Life is journey not a destinantion ...

Kalung Setan

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rantai Naga Siluman --oo0oo-- Geger Di Lembah Tengkorak



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: KALUNG SETAN

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


::֍֍ { 1 } ֎֎::

Angin berhembus dingin di sebuah tempat yang dipenuhi rerumputan dan ranggasan semak. Malam masih membentang luas dan siap beranjak menuju pagi. Di kejauhan Nampak julangan sebuah gunung yang diselimuti kegelapan. Dalam rentangan malam dingin dan mencekam itu, nampak satu sosok tubuh sedang duduk berlutut dengan kedua kaki ditekuk sebagai bantalan pinggul. Tangan orang yang pejamkan mata ini, terangkap di depan dada. Kendati mulutnya berkemak-kemik, namun tak ada suara yang keluar.
Dan orang berpakaian biru ini sama sekali tak merasa terganggu oleh dinginnya udara. Bahkan seakan sama sekali tak dirasakannya.
Namun kejap berikutnya, mendadak saja kepala orang ini menegak. Sepasang telinganya dibuka lebar-lebar.
"Dia sudah datang," desisnya dalam hati.
Dari ucapannya, jelas kalau orang berpakaian biru yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini sedang menunggu kedatangan seseorang. Kendati tahu kalau orang yang ditunggunya sudah datang, namun dia tak beranjak dari tempatnya. Tetap bersikap seperti semula seolah tak ada sesuatu yang mengganggunya.
Dan kegelapan malam itu tiba-tiba saja direntakkan oleh suara tawa panjang yang menggema ke segenap penjuru. Tawa keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam, untuk sesaat mempengaruhi pendengaran kakek yang sedang duduk berlutut, yang saat itu pula menahan dengan aliran tenaga dalamnya.
Menyusul tawa yang panjang tadi, satu bentakan keras terdengar, "Datuk Biru! Sekian tahun menunggu, tidak tahunya kau hidup seorang diri di tempat seperti ini! Sungguh menyenangkan sekali! Dan bila melihat sikapmu seperti sekarang, rupanya kau sudah tahu aku akan datang! Ya, aku dating memenuhi janjiku tiga puluh tahun yang lalu!" Orang yang kedua tangannya terangkap di depan dada, tarik napas pendek.
"Rasanya, memang tak mungkin menghindarinya lagi. Tiga puluh tahun lalu, dia masih melontarkan ancaman untuk mencariku setelah berhasil kukalahkan. Ah, kami sudah sama-sama tua. Dan nampaknya dia tak pernah puas sebelum mendapatkan benda itu." Dua kejapan mata kemudian entah dari mana datangnya, mendadak saja telah berdiri seorang kakek berwajah tirus sejarak delapan langkah dari tempat Datuk Biru duduk berlutut. Sepasang mata si pendatang menatap tajam. Penuh kebencian.
Kedua tangannya yang kurus mengepal kuat. Di dada kakek berpakaian merah ini terdapat sebuah kalung berbandul taring! Dan si kakek tak lakukan apa-apa kecuali tak berkedip menatap pada kakek yang sedang bersemadi.
Tapi di kejap berikutnya, kakek berpakaian merah ini sudah angkat bicara, "Datuk Biru! Apakah sekarang kau masih belum juga mau menyerahkan Kalung Setan kepadaku"!" Datuk Biru tak buka mulut. Sosoknya tetap berlutut. Merasa ucapannya disepelekan, kakek yang baru datang ini keluarkan bentakan lagi, "Orang tua celaka! Apakah kau mendadak menjadi bisu, hah"!" Tetapi kali ini dia tak perlu terlalu lama menunggu jawaban orang. Karena Datuk Biru sudah angkat bicara, "Datuk Merah! Mengapa kau masih bersikap seperti anak kecil" Bukankah tiga puluh tahun yang lalu sudah kukatakan, kalau Kalung Setan telah kubuang ke dasar Jurang Trah Gering"!"
"Dusta! Siapa percaya ucapanmu itu, hah"!" hardik kakek berpakaian merah yang disebut Datuk Merah. Lalu lanjutnya dengan dada bergolak, "Dan jangan coba-coba untuk dustaiku lagi!" Perlahan-lahan sepasang mata kakek yang duduk bersemadi itu membuka. Terlihat kelelahan yang kentara pada pancaran mata itu. Untuk sesaat dia tak buka mulut, hanya perhatikan saja sosok yang sedang berdiri dengan sikap jumawa tak jauh dari tempatnya.
Setelah tarik napas pendek, barulah dia berkata, "Datuk Merah! Sejak dulu kita bersahabat. Dan karena benda laknat itulah kemudian kita bermusuhan, hingga saat ini. Jadi kupikir, ketimbang persahabatan kita semakin hancur karena benda itu, maka kubuang saja benda itu."
"Manusia jadah! Berani betul mulutmu masih coba untuk menasehatiku!" hardik Datuk Merah dengan tangan menuding.
Kepala Datuk Biru menggeleng.
"Tidak. Aku mengatakan apa adanya. Dan satu hal yang kusesali, mengapa kita harus menemukan benda celaka yang ternyata membuat persahabatan kita pecah"!" Datuk Merah tersenyum sinis.
"Bila sejak dulu kau menyerahkan kalung itu kepadaku, sudah barang tentu tak akan pernah ada peristiwa semacam ini! Dan ini terjadi, semua gara-gara kau!!" Datuk Biru masih mencoba untuk bersabar kendati hatinya mulai diliputi kejengkelan.
"Kita adalah dua sahabat yang sejak muda selalu bertualang. Dan kita tak pernah terlibat dalam pertikaian sekalipun. Bahkan, berbeda pendapat pun tidak. Tapi, semenjak kita sama-sama secara tak sengaja datang ke sebuah gua yang kala itu badai sedang marah, pertikaian pun mulai terjadi.
Ini dikarenakan kalung yang berbandul sebuah wajah yang mengerikan. Dan kita sama-sama menamakannya Kalung Setan. Aku tetap berkeinginan agar kita tidak menyentuh benda itu. Tetapi kau memaksa untuk mendapatkannya. Datuk Merah, apakah kau lupa akibat apa yang terjadi bila seseorang memiliki Kalung Setan itu?"
"Aku tak peduli! Kau serahkan kalung itu kepadaku, atau... kematian akan menjemputmu sekarang juga!"
"Tiga puluh tahun yang lalu, kita telah meributkan soal ini sampai pertarungan tak bisa dihindari. Aku pikir...."
"Jangan berbangga karena kau bisa mengalahkan aku tiga puluh tahun yang lalu, Orang tua celaka!" putus Datuk Merah berang.
Datuk Biru geleng-gelengkan kepala.
"Kau salah besar bila mengatakan aku berhasil mengalahkanmu. Padahal, aku sendiri terluka dalam dan kita sama-sama kehabisan tenaga. Bila saja saat itu kau menyerangku lagi, mungkin kita sudah tidak bertemu!"
"Dan kau telah mendapatkan kalung itu!"
"Sekali lagi kukatakan, kau salah besar. Karena setelah kita sama-sama memutuskan untuk menempuh jalan masing-masing, kalung yang telah menyebabkan keretakan persahabatan di antara kita, telah kubuang ke Jurang Trah Gering."
"Jahanam terkutuk! Masih juga mau mencoba mendustaiku! Bila saja kalung itu sejak dulu kau serahkan kepadaku, mungkin urusan tak akan jadi begini!"
"Tapi aku tak menyesal, bila pada akhirnya, dengan kalung itu kita saling mencelakakan! Terutama hawa nafsu membunuh yang dimiliki kalung itu, akan melingkupi kita untuk membunuh siapa saja yang kita tak senangi!" Datuk Merah menggeram. Pancaran matanya kian berbahaya. Udara masih sangat dingin.
"Dan sekarang, tanpa kalung itu pun, niatku untuk membunuhmu semakin besar!!" Habis ucapannya, diiringi teriakan keras, kakek berpakaian merah sudah mencecar ke depan. Angin keras mendahului gerakan tubuhnya. Di tempatnya, Datuk Biru angkat kepalanya sejenak. Kejap berikutnya, tanpa berpindah dari kedudukannya, kedua tangannya telah dipalangkan di atas kepala dan menyusul disentakkan ke depan! Wuussss!! Blaaammm!! Gelombang angin yang mendahului gerakan Datuk Merah terhantam putus oleh serangan angin yang dilepaskan Datuk Biru. Kendati demikian, Datuk Merah nampak tak punya niatan sedikit pun untuk mengurungkan serangannya.
Dia terus mencecar maju! Hingga akhirnya membuat Datuk Biru harus melompat ke belakang dan dalam keadaan tegak, dia miringkan sedikit tubuhnya bersamaan tangan kanannya diputar.
Wuusss!! Blaaam! Blaaamm!! Dua kali letupan keras terjadi. Tanah di mana terjadinya benturan itu membubung ke udara, semakin menambah kepekatan tempat itu. Tatkala semuanya sirap, nampak masingmasing orang berdiri tegak di atas tanah dengan napas agak sedikit terengah. Kalau pandangan Datuk Merah begitu tajam menusuk, dipenuhi keinginan untuk membunuh, pancaran mata Datuk Biru tetap lembut. Ada riak keinginan agar pertarungan itu tak diteruskan.
Sebelum Datuk Merah lepaskan serangan lagi, Datuk Biru sudah berkata, "Datuk Merah! Kita sudah sama-sama tua! Mengapa kau tak pernah mau berpikir untuk mengakhiri segala pertikaian ini" Di samping itu, kita adalah kawan seperjalanan semenjak muda. Tak ada gunanya kita lakukan tindakan-tindakan konyol di ambang usia kita yang semakin menua?" Datuk Merah sesaat tak keluarkan suara. Dari sikapnya jelas dia membenarkan ucapan Datuk Biru. Namun harga dirinya masih terusik, dan akan tetap terusik bila teringat bagaimana tiga puluh tahun yang lalu Datuk Biru menolak mentahmentah di saat dia menginginkan Kalung Setan.
Dan harga dirinya yang telah diinjak-injak, hanya dapat dihilangkan bila melihat Datuk Biru berkalang tanah. Apalagi, tiga puluh tahun yang lalu pula, dia dikalahkan oleh Datuk Biru! Dengan napas memburu dan dada dibuncah kemarahan sengit, Datuk Merah mendengus dingin, "Aku tak peduli dengan semuanya! Yang kuinginkan adalah Kalung Setan! Juga... nyawamu!!" Datuk Biru menghela dan menarik napas panjang.
"Aku tak tahu, apakah ini dikarenakan pengaruh amarah dan ambisinya, atau dia memang sejak dulu mempunyai niat jahat padaku" Tapi, ah...
rasanya terlalu kejam menuduh dia mempunyai niat jahat padaku. Dan sekarang, sudah seharusnya aku menyadarkannya kembali.
Agar dia tidak terus berada dalam jalur kesesatan." Habis berpikir demikian, Datuk Biru berkata, "Sesungguhnya, aku sama sekali tak tahu lagi harus berpikir bagaimana. Hanya yang kuharapkan, kita sudahi segala pertikaian di antara kita."
"Semuanya akan disudahi bila kau telah mampus!" geram Datuk Merah dan bersamaan dengan itu, dia tarik kaki kanannya ke belakang hingga tubuhnya agak condong ke depan. Menyusul kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Melihat gerakan yang dilakukan Datuk Merah, Datuk Biru mendesah masygul.
"Dia akan keluarkan ilmu 'Awan Merah'-nya yang ganas. Ah, apakah aku harus berdiam diri" Tidak, sudah barang tentu aku harus menghadapinya." Memikir demikian, perlahan-lahan Datuk Biru angkat kedua tangannya lurus-lurus dengan langit yang masih diselimuti malam. Lalu dibawa ke samping kanan dan kiri, menyusul akhirnya dirangkapkan pula di depan dadanya.
Melihat gerakan yang dilakukan oleh orang yang dibencinya, Datuk Merah buka mulut, "Tiga puluh tahun yang lalu, dengan ilmu 'Kabut Biru' kau berhasil mengalahkanku. Tapi sekarang, jangan berharap kau bisa melakukan seperti itu lagi!"
"Datuk Merah! Sama sekali tak pernah terpikirkan di benakku untuk mengalahkanmu.
Kalaupun aku bersikap menolak permintaanmu untuk mendapatkan Kalung Setan, karena aku tak mau di antara kita berada dalam kesesatan. Dan aku yakin, kau juga tahu akibat apa bila kau mengenakan kalung itu."
"Terkutuk! Jangan mengguruiku!" Habis ucapannya, Datuk Merah tekan tenaga dalamnya sedikit. Menyusul terlihat sekujur tubuhnya bergetar. Dan mendadak saja terlihat asap tipis berwarna merah mengepul dari kedua tangannya yang terangkap. Menyusul hawa dingin yang mendera tempat itu, tertindih oleh hawa panas yang mendadak terpancar dari ilmu yang sedang dikeluarkan Datuk Merah.
Di tempatnya, Datuk Biru juga merasakan perubahan udara yang cukup membuatnya sedikit bergetar.
"Tiga puluh tahun yang lalu, kekuatan hawa panas dari ilmu 'Awan Merah'-nya tak seperti sekarang. Berarti dia memang telah memperdalam ilmu andalannya itu. Ah, mengapa dia tak mau mempergunakan akalnya" Apakah dia...." Jalan pikiran Datuk Biru mendadak saja terputus. Karena dengan suara lantang, Datuk Merah sudah menerjang ke depan disertai dorongan kedua tangannya.
Serta-merta menghampar gelombang angin yang perdengarkan suara gemuruh dikawal hawa panas yang menyengat. Menyusul datangnya gelombang angin tadi, tiga bongkah awan berwarna merah melabrak pula. Di tempatnya, Datuk Biru terkesiap sesaat. Seraya surutkan langkah, dia dorong kedua tangannya yang terangkap tadi. Kejap itu pula gelombang angin yang dikawal udara sangat dingin menerjang. Disusul dengan kabut-kabut berwarna biru yang bergerak laksana anak panah.
Sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian. Letupan pertama terdengar tatkala dua gelombang angin yang sama-sama dilepaskan masing-masing orang berbenturan. Hawa panas dan dingin saling lilit dan saling tindih.
Menyusul gelegar dahsyat yang membuat tempat itu laksana dilanda gempa, tatkala awan-awan merah berbenturan keras dengan kabut-kabut biru.
Blaaaammm!! Tanah sejarak lima tombak mendadak saja muncrat ke udara disertai getaran kuat. Awanawan merah dan kabut-kabut biru berpentalan begitu bertemu. Tempat itu bergoyang.
Masing-masing penyerang tergontai-gontai ke belakang, akibat saking kerasnya benturan yang terjadi. Untuk beberapa lamanya tak ada yang lepaskan serangan. Sementara itu, hawa panas dan dingin masih terus saling tindih, disusul perlahan-lahan sirapnya muncratan tanah tadi. .
Dan sekarang, terlihat sosok Datuk Biru jatuh berlutut dengan tangan kanan menahan tubuh pada tanah. Tetapi pandangannya lurus ke depan.
Tubuh kakek berpakaian biru ini agak bergetar.
Mulutnya menekuk karena satu tekanan kuat pada perutnya yang beranjak naik dengan cepat.
"Huaaakk!!" Datuk Biru muntah darah dua kali.
Di pihak lain, sosok Datuk Merah pun mengalami nasib tak jauh berbeda. Hanya bedanya, Datuk Merah masih berdiri tegak kendati sulit untuk kuasai keseimbangannya dengan segera.
Untuk beberapa saat tak ada yang lakukan apaapa.
Datuk Merah menggeram dalam hati seraya alirkan tenaga dalam untuk pulihkan keadaan, "Sejak dulu, aku tahu kalau Datuk Biru berada satu tingkat di atasku. Tapi, aku tak peduli dengan semua itu! Karena, dia kelihatan luka parah sekarang." Di pihak lain, Datuk Biru sedang mendesah masygul, "Bila pertarungan ini diteruskan, yang terjadi hanyalah sebuah kematian yang mungkin akan tiba pada pihakku, dan juga terjadi pada dirinya. Dan ini tak boleh terjadi. Aku harus bisa mengembalikan Datuk Merah pada jalan pikiran semula." Memikirkan demikian, hati-hati Datuk Biru berdiri kembali. Ditenangkan gemuruh di hatinya yang terasa kacau balau.
Lalu dia berkata, "Datuk Merah... apa yang telah terjadi ini seharusnya tak boleh terjadi. Bila kau masih bersikeras untuk mendapatkan Kalung Setan, aku bersedia membantumu mencarinya di Jurang Trah Gering. Dan itu kulakukan, agar kau tidak terlalu lagi berambisi untuk memilikinya. Bila kita sudah menemukan kembali benda itu, bukankah sebaiknya kita hancurkan" Ingat, pengaruh kalung itu sangat berbahaya." Tetapi mana mau Datuk Merah menyetujui usul itu. Kepalanya menggeleng keras disertai tatapan tajam.
"Usulmu yang pertama, bisa aku terima! Tapi, usulmu yang terakhir sama sekali tak bisa kuterima! Biar bagaimanapun juga, aku harus memiliki kalung itu!" Datuk Biru mendesah masygul.
"Apa yang bisa kulakukan sekarang" Dia masih diliputi ambisinya untuk mendapatkan kalung itu?" desisnya dalam hati, lalu berkata, "Sebaiknya begini saja. Kau sudah tahu kalau Kalung Setan telah kubuang ke Jurang Trah Gering. Sebaiknya kita segera mencari kalung itu. Kita buat satu perjanjian, siapa yang lebih dulu mendapatkan kalung itu, maka dialah yang berhak menyimpannya tanpa mendapatkan halangan dari pihak lain. Dan juga...."
"Sudah tentu kau yang akan mendapatkannya, karena benda itu memang berada padamu!!" putus Datuk Merah muak.
Datuk Biru gelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu apakah sekarang kau sudah menyangsikan kejujuranku atau tidak.
Tapi yang kukatakan itu benar. Kalung Setan telah kubuang ke Jurang Trah Gering."
"Terkutuk! Sebenarnya aku percaya apa yang dikatakannya. Sejak dulu dia tak pernah berdusta sekali pun. Huh! Keinginanku untuk membunuhnya karena dia telah merobek-robek harga diriku, semakin kuat saja! Tapi...." Memutus kata batinnya sendiri, Datuk Merah berkata, "Baik! Usulmu dapat kuterima! Kita akan berlomba untuk mendapatkan Kalung Setan! Dan akan kubuktikan padamu, kalau akulah yang akan mendapatkannya!"
"Mungkin memang dia yang akan mendapatkannya. Tapi mungkin pula aku yang mendapatkannya. Karena, aku sendiri sudah tak tahu lagi di tempat mana tepatnya di Jurang Trah Gering kalung itu kulempar. Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus berhasil mendahului mendapatkannya," kata Datuk Biru dalam hati.
Lalu seraya anggukkan kepalanya dia berkata, "Ya! Kita akan segera memulainyal" Datuk Merah tatap dulu tajam-tajam Datuk Biru. Hati kakek satu ini masih dibuncah dendam tinggi. Setelah keluarkan dengusan, mendadak saja dia berbalik. Kejap berikutnya, yang nampak hanyalah bayangan merah yang bergerak ke arah timur, seperti sedang menyongsong matahari yang mulai tampakkan bias-biasnya.
Di tempatnya, Datuk Biru mendesah masygul.
Kakek ini masih menyesali keadaan yang akhirnya membuat persahabatan di antara mereka harus berada di persimpangan. Bahkan tanda-tanda keretakannya pun mulai kentara.
"Aku tak ingin Datuk Merah mendapatkan kalung itu. Kalung itu penyebab bencana yang mengerikan. Aku harus dapat menemukannya lebih dulu...." Setelah menghela napas panjang, Datuk Biru segera bergerak ke arah barat. Meninggalkan tempat yang telah porak-poranda dan siap didera matahari siang nanti.

****



::֍֍ { 2 } ֎֎::

Tiga hari kemudian.
Pagi telah menghampar dengan bias-bias keindahannya. Pagi yang indah itu pun menyelimuti Jurang Trah Gering yang tak begitu dalam. Di sana-sini banyak terdapat batu-batu lamping dan pepohonan. Beberapa ekor burung beterbangan, bermandikan cahaya pagi.
Dari arah kiri, nampak dua sosok tubuh sedang melangkah menuruni Jurang Trah Gering. Dari caranya melangkah, nampak kedua orang berbeda jenis itu sudah sangat hapal dengan situasi di Jurang Trah Gering.
Yang melangkah agak di depan, seorang pemuda bertubuh tegap tanpa mengenakan pakaian. Pemuda yang diperkirakan baru berusia sekitar dua puluh tahun ini memiliki perawakan yang bagus. Tubuhnya dipenuhi tonjolan otot yang ditempa oleh alam. Dia melangkah sambil bersiul-siul.
Di belakangnya, nampak seorang gadis berpakaian putih agak kusam melangkah sambil menyanyikan kidung perdamaian. Paras gadis yang mengenakan celana panjang ringkas ini begitu jelita. Sepasang alisnya hitam dengan mata yang jernih. Bibirnya tipis memerah dengan pipi yang agak kemerahan karena mentari pagi. Sosoknya begitu segar. Rambutnya yang indah dikuncir dua. Mereka adalah kakak beradik yang tinggal di dusun Gelagah, yang letaknya sekitar satu penanakan nasi dari Jurang Trah Gering.
Si kakak adalah yang laki-laki dan bernama Sumarta, sementara adiknya yang jelita bernama Sumiati. Sejak Sumarta berusia tujuh tahun, mereka telah ditinggal oleh kedua orang tuanya, yang tewas akibat dusun mereka didatangi gerombolan penjahat. Saat itu Sumarta diperintahkan oleh ayahnya untuk membawa lari Sumiati.
Dan satu-satunya tempat yang cukup aman, adalah berdiam di Jurang Trah Gering. Selama enam tahun Sumarta membawa adiknya di tempat itu hingga akhirnya mereka menjadi kerasan. Namun Sumarta juga menyadari kalau suasana di Jurang Trah Gering tak akan membuat kehidupan mereka berkembang.
Akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali ke dusun Gelagah. Masih ada beberapa orang yang dikenali Sumarta dan menyambut mereka dengan gembira. Selama tinggal di Jurang Trah Gering, Sumarta berusaha untuk menjadi seorang pemahat dengan memanfaatkan kayu-kayu dari pohon yang sangat banyak jumlahnya di Jurang Trah Gering. Dan dari hasil memahat itulah dia akhirnya dapat membuat rumah yang sederhana dan menghidupi adiknya yang kini tumbuh menjadi seorang dara jelita. Dan seperti biasanya, setiap dua minggu sekali Sumarta selalu datang ke Jurang Trah Gering untuk mencari kayu yang dapat digunakan sebagai bahan pahatannya.
Kalau biasanya Sumarta selalu datang seorang diri, kali ini adiknya ingin ikut dengan alasan ingin mengenang kembali tempat yang selama enam tahun mereka huni. Dan di pagi ini, mereka mulai menuruni Jurang Trah Gering.
Dari kejauhan, Sumiati sudah berteriak, "Kakang Sumarta! Apakah gubuk itu yang pernah kita tinggali dulu"!" Sambil terus melangkah, Sumarta berkata, "Kau betul, Ati! Memang gubuk itulah yang pernah kita tinggali beberapa tahun yang lalu."
"Gubuk itu masih nampak kuat!"
"Aku selalu merawatnya setiap kali aku datang ke Jurang Trah Gering."
"Ayolah, Kakang... sebaiknya kita cepat ke sana.
Aku sudah tidak sabar," kata Sumiati. Lalu dengan cekatan gadis jelita ini mendahului kakaknya melangkah.
"Hei, hei... hati-hati! Masih banyak embun! Kau bisa terpeleset nanti!" Laksana kijang yang lincah, Sumiati hanya tertawa-tawa saja dan kini dia sudah tiba di dasar Jurang Trah Gering. Masih tertawa-tawa gadis jelita ini mendatangi gubuk yang selama enam tahun pernah ditinggalinya.
Sumarta berseru, "Kau jangan ke mana-mana! Aku akan mencari kayu di ujung sana!"
"Pergilah, Kakang! Aku betah sampai sore di tempat ini!!" Sumarta tersenyum. Dengan kapak yang cukup besar di pundaknya, dia berjalan melewati gubuk itu. Sementara itu, Sumiati sudah masuk ke gubuk itu. Dia melebarkan senyum melihat gubuk ini sama sekali belum berubah.
Direbahkan tubuhnya pada dipan kayu yang dulu pernah ditidurinya.
Rasa hangat menyelimuti dirinya hingga dia makin betah berada di tempat itu.
"Enam tahun, cukup lama juga aku tinggal di sini bersama Kang Sumarta. Ah, bila saja saat ini ada ayah dan ibu, alangkah bahagianya...." Buru-buru gadis jelita ini menghapus segala ingatan tentang orang tuanya. Karena dia selalu ingat pesan kakaknya untuk tidak mengenang lagi peristiwa mengerikan itu. Tapi biar bagaimanapun juga, Sumiati masih ingat bagaimana bapaknya menyuruh mereka pergi dengan kepanikan luar biasa.
"Ah, daripada memikirkan soal itu, lebih baik aku memikirkan soal yang lain." Lalu dengan mempergunakan sebatang ranting yang masih terdapat daun-daun di ujungnya, gadis jelita ini mulai membersihkan gubuk itu.
Saat ini matahari sudah sepenggalah. Namun berada di Jurang Trah Gering, hanya kesejukan yang dirasakan. Setelah membersihkan gubuk itu, Sumiati melangkah keluar.
Dihirupnya udara sejuk dalam-dalam.
"Benar-benar aku berada di surga," katanya pada dirinya sendiri.
Lalu dilihatnya seekor kelinci sedang berdiam sambil menatapnya dengan kedua telinga panjangnya yang bergerak-gerak.
"Hei, ada makanan!" desisnya tanpa sadar.
"Dulu, aku selalu makan daging kelinci dan burung di sini. Ah, perutku jadi lapar sekarang!" Perlahan-lahan Sumiati mendekati kelinci itu sambil bersuara, "Ayo, sini, Manis. Sini...." Tetapi sudah tentu kelinci itu langsung lari begitu dia mendekatinya.
"Ya...," desisnya kecewa.
Tapi kejap berikutnya, dia sudah masuk kembali ke dalam gubuk. Dilihatnya ada perangkap kelinci yang dulu dipergunakannya.
"Rupanya Kang Sumarta masih menyimpan benda ini. Hem, daripada menganggur, lebih baik aku mencari makanan saja. Kalau biasanya Kang Sumarta pulang aku sudah menyediakan makanan, kali ini biar kami makan di sini saja." Lalu dengan gembira gadis berpakaian putih agak kusam ini melangkah keluar dengan membawa jaring besar yang dulu dipergunakan untuk menangkap kelinci. Sejenak diperhatikan sekelilingnya sebelum memutuskan untuk melangkah ke arah kiri. Namun rupanya, Sumiati sedang bernasib sial.
Karena sejak tadi dia belum juga menemukan kelinci-kelinci yang diburunya.
"Wah! Pada kemana mereka ya" Pada bersembunyi barangkali," katanya sambil garukgaruk kepalanya. Tetapi bagi seorang gadis yang memiliki watak keras karena tempaan alam, tak membuat Sumiati berputus asa. Dia terus melangkah mencari kelinci yang siap diburunya.
Bahkan dia sudah semakin jauh masuk ke daerah Jurang Trah Gering. Tepat matahari di atas kepala, dihentikan langkahnya di antara jajaran pepohonan.
"Waduh! Kok belum ada juga ya?" desisnya mulai sebal. Tapi lagi-lagi kekerasan hatinya memutuskan untuk terus mencari buruannya.
Mendadak didengarnya suara riang burungburung. Seketika kepalanya ditegakkan.
"Wah! Yang banyak justru burung. Tapi sayang, aku tak membawa perangkap untuk menangkap burung. Ya sudahlah, lebih baik aku meneruskan mencari kelinci." Masih membawa pandangan untuk melihat beberapa ekor burung yang beterbangan, Sumiati diam-diam menelan ludahnya. Perutnya sudah mulai merasakan lapar.
Dan mendadak saja kening gadis ini berkerut tatkala pandangannya membentur pada sebuah benda yang menggantung di sebuah pohon. Bila saja benda itu tak memancarkan sinar kehitaman, mungkin Sumiati tak akan melihatnya.
"Lho, Iho... benda apa itu yang bercahaya kehitaman?" desisnya dengan kening makin berkerut.
"Berjuntai-juntai seperti... sebuah kalung. Kalung" Ah, mana ada kalung di sini" Kalaupun memang itu kalung, siapa yang iseng telah membuangnya?" desisnya pada diri sendiri.
Lalu perlahan-lahan dia melangkah mendekati pohon di mana benda yang pancarkan sinar hitam itu dilihatnya.
"Wah! Betul kalung itu! Ih! Bagus sekali! Siapa ya yang memilikinya?" desisnya lagi.
Untuk sesaat Sumiati melupakan perutnya yang mulai kelaparan. Karena ada dorongan untuk mengetahui secara jelas benda yang dilihatnya, gadis jelita ini segera melemparkan perangkap kelinci yang dibawanya.
Lalu dengan cekatan dan tanpa dirundungi rasa ngeri sedikit pun, dia sudah naik ke pohon itu. Gerakannya sangat lincah. Dalam tempo yang singkat, Sumiati sudah berada di dahan pohon di mana benda bersinar kehitaman dilihatnya.
"Memang kalung!" serunya gembira.
"Sinar hitam itu terpancar dari bandulnya. Ah, siapa ya yang memilikinya" Kalau aku mengambilnya, apakah ini bukan yang disebut pencuri" Menjadi pencuri" Mana sudi aku! Tapi...." Hati gadis ini menjadi bimbang. Ada dorongan kuat untuk mengambil kalung itu. Di lain pihak, ada pula perasaan tak ingin memiliki benda yang bukan miliknya.
"Tapi ya... kan tidak ada yang memilikinya. Setahuku, hanya aku dan Kang Sumarti yang selalu datang ke Jurang Trah Gering. Mungkin ya.. kalung ini ada yang melemparnya.
Sebaiknya, kuambil saja...." Lalu dengan agak sedikit menggapai, Sumiati memegang bandul kalung itu. Begitu dipegang, tangannya seketika seperti pancarkan sinar kehitaman. Sesaat kelihatan gadis ini menjadi tegang.
Tetapi dorongan untuk memiliki kalung itu semakin kuat melingkupinya.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil mengambil kalung itu. Dan diperhatikannya dengan seksama.
"Ih! Bagus sekali! Rantainya terbuat dari rantai berwarna hitam kecil-kecil. Juga... oh!" Seperti disengat kalajengking, mendadak saja gadis jelita ini melepaskan kalung itu hingga jatuh ke tanah. Seharusnya, gerakan jatuhnya kalung yang tak seberapa berat itu, tak akan menimbulkan suara letupan. Tapi begitu kalung itu terhempas ke tanah, terdengar letupan kecil yang membuat tanah itu memburai ke udara.
Masih berada di dahan yang didudukinya, kening Sumiati berkerut.
"Aneh!" desisnya tanpa sadar.
Lalu terburu-buru dia turun. Kali ini dia tak berani untuk segera mengambil kalung yang masih pancarkan sinar kehitaman. Dia hanya berdiri dengan perasaan waswas sejarak tiga langkah dari kalung itu.
"Kalung yang entah milik siapa itu memang indah. Tapi, bandulnya.... Ih! Kok yang tergambar di sana mengerikan sekali. Sebuah wajah. Wajah...." Tanpa sadar Sumiati palingkan kepalanya ke belakang, lalu ke sekelilingnya. Setelah diyakini tak ada sesuatu yang menakutkan, dia meneruskan jalan pikirannya.
'Seperti wajah setan," desisnya kemudian.
"Ih! Seram ah!" Lalu gadis ini memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu, meninggalkan kalung yang pada bandul nya terlihat wajah penuh taring dengan sepasang mata memerah. Segera diambilnya perangkap kelinci yang tadi di dilemparnya.
Dia merasa lebih baik kembali ke gubuk. Khawatir kalau kakaknya sudah tiba di sana dan cemas mencarinya.
Namun baru saja dia melangkah dua tindak, mendadak saja gadis ini berdiri tegak. Kepalanya tegak dengan langit. Dan laksana sebuah robot, mendadak saja Sumiati gerakkan tubuhnya menghadap kalung itu kembali.
"Aneh, apa yang terjadi?" desisnya sambil berusaha membalikkan tubuhnya lagi.
Tetapi, hanya ada hasratnya belaka tanpa bisa dilakukannya.
Dan mendadak dilihatnya sinar hitam yang memancar dari kalung berwajah setan itu, membesar. Langsung melingkupinya yang menggigil ketakutan namun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan berteriak saja pun tidak.
Cukup lama sinar hitam itu menyelimuti seluruh tubuhnya. Setelah menghilang, terlihat paras Sumiati menegang. Dan dengan gerakan kaku, gadis yang semula hendak meninggalkan tempat itu, justru mendekati kalung yang tergeletak di atas tanah. Rasa ngerinya tadi mendadak sontak lenyap begitu saja. Bahkan dengan enaknya Sumiati memungut kalung itu. Memperhatikannya sejenak.
Bibirnya tersenyum saat memasukkan kalung itu pada kepalanya dan membiarkan kalung itu kini melingkar di lehernya.
Saat dia palingkan kepala, terlihat sepasang matanya memerah mengerikan!

****



::֍֍ { 3 } ֎֎::

Pada saat yang bersamaan, Sumarta sedang berteriak memanggil adiknya di sekitar gubuk itu.
Di depan gubuk, telah terdapat potongan kayu yang diikat menjadi satu.
"Ati! Sumiati!" serunya dengan kedua tangan membentuk corong.
"Ah, ke kemana itu anak" Ati! Di mana kau" Ati!!" Tetap tak ada sahutan apa-apa. Perasaan Sumarta menjadi tidak enak sekarang.
"Bandel! Ke mana dia" Ah, tak seharusnya dia kuizinkan untuk ikut tadi," desisnya agak jengkel.
Dia kembali berteriak. Tetapi tak ada sahutan apa-apa. Sumarta akhirnya memutuskan untuk mencari adiknya dan terus berteriak memanggil.
Justru yang terdengar kemudian satu suara, "Lho, lho! Kenapa berteriak" Mau jadi tarzan ya?" Seketika pemuda gagah ini palingkan kepalanya ke kanan. Keningnya berkerut melihat seorang pemuda berambut gondrong acak-acakan sedang nyengir tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Siapa pemuda itu?" pertanyaan itulah yang pertama kali terlontar di hati Sumarta. Karena, selama dia mendatangi Jurang Trah Gering, sekali pun dia belum pernah berjumpa dengan orang lain kecuali adiknya sendiri.
Pemuda yang menyapanya dan memiliki sepasang alis hitam legam menukik laksana kepakan sayap elang, nyengir lagi, "Busyet! Kenapa melotot begitu" Kau pikir aku ini seorang gadis ya?"
"Aneh! Siapa dia" Ucapannya konyol sekali, tapi bernada jenaka?" kata Sumarta dalam hati dan belum membuka mulut.
Lagi-lagi pemuda berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain bercorak catur buka mulut sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Kenapa sih melihati ku seperti itu" Ada yang aneh ya?" Tanpa sadar Sumarta menggelengkan kepalanya. Masih menatap si pemuda dia berkata, "Siapakah Saudara sebenarnya?"
"Aku" Aku yang kau maksud?" si pemuda menunjuk dirinya sendiri.
"Namaku Andika.
Yah... aku cuma kebetulan saja tertarik melihat tempat ini dari atas tadi. Makanya, aku segera mendatanginya. Kali-kali saja ada cewek cantik nganggur."
"Dia berucap seperti tak dipikirkan lebih dulu.
Gayanya urakan sekali. Tapi kilatan matanya yang jenaka membuatku yakin kalau dia bukanlah orang jahat." Habis membatin demikian, Sumarta tersenyum, "Namaku Sumarta."
"Nama yang bagus. O ya, siapa sih yang kau cari" Kok berteriak-teriak seperti tarzan begitu?"
"Aku sedang mencari adikku."
"Sumiati?" ' "Oh! Kau mengenalnya" Di mana dia?" sahut Sumarta segera dengan pandangan berbinar.
"Mengenalnya" Ya, tidak!"
"Tapi bagaimana kau bisa tahu?"
"Memangnya telingaku tuli! Kan aku mendengar kau berteriak menyebutkan nama adikmu!" sahut si pemuda sambil nyengir.
Sumarta cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Maaf, aku tak bisa meneruskan pembicaraan ini lebih lama. Aku harus mencari adikku. Bila hari mulai senja, kemungkinan besar akan sulit menemukannya." Pemuda berpakaian hijau pupus yang memang Andika alias Pendekar Slebor, angkat sepasang alisnya. Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini kemudian berkata, "Bagaimana bila aku membantumu mencarinya" Kebetulan sekali aku lagi tak punya kerjaan nih." Sejenak Sumarta memandangi dulu si pemuda sebelum menganggukkan kepalanya. Kejap berikutnya keduanya sudah melangkah.
Sumarta berteriak memanggil nama adiknya.
Pendekar Slebor ikut-ikutan dengan gaya urakannya.
Tapi sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda kalau Sumiati telah ditemukan.
Di sebuah jalan setapak, Sumarta menghentikan langkahnya. Dia tiba pada satu pikiran baru.
"Apakah tak mungkin kalau adikku sudah pulang lebih dulu?" Andika merasa pertanyaan itu ditujukan padanya. Makanya dia menyahut, "Maksudmu pulang ke mana?"
"Ke rumah."
"Memangnya kalian tinggal di sini?" Sumarta menggeleng.
"Dulu, kami pernah tinggal di sini. Tapi sekarang kami tinggal di dusun Gelagah."
"Maksudmu, dia sudah kembali kedusun Gelagah?" Sumarta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Karena aku sudah memutuskan untuk membantumu, bagaimana bila kau mengecek saja adikmu di rumah. Biar aku yang meneruskan mencarinya?" Mendengar usul itu, Sumarta menatap dalamdalam pada Andika. Andika mendengus begitu menyadari kalau pandangan pemuda tanpa pakaian itu sekarang mengandung kecurigaan.
"Kutu landak! Kok dia curiga begitu sih" Apa tampang kerenku ini seperti orang pesakitan?" dengusnya dalam hati.
Lalu dilihatnya kepala Sumarta menggeleng.
"Bukannya aku tidak setuju dengan usulmu, tetapi, aku masih berkeinginan mencari adikku sampai ketemu."
"Itu lebih baik. Ayo, kita teruskan langkah lagi!" ajak Andika dan sambil melangkah dia mendumal, "Monyet pitak! Jadi aku nih yang punya urusan" Padahal perutku sudah kelaparan banget! Huh! Lagi pula mau apa sih aku tertarik datang ke tempat seperti ini" Tapi ya... dari atas sana tempat ini sangat bagus. Lagi pula, tak ada salahnya aku membantu pemuda ini mencari adiknya...." Mereka meneruskan langkah kembali dan sesekali berteriak. Andika sengaja kerahkan tenaga dalamnya agar teriakannya terdengar sampai jauh.
Tapi tepat senja mulai datang, mereka belum juga menemukan di mana Sumiati berada.
Andika mulai merasa tidak enak melihat ketegangan yang menyelimuti wajah Sumarti.
"Sejak hari masih siang tadi, sudah sulit menemukan di mana gadis bernama Sumiati berada.
Dan sudah barang tentu di hari yang mulai gelap ini akan semakin sulit. Hem, apa yang harus kulakukan sekarang?" Untuk beberapa saat anak muda dari Lembah Kutukan ini terdiam memikirkan cara terbaik. Diliriknya Sumarta yang kian gelisah. Lalu katanya, "Sumarta, sebaiknya kita jalankan usulku yang pertama tadi. Kau pulanglah, barangkali adikmu memang sudah pulang sebenarnya." Kali ini Sumarta tidak membantah seperti tadi.
Seraya anggukkan kepala dia berkata, "Terima kasih atas niat baikmu, Andika. Ya, aku akan segera pulang. Besok pagi, kau datanglah ke tempat kami di dusun Gelagah." Andika menganggukkan kepala.
Lalu dilihatnya Sumarta sudah balikkan tubuh dan siap melangkah. Namun baru lima tindak pemuda itu melangkah, mendadak saja terdengar suara, "Kang Marta!!" Serta-merta Sumarta balikkan tubuh. Dilihatnya Sumiati keluar dari balik ranggasan semak belukar sambil tersenyum. Separuh gembira dan gemas, pemuda itu menyambut kedatangan adiknya dengan seruan, "Ati! Kau hampir saja membuat copot jantungku! Ke mana saja kau?" Gadis jelita berkuncir dua itu tersenyum.
"Untungnya masih belum copot, kan?"
"Kau ini! Ayo, kita segera pulang!" kata Sumarta, lalu berkata pada Andika, "Andika, secara tidak langsung kau memang telah membantuku. Sudikah kau untuk mampir ke tempatku?" Andika tersenyum dan sesekali melirik Sumiati yang sedang tundukkan kepalanya.
"Busyet! Cantik amat! Rugi berat nih kalau tidak mampir! Tapi ya... harus tahan diri dulu dong.
Bisa berabe kalau ketahuan ada maunya." Sambil cengengesan anak muda dari Lembah Kutukan ini berkata, "Aku masih ingin berada di sini. Mungkin besok aku akan mendatangimu...." Lalu sambungnya dalam hati, "Untuk melihat dara jelita yang aduhai itu." Sumarta cuma menganggukkan kepalanya. Lalu berkata pada adiknya, "Ayo, Ati! Kita bisa tersesat karena sebentar lagi malam akan datang."
"Kakang marah padaku?" tanya adiknya tanpa berani angkat kepala.
Sumarta menghela napas pendek.
"Sudahlah.
Tidak apa-apa."
"Aku... aku tadi, bermaksud mencari kelinci untuk kita panggang, Kakang. Dan aku...."
"Sudahlah. Ayo!" putus Sumarta. Setelah anggukkan kepala pada Pendekar Slebor, pemuda itu menarik tangan adiknya untuk mengikutinya.
Tinggal Andika yang memperhatikan kepergian kedua kakak beradik itu.
"Wah! Nasibku lagi beruntung rupanya! Ada cewek cakep kayak begitu! Ya, lebih baik aku...." Mendadak saja Andika putuskan ucapannya.
Sepasang matanya yang tajam mendadak saja menyipit, tatkala melihat sosok Sumiati yang kemudian lenyap bersamaan lenyapnya tubuh Sumarta di balik ranggasan semak.
Untuk beberapa saat anak muda urakan ini hanya terdiam, mencernakan apa yang baru saja dilihatnya.
"Aneh!" desisnya kemudian.
"Sejak tadi, aku tak melihat ada cahaya hitam pada leher gadis bernama Sumiati itu. Tapi barusan, ada pendaran cahaya hitam yang begitu kuat" Lho, lho... dari mana asal cahaya hitam itu?" Tak tahu harus menjawab apa dari pertanyaannya sendiri, anak muda ini garukgaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Benar-benar busyet! Kok aku jadi penasaran ingin mengetahui dari mana asalnya cahaya hitam itu" Apakah gadis itu menyembunyikan sesuatu di balik pakaiannya" Ih! Kalau dia memang menyembunyikan sesuatu, ya aku tahu apa yang disembunyikannya" Tapi masa iya sih sampai pancarkan sinar hitam seperti yang kulihat barusan?" Karena rasa penasaran yang mulai menggigil, akhirnya si Urakan ini memutuskan untuk mengikuti kakak beradik itu.
Sementara itu, Sumarta dan Sumiati sudah tiba di depan gubuk yang dulu pernah mereka tinggali selama enam tahun.
Sumarta segera mengangkat kayu-kayu yang telah diikatnya menjadi satu seraya berkata, "Ati! Kau bawa kapakku itu!"
"Kakang... sejak pagi kita belum makan?" kata adiknya seperti merengek.
"Nanti saja di rumah kita makan. Bukankah masih ada persediaan ketela untuk kita makan?" Sumiati menganggukkan kepalanya.
Sumarta berkata, "Ayo, kau berada di depanku!"
"Ih, Kakang ini! Aku mana bisa menentukan arah dalam keadaan gelap seperti ini" Sebaiknya, Kakang saja." Sumarta tahu kalau saat ini adiknya sedang datang manjanya. Sambil mendengus pelan, dia mendahului melangkah dengan membawa kayukayu di punggungnya.
"Hati-hati!" desisnya.
Sumiati tak menyahut. Dia mengikuti dari belakang dengan membawa kapak milik kakaknya. Melangkah dengan membawa beban seperti itu dan dalam keadaan yang cukup gelap, membuat Sumarta tidak bisa melangkah lebih cepat dari biasanya. Tapi dia juga tak mau kemalaman di Jurang Trah Gering, kendati sebelumnya ada niatan untuk menginap dulu di gubuknya itu.
Sumiati sendiri terus melangkah mengikuti kakaknya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Namun lama kelamaan, satu keanehan terjadi. Karena mendadak saja terlihat sepasang matanya menatap tajam dan pancarkan sinar merah.
Mulutnya memang terus bernyanyi-nyanyi yang kali ini dengan perubahan paras yang tegang.
Di leher hingga dadanya, nampak sinar hitam berpendar mati. Berulangkali dan kemudian melingkupi batas leher hingga dadanya.
Dan satu kebencian mendadak saja muncul di hati gadis itu yang sebenarnya tak tahu mengapa bisa terjadi.
Dari belakang, dilihatnya sosok kakaknya yang sedang membawa kayu-kayu laksana sosok seorang musuh yang harus dimusnahkan. Dan kebencian itu datang begitu saja.
"Berhenti!" Sudah tentu Sumarta terkejut mendengar ucapan yang dilontarkan dengan nada membentak. Dia berhenti tetapi tak membalikkan tubuh.
"Kenapa lagi" Ayo, jangan manja!" desisnya seraya melangkah lagi.
"Orang tak dikenal! Kataku berhenti!" Kali ini tubuh Sumarta menegak. Suara itu, bukan hanya begitu keras, tetapi sangat asing di telinganya.
Dengan perasaan heran, pemuda gagah ini membalikkan tubuh. Saat itu pula keningnya berkerut begitu melihat wajah asing pada wajah adiknya. Untuk beberapa saat Sumarta menatap tak mengerti.
"Aneh! Ada apa ini" Mengapa Sumiati kelihatan begitu garang" Dan matanya... oh! Memancarkan sinar merah yang mengerikan?" desisnya dengan perasaan mulai diliputi kegelisahan.
Di hadapannya, adiknya menatap dingin. Mulutnya merapat.
"Ati... ada apa?" tanya Sumarta sambil tenangkan gemuruh hatinya.
"Jangan banyak cakap! Aku menginginkan nyawamu!!"
"Gila!!" desis Sumarta tersentak. Kayu yang dibawanya dilemparkan begitu saja.
Dipandangi wajah adiknya dengan seksama. Dilihatnya pancaran mata yang penuh sinar membunuh pada bola mata adiknya.
"Ati! Sadarlah! Ada apa ini"!" Sebagai sahutan dari ucapannya, Sumiati justru angkat kapaknya tinggi-tinggi. Melihat sikap adiknya yang seperti hendak habisi nyawanya, Sumarta berseru tertahan seraya mundur perlahanlahan.
"Sumiati! Kau kenapa" Kenapa"!" Mendadak adiknya terbahak-bahak keras.
"Gila! Tak pernah Sumiati tertawa seperti itu! Lagi pula, suaranya bukan suara Sumiati. Oh! Apa yang telah terjadi" Mengapa adikku jadi seperti ini?" Belum lagi dia dapat cernakan apa yang terjadi, Sumiati telah ayunkan kapak yang dipegangnya.
Laksana seorang penebang kayu yang siap memotong kecil-kecil kayu hasil tebangannya.

****



::֍֍ { 4 } ֎֎::

Wiiuut!! Secara refleks Sumarta bergulingan ke kiri. Namun belum lagi dia berdiri tegak, dengan sorot mata buas, adiknya sudah memburu ke arahnya seraya ayunkan kapaknya.
"Sumiati!!" serunya tertahan sambil berusaha hindari ayunan kapak adiknya.
Craakk! Sebuah dahan yang telah patah terpotong menjadi dua begitu ayunan kapak tadi mengenainya. Sumarta buru-buru melompat berdiri.
"Sumiati! Sadarlah! Sadarlah, Adikku!!" serunya berusaha menyadarkan kekalapan adiknya.
Tetapi adiknya hanya kembangkan senyuman dingin. Pancaran matanya kian kuat memancarkan nafsu membunuh.
"Siapa pun orangnya, dia harus mati di tanganku! Aku haus darah! Haus darah!!" Lalu dengan ganasnya Sumiati memburu kakaknya dengan kapak yang dipegangnya.
Kendati tak memiliki ilmu apa-apa, tetapi Sumarta adalah sosok pemuda yang telah ditempa alam. Dengan pergunakan sebatang kayu, dia berusaha menjatuhkan kapak yang dipegang adiknya.
Menyusul dia menyergap dengan maksud agar adiknya menghentikan tindakan gilanya itu. Namun yang mengejutkan Sumarta, karena tangan kanan adiknya sudah mengibas. Memukul dadanya yang tergontai-gontai ke belakang.
Dadanya laksana dihantam godam yang sangat keras, membuat Sumarta untuk sesaat merunduk menahan sakit. Dan pemuda tanpa pakaian itu tak bisa untuk berdiam lebih lama, karena dengan ganasnya Sumiati sudah menerjang.
Astaga! Gadis lembut itu selain mendadak saja memiliki kekuatan yang besar, juga dapat melompat laksana seekor kijang. Memburu dan siap menyergap Sumarta.
Berteriak Sumarta sambil melompat ke samping kiri. Kendati berhasil, namun tangan kiri Sumiati menyerempet bahunya. Akibatnya sosok Sumarta terlempar dengan deras di atas tanah! "Darah! Bau darah kucium! Menyenangkan sekali!" seru Sumiati dengan suara bergetar. Di tempatnya, dengan susah payah dan ketakutan yang semakin menjadi-jadi, Sumarta berhasil bangkit. Dipandangi adiknya dengan tatapan tak percaya. Apa yang ada di hadapannya ini memang sulit dipercaya.
Sumarta yakin, kalau semua itu terjadi tanpa dikehendaki oleh adiknya. Bahkan mungkin tanpa disadarinya. Sebelum dia memikirkan lebih lanjut keadaan yang membingungkannya, mendadak saja terlihat sinar hitam dari leher dan dada adiknya. Sinar hitam itu lebih terang dari dada Sumiati.
"Gila! Apa yang sebenarnya terjadi" Mengapa dari balik pakaian adikku ada sinar hitam" Celaka! Ada apa ini" Ada apa"!" Lalu dilihatnya, bagaimana Sumiati sambil menatap dingin ke arahnya, mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kalung! Dan dari kalung itulah memancar sinar hitam! "Astaga! Dari mana dia mendapatkan kalung itu" Setahuku, Sumiati tak pernah memiliki kalung apa-apa. Apalagi kalung mengerikan yang pancarkan .sinar hitam itu. Apakah kalung itu yang menyebabkan Sumiati menjadi buas seperti itu?" Semakin tak menentu perasaan Sumarta melihat apa yang melingkar di leher adiknya. Dilihatnya bagaimana wajah Sumiati begitu keras, tatapannya tajam menusuk.
"Darah! Ya, darahlah yang membuatku dapat bertahan!" suara aneh yang terdengar agak sengau itu meluncur dari mulut Sumiati.
"Orang muda! Darahmu pasti segar! Aku menginginkannya!" Habis ucapan itu terdengar, mendadak sontak mencelat sinar hitam yang perdengarkan suara gemuruh dari bandul kalung yang dikenakan Sumiati.
Seperti telah lenyap sebagian nyawanya Sumarta melihat kejadian yang mengerikan itu. Dia melompat ke samping kanan.
Blaaarrr!! . Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membubung tinggi disertai berhamburannya ranggasan semak. Untuk beberapa saat hari yang sudah dimasuki malam, kian menggelap. Saat itu pula tercium bau yang sangat amis.
"Celaka! Benar-benar celaka!" desis Sumarta dengan dada naik turun. Kalaupun tadi pemuda ini berhasil menyelamatkan diri, itu dikarenakan dia lebih dulu bergerak dari lesatan sinar hitam tadi. Begitu pandangannya dibawa pada tanah yang tadi terhantam sinar hitam itu, dilihatnya tanah itu telah membentuk sebuah lubang yang cukup besar. Makin ciut nyali Sumarta melihat keadaan ini.
"Aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi, bila aku berada di sini terus, Sumiati akan tetap membunuhku. Ah, malang nian nasib adikku. Apa yang sebenarnya telah terjadi" Apakah tindakan kejamnya ini karena kalung yang dikenakannya" Lalu dari mana dia menemukan kalung itu?" Belum habis dia berpikir, sinar hitam tadi sudah melesat kembali. Gelombang angin angker menggebrak. Kali ini Sumarta mendadak saja seperti kehilangan tenaganya. Bahkan tubuhnya menggelosoh jatuh terduduk.
Pemuda ini nampak pasrah menghadapi apa yang akan terjadi.
Namun sebelum sinar hitam yang diiringi gemuruh angin itu menghantam putus nyawanya, mendadak saja satu gelombang angin lainnya menggebrak dari arah sampingnya. Menabrak sinar hitam yang mengarah padanya.
Blaaam! Blaaammm!! Benturan keras yang mengerikan menggema di malam yang gelap. Sumarta sendiri harus terjengkang ke belakang karena kuatnya pengaruh benturan tadi. Dan sebelum tubuhnya ambruk di atas tanah, satu sosok tubuh telah menyambarnya.
Menyusul terdengar letupan keras di belakang Sumarta. Blaaarrr! Ranggasan semak yang di belakangnya terdapat sebuah pohon, langsung rengkah. Menyusul pohon itu tumbang dengan perdengarkan suara berdebam.
"Menyingkir dari sini!" seruan itu menyadarkan Sumarta dari ketertegunannya.
Lalu dilihatnya orang yang menolongnya itu telah berdiri dua langkah membelakanginya.
"Andika...," desisnya pelan.
Si penolong yang bukan lain anak muda urakan dari Lembah Kutukan itu, pandangi sosok Sumiati yang sedang menggeram.
"Monyet pitak! Kecurigaanku ternyata terbukti! Kini aku tahu, dari mana asalnya sinar hitam yang kulihat tadi pada punggung si gadis. Dari sebuah kalung. Gila! Mengapa Sumarta tak pernah mengetahui soal kalung itu" Tapi, apakah kalung itu yang memang sangat berbahaya, atau sesungguhnya Sumiati yang mempunyai niatan jahat pada kakaknya sendiri?" Gadis berpakaian putih agak kusam yang menjadi buas, merandek gusar, "Pemuda berbaju hijau pupus! Lebih baik menyingkir dari sini sebelum menyesali keadaan!" Andika garuk-garuk kepalanya. Dia belum membuka mulut. Karena masih dipikirkannya apa yang menyebabkan gadis jelita itu menjadi sedemikian buas.
Terdengar lagi suara sengau Sumiati, "Menyingkir dari sini! Aku menginginkan darah pemuda gagah itu! Baru kemudian darahmu!"
"Enaknya! Memangnya darah monyet main ingin begitu saja"!" rutuk Andika dalam hati. Lalu dia berseru, "Eh! Kau ini siapa sih sebenarnya" Sumiati atau sebangsa dukun yang menyamar sebagai Sumiati"!"
"Persetan dengan ucapanmu itu! Menyingkir! Atau... kau ingin lebih dulu darahmu habis kuhisap!!"
"Busyet! Enak betul ya main hisap begitu" Ngomong-ngomong, kau memang bisa membuat lubang di ubun-ubunku! Lalu dengan mempergunakan sedotan kau bisa menghirupnya seperti sebuah kelapa muda! Fiuh! Segar betul!"
"Jahanam!!" ' Bersamaan makian yang menggelegar, dari kalung yang dikenakan Sumiati, mendadak saja melesat sinar hitam berkekuatan tinggi.
"Heeiii!!" tersentak anak muda urakan itu sambil dorong tubuh Sumarta ke samping kanan, sementara dia sendiri segera melompat ke samping kiri. Blaaammm!! Untuk kedua kalinya sebuah pohon tumbang dan keluarkan suara bergemuruh.
Di tempatnya, Andika sipitkan matanya.
"Sinar hitam itu melesat dari kalung yang dikenakan Sumiati. Hem, aku yakin, kalau sesungguhnya keadaan Sumiati sekarang ini dikuasai oleh kalung aneh itu. Dan lebih aneh lagi, sepertinya Sumarta tak mengetahui soal kalung itu" Atau..." Terputus jalan pikiran Pendekar Slebor, karena sinar-sinar hitam itu kembali melesat ke arahnya.
Kali ini, dengan pergunakan tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima, Andika menyongsong. Suara salakan petir terdengar begitu dia gerakkan kedua tangannya. Disusul suara keras dua kali.
"Ugghhh!!" Sosok Andika terlempar begitu kedua tangannya memutus sinar-sinar hitam yang mengarah padanya. Dadanya saat itu pula dirasakan sangat ngilu. Aliran darahnya mendadak jadi kacau. Kepalanya pusing tujuh keliling.
Sumiati tertawa sengau.
"Kini, kau akan menyesali karena berani lancang campuri urusanku!"
"Suaranya pun berubah dari suara yang sebelumnya kudengar. Sudah jelas kalau dia dikuasai oleh kalung itu. Kalung Setan! Monyet buduk! Kambing bunting! Landak bau! Kalau begitu, aku harus merebut kalung yang dikenakannya!!" Sementara Sumarta hanya terduduk dengan napas terengah dan perasaan tak menentu sambil pandangi keadaan adiknya.
Perlahan-lahan Andika melangkah dua tindak ke depan. Pandangannya tajam tak berkedip. Ada rasa ngeri di hatinya yang mendadak muncul.
"Untuk mendapatkan kalung itu, sudah tentu tak akan mudah. Tapi, bila aku tak mendapatkannya, urusan akan jadi kapiran! Peduli kerbau gila! Aku harus mencobanya!" Berpikir demikian, Andika segera kerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas.
Dengan menamengkan diri seperti itu, anak muda ini menerjang ke depan, dengan maksud untuk menyambar Kalung Setan yang menggantung di leher Sumiati.
Dan seperti yang sudah diperkirakannya, anak muda ini tak mudah melakukan maksud. Karena mendadak saja gumpalan asap hitam yang tebal mendadak menyembur dari kalung yang pancarkan sinar hitam itu.
Seketika Andika dikerubungi oleh asap-asap tebal yang pekatkan mata. Serta merta anak muda urakan ini menjadi kelabakan dan berusaha membebaskan diri dari kungkungan asapasap hitam itu.
"Kutu landak! Kalau mau serang pakai asap begini, bilang-bilang dong! Kan aku bisa memejam- kan mataku dulu!" serunya konyol dalam kungkungan asap hitam itu.
Dua kejapan mata kemudian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini sudah berhasil loloskan diri dari kungkungan asap hitam itu. Dia terbatuk-batuk seperti kakek yang tua renta. Di depan, bibir Sumiati pentangkan senyum dingin.
"Itulah akibat dari kebodohan yang kau lakukan!!" Andika meleletkan lidahnya dengan sesekali terbatuk.
"Mau bodoh kek, pintar kek, itu urusanku! Apa urusannya denganmu, hah"!" selorohnya asal. Tapi dia menyambung dalam hati, "Gila! Seluruh tubuhku terasa dingin sekali. Ada kekuatan dingin yang mencoba matikan aliran darahku. Tentunya ini akibat asap-asap hitam tadi. Kerbau dungu!" Segera saja Pendekar Slebor alirkan hawa panas ke sekujur tubuhnya untuk tindih rasa dingin yang membuatnya bisa membeku. Bersamaan dia sedang alirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya, asap-asap hitam itu menyembur kembali dari kalung yang dikenakan Sumiati.
Kali ini ke arah Sumarta yang sedang memperhatikan sosok adiknya dengan pandangan sedih.
Dan pemuda gagah ini benar-benar dirundung kepedihan yang dalam. Karena dia tak melakukan gerakan apa-apa sebagai tanda hindari ganasnya asap-asap hitam itu.
Justru Andika yang melotot.
"Dungu!" hardiknya tanpa sadar seraya melompat ke arah Sumarta. Sambil kibaskan tangannya yang mengandung tenaga 'Inti Petir' tangan kirinya telah menyambar sosok Sumarta.
Begitu berhasil menyambar Sumarta, terdengar letupan keras dua kali. Beruntun, yang disusul dengan tumbangnya dua buah pohon! Andika sendiri yang masih merasakan dingin pada sekujur tubuhnya, harus melompat kembali karena asap-asap hitam itu sudah menggebrak lagi. Disusul dengan sinar-sinar hitam yang membabi buta, disertai tawa sengau Sumiati.
"Monyet buduk! Bisa konyol kalau begini! Dalam keadaan tubuh yang terus dingin seperti ini, sulit bagiku untuk menghadapi Sumiati. Ah, memang malang nasib gadis itu. Lebih baik, aku menyingkir saja dulu!" Tetapi hal itu pun tak mudah dilakukannya.
Masih dengan membawa tubuh Sumarta, anak muda urakan ini terus menghindar dan sesekali mencoba memapaki dengan tenaga 'Inti Petir'.
Hingga satu kesempatan pun didapatnya. Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, si Urakan ini segera berkelebat menjauh sambil membopong tubuh Sumarta.
Tetapi bukannya senang karena diselamatkan orang, Sumarta justru berteriak-teriak kalap, "Lepaskan aku! Lepaskan! Aku ingin bersama adikku!"
"Sumarta!" seru Andika yang sekarang mempunyai pikiran lebih baik menjauh dulu ketimbang urusan jadi berantakan.
"Dia memang adikmu! Tapi sekarang ini, dia bukan adikmu!"
"Aku tak peduli! Lepaskan aku! Lepaskan!"
"Eh, kok kepala batu betul ya orang ini" Rasanya ingin kujitak saja!" dengus Andika dalam hati. Lalu serunya, "Pergunakan akal sehatmu! Untuk saat ini, kita lebih baik menghindar dulu! Dan berpikir bagaimana caranya menyelamatkan adikmu!" Sumarta terus berteriak keras.
Kembali ke tempat semula, Sumiati menggeram dingin. Kalung yang bandulnya bergambar sebuah wajah yang mengerikan itu, kini pendarkan sinar hitam.
"Keparat! Aku harus mencari darah! Darah!!" Kejap berikut, setelah keluarkan dengusan berat, dengan gerakan laksana angin, gadis jelita yang berubah menjadi kejam akibat pengaruh Kalung Setan itu, segera meninggalkan Jurang Trah Gering yang makin gelap diselimuti malam.

****



::֍֍ { 5 } ֎֎::

Hari ini siang meranggas. Debu-debu beterbangan dihembus angin yang membawa udara panas. Saat ini matahari tepat berada di atas kepala.
Sebuah ranggasan semak yang terdapat di sebuah hutan kecil, menyibak. Menyusul munculnya satu sosok tubuh berpakaian merah. Sosok lelaki berusia lanjut ini hentikan langkahnya dua tombak dari ranggasan semak tadi.
Pandangannya dibawa ke kejauhan, menatap panas yang semakin kuat mendera bumi.
"Beruntung karena aku telah berhasil melewati tempat celaka itu! Bila tidak, bisa-bisa tubuhku akan terpanggang!" desis kakek ini yang tak lain Datuk Merah. Lalu diperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi ranggasan semak belukar.
"Jurang Trah Gering sudah tak jauh lagi. Setelah melewati hutan ini, aku sudah langsung menemukan Jurang Trah Gering. Huh! Kendati aku tak sepenuhnya mempercayai ucapan Datuk Biru, tetapi aku dapat membuktikannya lebih dulu." Kakek berwajah tirus dengan kalung berbandul taring ini keluarkan dengusan berat, tanda kemarahan masih menggumpal di dadanya.
"Sungguh celaka Datuk Biru! Bila saja dulu dia menyerahkan Kalung Setan ketika aku minta, semua urusan tak akan jadi begini! Tapi, semuanya sudah terjadi! Dan aku tak pernah menyesalinya! Karena dengan kata lain, kakek celaka itu telah menginjak harga diriku habis-habisan!" Mendadak saja Datuk Merah gerakkan tangan kanannya ke depan. Wuuuuttt!! Satu gelombang angin menghampar menyeret ranggasan semak belukar dan berakhir setelah menghajar sebuah pohon yang langsung gugurkan seluruh dedaunannya.
"Dia harus mampus! Harus mampus!" serunya dengan napas terengah-engah. Menyusul dia memaki lagi, "Terkutuk! Mengapa harus dia yang per- tama kali menemukan kalung itu" Keparat! Sampai hari ini aku tidak tahu bagaimana kalung itu bisa berada di sana, dan siapakah pemilik yang sesungguhnya! Peduli setan dengan semua itu! Aku ingin memilikinya!!" Sepasang mata kakek berwajah tirus ini menatap tajam, tanpa kedip. Untuk saat ini dia tak tahu apa yang ditatapnya, tetapi jelas tergambar kalau kebenciannya pada Datuk Biru makin menjadijadi.
"Huh! Lebih baik aku segera bergerak kembali! Aku harus mendahului Datuk Biru tiba di Jurang Trah Gering! Dengan cara bagaimana aku bisa menemukan kalung itu, aku tak peduli!" Setelah keluarkan dengusan keras, Datuk Merah segera berkelebat kembali. Gerakan kakek ini sangat lincah. Bahkan terlihat kalau kedua kakinya sama sekali tak menginjak tanah. Sepenanakan nasi telah dilaluinya dengan cepat dan tiga kejapan mata berikutnya, kakek yang memiliki dendam pada sahabatnya sejak muda itu, kini telah tiba di luar hutan yang tadi dilewatinya.
Tak ada dengusan napas terengah yang terdengar saat dia hentikan langkahnya.
Pandangannya disapu ke sekelilingnya. Panas tak lagi terlalu menggigil, karena nampak senja sebentar lagi akan datang. Sepasang mata tajam Datuk Merah mendadak saja melotot ke samping kiri begitu melihat bayangan biru berkelebat dengan cepat.
"Terkutuk!!" makinya geram begitu menyadari siapa adanya orang yang berkelebat.
"Datuk Biru! Keparat betul! Kehadirannya di sini, semakin membuatku yakin kalau dia memang mengetahui di mana Kalung Setan berada! Bisa jadi kalung itu memang ada di salah satu tempat di Jurang Trah Gering, dan dialah yang menyimpannya, bukan melemparnya. Setan keparat!!" Hati Datuk Merah semakin digumpal kemarahan tinggi begitu tiba pada pikiran seperti itu. Mendadak kaki kanannya dihentakkan di atas tanah, yang seketika membuat tanah itu membuyar setinggi paha.
"Setan terkutuk!" geramnya.
"Sebaiknya, kubuntuti saja kakek keparat itu!" Kejap itu pula Datuk Merah sudah berkelebat ke arah perginya Datuk Biru.
Sejarak dua puluh langkah, kakek berpakaian biru terus berkelebat cepat dan tak lama kemudian dia tiba di sisi kanan atas dari Jurang Trah Gering. Di tempat itu dihentikan langkahnya.
Sesaat dia tarik napas pendek sebelum membawa pandangannya ke sekitar Jurang Trah Gering yang dipenuhi pepohonan.
"Aku ingat betul, tiga puluh tahun yang lalu, dari sisi kanan Jurang Trah Gering di tempat inilah kulempar Kalung Setan. Entah di mana jatuhnya kalung itu." Datuk Biru hentikan desisannya. Hatinya terasa tidak enak memikirkan kalau dia harus cepat mendapatkan Kalung Setan. Terutama, bila dia tak mendapatkannya, maka Datuk Merah akan terus memburunya.
"Sesungguhnya, aku tak ingin mendapatkan Kalung Setan. Biarlah kalung laknat itu terkubur entah di mana. Karena... aku sendiri merasa pernah dikuasai oleh kalung celaka itu tiga puluh tahun yang lalu. Masih beruntung aku dapat pergunakan hawa murniku untuk mengusir pengaruh kejam Kalung Setan. Ah, keadaan memang sudah tak bisa ditanggulangi lagi. Satu-satunya jalan, aku memang harus menemukan kalung itu sebelum didahului oleh Datuk Merah." Teringat akan sahabatnya sejak muda, kakek berpakaian biru ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh tak kumengerti, bagaimana Datuk Merah bisa bersikap seperti sekarang" Dia begitu menggebu-gebu untuk mendapatkan Kalung Setan, bahkan bersiap untuk mencabut nyawaku. Ah, entah apa jadinya bila dia memang memiliki kalung itu dan dikuasai oleh Kalung Setan?" Kali ini sambil geleng-gelengkan kepalanya, Datuk Biru menghela napas masygul.
Di balik ranggasan semak sejarak dua puluh langkah, Datuk Merah menggeram pendek.
"Jahanam sial! Mengapa dia masih berdiri di tempat itu" Mengapa tak segera menuruni Jurang Trah Gering untuk mencari kalung yang katanya dilemparnya ke jurang itu tiga puluh tahun lalu" Celaka keparat! Aku sudah tak sabar untuk memiliki Kalung Setan! Tapi untuk saat ini, biarlah kutahan dulu keinginanku. Akan kuikuti ke mana dia pergi." Sementara itu di tempatnya, Datuk Biru mendesis lagi, "Saat ini senja sudah datang. Tak lama lagi malam tentunya akan tiba dan menyelimuti seisi Jurang Trah Gering. Dalam kegelapan, sangat sulit bagiku untuk menemukan Kalung Setan. Tapi, dalam keadaan terang pun aku belum tentu bisa menemukannya. Karena, aku sendiri tak tahu di mana jatuhnya Kalung Setan setelah kulempar tiga puluh tahun yang lalu." Kakek ini terdiam kembali. Pikirannya terus mencoba mengingat-ingat di mana kira-kira jatuhnya kalung yang akan dicarinya.
Tetapi semakin dipikirkan, perasaan Datuk Biru semakin tak menentu. Dia mencoba berpikir, menimbang dan memutuskan. Sampai terlihat kepalanya digeleng-gelengkan.
"Sebaiknya, aku mencari kalung itu besok pagi saja. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap aku tak akan banyak menemukan kesulitan." Memutuskan demikian, Datuk Biru perhatikan sekelilingnya. Lalu berkelebat ke arah timur.
Di balik ranggasan semak belukar, Datuk Merah melengak dengan kening berkerut.
"Aneh! Mengapa dia tak segera menuruni Jurang Trah Gering" Apakah dia tahu kalau aku menguntitnya dan mencoba mengambil keuntungan darinya?" Datuk Merah terdiam sejenak sebelum lanjutkan desisannya, "Jangan-jangan... dugaanku memang tepat. Kalau dia tak melempar Kalung Setan ke Jurang Trah Gering, melainkan menyimpannya di satu tempat. Kalaupun dia mendatangi tempat ini, dia mencoba untuk kelabuiku. Setan keparat! Beruntung aku masih bisa melihatnya!!" Habis berpikir demikian, Datuk Merah segera berkelebat menyusul Datuk Biru. Gerakan yang dilakukannya sangat cepat sekali.
Hati kakek berwajah tirus ini semakin dibuncah kemarahan tinggi.
Dia tak akan pernah memaafkan sahabatnya itu, yang telah menyakiti hatinya dan mengalahkannya tiga puluh tahun yang lalu. .
Datuk Merah memang masih sempat melihat bayangan biru di kejauhan. Namun dua kejapan mata berikutnya, dia hentikan larinya dengan kepala menegak.
"Terkutuk!" semburnya kemudian dengan mata membelalak.
"Ke mana kakek celaka itu sekarang"!" Dipicingkan matanya untuk menangkap kembali bayangan biru yang sebelumnya dilihatnya. Tetapi bayangan Datuk Biru benar-benar lenyap dari pandangannya.
"Setan! Setan! Setan! Dimana manusia celaka itu?" dengusnya sengit dengan mata pancarkan sinar penuh bara.
"Keparat! Menilik keadaan sekarang, jelas kalau dia tahu aku membuntutinya! Huh! Makin kuat keinginanku untuk membunuhnya! Kelak, kudapatkan atau tidak kalung itu, dia akan tetap kubunuh!!" Datuk Merah kepalkan tinjunya kuat-kuat dengan mata pancarkan sinar berbahaya.
Dia makin merasa dipermainkan oleh Datuk Biru.
"Peduli sejuta setan!" desisnya geram.
"Lebih baik, aku segera kembali ke tempat semula! Tapi tak segera kuturuni Jurang Trah Gering! Siapa tahu kakek celaka itu akan datang lagi ke sana!!" Memutuskan demikian dan membawa kemarahan tinggi Datuk Merah kembali ke tempat semula.
Tetapi apa yang diduga oleh Datuk Merah berlainan sekali dengan kenyataannya, karena Datuk Biru sesungguhnya tidak mengetahui kalau dia diikuti. Bukan dikarenakan Datuk Biru memiliki ilmu rendah hingga tak mengetahui dibuntuti orang. Tapi orang yang membuntutinya memiliki ilmu tak jauh berbeda dengannya bahkan sambil berkelebat telah kerahkan ilmu peringan tubuh.
Kalaupun mendadak saja Datuk Biru lenyap dari pandangan Datuk Merah, ini disebabkan karena Datuk Biru tiba-tiba melompat ke balik ranggasan semak. Karena, tempat itulah yang dirasakan cukup aman dan terlindung hingga dia bisa bebas beristirahat sambil memikirkan langkah selanjutnya.
"Kalung Setan...," desis si kakek yang kini sudah duduk bersemadi di bawah sebatang pohon.
Beberapa helai daun pohon itu gugur dan terbang dibawa angin senja. Datuk Biru usap jenggot putihnya dengan perasaan tak menentu.
"Entah mengapa, aku bukan hanya menangkap satu isyarat yang diberikan oleh Datuk Merah.
Tapi kutangkap peristiwa yang lebih mengerikan yang akan ditimbulkan oleh Kalung Setan. Ah, entah apa jadinya bila seseorang mendapatkan kalung itu dan dikuasai olehnya. Sama seperti diriku yang hampir dikuasai oleh kalung celaka itu. Ah, apakah yang akan terjadi?" Datuk Biru menghela napas panjang-panjang.
Wajah tuanya yang mendadak sendu, diusap oleh angin senja.
"Aku akan terus mencari Kalung Setan dan akan kucoba untuk memusnahkannya...." Berpikir demikian, Datuk Biru menyesali sedikit tindakannya yang telah membuang kalung itu tiga puluh tahun lalu.
"Mengapa waktu itu tak segera kuhancurkan saja Kalung Setan, kendati aku tak tahu bagaimana caranya. Paling tidak, aku akan menguburnya di satu tempat, bukan melemparnya seperti yang telah kulakukan dulu." Kembali kakek ini menghela napas masygul.
"Dan aku tak ingin, apa, yang kukhawatirkan terjadi...," desisnya sambil rapatkan mata.
Perlahan-lahan kedua tangannya diletakkan di atas dengkulnya yang duduk bersila. Kejap berikutnya, kakek yang sedang gelisah karena dibuncah pikiran tak menentu mi, segera bersemadi untuk menenangkan pikirannya.

****



::֍֍ { 6 } ֎֎::

Hamparan pagi telah menyemai lagi bumi ini.
Pagi yang indah dengan dibaluri keriangan burung-burung yang beterbangan, sebenarnya dapat memancing pesona yang sukar ditepiskan oleh orang-orang yang menikmati panorama pagi.
Tetapi, dua pemuda yang berusia tak jauh berbeda satu sama lain, tak bisa menikmati keindahan itu. Mereka berada di sebuah tempat yang sepi dan dikelilingi oleh pepohonan.
Pemuda yang berdiri tegak yang sebelumnya perhatikan sekelilingnya, membawa pandangannya pada pemuda yang duduk kuyu bersandar di batang sebuah pohon. Pemuda berpakaian hijau pupus yang bukan lain Pendekar Slebor adanya, tarik napas pendek, sebelum mendengus dalam hati.
"Aku tak bisa menyalahkan sikapnya yang penuh penyesalan seperti sekarang. Tapi ya... kenapa dia tak pergunakan otaknya sih untuk memikirkan sikap adiknya yang menjadi kejam seperti itu?" Pemuda yang duduk bersandar di bawah pohon, tak keluarkan suara apa-apa. Pandangannya kosong, menyiratkan kedukaan yang dalam. Tangannya memainkan sebatang rumput, yang dengan gerakan simultan seolah tanpa disadarinya, telah memotek-motek rumput itu sampai habis. Lalu digigit bibirnya dengan perasaan hampa. Pendekar Slebor mendengus melihat sikap Sumarta yang seperti kehilangan pegangan. Dia kemudian berkata, "Sumarta, tak seharusnya kau direjam oleh pikiran-pikiran jelek tentang adikmu. Seharusnya yang kau pikirkan, bagaimana caranya mengembalikan adikmu seperti semula...." Sumarta tidak menjawab. Bahkan sepertinya dia tak mendengar apa yang dikatakan anak pemuda dari Lembah Kutukan itu.
Dan Sikapnya membuat Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Bagaimana nih caranya untuk mengembalikan dia seperti semula" Kutu kupret! Jadi bikin urusan saja!!'' Habis mendumal begitu, pemuda yang di lehernya dililit kain bercorak catur berkata lagi, beberapa pertanyaan yang hendak kukemukakan. Aku ingin kau menjawabnya." Sumarta mengangkat kepalanya.
"Monyet pitak! Pandangannya begitu kosong, tak terdapat tandatanda kehidupan lagi!" dengus Andika dalam hati.
Setelah dilihatnya kepala Sumarta mengangguk, dia segera berkata, "Sumarta, memang tak mungkin rasanya melihat perubahan yang terjadi terhadap diri adikmu bila tanpa sebab yang sangat berarti. Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kau pernah melihat kalung yang dikenakan adikmu?" Masih dengan pandangan kosong, Sumarta menggeleng.
"Kau yakin itu?" Sumarta mengangguk.
"Atau kau tidak tahu karena dia tak pernah menunjukkannya padamu?" Kembali Sumarta menggeleng.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembar Kutukan ini tak segera lanjutkan pertanyaannya. Dia berharap Sumarta bukan hanya menggeleng atau mengangguk, tetapi juga memberi jawaban yang dapat diterimanya.
Kendati agak tidak sabar menunggu, Andika mencoba bertahan untuk tak lanjutkan tanyanya.
Setelah beberapa lama, dilihatnya Sumarta bergerak. Terlontar kata-katanya, agak gemetar "Aku yakin... kalau Sumiati tak pernah memiliki kalung seperti itu. Dia tak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Apapun yang akan atau dilakukannya, apa pun yang akan atau dimilikinya pasti dia akan mengatakannya padaku."
"Dan kau melihat kalung itu?" Sumarta menganggukkan kepalanya, lemah.
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kening anak muda dari Lembah Kutukan ini berkerut, dan beberapa lama dia tak keluarkan suara.
Namun batinnya berkata, "Keanehan yang terjadi pada diri Sumiati, aku menduga kalau berasal dari kalung yang pancarkan sinar hitam. Dan penjelasan Sumarta menambah jelas keyakinanku akan hal itu. Kalau memang demikian, kalung apakah yang mampu membuat seseorang berubah" Dari sikap maupun kekuatannya" Apakah... monyet pitak! Dari mana sih dia mendapatkan kalung aneh itu?" Kembali Pendekar Slebor garuk-garuk kepalanya. Wajah tampannya menekuk karena otaknya mulai dipusingkan pikiran yang singgah.
"Aku harus cari kejelasan dari masalah ini. Tapi, meninggalkan Sumarta yang seperti kehilangan pegangan hidup, apakah suatu cara yang terbaik saat ini" Kutu landak! Seharusnya aku terus berusaha mendapatkan kalung aneh itu" Tapi ya... lebih baik menyingkir dulu sebelum bahaya menghadang." Habis berpikir demikian, pemuda berambut gondrong acak-acakan ini berkata, "Sumarta, aku punya satu pikiran yang mungkin aneh." Sumarta hanya memandangnya.
Andika melanjutkan, "Keanehan yang dialami adikmu itu, menurut dugaanku, dikarenakan oleh kalung yang pancarkan sinar hitam itu." Andika melihat kening pemuda yang masih bersandar di bawah pohon itu berkerut.
"Kenapa?" ucapnya tanpa suara.
"Karena ya... sungguh aneh bukan, kalau adikmu mendadak menjadi beringas seperti itu" Dan dugaanku itu, semuanya dikarenakan oleh kalung yang melingkar di lehernya. Kalung... Setan. Ya, Kalung Setan!"
"Kalung Setan?" Sumarta melengak. Tetapi dia seperti kehilangan pegangannya lagi.
"Apakah itu memang kalung pemberian setan?" Andika tak menjawab, karena dia sendiri masih belum bisa menentukan jalan pikirannya lebih jelas.
Sumarta berkata lagi, "Kalau memang itu kalung pemberian setan, apakah kau berpikir adikku sedang memuja sesuatu"'" Andika segera gelengkan kepalanya.
"Tidak! Aku tidak berpikir ke arah sana dan aku yakin adikmu tidak melakukan hal itu. Yang menjadi pikiranku, kemungkinan besar dia tak sengaja menemukan kalung itu. Bukankah sebelumnya kau kehilangan adikmu?" Sumarta mengangguk ragu-ragu.
"Dan kalung itu yang membuatnya menjadi beringas?"
"Ini baru dugaan. Tapi, tak ada dugaan lain yang lebih pantas untuk menjawab keanehan ini.
Sumarta, adikmu telah dikuasai oleh Kalung Setan yang tentunya akan membahayakan dirinya sendiri. Mungkin juga akan membahayakan orang lain."
"Apa maksudmu, Andika?"
"Karena dia dikuasai oleh Kalung Setan, kemungkinan besar dia hanya menjadi alat belaka, Apakah kau lupa kalau Sumiati selalu berbicara soal darah" Itu berarti, Kalung Setan membutuhkan darah. Entah dengan cara bagaimana." Sumarta terdiam beberapa saat. Perasaan pemuda gagah ini sungguh tak menentu.
Bahkan dia agak sedikit terguncang mendengar keterangan Andika. Kemudian katanya, "Andika... dapatkah kau menolong adikku dari bahaya yang mengancamnya?"
"Aku akan berusaha."
"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang juga untuk mencari adikku," kata Sumarta sambil berdiri.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan maksudku untuk melarangmu ikut. Tapi, sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah. Maksudku, aku tak ingin penduduk di sana akan mencari-carimu dan adikmu. Sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah dan menceritakan nasib yang menimpa adikmu. Paling tidak, berilah kejelasan pada mereka, untuk menghindari adikmu untuk saat ini." Sumarta hanya tarik napas pendek sambil tundukkan kepala. Perasaannya makin dibuncah rasa tak tenang. Hatinya sungguh gelisah. Ingin rasanya dia berteriak keras, berlari menjauh dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya untuk melampiaskan segala perasaan yang bertumpuk. Tapi itu tak dilakukannya.
Dipandanginya pemuda berpakaian hijau pupus yang masih berdiri di hadapannya. Cukup lama hal itu dilakukan sebelum akhirnya membuka mulut, "Andika, apa yang kau katakan memang benar.
Kendati hatiku agak terpukul mendengar ucapanmu, tetapi aku membenarkannya. Akan sungguh berbahaya bila seseorang berjumpa dengan Sumiati yang telah dikuasai kalung aneh itu. Yah, dengan berat hati, aku akan kembali ke dusun Gelagah. Dan mengabarkan berita buruk ini. Tapi Andika...." Sumarta memutus kata-katanya. Setelah menghela napas panjang dia berkata, "Berjanjilah padaku... untuk menyelamatkan adikku. Aku tahu kau seorang yang berilmu, dan kuminta, janganlah kau melukai adikku, Andika. Karena, dia tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya...." Andika menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku berjanji padamu. Aku berjanji untuk menjaga adikmu...." Sumarta tersenyum, lemah.
"Terima kasih, Andika...," katanya. Setelah melihat anggukan kepala pemuda di hadapannya, Sumarta segera melangkah meninggalkan tempat itu. Langkahnya seperti dibebani oleh bandul besi yang cukup berat. Hati pemuda ini retak tak karuan.
Tinggal Andika yang memandang sosok Sumarta yang terus melangkah. Perasaan anak muda da- ri Lembah Kutukan ini pun tak enak ketika memikirkan apa yang dijanjikannya pada Sumarta.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sebenarnya. Tapi, aku akan berusaha untuk menyelamatkan Sumiati...." Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Setelah mengira-ngira arah mana yang harus ditempuh, anak muda berambut gondrong ini sudah melangkah ke arah timur.

****

Pada saat yang bersamaan dari balik sebuah ranggasan semak setinggi dada yang terletak seratus tombak ke timur dari tempat di mana Andika dan Sumarta berada sebelumnya, terdengar suara kikikan, disusul dengan tawa diserati dengusan birahi.
"Ih! Geli, geli! Jangan, jangan itu...," suara kikikan tadi diselingi oleh ucapan-ucapan yang mengembangkan birahi.
"Biar geli, tapi kau suka, kan?" suara seorang pemuda yang bernada tersekat di tenggorokan terdengar.
"Iya, aku suka, suka sekali. Tapi... ih, jangan di situ... ah, geli... geli...."
"Masa bodoh, ah!" Dua remaja yang sedang dimabuk birahi itu semakin diburu oleh birahi yang tinggi. Saat ini, si gadis yang bertubuh sintal dengan payudara cukup besar itu mengelinjang tatkala tangan kekasihnya menjamah payudaranya. Menekan- nekannya sedikit disertai ucapan, "Hayo! Bilang sekarang, geli apa nikmat"!"
"Ih! Kau ini, ah!" seru si gadis dengan wajah memerah, antara malu dan diamuk birahi. Tapi dibiarkan saja tangan nakal kekasihnya itu bermain-main.
Pakaian biru yang dikenakannya sudah terbuka di sana-sini. Kain panjang yang dipakainya sudah tersingkap hingga memperlihatkan bungkahan paha mulus yang gempal. Sementara itu, kekasihnya sudah bertelanjang dada, memperlihatkan betapa bidang dadanya.
Sesekali si pemuda mengecup bibir kekasihnya yang makin lama makin gelisah. Tiga kejapan mata kemudian, disingkapnya kain panjang yang dikenakan kekasihnya. Dan mulailah kedua remaja itu mereguk apa yang sebenarnya bukan menjadi milik mereka, diperhatikan oleh burung-burung yang terbang dan pepohonan yang menjadi saksi bisu.
Dari balik ranggasan semak itu yang kemudian terdengar hanyalah rintihan, kikikan dan dengusan senang. Mereka terus mengayuh sampai terhempas di pesisir pantai disertai tarikan napas panjang. Dua tarikan napas kemudian, keduanya terlentang dengan tubuh polos menghadap langit. Si gadis rupanya masih memiliki rasa malu. Terburuburu diraih kainnya untuk tutupi tubuhnya. Si pemuda hanya melirik sesaat, lalu pejamkan matanya, meresapi apa yang baru saja diraihnya. Dan keduanya sama-sama tersentak kaget, begitu mendengar suara, "Sejak tadi aku tak sabar untuk membunuh kalian, menghirup darah kalian! Tapi, kalian kuberi kesempatan untuk meraih apa yang kalian inginkan lebih dulu." Laksana ditarik setan, masing-masing orang segera tegakkan tubuh walau kedua kaki masih berselonjor.
Dan seperti datangnya bahaya kebakaran, keduanya segera meraih pakaian masingmasing. Mengenakannya asal saja dengan wajah memerah.
Kejap itu pula si pemuda berdiri tegak. Pandangannya tajam pada seorang gadis berpakaian putih agak kusam yang tadi keluarkan suara.
Tatapan gadis itu begitu dingin. Sorotnya pancarkan kematian yang tak bisa ditahan lagi.
"Gadis keparat! Mau apa kau berada di sini, hah"! Apa urusannya denganmu tentang apa yang kami lakukan?" hardik si pemuda dengan wajah masih mendongkol dan malu.
Di lain pihak, kekasihnya sudah tutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak pernah disangkanya, perbuatan yang telah tiga kali mereka lakukan akan diketahui orang. Kendati si gadis tak mengenal siapa adanya gadis yang menegur itu, biar bagaimanapun juga dia merasa malu.
"Meskipun aku tak punya urusan dengan apa yang telah kalian perbuat, tapi aku mencium darah segar! Darah yang bisa membuatku bertahan lebih lama." Sepasang mata si pemuda mendelik gusar. Napasnya mendengus-dengus, masih tersisa sebagian birahinya. Dengan gusar tangannya menuding disertai bentakan, "Pergi dari sini! Atau, kau akan menyesal!!" Gadis berpakaian putih agak kusam yang tak lain Sumiati adanya, menatap tajam. Kalung yang dikenakannya mendadak saja keluarkan sinar hitam yang agak redup.
"Manusia-manusia keparat yang berani menantang Kalung Setan! Lebih baik kau mampus!!" Si pemuda bukanlah sebangsa orang pengecut.
Dia termasuk orang yang berani. Apalagi perbuatan yang telah dilakukannya bersama kekasihnya, perbuatan yang sudah tentu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, diketahui orang lain. Makanya, dia tak dapat lagi kuasai amarahnya.
"Ketimbang kau akan menjadi duri, lebih baik kau yang kubunuh!!" bentaknya meradang.
Kejap itu pula dia melompat kedepan dengan kedua tangan siap mencengkeram leher gadis yang melingkar kalung yang pancarkan sinar hitam. Gerakan yang dilakukan si pemuda hanyalah sebuah naluri saja. Dia yakin kalau kedua tangannya akan dapat mencengkeram leher si gadis. Dan dia tak akan menyesal membunuh orang yang memergoki perbuatannya. Kedua tangannya memang berhasil mencengkeram leher si gadis. Saat itu pula dia berusaha untuk mencekiknya kuat-kuat. Tetapi si gadis hanya tenang-tenang saja, sementara sepasang matanya menatap tajam. Di lain pihak, gadis yang masih mengenakan pakaiannya asal saja, palingkan kepala. Dia terkejut melihat betapa kekasihnya sedang berusaha untuk membunuh gadis yang menegur mereka.
"Kang Surya! Jangan, jangan kau lakukan itu Kang!" serunya keras sambil memburu.
Pemuda yang bernama Surya tak menghiraukannya. Hatinya sudah direjam kemarahan.
Dia makin menambah tenaganya untuk dapat mematahkan leher gadis yang masih berdiri tegak dengan tatapan makin dingin.
Kekasihnya menjadi cemas. Dia berkata terburu-buru, "Kang Surya! Hentikan! Hentikan!"
"Diam kau, Darsih! Gadis celaka ini harus mampus!!" desis Surya keras dengan suara makin sengau. Keringat telah mengaliri sekujur tubuhnya. Tenaganya hampir terkuras.
Dan tatkala menyadari kalau dia belum berhasil mematahkan leher gadis di hadapannya, dia menjadi tersentak sendiri. Untuk beberapa saat pemuda ini seperti melupakan maksudnya.
"Gila! Aku bukan hanya tak dapat mematahkan lehernya, tetapi dia sedikit pun nampak tak kesakitan!" makinya dalam hati dan dikerahkan seluruh tenaganya untuk menjalankan maksud.
Sumiati hanya memandang dingin. Sinar hitam yang terpancar dari kalungnya makin kuat.
Mendadak terdengar suara Sumiati dingin, kejam dan tebarkan hawa kematian, "Aku tak ingin berlama-lama lagi!" Hanya itu ucapan yang terdengar, karena mendadak saja sinar hitam yang terpancar dari bandul kalung yang dikenakannya melesat ke arah jantung Surya.
Si pemuda seketika tersentak, sebelum, kelojotan laksana disengat listrik. Lain halnya dengan si pemuda, lain halnya dengan Darsih.
"Oh! Kang Surya! Kau kenapa, Kang" Kau kenapa"!" serunya panik. Lalu dengan kalap dia menerjang ke arah Sumiati, "Gadis celaka! Siapa kau sebenarnya, siapa kau"!" Tetapi sinar hitam yang terpancar dari kalung Sumiati terpecah menjadi dua. Dan langsung masuk tepat ke jantung Darsih yang kini mengalami hal yang sama dengan kekasihnya.
Sementara kedua orang itu sedang meregang nyawa, Sumiati memejamkan matanya. Kepalanya agak sedikit diangkat. Layaknya orang orgasme, Sumiati nampak agak menggigil penuh nikmat.
Lima kejapan mata berikutnya, sinar-sinar hitam itu lepas dari jantung dua orang korbannya yang seketika jatuh menggelosoh dengan dada bolong! Seluruh kulit kedua orang itu memucat dan tanpa darah! Sumiati masih berada dalam sikap seperti orang mabuk. Lidahnya beberapa kali menjilat bibirnya.
Lalu terdengar ucapannya, "Menyenangkan, sangat menyenangkan...." Tanpa mempedulikan kedua korbannya yang telah menjadi mayat, Sumiati meninggalkan tempat itu. Kalau sebelumnya kalung yang dikenakannya pancarkan sinar hitam, kali ini nampak percikan sinar merah laksana darah.

****



::֍֍ { 7 } ֎֎::

Andika yang sore harinya tiba di tempat itu, harus kerutkan kening saat meneliti keadaan dua sosok tubuh yang dilihatnya.
"Landak dungu! Siapa orang yang telah lakukan tindakan keji seperti ini"!" desisnya setelah memeriksa kedua mayat itu bergantian. Dan anak muda ini terkejut tatkala melihat kalau di balik pakaian yang dikenakan kedua mayat itu, dalam keadaan polos.
"Kutu monyet! Rupanya habis asyik nih! Tapi ya... siapa sih yang tega berbuat kayak begini"!" Anak muda dari Lembah Kutukan ini gelenggelengkan kepalanya. Dan mendadak saja keningnya berkerut. Sepasang matanya menatap tajam tak berkedip pada mayat-mayat itu.
"Edan! Menilik bau hangus jantung masingmasing orang yang masih tercium, aku yakin kalau rentang waktu kematiannya dengan kedatanganku tak terlalu lama.
Tapi, bagaimana bisa darahnya secepat ini mengering" Ini tak masuk akal.
Darah masing-masing orang seperti telah tersedot! Tersedot" Kadal buntung! Masa iya sih tersedot" Siapa yang nyedot"!" Menggeleng-geleng pemuda berambut gondrong acak-acakan ini. Dan dia kembali meneliti kedua mayat itu. Sekarang makin diyakininya kalau darah pada kedua mayat itu mengering sama sekali. Dengan kata lain, kedua mayat itu tak memiliki darah sama sekali! "Monyet pitak! Siapa orang yang suka nyedot darah" Kalau nyedot susu sih enak!" habis ucapannya yang terakhir si urakan ini cengar-cengir sendirian. Dan berkata sendirian pula, "Jangan ngeres. Maksudku susu kambing." Diperhatikannya kembali kedua mayat itu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk segera menguburkannya. Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini hanya membutuhkan waktu singkat untuk menguburkan kedua mayat itu.
Tak ada napas terengah yang terdengar. Tak ada keringat yang keluar.
"Rupanya, ada orang yang suka nyedot darah! Orang yang suka... hei!!" memutus kata-katanya sendiri, Pendekar Slebor terdiam. Sejurus kemudian terlihat wajahnya menekuk persis orang yang telat buang hajat.
Lalu desisnya terbata, "Apakah ini ada hubungannya dengan Kalung Setan" Bukankah saat itu kudengar Sumiati yang telah dipengaruhi Kalung Setan, meminta darah. Darah" Ya, ya! Darah! Sial! Apakah ini perbuatan Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan" Laknat! Sungguh laknat!!" Anak muda urakan ini memaki-maki tak karuan. Hatinya menjadi geram bukan kepalang. Untuk beberapa saat dia masih merasa dibaluri kemarahan tinggi.
"Kerbau bunting! Aku harus segera menemukan Sumiati! Teror yang akan diturunkannya sudah jelas kalung setan akan membahayakan siapa pun juga! Ah, urusan jadi panjang!!" Pemuda urakan ini tarik napas panjang. Ketegangan yang menjabani pikirannya membayang- kan teror yang akan diturunkan oleh Kalung Setan dengan perantara Sumiati, makin membuatnya tak enak. Ditindih rasa tidak enaknya itu dengan pikiran pada hal-hal yang menggembirakan.
"Ketimbang jadi kambing dungu, lebih baik kuteruskan perjalanan saja."
"Ya! Kau benar, anak muda! Sebaiknya kau teruskan perjalanan saja, karena toh tidak akan ada yang mengetahui perbuatan celakamu itu!" satu suara keras yang menggema tanda orang yang bersuara kerahkan tenaga dalamnya, menyelinap di gendang telinga Pendekar Slebor.
Serta-merta anak muda ini hentikan langkahnya. Sejurus kemudian, dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian putih tipis telah berdiri sejarak delapan langkah dari tempatnya. Kehadiran perempuan jelita berpakaian putih tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh serta payudaranya yang tak tertutup apa-apa lagi, membuat anak muda urakan itu kerutkan kening untuk beberapa saat.
Di lain pihak, perempuan jelita yang diperkirakan berusia sekitar empat puluh tahun, pentangkan senyum. Bibir tipisnya yang memerah sungguh memancing perhatian siapapun yang melihatnya. terutama kaum laki-laki. Apalagi tatkala lidahnya dengan gerakan merangsang, menjilati bibirnya. Mata perempuan berhidung mancung dan berkulit putih mulus ini, pancarkan sinar bening yang mengandung daya tarik yang kuat.
"Busyet!" desis Andika dalam hati sambil garukgaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Tidak salah nih" Aku berjumpa dengan bidadari atau sebangsa penunggu tempat ini?" Perempuan berpakaian putih panjang yang tipis itu maju tiga tindak ke muka. Saat melangkah, terlihat pakaian panjangnya yang terbelah hingga pangkal paha, memperlihatkan bungkahan mulus dan gempal paha miliknya.
Glek! Tanpa sadar Pendekar Slebor menelan ludah.
"Kutu monyet! Bisa teler nih kalau aku terus menerus melihat paha yang mulus itu" Dadanya...
wah, wah! Seperti kelapa, bulat dan menantang.
Cihui banget nih sebenarnya! Tapi, siapa sih perempuan ini" Dan apa maksud ucapannya tadi?" Sambil coba menahan gemuruh hatinya dari pemandangan indah yang sukar untuk dilewati, si Urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini berkata, "Perempuan cekap! Kau ini siapa ya" Muncul begitu saja tanpa diketahui! Juga, aku tak mengerti dengan ucapanmu barusan?" Perempuan itu pamerkan senyumnya.
Mau copot rasanya jantung Andika melihat senyuman yang benar-benar merangsang itu (Untungnya, jantung anak muda urakan ini ditempel pakai power glue, jadi nggak copot betulan deh! Apa coba") "Pemuda tampan...," desis si perempuan, suaranya mendayu-dayu, penuh rangsangan kuat.
"Mengapa kau bertanya seperti itu" Seharusnya kau tanyakan pada dirimu sendiri, mengapa kau membunuh kedua orang yang telah kau kuburkan?" Sampai surut satu tindak anak muda berpakaian hijau pupus itu mendengar ucapan orang. Sesaat dia melotot pada si perempuan sebelum mendengus dalam hati, "Enaknya ngomong! Jadi dipikirnya aku yang telah membunuh kedua remaja yang sepertinya habis ehm-ehm itu" Kutu landak!" Kemudian katanya, "Kau pikir, aku yang telah membunuh kedua orang itu?" Si perempuan terkikik, suaranya tetap penuh rangsangan.
"Di tempat ini, hanya kita berdua. Aku sendiri baru datang. Sementara kau sudah sejak tadi.
Bahkan, aku melihat kau yang menguburkan kedua mayat itu. Apakah ini belum jelas sebagai bukti?"
"Monyet pitak! Ucapannya bikin aku tak sabar untuk menjitak kepalanya! Tapi ya sayang. Perempuan ini begitu cantik. Kalau ada benjol di jidatnya, jadi lucu dong!" kata Andika dalam hati. Lalu berkata, "Kau salah besar bila menuduhku seperti itu. Aku juga baru tiba di sini dan sudah dihadapankan pada dua sosok tubuh yang menjadi mayat. Apakah kau...."
"Terlepas dari apakah kau yang membunuh keduanya atau tidak, aku tak peduli!" desis si perempuan penuh rangsangan. Dengan gerakan tak kentara, dia gerakkan kedua bahunya. Hingga payudaranya yang besar dan sangat jelas pada pandangan Andika karena tak mengenakan pelapis apa-apa selain pakaian tipis yang dikenakannya, bergoyang lembut.
Lagi-lagi anak muda berambut gondrong acakacakan ini menelan ludahnya. Dan tatkala menyadari sesuatu dia mendengus.
"Landak bau! Jelas sekali kalau dia coba pengaruhiku dengan tindakan lembut yang sama sekali tak kentara. Dan kurasakan kalau ada pesona magis yang mencoba menarikku dalam lingkarannya." Merasakan ada yang tidak beres, perlahanlahan Andika alirkan hawa murninya agar tak terkena pengaruh pesona yang sedang dilepaskan si perempuan. Terlihat paras si perempuan agak melengak sedikit. Pandangannya yang penuh rayuan itu mendadak menyorot tajam.
"Aneh!" desisnya dalam hati, "Mengapa mendadak saja kurasakan ada hawa yang menolak pancaran mata gaibku untuk mengikatnya. Pemuda yang nampaknya jenaka dan sedikit urakan ini berwajah tampan. Sangat sayang bila kulewatkan kesempatan untuk mendapatkannya. Aku tak peduli apakah memang dia yang telah membunuh kedua orang itu atau bukan. Yang penting... akan kutambah pesona mata gaibku biar dia tahu rasa." Lalu sambil berbicara, perempuan berambut hitam indah dan panjang ini kerahkan pancaran mata gaibnya.
Di seberang, Andika nampak terkesiap. Seluruh darahnya seperti menggumpal pada kepala. Ada dorongan kuat yang seperti memaksanya untuk mendekati perempuan itu.
Namun begitu menyadari kalau keadaan ini tak wajar, Andika mendengus.
"Brengsek! Apa sih yang sebenarnya dilakukan dan diinginkan perempuan itu" Kok nampaknya dia berusaha keras memaksaku untuk masuk pada pesonanya" Brengsek betul! Yang kayak begini, harus diberi pelajaran." Sambil terus kerahkan hawa murninya, anak muda urakan ini berkata sambil kerahkan tenaga dalamnya, "Perempuan berpakaian putih tipis! Kita tak saling kenal sebelumnya. Dan aku... ya, tak ingin kenal siapa kau sebenarnya. Apakah tidak lebih baik kita berpisah saja di sini?"
"Berpisah?" si perempuan tersenyum lembut.
"Untuk apa kita berpisah" Bukankah kita bisa melewati hari ini dengan satu kenikmatan?"
"Wah, wah! Omongannya sedap betul" Enak juga sih kalau sekali-sekali kurasakan apa yang ditawarkannya" Soalnya, aku belum pernah melakukannya. Tapi ya... mbok jangan dulu. Dosa. Tidak baik. Lagi pula, mana bisa aku menikmatinya dengan perempuan seperti ini." Lalu sambil nyengir, Pendekar Slebor berkata, "Kenikmatan bagaimana nih?" Si perempuan makin tersenyum, "Kau akan tahu nanti. Atau, sebenarnya kau berlaku bodoh?"
"Wah!" Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku tidak tahu tuh."
"Kau pandai memancing, Anak muda."
"Aku tak memiliki kail dan umpan."
"Tubuh dan parasmu menjanjikan hal itu."
"Kalaupun kulakukan, bukan, kau ikan yang akan kutangkap." Tak ada suara yang keluar. Paras si perempuan mendadak mengkelap. Pandangannya menjadi tajam. Terlebih lagi tatkala menyadari kalau sejak tadi anak muda itu masih dapat bertahan. Tak terkena pengaruh apa-apa dari pesona gaib pancaran matanya.
"Kurang ajar! Ucapannya benar-benar melecehkanku! Tak pernah kulakukan tindakan seperti ini sebelumnya! Dan siapa pun orangnya, tanpa kucoba untuk memikatnya, akan bersedia menjadi budakku demi nafsu sesaat! Kurang ajar! Siapa pemuda ini sebenarnya?" Sementara si perempuan membatin geram, Andika justru kelihatan tenang-tenang saja. Dia tahu betul kalau ucapannya menyinggung perasaan si perempuan. Tapi baginya, apa yang ada di hadapannya ini bukanlah sesuatu yang menarik, kecuali sebenarnya ingin mengetahui siapa adanya orang. Keheningan itu dipecahkan oleh suara si perempuan, agak geram, "Kau benar-benar telah memancing amarahku, Pemuda celaka! Baik! Kau harus pertanggung jawabkan perbuatan terkutukmu yang telah membunuh kedua orang itu!"
"Lagi-lagi dia menyinggung soal itu. Dan jelas kalau sebelumnya dia memang berada di sini.
Mungkin hanya melihat saat aku mengubur kedua mayat yang entah siapa adanya. Menilik keadaan ini, jelas kalau dia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena, aku tak menyadari kehadirannya. Monyet bau!" Di seberang, si perempuan kembangkan senyumnya.
"Sekarang... bersiaplah untuk mampus! Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Andika langsung.
"Ada dua pilihanmu. Pertama, melewati kenikmatan bersamaku. Kedua, menjawab pertanyaanku." Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu dengan suara agak sewot dia berkata, "Ya jelas aku pilih yang kedua! Enaknya memberi pilihan seperti itu!" Si perempuan nampak berusaha untuk tindih amarahnya. Terlihat dari gerakan matanya yang dicoba untuk tetap bersinar jernih.
"Bila kau dapat menjawab pertanyaanku, maka kau akan bebas," katanya seperti memancing Andika untuk mempertimbangkan keputusannya. Dan ini membuat Andika menjadi jengkel.
"Kok betul-betul enak dia bicara! Dipikirnya aku akan terpengaruh ucapannya" Brengsek!" makinya dalam hati dan berkata agak menyentak, "Cepat deh kalau kau mau bicara!" Si perempuan tersenyum, "Pertama, siapakah kau adanya?"
"Aku?" Andika menunjuk dirinya sendiri.
"Aku ya aku. Namaku Andika."
"Sebutkan julukanmu dan dari mana asalmu?"
"Julukanku Pangeran Tampan dari Kayangan.
Asalku... ya, dari Kayangan." Si perempuan nampak tidak percaya. Tetapi dia sepertinya tak mau ambil peduli.
"Pertanyaanku berikutnya, kenalkah kau dengan seorang kakek berpakaian merah yang berjuluk Datuk Merah?" Kali ini Andika kerutkan keningnya. Untuk beberapa saat dia masih coba untuk rangkaikan pertanyaan si perempuan. Kemudian katanya, "Kakek berjuluk Datuk Merah" Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapakah kakek itu?"
"Aku yang bertanya!!" mendadak saja menggelegar suara si perempuan. Rupanya dia sudah tak dapat menahan amarahnya lagi melihat sikap santai pemuda di hadapannya.
"Dan satu hal yang perlu kau ketahui, bila kau tak bisa mengatakan di mana Datuk Merah berada, maka kau akan mampus di tanganku!" Sebenarnya Andika sudah tak sabar untuk memberi pelajaran pada si perempuan. Namun pemuda tampan ini masih bisa menahan amarahnya.
Sambil tertawa kecil dia berkata, "Ah, kau ini.
Rupanya termasuk golongan orang pemarah juga" Ya jelas aku tahu di mana Datuk Merah berada.
Tapi ya... kenapa sih kau menanyakannya" Apa kau ingin minta duit buat jajan ya?"
"Jangan banyak tanya! Katakan, di mana kakek itu berada"!" Asal menyahut saja Andika berkata, "Di mana lagi kalau bukan di Jurang Trah Gering"!" Mendengar jawaban si pemuda, perempuan berpayudara besar itu kerutkan keningnya. Sejurus kemudian dia berkata, "Jurang Trah Gering" Ada urusan apa dia di tempat itu?"
"Masa kau tidak tahu sih" Ya jelas dia sedang menunggumu di Jurang Trah Gering."
"Oh! Benarkah?" sahut si perempuan dengan pancaran mata penuh bahagia. Bibirnya mengulas senyum ceria. Andika yang tak menyangka akan melihat perubahan wajah yang menjadi gembira itu, sesaat menjadi keheranan.
"Busyet! Perempuan ini benar-benar sukar ditebak apa maunya. Kok dia jadi seperti anak kecil yang diberi gula-gula?" desisnya dalam hati.
Didengarnya lagi suara si perempuan yang agak memburu, "Apa, apa lagi yang dikatakannya?"
"Katakan apa?" Andika berlagak tidak tahu, padahal dia tengah memikirkan mengapa sikap si perempuan berubah tatkala dia mengatakan tentang orang yang ditanya. Padahal sungguh mati, mengenal julukannya saja baru sekarang! "Tentang diriku!" sahut si perempuan makin tak sabar. Andika sengaja tak buka mulut. Diperas otaknya untuk menjabarkan sebab-sebab si perempuan begitu gembira.
"Jelas sekali kalau sebenarnya perempuan berpayudara besar ini sedang mencari orang berjuluk Datuk Merah. Mencari dalam arti bukan sebagai musuh, melainkan... mungkin sebagai kekasihnya.
Terbukti sikapnya yang begitu bergembira. Hem, ketimbang dia jadi urusanku sebaiknya kuteruskan saja ucapanku." Lalu sambil tersenyum, si Urakan ini berkata, "O... soal itu. Dia begitu tak sabar hendak bertemu denganmu. Katanya, kau adalah perempuan yang paling dicintainya dan paling cantik sedunia." Paras si perempuan memerah.
"Benar dia berkata begitu?" Andika mengangguk sambil acungkan jcmpolnya.
"Ah, kekasihku... sebentar lagi kita akan bertemu. Katakan, katakan di mana Jurang Trah Gering berada?"
"Wah! Kalau dari sini, aku tak begitu paham.
Tapi ya... kau silakan saja menuju ke barat."
"Ya, ya... aku akan ke barat!" sahut si perempuan tetap dengan bibir semringah.
Habis ucapannya, perempuan berpakaian putih tipis ini segera berkelebat.
Andika berseru, "Hei! Aku belum tahu siapa kau adanya"!"
"Panggil aku dengan sebutan Dayang Gunung Putih!" sahut si perempuan dan dalam dua kejapan mata berikutnya, sosoknya telah lenyap dari pandangan. Andika geleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh! Sikapnya tadi penuh rangsangan, buaian sekaligus kemarahan. Tapi setelah mendengar tentang Datuk Merah yang sama sekali tak kuketahui siapa dia adanya sikapnya jauh berubah. Hem, tentunya dia adalah kekasih orang berjuluk Datuk Merah yang sudah sekian lama tak berjumpa. Atau karena dia sudah ngebet buat ehm-ehm?" Andika nyengir sendiri membayangkan katakata yang diucapkannya terakhir.
"Masa bodoh, ah! Itu kan urusannya! Urusanku adalah mencari Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan. Dan nampaknya urusan tentang Kalung Setan belum berkembang, karena terbukti belum ada orang yang mencari benda itu. Tapi paling tidak, aku yakin teror Kalung Setan akan semakin banyak memakan korban.", Setelah tarik napas pendek, anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat ke arah timur.
Meninggalkan tempat itu yang seketika lembah direjam sepi. Meninggalkan dua gundukan makam orang-orang yang terkena teror Kalung Setan.

****



::֍֍ { 8 } ֎֎::

Senja yang terus memayungi dan siap menjemput sang ratu malam, pun menggayuti suasana di Jurang Trah Gering. Datuk Merah yang masih berusaha meneruskan pencariannya terhadap Kalung Setan namun belum juga menemukan tandatanda yang berarti, hentikan pencariannya.
Paras kakek berwajah tirus ini sudah dibuncah kegeraman tinggi. Hatinya begitu mangkel.
"Terkutuk! Sejak tadi pagi aku mengitari tempat celaka ini, tapi belum juga mendapatkan Kalung Setan! Jahanam sial! Nasibku memang sedang sial!" Datuk Merah meneruskan umpatannya dengan kemarahan yang tak terkira. Tatkala teringat pada Datuk Biru, kemarahan itu rasanya sudah tak bisa ditahan lagi.
"Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" desisnya megap-megap dengan tangan terkepal. Setelah sebelumnya, semalaman dia berharap Datuk Biru akan muncul kembali di tempat di mana sebelumnya dia melihat Datuk Biru berada, Datuk Merah langsung putuskan untuk segera turun ke Jurang Trah Gering tatkala matahari sudah pancarkan bias-biasnya di ufuk timur. Karena, dia merasa Datuk Biru sudah mengambil jalan lain untuk tiba di Jurang Trah Gering.
Mencari sesuatu yang tidak diketahui tempatnya memang bukanlah perbuatan yang menyenangkan. Tetapi kakek berwajah tirus ini tak mau menyerah. Keinginannya untuk mendapatkan Kalung Setan dan tak mau didahului oleh Datuk Biru memperkeras tekadnya. Dan dia berharap, dapat kembali melihat Datuk Biru di Jurang Trah Gering.
"Jahanam! Apakah aku harus bermalam di tempat celaka ini"!" makinya dengan tatapan dingin pada satu tempat.
"Huh! Sejak pagi hingga senja di mana tempat ini cukup diberi penerangan oleh sinar matahari, aku belum juga dapat menemukan Kalung Setan. Apalagi bila malam hari" Keparat! Sungguh perbuatan sia-sia yang kulakukan ini!!" Kendati mulutnya berbunyi tak karuan, namun Datuk Merah tak segera tinggalkan tempat itu. Matanya dipicingkan ke berbagai arah. Pertama, untuk menangkap isyarat dari Kalung Setan yang diyakininya akan memancarkan sinar hitam hingga dapat dijadikan sebagai patokan di mana kalung itu berada. Kedua, mencari bayangan Datuk Biru yang sangat diharapkannya.
Setelah beberapa lama tak mendapatkan apa yang diinginkannya, Datuk Merah segera melangkah kembali. Matanya terus dibuka lebih lebar. Malam pun akhirnya memayungi sekitar Jurang Trah Gering, bertepatan dengan mata Datuk Merah tertuju pada sebuah gubuk yang agak terhalang oleh sebuah pohon.
Untuk beberapa saat kakek berpakaian merah ini terdiam tanpa melanjutkan langkahnya.
"Hemm, ada sebuah gubuk di sini. Gubuk siapakah itu" Dari sini nampaknya cukup nyaman untuk dijadikan sebagai tempat beristirahat. Paling tidak, tempat itu akan kupergunakan untuk menunggu pagi kembali." Memutuskan demikian, Datuk Merah segera melangkah mendekati gubuk yang bukan lain milik Sumarta. Diperhatikan sesaat tempat itu. Setelah diyakini tak seorang pun yang berada di sana, kakek berpakaian merah ini segera masuk.
"Hem, tempat yang lumayan untuk beristirahat," desisnya. Hanya sekali lompat tanpa timbulkan suara, dia sudah duduk di atas dipan yang ada di dalam gubuk itu.
Ditarik napas dan dihembuskannya perlahan.
Datuk Merah memutuskan untuk bersemadi sejenak.
Perlahan-lahan dikosongkan pikirannya dan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Namun baru saja dia lakukan, pendengarannya yang tajam menangkap suara berkelebat.
Menegak kepala kakek berwajah tirus ini.
"Dari gerakannya, jelas kalau gerakan itu tak mungkin ditimbulkan oleh hewan tempat ini. Gerakan itu adalah gerakan seseorang yang memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi," desisnya dalam hati. Dan kegeramannya mendadak saja muncul.
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan Datuk Biru"!" makinya dan saat itu pula dia melompat keluar.
Pandangannya menyapu tempat yang telah diliputi kegelapan. Dipicingkannya mata untuk menangkap bayangan orang.
Tiga kejapan mata kemudian, dia melihat bayangan putih berkelebat ke arahnya.
Kening Datuk Merah berkerut.
"Bayangan putih" Rasanya... orang itu bukanlah Datuk Biru. Agar jelas semuanya, sebaiknya kutunggu orang itu sampai mendekat." Dengan kedua kaki sedikit dibuka dan tangan disedekapkan di depan dada, Datuk Merah menunggu dengan mata tetap dipicingkan.
Di lain pihak, bayangan putih yang berkelebat tadi juga sudah melihat sosoknya, Kejap itu pula si bayangan putih hentikan kelebatannya.
"Dari tempat ini, aku agak samar untuk melihat siapa adanya orang yang berdiri di depan gubuk itu. Tapi menurut pemuda berpakaian hijau pupus, aku bisa menemukan Datuk Merah di Jurang Trah Gering. Dan dari orang yang kutanyakan, tempat inilah yang dinamakan Jurang Trah Gering. Biar kucoba keberuntunganku sekarang." Memutuskan demikian, si bayangan putih perlahan-lahan mendekat. Dari jarak enam langkah mendadak saja dia berseru, "Kekasih!" Telinga Datuk Merah menegak sesaat. Sejurus kemudian dia berseru, "Dayang Gunung Putih!" Si bayangan putih yang bukan lain adalah perempuan jelita berpakaian putih tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh indahnya, segera melompat mendekat dengan pekikan gembira. Dia langsung merangkul kakek berpakaian merah itu."
"Kekasih... ke mana saja kau selama ini?" desisnya penuh kerinduan sambil menciumi paras keriput Datuk Merah.
Di lain pihak, Datuk Merah sendiri menyambut kehadiran perempuan itu dengan gembira. Bahkan sambil tertawa-tawa senang dia membalas merangkul dan menciumi si perempuan yang dari tubuhnya menebarkan aroma merangsang.
"Hahaha... tak kusangka akan berjumpa lagi denganmu, Kekasih!" desisnya dan tangannya dengan liar menjamah serta meremas payudara besar milik Dayang Gunung Putih, yang sedikit menggelinjang namun hanya membiarkan saja.
"Bawa aku ke surga, Kekasih... bawa aku segera...," desisnya sambil menggeliat.
Datuk Merah yang sedang jengkel karena belum juga menemukan Kalung Setan dan jejak Datuk Biru kembali, sambil tertawa segera membopong tubuh lembut yang menggairahkan itu. Saat dia mengangkat tubuh Dayang Gunung Putih, pakaian panjang si perempuan yang terbuka hingga pangkal paha terbuka turun dan memperlihatkan sesuatu yang membuat dada Datuk Merah makin berdebar tak menentu.
Tanpa membuang waktu lagi, dia segera masuk ke gubuk dan merebahkan tubuh Dayang Gunung Putih ke atas dipan. Lalu mulailah dia mencium serta meraba apa yang ada di hadapannya. Terdengar suara mengikik penuh kerinduan dan rangsangan dari mulut Dayang Gunung Putih.
Dan yang terdengar kemudian, hanyalah suara merintih dan napas mendengus-dengus. Ditemani malam yang dingin dan suara hewan-hewan malam, keduanya terus berpacu untuk tiba di pantai terakhir. Waktu bergulir perlahan-lahan seiring dengan tarikan napas panjang. Sampai akhirnya terdengar suara Datuk Merah agak terengah, "Tak kusangka... kita akan bertemu lagi."
"Ya, ya... dan aku sangat rindu padamu. Kau tak pernah lagi memberi kabar padaku. Kau langsung pergi setelah perjumpaan kita dulu...." Terdengar suara Dayang Gunung Putih yang memejamkan matanya.
Tubuhnya yang polos dibiarkan terbuka. Napasnya agak turun naik hingga payudaranya yang besar bergoyang lembut.
Tangan kurus Datuk Merah menjamah payudara si perempuan sebelah kanan.
Meremasnya lembut hingga terdengar desisan Dayang Gunung Putih.
"Kau selalu pandai memberi kepuasan kepadaku," desisnya sengau.
"Itulah sebabnya, aku tak bisa bertahan lama bila tidak bersamamu...."
"Bukankah kau bisa mencari pemuda atau lelaki lain untuk memuaskan nafsumu?" ucap Datuk Merah tanpa ada rasa cemburu sedikit pun.
Dayang Gunung Putih membuka matanya.
Mengerling genit dan berkata, "Ah, kau membuatku tidak enak. Biarpun aku melakukannya, tetapi aku tak pernah mendapatkan apa yang kudapatkan bila bersamamu...." Datuk Merah tertawa dan bangkit mengenakan pakaiannya lagi.
"Kau hendak ke mana?" tanya Dayang Gunung Putih sambil duduk di atas dipan. Tubuhnya yang polos laksana mutiara yang bersinar indah. Berpijar bagaikan terkena sinar redup. Datuk Merah melirik sejenak. Ada keinginan untuk mengulangi lagi apa yang didapatkannya.
Namun keinginan untuk mendapatkan Kalung Setan kembali muncul. Membuatnya melupakan untuk bersemadi dan meninggalkan sesaat kenikmatan yang baru diraihnya. Kepalanya menggeleng.
"Aku tidak ke mana-mana."
"Lantas, mengapa kau mengenakan pakaianmu" Bukankah biasanya kita melakukan sampai beberapa kali?" Datuk Merah tersenyum.
"Sudah tentu iya." Tangan lembut Dayang Gunung Putih menggapai lembut bahunya.
"Sekarang, mengapa kau tidak melakukannya lagi?"
"Masih ada waktu lain."
"Mengapa?" Kali ini pandangan Datuk Merah menajam. Ada kemuakan yang mendadak muncul melihat sikap perempuan yang tak pernah puas ini. Biar bagaimanapun juga, Datuk Merah bukanlah orang yang dapat diperbudak nafsu. Tidak seperti si perempuan.
Tetapi, dia tak lontarkan umpatan. Malah berkata, "Karena... aku masih punya sedikit urusan." Kendati wajahnya menyiratkan kekecewaan, namun Dayang Gunung Putih tersenyum. Perempuan ini sangat mencintai Datuk Merah.
Bahkan dia akan melakukan apa saja demi kepuasan orang yang dicintainya.
Bila menilik jauhnya perbedaan usia antara dirinya dengan Datuk Merah, tak seharusnya Dayang Gunung Putih memiliki sikap seperti itu.
Tetapi ya namanya cinta" Tanpa mengenakan pakaiannya kembali dia berkata, "Bila kau tak keberatan, maukah kau menceritakan tentang urusanmu itu?" Datuk Merah terdiam, hanya matanya yang memandangi perempuan jelita di hadapannya.
"Kesaktian perempuan ini cukup tinggi. Dan dia juga memiliki kepatuhan yang luar biasa terhadapku. Tak mungkin dia jauh-jauh ke tempat ini untuk mencariku, bila dia tidak mencintaiku. Apakah... hei, dari mana dia tahu aku berada di sini?" Merasa heran dengan keadaan itu, Datuk Merah lontarkan pertanyaannya yang disahuti Dayang Gunung Putih sambil tersenyum, "Seorang pemuda tampan bernama Andika mengatakan semua ini. Bahkan dia mengatakan, kalau kau merindukanku. Apakah kau benar merindukanku?" Datuk Merah tak segera menjawab. Malah keningnya berkerut.
"Pemuda bernama Andika" Siapa dia" Apa yang dimaksudnya" Rasa-rasanya... aku belum mengenal pemuda itu. Tapi, bagaimana dia bisa tahu aku berada disini" Dan ucapan Dayang Gunung Putih tadi, pemuda itu mengatakan kalau aku merindukan perempuan ini" Bah! Urusan apa lagi ini! Kalaupun aku mau, karena aku membutuhkan pelampiasan terhadapnya!" Tetapi sudah tentu Datuk Merah tak ungkapkan apa yang menjadi keheranannya. Malah sambil tertawa dan meraba payudara yang terbuka menantang itu dia berkata, "Sudah tentu aku sangat merindukanmu."
"Oh! Aku harus berterima kasih pada pemuda itu!" desis Dayang Gunung Putih sambil merangkul Datuk Merah.
Kendati perasaannya mulai diliputi kejengkelan, tetapi Datuk Merah membiarkan saja tubuhnya dirangkul seperti itu.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Bukankah kau hendak mendengar urusanku?" Perlahan-lahan Dayang Gunung Putih lepaskan rangkulannya. Sambil tersenyum dia berkata, "Apakah aku harus berpakaian saat mendengarkan ceritamu, atau polos seperti ini?" Datuk Merah mendengus dalam hati.
"Kenakan pakaianmu." Sementara Dayang Gunung Putih kenakan lagi pakaiannya yang sebenarnya tak bisa untuk tutup tubuhnya. Datuk Merah menceritakan apa yang sedang dilakukannya. Paling tidak, kakek berwajah tirus ini berharap, agar kiranya Dayang Gunung Putih dapat membantunya. Atau tepatnya, dijadikan sebagai kaki tangannya untuk tuntaskan urusan.
"Kalung Setan?" desis Dayang Gunung Putih selesai si kakek bercerita.
"Kalung apakah itu" Aku baru kali ini mendengarnya?"
"Kau pikirkanlah tentang sebuah benda sakti yang sangat hebat. Tetapi yang harus kau pikirkan sekarang, adalah mencari Datuk Biru untuk dibunuh. Kakek keparat itu telah melukai perasaanku!" kata Datuk Merah sengit.
"Bukankah kalian bersahabat?"
"Lain dulu lain sekarang! Aku ingin melihatnya mampus dengan tubuh tak terbentuk!" Dayang Gunung Putih merangkul si kakek dengan penuh kebahagiaan dan kerinduan.
"Tak perlu kau cemaskan soal itu. Tak lama lagi, kakek keparat itu akan mampus, Kekasih!" desisnya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Datuk Merah.
"Hem, bagus. Memang tak kusangka kalau aku akan bertemu dengannya. Dan tak kusangka pula kalau dia masih mencariku. Hem, cinta perempuan ini padaku memang besar." Kendati hatinya berkata demikian, tetapi mulutnya berbunyi, "Aku tak ingin melibatkanmu dalam urusan ini sebenarnya."
"Jangan merasa berat hati, Kekasih. Untukmu, aku akan melakukan apa saja. Tak terkecuali membunuh Datuk Biru." Datuk Merah tersenyum dalam hati. Tetapi dia memasang wajah menolak "Tidak usah. Biar aku yang...." Tangan lembut Dayang Gunung Putih telah menekap mulutnya. Sambil tersenyum dia berkata, "Jangan berkata begitu. Kau akan melihat bukti dari ucapanku." Datuk Merah mengangguk-angguk. Di otaknya telah terpikir satu rencana yang menurutnya sangat matang.
"Kalau begitu... apakah kau bersedia menjalankan rencanaku?" tanyanya kemudian.
Lalu buruburu menyambung, "Tetapi aku tak akan marah bila kau menolaknya."
"Kekasih... sejak semula kau tentunya tahu bukan, kalau aku bersedia melakukan apa saja untukmu. Tak perlu kau memikirkan hal-hal lain.
Katakan padaku, apa rencanamu." Datuk Merah memandang perempuan di hadapannya, yang segera menganggukkan kepalanya. Dengan hati dibuncah tawa membahana, Datuk Merah menceritakan semua rencananya. Bahkan dia menyinggung tentang Andika.
"Apa hubungannya dengan pemuda bernama Andika?" tanya Dayang Gunung Putih di sela-sela Datuk Merah menceritakan segala rencananya.
"Aku ingin tahu, sebenarnya dia berpihak pada siapa," kata Datuk Merah yang merasa yakin kalau dia tidak mengenal atau pernah bertemu dengan pemuda bernama Andika. Dan yang dikhawatirkannya, kalau pemuda itu adalah orang Datuk Bi- ru. Mendengar cerita Dayang Gunung Putih sebelumnya, Datuk Merah yakin kalau pemuda itu bukan orang sembarangan.
Di lain pihak, Dayang Gunung Putih tak segera buka mulut. Diperhatikannya Datuk Merah dengan seksama.
Lalu dia ajukan tanya, "Siapakah sebenarnya pemuda itu?" Datuk Merah buru-buru berkata, "Seperti pengakuannya. Dia adalah sahabatku."
"Mengapa kau mencurigainya?"
"Dalam suasana seperti ini, sepatutnya kita mencurigai orang yang belum kita kenal secara akrab. Kau paham maksudku, bukan?" Dayang Gunung Putih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bertekad untuk memperlihatkan bukti atas cintanya pada kakek berpakaian merah ini. Lalu sambil tertawa, dia membuka lagi pakaiannya, "Apakah kau akan melewati malam dengan segala rencana dan udara dingin seperti itu?" Datuk Merah menyambutnya sambil tertawa dan merebahkan kembali tubuh montok Dayang Gunung Putih.

****



::֍֍ { 9 } ֎֎::

Malam terus merambat dengan segala dingin dan gelisah alam. Dan kegelisahan itu pun dirasakan oleh seorang lelaki berjubah putih panjang.
Wajahnya nampak agak menegang. Pikirannya melayang dan yang merasuk hanyalah hal-hal yang tak menyenangkan.
"Aneh," desisnya tanpa mengubah duduknya dari sebuah batu berbentuk altar. Anehnya, dia berada di .sebuah tempat yang terbuka. Membiarkan tubuhnya didera dingin dan kesunyian. Hanya hewan-hewan malam yang menemaninya.
"Mengapa malam ini kurasakan lain dari malam-malam sebelumnya" Apakah akan ada sesuatu yang terjadi, atau hanya perasaanku saja yang mengatakan demikian?" Lelaki berwajah bijak kelimis ini tarik napas pendek. Rambutnya yang hitam panjang tertiup angin, hingga makin tak beraturan.
Pandangannya dibawa ke depan, menatap kegelapan semata. Jauh dari tempatnya, terdapat hutan yang sangat lebat. Lelaki ini picingkan matanya.
"Tak ada sesuatu yang nampak di pelupuk mataku selain kegelapan. Tapi rasa gelisah makin membesar di hatiku. Pertanda apakah ini?" Lelaki berjuluk Pendekar Kebajikan ini kembali tarik napas pendek. Dua puluh tahun yang lalu, julukannya sangat dikenal orang sebagai pendekar yang banyak membela kebenaran. Tindak tanduknya begitu santun dan tak sekali pun dia pernah mengucapkan kata-kata kasar.
"Apakah kegelisahanku ini pertanda dia akan datang?" desisnya lagi. Menyusul kepalanya digeleng-gelengkan.
"Tidak. Tak mungkin dia akan datang sekarang. Aku sangat tahu kalau dia selalu meninggikan perjanjian yang telah diucapkan. Masih ada waktu satu purnama lagi untuk tuntaskan urusan lama. Kalau bukan dia yang datang, lantas mengapa perasaanku kian gelisah?" Pendekar Kebajikan terdiam kembali. Mulutnya dirapatkan. Di angkasa, timbunan awan hitam tak bergeser dari tempatnya. Menghalangi sinar rembulan yang menjadi redup.
Sejarak seratus tombak dari kirinya, terdapat sebuah dusun permai yang asri dan damai. Namun malam ini, petaka telah mendatangi dusun itu. Seorang gadis jelita berpakaian putih agak kusam, telah datang dan menteror seisi dusun itu dengan sinar-sinar hitam yang meluncur dari kalung yang dikenakannya.
Dusun yang tenang itu pun tertimbun gelombang teriakan dan jeritan. Banyak korban berjatuhan. Beberapa orang masih berusaha menyelamatkan diri, keluarga dan sebagian hartanya. Namun mereka menerima nasib naas karena gadis jelita itu tak memberi ampun lagi.
Hanya dalam waktu singkat saja, dusun itu telah porak poranda dengan mayat bergeletakan. Beberapa mayat tewas dengan tubuh memucat tanda darahnya telah mengering.
Sementara si gadis yang tak lain adalah Sumiati yang telah dikuasai oleh Kalung Setan, segera meninggalkan dusun yang telah dihancurkannya sambil terkikik panjang.
Kembali ke tempat luas di mana sosok Pendekar Kebajikan masih duduk dengan dibuncah pikiran, lelaki berjubah putih itu tetap berpikir keras untuk mencari kejelasan dari pikirannya yang benarbenar gelisah.
"Tak seperti biasanya keadaanku seperti ini.
Apakah memang akan terjadi sesuatu yang buruk?" desisnya lagi. Lalu dia menghela napas panjang.
"Dua puluh tahun aku hidup di padang ini tanpa gangguan apa pun. Bahkan tak pernah terlintas sebuah kegelisahan seperti saat ini. Dan kalaupun sekarang perasaanku makin tak enak, jelas ini pertanda buruk. Apakah memang dia yang akan datang?" Lagi-lagi Pendekar Kebajikan mencoba memikirkan kemungkinan demi kemungkinan.
"Walau dia selalu menepati janji, bisa jadi dia sudah tak sabar untuk bangkitkan kembali persoalan lama. Tapi, apakah memang ini penyebabku gelisah?" Angin malam terus berhembus dingin, membelai seluruh tubuhnya dan membuat jubahnya sedikit berkibar-kibar.
Mendadak saja dengan gerakan yang tak terlihat, tahu-tahu sosok lelaki berjubah putih ini sudah berdiri di atas tanah. Kali ini pandangannya dibawa berkeliling.
"Ketimbang aku diperbudak oleh rasa gelisahku, lebih baik aku segera menyelidik. Sudah cukup lama aku berada di sini dan sudah saatnya untuk menengok dunia luar." Tetapi dia tak segera lakukan maksud. Justru dia menimbang-nimbang lagi apa yang akan dilakukannya.
Dua kejapan mata kemudian terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Sudah saatnya bagiku untuk tinggalkan tempat ini. Kalaupun dia datang sekarang, bukan salahku karena tak menyambut atau menyalahi janji. Karena, masih ada waktu satu purnama mendatang untuk tuntaskan segala urusan," katanya pasti.
Namun kejap itu pula dia mendesis, "Tapi, apakah ini perlu kulakukan?" Dipikirkannya lagi keputusannya itu. Ditimbangkan baik-baik sampai terlihat dia anggukkan kepala.
"Satu purnama mendatang, aku akan kembali ke tempat ini." Memutuskan demikian, dengan membawa rasa gelisahnya, Pendekar Kebajikan segera melangkah meninggalkan padang itu. Tanpa sekali pun berpaling.
Tepat matahari sudah sepenggalan, Pendekar Slebor hentikan langkahnya disebuah jalan setapak. Untuk sesaat anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini perhatikan sekelilingnya.
Kejap kemudian dia berkata sambil garuk-garuk kepalanya, "Aku masih penasaran untuk mengetahui siapa sesungguhnya Dayang Gunung Putih" Sebelumnya, nampak sekali kalau dia coba pengaruhku dengan pesona gaibnya yang memang sangat sulit ditepiskan. Tapi ya... setelah kujawab pertanyaannya, kok dia seperti anak kecil ya" Kenapa ya" Kenapa?" Tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri, Andika nyengir.
"Mungkin orang berjuluk Datuk Merah itu memang kekasihnya, dan dia sudah lama tak berjumpa dengan kekasihnya. Dooo... begitu bersemangatnya" Tapi ya... kalau soal cinta sih, semua orang juga akan begitu. Cuma aku sajakah yang tidak begitu. Apa ini... huh! Siapa orangnya yang mau denganku, sih"!" Makin lebar cengiran di bibir anak muda berpakaian hijau pupus ini.
"Bodoh betul kalau gadis-gadis tidak mau denganku yang tampan bin keren kayak begini!" Dari cengirannya tadi, Andika mendadak tertawa keras. Merasa lucu dengan ucapannya sendiri.
Dan mendadak saja tawanya terhenti, tatkala angin timur bergerak ke arahnya. Kejap itu pula nampak cuping hidungnya bergerak-gerak karena mencium bau yang tidak sedap, bau yang terbawa angin.
"Busyet! Bau apa ini?" desisnya dengan kening berkerut.
"Kayak bau bangkai! Tapi bangkai apa yang baunya sangat menyengat" Di sekelilingku hanya terdapat ranggasan semak belukar dan pepohonan. Tak ada tanda-tanda ada bangkai di sini" Jangan-jangan...." Anak muda urakan ini garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kejap kemudian dia mendengus, "Landak mati! Bau busuk yang terbawa angin ini datangnya dari arah timur! Berarti... ada bangkai di sana! Dan rasanya... bukan bangkai hewan! Melainkan... mayat manusia!" Pendekar Slebor sampai surut satu tindak setelah tiba pada kesimpulan pikirannya. Untuk beberapa saat dia masih termangu memikirkan kemungkinan itu.
Lalu desisnya terbata, "Jangan-jangan... mayatmayat itu dibunuh oleh Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan" Tapi ya... aku tak boleh ambil kesimpulan langsung seperti itu. Bisa jadi kalau bau busuk yang kemungkinan berasal dari mayatmayat disebabkan karena wabah penyakit. Wah! Bisa-bisa aku yang akan kena penyakit!" Tapi wabah penyakit atau bukan, Andika sudah berkelebat ke arah timur untuk membuktikan dugaannya. Dan pemuda tampan ini harus menggeram keras dengan rahang merapat tatkala melihat apa yang ada dihadapannya.
"Terkutuk! Terkutuk! Siapa orang yang telah lakukan pembantaian keji seperti ini"!" desisnya dengan mata membeliak lebar. Hawa amarah mendadak saja naik ke ubun-ubunnya membuatnya tak melakukan tindakan apa-apa.
Bahkan dia sampai lupa untuk menahan napas dari bau busuk yang menyengat! Lalu hati-hati Andika melangkah, melewati satu mayat ke mayat lain. Dan dia kembali menggeram setelah melihat beberapa mayat yang tewas dengan tubuh memucat.
"Menilik keadaan ini, tak bedanya dengan dua sosok mayat yang kulihat sebelumnya. Dan ini jelas perbuatan Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan! Celaka tujuh belas setengah! Seperti apa yang kukhawatirkan, kalau Kalung Setan itu akan lepaskan teror! Terkutuk! Terkutuk!!" Untuk beberapa saat Andika masih dibawa kemarahan di hatinya. Tangan anak muda ini mengepal kuat. Matanya menatap liar mayat-mayat itu satu persatu.
"Monyet pitak! Bila terus menerus seperti ini, apa jadinya kehidupan ini kelak" Aku harus hentikan tindakan kejam Kalung Setan!" Masih dibawa rasa amarahnya, Andika mengumpulkan mayat-mayat itu dengan hati nelangsa. Nuraninya seperti disayat-sayat menyaksikan keadaan di hadapannya.
''Aku harus hentikan tindakan Sumiati! Harus, kendati apa pun yang terjadi!!" desisnya geram.
Dan dengan gerakan yang sangat cepat, Andika merubuhkan rumah-rumah yang berada di sana, untuk dijadikan sebagai kuburan mayat-mayat yang berserakan.
Suara gegap gempita saat itu pula terdengar, diiringi teriakan-teriakan geram Pendekar Slebor.
Cukup lama dia melakukan tindakan seperti itu, sampai semua mayat-mayat yang ada di sana tertindih reruntuhan rumah, dan menjadi kuburan teraneh yang pernah terjadi.
Ditarik napasnya dalam-dalam, dihapus keringatnya dengan punggung tangannya.
"Jalan satu-satunya untuk hentikan tindakan kejam Sumiati, adalah dengan cara merebut Kalung Setan! Entah kalung siapa itu sebenarnya dan masih kupikirkan, mengapa kalung itu bisa mempengaruhi orang" Jelas ini ada rahasianya! Dan aku bertekad untuk memecahkan rahasia itu!" Dengan napas masih megap-megap, Andika mencoba memikirkan apa yang masih menjadi tanda tanya. Namun dia tak bisa menemukan jalan keluar dari pikirannya. Dan ini membuatnya sangat gemas bukan main! "Kerbau bunting! Orang utan! Berpikir terus menerus akan membuang waktu! Bisa jadi Sumiati akan terus lancarkan teror mengerikannya!!" Andika coba tenangkan jalan pikirannya. Diatur napasnya setenang mungkin. Setelah pikiran jernihnya hinggap kembali di benaknya, diperhatikan gundukan bangun rumah yang telah hancur dan menimbun mayat-mayat yang tadi dikumpulkannya.
"Aku harus bergerak cepat sebelum terlambat.
Dua kali aku telah kecolongan. Mungkin, bukan hanya dua kali. Tetapi entah sudah beberapa kali, karena aku tak mengetahuinya! Monyet pitak! Akan kujitak kepala Sumiati!" Habis mendesis demikian, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini, segera balikkan tubuh. Kejap itu pula dihentikan langkahnya dengan kepala menegak. Pandangannya lurus pada satu sosok tubuh berjubah putih yang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari tempatnya!

****



::֍֍ { 10 } ֎֎::

Sebelum Andika terbebas dari keterkejutannya, orang yang telah berdiri di hadapannya sudah membuka mulut, "Kesabaran adalah jenjang terbaik baik seseorang untuk lakukan satu tindakan. Karena dengan kesabaran, maka akan tersimpan nurani kebaikan yang dapat mempertimbangkan segala perbuatan. Anak muda, dari paras wajahmu, aku melihat kalau kau berada dalam kegeraman. Apakah kau sudah memikirkan tindakanmu selanjutnya?" Di tempatnya Andika masih terdiam. Pandangannya masih tertuju pada lelaki berjubah putih yang barusan buka suara.
"Dari ucapannya, jelas kalau dia orang baikbaik. Dan dari cara munculnya yang tak kuketahui, jelas kalau dia bukanlah orang sembarangan.
Hem, siapa dia sebenarnya?" Lalu sambil nyengir, si Urakan ini berkata, "Wah! Memang betul tuh apa yang kau katakan! Aku memang sedang geram! Tapi sekarang sudah tidak lagi, kok. Ngomong-ngomong... ini kalau kau tidak keberatan ya, boleh aku tahu siapa kau adanya" Sebangsa jin atau orang" Kok aku tidak tahu kau datang ke sini sih?" Lelaki berjubah putih yang bukan lain Pendekar Kebajikan adanya tersenyum. Angin pagi mengibarkan jubah bagian bawahnya.
"Cara bicara pemuda ini sungguh jenaka, terkandung sedikit kekonyolan yang sebenarnya dapat memancing tawa. Dan nampaknya dia cepat sekali berubah. Tadi kulihat dia masih dilingkupi kegeraman, tetapi sekarang sudah bersikap seperti itu. Jelas kalau sifat jenaka adalah sifat aslinya." Habis berkata demikian, Pendekar Kebajikan berkata, "Bila kau ingin tahu siapa aku adanya, panggil aku dengan sebutan Pendekar Kebajikan."
"Sebuah julukan yang mulia. Dan sudah barang tentu orang-orang rimba persilatan tak akan menjulukinya seperti itu bila dia bukan orang bijak," kata Andika dalam hati. Lalu katanya, "Pendekar Kebajikan, sangat senang berkenalan denganmu.
Tapi ya... aku tak bisa berlama-lama di sini, karena masih ada urusan lain." Kembali Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku pun tak bisa berlama-lama di tempat ini, karena aku juga mempunyai satu urusan. Dan kau sudah mengetahui siapa aku adanya. Apakah tidak sebaiknya kau sebutkan siapa dirimu?" Kali ini Andika garuk-garuk kepalanya sambil nyengir.
"Namaku Andika," sahutnya singkat.
"Dari cara berpakaianmu dan gerakan kedua kaki yang nampak sangat ringan, aku yakin kau bukan orang kebanyakan. Siapakah julukanmu?" Cengiran Andika makin lebar.
"Wah! Kalau itu sih tidak usah saja, deh, Tapi ya... aku ini memang tergolong orang baik-baik, lho. Jadi kukatakan saja. Cuma kau jangan anggap terlalu serius ya" Karena aku tidak se slebor yang orang duga." Justru terdengar ucapan Pendekar Kebajikan, "Dan tentunya kau berasal dari Lembah Kutukan, bukan?"
"Lho! Kok tahu" Wah! Tidak nyangka nih kalau aku begitu ngetop!"
"Dan kau dikenal dengan julukan Pendekar Slebor."
"Tapi jangan anggap aku slebor ya" Tidak lho! Kalaupun slebor ya... cuma sedikitlah." Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Kendati dua puluh tahun aku berdiam di Padang Sunyi, tetapi julukan Pendekar Slebor telah sampai ke telingaku akhir-akhir ini. Sungguh tak kusangka kalau dia masih sedemikian muda. Sebenarnya, aku tidak tahu siapa pemuda di hadapanku ini bila dia tidak mengatakan tentang masalah kesleborannya. Dan rupanya, yang menjadi kegelisahanku adalah peristiwa mengerikan yang terpampang di hadapanku." Habis membatin demikian, Pendekar Kebajikan berkata, "Anak muda... siapakah orang yang telah melakukan pembantaian ini?" Mendengar pertanyaan orang, sesaat kemarahan Andika naik kembali. Tapi segera ditindihnya dan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalung Setan... baru kali ini kudengar ada benda mengerikan seperti itu. Apakah kau tidak salah?" Andika menggeleng.
"Aku pernah menyaksikan kekejaman Kalung Setan yang telah mempengaruhi seorang gadis tak berdosa, yang membuatnya menjadi sekejam setan dan memiliki kesaktian yang luar biasa."
"Berbahaya."
"Ya, sangat berbahaya."
"Lantas... di manakah gadis malang bernama Sumiati itu berada sekarang?" Andika menggeleng.
"Aku tak punya gagasan lain di mana gadis itu berada kecuali dia akan terus turunkan teror demi teror yang mengerikan. Kalung Setan merupakan sebuah benda yang sangat jahat. Dan tak akan pernah mengenal kata puas." Pendekar Kebajikan terdiam dan mengeluh dalam hati.
"Rupanya, aku memang terlalu lama berdiam di Padang Sunyi. Dan pikiranku hanya terpusat pada dia yang akan datang menuntut balas. Pada kenyataannya, rimba persilatan saat ini sedang dikacaukan oleh sebuah benda bernama Kalung Setan, yang dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi sekejam iblis," kata Pendekar Kebajikan dalam hati. Lalu sambil pandangi pemuda berpakaian hijau pupus di hadapannya dia berkata, "Pendekar Slebor... aku mungkin termasuk salah seorang yang tak pernah membiarkan kejahatan merajalela. Beri tahu padaku ciri gadis itu dan Kalung Setan." Andika segera menerangkannya. Kemudian sambungnya, "Terima kasih bila kau hendak lakukan tindakan seperti itu. Dan kuharap, kau masih bisa memberi belas kasihan pada gadis itu...."
"Sudah tentu yang akan kurebut adalah kalung celaka yang telah menyesatkan gadis itu." Andika mengangguk-anggukkan kepala. Pandangannya lekat pada Pendekar Kebajikan.
"Hem, lelaki gagah ini termasuk salah seorang yang pandai menyembunyikan sesuatu. Namun kendati dia lakukan hal itu, dari sorot matanya aku menangkap kilasan kalau dia sendiri sedang ada masalah. Seperti yang dikatakannya sebelumnya. Apakah aku perlu menanyakan soal itu?" Andika terdiam beberapa saat sebelum memutuskan untuk bertanya." Pendekar Kebajikan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Andika. Masih tersenyum dia berkata, "Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Saat ini ada persoalan yang berkutat di benakku.
Tapi, apakah pantas bila ku kemukakan persoalanku ini yang akan menjadi pikiranmu?"
"Cara dia berucap sungguh santun sekali. Ah, tidak enak rasanya karena telah lancang campuri urusannya," kata Andika dalam hati. Lalu buruburu berkata, "Maafkan sikapku tadi."
"Tak jadi masalah. Apakah tidak sebaiknya kita berpisah di sini?" Andika menganggukkan kepalanya.
"Ya. Dan sebelumnya, aku ucapkan terima kasih karena kau mau memikul sebagian bebanku." Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku bukanlah ahli meramal. Tapi aku bisa mengatakan, kalau kelak, urusanmu bukan hanya terpusat pada masalah Kalung Setan. Melainkan, ada masalah besar yang akan kau hadapi."
"Kutu loncat! Ucapannya membuatku jadi penasaran. Tapi masa bodoh ah, besar atau kecil urusan yang akan menghadangku, toh akan kuhadapi juga." Habis membatin demikian Andika berkata, "Mudah-mudahan, kelak kita akan berjumpa lagi." Tetap tersenyum Pendekar Kebajikan anggukkan kepala. Kejap kemudian dia sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, diantar oleh pandangan Andika. Setelah sosok lelaki gagah berjubah putih lenyap dari pandangannya, Andika tarik napas pendek.
"Kerbau bunting! Kok aku jadi makin penasaran sih" makinya dalam hati.
"Apa maksud ucapan Pendekar Kebajikan tadi" Masalah besar" Masalah apa ya?" Sesaat anak muda urakan ini terdiam sebelum cengengesan sendiri, "Jangan-jangan... masalah karena aku belum makan kali ya" Perutku sudah keroncongan! Huh! mendingan cabut ah, sembari mencari makanan!" Memutuskan demikian, Andika segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Sejarak dua puluh tombak dia berlalu dari dusun yang telah dikacaukan Kalung Setan mendadak saja anak muda ini hentikan langkahnya.
Lima langkah di hadapannya, telah berdiri seorang kakek berwajah tirus dan berpakaian merah!

SELESAI
PENDEKAR SLEBOR

Ikuti kelanjutan serial ini:
MALAIKAT KEADILAN


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Rantai Naga Siluman --oo0oo-- Geger Di Lembah Tengkorak


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.