Life is journey not a destinantion ...

Pembalasan Maha Durjana

INDEX BUANG SENGKETA
Gerhana Di Malam Jahanam --oo0oo-- Teror Si Pedang Kilat

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama

Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Hutan Komering Ilir terasa sepi di pagi itu. Namun pemuda berwajah tampan berpakaian merah ini terus melangkahkan kakinya dengan mantap. Sebagaimana keterangan yang didapatnya dari beberapa penduduk setempat, padepokan Gunung Ungkur letaknya tidak seberapa jauh lagi dari hutan lebat yang sekarang sedang dilaluinya. Tanpa merasa curiga pada keadaan disekelilingnya, si pemuda dengan rambut dikuncir itu terus melangkah. Tidak kurang setengah jam ia menelusuri jalan itu, mendadak ia mendengar suara jerit tertahan jauh di belakang sana. Si pemuda yang tidak lain Pendekar Hina Kelana, langsung menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah suara tadi berasal. Sesaat berlalu sepi. Suara jerit perempuan tadi digantikan dengan suara denting beradunya senjata tajam.
Tanpa menunggu lebih lama lagi Buang Sengketa segera berbalik langkah, dan berlari cepat menuju tempat terjadinya keributan. Sesampainya di sana ia melihat seorang gadis sedang menghadapi keroyokan seorang laki-laki muda dan seorang gadis berusia sebaya. Buang Sengketa berusaha menajamkan pandangan matanya untuk mengenali gadis yang berusaha membebaskan diri dari tekanan-tekanan serangan dua orang lawannya. Pemuda itu merasa terperanjat. Saat pandangan matanya yang setajam mata elang itu mengenali ciri-ciri si gadis.
"Cempaka...?" serunya tertahan. Sampai sejauh itu ia dapat melihat bahwa siapapun yang menjadi lawan Cempaka. Yang jelas mereka memiliki kepandaian lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki oleh gadis yang dikenalnya. Pemuda itu masih tertegun di tempatnya ketika terdengar suara jeritan Cempaka. Saat itu kiranya ujung pedang yang berada dalam genggaman gadis yang menyertai pemuda berbaju cokelat berhasil melukai bagian tangan Cempaka. Tetapi nampaknya yang menjadi lawannya tidak ingin berhenti sampai disitu saja. Ia segera memburu Cempaka dengan pedang terhunus.
Karena jarak pertempuran dengan posisi Buang Sengketa agak berjauhan. Maka pemuda itu cepat mengambil sebatang ranting. Dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Sengketa menyambitkan ranting tersebut ke arah senjata lawan yang menderu ke arah Cempaka.
Siiing...! "Traaak...!"
"Akghh...!"
Perempuan yang menyertai pemuda berpakaian cokelat itu mengeluarkan jeritan tertahan, saat mana ia merasakan adanya sebuah benda menyambar deras ke arah bagian pedangnya. Sementara tubuhnya sendiri terhuyung beberapa tindak ke belakang. Dengan cepat ia menoleh. Entah dari mana datangnya perempuan itu melihat seorang pemuda berpakaian merah telah berdiri dua batang tombak darinya. Pemuda itu tersenyum-senyum begitu melihat gadis yang baru saja digagalkan niatnya nampak merah sekali.
"Kakang Kelana...!" desis Cempaka ketika melihat kehadiran Buang Sengketa. Namun Buang yang sudah merasa kesal karena ternyata gadis itu terus membuntuti kepergiannya, nampak acuhacuh saja.
Dalam pada itu gadis yang hampir saja membunuh Cempaka sudah membentaknya.
"Hei, pemuda usilan. Siapakah engkau ini hingga begitu lancang mencampuri urusan orang lain...?" sentaknya dengan suara tergetar.
"Siapapun adanya aku ini, yang jelas aku tidak ingin melihat gadis itu mengalami hal-hal yang tidak diharapkan oleh orang tuanya!" jawab si pemuda begitu tenang.
"Mungkin dia merupakan kekasih gadis usilan ini, adik Kurnia...!" pemuda berpakaian cokelat yang tak lain merupakan Pramesta ikut bicara.
"Kakang Kelana. Hampir setengah hari dua orang ini terus membuntutimu. Wajarkan bila aku menyerangnya. Karena gerak geriknya yang mencurigakan...!" celetuk Cempaka merasa tidak senang.
"Bicara soal buntut membuntuti. Sebenarnya sejak beberapa hari yang lalu aku melihat kau telah menguntitku, menyusul dua orang pemuda dan pemudi gagah ini. Hem. Sebenarnya aku tidak punya apa-apa yang pantas kubagi-bagikan buat kalian. Tidak ada alasan bagi kalian untuk mengganggu perjalananku. Bahkan aku sendiri merasa tidak punya persoalan dengan kalian. He... he... he... apa sih yang kalian inginkan dariku?" tanya si pemuda, kemudian memukul periuknya berulang-ulang hingga menimbulkan suara berkerontangan.
"Eeh, siapa yang membuntuti siapa? Kami memang sedang melakukan perjalanan jauh. Kebetulan saja kami memang hendak pulang ke padepokan Gunung Ungkur. Karena kulihat si gembel berperiuk ini menuju ke arah padepokan, kami pikir wajar jika mencurigainya." kata Kurnia Dewi ketus.
Buang Sengketa langsung menjura hormat manakala mengetahui siapa sebenarnya orang yang telah menyerang Cempaka. Karena memang pada dasarnya ia ingin pergi ke padepokan Gunung Ungkur, ia merasa tidak perlu membantah apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di sisi pemuda berpakaian cokelat itu.
"Maafkan kami saudara dan saudari. Kuakui terus terang, bahwa sebenarnya kami memang ingin datang ke padepokan Gunung Ungkur. Karena kebetulan anda berdua merupakan keluarga padepokan. Kukira tak ada salahnya jika aku numpang bertanya pada kalian...!" 
"Uuuh. Enak saja, kawanmu telah menyerang kami. Sekarang kau meminta agar kami menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu itu...?" sentak Pramesta ikut menimpali.
"Kakang, orang itu telah melukaiku...... Mengapa kakang Kelana harus berbaikan kepadanya...?" Cempaka yang tidak begitu senang dengan sikap mereka, kali ini malah membentak.
"Sabarlah Cempaka. Luka yang kau alami tidak begitu parah, untuk sementara kita harus melupakan masalah pribadi. Dunia persilatan seperti yang telah kita ketahui sedang dilanda keresahan. Sebagai pribadi akupun tidak dapat membiarkan hal itu berlarut-larut. Nah saudara dan saudari. Kalaulah memang anda berasal dari padepokan Gunung Ungkur saya punya beberapa pertanyaan yang barangkali anda berdua sudi menjawabnya...!" ujar Buang Sengketa penuh harap.
Pramesta dan Kurnia Dewi nampak saling berpandangan. Lalu timbul kesimpulan dalam hati mereka. Pemuda yang berdiri di hadapan mereka itu meskipun berpakaian dekil dan kotor tetapi nampaknya merupakan seorang pemuda yang jujur. Dan melihat gelagatnya mungkin pula seorang pemuda yang beraliran lurus di samping berkepandaian tinggi pula. Rasanya bagi Pramesta tidak ada alasan untuk mencurigainya. Berpikir sampai ke situ, akhirnya Pramesta pun berucap: "Saudara. Siapakah saudara ini? Dan ada keperluan apakah dengan padepokan Gunung Ungkur?"
Buang Sengketa tersenyum ramah, setelah tercenung sebentar.
"Aku yang hina ini bernama Buang Sengketa. Orang-orang selalu memanggilku sebagai si Hina Kelana. Adapun maksud tujuanku datang ke Gunung Ungkur adalah ingin mendapatkan beberapa keterangan yang kurasa perlu demi menyelamatkan sekian banyak penduduk yang menjadi korban pembangunan Kerajaan manusia iblis...!" Mendengar disebut-sebutnya tentang Kerajaan Iblis, terkejutlah Kurnia Dewi dan Pramesta. Selama mereka melakukan perjalanan memang banyak mereka dengar tentang hilangnya penduduk laki-laki perempuan berusia masih sangat muda. Desas-desus yang mereka dengar seseorang yang bergelar Maha Diraja Setan Bumi-lah yang bertanggung jawab dalam penculikan-penculikan itu. Namun nampaknya pemuda berpakaian kumal ini tahu lebih banyak tentang perkembangan dunia luar, hal ini menunjukkan sesungguhnya pemuda itu memiliki pengalaman yang luas dan berilmu tinggi pula.
"Saudara Kelana. Kami memang benar murid padepokan Gunung Ungkur. Saya Pramesta dan adik seperguruan saya ini bernama Kurnia Dewi. Oh ya, kami juga mohon maaf atas kesalahpahaman yang telah terjadi." sambil berkata Pramesta memandang sejenak pada Cempaka yang saat itu sedang berusaha membalut lengannya yang terluka. Kurnia Dewi pun ketika melihat Cempaka sedang membalut lukanya segera datang menolong. Sementara pembicaraan terus berlanjut.
"Kita sama-sama bersalah, lupakanlah. Oh ya apakah si Topi Terbang merupakan murid padepokan Gunung Ungkur...?" tanya si pemuda kembali pada pokok persoalan.
Beberapa saat Pramesta terdiam. Ia memang sama sekali tiada menduga kalau pemuda yang bernama Buang Sengketa ini menanyakan orang yang telah melarikan diri dari penjara bersama-sama kekasihnya, (Dalam Episode GERHANA DI MALAM JAHANAM). Haruskah ia mengatakan hal yang sebenarnya? Pramesta nampak diliputi kebimbangan. Namun setelah menimbang sekian saat lamanya, pemuda inipun memutuskan untuk berterus terang.
"Benar saya akui bahwa si Topi Terbang atau Sakapala merupakan murid tertua padepokan Gunung Ungkur. Namun sesungguhnya ia merupakan murid murtad yang mungkin saja di luar sana telah bertindak secara sesat. Beberapa pekan yang lalu bahkan ia pernah kembali ke padepokan dengan membawa niat tak baik. Saya sendiri yang meringkusnya kemudian memenjarakannya selama beberapa hari." sampai disini Pramesta hentikan ucapannya. Tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang terasa menghimpit perasaannya.
"Apakah kakang seperguruanmu ada di padepokan hingga sampai sekarang ini?" tanya si pemuda berharap.
Pramesta gelengkan kepalanya berulangulang.
"Sayangnya ia telah melarikan diri dari penjara bersama kekasihnya. Ah... menyesal sekali kedatanganmu sangat terlambat sobat...!"
"Karena itukah maka anda berdua meninggalkan padepokan...?"
"Ya... kami bermaksud melakukan pengejaran. Namun ternyata kami kehilangan jejak sama sekali...!"
"Sungguh sulit memang untuk memburu si Topi Terbang. Dan sekarangpun aku merasa yakin orang itu telah sampai di Istana Iblis. Cepat atau lambat ia akan menyeret Maha Diraja Setan Bumi datang meluruk ke perguruan kalian...!" gumam Buang Sengketa, parau.
"Hh... bagaimana engkau bisa mengetahui kalau kakang Sakapala merupakan pembantunya manusia iblis itu?" tanya Kurnia Dewi yang baru saja selesai memberi bantuan pada Cempaka.
"Beberapa pekan yang lalu aku melakukan penyelidikan di sebelah bukit Iblis. Dari pembicaraan yang sempat kudengar, mereka menyebutnyebut tentang tidak kembalinya si Topi Terbang selama lebih dari setengah purnama. Hal lain yang kuketahui bahwa di sana terdapat beratus-ratus orang yang bekerja membangun sebuah istana yang kemudian kuketahui sebagai istana miliknya Maha Diraja Setan Bumi. Yang membuat aku heran adalah mereka nampak begitu penurut di samping memiliki tenaga bagai siluman...!" kata si pemuda secara panjang lebar.
"Hemm. Sungguh sangat berbahaya sekali. Lalu apakah yang harus kita lakukan?" tanya Kurnia Dewi.
"Tiada jalan lain terkecuali kita menyerbu ke markas mereka...!" ujar Pramesta merasa geram bukan main.
"Jangan. Kita bisa mati konyol berada di sarang lawan yang memiliki kepandaian yang tiada terukur itu...!" bantah Pendekar Hina Kelana.
"Lalu bagaimana?"
Buang Sengketa kembali terdiam. Dalam hatinya ia berpendapat, walau bagaimanapun sebuah kekuatan siluman harus pula di lawan dengan siluman pula. Bahkan ia masih ingat ketika berada di bukit Iblis. Para pekerja itu nampaknya memiliki ketidak wajaran. Tatapan mata mereka kosong, tiada gairah hidup. Bahkan mengerjakan apa saja yang di perintahkan oleh beberapa orang mandor yang menjaganya
Ketika ia teringat sesuatu, maka tak lama setelahnya iapun kembali berucap: "Menurutku bagaimana kalau kita berangkat ke padepokan dan menanyakan segala sesuatunya dengan guru anda...?"
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu saja baik Pramesta maupun Kurnia Dewi langsung terperangah.
"Bagaimana mungkin kita dapat menanyakan segala sesuatunya pada guru, sedangkan selama menjadi muridnya sekalipun kami belum pernah bertemu?' ujar Pramesta polos.
Seumur hidup baru kali inilah Buang mendengar ada sebuah padepokan yang memiliki seorang guru namun sangat jarang dapat ditemui. Ini juga merupakan sebuah persoalan baru sekaligus merupakan keanehan yang perlu dicari jawabannya.
"Ini merupakan keanehan lain yang perlu mendapat jawaban. Ee... maaf saudara Pramesta. Apakah selama ini murid-murid padepokan Gunung Ungkur tidak pernah merasa curiga dengan keberadaan guru kalian sendiri...?" tanya si pemuda berhati-hati.
"Sebagian besar mungkin tidak. Namun aku sebagai pribadi selalu merasa curiga atas keberadaan Eyang Guru...!" jawab Pramesta.
"Apapun yang akan terjadi ada baiknya kalau kita segera pergi ke padepokan. Sesampainya di sama kita dapat membicarakan segala sesuatunya secara leluasa...!" ujar Kurnia Dewi menganjurkan.
Selanjutnya berangkatlah empat orang bersahabat ini menuju padepokan Gunung Ungkur yang letaknya tidak seberapa jauh lagi.

* * *



--₪¦ « 2 » ¦₪--

Gending Sora yang baru saja sembuh dari lukanya akibat bagian tangan tertebas senjata milik Pendekar Hina Kelana. Para pembantu dan mandor Maha Diraja Setan Bumi. Juga manusia iblis yang mereka sebut-sebut sebagai Kanjeng Guru, hadir di dalam ruangan Kerajaan yang baru saja selesai pembuatannya. Puluhan bahkan ratusan laki-laki maupun perempuan berusia sangat muda, nampak duduk di depan singgasana raja. Dalam ruangan yang sama, tidak begitu jauh dari singgasana Maha Diraja Setan Bumi. Nampak duduk bersimpuh seorang pemuda berpakaian serba kuning serta seorang gadis yang berada di sisi si Topi Terbang tak lain Asih Anggraeni, kekasih pemuda berpakaian serba kuning itu. Tidak lama setelah kesunyian mewarnai ruangan besar tersebut. Maha Diraja Setan Bumi dengan suaranya yang besar, serak namun berwibawa mulai berucap.
"Para abdiku yang setia! Sengaja kalian semua kukumpulkan di ruangan kehormatan ini adalah untuk merayakan pembangunan Kerajaan yang kita cintai. Usaha kalian dalam melaksanakan tugas yang kuberikan ternyata tidak sia-sia. Atas pengabdian kalian dan kesetiaan kalian selama ini padaku, maka aku akan mengangkat kalian menjadi prajurit Kerajaan. Dengan adanya tugas yang kuberikan ini, kalian mempunyai tanggung jawab untuk melindungi Kerajaan Iblis dari setiap ancaman musuh...!" sejenak Maha Diraja Setan Bumi menghentikan ucapannya. Sorot matanya yang bengis sebentar nampak memperhatikan mereka yang hadir di dalam ruangan itu. Lalu ia melanjutkan ucapannya kembali.
"Seperti yang kalian lihat, beberapa orang saudara-saudara kalian. Bahkan termasuk orang penting Kerajaan telah terlibat pertempuran dengan beberapa tokoh golongan lurus. Aku tidak mau melihat mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang Kerajaan. Apalagi mereka sempat melukai, bahkan membuat cacat saudara-saudara kita. Kejadian seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Aku sebagai Maha Diraja Kerajaan iblis telah merencanakan untuk menggulung semua golongan putih, demi kejayaan Kerajaan Iblis, dan juga demi membalas kekalahan yang telah kita alami...!" dengus Maha Diraja Setan Bumi dengan mata berbinarbinar. Sebentar laki-laki berkulit hitam legam ini melirik pada si Topi Terbang serta gadis yang duduk di sampingnya.
"Topi Terbang! Siapakah orang yang telah melukaimu?" tanyanya bersemangat. Sebagaimana kebiasaannya, Sakapala alias si Topi Terbang nampak membungkukkan tubuhnya beberapa kali. Lalu dengan tenang ia berucap, "Apakah Maha Diraja Setan Bumi masih ingat tentang pembunuhan dan pembakaran beberapa purnama yang lalu?"
"Pembunuhan telah banyak kita lakukan dimana-mana. Nah pembunuhan yang mana kau maksudkan?" Maha Diraja Setan Bumi merasa begitu bangga dengan apa yang baru saja diucapkannya.
"Pembunuhan terhadap orang-orang berkepala gundul itu?"
Mendengar Sakapala menyebut-nyebut orang berkepala gundul, maka Maha Diraja Setan Bumi langsung tertawa mengekeh.
"Hhh, Mereka yang telah melukaimu?" Maha Diraja Setan Bumi menggumam tidak jelas.
"Hanya sebangsa tikus kudisan itu rupanya yang telah membuatmu terluka...!"
Lagi-lagi Maha Diraja Setan Bumi Kerajaan iblis menggumam. Namun kali ini wajahnya telah berubah merah.
"Tapi orang itu telah kubunuh, yang mulia...!" si Topi Terbang menjelaskan duduk persoalannya.
"Sudah kau bunuh?" Maha Diraja Setan Bumi mengerutkan alisnya. Dalam hati manusia sesat itu tidak dapat memungkiri kemampuan yang dimiliki oleh si Topi Terbang. Bahkan selama ini dalam setiap melakukan tugasnya pembantu setia ini belum pernah mengalami hambatan yang berarti. Namun Maha Diraja Setan Bumi dapat menarik kesimpulan siapapun yang menjadi lawan si Topi Terbang, pastilah orang itu memiliki kepandaian yang tinggi.
"Aku percaya dengan laporanmu itu. Topi Terbang! Tetapi apakah kau dapat memastikan bahwa orang asing itu masih memiliki kekuatan lain yang sewaktu-waktu datang menuntut balas kepadamu?"
"Maksud yang mulia...?" si Topi Terbang tidak mengerti.
"Maksudku, apakah kau tidak menjumpai kawan-kawan laki-laki asing berkepala gundul itu bersamanya...?"
"Waktu itu saya tidak melihatnya, yang mulia!" jawab Sakapala tegas. Maha Diraja Setan Bumi menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Kalau begitu kau belum pernah berjumpa dengan saudara seperguruan laki-laki botak yang kau bunuh itu...!"
"Maaf yang mulia. Sama sekali saya tidak mengira orang itu memiliki kawan atau pun saudara. Karena pada saat itu saya memang tidak melihat adanya orang lain bersamanya...!"
"Sudahlah. Semua itu bukan kesalahanmu, yang terpenting. Mulai saat sekarang kita harus berhati-hati..." Belum lagi Maha Diraja Setan Bumi selesai mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba Sakapala berkata sambil menjura beberapa kali.
"Kanjeng Guru! Bagaimana halnya dengan kegagalan saya menyeret murid-murid padepokan Gunung Ungkur kemari...?"
"Hemm...!" Maha Diraja Setan Bumi menggumam pelan. Sesaat lamanya ia memandang pada laki-laki berpakaian putih yang mereka sebut sebagai Kanjeng Guru.
"Bagaimana pendapat anda, Kanjeng?" tanyanya dengan sikap sopan. Laki-laki berkumis tebal ini terdiam sesaat, pandangan matanya tajam menusuk kepada Maha Diraja Setan Bumi.
"Sebenarnya menurutku, kita tidak perlu mengusik padepokan Gunung Ungkur. Apalagi sampai menghancurkan padepokan itu. Walau bagaimanapun kita harus sadar, bahwa Topi Terbang dan gadis yang bersamanya ini berasal dari sana juga. Kau juga harus ingat, Setan Bumi! Topi Terbang telah begitu banyak membantumu...!" tegas laki-laki itu berwibawa.
"Tapi murid-murid padepokan itu pernah memenjarakan aku. Bahkan hampir membuat saya celaka!" ungkap Sakapala merasa tidak puas
"Tapi bukankah semua itu mereka lakukan karena, kau terlalu memaksa mereka?" sentak Kanjeng Guru berapi-api.
Sakapala langsung terdiam. Ucapan Kanjeng Guru memang tidak dapat disangkalnya. Tetapi ia melakukan semua itu karena mendapat perintah dari Maha Diraja Setan Bumi.
"Kanjeng. Topi Terbang datang ke Gunung Ungkur atas perintahku. Aku yang memintanya untuk membawa murid-murid padepokan itu ke sini. Tetapi siapa sangka si Topi Terbang kalah bertarung dengan adik seperguruannya sendiri...!" gumam Maha Diraja Setan Bumi seolah tidak percaya.
"Sebagaimana guru mereka yang misterius. Mata bathinku mengatakan bahwa murid-murid padepokan Gunung Ungkur yang bernama Pramesta telah menciptakan ilmu silat yang sangat hebat...!" jelas Kanjeng Guru. Untuk diketahui, laki-laki berpakaian serba putih ini dapat melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata biasa.
"Tetapi apakah kita. harus membiarkan penghinaan yang mereka lakukan terhadap kebesaran Kerajaan Iblis...?" tanya Setan Bumi. Nada bicaranya menunjukkan rasa tidak senang. Namun Kanjeng Guru hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu Setan Bumi, ilmu yang kau miliki mungkin saja melebihi kepandaian yang kumiliki. Namun dalam hal-hal tertentu akupun mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua yang hadir di sini. Tapi kalau kau bersikeras juga, kau tidak perlu menyuruh orang-orangmu untuk meringkus mereka. Kita tunggu saja disini, cepat atau lambat mereka pasti datang ke sini...?!" Kanjeng Guru memberi penjelasan secara panjang lebar.
"Siapakah yang Kanjeng Guru maksudkan mereka itu?"
"Ha... ha... ha...! Mereka tentu saja orangorang yang punya urusan denganmu. Atau bahkan seluruh kaum persilatan akan datang kemari untuk mengadakan perhitungan denganmu. Tapi... he... he... he... aku yakin kau mampu mengatasi semua persoalan yang bakal terjadi di sini...!"
"Hhh. Begitukah? Ingin kulihat sampai di mana keberanian mereka datang ke sarang iblis...!" gumam Setan Bumi sambil memberi isyarat kepada semua bawahannya agar meninggalkan ruangan pertemuan itu.

* * *



Tepat seperti apa yang pernah diramalkan oleh Kanjeng Guru. Beberapa purnama kemudian berbagai golongan persilatan memang mulai terlihat berkeliaran di sekitar bukit Neraka. Tujuan mereka sudah jelas. Yaitu ingin menghentikan sepak terjang Maha Diraja Setan Bumi yang selama ini telah begitu banyak melakukan pembunuhan, penculikan terhadap ratusan penduduk yang tiada berdosa, serta menghancurkan Kerajaan besar milik Setan Bumi.
Namun usaha mereka nampaknya harus kandas di tengah jalan. Apa yang mereka perhitungkan benar-benar jauh dari kenyataan yang mereka harapkan. Kerajaan iblis selain memiliki prajurit-prajurit yang sangat tangguh, juga bertenaga bagai siluman. Juga mereka tidak mampu menembus benteng gaib yang menyelubungi Kerajaan itu. Kalaupun ada beberapa orang tokoh yang berhasil menerobos benteng gaib yang menjadi perisai Kerajaan itu. Tapi mereka tidak pernah ada yang berhasil keluar dari Kerajaan itu dengan selamat. Telah begitu banyak tokoh persilatan hilang raib di bukit Neraka. Tidak terhitung sudah berapa banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar bukit itu. Sehingga banyak kaum persilatan yang bermaksud menghentikan sepak terjang Maha Diraja Setan Bumi terpaksa menghentikan usahanya. Mereka akhirnya hanya mampu menunggu perkembangan selanjutnya.
Bukit Neraka yang tadinya merupakan daerah yang sangat subur. Sekarang telah berubah menjadi sebuah daerah yang angker bahkan terselubung misteri. Kejadian-kejadian yang serba anehpun sering terjadi di sana. Kerajaan Iblis tidak dapat dilihat lagi dengan mata biasa. Lebih dari itu sejak gagalnya para kaum persilatan menghancurkan Kerajaan berselubung kegaiban itu, maka penculikanpun merajalela di mana-mana. Kejahatan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Kerajaan Iblis menimbulkan kematian di mana-mana.
Semua itu menimbulkan kemarahan di hati tokoh persilatan baik golongan hitam terlebih-lebih golongan putih. Tanpa membeda-bedakan golongan dan aliran bahkan diantara mereka ada yang bersatu padu melakukan penyerangan ke bukit Neraka. Siang itu tiga sosok bayangan berkelebat cepat mendaki bukit Neraka. Mereka ini terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian serba hijau, bersenjata clurit dan yang lainnya merupakan seorang perempuan berbadan pendek ramping, di bagian punggung menggelantung sebuah jala panjang menjuntai ke tanah. Di lihat sepintas lalu penampilan perempuan berpakaian hijau lumut ini sangat lucu sekali. Tubuhnya yang pendek sangat tidak sebanding dengan senjata andalannya yang berupa jala yang panjangnya lebih dari empat meter. Kalangan persilatan mengenalnya dengan julukan 'Si Penjerat Sukma' dari kawah api abadi gunung Semeru. Sedangkan dua orang lainnya dikenal sebagai 'Sepasang Clurit Dewa' penguasa hutan belantara Negeri Lama. Selama malang melintang di rimba persilatan mereka ini disegani baik oleh kawan maupun lawan karena kecepatannya dalam mempergunakan senjata mautnya yang sewaktu-waktu dapat berubah memanjang.
Demikianlah dengan gerakan sangat ringan sekali mereka terus mendaki bukit Neraka. Namun setelah sekian saat lamanya mereka menelusuri bukit itu hingga hampir mencapai puncaknya. Mereka tidak juga menemukan Kerajaan Maha Diraja Setan Bumi di sana. Akhirnya ketiga orang ini saling berpandangan sesamanya.
"Ternyata apa yang digembar-gemborkan orang tentang Kerajaan Iblis ternyata hanya omong kosong belaka. Terbukti kita tidak melihat apa-apa di sini. Jangankan sebuah Kerajaan. Rumah seorang gembelpun tidak terlihat...!" kata salah seorang dari mereka dengan perasaan kecewa.
"Jangan terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan, sobat Jayalaga...!" perempuan pendek yang berjuluk 'Penjerat Sukma' menegur.
"Mustahil begitu banyak kalangan persilatan yang tiada pernah kembali itu hilang raib begitu saja. Jika di sini memang tidak ada apa-apanya?"
"Hhh. Apanya yang mustahil! Walaupun mereka memiliki kepandaian sehebat bapak moyangnya iblis. Mana mungkin sebuah Kerajaan dibangun tanpa terlihat keberadaan-nya...!"
"Tapi engkau pun tidak dapat memungkiri bahwa keberadaan alam gaib itu memiliki kebenaran yang tidak dapat dibantah!"
"Ah, persetan dengan semua itu...!" dengus Jayalaga tak mampu menutupi kekesalannya.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Jayasembara dengan sikap lebih lunak bila dibandingkan dengan saudara seperguruannya itu.
"Kita telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Sebenarnya aku bukanlah manusia yang begitu perduli dengan segala monyet persilatan. Namun aku tidak menghendaki manusia iblis itu merajalela dengan segala sepak terjangnya...!" ucap si Penjerat Sukma.
"Tetapi kita tidak menemukan apa-apa di sini...!" bantah Jayalaga. Laki-laki itu sekarang telah membalikkan tubuhnya dan bersiap-siap meninggalkan bukit Neraka.
"Tunggu, sobat Jayalaga! Aku tidak ingin usaha ini sia-sia. Terlebih-lebih kita melakukan semua ini demi ketenteraman kaum persilatan...!" cegah si Penjerat Sukma.
"Apa yang hendak kita lakukan di sini, Nini...?" tanya Jayalaga urung.
"Kurasa Kerajaan Iblis dilindungi oleh kekuatan gaib yang tidak mungkin dapat ditembus oleh penglihatan biasa. Namun aku merasa begitu yakin, hanya kegelapan sajalah yang mampu menyingkapkan tabir misteri yang menyelimutinya...!"
"Kalau begitu kita harus menantikannya sampai datangnya malam!" tebak Jayasembara mulai memahami arah pembicaraan si Penjerat
Sukma.
"Tepat sekali. Kita memang harus menunggu datangnya malam. Sebab menurutku hanya kegelapan sajalah yang mampu mengungkap tabir yang menyelimuti Istana Iblis." jelas si Penjerat Sukma.
Sepasang Clurit Maut saling berpandangan sesamanya. Lalu secara hampir bersamaan mereka menganggukkan kepala

* * *



--₪¦ « 3 » ¦₪--

Waktu terus berlalu bagai berputarnya roda pedati. Malampun telah menggantikan kedudukan siang. Sekarang kegelapan merambah kaki langit. Tidak terkecuali bukit Neraka yang senantiasa menampilkan kesan angker. Walaupun begitu namun tiga orang pendatang itu masih tetap bertahan di tempat persembunyiannya. Tiada sepatah katapun yang terucap, tiga pasang mata memusatkan perhatiannya ke segala arah. Tiba-tiba saja si Penjerat Sukma membelalakkan matanya. Perhatiannya sekarang sepenuhnya tertuju pada satu arah.
"Sungguh sangat sulit untuk dipercaya andai aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri...!" gumamnya penuh keterkejutan.
"Apa yang kau lihat, Nini...?" tanya Sepasang Clurit Dewa hampir bersamaan.
"Lihatlah...!" kata si Penjerat Sukma menunjuk ke satu arah.
"Haah...!" pekik Jayasembara.
"Siang tadi kita tidak melihat apa-apa di sini, terkecuali pohon-pohon besar menjulang tinggi. Tetapi sekarang sebuah singgasana yang sangat megah telah berdiri di situ. Itukah yang disebut-sebut orang sebagai singgasana milik Maha Diraja Setan Bumi...?" tanya Jayalaga seolah pada dirinya sendiri.
"Kukira tidak salah lagi. Hemm... nampaknya istana itu sangat ramai sekali. Kita semua tidak tahu secara pasti, apakah para pembantu Maha Diraja Setan Bumi merupakan bangsanya manusia biasa ataukah para siluman. Tapi...!"
"Beberapa orang bersenjata lengkap mendatangi tempat kita bersembunyi...!" potong Jayalaga.
"Ssst...! Tenang, barangkali mereka hanya kebetulan saja mendatangi tempat ini. Kita tunggu saja apa yang akan dilakukan oleh mereka..." ujar si Penjerat Sukma sambil memberi isyarat pada 'Sepasang Clurit Dewa'.
Sementara beberapa orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan berpakaian pengawal Kerajaan itu dengan sikap waspada terus melangkah ke arah mereka. Kehadiran mereka yang terasa ganjil ini tentu saja membuat si perempuan pendek dan Sepasang Clurit Dewa menjadi heran. Perempuan-perempuan diangkat menjadi prajurit kerajaan. Seumur hidup baru kali ini mereka melihat kejadian yang sangat ganjil ini. Namun rasanya mereka tidak perlu mempersoalkan hal-hal seperti itu lebih jauh lagi. Karena tidak lama setelah itu terdengar suara bentakan dari seorang laki-laki berpakaian serba hitam berbadan gemuk tinggi.
"Tiga ekor tikus busuk pencari penyakit. Kuharap mau menunjukkan diri. Kehadiran kalian telah kami ketahui sejak siang tadi...!" bentak lakilaki itu dengan suara bergetar.
"Sial dangkalan. Kita, mereka bilang tikus pencari penyakit. Benar-benar bangsanya memedi yang perlu diajar adat...!" geram si Penjerat Sukma. Sampai sejauh itu dia masih belum mengambil tindakan apa-apa.
"Mengapa kita harus bertahan di sini. Kalau mereka sudah mengetahui kehadiran kita. Bukankah lebih baik kita gebuk saja begundalnya Kerajaan Iblis itu...!" kata Jayalaga merasa tidak sabar lagi.
"Betul. Kalau perlu sekaranglah saat yang tepat untuk menyerbu ke dalam istana itu...!"
"Kalau begitu baiklah...!" kata si Penjerat Sukma.
"Akupun merasa tidak enak jika kalian menganggapku sebagai seorang pengecut...!"
Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi, ketiga orang itu segera berlompatan dari tempatnya bersembunyi. Sekali mereka bergerak, maka posisi mereka sekarang telah mengurung para pengawal yang jumlahnya lebih dari lima orang.
Namun para pengawal Kerajaan itu nampaknya tenang-tenang saja. Seolah mereka tidak merasa gentar melihat kehadiran para pendatang yang tiada mereka kenal sama sekali. Bahkan salah seorang diantaranya yang bertindak sebagai pimpinan, dengan sikap tenang langsung berucap. Pelan namun mengancam.
"Telah begitu banyak orang-orang tiada guna datang ke bukit Neraka ini tidak berumur panjang. Mengherankan! Hari ini tiga ekor tikus yang sudah bosan hidup masih juga ingin jual lagak di wilayah singgasana Iblis...!"
"Kurang ajar! Berani sekali kau menghina si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tanpa memandang sedikitpun juga...!" bentak Jayalaga dengan wajah merah padam.
"Siapa yang mau perduli dengan segala macam setan persilatan. Tokh pada akhirnya kalian juga akan menjadi santapan cacing tanah...!" tukas si gemuk tinggi tidak kalah sengitnya.
"Sobat! Mengapa harus melayani prajuritprajurit iblis. Hajar...!" Jayalaga yang sudah tidak dapat membendung emosinya menerjang lima orang prajurit-prajurit Kerajaan Iblis, langsung melancarkan serangan dahsyat dengan mempergunakan jurus-jurus tangan kosong. Menghadapi kenyataan ini, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis nampaknya tidak ingin bertindak setengahsetengah. Dengan cepat mereka mengayunkan senjata mereka yang berupa tombak ke arah Jayalaga. Dua orang lainnya tidak tinggal diam. Dengan memandang remeh mereka menghadang serangan-serangan prajurit Kerajaan Iblis secara sembarangan. Tidak begitu lama merekapun dibuat terkejut manakala tangan mereka membentur senjata-senjata yang dihantamkan oleh prajuritprajurit itu. Bagaimana tidak, prajurit-prajurit Kerajaan Iblis ternyata memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hal ini benar-benar di luar perhitungan mereka. Sekarang sadarlah tiga pendatang itu, meskipun yang menjadi lawannya hanyalah seorang prajurit biasa, namun pada dasarnya mereka memiliki tenaga bagai siluman.
Sekarang dengan sikap bersungguhsungguh mereka membangun serangan kembali. Bahkan kali ini merekapun mulai mengerahkan jurus-jurus andalannya. Hasilnyapun segera terbukti, karena dalam beberapa gebrakan kemudian lima orang prajurit Kerajaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan mulai berjatuhan. Bahkan dua diantaranya langsung terjungkal roboh tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Sedangkan tiga orang pengawal lainnya segera memberi tanda dengan sebuah suitan panjang.
Pertempuran terus berlangsung, sementara itu begitu mendengar adanya isyarat bahaya. Maka beberapa orang jago-jago istana berserabutan menuju tempat terjadinya pertempuran.
"Munduuur...!" teriak salah seorang laki-laki bertubuh tegap berwajah bengis serta buntung bagian lengan kirinya. Serentak dengan terdengarnya suara teriakan itu, maka tiga orang pengawal yang sedang melakukan perlawanan segera melompat mundur tiga langkah. Salah seorang diantara mereka memberi laporan pada laki-laki yang melakukan bentakan tadi.
"Lapor...! Tiga ekor tikus cecurut telah berani menyatroni daerah kekuasaan Kerajaan Iblis. Mereka telah membunuh dua orang prajurit. Bahkan jika tetua tidak segera datang, mungkin saja kami telah menjadi pecundang...!"
"Hemm. Goblook... hiiih...!" laki-laki bertangan buntung yang tidak lain Gending Sora adanya kelihatan marah sekali. Lalu tanpa terduga-duga langsung meninju wajah laki-laki yang memberi laporan, hingga menyebabkan orang itu jatuh terpelanting dengan wajah hancur dan jiwa melayang. Baik si Penjerat Sukma maupun Sepasang Clurit Maut kelihatan sangat terkejut sekali begitu melihat kekejaman laki-laki bertangan buntung itu. Yang membuat mereka heran, justru karena para prajurit-prajurit lainnya tidak memperlihatkan wajah ketakutan ataupun merasa jerih melihat segala apa yang dilakukan oleh atasannya. Ataukah karena mereka telah terbiasa melihat kejadiankejadian seperti itu? Tiga orang pendatang itupun tidak berani mengambil kesimpulan sampai sejauh itu.
Sementara itu Gending Sora dengan sikap angker sekarang nampak memperhatikan lawan-lawannya.
"Berani mati kalian datang ke daerah kekuasaan Maha Diraja Setan Bumi...!" bentaknya berapi-api.
"Huh. Telah begitu banyak orang yang tiada berdosa telah kalian culik. Bahkan akhirnya menjadi budak di sini...! Wajar saja kami tidak dapat menutup mata melihat ulah bangsat iblis yang menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi!" teriak si Penjerat Sukma tidak kalah sengitnya.
"Huaa... ha... ha...! Kalian tidak mungkin dapat bertemu dengan junjungan kami, terkecuali kalian mampu mengalahkan aku...!" kata Gending Sora dengan sikap angkuh.
"Puih. Bangsat! Jangankan hanya mengalahkan kau, membunuhmu sekalipun aku masih sanggup...!" tukas si Penjerat Sukma tanpa dapat menahan kesabarannya lagi.
"Tikus cacingan! Buktikanlah...!" Gending Sora menutup kata-katanya dengan satu tendangan telak mengarah pada bagian dada si perempuan bertubuh pendek. Sebagai orang yang sudah berpengalaman dalam segala macam pertempuran. Tentu saja tendangan kilat itu masih dapat dielakkan oleh si Penjerat Sukma. Bahkan sambil membuang tubuhnya ke samping kiri, perempuan berusia enam puluh tahun ini masih sempat hantamkan tinju kanannya mengarah bagian dada Gending Sora. Laki-laki itu kelihatannya memang tidak pernah mengira kalau lawannya dapat mengelakkan tendangan mautnya bahkan sempat pula menghantamkan pukulan ke arahnya. Segera pula menarik balik serangannya. Namun tetap saja tinju yang dihantamkan oleh lawannya sempat menyambar.
Buuuk!
Gending Sora mengumpat panjang pendek saat tubuhnya hampir saja terjerembab ke tanah. Dengan cepat ia segera memperbaiki kudakudanya. Tetapi pada saat itu serangan lainnya telah menderu ke arahnya. Hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sangat mengagumkan. Gending Sora dapat menghindari serangan lawannya yang datang dari bagian samping kiri dan kanan. Setelah berhasil membebaskan diri dari kepungan lawan-lawannya. Tak pelak lagi ia segera memberi aba-aba pada prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Mendapat komando dari atasannya. Maka tiada terbendung lagi mereka segera mencabut berbagai jenis senjata yang mereka miliki. Dalam waktu yang singkat, pertarungan sengitpun terjadi.
Menghadapi keroyokan sedemikian rupa dari orang-orang yang dikendalikan iblis. Mau tak mau dalam beberapa jurus selanjutnya mereka mula nampak terdesak. Baik Sepasang Clurit Dewa maupun si Penjerat Sukma kelihatan sangat gusar sekali. Selama malang melintang di dunia persilatan. Mereka merasa baru kali inilah melihat betapa tangguhnya orang-orang yang melakukan pengeroyokan itu. Meskipun mereka hanya memiliki kedudukan sebagai seorang prajurit belaka. Bahkan sekarang mereka mulai merasa yakin bahwa mungkin saja para prajurit yang melakukan pengeroyokan itu telah dikendalikan oleh sebuah kekuatan yang tidak terlihat.
Dalam keadaan terdesak dan mendapat tekanan dari segala penjuru. Tak ayal lagi merekapun segera mencabut senjata andalannya masingmasing. Dengan mempergunakan jala penjerat sukma. Nenek bertubuh pendek kelihatan mulai menjaring lawan-lawannya. Sedangkan Sepasang Clurit Dewa nampak pula mengumbar kemarahannya dengan menebaskan senjatanya ke arah prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Dalam waktu yang sangat singkat korbanpun berjatuhan. Namun begitu lawan-lawan mereka berhasil dibuat porak poranda. Entah dari mana datangnya, datang pula berpuluh-puluh prajurit lainnya. Seakan-akan para prajurit itu tidak ada habis-habisnya, mereka kembali melakukan pengeroyokan terhadap para pendatang yang sekarang kelihatan semakin bertambah terdesak.
Yang membuat Sepasang Clurit Dewa dan si Penjerat Sukma keheranan adalah setiap prajuritprajurit pertama berhasil di tumpas oleh mereka. Maka kedatangan prajurit yang baru selalu memiliki kekuatan lebih hebat. Bahkan terasa sangat sulit untuk dijatuhkan karena mereka ternyata tidak dapat-dibunuh dengan begitu saja. Andaipun mereka dapat dihancurkan. Namun setiap tubuhtubuh yang bergelimpangan itu dilompati oleh kawan-kawannya. Dengan segera mereka bangkit kembali. Bahkan serangan-serangan yang mereka lancarkan malah berubah lebih dahsyat dan beringas dari serangan mereka tingkat permulaan.
Jayalaga, Jayasembara maupun nenek Penjerat Sukma merasa kehabisan akal untuk mengatasi lawan-lawannya yang ternyata sangat sulit sekali mereka tumpas.
"Mundur...!" teriak Gending Sora yang bertindak sebagai pengendali dari semua prajurit yang berada di sana. Serentak para prajurit-prajurit itu berserabutan meninggalkan gelanggang pertempuran. Tiga orang pendatang itu sekarang bergerak menyatu dengan posisi berpunggung-punggungan. Detik-detik selanjutnya suasana terasa hening mencekam. Namun keheningan itu tidak berlangsung lama. Karena sesaat kemudian terdengar suara tawa tergelak-gelak berasal dari bagian depan istana.
"Kalian terlalu gegabah, orang-orang malang. Hanya ada dua pilihan bagi kalian mampus atau menjadi para abdi Kerajaan Iblis...!" suara yang dikerahkan dengan mempergunakan tenaga dalam itu menggema di kegelapan malam. Bahkan andai saja si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Maut tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Dapat dipastikan mereka sudah terjungkal sejak tadi. Dalam menghadapi situasi seperti itu. Sebenarnya mereka merasa heran sekali karena suara teriakan yang disertai tenaga dalam itu tidak berpengaruh apa-apa bagi prajurit-prajurit Kerajaan Iblis.
"Kami datang hanya dengan satu tujuan iblis keparat! Yaitu ingin memenggal kepalamu yang penuh dengan kelicikan itu...!" bentak si Penjerat Sukma.
"Hemm. Begitu banyak orang yang menghendaki kepalaku. Begitu berhargakah kepalaku bagi kalian, orang-orang persilatan...?" gumam sebuah suara yang tak lain suara Maha Diraja Setan Bumi adanya.
"Sesungguhnya nyawamu tidak berharga sama sekali. Tetapi karena sepak terjangmu yang telah membuat sengsara seluruh rimba persilatan. Itulah yang membuat kami harus membunuhmu...!"
"Ha... ha... ha...! Jangan sebut aku calon penguasa jagad jika aku tidak mampu membunuh semua penghalangku sekarang juga...!" kata Maha Diraja Setan Bumi dengan suara menggeledak.
Selanjutnya tanpa berkata lagi. Masih di depan istananya penguasa Kerajaan Iblis, Maha Diraja Setan Bumi kepalkan kedua tangannya di depan muka. Selanjutnya secara perlahan kedua tangan yang terkepal itu ia dorongkan ke arah depan. Dari tempatnya berdiri nampaknya tiga orang pendatang ini menyadari adanya bahaya datang mengancam. Maka dengan cepat mereka memutar senjata masing-masing untuk membentuk sebuah pertahanan yang sangat kokoh.
Dari bagian telapak tangan Maha Diraja Setan Bumi menderu segelombang angin pukulan yang menimbulkan hawa panas luar biasa. Dengan telak pukulan 'Iblis Perenggut Sukma' menghantam pertahanan lawannya.
Dweerr... dweerr... blaaam!
Terdengar tiga ledakan yang sangat keras ketika pukulan maut itu menghantam si Penjerat Sukma dan Sepasang Clurit Dewa. Tidak dihindari lagi tubuh ketiga pendatang itu jatuh terpelanting dengan menderita luka dalam yang cukup parah. Bahkan mereka tidak mampu berbuat banyak ketika para prajurit Kerajaan Iblis meringkus mereka. Untuk kemudian memenjarakannya di bawah tanah.

* * *



--₪¦ « 4 » ¦₪--

Bukit Neraka pagi itu berselimut kabut tebal. Sejauh-jauh mata memandang yang kelihatan hanyalah kelebatan pohon cemara yang melambailambai ditiup angin. Sesekali semilir angin sepoisepoi terasa membelai kepala laki-laki bermata sipit yang tiada berambut barang sedikitpun juga. Sesaat lamanya laki-laki asing berkepala botak itu menajamkan penglihatannya pada satu arah. Dan matanya yang sipit itu semakin bertambah menyipit ketika ia melihat sesuatu yang sangat samarsamar, jauh di atas bukit sana.
"Amitaba! Seumur hidup baru kali ini aku melihat sebuah ilmu sakti yang dapat dipergunakan membentengi sebuah Kerajaan yang sedemikian besarnya. Aku tidak tahu apakah orang-orang yang telah membunuh saudara-saudara seperguruanku berada di sana. Hemm. Akupun masih belum dapat memastikan apakah semua kekuatan yang kumiliki mampu mengatasi mereka. Telah begitu jauh aku melakukan perjalanan, baru di daerah Jawa Dipa ini aku melihat berbagai ilmu kesaktian yang beraneka ragam. Seharusnya aku tidak perlu terlalu mengikuti nafsu angkara murka. Namun membalaskan kematian untuk saudara segolongan dan sepaham. Rasanya hal itu merupakan sebuah kewajiban yang harus kulaksanankan...!" gumam laki-laki berkepala botak itu dengan sesungging senyum tipis.
Kemudian tanpa berpikir panjang lagi, maka laki-laki asing yang tidak lain merupakan Biksu Beng Lee adanya segera mengerahkan ilmu lari cepatnya mendekati bangunan istana yang berselimut kabut tebal itu. (Untuk lebih jelasnya siapa Biksu Beng Lee ini, terdapat dalam Episode Gerhana di Malam Jahanam). Tidak sampai sepemakan sirih. Laki-laki berkepala botak itupun telah mendekati benteng Istana Iblis yang pada hakekatnya tidak dapat ditembus oleh mata biasa terkecuali mereka-mereka yang telah memiliki keahlian rohani yang tinggi.
Di luar benteng Istana Iblis keadaan terasa sunyi sepi, namun pada bagian dalam benteng suara hiruk pikuk terdengar di mana-mana. Tibatiba laki-laki itu mendengar derap langkah kaki menuju ke arahnya. Dengan cepat laki-laki berkepala gundul ini menyelinap di balik semak-semak yang terletak tidak begitu jauh dari pinggir tembok itu.
"Yang mulia Topi Terbang mengatakan ada seekor keledai berkepala gundul telah berani menyusup ke tembok istana. Betulkah itu...?" tibatiba saja beberapa orang pengawal bersenjata lengkap telah muncul di pinggir tembok istana. Masih untung Biksu Beng Lee cepat-cepat bersembunyi, jika tidak sudah tentu kehadirannya telah diketahui oleh para prajurit-prajurit itu. Begitupun ia sudah mulai dapat menduga. Bahwa orang yang sedang diperbincangkan oleh para pengawal itu tak lain pastilah dirinya. Mengingat betapa ketatnya penjagaan yang dilakukan di daerah Kerajaan Iblis. Mau tak mau Biksu Beng Lee terpaksa melipat gandakan kewaspadaannya. Bahkan sekarang demi untuk menghindari segala sesuatu yang tidak diingini, laki-laki itu kelihatan semakin merapatkan tubuhnya ke permukaan tanah.
"Aku yakin keledai gundul itu bersembunyi di sekitar tempat ini...!" kata salah seorang pengawal wanita. Bagian hidungnya kelihatan kembang kempis, tak ubahnya seekor binatang pelacak yang siap mencari jejak buruannya.
"Kalau begitu kita periksa seluruh tempat ini...!" perintah salah seorang di antara mereka berwibawa. Dengan cepat prajurit-prajurit itupun menyebar. Rasanya Biksu Beng Lee tidak mungkin berdiam diri selamanya menunggu sampai para prajurit itu menemukan tempat persembunyiannya. Akhirnya tanpa menunggu lagi, Biksu Beng Lee segera merogoh beberapa buah supit berukuran tidak begitu panjang. Senjata rahasia sejenis itu di dataran Tiongkok sana di kenal sebagai sebuah senjata andalan yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu dalam keadaan terdesak ataupun kepepet.
Dua tombak jarak para prajurit Kerajaan Iblis dengan dirinya, Biksu Beng Lee langsung menyambitkan beberapa batang supit yang telah siap ditangannya.
"Jeeest...!" karena senjata rahasia itu dilemparkan dengan segenap tenaga dalam yang dimiliki oleh sang Biksu. Maka tidak heran jika senjatasenjata maut itu pun melesat melebihi kecepatan anak panah. Tiga orang pengawal langsung terjengkang ketika senjata rahasia milik Biksu Beng Lee menembus pangkal tenggorokan mereka. Bahkan para prajurit-prajurit itupun tidak mampu lagi menjerit ataupun melolong. Namun yang membuat Biksu Beng Lee terheran-heran adalah karena tidak begitu lama setelahnya tubuh para prajurit yang terkena serangan senjata rahasia itu telah bergerak-gerak kembali. Bahkan kemudian bangkit pula seolah mereka bagai orang yang baru terjaga dari sebuah mimpi buruk yang menyeramkan. Sebagai seorang ahli rohani, laki-laki berkepala gundul itu nampaknya tidak perlu berlamalama untuk mengetahui sebab-sebab mengapa para prajurit-prajurit itu dapat hidup kembali setelah terkena serangan senjata rahasia miliknya. Kesimpulan laki-laki itu adalah karena mungkin saja prajurit-prajurit itu telah digerakkan oleh seorang tokoh sesat yang memiliki kesaktian tiada terukur kehebatannya. Tanpa berpikir panjang sekali lagi Biksu Beng Lee mencabut enam buah supit dari balik jubahnya. Setelah menusukkannya di atas tanah. Laki-laki itu kembali melontarkan tangan kanannya ke segala arah.
Weeert...!
Dengan tepat senjata-senjata maut itu menghantam tubuh prajurit di berbagai bagian. Sekali ini terdengar jeritan tinggi menyayat manakala senjata-senjata itu menembus bagian tubuh mereka. Tak pelak lagi enam orang prajurit Kerajaan Iblis yang terdiri dari laki-laki dan perempuan tersungkur ke tanah dengan jiwa melayang. Di lain pihak suara teriakan tadi sudah jelas mengundang perhatian prajurit-prajurit lainnya. Tidak terkecuali mereka yang berada di dalam benteng istana. Berpuluh-puluh orang kemudian berhamburan keluar dari bagian pintu utama. Dalam waktu yang sangat singkat tempat persembunyian Biksu Beng Lee telah terkepung rapat dari segala penjuru.
"Cincang kaum persilatan yang berusaha merongrong kewibawaan Maha Diraja...!" terdengar suara riuh rendah memecah keheningan pagi.
"Kepada orang yang bersembunyi di dalam semak-semak. Harap berani tunjukkan diri secara ksatria...!" perintah seorang pemuda berpakaian serba kuning. Melihat penampilannya tidak salah lagi, dialah si Topi Terbang pembantu utama Maha Diraja Setan Bumi bersama kekasihnya Asih Angraeni. Biksu Beng Lee bukanlah jenis manusia pengecut. Begitu mendengar perintah si pemuda berpakaian serba kuning. Dengan cepat ia segera melompat berdiri. Kemudian dengan tatapan penuh welas asih. Dipandanginya mereka yang berada di tempat itu satu persatu.
"Ha... ha... ha...! Hanya seekor tikus gundul seperti ini rupanya yang telah begitu berani menyatroni Istana Iblis, lebih lancang lagi telah pula membunuh beberapa orang prajurit Kerajaan. Hebat! Sungguh hanya manusia yang sudah bosan hidup saja yang begitu berani mencari urusan dengan Maha Diraja Setan Bumi!" kata Sakapala alias si Topi Terbang tanpa ekspresi.
"Amitaba!" Biksu Beng Lee rangkapkan kedua tangannya persis di depan dada.
"Seorang anak manusia memiliki gelar yang sedemikian menyeramkan. Heh... hanya manusia yang paling sesat sajalah yang suka memakai gelar itu...!"
"Puiih. Bicara muter-muter. Sebenarnya apakah yang kau ingin orang asing sehingga begitu berani datang ke daerah Bukit Neraka ini?" bentak si Topi Terbang merasa tidak sabar lagi.
"Dunia ini memang penuh kepura-puraan. Mata melihat tapi berpura-pura buta. Aku sengaja datang dari sebuah negeri yang jauh ke daerah ini hanya ingin menawarkan sebuah kebaikan. Tidak disangka mereka telah merusak sebuah itikad baik kami. Bahkan secara langsung aku berani mengatakan bahwa kaulah orangnya yang telah begitu tega membunuh adik seperguruanku, Beng Ju... Amitaba... Sang Hyang Widi pasti mengutuk segala perbuatanmu yang keji itu...!" ujar Biksu Beng Lee dengan sikap tenang.
Merah padam wajah Sakapala demi mendengar apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee. Sama sekali ia tidak menyangka laki-laki berkepala gundul itu mengetahui apa yang pernah ia lakukan terhadap Biksu Beng Ju. Namun sebagai tokoh muda beraliran sesat ia tidak ingin semua yang dilakukannya membawa akibat yang berkepanjangan. Apalagi sekarang saudara seperguruan dari orang yang telah dibunuhnya berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Iblis. Baginya tidak ada jalan lain terkecuali membunuh atau setidaktidaknya meringkus pendeta asing itu dalam waktu secepatnya.
"Keledai gundul. Kuakui baru kau seorang yang mampu melihat singgasana iblis di siang hari. Bahkan aku merasa salut. Namun kau harus ingat! Siapapun orang yang telah berani memasuki wilayah kekuasaan kami. Tak seorang-pun dapat kembali ke dunia ramai dengan selamat. Nah sekarang bersiap-siaplah kau menghadapi serangan kami berdua...!" setelah berkata begitu Sakapala memberi isyarat pada Asih Angraeni. Tanpa berkata apa-apa, gadis itupun akhirnya menerjang Biksu Beng Lee dengan jurus-jurus andalannya. Hanya dalam waktu yang sangat singkat terjadilah pertempuran sengit di tempat itu. Masing-masing lawan saling melancarkan pukulan-pukulan mautnya. Bahkan Asih Angraeni dengan penuh nafsu berusaha menjatuhkan lawannya dengan cara memperhebat serangan. Namun Biksu Beng Lee, bukanlah seorang tokoh silat sembarangan. Laki-laki berkepala gundul itu memiliki berbagai pengalaman yang luas dalam setiap pertempuran. Bahkan di negeri leluhurnya dia di kenal sebagai Alap-Alap Putih yang telah begitu banyak menghancurkan markas golongan hitam. Sekarang menghadapi serangan lawan yang hanya memiliki beberapa jenis jurus-jurus maut. Maka dalam waktu yang singkat ia telah mengetahui kelemahan permainan silat lawannya.
Setelah lima belas jurus ia hanya bertahan menghindari serangan-serangan lawannya. Maka sekarang ia malah berbalik merangsak Asih Angraeni dengan mempergunakan senjatanya yang berupa tasbih. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Asih Angraeni mulai jatuh di bawah angin.
"Hiaaat...!" Asih Angraeni terpaksa melompat mundur tiga langkah saat tasbih di tangan Biksu Beng Lee menderu ke arah bagian dadanya. Gadis itu memutar pedangnya lebih sebat lagi. Pada saat itu si Topi Terbang yang telah melihat betapa kekasihnya tidak mampu mengatasi lawannya segera membentak.
"Munduur...!" teriaknya sambil melompat dan sekarang telah berhadapan dengan Biksu Beng Lee. Laki-laki berkepala gundul itu rangkapkan kedua tangannya persis di depan dada.
"Amitaba! Mengapa tidak sejak tadi kau menghadapiku, kisanak...!" kata Biksu Beng Lee dengan tatapan teduh.
"Manusia keparat! Jangan merasa menang dulu! Sebentar lagi kau segera dapat merasakan betapa kepandaian yang kau miliki tidak ada artinya di depanku...!" bentaknya marah.
"Haeees...!" Sakapala tanpa membuangbuang waktu lagi langsung menerjang pendeta asing itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Pertempuran dua tokoh persilatan itu berlangsung sengit dan seru. Beberapa kali baik pukulan maupun tendangan kaki yang mereka lancarkan saling menghantam bagian pertahanan mereka yang lemah. Bahkan tidak jarang si Topi Terbang harus jatuh terguling-guling saat mana serangan Biksu Beng Lee menghantam rusuk kirinya.
"Keparaaat...!" maki si Topi Terbang marah bukan main. Selanjutnya pemuda ini merangkapkan kedua tangannya ke depan dada. Melihat apa yang dilakukan oleh lawannya mengertilah Biksu Beng Lee bahwa saat itu lawannya sedang bersiap-siap melepaskan pukulan andalan. Lakilaki ini tentu saja tidak tinggal diam. Dengan cepat pula ia segera mengangkat kedua tangannya persis di atas kepala. Dengan mempergunakan pukulan 'Naga Merah Memburu Burung Hong'. Pendeta dari daratan Tiongkok itu segera menghantamkan tangannya ke arah depan ketika pukulan yang dilepaskan oleh Sakapala menderu keras ke arahnya.
"Bldeeer...!"
Satu ledakan keras terdengar saat mana dua pukulan yang menimbulkan udara dingin dan panas itu saling bertemu. Tubuh mereka samasama terlempar tujuh batang tombak. Biksu Beng Lee kelihatan tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang terasa sesak dan sakit. Sementara darah kental nampak meleleh dari sela-sela bibirnya. Sebentar ia kelihatan berusaha mengerahkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakit yang mendera tubuhnya.
Di lain pihak Sakapala juga menerima akibat yang tidak ringan. Namun laki-laki itu sedapatnya berusaha menyembunyikan apa yang dirasakannya di depan para prajurit Kerajaan. Terutama kepada kekasihnya. Sungguhpun begitu Biksu Beng Lee sebagai orang yang berpengalaman dapat melihat bahwa lawannya juga mengalami luka dalam yang serius.
"Orang asing! Sengaja aku tidak ingin mengerahkan orang-orangku untuk menghadapimu. Ha... ha... ha...! Sungguhpun begitu kau tetap tidak punya kemungkinan untuk lolos dari kematian...!" kata Sakapala dengan sesungging senyum sinis. Sesaat kemudian pemuda itu telah melepaskan senjata andalannya yang berupa sebuah tongkat baja bergerigi mirip gergaji. Laki-laki itu kelihatan menimang-nimang senjata andalannya. Sementara seluruh perhatiannya tertuju pada Biksu Beng Lee yang nampaknya tetap mengembangkan senyum kearipan kepada mereka yang hadir di situ.
"Sekarang aku semakin bertambah yakin. Kaulah orangnya yang telah membunuh saudara seperguruanku, juga para pengikutku...!"
"Kalau memang benar kau bisa apa, orang asing...?" ejek Sakapala mencemooh.
"Aku akan menunjukkan sebuah jalan lurus kepadamu, shaaaa...!" teriak laki-laki berkepala gundul itu, lalu menerjang Sakapala. Bekas murid perguruan gunung Ungkur ini tertawa tergelakgelak. Tanpa menunggu lebih lama lagi Sakapala segera menyambitkan senjatanya ke arah Biksu Beng Lee. Terdengar suara menggaung dan menimbulkan angin sangat kencang manakala senjata maut itu melayang di udara. Biksu Beng Lee tidak tinggal diam. Sambil mengebutkan tasbih ditangannya tubuh laki-laki itu melompat ke udara. Celakanya senjata milik Sakapala terus memburu kemanapun tubuhnya bergerak.
Traaang! Traaang!
Dua senjata saling beradu, karena masingmasing senjata itu dialiri tenaga dalam. Terlihat bunga api berpijaran di udara ketika senjata itu saling membentur. Anehnya senjata milik Sakapala yang dapat dikendalikan dari jarak tertentu terus memburu kemanapun lawannya berusaha menghindar.
Biksu Beng Lee rasanya tidak mempunyai pilihan lain lagi terkecuali segera mempergunakan jurus 'Selaksa Budha Menipu Jarak'. Dengan cepat laki-laki itu menghantamkan tangannya ke arah depan. Selanjutnya kedua tangannya disilangkan ke depan dada. Bibir laki-laki itu sekarang telah berkomat-kamit. Akibatnya tentu saja membuat mereka yang hadir di situ membelalakkan matanya. Bagaimana tidak. Sekarang tubuh Biksu Beng Lee telah menjadi beberapa orang yang sama.
"Ilmu iblis...!" gumam Sakapala tanpa sadar.
Namun pemuda itu tetap menghantamkan senjatanya ke arah Beng Lee. Walaupun Sakapala tidak dapat memastikan yang manakah ujud asli lawannya dari lima orang sosok yang sama itu. Namun ia berharap cepat atau lambat dia dapat menemukan sosok asli pendeta itu.
"Ngiiing...!"
Angin kencang menderu keras mengikuti berputarnya topi terbang milik Sakapala.
Wuees! Sreeess...!
Topi Terbang milik Sakapala berhasil menggulung salah seorang dari ujud Beng Lee palsu.
"Keparat...!" maki Sakapala merasa terkecoh.
Sekarang Biksu Beng Lee dan empat kembarannya telah bergerak cepat mengurung Sakapala. Laki-laki itu tentu saja menjadi kelabakan. Untung Asih Angraeni cepat datang membantu. Begitupun dua pukulan yang telak datang beruntun menghantam dadanya.
Dess! Buuuk!
Tubuh Sakapala terpelanting roboh. Dari mulutnya menggelogok darah kental. Wajahnya pucat bagai kain kapan. Rasanya ia tidak mungkin mampu menghindari serangan selanjutnya andai saat itu tidak terdengar suara tawa yang serasa bagai meruntuhkan lereng bukit. Sebaliknya Biksu Beng Lee merasa terkejut sekali. Ia merasakan betapa suara tawa yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam itu sangat mempengaruhi kosentrasinya. Sekarang sadarlah ia bahwa sebenarnya suara tawa itu bertujuan menghancurkan kekuatannya. Biksu Beng Lee segera menarik balik kekuatannya. Selanjutnya dengan mempergunakan ilmu 'Selubung Penglihatan'. Laki-laki itupun dengan cepat meninggalkan tempat itu.
"Keparat! Keledai gundul itu telah merat dari hadapan kita...!" teriak Sakapala merasa gusar.
"Dengan ilmunya itu. Dia bukanlah tandinganmu, Topi Terbang...!" terdengar sebuah suara serak mengumandang. Suara itu bagi mereka sudah tidak asing lagi.
"Dia dapat membahayakan Kerajaan Iblis, yang mulia...!" ujar Sakapala khawatir.
"Orang itu tidak bisa berbuat banyak, selama aku berkuasa di sini. Nah sekarang kau harus kembali ke dalam benteng bersama prajuritprajurit itu...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara bergetar. Akhirnya tanpa berani membantah, Sakapala segera memerintahkan para prajurit itu kembali ke dalam istana. Sementara ia sendiri berikut kekasihnya mengiringi mereka dari belakang.

* * *



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Gunung Ungkur tiga hari telah ditinggalkan oleh Pendekar Hina Kelana. Bahkan ia harus pula menitipkan Cempaka pada Pramesta serta Kurnia Dewi di padepokan itu. Pada kenyataannya mereka memang harus menunggu hasil penyelidikan Buang Sengketa mengenai kekuatan yang dimiliki oleh Kerajaan Iblis. Sekarang dengan penuh kewaspadaan pemuda berkuncir itu mulai mendaki bukit Neraka yang menimbulkan kesan angker itu. Hanya dengan mengerahkan kekuatan batinnya saja pemuda itu dapat melihat keberadaan Kerajaan Iblis tidak jauh didepannya sana. Selebihnya adalah kabut tipis yang senantiasa menyelimuti Kerajaan itu.
Beberapa saat pemuda tampan keturunan Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu menghentikan langkahnya. Sekarang seluruh perhatiannya tertuju pada sebuah tempat di atas bukit sana.
"Benar-benar hebat kekuatan yang dimiliki oleh Maha Diraja Setan Bumi itu. Aku hampir merasa yakin pastilah usaha kaum persilatan untuk menghancurkan tempat itu hanya merupakan sebuah kesia-siaan belaka. Hanya orang yang memiliki kesaktian luar biasa saja yang mungkin mampu menerobos Kerajaan itu...!" gumam Buang Sengketa sambil geleng-gelengkan kepalanya. Buang Sengketa kemudian kembali melangkah, sementara panas mulai terasa menyengat. Hanya sesekali saja angin kencang dari arah Utara berhembus mengibarkan anak-anak rambut si pemuda.
"Rasanya aku tidak mungkin hanya berputar-putar saja di sini! Lama kelamaan mereka pasti mengetahui kehadiranku...!" gumamnya lagi. Buang Sengketa baru saja hendak mengerahkan ilmu lari cepatnya. Ketika dari arah belakangnya terdengar suara bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
"Berhenti...!"
Tanpa diperintah dua kali pemuda itu pun menghentikan langkahnya. Dengan sikap enggan iapun segera menoleh ke belakangnya. Lalu tampak olehnya beberapa orang laki-laki bertampang kasar berjalan cepat ke arahnya. Melihat penampilan orang-orang itu tahulah Buang Sengketa bahwa orang-orang berpakaian serba cokelat itu tidak lain merupakan para prajurit Kerajaan Iblis. Ketika jarak mereka telah begitu dekat dengan Pendekar Hina Kelana. Dengan senjata terhunus mereka segera bergerak melakukan pengepungan. Buang Sengketa hanya tersenyum saja begitu melihat gelagat yang tidak baik ini. Apalagi ketika ia melihat seorang laki-laki bertangan buntung yang pernah ia kenal beberapa purnama yang telah lalu. (Dalam episode Gerhana di Malam Jahanam).
"Selamat bertemu sobat lama! Hem... apakah tanganmu yang buntung sekarang telah sembuh...?" ejek si pemuda berusaha memanasmanasi laki-laki bertangan buntung yang tidak lain Gending Sora adanya. Diejek sedemikian rupa, terlebih-lebih di depan para prajurit-prajurit Kerajaan yang menjadi bawahannya. Gending Sora kontan berubah parasnya. Walau bagaimanapun ia masih mendendam pada pemuda yang telah membuntungi sebelah tangannya. Apalagi sekarang ia merasa berada di dalam wilayahnya sendiri. Betapapun hebatnya pemuda itu ia yakin dapat dikalahkan oleh mereka.
"Kunyuk pembawa periuk nasi. Sadarkah kau di mana saat ini kau bicara...?" bentak Gending Sora dengan tatapan tajam menusuk. Sekali lagi Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Gending Sora.
"Hiaaa... ha... ha...ha...! Aku tidak perduli apakah aku bicara dalam sarangnya iblis atau bahkan di dalam rumahnya setan. Bagiku semua sama saja. Yang jelas jauh-jauh aku datang kemari hanyalah karena ingin bertemu dengan orang yang bernama Maha Diraja Setan Bumi...!" kata pemuda itu lantang.
"He... he... he...!" Gending Sora balas tertawa.
"Jangan mimpi sobat! Tidak sembarang orang boleh bertemu dengan orang yang kami hormati. Terlebih-lebih kau telah membuat cacat tanganku. Bagimu tiada waktu untuk bertemu dengan junjungan kami. Kuperintahkan padamu untuk menyerah...!" bentak Gending Sora berapi-api.
"Kalau kalian memang memiliki kemampuan. Lakukanlah...!" tukas si pemuda dengan sikap menantang.
"Keparaaat! Prajurit... cincang pemuda edan itu beramai-ramai...!" Gending Sora yang sudah tidak dapat membendung amarahnya langsung memerintah puluhan prajurit yang melakukan pengepungan atas diri Buang Sengketa.
"Serbuuu...!" teriak prajurit-prajurit itu secara serentak. Tidak dapat dihindari lagi pertempuran sengitpun segera terjadi. Menghadapi keroyokan yang sedemikian banyaknya Buang Sengketa mempergunakan jurus silat tangan kosong 'Membendung Gelombang Menimba Samudra'. Tubuh pemuda itu bergerak lincah menghindari setiap serangan senjata yang datangnya laksana air bah itu. Di luar dugaan si pemuda ternyata prajurit-prajurit Kerajaan Iblis selain memiliki ilmu silat lumayan juga memiliki tenaga bagai siluman. Melihat kenyataan di luar dugaan ini, Pendekar Hina Kelana untuk menghindari serangan beruntun yang sangat membahayakan keselamatannya segera merobah jurus silatnya dengan jurus 'Si Gila Mengamuk'. Sekarang tubuh pemuda itu berkelebat lenyap sehingga tinggal merupakan bayangbayang saja.
Para prajurit Kerajaan itu sudah tentu dibuat kelabakan menghadapi gerakan si pemuda yang sangat cepat sekali. Bahkan beberapa detik kemudian Buang Sengketa telah pula berhasil menyarangkan beberapa pukulannya dengan telak.
Buuk! Bruaagkh...! "Argkh...!"
Terdengar suara lolongan menyayat manakala beberapa orang prajurit itu terpelanting roboh dengan jiwa melayang. Bahkan pemuda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Bagai seekor banteng terluka ia terus menjatuhkan prajurit-prajurit Kerajaan Iblis. Melihat kenyataan ini Gending Sora kelihatan sangat marah sekali. Bahkan laki-laki bertangan buntung ini sekarang telah bersiap-siap untuk melakukan serangan dahsyat ke arah lawan yang pernah membuat buntung tangannya. Namun pada saat itu secara samar-samar terdengar siulan panjang namun terasa menusuk gendanggendang telinga Buang Sengketa. Pemuda keturunan Raja Piton Utara dari Negeri Alam Gaib ini sadar betapa suara itu dikerahkan melalui ilmu tenaga dalam yang sangat sempurna sekali. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka dengan cepat iapun segera pula mengerahkan tenaga dalam untuk menutup indera pendengarannya.
Tetapi saat Buang Sengketa membuka matanya kembali, betapa ia menjadi terkejut ketika melihat para prajurit Kerajaan yang telah dibunuhnya tadi sekarang telah bangkit kembali. Bahkan mereka dengan sikap beringas telah bersiapsiap menyerang si pemuda. Sementara itu dari arah pintu gerbang Istana Iblis. Lebih dari delapan puluh orang prajurit lainnya telah datang pula memberi bantuan. Diam-diam pemuda itu mengeluh dalam hati. Tetapi ia merasa tidak punya pilihan lain, terkecuali menghadapi mereka dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.
"Sebentar lagi kau akan segera mampus, manusia tolol...!" kata Gending Sora mengurungkan niatnya untuk menyerang lawannya.
Sebaliknya sekarang ia berdiri tegak dengan sikap menonton. Buang Sengketa sedikitpun tiada menyahuti kata-kata yang diucapkan oleh Gending Sora. Karena sesaat kemudian ia telah sibuk melayani para prajurit Kerajaan Iblis yang nyatanyata telah dikendalikan oleh Maha Diraja Setan Bumi.
"Ciaaat...!" dengan mempergunakan gerakan udang melentik sekarang tubuh pemuda itu telah melesat ke udara. Dalam menghadapi keroyokan yang sedemikian banyaknya Buang Sengketa rasanya tidak punya pilihan lain lagi terkecuali segera melepaskan pukulan "Empat Anasir Kehidupan". Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali pemuda itu menjejakkan kakinya menjauhi pertempuran. Dengan cepat kedua tangannya dia angkat di atas kepala. Sesaat tubuh Buang Sengketa nampak bergetar hebat. Sementara kedua tangannya yang telah merangkap menjadi satu, nampak mengepulkan kabut tipis. Bahkan tangan itu sekarang telah pula berobah putih menyilaukan mata. Pada saat itu para prajurit Kerajaan nampaknya sudah tidak menghiraukan adanya bahaya yang mengancam jiwa mereka. Bahkan orang-orang itu dengan nekad meluruk ke arah si pemuda.
"Hiaaaa...! Wuuuus...!" Buang Sengketa hantamkan kedua tangannya ke segenap penjuru mata angin.
"Awaaas...!" teriak Gending Sora berusaha memberi peringatan pada seluruh bawahannya. Namun peringatan Gending Sora terlambat sama sekali. Karena pada saat itu selarik gelombang sinar Ultra Violet yang menimbulkan udara panas luar biasa telah melesat laksana kilat ke arah prajurit-prajurit yang datang menyerang Pendekar Hina Kelana.
Blaaamm...!
Terdengar beberapa kali ledakan berturutturut. Lebih dari lima belas orang prajurit terpelanting roboh dengan tubuh hangus terbakar. Sebentar kemudian bau daging terbakarpun telah menebar memenuhi daerah sekitarnya. Kenyataan ini benar-benar membuat Gending Sora terperanjat bagai melihat hantu di siang bolong. Sementara puluhan prajurit lainnya demi melihat kematian kawan-kawannya, kelihatan semakin beringas. Mereka terus memburu Buang Sengketa kemanapun pemuda itu berusaha menghindar. Berbagai jenis senjata menghujani Pendekar Hina Kelana. Bahkan beberapa diantaranya sempat melukai tubuh pemuda itu. Kini darah mulai kelihatan merembas membasahi bagian punggung Buang Sengketa. Tubuh pemuda ini kelihatan terhuyunghuyung, bibir menyeringai menahan sakit. Dalam situasi tidak menguntungkan itu, di luar sepengetahuan Buang. Gending Sora menerjang dari arah belakangnya. Masih untung pemuda itu dapat merasakan adanya sambaran angin kencang pada bagian punggungnya, sehingga ia masih sempat berkelit menghindar. Begitupun tendangan kilat yang dilakukan oleh Gending Sora berhasil menghantam bagian punggung kirinya.
"Buuuk!"
Keras sekali tubuh pendekar Golok Buntung ini terbanting. Bagian dadanya bahkan menghantam sebatang pohon. Pohon itupun hancur berantakan tertimpa tubuh si pemuda.
"Hoeeek...!" darah meleleh dari sela-sela bibir si pemuda. Perut terasa mual bagai diadukaduk. Sementara itu kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Buang Sengketa berusaha menggelengkan kepalanya berulang-ulang, barulah perasaan sakit itu agak berkurang. Namun belum sempat lagi dia bangkit berdiri puluhan prajurit lainnya telah pula memburunya kembali. Dengan nafas masih belum teratur pemuda itu bergulingguling menghindari tebasan senjata yang dilakukan oleh prajurit-prajurit yang sedang kalap. Kurang ajar! Mereka tidak ubahnya bagai setan pembunuh yang haus darah. Batinnya merasa kesal sekali. Dengan cepat Pendekar Hina Kelana mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi tubuhnya dari ancaman hujan senjata yang tidak terhitung banyaknya.
"Aaaa... heiiiigkh...!" dalam keadaan terdesak sedemikian rupa. Buang Sengketa mengeluarkan teriakan tinggi melengking. Tidak salah lagi itulah suara lengkingan ilmu Pemenggal Roh yang sangat dahsyat itu. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat menggiriskan. Bukit Neraka bagai digundang selaksa gempa, daun-daun pepohonan yang berada di sekitar daerah pertempuran langsung berguguran. Sementara puluhan prajurit yang mengeroyoknya berpelantingan roboh. Darah mengalir dari bagian telinga dan hidung mereka. Beberapa orang yang masih dapat bertahan hidup kelihatan mulai bertingkah aneh. Agaknya urat saraf mereka rusak berat akibat pengaruh lengkingan ilmu Pemenggal Roh itu.
Di lain pihak Gending Sora yang tiada menyangka bahwa pemuda itu memiliki ilmu aneh yang sangat langka kelihatan tertatih-tatih dan berusaha berdiri sebagai mana sediakala. Laki-laki bertangan buntung itu agaknya merasa masih beruntung karena memiliki tenaga dalam yang tinggi. Begitupun ia mulai merasa jerih berhadapan dengan Pendekar Hina Kelana.
Buang Sengketa sekarang kelihatan duduk bersila, sepasang matanya nampak terpejam. Saat itu ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan luka-luka yang dideritanya akibat tendangan Gending Sora. Hanya dalam waktu yang sangat singkat wajah Buang Sengketa yang tadinya nampak pucat, sekarang telah berubah kemerah-merahan.
Sementara itu dari arah Istana Iblis kembali terdengar suara siulan yang tiada teratur. Suara itu sekarang telah diketahui oleh Buang Sengketa sebagai pembangkit orang-orang yang telah mati. Pada kenyataannya, seiring dengan suara siulan yang tiada berketentuan itu mayat-mayat bergelimpangan nampak bergerak-gerak. Bahkan tidak lama kemudian telah bangkit kembali. Tetapi anehnya sekarang mayat-mayat itu saling serang sesamanya. Hal ini di luar dugaan Gending Sora. Lain halnya dengan Buang Sengketa yang sudah mengerti mengapa mayat-mayat yang sudah tidak karuan ujudnya itu saling serang sesamanya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena bagian otak prajurit-prajurit yang sebenarnya sudah mati itu mengalami kerusakan akibat pengaruh lengkingan ilmu Pemenggal Roh.
Sekarang Pendekar Hina Kelana malah tergelak-gelak melihat semua kejadian yang berlangsung di depan matanya.
"Gending Sora! Cepatlah kau kabarkan pada si Raja Iblis, bahwa siulan pembangkit mayat yang dibangga-banggakannya sudah tidak dapat dia gunakan sebagaimana mestinya...!" perintah pemuda itu kemudian menoleh ke arah Gelding Sora. Namun pemuda berwajah tampan ini terpaksa garuk-garuk kepalanya ketika melihat Gending Sora sudah tidak berada di tempat itu. Kurang ajar. Dia sengaja merat untuk meminta bala bantuan. Tetapi akupun tidak perlu berlama-lama di sini. Aku harus mencari cara terbaik dalam mengatasi seluruh penghuni Kerajaan Iblis itu. Batinnya. Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi pendekar Golok Buntung segera berkelebat pergi.
Sementara itu di dalam ruangan singgasananya. Maha Diraja Setan Bumi, Si Topi Terbang, Gending Sora serta Kanjeng Guru kelihatan sedang berkumpul di sana. Melihat mimik wajah mereka nampak jelas kalau orang-orang Kerajaan Iblis itu sedang membicarakan masalah yang sangat serius.
"Aku sangat heran sekali mengapa orangorang yang telah kubangkitkan kembali dengan meminjam kekuatan iblis. Bertingkah polah seperti itu...!" terdengar suara Maha Diraja Setan Bumi memecah keheningan malam.
"Kita semua tidak perlu merasa heran, muridku. Siulan Pembangkit Mayat yang kau miliki selamanya tidak akan memiliki arti jika ilmu itu kau pergunakan untuk menghadapi pemuda aneh itu...!" tiba-tiba Kanjeng Guru membuka suara. Padahal selama ini laki-laki yang datang dan pergi begitu saja tersebut dikenal sebagai orang yang sangat jarang sekali bicara. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu terperangah begitu mendengar keterangan Kanjeng Guru. Walau bagaimanapun mereka harus mengakui bahwa lakilaki berusia sembilan puluh tahun itu tahu banyak tentang segala sesuatu yang dimiliki oleh orang lain.
"Sebenarnya siapakah pemuda berpenampilan aneh itu, Kanjeng Guru...?" Maha Diraja Setan Bumi merasa penasaran sekali.
"Satu purnama yang telah lalu. Yaitu dua hari sebelum aku membentengi istana ini dengan 'Kabut Kegelapan'. Aku melihat tanda-tanda orang ini akan hadir di tempat kita. Justru yang sangat mengherankan pemuda itu terus membayangbayangi semediku. Setelah kuselidiki, barulah aku tahu bahwa ia masih merupakan titisan seorang Raja di Negeri Alam Gaib sana. Dialah Pendekar Hina Kelana yang memiliki kesaktian tidak terukur...!" Kanjeng Guru berkata lambat-lambat.
Seluruh ruangan mendadak berubah hening. Semua orang yang berada di dalam ruangan utama tenggelam dalam pikirannya masingmasing. Di lain pihak, Maha Diraja Setan Bumi merasa yakin bahwa pemuda berperiuk itulah yang selalu datang dalam mimpinya dengan membawa ancaman. Sekarang dia merasa menyesal sendiri, mengapa waktu pemuda itu bentrok dengan para prajuritnya ia tidak cepat-cepat mengambil tindakan?
"Kanjeng. Apakah tidak ada jalan lain dalam menghadapi pemuda itu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan alis berkerut.
"Pemuda itu memiliki berbagai kesaktian dan juga senjata yang sangat hebat. Aku telah berusaha melihat tenaga batinku tentang kelemahan dari seluruh kesaktian yang dimilikinya. Tetapi yang terlihat olehku justru seekor ular Piton bermahkota yang sangat besar luar biasa...!" jelas Kanjeng Guru dengan wajah sedikit pucat.
"Maksudmu...!"
"Pemuda itu ternyata titisan Raja Negeri Bunian. Sedangkan ular bermahkota itu mungkin saja orang tuanya. Atau paling tidak merupakan orang yang terdekat dengan pemuda itu...!" kata Kanjeng Guru berusaha menarik kesimpulan.
"Lalu mengapa justru ular itu yang muncul ketika kau berusaha mencari titik kelemahan pemuda itu...?" tanya penguasa Kerajaan Iblis keheranan.
Kanjeng Guru kerutkan alisnya. Lalu ia kelihatan menarik nafasnya dalam-dalam. Sebentar kemudian ia telah melanjutkan kembali, "Boleh jadi ular raksasa itu merupakan pelindungnya yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan kita...!"
"Mustahil. Aku tidak percaya pemuda itu tidak memiliki kelemahan...!" teriak Maha Diraja Setan Bumi tanpa sadar.
"Maaf muridku, semua apa yang kukatakan itu hanyalah bersifat dugaan saja." jelas Kanjeng Guru.
"Baiklah, tapi aku tidak dapat tinggal diam." ujar laki-laki itu, sebentar ia memandang pada si Topi Terbang dan Gending Sora. Kepada orangorang ini Maha Diraja Setan Bumi memberi perintah, "Kalian bertiga cari pemuda itu. Jika kalian bertemu dengannya jangan beri kesempatan hidup...!"
Si Topi Terbang, Asih Angraeni dan Gending Sora tanpa berkata-kata lagi bergegas pergi.

* * *



--₪¦ « 6 » ¦₪--

Pemuda itu baru saja meninggalkan sebuah kecil di pinggiran lembah Ampar ketika pandangan matanya yang setajam mata elang itu melihat berkelebatnya sesosok tubuh berpakaian serba putih tidak begitu jauh di depannya. Tanpa membuang waktu lagi pemuda itu bergerak melakukan pengejaran.
"Berhenti...!" perintah Buang Sengketa ketika jarak diantara mereka sudah semakin bertambah dekat. Namun orang yang dikejarnya terus saja berlari cepat tanpa menghiraukan pemuda itu sama sekali. Dengan perasaan kesal Buang Sengketa terus melakukan pengejaran. Setelah mengerahkan ajian Sepi Angin, tak lama kemudian lakilaki berpakaian serba putih itupun telah terkejar. Bahkan sekarang Buang Sengketa telah menghadang jalan yang akan dilalui oleh orang itu. Sekarang keduanya kelihatan sama-sama terkejut begitu mereka telah saling berhadap-hadapan.
"Kau... kau...! Bukankah kita pernah bertemu beberapa waktu yang lalu?" ucap Buang Sengketa merasa heran.
"Ya...! Bahkan anda sempat bentrok dengan adik seperguruanku...!" jawab laki-laki berpakaian serba putih yang tidak lain Biksu Beng Lee adanya.
"Ah... maafkanlah aku. Ketika itu diantara kita hanya terjadi kesalahpahaman saja. Tapi bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan...?"
Laki-laki dari daratan Tiongkok itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan. Melihat penampilan laki-laki berkepala gundul itu, Pendekar Hina Kelana secara sepintas sudah dapat menduga. Bahwa sebenarnya orang yang dihadapinya kali ini merupakan seorang tokoh asing berbudi luhur.
"Sebenarnya apakah yang menjadi tujuan anda sehingga berada di Jawa Dwipa ini?" tanya pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi. Sebaliknya tanpa menaruh perasaan curiga Biksu Beng Lee langsung menjawab.
"Aku hanya seorang pendeta yang sengaja datang dari negeri yang jauh sana untuk menunjukkan jalan yang lurus bagi siapa saja yang mau menerimanya, tanpa ada paksaan sedikitpun juga. Tetapi di luar dugaan orang-orang penunjuk jalan Tuhan itu bahkan adik seperguruanku telah dibunuh oleh sekelompok manusia keji yang menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Amiitaba... sungguh aku ingin menyelamatkan sekian banyak penduduk yang tidak berdosa itu. Namun sangat disayangkan aku merasa tidak mampu menghadapi mereka...!"
Mendengar disebut-sebutnya Maha Diraja Setan Bumi, Pendekar Hina Kelana tersentak kaget.
"Jadi apakah anda pernah bentrok dengan orang itu...?" desak Buang Sengketa dalam ketidak mengertiannya.
"Belum lama ini aku pernah menyelidiki bukit Neraka. Dan apa yang kudapatkan di sana sungguh membuat aku benar-benar terkejut sekali. Aku merasa heran di daerah Jawa Dipa ini ada seorang manusia yang memiliki ilmu sedemikian hebatnya...!" kata Biksu Beng Lee terheran-heran.
"Apakah anda melihat para prajurit Kerajaan iblis yang dapat mereka bangkitkan setelah mereka terkapar mati...!"
"Maaf kisanak...! Panggil saja aku, Beng Lee...!" potong laki-laki bermata sipit itu sambil tersenyum ramah.
"Ah ya...! Saudara Beng Lee... apakah menurut anda tiada cara lain lagi untuk menghancurkan mereka...?" tanya Buang Sengketa dengan mimik serius.
Penuh kearifan Biksu Beng Lee tersenyum-senyum.
"Sesungguhnya menurut mata hatiku. Orang yang mampu menghancurkan mereka hanyalah orang yang memiliki darah campuran. Maksudku gabungan antara siluman dengan manusia biasa. Sayangnya... mungkin di kolong langit ini sangat langka orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang kusebutkan itu...!" jawab Biksu Beng Lee seolah menyesali diri. Pendekar Hina Kelana nampak terdiam agak lama sekali. Ia hanya mampu menduga-duga tentang kebenaran yang diucapkan oleh laki-laki itu. Namun sejak pertemuannya pertama dulu (Dalam Episode Gerhana Di Malam Jahanam). Laki-laki asing itu rasanya memiliki watak yang jujur.
"Saudara Beng Lee! Seandainya ada orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang anda sebutkan itu. Benarkah orang itu dapat menghancurkan kesaktian yang dimiliki oleh manusia iblis itu?"
"Begitulah menurut petunjuk Sang Hyang Widi yang sampai kepadaku lewat wangsit" ucapnya bersemangat.
"Hemmm. Kalau begitu aku akan kembali lagi untuk menghancurkan mereka...!" kata Pendekar Hina Kelana pasti.
Sekarang laki-laki asing itulah yang dibuat terkejut. Bagaimana mungkin ia begitu berani mengambil tindakan nekad. Sedangkan melihat penampilan pemuda itu kelihatannya biasa-biasa saja. Batin Biksu Beng Lee sambil memandang tak percaya.
"Sobat kuperingatkan padamu, jika kau merasa tidak memiliki ciri-ciri seperti yang kusebutkan tadi. Alangkah lebih baik jangan teruskan niatmu. Aku hampir merasa yakin jika kau melanggar peringatanku, mungkin saja kau akan mendapat celaka...!" lagi-lagi Biksu Beng Lee dengan sikapnya yang arif memberi peringatan.
Namun sebelum pendekar keturunan Rajanya para siluman itu sempat berkata lebih lanjut. Dari sebuah tempat yang agak jauh terdengar suara tawa yang disertai dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan.
"Benar sekali apa yang dikatakan oleh keledai gundul itu, pemuda gembel. Lebih baik kau tidak usah datang ke bukit Neraka. Kalau kau tetap keras kepala juga, kami minta agar kau mau memikirkannya masak-masak. Jika tidak, kau pasti tidak mungkin pernah kembali ke dunia ramai untuk selama-lamanya...!" dengan terhentinya katakata yang diucapkan melalui pengerahan tenaga dalam itu. Maka beberapa saat setelahnya tiga sosok tubuh yang terdiri dari dua orang laki-laki dan seorang perempuan telah pula menjejakkan kakinya tidak jauh dari tempat Buang Sengketa dan pendeta Budha itu berdiri. Hanya dengan sekali pandang saja, Buang Sengketa sudah dapat mengenali salah seorang dari tiga orang pendatang itu. Sedangkan Biksu Beng Lee yang pernah berhadapan dengan tiga orang pendatang itu nampak mengerutkan alisnya.
"Saudara... inilah orang-orang yang telah menjadi kaki tangan Raja Iblis itu. Bahkan aku pernah bentrok dengan mereka...!" kata laki-laki dari dataran Tiongkok itu sambil memperhatikan lawan-lawannya. Sementara Buang Sengketa sendiri sejak dari tadi perhatiannya terus tertuju pada tiga orang pendatang itu. Hingga pada akhirnya terdengar suaranya yang begitu dingin dan menyeramkan.
"Bicaramu setinggi langit, keparat bertangan buntung. Engkau sendiri pernah melihat aku pernah datang ke bukit Neraka. Namun kenyataannya hingga sampai hari ini aku masih dapat bernafas. Dan kau...!" Buang Sengketa menudingkan telunjuknya ke arah si Topi Terbang dan Asih Angraeni.
"Kalian pastilah murid murtad yang berjuluk si Topi Terbang dan Asih Angraeni yang telah begitu lancang membebaskan manusia budak iblis itu...!"
Mendapat penghinaan sedemikian rupa, wajah sepasang kekasih itu langsung berobah merah padam. Sampai sejauh itu keduanya hanya dapat menduga-duga pastilah pemuda yang telah memaki mereka itu pernah datang ke Gunung Ungkur. Atau setidak-tidaknya pernah bertemu dengan Pramesta. Segalanya sudah kepalang tanggung, karena ternyata pemuda berpakaian serba merah ini mengetahui segala-galanya.
"Manusia pembawa periuk! Kudengar gembel sepertimulah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu. Banyak sekali kalangan persilatan yang merasa gentar begitu mendengar julukanmu. Huh, tapi terhadap kami jangan sekali-kali kau bermimpi. Ketahuilah hari ini si Topi Terbang akan menghapus keturunan Raja Siluman dari kolong langit ini...!" bentak Sakapala alias si Topi Terbang dengan suara berapi-api.
Biksu Beng Lee spontanitas menoleh pada Buang Sengketa ketika si Topi Terbang menyebutnyebut siapa sebenarnya pemuda yang berada di sampingnya itu. Namun ia tidak berkata apa-apa. Apalagi saat itu Buang Sengketa dengan wajah merah padam nampak menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Sobat janganlah terlalu takabur engkau bicara. Bisa-bisa nyawamu sendiri tidak dapat kau selamatkan...!" teriak pendekar dari Negeri Bunian.
"Hiaaaat...!" dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh pemuda itu melesat ke udara. Diterjangnya Sakapala dengan jurus-jurus silat tangan kosong yang tidak perlu lagi diragukan kehebatannya. Sakapala yang telah mendengar kehebatan yang dimiliki oleh Buang Sengketa tidak ingin bertindak setengah-setengah. Dengan mempergunakan jurus Membelah Bayang-Bayang, si Topi Terbang segera berkelebat menghindar.
"Daripada hanya menjadi penonton. Sebaiknya kita gempur paderi gundul ini Ni Asih Angraeni...!" kata Gending Sora sambil menerjang Biksu Beng Lee.
"Kalianpun memang manusia yang perlu dilenyapkan dari permukaan bumi ini...!" balas lakilaki dari daratan Tiongkok itu lalu memapaki serangan yang dilakukan oleh Gending Sora dan Asih Angraeni.
Sementara itu pertempuran antara Buang Sengketa dengan si Topi Terbang telah mencapai lima belas jurus. Masing-masing lawan mulai pula mengerahkan jurus-jurus andalannya. Bahkan sampai detik itu Pendekar Hina Kelana telah pula mempergunakan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang. Menghadapi seranganserangan yang sangat gencar itu. Mau tak mau pemuda itu segera mencabut senjata andalannya yang berupa Topi Terbang.
Hanya beberapa saat setelah itu, senjata maut itupun mulai mengincar pertahanan lawannya. Hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna saja Buang Sengketa beberapa kali dapat menghindari serangan-serangan senjata bergerigi itu. Namun dengan cara menghindar seperti itu secara praktis Pendekar Hina Kelana tidak dapat mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosongnya.
Siiing...!
"Hiaaat...!" sekali lagi tubuh Buang Sengketa melesat ke udara saat mana senjata di tangan Sakapala menerjang ke arah bagian kakinya. Karena serangan itu datangnya beruntun dan sulit diduga-duga. Semakin lama pemuda itupun menjadi marah juga. Serta merta ia melompat menjauhi pertempuran. Di saat lain kedua tangannya telah terangkap di depan dada. Beberapa detik setelahnya tubuh pemuda itupun nampak bergetar hebat. Sementara kedua tangannya telah mengepulkan kabut tipis. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Karuan saja Sakapala kembali menghantamkan Topi Baja bergerigi yang berada dalam genggaman tangannya.
Singgg...!
"Hiaaat... Wuuuus...!"
Begitu Buang Sengketa melontarkan tangannya ke arah depan, maka pada saat itu serangkum gelombang yang berupa sinar merah menyala, nampak melesat cepat ke arah Sakapala. Daerah di sekitar pertempuran mendadak berobah menjadi panas luar biasa. Tidak salah lagi karena pada saat itu Buang Sengketa telah melepas pukulan 'Si Hina Kelana Merana'.
Bledar...! Jreeng...!
Tidak dapat dihindari lagi pukulan maut itupun menghantam Topi bergerigi milik Sakapala. Bahkan tidak sampai di situ saja, pukulan yang dilepas oleh si pemuda terus melabrak tubuh Sakapala hingga menyebabkan tubuhnya terbanting keras dengan menderita luka dalam yang tidak ringan.
Buang Sengketa menarik nafas pendek. Dilihatnya senjata milik lawannya hancur berkepingkeping. Pabila ia memandang ke arah Sakapala, maka dilihatnya pemuda itu sedang menyeka darah kental yang meleleh dari celah-celah bibirnya. Buang Sengketa tersenyum sinis. Tanpa menghiraukan pertarungan yang terjadi antara Biksu Beng Lee dengan dua orang pengeroyoknya. Pemuda inipun berkata, "Bangunlah manusia murtad. Bagimu masih ada jalan untuk hidup, jika kau mau kembali ke padepokan Gunung Ungkur untuk meminta maaf pada Pramesta...!"
Secara perlahan si Topi Terbang bangkit berdiri, dengan sinis ia malah membentak marah, "Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, keparaat! Lebih baik aku mengadu jiwa denganmu...!"
"Kukira tanpa senjata itu, kau tidak mungkin dapat berbuat banyak...!" Buang Sengketa mencoba memberi peringatan. Namun usaha pemuda itu nampaknya sia-sia belaka. Karena beberapa saat setelahnya si Topi Terbang telah memburunya dengan pukulan mautnya.
"Ciaaa... hiaaat...!"
Melihat kenekatan Sakapala, Pendekar Hina Kelana rasanya tidak perlu lagi mengulang perkataannya. Dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya. Maka pemuda itu menghadang serangan ganas yang dilancarkan oleh lawannya. Tidak dapat dielakkan lagi, beberapa saat setelah itu dua kekuatan sakti itupun saling bertemu.
"Bunk...! Bluaaarr...!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana nampak tergetar hebat. Wajahnya berubah pucat pasi. Sementara darah mengalir dari celah-celah bibirnya. Tidak dapat disangkal lagi saat itu Buang Sengketa memang mengalami luka dalam yang cukup serius. Dengan cepat ia menghimpun hawa murni untuk melancarkan peredaran darahnya. Secara perlahan pemuda itu membuka matanya. Lalu tampaklah olehnya Sakapada telah terkapar di atas tanah tanpa mampu bergerak-gerak lagi. Sepintas lalu Buang Sengketa dapat melihat bahwa lawan yang sekarang sedang ditangisi oleh kekasihnya itu sudah tidak bernyawa lagi.
Dalam pada itu pertarungan antara Biksu Beng Lee dengan Gending Sora telah mencapai puncaknya. Namun ketika dengan seksama pemuda itu hendak memberikan pertolongan, niat itu diurungkannya. Karena secara pasti ia melihat Gending Sora sudah menderita luka dalam yang sangat parah. Apa yang diperkirakan oleh Buang Sengketa ini tidak lama kemudian segera terbukti. Saat itu tubuh Gending Sora yang dalam keadaan sempoyongan nampak tidak mungkin lagi menghindari tendangan telak mengarah dada yang dilakukan oleh Biksu Beng Lee.
"Buuuk...!"
"Arggkh...!" Gending Sora terpelanting roboh, namun yang menjadi lawannya terus memburu sambil hantamkan tasbihnya mengarah bagian kepala.
"Wuuur! Prroook...!"
"Arrrrk...!"
Gending Sora mengeluarkan jeritan setinggi langit saat mana kepalanya rengkah dihantam senjata milik lawannya. Tubuh laki-laki bertangan buntung itu berkelejat-kelejat untuk sesaat lamanya, selanjutnya terdiam buat selama-lamanya. Melihat kawan maupun kekasihnya tewas. Maka dengan wajah ketakutan Asih Angraeni langsung berlari cepat meninggalkan lawan-lawannya sambil memanggul tubuh Sakapala
"Jangan dikejar...!" cegah Buang Sengketa, ketika melihat Biksu Beng Lee bersiap-siap melakukan pengejaran. Begitu laki-laki itu menoleh ia langsung berkata.
"Kau merupakan orang yang tepat untuk menghancurkan Kerajaan iblis...!"

* * *



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Pramesta, Kurnia Dewi serta Cempaka pagi itu telah sampai di kaki bukit Neraka. Namun ketika mereka hendak mendaki ke puncak bukit itu, tiba-tiba perasaan was-was menghantui diri mereka. Karena pada kenyataannya mereka tidak melihat sebuah singgasana atau bahkan bangunan lainnya seperti yang didengarnya selama ini. Benarkah Kerajaan Iblis tidak bisa dilihat dengan mata biasa pada siang hari? Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya. Kalaupun berita mengenai singgasana itu memiliki sebuah kebenaran. Mungkin saja Pendekar Hina Kelana saat sekarang telah tertangkap atau bahkan mengalami nasib lebih mengerikan lagi. Boleh jadi Pramesta mengambil kesimpulan seperti itu, karena sebelumnya Buang Sengketa setelah melakukan penyelidikan di bukit Neraka telah berjanji untuk kembali menemui mereka di padepokan Gunung Ungkur. Namun setelah menunggu sekian lamanya. Ternyata Pendekar Hina Kelana tidak juga kembali menemui mereka. Sehingga mereka mengambil keputusan untuk menyusul Buang Sengketa ke bukit Neraka. Sekarang mereka telah sampai di bukit Neraka. Namun seperti apa yang mereka saksikan rasanya tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
"Bagaimana kakang! Kita tidak melihat apaapa di sini terkecuali hutan belukar itu...!" tanya Kurnia Dewi merasa hampir putus asa.
"Memang di bukit Neraka ini kita tidak melihat apa-apa. Tapi mungkinkah berita yang tersebar di kalangan persilatan hanyalah berita bohong belaka? Padahal kitapun sama-sama tahu telah begitu banyak kaum persilatan yang datang ke tempat ini tidak pernah kembali. Banyak orang yang hilang raib di bukit ini. Mustahil kalau tidak ada sesuatu di sini semua itu bisa terjadi!" jawab Pramesta begitu yakin.
"Mungkin kita telah datang pada tempat yang salah. Sehingga kita tidak menemukan apaapa di sini...!" tukas Cempaka memberi pendapat.
"Sepanjang yang kuketahui bukit Neraka hanya ada di sini. Aku merasa yakin sekali bahwa kita tidak kesasar...?"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Kurnia Dewi penuh perhatian.
"Untuk menyakinkan bahwa tidak terdapat apapun di tempat ini. Ada baiknya kalau kita mendaki ke atas sana...!" kata pemuda itu. Namun baik Kurnia Dewi maupun Cempaka kelihatan menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Ada apa?" Pramesta diliputi ketidak mengertian.
"Aku tidak ingin melakukan pekerjaan siasia...! Lagi pula untuk apa kita berlama-lama di sini, bukankah lebih baik kita cari di tempat lain saja!" bantah Kurnia Dewi.
"Mana mungkin! Bukit Neraka satu-satunya hanyalah di tempat ini. Kalaupun kita mencarinya di tempat lain. Kita tidak pernah menemukannya, percayalah...!" sergah Pramesta tetap teguh pada pendiriannya. Pada saat ketiganya sedang terlihat dalam perdebatan itu. Tiba-tiba terdengar suara orang tergelak-gelak.
"Huaa... ha... ha... ha...! Biasanya bocah perempuan memang lebih tolol dari anak laki-laki. Kau benar bocah! Bukit Neraka itu tidak ada duanya selain di tempat ini...!" kata suara itu lugas. Hanya Pramesta saja yang kelihatan mengerutkan alisnya. Suara seperti itu rasanya pernah ia kenal. Tetapi ia tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengarnya.
"Siapakah engkau...!" seru Kurnia Dewi sambil memperhatikan daerah di sekitarnya. Namun ia tidak melihat siapapun di tempat itu terkecuali mereka bertiga.
"Aku adalah orang yang mengawasi bukit Neraka ini. Perlu kalian ketahui tidak seorangpun dapat kembali ke dunia ramai, setelah sampai di tempat ini...!" jawab suara itu dengan suara bergetar.
"Hemm. Kelihatannya menyeramkan sekali. Huh. Tapi yang membuatku heran, mengapa Kerajaan Iblis seperti yang digembar-gemborkan orang tidak kulihat sama sekali?" kata Pramesta menyelidik.
"Ha... ha… ha...! Kesaktian yang kau miliki belum cukup untuk menembus sebuah kegelapan, orang muda! Kerajaan iblis terdapat di atas bukit ini, tetapi kau tetap tidak akan dapat melihatnya terkecuali kau mau bergabung dengan kami...!"
"Bangsat! Jika kami tidak mau bergabung dengan kalian, apakah yang dapat kalian lakukan?" ejek Pramesta dan Kurnia Dewi hampir bersamaan.
Sekali lagi terdengar suara tawa tergelakgelak. Namun karena kali ini suara tawa itu disertai dengan tenaga dalam yang tinggi. Tak ayal lagi suara itu menggema ke seluruh penjuru bukit. Bahkan murid padepokan Gunung Ungkur dan Cempaka terpaksa menutup indera pendengarannya untuk menghindari akibat yang lebih fatal lagi.
"Kalian juga masih dapat melihat betapa megahnya Kerajaan Iblis pabila telah berada di neraka nanti...!" lanjut suara itu penuh ancaman.
"Kalau begitu kami akan mengadu nyawa
dengan kalian...!" bentak Pramesta. Namun belum lagi ketiganya sempat berbuat sesuatu. Dari sebuah tempat berhembus angin kencang yang sangat dahsyat sekali menyerbu ke arah mereka. Tanpa dapat dicegah lagi dua orang diantaranya langsung terpelanting roboh begitu tubuhnya terhantam angin kencang berhawa dingin itu. Hanya Pramesta saja yang masih mampu berdiri tegak ketika mendapat terjangan badai topan yang sangat dahsyat itu. Namun setelah hembusan angin kencang itu kembali datang beruntun, sedikit demi sedikit tubuh Pramesta mulai tergetar, bahkan sepasang kakinya yang membentuk kuda-kuda itupun mulai terseret-seret. Murid padepokan Gunung Ungkur itu segera melipat gandakan tenaga dalamnya agar jangan sampai tubuhnya terbanting roboh. Dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan itu. Suara gelak tawa kembali terdengar, sementara hembusan angin terasa semakin menggila.
"Hebat! Kau mampu menahan tenaga sakti 'Badai Berhembus' milikku. Heh. Tapi yakinlah kau bocah. Kau pasti tidak dapat bertahan pada posisi seperti itu lebih lama lagi... lihatlah...!" dengan terhentinya kata-kata suara itu, hembusan angin bertambah hebat luar biasa. Dan ucapan suara itu benar-benar terbukti. Karena tidak lama setelah terjangan angin ribut itu, tubuh Pramesta langsung terjengkang menyusul Kurnia Dewi dan Cempaka yang sampai saat itu masih belum dapat bangkit kembali akibat terlalu kerasnya hembusan angin itu.
Wrrrt…!
Terdengar suara berderak keras. Tiba-tiba hembusan angin yang sedemikian kencang jadi terhenti seketika. Dengan cepat mereka yang sempat roboh tergulung hembusan angin itu segera bangkit kembali. Wajah mereka kelihatan pucat, bahkan kemudian saling pandang sesamanya.
"Celaka! Benar-benar siluman iblis pengecut! Kalau tidak mana mungkin segala dedemit berani berbuat namun tetap menyembunyikan diri...!" maki Kurnia Dewi sambil mengatur jalan nafasnya.
"Ha... ha... ha...! Sudah kuperingatkan pada kalian, tidak ada gunanya melakukan perlawanan...!" suasana menjadi hening sejenak.
"Lebih baik kalian menyerah saja!" perintah suara itu. Beberapa saat setelah itu berkelebat sosok tubuh, dengan gerakan ringan sekali tahu-tahu di depan mereka sekarang telah berdiri seorang laki-laki berpakaian serba putih. Melihat penampilannya mungkin saja laki-laki tua itu berumur sekitar sembilan puluh tahun.
"Kek... ka.... kau...!" Pramesta bagai tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang tua itu tersenyum sinis. Sementara Kurnia Dewi maupun Cempaka yang tidak mengerti siapa sebenarnya laki-laki tua itu hanya diam saja.
"Matamu benar-benar jeli, bocah...! Dari sekian banyaknya murid-murid padepokan Gunung Ungkur hanya kau seorang yang berpikiran cerdas...!" dengus laki-laki berpakaian serba putih itu dengan sikap acuh.
"Eyang Guru...! Bedebah! Bertahun-tahun kau menjadi manusia misterius di padepokan Gunung Ungkur. Bertahun-tahun murid-muridmu hanya dapat mengenali suaramu. Tidak disangka, kiranya kau takut menunjukkan diri hanya karena kau takut kebusukkanmu terbongkar...!" tukas Pramesta dengan wajah merah padam. Sekarang mengertilah Kurnia Dewi. Kiranya laki-laki yang berdiri di hadapan mereka itu, yang selama bertahun-tahun menjadi seorang guru misterius kiranya salah seorang tokoh sesat di Kerajaan Iblis.
"Kakang Pramesta. Manusia yang mengaku sebagai Eyang Guru inikah yang selama ini menjadi orang yang paling kita hormati?" tanya Kurnia Dewi sambil memandang Pramesta.
"Benar adikku! Eyang guru yang selama ini kalian anggap sebagai manusia misterius dan paling mulia itu ternyata hanyalah seorang iblis yang sangat kejam...!" geram Pramesta merasa sangat kecewa sekali.
"Jangan kalian salahkan aku!" bentak Eyang Guru alias Kanjeng Guru.
"Aku telah berbuat cukup baik pada kalian. Asal kalian tahu saja, adapun aku mendirikan padepokan Gunung Ungkur semata-mata hanya merasa kasihan terhadap yatim piatu seperti kalian. Sungguhpun aku merupakan manusia sesat, namun aku merasa telah berbaik hati telah menurunkan kepandaian yang kumiliki pada kalian...!"
Wajah Pramesta kelihatan semakin bertambah memerah. Sekarang terbuktilah sudah apa yang dicurigainya selama ini. Pantas saja selama bertahun-tahun, orang yang mereka panggil Eyang Guru itu tidak pernah menunjukkan muka sama sekali, terkecuali hanya menyampaikan pesanpesan dalam kegelapan malam. Tidak dinyana, kiranya orang yang mereka muliakan selama ini hanyalah seorang tokoh sesat yang telah menyengsarakan orang banyak.
"Puih. Siapa yang sudi menganggapmu sebagai guru kami. Sekarang aku merasa yakin sekali bahwa Sakapala telah bergabung dengan kalian...! Keparaat! Kami telah tertipu mentahmentah. Terlebih-lebih adik-adik seperguruanku yang lain. Aku bersumpah pasti akan membunuh guru palsu sepertimu...!" teriak Pramesta sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
"Diam...!" Laki-laki tua renta itu balas membentak. Sekarang diperhatikannya orangorang yang berdiri tidak begitu jauh di hadapannya satu persatu. Dengan suaranya yang serak, ia pun kemudian berkata, "Aku tidak butuh pengakuan kalian, bocah-bocah tolol. Itu makanya aku tidak pernah menunjukkan diri di hadapan kalian. Sungguhpun telah bertahun-tahun aku menurunkan jurus-jurus silat pada kalian. Karena aku sadar, seumur hidupku aku telah terlanjur menjadi orang sesat. Lebih dari itu sejak dulupun aku telah bersumpah untuk tidak mengangkat seorang muridpun sampai akhir hidupku. Semua apa yang kulakukan pada kalian hanyalah bagian terkecil yang tidak memiliki arti, dari sekian banyak kejahatan yang pernah aku perbuat. Aku merawat kalian karena kuanggap kalian merupakan orangorang yang tiada berdosa. Kalian menjadi yatim piatu karena akibat pelampiasan balas dendam seseorang, yang juga pernah merasa kehilangan orang-orang yang dicintainya. Orang tua kalianlah yang telah mengeroyok kedua orang tuanya hingga akhirnya hidup sebatang kara. Karena orang tua kalian dianggapnya telah bersikap adil pada si anak malang. Itulah sebabnya ia hanya melampiaskan dendamnya pada orang-orang yang menganggap dirinya sebagai golongan lurus. Masih untung orang itu mengangkat kalian menjadi muridmuridnya. Padahal kalian merupakan anak-anak dari musuhnya...!"
"Kalau begitu, kaulah orangnya yang telah membunuh orang tua kami...!" teriak Pramesta dan Kurnia Dewi dengan mata membelalak tidak percaya. Sementara Cempaka yang tidak mengetahui duduk persoalannya hanya diam saja. Kini laki-laki renta itu tersenyum kecut. Namun sorot matanya tetap liar berapi-api.
"Terus terang kuakui, sebenarnya akulah orangnya yang telah membunuh orang tua dari seluruh murid padepokan Gunung Ungkur...!"
"Keparaat! Kalau begitu sekarang saatnyalah bagimu untuk menuai hasil perbuatanmu...!" maki Pramesta. Saat itu mereka telah bersiap-siap untuk menggempur laki-laki yang selama ini mereka sebut-sebut sebagai Eyang Guru itu. Meskipun mereka sadar, sangat kecil sekali kemungkinan bagi mereka untuk menjatuhkan laki-laki tersebut. Kanjeng Guru juga sadar, pastilah bekas murid-muridnya itu tidak akan tinggal diam begitu saja, apalagi setelah ia menceritakan segalagalanya di depan mereka. Begitupun dia masih mau memberi peringatan.
"Jangan kalian lakukan itu. Aku bukanlah tandingan kalian. Lebih baik urungkan. Aku masih punya hati untuk memberi maaf pada kalian... sekarang pergilah dari tempat ini sebelum Maha Diraja Setan Bumi mengetahui kehadiran kalian...!" perintah laki-laki renta itu memberi kesempatan. Namun mana mau murid-murid padepokan Gunung Ungkur terima begitu saja. Kini tanpa menghiraukan peringatan Kanjeng Guru. Kedua murid itu dengan dibantu oleh Cempaka segera menerjang Kanjeng Guru.
"Eyang guru! Manusia iblis. Lebih baik kami mati berkalang tanah, daripada harus hidup berputih mata. Hiaaat...!"
Menyadari yang menjadi lawannya kali ini adalah merupakan seorang tokoh yang memiliki kesaktian luar biasa, bahkan telah mengetahui kelebihan dan kekurangan jurus-jurus silat yang mereka miliki. Maka tak ayal lagi dalam gebrakan pertama itu saja mereka telah mempergunakan pedangnya untuk menggempur kakek tua itu. Sebaliknya Pramesta telah berhasil menciptakan jurus-jurus silatnya sendiri. Segera mempergunakan jurus-jurus itu untuk merangsak lawannya.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat pertarungan sengitpun terjadi. Murid-murid padepokan Gunung Ungkur sekarang telah mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Tubuh mereka telah bermandi keringat, bahkan senjata di tangan berkelebat menyambar laksana kilat. Tetapi bagi Kanjeng Guru yang telah mengetahui kelebihan dam kekurangan jurus silat lawannya, dengan sangat mudah selalu berhasil menghindari serangan mereka.

* * *



--₪¦ « 8 » ¦₪--

Sampai sejauh itu hanya permainan pedang Pramesta saja yang dianggap cukup berbahaya oleh Kanjeng Guru, karena ternyata pemuda itu mempergunakan jurus-jurus ciptaannya sendiri. Sehingga sulit bagi laki-laki renta itu untuk membaca gerak pedang di tangan bekas muridnya itu.
"Hiaat...!"
"Dess! Dess...!
Sekali saja Kanjeng Guru mengibaskan tangannya, tidak ampun lagi Kurnia Dewi dan Cempaka terpelanting roboh. Tubuh mereka menghantam sebatang pohon kering. Pohon itupun tumbang. Sementara darah kental mengalir deras dari hidung dan mulut mereka. Dengan cepat kedua gadis itu menghimpun hawa mumi untuk melancarkan jalan darah yang agak kacau akibat kibasan tangan Kanjeng Guru yang disertai pengerahan tenaga dalam itu.
Di lain pihak Pramesta segera membuka jurus-jurus andalannya. Kenyataannya ia sangat marah sekali melihat adik seperguruannya mengalami luka dalam yang tidak ringan.
"Masih ada kesempatan bagi kalian untuk meninggalkan tempat ini...!" sekali lagi laki-laki renta ini memberi peringatan.
"Lebih baik kami mengadu jiwa denganmu...!" dengus Pramesta. Saat itu ia segera mempergunakan jurus 'Menembus Kegelapan Membongkar Topeng'. Jurus silat yang dimainkan oleh Pramesta itu ternyata sangat berbahaya juga. Apalagi saat itu pedangnya sudah bergerak cepat menutup jalan gerak yang dilakukan oleh Kanjeng Guru. Bahkan pedang ditangannya bagaikan seekor ular yang terus mengejar kemanapun lawannya berusaha menghindar.
Mendapat tekanan-tekanan yang semakin berat, sekarang Kanjeng Guru menjadi gelap mata. Beberapa kali tubuhnya melentik ke udara. Begitu sepasang kakinya telah menjejak ke atas permukaan tanah. Detik selanjutnya Kanjeng Guru menyongsong serangan pedang Pramesta dengan mempergunakan jemari tangannya.
Nguuung...! Creeep...! Deeess...! "Wuaaarghk...!"
Begitu ujung pedang itu tertangkap jemari tangan Kanjeng Guru. Dengan mempergunakan tangan kirinya ia menghantam dada Pramesta dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak ampun lagi, tubuh pemuda itu terbanting keras. Darah langsung menyembur dari mulutnya. Pada saat itu Kanjeng Guru yang telah kehilangan kesabarannya itu segera memburu dengan tujuan menghabisi jiwa bekas muridnya itu.
"Manusia tidak tahu di untung! Lebih baik kalian mampus saja... Hiaaa...!" laksana kilat tubuh laki-laki renta itu menderu ke arah Pramesta yang nampak tertatih-tatih. Pada saat-saat yang sangat kritis itu dari arah lain nampak berkelebat dua bayangan putih dan merah. Bayangan putih bergerak menyambar tubuh Pramesta. Sedangkan bayangan merah memapaki tangan Kanjeng Guru yang terpentang bagai cakar burung Garuda.
"Duuuk...! Uhhh...!"
Kanjeng Guru mengeluh pendek. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa tindak. Sementara bayangan merah yang menggagalkan niat laki-laki itu untuk membunuh bekas muridnya nampak agak berubah pucat parasnya.
"Kau... siapakah kau ini...!" bentak Kanjeng Guru seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu. Pemuda berpakaian merah yang tidak lain merupakan Pendekar Hina Kelana. Tanpa memperdulikan Kanjeng Guru, Buang Sengketa memberi perintah pada Biksu Beng Lee, "Saudara! Tolong bantu Pramesta dan lain-lainnya untuk menyembuhkan luka dalamnya." katanya pelan.
Sekarang pemuda itu kembali berpaling pada laki-laki tua renta dihadapannya.
"Huh guru macam apa engkau ini. Ternyata dugaanku tidak keliru, karena kaulah bangsatnya yang berdiri di belakang iblis itu...!" kata Buang Sengketa dengan sikap tenang.
"Kurang ajar. Engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu?" tanyannya ingin memastikan.
"Tak salah akulah orangnya yang berjuluk si Hina Kelana. Kukira tidak ada lagi yang patut kau ketahui dariku, karena aku yakin kau telah mengetahui siapa aku ini. Sekarang bersiapsiaplah kau untuk mampus...!"
"Jahanam. Dalam wangsit yang kuterima, engkaulah kunyuk hina yang ingin menghancurkan Istana Iblis. Puih. Jangan mimpi sobat, kau pasti menyesal telah datang ke wilayah kekuasaan kami...!"
"Banyak mulut. Hiaaat...!" teriak Pendekar Hina Kelana. Saat itu kakinya telah melesat cepat bagaikan anak panah, menghantam bagian kepala lawannya. Tetapi Kanjeng Guru yang telah mengetahui kehebatan yang dimiliki oleh lawannya segera melompat menghindari serangan berbahaya itu. Sambaran angin kencang menderu di atas kepala laki-laki itu. Sehingga menyebabkan rambutnya yang sudah memutih itu berkibar-kibar.
"Huaaa...!" Kanjeng Guru melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya dengan serangan yang dilakukan oleh Buang Sengketa.
Namun dengan mempergunakan jurus si Gila Mengamuk, pemuda itu berhasil pula menghindari tendangan kaki kanan lawannya. Melihat pemuda itu dapat mengelakkan serangan 'Amarah Iblis' yang sangat diyakininya. Kanjeng Guru sangat marah sekali. Dengan semangat menggebugebu orang tua renta inipun terus meransak lawannya, Buang terus melayaninya dengan jurus si Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang secara silih berganti. Terkadang tubuhnya nampak terhuyung-huyung bagai orang yang sedang mabuk. Namun di lain saat telah berkelebat lenyap dengan gerakan-gerakan lincah. Apa yang dilakukan oleh Pendekar Hina Kelana tentu saja membuat bingung lawannya. Tetapi Kanjeng Guru bukanlah dedengkot tokoh persilatan golongan sesat kalau menghadapi serangan seperti itu saja ia telah merasa patah arang. Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi Kanjeng Guru segera mempergunakan jurus 'Tarian Iblis' dalam menggempur lawannya. Buang Sengketa nampak terperangah melihat perobahan jurus silat yang dimainkan oleh lawannya ini. Sekali waktu tubuh lawannya terbungkus kabut tebal, di lain saat meliuk-liuk bagai orang yang sedang menari. Setiap pemuda itu menghantamkan pukulan maupun tendangan-tendangan kaki. Serangan dahsyat itu dengan mudah dapat dihindari oleh lawannya. Bahkan beberapa kali tubuh Pendekar Hina Kelana terpaksa jatuh bangun mendapat serangan yang tiada diduga-duga itu. Melihat serangan-serangan yang sedemikian gencar. Bahkan ia sendiri selalu gagal dalam menghantamkan pukulan tangan dan kakinya. Sambil berlompatan beberapa kali. Begitu berdiri, Buang Sengketa sekarang telah menyilangkan kedua tangannya persis di depan dada. Beberapa saat setelahnya kedua tangan yang bersilangan itu mulai diselimuti kabut putih. Sementara lawannya terus bergerak cepat mengejar, kemanapun Buang Sengketa berusaha menghindar.
"Hiaaaa...!"
Dengan disertai jeritan tinggi melengking. Pemuda itu hantamkan tangannya ke arah depan. Tidak dapat dihindari lagi, serangkum gelombang berwarna merah menyala serta menyebarkan hawa panas luar biasa menghantam lawannya yang masih dalam keadaan berputar-putar itu. Laki-laki renta tersebut terpelanting roboh. Wajahnya hangus menghitam. Sungguh mengherankan dengan cepat ia bangkit kembali, bahkan sekarang lawan balas melakukan pukulan jarak jauhnya. Angin kencang menderu keras saat mana Kanjeng Guru melontarkan tangannya ke arah si pemuda. Tubuh Buang Sengketa hampir saja terlempar jatuh jika pada saat itu ia tidak cepat-cepat mengerahkan segenap tenaga dalam yang dia miliki.
Geraham si pemuda bergemeletukan menahan dingin yang tiada tertahankan. Apalagi saat itu angin kencang terus berhembus menerpa tubuhnya. Masih untung Buang Sengketa kebal terhadap berbagai jenis racun. Jika tidak mungkin saja ia sudah tidak dapat bernafas lagi sampai saat itu. Begitupun ia merasa tidak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi ketika hembusan angin yang diciptakan oleh Kanjeng Guru semakin keras menghempas tubuhnya. Dengan perasaan geram, Buang Sengketa segera mencabut senjata mautnya.
Nguuung...!
Begitu terlihat sinar merah menyala nampak berkelebat mengurung tubuh si pemuda, disertai suara raungan senjata di tangannya yang tidak ubahnya bagai puluhan harimau terluka. Maka hembusan angin yang diciptakan oleh lawannya nampak tertahan bahkan tidak mampu menembus gulungan sinar merah yang terpancar dari senjata Golok Buntung di tangan si pemuda.
Semakin cepat Buang Sengketa memutar senjata andalannya itu, maka secara lambat namun cukup pasti tubuh Kanjeng Guru mulai terdorong ke belakang. Bahkan setelah berlangsung agak lama, Kanjeng Guru terpaksa menarik balik 'Siulan Iblis' yang hampir membuat celaka Pendekar Hina Kelana.
"Kau benar-benar hebat titisan Raja Siluman." kata Kanjeng Guru, kecut.
"Tapi jangan kira kau dapat mengalahkan aku...!" berkata begitu laki-laki tua renta itu kembali menerjang. Buang Sengketa tanpa berkata-kata lagi segera merangsak kaki tangan Kerajaan Iblis itu dengan senjata ditangannya. Pertempuran kembali berlangsung. Sampai sejauh itu Buang Sengketa tidak sempat lagi berfikir bahwa Biksu Beng Lee, Pramesta, Kurnia Dewi serta Cempaka saat itu telah menyerbu ke Istana Iblis.
Bahkan mereka yang baru saja mendapat pengobatan dari Biksu Beng Lee itu sekarang telah terlibat pertempuran sengit dengan prajuritprajurit Kerajaan.
Di lain pihak, Kanjeng Guru yang sedang bertempur melawan Pendekar Hina Kelana itu kelihatan semakin terdesak hebat. Bahkan laki-laki itu merasakan betapa daerah sekitar pertempuran menjadi sangat dingin sekali. Beberapa kali Kanjeng Guru berusaha menghindari sergapansergapan yang dilakukan oleh lawannya. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf sempurna saja laki-laki renta itu selalu luput dari maut. Namun ketika Buang Sengketa mengeluarkan jeritan tinggi melengking yang disertai dengan pengerahan Ilmu Pemenggal Roh. Tidak dapat dihindari lagi, Kanjeng Guru menggeletar hebat. Seluruh perhatiannya sekarang terpecah belah. Akibat ajian yang dikerahkan oleh pemuda itu. Mempergunakan kelengahan lawannya. Pada saat itulah Buang Sengketa menerjang lawannya dengan menghantamkan senjata mautnya ke bagian tubuh Kanjeng Guru.
"Craas! Arrrgkh...!"
Hanya dengan sekali tebas, kepala laki-laki renta itu langsung menggelinding di atas tanah. Darah menyembur dari bekas tebasan kepala itu. Hanya beberapa saat tubuh tanpa kepala tersebut nampak terhuyung-huyung. Setelah semburan darah dari bagian luka itu melemah. Tak ampun lagi tubuh Kanjeng Guru tersungkur di atas tanah berdebu. Buang Sengketa mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
"Lebih baik aku mendaki ke atas bukit itu, siapa tahu mereka telah meluruk ke sana tanpa sepengetahuanku...!"

* * *



Di dalam benteng Istana Iblis. Pertempuran besar-besaran pun terjadi, empat orang pendatang itu mendapat keroyokan dari sekian banyak prajurit Kerajaan dengan mempergunakan berbagai jenis senjata. Sungguhpun mereka adalah pendekarpendekar persilatan berilmu tinggi, namun menghadapi sekian banyak prajurit yang memiliki tenaga bagai siluman itu. Mau tidak mau, mereka harus mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Namun gempuran para prajurit itu tidak ubahnya bagai air bah saja. Dua tiga orang dapat mereka bunuh, tetapi yang datang malah berlipat ganda jumlahnya. Apalagi mereka yang tewas dapat kembali hidup setelah adanya suara siulan dari dalam istana. Tentu saja hal ini sangat menyulitkan para penyerang itu. Bahkan secara lambat laun. Posisi mereka sekarang telah mulai terdesak. Beberapa mata pedang di tangan prajurit-prajurit itu malah ada yang mengenai Kurnia Dewi dan Cempaka. Keadaan di pihak penyerang semakin bertambah kacau karena Biksu Beng Lee dan Pramesta terpaksa bertempur sambil melindungi dua orang gadis itu.
"Hiaaat...! Cincang tikus-tikus pengacau ini...!"
"Jangan beri kesempatan hidup...!" teriak para prajurit Kerajaan Iblis sambung menyambung. Maka bagai serigala-serigala kelaparan, orang-orang itu saling berlomba mengerubuti lawan-lawannya.
"Arrgkh...!" Pramesta mengeluarkan jeritan tertahan manakala bagian punggungnya tersambar ketajaman tombak lawannya. Namun dengan gigih, mereka tetap berusaha mematahkan serangan-serangan lawannya. Dalam keadaan terdesak seperti itu, mendadak dari atas tembok benteng terdengar jeritan tinggi melengking, menggetarkan daerah sekitar Istana Iblis. Puluhan prajuritprajurit istana tersungkur roboh. Mereka kebanyakan tewas seketika itu juga. Bila dilihat dengan jelas, maka yang menyebabkan kematian mereka tak lain adalah akibat pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh.
"Sobat-sobat semua! Kerahkanlah tenaga dalam yang kalian miliki. Aku hendak mengundang Maha Diraja Setan Bumi agar mau keluar dari persembunyiannya...!" perintah Buang Sengketa. Setelah itu pendekar keturunan Raga Alam Gaib inipun kembali berteriak nyaring.
"Setan Bumi! Kau lihatlah orang-orangmu yang tewas di tanganku. Apakah kau tidak malu bersembunyi seperti seorang banci...!" teriaknya lagi. Di lain pihak empat orang kawan lainnya telah menggempur para prajurit yang mulai kehilangan nyali.
"Aku menunggu kedatanganmu telah begitu lama, sobat... Terimalah sambutanku...!" kata Maha Diraja Setan Bumi mendengus marah.
Detik itu juga dari bagian jendela nampak menyembur lidah api yang sangat panas dan menderu ke arah Buang Sengketa. Pemuda ini tentu tidak tinggal diam, apalagi dia pernah mendengar kehebatan dan kekejaman manusia iblis yang satu ini. Dengan cepat ia dorongkan tangannya ke depan. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet melesat dari bagian telapak tangan Buang Sengketa.
Blaaam...!
Terdengar suara ledakan yang sangat keras manakala jilatan lidah api dan pukulan sakti yang dilepaskan oleh Buang Sengketa saling bertemu. Beberapa prajurit yang sedang terlibat pertarungan di sekitar tempat kedua tokoh yang saling melepaskan pukulannya nampak terlempar ke berbagai arah. Tubuh mereka hangus terbakar. Bruaaak...!
Dengan sekali tendang, bagian jendela besar itupun porak poranda. Tubuh Maha Diraja Setan Bumi melesat cepat menghampiri Buang Sengketa. Hanya sebentar saja keduanya nampak saling berpandangan. Laki-laki bertelanjang dada itu kemudian bertanya, dengan suara keras, "Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana...?"
"Tidak salah, akulah Pendekar Hina Kelana...!" kata Buang Sengketa.
"Kau tahu hukuman apa yang akan kuberikan padamu...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi, dingin.
"Tanyalah pada seluruh orang-orangmu di neraka sana...!" teriak Buang Sengketa. Kemudian tanpa berkata-kata lagi pemuda inipun segera mencabut senjata andalannya yang berupa Golok Buntung. Begitu senjata itu telah tergenggam di tangan Buang Sengketa. Tidak ayal lagi pemuda inipun segera menyerang lawannya. Apalagi ia sadar betul seperti apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee, bahwa dalam menyerang tokoh iblis itu tidak boleh mengulur-ulur waktu. Bahkan kalau perlu dengan mempergunakan dua senjatanya sekaligus. Karena pada hari itu merupakan hari naas tokoh iblis tersebut. Bulan dua belas, Buang menggumam. Sekali ia mendongakkan kepalanya ke atas langit. Inilah saat yang sangat tepat, gumamnya
"Hiaaat…! Nguuung...!" golok di tangan pemuda itu mendengung. Bahkan sekarang telah berkelebat menyambar ke arah lawannya. Maha Diraja Setan Bumi kiranya menyadari bahwa lawannya benar-benar telah mengetahui kesaktiannya akan melemah pada hari itu. Tanpa ampun begitu senjata lawan menyambar. Ia langsung membanting tubuhnya ke samping kiri. Tetapi yang membuat Buang Sengketa terheran-heran. Mengapa tokoh sesat yang dikenal sangat ganas itu tidak sehebat yang dibayangkannya. Bahkan tidak sehebat apa yang dikatakan oleh Biksu Beng Lee. Tetapi ia sudah tidak dapat berpikir sampai sejauh itu. Sekali lagi ia menerjang lawannya yang masih dalam keadaan terguling-guling.
"Hiaaat... Jraaas...!"
"Argggkh...!"
Tubuh Maha Diraja Setan Bumi berkelojotan beberapa saat lamanya. Kemudian terdiam dengan jiwa melayang. Buang Sengketa baru saja hendak menarik nafas, ketika terdengar suara tawa tergelak-gelak.
"Kau keliru Hina Kelana. Tidak semudah itu membunuhku. Yang kau bunuh itu hanyalah salah seorang bawahanku. Ketahuilah, aku akan menjadi lawanmu yang tiada terkalahkan hingga akhir jaman. Istana ini boleh runtuh, namun Maha Diraja Setan Bumi akan tetap hidup untuk selama-lamanya...!" suara itu tiba-tiba lenyap. Begitu juga halnya dengan istana iblis. Sekarang yang terlihat hanya mayat-mayat yang bergelimpangan. Sedangkan biksu Beng Lee, Pramesta, Kurnia Dewi dan Cempaka, hanya saling pandang sesamanya tanpa berkata apa-apa.
"Kuterima tantanganmu, manusia sesat!" gumam Buang Sengketa. Lalu melangkah pergi.

TAMAT



INDEX BUANG SENGKETA
Gerhana Di Malam Jahanam --oo0oo-- Teror Si Pedang Kilat
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.