Life is journey not a destinantion ...

Pewaris Pusaka Hitam

INDEX AJI SAPUTRA
Ratu Petaka Hijau --oo0oo Persekutuan Para Iblis

AJI SAPUTRA
Pendekar Mata Keranjang 108
Karya : Dharma Patria
Penerbit : Cintamedia, Jakarta

--↨֍¦ 1 ¦֍↨--

Gelapnya malam saat ini ditembus oleh bayangan yang berkelebat cepat laksana guratan-guratan pendek. Sesekali kedua bayangan itu tampak dan tak jarang lantas menghilang begitu saja. Rimbunnya pohon-pohon besar serta semak belukar, seakan bukan penghalang bagi mereka.
Baru ketika mulai memasuki kawasan sebuah perkampungan, mereka memperlambat kelebatannya. Dan begitu mereka berhenti, baru jelas kalau kedua sosok itu memiliki tubuh ramping.
"Malam masih belum begitu larut benar. Bagaimana kalau kita mencari tempat beristirahat?" usul sosok yang ada di sebelah kiri, seraya menoleh pada sosok yang di sampingnya.
"Besok pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan ini..."
Sosok sebelah kiri ternyata seorang perempuan muda berkulit putih. Parasnya cantik jelita. Sepasang matanya berbinar tajam. Hidungnya mancung, ditingkahi bibir merah tanpa polesan. Pakaiannya kuning ketat, membuat dadanya kelihatan kencang dan membusung menantang. Rambutnya hitam dan panjang tergerai.
Ciri-ciri pakaian serta paras wajah gadis muda ini mengingatkan pada seseorang tokoh silat dari golongan hitam yang beberapa puluh tahun silam pernah menebarkan keguncangan di rimba persilatan. Sepak terjangnya membuat beberapa tokoh silat bertekuk lutut. Sekian lama malang melintang dalam dunia persilatan hanya beberapa tokoh saja yang dapat menandingi ketinggian ilmunya. Hingga tidak mustahil, jika tokoh itu lantas menjadi salah satu momok yang ditakuti. Dia tak lain Dewi Kuning.
Dugaan itu memang tak jauh meleset. Karena, gadis muda ini adalah murid tunggal Dewi Kuning yang bergelar Putri Tunjung Kuning.
Sementara sosok di samping Putri Tunjung Kuning juga seorang perempuan. Pakaiannya hitamhitam. Menilik kulit sekujur tubuhnya yang telah berkerut-kerut serta punggungnya yang telah doyong ke depan, jelas kalau perempuan ini sudah berusia lanjut. Meski demikian, parasnya jauh dari disebut seorang perempuan. Karena rahangnya tampak begitu ke dalam, ditunjang mulut yang menjorok ke depan. Sehingga membuat paras perempuan ini menakutkan. Rambutnya yang jarang dan berwarna putih dipotong cepak. Meski tubuhnya kering kerontang, namun sepasang tangan dan kakinya besar dan berotot.
Bagi kalangan orang-orang rimba persilatan, nenek tua ini memang tidak asing lagi. Dialah yang bergelar Dayang Lembah Neraka!
Seperti halnya Dewi Kuning, Dayang Lembah Neraka yang muncul hampir bersamaan juga membuat kegemparan dalam belantara riuh rendahnya gelanggang dunia persilatan. Dengan ketinggian ilmunya, dia telah merobohkan beberapa tokoh silat tersohor waktu itu. Dayang Lembah Neraka memang jarang muncul ke permukaan. Namun begitu muncul, dua atau tiga tokoh silat tersohor dapat dipastikan tewas di tangannya.
Sepak terjang Dewi Kuning dan Dayang Lembah Neraka memang hampir sama. Bahkan jurusjurus keduanya pun mirip. Hal ini bisa dimengerti, karena Dewi Kuning dan Dayang Lembah Neraka masih saudara seperguruan. Perbedaan di antara mereka hanyalah soal kemunculan saja. Jika waktu itu Dewi Kuning muncul di mana-mana, tidak demikian halnya Dayang Lembah Neraka. Perempuan tua itu hanya sesekali muncul, lantas menghilang. Namun di setiap kemunculannya, selalu membawa tangan maut. Hingga wajar jika Dayang Lembah Neraka pun dimasukkan ke dalam deretan panjang tokoh golongan hitam yang disegani.
Konon setelah Dewi Kuning tewas di tangan Dewa Kutukan (Untuk lebih jelasnya, baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Bara di Jurang Guringring"), Putri Tujung Kuning menemui Dayang Lembah Neraka. Setelah menceritakan segala kejadian yang menimpa Dewi Kuning, pada akhirnya Putri Tunjung Kuning memohon agar Dayang Lembah Neraka sudi menerima dirinya sebagai murid.
Dayang Lembah Neraka memang tidak pernah mengangkat seorang murid. Hidupnya menyendiri, di sebuah rumah batu di kaki Bukit Ranupane. Maka begitu mendengar cerita Putri Tunjung Kuning dan demi meneruskan cita-cita serta keturunan, pada akhirnya Dayang Lembah Neraka menerima gadis itu sebagai murid.
Dari perempuan itu pula Putri Tunjung Kuning mengetahui bahwa guru Dayang Lembah Neraka dan juga guru Dewi Kuning sebenarnya masih hidup. Dan kini menetap di dekat pesisir Laut Selatan, di sebuah batu karang yang dikenal bernama Karang Bolong.
Pada beberapa hari terakhir ini, menurut Dayang Lembah Neraka, sang guru yang dalam rimba persilatan bergelar angker, Manusia Karang, menampakkan diri. Dan dia berpesan pada Dayang Lembah Neraka agar segera datang ke Karang Bolong bersama muridnya.
Manusia Karang, dalam beberapa hal, terutama jika ada persoalan sangat penting, memang seringkali menampakkan diri dan memanggil muridnya untuk datang ke Karang Bolong.
Dan saat itu, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sedang dalam perjalanan menuju Karang Bolong.
"Putri Tunjung Kuning...," panggil Dayang Lembah Neraka seraya batuk-batuk kecil.
"Sebaiknya kita tidak usah membuang-buang waktu. Teruskan saja perjalanan ini. Datang lebih cepat, mungkin lebih baik. Karena jika guru telah menampakkan diri dan menyuruhku datang, berarti ada sesuatu yang sangat penting "
Putri Tunjung Kuning mengangguk perlahan.
"Apakah Guru dapat menduga, apa kira-kira hal penting yang akan dibicarakan Eyang Manusia Karang...?" tanya Putri Tunjung Kuning, menahan gerak Dayang Lembah Neraka yang hendak berkelebat meneruskan perjalanan.
Dayang Lembah Neraka mengurungkan niat. Kepalanya berpaling pada Putri Tunjung Kuning. Sejenak diawasi Putri Tunjung Kuning. Ditariknya napas panjang, seakan-akan menuntaskan beban berat yang menindih dadanya.
"Aku sendiri belum bisa menerka dengan pasti. Tapi firasatku mengatakan, bahwa Guru akan membicarakan hal yang selama ini telah dibebankan padaku, juga pada Dewi Kuning. Tapi sejauh ini, tugas tersebut belum juga dapat kuselesaikan. Bahkan Dewi Kuning harus tewas terlebih dahulu dalam mengemban tugas itu!" jelas Dayang Lembah Neraka.
Putri Tunjung Kuning terkejut mendengar katakata Dayang Lembah Neraka. Sungguh tak disangka jika selama ini Dewi Kuning mengemban tugas dari gurunya. Dan pikiran Putri Tunjung Kuning pun melayang jauh.
"Hm.... berarti tugas itu berhubungan dengan lembaran kulit yang berisi peta dan keterangan tentang kitab dan kipas yang selama ini masih menjadi rebutan tokoh-tokoh silat...," kata batin Putri Tunjung Kuning.
Mengingat soal lembaran kulit, paras Putri Tunjung Kuning mendadak berubah. Dagunya membatu. Sepasang matanya berkilat membeliak. Dan wajahnya makin mengelam, saat teringat bahwa lembaran kulit yang membawa tewas Dewi Kuning ternyata palsu.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Tunggu saatnya...... Aku akan membuat perhitungan denganmu, karena kau telah memalsukan lembaran kulit itu!" desis Putri Tunjung Kuning terus membatin.
Untuk beberapa saat di antara Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sama-sama saling diam. Mereka seperti menerawang dengan arus pikiran masing-masing.
"Guru! Apakah tugas nanti berhubungan dengan lembaran kulit itu?" tanya Putri Tunjung Kuning, memberanikan diri.
Dayang Lembah Neraka tidak segera menjawab. Sepasang matanya yang membeliak kontan menyipit.
"Benar!" jawab Dayang Lembah Neraka, agak parau.
"Guru memang telah menugaskan aku dan Dewi Kuning untuk memburu lembaran kulit itu. Bahkan Dewi Kuning dalam menjalankan tugas itu, tidak tanggung-tanggung. Dikoreknya keterangan dari kalangan tokoh silat tersohor. Ia malang melintang ke seantero penjuru angin. Namun begitu hingga akhir hayatnya, baik aku atau Dewi Kuning tidak dapat memastikan siapa gerangan pemegangnya. Banyak memang lembaran kulit yang kudapatkan. Tapi seperti apa yang didapat Dewi Kuning, lembaran kulit itu ternyata palsu!"
Putri Tunjung Kuning mengangguk perlahan, seakan ikut menanggung beban berat yang dipikul Dayang Lembah Neraka.
"Apa pun telah kulakukan untuk memperoleh lembaran kulit itu. Namun, rupanya nasib baik belum berpihak pada kita. Apa boleh buat?! Tapi hal itu sekarang tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Lebih baik kita teruskan perjalanan. Siapa tahu Guru mempunyai persoalan lain. Atau mungkin, dia telah mengetahui di mana lembaran kulit itu...," lanjut Dayang Lembah Neraka.
Habis berkata, Dayang Lembah Neraka batukbatuk kecil. Kepalanya mengangguk, lantas berkelebat disusul Putri Tunjung Kuning.

* * *



Setelah berpacu dengan waktu, pada hari ketiga Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning tiba di sebuah desa yang terletak di ujung pesisir Laut Selatan.
"Putri Tunjung Kuning! Tempat yang kita tuju telah dekat. Kita istirahat dahulu. Bertahun lamanya aku tak pernah lagi singgah di kedai itu...," ajak Dayang Lembah Neraka seraya menunjuk sebuah kedai.
Putri Tunjung Kuning sebenarnya enggan dengan ajakan gurunya. Ia seakan tak sabar ingin segera bertemu si Manusia Karang. Apalagi ketika diketahui urusan ini dan sangkut pautnya dengan lembaran kulit. Namun karena nada ajakan gurunya sedikit memaksa, gadis itu pun menuruti ajakan itu. Namun baru saja Dayang Lembah Neraka akan bergerak hendak berkelebat, sayup-sayup terdengar suara derap kaki-kaki kuda yang makin lama makin keras ke arahnya.
Dahi Dayang Lembah Neraka berkerut. Sepasang matanya lebih membeliak, seolah ingin lompat dari rongganya. Karena, rombongan berkuda itu muncul dari arah pesisir Pantai Selatan di mana Karang Bolong berada.
"Rombongan berkuda...," gumam Dayang Lembah Neraka dalam hati.
"Siapa gerangan rombongan ini? Melihat dari arah munculnya, apakah mereka dari Karang Bolong? Jangan-jangan "
Berpikir demikian, tubuh Dayang Lembah Neraka cepat berbalik Ditatapnya Putri Tunjung Kuning yang saat itu juga sedang memperhatikan ke arah rombongan berkuda.
"Putri Tunjung Kuning! Siapa pun adanya mereka, aku tidak takut. Namun untuk kali ini, sebaiknya kita menghindar dahulu. Urusan dengan Guru kurasa lebih utama! Dan "
Belum selesai Dayang Lembah Neraka menyelesaikan kata-katanya mendadak...
"He... he... he !"
Tiba-tiba terdengar tawa mengekeh panjang dari arah belakang. Dayang Lembah Neraka yang hendak menghindar dari berpapasan dengan rombongan berkuda segera mengurungkan niatnya. Sepasang matanya liar berputar. Cuping telinganya bergerak ke atas. Namun ia tak hendak membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara tawa. Rupanya dia telah mencium gelagat tidak baik.
Sementara Putri Tunjung Kuning cepat berbalik ke belakang. Memang dari arah itulah suara tawa tadi terdengar. Dan seketika gadis itu melenguh tertahan dengan kaki beringsut dua langkah ke belakang.
Tiga tombak di hadapan Putri Tunjung Kuning kini tampak seorang laki-laki tua di atas punggung kuda putih. Celana pendek warna putih kusam dan dekil. Baju atasnya berupa rompi yang juga berwarna putih. Sepasang matanya hitam legam, tanpa lingkaran warna putih sama sekali. Di atas matanya yang hitam tidak terlihat bulu atau alis mata. Hidungnya sangat besar, namun kedua lobangnya sangat kecil. Sehingga saat menarik napas bahunya tampak terangkat sedikit, seperti dipaksakan. Kedua bibirnya sangat tebal. Tapi saat tertawa, bibir itu membuka begitu lebar hingga hampir ke tengah kedua pipinya. Dan dari bibirnya tak henti-hentinya menetes air liur yang menjijikkan. Kumis dan jenggotnya panjang dan tidak terawat. Kepalanya tidak ditumbuhi rambut sama sekali. Dan yang membuatnya kelihatan makin angker, sekujur tubuhnya berwarna hitam.
"Siapa makhluk ini...?" tanya Putri Tunjung Kuning dalam hati tanpa berkedip.
Selagi Putri Tunjung Kuning menduga-duga, Dayang Lembah Neraka berbalik.
"Hm.... Manusia ini makin tua malah tambah menjijikkan!" gumam batin Dayang Lembah Neraka tanpa menunjukkan raut terkejut.
"Tapi aku melihat kepandaian manusia ini lebih hebat daripada beberapa tahun silam. Terbukti, walau rombongan lainnya masih jauh, dia tahu-tahu sudah berada di sini. Malah derap langkah kaki kudanya bisa diredam, hingga suara kedatangannya tak kudengar! Melihat arah kedatangannya, dia pasti dari Karang Bolong. Hm Muka
Hantu! Dendammu terhadap Manusia Karang rupanya belum juga sirna "
"He...! Siapa kau...?!"
Tatkala Dayang Lembah Neraka masih membatin, tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari Putri Tunjung Kuning.
Penunggang kuda yang dikenal sebagai Muka Hantu sekonyong-konyong menghentikan kekehan tawanya. Sepasang matanya yang hitam menyorot tajam ke arah Putri Tunjung Kuning. Dan biji matanya pun berputar liar, seakan menguliti tubuh gadis ini dari atas hingga ke bawah. Bibirnya tersenyum dengan mulut terbuka, membuat tetesan air liurnya muncrat ke sana ke mari.
"Apakah nenek jelek peot di sampingmu tak pernah bercerita padamu?!" kata Muka Hantu balik bertanya.
Paras Dayang Lembah Neraka berubah, begitu mendengar kata-kata Muka Hantu yang tak memang seorang tokoh silat aliran sesat berkepandaian tinggi. Nama tokoh ini memang sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan. Selain dikenal sebagai tokoh berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagai pemimpin gerombolan perampok yang rata-rata berkemampuan tinggi. Sehingga, membuat tokoh ini begitu ditakuti.
"Muka Hantu!" bentak Dayang Lembah Neraka.
"Sungguh malang nasibmu sampai bertemu denganku! Aku memang telah lama mencari-carimu!"
"Muka Hantu...?" ulang Putri Tunjung Kuning dalam hati. Wajahnya sedikit membersit keterkejutan.
Memang Putri Tunjung Kuning telah lama mendengar nama Muka Hantu. Namun, sungguh tidak diduga jika bentuk manusia yang berjuluk Muka Hantu demikian adanya.
"He... he... he...!"
Mendengar teriakan Dayang Lembah Neraka, Muka Hantu tertawa mengekeh. Air liurnya lebih banyak lagi muncrat, membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning segera melengos. Karena selain menjijikkan, air liur itu menebar bau anyir darah!
"Dayang Lembah Neraka!" sebut Muka Hantu sembari tertawa.
"Yang dicari gurunya, yang ketemu muridnya. Tapi, tak apalah. Daripada perjalananku sia-sia!"
Putri Tunjung Kuning segera melangkah dua tindak ke depan. Kedua tangannya ditarik ke belakang, siap melepaskan pukulan. Namun belum sampai gadis itu bergerak, Dayang Lembah Neraka telah memberi isyarat untuk mundur.
"Tunjung Kuning! Menyingkirlah. Tua jahanam ini telah lama kuinginkan. Dan tak akan kusia-siakan kesempatan ini!"
Seraya menegur, Dayang Lembah Neraka berkelebat. Dan tahu-tahu perempuan itu telah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan si Muka Hantu.
"Bagus! Dendam ku terhadap Gurumu mungkin sedikit terobati dengan tumbangnya tubuhmu di tanganku!" sambut Muka Hantu.
Dayang Lembah Neraka tersenyum menyeringai. Sehingga membuat parasnya lebih menakutkan.
"Muka Hantu! Dendammu hari ini akan terkubur bersamaan tubuhmu!" bentak Dayang Lembah Neraka dengan suara bergetar.
Lantas kedua kaki Dayang Lembah Neraka tampak bergetar. Muka Hantu tersenyum. Dia menduga, perempuan tua itu berusaha menindih rasa takutnya. Namun mendadak senyum itu terpenggal, begitu merasakan kuda tunggangannya bergetar. Bahkan sedikit demi sedikit, kedua pasang kakinya amblas ke dalam tanah! Si Muka Hantu sedikit terbeliak. Namun cepatcepat ditekannya dengan tertawa panjang, membuat bahunya berguncang-guncang. Dan seiring guncangan bahunya, sedikit demi sedikit dua pasang kaki kuda tunggangannya terangkat dari dalam tanah! Dan ketika tawanya diperkeras, sepasang kaki kuda tunggangannya lebih cepat bergerak ke atas. Lalu tiba-tiba saja, kedua kaki depan kuda itu terangkat tinggi dan melejang ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Heh...?!"
Dayang Lembah Neraka tersentak. Sungguh tak diduga jika tenaga dalam Muka Hantu meningkat begitu pesat. Namun....
"Ha... ha... ha !"
Segera pula perempuan tua itu ikut-ikutan tertawa. Akibatnya, sepasang kaki depan kuda yang siap menghantam langsung berhenti kaku di udara! Bahkan sepasang kaki belakangnya kembali amblas ke dalam tanah.
"Hua... ha... ha !"
Melihat hal ini, Muka Hantu segera mengeraskan tawanya, Dayang Lembah Neraka tak mau kalah. Tawanya pun makin diperkeras. Dan seketika itu, tempat ini bagai dibuncah ledakan tawa dahsyat bertalu-talu. Karena mengandung tenaga dalam, sehingga kuda tunggangan Muka Hantu tampak oleng. Tampak dari kedua matanya merembes cairan merah. Mulutnya yang berbusa membuka lebar-lebar, namun tak terdengar suara ringkikan!
Tubuh Muka Hantu mulai bergetar. Sekujur tubuhnya yang hitam legam mulai berkilat-kilat dibasahi keringat. Dan ketika Dayang Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalamnya, kaki belakang kuda tunggangan Muka Hantu makin amblas. Lalu pada akhirnya diiringi ringkikan keras binatang malang itu roboh. Untungnya si Muka Hantu sudah cepat melesat ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali di udara, lalu mendarat sambil bersila di atas perut kuda yang telah tewas!
Tepat ketika Muka Hantu mendarat, muncul lima orang penunggang kuda mendatangi. Mereka langsung membuat lingkaran, mengurung Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka.
"Siapa kalian? Jangan coba-coba bertindak pengecut jika masih sayang nyawa masing-masing!" teriak Putri Tunjung Kuning gusar, saat mendapati gelagat buruk.

* * *



Dayang Lembah Neraka tetap tenang. Matanya menatap tajam satu persatu pada lima orang yang mengurungnya. Bibirnya tersenyum menyeringai dengan dahi berkerut. Dicobanya mengenali satu persatu. Namun sejauh ini yang dikenali hanya satu orang saja yang tampaknya memilih tempat agak ke belakang dari empat orang penunggang lainnya.
Orang itu adalah perempuan tua bertubuh amat jangkung terbungkus pakaian biru panjang. Paras wajahnya masih menampakkan sisa-sisa kecantikan, meski sudah terlapisi lipatan-lipatan kecil. Hidungnya mancung. Dan pada cuping hidung sebelah kiri, tampak melingkar anting-anting berwarna kuning. Di antara kedua alis matanya terdapat sebuah titik berwarna merah. Rambutnya hitam dan panjang.
"Hm.... Manusia kesasar dari India ini ternyata belum juga kembali ke negeri asalnya. Apakah kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara begitu hebat, hingga wanita ini tetap bertahan mencari...?" tanya batin Dayang Lembah Neraka seraya memandang pada perempuan jangkung berbaju biru.
"Huh!"
Ditatap begitu rupa, sosok perempuan jangkung itu mendengus keras. Bahkan balik menatap disertai senyum mengejek.
Dalam arena persilatan, sosok perempuan jangkung berbaju biru ini memang sudah terkenal dengan julukannya Iblis Dari Hindustan. Tokoh berasal dari India ini mengadakan perjalanan ke nusantara untuk mencari tahu tentang kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara
Tingkah Iblis Dari Hindustan sering membuat orang bertanya-tanya. Kini tampaknya dia memihak pada golongan hitam, karena ikut bergabung dengan gerombolan Muka Hantu. Namun tak jarang terlibat bentrok dengan tokoh dari aliran sesat. Dan salah satu tokoh hitam yang pernah terlibat bentrok dengannya adalah, si Manusia Karang.
Sementara empat orang penunggang kuda lain adalah laki-laki setengah baya. Mereka berpakaian hitam-hitam. Raut wajah mereka hampir mirip satu sama lain. Yang membedakan hanyalah warna ikat kepala yang masing-masing putih, hitam, merah, dan kuning. 
"He...! Siapa kalian...?!" ulang Putri Tunjung Kuning, membentak lebih keras saat pertanyaannya tidak ada yang menjawab.
Keempat laki-laki berpakaian hitam-hitam saling berpandang satu sama lain. Sesaat kemudian mereka berpaling, dan serentak menatap lurus-lurus pada Putri Tunjung Kuning. Lantas....
"Suiiittt. !" Secara berbarengan mereka mengeluarkan siulan panjang yang memekakkan telinga.
Begitu siulan mereka terhenti....
"Gadis cantik! Rupanya kau baru saja keluar dari sangkar. Sehingga tak mengenal siapa kami adanya. Dengar baik-baik. Kami adalah Empat Manusia Berwajah Satu...!" bentak laki-laki berikat kepala putih yang tampaknya paling tua.
Putri Tunjung Kuning ternganga. Sementara Dayang Lembah Neraka tetap tenang meski tak meninggalkan kewaspadaannya.
Memang, siapa yang tidak mengenal manusia berjuluk Empat Manusia Berwajah Satu ini? Dalam rimba persilatan, mereka memang baru saja menunjukkan diri. Namun kemunculan mereka langsung menciptakan buah bibir di kalangan kaum persilatan. Karena selain berilmu tinggi, kekejaman dan kebiadaban mereka juga dikenal. Mereka pun gemar mempermainkan gadis-gadis muda. Malah tak segan-segan menculik untuk diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dibunuh jika bosan.
"Hm Jadi kalian yang disebut manusia pemakan gadis-gadis itu!" bentak Dayang Lembah Neraka garang.
Dua laki-laki dari Manusia Berwajah Satu ini kembali mengeluarkan siulan panjang. Sementara dua lainnya tertawa mengekeh.
"Kami tak butuh pernyataan mu, Tua Peot! Kami butuh temanmu itu!" kata laki-laki berikat kepala putih seraya menunjuk Putri Tunjung Kuning.
"Ha... ha... ha...! Gadis cantik itu memang cocok untuk jadi santapan malam kalian. Bahkan jika masih muda, tentunya aku tidak mau ketinggalan dengan kalian. Tapi karena kemampuanku untuk urusan begituan tidak memungkinkan lagi, biarlah gadis itu kuserahkan pada kalian. Aku memilih yang peot saja. Bukankah meski peot begitu, seorang perempuan tulen? Dan pasti sudah lebih berpengalaman untuk membangkitkan semangat dan kemampuanku!" kata Muka Hantu, buka mulut tanpa memandang Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka.
Manusia berikat kepala putih berpaling pada Muka Hantu.
"Ah! Terima kasih atas pengertianmu, Muka Hantu! Dan agar kau lebih leluasa bermain-main dengan si peot itu, kami akan membawa dahulu gadis ini!"
Putri Tunjung Kuning berpaling seraya melotot.
"Mulut kotor kalian selayaknya dirobek-robek!"
Sambil berteriak marah, Putri Tunjung Kuning merapatkan kedua tangan di depan dada.
"Kau harus waspada, Tunjung Kuning! Mereka tentu bukan manusia-manusia yang bisa dianggap remeh!" bisik Dayang Lembah Neraka sambil mengawasi Empat Manusia Berwajah Satu yang serempak loncat dari punggung kuda masing-masing, membentuk barisan ke belakang. Tampak laki-laki berikat kepala putih berada paling depan.
Baru saja keempat laki-laki ini membentuk barisan, mendadak Putri Tunjung Kuning telah mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Wesss!
Seketika gelombang angin bertenaga dalam menderu dahsyat ke arah laki-laki berikat kepala putih.
"Awas serangan...!" teriak laki-laki berikat kepala putih, mengingatkan saudara-saudaranya. Hantaman kedua tangan Putri Tunjung Kuning begitu mendadak, membuat laki-laki berikat kepala putih tak bisa menangkis serangan. Dan selesai berteriak, dia mengelak dengan meloncat ke samping.
Sementara lelaki yang berikat kepala merah dan kuning dapat meloloskan diri dengan merebahkan tubuh masing-masing ke samping kiri dan kanan. Namun, tidak demikian lelaki berikat kepala hitam yang tampaknya paling muda. Dia tidak sempat lagi menghindar. Dan....
Desss. !
"Aaakh !"
Tak ampun lagi, serangan jarak jauh Putri Tunjung Kuning menggebrak dada laki-laki berikat kepala hitam Tubuhnya kontan terpental beberapa tombak ke belakang disertai keluhan tertahan. Pakaian hitamnya tampak mengepulkan asap. Kulit di balik pakaian bagian dada yang koyak memanjang kelihatan mengelam. Dan dari sudut bibirnya menggulir cairan berwarna hitam.
Begitu mencium tanah, lelaki berikat kepala hitam ini langsung merambat bangkit sambil menyeringai ganas.
"Bangsat!" serapah laki-laki berikat kepala putih melihat saudaranya terluka dalam. Kepalanya lantas berpaling pada saudara-saudaranya.
"Suittt! Suiiittt!"
Mendengar siulan lelaki berikat kepala putih, lelaki berikat kepala merah dan kuning yang tadi sama-sama merebahkan diri cepat bangkit. Dan seketika itu pula Empat Manusia Berwajah Satu langsung berkelebat cepat. Mendadak mereka lenyap dari pandangan, lalu tiba-tiba empat pasang kaki menggebrak dari empat jurusan.
Wut! Wut!
Putri Tunjung Kuning terkejut bukan main mendapati dirinya terkurung dari empat jurusan. Namun karena telah mendapat polesan dari Dayang Lembah Neraka, gadis ini kelihatan tidak gentar.
Lalu Putri Tunjung Kuning segera menjejakkan kakinya. Tubuhnya langsung melesat ke udara, berputaran dengan cepat.
Wesss...!
Pusaran angin langsung menderu keras, seiring berputarnya bayangan kuning. Dan sesaat kemudian terdengar suara benturan keras empat kali berturutturut.
Des! Des! Des! Desss!
"Aakh.... Aaa.... Augh.... Ohhh...!"
Tubuh Empat Manusia Berwajah Satu kontan terbanting ke samping disertai keluhan kesakitan. Bahkan dua di antaranya saling bertabrakan. Mereka langsung terkapar di atas tanah.
Sementara Putri Tunjung Kuning terus berputar dan melesat menjauh, lalu mendarat dengan terhuyung-huyung. Sepasang matanya mendelik merasakan nyeri dan ngilu pada kedua kakinya. Begitu matanya melirik, hatinya sempat tercengang. Karena kedua kakinya tampak memerah, akibat benturan tadi.
Empat Manusia Berwajah Satu sejenak saling berpandangan satu sama lain. Lantas bagai diberi abaaba, keempatnya segera bangkit dan membentuk barisan berjajar dari kanan ke kiri. Lalu secara serentak pula, mereka melorotkan tubuh masing-masing hingga duduk di atas tanah. Kedua tangan masing-masing saling bergandengan satu sama lain, mengerahkan jurus andalan yang dinamakan 'Rantai Membongkar Sukma'.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan saling menyahut, mendadak sosok mereka terangkat ke udara. Lalu dengan cepat tubuh mereka melayang ke arah Putri Tunjung Kuning dalam keadaan duduk sambil bergandengan satu sama lain.
Wesss...!
Angin dahsyat pun melesat sebelum Empat Manusia Berwajah Satu datang.
Putri Tunjung Kuning menanggapi dengan senyum mengejek. Segera tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya. Yang kemudian diputar dua kali di depan dada. Lalu tiba-tiba dihantamkannya ke depan.
Wes! Wes!
Gelombang angin bagai suara ombak laut kontan berderak, melesat ke arah Empat Manusia Berwajah Satu.
Blap! Wesss...!
"Heh?!"
Sesaat kemudian, gadis itu tercekat. Gelombang angin pukulannya ternyata seakan tertahan. Bahkan kini mental balik menyambar ke arahnya.
"Uts!"
Sambil menahan rasa terkejut, Putri Tunjung Kuning segera menyelamatkan diri dari pukulannya sendiri dengan meloncat ke belakang. Namun gelombang angin itu tetap menggebrak ke arahnya. Bahkan kini bergerak lebih cepat dan makin menggemuruh!
"Tunjung Kuning!" teriak Dayang Lembah Neraka.
"Tumpuan kekuatan mereka ada di depan! Hantam dari arah samping!"
Mendengar peringatan itu, Putri Tunjung Kuning segera melesat ke samping, menghindar dari serangannya yang berbalik. Dan dari arah samping pula, kedua tangannya cepat dihantamkan.
Wesss...! "Heh...?!"
Empat Manusia Berwajah Satu sama-sama tercengang. Mereka tidak menduga sama sekali jika gerakan Putri Tunjung Kuning begitu cepat. Tahu-tahu saja telah meluruk serangan angin berkekuatan dahsyat. Seketika masing-masing saling ingin menghindar. Namun gerakan mereka kali ini tidak serempak. Bahkan laki-laki berikat kepala merah yang berada paling samping tidak bisa lagi menghindar. Karena, tangannya masih saling bergandengan. Dan....
Desss! "Aaakh !"
Terdengar jeritan dari mulut laki-laki berikat kepala merah. Tubuhnya terlepas dari gandengan tangan saudara-saudaranya, dan terpental menyamping hingga tiga tombak.
Brukkk!
Begitu terkapar di atas tanah, tubuh laki-laki berikat kepala merah ini tampak hangus. Darah berwarna merah kehitaman keluar dari seluruh lobang di tubuhnya! Laki-laki berikat kepada merah ini mengerang sebentar, lalu diam tak bergerak lagi!
Sementara itu, tiga dari Empat Manusia Bermuka Satu serempak menggeram marah. Mata mereka mendelik melihat keadaan saudaranya telah tewas. Selagi ketiganya tercekat, mendadak....
Werrr. !
Tahu-tahu meluruk sinar berkilauan diiringi desir angin ke arah kepala laki-laki berikat kepada kuning dan hitam
Dua laki-laki ini terkesima, namun buru-buru merunduk. Pada saat yang sama sepasang kaki kokoh Dayang Lembah Neraka telah bergerak cepat.
"Heh?!"
Dua laki-laki ini tercekat kaget, namun tak mampu lagi menghindar. Dan...
Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Terdengar lolongan panjang begitu sepasang kaki Dayang Lembah Neraka mendarat di dada masing-masing. Tubuh mereka kontan tersuruk di atas tanah. Sepanjang luncuran tubuh mereka, mengucur darah dari mulut. Begitu jatuh di tanah, mereka langsung meregang nyawa. Mati dengan sekujur tubuh memerah seperti terpanggang api.
Sementara itu laki-laki yang berikat kepada putih berhasil menghindar dengan meloncat ke samping. Kepalanya segera berpaling pada Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan, seolah-olah minta bantuan.
"He... he... he...!"
Namun, kedua tokoh sesat itu hanya tertawa mengekeh, membuat laki-laki berikat kepala putih cemas dan pupus nyalinya. Setelah melirik pada Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka, dia segera mengambil langkah seribu.
"Hiaaa...!"
Namun baru saja laki-laki ini bergerak, Putri Tunjung Kuning telah menghentakkan tangannya ke depan.
Werrr...!
Mendadak satu larik gelombang sinar kuning menggebrak. Begitu cepat gerakan sinar kuning itu sehingga....
Splashhh. !
"Aaa !" Laki-laki itu kontan terjengkang dan ambruk di tanah. Sebentar dia bergerak-gerak lalu diam untuk selamanya.
Putri Tunjung Kuning menarik pulang kedua tangannya. Bibirnya tersenyum puas, karena serangannya, berhasil membantai laki-laki berikat kepala putih.
"Ha... ha... ha...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa terbahakbahak Sementara si Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan sedikit tercengang.
Begitu suara tawanya lenyap, Dayang Lembah Neraka mendadak melesat ke arah Muka Hantu yang masih di atas kuda tunggangannya yang telah tewas.
"Jahanam bedebah!" dengus si Muka Hantu.
Laki-laki ini segera menekan tubuhnya ke perut kuda di bawahnya. Seketika tubuhnya melenting ke udara, seraya menghentakkan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Werrr...!
Terdengar deruan dahsyat disertai menukiknya gelombang angin berwarna hitam legam. Dayang Lembah Neraka terkesiap saat merasakan adanya beban berat yang menekannya dari atas. Buru-buru tubuhnya melesat, berbelok menghantam dengan kaki lurus ke arah Iblis Dari Hindustan.
Glarrr...!
Tepat ketika tubuh Dayang Lembah Neraka berbelok, terdengar gelegar dahsyat di belakangnya. Tampak tanah terbongkar, meninggalkan lobang sedalam setengah tombak akibat sentakan tangan si Muka Hantu yang dilancarkan dari udara.
Sementara itu, Iblis Dari Hindustan yang tidak menduga datang serangan dari Dayang Lembah Neraka mengeluarkan seruan kaget. Buru-buru dia loncat dari punggung kuda. Lalu setelah membuat putaran dua kali, kakinya segera diangkat tinggi-tinggi seraya berputar.
Wesss...!
Saat itu pula. Lalu angin deras melengkung menderu, seiring berputarnya kaki Iblis Dari Hindustan.
Prak!
Terdengar benturan keras ketika serangan Dayang Lembah Neraka terpapak oleh Iblis Dari Hindustan. Putaran tubuh dan kaki perempuan dari India ini tiba-tiba terhenti. Sementara tubuh Dayang Lembah Neraka mencelat balik ke belakang. Namun setengah tombak lagi terpuruk di atas tanah, tubuhnya membuat bersalto, lalu mendarat kokoh di atas tanah.
Iblis Dari Hidustan tersentak kaget ketika kaki kanannya terasa bagai remuk. Saat itu juga ekor matanya melirik ke arah kaki. Dan sepasang matanya mendadak membeliak lebar. Bekas benturan dengan kaki Dayang Lembah Neraka ternyata telah menghitam!
"Tunjung Kuning! Menyingkirlah!" teriak Dayang Lembah Neraka sambil membuat putaran salto ke belakang. Dan tahu-tahu, tubuhnya telah tegak kokoh di depan si Muka Hantu.
"Setan satu ini ternyata ilmunya telah menyamai gurunya!" kata batin Muka Hantu.
"Hiaaa...!"
Disertai bentakan keras, Muka Hantu menggerakkan kedua tangannya secara melingkar, menghantam ke arah kepala Dayang Lembah Neraka dari arah kanan kiri.
Iblis Dari Hindustan tak tinggal diam. Cepat pula tubuhnya berkelebat sambil melancarkan serangan dengan terjangan sepasang kaki bergantian.
Werrr...!
Angin berkesiuran tajam langsung menghempas bersamaan terjangan kaki ini. Jelas, terjangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.
Kini Dayang Lembah Neraka terkurung serangan dari dua orang. Dan ini membuat dirinya hanya bisa menghindar dan menangkis, tanpa dapat balas menyerang. Namun hingga beberapa jurus, Dayang Lembah Neraka masih bisa melayani gempuran dua orang ini tanpa menunjukkan rasa gentar sama sekali. Malah sesekali terdengar teriakan mengejek dari mulutnya.
Menginjak jurus ketiga puluh satu, Putri Tunjung Kuning yang berdiri mengawasi mulai khawatir melihat keselamatan gurunya.
"Hiaaat...!"
Tapi mendadak saja Dayang Lembah Neraka mengeluarkan bentakan melengking. Tubuhnya tibatiba melesat keluar dari kurungan serangan Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan.
Dari udara Dayang Lembah Neraka menyentakkan sepasang kakinya ke arah Iblis Dari Hindustan.
Wuttt!
Iblis Dari Hindustan yang merasa kakinya terluka cepat menarik pulang serangan, menghindari benturan. Saat itulah sekonyong-konyong sepasang kaki perempuan tua itu menukik deras ke dadanya.
Iblis Dari Hindustan yang sedikit terhuyung karena menarik kakinya, tidak bisa lagi menghindar. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Perempuan dari India ini berseru tertahan ketika hantaman kaki Dayang Lembah Neraka masuk di dadanya. Tubuhnya langsung terhuyung ke belakang. Namun belum sampai terjengkang, kaki Dayang Lembah Neraka telah pula menghantam kepala.
Prak! "Aaakh...!"
Tubuh Iblis Dari Hindustan kontan terbanting keras ke belakang. Kepalanya mengucurkan darah. Hebatnya, meski sudah dalam keadaan demikian, dia cepat bangkit duduk. Kedua tangannya yang bergetar hebat segera menakup, lalu dihantamkan ke arah Dayang Lembah Neraka yang baru saja mendarat.
"Hih!"
Wesss...!
Angin kencang bergemuruh bertenaga dalam penuh segera melesat cepat. Dayang Lembah Neraka terkejut. Karena saat itu, dari arah samping si Muka Hantu juga telah pula menyentakkan kedua tangannya.
Dayang Lembah Neraka tercekat bingung. Jika memapak serangan tangan Muka Hantu, berarti tak akan bisa menghindar dari serangan terakhir Iblis Dari Hindustan. Sebaiknya jika memapak serangan wanita India itu tak akan bisa mengelak dari hantaman tangan si Muka Hantu.
Dan ketika sedepa lagi serangan Iblis Dari Hindustan menggebrak,...
Wesss...!
Terdengar suara gelombang angin dahsyat melesat memotong serangan Iblis Dari Hindustan.
Blem!
Tubuh wanita dari India itu terjungkal ke belakang, karena tenaganya telah habis dan tidak bangun lagi. Sementara itu, Dayang Lembah Neraka yang telah tahu kalau Putri Tunjung Kuning telah berhasil menghadang serangan Iblis Dari Hindustan segera memusatkan tenaga dalam ke tangan. Lantas dengan tangan terkembang dipapaknya hantaman tangan Muka Hantu.
Plak! Plak!
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Tubuh Muka Hantu terpental jauh dan bergulingan di atas tanah. Sekujur tubuhnya yang hitam, belepotan tanah yang lengket oleh keringat di tubuhnya. Sedangkan Dayang Lembah Neraka tetap tak bergeming sedikit pun!
Dengan sepasang mata terbeliak dan hidung mengembang, Muka Hantu merambat bangkit sambil memegangi kedua tangannya yang terasa lunglai tak bertenaga.
"Muka Hantu! Gurat kematianmu telah tiba!" desis Dayang Lembah Neraka seraya berkelebat.
Tahu-tahu dari jarak satu tombak Dayang Lembah Neraka mendorongkan kedua tangannya kuatkuat. Sementara dua kakinya bagai terpantek masuk ke dalam tanah.
Wusss...!
Selarik sinar berkilatan langsung melesat ke arah Muka Hantu. Mendapati serangan berbahaya, Muka Hantu tidak tinggal diam. Segera pula tangannya dihentakkan disertai seluruh tenaga dalamnya.
Wesss...!
Dua larik sinar berwarna hitam legam menderu memapak serangan Dayang Lembah Neraka.
Blarrr!
Terdengar gelegar dahsyat, ketika dua pukulan yang saling bertenaga dalam itu bentrok di udara. Sekitar tempat ini seakan dilanda gempa hebat. Tanah terbongkar dan berhamburan menutupi pemandangan. Tubuh Muka Hantu terpelanting melayang ke belakang. Namun belum sampai keseimbangan tubuhnya dapat terkuasai, mendadak....
Wesss. !
"Heh ?!"
Seketika selarik sinar kuning menggebrak ke arah Muka Hantu. Paras Muka Hantu pucat pasi, karena tak akan bisa lagi menghindar. Hingga....
Brashhh! "Aaa !"
Tanpa ampun lagi, larikan sinar kuning bertenaga dalam yang ternyata dilepaskan Putri Tunjung Kuning telak menghantam tubuh Muka Hantu. Saat itu juga terdengar jeritan panjang dari mulutnya. Tubuhnya makin jauh melayang, sebelum akhirnya terbanting di atas tanah dengan nyawa putus!
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka yang mencoba bertahan agar tidak terjengkang, ikut ambruk terkena bias bentrok pukulannya dengan pukulan Muka Hantu. Namun perlahan tubuhnya cepat bangkit sambil memegangi dadanya yang terasa sesak dan nyeri bukan main.
"Hm.... Pukulan Tunjung Kuning ternyata telah berkembang pesat...," gumam Dayang Lembah Neraka dalam hati sambil menatap Putri Tunjung Kuning.
"Apakah kita akan istirahat dahulu, Guru?" tanya Putri Tunjung Kuning sambil melangkah mendekati.
Dayang Lembah Neraka tersenyum, lalu menggeleng.
"Urusan perut sebaiknya ditunda dulu. Ada urusan penting yang harus didahulukan. Ayo...!" ajak Dayang Lembah Neraka seraya berkelebat ke arah pesisir pantai.

* * *



--↨֍¦ 2 ¦֍↨--

Seorang pemuda berwajah tampan berpakaian jubah ketat warna hijau yang dilapis baju lengan panjang warna kuning, tengah melangkah perlahan melintasi sebuah hutan kecil yang sepi. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda menari-nari seiring langkahnya. Sesekali tubuhnya merapat ke bawah pohon yang rindang, untuk menghindari sengatan sinar matahari yang berada tepat pada titik tengahnya. Dari mulutnya terdengar dendang nyanyian yang tak bisa dimengerti.
Pada sebuah pohon besar dan rindang, pemuda ini menghentikan langkahnya. Sejenak pandangannya menebar ke sekeliling. Sambil mengelus-elus kuncir rambutnya, dia menghembuskan napas panjangpanjang.
"Ternyata mencari tempat kitab dan kipas yang kedua ciptaan Empu Jaladara, bukan pekerjaan mudah seperti yang kubayangkan sebelumnya...! Buktinya, hingga sejauh ini aku belum bisa menentukan tempat yang tertera dalam peta di lembaran kulit itu. Apakah lembaran kulit itu juga palsu? Ah, itu tidak mungkin. Ki Ageng Panangkaran dan Eyang Selaksa tidak mungkin dusta...," kata batin pemuda ini dengan pandangan menerawang jauh ke depan.
"Hm... Bagaimana jika untuk sementara waktu aku pergi ke Karang Langit untuk menemui Wong Agung? Siapa tahu beliau tahu tentang tempat dalam peta itu. Apalagi, sejak turun dari Karang Langit, aku belum pernah datang lagi "
Selagi pemuda yang tak lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 ini berpikir begitu, mendadak....
"Ha... ha... ha !"
Tahu-tahu dari arah belakang terdengar suara gelak tawa cekikikan. Aji terkejut. Karena suara tawa itu begitu saja terdengar, tanpa didahului suara langkah atau gemeresek suara dedaunan. Seketika tubuhnya mengendap-endap menuju sumber suara.
Tiba-tiba sepasang mata Aji membesar. Di atas sebuah dahan pohon yang tidak terlalu besar, dia melihat dua orang sedang duduk berdampingan. Namun hebatnya, pohon itu tidak kelihatan melengkung. Apalagi patah.
Menilik dari bentuk tubuh, Pendekar Mata Keranjang 108 dapat segera mengetahui kalau mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Yang laki-laki berpakaian putih panjang serta kedodoran. Sehingga, seluruh tubuhnya tertutup sama sekali, kecuali wajahnya. Wajahnya telah dipenuhi kerutan. Dan di sana sini terlihat barutan-barutan bekas luka. Rambutnya putih dan panjang.
Sementara yang perempuan, seluruh wajahnya tertutup sepotong kain yang berlobang kecil-kecil. Seperti halnya laki-laki di sampingnya, perempuan bercadar ini berpakaian putih panjang dan kedodoran. Melihat kerutan-kerutan pada kulit leher, agaknya usianya juga sudah lanjut.
"Di sini sudah tidak ada orang. Bukalah penutup wajahmu! Bertahun-tahun tak jumpa, tentunya wajahmu masih cantik seperti dulu!" pinta laki-laki tua itu, sambil tersenyum manis.
Perempuan tua yang seluruh wajahnya tertutup sepotong kain menggeleng perlahan.
"Aku senang sekali dapat berjumpa denganmu lagi. Apakah keadaanmu selama ini baik-baik saja?" sang nenek balik bertanya. Wajahnya dipalingkan pada kakek di sampingnya.
Sang kakek mengangguk-angguk disertai batuk-batuk kecil. Sementara sepasang matanya yang telah kelabu dan sayu, melirik pada sang nenek. Kembali bibirnya menyungging senyum.
"Ngg.... Bolehkah aku sekarang membuka penutup wajahmu dan mengecup keningmu...?" pinta sang kakek seraya berpaling. Kini wajah keduanya saling berhadapan.
"Gila! Tua-tua masih main cinta-cintaan! Minta kecup lagi!" rutuk Aji dalam hati dari tempat pengintainya sambil senyum-senyum kepala menggelenggeleng.
Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 segera memalingkan wajahnya saat melihat wajah sang kakek terus bergerak mendekati wajah sang nenek. Dan sepasang matanya terbelalak dengan bibir menahan tawa, tatkala....
"Tua bangka! Tanganmu jangan usil begini, aku jadi geli!" tegur si nenek, agak keras.
"Ah! Dari dahulu kau masih saja suka berpurapura. Padahal sebenarnya kau senang...," jawab sang kakek, sambil tertawa mengekeh.
Namun mendadak suara tawa sang kakek lenyap. Aji semakin tak berani memalingkan wajahnya. Dia telah dapat menduga, apa yang dilakukan laki-laki tua itu di atas sana hingga tawanya berhenti seketika. Tapi....
"Setan alas! Rupanya ada orang mengintip!" Betapa terkejutnya Pendekar Mata Keranjang 108 ketika terdengar bentakan bernada geram. Dan baru saja hendak berpaling mencari tahu siapa orang yang dikatakan mengintip, Aji tersentak kaget. Karena di sampingnya tahu-tahu sang kakek telah berdiri berkacak pinggang. Sepasang matanya menyorot tajam dan liar pada Aji.
"Bocah tak tahu diri! Bocah suka ngintip macam kau, pantas diganjar dengan sodokan!" bentak kakek ini sambil menjotoskan tangan kanannya.
"Eit, tunggu. Aku bukannya mengintip. Aku..., uts!"
Aji tak meneruskan kata-katanya, karena saat itu hantaman tangan sang kakek telah menggebrak ke arah kepala. Cepat dia merunduk, sehingga terhindar dari jotosan yang hanya lewat di atas kepala dan menghantam tempat kosong.
Namun, pemuda itu kontan tersedak. Tubuhnya cepat surut ke belakang. Karena begitu jotosan tangan itu lewat, angin kencang langsung berdesir menyambar. Hampir saja tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang seandainya tidak segera mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.
Jengkel karena jotosan tangannya dapat dihindari, kakek berpakaian putih kedodoran ini mengibaskan pakaiannya.
Wuss!
Seketika angin kencang menderu melesat ke depan, menghantam tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih melengkung ke belakang setelah bertahan dari sambaran tadi.
Melihat ada serangan datang lagi, Aji segera merobohkan diri sejajar tanah. Sehingga, tubuhnya telentang. Maka sambaran angin kibasan pakaian sang kakek kembali lewat, menghantam tempat kosong. Angin itu terus melesat, lalu....
Kraakk !
Tahu-tahu terdengar berderak pohon akan tumbang. Ternyata sambaran pakaian yang lewat tadi menghantam sebuah pohon yang tak begitu besar, hingga berderak tumbang dengan kulit mengelupas!
Dengan sebuah lentingan indah, Pendekar Mata Keranjang 108 bergerak bangkit. Lalu kepalanya menoleh ke belakang, ke arah suara berderak tadi.
"Gila!" rutuk Aji dengan mata terbelalak. Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 menatap tajam kakek berbaju putih kedodoran itu.
"Orang gila macam begini tak ada gunanya diladeni. Lebih baik aku menyingkir!" kata batin Aji, seraya berkelebat hendak pergi.
Tapi baru saja Aji melesat beberapa tombak, dari arah samping melayang sosok bayangan putih. Dan seperti tahu apa yang akan diperbuat Pendekar Mata Keranjang. 108, bayangan putih itu langsung menghadang sambil memutar-mutar kedua tangannya di depan dada.
Deb! Deb!
"Jangan coba-coba melarikan diri, sebelum kau terangkan siapa dirimu!" bentak penghadang baru yang ternyata sang nenek. Wajahnya dihadapkan lurus-lurus pada pemuda ini, seakan hendak menelan bulat-bulat. Sementara itu angin bersiuran berputarputar dengan suara mendengung keluar dari putaran tangannya.
"Sialan!" gerutu Aji dalam hati dengan melotot tak berkedip.
"Mereka ternyata orang tua berkepandaian tinggi. Hm.... Mengenakan pakaian putih panjang kedodoran. Sementara yang perempuan mengenakan penutup wajah. Siapa mereka ini? Aku tak pernah dengar ciri-ciri tokoh tua seperti mereka? Apakah mereka tokoh yang baru muncul? Atau sepasang hantu hutan kecil ini?"
"Bocah! Telingamu tak tuli dan mulutmu tak bisu, bukan? Atau telinga dan mulutmu ingin kukorek dengan batangan kayu itu?!" bentak sang nenek, mendengus keras. Nada bicaranya terdengar mengancam.
"Namaku Aji. Seorang gelandangan yang tak punya juntrungan "
"Hm.... Jadi karena tak punya juntrungan, lalu kerjamu mengintip orang, he...?" timpal sang kakek membentak seraya tersenyum mengejek.
Aji menggeleng-geleng.
"Menghadapi orang tua kadang-kadang membuat pusing kepala," kata pemuda ini dalam hati.
"Mulutmu tak menjawab, berarti kerjamu memang mengintip orang. Suatu pekerjaan memalukan! Agar tingkahmu tak keterusan, kau harus dihajar!" desis sang kakek melanjutkan dengan nada geram.
"Benar!" timpal sang nenek.
"Kalau perlu, sepasang matanya dicungkil biar tak bisa mengintip lagi!"
"Sudah, sudah! Aku tak mau dengar segala macam ancaman kalian. Aku akan pergi!" seru Aji, acuh tak acuh sambil melangkah hendak pergi.
Namun baru saja dua langkah Pendekar Mata Keranjang 108 hendak pergi....
"Hei?! Kau kira ucapan kami begitu saja keluar tanpa bukti. Bocah?" dengus sang kakek.
Aji sepertinya tak mendengar ancaman itu. Kakinya terus melangkah menjauh.
"Orang-orang gendeng seperti mereka, jika dituruti bisa ngelantur tidak karuan...!" gumam pemuda itu.
Mendadak sang kakek berkelebat. Dan tahutahu dia telah berdiri di hadapan Aji. Kedua tangannya yang terbuka didorongkan perlahan ke depan.
Wusss...!
Semburan angin seketika menderu keras, mengeluarkan suara berderak-derak. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, membuat Aji tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar menyelamatkan diri, selain menangkis.
"Hm.... Orang tua itu rupanya tak main-main dengan kata-katanya. Ia ingin mencelakai aku!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 segera merentangkan kedua tangannya. Lalu dilepaskannya pukulan 'Ombak Membelah Karang'. Dan....
Blarrr. !
Terdengar suara menggelegar begitu pukulan yang sama-sama mengandung tenaga dalam bertemu. Tempat itu sedikit bergetar, karena keduanya hanya mengeluarkan seperempat tenaga dalam masingmasing. Tubuh mereka hanya tersurut satu tindak ke belakang.
"Orang tua! Kaulah yang memaksakan kehendak. Jadi jangan menyesal jika kau terluka!" teriak Aji, jengkel.
Sang kakek tertawa bergerai-gerai.
"Bocah edan tukang intip!! Kaulah yang akan menyesal!" balas sang kakek, membentak.
Tubuh orang tua itu berkelebat. Dan tiba-tiba kedua tangan kakek ini bergerak menghantam ke arah dada.
Wut! "Heh?!"
Aji berseru kaget, tidak menyangka jika gerakan kakek ini begitu cepat. Sementara di samping, sang nenek mengeluarkan tawa mengikik. Seketika pemuda itu segera bergerak mundur, berkelit dari hantaman tangan kakek. Namun mendadak kaki sang kakek yang terbungkus pakaian putih kedodoran itu mencuat, menghantam pinggang. Dan....
Bukkk! "Aaakh !"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang mental ke belakang, lalu tersuruk di atas tanah. Pemuda itu berusaha merambat bangkit. Sepasang matanya membeliak liar. Dagunya membatu. Kesabaran yang sejak tadi ditahan-tahan pupus sudah. Hingga sambil menahan rasa sakit pada pinggangnya, pemuda itu melompat ke depan sambil melepaskan pukulan 'Gelombang Prahara'.
Werrr. !
Suara gemuruh bagai gelombang ombak segera menggebrak cepat ke depan. Sementara sang kakek terlihat terkejut.
"Hm... Pukulannya telah sempurna sekali !" kata batin sang kakek.
Namun, kakek itu tak dapat membatin lebih lama lagi. Karena dari arah depan, pukulan yang dilepas Pendekar Mata Keranjang 108 telah meluruk cepat. Segera dihindarinya pukulan itu dengan berkelebat ke samping kanan. Lantas didahului bentakan keras, dari arah samping kedua tangannya yang telah terbuka dihantamkan.
Blarr! Blaarr!
Hutan kecil itu seolah-olah kontan digoyang gempa hebat. Tanah di tempat ini kontan bergetar. Daun-daun pohon luruh, beterbangan hangus. Tanah di bawah tempat bertemunya dua pukulan ini, tampak terbongkar membentuk lobang besar!
Tubuh sang kakek terjengkang dan jatuh terduduk. Namun secepat kilat bangkit disertai lenguhan tersendat. Sebentar kepalanya memutar. Sepasang matanya yang sayu menyapu berkeliling dengan dahi berkerut.
"Ke mana bocah itu...? Jangan-jangan "
Belum habis kata hati sang kakek, tiba-tiba dari balik sebuah pohon terdengar dendangan nyanyian tak karuan.
Sang kakek cepat berkelebat ke balik pohon. Dan matanya seketika mendelik. Ternyata, Pendekar Mata Keranjang 108 tengah duduk bersandar sambil menyanyi. Sepasang matanya terpejam. Tangan kanannya memegang kipas warna ungu yang dikibaskibaskan di depan dada.
"Aahh !"
Sang kakek berteriak tertahan, karena tubuhnya tiba-tiba bagai diguncang angin kencang, hingga pakaiannya berkibar-kibar. Demikian juga rambut panjangnya. Dan matanya makin terbeliak saat menyadari kalau gempuran angin kencang ini bersumber pada kipasan-kipasan di tangan pemuda itu.
Secepat kilat kakek ini mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. Lalu dengan sedikit miringkan tubuh, kedua tangannya dihantamkan sambil melompat menerjang.
Wuuss!
Meski hantaman tangan itu sendiri belum sampai, desiran angin kencang telah datang mendahului.
Aji yang sejak tadi matanya terpejam, serentak membuka matanya lebar-lebar. Lalu kipasnya segera dikebutkan melengkung dari samping kanan ke kiri.
Werrr. ! Angin kencang yang mendahului hantaman tangan sang kakek mendadak tertahan. Bahkan kini mental balik, melesat dalam keadaan melengkung. Namun hebatnya, pukulan mental itu seakan tidak berarti apa-apa, tatkala menghantam tubuh sang kakek. Tubuhnya terus menerobos lengkungan serangan, membuat hantaman tangannya tak terbendung melabrak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Setan gundul gila!" rutuk Aji mengertakkan rahang. Ia seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
"Eh! Aku seperti mengenali pukulan ini! Apakah "
Aji tidak bisa lagi meneruskan kata-katanya karena hantaman tangan sang kakek telah satu depa di depan hidungnya.
Bahkan Aji makin geram, saat dari arah samping sang nenek sudah ikut-ikutan pula menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh.
"Pengecut sialan! Main keroyok!" bentak Aji seraya mengangkat sepasang kakinya, menangkis serangan sang kakek. Sementara kipas di tangan kanannya mengibas, menahan serangan jarak jauh sang nenek.
Prakk! Prakk! Blummm!
Terdengar dua kali suara benturan keras dan sekali suara menggelegar dahsyat. Dua benturan itu berasal dari bentrokan kedua tangan sang kakek dengan kedua kaki Pendekar Mata Keranjang 108. Sedangkan suara menggelegar berasal dari bertemunya serangan jarak jauh si nenek, dengan tenaga dalam yang keluar dari kibasan kipas di tangan Aji.
Tubuh sang kakek mencelat, dan jatuh terkapar di atas tanah dengan sepasang mata mendelik. Kedua tangannya kesemutan dan ngilu bukan main. Pakaian di sebelah tangannya terkoyak melebar. Sementara si nenek terhuyung ke belakang disertai dengusan tertahan.
Sedangkan Aji sendiri terbanting ke belakang. Punggungnya kontan menghantam sebatang pohon.
Sang nenek yang mengetahui sang kakek terluka, cepat berkelebat mendatangi. Dan dengan perlahan, ditolongnya sang kakek untuk bangkit berdiri. Si kakek sejenak menatap pada sang nenek, lalu mengangguk.
Kedua orang tua ini segera berdiri berjajar. Si kakek mengepalkan kedua tangannya melintang di depan dada. Sedangkan si nenek mengangkat kedua tangannya, lalu ditarik ke depan wajahnya.
Mengetahui gelagat tidak baik, Pendekar Mata Keranjang 108 segera bangkit. Saat itu juga seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya.
"Hiaah...!"
Tak lama berselang, kedua orang tua ini segera menghantamkan kedua tangan masing-masing ke depan.
Werrr...!
Gelombang angin dahsyat disertai dua larik sinar berkilat segera keluar dari kedua tangan orang tua ini, melesat ke arah Pendekar Mata Keranjang 108. Aji sedikit tersentak kaget. Namun buru-buru kipas di tangan kanannya mengibas. Sedangkan tangan kirinya yang mengepal langsung menghantam. Hawa panas segera melingkupi tempat itu. Suasana makin benderang. Dan tak lama kemudian....
Glaarr! Glaarr! Bumm!
Gelegar dahsyat tiga kali saling sahut segera mengguncang tempat ini yang kontan porak poranda. Tubuh si kakek terpelanting ke belakang, lalu roboh terkapar di atas tanah. Dicobanya menjerit dengan mulut terbuka lebar-lebar, namun tidak ada suara terdengar. Sementara si nenek mencelat jauh, dan bergulingan di atas tanah. Pakaiannya koyak di sana sini. Tubuhnya langsung jatuh telungkup dan tak bergerak.
Aji sendiri terdorong hingga beberapa tombak ke belakang, lalu jatuh menyusup tanah. Dari sela bibirnya keluar cairan darah. Matanya perih dan seakan tak bisa dibuka. Kedua tangannya bergetar hebat. Namun dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dicoba untuk bangkit duduk. Kepalanya masih terasa berputar-putar. Dan pandangan matanya berkunangkunang. Lantas disalurkannya hawa murni ke seluruh tubuhnya.
Sementara itu sang kakek segera pula bangkit. Tubuhnya tampak terhuyung-huyung sebentar namun cepat duduk bersila bersikap seperti Aji.
Tak lama kemudian, baik Aji dan sang kakek sama-sama membuka kelopak mata.
Sang kakek lantas bangkit, lalu melangkah ke arah sang nenek yang masih telungkup. Namun baru saja ia hendak bergerak menolong, tubuh si nenek melenting ke atas, membuat putaran sekali di udara. Dan dengan mantap kakinya menjejak tanah menjajari sang kakek.
Aji melongo. Namun mulut itu cepat mengatup, ketika melihat kedua orang tua itu melangkah mendekati sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Aji bersikap waspada. Bahkan telah siap melepaskan pukulan, 'Segara Geni' tatkala kedua orang tua ini sama-sama mengangkat kedua tangannya masingmasing. Namun serangannya segera diurungkan. Matanya tak kedip mengawasi tingkah kedua orang tua ini dengan dahi berkerut.
Sang kakek mengangkat tangannya, lalu mengelupas lapisan tipis pada wajahnya. Tangan kirinya segera bergerak cepat, menanggalkan pakaiannya yang kedodoran. Demikian halnya si nenek. Segera dicampakkannya penutup kain di wajahnya dan menanggalkan pakaiannya.
Demi mengetahui siapa kedua orang tua ini. Pendekar Mata Keranjang 108 segera menjatuhkan diri dan menjura beberapa kali.

* * *



--↨֍¦ 3 ¦֍↨--

"Eyang Selaksa! Ki Ageng Panangkaran! Maafkan tindakanku yang kurang sopan dengan melawan kalian!" ucap Pendekar Mata Keranjang 108.
Ki Ageng Panangkaran yang menyamar sebagai seorang nenek-nenek tersenyum. Sementara Eyang Selaksa meringis, karena masih menahan rasa nyeri di dadanya. Kedua orang tua ini lantas memandang pada Aji yang masih menjura dengan berlutut.
"Aji! Kami berdua sengaja menyamar, hanya ingin tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Karena ada tugas yang akan kau hadapi...!" kata Eyang Selaksa angkat bicara.
"Tugas? Tugas apalagi Eyang...?" tanya Aji dengan kening berkerut.
"Aji!" kali ini yang buka suara Ageng Panangkaran.
"Kau masih menginginkan kitab dan kipas kedua ciptaan Empu Jaladara...?"
Aji terhenyak. Kepalanya sedikit menggeleng.
"Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan
kitab dan kipas kedua itu. Namun demi keselamatan dunia persilatan, aku harus mendapatkannya! Seperti yang dikatakan Eyang Selaksa, kitab dan kipas kedua itu sangat berbahaya jika sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi bagaimanapun caranya, aku akan berusaha mendapatkannya!" tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Namun sayang, kitab dan kipas kedua itu tak mungkin kau dapatkan!" timpal Ageng Panangkaran dengan muka sedikit tertekuk.
"Itu mungkin saja. Tapi, aku ingin membuktikan dahulu...," desah Aji.
"Hm... Semangatmu tinggi, Aji. Aku menghargainya. Tapi suratan mungkin menentukan lain!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Aji keheranan, raut wajahnya mengisyaratkan kekecewaan.
"Untuk hal ini, ada seseorang yang akan menerangkan. Ayo kita menemui dia!" ajak Ageng Panangkaran. Seketika tubuhnya berbalik, lalu melangkah ke arah sebuah pohon besar dan menghilang di baliknya.
Aji segera bangkit, lalu menjajari langkah Eyang Selaksa yang membuntuti Ageng Panangkaran.
"Siapa orang yang akan menerangkan...?" kata batin Aji seraya menarik-narik ekor rambutnya.
"Aji!" panggil Eyang Selaksa, begitu Pendekar Mata Keranjang 108 menjajari langkahnya.
"Apa selama ini kau sempat bertemu Ajeng Roro?"
Pemuda tampan ini tersentak kaget, mendengar pertanyaan Eyang Selaksa. Sungguh dia sebenarnya pun sudah rindu dengan Ajeng Roro. Namun entah kenapa selalu saja ada halangan bila hendak bertemu. Hingga untuk beberapa saat dia tak menjawab.
"Kau belum menjawab pertanyaanku!" Suara Eyang Selaksa menyadarkan Aji.
"Ngg Belum, Eyang!" jawab Aji, singkat.
"Hm... Anak itu keras kepala. Aji, jika sewaktuwaktu kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku sudah rindu. Suruh dia pulang menemuiku...," ujar Eyang Selaksa seraya menggeleng-geleng.
"Aku heran, apa yang dicari anak itu "
Aji hanya mengangguk. Dalam hati Aji menggerendeng panjang pendek.
"Tentunya bukan hanya Eyang yang rindu. Aku pun lebih dari itu!"
Mereka pun sampai pada pohon tempat Ageng Panangkaran menghilang di baliknya. Begitu keduanya sampai, terlihat Ageng Panangkaran berdiri di samping sebuah batu yang di atasnya duduk seorang laki-laki berjubah. Matanya tertutup sepotong kulit yang diikatkan ke belakang kepala.
"Eyang Wong Agung...!" seru Aji, seraya jatuhkan diri berlutut.
Laki-laki berjubah yang kedua matanya tertutup sepotong kulit dan duduk di atas batu itu mendehem perlahan. Dan dia memang Wong Agung dari Karang Langit!
"Aji, aku sangat bersyukur. Ternyata kau bisa mempergunakan segala kepandaianmu untuk kebaikan umat manusia. ," kata Wong Agung dengan suara serak, namun berwibawa.
Aji hanya mengangguk perlahan.
"Hm Bila Eyang Selaksa, Eyang Wong Agung, dan Ki Ageng Panangkaran berada di sini, berarti ada urusan besar...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
"Jayeng Parama!" panggil Eyang Selaksa, menyebut nama asli Wong Agung, saudara juga adik seperguruannya.
"Sekarang, katakanlah. Apa yang selama ini kau ketahui. Waktu kita terbatas!" Wong Agung menarik napas dalam-dalam.
"Aji! Tentunya kau masih ingat akan tugas yang diberikan oleh Paman Selaksa, yakni mencari dan mendapatkan kitab dan kipas kedua ciptaan Empu Jaladara. Namun... Segala sesuatu nyatanya telah ditentukan Yang Maha Kuasa di atas sana. Karena firasatku mengisyaratkan, kau tidak akan bisa mendapatkan kipas dan kitab kedua itu!"
Aji sedikit tersentak. Dalam hati ia mengumpat habis-habisan.
"Sialan! Berarti orang lain akan mendapatkan kitab dan kipas itu...! Dan dunia persilatan akan terancam malapetaka!"
"Itulah yang kini kita cemaskan, Aji!" sambung Wong Agung, seakan mengerti jalan pikiran pemuda itu.
"Karena jika nantinya kau dan pemegang kitab serta kipas kedua itu bertemu dan terjadi bentrok, maka di antara kau dan dia tidak ada yang keluar sebagai pemenang! Malah tidak mustahil pemegang kitab dan kipas itu akan dapat memenangkan pertarungan jika terlebih dahulu mendapatkan pemusnahnya!"
"Yang Eyang maksud pemusnah dari jurus pamungkas dari kedua kipas dan kedua kitab itu?" tanya Aji, seakan tak percaya dengan pendengarannya.
"Benar! Ternyata sebelum Empu Jaladara meninggal dunia, dia telah menciptakan jurus pemusnah dari kedua kitab dan kedua kipas ciptaannya!" jelas Wong Agung.
"Apa kau memperoleh petunjuk, di mana dan siapa pemegang jurus pemusnah itu...?" tanya Ageng Panangkaran.
"Dalam semadiku, aku melihat seorang perempuan tua berpakaian compang-camping. Sayang, raut wajahnya tak jelas terlihat, karena seperti tertutup kabut hitam. Dia mendekam di sebuah ruangan berbentuk tabung di pinggiran hutan yang berbatasan dengan pesisir Pantai Utara ujung timur. Siapa nama perempuan tua itu, tak pernah diketahui dalam rimba persilatan. Tapi ada suatu keanehan. Saat perempuan tua itu menghilang dari penglihatan batinku, aroma bunga tujuh warna menusuk di sekitarku "
Eyang Selaksa dan Ageng Panangkaran saling berpandangan dan mengangkat bahu.
"Tapi apa tidak sebaiknya kita mencari tahu dahulu tentang kitab dan kipas kedua itu? Bukankah dalam peta itu telah diterangkan petunjuk tempatnya? Siapa tahu kita bisa mendapatkannya terlebih dahulu?" usul Ageng Panangkaran sambil memandang Wong Agung. 
Wong Agung mendongakkan kepala dan menggeleng perlahan.
"Paman! Kukira itu perjalanan sia-sia. Karena firasatku mengisyaratkan, Aji tidak akan bisa memperoleh kitab dan kipas kedua itu!"
Ageng Panangkaran mengangguk perlahan "Jika demikian halnya, sekarang kita anggap kitab dan kipas kedua itu telah jatuh pada orang lain. Dan berarti, dunia persilatan terancam kehancuran. Maka jalan satu-satunya menyelamatkan dunia persilatan dari kehancuran adalah mempelajari jurus pemusnahnya. Bukankah begitu?" susul Ki Ageng Panangkaran. Aji manggut-manggut.
"Hm.... Jadi inikah tugas yang sekarang harus kuemban?" tanya Aji seperti untuk diri sendiri seraya menatap satu persatu pada Wong Agung, Eyang Selaksa, serta Ageng Panangkaran.
Ketiga orang tua ini sama-sama mengangguk.
"Bila begitu, aku sekarang juga siap melakukan
perjalanan mengemban tugas...!" tandas Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hm.... Bagus! Kali ini gerak cepat memang diperlukan!" sambut Wong Agung.
"Tapi ingat, Aji. Kau harus tingkatkan kewaspadaan. Karena tidak mustahil sebelum mendapatkan jurus pemusnah itu, kau akan berjumpa pemegang kitab dan kipas kedua itu. Atau, ada orang lain mendahului mendapatkan jurus pemusnah itu, yang mengakibatkan tugasmu akan semakin berat "
Aji tersenyum kecut.
"Eyang.... Segala petunjuk akan kulaksanakan dengan sebaik-baiknya. Aku mohon doa restu. Aku akan berangkat sekarang!"
"Dan kau tak melupakan janjimu padaku, bukan ?" tanya Eyang Selaksa seraya tersenyum lebar.
Aji kembali menyeringai kecut.
"Bawa anak keras kepala itu padaku. Aku sudah sangat rindu!" sambung Eyang Selaksa masih dengan senyum.
"Baik, Eyang. Akan kubawa Ajeng Roro untuk menghadap Eyang ," jawab Aji meski dalam hati mengutuk panjang pendek.
Selagi Aji membatin, perlahan Ageng Panangkaran melangkah mendekat dan berbisik.
"Aji, salah satu muridku mengatakan bahwa kau akan berkunjung ke tempatku. Kuharap, kau tidak mengecewakan anak muridku!"
Aji terkejut. Sepasang ekor matanya melirik Ageng Panangkaran. Dahinya berkerut, seakan mengingat-ingat.
"Kau pura-pura lupa atau lupa sungguhan, he...?! Akan kusebutkan sebuah nama. Kau ingat Sakawuni...?" tanya Ageng Panangkaran dengan raut jengkel meski bibirnya menyungging senyum. Aji menepuk-nepuk jidatnya.
"Hm.... Jika kau sudah ingat, satu pintaku. Jangan kau kecewakan anak muridku!"
Habis berkata, Ageng Panangkaran kembali melangkah menghampiri Wong Agung. Aji tercengang dengan bibir tersenyum tawar. Namun, senyumnya segera lenyap ketika....
""Kau sudah siap berangkat, Aji ?" tanya Wong Agung.
Aji mengangguk, lalu melangkah ke arah Wong Agung. Diciumnya tangan orang tua itu. Lantas dia berbuat sama pada Eyang Selaksa dan Ageng Panangkaran. Tak lama kemudian, Pendekar Mata Keranjang 108 menjura hormat pada ketiganya dan berbalik meninggalkan tempat ini.
Begitu agak jauh dari tempat beradanya tiga orang tua itu, Aji memperlambat larinya.
"Payah, payah! Urusan wanita ternyata bikin pusing kepala!" gumam Aji sambil menggeleng-geleng.

* * *



--↨֍¦ 4 ¦֍↨--

Gelombang ombak Laut Selatan terdengar bersahutan, membuncah pantai dan menghantam batubatu karang di sekitarnya. Kira-kira sepuluh tombak di samping sebuah batu karang yang tampak menjulang dan berlobang besar, dua sosok tubuh terlihat mengawasi arah batu karang tanpa kedip.
"Aku khawatir kita datang terlambat, Tunjung Kuning! Terbukti si Muka Hantu dan Iblis Dari Hindustan yang datang ke sini untuk membalas dendam, tidak menemukan Manusia Karang!" kata sosok di sebelah kanan yang ternyata Dayang Lembah Neraka murid tokoh yang bergelar si Manusia Karang.
Sementara gadis berbaju kuning yang tak lain Putri Tunjung Kuning melirik dengan kening berkernyit.
"Belum tentu, Guru. Sebaiknya kita menyelidik tempat tinggalnya...! Bukankah tempat tinggalnya di batu karang yang berlobang itu?" sergah Putri Tunjung Kuning sambil mengarahkan telunjuknya pada batu karang yang menjulang dan tampak berlobang.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Namun, biasanya Guru menyambut muridmuridnya dengan duduk di mulut lobang itu!" tukas Dayang Lembah Neraka.
Sepasang mata perempuan tua itu berputar menyapu keadaan sekeliling.
"Kurasa ucapanmu ada benarnya. Kita menyelidik ke dalam batu karang!" sambung Dayang Lembah Neraka.
Dan belum selesai kata-katanya, perempuan tua itu telah berkelebat diikuti Putri Tunjung Kuning.
Kedua orang ini lantas mengitari samping batu karang, namun tidak menemukan siapa-siapa.
"Kita menyelidiki ke dalam!" ajak Dayang Lembah Neraka sambil berpaling pada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka lantas berkelebat masuk ke dalam batu karang melewati lobang. Dan nyatanya, di sini pun tidak menemukan siapa-siapa. Namun untuk meyakinkan, beberapa saat mereka berputar-putar di dalam ruangan batu karang ini.
"Lihat!" teriak Putri Tunjung Kuning tiba-tiba sambil menunjuk ke tembok yang terdiri dari batu karang.
Dayang Lembah Neraka melangkah ke arah dinding batu karang yang baru saja ditunjuk Putri Tunjung Kuning. Di situ tertera tulisan dari guratan jari. Jelas penulisnya menggunakan tenaga dalam saat menggores dinding karang ini.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah barat," sebut Dayang Lembah Neraka, membaca tulisan itu.
Kedua orang ini saling pandang.
"Aku tidak lupa, itu tulisan tangan Guru!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning hanya mengangguk-angguk, mengiyakan.
"Dua belas langkah dari tengah ke sebelah barat!" desis Dayang Lembah Neraka, mengulangi tulisan yang tertera di dinding.
Dahi Dayang Lembah Neraka sejenak berkernyit. Lantas kakinya melangkah ke tengah-tengah ruangan. Begitu berhenti, tubuhnya dihadapkan ke arah barat. Lantas perlahan-lahan kakinya kembali melangkah sambil menghitung. Sampai pada hitungan kedua belas, langkahnya berhenti lagi. Untuk beberapa saat ia berdiri tegak. Sementara Putri Tunjung Kuning memperhatikan dari tempatnya semula.
Selang beberapa saat, Dayang Lembah Neraka terlihat menghentak-hentakkan kaki kanannya pada lantai batu karang di bawahnya. Dan begitu sepasang kakinya menghentak bersamaan....
Derrr. !
Ruangan batu karang itu bergetar hebat.
Dan Brulll!
Lantai batu karang yang terhentak sepasang kaki Dayang Lembah Neraka kontan ambrol. Namun sebelum tubuh perempuan tua itu ikut amblas ke bawah, ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan dengan teriakan melengking. Tubuhnya mendadak bagai tertiup hembusan angin kencang dari bawah lantai batu karang yang ambrol, dan melayang kembali ke atas ruangan, lalu mendarat ringan di pinggir lobang yang tercipta.
"Ada ruangan di bawah sana!" seru Putri Tunjung Kuning, setelah mendekat.
Dayang Lembah Neraka mengangguk.
"Kita turun ke ruangan bawah!" ujar Dayang Lembah Neraka.
Mereka lantas berlompatan masuk ke bawah melalui lantai yang ambrol.
"Meski tak ada pintu dan sinar lampu di sini keadaannya terang benderang...," kata hati Putri Tunjung Kuning, begitu mendarat di ruangan bawah.
Mereka lantas menyapukan pandangan masingmasing ke seluruh ruangan, seraya melangkah berputar. Namun mendadak langkah Dayang Lembah Neraka terhenti.
"Ahh...!"
Sementara Putri Tunjung Kuning terhenyak ketika sepasang kakinya ditarik dua tindak ke belakang. Dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Di pojok ruangan yang tampak sedikit redup, tampak duduk bersandar sesosok tubuh manusia. Rambutnya panjang dan putih. Hingga dalam keadaan duduk, rambut itu menjuntai ke lantai ruangan dan sebagian terlihat berkibar-kibar bagai tertiup angin. Sementara, sebagian lagi seolah tak terhembus! Wajah sosok ini sangat pias. Namun sedikit pun tak terlihat lipat-lipat kerutan. Pakaiannya warna coklat yang sudah tak kumal dan dekil. Tubuhnya hampir separo sudah doyong ke depan, pertanda usianya sudah sangat tua.
"Guru!" panggil Dayang Lembah Neraka seraya menghambur dan menjatuhkan diri di depan sosok yang duduk di pojok ruangan.
Putri Tunjung Kuning tercekat. Namun buruburu ia menghambur dan menjatuhkan diri di samping Dayang Lembah Neraka.
Sosok laki-laki tua yang tak lain memang guru Dayang Lembah Neraka yang bergelar Manusia Karang batuk-batuk lantas buka mulut.
"Dayang! Kau datang bersama muridmu, bekas anak didik saudaramu. Bagus!"
Sewaktu buka mulut, rambut panjang si Manusia Karang yang tadi berkibar-kibar mendadak berhenti.
"Guru!" ujar Dayang Lembah Neraka.
"Kami datang memenuhi panggilanmu! Harap kau beri tahu, apa gerangan maksudmu!"
Manusia Karang membuka kelopak matanya, memandang satu persatu silih berganti pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Lantas kepalanya tampak mengangguk perlahan.
"Ketahuilah, murid dan cucuku!" kata Manusia Karang, memanggil cucu pada Dayang Lembah Neraka.
"Hari-hariku kurasa sudah mencapai titik ujung. Namun sebelum aku pergi untuk selamanya, ada sesuatu yang mungkin dapat mengobati rasa jenuh dan keputusasaan selama hidupku ini. Walau bukan aku yang bakal memilikinya, namun jika ada di antara kalian yang berhasil sudah cukup membuatku damai di alam baka."
Sesaat Manusia Karang menghentikan ucapannya. Ia kembali terbatuk-batuk, membuat tubuhnya makin melengkung ke depan hampir mencapai kedua lututnya.
"Apakah sesuatu itu ada hubungannya dengan kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara yang selama ini Guru tugaskan padaku dan Dewi Kuning untuk melacaknya?" tanya Dayang Lembah Neraka.
Manusia Karang untuk beberapa lama tidak menjawab. Ia tampak berusaha mengatur jalan napasnya yang tersendat-sendat. Raut wajahnya makin pias.
"Benar, muridku! Dalam hari-hari terakhirku, aku mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga untuk mencari tahu tentang kitab dan kipas itu. Dan nyatanya, usahaku tak sia-sia. Dalam alam bawah sadarku, aku telah dapat mengetahui kitab dan kipas itu!" jelas si Manusia Karang.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning saling berpandangan satu sama lain. Bibir mereka menyungging seulas senyum.
"Murid dan cucuku! Meski dalam alam bawah sadarku tidak dapat kutangkap jelas isyarat siapa yang akan mendapatkan kitab dan kipas itu, namun tidak ada salahnya jika kalian berdua berusaha mendapatkannya! Bukankah kalian berdua masih menginginkan kitab dan kipas itu? Sebagai syarat utama untuk merajai rimba persilatan...?"
"Betul, Guru! Kami memang ingin mendapatkannya. Tapi ini demi berlangsungnya keturunan kami, juga demi nama besar Guru! Sekarang, harap Guru memberi petunjuk tempat kitab dan kipas itu!" ujar Dayang Lembah Neraka, tak sabar.
"Hm Pergilah ke Dusun Pagedangan. Di sana ada sebuah dataran berpasir luas yang memisahkan sungai kecil dan sebuah bukit. Di balik bukit itu, akan kalian temui sebuah gua. Di sanalah kitab dan kipas ciptaan Empu Jaladara itu berada...," jelas si Manusia Karang.
Kembali Manusia Karang menghentikan ucapannya. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Tapi firasatku mengatakan, untuk memasuki gua itu dibutuhkan tenaga dan kepandaian tersendiri. Karena dari dalamnya aku menangkap sesuatu kekuatan yang tidak terlihat mata!"
Paras Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning serentak berubah
"Setan belang macam apa pun yang menghalangi, aku tidak akan mundur!" desis Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Kurasa petunjukku sudah cukup. Aku hanya bisa menunggu kedatangan kalian di sini!"
Habis berkata, kedua mata Manusia Karang ini lantas memejam. Dan sebagian rambutnya yang panjang kembali berkibar-kibar.
Putri Tunjung Kuning sejenak memperhatikan dengan kening berkernyit. Lantas kepalanya berpaling pada Dayang Lembah Neraka, hendak bertanya. Namun belum sampai membuka mulut....
"Itulah pertanda kalau Guru telah kembali tenggelam dalam semadinya! Dibentak dan dihajar pun, dia tidak akan bergeming!" jelas Dayang Lembah Neraka, seperti bisa membaca jalan pikiran Putri Tunjung Kuning.
"Sekarang bagaimana...?" tanya Putri Tunjung Kuning dengan mata masih mengawasi si Manusia Karang.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini! Kita langsung menuju Dusun Pagedangan. Jangan sampai ada orang lain yang mendahului!" Belum usai berkata, Dayang Lembah Neraka lantas menjura pada Manusia Karang, diikuti Putri Tunjung Kuning. Si Manusia Karang tidak bergeming. Perempuan tua itu bangkit, disusul Putri Tunjung Kuning.

* * *



--↨֍¦ 5 ¦֍↨--

Langit di atas Dusun Pagedangan tampak disemaraki gumpalan awan hitam yang berarak rapat ke arah barat. Angin kencang yang menebar hawa dingin berhembus, menciptakan suara menggiriskan. Guntur terdengar bersahutan ditingkahi sambaran kilat, menambah suasana makin mengerikan. Matahari yang seharusnya mengintip dari bentangan kaki langit sebelah timur, tak mampu menembus gumpalan awan hitam.
Di saat yang demikian, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sudah menjejakkan kaki masing-masing di tepi dataran pasir luar yang memisahkan sebuah sungai kecil dengan sebuah bukit.
Untuk beberapa saat, mereka berdiri tegak. Paras masing-masing diselimuti keheranan. Dahi keduanya tampak membentuk lipatan kecil, pertanda berpikir keras. Sementara sepasang mata mereka tak kedip memandang ke dataran pasir. Memang ada satu keanehan. Meski dekat sebuah sungai dan suasana dingin mencekam, namun dari dataran berpasir itu tampak kepulan asap!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning saling berpandangan sejenak.
"Dataran pasir aneh!" gumam Dayang Lembah Neraka.
"Tapi bagaimanapun, kita harus melewatinya. Kukira di balik bukit itu tempat yang dimaksud Guru!" "Benar! Kita harus bergerak cepat, sebelum ada orang yang mendahului!" sahut Putri Tunjung Kuning seraya melangkah ke arah dataran pasir.
Sampai beberapa langkah, Putri Tunjung Kuning hanya merasakan hawa hangat menjalari sepasang kakinya saat menginjak dataran yang mengepul. Tapi hawa itu semakin panas, begitu melangkah makin ke tengah. Dan mendadak...
"Auw...!"
Putri Tunjung Kuning keluarkan seruan tertahan, ketika sepasang kakinya tiba-tiba bagai terjilat api dan tersedot ke dalam pasir.
Seketika gadis ini menarik pulang kakinya. Namun sedotan dari dalam pasir itu begitu kuat, membuat tubuhnya sedikit demi sedikit melorot masuk ke dalam pasir.
Pada saat itu, Dayang Lembah Neraka segera berkelebat saat mengetahui gelagat tidak baik. Langsung diraihnya tangan Putri Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning! Bertahanlah! Kurangi bobot tubuhmu!" teriak Dayang Lembah Neraka, seraya menyalurkan tenaga dalam untuk mengangkat tubuh Putri Tunjung Kuning.
Sesaat tubuh Putri Tunjung Kuning tak bergeming. Tapi tatkala Dayang Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalam, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat. Begitu tubuh Putri Tunjung Kuning lolos dari sedotan, keduanya cepat membuat gerakan berputar ke belakang sebanyak dua kali di udara. Lalu mantap sekali kaki mereka mendarat kembali di tepi dataran.
"Dataran pasir gila!" rutuk Putri Tunjung Kuning dengan mata terbelalak. Ternyata baju bagian bawah Putri Tunjung Kuning telah hangus. Kulit bagian bawah tubuhnya yang tadi masuk ke dalam dataran tampak memerah, seakan baru saja digarang api.
"Kita harus cari jalan. Dataran pasir ini terlalu luas untuk diloncati!" ujar Dayang Lembah Neraka tanpa menoleh. Sepasang matanya berputar liar ke sekeliling.
"Bagaimana kalau kita berputar melalui hulu sungai?" usul Putri Tunjung Kuning, seraya menunjuk hulu sungai yang tampak membelok di ujung sana.
"Tak ada gunanya. Lihat! Bukit itu ternyata dikelilingi dataran pasir. Jadi, dari mana pun kita datang, harus melewati dataran pasir gila ini!" tukas Dayang Lembah Neraka.
Memang, ketika awan gelap sedikit demi sedikit mulai terusir, suasana jadi agak terang. Dan terlihat jelas kalau bukit di seberang itu berada di tengahtengah dataran pasir.
"Hm.... Tak ada jalan lain. Seluruh tenaga harus dikerahkan untuk meluncur di atas dataran pasir ini!" gumam Dayang Lembah Neraka setelah agak lama termenung.
"Tapi kita memerlukan alas untuk meluncur di atasnya! Tidak mungkin terus meluncur tanpa alas, karena hamparan pasir ini terlalu luas!" ujar Putri Tunjung Kuning.
"Benar! Tapi kau lihat sendiri, di sekitar kita tak ada sesuatu yang bisa dipakai untuk alas. Jangankan kayu. Daun pun tidak ada!"
Sepasang mata Putri Tunjung Kuning memperhatikan ke sekeliling. Dan nyatanya di situ memang tidak ada sebuah pohon pun. Yang tampak hanyalah dataran pasir dan sungai kecil yang ditumbuhi rumput-rumput kering.
Dayang Lembah Neraka lantas memperhatikan pakaian bawahnya. Tangan kanannya bergerak, hendak merobek.
"Guru!" kata Putri Tunjung Kuning, buru-buru mencegah.
"Lebih baik pakaian bawahku yang telah hangus ini!"
Tangan Putri Tunjung Kuning telah bergerak merobek pakaian bawahnya dengan arah melingkar sebatas paha. Sehingga pahanya yang putih mulus terlihat jelas.
Begitu robekan pakaian itu luruh, Dayang Lembah Neraka cepat mengambilnya. Dan secepat itu pula kain ini dikoyak memanjang, hingga membentuk persegi agak lebar.
"Kau siap, Tunjung Kuning?" tanya Dayang Lembah Neraka, sambil meletakkan kain di bawah.
Putri Tunjung Kuning mengangguk. Mereka lantas berdiri berdampingan di atas robekan pakaian. Kedua orang ini lantas memejamkan mata masingmasing dengan tangan sedekap di depan dada. Begitu kelopak mata membuka lagi, Dayang Lembah Neraka mengangguk memberi isyarat.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, mereka melesat cepat bagai tertiup angin di atas dataran, saat mereka sampai di tengah-tengah dataran. Guru dan murid ini masih khawatir bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Namun keduanya, tampak menarik napas lega begitu apa yang dikhawatirkan tidak terjadi.
Begitu mencapai kaki bukit, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning berhenti meluncur. Sementara Putri Tunjung Kuning memandang ke sekeliling, perempuan tua itu berjongkok. Tangan kanannya diulurkan pada hamparan pasir. Mula-mula Dayang Lembah Neraka merasakan hawa hangat. Tapi begitu menyentuh pasir, wajahnya. Dan...
"Aakh...!"
Dari mulut perempuan tua itu terdengar jeritan kecil. Secepat kilat tangannya ditarik kembali. Lantas dia berdiri dengan sepasang mata mendelik. Sedangkan Putri Tunjung Kuning langsung menoleh, memandangnya.
"Benar-benar gila!" umpat Dayang Lembah Neraka.
"Tapi, aku tahu sekarang. Dataran pasir ini akan menyedot tenaga seseorang, jika anggota tubuhnya bersentuhan langsung! Hm.... Hampir tak dapat dipercaya!"
Mereka lantas melangkah mengeliling kaki bukit. Masing-masing kini terhanyut dalam kebisuannya. Tiba di suatu tempat, langkah mereka terhenti. Tak berapa jauh di depan samar-samar terlihat mulut gua yang diselimuti asap hitam tipis.
Dengan senyum lebar mereka melangkah mendekat, dengan arah menyamping. Dari sini keduanya baru agak jelas kalau ternyata mulut gua itu lebar. Hanya saja, mereka tak dapat melihat jelas ke dalam. Hanya samar-samar terlihat bahwa gua itu membentuk lorong panjang terselimut asap hitam tipis.
Sesaat kedua orang ini berdiri di samping mulut gua. Tapi, tiba-tiba daun telinga Dayang Lembah Neraka tertarik ke atas. Sementara kedua matanya terpejam rapat.
"Apa yang dikatakan Guru benar!" kata Dayang Lembah Neraka begitu matanya terbuka kembali.
"Aku merasakan suatu kekuatan yang tak bisa dijabarkan "
"Berarti, di dalam ada orang! Mungkin pembawa kitab dan kipas itu!" kata Putri Tunjung Kuning, menduga-duga.
"Bisa jadi begitu. Namun jika yang di dalam ada orang pasti dari jenis manusia aneh dan sakti. Kau lihat mulut gua itu! Sarang laba-laba begitu merangas dan tebal, menunjukkan telah beberapa tahun tak ada orang yang mengusik keluar dan masuk ke dalam gua!"
"Lantas, apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanya Putri Tunjung Kuning.
"Kita langsung menyelidik ke dalam, tapi harus tetap waspada...! Siapkan pukulan untuk menjaga kemungkinan...!" ujar Dayang Lembah Neraka sambil melangkah ke dekat mulut gua sebelah kiri.
Putri Tunjung Kuning segera meloncat, dan merapat ke mulut gua dari sebelah kanan. Namun baru saja kepala masing-masing melongok. Gua itu bergetar hebat bagai dilanda gempa!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning segera menarik kepala masing-masing, dan saling berpandangan. Lantas pandangan mereka beralih ke mulut gua, dengan mata membesar. Karena meski tadi getaran terasa dahsyat, ternyata di sekitar gua, tak terasa sama sekali.
"Gila!" semprot Dayang Lembah Neraka.
Namun sepertinya perempuan tua ini masih tidak begitu percaya. Kembali didekatinya mulut gua. Dan kepalanya langsung melongok. Sementara Putri Tunjung Kuning hanya tegak memandang.
Begitu kepala Dayang Lembah Neraka bergerak melongok, getaran gempa terasa kembali. Cepat kepalanya ditarik pulang. Dan bersamaan dengan itu, getaran gempa lenyap.
"Hm.... Getaran akan terasa jika ada sesuatu yang mencoba masuk. Kekuatan apakah ini...? Gila! Tapi bagaimanapun juga, aku harus segera masuk, sebelum ada orang lain yang mendahului...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua ini kemudian menoleh ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka.
"Kerahkan seluruh tenagamu. Kita masuk!"
"Tapi, Guru "
Gadis berbaju kuning ini mencoba memberi usul. Namun belum sempat dia melanjutkan....
"Tunjung Kuning!" potong Dayang Lembah Neraka, membentak.
"Dalam keadaan begini, tak diperlukan kata tapi! Kerahkan seluruh tenaga. Kita lawan getaran itu!"
Walau dalam hati tak sependapat, tapi Putri Tunjung Kuning tidak berani membantah. Segera seluruh tenaga dalamnya dikerahkan. Sementara itu Dayang Lembah Neraka telah kembali melangkah ke dekat mulut gua. Segera tangan kanannya dilintangkan di depan mulut gua.
Glrrr. !
Getaran terasa menghentak. Dayang Lembah Neraka cepat menarik pulang tangan kanannya. Kepalanya berpaling pada Putri Tunjung Kuning, memberi isyarat agar bersiap.
Melihat gelagat, meski dengan hati berat, Putri Tunjung Kuning menganggukkan kepala kalau juga telah siap. Saat itulah, Dayang Lembah Neraka cepat berkelebat.
"Masuk!" teriak Dayang Lembah Neraka.
Putri Tunjung Kuning segera berkelebat mengikuti Dayang Lembah Neraka masuk ke dalam gua. Namun baru saja kaki masing-masing menjejak tanah, getaran segera terasa menghentak. Bahkan mereka juga mulai merasakan gempuran angin dingin dan dahsyat. Namun keduanya coba menahan dengan melipatgandakan tenaga dalam.
Untuk beberapa saat mereka memang berhasil menahan getaran dan hawa dingin. Tapi begitu akan mulai bergerak maju, getaran-getaran itu semakin dahsyat, membuat keduanya tampak mulai goyah. Dan tak lama kemudian....
"Aaah !"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Putri Tunjung Kuning. Gadis itu kontan jatuh terjengkang ke arah luar.
Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka masih bertahan. Namun itu pun tidak lama. Getaran disertai kekuatan tenaga dorong yang tak terlihat, kembali menghentak. Tubuh perempuan tua itu terhuyung dan oleng ke sana-kemari. Dan tak berselang lama, tubuhnya mental ke luar gua.
Di luar gua, kedua orang berbeda usia ini segera bangkit. Dayang Lembah Neraka mengeluarkan serapah panjang pendek tak karuan. Namun ceracau mulutnya segera terhenti. Dan mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Aahhh !
"Ahh !"
Kejap itu juga, keduanya hampir bersamaan mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata wajah dan pakaian mereka telah dibasahi cairan lendir!
Sambil menghentak-hentakkan kaki merasa jijik, Putri Tunjung Kuning segera jatuhkan diri bergulingan di atas tanah. Sementara Dayang Lembah Neraka segera berkelebat mencari daun-daun untuk melap sekujur tubuhnya. Begitu lendir dapat dihilangkan, Putri Tunjung Kuning melangkah ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Getaran itu terasa saat ada sesuatu yang mencoba menghalangi lorong masuk. Dan getaran itu tidak akan menghentak, jika mulai dari mulut gua, kita buat lobang untuk menyelinap. Dengan menghantam kanan kiri dinding gua, niscaya lorong itu akan porak poranda dan membentuk lobang. Dengan lobang itulah kita bisa menyelinap!" usul Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka manggut-manggut.
"Anak ini cerdik juga!" puji perempuan tua ini dalam hati.
Dayang Lembah Neraka segera melangkah ke mulut gua dari sebelah kiri. Kedua tangannya lalu didorong ke depan, menghantam lorong gua sebelah kanan.
Glarrr...!
Terdengar dentuman. Pada saat yang sama, lorong gua sebelah kanan kontan porak poranda, membentuk sebuah lobang.
Dayang Lembah Neraka sejenak menatap Putri Tunjung Kuning, lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Tubuhnya lantas berkelebat masuk dalam gua, menyelinap dalam lobang di lorong gua sebelah kanan.
Sesaat Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka menunggu. Mereka menarik napas lega tatkala getaran-getaran itu tak lagi terasa.
"Tunjung Kuning!" panggil Dayang Lembah Neraka.
"Hantam lorong sebelah kiri!"
Putri Tunjung Kuning segera melangkah ke mulut gua dari arah sebelah kanan. Lantas kedua tangannya dihantamkan ke lorong gua sebelah kiri.
"Hih!"
Glarrr...!
Kembali terdengar dentuman ketika kedua tangan Putri Tunjung Kuning menghentak. Lorong gua sebelah kiri porak poranda, membentuk sebuah lobang. Dan tanpa menunggu lama lagi, Putri Tunjung Kuning segera melesat dan menyelinap masuk ke lobang lorong sebelah kiri. Kembali keduanya menunggu.
"Kita berhasil! Kita terus bergerak maju dengan menghantam kiri-kanan lorong gua!" ujar Dayang Lembah Neraka, ketika tak merasakan getaran lagi.

* * *



Pada hantaman kedua puluh sembilan, mendadak Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning merasakan udara hangat dan keadaan sedikit terang. Namun mereka sedikit heran, karena cahaya terang itu berwarna agak kemerahan.
Untuk beberapa saat mereka tidak berani bergerak dari tempat masing-masing. Mereka khawatir jika cahaya itu hanyalah tipuan belaka.
"Menunggu tanpa berusaha mengetahui akan buang waktu...," kata batin Dayang Lembah Neraka. Karena hingga menunggu sekian lama, keadaan di situ tidak berubah.
"Lagi pula, getaran itu tidak lagi terasa!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka segera memalangkan tangannya. Hampir saja dia melonjak gembira, karena getaran itu memang tidak lagi menghentak. Segera perasaan itu ditekannya.
Untuk meyakinkan diri, Dayang Lembah Neraka mengangkat kaki kirinya dan dipalangkan. Ternyata, getaran itu memang tidak lagi terasa menghentak!
Merasa keadaan aman, perlahan-lahan Dayang Lembah Neraka keluar dari lobang lorong dengan tubuh merapat. Tapi, kedua tangannya tetap siap melepaskan pukulan. Dan dia menarik napas panjang ketika getaran tidak terasa lagi!
Perempuan tua itu cepat melompat ke tengah lorong. Dilambaikannya tangan pada Putri Tunjung Kuning. Dan gadis itu segera keluar, menjajari Dayang Lembah Neraka.
Kini mereka sampai di ujung lorong yang menghubungkan dengan sebuah ruangan dari batu yang tidak begitu besar. Sepasang mata kedua orang yang jauh berbeda usia ini lantas berputar berkeliling memperhatikan keadaan. Dan....
"Heh?!" "Oh !"
Saat itu juga, mereka tercekat tatkala tiba-tiba sinar kemerahan yang menerangi tempat itu perlahan meredup, dan sesaat kemudian gelap!
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sama-sama berpaling, saling menatap. Namun satu sama lain tak bisa saling melihat karena keadaan memang benar-benar gelap.
Selagi mereka berdua tercengang tak tahu harus berbuat apa, mendadak....
"Sss !"
Terdengar suara mendesis seperti suara ular. Namun karena tak ada angin sambaran, membuat mereka berdua yang telah siap menghantam sedikit lega. Mereka segera menarik kembali tangannya. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan pula keadaan di situ mulai terang oleh cahaya agak kemerahan. Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning segera menyapukan pandangan mencari sumber cahaya kemerahan.
"Heh?!"
Mereka berdua sedikit terkejut. Ternyata sepuluh tombak di depan mereka, terlihat dua benda merah mengapung. Dan cahaya terang agak kemerahan memang bersumber dari dua benda itu.
"Aahh...!"
Dan mereka kontan mengeluarkan seruan lirih tertahan, tatkala terlihat benda merah itu makin membesar. Kini suasana makin benderang kemerahan, hingga Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning bisa melihat agak jelas.
Mula-mula yang tampak adalah sesuatu di bawah dua benda berwarna merah yang bergerak-gerak mengeluarkan desisan. Begitu masing-masing membesarkan mata, mereka baru jelas. Sesuatu itu ternyata sebuah moncong! Lalu, tampak sebuah kepala. Dan begitu dua benda merah itu berputar....
"Utss !"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning serentak meloncat ke belakang. Begitu menjejak tanah, mereka berdua seakan tak percaya dengan pandangan masing-masing. Ternyata dua benda berwarna merah menyala itu adalah sepasang mata seekor ular besar yang tengah melingkar dengan kepala bertumpu pada lingkaran tubuh paling atas.
"Menurut Guru, kitab dan kipas itu berada di sini. Namun yang kita temukan seekor ular raksasa! Apakah Guru membual...?!" desis Dayang Lembah Neraka seraya memandang tajam ke arah ular yang tampak membuka moncongnya.
"Sss !" Desisan dahsyat terdengar. Namun tak mengeluarkan apa-apa, membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning tetap tegak di tempat masing-masing.
Ketika tak terasa getaran-getaran dan ular itu tidak menyerang, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning memberanikan diri melangkah mendekati. Namun sikap mereka tetap waspada.
"Brengsek! Tempat ini hanya ruangan kosong yang dihuni Ular Naga sialan ini! Di mana kitab dan kipas itu...?"
Terdengar umpatan dan sumpah serapah dari mulut Dayang Lembah Neraka, begitu telah mengelilingi ruangan.
Namun tiba-tiba sepasang mata Putri Tunjung Kuning terbelalak. Dari arah samping, di mana saat ini Putri Tunjung Kuning sedang berdiri, terlihat jelas dua benda hitam menancap di kepala ular.
"Guru! Ada benda yang menancap di kepala ular itu!" teriak Putri Tunjung Kuning, seraya menunjuk.
Dengan wajah kesal bercampur geram. Dayang Lembah Neraka berpaling ke arah kepala ular. Dan sepasang matanya, kontan membesar dengan senyum mengembang.
"Hm.... Melihat bentuknya, yang sebelah kanan adalah sebuah kitab. Sementara yang sebelah kiri adalah sebuah kipas yang mengembang!" kata batin Dayang Lembah Neraka.
Kemudian Dayang Lembah Neraka menatap Putri Tunjung Kuning dengan sinar mata cerah.
"Tunjung Kuning! Akhirnya kita mendapatkannya! Cita-cita kita menjadi raja di dunia persilatan akan terwujud!" "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus membunuh binatang itu!" kata Dayang Lembah Neraka sambil melangkah dan siap lepaskan pukulan ke arah ular.
"Guru, tunggu!" tahan Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka cepat mengurungkan niat. Tubuhnya berbalik menghadap Putri Tunjung Kuning.
"Kulihat ular itu tak berbahaya. Buktinya dia tidak menyerang. Lebih baik, langsung menyambar dua benda itu tanpa mengusik. Dengan demikian, kita tak usah terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Lagi pula kita belum tahu kekuatannya. Bukan tidak mungkin Ular Naga itu menyimpan sebuah kekuatan! Sejauh ini, kita belum tahu dari mana getaran-getaran tadi berasal!" papar Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka sedikit menyeringai. Namun akhirnya kepalanya mengangguk. Lalu tubuhnya berbalik. Sementara Putri Tunjung Kuning tetap di tempatnya semula.
"Hm.... Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan kitab dan kipas itu! Tidak peduli harus berebut dengan Dayang Lembah Neraka! Namun aku tak boleh bertindak gegabah. Biarlah kutunggu dahulu, apa yang akan dilakukannya!" kata Putri Tunjung Kuning dalam hati. Sementara matanya tak berkedip menatap Dayang Lembah Neraka yang kini telah tegak berdiri mendongak.
Tanpa mengeluarkan suara sama sekali, mendadak tubuh Dayang Lembah Neraka melayang ke udara, melewati lipatan-lipatan tubuh ular. Sementara, ular itu tetap diam. Hanya sesekali mulutnya terbuka disertai desisan. Begitu mencapai depan mulut ular, Dayang Lembah Neraka menambah tekanan tenaga dalamnya. Dan tubuhnya pun melesat cepat ke atas kepala ular.
Putri Tunjung Kuning hanya memperhatikan dengan dada bergetar. Sepasang matanya membesar dan menyipit. Paras wajahnya membersitkan perasaan khawatir. Tentu saja khawatir jika Dayang Lembah Neraka benar-benar berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu.
"Keparat! Jika dia benar-benar berhasil, usahaku untuk merebutnya memerlukan perhitungan yang matang! Tapi apa boleh buat. Cara apa pun akan kutempuh!" tandas batin Putri Tunjung Kuning.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, kedua tangan Dayang Lembah Neraka telah berusaha membetot kitab dan kipas di kepala ular. Karena, ternyata kedua benda itu seakan tertancap dalam, hingga tidak mudah untuk dicabut.
"Bangsat! Padahal, kitab dan kipas ini hanya menempel. Tapi, begitu diambil seperti terpaku!" gumam Dayang Lembah Neraka.
Saat itu juga, perempuan tua ini mengerahkan seluruh tenaga dalam tingkat tinggi untuk membedol. Namun sedemikian jauh, usahanya sia-sia. Kitab dan kipas itu tak bergeming sedikit pun.
Merasa kesal dan geram, Dayang Lembah Neraka memutar-mutar tubuhnya dengan tangan mencengkeram kitab dan kipas. Sehingga, membuat tubuh ular itu bergoyang-goyang.
Saat itulah, tiba-tiba mulut ular itu membuka disertai desisan dahsyat. Lalu, tubuh ular itu menggeliat dengan gulungan asap hitam yang berkilat-kilat, melesat ke arah Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka tercengang. Buru-buru dilepaskannya cengkeraman pada kitab dan kipas. Namun matanya serentak mendelik karena tangannya bagai lengket tanpa kuasa untuk ditarik. Hingga tanpa ampun lagi, Dayang Lembah Neraka tak bisa menghindar dari sambaran asap hitam!
Wusss! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut Dayang Lembah Neraka begitu asap hitam menyambarnya. Cengkeramannya lepas. Tubuhnya mencelat ke atas, menghantam langit-langit ruangan. Ketika tubuhnya menukik dan terhempas di lantai ruangan itu, dari mulut dan telinga Dayang Lembah Neraka mengalir darah kehitaman!
Sambil melenguh perlahan, Dayang Lembah Neraka mencoba bangkit. Namun begitu dapat berdiri, tubuhnya oleng dan jatuh kembali.
Sementara diam-diam Putri Tunjung Kuning menyimpan senyum. Lalu wajah dibuat secemas mungkin, sebentar saja, gadis ini telah menghambur ke arah Dayang Lembah Neraka.
"Guru! Kau terluka dalam. Lebih baik pulihkan tenaga dahulu. Biar aku yang akan mencoba!" ujar Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka menyeringai tidak senang. Namun karena keadaan tubuhnya tidak memungkinkan lagi, akhirnya ia hanya memandang ke arah Putri Tunjung Kuning tanpa membuka suara.
"Peduli setan! Jika kitab dan kipas itu berhasil kudapatkan, kaupun harus berbalik tunduk padaku!" kata batin Putri Tunjung Kuning, melihat pandangan sinis Dayang Lembah Neraka.
Namun baru saja Putri Tunjung Kuning berbalik hendak melesat, ular telah menggeliat kembali. Dan saat itu pula asap hitam redup berkilat-kilat melesat menyambar ke arah Putri Tunjung Kuning dan Dayang Lembah Neraka.
"Heh...?!"
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sama-sama terkejut.
"Tunjung Kuning! Cepat pergi dari sini!"
Dayang Lembah Neraka segera berseru agar mereka meninggalkan tempat itu, namun Putri Tunjung Kuning seakan tidak mendengar. Bahkan gadis itu menarik kedua tangannya ke belakang. Lalu disertai dengusan tajam kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Werrr...! Werrr...!
Larikan-larikan sinar kuning segera melesat, menyongsong asap hitam redup.
Namun Putri Tunjung Kuning sesaat dibuat terkesima. Karena sentakan kedua tangannya yang bentrok dengan asap hitam tidak menimbulkan suara sama sekali! Bahkan yang terlihat, larikan sinar kuning itu terbuntal asap hitam redup. Dan buntalan asap itu, kini melesat ke arahnya!
"Cepat keluar! Naga itu tidak bisa kita hadapi!" teriak Dayang Lembah Neraka yang telah menyingkir, menuju mulut lorong.
Putri Tunjung Kuning seakan baru tersadar. Buru-buru dia bergerak berbalik dan melesat ke arah lorong gua menuju keluar. Namun, sambaran buntalan asap itu ternyata lebih cepat menggebrak! Tubuh Putri Tunjung Kuning yang berlari lurus menyusur lorong gua tak dapat mengelak lagi.
Blasshhh...! "Aakh...!"
Tak ampun lagi tubuh gadis itu, terpental dan keluar gua dengan terkapar!
Sementara Dayang Lembah Neraka yang berhasil keluar lebih dulu, segera menghampiri Putri Tunjung Kuning yang terkapar. Dengan sisa-sisa tenaga, diambilnya tubuh Putri Tunjung Kuning. Dan begitu Dayang Lembah Neraka menyingkir sambil membopong tubuh Putri Tunjung Kuning, getaran-getaran terhenti seketika.
Tak jauh dari mulut gua, Dayang Lembah Neraka segera menurunkan tubuh Putri Tunjung Kuning yang ternyata telah terluka parah. Seluruh pakaiannya telah hangus. Dan dari lobang di tubuhnya, menggenang darah merah kehitaman.
"Untuk sementara kita harus istirahat dahulu, Tunjung Kuning...," desah Dayang Lembah Neraka tersendat sambil memegangi dadanya yang sesak.
Putri Tunjung Kuning hanya memandangi, tanpa bisa buka mulut!

* * *



--↨֍¦ 6 ¦֍↨--

Tak seperti biasanya, bulan kali ini tidak tampak mengambang di angkasa. Padahal saat ini, hitungan bulan telah sampai pada hari keempat belas. Dan berarti, bulan akan mendekati puncak purnama. Bintang pun hanya terlihat satu dua. Itu pun lantas menghilang tertutup arakan awan hitam yang menggantung tebal, seakan tak sabar ingin segera menukik turun. Malam terus merambat dan suasana semakin gelap. Udara dingin yang menusuk menambah suasana semakin mencekam, terutama di sekitar sebuah bangunan tua berbentuk candi peninggalan kejayaan Kerajaan Singasari.
Keadaan yang menyeramkan seperti itu rupanya tak menyurutkan langkah sebuah bayangan merah yang berkelebat cepat, menyusuri kepekatan malam. Bayangan itu terus menyelinap masuk ke pelataran candi, lalu lenyap kedalamnya. Dan sesaat kemudian, bayangan merah itu telah mengendap-endap di bagian belakang candi, di sebuah ruangan yang beberapa bagian telah rapuh hampir runtuh.
Seperti sudah mengenal bagian bangunan ini, sosok bayangan merah itu perlahan-lahan melangkah mendekati sebuah arca besar. Dan seakan tanpa beban sama sekali, digesernya letak arca ini.
Untuk beberapa saat, sosok bayangan merah memandang liar berkeliling menembus gelapnya malam. Setelah merasa pasti tidak ada orang lain, tubuhnya masuk ke dalam lobang. Ternyata, di bawah arca di pojok ruangan yang tampak tidak terawat, terdapat sebuah lobang dengan sebuah tangga batu yang menurun.
Setelah turun tiga undakan, sosok bayangan merah mengembalikan letak arca seperti semula. Lalu dengan perlahan dituruninya tangga yang ternyata berujung pada sebuah ruangan yang tidak begitu besar dan terang benderang.
Menginjak lantai ruangan, sosok ini menebar pandangan dan berujung pada sosok yang duduk bersila di tengah-tengah ruangan. Ada sesuatu yang janggal terlihat. Cahaya terang benderang dalam ruangan, ternyata bersumber pada sosok yang duduk di tengah ruangan!
Sosok tubuh bercahaya terang ini ternyata seorang perempuan tua renta berjubah besar hitam. Rambutnya panjang berwarna putih, dibiarkan tergerai awut-awutan. Di atas kepalanya terlihat sorban berwarna hitam. Paras wajahnya putih pucat. Namun demikian, kulit wajah perempuan ini begitu tebal. Sepasang matanya terpuruk ke dalam. Mulutnya selalu bergerak-gerak seperti mengunyah sesuatu yang tidak habis-habisnya. Perempuan tua renta inilah yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Bayangan Iblis.
Meski Bayangan Iblis adalah tokoh berilmu tinggi, namun hanya beberapa gelintir orang saja yang mengenali sosoknya. Karena Bayangan Iblis memang jarang sekali menunjukkan diri.
Kini sosok bayangan merah tampak menjura, lalu kembali tegak. Ternyata, sosok bayangan ini adalah seorang pemuda tampan bertubuh kekar dan tegap. Rahangnya kokoh. Sepasang matanya menyorot tajam, membersitkan kekejaman dan kesombongan. Di telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning. Rambutnya panjang dan hitam serta dikuncir.
"Anak Agung!" panggil Bayangan Iblis, kepada pemuda berpakaian serba merah yang dipanggil Anak Agung.
Memang, Anak Agung sebenarnya adalah Malaikat Berdarah Biru yang pernah takluk di tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Bahkan gurunya yang berjuluk Bidadari Telapak Setan harus tewas di tangan Aji. Konon, setelah rencananya bersama Bidadari Telapak Setan digagalkan Pendekar Mata Keranjang 108, Malaikat Berdarah Biru melakukan perjalanan ke daerah timur (Untuk lebih jelasnya baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode: "Malaikat Berdarah Biru").
Bidadari Telapak Setan, sebelumnya memang telah berpesan, jika sewaktu-waktu terjadi hal yang di luar rencana, sang murid disuruh pergi ke daerah timur, menemui seorang yang bergelar Bayangan Iblis.
Dalam hati, Malaikat Berdarah Biru sebenarnya enggan menuruti pesan gurunya. Namun karena tingkat kepandaiannya masih belum memadai untuk mengalahkan Pendekar Mata Keranjang 108, maka dengan berat hati ia berangkat ke daerah timur. Tepatnya ke Singasari di mana Bayangan Iblis bertempat tinggal.
Pada mulanya, Bayangan Iblis tidak mau menerima Malaikat Berdarah Biru sebagai murid. Namun setelah pemuda itu menceritakan kalau dirinya murid Bidadari Telapak Setan, akhirnya Bayangan Iblis menerimanya sebagai murid.
Antara Bayangan Iblis dan Bidadari Telapak Setan memang masih ada hubungan. Karena Bidadari Telapak Setan adalah murid dari kakak seperguruan Bayangan Iblis
Karena masih menyimpan dendam kesumat, meski sudah beberapa tahun tinggal bersama Bayangan Iblis, sesekali Malaikat Berdarah Biru keluar juga untuk mengetahui keadaan sekaligus mengendus langkah Pendekar Mata Keranjang 108. Tak beda dengan malam-malam sebelumnya, malam ini Malaikat Berdarah Biru juga baru saja keluar mencari tahu langkah-langkah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku mengerti dengan kerisauan hatimu selama ini, Anak Agung! Kau tentunya sudah tak sabar ingin membalas pada musuh besarmu itu bukan?" lanjut Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru tidak menjawab. Malah wajahnya berpaling. Sementara ekor matanya melirik tajam. Kedua tangannya mengepal. Otot-otot wajahnya menggurat, dan rautnya berubah mengelam. Mulut Bayangan Iblis kembali bergerak-gerak seperti mengunyah, lalu berhenti begitu senyumnya tersungging.
"Sampai kapan pun, kau tak akan bisa membalas sakit hatimu pada Pendekar Mata Keranjang 108!"
Paras Malaikat Berdarah Biru makin mengelam. Napasnya berhenti mendadak. Tubuhnya bergetar hebat, karena menindih amarah.
"Tua jahanam!" rutuk Malaikat Berdarah Biru dalam hati.
"Omong kosongmu akan kubuktikan kelak!"
"Jangan cepat terbawa perasaan, Muridku! Kata-kataku belum selesai!" sambung Bayangan Iblis.
"Kau tidak akan bisa membalas dendam pada Pendekar Mata Keranjang 108, kecuali jika berhasil mendapatkan kipas dan kitab ciptaan Empu Jaladara!"
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan lenguhan keras, lalu menyeringai.
"Bertahun-tahun aku telah mencoba melacak kitab dan kipas itu. Namun sejauh ini, usahaku hanya menghasilkan kesia-siaanmu! Hingga aku beranggapan, kitab dan kipas itu hanyalah cerita isapan jempol. Bahkan setelah ku telusuri jalinan ceritanya, aku berkesimpulan sulit dipercaya jika kitab dan kipas itu benar-benar ada!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis mengeluarkan tawa bergelak membuat ruangan itu bergetar.
"Muridku! Kalau tokoh-tokoh silat tersohor keluar dari sarang, bahkan menyabung nyawa untuk mencari keterangan tentang kitab dan kipas itu, jadi jelas bahwa kedua benda itu memang benar-benar ada! Dan aku tahu, di mana beradanya kitab dan kipas itu!"
Malaikat Berdarah Biru kontan besarkan kedua biji matanya. Hatinya bersorak gembira mendengar keterangan gurunya. Namun kegembiraan itu ditindihnya, membuat paras wajahnya tidak menunjukkan rasa terkejut sama sekali.
"Guru! Beberapa tahun hidup bersama, kalau kau memang mengetahui letak kitab dan kipas itu, kenapa tidak dikatakan sejak dulu?!" kata Malaikat Berdarah Biru, setengah menegur gurunya.
Bayangan Iblis kembali tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang bergetar hebat, membuat cahaya di ruangan itu berpencar serabutan. Tiba-tiba Bayangan Iblis menghentikan tawanya. Sepasang matanya menyengat tajam.
"Petunjuk mengenai kitab dan kipas, tanpa bekal yang cukup hanya akan menghasilkan kekecewaan!" kata Bayangan Iblis, keras.
"Apa kau kira kepandaianku selama ini masih kurang?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
"Ingat, Anak Agung! Tingkat kepandaian tidak ada batasnya! Namun karena sekarang kurasa tingkat kepandaianmu sudah cukup menjadi bekal, sekarang akan kuberitahukan padamu letak kitab dan kipas itu!"
Kali ini Malaikat Berdarah Biru menatap lekatlekat pada gurunya.
"Anak Agung! Dalam semadiku, aku dapat melihat bahwa kitab dan kipas itu berada di sebuah gua, di kaki bukit kecil yang di kelilingi oleh dataran pasir hitam yang mengandung tenaga sedot luar biasa dahsyat!"
"Hm.... Di jagat ini banyak sekali tempat yang seperti kau katakan!, Jadi, jika kau tak bisa menentukan letak bukit itu, sama halnya mencari ikan tertentu di laut bebas!" sela Malaikat Berdarah Biru menyeringai.
"Benar katamu! Tapi aku tak akan mengatakan padamu, jika aku tidak tahu letaknya!"
Malaikat Berdarah Biru terbeliak, sambil mengangguk-angguk.
"Pergilah ke Dusun Pagedangan! Di ujung dusun itu, kau akan menemukan tempat seperti yang kukatakan tadi!"
Sejenak Bayangan Iblis menghentikan katakatanya. Sepasang matanya yang melesak berputar liar, memandang langit-langit ruangan.
"Besok pagi-pagi benar, kau bisa memulai perjalanan! Bagaimanapun caranya, kau harus bisa mendapatkan kitab dan kipas itu. Ini jika kau masih menaruh dendam pada musuh besarmu, sekaligus jika masih ingin menggenggam tampuk pimpinan rimba persilatan!"
"Untuk membuktikan kata-katamu, aku tak akan buang-buang waktu. Sekarang juga aku akan berangkat!" tandas Malaikat Berdarah Biru.
Selesai bicara, pemuda itu segera menjura. Lalu tubuhnya berbalik dan melangkah menuju anak tangga.
"Anak Agung! Aku akan sangat bangga jika kau benar-benar berhasil mendapatkannya!" kata Bayangan Iblis seraya mengangguk-angguk.
Lalu perempuan tua itu mendongak ke atas dengan tawa bergelak-gelak Namun sesaat kemudian tawanya lenyap, tepat ketika kedua kelopak matanya mengatup. Bayangan Iblis kembali tenggelam dalam semadinya.

* * *



--↨֍¦ 7 ¦֍↨--

Bukit kecil di ujung Dusun Pagedangan yang berada di tengah-tengah dataran pasir masih diselimuti kabut tipis dini hari. Embun di pucuk dedaunan masih belum luruh. Di tengah dinginnya udara pagi ini, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat, setelah meloncati sungai, kakinya menjejak dengan kokoh di tepi dataran pasir.
Untuk beberapa saat, sosok ini berdiri tegak terpaku. Pandangannya terarah pada bukit kecil yang ada di tengah-tengah dataran.
Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang laki-laki berjubah hitam panjang dan besar, hampir menutup sekujur tubuhnya. Kecuali wajah dan pergelangan tangannya. Umurnya sulit ditebak, karena raut wajahnya tidak tertutup kulit sama sekali. Sehingga paras wajah laki-laki ini hanya berupa rangkaian tulang-tulang. Demikian juga pergelangan tangannya. Di atas tulang pipinya, tampak rongga yang sangat cekung. Di dalamnya tampak berputar-putar sepasang bola mata besar berwarna kemerahan.
Dalam bentangan rimba persilatan, laki-laki berwajah angker ini sudah tidak asing lagi. Sesuai keadaan wajahnya, dia berjuluk Tengkorak Berjubah. Kepandaian tokoh ini sudah sangat tinggi. Namun yang lebih menggiriskan adalah kekejamannya.
"Dataran pasir hebat!" kata Tengkorak Berjubah dalam hati.
"Hari masih pagi begini, sudah mengepulkan asap! Aku harus berhati-hati. Tempat bendabenda sakti biasanya memang mengandung berbau maut?"
Tengkorak Berjubah lantas berbalik menghadap sungai. Kedua tangannya segera diputar-putar di depan dada. Dan saat ini juga terjadi suatu keanehan. Putaran tangan Tengkorak Berjubah langsung mengeluarkan suara gemuruh dahsyat, bagai gelombang laut. Sementara air sungai di depannya terlihat bergolak bagai terbuncah.
"Hiaah...!"
Dengan sentakan cepat, tiba-tiba Tengkorak Berjubah menarik kedua tangannya ke belakang.
Wutt!
Saat itu juga dua buah benda tampak melesat dari sungai. Lalu dengan gerakan indah, Tengkorak Berjubah cepat menangkap dua benda yang melayang ke arahnya.
Tap! Tap!
"Hm.... Dua ikan ini kurasa cukup untuk menjadi percobaan!" gumam Tengkorak Berjubah.
Tulang bibir laki-laki berjubah hitam ini bergerak-gerak, pertanda tersenyum. Dan tiba-tiba dua ikan di tangannya dikibaskan ke belakang, ke arah dataran pasir seraya berbalik.
Di tengah-tengah dataran pasir, sejenak terlihat dua kuakan kecil bersama amblasnya dua ikan ke dalamnya. Tengkorak Berjubah tak menunggu lama. Sesaat kemudian, dari dua kuakan tadi keluar asap hitam menebar bau ikan terbakar!
"Hm.... Berarti aku harus melewati dataran pasir ini sampai mencapai kaki bukit tanpa menginjak!" kata batin Tengkorak Berjubah seraya menganggukangguk.
Sejenak pandangan mata laki-laki ini menyorot jauh ke arah bukit. Dan perlahan-lahan kedua tangannya ditarik ke depan dada. Sepasang matanya dipejam rapat-rapat. Tulang bibirnya bergerak-gerak menggumamkan suara tak jelas.
Wesss...!
Dari arah belakang laki-laki berjubah hitam ini mendadak berhembus angin kencang yang mengeluarkan suara gemuruh. Tengkorak Berjubah langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tubuhnya kini melayang di atas dataran pasir, terbawa angin kencang dari belakangnya. Dan tatkala kedua tangannya menekan, hembusan angin itu lebih dahsyat membawa tubuhnya hingga sampai kaki bukit.
Begitu menginjak kaki bukit, Tengkorak Berjubah membuka kelopak matanya. Sebentar matanya berputar liar memperhatikan.
"Agar tak ada tempat yang lepas, aku harus naik dengan jalan mengitari mulai dari kaki bukit!" kata Tengkorak Berjubah dalam hati, segera dia mulai melangkah.
Namun baru saja mencapai balik bukit, Tengkorak Berjubah tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dari arah tempatnya berdiri, dengan jelas dia dapat melihat dua sosok tubuh manusia sedang duduk saling bersandaran panggung, tak jauh dari mulut gua.
"Hm Aku ternyata datang terlambat. Keparatkeparat itu rupanya telah mendahuluiku. Siapa mereka?" kata batin Tengkorak Berjubah dengan mata menyorot tajam. Tulang dagunya nampak tertarik ke atas.
"Siapa pun mereka, yang pasti adalah orangorang yang menginginkan benda pusaka itu! Tapi , sepertinya mereka belum mendapatkan pusaka kitab dan kipas itu! Tubuh mereka terlihat terluka "
Tengkorak Berjubah terus menduga-duga dengan sepasang mata merah tak berkedip. Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih pada mulut gua. Karena saat itu matahari sudah unjuk diri, maka jelas sekali dapat terlihat, kalau dari mulut gua samar-samar keluar asap tipis.
Untuk beberapa saat Tengkorak Berjubah memperhatikan. Lalu dengan perlahan sekali, kakinya melangkah mendekat. Pandangannya ditujukan pada salah satu sosok yang paling bersandar punggung.
"Seorang perempuan berpakaian hitam-hitam. Rahangnya keras menonjol, mulutnya melesak ke dalam...," gumam Tengkorak Berjubah dengan tulangtulang dahi berkerut. Sepasang matanya membesar lalu menyipit. Ia terus berpikir keras.
"Jahanam! Aku tak bisa mengenalinya!"
Pandangan Tengkorak Berjubah lantas beralih pada sosok satunya. Mendadak sepasang matanya terbelalak liar. Tangan kanannya yang bergerak, diusapusapkan pada tulang dagunya. Tulang bibirnya bergerak-gerak menciptakan sebuah senyum. Jakun tenggorokannya naik turun tak beraturan.
Sosok yang dilihat Tengkorak Berjubah tak lain adalah Putri Tunjung Kuning. Saat ini keadaan pakaian gadis itu memang telah terkoyak. Pakaian bawahnya telah terpotong sebatas paha. Hingga dalam keadaan duduk, pakaian bawahnya semakin tertarik ke atas. Dan ini membuat kulit putih pahanya jelas terlihat.
"Hm.... Gadis muda ini cantik! Dan sepertinya, aku pernah melihatnya! Tapi, di mana...?"
Kembali dahi Tengkorak Berjubah berkerut, mencoba mengingat-ingat. Tangan kanannya lalu menepuk tulang keningnya.
"Aku ingat! Bukankah dia murid Dewi Kuning? Dan aku tahu sekarang. Perempuan tua di belakangnya pasti kakak seperguruan Dewi Kuning. Manusia yang berjuluk Dayang Lembah Neraka!" kata Tengkorak Berjubah sambil mengangguk-anggukkan kepala seraya mengawasi lekat-lekat Dayang Lembah Neraka.
Namun pandangan Tengkorak Berjubah pada Dayang Lembah Neraka tidak lama. Sepasang matanya kembali tertuju pada Putri Tunjung Kuning.
"Tubuhnya begitu sintal. Dan pasti, menjanjikan kehangatan! Tapi..., kali ini aku harus mendahulukan kitab dan kipas itu! Persoalan perempuan bisa diurus belakangan..."
Habis berpikir begitu Tengkorak Berjubah lantas mendehem perlahan. Namun suaranya telah cukup membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning yang sedang memulihkan kekuatan jadi terusik.
"Guru! Kau dengar suara orang mendehem?" bisik Putri Tunjung Kuning tanpa membuka kelopak mata.
"Aku dengar!" sahut Dayang Lembah Neraka.
"Kita harus waspada. Siapa pun orang itu, tujuannya pasti sama dengan kita! Dan dengan segala cara, kita harus dapat mencegahnya!"
"Tapi keadaan kita sudah tidak memungkinkan lagi jika harus bertempur. Kita sedang terluka!" tukas Putri Tunjung Kuning.
"Kita harus berusaha! Kalau tak bisa mencegah dengan bertempur, kita cari jalan Lain. Mendengar dehemannya, aku dapat menduga kalau pendatang ini seorang laki-laki! Untuk menaklukkannya, tanpa bertempur kukira bisa! Dan itu tugasmu!" ujar perempuan tua itu.
Mendengar kata-kata Dayang Lembah Neraka, Putri Tunjung Kuning mengeluarkan dengusan perlahan.
"Dasar perempuan tua! Kau kira aku mau begitu saja menyerahkan tubuhku pada setiap laki-laki? Boleh, boleh saja. Asal, kitab dan kipas itu menjadi imbalannya!" umpat gadis itu, habis-habisan.
Putri Tunjung Kuning lantas mendekatkan kepalanya ke telinga Dayang Lembah Neraka.
"Guru!" bisik Putri Tunjung Kuning.
"Lebih baik biarkan saja orang itu memasuki gua. Jika nantinya berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu, barulah kita bertindak!"
Habis berkata, Putri Tunjung Kuning membuka kedua kelopak matanya, dan menebar pandangan ke sekeliling.
Dan baru saja Putri Tunjung Kuning hendak berpaling ke samping, sesosok tubuh tinggi berjubah hitam telah keluar dari balik semak belukar. Sosok itu langsung berkelebat, lalu tahu-tahu telah berdiri di samping Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning.
"Aahh...!"
Putri Tunjung Kuning berseru kecil, saat melihat paras wajah sosok berjubah hitam. Dan sesaat kemudian, Dayang Lembah Neraka pun membuka kelopak matanya.
"Tengkorak Berjubah!" gumam Dayang Lembah Neraka, sedikit terkejut saat mengetahui sosok di sampingnya. Namun perempuan tua itu tenang-tenang saja.
Sementara Tengkorak Berjubah hanya mengusap-usap tulang dagunya. Sepasang matanya memandang liar pada Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning segera bangkit. Namun sebelum membuka mulut, Tengkorak Berjubah telah mengertakkan tulang bibirnya.
"Jangan coba-coba menghalangiku, jika tak ingin tubuh kalian hangus masuk ke dalam dataran pasir!" ancam Tengkorak Berjubah dengan suara parau dan serak.
Dayang Lembah Neraka memandang muridnya. Dan Putri Tunjung Kuning pun menganggukkan kepala.
"Kau terlalu sombong, Orang Tua! Namun aku senang! Silakan berbuat sekehendakmu. Kami tak akan menghalangi. Kami hanya ingin menonton!" kata Putri Tunjung Kuning.
Tengkorak Berjubah mengerdip-ngerdipkan sepasang mata merahnya.
"Setelah urusan ini selesai, aku ingin menikmati kehangatan tubuhmu!" kata batin Tengkorak Berjubah.
Habis berkata, Tengkorak Berjubah mendongakkan kepala, seraya mengeluarkan suara tawa bergelak yang memekakkan telinga.
"Ha... ha... ha...!"
Diam-diam Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning tersentak. Sosok berjubah di hadapan mereka ternyata mempunyai tenaga dalam sangat tinggi yang tersalur lewat suara tawanya.
Begitu suara tawanya berhenti, tanpa memandang lagi pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning, Tengkorak Berjubah melangkah ke arah mulut gua.
"Gua inilah tempat benda pusaka kitab dan kipas itu! Hm.... Sebentar lagi aku akan jadi raja diraja dunia persilatan...!" gumam Tengkorak Berjubah begitu sampai di samping mulut gua.
Sejenak laki-laki berwajah tengkorak itu berpaling pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Bibirnya bergerak-gerak menggambarkan senyuman mengejek. Namun gerakan bibirnya tiba-tiba lenyap, ketika dari dalam gua terdengar suara mendesis.
"Huh!"
Sambil mendengus Tengkorak Berjubah segera meloncat menjauh. Karena, dia merasakan adanya getaran dahsyat.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah kontan membeliak. Pandangannya langsung dialihkan pada Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Dan laki-laki berwajah tengkorak hanya mendengus keras, karena saat ini kedua orang itu tengah tersenyum. Malah, Dayang Lembah Neraka tertawa terbahak-bahak
"Jahanam! Apa yang ditakutkan!" bentak Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan pandangan pada mulut gua.
Dan sebelum gema suara bentakannya lenyap, kedua tangan Tengkorak Berjubah telah bergerak mendorong ke depan.
Wess...!
Seketika selarik sinar hitam melesat ke arah mulut gua. Dan...
Bumm...!
Terdengar dentuman dahsyat, ketika sinar hitam itu melabrak mulut gua yang kontan terbongkar. Sehingga, lobang masuk gua makin membesar. Tengkorak Berjubah menunggu sejenak. Merasa tidak ada suara desisan dan tidak ada getaran, segera kakinya melangkah.
Hampir tiba di mulut gua, tiba-tiba Tengkorak Berjubah melesat masuk. Namun baru saja menjejakkan kaki di dalam lorong, dari arah dalam terdengar suara mendesis. Sementara getaran dahsyat terasa menghentak.
Karena tidak mungkin lagi kembali keluar, Tengkorak Berjubah segera menghantamkan kedua tangannya ke depan
Wesss...!
"Heh?!"
Namun wajah Tengkorak Berjubah mendadak berubah. Ternyata hantaman tangannya tidak bisa membendung getaran-getaran yang terasa semakin lama semakin keras.
Tubuh Tengkorak Berjubah kontan terseret ke mulut gua. Disertai bentakan sengau, tubuhnya membuat gerakan berputar ke atas. Dan begitu kakinya menjejak kembali lantai gua, kedua tangannya kembali menghantam ke depan.
Wess...!
Sementara pada saat yang sama, dari dalam gua kembali terdengar desisan dan getarannya semakin dahsyat.
Karena separo tenaga dalamnya dikerahkan, maka kali ini Tengkorak Berjubah mampu bertahan. Namun tidak lama kemudian getaran-getaran itu ternyata semakin hebat. Dan ini membuat tubuhnya sedikit goyah. Bahkan makin lama terseret, lalu terbanting ke lorong dan mencelat ke luar gua!
Hebatnya, meski tubuhnya telah terkapar di tanah dan jubah hitam besarnya robek di bagian dada, Tengkorak Berjubah seakan tak merasakan sakit. Segera dia bangkit dan kembali melangkah ke arah mulut gua.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning melotot hampir tak percaya melihat daya tahan tubuh Tengkorak Berjubah. Dalam hati kecil mereka, menyeruak perasaan khawatir.
"Dalam lorong gua kulihat ada lobang-lobang di samping kanan dan kiri. Dengan cara memasuki lobang-lobang itu, kurasa aku dapat menghindari getaran-getaran gila ini!" kata batin Tengkorak Berjubah.
Ketika tiba di samping mulut gua, Tengkorak Berjubah memejamkan kedua matanya. Lalu sesaat kemudian matanya terbuka kembali. Saat itulah tubuhnya mendadak melesat masuk, dan langsung menyelinap masuk ke lobang di lorong gua.
Desisan dahsyat dan getaran-getaran kembali terasa menghentak. Namun tubuh Tengkorak Berjubah kali ini luput dari sasaran.
"Kali ini aku berhasil!" gumam Tengkorak Berjubah.
Laki-laki berwajah tengkorak ini segera meloncat ke lobang di seberang. Begitu seterusnya, hingga tanpa mendapat halangan lagi ia bisa mencapai ujung lorong gua.
Beberapa saat Tengkorak Berjubah memandang ke sekeliling. Dan ketika sepasang matanya tertumbuk pada benda yang melipat dan melingkar ke atas, serta cahaya kemerahan yang menerangi ruangan, laki-laki tua ini tersentak kaget.
"Ular Naga!" sentak Tengkorak Berjubah seraya memandang tak berkedip.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah lebih membeliak lebar, tatkala pandangannya menelusuri kepala Ular Naga dan terhenti di atasnya! Tepatnya, ke arah kitab dan kipas yang tertancap.
"Dua pusaka itu!" seru Tengkorak Berjubah terlonjak.
Meski demikian Tengkorak Berjubah belum berani menampakkan diri dan tetap bersembunyi di dalam lobang lorong. Hatinya masih khawatir dan waswas. Namun ketika sepasang mata Ular Naga itu perlahan menutup hingga membuat keadaan menjadi gelap, tubuhnya segera melesat keluar dari lobang.
Karena keadaan gelap, begitu menginjakkan kaki ke lantai ruangan tempat Ular Naga berada, Tengkorak Berjubah memasang telinganya tajam-tajam. Dan setelah ditunggu agak lama desisan dan getarangetaran tak lagi terasa, kakinya mulai melangkah mendekati Ular Naga. Tanpa menunggu lama lagi, tubuhnya segera melesat ke atas, berusaha menggapai kitab dan kipas di kepala Ular Naga.
Namun baru saja tubuh Tengkorak Berjubah melayang, sepasang mata Ular Naga membuka kembali. Sehingga suasana tampak terang kemerahan.
Tengkorak Berjubah terkejut. Namun tubuhnya tetap bergerak ke atas. Begitu mencapai atas kepala Ular Naga, kedua tangannya segera menjulur menyambar kitab dan kipas yang menancap di kepala binatang aneh ini.
"Heh?!"
Kembali laki-laki berwajah tengkorak ini sejenak dibuat tak percaya dengan apa yang dialaminya. Karena meski telah mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya, kitab dan kipas itu tak kuasa ditarik dari kepala Ular Naga. Bahkan tatkala kepala binatang aneh itu bergoyang terkena bias sentakan-sentakan kedua tangannya, tubuh Ular Naga itu menggeliat.
Tengkorak Berjubah tercekat. Karena ketika binatang itu menggeliat, terdengar desisan. Dan dari tubuh Ular Naga keluar asap hitam berkilat menyambar ke arahnya disertai suara gemuruh dahsyat.
Buru-buru Tengkorak Berjubah melepaskan kedua tangannya dari cekalan pada kitab dan kipas. Namun hatinya kembali tercengang, karena kedua tangannya bagai lengket dan tak bisa dilepas.
Tapi tokoh sesat berkepandaian sangat tinggi ini tak mau begitu saja menyerah. Sebelum asap hitam redup menghantam, sepasang kakinya digerakkan berputar-putar, membuat jubah hitamnya berkibarkibar mengeluarkan suara menggeledek.
Werr...! Werrr...!
Angin kencang berputar-putar segera melindungi tubuh Tengkorak Berjubah. Hingga untuk beberapa saat, sambaran asap hitam yang kini datang sambar menyambar, dapat ditahannya. Waktu terus berlalu.
"Brengsek! Kedua kakiku telah pegal dan kesemutan!" rutuk Tengkorak Berjubah.
"Aku tak bisa terus bertahan. Tenagaku telah terkuras!"
Disertai bentakan sengau, Tengkorak Berjubah cepat memutar tubuhnya. Dan dengan tiba-tiba saja, kedua kakinya bergerak menukik menghantam kepala Ular Naga.
Dukk! Dukk!
Kepala Ular Naga yang bertumpu pada lipatan tubuhnya paling atas itu bergoyang sedikit. Namun tanpa diduga sama sekali, kepala binatang itu mendongak ke atas. Akibatnya, tubuh Tengkorak Berjubah ikut terhempas, karena kedua tangannya belum lepas dari kitab dan kipas.
Tengkorak Berjubah mencoba menahan ayunan tubuhnya yang terbawa dongakan kepala Ular Naga. Tapi, ternyata hempasan kepala itu lebih kuat dan cepat. Maka tanpa ampun lagi, tubuh Tengkorak Berjubah terhempas menghantam tubuh Ular Naga.
Brakk! "Keparat!" Tengkorak Berjubah mengeluarkan makian. Karena, tubuh Ular Naga itu selain mengeluarkan asap hitam redup, ternyata juga mengandung hawa panas yang menjilat.
Pada saat yang tepat pegangan kedua tangan Tengkorak Berjubah pada kitab dan kipas terlepas. Hingga tubuhnya kontan menukik deras ke bawah. Namun belum sampai tubuhnya menghantam tanah lantai ruangan, asap hitam redup sudah melesat dari tubuh Ular Naga, meluruk ke arahnya.

* * *



Sementara itu di luar sana, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning semakin tidak tenteram menunggu.
"Guru! Menurutmu, apakah orang tua itu akan berhasil?" tanya Putri Tunjung Kuning memecah suasana tegang yang menyelimuti.
"Tunjung Kuning! Tengkorak Berjubah adalah tokoh silat jajaran atas yang kedigdayaannya tidak diragukan lagi. Namun untuk menghadapi Ular Naga itu, aku sendiri masih belum yakin!" sahut Dayang Lembah Neraka, gamblang.
"Tapi sudah sekian lama dia tak keluar-keluar lagi. Jangan-jangan "
"Kau tak perlu cemas, Tunjung Kuning! Jika dia benar-benar berhasil, bagi kita jalan untuk merebut kitab dan kipas itu lebih mudah!" selak Dayang Lembah Neraka, sambil melirik tajam. Sementara bibirnya menyungging seulas senyum.
"Apakah Guru yakin bisa mengalahkan Tengkorak Berjubah?" tanya Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka tidak segera menjawab. Sepasang matanya beralih memandang ke arah mulut gua.
"Ketahuilah, Tunjung Kuning. Tingkat kepandaian Tengkorak Berjubah memang telah diketahui semua orang. Namun di satu pihak, dia mempunyai kelemahan. Dia menyukai perempuan muda! Dan kelemahan inilah yang akan kita manfaatkan!"
Paras Putri Tunjung Kuning kontan berubah merah. Tak dapat dibayangkan jika harus melayani nafsu Tengkorak Berjubah. Diam-diam tubuhnya mengeluarkan keringat dingin serta tengkuknya merinding. Ucapan Dayang Lembah Neraka secara tak langsung menempatkan dirinya pada keadaan sulit.
"Perempuan tua ini rupanya masih menjadikanku sebagai umpan...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Tapi jangan harap kau bisa membodohiku!"
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin, dari dalam gua terdengar desisan dahsyat, lalu disusul jeritan sengau. Lalu tak lama kemudian, dari mulut gua tampak tubuh Tengkorak Berjubah mencelat keluar. Begitu menyentuh tanah, tubuhnya terkapar dengan jubah hangus dan robek tak karuan. Dari mulutnya terdengar erangan panjang sengau dan serak.
"Kau terlalu sombong, Tua Bangka! Biar tak jadi duri, kukirim sekalian kau ke neraka! Hih...!"
Dayang Lembah Neraka segera menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Tengkorak Berjubah yang masih menggeletak. Karena hantaman tangannya yang dialiri tenaga dalam dan dilakukan dari jarak dekat, maka sekali terhantam tubuh Tengkorak Berjubah pasti akan hancur tak berkutik lagi.
Namun tatkala hantaman kedua tangan Dayang Lembah Neraka sejengkal lagi menggebrak tubuh Tengkorak Berjubah, dari arah samping melesat selarik sinar merah membawa suara angin menderu. Lalu....
Splash!
Hantaman kedua tangan Dayang Lembah Neraka kontan terpapasi, dan membelok ke samping menerpa tempat kosong.
Blarr!
Terdengar suara menggelegar dahsyat begitu hantaman Dayang Lembah Neraka melabrak tanah kosong.
"Jahanam busuk!" bentak Dayang Lembah Neraka.
"Setan siapa yang berani kurang ajar, he...?!"
Dayang Lembah Neraka segera berpaling ke samping. Demikian juga Putri Tunjung Kuning. Dan mereka berdua serentak terkesiap.
Sepuluh tombak di samping mereka, tampak seorang pemuda tampan tengah berdiri tegak. Tubuhnya kekar dan tegap. Rambutnya panjang dan dikuncir. Sepasang matanya menyorot tajam dengan bibir tersenyum menyeringai. Di telinga kirinya tampak melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning. Pemuda ini mengenakan jubah berwarna merah menyala.

* * *



--↨֍¦ 8 ¦֍↨--

Sosok tubuh kekar dan tegap dengan jubah merah yang baru datang ini menyeringai garang. Lalu kakinya melangkah perlahan, mendekati Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning. Tiga tombak di depan kedua orang ini, pemuda berjubah merah berhenti. Dia berdiri tegak kokoh sambil berkacak pinggang. Sementara sepasang matanya tak berkedip menelusuri tubuh Putri Tunjung Kuning.
"Siapa gerangan pemuda ini?" kata batin Dayang Lembah Neraka.
Perempuan tua itu memperhatikan dengan seksama pemuda di hadapannya dari ujung rambut hingga kaki. Sedangkan Putri Tunjung Kuning yang merasa tubuhnya ditatap demikian rupa, segera membuang muka disertai suara lenguhan perlahan.
"Siapa kau, Bocah... ?!" bentak Dayang Lembah Neraka, kasar.
Sosok berjubah merah yang tak lain Malaikat Berdarah Biru memalingkan wajahnya. Pandangannya diarahkan ke mulut gua yang tampak porak poranda.
"Tua bangka! Dengar baik-baik! Kau tak pantas mengajukan pertanyaan padaku! Justru kaulah yang harus menjawab pertanyaanku!" dengus Malaikat Berdarah Biru tanpa memandang pada Dayang Lembah Neraka.
Habis berkata demikian, Malaikat Berdarah Biru mengibaskan jubahnya ke belakang.
Wess...!
Seketika serangkum angin menderu tajam melesat ke depan, membuat Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning cepat mengundurkan kaki masing-masing satu tindak ke belakang, menghindari. Sementara Tengkorak Berjubah yang masih terkapar tak bisa menghindar, terseret hampir satu tombak.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning diam-diam jadi terkesiap. Kali ini mereka merasa sedang berhadapan dengan orang yang bertenaga dalam tinggi. Karena angin sambaran jubahnya saja, telah mampu menyeret tubuh Tengkorak Berjubah hingga satu tombak. Sementara bias angin sambarannya, masih terasa hangat di depan wajah mereka.
Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning saling berpandangan. Namun sebelum ada yang sempat bicara, kepala Malaikat Berdarah Biru mendongak.
"Kulihat mulut gua itu berantakan. Berarti, di antara kalian ada yang telah berusaha memasukinya. Apakah di antara kalian telah ada yang berhasil mendapatkan benda pusaka itu?!" kata Malaikat Berdarah Biru, keras.
"Hi... hi... hi...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa mengikik. Sebelah matanya mengerdip.
"Kulihat matamu tidak buta, Bocah Tampan! Seharusnya tanpa bertanya, kau telah tahu!" ejek Dayang Lembah Neraka.
Paras Malaikat Berdarah Biru merah padam. Dagunya yang kokoh dan keras terangkat mengembang. Gerahamnya bergemeletak.
"Tua bangka! Sekali lagi keperingatkan. Di hadapanku, kau tak berhak untuk berkata selain menjawab pertanyaanku!" gertak Malaikat Berdarah Biru.
"Bocah mulut besar! Kau rupanya belum tahu, sedang berhadapan siapa kali ini...?!" Dayang Lembah Neraka balas membentak.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru memejamkan kedua matanya. Kepalanya menengadah ke atas. Mendadak...
"Ha... ha... ha...!"
Dari mulut Malaikat Berdarah Biru tiba-tiba terdengar suara tawa keras dan panjang, membuat kaki bukit itu sedikit bergetar. Bahkan, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning sampai terkejut setengah mati. Namun raut wajah mereka tak menunjukkan rasa takut sama sekali. Tapi tak urung keduanya sedikit mengerahkan tenaga dalam untuk menindih suara tawa yang begitu menusuk telinga.
Sementara itu Tengkorak Berjubah yang masih tergeletak, kedua telinganya terlihat bergerak-gerak terkena bias suara tawa Malaikat Berdarah Biru. Kedua kakinya lantas bergerak, sedikit melejang-lejang dan tangannya seperti hendak menggapai. Kepalanya bergoyang ke samping kiri dan kanan. Lalu dengan erangan sengau, dia bangkit duduk. Sepasang matanya menatap tajam ke depan. Sebentar mata itu menyipit, lalu membesar liar.
"Hm.... Pemuda tampan mengenakan jubah toga warna merah...," kata batin Tengkorak Berjubah.
"Walau belum pernah bertemu, melihat ciri-ciri pemuda ini, aku bisa memastikan kalau pemuda inilah manusia yang bergelar Malaikat Berdarah Biru, anak didik sobat lamaku Bidadari Telapak Setan yang kabarnya telah tewas."
Sejenak Tengkorak Berjubah menghentikan kata hatinya. Pandangannya lantas beralih pada Dayang Lembah Neraka.
"Betina ini tadi telah melepaskan pukulan mematikan padaku. Dan tentunya tak ada yang menyelamatkan nyawaku selain pemuda itu!" lanjut Tengkorak Berjubah.
Pandangan laki-laki berwajah tengkorak lantas kembali pada Malaikat Berdarah Biru
"Orang muda gagah! Kalau tak salah, bukankah kau yang bergelar Malaikat Berdarah Biru...?" duga Tengkorak Berjubah, di tengah suara tawa Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menghentikan tawanya. Lalu kepalanya berpaling pada Tengkorak Berjubah.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tak ada dirimu, betina itu sudah pasti perpesta pora di atas mayatku!" sambung Tengkorak Berjubah, seraya meluruskan jari telunjuknya yang tak berdaging pada Dayang Lembah Neraka.
Mendengar Tengkorak Berjubah menyebut gelar pemuda berjubah merah itu, Dayang Lembah Neraka dan Putri Tunjung Kuning kontan terkejut. Sementara itu, Malaikat Berdarah Biru hanya menyeringai.
"Aku menolongmu, karena aku masih membutuhkan jawaban langsung dari mulutmu! Jika tidak, aku lebih senang melihat tubuhmu benar-benar jadi tengkorak!" sahut Malaikat Berdarah Biru.
Tulang dan otot-otot di wajah Tengkorak Berjubah bergerak-gerak, pertanda menahan luapan amarah. Namun sebentar kemudian dari tulang bibirnya keluar suara sengau perlahan.
"Malaikat Berdarah Biru!" seru Tengkorak Berjubah begitu tawanya lenyap.
"Seandainya kau tidak menyelamatkan selembar nyawaku, dan mengingat persahabatanku dengan gurumu, si Bidadari Telapak Setan, mulutmu pasti kurobek-robek!"
"Oh, begitu...?"
Malaikat Berdarah Biru membelalakkan sepasang matanya. Kepalanya manggut-manggut. Tapi sesaat kemudian bibirnya tersenyum sinis.
Tengkorak Berjubah merasakan gelagat tidak baik, maka segera kakinya melangkah ke arah Malaikat Berdarah Biru.
"Di antara kita tidak ada silang sengketa. Sekarang, menyingkirlah! Aku akan menyelesaikan betina itu!" ujar Tengkorak Berjubah, seraya mengarahkan pandangan pada Dayang Lembah Neraka.
"Sementara untuk yang muda itu, tidakkah kau berkeinginan menikmati kehangatannya...? Lihat! Tubuhnya begitu mempesona!"
Wajah Putri Tunjung Kuning merah padam. Sementara Dayang Lembah Neraka kontan menggerutukkan rahangnya yang keras. Lalu....
"Hiaaa !"
Sambil berteriak nyaring, Dayang Lembah Neraka menghantamkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Tengkorak Berjubah.
Werr. !
Berlarik-larik sinar berhawa panas langsung melesat ke arah Tengkorak Berjubah.
Sementara, laki-laki berwajah tengkorak itu hanya menggerak-gerakkan bibirnya tersenyum mengejek. Lantas kedua tangannya ditarik ke belakang. Dan dengan perlahan-lahan didorongnya ke depan, memapak sinar berhawa panas yang keluar dari telapak Dayang Lembah Neraka.
Daarr!
Bentrok dua pukulan yang bertenaga dalam tinggi tak terelakkan lagi. Suaranya kontan membuncah kaki bukit. Tubuh Dayang Lembah Neraka terjengkang dan jatuh terduduk. Sementara Tengkorak Berjubah hanya terseret lima langkah ke belakang. Dan tanpa menunggu lama lagi, perempuan tua itu terus bangkit. Sedangkan Tengkorak Berjubah melangkah maju dua tindak.
"Untuk bertarung jarak jauh, memerlukan tenaga dalam banyak. Sementara tubuhku terluka, aku harus memperpendek jarak dan mengajaknya bertarung secara langsung!" kata batin Dayang Lembah Neraka. Mendadak tubuh perempuan itu berputarputar. Sejenak, tubuhnya hilang dari pandangan. Dan tahu-tahu kedua tangannya melesat ke arah kepala Tengkorak Berjubah.
Bet! Bet!
Tengkorak Berjubah yang telah waspada segera menarik sedikit kepalanya ke belakang, membuat hantaman kedua tangan Dayang Lembah Neraka hanya lewat satu jengkal menerpa tempat kosong.
Sambil menghindari dari hantaman kaki kanan Tengkorak Berjubah yang tertutup jubah hitamnya bergerak memutar. Langsung dihantamnya selangkangan Dayang Lembah Neraka.
"Tua bangka jorok!" bentak Dayang Lembah Neraka, cepat menarik kembali kedua tangannya, langsung disentakkannya kedua tangan itu ke kaki Tengkorak Berjubah yang mengarah pada selangkangan.
Plak! Plak!
Maka pertempuran jarak dekat seperti yang diinginkan oleh Dayang Lembah Neraka tidak terelakkan lagi.
Sementara itu di lain pihak, Malaikat Berdarah Biru yang sedari tadi hanya mengawasi pada Dayang Lembah Neraka, mengalihkan pandangan pada Putri Tunjung Kuning yang juga sedang memperhatikan pertarungan.
"Hm.... Tubuh gadis itu memang menggiurkan. Tapi, aku harus mendahulukan urusan benda pusaka itu! Namun..., tak ada salahnya jika terlebih dahulu menjinakkannya, biar setelah urusan benda pusaka selesai, aku tak usah repot-repot menggaetnya!" gumam batin Malaikat Berdarah Biru.
Habis berpikir begitu, pemuda ini segera mendorongkan telapak tangannya ke arah Putri Tunjung Kuning.
Wess...!
Serangkum angin yang melingkar-lingkar berwarna kebiruan langsung melesat ke depan. Inilah pukulan sakti yang berhasil dipelajari Malaikat Berdarah Biru dari Bayangan Iblis yang disebut pukulan 'Badai Biru'.
Putri Tunjung Kuning yang masih berdiri tegak kontan tersadar dengan adanya bahaya. Kepalanya cepat berpaling, dan langsung tertegun. Sepasang matanya lantas menyengat tajam pada Malaikat Berdarah Biru.
"Setan alas!" bentak Putri Tunjung Kuning. Gadis ini cepat menghentakkan kedua tangannya, memapak lingkaran angin berwarna kebiruan. Namun mendadak dia kaget. Serangan kedua tangannya ternyata mental balik ke arahnya.
"Hih!"
Dengan sebisanya Putri Tunjung Kuning membuang diri ke samping, dan langsung merebahkan diri di atas tanah. Kemudian dengan cepat bangkit kembali.
Namun baru saja bangkit, Malaikat Berdarah Biru telah berkelebat cepat. Bahkan dengan cepat pula pemuda itu menggerakkan tangan kirinya menusuk dada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning menarik tubuhnya ke belakang. Tapi saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru telah menyapukan kakinya menggaet kaki Putri Tunjung Kuning.
Pak! "Aah...!"
Brukk!
Maka tak ampun lagi Putri Tunjung Kuning terjengkang ke belakang dan terkapar telentang di atas tanah. Dan sebelum sempat gadis itu bangkit, tangan kiri Malaikat Berdarah Biru bergerak cepat menotok.
Tuk! Tuk!
Saat itu juga Putri Tunjung Kuning merasakan tubuhnya tak berdaya lagi. Matanya hanya mampu melotot, tak suka dengan perlakuan Malaikat Berdarah Biru.
"Keparat! Jangan harap kau bisa melakukan kehendakmu!" rutuk Putri Tunjung Kuning. Kata-kata itu hanya bisa sampai di tenggorokan karena pita suaranya juga tertotok. Padahal mulutnya sudah terbuka lebar.
Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat. Sepasang matanya menjilati seluruh tubuh Putri Tunjung Kuning yang pakaiannya telah robek di sana sini. Bahkan sebagian robek besar di bagian dada, membuat payudara kencang dan putih milik gadis itu yang bergerak turun naik terlihat jelas menantang.
Pemuda berjubah merah ini jongkok. Lalu dagunya diusap-usap dengan mata tak kedip menatap dada Putri Tunjung Kuning.
"Tunggulah, Manis! Masih ada urusan yang harus kuselesaikan. Setelah itu, kita bersenang-senang!"
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru bangkit dan berkelebat ke arah mulut gua. Dan baru saja sepasang kakinya menjejak di depan mulut gua, dari dalam terdengar suara desisan yang disusul menghentaknya getaran-getaran dahsyat.
"Hm.... Keparat-keparat itu pasti terkena getaran-getaran aneh ini...!" gumam Malaikat Berdarah Biru.
"Aku harus berhati-hati. Mereka saja tak mampu menaklukkan getaran ini. Padahal, mereka bukan tokoh sembarangan!" Sambil berpikir, cepat-cepat Malaikat Berdarah Biru meloncat ke samping. Dan dengan sikap waspada sebentar kemudian kakinya kembali melangkah ke mulut gua dari arah samping.
Pemuda berjubah merah ini segera memalangkan tangan kanannya ke mulut gua.
Tak menunggu lama, dari dalam gua terdengar desisan dahsyat disusul menghentaknya getarangetaran dahsyat. Secepat kilat Malaikat Berdarah Biru menarik tangan kanannya kembali. Dia berpikir sejenak. Sepasang matanya memandang ke samping, ke arah Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah yang masih terlibat pertempuran sengit. Lalu matanya beralih pada Putri Tunjung Kuning yang telentang dengan tubuh tegang kaku.
"Peduli setan! Akan ku coba melayaninya dengan 'Badai Biru'!" gumam Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda berjubah merah ini segera memusatkan tenaga dalamnya pada kedua tangan dan kakinya. Dan didahului dengan teriakan lantang, tubuhnya melesat masuk ke dalam gua. Kedua tangannya sedikit ditarik ke belakang, lalu didorong ke depan. Sementara kedua kakinya tampak amblas ke bawah hingga mata kaki.
Werrr...!
Saat itu juga angin melingkar-lingkar berwarna kebiruan menghentak ke depan. Dan bersamaan dengan itu, dari dalam terdengar suara desisan dahsyat disusul menghentaknya getaran-getaran dahsyat. Dan....
Blamm...!
Terdengar dentuman membahana ketika angin berwarna kebiruan terhadang suara desiran dan getaran-getaran. Lorong gua itu semakin bergetar. Sementara tubuh Malaikat Berdarah Biru hampir ambruk terhantam bias getaran-getaran dalam lorong gua yang mencoba dibendungnya.
"Celaka!" maki Malaikat Berdarah Biru.
"Getaran ini sepertinya dikendalikan tenaga dahsyat. Berarti "
Malaikat Berdarah Biru tak bisa meneruskan kata hatinya. Karena saat itu, dari dalam gua terdengar suara desisan disusul getaran-getaran yang membuat tubuhnya mulai goyah.
Wuss!
Sebelum tubuhnya tumbang ke lorong, Malaikat Berdarah Biru masih sempat melihat samping kanan dan kiri lorong gua yang tampak berlobanglobang.
"Lobang-lobang ini pasti digunakan untuk menghindari getaran-getaran ini. Hup!"
Malaikat Berdarah Biru cepat melesat masuk ke dalam salah satu lobang di lorong gua.
Saat tidak lagi merasakan adanya getaran, pemuda berjubah merah ini segera meloncat ke lobang diseberang. Demikian seterusnya, hingga dia bisa mencapai ujung lorong yang bercahaya kemerahan dan terasa hangat.
"Hm.... Pada lompatan terakhir tadi, getaran sudah tidak lagi terasa. Berarti di sini telah aman "
Berpikir begitu, Malaikat Berdarah Biru segera melesat keluar dari lobang paling ujung. Lalu mantap sekali kakinya menjejak lantai ruangan yang bercahaya kemerahan. Namun mendadak sepasang matanya terbeliak lebar.
"Hm.... Binatang laknat ini rupanya biang kendali getaran-getaran itu!" gumam Malaikat Berdarah Biru dengan rahang mengembang. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekeliling, menyapu ruangan.
"Bayangan Iblis mengatakan, kedua benda pusaka itu berada di sini. Namun aku tak menemukan tanda-tanda adanya kedua benda tersebut. Janganjangan aku menemukan jalan buntu lagi! Sialan...!" rutuk batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda berjubah merah ini melangkah sambil memperhatikan setiap jengkal ruangan dengan seksama.
"Benar-benar keparat si Bayangan Iblis! Dia telah menipuku!" dengus Malaikat Berdarah Biru.
Pandangan pemuda itu kembali pada Ular Naga. Dan mendadak, bibirnya dikatupkan rapat-rapat dengan mata terbelalak. Sesaat kemudian senyumnya mengembang. Kakinya lantas melangkah lebih dekat lagi ke arah Ular Naga. Sementara matanya tak berkedip menatap pada dua benda yang menancap di atas kepala binatang aneh itu.
"Dua benda itu pasti dua pusaka yang selama ini kuidam-idamkan! Berarti kata-kata si Bayangan Iblis bisa dipercayai!" kata Malaikat Berdarah Biru.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru mengibaskan jubahnya. Tubuhnya langsung melenting ke atas hendak menyambar kitab dan kipas yang berada di kepala Ular Naga.
Namun Malaikat Berdarah Biru terperanjat. Begitu kedua tangannya telah mencekal, kedua benda itu tak kuasa dicabut! Bahkan hatinya menjadi tegang ketika mendengar suara desisan dan asap hitam redup berkilat-kilat keluar dari tubuh Ular Naga, menuju ke arahnya.
"Ular Naga jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru. Pemuda ini segera melepaskan cekalan tangannya pada kitab dan kipas. Namun hatinya tambah tegang, karena kedua tangannya ternyata bagai lengket dari tak bisa dilepas. Dengan membuat keputusan yang cepat Malaikat Berdarah Biru segera memutar tubuhnya, menghindari sambaran asap hitam redup.
Wusss! Brett!
Tubuh Malaikat Berdarah Biru selamat dari hantaman telak asap hitam. Tapi tak urung jubahnya tersambar dan robek memanjang. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Namun karena tekadnya sudah bulat, apalagi jika teringat Pendekar Mata Keranjang 108, maka tak ada kata menyerah baginya.
"Apa boleh buat? Aku harus melumpuhkan binatang laknat ini!" desis Malaikat Berdarah Biru seraya menghantamkan kedua kakinya ke kepala Ular Naga.
Bukk! Bukk!
Begitu terhantam dua kali, kepala Ular Naga sedikit terhempas. Sehingga membuat cekalan kedua tangan Malaikat Berdarah Biru terlepas. Tapi sesaat kemudian, terdengar suara desisan yang disusul asap hitam redup mengeluarkan suara gemuruh, menggebrak ke arah Malaikat Berdarah Biru yang sedang melayang turun.
Menyadari adanya bahaya, Malaikat Berdarah Biru cepat memutar tubuhnya. Maka sekejap kemudian tubuhnya berkelebat cepat, lenyap dari pandangan. Sementara asap hitam redup terus melesat dan menghantam dinding ruangan.
Bumm!
Dinding ruangan dalam gua yang terbuat dari tanah keras itu kontan terbongkar, meninggalkan lobang menganga. Begitu menjejak kembali di atas tanah lantai ruangan, Malaikat Berdarah Biru jadi bergidik. Bongkaran tanah bekas hantaman asap hitam tadi menjadi merah seperti tanah tergarang jilatan api.
Selagi pemuda yang bernama asli Anak Agung ini tercengang, asap hitam redup kembali melesat! Namun dia tetap waspada. Maka segera jubahnya yang telah robek ke belakang dikibaskan. Lalu, kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Wess...!
Werr...!
Dari tangan kanan Anak Agung langsung melesat selarik sinar merah berkilat. Sedangkan dari tangan kirinya keluar lingkaran angin menderu berwarna kebiruan. Inilah pukulan maut perpaduan antara 'Serat Jiwa' dengan 'Badai Biru'.
Blarrr...!
Didahului suara menggelegar dahsyat di dalam ruangan gua ini, serentak berpendaran beberapa cahaya bagai kembang api. Ruangan ini benar-benar berguncang hebat, ketika dua pukulan Malaikat Berdarah Biru bentrok dengan asap hitam redup dari Ular Naga.
Dinding ruangan rengkah dan berhamburan. Tubuh Ular Naga yang melipat melingkar ke atas serentak menggeloso, membentuk lingkaran besar dengan dua lipatan ke atas. Dari mulutnya terdengar suara mendesis. Sementara tubuh Malaikat Berdarah Biru sendiri terhuyung-huyung, namun cepat keseimbangan dirinya terkuasa. Dan sebelum asap hitam redup kembali menyambar, kedua tangannya telah dihantamkan.
Dess! Dess!
Tubuh Ular Naga menggeliat keras, dan melengkung tinggi ke udara. Tak terdengar lagi suara desisan, walau mulut binatang ini membuka. Menyangka Ular Naga akan segera roboh lalu tewas, Malaikat Berdarah Biru tertawa gelak-gelak. Namun mendadak suara tawanya lenyap, ketika ekor Ular Naga telah bergerak cepat melesat membentuk lengkungan ke arahnya.
Wuutt...! "Hiaaa...!"
Disertai teriakan marah, Malaikat Berdarah Biru melesat ke udara menghindari sabetan ekor Ular Naga. Lalu segera dilepaskannya pukulan 'Serat Jiwa' ke arah kepala Ular Naga dan pukulan 'Badai Biru' ke arah ekor Ular Naga.
Wess...!
Werr...!
Dess...!
Pukulan 'Badai Biru' telak menghantam ekor Ular Naga, hingga mental balik dan menghantam dinding gua. Dan justru inilah yang menyelamatkan kepala Ular Naga dari hantaman tangan Malaikat Berdarah Biru yang telah melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Namun demikian, karena ekornya menghantam dinding, membuat tubuh Ular Naga itu melengkung ke atas. Kemudian binatang itu menukik ke samping membentur dinding ruangan.
Glarrr...!
Ruangan kembali bergetar hebat. Dinding yang terhempas ekor dan tubuh Ular Naga kontan porak poranda. Tanah-tanah beterbangan, menutupi pemandangan.
Begitu keadaan terang kembali, sosok Ular Naga telah menggeloso memanjang dengan kepala miring di atas lantai ruangan gua. Sebentar sepasang mata merahnya meredup, lalu memejam. Hingga, ruangan itu kini ditikam kegelapan.
Malaikat Berdarah Biru segera duduk bersila. Kedua tangannya menakup di depan dada. Bibirnya berkemik-kemik. Dan, terjadilah sesuatu yang hampir tak dapat dipercaya. Tubuh pemuda berjubah merah itu perlahan-lahan berubah putih berkilau. Sehingga, membuat ruangan gua itu kembali terang benderang. Inilah jurus milik Bayangan Iblis yang telah dikuasainya, yakni jurus 'Badai Perak'.
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Sementara tubuhnya tetap memancarkan cahaya putih berkilau. Kakinya melangkah perlahan, mendekati kepala Ular Naga. Seperempat tombak didekat kepala Ular Naga, dia berhenti. Tubuhnya lantas membungkuk, mengawasi kitab dan kipas yang masih menancap. Lalu kedua tangannya menjulur, menggapai kedua benda pusaka itu.
Aneh! Begitu kedua tangan Malaikat Berdarah Biru menjamahnya, kedua benda pusaka itu begitu saja luruh. Cepat ditariknya pulang kedua tangannya yang telah menggenggam kitab dan kipas.
"Aku berhasil!" desis Malaikat Berdarah Biru agak bergetar.
Pemuda berjubah merah ini lantas melangkah mundur dengan tubuh menggigil gemetar. Lima tombak dari bangkai Ular Naga, Malaikat Berdarah Biru berhenti dan langsung mengambil sikap duduk bersila. Kipas yang ada di tangan kanannya diletakkan di pangkuannya. Lalu dengan tangan masih gemetar diperiksanya kitab yang ada di tangan kiri.
Kitab itu ternyata terdiri dari lima lembar, terbuat dari kulit. Pada sampulnya tidak terdapat nama. Dan melihat keadaan lembaran kulit kitab yang ujungujungnya telah lapuk, besar dugaan kalau usianya demikian tua.
Dengan mata membesar, Malaikat Berdarah Biru mulai memeriksa bagian dalam kitab, yang ternyata berisi gambar-gambar dengan sedikit keterangan di bawahnya.
"Lukisan yang menggambarkan jurus-jurus silat!" kata batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini menutup kembali kitab dan memasukkannya ke balik jubahnya. Sepasang matanya menatap kipas lipat di pangkuannya. Dengan dada berdetak kencang, perlahan-lahan dibukanya lipatan kipas.
Begitu kipas terpentang, secercah cahaya hitam redup melesat menerobos dada Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya kontan bergetar hebat. Jalan napasnya bagai tersumbat. Sementara matanya mendadak berkunang-kunang, lalu gelap. Dan tubuh Malaikat Berdarah Biru yang tadi memancarkan sinar putih berkilau perlahan meredup!
Namun tak lama kemudian, tubuh Malaikat Berdarah Biru seperti biasa kembali.
"Apa yang terjadi dengan diriku...?" bisik Malaikat Berdarah Biru. Sepasang matanya dikucak-kucak. Dan tiba-tiba, matanya menjadi lebih terang.
Malaikat Berdarah Biru segera memeriksa kipas yang kini terpentang di hadapannya. Menilik bentuk kipas yang berwarna hitam, pemuda ini jadi heran. Karena ujung sebelah kiri kipas seperti terpangkas, seakan-akan kipas itu belum selesai dibuat. Malaikat Berdarah Biru langsung saja mengibaskan kipas di depan dadanya.
Werr...!
Serangkum angin kencang kontan melesat disertai hawa panas menyengat searah kibasan kipas. Malaikat Berdarah Biru terlongong. Namun sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lalu cepat-cepat dilipatnya kembali kipas itu dan dimasukkan ke balik jubahnya. Sejenak matanya memandang ke sekeliling, karena suara desisan kembali terdengar.
Namun, kali ini Malaikat Berdarah Biru tidak gentar sama sekali. Dua pusaka telah berada di tangannya, membuatnya percaya diri. Tapi hingga menunggu agak lama, pemuda ini tak melihat asap hitam redup keluar dari tubuh Ular Naga yang kini tampak mulai menggeliat.
"Sebelum terjadi apa-apa, aku harus cepat tinggalkan tempat ini!"
Malaikat Berdarah Biru segera bangkit. Tubuhnya berbalik dan melesat melalui lorong gua. Begitu menjejak di luar gua, pemuda ini terkejut. Sepasang matanya memandang ke sekeliling, sementara rahangnya terangkat.

* * *



--↨֍¦ 9 ¦֍↨--

Dayang Lembah Neraka, Tengkorak Berjubah serta Putri Tunjung Kuning telah mengurung dengan sikap menyerang Malaikat Berdarah Biru. Segera saja pemuda berjubah merah ini mundur dua tindak ke belakang. Sepasang matanya berputar liar, memandang satu persatu.
"Kau terkejut..., Bocah?" tegur Dayang Lembah Neraka seraya mengusap pipinya. Bibirnya menyungging seulas senyum.
"Bocah! Kau telah masuk begitu lama ke dalam gua. Dan kau keluar dalam keadaan selamat. Berarti, kau telah berhasil mendapatkan dua benda pusaka itu! Dengar! Kalau kau bersedia menyerahkan kedua benda itu, kau bisa pulang tanpa halangan. Bahkan bisa membawa gadis di sebelahku!"
Sambil berkata, Dayang Lembah Neraka mengerling Putri Tunjung Kuning. Gadis itu membuang muka. Paras wajahnya merah padam. Hatinya panas.
"Kau terlalu rendah menilaiku, Guru!" desis Putri Tunjung Kuning.
Dayang Lembah Neraka mendelik. Lalu kakinya melangkah mendekati Putri Tunjung Kuning yang totokan pada tubuhnya telah dibebaskan Dayang Lembah Neraka tadi.
"Muridku.... Ini hanya siasat! Kau jangan terjebak dengan kata-kataku!" bisik Dayang Lembah Neraka.
Sementara Malaikat Berdarah Biru mengembangkan senyum, lalu meludah ke tanah.
"Bagaimana, Bocah...? Kau terima tawaranku?!" desak Dayang Lembah Neraka.
Malaikat Berdarah Biru diam tak menjawab.
"Malaikat Berdarah Biru!" timpal Tengkorak Berjubah.
"Hari sudah siang. Masalah ini sebaiknya cepat diselesaikan. Serahkan kitab itu padaku. Kipasnya, biar menjadi milik Dayang Lembah Neraka. Dan kau bebas pulang. Bahkan boleh bawa perempuan sintal itu!"
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru alias Anak Agung tertawa panjang dan keras. Sehingga tubuhnya berguncang, seakan-akan hendak ambruk. Tapi mendadak tanah pijakan ketiga orang yang mengurungnya perlahan amblas ke bawah.
Serta merta Dayang Lembah Neraka, Tengkorak Berjubah, dan Putri Tunjung Kuning mengerahkan tenaga masing-masing, untuk menahan agar tidak terbawa amblas.
"Kalian semua dengar!" teriak Malaikat Berdarah Biru.
"Kedua benda pusaka telah berada di tanganku. Berarti, akulah sang pemimpin tunggal dunia persilatan! Akulah yang menentukan nyawa kalian. Namun untuk kali ini, nyawa kalian kuampuni. Tapi dengan syarat, dua purnama mendatang, tepatnya pada hari kedua puluh sembilan bulan kedua, kalian harus datang ke Candi Singasari!"
Mendengar kata-kata Malaikat Berdarah Biru, tulang rahang Tengkorak Berjubah terangkat. Sepasang mata merahnya mengawasi sekujur tubuh pemuda itu. Seakan dia tengah mencari tahu kebenaran kata-kata Malaikat Berdarah Biru jika kitab dan kipas telah berada di tangannya. Karena dalam hati kecilnya, Tengkorak Berjubah belum yakin benar jika Malaikat Berdarah Biru telah berhasil mendapatkannya.
"Kalian sudah dengar! Sekarang, pergilah! Dan, tinggalkan gadis ini bersamaku...!" ujar Malaikat Berdarah Biru, dengan senyum sinis.
"Anak iblis! Kau tak berhak memerintah. Cepat serahkan kitab itu!" bentak Tengkorak Berjubah dengan kedua tangan mengepal.
"Benar! Dan kau bisa segera pulang membawa tawaranku!" timpal Dayang Lembah Neraka.
Sementara Putri Tunjung Kuning diam saja.
"Hm.... Apa boleh buat? Segala cara akan kutempuh, untuk merebut benda pusaka itu. Tapi aku tidak harus menuruti kehendak Dayang Lembah Neraka. Aku punya cara tersendiri!" kata hati gadis ini.
Selagi Putri Tunjung Kuning membatin..., "Kalian rupanya tua-tua bangka yang ingin segera mampus!" Terdengar bentakan Malaikat Berdarah Biru yang disertai hantaman kedua tangan ke arah Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah. Tangan kanannya melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'. Sedangkan tangan kirinya melepaskan 'Badai Biru'. Maka sebentar kemudian tempat itu tambah terang namun berhawa panas.
Karena tidak menduga, membuat Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah tidak sempat lagi melepaskan serangan tangkisan. Maka mereka hanya bisa menghindar, dengan meloncat ke samping kiri dan kanan. Namun keduanya seakan tak percaya. Ternyata larikan sinar warna merah serta hembusan angin berwarna kebiruan yang keluar dari telapak tangan Malaikat Berdarah Biru, bisa berbelok dan memburu seperti memiliki mata.
Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah kembali mundur. Dan serta merta, keduanya mendorong tangan masing-masing ke depan.
Blummm! Blummm!
Terdengar dua letusan dahsyat bersahutan. Kaki bukit ini terasa bergetar. Namun karena samasama terluka akibat pertarungan sebelumnya, membuat tenaga Dayang Lembah Neraka dan Tengkorak Berjubah yang keluar tidak begitu penuh. Hingga tatkala pukulan mereka bentrok, tubuh Tengkorak Berjubah mencelat dan melayang. Kemudian tubuhnya jatuh terkapar di dekat dataran pasir. Sedangkan Dayang Lembah Neraka terseret dalam keadaan duduk, dan terhenti saat punggungnya terhempas keras pada sebuah pohon.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru meludah ke tanah. Bibirnya menyungging senyum ejekan. Tapi, mendadak senyumnya lenyap. Karena....
Werrr. !
Mendadak dari arah samping, selarikan sinar kuning menerabas menghantam ke arah Malaikat Berdarah Biru. Ternyata saat melepaskan pukulan ke arah Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka, diam-diam Putri Tunjung Kuning melepaskan pukulan jarak jauh.
Namun Malaikat Berdarah Biru yang sudah kenyang pengalaman tidak terlihat bingung. Malah, dia tetap berdiri tegak, seakan-akan menunggu. Satu depa lagi sinar kuning itu menggebrak, kedua tangannya disatukan dan dihentak lurus ke depan.
Wusss!
Putri Tunjung Kuning hanya mendengar suara hembusan angin menyambar. Dan tahu-tahu, sinar kuning yang keluar dari kedua tangan Putri Tunjung Kuning terhenti di udara. Seolah-olah ada kekuatan yang tak bisa ditembus pandangan mata, membendung gerak laju serangan Putri Tunjung Kuning.
Paras Putri Tunjung Kuning kontan pucat pasi. Namun kembali dilepaskannya serangan susulan. Tapi, pertahanan Malaikat Berdarah Biru seakan-akan tak bisa ditembus. Bahkan ketika tubuh pemuda itu memutar, gumpalan-gumpalan larikan sinar kuning bergerak membalik, menerjang ke arah Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning masih coba menahan disertai bentakan-bentakan nyaring, sambil mengembangkan kedua tangannya. Namun serangannya yang bertubi-tubi tak berarti banyak.
Melihat serangannya tak mampu lagi menjebol pertahanan Malaikat Berdarah Biru, Putri Tunjung Kuning cepat melesat ke samping untuk menghindar. Namun baru saja tubuhnya tegak, sambaran angin terasa menghantam.
Plasshh...! "Aakh...!"
Putri Tunjung Kuning menjerit nyaring ketika tubuhnya roboh ke tanah. Malaikat Berdarah Biru batuk-batuk tiga kali, lalu melangkah mendekati Tengkorak Berjubah. Rahangnya bergerak mengembang. Lima langkah lagi sampai, kedua tangannya diangkat ke atas siap untuk melepaskan pukulan 'Serat Jiwa'.
Namun sebelum pukulan itu lepas, Tengkorak Berjubah cepat bangkit dan jatuhkan diri di hadapan Malaikat Berdarah Biru.
"Tawaranmu kuterima! Aku akan datang ke Singasari pada hari yang telah kau tentukan!" kata Tengkorak Berjubah, dengan suara tersendat-sendat parau.
"Bagus! Ternyata kau masih sayang nyawamu. Sekarang, menyingkirlah dari hadapanku! Tapi, ingat. Pada saat yang telah kutentukan ternyata kau tidak datang, aku akan melacakmu dan mematah-matahkan tubuh tengkorakmu!" ancam Malaikat Berdarah Biru, seraya menatap tajam bola mata Tengkorak Berjubah.
"Iblis jahanam!" maki Tengkorak Berjubah dalam hati.
Malaikat Berdarah Biru berbalik dan berkelebat ke arah Dayang Lembah Neraka yang masih tampak menggapai-gapai, berusaha mencekal batang pohon agar tubuhnya bisa bangkit. Selagi tangannya sudah berhasil menggapai batang pohon dan tubuhnya baru saja terangkat duduk, Dayang Lembah Neraka terkejut bukan alang kepalang. Tiga langkah di sampingnya, Malaikat Berdarah Biru telah tegak berdiri dengan senyum seringai, serta tangan siap melepaskan pukulan.
"Aku hanya menggertak mereka. Sayang sekali jika tenaga mereka disia-siakan. Kelak, tenaga mereka pasti kubutuhkan!" gumam Malaikat Berdarah Biru dalam hati.
Sementara itu Dayang Lembah Neraka yang telah tak berdaya mengumpat habis-habisan dalam hati.
"Terpaksa aku harus menuruti kehendaknya. Dengan demikian aku masih ada waktu untuk merebut kitab dan kipas itu! Peduli dengan Tengkorak Berjubah. Lagi pula, kurasa dia bisa menjaga diri!"
Berpikir begitu, Dayang Lembah Neraka menatap Malaikat Berdarah Biru.
"Kali ini kau menang. Dan aku menerima tawaranmu!" kata Dayang Lembah Neraka, perlahan.
Malaikat Berdarah Biru meluruhkan tangannya yang tadi hendak melepaskan pukulan. Kepalanya mendongak ke atas. Dari mulutnya keluar suara tawa panjang bergelak-gelak.
"Baik! Urusan kita selesai. Silakan tinggalkan tempat ini!" kata Malaikat Berdarah Biru, tanpa memandang pada Dayang Lembah Neraka.
"Tapi...?" desis Dayang Lembah Neraka, sambil memandang pada Putri Tunjung Kuning. Hatinya tak tega juga melihat keadaan muridnya.
"Hm Soal gadis itu? Bukankah kau tadi telah menawarkan padaku?! Ha... ha... ha...! Lekas menyingkirlah dari pandanganku, jika masih sayang nyawa! Muridmu akan kuberikan kenikmatan tersendiri. Apakah kau suka melihatnya?"
Paras Dayang Lembah Neraka mengelam, namun tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya telah terluka berat. Dan di satu sisi, dia masih menginginkan kitab dan kipas. Maka dengan hati berat, tubuhnya beranjak mendekati sebuah pohon. Diambilnya tiga lembar daun yang agak besar. Lalu kakinya melangkah ke pinggir dataran pasir.
Sejenak wajahnya masih dipalingkan pada Putri Tunjung Kuning yang masih tergeletak tak sadarkan diri.
"Semoga kau bisa menjaga diri, Muridku...," gumam Dayang Lembah Neraka, seraya kembali memalingkan wajahnya ke dataran pasir. Di sana, Tengkorak Berjubah telah tampak meluncur di atas dataran pasir menggunakan batangan pohon sebagai alas luncur.
Perlahan Dayang Lembah Neraka mengerahkan tenaga, mengurangi bobot tubuhnya. Dan tak lama kemudian, dia tampak telah pula meluncur di atas dataran pasir dengan menggunakan alas daun.
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergerai memandangi kepergian Dayang Lembah Neraka serta Tengkorak Berjubah. Setelah keduanya tidak tampak lagi, tubuhnya berbalik dan melangkah mendatangi Putri Tunjung Kuning.

* * *



Malaikat Berdarah Biru agak lama tertidur. Bahkan ketika sosok ramping di sampingnya mulai menggeliat hendak bangun, dia masih pulas. Bibir rampingnya masih nampak menyunggingkan senyum. Senyum kepuasan.
Sosok di samping Malaikat Berdarah Biru yang ternyata seorang gadis cantik berkulit putih dan berambut panjang sejenak menatap langit-langit ruangan. Dia seolah mengingat-ingat sesuatu. Lalu sepasang matanya yang bulat berbinar menebar ke samping. Dan seketika terbelalak tajam. Dahinya berkerut. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak menutup bibirnya yang menganga kaget. Dan bersamaan dengan itu, matanya menelusuri sosok Malaikat Berdarah Biru.
Raut wajah gadis ini berubah. Wajahnya segera berpaling, karena Malaikat Berdarah Biru ternyata tak mengenakan pakaian selembar pun. Dan gadis itu semakin tercekat tatkala mendapati dirinya ternyata tak beda dengan Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya juga tidak tertutup sehelai benang pun.
Gadis ini cepat menarik pakaiannya yang tampak berserakan. Lalu bagian tubuhnya yang terbuka ditutupi.
"Bajingan!" rutuk gadis ini.
Mata gadis ini langsung menatap tajam Malaikat Berdarah Biru. Kedua bibirnya saling menggegat rapat. Dan tak lama kemudian sepasang matanya nampak berkaca-kaca.
"Oh! Apa yang harus kuperbuat sekarang? Bajingan ini ternyata telah menggauliku! Ah! Betapa malang nasibku...," kata batin gadis ini dengan bahu berguncang menahan isak di tenggorokannya.
Lalu sekonyong-konyong gadis ini menghadapkan wajah ke arah Malaikat Berdarah Biru.
"Aku sudah kepalang kotor. Dan sebagai imbalannya, aku harus mendapatkan kitab dan kipas itu!" kata batin sang gadis.
Sepasang mata gadis itu lalu menyapu ke seluruh ruangan. Matanya sebentar menyipit, sebentar mendelik.
"Di mana dia menyimpan kitab dan kipas itu? Di sini tak ada perabotan sama sekali, selain ranjang. Sialan! Hmm Kalau kitab dan kipas itu tak kutemukan, lebih baik aku bertindak sekarang. Akan kubunuh dia!" gumam gadis itu.
Dan begitu tidak menemukan yang dicari, sepasang mata gadis ini lantas menyengat tajam pada Malaikat Berdarah Biru. Dan dengan dagu mengerat, tangannya diangkat dan segera diayunkan pada wajah Malaikat Berdarah Biru.
Namun sejengkal lagi tangan itu menghantam, tiba-tiba tubuh Malaikat Berdarah Biru menghindar bergerak ke samping. Hingga, hantaman tangan sang gadis yang rupanya telah terisi tenaga dalam, menghujam deras ke ranjang tempat kepala Malaikat Berdarah Biru tadi berada.
Di kejap lain, bersamaan dengan melayangnya lawan sang gadis, tangan kanan Malaikat Berdarah Biru segera bergerak cepat ditekannya tangan sang gadis yang tadi menghantam. Hingga untuk beberapa saat, gadis ini tak bisa berkutik.
"Hih...!"
Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Matanya berkilat-kilat dengan bibir menyeringai. Lalu dengan cepat tangannya bergerak.
Plaakk! Plaakk!
Pipi kanan kiri gadis ini berubah merah, terkena tamparan keras tangan Malaikat Berdarah Biru. Hingga sesaat lamanya, bibir gadis ini terkatup rapat. Lalu, wajahnya lunglai di atas ranjang.
"Jangan mimpi jika ingin membunuhku dengan cara licik!"
Setelah sang gadis bisa menguasai diri, sepasang matanya menyorot tajam pada Malaikat Berdarah Biru. Bibirnya yang tampak membiru dan sedikit mengeluarkan darah tampak membuka.
"Kaulah yang licik! Menggauliku dengan tak senonoh!" bentak gadis ini. bahak. Malaikat Berdarah Biru tertawa terbahak"Tak senonoh?" ulang pemuda ini dengan mata mengejek.
"Apakah geliatan tubuh serta erangan mulutmu yang mendesah puas."
"Itu karena ilmu terkutukmu!" potong sang gadis.
Malaikat Berdarah Biru makin terbahak. Namun tiba-tiba tawanya lenyap seketika. Matanya menelusuri tubuh gadis itu yang sebagian terbuka.
"Putri Tunjung Kuning! Kau masih beruntung nyawamu kuperpanjang. Malah masih merasakan kenikmatan. Tapi aku memperpanjang nyawamu dengan satu syarat. Jika kau tak setuju, saat ini juga tubuhmu akan kuremukkan!" ancam Malaikat Berdarah Biru.
Sambil berkata tangan Malaikat Berdarah Biru mencekik leher gadis yang ternyata Putri Tunjung Kuning. Seketika gadis itu megap-megap susah bernapas dan tampak pucat pasi ketakutan.
"Haram jadah! Seandainya tubuhku tidak dalam keadaan terluka, mungkin aku masih bisa berontak... Apa harus dikata? Kali ini aku harus mengalah.... Akan kuturuti segala kemauannya, sambil mencari kesempatan untuk merampas kitab dan kipas itu...," kata batin Putri Tunjung Kuning, seraya menggapai-gapaikan tangannya.
Putri Tunjung Kuning mengangguk-anggukkan kepala, memberi isyarat.
"Baiklah, katakan apa syarat yang kau inginkan?" seru Putri Tunjung Kuning dengan suara menggantung di tenggorokan, ketika Malaikat Berdarah Biru mengendurkan cekikannya, setelah menerima isyarat.
Malaikat Berdarah Biru tersenyum.
"Kau harus turuti segala perintahku! Kau dengar?!" ujar Malaikat Berdarah Biru.
Putri Tunjung Kuning kembali mengangguk perlahan.
"Aku akan turuti segala perintahmu. Bahkan kemauanmu pun akan kulayani. Namun aku pun berbuat demikian, bukannya tanpa syarat!" sahut Putri Tunjung Kuning.
Malaikat Berdarah Biru mendengus.
"Katakan! Apa permintaanmu?!"
"Aku harus ikut mempelajari isi kitab yang ada di tanganmu!"
Malaikat Berdarah Biru membesarkan sepasang matanya. Namun sejenak bibirnya menyungging senyum.
"Kalau hanya itu, kau tak usah khawatir. Kitab itu akan kuserahkan padamu, untuk kau pelajari. Tapi, ingat. Hanya untuk kau pelajari, tanpa untuk kau miliki!"
"Kau tak berdusta dengan ucapanmu?!" cecar Putri Tunjung Kuning, seakan tak percaya dengan kata-kata Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru menggelengkan kepala sambil tersenyum Lalu dengan perlahan sekali tangannya bergerak menarik pakaian Putri Tunjung Kuning yang hanya ditutupkan begitu saja.
Kali ini Putri Tunjung Kuning tidak berontak. Malah, begitu tubuhnya sudah tak tertutup lagi, tangannya segera melingkar ke pinggang Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati sambutan Putri Tunjung Kuning, bibir Malaikat Berdarah Biru menyeruakkan senyum. Dadanya berdegup kencang. Tubuhnya kontan panas membara. Kedua tangannya serentak merengkuh tubuh Putri Tunjung Kuning. Bibirnya yang masih tampak kebiruan akibat tamparan, segera dipagutnya. Dan ini membuat Putri Tunjung Kuning sedikit mengeluarkan seruan tertahan. Namun pemuda itu seakan tak peduli. Bibir merah merekah itu terus dilumatnya.
Untuk beberapa saat, Putri Tunjung Kuning tampak tersengal. Namun karena sambil memagut tangan Malaikat Berdarah Biru tak tinggal diam, gadis itu perlahan-lahan hanyut. Bahkan erangan-erangan halus mulai keluar dari bibir Putri Tunjung Kuning membuat Malaikat Berdarah Biru semakin menggelora dengan keluarkan dengusan-dengusan nafsu.
"Putri Tunjung Kuning! Kau benar-benar wanita yang...," suara Malaikat Berdarah Biru tak berlanjut karena tertindih desahan napasnya yang kian memburu kencang.

* * *



--↨֍¦ 10 ¦֍↨--

Malam sudah merangkak jauh. Angin malam mulai dingin menusuk. Namun bulatan bulan yang tidak tertutup lintasan awan, membuat bumi bermandi cahaya terang.
Dalam suasana demikian, di sebuah hutan sepi yang jauh dari perumahan penduduk, sesosok bayangan hijau tampak bergerak cepat seakan ingin segera menemukan tempat untuk menghangatkan tubuhnya yang sudah menggigil kedinginan.
Mendadak, lari sosok hijau ini terhenti. Dia berdiri tegak sebentar dengan mata menyapu berputar. Telinganya bergerak-gerak, pertanda tengah mengerahkan panca inderanya untuk lebih jelas menangkap suara yang sayup-sayup mengiang di pendengarannya.
"Jangkrik! Aku tak dapat menentukan sumber suara!" gerutu sosok itu tiba-tiba.
Selagi sosok ini masih tegak termangu, dari arah samping kanan terdengar suara gemeretak dahan patah. Menyangka tempat itu adalah sumber suara, sosok ini segera berkelebat ke samping kanan. Ternyata, yang ditemui hanyalah luruhan dahan yang jatuh ke bawah seperti tersambar angin kencang. Padahal daun-daun pohon itu tak bergoyang!
Krakk...!
Dan baru saja sosok ini memperhatikan luruhan dahan, dari arah samping kiri terdengar kembali gemeretak dahan patah. Secepat kilat sosok ini berkelebat ke samping kiri. Namun, lagi-lagi yang ditemui hanyalah luruhan dahan saja.
"Aneh! Apakah di hutan ini ada hantunya?" kata batin sosok ini.
Sosok itu lantas memperhatikan berkeliling. Tengkuknya kontan merinding.
"Tapi, ini perbuatan manusia berkepandaian tinggi! Tak mungkin hantu bisa meluruhkan dahan satu, tanpa sehelai daun pun yang gugur!"
Kembali sosok ini berkata-kata sendiri dalam hati.
Namun, kata hatinya tiba-tiba lenyap saat telinganya menangkap suara cercauan seperti orang membaca syair mantera. Merasa sumber suara bisa ditemukan, sosok ini cepat berkelebat ke arah sumber suara. Sampai di tempat sumber suara, dia terperangah.
Di tengah sebuah dataran rumput yang membentuk lingkaran tidak begitu besar, tampak seorang perempuan sedang duduk memperdengarkan suara syair-syair mantera. Rambutnya panjang tergerai hingga pinggang. Pinggulnya besar dan mempesona. Apalagi dibungkus pakaian ketat tipis berwarna putih tembus pandang.
Karena sosok yang mencari sumber suara muncul dari arah belakang, maka perlahan-lahan kakinya melangkah ke samping. Dari arah samping, baru terlihat agak jelas bagian depan perempuan yang sedang duduk di tengah lingkaran dataran rumput itu.
Dada perempuan ini tampak membusung kencang menantang. Namun yang membuat sosok hijau sedikit heran, seluruh wajah perempuan itu tertutup sepotong kain putih, dan hanya meninggalkan dua lobang pada matanya.
"Hm Melihat bentak tubuhnya, pasti dia muda! Sedang apa dia...? Merapal aji-aji...? Tapi, lebih baik aku tak mengganggunya! Aku akan meneruskan perjalanan ke pesisir utara. Gelombang ombaknya telah terdengar dari sini, berarti sudah tidak jauh lagi ," gumam sosok itu.
Berpikir begitu, sosok hijau yang bukan lain Aji atau Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik hendak melangkah pergi. Namun langkahnya mendadak tertahan ketika....
"Anak muda! Perlu kau ketahui, siapa pun yang telah memandangku, maka saat itu hidupnya akan berakhir!" tegur sebuah suara.
Sesaat Aji tercengang. Tapi, tak dihiraukannya suara teguran. Langkahnya dilanjutkan. Namun baru dua tindak...
"Aku yakin telingamu tidak tuli, Anak Muda! Berhentilah melangkah. Dan terima saat kematianmu!"
Kembali terdengar suara teguran.
"Perempuan aneh! Melihat tampangnya saja harus dibayar dengan nyawa! Apa dikira tampangnya begitu mahal harganya...?" kata batin Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas melangkah tanpa berbalik.
"Aku belum memandang seluruh tubuhmu, karena wajahmu tertutup kain! Berarti, bayaran yang kau minta terlalu tinggi. Bagaimana jika kubayar dengan suara tawa saja...?"
Aji mendongak dan tertawa terbahak-bahak sambil meneruskan langkah. Pada saat itulah dari arah belakang terdengar suara gemuruh bagai gelombang.
Aji berpaling, namun kontan terperanjat. Tampak beberapa buah ranting kayu berderak bersiutan tajam menerjang ke arahnya!
"Hup!"
Cepat murid Wong Agung ini melesat ke udara, membuat putaran sekali. Lalu kedua tangannya melepas pukulan jarak jauh dari udara.
Prakk! Prakk! Prakk!
Saat itu juga ranting-ranting kayu yang keluarkan suara bersiutan, berantakan menjadi patahan kecil-kecil.
"Setan iblis! Ternyata kau berilmu juga, Anak Muda! Membuat gairahku sedikit menyala!" kata sang perempuan bercadar putih.
Mendengar ucapan perempuan itu, Aji segera berbalik. Sepasang matanya jadi terbelalak besar. Perempuan bercadar ternyata telah berdiri di belakangnya sambil kacak pinggang dengan kaki direntangkan. Sehingga tubuhnya yang dibalut pakaian putih tipis tampak tembus pandang membayangkan bentuk lekukan-lekukannya.
"Benar-benar edan! Tubuh perempuan satu ini benar-benar yahud!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima dengan pemandangan di hadapannya, perempuan bercadar putih tertawa panjang mengikik. Sehingga membuat dadanya yang membusung kencang ikut berguncang-guncang naik turun. Sementara Aji makin membesarkan sepasang matanya.
"Pemuda tampan! Karena gairahku menyala setelah memandangmu, kematianmu kutunda dengan syarat!" kata perempuan tua itu.
"Gila! Apa kau merasa bisa menentukan kematian seseorang?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108 sambil menarik kuncir rambutnya.
"Benar! Apa kau perlu bukti...?" jawab sang perempuan bercadar.
Dan belum sempat Aji membuka mulut, perempuan itu telah melesat.
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya melihat dua bersitan cahaya hitam. Dan tahu-tahu, kedua tangan perempuan itu telah menghantam dari arah samping kanan dan kiri kepala.
Bet! Bet!
Pemuda itu segera merunduk seraya mengangkat kedua tangannya lurus ke atas, memapak serangan.
Prakk! Prakk!
Terdengar dua kali benturan berturut-turut. Aji terkejut. Karena kedua tangannya yang baru saja mematahkan serangan hantaman tangan perempuan bercadar ini bagai membentur lempengan besi panas. Tubuhnya bergetar hebat. Dan hampir dia jatuh terjengkang jika saja tidak segera meloncat dengan membuat gerakan berputar dua kali di udara lalu menjejak dengan kaki kokoh.
Namun, Aji tidak bisa lama-lama tegak. Karena perempuan bercadar itu telah kembali melancarkan serangan sambil menghantamkan kedua tangannya dari jarak jauh, setelah jungkir balik di udara.
Wuss! Wuss!
Dua kilatan keluar menyambar cepat ke arah Pendekar Mata Keranjang 108. Namun Aji cepat merebahkan diri ke samping kanan dan bergulingan dua kali. Lalu kedua tangannya dihantamkan ke depan, menangkis serangan.
Darr! Daarr!
Tempat itu kontan bergetar. Padang rumput melingkar terpapas dan hangus serta berhamburan ke udara. Di bawah tempat bertemunya dua pukulan, tampak dua kubangan besar.
Sehabis menghantam, Pendekar Mata Keranjang 108 terus bergulingan. Dan pada suatu tempat, dia cepat menghentakkan kedua tangannya ke tanah. Tubuhnya melenting ke udara, lalu mendarat dengan tubuh tegak.
"Sial! Perempuan ini benar-benar ingin mencelakaiku! Siapa dia sebenarnya? Ah! Lebih baik aku cepat menghindar. Tugasku lebih penting daripada harus melayani perempuan gila ini!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik dan melesat. Tapi baru saja tubuhnya beberapa tombak melesat, justru dari arah depan sebatang dahan kayu agak besar melesat berputar bagai baling-baling.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera melompat ke belakang. Kedua tangannya yang mengepal disilangkan di depan dada. Lalu dihantamkannya ke depan. Murid Wong Agung ini telah lepaskan jurus sap ketiga, yakni 'Gelombang Prahara'.
Werr...!
Angin menderu bagai gelombang menggebrak keluar dari tangan Aji, membentur batangan dahan kayu hingga hancur berderak-derak! Namun tanpa diduga sama sekali saat itu juga perempuan bercadar ini telah melesat cepat dengan kaki lurus mengarah pada dada Aji.
"Benar-benar gila! Gerakannya begitu cepat!" maki Aji, seraya memutar tangannya di depan dada.
Dess! Dess!
Namun Aji seketika terbelalak. Meski bisa menahan, namun sepasang kaki yang menerjang dadanya bagai baja kerasnya. Kaki itu tak bergeming sama sekali. Hingga tanpa terbendung lagi, sepasang kaki perempuan itu terus meluncur ke arah dada Aji.
Merasa tak bisa lagi menangkis, Pendekar Mata Keranjang 108 segera menghindar dengan merebahkan diri ke belakang. Sehingga, membuat sepasang kaki itu lewat menerpa tempat kosong di atas tubuhnya.
Pada saat itulah Aji mencium aroma bunga. Keningnya kontan berkernyit dan buru-buru bangkit. Namun baru saja tubuhnya tegak, dari arah belakang sepasang kaki telah menjepit lehernya.
Bluk!
Aji berusaha berontak dengan menghantamkan kedua tangan kiri dan kanan. Tapi sebelum kedua tangannya bergerak menghantam, gerakan jepitan kaki di lehernya telah bergerak ke samping, membuat tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting!
Bukk!
Sambil mengertakkan rahang Aji bangkit. Dan dia sadar kalau lawannya adalah seseorang yang berkepandaian tinggi, serta ingin mencelakai dirinya. Dan Pendekar Mata Keranjang 108 segera mengeluarkan kipas dari balik bajunya. Tanpa menunggu lama lagi, Aji cepat miringkan tubuh sambil mengebutkan kipasnya dengan tenaga dalam penuh!
Beett!
Gelombang angin melengkung disertai menebarnya hawa panas segera melesat. Pendekar Mata Keranjang 108 ternyata telah melepaskan pukulan sap keempat yakni 'Segara Geni'. Di lain pihak, perempuan bercadar itu sedikit terkejut, namun tidak berusaha menghindar.
"Kipas butut! Apa yang perlu ditakutkan!" sergah sang perempuan bercadar.
Satu tombak lagi angin serangan Aji menggebrak, perempuan bercadar itu berseru keras. Tubuhnya mendadak bergetar, lalu berputar setengah lingkaran. Kedua tangannya diluruskan ke samping, lalu dihentakkan.
Sett! Sett! Sett! Sett!
Empat larik sinar putih berkilat membawa hawa dingin seketika menyengat menyongsong lurus pukulan Pendekar Mata Keranjang 108.
Crass! Crass!
Empat larikan sinar putih yang menyongsong lurus dari kedua telapak tangan perempuan bercadar itu menerabas punah gelombang serangan kipas Aji, mengeluarkan suara bagai batang terpapas dua kali.
Di kejap itu juga, Pendekar Mata Keranjang 108 merasa ada gelombang badai menghantam tubuhnya. Hingga untuk beberapa saat, tubuhnya terseret ke belakang sampai dua tombak. Jika saja tidak segera melompat ke udara dan membuat gerakan berputar ke depan, niscaya tubuhnya akan terhempas melabrak pohon di belakangnya.
Seraya menindih rasa terkejut, karena pukulan sap keempat yang dilepasnya begitu mudah dimusnahkan, Aji segera menyiapkan jurus sap kelima.
"Apa boleh buat?! Terpaksa jurus sap kelima kugunakan!" gumam Aji dengan mata membesar merah.
Tapi mendadak Aji terperanjat. Perempuan itu ternyata tidak ada di tempatnya semula.
"Jangkrik! Ke mana hilangnya perempuan itu?!" "Kau mencariku, Anak Tampan...?"
Mendadak terdengar suara menegur dari arah belakang. Dan Aji segera berbalik. Perempuan bercadar itu ternyata telah tegak dengan kacak pinggang tiga tombak di hadapannya.
"Orang tampan! Hanya sampai di situkah tingkat kepandaianmu? Jika demikian, gairahku jadi menurun kembali Dan berarti, kau harus mampus sekarang juga! "Hik... hik... hik..!"
Mendengar ucapan perempuan bercadar, muka Pendekar Mata Keranjang 108 merah padam. Rahangnya terangkat menahan marah. Lalu tanpa berkata lagi, segera dikibaskan kipasnya lurus ke depan. Sementara, tangan kirinya yang mengepal dihantamkan ke depan.
Wutt...!
Werr...!
Gemuruh gelombang dahsyat disertai semburan-semburan aneh bersilangan menghentak ke arah perempuan bercadar.
"Pukulan 'Bayu Cakra Buana'! Hik... hik.. hik...
Tak berarti banyak bagiku, Anak Tampan!"
Perempuan bercadar itu menakupkan kedua tangannya di depan wajah. Lantas didahului bentakan lengking, tubuhnya melorot hingga duduk bersila. Kedua tangannya yang terbuka cepat dihantamkan ke depan. Mula-mula terdengar seperti suara tiupan seruling. Makin lama makin keras, lalu berubah bagai suara dengungan kumbang. Tiba-tiba dua berkas cahaya bola api berwarna putih menyambar keluar, dari kedua tangan perempuan bercadar itu.
Bumm! Bumm!
Dua serangan Pendekar Mata Keranjang 108 kontan lenyap musnah, ditelan cahaya bola api. Dan di lain kejap, terdengar dua kali gelegar dahsyat saat dua serangannya terhadang cahaya bola api.
"Aahh...!
Aji berseru keras. Tubuhnya mencelat. Sementara kipas di tangannya terpental. Begitu terpuruk di atas tanah, dari sudut bibirnya tampak menggenang darah segar. Sementara baju hijaunya terkoyak hangus di bagian lengannya.
Aji berusaha bangkit. Namun baru saja tegak perutnya terasa mual. Dan tak lama kemudian, dia muntah. Tubuhnya kembali terhuyung lalu jatuh.
Di seberang sana, perempuan itu tampak jatuh terjengkang. Tapi dia segera bangkit. Sambil mengeluarkan tawa panjang, dia melangkah mendekat ke arah Aji.
"Tamat riwayatku!" keluh Aji.
Karena tubuhnya serasa tak bisa digerakkan lagi, Pendekar Mata Keranjang 108 hanya bisa memandangi langkah-langkah kaki perempuan bercadar yang terus mendekat. Dan disangka perempuan itu akan menghabisi dirinya. Dan Aji pun cepat memejamkan kedua matanya seraya memusatkan sisa-sisa tenaganya. Namun Pendekar Mata Keranjang 108 jadi terkejut. Karena suara langkah kaki perempuan bercadar itu terus melewatinya. Lalu terdengar benda jatuh di sampingnya.
Dengan mata masih bergetar serta tangan siap melepaskan pukulan, Pendekar Mata Keranjang 108 membuka kelopak matanya. Kipas miliknya ternyata telah tergeletak di sampingnya. Begitu memandang ke belakang, ternyata perempuan bercadar itu terus melangkah menjauh.
"Aneh! Apa maunya perempuan itu?" kata batin Aji seraya hendak bangkit
Namun mendadak mata Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak lebar. Karena bersamaan dengan berlalunya perempuan bercadar itu, tercium aroma bunga tujuh warna.
"Sial! Berarti dia orang yang kucari!" gumam Aji seraya cepat bangkit.
"He Tunggu!"
Namun perempuan bercadar itu terus melangkah dan berkelebat hilang di balik rimbunan pohon.
"Sial!" maki Aji seraya mengambil kipasnya. Dan tubuhnya segera berkelebat ke arah menghilangnya perempuan bercadar. Namun hingga matanya telah mencari perempuan bercadar tak ditemukan lagi.
Aji termangu-mangu sambil menggerutu panjang pendek Lalu, matanya berpaling ke jurusan lain. Saat itulah matanya tertumbuk pada sehelai daun yang menancap di batang pohon. Pendekar Mata Keranjang 108 membesarkan mata, seraya melangkah mendekat. Di helai daun itu ternyata tertera sebuah tulisan.
"Teruskan perjalanan!"
Beberapa saat pemuda ini memperhatikan tulisan.
"Di sini tidak ada orang lain. Berarti, tulisan ini ditujukan padaku! Perempuan itu pasti yang menulis!" duga Pendekar Mata Keranjang 108 sambil berbalik. Seketika tubuhnya berkelebat, ke arah utara di mana terdengar sayup-sayup gelombang ombak

* * *



--↨֍¦ 11 ¦֍↨--

Saat matahari baru saja muncul dari bentangan kaki langit di sebelah timur, Aji menjejakkan kakinya di pesisir Pantai Utara. Beberapa lama Pendekar Mata Keranjang 108 memandang berkeliling. Tapi, tak seorang pun yang terlihat. Dia tercenung seraya menarik-narik kuncir rambutnya. Kedua tangannya diusapkan pada wajahnya yang terasa lengket.
Pada saat itulah hidungnya mencium aroma bunga tujuh warna. Aji segera mempertajam penciumannya, untuk mengetahui arah sumber aroma bunga. Dibantu semilirnya angin pesisir, pada akhirnya Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menemukan sumber aroma bunga tujuh warna. Tapi begitu sampai, Aji jadi terperangah.
Di bawah sebatang pohon yang tidak berdaun yang tampak membentuk lobang menyerupai pintu, duduk bersandar seorang perempuan tua. Rambutnya putih awut-awutan. Pakaian yang dikenakannya telah robek di sana sini, serta sudah terlihat dekil. Dari pakaiannya yang compang camping, terlihat jelas kalau dada perempuan itu sangat tipis. Sehingga, tulang dadanya tampak jelas bertonjolan. Dan Aji semakin terperangah, saat matanya melihat paras perempuan tua itu. Sepasang matanya sangat cekung dan tampak terkantuk-kantuk memejam dan membuka. Di bawah mata hanya terdapat dua lobang, tanpa tampak tonjolan hidung. Mulutnya sangat tipis dan ciut.
"Perempuan tua inilah yang kucari!" kata Aji seraya melangkah lebih mendekat
Pendekar Mata Keranjang 108 batuk-batuk kecil beberapa kali. Diberi isyarat kedatangan dan berupaya agar perempuan itu tidak terkejut. Namun usaha Pendekar Mata Keranjang 108 tidak membuahkan hasil. Perempuan tua itu tetap terkantuk-kantuk seperti semula.
"Akan ku coba dengan menegur!" gumam Aji,
"Eyang "
Perempuan tua itu tetap tak bergeming dengan mata terpejam dan membuka. Aji kembali memanggil. Namun perempuan itu tetap diam, seolah tidak mendengar panggilannya. Aji keraskan suaranya, tapi tetap sia-sia.
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik kuncir rambutnya sambil geleng-geleng. Lantas kakinya melangkah lebih mendekat. Dan baru saja mulutnya terbuka hendak memanggil, kedua mata perempuan tua itu membuka lebar. Lalu ditatapnya lurus-lurus pada Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 terperanjat. Buru-buru kakinya mundur dua langkah ke belakang sambil menjura hormat.
Perempuan tua yang duduk bersandar ini membuka mulutnya yang kecil. Dikeluarkannya tawa perlahan, tapi cukup membuat Aji harus mengerahkan tenaga dalam ke gendang telinganya.
"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang 108, begitu tawa itu lenyap.
"Siapa kau, Anak Muda...?!" selak perempuan tua ini.
Aji kembali menjura hormat.
"Namaku Aji, Eyang...! Aku mencarimu!" Perempuan tua itu mengangguk perlahan.
"Hm.... Hari ini penantianku akan berakhir! Anak muda, aku telah tahu siapa kau. Dan, apa tujuanmu!"
Aji sedikit tersentak kaget. Namun rasa terkejutnya buru-buru dihilangkan tatkala tiba-tiba saja perempuan tua di hadapannya singkap rambutnya yang awut-awutan.
Sepasang mata Aji terbeliak lebar. Di balik rambut perempuan tua itu tampak menyelip sebuah bumbung bambu kecil yang ujung keduanya disumbat kayu dan diikat pada seutas tali yang melingkar. Melihat warna bumbung bambu yang telah berbintik-bintik hitam dan lusuh dan keropos di bagian tengahnya, bisa diduga jika bumbung bambu itu begitu tua.
Tangan kanan perempuan tua itu tiba-tiba bergerak cepat, dan menarik bumbung bambu dari rambutnya. Lantas tanpa senyum, perempuan tua itu mengulurkan bumbung bambu pada Aji.
"Anak muda! Pergunakan baik-baik apa yang ada di dalam bumbung bambu ini! Tapi, ingat. Kau hanya bisa menggunakannya satu kali dalam waktu purnama!"
Dada Pendekar Mata Keranjang 108 berdebar. Jari-jari tangannya bergetar, ketika bergerak menerima bumbung bambu dari tangan orang tua di depannya.
"Eyang...," kata Aji pelan, seakan suaranya tersendat. Perempuan tua di hadapannya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Aji tidak meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, Anak Muda. Mimpiku tadi malam telah membimbingku dapat mengetahui siapa kau, dan apa maksudmu mencariku. Kipas milikmu itulah tanda satu-satunya! Nakh! Penjelasanku kurasa sudah cukup. Lekas tinggalkan tempat ini. Tugas berat telah menunggumu lagi!"
Habis berkata begitu, perempuan tua ini menguap. Dan mendadak tubuhnya terangkat ke atas, masuk ke dalam lobang berbentuk pintu pada batang pohon yang dibuatnya bersandar. Dan begitu tubuhnya lenyap, aroma bunga tujuh warna kembali menyeruak. Tersadar dari rasa terkesima, Aji cepat-cepat menjura sambil memandang lekat-lekat ke arah perempuan tua tadi lenyap.
Hingga beberapa saat lamanya Pendekar Mata Keranjang 108 masih termangu di situ, berharap agar orang tua tadi kembali muncul. Namun hingga kakinya terasa pegal orang tua tadi tidak lagi menampakkan diri. ing. Aji lantas menyapukan pandangan ke sekelil"Aku akan mencari tempat yang aman untuk mengetahui isi bumbung ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 perlahan berbalik lalu melangkah. Agak jauh dari pesisir pantai, tubuhnya langsung berkelebat dan menghilang ke balik rimbunan pohon-pohon hutan di dekat pesisir pantai.

SELESAI



INDEX AJI SAPUTRA
Ratu Petaka Hijau --oo0oo Persekutuan Para Iblis

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers