Life is journey not a destinantion ...

Teror Si Pedang Kilat

INDEX BUANG SENGKETA
Pembalasan Maha Durjana --oo0oo-- Utusan Dari Negeri Leluhur

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama

Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Hanya dengan sekali berkelebat orang-orang yang berada di dalam warung itu tersungkur roboh. Tidak seorangpun diantara mereka yang tersisa hidup. Terkecuali pemilik warung yang bersembunyi di sudut ruangan dengan tubuh menggigil ketakutan. Laki-laki tua bertopi lebar dengan rambut riap-riap itu melirik sebentar dengan sikap angker. Sekali lagi tongkat di tangannya yang berbentuk sebuah ukiran berhala itu diketukkannya di atas sebuah meja. Sesaat meja yang dijadikan tumpuan tongkat itu pun tergetar hebat.
Braaak...!
Meja panjang yang tersedia di warung tersebut hancur berantakan. Semakin bertambah pucatlah tubuh pemilik warung itu, keringat dingin terasa membasahi punggung bajunya. Bahkan tanpa disadarinya laki-laki berusia tiga puluh tahun itu sampai terkencing di dalam celana. Dalam keadaan ketakutan seperti itu, secara tiba-tiba laki-laki bertopi lebar tersebut memanggilnya.
"Hei... cepat kau kemari...! Atau aku harus mengobrak-abrik seisi warungmu ini...!" bentak lakilaki berwajah buruk itu tanpa menoleh sedikitpun juga. Dengan langkah gemetaran pemilik warung itu datang menghampiri.
"Ss... saya tuan. Apakah yang dapat saya bantu...?" tanyanya dengan suara gemetar. Laki-laki bertopi lebar itu hanya melirik sebentar, kemudian dengan suaranya yang serak.
"Cepat kau sediakan makanan yang paling enak di warungmu ini untukku...!" perintahnya sambil menghampiri sebuah meja lain lalu duduk di sana.
Sementara pemilik warung itu tanpa berani membantah segera bergegas ke belakang untuk menyediakan makanan yang dipesan oleh laki-laki bertampang seram tadi. Hanya beberapa saat kemudian pemilik warung itu telah datang kembali dengan membawa sebuah nampan yang berisi berbagai jenis makanan serta beberapa guci arak wangi. Setelah selesai menghidangkan makanan, pemilik warung itu bermaksud segera meninggalkan laki-laki bertopi lebar itu. Namun baru saja ia hendak memutar langkah. Laki-laki itu kembali membentaknya.
"Tunggu dulu, pelayan goblok!" sekarang bagian krah pakaian pemilik warung telah berada dalam cengkeraman tangan si laki-laki bertopi. Sudah barang tentu pemilik warung itu semakin bertambah ketakutan saja. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, laki-laki bertopi itu telah melanjutkan kata-katanya, "Cepat kau singkirkan tikus-tikus yang sudah pada mampus itu...!"
"Ba... baik tuan...!" dengan tergesa-gesa pemilik warung yang sudah dicekam ketakutan itu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh pendatang tak dikenal tersebut. Sementara laki-laki bertopi lebar itu mulai menyantap pesanannya. Si pemilik warung hanya sempat menghitung jumlah korban tidak lebih dari enam orang. Masing-masing mayat itu mengalami luka yang cukup parah. Tapi ia tidak dapat memastikan senjata apakah yang telah dipergunakan oleh laki-laki bertopi lebar itu. Sehingga begitu muncul enam orang itu langsung tersungkur roboh. Dengan menahan perasaan mual karena bau amis darah serta bagian isi perut yang memburai dari tubuh mayat-mayat itu. Laki-laki itupun segera mengusung mayat-mayat tadi keluar warungnya. Tidak lama kemudian dengan perasaan takut-takut ia telah kembali lagi ke dalam warungnya. Si laki-laki bertopi lebar itu tidak sedikitpun menoleh kepadanya. Keadaan hening mencekam. Sekarang pemilik warung tersebut telah terduduk di sudut ruangan, wajahnya yang pucat terus menunduk. Dalam keadaan seperti itu tibatiba angin kencang berhembus menerobos dari bagian pintu depan warung itu. Tiupan angin itu semakin lama semakin bertambah kencang seiring dengan berkelebatnya dua sosok tubuh seorang kakek tua dengan seorang gadis yang berusia masih begitu muda.
Jleeekgh...!
Dua orang pendatang itu langsung memperhatikan suasana di dalam warung. Begitu pandangan mereka mengarah ke bagian lantai. Mereka melengak, lalu cepat-cepat beralih pada lakilaki bertopi lebar yang sedang sibuk menikmati hidangannya.
"Mungkin dialah orangnya yang telah melakukan pembantaian keji ini. Ah, masa bodoh. Itu urusannya, bukan urusanku...!" batin kakek tua itu. Seraya bersama gadis cantik di sebelahnya segera pula mengambil duduk dekat jendela.
"Pelayan...!" teriak gadis berpakaian serba ungu sambil memandang pada laki-laki berusia tiga puluhan itu dengan kedua mata melotot.
"I... iya tuan dan nona! Apa yang dapat sa... saya lakukan untuk anda berdua?" tanyanya dengan wajah menunduk dan suara terbata-bata.
"Tolong kau sediakan makanan yang lebih enak dari makanan yang di sediakan untuk tikus buduk bertopi itu...!"
"Ba... baik nona. Aku akan menyediakannya...!"..... pemilik warung itu dengan tergopoh-gopoh segera meninggalkan mereka. Sementara lakilaki bertopi lebar yang disebut-sebut sebagai tikus 'Buduk', serta merta mengurungkan niatnya untuk melahap sisa terakhir hidangan yang tersedia. Tanpa menoleh sedikitpun, laki-laki itu berucap dalam luapan kemarahan yang tertahan-tahan.
"Sungguh manusia yang tidak tahu adat telah begitu berani menghina dedengkot persilatan seperti aku...! Iblis Liang Kubur! Apakah kau tak pernah mendidik muridmu dalam bersopan santun...?" sentak laki-laki bertopi lebar itu penuh teguran keras.
Mengetahui laki-laki bertopi lebar itu mengenal julukannya. Sudah tentu kakek tua berambut putih berpakaian tambal-tambal ini menjadi sangat terkejut sekali. Padahal sungguhpun ia merupakan seorang tokoh yang sangat dikenal karena kekejamannya dalam membasmi golongan putih. Namun penampilannya yang sesungguhnya sangat jarang orang yang tahu. Sekarang seorang laki-laki yang menyembunyikan wajahnya di bawah topi lebar itu malah tahu siapa dirinya. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat luar biasa.
"Kisanak! Siapakah engkau. Rasanya kita belum pernah bertemu, namun kau telah mengenal julukanku...!" kata si kakek tua yang memiliki julukan Iblis Liang Kubur itu masih dalam keheranannya.
Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung lama, setelah laki-laki bertopi lebar itu membuka topinya sehingga menampakkan rambutnya yang menjuntai sampai ke pinggang. Maka berserulah kakek rambut putih serta gadis yang berada di sisinya.
"Sahabatku, Burung Hantu...! Ahh... sudah sangat lama sekali kita tidak bertemu...!" kata Iblis Liang Kubur.
"Aha... ha... ha...! Semakin tua kau semakin bertambah keriput dan jelek, Iblis Liang Kubur. Di samping itu matamupun bertambah lamur...!" seru si Burung Hantu tetap berada di tempatnya. Sementara itu kakek tua berambut serba putih itu sudah bergerak dengan maksud menghambur ke arah si Burung Hantu. Namun langkahnya jadi terhenti bagai ada sebuah kekuatan yang menghadangnya. Di tempat duduknya si Burung Hantu nampak tersenyum tipis.
Kampret. Manusia tengik itu sengaja hendak mempermainkan aku. Membatin si kakek rambut putih, di luar dugaan ia melambaikan tangannya. Lambaian tangannya itu bukanlah satu gerakan sembarangan, karena ia menyertakan tenaga dalam untuk mengatasi serangan si Burung Hantu.
Wuuus...!
Sambaran angin keras menderu ke arah si Burung Hantu. Sehingga membuat laki-laki bertopi lebar itu terhenyak dari tempat duduknya. Tubuh Iblis Liang Kubur terdorong beberapa tindak ke belakang.
"Wuah kampret! Tingkah konyolmu rupanya masih belum juga hilang sejak dulu, Burung Hantu...!" maki si kakek berambut putih. Sekali lagi tubuhnya melayang. Maka sekarang ia telah duduk di atas meja persis di hadapan si Burung Hantu.
"Manusia bangkotan tidak tahu adat! Braaak...!" begitu mengucapkan kata-katanya si Burung Hantu menggebrak meja yang diduduki oleh Iblis Liang Kubur. Meja hancur berantakan. Namun tubuh kakek tua itu laksana kilat melesat ke arah meja yang terletak di sebelahnya. Dengan sikap tenang, sekarang ia telah duduk di tempat itu.
"Hemm. Tidak kusangka semakin tua engkau semakin berisi saja, sobat...!" gumam si Burung Hantu sambil meneguk arak di dalam bumbung bambu di tangannya hingga tidak bersisa sama sekali.
"Kakek, Uwa Burung Hantu! Kalian jangan terus berkelakar, aku sudah sangat lapar sekali...!" tukas gadis berpakaian ungu itu merasa kesal melihat ulah guru maupun si laki-laki bertopi lebar yang sudah sangat dikenalnya. Si Burung Hantu melirik sekilas pada gadis berwajah rupawan itu dengan pandangan berbinar.
"Kalau tak salah bocah ini muridmu yang bernama Pertiwi itu bukan?" tanya si Burung Hantu sambil berpaling pada si kakek berambut putih.
"Tidak salah, dialah muridku satu-satunya. Kau lihat betapa ia memiliki kecantikan melebihi putri-putri kerajaan, bukan...?" kata Iblis Liang Kubur bangga.
"Hemm. Betul, aku yakin ia akan menjadi ratu semua golongan sesat...!" si Burung Hantu menimpali.
Sementara gadis berpakaian serba ungu yang bernama Pertiwi itu kelihatannya sudah tidak sabar lagi menunggu pesanan datang. Dengan wajah memberengut ia kembali menggebrak meja.
"Pelayan! Lambat sekali kerjamu. Apakah kau sudah bosan hidup...!" ternyata meskipun gadis itu memiliki wajah cantik jelita, namun wataknya begitu keras.
"Ss... saya baru selesai menyiapkan makanan yang nona pesan...!" dengan gugup pemilik warung itu menghidangkan makanan yang dipesan oleh Iblis Liang Kubur dan Pertiwi pada meja yang berlainan. Kenyataannya memang pada saat itu, Pertiwi duduk sendirian di depan jendela. Sedangkan si kakek berambut putih duduk semeja dengan sahabat karibnya si Burung Hantu.
"Pekerjaanmu terlalu lamban, laki-laki goblok!" bentak Pertiwi. Bersamaan kata-katanya itu dengan mempergunakan tenaga dalam yang cukup tinggi, gadis berwatak telenggas itu mendorongkan tubuh si pemilik warung, hingga menyebabkannya jatuh terguling-guling setelah sebelumnya sempat melabrak meja. Pemilik warung itu mengaduh kesakitan. Bagian punggungnya mengalami luka memar akibat menghempas pinggiran meja. Melihat apa yang di alami oleh si pemilik warung, Pertiwi nampak menyunggingkan seulas senyum sinis.
"Cepat berlalu dari hadapanku...!" bentak gadis berwatak kejam itu dengan mata melotot. Melihat gelagat yang tidak baik ini tentu saja pemilik warung tidak mau mengambil resiko. Dengan langkah terhuyung-huyung ia segera berlalu dari hadapan ketiga pendatang sadis itu.
Selanjutnya tanpa menghiraukan apa yang sedang dibicarakan oleh gurunya dan si topi lebar. Gadis cantik yang bernama Pertiwi itu menyantap pesanan yang terhidang di atas meja dengan lahapnya.
"Angin apa yang membuatmu meninggalkan Lembah Darah, sahabat Burung Hantu?" tanya Iblis Liang Kubur sambil meneguk araknya.
"Engkau sendiri yang hampir tersungkur ke liang kubur. Tapi hari ini malah berkeliaran di dunia ramai ada keperluan apakah...?" si Burung Hantu balik bertanya. Sementara itu perhatiannya tetap tertuju pada Pertiwi yang kelihatan sibuk melahap makanannya.
Iblis Liang Kubur meskipun mengetahui apa yang menjadi pusat perhatian sahabat karibnya itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia menyadari sahabatnya yang satu ini termasuk laki-laki mata keranjang. Bahkan tak segan-segan ia melakukan pemerkosaan di mana-mana. Namun kakek tua berambut putih merasa yakin, Burung Hantu tidak ingin bertindak gegabah pada Pertiwi. Apalagi bila mengingat Pertiwi merupakan murid tunggal Iblis Liang Kubur.
"Burung Hantu...! Aku dulu pernah bersumpah untuk tetap tinggal di Bukit Setan sampai akhir menutup mata. Namun sumpahku itu terpaksa kucabut kembali setelah mendengar keganasan sepak terjang pendekar golongan lurus yang bertindak di luar periblisan...!"
Laki-laki bertopi lebar itu langsung tergelakgelak demi mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.
"Sampai dunia kiamat, sumpahnya para iblis mana dapat dipercaya...! Lagi pula siapakah pendekar golongan lurus yang kau maksudkan itu?" lanjutnya kemudian. Sekali lagi Iblis Liang Kubur meneguk tuaknya hingga tinggal setengahnya. Mata laki-laki itu sekarang telah berubah kemerahmerahan, begitu juga dengan wajahnya. Namun justru dengan keadaannya yang seperti sekarang ini penampilan kakek berambut putih itu semakin bertambah menyeramkan.
"Orang yang telah begitu berani mepecundangi golongan kita itu katanya seorang pendekar yang menamakan dirinya si Hina Kelana. Orang itu kabarnya juga telah bermusuhan dengan orang-orang segolongannya sendiri. Namun patut kita perhitungkan pendekar itu akan sangat berbahaya dengan senjata andalannya yang berupa pusaka Golok Buntung dan cambuk Gelap Sayuto...!" kata si kakek rambut putih dengan suara parau.
"Lha dala...! Bagaimana mungkin seorang pendekar golongan lurus selain membantai para tokoh sesat, namun juga membantai orang-orang segolongannya sendiri. Hanya orang gila saja yang berbuat seperti itu...!" tukas si Burung Hantu dengan suara berapi-api.
"Mengapa kau bicara begitu?" Iblis Liang Kubur tak mengerti.
"Kau sendiri tahu! Sesama golongan kita belum pernah bermusuhan. Terkecuali tindakan mereka yang keterlaluan. Jangankan mereka itu di kenal sebagai kaum persilatan yang terkenal jujur. Mana ada seorang pendekar membunuh sesama kaumnya sendiri...!" tukas si Burung Hantu sambil tersenyum-senyum.
"Pendekar Hina Kelana! Hemm... selama ini aku mendengar nama kebesarannya itu dari kabar angin belaka. Bahkan kehebatan yang dimilikinya konon melebihi seorang tokoh manusia setengah dewa si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang benar ia merupakan seorang tokoh golongan putih. Mustahil orang itu mau membantai sesama golongannya sendiri...!" gumam Iblis Liang Kubur seperti pada dirinya sendiri.
"Wua...ha...ha...ha...! Jangan kau samakan pendekar Golok Buntung dengan si Bangkotan Koreng Seribu yang melegenda sejak ratusan tahun yang silam. Manusia yang berdiam di Tanjung Api itu menjadi ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan karena ketegasannya dalam membasmi golongan hitam yang terlibat dalam kejahatan. Sedangkan orang yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu kurasa bukanlah seorang pendekar sejati. Bahkan kudengar golongan putihpun sekarang telah menjadikannya sebagai seorang buronan...!" kata si Burung Hantu ketus.
"Berita yang kudengar terlalu simpang siur! Sebelum segala-galanya terlambat. Ada baiknya kalau sekarang kita mulai mencari orang itu...!" Iblis Liang Kubur nampaknya sudah merasa tidak sabaran lagi. Sedangkan si Burung Hantu melirik pada Pertiwi yang baru saja selesai menyantap hidangannya. Kelihatannya ada sesuatu yang disembunyikannya oleh laki-laki berusia lima puluhan dari Lembah Darah ini. Hanya dia sendirilah yang mengetahuinya.
"Kita mau ke mana, guru...?" tanya Pertiwi tanpa menghiraukan si Burung Hantu yang terus melirik kepadanya. Pada hakekatnya meskipun murid seorang tokoh sesat, namun Pertiwi merupakan seorang gadis lugu yang belum mengetahui kelicikan sifat laki-laki.
"Jangan banyak tanya! Ayo kita segera berangkat...!" kata Iblis Liang Kubur. Usai dengan kata-katanya itu si kakek tua rambut putih dengan diikuti oleh si Burung Hantu dan Pertiwi segera meninggalkan tempat itu.

 



--₪¦ « 2 » ¦₪--

Gunung Gendeng nampak berdiri kokoh dengan angkuhnya. Udara menjelang tengah hari terasa panas bukan main. Karena musim kemarau yang panjang selama beberapa tahun terakhir. Maka pemandangan di sekitar lereng gunung Gendeng terasa gersang. Dalam suasana panas yang cukup terik, seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut di kuncir nampak sedang menelusuri jalan setapak di pinggir lereng gunung Gendeng. Sesekali butiran keringatnya menetes deras membasahi pakaiannya yang berwarna merah. Di lain saat matanya yang setajam mata elang itu setengah dipicingkan untuk dapat melihat ke arah lebih jauh lagi.
"Uhh! Panas bukan main. Panas begini aku jadi ingin mandi, tapi aku yakin sungaipun pasti kering. Memang serba salah jadi manusia, pabila hujan orang akan meminta panas, pabila panas orang malah meminta hujan. Hujan panas, panas hujan. Hanya merupakan irama musim belaka, masa bodoh. Bukan wewenangku membagi hujan. Ahh... lapar...!" gumam pemuda berpakaian merah itu sambil membuka periuk besar yang selalu di bawanya ke manapun ia melangkah.
Breeng!
Terdengar beradunya benda mustika. Buang Sengketa memang menutupkan periuk itu kembali ketika ia tidak melihat dendeng lumba-lumba di dalam periuk itu. Namun setelah pemuda itu teringat sesuatu, barulah ia menepuk-nepuk keningnya beberapa kali.
"Mengapa menjadi tolol! Bukankah makanan yang kumiliki telah kubagi-bagikan pada penduduk yang kelaparan di desa Dumai. Masa bodoh...!" pelan sekali suara Pendekar Hina Kelana.
Pemuda titisan Raja Ular Piton Utara dari Negeri Bunian ini terus mengayunkan langkahnya. Semakin lama langkah-langkah kaki Buang Sengketa semakin bertambah cepat. Bahkan ia telah bersiap-siap mempergunakan ilmu lari cepatnya yang berupa ajian 'Sepi Angin'. Ketika secara tibatiba dari arah sebelah Utara jalan yang dilaluinya terdengar suara jeritan-jeritan maut. Tanpa berpikir panjang lagi Pendekar Hina Kelana pun dengan mempergunakan tenaga dalamnya segera berlari cepat menuju tempat terjadinya keributan.
Hanya dalam waktu sekejap saja Buang Sengketa telah sampai di tempat kejadian. Begitu pemuda ini menginjakkan kakinya di atas sebongkah batu besar, maka terbelalaklah kedua matanya. Bagaimana tidak, persis di pertengahan lereng gunung Gendeng terlihat mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tidak karuan. Mereka yang tewas itu berjumlah tidak kurang dari dua puluh orang. Ketika Buang Sengketa memperhatikan daerah sekitarnya. Ia tidak melihat siapapun di sana. Namun beberapa saat kemudian perhatian Buang Sengketa telah beralih pada sosok tubuh yang menggeletak pada tempat yang agak terpisah.
Dengan sangat berhati-hati pemuda itu melangkah ke sana. Keadaan mayat itu tidak jauh beda dengan keadaan mayat-mayat lainnya. Bagian kepala hampir terlepas dari lehernya, sedangkan bekas luka nampak bergerigi, seolah senjata yang dipergunakan untuk membunuh orang-orang itu merupakan senjata yang tidak tajam. Lebih dari itu bagian perut orang tersebut memburai keluar bercampur dengan genangan darah. Bahkan pemuda keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib itu terpaksa memalingkan wajahnya sebentar ke arah lain demi melihat keadaan mayat itu.
Namun setelah itu si pemuda segera memungut selembar daun lontar yang terletak di bagian dada mayat berpakaian serba biru itu. Dan ia semakin bertambah kaget ketika melihat tulisan yang tertera di atas daun lontar itu. Dengan wajah berubah pucat, Buang Sengketa segera membacanya.

Kepada semua golongan kaum persilatan!
Adapun orang yang bertanggung jawab dalam pembantaian ini adalah aku, Pendekar Hina Kelana.
Buat golongan manapun yang tidak senang dengan segala sepak terjangku.
Kalian boleh mencariku. Karena sesungguhnya aku sangat mengharapkan tantangan kalian...!
Tertanda Pendekar Hina Kelana.


Mendidih darah Buang Sengketa ketika selesai membaca surat yang di tulis di atas daun lontar itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap. Pemuda itu langsung meremas daun lontar tersebut hingga hancur berkeping-keping.
"Dewata yang agung! Oh... keparaaat! Fitnah! Fitnah yang sangat keji. Para Dewa di atas sana. Apakah dosaku sehingga ada orang yang begitu tega memfitnahku. Jahanam, seumur hidup aku belum pernah melakukan pembantaian seperti ini." geram Buang Sengketa dalam kemarahannya yang tiada tertahankan lagi. Pemuda itu sekarang nampak menundukkan wajahnya dalam-dalam, tubuhnya bergetar menahan marah, dadanya terasa sesak sekali. Dalam kemarahan yang sudah tiada terkontrol lagi, maka unsur siluman di dalam tubuhnya pun mulai mengambil peranan besar.
"Uaahhh... Heiiikhh...!"
"Shaaaat...!"
Blaaam...! Blaaam...!
Gunung Gendeng benar-benar terasa bagai dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat. Pohonpohon besar yang meranggas tanpa daun nampak bertumbangan secara beruntun. Terhantam pukulan 'Si Hina Kelana Merana'. Bahkan batu-batu yang terdapat di lereng gunung itu akhirnya runtuh menerima getaran ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh' yang begitu hebat.
Namun Pendekar Hina Kelana yang sedang dilanda kemarahan itu tidak berhenti cukup di situ saja. Dengan gerakan yang sangat cepat ia mengumbar pukulannya ke berbagai arah. Keadaan di sekelilingnyapun menjadi porak poranda. Dalam keadaan seperti itu, secara sayup-sayup, Buang Sengketa mendengar sebuah bisikan yang datangnya dari sebuah tempat yang tiada terukur jauhnya. Bahkan jika saja Buang Sengketa tidak memiliki kesaktian yang sudah sangat sempurna, mustahil ia mampu mendengar bisikan itu.
"Bocah tolol, apakah kau sudah gila...! Merobohkan pohon-pohon yang tidak memiliki salah apa-apa...!" bentak suara bisikan itu lugas.
Buang Sengketa hapal betul siapa yang sedang berbicara itu. Cepat sekali ia menekuk lututnya hingga jatuh terduduk. Dengan sikap hormat ia berucap.
"Guru tidak melihat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Mereka telah memfitnahku, Guru...! Bukankah apa yang mereka lakukan merupakan bencana yang dapat membuatku harus berhadapan dengan banyak tokoh...?" jelas si pemuda dengan suara tergetar.
Dari kegaiban sana terdengar suara tawa orang yang sangat dihormati oleh Pendekar Hina Kelana. Dialah gurunya yang telah tiada itu, yaitu manusia setengah Dewa Si Bangkotan Koreng Seribu.
"Buang, kehidupan manusia itu sudah ada yang mengaturnya. Apa gunanya kuwariskan jurus Pamungkas 'Koreng Seribu'. Jika dalam menghadapi cobaan seperti sekarang ini kau tidak dapat mengendalikan unsur siluman yang mengalir di dalam darahmu. Bukankah dulu pernah kukatakan, bahwa jurus Sakti Koreng Seribu kuwariskan padamu untuk mengendalikan hawa amarah, di samping sangat berguna dalam menghadapi lawanlawanmu...?" kata suara bisikan itu penuh tanya.
"Tetapi apa yang kuhadapi sekarang ini benar-benar sangat keterlaluan sekali, guru...! Fitnah itu sewaktu-waktu dapat mencelakakan muridmu?!" bantah si pemuda dengan wajah tetap menunduk.
"He... he... he...! Kalau kau merasa berada di pihak yang benar. Apa salahnya jika kau menghadapi mereka dengan jurus Koreng Seribu...!"
Buang Sengketa nampak terdiam untuk sesaat lamanya. Kalau di timbang-timbang rasanya apa yang dikatakan oleh gurunya itu tidak salah.
"Baiklah. Kalau guru sudah mengatakan demikian, sebagai murid yang belum mengerti banyak aku hanya akan menuruti perintahmu...!"
"Bukan saja belum mengerti banyak, namun kau juga edan...!" dengus bisikan itu, sehingga membuat Pendekar Hina Kelana yang tadinya kehilangan kontrol sekarang telah kembali lagi pada sikap konyolnya.
"Tidak salah. Guru sendiri juga sinting...!" sambut Buang Sengketa dengan tawa tergelak-gelak.
"Sudahlah. Bicara denganmu lebih lama hanya membuatku muak...!"
"Jadi kau hendak ke mana, guru...!" pancing si pemuda sambil menahan perasaan geli.
"Aku tidak ke mana-mana, bocah gemblung. Aku tetap di alamku alam kedamaian abadi yang tiada mengenal lagi kematian...!" kata bisikan itu ringan.
"Aku ikut, guru...!"
"Kau semakin keblinger, bocah. Tugasmu sebagai seorang pendekar masih menantang di hadapanmu. Lagi pula siapa sudi diikuti bocah tolol sepertimu...!" bersamaan dengan kata-katanya itu. Maka suara bisikan gaib itupun akhirnya lenyap begitu saja. Tinggal Buang Sengketa yang nampak duduk termangu sambil menarik nafasnya berulangulang. Tidak mengapa. Siapapun orang yang telah berani mempergunakan namaku dalam pembantaian ini. Yang jelas mungkin saja ia memiliki kepandaian yang tiada terukur. Namun walaupun dia berujud sebagai dedengkot manusia iblis sekalipun. Aku akan mencari keadilan. Aku pasti akan mengadakan perhitungan dengannya. Batin Pendekar Hina Kelana.
Akhirnya dengan perasaan tiada menentu, Buang Sengketa pun segera meninggalkan gunung Gendeng menuju ke arah kota Kadipaten.

 



--₪¦ « 3 » ¦₪--

Kota Kadipaten Kalungkung pada malam hari kelihatan ramai dikunjungi oleh orang-orang dari daerah. Apalagi Kadipaten merupakan pusatnya kesenian dan juga atraksi berbagai kegiatan orangorang yang mencari nafkah. Pendek kata daerah itu nampak semakin mempesona keindahannya pabila malam hari. Lampu warna warni berkelap-kelip tak ubahnya bagai kunang-kunang yang bertaburan di kegelapan malam.
Namun nun jauh dari pusat keramaian itu. Di sebuah kedai penjual makanan yang sangat sarat oleh pengunjung. Nampak kesibukan yang agak lain bila dibandingkan dengan kesibukan yang sedang berlangsung di tengah-tengah kota.
"Kudengar telah begitu banyak kaum persilatan yang telah bergelimpangan menjadi korban sepak terjang Pendekar Hina Kelana?" tanya seorang laki-laki bertubuh kekar berjambang serta kumis lebat dengan pakaian serba kuning dan ikat kepala berwarna kuning pula.
Orang yang menjadi lawan bicaranya adalah seorang laki-laki berbadan tinggi kurus, berkumis jarang dan berpakaian serba hitam. Di bagian pinggang laki-laki itu menggelantung sebuah senjata yang berupa kaitan dan bertali panjang. Orangorang di sekitar Kadipaten mengenal laki-laki berbadan kurus itu sebagai si Pengait Aneh. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar sama sekali belum pernah di kenal sebelumnya.
"Tidak perlu diragukan lagi! Orang yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu bahkan beberapa hari yang lalu telah membunuh anggota keamanan Kadipaten ini...!"
"Itu makanya kau mengundangku untuk datang ke tempat ini...!" dengus laki-laki berpakaian kuning.
"Kau jangan salah sangka, Anggoro! Kalaupun aku mengundangmu jauh-jauh dari Kemujang sana. Semua itu berdasarkan atas perintah Kanjeng Adipati. Bahkan demi menjaga keamanan Kadipaten ini beliau telah berkenan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk penjaga keamanan...!" jelas si Pengait Aneh.
"Huh...! Sekarang setelah keadaan menjadi gawat. Engkau baru mau mengundangku untuk sama-sama bergabung menjadi pengawal keamanan. Tapi dulu aku datang padamu untuk meminta pekerjaan pada Adipatimu itu, sedikitpun kau tidak mau membantu...!" sergah Anggoro dengan perasaan kurang senang.
"Dulu pekerjaan seperti yang kau inginkan itu memang belum ada. Bukan aku tidak mau menolongmu...!"
Sesaat suasana di dalam warung itu berubah sunyi. Pengunjung di dalam warung yang rata-rata merupakan para bawahan si Pengait Aneh kelihatannya tidak berani bicara apa-apa. Mereka menyadari apapun yang dibicarakan oleh si Pengait Aneh atasan mereka yang jelas menyangkut masalah keamanan Kadipaten.
"Sekarang tawaranmu cukup menggiurkan juga. Namun apakah Adipatimu itu mampu memberikan upah seperti yang aku inginkan?" tanya Anggoro dengan sesungging senyum tipis.
"Berapa yang kau minta...?" tanya si Pengait Aneh.
"Dua puluh keping uang emas...!" kata Anggoro mantap. Semua itu membuat mereka yang hadir di tempat itu nampak membelalakkan matanya. Tidak terkecuali si Pengait Aneh.
"Gila!" seru si Pengait Aneh dengan kedua mata melotot.
"Aku saja setiap bulannya hanya mendapat satu keping uang emas. Dan kau meminta dua puluh keping uang yang sama?" Pengait Aneh geleng-gelengkan kepalanya.
"Bukankah aku tak memaksa? Kalau Adipatimu merasa keberatan dengan upah yang kuminta, silahkan mencari yang lain...!"
Si Pengait Aneh baru saja hendak melanjutkan kata-katanya ketika pada saat itu muncul seorang laki-laki muda berwajah tampan di dalam warung itu. Mereka yang hadir di sana hampir bersamaan menoleh pada pemuda berwajah tampan. Suasana berobah menjadi sepi mencekam. Pemuda tampan itu dengan sikap acuh segera duduk di sebuah bangku yang terletak di tengahtengah ruangan, sementara si pelayan warung dengan sikap tergesa-gesa datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa?" tanya si pelayan warung dengan sikap sungkan.
"Aku menginginkan kepala semua orang yang berada di dalam warung ini...!" kata pemuda bersenjata pedang itu dengan suara dingin menyeramkam.
Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda itu sudah barang tentu membuat mereka yang berada di dalam warung terperangah. Mereka menganggap apa yang diminta oleh pemuda tidak dikenal itu merupakan sebuah tantangan yang jelasjelas ditujukan untuk mereka. Diantara sekian banyak orang yang berada di dalam warung itu. Laki-laki yang bernama Anggoro itulah yang tidak dapat menerima penghinaan tersebut. Dengan wajah merah padam ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian laki-laki bertubuh kekar itu pun sudah membentak, "Apakah aku tidak salah dengar?" ucapnya setengah bertanya.
"Kurasa kalian tidak tuli bukan? Sudah kukatakan aku ingin meminta kepala kalian semua...!" ulang pemuda itu dengan suara keras.
Si Pengait Aneh rasanya sudah tidak mampu lagi menahan kemarahannya. Bagaimana tidak. Di Kadipaten Kalungkung ia merupakan orang yang sangat disegani oleh masyarakat setempat. Karena selain merupakan seorang kepala pengawal keamanan, laki-laki setengah baya ini juga di kenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi. Namun siapa sangka malam itu seorang pemuda yang tidak mereka kenal telah berani menghina sedemikian rupa? Tanpa basa-basi lagi, dengan gerakan yang sangat cepat tubuhnya langsung berkelebat. Di saat lain si Pengait Aneh telah berdiri tegak empat meter di hadapan si pemuda.
"Bocah! Siapakah engkau ini...?" tanyanya dengan suara bergetar. Pemuda berwajah tampan itu tersenyum dingin. Sedingin tatapan matanya yang memandang tajam pada si Pengait Aneh dan Anggoro.
"Hiaaa... hak... hak... haak...! Mengenai namaku kalian tidak perlu tahu, tapi agar kalian tidak mampus secara penasaran. Orang-orang mengenalku sebagai Pendekar Hina Kelana...!"
"Setan alas! Kawan-kawan inilah si manusia iblis yang telah meminta banyak korban. Keparat...!" geram si Pengait Aneh. Sesaat ia memandang kepada seluruh bawahannya yang berjumlah puluhan orang. Semua anggota pengawal Kadipaten itu cukup mengerti apa makna pandangan mata atasannya. Maka tanpa menunggu perintah lagi. Puluhan pengawal keamanan Kadipaten itu segera menghunus senjatanya. Secara serentak pula mereka langsung menerjang si pemuda. Laki-laki muda berwajah tampan yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu tergelak-gelak. Masih dengan posisi duduk, pemuda itu menyongsong kedatangan para pengeroyoknya.
Siing! Sraaaass!
Cepat bukan main gerakan tangan si pemuda yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu. Begitu tangannya berkelebat tahu-tahu di tangannya sekarang tergenggam sebilah pedang pusaka yang memancarkan sinar kuning keemasan. Bahkan lebih cepat lagi pedang di tangannya menyambar tubuh lawannya. Tidak kurang sembilan orang anggota pengawal Kadipaten tersungkur roboh begitu senjata yang mengandung racun itu merenggut nyawa lawannya. Laksana kilat pedang itu kembali lagi ke sarungnya.
Sraak...!"
Gerakan memasukkan dan mencabut pedang yang sedemikian cepat itu saja sudah merupakan suatu tanda bahwa pemuda berwajah tampan itu memiliki ilmu memainkan pedang yang sedemikian hebat. Namun si Pengait Aneh maupun Anggoro tidak mungkin mendiamkan sepak terjang si pemuda. Terlebih-lebih setelah melihat sembilan orang anggotanya tewas seketika dengan tubuh berubah menjadi kuning bagaikan kunyit.
"Jahanam! Kau ternyata bukanlah seorang pendekar seperti yang kau sebut-sebut. Namun kau tak lebih merupakan seorang iblis yang harus di bikin mampus!" teriak si Pengait Aneh. Ketika itu ia sudah melolos senjata andalannya yang berupa mata kait berjabang tajam bertali panjang.
"Jangan banyak membantah, akulah Pendekar Hina Kelana...!" kata pemuda itu masih tetap berada di tempatnya. Sementara itu Anggoro dan si Pengait Aneh telah menerjangnya dengan serangan-serangan yang sangat gencar. Anggoro yang bersenjata pedang menyerang si pemuda dengan senjata mengarah pada bagian kaki dan perut. Sedangkan senjata si Pengait Aneh mencari sasaran pada bagian dada dan kaki. Sampai sejauh itu si pemuda tampan melayani mereka dengan mengandalkan kelincahan gerak serta jurus-jurus tangan kosong.
Dalam waktu yang sangat singkat tiga puluh jurus telah berlalu. Warung yang menjadi ajang pertempuran telah porak poranda. Bahkan sekarang mereka telah bergerak keluar. Suara teriakanteriakan menggelegar terasa memecah keheningan malam. Saat itu hampir seluruh kekuatan pengawal Kadipaten telah mengeroyok pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu. Bantuan para pengawal itupun tidak berarti banyak. Karena begitu si pemuda mencabut senjata andalannya yang memancarkan sinar kuning itu menderu. Maka korban demi korban pun berjatuhan. Lama kelamaan para pengawal Kadipaten Kalungkung pun tidak bersisa sama sekali.
"Kurang ajar. Kau benar-benar iblis...!" teriak si Pengait Aneh. Pada saat itu ia berusaha memutar senjata andalannya. Namun setelah pedang di tangan si pemuda ikut bicara, kait bermata tajam itupun sudah tidak mempunyai banyak arti menghadapi jurus-jurus pedang lawannya. Meskipun saat itu si Pengait Aneh telah mengerahkan jurus andalannya yaitu jurus 'Kait Gila Bermata Buta'. Hingga pada satu kesempatan.
Traaang!
Senjata di tangan si Pengait Aneh berantakan saat dilanda ketajaman mata pedang si pemuda. Bahkan laksana kilat dan tidak dapat dihindari lagi.
Jroooss!
"Akrrrgh...!" si Pengait Aneh keluarkan jeritan tertahan-tahan. Bagian kepadanya melesat cepat dan nyaris menghantam kepala Anggoro yang berusaha mati-matian membendung serangan lawannya. Jika saja laki-laki itu tidak cepat-cepat merendahkan tubuhnya. Pastilah kepala si Pengait Aneh yang melesat cepat itu menghantam kepalanya.
Weeess! Daarrk...!
Kutungan kepala si Pengait Aneh begitu luput menghantam kawannya sendiri langsung menghantam dinding warung yang terbuat dari papan. Begitu membentur dinding warung. Maka kepala itupun hancur dengan otak bertaburan ke mana-mana.
"Iblis...!" teriak Anggoro berulang-ulang. Dengan sebat dia memutar pedang di tangannya. Lawan melayaninya dengan tawa mengekeh. Dalam kemarahannya itu jelas nyata bahwa gerakan silat Anggoro sudah tidak terkontrol dengan baik. Pada saat yang tepat pemuda itupun memapaki senjata Anggoro yang menderu mengarah batang lehernya.
Traaang! Traaang...!
Pedang di tangan Anggoro patah menjadi beberapa bagian saat membentur senjata pusaka lawannya. Laksana kilat lawan menusukkan senjatanya ke arah bagian perut lawannya.
"Jrees...!"
Anggoro hanya mampu membelalakkan matanya. Kelengahan yang hanya sesaat itu benarbenar harus ditebusnya dengan mahal.
"Sreek!" begitu pedang di tangan pemuda yang mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana itu kembali ke sarungnya. Maka tanpa ampun lagi tubuh Anggoro langsung terjerembat ke depan. Tubuh laki-laki berbadan kekar inipun hanya berkelojotan sesaat lamanya. Kemudian terdiam pula untuk selama-lamanya. Si pemuda nampak tersenyum puas. Dengan diiringi suara tawa menggidikkan tubuhnyapun berkelebat lenyap di telan kegelapan malam.

 



--₪¦ « 4 » ¦₪--

Buang Sengketa merasa tidak punya pilihan lain lagi ketika hampir di setiap langkahnya ia menemukan korban demi korban dari tokoh misterius yang telah mempergunakan namanya dalam setiap aksinya, dalam setiap melakukan pembunuhan. Dia telah bertekad untuk memburu tokoh misterius itu, meskipun ia sendiri tidak dapat memastikan betapa hebatnya kepandaian yang dimiliki oleh tokoh misterius yang telah mencemarkan nama baiknya itu.
Dalam keadaan berjalan melenggang namun tanpa pernah mengurangi kewaspadaannya. Tibatiba Pendekar Hina Kelana mendengar suara gemerisik yang mencurigakan di kanan kiri jalan yang dilaluinya. Untuk tidak menimbulkan kecurigaan bagi para pengintainya. Pemuda tampan ini terus melangkahkan kakinya dengan sikap acuh. Dan ia menyadari semak-semak di kanan kiri jalan itu bergerak cepat, seolah ingin menyamai langkahnya. Buang Sengketa secara mendadak menghentikan langkahnya, maka semak-semak itupun tidak bergoyang-goyang lagi.
"Orang-orang yang bersembunyi di dalam semak-semak. Coba tunjukkan muka...!" kata pemuda itu sambil memperhatikan semak-semak yang terdapat di sekelilingnya. Tidak ada reaksi apapun atas kata-kata pemuda itu. Melihat semua ini sebenarnya si pemuda mulai merasa kesal. Tapi mengingat ia sendiri saat itu sedang berusaha mengembalikan nama baiknya. Maka Buang Sengketa pun tidak berani bertindak gegabah.
"Kuingatkan pada kalian sekali lagi, coba tunjukkan muka...?" ulangnya. Beberapa saat setelah itu maka dari kanan kiri jalan yang dilalui oleh Buang Sengketa nampak bermunculan beberapa orang laki-laki bersenjata cambuk dan pedang. Wajah-wajah mereka yang sinis memandang tajam pada pemuda yang berdiri tegak di hadapan mereka. Buang Sengketa segera menyadari pastilah orang-orang itu terdiri dari dua perguruan. Atau paling tidak dari partai yang berbeda.
"Kisanak! Apa maksud kalian memata-matai perjalananku...?" tanya pemuda itu dengan sikap tenang.
Mereka yang ditanya mendengus dan saling berpandangan sesamanya. Lalu seorang laki-laki berbadan tinggi besar, berpakaian warna gelap serta berwajah tengkorak nampak maju dua tindak. Sepasang matanya yang menjorok ke dalam batok kepala memandang sinis pada Pendekar Hina Kelana.
"Bertanya terus terang. Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana...?" bentak laki-laki itu dengan tatapan menyelidik.
"Siapskah anda semua...?"
"Jawab dulu pertanyaan kami, orang muda...!" kata laki-laki muka tengkorak merasa tidak senang.
"Saya tidak akan berkata apa-apa sebelum kalian menjawab pertanyaan itu...!"
"Hemm." laki-laki itu mengumamkan katakata yang tidak jelas.
"Seumur hidup belum pernah ada yang berani menjual lagak di depan Ketua Tengkorak Putih, selain manusia tolol sepertimu...!" geram laki-laki berwajah mengerikan itu yang ternyata merupakan orang-orang Tengkorak Putih.
"Maaf. Bukan aku menjual lagak. Tapi kurasa menanya asal usul orang yang bertanya padaku tidak ada salahnya..." Buang Sengketa rangkapkan tangannya ke depan dada. Laki-laki berwajah mengerikan itu sekali lagi mendengus bagai kerbau.
"Omong kosong...! Anak muda cepat kau katakan siapa engkau yang sebenarnya. Kalau tidak kau akan menanggung sendiri akibatnya...!"
"Ketua mengapa harus bertanya lagi. Sudah jelas pemuda yang punya penampilan seperti ini tidak lain orang yang memiliki gelar Pendekar Hina Kelana...!" kata salah seorang dari mereka merasa tidak sabar lagi.
"Benar... aku memang Pendekar Hina Kelana. Ada keperluan apakah kalian mencari aku...!"
"Kau jangan berpura-pura, bocah! Telah begitu banyak korban yang jatuh di tanganmu. Kejahatanmu melebihi tindakan manusia iblis. Di setiap daun lontar kau tinggalkan pesan. Masihkah kau mau mungkir...!" bentak laki-laki berwajah tengkorak itu dengan kemarahan yang tiada terperikan.
Buang Sengketa tersenyum kecut. Ia memang sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh laki-laki itu. Karena ia sendiri telah banyak melihat korban yang bergelimpangan dengan ulah tokoh misterius yang mengaku-aku sebagai dirinya. Begitupun ia masih bersabar dengan berkata, "Maaf, sobat. Bukan aku seorang pengecut, untuk mengakui segala perbuatanku. Tapi perlu kalian ketahui bahwa di kalangan persilatan ada orang yang sengaja melakukan teror dan berusaha memfitnah aku...!"
"Bedebah. Bagaimana mungkin kau bisa berubah menjadi sepengecut ini, tikus budukan...!"
"Kalian jangan gegabah menuduh orang secara serampangan. Aku sendiri sekarang ini sedang berusaha mencari orang yang mengaku-aku sebagai diriku itu!" jelas pemuda itu dengan wajah memerah.
"Omong kosong. Lebih baik kau menyerah untuk mempertanggungkan segala perbuatanmu!"
"Menangkap orang yang tidak bersalah, sama saja artinya kalian akan kehilangan orang-orang tidak berdosa...!" kata Buang Sengketa mencoba menyadarkan orang-orang yang telah mengepungnya. Tetapi manalah orang-orang yang telah dirasuki perasaan dendam itu memperdulikan ucapannya. Sebaiknya mereka segera melolos pedang dan cambuknya. Dengan senjata itu mereka langsung menggempur Buang Sengketa dari berbagai penjuru. Tidak dapat dihindari, pertempuran sengit pun terjadi. Para pengeroyoknya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya berusaha mendesak Pendekar Hina Kelana. Sebaliknya pemuda titisan Raja dari Negeri Alam Gaib ini mana mau membiarkan tubuhnya termakan senjata di tangan lawan-lawannya begitu saja. Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh yang begitu sempurna. Buang Sengketa masih mampu menghindari serangan-serangan ganas mereka. Tanpa terasa lima belas jurus telah terlewati. Namun sampai sejauh itu para pengeroyoknya masih belum mampu merobohkan Buang Sengketa. Jangankan sampai merobohkan, sedangkan menyentuh bagian tubuh si pemuda masih belum dapat mereka lakukan. Kenyataan ini jelas-jelas membuka mata si Muka Tengkorak yang mengepalai orang-orang itu. Bahkan ia sendiri di buat terkagum-kagum melihat kelincahan gerak pemuda itu. Padahal selama ini Tengkorak Putih tahu betul, bahwa orang-orang yang diasuhnya bukanlah murid-murid sembarangan. Dengan senjata mereka yang berupa cambuk dan pedang, telah begitu banyak lawan-lawan mereka yang menjadi pecundang, tanpa campur tangan ketuanya sendiri.
Mengetahui lawan yang dihadapinya kali ini memang merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Akhirnya tanpa berkata apa-apa. Laki-laki bermuka buruk inipun ikut terjun ke gelanggang pertempuran. Dengan turunnya Tengkorak Putih dalam pertempuran itu. Maka dalam beberapa jurus di depan pemuda itu mulai kelihatan terdesak. Buang Sengketa segera merubah jurus-jurus silatnya yang bervariasi itu.
Pada dasarnya tokoh Tengkorak Putih itu bukanlah seorang lawan yang dapat dianggap ringan. Buang dapat merasakan setiap serangan yang dilancarkan oleh laki-laki muka buruk itu selalu menimbulkan getaran dan sambaran angin yang sangat keras lagi membuat sakit lubang poripori. Kecepatannya dalam melakukan serangan juga sangat sulit untuk diduga-duga. Tetapi kiranya Tengkorak Putih juga menyadari bahwa orang yang menjadi lawannya kali ini bukan pula orang sembarangan. Bahkan ia sendiri dulu sering mendengar kehebatan pemuda yang berjuluk Pendekar Hina Kelana ini. Namun nama besar pendekar itu menjadi tidak ada artinya di mata Tengkorak Putih. Karena ia tetap beranggapan bahwa pemuda itu telah menebar berbagai kejahatan, akhir-akhir ini.
Lima puluh jurus telah terlewati tanpa terasa. Bahkan anak buah Tengkorak Putih sekarang sudah tidak lagi ikut melakukan pengeroyokan. Apalagi ketika mendengar teriakan Ketua mereka yang mengisyaratkan agar mereka menjauhkan diri dari pertempuran. Maka orang-orang itu pun tidak punya keberanian bertindak gegabah. Bahkan mereka pun sadar betapa lawan yang dihadapi oleh Ketua mereka sekarang ini merupakan lawan yang sangat tangguh.
"Hiaat... Hayaaaa...!"
Di sertai dengan jeritan tinggi melengking, tubuh pendekar itu bersalto sebanyak tiga kali di udara. Pemuda ini nampaknya sedang berusaha menjauhi pertempuran. Tapi celakanya begitu Buang Sengketa menjejakkan kakinya sebanyak tujuh langkah dari Tengkorak Putih. Laki-laki muka buruk itu terus memburunya tanpa memberi kesempatan pada pemuda itu untuk bicara.
"Tunggu... aku...!"
"Syaaat...!" belum sempat Buang Sengketa melanjutkan kata-katanya. Tendangan kaki kanan Tengkorak Putih menderu keras mengarah pada bagian wajahnya. Si pemuda yang mengetahui betapa berbahayanya serangan itu, segera menghindar dengan cara berjumpalitan ke belakang. Melihat lawan masih dapat menghindari tendangan mautnya yang telah teraliri sepertiga dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka Tengkorak Putih pun melepaskan pukulan jarak jauh, yang sangat di kenal dengan nama 'Mempersempit Jarak'. Begitu Tengkorak Putih menghantamkan ke dua tangannya ke arah lawannya dengan jari-jari terkembang. Maka menebarlah bau busuk yang sangat keras sekali. Di samping itu dengan kecepatan yang sangat sulit untuk diikuti oleh kasat mata. Seberkas sinar berwarna biru melesat cepat ke arah Buang Sengketa. Menyadari dirinya dalam keadaan berbahaya. Buang Sengketa segera merentangkan kedua tangannya di atas kepala. Saat itu juga dari telapak tangannya yang menggeletar hebat. Nampak melesat dua larik sinar merah menyala memapaki datangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Begitu dua pukulan yang teraliri tenaga sakti itu saling berbenturan di tengah jalan. Maka tubuh mereka saling bergetar. Tengkorak Putih melipat gandakan tenaga dalamnya. Begitu pula halnya dengan Pendekar Hina Kelana yang merasa bahwa lawan yang dihadapinya kali ini memiliki tenaga dalam setingkat di atasnya segera pula menguras segenap kemampuan yang dimilikinya. Adu tenaga dalam itu berlangsung seru dan menegangkan. Masing-masing lawan sudah mulai basah oleh keringat. Wajah mereka sebentar memerah dan di lain saat telah berubah pucat pasi. Namun diantara keduanya tidak seorang pun yang berani bertindak gegabah. Mereka menyadari dalam adu tenaga dalam seperti sekarang ini, siapa yang lengah, jiwanya pasti tidak akan tertolong lagi. Sementara Tengkorak Putih sedang memutar pikiran untuk mencari jalan keluar dalam usahanya mengakhiri pertarungan itu dengan harapan kemenangan harus berada di pihaknya. Buang Sengketa malah berusaha agar lawannya tidak mengalami luka-luka yang berarti. Sebab dalam usahanya mengembalikan nama baik yang dicemarkan oleh orang lain, ia tidak ingin adanya korban karena tangannya sendiri. Apa yang ingin ditunjukkan pemuda itu di depan para pengeroyoknya. Bahwa selama ini ia memang tidak pernah terlibat kejahatan manapun. Apalagi sampai membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Tapi tentu saja usaha yang dilakukan oleh pemuda itu jelas terlalu sulit untuk dilaksanakan. Semuanya akan membawa resiko yang sangat tinggi. Bahkan salah-salah nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya. Dalam keadaan yang serba sulit itu. Tiba-tiba Buang Sengketa menarik balik tenaga dalamnya sendiri........
Pada saat itulah Tengkorak Putih nampak terkejut bukan alang kepalang. Bahkan ia merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saat itu. Bagaimana mungkin pukulannya amblas begitu saja. Bahkan ia melihat pemuda itu sambil tersenyum kecut masih tetap merentangkan tangannya di atas kepala. Dan Tengkorak Putih menjadi lebih terkesima lagi ketika secara perlahan namun cukup pasti, tubuhnya terseret dan bergerak cepat ke arah Buang Sengketa
Melihat kejadian yang mereka rasakan ganjil ini. Semua anak buah laki-laki muka buruk itu tidak tinggal diam. Tanpa dikomando lagi mereka menyerang Buang Sengketa yang tetap dalam keadaan tegak bahkan tidak bergeming sedikit pun juga. Tanpa ragu-ragu lagi, mereka mengayunkan senjatanya.
Craaak... sheeeb !
Senjata-senjata mereka begitu menyentuh tubuh Pendekar Hina Kelana langsung melekat erat dan tidak dapat mereka tarik kembali. Lebih celaka lagi ketika mereka berusaha membetot senjatanya masing-masing. Senjata yang menempel di bagian tubuh Buang Sengketa terasa melekat lebih erat lagi. Bahkan detik-detik berikutnya mereka merasakan adanya sebuah kekuatan yang tiada terlihat mengalir deras melalui tangan mereka.
"Ilmu ibliss...!" geram Tengkorak Putih. Sementara ia sendiri masih belum menemukan jalan untuk membebaskan diri dari pengaruh betotan yang ditimbulkan akibat pengerahan tenaga dalam yang terus menerus. Puluhan anak buahnya berjatuhan bagai pohon pisang ditebang. Dalam pada itu dengan melakukan satu dorongan yang agak keras. Tubuh laki-laki muka buruk itu hampir saja terjengkang. Dengan gerakan cepat ia segera bangkit berdiri. Dengan suaranya yang mengguntur Tengkorak Putih berucap penuh teguran.
"Orang muda. Kalau kau menghendaki. Mungkin sudah sejak tadi jiwa kami melayang. Tapi benarkah kau orang yang berjuluk Pendekar Hina Kelana?" tanya Tengkorak Putih seakan tidak percaya.
"Aku memang Pendekar Hina Kelana. Tapi yakinlah kalian, bukan aku yang telah melakukan pembunuhan demi pembunuhan itu...!" jawab pemuda itu serius.
"Maaf orang muda. Kalaulah bukan kau yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Apakah kau beranggapan ada orang lain yang sedang berusaha melakukan fitnah terhadap dirimu...?"
"Ya... tidak dapat ku sangkal. Ada pihak tertentu yang sedang menyebarkan fitnah terhadapku...!"
"Kalau begitu ada orang-orang tertentu yang merasa tidak senang dengan dirimu...?" tanya Tengkorak Putih dengan nada sedikit lunak.
"Mungkin saja, tapi aku tidak dapat memastikan siapa mereka. Karena terlalu banyak golongan hitam yang tewas di tanganku...!"
"Heh... baiklah. Siapapun adanya engkau ini, sekarang aku merasa yakin bahwa kau bukan orang yang pantas untuk dicurigai...!"
"Maafkan aku orang tua... apa yang kulakukan hanyalah untuk membela diri. Sekarang aku harus segera pergi...!" Buang Sengketa meminta diri.
"Pergilah. Semoga Dewata selalu menyertaimu...!" kata Tengkorak Putih tulus. Dengan sekali berkelebat, pemuda itu telah lenyap dari hadapan orang-orang Tengkorak Putih.
"Hemm. Bukan main. Jika saja ia memang tokoh misterius itu. Mungkin saja sejak tadi aku dan orang-orangku cuma tinggal nama saja...!" batin laki-laki muka buruk itu. Tak lama setelah itu dengan disertai seluruh anak buahnya. Tengkorak Putih segera melakukan perjalanan kembali.

 



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Setelah bertemu dan sempat bentrok pula dengan pemuda berpakaian merah. Laki-laki muka buruk yang berjuluk Tengkorak Putih itu bermaksud membantu pemuda yang diyakininya tidak bersalah itu mengembalikan nama baiknya. Maka niat yang pertama sekali harus dilakukannya adalah menghubungi para sahabat-sahabatnya. Juga semua golongan putih. Rupanya Tengkorak Putih yang semula secara terang-terangan berusaha menangkap Pendekar Hina Kelana, akhirnya berubah niat setelah ia bertemu dengan pemuda sakti itu. Dan Tengkorak Putih akhirnya merasa maklum sendiri setelah, kalah bertarung dengan pemuda itu. Yang membuat Tengkorak Putih merasa sangat yakin bahwa Pendekar Hina Kelana tidak pernah terlibat dalam segala bentuk teror yang selama ini terjadi ialah karena pada saat akhir pertarungan itu dengan kesaktiannya yang sangat luar biasa itu. Kalau pendekar itu mau tentu mereka telah terbunuh seluruhnya.
Sekarang dengan segenap keyakinan yang ia miliki dalam usahanya mengembalikan nama baik Pendekar Hina Kelana. Rombongan yang dipimpin oleh Tengkorak Putih itu nampak menuju ke sebuah Perguruan yang bernama Perguruan 'Elang Emas'. Jarak yang ditempuh oleh mereka sebenarnya masih sangat jauh sekali. Karena Perguruan Elang Emas itu terletak bagian Tenggara selat Berhala. Demikianlah tanpa mengenal lelah hampir sepanjang hari mereka terus melakukan perjalanan.
Ketika keesokan harinya mereka telah memasuki daerah Selat Berhala. Pada sebuah jalan yang sangat sunyi. Seorang pemuda bertopi lebar nampak menghadang di tengah jalan yang mereka lalui. Melihat kenekatan orang itu tentu saja Tengkorak Putih dan orang-orangnya menjadi berang juga.
"Sobat bertopi. Kami harap jangan halangi jalan yang akan kami lewati. Menyingkirlah...!" perintah Tengkorak Putih dengan suara bergetar. Wajah yang tersembunyi di balik topi lebar itu tersenyum dingin. Sepasang matanya yang setajam serigala kelaparan memperhatikan Tengkorak Putih untuk seketika lamanya. Tapi pemuda bertampang kejam dan bertopi lebar itu tidak berkata apa-apa. Tetapi ia juga tidak mau menyingkir dari jalan itu. Kenyataan ini secara tidak langsung telah membangkitkan amarah Tengkorak Putih dan para anak buahnya.
"Hei... apakah kau tidak dengar apa yang kukatakan...?" ulang Tengkorak Putih dengan suara keras.
"Aku selalu mendengar setiap apa yang dikatakan oleh orang lain, manusia muka hantu. Bukankah kau menyuruhku segera menyingkir?" suara pemuda bertopi lebar itu terasa dingin menyeramkan.
"Bagus kalau kau telah mendengarnya. Sekarang kerjakanlah yang aku perintahkan tadi...?!" kata Tengkorak Putih tanpa merasa curiga apa-apa.
"Jalan ini bukan milik nenek moyang kalian. Siapapun punya hak berada di sini. Jadi apa perdulimu. Mau aku berada di tengah-tengah jalan ini sepanjang hari, tidak seorangpun yang dapat melarangku...!" kata pemuda itu semakin bertambah dingin.
Apa yang baru saja dikatakan oleh orang di depannya itu jelas-jelas membuat Tengkorak Putih semakin bertambah murka
"Iblis jalanan, siapakah Engkau ini? Kulihat kau sengaja mencari gara-gara dengan kami...!"
Pemuda bertopi lebar itu tergelak-gelak. Suaranya melengking tinggi menggidikkan bulu kuduk setiap orang yang berada di sekitarnya
"Untuk kalian ketahui. Sebenarnya saat ini aku sedang melaksanakan satu pekerjaan yang sangat rahasia. Tapi karena kalian telah hampir berhasil menemukan sesuatu yang kuperbuat. Maka kalian hanya pantas mengenalku sebagai si Pedang Kilat...!"
"Pedang Kilat...?" gumam Tengkorak Putih sambil berusaha merenungi kata-kata yang baru saja diucapkan oleh pemuda bertopi lebar itu. Tetapi setelah agak lama memutar otak. Ia sendiri akhirnya menarik kesimpulan. Bahwa pada waktu-waktu sebelumnya mereka memang belum pernah bertemu atau mendengar sebuah julukan yang agak menyeramkan ini.
"Pedang Kilat! Aku tidak mengenal siapapun engkau. Tapi kuharap menyingkirlah dari hadapan kami. Jika tidak aku pasti segera memberi pelajaran padamu...!" teriak Tengkorak Putih.
"Jangan banyak tanya. Lebih baik kita gebuk saja, Ketua...!" celetuk salah seorang anak buahnya tidak sabaran lagi.
"Ha... ha... ha...! Kalian adalah badut-badut tidak lucu yang sebentar lagi segera kukirim ke neraka...!" pemuda bertopi lebar itu mengancam.
"Kurang ajar. Kau benar-benar telah menghina kami manusia sinting...!"
"Kalian tidak percaya! Lihatlah...!" belum lagi selesai dengan kata-katanya dengan kecepatan melebihi kecepatan suara, samar-samar terlihat sekelebatan sinar putih menyilaukan mata bergerak cepat menyambar. Bersamaan dengan itu terdengar suara jeritan maut dari anak buah Tengkorak Putih. Lima orang dari mereka tersungkur roboh dengan luka di bagian leher yang sangat dalam. Darah menyembur dari masing-masing luka itu. Yang membuat Tengkorak Putih jadi terperangah, karena bekas luka itu tidak jauh beda dengan luka-luka yang sama dari orang-orang yang telah terbunuh pada waktu-waktu yang telah berlalu. Luka-luka itu bergerigi, seolah-olah senjata yang dipergunakan oleh orang bertopi lebar itu merupakan sebuah senjata yang tidak tajam. Dan Tengkorak Putih merasa lebih terkesima lagi. Ketika sepasang matanya yang menjorok ke dalam batok kepalanya itu melirik ke arah pemuda itu. Ia tidak melihat pemuda itu sedang menggenggam senjata apapun. Hal ini merupakan bukti. Bahwa kecepatan pemuda itu dalam mempergunakan senjatanya melebihi kecepatan suaranya sendiri.
"Keparaat! Melihat luka dan caramu dalam mempergunakan senjata. Kau memang pantas memiliki gelar si Pedang Kilat. Tapi melihat apa yang kau lakukan, maka aku pun dapat menarik kesimpulan. Bahwa kunyuk sepertimulah yang telah mempergunakan nama Pendekar Hina Kelana dalam setiap aksimu membunuh orang-orang yang tidak berdosa...!"
"Wua... ha... ha...! Hem... rupanya otakmu tidaklah serusak mukamu yang jelek itu. Memang... memang tidak akan memungkiri bahwa sebenarnya memang akulah yang dengan sengaja mempergunakan nama manusia yang paling kubenci di kolong langit ini dalam segala usahaku menjatuhkan nama baiknya...!"
"Oh, rupanya kau punya dendam tersendiri dengan pendekar itu? Pantasan setiap selesai melakukan kejahatan, kau menuliskan namanya pada selembar daun lontar. Ternyata. Kau hanyalah seorang iblis pengecut...?" Tengkorak Putih merasa geram sekali.
"He... he... he...! Kau salah jika menganggapku seorang pengecut, manusia jelek. Ketahuilah bahwa semua itu kulakukan sematamata hanya untuk menyiksa perasaannya. Setelah dia cukup menderita, barulah aku datang membunuhnya...!" kata pemuda bertopi lebar itu masih terus tergelak-gelak.
"Tidak semudah itu, manusia iblis. Karena kami segera menghubungi kaum persilatan untuk menjernihkan dulu persoalan yang sebenarnya. Sehingga pendekar itu tidak akan menjadi korban kelicikanmu..."
"Tidak bisa... tidak dapat... karena aku segera mengirim kalian ke neraka...!"
Sriing...!
Hanya terdengar gemerincing suara senjata tercabut dari sarungnya saja. Ketika pemuda bertopi lebar itu menggerakkan senjatanya. Maka jeritanjeritan meregang ajalpun terdengar saling susul menyusul. Dalam waktu yang sangat singkat sekali seluruh orang-orang Tengkorak Putih habis terbantai hingga tidak bersisa sama sekali. Melihat kejadian ini semua sudah barang tentu Tengkorak Putih menjadi sangat gusar sekali.
"Keparat. Kau benar-benar manusia iblis...!" maki laki-laki berwajah buruk itu dengan kemarahan tertahan-tahan. Sebaliknya si Pedang Kilat alias Pendekar Hina Kelana palsu malah tergelak-gelak.
"Sampai waktu yang kuinginkan. Tidak akan kubiarkan siapapun membongkar rahasiaku. Itu makanya aku harus mencegahmu agar tidak pernah sampai ke perguruan Elang Emas...!"
"Kalau begitu mampuslah, kau...!" teriak Tengkorak Putih. Sambil menghunus senjatanya yang berupa cambuk dan pedang pendek. Laki-laki buruk rupa ini berusaha mendesak lawannya dengan serangan-serangan gencar. Tapi oleh lawannya semua itu dapat diatasi dengan kecepatan gerak yang sangat hebat. Hingga ketika pertempuran baru berlangsung tiga empat jurus. Tengkorak Putih telah tersungkur roboh bermandikan darah. Dapat dibayangkan Tengkorak Putih yang memiliki tenaga dalam seimbang dengan Pendekar Hina Kelana itu dapat dijatuhkan oleh lawannya hanya pada gebrakan-gebrakan awal. Hal ini merupakan satu bukti. Bahwa pemuda bertopi lebar itu memang merupakan seorang pemuda yang sangat handal yang memiliki kecepatan gerak tidak dapat diperhitungkan. Selesai membunuh lawanlawannya, si Pedang Kilat dengan tenang segera meninggalkan korban-korbannya.

 



--₪¦ « 6 » ¦₪--

Malam itu udara terasa dingin sekali. Langit agak tertutup awan. Hanya sedikit saja cahaya bulan yang kelihatan di langit sana. Suasana di sekitar hutan Tengger kelihatan lenggang tidak ubahnya bagai hutan mati. Tapi di tengah-tengah hutan yang jarang di jarah oleh kalangan persilatan manapun itu. Di sebuah kuil tua yang sudah tidak terurus. Seorang laki-laki tua berpakaian tambaltambal nampak sedang duduk-duduk menikmati lezatnya ayam panggang hutan bersama seorang gadis cantik berpakaian, serba ungu.
Sesekali gadis berparas cantik jelita ini melirik pada laki-laki tua yang duduk tidak begitu jauh dari sisinya. Melihat cara laki-laki berpakaian tambal-tambal itu menggerogoti ayam panggang itu. Tiba-tiba gadis berwajah rupawan itu bergumam pelan.
"Guru...! Siapakah orang yang paling rakus di kolong langit ini?"
Laki-laki yang di panggil 'Guru' oleh gadis cantik itu tidak Iain Iblis Liang Kubur adanya. Sedangkan gadis itu tidak lain merupakan murid tunggal Iblis Liang Kubur yang bernama Pertiwi.
"Di dunia ini cuma ada satu orang yang sangat rakus, bahkan mempunyai sifat mata keranjang...!" kata laki-laki bertampang sangar itu seolah memperingatkan pada muridnya yang luar biasa cantik itu.
"Siapakah orang itu, Guru...?" tanya Pertiwi. Pada kenyataannya meskipun gadis itu merupakan seorang murid manusia sesat, tetapi ia memiliki watak yang polos.
"Siapa lagi kalau bukan si Burung Hantu sahabatku itu...!" kata kakek tua itu polos.
"Hah...!" Pertiwi sampai terlonjak dari tempat duduknya. Selama ini ia memang tidak pernah menghiraukan kehadiran si Burung Hantu di tengah-tengah mereka. Bahkan ia tidak begitu perduli cara si Burung Hantu memandang padanya.
"Bagaimana guru bisa mengetahuinya...?" tanya gadis cantik itu setengah ragu-ragu.
"Aku mengenal si Burung Hantu tidak ubahnya bagai tangan dan kakiku sendiri. Itu makanya, meskipun dia merupakan sahabat baikku. Tetapi kau jangan bersikap lengah...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah menoleh ke kanan dan kiri. Pertiwi melanjutkan pertanyaannya, "Guru. Apakah guru tahu, kemana saja perginya Uwa Burung Hantu pada saat-saat memisahkan diri dari kita seperti sekarang ini?" sambil menggerogoti kerat terakhir bagian kepala ayam hutan panggang itu. Iblis Liang Kubur berkata:
"Mungkin saja ada pekerjaan lain yang harus segera diselesaikannya. Atau bisa saja ia sedang memburu Pendekar Hina Kelana, yang konon kabarnya telah membunuh adik-adik seperguruannya dari pulau Berhala sana...!"
"Menurut guru. Mana diantara anda berdua yang lebih sakti...?" pancing gadis itu lebih jauh.
Iblis Liang Kubur mendengus kesal. Sejak dulu ia paling tidak suka bila dibanding-bandingkan dengan orang lain. Meskipun yang mengajukan pertanyaan itu merupakan murid tunggalnya sendiri.
"Kau jangan membuat gurumu marah, Pertiwi...?"
"Ah, aku kan cuma tanya saja. Kalau guru tidak sudi menjawabnya atau barangkali guru sendiri merasa tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Tokh aku tidak memaksa...!" kata Pertiwi dengan wajah cemberut.
"Weh... kau pikir aku takut mengatakannya...?" ujar Iblis Liang Kubur.
"Kau pikir gurumu ini memiliki ilmu lebih rendah bila dibandingkan dengan ilmunya si Burung Hantu itu? He... he... he...! Dalam ilmu silat kami seimbang. Begitu juga halnya dengan kecepatan menggunakan senjata. Tapi entah kalau sekarang...! Entah dia malah lebih maju, entah lebih mundur. Cuma satu saja yang tidak kupunyai dari seluruh apa yang dimilikinya. Bahwa aku tidak ahli dalam hal ilmu penyamaran. Selebihnya dia tidak dapat memandang remeh pada gurumu ini...!" jelas Iblis Liang Kubur dengan perasaan bangga.
Setelah puas mendengar jawaban gurunya. Akhirnya Pertiwi hanya diam saja. Sedangkan gurunya karena merasa kekenyangan telah bersiapsiap ingin tidur. Lain halnya sang guru lain pula halnya dengan apa yang dialami oleh muridnya. Setelah memakan daging panggang ayam hutan yang lezat itu. Pertiwi merasakan tubuhnya terasa panas. Keringat mulai meleleh membasahi sekujur tubuhnya. Padahal saat itu udara di sekitar itu terasa dingin sekali. Tapi Pertiwi merasakan badannya gerah dan ingin mandi. Satu hal yang tidak terpikirkan di benak Pertiwi, mengapa udara yang dingin itu tidak dirasakannya sama sekali. Bahkan ia tidak merasa curiga dengan ayam hutan yang dimakannya dan siapa yang menangkapnya siang tadi? Yang ada dalam ingatannya saat itu ialah ia ingin mandi sepuas-puasnya. Dan ketika ia ingat dengan sebuah sungai yang terletak tidak begitu jauh dari kuil tua yang mereka tempati. Maka gadis itupun pamitan pada gurunya.
"Guru...! Badanku terasa gerah sekali. Aku ingin mandi di sungai yang kita lewati tadi...!" kata gadis itu sambil melangkah seenaknya.
"Jangan lama-lama...!" kata Iblis Liang Kubur yang sudah sangat mengantuk itu tanpa merasa curiga apa-apa. Sedangkan Pertiwi tanpa berkata lagi segera bergegas menuju ke arah sungai.
Di luar sepengetahuan gadis itu, kiranya sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi gerak-gerik Pertiwi yang memiliki wajah sangat rupawan ini. Dari jarak tertentu sepasang mata yang penuh birahi ini terus mengikuti ke manapun Pertiwi melangkahkan kakinya.
Di langit bulan memancarkan cahaya kuning keemasan ke segenap pelosok hutan rimba di sekitarnya. Gadis berparas jelita itu sekarang telah berada persis di pinggiran sungai. Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu. Maka tanpa penghalang lagi kulit putih yang halus mulus itu terlihat dengan jelas. Bahkan sepasang bukit kembarnya yang ranum, padat dan kenyal menandakan belum pernah tersentuh tangan-tangan jahil. Ketika gadis itu melemparkan lembaran terakhir pakaian bagian bawah. Pertiwi meletakkannya di atas sebongkah batu besar. Tubuh gadis yang tiada tertutupi selembar benang itu segera meluncur memasuki kedalaman sungai.
Sementara pemilik sepasang mata yang menyaksikan semua yang dimiliki Pertiwi dengan jelas, berulang kali nampak menelan ludah. Lutut terasa goyah bahkan ia merasa semakin tidak sabar untuk menyergap mangsanya. Namun ia masih berusaha menahan gejolak perasaannya dengan menanti perkembangan selanjutnya.
Di dalam air sungai yang bening itu. Pertiwi terlihat berenang kian ke mari mengikuti arus sungai. Tubuhnya yang tiada tertutup sehelai benang itupun bergerak mengikuti arus sungai. Hingga pada beberapa saat setelahnya ia merasakan satu perasaan yang belum pernah dialaminya pada waktu-waktu sebelumnya.
Mula-mula tubuhnya menggeletar bagai orang yang kedinginan. Kemudian ia merasakan arus sungai yang mengalir deras itu tidak jauh bedanya dengan belaian dari tangan-tangan yang kokoh. Pertiwi merasakan satu rangsangan yang besar bersumber dari bagian bawah perutnya. Tidak ayal tubuh gadis rupawan itupun menggelinjang beberapa kali. Nafasnya turun naik tidak teratur. Sementara bibirnya terus mendesis-desis tidak ubahnya bagai seekor ular yang tengah berhadapan dengan lawannya. Pertiwi kemudian berenang ke tepi sungai. Di atas tanah berpasir tubuhnya terguling-guling, mulutnya terus mendesis tiada henti. Sementara itu sepasang mata yang terus mengintai dari semak-semak nampaknya merasa sudah tidak sabar lagi melihat buruannya telah berhasil dijinakkan. Dengan sekali berkelebat tubuh orang itu tahu-tahu telah berada di depan Pertiwi. Luar biasa nampaknya daya rangsangan yang dibubuhkan laki-laki pengintai itu pada ayam hutan yang sempat dimakan oleh Pertiwi itu. Sampaisampai gadis cantik yang memiliki tenaga dalam tinggi ini. Tidak dapat berbuat banyak atas kehadiran laki-laki muda bertopi lebar ini. Bahkan pemuda bertopi lebar itu dengan jelas dapat melihat kepasrahan gadis rupawan yang terus mengerang dalam keadaan terlentang ini.
Tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu mencopoti pakaiannya sendiri. Sementara sepasang matanya nampak berkilat-kilat memandang bebas pada tubuh yang tergolek menelentang di hadapannya itu. Pemuda itu kemudian segera berjongkok, lalu tangannya yang kokoh itu me-rayap ke bagian dada. Pertiwi yang telah dirasuki hawa aneh itu menggelinjang beberapa kali. Dan pada saat jemari tangan pemuda itu meluncur menuruni bagian perut hingga sampai ke bawah. Tanpa dapat dicegah lagi gadis itu langsung memeluk si pemuda. Bahkan ia nampak pasrah ketika pemuda itu bermaksud menindihnya. Mungkin saja beberapa saat kemudian Pertiwi akan kehilangan segalagalanya jika pada saat itu tidak muncul sesosok bayangan yang menyambar deras ke arah pemuda yang mulai menindih tubuh gadis rupawan itu. Bayangan merah itu berkelebat menghantam bagian tengkuk laki-laki itu. Mendapat serangan yang tiada terduga-duga. Laki-laki bertopi lebar itu langsung tersungkur roboh. Namun di luar dugaan ia memiliki daya tahan yang luar biasa sekali. Dengan cepat ia bangkit kembali. Sementara bayangan merah tadi telah menyambar tubuh telanjang bulat itu. Karena menyadari lawannya tidak dapat dijatuhkan padahal ia telah melakukan tendangan dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya. Maka bayangan merah itu segera berkelebat pergi dengan membawa tubuh Pertiwi yang telanjang bulat.
Melihat mangsanya berhasil dilarikan oleh bayangan merah itu. Pemuda bertopi lebar itu bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi ia jadi mengurungkan niatnya ketika lamat-lamat ia mendengar suara orang yang akan dikejarnya itu berkata.
"Bangsat cabul! Kalau engkau hendak mengejar kami... sarungkan dulu pedang keramatmu. Kalau tidak kan malu bila sempat dilihat babi hutan...!" ejek bayangan merah itu melalui ilmu mengirimkan suara.
Tentu saja pemuda bertopi lebar itu segera menyadari keadaan dirinya sendiri. Dan ketika ia memandang ke arah bawah ia segera menutup bagian itu dengan ke dua tangannya sendiri. Cepatcepat ia menghampiri pakaiannya yang tergeletak di tepi sungai. Namun ketika ia telah sampai di tempat itu tidak dilihatnya pakaian yang berserakan tadi. Begitupun ketika ia melihat ke arah sebongkah batu besar yang merupakan tempat teronggoknya pakaian gadis yang telah dilarikan bayangan merah tadi. Ia pun tidak melihat pakaian itu masih berada di tempatnya. Akhirnya pemuda bertopi lebar itupun uring-uringan sendiri. Bahkan untuk sementara ia terpaksa menggunakan daun-daun hutan yang sangat lebar untuk melindungi tempat-tempat yang sangat dikeramatkan itu. Setelah menutupi bagianbagian tertentu dengan ala kadarnya sejurus kemudian pemuda bertopi lebar itu segera melakukan pengejaran dengan membawa kemarahan yang sangat besar.
Sementara itu Iblis Liang Kubur yang tidak dapat tidur pulas. Begitu merasa betapa lamanya muridnya mandi di sungai segera melakukan pencarian. Namun ia menjadi terkejut sekali ketika di sungai itu ia tidak menemukan Pertiwi. Bahkan dugaan-dugaan yang tidak baik pun mulai terlintas di pikirannya. Tanpa putus asa, Iblis Liang Kubur memanggil-manggil muridnya. Namun sampai sejauh itu tidak ada sahutan. Iblis Liang Kubur tibatiba saja menjadi cemas. Akhirnya setelah tidak berhasil menemukan murid tunggalnya di tempat itu. Iblis Liang Kubur pun malam itu juga ia meninggalkan hutan Tengger untuk mencari muridnya di tempat lain.

 



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Bayangan merah itu terus saja berlari cepat meninggalkan hutan Tengger. Barulah setelah menjelang fajar dan telah jauh meninggalkan tempat yang dirasanya tidak aman. Bayangan merah itu menghentikan ilmu lari cepatnya. Namun di luar dugaannya begitu langkahnya terhenti. Gadis telanjang yang berada di atas pundaknya langsung menghantam bagian punggung orang berpakaian merah yang telah menyelamatkannya. Tak ayal lagi tubuh sang penyelamat yang tidak lain Buang Sengketa ini langsung tersungkur roboh. Sementara tubuh si gadis nampak melesat ke udara. Setelah bersalto beberapa kali. Gadis itu menjejakkan kakinya dengan mulus di atas permukaan tanah. Rupanya di luar sepengetahuan si pemuda. Pada saat diselamatkan tadi. Tidak sampai setengah jam kemudian gadis itu mulai sadar dari pengaruh rangsangan yang masih belum ia ketahui dari mana sumbernya itu.
Namun pada dasarnya gadis berparas cantik jelita ini murid seorang datuk sesat. Tanpa menghiraukan dirinya yang dalam keadaan bugil. Ia tetap terus berpura-pura belum sadarkan diri. Bahkan sepanjang jalanan ia terus mengerang dan mendesis-desis bagai ular kepanasan. Rupanya gadis cantik muridnya Iblis Liang Kubur ini merupakan seorang gadis yang berotak cerdik. Setelah mengetahui bahwa ia diselamatkan oleh seorang pemuda tampan yang baik hati. Maka tanpa disangka-sangka ia telah memasang siasat untuk menyelidiki siapa sebenarnya pemuda itu? Tapi sepanjang perjalanan ketika tubuhnya berada di atas bahu pemuda itu. Sebenarnya bukan hanya pemuda yang menolongnya itu saja yang menjadi pikirannya. Tetapi juga ada hal lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu siapakah pemuda bertopi lebar yang hampir memperkosanya itu? Rasanya selama ini gadis yang bernama Pertiwi itu belum pernah berjumpa dengan pemuda bertopi lebar itu.
"Uh... keparaat...!" tiba-tiba saja wajah gadis cantik itu berobah merah padam. Apalagi bila ia mengingat kejadian buruk yang hampir menimpanya. Namun sekarangpun dia bukannya tidak sedang ke bagian sialnya. Pemuda yang telah menolongnya itu bagaimanapun sempat melihat lekuk lengkung bagian tubuhnya. Bahkan dengan sejelas-jelasnya. Meskipun pada dasarnya pemuda berbaju merah itu tidak memiliki niat yang tidak baik. Bagaimanapun sebagai seorang gadis yang sangat polos hal itupun ia anggap sebagai satu penghinaan.
Tanpa menghiraukan keadaan Buang Sengketa yang di bagian bibirnya nampak mengalirkan darah akibat pukulannya tadi. Kali ini si gadis kembali melakukan serangan-serangan gencar.
Pendekar Hina Kelana menyadari selain pukulan-pukulan gencar yang dilakukan oleh gadis itu sangat ganas dan berbahaya. Namun ia juga melihat pukulan yang dimiliki gadis itu mengandung racun yang sangat keji. Dengan tubuh terhuyunghuyung, Buang Sengketa berusaha mencegah niat gadis itu melanjutkan pukulan mautnya.
"Tunggu, nona...! Lebih baik nona memakai pakaian dulu. Setelah itu terserah. Mau marah silakan, mau memukuliku, lebih baik jangan dilakukan...!" kata pemuda itu sambil memegangi dadanya yang terasa sakit sekali. Rupanya gadis itu baru menyadari keadaan dirinya. Dengan cepat ia mendekap dua bisul kembar di bagian dadanya. Sedangkan sepasang kakinya langsung dirapatkan dalam posisi menyilang dengan tujuan melindungi hutan keramat dari penglihatan pemuda tampan di depannya. Sebenarnya gadis itu tidak perlu berbuat seperti itu karena ternyata sejak tadi Buang Sengketa secara terus menerus memalingkan perhatiannya ke arah lain.
"Keparaat. Pemuda kurang ajar... aku benarbenar akan membunuhmu...!" teriak Pertiwi dalam kemarahannya yang tertahan-tahan.
"Kau tidak perlu marah-marah, nona...! Aku masih sempat menyambar pakaianmu ketika menyelamatkanmu dari orang yang bermaksud kurang ajar itu...!" Buang Sengketa lalu melemparkan seluruh pakaian milik si gadis. Sambil menangkap pakaian-pakaian itu, Pertiwi semakin membentak marah.
"Kau kira telah berbuat baik padaku. Puih... siapa sudi. Kau tidak lebih baik dari manusia brengsek itu. Tahukah kau gara-gara kau, aku sampai terpisah dengan guruku...!" kata si gadis sambil mengenakan pakaiannya. Dan ketika Pendekar Hina Kelana bermaksud menoleh dan memandang padanya. Maka gadis itu pun kembali membentak.
"Hei... jangan lihat kemari dulu. Kau mau mengintip ya...!" kata-kata Pertiwi yang ketus dan tanpa perasaan itu tentu saja membuat Buang Sengketa kehilangan kesabarannya.
"Kalau aku mempunyai maksud-maksud tidak baik kepadamu. Apakah kau tadi dapat terhindar dari sebuah malapetaka yang sangat menyakitkan itu?" tanya pendekar berwajah tampan ini seperti pada dirinya sendiri.
"Huh... baru saja memiliki kepandaian picisan begitu saja kau sudah berani jual lagak di depanku...!" dengus Pertiwi yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.
"Aku bukannya jual lagak. Tapi... ah sudahlah... selamanya aku paling tidak suka berdebat dengan perempuan sepertimu...!" Buang Sengketa sudah bermaksud meninggalkan tempat itu. Tetapi begitu ia melangkahkan kakinya. Tahutahu Pertiwi telah menghadang di depannya.
"Jangan coba-coba bertingkah di hadapanku. Siapapun adanya engkau ini. Kau harus diberi pelajaran yang setimpal atas segala ulahmu...!" setelah berkata begitu. Pertiwi segera melancarkan serangan kilat mengarah pada bagian urat darah pemuda itu. Buang menyadari serangan yang dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah serangan yang tidak dapat dianggap ringan. Karena pada dasarnya ia memang tidak bermusuhan dengan gadis yang dianggapnya sinting itu. Maka untuk melindungi dirinya pemuda itu segera mempergunakan jurus si 'Gila Mengamuk'. Dalam sekejap itu juga, tubuh Buang Sengketa nampak terhuyung-huyung. Gerakan kaki dan tangannya tidak ubahnya bagai orang yang sedang mabuk. Tubuhnya terkadang terhuyung-huyung ke kanan dan kiri. Namun dilain saat bergerak cepat hingga tidak ubahnya bagai bayang-bayang belaka.
Bagaimana mungkin sejak tadi pukulanpukulan mautnya dapat dikandaskan oleh lawannya. Padahal sampai saat itu ia telah mempergunakan pukulan 'Si Buta Memandang Bulan' dan pukulan 'Inti Sukma' secara silih berganti. Tapi bagaimana mungkin pemuda itu masih dapat menghindari dua pukulan ampuh miliknya?
Rupanya setelah bertarung selama hampir empat puluh jurus. Pertiwi merasa kesal juga karena sejak tadi usahanya untuk menjatuhkan lawannya masih juga sia-sia. Akhirnya gadis itu sudah tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan cepat Pertiwi merangkapkan kedua tangannya di atas kepala. Pandangan gadis itu sekarang berubah tajam menusuk pada pemuda tampan yang menjadi lawannya. Selanjutnya dengan gerakan yang lincah kedua kakinya bergeser ke kanan dan kiri. Tidak jauh bedanya dengan seekor kuda betina yang sedang ancang-ancang mengatur kakinya untuk berlari sekencang-kencangnya.
"Pukulan 'Tarian Iblis'...?!" gumam pemuda itu ketika melihat kedua telapak tangan Pertiwi menebarkan asap tipis berwarna putih ke birubiruan. Selain itu kedua telapak tangan yang diselimuti kabut itu juga telah berubah warna menjadi hitam legam. Buang Sengketa jelas-jelas merasa terkesima dengan kehebatan yang dimiliki oleh gadis berwajah jelita itu. Sebab seingatnya di dunia ini satu-satunya orang yang memiliki ilmu semacam itu hanyalah Nyai Sumirah seorang. Tapi bukankah orang itu telah tewas di tangannya beberapa tahun yang lalu? (Jelasnya dalam Episode Sepasang Iblis Bermata Dewa). Atau mungkinkah gadis cantik ini masih memiliki hubungan dengan perempuan itu? Batin pemuda itu dengan perasaan tidak mengerti. Namun lepas dari semua itu. Pendekar Hina Kelana nampaknya sudah tidak dapat berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu, gadis yang di tolongnya itu sekarang telah melepaskan pukulan beruntun yang sangat berbahaya sekali.
Buang Sengketa tentu saja tidak ingin bertindak secara gegabah. Apalagi ia belum dapat memastikan siapa sebenarnya gadis yang dihadapinya itu. Karena tindakannya yang sangat berhati-hati itu. Maka ia terpaksa harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan yang berupa pukulan jarak jauh dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Melihat lawan masih juga mampu menghindari dari pukulan Tarian Bidadari itu, Pertiwi segera menggeser langkahnya ke samping kiri sebanyak tujuh langkah. Melihat perobahan yang sangat tiba-tiba ini Buang kembali dibuat terheran-heran. Bukankah jurus yang dimainkan oleh gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan jurus 'Berhala Menyembah Matahari'. Jurus ini dulunya merupakan milik tiga tokoh iblis dari pulau Berhala. Tiada di sangka-sangka kini gadis itu memainkan jurus-jurus milik para tokoh iblis dari pulau Berhala itu!
Namun kali ini Buang Sengketa yang tidak memiliki kemauan untuk melayani lawannya tidak punya waktu yang cukup untuk menghindari gerakan lawan yang begitu cepat datangnya.
Wuuees...
Buuuk...!
Pendekar Hina Kelana untuk kedua kalinya kembali terpelanting roboh ketika tendangan yang dilakukan oleh Pertiwi yang terisi tenaga dalam itu menghajar telak bagian perutnya. Dengan langkah tertatih-tatih pemuda itu berusaha bangkit berdiri, namun gerakannya itu limbung sekali. Si pemuda merasakan kepalanya sakit luar biasa. Perut terasa mulas bagai terpotong-potong. Ketika dipaksanya juga untuk bangkit berdiri. Maka pemuda itu pun terbatuk beberapa kali. Dari sela-sela bibir pemuda itu nampak mengalir darah kental. Dalam keadaan menderita sakit yang cukup hebat itu. Lamat-lamat ia mendengar suara-suara aneh dari belakangnya sana. Ketika ia secara tidak sengaja memandang pada gadis itu, Buang Sengketa melihat gadis berwajah rupawan itu nampak cemas sekali. Dan di luar dugaan dengan cepat ia menghampiri Buang Sengketa. Si pemuda yang tidak mengetahui maksud si gadis sudah barang tentu bersikap waspada meskipun saat itu dirinya sedang terluka.
Tapi di luar dugaan gadis itu malah memberi isyarat agar dia diam saja.
"Kau mau membawaku ke mana...?"
"Cerewet. Aku tidak membawamu ke manamana. Aku hanya ingin membunuhmu di tempat lain...!" cibir gadis itu. Lalu dengan cepat ia memanggul Buang Sengketa yang dalam keadaan terluka akibat perbuatan gadis itu sendiri.
"Aku tahu kau takut dengan suara tadi...!" sindir pemuda itu sinis.
Gadis itu terdiam. Ia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba dirinya yang selalu berbuat telenggas itu sekarang tidak sampai hati untuk menyakiti pemuda yang pernah menolongnya itu.
"Ternyata kau gadis pengecut...!" ejek Buang Sengketa ketika dilihatnya gadis itu hanya diam saja.
"Diam...! Orang yang bicara itu guruku dan kawannya. Kalau sampai ketahuan aku menyelamatkan kau. Kita semua bisa celaka...!" komentar gadis itu. Kemudian tanpa berkata-kata lagi ia pun segera berlari cepat meninggalkan tempat itu.

 



--₪¦ « 8 » ¦₪--

Setelah mencari ke berbagai tempat dan tetap tidak mendatangkan hasil. Akhirnya Iblis Liang Kubur dan si Burung Hantu merasa hampir putus asa juga. Padahal hampir setiap tempat yang mereka curigai, selalu tidak luput dari perhatian mereka. Tetapi sampai sejauh itu mereka masih belum juga menemukan di mana murid Iblis Liang Kubur bersembunyi atau disembunyikan. Hingga sampai menjelang tengah hari, si Burung Hantu yang juga ikut melakukan pencarian nampak menjadi kesal.
"Kita tidak mungkin menemukan muridmu itu di tempat ini. Lagi pula kalau memang benar muridmu diculik oleh Pendekar Hina Kelana itu. Setidak-tidaknya kita telah menemukan mayatnya. Atau mungkinkah muridmu itu di sekap di sebuah tempat, Iblis Liang Kubur...?" kata si Burung Hantu. Lalu memalingkan wajahnya dan memandang ke jurusan lain.
"Tidak mungkin. Aku masih ingat betul, saat aku hendak tidur, muridku Pertiwi bicara padaku hendak mandi di sungai. Setelah itu aku tidak mendengar suara apa-apa hingga menjelang tengah malam...!"
"Itu menandakan, bahwa pendekar yang telah membunuh berbagai golongan itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Bahkan bisa saja melebihi kita-kita ini, apalagi hanya muridmu...?" kata si Burung Hantu tidak ubahnya bagai orang yang sedang dalam keragu-raguan.
"Omong kosong. Pertiwi bukan gadis yang lemah. Lebih dari itu kalau murid tunggalku itu sampai mengalami suatu kejadian yang tidak kuingini. Maka pelakunya tidak mungkin mendapat pengampunan dari Iblis Liang Kubur...!"
"Bagaimana pula kalau orang itu tidak dapat kau kalahkan...?" pancing si Burung Hantu.
Iblis Liang Kubur sungguh pun hatinya sedang diliputi kesedihan masih juga tersenyumsenyum.
"Kalau memang ternyata si bangsat Hina Kelana itu memiliki kepandaian yang tidak dapat di tandingi. Maka aku telah memilih untuk mengadu jiwa dengannya." sergah laki-laki bermuka bengis itu geram.
"Baiklah... baiklah. Sudah waktunya kita mencari jalan sendiri-sendiri. Aku merasa lebih baik kita mencari jalan masing-masing dalam usaha membunuh pendekar yang sekarang sedang menjadi buronan kaum persilatan itu...!" kata si Burung Hantu merasa tidak sabar lagi untuk berpisah.
"Aku pun tidak dapat membantumu, karena aku sendiri sekarang sedang bingung dengan hilangnya murid tunggalku itu...!"
"Siapa yang meminta bantuan siapa? Kita sudah sama-sama tua bangka, Iblis Liang Kubur. Dari pada kita merasa pusing mencari seorang buronan dengan cara bekerja sama. Bukankah malah lebih baik jika kita bekerja sendiri-sendiri? Apalagi sekarang ini kau sedang bingung memikirkan nasib murid tunggalmu? He... he... he...!" si Burung Hantu terkekeh-kekeh.
"Cepatlah kau merat dari hadapanku, Burung keparaat. Aku semakin muak mendengar ocehanmu yang tidak bermutu itu..." hardik Iblis Liang Kubur semakin bertambah senewen.
"Baiklah... baiklah... aku segera pergi...!" berkata begitu, tiba-tiba saja Burung Hantu sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya. Tinggallah Iblis Liang Kubur yang termangu-mangu sendiri memikirkan nasib murid kesayangan satu-satunya.
Dalam kebingungannya itu entah mengapa secara tiba-tiba ia teringat pada si Burung Hantu yang baru berlalu dari hadapannya. Dan ketika ia teringat segala sesuatu yang dimiliki orang itu. Maka Iblis Liang Kubur menepuk-nepuk jidatnya sendiri yang setengah botak pelontos.
"Dasar goblook. Burung Hantu tidak ubahnya bagai setan alas, di depan hidungku bisa saja ia berpura-pura tidak mengerti. Aha... betul juga...!" sekali lagi Iblis Liang Kubur menepuk keningnya. Kemudian dengan cepat ia melakukan pengejaran ke arah perginya kawannya tadi.

 



--₪¦ « 9 » ¦₪--

Melalui jalan berbatu licin itu, Pertiwi terus melangkahkan kakinya dengan mantap. Di atas pundaknya Buang Sengketa masih dalam terlentang dengan tubuh lemas lunglai.
Hal yang sebenarnya Pendekar Hina Kelana itu sudah tidak merasakan akibat apa-apa. Bahkan luka dalam yang dialaminya sudah hampir sembuh. Hanya saja si pemuda terus berpura-pura. Walau sebenarnya hatinya merasa geli sendiri. Sambil terus berjalan, "Hei... kau jangan tidur! Bisa-bisa kucampakkan kau nanti. Emm... apa luka dalammu masih sakit...!"
"Iya...!" jawab si pemuda dengan suara lirih. Padahal saat itu ingin sekali ia tertawa keras-keras.
"Ah... tolol sekali engkau ini. Untuk apa berkeliaran di rimba persilatan jika tidak memiliki kepandaian apa-apa...?" Pertiwi mengumpat panjang pendek. Begitupun sebenarnya ia merasa suka bergaul dengan pemuda yang baginya agak aneh ini. Apalagi selain memiliki ketampanan yang mengagumkan pemuda itu juga tidak mempunyai watak-watak yang kurang ajar.
"Aku hanya seorang pengembara yang tidak punya apa-apa. Tapi aku tidak perduli meskipun kepandaianku hanya setahi kuku...!"
"Kau memang goblok. Harta benda juga hanya berupa sebuah periuk butut. Kemudian apa ini yang melilit di pinggangmu...?" Pertiwi tidak mengerti. Dan sebenarnya ia tidak menduga sama sekali bahwa saat itu ia sedang bersama-sama dengan seorang pendekar yang sangat tangguh.
"Yang melilit di pinggangku ini hanya berupa gulungan kulit rotan...!"
"Apa kubilang... kau memang pemuda tolol yang tidak becus apa-apa...!" kata gadis itu sambil terus memanggul tubuh Buang Sengketa.
Pendekar Hina Kelana kemudian hanya diam saja tanpa punya niat untuk berdebat dengan gadis itu.
Entah sudah berapa lama Pertiwi terus melakukan perjalanan seperti itu. Yang pasti ketika mereka mulai menuruni kaki bukit. Tiba-tiba dari berbagai jurusan bermunculan puluhan laki-laki berpakaian serba putih mengepung mereka berdua. Melihat gelagat tak baik ini Pertiwi bersikap tenangtenang saja.
"Bocah cantik... berhenti dulu...!" tiga orang berbadan cebol yang menyertai puluhan laki-laki itu bergerak maju.
"Hei... monyet cebol berkumis. Apakah keperluan kalian sehingga begitu berani menghentikan perjalanan kami...?" bentak gadis itu.
"Kalian telah memasuki daerah kekuasaan Elang Emas. Sudah menjadi peraturan di sini. Siapapun yang akan meneruskan perjalanan dari tempat ini harus kami periksa terlebih dulu...!" kata salah seorang laki-laki cebol berperut buncit itu.
"Apalagi dia merupakan gadis yang sangat cantik, Ketua...!" celetuk beberapa orang anggotanya dengan maksud cabul.
"Kalian pikir semudah itukah melakukannya...! Ketahuilah oleh kalian bahwa sekarang ini aku dalam keadaan tergesa-gesa. Apalagi mengingat sahabatku yang sakit dan hampir kelenger ini. Maka lebih baik kalian biarkan kami lewat...!"
Tiga orang laki-laki cebol yang menjadi pimpinan lebih dari dua puluh orang laki-laki bersenjata ruyung itu kelihatan saling berpandangan sesamanya untuk beberapa saat lamanya. Lalu secara serentak mereka memperhatikan pemuda yang berada di atas bahu gadis itu. Dan mereka jadi terkesima ketika melihat sebuah periuk mustika menggelantung di bagian pinggang pemuda itu.
"Bocah... siapakah engkau ini. Dan siapa pula pemuda yang kau gendong itu?" tanya salah seorang dari laki-laki berbadan cebol itu curiga.
"Aku... he... he... he! Aku hanya muridnya seorang manusia sesat. Sedangkan pemuda ini tidak lain dan tidak bukan merupakan orang sinting yang kutemukan di tengah jalan...!"
"Bohong...! Kau tidak dapat membohongbohongi kami. Pemuda yang turut bersamamu itu pastilah, orang yang telah membunuh golongannya sendiri. Dia pasti Pendekar Hina Kelana...!"
Pertiwi tentu merasa terkejut sekali dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang Elang Emas. Karena pada dasarnya ia sendiri bersama gurunya sedang mencari-cari orang yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu. Dalam rasa kepenasarannya itu, Pertiwi tiba-tiba saja bertanya, "Bagaimana kalian bisa mengetahui kalau pemuda yang dalam keadaan terluka ini Pendekar Hina Kelana...?" tanya Pertiwi dengan hati berdebar-debar.
Tiga orang laki-laki bersenjata ruyung raksasa dan berbadan cebol ini kembali tergelak-gelak.
"Di kolong langit ini hanya orang yang mempunyai gelar Pendekar Hina Kelana saja yang membawa-bawa periuk nasi ke manapun ia pergi...!" jawab orang-orang itu merasa begitu yakin.
"Kau yang berada dalam gendonganku. Benarkah apa yang dikatakan oleh orang-orang cebol ini...!" bentak gadis itu pada Buang Sengketa.
"Katakan saja pada mereka. Jika mereka beranggapan bahwa orang sepertiku ini yang telah membunuh dan melakukan teror terhadap golongan putih dan hitam. Maka lebih baik cepat-cepat menarik ucapannya. Karena sekarang ini ada orang yang sengaja menyebarkan fitnah untuk mencelakakan orang yang bergelar Pendekar Hina Kelana itu...!" kata Buang Sengketa tandas.
"Nah kalian telah mendengar sendiri apa yang baru dikatakan oleh kawanku. Lebih baik kalian menyingkirlah...!" perintah Pertiwi merasa tidak sabar lagi.
"Orang lain mungkin dapat saja kalian bohongi. Namun kami orang-orang Elang Emas tidak sebodoh itu. Bocah cantik, kau boleh pergi dari sini sesuka hatimu, asal kau tinggalkan pemuda itu untuk kami...!" tukas salah seorang laki-laki cebol berkumis lebat dan berambut riap-riapan itu.
"Mana bisa. Kawanku yang tolol ini sedang terluka. Mana mungkin aku tega menyerahkannya pada kalian begitu saja...!"
"Kalau begitu kalian berdua memang perlu di ringkus...!" geram laki-laki cebol.
"Eeh... apa salah kami...?" Pertiwi membentak.
"Kesalahan kalian... coba tanyakan saja pada pemuda itu...!" sergah salah seorang dari mereka dengan perasaan jengkel.
"Kalian hanya mengada-ada dan jangan bermimpi aku mau menyerahkan pemuda ini pada kalian...!"
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu. Hemm... rupanya kau lebih suka melindungi seorang pembunuh dari pada menjaga keselamatan sendiri. Anak-anak... ringkus mereka...!" perintah si cebol berkumis pada seluruh anggotanya.
"Pemuda gendeng dalam gendonganku. Apakah luka dalammu masih belum sembuh juga?" tanya Pertiwi sambil berusaha menghindari serangan sekian banyak orang yang mempergunakan senjata ruyung dalam usahanya meringkus gadis itu.
"Sakit sih sakit... tapi kurasa kalau cuma menggebuk tikus-tikus penasaran. Aku pikir apa sulitnya...!"
"Jangan sombong! Ruyung mereka sewaktuwaktu dapat meremukkan batok kepalamu..." kata gadis itu masih terus memanggul tubuh Buang Sengketa sambil melakukan serangan-serangan balasan. Di kesempatan Buang Sengketa yang sudah tidak sabar lagi melihat pertempuran itu segera melesat dari bahu Pertiwi. Tubuhnya berjumpalitan. Kemudian mendarat dengan baik di atas cabang pohon. Apa yang dilakukan oleh si pemuda sebenarnya membuat gadis itu menjadi marah. Karena ia beranggapan bahwa Buang Sengketa ternyata berpura-pura sakit. Padahal luka dalam yang sesungguhnya mungkin saja sudah sembuh.
"Wah... bocah edan... kubilang kalau lagi sakit tidak usah ke mana-mana. Ee... tidak tahunya malah nekad kabur. Aha... apakah kau merasa takut dengan para badut bersenjata ruyung ini? Kalau takut, baiknya kita hajar mereka...!" berkata begitu Pertiwi segera mempergunakan segenap ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sekarang tanpa beban di pundaknya. Dalam waktu sebentar saja pengeroyoknya dibuat terperangah tidak percaya. Sampai pertempuran berlangsung empat puluh jurus. Para pengeroyoknya itu jangankan dapat menangkapnya. Sedangkan menyentuh bajunya saja mereka tidak punya kemampuan. Keadaan seperti ini tentu saja membuat tiga laki-laki cebol yang menjadi pemimpinnya marah sekali.
"Pada tolol semuanya. Ringkus betina keparat itu. Biarkan kami meringkus monyet yang berada di atas pohon itu...!" belum lagi mereka selesai berkata. Tahu-tahu tiga orang cebol itu melepaskan pukulannya mengarah pada batang pohon yang dijadikan tempat berpijak oleh Buang Sengketa. Spontan, serangkum cahaya berwarna biru dan menebarkan hawa panas luar biasa. Buang Sengketa menyadari betapa berbahayanya pukulan yang dilepaskan oleh para manusia cebol ini. Maka sebelum pukulan ini sampai pada sasarannya. Pemuda itu sudah mengempos tubuhnya bergerak cepat meninggalkan dahan pohon yang sekarang telah hancur berkeping-keping dilanda pukulan maut itu
"Hebat... benar-benar hebat sekali...!" puji Buang Sengketa begitu menjejakkan kakinya di atas permukaan tanah.
"Keparaat... kau harus berani berterus terang. Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Hina Kelana...?" tanya laki-laki cebol berperut buncit sambil memperhatikan Buang Sengketa dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Betul...! Tapi aku bukan Pendekar Hina Kelana palsu yang telah banyak membunuh orang dan menyebar teror di mana-mana...!"
"Bagaimana kami dapat mempercayaimu...! Kalau kau memang betul Pendekar itu, semua sudah jelas bagi kami. Bahwa selama ini kaulah yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu...!" bentak laki-laki cebol itu dengan pandangan berapi-api.
"Kalian tidak pernah tahu siapa aku dan siapa pula yang memfitnah aku. Lebih baik kalian tidak melakukan tuduhan keji sebelum tahu betul siapa yang telah melakukan fitnah dengan memakai namaku itu...!"
"Tidak akan ada orang yang dapat mempercayaimu. Lebih baik kau serahkan saja kepalamu kepada kami...!" teriak ketiga laki-laki cebol itu sambil menghantamkan ruyung besar di tangan mereka ke bagian kepala dan leher Pendekar Hina Kelana. Sementara itu tidak henti-hentinya mereka melepaskan pukulan jarak jauhnya dalam usahanya mendesak pemuda itu.
Pemuda itu menyadari sepenuhnya dia tidak mungkin hanya melakukan pertahanan semata tanpa ada usaha untuk menjatuhkan mereka. Karena walau bagaimanapun orang-orang perguruan Elang Emas itu jelas-jelas menginginkan jiwanya. Kalaupun ia tetap mengambil kesimpulan untuk tetap bertahan. Maka cepat atau lambat mungkin saja ia bakal mengalami nasib celaka.
Namun jika saja ia sampai menjatuhkan korban. Hal ini jelas membawa kesan bahwa dirinya memang benar yang telah melakukan teror di manamana.
Terjerat oleh belenggu keragu-raguan itu. Buang Sengketa yang sering kali melirik ke arah Pertiwi yang nampak mulai menjatuhkan lawanlawannya. Di suatu kesempatan yang kurang menguntungkan pemuda ini lepas kontrol. Si cebol kumis tebal yang menyerang dari bagian rusuk kiri berhasil mendaratkan pukulannya.
Buuk!
Dua kali pukulan berturut-turut secara telak dan keras membuat Buang Sengketa terhuyunghuyung. Pertiwi yang sempat melihat kejadian yang dialami oleh pemuda yang sangat disukainya nampak khawatir sekali.
"Badut-badut cebol. Awas kalian semua. Jika sampai kawanku itu mengalami hal-hal yang tidak diingini. Kalian semua akan kugantung...!" sambil berteriak-teriak seperti itu. Pertiwi tidak segan-segan menurunkan tangan mautnya terhadap muridmurid perguruan Elang Emas yang bersenjata ruyung itu.
Korban demi korban pun berjatuhan. Melihat apa yang dilakukan oleh perempuan cantik itu sebenarnya Buang merasa tidak setuju. Tapi ia pun merasa tidak ingin mempengaruhi gadis seorang murid tokoh sesat itu dengan kemauannya sendiri.
"Hiaaaa...!"
Dengan disertai satu bentakan tinggi melengking tubuh pemuda itu melesat di udara. Tapi serangan ketiga laki-laki cebol itu cepatnya bukan main. Kemana pun Buang Sengketa berusaha menghindar, ke situ serangan ruyung raksasa itu memburunya. Kenyataan seperti ini tentu saja tidak menguntungkan posisi si pemuda. Dengan mempergunakan jurus si Jadah Terbuang dan dipadukan dengan jurus silat tangan kosong si Gila Mengamuk. Tubuh pemuda itu kemudian berkelebat cepat menghindari setiap serangan lawan yang datangnya tidak dapat diduga-duga itu. Tiga tokoh perguruan Elang Emas itu dalam beberapa jurus di depan nampak menjadi bingung. Ke manapun mereka berusaha menyerang si pemuda, namun mereka selalu tidak dapat menghantam sasarannya sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan mereka merasa bahwa pihak lawannya memiliki gerakan tidak ubahnya bagai setan gentayangan. Hal-hal seperti ini tentu saja semakin lama membuat tiga laki-laki cebol itu menjadi jengkel dan frustasi. Dengan cepat mereka segera mempergunakan senjata andalannya yang berupa ruyung raksasa. Terdengar suara bercuitan saat senjata yang dapat mengembang dan menguncup itu menderu ke arah Buang Sengketa.
Pendekar ini terpaksa berlompatan mundur saat merasakan adanya sambaran hawa panas menerpa kulitnya. Dengan gerakan-gerakan yang sangat sulit diikuti penglihatan biasa. Buang Sengketa terus bergerak mundur. Keadaan seperti ini jelas-jelas menguntungkan posisi lawannya. Karena dengan begitu mereka dapat leluasa menyabetkan senjatanya mencecar bagian tubuh lawannya dari berbagai penjuru. Dalam pada itu Pertiwi yang baru saja menyudahi pertempuran dengan seluruh murid-murid perguruan Elang Emas, nampak sudah menyarungkan senjatanya kembali. Hampir seluruh orang-orang perguruan Elang Emas tewas di tangan gadis berwatak kejam itu.
"Orang berperiuk. Jika kau benar-benar Pendekar Hina Kelana... mengapa hanya menghadapi orang-orang Elang Emas saja kau hanya mampu melompat-lompat kayak monyet kesetanan...?" ejek gadis itu dengan posisi bertolak pinggang.
"Aku hanya ingin membuktikan pada mereka. Bahwa selama ini aku tidak pernah berbuat nekad dengan membunuhi orang-orang yang tidak bersalah...!" kata pemuda itu sambil terus menghindari serangan ruyung-ruyung maut di tangan lawannya.
"Kalau kau tetap berbuat tolol seperti itu, lama kelamaan kau pasti mampus di tangan badutbadut cebol itu...!" teriak Pertiwi merasa sangat kesal sekali melihat kesabaran si pemuda. Sementara lawan-lawannya bagai orang yang tidak memiliki dasar pertimbangan dan pikiran terus saja melakukan serangan-serangan gencar. Padahal mereka sendiri sebenarnya menyadari sepenuhnya, jika saja pemuda itu mempunyai maksud menjatuhkannya. Tentu hal ini dapat dilakukannya sejak tadi.
"Orang-orang cebol manusia laknat...! Kuperintahkan pada kalian untuk menyudahi pertempuran. Jika tidak... jangan salahkan aku... jika aku harus membunuh kalian...!" teriak pemuda itu dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
"Siapa sudi menyudahi pertarungan. Terkecuali kau telah mampus di tanganku...!" dengus salah seorang dari mereka. Mendengar ini bukan Pendekar Hina Kelana yang menjadi panas hatinya. Tetapi Pertiwi. Ya... gadis itu memang sangat gusar sekali dengan kebandelan tiga orang laki-laki yang dihadapi oleh Pendekar Hina Kelana. Padahal secara jelas ia dapat mengetahui bahwa kemampuan yang dimiliki oleh pemuda itu jauh berada di atas para lawan-lawannya. Tapi karena pemuda itu terus bersikap mengalah. Maka habislah sudah kesabaran yang dimiliki oleh gadis berwajah rupawan itu. Tidak ayal lagi, dengan diawali satu teriakan tinggi melengking Pertiwi segera menerjang tiga laki-laki cebol itu. Bahkan dengan senjata andalannya yang berupa pedang. Gadis itu menggempur orang-orang yang dianggapnya tidak tahu diri dengan tusukan-tusukan ganas senjata di tangannya.
"Kalau kau merasa tidak sampai hati untuk membabat kepala orang-orang yang tidak tahu adat. Silahkan menyingkir... biar aku yang akan mencabut kepala mereka dari badannya...!"
"Lebih baik jangan kau campuri urusanku...!"
"Jangan gegabah... salah-salah akupun akan memenggal kepalamu yang sangat pengasihan itu...!"
Pendekar Hina Kelana akhirnya terdiam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tidak memperkeruh suasana akhirnya Buang Sengketa melompat mundur. Sedangkan tiga orang laki-laki berbadan cebol itu segera mengurung Pertiwi. Dengan mempergunakan jurus pedang Tarian Bidadari, gadis berwajah rupawan ini melayani permainan ruyung lawan-lawannya dengan gerakangerakan yang sangat lincah sekali. Sebaliknya tiga laki-laki cebol ini rupanya bukan lawan yang dapat dipecundangi dengan mudah. Beberapa kali serangan ganas lawan hampir saja menghajar bagian punggung dan dada Pertiwi. Sejauh itu si gadis masih mampu mengelakkannya dengan baik. Namun dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya Pertiwi kena batunya. Serangan ruyung dari si cebol berkumis menghantam bagian bahunya.
Breet...!
"Aughk...!" gadis itu jatuh terguling-guling. Sementara tiga orang lawan begitu melihat keadaan si gadis berebut memburunya. Bahkan dengan beringas mereka bermaksud menghabisi lawannya.
Pada saat-saat yang sangat kritis itu. Buang Sengketa langsung bertindak cepat. Dengan mempergunakan beberapa buah batu, pemuda itu dengan mempergunakan setengah tenaga dalam yang dimilikinya ia menyambitkan batu-batu itu tepat pada sasarannya.
Tuuuk...!
Tiga kali berturut-turut batu-batu yang disambitkan oleh si pemuda mencapai sasarannya. Ruyung di tangan mereka terlepas, sementara tangan mereka terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Dan ketika batu-batu berikutnya menimpa punggung mereka. Maka semakin bertambah terkejutlah ketiga orang cebol dari perguruan Elang Emas itu. Karena mereka segera merasakan tubuh mereka kaku dan sulit untuk digerak-gerakkan. Melihat Buang Sengketa telah bertindak membantunya. Pertiwi dengan pedang terhunus bangkit berdiri dan berniat menghabisi lawan-lawannya yang sedang dalam keadaan tidak berdaya itu. Tetapi dengan gerakan kilat si pemuda telah menghadang langkahnya. Masih untung Pertiwi segera membelokkan arah senjatanya. Jika tidak tentu saja pedang di tangan gadis itu menembus dada pemuda yang telah membuatnya jatuh cinta itu.
"Mengapa kau malah melindungi mereka...!" bentak gadis itu tanpa dapat menyembunyikan kemarahannya.
"Aku tidak ingin dunia persilatan semakin benci padaku karena teror-teror yang tidak beralasan itu. Apalagi jika mereka sampai tewas di tanganku. Pasti orang-orang tidak tahu duduk persoalan yang sebenarnya tetap beranggapan akulah orang yang telah membunuh tokoh golongan putih dan hitam...!" kata si pemuda beralasan.
"Oh. Jadi kau benar-benar orang yang punya julukan Pendekar Hina Kelana itu?" tanya Pertiwi dengan kedua mata membelalak lebar.
"Sejujurnya kuakui, bahwa akulah orangnya. Tetapi yang paling penting untuk diketahui oleh orang Iain. Bahwa ada orang-orang tertentu yang sedang melancarkan fitnah padaku...!"
Pertiwi nampak terdiam beberapa saat lamanya. Sementara pandangan matanya tidak henti-hentinya memperhatikan pemuda yang telah mencuri hatinya itu.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah melakukannya...?" tanya gadis itu ragu-ragu.
"Sudah kukatakan bahwa aku sedang menyelidikinya...!"
"Kuharap kau tidak sedang bersandiwara...?" kata gadis itu berubah serius.
Buang Sengketa tersenyum getir.
"Apakah aku punya tampang menjadi orang sepengecut yang kau perkirakan...?" tukas si pemuda tanpa ekspresi.
"Aku tidak tahu. Cuma asal kau tahu saja, aku punya tugas membunuhmu. Jika di kemudian hari, ternyata kau orang yang kau sebut-sebut sebagai pendekar gadungan itu...!" ancam Pertiwi.
"Untuk sebuah kebenaran aku tidak segansegan mempertaruhkan nyawaku...!"
Pertiwi menganggukkan kepalanya. Sebentar ia memperhatikan tiga laki-laki yang masih dalam keadaan tertotok kaku.
"Sekarang kau hendak ke mana...?" tanya gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari orang-orang Elang Emas.
"Aku harus mencari manusia palsu yang telah membuat rusak nama baikku...!"
"Lalu badut-badut cebol itu bagaimana...?"
"Biarkan saja... tokh nantinya mereka juga akan terbebas dengan sendirinya dari pengaruh totokan itu...!"
"Kalau begitu mari kita tinggalkan mereka...!" kata Pertiwi lalu melangkah pergi.
"Tuan dan Nona...! Tolong bebaskan totokan ini...!" si cebol berperut buncit berteriak-teriak penuh permohonan. Tetapi kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya.

 



--₪¦ « 10 » ¦₪--

Setelah sekian lama melakukan pengejaran dan menelusuri jejak si Burung Hantu. Iblis Liang Kubur akhirnya merasa kecewa saja. Dalam hati ia merasa heran sendiri mengapa orang yang dikejarnya itu lenyap begitu saja. Seolah-olah hilang raib di telan bumi. Padahal seingatnya dalam hal ilmu lari sekalipun Iblis Liang Kubur merasa tidak kalah cepat dengan ilmu lari yang dimiliki sahabatnya itu. Iblis Liang Kubur akhirnya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya selanjutnya. Kejadian demi kejadian yang dialaminya membuat kepalanya berdenyut-denyut sakit. Bagaimana tidak. Mula-mula murid tunggalnya yang memiliki kecantikan luar biasa itu hilang begitu saja. Bahkan hingga sampai saat itu ia masih belum mengetahui bagaimana kabar beritanya. Kemudian, ketika ia mulai menemukan jalan dan berusaha menyelidikinya. Satu-satunya orang yang begitu dekat dengan dirinya hilang begitu saja. Merasa bingung sendiri akhirnya Iblis Liang Kubur jatuh terduduk di atas batu. Beberapa kali dari atas perbukitan yang cukup tinggi itu, Iblis Liang Kubur mengitarkan pandangan matanya ke segenap daerah di sekelilingnya. Namun sampai sejauh itu. Ia tidak melihat adanya tanda-tanda yang membuatnya curiga.
"Ah, sial betul nasib ini. Entah nasibku yang sial atau malah nasib muridku. Atau nasib si Burung Hantu yang lebih sial... aku tidak tahu. Yang membuat aku tidak mengerti apakah semua ini hasil pekerjaan pendekar sialan itu. Atau ia sengaja menculik muridku...? Kalau betul, kemana pula perginya si Burung Hantu. Atau orang itu juga dijadikan sandera oleh Pendekar Hina Kelana? Kalau betul untuk apa? Kalau manusia keparat itu sengaja membiarkan muridku hidup, hal itu masuk di akal. Tetapi kalau si Burung Hantu yang dibiarkannya hidup, untuk apa. Bukankah mereka sama-sama memiliki pedang keramat... oh... oh... kiamatkiamat...!" Iblis Liang Kubur meracau sendiri bagai orang linglung.
Dalam keadaan serba tidak menentu seperti itu, mendadak Iblis Liang Kubur mendongakkan kepalanya. Lalu perhatiannya langsung tertuju pada satu arah, di mana ia mendengar denting beradunya suara senjata tajam. Iblis Liang Kubur hanya dalam sekelebatan saja sudah dapat memastikan sedang terjadi pertempuran tidak jauh dari tempat ia berada.
Akhirnya tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh laki-laki tua itupun melesat cepat mendekati tempat terjadinya pertempuran. Setelah sampai di tempat itu, benar saja dugaannya. Beberapa orang laki-laki sedang mengeroyok seorang pemuda bertopi lebar dengan mempergunakan berbagai jenis senjata.
Sementara di sekitar tempat itu, mayat-mayat terlihat bergeletakan tumpang tindih. Orang-orang yang tewas itu jumlahnya mencapai puluhan orang. Dan apabila Iblis Liang Kubur memperhatikan mereka yang sedang terlibat pertempuran, maka terbelalaklah kedua matanya. Bagaimana tidak. Pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan yang sangat sulit diikuti oleh mata biasa dalam mempergunakan senjatanya. Bahkan boleh dikata pemuda bertopi lebar itu memiliki kecepatan menggerakkan senjatanya dua kali kecepatan suara. Bahkan Iblis Liang Kubur sendiri sampai tidak dapat memastikan jenis senjata yang dipergunakan oleh pemuda itu dalam membunuh lawan-lawannya karena sedemikian cepatnya senjata itu berkelebat.
Dalam waktu sekedipan mata saja, lawanlawan si pemuda yang tadinya sempat melakukan perlawanan sengit, sekarang sudah bergelimpangan roboh bermandikan darah.
Sekarang setelah mereka-mereka itu tewas keseluruhannya hingga tidak bersisa lagi. Maka pemuda bertopi lebar itu pun tertawa tergelak-gelak. Dengan perasaan puas dipandanginya mayat-mayat bergelimpangan itu satu demi satu. Hampir seluruh korban yang berjatuhan itu kesemuanya menderita luka di bagian pangkal leher dan perutnya. Lagi-lagi pemuda bertopi lebar itu memperdengarkan suara tawanya yang terasa menggidikkan bulu kuduk yang mendengarnya.
"Ha... ha... ha...! Tidak seorang pun dapat menandingi kecepatanku dalam mempergunakan senjata. Akulah si Pedang Kilat yang tidak memiliki tanding. Lebih dari itu hingga sampai saat ini tidak seorang pun yang tahu bahwa orang yang menyebut dirinya dengan si Hina Kelana akulah orangnya. Aha... ha... ha...! Kasihan sekali pendekar tangguh yang berjuluk si Hina Kelana itu. Karena ia harus rela menjadi buronan para kaum persilatan. Yang lebih celaka lagi, hingga sampai saat ini dia masih juga belum mengetahui siapa sebenarnya yang telah melancarkan fitnah kepadanya itu...!" kata pemuda bertopi lebar yang tidak lain merupakan si Hina Kelana palsu, dengan suara lantang.
Dari tempat persembunyiannya Iblis Liang Kubur yang sempat mendengarkan semua apa yang dikatakan oleh pemuda bertopi lebar itu sempat terbelalak tak percaya. Baru sekaranglah ia tahu, rupanya pemuda itulah yang sedang menjalankan fitnah pada Pendekar Hina Kelana. Itu berarti ia memiliki dendam tersendiri pada pendekar yang sekarang menjadi buronan kaum persilatan itu.
"Yang lebih celaka lagi adalah Iblis Liang Kubur. Sampai saat ini dia tidak tahu siapa yang telah melarikan muridnya yang cantik itu. Padahal aku sendiri hampir saja berhasil... ha... ha... ha...! Kalau saja tidak muncul bayangan merah itu, sudah pasti saat itu juga aku berhasil mencicipi kehangatan tubuhnya...!" lanjut pemuda bertopi lebar itu lalu tertawa-tawa kembali
Apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda itu kali ini benar-benar bagai sambaran petir di siang bolong. Sama sekali ia tidak menyangka, kalau pemuda itulah yang hampir saja mencelakai muridnya sendiri. Sampai sejauh itu akhirnya ia dapat menyimpulkan sedikit banyaknya tentu saja pemuda itu tahu siapa yang telah melarikan muridnya. Berpikir sampai ke situ, tiba-tiba Iblis Liang Kubur melesat cepat dari tempat persembunyiannya.
Jligkh...!
Dengan tepat Iblis Liang Kubur mendaratkan kakinya persis di depan si pemuda bertopi lebar itu. Melihat kemunculan Iblis Liang Kubur yang tiada di duga-duga itu. Sudah barang tentu membuat pemuda itu menjadi terkejut.
"Kau, Iblis Liang Kubur...!" serunya spontan. Apa yang dikatakan oleh pemuda itu tentu saja membuat laki-laki berpakaian tambal-tambal itu sangat kaget. Bagaimana mungkin pemuda itu dapat mengenalinya. Iblis Liang Kubur nampak mengerutkan keningnya. Tapi sedetik berikutnya wajahnya yang penuh keriput itu menjadi merah padam ketika Iblis Liang Kubur merasa mengenali suara pemuda itu.
"Keparaat. Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana yang telah melakukan pembunuhan demi pembunuhan itu...!" bentak Iblis Liang Kubur berpura-pura tidak mengenali siapa orang yang memakai topi lebar itu.
"Betul akulah orangnya...!" jawab si pemuda yang menyangka lawan bicaranya benar-benar tidak mengenal siapa dia.
"Hemm. Kau tadi ada menyebut-nyebut bahwa kaulah orangnya yang hampir saja memperkosa muridku. Apakah itu juga betul...?" ejek kakek berpakaian tambal-tambal itu sambil tersenyum sinis.
"Ha... ha... ha...! Kau rupanya telah mendengarkan semuanya, Iblis Liang Kubur. Itu berarti kau juga telah mengetahui siapa diriku ini...?" bentak pemuda bertopi lebar tersebut dengan kemarahan tertahan-tahan.
"Betul... aku tahu siapa kau sebenarnya Pendekar Hina Kelana palsu. Dalam sehari kau bisa saja mengganti penampilanmu dengan seribu satu macam topeng yang dapat kau ciptakan dengan mudah. Tetapi kau tetap menemukan kesulitan untuk merobah suaramu, Burung Hantu...!"
"Heh... jadi kau benar-benar dapat menebak wajah tua di balik topeng ini?" kata pemuda yang selama ini telah menyebarkan teror dengan mengatakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana.
"Aku telah mengenal dirimu sebagai mana aku mengenal telapak tanganku sendiri, Burung Hantu. Hanya saja aku memang tidak menyadari kemajuan yang kau peroleh dalam hal mempergunakan pedang. Sebagai seorang sahabat. Satu yang selalu kusesalkan. Mengapa kau begitu tega dan punya niat hendak memperkosa murid sahabatmu sendiri?" tanya Iblis Liang Kubur seolah menyesalkan tindakan sahabatnya yang dinilainya sebagai satu tindakan yang sangat gegabah.
"Semua itu tidak perlu kau tanyakan padaku, Iblis Liang Kubur. Meskipun kau sahabatku, tokh kau telah tahu bagaimana kebiasaanku sejak dulu...!"
"Keparaat... jika kau berani merusak nama baik sahabat sendiri, apa gunanya sebuah persahabatan. Burung Hantu... cepat kau katakan di mana kau sembunyikan muridku...?" teriak Iblis Liang Kubur dengan kemarahan meluap-luap.
"Sudah kukatakan aku gagal menggauli muridmu itu. Sekarang aku tidak tahu ia berada di mana? Atau mungkin saja ia telah menjadi istri Pendekar Hina Kelana." jawab si Burung Hantu memanas-manasi sahabatnya.
"Kau jangan berpura-pura, Burung laknat. Kaulah pendekar palsu yang telah menjatuhkan nama baik Pendekar Hina Kelana. Ah... menyesal sekali mengapa baru sekarang aku mengetahuinya. Andai saja sejak dulu aku tahu tentang tabiatmu yang jelek itu. Mungkin aku tidak akan pernah menaruh kepercayaan padamu...!"
"Semua sudah terlambat sobat. Lagipula karena di kolong langit ini hanya kau seorang yang tahu siapa aku yang sebenarnya. Maka untuk melancarkan jalan usahaku dalam menjebak Pendekar Hina Kelana. Walau bagaimanapun aku harus membunuhmu...!" kata si Burung Hantu yang saat itu merobah penampilannya sebagai seorang pemuda tampan.
"Kau tidak mungkin mampu mengalahkan aku begitu saja, Burung Hantu. Aku kenal betul dengan segala jenis jurus-jurus silatmu...!" Iblis Liang Kubur tersenyum mengejek. Tapi dengan sikap tenang dan penuh percaya diri. Burung Hantu malah berkata sinis.
"Kau tidak akan mampu menandingi jurusjurus pedang hasil ciptaanku yang terakhir...!"
"Setan alas...! Terhadap manusia semacamku ini. Jangan coba-coba menggertakku." kata Iblis Liang Kubur. Kemudian tanpa berkata-kata lagi. Laki-laki tua berpakaian tambal-tambal ini segera menyerang si Burung Hantu dengan jurus-jurus silat andalan yang sudah tidak asing lagi bagi si Burung Hantu. Pertempuran dua tokoh sesat tingkat tinggi itu berlangsung seru dan menegangkan. Menyadari betapa hebatnya jurus-jurus baru hasil ciptaan si Burung Hantu. Maka sejak awal Iblis Liang Kubur telah mempergunakan pukulanpukulan andalan yang dimilikinya. Bahkan saat itu Iblis Liang Kubur telah mempergunakan pukulan 'Segara Geni" yang luar biasa kehebatannya itu. Si Burung Hantu sudah barang tentu hapal betul dengan pukulan andalan yang dipergunakan oleh bekas sahabat baiknya itu. Dengan cepat ia segera pula mempergunakan pukulan 'Menguak Tabir Kegelapan' yang juga merupakan pukulan andalan yang dimiliki oleh si Burung Hantu. Begitu masingmasing lawan melambaikan tangannya ke depannya. Maka detik itu juga serangkum gelombang berhawa dingin menderu ke arah Iblis Liang Kubur. Sebaliknya kakek tua renta itu mendorongkan tangannya ke depan. Maka serangkum gelombang berwarna putih kebiru-biruan menderu deras memapaki serangan si Burung Hantu yang membuat menggigil tulang belulang laki-laki itu.
Bldaaar...!
Tidak dapat dihindari lagi, dua pukulan yang teraliri tenaga sakti itupun saling bertemu di tengah jalan. Baik Iblis Liang Kubur maupun si Burung Hantu sama-sama terjengkang tiga tombak. Masingmasing lawan mengalami luka dalam yang cukup lumayan. Tetapi dengan cepat mereka menghimpun hawa murninya kembali untuk menyembuhkan luka dalam yang mereka derita. Tidak lama kemudian setelah menyeka darah yang mengalir di sudutsudut bibirnya. Baik Burung Hantu maupun Iblis Liang Kubur telah saling berhadapan kembali.
"Kau tidak mungkin menang berhadapan dengan aku, Burung Hantu...!" bentak Iblis Liang Kubur dengan mata mencorong merah.
"Kau belum melihat bagaimana cepatnya pedangku melubangi tenggorokan lawannya...!" dengus sinis si Burung Hantu.
Burung Hantu segera menghimpun tiga seperempat tenaga dalamnya ke bagian telapak tangannya. Tidak lama setelah itu tubuh laki-laki bertopeng itupun nampak menggeletar hebat. Bahkan tidak lama setelah itu, kabut tipis mulai menyelimuti tubuh si Burung Hantu. Sedangkan telapak tangannya yang terus menebarkan bau busuk itu mulai berubah warna menjadi merah bara.
"Kidung Kematian...!" seru Iblis Liang Kubur dengan mata membelalak. Sekarang laki-laki tua itu sadar sepenuhnya bahwa si Burung Hantu benarbenar menghendaki jiwanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Iblis Liang Kubur juga langsung merentangkan kepalanya tinggi-tinggi di atas kepala.
Selanjutnya tubuh laki-laki itu berputar kencang tidak ubahnya bagai sebuah ganging. Lalu dari tubuh yang berputar-putar itu berhembuslah angin kencang yang sangat dahsyat sekali. Ketika si Burung Hantu melihat apa yang dilakukan oleh lawannya. Maka sekarang ia pun sadar, bahwa Iblis Liang Kubur sedang mengerahkan ajian Bayu Pati, yang dikenalnya sebagai sebuah ajian yang sangat luar biasa itu.
Weeer... Deer... Blaaam...!
Suara angin ribut bercampur dengan ledakan-ledakan yang keras dan terasa memekakkan gendang-gendang telinga ketika masing-masing kekuatan sakti itu saling gilas dan beradu secara terus menerus. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sekitar tempat pertempuran itu menjadi porak poranda.

 



--₪¦ « 11 » ¦₪--

Si Burung Hantu benar-benar merasa kewalahan mendapat serangan gencar seperti ini. Berkali-kali tubuhnya jatuh bangun menghindari serangan-serangan Iblis Liang Kubur yang terus mengejarnya kemanapun ia berusaha menghindar. Sampai pada satu keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi laki-laki yang sangat ahli dalam penyamaran itu.
Breet...! Tendangan kaki dan pukulan tangan yang terus berputar-putar itu membuat si Burung Hantu jatuh tersungkur dengan menderita luka memar di bagian punggungnya. Melihat kenyataan ini Iblis Liang Kubur bermaksud mengakhiri dengan satu tendangan berputar. Namun pada saat-saat yang sangat kritis bagi keselamatan jiwanya sendiri. Si Burung Hantu serta merta mencabut pedang pusakanya. Begitu ia memutar senjata itu dengan kecepatan tinggi. Maka Iblis Liang Kubur yang sedang dalam keadaan posisi berputar-putar itu segera merasakan sambaran hawa dingin yang menusuk pori-pori kulitnya. Dengan cepat kakek tua ini mencoba menarik balik tendangan kakinya. Tapi di luar dugaan laki-laki tua itu. Gerakan kilat yang dilakukannya masih kalah cepat dengan babatan pedang yang dilakukan oleh si Burung Hantu. Tidak dapat dihindari lagi.
Craaas...!
"Arggkh...!" Iblis Liang Kubur menjerit-jerit setinggi langit. Bagian kakinya sebatas mata kaki terbabat putus oleh ketajaman mata pedang si Burung Hantu. Dengan gerakan cepat ia segera menotok jalan darah untuk mencegah pendarahan lebih banyak lagi. Melihat apa yang dialami oleh lawannya si Burung Hantu langsung tergelak-gelak.
"Kau harus mati ditanganku, Iblis Liang Kubur...!" desis si Burung Hantu sambil memandang tidak berkedip pada Iblis Liang Kubur yang nampak jatuh terduduk tidak jauh di hadapannya.
"Aku tidak takut, meskipun kau memiliki kecepatan dalam mempergunakan ilmu pedang, Burung laknat. Walau kau mau membunuhku, cepat kau lakukan sekarang juga." kata Iblis Liang Kubur tanpa mengenal takut sedikitpun juga
"Baik... baik sekarang kau bersiap-siaplah untuk mampus...!" kata si Burung Hantu. Lalu dengan disertai jeritan tinggi melengking tubuh lakilaki itu melesat cepat dengan senjata terhunus mengarah bagian dada lawannya. Tapi sebelum niatnya itu kesampaian. Dari arah yang berlawanan meluncur sebuah benda berwarna hitam berkilatkilat. Dengan telak benda hitam itu menghantam bagian pergelangan tangan si Burung Hantu.
"Uhh...!" si Burung Hantu memekik keras sambil memegangi tangannya yang terasa berdenyut-denyut sakit.
Ketika si Burung Hantu memandang ke sekeliling tempat itu. Maka terlihatlah olehnya seorang pemuda berpakaian serba merah dan seorang gadis cantik yang sudah sangat dikenalnya. Begitu melihat si Burung Hantu dan Iblis Liang Kubur, Pertiwi langsung berteriak lantang.
"Inilah kunyuknya yang hampir memperkosa aku tempo hari, Kelana…! Hei, bahkan sekarang ia telah begitu berani membuntungi kaki guruku...!"
"Tidak salah lagi...! Pastilah dia orangnya yang telah memfitnahku dengan tindakantindakannya yang keji. Pertiwi... kau uruslah gurumu. Biarkan kunyuk di balik topeng ini aku yang mengurusnya...!"
Dengan menahan perasaan kesal, akhirnya Pertiwi menuruti apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa. Sementara pemuda itu sekarang telah berhadapan dengan si Burung Hantu.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana itu...?" ejek Buang Sengketa berusaha menahan kejengkelannya.
"Kau tidak perlu bertanya lagi, bocah gembel...! Tokh kau sudah tahu siapa orang yang kau maksudkan itu. Bukankah engkau sendiri...!"
"Hemm... kau tahu siapa aku. Tapi alangkah tidak bermalunya kau mempergunakan nama orang untuk melakukan kejahatan bahkan membuat rusak nama baikku. Apakah tujuanmu...?" tanya pemuda itu gusar sekali.
Di luar dugaan. Si Burung Hantu malah tertawa tergelak-gelak.
"Semua orang dalam hidupnya tentu saja menginginkan nama besar, sobat. Tetapi lebih dari sekedar itu, aku memang sengaja merusak nama baikmu untuk membalas sakit hati ini...!"
"Keparaat... kau jangan mengada-ada. Bertemu denganmu pun baru sekali ini!" kata pemuda itu semakin tidak sabar saja.
"Kau telah membunuh tiga orang saudara seperguruanku. Masihkah kau mau mungkir...?"
"Saudara seperguruanmu, kalaupun aku pernah membunuh orang. Pastilah mereka itu dari golongan kaum sesat." sentak pemuda itu seolah pada dirinya sendiri.
"Bagus kalau kau mau mengingatnya. Tentu kau tidak mungkin menyangkal bahwa kau telah membunuh saudara seperguruanku dari Pulau Berhala...?" tanya si Burung Hantu.
Buang Sengketa yang masih ingat betul tentang orang yang dimaksud oleh lawannya hanya menganggukkan kepalanya. (Untuk lebih jelasnya dalami Episode Tiga Iblis Pulau Berhala).
"Kalau begitu sekarang juga kau harus mampus di ujung pedangku...!" belum lagi si Burung Hantu selesai dengan kata-katanya. Tahu-tahu ujung pedang di tangannya telah berkelebat menyambar di depan hidung Buang Sengketa. Dengan cepat pemuda itu berjumpalitan ke belakang. Tapi pemuda itu memang harus mengakui betapa cepatnya permainan pedang lawannya itu. Karena baru saja ia dapat berdiri tegak. Tahu-tahu pedang itu telah menyabet ke bagian pundaknya.
Breet...!
"Iihhh...!" Buang Sengketa memekik tertahan. Bagian punggungnya sempat terobek besar dan mengalirkan darah. Pedih sekali rasanya bagian yang terluka itu. Masih untung Pendekar Hina Kelana merupakan orang yang kebal terhadap serangan racun. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia tersungkur roboh karena pedang di tangan si Burung Hantu itu sebenarnya mengandung racun yang sangat keji.
Sebaliknya begitu melihat lawannya terluka. Si Burung Hantu semakin bernafsu untuk segera menghabisi lawannya. Dengan ganas pedang di tangan Burung Hantu menyambar ke bagian-bagian tubuh si pemuda. Namun Buang Sengketa yang telah mengetahui kehebatan lawannya segera mempergunakan jurus silat tangan kosong, si Jadah Terbuang dan si Gila Mengamuk secara silih berganti. Tapi Buang Sengketa lambat laun segera menyadari bahwa melayani si Burung Hantu dengan mempergunakan tangan kosong sama saja artinya dengan mencari mati. Apalagi ketika sedetik berikutnya senjata di tangan Burung Hantu kembali menyambar bagian pangkal lengannya dan membuat luka memanjang.
Pendekar Hina Kelana nampak terhuyunghuyung. Darah semakin bertambah banyak yang keluar. Sementara itu Pertiwi yang merasa khawatir melihat keadaan si pemuda sudah bersiap-siap untuk melakukan pengeroyokan. Namun Iblis Liang Kubur mencegah niatnya itu.
"Biarkan saja... aku yakin pemuda itu tidak akan tinggal diam mendapat tekanan-tekanan dari lawannya. Apalagi lawan yang dihadapinya kali ini merupakan seorang lawan yang telah mencemarkan nama baiknya. Lebih baik kita tetap berada di tempat ini sambil menjaga segala kemungkinan...!"
Benar saja apa yang dikatakan oleh Iblis Liang Kubur. Karena tidak lama kemudian Buang Sengketa yang telah mengalami luka-luka itu segera mencabut senjata andalannya yang berupa golok buntung. Begitu senjata maut itu keluar dari sarungnya. Maka udara di sekitar tempat itu berubah dingin sekali. Sementara sinar merah menyala yang agak bercampur dengan warna kebiru-biruan nampak terpancar dari senjata itu. Baik si Burung Hantu ataupun Iblis Liang Kubur dan Pertiwi yang turut menyaksikan pertarungan itu nampak terperangah. Tapi mereka tidak dapat melihat lebih lama lagi. Karena ketika tubuh Buang Sengketa bergerak, maka terdengarlah suara raungan bagai puluhan suara raungan harimau terluka. Kemudian yang terlihat hanyalah sinar merah dan hitam yang berkelebat cepat dan saling menyambar. Sesekali terlihat pula pijaran bunga api setelah terdengar beradunya suara senjata mustika di tangan masing-masing lawannya.
"Traaang...!"
Dua senjata pusaka itu kembali saling beradu. Begitu kerasnya getaran dua senjata maut itu hingga menyebabkan senjata di tangan si Burung Hantu terlepas dari genggamannya. Tapi laki-laki ini rupanya tidak mau menyerah. Begitu melihat senjata pusakanya melayang entah ke mana. Ia segera mengambil senjata lainnya. Dengan mempergunakan senjata baru tersebut sekarang ia menggempur Buang Sengketa. Semakin lama serangan-serangan semakin bertambah cepat. Buang Sengketa akhirnya terdesak hebat. Bahkan beberapa kali sabetan senjata lawan berhasil menggores bagian kakinya. Buang Sengketa yang menyadari dirinya kalah cepat dalam mempergunakan senjata langsung mengadu senjatanya dengan senjata di tangan lawannya.
Traaang! Creeep...!
Senjata itu tiada disangka-sangka oleh Burung Hantu saling menempel. Hal ini tentu saja yang diharapkan oleh Pendekar Hina Kelana. Karena sedetik kemudian ia telah mengerahkan jurus Koreng Seribu untuk melumpuhkan lawannya. Mulailah si Burung Hantu merasakan keganjilan demi keganjilan. Mula-mula ketika ia mengerahkan tenaganya untuk menarik senjatanya yang saling melekat itu tidak mendatangkan hasil sama sekali. Bahkan semakin kuat ia menyalurkan tenaga dalam untuk membetot pedang miliknya. Ia merasakan ada kekuatan lain seperti menyentak-nyentakkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Sampai sejauh itu ia tidak menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi pada dirinya. Hingga sampai sepemakan sirih, barulah ia menyadari bahwa tenaganya telah berkurang jauh. Dan semua itu tentu saja membuatnya terkejut.
"Heaah...!"
Buang Sengketa menyentakkan senjatanya hingga terlepas. Si Burung Hantu terperangah merasakan tubuhnya yang terasa lemas sekali. Dalam keadaan lengah seperti itu. Dengan cepat si pemuda membabatkan senjatanya.
"Heaaat...!" Breees... Jrooos!
Begitu senjata maut itu berkelebat. Tidak ayal lagi kepala si Burung Hantu menggelinding ke atas tanah. Darah menyembur dari luka di bagian leher dan perut si Burung Hantu. Tubuh tanpa kepala itu kemudian limbung dan jatuh tersungkur untuk selama-lamanya. 
"Kau memang harus membayarnya dengan sangat mahal, Burung Hantu...!" setelah berkata begitu. Pendekar Hina Kelana tanpa berpamitan lagi pada Pertiwi langsung berkelebat pergi.
"Kelana...!" panggil gadis itu ketika melihat sebuah bayangan merah bergerak menjauh dan mereka.
"Biarkan muridku...!"
"Tapi aku... aku ... mencin... tainya, guru...!" kata gadis itu hampir saja menangis.
"Kalau kau mencintainya. Kau harus membantunya mengembalikan nama baiknya...!" kata Iblis Liang Kubur dengan perasaan penuh kasih

T A M A T



INDEX BUANG SENGKETA
Pembalasan Maha Durjana --oo0oo-- Utusan Dari Negeri Leluhur
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.