Pendekar Empat Serangkai
tanztj
August 16, 2016
INDEX NAGA GENI | |
Arca Ikan Biru --oo0oo Orang-Orang Liar |
Seri Naga Geni
Karya : W.H. Wibowo
--¤¤¦ « BAGIAN I » ¦¤¤--
Kini matahari telah berangsur-angsur merayap lebih tinggi dari tepi langit sebelah timur, dan seirama dengan itu pertempuran di tengah hutan itupun menjadi kian dahsyat.
Si tokoh berwajah sekeras batu karang yang bergelar Doyotan, sekarang dapat lebih menguasai dirinya. Tombak pendeknya yang bermata kembar senantiasa berputar bagaikan kitiran menyambar ke sana kemari, disertai desingan angin yang menyayat-nyayat telinga, bagaikan merintih-rintih untuk minta korban.
Tak jauh dari tempat itu, terlihatlah kilatan-kilatan cahaya yang berasal dari sabit berantai di tangan Growong. Sambaran-sambaran maut semakin gencar mengurung gerakan-gerakan Gagak Cemani.
Sedang di tempat lain, Palumpang dan Tungkoro sekaligus menghadapi masing-masing dua orang lawan yang mengurungnya dengan serangan-serangan dahsyat pula.
Di saat pertempuran menjadi semakin dahsyat, maka sadarlah Mahesa Wulung bahwa keenam lawan yang mengurung mereka ini adalah orang-orang pilihan dari gerombolan Tangan Iblis. Karenanya tidak terlalu mengherankan bila sampai sejauh itu mereka masih tangguh menyerang Mahesa Wulung dan ketiga kawannya. Hampir dua puluh lima jurus lebih mereka bertarung, namun toh masih belum ada korban yang jatuh.
Mahesa Wulung yang telah menggenggam pedangnya segera cepat-cepat menggerakkannya dengan hebat. Kalau semula ia lebih banyak menangkis gerakan senjata lawan dan hanya sekali-sekali saja ia melancarkan serangan, maka sekarang ini benar-benar berlainan. Tanpa sungkan-sungkan Mahesa Wulung mulai menyalurkan hawa sakti dan ilmu pedangnya yang bernama Sigar Maruta, hasil gemblengan dari mendiang Ki Camar Seta.
Karuan saja Doyotan menjadi terperanjat, sebab ia dapat merasakan gerak perubahan dari ilmu pedang lawannya. Tampak olehnya bahwa pedang Mahesa Wulung menjadi lebih santer bergerak. Yang tampak kemudian adalah kilatan-kilatan sinar putih yang menyambar-nyambar bagaikan halilintar. Bahkan seolaholah pedang tersebut telah menari-nari dengan lincahnya sambil setiap kali mematuk ke arah Doyotan dalam gerakan yang tak terduga.
Masih lebih beruntung bila Doyotan dapat menangkis pedang tersebut dengan tombak pendeknya yang bermata kembar meskipun untuk itu ia harus menggerakkan tenaga sepenuh mungkin. Jika tidak, jangan harap ia sanggup bertahan lebih lama.
"Keparat! Sukar juga untuk merobohkan orang ini!" gumam Doyotan penuh kejengkelan.
"Biarlah. Akupun tak sudi untuk dipameri ilmu pedangnya. Akupun punya permainan menarik dengan senjataku ini!"
Tetapi... tiba-tiba....
Weesss. !
"Hiaattt!" Clangng! Tubuh Doyotan terpental ke belakang ketika sebuah tebasan pedang Mahesa Wulung membentur tombak Doyotan dengan kerasnya, sehebat runtuhan gunung karang yang meledak.
Disertai napas yang mendengus, Doyotan cepatcepat berdiri sesudah beberapa langkah ia bergulingan dan terpental. Matanya semakin tampak merah karena diluapi oleh rasa amarah, sementara ia memegang lurus-lurus tombak pendeknya itu ke arah Mahesa Wulung.
Sudah barang tentu si pendekar Demak inipun tidak tinggal diam. Pedang di tangannya segera melintang di depan dada dengan mata pedang menghadap ke luar.
"Mahesa Wulung. Ternyata engkau seorang lawan yang tangguh. Karenanya aku terpaksa mengeluarkan ilmu tombakku ini, dan jangan menyesal bila engkau roboh olehnya!" demikian ujar Doyotan dengan lantang.
"Hmm, tak perlu kau berbasa-basi demikian," seru Mahesa Wulung.
"Pakailah ilmumu supaya engkau puas!"
"Bagus. Aku ingin tahu apakah engkau sanggup mempertahankan dirimu lebih lanjut!" teriak Doyotan sambil tangan kirinya menggeprak batang tombak pendeknya dan entah bagaimana asal mulanya, karena tahu-tahu tombaknya itu terbelah menjadi dua bagian, sehingga masing-masing tangan Doyotan kini telah bersenjata tombak.
"Hahhh?" desah Mahesa Wulung kaget. Ternyata ia tidak mengira bahwa tombak pendek Doyotan itu terdiri dari dua bagian tombak pipih yang melengket satu sama lain, dan kini tombak tersebut telah terpisah menjadi dua bagian.
"Ha, ha, ha. Kau terkejut bukan? Sambutlah ini! Hyaattt!" teriak melengking terlontar dari mulut Doyotan disusul tubuhnya meluncur ke depan, sementara kedua tombak pendeknya menikam hebat.
Mahesa Wulung telah bersiaga pula agaknya, sebab begitu serangan Doyotan mendatang, pedang di tangannya segera menyambut. Maka keduanyapun bertempur hebat.
Di sebelah lain, Gagak Cemani masih gigih membendung serangan sabit berantai dari Growong. Kalau semula ia merasa kerepotan menghadapi senjata aneh tersebut, kini tidak lagi demikian. Naga-naganya ia telah mengetrapkan semua ilmu ajaran gurunya, Ki Bujanggiri* yang maha ampuh itu. Maka tubuhnya mencutat ke sana-kemari, lolos dari sambaran sabit berantai dari Growong, tak ubahnya gerakan seekor burung gagak yang lagi bergurau. (*Lihatlah seri Naga Geni 15: Pendekar Gagak Cemani).....
Bahkan tidak sampai di situ saja. Setiap kali, golok hitam di tangan Gagak Cemani selalu menerobos pertahanan Growong dan menyambar dalam kecepatan yang menakjubkan. Beberapa luka-luka kecil telah menghiasi tubuhnya, tak ubahnya seekor jago aduan yang telah tergores oleh taji lawannya. Namun hal ini rupanya malah membuat hati Growong semakin panas, tak ubahnya seonggok bara api yang terhembus angin dan menyala semakin hebat.
Serangan sabit berantai di tangan Growong bertambah ketat juga. Hanya saja Gagak Cemani kini telah mengetrapkan ilmunya, sehingga serangan-serangan Growong itu tidak banyak artinya, kecuali hanya untuk memperpanjang waktu saja.
"Celaka jika terus-terusan begini!" kata Growong di dalam hatinya.
"Pendekar berkumis melintang ini memiliki ilmu dan tenaga yang berlipat-lipat. Aku dapat menduga bahwa duapuluh lima jurus lagi pastilah aku bakal kehabisan tenaga untuk melawannya!"
Sambil bertempur itu Growong sibuk berpikir pula untuk menahan serangan-serangan Gagak Cemani yang semakin garang datangnya.
"Hmm, aku harus menggeser lingkaran pertempuran ini ke arah Bungkil dan kawan-kawannya. Aku harus minta bantuan salah seorang di antara mereka!"
Dengan begitu, maka sedikit demi sedikit Growong berusaha mendekati ke arah Bungkil dan kawankawannya yang saat itu lagi bertempur melawan Palumpang dan Tungkoro.
Tampaknya pula, pertempuran mereka itupun tengah berada di dalam puncak ketenangan. Seperti Palumpang yang bersenjata Akar Bahar Merah, senantiasa melancarkan serangan-serangan dahsyat ke arah lawannya. Gerakan pendekar laut ini benar-benar selincah ombak lautan yang menghempas tak hentihentinya, sehingga tak mengherankan bila Bungkil dan kawannya yang seorang itu senantiasa dibuat kalang kabut. Mereka berdua menjadi ngeri melihat senjata akar laut milik Palumpang yang ganas memburu-buru ke segenap arah. Ke manapun mereka bergerak, senjata aneh itupun senantiasa memburunya.
Bungkil berdua telah mengucurkan peluh akibat pertempuran yang seru itu. Mereka mulai dijalari oleh perasaan jerih, sebab lawannya yang bergelar Palumpang itu, benar-benar setangguh batu karang.
Bagi Bungkil, ini sudah merupakan satu kelebihan bahwa seorang lawannya masih sanggup bertahan. Sedangkan bagi lawan-lawan yang telah dirobohkannya pada saat-saat lewat, tidaklah setangguh Palumpang.
Sambil terus bertempur, Bungkil diam-diam mengharap bahwa Doyotan akan memberi sesuatu aba-aba untuk mengundurkan diri ataupun mengambil langkah-langkah yang perlu. Yah, bukankah Doyotan menjadi pimpinan dalam penyergapan ini? Sudah seharusnya ia dapat melihat suasana yang tengah terjadi. Namun rupa-rupanya Doyotan tak sempat memikirkan hal itu karena ia sendiri tengah mati-matian membendung serangan pedang Mahesa Wulung.
Tiba-tiba ia melihat bahwa gerakan Growong makin bergeser dan mendekat ke arah dirinya, membuat hati Bungkil agak tenang sedikit, sebab ia berharap akan mendapat bantuan dari Growong yang bersenjata sabit berantai.
Hampir saja Bungkil berseru kepada Growong agar ia mendapat bantuan dari tokoh tersebut. Namun alangkah kagetnya bila sahabatnya itu justru berseru dengan tajam ke arahnya, "Bungkil! Bantu aku melawan pendekar berjubah ini! Ia terlalu alot untuk dilawan sendiri!"
"Hah!? Kamipun tengah kesukaran untuk merobohkan orang gendeng yang bersenjata akar ini!"
"Jadi...?" Bungkil tak melanjutkan kata-katanya, sebab sudah cukup jelas baginya bahwa justru kedudukan dirinya bersama kawan-kawannya, berada dalam bahaya.
Orang seperti Growong justru berilmu sedikit lebih tinggi daripada dirinya. Maka jika Growong merasa kerepotan menghadapi lawannya tersebut, lalu apalagi dengan dirinya?
Dalam pada itu Doyotanpun agaknya telah menyadari akan kerepotan pada rekan-rekannya. Ia melihat, betapa Bungkil berdua mulai terdesak oleh Palumpang. Begitu pula dengan Growong yang menghadapi Gagak Cemani. Hanya kedua rekan lainnya yang kini sibuk melawan Tungkoro kelihatan agak seimbang. Namun iapun ragu, apakah hal itu akan bertahan lama? Sedang dia sendiri? Doyotan tak habis mengumpat sebab senjata tombak pendeknya yang sepasang itu masih belum sanggup merobohkan Mahesa Wulung.
Telah berkali-kali Doyotan melancarkan seranganserangan mautnya, tapi setiap kali pula tubuh Mahesa Wulung lolos bagai asap dari ancaman senjatanya!
"Apakah terpaksa mengundurkan diri?" gumam Doyotan dengan jengkel.
"Mereka terlalu kuat jika dihadapi oleh enam orang saja. Seharusnya lima belas atau dua puluh orang, baru memadai untuk mengeroyok mereka! Hmm, sayang ketua Tangan Iblis belum memperhitungkan kekuatan mereka!"
Rerasan Doyotan tersebut belum segera dilaksanakan, sebab saat itupun hatinya masih diliputi oleh keragu-raguan. Sementara ini, sepasang tombak pendeknya berkali-kali menangkis tebasan pedang Mahesa Wulung yang berjurus Sigar Maruta.
Seperti diketahui, ilmu Pedang Sigar Maruta ini mempunyai banyak ragam jurus dan siasat. Tidak kurang dari tujuh puluh lima jurus Sigar Maruta telah diwarisinya dari pendekar Camar Seta, dan sesungguhnya telah mendarah daging serta berurat akar di dalam diri Mahesa Wulung.
Dua puluh lima jurus awal dari Sigar Maruta ialah berlandaskan kelincahan gerak semata-mata, dan ini sering membuat pedang Mahesa Wulung seperti menari-nari ataupun bergulungan seperti angin. Sedang dua puluh lima jurus yang kedua atau madya, adalah berisi serangan maut dan mematikan. Pada dua puluh lima jurus yang ketiga atau inti telah diolah lebih dalam oleh Mahesa Wulung dan ini merupakan puncak dari ilmu Pedang Sigar Maruta yang dahsyat itu. Pada jurus-jurus inti inilah Mahesa Wulung telah memadukan ilmu pukulan Lebur Wajanya, sehingga dapat dibayangkan betapa hebatnya seandainya Mahesa Wulung telah menggunakan jurus intinya.
Apa yang kini tengah digunakan untuk menghadapi Doyotan, adalah jurus-jurus kedua puluh enam dan dua puluh tujuh, yakni awal dari jurus Madya. Walaupun begitu, toh sudah cukup menggetarkan dada Doyotan dan lebih celaka bagi Doyotan, karena ia mengira bahwa jurus-jurus tersebut adalah jurus puncak dari ilmu pedang Mahesa Wulung.
Wesss... wess... wesss.... Begitulah Doyotan dengan nekadnya menerjang Mahesa Wulung dengan sepasang tombak pendeknya yang bergerak laksana dua cakar elang lagi kelaparan.
Bertepatan saatnya juga, tiba-tiba Mahesa Wulung melesat ke depan sementara pedangnya bergulungan menyambar dan menyambut serangan lawan.
Sriingngng Bet!
"Haahhh?!" Mahesa Wulung terperanjat kagum sebab dalam saat-saat gawat, Doyotan masih sanggup menyelamatkan diri, meski akhirnya iapun mengeluh kaget, sebab ikat kepalanya telah tanggal dan kini berada di ujung pedang Mahesa Wulung!
"Ses... setan... kau!" desis Doyotan jengkel bercampur rasa jerih yang bercampur aduk di dalam hatinya. Maka segeralah ia berusaha memberi perintah untuk mengundurkan diri kepada kelima orang pengikutnya.
Akan tetapi, belum lagi perintah tersebut keluar dari mulutnya mendadak saja terdengarlah satu jeritan maut dari arah lingkaran pertempuran si Palumpang. Doyotan sempat juga melirik dan terlihatlah dengan jelas betapa senjata aneh akar bahar di tangan Palumpang telah menembus dada salah seorang lawan, sedang Bungkil sangat kaget melihat temannya roboh!
Rekan si Bungkil tadi menggelosor di tanah dengan menebah dadanya yang terluka berlobang-lobang, akibat tikaman senjata akar bahar dari Palumpang. Darah segar pun menyembur ke luar dari lobang-lobang tersebut, tak ubahnya beberapa mata air yang menyemburkan airnya bersama-sama.
Kejadian itu mengagetkan pihak Doyotan, lebihlebih bagi Growong sendiri. Sama sekali ia tidak mengira bahwa salah seorang rekannya telah roboh lebih cepat dari apa yang diperkirakan. Dengan demikian, tipislah harapannya untuk mendapat bantuan dari mereka dan ini berarti pula bahwa Growong harus bertempur mati-matian seorang diri melawan Gagak Cemani!
Ternyata sabit berantai dari Growong sudah tidak ada artinya bagi Gagak Cemani. Meskipun senjata tersebut menyambar-nyambar ganas ke arah si pendekar berjubah, namun selalu saja dapat dihindari oleh lawannya.
"Celaka! Kakang Doyotan belum memberi aba-aba mengundurkan diri! Tapi... memang... seandainya abaaba tersebut diberikan, tentu kami mudah melepaskan diri dari keempat orang lawan ini!" demikian pikir Growong yang mulai kecemasan.
"Waarrghh!" seru jeritan lagi menyusul dari arah lingkaran pertempuran Tungkoro dan tampaklah salah seorang dari pengeroyoknya terjerembab ke atas tanah dengan darah berhamburan dari lehernya yang tersobek oleh pedang Tungkoro. Sedang yang seorang lagi, beberapa saat masih terbengong-bengong menyaksikan temannya roboh bermandi darah. Ia sendiri telah menderita luka-luka kecil di tubuhnya. Suasana benar-benar menjadi tegang di saat itu. Dengan robohnya dua orang rekan, maka Doyotan tinggal mempunyai tiga orang pengikut dan sebentar lagi dapat dibayangkan bahwa mereka berempat pun akan segera binasa di tangan keempat pendekar lawannya. Yah,. Doyotan seolah-olah telah melibat bayangan maut di depannya, secepat berkelebatnya pedang Mahesa Wulung yang ganas dan gesit. Agaknya, kata-kata 'lari' adalah satu-satunya jalan guna menyelamatkan nyawanya dari ancaman senjata keempat pendekar itu.
Namun nasib manusia kadang-kadang berjalan di luar dugaan si manusia itu sendiri dan sesungguhnya, semua itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Besar. Seperti apa yang dicemaskan oleh Doyotan berempat, ternyata tidak setepat dugaan mereka, sebab mendadak saja terjadilah sesuatu yang memecahkan suasana ketegangan tadi.
Entah dari mana asal juntrungnya, tahu-tahu udara siang di sekitar mereka telah dirambati oleh bunyi berdenting-denting aneh, yang meskipun tidak terlalu keras tetapi cukup menjentik-jentik telinga dan jantung. Sungguh menakjubkan! Rasa nyeri timbul sedikit demi sedikit berbareng alunan denting-denting yang sukar diketahui sumbernya.
Ting, ting, ting..., ting..., ting.... Begitulah bunyi dentingan aneh tersebut mengalir di udara dan tanpa disadari suasana pertempuran itupun menjadi terpengaruh! Baik rombongan Mahesa Wulung maupun rombongan Doyotan seolah-olah lebih tertarik oleh suara dentingan tadi daripada lawan-lawan yang harus mereka hadapi.
Dalam hal ini, tak seorangpun bisa menyangkal bahwa suara dentingan tersebut tidak penting bagi mereka sebab dentingan tadi cukup membuat dada-dada mereka bergetar bagaikan disodok-sodok oleh sebatang galah runcing.
Maka seketika itu pula kedelapan orang yang berada di situ seolah-olah terpukau di tempat, bagaikan patung-patung bisu yang masih bernafas. Mereka menebar pandangan ke segala arah dengan maksud untuk mengetahui sumber suara yang aneh tadi. Namun itu hanyalah usaha yang sia-sia belaka sebab suara berdenting-denting tadi seperti mengalir dari beberapa penjuru dengan berganti-ganti.
Mengalami kejadian yang aneh tadi, Mahesa Wulung tidak mau menyia-nyiakan waktu. Segeralah ia melipat kedua sisi telapak tangan di depan dada, guna melapisi dirinya dengan tenaga dalam yang tersalur rapi. Begitu pula Gagak Cemani cepat-cepat bersedekap tangan sesudah ia menyarungkan golok hitamnya terlebih dahulu.
Di dekat mereka, Tungkoro berusaha pula mengatasi suara aneh tadi dengan cara berdiri kokoh bagaikan patung batu. Sedang Palumpang punya cara sendiri. Ia segera duduk bersila di atas tanah dan kedua telapak tangannya menempel pada kedua lutut.
Sementara itu, Doyotan, Growong, Bungkil dan seorang lagi, rupa-rupanya telah menyadari akan pengaruh suara yang berdenting-denting dan kini melanda mereka.
"Kawan-kawan. Jagalah dirimu, terutama inderaindera yang penting!" begitu seru Doyotan memperingatkan.
Growong bertiga segera dapat memahami peringatan itu kemudian bersama-sama Doyotan, mereka duduk berjongkok di atas tanah. Agaknya mereka punya jurus-jurus tertentu untuk mempertahankan diri dari serangan suara aneh ini. Memang sebenarnya mereka berusaha mengurangi getaran suara tersebut dengan cara merendahkan tubuh seperti di atas.
Jika dilihat sepintas, agaknya memang tampak lucu sikap Doyotan beserta ketiga rekannya. Wajah-wajah mereka menjadi tegang dengan mata tak berkedip sementara napas mereka terdengar mengalir sangat tenang.
Sungguh merupakan peristiwa yang ganjil. Kedelapan manusia yang berada di situ mengalami satu ketegangan yang tidak dapat dipecahkan begitu saja. Di sekitar mereka tidak terlihat sesuatu gerak apapun yang dapat diduga sebagai sumber suara.
"Celaka! Siapa yang melancarkan suara ganjil ini?" ujar Mahesa Wulung di dalam hati.
"Apa pula maksudnya!? Hemmm, benar-benar mengagumkan!"
Gagak Cemani mengerutkan keningnya dan ia berkata menggumam seperti berkata untuk dirinya sendiri, "Ternyata pengalamanku kian bertambah. Belum pernah aku menjumpai ilmu seaneh ini "
Saat itu pula Palumpang duduk bersila sangat tenangnya, seolah-olah seperti ia biasa bersila di atas rakit di tengah lautan. Gempuran-gempuran ombak dan angin telah biasa dihadapinya, begitu juga desau angin ataupun ledakan petir, sehingga menghadapi suara dentingan aneh ini, Palumpang tetap bersikap tenang. Namun apakah kiranya ia bakal terus-menerus tahan menghadapinya?!
Suara dentingan aneh tadi memang semula sangat lembutnya dan kemudian meningkat lebih tinggi dan semakin meninggi sampai menimbulkan akibat yang sukar diduga sebelumnya. Hampir-hampir sukar dipercaya!
Doyotan bersama keempat pengikutnya sangat gigih berusaha mengatasi diri. Wajah-wajah mereka menjadi lebih tegang dan tersaput warna merah, sementara bintik-bintik keringat telah memenuhi dahi yang semakin lama bertambah mengalir deras dari lobanglobang kulit. Ketika waktu makin berjalan Doyotan dan Growong masih tetap berjongkok dengan kokohnya, sedang Bungkil dan seorang rekannya tidak lagi sekokoh itu. Keduanya mulai bergetaran seperti orang yang menderita sakit demam.
Di sebelah lain, Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro menderita pula akan getaran yang aneh dan menakjubkan. Tidak berbeda dengan pihak Doyotan, mereka berempat mati-matian menanggulangi serangan udara bergetar yang makin lama semakin hebat.
Wajah-wajah mereka mulai dialiri peluh, menetesnetes seirama degupan jantung yang menghentakhentak tanpa henti. Mahesa Wulung masih berdiri dengan tenangnya, sedang Palumpang terus saja duduk bersila tanpa bergerak, sehingga mirip sebuah patung batu. Apa lagi kedua matanya setengah memejam, tak ubahnya orang yang lagi mengantuk atau seorang yang tengah menikmati sesuatu kenikmatan! Sungguh menarik. Mereka mempunyai sikap yang aneh-aneh. Lebih lagi dengan Gagak Cemani yang berdiri dengan kokoh, kedua belah kakinya seakan-akan telah mencengkeram bumi di bawah. Ia bersikap mengangakan sedikit mulutnya dan inilah cara Gagak Cemani menyambut serangan udara bergetar.
Rupanya saja, Gagak Cemani berusaha mengimbangi getaran udara yang menerobos lobang telinga dengan membuang dan menyalurkannya lewat mulut yang terbuka. Dengan demikian, si telinga tidak bakal terlalu menderita ataupun sampai pecah barangkali! Sayang, tidak semuanya dapat bertahan begitu gigih dan hebatnya. Tungkoro mulai menampakkan wajah yang merah disertai tubuh yang sebentar-sebentar menggetar. Meskipun ia telah berusaha mengusir pengaruh ini, namun hasilnya nihil saja. Bahkan ia malah mengaku gagal. Tubuhnya sebentar tetap menggetar dan Tungkoro sangat mencemaskan nasib selanjutnya. Hampir boleh ia memastikan, bahwa sebentar waktu lagi ia bakal tidak mampu melindungi dirinya.
"Ooh, benar-benar gawat!" pikir Tungkoro kegelisahan.
"Seseorang di antara kami harus berbuat sesuatu untuk mengatasi keadaan yang segawat ini! Aah, tetapi mereka masih berdiam diri! Tambahan lagi, apakah yang dapat kami perbuat?"
Demikianlah Tungkoro berpikir dan sesungguhnya siapapun yang berada di tempat itu hampir rata-rata mengajukan pertanyaan yang sama!
"Celaka! Aku tak dapat membayangkan, bila kejadian ini berlangsung terus-menerus!" gumam Mahesa Wulung seraya menebarkan pandangan ke arah sekeliling. Ia melihat bahwa Gagak Cemani tetap gigih bertahan seperti halnya Palumpang. Tetapi ia menjadi sangat terkejut sewaktu pandangannya tiba pada Tungkoro. Rekan tamtama ini telah mulai terserang oleh getaran aneh yang berdenting-denting tak berkeputusan.
Kendati demikian, Tungkoro masih jauh lebih untung, sebab kelompok Doyotan lebih menderita lagi. Bungkil dan rekannya yang bernama Delok telah bertahan pada titik akhir. Selain tubuhnya bergemetaran sangat keras, juga wajah mereka merah padam berselang-seling dengan warna kepucatan berbareng air mata mereka bercucuran seperti anak kecil.
Ting... ting... ting... ting.... Suara dentingan senada itu masih terus bergetar di udara dan semakin meningkat lebih tinggi dan kini seolah-olah udara bergetar sepenuhnya.
Baik Bungkil maupun Delok sudah sampai pada titik pertahanannya. Keduanya lalu jatuh terguling di tanah dengan tubuh yang masih bergemetaran diikuti suara rintihan mengalir dari mulut mereka, tak ubahnya nasib dua orang yang mabuk! Keruan saja Doyotan dan Growong menjadi sangat kaget begitu menyaksikan tubuh kedua rekannya terguling tanpa daya apapun. Keadaan di situ sangat gawat dan suasana misterius meliputi daerah itu, mencekam dan menyeret apa saja yang berada di dalam jangkauannya!
* * *
--¤¤¦ « BAGIAN II » ¦¤¤--
"Haai! Siapakah Anda, yang telah mengaduk-aduk udara sesegar ini?" tiba-tiba Gagak Cemani berteriak lantang.
"Apakah Anda sebangsa dedemit iblis yang tak berujud? Jika tidak, maka lekas-lekaslah menunjukkan diri supaya kita dapat membuat perhitungan lebih matang!"
Suara lantang Gagak Cemani berkumandang ke segenap arah, namun beberapa saat kemudian tidak sesuatu jawaban pun yang muncul, selain suara berdenting-denting menjadi semakin keras.
"Haai! Apakah kami berhadapan dengan sesuatu yang berjiwa pengecut?" kembali teriakan meluncur.
"Mengapa tidak lekas-lekas menampakkan diri?!"
Sesaat masih belum ada jawaban....
Tiba-tiba terdengarlah satu rentetan ketawa yang meringkik, bergetar membaur bersama suara yang berdenting-denting di udara. Biarpun peristiwa ini terjadi pada siang hari, tidak urung sempat pula mendirikan bulu roma bagi orang-orang yang berada di tempat itu.
"Hih, hi, hi, hi. Bagus! Bagus! Kalian berani mengomel-ngomel, sedangkan kalianlah yang membuat kesalahan terlebih dahulu!" demikianlah suara lantang terdengar sebagai jawaban bagi Gagak Cemani.
"Apa kesalahan kami?"
"Hi, hi, hi, pura-pura berlagak pilon, haa! Apa kalian tak menyadari bahwa kalian telah mengobrakabrik tempat ini? Hutan yang semula tenang dan aman, sekarang telah porak-poranda. Pohon-pohon pada rusak, dan tanah di sini telah kalian kotori dengan darah!"
"Jadi itu yang Anda sebutkan sebagai kesalahan kami? Apakah Anda tidak tahu bahwa kami tengah bertempur, dan orang bertempur terkadang tidak memperhitungkan tempat. Di manapun saja jadilah, bila masing-masing menghendaki bertempur. Dan tentang tempat ini hanya secara kebetulan kami gunakan, sebab tidak ada tempat lain lagi yang lebih cocok !"
begitu jawaban Gagak Cemani sangat lancar dan tepatnya.
"Hih, hi, hi, hi. Lidahmu memang hidup, bocah! Kau memang pintar ngomong. Pantasnya engkau menjadi seorang dalang. Baiklah, kalau soal tempat engkau tidak sudi dikatakan salah. Tapi ada satu hal lagi, yang kalian tidak bisa berdalih lagi! Hi, hi, hi, hi."
Gagak Cemani tertegun sejenak oleh jawaban tanpa rupa ini. Hatinya serasa berdebaran lebih keras, sebab selain ia masih harus menanggulangi suara dentingan yang belum putus itu, iapun menunggu alasan terakhir dari si suara tanpa rupa. Maka Gagak Cemani segera berseru pula, "Nah, sekarang katakanlah hal itu, biar kami menjadi gamblang!"
"Hih, hi, hi, hi. Bagus! Ketika itu aku tengah bersemadi di daerah ini dan karena kedatangan kalian dengan perkelahian yang tak bermutu itu, pekerjaanku menjadi rusak berantakan! Nah, karenanya tak ada lagi alasan untuk mengelak dari tuduhanku ini! Kalianlah yang bersalah dan bertanggung jawab atas kesemuanya!"
"Hemmm, bukankah tak sengaja kami mengganggu semedi Anda!?" seru Gagak Cemani.
"Anda telah mengenal semadi, maka setidak-tidaknya Anda telah menguasai perihal kebijaksanaan! Orang yang bijaksana seperti Anda pastilah bisa membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Mana perbuatan yang sengaja dan mana yang tidak sengaja!"
"Eeeh? Hemmm, hi, hi, hi, hi. Kau memang lincah bersilat lidah, bocah! Hal itu bisa kupahami, namun itu bukan berarti bahwa kalian bebas dari kesalahan yang tidak tersengaja, bukan!? Oleh sebab itu kalian akan kucoba, sampai di mana ketinggian ilmu yang kalian miliki. Bila lulus, kalian lolos dari tempat ini dengan selamat. Tetapi bila tidak, kalian akan mendapat sedikit pelajaran dari Ki Gagang Aking atas kelancangan kalian mengganggu hutan ini!"
"Jadi Anda bergelar Ki Gagang Aking?" Gagak Cemani sedikit kaget. Nama tersebut memang belum jelas dikenalnya. Hanya saja ia pernah sekali mendengar tentang nama tersebut dari gurunya, Ki Bujanggiri beberapa tahun yang lalu. Nama Gagang Aking pernah diceritakan oleh gurunya sebagai seorang tokoh pendekar yang suka berpindah-pindah tempat serta mengembara menuruti gejolak hatinya. Gagak Cemani kembali memberanikan diri dan berseru kembali, "Jika demikian, mengapa Anda tidak menampakkan diri dan langsung berhadapan muka dengan muka!?"
"Bagus! Bersiap-siaplah untuk menghadapi kedatanganku!" kembali terdengar teriakan lantang dan beberapa saat kemudian, satu batang pohon randu alas tua yang telah kering, meletup keras disusul serpihan kayu berhamburan pecah ke segenap arah! Meskipun batang tua tersebut cukup jauh jaraknya, namun ledakan tadi mampu menggoncangkan dada mereka.
Tak seorangpun terhindar dari rasa kagetnya. Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang, Tungkoro serta segenap rombongan Doyotan sempat melihat batang pohon yang pecah berserakan lalu disusul munculnya satu bayangan manusia tepat di tengah-tengah bekas pohon tersebut.
Yah, tepat di tempat itu terlihatlah seorang kakek tua bertubuh kurus kering dengan tertawa-tawa mengikik, sementara kedua belah tangannya memukulmukulkan dua buah lempengan logam hitam dan dari situlah sumber suara berdenting-denting tadi berasal.
"Hik, hi, hi, hi. Sekarang kalian telah melihat tampangku dan karenanya bersiap-siaplah menghadapi beberapa percobaan dari ilmuku! Nah, bersiaplah," begitu ujar si kakek kurus Gagang Aking sambil meningkatkan kerasnya suara kedua batang logam yang senantiasa dipukulkan terus-menerus.
Akibatnya memang hebat! Suara berdenting-denting itu semakin keras menggetarkan udara dan menyerang setiap panca indera orang-orang yang bercokol di situ.
Doyotan dan Growong tetap berusaha menguasai keadaan tidak seperti Bungkil dan Delok yang kini telah bergulingan di tanah merintih-rintih serta menggeliat-geliat tak ubahnya dua ekor ayam yang disembelih. Bagi Doyotan, peristiwa ini benar-benar terasa sebagai satu penderitaan yang berat. Baginya, lebih baik harus bertempur sampai mati daripada diserang dengan suara yang aneh itu. Peluh dan air mata Doyotan mulai mengucur keluar, tak berbeda dengan rekannya, si Growong. Mereka berdua berusaha mati-matian menolak pengaruh suara yang ditimbulkan oleh Ki Gagang Aking dan keduanya tak berdaya untuk menolong Bungkil maupun Delok.
Ketika bunyi berdenting-denting itu kian menghebat, terlihatlah satu kejadian yang hampir sukar dipercaya oleh Doyotan maupun Growong. Tiba-tiba saja darah segar telah menetes dari hidung Bungkil dan Delok yang masih menggelosor di tanah.
Sementara itu Ki Gagang Aking, si kakek tua yang bertubuh kurus dan berpakaian kulit, menjadi kian gembira ketika ia melihat bahwa kedelapan manusia yang berada di depannya telah terkena serangannya. Bahkan tak lama kemudian si kakek ini seperti kian menggila dengan pukulan-pukulan sepasang lempengan batang logam yang berada di tangannya.
Dengan lincahnya pula Ki Gagang Aking berloncatan di atas ujung-ujung daun rerumputan, persis seekor capung yang lagi bermain-main dan ini merupakan satu pameran ilmu peringan tubuh yang tinggi tiada taranya.
"Ha, ha, ha. Aku sudah dapat menebak bahwa kalian tak sekuat yang aku duga. Paling-paling hanya tiga orang yang dapat bertahan lama menghadapi seranganku ini. Hi, hi, hi, hi." Ki Gagang Aking berseru mengumbar suara membuat hati siapa yang mendengarnya berdebaran lebih keras.
"Hi, hi, hi, sekarang kalian tengah berkenalan dengan jurus permulaan dari irama Pemecah Sukma. Hadapilah dengan segala ilmu yang kalian miliki. Jika tidak, boleh diharap bahwa darah segar akan mengalir ke luar dari urat darah dan panca indera kalian. Hi, hi, hi, lihatlah kepada kedua orang itu! Ia telah mulai tertembus oleh jurus pertamaku!"
"Irama Pemecah Sukma?!" desis Gagak Cemani seraya mengerutkan kening.
"Celaka! Aku harus menanggulangi ilmu tersebut, jika tidak menghendaki diriku berempat akan binasa secara nista!"
Dan Mahesa Wulungpun sibuk berpikir pula menghadapi serangan Ki Gagang Aking yang kelewat berbahaya. Dalam jurus pertama saja, dua orang rekan Doyotan telah menderita sangat beratnya. Maka dapatlah dibayangkan seandainya Ki Gagang Aking telah menggunakan jurus-jurusnya yang lebih lanjut. Barangkali jantung mereka akan pecah disusul kematian yang mengerikan!
Satu hal yang membuat Mahesa Wulung lebih cemas adalah keadaan Tungkoro. Tamtama Demak ini telah mendeprok dengan tubuhnya bergemetaran, sementara peluh dan air mata bertetesan tanpa henti. Karenanya Mahesa Wulung lalu beringsut mendekati Tungkoro seraya berkata lembut setengah berbisik, "Adik Tungkoro, sebaiknya engkau kubuat tertidur dengan totokan jariku. Dengan begitu, untuk sementara waktu adik akan terbebas dari serangan Irama Pemecah Sukma! Nah, bagaimana, adik Tungkoro? Anda setuju?" Tungkoro mengangguk pasti, ujarnya pula, "Ya! Aku tak keberatan, Kakang Wulung! Lakukanlah segera!"
Dengan persetujuan tadi, Mahesa Wulung segera menotok tengkuk Tungkoro tanpa sungkan ataupun ragu dan sesaat kemudian, Tungkoro rebah tertidur dengan pulas.
Gagak Cemani mengangguk setuju atas tindakan bijaksana dari sahabatnya itu. Kini ia lebih berusaha melawan pengaruh serangan Ki Gagang Aking dengan seksama. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Gagak Cemani tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Mulamula amat perlahan, tapi kemudian meningkat lebih keras dan bernada tinggi. Suaranya benar-benar menyerupai teriakan burung gagak. Gak, krak, kak, kak, kak... kak, kak, kak....
Sungguh menakjubkan pula ilmu ketawa Gagak Cemani ini. Udarapun kini mulai digetarkan oleh dua buah suara yang saling melibat kejar-mengejar dengan hebatnya. Peristiwa ini berjalan beberapa saat dengan mendebarkan setiap dada orang yang tinggal di situ.
Namun agaknya suara dentingan logam Ki Gagang Aking menjadi lebih meningkat dan setahap demi setahap mengatasi suara ketawa Gagak Cemani. Karuan saja si pendekar berkumis melintang ini merasa takjub pula.
Melihat kenyataan tadi, Mahesa Wulung tidak begitu saja tinggal diam. Ia masih ingat betul kalau membawa sebatang seruling yang diselipkan bersama sarung pedangnya. Maka segera dicabutnya seruling itu, dan bertiuplah satu irama merdu mengalun di dalam udara, melenggok-lenggok bagaikan seekor naga yang lagi berenang.
Si kakek kurus Gagang Aking terpaksa menyeringai dan jidatnya berkerut saking kagetnya. Gerundalnya pula, "Eh, bocah-bocah ini ternyata berilmu pula. Hi, hi, hi, biarlah tak mengapa! Justru aku merasa lebih senang menjumpai tokoh-tokoh muda yang berilmu tinggi. Hi, hi, hi, keparat! Tapi sampai seberapa jauh mereka sanggup bertahan?"
Apa yang digerundalkan Ki Gagang Aking, ternyata tengah pula dipikirkan oleh Mahesa Wulung. Irama serulingnya kian mantap dan gigih membantu getaran ketawa Gagak Cemani untuk kemudian bersama-sama melawan getaran logam sepasang di tangan si kakek kurus kering. Seketika pula berlangsunglah adu suara dan getaran yang hebat. Beberapa daun tua yang masih belum tanggal dari tangkainya segera bergetaran hebat lalu rontok ke bawah melayang-layang di udara.
"Gila! Mereka bersama-sama bertahan dari seranganku!" gumam Ki Gagang Aking dan kemudian ia berteriak keras, "Hai, kalian bekerja cukup baik... tapi selanjutnya terimalah seranganku ini. Haiittt!"
Berbareng kata-katanya, si kakek kurus kering telah meluncur dalam gerakan sebat. Kedua lempengan batang logam di tangannya menyambar hebat ke arah Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Palumpang.
Serangan tiba-tiba Gagang Aking merupakan satu serangan hebat yang tidak terduga, sehingga usaha terakhir bagi Mahesa Wulung bersama rekannya adalah membuang diri ke samping secepat itu pula sehingga sepintas lalu ketiga pendekar ini tampak bagaikan tiga ekor belalang yang mencutat sangat gesitnya....
Hal ini membuat Ki Gagang Aking menjadi lebih beringas, meski rasa kagum terselip pula di dalam hatinya. Si kakek tua inipun secepat kilat memutar tubuh dan kembali ia melancarkan serangan-serangan kilat ke arah lawan-lawannya.
Wesssss... wesss... trang trangng! Mahesa Wulung menyambut serangan si kakek dengan tebasan serulingnya, sedang Gagak Cemani telah menangkiskan golok hitamnya sekuat mungkin. Sementara itu pula, Palumpang beraksi dengan senjata Akar Bahar Merah yang ampuh dan berbisa.
Ketika benturan senjata-senjata terjadi, maka Mahesa Wulung serta kedua rekannya masing-masing terdorong surut ke belakang sehingga mereka bertiga terpaksalah terbengong kagum, tidak ubahnya orangorang yang melihat hantu.
"Bukan main!" desis Mahesa Wulung.
"Dengan benturan kecil saja, tubuhnya hampir terlontar. Si kakek kurus ini ternyata bukan tokoh sembarangan."
Dengan terjadinya pertempuran ini, berarti pula dentingan sepasang logam di tangan Ki Gagang Aking berhenti untuk beberapa saat. Rupanya, kakek kurus itu sengaja memberi kelonggaran kepada Mahesa Wulung dan ketiga rekannya, demikian pula kepada Doyotan bersama rekan-rekannya.
Bila Mahesa Wulung telah bersiaga kembali, Gagak Cemani dan Palumpang tidak ketinggalan mengambil ancang-ancang untuk menghadapi si kakek Gagang Aking.
"Hi, hi, hi. Kalian terkejut, bukan? Bersiaplah kembali sebaik mungkin, supaya kalian tidak terlalu lekas roboh. Hi, hi, hi!" kembali Ki Gagang Aking berseru dan sesaat kemudian ia telah bersiap melancarkan serangannya.
Tapi... Hyaat! Gagak Cemani terlebih dahulu melesat laksana seekor rajawali dengan golok hitamnya menyambar ke arah si kakek tua.
"Uhh!" Ki Gagang Aking terkejut dan tiba-tiba satu bayangan lain telah pula menerjang pula ke arahnya. Sekilas ia melihat sebuah seruling tergenggam di tangan si penyerang. Itulah Mahesa Wulung! Dan sesaat itu juga, bayangan ketiga melenting dengan kecepatan kilat dan sebuah senjata akar bahar mengancam tubuh Ki Gagang Aking. Dan tidak lain adalah Palumpang si Pendekar Lautan!
Demikianlah, Mahesa Wulung bersama Gagak Cemani dan Palumpang meluruk ke arah si kakek tua yang bersenjatakan dua buah lempengan logam di tangannya. Keruan saja si kakek tua ini tercengang kaget dan kagum sampai-sampai ia mendesis.
Benar-benar Ki Gagang Aking merasa terancam oleh bahaya yang datangnya dari ketiga penyerangnya sekaligus. Ia sadar bahwa ketiga pendekar muda yang menyerang itu memiliki masing-masing kekuatan yang dahsyat, karenanya pula si kakek telah mempersiapkan diri sepenuhnya.
"Heeittt!" teriak menggeledek terlontar dari mulut kakek Gagang Aking bersamaan kedua belah tangannya berkelebat mengayunkan sepasang lempengan logam hitam.
Daaarr... daarr... daaarrr! Letupan tiga kali beruntun terdengar memenuhi udara manakala ketiga senjata pendekar muda telah berbenturan dengan senjata si kakek Gagang Aking. Bunga api dan asap tipis mengepul di udara ketika benturan senjata itu berlangsung, membuat Mahesa Wulung bertiga tercengang dan saat itu pula mereka terlontar ke belakang bagaikan tiga daun kering.
"Hi, hi, hi, sekarang aku ingin mencoba kelompok yang lain!" ujar kakek Gagang Aking seraya melesat di atas rerumputan ke arah Doyotan beserta rekanrekannya.
Saat itu, Doyotan dan Growong lagi menolong si Bungkil serta Delok yang masih kempis-kempis akibat serangan ilmu Pemecah Sukma kakek Gagang Aking. Mereka jadi kalang-kabut begitu melihat si kakek kurus itu melesat dan menyambar ke arah mereka.
Buru-buru Doyotan memutar sepasang tombak pendek, sementara Growong telah menggerakkan sabit berantainya ke arah si kakek. Sedang Bungkil dan Delok masih terhuyung-huyung meskipun keduanya telah menggenggam senjata goloknya.
Wesst! Sring... sring... blaarrr! Begitulah si kakek tua gesit menyelinap di antara libatan senjata dan ketika ia menyampokkan kedua belah senjatanya, Doyotan dan ketiga rekannya terpental nyungsep ke tanah diiringi jerit kesakitan. Tampaklah bahwa Bungkil dan Delok menggerung-gerung melontarkan darah segar dari mulut. Jelaslah bahwa mereka berdua telah terlanda benturan yang menimbulkan luka dalam cukup parah.
Beruntung bagi Growong dan Doyotan. Mereka cuma terpental saja meski dada mereka serasa terbakar panas oleh bara api. Dengan susah-payah merekapun bersiaga kembali, sebab mereka yakin bahwa si kakek kurus itu bakal menyerang kembali.
Sementara itu, Mahesa Wulung telah membebaskan kembali Tungkoro dari totokan penidur, sehingga tamtama ini terbangun dengan segar-bugarnya.
"Bersiaplah adik Tungkoro!" ujar Mahesa Wulung, kepada rekannya.
"Kakek Gagang Aking itu memang luar biasa. Lihatlah, ia tengah menghajar rombongan Doyotan!"
Tungkoro terbeliak begitu menyaksikan bahwa kakek kurus kering itu tengah bertempur sengit melawan Doyotan dan ketiga rekannya. Ia bergerak bagaikan bayangan cepatnya, melenting di antara hujan senjata tanpa mendapat cedera apapun. Doyotan berempat menjadi semakin jerih pula.
"Siapakah orang itu sebenarnya?" gumam Mahesa Wulung kagum. Tak henti-hentinya ia mengawasi gerakan si kakek.
"Dia adalah seorang pendekar pengelana!" sahut Gagak Cemani.
"Hal itu pernah diceritakan oleh guruku. Kata beliau, si kakek Gagang Aking itu suka muncul dan pergi tanpa juntrung! Ilmunya memang setingkat dengan ilmu guruku."
"Kemunculannya di tempat ini pasti mempunyai maksud-maksud tertentu, Kakang Cemani," sambung Mahesa Wulung dengan penuh perhatian.
"Ilmunya luar biasa!"
"Kita harus melawannya dengan bersungguhsungguh, Adik Wulung. Sebab iapun menyerang kita tanpa tanggung-tanggung. Beruntunglah bahwa kita tidak muntah darah akibat benturan senjatanya!"
"Benar, Kakang. Ia ternyata sanggup menghadapi delapan lawan sekaligus! Kita berempat di sebelah sini dan Doyotan berempat di sebelah sana!" ujar Mahesa Wulung.
"Kita seperti barang-barang mainan bagi kakek Gagang Aking itu!" sahut Palumpang pula.
"Awas, ia telah melirik ke arah kita!"
Peringatan Palumpang tadi ternyata tidak kosong, sebab meskipun jarak antara rombongan Doyotan dan Mahesa Wulung berempat cukup jauh, Palumpang dapat mengawasinya dengan baik.
Dan sesungguhnya si kakek Gagang Aking sungguh-sungguh melesat ke arah Mahesa Wulung berempat dalam kecepatan yang sukar diukur.
"Hi, hi, hi, kalian berempat telah lama menanti? Maafkan bocah-bocah. Nih, sekarang aku telah datang kembali ke sebelah ini! Terimalah seranganku. Hyaattt!" Si kakek Gagang Aking menggebrak dengan gesitnya ke arah empat pendekar muda. Gerakannya benar-benar mengerikan hati bagi setiap lawan yang berada di hadapannya.
Apapun gerakan si kakek Gagang Aking, Mahesa Wulung tidak tinggal diam. Dengan mengandalkan ilmu peringan tubuh, ia mencecar ke arah si kakek sementara seruling di tangannya bersuit-suit menjadi sasaran.
Kakek tua itu terkejut oleh serangan Mahesa Wulung, lalu ia mencutat ke atas menghindar. Tak tahunya, Gagak Cemani telah mencegat dengan tebasan golok hitamnya yang menerkam dari atas!
"Haitt!" si kakek Gagang Aking membuang diri ke samping dan tanpa terduga ia menyampokkan kedua lempengan tembaga di tangannya ke samping, disusul dan benturan keras terjadi dan begitulah, senjata Mahesa Wulung dan Gagak Cemani masing-masing membentur senjata si kakek Gagang Aking.
Dengan terbeliak, Mahesa Wulung mencutat ke atas ketika terasa bahwa pedangnya bagaikan membentur sebongkah batu karang sehingga tergoncang hampir terlepas. Gagak Cemani ikut keheranan oleh ketangguhan ilmu si kakek kurus yang tidak dinyananya memiliki tenaga dalam sehebat itu. Akan tetapi, kekagetan terjadi pula pada Ki Gagang Aking. Ketika berbenturan tadi terasalah hawa panas menyentuh ke dirinya lewat senjata Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Luar biasa!" menggumam si kakek tua seraya berjumpalitan di atas udara.
"Mereka masih muda-muda tapi tenaga dan ilmunya telah hebat. Hemm, aku harus hati-hati menghadapinya "
Manakala Palumpang dan Tungkoro menerjang kembali ke arah si kakek, pertempuranpun menjadi bertambah seru. Sebentar saja, kelima manusia itu telah bergerak kelewat cepat, sampai-sampai sukar diikuti oleh pandangan mata si Doyotan bersama ketiga rekannya.
"Cepatlah, kita menyingkir dari tempat ini " desah
Doyotan seraya mengatur napasnya yang sesak.
"Jika sekali lagi kita terbentur oleh tenaga pukulan kakek bangkotan itu, pastilah kita akan muntah darah. Tambahan lagi kita harus cepat-cepat menyelamatkan sobat Bungkil dan Delok. Mereka telah terluka dalam cukup parahnya."
Growong mengangguk lemah. Kiranya pendapat Doyotan itu cukup baik, sebab tubuhnya sendiri sekarang ini seperti kehilangan daya dan kiranya untuk memutar senjata sabit berantai, ia tak akan sehebat dan setangguh saat-saat yang lalu. Hal ini sama artinya tidak perlu melanjutkan pertempuran melawan si kakek Gagang Aking maupun rombongan Mahesa Wulung.
"Bagaimana sobat Bungkil dan Delok? Apakah kalian masih sanggup untuk berjalan?" bertanyalah si Growong kepada kedua sahabatnya yang masih saja mendeprok di tanah seraya menyapu bekas-bekas darah di sudut mulutnya.
"Hehh..., masih sanggup... asal kami dipapah "
jawab Bungkil sangat lemahnya. Sekali lagi ia melayangkan pandangannya ke arah lingkaran pertempuran di sebelah timur, dan mulutnya menggumam, "Kakek tua itu mungkin bukan manusia. Dikeroyok oleh empat orang lawan sehebat itu, toh ia masih enakenak tanpa khawatir sedikitpun "
"Tapi bukankah ia setengah membantu kita?" Delok ikut berkata.
"Husss, bukan begitu, Sobat. Ia tengah terlibat dengan rombongan Mahesa Wulung dari Demak, dan beberapa saat yang lalu ia telah mengobrak-abrik kita. Jadi terangnya ia tidak memihak siapa-siapa. Karenanya kita harus secepat mungkin meninggalkan tempat ini, sebelum si kakek itu melabrak kita buat kedua kalinya!" begitu Doyotan berkata seraya membantu si Bungkil berdiri dengan susahnya.
"Kalau demikian, akupun ingin cepat-cepat meninggalkan tempat terkutuk ini!" sambung Growong serentak pula memapah Delok pada bahunya.
"Yah. Biarkan Mahesa Wulung dan rombongannya terbinasa oleh si kakek bangkotan. Kalau kita gagal membunuhnya, toh akhirnya orang tua itulah yang menggantikan tugas kita...." ujar Doyotan serta mulai bergerak ke utara sambil memapah Bungkil, sedang Growong dan Delok mengikutinya dengan berjalan terseok-seok.
Mereka menerobos rerumputan, semak ilalang dengan sangat hati-hatinya agar tidak sampai diketahui oleh si kakek Gagang Aking maupun Mahesa Wulung serta rekan-rekannya. Dan sebentar saja, keempat pengikut Tangan Iblis itu telah meninggalkan tempat tersebut secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tak ubahnya musang-musang yang ngacir ketakutan melihat harimau.
Dengan demikian maka yang tertinggal di tempat itu adalah rombongan Mahesa Wulung beserta si kakek Gagang Aking. Mereka terus bertempur dengan gigihnya, tanpa mengukur bahwa puluhan jurus telah mereka lewati.
Bagi Mahesa Wulung berempat, pertempuran kali ini jauh lebih dahsyat dan sengitnya dibanding saatsaat ketika mereka melawan rombongan Doyotan. Beruntung bagi Mahesa Wulung dan rekanrekannya. Walaupun pertempuran-pertempuran yang mereka lakukan ini banyak menghabiskan tenaga, namun mereka adalah terbilang pendekar-pendekar gemblengan dan soal kelelahan belum begitu sangat mengganggu terhadap gerakan-gerakan mereka.
Bahkan makin hebat gerakan yang dilakukan, tenaga mereka seperti kian menjadi berlipat-lipat. Apalagi mereka berempat selalu bertempur dengan jurus-jurus yang berpasangan, saling mengisi dan saling melengkapi.
Hanya saja satu keheranan yang hampir berbareng muncul di tengah-tengah mereka adalah tentang si kakek bangkotan Gagang Aking. Si tua ini selalu saja gesit meloloskan diri dari sentuhan-sentuhan senjata keempat lawan yang selalu mengancamnya sehingga tidak berlebih-lebihan bila gerakannya boleh dimiripkan dengan gerakan seekor burung seriti. Malahan Doyotan sejak semula telah menganggap bahwa kakek tua tersebut bukanlah sebangsa manusia lumrah, tapi adalah penjelmaan setan atau jadi-jadian.
Yang lebih menjengkelkan Mahesa Wulung berempat adalah sikap si kakek tua ini. Sambil bertempur begitu, ia selingi dengan ketawa-tawa yang mengikik bernada mengejek kepada keempat lawannya.
Selama ini hampir kedua senjata lempengan logam di tangan si kakek belum juga mampu menyentuh tubuh lawan-lawannya, merupakan satu hal yang penuh pertanyaan dan teka-teki. Mahesa Wulung sendiri menduga bahwa si kakek itu belumlah sungguhsungguh menumpahkan tenaganya, sehingga satu perasaan cemas muncul dalam relung hatinya.
"Celakalah bila ini merupakan siasat si kakek Gagang Aking. Mungkin ia belum benar-benar turun tangan dengan senjata, karena ia lagi meneliti semua jurus-jurus yang ada pada kami. Dan jika ia telah mengetahui segala kelemahan-kelemahan yang ada pada kami... barulah ia melancarkan serangan mautnya!" demikian pikir Mahesa Wulung diam-diam.
"Jadi aku tidak boleh berlengah-lengah menganggap enteng kepada si kakek ini! Akan kugunakan lagi pedangku ini!"
Mahesa Wulung dengan cekatan mengoper memindahkan serulingnya ke tangan kiri dan tangan kanannya melolos pedang di pinggang kiri.
Triingng! Wesst... wesst... wesst....
Begitulah maka Mahesa Wulung telah memindahkan dua buah senjatanya. Seruling di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Kedua senjata tadi serentak menebas, menyambar bergulung-gulung ke arah si kakek Gagang Aking yang seketika menjadi terkejut.
"Hei, bocah! Kau bertambah nekad?!" seru si Gagang Aking seraya menggerakkan senjatanya, sepasang lempengan logam.
"Bukan urusanmu kakek! Bukankah Anda betulbetul ingin mencoba kepandaian kami? Nah, bermacam-macam ilmu yang belum sempat kami keluarkan. Semoga Anda cukup sabar menantinya!" sahut Mahesa Wulung.
"Baah! Anak muda sekarang, rata-rata pandai berbicara! Keluarkanlah semua ilmumu, anak muda. Hal itu sudah kukatakan sejak awal tadi, bukan? Ayo, tunggu apa lagi, hah? Apa kau ingin lebih dulu kurobohkan?"
"Bagus! Sejak detik ini aku akan menuruti keinginanmu, kakek! Dan maafkan jika Anda akan kerepotan nanti!" sahut Mahesa Wulung seraya mengetrapkan jurus-jurus Madya dari ilmu pedangnya Sigar Maruta.
"Hi, hi, hi. Ayo jangan sungkan-sungkan, anak muda! Ehh, siapa namamu haa?"
"Mahesa Wulung! Hyaaatt!" sambil berseru hebat Mahesa Wulungpun mulai menyerang dengan jurus yang terbaru. Sementara itupun Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro memperhebat tekanan serangannya kepada si kakek Gagang Aking. Dipandang sepintas lalu, memang kurang pantas serta tak berperikemanusiaan bila empat orang pendekar muda berilmu tinggi telah mengeroyok seorang kakek tua. Namun dalam dunia persilatan hal ini tidak mustahil terjadi bahwa seseorang yang makin tua, makin pula bertambah tinggi ilmunya sampai-sampai ia ditakuti oleh golongan muda.
* * *
--¤¤¦ « BAGIAN III » ¦¤¤--
Ketika Ki Gagang Aking lolos dari pedang Mahesa Wulung, mendadak saja golok hitam Gagak Cemani telah menyambutnya dengan satu tebasan mendatar, sementara Palumpang telah menyampokkan akar baharnya ke arah kepala si kakek.
"Uhh," desah Ki Gagang Aking seraya cepat-cepat menyabetkan sepasang senjatanya menyambut dua serangan beruntun tadi, sehingga tanpa terhindar lagi, terjadilah dua benturan seru berbareng dengan letupan asap panas. Dar... daarrr....
Di saat itu, Gagak Cemani maupun Palumpang terdorong surut dengan satu perasaan kagum yang tak habis-habisnya, sebab senjata-senjata mereka tadi seolah-olah menembus air dan tenaganya lenyap begitu saja tanpa bekas.
Adapun Mahesa Wulung tidak tinggal diam melihat si kakek telah melesat kembali ke udara. Sesudah benturan tadi Ki Gagang Aking menggunakan ilmu peringan tubuh dan mental ke atas bagai belalang sentanu. Maka cepat-cepat Mahesa Wulung mengejarnya dalam satu loncatan gesit.
Wusss! Kembali pedang Mahesa Wulung menyabet ke arah si kakek dalam jurus-jurus Madya Sigar Maruta yang kedua puluh tujuh dan dua puluh delapan diikuti oleh pukulan seruling dari tangan kirinya ke arah ulu hati lawan.
"Celaka!" desis kakek Gagang Aking.
"Aku harus lebih berhati-hati sekarang. Pemuda ini mempunyai simpanan-simpanan ilmu yang hebat. Hiaatt!" Sambil mengeluarkan teriakan tinggi, ia mengibaskan sepasang lempengan baja di tangan ke arah kiri dan kanan.
Claangng prashh!
Benturan hebat terjadi lagi.
Pedang di tangan kanan Mahesa Wulung bergetaran sedang seruling di tangan kirinya seketika pecah berkeping, seiring terlepasnya lempeng logam dari tangan kiri si kakek Gagang Aking menandakan bahwa tenaga mereka hampir seimbang.
"Heett, kau tak selemah yang aku duga bocah!" seru si kakek seraya mencelat dan menyambar senjatanya kembali. Gerakan ini sungguh mengagumkan bagi keempat lawan di sekitarnya. Malahan tiba-tiba saja si kakek tahu-tahu telah meniup kembali ke arah Mahesa Wulung.
"Kalau begitu aku tak perlu ragu-ragu lagi bocah!" seru si kakek serentak menebaskan kedua senjatanya berbareng. Bagi Mahesa Wulung serangan ini membuatnya kaget, karena di samping ia masih memikirkan senjata serulingnya yang pecah, serangan itu sendiri datang kelewat cepat tak ubahnya satu tiupan angin santer yang tahu-tahu telah menampar mukanya.
Secepat kilat Mahesa Wulung menggunakan jurus Madya kedua puluh sembilan dan tiga puluh beruntun. Pedang di tangannya berguling ke kiri dan kanan laksana angin lesus membuat si kakek tercengang sesaat, tapi lebih kaget lagi sewaktu ujung pedang Mahesa Wulung muncul begitu saja di arah lehernya.
"Husss!" lenguh si kakek seraya menggerakkan dua lempeng logamnya ke arah dalam dengan gerakan mengunci, sehingga dapat dibayangkan bila pedang Mahesa Wulung bakal terjepit mati. Namun si kakek sakti ini tak habis mengerti karena tiba-tiba saja pedang Mahesa Wulung lenyap seperti gulungan asap, bahkan terasa pula bahwa beberapa lembar jenggotnya yang kelabu terpagas putus serta melayang runtuh di udara.
"Asem kecut. Bocah ugal-ugalan! Jenggot dirawat bertahun-tahun, tak tahunya untuk permainan pedang saja. Awas kau, jangan lekas-lekas menepuk dada, bocah," teriak si kakek Gagang Aking sambil bersungutsungut mangkel.
Peringatan si kakek tadi disadari pula oleh Mahesa Wulung, karenanya iapun cepat menggunakan jurus berikutnya, tiga puluh satu, tiga puluh dua, tiga tiga dan berikutnya. Serentetan sambaran-sambaran angin pedang terdengar mengaung sampai mengagetkan, baik si kakek Gagang Aking maupun ketiga rekan Mahesa Wulung.
"Haahh?! Kau menggunakan jurus-jurus Sigar Maruta?!" seru si kakek seraya berjumpalitan mundur.
"Ooo, jadi Andapun tahu, kakek!? Dari mana Anda mengetahui hal itu?!" ujar Mahesa Wulung setengah heran.
"Hihh, hi, hi. Aku tak bisa mengatakan hal itu sekarang, bocah. Baiklah jika kau memiliki ilmu itu, akupun tak ragu-ragu lagi untuk memperkenalkan ilmu 'Latu Sewu'... nah inilah dia! Sambutlah!" begitu si kakek berkata, disusul kedua lempengan logam hitam di tangannya diadu dan terjadilah satu ledakan nyaring berbareng menyambarnya kilatan-kilatan bunga api ke arah Mahesa Wulung.
Duaarr!
"Wuaahh! Ini berbahaya...!" desis Mahesa Wulung seraya berkelit ke samping untuk menghindari sambaran bunga-bunga api tadi. Beruntung bahwa ia berhasil, tetapi Mahesa Wulung terpaksa kaget sewaktu ia melihat bunga-bunga api tadi menabrak semak-semak belukar, yang seketika mengering dan menghanguskan! Melihat ini mau tak mau hati Mahesa Wulung menjadi bergidik ngeri melihat nasib semak belukar itu.
Dapat dibayangkan seandainya bunga-bunga api tadi sempat mengenai tubuh manusia. Barangkali akan hangus pula, tak ubah daging satai bakar. Hal ini selintas mengingatkan Mahesa Wulung akan musuh besarnya. Ki Topeng Reges yang kini telah mati. Seperti diketahui bahwa Ki Topeng Reges pun mampu membinasakan lawan, cukup dengan kilatan sinar matanya yang memancarkan api maut.
Kini Mahesa Wulung menjumpai pula seorang lawan yang memiliki ilmu dahsyat, yang membunuh lawannya cukup dengan percikan bunga api dari benturan senjatanya. Nama "Latu Sewu" bukanlah nama kosong untuk sekedar gagah-gagahan, ataupun gertakan, tapi adalah nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Hal ini pernah didengarnya dari mendiang Ki Camar Seta. Kata beliau, ilmu tersebut muncul kirakira tigapuluhan tahun yang lalu, jadi boleh disimpulkan bahwa si kakek Gagang Aking ini hampir seangkatan dengan bapak gurunya. Panembahan Tanah Putih atau Panembahan Bayu Sekti dari selatan Asemarang.
Yang lebih menarik hati Mahesa Wulung adalah pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat mengenal jurus ilmu pedangnya, Sigar Maruta. Bukankah cukup mengherankan pula dan karenanya Mahesa Wulung kembali menduga-duga tentang hubungan kakek Gagang Aking dengan mendiang Ki Camar Seta?
Sayang bahwa Mahesa Wulung tak sempat berpikir lebih lanjut karena ia harus menghadapi si kakek tua ini dengan sungguh-sungguh.
Dalam saat itu pula, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro tak mau tinggal diam, begitu mereka melihat bahwa serangan-serangan bunga api si kakek terusmenerus mengancam keselamatan rekannya.
Bagi mereka, Mahesa Wulung telah mereka anggap sebagai saudaranya sendiri, hingga tak berlebihan kalau mereka disebut pendekar empat serangkai yang selalu berjuang dan bertindak bahu-membahu, seia sekata dan sehidup semati.
Ketiga pendekar itu serentak melesat dan menerjang si kakek Gagang Aking. Senjata-senjata mereka bersiutan menerjang dengan hebatnya, masing-masing dalam jurus yang berbeda-beda namun saling melengkapi. Tentu saja empat serangkai yang terhimpun itu tak bisa dianggap enteng oleh si kakek. Lebih-lebih ia menyadari bahwa Mahesa Wulung dan Gagak Cemani, si pendekar berselimut itu memiliki himpunan tenaga sakti dalam tataran tinggi.
Tanpa banyak membuang waktu, Ki Gagang Aking mengerahkan pemusatan tenaga saktinya lalu tubuhnya melesat berjumpalitan ke sana kemari dari hujan sambaran senjata keempat lawannya, tak ubahnya seekor burung walet yang lolos dari terkaman air hujan.
Mereka lalu terlibat dalam satu pusaran yang seru, hingga angin dan dedaunan semak di situ dibuat kalang-kabut beterbangan, menambah suasana keseraman dari pertempuran itu. Beberapa ekor burung dan binatang-binatang liar di sekitar tempat itu segera berlarian menjauh dari lingkaran pertempuran tersebut, sebab selain terganggu oleh keramaian tadi, merekapun ketakutan oleh sambaran-sambaran bunga api dari si kakek Gagang Aking ditambah ledakan-ledakan nyaring.
Memang, si kakek ini berkali-kali melontarkan percikan bunga apinya ke arah empat pendekar lawannya, namun keempat lawannya tadi tidak kurang waspadanya menjaga diri. Dengan mengandalkan kelincahannya, mereka menyerang berganti-ganti dari arah yang berlainan dan ini sungguh membuat repot bagi si kakek Gagang Aking.
Karenanya si kakek bergerundelan di dalam hati menaksirkan keempat lawannya.
"Luar biasa! Belum pernah ada seorang lawan yang sanggup menghadapiku lebih dari duapuluh jurus. Itupun untuk ukuran orang-orang yang berilmu. Tak tahunya keempat orang muda ini masih sanggup bertahan lebih dari empat puluh jurusku!"
Dalam perkara tenaga sakti, lebih jelas bahwa si kakek Gagang Aking memang lebih tinggi dibanding dengan keempat lawannya yang masih muda. Tetapi dari perhitungan kelincahan dan ketahanan napas, agaknya merupakan satu segi yang patut diperhatikan oleh si kakek Gagang Aking.
Meskipun seandainya kakek ini sanggup bertempur sampai ratusan jurus jumlahnya, namun napasnya mungkin akan berebutan tak teratur sedang kelincahannya tidak lebih baik dari seekor kambing.
"Jika aku tingkatkan jurus-jurus seranganku, rasarasanya aku sanggup membuat roboh keempat lawanku yang masih muda-muda ini. Akan tetapi aku tak menghendaki hal itu, justru aku malah tertarik kepada mereka berempat, terutama kepada si pendekar muda Mahesa Wulung yang telah menggunakan jurus-jurus ilmu pedang 'Sigar Maruta'. Satu saat, ingin sekali aku mengajak ngomong-ngomong lebih lanjut tentang dirinya dan juga tentang ilmu pedang Sigar Maruta," begitu kata si kakek di dalam hati.
"Dan ini berarti bahwa aku tak boleh mencederai mereka dalam pertempuran ini. Hmm, harus kucari jalan yang paling tepat! Tambahan lagi aku musti menjaga napas tuaku."
Mahesa Wulung bersama ketiga rekannya tak memberi kesempatan sedikitpun kepada Ki Gagang Aking untuk sejenak menarik napas ataupun beristirahat. Mereka meluruk dan menerjang si kakek bagaikan harimau-harimau kelaparan mencercah korbannya.
Tiba-tiba saja si kakek meloncat ke belakang dan kedua belah tangannya yang menggenggam lempengan logam segera diadunya seperti dahulu dan seketika terdengarlah suara-suara dentingan bertubi-tubi menggoncang udara. Kali ini lebih keras daripada yang sudah-sudah, sampai-sampai suara tersebut seperti langsung menusuk jantung keempat pendekar muda serangkai itu.
Keruan saja gerakan Mahesa Wulung berempat seperti dihentikan di tengah jalan oleh satu tenaga gaib yang sebenarnya berasal dari sentuhan nada dentingan si kakek Gagang Aking.
Mereka berempat cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya untuk menolak pengaruh suara tadi.
Melihat hal ini, si kakek Gagang Aking tertawa terbahak dan terkekeh-kekeh sebab ia merasakan betapa lucunya pemandangan yang terjadi di depan matanya. Keempat lawan yang semula berloncatan garang ke arah dirinya, tiba-tiba saja terhenti dan berdiam diri tak ubahnya patung-patung bisu. Mereka ini sebenarnya tengah berkutat mengerahkan tenaga saktinya, sedang si kakek terus saja mengadu dan memukulmukulkan kedua senjatanya seraya berjingkrakan berkeliling tak ubahnya seorang anak yang mengelilingi empat boneka mainannya. Ting... ting... ting... tingng...
"Hi, hi, hi..., kalian tampak lucu... lucu sekali... hi, hi, hi, hi."
Begitulah si kakek menggoda keempat lawannya yang kini tengah mengerahkan tenaga penolak. Di dalam hati, Mahesa Wulung merasa jengkel, tapi juga kagum. Jengkel karena ia bersama rekan-rekannya kena dibuat mainan oleh si kakek Gagang Aking, dan kagum lantaran si kakek itu banyak mempunyai siasat untuk mematahkan serangan dari lawan-lawannya.
Tapi ada satu hal yang dapat dirasakan oleh Mahesa Wulung bahwa pada saat ini, ia bersama ketiga rekannya merasa seolah-olah tengah diuji oleh si kakek Gagang Aking. Sekarang ia tak dapat lagi menghadapi serangan si kakek dengan serulingnya karena telah pecah berkeping beberapa saat yang lalu lantaran beradu dengan senjata si kakek itu, selain dengan pengerahan tenaga penolak.
Kakek Gagang Aking agaknya telah merasa puas dengan permainan tadi, lalu secepat kilat ia memutar kedua tangannya seperti gerakan baling-baling beberapa kali dibarengi satu teriakan menggeledek, "Hiaattt... robohlah kalian! Hi, hi, hi, hi, hi!"
Mahesa Wulung berusaha mati-matian mempertahankan diri, begitu pula ketiga sahabatnya. Di luar dugaan, himpunan tenaga sakti si kakek tadi sangat hebatnya dan itu dapat dirasakan oleh mereka berempat ketika satu tenaga dorongan yang sedahsyat prahara telah menerjang mereka.
Betapapun keempat pendekar tadi telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, tak urung pula terlanggarlah oleh serangan tadi. Tungkoro terpental dan jatuh bergulingan di tanah hampir sejauh lima atau enam tombak.
Tak jauh dari Tungkoro, Palumpang terhuyunghuyung surut ke belakang. Sebentar ia berusaha menahan diri, tapi akhirnya ia terguncang oleh satu tenaga dorongan yang tak terlihat itu, kemudian jatuh menggeloso di tanah.
Sedangkan Mahesa Wulung serta Gagak Cemani masih tetap tegak di tempatnya meski tubuh mereka tergoyang-goyang bagaikan dua pucuk pohon cemara yang perkasa.
Itu semua membuat si kakek Gagang Aking terpaksa kagum, sebab baru kali inilah ia menjumpai pendekar-pendekar muda yang begitu tangguh dan ulet. Rasa iri tapi bercampur bangga dan takjub menyelinapi dada si kakek yang kemudian mengangguk-angguk senang. Ia tidak tahu bahwa Mahesa Wulung telah mengetrapkan jurus "Tugu Wasesa" yang membuat tubuhnya tetap tegak berdiri dengan teguhnya, laksana tugu baja dan kedua kakinya seolah telah terpancang dalam-dalam ke dasar tanah.
Begitu pula Gagak Cemani dikagumi oleh si kakek Gagang Aking. Ia melihat si pendekar berkumis melintang tadi tak ubahnya seekor burung gagak yang lagi hinggap di atas tanah. Jubah di punggungnya berkibaran ke belakang sebagai pertanda bahwa guncangan tenaga dalam si kakek yang tengah melandanya, adalah benar-benar hebat dan menggetarkan setiap hati.
"Hmm, benar-benar keempat orang pendekar muda ini cukup tangguh dan yang dua orang ini lebih hebat! Keduanya sanggup menghadapi bagian awal dari ilmu 'Teleng Lesus'-ku*. Bagus, bagus," ujar Ki Gagang Aking dalam hati.
"Tapi sekarang akan kutingkatkan lebih hebat!" (* Inti topan, pusat badai)
Habis rerasan begitu, si kakek kontan menggerakkan tangannya lebih hebat. Gerakan tangannya radarada kaku dan bahkan diiringi suara berkeretekan seperti tulang-tulang beradu. Sungguh tak dapat diduga, kekuatan apakah yang tengah disiapkan oleh si kakek Gagang Aking ini?
Seperti Mahesa Wulung sendiri, ia lebih berwaspada melihat gerak-gerik si kakek aneh yang pasti jauh lebih hebat dari yang sudah-sudah. Maka tanpa membuang waktu iapun bersiaga melipatkan himpunan tenaga dalamnya dan beberapa saat kemudian terlihatlah betapa tubuh Mahesa Wulung bergetar, lalu kedua belah kakinya perlahan-lahan melesak mengeram lebih dalam ke tanah seolah-olah mencari pegangan agar tubuhnya semakin kokoh tanpa tergoyahkan oleh getaran apapun. Hal inipun diikuti oleh Gagak Cemani, si pendekar berkumis melintang itu.
"Hyaattt! Kabur!" bentak Ki Gagang Aking serentak mengibaskan kedua tangannya ke depan diikuti gerakan mengempos tenaga sakti ke arah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
Saat itu pula, bagaikan datangnya satu prahara yang berlipat-lipat, tubuh kedua pendekar tadi dihempas oleh satu dorongan tenaga sakti serta angin yang tak terukur kekuatannya.
Di tempat lain, Tungkoro dan Palumpang turut merasakan tiupan santer yang melanda dari kibasan kedua belah tangan kakek Gagang Aking. Mereka serentak bertiarap ke atas tanah dengan serendahrendahnya seperti angin melekat erat. Sementara itu satu ketakjuban timbul pula di dalam hati mereka manakala tiupan angin dahsyat tadi cuma melanda ke arah mereka berempat. Di tempat-tempat lain, seperti di kiri kanan dan di belakang si kakek, tak satupun angin yang bertiup sesanter itu. Pohon-pohon di sana masih tetap tegak di tempatnya dan hanya dedaunan saja yang bergoyang-goyang lembut. Berbeda dengan arah di depan si kakek. Pohon-pohon berguncangan serta dedaunan pada terombang-ambing bersuara berderak-derak menyeramkan. Bahkan semak-belukar di sana telah sebagian terjebol dari dalam tanah sampai ke akar-akarnya.
Hal ini tampaknya seperti tak mungkin bisa terjadi hanya disebabkan oleh tenaga manusia saja. Namun di jaman itu memang tak tersangkal bahwa manusia dapat melakukan hal yang aneh. Mereka masih belum banyak memikir ataupun menghayal keduniawian yang bersifat lahiriah. Mereka banyak mendalami tentang segi batiniah, tentang Maha Pencipta Alam, yakni Tuhan Yang Esa.
Kembali Mahesa Wulung berpikir keras ketika dirasanya bahwa serangan si kakek Gagang Aking makin bertambah hebat.
"Akan celaka kami berempat jika terus-terusan diserang secara begini! Sungguh hebat ilmu si kakek! Dan aneh! Aku mendapat kesan bahwa si kakek tidak benar-benar bermaksud jahat kepadaku dan juga kepada sahabat-sahabatku. Tapi, apakah aku diam membisu saja bila ia menyerang sehebat ini? Baiklah, aku akan menyambut serangan angin ini dengan pukulanku 'Angin Bisu'. Biarlah akan dia ketahui, betapa akibatnya benturan angin dengan angin!" Selagi Mahesa Wulung berpikir-pikir mendadak Ki Gagang Aking tertawa mengejek, "Hi, hi, hi. Tinggal dua saja yang masih berdiri tegak di atas bumi. Yang dua telah melesot-lesot di tanah seperti cacing! Hi, hi, hi. Lucu. Empat pendekar serangkai yang kurang baik kerja samanya. Mengapa yang dua orang berusaha untuk tetap berdiri tegak, selagi yang dua orang telah menderita cukup pahit? Hi, hi, hi, hi. Yang dua ini rupa-rupanya telah kehabisan tenaga... atau kehabisan ilmu, barangkali? Apakah salah seorang tak mampu melawan 'Teleng Lesus'-ku ini, he? Hi, hi, hi, hi, jika begitu, jangan salahkan kakek tua seperti aku ini, kalau mereka berempat akan terhembus ke luar dari
bumi! Hi, hi, hi."
Heranlah Mahesa Wulung. Kakek tua ini seperti mengejek tapi setengah memperingatkan.
"Hah, ia berusaha memperingatkan! Ia seperti dapat menebak maksudku. Baik, aku akan segera membantunya dengan 'Pukulan Angin Bisu'. Tak ada jalan lain lagi. Tetapi apa maksudnya dengan peringatan itu?" begitulah, Mahesa Wulung diam-diam bersiaga mengerahkan himpunan tenaga saktinya.
Wajah pendekar muda ini menjadi tegang kemerahan dengan peluh yang bersembulan dari lubanglubang kulitnya. Pandangan matanya lurus-lurus ke depan ke arah si kakek Gagang Aking seperti hendak menelan lawannya ini bulat-bulat.
Tiba-tiba tangan kirinya itu mendorong ke depan dibarengi satu teriakan menggeledek.
"Haaaitt!" Wusss! Begitulah pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyat itu menerjang ke depan menerobos tenaga dorongan dari ilmu si kakek 'Teleng Lesus'. Mahesa Wulung tidak cuma sekali saja melancarkan pukulannya itu. Selesai yang satu, segera ia menyusul dengan yang kedua dan seterusnya. Maka sungguh-sungguh hebat akibatnya.
Dua tenaga sakti tadi berbenturan dengan bunyi mengguntur. Mahesa Wulung masih tetap tegak di tempatnya karena kedua kakinya telah memancang ke dalam tanah dalam sikap Tugu Wasesa. Meskipun begitu, tubuhnya dapat terhuyung-huyung hampir jatuh. Di sebelah Mahesa Wulung, si Gagak Cemani terpaksa tergetar surut beberapa langkah dengan setengah terhuyung akibat benturan tadi.
Di depan, kakek Gagang Aking terkejut bukan main. Apalagi bahwa "Teleng Lesus"-nya tadi belumlah sungguh-sungguh mencapai puncaknya, sebab memang semula ia tak menduga bahwa Mahesa Wulung memiliki ilmu sedahsyat itu.
Pukulan Angin Bisu merupakan satu pukulan dengan tenaga jarak jauh, dan mempunyai sifat-sifat penghancur yang dahsyat. Ia mampu menerobos segala rintangan di depannya. Ibarat pohon akan tumbang dan bebatuan akan hancur berserakan, apalagi si perintang itu hanyalah seorang kakek tua seperti Ki Gagang Aking.
Lontaran tenaga sakti "Teleng Lesus" yang cuma bertenaga sebagian itu, kena ditembus dan dibentur oleh pukulan Angin Bisu. Benturan singkat terjadi dan kemudian pukulan maut jarak jauh tadi langsung menerjang si kakek Gagang Aking.* (* gagang = dahan, tangkai; aking = kurus kering)
Menyadari bahaya yang langsung menerjangnya, si kakek itu secepat kilat mengempeskan ilmu peringan tubuhnya dan melesat ke atas udara, sebelum pukulan Angin Bisu menerjangnya. Beberapa bongkah batu dan pohon telah tumbang berserakan sewaktu kena hajar pukulan tadi. Tapi si kakek sendiri tahu-tahu telah hinggap di puncak pohon seraya tertawa terkekehkekeh, "Hi, hi, hi. Pukulanmu hebat, anak muda! Dengan jujur aku memuji ilmumu tadi, dan karenanya aku rasa persenda-gurauan dan pertemuan kita kali ini, cukup sekian! Di lain saat aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan kembali. Kau ingatlah baikbaik. Namaku adalah si tua Gagang Aking! Hih, hi, hi. Sekianlah, selamat tinggal! Oo, ya, hampir lupa. Jika tidak keliru ketiga orang lawanmu yang masih hidup tadi, telah ngacir melarikan diri ke arah utara "
Habis berkata begitu si kakek Gagang Aking lalu meloncat ke atas pucuk pohon yang lain dan kemudian berganti lagi ke pohon di sebelahnya. Sebentar saja tubuhnya lenyap di balik pepohonan di sebelah barat, secepat angin siang yang berlalu, menggoyanggoyangkan dedaunan dengan lembutnya.
Mahesa Wulung seperti belum percaya bahwa si kakek Gagang Aking itu telah berlalu dan lenyap dari pandangan matanya. Ketika lebih sadar, didapatinya dirinya masih tetap tegak di atas tanah dengan kedua belah kakinya tertanam hampir satu mata kaki lebih.
Ia menarik napas lega. Ditengoknya ke samping, dan tampaklah si pendekar berkumis melintang, Gagak Cemani juga masih berdiri agak condong ke depan, sedang golok hitamnya masih tergenggam erat dan ujungnya terhunjam ke dalam tanah. Agaknya golok itu sengaja ditusukkan ke tanah sebagaimana sebuah jangkar bagi sebuah kapal yang sanggup menahan tubuhnya agar tidak terbawa oleh arus maupun angin. Melihat ini, diam-diam Mahesa Wulung menaruh rasa kagum kepada sahabatnya dari daerah timur ini.
Gagak Cemani tersenyum ketika ia melihat bahwa Mahesa Wulung telah menyapanya, "Bagaimana Kakang Cemani?"
"Tak kurang suatu apa, adik," ujar Gagak Cemani seraya mencabut golok hitamnya dari tanah. Begitu pula Mahesa Wulungpun telah menarik kedua belah kakinya.
Mereka segera teringat kedua sahabatnya yang lain, yakni Palumpang dan Tungkoro yang belum terlihat batang hidungnya. Keruan saja dada mereka berguncang kaget.
"Hai, kemana saudara Tungkoro dan Palumpang? Jangan-jangan kedua sobat kita ini telah terhembus oleh ilmu sakti si kakek Gagang Aking?" nyeletuk Gagak Cemani dengan perasaan cemas.
"Serangan si kakek tadi memang hebat!"
"Mari kita akan mencari mereka!" sahut Mahesa Wulung seraya menebar pandangannya ke arah timur. Begitu pula dengan Gagak Cemani. Mereka berdua lalu berloncatan ke arah timur untuk mencari kedua orang sahabatnya itu.
Tak antara lama mereka dapat melihat dua sosok tubuh yang tertelungkup di atas tanah dengan tangantangannya berpegangan pada tonjolan-tonjolan batu dan rerumputan.
"Celaka! Jangan-jangan, mereka telah cedera!" ujar Mahesa Wulung penuh kekhawatiran seraya mendekati Palumpang dan Tungkoro. Hatinya kian berdebardebar keras.
"Belum tentu!" sahut Gagak Cemani dalam suara ragu.
"Tak ada bekas-bekas darah, sedang tubuh merekapun baik-baik saja adanya!"
"Sobat Palumpang dan Tungkoro," ujar Gagak Cemani dan Mahesa Wulung bergantian sambil menepuk tubuh kedua sahabatnya itu.
Tiba-tiba Tungkoro menggeliat bangun seraya melepaskan rerumputan yang digigitnya. Ternyata, selain kedua belah tangannya yang berpegang pada batu dan rerumputan, giginyapun ikut menahan diri dengan menggigit rumput.
Sedang Palumpang terbangun pula seraya mencabut senjata akar baharnya yang dicobloskan ke dalam tanah sebagai alat penahan diri. Kesemuanya ini patutlah dikagumi orang, keempat pendekar serangkai itu ternyata memiliki kelebihan-kelebihan yang masing-masing tidak sama, tapi cukup hebatnya. Lebihlebih dengan Mahesa Wulung dan Gagak Cemani.
"Aah, asem kecut! Kiranya bahaya telah lewat!" desis Palumpang sementara ia menyimpan senjatanya, lalu menebah-nebahkan kedua belah tangan untuk membersihkan debu-debu yang masih melekat pada pakaian dan tubuhnya.
"Kukira, tubuhku telah terhembus ke luar dari bumi "
"Seperti ngimpi saja rasanya!" sambung Tungkoro serta membenahi pakaiannya yang geluprut oleh debu.
"Ilmu si kakek tadi sangat hebat. Entah ini, mungkin kita berempat akan menderita masuk angin sekarang...!" Tungkoro tampak mengatur ikat kepalanya, kemudian menyarungkan pedangnya.
Mahesa Wulung tersenyum, sahutnya pula dengan setengah bergurau, "Untuk itu kita harus mencari orang yang akan mengeroki tubuh kita "
"Heh, heh, heh, tak usah repot-repot. Kita duduk antri berempat," ujar Gagak Cemani sambil nyungirnyungir.
"Adik Mahesa Wulung di sebelah depan, lalu dikeroki oleh sobat Palumpang. Sedang sobat Palumpang sendiri akan dikeroki oleh sobat Tungkoro yang duduk di belakangnya. Kemudian aku sendiri yang akan mengeroki sobat Tungkoro. Sebaliknya... Adik Mahesa Wulunglah yang akan mengeroki tubuhku "
Akhir dari ucapan Gagak Cemani disambut oleh suara ketawa berbareng sampai tubuh mereka terguncang-guncang sampai bercucur air mata. Kiranya kegembiraan ini sangat tepat sebagai pengobat lelah, setelah mereka mati-matian bertempur melawan rombongan Doyotan maupun si kakek Gagang Aking. Dalam saat-saat begini ikatan persahabatan keempat pendekar serangkai itu terasa lebih erat dan akrabnya.
Nyit, nyit... nyiittt... nyiiitt. Tiba-tiba seekor kera yang masih muda sekali meloncat turun dari sebuah dahan pohon serta meloncat-loncat mendekati Mahesa Wulung berempat.
"Heh, heh, heh, lihatlah!" lagi-lagi nyeletuk si pendekar Gagak Cemani.
"Tukang keroyoknya telah datang! Ha, ha, ha, ha, ha."
Kembali getar tertawa cerah terdengar di antara mereka. Sebaliknya, kera kecil yang telah nongol di dekat mereka itu cuma melompong memutar-mutar kepala sambil mengangkat alis dan dahinya berkali-kali, seolah-olah dipenuhi oleh tanda tanya yang tak pernah dimengertinya. Si kera kecil itu cuma berkata, nguk, nguk, dan nyit, nyit lain tidak. Jari-jarinya yang panjang itu berkali-kali pula menggaruk-garuk kepala tak ubahnya seorang manusia yang lagi kebingungan.
"Heh, heh, heh. Persis seperti munyuk ditulup!*" ujar Mahesa Wulung seraya menahan ketawanya untuk sesaat berkata demikian. (*munyuk ditulup = kera disumpit) Ucapan demikian adalah satu peribahasa yang mengibaratkan seseorang bodoh yang tidak dapat menanggapi sesuatu kejadian di sekelilingnya, sehingga ia cuma menoleh, menengok ke kiri-kanan tanpa berbuat sesuatu apa.
"Ya, ya. Benar, Kakang Wulung. Tapi ia lebih tepat sebagai tukang pencari kutu! Ha, ha, ha," sambung Tungkoro sambil menunjuk ke arah kera kecil itu.
Begitulah suasana gembira meliputi keempat pendekar itu yang selintas seperti lupa bahwa beberapa saat yang lalu mereka telah menyabung nyawa untuk dapat tertawa sepuas itu.
"Heei, si kera kecil ini berkalung seutas tali!" sela Mahesa Wulung yang lebih lanjut memperhatikan kera tersebut.
"Ahh, hmmm, aneh juga hal ini," Gagak Cemani menyelesaikan ketawanya setelah mendengar ucapan Mahesa Wulung. Memang ia dapat melihat bahwa seutas tali teranyam halus berwarna kemerahan melingkari leher si kera kecil. Hal tersebut serentak menimbulkan tanda tanya besar di dalam dada keempat pendekar itu.
Mereka sadar bahwa tak mungkin rasanya kalau kera kecil itu sengaja memakai seutas tali pada lehernya. Jadi pastilah ada yang memasangkan di situ. Tapi siapakah orangnya? Itulah yang kemudian dikatakan oleh Mahesa Wulung, "Pasti kera ini pernah mengenal manusia atau dipelihara oleh manusia! Dan hal itulah yang pasti menarik kita!"
"Hmm, adik mampu berpikir sejauh itu!" sahut Gagak Cemani sementara tangannya mengelus-elus leher kera kecil itu dan memperhatikan tali merah yang melingkar di situ.
"Aku menjadi iri dengan kemampuan dan cara berpikir andika."
"Yah. Kiranya perkara ini patut kita selidiki Kakang Wulung," sambung Tungkoro pula.
"Bukankah mungkin ada sangkut pautnya dengan tugas kita, membuntuti gerakan orang-orang Tangan Iblis?"
"Benar!" terdengar Palumpang ikut berkata setelah ia memperhatikan tali merah di leher si kera kecil.
"Tali ini adalah anyaman tangan manusia!"
Nguk, nguk, nguk. Nyit... nyiitt! Suara si kera kecil seraya kedua tangannya berganti-ganti menunjuk ke arah utara serta diguncang-guncangkan, bagaikan sikap seseorang yang bermaksud menunjuk ataupun meyakinkan sesuatu yang diketahuinya.
"Aneh, ia menunjuk ke arah utara!" Mahesa Wulung berkata setengah heran dan kagumnya.
"Seperti yang diucapkan oleh si kakek Gagang Aking, tentang Doyotan dan orang-orangnya!" tukas Gagak Cemani pula.
"Bukankah ia mengatakan bahwa buronan kita telah lari ke arah utara?"
"Kita banyak menjumpai hal-hal yang aneh. Karenanya kita patut berwaspada diri!" Palumpang berkata pula.
"Ayo, bagaimana kalau kita mengikuti maksud si kera kecil ini!"
"Pergi ke arah utara?" sahut Tungkoro.
"Itu lebih baik!" Mahesa Wulung menyambung pula.
"Namun kita harus mencari kuda-kuda kita di daerah tenggara. Setelah itu barulah kita bergerak ke utara!"
Dalam pada itu, si kera kecil lalu meloncat ke bahu Mahesa Wulung tanpa rasa sungkan sedikitpun, seolah-olah ia telah mengangkat majikannya yang baru sesudah beberapa waktu yang lalu meninggalkan Tangan Iblis dan rombongannya.
"Tapi, lebih dulu kita harus mencari kuda," ajak Tungkoro lalu melangkah ke arah tenggara bersama ketiga sahabatnya.
Dengan susah-payah dan terhitung masih ada untung, Mahesa Wulung bersama sahabat-sahabatnya telah berhasil mendapatkan kuda-kuda mereka, sesudah ubek-ubekan mencari ke sana-sini.
Segera pulalah keempatnya meloncat ke punggung kudanya masing-masing lalu memacunya ke arah utara, melintasi semak belukar dan pepohonan hutan yang cukup lebatnya.
Si kera kecil tadi masih tetap mengikuti Mahesa Wulung dengan mengemblok pada pundak si pendekar. Sesekali ia masih melenguh-lenguh sambil menunjuk-nunjuk ke arah utara, membuat Mahesa Wulung bersama ketiga sahabatnya tersenyum geli. Secara tidak dinyana, mereka menemukan sahabat baru yang sekaligus bertindak sebagai penunjuk jalan.
Beberapa saat kemudian, mereka berempat telah berada di tengah perjalanan menuju ke arah utara. Mahesa Wulung yang berada di sebelah depan senantiasa menebar pandangannya ke setiap arah, ke setiap sudut pepohonan, lekuk batu-batuan maupun dari semak-belukar yang rimbun.
Matahari yang cerah menunjamkan sinarnya ke dasar hutan, menembusi kelebaran pohon lewat celahcelah daunnya dan kemudian sinar yang dipantulkan ke atas oleh beberapa mata air yang mengalirkan airnya merupakan sungai-sungai kecil. Pantulan tadi segera membuat sinar bergemerlapan di atas dedaunan dengan indahnya.
Nyiittt... nguk... nguukk! Kembali si kera kecil yang menggamblok pada punggung Mahesa Wulung segera menjerit-jerit seraya menunjuk-nunjukkan jarinya yang panjang ke atas rerumputan. Bahkan kemudian ia meloncat turun dari pundak Mahesa Wulung, sehingga "tuan baru"-nya ini terperanjat beberapa saat.
Gagak Cemani maupun Palumpang serta Tungkoro tak kalah herannya sehingga mereka bertiga perlu menghentikan kudanya.
"Haai, apa yang akan kau tunjukkan, sobat berekor?" ujar Mahesa Wulung setengah terbengong keheranan, sebab meskipun ia dapat meraba maksud si kera kecil itu, namun matanya tak melihat sesuatu pemandangan yang aneh ataupun sangat penting, kecuali semak-belukar dan ilalang melulu.
Krrr, nguk... nguukkk, ujar si kera kecil sambil berjingkrakan dengan masih menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah rerumputan di dekatnya.
"Hmm, baiklah. Rupanya engkau akan memberikan jasa," ujar Mahesa Wulung seraya meloncat turun dari kudanya. Saat itu pula. Gagak Cemani bertiga ikut turun ke tanah.
Mereka segera mendekati si kera kecil dan memeriksa rerumputan di situ, yang sejak tadi telah ditunjuk-tunjuk oleh si kera kecil. Satu rasa curiga telah timbul pula di dalam dada mereka.
"Darah!" desis Mahesa Wulung kaget.
"Darah di balik rerumputan ini!"
"Sungguh tajam hidung si kera kecil ini!" ujar Gagak Cemani seraya menepuk-nepuk kepala kera itu yang seketika mencungir dan menjibir-jibirkan bibirnya.
"Sudah agak kental membeku," sambung Palumpang pula.
"Pasti tercecer lewat beberapa waktu yang lalu."
Sementara itu Tungkoro yang lagi menyisihnyisihkan semak di sebelah utaranya telah mendesis pula, "Lihat sobat. Jejak-jejak kaki dan juga tetesan darah yang telah beku!"
"Pasti ini semua adalah jejak-jejak Doyotan dan kawan-kawannya!" ujar Mahesa Wulung pula.
"Mereka sekarang tinggal berempat lagi jika tidak keliru, sebab dua orang telah kita robohkan dan tewas!"
"Benar, adik. Baiknya kita telusuri saja jejak mereka. Siapa tahu keempat orang itu akan membawa jejak-jejak ke arah rombongan lainnya!" ujar Gagak Cemani seraya menatap ke arah utara seperti hendak menembusi hutan itu dengan sorot matanya.
"Setuju," Mahesa Wulung menerima usul yang memang tepat itu.
"Tapi sementara kita akan menuntun kuda-kuda ini, agar kita bisa lebih terperinci mencari jejak buruan kita."
Maka sebentar kemudian rombongan berempat itu telah berjalan kembali menempuh tujuannya. Mereka beriring-iring dengan menuntun kudanya. Di sebelah depan Mahesa Wulung tetap berjalan bersama si kera kecil. Sebentar-sebentar ia mengawasi sekeliling. Di belakang, Gagak Cemani juga menuntun kudanya, diikuti oleh Tungkoro dan kemudian Palumpang.
Perjalanan mereka serasa agak lambat, tapi hal itu dapat dimaklumi sebab mereka tengah membuntuti buruannya dan ini bukanlah sesuatu hal yang boleh dianggap ringan. Sebab siapa tahu buronan yang dicarinya justru lebih hebat dari mereka?
Hal tersebut tidak jarang terjadi sebab belum dapat dipastikan bahwa seorang pendekar pasti akan lebih unggul dari sasaran yang diburunya. Bukankah hal yang semacam itu cukup lumrah terjadi di dalam kehidupan manusia? Dan ini semua hampir direnungkan oleh Mahesa Wulung dan ketiga sahabatnya.
Bagi Mahesa Wulung sendiri yang paling diherani adalah pengetahuan si kakek Gagang Aking yang dapat mengenal jurus ilmu pedangnya Sigar Maruta. Maka sejak tadi, terus saja Mahesa Wulung memikirkan tentang hubungan si kakek tersebut dengan mendiang Ki Camar Seta yang telah memberi dasar-dasar ilmu pedang tersebut. Adakah keduanya saling mengenal dan saling berhubungan? Atau barangkali mereka adalah satu sahabat dalam satu perguruan? Soal-soal semacam itulah yang senantiasa dipikirkan oleh Mahesa Wulung, meskipun jawabannya untuk kesekian kalinya tidak pernah ditemukannya. Maka untuk sementara Mahesa Wulung lalu melupakan tentang si kakek tadi dan selanjutnya ia menelusur jejak-jejak rombongan Doyotan dengan harapan nantinya dapat menemukan pula jejak si Tangan Iblis dan rombongannya.
* * *
--¤¤¦ « BAGIAN IV » ¦¤¤--
Yang berkuda di sebelah depan ada dua orang dengan berdampingan. Mereka terdiri dari dua orang lakilaki setengah tua, namun ada bedanya. Seorang di antaranya bertubuh gemuk pendek sedang satunya lagi berperawakan sedang. Keduanya tidak lain adalah Ki Dunuk dan Demang Cundraka.
Di belakangnya, Linting dan empat orang pengawal berjajar dua-dua ke belakang dengan membekal pedang-pedang pada pinggangnya. Sedang Linting sendiri yang bertindak sebagai kepala kawal menggenggam sebatang tombak.
"Sungguh pagi yang nyaman, Kakang Demang!" ujar Ki Dunuk kepada Demang Cundraka sambil menoleh ke samping.
"Hehh, mudah-mudahan perjalanan kita akan memperolah kelancaran, Ki Dunuk," sahut Demang Cundraka.
"Sebelum siang, aku mengharap rombongan kita telah mencapai desa Genuk."
"Memang itu yang kita harapkan, Kakang Demang," jawab Ki Dunuk pula.
"Di sana kita beristirahat beberapa waktu dan memperoleh makanan segar."
"Sesudah Genuk, kita akan melewati daerah Karangsari dan kemudian Demak. Rasa-rasanya aku ingin cepat-cepat tiba di kota tersebut, kemudian menyerahkan Arca Ikan Biru kepada yang berwajib. Dengan begitu dapat diketahui bahwa bahaya yang tidak nampak tengah mengancam kita."
Ki Dunuk menggersahkan napas, lalu ujarnya, "Benda yang bernama Arca Ikan Biru tersebut, ternyata telah membawa bencana yang tidak sedikit, Kakang Demang. Semoga ia selamat sampai ke kota Demak."
"Eh, aku menyadari betapa bahaya akan mengancam kita pada setiap waktu dan setiap tempat. Namun apapun yang bakal terjadi, kita harus mati-matian menjaga benda itu."
Ki Dunuk memanggutkan kepala dan tiba-tiba ia mengutarakan pendapatnya, "Sebagai satu rombongan yang membawa benda berharga dan penting, nampaknya kita terlalu menyolok. Dengan begitu kita sangat menarik perhatian dan mudah menjadi sasaran dari maksud-maksud jahat."
Dahi Demang Cundraka lalu berkerut sesaat ketika ia mendengar penuturan Ki Dunuk yang cukup berharga itu, tetapi sesaat kemudian wajahnya menjadi lebih cerah, satu pertanda bahwa ia telah menemukan suatu gagasan yang tentu saja menyangkut soal keselamatan Arca Ikan Biru.
"Sttt, dengarlah Ki Dunuk!" ujar Ki Demang Cundraka seraya membisikkan satu deretan kalimat ke telinga Ki Dunuk di sebelahnya.
Tampak Ki Dunuk tersenyum dan menganggukangguk, dan Ki Demang Cundraka pun merasa puas karenanya.
Sementara itu....
Jauh di sebelah timur, di balik dedaunan pakis hutan, sepasang mata setajam burung elang senantiasa mengikuti gerak-gerik rombongan Ki Demang Cundraka. Gumam bernada gembira terdengar dari mulut si pengintai ini yang kemudian berdiri dan menjauh dari tempatnya semula.
Dengan satu gerakan ringan, orang tersebut melesat ke atas dahan dan selanjutnya bergayutan berayun ke arah timur dengan berganti-ganti pohon. Gerakannya sungguh mirip seekor kera. Gesit, cekatan dan tepat. Apalagi orang tersebut mengenakan pakaian seragam hitam-hitam, dengan selembar kain hitam tebal yang menutupi mulutnya, hingga mengesankan seperti orang sakit pilek.
Dia tidak lain adalah Si Mulut Bertudung, salah seorang pengikut saudagar Arya Demung yang telah tersohor di daerah barat daya Asemarang. Kini ia harus cepat-cepat mengabari pemimpinnya, sesudah dengan cepat ia berhasil menyelesaikan tugasnya, yakni mengintai gerakan Ki Demang Cundraka dan orang-orangnya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila gerakannya lantas saja gesit seperti dikejar setan dan pohon demi pohon dilewatinya dengan sekejap mata.
"Aku harus secepatnya sampai ke warung itu!" desis Si Mulut Bertudung sendiri! "Begitu tiba di kota Genuk, aku akan melapor kepada Ki Arya Demung. Mudah-mudahan mereka telah siap di warung itu."
Pakaian yang dikenakan Si Mulut Bertudung berasal dari tenunan halus, lurik hitam kecoklatan. Pada pinggangnya terselip sepasang pedang pendek dengan ujung tangkai menongol ke depan, siap tercabut oleh kedua tangannya yang lincah, sewaktu-waktu ada bahaya yang mencegatnya. Tampaknya kedua pedang pendek tadi adalah senjata andalan Si Mulut Bertudung dan boleh dipastikan bahwa sepasang pedang tadi bukanlah sekedar senjata rahasia, bahkan juga mulutnya yang selalu bertudung itupun merupakan rahasia pula. Namun rupanya saja keanehan itulah yang dipakai sebagai gelar nama kependekaran yang dibanggakannya.
Ketika loncatan Si Mulut Bertudung melewati satu pohon petai, mendadak saja si pendekar ini terhenyak menghentikan gerakannya, sebab di atas sebuah dahan pohon itu, sejauh hampir empat tombak bergantunglah sesosok tubuh manusia berpakaian kulit binatang, putih berbelang-belang hitam. Kedua kaki orang itu membelit pada dahan tadi, dengan demikian maka kepalanya menghadap ke bawah tak ubahnya seekor kalong atau kelelawar raksasa yang lagi bergantung diri.
Melihat ini, Si Mulut Bertudung hampir terpekik karena kagetnya. Apa yang ditemui di depannya ini betulbetul membuat hatinya tercekat sehingga otomatis gerakannya terhenti dan ia berdiri termangu seperti patung.
"Hoo, hi, hi, hi. Gerakan Anda cukup lincah, sobat. Tapi sorot matamu memperlihatkan kerja yang terburu-buru," begitu suara menegur dari mulut orang tersebut terdengar memecah kesenyapan suasana.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Si Mulut Bertudung.
"Apakah aku tergesa-gesa atau berlambat-lambat dalam perjalananku, ini adalah kepentinganku sendiri."
"Heh, heh, heh. Kata-katamu setajam mata pisau, sobat. Tapi tak apa. Aku senang mendengarnya!" ujar si baju kulit yang ternyata sudah berusia tua.
"Jadi apa maksudmu dengan mencegat perjalananku ini!?" seru Si Mulut Bertudung penuh kegeraman.
"Oo, anehlah pertanyaanmu, sobat! Aku sama sekali tidak mencegatmu! Mengapa kau berkata demikian? Apakah lantaran dirimu terkejut, lalu melontarkan dakwaan tadi?" ujar si tua berbaju kulit.
"Berlagak pilon, haa!" seru Si Mulut Bertudung sementara hatinya menjadi uring-uringan. Masakan sambil berbicara, si tua itu tetap bergantung diri dan ini dirasakan oleh Si Mulut Bertudung sebagai satu hinaan besar.
"Mulutmu berbicara tak keruan!"
"Ooo, jadi aku yang kau salahkan? Sejak tadi sebelum kau lewat di tempat ini, aku telah bergantung di sini menyepikan diri," ujar si tua dengan tenangnya. Masih saja bergantung dengan kedua belah kakinya.
"Keparat, kalau begitu, kaulah yang mesti menyingkir selagi aku lewat di sini! Nah dengar telingamu, haa!?" ujar Si Mulut Bertudung dengan wajah merah. Rupanya darah kemarahan telah naik ke kepala. Sebab hatinya sangat jengkel, selagi hendak cepat-cepat kembali ke kota Genuk, mendadak si tua ini melenting di tengah jalannya.
"Weh, weh. Orang seperti kamu ini suka bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. Lebih berbahaya lagi seandainya kamu memegang kekuasaan. Pastilah orang-orang kecil akan kau tindas dengan semena-mena!" sahut si tua kembali dalam nada tajam sehingga dada Si Mulut Bertudung seperti tertusuk olehnya. Matanya seketika mendelik.
"Sihh. Mulutmu pandai berpidato! Maka terimalah benda-benda penyumbat untukmu, ini! Hyaatt!" teriakan si pendek terdengar membarengi berkelebatnya tangan kanan Si Mulut Bertudung ke depan. Benda berkejaran bersuit dan gemerlap, langsung menyambar ke arah kepala si tua.
Trek tek tek! Sambaran sinar-sinar terhenti tepat di depan kepala si tua berbaju kulit membuat si Mulut Bertudung tercengang buat sesaat.
Hampir-hampir ia tak dapat percaya ketika tiga buah paku baja yang baru dilemparnya itu dapat ditangkap ujung-ujungnya, oleh gigitan atau jepitan gigi si orang tua.
"Nah, boleh kau terima kembali! Whaahh!" seru si orang tua seraya mengibaskan kepalanya ke samping dan tahu-tahu ketiga paku baja hadiah Si Mulut Bertudung telah mental balik dan meluncur ke arah tuannya sendiri dengan bunyi berdesing.
"Ahh!" desis si Mulut Bertudung seraya mengelakkan diri dengan sedikit cekakaran. Sungguh memalukan seandainya senjata-senjata tersebut menimpa tubuhnya sendiri.
Si kakek tua lalu menggerakkan tubuh yang dengan cepat berputar ke atas, sehingga ia duduk di atas dahan pohon itu dalam sekejap mata. Sungguh gerakan yang sukar dan cukup mengagumkan, apalagi sambil berputar itu kedua tangan si kakek tetap bergantung tanpa menyentuh dahan pohon sedikitpun. Gerakan ini hanya mampu dilakukan oleh orang yang berilmu tinggi di samping segi-segi kecekatan yang dimilikinya.
"Heh, heh. heh. Hampir terjadi senjata makan tuan!" gereneng si kakek tadi sekaligus melontarkan sorot mata yang tajam ke arah Si Mulut Bertudung.
"Kau mulai menyerang dengan senjata gelap, sobat. Satu kesalahan yang tak kecil."
"Jangan lekas sombong, kakek kurus. Setiap pendekar mampu berbuat demikian. Hanya aku lebih sedikit hebat sebab melakukan tangkapan itu sambil bergantung diri!"
"Bagus! Jadi sambutlah pelajaran kedua buat orang yang sok jagoan dan berbuat sewenang-wenang!" seru si kakek sambil melesat ke depan, menyambar Si Mulut Bertudung. Jari-jari kedua tangannya mengembang bagaikan cakar-cakar garuda siap merobek sasarannya.
Tentu saja Si Mulut Bertudung melesat ke atas dengan cepat, apalagi ketika terasa olehnya bahwa sambaran si kakek itu mempunyai kecepatan kilat.
Wesst westt! Sambaran tangan si kakek dapat dihindari oleh Si Mulut Bertudung, namun angin tajam yang berasal dari sambaran tadi tak urung menyerempet kedua pelipisnya sehingga terasa kepedihan yang amat menusuk. Karenanya, Si Mulut Bertudung setengah kalang kabut menyelamatkan diri.
Dengan satu tiupan ringan, Si Mulut Bertudung mendarat ke tanah, sekaligus melolos kedua pedang pendeknya untuk menghadapi si orang tua. Sedang dalam hati, Si Mulut Bertudung tak habis-habisnya uring-uringan meskipun terselip pula rasa jerih oleh gerakan-gerakan si orang tua yang kelewat mantap dan penuh perbawa.
Si orang tua bertubuh kurus itupun meluruk turun begitu dilihatnya Si Mulut Bertudung telah mendarat di tanah. Ketawa pelahan yang seolah-olah berasal dari lehernya itu terdengar menggeletar mengejutkan Si Mulut Bertudung, seakan-akan suara hantu penjaga hutan. Tanpa melewatkan kesempatan sedikitpun, Si Mulut Bertudung menikamkan kedua pedang pendeknya dengan gerakan memutar dan menggunting. Tetapi entah bagaimana si orang tua itu menggerakkan tubuhnya, sebab tahu-tahu tubuhnya seperti lenyap hanya dengan sekali berkelebat dan kedua pedang pendek Si Mulut Bertudung tadi hanya mendapatkan udara melompong.
"Setan!" desis Si Mulut Bertudung setelah ia kehilangan lawannya. Pandangan matanya disebar namun tak juga ia menemukan jejak lawannya. Keruan saja hati si pendekar ini berdegupan saking cemasnya, sebab seperti yang baru saja dialami, satu serangannya yang cukup matang, telah dapat dihindari lawannya dengan sangat mudahnya.
Mendadak saja selagi ia mencari jejak lawannya terdengarlah satu suara ketawa dari arah belakangnya, menyebabkan bulu tengkuk Si Mulut Bertudung meremang seketika. Sadar akan bahaya di belakang, secepat kilat ia memutar gerakan ke belakang sedang kedua pedang pendeknya langsung menyabet dan menikam berbareng, sampai berdesingan.
"Heh, heh. Tak akan semudah itu kau menyerangku! Heeitt!" Si orang tua mengibaskan tangan yang cepatnya melebihi gerakan pedang Si Mulut Bertudung bahkan seakan-akan mendahuluinya.
Plakk! Begitulah tiba-tiba tangan kanan si orang tua menampar lebih dahulu pelipis Si Mulut Bertudung sehingga tokoh ini hampir saja terpelanting roboh.
"Nah, itulah peringatan dari si kakek tua yang tak berharga."
Sekali ini Si Mulut Bertudung lebih terkejut sebab si orang tua itu bergerak bagai hantu.
"Sambutlah kedua pedangku ini dengan senjatamu! Lekas! Aku tak mau terhina dengan cara-caramu!"
"Bagus!" desis si kakek tua seraya mencabut sesuatu dari balik baju kulitnya dan sebentar kemudian terlihatlah dua batang logam tergenggam pada kedua belah tangan. Memang tidak lain si kakek itu adalah Ki Gagang Aking si pendekar tanpa juntrung, selalu berpindah-pindah tempat dan mengembara menuruti kehendak kaki.
Si Mulut Bertudung tidak lagi berkata tapi bertindak dengan menyabetkan kedua pedang pendeknya berbareng ke arah si Kakek Gagang Aking. Trang... Traang!
"Haaah?!" desis Si Mulut Bertudung begitu kedua tangannya bergetar hebat. Hatinya serentak bagai dibakar oleh bara api dan memuntahkan amarahnya. Namun tiba-tiba ia teringat pula bahwa ada tugas lebih penting yang harus dikerjakan, yaitu cepat-cepat tiba di kota Genuk. Maka secepat kilat Si Mulut Bertudung melesat ke atas dahan pohon seraya berseru lantang, "Sayang kakek. Aku punya tugas lain. Akan kita lanjutkan lagi permainan ini di lain kesempatan!"
Kakek Gagang Aking membiarkan Si Mulut Bertudung kabur ke arah timur dan lenyap di balik pepohonan sesudah ia berloncatan melalui dahan-dahan pohon. Sedang ia sendiri cuma bergerundelan memberengut, "Tempat-tempat ini seperti tidak aman dan kurang cocok buat bersemadi. Sudah dua kali aku terganggu. Yang pertama dengan dua rombongan di sebelah tenggara sana dan kini terganggu pula oleh orang yang mulutnya bertudung itu! Hmm, akan kucari tempat lain."
Begitulah Ki Gagang Aking lalu mengeloyor ke arah timur sambil menyimpan senjatanya kembali, yang berbentuk dua batang logam pipih ke dalam bajunya. Langkahnya tenang-tenang menunjukkan betapa kokoh jiwa dan semangatnya. Meskipun sudah tua tapi ia tidak berjalan dengan membongkok-bongkok, seperti seorang tua pada usia sebaya itu.
Karenanya tidak heran bila orang kadang-kadang meragukan ketuaan usia Ki Gagang Aking. Meski rambut dan kumisnya seputih perak, namun wajahnya masih kelihatan segar kemerahan dan kerut-kerut di tempat itu tidak terlalu banyak, seolah-olah ia tahan terhadap usia, dan orang lantas bisa mengingat tentang seorang pendekar yang pernah disebut-sebut dalam dongeng yang kabarnya juga tahan usia. Ia tidak lain adalah Panji Tengkorak, si pengembara lontanglantung.
Angin kencang mulai bertiup dan mengiringi lenyapnya si kakek Gagang Aking di balik semak pakis dan belukar di sebelahnya. Seekor tupai mulai menongolkan kepalanya lalu bermain-main, sesudah beberapa saat ia ketakutan disebabkan terjadinya pertarungan antara Si Mulut Bertudung dan Ki Gagang Aking.
* * *
--¤¤¦ « BAGIAN V » ¦¤¤--
Seorang berperawakan angker duduk dengan resahnya menghadapi meja panjang. Sebentar-sebentar ia menatap ke arah luar, seperti merenungi kaki langit di sebelah sana. Perlahan-lahan sang matahari naik semakin tinggi.
Tiba-tiba seorang berpakaian biru kehitaman dengan lengan bajunya yang longgar perlahan mendekati si tokoh yang lagi resah tadi. Kedua lengan si pendatang ini berhiaskan dua gelang hitam mengkilat berukuran kelewat tebal dan besar!
"Ki Arya Demung, Anda tampak gelisah," ujar si gelang tebal yang tidak lain adalah Wasi Sableng.
"Si Mulut Bertudung belum juga datang. Seharusnya, sudah waktunya ia sampai di tempat ini," sahut saudagar Arya Demung sambil berkali-kali menebar pandangnya ke arah barat dan kadangkala mulutnya mencapak membayangkan kegelisahan.
"Apakah ia telah hafal dengan daerah ini, sehingga tidak ada kemungkinan akan tersesat di jalan?"
Arya Demung mendongak sesaat oleh kata-kata Wasi Sableng tadi, namun kemudian ia menjawab, "Tersesat? Ah, itu tak akan terjadi pada Si Mulut Bertudung. Ia cukup baik mengenal daerah ini! Yang justru aku khawatirkan tentang dia ialah kalau sampai ia mendapat bahaya di tengah jalan."
Selagi mereka berembuk begitu terdengarlah langkah-langkah kaki kuda dari arah barat yang seketika membuat Wasi Sableng dan saudagar Arya Demung berjelalatan menatap ke arah sana. Tapi betapa mereka kecewanya ketika si pendatang itu bukanlah Si Mulut Bertudung yang lagi dinanti-nantinya, melainkan adalah empat orang berkuda yang tampak keletihan.
Arya Demung menggerendeng dan meludah saking jengkelnya, namun empat orang penunggang kuda itu tak mengetahui tampaknya. Mereka terus mendekat ke warung dan turun dari atas kudanya hampir berbareng. Terus saja Arya Demung dan Wasi Sableng memperhatikan keempat pendatang itu, begitu juga para pengikut Arya Demung yang duduk bertebaran di bangku-bangku Warung.
Keempat pendatang itu tampaknya sebagai pengembara yang kelelahan dan singgah di warung ini untuk mengisi perut dan menghilangkan haus. Untuk itu semua, baik Wasi Sableng dan Arya Demung tidak begitu perduli sebab daerah ini dan lebih-lebih warung ini sering disinggahi oleh pengembara maupun orangorang yang singgah di tengah perjalanannya.
Meskipun tak perduli, tapi tak urung hati Arya Demung menjadi berdesir sewaktu ia memperhatikan salah seorang pendatang yang berkumis melintang dan berkerudung kain batik hitam biru pada punggungnya. Diam-diam Arya Demung menaksir mereka.
Begitu keempat orang pendatang itu lewat di sampingnya, tanpa diduga saudagar Arya Demung menggebrak meja seraya tertawa terbahak-bahak.
"Heh, heh, heh. Lihatlah, Sableng! Siang-siang begini ada orang kedinginan berkerudung kain. Barangkali ia biasa hidup di padang pasir...!"
Meski sesaat Wasi Sableng tak dapat menangkap maksud Arya Demung, tapi setelah ia merasakan katakata di atas, maka segera ia menyahut, "Ahh, benar juga ujarmu. Atau barangkali pula ia salah satu anggota rombongan penari keliling yang lagi demam pilek."
Tiba-tiba Gagak Cemani, si kumis melintang yang mengenakan jubah di punggung melempar lirikan tajam ke samping dan sebentar lagi ia pasti menggebrak ke arah Wasi Sableng dan Arya Demung jika ia tidak buru digamit tangannya oleh Mahesa Wulung yang berdiri di sampingnya seraya berbisik, "Jangan ladeni mereka " Tanpa menunjukkan sikap mendongkol, Mahesa Wulung justru mengangguk tersenyum kepada Wasi Sableng dan Arya Demung untuk menghilangkan kesan-kesan yang tidak diharapkan. Akhirnya, Mahesa Wulung, Gagak Cemani, Palumpang dan Tungkoro duduk menghadapi meja panjang sejauh dua tombok kurang lebih dari tempat Wasi Sableng dan Arya Demung berada.
Seorang wanita cantik langsung mendatangi meja Mahesa Wulung dan menyapa ramah, "Tuan, Tuan berempat akan minum apa? Serbat, kopi atau...?"
"Satu lodong tuak dan empat cawan, ditambah juadah ketan dan lauknya sekali," ujar Gagak Cemani ringkas. Terasa bahwa kemangkelan hatinya terhadap sindiran Wasi Sableng, Arya Demung ikut terlontar dalam kata-kata itu, "Dan juga setundun pisang yang masak "
Wanita itu tetap tersenyum ramah, lalu katanya, "Baik tuan. Semuanya akan kami siapkan. Persilahkan melepaskan lelah sepuasnya. Maaf, tempatnya agak kurang baik."
"Ooh, tak apalah. Terima kasih," ujar Mahesa Wulung pula dengan iringan senyum, ketika wanita berparas cantik itu membalikkan diri untuk mempersiapkan hidangan tersebut. Gaya jalannya yang gemulai dan mempesona segera terlihat, sehingga tanpa sengaja Tungkoro mendesis kagum.
Memang sesungguhnya tidak hanya Tungkoro yang terpesona, sedang semua rombongan Arya Demungpun mengalami hal yang sama. Apalagi dengan Wasi Sableng sendiri. Kedua biji matanya seakan-akan meloncat keluar dari kelopaknya, begitu melihat gerakan wanita cantik ini dalam berjalan.
Namun ada hal yang lebih penting dan inilah yang membuat Arya Demung dan Wasi Sableng sekaligus merasa cemburu kepada rombongan Mahesa Wulung berempat. Seperti yang diketahuinya, wanita cantik ini adalah pemilik warung yang jarang sekali melayani langsung kepada para tetamunya. Sedang mereka sendiri, baik Wasi Sableng maupun Arya Demung selama tinggal di warung itu, jarang ditemui oleh si wanita cantik. Tak disangkanya bahwa Mahesa Wulung berempat yang baru saja datang itu, tahu-tahu disambut langsung oleh si pemilik warung. Keruan saja Arya Demung dan Wasi Sableng merasa terbakar hatinya melihat hal itu, sehingga tak mengherankan bila gigi Wasi Sableng bergemeretakan. Dasar seperti Wasi Sableng yang suka melihat wanita cantik dan malah suatu ketika hatinya jadi tersinggung karena sikapnya tidak diacuhkan oleh si pemilik warung tadi, maka salahsalah rasa mendongkolnya beralih menumpah kepada Mahesa Wulung dengan ketiga rekannya.
Di sebuah meja lain duduklah pula seorang wanita cantik ditemani oleh seorang pria berkulit hitam, bertubuh pendek. Di atas meja mereka masih terlihat macam-macam hidangan yang tersedia di situ dan sedikit aneh bahwa mereka tersenyum-senyum melihat sikap Wasi Sableng yang lagi angot-angotan marah. Mereka adalah si genit Teja Biru dan Klenteng, termasuk pengikut-pengikut saudagar Arya Demung.
Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun muncul kembali dengan membawa hidangan-hidangan yang dipesan oleh Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Sekali lagi terlihatlah betapa lemah-gemulai yang mempesona setiap insan di situ.
Akan tetapi hal itu malahan seperti membakar rasa cemburu Wasi Sableng. Matanya yang tajam itupun masih seterusnya melotot ke arah Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. Lebih-lebih ketika sesaat ia sempat melirik ke arah si genit Teja Biru yang tersenyum-senyum ke arahnya. Senyum tadi berkesan mengejek kepada dirinya yang terang-terangan tidak digubris oleh si cantik pemilik warung.
"Ooh, sebentar. Maaf tuan-tuan. Tuaknya masih ketinggalan di belakang. Akan kuambil dahulu!" ujar si cantik seraya tersipu-sipu malu dan tersenyum meruntuhkan hati, karena kelupaannya itu. Agaknya saja ia jarang menyambut sendiri tetamunya sebab di situ memang ada beberapa pelayan pembantu yang siap melayani tamu-tamu. Maka apakah keistimewaan sambutannya kepada Mahesa Wulung berempat tadi tidak menimbulkan rasa iri dan cemburu kepada tetamu lainnya?
Buat ketiga kalinya Wasi Sableng dapat menyaksikan betapa lenggang si cantik seumpama macan lapar dapat memukau setiap hati pengunjung warung yang berada di situ. Ia melangkah ke arah dapur untuk mengambil tuak dan sebentar lagi ia pasti lewat di situ.
"Ia sengaja mengejekku!" gumam di hati Wasi Sableng.
"Sekali ia lewat dengan melenggang-lenggok seperti angsa begitu, akan kugeret* ia ke mejaku ini!"
(*geret = seret, tarik)
Tak antara lama, si cantik pemilik warung itupun muncul dan berjalan ke arah meja Mahesa Wulung. Lenggang-lenggoknya masih saja tak ketinggalan. Ooh, seandainya ia tahu akan tekad Wasi Sableng, pastilah akan dihentikannya lenggang-lenggoknya itu. Tapi sayang, memang hanya Wasi Sableng sendiri saja yang tahu.
"Nah, inilah tuan. Tuak selodong yang Anda pesan," ujar si cantik pemilik warung seraya meletakkan empat buah cawan di atas meja dan kemudian tuak selodong penuh.
"Bolehkah aku mengenal namamu?" tiba-tiba Tungkoro menyelonong dengan pertanyaannya.
"Ooh, tuan menanyakan namaku?" ujar si cantik seraya tersenyum-senyum menawan.
"Apakah itu perlu?"
"Benar. Siapa?"
"Ken Warsih," jawab si cantik pelahan.
Mendadak saja sesuatu bayangan berkelebat dengan iringan kesiur angin deras dan tahu-tahu lengan si cantik Ken Warsih yang lagi menuang-nuangkan lodong tuak ke dalam cawan-cawan itu, telah tergenggam oleh jari-jemari yang kokoh.
"Ooh, lepaskan ini!" seru Ken Warsih bercampur rasa kaget yang luar biasa, sebab tahu-tahu Wasi Sableng telah berada di sampingnya dengan menggenggam lengan kanannya.
"He, he, he, he. Kau juga harus melayani aku, wong denok ayu! Bukankah aku juga tamu di sini dan mengenalmu lebih lama dan lebih dahulu daripada empat orang ini?" seru Wasi Sableng seraya mengurut-urut lengan kanan Ken Warsih sampai si cantik ini mengkirik-kirik dan mengeluh ketakutan, "Hihh, lepaskan !"
"Heh, heh, heh, kulitmu memang halus denok ayu. Sayang kalau tinggal di warung yang penuh asap begini. Salah-salah kulitmu akan kotor dan menjadi hitam seperti sobatku yang bernama si Klenteng itu!" ujar Wasi Sableng seraya menunjuk Klenteng dengan tangan kirinya.
"Baiknya kau ikut dan tinggal bersamaku saja! Wasi Sableng akan menjagamu!"
"Berlakulah yang sopan, sobat!" tiba-tiba terdengar suara pelahan tapi penuh wibawa meluncur dari bibir Mahesa Wulung dengan tenangnya.
"Hoo, kau berlagak jagoan dengan menolong wanita cantik ini?" geram Wasi Sableng sementara beberapa rekannya tampak bersiap siaga melihat gelagat pendekar angot-angotan ini.
"Lepaskan jari-jarimu dari tangan wanita ini, sobat! Kau telah menyakitinya...!" ujar Mahesa Wulung kembali.
"Apa katamu? Berani kau "
"Lepaskan, kataku!" Plakk…! Tiba-tiba tangan kiri Mahesa Wulung berkelebat menebas ke samping dan tahu-tahu tubuh Wasi Sableng terhuyung ke belakang dan rebah di dekat tempat duduknya semula, tak jauh dari kaki Arya Demung. Beruntung bahwa ia memiliki himpunan tenaga sakti yang dapat mengurangi pengaruh lontaran itu. Tambahan pula memang ia tidak bersiap sebelumnya dan serangan datang begitu mendadak tanpa diduga sama sekali.
Cepat-cepat Wasi Sableng bangkit dengan amarah yang meluap. Secepat kilat ia merauk beberapa tusuk satai dan dikibaskan ke arah Mahesa Wulung. Bendabenda tadi melesat dengan pesatnya menyambar sasaran, sampai-sampai Ken Warsih yang melihat gelagat ini mundur dengan menjerit ketakutan.
Kembali Mahesa Wulung menyentilkan tangan kanannya ke samping dengan tubuh condong ke kiri dan tanpa terduga tusuk-tusuk satai tadi terpental berganti arah dengan kecepatan yang tidak berubah.
"Wuaaahh!" tiga teriakan parau terdengar dari samping kanan Mahesa Wulung yang ternyata keluar dari mulut tiga anak buah Arya Demung dengan masing-masing telapak tangan kanannya tertembus oleh tusuk sate dari bambu itu. Ketiga golok mereka terpelanting jatuh di lantai. Rupanya saja ketiga orang tersebut hendak membokong serangan dari sebelah belakang.
"Hei, hei, hei! Jangan bertengkar!" Satu teriakan tajam memenuhi udara berbareng ketawa renyah keluar dari mulut si genit Teja Biru.
"Buat apa bertengkar karena soal sepele saja! Sekarang biarlah aku memberi ucapan selamat kepada si pendekar berkumis kecil itu. Siapa namamu, pendekar? Terimalah ucapan selamat dari Teja Biru. Hup!"
Sambil berkata si genit Teja Biru memungut cawan berisi tuak dan ditimpukkan ke arah Mahesa Wulung. Sungguh di luar dugaan, bahwa cawan berisi tuak itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si pendekar.
Meski seperti tak masuk akal, tapi dapat dibayangkan bahwa lontaran dengan dilandasi himpunan tenaga sakti itu akan sanggup membuat amblas cawan berisi tuak tadi ke dalam dada Mahesa Wulung.
"Huppp!" desis Mahesa Wulung mengibaskan tangannya buat ketiga kali dan tahu-tahu cawan berisi tuak tadi telah lenyap disambarnya.
"Lenyap?!" desis Wasi Sableng, Arya Demung dan si genit Teja Biru. Bagaimana mungkin bahwa cawan yang cukup lebar itu lenyap dalam genggaman tangan Mahesa Wulung?
Sambil tersenyum lunak, Mahesa Wulung lalu membuka genggaman tangannya dan semua mulut hampir berseru kagum, sebab pada telapak tangan Mahesa Wulung terletak satu bulatan benda berwarna coklat tua berasal dari bahan cawan tuak tadi.
"Ucapan selamatmu telah kuterima nona!" kata Mahesa Wulung seraya menggebrakkan benda bulat tadi ke atas meja, yang seketika amblas ke dalam kayu daun meja.
Arya Demung dan orang-orangnya terkejut dan hampir saja ia memberi aba-aba untuk mengeroyok Mahesa Wulung berempat, jika dari arah barat tidak muncul seorang penunggang kuda yang langsung menuju ke arah warung.
"Wah, untung si kakek Gagang Aking itu tidak menemukan kudaku ini. Hah, tapi yang penting tugasku mengintai rombongan Demang Cundraka telah berhasil!" gumam si pendatang. Dengan cepat si penunggang kuda meloncat turun dan Arya Demung berseru gembira, "Haa, kau telah datang adik!"
"Kita harus berangkat sekarang! Orang-orang itu tengah dalam perjalanannya!" bisik Si Mulut Bertudung ke dekat telinga Arya Demung.
"Bagus! Ayo, anak-anak, kita berangkat sekarang," seru Arya Demung sambil sesaat menatap tajam ke arah Mahesa Wulung berempat serta berkata, "Dan kalian! Cukup disini permainan tadi. Tunggulah sampai bertemu di lain saat! Kau boleh bermain sepuaspuasmu sebelum nyawamu melayang di ujung golokku ini!"
Wesss! Sambil berkata demikian Arya Demung menggerakkan goloknya ke atas meja dan sesaat kemudian bersama orang-orangnya meloncat ke luar dari warung dan berpacu dengan kuda-kudanya ke arah barat.
Semua mata masih menatap ke arah rombongan Arya Demung sambil bertanya-tanya tentang asal tujuan dari orang-orang itu, lebih-lebih dengan permainan gertak si pemimpin rombongan dengan goloknya.
Kraakkk... byaarr! Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh meja bekas tempat Arya Demung yang semula masih tegak tanpa cacat apapun, mendadak runtuh ambyar berkeping-keping menjadi tumpukan kayu bakar!
"Bukan main!" desis Tungkoro kaget.
"Mereka berilmu tinggi pula!" sahut Mahesa Wulung.
"Hmm, jika terjadi pertempuran tadi, pastilah sangat hebatnya," sambung Gagak Cemani.
"Ooh, semua ini lantaran saya tuan!" desah Ken Warsih dengan nada penuh penyesalan.
"Harap tuantuan sudi memaafkan saya."
Si cantik ini berkata dan matanya yang jeli itu berkaca-kaca oleh air mata, maka cepat-cepat Mahesa Wulung berkata kembali, "Anda tak usah merasa demikian. Mereka pada dasarnya tergolong orang-orang liar dan suka bertindak semaunya sendiri. Maka sudah sewajarnya kami membela nona!"
"Terimakasih... terimakasih," ujar Ken Warsih seraya mengusap air matanya dengan ujung depan bajunya, lalu senyum manis mulai menyungging bibirnya.
"Silahkan duduk kembali. Kalian akan kuambilkan tuak lagi!"
"Aku akan membantu Anda!" ujar Tungkoro seraya bangkit dari bangku, tapi Ken Warsih buru-buru berkata, "Oooh, tidak perlu tuan. Biarlah aku kerjakan sendiri, sebab tadi aku telah merepotkan tuan-tuan dengan orang-orang liar itu. Kini, biarlah kami hidangkan makanan yang lezat-lezat sebagai rasa terimakasih kami!" Selesai berkata, Ken Warsih lalu menuju ke arah dapur sambil tersenyum segan. Ia telah ditolong sekali dan untuk kedua kali, si cantik ini merasa tidak pantas sebelum ia dapat membalas budi.
Tungkoro duduk kembali ke atas bangkunya dengan tersipu sementara Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Palumpang tersenyum-senyum kecil.
"Ken Warsih memang cocok untukmu, adik Tungkoro!" ujar Mahesa Wulung, diiringi senyuman penuh arti.
"Haa, kalian mulai menggodaku, hah!" sahut Tungkoro dengan wajah merah saking malunya.
"Aaaa. Jangan marah sobat! Makanlah ini!" ujar Gagak Cemani seraya menyuapkan sepotong juadah ketan ke dalam mulut Tungkoro yang lagi ternganga.
"Hepp," gagap Tungkoro kaget. Tapi dasar sesama sahabat, ia tidak marah, bahkan mengunyah juadah ketan itu dengan nikmatnya dengan mata yang berputar-putar lucu.
"Haem... nyaem... nyaem... nyaem "
* * *
--¤¤¦ « BAGIAN VI » ¦¤¤--
Meskipun hal itu sukar diterima oleh akal sehat, namun ada beberapa segi kebenaran, bahwa matahari memang bersinar sepanas-panasnya pada saat tengah hari, tepat jatuhnya sinar tegak lurus di atas kita.
Dalam saat-saat demikian, tidak mustahil kalau sinar terik itu mampu menyebabkan pingsan dan apabila orangnya sangat lemah bisa juga ia meninggal. Agaknya pula, orang lalu menghubung-hubungkan bahwa para raksasa dalam ceritera wayang, suka mencegat manusia pada tengah hari begini.
Mereka biasanya lalu beristirahat sejenak sampai matahari lewat dan condong ke arah barat, barulah perjalanan yang ditempuhnya itu dilanjutkan lagi.
"Tengah hari, Kakang demang!" ujar Ki Dunuk seraya mengusap peluh yang mengalir membasahi dahinya.
"Bagaimana kalau sejenak kita beristirahat melepaskan lelah?"
"Sebentar lagi kita akan tiba di Genuk. Di sanalah kita nanti mengambil istirahat beberapa saat," sahut Demang Cundraka pendek.
"Karenanya harus cepatcepat kita sampai kesana, adik Dunuk!"
"Tapi ini adalah saat tengah hari "
"Memang. Tapi lebih penting Arca Ikan Biru daripada saat tengah hari...," sahut Demang Cundraka pula.
"Tambahan lagi seperti siasatmu, kita telah berganti pakaian dan benar-benar kita tampak sebagai rombongan saudagar pedagang."
Ki Dunuk tak menyanggah lagi sebab ia tahu bahwa Demang Cundraka mempunyai watak keras.
Maka kembali ia memperhatikan jalan di depannya yang kelihatan selalu sepi dan panas oleh terkaman sinar matahari. Untunglah mereka mengenakan caping-caping bambu yang agak lebar sehingga sebagian tubuh mereka cukup terlindung olehnya.
Namun Ki Dunuk tak urung merasakan berdebardebar di dalam dadanya. Satu perasaan cemas yang tak berujung pangkal tiba-tiba menyelinap di dalam hati, membuat si gemuk ini sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri, ke arah semak belukar dan pepohonan yang banyak tumbuh subur di sana-sini. Dan mendadak saja....
"Hyaatt! Ha, ha, ha.
" Belasan sosok tubuh meloncat ke luar dari belukar di depan rombongan Demang Cundraka dengan sikap kasar petentang-petenteng, tak ubahnya sikap kawanan raksasa yang tengah mencegat seorang satria.
"Ayo berhenti kalian!" seru si pemimpin rombongan pencegat yang bersenjata golok lebar bertangkai panjang.
Dalam saat itu pula Demang Cundraka segera berbisik kepada seorang penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya, "Sttt, Linting. Jika terjadi pertempuran, kau cepat-cepat berpacu kembali menuju Asemarang dan katakan kepada Angger Tuntari bahwa rombongan kita berada di dalam bahaya!"
Pengawal Linting mengangguk paham.
Para pencegat sesaat menjadi ragu, terlebih lagi dengan Si Mulut Bertudung. Rombongan yang mereka cegat ini ternyata adalah rombongan para pedagang dan bukan rombongan Demang Cundraka seperti yang pernah diintainya beberapa saat yang lalu.
"Tudung! Mereka kan rombongan pedagang!?" desis Arya Demung dengan muka cemberut jengkel.
"Apakah kita telah salah cegat, heh? Bukan ini sasaran kita!"
"Tapi... tapi tak ada rombongan lain," sahut Si Mulut Bertudung dengan terbengong kebingungan dan hatinya kecut juga kalau ia kena marah dan gampar dari Arya Demung.
"Ha, ha, ha. Kita kena dikelabuhi oleh mereka!" berkata Klenteng seraya ketawa terkekeh-kekeh.
"Pekerjaan kita tidak keliru. Orang-orang ini tidak lain adalah rombongan Demang Cundraka!"
"Hah, dari mana kau tahu hal itu?" ujar Arya Demung seraya melotot heran ke arah si Klenteng yang masih tersenyum-senyum puas.
"Lihatlah Ki Arya. Aku masih bisa mengenal baikbaik akan kudaku yang belang-belang putih itu," sahut Klenteng seraya menunjuk ke arah kuda yang ditunggangi oleh Ki Dunuk.
"Kuda itu kujual kepada Demang Cundraka beberapa saat yang lalu. Nah, maka kesimpulanku bahwa orang-orang ini adalah rombongan Demang Cundraka!"
"Kurang ajar! Jadi kau telah memata-mataiku selama ini!" bentak Demang Cundraka dengan mencopot caping dan sekali dikibas, caping tadi langsung menerjang si Klenteng tepat pada mulutnya. Seketika ia roboh terjengkang dengan mengaduh-aduh dan mulutnya mengucurkan darah segar.
"Huh! Kau telah menunjukkan diri!" ujar si Klenteng seraya bangun tertatih-tatih sekaligus melolos senjata rantainya yang dibelitkan pada bahunya.
"Pameranmu sungguh hebat, sobat!" seru Arya Demung beringas.
"Sekarang cepat kau serahkan Arca Ikan Biru ke dalam tangan kami! Atau kau ingin sedikit pameran dari golokku ini? Hyaattt...!" Wesss... wess....
"Yueehhh...." Brukk! Tiba-tiba saja, sesaat sesudah Arya Demung mengibaskan golok lebarnya, kuda Demang Cundraka lalu roboh dengan kepala terbelah dan menghamburkan darah!
Keruan saja Demang Cundraka seketika meloncat turun ke tanah dan berseru marah, "Setan iblis! Kau bertingkah semena-mena. Ambillah sendiri Arca Ikan Biru sesudah kalian dapat melangkahi mayat-mayat kami!"
"Serbu!" teriak menggeledek dari Arya Demung seraya menerjang ke arah Ki Demang Cundraka dengan goloknya dan sesaat itu pula terjadilah pertempuran hebat.
"Linting! Sekarang tiba saatnya, segera larilah," seru Ki Demang Cundraka kepada si pengawal yang masih bertempur di atas kudanya.
Mendengar perintah itu, Linting seketika menggeprak kudanya dan berpacu ke arah barat dengan kencang dan gesitnya.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" teriak Arya Demung ketika ia melihat seorang pengikut Ki Demang Cundraka telah memutar kudanya dan berpacu ke arah barat.
"Bereskan orang itu!"
* * *
Hingga di sini selesailah Seri Naga Geni XXIV 'Pendekar Empat Serangkai'. Ikutilah seri selanjutnya yang ke XXV "ORANG-ORANG LIAR". Akan kita ketahui bagaimana nasib Arca Ikan Biru. Bagaimana nasib si pengawal Linting dan ke mana tujuan rombongan Tangan Iblis, semuanya akan pembaca temukan dalam buku tersebut. Selamat membaca dan salam buat ANDIKA semua.
TAMAT
INDEX NAGA GENI | |
Arca Ikan Biru --oo0oo Orang-Orang Liar |