Gerhana Di Malam Jahanam
tanztj
September 30, 2015
INDEX BUANG SENGKETA | |
Dendam Gila Dari Kubur --oo0oo-- Pembalasan Maha Durjana |
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau
Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
--₪¦ « 1 » ¦₪--
"Bukan. Bukan di sini!" jawab penunggang kuda yang berada di sebelahnya dengan suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Menjauhlah kau...!" perintah laki-laki berpakaian hitam gombrang itu pada pemuda berpakaian kuning yang di bagian punggungnya membekal sebuah topi besi bergerigi mirip gergaji. Kalangan persilatan mengenal pemuda berpakaian serba kuning ini sebagai si Topi Terbang. Katakata yang sangat pendek itu sudah cukup bagi si Topi Terbang sebagai awal dari keganasan laki-laki berpakaian serba hitam ini. Kuda tunggangan meringkik keras saat laki-laki berwajah angker mulai mengerahkan kesaktian yang dimilikinya.
"Whuuuu...!"
Lidah api menyembur dari mulut laki-laki itu, tak dapat dicegah lagi langsung menyambar rumah gubuk berbentuk bulat yang jumlahnya mencapai puluhan buah. Terdengar pekik dan jerit kematian disertai dengan berhamburannya beberapa sosok tubuh berkepala botak berpakaian serba putih. Mereka yang keluar dari dalam gubuk beratap ilalang begitu mengetahui penyebab dari kejadian yang ada. Langsung saja mengepung dua orang penunggang kuda sambil keluarkan katakata yang tidak dimengerti oleh laki-laki berpakaian serba hitam dan si Topi Terbang. Walaupun keduanya tidak dapat menangkap arti pembicaraan mereka. Namun si laki-laki berpakaian gombrang itu menyadari puluhan pemuda berpakaian putih serta berkepala botak itu sedang di landa kemarahan. Sambil tertawa tergelak-gelak, lakilaki bertampang sadis itu memberi perintah pada si Topi Terbang
"Topi mautmu mungkin masih cukup berarti untuk mencopoti kepala demit putih yang tiada berambut itu!"
"Maha Diraja Setan Bumi hendak ke mana?" tanya si Topi Terbang dengan sesungging senyum kecut.
"Rumah-rumah tiada guna itu hanya bikin rusak pemandangan saja. Lebih baik kalau kubakar semuanya." berkata sambil tertawa-tawa seperti itu. Laki-laki berpakaian serba hitam itu langsung menggebrak kudanya. Beberapa orang pemuda berkepala serba gundul yang coba-coba menghalanginya langsung di terjang dengan semburan-semburan lidah api yang keluar lewat mulutnya. Mereka langsung terbakar, beberapa orang memadamkan api yang membakar tubuhnya. Lakilaki berpakaian serba hitam yang memiliki julukan Maha Diraja Setan Bumi terus menggebrak kudanya melaju ke arah rumah-rumah yang masih tersisa. Begitu sampai di gang-gang Raja Diraja Setan Bumi kembali semburkan api dari mulutnya. Dalam waktu singkat, gubuk-gubuk darurat itu telah berobah menjadi lautan api. Sementara itu di bagian lain, si Topi Terbang dengan tawa bergelak-gelak mulai melemparkan senjatanya yang berupa topi bergerigi tajam ke arah belasan pemuda berkepala gundul yang melakukan pengeroyokan atas dirinya.
Jeritan-jeritan kematianpun mulai terdengar di mana-mana. Anehnya topi yang terbuat dari baja pilihan itu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Lebih jelasnya lagi setelah, membabat putus bagian tubuh lawan-lawannya, topi itu dapat ditarik kembali ke arah pemiliknya. Padahal pada topi tersebut tidak terdapat adanya tali pengikat atau sejenis itu. Sebuah kejadian langka yang menandakan pemiliknya pastilah memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dalam kesibukannya membasmi para lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hentikan...!"
Si Topi Terbang langsung hentikan sepak terjangnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Maha Diraja Setan Bumi. Dengan keangkuhannya dan semburan-semburan api yang keluar lewat mulutnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu terus melakukan pembakaran hingga rumah-rumah yang dibangun secara darurat itu tiada bersisa lagi. Setelah merasa puas dengan pekerjaannya, laki-laki itu kembali menggebrak kudanya. Hanya dalam waktu sesaat ia telah kembali bergabung dengan si Topi Terbang.
"Siapa kunyuk yang menghentikanmu, Topi Terbang...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan suara berwibawa.
Si Topi Terbang menunjuk ke satu tempat yang tidak begitu jauh di belakangnya. Laki-laki berpakaian hitam gombrang ini mengekor dengan sudut matanya. Lalu nampak olehnya seorang laki-laki tua berpakaian serba putih berkepala gundul. Sedangkan di tangannya memegang sebuah tasbih dan sebuah tongkat yang sewaktu-waktu dapat dipergunakannya sebagai senjata yang ampuh.
"Botak. Kaukah yang telah melarang pengikutku mencopoti kepala mereka?" bentak Maha Diraja Setan Bumi dengan mata melotot wajah, kelam membesi. Melihat penampilannya pastilah laki-laki berbadan kekar berpakaian serba putih dan berkepala gundul ini merupakan pimpinan dari semua mereka yang terbunuh.
"Amitaba. Baru di daratan Jawa Dipa ini semua pengikutku mendapat perlakuan sekeji ini. Batara yang agung pasti akan mengutuk kalian berdua." cetus laki-laki bertasbih ini tanpa ekpresi.
"Kurang ajar. Kau orang asing di sini, tak perlu berkotbah padaku. Cepat jawab pertanyaanku...?" bentak Maha Diraja Setan Bumi semakin bertambah marah.
Laki-laki bertasbih ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Dari sorot matanya yang penuh welas asih. Jelaslah kalau ia merupakan seorang pemuka agama yang memiliki kesabaran luar biasa.
"Aku melarang tindakan kawanmu itu. Karena orang-orang yang dibunuh oleh pemuda berbaju kuning merupakan para pengikutku yang tidak pernah kuajarkan ilmu silat sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang kudidik ke jalan lurus, yang kelak di kemudian hari akan membawa satu umat pada kehidupan yang tenteram dan damai."
"Kurang ajar. Kedatanganmu ke tanah leluhur kami, dan memasuki daerah kekuasaanku. Kiranya hanya ingin mempengaruhi mereka dengan sesuatu yang tidak kami mengerti. Tahukah kau bahwa mereka semua tunduk dan patuh di bawah perintahku. Kuperingatkan padamu untuk segera meninggalkan tempat ini." perintah Maha Diraja Setan Bumi.
Namun laki-laki berkepala gundul ini gelengkan kepalanya berulang-ulang......
"Amitaba. Aku hanya seorang Biksu, tak seorangpun yang dapat menghalangi semua rencana baikku. Sungguhpun dia seorang Maha Diraja Setan Bumi sekalipun." kata laki-laki berkepala gundul yang memiliki nama pribumi Asoka itu tegas. Semakin bertambah gusarlah Maha Diraja Setan Bumi demi mendengar ke-tegasan laki-laki itu.
"Ha... ha... ha...! kalau kau telah mengetahui gelar namaku. Mengapa tidak cepat-cepat menjatuhkan diri menyembah?"
"Anda bukan seorang Dewa yang patut di sembah. Kalaupun aku menyebut nama itu, semuanya hanyalah secara kebetulan belaka. Nah kukira sudah cukup bagi kalian untuk tidak menghalangi semua langkah yang telah kuputuskan!"
"Keparat. Kedatanganmu ke tanah leluhur kami hanya mengantar nyawa secara sia-sia." kata Maha Diraja Setan Bumi.
"Dari pada kelak di kemudian hari menjadi bibit penyakit. Lebih baik sekarang saja kita binasakan manusia gundul yang satu ini." si Topi Terbang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar dalam pembicaraan itu. Kini mulai ikut bicara.
"Menurutmu apakah dia pantas menjadi lawanku?" tanya Maha Diraja Setan Bumi pada si Topi Terbang.
Dengan cepat sekali laki-laki berpakaian serba kuning menyahut:
"Tikus gundul bukan lawan yang pantas bagi yang mulia. Dia lebih pantas berhadapan dengan diriku."
"Kalau begitu hajar dia. Sementara aku sendiri akan berangkat ke Utara menemui Kanjeng Guru."
"Jangan khawatir. Saya pasti segera melaksanakan tugas dengan baik..." kata laki-laki berpakaian serba kuning menyanggupi.
Tanpa menoleh lagi Maha Diraja Setan Bumi menggebrak kudanya. Beberapa saat kemudian kuda dan penunggangnya sudah tidak terlihat lagi dari pandangan si Topi Terbang dan Biksu Asoka.
Kini setelah kepergian Maha Diraja Setan Bumi kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Kau selalu merasa yakin dengan kekuatan yang kau miliki?" tanya Asoka seolah meragukan kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.
"Hia... ha... ha...! Si Topi Terbang tak pernah merasa ragu menghadapi lawan yang bagaimanapun hebatnya." cetus laki-laki muda berpakaian serba kuning itu jumawa.
"Sayang. Sebagai penyebar kebaikan aku tak perlu melayanimu!" ujar Asoka secara tiba-tiba memberi keputusan.
"Huh, membunuh seorang asing sepertimu tak perlu kau harus melayani atau tidak. Bagiku yang paling penting kau harus mati." teriak si Topi Terbang.
Ziiing...!
Serta merta senjata maut di tangannya melesat ke udara. Asoka si pendeta Asing itu menyadari betapa hebat senjata yang dimiliki oleh lawannya. Ia tak ingin bertindak gegabah. Itu makanya begitu merasakan adanya sambaran angin kencang berhawa panas ke arah dirinya. Tak ayal lagi Asoka lemparkan tubuhnya ke samping kiri. Tiada buang-buang waktu ia terus bergulingan menghindari terjangan Topi Baja yang bergerigi tajam di bagian sisi-sisinya.
"Weees...!"
Senjata itu kembali menyambar ke arah laki-laki berkepala gundul ini. Padahal waktu itu posisinya masih dalam keadaan menelentang di atas tanah. Ia sudah dapat memperhitungkan andai ia terus bertahan dalam keadaan seperti itu sudah pasti tubuhnya akan menjadi makanan empuk senjata yang dilemparkan oleh si Topi Terbang.
Berpikir sampai ke situ, Biksu Asoka pergunakan toyanya untuk memapak datangnya senjata yang terus memperdengarkan bunyi mendengung itu.
Craang!
Terdengar suara benturan yang amat keras manakala dua senjata yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu saling bertemu. Anehnya meskipun begitu, senjata topi baja milik pemuda berpakaian kuning itu terus melesat dan kembali kepada pemiliknya.
Creep!
Masing-masing lawan sama-sama tertegun. Mereka menyadari dalam benturan senjata tadi ternyata tenaga dalam yang mereka miliki tidak terpaut jauh.
"Kuperingatkan sekali lagi padamu janganlah terlalu memaksakan diri!" kata Asoka. Si Topi Terbang meludah ke tanah beberapa kali.
"Jangan coba-coba menggertak si Topi Terbang, Biksu gundul! Sekali saja aku mengatakan kesanggupanku untuk membunuhmu, dengan cara apapun kau harus mampus." maki pemuda berpakaian serba kuning ini, lalu memutar-mutar topi mautnya.
Dengan nada merendahkan diri, Asoka berucap:
"Amitaba. Kiranya anda bukanlah pendekar bijak. Ketahuilah tuan, bukan aku bermaksud menakut-nakuti dirimu." sekejap laki-laki berkepala gundul ini hentikan ucapannya. Sekejab diperhatikannya si Topi Terbang dengan tatapan penuh welas asih.
"Namun andaipun anda berhasil membunuhku, orang-orang sealiran denganku yang memiliki kepandaian sangat tinggi pasti akan menuntutmu. Menurut hematku, alangkah lebih baik lagi andai saudara mengurungkan niat yang sangat keji itu." sambungnya kemudian.
"Jahanam." si Topi Terbang bentakan kakinya di atas tanah. Karena pada saat melakukan gerakan seperti itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Maka seketika itu juga daerah di sekitarnya terasa bagai dilanda selaksa gempa. Biksu Asoka hanya tersenyum saja melihat si Topi Terbang unjuk gigi di depannya.
"Pendeta gadungan. Bersiap-siaplah untuk menghadapi ketajaman topiku yang telah membuat putus ratusan kepala ini."
"Amitaba, bicaramu benar-benar terlalu sembrono saudara." ujar Biksu Asoka dengan kedua mata terbelalak. Saat itu senjata di tangan pemuda berpakaian serba kuning telah melesat sedemikian cepatnya. Hingga tahu-tahu jaraknya hanya tinggal satu tombak saja dari Asoka. Lakilaki berusia lima puluh enam tahun melentingkan tubuhnya ke udara. Senjata itu terus meluncur deras dan menghantam sasaran kosong di belakangnya. Sebagaimana pertama tadi, kali inipun setelah menghantam sebuah batu cadas di belakang Asoka tadi. Kali ini kembali meluncur kembali ke pemiliknya. Ketika senjata itu sampai di tangan pemiliknya, pada saat yang sama Asoka juga menjejakkan kakinya di atas tanah.
"Hebat. Kau benar-benar memiliki kepandaian yang mengagumkan. Sayangnya kau bukanlah pendekar berhati lurus. Sungguhpun aku tidak mempunyai persoalan apapun denganmu. Tetapi karena kau terlalu memaksaku, kurasa tidak ada salahnya kalau aku membela diri" kata Asoka.
"Hua... ha... ha...! Perlawanan darimu, itulah yang kuharapkan sejak dari tadi manusia berkepala gundul!" bentak si Topi Terbang di antara gelak tawanya.
Dalam saat-saat selanjutnya Asoka mulai membuka jurus-jurus silatnya yang memiliki variasi begitu banyak. Dengan mempergunakan toya sebagai senjata andalan. Di dukung oleh permainan tasbih yang mengagumkan. Sementara itu dengan tujuan ingin mengetahui kehebatan yang dimiliki oleh lawannya, si Topi Terbang mencabut sebilah pedang pendek yang juga bergerigi di bagian sisi-sisinya. Dengan senjata ini ia membuka serangan-serangan gencar yang tak kalah berbahayanya dengan senjata andalannya 'Topi Terbang'
"Heaaat. Caiiit!"
"Huaaa ambrol perutmu." teriak si Topi Terbang menusukkan pedangnya mengarah pada bagian perut. Dengan mudah Asoka masih mampu mengelit serangan yang datangnya begitu cepat. Begitu serangan luput, pemuda berpakaian kuning ini lakukan satu babatan ke bagian kaki. Asoka memang tak menduga dengan datangnya serangan beruntun ini. Ia menjadi gugup namun dengan sepenuh tenaganya ia putar toyanya untuk melindungi bagian kaki.
Traang...!
Terdengar suara pekikan tertahan di sertai dengan berkelebatnya senjata bergerigi yang terbuat dari baja pilihan milik si pemuda. Nguuuung
Terdengar suara mengaung keras saat topi itu melayang cepat ke arah sasarannya. Asoka kali ini benar-benar mati kutu. Dalam pertarungan jarak dekat seperti itu sama sekali ia tiada menduga kalau lawannya melepaskan topi maut yang telah merenggut banyak korban itu. Sambil berjumpalitan Asoka hantamkan tasbihnya.
"Craak. Plaaar..."
Tasbih ditangannya hancur berkepingkeping. Sebelum ia sempat mendaratkan kakinya di atas tanah, pada saat itu si Topi Terbang kembali melemparkan senjata mautnya.
Nguuung. Craaas...!
Tangan Asoka terkutung sebatas siku. Toya di tangannya mental ke udara bersama-sama kutungan tangannya yang menghamburkan begitu banyak darah.
"Amitaba...!" jerit Asoka. Tubuhnya tergetar, lebih dari itu darah cepat sekali merembas dari kutungan tangannya. Lebih cepat dia menotok jalan darahnya untuk mencegah agar darah tidak banyak yang keluar. Pada saat itu pemuda berpakaian serba kuning tertawa-tawa. Kesempatan yang hanya beberapa saat itu dipergunakan Asoka untuk melarikan diri.
"Hei! Kurang ajar." maki si Topi Terbang begitu melihat lawannya tiba-tiba saja telah lenyap dari hadapannya.
"Ha... ha... ha...! Senjata mautku mengandung racun yang sangat ganas. Kau tak mungkin terlepas dari belenggu maut." kata si Topi Terbang. Baginya tiada keinginan melakukan pengejaran. Terkecuali meneruskan perjalanan untuk memberi laporan pada Maha Diraja Setan Bumi.
--₪¦ « 2 » ¦₪--
Beberapa saat setelah melewati hutan rotan yang luas, sosok berkulit hitam legam ini sudah mulai nampak berjalan melenggang. Langkahnya begitu mantap menuju ke sebuah tempat yang terus-menerus menyemburkan sinar merah membubung tinggi ke angkasa. Sesekali dipandanginya arah yang hendak di tujunya itu. Matanya langsung berbinar begitu melihat semburan lidah api di kejauhan sana nampak menjulur ke arahnya.
"Kehidupan walau bagaimanapun ujudnya selalu berakhir dengan kematian. Begitu banyak orang yang melupakan kematian. Sangat banyak orang yang selalu mendewa-dewakan kehidupan dan seisi dunia. Seolah andai suatu saat mati apa yang dimiliki dan dibanggakannya akan dibawa serta. Tapi aku lebih menyukai orang yang terakhir ini. Mereka pasti tidak mengetahui siapa adanya aku, asal-usulku bahkan semua pekerjaan yang kulakukan di kolong langit ini." sosok bertubuh hitam legam ini menutup kata-katanya dengan sebuah tawa yang sangat panjang.
"Wuuees...!"
Tiba-tiba saja tubuh orang itu berkelebat lenyap bersamaan dengan berhembusnya angin kencang yang begitu hebat.
Sementara itu di sebuah tempat yang bernama bukit Api Abadi yang terus menyemburkan lidah api menjulang ke angkasa nampak beberapa orang yang terdiri laki-laki dan perempuan sedang duduk dengan khusuknya menghadap ke arah bukit itu. Seperti yang mereka yakini selama ini, bukit itu selalu mendatangkan berkah bagi orangorang tertentu yang percaya karena kekeramatannya. Namun kekhusukan itu tidak berlangsung lama, sesaat setelahnya bertiup angin kencang yang disertai berterbangannya pasir dan batu kerikil dari atas bukit sebelah kiri. Kemudian disusul pula oleh gelak tawa yang terasa bagai hendak meruntuhkan bukit dan memadamkan kobaran api abadi yang terdapat di bukit itu. Semua orang yang berada di bawah bukit, yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang, masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri dari pengaruh lengkingan suara tawa yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Menghormatlah kalian semua pada Kanjeng Guru!" salah seorang laki-laki bertelanjang dada, berbadan tinggi tegap dengan sikap membungkuk memberi perintah pada kawankawannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi sembilan orang lainnya langsung menjatuhkan diri, berlutut dengan posisi bagian kening menyentuh ke tanah.
"Kami semua siap mengabdi pada Kanjeng Guru. Dan kami senantiasa patuh pada semua perintah yang mulia." secara serentak mengumandang suara mereka dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya Api Bukit Abadi. Seiring dengan terdengarnya suara puji-pujian yang mengagungkan nama orang yang di sebut Kanjeng Guru itu. Maka suara gelak tawa yang membuat sakit gendang-gendang telinga terhenti seketika. Gemuruh angin topan kembali menyapu daerah sekitar bukit api abadi itu. Sapuan angin yang begitu tiba-tiba membuat tubuh mereka laksana terbang. Bahkan beberapa orang perempuan yang terdiri dari gadisgadis berpakaian setengah telanjang langsung terjengkang. Namun mereka segera bangkit dan membentuk sikap seperti semula dengan posisi menyembah. Sama seperti yang terjadi pada saat pertama tadi, kali ini hembusan angin topan terhenti secara tiba-tiba pula.
Jleeek...!
Tidak begitu jauh dari sumber api abadi melayang sesosok tubuh, kemudian menjejakkan kakinya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang membuat tercengang semua mata yang memandangnya karena si pendatang bertelanjang dada yang seluruh permukaan kulitnya berminyak dan berwarna hitam legam itu berada tidak begitu jauh dari sumber api abadi. Padahal dalam jarak seratus tombak saja mereka yang berada di bawah bukit itu merasakan tubuhnya panas bagai terbakar. Dalam beberapa hal seperti itulah mereka merasa begitu yakin bahwa orang yang mereka sebut sebagai Kanjeng Guru itu sesungguhnya bukan manusia biasa. Paling tidak titisan Dewa. Maka tak salah bila mereka rela melakukan apa saja demi mendapat restu dengan diangkat menjadi murid,
"Gending Sora...! Sebagai pengikutku apakah kau telah melaksanakan perintahku dengan baik?" suara laki-laki yang disebut sebagai Kanjeng Guru terdengar memecah keheningan. Sementara perhatiannya sekarang tertuju pada seorang laki-laki berbadan tegap berpakaian serba hitam yang tadi memberi aba-aba pada laki-laki dan perempuan yang kini masih berlutut menghadap ke arah bukit.
"Saya telah melakukan segala perintah yang telah kanjeng berikan pada saya." jawab laki-laki yang bernama Gending Sora dengan suara parau.
"Sembilan orang inikah orangnya?"
"Benar. Mereka semua terdiri dari perjaka dan perawan tulen." kata Gending Sora dengan wajah memerah.
"Ha... ha... ha...!" kembali terdengar suara tawa Kanjeng Guru tergelak-gelak. Kini seluruh perhatiannya tertuju pada empat pemuda bertelanjang dada dan lima orang gadis yang juga berpakaian sangat minim sekali. Mengherankan sekali kesembilan orang itu sedikitpun tiada merasa malu diperhatikan oleh Kanjeng Guru seperti itu. Malah kini mereka mulai memberanikan diri balas memandang dengan sikap menantang.
"Apakah diantara kalian yang datang ke sini tidak akan menyesal bergabung dengan kami?" sambung Kanjeng Guru setelah merasa puas dengan hasil kerja Gending Sora.
"Kami dengan sukarela siap mengabdi pada Kanjeng Guru. Lebih dari sekedar itu kami juga telah siap melakukan apa saja demi mendapat simpati yang mulia." jawab mereka secara serentak.
Berbinar sepasang mata laki-laki berkulit penuh minyak yang menebarkan bau wangi musang pandan itu.
"Keputusan kalian benar-benar membuat hatiku lega. He... he... he... dalam waktu yang singkat kalian akan kuberi pelajaran ilmu yang sangat sakti. Kalian akan menjadi pengikut dan merupakan manusia-manusia yang tak terkalahkan. Namun hal itu tak mungkin terjadi andai kalian tidak bersedia menyerahkan milik kalian secara sukarela." ujar Kanjeng Guru penuh maksud cabul.
"Apakah itu yang mulia?" tanya mereka secara serentak.
"Sebagai seorang gadis dan perjaka tentu kalian menjaga sesuatu yang tersembunyi selama ini. Agar diri kalian tetap suci."
Kesembilan orang yang terdiri dari pemuda dan gadis nampak saling pandang sesamanya. Wajah mereka berubah pucat, namun mereka juga tak mungkin membantah. Sejak meninggalkan daerahnya masing-masing dan bertemu di suatu tempat yang kemudian mendapat bimbingan dari Gending Sora, mereka telah memutuskan untuk menjadi pengikut Kanjeng Guru yang akhir-akhir ini namanya menggemparkan dunia persilatan. Kalaulah memang apa yang dikatakan oleh Kanjeng Guru barusan merupakan satu-satunya syarat agar dapat diangkat menjadi seorang murid. Maka mereka beranggapan tidak ada salahnya andai mereka mematuhinya.
"Kami menyanggupi syarat yang Kanjeng ajukan itu." ujar mereka dengan nada dengan tanpa beban.
"Hemm. Bagus sekali. Kalian benar-benar orang yang berbakti." sekejap Kanjeng Guru hentikan ucapannya, laki-laki berusia lima puluhan ini menoleh pada Gending Sora.
"Bawa mereka ke tempat biasa." perintahnya.
Gending Sora bagai seorang penjilat terus berjalan membungkuk-bungkuk, kemudian mengajak orang-orang itu menuju ke suatu tempat yang merupakan sebuah gua sangat luas namun memiliki banyak kamar. Ke sanalah sembilan orang yang terdiri dari gadis dan perjaka itu di giring dan menempati setiap ruangan.
Sementara itu laki-laki yang disebut Kanjeng Guru masih tetap berdiri di tempatnya. Sorot matanya memandang jauh ke depan sana. Menembus kegelapan di mana seorang laki-laki lain menunggang seekor kuda sedang bergerak cepat menuju ke arahnya. Suara ringkikan kuda terdengar keras ketika orang itu sudah hampir mendekati bukit Abadi. Sesaat setelah sampai persis di depan bukit Api Abadi laki-laki penunggang kuda serta merta melompat dari punggung kudanya. Ia menghaturkan sembah dengan hanya membungkukkan badannya.
"Kanjeng Guru, muridmu datang menghaturkan sembah serta membawa beberapa laporan penting."
Orang yang berada di atas bukit Api Abadi itu hanya menggumam pelan.
"Bagaimana Maha Diraja Setan Bumi? Apakah laporan tentang adanya pendatang dari tanah seberang memang punya kebenaran?"
"Kenyataannya memang begitulah, Kanjeng! Mereka terdiri dari orang-orang berpakaian putih berkepala gundul yang menamakan dirinya sebagai Biksu. Saya telah mengobrak-abrik rumahrumah darurat yang mereka bangun. Sementara ketika saya meneruskan perjalanan kemari seorang tangan kananku si Topi Terbang sedang bertarung melawan salah seorang diantara wakil Biksu itu."
"Hemm." Kanjeng Guru menggumam tak jelas.
"Kau merasa begitu yakin orang kepercayaanmu itu mampu mengatasi segalanya?"
"Saya selalu yakin dengan kemampuannya!" jawab Maha Diraja Setan Bumi tegas.
"Sebenarnya apa tujuan mereka datang ke tanah leluhur kita ini?" tanya Kanjeng Guru lebih jauh.
"Mereka ingin mempengaruhi penduduk dengan menyebarkan suatu keyakinan yang tak begitu jelas."
Kanjeng Guru kerutkan alisnya, sungguh ia kurang mengerti akan maksud kata-kata murid sulungnya yang memiliki kepandaian beraneka ragam ini. Walaupun tidak tertutup kemungkinan baginya bahwa dengan hadirnya orang-orang asing itu merupakan suatu ancaman buat sebuah Kerajaan megah yang sedang di bangun oleh muridnya.
"Setan Bumi. Yang kuinginkan agar kau mencari orang-orang itu dan mengusirnya dari tanah leluhur ini. Kalau perlu dengan jalan kekerasan!"
"Perintah Kanjeng Guru akan saya laksanakan dengan baik." kata Maha Diraja Setan Bumi.
"Nah sekarang pergilah muridku. Kalau kau ingin Kerajaan yang kau bangun sekarang ini tidak runtuh begitu saja. Kau hancurkan para pendatang itu."
"Tapi bagaimana dengan para pekerja seperti yang telah guru janjikan?" tanya Maha Diraja Setan Bumi setelah beranjak berdiri.
"Akhir purnama mereka akan segera kukirim ke sana. Asal kau tau untuk membuat mereka memiliki tenaga seperti siluman, aku perlu waktu untuk meniduri mereka satu persatu. Setelah itu... ha... ha... ha...! Mereka akan menjadi seorang pekerja yang sangat menurut dan memiliki tenaga luar biasa."
"Selamanya bantuan Kanjeng Guru sangat saya harapkan."
"Aku selalu menyanggupinya, muridku. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu. Jangan lupa taburkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa' setiap menjelang bulan purnama. Jika kau terus melakukannya niscaya kau akan mendapat tenaga kerja sukarela sepanjang yang kau inginkan." ujar Kanjeng Guru yang disertai anggukan setuju oleh Maha Diraja Setan Bumi.
Bueees...!
Sekali berkelebat laki-laki yang disebut sebagai Kanjeng Guru itupun lenyap dari hadapan Maha Diraja Setan Bumi. Sementara laki-laki itupun tanpa membuang-buang waktu lagi segera melompat ke punggung kudanya kemudian bergerak cepat menembus kegelapan malam.
Kemudian adalah sunyi dan nyala bukit api abadi yang sepanjang sejarahnya sangat dikeramatkan oleh banyak orang.
--₪¦ « 3 » ¦₪--
"Celaka seandainya aku tak bisa sampai ke markas besar. Koko Beng Lie dan Koko Beng Ju pasti tidak pernah mengetahui apa yang terjadi pada diriku." menggumam laki-laki berkepala gundul itu sambil terus berlari. Pada hakekatnya akhirnya laki-laki yang bernama Asoka itu harus mengakui adanya keterbatasan. Ia kehilangan tenaga karena begitu banyaknya darah yang keluar di samping akibat pengaruh racun ganas yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Ucapan si Topi Terbang ternyata bukan bualan belaka. Hal itu akhirnya ia akui setelah empat tombak kemudian tubuhnya tersungkur ke tanah. Lemah tiada berdaya. Hanya erangan-erangan lirih yang keluar dari mulutnya.
Sementara pada jalan yang sama dari kejauhan sana nampak sesosok tubuh berpakaian kumal warna merah sedang berjalan melenggang menelusuri jalan setapak yang dilalui oleh Biksu Asoka. Sesekali ia menyomot dendeng ikan lumbalumba dari dalam periuk berjelaga yang menggelantung di bagian pinggangnya. Sambil menguyah ikan dendeng yang lezat itu, sesekali terdengar pula celotehnya.
"Wei, nasib orang kecil itu nggak ubahnya seperti seekor semut. Tinggal di dalam lubang yang sangat kecil saja masih dikorek-korek trenggiling. Hidup nggak bebas selalu tercekam perasaan takut. Sebodoh. Mendingan menjadi gajah, karena besar ia ditakuti dan berkuasa. Bertindak semaumaunya karena kekuatan dan kekuasaannya. Sebodoh. Semut yatim tak ubahnya seperti diriku ini. He... he... he...! Manusia hina seperti ujudku ini. Sebodoh. Ha... ha... ha... sebodoh...!" kata si pemuda berulang-ulang disertai dengan tawanya berkepanjangan.
Pemuda yang sudah tak asing lagi bagi kita ini terus mengayunkan langkahnya menelusuri jalan itu. Namun mendadak ia hentikan gerakan kakinya manakala di depan sana ia melihat seseorang dalam keadaan menelungkup di tengah jalan yang akan dilaluinya.
"Siapakah dia, nampaknya ia membutuhkan pertolongan." gumam Buang Sengketa kemudian bergegas menghampirinya. Setelah sampai di depan orang itu, tahulah ia bahwa laki-laki berkepala gundul itu sedang mendapat luka dan dalam keadaan yang sangat payah. Buang Sengketa membalik orang itu, wajah lakilaki berkepala gundul itu nampak sangat pucat dan berwarna biru.
"Racun yang sangat keji." desis pemuda itu. Melihat keadaannya diapun sadar sangat tipis kemungkinan bagi laki-laki itu untuk dapat di tolong. Sungguhpun begitu Buang Sengketa berusaha mencegah keluarnya darah dari bekas luka itu.
"Celaka. Baru kali ini aku melihat sebuah luka yang tidak dapat dihentikan. Pantasan saja orang asing ini tidak dapat berbuat banyak.
"Eergk...!" terdengar tangan yang sangat lemah.
"Apa yang terjadi denganmu, kisanak...?" tanya Pendekar Hina Kelana sambil mendekatkan telinganya pada bibir laki-laki berpakaian serba putih itu.
"Se... seseorang telah menyerangku. Amitaba... me... mereka telah membunuhi sekian banyak orang-orang yang hendak menuju ke jalan Sang Hyang Widi. Ami... ta... ba.!" dan kepala lakilaki berkepala gundul itupun terkulai lemah. Mati.
"Melihat pakaian dan kepalanya yang di botak, pastilah orang asing ini merupakan penganut agama yang taat. Aku tak tahu bagaimana rupanya manusia yang telah menyebabkan dirinya mengalami luka sampai sedemikian ini." batin pemuda itu. Ia kemudian bangkit berdiri. Namun belum lagi siap pada posisi yang diharapkannya, satu tendangan yang sangat telak membuat tubuhnya terpelanting roboh. Karena serangan bokongan yang datangnya secara tiba-tiba itu dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi darah langsung menyembur dari mulutnya. Buang Sengketa merasakan punggungnya bagai remuk, pernafasan terasa sesak dan tersendat. Namun rasanya ia tidak dapat membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut. Naluri kependekarannya mengisyaratkan adanya bahaya yang sedang mengancam. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan menghimpun hawa murni pemuda itu cepat-cepat bangkit. Nanar pandangan matanya memperhatikan ke arah bagian belakang. Lalu nampak olehnya dua orang laki-laki berpakaian biksu telah berdiri tidak begitu jauh dari pemuda itu.
"Amitaba." begitu berucap dua orang lakilaki berpakaian serba putih itupun rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Anda telah membunuh adik seperguruan kami. Sungguh telenggas sekali tindakanmu, saudara?" kata salah seorang diantaranya dengan tatapan berwibawa.
Buang menyadari dua orang Biksu itu pastilah salah pengertian. Bagaimanapun keadaan akan semakin runyam andai ia membiarkan hal itu terus berlarut-larut. Tanpa merasa sungkan pendekar dari Negeri Bunian itu berucap:
"Tuan-tuan. Anda semua telah salah alamat. Ketika saya lewat kemari adik seperguruan anda ini memang sudah terluka parah. Saya hanya ingin menolongnya, tidak lebih dari itu."
"Kami melihat dengan kepala sendiri apa yang kau lakukan pada adik kami. Masih jugakah kau memungkirinya?" tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi dengan muka merah.
"Mengapa harus berbasa basi, Koko Beng
Lie? Jauh-jauh dari daratan Tiongkok sana kedatangan kita dengan membawa maksud yang baik. Tapi karena mereka, terutama orang ini. Dia harus menerima pembalasan setimpal dari kita."
"Sabar Beng Ju...! Kita harus menanyai lebih dulu orang ini." ucapnya dengan nada berwibawa. Meskipun Beng Ju sudah merasa tak sabar lagi menghadapi kenyataan yang terjadi di hadapannya. Namun nampaknya ia merasa sungkan kepada laki-laki setengah tua yang bernama Beng Lie itu. Sesaat suasana berubah hening, dua pasang mata sekarang tertuju pada Buang Sengketa sepenuhnya. Pemuda itu merasakan adanya kekuatan yang sangat besar terpancar lewat tatapan mata itu.
"Kau mengatakan dirimu tidak membunuh adik kami Asoka? Padahal tadi kami sempat melihat kau mendekatinya...?" ujar Beng Lie, dingin.
Buang Sengketa tersenyum.
"Aku mendekatinya karena kulihat ia memang benar-benar memerlukam bantuan. Tetapi karena luka-luka yang dideritanya terlalu parah, aku merasa tak sanggup menolongnya."
"Hemm. Bicaramu begitu serius bocah. Tetapi dapatkah kami mempercayainya?" tanya Beng Lie seolah pada dirinya sendiri.
"Mulutnya tidak bisa dipercaya Koko. Siapa mau percaya kata-kata manusia berpakaian gembel seperti dia?" kata Beng Ju semakin hilang kesabarannya.
Ucapan laki-laki tinggi besar tentu saja membuat Buang menjadi tersinggung. Tetapi ia juga tidak ingin bertindak gegabah. Apalagi ia menyadari dua orang Biksu yang berdiri empat tombak di depannya itu merupakan tokoh tingkat tinggi yang belum dikenalnya sama sekali.
"Saudara. Sebagai orang yang mengagungkan nama yang Maha Pencipta, adalah sangat tidak terpuji sekali bila anda menuduhku telah membunuh adik seperguruan anda." selak Buang Sengketa dengan nada melunak.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah melakukannya?" tanya Beng Ju dengan nada ber-apiapi.
"Dia hanya menyebutkan kata 'Mereka' sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir." jelas si pemuda lebih lanjut. Dalam kenyataannya mungkin hanya Beng Lie saja yang memiliki pandangan luas dapat menerima kenyataan itu, namun tidak demikian halnya dengan Beng Ju. Pelan namun cukup pasti tubuh jangkung itu melangkah mendekati Buang Sengketa. Pemuda ini menyadari adanya gelagat yang kurang baik secara diam-diam mulai bersikap waspada.
"Kokoku bisa saja percaya dengan segala bualanmu. Namun jangan harap aku mau mendengarkannya." dengan mata merah dan pandangan jelalatan. Beng Lie kebutkan jubahnya yang menjela panjang. Serangkum gelombang angin yang menimbulkan hawa panas menerpa wajah dan sekujur tubuh Buang Sengketa. Sungguhpun pemuda ini telah membentengi tubuhnya dengan jalan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Namun tetap saja tubuhnya terdorong beberapa tindak. Pendekar keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Kemudian kedua belah tangannya didorongkan ke arah depan.
Bledeeer...!
Terjadi ledakan yang amat keras saat mana dua tenaga dalam saling bertemu. Baik Buang Sengketa maupun Beng Ju dan Beng Lie samasama terkejut. Dua orang Biksu itu sama sekali tiada menyangka kalau pemuda berpakaian lecek itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tinggi. Melihat gerakan tubuh adik seperguruannya yang tergetar tubuhnya sadarlah ia bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan seorang tokoh muda yang memiliki kepandaian luar biasa.
"Bocah. Siapakah engkau ini, melihat tenaga dalammu yang tinggi rasanya cukup alasan bagiku untuk menuduhmu sebagai orang yang telah membunuh adik kami Asoka yang hanya memiliki kepandaian tidak seberapa." sengat Beng Ju tibatiba.
"Aku hanya seorang pengelana biasa. Aku bersumpah sungguhpun bumi sampai terbelah tujuh aku tak pernah membunuh adik seperguruan kalian." kata Buang Sengketa, tegas.
Melihat kesungguhan Pendekar Hina Kelana, nampaknya Beng Ju mulai menyadari tentang keseriusan pemuda itu. Beng Ju sebentar menoleh pada kakak seperguruannya. Beng Lie hanya menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Untuk mencurigai seseorang selamanya memerlukan pembuktian yang kuat. Tapi awas jika suatu saat nanti tuduhan kami terbukti, maka kami akan mencarimu sampai ke ujung dunia sekalipun." kata Beng Lie.
"Selalu kutunggu basil penyelidikanmu itu, Sobat...!" jawab si pemuda dengan sikap tenang.
Dua orang Biksu itu tidak menimpali katakata si pemuda. Setelah menghampiri mayat adik seperguruannya, merekapun berkelebat pergi. Hal yang samapun dilakukan oleh Buang Sengketa.
--₪¦ « 4 » ¦₪--
Lebih dari itu Eyang Basudewa sebenarnya tokoh angkatan tua yang sangat misterius dan sulit untuk ditemui. Bahkan murid-murid padepokan sendiri hanya dapat bertemu dengan Ketua padepokan ini paling hanya setahun sekali. Itupun hanya sebatas mendengar suaranya saja. Ujud Eyang Basudewa yang sesungguhnya tak seorangpun yang mengetahuinya. Tokh murid-murid padepokan gunung Ungkur dapat belajar silat dengan baik. Hal ini semata-mata karena Eyang Basudewa senantiasa memberi petunjuk dan pesanpesan yang selalu ditinggalkannya pada dindingdinding batu gunung yang terdapat di kanan kiri padepokan itu. Melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkannya itulah murid-muridnya dapat belajar dan melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan.
Pagi itu sebagaimana biasanya gunung Ungkur berselimut kabut. Udara dingin terasa menusuk sampai kesungsum tulang. Murid-murid padepokan kelihatan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Diantaranya ada yang menggarap kebun, membersihkan halaman. Dua orang murid perempuan sedang mempersiapkan sarapan di bagian belakang rumah. Sementara itu lima orang lainnya sedang berlatih silat nun jauh di lerenglereng berbatu tajam. Suara teriakan-teriakan sesekali terasa memecah kesunyian pagi. Begitulah setidak-tidaknya anggapan beberapa orang murid lainnya yang berada di sekitar padepokan. Tetapi apakah sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri mereka ini? Apabila dilihat lebih dekat lagi sesungguhnya tidak begitu jauh dari padepokan itu sedang terjadi pertarungan antara lima orang murid padepokan gunung Ungkur melawan seorang pemuda berpakaian serba kuning. Melihat kenyataan yang terjadi nampaknya pertarungan yang telah berlangsung belasan jurus itu murid-murid padepokan memang sedang berada di atas angin. Dalam berbagai serangan bahkan merekapun memiliki persamaan, baik dalam bentuk serangan maupun variasi jurus-jurus silatnya.
"Hentikan!" lagi-lagi pemuda berpakaian serba kuning itu mengeluarkan bentakan nyaring.
"Kami tidak akan pernah menghentikan serangan kami jika kakang Sakapala tidak mau menerangkan maksud kedatangan kakang di padepokan ini." kata salah seorang dari para pengeroyok itu sambil melakukan serangan gencar. Sementara empat orang lainnya sekarang hanya bersiaga menjaga setiap kemungkinan.
"Aku hanya merasa rindu pada padepokan. Salahkah aku jika sesekali datang kemari...?" tanya pemuda berpakaian serba kuning yang tak lain si Topi Terbang adanya.
"Menyambangi perguruan bukan merupakan pantangan bagi siapapun. Tetapi salah jika kedatanganmu membawa maksud-maksud tertentu."
"Pramesta!' hardik si Topi Terbang dalam kegusarannya "Sebagai adik seperguruan semestinya engkau menghormat kepadaku. Tetapi malah sebaliknya yang terjadi pada dirimu, begitu aku datang kau langsung menyerangku."
Pemuda tinggi jangkung yang bernama Pramesta itu hanya mendengus. Kemudian di silangkannya kedua tangan di depan dada
"Kau pergi begitu saja, kakang Sakapala. Kau tak pernah memberikan alasan yang kuat karena kepergianmu. Setiap kali hal itu kutanyakan padamu, kau selalu beralasan ingin mencari pengalaman di luaran sana. Semua adik seperguruanmu yang berada di padepokan ini mungkin saja mempercayai bualanmu. Namun tidak demikian halnya dengan aku. Suatu malam aku memutuskan untuk membuntutimu dan ternyata kau telah bersekutu dengan iblis yang menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Bersamanya kau menebarkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa', dengannya kau mengumpulkan banyak pemuda dan gadis-gadis untuk membangun sebuah istana iblis secara sukarela. Kejahatanmu sudah melampaui batas, kakang Sakapala. Guru pasti tidak akan membiarkan semua tindakanmu itu. Maaf demi tegaknya sebuah kebenaran aku terpaksa dengan lancang harus meringkusmu." kata Pramesta.
Begitu Pramesta selesai bicara, Sakapala langsung tergelak-gelak. Dipandanginya Pramesta dan empat orang lainnya secara silih berganti. Setelah mengeluarkan gumaman tak begitu jelas, kemudian iapun berucap: "Pramesta. Aku adalah saudara seperguruanmu yang paling tua. Walau bagaimanapun engkau tak bakal ungkulan menghadapi aku. Lebih baik kau urungkan niatmu...!" Sakapala mencoba mengingatkan.
Namun pemuda yang bernama Pramesta itu hanya tersenyum saja.
"Sakapala. Guru memang telah memberikan segala sesuatu yang baik untukmu. Asal kau tahu saja, aku selalu ingin menjawab setiap kelebihan dan kekurangan yang kau miliki dengan sesuatu yang tak pernah diperoleh oleh siapapun di padepokan ini." kata Pramesta dengan sikap waspada. Sementara itu empat orang lainnya telah pula melakukan pengepungan secara ketat.
Pada hakekatnya si Topi Terbang datang ke bekas perguruannya memang membawa maksud kurang baik. Yaitu ingin membujuk adik-adik seperguruannya ikut bergabung dengannya dalam satu tujuan yaitu menyumbangkan tenaga secara sukarela dalam mendirikan istana Maha Diraja Setan Bumi. Kalaupun tidak dapat dibujuk dengan cara halus maka iapun telah pula memutuskan akan melakukannya dengan cara kekerasan. Satu hal yang tidak pernah disangka dan di luar perhitungan Sakapala. Bahwa sebenarnya Pramesta merupakan adik seperguruan yang berpikiran cerdas. Selama belasan tahun menjadi murid padepokan gunung Ungkur ia telah melakukan penyelidikan terhadap semua tingkah pola saudarasaudara seperguruan, maupun keberadaan Eyang Gurunya yang sangat misterius. Bahkan secara diam-diam ia telah pula berhasil menciptakan jurusjurus handal yang sangat aneh. Semua itu berhasil dikuasainya dalam beberapa tahun terakhir, juga tanpa diketahui oleh siapapun. Ia menyadari betapa hebat kepandaian yang dimiliki oleh Sakapala. Bahkan gerak-gerik Sakapala yang mencurigakan telah lama tercium olehnya. Tidak salah kalau sekaranglah merupakan saat yang tepat untuk menjajal ilmu hasil ciptaannya itu dalam usahanya menangkap Sakapala.
"Kakang Sakapala. Bersiap-siaplah...!" Pramesta akhirnya memberi peringatan setelah menunggu sekian lama, namun Sakapala hanya diam saja.
"Hiaat...!"
Sakapala membuka serangannya dengan sebuah jurus Sinar Pelangi yang diketahui oleh Pramesta sebagai jurus silat yang sangat berbahaya. Tak ayal lagi Pramesta mengimbanginya dengan jurus yang sama. Pertarungan dua bersaudara perguruan itu berlangsung sengit dan menegangkan. Apalagi nampaknya di pihak si Topi Terbang punya niat untuk mengakhiri pertempuran secepat mungkin. Maka jurus-jurus silat andalanpun segera ia gelar. Bahkan pertempuran itu mencapai lima belas jurus. Sakapala sudah pula mempergunakan senjata mautnya yang berupa sebuah topi yang terbuat dari baja dan bergerigi di sisi kanan kirinya.
"Kakang Pramesta. Berhati-hatilah, senjatanya bisa mencelakakanmu!" teriak saudara seperguruan lainnya.
Sebenarnya Pramesta juga memiliki senjata yang sama yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk mengimbangi senjata Sakapala. Namun dalam hal ini sengaja ia mempergunakan sebuah kayu panjang yang sangat mirip dengan toya. Dengan mempergunakan toya itu ia berusaha menghindari serangan senjata maut yang disambitkan oleh Sakapala.
"Nguuung…!"
Seeeeng…! Sedemikian cepat topi maut itu melesat. Dengan sikap tenang Pramesta menyambut datangnya senjata Sakapala dengan cara memutar toya di tangannya secepat mungkin.
"Praak... traal… traal...!"
"Haiiiit...!"
Pramesta lentingkan tubuhnya ke udara, ternyata senjatanya yang telah dialiri tenaga dalam itu masih juga hancur berantakan di landa topi bergerigi milik si Topi Terbang "Kau tak mungkin ungkulan menghadapiku, Pramesta! Alangkah lebih baik kalau kau memberi izin padaku untuk membawa adik-adik seperguruan kita membangun istana iblis." bentak Sakapala dengan disertai suara tawa tergelak-gelak
Namun Pramesta menyambutnya dengan suara dingin.
"Kau baru boleh melakukannya apabila kamu mampu melangkahi mayatku!"
"Sombong! Dalam dua jurus di depan jika aku tak berhasil mencopot kepalamu, jangan sebut aku si Topi Terbang." sentak Sakapala dengan kemarahan meluap-luap.
Pramesta diam tiada menyahut. Sebaliknya ia mulai mengerahkan ilmu silat hasil ciptaannya sendiri. Perubahan jurus-jurus silat yang dimainkan oleh Pramesta sudah barang tentu membuat mereka yang hadir di tempat itu menjadi terbelalak matanya. Jurus silat yang dimainkan benar-benar aneh bahkan tak satupun dari jurus itu memiliki persamaan dengan yang mereka pelajari dari Eyang Guru. Sampai kemudian pada:
"Heaaaah... bet... zeb... zeb...!"
Bersamaan dengan suara teriakan Pramesta yang tinggi melengking. Maka tubuhnya melesat mendekati sebatang pohon pisang. Begitu tersentuh langsung dicabutnya. Lalu dengan mempergunakan batang pisang itu iapun melakukan serangan ganas ke arah Sakapala. Si Topi Terbang tidak mengetahui untuk apa sebenarnya Pramesta mempergunakan batang pisang itu untuk menyerang dirinya. Yang jelas dengan disertai tawa berkepanjangan Sakapala juga langsung memapaki serangan Pramesta dengan jurus-jurus silat yang sudah di ketahui kelemahannya oleh laki-laki bertubuh jangkung ini.
"Shaaa...!" dengan mempergunakan kaki kanannya Sakapala bermaksud melancarkan satu tendangan yang disertai dengan tenaga dalam penuh mengarah pada bagian perut Pramesta. Namun Pramesta malah hantamkan batang pisang di tangannya ke bagian kaki Sakapala yang sudah terulur.
"Uuut... weeees...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras menerpa bagian kaki si Topi Terbang. Saat itu juga ia merasakan bagian kakinya terasa ngilu.
"Gila, ia memiliki kekuatan dahsyat yang tiada disangkasangka. Bagaimana dia bisa memperoleh kepandaian yang sangat langka itu? Atau mungkinkah Eyang Guru telah menurunkan ilmu baru yang tidak pernah diturunkannya padaku?" menggumam Sakapala dengan perasaan kecewa.
Bleees...!
Dalam keadaan menegangkan itu rupanya Sakapala menarik balik serangannya. Di luar dugaan begitu merasa gagal memukul lawan dengan batang pisang Pramesta malah hantamkan kakinya mengarah pada bagian selangkangan Sakapala.
Jrooot...!
"Wuaaagkh... keparaat...! Berani sekali kau memukul anuku..."
"Anumu memang pantas diberi pelajaran. Aku yakin kau tak pernah becus mengajar anumu terkecuali memanjakannya...!"
"Sial dangkalan. Kubunuh kau...!"
Belum habis ucapan Sakapala, tiba-tiba pemuda berpakaian serba kuning itu menyambitkan senjatanya yang berupa topi bergerigi itu ke arah Pramesta.
Siiiiing...! Cepat sekali senjata itu meluncur. Dengan mempergunakan batang pisang itu juga ia tidak mau kalah.
Berwrrrrrt...! Jrooos...!
Pramesta langsung menyambutnya dengan sebuah tawa panjang begitu melihat senjata andalan milik lawannya sekarang telah menancap di bagian batang pisang itu.
"Kalau kukembalikan topi terkutuk ini kepadamu, aku merasa yakin kau tak bakal mampu menerimanya. Dari pada kau mati percuma, lebih baik kakang menyerah saja untuk mendapat hukuman dari Eyang Guru...!" kata Pramesta sambil melepaskan senjata maut itu dari batang pisang yang tadinya ia pergunakan bagai perisai.
"Jangan mimpi...!'' cibir Sakapala, kemudian meludah beberapa kali
"Kakang Pramesta mengapa banyak basabasi lebih baik kita ringkus saja dia!" kata yang lain-lainnya merasa sudah tidak sabar lagi. Bahkan dua diantaranya mulai melepas senjata yang sama untuk menghadapi Sakapala
"Jangan bertindak! Biarkan aku sendiri yang akan meringkusnya...!"
Setelah bicara begitu, entah bagaimana rupanya Pramesta memanfaatkan kelengahan Sakapala yang hanya beberapa saat itu. Sedetik tubuhnya berkelebat, ketika Sakapala menyadari apa sesungguhnya yang akan dilakukan oleh Pramesta, semuanya terasa sudah terlambat.
"Tuuk... tuuuk...!"
Tak dapat dicegah lagi tubuh Sakapala langsung terjerembat jatuh. Urat geraknya tertotok kaku hingga membuatnya tak mampu berbuat banyak.
"Keparat kau Pramesta. Kiranya kau benarbenar seorang pengecut...!" maki Sakapala sambil meronta-ronta.
Pramesta meskipun merasa tidak sampai hati, namun demi keamanan mereka semua, termasuk juga adik seperguruannya, akhirnya memberi perintah.
"Periksa seluruh pakaiannya, dan ikat dia...!" perintahnya pada empat orang lainnya.
"Tapi kakang bukankah dia juga masih merupakan anggota...!"
"Kerjakan perintahku. Kalian tidak tahu kelicikan manusia yang satu ini...!" bentak Pramesta ketika salah seorang diantara mereka ada yang coba-coba membantah.
"Kakang kami menemukan buntalan ini...!" seru salah seorang dari mereka memberi laporan. Pramesta menerimanya, kemudian setelah beberapa saat iapun berucap.
"Apa kubilang? Coba kalau kita tidak teliti, cepat atau lambat kita pasti akan menjadi budaknya."
Pramesta lalu menyimpan bungkusan yang berupa serbuk Pemberontakan Jiwa itu ke dalam saku bajunya. Tak lama kemudian merekapun segera menggotong tubuh Sakapala menuju padepokan gunung Ungkur yang terletak hanya ratusan meter saja jaraknya dari tempat mereka.
--₪¦ « 5 » ¦₪--
Namun akhirnya Buang Sengketa memutuskan untuk memasuki warung itu. Langkahnya tenang menghampiri sebuah meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan. Hanya sekejap saja ia mengitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru warung. Kemudian ia memanggil pemilik warung itu yang sudah sangat tua sekali. Mungkin umurnya sekitar enam puluh dua tahun. Dengan sikap enggan pemilik yang merangkap sebagai pelayan warung itu datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa...!" tanyanya dengan nada tidak bersahabat. Tercekat juga si pemuda begitu mendengar ucapan pemilik warung yang terasa kaku bahkan nada bicaranya berkesan sangat dipaksakan.
"Nasi putih, sayur berikut air Nira yang masih baru...!" kata si pemuda dengan suara lirih sekali.
Pelayan itu kemudian meninggalkan Buang Sengketa setelah menganggukkan kepalanya pelan. Si pemuda hanya memperhatikan kepergian laki-laki tua itu dengan pandangan tiada mengerti. Tidak begitu lama Buang menunggu pelayan itu telah kembali lagi dengan membawakan makanan yang dipesannya. Namun kali ini si pemuda sempat melihat tangan dan kaki pelayan itu nampak gemetar. Melihat kenyataan ini membuat pendekar dari Negeri Bunian ini semakin bertambah curiga. Dan pabila Buang mengendus bau makanan yang telah terhidang di atas meja, maka aroma makanan itu tidak sebagaimana bau aroma makanan sebagaimana lazimnya.
"Kisanak. Kulihat orang-orang di sini semuanya serba mencurigakan. Apakah yang telah terjadi?" tanyanya setengah berbisik. Menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini pelayan itu berubah pucat wajahnya.
"Ee... tid... tidak...! Di sini tidak pernah terjadi apa-apa...!" jawab pemilik warung sekaligus merangkap pelayan itu dengan suara terbata-bata.
"Kalau begitu coba kisanak cicipi makanan yang telah kisanak sediakan ini!" perintah Buang Sengketa, tegas.
"Mana mungkin. Makanan itu khusus disediakan untuk tuan...!"
"Hemm. Masih juga kau mau membohongiku, kisanak...!" ujar Buang. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, maka bagian kemeja laki-laki berusia enam puluhan itupun telah dicengkeramnya sedemikian erat.
"Ee... apa-apaan ini. Mengapa tuan memperlakukan diriku sedemikian rupa...!" kata lakilaki tua itu dengan tubuh menggigil dan suara gemetaran.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara teguran yang begitu halus dari bagian belakang warung; "Kalau dia datang ke sini dengan tujuan mau makan. Yang jelas dia tidak akan bertingkah seperti itu, namun jika dia mau merampok. Maka seperti yang kalian lihat itulah kejadiannya."
Buang merasa terperanjat, ia merasa ucapan itu ditujukan kepadanya. Tak ayal lagi pemuda inipun langsung melepaskan cekalannya.
"Kepada orang yang bicara tadi, coba nampakkan diri...!" perintah si pemuda begitu lugas.
"Boleh. Tetapi tidak di sini karena kehadiranku hanya membuat orang-orang di dalam warung ini bisa memusuhimu...!"
"Kurang ajar. Kau jangan coba-coba mengecohku...!" bentak si pemuda. Tetapi tiada terdengar jawaban. Buang Sengketa mengitarkan pandangan matanya ke segenap isi warung.
"Astaga. Ada belasan orang di dalam warung itu, namun sorot matanya kosong tanpa ekspresi. Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka?" batin si pemuda dalam hati. Agaknya ia sudah tidak dapat memikirkan keadaan orang-orang itu lebih lama lagi. Perasaan penasaran telah menyeret langkahnya menuju bagian belakang warung. Syeet dah. Di bagian belakang warung itupun ia tidak melihat siapapun di sana. Namun ketika telinganya mendengar suara lamat-lamat yang sudah agak menjauh dari warung itu, maka tanpa membuang-buang waktu lebih lama lagi, pemuda itupun melakukan pengejaran.
"Hi... hi... hii...! Kami memang membutuhkan manusia perkasa sepertimu, bocah berpakaian butut. Kemarilah...!"
"Sialan, dia sengaja memancingku dan menyeretku menjauhi desa ini. Tapi tidak mengapa. Akan kukejar dia, siapa tahu orang ini mempunyai hubungan yang erat dengan keanehan-keanehan yang terjadi di sini."
"Hei mengapa harus berdiri bengong di situ, kesinilah...!"
"Kurang ajar. Kau benar-benar kuntilanak bangsanya memedi yang patut di curigai."
Seusai dengan ucapannya itu Buang Sengketa kembali melakukan pengejaran. Namun langkahnya jadi tertahan ketika ia melihat berkelebatnya selarik sinar ungu menuju ke arahnya. Sebelum pukulan yang tiada disangka-sangka itu menghantam tubuhnya, maka lebih cepat lagi tubuhnya melompat ke udara.
Dweeer...!
"Sialan, hampir saja...!"
Luput dari serangan bokongan itu, Buang kembali melakukan pengejaran. Namun orang yang berlari di depannya itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh serta ilmu lari secepat kijang. Dalam keadaan berlari biasa si pemuda selalu ketinggalan jauh di belakang. Sampai kemudian terdengar suara yang bernada mengejek:
"Sampai esok pagi sekalipun kau tak bakal mampu mengejarku, pemuda gembel."
Terdengar suara sayup-sayup di sana. Buang Sengketa pada akhirnya merasa kesal juga dengan tingkah perempuan yang berlari cepat di depannya. Tak ayal lagi hanya dalam beberapa detik setelah itu, pemuda inipun segera mengerahkan ilmu lari cepatnya. Ajian Sapu Angin. Begitu ia mengerahkan ilmu yang sangat diandalkannya itu, detik kemudian tubuhnya telah melesat laksana terbang.
"Hua... haha... ha... ha...! Kau hendak ke mana perempuan kuntilanak." begitu tertawa Buang Sengketa sekarang telah berada di depan perempuan itu. Kenyataan yang tiada diduga-duga itu memang benar-benar membuat perempuan yang tidak dikenalnya menjadi terkejut sekali. Karena merasa pemuda itu telah berhasil menghadang dirinya, maka begitu berhadapan. Perempuan itu telah hantamkan telapak tangannya ke arah si pemuda.
"Weeert...!"
Buang Sengketa ternyata telah bersiaga sejak dari tadi dalam menghadapi perempuan yang dicurigainya itu, maka begitu perempuan yang di sekujur tubuhnya diselimuti kerudung itu menyerangnya. Buang Sengketa dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya langsung pula hantamkan tangannya memapaki serangan itu.
"Deees...!"
Terdengar benturan keras manakala dua tenaga sakti bertemu. Perempuan berkerudung itu memekik kaget.
"Hh. Rupanya kau mempunyai kebisaan juga gembel berperiuk...!" maki perempuan itu. Padahal hatinya berdetak keras begitu melihat ketampanan pemuda yang berada tiga tombak di depannya itu.
Buang Sengketa mendengus. Dalam kegelapan itu sorot matanya berkilat-kilat menatap tajam pada perempuan berkerudung yang saat itu telah bersiap-siap melepaskan pukulan andalannya.
"Kaukah yang telah membuat mereka menjadi manusia pikun...?" tanya si pemuda tanpa menghiraukan ucapan si perempuan. Bahkan sikapnyapun terlihat begitu tenang.
"Justru aku malah bercuriga kepadamu. Atau bahkan engkaulah yang telah membuat mereka menjadi manusia sinting tanpa kemauan apaapa...!" tuduh si perempuan berkerudung. Memerah wajah Buang Sengketa seketika itu juga mendengar tuduhan yang tidak beralasan
"Kau jangan sembarangan bicara. Sama sekali aku tidak tahu menahu dalam masalah ini..." cetus si pemuda dengan nada tertekan.
"Siapa yang mau percaya dengan ocehanmu. Hiaat...!" perempuan berkerudung ini menutup ucapannya dengan satu terjangan ganas mengarah pada bagian kepala Buang Sengketa. Pemuda ini dengan cepat-cepat menghindar dengan jalan bersalto ke belakang beberapa kali. Namun perempuan itu nampaknya tidak mau berhenti sampai di situ saya. Ia kembali melakukan serangan ganas, kali ini pukulan-pukulan gencar yang disertai pengerahan tenaga dalam yang kuat dilakukannya.
Namun Buang Sengketa bukanlah tokoh muda sembarangan, selama bertahun-tahun ia melakukan pengembaraan telah begitu banyak pengalaman yang diperolehnya. Ketika ia mengetahui adanya serangan yang bertubi-tubi itu, maka dengan mempergunakan jurus tangan kosong Membendung Gelombang Menimba Samudra, dengan gesit ia mengelak dari serangan yang dilakukan oleh perempuan itu. Semakin panas hati perempuan itu melihat setiap pukulannya selalu dapat dielakan oleh lawannya. Hingga pada akhirnya tiada tertahankan lagi iapun mencabut senjatanya yang berupa sebilah pedang yang terselip di bagian punggungnya.
Sraaak...!
Wuuut...! Beet... beeet...! Dengan pedang ditangannya perempuan berkerudung itu memburu lawannya. Pedang terus berkelebat menyambar mengarah pada bagian pertahanan si pemuda yang rawan. Sedikit demi sedikit Buang Sengketa merasakan adanya tekanan yang diakibatkan oleh gempuran senjata di tangan perempuan itu. Buang juga tidak mau mengambil resiko yang dapat membahayakan keselamatan pribadinya. Dengan cepat ia mempergunakan jurus si Gila Mengamuk untuk mengatasi serangan gencar lawannya. Dengan mempergunakan jurus ini tubuh si pemuda terhuyung-huyung bagai seorang pemabukan. Permainannya berubah secara total, perubahan yang sangat tiba-tiba ini membuat lawannya selalu merasa tertipu dalam setiap melakukan serangan. Beberapa kali serangan perempuan berkerudung mencapai sasaran kosong. Kenyataan ini membuat perempuan berkerudung itu semakin bertambah nekad. Menghadapi kenyataan dan gerak silat perempuan berkerudung ini sebenarnya Buang Sengketa sudah dapat menangkap bahwa sebenarnya perempuan itu mungkin saja merupakan kaum persilatan golongan lurus. Sekarang ia telah sampai pada kesimpulan untuk menjatuhkan perempuan itu tanpa melukainya.
"Heiiikgh...!"
Buang kembali berkelit menghindari ketajaman pedang di tangan si perempuan berkerudung. Begitu ia mampu menghindari serangan yang sangat membahayakan itu, satu gerakan yang tiada terduga-dugapun ia lakukan.
"Tuuk... tuuuk...! "Akh, kau curang. Lepaskan... lepaskan...!"
"Huaaa... ha... ha...! Sekarang kau bisa apa? Bukankah kalau aku bermaksud tidak baik, aku dapat berbuat sesukaku...?" kata Buang dengan nada mengejek.
Pucat wajah perempuan berkerudung itu begitu melihat Buang Sengketa melangkah mendekatinya.
"Siapakah kau ini, saudara?" tanyanya dengan nada berubah ramah.
"Mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan hal itu. Wajahmu yang tertutup kerudung itu membuat aku menjadi curiga padamu. Tidak salah kalau aku akan menangkapmu."
Maka menggigillah tubuh perempuan berkerudung itu demi mendengar ancaman pemuda ini.
"Ja... jangan...! Jangan kau gagalkan rencanaku, kumohon lepaskan aku...!" rintih si perempuan bertopeng dengan nada memelas.
"Baik. Walau begitu aku tetap akan menahanmu."
"Oh jangan, kedua orang tuaku pasti akan mencari."
Buang tersenyum kecut. Ia menduga mungkin saja perempuan berkerudung itu merupakan seorang gadis.
"Siapakah orang tuamu...?"
"Mereka adalah kepala desa yang tinggal tidak begitu jauh dari sini. Kalau situ tidak membawa maksud-maksud tertentu. Maka sebagai pribadi saya mengundangmu untuk datang ke rumah...!" kata perempuan berkerudung itu polos. Anehnya Buang Sengketa tidak memiliki kecurigaan apapun. Ia menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah memandang sekian lamanya pemuda inipun berucap.
"Aku akan mengikutimu, tapi ingat jika ternyata nantinya kau berbohong. Kepalamu akan kujadikan sebagai taruhannya...!"
"Kau tak perlu khawatir, saudara. Tapi lepaskan dulu totokanku...!"
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda inipun melepaskan totokannya. Selanjutnya mereka beriringan menelusuri jalan setapak.
--₪¦ « 6 » ¦₪--
Siang itu di dalam singgasananya di lingkungan istana iblis yang belum jadi. Maha Diraja Setan Bumi kelihatan duduk termenung. Makanan yang disediakan oleh para pelayan sukarela yang selama ini menjadi para abdi yang paling setia sedikitpun tidak disentuhnya.
"Hmm. Topi Terbang. Andai ada seseorang yang telah membuatmu celaka. Orang itu pasti tidak akan kubiarkan hidup. Bagaimanapun si Topi Terbang merupakan segalagalanya bagiku." gumam Maha Diraja Setan Bumi dengan tangan terkepal menahan kegeraman hati.
"Pelayan...!" bentak Maha Diraja Setan Bumi memanggil salah seorang pelayannya yang berusia masih begitu muda. Pelayan berwajah manis itu datang menghampiri dengan sikap tergopoh-gopoh.
"Hamba yang mulia, Diraja...!" kata pelayan itu sambil menghaturkan sembah.
"Coba kau panggil Gending Sora...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tegas.
"Baik. Perintah Maha Diraja Setan Bumi segera hamba laksanakan." kata pelayan itu. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, setelah menghaturkan sembah pelayan itu segera menuju bangunan istana di bagian belakang. Sebagaimana tugas yang diberikan oleh Maha Diraja Setan Bumi. Selama ini Gending Sora bertugas sebagai Kepala Mandor bangunan istana itu. Tidak terlalu sulit menjumpai laki-laki bertelanjang dada ini bagi pelayan itu. Karena Gending Sora merupakan orang yang sangat dikenal oleh semua orang yang berada di dalam lingkungan istana iblis.
"Paman Gending Sora...!" seru pelayan itu setelah merasa dekat dengan Mandor Kepala bangunan istana itu. Yang dipanggil menoleh dan hampir saja berang jika pelayan itu tidak cepatcepat menyampaikan maksud kedatangannya.
"Yang mulia Maha Diraja Setan Bumi memerintahkan agar paman menghadap segera." ucapnya sambil menganggukkan kepala.
"Hem. Pekerjaan ini memerlukan pengawasan yang ketat, namun Maha Diraja Setan Bumi memanggilku. Lebih baik kupenuhi saja permintaannya...!" berkata begitu, tanpa menghiraukan itu, Gending Sora pun melangkah pergi. Sebagaimana kebiasaan yang terjadi, sekarang setelah Gending Sora pergi maka pelayan itu menggantikan kedudukannya sebagai mandor bangunan istana.
Sementara itu di depan singgasana Maha Diraja Setan Bumi, Gending Sora nampak duduk bersimpuh. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju pada sang pimpinan yang memiliki kesaktian Mandraguna.
"Paman Gending Sora...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi memecah kebisuan yang menyergap.
"Hamba yang mulia...!" sahut Gending Sora dengan sikap penuh hormat.
"Aku bermaksud mengutus paman untuk mengetahui keberadaan si Topi Terbang yang belum juga kembali sampai saat ini. Aku takut telah terjadi sesuatu dengannya. Karena sudah hampir dua pekan pemuda itu tidak juga kembali. Semestinya ia telah pulang dengan membawa tenaga kerja sukarela yang sangat kita butuhkan." kata lakilaki itu dengan perasaan was-was.
"Tetapi kemanakah akan hamba cari si Topi Terbang, jika hamba maupun yang mulia sendiri tidak pernah mengetahui kemana tujuan si Topi Terbang dalam mencari para tenaga kerja itu?"
"Itulah yang paling sulit buat kita. Sejak dulu si Topi Terbang tidak pernah mengatakan ke mana tujuannya dalam melakukan tugas apapun yang kuberikan. Hal ini membuat kita merasa kesulitan untuk melacaknya..." keluh Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tergetar.
"Apakah tidak lebih baik bila kita menanyakannya pada Kanjeng Guru?" tanya Gending Sora mengajukan pendapat. Tetapi Maha Diraja Setan Bumi gelengkan kepalanya keras-keras.
"Kita sudah terlalu sering membuat repot Kanjeng Guru. Aku tak ingin persoalan ini disampaikan kepadanya."
"Lalu bagaimana yang mulia?" tanya Gending Sora penuh minat.
"Si Topi Terbang bagiku secara pribadi merupakan manusia misterius. Tetapi aku menyukai cara kerjanya yang sangat baik. Yang pasti aku ingin agar paman melakukan penyelidikan ke berbagai tempat, atau tanyalah pada setiap orang yang paman temui barangkali mereka melihat kemana perginya si Topi Terbang."
"Menurut yang mulia, mungkinkah mereka mau mengatakannya pada hamba, sedangkan mereka juga mengenal siapa hamba dan juga si Topi Terbang...?"
"Hua... ha... ha...! Kalau mereka tidak mau mengatakan atau memberi keterangan pada paman. Apa susahnya kalau paman bunuh saja mereka...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi seolah di dunia ini dialah yang paling berkuasa dalam segala-galanya.
"Hemm. Sebuah gagasan yang paling sangat hamba senangi. Semoga hamba dapat menjalankannya dengan baik...!" kata Gending Sora menyanggupi.
Maha Diraja Setan Bumi menganggukanggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku merasa bangga sekali andai paman benar-benar dapat menjalankan semua yang saya perintahkan dengan baik...!"
"Oh ya kapan saya harus berangkat, yang mulia?"
"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" kata Maha Diraja Setan Bumi berwibawa.
"Kalau begitu hamba mohon diri, yang mulia...!"
Gending Sora kemudian membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam, setelah itu laki-laki bertelanjang dada inipun sudah melangkah pergi meninggalkan ruangan singgasana raja yang sangat mewah itu.
* * *
Kematian Asoka kiranya menimbulkan dendam kesumat bagi Beng Ju. Diam-diam di luar sepengetahuan Beng Lie yaitu kakak seperguruannya ia mulai menghubungi beberapa orang tokoh silat beraliran hitam. Biksu berangasan yang dulunya ketika berada di negeri leluhurnya merupakan bekas tokoh sesat yang kemudian bersumpah melakukan tobat ini secara diam-diam hendak melakukan balas dendam dengan cara menyewa jagojago bayaran yang memiliki kepandaian tinggi.
Malam itu ketika kakak seperguruannya sedang terlelap dalam tidurnya. Di sebuah tenda lain yang terletak tidak begitu jauh dari tenda yang ditempati Beng Lie. Beberapa orang berpakaian serba hitam nampak bermunculan dari kegelapan. Mereka terdiri dari empat laki-laki yang kesemuanya bersenjata lengkap. Tidak begitu lama setelah kemunculannya dari bawah lereng bukit itu, maka keempatnya pun segera pula menyusup ke dalam tenda. Biksu Beng Ju menyambut kehadiran mereka dengan sesungging senyum ramah. Laki-laki berusia lima puluhan itu nampak mengelus-elus kepalanya yang botak plontos sebelum mempersilahkan tamu-tamunya duduk pada tempatnya masing-masing.
"Ha... ha... ha...! Ternyata kalian datang menepati janji. Hih aku paling suka pada orang yang selalu menepati janjinya...!"
"Kami empat bersaudara Macan Bromo tidak pernah mengingkari janji manapun yang pernah kami buat...!" yang berkata adalah seorang laki-laki bertubuh kurus muka kuning kayak kunyit.
"Apalagi janji itu menyangkut masalah uang emas seperti yang anda janjikan. Ah... tak seorangpun yang menolak rejeki. Terkecuali orang itu benar-benar sudah tidak waras, ya saudarasaudara...!" kata laki-laki yang berada di sebelahnya. Perlu di ketahui kalangan persilatan mengenal laki-laki muka pucat itu sebagai manusia yang paling sadis diantara tiga orang saudara lainnya. Ucapan laki-laki itu langsung disambut dengan derai tawa kawan-kawannya. Tetapi Biksu Beng Ju langsung memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.
"Sstt. Jangan keras-keras, jika koko sampai terjaga semua rencana kita bisa berantakan...!"
Empat bersaudara Macan Gunung Bromo langsung hentikan tawanya ketika melihat isyarat itu.
"Sudah kukatakan sejak semula, bila sedang berada di lingkungan sini kalian harus hatihati kalau bicara. Kokoku sama sekali tidak mengetahui rencana yang telah kukatakan pada kalian itu." kata Biksu Beng Ju setengah berbisik.
"Apakah dia tidak setuju dengan rencana anda?"
"Bukan apa, koko orangnya terlalu penyabar. Kematian adik seperguruan kami, baginya hanya merupakan sebuah takdir yang telah digariskan oleh Sang Hyang Widi. Aku mana bisa terima begitu saja. Apalagi aku secara pribadi masih belum dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang telah melakukan pembunuhan ini...!"
"Bagaimana mungkin kami bisa mendapatkannya. Sedangkan siapa yang membunuh adik seperguruan anda itu kami tidak tabu secara pasti...!" tanya si muka hitam, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan berambut jarang.
Beng Ju nampak tercenung dan cengengesan begitu mendengar pertanyaan si muka hitam. Tetapi ketika ia teringat pada pemuda berkuncir itu, tiba-tiba mulutnya menyeringai. Timbul pula dugaannya mungkin saja pemuda berilmu tinggi itulah yang telah membunuh Asoka. Hanya saja mereka tidak memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menuduh secara langsung bahwa pemuda itulah yang telah membunuh dan membakar perumahan darurat yang telah dibuat Asoka untuk para muridnya. Perasaan penasaran yang disulut oleh api kemarahan karena ternyata tidak mudah mencari jejak siapakah yang telah membunuh Asoka, di tompang lagi atas rasa kecewanya ketika melawan pemuda itu, telah benar-benar membuat Beng Ju sampai pada kesimpulan bahwa pemuda berpakaian kumuh itulah yang telah membunuh adik seperguruannya. Tidak salah jika kemudian ia berucap; "Sebenarnya saya sudah dapat menduga bahkan pernah bertemu dengan orang yang telah membunuh adik seperguruan kami itu. Namun saat itu kami, terutama saya tidak berani mengambil tindakan begitu saja berhubung kami harus mengurus mayat saudara kami itu...!"
"Siapakah dia...?" tanya Macan Gunung Bromo secara serentak.
"Saya tidak mengenal namanya, tetapi saya, ingat ciri-cirinya...!" kata Beng Ju dengan sesungging senyum licik.
"Coba tolong sebutkan ciri-ciri orang yang telah membunuh saudara seperguruan anda itu. Jangan khawatir, kami pasti mampu menyeret orang itu ke hadapan anda, bila perlu kami akan memenggal kepalanya sebagai imbalan atas upah yang telah anda janjikan kepada kami...!"
"Heek... he... he...! Aku percaya atas kesanggupan saudara-saudara sekalian. Mengenai upah itu sebagian akan diberikan sekarang, sedangkan sebagian lagi akan aku berikan setelah anda sekalian berhasil membunuh pemuda berkuncir itu " kata Biksu Beng Ju. Tak lama setelah secara singkat laki-laki itu menceritakan ciri-ciri Pendekar Hina Kelana secara lengkap.
Sebelum empat bersaudara Macan Gunung Bromo meninggalkan tenda dan menghilang di kegelapan malam, Biksu Beng Ju memberikan sepuluh keping uang emas sebagai pembayaran awal buat para pembunuh bayaran dari gunung Bromo. Di luar sepengetahuan orang-orang yang berada di dalam tenda maupun empat laki-laki jago bayaran itu. Kiranya ada sepasang mata sejak tadi ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Orang yang mengintai dari balik semak-semak belukar itu merasa sangat geram sekali mendengar ucapan Beng Ju. Apalagi hal itu menyangkut nama baiknya. Namun sejauh itu ia tidak ingin bertindak secara gegabah. Walau bagaimanapun masih ada tugas penting yang harus dikerjakannya. Tidak perduli apakah keselamatan dirinya sedang dalam keadaan terancam.
--₪¦ « 7 » ¦₪--
Hanya satu hari saja Buang Sengketa berada di rumah Ki Langu, selanjutnya ia meneruskan perjalanannya kembali seorang diri. Sebenarnya gadis yang bernama Cempaka itu juga ingin turut menyertainya. Karena secara diam-diam ia mulai merasa tertarik pada Buang Sengketa. Si pemuda tahu betul hal itu. Namun ia menolak keinginan Cempaka dengan sebuah alasan yang sangat tepat. Namun siapa sangka secara diam-diam rupanya Cempaka terus mengikuti si pemuda dari jarak yang cukup jauh. Sementara itu sekarang Buang telah sampai di daerah bukit Gentar. Yaitu sebuah tempat yang berbatasan dengan bukit Api Abadi tempat bersemayamnya manusia dedemit yang sering disebut-sebut sebagai Kanjeng Guru oleh para pengikutnya. Namun karena perjalanannya tanpa petunjuk dan tujuan maka sasaran yang hendak ditujunya masih bersifat untunguntungan.
Belum lama menelusuri jalan yang tidak seberapa lebar, Buang mendengar adanya derap langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Sedikit banyaknya tentu ia merasa curiga dengan kehadiran orang berkuda di tempat yang sepi itu. Tak ayal pemuda keturunan raja dari Negeri Alam Gaib inipun langsung melompat ke tengah semaksemak mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu dan kejauhan sana nampak seorang laki-laki bertelanjang dada sedang memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Buang tidak mengenal sama sekali siapa sebenarnya laki-laki yang duduk terguncang-guncang di atas kuda putih itu. Namun untuk menarik perhatian akhirnya ia menampakkan diri dari persembunyiannya. Bagai tak pernah terjadi sesuatu apapun dengannya Pendekar Hina Kelana kembali melangkah dengan sikap tenang. Sementara penunggang kuda itu telah begitu dekat sekali dengan si pemuda.
"Hei... berhenti...!" hardik si penunggang kuda yang tak lain Gending Sora adanya. Mendapat perintah seperti itu, Buang Sengketa langsung hentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan sikap seolah-olah bagai orang tolol. Pada saat itu penunggang kuda yang tadi membentaknya, sekarang juga telah pula menghentikan laju kudanya. Seraya memandang tajam pada pemuda ini, ketika sesaat setelahnya pertanyaannya pun menggeledek.
"Hei bocah berpakaian dekil. Apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian kuning yang dipunggungnya membawa sebuah topi. Maksudku topi baja...?" ujar laki-laki bertelanjang dada itu merasa kesukaran untuk mengatakan ciri-ciri si Topi Terbang.
"Ah maaf kisanak. Sama sekali aku tidak melihat ciri-ciri orang yang anda sebutkan...!" kata si pemuda tenang.
"Ah masak kau tidak melihat orang yang seperti saya sebutkan tadi?" sentak si laki-laki bertelanjang dada yang tak lain Gending Sora adanya.
"Aku benar-benar tidak melihat orang yang anda sebut itu kisanak. Kalaupun ada paling mereka yang baru pulang dari ladang, pedagang sayur dan barusan ada juga pedagang tempe. Apakah pemuda berpakaian kuning yang kisanak maksud adalah seorang pedagang terasi dan ikan asin?" pancing Buang Sengketa. Nampaknya pancingan pemuda itu memang mengena. Terbukti wajah laki-laki berumur empat puluh delapan tahun itu berubah merah padam. Pipi menggelembung tan-da bahwa laki-laki ini sedang berusaha menahan kemarahannya.
"Kau benar-benar keterlaluan, bocah. Tahukah kau bahwa orang yang kucari-cari itu merupakan manusia yang dapat mencopot kepalamu hanya dalam waktu sekedipan mata. Maka hatihatilah kalau kau ingin bicara. Salah-salah nyawamu yang melayang." kata Gending Sora tanpa maksud mengancam.
"Oh kalau begitu dia merupakan tukang jagal yang harus pula di jagal. Kurang ajar. Apakah kawanmu itukah yang telah menjagal anjing dan babi-babi orang kampung itu...?" tanya si pemuda dengan maksud tersembunyi.
"Keparat. Berhati-hatilah kau bicara, salahsalah akupun tidak akan mengampunimu...! Sekarang menyingkirlah kau... aku tak punya banyak waktu untuk melayani manusia gembel semacammu...!" sentak Gending Sora. Saat itu ia sudah bermaksud membedal kudanya. Tetapi Buang Sengketa malah melompat dan menghadang di tengah-tengah jalan.
"Sebaliknya kaulah yang harus beri keterangan padaku, sobat...! Atau aku akan menghadiahkan sesuatu yang terbaik untukmu...!"
"Kurang ajar. Berani sekali kau menghalangi langkahku. Sesungguhnya siapakah engkau ini...?" Gending Sora balik bertanya.
"Hanya merupakan orang yang kebetulan lewat di jalan ini. Tetapi jelas aku ingin mengetahui siapakah sebenarnya yang menjadi biang keladi penyebar racun Pemberontakan Jiwa...!"
Gending Sora terkesiap mendengar ucapan si pemuda, sama sekali ia tiada menduga bahwa pemuda berperiuk itu kiranya manusia yang pantas dicurigai dan dapat membahayakan kelangsungan pembangunan Kerajaan iblis. Merupakan suatu kehormatan baginya di hadapan Maha Diraja Setan Bumi andai dapat menangkap pemuda itu hidup ataupun mati. Tidak salah kalau beberapa saat setelah itu iapun membentak garang:
"Bocah! Siapapun adanya engkau ini, aku pantas mencurigaimu. Lebih baik menyerahlah kau pada utusan pembesar Kerajaan...!"
Sebuah harapan baru untuk mengetahui siapa sebenarnya laki-laki penunggang kuda itu muncul dibenaknya.
"Hemm. Kiranya anda merupakan utusan dan seorang pembesar Kerajaan iblis...!"
"Hua... ha... ha...! Pandai betul kau menebak. Aku memang utusan dari Kerajaan iblis. Nah setelah engkau mengetahuinya cepat-cepatlah menyerah...!"
Buang Sengketa yang mulanya hanya mereka-reka, tidak pernah menyangka bahwa apa yang dikatakannya itu ternyata memiliki kebenaran. Akhirnya iapun tertawa ganda.
"Kalau benar kau merupakan utusan Kerajaan Iblis. Maka sangat keliru jika kau menyuruh bapak moyangnya raja iblis menyerah pada cucunya...!" teriak si pemuda setengah bergurau. Semua itu kiranya hanya membuat Gending Sora menjadi marah luar biasa. Dengan cepat Gending Sora melompat dari punggung kudanya, sambil melompat laki-laki ini hantamkan tangan kanannya mengarah pada bagian wajah si pemuda. Tidak usah merasakan pemuda itu dapat menduga bahwa pukulan yang dilakukan oleh lawannya pastilah mengandung tenaga dalam yang kuat. Terbukti terasa adanya sambaran angin yang begitu deras menyertai datangnya pukulan yang dilepaskan oleh laki-laki bertelanjang dada ini. Sebelum pukulan yang dilepaskan Gending Sora menghantam bagian rahang Buang Sengketa. Pemuda itu telah doyongkan tubuhnya ke samping kiri selanjutnya melakukan salto beberapa kali.
Wueees...!
Pukulan yang dilepaskan oleh Gending Sora luput dari sasarannya. Melihat kemampuan yang dimiliki oleh si pemuda tentu saja Gending Sora terkejut di samping bercampur heran. Selama ini belum pernah seorang lawan manapun yang mampu mengelakkan pukulan mautnya yang terkenal dengan sebutan pukulan Inti Halilintar. Ataukah karena melepaskan pukulan tadi ia bersifat ayal-ayalan hingga pukulan itu dengan mudah dapat dielakkan oleh lawannya? Rasanya tidak mungkin, sebab sejak melakukan pukulan tadi Gending Sora telah melakukannya dengan gerakan yang amat cepat. Mustahil pemuda itu dapat mengelakkannya begitu mudah jika ia tidak memiliki kepandaian silat yang hebat.
Gending Sora nampaknya sudah tidak memikirkan apakah lawan yang dihadapinya itu hebat atau tidak. Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah bagaimana caranya ia dapat menjatuhkan lawan dalam waktu yang sangat singkat. Itu sebabnya begitu pukulan pertamanya luput maka iapun kembali merangsak.
"Chaaaaa... Heiiiit...!"
Buang Sengketa akhirnya tidak dapat lagi bersikap setengah-setengah. Dengan mempergunakan jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra dan juga jurus si Gila Mengamuk pendekar ini dengan lincah terus berkelit menghindari pukulan-pukulan lawannya yang selalu mendatangkan hawa panas luar biasa. Tanpa terasa dalam waktu sekejap pertarungan telah berlangsung dua puluh jurus. Saat itu padahal Gending Sora telah menguras sebagian dari kemampuan yang dimilikinya.
"Bocah kuharap kau jangan hanya sekedar mengelak dan menangkis. Kalau kau merasa punya kemampuan yang diandalkan. Cepat-cepatlah tunjukkan sebelum segala-galanya benarbenar terlambat...!" bentak Gending Sora. Saat itu ia telah rangkapkan kedua tangannya. Mungkin tak lama lagi ia akan melepaskan pukulan yang sangat diandalkannya. Buang Sengketa pun nampak terkesiap ketika melihat tangan Gending Sora sekarang telah berubah putih kehitam-hitaman.
"Hiaat...!"
Pendekar titisan Raja Ular Piton Utara ini melompat tiga tombak ke belakang. Kemudian kedua tangannya ia angkat tinggi di atas kepala. Dengan mempergunakan setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya pemuda ini bersiap-siap melepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan itu.
"Hiaaat...!"
Gending Sora merangsak mendahului, sementara Buang Sengketa tetap pada posisinya bertahan. Wuuuus...!
Bet. Deb... deb...!
Selarik Sinar Hitam yang menebarkan bau menusuk melesat cepat dari bagian tangan Gending Sora. Sebaliknya serangkum gelombang sinar Ultra Violet menderu pula dari telapak tangan Buang Sengketa. Terdengar suara bergemuruh saat dua pukulan bertenaga sakti itu saling berlomba mendahului, hingga akhirnya saling berbenturan dan terasa bagai meruntuhkan tebing-tebing di sisi jalan itu.
Blaaamm...!
Buang Sengketa nampak tergetar tubuhnya, bagian dada terasa sesak dan sangat sulit untuk bernafas. Namun manakala ia melihat ke arah lawannya, maka kelihatan lah Gending Sora sempat terlempar dua tombak, dari celah-celah bibir lakilaki itu mengalir darah kental. Namun sungguh hebat daya tahan yang dimiliki oleh Gending Sora, sungguhpun ia telah terluka dalam. Namun cepatcepat bangkit kembali. Dengan pandangan nanar diperhatikannya Buang Sengketa dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Kau memang hebat bocah. Siapakah engkau ini...?" tanyanya dengan suara tergetar. Si pemuda hanya tersenyum sinis.
"Nama bukanlah sesuatu yang pantas di agul-agulkan, sobat. Namun jika kau masih merasa penasaran juga, orang-orang menyebutku dengan si Hina Kelana...!"
"Jadi engkaulah yang berjuluk pendekar Golok Buntung itu...?" sentak Gending Sora dengan mata berbinar-binar.
"Kalau tak salah begitulah orang-orang persilatan memanggilku...!"
Entah apa yang menyebabkannya, tahutahu Gending Sora tergelak-gelak. Hal itu berlangsung lama sekali sehingga membuat suara Gending Sora menjadi serak.
"Barangkali orang ini telah menjadi gila...!' gumam Buang Sengketa di dalam hati.
"Kau tentunya muridnya si Bangkotan Koreng Seribu? Sudah sangat lama sekali seluruh keluargaku mendendam pada kakek pikun itu. Namun kabar yang kudengar orang tua itu sudah keburu mampus. Selain itu sebagai muridnya kau tidak lebih gila dari gurumu sendiri. Bahkan kau telah berhutang nyawa padaku...!" kata laki-laki itu dalam kegusarannya.
"Dan kau lebih berhutang nyawa pada Maha Diraja Setan Bumi...!"
"Aha... kau jangan coba-coba bercanda sobat. Bertemu denganmu saja baru kali ini. Bagaimana mungkin aku berhutang nyawa padamu dan juga pada orang yang kau sebut-sebut sebagai Maha Diraja Setan Bumi?" tanya Buang Sengketa di liputi ketidak mengertian.
"Kau jangan berdusta. Bukankah engkaulah kunyuk yang telah membunuh Padri Mata Elang dan puluhan manusia tidak berdosa lainnya di Sindang Darah?" tanya Gending Sora dengan suara ketus.
Buang Sengketa merasa kaget bukan alang kepalang. Lalu secara perlahan teringatlah olehnya peristiwa beberapa tahun yang lalu. Pembantaian di Sindang Darah bukanlah sesuatu yang tidak memiliki alasan-alasan yang kuat. Bahkan saat itu justru pemuda itulah yang melerai peperangan massal dan menyelamatkan mereka dari amukan buaya-buaya jejadian yang menghuni sindang itu. Mereka yang terbunuh dan saling bunuh itu semata-mata hanya karena ingin memperebutkan kitab yang berisi dua belas jurus aneh peninggalan Padri Agung Pengayom Jagad. Sedangkan kematian Padri Buta Mata Elang, semuanya semata-mata karena keserakahannya sendiri ingin merampas peninggalan gurunya. Padahal jelas nyata Padri Mata Elang merupakan murid tersesat jauh dari kebenaran. Kalau itulah yang dipertanyakan oleh Gending Sora, sudah jelas baginya bahwa orang yang sekarang berdiri tegak di hadapannya itu tak lebih dari orang yang telah dibunuhnya beberapa tahun yang silam.
"Jangan kau kira mereka yang telah mampus di Sindang Darah itu bukanlah manusiamanusia yang tiada berdosa. Selamanya aku tak pernah berani turun tangan secara gegabah jika tidak mempunyai alasan yang kuat untuk melakukannya...!"
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi mana aku mau percaya begitu saja...!" sentak Gending Sora dengan wajah merah padam.
"Kalau kau tidak mau percaya juga. Nah sekarang kau bisa berbuat apa?" tanya Buang Sengketa dalam kedongkolannya.
"Aku akan menangkapmu hidup atau mati...!"
"Kalau kau merasa punya kemampuan. Kupersilahkan melakukannya...!"
"Jahanam, kau benar-benar manusia keparat, Hiaaat...!"
Dalam kemarahannya itu, terlebih-lebih setelah mengetahui siapa sebenarnya pemuda yang dihadapinya, Gending Sora tidak ingin bertindak setengah-setengah. Sekali menerjang laki-laki bertelanjang dada ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Namun si pemuda lebih sadar lagi siapa sebenarnya orang yang dihadapinya. Dengan mempergunakan ilmu silat tangan kosong yang diberi nama Si Jadah Terbuang. Pendekar Hina Kelana langsung memapaki atau mengelakkan setiap serangan gencar yang dilakukan oleh lawannya. Di tempat yang sunyi itu pertarungan kembali berlangsung. Masing-masing lawan mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Gending Sora dengan mengandalkan silat tangan kosong dan pukulan-pukulan gencar mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Bahkan berulang kali ia melepaskan pukulan Inti Halilintar, tetapi Buang Sengketa tidak mau mengalah begitu saja. Dengan mempergunakan pukulan Si Hina Merana. Buang memapaki serangan gencar lawannya. Tak ayal ledakan-ledakan keras yang disertai dengan hawa panas yang tiada terperikan memenuhi sekitar pertempuran. Masingmasing lawan nampaknya sudah mengalami luka dalam yang cukup berarti.
Menghadapi kenyataan ini Buang Sengketa akhirnya mengambil keputusan untuk menyudahi pertarungan secepat mungkin. Maka ketika Gending Sora menyerangnya dengan jarak yang begitu dekat. Tak ayal lagi pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara inipun mencabut Golok Buntung yang terselip di bagian pinggangnya.
Sriiing...!"
Terlihat kilauan cahaya merah menyala saat senjata maut itu tercabut dari sarungnya. Udara di sekitar tempat itu mendadak berubah menjadi dingin luar biasa. Hanya sesaat saja Gending Sora terperangah dengan kedua mata membelalak bagai hendak melompat ke luar. Namun detik selanjutnya ia harus menghindari terjangan senjata pusaka di tangan si pemuda yang selain menimbulkan udara dingin juga mengeluarkan suara gaung bagai puluhan harimau terluka. Sekali dua sambaran senjata itu dapat dielakannya. Namun ketika untuk yang kesekian kalinya senjata itu berkelebat.
"Nguuung... Jraas...!"
"Arrrghk...!"
Gending Sora keluarkan jeritan tinggi menyayat. Bagian tangannya terbabat sampai sebatas pangkal lengan. Cepat-cepat laki-laki itu menotok jalan darahnya, tiba-tiba saja ia merasa gentar menghadapi pemuda itu. Lalu ia langsung melemparkan sesuatu ke depan si pemuda.
"Buuummm!"
Suasana menjadi gelap gulita. Buang memaki dalam hati karena musuhnya telah berbuat licik. Kemudian lebih cepat lagi dia melompat menghindari kungkungan asap tebal yang menyelimutinya. Namun ketika ia terbebas dari kungkungan asap hitam itu. Ia sudah tidak melihat lagi lawannya berada di sekitar situ. Tak ayal lagi pemuda inipun langsung melakukan pengejaran.
--₪¦ « 8 » ¦₪--
"Ada apa...?" tanyanya pada adik seperguruan yang kebetulan tugas jaga malam itu.
"Cel... celana, eeh celaka, kakang...! Si Topi Terbang melarikan diri dari penjara...!" lapor orang itu dengan wajah pucat pasi. Siapapun yang berada di padepokan itu menyadari Pramesta adalah orang yang sangat disegani di kalangan padepokan, selain ia berotak cerdas, tetapi juga sangat jarang sekali berbicara pada siapapun terkecuali dianggap perlu sekali.
Tanpa berkata-kata lagi kemudian Pramesta menyeruak diantara kerumunan sekian banyak orang yang berada di depannya. Dengan diikuti oleh yang lain-lainnya, pemuda itupun berlari cepat menuju ke arah penjara. Sesampainya di sana ia terlongong-longong, pintu penjara nampak di jebol secara paksa. Ini sebuah kemungkinan yang sangat sulit ia percaya, bagaimanapun si Topi Terbang dalam keadaan terikat dan tanpa senjata, bagaimana mungkin ia dapat melakukannya tanpa bantuan orang lain. Mungkinkah diantara adikadik seperguruanku ada yang berhianat? Kalau pun memang benar apa yang menjadi dugaanku, tapi siapakah yang melakukannya? Agaknya aku perlu meneliti mereka satu persatu. Batin Pramesta. Kemudian dipandanginya adik-adik seperguruan yang jumlahnya tak lebih dari sebelas orang termasuk dua orang adik seperguruan perempuan. Namun di antara mereka tidak terlihat kehadiran Asih Angraeni.
"Adik Kurnia Dewi...? Tidak kulihat Asih Angraeni diantara kalian. Coba kalian lihat di dalam kamarnya...!" perintahnya curiga.
"Baik kakang...!"
Kurnia Dewi dengan ditemani dua orang saudara perguruan langsung bergegas menuju ke bagian kamar Asih Angraeni. Namun mereka jadi terperanjat manakala melihat kamar kakak seperguruannya kosong.
"Celaka. Kak Asih tidak ada di tempatnya...!" seru Kurnia Dewi, lalu memandang pada dua orang lainnya.
"Sebaiknya kita laporkan saja pada kakang Pramesta...!" usul salah seorang dari mereka. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera bergegas keluar.
"Bagaimana? Apakah Asih Angraeni ada di dalam kamarnya...?" sambut Pramesta merasa tak sabaran lagi.
"Dia tidak ada di tempat, kakang...!" lapor gadis itu dengan wajah ketakutan.
Pramesta bukan main geram. Sebagaimana ia ketahui Asih Angraeni selama ini punya hubungan asmara dengan si Topi Terbang. Kemungkinan bagi Asih Angraeni untuk menyelamatkan si Topi Terbang besar sekali.
"Tidak kusangka pada akhirnya ia rela mengkhianati kita hanya demi kepentingan manusia sesat seperti si Topi Terbang. Siapapun majikan si Topi Terbang, yang jelas suatu saat dia pasti datang kemari untuk mengadakan pembalasan. Entah bagaimana aku harus bertanggung jawab pada Eyang Guru. Tetapi menunggu kedatangannya merupakan sebuah penantian yang sangat membosankan. Ada baiknya kalau aku dan Kurnia Dewi melakukan pengejaran sebelum si Topi Terbang memberi laporan pada majikannya...!" kata Pramesta memutuskan.
"Kami harus ikut, kakang...!" ujar yang lainlainnya secara serentak. Namun Pramesta cepat-cepat gelengkan kepalanya.
"Kalau kalian semua mau ikut, lalu siapa yang menunggui padepokan ini...?"
"Tapi kang, haruskah kami bertahan di sini selamanya. Kami juga ingin mengetahui perkembangan dunia luar...!" Pramesta kembali gelengkan kepalanya. Dengan berwibawa kemudian ia berucap: "Kalau kalian bersikeras juga ingin tetap pergi. Maka kalian boleh melakukannya. Sementara biar aku seorang diri tetap tinggal di padepokan ini...!"
"Kalau kakang yang memilih tinggal di padepokan maka kami membatalkan niat untuk mencari si Topi Terbang dan adik Asih Angraeni. Siapa sih diantara kami yang sanggup mengalahkan kakang Topi Terbang terkecuali kakang Pramesta seorang." tukas salah seorang dari mereka dengan nada kecewa.
"Itulah sebabnya kalian harus mengikuti semua petunjukku. Sebab bukan si Topi Terbang dan Asih Angraeni saja yang akan kucari, tetapi juga aku ingin mengetahui untuk siapa si Topi Terbang bekerja."
"Baiklah kakang. Kalau semua itu sudah menjadi kehendak kakang. Kami hanya menurutinya saja." jawab yang lain-lainnya serentak.
Tidak begitu lama setelah itu berangkatlah Pramesta beserta Kurnia Dewi. Beberapa orang murid lainnya hanya mengantar kepergian mereka sampai di pinggiran kaki gunung Ungkur. Karena dalam melakukan perjalanan itu baik Pramesta maupun Kurnia Dewi mempergunakan ilmu lari cepat. Maka dalam waktu sebentar saja mereka telah begitu jauh meninggalkan gunung Ungkur.
* * *
Di sebuah pohon yang rindang, empat orang laki-laki bertampang kasar itu nampak melepaskan lelah. Wajah mereka membayangkan rasa letih yang teramat sangat. Tidak mengherankan karena sudah hampir delapan hari lebih mereka melakukan perjalanan tanpa beristirahat barang sebentar. Sebagai jago-jago bayaran sudah barang tentu mereka merasa penasaran karena orang yang dicari-carinya masih belum juga bertemu hingga sekarang. Sambil menyantap bekal yang mereka beli dari warung siang tadi. Salah seorang dari mereka berucap: "Sekarang entah berada di mana, kita-kita ini. Batang hidung orang yang kita caripun hingga kini kita belum melihatnya. Mulutku sudah capek bertanya pada setiap orang yang lewat. Namun tetap saja mereka gelengkan kepala. Atau mungkinkah orang yang kita cari-cari itu merupakan pendatang asing?"
"Asing atau bukan Empat Macan Gunung Bromo tidak perduli. Yang paling penting kita harus dapat menangkapnya cepat atau lambat...!" sahut laki-laki kurus muka kunyit menimpali.
"Wuaah...!" laki-laki yang sejak tadi senderan di batang pohon menguap berkali-kali. Nampaknya ia tidak begitu perduli dengan pembicaraan yang sedang berlangsung.
"Langit di atas sana nampak mendung. Mendung tebal lagi, sebentar lagi hujan segera turun. Hujan juga pasti akan deras. Ah, para iblis itu rupanya tahu bahwa aku memang belum mandi sudah lebih dari lima belas hari. Orang-orang di langit memang selamanya bersikap baik kepadaku. Semoga cepat-cepatlah hujan turun. Badanku rasanya sudah bau terasi. Panas begini nggak bisa ngimpi...!"
"Kau memang selalu menjengkelkan adi...! Setiap habis makan otakmu memang paling susah diajak mikir...!" sentak laki-laki lainnya dengan wajah memberengut.
"Walaupun aku tidak ikut bicara apa-apa. Tetapi aku selalu mendengar apa yang kalian katakan...! Kalau mau bicara silakan, tokh aku hanya ingin tidur, walau pun cuma sebentar...!" kata si muka pucat sambil tersenyum mencibir.
"Heh... Macan Gunung Bromo dalam sejarahnya belum pernah gagal dalam memburu mangsa. He... he... he... para Biksu itu mengupah kita sudah barang tentu karena telah mengetahui kehebatan kita. Setidak-tidaknya berita tentang kehebatan Macan Gunung Bromo telah mereka dengar dari orang lain." kata si muka kunyit kembali pada persoalan semula.
"Hina Kelana, begitu yang kudengar julukan pemuda berkuncir itu. Kurasa tidak begitu sulit untuk menangkapnya. Tetapi andai jejaknya saja kita terlalu sulit untuk melacaknya. Bagaimana mungkin kita dapat berbuat banyak...!"
"Jangan terlalu mudah putus asa. Kalau dia bukan bangsanya memedi ataupun siluman. Kesempatan untuk menjumpainya besar sekali." desah si wajah hitam legam di sela-sela tidurnya.
Tiga orang kawan langsung menoleh pada si muka hitam. Lalu mereka pun saling berpandangan.
"Heran. Dalam keadaan mata terpicingpun ia masih mendengar apa yang kita bicarakan..." kata si muka kunyit.
"Yang terpicing itu mata, yang namanya kuping tetap aja mendengar. Kalau kalian merasa penasaran sebenarnya yang namanya si Hina Kelana itu berada di sekitar sini...!"
"Haaa...!" seru tiga orang lainnya dengan mata membelalak tak percaya. Sekali lagi mereka menoleh ke arah si muka hitam yang sedang tertidur lelap.
"Kau bicara apa adi? Kau bilang pemuda berkuncir itu berada di sekitar kita?" tanya si muka pucat keheranan.
Namun tiada jawaban yang keluar dari mulut si muka hitam.
"Ketahuan orang lagi tidur. Tapi masih juga kau ajak bicara...!" cetus si muka kunyit. Sekali lagi kembali berpandangan.
"Mata kalian nggak pernah mau melihat lebih teliti. Sudah kukatakan yang namanya si Hina Kelana itu yang di sini ini." Kali ini terdengar sebuah suara yang agak lain dari suara si muka hitam. Salah seorang dari mereka langsung melompat dan mengguncangkan tubuh adiknya. Tetapi orang itu diam tiada bergeming.
"Sial dangkal, sebenarnya dia sedang tidur. Bagaimana mungkin dia dapat mendengar apa yang kita bicarakan...?" tanya si muka kunyit.
Pada saat mereka diliputi perasaan bingung seperti itulah tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dari atas pohon.
"Sejak kemarin orang tidur memang tidak mungkin mendengar orang yang sedang bicara. Kalaupun bisa paling tidak hantunya. Ha... ha... ha...! Katanya kalian akan menangkapku karena mendapat upah yang lumayan besar dari Biksu dungu itu. Mengapa harus bersusah payah mencariku jauh-jauh. Tokh sekarang aku telah berada di sini...!"
Karena suara itu bersumber dari atas pohon, maka secara serentak mereka mendongakkan kepalanya ke arah pohon itu.
Namun tak seorangpun terlihat di sana. Kalau bukannya jenis memedi, mana mungkin orang yang berkata-kata itu terlihat sama sekali. Padahal pohon itu tidak begitu rindang. Siapapun yang bersembunyi di sana setidak-tidaknya diantara kami pasti ada yang melihatnya. Gumam si muka kunyit sambil hentakkan kakinya.
"Orang di atas pohon. Kami harap mau menampakkan diri, jika tidak pohon ini kami robohkan..!" ancam si muka pucat.
"Kalau kau punya kemampuan. Mengapa tidak segera kau lakukan muka mayat?"
Mendapat tantangan seperti itu, muka mayat tidak pikir panjang lagi. Cepat-cepat dia kerahkan tiga seperempat tenaga dalamnya. Sebentar saja kedua tangan yang telah teraliri tenaga dalam itu telah berubah menjadi kebiru-biruan.
Tiba-tiba dia melompat ke depan disertai teriakan melengking.
"Heaaah...!"
"Hei tunggu...!" seru si muka kunyit secara mendadak. Praktis gerakan si muka pucat langsung terhenti. Dalam keadaan marah dia menoleh.
"Ada apa, kakang...!" sentaknya dengan perasaan tidak senang.
"Apakah kau hendak membunuh adi hitam yang sedang tertidur...?"
"Sialan. Kambing dungu ini memang selalu membuat pekerjaanku jadi tertunda. Singkirkan dia!" perintah si muka pucat merasa tidak sabaran. Begitu salah seorang menyambar tubuh si muka hitam. Tak ayal lagi terdengar sebuah seruan panjang.
"Hantaaaaam...!" teriak muka kunyit memberi aba-aba.
"Hiaaat...!" Deer Kraaak...!
Tak ayal lagi pohon besar itupun tumbang dengan menimbulkan suara berdebum. Namun mereka yang menyaksikan robohnya pohon itu tidak melihat berkelebatnya seseorang dari kerimbunan pohon yang berhasil dirobohkan oleh si muka pucat.
"Ah... hanya orang gila saja yang mau melakukan pekerjaan sia-sia. Pohon tidak memiliki salah apa-apa. Hemm. Sungguh kalian merupakan kuli-kuli penebang pohon yang pantas diacungi jempol...!" kata sebuah suara yang pemiliknya tak lain Buang Sengketa adanya.
"Keparat. Orang itu benar-benar memiliki kepandaian yang luar biasa...!" geram si muka hitam yang baru saja terjaga dari tidurnya. Sebenarnya apakah yang terjadi? Padahal Empat Macan Gunung Bromo sudah merasa yakin kalau orang yang mereka buru berada di atas pohon itu. Ternyata di luar sepengetahuan mereka Pendekar Hina Kelana begitu mengetahui si muka mayat hendak merobohkan pohon, dengan mempergunakan Ajian Sapu Angin dan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna Buang menggenjot tubuhnya dan berpindah ke tempat lainnya. Begitu pohon roboh jelas saja pemuda yang mereka caricari sudah tidak berada di tempatnya lagi. Sekarang setelah berada di atas pohon lainnya, dengan suara lantang pemuda itu berkata:
"Kusadari kalian hanya mencari persoalan denganku. Sedangkan aku sendiri tidak pernah menanam permusuhan, meskipun dengan bapak moyangmu. Kukatakan lebih tegas lagi pada kalian bahwa sebenarnya Biksu itu hanya salah sangka. Sama sekali aku tidak membunuh saudara seperguruannya. Pulanglah, nak... tidak ada gunanya kalian memusuhiku. Karena semua usaha kalian hanya akan sia-sia belaka...!" desis si pemuda tanpa maksud menakut-nakuti. Namun Empat Macan Gunung Bromo bukanlah para tokoh persilatan yang dapat digertak dengan mudah. Pabila mendengar sumber suara, orang yang baru saja berkata-kata tadi pastilah berada di pohon yang terletak si sebelahnya. Secara diam-diam mereka mengerahkan setengah dari tenaga sakti yang mereka miliki. Kemudian langsung menyalurkannya ke arah kedua telapak tangan. Pendekar Hina Kelana kiranya menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini. Tidak ingin menanggung akibat buruk yang mungkin saja terjadi pemuda inipun bersiap-siap memapaki pukulan mereka dengan mempergunakan pukulan ampuh si Hina Kelana Merana. Ketika pemuda itu rangkapkan kedua tangannya ke udara dari bawah sana, dengan disertai teriakan menggemuruh menderulah empat gelombang sinar menyilaukan meluruk ke arah kerimbunan pohon tempat di mana Buang Sengketa berada. Sesaat pemuda ini terkesiap. Sama sekali ia tidak menyangka empat tenaga gabungan itu menimbulkan kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih cepat lagi si pemuda hantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuus...!
Serangkum gelombang yang memancarkan sinar merah menyala langsung melesat dari bagian telapak tangan si pemuda. Sinar hitam pekat yang disertai kabut langsung menghantam tenaga sakti yang dilepaskan oleh Buang Sengketa.
"Blaaam...!"
Empat kali ledakan berturut-turut terasa bagai mengguncangkan seisi bumi. Dahan yang dipergunakan oleh si pemuda untuk berpijak patah di beberapa bagian. Tak ayal lagi tubuh pemuda itupun jatuh terhempas bersama dahan yang dipijaknya. Sementara itu di pihak lawan hanya tergetar saja. Setelah jatuh berdebum, Buang nampak muntahkan darah segar. Pandangan matanya berkunang-kunang. Sedangkan kepala terasa berdenyut dan menimbulkan rasa nyeri sekali. Melihat keadaan pemuda itu, berderailah tawa mereka.
"Cuma beginikah manusia yang mempunyai julukan si Hina Kelana itu. Sungguh engkau tak pantas memiliki julukan sehebat itu. Kehebatanmu ternyata tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Empat Macan Gunung Bromo. Untuk itu hari ini juga kami akan menghapus nama seorang gembel tiada guna semacammu...!" bentak si muka kunyit. Sebentar kemudian mereka telah mengurung pemuda dengan jarak begitu dekat. Buang Sengketa hanya menggeram mendengar ejekan yang sangat meremehkan dirinya. Sebaliknya ia cepat menghimpun hawa murninya untuk menghilangkan rasa sakit yang begitu menggigit pada bagian rongga dadanya. Tak lama setelahnya dengan langkah terhuyung-huyung ia telah bangkit berdiri. Dengan nada merendah iapun berucap: "Kuakui kehebatan Empat Macan Gunung Bromo. Si Hina Kelana memang tidak ada apa-apanya. Untuk itu segeralah menyingkir. Karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk melayani tikus-tikus macam kalian...!"
"Kurang ajar. Bagi kami kepalamu membawa rejeki berpuluh-puluh keping uang emas. Kau boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu...!" sentak si muka hitam, setelah berkata ia langsung melompat menghadang. Tetapi Buang Sengketa hanya menanggapinya dengan sesungging senyum sinis.
Pelan saja tangannya bergerak. Wusss...!
"Gubraaak...!"
Si muka hitam yang tiada menyangka bahwa lawannya memiliki kesaktian tingkat tinggi langsung jatuh tersungkur mencium tanah ketika mendapat tamparan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap si muka hitam berikut tiga orang saudaranya kembali mengurung Buang Sengketa dengan jarak lebih rapat lagi.
"Rupanya nyawamu masih alot juga bocah gembel...!" teriak si muka hitam. Lalu seka darah yang mengalir di sela-sela bibirnya.
"Rupanya nyawaku memang tidak ada di jual di tukang loak. Makanya dia masih setia bersemayam di dalam ragaku...!"
"Keparaat. Kalau begitu biarlah hari ini kami Empat Macan Gunung Bromo yang akan mencabutnya...!"
Berkata begitu empat orang laki-laki bertampang kasar inipun langsung melakukan pengeroyokan dengan serangan-serangan gencar. Buang Sengketa menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapinya rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai taraf sempurna pula. Dari bentrokan pukulan jarak jauh tadi ia sudah dapat menarik kesimpulan bahwa sekarang ia tak perlu sung-kan-sungkan lagi dalam menghadapi musuhnya. Dengan mempergunakan variasi jurus si Gila Mengamuk dan jurus si Jadah Terbuang, pemuda ini berusaha mengimbangi permainan silat lawannya dan mengelakkan pukulan-pukulan gencar yang datang dari berbagai jurusan itu. Dalam kesempatankesempatan tertentu Buang lancarkan tendangan maupun pukulan bertenaga dalam tinggi mengarah pada lawan yang berada paling dekat dengan dirinya.
"Pergunakan jurus Macan Gunung Membanting Tulang...!" teriak si muka kunyit pada tiga orang kawannya. Serentak
Bet... bet... zeeeb... zeeeb...!
Empat orang lawan berloncatan dengan posisi berpencar. Dalam kesempatan itu masingmasing lawan kini telah mencabut senjatanya yang berupa sebuah clurit namun bergerigi pada tiaptiap sisinya. Melihat ketajaman senjata di tangan lawannya Buang Sengketa langsung menyurut langkah. Sepasang bola matanya berputar-putar liar memperhatikan setiap gerak senjata yang berada di dalam genggaman tangan lawan.
Ketika empat orang lawan melakukan serangan secara bersamaan, Buang merasakan tibatiba ruang geraknya menjadi sempit dan tak mampu bertindak leluasa. Serangan senjata itu ternyata lebih ganas dan berbahaya bila dibandingkan dengan serangan-serangan yang mereka lakukan pada tingkat awal. Empat Macan Gunung Bromo memang pantas mendapat julukan sebagai jagoan bayaran karena kehebatan mereka dalam memainkan senjata. Terlepas dari semua itu, keadaan si pemuda semakin lama nampak semakin terdesak. Pada satu kesempatan, si muka hitam yang sudah dilanda kemarahan besar bergerak mendahului kawan-kawannya. Clurit di tangannya menderu mengarah pada bagian perut dan leher Buang Sengketa. Wuuus... weeert...!
Berkelebatnya senjata lawan menimbulkan angin keras dan mengibarkan anak-anak rambut si pemuda. Namun dengan gerakan kilat pemuda itu melentikkan tubuhnya ke udara. Si muka hitam bermaksud melakukan gerakan yang sama dengan tujuan membabatkan senjatanya pada saat tubuh si pemuda masih berada di udara. Di luar dugaan sewaktu tubuh si pemuda menukik kembali ke bawah, Buang lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Detik itu juga serangkum gelombang Sinar Ultra Violet yang menimbulkan udara panas tiada tertahankan menyerbu ke arah lawan yang berada di bawahnya. Posisi ini memang terasa tidak menguntungkan bagi si muka hitam. Dalam kegugupannya itu ia babatkan senjatanya membentuk perisai diri. Sementara tiga orang lainnya nampaknya tidak mempunyai kesempatan untuk menolong adik seperguruan mereka.
Praaang... Breeesss...!
Begitu pukulan Empat Anasir Kehidupan membentur pertahanan si muka hitam, tak ayal tubuh si muka hitam langsung terpelanting roboh. Senjata ditangannya terlepas dan entah terjatuh di mana. Sementara berulang kali si muka hitam muntahkan darah kental kehitam-hitaman. Lakilaki dari gunung Bromo itu meskipun telah terluka dalam cukup parah namun nampak berusaha bangkit kembali. Usaha itu ternyata hanya sia-sia belaka. Karena sedetik setelahnya si muka hitam jatuh terjerembab dan tiada berkutik untuk selama-lamanya.
Melihat kejadian yang dialami oleh saudara seperguruannya, tiga orang lainnya semakin bertambah beringas saja.
"Kau benar-benar orang yang paling celaka hari ini. Heeaaa...!" belum lagi ucapan si muka pucat berakhir, secara berbarengan mereka menerjang ke arah si pemuda. Serangan dari tiga arah yang begitu cepat dan ganas membuat Buang Sengketa cepat sekali terdesak. Hanya dengan mengandalkan jurus si Jadah Terbuang ia masih mampu menghindari terjangan yang datang, namun sambaran senjata yang datang secara tibatiba dari bagian belakang tidak berhasil dielakkannya.
"Breeet...!"
"Ahhkg…!" Buang Sengketa mengeluh panjang, namun cepat-cepat membanting diri ke samping kiri dengan tujuan menghindari terjangan senjata berikutnya. Pemuda ini nampaknya tidak memperdulikan lagi rasa perih dan darah yang mengalir di bagian punggungnya. Sementara tiga orang lawan terus memburunya.
Mempergunakan kesempatan yang sangat sempit itu:
Jraass...!
Dengan berkelebatnya sinar merah menyala. Satu jeritan melengking tinggi disertai dengan ambruknya tubuh si muka pucat. Darah langsung menyembur membasahi sekujur tubuh si muka kunyit, sementara Buang Sengketa sekarang telah bangkit berdiri. Kiranya dalam keadaan terdesak tadi si pemuda telah mencabut senjatanya dan langsung membabatkannya ke bagian perut si muka kunyit. Tiada kata yang terucap, tubuh si muka kunyit berkelojotan beberapa saat lamanya, selanjutnya tiada bergerak-gerak lagi. Mati.
Melihat gelagat yang tak baik ini, sambil menyambar mayat dua saudaranya. Si muka pucat dan muka merah dengan terbirit-birit langsung melarikan diri.
"Suatu saat kelak kami akan datang padamu, bocah. Hutang nyawa ini harus kau pertanggung jawabkan di kemudian hari...!" terdengar nada ancaman dari si muka pucat yang kini telah menghilang dari hadapan Buang Sengketa. Pemuda itu hanya tersenyum sinis, kemudian dengan langkah lesu ia melanjutkan perjalanannya kembali.
--₪¦ « 9 » ¦₪--
Ketika malam itu Kanjeng Guru sampai di bukit Api Abadi, suasana di sekitarnya benarbenar berada dalam keadaan hening sepi. Tidak sebagaimana biasanya, kali ini tidak terlihat Gending Sora yang pada saat biasa selalu hadir dengan perempuan-perempuan yang akan mereka pergunakan sebagai pekerja sukarela. Ketidak hadiran Gending Sora mengundang berbagai pertanyaan di hati Kanjeng Guru. Namun laki-laki berumur ratusan tahun ini yang masih kelihatan bagai berusia tujuh puluhan ini bukanlah manusia sembarangan. Dengan mempergunakan kekuatan batinnya, laki-laki ini dalam waktu sebentar sudah dapat melihat apa yang terjadi pada Gending Sora.
"Kurang ajar. Gending Sora mengalami luka di bagian tangannya. Dan pemuda berkuncir itu rasanya baru kali ini aku melihatnya. Ah mengapa Gending Sora kulihat begitu membencinya? Batinku mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah manusia sembarangan. Tenaga gaibku berisyarat pemuda itu masih keturunan siluman. Dia bukan keturunan siluman biasa. Kulihat darah siluman lebih kuat mengalir di dalam tubuhnya. Kurang ajar. Kehadirannya sewaktu-waktu tentu dapat membongkar seluruh rencana yang telah kubuat bersama muridku Maha Diraja Setan Bumi." geram Kanjeng Guru. Mendadak wajah Kanjeng Guru yang hanya diterangi cahaya api abadi nampak berubah kelam membesi. Ketika jemari telunjuknya dia arahkan ke sebuah batang pohon yang sudah kering. Selarik sinar berwarna merah kekuning-kuningan melesat dari ujung jemari telunjuknya. Sinar itu selanjutnya menyambar ke batang pohon dan tanpa ampun pohon itupun menyala. Hingga membuat suasana bertambah terang benderang. Hal yang samapun dilakukannya terhadap beberapa batang pohon lainnya.
Jeeest... jeeestt...!
Melihat usahanya, Kanjeng Guru tertawa dingin, bahkan kedua belah rahangnya yang kokoh nampak menegang.
"Walaupun engkau keturunan setan iblis sekalipun. Sekali saja engkau mencoba mencampuri segala urusan kami. Jangan harap kami akan memberimu hidup. Sebelum aku membakarmu, Maha Diraja Setan Bumi akan melakukannya, dan kau tidak mungkin menang dalam menghadapinya...!" gumam Kanjeng Guru dengan kemarahan yang tertahan. Kanjeng Guru nampaknya tidak ingin berlama-lama di bukit Api Abadi. Bagaikan hembusan angin kemudian tubuhnya lenyap dalam kegelapan malam.
* * *
Ketika Sakapala dan Asih Angraeni sampai melintasi daerah Karang Jati. Mereka melihat adanya pertempuran antara seorang laki-laki berpakaian serba putih berkepala gundul dengan dua orang laki-laki bertampang sangar, muka pucat dan muka merah. Melihat pertempuran seru yang sedang terjadi dan berlangsung sengit sudah barang tentu Sakapala alias si Topi Terbang dan Asih Angraeni menjadi tertarik dan ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Dalam waktu sebentar mereka telah menyusup ke semak-semak pada sebuah tempat yang tersembunyi. Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat persembunyian mereka, pertarungan masih terus berlanjut. Masih belum kelihatan tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu. Dalam menghadapi keroyokan dua laki-laki bertampang sangar itu, secara tiba-tiba laki-laki berkepala gundul lentikkan tubuhnya ke udara. Senjata mereka yang berupa dua buah clurit bergerigi otomatis menghantam sasaran kosong. Sebaliknya dalam keadaan bersalto Biksu berkepala gundul itu hantamkan toyanya ke arah dua penjuru mata angin. Terasa adanya sambaran angin yang sangat keras dan begitu dingin saat senjata itu menerpa pada bagian kepala si muka pucat dan muka merah. Kedua laki-laki itu keluarkan seruan tertahan, kemudian cepat-cepat membuang dirinya ke samping kiri dan kanan.
Setelah merasa terlepas dari ancaman toya di tangan si kepala gundul, maka hampir bersamaan mereka bangkit. Serangan-serangan barupun mereka lancarkan kembali. Kali ini dengan mempergunakan jurus Macan Bromo Goyangkan Pinggul. Mereka melakukan penyerangan dari dua arah. Seyogyanya jurus yang mereka mainkan itu akan semakin berbahaya jika mereka berjumlah empat orang. Akan tetapi seperti yang telah samasama kita ketahui dua orang diantaranya tewas di tangan Pendekar Hina Kelana. Meskipun sekarang mereka hanya berdua saja dalam memainkan jurus itu, namun juga tak kalah hebatnya bila dibandingkan jika mereka mempergunakan secara berempat. Begitu pun yang menjadi lawan mereka untuk kali ini bukan merupakan laki-laki sembarangan yang dapat dijatuhkan dengan mudah. Biksu Beng Ju dulunya merupakan tokoh sesat yang di daerahnya sana dikenal sebagai Hantu Malam, meskipun sekarang ia telah bertobat dan menjadi seorang tokoh bergolongan lurus, walau bagaimanapun sifat ilmu sesat yang dimilikinya tidak hilang sama sekali. Dalam mempergunakan jurus-jurus toyanya bahkan ia cenderung mencampur adukkan antara aliran sesat dan lurus.
Itulah sebabnya sungguhpun pertarungan telah mencapai lebih dari tiga puluh lima jurus, namun masih belum juga mengalami perobahan yang berarti dan bahkan masih belum diperoleh kepastian siapa yang tertekan di antara mereka. Menghadapi pertarungan yang serba monoton itu, lama-kelamaan Biksu Beng Ju yang di daerah leluhurnya sama juga mempunyai julukan lain sebagai Singa Gurun itu kelihatan mulai merobah teknik dan gerakan-gerakan silatnya. Sekarang laki-laki berkepala gundul itu telah pula mempergunakan jurus Hantu Malam Bergentayangan. Dengan mempergunakan jurus ini, dalam gebrakan berikutnya tubuh Biksu Beng Ju bergerak lebih cepat lagi, bahkan semakin lama semakin bertambah cepat. Hingga pada akhirnya tubuh Beng Ju hanya tinggal merupakan bayang-bayang belaka. Menghadapi kenyataan yang tidak menguntungkan ini, si muka pucat dan muka merah tentu saja tidak mau tinggal diam begitu saja, dengan gerakan hampir bersamaan dua laki-laki bertampang sangar ini segera mempergunakan jurus Macan Bromo Unjuk Gigi. Praktis permainan silat mereka tertumpu pada gerakan menendang dan membabat. Gerakan mereka sangat sebat bahkan sangat berbahaya sekali.
"Hiaaat...! Mampus sajalah kau manusia berkepala gundul...!" teriak si muka pucat sambil menghantamkan senjatanya secara bertubi-tubi. Sementara dari bagian belakang si muka merah sibuk mencecar pertahanan Biksu Beng Ju pada bagian kaki. Toya di tangan laki-laki berkepala gundul itu terus menderu melindungi bagianbagian tubuhnya yang nyaris saja terbabat senjata berbentuk bulan sabit itu.
"Berhenti...!" teriak Beng Ju ketika tubuhnya telah melompat menjauh dari arena pertarungan.
"Kau hendak mengulur waktu, orang seberang...?" bentak si muka merah dengan perasaan geram.
"Setelah kau tidak mau membayar sebagian upah yang telah kau janjikan. Apakah sekarang kau merasa keberatan bila kuminta nyawamu untuk mengganti nyawa saudara kami yang tewas di tangan pemuda itu?" tukas si muka pucat ikut menimpali kata-kata saudara seperguruannya.
Beng Ju nampak tersenyum-senyum. Dalam hati ia merasa geli sendiri, sebab sebagaimana janji yang telah diucapkannya kepada jago-jago bayaran itu. Ia baru akan membayar kekurangan upah yang telah ia janjikan itu setelah Empat Macan Gunung Bromo berhasil menangkap atau setidak-tidaknya membawa kepala pemuda yang dicurigainya itu ke hadapannya. Tetapi kenyataannya kini, dua orang Macan Gunung Bromo telah kembali menagih janji padahal mereka tidak membawa tawanan yang dia duga telah membunuh saudara seperguruannya. Pekerjaan seperti itu mana bisa dianggap selesai, meskipun karenanya dua orang dari Empat Macan Gunung Bromo telah gugur di tangan pemuda berpakaian kumal itu.
"Apa yang anda lakukan itu merupakan sebuah resiko yang tidak ada kaitannya denganku. Aku telah membayar kalian dengan harga yang mahal dalam mencari orang yang telah membunuh adik seperguruan kami Asoka. Kenyataannya hingga sampai saat sekarang ini kalian masih belum mampu menangkap orang itu...!"
Sementara dari tempat persembunyiannya hati si Topi Terbang terasa berdetak keras. Sama sekali ia tiada menduga bahwa orang yang sedang melakukan pertempuran sengit itu ternyata bertitik tolak karena kematian Asoka yang telah ia bunuh beberapa waktu yang lalu.
"Ternyata si kepala gundul itu tidak bicara kosong. Biksu itu sudah mengetahui segala-galanya. Kurasa ia memiliki ilmu yang lumayan tinggi. Semuanya sudah kepalang basah. Jalan yang paling baik adalah menunggu sampai diantara mereka ada yang keluar sebagai pemenang. Setelah itu dengan di bantu Asih Angraeni kekasihku semuanya pasti berjalan lancar...!"
"Kakang...!" panggil gadis yang berada tidak begitu jauh dari si Topi Terbang dengan suara lirih.
"Hemm. Ada apa...!" tanya Sakapala tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Mengapa kita harus menunggu orang lain menyelesaikan pertarungannya. Bukankah kalau hanya ingin lewat saja kita dapat menempuh jalan lain...?" tanya gadis itu merasa terheran-heran.
"Diamlah. Persoalan yang mereka perdebatkan nampaknya ada sangkut pautnya dengan diriku. Kita harus menanti perkembangan selanjutnya...!" kata pemuda itu dengan suara hampir berbisik.
Dalam pada itu masing-masing lawan yang tadi terlibat pertempuran sengit, sekarang saling tarik urat leher.
"Orang asing. Jadi engkau benar-benar tidak mau memenuhi tuntutan kami...?" tanya si muka pucat berapi-api.
"Selama anda berdua tidak dapat membawa orang itu ke hadapanku untuk diadili. Maka selama itu pula kami tidak dapat memenuhi keinginan kalian...!"
"Kalau begitu persoalan ini hanya dapat kita selesaikan di ujung senjata!" teriak si muka merah merasa tidak sabar lagi.
"Silakan. Kalau memang itulah yang anda kehendaki...!" tukas Biksu Bang Ju dengan sikap menantang.
Rupanya dua jago bayaran dari gunung Bromo ini merasa sangat tersinggung sekali mendapat tantangan seperti itu. Lalu dengan gerakan yang cukup sigap keduanya kembali melakukan serangan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan serangan-serangan terdahulu. Sekali dua mereka tak segan-segan lagi melancarkan pukulanpukulan jarak jauh yang sangat keji. Sementara dengan mengandalkan toya saktinya serta diimbangi gerakan ilmu meringankan tubuh yang cukup lihai. Biksu Beng Ju s-lalu berhasil mematahkan serangan yang baru dibangun oleh lawannya. Karena menyadari serangan-serangan mautnya dapat dihalau dengan baik oleh lawannya maka sekarang mereka kembali mempergunakan cluritnya untuk merangsak Beng Ju. Ancaman dua senjata maut yang sangat tajam itu mana bisa dianggap sepele oleh laki-laki berkepala gundul ini. Tidak boleh tidak iapun kembali mempergunakan toyanya untuk membendung laju serangan yang dilakukan oleh lawan. Dalam pertempuran jarak dekat itu sekali waktu dalam saat yang bersamaan si muka pucat dan muka merah membabatkan senjatanya mengarah pada bagian kepala dan perut lawannya. Tetapi Biksu Beng Ju juga tak kalah cepatnya memutar toyanya hingga membentuk perisai diri yang sangat kokoh. Akibatnya benturan yang sangat keras pun terjadi.
"Traang... traaang...!"
Karena dalam memutar senjatanya tadi Beng Ju mengerahkan segenap tenaga sakti yang dimilikinya tak heran kalau saat itu tubuhnya hanya tergetar saja. Sedangkan lawannya, masingmasing langsung terjengkang. Clurit di tangan mereka rompal di beberapa bagian. Jelaslah sudah ternyata toya di tangan lawannya merupakan senjata yang sangat handal dan terlalu kuat dalam menerima benturan senjata milik lawan. Dengan langkah terhuyung-huyung mereka segera bangkit kembali. Setelah meludah beberapa kali, salah seorang di antara mereka kembali menyelak.
"Kamu benar-benar membuat kami menjadi frustasi, orang asing. Untuk itu kami akan mengadu jiwa denganmu... Heaaat...!"
Biksu Beng Ju sebaliknya tanpa kata, juga melakukan gerakan yang sama.
"Haiiit... chat... chaaat...!"
"Weees...!"
"Nguung...!"
Rupanya dalam keadaan sama-sama menerjang ini, Beng Ju ternyata memiliki gerakan cepat tak terduga. Akibatnya begitu ia menghantamkan toyanya ke dua arah. Tidak terelakkan lagi toya di tangannyapun dengan telak menghantam batok kepala mereka.
Praaaak! Prooook...!
Si muka pucat dan muka merah melolong setinggi langit. Darah dan cairan otaknya berserakan bersamaan dengan menyemburnya darah dari bagian luka yang menganga. Sekejap tubuh mereka berkelojotan bagai ayam yang disembelih selanjutnya diam untuk selama-lamanya. Bagai manusia yang telah dirasuki iblis, Biksu Beng Ju tergelak-gelak. Nampaknya kematian Macan Gunung Bromo benar-benar membuat hatinya puas, di matanya Empat Macan Gunung Bromo tak ubahnya bagai musuh besar yang sangat dibencinya.
Sementara itu di tempat persembunyiannya Sakapala nampak tersenyum sinis. Sebentarsebentar ia melirik ke arah Biksu Beng Ju, namun di lain saat ia memandang ke arah Asih Angraeni kekasihnya. Sudah barang tentu sang gadis tidak mengetahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri Sakapala. Sebab walau bagaimanapun Asih Angraeni sama sekali tak tahu apa yang telah dilakukan oleh kekasihnya di luaran sana.
"Adik Rani." panggil Sakapala memecah keheningan. Yang dipanggil menoleh.
"Ada apa, kakang...?"
"Engkau tunggulah di sini. Biar kubereskan musuh besarku itu...!" ujar Sakapala penuh kebohongan. Karena memang pada dasarnya Asih Angraeni sama sekali tidak tahu menahu mengenai duduk persoalannya, maka tak banyak yang dapat dilakukannya kecuali menganggukkan kepala. Begitu mendapat persetujuan dari kekasihnya, tanpa membuang waktu lagi pemuda itupun melompat dari persembunyiannya. Manakala Sakapala menjejakkan kakinya tiga tombak di hadapan Biksu Beng Ju, laki-laki berkepala gundul yang masih terus tergelak-gelak itu kelihatan sangat terkejut sekali. Seketika suara tawanya pun terhenti. Dengan tatapan penuh curiga dipandanginya si Topi Terbang mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Siapakah anda yang sebenarnya, kisanak...?"
"Ha... ha...ha...! Akulah sebangsanya tukang basmi manusia asing yang suka membunuh semena-mena. Apalagi mengingat anda merupakan orang asing di tanah leluhur kami...!"
"Amitaba. Mulutmu terlalu berbisa sekali, kisanak. Apakah anda tidak tahu bahwa aku hanya membela diri dari pengeroyokan mereka?" sentak Biksu Beng Ju masih dalam keadaan emosi.
'"Kau tak lebih dari setan gundul yang bernama Asoka itu, orang asing...!" ujar si Topi Terbang. Tanpa sadar menyebut-nyebut nama adik seperguruan orang dari dataran Mongolia ini. Hal ini benar-benar di luar dugaan laki-laki berkepala gundul itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin pemuda berpakaian serba kuning ini dapat mengenali orang yang paling sangat disayanginya itu. Bukan tidak mungkin pemuda itulah yang telah membunuh adik seperguruannya. Lalu dengan suara bergetar iapun bertanya: "Kisanak. Kau mengenal adik seperguruan kami...?"
"Tentu saja...!"
"Apakah kisanak tahu bahwa beliau telah tewas bersama murid-muridnya?"
"Aku juga tahu mengenai kejadian itu...!" ujar Sakapala tanpa ekspresi.
Sepasang mata Biksu Beng Ju nampak membelalak lebar-lebar.
"Kalau demikian halnya apakah kisanak juga mengetahui siapakah yang telah membunuhnya...?" tanya laki-laki berkepala gundul itu dengan hati berdebar.
--₪¦ « 10 » ¦₪--
"Tentu saja aku mengetahui siapa orangnya yang telah membunuh Asoka...!"
"Siapakah orangnya kisanak. Tolong tunjukkan padaku...!'' kata laki-laki berkepala gundul itu dengan hati diliputi rasa penasaran.
"Apakah jika kukatakan padamu, kemudian anda mau membayar upah padaku. Sebagaimana yang diperoleh oleh kedua orang ini...!" ujar Sakapala sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan tidak begitu jauh dihadapannya. Beng Ju terdiam. Sakapala tersenyum mencibir. Lalu dengan nada mencemooh, pemuda inipun berucap: "Apakah anda keberatan untuk membayar ku...?"
"Tentu saja aku tidak merasa keberatan asal saja keteranganmu benar-benar dapat dipercaya...!"
"Bagus. Kalau engkau ingin tahu juga bahwa orang yang telah membunuh Asoka berjuluk si Topi Terbang...!"
"Si Topi Terbang. Siapakah dia...?" tanya Biksu Beng Ju benar tidak mengerti.
"Ha... ha... ha...! Si Topi Terbang adalah orang kepercayaan Maha Diraja Setan Bumi. Bahkan dengan senjatanya, ia mampu mencopot berpuluh-puluh kepala gundul sepertimu... tidak percaya, coba lihatlah ini...!" berkata begitu Sakapala mengambil senjatanya yang berupa topi bergerigi. Selanjutnya melemparkannya ke arah Biksu Beng Ju. Senjata itu melesat cepat sambil keluarkan suara mendesing. Beng Ju merasa sangat terkejut demi mendapat serangan yang tiada di duga-duga ini. Namun sebagai seorang tokoh yang pernah malang melintang di rimba persilatan golongan hitam. Ia tidak menjadi gugup begitu mendapat serangan kilat tersebut. Sekali ia gerakkan toyanya mengarah senjata yang terus meluncur ke arahnya itu. Tidak dapat disangkal benturan yang sangat hebatpun terjadi.
Traaaang... breeeeng...! Uhhkg...!
Beng Ju terdorong tubuhnya beberapa tindak, tangan terasa kesemutan dan menimbulkan rasa nyeri sekali. Sebaliknya senjata milik Sakapala malah berbalik dengan kecepatan dua kali kekuatan semula. Biksu Beng Ju terkejut sekali, sama sekali ia tidak menyangka lawannya mampu mengembalikan senjatanya bahkan dengan kekuatan berlipat ganda. Begitu menyadari adanya bahaya yang sedang mengancam keselamatannya, maka tak ayal lagi Biksu Beng Ju lentikkan tubuhnya ke udara. Senjata milik Sakapala akhirnya terhenti setelah menancap pada sebatang pohon yang berada jauh di belakangnya.
Jreeep...!
"Hebat...! Permainan yang sangat bagus baru saja kau gelar dihadapanku, manusia berkepala tuyul. Agaknya baru engkaulah yang merupakan seorang lawan paling berarti dalam hidupku. Tetapi jangan jumawa dulu, permainan kita masih belum selesai. Bahkan jika kau sanggup, aku akan melayanimu sampai seribu jurus."
"Bangsat sombong. Kau telah membunuh saudara seperguruan kami. Amitaba... aku bersumpah akan membunuhmu...!" teriak Biksu Beng Ju dengan kemarahan berkobar-kobar. Nampaknya laki-laki dari dataran Mongolia tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya berkelebat mendekati lawannya. Si Topi Terbang alias Sakapala hanya sesaat saja nampak tercengang, detik selanjutnya iapun telah mencabut senjata lainnya yang berupa sebilah pedang bermata ganda. Dengan mempergunakan senjata itu Sakapala berusaha mengimbangi serangan toya yang datangnya bertubi-tubi. Namun sejauh apapun ia berusaha menembus pertahanan laki-laki berkepala gundul ini, tetap saja serangan-serangannya selalu kandas di tengah-tengah jalan.
"Kau memang harus mampus ditanganku, manusia rendah...!" geram Beng Ju. Belum lagi selesai ia bicara kali ini toya ditangannya mencecar ke arah bagian tubuh Sakapala yang terbuka. Sakapala merasakan benar adanya tekanan ini, lebih cepat lagi ia putar pedangnya hingga membentuk perisai yang sangat kokoh. Biksu Beng Ju tertawa ganda, lalu.
Wuuuut...! "Brebeeet...!"
"Akhggh...!"
Tubuh Sakapala nampak terhuyunghuyung begitu senjata lawannya menyambar pada bagian bahunya. Mengetahui lawannya sudah dalam keadaan terluka, laki-laki berkepala gundul ini tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi. Ia kembali memburu dengan serangan-serangan yang lebih agresip.
Namun dalam keadaan seperti itu dari arah belakang senjata lainnya yang berupa Topi Terbang mengancam keselamatan Biksu Beng Ju.
"Aku membantumu, kakang ..!" teriak Asih Angraeni sambil melompat ke dalam pertempuran.
"Jreeess...!"
Senjata yang disambitkan oleh Asih Angraeni dengan tepat berhasil merobek bagian punggung Beng Ju. Laki-laki itu langsung terlempar begitu mendapat bokongan yang tiada dia duga sama sekali. Cepat sekali senjata berbisa itu kembali ke tangan Asih Angraeni. Mendapat pembelaan dari kekasihnya, Sakapala nampak senang sekali. Tetapi sebelum ia mampu bertindak lebih jauh, secara tiada disangka-sangka Biksu Beng Ju yang sudah terluka parah itu sambitkan toyanya.
"Awas kakang...!" teriak Asih Angraeni memberi peringatan. Masih untung Sakapala merupakan orang yang memiliki naluri tajam dalam menghadapi saat-saat yang tidak terduga-duga ini. Replek pemuda itu lemparkan tubuhnya ke samping, tetapi tetap saja bagian bahunya masih terserempet senjata andalan milik Beng Ju. Senjata itu menancap persis dekat pangkal lengan si Topi Terbang. Sungguhpun Asih Angraeni mengetahui luka yang dialami oleh kekasihnya tidak begitu parah, namun tetap saja ia meluruk ke arah Beng Ju yang sudah kehabisan darah. Laki-laki itu mengerang lemah ketika melihat kehadirannya. Ketika Asih Angraeni ingin babatkan pedangnya, ia menjadi urung karena melihat lawan sama sekali sudah tiada berdaya.
"Kau...kau... mer... rupakan manusia penge… cuuuut...!" usai berkata begitu kepala Beng Ju pun terkulai. Melihat kematian lawannya, Asih Anggraeni hanya mendengus saja. Sebaliknya setengah berlari ia menghampiri Sakapala.
"Kakang... apakah kau tidak apa-apa?" tanyanya begitu cemas.
"Si keparat itu hampir saja membuatku celaka…! Tetapi kukira aku masih mampu bertahan hidup beberapa hari lagi. Senjata si gundul itu ternyata mengandung racun yang ganas. Lebih baik cepat kita tinggalkan tempat ini untuk menjumpai Maha Diraja Setan Bumi. Mungkin ia mampu menyembuhkan luka beracun ini...!" ujar Sakapala dengan bibir menyeringai menahan sakit. Dengan dipapah oleh Asih Angraeni, berangkatlah kedua muda mudi itu, menuju Kerajaan Iblis milik junjungannya.
Lalu siapakah sesungguhnya laki-laki berusia seratus tahun yang di sebut Sebagai Kanjeng Guru itu. Apa hubungannya dengan Eyang Guru misterius Ketua padepokan gunung Ungkur. Usaha Maha Diraja Setan Bumi untuk mendirikan Kerajaan Iblis kiranya telah membuat malapetaka yang sangat besar, bahkan Pendekar Hina Kelana sendiri akhirnya sampai terseret menjadi tawanan ketika ia bermaksud menghancurkan istana yang belum selesai itu. Bagaimana nasib Buang Sengketa ketika menghadapi siksaan tokoh iblis yang memiliki ilmu kesaktian setara dengan mendiang gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Kisah ini berlanjut pada PEMBALASAN MAHA DURJANA.
TAMAT
INDEX BUANG SENGKETA | |
Dendam Gila Dari Kubur --oo0oo-- Pembalasan Maha Durjana |