Geger Di Lembah Tengkorak
tanztj
March 12, 2011
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Kalung Setan --oo0oo-- Bidadari Pemburu Maut |
ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GEGER DI LEMBAH TENGKORAK
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GEGER DI LEMBAH TENGKORAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
::֍:: { 1 } ::֎::
Sejak tadi lelaki berkulit hitam legam itu hanya terdiam. Ia duduk di atas sebuah batu besar. Tidak jauh dari situ, berdiri sebuah gubuk. Gubuk milik petani yang ada di pinggir ladang.
"Kang...," terdengar suara halus menyapa.
Lelaki brewok yang bernama Singo Menggolo itu menoleh. Sejenak dipandanginya wajah perempuan yang duduk tidak jauh darinya itu. Singo Menggolo menarik napas dalam-dalam, perempuan itu masih muda dan cantik.
Kemudian tatapan lelaki tua itu kembali teralih pada pohon-pohon besar di kejauhan sana.
"Kenapa kau jadi gelisah begini?" tanya perempuan itu lembut.
Lelaki brewok itu hanya bisa mendesah.
Sulit baginya untuk mengungkapkan perasaannya pada perempuan itu. Sebab Singo Menggolo begitu mencintai perempuan yang bernama Seruni.
Permintaan Seruni itu telah membuat Singo Menggolo jadi gelisah.
Seruni tersenyum. Lalu menggeser duduknya agar bisa lebih dekat dengan Singo Menggolo.
Tiba-tiba Seruni melepaskan kancing baju Singo Menggolo bagian atas. Kemudian tangan halus itu menelusup dan mengelus dada Singo Menggolo yang berbulu lebat.
Seketika kehangatan terasa menjalar ke sekujur tubuh Singo Menggolo.
"Sejak dulu aku mengenalmu sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Apakah kau takut menghadapi Datuk Subendo yang berhati busuk itu?" tanya Seruni.
"Dalam hatiku tidak pernah ada perasaan itu. Kalaupun ada pasti aku bunuh, sebab aku sendiri tidak pernah gentar pada kematian," jawab Singo Menggolo tegas.
Seruni menatap rembulan. Sementara Singo Menggolo memandangi wajah perempuan itu tanpa berkedip.
"Karena itulah aku yakin kau akan bisa mewujudkan cita-citaku untuk mendapatkan Kembang Keabadian."
"Untuk apa kau mati-matian ingin mendapatkan Kembang Keabadian?" tanya Singo Menggolo.
"Karena dendam! Kau tahu dulu Datuk Subendo adalah kekasihku, dan Nyai Pelet adalah guruku. Karena Kembang Keabadian hubungan itu jadi berantakan," Seruni terdiam sejenak.
"Kau tahu Kang, Kembang Keabadian itu bisa membuat kita panjang umur. Kita akan awet muda, selain itu juga akan jadi sakti mandraguna. Setelah mendapatkan Kembang Keabadian itu kita adakan persembahan agar kita mendapatkan kesaktian yang diinginkan."
"Kau tahu jika Datuk Subendo pernah berkelana bersamaku?"
"Kembang Keabadian itu akan menghapus hubungan itu. Seperti hubunganku dengan Datuk Subendo dan Nyai Pelet yang jadi berantakan." Singo Menggolo terdiam. Sebenarnya bukan Kembang Keabadian itu yang ia inginkan. Seruni yang cantik itu ingin dimilikinya.
"Kenapa kau ragu?" di bibir Seruni tersungging seulas senyum.
"Sehari perjalanan lagi kita akan sampai di Lembah Tengkorak...." Sentuhan lembut tangan Seruni di dada Singo Menggolo itu belum juga terhenti.
Bahkan sekarang sudah menjalar ke manamana. Konsentrasi Singo Menggolo jadi sedikit terganggu, ada yang terasa mendidih di dada lelaki itu.
"Di mataku Datuk Subendo adalah seorang sahabat yang baik," ucap Singo Menggolo datar.
Kontan saja Seruni tertawa terkekehkekeh.
"Siapa yang bisa percaya hal itu?" tanya Seruni sinis.
"Kau saja yang terlalu berbaik hati padanya.... Kau lihat saja kenyataannya, sekarang dia bisa menjadi orang yang kaya raya. Sedang dirimu" Sejak dulu keadaanmu tidak juga berubah.
Apakah ini yang namanya adil?" Seruni memojokkan.
"Kalau saja sejak dulu aku mengenalmu, pasti aku akan berusaha menjadikan diriku kaya raya. Apalah artinya kekayaan jika aku hidup menyendiri?"
"Jangan kau sesali masa lalu, Kang! Sekarang berkorbanlah sedikit untukku.
Raihlah Kembang Keabadian yang muncul seratus tahun sekali di Lembah Tengkorak.
Bagiku Kembang Keabadian itu lebih berharga daripada harta benda...."
"Berarti aku tidak harus membunuh Datuk Subendo?"
"Terserah apa maumu...." Tatapan Singo Menggolo lak lepas dari wajah Seruni. Gadis itu kelihatan muda dan cantik di matanya. Sementara Singo Menggolo sendiri wajahnya sudah mulai dipenuhi keriput-keriput karena termakan usia. Tiba-tioa Singo Menggolo menggenggam tangan Seruni. Tatapan mereka pun bertemu. Singo Menggolo menarik tubuh yang tampak padat berisi itu, hingga tubuh mereka menempel satu sama lain. Tak tahan lagi Singo Menggolo langsung menghujani Seruni dengan kecupankecupan hangat.
Ketika kecupan itu terasa kian membara, Seruni menggeliat kegelian karena kumis Singo Menggolo yang tebal menggesek-gesek lehernya yang jenjang. Singo Menggolo berusaha membaringkan tubuh gadis itu ke atas batu besar itu. Tapi Seruni segera menahannya.
"Di gubuk saja, Kang!" bisik Seruni ke telinga Singo Menggolo.
Singo Menggolo mengangguk pelan.
Disambarnya tubuh Seruni kemudian dipondong ke dalam gubuk itu. Gerakannya tampak ringan sekali, karena ilmu meringankan tubuh Singo Menggolo memang sudah mencapai taraf yang tinggi.
Bagai singa lapar Singo Menggolo menerkam tubuh Seruni. Dua bundaran daging lunak itu menyembul keluar ketika kebaya Seruni tersingkap. Singo Menggolo semakin bernafsu dan menciumi sepuaspuasnya. Napasnya naik turun karena menahan gejolak yang menyala-nyala.
Seruni melempar tatapan matanya ke gubuk bambu itu. Suara berderit terdengar berirama, lincak bambu itu bergoyang seiring gerakan mereka. Mulanya Seruni sama sekali tidak bisa menikmati permainan itu. Mengingat Singo Menggolo sudah tidak memiliki daya tarik lagi di matanya. Tapi akhirnya Seruni jadi terpengaruh juga. Hingga ia berusaha mengimbangi setiap gerakan Singo Menggolo. Rapat-rapat Seruni memejamkan matanya. Dalam lamunannya ia membayangkan wajah-wajah ganteng yang pernah menidurinya. Agar ia bisa menikmati semua itu. Biarlah, biarlah ia memberi sedikit kesenangan pada Singo Menggolo. Dengan cara itu Seruni akan bisa menaklukkan Singo Menggolo yang sakti, kemudian memperalat agar Singo Menggolo bisa mewujudkan semua keinginannya.
***
Suara pemuda berambut gondrong itu menyebar ke mana-mana. Tapi sejauh itu tetap tidak ada jawaban. Pohon-pohon besar itu berdiri angkuh dan membuat suasana terasa senyap. Sore itu pemuda berambut gondrong berbaju hijau pupus yang tak lain adanya Pendekar Slebor sudah sampai di pinggiran Alas Roban.
Sudah sepeminuman kopi lamanya Pendekar Slebor yang sering dipanggil Andika itu terlibat dalam kejar-kejaran bersama seorang tokoh persilatan yang aneh sekali. Tapi begitu masuk Alas Roban, kakek berkepala botak, bertubuh kerdil, dan berambut putih itu seperti lenyap ditelan belantara.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu menggenjot langkahnya sambil mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Kemudian ia jadi ragu sendiri, apakah arah yang diambilnya sudah benar" Teringat itu Andika segera berhenti. Ia celingukan ke sana kemari. Tidak ada tanda-tanda ke mana kakek misterius itu pergi. Jejaknya bagai lenyap dengan begitu saja.
"Kakek sialan! Kalau saja bisa kutemukan dirimu... akan kujitak kepalamu yang botak...." Andika menggerutu sekenanya.
Hutan itu begitu sunyi. Ia hanya bisa mendengar suara kicau burung di kejauhan. Pendekar Slebor henar-benar sudah kehilangan semangatnya. Padahal ia begitu ingin bertemu kakek gundul bertubuh kerdil itu. Dalam mimpi Andika bertemu dengannya. Dan ia yakin kakek itu akan bisa memberi jalan keluar atas keruwetan di hatinya.
"Kakek... aku tahu kau memang sakti.
Aku yakin kau sengaja ngerjain diriku ini...." Pendekar Slebor terus saja nyerocos.
Ia yakin kalau kakek misterius itu masih berada di sekitar situ.
Akhirnya Andika harus menelan satu kenyataan pahit. Sebab kakek misterius itu tidak juga nongol. Setelah mendesah panjang Andika bermaksud meninggalkan tempat itu. Tapi pemuda berambut gondrong itu merasa kebingungan, matahari sudah mulai bergeser ke langit barat. Kalau saja ia kembali lewat jalan yang ditempuhnya tadi, bisa-bisa ia kemalaman di tengah hutan.
Satu-satunya jalan Andika harus mencari jalan pintas untuk keluar dari hutan! Dengan menggunakan inderanya yang tajam. Pendekar Slebor terus saja terlari.
Disusurinya jalan setapak di hutan itu.
Jalan itu yang biasa dilewati orang.
Ternyata perhitungan Andika itu tepat sekali! Sebelum langit berubah menjadi gelap, langkahnya sudah sampai di luar hutan. Tatapan pemuda berpakaian hijau pupusitu tertuju pada sebuah gubuk yang berada di pinggir ladang. Tiba-tiba dalam hati Andika mengatakan, mungkin saja kakek gundul itu beristirahat di gubuk itu. Kecil kemungkinannya kalau ia menembus hutan di malam hari. Andika terkejut sekali. Sebab begitu langkahnya sudah dekat dengan gubuk itu, ia mendengar suara-suara ganjil. Terdengar dua insan berlainan jenis yang saling mendesah. Derit lincak bambu itu juga terdengar dengan jelas. Untuk mengusir rasa penasarannya Pendekar Slebor melongok ke dalam. Ya ampun! Tanpa sengaja ia melihat dua orang sedang bergumul. Andika tidak bisa melihat dengan jelas karena di dalam suasananya gelap.
"Kang...," ucap Seruni karena ia mendengar suara langkah di luar.
"Adu apa?" tanya Singo Menggolo.
"Ada orang...." Singo Menggoio bergegas bangkit. Dengan hanya bertelanjang dada ia keluar. Tapi tidak ada siapa-siapa di luar. Pendekar Slebor telah mencelat jauh dan tidak kelihatan lagi. Sambil menggerutu Singo Menggolo kembali masuk ke gubuk.
***
Kakek gundul itu sejak tadi kegirangan manakala ayam hutannya sudah mulai matang. Ia bergerak-gerak seperti orang menari. Dari mulutnya terdengar bersenandung. Sementara di sudut lain tampak bayangan hitam berkelebat begitu cepat. Ia berlari dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Ternyata dia adalah Pendekar Slebor! Andika terus saja berlari setelah melihat adegan di gubuk bambu tadi.
"Sial... sungguh sial nasibku hari ini...," gerutu Pendekar Slebor seraya terus berlari.
Tiba-tiba saja Andika menghentikan langkahnya. Karena hidungnya mencium aroma harum. Seketika perutnya menjadi keroncongan karena sejak siang belum terisi.
"Harum sekali... ah, aroma yang lezat...
daging panggang...," ucap Andika seraya mendekat ke tempat di mana api itu menyala. Pendekar Slebor jadi terkejut sekali begitu melihat kakek gundul itu. Dengan mengendap-endap pemuda berambut gondrong itu mendekat, ia tidak menginginkan kehadirannya diketahui.
Kemudian....
"Hiiyyaaa...," teriak Andika seraya melentingkan tubuhnya. Tahu-tahu dengan satu loncatan ia sudah berada di hadapan kakek itu.
"Mau lari ke mana kau sekarang" Kau tidak mungkin bisa lari dariku lagi, Kakek...," ucap Andika dengan wajah berseri. Kakek gundul itu kelihatan cuek. Seakan ia tidak mempedulikan kehadiran Pendekar Slebor. Kakek gundul itu hanya melirik pemuda berpakaian hijau pupus itu.
"Aku tidak akan lari ke mana-mana, karena aku mau makan ayam hutan panggang ini...," ucap kakek gundul itu seraya melahap ayam panggang yang berwarna kecoklat-coklatan itu.
Pendekar Slebor menelan air liurnya.
Nikmat sekali kakek gundul itu melahap ayam panggangnya. Andika memandangi kakek gundul itu tanpa berkedip.
"Sungguh kasihan kau anak muda.
susah-susah kau mencariku hanya untuk memandangiku makan," ucapnya seraya melirik Andika.
"Ah, nikmat sekali...."
"Aku memang sial... karena yang kukejar bukan orang yang baik hati...," gerutu Andika.
"Kenapa kau bisa menuduh orang seenak udel ibumu?" Kakek gundul itu garukgaruk kepalanya yang hampir tidak berambut karena jarang sekali.
Andika mencibir sinis.
"Apakah itu perbuatan orang baik jika tega makan sendiri sementara melihat ada orang kelaparan?"
"Jadi masalahnya itu?" tanya kakek gundul seraya menepuk-nepuk ubunubunnya sendiri.
"Iya...," Andika mengangguk sambil senyum-senyum.
"Hi hi hi hahaha... kasihan sekali dirimu anak muda...."
"Aku memang sial karena bertemu orang pelit!"
"Dua kali kamu menuduhku tidak benar! Harusnya aku hukum dirimu. Cuma aku tidak tega menghukum orang kelaparan." Kakek gundul yang aneh itu kembali menyantap ayam hutan panggangnya.
Tampaknya ia sengaja memaksa Pendekar Slebor untuk menelan liurnya kembali.
"Aku tidak akan memberikan sesuatu pada orang yang tidak mau berusaha...." ucapnya sambil menelan daging panggang.
Andika garuk-garuk kepala. Ia sudah tidak betah terus-terusan dikerjain. Diamdiam pemuda berambut gondrong itu bikin ancang-ancang.
"Haiiitt!" mendadak Andika berusaha menyambar ayam hutan panggang itu.
Hupf! Kakek gundul itu berhasil menghindar dengan gerakan cepat sekali.
"Setiap perjuangan memang tidak mudah." kakek gundul itu mengernyitkan alis. Pendekar Slebor kembali melakukan sambaran sekali lagi. Tapi selalu saja gagal.
Kakek gundul itu berhasil menghindar dengan cara menggeser tubuhnya.
Setelah gagal untuk yang ketiga kalinya, pemuda berpakaian hijau pupus itu berusaha menyerang orang tua itu. Kedua tangan Andika berusaha melakukan sambaran-sambaran, sekaligus berusaha melakukan totokan. Tapi kakek gundul itu tidak bodoh, la balas menyerang Pendekar Slebor dengan melakukan tendangan ke arah kaki. Jadi kalau Andika nekat menyambar ayam hutan panggang itu berarti bunuh diri! "Kau curang, Kek! Kenapa menyerangku begitu rupa?" protes Andika.
"Hik hik hik...." Kakek gundul itu tertawa, menunjukkan giginya yang tinggal dua biji.
"Orang menuduh curang biasanya dirinya sendiri yang curang. Tapi baiklah, karena aku orang tua aku akan mengalah..." Kini Andika lebih leluasa karena kakinya bisa bergerak lebih bebas. Ia berusaha mendesak dan sesekali melakukan sambaran. Yang terjadi benar-benar di luar dugaan! Setiap kali Andika melakukan sambaran, kakek gundul itu memukulkan ayam hutan panggang itu ke arah wajah Andika. Sambaran angin terasa panas karena tenaga dalam kakek gundul itu telah mencapai tingkat yang tinggi sekali.
"Kalau tidak rela sebaiknya tidak usah kamu berikan saja...," ucap Andika seraya duduk kembali.
"Hik hik hik... aku senang sekali jika melihat ada orang yang putus asa...," ucapnya sambil menyantap ayam hutan panggang itu lagi.
Pendekar Slebor sadar kalau sedang dikerjain. Ia tidak bersemangat karena memang sudah lapar. Kalau diteruskan pemuda berambut gondrong itu yang akan kehabisan tenaga duluan. Andika sengaja mencari kelengahan kakek gundul itu.
"Ilmu silatmu cukup bagus, hanya saja emosimu tidak terkontrol. Keinginanmu yang berlebihan yang membikin kamu gagal...," ucap kakek gundul itu dengan sikap santai sekali.
Andika melirik ayam hutan panggang ilu.
Ia tengah menanti saat yang tepat untuk bertindak. Namun tiba-tiba....
"Waduh... tolooong... to... tolong...," ucap kakek gundul itu sambil berjingkrak-jingkrak tidak menentu.
Sikap kakek gundul itu terasa aneh dan tidak menentu. Tak ada angin, tak ada hujan, berteriak-teriak sendiri. Andika sendiri tidak tahu kenapa ia bisa jadi begitu.
"Dasar kakek konyol...," umpat Andika dalam hati.
Ketika ayam hutan panggang di tangan kakek gundul itu terlempar ke udara.
Pendekar Slebor langsung menangkapnya.
Hupp! Tubuh Andika mendarat tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Sambil tersenyum pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu langsung menyantap ayam hutan panggang itu.
"Hhiiii... hhiiii...." ucap kakek gundul sambil menggeliat-geliat. Pada wajahnya tampak ketakutan sekali.
Akhirnya Pendekar Slebor tahu kenapa kakek gundul itu bisa kesetanan begitu.
Tadi ia kejatuhan cicak dan binatang itu masuk ke bajunya. Cicak itu terlempar keluar dalam keadaan,sudah mati.
"Jauhkan binatang itu dariku!" ucap kakek gundul itu pada Andika.
Andika tersenyum. Dipungutnya cicak itu lalu dimasukkan ke saku. Andika masih tersenyum-senyum.
"Kenapa kau simpan binatang jelek itu?"
"Nanti kau akan tahu sendiri jawabannya, Kek...."
***
::֍:: { 2 } ::֎::
"Sebenarnya siapakah kau ini, Kek?" tanya Andika "Aku sendiri juga tidak tahu siapa diriku, karena dari kecil aku tidak pernah punya nama. Tapi aku dikenal sebagai Peramal Sakti...," jawabnya.
"Peramal Sakti"!" Andika terkejut karena sering mendengar namanya yang harum, "Dengan senang hati aku minta kau ramal...."
"Kau akan selalu terancam bahaya setiap saat. Jalan hidupmu berliku-liku karena kau selalu menuruti kata hatimu sendiri.
Kau masih muda, pantaslah jika kau terus saja berkelana. Tapi kau akan bisa hidup tenang di hari tuamu."
"Kenapa engkau bisa sampai di sini, Peramal Sakti?" tanya Andika.
"Menurut bisikan gaib yang kuterima, di daerah ini akan terjadi suatu kegemparan yang bisa mengguncang jagat ini. Sebab tidak lama lagi akan muncul Kembang Keabadian yang sangat berbahaya jika jatuh ke tangan pendekar sesat...."
"Kembang Keabadian...?" desis Andika tak sadar.
"Ya. Kembang Keabadian bisa tumbuh di mana saja. Ia merekah di atas bebatuan, dan muncul tiap seratus tahun lamanya...." Dengan penuh perhatian pemuda berambut gondrong itu mendengarkan ucapan Peramal Sakti. Setiap ucapannya selalu masuk akal dan menyimpan misteri.
Beberapa kali ia menebak Andika dan selalu tepat. Tiba-tiba perhatian mereka teralih, karena mereka melihat dua bayangan hitam berkelebat cepat sekali. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah tertutup kerudung. Gerakan mereka seperti mengambang di atas tanah.
"Ah, kedua orang itu mencurigakan sekali...," desis Andika.
Peramal Sakti tak begitu mempedulikan.
Ia hanya memandangi kedua bayangan itu, kemudian perhatiannya kembali tertuju pada api unggun yang baranya masih menyala.
"Sepertinya bungkusan yang mereka bawa itu adalah bayi mungil...," ucap Pendekar Slebor lagi.
"Buat apa kita mencampuri urusan orang kalau tidak tahu duduk permasalahannya?" tepis Peramal Sakti.
Andika hanya bisa garuk-garuk kepala.
***
Masing-masing menggenggam sebuah tombak. Kadang mereka berpencar untuk melihat-lihat sekaligus mengamankan tempat itu. Datuk Subendo telah menyulap Lembah Tengkorak menjadi istana yang megah.
Dikelilingi pagar tembok yang tinggi, terdapat beberapa bangunan megah.
Bangunan yang paling megah adalah bangsal utama, di mana ada singgasana tempat Datuk Subendo melakukan pertemuan dengan anak buahnya.
Bangsal utama itu dibangun menempel dengan dinding batu. Kemudian ruanganruangannya berupa gua-gua. Ada juga sebuah ruangan tersembunyi. tempat Datuk Subendo melakukan semadi sekaligus memperdalam tenaga dalamnya.
"Guru... keluarlah Guru...," ucap lelaki berpakaian bangsawan dengan tubuh menghadap ke dinding batu. Dialah Datuk Subendo! Di balik dinding itu terdapat sebuah ruangan luas. Pintu ruangan itu terbuat dari lapisan batu tebal. Dengan cara menggerakkan pengungkitrtya, pintu dari batu itu akan bisa dibuka dan ditutup. .
"Guru...." Datuk Subendo kembali memanggil gurunya, "Bayi itu sudah kita dapatkan, Guru...."
"Hik hik hik hik...," terdengar suara menyeramkan dari dalam. Suara tawa itu begitu berat, suara tawa seorang perempuan yang sudah tua sekali.
"Aku sudah mencium aroma darah di sini...," jawab Guru sang Datuk dari dalam.
"Keluarlah Guru... saat ini aku butuh petunjukmu...," pinta Datuk Subendo.
"Kau sabarlah dulu muridku... jangan ganggu aku yang sedang merawat tubuh " Datuk Subendo gelisah karena sudah tidak sabar lagi. Tapi tak ada yang bisa dilakukan oleh lelaki berwajah kelimis selain menunggu gurunya keluar. Ketua Lembah Tengkorak takut sekali pada gurunya karena selain sakti gurunya itu juga kejam. Satu keanehan yang sampai saat ini tidak bisa terjawab oleh Datuk Subendo. Jika gurunya itu berbicara dari dalam ruangan berdinding batu itu, suaranya persis seorang nenek yang sudah tua sekali. Anehnya jika sudah berhadapan dengannya, ia berubah menjadi seorang gadis yang cantik mempesona! Kemudian daun pintu dari lapisan batu tebal itu pun bergeser. Seiring dengan itu muncul sosok tubuh yang indah sekali.
Guru Datuk Subendo yang bernama Nyai Pelet itu hanya mengenakan gaun yang tipis sekali. Tubuhnya yang putih, padat berisi terlihat begitu menggoda gairah. Rambut Nyai Pelet yang panjang sampai sepinggang, dibiarkan tergerai bebas.
Nyai Pelet memandangi Datuk Subendo dengan tatapan menggoda. Sementara Ketua Lembah Tengkorak memandangi tubuh gurunya tanpa berkedip. Lelaki berpakaian bangsawan itu memandanginya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Datuk Subendo menelan liurnya.
"Ada apa muridku?" tanya Nyai Pelet halus. Suaranya tidak seperti nenek-nenek lagi.
"Ngng... begini Guru...," ucap Datuk Subendo tergagap.
Konsentrasi Datuk Subendo jadi terganggu karena matanya tidak bisa lepas dari tubuh gurunya yang indah itu. Nyai Pelet tersenyum seraya duduk di hadapan muridnya. Lagi-lagi ulah Nyai Pelel bikin dada Ketua Lembah Tengkorak berdesirdesir. Saat ia duduk gaun tipisnya itu tersingkap, sehingga paha mulusnya itu semakin merangsang.
"Guru, saya membutuhkan petunjuk Guru karena malam bulan purnama sudah dekat...," ucap Datuk Subendo setelah bisa menguasai perasaannya.
"Asalkan semua persyaratan sudah beres, maka tidak ada lagi yang perlu dirisaukan.
Kembang Keabadian itu telah tumbuh seperti yang telah kita perkirakan.
Pokoknya kau akan bisa jadi tokoh tak terkalahkan di Jawadwipa ini." Datuk Subendo manggut-manggut.
Dengan ekor matanya ia melirik paha mulus di hadapan matanya itu.
"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi, Guru...," ucap Datuk Subendo kemudian.
"Sepuluh hari lagi semua keinginanmu itu akan bisa terwujud Kembang Keabadian memang mempunyai khasiat yang hebat sekali. Karena kembang ajaib itu aku bisa selalu awet muda. Harap kamu bersabar dulu, Muridku...." Kembali Datuk Subendo menelan liur.
Penampilan gurunya itu telah membuatnya salah tingkah. Siapa pun akan sulit bertahan jika melihat kemolekan seperti itu.
Tapi Nyai Pelet segera bisa tanggap. Ia lalu melangkah dan duduk persis di pangkuan Ketua Lembah Tengkorak. Datuk Subendo girang bukan main, ia merasa sudah mendapatkan angin segar.
Rakus sekali Datuk Subendo mendekatkan wajahnya ke wajah gurunya.
Lalu mencium bibir yang menggairahkan itu. Nyai Pelet tertawa lirih mendapatkan reaksi itu.
"Kau orangnya memang tidak sabaran.
Muridku...," ucap Nyai Pelel dengan suara mendesah. Datuk Subendo tidak mempedulikan ucapan itu. Bernafsu sekali ia ketika lelah menelusuri leher jenjang yang halus itu.
Nyai Pelet sampai menggelinjang kegelian.
"Kita lanjutkan di kamar saja.
Subendo...," desis Nyai Pelet.
Datuk Subendo menuruti permintaan Guru sekaligus kekasihnya itu. Tanpa menunggu lagi ia langsung menggendong tubuh Nyai Pelet. Dibawanya ke sebuah kamar di mana terdapat kasur empuk. Nyai Pelet gembira sekali melihat semangat muridnya yang menyala-nyala itu.
Tubuh Nyai Pelel dibaringkan ke atas ranjang. Pergulatan mereka pun berlanjut kembali. Datuk Subendo menindih tubuh indah itu sambil menciumi sepuaspuasnya. Hingga satu persatu dari pakaian yang mereka kenakan terlepas, berkelumpruk di sisi tempat tidur. Mereka terus saja bergelut, menuju ke puncak yang bisa mereka raih.
***
Berkali-kali dua bayangan itu mengitari Lembah Tengkorak. Mereka tengah mencari kesempatan untuk bisa memasuki bangunan itu. Tapi penjagaan di Lembah Tengkorak begitu ketat.
"Kita labrak mereka saja, Kang...,'' ucap salah seorang yang bertopeng ala ninja itu.
Ternyata dia adalah Seruni. Yang seorang lagi adalah Singo Menggolo. Kini mereka sedikit menjauh dari Lembah Tengkorak untuk menghindari para penjaga.
"Jangan. Aku tidak mau menimbulkan kekacauan di sini. Aku hanya ingin mengambil ikan tanpa membikin keruh sungainya!" jawab Singo Menggolo.
"Tapi kita tidak mungkin bisa masuk kalau penjagaannya seketat ini...," ucap Seruni khawatir.
"Kita akan cari jalan yang bijaksana...." Seruni terdiam. Ia belum bisa mengerti keinginan Singo Menggolo yang sesungguhnya. Kemudian Singo Menggolo mengeluarkan sekantong serbuk racun.
Itulah Racun Bunga yang akan mampu membuat orang pingsan tanpa harus membunuhnya. Singo Menggolo mengambil segenggam racun. Digosok-gosokkannya Racun Bunga itu sambil mengerahkan tenaga dalam.
Kedua tangan Singo Menggolo tergetar hebat. Kemudian dari kedua tangan yang sudah mengeluarkan asap itu, Singo Menggolo menghentakkan kedua tangannya ke muka. Sekaranglah saat yang paling tepat baginya untuk bertindak. Para penjaga itu tengah berkumpul sambil bercakap-cakap.
Seketika asap tipis berwarna putih itu bagai tertiup ke arah para penjaga itu.
Meskipun tidak mematikan. Racun Bunga bekerjanya cukup cepat. Orang yang sudah menghirup asap itu menguap seperti ngantuk. Kemudian tanpa disadari matanya jadi terasa berat sekali. Hingga kesepuluh penjaga itu langsung tertidur di tempatnya! Seruni takjub melihat kelihaian Singo Menggolo itu. Lalu mereka segera berkelebat untuk masuk ke ruangan yang dibatasi dengan tembok tinggi itu. Tanpa mengalami banyak kesulitan tembok setinggi dua tombak itu berhasil mereka lompati. Singo Menggolo memang cukup hafal situasi di Lembah Tengkorak.
"Waduh, bangunan di sini sudah banyak mengalami perubahan...," keluh Singo Menggolo.
"Tapi aku yakin, tempat tumbuhnya Kembang Keabadian itu tetap tidak berubah," jawab Seruni dengan suara pelan seperti berbisik.
Singo Menggolo menganggukkan kepala beberapa kali.
"Dulu ada di sebelah timur, dekat dengan singgasana Datuk Subendo...."
"Kita langsung saja ke sana!" Mereka kembali berkelebat. Untung Singo Menggolo masih hafal dengan tempattempat rahasia di Lembah Tengkorak Ternyata pintu rahasia yang berupa lorong bawah tanah itu masih belum berubah.
"Lorong ini adalah salah satu pintu masuk. Tapi lorong ini yang paling sering digunakan orang untuk keluar masuk," Singo Menggolo celingukan ke sana kemari.
"Kalau begitu sebaiknya aku menunggumu di sini saja. Sekalian aku bisa mengawasi kalau ada orang yang masuk, kalau ada bahaya nanti aku akan memberi tahu kamu dengan siulan," Seruni memutuskan.
"Gagasan yang bagus! Berhati-hatilah dengan orang-orang Datuk Subendo, sebab ilmu silat mereka tidak bisa dianggap remeh," Singo Menggolo mengingatkan.
"Aku mengerti...," jawab Seruni Selelah memandangi wajah Seruni, Singo Menggolo langsung memasuki lorong bawah tanah itu. Seruni meloncat tinggi sekali, kemudian mencari tempat yang aman untuk mengawasi tempat itu.
Singo Menggolo yang sudah kenal dengan lorong itu tanpa mengalami banyak kesulitan langsung sampai di suatu ruangan tersembunyi. Orang kepercayaan Datuk Subendo sendiri tidak ada yang tahu di mana Kembang Keabadian itu tumbuh.
Singo Menggolo terus saja menyusuri lorong itu. Sesampainya di suatu tempat yang mirip sekali dengan sebuah gua berukuran lebar, Singo Menggolo menjadi takjub. Di situ terdapat taman bunga. Ketika Singo Menggolo menengok ke atas. ia bisa melihat langit yang ditaburi bintang-bintang. Ah, pantas saja tanaman itu bisa tumbuh karena mendapat cukup cahaya matahari.
Seumur hidupnya Singo Menggolo belum tahu seperti apa bentuk Kembang Keabadian itu. Tapi ia teringat pesan Seruni, bahwa Kembang Keabadian itu tumbuh di atas bebatuan. Ia bisa hidup meskipun tidak mendapat cahaya matahari.
Singo Menggolo segera bergegas untuk mencari ke tempat lain.
Ketika memasuki satu ruangan yang bersih layaknya sebuah kamar, Singo Menggolo menghentikan langkahnya.
Setahunya dulu ruangan ilu tidak pernah ada. Dan lelaki yang wajahnya ditumbuhi brewok lebat itu melangkah menghampiri pintu yang terbuat dari lapisan batu tebal.
Singo Menggolo mendesah. Ia yakin Kembang Keabadian itu berada di tempat yang tersembunyi. Semua tempat sudah dijelajahi, hanya ruangan itu yang belum.
Tanpa pikir panjang lagi Singo Menggolo berusaha membuka pintu itu.
Lelaki brewok itu mengeluh tertahan.
Berat sekali untuk membuka pintu itu.
Akhirnya Singo Menggolo mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Dan ketika pintu itu bergeser sedikit saja....
Weeesss! Tiga buah tombak melesat ke arah Singo Menggolo. Untung Singo Menggolo cukup waspada hingga mampu menghindar serangan rahasia itu. Singo Menggolo bersalto sebanyak dua kali ke udara.
Pintu yang terbuat dari lapisan batu tebal itu pun bisa dikuakkan. Singo Menggolo melangkah ke dalam. Ternyata ruangan ilu luas sekali. Semua dinding dan lantainya dari batu. Tatapan Singo Menggolo membelalak lebar! Ia melihat di tengah ruangan itu ada sebongkah batu besar. Di tengah batu itu tumbuh setangkai bunga. Tidak berdaun, hanya kelopaknya saja yang berwarna hijau daun. Kelopak dan mahkotanya keras sekali. Mahkotanya beraneka warna, seperti warna pelangi. Itulah Kembang Keabadian!
***
::֍:: { 3 } ::֎::
Dialah Peramal Sakti dari Pegunungan Himalaya yang sempat bertemu dengan Pendekar Slebor. Peramal Sakti terus saja berlari tanpa mengenal lelah sedikit pun.
Sesampainya di Lembah Tengkorak, kakek berkepala botak itu menghentikan langkahnya. Sebab di sana tengah terjadi sualu keributan....
"Jarot, Paijo, bangun... bangun! Bangun!" seseorang membangunkan para penjaga yang tidur terlelap. Dua orang temannya hanya berdiri dengan tangan bersedekap.
Tiga orang itu adalah Tiga Setan Pedang yang menjadi orang kepercayaan Datuk Subendo.
"Ah. kelihatannya mereka terkena racun yang bisa membikin orang pingsan," ucap orang yang mengenakan baju merah.
Tiga Setan Pedang itu memang memiliki tinggi dan potongan tubuh yang hampir sama. Yang membedakan mereka adalah pakaian yang mereka kenakan. Ada yang mengenakan baju warna merah, warna putih, dan warna biru.
Setan Pedang Putih langsung menepuk tengkuk para penjaga itu dengan mengalirkan tenaga dalam. Para penjaga itu pun segera terbangun. Mereka celingukan seperti layaknya orang bingung.
"Apa yang terjadi dengan kami?" tanya Jarot kebingungan.
"Justru aku yang harus bertanya padamu, apa yang telah terjadi" Apa pula yang kalian kerjakan selagi melakukan tugas jaga?" tanya Setan Pedang Merah dengan suara membentak.
"Tidak terjadi apa-apa...," jawab Jarot polos.
"Apa yang kalian lihat sehingga kalian semua bisa tertidur?" tanya Setan Pedang Biru.
"Kami tidak berbuat apa-apa...." Jarot lagi yang angkat bicara, "Berhubung kami tertidur, saya bermimpi... bermimpi ketemu perempuan cantik."
"Siapa yang bertanya tentang mimpi edanmu itu?" bentakan Setan Pedang Biru semakin nyaring.
"Lha tadi...," ucap Jarot takut.
"Diaaamm!" Setan Pedang Biru berteriak keras sekali.
"Ii.. iyy... iya saya diam...," ucap Jarot gugup.
Setan Pedang Biru jengkel sekali dengan sikap Jarot yang tolol itu. Karena Tiga Setan Pedang itu memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, mereka bisa mengerti kalau sesuatu yang tidak beres telah terjadi.
"Kalian lanjutkan kembali penjagaan.
Awas jangan sampai lengah! Kalau terjadi apa-apa di sini kepala kalian yang akan menjadi tebusannya!" perintah Setan Pedang Merah tegas.
Para penjaga itu tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka terdiam seribu bahasa dengan mulut terkunci rapat. .Lalu Tiga Setan Pedang bergegas untuk meninggalkan para penjaga itu.
"Tampaknya ada yang tidak beres...," desis Setan Pedang Putih.
"Aku yakin ada orang yang sengaja menyusup ke dalam," Setan Pedang Biru menimpali.
"Kita akan memeriksa di dalam...," Setan Pedang Merah memutuskan.
Tiga Setan Pedang langsung menyelinap ke dalam. Sementara di luar pagar penjagaan diperketat kembali.
"Ah, aku yakin tempat inilah yang kejatuhan wahyu itu. Kembang Keabadian yang bisa menimbulkan malapetaka...," ucap Peramal Sakti seraya berlalu. Ia berniat kembali ke Alas Roban untuk menemui Pendekar Slebor.
"Semoga pemuda urakan itu masih berada di sana," desis Peramal Sakti.
Kakek bertubuh kerdil itu berkelebat sambil mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Sepeminum teh kemudian, Peramal Sakti telah sampai di pinggir Alas Roban. Tapi Pendekar Slebor sudah tidak berada di tempatnya! "Sialan! Pemuda itu membuatku lari pagi tak berguna...," Peramal Sakti berkelebat lagi. Sambil menggerutu sepanjang jalan, ia kembali ke Lembah Tengkorak.
***
Pertama tempat penyimpanan permata milik Datuk Subendo atau letak Kembang Keabadian itu! Seruni yang saat itu terus mengawasi pintu masuk ke lorong bawah tanah itu, segera tanggap begitu Tiga Setan Pedang hendak masuk ke situ.
"Siuiiitt!" Terdengar suara siulan keras sekali.
Itulah pertanda buat Singo Menggolo yang tengah beraksi. Dengan kepintarannya Seruni berhasil mengelabui Tiga Setan Pedang. Seruni sengaja mengarahkan suaranya ke tempat lain, hingga siulan itu memantul dari dinding ke dinding.
Dengan tatapan matanya Tiga Setan Pedang mencari sumber suara siulan yang melengking tinggi itu. Mereka agak kesulitan karena gema suaranya seperti berasal dari berbagai arah. Selain itu suasana di sekitar situ sedikit gelap. Hanya cahaya sepotong rembulan yang memberikan suasana temaram.
"Aku yakin orang yang bersuit itu berada tidak jauh dari sini," ucap Setan Pedang Putih yakin Tiga Setan Pedang terpaksa mengurungkan niatnya untuk masuk ke lorong bawah tanah itu. Kini mereka berjalan memencar untuk melakukan pencarian.
"Hey. aku sudah melihatnya!" pekik Setan Pedang Putih girang.
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Biru segera mendekat. Kemudian Setan Pedang Putih menunjuk ke atas wuwungan rumah. Mereka melihat adanya bayangan hitarn, tapi tidak yakin apakah itu manusia. Sebab bayangan hitam itu. tidak bergerak sedikit pun.
"Aku yakin itu bukan manusia!" kata Setan Pedang Biru, "Mungkin kau yang salah lihat, bayangan hitam saja dikira manusia."
"Tadi bayangan itu kulihat bergerakgerak...," protes Setan Pedang Putih.
Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Biru tersenyum dikulum. Sebenarnya mereka geli melihat kekonyolan temannya itu. Mereka yakin akan penglihatan mereka sendiri. Tidak jauh dari wuwungan rumah itu memang ada bayangan hitam, tapi karena cahaya rembulan yang,terhalang genting hingga muncul bayangan hitam.
Melihat sikap kedua temannya itu, Setan Pedang Putih menjadi penasaran sekali.
Kemudian dikeluarkannya sebilah pisau, secara untung-untungan Setan Pedang Putih melemparkan pisau itu ke arah bayangan hitam itu. Sementara Seruni jadi terbeliak kaget. Ia sengaja tidak bergerak hanya untuk mengelabui ketiga orang itu.
Berhubung pakaiannya serba hitam sampai penutup wajah, hampir saja ia berhasil mengelabui mereka. Kini sebilah pisau terbang dan mengancam jiwanya! Tidak ada pilihan lain bagi Seruni selain menepis pisau terbang ilu dengan pedangnya. Trang! Dengan satu sentakan keras pisau terbang itu berhasil dirontokkan. Tapi dari pedang Seruni itu terpancar sinar keperakan, sehingga tempat persembunyiannya itu berhasil diketahui oleh lawannya. Maka terperanjatlah hati Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Biru yang tadinya tidak percaya.
"Hupp! Hupp! Hupp!" Dengan gerakan susul-menyusul Tiga Setan Pedang melenting ke udara. Dalam beberapa kejap mereka sudah nangkring di atas genting. Seruni bisa melihat gerakan Tiga Setan Pedang saat meloncat tadi.
Ketiga lawannya itu tidak bisa dipandang dengan sebelah mata! Seruni segera tanggap, kalau ia memaksakan diri untuk bertempur di atas genting, jelas tidak menguntungkan dirinya yang dikeroyok.
Kemudian Seruni meloncat turun dan bersiap untuk menghadapi mereka.
Tanpa menunggu lagi Tiga Setan Pedang langsung menyusul turun. Mereka gembira karena Seruni tidak berusaha melarikan diri. Jika pertempuran itu terjadi di dalam bangunan, mereka akan lebih mudah meringkus penyusup gelap itu.
"Katakan siapa dirimu dan ada keperluan apa hingga kau berani masuk ke Lembah Tengkorak ini" Rasanya kami belum puas jika membunuh orang tanpa mengetahui tujuannya," ucap Setan Pedang Putih menantang. Seruni sudah menyadari keadaan dirinya yang sudah terjepit. Ia sengaja melakukan itu sekadar untuk mengalihkan perhatian mereka agar tidak mengganggu Singo Menggolo yang tengah beraksi.
Maka tanpa banyak cingeong lagi Seruni langsung menghunus pedangnya. Beberapa kejap kemudian Seruni sudah melancarkan gempuran-gempuran hebat ke arah Tiga Setan Pedang itu. Tiga Setan Pedang sempat terperanjat oleh serangan Seruni yang berbahaya itu.
Sampai sepuluh jurus Seruni berhasil menggebrak dan membikin Tiga Setan Pedang menjadi kocar-kacir.
Trang! Trang! Trang! Setiap serangan dari Tiga Setan Pedang selalu berhasil ditepis oleh Seruni. Bahkan Seruni sempat, membikin mereka kelimpungan dengan tusukan-tusukan yang mematikan! Sementara di sudut lain Singo Menggolo telah berhasil mendapatkan Kembang Keabadian itu. Begitu keluar ia mendapatkan Seruni tengah berhadapan dengan tiga pengeroyoknya. Namun sejauh itu Singo Menggolo tidak merasa khawatir sedikit pun. Sebab Seruni mampu bertahan dengan baik, pertempuran itu berlangsung dalam keadaan seimbang.
Dengan satu loncatan Singo Menggolo melenting tinggi, sekejap kemudian ia sudah berada di samping Seruni. Tiga Setan Pedang terkejut bukan main karena kehadiran Singo Menggolo yang mengenakan pakaian ala ninja itu. Sebab menghadapi satu orang saja yang mereka tidak bisa berbuat banyak, apalagi kalau harus menghadapi dua orang! Tiga Setan Pedang segera menyusun siasat. Mereka memadukan jurus pedang mereka sehingga membentuk pertahanan yang tangguh.
"Secepatnya kita tinggalkan tempat ini," bisik Singo Menggolo pada Seruni.
Seruni mengangguk pertanda mengerti.
Kemudian Singo Menggolo mengeluarkan Kapak Mustika-nya. Ia segera menyerang dengan cara menyusup ke tengah pertahanan lawan. Gerakan berbahaya itu bukannya tanpa perhitungan, meskipun Singo Menggolo harus menghadapi tebasan pedang yang sangat berbahaya.
Trang! Trang! Setelah berhasil menangkis, Singo Menggolo langsung menyarangkan satu tendangan ke arah perut.
Dugh! Setan Pedang Biru terhuyung-huyung beberapa tombak ke belakang karena sebuah tendangan mendarat telak di perutnya. Dugh! Kemudian menyusul Setan Pedang Putih.
Ia harus mengalami nasib yang sama dengan Setan Pedang Biru.
***
Dalam keadaan seperti itu mereka paling benci kalau diganggu. Mereka sudah tidak mau mempedulikan kejadian di luar. Tapi suara pertempuran itu terdengar semakin jelas di telinga mereka! "Subendo, sepertinya ada pertempuran di luar...," desis Nyai Pelet dengan wajah terkejut. Datuk Subendo bagai tersadar. Kenapa ia tidak memperhatikan suara berbenturan nya benda keras itu. Pergulatan itu memang telah membuat Datuk Subendo melupakan segalanya.
Suara pertempuran itu masih tetap terdengar. Kemudian Datuk Subendo bergegas untuk mengenakan pakaiannya, Nyai Pclei juga melakukan hal yang sama.
Di luar pertempuran yang berlangsung antara Singo Menggolo bersama Seruni yang menghadapi keroyokan Tiga Setan Pedang tidak berlangsung lama. Setelah Singo Menggolo berhasil mengobrak-abrik pertahanan Tiga Setan Pedang, mereka segera kabur meninggalkan Lembah Tengkorak. Ketika Datuk Subendo bersama Nyai Pelet sampai di luar, Singo Menggolo bersama Seruni sudah kabur. Tinggal Setan Pedang Biru yang berada di situ karena luka di perutnya akibat tendangan Singo Menggolo.
Sementara Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Putih diikuti para penjaga dan pengikut Perguruan Lembah Tengkorak berusaha mengejar kedua penyelundup tadi.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Datuk Subendo pada Setan Pedang Biru.
"Ada dua orang yang menyelundup ke Lembah Tengkorak, Tuanku...," jawab Setan Pedang Biru.
"Apakah kalian tidak bisa mengatasinya?"
"Ampun, Tuanku... kedua orang bertopeng itu begitu sakti...."
"Kau tahu dari mana mereka keluar, dan apa yang dilakukannya di sini?" tanya Nyai Pelet risau.
"Mereka keluar dari ruang bawah tanah itu...," jawab Setan Pedang Biru.
"Kiamat...," desis Nyai Pelet, "Mereka ingin mencuri Kembang Keabadian itu...."
"Kau kejar dua penyelundup itu, dan jangan memberi kesempatan mereka untuk lolos!" perintah Datuk Subendo setengah berbisik. Lalu Nyai Pelet dan Datuk Subendo berlari seperti orang kesetanan. Mereka memasuki lorong bawah tanah sekadar untuk memeriksa, apakah Kembang Keabadian masih berada di tempatnya"
***
::֍:: { 4 } ::֎::
Singo Menggolo menoleh ke belakang.
Pada jarak sepuluh tombak di belakangnya, Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Putih masih terus mengejar. Dibelakang kedua Setan Pedang itu puluhan anak buahnya ikut melakukan pengejaran.
Menghadapi situasi seperti itu, Singo Menggolo dan Seruni jadi kebingungan juga. Sudah sepeminum kopi lamanya mereka berusaha kabur, kenyataannya mereka belum bisa melepaskan diri dari kejaran itu.
"Apakah kita akan membinasakan mereka semua?" tanya Seruni geram.
"Kita terpaksa melakukannya," jawab Singo Menggolo singkat.
Setelah Singo Menggelo bersama Seruni saling memberi isyarat, dengan gerakan serempak mereka membalikkan tubuh.
Wwuuuusss! Tamparan angin keras disusul kilatan merah melesat dari tangan Singo Menggolo dan Seruni. Secara bersamaan mereka melancarkan satu pukulan jarak jauh.
Dua Setan Pedang sudah memperkirakan hal itu sebelumnya. Jarak di antara mereka cukup menguntungkan Dua Setan Pedang, sehingga mereka mempunyai banyak kesempatan untuk menghindar. Mereka melempar tubuh ke samping, pukulan tenaga dalam yang dahsyat itu hanya lewat begitu saja. Namun mereka merasakan hawa panas yang terasa menampar.
Akibatnya sungguh mengerikan! Para anak buah yang ikut melakukan pengejaran tidak mampu menghindari serangan jarak jauh itu. Ilmu silat mereka memang jauh di bawah Dua Setan Pedang. Dua orang terpental ke belakang sejauh tiga tombak.
Begitu menyentuh tanah mereka tidak bisa bergerak-gerak lagi. Tewas dengan tubuh terpanggang! Dua Setan Pedang segera tanggap dengan keadaan itu. Dengan jurus pedang mereka langsung mencecar Singo Menggolo dan Seruni agar mereka tidak mempunyai kesempatan melancarkan pukulan jarak jauh. Beberapa detik kemudian pukulan orang telah menyusul mereka.
"Kurung mereka dan jangan memberi kesempatan untuk lolos!" perintah Setan Pedang Putih. Puluhan orang yang ilmu silatnya hanya pas-pasan langsung mengurung Singo Menggolo dan Seruni. Mereka segera melakukan bacokan-bacokan berbahaya dengan senjata masing-masing. Dua Setan Pedang berhasil mengarahkan serangan mereka sehingga Singo Menggolo dan Seruni sempat terdesak.
Tapi betapapun banyaknya jumlah pengeroyok itu, akhirnya Singo Menggolo dan Serani bisa menunjukkan ketangguhannya. Anak buah Lembah Tengkorak yang hanya mengandalkan semangat saja itu, telah dibikin kocar-kacir.
Hingga satu persatu dari mereka menjadi korban bacokan Kapak Mustika-nya Singo Menggolo atau tewas oleh tebasan pedang Seruni. Dalam keadaan yang genting itu, Setan Pedang Biru datang dan langsung membantu. Kini Tiga Setan Pedang mulai memadukan jurus pedangnya, hingga tercipta satu pertahanan yang kokoh! "Jangan khawatir... tidak lama lagi Datuk Subendo dan Nyai Pelet akan segera tiba di sini...," ucap Setan Pedang Biru.
Mendengar keterangan itu para anak buah Lembah Tengkorak semakin bersemangat dalam melakukan pengeroyokan. Sementara Singo Menggolo dan Seruni menjadi khawatir sekali.
Meskipun sudah banyak korban jatuh di tangan mereka, serangan mereka itu belum juga mereda. Kalau Singo Menggolo dan Seruni memaksakan untuk menumpas mereka, Datuk Subendo dan Nyai Pelet pasti akan tiba di situ.
"Kita kabur saja. Kang...," bisik Seruni.
Singo Menggolo hanya mengangguk.
Kemudian mereka segera mengatur gerakan untuk kabur. Tiga Setan Pedang tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Begitu Seruni meloncat ke belakang, Setan Pedang Putih menyabetkan pedangnya.
Crat! "Akh!" pekik Seruni tertahan.
Pundak Seruni terluka karena terkena bacokan pedang. Kemudian Seruni menyerang ke arah Tiga Setan Pedang dengan tusukan-tusukan berbahaya.
Seruni sempat melupakan keinginannya untuk kabur.
"Hjk hik hik...," terdengar suara tawa seorang perempuan.
Tidak lama kemudian dua orang datang ke tempat itu dengan gerakan seperti melayang. Mereka adalah Datuk Subendo bersama Nyai Pelet.
"Ada dua ekor pencuri yang mencari mati.
Hik hik hik.,.." Nyai Pelet terkikik.
"Minggir semua! Biar dua orang itu menjadi bagianku!1' ucap Datuk Subendo setengah berteriak.
Para pengeroyok itu seketika menepi.
Hanya dengan satu loncatan tubuh Datuk Subendo terlihat bagai melayang. Sekitar dua tombak di depan Singo Menggolo, kedua kakinya hinggap di atas tanah.
"Hik hik hik... tanganku jadi gatal untuk ikut bermain-main...," ucap Nyai Pelet.
Dengan satu loncatan Nyai Pelet sudah sampai di hadapan Seruni. Tidak ada pilihan lain bagi Singo Menggolo dan Seruni selain mempertahankan dirinya dengan mati-matian. Tanpa menunggu lagi mereka pun langsung menyerang. Pertempuran pun pecah. Seruni tampak ragu setiap kali hendak melakukan serangan. Karena ia yakin kalau Nyai Pelet akan mengenal semua jurusjurusnya. Tapi memang itu yang harus dilakukannya untuk bisa bertahan hidup.
Sebuah jurus pedang dimainkan Seruni dengan bagus sekali. Setiap sabetan dan tusukan selalu diikuti dengan gerakan kaki yang mendesak posisi lawan.
"Hik hik hik... sungguh engkau seorang murid yang tidak tahu budi. Seruni! Kau gunakan jurus yang kuwariskan padamu untuk melawanku. Gurumu sendiri!" ucap Nyai Pelet seraya menghindari setiap sabetan pedang Seruni.
Seruni menjadi gugup sekali. Karena itu gerakannya menjadi kacau. Ketika ia menerjang, Nyai Pelet meloncat tinggi dan tangannya berhasil menyambar kedok kain hitam yang dikenakan Seruni. Semua terkejut melihat wajah cantik yang muncul di balik kedok itu.
Pertempuran yang terjadi antara Seruni dengan Nyai Pelet tak lagi menarik. Guru dan murid itu sudah mengenal satu sama lain. Tidak mengherankan jika Nyai Pelet selalu unggul dalam setiap gerakan.
Terkesan sekali bahwa Nyai Pelet sengaja mempermainkan Seruni, bekas muridnya itu! Sementara itu pertempuran antara Singo Menggolo dengan Datuk Subendo berlangsung dengan seru sekali. Mereka saling gebrak, saling menggempur dengan jurus yang sama tangguhnya. Hanya dalam dua puluh jurus, mereka tidak ragu lagi untuk mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Ketika Datuk Subendo meloncat tinggi ke udara, Singo Menggolo langsung mengejarnya. Pukulan-pukulan mematikan dilancarkan Singo Menggolo. Datuk Subendo terpaksa melayaninya di saat tubuhnya melayang di udara. Sejauh itu tidak ada yang tampak lebih unggul.
Selanjutnya Datuk Subendo meloncat beberapa tombak ke belakang. Ia gerakgerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Datuk Subendo tengah mengerahkan tenaga dalamnya dan bersiap mengeluarkan ajian 'Macan Liwung'.
Singo Menggolo kaget sekali. Tapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Kemudian ia menghentakkan kedua kakinya ke atas tanah. Kedua tangannya dipadukan di depan dada, ia siap menandingi ajian 'Macan Liwung' dengan pukulan 'Angin Puyuh'. Hampir bersamaan mereka menghentakkan tangan ke muka. Kilatan sinar biru melesat dari tangan Datuk Subendo. Saat itulah kilatan warna merah langsung menyongsongnya.
Blaaammm! Terdengar suara seperu ledakan dan gemuruh yang menggetarkan bumi tempat berpijak. Tubuh Datuk Subendo terhuyung empat tombak ke belakang. Sedang tubuh Singo Menggolo seperti terseret tiga tombak ke belakang! Mereka sama-sama mengalami luka dalam yang cukup parah.
Seketika suasana berubah menjadi hening. Datuk Subendo dan Singo Menggolo sama-sama terjatuh dalam posisi terduduk.
Jelas posisi itu sangat tidak menguntungkan buat Singo Menggolo! "Hik hik hik... kamu lihatlah Seruni, lelaki yang telah kamu peralat itu sudah tidak bisa berdiri lagi...," ucap Nyai Pelet.
Kemudian.... Wusss! Asap putih yang keluar dari kedua telapak tangan Nyai Pelet mengurung sekujur tubuh Seruni. Seruni menjadi panik bukan main. Ia sadar kalau dirinya sudah terkena Racun Kobra. Dalam waktu tidak lama lagi dirinya pasti akan jatuh pingsan! "Setan Pedang!" teriak Nyai Pelet seraya menoleh.
"Dua orang aku perintahkan untuk meladeni perempuan binal ini. Dan satu orang aku perintahkan membuka kedok orang bertopeng itu, lalu penggal kepalanya!" Setan Pedang Merah dan Setan Pedang Putih langsung meloncat maju untuk menyerang Seruni Sementara Setan Pedang Biru tampak kebingungan untuk melaksanakan tugasnya. Sebab membunuh lawan yang sudah tidak berdaya adalah suatu pantangan buat dirinya.
"Kenapa kau belum juga membunuhnya" Apakah kau yang ingin aku bunuh?" bentak Nyai Pelet. Dengan ragu-ragu akhirnya Setan Pedang Biru bergegas juga. Dibukanya kedok dari kain hitam itu.
"Singo Menggolo...," desis Nyai Pelet.
Kemudian tanpa ampun lagi Setan Pedang Biru langsung memenggal kepala Singo Menggolo. Hingga kepala itu terpisah dari badan. Nyai Pelet tampak puas melihat hal itu.
"Tiga Setan Pedang! Kalian kuperintahkan untuk bersenang-senang dengan perempuan itu. Dan semua aku perintahkan untuk kembali ke Lembah Tengkorak...," ucap Nyai Pelet.
Akhirnya Nyai Pelet berhasil membawa pulang Kembang Keabadian kembali ke Lembah Tengkorak. Sedang Datuk Subendo terpaksa digotong karena tidak mampu untuk berjalan.
Sementara Seruni semakin panik saja.
Sejauh ini ia masih bisa bertahan dari reaksi Racun Kobra. Tapi ia sadar kalau tidak lama lagi ia akan terjatuh. Dengan sisa-sisa tenaganya ia berusaha untuk bertahan.
"Kakang, jangan biarkan tubuh yang mulus itu terluka. Sayang kalau harus terjadi, sebab dia akan bisa memuaskan hasrat kita...," ucap Setan Pedang Merah.
"Ya. Aku juga tidak menginginkannya. Ha ha ha ha...," jawab Pendekar Pedang Putih.
***
Pagi itu Andika terbangun dan Peramal Sakti sudah menghilang entah ke mana.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu sudah berusaha untuk mencari ke manamana, ia tidak bisa menemukan jejaknya.
Sambil garuk-garuk kepala Pendekar Slebor berlalu. Semalam ia berusaha bercerita banyak dengan Peramal Sakti dari Pegunungan Himalaya itu tentang Kembang Keabadian yang tumbuh di Lembah Tengkorak. Andika pun bertekad untuk menuju ke Lembah Tengkorak.
"Peramal Botak! Kalau saja aku bertemu denganmu maka akan kuramal dirimu tidak akan didekati perempuan...." Andika berteriak sendiri karena kesal.
Lalu Pendekar urakan yang mengenakan pakaian hijau pupus itu melesat.
Rambutnya yang gondrong tampak bergerak-gerak.
Sementara itu, di sudut lain Seruni tengah berusaha keras untuk melawan reaksi racun dalam tubuhnya. Tiga Setan Pedang sudah bisa menguasai keadaan dengan sepenuhnya. Gerakan Seruni semakin lama semakin terlihat kacau. Tiga Setan Pedang hanya menunggu saat yang tepat untuk bertindak.
Trang! Tiba-tiba pedang di tangan Seruni terlepas dan mental ke tanah. Setan Pedang Merah telah berhasil menjatuhkan senjata di tangan gadis itu. Sejak tadi memang dia yang paling bernafsu melihat kemolekan tubuh Seruni. Kemudian dengan satu loncatan Setan Pedang Merah telah berhasil menubruk Seruni. Sementara rasa pening yang dirasakan Seruni terasa semakin memberat.
Seruni sudah tidak mampu memberikan perlawanan lagi ketika tubuhnya jatuh ke dalam pelukan Setan Pedang Merah.
Kedua tubuh itu pun jatuh ke tanah dan saling berguling-gulingan. Setan Pedang Merah menindih tubuh Seruni dengan bernafsu sekali. Dengan satu gerakan, kebaya Seruni terkoyak oleh tangan jahil Setan Pedang Merah. Melihat dada mulus dengan dua bukit yang menggunung itu membuat gairah Setan Pedang Merah semakin menggelora.
Seruni merasakan keadaan itu antara sadar dan tidak sadar. Tapi sebelum Setan Pedang Merah berbual yang lebih jauh, tiba-tiba.... Takk! Sebuah batu kerikil mendarat persis di kepala Setan Pedang Merah.
"Adduuuhh! Apa kalian tidak bisa bersabar sedikit sih" Kalian jangan main lempar seenaknya sendiri. Jangan khawatir, kalian pasti akan dapat bagian...," kata Setan Pedang Merah tanpa menghiraukan rasa sakitnya. Setan Pedang Merah memang sudah bernafsu sekali untuk menggumuli tubuh Seruni. Ia menyangka yang melakukan itu adalah temannya sendiri. Setan Pedang Merah terus saja menciumi dada Seruni dengan rakus sekali.
Sementara Setan Pedang Biru dan Setan Pedang Putih jadi bertanya-tanya karena dituduh begitu. Sebab mereka memang tidak melakukan apa-apa.
Takkk! Sebuah kerikil kembali mendarat di kepala Setan Pedang Merah. Kali ini lebih keras dari yang tadi! "Wadduhh! Kalau kepala dilempari kerikil itu sakit kalian tahu tidak sih?" Setan Pedang Merah bersungut-sungut.
"Kalau kalian tidak rela aku yang duluan, seharusnya ngomong saja terus terang...." Setan Pedang Merah memegangi batok kepalanya yang berdarah. Setan Pedang Putih dan Setan Pedang Biru saling berpandangan karena tidak mengerti.
"Kami tidak melakukannya...!" jawab Setan Pedang Putih dan Setan Pedang Biru hampir bersamaan.
Karena penasaran ketiganya segera mengitarkan tatapan matanya. Mereka menjadi terkejut sekali! Sebab tidak jauh dari situ. nangkring di atas sebuah cabang pohon, seorang.pcmuda berambut gondrong tengah duduk dengan kedua kaki ongkangongkang. Ia mengenakan pakaian berwarna hijau pupus dengan kain bercorak papan catur melilit di lehernya. Dialah Andika si Pendekar Slebor! "Pemuda jelek tidak tahu diri!" umpat Setan Pedang Putih.
"Apakah kamu sengaja mencari mati hingga berani-beraninya mengganggu kami?"
"Siapa yang bilang aku ingin mati"!" jawab Andika sambil melotot dan memoncongkan bibirnya.
"Kamu pasti salah dengar karena kupingmu congekan."
"Kurang ajar! Sebaiknya kau enyah saja dari sini kalau masih sayang pada nyawamu sendiri!" bentak Setan Pedang Putih lagi.
"Enak saja kau main perintah! Orangtuaku saja tidak pernah berani melarangku bermain di atas pohon, ee...
kamu seenak udel sendiri main perintah," gerutu Andika.
"Dasar tidak tahu diri!" rutuk Setan Pedang Putih. Kemudian....
Suutt! Suutt! Suutt! Tiga bilah pisau terbang meluncur ke arah Pendekar Slebor. Andika sudah bisa memperkirakan hal itu sebelumnya. Dan ketika tiga belati kecil itu hampir mencapai tubuhnya. Andika menyambitnya dengan kain bercorak papan catur yang melilit di lehernya. Trriingng! Ketiga pisau terbang itu pun rontok ke tanah.
"Kau memang orang yang kurang ajar! Pertama kau telah mengatakan aku jelek, kedua seenaknya sendiri main perintah.
Sekarang tunggu pembalasanku, aku akan menampar mulutmu yang bau jengkol itu," umpat Andika seraya meloncat turun dari pohon. Setan Pedang Pulih tidak tahu siapa sebenarnya Andika. Maka pantas saja kalau ia memandang rendah pada pemuda berambut gondrong itu. Ia segera bersiap untuk melayani Andika dengan tangan kosong. Satu tendangan dan pukulan yang cepat sekali itu bisa dihindarkan dengan baik sekali oleh Andika. Setan Pedang Putih semakin penasaran dibuatnya, karena Andika selalu menghindar dan tidak berusaha menyerang. Ia semakin bernafsu untuk memukul. Tapi Pendekar Slebor selalu berhasil menghindarinya.
Plak! Satu tamparan mendarat persis di mulut....
Seruni dalam keadaan telentang tidak berdaya. Pakaian yang dikenakannya ada beberapa yang terkoyak sehingga tampak bagian tubuhnya yang mulus. Andika sempat mengamatinya sambil menelan liur.
***
::֍:: { 5 } ::֎::
Andika terdiam dan tidak bergerak sedikit pun. Ia jadi kebingungan ketika dada Seruni yang lunak itu menempel di dadanya. Wajah cantik itu menempel di pipi kanan Andika. Andika merasakan dadanya terasa sesak.
"Entah apa yang akan terjadi atas diriku kalau tidak ada Kang Andika," ucap Seruni seraya mempererat pelukannya. Kedua tubuh itu pun kian menghimpit rapat.
"Sudahlah, Seruni... semua ini terjadi karena kebetulan saja," jawab Andika seraya mendorong tubuh Seruni.
Tapi dorongan Andika itu membuat Seruni semakin nekat. Ia justru semakin mempererat pelukannya. Sikap Seruni itu membuat Pendekar Slebor semakin kebingungan.
"Terima kasih Kang Andika, terima kasih..." Andika memegang pinggang Seruni. Uh! Bentuknya indah dan padat sekali.
Pendekar Slebor jadi tergetar. Ia merasakan sesuatu yang lain. Hatinya bagai berdesirdesir, tapi rasanya indah sekali.
Seruni yang mempesona itu sempat membuat Hal 54-55 hilang Pendekar Slebor menangkap ular yang masih menggelepar-gelepar itu dan melemparkan ke dinding batu. Ular itu pun tidak bisa bergerak-gerak lagi karena tubuhnya remuk.
Selanjutnya Andika jadi terkejut bukan main. Tiba-tiba Seruni memeluk Pendekar Slebor erat sekali. Tampaknya Seruni benar-benar ketakutan tadi. Andika tidak bergeming sedikit pun.
"Aku takut sekali, Kang...," ucap Seruni.
"Tidak apa-apa, ular itu sekarang sudah mati...," hibur Andika.
"Kau jangan tinggalkan aku sendiri...." Kemudian Seruni merenggangkan pelukannya. Jantung Andika benar-benar mau copot karena melihat keadaan Seruni itu. Dan ketika tatapan Pendekar Slebor bertemu dengan sorot mata. Seruni, ada yang terasakan lain sekali. Seakan Seruni tampak jauh lebih menarik.
Seruni memang sedang menggunakan ilmu pemikatnya untuk menaklukkan Pendekar Slebor, la pernah berguru pada Nyai Pelet tentang bermacam ilmu pemikat dan segala bentuk pengasihan. Karena itulah Andika merasa tergetar hebat saat mendapatkan sorot mata Seruni itu.
Tiba-tiba saja Seruni menciumi Andika.
Sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang pengalaman, sebenarnya pemuda berambut gondrong itu sadar akan gunaguna Seruni itu. Tapi berhubung yang melakukannya adalah gadis secantik Seruni, Andika tidak berbuat banyak.
Pendekar Slebor tidak peduli apakah dirinya terkena guna-guna atau tidak.
Byurr! Tubuh Pendekar Slebor dan Seruni samasama terjatuh ke dalam air. Andika mulai membalas pelukan Seruni yang hangat membara itu. Di dalam air mereka terus saja bergumul. Seruni merasa girang sekali mendapatkan kenyataan itu. Selama ini Seruni tidak pernah gagal untuk mendapatkan lelaki yang diinginkannya.
Karena itu dirinya mendapatkan julukan Dewi Pemikat! Seruni benarrbenar lihai menyenangkan hati lelaki. Pergumulan dalam air itu membuat Andika terlena. Ia tidak mampu bertahan lagi dari gejolak yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Hingga di bibir Seruni tersungging senyum puas.
***
Mereka sedang mengeringkan tubuh di depan nyala api. Pakaian hijau pupus yang dikenakan Pendekar Slebor sudah agak mengering.
"Kami telah menjadi korban orang-orang Lembah Tengkorak...," ucap Seruni seraya menundukkan wajah.
Kemudian Seruni sengaja mengarang cerita agar Andika menjadi trenyuh. Tentu saja Seruni tidak mau berterus terang tentang siapa dirinya. Seruni mempunyai dendam kesumat terhadap Nyai Pelet, bekas gurunya sendiri. Sakit hati Seruni pada Datuk Subendo juga tidak mungkin terobati. Sebab dulunya Datuk Subendo adalah kekasih Seruni. Datuk Subendo tega membuang Seruni demi cita-citanya untuk menjadi orang tersakti di pulau Jawa.
Datuk Subendo menerima Nyai Pelet karena guru Seruni itu bisa membantu dirinya untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kini muncul keinginan Seruni untuk memperalat Pendekar Slebor agar membalaskan sakit hatinya. Seruni ingin menggagalkan rencana Datuk Subendo itu.
Kalau bisa ia juga akan menguasai Kembang Keabadian itu! "Kamu tahu apa yang akan dilakukan Datuk Subendo bersama Nyai Pelet, sehubungan dengan Kembang Keabadian itu?" tanya Andika penuh perhatian.
"Mereka akan melakukan persembahan di malam bulan purnama. Kalau hal itu benar-benar terjadi maka semua keinginan mereka akan tercapai...," jawab Seruni.
Andika terdiam. Ia teringat semua ucapan Peramal Sakti tempo hari. Kembang ajaib yang munculnya seratus tahun sekali itu akan menimbulkan malapetaka jika digunakan dengan cara yang salah oleh tokoh sesat.
"Kang Andika, datanglah ke Lembah Tengkorak untuk menggagalkan persembahan itu. Tolong balaskan sakit hatiku pada mereka...," ucap Seruni penuh harap.
"Ya. Aku pasti akan datang ke Lembah Tengkorak. Apakah kau akan ikut bersamaku?" jawab Andika.
"Dengan senang hati aku akan menyertaimu...." Seruni bangkit. Lalu ia berjalan ke arah Andika dan duduk di pangkuannya.
"Terima kasih. Kang Andika... terima kasih...." Andika jadi kelabakan sendiri karena Seruni kembali memeluknya dan menciumi wajahnya.
***
Dua orang mengenakan pakaian lusuh yang sudah compang-camping berlari dengan gerakan ringan sekali. Kaki mereka sepertinya tidak menyentuh tanah sedikit pun. Masing-masing membawa tongkat bambu seukuran setengah tombak. Salah seorang mengenakan kacamata dengan satu kaca saja. Dialah Pengemis Mata Picak! Sedang orang yang berlari di sebelahnya adalah Pengemis Tonggos! Wajahnya sudah dipenuhi dengan kerutkeriput, sedang giginya hanya tersisa dua biji yang moncong keluar. Mereka mewakili Partai Pengemis Utara, sebuah perkumpulan pengemis yang dinilai telah bersekongkol dengan aliran hitam.
"Kami dua orang dari Partai Pengemis Utara sudah datang. Apa kalian tidak mempunyai sambutan yang lebih baik dari itu" Tolong catat nama kami dengan huruf yang besar-besar agar mudah dibaca oleh tamu yang lain," ucap Pengemis Mata Picak pada penjaga yang bertugas menerima tamu.
"Baik, Tuan Pendekar...," jawab penjaga yang bertugas menerima tamu tadi.
"Hek hek hek hek...," sambil tertawa dua orang dari Partai Pengemis Utara tadi berlalu. Para penjaga terbengong melihat kehebatan dua orang tadi. Dari cara mereka berlari tadi sudah bisa dilihat kehebatan mereka dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Kemudian saat mereka tertawa tadi, meskipun mereka sudah berlalu jauh, tapi suaranya masih terdengar jelas seakan mereka masih berada di situ.
Hari ini Lembah Tengkorak kedatangan tokoh-tokoh sakti dari delapan penjuru angin. Mereka sengaja diundang untuk mengikuti sebuah sayembara. Nanti para tamu itu akan saling berlaga untuk mencari siapa yang paling unggul. Setelah itu sang pemenang akan berhadapan dengan Putri Kencana! kalau bisa mengalahkan Putri Kencana maka ia akan berhak mempersuntingnya.
Di tengah tanah lapang itu didirikan sebuah panggung untuk tempat berlaganya para tokoh sakti itu. Kursi-kursi dipasang mengelilingi panggung yang cukup luas itu.
Lembah Tengkorak memang sedang melaksanakan suatu hajat yang besar. Para tokor sakti yang datang ke Lembah Tengkorak itu dijamu dengan segenap keramah-tamahan, juga dijamu dengan makanan dan minuman yang terus saja mengalir. Para tokoh sakti dari delapan penjuru angin itu sudah banyak yang datang.
Mereka duduk mengitari panggung.
Kebanyakan dari mereka memang golongan hitam. Dalam dunia persilatan Datuk Subendo dikenal sebagai seorang tokoh jahat di masa lalu. Sebagian ada juga yang datang dari golongan putih. Mereka hanya ingin tahu, apa keinginan Datuk Subendo di balik pelaksanaan sayembara itu.
Sementara itu di luar, seorang kakek bertubuh kerdil, berkepala botak, dengan rambut jarang yang sudah memutih semua sejak tadi mengamati suasana. Kakek itu kebingungan sendiri melihat keramaian di Lembah Tengkorak itu. Sesekali ia mengelus kepalanya yang botak.
"Ini pasti ada yang tidak beres...," ucap Peramal Sakti seperti orang linglung.
"Ah, apakah Pendekar Slebor sudah tiba di sini?" Saking bingungnya, Peramal Sakti berjalan tanpa sadar. Kakek botak itu melangkah mendekati para penjaga yang bertugas menyambut para tamu. Hingga Peramal Sakti tersadar kalau dirinya adalah tamu tidak diundang.
"Selamat datang di Lembah Tengkorak, Tuan Pendekar...," ucap penjaga tadi seraya menjura penuh hormat.
"Oh, ah... eh...," ucap Peramal Sakti tergagap.
"Siapa nama Tuan Pendekar ini biar kami catat dalam daftar tamu?" tanya penjaga tadi ramah.
"Aku tidak punya nama...," jawab Peramal Sakti sekenanya.
"Apakah harus saya tulis Pendekar Tanpa Nama?" usul penjaga itu.
"Terserah mau mulah! Asal jangan kau tulis Kakek Tua Botak...." Peramal Sakti langsung ngeloyor memasuki pintu gerbang. Ia terus saja mengelus kepalanya yang mengkilap terkena cahaya matahari. Di dalam sudah banyak sekali para tamu yang menempati tempatnya masing-masing. Mereka dijamu dengan makanan dan minuman sepuaspuasnya. Para tamu kelihatan gembira sekali karena dijamu oleh pelayan-pelayan cantik. Peramal Sakti terus bertanya-tanya dalam hati, ada apakah gerangan" Ia yakin bahwa malam nanti akan terjadi suatu kejadian yang dahsyat di Lembah Tengkorak. Sebab nanti malam tepat pada malam bulan purnama! Peramal Sakti sudah punya dugaan, namun tidak yakin dengan dugaannya itu. Akhirnya kakek bertubuh kerdil itu keluar lagi.
"Kenapa keluar lagi Tuan Pendekar?" tanya penjaga tadi ramah.
"Tidak apa-apa... kepalaku jadi pusing jika melihat perempuan-perempuan cantik diganggu tangan-tangan jahil." jawab Peramal Sakti.
"Ah, bukankah itu jamuan dari kami agar para tamu bergembira?"
"Tapi aku malah jadi pusing!"
"Kalau begitu masuk lagi saja, Tuan Pendekar... kami sudah menyediakan jamuan makan dan minum...," ujar penjaga itu lagi.
"Eh, ngomong-ngomong... siapa sih yang sunatan" Apa ada sunatan massal di sini?" tanya Peramal Sakti nyeleneh.
"Apakah Tuan Pendekar tidak tahu kalau di sini akan diadakan sayembara untuk memperebutkan Putri Kencana?"
"Wah, aku sendiri belum sempat kenalan dengan Putri Lencana... siapa tadi?"
"Putri Kencana!"
"Maksudku yang itu!" Sambil mengelus-elus kepalanya kakek bertubuh kerdil itu berlalu. Para penjaga itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah Peramal Sakti yang dirasa aneh.
Peramal Sakti berkelebat, Pendekar Slebor yang sedang dicari-cari ternyata tidak berada di dalam. Padahal kakek botak itu yakin kalau Andika akan datang ke Lembah Tengkorak.
***
::֍:: { 6 } ::֎::
"Eee, ketemu lagi...'," ucap Pendekar Slebor seraya mendekat.
Seruni yang saat itu menyertai Pendekar Slebor ikutan mendekat.
Peramal Sakti melengos. Ia tidak mau memperhatikan kehadiran pemuda berpakaian hijau pupus itu.
"Wah, ngambek nih?" Andika memandangi wajah yang cemberut itu.
"Apakah kau tidak bisa menghilangkan kesukaanmu, yang suka mengganggu orang?" tanya Peramal Sakti ketus.
Andika garuk-garuk kepala. Sableng juga kakek ini! Pikirnya dalam hati.
"Kenapa kau kelihatan murung begitu, Kek"'" tanya Andika tidak lagi berseloroh.
"Karena aku tidak bisa menjawab satu pertanyaan yang keluar dari lubuk hatiku...."
"Ah, kenapa kau tidak mau bertanya padaku saja, Kek" Apa namaku tidak kesohor sebagai Si Pintar dari Lembah Kutukan?" Peramal Sakti menoleh. Dipandanginya Andika yang cengar-cengir itu.
"Dari tampangmu memang tidak pantas sebagai orang pintar. Tapi apa salahnya jika aku mencoba...."
"Ngeledek, ya?" Kendati pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu wajahnya masih tampak nyengir, Peramal Sakti tidak mempedulikannya. Kali ini ia ingin bicara dengan serius.
"Begini, Pendekar Slebor... aku sendiri benar-benar tidak habis pikir. Malam nanti adalah tepat malam bulan purnama.
Kenapa di Lembah Tengkorak justru diadakan sayembara yang ramainya seperti ada sunatan?"
"Ah, itu pertanda kiamat...," desis Andika.
"Kiamat yang mana maksudmu?" tanya Peramal Sakti tak mengerti.
"Pokoknya ya kiamat...."
"Ngomongmu tidak jelas anak muda!"
"Sebaiknya kita segera ke sana saja dan mencegah agar rencana mereka bisa kita gagalkan...."
"Aku tidak mau ikut kalau kau tidak mengatakan maksudnya kiamat itu...."
"Wah, meskipun sudah tua penyakit ngambekmu belum juga hilang, Kek!" Peramal Sakti dan Andika saling berpandangan. Jelas bahwa kakek bertubuh kerdil itu tidak mau lagi bercanda.
"Sayembara itu untuk memperebutkan Putri Kencana. Padahal aku yakin persembahan itu akan dilakukan malam nanti," ucap Peramal Sakti.
Andika menoleh ke arah Seruni yang sejak tadi cuma terdiam.
"Siapakah Putri Kencana itu?" tanya Andika pada Seruni.
"Putri Kencana itu tidak ada! Menurutku Putri Kencana adalah Nyai Pelet itu sendiri.
Setelah persembahan itu Nyai Pelet akan tampak lebih muda dari usianya sendiri. Ia akan terlihat seperti gadis belia meskipun usianya sudah hampir seabad," Seruni menjelaskan.
"Berarti mereka diundang itu. hanya untuk mengakui kehebatan Putri Kencana.
Pada nantinya semua pendekar itu akan diajak bersekutu. Mungkin bagi yang tidak mau akan dibinasakan di Lembah Tengkorak. Jadi maksudku kiamat itu ya yang begitu" Andika menimpali.
Peramal Sakti tertawa gembira karena sekarang sudah paham dengan hal itu.
Saking girangnya ia sampai berjingkrak jingkrak seperti anak kecil.
"Aku mengerti sekarang... sekarang aku sudah mengerti...," ucap Peramal Sakti.
Andika dan Seruni segera bergegas untuk pergi ke Lembah Tengkorak. Di bibir mereka tersungging seulas senyum karena kekonyolan Peramal Sakti.
"Hoeyy... tungguuu... aku jangan ditinggal...," teriak Peramal Sakti seraya berlari menyusul.
Di Lembah Tengkorak, saat itu para tamu sudah berkumpul. Mereka duduk mengelilingi panggung yang berada persis di tengah-tengah. Tidak lama lagi acara itu pun akan segera dimulai. Hadirin yangtadinya sibuk sendiri-sendiri hingga suasana menjadi gaduh, kini pada terdiam.
Datuk Subendo tampil ke atas panggung.
Sejenak seluruh perhatian tertuju ke arahnya. Setelah berdiri di tengah panggung, Datuk Subendo siap menyampaikan kata sambutan.
"Hadirin yang kami hormati, kami minta maaf sebesar-besarnya jika ada jamuan kami yang kurang, atau sambutan kami yang kurang sopan ini. Adalah kehormatan besar bagi kami, karena para undangan yang datang dalam sayembara ini adalah para pendekar muda yang datang dari delapan penjuru mata angin. Kami mengucapkan selamat datang di Lembah Tengkorak ini...," ucap Datuk Subendo.
Kemudian disusul dengan tepuk tangan riuh para hadirin. Dalam memberikan sambutan itu Datuk Subendo tidak mau berpanjang lebar. Sekiranya dirasa cukup ia segera turun dari panggung.
Menginjak acara berikutnya, beberapa murid Lembah Tengkorak tampil ke atas panggung untuk memperagakan kebolehannya dalam hal ilmu silat. Untuk sementara semua perhatian tertuju ke arah panggung.
"Kita harus tahu tempat yang akan digunakan untuk melakukan persembahan.
Malam nanti kita harus bisa bertindak!" ucap Andika.
"Aku sudah tahu tempat itu!" jawab Seruni bersemangat.
Peramal Sakti masih termangu-mangu menyaksikan pertarungan yang berlangsung di atas panggung. Andika jadi jengkel sekali karena orang tua bertubuh kerdil itu sejak tadi tidak memperhatikan ucapannya.
"Ayo Kek...." Pendekar Slebor segera menarik tangan Peramal Sakti.
"Kita mau ke mana?" tanya Peramal Sakti.
"Menangkap tikus!" jawab Andika.
"Hii! Aku paling takut dengan tikus...."
"Kalau begitu menangkap cicak saja!"
"Aku tidak jadi ikut, kalian saja...." Peramal Sakti hendak berbalik lagi.
Andika jadi jengkel juga dibuatnya.
Kemudian ia sadar dan segera merogoh saku.
"Kek, apakah kau masih mau membantah perintahku?" ucap Andika seraya menunjukkan bangkai cicak.
"Monyet buduk! Jauhkan benda itu dariku...," pekik Peramal Sakti takut.
"Aku tidak akan membuangnya kalau kau masih berulah."
"Baiklah, kali ini aku akan menuruti kalian...." Sambil tersenyum Pendekar Slebor memasukkan cicak itu kembali ke sakunya Terbelalak mata Peramal Sakti melihat ulah Pendekar Slebor itu.
"Buat apa kau simpan benda jelek itu?" tanyanya sewot.
"Untuk persediaan...." Dengan petunjuk Seruni, mereka bisa menemukan tempat-tempat rahasia. Lorong bawah tanah itu dijaga ketat oleh para penjaga. Untuk melakukan penyelidikan itu mereka harus bisa mencuri kelengahan penjaganya.
"Menurutku tempat persembahan itu berada di ruang bawah tanah," ucap Seruni yakin.
"Apakah kita akan masuk ke sana, Kek?" tanya Andika pada Peramal Sakti Orang tua bertubuh kerdil itu mengeluselus kepalanya yang botak. Tampaknya ia sedang berpikir. Lalu orang tua itu tersenyum sendiri.
"Berarti ada lubang di atas ruang bawah tahah itu! Yang pasti ada lubang...,' ucap Peramal Sakti.
"Lubang apa maksudmu?" Andika tidak mengerti.
"Bagi para penganut ilmu hitam yang sesat, rembulan adalah lambang dari sumber kekuatan. Tidak mungkin mereka melakukan persembahan itu tanpa cahaya rembulan...."
"Lalu?" kejar pemuda urakan dari Lembah Kutukan.
"Kalau saja benar yang dikatakan Seruni bahwa tempat persembahan itu berada di ruang bawah tanah, pasti ada lubang untuk masuknya cahaya rembulan," ucap Peramal Sakti yakin.
"Aku pernah memeriksa seluruh tempat ini. Tidak ada lubang yang kau maksudkan itu. Orang Tua...," sangkal Seruni.
"Berarti persembahan itu tidak di ruang bawah tanah!" Peramal Sakti ngotot.
Kekerasan Peramal Sakti itu membikin Seruni jadi terdiam. Seruni tahu di mana tempat itu karena cerita dari Singo Menggolo yang dibunuh dengan cara biadab. Singo Menggolo telah menceritakan semua pada Seruni.
"Orang yang paling tahu tempat ini adalah Seruni, Kek...." Andika berusaha menengahi. , "Dan yang paling tahu tentang persembahan itu adalah aku!" Peramal Sakti ngeyel.
"Aku yakin tidak ada lubang!" ucap Seruni seraya mendesah.
"Ada!" Peramal Sakti tidak mau kalah.
"Yang ada hanyalah sebuah cerobong yang tinggi," jelas Seruni.
"Cerobong itulah yang aku maksud sebagai lubang! Cahaya rembulan akan bisa masuk dari situ...."
"Aku yakin dugaanmu itu benar, Kek! Ayo kita periksa cerobong itu...." Andika memutuskan.
***
Para hadirin dipersilakan tampil ke atas panggung sekadar untuk memamerkan kelihaian ilmu silatnya. Acara itu dimaksud hanya sebagai pemanasan saja. Sedang untuk menentukan siapa pemenang yang berhak tampil untuk menandingi ilmu silat Putri Kencana akan ditentukan besok.
Dengan satu loncatan indah dan ringan sekali, seseorang tampil ke atas panggung.
Dia adalah Tumenggung Larasmoyo, bekas seorang pejabat kerajaan yang dipecat karena membelot. Kini Tumenggung Larasmoyo bergabung dengan para perompak Alas Dempet di laut selatan.
"Hua ha ha ha...," Sesampainya di atas panggung Tumenggung Larasmoyo tertawa keras sekali. Suara tawa yang aneh itu terasa memekakkan telinga. Sebab tumenggung berperut buncit itu tertawa sambil mengerahkan segenap tenaga dalamnya.
Orang-prang di sekitar panggung yang ilmu silatnya masih rendah segera menutupi kedua telinganya.
"Aku Tumenggung Larasmoyo, izinkan untuk menampilkan sebuah tontonan. Jika ada yang ingin bermain-main denganku di atas panggung, jangan malu-malu untuk meloncat kemari," tantang Tumenggung Larasmoyo pada segenap hadirin.
Tidak berselang lama seorang pemuda tanggung meloncat ke atas panggung.
Kemudian pemuda tanggung itu menjura pada Tumenggung Larasmoyo.
"Izinkanlah aku seorang pengelana dari Padepokan Sindoro untuk meminta sedikit pelajaran dari Tumenggung...," ucap pemuda itu sopan.
"Dengan senang hati aku akan memberimu pelajaran, Anak Muda! Seranglah aku dalam dua puluh jurus, aku hanya akan menghindar dan menangkis, jika kamu berhasil memukulku maka aku akan mengaku kalah," jawab Tumenggung Larasmoyo karena merasa sudah bisa mengukur kepandaian lawannya.
Pemuda tanggung itu terkejut sekali karena merasa dirinya direndahkan.
Matanya menyala-nyala ketika memandangi wajah Tumenggung Larasmoyo. Kebencian langsung menggelegak di hati pemuda tanggung itu melihat wajah Tumenggung Larasmoyo yang sinis.
Tanpa menunggu lagi pemuda itu langsung mengeluarkan jurus andalannya.
Tubuh pemuda itu bergerak memutar sehingga terbentuk pusaran angin yang cukup keras. Sejurus kemudian pemuda itu telah menyongsong Tumenggung Larasmoyo dengan sambaran-sambaran berbahaya! Tapi seperti yang dikatakan Tumenggung Larasmoyo tadi, ia tidak pernah berusaha untuk membalas serangan pemuda tanggung yang bertubi-tubi itu.
Tumenggung Larasmoyo hanya menangkis sambil berkelit ke sana kemari.
Hadirin takjub melihat kehebatan Tumenggung Larasmoyo itu. Menggebrak dengan sepuluh jurus pertama, pemuda tanggung dari Padepokan Sindoro itu tidak mampu menyentuh tubuh Tumenggung Larasmoyo seujung jari pun! Pemuda tanggung itu merasa penasaran sekali. Ia merasa telah dipermalukan.
Menginjak jurus kelima belas, pemuda tanggung itu mengerahkan segenap tenaga dalamnya. Ia akan menggunakannya sewaktu Tumenggung Larasmoyo lengah.
Sampai pada jurus kedua puluh, pemuda tanggung dari Padepokan Sindoro itu tetap tidak bisa berbuat banyak. Karena itulah ia melakukan sedikit kecurangan, tanpa diduga pemuda tanggung itu melancarkan satu pukulan jarak jauh.
Werrr! Tamparan angin keras yang panas itu melanda ke tubuh Tumenggung Larasmoyo.
Tapi Tumenggung Larasmoyo yang sudah bisa menduga hal itu sebelumnya melakukan balasan yang lebih dahsyat! Ketika ia menghentakkan kedua tangannya, sinar merah bagai menyala api yang berpijar melesat menyongsong serangan itu! Gluarr! Terjadi ledakan hebat dan menimbulkan sedikit guncangan. Para hadirin jadi terbeliak melihat pemuda tanggung dari Padepokan Sindoro itu terlempar jauh ke belakang. Ia terlempar jauh sampai ke luar panggung. Pemuda tanggung itu tidak bisa bergerak gerak lagi karena pingsan akibat mengalami luka dalam yang serius.
Sejenak suasana menjadi hening.
Kehebatan Tumenggung Larasmoyo seakan telah membungkam mereka semua.
Keheningan itu tidak berlangsung lama, tidak lama kemudian sebuah bayangan berkelebat. Kini sosok tubuh kurus dengan rambut panjang yang sudah pada memutih berdiri persis di hadapan Tumenggung Larasmoyo. Kedua mata kakek kurus itu sepertinya tidak pernah terbuka. Dialah Pertapa Sesat dari Gunung Semeru! "Ah, rupanya kau pun ingin bermainmain denganku, Pertapa Sesat...," ucap Tumenggung Larasmoyo sambil terkekeh.
"Aku hanya ingin menjajal sampai di mana perkembanganmu selama ini," ucap Pertapa Sesat dingin.
"Tentu ini merupakan suatu kehormatan buatku, Pertapa Sesat. Tapi perlu aku ingatkan, sekarang ini kita hanya mainmain. Sebab ketentuan untuk mendapatkan Putri Kencana itu akan dilakukan besok!"
"Terserah kalau kamu menganggapnya main-main...."
"Karena itulah kau boleh menyerangku dalam sepuluh jurus. Kalau kau berhasil memukulku maka aku akan turun dari panggung ini."
"Baiklah...." Pertapa Sesat segera mengatur posisinya.
"Awas serangan!" Kehebatan Tumenggung Larasmoyo dalam menghindari setiap serangan telah membuat puluhan mata terbeliak takjub! Ilmu meringankan tubuhnya benar-benar telah mampu mencapai tingkat kesempurnaan. Pertapa Sesat terus saja menggenjot tenaga dalamnya. Ia penasaran sekali karena serangannya selalu mengenai tempat kosong. Pertapa Sesat sudah berusaha mengubah siasat yang menyerangnya. Kendati demikian, ia memang harus mengakui kehebatan Tumenggung Larasmoyo.
***
::֍:: { 7 } ::֎::
Tumenggung Larasmoyo terkejut bukan main melihat kehadiran orang tua itu.
Keangkuhan yang ditunjukkannya tadi seketika lenyap. Kini berubah menjadi kekhawatiran yang menyelimuti Tumenggung Larasmoyo.
"Eyang Wisanggeni"!" pekik Tumenggung Larasmoyo seakan tidak percaya.
"Rupanya kau belum melupakan aku, Larasmoyo...," jawab Eyang Wisanggeni dingin.
"Apakah kau ingin mengikuti sayembara ini, Eyang?"
"Ha ha ha ha... rasanya aku sudah terlalu tua untuk itu. Aku yakin kau pasti tahu maksud kedatanganku ke sini...." Eyang Wisanggeni mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
"Sayembara ini akan dimulai besok, di sini aku hanya ingin main-main...," Tumenggung Larasmoyo sengaja mengulur waktu.
"Aku sudah terlalu tua untuk main-main, Larasmoyo...." Eyang Wisanggeni terdiam sejenak.
"Tidak ada lagi permainan yang lebih menarik buatku selain mencabut nyawamu...." Seketika memucat paras Tumenggung Larasmoyo. Ia sudah bisa merasakan gelagat yang tidak baik dengan kedatangan Eyang Wisanggeni itu. Bertahun-tahun Tumenggung Larasmoyo menghindari pertemuan dengan Eyang Wisanggeni yang bersumpah untuk membunuhnya karena Tumenggung Larasmoyo membelot dari kerajaan.
"Apakah Eyang tidak mau menghormati Penguasa Lembah Tengkorak yang punya hajat besar ini?"
"Justru mereka yang harus menghormati kita sebagai tamu. Mereka pasti bersedia memberi kesempatan kita untuk menyelesaikan urusan pribadi." Tumenggung Larasmoyo semakin keder dibuatnya. Tapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempertahankan nyawanya sendiri.
"Hiaaaatt!" Disertai dengan satu teriakan, Tumenggung Larasmoyo menggempur.
Eyang Wisanggeni berkelit dengan cara memutar tubuhnya.
Dukk! Kedua tangan Tumenggung Larasmoyo beradu dengan telapak tangan Eyang Wisanggeni. Hampir tidak bisa dipercaya karena akibat beradunya dua tenaga sakti itu membuat Tumenggung Larasmoyo terhuyung-huyung ke belakang. Sementara Eyang Wisanggeni tidak bergeming sedikit pun! "Aku ingin kau bisa menunjukkan kehebatanmu. Biar orang-orang itu kagum melihat kelihaianmu...," ejek Eyang Wisanggeni. Memerah paras Tumenggung Larasmoyo mendengarnya. Ia berusaha menguasai posisinya kembali. Akibatnya benturan keras tadi membikin dada Tumenggung Larasmoyo terasa sesak.
"Sudah terlalu banyak dosa-dosa yang telah kau timbun Larasmoyo, karena itu kau harus siap untuk menebusnya dengan kematian," ucap Eyang Wisanggeni bukan sekadar gertakan.
Tumenggung Larasmoyo berusaha untuk melipatgandakan serangannya. Ia sadar kalau Eyang Wisanggeni ilmunya ada beberapa tingkat di atasnya. Kalaupun ia harus mati, lawannya juga harus terluka.
"Hiaaatt!" Tumenggung Larasmoyo kembali berteriak. Sejurus dengan itu ia sudah kembali menerjang. Eyang Wisanggeni yang sejak tadi cuma terdiam itu menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Kemudian tubuh orang tua itu melesat tinggi ke udara. Kali ini serangan Tumenggung Larasmoyo hanya lewat dengan begitu saja.
Begitu kedua kakinya sudah menjejak ke tanah lagi, Eyang Wisanggeni menghimpun tenaga dalamnya dengan cara memadukan telapak tangannya di depan dada. Dari kedua telapak tangan itu berkilauan warna biru dan berkilat-kilat. Eyang Wisanggeni siap meluncurkan pukulan 'Buana Biru' yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu! Tumenggung Larasmoyo kaget bukan main. Ia sadar kalau lawannya sudah tidak main-main lagi. Karena itu Tumenggung Larasmoyo tidak ada pilihan lain selain menandingi dengan ajian "Sosro Lebur'.
Kemudian Tumenggung Larasmoyo segera menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Ia terpejam dengan sekujur tubuh tergetar kaget. Sinar berwarna putih keperakan melesat dari telapak tangan Tumenggung Larasmoyo. Sinar keperakan itu terus saja menderu ke tubuh Eyang Wisanggeni. Tapi sikap orang tua itu tampak tenang sekali.
Eyang Wisanggeni tetap melancarkan pukulan 'Buana Biru'! Semua mata terbeliak ketika sinar putih keperakan itu bagai ditelan oleh sinar biru berkilat yang bentuknya seperti bola api itu.
Tiga bola api berwarna biru pijar menderu ke tubuh Tumenggung Larasmoyo disertai dengan suara gemuruh susul-menyusul ! Tumenggung Larasmoyo wajahnya memucat dan matanya melotot kaget.
Deeeess! Tumenggung Larasmoyo terlempar tujuh tombak. Lalu terdengar suara bagaikan pohon tumbang. Tumenggung Larasmoyo tewas dengan mata mendelik dan tubuh mengalami luka terbakar! Eyang Wisanggeni memandangi kematian Tumenggung Larasmoyo dengan tatapan dingin. Kemudian tubuhnya berkelebat begitu cepat. Sementara para hadirin hanya bisa memandangi kepergiannya.
***
"Edan! Kenapa mereka bisa begitu bahagia" Seakan mereka tidak menyadari rencana Datuk Subendo dan Nyai Pelet di balik semua itu...," ucap Andika seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Kita bergabung dengan mereka saja, Pendekar Slebor!" usul Peramal Sakti.
"Apakah kau masih tergiur dengan perempuan cantik, Kek?" tanya Andika.
"Monyet buduk! Sembarangan saja mulutmu ngomong," Peramal Sakti bersungut-sungut.
"Aku bisa mati kelaparan kalau terus ikut bersamamu.
Kalau kau memang tidak mau makan, biar aku sendiri saja yang ke sana...." Kemudian Peramal Sakti berlalu.
"Tunggu, Kek!" teriak Pendekar Slebor seraya menyusul langkah Peramal Sakti.
"Perutku juga sudah minta diisi...," ucap Andika seraya tersenyum.
Ketika seorang pelayan membawa penampan berisi ayam panggang lewat, Peramal Sakti menyambarnya. Andika tersenyum sendiri melihat ulah kakek bertubuh kerdil itu. Kemudian Pendekar Slebor melakukan hal yang sama.
Andika dan Peramal Sakti memilih tempat duduk yang agak berjauhan dengan tamutamu yang lain. Sebenarnya mereka risi melihat ulah para tokoh dunia persilatan itu. Tampaknya mereka telah lupa diri dan hanyut dalam kegembiraan.
"Baru kali ini aku mendapatkan jamuan yang benar-benar lengkap. Tentu aku senang sekali jika kejadian seperti ini lebih sering terjadi!" ucap seorang lelaki brewok yang duduk di seberang.
Saat itu seorang pelayan menyajikan makanan buatnya. Tangan lelaki brewok yang jahil itu terus saja menjamah tubuh pelayan yang memang aduhai itu.
Sementara pelayannya hanya tersenyumsenyum saja.
"Kenapa kau memandanginya tanpa berkedip, Kek?" tanya Andika pada Peramal Sakti.
"Ah, aku jadi teringat masa mudaku...," Peramal Sakti mengelus-elus kepalanya yang botak. Tiba-tiba seorang pelayan berjalan mendekati tempat duduk Andika dan Peramal Sakti. Seulas senyum merekah di bibirnya.
"Apakah ada pelayanan lain yang bisa kami berikan, Tuan Pendekar?" tanya pelayan itu setelah dekat. Matanya melirik nakal pada Andika.
"Ya... tapi bukan aku!"jawab Andika.
"Kakek ini tadi bilang padaku. Katanya tubuhnya pegal-pegal dan minta dipijat," Andika menunjuk Peramal Sakti.
"Dengan senang hati saya akan melakukannya...," jawab pelayan tadi.
Peramal Sakti bersungut-sungut dikerjain begitu. Andika tertawa-tawa melihatnya.
"Dasar Slebor! Ayo kita pergi dari sini...," Peramal Sakti menarik lengan Andika dan dibawa berlalu dari situ.
Pelayan tadi hanya bisa memandangi ulah mereka yang aneh itu. Andika masih sempat menoleh ke belakang.
"Pijatnya besok saja ya?" ucap Pendekar Slebor setengah berteriak.
Malam itu suasana di Lembah Tengkorak banyak sekali menyimpan keanehan. Ruang perjamuan tampak hingar-bingar dan meriah sekali. Tapi di tempat lain tampak hening, di sana-sini penjagaannya begitu ketat. Andika bersama Peramal Sakti terus saja bergerak. Mereka tengah berusaha mencari saat yang tepat untuk bertindak.
***
Di ruang bawah tanah itu terdapat sebuah tempat yang cukup luas. Orangorang berkerudung itu masuk ke sana.
Mereka berjalan dengan arah memutar, mengelilingi sebuah batu besar di mana Kembang Keabadian tumbuh di situ.
Kemudian mereka duduk bersila mengelilingi Kembang Keabadian itu.
"Apa yang hendak mereka lakukan, Kek','" tanya Pendekar Slebur dengan suara pelan sekali.
"Sssssttt!" Peramal Sakti menempelkan jari telunjuknya di bibir.
Andika garuk-garuk kepala. Perhatian mereka kembali tertuju pada upacara persembahan yang hendak dimulai itu.
Kemudian orang-orang berkerudung itu mengeluarkan suara yang menyerupai sebuah nyanyian. Nyanyian itu terdengar aneh sekali. Suaranya melengking tinggi dan menggema dari dinding ke dinding.
"Aku sampai merinding mendengar suara nyanyian itu, Kek!" ucap Andika.
"Sssssttt!" Peramal Sakti jengkel juga karena pemuda urakan itu tidak bjsa diam.
Dengan tangannya Peramal Sakti mengisyaratkan sesuatu, ia akan menjitak Andika kalau dirinya masih saja rewel.
Nyanyian aneh itu terus saja menggema ke segenap ruangan. Suara mereka terdengar kompak dari berirama.
"Mereka tengah menyanyikan pujian pada Raja Kegelapan," ucap Peramal Sakti pelan sekali.
"Sssssttt!" Andika menempelkan jari telunjuknya di bibir. Kemudian ia mengacungkan tinjunya ke wajah Peramal Sakti. Tiba-tiba saja nyanyian aneh itu terhenti.
Suasananya berubah menjadi hening sekali.
Seorang bertubuh tinggi besar yang mengenakan pakaian hitam dengan kerudung menutup sampai wajahnya tampil di muka. Ia mengambil obor yang menempel di dinding batu.
Orang bertubuh tinggi besar itu mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Wajahnya tengadah ke langit.
"Wahai. Pangeran Kegelapan! Malam ini kami mengadakan suatu persembahan padamu. Dengan disaksikan cahaya rembulan, kami bersumpah setia padamu...," ucap orang bertubuh tinggi besar itu lantang.
Seperti yang sudah pernah dikatakan Peramal Sakti, bahwa syarat persembahan itu harus ada cahaya rembulan yang masuk. Cerobong tinggi itu merupakan jalan masuknya cahaya rembulan ke dalam ruangan itu. Saat itu cahaya rembulan yang masuk belum begitu jelas, tapi nanti di saat rembulan berada tegak lurus dengan bumi.
cahaya rembulan yang masuk akan terlihat jelas. Nyanyian aneh itu kembali terdengar. Kali ini suaranya seperti mendengung. Orang bertubuh tinggi besar itu mengambil cairan berwarna merah yang ada di bawah Kembang Keabadian. Itulah darah bayi untuk persembahan! Satu persatu orang berjalan mendekati lelaki bertubuh tinggi besar itu. Kemudian lelaki bertubuh lingga' besar itu mengambil darah itu dengan sebuah rawan kecil. Saat orang-orang berkerudung hitam itu mendekat, ditorehkannya darah itu di jidat setiap orang. Nyanyian aneh itu terhenti setelah setiap orang sudah mendapat torehan darah di jidatnya. Lelaki bertubuh tinggi besar itu kembali mengangkat obornya tinggi-tinggi.
Dengan wajah tengadah ke langit ia berkata: "Wahai, Pangeran Kegelapan! Kami telah mengangkat dua orang pemimpin. Kami mengangkat dia agar bisa menjadi pengabdimu yang setia!" ucapnya lantang sekali. Lalu nyanyian aneh itu kembali terdengar. Kali ini suaranya lain dengan yang tadi. Sebentar-sebentar berubah, kadang menjadi cepat dan kadang berubah menjadi lambat.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu mengisi dua gelas dengan cairan darah. Kedua tangannya yang memegangi gelas berisi cairan darah itu diangkat tinggi-tinggi.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkahilah dua gelas persembahan ini. Akan kami berikan pada dua orang pemimpin kami, agar mereka bisa selalu mengabdi padamu...," suara lantang itu kembali terdengar. Lelaki bertubuh tinggi besar itu berjalan meninggalkan ruangan itu. Ternyata dua gelas berisi cairan darah bayi itu diserahkan pada Datuk Subendo dan Nyai Pelet. Sejak tadi mereka menunggu dalam sebuah kamar terpisah.
"Atas berkat Pangeran Kegelapan, upacara itu telah kami mulai...," ucap lelaki bertubuh tinggi besai itu Datuk Subendo dan Nyai Pelet menerima dua gelas itu.
Kemudian mereka saling berpandangan.
***
::֍:: { 8 } ::֎::
Seketika terjadi perubahan pada wajah mereka. Mata mereka jadi kelihatan berkilat-kilat. Tajam laksana mata iblis! Kembali mereka saling berpandangan.
Hingga gemuruh terasa menggelegak dalam dada masing-masing.
Mereka saling berpelukan, kemudian saling bergumul. Tenaga mereka tak ubahnya seperti pasangan remaja belasan tahun. Berkat cairan darah yang ditelan, tenaga mereka menjadi berlipat ganda.
Tidak lama kemudian ruangan itu berubah, kehangatan tumpah, berbaur dengan keringat yang keluar dari tubuh masing-masing. Nyai Pelet hanyut oleh keperkasaan Datuk Subendo. Sesekali terdengar desahan napas mereka yang tertahan. Sementara itu di sudut lain, orang-orang yang mengenakan kerudung sampai menutup kepala itu terus saja mendengungkan nyanyian aneh. Persatuan antara Datuk Subendo dengan Nyai Pelet itu merupakan salah satu syarat persembahan.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Telah kami laksanakan segala perintahmu dengan sebaik-baiknya!" ucap Datuk Subendo dengan wajah tengadah.
Di tempat lain, orang-orang berkerudung sampai menutupi wajah itu masih terus mendengungkan nyanyian aneh itu.
Bahkan suaranya terdengar semakin keras saja. Kini mereka tidak hanya bernyanyi, lapi mengangkat kedua tangannya ke udara. Mereka menggerakkan tangan itu diikuti dengan gerakan tubuh yang meliukliuk. Nyanyian aneh itu seketika terhenti ketika Datuk Subendo bersama Nyai Pelet melangkah ke situ. Kedua orang itu hanya mengenakan selembar jarik yang melilit di tubuhnya. Orang-orang yang mengenakan kerudung sampai menutupi kepala itu bangkit dan mengelilingi Datuk Subendo bersama Nyai Pelet.
Di langit rembulan memancarkan cahayanya ke segala penjuru. Tampak awan putih berarakan tertiup angin. Sejak tadi Seruni memandangi langit. Ia berada di dekat cerobong yang menjulang tinggi itu.
Di situ Seruni juga lagi melaksanakan tugasnya sendiri.
Suatu keanehan pun terjadi. Tiba-tiba dalam ruang bawah tanah bertiup angin yang cukup keras. Entah dari mana datangnya angin itu.
Kini orang-orang berkerudung itu pada berjingkrak-jingkrakan mengelilingi Datuk Subendo dan Nyai Pelet. Persembahan iblis itu sebentar lagi akan dilaksanakan.
Sementara rembulan sesaat lagi akan berada persis di atas Lembah Tengkorak.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Berkatilah persembahan ini," ucap lelaki bertubuh tinggi besar dengan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Suasana berubah menjadi hening. Lelaki bertubuh tinggi besar itu telah memimpin jalannya upacara. Saat itu Datuk Subendo bersama Nyai Pelet duduk menghadap ke bongkahan batu tempat tumbuhnya Kembang Keabadian.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menorehkan darah di kening Datuk Subendo dan Nyai Pelet, pertanda bahwa upacara persembahan itu telah dimulai.
Rembulan di langit terus saja tergelincir.
Kini terlihat dengan jelas sekali, melalui cerobong yang tinggi menjulang itu sinar rembulan masuk ke ruangan bawah tanah itu. Kembang Keabadian tampak semakin indah saat disirami sinar rembulan.
"Wahai, Segala Kekuatan yang menyatu dengan malam. Wahai rembulan tempat bersemayamnya pujaan kami, Pangeran Kegelapan! Kami persembahkan Kembang Keabadian, kami memujamu dan meminta kekuatan dari segala kekuatan yang ada di muka bumi ini," lelaki berlubuh tinggi besar itu berkata dengan selengah berteriak.
"Wahai, Pangeran Kegelapan! Datanglah...," teriak lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Dataaaangngng...," orang-orang berkerudung yang lain berteriak dengan serempak. Tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap gulita. Saat itu semua obor yang menempel di dinding sudah dimatikan. Satu-satunya penerangan adalah cahaya rembulan yang masuk melalui cerobong itu.
Kemudian menyusul suara tiupan angin yang keras sekali.
Wuuuuussss! Wuuuuussss! Wuuuuussss! Para pemuja iblis itu pada terdiam.
Suasana menjadi sunyi mencekik! "Hua ha ha ha ha ha...," terdengar suara tawa yang keras sekali.
Suara itu terdengar begitu memekakkan telinga. Seakan suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Para pemuja iblis itu terdiam, suasana itu terasa mendebarkan bagi mereka.
"Hua ha ha ha ha... akulah Pangeran Kegelapan! Ada keperluan apa hingga kalian memanggilku?" suara itu kedengarannya datang dari segala penjuru.
Tidak lama kemudian muncul sosok seperti manusia dengan kepala kerbau.
Lengkap dengan tanduknya juga. Para pemuja iblis itu sadar kalau Pangeran Kegelapan yang menjadi sesembahannya telah hadir di situ. Semua segera menjatuhkan diri dan berlutut pada Pangeran Kegelapan.
"Apa yang ingin kalian hidangkan padaku" Kini aku telah datang...," ucap Pangeran Kegelapan.
"Kami hidangkan semua yang ada, pengabdian kami, dan seluruh jiwa raga kami...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu mewakili.
"Ah, apakah tidak ada yang lebih enak dari itu?" Lelaki bertubuh tinggi besar itu mengernyitkan alisnya. Pertanyaan Pangeran Kegelapan itu kedengarannya aneh.
"Kenapa kalian hanya terdiam" Aku bisa marah karena ketololan kalian ini...," ancam Pangeran Kegelapan.
"Ampun, Pangeran Kegelapan...
ampuuuunn...," ucap orang-orang berkerudung itu serempak.
Pangeran Kegelapan mengelus-elus kepalanya yang bertanduk. Sejenak semua perhatian tertuju ke arahnya.
"Kalian tahu kalau persembahan ini telah aku berkati?" tanya Pangeran Kegelapan.
"Persembahan kalian ini telah resmi aku buka...."
"Terima kasih, Pangeran Kegelapan...
terima kasiiiih...," jawab para pemuja iblis itu serempak.
"Sekarang semua bersujud padaku, benturkan kepala kalian ke lantai...." Para pemuja iblis itu langsung menuruti apa yang dikatakan Pangeran Kegelapan.
Mereka berlutut dan membentur-benturkan kepalanya ke lantai. Mereka tidak mempedulikan meskipun sakit. Karena kepatuhan mereka itu ada yang jidatnya berdarah karena terlalu keras membenturkan kepalanya ke lantai "Hua ha ha ha ha... aku senang sekali mempunyai pengabdi yang patuh seperti kalian. Hua ha ha ha..." Pangeran Kegelapan menepuk-nepuk dadanya sendiri. Para pemuja iblis itu pada terdiam, dan siap melaksanakan perintah Pangeran Kegelapan selanjutnya.
"Sekarang aku menginginkan Kembang Keabadian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tercengang. Permintaan Pangeran Kegelapan itu kedengarannya aneh sekali.
Jika tanpa Kembang Keabadian itu upacara persembahan itu tidak akan terjadi sebagaimana mestinya. Jelas bahwa permintaan Pangeran Kegelapan itu telah menyalahi aturan main.
"Hey, Perut Buncit! Apakah kamu sudah tidak mau menuruti perintahku lagi"!" bentak Pangeran Kegelapan.
"Ampuni hambamu ini, Pangeran Kegelapan... ampuuuun...," lelaki bertubuh tinggi besar itu ketakutan juga digertak begitu.
"Sekarang kamu pilih, berikan Kembang Keabadian itu padaku atau kalian semua kukutuk menjadi kerbau congek"!" bentak Pangeran Kegelapan lagi.
"Ampuni kami, Pangeran Kegelapan...
ampuni kami...," jawab para pemuja iblis itu serempak. Lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak berani menanggung risiko atas dirinya.
Kemudian dicabutnya Kembang Keabadian itu. Kembang Keabadian itu diserahkan pada Pangeran Kegelapan dengan sikap hormat.
"Hua ha ha ha ha... aku senang sekali mempunyai pengabdi yang patuh seperti kalian...," ucap Pangeran Kegelapan.
Sejak tadi lelaki bertubuh tinggi besar itu sudah menaruh kecurigaan. Omongan Pangeran Kegelapan itu terkesan seenaknya. Dan yang lebih aneh lagi, meskipun Pangeran Kegelapan itu berdiri di hadapan mereka, tapi suaranya seperti berasal dari tempat yang berpindah-pindah.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu menjadi penasaran sekali. Banyak sekali keanehan yang terjadi saat Pangeran Kegelapan itu datang. 'Tuanku Pangeran Kegelapan, hamba yang bodoh ini minta bukti bahwa Paduka adalah Pangeran Kegelapan yang sesungguhnya,"
"akhirnya lelaki bertubuh tinggi besar itu memberanikan diri untuk bertanya. Pangeran Kegelapan mengelus-elus kepalanya yang bertanduk. Lelaki bertubuh tinggi besar itu memandangi Pangeran Kegelapan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memang aneh sekali jika Pangeran Kegelapan itu mempunyai bentuk tubuh yang kerdil.
"Kalian menginginkan bukti?" tanya Pangeran Kegelapan.
"Iya. Paduka...," jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Bodoh sekali jika kau bertanya begitu!" bentak Pangeran Kegelapan.
"Hambamu ini memang bodoh. Paduka...." jawab lelaki bertubuh tinggi besar itu.
"Kau pukul kepalamu sendiri agar bodohmu itu hilang!" perintah Pangeran Kegelapan. Anehnya, lelaki bertubuh tinggi besar itu menurut saja. Ia memukul kepalanya sendiri dengan keras sekali.
"Kau memang bodoh karena mau memukul diri sendiri. Hua ha ha ha ha...." Pangeran Kegelapan tertawa.
"Karena hamba ingin minta bukti bahwa Paduka ini memang Pangeran Kegelapan yang sesungguhnya...," desak Selaki bertubuh tinggi besar itu.
"Kau dengar, meskipun aku berdiri di sini, lapi suaraku bisa berpindah-pindah.
Apakah ada yang bisa melakukannya selain Pangeran Kegelapan?" jawab Pangeran Kegelapan.
"Kami menginginkan bukti yang lain, Paduka...."
"Bukti yang mana lagi maksudmu?"
"Kami yakin Paduka Pangeran Kegelapan bisa terbang laksana burung...," lelaki bertubuh tinggi besar itu terus mendesak.
"Terbang" Itu gampang sekali buatku.
Saat aku berlari orang akan melihatku seperti terbang. Jika aku meloncat orang juga melihatku seperti terbang...," jawab Pangeran Kegelapan.
"Aku akan terbang ke sana, kau perhatikan baik-baik...." Pangeran Kegelapan meloncat tinggi sekali. Tapi ketika kakinya hendak mendarat, kepalanya terantuk dinding hingga terlihatlah siapa sesungguhnya Pangeran Kegelapan itu. Begitu topeng kepala kerbau itu terjatuh, tampaklah seorang kakek berkepala botak dengan rambut sedikit. Dialah Peramal Sakti! "Sialan kau Pendekar Slebor!" gerutu Peramal Sakti sambil memaki.
"Bukankah kita sudah mendapatkan Kembang Keabadian itu?" jawab Andika santai.
"Bicaramu tadi ngawur sekali!"
"Kenapa kau tidak mau ngomong sendiri saja?"
"Mana aku bisa bicara dengan memakai topeng kepala kerbau itu?"
***
Para pemuja iblis itu .sudah melepaskan pakaian hitam-hitamnya. Sepuluh orang langsung menghambur untuk melakukan pengejaran. Andika dan Peramal Sakti jadi agak kelabakan karena pintu keluarnya terhalang oleh para pemuja iblis itu.
"Kita jangan memberi kesempatan pada mereka. Mereka adalah para pemuja iblis yang patut dibinasakan!" ucap Peramal Sakti pada Pendekar Slebor.
Ketika jarak para pemuja iblis itu semakin dekat, Andika telah bersiap. Ia alirkan tenaga 'Inti Petir' ke kedua tangannya. Pendekar Slebor sudah tidak mau membuang-buang waktu lagi, mereka harus secepatnya keluar dari ruang bawah tanah itu. Andika palangkan kedua tangannya di depan dada. Menyusul dengan gerakan tangannya yang menyentak.
"Heeeeeaaaa!!!!" Saat itu terdengar suara petir menyalak.
Suaranya bergemuruh di Seantero ruang bawah tanah. Menyusul kemudian, dua orang mencelat karena terdorong oleh pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Akibat kuatnya pukulan tenaga 'Inti Petir', dua orang pemuja iblis membentur dinding batu. Mereka tidak bisa bergerak-gerak lagi, tewas dengan tubuh remuk! Para pemuja iblis itu memang marah sekali karena persembahan itu telah digagalkan dua orang penyelundup itu.
Mereka terus menerjang tanpa rasa takut sedikit pun! "Pendekar Slebor! Ratakan tempat ini dengan tanah...," perintah Peramal Sakti.
Peramal Sakti sudah melesat untuk menyongsong para pengeroyok itu. Tidak lama kemudian para pemuja iblis itu tampak berjumpalitan ke udara karena tubuhnya dibanting dan dilemparkan oleh Peramal Sakti. Memang begitulah rencana Peramal Sakti untuk menghadapi lawan. Ia tidak mau membunuh orang, makanya paling banter para pemuja iblis itu hanya pingsan saja. Sementara jumlah para pengeroyok itu tidak juga makin berkurang. Kalau keadaan seperti itu dibiarkan, maka Peramal Sakti bisa terdesak hebat! Andika segera mengerahkan segenap tenaganya untuk mengeluarkan ajian 'Guntur Selaksa'. Saat itu tercipta suatu gelombang angin, sekujur tubuh Pendekar Slebor seketika dikelilingi oleh pernik keperakan. Saat itulah Andika menghentakkan kedua tangannya ke muka.
Disertai suara petir menyalak, suara itu bergemuruh memekakkan telinga. Sebuah kilatan melesat menghantam langit-langit ruang bawah tanah itu.
Bummmm!! Suara ledakan terdengar keras. Ruang bawah tanah itu bagai diguncang gempa yang cukup hebat. Bongkahan-bongkahan batu rontok beserta debu debu yang tebal.
Andika melakukan hal itu dengan tujuan untuk mengubur para pemuja iblis itu hidup-hidup.
"Kita tinggalkan tempat ini, Kek!" teriak Andika sambil menyeret tangan Peramal Sakti. Para pemuja iblis itu kehilangan jejak.
Saat debu-debu tebal itu mengepul, mereka tidak bisa melihat apa-apa. Hingga Andika bersama Peramal Sakti berlari semakin jauh. Sesaat lagi mereka akan bisa mencapai pintu keluar ruang bawah tanah itu.
"Iblis laknat! Berani-beraninya kalian membikin kekacauan di sini!" terdengar suara teriakan yang memantul dari dinding ke dinding. Andika terkesiap. Dilihatnya Nyai Pelet berdiri tidak jauh darinya. Andika sendiri seakan tidak bisa percaya dengan penglihatannya sendiri. Sebab Nyai Pelet yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis cantik yang begitu mempesona.
Padahal sepengetahuan Andika, Nyai Pelet adalah seorang nenek peot yang sudah bau tanah.
"Pendekar Slebor, namamu begitu harum di dunia persilatan. Sayangnya kau paling suka mencampuri urusan orang...," ucap Nyai Pelet.
"Peduli setan denganmu, Nenek Peot! Yang penting aku bisa puas mempermainkanmu..."
"Kalau kau memang suka permainan, aku akan mengajakmu bermain-main. Hik hik hik...." Andika terkejut sekali ketika hawa panas menderu ke arahnya. Pendekar Slebor harus berjumpalitan, ia bersalto ke udara sehingga serangan itu berhasil dielakkannya.
"Sialan! Beraninya membokong...," umpat Andika.
"Keluarkan segenap ilmu yang kau peroleh dari Lembah Kutukan...." Andika jadi penasaran ditantang begitu.
Memang ia tidak mau membuang waktu lagi. Karena itu Andika langsung mengerahkan ajian 'Guntur Selaksa'.
Setelah tercipta gelombang angin melingkar, dan sekujur tubuh Pendekar Slebor dikelilingi oleh pernik keperakan, Andika menghentakkan keduatangannya. Terdengar salakan petir bergemuruh! Glaaaarr! Dinding batu itu jebol. Ternyata di balik dinding itu ada lorong memanjang.
"Hik hik hik...," terdengar suara tawa Nyai Pelet yang tubuhnya bagai lenyap begitu saja! "Ternyata ajianmu tidak berarti sama sekali buatku. Aku tantang dirimu untuk bertempur mati-matian. Kalau memang berani, kejar aku Pendekar Slebor...."
"Aku terima tantanganmu, Nenek Peot!" Andika segera berkelebat untuk mengejar.
"Awas, Andika! Kau telah memasuki perangkap!" Peramal Sakti memperingatkan.
Andika terus mengejar Nyai Pelet. Tapi setelah memasuki lorong panjang itu ia bagai kehilangan jejak. Dan tiba-tiba saja tempat yang dipijak Andika amblas ke bawah. Pendekar Slebor masih bisa menguasai dirinya. Lubang di atasnya yang tadi amblas kini sudah tertutup kembali. Mendadak keluar asap putih dari segala penjuru.
Andika baru sadar kalau asap itu adalah Racun Kobra yang ganas! Semakin lama asap itu pun semakin menebal. Sejauh itu Andika belum bisa menemukan jalan keluar. Paras Andika kian memucat, napasnya pun kian menyesak. Andika menutup jalan pernapasannya, sementara tubuhnya terasa semakin lemas. Lalu sebuah dinding terkuak laksana terbukanya sebuah pintu. Sebuah tangan menarik Andika untuk keluar dari ruangan itu!
***
::֍:: { 9 } ::֎::
Pengaruh Racun Kobra telah bereaksi dalam tubuh Pendekar Slebor. Denyut nadi pemuda urakan itu lemah sekali. Seruni tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan Andika.
"Kang Andika, jangan mati Kang Andika...," ucap Seruni dengan berlinang air mata. Seruni kembali memeluk tubuh itu.
"Pemuda edan! Dasar pemuda yang tidak mau menuruti nasihat orang tua...." umpat Peramal Sakti seraya berlari mendekat.
"Kenapa kau tega sekali, Peramal Sakti" Kau caci maki orang yang sedang sekarat?" Seruni memelototi Peramal Sakti.
"Karena dia tidak mau menuruti nasihatku...," jawab Peramal Sakti.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Seruni risau.
"Hanya Kembang Keabadian yang bisa menyelamatkannya kembali, "Peramal Sakti mengeluarkan Kembang Keabadian dari balik bajunya.
"Kalau begitu, lekas kau tolong Kang Andika...."
"Tidak semudah itu Seruni..." Peramal Sakti terdiam sejenak.
"Kembang Keabadian ini adalah sebuah kembang keramat. Aku tidak bisa menolongnya, karena yang bisa melakukan adalah seorang perempuan...."
"Kalau begitu serahkan saja Kembang Keabadian itu padaku. Biar aku yang menggunakannya untuk menolong Kang Andika," ucap Seruni mantap.
"Bagaimana setelah Kembang Keabadian ini kuserahkan padamu dan kau berniat menguasainya untuk dirimu sendiri"!"
"Itu tidak mungkin!" Peramal Sakti menatap lurus ke bola mata Seruni. Ada kejujuran di sana. Karena itu Peramal Sakti segera menyerahkannya pada Seruni. Kembang Keabadian itu terdiri dari tujuh mahkota yang berwarna-warni. Atas petunjuk Peramal Sakti, ketujuh helai itu ditempelkan di tujuh lubang. Dua untuk mata, dua untuk telinga, dua untuk lubang hidung, satu untuk mulut.
Beberapa saat kemudian ketujuh helai Kembang Keabadian itu berubah warna menjadi kehitam-hitaman. Kembang ajaib itu bagai menyerap racun dalam tubuh Pendekar Slebor. Kemudian Andika menggeliat. Sepertinya ia baru terjaga dari tidur.
"Kang Andika! Syukur kau bisa selamat...," teriak Seruni girang.
"Kedua pemuja iblis itu harus dibunuh! Mereka berbahaya sekali...," ucap Andika seakan keluar dengan begitu saja.
"Aku setuju sekali, Kang! Cepat lakukan itu Kang Andika, demi untuk menebuskan dendamku...," ucap Seruni mendukung.
"Mereka belum keluar dari ruang bawah tanah itu," jelas Peramal Sakti.
***
"Hendak pergi ke mana kau, Nyai Peot" Apakah kalian masih mencari tempat untuk memuaskan hasrat iblis itu?" tanya Pendekar Slebor geram.
Paras Nyai Pelet tampak menegang.
Begitu juga dengan Datuk Subendo.
"Pemuda sompret! Kau memang patut dilenyapkan dari muka bumi ini," umpat Nyai Pelet marah.
Beberapa kejap kemudian Nyai Pelet menerjang. Dihentakkannya kedua kaki ke tanah, lalu tubuhnya menukik ke arah Pendekar Slebor. Kedua tangan Nyai Pelet itu membentuk cakaran maut dengan kuku hitam memanjang.
Dengan jurus 'Cakar Maut' itu Nyai Pelet melakukan sambaran - sambaran ber bahaya. Andika mengimbangi dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Tubuh pemuda berpakaian hijau pupus itu berkelebat ke sana kemari untuk menghindari 'Cakar Maut' itu. Dan Nyai Pelet terbeliak karena jurus andalannya itu berhasil dielakkan dengan baik.
"Subendo, kita tidak butuh tata krama untuk menyingkirkan pemuda laknat ini!" ucap Nyai Pelet pada Ketua Lembah Tengkorak. Kemudian Datuk Subendo menerjang dengan pedang di tangannya. Andika jadi terjepit karena diserang dari dua arah berbeda. Sementara dari jurus pedang Datuk Subendo tercipta sinar putih yang bergulung-gulung. Dengan jurus itu Datuk Subendo berusaha mengurung Andika.
Meskipun Pendekar Slebor belum menggunakan kain pusakanya, ia masih bisa menguasai keadaan. Bahkan beberapa kali Andika berhasil menepis tangan Ketua Lembah Tengkorak itu. Pada saat itu Nyai Pelet justru sengaja menjauh.
Tiba-tiba.... Slapp! Sebuah tusukan konde menukik dengan cepat sekali. Pendekar Slebor sudah bisa memperkirakan kecurangan yang hendak dilakukan Nyai Pelet itu. Pada saat yang genting itu Andika terpaksa melolos kain bercorak catur yang melilit di lehernya.
Trangng! Tusuk konde yang dilepas Nyai Pelet itu berhasil dirontokkan. Karena tusuk konde itu dialiri tenaga dalam, maka ketika kain pusaka Pendekar Slebor menepisnya terjadilah sebuah ledakan hebat. Ketika tusukan konde itu menghantam dinding, dinding batu itu rontok dan terjadi guncangan. Datuk Subendo menyurutkan langkahnya ke belakang. Sambaran kain bercorak catur itu telah menciptakan hawa panas yang menyengat. Nyai Pelet menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Setelah mengalirkan tenaga dalam ke kedua telapak tangan, sepenuh tenaga tangan itu dihentakkan ke muka. Ketika itu Datuk Subendo juga melakukan hal yang sama.
Hingga dua larik sinar kemerah-merahan melesat ke arah Pendekar Slebor.
Andika menyadari kalau pertarungan itu menentukan hidup dan mati. Pendekar Slebor menyambutnya dengan ajian 'Guntur Selaksa'. Sekujur tubuh pemuda berpakaian hijau pupus itu dikelilingi pernik keperakan serta gelombang angin.
Lalu Pendekar Slebor mengibaskan kain pusakanya! Saat itu kedua sinar kemerah-merahan itu tertahan oleh gelombang angin yang dahsyat. Glaaarrrr! Ledakan hebat terjadi.
Disertai dengan petir menyalak dan ribuan tawon murka. Tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet terdorong tiga tombak ke belakang.
Sementara Andika meloncat ke belakang sejauh dua tombak. Datuk Subendo dari Nyai Pelet tidak pernah mengira kalau lawannya begitu hebat. Mereka merasakan dadanya sesak, dan luka dalam tak terelakkan lagi. Payahnya mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk memulihkan tenaganya kembali.
Akibat suara petir yang memekakkan telinga, disertai dengan gelombang angin panas yang dahsyat, ruang bawah tanah itu retak-retak pada bagian atapnya.
Kemarahan Andika yang menggelegak itu membuat tubuh pemuda itu panas, dan ia mengamuk bagai orang kesetanan.
Buuummm! Setiap kali Andika menghentakkan kedua tangannya dengan ajian 'Guntur Selaksa', terdengar suara salakan petir menggelegar.
Atap batu itu pun rontok menjadi bongkahan-bongkahan tak beraturan.
Debu-debu mengepul tebal sekali. Beberapa bongkahan batu yang hancur mengenai tubuh Datuk Subendo dan Nyai Pelet yang tidak sempat menghindar lagi karena telah kehabisan tenaga.
Mulanya Pendekar Slebor ingin menolong kedua orang itu dari hujan batu yang bisa mengubur mereka hidup-hidup. Tapi karena ruangan itu sendiri hampir roboh, Andika pun terpaksa berlari menuju pintu keluar. Nyai Pelet dan Datuk Subendo tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
***
"Kita pergi dari sini saja. Kang Andika! Biarlah tokoh-tokoh dunia persilatan itu bertarung sendiri. Biar dia gigit jari karena Putri Kencana tidak ada!" sahut Seruni.
"Aku tidak setuju dengan cara seperti itu...," Peramal Sakti mengajukan pendapat..
"Apakah kita harus membubarkan sayembara , itu?" tanya Andika.
"Siapa yang membubarkan acara itu pasti akan jadi sasaran kemarahan mereka!" jawab Peramal Sakti.
"Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Seruni. Kita pergi, maka habis perkara," Andika menyimpulkan.
"Itu bukan tindakan seorang ksatria!"
"Terus apa yang harus kita lakukan?" tanya Andika bingung sendiri.
"Aku mau berpikir sebentar...," ucap Peramal Sakti. Kakek bertubuh kerdil itu terdiam. Ia mondar-mandir sendiri. Dielus-elusnya kepalanya yang tidak berambut.
"Aku sudah menemukan jawabannya sekarang!" ucap Peramal Sakti seraya berjingkrak-jingkrak gembira." Semuanya akan jadi beres asalkan kamu tidak menolaknya." Andika geleng-geleng kepala melihat ulah kakek yang satu ini.
***
Tokoh-tokoh sakti dunia persilatan dari delapan penjuru mata angin datang untuk menjajal kebolehannya. Saat itu tampil ke atas panggung, Pengemis Mata Picak dari Partai Pengemis Utara. Tokoh yang satu ini termasuk tokoh terpandang dan mempunyai peluang besar untuk memenangkan sayembara.
"Mungkin masih ada lagi dari hadirin yang ingin tampil ke atas panggung...," ucap Pengemis Mata Picak agak menyombongkan dirinya.
Pengemis Mata Picak baru saja menjatuhkan lawannya yang ketiga. Selama menghadapi ketiga lawannya itu, Pengemis Mala Picak telah mempertontonkan kehebatan ilmu silatnya.
Tidak lama kemudian sebuah bayangan berkelebat. Ringan sekali ketika kedua kakinya mendarat di panggung. Dia adalah seorang kakek kurus yang mengenakan pakaian serba kuning. Matanya cekung dengan wajah yang tampak selalu pucat.
Dialah Iblis Muka Mayat! Seorang tokoh sakti dari aliran hitam yang terkenal sebagai seorang ahli sihir.
"Pengemis Mata Picak, apakah kau mau melayaniku bermain-main?" tanya Iblis Muka Mayat.
"Ah, siapa pun berhak mengikuti sayembara ini. Kenapa aku tidak mau melayanimu?" jawab Pengemis Mata Picak.
"Hek hek hek hek...." Iblis Muka Mayat terkekeh.
"Aku senang sekali melihat semangatmu untuk memenangkan sayembara ini..."
"Kiranya kita tidak perlu berpanjang lebar kata lagi Aku juga ingin menjajal sampai di mana kehebatan ilmu sihirmu?" tantang Pengemis Mata Picak sinis.
"Baiklah kalau kau ingin menjajalku...." Iblis Muka Mayat menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali.
"Awas...." Mendadak dua ekor ular sebesar jempol kaki melayang ke arah Pengemis Mata Picak. Pengemis Mata Picak terkejut sekali.
Tapi ia berhasil merontokkan kedua ekor ular itu dengan sabetan tongkatnya.
Wuuuttt! Dua ekor ular sebesar jempol kaki itu pun jatuh ke tanah. Kemudian hilang dengan menyisakan asap putih.
Kemudian Pengemis Mata Picak menerjang dengan tusukan-tusukan tongkatnya yang sangat berbahaya. Iblis Muka Mayat memutar tubuhnya hingga serangan itu mengenai tempat kosong.
Seakan Iblis Muka Mayat telah berhasil membaca jalan pikiran Pengemis Mata Picak, sehingga dengan mudah ia berhasil menguasai keadaan.
"Kali ini aku ingin melihat seorang kakek tolol yang mati dengan cara mencekik lehernya sendiri. Ayo kerahkan semua kepandaianmu," ejek Iblis Muka Mayat.
Pengemis Mata Picak semakin penasaran dibuatnya. Ia pun segera melipatgandakan serangannya. Setiap gerakannya berubah menjadi lebih cepat dan lebih bertenaga.
Tapi setiap serangannya selalu berhasil dielakkan. Menghadapi suasana seperti itu, emosi Pengemis Mata Picak semakin tidak bisa terkendali. Hal itu semakin menguntungkan Iblis Muka Mayat. Dengan begitu ia bisa menguasai jalan pikiran lawan.
Tiba-tiba saja dari tangan Iblis Muka Mayat keluar asap putih. Sorot mata orang tua bertubuh kurus itu memerah, seperti memancarkan semacam sinar aneh.
Pengemis Mata Picak merasakan kedua kakinya berat sekali untuk digerakkan.
Apalagi setelah ia menghirup asap putih itu.
Kemudian sesuatu yang aneh terjadi.
Pengemis Mata Picak merasakan seolah tongkat di tangannya berubah menjadi seekor ular. Ular itu bergerak dan melilit lehernya. Hadirin yang berada di sekitar panggung terheran-heran karena melihat Pengemis Mata Picak mencekik lehernya sendiri.
Cekikan itu kuat sekali hingga lidahnya terjulur keluar.
"Heaaatt!" Dengan satu tendangan Iblis Muka Mayat berhasil melemparkan tubuh Pengemis Mata Picak. Tubuh itu melayang dan jatuh laksana pohon yang tumbang. Jelaslah bahwa Pengemis Mata Picak gugur dalam sayembara itu. Hanya sesaat setelah tubuh Pengemis Mata Picak terlempar dari panggung, seorang berkelebat dengan cepat sekali.
Gerakannya itu seperti melayang saja Orang itu mendaratkan kedua kakinya pada jarak dua tombak dari Iblis Muka Mayat. Kini mereka sudah saling berhadapan.
Orang tua yang baru saja naik ke panggung itu adalah Pengemis Tonggos! Orang tua yang kurusnya seimbang dengan Iblis Muka Mayat. Wajahnya sudah dipenuhi dengan kerut-keriput, giginya yang cuma tinggal dua biji itu moncong keluar.
Pengemis Tonggos langsung mengeluarkan Cambuk Petirnya.
Ctar! Ctar! Cambuk Petir itu mengeluarkan suara seperti petir menyalak. Suara itu telah mengganggu konsentrasi Iblis Muka Mayat.
Untuk sementara Iblis Muka Mayai tidak bisa memamerkan kebolehannya dalam ilmu sihir.
"Aku tidak mungkin bisa kamu kibulin, Dukun Cabul! Karena itulah aku menantangmu bertempur dengan senjata.
Ayo keluarkan senjata andalanmu!" tantang Pengemis Tonggos.
Iblis Muka Mayat menjadi tergagap, karena lawannya sudah tahu kelemahannya. Kini tubuhnya harus berjumpalitan untuk menghindari cambukan berbahaya itu.
Dalam keadaan terdesak Iblis Muka Mayat meloncat beberapa tombak ke belakang. Setelan menghimpun tenaga dalam di kedua tangannya, kedua tangan itu pun dihentakkan ke muka. Seketika selarik sinar kemerah-merahan melesat ke tubuh Pengemis Tonggos.
Ctarr! Satu cambukan kuat menyongsong selarik sinar merah itu. Akibatnya terdengar suatu ledakan yang mengguncangkan.
Blaaammm! Pengemis Tonggos sudah menduga hal itu sebelumnya. Kemudian dengan tangan kirinya Pengemis Tonggos melempar satu pukulan jarak jauh. Selarik sinar kekuningkuningan melesat. Iblis Muka Mayat terbeliak kaget. Serangan itu tidak pernah terduga sebelumnya.
Iblis Muka Mayat hanya bisa menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi wajahnya. Hingga tubuhnya mental sejauh tiga tombak. Di luar panggung ia pun pingsan!
***
Putri Kencana mengenakan cadar yang menutupi wajahnya. Meskipun Pengemis Tonggos belum bisa melihat wajah itu dengan jelas, pastilah putri itu memang cantik sekali. Rambutnya yang panjang digelung ke atas.
"Aku akan melayanimu dalam dua puluh jurus. Kalau dalam dua puluh cambukan kau belum bisa melukaiku, maka kuanggap kau tidak berhak menyuntingku," ucap Putri Kencana. Pengemis Tonggos melongo dan seperti tidak percaya. Bagaimana Putri Kencana bisa melakukan itu padanya" Sebab sebagai seorang pesilat, Pengemis Tonggos sudah kenyang pengalaman. Bagaimana ia bisa direndahkan begitu rupa"
"Baiklah, Tuan Putri...," akhirnya Pengemis Tonggos menyanggupi.
Kemudian.... Ctarr! Cambuk Pelir itu meledak-ledak hebat.
Dalam lima gebrakan Pengemis Tonggos masih ragu-ragu. Bagaimana ia tega melukai calon istrinya sendiri" Karena merasa ragu cambukan itu bisa dielakkan dengan mudah. Gerakan Putri Kencana itu membikin Pengemis Tonggos takjub. Karena cambukannya selalu berhasil dielakkan, Pengemis Tonggos kian meningkatkan serangan. Tapi sejauh itu ia tetap tidak bisa berbuat banyak! Dalam menghindaricambukan itu, gerakan Putri Kencana tampak kacau.
Berpuluh pasang inata terbeliak seakan tidak bisa percaya. Bagaimana mungkin ada orang yang mampu menghindari cambukan laksana sambaran petir yang bertubi-tubi" Ctar! Ctar! Clar! Paras Pengemis Tonggos berkeringat karena sampai cambukan kedua puluh selalu mengenai di tempat kosong. Ia teringat, ada seorang yang bisa menghindar dari sambaran petir yang bertubi-tubi.
"Kau gagal, Pengemis Tonggos!" ucap Putri Kencana seraya menunjuk ke wajah Pengemis Tonggos.
Pengemis Tonggos memerah wajahnya karena malu. Dalam hati ia masih penasaran sekali.
"Aku mengakui hebatnya ilmu meringankan tubuhmu, Tuan Putri. Tapi apakah aku harus mengaku kalah begitu saja?" ucap pengemis itu.
"Kutampar mulutmu yang lancang itu, Pengemis! Apa kau belum mengaku kalah?" bentak Putri Kencana.
"Kalau saja Tuan Putri mau melakukannya, aku benar-benar mengaku kalah," tantang Pengemis Tonggos.
Putri Kencana segera menghentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya seperti melayang. Beberapa kali tangan tuan putri berusaha melakukan tamparan. Namun Pengemis Tonggos berhasil menepisnya.
Tubuh yang melayang itu pun turun kembali. Lalu Putri Kencana melakukan gerakan yang sangat kacau. Pengemis Tonggos tidak mampu membaca arah serangan itu. Satu tamparan berhasil ditepis, tapi berikutnya Pengemis Tonggos harus menerima satu kenyataan pahit.
Plak! Plak! "Apakah kau mau mengawini perempuan yang berani menamparmu, Pengemis Jelek?" ledek Putri Kencana.
Dengan menahan malu Pengemis Tonggos meninggalkan panggung. Ia berkelebat dan tidak kembali ke tempat duduknya lagi.
Putri Kencana segera menghadap pada hadirin yang melongo. Kehebatan Putri Kencana membuat mereka takjub.
"Sayembara ini aku nyatakan bubar! Tidak ada yang berhak menyuntingku karena pemenang sayembara ini tidak bisa mengalahkanku!" ucap Putri Kencana.
Setelah berkata begitu, Putri Kencana berlari kencang sekali. Para hadirin semakin melongo. Tingkah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang putri yang lembut.
Putri Kencana tidak peduli hal itu.
Putri Kencana terus saja berlari. Dua orang segera menyusul Putri Kencana.
Mereka adalah Seruni bersama Peramal Sakti.
"Peramal Sakti, aku sudah tidak tahan lagi membiarkan bedak dan gincu menempel di wajahku!" ucap Putri Kencana yang tidak lain adalah Andika.
"Tingkah lakumu tidak pantas sebagai seorang putri," ucap Peramal Sakti.
"Biarin!" Peramal Sakti dan Seruni hanya bisa tersenyum.
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul: Bidadari Pemburu Maut
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Kalung Setan --oo0oo-- Bidadari Pemburu Maut |