
"Pantaslah bila Ki Sungkana pernah menceritakan kepadaku bahwa benda ini sangat penting dan harus segera aku serahkan ke Demak. Tak tahunya benda ini jauh lebih berharga daripada dugaanku semula."
Kemudian Demang Cundraka memasukkan kembali gulungan surat tadi ke dalam rongga perut dari Arca Ikan Biru dan menyumbatnya dengan bagian kepala, sehingga benda tersebut menjadi utuh seperti sedia kala, merupakan sebuah patung ikan berwarna biru kemilauan.
"Tak mengherankan pula benda tersebut telah menarik beberapa orang untuk memilikinya, seperti peristiwa yang telah menimpa Ki Sungkana beberapa hari yang lalu. Tetapi... apakah maksud mereka sebenarnya? Apakah mereka sekedar mengingini bahan patung ikan yang terbuat dari batu permata biru laut ini? Memang bahan patung ini sangat mahal harganya, dan jarang sampai dijumpai yang seindah ini! Ataukah mereka mungkin pula mengetahui letak kepentingan dari Arca Ikan Biru ini? Yakni pada surat rahasia ini? Hehh, cukup memusingkan... tapi yang terang, benda ini harus segera kuserahkan ke Demak!"
Dengan hati-hati Demang Cundraka membungkuskan patung ikan itu dalam selembar kain sutra biru dan dimasukkannya ke dalam peti kayu berukir.
Suasana sekeliling masih tampak sepi dan ruangan di mana Demang Cundraka berada seolah dicengkam oleh kebisuan abadi. Hanya bunyi gemerisik dedaunan yang disapu angin terdengar dari luar rumah diseling oleh kicauan burung-burung yang berkejaran di sela dedaunan.
Memang Ki Demang Cundraka harus segera menyerahkan benda tersebut ke Demak agar segera sesuatunya menjadi kian jelas. Biarpun begitu, satu rasa kesangsian menyelinap di dalam dadanya, sehingga sebentar ia menarik napas karena keresahannya itu.
Pangkal keresahan itu sebenarnya adalah Arca Ikan Biru yang kini berada di tangannya. Benarkah bahwa surat tersebut mempunyai tujuan seperti apa yang tertulis di situ? Ataukah hanya merupakan sebuah siasat saja untuk menimbulkan kekacauan?
Dan lagi, siapakah sebenarnya yang bernama Tangan Iblis, seperti yang disebut-sebut dalam surat itu? Demang Cundraka sama sekali belum mengenal nama tersebut. Beberapa deretan nama tokoh-tokoh sakti dan persilatan telah dikenalnya, namun nama Tangan Iblis masih baru dan sangat asing baginya!
Panembahan Tanah Putih, si kakek yang berilmu tinggi itu, telah dikenalnya. Juga nama-nama seperti Ki Kebo Kenanga, Jaka Tingkir, Kyai Paku Waja, Kyai Kendil, Wesi Mahesa Wulung dan lain-lainnya. Begitu pula dengan beberapa tokoh golongan hitam yang telah mati, ia masih mengingatnya dengan jelas, antara lain, Ki Topeng Reges, Singalodra, Ki Macan Kuping, dan sebagainya.
Maka jelaslah bahwa nama Tangan Iblis masih sama sekali baru baginya dan merupakan satu teka-teki yang memusingkan. Pengalamannya yang selama ini telah dikumpulkan masih belum mencukupi untuk mengenal tokoh yang tersebut di dalam surat rahasia itu, dan tetap gelaplah nama Tangan Iblis bagi Demang Cundraka.
--¤¤¦ « BAGIAN II » ¦¤¤--
Memang lebih beruntung bagi Wasi Sableng untuk bersekutu dengan saudagar tersebut, dan keduanya merupakan pasangan yang cocok dan saling menguntungkan.
Bila Arya Demung mendapatkan kesulitan, maka Wasi Sablenglah yang mendapat tugas untuk membereskannya, dan sebaliknya bila Wasi Sableng membutuhkan sesuatu, maka saudagar itulah yang memenuhinya. Maka tak ubahnya Wasi Sableng sebagai seekor jago aduan yang setiap kali bertarung untuk tuannya.
Hari itu, seperti biasanya berlangsunglah acara minum-minum di ruang pendapa Arya Demung, Ki Saudagar itu sendiri duduk di situ bersama Wasi Sableng, Si Mulut Bertudung dan para pengikutnya yang lain.
"Hayo, habiskanlah tuak-tuak itu, Sobat!" seru Arya
Demung.
"Hari ini aku banyak mendapat keuntungan dari barang daganganku."
Cleguk... cleguk... cleguk.... Wasi Sableng dengan lahapnya meneguk selodong tuak dan sejurus kemudian iapun berkata, "Hee, jangan khawatir hidanganmu akan tersisa, Ki Saudagar! Apa yang dapat kau keluarkan, tunjukkanlah supaya aku dapat mengenyamnya!"
"Ya, ya. Kau harus makan banyak, Sobat. Tugastugas yang lebih berat akan segera sampai kepada kita," demikian sahut Arya Demung.
"Tapi sayang, ada sesuatu yang kurang lengkap," ujar Wasi Sableng seraya menyeringai lucu ke arah Saudagar Arya Demung di sampingnya.
"Hehh!? Ada yang kurang!? Apakah itu!?"
"Pelayan-pelayan wanita cantik itu belum muncul. Tanpa mereka, ruangan ini menjadi hambar rasanya."
"Ooo, itu mudah saja," sahut Arya Demung seraya bertepuk tiga kali, dan berlarianlah beberapa wanita genit dari balik tirai sutera pintu di samping pendapa, tak ubahnya beberapa orang bidadari yang muncul dari balik sela awan lembayung. Maka suasanapun makin bertambah meriah.
Ruangan pendapa itupun masih diliputi oleh gelak ketawa dan bau tuak yang menghambur di udara, seolah-olah hanya kegembiraan belaka yang mengisi kehidupan mereka. Sedang para wanita genit pengantar hidangan itupun telah pula ikut terjun di antara mereka dengan menikmati hidangan yang melimpah ruah di atas meja-meja panjang berkaki pendek.
Hanya seorang wanita saja yang tampaknya tak terhanyut oleh kegembiraan tersebut. Dengan tenangnya ia tetap bekerja mengantarkan hidangan-hidangan yang perlu ditambahkan dan mengumpulkan lodonglodong tuak serta pinggan mangkuk yang telah kosong. Rupanya saja wanita itu menarik perhatian bagi Wasi Sableng, yang sejak tadi selalu mengincar dengan lirikan matanya. Yah, sungguh aneh, bukan, bahwa wanita itu seakan-akan tidak menggubris akan pesta
gembira itu?
Perawakannya yang genit dengan wajah yang lonjong benar-benar merupakan perpaduan tepat. Di atas matanya yang berbulu melengkung itupun terdapat sepasang alis yang tebal hitam, seolah melambangkan kekerasan yang sukar diduga.
Perhatian Wasi Sableng tak lepas-lepasnya dari si genit beralis tebal itu. Sesungguhnya baru kali ini ia melihat wanita yang cantik itu menurut ukurannya. Maka tak ayal lagi, ketika si genit itu berlalu di sampingnya, Wasi Sableng segera menyambarkan kedua tangannya ke arah pinggang si pelayan untuk memeluknya.
Wesssttt, plaaak! "Uuuahhh...?"
Wasi Sableng terkejut bukan main dan mulutnya berkomat-kamit menahan marah disertai rasa kagum yang sangat besar. Sebab ketika kedua tangannya hampir mencapai pinggang si genit, mendadak saja si pelayan itu melegoskan pinggangnya, dibarengi tangan kirinya yang menggenggam selembar sapu tangan menyapu ke samping dan mencegat gerakan tangan Wasi Sableng.
Biarpun gerakan tadi dalam gaya yang gemulai, namun cukup hebat akibatnya. Oleh Wasi Sableng tangannya seolah-olah telah ditampel dengan sebilah lempengan benda keras, sehingga mulutnya meringis menahan rasa sakit yang menyengat-nyengat pada kedua belah tangannya. Yang membuat Wasi Sableng lebih melongo adalah sikap si genit itu. Seolah-olah ia tidak mengetahui bahwa orang yang baru saja ditampel dengan sapu tangannya itu telah peringisan menderita sakit.
Masih dalam ketidak-percayaannya akan kenyataan itu, sekali lagi Wasi Sableng meraihkan kedua tangannya ke pundak si genit beralis tebal yang masih berdiri di situ sambil mengerling dengan sudut matanya ke arah Wasi Sableng.
"Ehh, sabar, Tuan," desis si genit sambil memiringkan tubuhnya diiringi senyuman sinis dan tahu-tahu jari-jarinya telah mencubit lengan si Wasi Sableng.
"Huuaaduuhh!" seru Wasi Sableng kesakitan, sebab dirasanya cubitan tadi sekeras paruh burung betet yang mematuk, dan buru-burulah Wasi Sableng menarik kedua tangannya.
"Keparat! Kau menghinaku!?"
Arya Demung dan lain-lain yang menyaksikan kejadian, pada tertawa terbahak-bahak kegelian. Tapi justru ini pulalah Wasi Sableng menjadi semakin beringas dan marah. Hanya Arya Demung sendiri yang dapat memaklumi siapakah sebenarnya si genit itu, sampai ia berani menolak tangan Wasi Sableng yang bermaksud memeluknya.
"Heh, he, he, ayolah sobatku Sableng! Tangkaplah si genit itu kalau engkau ingin memeluknya. Aku ingin tahu apakah Sobat masih cukup lincah untuk itu?!" ujar Arya Demung disertai tawa yang beruntun.
"Hee, Sobat ingin mengujiku?" seru Wasi Sableng sambil mencereng tajam ke arah sahabatnya, karena sedikit banyak ia merasa tersinggung oleh kata-kata itu.
"Hooo, janganlah sobatku Sableng berhati sekaku tangan tombak. Anggaplah ini sebagai permainan yang segar. Nah, tangkaplah si genit itu sekarang juga!"
"Bagus! Dan kau akan menghadiahi apa, jika aku sampai berhasil menangkapnya?" seru Wasi Sableng.
"Heh, heh, heh, sekantong uang emas utuh itu!"
ujar Arya Demung sambil mengguncang-guncang sepundi uang emas yang dikeluarkan dari balik bajunya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menangkapnya!" geram Wasi Sableng sekaligus melesat menubruk ke arah si genit beralis tebal itu.
"Hyaaattt!"
Terkaman Wasi Sableng memang tidak begitu hebat, sebab ia telah yakin bahwa dengan sekali tubruk saja, pasti ia dapat menangkapnya.
"Hi, hi, hi, meleset!" ujar si genit seraya meloncat ke samping, dan akibatnya Wasi Sableng hampir saja tersungkur di atas lantai pendapa yang mengkilat itu.
Untung saja si jagoan itu cepat-cepat memutar gerakan-gerakan tubuhnya untuk mematahkan tenaga dorongan dari dirinya sendiri.
Kini Wasi Sableng mengambil ancang-ancang sambil menatap ke arah si genit yang berdiri melengganglenggok sementara jari-jarinya mempermainkan saputangan biru dengan gerakan gemulai.
Tak ketinggalan pula si genit melontarkan senyuman sinis ke arah Wasi Sableng dan karenanya pula Wasi Sableng merasa bahwa si genit itu telah menggodanya.
"Menjengkelkan!" gumam Wasi Sableng.
"Ia mempermainkanku? Apakah aku tak sanggup menangkapnya?" Wasi Sableng berdesah dan menyungarnyungirkan hidungnya, lantaran bau harum semerbak turut menghambur bersama goyangan sapu tangan biru di tangan si genit itu.
"Hiihh! Sekarang rasakan!" seru Wasi Sableng seraya menerkam ke depan dengan jari-jari mengembang tak ubahnya sepasang cakar garuda yang siap beraksi. Wuuutt…! Sambaran tersebut berlalu ke arah si genit dengan hebatnya dan tampaknya pastilah sasaran itu akan teringkus seketika.
Namun tidak demikian kiranya. Si genit secepat kilat berjongkok serendah mungkin dan tangan kirinya tahu-tahu menyodok ke arah lambung Wasi Sableng.
"Wah, berbahaya!" gumam Wasi Sableng, sekaligus membuang diri ke samping dan bergulingan di lantai sangat cepatnya, tanpa memperdulikan guruh ketawa dari orang-orang di sekitarnya. Yang teringat hanyalah keselamatan dirinya dari sodokan tangan kiri si genit itu.
Akan tetapi hati Wasi Sableng mencelos seketika. Sewaktu ia melenting berdiri, ternyata si genit telah berada di samping, dan tangan kanannya yang menggenggam sapu tangan biru itu serentak mengebut ke arahnya diiringi bunyi menjetar keras.
Dengan kekagetan yang luar biasa, Wasi Sableng melesat ke udara menghindari sapu tangan itu yang mematuknya bagai seekor ular ganas memburu mangsanya.
"Luar biasa!" desis Wasi Sableng penuh keheranan dan rasa jerih.
"Siapakah dia ini? Bukankah ia juga seorang pelayan yang mengatur hidangan!?"
Pada jarak yang cukup jauh, Wasi Sableng mendarat di lantai, disertai dada yang kembang kempis. Cepat ia bersiaga kembali. Gerutunya, "Bagus! Jika dengan cara yang halus ia sukar ditangkap, dengan cara keraslah ia akan kutundukkan!"
Bagi Wasi Sableng, tindakan si genit yang beberapa kali menghindari tangkapannya benar-benar menjengkelkan. Tapi lebih memanaskan hati Wasi Sableng adalah kelancangan si genit yang berani menyerangnya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Wasi Sableng menerjang ke depan. Tangan keduanya menerkam, sementara kaki kanan menyapu ke arah tubuh si genit, dengan harapan bila si genit itu jatuh maka ia akan meringkusnya.
Tapi apa yang terjadi? Dalam gerakan tenang, si genit menangkis sambaran kaki Wasi Sableng dengan tebasan telapak tangan kirinya. Blaaakk…! Dan selanjutnya dengan gesit ia melenting ke udara sehingga Wasi Sableng tak berhasil dengan terkaman tangannya.
"Heei, dia bukan pelayan sembarangan!" desis Wasi Sableng tak habis herannya.
"Jadi dia sengaja ingin mencoba kekuatanku!"
Belum habis Wasi Sableng merenungi si genit tadi, mendadak saja lawannya itu menyerbu ke arahnya. Sapu tangan biru di tangannya menyambar bagaikan kilat cepatnya dan Wasi Sableng benar-benar terkesiap setengah mati.
"Hihh!" Wasi Sableng ganti menebaskan pukulan telapak tangannya ke samping. Ia bertekad untuk memegat gerakan sapu tangan si genit, dan jika mungkin merebutnya.
Blaashh…! Satu bentrokan lemah tapi berhawa panas terjadi ketika tangan Wasi Sableng berbentur dengan sapu tangan si genit.
Sambil mengibaskan tangannya yang seperti tersentuh bara api, Wasi Sableng ganti menyodokkan tangan kirinya ke depan menerjang ke arah lambung si genit.
Akan tetapi, si genit beralis tebal itu meloncat ke atas dan kaki kirinya tanpa terduga menyapu ke arah pundak Wasi Sableng dalam serangan kilat.
Tak ada pilihan lain bagi Wasi Sableng, selain menerjang kaki si genit dengan geprakan tangan kanannya sehingga benturan terjadi cukup kerasnya.
Satu hal yang benar-benar mengagumkan adalah gerakan si genit. Begitu kaki berbentur, tubuhnya menggeliat melenting menjauhi Wasi Sableng dengan sangat lincah bagaikan gerakan udang di atas air. Suara ketawa riuh menggema di ruangan pendapa rumah Arya Demung karena pertandingan tersebut. Bahkan saking terpikatnya oleh hal itu, Arya Demung selalu menggebrak-gebrak meja panjang di depannya seperti memberi semangat dan irama bagi kedua tokoh yang tengah bertanding di depannya.
Si Mulut Bertudung sendiri ikut tercekat kagum oleh gerakan si genit, sebab selama ini setiap pelayan di rumah Arya Demung selalu bersedia melayani tamunya, dan soal dipeluk bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka. Namun si genit itu berani menentang kehendak Wasi Sableng, bahkan kini berani bertarung mengadu tenaga. Selintas lalu si Mulut Bertudung ini jadi teringat dengan Tuntari, si pendekar puteri yang pernah bertempur melawannya di halaman rumah Ki Sungkana beberapa waktu berselang.
"Hmm, ternyata puteripun sanggup bertarung dan memiliki kesaktian pula. Tapi siapakah si genit itu sesungguhnya? Aku hanya tahu bahwa dia seorang anggota baru di rumah ini, dan namanya, sama sekali aku belum tahu. Hmm, menilik gerak-gerakannya, ada jurus-jurus yang mirip dengan jurus milik Ki Saudagar Arya Demung!"
Kedua orang itu makin bergerak serang-menyerang dengan cepatnya, sampai kadang-kadang sukar ditangkap oleh mata orang-orang yang melihatnya. Mereka bergerak ke sana-ke mari tak ubahnya dua ekor jago yang lagi berlaga memperebutkan kemenangan. Sapu tangan biru milik si genit senantiasa mematukmatuk ke arah pertahanan Wasi Sableng yang kosong. Gerakannya sangat cepat, sehingga selintas yang tampak adalah sinar-sinar biru yang menyambar-nyambar ke arah Wasi Sableng.
Dapat dibayangkan, seandainya bukan Wasi Sableng yang menghadapi serangan tersebut, pastilah sudah menggeletak orang itu sejak tadi karena terkena hajaran sapu tangan biru dari si genit.
Wasi Sableng makin terbuka matanya begitu merasakan terjangan-terjangan si genit yang semula cuma dipandangnya dengan sebelah mata saja. Tak tahunya wanita itu sanggup melawannya sampai beberapa jurus, dengan serangan-serangan yang gencar menggiriskan.
Sekarang juga Wasi Sableng tak mau membuangbuang waktu lagi. Lawannya itu sanggup mengatasi serangannya lantaran ia membekal sapu tangan biru, maka bagi Wasi Sableng sendiri iapun tak ayal lagi untuk melolos sesuatu dari balik bajunya, membuat semua mulut berteriak kaget dibarengi bulu kulit mereka pada berdiri mengkirik seperti melihat hantu di siang hari.
"Ular weling!"
Yah, begitulah memangnya. Benda yang dilolos oleh Wasi Sableng dari balik bajunya, tidak lain adalah seekor ular weling yang kulitnya berbelang-belang hitam dan putih kekuningan, salah satu jenis ular berbisa yang ditakuti orang.
Sedang Wasi Sableng sendiri cuma cengar-cengir ketawa lantaran ular weling ini adalah salah satu sahabat atau binatang kesayangannya. Sejenak kemudian, Wasi Sableng menatap ke arah Arya Demung sambil berseru, "Sobat Demung! Lekas katakan kepadaku, sebelum aku marah benar-benar. Siapakah sebenarnya si genit ini?!"
Arya Demung tertegun sesaat lalu menyahut, "Baiklah kalau engkau ingin mengenalnya. Dialah yang bernama si Teja Biru, salah seorang pendekar undangan dari daerah barat yang datang bergabung kepada kita!"
"Hee, jadi mengapa dia menyaru dan ikut mengatur hidangan seperti pelayan-pelayan itu semua?! Tambahan lagi, mengapa engkau tidak memperkenalkan si genit itu sejak tadi, sampai kami terlibat dalam pertarungan ini!?"
"Jangan gusar, Sobat Sableng! Itu semua adalah kehendaknya sendiri. Ia memang mempunyai caracara yang aneh untuk memperkenalkan diri, seperti caranya yang menyamar sebagai pelayan hidangan tadi," demikian ujar Saudagar Arya Demung menjelaskan.
"Hmm, kalau begitu ia sengaja mengelabui diriku? Keterlaluan! Dia harus membayar kerugian kepadaku untuk kekurangajarannya!" bentak Wasi Sableng seraya menatap ke arah si genit Teja Biru tajam-tajam.
"Heh, heh, heh. Kau boleh bertanya sendiri kepadanya, Sobat!" sahut Arya Demung kemudian.
"Apakah dia bersedia membayar kerugian itu atau tidak."
"Heei, Teja Biru! Lekas katakan, apakah engkau bersedia membayar kerugian itu!" kembali Wasi Sableng membentak keras-keras sementara ular weling di tangan kanannya menggeliat-geliat menjijikkan.
"Hih, hi, hi. Mana boleh ada yang untung rugi di sini? Apakah kita telah berjual beli di tempat ini?" balas Teja Biru dengan sindiran yang tajam memanaskan telinga.
"Aku sengaja ingin berkenalan dengan kamu, Sobat!"
"Tapi dengan cara yang menyakitkan hati?" balas Wasi Sableng.
"Tidak! Kau harus kuhukum untuk itu!"
"Hi, hi. Jangan terlalu gegabah mengancamku. Hukuman apa yang kau maksudkan?!" sahut Teja Biru seraya berlenggak-lenggok genit seraya menggoyangkan sapu tangan birunya yang berbau harum itu. Pendek kata, seolah tingkah Teja Biru ini sangat memikat dan menggairahkan, sehingga tak mengherankan bila Wasi Sableng menghadapinya dengan beringas dan hati yang kembang-kepis. Belum pernah ia dipermainkan dan digoda oleh wanita secantik si genit Teja Biru ini.
"Kau... kau...," seru Wasi Sableng dengan perkataan
yang sukar, gara-gara nafsu amarah yang bercampur aduk dengan rasa kegilaan untuk mendapatkan si genit beralis tebal, berambut hitam mengombak itu.
"Kau…, kau harus melayani semua perintahku! Itulah hukuman bagimu!"
"Hi, hi, hi, hi. Mudah sekali kata-katamu. Kau boleh menghukumku jika aku telah dapat kau kalahkan dalam pertarunganku ini nanti!" ujar Teja Biru seraya bibirnya mencibir dan memerot ke sana-ke mari dalam gaya yang menjengkelkan tapi memikat, membuat hati Wasi Sableng makin gulung-koming.
"Dan sebaliknya, apa jadinya jika engkau yang kukalahkan?!"
"Kau boleh menghukumku, dan aku bersedia mengerjakan segala perintahmu!"
"Bagus. Itu perkataan seorang jagoan yang sejati!" sambung Teja Biru.
"Ayo kita mulai bertarung! Aku sengaja ingin mencoba kegagahanmu dan sedikit mendapat pelajaran dari seorang pendekar jagoan yang bergelar Wasi Sableng!"
"Hmm, aku sudah dapat membayangkan, bahwa engkau akan segera dapat kukalahkan dan kupeluk dengan kedua belah tanganku yang kokoh ini!"
"Sambutlah ini!" seru Teja Biru. Serentak sapu tangan biru di tangannya melecut ke arah dada Wasi Sableng dengan bunyi menjetar nyaring. Taaarr…!
"Asem! Dia telah menyerang lagi!" desis Wasi Sableng seraya meloncat mundur dan ganti menyabetkan ular weling di tangan kanannya ke samping tepat ketika Teja Biru telah mengejarnya ke situ.
"Heeit!"
Teja Biru mendesah kaget. Naluri kewanitaannya yang biasa jijik menghadapi binatang-binatang sebangsa cacing, tikus, ulat dan ular membuat ia merasa jerih menghadapi ular weling di tangan Wasi Sableng. Beruntung bahwa ia menggenggam sapu tangan biru, salah satu senjata andalannya yang selama ini telah melindungi dirinya dari setiap bahaya.
Sssss…! Suara desisan ular weling di tangan Wasi Sableng menyambar dengan ganasnya ke arah si Teja Biru. Tapi si genit itu cukup gesit menghindari dari senjata aneh lawannya yang mematuk-matuk dengan gerakan kilat.
Melihat kedua tokoh itu sudah bertarung kembali, para penonton menjadi terpesona kembali. Hampir semua mata pada melotot terpaku mengawasi, betapa Wasi Sableng dan Teja Biru saling melibat dan serangmenyerang.
"Mulut Bertudung!" bisik Saudagar Arya Demung kepada Si Mulut Bertudung yang duduk di sebelahnya.
"Bukankah mereka berdua sama-sama hebatnya!?"
"Benar, Kakang Arya Demung."
"Dengan kedua orang itu, kita akan lebih kuat lagi."
"Aku khawatir kalau mereka menjadi sungguhsungguh bertempur, Kakang Demung!"
"Memang mereka sungguh-sungguh, bukan?"
"Dan bagaimana bila sampai Teja Biru jatuh sebagai korbannya?!"
"Itu tak mungkin!" sahut Arya Demung.
"Mengapa tak mungkin?" sambung Si Mulut Bertudung.
"Bukankah mereka bertarung sungguhsungguh? Dan setiap pertarungan, tidak mustahil membawa korban!"
"Sebab Wasi Sableng tak akan sampai hati mencederai si Teja Biru!" Arya Demung berkata pasti.
"Dari mana Kakang Demung mengetahui hal itu?"
"Ahh, kau kurang membawa mata!" sahut Arya Demung.
"Bukankah Wasi Sableng cukup menyayangi tubuh si genit Teja Biru? Ia sangat tergila-gila kepada si genit itu!" Si Mulut Bertudung manggut-manggut mendengar keterangan Saudagar Arya Demung tadi. Pangkal pertarungan ini bila dipikir adalah disebabkan keinginan Wasi Sableng untuk memeluk tubuh si genit Teja Biru yang padat semampai itu. Tapi hal itu ternyata tidak semudah yang diduga, sebab mana boleh seorang pendekar puteri seperti Teja Biru sudi dianggap remeh oleh orang lain, meski orang itu adalah rekannya sendiri?!
"Nah, lihat itu!" bisik Arya Demung kembali kepada Si Mulut Bertudung.
"Beberapa kesempatan untuk serangan mematikan telah dilewatkan oleh Wasi Sableng. Apakah itu tidak berarti bahwa Wasi Sableng cukup menyayangi Teja Biru?"
"Hmm, benar, Kakang. Tapi bagaimana sebaiknya?"
"Maksudmu?"
"Bagaimana bila si genit Teja Biru berusaha mencederai Wasi Sableng?" tanya Si Mulut Bertudung.
"Itupun tak bakal terjadi," jawab Arya Demung.
"Heeiii?"
"Tak perlu heran, sebab sebelumnya aku telah pula berpesan kepada si genit Teja Biru!"
"Ooohh."
"Aku telah berpesan kepadanya, agar sekeraskerasnya tidak sampai mencederai terhadap Wasi Sableng."
"Hebat! Jadi Kakang telah mengaturnya?"
"Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa Wasi Sableng senang dengan wanita-wanita cantik. Karenanya aku berusaha mengikat persekutuan kita lebih erat dengan cara-cara yang sesuai dan cocok!"
"Heh, ini pasti akan merupakan pertunjukan yang hebat dan menarik," ujar Si Mulut Bertudung.
"Memang demikian, Adi!"
"Mereka sama-sama gesit dan tangguh!" Pertarungan antara si genit Teja Biru dan Wasi Sableng makin seru. Kedua senjata mereka saling pagutmemagut, sambar-menyambar tak henti-hentinya, tanpa jemu. Adakalanya terjadilah benturan antara sapu tangan biru di tangan si genit dengan ular weling milik Wasi Sableng. Anehnya ular tersebut seakanakan tahan benturan yang sedahsyat apapun. Sungguh menakjubkan.
Bahkan setiap kali berbentur, ular weling milik Wasi Sableng selalu berusaha untuk mencaplok sapu tangan biru yang menjadi lawannya.
Mengingat hal itu semua, si genit Teja Biru menjadi lebih waspada dan berhati-hati dalam menggunakan sapu tangan birunya. Salah langkah, senjatanya bisa terampas oleh lawan dan itu berarti pula sebagai kekalahannya.
Meskipun pertarungan ini telah berlangsung berpuluh jurus, belum seorangpun di antara mereka berdua yang menunjukkan tanda-tanda kelelahan ataupun kehabisan tenaga.
"Kau belum menyerah!?" seru Wasi Sableng kepada lawannya yang terus-menerus gigih melancarkan serangan.
"Kaulah yang mesti menyerah kepadaku, hi, hi, hi," sahut Teja Biru.
"Dengan begitu, kau boleh membungkuk minta ampun di hadapanku. Atau kau pilih memeriksa kutu di kepalaku?!"
"Haaah!?" desis Wasi Sableng dengan nada kaget, marah bercampur heran. Bukankah itu kata-kata hinaan bagi dirinya? Tapi lantaran kata-kata tadi diucapkan dengan gaya yang memikat dan genit oleh Teja Biru, justru membuat Wasi Sableng tidak menjadi marah lebih lanjut. Malahan ia menjadi senang pula karenanya. Dan katanya kemudian, "Babo-babo! Toblas. Wong denok ayu, hati-hati jika sampai dapat kukalahkan. Engkau akan kupondong keliling Asemarang terus-menerus selama tujuh hari!"
"Pikiran gendeng! Hi, hi, hi, hi. Tak akan semudah itu mengalahkan Teja Biru!" seru si genit sementara sapu tangannya terus-menerus menyambar mencari sasaran.
Dalam pada itu, sesungguhnya Teja Biru merasa bingung dan kerepotan memikirkan cara, bagaimana harus mengalahkan Wasi Sableng dengan cara yang tidak menyakitkan hatinya. Begitulah, sambil bertempur menghadapi Wasi Sableng, ia terus memikirkan cara yang tepat dan jitu.
Rupanya Wasi Sableng pun tengah mencari cara untuk menundukkan si binal Teja Biru dalam jurusjurus berikutnya. Untuk menggebrak sampai roboh, terang ia tidak sampai hati dan sesungguhnya ia sendirilah yang bakal rugi jika si genit sampai mengalami cedera.
Dasar Wasi Sableng seorang pendekar yang suka berpikir ugal-ugalan dan lucu, maka sebentar kemudian bibirnya menampakkan senyum lebar, merupakan pertanda bahwa ia telah menemukan gagasan yang sejak tadi dicari-carinya. Berkali-kali matanya menatap baju Teja Biru yang berbunga-bunga biru kuning dan garis hitam tersebut dari bahan sutera halus. Leher baju itu sangat lebar, begitu pula lengan bajunya yang panjang, merupakan perpaduan yang serasi. Setiap kali bergerak, laksana puluhan bunga-bunga beraneka warna ikut terayun ke sana ke mari.
Selagi sibuk berpikir-pikir itu, mendadak Teja Biru mengebutkan sapu tangannya ke arah dada Wasi Sableng, sehingga jagoan ini dengan kelabakan menangkis dengan putaran ular welingnya ke kiri.
Namun dalam saat yang berbareng pula, tahu-tahu tangan kiri si genit Teja Biru mendorong ke depan ke arah lambung lawannya, berisi dorongan tenaga dalam yang sukar diukur kekuatannya.
"Berbahaya!" desis Wasi Sableng serta melenting ke atas, sebab itulah satu-satunya tindakan yang tepat dalam waktu yang kritis dan gawat, terlebih-lebih ia tak menduga sama sekali akan serangan tersebut.
"Inilah saat yang tepat!" gumam si genit Teja Biru dengan disertai kecepatan kilat, lalu tubuhnya melesat ke atas mengejar Wasi Sableng.
Sekali lagi Wasi Sableng dibikin kaget, tapi dengan lincahnya pula ia membelok ke samping memapaki kejaran si genit Teja Biru, sementara masing-masing senjata telah siap beraksi ke arah lawannya. Maka sesaat kemudian, terjadilah satu papasan di udara antara Wasi Sableng dengan si genit Teja Biru, persis dua ekor jago yang melambung di udara!
Bettt! Wessss!
Wasi Sableng menangkis sapu tangan Teja Biru dengan tebasan sisi telapak tangan kirinya, sedang ular welingnya bergerak ke bawah mencari sasaran.
Akan tetapi pada saat itu pula Wasi Sableng merasakan sambaran angin kencang melintas di kepalanya tanpa dapat diduga dan dicegah terlebih dahulu.
Wasi Sableng menangkis sapu tangan Teja Biru dengan tebasan sisi telapak tangan kirinya sedang ular welingnya bergerak ke bawah mencari sasaran.
Dalam detik berikutnya, kedua tokoh itu telah mendarat kembali di atas lantai dengan diikuti oleh semua mata yang menontonnya. Baik Wasi Sableng dan Teja Biru masing-masing memeriksa keadaan tubuhnya.
"Hahh?" dengus Wasi Sableng ketika ia mendapati ikat kepalanya telah tanggal dari kepala dan entah jatuh di mana tadi. Tapi betapa hatinya menjadi runtuh mencelos sewaktu ia melihat bahwa ikat kepalanya itu tergenggam di tangan kiri si genit Teja Biru.
"Hah, ha, ha, ha. Akui saja terus terang, Sobat! Siapa yang kalah kali ini, heei?!" seru si genit Teja Biru seraya melambai-lambaikan kedua tangannya yang masing-masing menggenggam sapu tangan biru dan ikat kepala Wasi Sableng, sementara pinggangnya bergoyang ke kanan kiri bagai alunan ombak kecil yang mampu menghanyutkan hati.
Maka tak ubahnya si Teja Biru melakukan gerak tarian yang mempesona para penonton, ditambah pinggulnya yang selalu berputar-putaran ibarat pusaran angin ribut, dan kata-kata godaan terus meluncur dari bibirnya yang merah mawar.
"Ayo, Wasi Sableng! Jangan berlagak pilon! Kau telah kukalahkan! Hi, hi, hi!"
Wasi Sableng mengangkat alisnya, lalu katanya pula sambil ketawa geli, "Hooo? Hiha, ha, ha, ha! Wong denok ayu, denok ayu! Mengapa engkau begitu cepat mengambil kesimpulan menang atas diriku, wong ayu! Coba rasakan, apakah tidak ada sesuatu yang terjadi pada dirimu sendiri?!"
Sudah barang tentu si genit Teja Biru tidak cuma tinggal diam ataupun menganggap kosong akan katakata si Wasi Sableng tadi. Itulah sebabnya ia buruburu menenangkan diri, sebab memang sejak tadi ia belum merasakan apa-apa.
"Hihh?" desah Teja Biru tiba-tiba ketika ia merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di antara celah dadanya, membuat kegelian tapi juga mengkirik bulu tengkuknya. Sesaat ia memejamkan mata keenakan, namun sejurus itu pula ia menjerit ketakutan.
"Hihhh, hiiii... tolong... hhii...!"
Si genit Teja Biru berjingkrakan seperti orang gatelen dan betapa terkejutnya, lebih-lebih ketika dari selasela leher bajunya yang lebar itu mencungul sebuah ekor belang-belang berwarna hitam kuning sambil bergerak-gerak nakal ke kiri kanan. Maka kontan si genit Teja Biru menjerit sekeras-kerasnya.
"Hiii... ular weliiing!"
Dapat dibayangkan betapa mengerikan peristiwa ini, terlebih lagi bagi si cantik Teja Biru, yang kadang kala bergaya agak sombong. Sehingga keadaan seperti berbalik sama sekali. Kalau semula ia tertawa girang, tiba-tiba kini ia menjerit-jerit ketakutan.
Arya Demung, Si Mulut Bertudung dan segenap orang-orang di situ pada kebingungan. Tapi dapat berbuat apakah mereka ini? Bukankah kejadian ini cukup mengagetkan sehingga kebanyakan mereka tertegun seperti arca.
"Heh, heh, heh. Wong denok ayu, engkaulah yang kalah. Kau tak perlu takut. Ularku itu cuma nunut agar tidak kedinginan," ujar Wasi Sableng, jagoan yang suka berlaku lucu edan-edanan itu.
"Ular welingku tidak akan menggigit. Mengaku kalahlah, Teja Biru! Nanti ia akan kuambil kembali dari tempat itu!"
"Lekas ambil!" teriak Teja Biru sambil berjingkrakan dan berlari keluar dari pendapa dengan diiringi pandangan mata yang melotot dan mulut melongo dari para penonton yang kebingungan.
"Hiii... tolong... tolong!" Sejenak kemudian meledaklah ketawa para penonton dengan berakhirnya pertandingan tadi dalam peristiwa yang mengerikan tapi juga lucu. Mereka yakin bahwa kedua tokoh itu akan selamat tanpa cedera
apapun.
Di tengah-tengah gelak ketawa yang riuh itu, masuklah si Klenteng dengan wajah yang tegang dan napas berangsur-angsur tak teratur. Rupanya saja ia baru melakukan perjalanan jauh dan tergesa-gesa. Berbintik-bintik peluh yang menempel pada dahinya.
Saudagar Arya Demung terkejut pula melihat kedatangan Si Klenteng. Sebentar saja, iapun lebih tertarik kepada kedatangan Klenteng, sebab ia yakin bahwa setiap kedatangan orang ini, pastilah membawa beritaberita penting.
"Hei, kau tampak terengah-engah, Klenteng? Adakah sesuatu yang penting sampai engkau krenggosan seperti itu?" ujar Arya Demung menanyakan perihal keadaan pengikutnya yang bertubuh pendek hitam itu.
"Benar, Ki Demung! Sesuatu yang penting!"
"Bagus! Oih, minumlah terlebih dahulu supaya napasmu lebih teratur. Kau harus berbicara dengan tenang," kata Arya Demung seraya menyodorkan selodong tuak ke depan Klenteng.
"Heh, terima kasih," sahut Klenteng sekaligus menyambut lodong tuak itu dan meneguknya dengan lahap, sampai-sampai mulutnya basah kuyup dengan tuak yang menetes-netes.
Setelah Arya Demung melihat kepuasan minum dari Klenteng itu segera ia berkata, "Nah, sekarang kau boleh berkata dengan tenang."
Klenteng mengajukan duduknya lalu berkata perlahan,
"Ki Demung, ketahuilah bahwa sebentar lagi Arca Ikan Biru akan dibawa ke Demak!"
"Heei, dibawa ke Demak!?" ulang Arya Demung dengan kaget.
"Memang ini kabar yang penting."
"Kira-kira empat-lima hari lagi."
"Siapa yang mengantar benda itu?"
"Siapa lagi kalau bukan si Demang Cundraka!"
"Jadi dia sendiri yang membawa benda itu?"
"Mungkin disertai beberapa orang teman."
"Hmm, dari mana engkau tahu perihal itu?"
"Aku menyamar dan menyelidik ke sana, seperti perintah Andika, Ki Demung," ujar Klenteng.
"Bagus, apa yang kau ketahui "
"Mereka telah menyiapkan kuda dan bekal-bekal untuk perjalanan tersebut, dan itu kuketahui dari si Demang Cundraka sendiri!"
"Hai, bagaimana bisa begitu?"
"Karena aku telah menjual kudaku yang bagus kepadanya, dan ia menceriterakan hal itu."
"Hmm, itulah kesempatan yang kita tunggu-tunggu, Klenteng!" ujar Arya Demung seraya mengepalngepalkan tangannya.
"Kita akan mendapat uang banyak jika memperoleh Arca Ikan Biru tadi!"
"Jadi bagaimana rencana Andika?"
"Tunggu dulu. Kita harus membicarakan hal itu lengkap dengan Wasi Sableng dan si genit Teja Biru," sahut Arya Demung.
"Dengan demikian rencana akan sekaligus menjadi matang."
Si Mulut Bertudung dan Klenteng mengangguk setuju, dan mendadak mereka mengalihkan pandangan ke arah halaman ketika terdengar teriakan dan suara ketawa riuh bercampur aduk tak menentu.
Maka segera tampaklah bahwa dengan langkah yang tergopoh-gopoh, Wasi Sableng masuk ke dalam pendapa seraya memondong si genit Teja Biru yang meronta-ronta bergeronjalan sambil mengutuk-ngutuk.
"Lepaskan! Turunkan aku, bedebah! Kau membuat
malu di hadapan orang banyak!"
"Heh, he, he. Bukankah kau telah mengaku kalah?" sahut Wasi Sableng.
"Dan aku boleh memondongmu selama tujuh hari keliling kota?!"
"Ya, tapi tidak sekarang! Turunkan!"
"Hah, ha, ha," Arya Demung ikut ketawa dan katanya pula.
"Sobat Wasi Sableng! Marilah kalian berdua mendekat kemari. Ada sesuatu yang akan kita percakapkan. Ini sangat penting bagi kita semua!"
"Hih, baiklah. Turunlah, denok ayu," ujar si Wasi Sableng sambil menurunkan tubuh si genit Teja Biru yang masih memberengut dengan wajah malu kemerahan.
Mereka berlima berkumpul dan duduk mengelilingi meja panjang, sementara Arya Demung telah memberi tahu orang-orang di ruang pendapa, bahwa mereka akan berunding. Maka segenap pengikut Arya Demung boleh beristirahat dan berjaga-jaga di luar.
Kini ruangan pendapa itu menjadi senyap kembali, kecuali alunan napas teratur dari kelima tokoh yang berkumpul di tengah ruangan.
Arya Demung segera mengulang segala laporan Klenteng agar Wasi Sableng dan Teja Biru mengetahuinya.
"Satu-satunya jalan ialah mencegat mereka!" ujar Arya Demung dengan pasti.
"Dan merampas benda itu dari tangan mereka!"
"Tapi, bukankah Demang Cundraka setidaktidaknya telah mengenal Andika?" bertanya Klenteng.
"Ya, Anda adalah orang yang cukup terkenal di kota ini, pasti ia telah melihat Anda sebelumnya," sela Wasi Sableng pula.
"Itu mudah diatasi!" sahut si genit Teja Biru.
"Anda boleh memakai topeng, agar tidak dikenal oleh Demang Cundraka. Saya kira itu cukup baik!"
"Ya, ya, benar. Aku setuju dengan pendapatmu," ujar Arya Demung menerima pikiran Teja Biru.
"Nah, bagaimana pendapat kalian bertiga?"
"Setuju! Kiranya itulah jalan yang paling tepat," ujar Wasi Sableng, Si Mulut Bertudung dan Klenteng hampir berbareng.
"Di mana kira-kira kita akan menghadang mereka?" bertanya Si Mulut Bertudung seraya memilin-milin kumisnya sampai meruncing seperti ujung jarum.
"Aku hafal dengan jalan dan tempat-tempat yang menuju ke Demak," ujar Klenteng sambil mencelupkan jari tangannya ke dalam mangkok berisi tuak, lalu membuat coretan-coretan di atas meja, menggambarkan sebuah peta sederhana antara Asemarang dengan Demak.
"Hmm, baik," ujar Arya Demung seraya memberi tanda pada peta tersebut.
"Inilah Desa Genuk! Kita harus mendahului kesana sebelum keberangkatan Demang Cundraka dan kawan-kawannya."
"Jadi kita akan mencegat mereka di Desa Genuk?" sambung Si Mulut Bertudung dengan wajah penuh tanda tanya.
"Jika terjadi pertarungan di desa itu, pasti membahayakan keselamatan kita," menyela si Teja Biru.
"Tentu saja tidak di sana kita mencegatnya," potong Arya Demung segera.
"Kita akan menghadang mereka sebelum mereka mencapai Genuk. Kita sikat habis orang-orang itu, lalu memungut Arca Ikan Biru dan kemudian kabur ke arah Asemarang! Nah, bagaimana pendapat kalian?"
Keempat pembantu Arya Demung tidak segera menyahut, kecuali memanggut-manggutkan kepalanya, tanda mereka dapat menerima gagasan tadi.
"Kapan kita akan berangkat?" bertanya Wasi Sableng.
"Sebaiknya besok pagi kita memulai perjalanan," ujar Arya Demung.
"Kalian akan segera mendapat tugasnya masing-masing, dan inilah kesempatan bagi kalian untuk memperlihatkan keberanian dan kegagahan yang Anda punyai."
Wasi Sableng berempat termenung sesaat, tapi sejurus kemudian mereka berlima telah sibuk memperbincangkan tentang rencana dan segala sesuatunya. Mereka segera tenggelam dalam suasana kesungguhan yang mencekam.
Sementara itu para pengikut Arya Demung di luar, senantiasa berjaga-jaga dan sebagian lagi beromongomong di bawah kerindangan dedaunan pohon-pohon yang tumbuh rapi di sekeliling halaman rumah Arya Demung.
Entah apalagi yang diperbincangkan oleh Arya Demung berlima, tak seorangpun lain yang tahu, begitu pula para anak buahnya. Mereka hanya tahu menjalankan perintah-perintah dari Arya Demung, si pemimpin yang menghidupi dan membiayai mereka dengan segala kebutuhan hidup. Yah, tak lain dari kebutuhan hidup. Kebutuhan lahiriah yang dapat dikenyam dan dinikmati oleh inderawi. Sedang kebutuhan batin, oh, entahlah. Mungkin Arya Demung tidak pernah menyinggung ataupun memikirkannya.
Maka pada keesokan harinya, Arya Demung telah menyiapkan sahabat dan pengikutnya. Belasan ekor kuda yang tampak segar-segar, sementara beberapa anak buah Arya Demung tengah mengatur pelanapelana mereka serta bekal-bekal yang perlu dibawanya.
Pada masing-masing lambung kiri orang-orang itu tergantunglah sebuah golok panjang. Wajah-wajah mereka kelihatan keras dan tandus dengan dihiasi kumis ataupun jenggot yang lekat dan menyeramkan pandangan.
Arya Demung tampak mengenakan baju dan celana singset berwarna coklat, sedang kain di pinggangnya berwarna merah berbunga-bunga besar. Tangannya menggenggam sebilah golok lebar bertangkai sepanjang satu depa, sehingga merupakan tombak pendek.
Si Mulut Bertudung mengenakan pakaian tenun halus lurik bersenjata sepasang pedang pendek yang terselip di kiri kanan pinggangnya. Sedang si genit Teja Biru tampaknya tidak membawa senjata apa-apa, kecuali ujung saputangan birunya yang terjuntai dari balik bajunya. Meskipun cuma selembar sapu tangan, namun bagi Teja Biru telah merupakan satu senjata ampuh yang tidak sedikit telah menjatuhkan korbankorban.
Begitu juga Wasi Sableng tidak kelihatan membawa senjata tajam di tangannya. Tapi para rekan-rekannya telah maklum bahwa pendekar aneh angot-angotan seperti dia, kadang-kadang mengeluarkan senjata aneh yang tak terduga-duga. Seperti ia pernah bersenjata tongkat kayu, batang ruas tebu, dan terakhir sewaktu bertanding dengan Teja Biru, ia menggunakan seekor ular weling sebagai senjatanya.
Nah, bukankah itu merupakan senjata yang aneh? Pendekar aneh seperti Wasi Sableng sering pula mempunyai jurus-jurus asing yang sukar ditebak jenis dan macamnya. Pakaiannya berwarna biru kehitaman. Yang tampak seram adalah sepasang gelang hitam berkilat berukuran tebal, menghias kedua pergelangan tangannya.
Di sebelahnya, sibuk menyiapkan kudanya, si Klenteng yang bertubuh pendek berkulit kehitaman. Ia bersenjata rantai logam yang dibelitkan pada bahunya.
"Ayo, kawan-kawan! Kita berangkat sekarang!" seru Arya Demung beberapa saat kemudian, setelah ia melihat bahwa segenap rombongannya telah selesai bersiap-siap untuk berangkat. Dan sejurus itu pula ia meloncat ke atas punggung kudanya.
Wasi Sableng, Teja Biru, Si Mulut Bertudung dan Klenteng menyusul dengan meloncat ke punggung kudanya masing-masing, begitu pula belasan anak buah Arya Demung segera menyusulnya.
Tak antara lama, rombongan itupun meninggalkan pintu gerbang batu karang dengan suara gemuruh dan debu bergulung ke udara, menuju ke arah utara. Beberapa orang yang tetap tinggal menjaga di situ, pada melambai-lambaikan tangannya, sebagai ucapan selamat jalan kepada rombongan yang telah berangkat itu.
--¤¤¦ « BAGIAN III » ¦¤¤--
Waktu itu cahaya sore dan senja mulai turun. Pohon-pohon menjadi tersapu oleh warna merah darah. Sesekali terdengar suara ayam jantan berkokok di balik semak belukar yang telah gelap melekat.
"Inilah daerah di mana kita pernah dicegatnya, Kakang Wulung," ujar salah seorang yang tidak lain adalah Tungkoro.
"Dua hari yang lalu aku secara diamdiam telah memeriksa daerah ini, dan aku melihat beberapa orang asing yang belum pernah kujumpai dengan gelagat yang mencurigakan."
"Hmmm, memang daerah Demak selatan ini jarang didiami oleh manusia," sambung Gagak Cemani di sebelah Mahesa Wulung.
"Maka satu hal yang aneh bila kita pernah diserang di daerah ini!"
"Aku merasakan sesuatu yang aneh di sini," ujar Palumpang ikut mengutarakan isi hatinya.
"Naluriku seperti berkata bahwa kita tengah menghadapi sesuatu yang gawat!"
"Mungkin memang demikian," sahut Mahesa Wulung pula.
"Hati-hatilah, Sobat. Mungkin kita tengah memasuki daerah sarang para iblis dan hantu!"
Mereka berempat meneruskan langkahnya, mengendap-endap laksana empat ekor harimau yang lagi mengincar korbannya ke arah selatan. Angin senja bertiup lembut tanpa menggoyangkan pepohonan, tapi karenanya membuat suasana semakin tegang.
Pohon-pohon besar, seperti beringin, randu alas, trembesi dan sebagainya berderetan bersela-sela tumbuh di sana dalam lindungan sinar senja, bagaikan pagar-pagar hantu yang menakutkan.
"Heei, kita terlalu jauh meninggalkan kuda-kuda kita," bisik Palumpang kepada ketiga rekannya.
"Ooh, hampir kita melupakannya karena keasyikan ini," sahut Mahesa Wulung.
"Tolonglah Anda membawakannya kemari, Sobat Palumpang!"
"Baik," sahut Palumpang seraya berbalik mengendap ke arah utara untuk mengambil keempat ekor kuda mereka yang semula ditambatkan dekat semaksemak pohon salak.
Sebentar pula Palumpang telah mengambil kudakuda itu dan sementara ketiga rekannya tiba-tiba berbisik-bisik seraya menunjuk ke arah selatan beberapa kali.
"Lihat, ada gerakan manusia di sebelah pohon beringin tua itu!" ujar Gagak Cemani.
"Mereka duduk bergerombol di sana."
"Barangkali satu rombongan orang-orang yang tengah dalam perjalanan ke suatu tempat," sambung Palumpang pula.
"Mungkin mereka tengah beristirahat karena hari telah gelap."
"Itu mungkin pula," Tungkoro berkata.
"Tetapi aku telah melihat mereka dua hari yang lalu. Jadi seandainya mereka beristirahat, masakan tiga hari ini belum selesai. Dan siapa tahu, mungkin sebelum aku melihat mereka, orang-orang itu telah bercokol di sana?"
Mahesa Wulung mengangkat dahi oleh pendapat Tungkoro tadi. Tak dikiranya bahwa rekannya mempunyai pikiran sedemikian, setepat apa yang dipikirkannya pula. Karenanya iapun menjadi makin bercuriga terhadap orang-orang asing itu dan berkatalah ia, "Mari kita mendekati mereka dengan diam-diam. Tapi berhati-hatilah dengan kuda-kuda itu, Sobat Palumpang. Jangan sampai ia mengeluarkan ringkikan yang mengejutkan orang-orang itu!"
"Jangan khawatir. Aku dapat menjaga mereka dengan baik," bisik Palumpang yang menggenggam keempat pasang tali kendali kuda-kuda itu.
Demikianlah, dengan gerakan hati-hati, Mahesa Wulung berempat pelahan-lahan mendekati pohon beringin tua, tempat di mana segerombolan orang-orang duduk berkeliling menghadapi api unggun yang telah mulai mengecil, namun bongkah-bongkah bara api masih cukup mengeluarkan hawa panas, cukup menghangati tubuh-tubuh mereka.
Dan sesungguhnya memang mereka adalah orangorang yang tengah berkelana. Saat ini mereka lagi mendengar keterangan-keterangan si pemimpin yang duduk di tengah, di atas sepotong bongkah kayu besar.
"Dengarlah baik-baik!" ujar si pemimpin yang bertubuh kekar.
"Sebentar malam, dengan lenyapnya senja di pojok barat, kita akan segera menempuh perjalanan ke arah barat. Nah, apakah dirimu telah menyiapkan untuk keperluan itu, Jimbaran?"
"Sudah, Guru," sahut Jimbaran kepada pemimpinnya, yakni Si Tangan Iblis.
"Jika diijinkan, aku akan memeriksa sekali lagi."
"Boleh! Periksalah segala sesuatunya!"
Jimbaran si lengan tunggal itu lalu bangkit dengan cekatan dan keluar meninggalkan gerombolan manusia yang duduk berkeliling di dekat pohon beringin tua. Tampaklah bahwa Jimbaran berjalan ke arah semaksemak dan masuk ke dalamnya. Dalam pada itu, Mahesa Wulung berempat semakin mendekati pohon beringin tua tersebut. Mereka dapat melihat orang-orang duduk bergerombol di situ dari sela-sela dedaunan semak di sekitarnya.
"Mereka lebih kurang sebanyak tiga puluh orang," bisik Mahesa Wulung kepada ketiga rekannya.
"Satu jumlah yang mencurigakan. Sayang kita tak mendengar pembicaraan mereka."
"Tapi untuk itu kita harus lebih mendekati!" sahut Gagak Cemani menengahi.
"Dan dengan kuda-kuda ini, pasti tidak mungkin!"
"Andika berdua dapat mendekati mereka," Tungkoro ikut berkata lirih.
"Biarlah saya dan Sobat Palumpang tinggal di sini menjaga kuda-kuda kita."
"Hmm, satu usul yang baik," gumam Mahesa Wulung.
"Jarak kita dengan pohon beringin tua itu kirakira sejauh lima belas tombak, dan kita bisa mendekati mereka sampai sedekat lima tombak, asal tanpa membuat suara."
"Bagus. Marilah kita kerjakan, Adi Wulung!" sahut Gagak Cemani yang sudah tidak sabar lagi melihat pemandangan di depannya. Ia ingin segera tahu, siapakah sebenarnya mereka itu? "Dan Sobat Palumpang serta Tungkoro, haraplah berhati-hati."
"Terima kasih," jawab Palumpang berdua.
"Mari berangkat!" bisik Mahesa Wulung seraya menjentik pundak Gagak Cemari seraya menggenjotkan kakinya ke tanah dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh. Sesaat itu pula Gagak Cemanipun melesat menyusulnya.
Mereka berdua berloncatan dari pohon-pohon tanpa membuat suara gaduh, kecuali desir angin lembut yang tak berarti. Gerakan mereka sangat ringan dan gesit, ibarat dua ekor tupai berkejaran ke arah selatan. Sementara itu Tungkoro dan Palumpang cuma mengikuti kedua sahabatnya tadi dengan hati berdebar-debar. Selain kagum akan ilmu dan gerakan mereka, juga kemungkinan bahaya yang bakal ditemui oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani membuat hati Palumpang berdua menjadi berdebar-debar.
Sementara itu bulan yang separoh bulat telah terbit di langit sebelah timur. Cahayanya tidak begitu terang, tapi cukuplah untuk mengganti cahaya senja yang semakin menipis.
Daerah itu penuh pula ditumbuhi oleh semak pohon ilalang, menempati bagian-bagian yang tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar, sehingga sangat cocok kiranya bila daerah tersebut ditempati sebagai sarang-sarang persembunyian.
Akan tetapi sangat cocok pula bagi Mahesa Wulung dan Gagak Cemani untuk mengintai si Tangan Iblis dan segenap gerombolannya yang tengah berkumpul di situ.
Mereka hinggap di atas dahan pohon trembesi, tak jauh dari beringin tua itu, kemudian turun ke bawah dan bersembunyi di balik semak ilalang. Maka tak antara lama Mahesa Wulung dan Gagak Cemani dapat lebih jelas melihat ke arah sasaran.
Tangan Iblis masih kelihatan bercakap-cakap dengan para pengikutnya dan tiba-tiba dari semak di sebelah selatan muncullah Jimbaran yang langsung masuk ke dalam gerombolan manusia itu dan berkatalah ia kepada Tangan Iblis, "Guru, semua telah siap dan kuda-kuda kita telah pula dipelanai oleh orang-orang kita!"
"Yah, jika demikian kita dapat berkemas sekarang," ujar Tangan Iblis seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Hayo, anak-anak, berkemaslah! Dan padamkan api unggun itu!"
Mahesa Wulung menjentik pundak Gagak Cemani, dan keduanya telah memegang tangkai golok dan pedang mereka dengan eratnya. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tak dikira bahwa saat mereka tiba di tempat itu, tepat pula Tangan Iblis dan gerombolannya siap berkemas meninggalkan tempat itu. Hal ini sungguh di luar dugaan.
"Sttt, kita menunggu mereka?" desis Gagak Cemani.
"Ya, kita harus mengetahui, ke arah mana mereka akan pergi," ujar Mahesa Wulung.
"Inilah yang terpenting!"
"Heei, mereka memadamkan api unggun," bisik Gagak Cemani.
"Lihatlah, Adi Wulung!"
Beberapa orang anak buah Tangan Iblis tampak menyiram-nyiramkan pasir dan percikan air dari sisasisa air minum mereka. Akan tetapi Tangan Iblis segera mencegah mereka dengan nada keras, "Ahh, terlalu lama! Biarlah aku matikan api unggun ini. Kalian boleh berkemas-kemas dengan kuda-kuda itu. Ayoo!"
Habis berkata, Tangan Iblis tiba-tiba mendorongkan telapak tangan kanannya ke arah api unggun itu dan terdengarlah suara letupan kecil disusul desisan panjang. Ssss….
Sungguh mengagumkan, bahwa seluruh bara api itu telah padam menjadi arang dan tumpukan abu memutih seolah-olah tersiram olah curahan air hujan.
"Lihatlah, Kakang Cemani," bisik Mahesa Wulung perlahan.
"Si pemimpin itu mempunyai tenaga dalam yang hebat. Pukulan telapak tangannya sanggup memadamkan api!"
"Jika aku boleh berprasangka, orang itulah yang membunuh kedua orang tawanan kita di daerah ini beberapa hari yang lalu," ujar Gagak Cemani.
Mahesa Wulung terperanjat dan berdesis, "Jika perkiraan itu benar... berarti orang inilah yang bernama Tangan Iblis! Bukankah ini kesimpulan yang kita tunggu-tunggu?"
"Lihatlah, mereka telah berkemas-kemas!" berkata pula Gagak Cemani.
"Mereka mengeluarkan kudakudanya dari balik semak belukar di sebelah selatan."
Ternyata memang semak belukar di sebelah selatan itu adalah tempat penambatan kuda yang tersembunyi bagi gerombolan Tangan Iblis. Kini mereka telah menyiapkan diri, dan sesaat kemudian Tangan Iblis berseru kepada Jimbaran, "Jimbaran! Aturlah orangorang kita untuk berkuda dua-dua. Kita tidak melewati jalan umum, tetapi menerobos semak-semak. Karenanya, tempatkanlah empat orang di sebelah depan untuk merintis dan membuka jalan!"
"Baik, Guru Tangan Iblis! Kita telah siap," sahut Jimbaran sekaligus meloncat ke punggung kudanya. Demikian juga Tangan Iblis mencengklak ke atas punggung kudanya dengan gerakan lincah dan sebat.
Sebentar itu pula si pemimpin ini mengacungkan tangannya ke arah barat dan rombonganpun bergerak! Dengan empat orang yang mendahului, barisan ini mulai menempuh perjalanan yang tidak diketahui arah tujuannya. Baik oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, maupun oleh para anak buah Tangan Iblis sendiri, kecuali bagi Tangan Iblis dan Jimbaran.
Yang terang rombongan itu bergerak ke arah barat, menerobos semak belukar yang menggelap, dan hanya sedikit sekali sinar bulan membantu mereka.
"Kita kembali ke utara," bisik Mahesa Wulung kepada Gagak Cemani.
"Kita harus cepat-cepat mendapatkan Sobat Palumpang dan Tungkoro!"
"Tapi tunggu dulu!" cegah Gagak Cemani.
"Biarkan mereka berlalu semua dari tempat ini. Nah, mereka telah menerobos ke barat sekarang." Demikian Gagak Cemani berkata seraya terus-menerus mengawasi rombongan Tangan Iblis yang telah berangkat. Dengan sigap mereka menyelinap di balik dedaunan semak ke arah utara, dan selanjutnya berloncatan bagaikan kijang berpacu keriangan. Cahaya senja, sementara itu telah lenyap sama sekali, tenggelam di kaki langit barat dengan diratapi oleh kokok ayam hutan yang akan masuk ke dalam sarangnya.
Tungkoro dan Palumpang terkejut pula melihat Mahesa Wulung dan Gagak Cemani datang dengan sikap tergopoh-gopoh sehingga mereka berseru mengajukan pertanyaan, "Heei, kalian dikejar lawan!?"
"Tidak!" sahut Mahesa Wulung.
"Bahkan kita yang akan mengejar lawan! Bersiaplah dengan kuda kalian!" Tanpa bertanya lebih banyak, Tungkoro dan Palumpang telah meloncat ke atas kudanya, disusul oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Merekapun menderapkan kudanya ke selatan ke arah jalan yang telah dikenal oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Mereka berdua berpacu di sebelah depan lalu di belakangnya, adalah Tungkoro dan Palumpang. Beberapa ekor kunang-kunang bersibak menghindarkan diri dari depan mereka, seolah-olah bagaikan kilatan air laut
yang tersibak oleh haluan perahu.
Dengan hati-hati, Mahesa Wulung segera memberitahu kepada kedua rekannya yang berada di sebelah belakang agar mereka melambatkan lari kudanya.
Karenanya, Tungkoro dan Palumpang dapat pula memakluminya bahwa mereka berempat telah mulai memasuki jalan rintisan yang menerobos semak belukar dan pepohonan yang lebat. Rupanya saja ini adalah jalan rintisan yang baru saja dilalui oleh Tangan Iblis dan rombongannya.
Sepanjang jalan itu, terlihat bekas-bekas dahan pohon yang putus, bekas ditebasi oleh senjata-senjata tajam. Pohon-pohon besar tumbuh di kanan-kiri mereka, dan kadang kala beberapa ekor burung yang terbangun dari tidurnya, seketika terkejut dan berkepakkepak menjauhkan diri.
Dalam pada itu Palumpang hampir saja terpekik kaget, ketika ia melihat beberapa pasang mata bersinar bertengger di atas dahan-dahan pohon. Maka dengan gerakan agak lucu, Palumpang cepat-cepat menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Melihat ini, hampir-hampir Tungkoro mengeluarkan tawanya yang berderai.
"Sttt, mengapa, Sobat?" tanya Tungkoro.
"Itu...! Ah, aku kira hantu dedemit!" sahut Palumpang seraya menunjuk ke arah pasangan mata yang mengkilap.
"Kiranya adalah burung-burung hantu yang lagi bercanda!"
"Heh, heh. Untunglah Anda tidak jadi berteriak! Kalau jadi... mungkin sayapun akan ikut berteriak ketakutan," ujar Tungkoro setengah menggoda, membuat Palumpang tersenyum kecut merasa malu.
Perjalanan semakin jauh menerobos ke arah barat, seperti tak akan ada habisnya daerah yang tengah mereka lewati ini. Gagak Cemani yang berkuda di samping kiri senantiasa menggunakan ketajaman telinganya guna mendengarkan gerakan ataupun suara-suara yang datang dari sebelah depan.
Begitu pula Mahesa Wulung yang memiliki telinga tajam, selalu waspada terhadap keselamatan mereka berempat. Sebab tidak mustahil, bahwa tanpa disengaja akan kecepatannya, mereka dapat menyusul terlalu dekat terhadap rombongan Tangan Iblis. Jika itu terjadi maka berbahayalah akibatnya. Mungkin iringan terbelakang dari rombongan Tangan Iblis dapat mendengar akan derap langkah kaki-kaki kuda Mahesa Wulung berempat. Untuk ini, perlulah mereka menjaga jarak perjalanan.
Oleh sebab itu pula, tidak jarang mereka berempat berkali-kali berhenti sejenak untuk mengatur jarak tersebut. Hal ini sesungguhnya sangat membosankan bagi para pemburu itu, namun hanya itulah satusatunya jalan yang paling baik, yang dapat mereka lakukan.
"Kemana kiranya mereka akan menuju? Kita belum melihat tanda-tanda bahwa mereka akan berhenti!" ujar Gagak Cemani dengan nada agak kaku.
"Kita tidak tahu!" sahut Mahesa Wulung.
"Aku kira mereka betul-betul menggunakan kesempatan malam hari untuk menempuh perjalanan ini!"
"Dan lagi mereka memilih jalan yang belum pernah dijamah oleh manusia," Gagak Cemani menyambung.
"Satu cara yang pandai dan penuh siasat."
"Mudah-mudahan kita akan segera tahu akan maksud dan tujuan mereka, Kakang Cemani," kata Mahesa Wulung sambil menahan tali kekang kudanya ketika kuda tersebut akan menderap lebih cepat.
Dalam saat yang sama.…
Jauh di sebelah depan, rombongan Tangan Iblis maju dengan cepatnya. Empat orang yang berjalan di sebelah depan dengan golok dan pedangnya, menebasi ranting-ranting yang menghalang di depan mereka. Sungguh suatu pekerjaan yang tidak ringan, apalagi dilakukannya dalam waktu malam. Namun ternyata bahwa mereka sangat terlatih untuk pekerjaanpekerjaan yang demikian itu.
"Jimbaran," ujar Tangan Iblis seraya berpaling ke kiri, di mana murid utamanya ini berkuda.
"Apakah kau merasakan bahwa perjalanan kita ini sangat sulit!?"
"Bagi orang biasa memang sulit, Guru. Tetapi bagi gerombolan Tangan Iblis, tak ada jurang yang dalam, tak ada gunung yang tinggi," berkata Jimbaran dengan mantapnya. Tangan Iblis tersenyum kecil oleh kata-kata bersemangat dari muridnya. Memang dia pandai mengambil hati gurunya dan sesungguhnya pula kata-kata tersebut tidak jauh dari kebenaran yang ada.
Jauh waktu, sebelum Tangan Iblis membawa anak buahnya sampai ke tempat itu, mereka telah digembleng dan dilantik untuk tugas-tugas tertentu yang cukup berat. Karenanya, setelah mereka berhasil menyelesaikan latihan-latihan itu, tak ada lagi istilah sulit ataupun sukar di dalam diri mereka.
Bersama pemimpinnya yang bergelar Tangan Iblis, mereka sanggup menjelajah ke mana saja, tak memperdulikan hutan lebat, lereng yang curam, lembah yang angker ataupun setan dedemit. Sedang menghadapi lawan-lawan sehebat apapun, mereka tidak menjadi gentar pula.
Namun, benarkah bahwa mereka tidak memiliki rasa gentar? Sedangkan Tangan Iblis sendiri telah sekelumit merasakan kegentaran ini ketika tiba-tiba ia berkenalan dengan Pukulan Angin Bisu milik Mahesa Wulung beberapa waktu yang silam.
"Guru, apakah kita akan menghadapi tokoh-tokoh yang tangguh?" bertanya Jimbaran.
Tangan Iblis mengerutkan dahinya oleh pertanyaan si lengan tunggal itu, lalu katanya, "Aku kira begitu, Jimbaran. Apakah engkau merasa cemas?!"
"Ooh, tidak Guru," sahut Jimbaran cepat.
"Aku memikirkan bahwa suatu saat Andika akan dapat menemukan lawan yang dahulu pernah diceriterakan oleh Guru!"
"Ya, ya. Aku masih ingat hal itu," sahut Tangan Iblis. Sesaat terkilaslah kenangan ketika ia diserang dengan Pukulan Angin Bisu oleh seorang lawan di padang rumput ilalang.
"Justru merupakan suatu anugerah jika aku sampai berhasil menemukan orang itu!"
"Sudahkah Guru mengetahui nama orang itu?"
"Sayangnya memang belum. Tapi aku segera dapat
mengenal orang itu bila ia menggunakan ilmu pukulannya! Dan di saat itulah aku akan mengadu tenaga dengan dia!"
Jimbaran tak berkata lagi dan membiarkan gurunya bergelut dengan pikirannya sendiri tentang kemauan, cita-cita dan sepak terjangnya. Maka rombongan itu kembali sunyi, kecuali sesekali bunyi ringkikan kuda memecah kesepian, sedang di barisan depan tetap terdengar bunyi tebasan-tebasan golok dan pedang yang mematahkan ranting-ranting pepohonan serta semak.
Barisan berkuda itu tak ubahnya seekor ular hantu yang menyelusup, menerobos hutan pekat di malam hari dengan satu keberanian yang luar biasa. Mereka terus bergerak ke barat.
--¤¤¦ « BAGIAN IV » ¦¤¤--
Sinar bulan yang separoh bulat, terbentang redup oleh arak-arakan awan setipis kain sutera mengalir ke arah utara. Desa yang terletak di sebelah tenggara dan termasuk dalam wilayah bandar Asemarang itu selalu tampak tenang-tenang.
Beberapa rumah masih kelihatan menyalakan lampu minyaknya, menandakan bahwa penghuninya masih berjaga, dan bila orang menengok ke rumah Ki Demang Cundraka, akan tahulah bahwa Ki Demang pun masih berjaga dan tengah bercakap-cakap dengan beberapa orang.
"Biarlah aku ikut bersamamu, Ayah!" ujar Tuntari dengan suara bernada manja.
Demang Cundraka menatap ke arah puterinya.
"Perjalanan kali ini sangat berbahaya, Atun!"
"Tapi... tapi bukankah Atun sudah dapat menjaga keselamatan diri sendiri...?"
"Benar, Nak. Namun lebih baik bila engkau tinggal di rumah bersama ibu dan adikmu," sahut Ki Demang Cundraka seraya menatap ke arah Nyi Demang yang ikut berkumpul di ruang itu.
"Begitulah sebaiknya, Angger Tuntari," sambung Ki Dunuk ikut berbicara, menumpangi tutur kata Demang Cundraka. Sebagai seorang tua yang dapat menangkap arti pandangan mata Ki Demang, Ki Dunuk mengetahui bahwa Ki Demang tidak menghendaki puterinya mengikuti dalam perjalanan yang akan diadakan oleh Ki Demang Cundraka.
"Angger dapat menjaga ibu dan adikmu di rumah. Kiranya aku dan beberapa orang kawan sudah cukup untuk mengawani dan mengawal Kakang Demang."
"Tuntari," berkata pula Nyi Demang kepada puterinya, "turutlah akan kata-kata ayahmu dan pamanmu Ki Dunuk itu, Ngger." Nyi Demang membujuk Tuntari seraya mengelus-elus pundak anak gadisnya sebagai curahan kasih sayang seorang ibu.
"Aku menghargai sekali akan tekadmu untuk mengawal ayahmu itu, Ngger. Tetapi bila engkau tinggal di rumah, Anggerpun dapat mengawal ibu dan adikmu. Bukankah kedua hal itu sama pentingnya?"
Tuntari tak dapat menyangkal tutur kata ibunya, maka iapun tertunduk diam, sementara hatinya berkata-kata sendiri, "Apa yang dikatakan Ibu dan Paman Dunuk adalah benar. Ibu dan Ayah sama pentingnya bagiku. Maka menjaga Ibu di rumah sama saja dengan mengawal Ayah di dalam perjalanan. Bukankah mereka berdua adalah orang tuaku dan keduanya samasama aku sayangi tanpa perbedaan apapun."
"Ayah pun sudah maklum, bahwa perjalanan Ayah untuk mengantar Arca Ikan Biru ke Demak ini banyak bahayanya. Beberapa orang, seperti yang pernah kau alami, ternyata telah mengincar benda tadi, sehingga dapat dipastikan bahwa setidak-tidaknya mereka akan berusaha kembali mencari benda tersebut. Akan tetapi jangan dikira bahwa mereka akan begitu saja dengan mudahnya untuk merampas benda itu dari tanganku!" berkata Ki Demang Cundraka sambil menatap wajahwajah di sekelilingnya.
"Benda yang bernama Arca Ikan Biru ini sangat penting bagi kita semua, dan ia harus secepat-cepatnya kita serahkan ke Demak. Jika sampai terlambat, pasti kota Asemarang bakal dilanda oleh bahaya!"
"Tuntari bersedia memenuhi perintah Ayahanda," ujar Tuntari dengan suara tenang, sebab ia banyak mempertimbangkan segala persoalan.
"Saya akan tinggal di rumah menjaga Ibu dan adik.…"
Helaan napas lega terdengar dari hidung Ki Dunuk dan Ki Demang Cundraka, sementara Nyi Demang tersenyum lebar seraya berkata, "Nah, engkau telah berpikir bijaksana, Nak. Biarlah Ayah berangkat bersama Ki Dunuk dan beberapa pengawal. Aku percaya bahwa ayahmu akan sanggup menanggulangi segala kesulitan serta bahaya yang ada. Kita di rumah dapat membantu dengan doa semoga ia sampai ke Demak dengan selamat."
Sekali lagi Tuntari mengangguk pelan.
"Ayah akan berangkat pagi-pagi, Nak. Engkau boleh menyiapkan bekal perjalanan bersama ibumu," ujar Ki Demang Cundraka kepada Tuntari. Maka tidak antara lama merekapun bekerja bersama Nyi Demang dan Tuntari segera sibuk menyiapkan bekal bagi Ki Demang Cundraka untuk perjalanan yang cukup jauh itu.
Begitu pula Ki Dunuk membantu Demang Cundraka, melipat beberapa potong pakaian, memberesi senjata, dan yang paling penting adalah membungkus kotak kayu berukir yang berisi Arca Ikan Biru. Benda inilah yang telah melibatkan mereka dalam tugas yang berat dan menyulitkan.
Siapakah menyangkal bahwa benda tersebut mempunyai taruhan nyawa bagi orang yang menyimpannya. Telah terbukti bahwa Ki Saudagar Sungkana yang menyimpan benda itu telah diserbu oleh Si Mulut Bertudung dan orang-orangnya, sampai akhirnya ia menderita luka-luka cukup parah. Seandainya ia tidak keburu ditolong oleh Tuntari, Ki Dunuk dan Bikhu Gandharapati, pastilah ia telah tewas di ujung senjata para penyerang itu. (Periksalah seri Naga Geni 22 "Jejak Tangan Iblis")
Begitupun si pelaut tua, orang yang mula-mula membawa Arca Ikan Biru dan ditugaskan oleh Ki Rikma Rembyak untuk menyampaikannya kepada Tangan Iblis, kini telah mati. Ia dibunuh oleh kaki tangan Rikma Rembyak, karena dia telah dianggap berkhianat, setelah ia menyerahkan Arca Ikan Biru tadi, justru kepada Ki Sungkana dan bukan kepada Tangan Iblis. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Ternyata si pelaut tua itu dapat mengetahui, bahwa benda tersebut merupakan benda yang gawat dan harus segera disampaikan ke Demak lewat Ki Sungkana. Ia telah insyaf bila benda itu benar-benar jatuh kepada Tangan Iblis maka bandar Asemarang akan diancam malapetaka.
Dengan mengingat persoalan-persoalan di atas, maka sekali lagi Ki Demang Cundraka semakin sadar bahwa perjalanan yang bakal dilakukan ini sangat berbahaya. Ia tak ingin melibatkan puterinya, Tuntari, dalam bahaya itu.
"Biarlah," demikian tekad Ki Demang Cundraka.
"Bahaya itu akan kuhadapi sendiri bersama Ki Dunuk dan beberapa orang pembantu." Beberapa kali Ki Demang Cundraka masih menggosok-gosok mata pedangnya sambil merenunginya. Sudah beberapa lama ia tak menggunakan senjata itu dan kini terpaksalah ia harus menghunusnya demi memperjuangkan kebenaran.
Dalam pada itu, Ki Dunuk tak mau mengganggu Demang Cundraka. Dibiarkannya sahabat kentalnya itu membersihkan senjata dan bergelut dengan perenungannya, sementara ia sendiri tengah asyik menimang-nimang sebuah kapak bertangkai pendek, satusatunya senjata yang telah sekian lama tidak disentuhnya. Besok pagi senjata-senjata itu akan tergantung di pinggang mereka dan siap membela tuannya dari segala marabahaya.
Pada keesokan harinya, tepat di saat ayam jantan pertama berkokok, Ki Demang Cundraka telah bangun, begitu pula dengan segenap isi rumah Ki Demang.
Dari gandok wetan, yakni rumah yang ditempati oleh kelima pengawal Ki Demang, telah pula tampak bersama-sama Ki Dunuk mengeluarkan tujuh ekor kuda dari kandang di belakang rumah dan menyiapkannya di halaman pendapa.
Sang matahari perlahan-lahan menyorotkan sinarnya dari balik gumpalan pepohonan di pojok timur, diiringi oleh kicau unggas yang beterbangan di udara dengan riangnya untuk menyambut udara segar dan bersih.
Persiapan Ki Demang Cundraka telah selesai.
"Nah, Nyai. Tinggallah baik-baik di rumah. Tuntari akan menjagamu," ujar Demang Cundraka kepada isteri dan anak puterinya, sedang adik laki-laki Tuntari masih belum kelihatan. Agaknya ia masih nyenyak tidur di balik selimutnya.
Nyi Demang dan Tuntari masih melambailambaikan tangannya ketika Demang Cundraka, Ki Dunuk, Linting dan empat orang lainnya telah berpacu meninggalkan halaman rumah, menuju ke arah timur laut dengan kencangnya.
"Aku merasakan, hatiku menjadi berdebar-debar dengan keberangkatan Ayah, Bu!" ujar Tuntari seraya tidak melepaskan pandangan matanya dari rombongan ayahnya yang berkuda semakin jauh itu.
"Ah, engkau mencemaskan ayahmu, Atun!" ujar Nyi Demang seraya merangkul Tuntari.
"Apakah engkau masih menyangsikan kesanggupan ayahmu dalam berolah senjata?"
"Bukan hal itu, Ibu "
"Jadi apa yang membuatmu khawatir?"
"Tidak lain adalah orang-orang yang selalu mengincar Arca Ikan Biru di tangan Ayah! Bukankah Ayah adalah orang ketiga yang menyimpan benda tersebut?"
"Elho, jadi apa hubungannya dengan orang pertama dan kedua, Tuntari?" bertanya Nyi Demang.
"Orang pertama telah tewas karena benda itu. Sedang orang kedua yakni Paman Sungkana telah pula cedera akibat benda itu pula. Aku khawatir..., aku...
khawatir..., bila Ayah..., bila Ayah "
"Ahh, janganlah kau berpikir begitu, Atun. Itu tak baik!" ujar Nyi Demang dengan menghela napas.
"Janganlah berpikir yang buruk-buruk tentang ayahmu. Pikirkanlah tentang keselamatan dan hal yang baikbaik, agar ayahmu memperoleh keselamatan serta kelancaran dalam perjalanan mereka itu!"
"Maaf, Ibu," keluh Tuntari seraya memeluk ibunya, membuat Nyi Demang terharu pula, mengingat betapa besar cinta kasih putera-puterinya kepada kedua orang tuanya. Dan Nyi Demang ikut menjadi cemas ketika dirasanya bahwa kedua tangan Tuntari telah bergetar dan dingin. Maka segeralah Nyi Demang membimbing Tuntari masuk ke dalam pendapa sambil berkali-kali menasehatinya agar Tuntari beristirahat dan berpikir tenang.
"Beristirahatlah, Atun!" ujar Nyi Demang.
"Barangkali engkau masuk angin, karena semalam engkau berjaga sampai larut malam. Akan kubikinkan untukmu ramuan jamu pengusir angin jahat, Nak!"
"Terimakasih, Ibu," ujar Tuntari seraya merebahkan badannya ke atas balai-balai di dekat jendela kamarnya dengan perasaan yang gundah. Betapapun ia berusaha menenangkan diri, tapi ternyata tidak semudah yang ia duga. Dan mungkin kegelisahan Tuntari ini merupakan satu firasat yang tidak mereka pahami, bahwa sesungguhnya satu bahaya telah mengintai perjalanan Ki Demang Cundraka.
Bahaya itu tidak lain adalah berasal dari Arya Demung dengan gerombolannya yang selalu mengincar Arca Ikan Biru!
Kembali ke daerah selatan Demak. Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang masih terus membuntuti jejak Tangan Iblis yang bergerak ke arah barat. Semalaman mereka terus berkuda.
Kini, matahari pagi telah mulai menampakkan diri, dan sinarnya yang masih condong sekali itu menerobos sela-sela dedaunan menerangi kepekatan hutan di sekeliling. Ternyata kini tampaklah pemandangan yang menyegarkan, berbeda sekali dengan suasana di waktu malam yang gelap pekat dan menyeramkan.
Bunga-bunga liar tumbuh di sana-sini dengan indahnya, sementara beberapa burung pemakan madu dan kupu-kupu beterbangan di atas dedaunan.
Palumpang berdesis gembira ketika ia mendapatkan buah-buah pisang hutan yang telah ranum dan masak. Buru-buru ia memetiknya dari pohon.
"Haa, lumayan buat sarapan pagi!" ujar Palumpang seraya menyungir-nyungir.
"Hmm, beberapa di antaranya telah berlobang! Dimakan burung atau tupai."
Mahesa Wulung bertiga tersenyum melihat kecekatan Palumpang memungut pisang-pisang hutan itu dan mereka menerima bagian pisangnya dengan rasa bersyukur. Dengan begitu mereka dapat sekedar mengisi perutnya yang telah mulai kosong, setelah semalaman mereka berkuda terus-menerus. Bagi mereka, perjalanan ini dianggapnya biasa saja. Tetapi bagi orang-orang biasa, ah, barangkali akan jatuh tertidur di atas pelana kudanya. Atau barangkali malah terlempar jatuh di atas tanah, saking kelelahan dan kantuknya.
"Kakang Cemani," ujar Mahesa Wulung lalu menoleh ke samping, "apakah Kakang ingin mengambil istirahat barang sejenak?"
"Sekarang belum perlu, Adi Wulung," sahut Gagak Cemani pelan.
"Nanti saja, menjelang tengah hari dan saat luhur, kita akan beristirahat sebentar."
"Benar, Sobat Mahesa Wulung," sambung Palumpang pula.
"Kita masih cukup segar untuk meneruskan perjalanan ini. Lihatlah, merekapun terus meninggalkan jejak yang baru!"
Mahesa Wulung melihat pula, beberapa ranting dan semak belukar yang ditebas-tebas sebagai pembuka jalan. Bekas-bekas itu telah ditinggalkan oleh rombongan Tangan Iblis tanpa sedikitpun menduga bahwa mereka dibuntuti oleh empat orang pendekar dengan seksama.
Akan tetapi benarkah bahwa pembuntutan itu akan terus-menerus berjalan lancar? Suatu kejadian kecil yang tak terduga dan sangat sepele telah merobah suasana itu. Hal itu bermula dari seekor kera kecil yang selalu duduk di atas punggung kuda si Tangan Iblis.
Kera tersebut sudah sangat jinak dan berkali-kali ia naik turun ke atas pundak Tangan Iblis tanpa rasa sungkan-sungkan, sebab sebenarnya Tangan Iblispun sangat menyayangi binatang kecil itu.
Namun tiba-tiba saja kera kecil itu telah mengangkat jidatnya, manakala dari sebuah cabang pohon terdengar jeritan-jeritan nyaring dan riuh.
Tangan Iblis, Jimbaran serta beberapa orang anak buahnya ikut terkejut sesaat, namun kemudian tertawa bila suara riuh tadi berasal dari beberapa ekor kera besar-kecil yang bertenggeran di atas pohon. Dengan gerakan-gerakan yang lucu dan lincahnya, kera-kera itu mencibir dan meringis-ringis ke arah kera kecil yang bertengger pada pundak Tangan Iblis, seolah-olah menggoda ataupun mengajak bergurau dengan si kera kecil itu.
"Heh, heh, heh. Lihatlah, Jimbaran! Si kecil ini mendapat sambutan dari munyuk-munyuk itu," ujar Tangan Iblis sambil tersenyum lebar.
"Barangkali ia menerima salam ucapan selamat datang dari mereka," ujar Jimbaran pula.
Akan tetapi mendadak saja semuanya pada terperanjat dan rupanya saja tafsiran mereka adalah keliru. Si kera kecil tiba-tiba ikut berteriak dan menjerit-jerit dari atas pundak Tangan Iblis. Bahkan sejurus kemudian ia meloncat pergi meninggalkan tuannya dengan satu jeritan nyaring.
"Nyitt... nguuk, nguuk, nguukkk!"
"Heeei? Dia pergi kepada mereka!" seru Tangan Iblis kaget.
"Hayo, Jimbaran. Kejarlah si munyuk kecil keparat itu! Sungguh nakal dia!"
Jimbaran segera meloncat turun dari atas punggung kudanya, lalu mengejar si kera kecil itu.
"Heei, kembali, Sireng! Kembali!" seru Jimbaran sambil berloncatan mengejar. Namun si kera kecil maupun rombongan kera-kera itu justru malah terkejut dan mereka berlarian ke arah timur dengan cepatnya.
Jimbaran tidak mau menyerah dengan kera-kera itu. Ia terus berloncatan gesit mengejar mereka. Bagaimanapun sukarnya, ia akan berusaha mati-matian untuk menangkap si kera kecil yang nakal itu. Jimbaran telah tahu bahwa Tangan Iblis sangat menyayangi kera kecil yang bernama Sireng tadi, karenanya ia harus selekas mungkin menangkapnya kembali.
Dengan kepergian Jimbaran, rombongan Tangan Iblis terpaksa mengurangi kecepatan jalannya, untuk menjaga supaya Jimbaran tidak ketinggalan terlalu jauh bila ia kembali.
Tanpa menggubris akan segala rintangan, Jimbaran berloncatan dari dahan pohon ke dahan yang lain. Meski tangannya hanya sebelah saja, Jimbaran tidak kehilangan kegesitannya untuk bergerak. Tubuhnya bagaikan kijang melesat ke arah timur, di mana kerakera tersebut berlarian lewat dahan-dahan pohon.
Jimbaran menjadi semakin jengkel. Ternyata kerakera itu tidak mau begitu saja ditangkapnya. Setiap kali hampir terjangkau oleh tangannya, setiap kali pula si kera kecil yang bernama Sireng itu menambah kecepatan larinya. Sedang kera-kera lainnya ikut berlari di sampingnya, seolah-olah memberi semangat dan membimbingnya, agar si kera kecil itu tidak kembali ke tangan manusia-manusia itu.
Terus saja Jimbaran berloncatan mengejar. Terus dan terus ia memburu si kera kecil tadi tanpa mengingat-ingat telah seberapa jauh ia meninggalkan barisannya. Tetapi tiba-tiba ia mengendap turun ke bawah dan menghentikan pengejarannya terhadap kera-kera tadi.
Seperti seekor bunglon ia menyelinap dan mengintai dari balik batang pohon. Kedua matanya menatap ke arah timur. Dari arah sinar matahari pagi, terlihat empat sosok bayangan manusia berkuda.
"Hah, ada orang yang menuju kemari!" desis Jimbaran dengan hati tersontak kaget.
"Mereka menuruti jejak yang dilalui oleh pasukan kami! Hmm. Tegasnya, mereka tengah membuntuti kami! Celaka, aku harus cepat-cepat kembali, untuk melaporkan hal ini kepada Guru Tangan Iblis!"
Maka tanpa membuang waktu lagi, Jimbaran terus berbalik dan meloncat kembali ke arah barat dengan kecepatan yang luar biasa, seakan-akan ia dikejar oleh hantu mengerikan. Mungkin bila diukur, akan tercatatlah bahwa kecepatan geraknya jauh lebih tinggi bila dibanding kecepatannya waktu ia berangkat.
Karenanya, Tangan Iblis menjadi terkejut tiba-tiba ketika ia melihat Jimbaran berloncatan datang dengan napas yang terengah-engah.
"Heei, mengapa engkau, Jimbaran?" seru Tangan Iblis.
"Dikejar hantu!? Mana si kera nakal itu, ha?"
"Ampun, Guru. Saya mohon ampun sebesarbesarnya," ujar Jimbaran.
"Saya mengaku bersalah...!"
"Edan kau rupanya!" sahut Tangan Iblis dengan luapan marahnya.
"Ngomonglah dengan jelas! Belumbelum sudah mengaku salah... apanya yang salah!?"
"Ses... saya terpaksa membiarkan si kera kecil itu kabur!" ujar Jimbaran dengan kepala menunduk kuyu.
"Goblok! Mengapa berbuat demikian?"
"Karena ada sesuatu yang lebih penting."
"Yang lebih penting?!" ujar Tangan Iblis seraya mengguncang-guncang pundak Jimbaran.
"Apa itu?"
"Saya... melihat empat orang asing mengikuti jejakjejak kita, Guru. Mereka berkuda pula."
"Haahh, itu berbahaya! Lekas kumpulkan beberapa orang!" berseru Tangan Iblis.
"Enam orang yang terdepan mendapat tugas baru dengan dipimpin oleh Doyotan!" Orang yang bernama Doyotan segera turun dari atas kudanya dan maju ke depan, begitu pula lima orang di belakangnya segera berbuat sama Tokoh ini memiliki perawakan gempal dengan otot darahnya yang melilit-lilit melingkari tubuhnya bagaikan kawatkawat tembaga yang kokoh. Sedang dua orang yang berdiri mengapit di kiri-kanannya bertubuh kekar pula. Mereka adalah Growong dan Bungkil, dua tokoh yang boleh diandalkan kesaktian dan keberaniannya.
"Dengarlah, Anak-anak!" ujar Tangan Iblis.
"Menurut Jimbaran, kita telah dibuntuti oleh empat orang asing dari sebelah timur. Karenanya, kita harus menyesatkan perhatian mereka dan kemudian menghancurkannya!"
"Kami telah siap, Guru," kata Doyotan.
"Baik! Siasat kita begini. Doyotan berenam terus membuat jejak lurus ke arah barat dengan tetap meninggalkan bekas-bekas tebasan semak belukar dan ranting pepohonan. Sementara itu, aku dan yang lainlainnya akan merubah arah dengan serong ke utara, tanpa meninggalkan jejak apapun. Nah, di saat orangorang asing itu tersesat, maka Doyotan berenam harus menghancurkannya! Cukup jelas, bukan?" demikian kata Tangan Iblis dengan singkat mengutarakan siasatnya.
"Jelas, Guru!" ujar Doyotan seraya mengangguk.
"Biarlah orang-orang asing itu kami selesaikan. Mereka akan kami labrak sampai hancur!"
Tangan Iblis mengangguk puas dan bibirnya tersenyum lebar, katanya pula, "Sekarang juga kita mulai! Doyotan dan rombongannya berjalan di sebelah belakang. Hayo!"
Selesai berkata, Tangan Iblis, Jimbaran dan rombongan besarnya telah bergerak kembali ke arah barat, sementara Doyotan berenam berpindah tempat ke bagian paling belakang. Mereka terus berjalan beberapa saat, dan ketika rombongan besar Tangan Iblis menghampiri sebatang pohon randu alas, ia segera memberi tanda untuk merubah haluan. Dengan melewati samping pohon raksasa itu, mereka membelok serong ke arah utara, tanpa meninggalkan jejak apapun, menerobos hutan itu dengan diam-diam.
Sedang Doyotan bersama kelima temannya tetap dalam arahnya yang lurus ke arah barat dengan meninggalkan jejak-jejak seperti semula.
Begitulah, dua rombongan itu mulai berpisah arah. Doyotan dan kelima kawannya sesaat masih menatap bagian ekor dari barisan besar Tangan Iblis yang melenyap di balik semak-semak, bagaikan seekor ular yang menyelinap di antara dedaunan untuk menyelamatkan diri.
Doyotan tidak menjadi berkecil hati dengan perpisahan itu, sebab sesudah melaksanakan tugasnya, mereka akan menyusul kembali ke arah utara untuk kemudian bergabung lagi dengan rombongan besar Tangan Iblis.
Yang kini memenuhi ingatannya adalah orang-orang asing, seperti yang dikabarkan oleh Jimbaran telah berani membuntuti gerombolan mereka.
"Hemm, aku ingin tahu, apakah maksud mereka sebenarnya? Bukankah tindakan mereka ini ibarat membuntuti seekor harimau ganas, setiap saat siap mencaplok mereka!?" demikian pikir Doyotan. Rombongan yang dipimpinnya ini terus berjalan dengan lancarnya, menerobos semak dan melewati pepohonan yang besar-besar.
--¤¤¦ « BAGIAN V » ¦¤¤--
Gagak Cemani, Tungkoro dan Palumpang ikut terperanjat, lalu mendongak ke atas untuk melihat kerakera tersebut.
"Sungguh aneh!" ujar Mahesa Wulung di dalam hatinya.
"Firasat apakah yang diberikan oleh kera-kera itu? Mereka berlarian seperti dikejar sesuatu."
"Lihatlah kera-kera itu, Adi Wulung!" ujar Gagak Cemani.
"Mereka tampak ketakutan...!"
"Ya benar, Kakang Cemani. Mereka seperti dikejar oleh sesuatu dari arah barat!"
"Tepat sekali penyimpulanmu!" sahut Gagak Cemani pula.
"Dengan begitu, akan berarti bahwa sebentar lagi kita akan dapat melihat sesuatu yang muncul di belakang kera-kera itu, yakni si pengejar mereka!"
Mahesa Wulung terpaksa kagum pula oleh keterangan Gagak Cemani tadi, lalu katanya pula, "Mengapa di belakang kera-kera itu, Kakang Cemani? Itu kan berarti bahwa si pengejar mereka berada di atas pepohonan!"
"Yah, memang begitu, Adi Wulung."
"Apakah tidak mungkin bila si pengejar itu berada di sebelah bawah?" kembali Mahesa Wulung bertanya.
"Saya kira, jika si pengejar itu berada di bawah, maka kera-kera tersebut tidak bakal berlarian secepat dan sepanik itu. Paling-paling mereka hanya berloncatan ke sana-kemari sambil memekik-mekik," ujar Gagak Cemani.
Dengan mengangguk-angguk, Mahesa Wulung memahami pengupasan Gagak Cemani yang jitu tadi. Justru ia menjadi bergembira mempunyai sahabat kental yang telah dianggapnya seperti saudara sendiri. Sementara itu satu rasa kecurigaan yang dihubungkan dengan kera-kera tersebut telah muncul di dalam dada Mahesa Wulung. Tiba-tiba saja ia merasa harus bersiaga untuk menghadapi segala sesuatu, karenanya iapun berkata kepada sahabatnya, "Kakang Cemani, sebaiknya kita berhenti sejenak!"
"Mengapa, Adik Wulung?"
"Aku ingin meyakinkan apakah perjalanan kita ini baik-baik saja, tanpa sesuatu bahaya yang mengancam di depan kita," ujar Mahesa Wulung.
"Ya. Itu perlu juga," kata Gagak Cemani.
"Bukankah aku telah berkata pula tadi, bahwa sebentar lagi kita bakal melihat sesuatu yang telah mengejar kera-kera tersebut?"
"Aku masih ingat hal itu, Kakang Cemani!"
"Bagus. Karenanya akupun ingin melihat kenyataan dari penyimpulanku tadi!" ujar Gagak Cemani.
"Saya kira, kera-kera tersebut tidak bakal berlarian tanpa sesuatu sebab."
Begitulah akhirnya, empat orang sahabat itu menghentikan langkah kudanya. Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang, dan Tungkoro masing-masing memperhatikan suasana di sekelilingnya, terutama ke arah barat, di mana bekas-bekas jalan yang dirintis oleh gerombolan Tangan Iblis masih kelihatan dengan jelasnya. Ranting-ranting yang patah, dedaunan yang terbabat putus, kelihatan berserakan di sana-sini.
Beberapa saat, mereka berempat telah duduk termangu, masing-masing di atas punggung kudanya. Tetapi sampai sejauh itu tak sesuatu kejadian apapun yang membuat mereka terlepas dari ketegangan ini.
"Tak terjadi apa-apa, Kakang Cemani," ujar Mahesa
Wulung.
"Aneh, bukan?"
"Yah! Aku menjadi bercuriga sekarang!" menyahut Gagak Cemani.
"Baiknya kita mempersiapkan senjata." Palumpang dan Tungkoro telah bersiap-siap pula.
Kini hutan di sekelilingnya menjadi sepi tampaknya, seakan-akan diliputi oleh kebisuan dan ketegangan yang mencekam. Dan memang sesungguhnya, suatu ketegangan tengah menanti-nanti untuk meletup dengan hebatnya!
Jauh sedikit di sebelah barat atau lurus di depan rombongan Mahesa Wulung berempat, Doyotan bersama kelima orang pengikutnya telah berpencar di balik semak pepohonan ataupun tonjolan batu-batu.
Mereka terus-menerus mengintip keempat orang asing yang tidak lain adalah Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro. Gerundal dan geraman tanda jengkel berkali-kali terdengar dari mulut para pengintai itu.
"Hmmm, keparat! Mengapa mereka terhenti di sana?" kata Doyotan dengan jengkelnya.
"Barangkali mereka telah tahu tentang kita...!" desis Growong seraya menggenggam lebih erat senjata sabitnya yang berantai panjang dan berkeredapan.
"Tak mungkin mereka tahu," sahut Bungkil yang bermata kecil, sementara golok besarnya dicocokcocokkan ke atas tanah.
"Kita kan bersembunyi di sini baik-baik, tanpa membuat gaduh. Jadi dari mana mereka tahu?"
"Kita serang saja sekarang!" ujar ketiga orang teman lain yang bersembunyi di belakang mereka.
"Apa lagi yang kita tunggu-tunggu?"
"Biar mereka bergerak lebih dekat kemari!" bisik Doyotan.
"Setelah itu barulah kita serang dengan tibatiba."
"Hehh, tanganku sudah gatal untuk menarik senjataku ini!" geram si Growong yang berwajah angker. Pada dahinya terdapat bekas luka yang cekung, dan agaknya karena keanehan ciri tersebut maka ia dipanggil dengan nama Growong.
"Tahan dahulu, Sobat, janganlah berbuat gilagilaan. Akulah yang memimpin di sini!" desah Doyotan yang wajahnya tidak saja angker, tapi keras bagaikan gumpalan batu karang.
"Apapun yang terjadi di sini, baik ataupun buruk, akulah yang bertangguh jawab!"
Sesaat Growong melirik tajam ke arah Doyotan dan menggemeretakkan giginya. Baginya, Doyotan cuma lebih tinggi setingkat ilmunya dari dirinya. Tetapi, karena ia telah diserahi memimpin rombongan kecil ini oleh Tangan Iblis, maka terpaksalah ia berada di bawah perintah Doyotan.
Itulah sekelumit gambaran tentang ketegangan yang timbul di antara para pencegat. Baik ketegangan pribadi di antara mereka sendiri maupun ketegangan dalam menghadapi keempat orang asing yang tengah dinantinya!
Terlihatlah betapa peluh mereka berbintik-bintik menetes dari lobang kulit, selambat waktu yang dinantikan oleh mereka. Bahkan terasa pula betapa rasa gatal telah menyengat-nyengat permukaan kulitnya, bagaikan belasan ekor semut yang tengah mengeroyoknya.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan kedua rekannya, juga merasakan saat-saat ketegangan yang timbul pada diri mereka.
"Sungguh aneh! Terasa sangat sepinya!" bisik Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung.
"Bagaimana, Adik Wulung? Apakah akan terus mengambil jalan ini, ataukah kita berganti arah?"
"Kita tetap mengambil jalan ini, tapi terlebih dahulu aku ingin meyakinkan, apakah di sana aman-aman saja," begitu Mahesa Wulung berbisik ke arah Gagak Cemani.
"Aku akan melepaskan pukulan Angin Bisu ke arah barat!"
"Heei, tapi bukankah hal ini bakal menerbitkan suara dan gerombolan mereka pasti akan segera mengetahui tentang diri kita?" gumam Gagak Cemani sedikit cemas.
"Mereka tak bakal tahu, Kakang Cemani. Palingpaling mereka hanya mengira adanya angin ribut yang bertiup dari sebelah timur. Nah, dengan begitu, setidak-tidaknya mereka akan menyerukan kepada temanteman rombongan tentang datangnya angin ribut. Dari situlah kita akan mengetahui apakah mereka masih berada di sana atau tidak."
"Baiklah!" ujar Gagak Cemani singkat serta membiarkan Mahesa Wulung bersiaga lalu melancarkan Pukulan Angin Bisu ke arah barat, yakni ke arah jalan rintisan yang berada di depannya.
Werrrr...! Angin ribut segera bertiup bersamaan terlontarnya Pukulan Angin Bisu dari Mahesa Wulung. Dedaunan porak-poranda terombang-ambing, sementara ranting-ranting kecil segera berpatahan diiringi bunyi berderak-derak membisingkan telinga.
Maka di saat itulah, Doyotan sudah tidak dapat menahan marah dan kesabarannya, dan berserulah ia kepada kelima orang kawannya, "Ayo, kita serang sekarang!"
Enam sosok tubuh bersenjata muncul dari sela-sela dedaunan semak yang terombang-ambing angin bagaikan enam ekor ular berbisa yang siap memagut lawannya. Seorang di antaranya berada di sebelah depan, langsung menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan ganasnya. Senjatanya adalah tombak pendek yang bermata kembar pada kedua ujungnya, berputar laksana baling-baling maut. Si penyerang ini yang berotot seperti kawat tembaga, tidak lain adalah Doyotan!
Mahesa Wulung sangat terkejut mendapat serangan tiba-tiba dari Doyotan. Namun tanpa kehilangan pengamatan ia segera memutar kudanya ke kiri sehingga senjata tombak bermata kembar dari lawannya segera dapat dielakkannya.
Dalam sekilas itu pula tampaknya si Doyotan bakal terjungkal ke tanah, tetapi tiba-tiba saja ia telah melenting kembali ke atas udara, sebab begitu kedua ujung kakinya menyentuh bumi segera dihentakkannya ke situ sehingga tubuhnya mencelat bagaikan belalang. Sungguh mengagumkan!
Tanpa membuang waktu, Mahesa Wulungpun melesat dari atas punggung kudanya, langsung menyabetkan pedang di tangannya ke arah Doyotan,
Westt!
"Heyaahh!" Doyotan menyambut serangan itu dengan tombaknya bermata kembar, sementara kaki kirinya menyapu kepala Mahesa Wulung dengan deras.
"Mampus kau!"
Trengng…! Plakk…! Mahesa Wulung lebih dulu menangkis kaki Doyotan dengan sabetan tangan kirinya ke atas, sementara kedua senjata di tangan masingmasing telah beradu sampai bergetaran hebat! Kalau Mahesa Wulung hanya terperanjat sedikit, maka Doyotan lebih banyak kagetnya karena hampir-hampir putaran senjatanya mental balik dan menyobek tubuhnya sendiri!
Tak ubahnya seekor tupai, Doyotan mendarat di atas tanah, begitu pula Mahesa Wulung telah memijakkan kakinya ke bumi tanpa banyak suara, bagaikan selembar daun kering. Melihat ini, Doyotan tercekat kaget, dan batinnya, "Pantas, orang ini berani mengusik rombongan Tangan Iblis! Tak tahunya memang dia mempunyai ilmu pula!"
"Heei, seranganmu kurang terkendali, Sobat!" ujar Mahesa Wulung setengah mengejek.
"Untunglah karenanya. Dadaku tidak jadi terlobang oleh senjatamu itu!"
"Eee, kau sudah bersombong diri, sedangkan seranganku tadi belumlah serangan yang sesungguhnya!" seru Doyotan sambil meludah ke tanah.
"Sebentar lagi kau akan mati di tanganku ini. Barulah kau tahu siapa sesungguhnya yang bergelar Doyotan!"
"Heh, heh. Mahesa Wulung akan bersedia melayani beberapa jurus seranganmu yang sehebat apapun!"
"Kurang ajar! Sombongmu sudah kelewat batas!"
"Silahkan ngomong sepuas mulutmu!" teriak Growong.
"Sebab setelah ini, ia tak akan sempat lagi untuk berkata-kata!"
"Bagus! Aku memang sangat senang berhadapan dengan musuh yang bersemangat seperti kamu!" sahut Gagak Cemani.
"Terlebih-lebih lagi dengan golok pusakaku ini!"
"Keparat! Sambutlah seranganku yang berikutnya!" umpat Gowang Growong seraya memutar sabitnya kembali, sampai bersiutan nyaring mengeluarkan bunyi yang memedihkan telinga.
Gagak Cemani telah kenyang akan segala pengalaman peperangan yang beraneka coraknya. Menghadapi senjata sabit berantai tersebut, buru-buru ia berseliweran di antara celah belukar dan berharap agar senjata lawannya itu akan terkait pada dahan pohon serta macet di situ.
Akan tetapi pendekar bergolok hitam ini terperanjat pula, sewaktu sabit berantai lawannya tetap menyambar-nyambar dan membuat putus segala semak belukar yang melindungi Gagak Cemani, sampai pendekar berkumis runcing ini mengeluh kaget.
"Tobat!" desis Gagak Cemani.
"Memang kesombongannya ternyata benar. Senjata sabitnya berantai itu sangat hebat!"
"Ha, ha, ha. Kau tahu sekarang bahwa senjataku ini sangat hebat tak terlawankan. Hanya angin saja yang kiranya sanggup menghadapinya!" ujar Gowang Growong seraya menarik serangannya. Seperti diketahui, karena senjatanya itu berantai maka jarak serangannya dapat diperjauh tapi dapat pula diperpendek.
Belum lagi Gowang Growong selesai berkata, Gagak Cemani telah lebih dahulu melesat menerjang ke depan. Golok hitam di tangannya menyambar laksana sebuah taring naga dengan getaran hebat. Wusssss….
"Auuhh!" desis Gowang Growong seraya berjumpalitan ke samping, meski sedikit terlambat, karena ujung golok hitam Gagak Cemani masih sempat menyentuh pundaknya.
"Keparat. Serangannya sangat cepat, secepat burung gagak menyambar mangsa. Rupanya nama Gagak Cemani dihubungkan pula dengan kecepatan geraknya!"
Bagi Gowang Growong, luka kecil itu memang tidak menimbulkan rasa sakit seperti. Sebagai seorang pendekar gemblengan dari Tangan Iblis, ia tak bakal menangis hanya disebabkan kulitnya terluka kecil oleh senjata lawan. Namun yang membuat panas hatinya, ialah kekalahan cepatnya dalam melukai seorang lawan. Ternyata Gagak Cemani belum cedera apa-apa, sedang dia sendiri telah terluka pundaknya!
Oleh sebab itu Gowang Growong menjadi marah sekali. Senjatanya yang aneh tadi diputar kembali lebih hebat. Sebentar menyambar sangat jauh, sebentar lagi menyambar dalam jarak yang lebih dekat, tak ubahnya seekor ular berbisa yang siap mencari kelemahan lawan. Begitu lawannya terlengah, begitu cepat ia menyambar dan akibatnya jangan diragukan lagi. Pasti ada kepala copot dari tubuh ataupun tubuh lawannya bakal berbelah menjadi dua.
Gagak Cemani tidak pula secara gegabah menanggap serangan-serangan tersebut. Ilmu meringankan tubuhnya yang telah matang segera ditrapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terlihat mencelat ke sana-ke mari dengan gerakan-gerakan ringan yang lincah. Hingga selintas lalu tampaklah ia bergerak seperti burung gagak dengan jubahnya yang berkibaran di atas punggung.
Ia berselinapan di celah-celah hujan sambaran sabit lawannya yang berputar seperti bolang-baling tanpa kenal ampun. Sekali-sekali golok hitamnya menyambar ke arah Gowang Growong, tetapi secepat itu pula lawannya mengelak.
Di sebelah lain, Palumpang menghadapi dua orang lawan yang menyerangnya secara beruntun sambungmenyambung. Golok-golok mereka bersambaran dari arah-arah yang tak terduga asalnya serta gesit.
Anehnya sampai sejauh itu, Palumpang tidak menggunakan senjata apapun. Jadi dia cuma bertangan kosong selama itu. Tak heranlah bila kedua lawannya itu menjadi semakin panas hatinya, sehingga salah seorang yang bertubuh kecil berseru keras, "Heei lekas kau gunakan senjatamu, supaya matimu secara terhormat pula!"
"Heh, heh. Kau berkata tentang kehormatan. Tetapi mengapa kalian main keroyok!?" ujar Palumpang tajam.
"Persetan! Kami tak ingin membiarkan seorang kawan cuma berdiri sebagai penonton selagi kawannya sibuk bertempur. Karenanya, apa salahnya bila temanku ikut bertempur di sampingku?" seru si tubuh kecil yang tidak lain adalah Bungkil. Senjata golok berkali-kali menebas dengan angin maut yang menggiriskan hati. Tak terkira bahwa musuh Palumpang yang bertubuh kecil itu sanggup menggerakkan golok besar sehebat itu. Kiranya orang-orang yang kini menyerang rombongan Mahesa Wulung itu terhitung sebagai jagoan-jagoan terpilih dari gerombolan Tangan Iblis!
Lain lagi dengan Tungkoro. Ia cepat-cepat menghunus pedangnya seraya menghantam kedua lawannya yang bersenjata golok-golok panjang. Dengan begitu segera terdengar bunyi gemerincing dan berdentang dari benturan-benturan ketiga senjata mereka, diseling letupan asap panas yang mengagumkan.
Bagi Tungkoro, pertempuran ini betul-betul meminta perhatian yang lebih banyak, sebab kedua lawannya ini sangat bernafsu untuk membunuhnya, seperti terlihat dari sorot mata mereka yang tajam dan penuh kebencian.
Segala ilmu pedang yang pernah dipelajari, ditumplak oleh Tungkoro dalam pertemuan ini, sehingga pedang Tungkoro tak henti-hentinya menyambar, mematuk dam membacok ke arah sasaran. Namun kedua lawannya bukankah anak kemarin sore. Golok-golok mereka selalu menyerang dari dua arah yang bertentangan.
Kalau yang satu menyerang ke arah kaki, maka yang satu lagi ke arah kepala. Agaknya mereka bermaksud mencegat gerakan-gerakan Tungkoro dan hal ini sebenarnya cukup menyulitkan pula bagi Tungkoro. Bagaimanapun juga menghadapi seorang orang lawan lebih mudah daripada dua orang lawan, sebab ia harus membagi dua perhatian sekaligus yang tidak sama.
Begitulah maka pertarungan ini berlangsung sangat dahsyatnya di tengah hutan, merupakan tiga lingkaran pertarungan yang masing-masing penuh dengan ketegangan dan bentrokan-bentrokan maut.
"Heh? Jadi rombongan yang aku buntuti hanya terdiri dari enam orang ini saja?!" gumam Mahesa Wulung sedikit heran.
"Pasti tidak! Aku yakin bahwa keenam orang ini ditugaskan oleh mereka untuk mencegatku!"
Dalam pada itu, Bungkil dan seorang kawannya semakin hebat melancarkan serangan-serangan goloknya ke arah Palumpang yang bertangan kosong. Selama ini, pendekar lautan itu cuma berloncatan ke sanake mari menghindari serangan dan kadang-kadang ia melancarkan tendangan maupun jotosan ke arah kedua lawannya. Benar-benar gerakannya selincah ikan cucut di atas permukaan air.
Akan tetapi Bungkil berdua terus-menerus melipatkan serangannya, sehingga akhirnya Palumpang merasa sedikit kerepotan juga. Dan tiba-tiba saja Palumpang mencabut sesuatu dari balik bajunya, membuat kedua lawannya surut ke belakang dengan tertegun.
Pada tangan kanan Palumpang tergenggamlah seuntai akar laur bercabang-cabang, berwarna hitam kemerahan. Itulah salah satu senjata aneh Palumpang yang terbuat dari Akar Bahar Api. Begitu akar tadi digerakkan oleh Palumpang, segera terlihatlah batangbatang runcing merah hitam menyambar-nyambar dengan bau air laut yang asin ke arah Bungkil dan kawannya. Kedua lawan ini bertebaran menghindar dengan memekik kecil saking kaget dan ngerinya. Mereka sadar bahwa akar tersebut sangat ampuh dan berbisa. Tikamannya berarti maut, kecuali bagi pemiliknya yang memiliki obat penawar untuk menahan dan menyembuhkan lukanya.
Hingga di sini selesailah ceritera "Arca Ikan Biru", seri Naga Geni yang kedua puluh tiga. Segera akan menyusul ke ruang Anda, seri Naga Geni 24 dengan judul "PENDEKAR EMPAT SERANGKAI". Akan Anda ketahui bagaimana dengan Demang Cundraka dan ke mana tujuan Tangan Iblis? Apakah Tuntari tinggal berpangku tangan di rumah? Tunggulah. Mungkin Panembahan Tanah Putih dan Pendekar Bayangan akan muncul kembali.
TAMAT
INDEX NAGA GENI | |
Jejak Telapak Iblis --oo0oo Pendekar Empat Serangkai |