ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GEGER DI LEMBAH TENGKORAK
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
::֍:: { 1 } ::֎::
Bulan pucat bertengger di langit. Seorang
lelaki yang wajahnya dipenuhi brewok
tampak memandangi rembulan tanpa
berkedip. Sesekali angin malam bertiup,
rambut lelaki tua yang sudah mulai
memutih, ilu bergerak-gerak. Lelaki tua
yang masih gagah itu hanyut terbuai
lamunannya sendiri.
Sejak tadi lelaki berkulit hitam legam itu
hanya terdiam. Ia duduk di atas sebuah
batu besar. Tidak jauh dari situ, berdiri
sebuah gubuk. Gubuk milik petani yang
ada di pinggir ladang.
"Kang...," terdengar suara halus menyapa.
Lelaki brewok yang bernama Singo
Menggolo itu menoleh. Sejenak
dipandanginya wajah perempuan yang
duduk tidak jauh darinya itu. Singo
Menggolo menarik napas dalam-dalam,
perempuan itu masih muda dan cantik.
Kemudian tatapan lelaki tua itu kembali
teralih pada pohon-pohon besar di
kejauhan sana.
"Kenapa kau jadi gelisah begini?" tanya perempuan itu lembut.
Lelaki brewok itu hanya bisa mendesah.
Sulit baginya untuk mengungkapkan
perasaannya pada perempuan itu. Sebab
Singo Menggolo begitu mencintai
perempuan yang bernama Seruni.
Permintaan Seruni itu telah membuat Singo
Menggolo jadi gelisah.
Seruni tersenyum. Lalu menggeser
duduknya agar bisa lebih dekat dengan
Singo Menggolo.
Tiba-tiba Seruni melepaskan kancing baju
Singo Menggolo bagian atas. Kemudian
tangan halus itu menelusup dan mengelus
dada Singo Menggolo yang berbulu lebat.
Seketika kehangatan terasa menjalar ke
sekujur tubuh Singo Menggolo.
"Sejak dulu aku mengenalmu sebagai
seorang pendekar gagah perkasa. Apakah
kau takut menghadapi Datuk Subendo yang
berhati busuk itu?" tanya Seruni.
"Dalam hatiku tidak pernah ada perasaan
itu. Kalaupun ada pasti aku bunuh, sebab
aku sendiri tidak pernah gentar pada
kematian," jawab Singo Menggolo tegas.
Seruni menatap rembulan. Sementara
Singo Menggolo memandangi wajah
perempuan itu tanpa berkedip.
"Karena itulah aku yakin kau akan bisa
mewujudkan cita-citaku untuk
mendapatkan Kembang Keabadian."
"Untuk apa kau mati-matian ingin
mendapatkan Kembang Keabadian?" tanya
Singo Menggolo.
"Karena dendam! Kau tahu dulu Datuk
Subendo adalah kekasihku, dan Nyai Pelet
adalah guruku. Karena Kembang Keabadian
hubungan itu jadi berantakan," Seruni
terdiam sejenak.
"Kau tahu Kang, Kembang
Keabadian itu bisa membuat kita panjang
umur. Kita akan awet muda, selain itu juga
akan jadi sakti mandraguna. Setelah
mendapatkan Kembang Keabadian itu kita
adakan persembahan agar kita
mendapatkan kesaktian yang diinginkan."
"Kau tahu jika Datuk Subendo pernah
berkelana bersamaku?"
"Kembang Keabadian itu akan
menghapus hubungan itu. Seperti
hubunganku dengan Datuk Subendo dan
Nyai Pelet yang jadi berantakan."
Singo Menggolo terdiam. Sebenarnya
bukan Kembang Keabadian itu yang ia
inginkan. Seruni yang cantik itu ingin
dimilikinya.
"Kenapa kau ragu?" di bibir Seruni
tersungging seulas senyum.
"Sehari
perjalanan lagi kita akan sampai di Lembah
Tengkorak...."
Sentuhan lembut tangan Seruni di dada
Singo Menggolo itu belum juga terhenti.
Bahkan sekarang sudah menjalar ke manamana. Konsentrasi Singo Menggolo jadi
sedikit terganggu, ada yang terasa mendidih
di dada lelaki itu.
"Di mataku Datuk Subendo adalah
seorang sahabat yang baik," ucap Singo
Menggolo datar.
Kontan saja Seruni tertawa terkekehkekeh.
"Siapa yang bisa percaya hal itu?" tanya Seruni sinis.
"Kau saja yang terlalu
berbaik hati padanya.... Kau lihat saja
kenyataannya, sekarang dia bisa menjadi
orang yang kaya raya. Sedang dirimu"
Sejak dulu keadaanmu tidak juga berubah.
Apakah ini yang namanya adil?" Seruni
memojokkan.
"Kalau saja sejak dulu aku mengenalmu,
pasti aku akan berusaha menjadikan diriku
kaya raya. Apalah artinya kekayaan jika
aku hidup menyendiri?"
"Jangan kau sesali masa lalu, Kang!
Sekarang berkorbanlah sedikit untukku.
Raihlah Kembang Keabadian yang muncul
seratus tahun sekali di Lembah Tengkorak.
Bagiku Kembang Keabadian itu lebih
berharga daripada harta benda...."
"Berarti aku tidak harus membunuh
Datuk Subendo?"
"Terserah apa maumu...."
Tatapan Singo Menggolo lak lepas dari
wajah Seruni. Gadis itu kelihatan muda dan
cantik di matanya. Sementara Singo
Menggolo sendiri wajahnya sudah mulai
dipenuhi keriput-keriput karena termakan
usia. Tiba-tioa Singo Menggolo menggenggam
tangan Seruni. Tatapan mereka pun
bertemu. Singo Menggolo menarik tubuh
yang tampak padat berisi itu, hingga tubuh
mereka menempel satu sama lain. Tak
tahan lagi Singo Menggolo langsung
menghujani Seruni dengan kecupankecupan hangat.
Ketika kecupan itu terasa kian membara,
Seruni menggeliat kegelian karena kumis
Singo Menggolo yang tebal menggesek-gesek lehernya yang jenjang. Singo Menggolo
berusaha membaringkan tubuh gadis itu ke
atas batu besar itu. Tapi Seruni segera
menahannya.
"Di gubuk saja, Kang!" bisik Seruni ke telinga Singo Menggolo.
Singo Menggolo mengangguk pelan.
Disambarnya tubuh Seruni kemudian
dipondong ke dalam gubuk itu. Gerakannya
tampak ringan sekali, karena ilmu
meringankan tubuh Singo Menggolo
memang sudah mencapai taraf yang tinggi.
Bagai singa lapar Singo Menggolo
menerkam tubuh Seruni. Dua bundaran
daging lunak itu menyembul keluar ketika
kebaya Seruni tersingkap. Singo Menggolo
semakin bernafsu dan menciumi sepuaspuasnya. Napasnya naik turun karena
menahan gejolak yang menyala-nyala.
Seruni melempar tatapan matanya ke
gubuk bambu itu. Suara berderit terdengar
berirama, lincak bambu itu bergoyang
seiring gerakan mereka. Mulanya Seruni
sama sekali tidak bisa menikmati
permainan itu. Mengingat Singo Menggolo
sudah tidak memiliki daya tarik lagi di
matanya. Tapi akhirnya Seruni jadi
terpengaruh juga. Hingga ia berusaha
mengimbangi setiap gerakan Singo
Menggolo. Rapat-rapat Seruni memejamkan
matanya. Dalam lamunannya ia
membayangkan wajah-wajah ganteng yang
pernah menidurinya. Agar ia bisa
menikmati semua itu. Biarlah, biarlah ia
memberi sedikit kesenangan pada Singo
Menggolo. Dengan cara itu Seruni akan bisa
menaklukkan Singo Menggolo yang sakti,
kemudian memperalat agar Singo Menggolo
bisa mewujudkan semua keinginannya.
***
"Kakek gundul, kakek sakti...," seorang pemuda berpakaian hijau pupus berteriak
sekeras-kerasnya.
Suara pemuda berambut gondrong itu
menyebar ke mana-mana. Tapi sejauh itu
tetap tidak ada jawaban. Pohon-pohon
besar itu berdiri angkuh dan membuat
suasana terasa senyap. Sore itu pemuda
berambut gondrong berbaju hijau pupus
yang tak lain adanya Pendekar Slebor
sudah sampai di pinggiran Alas Roban.
Sudah sepeminuman kopi lamanya
Pendekar Slebor yang sering dipanggil
Andika itu terlibat dalam kejar-kejaran
bersama seorang tokoh persilatan yang
aneh sekali. Tapi begitu masuk Alas Roban,
kakek berkepala botak, bertubuh kerdil,
dan berambut putih itu seperti lenyap
ditelan belantara.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu
menggenjot langkahnya sambil
mengerahkan segenap ilmu meringankan
tubuhnya. Kemudian ia jadi ragu sendiri,
apakah arah yang diambilnya sudah benar"
Teringat itu Andika segera berhenti. Ia
celingukan ke sana kemari. Tidak ada
tanda-tanda ke mana kakek misterius itu
pergi. Jejaknya bagai lenyap dengan begitu
saja.
"Kakek sialan! Kalau saja bisa kutemukan
dirimu... akan kujitak kepalamu yang
botak...." Andika menggerutu sekenanya.
Hutan itu begitu sunyi. Ia hanya bisa
mendengar suara kicau burung di
kejauhan. Pendekar Slebor henar-benar
sudah kehilangan semangatnya. Padahal ia
begitu ingin bertemu kakek gundul
bertubuh kerdil itu. Dalam mimpi Andika
bertemu dengannya. Dan ia yakin kakek itu
akan bisa memberi jalan keluar atas
keruwetan di hatinya.
"Kakek... aku tahu kau memang sakti.
Aku yakin kau sengaja ngerjain diriku
ini...." Pendekar Slebor terus saja nyerocos.
Ia yakin kalau kakek misterius itu masih
berada di sekitar situ.
Akhirnya Andika harus menelan satu
kenyataan pahit. Sebab kakek misterius itu
tidak juga nongol. Setelah mendesah
panjang Andika bermaksud meninggalkan
tempat itu. Tapi pemuda berambut gondrong itu
merasa kebingungan, matahari sudah
mulai bergeser ke langit barat. Kalau saja ia
kembali lewat jalan yang ditempuhnya tadi,
bisa-bisa ia kemalaman di tengah hutan.
Satu-satunya jalan Andika harus mencari
jalan pintas untuk keluar dari hutan!
Dengan menggunakan inderanya yang
tajam. Pendekar Slebor terus saja terlari.
Disusurinya jalan setapak di hutan itu.
Jalan itu yang biasa dilewati orang.
Ternyata perhitungan Andika itu tepat
sekali! Sebelum langit berubah menjadi
gelap, langkahnya sudah sampai di luar
hutan. Tatapan pemuda berpakaian hijau pupusitu tertuju pada sebuah gubuk yang berada
di pinggir ladang. Tiba-tiba dalam hati
Andika mengatakan, mungkin saja kakek
gundul itu beristirahat di gubuk itu. Kecil
kemungkinannya kalau ia menembus hutan
di malam hari. Andika terkejut sekali. Sebab begitu
langkahnya sudah dekat dengan gubuk itu,
ia mendengar suara-suara ganjil. Terdengar
dua insan berlainan jenis yang saling
mendesah. Derit lincak bambu itu juga
terdengar dengan jelas. Untuk mengusir
rasa penasarannya Pendekar Slebor
melongok ke dalam. Ya ampun! Tanpa
sengaja ia melihat dua orang sedang
bergumul. Andika tidak bisa melihat
dengan jelas karena di dalam suasananya
gelap.
"Kang...," ucap Seruni karena ia
mendengar suara langkah di luar.
"Adu apa?" tanya Singo Menggolo.
"Ada orang...."
Singo Menggoio bergegas bangkit. Dengan
hanya bertelanjang dada ia keluar. Tapi
tidak ada siapa-siapa di luar. Pendekar
Slebor telah mencelat jauh dan tidak
kelihatan lagi. Sambil menggerutu Singo
Menggolo kembali masuk ke gubuk.
***
Tampak di pinggir hutan, seorang kakek
berkepala gundul, bertubuh kerdil tengah
memanggang dua ayam hutan. Dialah
kakek misterius yang tadi dikejar-kejar
Andika. Namanya Peramal Sakti yang
datang dari Himalaya. Tidak banyak yang
mengetahui tentang dirinya. Karena ia
adalah orang asing di tanah Jawa ini. Tapi
sebagian tokoh sakti sudah mengenal siapa
dirinya dan tahu kelebihannya.
Kakek gundul itu sejak tadi kegirangan
manakala ayam hutannya sudah mulai
matang. Ia bergerak-gerak seperti orang
menari. Dari mulutnya terdengar
bersenandung. Sementara di sudut lain tampak
bayangan hitam berkelebat begitu cepat. Ia
berlari dengan mengerahkan segenap ilmu
meringankan tubuhnya. Ternyata dia
adalah Pendekar Slebor! Andika terus saja
berlari setelah melihat adegan di gubuk
bambu tadi.
"Sial... sungguh sial nasibku hari ini...,"
gerutu Pendekar Slebor seraya terus berlari.
Tiba-tiba saja Andika menghentikan
langkahnya. Karena hidungnya mencium
aroma harum. Seketika perutnya menjadi
keroncongan karena sejak siang belum
terisi.
"Harum sekali... ah, aroma yang lezat...
daging panggang...," ucap Andika seraya
mendekat ke tempat di mana api itu
menyala. Pendekar Slebor jadi terkejut sekali begitu
melihat kakek gundul itu. Dengan
mengendap-endap pemuda berambut
gondrong itu mendekat, ia tidak
menginginkan kehadirannya diketahui.
Kemudian....
"Hiiyyaaa...," teriak Andika seraya
melentingkan tubuhnya. Tahu-tahu dengan
satu loncatan ia sudah berada di hadapan
kakek itu.
"Mau lari ke mana kau sekarang" Kau
tidak mungkin bisa lari dariku lagi,
Kakek...," ucap Andika dengan wajah
berseri. Kakek gundul itu kelihatan cuek. Seakan
ia tidak mempedulikan kehadiran Pendekar
Slebor. Kakek gundul itu hanya melirik
pemuda berpakaian hijau pupus itu.
"Aku tidak akan lari ke mana-mana,
karena aku mau makan ayam hutan
panggang ini...," ucap kakek gundul itu
seraya melahap ayam panggang yang
berwarna kecoklat-coklatan itu.
Pendekar Slebor menelan air liurnya.
Nikmat sekali kakek gundul itu melahap
ayam panggangnya. Andika memandangi
kakek gundul itu tanpa berkedip.
"Sungguh kasihan kau anak muda.
susah-susah kau mencariku hanya untuk
memandangiku makan," ucapnya seraya
melirik Andika.
"Ah, nikmat sekali...."
"Aku memang sial... karena yang kukejar
bukan orang yang baik hati...," gerutu
Andika.
"Kenapa kau bisa menuduh orang seenak
udel ibumu?" Kakek gundul itu garukgaruk kepalanya yang hampir tidak
berambut karena jarang sekali.
Andika mencibir sinis.
"Apakah itu
perbuatan orang baik jika tega makan
sendiri sementara melihat ada orang
kelaparan?"
"Jadi masalahnya itu?" tanya kakek
gundul seraya menepuk-nepuk ubunubunnya sendiri.
"Iya...," Andika mengangguk sambil
senyum-senyum.
"Hi hi hi hahaha... kasihan sekali dirimu
anak muda...."
"Aku memang sial karena bertemu orang
pelit!"
"Dua kali kamu menuduhku tidak benar!
Harusnya aku hukum dirimu. Cuma aku
tidak tega menghukum orang kelaparan."
Kakek gundul yang aneh itu kembali
menyantap ayam hutan panggangnya.
Tampaknya ia sengaja memaksa Pendekar
Slebor untuk menelan liurnya kembali.
"Aku tidak akan memberikan sesuatu
pada orang yang tidak mau berusaha...."
ucapnya sambil menelan daging panggang.
Andika garuk-garuk kepala. Ia sudah
tidak betah terus-terusan dikerjain. Diamdiam pemuda berambut gondrong itu bikin
ancang-ancang.
"Haiiitt!" mendadak Andika berusaha
menyambar ayam hutan panggang itu.
Hupf! Kakek gundul itu berhasil menghindar
dengan gerakan cepat sekali.
"Setiap perjuangan memang tidak
mudah." kakek gundul itu mengernyitkan
alis. Pendekar Slebor kembali melakukan
sambaran sekali lagi. Tapi selalu saja gagal.
Kakek gundul itu berhasil menghindar
dengan cara menggeser tubuhnya.
Setelah gagal untuk yang ketiga kalinya,
pemuda berpakaian hijau pupus itu
berusaha menyerang orang tua itu. Kedua
tangan Andika berusaha melakukan
sambaran-sambaran, sekaligus berusaha
melakukan totokan. Tapi kakek gundul itu
tidak bodoh, la balas menyerang Pendekar
Slebor dengan melakukan tendangan ke
arah kaki. Jadi kalau Andika nekat
menyambar ayam hutan panggang itu
berarti bunuh diri!
"Kau curang, Kek! Kenapa menyerangku
begitu rupa?" protes Andika.
"Hik hik hik...." Kakek gundul itu tertawa, menunjukkan giginya yang tinggal dua
biji.
"Orang menuduh curang biasanya dirinya
sendiri yang curang. Tapi baiklah, karena
aku orang tua aku akan mengalah..."
Kini Andika lebih leluasa karena kakinya
bisa bergerak lebih bebas. Ia berusaha
mendesak dan sesekali melakukan
sambaran. Yang terjadi benar-benar di luar
dugaan! Setiap kali Andika melakukan
sambaran, kakek gundul itu memukulkan
ayam hutan panggang itu ke arah wajah
Andika. Sambaran angin terasa panas
karena tenaga dalam kakek gundul itu telah
mencapai tingkat yang tinggi sekali.
"Kalau tidak rela sebaiknya tidak usah
kamu berikan saja...," ucap Andika seraya
duduk kembali.
"Hik hik hik... aku senang sekali jika
melihat ada orang yang putus asa...,"
ucapnya sambil menyantap ayam hutan
panggang itu lagi.
Pendekar Slebor sadar kalau sedang
dikerjain. Ia tidak bersemangat karena
memang sudah lapar. Kalau diteruskan
pemuda berambut gondrong itu yang akan
kehabisan tenaga duluan. Andika sengaja
mencari kelengahan kakek gundul itu.
"Ilmu silatmu cukup bagus, hanya saja
emosimu tidak terkontrol. Keinginanmu
yang berlebihan yang membikin kamu
gagal...," ucap kakek gundul itu dengan
sikap santai sekali.
Andika melirik ayam hutan panggang ilu.
Ia tengah menanti saat yang tepat untuk
bertindak. Namun tiba-tiba....
"Waduh... tolooong... to... tolong...," ucap kakek gundul itu sambil
berjingkrak-jingkrak tidak menentu.
Sikap kakek gundul itu terasa aneh dan
tidak menentu. Tak ada angin, tak ada
hujan, berteriak-teriak sendiri. Andika
sendiri tidak tahu kenapa ia bisa jadi
begitu.
"Dasar kakek konyol...," umpat Andika dalam hati.
Ketika ayam hutan panggang di tangan
kakek gundul itu terlempar ke udara.
Pendekar Slebor langsung menangkapnya.
Hupp! Tubuh Andika mendarat tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Sambil
tersenyum pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu langsung menyantap ayam
hutan panggang itu.
"Hhiiii... hhiiii...." ucap kakek gundul sambil menggeliat-geliat. Pada wajahnya
tampak ketakutan sekali.
Akhirnya Pendekar Slebor tahu kenapa
kakek gundul itu bisa kesetanan begitu.
Tadi ia kejatuhan cicak dan binatang itu
masuk ke bajunya. Cicak itu terlempar
keluar dalam keadaan,sudah mati.
"Jauhkan binatang itu dariku!" ucap
kakek gundul itu pada Andika.
Andika tersenyum. Dipungutnya cicak itu
lalu dimasukkan ke saku. Andika masih
tersenyum-senyum.
"Kenapa kau simpan binatang jelek itu?"
"Nanti kau akan tahu sendiri jawabannya,
Kek...." ***
::֍:: { 2 } ::֎::
Malam itu Pendekar Slebor bermalam di
pinggir hutan bersama kakek gundul yang
aneh itu. Sesuai dengan petunjuk dalam
mimpinya, Andika bisa mendapatkan
petunjuk dari kakek itu.
"Sebenarnya siapakah kau ini, Kek?"
tanya Andika "Aku sendiri juga tidak tahu siapa diriku, karena dari kecil aku tidak pernah
punya nama. Tapi aku dikenal sebagai Peramal
Sakti...," jawabnya.
"Peramal Sakti"!" Andika terkejut karena sering mendengar namanya yang harum,
"Dengan senang hati aku minta kau
ramal...."
"Kau akan selalu terancam bahaya setiap
saat. Jalan hidupmu berliku-liku karena
kau selalu menuruti kata hatimu sendiri.
Kau masih muda, pantaslah jika kau terus
saja berkelana. Tapi kau akan bisa hidup
tenang di hari tuamu."
"Kenapa engkau bisa sampai di sini,
Peramal Sakti?" tanya Andika.
"Menurut bisikan gaib yang kuterima, di
daerah ini akan terjadi suatu kegemparan
yang bisa mengguncang jagat ini. Sebab
tidak lama lagi akan muncul Kembang
Keabadian yang sangat berbahaya jika
jatuh ke tangan pendekar sesat...."
"Kembang Keabadian...?" desis Andika tak sadar.
"Ya. Kembang Keabadian bisa tumbuh di
mana saja. Ia merekah di atas bebatuan,
dan muncul tiap seratus tahun lamanya...."
Dengan penuh perhatian pemuda
berambut gondrong itu mendengarkan
ucapan Peramal Sakti. Setiap ucapannya
selalu masuk akal dan menyimpan misteri.
Beberapa kali ia menebak Andika dan
selalu tepat. Tiba-tiba perhatian mereka teralih, karena
mereka melihat dua bayangan hitam
berkelebat cepat sekali. Mereka
mengenakan pakaian serba hitam dengan
wajah tertutup kerudung. Gerakan mereka
seperti mengambang di atas tanah.
"Ah, kedua orang itu mencurigakan
sekali...," desis Andika.
Peramal Sakti tak begitu mempedulikan.
Ia hanya memandangi kedua bayangan itu,
kemudian perhatiannya kembali tertuju
pada api unggun yang baranya masih
menyala.
"Sepertinya bungkusan yang mereka bawa
itu adalah bayi mungil...," ucap Pendekar
Slebor lagi.
"Buat apa kita mencampuri urusan orang
kalau tidak tahu duduk permasalahannya?"
tepis Peramal Sakti.
Andika hanya bisa garuk-garuk kepala.
***
Sementara itu, di Lembah Tengkorak
malam itu suasananya terasa begitu
hening. Di depan pintu gerbang tampak
sekelompok orang tengah berjaga-jaga.
Masing-masing menggenggam sebuah
tombak. Kadang mereka berpencar untuk
melihat-lihat sekaligus mengamankan
tempat itu. Datuk Subendo telah menyulap Lembah
Tengkorak menjadi istana yang megah.
Dikelilingi pagar tembok yang tinggi,
terdapat beberapa bangunan megah.
Bangunan yang paling megah adalah
bangsal utama, di mana ada singgasana
tempat Datuk Subendo melakukan
pertemuan dengan anak buahnya.
Bangsal utama itu dibangun menempel
dengan dinding batu. Kemudian ruanganruangannya berupa gua-gua. Ada juga
sebuah ruangan tersembunyi. tempat
Datuk Subendo melakukan semadi
sekaligus memperdalam tenaga dalamnya.
"Guru... keluarlah Guru...," ucap lelaki berpakaian bangsawan dengan tubuh
menghadap ke dinding batu. Dialah Datuk
Subendo! Di balik dinding itu terdapat sebuah
ruangan luas. Pintu ruangan itu terbuat
dari lapisan batu tebal. Dengan cara
menggerakkan pengungkitrtya, pintu dari
batu itu akan bisa dibuka dan ditutup. .
"Guru...." Datuk Subendo kembali
memanggil gurunya, "Bayi itu sudah kita
dapatkan, Guru...."
"Hik hik hik hik...," terdengar suara menyeramkan dari dalam. Suara tawa itu
begitu berat, suara tawa seorang
perempuan yang sudah tua sekali.
"Aku sudah mencium aroma darah di
sini...," jawab Guru sang Datuk dari dalam.
"Keluarlah Guru... saat ini aku butuh
petunjukmu...," pinta Datuk Subendo.
"Kau sabarlah dulu muridku... jangan
ganggu aku yang sedang merawat tubuh "
Datuk Subendo gelisah karena sudah
tidak sabar lagi. Tapi tak ada yang bisa
dilakukan oleh lelaki berwajah kelimis
selain menunggu gurunya keluar. Ketua
Lembah Tengkorak takut sekali pada
gurunya karena selain sakti gurunya itu
juga kejam. Satu keanehan yang sampai
saat ini tidak bisa terjawab oleh Datuk
Subendo. Jika gurunya itu berbicara dari
dalam ruangan berdinding batu itu,
suaranya persis seorang nenek yang sudah
tua sekali. Anehnya jika sudah berhadapan
dengannya, ia berubah menjadi seorang
gadis yang cantik mempesona!
Kemudian daun pintu dari lapisan batu
tebal itu pun bergeser. Seiring dengan itu
muncul sosok tubuh yang indah sekali.
Guru Datuk Subendo yang bernama Nyai
Pelet itu hanya mengenakan gaun yang tipis
sekali. Tubuhnya yang putih, padat berisi
terlihat begitu menggoda gairah. Rambut
Nyai Pelet yang panjang sampai sepinggang,
dibiarkan tergerai bebas.
Nyai Pelet memandangi Datuk Subendo
dengan tatapan menggoda. Sementara
Ketua Lembah Tengkorak memandangi
tubuh gurunya tanpa berkedip. Lelaki
berpakaian bangsawan itu memandanginya
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Datuk Subendo menelan liurnya.
"Ada apa muridku?" tanya Nyai Pelet
halus. Suaranya tidak seperti nenek-nenek
lagi.
"Ngng... begini Guru...," ucap Datuk Subendo tergagap.
Konsentrasi Datuk Subendo jadi
terganggu karena matanya tidak bisa lepas
dari tubuh gurunya yang indah itu. Nyai
Pelet tersenyum seraya duduk di hadapan
muridnya. Lagi-lagi ulah Nyai Pelel bikin
dada Ketua Lembah Tengkorak berdesirdesir. Saat ia duduk gaun tipisnya itu
tersingkap, sehingga paha mulusnya itu
semakin merangsang.
"Guru, saya membutuhkan petunjuk
Guru karena malam bulan purnama sudah
dekat...," ucap Datuk Subendo setelah bisa menguasai perasaannya.
"Asalkan semua persyaratan sudah beres,
maka tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.
Kembang Keabadian itu telah tumbuh
seperti yang telah kita perkirakan.
Pokoknya kau akan bisa jadi tokoh tak
terkalahkan di Jawadwipa ini."
Datuk Subendo manggut-manggut.
Dengan ekor matanya ia melirik paha
mulus di hadapan matanya itu.
"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi,
Guru...," ucap Datuk Subendo kemudian.
"Sepuluh hari lagi semua keinginanmu itu
akan bisa terwujud Kembang Keabadian
memang mempunyai khasiat yang hebat
sekali. Karena kembang ajaib itu aku bisa
selalu awet muda. Harap kamu bersabar
dulu, Muridku...."
Kembali Datuk Subendo menelan liur.
Penampilan gurunya itu telah membuatnya
salah tingkah. Siapa pun akan sulit
bertahan jika melihat kemolekan seperti itu.
Tapi Nyai Pelet segera bisa tanggap. Ia lalu
melangkah dan duduk persis di pangkuan
Ketua Lembah Tengkorak. Datuk Subendo
girang bukan main, ia merasa sudah
mendapatkan angin segar.
Rakus sekali Datuk Subendo
mendekatkan wajahnya ke wajah gurunya.
Lalu mencium bibir yang menggairahkan
itu. Nyai Pelet tertawa lirih mendapatkan
reaksi itu.
"Kau orangnya memang tidak sabaran.
Muridku...," ucap Nyai Pelel dengan suara
mendesah. Datuk Subendo tidak mempedulikan
ucapan itu. Bernafsu sekali ia ketika lelah
menelusuri leher jenjang yang halus itu.
Nyai Pelet sampai menggelinjang kegelian.
"Kita lanjutkan di kamar saja.
Subendo...," desis Nyai Pelet.
Datuk Subendo menuruti permintaan
Guru sekaligus kekasihnya itu. Tanpa
menunggu lagi ia langsung menggendong
tubuh Nyai Pelet. Dibawanya ke sebuah
kamar di mana terdapat kasur empuk. Nyai
Pelet gembira sekali melihat semangat
muridnya yang menyala-nyala itu.
Tubuh Nyai Pelel dibaringkan ke atas
ranjang. Pergulatan mereka pun berlanjut
kembali. Datuk Subendo menindih tubuh
indah itu sambil menciumi sepuaspuasnya. Hingga satu persatu dari pakaian
yang mereka kenakan terlepas,
berkelumpruk di sisi tempat tidur. Mereka
terus saja bergelut, menuju ke puncak yang
bisa mereka raih.
***
Di luar pagar tembok yang dibangun
mengelilingi Lembah Tengkorak, dua
bayangan hitam terus saja berkelebat.
Berkali-kali dua bayangan itu mengitari
Lembah Tengkorak. Mereka tengah mencari
kesempatan untuk bisa memasuki
bangunan itu. Tapi penjagaan di Lembah
Tengkorak begitu ketat.
"Kita labrak mereka saja, Kang...,'' ucap
salah seorang yang bertopeng ala ninja itu.
Ternyata dia adalah Seruni. Yang seorang
lagi adalah Singo Menggolo. Kini mereka
sedikit menjauh dari Lembah Tengkorak
untuk menghindari para penjaga.
"Jangan. Aku tidak mau menimbulkan
kekacauan di sini. Aku hanya ingin
mengambil ikan tanpa membikin keruh
sungainya!" jawab Singo Menggolo.
"Tapi kita tidak mungkin bisa masuk
kalau penjagaannya seketat ini...," ucap
Seruni khawatir.
"Kita akan cari jalan yang bijaksana...."
Seruni terdiam. Ia belum bisa mengerti
keinginan Singo Menggolo yang
sesungguhnya. Kemudian Singo Menggolo
mengeluarkan sekantong serbuk racun.
Itulah Racun Bunga yang akan mampu
membuat orang pingsan tanpa harus
membunuhnya. Singo Menggolo mengambil segenggam
racun. Digosok-gosokkannya Racun Bunga
itu sambil mengerahkan tenaga dalam.
Kedua tangan Singo Menggolo tergetar
hebat. Kemudian dari kedua tangan yang
sudah mengeluarkan asap itu, Singo
Menggolo menghentakkan kedua tangannya
ke muka. Sekaranglah saat yang paling
tepat baginya untuk bertindak. Para
penjaga itu tengah berkumpul sambil
bercakap-cakap.
Seketika asap tipis berwarna putih itu
bagai tertiup ke arah para penjaga itu.
Meskipun tidak mematikan. Racun Bunga
bekerjanya cukup cepat. Orang yang sudah
menghirup asap itu menguap seperti
ngantuk. Kemudian tanpa disadari matanya
jadi terasa berat sekali. Hingga kesepuluh
penjaga itu langsung tertidur di tempatnya!
Seruni takjub melihat kelihaian Singo
Menggolo itu. Lalu
mereka segera berkelebat untuk masuk ke ruangan yang
dibatasi dengan tembok tinggi itu. Tanpa
mengalami banyak kesulitan tembok
setinggi dua tombak itu berhasil mereka
lompati. Singo Menggolo memang cukup
hafal situasi di Lembah Tengkorak.
"Waduh, bangunan di sini sudah banyak
mengalami perubahan...," keluh Singo
Menggolo.
"Tapi aku yakin, tempat tumbuhnya
Kembang Keabadian itu tetap tidak
berubah," jawab Seruni dengan suara pelan
seperti berbisik.
Singo Menggolo menganggukkan kepala
beberapa kali.
"Dulu ada di sebelah timur, dekat dengan
singgasana Datuk Subendo...."
"Kita langsung saja ke sana!"
Mereka kembali berkelebat. Untung Singo
Menggolo masih hafal dengan tempattempat rahasia di Lembah Tengkorak
Ternyata pintu rahasia yang berupa lorong bawah tanah itu masih belum berubah.
"Lorong ini adalah salah satu pintu
masuk. Tapi lorong ini yang paling sering
digunakan orang untuk keluar masuk,"
Singo Menggolo celingukan ke sana kemari.
"Kalau begitu sebaiknya aku menunggumu
di sini saja. Sekalian aku bisa mengawasi
kalau ada orang yang masuk, kalau ada
bahaya nanti aku akan memberi tahu kamu
dengan siulan," Seruni memutuskan.
"Gagasan yang bagus! Berhati-hatilah
dengan orang-orang Datuk Subendo, sebab
ilmu silat mereka tidak bisa dianggap
remeh," Singo Menggolo mengingatkan.
"Aku mengerti...," jawab Seruni
Selelah memandangi wajah Seruni, Singo
Menggolo langsung memasuki lorong bawah
tanah itu. Seruni meloncat tinggi sekali,
kemudian mencari tempat yang aman
untuk mengawasi tempat itu.
Singo Menggolo yang sudah kenal dengan
lorong itu tanpa mengalami banyak
kesulitan langsung sampai di suatu
ruangan tersembunyi. Orang kepercayaan
Datuk Subendo sendiri tidak ada yang tahu
di mana Kembang Keabadian itu tumbuh.
Singo Menggolo terus saja menyusuri lorong
itu. Sesampainya di suatu tempat yang mirip
sekali dengan sebuah gua berukuran lebar,
Singo Menggolo menjadi takjub. Di situ
terdapat taman bunga. Ketika Singo
Menggolo menengok ke atas. ia bisa melihat
langit yang ditaburi bintang-bintang. Ah,
pantas saja tanaman itu bisa tumbuh
karena mendapat cukup cahaya matahari.
Seumur hidupnya Singo Menggolo belum
tahu seperti apa bentuk Kembang
Keabadian itu. Tapi ia teringat pesan
Seruni, bahwa Kembang Keabadian itu
tumbuh di atas bebatuan. Ia bisa hidup
meskipun tidak mendapat cahaya matahari.
Singo Menggolo segera bergegas untuk
mencari ke tempat lain.
Ketika memasuki satu ruangan yang
bersih layaknya sebuah kamar, Singo
Menggolo menghentikan langkahnya.
Setahunya dulu ruangan ilu tidak pernah
ada. Dan lelaki yang wajahnya ditumbuhi
brewok lebat itu melangkah menghampiri
pintu yang terbuat dari lapisan batu tebal.
Singo Menggolo mendesah. Ia yakin
Kembang Keabadian itu berada di tempat
yang tersembunyi. Semua tempat sudah
dijelajahi, hanya ruangan itu yang belum.
Tanpa pikir panjang lagi Singo Menggolo
berusaha membuka pintu itu.
Lelaki brewok itu mengeluh tertahan.
Berat sekali untuk membuka pintu itu.
Akhirnya Singo Menggolo mengerahkan
segenap tenaga dalamnya. Dan ketika pintu
itu bergeser sedikit saja....
Weeesss! Tiga buah tombak melesat ke arah Singo
Menggolo. Untung Singo Menggolo cukup
waspada hingga mampu menghindar
serangan rahasia itu. Singo Menggolo
bersalto sebanyak dua kali ke udara.
Pintu yang terbuat dari lapisan batu tebal
itu pun bisa dikuakkan. Singo Menggolo
melangkah ke dalam. Ternyata ruangan ilu
luas sekali. Semua dinding dan lantainya
dari batu. Tatapan Singo Menggolo membelalak
lebar! Ia melihat di tengah ruangan itu ada
sebongkah batu besar. Di tengah batu itu
tumbuh setangkai bunga. Tidak berdaun,
hanya kelopaknya saja yang berwarna hijau
daun. Kelopak dan mahkotanya keras
sekali. Mahkotanya beraneka warna, seperti
warna pelangi. Itulah Kembang Keabadian!
***
::֍:: { 3 } ::֎::
Seorang kakek tua bertubuh kerdil,
berkepala botak, dengan rambut jarang
yang sudah memutih semua tampak sedang
berlari menuju ke Lembah Tengkorak.
Dialah Peramal Sakti dari Pegunungan
Himalaya yang sempat bertemu dengan
Pendekar Slebor. Peramal Sakti terus saja
berlari tanpa mengenal lelah sedikit pun.
Sesampainya di Lembah Tengkorak,
kakek berkepala botak itu menghentikan
langkahnya. Sebab di sana tengah terjadi
sualu keributan....
"Jarot, Paijo, bangun... bangun! Bangun!"
seseorang membangunkan para penjaga
yang tidur terlelap. Dua orang temannya
hanya berdiri dengan tangan bersedekap.
Tiga orang itu adalah Tiga Setan Pedang
yang menjadi orang kepercayaan Datuk
Subendo.
"Ah. kelihatannya mereka terkena racun
yang bisa membikin orang pingsan," ucap
orang yang mengenakan baju merah.
Tiga Setan Pedang itu memang memiliki
tinggi dan potongan tubuh yang hampir
sama. Yang membedakan mereka adalah
pakaian yang mereka kenakan. Ada yang
mengenakan baju warna merah, warna
putih, dan warna biru.
Setan Pedang Putih langsung menepuk
tengkuk para penjaga itu dengan
mengalirkan tenaga dalam. Para penjaga itu
pun segera terbangun. Mereka celingukan
seperti layaknya orang bingung.
"Apa yang terjadi dengan kami?" tanya Jarot kebingungan.
"Justru aku yang harus bertanya
padamu, apa yang telah terjadi" Apa pula
yang kalian kerjakan selagi melakukan
tugas jaga?" tanya Setan Pedang Merah
dengan suara membentak.
"Tidak terjadi apa-apa...," jawab Jarot polos.
"Apa yang kalian lihat sehingga kalian
semua bisa tertidur?" tanya Setan Pedang
Biru.
"Kami tidak berbuat apa-apa...." Jarot lagi yang angkat bicara, "Berhubung kami
tertidur, saya bermimpi... bermimpi ketemu
perempuan cantik."
"Siapa yang bertanya tentang mimpi
edanmu itu?" bentakan Setan Pedang Biru
semakin nyaring.
"Lha tadi...," ucap Jarot takut.
"Diaaamm!" Setan Pedang Biru berteriak keras sekali.
"Ii.. iyy... iya saya diam...," ucap Jarot gugup.
Setan Pedang Biru jengkel sekali dengan
sikap Jarot yang tolol itu. Karena Tiga
Setan Pedang itu memiliki tingkat
kepandaian yang sudah tinggi, mereka bisa
mengerti kalau sesuatu yang tidak beres
telah terjadi.
"Kalian lanjutkan kembali penjagaan.
Awas jangan sampai lengah! Kalau terjadi
apa-apa di sini kepala kalian yang akan
menjadi tebusannya!" perintah Setan
Pedang Merah tegas.
Para penjaga itu tidak ada yang berani
membuka mulut. Mereka terdiam seribu
bahasa dengan mulut terkunci rapat. .Lalu
Tiga Setan Pedang bergegas untuk
meninggalkan para penjaga itu.
"Tampaknya ada yang tidak beres...,"
desis Setan Pedang Putih.
"Aku yakin ada orang yang sengaja
menyusup ke dalam," Setan Pedang Biru
menimpali.
"Kita akan memeriksa di dalam...," Setan Pedang Merah memutuskan.
Tiga Setan Pedang langsung menyelinap
ke dalam. Sementara di luar pagar
penjagaan diperketat kembali.
"Ah, aku yakin tempat inilah yang
kejatuhan wahyu itu. Kembang Keabadian
yang bisa menimbulkan malapetaka...,"
ucap Peramal Sakti seraya berlalu. Ia
berniat kembali ke Alas Roban untuk
menemui Pendekar Slebor.
"Semoga pemuda urakan itu masih
berada di sana," desis Peramal Sakti.
Kakek bertubuh kerdil itu berkelebat
sambil mengerahkan segenap ilmu
meringankan tubuhnya. Sepeminum teh
kemudian, Peramal Sakti telah sampai di
pinggir Alas Roban. Tapi Pendekar Slebor
sudah tidak berada di tempatnya!
"Sialan! Pemuda itu membuatku lari pagi
tak berguna...," Peramal Sakti berkelebat
lagi. Sambil menggerutu sepanjang jalan, ia
kembali ke Lembah Tengkorak.
***
Tiga Setan Pedang langsung memeriksa
ke segala penjuru. Sejauh itu mereka tetap
tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Hingga mereka
memutuskan, kalau ada orang luar
menyusup ke Lembah Tengkorak,
kemungkinannya akan menyatroni dua hal.
Pertama tempat penyimpanan permata
milik Datuk Subendo atau letak Kembang
Keabadian itu! Seruni yang saat itu terus mengawasi
pintu masuk ke lorong bawah tanah itu,
segera tanggap begitu Tiga Setan Pedang
hendak masuk ke situ.
"Siuiiitt!"
Terdengar suara siulan keras sekali.
Itulah pertanda buat Singo Menggolo yang
tengah beraksi. Dengan kepintarannya
Seruni berhasil mengelabui Tiga Setan
Pedang. Seruni sengaja mengarahkan
suaranya ke tempat lain, hingga siulan itu
memantul dari dinding ke dinding.
Dengan tatapan matanya Tiga Setan
Pedang mencari sumber suara siulan yang
melengking tinggi itu. Mereka agak
kesulitan karena gema suaranya seperti
berasal dari berbagai arah. Selain itu
suasana di sekitar situ sedikit gelap. Hanya
cahaya sepotong rembulan yang
memberikan suasana temaram.
"Aku yakin orang yang bersuit itu berada
tidak jauh dari sini," ucap Setan Pedang
Putih yakin Tiga Setan Pedang terpaksa
mengurungkan niatnya untuk masuk ke
lorong bawah tanah itu. Kini mereka
berjalan memencar untuk melakukan
pencarian.
"Hey. aku sudah melihatnya!" pekik Setan Pedang Putih girang.
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang
Biru segera mendekat. Kemudian Setan
Pedang Putih menunjuk ke atas wuwungan
rumah. Mereka melihat adanya bayangan
hitarn, tapi tidak yakin apakah itu
manusia. Sebab bayangan hitam itu. tidak
bergerak sedikit pun.
"Aku yakin itu bukan manusia!" kata
Setan Pedang Biru, "Mungkin kau yang
salah lihat, bayangan hitam saja dikira
manusia."
"Tadi bayangan itu kulihat bergerakgerak...," protes Setan Pedang Putih.
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang
Biru tersenyum dikulum. Sebenarnya
mereka geli melihat kekonyolan temannya
itu. Mereka yakin akan penglihatan mereka
sendiri. Tidak jauh dari wuwungan rumah
itu memang ada bayangan hitam, tapi
karena cahaya rembulan yang,terhalang
genting hingga muncul bayangan hitam.
Melihat sikap kedua temannya itu, Setan
Pedang Putih menjadi penasaran sekali.
Kemudian dikeluarkannya sebilah pisau,
secara untung-untungan Setan Pedang
Putih melemparkan pisau itu ke arah
bayangan hitam itu. Sementara Seruni jadi
terbeliak kaget. Ia sengaja tidak bergerak
hanya untuk mengelabui ketiga orang itu.
Berhubung pakaiannya serba hitam sampai
penutup wajah, hampir saja ia berhasil
mengelabui mereka. Kini sebilah pisau terbang dan mengancam jiwanya!
Tidak ada pilihan lain bagi Seruni selain
menepis pisau terbang ilu dengan
pedangnya. Trang! Dengan satu sentakan keras pisau
terbang itu berhasil dirontokkan. Tapi dari
pedang Seruni itu terpancar sinar
keperakan, sehingga tempat
persembunyiannya itu berhasil diketahui
oleh lawannya. Maka terperanjatlah hati
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Biru
yang tadinya tidak percaya.
"Hupp! Hupp! Hupp!"
Dengan gerakan susul-menyusul Tiga
Setan Pedang melenting ke udara. Dalam
beberapa kejap mereka sudah nangkring di
atas genting. Seruni bisa melihat gerakan
Tiga Setan Pedang saat meloncat tadi.
Ketiga lawannya itu tidak bisa dipandang
dengan sebelah mata! Seruni segera
tanggap, kalau ia memaksakan diri untuk
bertempur di atas genting, jelas tidak
menguntungkan dirinya yang dikeroyok.
Kemudian Seruni meloncat turun dan
bersiap untuk menghadapi mereka.
Tanpa menunggu lagi Tiga Setan Pedang
langsung menyusul turun. Mereka gembira
karena Seruni tidak berusaha melarikan
diri. Jika pertempuran itu terjadi di dalam
bangunan, mereka akan lebih mudah
meringkus penyusup gelap itu.
"Katakan siapa dirimu dan ada keperluan
apa hingga kau berani masuk ke Lembah
Tengkorak ini" Rasanya kami belum puas
jika membunuh orang tanpa mengetahui
tujuannya," ucap Setan Pedang Putih
menantang. Seruni sudah menyadari keadaan dirinya
yang sudah terjepit. Ia sengaja melakukan
itu sekadar untuk mengalihkan perhatian
mereka agar tidak mengganggu Singo
Menggolo yang tengah beraksi.
Maka tanpa banyak cingeong lagi Seruni
langsung menghunus pedangnya. Beberapa
kejap kemudian Seruni sudah melancarkan
gempuran-gempuran hebat ke arah Tiga
Setan Pedang itu. Tiga Setan Pedang
sempat terperanjat oleh serangan Seruni
yang berbahaya itu.
Sampai sepuluh jurus Seruni berhasil
menggebrak dan membikin Tiga Setan
Pedang menjadi kocar-kacir.
Trang! Trang! Trang!
Setiap serangan dari Tiga Setan Pedang
selalu berhasil ditepis oleh Seruni. Bahkan
Seruni sempat, membikin mereka
kelimpungan dengan tusukan-tusukan
yang mematikan!
Sementara di sudut lain Singo Menggolo
telah berhasil mendapatkan Kembang
Keabadian itu. Begitu keluar ia
mendapatkan Seruni tengah berhadapan
dengan tiga pengeroyoknya. Namun sejauh
itu Singo Menggolo tidak merasa khawatir
sedikit pun. Sebab Seruni mampu bertahan
dengan baik, pertempuran itu berlangsung
dalam keadaan seimbang.
Dengan satu loncatan Singo Menggolo
melenting tinggi, sekejap kemudian ia
sudah berada di samping Seruni. Tiga Setan
Pedang terkejut bukan main karena
kehadiran Singo Menggolo yang
mengenakan pakaian ala ninja itu. Sebab
menghadapi satu orang saja yang mereka
tidak bisa berbuat banyak, apalagi kalau
harus menghadapi dua orang!
Tiga Setan Pedang segera menyusun
siasat. Mereka memadukan jurus pedang
mereka sehingga membentuk pertahanan
yang tangguh.
"Secepatnya kita tinggalkan tempat ini,"
bisik Singo Menggolo pada Seruni.
Seruni mengangguk pertanda mengerti.
Kemudian Singo Menggolo mengeluarkan
Kapak Mustika-nya. Ia segera menyerang
dengan cara menyusup ke tengah
pertahanan lawan. Gerakan berbahaya itu
bukannya tanpa perhitungan, meskipun
Singo Menggolo harus menghadapi tebasan
pedang yang sangat berbahaya.
Trang! Trang! Setelah berhasil menangkis, Singo
Menggolo langsung menyarangkan satu
tendangan ke arah perut.
Dugh! Setan Pedang Biru terhuyung-huyung
beberapa tombak ke belakang karena
sebuah tendangan mendarat telak di
perutnya. Dugh! Kemudian menyusul Setan Pedang Putih.
Ia harus mengalami nasib yang sama
dengan Setan Pedang Biru.
***
Sementara itu Datuk Subendo bersama
Nyai Pelet tengah menyalurkan hasratnya.
Dalam keadaan seperti itu mereka paling
benci kalau diganggu. Mereka sudah tidak
mau mempedulikan kejadian di luar. Tapi
suara pertempuran itu terdengar semakin
jelas di telinga mereka!
"Subendo, sepertinya ada pertempuran di
luar...," desis Nyai Pelet dengan wajah
terkejut. Datuk Subendo bagai tersadar. Kenapa ia
tidak memperhatikan suara berbenturan
nya benda keras itu. Pergulatan itu
memang telah membuat Datuk Subendo
melupakan segalanya.
Suara pertempuran itu masih tetap
terdengar. Kemudian Datuk Subendo
bergegas untuk mengenakan pakaiannya,
Nyai Pclei juga melakukan hal yang sama.
Di luar pertempuran yang berlangsung
antara Singo Menggolo bersama Seruni
yang menghadapi keroyokan Tiga Setan
Pedang tidak berlangsung lama. Setelah
Singo Menggolo berhasil mengobrak-abrik
pertahanan Tiga Setan Pedang, mereka
segera kabur meninggalkan Lembah
Tengkorak. Ketika Datuk Subendo bersama Nyai Pelet
sampai di luar, Singo Menggolo bersama
Seruni sudah kabur. Tinggal Setan Pedang
Biru yang berada di situ karena luka di
perutnya akibat tendangan Singo Menggolo.
Sementara Setan Pedang Merah dan Setan
Pedang Putih diikuti para penjaga dan
pengikut Perguruan Lembah Tengkorak
berusaha mengejar kedua penyelundup
tadi.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Datuk Subendo pada Setan Pedang Biru.
"Ada dua orang yang menyelundup ke
Lembah Tengkorak, Tuanku...," jawab Setan
Pedang Biru.
"Apakah kalian tidak bisa mengatasinya?"
"Ampun, Tuanku... kedua orang
bertopeng itu begitu sakti...."
"Kau tahu dari mana mereka keluar, dan
apa yang dilakukannya di sini?" tanya Nyai Pelet risau.
"Mereka keluar dari ruang bawah tanah
itu...," jawab Setan Pedang Biru.
"Kiamat...," desis Nyai Pelet, "Mereka ingin mencuri Kembang Keabadian itu...."
"Kau kejar dua penyelundup itu, dan
jangan memberi kesempatan mereka untuk
lolos!" perintah Datuk Subendo setengah
berbisik. Lalu Nyai Pelet dan Datuk Subendo
berlari seperti orang kesetanan. Mereka
memasuki lorong bawah tanah sekadar
untuk memeriksa, apakah Kembang
Keabadian masih berada di tempatnya"
***
::֍:: { 4 } ::֎::
"Kang, mereka masih terus membuntuti
kita...," ucap Seruni pada Singo Menggolo.
Singo Menggolo menoleh ke belakang.
Pada jarak sepuluh tombak di belakangnya,
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang
Putih masih terus mengejar. Dibelakang
kedua Setan Pedang itu puluhan anak
buahnya ikut melakukan pengejaran.
Menghadapi situasi seperti itu, Singo
Menggolo dan Seruni jadi kebingungan
juga. Sudah sepeminum kopi lamanya
mereka berusaha kabur, kenyataannya
mereka belum bisa melepaskan diri dari
kejaran itu.
"Apakah kita akan membinasakan mereka
semua?" tanya Seruni geram.
"Kita terpaksa melakukannya," jawab
Singo Menggolo singkat.
Setelah Singo Menggelo bersama Seruni
saling memberi isyarat, dengan gerakan
serempak mereka membalikkan tubuh.
Wwuuuusss! Tamparan angin keras disusul kilatan
merah melesat dari tangan Singo Menggolo
dan Seruni. Secara bersamaan mereka
melancarkan satu pukulan jarak jauh.
Dua Setan Pedang sudah memperkirakan
hal itu sebelumnya. Jarak di antara mereka
cukup menguntungkan Dua Setan Pedang,
sehingga mereka mempunyai banyak
kesempatan untuk menghindar. Mereka
melempar tubuh ke samping, pukulan
tenaga dalam yang dahsyat itu hanya lewat
begitu saja. Namun mereka merasakan
hawa panas yang terasa menampar.
Akibatnya sungguh mengerikan! Para
anak buah yang ikut melakukan pengejaran
tidak mampu menghindari serangan jarak
jauh itu. Ilmu silat mereka memang jauh di
bawah Dua Setan Pedang. Dua orang
terpental ke belakang sejauh tiga tombak.
Begitu menyentuh tanah mereka tidak bisa
bergerak-gerak lagi. Tewas dengan tubuh
terpanggang! Dua Setan Pedang segera tanggap dengan
keadaan itu. Dengan jurus pedang mereka
langsung mencecar Singo Menggolo dan
Seruni agar mereka tidak mempunyai
kesempatan melancarkan pukulan jarak
jauh. Beberapa detik kemudian pukulan
orang telah menyusul mereka.
"Kurung mereka dan jangan memberi
kesempatan untuk lolos!" perintah Setan
Pedang Putih. Puluhan orang yang ilmu silatnya hanya
pas-pasan langsung mengurung Singo
Menggolo dan Seruni. Mereka segera
melakukan bacokan-bacokan berbahaya
dengan senjata masing-masing. Dua Setan
Pedang berhasil mengarahkan serangan
mereka sehingga Singo Menggolo dan
Seruni sempat terdesak.
Tapi betapapun banyaknya jumlah
pengeroyok itu, akhirnya Singo Menggolo
dan Serani bisa menunjukkan
ketangguhannya. Anak buah Lembah
Tengkorak yang hanya mengandalkan
semangat saja itu, telah dibikin kocar-kacir.
Hingga satu persatu dari mereka menjadi
korban bacokan Kapak Mustika-nya Singo
Menggolo atau tewas oleh tebasan pedang
Seruni. Dalam keadaan yang genting itu, Setan
Pedang Biru datang dan langsung
membantu. Kini Tiga Setan Pedang mulai
memadukan jurus pedangnya, hingga
tercipta satu pertahanan yang kokoh!
"Jangan khawatir... tidak lama lagi Datuk
Subendo dan Nyai Pelet akan segera tiba di
sini...," ucap Setan Pedang Biru.
Mendengar keterangan itu para anak
buah Lembah Tengkorak semakin
bersemangat dalam melakukan
pengeroyokan. Sementara Singo Menggolo
dan Seruni menjadi khawatir sekali.
Meskipun sudah banyak korban jatuh di
tangan mereka, serangan mereka itu belum
juga mereda. Kalau Singo Menggolo dan
Seruni memaksakan untuk menumpas
mereka, Datuk Subendo dan Nyai Pelet
pasti akan tiba di situ.
"Kita kabur saja. Kang...," bisik Seruni.
Singo Menggolo hanya mengangguk.
Kemudian mereka segera mengatur gerakan
untuk kabur. Tiga Setan Pedang tidak mau memberi
kesempatan sedikit pun. Begitu Seruni
meloncat ke belakang, Setan Pedang Putih
menyabetkan pedangnya.
Crat! "Akh!" pekik Seruni tertahan.
Pundak Seruni terluka karena terkena
bacokan pedang. Kemudian Seruni
menyerang ke arah Tiga Setan Pedang
dengan tusukan-tusukan berbahaya.
Seruni sempat melupakan keinginannya
untuk kabur.
"Hjk hik hik...," terdengar suara tawa seorang perempuan.
Tidak lama kemudian dua orang datang
ke tempat itu dengan gerakan seperti
melayang. Mereka adalah Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet.
"Ada dua ekor pencuri yang mencari mati.
Hik hik hik.,.." Nyai Pelet terkikik.
"Minggir semua! Biar dua orang itu
menjadi bagianku!1' ucap Datuk Subendo
setengah berteriak.
Para pengeroyok itu seketika menepi.
Hanya dengan satu loncatan tubuh Datuk
Subendo terlihat bagai melayang. Sekitar
dua tombak di depan Singo Menggolo,
kedua kakinya hinggap di atas tanah.
"Hik hik hik... tanganku jadi gatal untuk
ikut bermain-main...," ucap Nyai Pelet.
Dengan satu loncatan Nyai Pelet sudah
sampai di hadapan Seruni. Tidak ada
pilihan lain bagi Singo Menggolo dan Seruni
selain mempertahankan dirinya dengan
mati-matian. Tanpa menunggu lagi mereka
pun langsung menyerang. Pertempuran pun
pecah. Seruni tampak ragu setiap kali hendak
melakukan serangan. Karena ia yakin kalau
Nyai Pelet akan mengenal semua jurusjurusnya. Tapi memang itu yang harus
dilakukannya untuk bisa bertahan hidup.
Sebuah jurus pedang dimainkan Seruni
dengan bagus sekali. Setiap sabetan dan
tusukan selalu diikuti dengan gerakan kaki
yang mendesak posisi lawan.
"Hik hik hik... sungguh engkau seorang
murid yang tidak tahu budi. Seruni! Kau
gunakan jurus yang kuwariskan padamu
untuk melawanku. Gurumu sendiri!" ucap
Nyai Pelet seraya menghindari setiap
sabetan pedang Seruni.
Seruni menjadi gugup sekali. Karena itu
gerakannya menjadi kacau. Ketika ia
menerjang, Nyai Pelet meloncat tinggi dan
tangannya berhasil menyambar kedok kain
hitam yang dikenakan Seruni. Semua
terkejut melihat wajah cantik yang muncul
di balik kedok itu.
Pertempuran yang terjadi antara Seruni
dengan Nyai Pelet tak lagi menarik. Guru
dan murid itu sudah mengenal satu sama
lain. Tidak mengherankan jika Nyai Pelet
selalu unggul dalam setiap gerakan.
Terkesan sekali bahwa Nyai Pelet sengaja
mempermainkan Seruni, bekas muridnya
itu! Sementara itu pertempuran antara Singo
Menggolo dengan Datuk Subendo
berlangsung dengan seru sekali. Mereka
saling gebrak, saling menggempur dengan
jurus yang sama tangguhnya. Hanya dalam
dua puluh jurus, mereka tidak ragu lagi
untuk mengeluarkan jurus-jurus
andalannya. Ketika Datuk Subendo meloncat tinggi ke
udara, Singo Menggolo langsung
mengejarnya. Pukulan-pukulan mematikan
dilancarkan Singo Menggolo. Datuk
Subendo terpaksa melayaninya di saat
tubuhnya melayang di udara. Sejauh itu
tidak ada yang tampak lebih unggul.
Selanjutnya Datuk Subendo meloncat
beberapa tombak ke belakang. Ia gerakgerakkan kedua tangannya dengan cepat
sekali. Datuk Subendo tengah
mengerahkan tenaga dalamnya dan bersiap
mengeluarkan ajian 'Macan Liwung'.
Singo Menggolo kaget sekali. Tapi ia tidak
mempunyai banyak pilihan. Kemudian ia
menghentakkan kedua kakinya ke atas
tanah. Kedua tangannya dipadukan di
depan dada, ia siap menandingi ajian
'Macan Liwung' dengan pukulan 'Angin
Puyuh'. Hampir bersamaan mereka
menghentakkan tangan ke muka. Kilatan
sinar biru melesat dari tangan Datuk
Subendo. Saat itulah kilatan warna merah
langsung menyongsongnya.
Blaaammm! Terdengar suara seperu ledakan dan
gemuruh yang menggetarkan bumi tempat
berpijak. Tubuh Datuk Subendo terhuyung
empat tombak ke belakang. Sedang tubuh
Singo Menggolo seperti terseret tiga tombak
ke belakang! Mereka sama-sama mengalami
luka dalam yang cukup parah.
Seketika suasana berubah menjadi
hening. Datuk Subendo dan Singo Menggolo
sama-sama terjatuh dalam posisi terduduk.
Jelas posisi itu sangat tidak
menguntungkan buat Singo Menggolo!
"Hik hik hik... kamu lihatlah Seruni, lelaki yang telah kamu peralat itu sudah
tidak bisa berdiri lagi...," ucap Nyai Pelet.
Kemudian.... Wusss! Asap putih yang keluar dari kedua
telapak tangan Nyai Pelet mengurung
sekujur tubuh Seruni. Seruni menjadi
panik bukan main. Ia sadar kalau dirinya
sudah terkena Racun Kobra. Dalam waktu
tidak lama lagi dirinya pasti akan jatuh
pingsan! "Setan Pedang!" teriak Nyai Pelet seraya menoleh.
"Dua orang aku perintahkan
untuk meladeni perempuan binal ini. Dan
satu orang aku perintahkan membuka
kedok orang bertopeng itu, lalu penggal
kepalanya!"
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang
Putih langsung meloncat maju untuk
menyerang Seruni
Sementara Setan Pedang Biru tampak
kebingungan untuk melaksanakan
tugasnya. Sebab membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya adalah suatu
pantangan buat dirinya.
"Kenapa kau belum juga membunuhnya"
Apakah kau yang ingin aku bunuh?" bentak
Nyai Pelet. Dengan ragu-ragu akhirnya Setan Pedang
Biru bergegas juga. Dibukanya kedok dari
kain hitam itu.
"Singo Menggolo...," desis Nyai Pelet.
Kemudian tanpa ampun lagi Setan
Pedang Biru langsung memenggal kepala
Singo Menggolo. Hingga kepala itu terpisah
dari badan. Nyai Pelet tampak puas melihat
hal itu.
"Tiga Setan Pedang! Kalian kuperintahkan
untuk bersenang-senang dengan
perempuan itu. Dan semua aku
perintahkan untuk kembali ke Lembah
Tengkorak...," ucap Nyai Pelet.
Akhirnya Nyai Pelet berhasil membawa
pulang Kembang Keabadian kembali ke
Lembah Tengkorak. Sedang Datuk Subendo
terpaksa digotong karena tidak mampu
untuk berjalan.
Sementara Seruni semakin panik saja.
Sejauh ini ia masih bisa bertahan dari
reaksi Racun Kobra. Tapi ia sadar kalau
tidak lama lagi ia akan terjatuh. Dengan
sisa-sisa tenaganya ia berusaha untuk
bertahan.
"Kakang, jangan biarkan tubuh yang
mulus itu terluka. Sayang kalau harus
terjadi, sebab dia akan bisa memuaskan
hasrat kita...," ucap Setan Pedang Merah.
"Ya. Aku juga tidak menginginkannya. Ha
ha ha ha...," jawab Pendekar Pedang Putih.
***
"Peramal Saktiiii..." Pendekar Slebor berteriak sekeras-kerasnya sesaat setelah
terjaga dari tidurnya.
Pagi itu Andika terbangun dan Peramal
Sakti sudah menghilang entah ke mana.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu
sudah berusaha untuk mencari ke manamana, ia tidak bisa menemukan jejaknya.
Sambil garuk-garuk kepala Pendekar
Slebor berlalu. Semalam ia berusaha
bercerita banyak dengan Peramal Sakti dari
Pegunungan Himalaya itu tentang Kembang
Keabadian yang tumbuh di Lembah
Tengkorak. Andika pun bertekad untuk
menuju ke Lembah Tengkorak.
"Peramal Botak! Kalau saja aku bertemu
denganmu maka akan kuramal dirimu
tidak akan didekati perempuan...." Andika
berteriak sendiri karena kesal.
Lalu Pendekar urakan yang mengenakan
pakaian hijau pupus itu melesat.
Rambutnya yang gondrong tampak
bergerak-gerak.
Sementara itu, di sudut lain Seruni
tengah berusaha keras untuk melawan
reaksi racun dalam tubuhnya. Tiga Setan
Pedang sudah bisa menguasai keadaan
dengan sepenuhnya. Gerakan Seruni
semakin lama semakin terlihat kacau. Tiga
Setan Pedang hanya menunggu saat yang
tepat untuk bertindak.
Trang! Tiba-tiba pedang di tangan Seruni
terlepas dan mental ke tanah. Setan Pedang
Merah telah berhasil menjatuhkan senjata
di tangan gadis itu. Sejak tadi memang dia
yang paling bernafsu melihat kemolekan
tubuh Seruni. Kemudian dengan satu loncatan Setan
Pedang Merah telah berhasil menubruk
Seruni. Sementara rasa pening yang
dirasakan Seruni terasa semakin memberat.
Seruni sudah tidak mampu memberikan
perlawanan lagi ketika tubuhnya jatuh ke
dalam pelukan Setan Pedang Merah.
Kedua tubuh itu pun jatuh ke tanah dan
saling berguling-gulingan. Setan Pedang
Merah menindih tubuh Seruni dengan
bernafsu sekali. Dengan satu gerakan,
kebaya Seruni terkoyak oleh tangan jahil
Setan Pedang Merah. Melihat dada mulus
dengan dua bukit yang menggunung itu
membuat gairah Setan Pedang Merah
semakin menggelora.
Seruni merasakan keadaan itu antara
sadar dan tidak sadar. Tapi sebelum Setan
Pedang Merah berbual yang lebih jauh,
tiba-tiba.... Takk! Sebuah batu kerikil mendarat persis di
kepala Setan Pedang Merah.
"Adduuuhh! Apa kalian tidak bisa
bersabar sedikit sih" Kalian jangan main
lempar seenaknya sendiri. Jangan khawatir,
kalian pasti akan dapat bagian...," kata
Setan Pedang Merah tanpa menghiraukan
rasa sakitnya. Setan Pedang Merah memang sudah bernafsu sekali untuk menggumuli tubuh
Seruni. Ia menyangka yang melakukan itu
adalah temannya sendiri. Setan Pedang
Merah terus saja menciumi dada Seruni
dengan rakus sekali.
Sementara Setan Pedang Biru dan Setan
Pedang Putih jadi bertanya-tanya karena
dituduh begitu. Sebab mereka memang
tidak melakukan apa-apa.
Takkk! Sebuah kerikil kembali mendarat di
kepala Setan Pedang Merah. Kali ini lebih
keras dari yang tadi!
"Wadduhh! Kalau kepala dilempari kerikil
itu sakit kalian tahu tidak sih?" Setan
Pedang Merah bersungut-sungut.
"Kalau
kalian tidak rela aku yang duluan,
seharusnya ngomong saja terus terang...."
Setan Pedang Merah memegangi batok
kepalanya yang berdarah. Setan Pedang
Putih dan Setan Pedang Biru saling
berpandangan karena tidak mengerti.
"Kami tidak melakukannya...!" jawab
Setan Pedang Putih dan Setan Pedang Biru
hampir bersamaan.
Karena penasaran ketiganya segera
mengitarkan tatapan matanya. Mereka
menjadi terkejut sekali! Sebab tidak jauh
dari situ. nangkring di atas sebuah cabang
pohon, seorang.pcmuda berambut gondrong
tengah duduk dengan kedua kaki ongkangongkang. Ia mengenakan pakaian berwarna
hijau pupus dengan kain bercorak papan
catur melilit di lehernya. Dialah Andika si
Pendekar Slebor!
"Pemuda jelek tidak tahu diri!" umpat Setan Pedang Putih.
"Apakah kamu sengaja
mencari mati hingga berani-beraninya
mengganggu kami?"
"Siapa yang bilang aku ingin mati"!"
jawab Andika sambil melotot dan
memoncongkan bibirnya.
"Kamu pasti salah
dengar karena kupingmu congekan."
"Kurang ajar! Sebaiknya kau enyah saja
dari sini kalau masih sayang pada
nyawamu sendiri!" bentak Setan Pedang
Putih lagi.
"Enak saja kau main perintah!
Orangtuaku saja tidak pernah berani
melarangku bermain di atas pohon, ee...
kamu seenak udel sendiri main perintah,"
gerutu Andika.
"Dasar tidak tahu diri!" rutuk Setan
Pedang Putih. Kemudian....
Suutt! Suutt! Suutt!
Tiga bilah pisau terbang meluncur ke
arah Pendekar Slebor. Andika sudah bisa
memperkirakan hal itu sebelumnya. Dan
ketika tiga belati kecil itu hampir mencapai
tubuhnya. Andika menyambitnya dengan
kain bercorak papan catur yang melilit di
lehernya. Trriingng! Ketiga pisau terbang itu pun rontok ke
tanah.
"Kau memang orang yang kurang ajar!
Pertama kau telah mengatakan aku jelek,
kedua seenaknya sendiri main perintah.
Sekarang tunggu pembalasanku, aku akan
menampar mulutmu yang bau jengkol itu,"
umpat Andika seraya meloncat turun dari
pohon. Setan Pedang Pulih tidak tahu siapa
sebenarnya Andika. Maka pantas saja kalau
ia memandang rendah pada pemuda
berambut gondrong itu. Ia segera bersiap
untuk melayani Andika dengan tangan
kosong. Satu tendangan dan pukulan yang cepat
sekali itu bisa dihindarkan dengan baik
sekali oleh Andika. Setan Pedang Putih
semakin penasaran dibuatnya, karena
Andika selalu menghindar dan tidak
berusaha menyerang. Ia semakin bernafsu
untuk memukul. Tapi Pendekar Slebor
selalu berhasil menghindarinya.
Plak! Satu tamparan mendarat persis di mulut....
Seruni dalam keadaan telentang tidak
berdaya. Pakaian yang dikenakannya ada
beberapa yang terkoyak sehingga tampak
bagian tubuhnya yang mulus. Andika
sempat mengamatinya sambil menelan liur.
***
::֍:: { 5 } ::֎::
"Kang Andika... uhk uhk uhuk...." Seruni menangis tersedu-sedu seraya memeluk
tubuh Pendekar Slebor.
Andika terdiam dan tidak bergerak sedikit
pun. Ia jadi kebingungan ketika dada
Seruni yang lunak itu menempel di
dadanya. Wajah cantik itu menempel di pipi
kanan Andika. Andika merasakan dadanya
terasa sesak.
"Entah apa yang akan terjadi atas diriku
kalau tidak ada Kang Andika," ucap Seruni
seraya mempererat pelukannya. Kedua
tubuh itu pun kian menghimpit rapat.
"Sudahlah, Seruni... semua ini terjadi
karena kebetulan saja," jawab Andika
seraya mendorong tubuh Seruni.
Tapi dorongan Andika itu membuat
Seruni semakin nekat. Ia justru semakin
mempererat pelukannya. Sikap Seruni itu
membuat Pendekar Slebor semakin
kebingungan.
"Terima kasih Kang Andika, terima
kasih..." Andika memegang pinggang Seruni. Uh!
Bentuknya indah dan padat sekali.
Pendekar Slebor jadi tergetar. Ia merasakan
sesuatu yang lain. Hatinya bagai berdesirdesir, tapi rasanya indah sekali.
Seruni yang mempesona itu sempat
membuat Hal 54-55 hilang
Pendekar Slebor menangkap ular yang
masih menggelepar-gelepar
itu dan melemparkan ke dinding batu. Ular itu pun
tidak bisa bergerak-gerak lagi karena
tubuhnya remuk.
Selanjutnya Andika jadi terkejut bukan
main. Tiba-tiba Seruni memeluk Pendekar
Slebor erat sekali. Tampaknya Seruni
benar-benar ketakutan tadi. Andika tidak
bergeming sedikit pun.
"Aku takut sekali, Kang...," ucap Seruni.
"Tidak apa-apa, ular itu sekarang sudah
mati...," hibur Andika.
"Kau jangan tinggalkan aku sendiri...."
Kemudian Seruni merenggangkan
pelukannya. Jantung Andika benar-benar
mau copot karena melihat keadaan Seruni
itu. Dan ketika tatapan Pendekar Slebor
bertemu dengan sorot mata. Seruni, ada
yang terasakan lain sekali. Seakan Seruni
tampak jauh lebih menarik.
Seruni memang sedang menggunakan
ilmu pemikatnya untuk menaklukkan
Pendekar Slebor, la pernah berguru pada
Nyai Pelet tentang bermacam ilmu pemikat
dan segala bentuk pengasihan. Karena
itulah Andika merasa tergetar hebat saat
mendapatkan sorot mata Seruni itu.
Tiba-tiba saja Seruni menciumi Andika.
Sebagai seorang pendekar yang sudah
kenyang pengalaman, sebenarnya pemuda
berambut gondrong itu sadar akan gunaguna Seruni itu. Tapi berhubung yang
melakukannya adalah gadis secantik
Seruni, Andika tidak berbuat banyak.
Pendekar Slebor tidak peduli apakah
dirinya terkena guna-guna atau tidak.
Byurr! Tubuh Pendekar Slebor dan Seruni samasama terjatuh ke dalam air. Andika mulai
membalas pelukan Seruni yang hangat
membara itu. Di dalam air mereka terus
saja bergumul. Seruni merasa girang sekali
mendapatkan kenyataan itu. Selama ini
Seruni tidak pernah gagal untuk
mendapatkan lelaki yang diinginkannya.
Karena itu dirinya mendapatkan julukan
Dewi Pemikat! Seruni benarrbenar lihai menyenangkan
hati lelaki. Pergumulan dalam air itu
membuat Andika terlena. Ia tidak mampu
bertahan lagi dari gejolak yang muncul dari
dalam dirinya sendiri. Hingga di bibir
Seruni tersungging senyum puas.
***
"Seruni, ceritakan padaku siapa dirimu
yang sebenarnya!" ucap Andika seraya
memandangi wajah itu lekat-lekat.
Mereka sedang mengeringkan tubuh di
depan nyala api. Pakaian hijau pupus yang
dikenakan Pendekar Slebor sudah agak
mengering.
"Kami telah menjadi korban orang-orang
Lembah Tengkorak...," ucap Seruni seraya
menundukkan wajah.
Kemudian Seruni sengaja mengarang
cerita agar Andika menjadi trenyuh. Tentu
saja Seruni tidak mau berterus terang
tentang siapa dirinya. Seruni mempunyai
dendam kesumat terhadap Nyai Pelet, bekas
gurunya sendiri. Sakit hati Seruni pada
Datuk Subendo juga tidak mungkin
terobati. Sebab dulunya Datuk Subendo
adalah kekasih Seruni. Datuk Subendo tega
membuang Seruni demi cita-citanya untuk
menjadi orang tersakti di pulau Jawa.
Datuk Subendo menerima Nyai Pelet karena
guru Seruni itu bisa membantu dirinya
untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kini
muncul keinginan Seruni
untuk memperalat Pendekar Slebor agar
membalaskan sakit hatinya. Seruni ingin
menggagalkan rencana Datuk Subendo itu.
Kalau bisa ia juga akan menguasai
Kembang Keabadian itu!
"Kamu tahu apa yang akan dilakukan
Datuk Subendo bersama Nyai Pelet,
sehubungan dengan Kembang Keabadian
itu?" tanya Andika penuh perhatian.
"Mereka akan melakukan persembahan di
malam bulan purnama. Kalau hal itu
benar-benar terjadi maka semua keinginan
mereka akan tercapai...," jawab Seruni.
Andika terdiam. Ia teringat semua ucapan
Peramal Sakti tempo hari. Kembang ajaib
yang munculnya seratus tahun sekali itu
akan menimbulkan malapetaka jika
digunakan dengan cara yang salah oleh
tokoh sesat.
"Kang Andika, datanglah ke Lembah
Tengkorak untuk menggagalkan
persembahan itu. Tolong balaskan sakit
hatiku pada mereka...," ucap Seruni penuh
harap.
"Ya. Aku pasti akan datang ke Lembah
Tengkorak. Apakah kau akan ikut
bersamaku?" jawab Andika.
"Dengan senang hati aku akan
menyertaimu...." Seruni bangkit. Lalu ia
berjalan ke arah Andika dan duduk di
pangkuannya.
"Terima kasih. Kang
Andika... terima kasih...."
Andika jadi kelabakan sendiri karena
Seruni kembali memeluknya dan menciumi
wajahnya. ***
Hari itu di Lembah Tengkorak tampak
lain dengan hari-hari biasanya. Jalan yang
menuju ke Lembah Tengkorak dihiasi
dengan bermacam.um-bui-umbul. Pintu gerbang Lembah Tengkorak dikuakkan
dengan selebar-lebarnya. Tampak beberapa
orang tengah berjaga-jaga dengan
membawa tombak. Para penjaga itu
mengenakan pakaian resmi.
Dua orang mengenakan pakaian lusuh
yang sudah compang-camping berlari
dengan gerakan ringan sekali. Kaki mereka
sepertinya tidak menyentuh tanah sedikit
pun. Masing-masing membawa tongkat
bambu seukuran setengah tombak. Salah
seorang mengenakan kacamata dengan
satu kaca saja. Dialah Pengemis Mata
Picak! Sedang orang yang berlari di
sebelahnya adalah Pengemis Tonggos!
Wajahnya sudah dipenuhi dengan kerutkeriput, sedang giginya hanya tersisa dua
biji yang moncong keluar. Mereka mewakili
Partai Pengemis Utara, sebuah
perkumpulan pengemis yang dinilai telah
bersekongkol dengan aliran hitam.
"Kami dua orang dari Partai Pengemis
Utara sudah datang. Apa kalian tidak
mempunyai sambutan yang lebih baik dari
itu" Tolong catat nama kami dengan huruf
yang besar-besar agar mudah dibaca oleh
tamu yang lain," ucap Pengemis Mata Picak
pada penjaga yang bertugas menerima
tamu.
"Baik, Tuan Pendekar...," jawab penjaga yang bertugas menerima tamu tadi.
"Hek hek hek hek...," sambil tertawa dua orang dari Partai Pengemis Utara tadi
berlalu. Para penjaga terbengong melihat
kehebatan dua orang tadi. Dari cara mereka
berlari tadi sudah bisa dilihat kehebatan
mereka dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Kemudian saat mereka tertawa tadi,
meskipun mereka sudah berlalu jauh, tapi
suaranya masih terdengar jelas seakan
mereka masih berada di situ.
Hari ini Lembah Tengkorak kedatangan
tokoh-tokoh sakti dari delapan penjuru
angin. Mereka sengaja diundang untuk
mengikuti sebuah sayembara. Nanti para
tamu itu akan saling berlaga untuk mencari
siapa yang paling unggul. Setelah itu sang
pemenang akan berhadapan dengan Putri
Kencana! kalau bisa mengalahkan Putri
Kencana maka ia akan berhak
mempersuntingnya.
Di tengah tanah lapang itu didirikan
sebuah panggung untuk tempat berlaganya
para tokoh sakti itu. Kursi-kursi dipasang
mengelilingi panggung yang cukup luas itu.
Lembah Tengkorak memang sedang
melaksanakan suatu hajat yang besar. Para
tokor sakti yang datang ke Lembah
Tengkorak itu dijamu dengan segenap
keramah-tamahan, juga dijamu dengan
makanan dan minuman yang terus saja
mengalir. Para tokoh sakti dari delapan penjuru
angin itu sudah banyak yang datang.
Mereka duduk mengitari panggung.
Kebanyakan dari mereka memang golongan
hitam. Dalam dunia persilatan Datuk
Subendo dikenal sebagai seorang tokoh
jahat di masa lalu. Sebagian ada juga yang
datang dari golongan putih. Mereka hanya
ingin tahu, apa keinginan Datuk Subendo
di balik pelaksanaan sayembara itu.
Sementara itu di luar, seorang kakek
bertubuh kerdil, berkepala botak, dengan
rambut jarang yang sudah memutih semua
sejak tadi mengamati suasana. Kakek itu
kebingungan sendiri melihat keramaian di
Lembah Tengkorak itu. Sesekali ia
mengelus kepalanya yang botak.
"Ini pasti ada yang tidak beres...," ucap Peramal Sakti seperti orang linglung.
"Ah, apakah Pendekar Slebor sudah tiba di sini?"
Saking bingungnya, Peramal Sakti
berjalan tanpa sadar. Kakek botak itu
melangkah mendekati para penjaga yang
bertugas menyambut para tamu. Hingga
Peramal Sakti tersadar kalau dirinya adalah
tamu tidak diundang.
"Selamat datang di Lembah Tengkorak,
Tuan Pendekar...," ucap penjaga tadi seraya menjura penuh hormat.
"Oh, ah... eh...," ucap Peramal Sakti tergagap.
"Siapa nama Tuan Pendekar ini biar kami
catat dalam daftar tamu?" tanya penjaga tadi ramah.
"Aku tidak punya nama...," jawab Peramal Sakti sekenanya.
"Apakah harus saya tulis Pendekar Tanpa
Nama?" usul penjaga itu.
"Terserah mau mulah! Asal jangan kau
tulis Kakek Tua Botak...."
Peramal Sakti langsung ngeloyor
memasuki pintu gerbang. Ia terus saja
mengelus kepalanya yang mengkilap
terkena cahaya matahari. Di dalam sudah
banyak sekali para tamu yang menempati
tempatnya masing-masing. Mereka dijamu
dengan makanan dan minuman sepuaspuasnya. Para tamu kelihatan gembira
sekali karena dijamu oleh pelayan-pelayan
cantik. Peramal Sakti terus bertanya-tanya dalam
hati, ada apakah gerangan" Ia yakin bahwa
malam nanti akan terjadi suatu kejadian
yang dahsyat di Lembah Tengkorak. Sebab
nanti malam tepat pada malam bulan
purnama! Peramal Sakti sudah punya
dugaan, namun tidak yakin dengan
dugaannya itu. Akhirnya kakek bertubuh
kerdil itu keluar lagi.
"Kenapa keluar lagi Tuan Pendekar?"
tanya penjaga tadi ramah.
"Tidak apa-apa... kepalaku jadi pusing
jika melihat perempuan-perempuan cantik
diganggu tangan-tangan jahil." jawab
Peramal Sakti.
"Ah, bukankah itu jamuan dari kami agar
para tamu bergembira?"
"Tapi aku malah jadi pusing!"
"Kalau begitu masuk lagi saja, Tuan
Pendekar... kami sudah menyediakan
jamuan makan dan minum...," ujar penjaga
itu lagi.
"Eh, ngomong-ngomong... siapa sih yang
sunatan" Apa ada sunatan massal di sini?"
tanya Peramal Sakti nyeleneh.
"Apakah Tuan Pendekar tidak tahu kalau
di sini akan diadakan sayembara untuk
memperebutkan Putri Kencana?"
"Wah, aku sendiri belum sempat kenalan
dengan Putri Lencana... siapa tadi?"
"Putri Kencana!"
"Maksudku yang itu!"
Sambil mengelus-elus kepalanya kakek
bertubuh kerdil itu berlalu. Para penjaga itu
hanya bisa geleng-geleng kepala melihat
ulah Peramal Sakti yang dirasa aneh.
Peramal Sakti berkelebat, Pendekar
Slebor yang sedang dicari-cari ternyata
tidak berada di dalam. Padahal kakek botak
itu yakin kalau Andika akan datang ke
Lembah Tengkorak.
***
::֍:: { 6 } ::֎::
Seketika Andika menghentikan
langkahnya. Ia melihat Peramal Sakti
tengah termenung sendiri. Tatapan kakek
bertubuh kerdil itu tercurah ke langit. Ia
duduk di atas batu yang berada di bawah
pohon.
"Eee, ketemu lagi...'," ucap Pendekar Slebor seraya mendekat.
Seruni yang saat itu menyertai Pendekar
Slebor ikutan mendekat.
Peramal Sakti melengos. Ia tidak mau
memperhatikan kehadiran pemuda
berpakaian hijau pupus itu.
"Wah, ngambek nih?" Andika
memandangi wajah yang cemberut itu.
"Apakah kau tidak bisa menghilangkan
kesukaanmu, yang suka mengganggu
orang?" tanya Peramal Sakti ketus.
Andika garuk-garuk kepala. Sableng juga
kakek ini! Pikirnya dalam hati.
"Kenapa kau kelihatan murung begitu,
Kek"'" tanya Andika tidak lagi berseloroh.
"Karena aku tidak bisa menjawab satu
pertanyaan yang keluar dari lubuk
hatiku...."
"Ah, kenapa kau tidak mau bertanya
padaku saja, Kek" Apa namaku tidak
kesohor sebagai Si Pintar dari Lembah
Kutukan?" Peramal Sakti menoleh. Dipandanginya
Andika yang cengar-cengir itu.
"Dari tampangmu memang tidak pantas
sebagai orang pintar. Tapi apa salahnya jika
aku mencoba...."
"Ngeledek, ya?"
Kendati pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu wajahnya masih tampak
nyengir, Peramal Sakti tidak
mempedulikannya. Kali ini ia ingin bicara
dengan serius.
"Begini, Pendekar Slebor... aku sendiri
benar-benar tidak habis pikir. Malam nanti
adalah tepat malam bulan purnama.
Kenapa di Lembah Tengkorak justru
diadakan sayembara yang ramainya seperti
ada sunatan?"
"Ah, itu pertanda kiamat...," desis Andika.
"Kiamat yang mana maksudmu?" tanya
Peramal Sakti tak mengerti.
"Pokoknya ya kiamat...."
"Ngomongmu tidak jelas anak muda!"
"Sebaiknya kita segera ke sana saja dan
mencegah agar rencana mereka bisa kita
gagalkan...."
"Aku tidak mau ikut kalau kau tidak
mengatakan maksudnya kiamat itu...."
"Wah, meskipun sudah tua penyakit
ngambekmu belum juga hilang, Kek!"
Peramal Sakti dan Andika saling
berpandangan. Jelas bahwa kakek
bertubuh kerdil itu tidak mau lagi
bercanda.
"Sayembara itu untuk memperebutkan
Putri Kencana. Padahal aku yakin
persembahan itu akan dilakukan malam
nanti," ucap Peramal Sakti.
Andika menoleh ke arah Seruni yang
sejak tadi cuma terdiam.
"Siapakah Putri Kencana itu?" tanya
Andika pada Seruni.
"Putri Kencana itu tidak ada! Menurutku
Putri Kencana adalah Nyai Pelet itu sendiri.
Setelah persembahan itu Nyai Pelet akan
tampak lebih muda dari usianya sendiri. Ia
akan terlihat seperti gadis belia meskipun
usianya sudah hampir seabad," Seruni
menjelaskan.
"Berarti mereka diundang itu. hanya
untuk mengakui kehebatan Putri Kencana.
Pada nantinya semua pendekar itu akan
diajak bersekutu. Mungkin bagi yang tidak
mau akan dibinasakan di Lembah
Tengkorak. Jadi maksudku kiamat itu ya
yang begitu" Andika menimpali.
Peramal Sakti tertawa gembira karena
sekarang sudah paham dengan hal itu.
Saking girangnya ia sampai berjingkrak
jingkrak seperti anak kecil.
"Aku mengerti sekarang... sekarang aku
sudah mengerti...," ucap Peramal Sakti.
Andika dan Seruni segera bergegas untuk
pergi ke Lembah Tengkorak. Di bibir
mereka tersungging seulas senyum karena
kekonyolan Peramal Sakti.
"Hoeyy... tungguuu... aku jangan
ditinggal...," teriak Peramal Sakti seraya berlari menyusul.
Di Lembah Tengkorak, saat itu para tamu
sudah berkumpul. Mereka duduk
mengelilingi panggung yang berada persis di
tengah-tengah. Tidak lama lagi acara itu
pun akan segera dimulai. Hadirin yangtadinya sibuk sendiri-sendiri
hingga suasana menjadi gaduh, kini pada terdiam.
Datuk Subendo tampil ke atas panggung.
Sejenak seluruh perhatian tertuju ke
arahnya. Setelah berdiri di tengah
panggung, Datuk Subendo siap
menyampaikan kata sambutan.
"Hadirin yang kami hormati, kami minta
maaf sebesar-besarnya jika ada jamuan
kami yang kurang, atau sambutan kami
yang kurang sopan ini. Adalah kehormatan
besar bagi kami, karena para undangan
yang datang dalam sayembara ini adalah
para pendekar muda yang datang dari
delapan penjuru mata angin. Kami
mengucapkan selamat datang di Lembah
Tengkorak ini...," ucap Datuk Subendo.
Kemudian disusul dengan tepuk tangan
riuh para hadirin. Dalam memberikan
sambutan itu Datuk Subendo tidak mau
berpanjang lebar. Sekiranya dirasa cukup ia
segera turun dari panggung.
Menginjak acara berikutnya, beberapa
murid Lembah Tengkorak tampil ke atas
panggung untuk memperagakan
kebolehannya dalam hal ilmu silat. Untuk
sementara semua perhatian tertuju ke arah
panggung.
"Kita harus tahu tempat yang akan
digunakan untuk melakukan persembahan.
Malam nanti kita harus bisa bertindak!"
ucap Andika.
"Aku sudah tahu tempat itu!" jawab
Seruni bersemangat.
Peramal Sakti masih termangu-mangu
menyaksikan pertarungan yang
berlangsung di atas panggung. Andika jadi
jengkel sekali karena orang tua bertubuh
kerdil itu sejak tadi tidak memperhatikan
ucapannya.
"Ayo Kek...." Pendekar Slebor segera
menarik tangan Peramal Sakti.
"Kita mau ke mana?" tanya Peramal Sakti.
"Menangkap tikus!" jawab Andika.
"Hii! Aku paling takut dengan tikus...."
"Kalau begitu menangkap cicak saja!"
"Aku tidak jadi ikut, kalian saja...."
Peramal Sakti hendak berbalik lagi.
Andika jadi jengkel juga dibuatnya.
Kemudian ia sadar dan segera merogoh
saku.
"Kek, apakah kau masih mau membantah
perintahku?" ucap Andika seraya
menunjukkan bangkai cicak.
"Monyet buduk! Jauhkan benda itu
dariku...," pekik Peramal Sakti takut.
"Aku tidak akan membuangnya kalau kau
masih berulah."
"Baiklah, kali ini aku akan menuruti
kalian...."
Sambil tersenyum Pendekar Slebor
memasukkan cicak itu kembali ke sakunya
Terbelalak mata Peramal Sakti melihat ulah
Pendekar Slebor itu.
"Buat apa kau simpan benda jelek itu?"
tanyanya sewot.
"Untuk persediaan...."
Dengan petunjuk Seruni, mereka bisa
menemukan tempat-tempat rahasia. Lorong
bawah tanah itu dijaga ketat oleh para
penjaga. Untuk melakukan penyelidikan itu
mereka harus bisa mencuri kelengahan
penjaganya.
"Menurutku tempat persembahan itu
berada di ruang bawah tanah," ucap Seruni
yakin.
"Apakah kita akan masuk ke sana, Kek?"
tanya Andika pada Peramal Sakti
Orang tua bertubuh kerdil itu mengeluselus kepalanya yang botak. Tampaknya ia
sedang berpikir. Lalu orang tua itu
tersenyum sendiri.
"Berarti ada lubang di atas ruang bawah
tahah itu! Yang pasti ada lubang...,' ucap
Peramal Sakti.
"Lubang apa maksudmu?" Andika tidak
mengerti.
"Bagi para penganut ilmu hitam yang
sesat, rembulan adalah lambang dari
sumber kekuatan. Tidak mungkin mereka melakukan persembahan itu tanpa cahaya
rembulan...."
"Lalu?" kejar pemuda urakan dari Lembah Kutukan.
"Kalau saja benar yang dikatakan Seruni
bahwa tempat persembahan itu berada di
ruang bawah tanah, pasti ada lubang untuk
masuknya cahaya rembulan," ucap Peramal
Sakti yakin.
"Aku pernah memeriksa seluruh tempat
ini. Tidak ada lubang yang kau maksudkan
itu. Orang Tua...," sangkal Seruni.
"Berarti persembahan itu tidak di ruang
bawah tanah!" Peramal Sakti ngotot.
Kekerasan Peramal Sakti itu membikin
Seruni jadi terdiam. Seruni tahu di mana
tempat itu karena cerita dari Singo
Menggolo yang dibunuh dengan cara
biadab. Singo Menggolo telah menceritakan
semua pada Seruni.
"Orang yang paling tahu tempat ini
adalah Seruni, Kek...." Andika berusaha
menengahi. , "Dan yang paling tahu tentang
persembahan itu adalah aku!" Peramal
Sakti ngeyel.
"Aku yakin tidak ada lubang!" ucap
Seruni seraya mendesah.
"Ada!" Peramal Sakti tidak mau kalah.
"Yang ada hanyalah sebuah cerobong
yang tinggi," jelas Seruni.
"Cerobong itulah yang aku maksud
sebagai lubang! Cahaya rembulan akan bisa
masuk dari situ...."
"Aku yakin dugaanmu itu benar, Kek! Ayo
kita periksa cerobong itu...." Andika
memutuskan. ***
Sementara itu di atas panggung tengah
berlangsung suatu pertunjukan menarik.
Para hadirin dipersilakan tampil ke atas
panggung sekadar untuk memamerkan
kelihaian ilmu silatnya. Acara itu dimaksud
hanya sebagai pemanasan saja. Sedang
untuk menentukan siapa pemenang yang
berhak tampil untuk menandingi ilmu silat
Putri Kencana akan ditentukan besok.
Dengan satu loncatan indah dan ringan
sekali, seseorang tampil ke atas panggung.
Dia adalah Tumenggung Larasmoyo, bekas
seorang pejabat kerajaan yang dipecat
karena membelot. Kini Tumenggung
Larasmoyo bergabung dengan para
perompak Alas Dempet di laut selatan.
"Hua ha ha ha...," Sesampainya di atas panggung Tumenggung Larasmoyo tertawa
keras sekali. Suara tawa yang aneh itu terasa
memekakkan telinga. Sebab tumenggung
berperut buncit itu tertawa sambil
mengerahkan segenap tenaga dalamnya.
Orang-prang di sekitar panggung yang ilmu
silatnya masih rendah segera menutupi
kedua telinganya.
"Aku Tumenggung Larasmoyo, izinkan
untuk menampilkan sebuah tontonan. Jika
ada yang ingin bermain-main denganku di
atas panggung, jangan malu-malu untuk
meloncat kemari," tantang Tumenggung
Larasmoyo pada segenap hadirin.
Tidak berselang lama seorang pemuda
tanggung meloncat ke atas panggung.
Kemudian pemuda tanggung itu menjura
pada Tumenggung Larasmoyo.
"Izinkanlah aku seorang pengelana dari
Padepokan Sindoro untuk meminta sedikit
pelajaran dari Tumenggung...," ucap
pemuda itu sopan.
"Dengan senang hati aku akan
memberimu pelajaran, Anak Muda!
Seranglah aku dalam dua puluh jurus, aku
hanya akan menghindar dan menangkis,
jika kamu berhasil memukulku maka aku
akan mengaku kalah," jawab Tumenggung
Larasmoyo karena merasa sudah bisa
mengukur kepandaian lawannya.
Pemuda tanggung itu terkejut sekali
karena merasa dirinya direndahkan.
Matanya menyala-nyala ketika memandangi
wajah Tumenggung Larasmoyo. Kebencian
langsung menggelegak di hati pemuda
tanggung itu melihat wajah Tumenggung
Larasmoyo yang sinis.
Tanpa menunggu lagi pemuda itu
langsung mengeluarkan jurus andalannya.
Tubuh pemuda itu bergerak memutar
sehingga terbentuk pusaran angin yang
cukup keras. Sejurus kemudian pemuda itu
telah menyongsong Tumenggung Larasmoyo
dengan sambaran-sambaran berbahaya!
Tapi seperti yang dikatakan Tumenggung
Larasmoyo tadi, ia tidak pernah berusaha
untuk membalas serangan pemuda
tanggung yang bertubi-tubi itu.
Tumenggung Larasmoyo hanya menangkis
sambil berkelit ke sana kemari.
Hadirin takjub melihat kehebatan
Tumenggung Larasmoyo itu. Menggebrak
dengan sepuluh jurus pertama, pemuda
tanggung dari Padepokan Sindoro itu tidak
mampu menyentuh tubuh Tumenggung
Larasmoyo seujung jari pun!
Pemuda tanggung itu merasa penasaran
sekali. Ia merasa telah dipermalukan.
Menginjak jurus kelima belas, pemuda
tanggung itu mengerahkan segenap tenaga
dalamnya. Ia akan menggunakannya
sewaktu Tumenggung Larasmoyo lengah.
Sampai pada jurus kedua puluh, pemuda
tanggung dari Padepokan Sindoro itu tetap
tidak bisa berbuat banyak. Karena itulah ia
melakukan sedikit kecurangan, tanpa
diduga pemuda tanggung itu melancarkan
satu pukulan jarak jauh.
Werrr! Tamparan angin keras yang panas itu
melanda ke tubuh Tumenggung Larasmoyo.
Tapi Tumenggung Larasmoyo yang sudah
bisa menduga hal itu sebelumnya
melakukan balasan yang lebih dahsyat!
Ketika ia menghentakkan kedua tangannya,
sinar merah bagai menyala api yang
berpijar melesat menyongsong serangan itu!
Gluarr! Terjadi ledakan hebat dan menimbulkan
sedikit guncangan. Para hadirin jadi
terbeliak melihat pemuda tanggung dari
Padepokan Sindoro itu terlempar jauh ke
belakang. Ia terlempar jauh sampai ke luar
panggung. Pemuda tanggung itu tidak bisa
bergerak gerak lagi karena pingsan akibat
mengalami luka dalam yang serius.
Sejenak suasana menjadi hening.
Kehebatan Tumenggung Larasmoyo seakan
telah membungkam mereka semua.
Keheningan itu tidak berlangsung lama,
tidak lama kemudian sebuah bayangan
berkelebat. Kini sosok tubuh kurus dengan
rambut panjang yang sudah pada memutih
berdiri persis di hadapan Tumenggung
Larasmoyo. Kedua mata kakek kurus itu
sepertinya tidak pernah terbuka. Dialah
Pertapa Sesat dari Gunung Semeru!
"Ah, rupanya kau pun ingin bermainmain denganku, Pertapa Sesat...," ucap
Tumenggung Larasmoyo sambil terkekeh.
"Aku hanya ingin menjajal sampai di
mana perkembanganmu selama ini," ucap
Pertapa Sesat dingin.
"Tentu ini merupakan suatu kehormatan
buatku, Pertapa Sesat. Tapi perlu aku
ingatkan, sekarang ini kita hanya mainmain. Sebab ketentuan untuk mendapatkan
Putri Kencana itu akan dilakukan besok!"
"Terserah kalau kamu menganggapnya
main-main...."
"Karena itulah kau boleh menyerangku
dalam sepuluh jurus. Kalau kau berhasil
memukulku maka aku akan turun dari
panggung ini."
"Baiklah...." Pertapa Sesat segera
mengatur posisinya.
"Awas serangan!"
Kehebatan Tumenggung Larasmoyo dalam
menghindari setiap serangan telah
membuat puluhan mata terbeliak takjub!
Ilmu meringankan tubuhnya benar-benar
telah mampu mencapai tingkat
kesempurnaan. Pertapa Sesat terus saja menggenjot
tenaga dalamnya. Ia penasaran sekali
karena serangannya selalu mengenai
tempat kosong. Pertapa Sesat sudah
berusaha mengubah siasat yang
menyerangnya. Kendati demikian, ia
memang harus mengakui kehebatan
Tumenggung Larasmoyo.
***
::֍:: { 7 } ::֎::
Tumenggung Larasmoyo berdiri dengan
angkuhnya. Pertapa Sesat baru saja turun
dari panggung. Lelaki berperut buncit itu
mengitarkan pandangannya, ia siap
menghadapi lawan yang penasaran dengan
kehebatannya. Tiba-tiba.... Wwuuusss! Wwuuusss! Wwuuusss! Angin yang keras sekali bertiup ke arah
panggung. Saat itu datang seorang kakek
berpakaian serba putih melayang ke atas
panggung. Di tangannya tergenggam
sebatang tongkat kayu. Kakek yang
wajahnya dipenuhi dengan kerut-keriput itu
menjejakkan kedua kakinya persis di
hadapan Tumenggung Larasmoyo.
Tumenggung Larasmoyo terkejut bukan
main melihat kehadiran orang tua itu.
Keangkuhan yang ditunjukkannya tadi
seketika lenyap. Kini berubah menjadi
kekhawatiran yang menyelimuti
Tumenggung Larasmoyo.
"Eyang Wisanggeni"!" pekik Tumenggung Larasmoyo seakan tidak percaya.
"Rupanya kau belum melupakan aku,
Larasmoyo...," jawab Eyang Wisanggeni
dingin.
"Apakah kau ingin mengikuti sayembara
ini, Eyang?"
"Ha ha ha ha... rasanya aku sudah terlalu
tua untuk itu. Aku yakin kau pasti tahu
maksud kedatanganku ke sini...." Eyang
Wisanggeni mengelus-elus jenggotnya yang
sudah memutih.
"Sayembara ini akan dimulai besok, di
sini aku hanya ingin main-main...,"
Tumenggung Larasmoyo sengaja mengulur
waktu.
"Aku sudah terlalu tua untuk main-main,
Larasmoyo...." Eyang Wisanggeni terdiam
sejenak.
"Tidak ada lagi permainan yang
lebih menarik buatku selain mencabut
nyawamu...."
Seketika memucat paras Tumenggung
Larasmoyo. Ia sudah bisa merasakan
gelagat yang tidak baik dengan kedatangan
Eyang Wisanggeni itu. Bertahun-tahun
Tumenggung Larasmoyo menghindari
pertemuan dengan Eyang Wisanggeni yang
bersumpah untuk membunuhnya karena
Tumenggung Larasmoyo membelot dari
kerajaan.
"Apakah Eyang tidak mau menghormati
Penguasa Lembah Tengkorak yang punya
hajat besar ini?"
"Justru mereka yang harus menghormati
kita sebagai tamu. Mereka pasti bersedia
memberi kesempatan kita untuk
menyelesaikan urusan pribadi."
Tumenggung Larasmoyo semakin keder
dibuatnya. Tapi ia memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ia harus mempertahankan nyawanya sendiri.
"Hiaaaatt!"
Disertai dengan satu teriakan,
Tumenggung Larasmoyo menggempur.
Eyang Wisanggeni berkelit dengan cara
memutar tubuhnya.
Dukk! Kedua tangan Tumenggung Larasmoyo
beradu dengan telapak tangan Eyang
Wisanggeni. Hampir tidak bisa dipercaya
karena akibat beradunya dua tenaga sakti
itu membuat Tumenggung Larasmoyo
terhuyung-huyung ke belakang. Sementara
Eyang Wisanggeni tidak bergeming sedikit
pun! "Aku ingin kau bisa menunjukkan
kehebatanmu. Biar orang-orang itu kagum
melihat kelihaianmu...," ejek Eyang
Wisanggeni. Memerah paras Tumenggung Larasmoyo
mendengarnya. Ia berusaha menguasai
posisinya kembali. Akibatnya benturan
keras tadi membikin dada Tumenggung
Larasmoyo terasa sesak.
"Sudah terlalu banyak dosa-dosa yang
telah kau timbun Larasmoyo, karena itu
kau harus siap untuk menebusnya dengan
kematian," ucap Eyang Wisanggeni bukan
sekadar gertakan.
Tumenggung Larasmoyo berusaha untuk
melipatgandakan serangannya. Ia sadar
kalau Eyang Wisanggeni ilmunya ada
beberapa tingkat di atasnya. Kalaupun ia
harus mati, lawannya juga harus terluka.
"Hiaaatt!"
Tumenggung Larasmoyo kembali
berteriak. Sejurus dengan itu ia sudah kembali
menerjang. Eyang Wisanggeni yang sejak
tadi cuma terdiam itu menjejakkan kedua
kakinya ke tanah. Kemudian tubuh orang
tua itu melesat tinggi ke udara. Kali ini
serangan Tumenggung Larasmoyo hanya
lewat dengan begitu saja.
Begitu kedua kakinya sudah menjejak ke
tanah lagi, Eyang Wisanggeni menghimpun
tenaga dalamnya dengan cara memadukan
telapak tangannya di depan dada. Dari
kedua telapak tangan itu berkilauan warna
biru dan berkilat-kilat. Eyang Wisanggeni
siap meluncurkan pukulan 'Buana Biru'
yang pernah menggemparkan dunia
persilatan itu!
Tumenggung Larasmoyo kaget bukan
main. Ia sadar kalau lawannya sudah tidak
main-main lagi. Karena itu Tumenggung
Larasmoyo tidak ada pilihan lain selain
menandingi dengan ajian "Sosro Lebur'.
Kemudian Tumenggung Larasmoyo segera
menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Ia
terpejam dengan sekujur tubuh tergetar
kaget. Sinar berwarna putih keperakan melesat
dari telapak tangan Tumenggung
Larasmoyo. Sinar keperakan itu terus saja
menderu ke tubuh Eyang Wisanggeni. Tapi
sikap orang tua itu tampak tenang sekali.
Eyang Wisanggeni tetap melancarkan
pukulan 'Buana Biru'!
Semua mata terbeliak ketika sinar putih
keperakan itu bagai ditelan oleh sinar biru
berkilat yang bentuknya seperti bola api itu.
Tiga bola api berwarna biru pijar menderu
ke tubuh Tumenggung Larasmoyo disertai
dengan suara gemuruh susul-menyusul !
Tumenggung Larasmoyo wajahnya
memucat dan matanya melotot kaget.
Deeeess! Tumenggung Larasmoyo terlempar tujuh
tombak. Lalu terdengar suara bagaikan
pohon tumbang. Tumenggung Larasmoyo
tewas dengan mata mendelik dan tubuh
mengalami luka terbakar!
Eyang Wisanggeni memandangi kematian
Tumenggung Larasmoyo dengan tatapan
dingin. Kemudian tubuhnya berkelebat
begitu cepat. Sementara para hadirin hanya
bisa memandangi kepergiannya.
***
Malam pun hadir bersama taburan
bintang-bintang di langit. Para tokoh dunia
persilatan yang datang dari delapan
penjuru mata angin dijamu dengan sebaikbaiknya. Pada sebuah ruangan khusus,
mereka bisa menikmati suguhan makanan
dan minuman. Para pelayannya adalah
perempuan-perempuan cantik. Kesenangan
para tamu itu serasa lengkap karena
perempuan-perempuan itu selain melayani
mereka makan, juga bisa melayani mereka
di tempat tidur.
"Edan! Kenapa mereka bisa begitu
bahagia" Seakan mereka tidak menyadari
rencana Datuk Subendo dan Nyai Pelet di
balik semua itu...," ucap Andika seperti
berbicara pada dirinya sendiri.
"Kita bergabung dengan mereka saja,
Pendekar Slebor!" usul Peramal Sakti.
"Apakah kau masih tergiur dengan
perempuan cantik, Kek?" tanya Andika.
"Monyet buduk! Sembarangan saja
mulutmu ngomong," Peramal Sakti
bersungut-sungut.
"Aku bisa mati
kelaparan kalau terus ikut bersamamu.
Kalau kau memang tidak mau makan, biar
aku sendiri saja yang ke sana...."
Kemudian Peramal Sakti berlalu.
"Tunggu, Kek!" teriak Pendekar Slebor seraya menyusul langkah Peramal Sakti.
"Perutku juga sudah minta diisi...," ucap Andika seraya tersenyum.
Ketika seorang pelayan membawa
penampan berisi ayam panggang lewat,
Peramal Sakti menyambarnya. Andika
tersenyum sendiri melihat ulah kakek
bertubuh kerdil itu. Kemudian Pendekar
Slebor melakukan hal yang sama.
Andika dan Peramal Sakti memilih tempat
duduk yang agak berjauhan dengan tamutamu yang lain. Sebenarnya mereka risi melihat ulah para tokoh dunia persilatan
itu. Tampaknya mereka telah lupa diri dan
hanyut dalam kegembiraan.
"Baru kali ini aku mendapatkan jamuan
yang benar-benar lengkap. Tentu aku
senang sekali jika kejadian seperti ini lebih
sering terjadi!" ucap seorang lelaki brewok yang duduk di seberang.
Saat itu seorang pelayan menyajikan
makanan buatnya. Tangan lelaki brewok
yang jahil itu terus saja menjamah tubuh
pelayan yang memang aduhai itu.
Sementara pelayannya hanya tersenyumsenyum saja.
"Kenapa kau memandanginya tanpa
berkedip, Kek?" tanya Andika pada Peramal
Sakti.
"Ah, aku jadi teringat masa mudaku...,"
Peramal Sakti mengelus-elus kepalanya
yang botak. Tiba-tiba seorang pelayan berjalan
mendekati tempat duduk Andika dan
Peramal Sakti. Seulas senyum merekah di
bibirnya.
"Apakah ada pelayanan lain yang bisa
kami berikan, Tuan Pendekar?" tanya
pelayan itu setelah dekat. Matanya melirik
nakal pada Andika.
"Ya... tapi bukan aku!"jawab Andika.
"Kakek ini tadi bilang padaku. Katanya
tubuhnya pegal-pegal dan minta dipijat,"
Andika menunjuk Peramal Sakti.
"Dengan senang hati saya akan
melakukannya...," jawab pelayan tadi.
Peramal Sakti bersungut-sungut dikerjain
begitu. Andika tertawa-tawa melihatnya.
"Dasar Slebor! Ayo kita pergi dari sini...,"
Peramal Sakti menarik lengan Andika dan
dibawa berlalu dari situ.
Pelayan tadi hanya bisa memandangi ulah
mereka yang aneh itu. Andika masih
sempat menoleh ke belakang.
"Pijatnya besok saja ya?" ucap Pendekar Slebor setengah berteriak.
Malam itu suasana di Lembah Tengkorak
banyak sekali menyimpan keanehan. Ruang
perjamuan tampak hingar-bingar dan
meriah sekali. Tapi di tempat lain tampak
hening, di sana-sini penjagaannya begitu
ketat. Andika bersama Peramal Sakti terus saja
bergerak. Mereka tengah berusaha mencari
saat yang tepat untuk bertindak.
***
Sekelompok orang berkerudung sampai
menutup kepala tengah berjalan menuju ke
ruang bawah tanah. Saat itu Andika
bersama Peramal Sakti telah berhasil
mengelabui para penjaga. Mereka terus saja
mengikuti orang-orang berkerudung itu.
Di ruang bawah tanah itu terdapat
sebuah tempat yang cukup luas. Orangorang berkerudung itu masuk ke sana.
Mereka berjalan dengan arah memutar,
mengelilingi sebuah batu besar di mana
Kembang Keabadian tumbuh di situ.
Kemudian mereka duduk bersila
mengelilingi Kembang Keabadian itu.
"Apa yang hendak mereka lakukan, Kek','"
tanya Pendekar Slebur dengan suara pelan
sekali.
"Sssssttt!" Peramal Sakti menempelkan jari telunjuknya di bibir.
Andika garuk-garuk kepala. Perhatian
mereka kembali tertuju pada upacara
persembahan yang hendak dimulai itu.
Kemudian orang-orang berkerudung itu
mengeluarkan suara yang menyerupai
sebuah nyanyian. Nyanyian itu terdengar
aneh sekali. Suaranya melengking tinggi
dan menggema dari dinding ke dinding.
"Aku sampai merinding mendengar suara
nyanyian itu, Kek!" ucap Andika.
"Sssssttt!" Peramal Sakti jengkel juga karena pemuda urakan itu tidak bjsa diam.
Dengan tangannya Peramal
Sakti mengisyaratkan sesuatu, ia akan menjitak
Andika kalau dirinya masih saja rewel.
Nyanyian aneh itu terus saja menggema
ke segenap ruangan. Suara mereka
terdengar kompak dari berirama.
"Mereka tengah menyanyikan pujian pada
Raja Kegelapan," ucap Peramal Sakti pelan
sekali.
"Sssssttt!" Andika menempelkan jari
telunjuknya di bibir. Kemudian ia
mengacungkan tinjunya ke wajah Peramal
Sakti. Tiba-tiba saja nyanyian aneh itu terhenti.
Suasananya berubah menjadi hening sekali.
Seorang bertubuh tinggi besar yang
mengenakan pakaian hitam dengan
kerudung menutup sampai wajahnya tampil
di muka. Ia mengambil obor yang menempel
di dinding batu.
Orang bertubuh tinggi besar itu
mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Wajahnya tengadah ke langit.
"Wahai. Pangeran Kegelapan! Malam ini
kami mengadakan suatu persembahan
padamu. Dengan disaksikan cahaya
rembulan, kami bersumpah setia
padamu...," ucap orang bertubuh tinggi
besar itu lantang.
Seperti yang sudah pernah dikatakan
Peramal Sakti, bahwa syarat persembahan
itu harus ada cahaya rembulan yang
masuk. Cerobong tinggi itu merupakan
jalan masuknya cahaya rembulan ke dalam
ruangan itu. Saat itu cahaya rembulan yang
masuk belum begitu jelas, tapi nanti di saat
rembulan berada tegak lurus dengan bumi.
cahaya rembulan yang masuk akan terlihat
jelas. Nyanyian aneh itu kembali terdengar. Kali ini suaranya seperti mendengung. Orang
bertubuh tinggi besar itu mengambil cairan
berwarna merah yang ada di bawah
Kembang Keabadian. Itulah darah bayi
untuk persembahan!
Satu persatu orang berjalan mendekati
lelaki bertubuh tinggi besar itu. Kemudian
lelaki bertubuh lingga' besar itu mengambil
darah itu dengan sebuah rawan kecil. Saat
orang-orang berkerudung hitam itu
mendekat, ditorehkannya darah itu di jidat
setiap orang. Nyanyian aneh itu terhenti setelah setiap
orang sudah mendapat torehan darah di
jidatnya. Lelaki bertubuh tinggi besar itu
kembali mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Dengan wajah tengadah ke langit ia
berkata: "Wahai, Pangeran Kegelapan! Kami telah
mengangkat dua orang pemimpin. Kami
mengangkat dia agar bisa menjadi
pengabdimu yang setia!" ucapnya lantang
sekali. Lalu nyanyian aneh itu kembali
terdengar. Kali ini suaranya lain dengan
yang tadi. Sebentar-sebentar berubah,
kadang menjadi cepat dan kadang berubah
menjadi lambat.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu mengisi
dua gelas dengan cairan darah. Kedua
tangannya yang memegangi gelas berisi
cairan darah itu diangkat tinggi-tinggi.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkahilah
dua gelas persembahan ini. Akan kami
berikan pada dua orang pemimpin kami,
agar mereka bisa selalu mengabdi
padamu...," suara lantang itu kembali
terdengar. Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan
meninggalkan ruangan itu. Ternyata dua
gelas berisi cairan darah bayi itu
diserahkan pada Datuk Subendo dan Nyai
Pelet. Sejak tadi mereka menunggu dalam
sebuah kamar terpisah.
"Atas berkat Pangeran Kegelapan,
upacara itu telah kami mulai...," ucap lelaki bertubuh tinggi besai itu Datuk
Subendo dan Nyai Pelet menerima dua gelas itu.
Kemudian mereka saling berpandangan.
***
::֍:: { 8 } ::֎::
Datuk Subendo dan Nyai Pelet saling
berpandangan. Mereka tidak berkedip
sedikit pun. Kemudian mereka mengangkat
gelas berisi cairan darah itu. Dengan
gerakan bersamaan mereka menelannya.
Seketika terjadi perubahan pada wajah
mereka. Mata mereka jadi kelihatan
berkilat-kilat. Tajam laksana mata iblis!
Kembali mereka saling berpandangan.
Hingga gemuruh terasa menggelegak dalam
dada masing-masing.
Mereka saling berpelukan, kemudian
saling bergumul. Tenaga mereka tak
ubahnya seperti pasangan remaja belasan
tahun. Berkat cairan darah yang ditelan,
tenaga mereka menjadi berlipat ganda.
Tidak lama kemudian ruangan itu
berubah, kehangatan tumpah, berbaur
dengan keringat yang keluar dari tubuh
masing-masing. Nyai Pelet hanyut oleh
keperkasaan Datuk Subendo. Sesekali
terdengar desahan napas mereka yang
tertahan. Sementara itu di sudut lain, orang-orang
yang mengenakan kerudung sampai
menutup kepala itu terus saja
mendengungkan nyanyian aneh. Persatuan
antara Datuk Subendo dengan Nyai Pelet
itu merupakan salah satu syarat
persembahan.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Telah kami
laksanakan segala perintahmu dengan
sebaik-baiknya!" ucap Datuk Subendo
dengan wajah tengadah.
Di tempat lain, orang-orang berkerudung
sampai menutupi wajah itu masih terus
mendengungkan nyanyian aneh itu.
Bahkan suaranya terdengar semakin keras
saja. Kini mereka tidak hanya bernyanyi,
lapi mengangkat kedua tangannya ke
udara. Mereka menggerakkan tangan itu
diikuti dengan gerakan tubuh yang meliukliuk. Nyanyian aneh itu seketika terhenti ketika
Datuk Subendo bersama Nyai Pelet
melangkah ke situ. Kedua orang itu hanya
mengenakan selembar jarik yang melilit di
tubuhnya. Orang-orang yang mengenakan
kerudung sampai menutupi kepala itu
bangkit dan mengelilingi Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet.
Di langit rembulan memancarkan
cahayanya ke segala penjuru. Tampak awan
putih berarakan tertiup angin. Sejak tadi
Seruni memandangi langit. Ia berada di
dekat cerobong yang menjulang tinggi itu.
Di situ Seruni juga lagi melaksanakan
tugasnya sendiri.
Suatu keanehan pun terjadi. Tiba-tiba
dalam ruang bawah tanah bertiup angin
yang cukup keras. Entah dari mana
datangnya angin itu.
Kini orang-orang berkerudung itu pada
berjingkrak-jingkrakan mengelilingi Datuk
Subendo dan Nyai Pelet. Persembahan iblis
itu sebentar lagi akan dilaksanakan.
Sementara rembulan sesaat lagi akan
berada persis di atas Lembah Tengkorak.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkatilah
persembahan ini," ucap lelaki bertubuh
tinggi besar dengan mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi.
Suasana berubah menjadi hening. Lelaki
bertubuh tinggi besar itu telah memimpin
jalannya upacara. Saat itu Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet duduk menghadap ke
bongkahan batu tempat tumbuhnya
Kembang Keabadian.
"Wahai, Pangeran Kegelapan!
Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
menorehkan darah di kening Datuk
Subendo dan Nyai Pelet, pertanda bahwa
upacara persembahan itu telah dimulai.
Rembulan di langit terus saja tergelincir.
Kini terlihat dengan jelas sekali, melalui
cerobong yang tinggi menjulang itu sinar
rembulan masuk ke ruangan bawah tanah
itu. Kembang Keabadian tampak semakin
indah saat disirami sinar rembulan.
"Wahai, Segala Kekuatan yang menyatu
dengan malam. Wahai rembulan tempat
bersemayamnya pujaan kami, Pangeran
Kegelapan! Kami persembahkan Kembang
Keabadian, kami memujamu dan meminta
kekuatan dari segala kekuatan yang ada di
muka bumi ini," lelaki berlubuh tinggi besar itu berkata dengan selengah
berteriak.
"Wahai, Pangeran Kegelapan!
Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Dataaaangngng...," orang-orang
berkerudung yang lain berteriak dengan
serempak. Tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap
gulita. Saat itu semua obor yang menempel
di dinding sudah dimatikan. Satu-satunya
penerangan adalah cahaya rembulan yang
masuk melalui cerobong itu.
Kemudian menyusul suara tiupan angin
yang keras sekali.
Wuuuuussss! Wuuuuussss! Wuuuuussss!
Para pemuja iblis itu pada terdiam.
Suasana menjadi sunyi mencekik!
"Hua ha ha ha ha ha...," terdengar suara tawa yang keras sekali.
Suara itu terdengar begitu memekakkan
telinga. Seakan suara tawa itu disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang
hebat. Para pemuja iblis itu terdiam,
suasana itu terasa mendebarkan bagi
mereka.
"Hua ha ha ha ha... akulah Pangeran
Kegelapan! Ada keperluan apa hingga kalian
memanggilku?" suara itu kedengarannya
datang dari segala penjuru.
Tidak lama kemudian muncul sosok
seperti manusia dengan kepala kerbau.
Lengkap dengan tanduknya juga. Para
pemuja iblis itu sadar kalau Pangeran
Kegelapan yang menjadi sesembahannya
telah hadir di situ. Semua segera
menjatuhkan diri dan berlutut pada
Pangeran Kegelapan.
"Apa yang ingin kalian hidangkan
padaku" Kini aku telah datang...," ucap
Pangeran Kegelapan.
"Kami hidangkan semua yang ada,
pengabdian kami, dan seluruh jiwa raga
kami...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu mewakili.
"Ah, apakah tidak ada yang lebih enak
dari itu?"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
mengernyitkan alisnya. Pertanyaan
Pangeran Kegelapan itu kedengarannya
aneh.
"Kenapa kalian hanya terdiam" Aku bisa
marah karena ketololan kalian ini...,"
ancam Pangeran Kegelapan.
"Ampun, Pangeran Kegelapan...
ampuuuunn...," ucap orang-orang
berkerudung itu serempak.
Pangeran Kegelapan mengelus-elus
kepalanya yang bertanduk. Sejenak semua
perhatian tertuju ke arahnya.
"Kalian tahu kalau persembahan ini telah
aku berkati?" tanya Pangeran Kegelapan.
"Persembahan kalian ini telah resmi aku
buka...."
"Terima kasih, Pangeran Kegelapan...
terima kasiiiih...," jawab para pemuja iblis itu serempak.
"Sekarang semua bersujud padaku,
benturkan kepala kalian ke lantai...."
Para pemuja iblis itu langsung menuruti
apa yang dikatakan Pangeran Kegelapan.
Mereka berlutut dan membentur-benturkan
kepalanya ke lantai. Mereka tidak
mempedulikan meskipun sakit. Karena
kepatuhan mereka itu ada yang jidatnya
berdarah karena terlalu keras
membenturkan kepalanya ke lantai
"Hua ha ha ha ha... aku senang sekali
mempunyai pengabdi yang patuh seperti
kalian. Hua ha ha ha..." Pangeran
Kegelapan menepuk-nepuk dadanya
sendiri. Para pemuja iblis itu pada terdiam, dan
siap melaksanakan perintah Pangeran
Kegelapan selanjutnya.
"Sekarang aku menginginkan Kembang
Keabadian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu
tercengang. Permintaan Pangeran
Kegelapan itu kedengarannya aneh sekali.
Jika tanpa Kembang Keabadian itu upacara
persembahan itu tidak akan terjadi
sebagaimana mestinya. Jelas bahwa
permintaan Pangeran Kegelapan itu telah
menyalahi aturan main.
"Hey, Perut Buncit! Apakah kamu sudah
tidak mau menuruti perintahku lagi"!"
bentak Pangeran Kegelapan.
"Ampuni hambamu ini, Pangeran
Kegelapan... ampuuuun...," lelaki bertubuh tinggi besar itu ketakutan juga
digertak begitu.
"Sekarang kamu pilih, berikan Kembang
Keabadian itu padaku atau kalian semua
kukutuk menjadi kerbau congek"!" bentak
Pangeran Kegelapan lagi.
"Ampuni kami, Pangeran Kegelapan...
ampuni kami...," jawab para pemuja iblis
itu serempak. Lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak
berani menanggung risiko atas dirinya.
Kemudian dicabutnya Kembang Keabadian
itu. Kembang Keabadian itu diserahkan
pada Pangeran Kegelapan dengan sikap
hormat.
"Hua ha ha ha ha... aku senang sekali
mempunyai pengabdi yang patuh seperti
kalian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Sejak tadi lelaki bertubuh tinggi besar itu
sudah menaruh kecurigaan. Omongan
Pangeran Kegelapan itu terkesan
seenaknya. Dan yang lebih aneh lagi,
meskipun Pangeran Kegelapan itu berdiri di
hadapan mereka, tapi suaranya seperti
berasal dari tempat yang berpindah-pindah.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menjadi
penasaran sekali. Banyak sekali keanehan
yang terjadi saat Pangeran Kegelapan itu
datang. 'Tuanku Pangeran Kegelapan, hamba
yang bodoh ini minta bukti bahwa Paduka
adalah Pangeran Kegelapan
yang sesungguhnya,"
"akhirnya lelaki bertubuh tinggi besar itu memberanikan diri
untuk bertanya. Pangeran Kegelapan mengelus-elus
kepalanya yang bertanduk. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu memandangi Pangeran
Kegelapan dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Memang aneh sekali jika Pangeran
Kegelapan itu mempunyai bentuk tubuh
yang kerdil.
"Kalian menginginkan bukti?" tanya
Pangeran Kegelapan.
"Iya. Paduka...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Bodoh sekali jika kau bertanya begitu!"
bentak Pangeran Kegelapan.
"Hambamu ini memang bodoh. Paduka...."
jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Kau pukul kepalamu sendiri agar
bodohmu itu hilang!" perintah Pangeran
Kegelapan. Anehnya, lelaki bertubuh tinggi besar itu
menurut saja. Ia memukul kepalanya
sendiri dengan keras sekali.
"Kau memang bodoh karena mau
memukul diri sendiri. Hua ha ha ha ha...."
Pangeran Kegelapan tertawa.
"Karena hamba ingin minta bukti bahwa
Paduka ini memang Pangeran Kegelapan
yang sesungguhnya...," desak Selaki
bertubuh tinggi besar itu.
"Kau dengar, meskipun aku berdiri di
sini, lapi suaraku bisa berpindah-pindah.
Apakah ada yang bisa melakukannya selain
Pangeran Kegelapan?" jawab Pangeran
Kegelapan.
"Kami menginginkan bukti yang lain,
Paduka...."
"Bukti yang mana lagi maksudmu?"
"Kami yakin Paduka Pangeran Kegelapan
bisa terbang laksana burung...," lelaki
bertubuh tinggi besar itu terus mendesak.
"Terbang" Itu gampang sekali buatku.
Saat aku berlari orang akan melihatku
seperti terbang. Jika aku meloncat orang
juga melihatku seperti terbang...," jawab
Pangeran Kegelapan.
"Aku akan terbang ke
sana, kau perhatikan baik-baik...."
Pangeran Kegelapan meloncat tinggi
sekali. Tapi ketika kakinya hendak
mendarat, kepalanya terantuk dinding
hingga terlihatlah siapa sesungguhnya
Pangeran Kegelapan itu. Begitu topeng
kepala kerbau itu terjatuh, tampaklah
seorang kakek berkepala botak dengan
rambut sedikit. Dialah Peramal Sakti!
"Sialan kau Pendekar Slebor!" gerutu
Peramal Sakti sambil memaki.
"Bukankah kita sudah mendapatkan
Kembang Keabadian itu?" jawab Andika
santai.
"Bicaramu tadi ngawur sekali!"
"Kenapa kau tidak mau ngomong sendiri
saja?"
"Mana aku bisa bicara dengan memakai
topeng kepala kerbau itu?"
***
Para pemuja iblis itu terkejut sekali
setelah mereka ditipu dengan mentahmentah. Kenyataan itu membuat mereka
jadi marah sekali. Dua orang yang kini
sudah menampakkan dirinya itu telah
menggagalkan persembahan mereka
"Keparat! Kejar mereka jangan sampai
lolos...," perintah Datuk Subendo.
Para pemuja iblis itu .sudah melepaskan
pakaian hitam-hitamnya. Sepuluh orang
langsung menghambur untuk melakukan
pengejaran. Andika dan Peramal Sakti jadi
agak kelabakan karena pintu keluarnya
terhalang oleh para pemuja iblis itu.
"Kita jangan memberi kesempatan pada
mereka. Mereka adalah para pemuja iblis
yang patut dibinasakan!" ucap Peramal
Sakti pada Pendekar Slebor.
Ketika jarak para pemuja iblis itu
semakin dekat, Andika telah bersiap. Ia
alirkan tenaga 'Inti Petir' ke kedua
tangannya. Pendekar Slebor sudah tidak
mau membuang-buang waktu lagi, mereka
harus secepatnya keluar dari ruang bawah
tanah itu. Andika palangkan kedua
tangannya di depan dada. Menyusul dengan
gerakan tangannya yang menyentak.
"Heeeeeaaaa!!!!"
Saat itu terdengar suara petir menyalak.
Suaranya bergemuruh di Seantero ruang
bawah tanah. Menyusul kemudian, dua
orang mencelat karena terdorong oleh
pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Akibat
kuatnya pukulan tenaga 'Inti Petir', dua
orang pemuja iblis membentur dinding
batu. Mereka tidak bisa bergerak-gerak lagi,
tewas dengan tubuh remuk!
Para pemuja iblis itu memang marah
sekali karena persembahan itu telah
digagalkan dua orang penyelundup itu.
Mereka terus menerjang tanpa rasa takut
sedikit pun! "Pendekar Slebor! Ratakan tempat ini
dengan tanah...," perintah Peramal Sakti.
Peramal Sakti sudah melesat untuk
menyongsong para pengeroyok itu. Tidak
lama kemudian para pemuja iblis itu
tampak berjumpalitan ke udara karena
tubuhnya dibanting dan dilemparkan oleh
Peramal Sakti. Memang begitulah rencana
Peramal Sakti untuk menghadapi lawan. Ia
tidak mau membunuh orang, makanya
paling banter para pemuja iblis itu hanya
pingsan saja. Sementara jumlah para pengeroyok itu
tidak juga makin berkurang. Kalau keadaan
seperti itu dibiarkan, maka Peramal Sakti
bisa terdesak hebat!
Andika segera mengerahkan segenap
tenaganya untuk mengeluarkan ajian
'Guntur Selaksa'. Saat itu tercipta suatu
gelombang angin, sekujur tubuh Pendekar
Slebor seketika dikelilingi oleh pernik
keperakan. Saat itulah Andika
menghentakkan kedua tangannya ke muka.
Disertai suara petir menyalak, suara itu
bergemuruh memekakkan telinga. Sebuah
kilatan melesat menghantam langit-langit
ruang bawah tanah itu.
Bummmm!! Suara ledakan terdengar keras. Ruang
bawah tanah itu bagai diguncang gempa
yang cukup hebat. Bongkahan-bongkahan
batu rontok beserta debu debu yang tebal.
Andika melakukan hal itu dengan tujuan
untuk mengubur para pemuja iblis itu
hidup-hidup.
"Kita tinggalkan tempat ini, Kek!" teriak Andika sambil menyeret tangan Peramal
Sakti. Para pemuja iblis itu kehilangan jejak.
Saat debu-debu tebal itu mengepul, mereka
tidak bisa melihat apa-apa. Hingga Andika
bersama Peramal Sakti berlari semakin
jauh. Sesaat lagi mereka akan bisa
mencapai pintu keluar ruang bawah tanah
itu.
"Iblis laknat! Berani-beraninya kalian
membikin kekacauan di sini!" terdengar
suara teriakan yang memantul dari dinding
ke dinding. Andika terkesiap. Dilihatnya Nyai Pelet
berdiri tidak jauh darinya. Andika sendiri
seakan tidak bisa percaya dengan
penglihatannya sendiri. Sebab Nyai Pelet
yang dilihatnya sekarang adalah seorang
gadis cantik yang begitu mempesona.
Padahal sepengetahuan Andika, Nyai Pelet
adalah seorang nenek peot yang sudah bau
tanah.
"Pendekar Slebor, namamu begitu harum
di dunia persilatan. Sayangnya kau paling
suka mencampuri urusan orang...," ucap
Nyai Pelet.
"Peduli setan denganmu, Nenek Peot!
Yang penting aku bisa puas
mempermainkanmu..."
"Kalau kau memang suka permainan, aku
akan mengajakmu bermain-main. Hik hik
hik...." Andika terkejut sekali ketika hawa panas
menderu ke arahnya. Pendekar Slebor
harus berjumpalitan, ia bersalto ke udara
sehingga serangan itu berhasil
dielakkannya.
"Sialan! Beraninya membokong...," umpat Andika.
"Keluarkan segenap ilmu yang kau
peroleh dari Lembah Kutukan...."
Andika jadi penasaran ditantang begitu.
Memang ia tidak mau membuang waktu
lagi. Karena itu Andika langsung
mengerahkan ajian 'Guntur Selaksa'.
Setelah tercipta gelombang angin melingkar,
dan sekujur tubuh Pendekar Slebor
dikelilingi oleh pernik keperakan, Andika
menghentakkan keduatangannya. Terdengar salakan petir bergemuruh!
Glaaaarr! Dinding batu itu jebol. Ternyata di balik
dinding itu ada lorong memanjang.
"Hik hik hik...," terdengar suara tawa Nyai Pelet yang tubuhnya bagai lenyap
begitu saja! "Ternyata ajianmu tidak berarti sama sekali buatku. Aku tantang dirimu
untuk bertempur mati-matian. Kalau memang
berani, kejar aku Pendekar Slebor...."
"Aku terima tantanganmu, Nenek Peot!"
Andika segera berkelebat untuk mengejar.
"Awas, Andika! Kau telah memasuki
perangkap!" Peramal Sakti
memperingatkan.
Andika terus mengejar Nyai Pelet. Tapi
setelah memasuki lorong panjang itu ia
bagai kehilangan jejak. Dan tiba-tiba saja
tempat yang dipijak Andika amblas ke
bawah. Pendekar Slebor masih bisa menguasai
dirinya. Lubang di atasnya yang tadi amblas
kini sudah tertutup kembali. Mendadak
keluar asap putih dari segala penjuru.
Andika baru sadar kalau asap itu adalah
Racun Kobra yang ganas!
Semakin lama asap itu pun semakin
menebal. Sejauh itu Andika belum bisa
menemukan jalan keluar. Paras Andika
kian memucat, napasnya pun kian
menyesak. Andika menutup jalan pernapasannya, sementara tubuhnya terasa
semakin lemas. Lalu sebuah dinding terkuak laksana
terbukanya sebuah pintu. Sebuah tangan
menarik Andika untuk keluar dari ruangan
itu! ***
::֍:: { 9 } ::֎::
"Kang Andika...," teriak Seruni seraya memeluk tubuh yang lemas itu.
Pengaruh Racun Kobra telah bereaksi
dalam tubuh Pendekar Slebor. Denyut nadi
pemuda urakan itu lemah sekali. Seruni
tidak tahu apa yang harus dilakukannya
untuk menyelamatkan Andika.
"Kang Andika, jangan mati Kang
Andika...," ucap Seruni dengan berlinang
air mata. Seruni kembali memeluk tubuh
itu.
"Pemuda edan! Dasar pemuda yang tidak
mau menuruti nasihat orang tua...." umpat
Peramal Sakti seraya berlari mendekat.
"Kenapa kau tega sekali, Peramal Sakti"
Kau caci maki orang yang sedang sekarat?"
Seruni memelototi Peramal Sakti.
"Karena dia tidak mau menuruti
nasihatku...," jawab Peramal Sakti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Seruni risau.
"Hanya Kembang Keabadian yang bisa
menyelamatkannya kembali, "Peramal Sakti
mengeluarkan Kembang Keabadian dari
balik bajunya.
"Kalau begitu, lekas kau tolong Kang
Andika...."
"Tidak semudah itu Seruni..." Peramal Sakti terdiam sejenak.
"Kembang Keabadian
ini adalah sebuah kembang keramat. Aku
tidak bisa menolongnya, karena yang bisa
melakukan adalah seorang perempuan...."
"Kalau begitu serahkan saja Kembang
Keabadian itu padaku. Biar aku yang
menggunakannya untuk menolong Kang
Andika," ucap Seruni mantap.
"Bagaimana setelah Kembang Keabadian
ini kuserahkan padamu dan kau berniat
menguasainya untuk dirimu sendiri"!"
"Itu tidak mungkin!"
Peramal Sakti menatap lurus ke bola mata
Seruni. Ada kejujuran di sana. Karena itu
Peramal Sakti segera menyerahkannya pada
Seruni. Kembang Keabadian itu terdiri dari tujuh
mahkota yang berwarna-warni. Atas
petunjuk Peramal Sakti, ketujuh helai itu
ditempelkan di tujuh lubang. Dua untuk
mata, dua untuk telinga, dua untuk lubang
hidung, satu untuk mulut.
Beberapa saat kemudian ketujuh helai
Kembang Keabadian itu berubah warna
menjadi kehitam-hitaman. Kembang ajaib
itu bagai menyerap racun dalam tubuh
Pendekar Slebor. Kemudian Andika
menggeliat. Sepertinya ia baru terjaga dari
tidur.
"Kang Andika! Syukur kau bisa
selamat...," teriak Seruni girang.
"Kedua pemuja iblis itu harus dibunuh!
Mereka berbahaya sekali...," ucap Andika
seakan keluar dengan begitu saja.
"Aku setuju sekali, Kang! Cepat lakukan
itu Kang Andika, demi untuk menebuskan
dendamku...," ucap Seruni mendukung.
"Mereka belum keluar dari ruang bawah
tanah itu," jelas Peramal Sakti.
***
Saat itu Datuk Subendo bersama Nyai
Pelet sedang kebingungan karena
persembahan malam bulan purnama jadi
berantakan. Karena itu mereka
memutuskan untuk kabur. Sebelumnya
mereka mengemasi emas permata, lalu
bergegas untuk meninggalkan ruang bawah
tanah. Alangkah terkejutnya hati Datuk Subendo
bersama Nyai Pelet, ketika di lorong bawah
tanah yang memanjang itu mereka melihat
seorang pemuda berpakaian hijau pupus
dengan kain bercorak catur melilit lehernya
berdiri dengan berkacak pinggang.
"Hendak pergi ke mana kau, Nyai Peot"
Apakah kalian masih mencari tempat untuk
memuaskan hasrat iblis itu?" tanya
Pendekar Slebor geram.
Paras Nyai Pelet tampak menegang.
Begitu juga dengan Datuk Subendo.
"Pemuda sompret! Kau memang patut
dilenyapkan dari muka bumi ini," umpat
Nyai Pelet marah.
Beberapa kejap kemudian Nyai Pelet
menerjang. Dihentakkannya kedua kaki ke
tanah, lalu tubuhnya menukik ke arah
Pendekar Slebor. Kedua tangan Nyai Pelet
itu membentuk cakaran maut dengan kuku
hitam memanjang.
Dengan jurus 'Cakar Maut' itu Nyai Pelet
melakukan sambaran - sambaran ber
bahaya. Andika mengimbangi dengan
mengerahkan segenap ilmu meringankan
tubuhnya. Tubuh pemuda berpakaian hijau
pupus itu berkelebat ke sana kemari untuk
menghindari 'Cakar Maut' itu. Dan Nyai
Pelet terbeliak karena jurus andalannya itu
berhasil dielakkan dengan baik.
"Subendo, kita tidak butuh tata krama
untuk menyingkirkan pemuda laknat ini!"
ucap Nyai Pelet pada Ketua Lembah
Tengkorak. Kemudian Datuk Subendo menerjang
dengan pedang di tangannya. Andika jadi
terjepit karena diserang dari dua arah
berbeda. Sementara dari jurus pedang
Datuk Subendo tercipta sinar putih yang
bergulung-gulung. Dengan jurus itu Datuk
Subendo berusaha mengurung Andika.
Meskipun Pendekar Slebor belum
menggunakan kain pusakanya, ia masih
bisa menguasai keadaan. Bahkan beberapa
kali Andika berhasil menepis tangan Ketua
Lembah Tengkorak itu. Pada saat itu Nyai
Pelet justru sengaja menjauh.
Tiba-tiba.... Slapp! Sebuah tusukan konde menukik dengan
cepat sekali. Pendekar Slebor sudah bisa
memperkirakan kecurangan yang hendak
dilakukan Nyai Pelet itu. Pada saat yang
genting itu Andika terpaksa melolos kain
bercorak catur yang melilit di lehernya.
Trangng! Tusuk konde yang dilepas Nyai Pelet itu
berhasil dirontokkan. Karena tusuk konde
itu dialiri tenaga dalam, maka ketika kain
pusaka Pendekar Slebor menepisnya
terjadilah sebuah ledakan hebat. Ketika
tusukan konde itu menghantam dinding,
dinding batu itu rontok dan terjadi
guncangan. Datuk Subendo menyurutkan langkahnya
ke belakang. Sambaran kain bercorak catur
itu telah menciptakan hawa panas yang
menyengat. Nyai Pelet menggunakan kesempatan itu
dengan sebaik-baiknya. Setelah
mengalirkan tenaga dalam ke kedua telapak
tangan, sepenuh tenaga tangan itu
dihentakkan ke muka. Ketika itu Datuk
Subendo juga melakukan hal yang sama.
Hingga dua larik sinar kemerah-merahan
melesat ke arah Pendekar Slebor.
Andika menyadari kalau pertarungan itu
menentukan hidup dan mati. Pendekar
Slebor menyambutnya dengan ajian
'Guntur Selaksa'. Sekujur tubuh pemuda
berpakaian hijau pupus itu dikelilingi
pernik keperakan serta gelombang angin.
Lalu Pendekar Slebor mengibaskan kain
pusakanya! Saat itu kedua sinar kemerah-merahan
itu tertahan oleh gelombang angin yang
dahsyat. Glaaarrrr! Ledakan hebat terjadi.
Disertai dengan petir menyalak dan ribuan
tawon murka. Tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet
terdorong tiga tombak ke belakang.
Sementara Andika meloncat ke belakang
sejauh dua tombak. Datuk Subendo dari
Nyai Pelet tidak pernah mengira kalau
lawannya begitu hebat. Mereka merasakan
dadanya sesak, dan luka dalam tak
terelakkan lagi. Payahnya mereka sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk
memulihkan tenaganya kembali.
Akibat suara petir yang memekakkan
telinga, disertai dengan gelombang angin
panas yang dahsyat, ruang bawah tanah itu
retak-retak pada bagian atapnya.
Kemarahan Andika yang menggelegak itu
membuat tubuh pemuda itu panas, dan ia
mengamuk bagai orang kesetanan.
Buuummm! Setiap kali Andika menghentakkan kedua
tangannya dengan ajian 'Guntur Selaksa',
terdengar suara salakan petir menggelegar.
Atap batu itu pun rontok menjadi
bongkahan-bongkahan tak beraturan.
Debu-debu mengepul tebal sekali. Beberapa
bongkahan batu yang hancur mengenai
tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet yang
tidak sempat menghindar lagi karena telah
kehabisan tenaga.
Mulanya Pendekar Slebor ingin menolong
kedua orang itu dari hujan batu yang bisa
mengubur mereka hidup-hidup. Tapi
karena ruangan itu sendiri hampir roboh,
Andika pun terpaksa berlari menuju pintu
keluar. Nyai Pelet dan Datuk Subendo tidak
sempat lagi menyelamatkan diri.
***
"Apa yang harus kita lakukan sekarang,
Peramal Sakti?" tanya Andika setelah
berhasil lolos dari ruangan yang roboh itu.
"Kita pergi dari sini saja. Kang Andika!
Biarlah tokoh-tokoh dunia persilatan itu
bertarung sendiri. Biar dia gigit jari karena
Putri Kencana tidak ada!" sahut Seruni.
"Aku tidak setuju dengan cara seperti
itu...," Peramal
Sakti mengajukan
pendapat..
"Apakah kita harus membubarkan
sayembara , itu?" tanya Andika.
"Siapa yang membubarkan acara itu pasti
akan jadi sasaran kemarahan mereka!"
jawab Peramal Sakti.
"Kalau begitu aku setuju dengan
pendapat Seruni. Kita pergi, maka habis
perkara," Andika menyimpulkan.
"Itu bukan tindakan seorang ksatria!"
"Terus apa yang harus kita lakukan?"
tanya Andika bingung sendiri.
"Aku mau berpikir sebentar...," ucap
Peramal Sakti. Kakek bertubuh kerdil itu terdiam. Ia
mondar-mandir sendiri. Dielus-elusnya
kepalanya yang tidak berambut.
"Aku sudah menemukan jawabannya
sekarang!" ucap Peramal Sakti seraya
berjingkrak-jingkrak gembira." Semuanya
akan jadi beres asalkan kamu tidak
menolaknya."
Andika geleng-geleng kepala melihat ulah
kakek yang satu ini.
***
Pagi harinya, sayembara itu pun dimulai.
Tokoh-tokoh sakti dunia persilatan dari
delapan penjuru mata angin datang untuk
menjajal kebolehannya. Saat itu tampil ke
atas panggung, Pengemis Mata Picak dari
Partai Pengemis Utara. Tokoh yang satu ini
termasuk tokoh terpandang dan
mempunyai peluang besar untuk
memenangkan sayembara.
"Mungkin masih ada lagi dari hadirin
yang ingin tampil ke atas panggung...,"
ucap Pengemis Mata Picak agak
menyombongkan dirinya.
Pengemis Mata Picak baru saja
menjatuhkan lawannya yang ketiga. Selama
menghadapi ketiga lawannya itu, Pengemis
Mala Picak telah mempertontonkan
kehebatan ilmu silatnya.
Tidak lama kemudian sebuah bayangan
berkelebat. Ringan sekali ketika kedua
kakinya mendarat di panggung. Dia adalah
seorang kakek kurus yang mengenakan
pakaian serba kuning. Matanya cekung
dengan wajah yang tampak selalu pucat.
Dialah Iblis Muka Mayat! Seorang tokoh
sakti dari aliran hitam yang terkenal
sebagai seorang ahli sihir.
"Pengemis Mata Picak, apakah kau mau
melayaniku bermain-main?" tanya Iblis
Muka Mayat.
"Ah, siapa pun berhak mengikuti
sayembara ini. Kenapa aku tidak mau
melayanimu?" jawab Pengemis Mata Picak.
"Hek hek hek hek...." Iblis Muka Mayat terkekeh.
"Aku senang sekali melihat
semangatmu untuk memenangkan
sayembara ini..."
"Kiranya kita tidak perlu berpanjang lebar kata lagi Aku juga ingin menjajal
sampai di mana kehebatan ilmu sihirmu?" tantang
Pengemis Mata Picak sinis.
"Baiklah kalau kau ingin menjajalku...."
Iblis Muka Mayat menggerakkan kedua
tangannya dengan cepat sekali.
"Awas...."
Mendadak dua ekor ular sebesar jempol
kaki melayang ke arah Pengemis Mata
Picak. Pengemis Mata Picak terkejut sekali.
Tapi ia berhasil merontokkan kedua ekor
ular itu dengan sabetan tongkatnya.
Wuuuttt! Dua ekor ular sebesar jempol kaki itu pun
jatuh ke tanah. Kemudian hilang dengan
menyisakan asap putih.
Kemudian Pengemis Mata Picak
menerjang dengan tusukan-tusukan
tongkatnya yang sangat berbahaya. Iblis
Muka Mayat memutar tubuhnya hingga
serangan itu mengenai tempat kosong.
Seakan Iblis Muka Mayat telah berhasil
membaca jalan pikiran Pengemis Mata
Picak, sehingga dengan mudah ia berhasil
menguasai keadaan.
"Kali ini aku ingin melihat seorang kakek
tolol yang mati dengan cara mencekik
lehernya sendiri. Ayo kerahkan semua
kepandaianmu," ejek Iblis Muka Mayat.
Pengemis Mata Picak semakin penasaran
dibuatnya. Ia pun segera melipatgandakan
serangannya. Setiap gerakannya berubah
menjadi lebih cepat dan lebih bertenaga.
Tapi setiap serangannya selalu berhasil
dielakkan. Menghadapi suasana seperti itu, emosi
Pengemis Mata Picak semakin tidak bisa
terkendali. Hal itu semakin menguntungkan
Iblis Muka Mayat. Dengan begitu ia bisa
menguasai jalan pikiran lawan.
Tiba-tiba saja dari tangan Iblis Muka
Mayat keluar asap putih. Sorot mata orang
tua bertubuh kurus itu memerah, seperti
memancarkan semacam sinar aneh.
Pengemis Mata Picak merasakan kedua
kakinya berat sekali untuk digerakkan.
Apalagi setelah ia menghirup asap putih itu.
Kemudian sesuatu yang aneh terjadi.
Pengemis Mata Picak merasakan seolah
tongkat di tangannya berubah menjadi
seekor ular. Ular itu bergerak dan melilit
lehernya. Hadirin yang berada di sekitar panggung
terheran-heran karena melihat Pengemis
Mata Picak mencekik lehernya sendiri.
Cekikan itu kuat sekali hingga lidahnya
terjulur keluar.
"Heaaatt!"
Dengan satu tendangan Iblis Muka Mayat
berhasil melemparkan tubuh Pengemis
Mata Picak. Tubuh itu melayang dan jatuh
laksana pohon yang tumbang. Jelaslah
bahwa Pengemis Mata Picak gugur dalam
sayembara itu. Hanya sesaat setelah tubuh Pengemis
Mata Picak terlempar dari panggung,
seorang berkelebat dengan cepat sekali.
Gerakannya itu seperti melayang saja
Orang itu mendaratkan kedua kakinya
pada jarak dua tombak dari Iblis Muka
Mayat. Kini mereka sudah saling berhadapan.
Orang tua yang baru saja naik ke panggung
itu adalah Pengemis Tonggos! Orang tua
yang kurusnya seimbang dengan Iblis Muka
Mayat. Wajahnya sudah dipenuhi dengan
kerut-keriput, giginya yang cuma tinggal
dua biji itu moncong keluar.
Pengemis Tonggos langsung
mengeluarkan Cambuk Petirnya.
Ctar! Ctar! Cambuk Petir itu mengeluarkan suara
seperti petir menyalak. Suara itu telah
mengganggu konsentrasi Iblis Muka Mayat.
Untuk sementara Iblis Muka Mayai tidak
bisa memamerkan kebolehannya dalam
ilmu sihir.
"Aku tidak mungkin bisa kamu kibulin,
Dukun Cabul! Karena itulah aku
menantangmu bertempur dengan senjata.
Ayo keluarkan senjata andalanmu!" tantang
Pengemis Tonggos.
Iblis Muka Mayat menjadi tergagap,
karena lawannya sudah tahu
kelemahannya. Kini tubuhnya harus
berjumpalitan untuk menghindari
cambukan berbahaya itu.
Dalam keadaan terdesak Iblis Muka
Mayat meloncat beberapa tombak ke
belakang. Setelan menghimpun tenaga
dalam di kedua tangannya, kedua tangan
itu pun dihentakkan ke muka. Seketika
selarik sinar kemerah-merahan melesat ke
tubuh Pengemis Tonggos.
Ctarr! Satu cambukan kuat menyongsong
selarik sinar merah itu. Akibatnya terdengar
suatu ledakan yang mengguncangkan.
Blaaammm! Pengemis Tonggos sudah menduga hal itu
sebelumnya. Kemudian dengan tangan
kirinya Pengemis Tonggos melempar satu
pukulan jarak jauh. Selarik sinar kekuningkuningan melesat. Iblis Muka Mayat
terbeliak kaget. Serangan itu tidak pernah
terduga sebelumnya.
Iblis Muka Mayat hanya bisa
menyilangkan kedua tangannya untuk
melindungi wajahnya. Hingga tubuhnya
mental sejauh tiga tombak. Di luar
panggung ia pun pingsan!
***
Setelah Iblis Muka Mayat berhasil
dikalahkan Pengemis Tonggos, tidak ada
lagi yang berani menjajal ilmunya ke atas
panggung. Akhirnya Pengemis Tonggos
dinyatakan telah memenangkan sayembara
itu. Saat yang paling mendebarkan itu
tibalah. Saat Putri Kencana tampil ke atas
panggung. Pengemis Tonggos
menyambutnya dengan senang hati.
Putri Kencana mengenakan cadar yang
menutupi wajahnya. Meskipun Pengemis
Tonggos belum bisa melihat wajah itu
dengan jelas, pastilah putri itu memang
cantik sekali. Rambutnya yang panjang
digelung ke atas.
"Aku akan melayanimu dalam dua puluh
jurus. Kalau dalam dua puluh cambukan
kau belum bisa melukaiku, maka kuanggap
kau tidak berhak menyuntingku," ucap
Putri Kencana. Pengemis Tonggos melongo dan seperti
tidak percaya. Bagaimana Putri Kencana
bisa melakukan itu padanya" Sebab sebagai
seorang pesilat, Pengemis Tonggos sudah
kenyang pengalaman. Bagaimana ia bisa
direndahkan begitu rupa"
"Baiklah, Tuan Putri...," akhirnya
Pengemis Tonggos menyanggupi.
Kemudian.... Ctarr! Cambuk Pelir itu meledak-ledak hebat.
Dalam lima gebrakan Pengemis Tonggos
masih ragu-ragu. Bagaimana ia tega
melukai calon istrinya sendiri" Karena
merasa ragu cambukan itu bisa dielakkan
dengan mudah. Gerakan Putri Kencana itu membikin
Pengemis Tonggos takjub. Karena
cambukannya selalu berhasil dielakkan,
Pengemis Tonggos kian meningkatkan
serangan. Tapi sejauh itu ia tetap tidak bisa
berbuat banyak!
Dalam menghindaricambukan itu,
gerakan Putri Kencana tampak kacau.
Berpuluh pasang inata terbeliak seakan
tidak bisa percaya. Bagaimana mungkin
ada orang yang mampu menghindari
cambukan laksana sambaran petir yang
bertubi-tubi"
Ctar! Ctar! Clar!
Paras Pengemis Tonggos berkeringat
karena sampai cambukan kedua puluh
selalu mengenai di tempat kosong. Ia
teringat, ada seorang yang bisa menghindar
dari sambaran petir yang bertubi-tubi.
"Kau gagal, Pengemis Tonggos!" ucap
Putri Kencana seraya menunjuk ke wajah
Pengemis Tonggos.
Pengemis Tonggos memerah wajahnya
karena malu. Dalam hati ia masih
penasaran sekali.
"Aku mengakui hebatnya ilmu
meringankan tubuhmu, Tuan Putri. Tapi
apakah aku harus mengaku kalah begitu
saja?" ucap pengemis itu.
"Kutampar mulutmu yang lancang itu,
Pengemis! Apa kau belum mengaku kalah?"
bentak Putri Kencana.
"Kalau saja Tuan Putri mau
melakukannya, aku benar-benar mengaku
kalah," tantang Pengemis Tonggos.
Putri Kencana segera menghentakkan
kakinya ke tanah, tubuhnya seperti
melayang. Beberapa kali tangan tuan putri
berusaha melakukan tamparan. Namun
Pengemis Tonggos berhasil menepisnya.
Tubuh yang melayang itu pun turun
kembali. Lalu Putri Kencana melakukan
gerakan yang sangat kacau. Pengemis
Tonggos tidak mampu membaca arah
serangan itu. Satu tamparan berhasil
ditepis, tapi berikutnya Pengemis Tonggos
harus menerima satu kenyataan pahit.
Plak! Plak! "Apakah kau mau mengawini perempuan
yang berani menamparmu, Pengemis
Jelek?" ledek Putri Kencana.
Dengan menahan malu Pengemis Tonggos
meninggalkan panggung. Ia berkelebat dan
tidak kembali ke tempat duduknya lagi.
Putri Kencana segera menghadap pada
hadirin yang melongo. Kehebatan Putri
Kencana membuat mereka takjub.
"Sayembara ini aku nyatakan bubar!
Tidak ada yang berhak menyuntingku
karena pemenang sayembara ini tidak bisa
mengalahkanku!" ucap Putri Kencana.
Setelah berkata begitu, Putri Kencana
berlari kencang sekali. Para hadirin
semakin melongo. Tingkah itu tidak pantas
dilakukan oleh seorang putri yang lembut.
Putri Kencana tidak peduli hal itu.
Putri Kencana terus saja berlari. Dua
orang segera menyusul Putri Kencana.
Mereka adalah Seruni bersama Peramal
Sakti.
"Peramal Sakti, aku sudah tidak tahan
lagi membiarkan bedak dan gincu
menempel di wajahku!" ucap Putri Kencana
yang tidak lain adalah Andika.
"Tingkah lakumu tidak pantas sebagai
seorang putri," ucap Peramal Sakti.
"Biarin!"
Peramal Sakti dan Seruni hanya bisa
tersenyum.
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul:
Bidadari Pemburu Maut