Life is journey not a destinantion ...

Bara di Jurang Guringring

INDEX AJI SAPUTRA
Istana Karang Langit --oo0oo Malaikat Berdarah Biru

AJI SAPUTRA
Pendekar Mata Keranjang 108
Karya : Dharma Patria
Penerbit : Cintamedia, Jakarta

--↨֍¦ 1 ¦֍↨--

Kicau burung-burung kecil mulai terdengar, menyambut surya berwarna kemerahan yang merambat perlahan dari bentangan kaki langit sebelah timur. Puncak Gunung Semeru yang tertutup awan putih, samar-samar mulai unjuk diri.
Nun jauh di sana, tepatnya di sebuah dataran rumput berwarna merah yang diapit dua bukit kecil, seorang pemuda berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning dan rambut dikuncir ekor kuda. Tampak mondar-mandir mengelilingi sebuah gubukyang terbuat dari anyaman bambu.
Meski sinar mentari belum merambah tempat di sekitarnya, namun sekujur tubuh pemuda berambut gondrong itu sudah nampak berkeringat. Sesekali rambut panjangnya yang acak-acakan disisir dengan jari-jari tangannya sambil menarik napas dalam-dalanj. Di wajahnya tampak semburat rasa kecewa.
"Aku yakin ada sesuatu telah menimpa Eyang Selaksa dan Ajeng Roro! Rumputrumput merah itu bertebaran ke mana-mana. Tanah di sekitar gubuk dan Blumbang terlihat rengkah! Tapi..., kalau terjadi bentrokan, kenapa batu-batu di atas tanah yang rengkah itu tak terusik? Batu-batu itu bagai tak tersentuh! Dan, tulisan di dalam gubuk? Siapa yang melakukannya?" Wajah pemuda yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108 seketika merah padam.
"Brengsek!" rutuk Aji.
"Gara-gara orang sinting yang berjuluk Diraja Kilatan Maut aku terlambat menemui Eyang Selaksa! Diraja Kilatan Maut. Siapa pula mereka itu? Ah.... Tapi itu tak penting! Lebih penting, aku mencari Eyang Selaksa dan Ajeng Roro. Aku harus menanyakan beberapa hal yang masih belum kuketahui tentang kejadian-kejadian yang kualami selama ini! Jurang Guringring. ?
Aku harus ke sana! Entah, di mana jurang itu berada yang pasti aku harus ke sana! Melihat tulisan itu, pasti Eyang dan Roro diculik!" rasa geram tersirat, meski Aji tampak sendirian.
Tak lama kemudian, pemuda itu kembali melangkah ke sekitar gubuk hingga padang rumput. Dan tiba-tiba dia berbalik, kembali ke depan gubuk. Wajahnya tampak tambah membesi.
"Apakah Putri Tunjung Kuning. ?"
Sejenak pemuda itu memandang ke arah lereng bukit.
"Tapi..., akh! Pusing jadinya!" bisik Aji sambil mengalihkan pandangan ke depan. Dan saat itu Aji seakan tak percaya ketika melihat seseorang telah membelakangi dirinya. Orang itu duduk di atas sebuah batu di sebelah Blumbang. Padahal tadi Aji melihat tempat itu tak ada orang.
"Meski aku sudah berlatih di Karang Langit, tapi dari kedatangannya yang tak bisa kulihat dan kudengar, ia pasti bukan orang sembarangan. Tak mustahil, dia biang kejadian di sini!" kata pemuda berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning itu dalam hati.
Berpikir begitu, tubuh Aji sedikit bergetar. Dua alis matanya saling bertautan. Tangannya seketika mengepal.
"Aku akan membuat perhitungan!" tandas Aji sambil melangkah mendekati orang yang duduk membelakangi dirinya.
Namun baru saja dua langkah....
"Lekas katakan! Di mana dua benda itu disimpan!"
Mendadak, Aji dikejutkan oleh suara berat dari orang di depannya yang duduk membelakangi.
Suara berat itu menggema, menerobos sela-sela pohon dan memantul ke lereng bukit. Hingga dataran rumput merah di samping Aji bergoyang ke sana kemari, bagai terkena hembusan angin kencang. Tak urung, Aji pun terkejut dan menghentikan langkahnya. Hatinya bertanya-tanya, dengan siapa kini berhadapan. Ia membayangkan bagaimana pukulannya jika suaranya saja membuat dada bergetar.
"Kau belum jawab pertanyaanku!" Kembali terdengar suara berat dari orang yang duduk membelakangi. Sejenak Aji tegak, menyalurkan hawa murni ke dadanya.
"Justru aku yang harus tanya padamu!" sergah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Siapa kau?! Dan, apa perlumu di sini! Bukan tak mungkin kaulah biang kejadian disini!"
Mendengar kata-kata pemuda itu orang yang duduk di atas batu mendengus keras. Lalu duduknya diputar dan bangkit menghadap Aji.
Begitu orang yang duduk telah berbalik, Aji terkejut bukan alang kepalang. Bahkan kakinya mundur dua tindak ke belakang.
Di hadapan Aji telah berdiri seorang laki-laki dengan kulit tubuh dan wajahnya sudah dihiasi lipatan-lipatan. Bisa segera ditebak kalau laki-laki ini berusia amat lanjut. Jubahnya yang berwarna merah begitu be-sar dan panjang, hingga menyapu tanah. Saat bergerak, terlihat hanya jubahnya saja yang menggelepar tanpa sosok. Rambutnya panjang sepinggang. Di kedua telinganya, melingkar anting-anting besar. Kedua telunjuk jari tangannya mencuat menunjuk, sedangkan jari-jari lainnya menggema. Dan yang membikin Aji tergetar mundur ketika melihat sepasang matanya yang berwarna putih! Tanpa bundaran hitam di tengahnya! "Kau ucapkan kata-kata itu lagi, kubunuh kau!" ancam laki-laki bermata putih dengan sorot menyengat. Meski tubuhnya sedikit bergetar, tapi mendengar ancaman orang, kontan mata Aji menghujam tajam.
"Jika demikian halnya, katakan siapa kau, orang tua?! Dan, apa keperluanmu sebenarnya...?!" tanya pemuda tampan dan perlente ini, dengan sedikit mengeraskan suaranya.
Mendengar dirinya dipanggil orang tua, lipatan-li-patan kulit di wajah laki-laki ini bergerak-gerak? Matanya yang putih menusuk tajam, bagai ingin menguliti jiwa Aji.
Namun sejenak kemudian, laki-laki bermata putih tersenyum. Telunjuk jari tangannya yang tampak dan tak bisa ditekuk, diangkat ke atas. Kemudian dimainkannya anting-anting di telinga, disusul tawa bergerai.
Ketika geraian tawanya berhenti, laki-laki ini berpaling, memandang jauh ke Puncak Gunung Semeru.
"Kalau kau belum mengenalku, itu kumengerti. Tapi jika melihat tingkahmu tadi, aku yakin kau adalah murid orang yang kau panggil Eyang. Dan itu berarti kau tahu apa yang kuperlukan!"
Mendengar ucapan laki-laki bermata putih, karuan Aji terkejut.
"Hm. Berarti orang ini lebih dulu tiba di sini dari pada aku," batin Aji. Pemuda tampan dan perlente yang mengenakan baju hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning ini lantas menatap orang tua itu tajam-tajam.
"Orang tua! Kau terlalu berbelit-belit! Aku jadi tak mengerti, apa maksudmu?! Katakan saja terus terang!"
Mendadak saja, laki-laki bermata putih mengibaskan tangannya yang tadi memainkan anting-anting telinganya.
Wesss!
Deru angin keras seketika membarengi lurukan tangan orang tua itu ke bawah. Sekilas mata putihnya nyalang, menatap dua bola mata Aji. Dari bibirnya tersungging senyuman sinis.
"Baik! Akan kukatakan yang kau minta. Tapi jika setelah itu kau masih pura-pura, kau akan kubuat bangkai tanpa kubur di sini!" bentak laki-laki bermata putih. Nadanya masih berbau maut.
"Soal diriku, aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Namun tujuh puluh lima tahun yang lampau, orang-orang rimba persilatan menyebutku Dewa Kutukan."
Aji hampir terlonjak kaget kalau tidak cepat menekan perasaannya. Bukan karena julukan yang baru saja diucapkan laki-laki di hadapannya, namun karena kagum kalau laki-laki setua ini masih tampak sigap. Bahkan keloyoan tak nampak di usianya yang renta itu! 
"Keperluanku mencari benda yang disimpan Tua Bangka Selaksa!" lanjut laki-laki bermata putih.
"Laki-laki aneh! Dia menyebut Eyang Selaksa tua bangka?! Apa dipikir dia masih muda? Malah kulihat lebih renta. Bahkan mungkin sudah karatan! Tapi jika mengingat tokoh-tokoh hebat seangkatan dia bersedia turun gunung sendiri untuk mencari sesuatu, berarti yang dicari sangat berharga. Bahkan tak mustahil barang langka!" batin Aji.
"Nah! Sekarang katakan, di mana barang itu! Dan, di mana Eyangmu!" sentak laki-laki bermata putih yang menyebut dirinya Dewa Kutukan.
"Aku memang murid Eyang Selaksa!" aku Aji, berbohong...... Karena sampai sekarang, ia memang belum diakui murid oleh Eyang Selaksa.
"Namun sejauh ini, Eyang Selaksa tak pernah bicara soal barang. Dan sewaktu aku tiba, Eyang sudah tak ada di tempatnya! Jadi, aku sendiri tak tahu di mana Eyang Selaksa!"
"Kau jangan dusta, Bocah!" hardik Dewa Kutukan.
"Seorang guru yang hampir turun bumi, tak mungkin menyimpan rahasia pada muridnya! Ayo katakan, sebelum kesabaranku habis...!"
Saat itu juga Dewa Kutukan mengibaskan jubahnya. Maka serangkum angin deras menderu. Sehingga, baju hijau Aji yang sepuluh tombak di depannya tersibak.
"Dewa Kutukan! Sungguh tak kuduga. Dan ini mungkin suatu kebahagiaan tersendiri bagiku, karena dapat bersua tokoh hebat! Namun, sungguh! Eyang tak pernah cerita tentang benda yang kau maksudkan!"
"Kau memang bocah tak tahu diuntung! Sungguh sayang, kau telah berani berdusta padaku! Itu berarti kau harus jadi bangkai tak berkubur bentak Dewa Kutukan tak menghiraukan penghormatan Aji. Bibirnya tersenyum sinis. Tangan yang bertelunjuk kaku itu kemudian ditarik ke belakang, dengan kaki melangkah dua tindak.
"Wah! Tanda-tanda urusan akan tarik tambang...!" bisik hati Aji.
"Aku harus menghindarinya dahulu, sebelum dapat berjumpa Eyang Selaksa. Tapi..., bagaimana...?"
Aji terus berpikir agar tidak sampai bentrok dengan orang tua berkepandaian tinggryang berjuluk Dewa Kutukan. Dan tiba-tiba....
"Tahan dulu!"
Buru-buru Aji menghentikah gerakan Dewa Kutukan dengan merentangkan kedua tangan. Kakinya pun ditarik ke belakang.
"Kalau boleh aku tahu, benda apa yang kau maksud? Mungkin aku."
Belum usai Aji menyelesaikan kata-katanya, Dewa Kutukan telah mendorongkan tangannya yang mengepal dengan jari telunjuk mencuat ke depan. Maka saat itu pula larikan angin deras dan dingin melesat ke arah Aji.
"Uts!" Aji cepat menarik tangannya dan memutarnya lewat depan. Dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping, tangannya dibuka kembali. Sehingga larikan angin yang deras dan dingin, sontak membelok ke samping terpapasi hembusan angin yang keluar dari tangan Aji.
Bret! Bret!
Beberapa rumput merah seketika tercabut dari tanah. Daun-daun pohon yang tak jauh dari situ berguguran dan langsung menghitam! Mendapati serangan pembukanya dapat dipatahkan, wajah Dewa Kutukan tampak bergerak-gerak. Kulitnya matang bagai kulit terebus. Tiba-tiba dengan sekali loncat, tubuh Dewa Kutukan yang hanya terlihat jubahnya saja berkelebat dengan telunjuk menyambar ke leher Aji.
"Hih!"
Namun dengan gerakan yang diperoleh dari Karang Langit, Aji melenting dengan menjejak tanah menghindari serangan. Tubuhnya lantas berputar ke belakang lima tombak dari Dewa Kutukan.
Dewa Kutukan nampak geram. Matanya yang putih menusuk tajam, berbau kematian. Dan begitu Aji mendarat, kembali dilancarkannya serangan. Kali ini tubuhnya menerkam dengan tangan kirl menghujam deras kearah dada Aji. Karena tak ada lagi waktu untuk menghindar, terkaman dengan telunjuk mengarah dada itu disambut tebasan tangan Aji.
Prak!
Terdengar benturan keras saat dua rangkum kekuatan yang berisi tenaga dalam tinggi bertemu. Aji yang masih hijau dalam dunia persilatan, langsung terjengkang ke belakang lima langkah dan langsung jatuh terduduk. Sedangkan Dewa Kutukan yang pada zamannya telah malang melintang dalam rimba persilatan, hanya oleng sedikit sebelum mendarat kokoh.
Namun, tak urung Dewa Kutukan terpana. Sungguh tak disangka, jika tangkisan pemuda tanggung di hadapannya bisa mematahkan serangannya. Bahkan tangan kirinya terasa pegal dan nyeri.
"Kunyuk edan!" serapah Dewa Kutukan seraya memegangi tangannya.
"Hm.... Hampir tujuh puluh lima tahun tak turun gunung, ternyata banyak kunyuk kencur yang kehebatannya tak dapat disepelekan! Atau, usiaku yang membuatku lamban. Sehingga terkena benturan sedikit saja, sudah begini rasanya! padahal jurus tadi, dulu pernah merobohkan beberapa orang yang tak bisa dianggap enteng! Dan. , anak ini aneh! Melihat cara menangkis serangan, baru kali ini aku melihatnya! Jangan-jangan."
"Dewa kutukan! Jangan memaksaku bertempur. Kita tak punya silang sengketa! Sebaiknya selesaikan secara baik-baik!" seru Aji bibirnya meringis sambil memegangi punggung tangannya yang ngilu bukan main.
Dewa Kutukan melirik tajam. Bibirnya menyungging senyum sinis.
"Phuih! Apa katamu? Ingat, Bocah! Sekali Dewa Kutukan bertindak, tak ada kata selesai sebelum lawannya terbujur kaku!" hardik Dewa Kutukan setelah menyemburkan ludahnya, seraya berpaling. Dan bersamaan dengan itu, Dewa Kutukan melesat cepat sambil menghujam dua telunjuknya.
Namun, Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. Pemuda itu merasa ancaman Dewa Kutukan tak main-main. Maka cepat tubuhnya melorot ke bawah. Tapi di luar dugaan, genggaman tangan Dewa Kutukan yang bertelunjuk kaku berkelebat lebih cepat disertai tenaga dalam kuat.
Aji terlambat menghindar Dan... Bresss!
Begitu genggaman tangan Dewa Kutukan menerpa bahu Aji, cepat pula ditarik ke belakang, lalu dikibaskan pada jubahnya.
Wesss!
Tak ampun, tubuh Aji terpelanting ringan bagai kapas ke belakang. Kemudian jatuh bergedebuk sebelum menerabas rerumputan merah lima belas tombak dari hadapan Dewa Kutukan.
Begitu merambat bangkit, Aji meringis-ringis kesakitan. Di wajahnya tampak guratan-guratan merah. Darah merah merembes dari sela bibirnya. Bahu kirinya terasa lumpuh tak bisa digerakkan.
"Jangkrik!" dengus Aji sambil bangkit. Darah mudanya saat itu juga melonjak ke ubun-ubun. Sepasang matanya menyorot beringas. Namun seketika itu juga, tubuhnya limbung dan kembali jatuh terduduk.
Dengan sepasang mata putihnya yang menatap dingin, Dewa Kutukan tampak dengan sikap mengancam. Dan sekej ap itu juga, Dewa Kutukan menyatukan kedua tangannya yang menggenggam. Sehingga telunjuk jari tangan kanan dan kirinya bersatu, lantas disejajarkan dada dan didorong perlahan-lahan ke arah Aji yang masih terduduk.
"Akan kutahan dengan sap ketiga...!" kata Aji dalam hati.
Bersamaan dengan itu, Aji membuat gerakan seperti yang terdapat pada dinding batu karang di sap ketiga, yakni mengangkat kedua tangannya yang menyatu ke atas kepala sambil memiringkan tubuhnya sedikit.
Dan sebelum terjadi sebuah pertarungan tingkattinggi....
"Hi... hi... hi. !"
Tiba-tiba terdengar derai tawa seorang perempuan. Begitu melongok ke samping, Aji terkejut. Ternyata seorang gadis muda belia telah berdiri tegak sambil berkacak pinggang tak jauh dari situ. Rambutnya panjang bergerai dengan kulit putih mulus. Dadanya tampak membusung menantang. Dengan dibalut pakaian berwarna kuning ketat, pinggangnya begitu menantang.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Aji tertahan. Sepasang matanya segera saja menelusuri tubuh gadis itu dari atas hingga bawah. Seakan matanya tak mau lepas barang sejengkal pun.
Sementara itu, Dewa Kutukan segera mengurungkan serangan, demi melihat siapa yang datang. Matanya yang putih menatap gadis berbaju kuning tak berkedip dibarengi senyum penuh makria.
"Apa sudah tak ada lawan lagi, sampai-sampai Dewa Kutukan melayani anak kecil yang masih bau ompol...?" tanya gadis ini dengan suara mendayu.
Raut muka Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 kontan merah padam mendengar ucapan gadis itu. Bahkan dagu seakan membantu.
"Sontoloyo! Hanya karena belum tahu saja, kau bisa bilang begitu. Kalau sudah tahu, hm.... Kau akan merengek-rengek minta lagi...," maki Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
"Dewa Kutukan! Bagaimana jika melawanku saja?" tanya gadis itu dengan senyum nakal. Melanjutkan. Suaranya seperti sengaja didesahkan, sambil melangkah mendekat. Pinggulnya nampak sedikit digoyangkan. Sehingga, dadanya yang sedikit terbuka dan membusung kencang terlihat turun naik.
Sejenak Dewa Kutukan termangu, seperti terpana.
"Apa karena lama tak turun gunung hingga matamu begitu menggoda, Dewa Kutukan...?" goda gadis berbaju kuning muda ini dengan sedikit membuka mulutnya.
Sehingga, lengkaplah pesona gadis muda ini.
"Dewi Kuning...," panggil Dewa Kutukan. Sementara matanya beranjak dari dada ke pinggul gadis itu yang bergerak-gerak menggoda.
"Meski sudah lapuk, soal perempuan kau masih tak pikun..., Dewa Kutukan...!" Wajah Dewa Kutukan menjadi berubah disindir gadis yang dipanggil Dewi Kuning. Dan sambil tetap memandangi pinggul Dewi Kuning, Dewa Kutukan tertawa ngakak.
"Perempuan sepertimu memang tak bisa dilupakan sepanjang masa...! Meski wajah ayu serta sintal tubuhmu hanya karena ditolong ilmu awet muda, namun demikian untuk mengusir dinginnya malam hingga sampai mandi keringat, itu sudah lebih dari cukup!"
Mendengar kata-kata Dewa Kutukan, Aji terlonjak. Dan matanya ikut-ikutan memandang tanpa berkedip pada Dewi Kuning yang kini telah sedepa di hadapan Dewa Kutukan.
"Gila! Jadi..., dia bukan Putri Tunjung Kuning?! Hm..., aku tahu sekarang...! Hi...," gumam Aji sambil membayangkan kejadian belum lama berselang.
"Mulutmu lancang, Tua Kempot! Tapi..., aku suka laki-laki macam kau yang sudah lama tak turun gunung! Karena sudah pasti akan menggelora dan menggebu-gebu! Namun jika kau nanti ternyata kalah, apalagi sudah mundur teratur sebelum bertanding, tubuh tua mu itu akan kugantung! Dan, tak akan kuizinkan lagi memandangku. Lebih-lebih menyentuhku...!"
"Ha... ha... ha...! Kau tak juga berubah dari dulu. Itulah yang membuatmu membayang di kelopak mataku, Dewi Kuning! Walau aku telah tujuh puluh lima tahun tak turun gunung, kau nanti bisa merasakan bagaimana nikmatnya bermain-main dengan orang yang lama tak menyentuh perempuan! Aku yakin, kau akan memperpanjang malam-malammu bersamaku."
Tanpa mempedulikan Aji yang memandang dengan tubuh panas dingin dan jakun turun naik serta napas memburu, tangan Dewa Kutukan bergerak ke arah dada Dewi kuning yang sedikit terbuka dan kini telah menempel di jubahnya.
"Sejak dulu, tanganmu ini yang paling tidak kusuka! Terlalu sakit jika menyentuh...," desah Dewi Kuning dengan kepala menengadah ke atas. Namun tiba-tiba wanita itu terdiam, dengan mata melirik ke arah Aji.
"Astaga! Bukankah di sini ada orang lain selain kita berdua? Jangan-jangan, dia nanti.... Bagaimana kalau kita mencari tempat yang tidak diganggu mata siapapun...?!"
Dewa Kutukan sedikit terkejut. Dan tanpa sadar kepalanya menoleh. Sepasang matanya langsung nyasar ke arah Aji. Lantas kepalanya mengangguk perlahan.
Tak lama kemudian, Dewi Kuning berkelebat sambil meninggalkan desahan panjang dan memburu. Sementara, Dewa Kutukan menoleh dan memandang Aji dengan tatapan galak. Napasnya masih berhembus panjang-panjang.
"He.... Kunyuk! Meski urusan kita terpaksa tertunda, jangan sangka masalah ini telah tuntas! Kita akan lanjutkan nanti...! Ingat itu!"
Selesai berkata, Dewa Kutukan berbalik dan berkelebat menyusul Dewi Kuning.
"Orang edan!" umpat Aji sambil memandangi tubuh Dewa Kutukan yang berkelebat ke arah menghilangnya Dewi Kuning. Dan tak lama kemudian, Aji bangkit dan melangkah menuju gubuk.

* * *



--↨֍¦ 2 ¦֍↨--

Seorang penunggang kuda segera menghentikan lari kudanya, ketika jalan yang dilewati mulai berdebu dan banyak orang lalu lalang.
Penunggang kuda itu ternyata seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya putih, bertopi pandan lebar. Di lehernya melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam. Sesekali tangannya diangkat, kemudian jari telunjuknya menyodok bagian depan topi pandannya. Sehingga raut mukanya yang sebagian tertutup, terlihat jelas. Begitu bagian depan topi pandannya terangkat ke atas, matanya yang sayu tak berkedip memandangi daerah yang dilaluinya. Jenggot putihnya yang panjang menjuntai sampai dada dielus-elusnya. Sebentar kemudian perjalanan dilanjutkan perlahan-lahan.
"Hm.... Daerah ini telah berubah. Melihat kemegahannya, bangunan itu pasti kediaman orang yang memerintah daerah ini...," gumam kakek penunggang kuda ini. Laki-laki tua ini mengendarai kuda sambil memandangi keadaan sekitarnya dengan rasa heran. Lalu kepalanya berpaling ke depan. Segera kudanya dihela
melewati bangunan yang agak merah.
"Tujuh puluh lima tahun memang bukanlah waktu yang pendek. Bahkan mungkin orang-orang sebayaku sudah banyak yang meninggal. Bersyukur aku diberi usia agak panjang, hingga masih dapat menyampaikan lembaran kulit ini pada Selaksa. Semoga saja Selaksa tidak lupa pada janjinya...," kata kakek berjubah putih itu lagi bicara sendiri. Kepalanya mengangguk-angguk sedikit, hingga topi pandannya kembali menutupi sebagian wajahnya.
Di depan sebuah kedai, kakek berjubah putih menghentikan kuda tunggangannya. Sejenak dipandanginya ke dalam kedai. Hatinya agak ragu-ragu, karena di dalam kedai terlihat banyak pengunjung. Sesekali terdengar gelak tawa yang berderai-derai.
"Urusan perut lebih baik kutunda dulu. Ada urusan yang lebih penting. Lagi pula, hari sudah beranjak petang."
Kakek itu menarik tali hela kuda tunggangannya. Dan kembali perjalanannya dilanjutkan.
"Hm.... Kalau tak ada urusan yang sangat penting, sebenarnya aku sudah enggan turun gunung. Apalagi tenagaku sudah tak muda lagi. Namun. Demi dunia
persilatan, dan lebih-lebih demi kepentingan kedamaian umat manusia, apa boleh buat. ?!" kakek berjubah putih itu terus bicara sendiri dalam hati seraya menarik napas panjang.
Tak jauh dari belokan dekat sebuah pohon besar, kakek berjubah itu menghentikan kuda tunggangannya. Matanya langsung memandang ke arah utara. Tampak lereng Semeru telah tersaput warna kemerahan sang surya yang akan rebah di bentangan kaki langit sebelah barat.
Begitu kakek ini mengalihkan pandangan ke depan, tak jauh darinya tampak perempatan. Sebentar dia mengawasi.
"Aku sudah tak ingat, jalan mana yang menuju Kampung Blumbang. Terpaksa aku harus menunggu seseorang."
Ketika seorang laki-laki setengah baya lewat, laki-laki tua berjubah putih ini turun dari kuda tunggangannya. Sambil mengangkat bagian depan topi pandannya, kepalanya mengangguk ramah.
"Kalau boleh aku tahu, betulkah ke selatan ini arah ke Kampung Blumbang ?" tanya kakek itu, sopan sekali.
"Betul, Kek! Apa Kakek bermaksud ke sana?"
"Benar. Apa kira-kira masih jauh dari sini?"
"Ngg. , kira-kira sehari perjalanan berkuda."
Laki-laki berjubah putih mengangguk-angguk. Lalu kepalanya berpaling ke arah timur.
"Rumah siapakah bangunan itu?"
"Kediaman Tiimenggung yang memerintah Kotapraja Lemah Ajang ini. Kota ini memang cepat berubah. Apa Kakek sudah lama tak berkunjung kemari?" jelas laki-laki setengah baya seraya balik bertanya. Laki-laki berjubah putih hanya mengangguk.
"Kalau Kakek percaya padaku, dan memang ingin bepergian ke Kampung Blumbang, cepatlahberangkat!"
Raut kecemasan tampak pada wajah laki-laki setengah baya ini. Matanya berputar seolah menyelidik.
"Kenapa begitu...?" tanya laki-laki berjubah ini sedikit heran.
Laki-laki setengah baya itu tidak menjawab. Malah kakinya melangkah mendekati pohon besar. Lantas dia berputar dengan mata nyalang, seakan mencari sesuatu. Sedangkan laki-laki berjubah itu hanya mengawasi dengan tatapan penuh ketidakmengertian. Ketika orang yang ditanya melambai dari dekat pohon, dia melangkah mendekati.
"Hati-hati! Di sini sekarang tidak aman seperti dahulu lagi! Tepatnya, sejak kedatangan orang-orang aneh di kediaman Tumenggung, Kotapraja ini kacau. Penduduk selalu dihantui rasa khawatir. Banyak pembunuhan, perampokan, bahkan banyak gadis yang diculik!" 
Mendengar keterangan orang di depannya, laki-laki berjubah putih ini sedikit terkejut. Matanya yang sayu sebentar menyipit, lantas mengangguk.
"Terima kasih atas peringatanmu...," ucap laki-laki berjubah sambil berbalik dan melangkah mendekati kuda tunggangannya. Setelah berada di atas punggiing kuda, matanya memandang laki-laki setengah baya sambil tersenyum dan mengangguk.
Sesaat kemudian, laki-laki berjubah ini menarik tali kekang kuda, lantas berlalu menuju arah selatan. Tapi belum jauh berlalu....
"Tunggu!"
Terdengar suara lantang di belakangnya menghentikan perjalanannya.
"Apakah seruan itu ditujukan padaku?" tanya laki-laki berjubah ini berkata untuk diri sendiri. Bagian depan topi pandannya segera diangkat. Dan pandangannya diputar tanpa menghentikan kuda tunggangannya.
"He..., Orang Asing! Apa kau tuli?" Kembali terdengar bentakan. Begitu menoleh ke arah datangnya bentakan, laki-laki berjubah itu melihat dua orang telah berdiri. Salah seorang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan menggenggam tombak berbendera hitam, bergambar tengkorak. Melihat gayanya, segera bisa ditebak kalau orang ini adalah pengawal. Sementara yang seorang lagi benar-benar sulit diterka. Ditilik dari bentuk tubuhnya, jelas seorang laki-laki. Namun melihat wajahnya yang memakai bedak tebal, bibir tebal, dan memakai gincu berwarna merah menyala, kelihatannya seoring wanita. Rambutnya panjang menyapu tanah. Tingginya tidak lebih dari setengah tombak. Tapi yang membuat orang cebol ini kelihatan angker, di punggungnya tampak bertengger sebilah pedang besar. Panjangnya melebihi tinggi badannya.
"Orang tua! Tahukah kau, sedang berada di kawasan siapa saat ini?" bentak orang yang berpakaian hitam-hitam.
"Betul! Menurut peraturan, setiap orang asing harus minta izin jika melintasi kawasan ini! Apalagi, kau tampaknya seperti kami persilatan!" sambung banci cebol dengan tatapan mata galak.
Laki-laki berjubah putih hanya tersenyum mendengar ucapan dua orang di belakangnya.
"Aku memang sudah lama tak keluar dari gubukku. Jadi tak heran jika belum tahu pemilik kawasan ini! Apalagi, peraturannya. Maka maafkan atas kelancanganku...," jawab laki-laki tua berjubah putih dengan hanya memutar tubuhnya sedikit.
"Ha... ha... ha.... Jika begitu ucapanmu, dengar baik-baik! Ini adalah kawasan Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Dan sungguh sayang, maafmu tak bisa merubah peraturan yang dibuatnya! Kau telah melewati kawasan tanpa izin. Berarti kau harus kami bawa ke hadapan penguasa kawasan ini!" kata pengawal berbaju hitam-hitam.
Laki-laki tua berjubah putih itu turun dari kuda tunggangannya. Dan perlahan-lahan topi pandannya dibuka, lalu tubuhnya diputar dan menghadap dua orang yang menghentikan perjalanannya. Begitu laki-laki berjubah telah berbalik, dua orang di depannya tampak sedikit terkejut.
"Siapa kau, Orang Tua! Hendak ke mana?!" tanya si cebol seraya mengirim tenaga dalam melalui suaranya.
Suara si cebol ini terdengar menggelegar, hingga pengawal berbaju hitam yang di sampingnya mundur dua langkah ke belakang.
Namun laki-laki berjubah itu bagai tak terpengaruh sedikit pun.
"Sekali lagi, harap maafkan orang tua sepertiku ini yang hampir tuli. Aku sebenarnya sungkan untuk menyebutkan nama. Tapi jika suatu peraturan, aku menurut perintah saja. Orang-orang di kampungku menyebutku Ageng Panangkaran! Dan, tujuanku ke sini berkunjung ke tempat seorang sahabat di Kampung Blumbang."
Mulut laki-laki berjubah putih ini hanya terbuka sedikit saat mengucapkan kata-katanya. Namun suara yang keluar membuat pengawal berbaju hitam itu memekik seraya menahan dadanya yang bergetar hebat. Sementara, si cebol diam sejenak sambil menahan napas. Seketika disalurkan hawa murni ke dadanya.
Mendengar penuturan laki-laki berjubah putih itu, mata si cebol mendelik, seakan tak percaya. Dia memang tak pernah bertemu tokoh bernama Ageng Panangkaran. Namun sebagai orang persilatan, dia telah banyak mendengarnya.
Tak dapat dipungkiri, nama Ageng Panangkaran bagi dunia persilatan memang tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai tokoh yang disegani pada zamannya. Tidak hanya karena kepandaiannya yang tinggi, namun juga dikenal sebagai tokoh lemah lembut dan mudah menolong. Dia adalah tokoh angkatan tua. Bahkan banyak orang menduga kalau Ageng Panangkaran telah meninggal dunia. Karena sejak tujuh puluh tahun yang silam, kabar beritanya tak terdengar lagi.
Maka tatkala laki-laki tua berjubah putih itu menyebut nama Ageng Panangkaran, si cebol tak percaya.
"Orang tua! Jangan mengada-ada dengan mengaku sebagai Ageng Panangkaran!" bentak si cebol dengan mata tak berkedip.
"Itulah, mengapa aku sejak semula sungkan untuk menyebutkan nama. Karena aku yakin, pasti akan mendapat jawaban seperti ucapanmu!" sahut Ageng Panangkaran lembut. Pandangannya lantas dialihkan ke arah barat. Rupanya, matahari telah merambat tenggelam.
"Nah, sekarang biarkan aku meneruskan perjalananku! Aku harus cepat sampai. Apalagi, malam sebentar lagi menjelang."
Selesai berkata, Ageng Panangkaran memutar tubuhnya. Sebentar dieluselusnya punggung kudanya. Dan dia siap meloncat ke atasnya. Namun....
"Orang tua! Siapa namamu, itu tak penting! Sekarang ikut kami! Kalau kau menolak, jangan menyesal jika kami bertindak kasar!"
Pengawal berbaju hitam itu rupanya tidak tahu, dengan siapa sedang berhadapan. Dia membentak sekali lagi sambil melangkah mendekat.
"Hm.... Begitu? Sayang..., kali ini aku tak dapat menuruti ajakanmu, karena aku buru-buru! Lain kali saja. Jika sempat, aku akan mampir!" sahut Ageng Panangkaran, seraya mengibaskan jubahnya dan loncat ke atas kuda.
Wesss!
Saat jubah itu terkibas, terdengar deru angin kencang menyambar. Bersamaan dengan itu, tubuh pengawal berbaju hitam yang melangkah mendekat terlempar ke belakang. Lalu tubuhnya membentur sebuah pohon, sebelum akhirnya terpuruk dengan mengaduh keras. Sedangkan tubuh si cebol hanya bergoyang sedikit.
"Selamat malam...!" ucap Ageng Panangkaran sambil menyentakkan tali kekang kudanya.
Sebentar kemudian orang tua itu telah melesat ke depan meninggalkan si cebol yang memandangi kepergiannya dengan sepasang mata mendelik dan menyipit.
"Tokoh-tokoh angkatan tua turun gunung. Ini pasti ada apa-apa! Aku harus memberitahukan hal ini pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma!" gumam si cebol seraya berbalik. Dan seketika tubuhnya melesat tanpa menghiraukan sang pengawal yang melambai-lambaikan tangannya tanpa suara yang keluar dari mulut.

* * *



Karena tak bisa menembus jalanan di depannya yang berupa hutan pinus dan coklat, apalagi hari telah gelap, maka Ageng Panangkaran turun dari kuda tunggangannya. Dan dia berjalan sambil menuntun tunggangannya.
Belum mencapai tengah hutan, mendadak Ageng Panangkaran menghentikan langkahnya. Tubuhnya diam sejenak. Topi pandannya bergerak-gerak, seiring gerakan telinganya.
"Hm.... Ada orang yang mengikuti perjalananku! Apa si cebol tadi?" kata Ageng Panangkaran dalam hati.
Laki-laki tua itu cepat memutar kepalanya ke belakang. Namun matanya tak menemukan siapa pun juga.
"Melihat gerakannya yang begitu cepat, dia pasti bukan orang sembarangan!" batin Ageng Panangkaran sambil meneruskan langkahnya.
Dan pada suatu kesempatan, orang tua itu cepat berbalik. Namun lagi-lagi matanya tak menemukan seorang pun.
"Apakah hanya perasaanku saja yang masih terganggu, setelah dihadang dua orang tadi...?" gumam Ageng Panangkaran berusaha menenangkan hatinya. Bibirnya lantas tersenyum seraya memutar tubuhnya, meneruskan perjalanan.
Tapi, mendadak sebuah suara menghentikan langkah orang tua itu. Telinganya lamat-lamat mendengar suara orang merintih. Ia diam terpaku meyakinkan.
"Hm..., suara seorang perempuan," gumam Ageng Panangkaran sambil melepas tali kekang kudanya.
Saat itu juga, tubuhTaki-laki tua itu berkelebat ke arah datangnya suara. Setelah mengangkat bagian depan topi pandannya dia melihat seorang perempuan tengah telentang sambil merintih pelan di bawah pohon pinus besar. Hingga rintihannya bagai orang yang akan menemui ajal.
"Mendengar rintihannya, orang itu pasti baru saja tertimpa malapetaka.... Dan melihat keadan tubuhnyas jangan-jangan salah seorang yang diculik, lalu dilempar begitu saja, seperti apa yang dikatakan orang di jalan tadi," kata batin Ageng Panangkaran kembali seraya mendekati perempuan yang telentang dan merintih sambil memegangi paha bagian atas dengan mata terpejam.
Namun begitu berada tiga langkah di samping wanita ini, Ageng Panangkaran mengalihkan pandangannya. Langkahnya disurutkan setindak ke belakang.
"Hm. Perempuan itu tampaknya baru saja dikeroyok laki-laki jahanam! Kasihan..., perempuan semuda itu harus mgngalami sesuatu yang menyakitkan, bahkan menyedihkan..!" gumam Ageng Panangkaran sambil kembali memandangi perempuan di sampingnya. Dan dadanya pun mendadak bergetar.
Perempuan yang telentang itu tampaknya masih muda. Di wajahnya yang tampak cantik, terlihat guratan-guratan merah bekas tamparan tangan. Baju warna kuning muda yang dikenakannya, nampak lusuh dan berdebu. Bahkan sobek di sana-sini. Sehingga, bagian perut sampai lekukan buah dadanya yang tampak putih dan membusung jelas terlihat. Demikian juga bagian betis sampai pangkal paha.
Melihat keadaan perempuan muda ini, Ageng Panangkaran tampak serba salah. Maka sejenak ia hanya tegak berdiri, sambil sesekali menarik napas dalam-dalam untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba bergetar melihat pandangan di depannya.
"Apa karena aku terlalu lama mengurung diri, hingga aku jadi begini? Atau karena...? Hm.... Gadis itu perlu pertolongan...," bisik Ageng Panangkaran.
Sebentar kemudian, orang tua itu melangkah ke depan, mendekati gadis yang masih memejamkan matanya.
"Ngg. Nak, bangunlah...," ujar Ageng Panangkaran pelan. Sepasang matanya memandang wajah cantik sang gadis.
Mendengar orang berkata, mata gadis itu kontan membuka dan melotot. Seketika tubuhnya digeser menjauhi laki-laki di depannya. Dengan sedikit menunduk, gadis itu terpana melihat keadaannya. Maka langsung kainnya ditarik untuk menutupi sebagian tubuhnya yang terbuka. Hingga tanpa sadar, tarikan itu membuat kain yang dikenakannya tambah koyak. Tak ayal, perut serta buah dadanya kian tampak jelas.
"Pergi! Kau pasti tak bedanya laki-laki bajingan itu!" dengus si gadis yang tampak tambah kebingungan, karena harus menutup bagian dada dan paha yang terbuka.
"Jangan takut.... Aku tak akan berbuat macam-macam terhadapmu! Justru kalau kau mau, aku ingin menolongmu...," ujar laki-laki tua itu dengan sedikit senyum dengan pandangan tertuju ke tempat lain.
"Jangan pura-pura, Orang Tua! Laki-laki manapun tak akan beda! Selalu berkata begitu, jika ada maunya! Cepat pergi! Aku tak membutuhkan pertolonganmu...!" sentak si gadis. Kedua kakinya cepat ditarik dan ditekuk sejajar dengan dada, menutupi buah dadanya yang terbuka dan terguncang-guncang.
"Apa mungkin karena tampangku yang begini ini, hingga kau berkata demikian...?" kata Ageng Panangkaran sambil bangkit, tanpa menoleh.
"Aku mengerti. Dalam keadaan seperti ini, kau pasti mengatakan bahwa seluruh laki-laki di muka bumi adalah haram jadah! Tapi, sadarlah...! Kau sekarang sedang berada di mana! Tak mustahil sebentar lagi, akan datang teman orang yang telah menyakitimu. Syukur kalau hanya seorang. Jika mereka datang berombongan..?"
"Orang tua! Kau tak perlu menakut-nakuti aku! Di mana kini aku berada, aku tahu! Dan..., jika mereka datang lagi? Hm..., mereka hanya menemukan tubuhku tanpa nyawa...!"
"Hm. Sungguh sayang, gadis semuda dan secantikmu terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Sehingga kau lupa, bahwa masih ada jalan yang lebih baik untuk mengatasinya."
"Banyak omong! Siapa kau sebenarnya?" tanya gadis ini sambil menarik kain bagian dadanya.
"Aku hanyalah seorang pengelana yang hendak berkunjung ke rumah seorang sahabat. Nah! Karena kau tak memerlukan pertolongan, aku akan segera pergi. Perjalananku masih jauh!" ujar Ageng Panangkaran seraya melangkah menjauh membelakangi.
Sementara gadis itu memandangi dengan mata menyipit.
"Orang tua!" teriak si gadis.
Ageng Panangkaran berhenti, dan diam tegak tanpa menoleh. Namun karena lama tak juga ada suara lagi, Ageng Panangkaran meneruskan langkahnya.
"Kek...!" teriak gadis itu, namun kali ini terdengar lebih sopan. Bahkan memanggil dengan sebutan 'Kek'.
"Memang ada benarnya kata-katamu! Tapi..., bagaimana aku harus berjalan. Sedangkan pakaianku begini. Padahal, rumahku masih jauh dari sini! Juga aku tak berani jalan sendirian malam-malam begini."
"Hm..., syukurlah jika kau telah sadar!" gumam Ageng Panangkaran, segera melepas jubah putihnya dan berjalan mundur.
"Sementara, pakailah ini. Dan ayo, kuantar sampai rumahmu!"
Ageng Panangkaran menyodorkan jubahnya. Maka dengan cepat gadis yang telah berdiri itu menyambut jubah dari tangan Ageng Panangkaran.
"Terima kasih, Kek! Maafkan ucapanku tadi yang mungkin menyinggung perasaanmu...!" ucap gadis ini pelan, segera mengenakan jubah putih itu.
Ageng Panangkaran hanya menganggukangguk saja.
"Sungguh, Kek? Kau mau mengantarku?" sambung gadis itu dengan melangkah mendahului dan menghadap Ageng Panangkaran.
Melihat gadis di depannya, Ageng Panangkaran tersenyum. Karena gadis itu kini tampak lucu memakai jubah yang sangat kebesaran.
"Apa kau lihat aku main-main?" kata Ageng Panangkaran, balik bertanya.
"Sekarang tunjukkan jalan menuju rumahmu!"
"Ini jalan yang paling dekat...," tunjuk gadis itu sambil berjalan menjajari Ageng Panangkaran.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil kuda. Lumayan daripada kau harus jalan," ujar Ageng Panangkaran.
Seketika tubuh orang tua itu berkelebat cepat. Dan tak lama kemudian, muncul kembali sambil menuntun kuda.
"Naiklah!"
Gadis ini sejenak menatap bola mata Ageng Panangkaran, lantas menunduk.
"Ah! Tak pantas orang muda sepertiku harus naik. Sedangkan orang tua harus menuntun. Lebih baik kita jalan bersama-sama."
Tapi kali ini Ageng Panangkaran tak banyak bicara. Cepat diraihnya gadis di sampingnya. Dan sekali angkat, gadis itu telah berada di atas kuda.
Namun mendadak Ageng Panangkaran terdiam sejenak. Dadanya kembali bergetar. Wajahnya yang sedikit tertutup topi pandang jadi merah membara. Tangannya yang baru saja mengangkat tubuh dara di atasnya mendadak terasa hangat.
"Ada apa, Kek. ?" "Ngg.... Tidak ada apa-apa! Ayo, jalan...!" kilah Ageng Panangkaran disertai senyum untuk menutupi kerawanan hatinya saat tangannya menyentuh tubuh gadis itu.
Sementara gadis ini hanya mengangkat kedua bahunya saja.
"Kalau tak keberatan, kau mau menceritakan kejadian yang menimpa dirimu?" pinta Ageng Panangkaran mengalihkan perhatian.
Mendengar kata-kata barusan, mendadak mata si gadis menatap tajam ke arah Ageng Panangkaran yang ada di samping kuda yang ditungganginya. Kulit wajahnya yang putih berubah merah. Sejenak ia diam tak menjawab.
"Maafkan kelancangan mulutku. Dan, lupakan saja ucapanku tadi!" timpal Ageng Panangkaran saat mata gadis ini beralih memandang jauh ke depan.
"Aku tak membayangkan jika hal seperti ini akan menimpa diriku."
Tiba-tiba si gadis membuka suara. Ada getaran di suaranya. Sementara matanya masih tetap memandang jauh ke depan.
"Orang tuaku telah tiada sejak beberapa tahun yang lalu...," lanjut gadis itu.
"Maka aku terpaksa hidup sendirian di sebuah rumah yang tak jauh dari hutan ini. Tadi siang, datang seorang laki-laki yang mengatakan sedang dalam perjalanan ke Kampung Blumbang dan tersesat. Merasa kasihan, aku menyilakannya mampir ke rumah. Namun apa lacur? Setelah di dalam rumah, tingkahnya kurang ajar sekali! Dia mencoba menggerayangi tubuhku. Aku berusaha menolak. Tapi, laki-laki yang menamakan dirinya Dewa Kutukan itu meski tampak sudah tua, namun tenaganya terlalu kuat bagi seorang wanita seperti aku. Sehingga biar telah meronta-ronta coba menghindar, aku tak berhasil mencegah nafsu setannya!"
Sejenak gadis ini menghentikan ceritanya dengan napas terangah-engah, seperti menahan kegeraman.
"Lalu terjadilah perbuatan terkutuk itu! Meski demikian, Dewa Kutukan rupanya selain laki-laki bejat juga menggiriskan. Karena setelah kejadian di dalam rumah, dia membopongku ke dalam hutan ini. Dan lagi-lagi, di bawah pohon besar tadi, perbuatan terkutuk itu dilanjutkan sambil menampari wajahku!"
Gadis itu menghentikan keterangannya. Jubah bagian dadanya masih turun naik menahan kegeraman. Sementara wajah Ageng Panangkaran sontak merah padam. Rahangnya pun mengembang.
"Dewa Kutukan...! Hm.... Dia juga menuju Kampung Blumbang. Rupanya iblis itu juga telah muncul. Dan kelakuannya tak juga berubah. Aku harus lebih berhatihati...," bisik Ageng Panangkaran dalam hati.
"Ngg.... Kakek sendiri siapa? Dan, hendak ke mana?" tanya gadis ini, tiba-tiba.
Ageng Panangkaran lama tak menjawab. Dia merasa, bila berterus-terang jangan-jangan gadis ini malah jadi curiga. Karena, tujuannya sama dengan Dewa Kutukan.
"Aku hanyalah seorang pengelana. Aku ada janji dengan seorang sahabat yang rumahnya tak jauh dari sini."
"Berarti Kakek masih tak percaya padaku, karena masih merahasiakan nama! Tapi, tak apa. Aku memang telah menjadi orang hina, sehingga nama saja kau tak mau menyebutkan...," rajuk gadis itu seraya memegang tangan Ageng Panangkaran yang tengah mengelus-elus leher kudanya.
Mendengar rajukan barusan, Ageng Panangkaran mendongak. Dipandanginya gadis itu, lalu tersenyum.
"Kau memang pandai bicara. Tapi jika aku nanti menyebut nama yang sama, kuharap kau tak berprasangka yang tidak-tidak. Tentang diriku, orang-orang di kampungku menyebutku Ageng Panangkaran. Dan tempat sahabat yang kutuju adalah Kampung Blumbang."
Gadis itu kontan menoleh. Namun tangannya masih menggenggam tangan Ageng Panangkaran.
Ketika Ageng Panangkaran memandang dan mengerdip, gadis ini tersenyum manja dan mengangguk.
"Aku percaya, Kakek tidaklah sejahat Dewa Kutukan, meski tujuannya juga ke Kampung Blumbang."
"Syukur kalau kau mau mengerti. ," desah Ageng Panangkaran dengan sedikit mengangguk.
Ketika perjalanan hampir mencapai ujung hutan, tanpa diketahui Ageng Panangkaran, gadis itu melirik. Namun, hanya sebentar. Lalu....
"Aaakh! Aaakh!"
Mendadak gadis itu memegangi dadanya sambil membungkuk. Tatapannya sayu. Bibirnya bergetar. Dan tak lama kemudian, tubuhnya lunglai di atas kuda.
Ageng Panangkaran kaget! Sebelum tubuh ini jatuh dari punggung kuda, cepat diraihnya tubuh gadis itu. Lalu diangkatnya mendekati sebuah pohon.
"Kek.,.! Dada..., ku."
Terdengar rintihan sang gadis saat tubuhnya diletakkan di atas tanah.
"Hm.... Mungkin ia terluka dalam," gumam Ageng Panangkaran sambil melihat wajah sang gadis yang matanya telah memejam dan napasnya berhembus satu-satu. Ageng Panangkaran mencoba mengguncang bahunya, namun gadis itu tetap diam tak bergerak. Bahkan hembusan 
napasnya kini tak lagi terasa.
"Hm.... Aku harus menyalurkan hawa melalui dadanya...," bisik Ageng Panangkaran seraya melepas kancing jubah bagian atas gadis ini. Namun mendadak Ageng Panangkaran terkejut. Dadanya tiba-tiba bergetar. Ternyata di balik jubah, gadis itu tidak memakai apa-apa lagi.
Cepat Ageng Panangkaran mengalihkan pandangan. Dan dengan tangan bergetar, ditutupnya kembali kancing jubah yang di baliknya menyembul buah dada yang tampak putih dap kencang.
Setelah dapat mengatasi getaran dadanya, Ageng Panangkaran meletakkan tangannya di bahu gadis ini untuk menyalurkan tenaga sambil memejamkan mata.
Di saat itulah tiba-tiba sang gadis menyentakkan kedua tangannya cepat ke arah hati Ageng Panangkaran. Dan....
Bresss!
Karena saat itu Ageng Panangkaran sedang mengeluarkan tenaga dalam, maka tak ampun lagi tubuhnya yang kosong melambung ke udara. Dan sebelum tubuh orang tua itu mendar at, gadis ini telah bangkit. Langsung dilepaskannya satu tendangan lurus ke dada Ageng Panangkaran.
Untuk kedua kalinya Ageng Panangkaran tak bisa menahan serangan ini. Sehingga....
Desss! "Aaakh. !"
Terdengar keluhan pelan dari mulut Ageng Panangkaran, sebelum tubuhnya jatuh membentur pohon pinus dan ambruk dengan erangan panjang.
Dengan langkah lebar, gadis itu menghampiri. Begitu sedepa di depan Ageng Panangkaran, kembali kakinya disentakkan. Sehingga, Ageng Panangkaran terbanting keras di atas tanah.
Melihat Ageng Panangkaran tak lagi merambat bangkit dan tak terdengar erangannya, gadis itu berbalik dan meloncat ke dekat kuda. Dan dengan cepat pula, diraihnya buntalan kecil di leher kuda. Setelah mengambil sesuatu, lalu dicampakkannya buntalan di atas tanah. Tak berselang lama, dengan senyum tersungging, dari bawah ikatan rambutnya, gadis itu mengeluarkan tiga benda kecil berbentuk segi tiga dan berwarna kuning. Tepat ketika tubuhnya berkelebat, gadis itu menyentakkan tangannya yang menggenggam benda segi tiga warna kuning ke arah Ageng Panangkarari.
Set! Set!
Begitu cepat tiga benda itu melesat, hingga hanya suara berdesingnya yang terdengar tanpa kelihatan bentuknya.
Ageng Panangkaran yang mulai membuka matanya kontan terkejut. Ia masih bisa mengelak dari benda berbentuk segi tiga itu dengan mengibaskan tangannya. Namun satu di antara benda itu tak bisa dihindari.
Cras! "Aaakh...!" Seketika benda itu menancap di pinggangnya.
Kembali terdengar erangan panjang dari mulut Ageng Panangkaran menyentak kesunyian hutan pinus. Sementara itu, lamat-lamat terdengar pula derai tawa yang menggema panjang, sebelum lenyap ditelan desauan pucuk-pucuk pinus yang tertiup angin.

* * *



"Kau tak salah dengar, Setan Merah?!" Pertanyaan bernada tuntutan itu terdengar dari mulut seorang laki-laki berbaju putih. Dia berdiri di samping seorang perempuan. Sedang pertanyaan tadi ditujukan pada seorang laki-laki bertubuh pendek. Di punggungnya terlihat senjata pedang besar dan panjang.
"Mendengar keterangan serta ciriciri orang yang disebutkannya, Setan Merah tak mungkin salah dengar. Dia memang Ageng Panangkaran!" selak perempuan di samping laki-laki berbaju putih.
Perempuan itu menyela sambil melingkarkan tangan putihnya ke pinggang laki-laki berbaju putih di sampingnya, yang ternyata bermata satu. Kumisnya tampak lebat.
Dirangkul demikian, laki-laki bermata satu hanya diam saja. Mata satu-satunya malah memandang jauh ke depan.
"Kalau memang benar, berarti kitab dan benda itu yang ceritanya masih simpang siur, bahkan mungkin telah dilupakan orang, benar adanya! Tak mungkin tokoh tua itu turun gunung, jika tak ada sesuatu yang sangat penting! Orang-orang mungkin telah menduga, bahwa Ageng Panangkaran telah meninggal dunia!"
"Benar, Kakang! Berarti kabar itu bukan omong kosong! Sekarang kita harus cepat menyusun rencana. Karena jika tokoh tua itu telah muncul, tak mustahil tokoh-tokoh tua lainnya juga akan turun gelanggang. Kita harus waspada. Karena, yang akan kita hadapi bukan hanya tokoh-tokoh tua dari golongan putih. Bahkan yang segolongan dengan kita pun sudah pasti tak mau ketinggalan. Itu merupakan tantangan yang tak ringan bagi kita...!" tandas perempuan yang merangkul laki-laki bermata satu, seraya menoleh. Namun, wajah perempuan itu tak tampak. Karena seluruh wajahnya tertutup sepotong kain segi tiga yang berlobang kecil-kecil.
Sejenak di antara ketiga orang ini tak ada yang bicara. Si cebol, yang dipanggil Setan Merah, menatap dua orang di depannya dengan pandangan kaku dan rikuh. Sementara, laki-laki bermata satu dan perempuan yang wajahnya tertutup kain yang tak lain Sepasang Iblis Pendulang Sukma, sama-sama memandang jauh ke depan. Tak lama kemudian, laki-laki bermata satu mengalihkan pandangan ke arah Setan Merah.
"Setan Merah! Berangkatlah bersama Diraja Kilatan Maut ke Kampung Blumbang! Cari keterangan sebanyak-banyaknya! Tapi, ingat! Kalian harus hati-hati! Karena kalian nanti akan bertemu tokoh-tokoh yang tak terduga, baik tingkat ilmunya atau tingkat penyamarannya! Kalian jangan sampai membuat kesalahan berat!" ujar laki-laki bermata satu yang bernama asli Sangsang.
"Baik!" jawab Setan Merah seraya berbalik dan berlalu.
"Sunti! Kita harus segera menyiapkan diri!"
"Tapi, Kang! Hal itu bisa kita bicarakan nanti! Sekarang, kita lanjutkan permainan kita yang tertunda oleh kedatangan Setan Merah!" sergah Sunti sambil menyeret laki-laki bermata satu kekamar.
Sangsang sedikit mendengus. Namun tak urung kakinya mengikuti seretan tangan perempuan itu.

* * *



--↨֍¦ 3 ¦֍↨--

"Aku harus cepat meninggalkan tempat ini, dan segera mencari tahu tentang Jurang Guringring. Tempat ini sekarang sudah tak aman lagi. Banyak orang aneh yang belum kukenal muncul di sini. Lebih-lebih mereka mencari benda...! Hm. Banyak kejadian yang masih belum terjawab!" kata Aji dalam hati. Saat itu pemuda ini masih ada dalam gubuk Eyang Selaksa di Kampung Blumbang.
Setelah diam sesaat, Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 itu bangkit dan melangkah ke pintu. Sampai di balik pintu dia berhenti. Dan di celah yang agak besar, wajahnya didekatkan. Sambil menarik napas panjang, pandangannya dilebarkan keluar gubuk. Begitu merasa tak ada siapa-siapa, baru pintu gubuk dibuka.
"Lebih baik aku lewat bukit sebelah timur. ," batin Aji, langsung berkelebat ke arah bukit yang mengapit Kampung Blumbang sebelah timur.
Setelah agak jauh meninggalkan Kampung Blumbang, barulah pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning ini agak tenang. Namun begitu, sesekali tampak tubuhnya berkelebat cepat dan masuk ke semak-semak. Agak lama, baru ia muncul dan meneruskan langkahnya.
Memasuki kawasan hutan pinus, Aji memperlambat langkahnya. Bahkan kini tampak jalan pelan-pelan. Acap kali, matanya memandang ke atas melihat daun-daun pinus yang luruh dan berdesau.
"Heran! Benda apa sebenarnya yang dicari orang-orang itu? Dan, apa benar Eyang Selaksa menyimpannya,..?"
Seett, seett!
Mendadak terdengar suara gesekan. Dan saat itu pula, Aji menghentikan langkahnya.
"Hm..., seseorang...," bisik Aji. Cepat tubuhnya menyelinap ke balik .sebuah pohon.
Hening sejenak. Namun, tak lama kemudian terdengar lagi suara gesekan.
"Aneh! Kalau orang mengikuti aku, tak mungkin berbuat begitu. Lagi pula, suaranya tak berpindah...!"
Dengan kewaspadaan tetap terjaga, pemuda itu perlahan-lahan keluar dari balik pohon. Lalu kakinya melangkah mendekati sumber suara. Dan ketika dekat, Aji tercekat. Wajahnya berubah, seakan tak percaya.
Di bawah sebuah pohon pinus besar, tampak duduk bersila seorang laki-laki tua, jenggotnya putih dan panjang hingga ke dada. Di lehernya melingkar seuntai kalung dari batu-batu hitam. Di sebelahnya, tampak seekor kuda sedang menggesek-gesekkan kepala ke batang pohon.
Setelah agak lama memandang, dan yakin bahwa tak jauh dari tempatnya itu adalah orang, Aji lantas melangkah mendekat. Namun, laki-laki yang juga memakai caping pandan lebar hingga setengah wajahnya tertutup, tak juga merasa terusik. Bahkan ketika Aji menyapa, orang di depannya tak menjawab. Apalagi memandang.
"Orang tua! Kau dengar suaraku?" sapa Aji sekali lagi, sedikit mengeraskan suaranya.
Orang tua yang tak lain Ageng Panangkaran baru mengangkat kepalanya sedikit. Namun, bibirnya tak juga membuka. Dan perlahan-lahan tangannya mengangkat dan menyodok bagian depan caping pandannya. Sehingga Aji bisa melihat seluruh raut mukanya.
Namun, Ageng Panangkaran belum juga membuka mulut. Hanya sepasang matanya yang sayu menatap Aji dari atas hingga bawah.
"Orang tua! Kau."
Belum sampai Aji meneruskan kata-katanya, Ageng Panangkaran mengangkat kembali tangannya dan meletakkannya di bibir. Lalu tangannya melambai memberi isyarat. Dan Aji pun mendekat.
"Maukah kau berbaik hati menolongku, Anak Muda?" tanya Ageng Panangkaran pelan. Matanya tak berkedip menatap Aji.
Pemuda itu tak menjawab, kecuali hanya mengangguk.
"Terima kasih, Anak Muda," lanjut Ageng Panangkaran.
"Aku sebenarnya sedang dalam perjalanan ke tempat sahabatku. Namun karena keadaanku tidak memungkinkan lagi, mungkin aku tak dapat melanjutkan perjalanan!"
Ageng Panangkaran diam sejenak. Matanya beralih, memandang jauh ke depan.
"Kau tahu letak Kampung Blumbang...?"
Mendengar ucapan Ageng Panangkaran, Aji tersentak. Wajahnya sontak berubah. Bahkan kakinya surut dua langkah ke belakang.
"Hm.... Orang tua ini mungkin juga sedang mencari Eyang Selaksa seperti Dewa Kutukan...," batin Aji sambil memandang lekat-lekat orang tua di depannya.
Melihat perubahan pada diri pemuda itu, Ageng Panangkaran sedikit terkejut.
"Ada apa, Anak Muda? Kau tahu letak kampung itu?"
"Orang tua! Katakan siapa dirimu! Dan, apa tujuanmu ke Kampung Blumbang...!" Aji balik bertanya dengan sedikit mengeraskan suaranya.
"Aku Ageng Panangkaran. Kedatanganku ke Kampung Blumbang untuk menemui seseorang."
"Eyang Selaksa bukan. ?" potong Aji tiba-tiba, sebelum Ageng Panangkaran meneruskan kata-katanya. Ageng Panangkaran kaget.
"Kau mengenalnya?" tanya orang tua itu dengan tatapan sayu menyelidik.
"Bukan hanya mengenal. Tapi bisa dikatakan, beliau adalah guruku." Mendengar penuturan pemuda ini, sekali lagi Ageng Panangkaran terkejut. Malah dadanya tampak bergetar. Perlahanlahan caping pandannya diangkat. Seketika matanya yang sayu tak beranjak menusuk tajam ke bola mata Aji, seakan minta keyakinan.
Melihat dirinya ditatap demikian, Aji jadi rikuh. Maka dia mendekat lagi.
"Ki Ageng Panangkaran.... Aku tak memaksa kau untuk mempercayaiku. Namun aku bicara apa adanya."
Lalu Aji menceritakan tentang Eyang Selaksa, juga tentang Ajeng Roro.
"Hm.... Mendengar ucapannya dan tingkah lakunya, anak ini tak mungkin berbohong."
Sambil terus berpikir Ageng Panangkaran mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Siapa namamu, Nak?"
"Aji.... Ki. !"
"Aji! Jika memang begitu ucapanmu, sungguh ini suatu pertemuan yang kebetulan sekali. Ketahuilah, Aji. Sebenarnya aku beberapa puluh tahun yang lalu, mempunyai janji pada Eyangmu. Bahwa, suatu saat aku akan menjumpainya untuk menyampaikan sesuatu yang sangat rahasia. Namun dalam perjalanan menuju ke tempat Eyangmu, aku mendapat halangan." Lantas Ageng Panangkaran menceritakan seluruh perjalanannya.
"Namun masih syukur lembaran kulit yang berhasil diambil gadis itu adalah yang palsu! Sedangkan yang asli, masih kusimpan di dalam pantat kuda...," jelas Ageng Panangkaran, mengakhiri keterangannya.
"Ki..., bagaimana kalau kita mencari tempat yang agak aman? Karena kurasa daerah ini tidak begitu aman...," usul Aji ketika menyadari kalau sesuatu yang dibicarakan mengenai hal yang sangat rahasia dan penting.
"Tidak usah, Aji! Waktuku tidak banyak. Karena, aku harus cepat kembali. Luka di tubuhku harus segera diobati. Jika terlambat sampai tengah hari nanti, sekujur tubuhku akan menghitam. Racun senjata itu sangat ganas. Lihat!" ujar Ageng Panangkaran sambil membuka bajunya. Aji tersentak, saat Ageng Panangkaran telah membuka bajunya. Kulit bagian dada dan perut Ageng Panangkaran telah menghitam, bagai habis terkena jilatan api. Bahkan telah pula menetes cairan
hitam yang berbau.
"Hm.... Sekarang tolong dekatkan kuda itu kemari."
Tanpa banyak bertanya lagi, Aji segera mengambil kuda yang tak jauh dari situ. Lalu menuntunnya ke dekat Ageng Panangkaran. Begitu dekat, perlahanlahan orang tua itu mengelus-elus kudanya. Lalu dengan cepat, tangan sebelah kanannya bergerak. Kemudian kuku jari tangan itu menggurat kulit kuda pada bagian pantat. Sejenak kuda itu meringkik keras dan menerjang-nerjang kakinya.
Begitu kulit kuda terkelupas, cepat tangan Ageng Panangkaran mengambil sebuah gulungan dari kulit dari balik kulit kuda. Sejenak Ageng Panangkaran melihat lekat-lekat pada gulungan kulit di tangannya. Lalu tatapannya beralih pada Aji.
Sementara pemuda itu sendiri hampir tak percaya melihat bagaimana Ageng Panangkaran menyimpan gulungan tersebut.
"Orang tua ini cerdik sekali.... Siapa sangka jika di pantat kuda itu terdapat gulungan kulit yang mungkin sangat berharga...," batin Aji. Matanya tak berkedip memandang gulungan yang ada di tangan Ageng Panangkaran.
"Inilah yang akan kusampaikan pada Eyangmu! Karena sekarang aku sudah tak mungkin lagi menemuinya, maka barang ini kuserahkan padamu agar segera disampaikan pada Selaksa. ," ujar Ageng Panangkaran seraya menyerahkan gulungan kulit pada pemuda itu.
Sebentar Aji termangu. Namun begitu menatap mata Ageng Panangkaran yang tampak tulus disertai anggukan kepala yang meyakinkan hati, maka dengan tangan sedikit gemetar Aji menerima gulungan kulit itu.
"Dan sebagai tanda terima kasihku padamu, ambillah pakaian yang ada di buntalan itu.... Dan, cepat temui Eyangmu!"
Mendengar kata-kata Ageng Panangkaran, mata Aji tiba-tiba memerah. Lalu matanya memandang ke atas.
"Eyang telah diculik, Ki. Namun, si penculik memberitahu bahwa Eyang dan Ajeng Roro di Jurang Guringring. Apa kau tahu, di mana letak Jurang Guringring. ?"
"Rupanya semua orang kini telah tahu, bahwa kunci semua ini ada pada Selaksa!" gumam Ageng Panangkaran, seperti bicara pada diri sendiri.
"Jika demikian halnya, kau harus lebih berhati-hati, Aji! Pertahankan kulit itu, sampai kau bertemu Eyangmu! Mengenai Jurang Guringring, letaknya di pesisir Laut Selatan. Jika kau menuju Laut Selatan, nanti akan bertemu daerah yang tanah dan batu-batu di sekitarnya berwarna hitam. Itulah Desa Ledoksari. Dari situ kau akan segera dapat melihat sebuah jurang. Itulah Jurang Guringring. Namun kau harus waspada! Jurang Guringring kini dihuni seorang perempuan sakti. Dan kabarnya dia juga mempunyai seorang murid yang tak kalah saktinya."
Sebentar Ageng Panangkaran menghentikan penjelasannya. Ia tampak menarik napas dalam-dalam hingga bahunya sedikit terangkat.
"Aji! Aku harus segera kembali sebelum tengah hari! Jika kau nanti telah bertemu Eyangmu, jangan lupa sampaikan salam dan maafku padanya!" ujar Ageng Panangkaran seraya menggapai tali kekang kudanya.
Dan dengan agak gemetar, Ageng Panangkaran bangkit. Lalu perlahan-lahan dia naik ke punggung kuda.
"Ngg.... Ki.... Boleh aku tahu, di mana tinggalmu?" tanya Aji saat kuda orang tua itu mulai akan melangkah.
Ageng Panangkaran mengurungkan niat menarik tali kekang kuda, Sebentar dipandangnya Aji seraya tersenyum.
"Mengenai itu, nanti bisa kau tanyakan pada Eyangmu! Nah! Selamat jalan, Aji! Semoga kita nanti dapat bersua kembali...," pamit Ageng Panangkaran, segera menggebah kudanya, meninggalkan Aji. Pemuda itu memandangi hingga tubuh kuda Ageng Panangkaran tak terlihat lagi. Tak lama kemudian, tampak sosok pemuda yang terbalut pakaian hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning itu berkelebat dan meliuk-liuk di antara pohon-pohon pinus menuju selatan.

* * *



--↨֍¦ 4 ¦֍↨--

Desa Ledoksari terletak tak jauh dari pesisir Laut Selatan. Tampak lengang. Memang meski sebuah desa, namun desa ini tak berpenghuni. Selain semak belukar lebat merangas dengan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun yang tumbuh tak beraturan kokoh tak terusik, ternyata tanah dan batu-batu di Ledoksari ini berwarna hitam legam!
Jika seseorang berdiri tegak di atas sebuah batu besar di Ledoksari, maka akan segera dapat dengan jelas melihat sebuah jurangyang takjauh dibawahnya. Jurang Guringring.
Tak jauh beda dengan Ledoksari, Jurang Guringring juga memiliki batu-batu dan tanah berwarna hitam. Sehingga tak heran, jika melihat dari atas, maka yang tampak hanyalah sebuah kekukan batu dan tanah yang dalam dan hitam.
Ketika sang surya baru saja menapaki bumi, tampak seorang gadis muda berpakaian warna kuning muda berdiri termangu di atas sebuah batu besar berwarna hitam. Matanya terus memandangi jurang di bawahnya.
"Putri Tunjung Kuning! Kenapa kau masih termangu di situ?!"
Mendadak terdengar suara teguran, yang seakan-akan keluar dari perut jurang. Suara itu bergema panjang, sebelum lenyap ditelan sayup-sayup deburan ombak Laut Selatan.
"Apakah kau telah berhasil mendapatkan lembaran kulit itu?!"
Kembali terdengar suara dari dalam jurang.
"Betul, Guru! Aku telah mendapatkannya!" sahut gadis di atas batu hitam.
Jawaban gadis yang dipanggil Putri Tunjung Kuning tak kalah menggelegarnya. Suaranya hingga menerabas dan menyusup ke jurang di bawahnya. Kemudian hening sejenak. Lantas....
"Bagus! Kau adalah murid yang cerdik! Kau memang pantas kelak menyandang gelar Ratu Dunia persilatan! Turunlah. !"
sambut suara dari dasar jurang.
Belum lenyap gema suara dari dasar jurang, Putri Tunjung Kuning telah melesat. Begitu cepat lesatannya, hingga yang tampak hanya warna kuning yang membersit di atara warna-warni hitam.

* * *



"Mana lembaran itu...?!" tanya seorang perempuan berbaju kuning ketika Putri Tunjung Kuning telah sampai di dasar jurang.
Dari balik pakaiannya, Putri Tunjung Kuning mengeluarkan gulungan kulit warna coklat. Dengan senyum lebar, segera diberikannya gulungan kulit pada perempuan di depannya.
Sungguh, pakaian, wajah, dan rambut perempuan itu tak jauh beda dengan Putri Tunjung Kuning. Yang berbeda di antara mereka, pada jari tengah perempuan yang dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning melingkar sebuah cincin berwarna merah. Perempuan berbaju kuning muda yang dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning, berkulit putih mulus. Dadanya menantang dengan pinggul besar menggoda. Bagi dunia persilatan, dia memang tak asing lagi dengan julukan Dewi Kuning. Meski demikian, hanya beberapa saja yang tahu tinggalnya. Ini bisa dimengerti, karena Dewi Kuning memang sengaja tak pernah memberitahukan tempat tinggalnya.
Sejak pertama kali muncul di gelanggang persilatan tujuh puluh lima tahun yang silam, Dewi Kuning memang dikenal sebagai tokoh wanita yang doyan laki-laki. Namun demikian, tingkat ketinggian ilmunya sulit ditandingi pada zamannya. Sehingga tak heran, jika waktu itu banyak tokoh yang segan berurusan dengannya. Karena setiap kali ada yang coba-coba, ia tak segan-segan menjatuhkan tangan besi pada orang tersebut.
Hingga wajar jika waktu itu banyak tokoh baik dari golongan putih atau hitam yang bertekuk lutut di hadapannya. Hanya tokoh yang cerdik dan benar-benar sejajar kedigdayaannya saja yang dapat terhindar dari kelicikannya. Beberapa di antaranya adalah Panembahan Gede Laksana, Tengkorak Berjubah, Dewa Kutukan, Selir Iblis, dan Ageng Panangkaran.
Seperti menunggu sesuatu peristiwa besar yang membutuhkan persiapan panjang, tokoh wanita berjiwa iblis itu lantas menghilang begitu saja tak tentu rimbanya. Dan rupanya, peristiwa besar yang ditunggu-tunggu itu kini tengah berlangsung. Terbukti, Dewi Kuning yang sudah tujuh puluh lima tahun tak tentu ujung pangkalnya, tiba-tiba muncul kembali. Bahkan kini telah mempunyai seorang murid yang selain parasnya cantik dengan bentuk tubuh mempesona, juga tingkat kepandaiannya tak bisa dipandang remeh.
Hal ini terlihat ketika muridnya yang dijuluki Putri Tunjung Kuning datang ke hadapannya dengan membawa gulungan kulit yang memang diinginkan. Padahal, lembaran kulit itu dipegang seorang yang tingkat ilmunya sejajar Dewi Kuning!
Maka dengan senyum dan anggukan, Dewi Kuning menerima gulungan kulit yang disodorkan Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Kau akan kujadikan Ratu di atas Ratu! Dunia persilatan akan ada di genggaman kita!" tegas Dewi Kuning sambil membuka gulungan kulit.
Ternyata, gulungan kulit itu hanya berisi tiga lembaran kulit. Dan dengan mata sedikit melebar, Dewi Kuning memperhatikan apa yang terpampang dalam lembaran kulit pertama. Dan mendadak wajahnya mengkerut, namun masih lama-lama memperhatikan. Setelah itu, dibukanya lembaran kulit yang kedua. Di sini, ia berbuat seperti saat melihat lembaran kulit pertama. Demikian pula saat melihat lembaran kulit ketiga.
"Hm. Tunjung Kuning! Apa benar kau mendapatkan gulungan ini dari si tua Ageng Panangkaran?" tanya Dewi Kuning, menatap tajam pada Putri Tunjung Kuning.
"Benar, Guru!"
"Hm.... Si tua itu ternyata masih cerdik juga...," gumam Dewi Kuning seperti bicara pada diri sendiri.
"Apa yang Guru maksud...?" tanya Putri Tunjung Kuning, begitu membersit raut kecewa pada wajah gurunya.
Dewi Kuning tak segera menjawab. Sepasang matanya yang bulat, memandang lekat-lekat ke Putri Tunjung Kuning. Lalu tatapannya beralih jauh ke batu-batu hitam di samping kanan dan kiri jurang.
"Lembaran kulit ini memang berisi peta dan keterangannya! Namun semuanya telah dipalsukan! Si tua itu telah memalsunya! Hm.... Namun, aku tak bisa menyalahkanmu! Tapi..., sudahlah! Kita masih punya harapan! Dan aku yakin, siasat kita pasti berhasil! Kita tunggu saatnya! Dan, simpan lembaran ini.... Kelak pasti akan ada gunanya. !"
Selesai berkata Dewi Kuning berkelebat, lalu masuk ke dalam sebuah lobangyang menyerupai pintu dari batu hitam.
Dengan wajah kuyu dan sedikit geram, Putri Tunjung Kuning mendengus. Dan dia juga berlalu menuju lobang yang tak jauh dari lobang tempat Dewi Kuning masuk.

* * *



Seorang laki-laki berjubah merah besar tampak berdiri tegak kaku di sebelah batu besar dekat Blumbang. Rambutnya yang panjang melambai-lambai dipermainkan angin. Telunjuknya yang kaku tampak memainkan anting-anting besar yang menggantung di telinga. Sepasang matanya yang putih, memandang tak berkedip ke arah gubuk tak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat pandangan mata yang menyengat tajam serta raut wajah yang tak menampakkan segurat keramahan sama sekali, dapat diduga kalau orang ini selain sadis dan tak pandang bulu, juga pongah.
Kenyataannya, memang tak jauh menyimpang. Sejak pertama kali berkecimpung dalam gelanggang persilatan tujuh puluh lima tahun yang lampau, dia sudah langsung membuat guncangan. Tak pandang bulu, baik dari golongan putih maupun hitam ditantang berlaga mengadu kedigdayaan. Dan selama kiprahnya di gelanggang persilatan, banyak sudah tokoh yang tumbang di tangannya!
Namun sejauh itu, dunia persilatan tak pernah tahu, dari mana tokoh satu ini berasal. Bahkan namanya pun tak ada yang tahu. Setiap menghabisi lawan-lawannya dia hanya menggunakan mata yang berwarna putih serta telunjuk tangannya yang kaku. Maka dari sini, orang-orang persilatan menjulukinya Dewa Kutukan.
Tapi kemunculan Dewa Kutukan di tujuh puluh lima tahun yang silam, hanya sekilas. Setelah sejenak membuat heboh, dia lantas menghilang. Seolah-olah, kemunculannya saat itu salah waktu. Bahkan ada yang beranggapan, dia tewas di tangan seseorang tokoh.
Dan kini tanpa diduga sama sekali, setelah menghilang dari arena persilatan, Dewa Kutukan unjuk diri kembali. Seakan-akan telah diperhitungkannya bahwa sekaranglah waktu yang tepat untuk keluar dari masa penantian panjang. Dan walau kini wajahnya telah di-penuhi lipatan kulit, akan tetapi kepongahan yang telah menjadi cirinya tak juga berubah.
Ini sangat tampak, saat Dewa Kutukan berdiri tegak dengan sepasang mata putih menyorot tajam ke arah gubuk di depannya, di Kampung Blumbang.
"Bangsat!" mendadak keluar umpatan dari mulut Dewa Kutukan.
"Gara-gara perempuan sundal, semuanya jadi berantakan! Perempuan sundal! Suatu saat, kau akan merasakan akibat atas ulahmu menipu Dewa Kutukan!"
Wajah laki-laki tua ini merah padam. Rahangnya yang sedikit menggantung tampak mengeras dan terangkat. Bisa dimengerti, kenapa Dewa Kutukan berulah begitu. Ternyata, waktu memburu Dewi Kuning, wanita jalang itu telah menghilang.
Diiringi dengusan keras, Dewa Kutukan menakupkan kedua tangannya dan mendorongnya ke depan perlahan-lahan. Lalu....
Blarrr!
Sebongkah batu besar kontan hancur berkeping-keping terkena hantaman jarak jauh tangan tokoh berilmu. Bibirnya tampak menyeringai, lalu tertawa. Namun tawanya seakan dipaksakan.
"Jahanam bedebah! Akan kukejar kau hingga ke tempatmu, Perempuan Sundal. !"
Habis berkata demikian, Dewa Kutukan memutar tubuhnya. Kemudian dia melangkah ke arah bukit. Namun mendadak langkahnya terhenti. Telinganya tampak bergerakgerak.
"Hup!"
Dan dengan menyentakkan kakinya ke tanah, tubuh Dewa Kutukan berkelebat hampir tak terlihat. Dan tahu-tahu, ia telah berdiri berkacak pinggang, menghadang tiga orang yang muncul dari balik bukit sebelah timur.
Tiga orang yang dihadang, serentak terpana. Salah seorang yang bertubuh cebol dengan pedang besar sampai mengeluarkan seruan tertahan. Bahkan kakinya mundur setindak ke belakang. Dia tak lain Setan Merah. Orang lainnya adalah laki-laki berkumis putih dengan rambut panjang dan hitam. Di tubuhnya terdapat beberapa rajahan. Sedang yang terakhir adalah laki-laki berkumis tipis, namun rambutnya putih. Kedua orang yang tak lain berjuluk Diraja Kilatan Maut tampak terbengong tak percaya.
Belum hilang rasa terkejut ketiga orang ini....
"Siapa kalian?! Selangkah lagi meneruskan perjalanan menuju Kampung Blumbang, kepala kalian putus!"
Dewa Kutukan telah mencelat dengan sepasang mata putih menyengat tajam ke satu persatu orang di hadapannya.
Suara yang disertai tenaga dalam itu begitu menggeledek. Sehingga tiga orang di hadapannya tampak menahan napas.
Mendengar ucapan sang penghadang, Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut saling berpandang sejenak. Tak lama kemudian, Setan Merah yang rupanya menjadi pimpinan berpaling pada Dewa Kutukan.
"Orang tua gagah! Di antara kita tak ada silang sengketa! Maka biarkanlah kami meneruskan perjalanan!" sahut Setan Merah dengan suara disertai tenaga dalam.
"Benar!" sambung laki-laki berkumis hitam.
"Kami hanya akan mengunjungi seorang sahabat. Kuharap kau mau mengerti dan memberi jalan. !"
"Hm.... Kalian belum jawab pertanyaanku!" hardik Dewa Kutukan. Sepasang matanya masih tak beranjak menatap tajam dan sinis.
Kembali Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut saling berpandangan.
"Dan, ingat! Sekali lagi memanggilku orang tua, mulut kalian akan kulumat hingga jadi bubur!" sambung Dewa Kutukan. Telunjuknya yang kaku ditukikkan berpindah-pindah ke arah Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut.
Sejenak hening.
"Jika demikian halnya, sebutkan siapa dirimu! Dan mengapa menghadang perjalanan kami...?!" tanya laki-laki yang memiliki rajahan pada tubuhnya.
Melihat ketiga orang ini seperti mengulur waktu dan bahkan salah seorang balik bertanya, Dewa Kutukan habis kesabarannya. Dagunya tampak menggegat. Kulit wajahnya yang melipat-lipat bergerak-gerak.
Dan bersamaan dengan itu, Dewa Kutukan menarik kedua tangannya ke belakang. Sehingga jubah merahnya yang besar menggelepar menyibak. Namun, mendadak ditariknya kembali sibakan jubahnya ke depan.
Wesss!
Seketika deru angin keras melesat ke depan, ke arah Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut. Serangan ini sepertinya tak disengaja, namun cukup membuat ketiga orang itu harus sedikit mengerahkan tenaga untuk menahan. Dan kini Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut ini sadar dengan siapa berhadapan.
"Baiklah! Kami akan memperkenalkan diri. Namun, bukan berarti kami menuruti perintahmu, atau takut dengan kebolehanmu tadi! Kami hanya ingin kau dengar, lalu menyingkir dari hadapan kami!" kata Setan Merah bernada geram. Sehingga bibirnya yang tebal dan bergincu merah menyala, sedikit tertarik masuk ke mulutnya.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Dewa Kutukan tertawa terbahak-bahak. Dan sebelum gema tawanya lenyap di balik bukit, tangannya telah menuding.
"Tak kuduga! Ternyata selain tolol kau juga bodoh, Cebol! Apa karena kau kecil, hingga ucapanmu seperti anak kecil?! Katakan saja, tak usah diembel-embeli alasan...!" kata Diraja Kilatan Maut dengan bentakan menggeledek menusuk telinga.
Wajah Setan Merah yang tertutup bedak putih tebal langsung berubah kecoklatan. Dan bibirnya menjadi matang dan bergetar. Namun saat itu juga dia terkekeh-kekeh. Perlahan-lahan tangannya mengusap-usap gagang pedang yang menyilang di punggung.
"Anjing kurap! Karena kulihat kau telah karatan, pasang telinga tuamu baik-baik! Dan aku tak akan mengulangi ucapanku! Orang-orang persilatan menjulukiku Setan Merah. Sedangkan dua temanku ini Diraja Kilatan Maut!" Mendengar kata-kata Setan Merah, Dewa Kutukan tak terkejut. Bahkan tersenyum sinis dan meludah ke tanah. Sementara, Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut maju melangkah.
"Bagus! Tak usah kau tanya, aku akan menyebut diriku!" kata Dewa Kutukan. Pandangan matanya dialihkan ke arah bukit sebelah barat.
"Meskipun belum pernah bertemu, kurasa kalian telah pernah mendengar julukan Dewa Kutukan! Dan kalian mungkin juga telah mendengar, bahwa siapa pun yang bertemu Dewa Kutukan, maka harus berlaga mengukur kedigdayaan sampai salah satu di antaranya terbujur jadi bangkai! Nah! Sekarang kalian sedang berhadapan dengan orang itu! Dan saat ini, rupanya nama kalian telah tergurat di antara deretan nama yang bakal jadi bangkai!"
"Dewa Kutukan!" seru Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut bersamaan seakan tak percaya.
Wajah ketiganya serentak pias. Sementara langkah maju mereka mendadak terhenti. Sungguh tak diduga, bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan orang yang pernah mengguncang dunia persilatan!
Dan sebelum rasa terpana mereka sirna, Dewa Kutukan telah menyongsong dengan sebuah sentakan tangan ke depan.
Wesss! Saat itu juga, serangkum angin berhawa panas segera meluruk ke arah Setan Merah.
Setelah menyibak rambut panjangnya yang menyapu tanah, Setan Merah menghindar dengan berkelit ke samping. Dan begitu kakinya mendarat di atas tanah, pedang besarnya dicabut. Setan Merah merasa, mengha-dapi seorang tokoh yang pernah mengguncang dunia persilatan, tak ada gunanya menggunakan jurus-jurus pembuka yang bertele-tele.
Sring! "Heaaat!"
Begitu pedang besar tercabut dari sarungnya, dari arah samping Setan Merah cepat menusuk sambil menerkam disertai bentakan menggeledek.
Wesss!
Sementara Dewa Kutukan hanya memindah kakinya setindak ke belakang sambil menarik tangan kirinya ke belakang. Maka, pedang besar Setan Merah hanya lewat sedepa di depannya.
Begitu pedang besar Setan Merah lewat, Dewa Kutukan cepat mendorongkan tangan kirinya ke depan. Padahal pada saat itu, tubuh Setan Merah masih berada di udara. Akibatnya, si cebol tak dapat menghindari pukulan Dewa Kutukan.
Desss!
Tubuh Setan Merah yang kecil, tak ampun melesat kencang sebelum akhirnya menerabas batu besar dan jatuh berdebam di atas tanah. Lenguhan keras keluar dari mulutnya. Namun sekejap itu juga matanya membuka dan merambat bangkit.
Tapi baru saja Setan Merah berdiri tegak, sebuah terjangan Dewa Kutukan menukik ke arahnya.
Setan Merah terkejut, namun terlambat. Karena....
Desss!
Terjangan menggeledek itu kontan menerpa tengkuk Setan Merah.
Untuk kedua kalinya, tubuh Setan Merah terbanting ke tanah. Namun kali ini tak lagi terdengar lenguhan dari mulutnya. Tubuhnya sebentar tampak bergerak-gerak, lantas diam kaku!
Laki-laki berkumis putih, salah satu dari Diraja Kilatan Maut, mengeluarkan seruan tertahan melihat kematian Setan Merah.
"Tua jahanam! Kau telah menewaskan teman kami. Sebagai gantinya, kau harus menyerahkan nyawa busukmu!" bentak laki-laki berkumis putih.
Baru saja kata-katanya lenyap, laki-laki berkumis putih itu meloncat ke samping kanan. Sedangkan laki-laki satunya yang berkumis hitam, ikut-ikutan meloncat ke samping kiri. Dan serentak kedua laki-laki berjuluk Diraja Kilatan Maijt mengepalkan kedua tangannya yang diputar sekali ke depan.
"Hiaaa. !" Dengan suara menggemuruh, keduanya menjejak tanah. Tubuh Diraja Kilatan Maut kini melayang cepat dari arah kanan dan kiri, meluruk ke arah Dewa Kutukan yang masih diam, seakan menanti serangan.
Begitu kepalan tangan kedua orang ini sejengkal menerpa bahu kanan dan kiri, Dewa Kutukan cepat lorotkan tubuhnya ke bawah. Begitu melorot, tubuhnya langsung berputar. Dan dengan kecepatan kilat, jari tangannya disentakkan ke arah dua tubuh yang melayang di atasnya.
Cep! Cep!
Diraja Kilatan Maut tak bisa lagi menghindari telunjuk tangan Dewa Kutukan yang menusuk perut.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tak lama kemudian terdengar dua jeritan menyayat dari Diraja Kilatan Maut. Dan bersamaan dengan ambruknya tubuh Diraja Kilatan Maut, Dewa Kutukan bangkit. Dan disertai seringai ganas, tangannya disentakkan ke tubuh Diraja Kilatan Maut yang telah ambruk di tanah.
Jrot! Jrot!
Diraja Kilatan Maut tak bisa lagi menahan sentakan tangan Dewa Kutukan. Hingga saat itu juga, kembali terdengar jeritan panjang dan menyayat melingkupi bukit sebelah timur Kampung Blumbang.
Sebentar Dewa Kutukan melirik tubuh Diraja Kilatan Maut, lalu meludah.
"Phuihhh!"
Dewa Kutukan berbalik, dan melangkah menjauh.
"Hm.... Aku akan menyusul Dewi Kuning! Rupanya telah banyak orang mengetahui persoalan ini! Sedangkan sumbernya, kini ditawan Dewi Kuning di Jurang Guringring. Sekalian, sambil menyumbat mulut perempuan sundal itu, aku bisa mendapatkan yang kucari disana...!" gumam Dewa Kutukan.
Kini tampaklah sebuah jubah merah besar melambai-lambai tertiup angin membersit cepat ke arah selatan.

* * *



--↨֍¦ 5 ¦֍↨--

Dua bayangan putih tampak berkelebat cepat bagai pusaran angin dari arah utara. Setelah melewati kawasan hutan kecil yang ditumbuhi pohon pinus dan coklat, akhirnya mereka muncul dari balik bukit sebelah timur yang mengapit Kampung Blumbang.
Dua bayangan putih itu tiba-tiba berhenti, begitu terlihat tiga mayat bergelipangan tak terurus di lereng bukit.
Tiga sosokyang telah terbujur kaku itu ternyata mayat seorang cebol dan dua laki-laki yang bentuk wajahnya sudah tak jelas. Hanya rambut kepala mereka yang masih utuh. Satunya berambut putih panjang, sedangkan satunya berambut hitam panjang.
Salah satu bayangan putih yang berada di depan, ternyata seorang laki-laki bermata satu. Begitu mendarat, langsung diberinya isyarat pada seorang perempuan bertubuh sintal dengan wajah tertutup sepotong kain, untuk mengikutinya menyelinap ke balik sebuah pohon besar yang di sekitarnya merangas semak belukar lebat.
"Hm.... Apa yang kita khawatirkan, akhirnya menimpa mereka!" gumam laki-laki bermata satu.
"Ternyata, telah banyak tokoh hebat yang berdatangan ke sini! Dan itu berarti, cerita tentang kitab dan kipas benar!"
Mereka tak lain memang Sangsang dan Sunti yang juga berjuluk Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Kedua tokoh sesat berkepandaian tinggi memandang berkeliling. Dengan satu mata Sangsang memandang tak berkedip ke arah tiga mayat yang tak jauh darinya. Sementara Sunti memalingkan kepalanya ke arah lereng bukit, lalu beralih pada laki-laki di sebelahnya.
"Aku sudah punya firasat buruk sejak keberangkatan mereka! Memang, jika dibandingkan tokoh yang kabarnya kini telah berdatangan, mereka tidak berarti banyak! Kita harus menyelidiki tempat ini, sebelum menuju ke gubuk itu. Karena tak mustahil, banyak orang mendekam di balik pohon atau semak-semak sekitar sini!" bisik Sunti, sambil sekali lagi memutar kepala.
"Waktu kita terlalu lama jika harus berpayah-payah menyelidik!" kata Sangsang sambil melirik dengan mata satunya yang tampak mulai memerah.
"Gunakan jurus 'Tangan Iblis Menyapu Bumi'!"
Sunti hanya mengangguk mendapat perintah Sangsang. Bersamaan dengan itu, keduanya mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan meluruskannya ke atas. Lantas serentak tangan mereka berputar seiring putaran tubuh. Mula-mula pelan. Namun makin lama putaran tubuh dan tangan mereka makin kencang. Dan akhirnya, yang terlihat hanya bayangan berputar tanpa terlihat sosoknya.
Dan, terjadilah suatu hal yang menakjubkan. Angin keras tampak berputar-putar. Dan sejenak kemudian, melesat ke berbagai penjuru angin disertai suara deru menggemuruh. Pohon-pohon di sekitar bukit berguncang. Tak lama kemudian, terdengar beberapa debuman pohon tumbang ke atas tanah dan batu. Semak belukar terbongkar dari tanah sampai ke akar-akarnya.
Sementara tiga sosok mayat yang tak lain mayat Setan Merah dan Diraja Kilatan Maut, ikut berputar-putar sebelum akhirnya menghantam batu besar dan jatuh di atas tanah.
"Cukup, Sunti!" ujar Sangsang sambil menghentikan putaran tubuhnya.
Tiga mata nyalang kini memandang berputar. Begitu tak menemukan tandatanda adanya seseorang, mereka saling berhadapan.
"Saatnya kita menyelidik gubuk itu!" kata Sunti, langsung berkelebat mendahului Sangsang yang masih tegak mematung memperhatikan sekelilingnya.
Tak lama kemudian, Sangsang berkelebat, mengikuti arah berkelebatnya Sunti yang menuju gubuk di samping Blumbang.
"Kita telah kedahuluan orang!" kata Sunti, begitu keluar dari gubuk.
Sementara Sangsang hanya berdiri tegak mengawasi tanpa suara.
"Melihat tulisan di dinding gubuk, penghuninya telah dibawa ke Jurang Guringring! Kita harus cepat mencari tahu jurang itu, sebelum banyak orang mengetahuinya!" sambung Sunti dengan mata berkeliaran dari balik penutup kain wajahnya.
"Hm.... Jika demikian halnya, kita harus atur siasat! Karena yang akan kita hadapi bukan hanya tokoh-tokoh berilmu tinggi, namun juga berotak cerdik! Jurang Guringring menurut kabar, dinuni seorang perempuan sakti yang cantik dan pernah menggegerkan dunia persilatan!" jelas Sangsang tanpa menoleh.
"Selain itu, tubuhnya sintal dan muda. Begitu, bukan...?!" sambung Sunti bernada agak kesal sambil melengoskan kepala ke arah samping.
"Jangan cepat marah, Sunti! Aku bersumpah, hanya kau yang ada di benakku...!" sahut Sangsang, mencekal bahu Sunti.
Sunti tak menoleh. Bahkan ditepisnya tangan Sangsang yang mencekal bahunya. Tubuhnya yang berkulit putih dan berbentuk bagus itu digeser sedikit menjauh.
"Aku bersungguh-sungguh, Sunti! Kaulah kelak yang tetap mendampingiku, jika aku menjadi raja di atas raja dalam rimba persilatan!" lanjut Sangsang sambil melangkah mendekati.
Namun baru saja selangkah kaki, Sangsang berhenti. Dari arah bukit sebelah barat, sayup-sayup terdengar suara angin menderu. Meski masih jauh, namun suaranya bagai di depan telinga dan mengiang menusuk hingga dada.
Walau Sangsang dan Sunti alias Sepasang Iblis Pendulang Sukma telah mengerahkan tenaga untuk menangkis suara, tapi tak luput dada mereka bergetar. Bahkan telinga mereka bagai tertusuk bulu.
Sangsang dengan mata satunya mencari sumber suara.
"Keparat busuk!" serapah Sangsang, lalu menoleh ke arah Sunti yang kini juga menghadap ke arahnya.
"Sunti! Kau dengar suara itu? Kita harus hati-hati! Suara angin kedatangannya saja sudah demikian...!"
Sunti hanya mengangguk. Dan sebentar kemudian, kepalanya beranjak beralih mengikuti arah pandangan Sangsang yang memandang bukit barat.
"Hm.... Belum jauh beranjak, ternyata sudah ada yang mau kirim nyawa! Sunti! Jika pendatang ini orang segolongan kita, kau pasti tahu apa yang harus kau lakukan! Sedang jika pendatang ini bukan segoiongan, segera saja kita singkirkan!"
"Tanpa kau beritahu, aku sudah berpikir ke sana!" jawab Sunti, masih saja agak kesal.
Namun sebentar kemudian, perempuan itu nampak mendekati Sangsang. Ditariknya napas dalam-dalam hingga dadanya tampak membusung.
"Kakang, maafkan atas kesalahanku tadi...," ucap Sunti.
Sangsang hanya menoleh dan mengangguk pelan. Namun mata satunya menyorot tajam ke arah dada dan pinggul Sunti. Kemudian bibirnya tersenyum. Dan pandangannya beralih ke lereng bukit sebelah barat.
"Sunti! Kau tunggu di sini. Aku akan menghadangnya di balik Blumbang!" ujar Sangsang.
Selesai berkata, tubuh Sangsang melesat. Setelah membuat gerakan berputar tiga kali di udara, kakinya menjejak tanah di balik tembokyang mengelilingi Blumbang dengan mantap.
"Hati-hati, Kakang!" kata Sunti memperingatkan, seraya ikut berkelebat masuk ke dalam gubuk.
Dari balik tembok, mata Sangsang menangkap sebuah sosok hitam tinggi menggelantung di sebuah dahan pohon, menghadap lereng bukit sebelah barat. Sejenak matanya tak berkedip memandang. Lantas dengan gerakan cepat, tubuhnya berkelebat mendekati sosok hitam yang menggelantung.
Tiga Tombak di belakang sosok hitam, Sangsang berdiri tegak mengawasi.
"Hm.... Aku rasa dia tahu kedatanganku!" kata hati Sangsang.
Sebentar laki-laki bermata satu ini menarik napas dalam-dalam. Lalu....
"Orang asing! Siapa kau?! Dan sedang apa di sini...?!" bentak Sangsang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Suara Sangsang menggema dan memantul ke lereng bukit. Sehingga daun-daun pohon tempat sosok hitam menggelantung jatuh berguguran.
Sejenak kemudian senyap. Sosok hitam yang menggelantung tetap diam. Seakan bentakan Sangsang yang membahana tak didengar telinganya. Namun tak lama kemudian, sosok itu meluncur turun. Dan belum sampai mendarat, tubuhnya telah berputar menghadap Sangsang.
Tubuh Sangsang bagai terpaku, tatkala mata satu-satunya melihat paras sosok hitam di depannya.
Sosok itu berjubah besar warna hitam yang menutupi sekujur tubuhnya, kecuali wajah dan pergelangan tangan. Namun yang membuat sosok itu angker dan menyeramkan, wajahnya tanpa tertutup kulit sama sekali. Sehingga yang tampak hanya tulang-tulang wajahnya. Demikian juga tangannya yang terlihat sebatas pergelangan. Di atas tulang pipi nampak rongga menjorok ke dalam yang di dalamnya berputar-putar sepasang mata besar dan berwarna agak merah.
Sejenak sepasang mata yang berputar di dalam rongga itu menatap jauh ke arah gubuk. Lalu tatapannya beralih ke arah Sangsang yang tegak mematung di hadapannya. Kini sosok yang berwajah tengkorak itu tampak mengangkat tangannya yang hanya terlihat sebatas pergelangan. Sementara telunjuknya menukik ke arah Sangsang. Dan bibirnya yang tak berdaging, bergerak-gerak mengeluarkan suara sengau dan sember.
"Sekali lagi bersuara keras, kau akan kubuat seperti ini!" Sosok berwajah tengkorak itu tiba-tiba mengibaskan tangannya yang tak berdaging ke arah batu besar yang ada di sampingnya. Dan....
Busss!
Batu besar itu bagai terkena hembusan angin keras dari bawah, hingga membumbung ke udara. Namun sebelum jatuh kembali....
Prak!
Batu itu pecah berkeping-keping. Dan bersamaan dengan itu, sebelah kaki sosok yang tertutup jubah besar menyentak satu kepingan batu ke depan.
Tak! Wut!
Kepingan batu itu melesat kencang ke depan. Begitu kencangnya, hingga hanya desingannya saja yang terdengar tanpa tampak kepingan.
Begitu menoleh, Sangsang terkejut dan terpana. Gubuk yang letaknya kira-kira dua puluh tombak jauhnya, jebol bagian depannya. Bahkan tembus hingga belakang sebesar bongkahan batu besar. Dan begitu gubuk itu jebol, terlihat sebuah bayangan melesat dari dalam.
Wajah Sangsang berubah merah padam. Rahangnya kontan membatu. Maka buru-buru kepalanya berpaling ke arah sosok berwajah tengkorak dengan seringai sinis. Disertai dengusan keras, dia melompat. Setelah membuat putaran di udara, kakinya mendarat kokoh di tanah tiga langkah di depan sosok berwajah tengkorak. Seketika tangannya dihantamkan ke depan.
Bettt! Wusss...!
Serangkum angin keras langsung merierjang sebelum tangan itu sendiri sampai. Namun, sosok berwajah tengkorak hanya menggeser kakinya ke samping. Maka, pukulan tangan Sangsang yang mampu mencederai Wong Agung, hanya lewat sejengkal di samping bahu sosok berwajah tengkorak (Tentang Wong Agung, baca episode: "Istana Karang Langit").
"Keparat Edan! Berani main-main dengan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, wajah jelekmu akan kubuat hancur lebur!" Berbarengan serapahan, Sangsang kembali menyerang dengan hantaman kaki kiri lurus ke depan.
Kali ini, sosok berwajah tengkorak tak beranjak menghindar. Bahkan hanya berdiri tegak dan dia menunggu. Begitu tendangan lurus kaki kiri Sangsang sejengkal membongkar dada, kakinya cepat menjejak tanah hingga tubuhnya terangkat. Begitu tubuhnya berada satu tombak di udara, kakinya menekuk di balik jubahnya. Dan....
Brakkk!
Terdengar benturan keras, kala terjangan kaki Sangsang berpapakan dengan tekukan kaki sosok berwajah tengkorak. Tubuh Sangsang langsung terpental ke belakang sejauh lima tombak dan mendarat dengan sedikit terhuyung. Sementara tubuh sosok berwajah tengkorak mengudara, lalu indah sekali mendarat di sebuah dahan kecil di antara rimbunan pohon.
"Jahanam!" hardik Sangsang geram.
Kembali laki-laki bermata satu itu memburu ke arah pohon tempat sosok berwajah tengkorak tadi duduk menjuntai.
"Kubunuh kau, Anjing Kurap!" bentak Sangsang lantang sambil mengangkat kedua tangannya ke atas membuat gerakan jurus
'Iblis Pencakar Langit'.
"Kakang, tunggu!"
Terdengar suara mencegah yang disusul oleh sebuah bayangan putih berkelebat. Sebentar saja, bayangan itu telah berdiri tegak di samping Sangsang. Sementara Sangsang mengurungkan niatnya. Dengan muka merah padam serta mendengus keras, kepalanya berpaling ke arah Sunti.
"Ada apa, Sunti? Anjing kudis itu akan terus jual lagak jika tak mendapat hajaran!" kata Sangsang seraya memandang gubuk yang hampir roboh.
"Jangan bertindak bodoh, Kakang! Kita tahu, kepandaiannya sangat tinggi. Dan, mengapa tidak kita gunakan saja untuk mencapai tujuan kita?" bisik Sunti perlahan, seraya mengangguk.
Bersamaan dengan anggukan kepala Sunti memutar tubuhnya, lalu menengadah ke atas. Namun kali ini wajahnya membersit keterkejutan, sampai kakinya mundur setindak ke belakang dengan kepala berputar.
Melihat gelagat ini, Sangsang ikut-ikutan mendongak ke atas. Dan ia pun berbuat seperti Sunti. Ternyata, sosok berwajah tengkorak telah tak ada lagi di atas dahan, tempatnya duduk menjuntai tadi.
"Hm.... Rupanya telah banyak kunyuk kencur yang berebut menyerahkan nyawa busuk demi lembaran kulit...!"
Sangsang dan Sunti serentak berpaling ke arah datangnya suara. Seakan tak percaya pada pandangan mata, mereka berlama-lama memandang dengan mata melotot. Di atas pucuk-pucuk hamparan rumput berwarna merah, tampak sosok berwajah tengkorak sudah duduk bersila membelakangi. Rumput itu sama sekali tidak bergeming ataupun amblas. Padahal sosok berwajah. tengkorak duduk bersila di atasnya!
"Siapa gerangan sebenarnya bangsat itu, Sunti?!" bisik Sangsang. Pandangannya tak berkedip ke arah rumputrumput berwarna merah.
"Meski belum pernah bertemu, namun aku yakin bila melihat ciri-ciri serta tingkat ketinggian ilmunya, dia adalah tokoh hebat dunia persilatan angkatan di atas kita. Yaitu, tokoh lihai dan angker berjuluk..., Tengkorak Berjubah!" sahut Sunti.
"Hm.... Jadi inikah orangnya...?" gumam Sangsang tanpa menunjukkan rasa terkejut, meski mata satunya berkilat terbeliak! "Sunti! Jika benar begitu, sekarang tugasmulah mengurusnya!"
Tanpa menunggu lama, Sunti melangkah perlahan-lahan ke arah sosok berwajah tengkorak yang berjuluk Tengkorak Berjubah. Sesekali kepalanya menoleh ke arah Sangsang.
Dalam dunia persilatan, nama Tengkorak Berjubah memang sudah tak asing lagi. Selain mempunyai tingkat kedigdayaan yang sukar dicari tandingannya, ia juga dikenal sebagai tokoh aneh. Karena, tokoh ini hanya akan unjuk diri jika ada sesuatu yang benar-benar penting. Jadi, orang-orang dunia persilatan dapat segera tahu, bahwa ada sesuatu yang sangat penting, jika tokoh ini muncul kepermukaan.
Menurut kabar burung yang beredar dan mulut ke mulut, tokoh ini bermukim di sebuah selat kecil, di antara batu-batu karang di teluk Bajul Mati. Sebuah daerah dekat Pantai Selatan.
Dan menurut orang-orang yang pernah mengenalnya, tokoh ini juga dikenal menyukai daun muda. Tak heran kalau sering beredar cerita bahwa Tengkorak Berjubah rela memberikan satu kitab sakti hanya karena ingin menikmati tubuh gadis muda berparas cantik dan bertubuh sintal. Sunti, salah satu dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma, rupanya telah tahu sifat serta tingkah Tengkorak Berjubah. Maka setelah kakinya melangkah dekat, perempuan itu cepat berlutut. Kepalanya menunduk dengan sikap menjura, hingga menelungkup di sela-sela rumput-rumput merah.
"Orang gagah dan hebat. Kalau tak salah, kami sedang berhadapan dengan orang sakti dan digdaya berjuluk Tengkorak Berjubah. Harap orang gagah maafkan atas tingkah kami yang kurang hormat!" ucap Sunti.
"Hm."
Tubuh bagian atas Tengkorak Berjubah tampak bergerak-gerak mengangguk. Lantas tubuhnya berputar, namun masih tetap duduk bersila di atas pucuk rumput.
"Siapa kau...?" tanya Tengkorak Berjubah.
"Orang gagah yang berjuluk Tengkorak Berjubah.... Kalau kau tak mengenalku, itu kumaklumi! Karena, aku memang orang bau kencur dalam dunia persilatan. Namun begitu, kau tentunya masih ingat dengan orang yang berjuluk Manusia Titisan Iblis dari Jurang Lebak Weden! Nah, aku adalah salah satu muridnya. !"
"Astaga! Jadi kau murid si Sawung Geni, sobat lamaku itu? Hm..., tak kusangka...!" kata Tengkorak Berjubah dengan suara sengau dan sember. Mata laki-laki berwajah tengkorak yang besar dan menjorok ke dalam berputar-putar menatap tajam ke arah Sunti yang masih menjura. Lalu, beralih jauh ke arah Sangsang.
"Lalu siapa laki-laki jelek bermata picak itu?" lanjut Tengkorak Berjubah. Wajah Sangsang berubah merah padam mendengar kata-kata Tengkorak Berjubah. Namun karena Sangsang menyadari dengan siapa berhadapan, lagi pula sedang menyimpan siasat, rasa marahnya segera ditahan meski dadanya tampak bergetar
dengan tangan mengepal.
"Orang gagah! Dia adalah kakak seperguruanku! Kami berdua dijuluki Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Dan aku sebagai wakilnya, minta maaf atas perbuatannya yang tak pantas tadi."
Suasana hening sejenak. Lalu bibir yang hanya tampak tulangnya saja milik Tengkorak Berjubah, kembali bergerak-gerak mengeluarkan suara sengau dan sember.
"Hm.... Sedang apa kalian di sini. ?"
Sunti yang dari tadi masih menjura, menegakkan tubuhnya sambil mengangkat kepalanya. Begitu tubuhnya tegak, sepasang mata Tengkorak Berjubah yang agak merah dan besar melotot seperti hendak memberojol dari rongganya. Tulang bibirnya bergerak-gerak beradu. Ternyata bagian depan pakain Sunti tepat pada bagian dada telah terbuka. Hingga, sepasang buah dada yang putih dan kencang serta membusung itu terpentang menantang.
"Orang gagah tentunya telah tahu, apa maksud kami berada di sini...," desah Sunti seperti tak mempedulikan sepasang mata besar yang menatap tak berkedip ke arah dadanya yang mulai turun naik.
"Hm.... Jadi kalian juga menginginkan lembaran dan benda itu?"
Sunti tak menjawab, dan hanya mengangguk. Sehingga buah dadanya yang putih dan kencang itu sedikit berguncang seiring anggukan kepalanya.
Tengkorak Berjubah semakin terpana. Hingga hembusan napasnya deras menghambur ke depan, menerpa sepasang buah dada Sunti.
"Namun kalian kecewa, karena sang pemilik keterangan tentang lembaran kitab dan benda itu, telah diculik seseorang! Begitu, bukan...?"
Lagi-lagi Sunti tak menjawab. Sementara tangannya bergerak ke pinggul. Diusap-usapnya pinggul itu dengan desahan tertahan. Dan tak berselang lama, kakinya ditarik dan ditekuk ke depan. Sehingga, pakaian bagian pahanya tanpa disadari terbuka, maka kulit putih mulus di balik kain itu sedikit terlihat.
"Apakah orang gagah Tengkorak Berjubah juga menginginkan lembaran dan benda itu...?" Sunti balik bertanya dengan sepasang mata menusuk tajam.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Tengkorak Berjubah tertawa tergelak-gelak.
"Berpuluh-puluh tahun aku mengurung diri. Kuper-siapkan diriku. Aku menanti dengan rasa tak sabar. Dan itu tiada lain hanya untuk mengambil lembaran kitab serta benda yang kalian maksudkan! Karena siapa pun tahu, barang siapa yang memegang lembaran dan benda itu, pasti akan menjadi Raja Diraja dalam dunia persilatan...!" "Jika demikian halnya, bagaimana kalau kita bersatu saja...?" tanya Sunti, kini tangannya mulai menggeser. Dan tubuhnya bergerak menggeliat, disertai erangan halus. Maka sepasang mata Tengkorak Berjubah makin membeliak saja.
"Tidak bisa! Di antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa! Kita tetap jalan sendiri-sendiri!" jawab Tengkorak Berjubah mantap, sementara tangan yang hanya terlihat sebatas pergelangan itu tampak seperti hendak menggapai.
"Orang gagah jangan salah paham! Jika lembaran kitab dan benda itu jatuh ke tangan kita, kau lebih berhak atas keduanya! Kami hanya ingin meminta barang sebentar! Dan selain itu, kau juga bisa menikmati apa yang kau lihat sekarang sesuka hatimu.
Setelah berkata begitu, Sunti bangkit berdiri dan melangkah mendekat. Selangkah di depan Tengkorak Berjubah, dia berhenti. Dan perlahan-lahan dibukanya kain bagian bawah. Sehingga betis sampai paha yang berkulit putih itu terpampang jelas.
Tengkorak Berjubah seakan tak kuat lagi menahan gejolak yang membakar dadanya. Sehingga, ia pun ikut-ikutan berdiri.
Sementara Sangsang yang agak jauh dari mereka, terdengar mendengus sambil mengalihkan pandangan.
Begitu tegak berdiri, tangan Tengkorak Berjubah langsung menggapai ke arah dada Sunti yang tampak turun naik. Namun dengan siap, perempuan itu menghindar.
"Orang gagah! Belum ada kesepakatan di antara kita! Kita tak ada sangkut paut apa-apa! Jadi."
"Baik! Kita sepakat...!" tukas Tengkorak Berjubah sambil mendekat ke arah perempuan itu.
Kali ini Sunti tak lagi menghindar. Dibiarkannya tubuh tinggi berjubah hitam besar itu mendekap tubuhnya. Namun begitu tangan Tengkorak Berjubah akan bergerak ke dada membusung yang masih terbuka, Sunti menahan gerakan itu.
"Simpan dulu gejolakmu, Orang Gagah! Semua ini bisa kau nikmati sepuasmu dan sesuka hatimu, jika urusan besar kita selesai! Sekarang, kita selesaikan dulu masalah ini! Setelah itu, kita bisa bersenang-senang! Satu purnama pun akan kulayani... Aku tahu, kau pasti laki-laki jantan yang menggelora dalam pertempuran...," ujar Sunti lirih disertai desahan halus.
Selesai berkata, Sunti melepaskan diri dari dekapan Tengkorak Berjubah.
"Nah! Sekarang kita harus mencari tahu, siapa penculiknya! Dan kita segera memburunya...!" sambung Sunti seraya menutup kembali pakaianya.
"Melihat tulisan yang tertera di atas daun lontar hitam di dalam gubuk, aku sudah tahu siapa pembuat ulah ini!" kata Tengkorak Berjubah, masih memandang dada Sunti yang kini telah terbalut kain putih ketat.
"Siapa gerangan...?!"
"Ikuti saja aku..!"
Selesai berkata, Tengkorak Berjubah hendak berkelebat.
"Tunggu!" tahan Sunti.
Tengkorak Berjubah cepat mengurungkan niatnya. Kemudian dia berpaling ke arah Sunti.
"Kakang! Ayo jalan...!" ujar Sunti dengan tangan melambai ke arah Sangsang yang masih tegak kaku memandang jauh ke arah bukit.
Mendengar teguran, buru-buru Sangsang menoleh. Dan belum satu kejapan mata, tubuhnya telah berada disamping Sunti.
"Kita berangkat sekarang, Orang Gagah..!" ajak Sunti dengan kepala menghadap ke arah Tengkorak Berjubah.
Tanpa memandang kearah Sangsang. Tengkorak berjubah berkelebat kearah Selatan. Dan tanpa bicara lagi, Sepasang Iblis Pendulang Sukma mengikuti dari belakang.

* * *



--↨֍¦ 6 ¦֍↨--

Pesisir Pantai Selatan. Tak jauh dari sana, terletak Desa Ledoksari yang tampak tenang. Karena, kenyataannya desa itu memang lengang tanpa penghuni. Batu-batu dan tanah yang berwarna hitam, serta sebuah lekukan tanah yang dalam di sampingnya, tampak berkilat-kilat dijilati sinar matahari yang belum sampai pada titik tengahnya.
Sementara, tampak sesosok tubuh berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning dan berambut panjang serta dikuncir ekor kuda tengah berkelebat dari arah timur. Setelah meliuk-liuk di antara pohon-pohon besar yang berderet tak teratur, sosok berambut panjang itu akhirnya berdiri kokoh di atas sebongkah batu hitam. Dari tempat ini dia segera dapat melihat sebuah jurang yang tak jauh dari tempat ini. Sosok ini tegak terpaku. Sepasang matanya yang tajam menyorot berkeliling, dan berujung pada sebuah lekukan dalam yang tak jauh darinya.
"Hm. Pasti di jurang itulah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro berada.! Menurut Ki Ageng Panangkaran, jurang ini dihuni seorang perempuan sakti yang juga mempunyai seorang murid saktinya. Namun kenapa mereka membawa Eyang Selaksa serta Ajeng Roro? Dan, apa hubungannya dengan lembaran kulit Ageng Panangkaran yang hanya berisi peta dan keterangan yang aku sendiri bingung membacanya? Juga, Dewa Kutukan. Kenapa. tiba-tiba saja menyebut lembaran kulit dan benda? Apa semua, ini berhubungan...? Hm... Hal sulit yang belum bisa kupecahkan...," gumam sosok berbaju hijau ketat dengan pakaian dalam berwarna kuning lengan panjang serta rambut berkuncir ekor kuda yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108 sambil menyibak rambut depannya yang menghalangi pandangan.
"Apakah gadis yang berbuat keji terhadap Ki Ageng Panangkaran itu adalah Putri Tunjung Kuning? Jika memang dia, kenapa berbuat senista itu hanya demi sebuah lembaran kulit? Apakah dunia telah demikian edan, hingga hanya demi sebuah lembaran kulit, seseorang tega membunuh secara keji dan culas? Hm. Mungkin
hanya Eyang Selaksa yang bisa memberi keterangan tentang semua ini! Aku harus menemuinya! Tapi. ?"
Belum usai Aji berpikir jauh lagi....
"Hi... hi... hi. !"
Mendadak terdengar suara tawa membahana yang menyeruak keheningan. Bahkan kembali menusuk hingga dada Aji bergetar. Sementara pemuda itu tak dapat menentukan sumber suara tawa, karena begitu tiba-tiba menyeruak dan membahana. Namun sebelum gema suara tawa yang meninggalkan perasaan bergidik itu lenyap, sebuah suara yang tak kalah menggelegarnya terdengar. Malah sepertinya ditujukan pada diri pemuda yang berpakaian hijau ketat dengan
pakaian dalam warna kuning ini.
"Tamu pertama kita rupanya telah hadir! Sambutlah kedatangannya dengan ramah! Kalau perlu, layani apa yang diinginkannya."
Sejenak Aji diam termangu sambil menahan napas dan menyalurkan hawa ke telinga dan dadanya.
"Hm. Suara seorang perempuan! Aku yakin sekarang. Suara itu pasti dari dasar jurang. Benar apa yang dikatan Ki Ageng Panangkaran. Jurang ini dihuni seorang sakti. Suaranya saja bagai lahar dari dasar bumi!"
"Aku tahu, Guru. !"
Terdengar suara jawaban yang tak kalah menggelegar. Sebentar kemudian hening, Aji mengarahkan pandangan pada jurang yang sisi-sisinya hanya berupa batu-batu hitam dan pohon-pohon besar, serta semak yang merangas tinggi-tinggi. Namun hingga matanya lelah menatap, tak juga muncul seseorang.
"Jangan-jangan."
Aji langsung berkelebat dan segera menyelinap di balik rimbunan semak belukar. Sepasang matanya yang tajam tetap nyalang berputar-putar, hingga kedua alis matanya menukik dan saling bertautan.
Sampai kakinya terasa pegal dan tak seorang pun yang muncul, pemuda itu bangkit. Namun baru saja hendak bergerak, tiba-tiba dari atas tempatnya mendekam berguguran beberapa daun dan ranting kecil-kecil.
"Jika terkena hembusan angin, tak mungkin hanya daun dan ranting di pohon ini saja yang berguguran. Lagi pula, aku tak merasa ada angin kencang yang bertiup. ," batin Aji sambil mendongak.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang mendadak terbeliak ketika melihat apa yang ada di atasnya. Tampak seorang wanita muda berpakaian kuning muda dan berparas cantik serta berkulit putih, sedang tiduran di atas dahan. Sepasang kakinya menjuntai ke bawah, hingga sibakan kainnya membuat kulit kaki yang putih mulus terlihat hingga paha. Sejenak sepasang mata Aji terkesiap oleh pemandangan yang begitu menggoda. Bahkan jakunnya tampak turun naik disertai bibir berdecak. Namun cuma sekejap. Begitu ingatannya melayang pada Eyang Selaksa dan Ajeng Roro wajahnya berubah merah padam. Rahangnya pun sedikit mengembang.
"Hm.... Berarti biang keladi kejadian di Kampung Blumbang, dan gadis yang mencederai Ageng Panangkaran pasti dia! Aku akan buat perhitungan!" kata Aji dalam hati sambil mengepalkan tangan.
Begitu pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning ini bangkit dan hendak bergerak, mendadak gadis berpakaian kuning itu meluncur turun. Dan begitu mencapai tanah hitam di bawahnya, gadis itu kembali melesat ke atas. Lalu dibuatnya gerakan berputar tiga kali, sebelum tegak membalakangi Aji di atas sebuah batu.
Aji tampak kesal. Bibirnya menyunggingkan senyum seringai.
"Biarpun kau berilmu tinggi, jangan dikira aku akan mundur sebelum dapat bertemu Eyang Selaksa dan Ajeng Roro!" gumam Aji.
Saat itu juga pemuda ini berkelebat ke arah si gadis.
"He...! Di mana kau sembunyikan Eyang Selaksa dan Ajeng Roro?! Cepat bebaskan mereka! Jika tidak...," bentak Aji terputus. Sementara matanya tak berkedip memandangi pinggul gadis itu yang memang begitu menggiurkan. Seandainya tak ada urusan yang menyangkut Eyang Selaksa serta Ajeng Roro mungkin pandangan Aji akan lain.
"Orang tampan! Kenapa mulut manismu membentak begitu? Padahal matamu jelalatan nyasar ke pinggulku? Apa ini yang disebut hati laki-laki tapi mata perempuan! Atau, kau memang seorang laki-laki yang berhati dan bermata perempuan...? Jika begitu, bagaimana jika kau kupanggil si mata perempuan? Atau biar enak didengar, bagaimana kalau kupanggil Pendekar Mata Keranjang saja...? Kau setuju, bukan...?"
"Jangkrik! Dari mana dia tahu aku berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108? Tapi, kenyataannya pinggul dan paha itu tadi memang sayang jika dilewatkan begitu saja...," batin Aji sambil sedikit tersenyum.
Namun ketika teringat kembali tentang Eyang Selaksa dan Ajeng Roro, darah pemuda itu kembali naik ke ubun-ubun. Pandangan matanya cepat dialihkan ke punggung gadis itu.
"Diam! Kau jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Aji.
"Oh, si Mata Keranjang! Eyangmu serta gadis gombal itu memang ada di tempatku! Mereka dalam keadaan baik-baik saja. Soal permintaanmu..., kau tadi belum meneruskan kata-katamu!" sahut gadis itu pelan sambil memutar tubuhnya ke arah Aji. Mendengar gadis ini menyebut Ajeng Roro dengan gombal, geraham Aji gemeretak. Matanya menyipit dengan pelipis bergerak-gerak.
"Ada yang tak beres dengan diriku, Orang Tampan bermata keranjang? Hingga pandangan matamu begitu nanar?" tanya gadis ini begitu menghadap dan melihat perubahan pada wajah Aji. Sebentar diperhatikannya keadaan dirinya. Lalu, kembali memandang Aji disertai senyum manis.
"He...! Dengar kata-kataku! Jika mereka tidak segera kau lepaskan, aku akan obrak-abrik tempatmu...!" ancam Aji.
"Pendekar Mata Keranjang! Bukankah kita pernah berkenalan? Kau ingat itu, bukan...? Berarti kau telah tahu namaku! Panggil aku dengan nama, jangan berhe..., he...!"
"Jangan banyak omong! Ingat! Jika ternyata Eyang Selaksa dan Ajeng Roro cedera sedikit saja, aku tak segan-segan membuat kulit putihmu berubah hitam legam seperti batu di bawahmu!" ancam Aji lagi, menghardik.
Sepasang mata bundar gadis yang tak lain Putri Tunjung Kuning kontan terbelalak. Bibir merahnya yang tadi menyungging senyum manis serta merta mengatup rapat.
"Selain itu, biar akal licikmu tak akan kubiarkan menjatuhkan korban lebih banyak lagi!" sambung Aji sambil menatap wajah cantik Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Omonganmu jangan ngaco! Siapa yang berbuat licik? Dan, siapa yang jatuh jadi korban?! Coba katakan...! Jangan mengarang cerita yang bukan-bukan!" kilah Putri Tunjung Kuning dengan suara agak lantang.
"Kau jangan berpura-pura! Apa kau kira aku tak tahu perbuatan licik yang kau lakukan terhadap orang tua bernama Ageng Panangkaran? Hanya demi lembaran rombeng, kau tega berbuat keji dan nista!" tuding Aji.
Paras wajah Putri Tunjung Kuning sontak berubah bersemu merah. Namun sebentar kemudian bibirnya yang merah sudah tersenyum manis.
"Sontoloyo! Bibir itu memang benar-benar menggoda! Seandainya dia tak ada sangkut paut masalah ini..., ingin rasanya."
"Bila begitu ucapanmu, berarti kau telah bertemu orang tua yang bernama Ageng Panangkaran. Dan tak mustahil, kau telah mendapat lembaran kulit darinya! Bagus! Sekarang kau bisa bawa pulang Eyang serta gadis gombal itu. Asal, lembaran kulit itu diserahkan padaku!"
"Brengsek! Siapa bilang aku telah mendapatkan lembaran kulit itu...? Dan, ingat! Mulutmu akan kusumpal dengan kepalan tanganku jika masih sebut gadis itu dengan sebutan gombal!"
"Oh, begitu...?" kata Putri Tunjung Kuning sambil memonyongkan bibirnya.
Gadis ini tampak tenang-tenang saja mendengar umpatan Aji.
"Melihat sikapmu yang begitu berapi-api jika gadis itu kusebut begitu, dapat kuduga kalau kau adalah kekasihnya! Benar, bukan...?"
"Kau tak perlu menduga-duga! Lagi pula, soal itu bukan urusanmu!"
Putri Tunjung Kuning mengalihkan pandangan ke samping, tempat Jurang Guringring yang dikelilingi batu-batu hitam memantulkan kilat-kilat menyilaukan ter-kena sengatan matahari. Lalu ditariknya napas dalam-dalam tanpa menoleh.
"Pendekar Mata Keranjang! Dengar! Hubunganmu dengan gadis itu merupakan urusan paling besar bagiku!"
"Apa maksudmu...?"
"Jika benar-benar mencintainya, tentunya kau telah rindu. Karena telah lama tidak berjumpa. Dan tentunya, kau datang jauh-jauh ingin bertemu dengannya, bukan? Nah! Jika demikian halnya, serahkan saja lembaran kulit itu! Setelah itu, kau akan bertemu kekasihmu. Bahkan kau bisa membawanya pulang! Tapi jika kau tak mau menyerahkannya, berarti tak mencintainya! Dan, silakan pergi dari sini. Karena, sebentar lagi mungkin ada tamu yang akan menukar gadismu dengan lembaran kulit yang kuinginkan! Jelas bukan...?! Sekarang aku harus pergi. Ada urusan yang harus kuselesaikan!" papar Putri Tunjung Kuning mengakhiri penjelasannya sambil memutar tubuhnya dan siap hendak berkelebat.
"Enak saja kau ngomong! Kau kira aku bisa diatur seenak dengkulmu he...?!" bentak Aji menahan langkah Putri Tunjung Kuning.
Mendengar bentakan, Putri Tunjung Kuning mengurungkan niatnya. Kembali tubuhnya berputar menghadap Aji. Kulit putih wajahnya berubah pucat, lalu memerah. Mata menusuk bola mata Aji.
"Siapa mau mengatur?! Kau telah tahu perempuan. Itu menunjukkan kau telah dewasa. Dan tanpa kuatur, tentunya kau bisa mengatur dirimu sendiri! Aku hanya mengajukan syarat, tanpa ingin mengatur! Soal kau penuhi persyaratan atau tidak, itu bukan urusanku! Tinggal kini, sejauh mana hatimu mencintai gadis itu! Jika kau memang mencintainya, dan lembaran kulit itu ada padamu, mestinya tanpa berpikir dua kali akan memilih sang kekasih daripada lembaran rombeng seperti yang kau katakan tadi!"
Sejenak Putri Tunjung Kuning menghentikan ucapannya. Lalu ditariknya napas dalam-dalam, matanya masih tetap menatap tanpa kedip ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Atau kalau lembaran kulit itu memang tak ada padamu, kau harus segera menyingkir, dan mencari tahu beradanya lembaran kulit itu! Lalu, bawalah kemari! Dan akhirnya, kau pulang dengan membawa kekasihmu!"
"Jangkrik! Gadis ini benar-benar pemeras licik!" batin Aji, saat itu juga tangan Aji masuk ke balik saku baju dalamnya.
"Baik! Kusetujui persyaratanmu! Namun, tunjukkan dahulu Eyang Selaksa dan Ajeng Roro! Setelah itu, baru aku akan menyerahkan lembaran ini!"
Saat itulah mendadak sebuah bayangan kuning berkelebat cepat bagai tak terlihat. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak tak jauh dari Putri Tunjung Kuning.
"Guru!" seru Putri Tunjung Kuning ketika mengenali siapa yang telah berdiri di sampingnya.
Orang yang dipanggil guru oleh Putri Tunjung Kuning tertawa panjang. Lalu kepalanya menoleh ke samping dan tersenyum memandang ke arah Aji.
Sepasang mata Aji kembali dibuat terbeliak. Ternyata orang yang kini berdiri di samping Putri Tunjung Kuning, juga seorang gadis yang berparas cantik. Pakaiannya juga kuning. Rambutnya panjang tergerai. Kulitnya putih, dengan dada kencang membusung dan pinggul besar menggoda! Sejenak Aji memandang silih berganti pada dua gadis di depannya. Pemuda itu hampir tak bisa membedakan di antara keduanya!
"Hm. Yang sempat main tahi kucing dengan Dewa Kutukan sewaktu di Kampung Blumbang pasti gadis yang baru datang! Sedangkan yang pernah bertemu denganku di hutan dahulu..., akh! Aku tak bisa mengenali. !"
Gadis yang baru datang, tak lain memang guru Putri Tunjung Kuning yakni Dewi Kuning. Dia tersenyum dengan mata tak memandang Aji.
"Putri Tunjung Kuning! Jangan terburu-buru menerima tawaran! Bukan tak mungkin, barang yang sekarang dibawanya palsu! Karena sekarang banyak barang palsu beredar!" ujar Dewi Kuning.
"Benar, Guru! Sekarang lebih baik Guru saja yang melihat barang itu!" kata Putri Tunjung Kuning, lalu melompat ke arah Aji dan menyodorkan tangannya.
"Tidak semudah itu kalian dapat melihat barang ini! Tunjukkan dahulu Eyang Selaksa dan Ajeng Roro! Setelah itu, baru kalian dapat melihat lembaran ini. !"
Cepat mata Putri Tunjung Kuning menatap Aji, mulai dari ujung rambut hingga mata kaki.
"Kau cerdik juga rupanya...," batin Putri Tunjung Kuning. Gadis itu kemudian menoleh ke arah Dewi Kuning, seakan minta jawaban. Lama tak ada jawaban.
"Sudahlah! Mungkin kalian tak menginginkan lembaran kulit ini! Aku juga tak begitu membutuhkan gadis serta orang tua yang ada di bawah penguasaanmu...!" ucap Aji perlahan.
Habis berkata Aji memutar tubuhnya siap bergerak untuk pergi.
"Tunggu!" tahan Dewi Kuning.
Aji meneruskan langkahnya, seakan tak mendengar seruan Dewi Kuning. Melihat gelagat ini, Dewi Kuning cepat menghambur ke depan. Dan tahu-tahu ia telah tegak menghadang Aji.
"Orang tampan! Kuturuti permintaanmu! Tunggu di sini sebentar!" tahan Dewi Kuning sambil mengerling ke arah Putri Tunjung Kuning.
Mendapat kerlingan sang guru, Putri Tunjung Kuning seakan tahu isyarat itu. Maka cepat tubuhnya berkelebat, menukik menuju jurang yang tak jauh di bawahnya. Sementara itu, Dewi Kuning yang melihat Aji tak mengangguk dan juga tak menggeleng, bergerak mendekati. Mulutnya sedikit dibuka. Bibirnya yang basah tampak ranum dan merah. Lidahnya senantiasa menjilat bibir ranum itu. Bahkan Dewi Kuning lantas menggoyangkan sedikit pinggulnya disertai desahan tertahan.
"Sambil menunggu, bagaimana jika kita bersenang-senang sebentar, Orang tampan? Khusus untukmu, akan kuperagakan gaya yang bagus. Sehingga, tak ada niatan lagi di hatimu untuk pulang."
Hati Aji sebentar terombang-ambing. Apalagi Dewi Kuning telah membuat gerakan-gerakan yang membuat tubuh Aji terasa terpanggang bara. Degup jantungnya kontan berdetak kencang. Bahkan ketika Dewi Kuning telah menempelkan tubuhnya ke dada bidang Aji, pemuda itu seakan terkesima dan diam saja.
Begitu wajah Dewi Kuning menengadah dan hidung mancungnya menyentuh dagu Aji, dari belakang berkelebat sesosok tubuh yang menggapit dua tubuh terikat.
"Guru!" panggil sosok yang menggapit dua tubuh terikat. Dia ternyata Putri Tunjung Kuning.
Serentak Aji dan Dewi Kuning berpaling.
Dewi Kuning sedikit terkejut. Namun sebentar kemudian bibirnya yang ranum tersenyum, meski di wajahnya semburat warna semu merah.
Sementara, raut muka Aji tampak merah padam.
Apalagi tatkala mata bulat Anjeng Roro menatapnya dengan sedikit melotot. Bahkan gadis itu membuang muka. Sementara, Eyang Selaksa memandangnya dengan mata sayu tanpa gairah.
"Bagaimana, orang tampan? Sekarang serahkan lembaran kulit itu! Dan, kau bisa bawa pulang mereka berdua. Atau kalau ingin meneruskan permainan yang terpotong tadi, kau bisa tinggal beberapa malam di sini!" tanya Dewi Kuning mengajukan penawaran seraya melirik ke arah Aji dan mengulurkan tangannya.
Sebentar mata pemuda itu memandang ke arah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro. Keduanya tampak kusut dan terikat tali. Perlahan Pendekar Mata Keranjang 108 memasukkan tangannya ke balik bajunya, dan mengeluarkan gulungan kulit.
Melihat gulungan kulit, tangan lentik Dewi Kuning cepat menyambar.
Wuttt!
Namun, pemuda tampan dan perlente ini telah waspada. Sebelum tangan itu sempat menyambar gulungan, dia meloncat ke samping Eyang Selaksa.
"Aji! Jika itu dari Ageng Panangkaran, cepat tinggalkan tempat ini. Aku dan Roro bisa mengurus diri! Selamatkan gulungan kulit itu, yang lebih berharga daripada segalanya. Demi keselamatan dunia persilatan dan kedamaian umat manusia, jangan hiraukan keselamatanku dan Roro! Cepat menyingkirkan...! Jangan sampai gulungan itu jatuh ke tangan mereka!" bisik Eyang Selaksa sambil melirik ke arah Aji dan menatap ke gulungan kulit itu.
"Jangan khawatir, Eyang! Meski ini gulungan asli, namun aku telah mengubahnya...," gumam Aji pelan, tanpa memandang ke arah Eyang Selaksa.
"Buka ikatan mereka...!" perintah Aji.
Putri Tunjung Kuning dan Dewi Kuning sejenak saling berpandangan. Lalu, mata Dewi Kuning menatap Aji dalam-dalam.
"Muridku, buka ikatan mereka...!" ujar Dewi Kuning tanpa menoleh.
Putri Tunjung Kuning segera meloncat ke arah Eyang Selaksa dan Ajeng Roro. Lalu tanpa bicara lagi, tangan gadis itu bergerak ke sana kemari, seakan merobek-robek tubuh Eyang Selaksa dan Ajeng Roro.
Namun, begitu tangan Putri Tunjung Kuning berhenti bergerak, tali pengikat di tubuh Eyang Selaksa dan Ajeng Roro telah luruh ke tanah. Putus kecil-kecil!
"Ambillah!" ujar Aji sambil melemparkan gulungan kulit ke depan Dewi Kuning.
Dengan wajah kesal dan mendengus, Dewi Kuning membungkuk. Diambilnya gulungan kulit di dekat kakinya. Dan saat itu juga, Putri Tunjung Kuning meloncat mendekati Dewi Kuning.
Dengan tangan sedikit gemetar, Dewi Kuning mulai membuka gulungan kulit. Sebentar matanya menatap ke arah Aji, lalu beralih pada Eyang Selaksa. Dan akhirnya berujung pada Ajeng Roro dengan tatapan galak. Lantas kembali diamatinya kulit yang kini telah terpentang.
Dengan sedikit melotot, Dewi Kuning mengawasi lembaran kulit pertama. Bibirnya lantas tersenyum. Lalu, kepalanya mengangguk. Demikian juga waktu membuka lembaran pertama dan mengawasi lembaran kedua. Dan tiba-tiba, Dewi Kuning tertawa terkekeh waktu membuka lembaran kedua, dan melihat lembaran ketiga.
Belum habis kekehan tawanya, Dewi Kuning mengalihkan pandangan ke arah Aji.
"Kau boleh bawa orang tua serta gadismu!" kata Dewi Kuning sambil tersenyum dan menoleh ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Muridku! Sekarang saatnya kau menjadi ratu dalam rimba persilatan! Urusan kita telah selesai. Mari kita pergi sekarang...!"
Sebelum beranjak melangkah, Dewi Kuning melihat Aji masih tegak termangu.
"Kau mendengar ucapanku tadi, bukan? Kau boleh membawa mereka berdua! Sekarang, tiinggu apa lagi? Ataukah kau menerima tawaranku untuk tinggal di sini beberapa malam...? Aduh..., bahagianya hatiku...," kata Dewi Kuning sambil mengerdipkan sebelah matanya.
Selesai berkata Dewi Kuning mendekat. Namun, kali ini Pendekar Mata Keranjang buru-buru bergerak menghindar.
"Eyang, Roro, kita tinggalkan tempat busuk ini!" ujar Aji, seraya mengangguk ke arah Eyang Selaksa dan tersenyum ke arah Ajeng Roro.
Eyang Selaksa mengangguk. Sementara, Ajeng Roro tak memandang pada Aji yang tersenyum ke arahnya.
"Jangkrik! Apa dikira aku telah bermain gila dengan Dewi Kuning?" umpat Aji dalam hati seraya melangkah di belakang Eyang Selaksa dan Ajeng Roro yang telah melangkah mendahului.
Tapi belum jauh ketiganya beranjak, terdengar tawa menggemuruh disertai deru angin dahsyat. Sehingga daun-daun pohon di tanah hitam itu berguguran.
Begitu menoleh, serentak ketiganya terkejut. Di depan Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning tampak berkelebat sesosok tubuh yang masih tertawa menggemuruh. Kemudian sosok itu berdiri tegak dengan kedua kaki dipentangkan, serta kedua tangan di atas pinggang di depan guru dan murid itu.
Seakan tak dapat dipercaya, ternyata sosok itu seorang laki-laki yang sekujur tubuhnya telah melipat-lipat. Jubahnya besar warna merah. Di kedua telinganya menggantung anting-anting besar. Kedua jari telunjuknya tampak mencuat dan kaku! Sepasang matanya yang berwarna putih kini menatap tak kesiap ke arah Dewi Kuning.
"Dewa Kutukan!" seru Aji tertahan sambil menoleh ke samping.
Pemuda itu kaget begitu melihat Eyang Selaksa serta Ajeng Roro tak ada lagi di sampingnya. Sepasang matanya nyalang mencari. Dan begitu matanya tertumbuk pada sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat semak belukar lebat bergoyang, dia cepat menyusul.
Kini dari balik semak belukar tampak, tiga pasang mata tak berkedip mengawasi ke arah utara. Di sana, tampak Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning sedang berhadapan dengan tatapan tak berkedip dengan sosok yang baru datang. Sosok yang tak lain Dewa Kutukan!

* * *



--↨֍¦ 7 ¦֍↨--

Mendapat firasat ada orang yang datang, Dewi Kuning segera memberikan lembaran kulit yang di tangannya pada Putri Tunjung Kuning.
"Putri Tunjung Kuning! Simpan yang ini. Dan, keluarkan yang palsu...! Ingat! Bila nanti terjadi hal yang di luar rencana, cepat tinggalkan tempat ini. Lalu bawa lembaran kulit yang asli...!" bisik Dewi Kuning sambil menatap tajam Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning segera mengeluarkan lembaran kulit dari balik bajunya. Kemudian dia menukarnya dengan yang ada di tangan Dewi Kuning. Secepat kilat Dewi Kuning menyambut lembaran dari Putri Tunjung Kuning, dan memasukkannya ke balik bajunya.
Sejenak, keduanya salingberpandangan. Lalu, tampak Dewi Kuning tersenyum sambil mengangguk. Sementara Putri Tunjung Kuning maju setindak, menyongsong orang yang baru datang.
"Siapa kau? Berani bertingkah kurang ajar, kukubur hidup-hidup di tanah hitam ini!" bentak Putri Tunjung Kuning, setelah yakin kalau Dewa Kutukan memperlihatkan gelagat tak baik.
Dibentak begitu, Dewa Kutukan tak peduli. Malah sepasang mata putihnya menyengat tajam, beralih satu persatu pada Putri Tunjung Kuning dan Dewi Kuning. Senyum sinisnya menyeruak menghias bibir. Dan tatkala matanya berujung pada Putri Tunjung Kuning, ia berlama-lama memandangi.
"Perempuan sundal! Gadis ayu ini parasnya kulihat tidak palsu seperti parasmu. Siapakah gerangan bocah ayu ini...?!" kata Dewa Kutukan menatap Dewi Kuning. Kemudian tatapannya beranjak ke Putri Tunjung Kuning tepat ke arah dadanya.
Mendengar ada orang yang menyebut gurunya sebagai perempuan sundal, raut Putri Tunjung Kuning merah padam. Bibirnya yang bagus seketika menyungging senyum yang mengisyaratkan jijik dan muak.
"Dewa Kutukan! Sekali lagi kau menyebutku dengan sebutan tadi, akan kurobek mulutmu yang bau itu!" bentak Dewi Kuning. Matanya menusuk bola mata putih Dewa Kutukan.
Putri Tunjung Kuning sontak tercengang mendengar Dewi Kuning menyebut gelar orang yang baru datang.
"Hm.... Urusan akan jadi panjang, jika dia juga menginginkan lembaran kulit itu! Menurut cerita yang pernah kudengar dari guru, Dewa Kutukan adalah seorang tokoh berilmu tinggi yang sukar dijajaki...," kata hati Putri Tunjung Kuning.
Mendengar bentakan Dewi Kuning, lipatan kulit wajah Dewa Kutukan serentak bergerak-gerak. Dagunya terangkat mengeras. Namun, cuma sekejap. Karena, Dewa Kutukan lantas tertawa ngakak dengan menggemuruh. Begitu gema suara tawanya terhenti, kepalanya mendongak memandang langit. Lalu cepat dia berpaling pada Dewi Kuning.
"Kalau kau tak mau disebut perempuan sundal, lantas sebutan apa yang pantas untukmu...? Perempuan jalang...? Atau, perempuan jalanan...?!" leceh Dewa Kutukan.
"Guru! Biar aku saja yang mengurus tua bangka ini! Mulutnya memang pantas untuk dilumat!" sergah Putri Tunjung Kuning.
"Ah!" seru Dewa Kutukan setengah terkejut. Bibirnya menyungging senyum seraya menengadah.
"Jadi, perempuan jalang ini gurumu? Ck... ck... ck. Tak disangka! Ternyata perempuan jalang macam dia punya seorang murid yang secantik ini. !"
Dewa Kutukan mengernyit sambil menggeleng-geleng.
"Putri Tunjung Kuning! Mundur! Ini urusanku...!" ujar Dewi Kuning, seraya melangkah ke depan.
Tiga tombak di hadapan Dewa Kutukan, Dewi Kuning menghentikan langkahnya.
"Apa gerangan yang membuat Dewa Kutukan jauh-jauh datang ke tempatku. ?
Apakah masih penasaran dengan kejadian tempo hari? Harap maafkan jika waktu itu aku meninggalkanmu. Aku memang ada urusan penting yang harus diselesaikan! Sebagai gantinya, jika kau masih menginginkan dengan senang hati sekarang juga akan kulayani! Bahkan beberapa malam sesukamu...! Bagaimana. ?!"
Mendengar ucapan Dewi Kuning, karuan saja Dewa Kutukan kembali tertawa tergelak-gelak. Namun, tiba-tiba berhenti.
"Jika kata-kata tadi keluar dari mulut muridmu, mungkin aku tak akan berpikir dua kali. Bahkan akan segera menghambur. Dan dia akan kubuat mainan lima hari lima malam. Sejenak pun tak akan kubiarkan lepas dari pelukanku...!" kata Dewa Kutukan.
Wajah Putri Tunjung Kuning kontan berubah merah padam. Jari-jari tangannya yang lentik serentak mengepal. Kemudian kakinya melangkah, menjajari Dewi Kuning.
"Guru! Mulut tua bangka ini jika dibiarkan akan terus mengumbar suara sember! Beri kesempatan padaku untuk membuat mulutnya tak bisa terbuka lagi!"
dengus Putri Tunjung Kuning.
"Ha... ha... ha.... Tidak bisa terbuka lagi? Apa karena tertutup bibirmu yang ranum dan merah itu? O..., la... la.... Betapa senangnya.... Apakah akan kau tutup sekarang? Atau."
Dewa Kutukan tak meneruskan kata-katanya. Hanya sepasang matanya kini tak berkedip, menatap tajam ke arah dada dan pinggul Putri Tunjung Kuning.
Dan batas kesabaran Putri Tunjung Kuning pun pupus sudah. Segera kakinya melangkah maju dua tindak. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya ditarik ke belakang. Namun begitu tangannya akan bergerak ke depan.
"Putri Tunjung Kuning! Tunggu!" cegah Dewi Kuning. Biar kita bicara baik-baik dahulu! Urusan besar kita belum selesai hingga di sini."
Dewi Kuning lantas melangkah menjajari Putri Tunjung Kuning. Sementara matanya tajam menyorot.
"Dewa Kutukan! Aku masih belum tahu, apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini! Katakan saja!" tanya Dewi Kuning, mulai galak.
"Baik! Urusan perempuan memang nomor dua. Yang lebih penting dan lebih besar adalah, urusan lembaran kulit itu! Dengar baik-baik! Aku akan mengampuni tingkahmu tempo hari. Bahkan kita akan bersahabat lebih akrab lagi jika lembaran kulit diserahkan padaku!"
Putri Tunjung Kuning terkejut. Mulutnya sedikit ternganga mendengar ucapan Dewa Kutukan.
Sementara Dewi Kuning meski agak gemetar, namun tetap tegar. Memang sebelumnya telah diduga kalau kedatangan Dewa Kutukan tak lain hanyalah demi lembaran kulit dan keterangan Eyang Selaksa. Mengenai kejadian di Kampung Blumbang, mungkin hanya persoalan sepele yang bisa ditunda.
Berpikir begitu, Dewi Kuning tersenyum.
"Tua Bangka! Sungguh amat disayangkan, kedatanganmu terlambat. Sebab orang yang kau cari telah meninggalkan tempat ini!" kata Dewi Kuning, berusaha menjelaskan.
"Aku tahu! Bahkan aku tahu, di mana dia sekarang berada!" sambut Dewa Kutukan. Pandangan matanya langsung beralih ke arah pohon besar yang di sekitarnya banyak semak belukar lebat yang meranggas.
Aji, Eyang Selaksa, dan Ajeng Roro yang memang berada di situ, serentak saling berpandangan.
"Jangkrik! Dia telah tahu kita berada di sini!" gumam Aji perlahan.
Sementara Eyang Selaksa dan Ajeng Roro hanya mengangguk. Sejenak kemudian, pandangan mereka telah kembali terarah pada Dewa Kutukan dan Dewi Kuning.
"Jika sudah tahu, kenapa tidak segera minggat dari hadapanku?!" hardik Dewi Kuning, berkacak pinggang.
"Jika aku tahu di mana dia sekarang berada, tentunya tidak pasti tahu di mana sekarang lembaran kulit itu berada! Perempuan jalang! Waktuku bukan hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul tanpa ada juntrungnya! Lekas serahkan lembaran kulit itu padaku...! Jika kau masih berpanjang-panjang."
Dewa Kutukan tak meneruskan kata-katanya. Hanya sepasang matanya menghujam ke arah dada Dewi Kuning, di mana lembaran kulit itu berada.
Namun sekejap itu, mendadak sebuah bayangan berkelebat cepat ke arah Dewa Kutukan. Tapi laki-laki itu hanya mengibaskan tangannya.
Bret!
Sementara, bayangan terjajar mundur dan kini telah berada di samping Dewi Kuning,Dan yang membuat heran Dewa Kutukan mendadak tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya tak berkedip menyorot tajam ke arah bayangan tadi yang ternyata Putri Tunjung Kuning. Tapi pandangannya kali ini disertai naik turunnya jakun.
"Ah, tak kusangka! Kulitmu yang tampak halus dan lembut, kenyataannya lebih dari itu. Bahkan juga kenyal, kencang, dan..., putih! Ingin rasanya aku menyentuhnya sekali lagi."
Mendengar kata-kata Dewa Kutukan, tentu saja Dewi Kuning dan Putri Tunjung Kuning terkejut. Mereka saling berpandangan. Begitu Dewi Kuning menatap Putri Tunjung Kuning, wajahnya mengisyaratkan kekagetan, dengan mata mendelik.
Melihat perubahan pada paras gurunya, serta-merta Putri Tunjung Kuning mencari tahu apa yang membuat perubahan pada wajah gurunya!
Astaga! Wajah Putri Tunjung Kuning seketika bagai dipanggang bara. Darahnya naik keubun-ubun. Ternyata kain bagian dadanya robek persegi tiga. Sehingga, tak ampun lagi buah dadanya yang putih dan kencang menantang terpentang cukup besar. Melihat keadaan itu buru-buru Putri Tunjung Kuning memutar tubuh membelakangi Dewa Kutukan. Sementara dari balik semak belukar, mata Pendekar Mata Keranjang 108 juga tak berkedip menikmati pemandangan yang hanya sekilas itu. Namun begitu Ajeng Roro melirik, buru-buru pandangannya beralih. Dan kini melirik ke arah Ajeng Roro.
Tapi, pemuda itu lantas mengutuk diri sendiri saat Ajeng Roro segera mengalihkan pandangan dengan cemberut.
"Sial! Jika tak ada Eyang Selaksa, rasanya ingin segera kukatakan tentang kejadian bersama Dewi Kuning tadi. Ah, Roro! Tahukah kau, bahwa aku sangat mengharap...,"
Aji tak meneruskan kata hatinya, saat terdengar batuk-batuk kecil Eyang Selaksa, seakan-akan tahu bahwa saat itu matanya sedang lekat-lekat menikmati wajah Ajeng Roro dari arah samping. Buru-buru pemuda ini mengalihkan pandangan ke arah Dewa Kutukan dan Dewi Kuning.
"Perempuan jalang! Sudah kukatakan, waktuku tak banyak! Cepat serahkan lembaran kulit itu!" bentak Dewa Kutukan.
"Tua bangka! Aku memang telah membawa Selaksa kemari. Namun ternyata dia juga tak membawa lembaran kulit itu! Dan tentunya, kau paham kata-kataku selanjutnya!" tukas Dewi Kuning dengan suara menghentak pula.
"Mataku tidak bisa kau dustai, Perempuan Jalang!" lanjut Dewa Kutukan dengan mata memandang dada Dewi Kuning, di mana lembaran kulit itu disirnpan.
Setelah agak lama ditunggu namun tak ada tanda-tanda Dewi Kuning akan menyerahkan lembaran kulit, Dewa Kutukan segera menyentakkan tangannya ke depan.
Wesss!
Seketika selarik gelombang angin panas bergulung-gulung dan menggemuruh meluruk ke arah Dewi Kuning.
"Muridku, cepat menyingkir!" Sambil memberi perintah pada Putri Tunjung Kuning yang masih membelakangi, Dewi Kuning menghindar ke samping dengan menjatuhkan diri ke atas tanah. Dan dengan gerakan cepat, dari arah samping tangannya mendorong ke depan disertai teriakan membahana.
"Hiaaa...!" Wusss!
Namun tak kalah cepatnya, Dewa Kutukan bergerak menghindar. Tubuhnya cepat dimiringkan ke samping. Sehingga, dua serangan pembuka itu sama-sama menerpa tempat kosong. Namun tak lama kemudian, mereka kembali saling gebrak menimbulkan suara berdebum yang terdengar beberapa kali. Itu pun masih ditingkahi gemeretak batu-batu pecah terkena pukulan nyasar dari kedua orang ini.
Mendapati serangan sama-sama luput, mereka sama-sama terbeliak. Tapi hanya sekejap. Sebab saat itu juga, tangan kanan dan kiri Dewa Kutukan yang bertelunjuk kaku, disentakkan ke arah Dewi Kuning yang masih menggeloso di atas tanah.
Wesss! Wesss! Tampak dua larik gelombang angin disertai hawa panas dan dingin berderak cepat dan dari samping kanan dan kiri dengan sigap meladeni serangan. Cepat kedua tangannya ditarik ke belakang.
Begitu larik gelombang angin panas datang dari samping kanan, perempuan itu menyentakkan tangan kirinya.
Blarrr!
Belum sirna gema ledakan yang terdengar dahsyat barusan, dari arah kiri Dewi Kuning meluruk angin dahsyat berhawa dingin. Kali ini disertai bentakan melengking.
Sedangkan Dewi Kuning menjejakkan tumitnya. Tubuhnya melambung ke atas. Dari atas, tangan kanannya disentakkan ke arah Dewa Kutukan. Sedangkan tangan kirinya disentakkan untuk memapak gelombang angin berhawa dingin.
Blarrr! Prakkk!
Satu dentuman menggelegar terdengar, saat gelombang angin berhawa dingin dari sentakan tangan Dewa Kutukan, terpapak pukulan tangan kiri Dewi Kuning. Sedangkan sekejap lain, terdengar benturan keras saat tangan kanan wanita itu berpapasan dengan tangkisan laki-laki bermata putih ini.
Dewi Kuning melengking keras. Tubuhnya yang melancarkan serangan dari udara terpental, sebelum akhirnya membentur pohon besar dan luruh ke atas tanah.
Sementara tubuh Dewa Kutukan yang menangkis serangan Dewi Kuning terjengkang tujuh langkah ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah.
Wajah Dewi Kuning tampak pucat. Dan dari sela bibirnya keluar tetesan darah segar.
Sedangkan Dewa Kutukan tak jauh berbeda. Bahkan sambil merambat bangkit, dia memegangi dadanya yang tertutup jubah merah besar. Saat tangannya dipentangkan, tampak jubah bagian dadanya berubah, menjadi hitam.
Dewi Kuning tampak bangkit. Kemudian matanya melirik tangan yang terasa ngilu luar biasa. Seketika, perempuan itu terkejut. Ternyata tangan kanannya telah berubah menjadi kebiru-biruan.
Dengan sedikit tergontai, Dewi Kuning berdiri tegak sambil memandang Dewa Kutukan.
Demikian halnya dengan Dewa Kutukan. Dua pasang mata kini saling bertatapan dengan kilatan yang berbau maut!
Tak berselang lama, Dewa Kutukan berpaling. Lantas sambil meludah ke atas tanah, kedua tangannya ditarik dan bersatu di depan dada. Sehingga, kedua jari telunjuknya bersatu.
Nampaknya kini Dewa Kutukan tengah mengerahkan jurus andalannya yang telah terkenal 'Dewa Membelah Langit'. Dan begitu dua jari telunjuknya bertemu lurus di depan dada, sepasang matanya menatap telunjuknya. Saat itu juga Dewa Kutukan bergerak meloncat ke arah Dewi Kuning. Menyadari Dewa Kutukan telah mengerahkan jurus andalan, Dewi Kuning tak tinggal diam. Kedua tangannya serentak disilangkan menutup wajahnya. Sedangkan kedua kakinya direntangkan. Inilah jurus 'Bunga Kembar Menebar Maut'yang di rimba persilatan juga telah terkenal kehandalannya.
Begitu tubuh Dewa Kutukan bergerak dengan tangan lurus ke depan, Dewi Kuning hanya diam termangu. Kala tangan lurus laki-laki itu sejengkal mencapai dada, tangannya cepat membuka dan menyentakkannya ke bawah.
Bres!
Saat itu juga terdengar benturan keras menggema. Tanah hitam di tempat terjadi benturan tampak terbongkar, hingga membentuk kubangan sedalam setengah tombak.
Tubuh, Dewi Kuning kembali terjengkang. Tapi kali ini keluar lenguhan dari mulutnya. Sebelum suara lenguhan hilang, tubuh Dewi Kuning telah menyuruk tanah.
Sementara itu, di lain pihak tubuh Dewa Kutukan mental balik dan melayang ringan bagai kapas. Dan akhirnya tubuh itu membentur pohon, lalu jatuh di atas tanah. Hening sejenak. Tubuh Dewi Kuning sebentar tampak bergerak-gerak dart membalik telentang. Lantas tubuhnya digeser bersandar ke pohon. Sekujur tubuhnya telah kebiru-biruan. Dan mendadak, wajah Dewi Kuning yang putih dan berparas cantik, berubah kecoklatan. Bahkan kulit wajahnya mengeriput, seperti seorang nenek-nenek!
Begitu bersandar, Dewi Kuning melambaikan tangannya ke arah Putri Tunjung Kuning yang dari tadi mengawasi pertarungan dengan hati was-was.
"Guru...!"
Melihat keadaan ini Putri Tunjung Kuning loncat menghambur ke arah Dewi Kuning. Langsung dipeluknya tubuh wanita yang telah berubah menjadi nenek-nenek itu.
"Putri Tunjung Kuning! Sekarang saatnya lembaran palsu itu berguna! Cepat pergi dari sini. Pelajari baik-baik apa yang tertera dalam lembaran asli yang ada pada mu. Kau tak usah mengkhawatirkan keadaanku! Aku masih bisa menjaga diri!" bisik Dewi Kuning perlahan, sambil menatap sayu ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Tidak, Guru! Aku akan tetap di sini dan membuat pembalasan!" seru Putri Tunjung Kuning berapi-api. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Dewa Kutukan yang telah bangkit dan berdiri berkacak pinggang. Matanya memandang sinis dengan senyum mengejek.
"Jangan berlaku bodoh, Putri Tunjung Kuning! Dia saat ini, dia bukan tandinganmu! Masa depanmu masih panjang, Muridku! Kau bisa membalas semua ini kelak, jika telah berhasil mendapatkan kitab dan kipas itu!"
"Tidak, Guru!"
Putri Tunjung Kuning langsung bangkit dan menjejak tanah. Tubuhnya mengudara. Setelah membuat gerakan berputaran dua kali, kakinya mendarat dua tombak di depan Dewa Kutukan.
Begitu mendarat, Putri Tunjung Kuning membuat gerakan berputar-putaran. Dan mendadak tubuhnya lenyap.
Dewa Kutukan sejenak nampak kebingungan. Namun bagi tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, ia tahu bagaimana menghadapi serangan demikian. Saat itu juga dia diam terpaku tak bergerak. Hanya kedua telinganya tampak bergerak meninggi. Dan tak lama kemudian tangannya mengibas ke belakang, saat tiba-tiba sebuah terjangan kaki putih menghantam dari arah belakang.
Prak!
Seketika benturan keras disertai jeritan lengking menyentak suasana. Sebelum jeritan lenyap, terdengar sesosok tubuh terpuruk ke tanah.
Begitu menoleh Dewa Kutukan tersenyum sinis dengan mata terbeliak. Ternyata, Putri Tunjung Kuning telah terjajar dan terduduk di atas tanahdengan kain bagian bawahnya robek, hingga hampir pangkal paha.
"Bajingan!" umpat Putri Tunjung Kuning seraya bangkit.
Namun belum sampai tubuh gadis itu tegak sempurna, Dewa Kutukan telah menyatukan tangannya, membuat gerakan jurus 'Dewa Membelah Langit'.
Perlahan-lahan sekali sambil menarik napas dalam-dalam, Dewa Kutukan mendorongkan tangannya ke arah Putri Tunjung Kuning yang belum menguasai diri sepenuhnya.
Namun pada saat gawat itu, sebuah bayangan berkelebat memapak gerakan tangan Dewa Kutukan. Angin deras seketika menderu bersama berkelebatnya bayangan. Saat berpaling, Dewa Kutukan segera menyentakkan tangannya ke arah bayangan yang meluruk ke arahnya.
Bresss! "Aaa...!"
Tak ampun lagi, bayangan itu terhempas disertai lengkingan menyayat. Dan akhirnya bayangan itu terbanting ke tanah di samping Putri Tunjung Kuning.
"Guru!" seru tertahan Putri Tunjung Kuning.
"Cepat menyingkir, Muridku! Selamatkan lembaran yang ada padamu! Tua bangka itu akan mendapat yang palsu ini.
" Begiiu habis kata-katanya, tubuh Dewi Kuning menggeliat. Lalu. diam tak bergerak!
"Guru! Oh.., Guru."
Sambil berseru, Putri Tunjung Kuning mengguncang tubuh Dewi Kuning. Namun tubuh gurunya itu tak bergerak lagi. Mati! Dengan guliran air bening yang merembes dari kedua kelopak matanya, Putri Tunjung Kuning bangkit. Tubuhnya lantas berbalik, dan berkelebat.
"Dewa Kutukan! Ingat! Kau berhutang darah padaku. Suatu saat nanti aku pasti akan menagihnya!" ancam Putri Tunjung Kuning, ketika tubuhnya telah berkelebat jauh.
Dewa Kutukan hanya memandangi kepergian Putri Tunjung Kuning dengan acuh dan sinis. Bahkan seakan-akan tak mendengar nada ancaman Putri Tunjung Kuning. Kakinya lantas melangkah mendekati Tubuh Dewi Kuning yang telah membujur kaku dengan mulut dan dada tergenangi darah kehitaman.
Begitu dekat, Dewa Kutukan jongkok. Tangannya yang bertelunjuk kaku cepat bergerak ke sana kemari. Begitu terhenti, astaga! Pakaian Dewi Kuning telah jadi mayat itu terkoyak-koyak. Dan tatkala melihat gulungan kulit di perut Dewi Kuning, tangan Dewa Kutukan cepat menyambarnya.

* * *



--↨֍¦ 8 ¦֍↨--

Kali ini agak lama Dewa Kutukan memandangi gulungan kulit di tangannya. Namun baru saja tangan kanannya akan membuka....
Plok, plok, plok. !"
Mendadak dari arah belakang terdengar suara tepuk tangan. Tepuk tangan yang hanya beberapa kali, seakan tak dapat dipercaya. Mampu menggugurkan daun-daun pohon yang ada di sekitarnya! Begitu memalingkan wajah, Dewa Kutukan sedikit terkejut. Namun cepat menguasai keadaan, walau kakinya bergeser
ke belakang.
Ternyata di samping sebuah pohon, tampak berdiri dua sosok tubuh. Salah satunya, yang berada di sebelah kanan pohon, adalah seorang laki-laki berpakaian putih. Rambutnya panjang sepinggang. Kumisnya hitam lebat, menutup seluruh bibirnya. Dan dia hanya memiliki satu mata! Sedangkan mata satunya hanya berupa rongga yang menjorok ke dalam.
Sementara yang seorang lagi adalah perempuan berwajah tak kelihatan, karena tertutup sepotong kain. Tubuhnya berbentuk bagus dengan dada membusung menantang. Pinggulnya besar menggemaskan, ditingkahi warna kulitnya yang putih mulus.
Kedua sosok itu sejenak saling pandangan, lalu melangkah mendekat. Dan mereka berhenti tiga tombak di hadapan Dewa Kutukan. Memang, mereka tak lain Sepasang Iblis Pendulang Sukma!
Namun, begitu Dewa Kutukan memandang agak jauh, tampak sesosok lain, bertubuh tinggi. Jubahnya warna hitam dan besar. Namun yang membikin sosok ini menakutkan, ternyata raut wajahnya tak tertutup daging sama sekali! Sementara kedua matanya yang berwarna agak merah berputar-putar di dalam rongga yang menjorok ke dalam.
Jika melihat kedatangan kedua orang itu, Dewa Kutukan bersikap tenang meski sedikit terkejut. Karena memang baru kali bertemu. Namun tidak demikian halnya ketika melihat sosok yang memilih tempat agak jauh dari Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Dia terpana, dan hampir tak percaya!
Demi melihat siapa adanya sosok yang berdiri agak jauh, buru-buru Dewa Kutukan tersenyum ramah.
"Ah! Rupanya sobat lamaku, Tengkorak Berjubah! Sudah lama kita tak jumpa.... Hingga aku hampir lupa. ! Maafkanlah aku yang tak menyambut kedatanganmu."
Sementara Tengkorak Berjubah hanya diam saja mendapat sapaan Dewa Kutukan. Bahkan wajahnya dipalingkan ke samping disertai dengusan sengau.
Di lain tempat, dari semak belukar tiga pasang mata yang tak lain Aji, Eyang Selaksa, dan Ajeng Roro tampak terbeliak. Bahkan dahi pemuda berpakaian hijau ketat dengan pakaian dalam warna kuning itu mengernyit. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mata menyipit, kemudian melotot.
"Busyet! Tubuh perempuan itu...," gumam Aji tak sadar.
Wajah Ajeng Roro dengan mata bulatnya sontak menoleh ke arah Aji. Namun wajah itu berubah cemberut. Sepasang matanya membesar memandang tak berkedip, tepat-tepat ke dalam mata pemuda di sebelahnya.
Aji menangkap adanya hawa amarah yang menyambar dari mata bulat Ajeng Roro. Dan dia jadi salah tingkah. Dengan jantung berdetak tak karuan, dipandangnya Ajeng Roro.
"Sial! Apa yang telah terjadi pada diriku? Mengapa bila aku menampakkan sifat keras, namun hati kecilku tak bicara begitu? Ah! Mata itu.... Aku tak sanggup berlama-lama memandangnya...," rutuk Ajeng Roro dalam hati.
Perlahan gadis itu mengalihkan pandangan ke arah dada Aji. Namun bibirnya tetap tak tersenyum, meski Aji telah tersenyum padanya.
"Gila! Kenapa mulutku tadi bisa keceplosan...?! Dan aku sekarang harus bilang bagaimana...? Apakah.., ah...! Sebel!" maki Pendekar Mata Keranjang dalam hati seraya tetap memandang Ajeng Roro. Pemuda itu menarik napas panjang.
"Roro! Kau jangan salah duga. Aku tadi mau bilang kalau perempuan itu."
"Mana aku percaya. ?!" potong Ajeng Roro Langsung mendelik.
"Aku memang tidak menyuruhmu untuk percaya. Tapi, hanya untuk mendengarkan ucapanku..," kilah pemuda itu.
. Mendengar kata-kata Aji, Ajeng Roro tidak memberi tanggapan. Sementara pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Roro! Aku memang suka melihat yang indah-indah. Dan secara tak sadar mulutku mengatakan apa yang kulihat. Tapi, percayalah. Mataku mungkin jelalatan, namun perasaanku tidak. ! Perasaanku tak dapat ditipu, bahwa."
"Ah! Dasar laki-laki! Pintar cari alasan. Apa kau kira aku tak tahu, bagaimana pandanganmu ketika melihat perempuan itu sejak kedatangannya. ?"
"Berarti kau sejak tadi terus memandangiku! Dan berarti."
Aji tak meneruskan kalimatnya. Dan dia tersenyum ketika melihat wajah Ajeng Roro menjadi merah.
"Dasar...!" rutuk Ajeng Roro seraya berpaling.
"Dasar apa...?" kejar Aji, sambil berusaha menahan tawa.
"Dasar sinting! Kau memang pantas jika dipanggil Aji Sinting! Habis kau pintar omong, pintar cari alasan. Tak bisa melihat tubuh sedikit bagus. Dan."
"Dan hatiku hanya tertambat padamu...!" sambung Aji cepat.
Paras Ajeng Roro kembali memerah. Ia terkejut, dan buru-buru menundukkan kepala.
"Manusia satu ini memang sableng! tapi, aku senang mendengar ucapannya tadi. Apakah dia benar-benar. Atau,
hanya menggoda...?" batin Ajeng Roro seraya melirik.
"Roro! Kau boleh tak percaya ucapanku! Namun itulah perasaan yang selama ini."
Belum selesai Aji meneruskan ucapannya, Ajeng Roro telah mendongak. Sambil menatap tajam, jari-jari tangannya ditempelkan ke mulut. Lalu pandangannya dialihkan pada Eyang Selaksa.
Namun Aji seakan tak mempedulikan isyarat Ajeng Roro.
"Hanya kaulah yang selama ini ada dalam benakku! Kau tahu, selama kita berpisah aku selalu merindukan dirimu. ! Apakah tidak ada perasaan demikian di hatimu...?" lanjut pemuda itu.
"Tidak...!" sahut Ajeng Roro sambil tersenyum menahan tawa.
"Ah! Jadi selama ini aku hanya bertepuk sebelah pantat!" keluh Aji.
"Tidak juga...!" potong Ajeng Roro.
"Maksudmu...?" tanya Aji, tak mengerti.
"Sebenarnya aku juga merasakan, apa yang kau rasakan selama ini.... Tapi. ?" "Tapi apa..,?" kejar Aji, agak keras.
"Tapi..., masalah itu jangan kita bicarakan di sini! Apakah kau tak malu pada Eyang?" kata Ajeng Roro seraya memandang Eyang Selaksa.
"Malu...? Kenapa mesti malu? Bahkan jika perlu, aku akan mengatakannya pada Eyang Selaksa kalau aku men..."
"Jangan bertindak gila, Aji!" "Tak usah marah. Bukankah kau tadi menjuluki aku sebagai Aji Sinting? Jika kau telah menjuluki begitu, kenapa harus merasa malu bila hanya mengatakan pada Eyang, bahwa aku mencintaimu. ?"
Mendengar kata Aji, paras muka Ajeng Roro berubah. Hatinya seperti khawatir, jika Aji benar-benar melaksanakan niatnya. Ditatapnya pemuda itu seakan minta dikasihani.
Namun tatkala terdengar batuk-batuk kecil dari Eyang Selaksa, buru-buru kepala Aji dan Ajeng Roro segera berpaling ke depan. Wajah gadis itu bersemu merah. Sementara pemuda ini tersenyum kecil menahan tawa, sampai-sampai bahunya sedikit berguncang.
"Aji Sinting...," ucap Ajeng Roro perlahan disertai gelengan kepala.
Tatkala ketiganya kembali memandang ke arah depan, Aji membatin.
"Hm. Siapa lagi mereka? Tampaknya banyak tokoh yang berdatangan ke sini. Ada apa sebenarnya ini? Apa hanya demi lembaran kulit itu. ?
Sebenarnya, aku ingin segera bertanya tentang semua ini pada Eyang Selaksa. Namun dalam keadaan demikian, apa pantas bertanya...?"
Beium sempat Aji berpikir jauh lagi....
"Siapa kalian? Berani meneruskan langkah maju, kalian akan kubuat seperti dia!"
Dari arah depan terdengar bentakan Dewa Kutukan pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma, sambil mengarahkan pandangannya pada mayat Dewi Kuning yang terbujur kaku.
Kalau terhadap Tengkorak Berjubah, Dewa Kutukan menyapa dengan berbasa-basi. Namun tidak demikian halnya pada Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Mendengar bentakan barusan, Sepasang Iblis Pendulang Sukma hampak tenang-tenang saja. Bahkan Sunti sambil menggoyang-goyang pinggulnya mendekati laki-laki bermata satu di sampingnya yang tak lain Sangsang.
"Kakang! Si tua bangka ini ingin berkenalan dulu, sebelum masuk liang lahat! Biar arwahnya tidak penasaran dan tidak gentayangan bertanya tentang nama kita, katakan saja siapa kita adanya, Kakang...," ujar Sunti.
"Bangsat! Kecoak-kecoak kemarin sore berani bertingkah kurang ajar. !
Kuperingatkan sekali lagi, sebelum habis kesabaranku! Katakan, siapa kalian?! Tapi perlu kau ketahui, setelah itu bukan berarti kalian bisa pergi begitu saja. Sekali bertemu denganku, salah satu harus terbujur seperti dia!" bentak Dewa Kutukan, lalu dengan telunjuk menukik ke arah Dewi Kuning.
"Kau terlalu banyak khotbah, Orang Tua! Pasang telingamu baik-baik! Kami adalah Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Dan, juga perlu kau camkan! Setelah kau tahu siapa kami, kau boleh pergi dari hadapan kami. Tapi, tinggalkan gulungan kulit itu di sini!" kata Sangsang dengan suara menggeledek. Sementara mata satunya menyengat tajam ke bola mata Dewa Kutukan, Mendengar kata-kata Sangsang, Aji terlonjak kaget. Sambil mengepalkan tangan dengan dagu mengembang, pemuda itu beranjak bangkit.
"Aji Sinting, ada apa...?" tanya Ajeng Roro dengan senyum menggoda.
Namun kali ini Aji tak menghiraukan kata-kata gadis itu. Ajeng Roro terkejut dan terheran-heran melihat tingkah Aji.
"Aku akan membuat perhitungan dengan dua orang itu! Aku tadi masih ragu-ragu, apakah mereka yang pernah kulihat di kotapraja Lemah Ajang dahulu. Tapi begitu mendengar mereka menyebut julukannya, aku yakin merekalah biang keladi malapetaka di Perguruan Samudera Putih. Dan mereka pula yang berbuat keji terhadap Wong Agung...!" sahut Aji, seraya hendak melangkah.
"Tahan dulu, Aji! Belum saatnya bagimu untuk melakukan hal itu..," cegah Eyang Selaksa berusaha menenangkan amarah Aji.
Ajeng Roro yang melihat gelagat tak baik, segera meraih tangan Aji. Tanpa sadar, digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat. Gadis itu berusaha menenangkan kecamuk amarah Aji.
"Jangan bertindak sembrono, Aji! Turuti kata Eyang..," bisik Ajeng Roro sambil menatap mata Aji, seakan memberi keyakinan.
"Tidak! Bagaimanapun juga, aku harus menghadapinya sekarang! Ini sebagai tanggung jawabku atas kematian Aki Lempungan dan penderitaan Wong Agung...!"
Selesai berkata, Aji berkelebat keluar dari semak belukar.
"Aji...!" tahan Ajeng Roro dengan raut wajah khawatir. Tapi, terlambat. Sementara Eyang Selaksa memandangi kepergian pemuda tampan dan perlente itu dengan gelengan kepala.
"Biarkan saja, jika itu kehendaknya. Karena jika tidak menahannya, perasaan itu akan menggumpal dan menjadi dendam kesumat!" ujar Eyang Selaksa saat wajah Ajeng Roro menampakkan rasa was-was.
Tak lama kemudian, sepasang mata mereka telah memandang ke arah Aji yang kini telah tegak di depan Sepasang Iblis Pendulang Sukma. Sementara itu, Sangsang seperti tak mengacuhkan kehadiran Aji. Namun hatinya terkejut juga dihadang oleh pemuda yang dianggapnya kemarin sore.
"Siapa kau bocah?! Jangan coba-coba turut campur persoalan ini!" bentak Sangsang, tanpa memandang. Alis mata Aji serta merta saling bertautan.
"Persoalan lembaran itu memang bukan urusanku. Tapi di antara kita ada persoalan yang harus diselesaikan sekarang!" jawab Aji, lantang.
"Ha... ha... ha.... Bagus! Kalian memang pantas berhadapan dengan yang macam begini-begini ini!" timpal Dewa Kutukan menyela, seraya mengarahkan pandangannya pada Aji.
"Benar! Dan kau pantas berhadapan denganku!" Mendadak sebuah suara sengau dan sember menyahut, bersamaan dengan tegaknya sosok Tengkorak Berjubah di hadapan Dewa Kutukan.
Aji seakan-akan tak mendengar nada ejekan Dewa Kutukan. Hawa amarahnya seperti telah menutup telinga dan hatinya. Tak ada lagi yang terlintas dalam benaknya, kecuali membuat orang yang telah merampas kebahagiaannya, merasakan bagaimana pahitnya bila kebahagiaan yang selama ini dikenyam terampas.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Mata Keranjang 108 telah membuka kedua tangannya. Lalu dengan cepat pula diputar ke depan. Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang masih tak acuh tampak diam saja. Mereka masih menganggap remeh gerakan pembuka pemuda ini.
"Heaaa...!"
Bahkan ketika Aji telah membentak dengan membuka tangannya kembali, Sepasang Iblis Pendulang Sukma tetap diam.
Baru setelah gema bentakan itu hilang, sebuah angin deras menggebrak dari arah belakang Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Sepasang tokoh sesat ini sedikit terkejut, lantas buru-buru menjejak tanah. Tubuh mereka langsung mengudara. Tapi sebelum sempat membuat gerakan berputar di udara, Aji telah kembali menyentakkan tangannya ke arah tubuh Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang masih melayang di udara.
Wesss! Wesss!
Dua rangkum angin keras langsung meluruk ke arah Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang mengapung di udara. Sedikit mereka terkejut, kemudian langsung me-mapak dengan jurus kelima dari Dua Belas Titisan Iblis yakni jurus 'Iblis Menyapu Bumi'.
Dua angin pusaran melesat memapak angin pukulan tangan Aji. Dan....
Blarrr!
Seketika terdengar suara menggelegar, saat dua pukulan itu bertemu. Aji terjajar empat langkah ke belakang. Sedangkan Sepasang Iblis Pendulang Sukma kehilangan keseimbangan tubuh. Sehingga tubuh mereka berdua langsung terpental. Namun hanya sedikit tergontai-gontai, mereka mendarat berjajar di tanah.
"Bangsat! Rupanya bocah ini tak bisa dibuat main-main! Setelah merasakan sendiri sepak terjangnya, aku yakin bocab ini masih ada hubungannya dengan Wong Agung. Apa dia muridnya...?" bisik Sangsang, saat melirik ke arah Sunti yang juga hampir tak percaya.
"Benar, Kakang! Gerakannya mirip si bangsat Wong Agung. Apakah dia orang yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang dan mengaku sebagai murid Wong Agung, yang akhir-akhir ini santer terdengar? Tapi, aku belum yakin benar apakah dia, Pendekar Mata Keranjang itu! Kudengar, Wong Agung tak mempunyai seorang murid. Tapi siapapun adanya, dia cukup berbahaya! Jurus 'Iblis Menyapu Bumi' saja tak sanggup membelah pukulannya. Berarti dia tak bisa dipandang enteng! Semuda itu sudah demikian hebat...! Dia harus segera disingkirkan, sebelum kelak menjadi batu sandungan!" sambut Sunti berapi-api.
"Hm..., betul! Kita harus menyudahi kunyuk penghalang ini! Pakai jurus kedelapan...!" bisik Sangsang bernada memerintah.
"Tunggu, Kakang...! Meski tampak hebat, namun aku punya firasat kalau dia bocah yang gampang terg-da! Lihat! Matanya dari tadi tak berkedip memandang ke arahku! Melihat tingkahnya aku curiga jangan-jangan memang dia, si Pendekar Mata Keranjang itu...! Bagaimana kalau kucoba melumpuhkannya dengan senjataku...?"
Saat tak ada tanggapan dari Sangsang, Sunti segera beranjak melangkah maju mendekati Aji yang tegak mengawasi. Saat melangkah, sengaja pinggulnya sedikit digoyang. Sementara dadanya pun dibusungkan. Sehingga Aji untuk beberapa saat tercengang dan terkesima.
"Pendekar! Di antara kita tak ada silang sengketa. Kenapa harus melakukan pertarungan begini...? Bukankah kita lebih baik saling bersahabat? Dan..., ngg.... Kalau Pendekar tak keberatan, boleh kami tahu siapa kau sebenarnya...?!" kata Sunti, sambil maju lebih dekat.
Aji merasakan ada perasaan aneh yang menyeruak dari suara perempuan di depannya, merasuk ke relung hatinya. Bahkan mampu membuat getaran aneh di kalbunya. Semakin lama Aji mengawasi gerakan Sunti, semakin kencang degup jantungnya.
"Jangkrik! Kenapa aku ini? Kok malah seperti sapi ompong yang mengunyah batu! Gerakan perempuan serta tubuhnya memang benar-benar aduhai.
" Melihat pemuda di depannya tak menjawab, malah bagai terkesima memandangi dirinya, Sunti merasa kalau jeratnya telah mengena.
"Pendekar..., eh! Bagaimana aku harus memanggilmu? Kau boleh menyebutku nama. Ngg.... Apakah kau yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang...? Melihat sikapmu, aku jadi yakin kaulah Pendekar Mata Keranjang itu?!"
Aji tak memberi tanggapan.
"Pendekar Mata Keranjang 108, kau pasti pendatang baru dalam rimba persilatan. Aku yakin itu. Sekarang, bagaimana tentang tawaranku tadi...? Jika kita telah bersahabat, kau tidak hanya melongo memandangku seperti itu. Bahkan, kau boleh menyentuhnya. Dan mata nakalmu, juga boleh menelusuri hingga yang tersembunyi sekalipun...," kata Sunti sambil terus melangkah mendekat. Suaranya dibuat selembut dan semesra mungkin.
Begitu wanita itu berada tiga langkah lagi, mendadak Aji tersadar. Segera kakinya mundur.
"Kau sudah jawab pertanyaanmu sendiri! Dan, jangan coba-coba mengalihkan persoalan! Terimalah hukuman atas perbuatan keji kalian...!" kata Aji dengan nada tinggi.
"Pendekar Mata Keranjang! Persoalan apa sebenarnya yang kau maksudkan...? Kita baru kali ini berjumpa. Dan."
"Baik!" potong Aji.
"Jika kau perlu diingatkan, dengar! Kau tentunya masih ingat dengan sebuah Perguruan Samudera Putih yang telah kalian buat berantakan. Dan tentunya masih segar dalam ingatanmu, bagaimana kau bersama pasanganmu secara licik melukai Wong Agung dari Karang Langit!" langkahnya tersurut ke belakang. Sementara Sangsang yang mendengar percakapan, matanya kontan mendelik.
"Hm. Jadi, tak salah dugaanku. Kau ternyata murid bangsat tua Wong Agung! Jika demikian halnya, kau juga pantas segera menyusulnya ke alam kubur!" kata Sunti, seraya kembali melangkah maju.
"Kau terlalu banyak omong, Sunti! Waktu kita tak hanya untuk meladeni kunyuk macam begini! Cepat sudahi bocah keparat ini!" bentak Sangsang mendadak. Seketika tubuhnya berkelebat, menjajari Sunti.
Tanpa bicara lagi, Sepasang Iblis Pendulang Sukma menekuk kedua kaki. Sehingga, tubuh keduanya hampir terduduk. Bersamaan dengan itu, kaki mereka menjejak tanah. Maka, tubuh mereka membumbung satu tombak ke udara. Begitu luruh ke bawah, kembali keduanya menjejak tanah. Dan saat itulah tiba-tiba tubuhnya keduanya melesat cepat ke depan.
"Heaaat. !"
Mendapat serangan ini, Aji lantas menyiapkan serangan penangkis. Segera diperagakannya jurus pada sap ketiga. Kakinya cepat terpentang. Kedua tangan di atas kepala, sedangkan tubuh berpaling setengah putaran.
Begitu lesatan tubuh Sepasang Iblis Pendulang Sukma hampir tiba, Aji segera hendak memapak. Cepat tubuhnya diputar dan tangannya disentakkan.
Bakk! Blakk!
Saat itu juga dua suara benturan terdengar menggemuruh saat tangan Pendekar Mata Keranjang dua kali membentur tubuh Sepasang Iblis Pendulang Sukma.
Tubuh Sangsang dan Sunti terpelanting. Begitu jatuh berdebam di tanah, tubuh mereka bergulingan di atas tanah. Sementara Aji sendiri terkapar dengan tangan memerah seperti kulit terpanggang api.
Mendengar kata-kata Aji, Sunti terkejut. Seketika Begitu sama-sama bangkit, mereka kembali saling gebrak.

* * *



Sementara pertarungan antara Aji dan Sepasang Iblis Pendulang Sukma berlangsung, agak jauh dari situ Dewa Kutukan dan Tengkorak Berjubah telah saling berhadapan. Dan sepertinya mereka tak terpengaruh sama sekali dengan keadaan di sekitarnya.
"Sobat lamaku yang kuhormati, apakah kau juga menginginkan lembaran butut ini?!"
Dewa Kutukan membuka suasana tegang, demi melihat Tengkorak Berjubah masih tak bicara dan hanya mengawasi lembaran kulit yang ada di tangannya. Bahkan laki-laki berwajah tengkorak itu mulai membuka kedua tangannya, siap menyerang.
"Ha... ha... ha.... Kau terlalu berbasa-basi, Tua Bangka! Seharusnya kau telah tahu, Tengkorak Berjubah tak akan unjuk diri bila tanpa sesuatu yang sangat penting!" jawab Tengkorak Berjubah ringkas, namun terdengar sengau.
"Ah...!"
Dewa Kutukan seolah-olah terkejut mendengar jawaban Tengkorak Berjubah. Sampai-sampai kepalanya mendongak memandang langit. Namun, itu cuma sekejap. Ia lantas memandang sinis pada Tengkorak Berjubah.
"Dunia persilatan memang telah mengenal, siapa Tengkorak Berjubah. Seorang tokoh berkedigdayaan tinggiyang sulit dijajaki. Namun jika kau mengharapkan lembaran kulit ini, akulah orang yang akan menjajaki kedigdayaanmu..! Kau tentu juga tahu. Siapa yang berani berurusan dengan Dewa Kutukan..., maka dia harus mengukur kedigdayaan sampai ada yang membujur jadi bangkai!" kata Dewa Kutukan disertai senyum mengejek. Tengkorak Berjubah terdiam. Namun tak lama kemudian tertawa ngakak. Suara tawanya gemeretak, bagai tetabuhan seng.
"Bagus! Kesaktian memang tak ada gunanya tanpa diukur!" sambut Tengkorak Berjubah setelah tawanya berhenti.
Begitu selesai kata-katanya, tangan Tengkorak Berjubah yang hanya tampak sebatas pergelangan tangan, berkelebat cepat ke arah Dewa Kutukan.
Dewa Kutukan yang sejak tadi telah waspada, cepat menjejak tanah menghindar dengan melompat ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu, kedua tangannya yang telah bersatu dihantamkan ke depan. Inilah untuk yang ketiga kalinya, Dewa Kutukan yang mengerahkan jurus 'Dewa Membelah Langit'.
"Ha... ha.... Jurus 'Dewa Membelah Langit' tak ada apa-apanya bagi Tengkorak Berjubah."
"Tak usah banyak omong, Bangsat Tua!" bentak Dewa Kutukan sambil meloncat ke depan dengan tangan lurus.
Mendapat serangan ini, Tengkorak Berjubah hanya diam terpaku. Namun begitu tangan lurus Dewa Kutukan hampir melabrak kepala, tubuhnya melesat keatas. Sehingga, hantaman Dewa Kutukan hanya menerpa hamparan angin.
Ketika tubuh Tengkorak Berjubah turun ke bawah, Dewa Kutukan cepat berbalik. Lalu dia kembali meluruk ke arah dada Tengkorak Berjubah. Di lain pihak, Tengkorak Berjubah segera meng-angkat kedua tangan dan diputar-putar cepat di atas kepala. Maka saat itu juga terdengar suara angin men-deru berputar-putar.
Tubuh Dewa Kutukan yang tengah bergerak melabrak, bagai tertahan oleh angin pusaran yang keluar dari tangan Tengkorak Berjubah. Sehingga, tubuh Dewa Kutukan mengapung di udara, tak kuasa menembus pertahanan angin pusaran Tengkorak Berjubah.
Sementara itu sepasang mata putih Dewa Kutukan tampak melotot. Mulutnya mengeluarkan bentakan-bentakan keras. Sedangkan rambut panjang serta jubah besarnya melambai-lambai dan menggelepar.
Belum sempat Dewa Kutukan berbuat apa-apa, Tengkorak Berjubah menambah tenaga putarannya. Sementara kakinya sesekali menghantam.
Di lain pihak, meski tubuhnya mengapung di udara dan belum berhasil menembus pertahanan angin Tengkorak Berjubah, Dewa Kutukan masih bisa menghindari tendangan dengan memiringkan tubuhnya.
Keringat mulai membanjiri tubuh Dewa Kutukan. Sementara kuda-kuda Tengkorak Berjubah mulai goyah. Setelah sekian lama berusaha menembus pertahanan Tengkorak Berjubah, akhirnya pada suatu kesempatan, kaki Dewa Kutukan menjuntai ke bawah. Dan bersamaan dengan itu, tangannya diangkat dan disentakkan dari atas.
Wut!
Tiba-tiba selarik gelombang angin sentakan tangan Dewa Kutukan lolos, menerobos benteng pertahanan Tengkorak Berjubah dari atas. Tapi tanpa diduga sama sekali, sambil menghindar, laki-laki berwajah tengkorak itu menyentakkan tangannya ke bawah.
Besss!
Tubuh Dewa Kutukan yang masih di Udara dan baru saja melancarkan serangan, bagai tersedot ke bawah. Kemudian dia berdebam jatuh terduduk.
Sementara Tengkorak Berjubah terjajar, namun tetap tegak tiga tombak ke belakang.
Diiringi seringai ganas, Dewa Kutukan segera bangkit. Kemudian tubuhnya melesat cepat ke depan. Sementara Tengkorak Berjubah cepat bagai kilat memapak dengan tangan ditekuk ke depan. Tiga depa sebelum tubuh Dewa Kutukan sampai, manusia berwajah tengkorak itu meluruskan tangannya dengan telapak terbuka. Maka selarik gelombang berwarna hitam keluar, menghadang tubuh Dewa Kutukan.
Dewa Kutukan hampir terlambat menghindar. Namun, tak urung jubah besarnya tercabik-cabik. Bahkan tubuhnya terpental ke belakang sejauh tiga tombak. Melihat tubuh lawannya terpental, Tengkorak Berjubah cepat menyusuli. Seketika dia melompat ke arah Dewa Kutukan disertai bentakan keras dan sengau.
Kali ini Dewa Kutukan tak menyangka. Laki-laki ini kaget bukan main, dan terlambat menghindar. Maka sambil memutar tubuhnya, tangannya dipalangkan menutup dadanya seraya menangkis serangan.
Brakkk! "Aaakh...!"
Dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam saling berbenturan, menimbulkan suara mengerikan.
Akibat buat Dewa Kutukan ternyata sangat mengenaskan. Tubuhnya kontan terbanting amat keras ke tanah dan bergulingan. Akhirnya dia terkapar dengan sekujur tubuh agak hangus. Sementara jubah merahnya telah menjadi hitam. Sejenak mata putih Dewa Kutukan menatap sayu ke atas. Namun tak lama kemudian, meredup sebelum akhirnya terpejam tepat ketika lejangan kakinya berhenti.
Di pihak lain, Tengkorak Berjubah terpelanting ke samping sejauh delapan tombak. Meski tubuhnya sempat membentur sebuah batu, dan jatuh menghempas tanah. Namun dengan mengibaskan tangannya, tubuhnya melesat ringan, lalu mendarat dengan bersila di atas sebuah batu.
Sejenak Tengkorak Berjubah menarik napas dalam-dalam. Matanya berputarputar mengatup dan bibirnya bergerakgerak.
Tak lama kemudian, mata yang mengatup di dalam rongga itu membuka. Dan masih tetap bersila, tangan Tengkorak Berjubah menyentakbatu tempatnya duduk.
Saat itu juga tubuhnya melayang ke arah Dewa Kutukan yang telah diam tak bergerak. Begitu hampir sampai, tubuhnya sedikit turun ke bawah. Lalu langsung disambarnya gulungan kulit yang masih tergenggam di tangan Dewa Kutukan.
Begitu gulungan kulit berpindah tangan, Tengkorak Berjubah melesat ke arah utara. Sebentar saja, tubuhnya telah menghilang di balik pohon-pohon besar dan semak belukar yang merangas tinggi-tinggi.

* * *



Sementara itu, Sepasang Iblis Pendulang Sukma yang tengah menghadapi Aji tampaknya sudah tak sabar lagi.
"Sunti! Gunakan jurus pamungkas 'Iblis Pencabut Nyawa' untuk menyudahi perlawanan kunyuk ini! Waktu kita telah banyak tersita karena ulahnya!" teriak Sangsang saat berdiri berjajar bersama Sunti.
Perempuan itu hanya mengangguk mendengar kata-kata Sangsang. Dan bersamaan dengan itu, mereka lantas melangkah ke belakang dengan kedua tangan saling mengatup sejajar dada. Tak lama berselang asap tipis mengepul dari kedua tangan Sepasang Iblis Pendulang Sukma, diiringi terciumnya bau aroma bunga melati.
Aji yang masih berdiri tegak lima tombak di depan Sepasang Iblis Pendulang Sukma memandang tajam. Matanya terus mengawasi gerakan dua orang itu. Namun begitu hidungnya mengendus aroma bunga melati, matanya mengerdip-ngerdipkan. Dan mendadak, tubuh pemuda itu agak goyah.
"Jangkrik! Ilmu apa ini? Napasku tiba-tiba serasa sesak. Tenggorokan bagai dijilati api. Dan..., sial! Mataku berkunang-kunang!"
Melihat keadaan pemuda itu tiba-tiba Sangsang dan Sunti menyentakkan tangan ke depan disertai bentakan menggeledek. Saat itu juga, angin kencang menderu serentak meluruk ke arah Aji dari arah bawah dan atas.
Aji yang tak bisa melihat serangan, hanya bisa menghindar dengan melesatkan tubuhnya ke atas. Angin pukulan yang datang dari bawah memang dapat dihindarinya. Tapi dengan angin pukulan yang dari atas, dia tak dapat berbuat apa-apa.
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Aji yang masih membumbung, kontan terpental jauh disertai lenguhan keras. Dan begitu tubuhnya terpuruk di atas tanah, darah segar sudah tampak mengalir dari lobang hidungnya. Namun, begitu meram-bat bangkit, pemuda itu kembali ambruk. Bahkan dari mulutnya menyembur darah merah kehitam-hitaman. Di lain tempat juga terdengar jeritan tertahan, saat angin pukulan deras melabrak tubuh Aji tadi.
"Aku harus menolongnya, Eyang!" sambut Ajeng Roro yang tadi menjerit tertahan.
Eyang Selaksa menggelengkan kepala.
"Jangan berlaku ceroboh, Roro! Mereka bukan tandinganmu. Dan Aji pun masih bisa bertahan."
Tepat ketika kata-katanya berakhir, Eyang Selaksa bangkit. Kemudian laki-laki tua itu keluar dari tempatnya mendekam, diikuti Ajeng Roro dari belakang.
Sementara itu, Sepasang Iblis Pendulang Sukma kini melangkah maju mendekati Aji yang masih terduduk. Sunti tampak melepas ikat pinggangnya. Sementara, Sangsang menakupkan kedua tangannya sejajar dada. Belum sampai tangan Sangsang dan Sunti bergerak....
"Keluarkan kipas! Buka menghadap terbalik! Peragakan sap keempat!" eriak Eyang Selaksa, lantang.
Sepasang Iblis Pendulang Sukma terkejut. Demikian juga Ajeng Roro yang memandang dengan terheran-heran. Namun, tak demikian Aji. Langsung disadari kalau seruan itu ditujukan padanya. Maka tanpa menunggu lama, Pendekar Mata Keranjang 108 mengeluarkan kipas warna ungu dari balik bajunya dalam keadaan tetap duduk.
Sementara Sangsang hanya melirik sekilas.
"Jangan hiraukan mereka! Lekas kita sudahi bangsat kecil ini!" kata Sangsang pelan.
"Tapi, Kang.... Kipas."
"Brengsek! Jangan banyak omong!" sentak laki-laki bermata satu itu sambil mendorongkan tangannya ke depan.
Dan Sunti pun ikut menyabetkan ikat pinggangnya.
Serangkum angin keras dan angin sabetan ikat pinggang datang bersamaan meluruk ke arah Aji. Namun dengan seluruh sisa-sisa tenaganya, pemuda itu segera memperagakan perintah Eyang Selaksa.
Biang!
Dan sungguh! Bahkan Sepasang Iblis Pendulang Sukma seakan tak percaya. Ternyata serangan mereka bagai membentur dindingyang tak nampak. Bahkan memantul balik!
Sangsang dan Sunti terkejut. Namun, untungnya masih sigap. Mereka serentak menghindar dengan merebahkan tubuh ke samping kanan dan kiri. Namun tak urung, kaki Sunti ter ambar pantulan serangannya sendiri. Plak! "Aaakh!"
Saat itu juga terdengar jeritan melengking dari bibir Sunti.
Namun tak lama kemudian Sangsang dan Sunti telah bangkit. Sebentar mereka saling berhadapan. Tapi tiba-tiba laki-laki bermata satu melirik tempat Dewa Kutukan dan Tengkorak Berjubah bertarung. Dia jadi curiga, karena tak terdengar lagi suara pertarungan dua orang tadi.
Dan mendadak Sangsang tercengang, tak kala mata satunya melihat tubuh Dewa Kutukan telah terbujur hangus. Lantas matanya memandang berkeliling. Ia tambah terkejut, karena Tengkorak Berjubah juga tak kelihatan batang hidungnya.
"Sunti! Kita harus cepat tinggalkan tempat ini! Kita harus segera menyusul Tengkorak Berjubah! Rupanya, dia telah berhasil membawa gulungan kulit itu dan pergi diam-diam!"
"Benar, Kakang! Tua sinting itu rupanya telah mengelabui kita. Dia pergi tanpa permisi!"
Belum sampai habis kata-kata Sunti, Sangsang telah berkelebat. Baru kemudian Sunti mengikuti dari arah belakang.
Begitu Sepasang Iblis Pendulang Sukma berkelebat pergi, Ajeng Roro cepat menghambur ke arah Aji.
"Aji...!" pekik Ajeng Roro tertahan dengan mengguncang bahu Pendekar Mata Keranjang 108.
Pemuda tampan dan perlente itu hanya diam. Bibirnya mengeluarkan suara yang tak terdengar. Lalu tubuhnya ambruk ke atas tanah.
"Dia terluka dalam."
Begitu gadis ini menoleh, Eyang Selaksa telah berdiri di samping Ajeng Roro.

* * *



Di sebuah pohon besar yang ada di sebelah jalan setapak masuk kawasan hutan, tampak sesosok tinggi berjubah hitam besar tengah duduk di atas sebuah batu dalam gelap bebayangan pohon.
Tangan sosok yang hanya terlihat sebatas pergelangan dan tampak tanpa daging, dimasukkannya ke dalam jubah. Saat tangan itu keluar, tampak telah menggenggam segulung kulit berwarna coklat. Raut wajahnya yang tanpa tertutup kulit sedikit pun bergerak-gerak. Sepasang matanya yang berputar-putar liar dalam rongga yang menjorok ke dalam, nampak nyalang. Sesaat kemudian, telinganya tertarik ke atas.
Cukup lama sosok yang tak lain Tengkorak Berjubah itu diam terpaku. Ketika suasana tetap hening, gulungan di tangannya segera dibuka.
"Hm.... Aku akan jadi raja di atas raja dalam rimba persilatan! Kitab serta kipas itu akhirnya akan jatuh ke tanganku!" gumam Tengkorak Berjubah sendirian, dengan suara sengau.
"Aku harus cepat mempelajari isi lembaran kulit ini! Karena menurut cerita yangberedar, lembaran ini hanya berisi peta dan keterangan tentang kitab serta kipas itu! Semoga sebelum fajar besok, aku sudah bisa menentukan letak tempat itu!" Dengan tangan agak gemetar, Tengkorak Berjubah membuka gulungan kulit di tangannya. Sesaat gulungan yang telah terbuka diletakkannya di atas pangkuannya. Kepalanya berputar dengan mata nyalang membeliak, memandang ke
sekeliling.
"Aku akan genggam tampuk tertinggi dunia persilatan! Hm. Siapa kelak yang bisa menandingi diriku?"
Sambil bergumam, Tengkorak Berjubah mengawasi lembaran kulit pertama. Kepalanya tampak mengangguk-angguk.
Tengkorak Berjubah berlama-lama memandangi lembaran kulit pertama. Itulah pelipisnya bergerak-gerak, sedangkan matanya yang membeliak jadi menyipit.
Sesaat kemudian, Tengkorak Berjubah membuka lembaran pertama dan mengawasi lembaran kulit kedua. Kembali agak lama lembaran itu dipandangi. Dan Tengkorak Berjubah melakukan hal yang sama, seperti saat melihat pada lembaran kulit pertama. Bahkan kini tulang dagunya sedikit terangkat ke atas. Begitu membuka lembaran kulit kedua dan terlihat lembaran kulit yang ketiga, tulang-tulang di wajah Tengkorak Berjubah bagai terkena benturan. Jubah besarnya tampak bergetar seiring getaran tubuhnya.
"Bangsat bedebah!" mendadak keluar umpatan dari bibir Tengkorak Berjubah.
"Lembaran ini palsu!"
Saat itu juga lembaran kulit itu disentakkan ke atas tanah di bawahnya. Cukup lama Tengkorak Berjubah masih duduk terpaku, dengan mulut bergerak-gerak menggumam tak karuan.
Dan mendadak telinga Tengkorak Berjubah kembali tertarik ke atas.
"Hm. Kecoa-kecoa itu lewat sini!"
Sambil bergumam, perlahan-lahan Tengkorak Berjubah turun dari atas batu. Dipungutinya lembaran-lembaran kulit yang berserakan. Kemudian, kepalanya mendongak.
"Hm. Meski palsu, namun masih bisa ditukar dengan tubuh perempuan itu. !"
Dan sekali jejak, tubuh Tengkorak Berjubah telah kembali di atas batu dengan tubuh membelakangi jalan setapak yang masuk kawasan hutan ini.
"Sepasang Iblis Pendulang Sukma! Apakah kalian yang lewat?" seru Tengkorak Berjubah, ketika dua sosok tubuh itu berkelebat. Dua sosok yang berkelebat serentak berhenti dan menoleh ke arah datangnya suara. Dua sosok yang memang Sepasang Iblis Pendulang Sukma tampak terkejut tak percaya.
Tapi begitu yakin, Sunti cepat berkelebat ke arah Tengkorak Berjubah. Sementara Sangsang hanya melangkah perlahan mendekati.
"Orang gagah Tengkorak Berjubah yang kuhormati, sungguh tak disangka kau berada di sini! Rupanya kau tokoh yang tak mau ingkar janji!" kata Sunti.
Tengkorak Berjubah memutar tubuhnya.
"Dengar! Sebagai orang tua, aku tak mau menelan ludah yang telah kusemburkan! Janji tetap janji. Aku memang sengaja menunggu kalian di sini! Aku hanya ingin mengatakan, bahwa lembaran kulit itu sekarang berada di tanganku! Kuharap kalian bersabar menunggu barang tujuh hari. Setelah itu, kalian bisa memiliki lembaran ini!"
"Terima kasih, terima kasih, Tengkorak Berjubah yang kusegani, jika kau masih ingat dengan janji itu! Tapi..., bagaimana."
Sunti tak meneruskan kata-katanya. Malah kepalanya menoleh ke arah Sangsang yang telah berdiri di belakangnya.
"Bagaimana apa? Katakanlah!" tukas Tengkorak Berjubah.
"Bagaimana jika kami yang meminjamnya barang tiga hari. Setelah itu kau yang berhak memilikinya?"
"Ah...!" seru Tengkorak Berjubah, seakan-akan mengeluh tampak menganga. Tulang pelipisnya bergerak-gerak, pertanda berpikir keras.
"Hm.... Saatnyalah yang tepat aku harus menukar lembaran ini dengan tubuh montok ini! Hm.... Udara dingin begini sungguh nikmat jika berada dalam dekapan tubuh montok begini...!" batin Tengkorak Berjubah.
"Orang gagah yang kuhormati! Bagaimana? Kau setuju dengan usulku tadi? Atau."
"Hm. Dengar! Sebenarnya aku sudah tak begitu bernafsu dengan lembaran kulit ini, karena usiaku memang sudah tua! Namun karena sudah bertahun-tahun menyiapkan semua ini. Lagi pula sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia persilatan, aku tak akan membuang kesempatan bagus ini! Jadi, kalian harap mengerti jika aku meminjamkan lembaran ini dalam waktu dekat!"
Sunti menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah lebih dekat.
"Orang gagah, bagaimana jika kau meminjamkan sehari saja?"
"Wah! Kukira aku tak bisa menuruti permintaanmu itu! Karena, berarti aku harus menunggu. Padahal, menunggu adalah sesuatu yang sangat menyebalkan! Apalagi, sendirian. Ah.., sungguh suatu yang tak mengenakkan!"
Mendengar ucapan Tengkorak Berjubah, Sunti pun tahu arah tujuan kata-kata itu.
"Hm.... Biar tidak menyebalkan, bagaimana jika saat menunggu kau akan kutemani...?" tanya Sunti menawarkan dengan suara mendesah.
"Kalau hanya perlu teman, aku dapat mencari beberapa orang!"
"Jangan salah sangka, Orang Gagah! Aku tidak hanya menemanimu! Tapi.., juga bersedia melayani apa yang kau pinta! Kau tinggal bilang saja!"
Bibir laki-laki itu yang hanya berupa tulang-tulang menyeringai. Sejenak mata Tengkorak Berjubah memandangi dada Sunti, lalu beranjak ke pinggulnya.
Merasa ditatap demikian, Sunti sedikit menggoyang pinggulnya.
"Bagaimana, Orang Gagah? Cepat serahkan lembaran kulit itu! Setelah itu, kau berhak memilikiku!"
Selesai berkata, Sunti mengangkat bagian bawah kainnya. Sehingga, kakinya yang putih tampak jelas hingga paha.
Sepasang mata Tengkorak Berjubah kontan terbeliak menyaksikan kaki putih itu. Sementara, Sangsang mengalihkan pandangan.
"Bagaimana, Orang Gagah? Apakah bentuk tubuhku kurang menarik di matamu?" Selesai berkata, Sunti kembali mengangkat pakaian bagian bawahnya, sehingga seluruh kaki dari tumit sampai pangkal paha, tampak terpampang menantang. Sementara tangannya yang lentik merapikan rambut panjangnya.
Gejolak mulai merambah sekujur tubuh Tengkorak Berjubah. Sepasang matanya seakan sayang untuk berkedip barang sejenak. Tenggorokannya yang hanya tampak jakunnya mulai turun naik.
"Baiklah! Ambil lembaran ini! Namun, aku menginginkan kau sekarang juga...! Di sini!"
Sunti menoleh ke arah Sangsang. Sedangkan laki-laki bermata satu hanya mengawasi dengan tatapan sinis. Namun tak lama kemudian, Sangsang melangkah mendekat sambil menyorongkan tangan.
"Baik!" kata Sangsang seraya menyambar gulungan kulit.
Namun secepat itu pula Tengkorak Bejubah menyentakkan tangannya. Sehingga, sambaran tangan Sangsang tertahan.
"Aku tak bertanya padamu! Dia yang harus menjawab!" sergah Tengkorak Berjubah, dengan nada tinggi.
"Baiklah, Orang Gagah! Kuturuti permintaanmu! Serahkan lembaran kulit itu padanya!" desah Sunti sambil mengarahkan kepala ke arah Sangsang yang wajahnya tampak merah padam.
Disertai seringai menggiriskan, Tengkorak Berjubah melemparkan gulungan kulit pada Sangsang. Dan sebelum gulungan kulit bertebaran, tangan Sangsang cepat menyambar.
Begitu gulungan kulit berpindah tangan, laki-laki bermata satu itu cepat memutar tubuhnya. Lalu dia berkelebat menghilang ditelan rimbunan pohon-pohon besar.
Bersamaan dengan menghilangnya Sangsang, tangan Tengkorak Berjubah cepat pula merengkuh tubuh Sunti. Dan dengan tangkas, direbahkannya perempuan itu di atas pangkuannya.

* * *



--↨֍¦ 9 ¦֍↨--

"Di manakah aku?"
Itu ucapan pertama yang meluncur dari bibir Aji, ketika kelopak matanya bergerak membuka. Penglihatannya masih berkunang-kunang. Setelah matanya mulai jelas, Aji memandang berkeliling. Tampak ruangan di sekitarnya berupa bangunan dari kayu yang dinding-dindingnya dari pelepah daun kelapa. Tak jauh dari tempat-nya terbaring, tampak perabotan meja dan kursi juga dari bambu. Tempat Aji terbaring pun hanya sebuah tempat tidur lapuk yang berlapis jerami kering.
Ruangan tempat Aji terbaring terasa hangat. Karena, sebuah jendela agak besar yang ada di atasnya terbaring, memberikan jalan bagi sang matahari untuk menerobos masuk ke dalam ruangan.
Dan ketika mata Aji terbuka seluruhnya dan nyalang berkeliling, dia tak menemukannya kipas miliknya. Saat itu juga, dia mencoba bangkit.
"Akh...!"
Terdengar keluhan dari bibir pemuda itu.
"Busyet! Badanku terasa seperti tertusuk jarum jika digerakkan. Dan dadaku panasnya bagai terpanggang api...! Di manakah aku...?" gumam Aji dengan mata terus nyalang.
"Kau sudah bangun, Aji."
Mendadak terdengar suara dari balik pintu yang ada di samping belakang Aji. Dengan menahan rasa sakit dan susah payah, kepalanya dipalingkan ke arah suara yang seperti telah dikenalinya. Tegak di ambang pintu sambil tersenyum ke arahnya.
"Ajeng Roro..," panggil Aji perlahan.
Sesaat Ajeng Roro masih tersenyum, lalu melangkah mendekat.
"Eyang bilang, kau tak boleh banyak bergerak dahulu. Karena bias pukulan itu baru akan lenyap, dalam beberapa hari lagi..," jelas Ajeng Roro.
"Di mana kita sekarang berada. ?"
tanya Aji perlahan seraya menahan dadanya.
"Di sebuah gubuk yang tak jauh dari Lembah Pring Sewu. Eyang sengaja memilih tempat sunyi ini, agar dapat lebih tenang..," tutur Ajeng Roro.
Suasana hening sejenak ketika Ajeng Roro tak meneruskan kata-katanya. Keduanya hanya saling berpandangan dan saling tersenyum.
"Ngg.... Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Ajeng Roro dengan sepasang mata bulat menatap ke arah Aji.
Pemuda itu hanya mengangguk.
"Ada silang sengketa apa sebenarnya yang membuatmu tiba-tiba menyerang Sepasang Iblis Pendulang Sukma?"
Sebentar Aji hanya diam. Matanya beralih memandang ke arah samping.
"Dua orang itu adalah biang keladi malapetaka yang menimpa Perguruan Samudera Putih. Sekaligus, orang yang telah merenggut seseorang yang telah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. Yaitu Ki Lempungan! Dan mereka jugalah orang yang telah mencederai Eyang di batu karang!" jelas Aji, tanpa menatap gadis itu.
Selesai berkata, Aji masih juga tak mengalihkan pandangan. Dan tanpa sadar, ingatannya melayang kembali pada peristiwa beberapa puluh purnama yang silam. Waktu itu tubuh murid-murid Perguruan Samudera Putih bergelimpangan mandi darah. Juga, tubuh Aki Lempungan yang terkapar mengenaskan (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode perdananya: "Istana Karang Langit").
Mengingat begitu, napas Aji memburu kencang dan wajahnya merah padam.
"Suatu saat kelak, aku akan meneruskan perhitungan yang belum tuntas itu...!" tekad Aji, menggeram.
Menyaksikan hal demikian, Ajeng Roro cepat m-raih tangan Aji. Digenggamnya tangan yang telah mengepal itu erat-erat. Gadis itu berusaha menenangkan hawa amarah Aji.
"Maafkan aku, jika pertanyaanku tadi telah membawamu teringat kembali akan peristiwa yang menyedihkan...," bisik Ajeng Roro, seakan menyesali pertanyaannya. Dan ini membuat dada Aji bergetar.
"Orang macam mereka memang tak layak untuk hidup berlama-lama di dunia. Apalagi, mereka telah membentangkan kekuasaannya dari pesisir Laut Utara hingga Laut Selatan."
"Benar katamu! Namun, mereka bukanlah orang yang bisa dianggap remeh. Kau telah tahu itu, bukan? Apalagi kini muncul pula tokoh-tokoh berkepandaian tinggi yang telah beberapa puluh tahun tak unjuk diri. Kau harus mempersiapkan diri baik-baik!" ujar Ajeng Roro menenangkan Aji yang tampak berapi-api.
"Ajeng Roro! Kau tahu, di mana kipasku. ?"
"Aku simpan." Mendadak sebuah suara agak berat terdengar, menyela pembicaraan mereka. Serentak Ajeng Roro dan Aji menoleh.
Wajah gadis itu sontak berubah merah. Dan buru-buru genggaman tangannya dilepaskan. Mata bulatnya serentak menunduk kala mengetahui siapa gerangan yang menyeia. Sementara Aji sendiri berusaha tersenyum, meski amat dipaksakan.
"Eyang...," panggil Aji dengan sedikit tersenyum, menutupi rasa keterkejutannya.
Eyang Selaksa mengangguk. Lantas kakinya melangkah mendekat. Sementara Ajeng Roro menggeser kakinya ke arah samping, di dekat kaki Aji.
"Bagaimana keadaanmu, Aji? Sudah agak baikan...?" tanya Eyang Selaksa, begitu sampai di samping Aji berbaring. Pemuda itu berusaha bangkit. Namun tangan Eyang Selaksa segera menahannya.
"Tetap berbaringlah, Aji. Luka dalammu belum sembuh benar. Biar kita berbincang-bincang dengan begini saja". ujar Eyang Selaksa seraya duduk di pinggiran tempat tidur yang beralas jerami.
Kembali Aji melemaskan otot-ototnya dengan berbaring santai di balai-balai itu.
"Aji.... Kau tentunya telah melakukan perjalanan panjang. Bagaimana jika kau menceritakan perjalananmu...?" tanya Eyang Selaksa, membuka percakapan saat telah duduk.
Mendengar ucapan Eyang Selaksa, dari mulut Aji lantas meluncur kata-kata mengenai perjalanannya, semenjak berangkat dari Kampung Blumbang yang diakhiri dengan pertemuannya di Jurang Guringring.
"Namun, masih banyak hal yang belum kumengerti...," kata Aji mengakhiri keterangannya. Sementara, sesekali matanya melirik ke arah Ajeng Roro.
Eyang Selaksa mengangkat kepalanya. Lantas matanya memandang ke arah jendela.
"Coba katakan hal yang belum kau mengerti...!" desak Eyang Selaksa.
Aji sejenak memandang Eyang Selaksa.
"Meski telah dapat menduga, tapi aku ingin meyakinkan apakah dugaanku benar adanya. Dan aku ingin keyakinan itu dari Eyang!"
Mendengar kata-kata Aji, Eyang Selaksa hanya mengangguk.
"Siapa sebenarnya orang tua berjubah yang duduk bersila di atas batu dengan kedua mata tertutup potongan kulit, akibat dicederai Sepasang Iblis Pendulang Sukma? Juga, siapakah sosok tak berdaging yang tangannya menggenggam kipas yang kini kumiliki?" tanya Aji.
Eyang Selaksa tersenyum.
"Orang tua berjubah yang duduk di atas batu bernama Jayeng Parama. Dia adalah adik seperguruanku. Namun setelah turun gunung dan bertempat tinggal di batu karang di tengah Laut Utara, orang-orang persilatan menjuluki Wong Agung dari Karang Langit."
Sebentar Eyang Selaksa menghentikan penuturannya. Lalu ditarik napas dalam-dalam.
"Sedangkan tengkorak manusia yang kau temui di ruang bawah, adalah mendiang guruku. Yakni, Panembahan Gede Laksana. Memang tempat tinggalku dengan Jayeng Parama terpisah. Dia ada di sebuah bangunan batu karang di tengah laut, sedangkan aku di sebuah gubuk di Kampung Blumbang. Namun meski demikian, setiap purnama sekali aku dan dia pasti mengadakan pertemuan. Hal ini kami lakukan, karena memang pesan mendiang Panembahan Gede Laksana."
"Tapi, apakah benar Panembahan Gede Laksana mempunyai seorang murid perempuan...?"
"Kau tahu dari mana...?" tanya Eyang Selaksa, seraya mengalihkan pandangannya ke arah pemuda itu.
Aji sedikit terkejut mendengar pertanyaan Eyang Selaksa. Dia memang sengaja tidak menceritakan pertemuannya dengan seorang gadis berpakaian kuning di kawasan hutan. Karena, Aji merasa risih jika menceritakan kejadian itu. Apalagi ada Ajeng Roro. Tak enak rasanya menceritakan tentang seorang gadis cantik, bertubuh menantang di hadapan Ajeng Roro. Aji khawatir, gadis itu akan menduga yang tidak-tidak.
"Ngg.... Kalau tak salah dari Putri Tunjung Kuning atau dari Dewi Kuning. Karena aku bingung menentukan mana yang Putri Tunjung Kuning dan mana yang Dewi Kuning..," jawab Aji, setelah lama terdiam.
"Jadi kau sebenarnya telah bertemu mereka?"
Aji mengangguk.
"Salah satu dari mereka entah yang mana, pernah menghadang perjalananku di sebuah kawasan hutan."
Mendengar ucapan Aji, Ajeng Roro tampak terkejut. Matanya yang bulat menyorot tajam, seakan ingin tahu apa saja yang terjadi selain penghadangan.
"Apa saja yang dikatakan padamu...?" kejar Eyang Selaksa.
"Dia mengatakan bahwa Panembahan Gede Laksana mempunyai tiga orang murid. Dan salah satunya adalah seorang perempuan. Juga dikatakan bahwa murid perempuan itu adalah gurunya."
"Hm.... Apakah dia tahu, jika kau memegang kipas itu...?"
"Ya. Dia tahu, namun kurasa tidak menginginkannya. Buktinya, dia tak berusaha merebut dari tanganku. Dia hanya ingin aku menunjukkan padanya! Setelah itu, pergi."
"Tidak salah dugaanku!" sela Eyang Selaksa.
"Panembahan Gede Laksana memang mempunyai tiga orang murid. Salah seorang di antaranya perempuan. Namanya, Larasati. Namun setelah turun gunung, aku tak tahu lagi di mana Larasati berada. Ia adalah seorang perempuan keras kepala dan serakah. Hingga saat guru mengatakan kalau masih menyimpan satu kitab dan sebuah kipas, yang tak mungkin diturunkan pada kami bertiga, Larasati berusaha dengan segala cara untuk mencari tahu. Namun, rupanya Larasati mengalami kegagalan. Karena menurut penuturan guru, orang yang kelak berhak memiliki kitab dan kipas itu seorang yang mempunyai tanda-tanda tertentu, selain juga mempunyai sebuah logam.
"Jadi?"
"Kau lah orang yang mempunyai tanda-tanda itu!"
"Ngg.... Maksudku, orang yang menghadangku di kawasan hutan itu!"
"Aku sendiri tak bisa menentukan. Tapi yang pasti dia tahu seluk-beluk tentang kitab dan kipas itu. Bisa dimengerti, mengapa dia tak berusaha merebut kipas itu dari tanganmu. Karena benda itu tak akan ada gunanya jika tidak disertai jurus-jurus yang ada dalam kitab. Demikian juga sebaliknya. Jurus-jurus dalam kitab, tak akan jalan tanpa adanya kipas itu!" "Tapi aku yakin, penghadang itu adalah salah satu dari Putri Tunjung Kuning atau Dewi Kuning!"
Eyang Selaksa tertawa.
"Jika memang benar begitu, aku tak heran. Karena, sejak semula di antara keduanya telah menelusuri tentang kitab dan kipas itu. Bahkan, aku dan Roro sempat terkecoh hingga bisa dibawa Dewi Kuning ke Jurang Guringring. Tapi, itulah. Kau tahu sendiri, bagaimana akibatsebuah tipu muslihat! Dia termakan ulahnya sendiri!" "Ngg.... Lantas, apa hubungannya dengan lembaran kulit yang ada di tangan Ageng Panangkaran?" tanya Aji kembali setelah agak lama hanya saling berpandangan, seakan-akan berjalan dengan pikiran sendiri-sendiri.
"Di dalam rimba persilatan memang tersiar kabar, bahwa Empu Jaladara, seorang Empu Maha Sakti yang masih keturunan Empu Gandring, pernah menciptakan dua buah kitab dan dua buah kipas. Benda-benda itu diciptakan, karena Empu Jaladara memang mempunyai dua orang anak. Yang sulung perempuan, sedangkan yang satu lagi laki-laki," tutur Eyang Selaksa. Sebentar laki-laki tua itu menghentikan ceritanya, seperti hendak mengumpulkan ingatannya.
"Pembuatan kitab dan kipas yang diperuntukkan bagi anak sulungnya, dapat selesai dengan sempurna. Namun sewaktu Empu Jaladara dalam tahap menciptakan kitab yang kedua dan menyelesaikan kipas yang kedua yang kelak diperuntukkan bagi anak laki-lakinya, terjadilah peristiwa yang menimpa keluarganya. Istri sang empu, tertangkap basah sedang berbuat serong dengan seorang Hulubalang kerajaan. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaannya waktu itu. Namun sebagai seorang empu, dia tak mau bertindak ceroboh! Sakit hatinya tidak mau dibalaskan pada sang Hulubalang. Disimpannya dalam pembuatan kitab serta kipas yang kedua. Hingga, barang siapa yang memegang dan mempejalari kitab serta kipas yang kedua itu, maka orang tersebut selain berkepandaian tinggi, juga akan menjadi bengis! Dia tak akan segan-segan menurunkan tangan kejam untuk membunuh. Selain itu, jika si pemegang seorang laki-laki, maka tak akan bisa melihat perempuan cantik. Karena dia akan segera menyergap dan mempermainkannya hingga tewas! Demikian juga sebaliknya."
Kembali Eyang Selaksa menghentikan ceritanya. Dan suasana pun jadi hening sejenak.
"Soal bagaimana hingga kitab dan kipas yang pertama bisa jatuh ke tangan Panembahan Gede Laksana, aku sendiri tidak pernah tahu. Hanya saja, ketika aku mendapat tugas dari guru untuk menemui seorang sahabatnya yang bernama Junjung Balaga, aku hanya me jumpai muridnya. Yaitu, Ageng Panangkaran. Dari Ageng Panangkaran pula, aku mendapat keterangan bahwa pemegang kipas serta kitab yang kedua adalah Junjung Balaga telah melemparkan kitab dan kipas itu ke sebuah gua. Tapi sebelumnya, dia juga membuat peta berikut keterangan tentang tempat kitab dan kipas yang kedua itu dilemparkan. Gulungan kulit itulah yang memuat peta serta keterangannya!"
Kembali Eyang Selaksa menghentikan keterangannya. Dan sejenak dipandangi Ajeng Roro yang berada di belakangnya. Lalu kembali mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Bisa dimaklumi, kenapa Junjung Balaga berbuat seperti itu. Mungkin dia merasa, bahwa kitab serta kipas itu sangat berbahaya jika sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung j awab!"
"Jadi antara Eyang dan Ageng Panangkaran, secara tak langsung ada hubungan..," simpul Aji, seakan tak percaya.
"Benar! Dan aku serta Wong Agung memang diberi tugas oleh guru, untuk menuntun sang pewaris. Karena hanya pewaris itulah yang kelak dapat menyelamatkan dua kitab, serta dua kipas itu dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab! Sekaligus, sebagai penyelamat dunia persilatan dari tangan orang-orang lalim dan sesat."
"Eyang tahu, siapa orang itu...?" "Kau!" tukas Eyang Selaksa singkat, seraya menatap tajam ke arah Aji.
Sejenak pemuda itu terkejut, tak percaya. Sementara, Ajeng Roro hanya tersenyum sambil melirik sekilas.
"Aku...? Kenapa aku?" tanya Aji, seakan masih tak percaya.
"Aku tidak bisa menjawab, jika yang kau tanyakan kenapa harus kau! Hanya, karena kaulah orang yang mempunyai tanda-tanda tertentu itu, maka kau pulalah si pewaris itu!"
"Aku tahu itu!" potong Eyang Selaksa.
"Kau hanyalah seorang anak yang lahir dari pasangan seorang petani bernama Rajaman dan Muna. Ayahmu telah meninggal dunia, saat mengandungmu dua bulan. Tapi mungkin kau tak tahu, bahwa sejak ibumu mengandung dirimu, telah terjadi beberapa keanehan. Di perut ibumu, tertera seperti guratan angka 108."
"Dari mana Eyang tahu?"
Mendengar pertanyaan Aji, Eyang Selaksa tak segera menjawab. Ia seperti mengingat-ingat.
"Mungkin aku lebih tahu tentang kau, daripada dirimu sendiri. Kau tahu? Sewaktu kelahiranmu, telah didatangkan beberapa dukun bayi. Namun, kau tak mau keluar juga. Demi mendengar kabar itu, aku segera datang ke tempatmu. Di sanalah aku tahu, bahwa kelak sang jabang bayi adalah sang pewaris. Dan aku lebih yakin lagi, setelah ibumu bercerita bahwa menjelang kelahiranmu, ibumu bermimpi didatangi seorang kakek berjubah putih. Dan sebelum pergi, sang kakek memberi sebuah logam. Anehnya, keesokan harinya di samping tempat tidur ibumu terdapat sebuah logam. Dan setelah kejadian itu, malam harinya kau lahir. Namun, ibumu rupanya juga tak berumur panjang. Ia hanya sempat mengasuhinu selama lima tahun. Setelah ibumu meninggal, kau diambil pamanmu yang menjadi Ketua Perguruan Silat Samudera Putih. Sejak saat itulah, aku selalu mengawasi sepak terjangmu. Kau ingat waktu bertemu denganku di sebuah kedai?"
Aji mengangguk.
"Hm.... Sekarang, ceritakan bagaimana hingga kau mendapat lembaran kulit itu dari Ageng Panangkaran."
Aji masih diam agak lama. Setelah menarik napas dalam-dalam seraya memegangi dadanya, Aji menceritakan pertemuannya dengan Ageng Panangkaran.
"Tapi.., aku hanyalah."
"Karena lembaran kulit itu sangat berharga, akhirnya aku menyalinnya. Dan di lembaran itu, sengaja ada yang kurubah. Jadi, meski lembaran kulit yang jatuh ke tangan Putri Tunjung Kuning asli, namun isinya telah kurubah. Peta dan keterangannya yang asli, sekarang kusimpan di suatu tempat...," jelas Aji, mengakhiri ceritanya.
"Bagus! Kau memang cerdik. Tapi kau juga harus hati-hati. Karena, tokoh-tokoh yang muncul saat ini masih belum seberapa. Tokoh lainnya, yang tingkat kedigdayaannya mumpuni, masih banyak yang belum menampakkan diri. Namun aku yakin, sebentar lagi mereka akan segera bermunculan. Apalagi, jika kejadian di Jurang Guringring sempat beredar. Bukan tak mungkin mereka akan segera unjuk diri dan memburu lembaran kulit itu. Maka dari itu, setelah kau sehat nanti, kuharap segera mencari tahu tentang beradaannya kitab serta kipas yang kedua itu. Jangan sampai ada orang lain yang mendahului. Karena, kitab dan kipas yang kedua itu sangat berbahaya. Bahkan akan menjadi petaka bagi dunia persilatan, jika jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab! Tugasmu memang berat, Aji! Seandainya saja aku tidak serenta ini, ingin rasanya aku mengantarmu!" papar Eyang Selaksa dengan nada menyesal. Tapi sebentar kemudian bibirnya telah tersenyum.
"Eyang, hingga sekarang, aku belum bisa menjabarkan sap-sap jurus yang ada di dinding batu karang itu, dengan kipas yang sekarang ada pada diriku! Aku memang telah bisa memperagakan jurus-jurus itu. Namun, cara penggunaannya masih bingung."
"Hm.... Itu bisa kau sempurnakan di sini, setelah kau sehat nanti! Selain itu, kau juga harus tahu jurus-jurus andalan beberapa tokoh dan kelemahannya. Itu penting bagimu. Karena, tak mustahil kelak kau akan bertemu mereka...! Dan."
Keterangan Eyang Selaksa mendadak terpotong. Bibir orang tua itu tiba-tiba mengatup rapat dan telinganya bergerak-gerak.
"Hm.... Ada orang di luar gubuk yang mencuri dengar pembicaraan kita!" gumam Eyang Selaksa, perlahan. Lantas matanya memandang ke arah Ajeng Roro dan mengangguk.
Bersamaan dengan anggukan kepala Eyang Selaksa, Ajeng Roro berkelebat ke arah pintu.
"Pengecut! Siapa kau yang berani mencuri dengar, he. ?!" Terdengar bentakan gadis itu.
Tak ada sosok yang terlihat. Apalagi, jawaban.
Namun begitu mata Ajeng Roro tertumbukpada sebuah pohon besar, tampak satu bayangan seseorang di baliknya. Maka secepat kilat gadis itu berkelebat.
"Brengsek!" umpat Ajeng Roro setelah sampai di balik pohon.
Ternyata bayangan itu memang telah lenyap. Begitu memandang ke samping, Ajeng Roro hanya dapat melihat sesosok tubuh berpakaian hitam berkelebat cepat dan menghilang.
"Eyang! Dia berhasil melarikan diri! Namun, aku dapat sedikit melihat bentuknya. Pakaiannya hitam dan rambutnya panjang. Aku yakin, ia seorang perempuan!" lapor Ajeng Roro, seraya berkelebat kembali ke dalam gubuk.
Eyang Selaksa bangkit, lalu mendongak keluar gubuk lewat jendela yang ada di atas tempat pembaringan Aji.
"Hm. Tempat ini pun rupanya telah
diendus orang! Kita harus lebih berhati-hati! Melihat kedatangannya yang sulit ditangkap mata dan telinga, serta mencuri-curi dengar, kurasa ia mempunyai kepandaian tinggi dan berniat tidak baik! Dan jika melihat ciri-cirinya, hm. apa mungkin dia?" gumam Eyang Selaksa, sedikit terheran-heran.
"Siapa, Eyang...?" tanya Aji dengan rasa heran pula.
"Bila benar ciri-ciri yang dilihat Ajeng Roro, orang itu perempuan sakti berjuluk Selir Iblis! Dan dia adalah bekas istri Ageng Panangkaran!"
Sekali lagi Aji terperanjat. Demikian juga Ajeng Roro yang telah berada di dalam gubuk.
"Aji! Tubuhmu mungkin masih terasa sakit. Maka, istirahatlah dahulu! Luka dalammu mungkin segera sembuh dalam tiga atau empat hari lagi...," ujar Eyang Selaksa.
Selesai berkata, Eyang Selaksa melangkah ke arah pintu. Sejenak Aji menatapi langkah-langkah laki-laki tua ini.

* * *



--↨֍¦ 10 ¦֍↨--

Di dalam kedai yang hanya terbuat dari iratan-iratan bambu serta meja yang tak terawat, Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 duduk dengan pandangan menyapu sekitarnya. Sebenarnya pemuda itu ingin segera meninggalkan tempat ini. Namun seorang gadis yang mungkin membuat mata setiap laki-laki tidak akan mengerdipkan mata, membuat Aji enggan pergi dari sini. Apalagi udara di luar kedai sangat dingin dan hujan masih juga turun meski sudah agak reda.
Seperti tak merasa ditatap oleh sepasang mata Aji sejak tadi, gadis itu tenang saja menyantap hidangannya dengan lahap. Gadis ini mengenakan pakaian hijau berbunga-bunga merah. Rambutnya panjang tergerai sebahu. Kulitnya putih, membuat penampilannya mengundang orang berlama-lama memandangnya.
Dan memang, tanpa disadari gadis itu, dua pasang mata tampak menatap tanpa kesiap dari balik sebuah pohon yang tak jauh di depan kedai. Dua pasang mata ini ternyata milik dua orang laki-laki yang duduk di atas dua ekor kuda, di balik gelap bayangan pohon besar.
"Seharusnya kita telah menyergapnya sewaktu, dia berada di dekat kawasan hutan tadi. Kalau sudah begini, kita masih harus menunggu lagi. Entah sampai berapa lama...," kata salah seorang penunggang kuda yang ada di balik pohon.
"Kau sepertinya terlalu tak sabar, Pikatan!" timpal laki-laki satunya dengan sedikit keras.
"Kau tahu? Jika bertindak ceroboh, kita akan mendapat ganjaran yang aku sendiri tak mau membayangkan...!"
Orang yang dipanggil Pikatan serentak diam mendengar kata-kata orang di sampingnya.
"Kau tak perlu terlalu memikirkan hal yang sepele begini! Bukankah setelah dapat membawanya ke hadapan Rangga Geni, kita akan mendapatkan imbalan yang bisa digunakan untuk bersenang-senang tujuh hari tujuh malam?!"
"Apakah kau tahu, siapa sebenarnya gadis itu?" tanya Pikatan pada laki-laki di sampingnya.
"Soal siapa adanya gadis itu, tak perlu dipersoalkan!" jawab lelaki di samping Pikatan, membentak.
Sejenak kemudian, tak ada ucapan yang terdengar dari dua laki-laki ini. Hanya mata mereka kini tak beranjak memandang ke arah kedai.
Tak lama kemudian dari dalam kedai tampak seseorang melangkah keluar.
"Kakang Riwung, lihat! Gadis itu keluar!" tunjuk Pikatan, tiba-tiba....
Mendengar hal itu, laki-laki yang dipanggil Riwung cepat mengarahkan pandangan ke arah pintu kedai.
"Saat yang kita tunggu-tunggu telah tiba! Kita tunggu sampai dia pergi agak jauh dari sini! Dan, ingat! Jangan sekali-kali bertindak ceroboh!" ujar Riwung, memperingatkan. Sementara matanya memandangi gadis yang kini mulai keluar dari kedai dan melangkah mendekati kuda yang tertambat di luar.
Begitu gadis itu telah loncat ke atas kuda dan berlalu, segera saja Riwung memberi aba-aba isyarat pada Pikatan untuk mengikutinya.
Sementara itu, Aji yang melihat berkelebatnya dua penunggang kuda membuntuti arah berlalunya gadis cantik tadi, hatinya merasa curiga. Sejenak pemuda itu memandang berkeliling. Begitu matanya tertuju pada seekor kuda yang masih tertambat di luar kedai, tanpa pikir dua kali segera dilepasnya tali kuda. Begitu berada di atas punggung kuda, Aji segera menghelanya ke arah berkelebatnya dua orang berkuda yang membuntuti gadis tadi.
Gadis berbaju hijau kembang-kembang merah tampak memacu kudanya dengan tenang. Dia seakan tak merasa, ada dua penunggang kuda yang kini telah mengikutinya dari belakang.
Tak lama berselang, di sebuah kawasan yang agak sepi, dua orang berkuda yang tak lain Riwung dan Pikatan serentak menghela tunggangannya. Kuda-kuda itu kontan kaget dan meringkik keras. Namun bersamaan dengan itu, kuda-kuda ini melesat deras ke depan.
Begitu Riwung dan Pikatan hampir menjajari buruannya, mendadak gadis di depannya menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga kuda gadis itu kini melesat kencang.
"Hm.... Rupanya dia mengajak kita untuk kejar-kejaran! Kita berpencar. Kau lewat barat, sedangkan aku akan lewat sebelah utara! Kita nanti akan bertemu di perempatan jalan yang menuju Kampung Blumbang!" perintah Riwung.
Maka sebentar kemudian, tampak kuda Pikatan berbelok ke arah barat. Sedangkan kuda Riwung membelok ke sebelah utara.

* * *



Dan dalam waktu singkat, mereka telah tiba di perempatan. Namun Riwung dan Pikatan sama-sama terkejut, karena tak menemukan gadis yang diburunya.
"Bangsat! Ke mana dia pergi? Tak mungkin dia lolos, karena jalan yang menuju perempatan ini hanya di sebelah barat dan utara!" gerutu Riwung, dengan mata nyalang berkeliling.
Ketika lamat-lamat terdengar hentakan ladam kuda, kedua laki-laki itu saling berpandangan tak percaya. Karena, ternyata kuda yang terdengar mendekati arah mereka, dari arah belakang! Terkejut berbaur heran, Riwung dan Pikatan menoleh ke belakang. Dan ternyata yang datang adalah gadis yang diikutinya.
"Astaga! Kenapa aku tak melihatnya jika mendahuluinya?" gumam Riwung sambil berlama-lama memandangi gadis yang kini mendekat ke arahnya.
"Melihat tingkah kalian, aku menduga kalau kalian perlu bicara denganku! Katakan, apa perlu kalian?!" bentak gadis itu begitu dekat dengan Riwung dan Pikatan.
Riwung sebentar memandang ke arah Pikatan.
"Benar! Aku bukan hanya perlu bicara denganmu! Tapi, perlu membawamu!" sahut Riwung, tegas.
Mendengar ucapan Riwung, gadis itu tersenyum, lalu mengangkat tangannya. Di depan dada, tangannya dibuka.
"Manusia dan hewan memang tak berbeda. Yang membedakannya hanya, sejauh mana manusia menggunakan akalnya!" kata gadis itu sambil melihat telapak tangannya.
Riwung dan Pikatan saling berpandangan tak mengerti.
"Hm.... Jika kau masih tak mengerti maksudku, coba kalian dengarkan sekali lagi!" ujar gadis ini.
"Ah...! Kau terlalu banyak omong...!" bentak Riwung sambil menyentakkan tali kekang kudanya. Kuda itu kaget, dan langsung melompat mendekat ke arah gadis ini. Bersamaan dengan itu, tangan Riwung cepat menggapai tubuh si gadis.
Namun anehnya, gadis itu hanya diam saja, tidak berusaha menghindar atau meloncat untuk menyelamatkan diri. Dia tetap tegakdi atas kuda tunggangannya. Bahkan sepasang matanya menatap tajam ke arah Riwung.
Mendadak, begitu tangan Riwung bergerak, gadis itu menggerakkan sedikit kakinya, seperti membuat gerakan berputar. Maka terjadilah suatu yang hampir tak dapat dipercaya. Riwung dan kudanya kontan tersungkur berjumpalitan di atas tanah.
Sambil berusaha bangkit dan memegangi kepalanya, Riwung memandang ke arah gadis itu dengan tatapan kecut. Perasaan khawatir tersemburat dari wajahnya yang tampak pucat.
Sementara itu, Pikatan tak berani lagi memandang.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Riwung bergetar.
Mendengar pertanyaan Riwung, gadis ini malah tertawa panjang.
"Apalah arti sebuah nama...," jawab gadis ini. Namun sepasang matanya tetap tak beranjak dari wajah Riwung.
"Lekas pergi dari hadapanku jika kalian masih sayang nyawa!" "Jangan kau kira aku takut ancamanmu!" bentak Riwung seraya melangkah mendekat.
"Kau memang manusia tolol yang tak bisa menggunakan akal!"
Sambil berkata demikian, gadis itu mengibaskan tangannya.
Wesss!
Seketika serangkum angin deras melarik ke arah tubuh Riwung. Dan laki-laki ini terlambat menghindar. Akibatnya....
Desss! "Aaakh. !"
Tubuh Riwung kontan terpental, dan menumbuk kudanya yang merumput. Terdengar lenguhan keras dari mulut laki-laki itu sebelum akhirnya merambat bangkit sambil memegangi dadanya.
Mendapati siapa yang kini dihadapi, Riwung segera sadar. Segera kakinya melangkah mendekati kudanya. Dan tanpa menoleh lagi, tali kekang kudanya disentakkan. Sebentar kemudian, ia telah menghilang di belokan.
"He...! Kenapa kau tak lekas pergi dari sini? Apa yang kau tunggu?" bentak gadis itu pada Pikatan yang nampak masih terkesima melihat kejadian yang baru saja dialami Riwung.
Mendengar bentakan, buru-buru Pikatan memutar kudanya dan berlalu ke arah selatan.
"Manusia macam mereka memang pantas mendapat hajaran...!"
Mendadak terdengar sebuah suara, setelah Pikatan tak terlihat.
Sementara gadis itu hanya diam saja. Menoleh pun tidak.
Aji, yang ternyata telah berada di belakang gadis ini sedikit heran mendapati kata-katanya yang tak mendapat sambutan dari gadis itu. Pemuda tampan dan perlente ini berlama-lama memandangi dari belakang. Dan mendadak dia tergagap tatkala gadis ini memutar tubuhnya menghadap ke arahnya.
Belum sempat Aji berkata, gadis itu telah mengangkat tangannya sejajar dada. Lalu telapak tangannya dibuka. Tanpa mempedulikan pandangan Aji yang terheran-heran, gadis ini melihat telapak tangannya.
"Anak manusia bernama Aji dan berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108, ketahuilah! Kipas dan jurus yang telah kau peroleh dari Karang Langit, adalah sebuah amanat! Sebagai pengemban amanat, kau harus dapat mempergunakannya sebaik-baiknya. Berbuatlah seperti apa yang dikatakan Wong Agung terhadapmu! Tugasmu berat, yakni menyelamatkan dunia persilatan dari genggaman tangan orang yang tidak bertanggung jawab dan orang-orang sesat. Namun, ketahuilah. Walau berat, tapi tugas itu amat mulia! Bersyukurlah bahwa kau orang yang telah ditakdirkan sebagai pengemban tugas mulia itu! Teruskan pengembaraanmu hingga dapat melaksanakan amanat dengan baik!"
Seakan tak percaya, Aji diam terpaku. Tapi begitu gadis itu selesai bicara, pemuda ini seperti tersadar.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah kau...?" tanya Aji.
Gadis ini berpaling. Senyumnya yang sejuk menyeruak di bibirnya.
"Aku adalah pemilik kitab dan kipas yang sekarang ada di tanganmu!" sahut gadis itu.
"Jadi...?" Aji tercengang.
"Kau adalah."
"Ya.... Aku adalah anak sulung Empu Jaladara!"
"He. ?!"
Aji kali ini benar-benar tak percaya. Tatapan matanya dihujamkan dalam-dalam pada gadis di depannya.
"Bukankah Empu Jaladara hidup beberapa ratus tahun yang lalu. ?"'
"Tak salah! Dan sebenarnya aku telah meninggal dunia beberapa ratus tahun yang lalu. Tapi walau demikian, aku masih punya tanggung jawab atas kitab dan kipas itu. Sekarang, tanggung jawab itu kulimpahkan padamu...! Namun, ingat! Jika kau salah mempergunakan tanggung jawab yang kuberikan, aku tak segan-segan mengambilnya dari tanganmu. !"
Sebelum Aji sempat bertanya iebih jauh, mendadak sebongkah kabut putih menggulung dan menyaput tempat gadis tadi berdiri. Tak lama kemudian, kabut yang membungkus perlahan sirna bersama lenyapnya gadis yang mengaku sebagai anak Empu Jaladara.
Untuk beberapa lama Aji duduk di atas kudanya dengan mulut ternganga. Dan tak lama, ia segera sadar bahwa masih ada tugas yang harus diselesaikan.
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 lantas menghentak tali kekang kuda tunggangannya, lalu bergerak cepat ke arah selatan.

SELESAI



INDEX AJI SAPUTRA
Istana Karang Langit --oo0oo Malaikat Berdarah Biru
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.