Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Sena Manggala. Show all posts
Showing posts with label Sena Manggala. Show all posts

Misteri Dendam Berdarah

INDEX PENDEKAR GILA
Empat Bidadari Lembah Neraka --oo0oo-- Prahara Di Gunung Kematian

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Fahri
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


₪₪₪↨֍¦ ① ¦֎↨₪₪₪

Malam merebak, membedah sisi alam dalam kehidupan gulita. Suasana hening. Gerimis pun mulai turun. Desa yang terletak sepuluh perjalanan menanak nasi dari Hutan Alas Warangan, sunyi.
Lampu sentir yang ada di setiap rumah hanya bisa bertahan sekejap, karena gerimis telah- memadamkannya.
Suara binatang malam pun tak terdengar. Mereka lebih suka berdiam di sarangnya daripada harus kena hujan. Tetapi binatang yang memang gemar air, begitu asyik bersenda gurau dengan sesamanya.
Desa yang bernama Bojong Sawo itu kalau pagi merupakan sebuah desa yang penuh dengan kegiatan. Para laki-lakinya kalau pagi bekerja di sawah dan ladang. Sementara yang wanita mencuci dan menanak nasi. Kehidupan yang ramah, ramai dan penuh kesahajaan.
Hanya saja beberapa bulan belakangan ini para penduduk di Desa Bojong Sawo mengalami sebuah tekanan yang menyakitkan, dengan kedatangan seorang laki-laki yang bernama Soka Wijaya beserta antek-anteknya. Ketenangan mereka pun menjadi kacau-balau. Mereka tidak lagi merasakan kedamaian hidup seperti dulu. Selalu berbalur ketakutan demi ketakutan, terutama yang memiliki anak gadis.
Sampai sejauh ini mereka tidak ada yang berani memberontak, diam saja dengan kepasrahan dan berharap satu saat kemurkaan yang mereka alami sekarang ini akan pergi.
Tiba-tiba, dua sosok tubuh melompat dari balik semak. Keduanya mengenakan topeng berwarna hitam. Di punggung mereka tersampir sepasang pedang yang bersilangan. Melihat dari gerak-geriknya, mereka bersiap menuju ke arah yang paling besar di desa itu. Di depan pintu gerbangnya, berdiri dua orang laki-laki gagah dengan posisi tegap. Tidak mempedulikan hawa dingin dan gerimis yang semakin banyak menumpahkan airnya.
“Kau yakin ini rumah juragan tanah yang serakah itu, Kakang?” salah seorang yang mengenakan topeng hitam itu bertanya pada kawannya.
Kawannya hanya menganggukkan kepalanya.
“Ya, Adimas. Aku sudah menyelidikinya tadi siang.
Hhh! Juragan Soka Wijaya adalah seorang lintah darat yang sangat kejam. Ia tidak segan-segan untuk memeras rakyat dengan praktek lintah daratnya. Kau ingat yang dialami oleh Bibik Utari?”
“Ya.”
“Hhh! Manusia itu bukan hanya telah membunuhnya, tetapi memperkosanya begitu saja karena ia tidak mampu membayar hutang-hutangnya! Aku tidak akan pernah tenang bila masih membiarkan laki-laki keparat itu hidup, Adimas!”
“Betul, Kakang!” sahut yang dipanggil 'Adimas' dengan kegeraman yang sama. Tubuh keduanya mulai membasah karena gerimis. Tetapi mereka tidak mem-pedulikannya. Dendam sudah bergejolak di sanubari mereka. Mereka harus menuntut balas atas kematian bibik mereka yang dibunuh secara kejam oleh Juragan Soka Wijaya.
“Ayo!” seru si kakang sambil mengendap mendekati rumah besar itu. Di belakangnya si adik mengikuti dengan kesigapan yang sama. Mereka berhenti di balik semak. Jarak dari tempat mereka ke rumah besar itu hanya beberapa tombak saja.
“Adimas... kau sanggup melumpuhkan penjaga yang sebelah kanan tanpa menimbulkan suara?” bisik si kakang.
“Ditanggung beres, Kakang.”
“Aku akan melumpuhkan yang sebelah kiri. Ayo, kita mulai!” seraya berkata begitu, si kakang melompat dari tempat persembunyiannya. Gerakannya sangat ringan sekali, menandakan kalau ilmu yang dimilikinya cukup tinggi. Si adik pun tidak mau ketinggalan, melakukan gerakan yang bersamaan.
Dua penjaga yang membiarkan tubuh mereka diterpa gerimis, tidak menyangka akan serangan mendadak itu. Kedua penjaga langsung lunglai dan menemui ajalnya dengan leher patah.
Kedua kakak beradik itu saling mengangguk. Lalu mengempos tubuhnya, hup! Kini hinggap di atas tembok yang cukup tinggi mengelilingi rumah besar itu.
“Kita harus bergerak cepat, Adi! Jangan sampai rencana ini gagal!” “Baik, Kakang!” Keduanya bersalto, namun malang, bertepatan mereka menginjak tanah, lima orang penjaga yang sedang berpatroli di sekeliling rumah, memergoki mereka.
“Siapa kalian?” bentak salah seorang. Tubuhnya tegap dengan kumis tebal menakutkan. Di tangannya ada sebuah golok yang tajam sekali. Ia bernama Tunggal Murka.
Kakak beradik itu beradu pandang. Memang tidak ada jalan lain lagi, selain menghadapi para penghadangnya.
Si kakang maju selangkah, suaranya mengandung ancaman ketika berseru, “Kalian lebih baik pergi dari sini! Kami tidak ada urusan dengan kalian!”
“Hhh! Siapa pun yang berani menginjakkan kakinya di tanah Juragan Soka Wijaya, harus berkalang tanah!”
“Bangsat! Lihat serangan!” Mendadak si kakang melesat dengan cepat, sambil melompat itu kedua tangannya bergerak. Kini sepasang pedang yang ada di punggungnya telah berpindah, di telapak tangannya dan siap menghunjamkan ke tubuh lawan.
Namun Tunggal Murka pun tidak mau kalah, Baginya, gebrakan yang dilakukan lawannya hanyalah permainan anak kecil saja. Ia menyongsong dengan menggulirkan tubuhnya di tanah. Melewati serangan si kakang yang bernama Seto itu, dan mengibaskan goloknya, membujur dari bawah ke atas, mengancam selangkangan Seto.
“Heeeaaa...!” Seto mendengus. Gebrakan pertama yang diperlihatkan lawannya menandakan sang lawan bukanlah orang yang bisa dianggap ringan. Gerakan itu sungguh menakjubkan, menandakan lawannya memiliki keberanian dan ketangkasan yang menjadi modalnya.
“Yiaaattt!” Seto mengeropos tubuhnya dengan tumpuan pedang di tangan kanannya yang menangkis golok Tunggal Murka.
Trang! Bersamaan dengan itu tubuhnya melenting, dan sepasang pedang kembarnya mengarah pada empat orang lawannya yang sejak tadi bersiaga.
“Jangan seperti sapi ompong, Monyet-monyet Lintah Darat! Jaga serangan!” Sudah tentu keempat lawannya langsung menarik golok mereka dari sarungnya, dan memapaki serangan Seto. Jurus 'Pedang Kembar Mencabik Laut' yang dimainkan Seto bukannya ilmu pedang yang ringan, itu adalah jurus warisan dari gurunya, Resi Mulia yang berjuluk Setan Pedang Kembar.
Kembangan dari jurusnya, merupakan rangkaian seperti bacokan pedang asal saja. Namun sebenarnya itu sangat terarah.
Bunyi beradunya pedang dan golok terdengar nyaring di keremangan malam. Membangkitkan keingintahuan orang-orang di dalam rumah besar itu.
Sepuluh orang bersenjatakan tombak, pun berlarian keluar. Yang sebagian lagi berjaga-jaga di dalam.
Seorang yang bertubuh tambur dengan pakaiannya yang bagus keluar dari peraduannya. Ia nampak , jengkel dan marah.
“Ada apa?”
“Maaf, Tuan... ada dua orang pengacau yang menyerang kita. Saya harap, Tuan berada di dalam saja... semuanya akan beres,” sahut pengawal yang mengenakan pakaian seperti orang keraton layaknya.
Ia bernama Jalaluta, atau yang berjuluk si Keris Dewa, karena senjatanya berupa sebilah keris yang sakti.
Juragan Soka Wijaya mendengus.
“Beritahu aku siapa mereka! Setelah itu, bunuh kedua cecunguk itu!”
“Baik, Tuan....”
“Aku tidak suka maling kecil yang ingin mencoba menembus rumah ini dibiarkan hidup!” “Baik, Tuan...” Pintu kamar yang terukir itu terbuka, satu sosok tubuh yang hanya mengenakan kain saja dan rambut yang awut-awutan keluar. Wajahnya jelita sekali.
Sepasang matanya bening, penuh dengan kegairahan. Tubuhnya yang hanya tertutup kain belaka, menampilkan satu sosok penuh gairah, menjanjikan surga dunia yang akan bisa diberikannya.
“Ada apa, Kangmas?” tanyanya mendayu-dayu.
Mengerling pada Jalaluta yang langsung menundukkan kepalanya. Bila ia membalas kerlingan itu dan diketa: hui oleh Juragan Soka Wijaya, maka akan tamatlah riwayatnya.
“He he he... tidak apa-apa, Nimas. Ayo, ayo... kita lakukan lagi,” sahut Juragan Soka Wijaya sambil tertawa. Lalu katanya pada Jalaluta, “Kenapa kau masih berada di sini, hah?!” Tergagap Jalaluta segera berlalu. Sialan! Memang enak jadi orang kaya. Apa saja bisa diperbuat. Lalu ia segera keluar sementara Juragan Soka Wijaya menggandeng wanita itu masuk ke kamar kembali.
Di halaman rumah besar itu, dua kakak beradik yang menyelinap masuk, sedang sibuk menghadapi keroyokan dari orang-orang gagah pengawal Juragan Soka Wijaya. Orang itu tidak malu-malu untuk mengeroyok mereka. Karena pada dasarnya, mereka memang suka sekali mengeroyok. Bagi mereka, yang penting adalah memetik kemenangan. Persetan dengan cara apa pun! Jangankan cuma main keroyokan, menjebak lawan dengan siasat yang paling licik pun.
“Panggil keluar semua orang-orang juragan busuk itu! Kalian akan mampus secara mengerikan!” seru Seto sambil menebaskan pedangnya ke sana kemari.
Gerakannya tetap seperti asal saja. Seolah ia hanya mengibaskan pedangnya bagai sedang menepuk lalat, tanpa melihat sasaran. Namun hasilnya justru mengejutkan. Dan dua buah jeritan terdengar dengan dua sosok tubuh ambruk bergelimang darah.
Orang-orang itu semakin mencecar Seto dan Bono yang berusaha membebaskan diri. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, keduanya beberapa kali berhasil menghindarkan diri, bahkan membalas dengan hebatnya.
Seto sebenarnya bermaksud hendak melompat ke dalam rumah. Namun ia masih memperhitungkan kedudukan adiknya. Melawan sepuluh orang itu, bukanlah hal yang mudah. Makanya, ia masih mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah mewah itu dan membunuh Juragan Soka Wijaya.
Tetapi agaknya Bono mengerti maksud kakaknya.
“Kakang! Jangan ragu-ragu! Cari bangsat itu dan bunuh biar mampus!” 'Tapi, Adi...,” balas Seto sambil menyabetkan pedangnya ke bagian bawah lawannya. Lawannya masih bisa menghindar, namun dengan gerakan yang lebih jitu lagi, Seto melancarkan sabetan sekali lagi.
Des! “Aaakhhh!” Tubuh lawannya terbelah di bagian perut! “Jangan khawatir, Kakang... aku bisa menghadapi manusiamanusia busuk ini!” sahut Bono sambil mempergencar serangannya.
“Heeeaaa!”
“Tidak usah, kita habisi saja dulu manusiamanusia bangsat ini! Setelah itu, kita cincang Juragan busuk itu! Tingkatkan ilmu pedang ke tingkat dua, Adi!”
“Baik, Kakang! Yeaaa!”
“Yiaaat! Mampuslah kalian semua!” Keduanya bergerak semakin gencar. Semakin membabi buta. Pada gebrakan selanjutnya, terlihat lawan yang kini tinggal tujuh orang bukan tandingan ilmu pedang tingkat kedua milik Seto dan Bono.
Mereka malah kalang kabut menghadapi rangkaian jurus mematikan dari keduanya. Sabetan empat buah pedang yang berada di tangan keduanya, seolah menjelma menjadi banyak. Menimbulkan suara deru angin yang keras, disertai jeritan demi jeritan.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Hentikan!” Gerakan dari lawan Seto dan Bono segera terhenti. Mereka bersyukur karena ada yang menghentikan pertarungan itu. Kesempatan itu pun dipergunakan oleh Seto dan Bono untuk mengatur napas. Mereka melihat satu sosok tubuh berpakaian keraton keluar dengan langkah pelan namun berisi.
Wajahnya menampilkan kegeraman yang amat sangat.
“Hhh! Bodoh kalian semua! Menghadapi dua manusia bangsat ini harus mengorbankan beberapa nyawa teman kalian!” bentak Jalaluta dengan tatapan nyalang pada kedua kakak beradik itu.
“Siapa kalian adanya?”
“Kami adalah orang-orang yang akan menghancurkan kebusukan Juragan Soka Wijaya!” sahut Seto dengan dengusan yang panjang, la bisa mengukur tenaga dalam lawan, yang sudah dialiri melalui suaranya.
“Sudah tinggikah rupanya ilmu yang kalian miliki? Cih! Lebih baik segera kembali dan menetek pada ibu kalian!” Jalaluta membuang ludahnya.
“Ha ha ha... kau tidak pernah memandang betapa tingginya langit dan dalamnya bumi, Antek Soka Wijaya!” Mendapat jawaban seperti itu, Jalaluta semakin terbahak-bahak. Lebih keras dari yang pertama.
“Biasanya, orang yang ingin mati lebih suka sesumbar!” Kedua kakak beradik itu beradu pandang. Lalu seperti sudah disepakati, mereka segera menerjang dengan ilmu pedang gabungan, 'Dua Kembar Menghalau Bukit'. Gerakan itu begitu dahsyat, menimbulkan suara gemuruh yang keras dan setiap kali mereka mengayunkan pedang, terdengar suara siungan angin yang menderu-deru.
“Mampuslah kau, Keparat!” dengus Seto.
“Heeeaaa!” Jalaluta hanya terbahak-bahak saja.
“Ada hubungan apa kalian dengan Setan Pedang Kembar, hah?”
“Bertekuk lututlah kau saat menyebutkan nama guru kami!” bentak Bono yang menyerang dari sisi sebelah kiri.
“Ha ha ha... rupanya si Tua itu telah mempunyai murid! Bagus, bagus! Sampaikan salamku untuknya! Katakan, biar dia cepat mampus!” Mendengar ejekan yang ditimpakan kepada guru mereka, membuat kedua kakak beradik itu marah besar. Mereka terus menerjang dengan gabungan jurus pedang yang dahsyat. Namun sampai sejauh itu belum membawakan hasil yang seperti diharapkan.
Karena Jalaluta memiliki ilmu meringankan tubuh dalam taraf yang cukup tinggi. Tubuhnya melenting ke sana kemari menghindari setiap serangan mereka.
Hal itu semakin membuat kedua kakak beradik itu bertambah geram. Mereka meningkatkan penyerangan, dengan menggunakan tenaga dalam yang berlipat ganda.
“Gunakan 'Gabungan Kembar Menipu Setan', Adi Bono!” Dengan menggunakan jurus berikutnya, agaknya membawa hasil. Jurus itu merupakan rangkaian kelitan yang hebat, dan sekali-sekali menyerang dengan gerakan cepat dan bertenaga. Merupakan rangkaian gerak yang sangat dahsyat. Lebih hebat dari jurus gabungan pertama yang mereka perlihatkan tadi.
Kali ini Jalaluta menggeram marah. Ia berkelit ke sana kemari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Hanya kali ini ia tertipu beberapa kali.
Karena, serangan yang kedua kakak beradik itu lakukan, sepertinya selalu berkelit. Jadi, mengikuti setiap gerakan kelitan yang dilakukan oleh Jalaluta.
Hal itu teramat menyulitkannya. Bukan hanya sampai di sana tingkat kesulitan yang dihadapinya, melainkan karena ia pun harus mengelakkan setiap sodokan, sabetan dan pan-cungan dari pedang yang dilakukan oleh kakak beradik itu.
“Anjing buduk!” geramnya sambil bersalto beberapa kali ke belakang, lalu hinggap di tanah dengan ringannya. Tetapi ia harus mengempos lagi tubuhnya, karena serangan yang datang kembali beruntun. Rupanya kakak beradik itu tidak pernah mau membiarkan Jalaluta bernapas.
“Monyet!” Terpaksa Jalaluta melompat kembali. Tetapi kali ini ia sudah terdesak dan terjebak. Ia terkurung dalam kilatan empat buah pedang yang berkelebat ke sana kemari. Nasib Jalaluta sudah di ujung tanduk, ia tidak mungkin menghindari serangan yang kembali datang.
Namun mendadak terdengar seruan keras.
Tunggal Murka sudah menerjang maju dengan goloknya. Maksudnya, untuk membebaskan Jalaluta dari kepungan golok itu.
Namun itu adalah kesalahan terbesar yang dilakukannya. Selagi pedang yang berada di tangan kakak beradik berkelebat mengurung Jalaluta, seharusnya Tunggal Murka tidak menyerang dan masuk ke dalam pusaran. Karena, itu hanya membuang nyawa dengan percuma.
“Bangsat!” maki Seto sambil menggerakkan kibasan pedangnnya.
Terdengar bunyi nyaring beberapa kali. Disusul dengan lolongan yang sangat kuat. Tubuh Tunggal Murka mencelat ke atas dalam keadaan tercabikcabik.
Beberapa temannya segera memburu. Dan melihat tubuh yang sangat mengerikan sekali. Penuh darah dan wajahnya hancur.
Mereka menjadi marah, dan memasuki pertarungan itu. Hal ini membawa hasil yang menggembirakan bagi Jalaluta. Ia segera terbebas dari jebakan pedang yang mengitarinya, karena Seto dan Bono harus menghadapi serangan yang baru datang itu.
Jalaluta mempergunakan kesempatan itu untuk mengatur napasnya. Dan melihat betapa para penjaga itu tewas dengan tubuh yang tak kalah mengerikannya dari yang dialami oleh Tunggal Murka.
“Mampuslah kau, Keparat!” Kali ini Jalaluta menyerang dengan kerisnya. Sinar merah terpancar dari keris itu. Menyilaukan mata. Dan kilatan itu menerpa kedua mata kakak beradik yang sekejap memejamkan matanya. Namun sekejap pula Jalaluta sudah merang-sek maju, yang ditujunya adalah Bono, karena ia berada paling dekat dengannya.
“Adi Bono!” seru Seto mengingatkan Bono akan serangan yang mendadak masuk. Sebisanya ia menangkis serangan keris itu.
Trang! Hanya sekali ia berhasil melakukannya. Karena tiba-tiba tubuh Jalaluta berputar dan kerisnya segera menyambar lengan kanan Bono.
Cras! “Aaakhhh!” Lengan itu putus mengalirkan darah. Bono meraung-raung dengan keras sambil mendekap tangan kanannya dengan tangan kirinya. Pedangnya sudah dilepaskan.
Melihat darah yang sudah memancar, mendadak saja Jalaluta bergerak cepat. Ia seperti manusia yang haus darah. Itu karena pengaruh dari Keris Dewa yang dipegangnya. Keris yang seolah mempunyai indera penciuman dan sangat haus darah.
Seto melihat kedudukan adiknya tidak menguntungkan, sementara Jalaluta sudah merangsek maju dengan cepatnya, la pun menjerit keras dan menerjang, mencoba memotong gerakan keris itu dengan 'Kembar Menghalau Gunung'. Namun sayang, keris itu sepertinya bermata. Mendadak saja tangan Jalaluta yang menggenggam keris bergerak ke arahnya, sementara kaki Jalaluta menendang Bono hingga terlempar beberapa tombak.
Menghadapi serangan balik seperti itu, Seto menjadi gugup. Ia tidak menyangka kalau serangannya menjadi seperti disongsong dengan kuat. Tidak ada jalan lain selain memapaki.
Trang! Trang! Dua kali terjadi benturan. Seto merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Dan dirasakannya hawa panas mengalir sekujur tubuhnya. Mendadak saja ia melemparkan sepasang pedangnya yang seolah menjadi bara api. Dipejamkannya matanya. Ia pasrah menerima kematiannya di ujung keris Jalaluta.
Tetapi yang mengherankannya, Jalaluta justru kembali menyerang Bono yang sedang mengerang hebat Rasa sakit yang dialaminya tak terkira. Begitu menyiksanya.
Seto tidak tahu, kalau gerakan yang dilakukan Jalaluta itu bukanlah atas kemauan Jalaluta sendiri, melainkan atas kemauan dari keris di tangannya.
Keris itu memang menginginkan darah lawannya.
Tubuh Bono sudah mengalirkan darah, sementara Seto belum terluka, meskipun getaran dan hawa panas di tubuhnya semakin mengencang.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan kematian yang siap menerpa adiknya. Dipejamkannya matanya ketika dilihatnya keris itu menusuk tepat di bagian jantung Bono. Suara jeritan yang sangat keras terdengar. Lolongan itu memecahkan malam, membuat para penduduk terbangun, namun tidak ada yang berani keluar. Lebih baik berdiam saja di rumah.
Seto menggigil karena menahan amarah yang menjalari setiap tubuhnya. Mendadak ia bergerak dengan cepatnya, tidak dipedulikannya hawa panas yang mengaliri setiap pori-porinya. Begitu menyiksanya.
“Kau harus membayar semua ini, Anjing Buduk!” serunya keras sambil mengarahkan sebuah pukulan ke arah Jalaluta. Jalaluta hanya memiringkan tubuhnya, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Seto untuk menyambar tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat. Menepak keris Jalaluta yang mengancam tubuhnya. Tangannya berdarah. Tetapi tidak dihiraukannya. Langsung ia melarikan diri dengan membawa tubuh Bono yang tak bernyawa.
Beberapa orang hendak mengejar, tetapi Jalaluta menahannya.
“Tidak usah! Biarkan dia menderita akibat hawa panas yang menerpanya! Kalau ia memiliki hawa murni yang cukup, tubuhnya akan bertahan selama tiga hari tiga malam. Tetapi kalau tidak, ha ha ha... ia akan mampus dengan tubuh meledak besok pagi juga! Inilah akibatnya bila berani bermain-main nyawa dengan Jalaluta! Ha ha ha!” Lalu Jalaluta masuk kembali ke dalam, setelah memerintahkan para penjaga untuk mengangkuti mayat-mayat kawan mereka dan menguburkannya.
Suasana kembali hening.

***

Hutan Alas Warangan merupakan hutan yang lebat dan menyeramkan di daerah itu. Konon, hutan itu tempat bermukimnya para buto. Satu sosok tubuh tidak mempedulikannya. Sosok itu terus berlari dan berlari. Sudah setengah tersaruk-saruk karena keletihan dan beban yang dibawanya.
Ia tak lain adalah Seto yang memanggul mayat Bono. Tubuhnya sudah dirasakan semakin panas saja. Gerakannya sudah tidak selincah tadi.
Tenaganya semakin terkuras dengan keadaan yang sangat menyakitkan.
Beberapa menit kemudian, ia tidak bisa bertahan lagi. Tubuhnya ambruk. Mayat Bono terpental beberapa tombak. Masih dikuatkannya seluruh tenaganya, dihimpunnya dengan jalan merangkak untuk menggapai mayat adiknya.
Malam semakin merambat Hutan Alas Warangan tetap mengerikan. Namun ia tidak peduli, terus dikerahkannya sisa-sisa tenaganya untuk mendapatkan mayat adiknya.
Dengan sisa tenaganya pula ia membuka topeng hitam yang menutupi wajah adiknya, dan memegangi wajah itu yang terdiam, kaku. Seolah ia tenang dalam matinya. Namun Seto yakin, kalau adiknya mati dengan membawa berjuta dendam. Dendam mereka atas kematian Bibik Utari belum terbalas, kini harus menerima nasib yang mengenaskan. Bono telah tewas bersama dendam yang masih membara.
Seto pun melepaskan topeng hitamnya. Ia memandangi mayat adiknya dengan hati yang pilu sekali. Dengan kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Tak dipedulikannya kalau hawa panas di tubuhnya semakin menyerang. Ia merasa bagaikan berada dalam neraka.
Hatinya terpukul menghadapi kenyataan yang terasa pahit ini. Bono adalah adik kandungnya, temannya semasa kecil hingga remaja seperti sekarang ini. Dan kini, Bono sudah meninggalkannya.
Hal ini membuatnya sakit hati sekali.
Tiba-tiba pandangannya terbuka, memancarkan sinar amarah dan dendam yang teramat sangat.
“Soka Wijaya... satu saat kau akan mampus!” geramnya.
“Kau Jalaluta, kau pun akan mam...
pus....” Lalu tubuh itu terkulai. Pingsan karena tak kuat menahan hawa panas.
Malam pun bergulir menjadi pagi. Mentari sudah menampakkan wajahnya di ufuk timur sana. Satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian berwarna kuning keemasan sedang melangkah di hutan itu.
Nampak ia sedang mencari angin belaka sambil menari-nari seperti anak kecil.
Bila melihat kulit tubuhnya, sosok tubuh itu kirakira berusia sekitar enam puluh delapan tahun.
Namun bila melihat wajahnya yang dipoles dengan baju wama kuning keemasan, menandakan ia sangat suka bersolek. Begitu pula melihat sikapnya yang nampak begitu riang tak ubahnya seorang gadis remaja. Dan sekali-sekali ia mengambil cermin kecil dari balik kebayanya.
Lalu berkaca sambil tersenyum-senyum.
“Kau memang cantik,” katanya pada diri sendiri.
Ia kembali meneruskan langkahnya, tetap dengan gaya menari-nari. Sekali-sekali keluar dari mulutnya senandung kecil, yang menceritakan keindahan alam.
Namun di satu tempat, mendadak ia berhenti melangkah, ketika melihat dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Keningnya berkerut sejenak.
“Hmm, apalagi ini? Kenapa banyak sekali yang mati?” desisnya sambil mendekati dua sosok tubuh itu. Lalu diperiksanya dua sosok tubuh itu.
“Wah, wah... yang ini sudah mampus rupanya. Hmm... yang ini masih punya napas. Edan! Gila! Sinting! Rupanya ia terkena hawa panas dari Keris Dewa. Wah, wah...
katanya si Tua Keris Dewa sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan, mengapa sekarang masih menurunkan tangan telengasnya?” katanya sambil mendengus.
Lalu nenek pesolek itu bersila, mengatupkan kedua tangannya di dada. Lalu perlahan-lahan menempelkannya pada tubuh Seto. Rupanya ia mengalirkan hawa dingin ke tubuh Seto, terbukti dari asap yang mengepul hebat. Wanita itu tidak bergeming beberapa saat, masih mengalirkan hawa dinginnya ke tubuh Seto. Sementara asap yang mengepul semakin banyak dan lama kelamaan menipis. Wajah nenek pesolek itu pun sudah tidak setegang tadi.
Setelah itu ia mendesah.
“Tua, Tua... rupanya kau masih kejam juga...,” kekehnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kupikir kau sudah mengasingkan diri. Hhh! Orang seperti kau- yang selalu haus darah, mana mungkin menghentikan segala kegiatan busukmu itu, Tua Keris Dewa!” dengusnya.
Nenek pesolek itu mengambil sebuah cermin dari balik kebayanya. Lalu dibukanya, dan diperhatikannya wajahnya dalam cermin.
“Wah, wah... gara-gara kau ada debu di wajahku.” Lalu dengan selendang yang tersampir di pinggangnya, dihapusnya debu itu. Kembali ia memandangi cermin yang masih dipegangnya sambil tertawa-tawa.
“Ha ha ha... Nimas Kunti, Nimas Kunti... semakin lama kau nampak semakin ayu saja.” Kembali ia memasukkan cermin itu ke balik kebayanya. Lalu merapikan pakaiannya yang berwarna kuning keemasan. Sambil menggelenggelengkan kepalanya, Nimas Kunti yang bergelar si Nenek Pesolek, lalu bangkit. Diambilnya sebatang ranting yang paling kecil. Dengan ranting itu ia menggali tanah dan menguburkan mayat Bono! Tanpa keringat setitik pun! Pekerjaan itu pun dilakukan dengan sangat cepat.
Seolah tanpa beban sedikit pun. Bahkan ia melakukannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, menandakan kekesalannya karena masih saja keangkaramurkaan berlangsung di muka bumi ini.
Setelah itu dibawanya tubuh Seto yang masih pingsan. Sekali lagi seolah tanpa beban. Begitu ringannya.
Dan tetap dengan gayanya yang mirip gadis remaja. Menari-nari dan berdendang.

***



₪₪₪↨֍¦ 2 ¦֎↨₪₪₪

Pagi kembali membedah alam. Mentari telah memberikan penerangannya ke seluruh penjuru. Satu sosok tubuh mengenakan rompi dari kulit ular, melangkah sambil mendendangkan kidung senja, lambang keabadian dan persahabatan. Langkahnya santai sekali sambil menggerak-gerakkan tubuhnya.
Tetapi tiba-tiba sosok tubuh yang tak lain si Pendekar Gila terkekeh.
“Lucu, lucu.. mengapa aku bernyanyi seperti itu? He he he... padahal dunia ini penuh darah, darah yang bersimbah. Edan memang! Gila, gila! Ya, ya...
gila!” Pendekar Gila terus melangkah. Memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya, di sana-sini penuh dengan pohon-pohon yang tinggi. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap sebuah kidung dari sebelah timur.
“Ealah... ada gadis menyanyi dengan suara yang merdu,” desisnya terkekeh.
“Ini lucu, ini harus dilihat...” Tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas. Dari pohon itu ia melihat ke bawah, di sebelah timur sana ternyata terdapat sebuah sungai yang airnya mengalir jernih. Pendekar Gila melihat satu sosok tubuh sedang berendam di sungai itu.
“Wah, wah... badannya itu, itu badan... mulus, mulus.... Ah, Mei Lie... aku rindu padamu... Ya, ya...
aku rindu... Du-du-du...” Sejenak Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepalanya. Ingatannya kembali pada kekasihnya Mei Lie. Mendadak ia teringat akan kenangan terakhirnya dengan Mei Lie. Tetapi tugasnya sebagai pembela kebenaran mengharuskannya meninggalkan Mei Lie.
Entah di mana gadis itu sekarang berada.
Mendadak lamunannya buyar ketika telinganya menangkap jeritan yang sangat keras dari arah sungai itu. Sena melihat tiga orang laki-laki yang mengenakan gelang bahar sedang mendekati gadis itu dengan menyeringai.
“Wah, wah... kejahatan itu memang tidak pernah berakhir!” dengusnya sambil bersalto turun.
Sementara itu di sungai, Lastri terkejut bukan main ketika menyadari tiga sosok tubuh seram mendekatinya. Lastri adalah salah seorang gadis dari warga Desa Bojong Sawo. Kecantikannya tidak pernah dipoles apa pun. Begitu alami dan mumi.
Alamlah yang telah menempa kecantikannya. Alamlah yang membuatnya tumbuh menjadi seorang gadis yang jelita.
“Oww!” serunya kaget begitu menyadari ketiga sosok tubuh itu semakin mendekat. Ia langsung berendam untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terlarang.
“Sana pergi! Pergi!”
“He he he..., Manis, mengapa kau harus marah pada kakangmu, nah?” salah seorang dari tiga lakilaki yang mengenakan gelang bahar itu menyeringai.
Wajahnya bulat, dengan bopeng di sana-sini. Ia bernama Menggolo. Sementara dua orang temannya bernama Karto Suro dan Wono Jarot. Mereka tergabung dalam Tiga Iblis Bergelang Bahar.
Lastri semakin ketakutan. Wajahnya yang cantik pias seketika. Ia dapat membayangkan apa yang akan dialaminya bila ketiga laki-laki itu berhasil mendapatkannya. Tidak, ia harus mempertahankan diri.
Mendadak ia berenang ke arah yang berlawanan, membiarkan Wono Jarot merobek-robek pakaiannya.
“Hei, mau ke mana, Manis? Tidak usah takut! Kakangmu akan menyerahkanmu kepada Juragan Soka Wijaya!” Lastri tidak menggubris ucapan kotor Menggolo, ia terus berenang sekuat tenaganya.
Sebenarnya Tiga Iblis Bergelang Bahar itu baru saja keluar dari kediaman mereka, di Lembah Iblis.
Mereka bermaksud untuk mengabdi pada Juragan Soka Wijaya, karena Jalaluta, sahabat mereka sudah berada di sana. Menurut Jalaluta, ia mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Itulah yang membuat Tiga Iblis Bergelang Bahar bertekad untuk mengabdi pada Juragan Soka Wijaya.
Kebetulan sekali, mereka melihat seorang gadis cantik sedang mandi seorang diri di sungai. Mereka sudah tahu dari Jalaluta, kalau Juragan Soka Wijaya sangat menyukai gadis-gadis cantik untuk digaulinya.
Mereka pun bermaksud menyerahkan gadis itu pada Juragan Soka Wijaya.
“Hei, kau mau ke mana?!” seru Menggolo, lalu mengambil sebuah kerikil dan dilemparkannya ke arah Lastri yang sedang bersusah payah mencapai tepi sungai. Kerikil itu tepat mengenai punggung Lastri, mendadak saja tubuhnya menjadi kaku. Lalu mengambang layaknya orang mati.
“He he he... sudah kukatakan, jangan lari! Karto, ambil dia!” Karto Suro segera melemparkan beberapa ranting ke sungai itu, lalu dengan gerakan yang ringan sekali ia melompati ranting demi ranting dan mengambil tubuh Lastri dengan ringannya. Dan kembali ke tempat semula Menggolo tertawa.
“Ha ha ha... gila, sayang sekali aku menginginkan mengabdi pada Juragan Soka Wijaya, kalau tidak...
kau sudah kumakan di sini, Manis!” serunya yang melihat tubuh telanjang Lastri. Kelaki-lakiannya perlahan-lahan naik. Tetapi ia mendengus karena teringat kalau ia akan menyerahkan gadis ini pada calon majikannya.
Lastri yang tidak bisa bergerak karena terkena totokan namun masih bisa bersuara berseru lantang bercampur ketakutan, “Lepaskan aku, Manusia busuk! Lepaskan!”
“Mana mungkin kami melepaskanmu, hah?” Menggolo menotok urat suara Lastri sehingga gadis itu tidak bisa berbicara.
“Wono, buka pakaianmu, tutupi tubuh gadis itu! Ayo, kita harus segera tiba di rumah Juragan Soka Wijaya, Jalaluta pasti sudah menunggu kita!” Belum lagi mereka melangkah, tiba-tiba terdengar kekehan dari atas pohon, “Enak saja membawa anak orang, Monyet-monyet gendut! Lepaskan dia!” Ketiganya terkesiap kaget. Mereka melihat satu sosok tubuh sedang berayun-ayun pada ranting kayu paling ujung, mengenakan rompi kulit ular.
“Manusia iseng! Siapa kau sebenarnya?” bentak Menggolo dengan tatapan nyalang. Ia paling tidak suka ada yang turut campur dalam urusannya.
“Iseng? He he he.. bagus, bagus. Biasanya orang menyebutku gila. He he he... terbukti sekarang, kalau aku tidak gila, kan? Ya, ya... iseng, iseng....” Menggolo mengerutkan keningnya. Melihat sikap pemuda yang duduk di ranting kecil itu, sepertinya ia memang tidak waras. Tetapi bila melihat betapa ranting kecil itu tidak patah didudukinya, menandakan orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
“Hei, Monyet busuk! Katakan, siapa kau adanya?”
“Lho, lho! Aneh! Bukankah tadi kau menyebutku manusia iseng. Barangkali... ya, namaku memang itu! Sekarang, sebutkan namamu! Tetapi kalau melihat wajahmu yang buruk itu, pasti namamu si Bopeng, kan? He he he... Bopeng, Bopeng!” Menggolo menggeram marah. Kakinya menendang sebatang ranting di tanah. Mendadak saja ranting itu melesat menderu dengan kekuatan penuh ke arah Pendekar Gila.
“Cih! Mengajak main lempar-lemparan rupanya!” Sena menggerakkan tangan kanannya, mendadak saja ranting itu berbalik arah. Mengarah pada Menggolo yang langsung bersalto. Ketika ia hinggap kembali ke tanah, ia melihat ranting itu sudah menancap hampir ke pangkalnya.
“Bangsat! Turun kau, biar kuberi pelajaran padamu!” Sena menggaruk-garuk kepalanya.
“Aku tidak ingin mendapatkan pelajaran darimu! Yang kuminta lepaskan gadis itu! Kalian akan meninggalkan tempat ini dengan selamat!” Wono Jarot sudah tidak sabar lagi melihat kakangnya masih bermain-main kata-kata seperti itu.
Mendadak saja ia mengegos tubuhnya. Hup! Tubuhnya meluncur ke atas, dengan dua tangan berbentuk cakar. Pendekar Gila cuma tertawa saja.
Bertepatan kedua tangan Wono Jarot akan mencengkeram tubuhnya, mendadak ia bersalto turun. Gerakan yang diperlihatkan mirip gerakan kera yang menghindari lawannya. Hebatnya, sambil bersalto itu, kedua tangan Sena bergerak dengan cepat. Membetot turun celana pangsi yang dipergunakan oleh Wono Jarot, sehingga kini ia bertelanjang celana.
“Ha ha ha... lucu, lucu!” Wono Jarot pun hinggap di tanah. Wajahnya memerah karena marahnya. Lebih marah lagi karena ia tidak mengenakan pakaian. Pakaiannya diberikan pada Lastri. Jadinya ia telanjang.
“Rupanya ada orang hutan di sini! Hi hi hi... bagus sekali itu, bagus sekali!” Melihat adik seperguruannya dipermalukan dengan sekali gebrak, Karto Suro melempar tubuh Lastri begitu saja ke tanah. Lalu ia mengegos tubuhnya, mencelat ke depan.
“Mampus kau, Orang gila! Heeeeaaa!” Sena cuma tertawa saja. Malah ia menggarukgaruk pantatnya, lalu bergantian menggaruk kepalanya.
“Ini lagi! Mau apa!” serunya sambil berkelit. Karto Suro tidak mau membuat gebrakan hanya sekali. Ia mencoba memperpadukannya dengan jurus 'Gelang Bahar Membentuk Lingkaran'. Mendadak saja tubuhnya bagaikan sebuah gelang bahar, bergerak melingkari Sena yang masih terkekeh.
Mendadak saja tubuh Pendekar Gila membungkuk, kedua tangannya siap mencengkeram lawan. Jurus 'Si Gila Mencengkeram Mangsa' memang dipergunakan untuk melepaskan diri dari lawan yang menyerang bagian bawah. Namun karena lawan berbentuk melingkar dengan sekali-sekali melepaskan pukulan dan tendangan berisi, jurus itu pun berguna.
Mendadak saja tangan Pendekar Gila berhasil mencengkeram kaki kanan Karto Suro. Lalu diputarnya tubuh itu sehingga Karto Suro minta dilepaskan. Tetapi sudah tentu Pendekar Gila tidak ingin melepaskannya. Mendadak saja tubuh itu dilemparnya. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Karto Suro, tubuh Pendekar Gila pun mencelat.
Dengan mempergunakan jurus 'Kera Gila Berayun Menyambar', Sena bergerak dengan cepat. Hinggap di satu dahan pohon dan menendang tubuh Karto Suro sehingga terpental kembali. Lalu Sena melompat lagi ke dahan yang lain dan kembali menendang tubuh Karto Suro.
Melihat Karto Suro di ambang maut, Menggolo segera melepaskan gelang baharnya.
Singng! Gelang bahar yang telah dialiri tenaga dalam itu melesat ke arah Sena. Memotong gerakan yang dilakukannya. Sena yang akan menendang tubuh Karto Suro lagi menjadi urung menarik pulang kakinya. Dan senjata gelang bahar yang dilemparkan oleh Menggolo kembali ke pemiliknya, mirip bumerang.
Sementara Wono Jarot segera menyambut tubuh Karto Suro yang melayang jatuh. Ia melihat tubuh Karto Suro membiru dengan wajah yang merah legam.
“Sudah kukatakan tadi, lebih baik kalian tinggalkan gadis itu dan segera pergi dari sini!” bentak Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Menggolo menggeram.
“Kejadian ini tidak pernah aku lupakan, Bangsat!”
“He he he... aku pun tidak akan pernah melupakan wajahmu yang mulus itu, Bopeng!” balas Pendekar Gila sambil mengusap-usap wajahnya dengan gerakan meledek.
“Kakang...,” bisik Wono Jarot.
“Ingatkah Kakang, kalau saat ini di rimba persilatan muncul seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Gila? Apakah ini orangnya?” Menggolo menggelengkan kepalanya.
“Sebenarnya sejak tadi sudah kupikirkan soal itu.
Hmmm... rupanya pendekar itu masih sangat muda.”
“Lalu bagaimana sekarang, Kakang?”
“Kita tinggalkan gadis itu. Karto Suro harus segera ditolong, kalau tidak ia akan mampus! Pendekar busuk, kita akan bertemu lagi!” Sesudah berkata demikian, Menggolo segera mengegoskan tubuhnya, begitu pula dengan Wono Jarot yang memanggul tubuh Karto Suro.
Sena cuma terkekeh saja. Lalu menghampiri Lastri yang sejak tadi terbaring di tanah.
“Jangan takut, Manis... kau sudah aman sekarang, “ katanya setelah membebaskan totokan dari tubuh Lastri.
Lastri tersipu. Apalagi mengingat ia tidak mengenakan apa-apa di balik pakaian gombrong milik Wono Jarot.
“Terima kasih atas pertolongan Kakang...”
“Ya, ya... siapa namamu?”
“Lastri, Kakang....”
“Lastri, Lastri... he he he... bagus, nama itu bagus sekali. Namaku... Sena...”
“Kang Sena....”
“Nah, nah... itu bagus, bagus sekali. Kang Sena...
he he he... Kang Sena...” Melihat sikap Pendekar Gila yang blak-blakan dan agak lucu itu membuat Lastri bisa memulihkan rasa malunya.
“Kakang mau ke mana sekarang?”
“Aku? Tidak tahu.”
“Bagaimana... bagaimana kalau ke rumah saya?” tanya Lastri tersipu.
“Ke rumahmu? Mau apa?”
“Ya... saya... cuma ingin menjamu Kakang sedikit saja... sebagai... ucapan terima kasih....”
“Oh, boleh, boleh....” Hati Lastri berbunga. Entah kenapa. Sebenarnya banyak pemuda yang menaruh hati pada Lastri, tetapi sampai sekarang ini gadis itu masih menolak saja.
Dan kini, entah kenapa tiba-tiba hatinya bergetar melihat pemuda ini.

***

Ki Sobrang adalah bapak dari Lastri. Ia menyambut kedatangan anaknya yang datang bersama Sena dengan hati gembira. Pertama-tama begitu melihat Sena, hatinya jengkel sekali. Karena, anaknya berani berjumpa dengan seorang pemuda.
Tetapi setelah mendengar cerita Lastri kalau ia baru saja diselamatkan oleh Sena, Ki Sobrang bisa mengerti.
Bahkan menerimanya dengan baik.
“Terima kasih atas bantuan Saudara Pendekar pada anak saya,” katanya dengan tulus.
Sena tersenyum.
“Anak Aki cantik.” Kening Ki Sobrang berkerut. Apa-apaan anak muda ini berkata demikian. Tetapi ketika ia melihat Lastri yang bersimpuh di sebelahnya tersipu, ia pun tertawa.
“Ha ha ha... ya, ya... Lastri memang cantik. Ia adalah burung gelatikku satu-satunya, setelah ibunya meninggal.... Pujian Saudara Sena sangat tinggi sekali....”
“Lho? Anak Aki memang cantik,” sahut Sena.
Wajah Lastri kali ini memerah. Ia buru-buru masuk ke dalam sebelum ia telanjur malu. Namun hatinya senang bukan main.
Ki Sobrang masih tertawa, lalu menghentikan tawanya.
“Sebenarnya, siapa Anak ini?”
“Saya Sena.”
“Maksud Aki... mau ke manakah Nak Sena sekarang?”
“Saya tidak tahu, Ki. Di mana ada bumi, mungkin di sanalah saya berpijak.”
“Ah, gemar berpetualang rupanya....”
“Begitulah, Ki... he he he....” Lagi Ki Sobrang mendesah dalam hati. Ia suka terkejut bila melihat Sena mendadak tertawa sendiri.
Jangan-jangan, pemuda ini agak tidak waras? “Saya ingin bertanya, Ki.... Ketika orang-orang kasar itu mengganggu rayi Lastri, saya mendengar mereka hendak mengabdi pada Juragan Soka Wijaya.
Siapakah dia gerangan, Ki?” Sena melihat wajah Ki Sobrang menjadi pias.
“Kenapa Anak bertanya begitu?”
“Karena saya penasaran, Ki....” Ki Sobrang menghela napas berkali-kali. Lalu katanya seraya menatap Sena, “Anak muda...
ketahuilah... dulu desa ini sangat makmur sekali.
Kehidupan para penduduknya sangat aman sentosa, kami semua saling bahu-membahu dan gotong royong. Hanya saja... setelah kedatangan Juragan Soka Wijaya berikut tukang pukulnya setahun yang lalu... kehidupan di desa ini berubah total. Semuanya menjadi berantakan dan tidak pernah sekalipun kami membayangkan akan terjadi perubahan besarbesaran di desa ini....”
“Perubahan apa yang Aki maksudkan?” Ki Sobrang mendesah. Rupanya anak muda ini bisa serius juga.
“Perubahan yang sangat menyedihkan sekali. Juragan Soka Wijaya dan anak buahnya tidak segan-segan menghancurkan siapa saja. Mulamula ia memang baik sekali, meminjamkan uang kepada para petani, namun ketika mereka mengembalikan uang yang dipinjamkannya, mereka sangat terkejut. Karena Juragan Soka Wijaya meminta pengembalian tiga kali lipat dari pinjaman. Hal ini sudah tentu tidak bisa diterima. Mereka membantah dan melawan, namun nyawanyalah yang justru melayang.”
“Kejam!”
“Ya, sangat kejam! Yang tidak berhasil membayar hutang berikut bunganya, akan disita apa saja miliknya. Ternak. Sawah. Ladang dan apa saja. Bagi yang tidak memiliki benda-benda itu, anak gadis mereka atau istri mereka sebagai penggantinya.
“ “Apakah tidak ada yang berani melawan, Ki?”
“Kami bukannya tidak berani, hanya kami masih mengingat bagaimana anak-anak kami kelak.
Lagipula, tukang pukul Juragan Soka Wijaya sangat kejam. Mereka tidak segan-segan membunuh siapa saja yang melawan peraturan yang ditetapkan oleh Juragan Soka Wijaya....” Sena menggangguk-anggukkan kepalanya.
“Di manakah Juragan Soka Wijaya tinggal, Ki?” tanyanya kemudian.
“Oh! Kau... kau mau apa, Anak Muda?” Pendekar Gila menggaruk-garukkan kepalanya. Ia nyengir.
“He he he... bertamu saja. Barangkali saya mendapatkan hidangan yang enak. Orang kaya itu hidupnya enakan, Ki?” Ki Sobrang mendesah. Mulai kumat lagi anak muda ini.
“Aku yakin... kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kuharap, kau tidak usah ikut campur dalam urusan ini, Sena.' “Ki Sobrang... saya paling tidak suka melihat keonaran dan keangkaramurkaan di dunia ini. Selagi saya masih hidup dan bisa mengatasi setiap kejahatan, saya akan tetap melakukannya. He he he... kan ini bagus ya, Ki?”
“Apa yang kau katakan itu benar, Sena... jadi...” Kata-kata Ki Sobrang terputus, karena mendadak terdengar seruan keras dari luar, “Ki Sobrang! Keluar kau!”
“Siapa itu, Ki?” tanya Sena yang sudah bersiaga.
“Tenang saja. Pasti itu pengawal Juragan Soka Wijaya.”
“Ada apa mereka kemari?” tanya Sena yang melihat ketenangan Ki Sobrang.
“Apa lagi kalau bukan untuk meminta anakku?”
“Lastri?”
“Ya. Karena cuma dia anakku satu-satunya.”
“Ki Sobrang! Jangan bersembunyi seperti anak perempuan!” seruan itu terdengar lagi.
“Bila kau tidak muncul juga, kubakar rumah ini!” Ki Sobrang pun bangkit, menemui tamunya.
Sementara Sena berlari lewat pintu belakang.
“Kang Sena,” suara itu terdengar.
Sena nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya.
“He he he... kenapa?”
“Saya... saya takut, Kang...,” kata Lastri yang mendengar seruan itu. Ia teringat bagaimana ancaman dari orang-orang Juragan Soka Wijaya bila bapaknya atau ia tidak bersedia menjadi selir dari Juragan Soka Wijaya. Mereka akan dicincang sebelum dibunuh! “Rayi Lastri, lebih baik Rayi berdiam di kamar saja. Tidak usah keluar.” 'Tapi...” Sena tersenyum.
“Masuklah...” Lastri menuruti kata-kata Sena. Di dalam kamarnya ia berdoa banyak-banyak demi keselamatan bapaknya dan sudah tentu, Sena. Sena sendiri keluar lewat pintu belakang.
Di depan rumah itu, Ki Sobrang sudah berhadapan dengan tamu-tamunya yang berjumlah enam orang. Semuanya bersenjatakan tombak.
Yang berdiri di depan seorang laki-laki berwajah seram, dengan kedua tangan yang kekar. Kedua kakinya dibuka sedikit, menandakan ia seorang jagoan.
“Akhirnya kau keluar juga, Orang tua,” katanya sambil tertawa.
“Bagaimana dengan janjimu, ha?” Ki Sobrang mendengus. Ia sudah muak dengan tingkah laku orang-orang ini. Meskipun usianya sudah lanjut, namun keberaniannya tidak pernah luntur.
“Kebo Ijo! Aku tidak pernah punya janji apa-apa denganmu. Jadi kuharap... lebih baik kau segera me ninggalkan tempat ini sebelum kemarahanku naik!' sahutnya gagah. Matanya memperhitungkan jarak.
Kebo Ijo tertawa mendengar suara penuh tantangan itu. Begitu pula dengan lima orang kawannya. Bagi mereka, kata-kata Ki Sobrang itu hanya patut untuk menggertak anak kecil.
“Aku tidak suka bertele-tele! Sudah tiga kali kami datang ke sini, untuk membawa Rayi Lastri ke kediaman Juragan Soka Wijaya! Dan kau masih belum juga memberikan jawaban yang enak untukku, Ki!” Ki Sobrang mendengus. Kedua tangannya terkepal.
“Kebo Ijo, aku tidak punya jawaban yang enak untukmu, selain jangan kau ganggu anakku lagi!” Wajah Kebo Ijo memerah.
“Apa maksud kata-katamu itu, Ki?” suaranya mengeras, mengandung ancaman yang tidak mainmain.
Ki Sobrang pun merasakan hal itu. Namun ia tidak mau lagi mengulur-ngulur waktu. Sudah tiba saatnya ia harus unjuk gigi. Kalau tidak, ia akan terus menerus dicecar dan diancam. Yang dikhawatirkannya, kalau ia lengah menjaga Lastri.
Seperti kejadian di sungai tadi. Kalau tidak ada Sena, sudah tentu nasib putrinya berada di ambang kehancuran. Dan ia pun mendengus muak ketika menyadari kalau Juragan Soka Wijaya menambah kekuatannya dengan tambahan orang-orang bergelang bahar seperti yang diceritakan oleh Sena.
Ki Sobrang menyahut dengan gagah, “Kebo Ijo! Aku tak pernah suka bertarung dengan siapa pun, tetapi kalau kau memaksaku juga, silakan....” Ki Sobrang menggeser tubuhnya ke kiri dua tindak, mencari kelowongan bila diserang dan menyerang. Membuka kakinya, menumpukkan kekuatannya pada kaki sebelah kanan.
Melihat hal itu, keenam tukang pukul Juragan Soka Wijaya terbahak-bahak sambil memandang melecehkan. Terutama Kebo Ijo yang tidak menyangka akan mendapatkan sambutan seperti ini.
“Pikirkan nyawa tuamu, Ki... sebelum kucabut!”
“Sudah lama aku ingin merasakan ketajaman tombakmu, Kebo Busuk! Mengapa kau masih berdiam diri, hah? Bila kau takut, katakan pada Soka Wijaya, untuk cepat-cepat angkat kaki dari desa ini!” Wajah Kebo Ijo memerah.
Mendadak ia mengempos tubuhnya, “Keparat! Mampuslah kau! Heaaa...!”

***



₪₪₪↨֍¦ 3 ¦֎↨₪₪₪

Ki Sobrang yang sejak tadi sudah memperhitungkan posisinya, menggeser kakinya dua tindak, lalu memutar tubuhnya sambil melancarkan sebuah tendangan. Gerakan itu sangat cepat dilakukannya.
Kebo Ijo tersentak melihat cara Ki Sobrang menghindarkan diri dan langsung melancarkan serangan. Sungguh tidak disangka. Sehingga mau tidak mau ia melompat ke samping satu tombak, bila tidak ingin tubuhnya terhantam tendangan Ki Sobrang. Ketika hinggap di tanah wajahnya memerah.
Ia tidak menyangka kalau Ki Sobrang memiliki ilmu yang cukup tinggi juga.
“Pantas kau berani membantah, Tua Keparat!” geramnya sambil memegang tombaknya.
“Tetapi jangan harap kau bisa melihat rembulan nanti malam!”
“Ha ha ha... mengapa tidak kau selesaikan saja nyawa tuaku ini?” sahut Ki Sobrang penuh ejekan.
“Atau... kau sebenarnya hanyalah seorang pengecut yang berkedok jagoan?” Kebo Ijo menjadi semakin marah. Ia tadi begitu yakin dengan hanya sekali gebrak saja Ki Sobrang akan berkalang tanah. Namun pada kenyataannya, justru ia yang hampir saja menerima tendangan yang penuh tenaga.
Sekarang, ia diejek seperti itu. Tua keparat ini memang harus mampus.
“Mampuslah kau, Ki! Yeeeaaa!” Kebo Ijo menyerang lagi. Kali ini dengan perhitungan yang lebih matang. Mempergunakan tombaknya yang ia gerakkan dengan kecepatan penuh. Suaranya bagaikan dengungan puluhan tawon yang menyerang.
Ki Sobrang ternyata memang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Terbukti ia bisa menghindari sodokan, sabetan, tusukan atau pun pentungan tombak yang dilakukan oleh Kebo Ijo. Semua gerakan yang dilakukannya sangat manis, lincah, dan berisi.
Bahkan sekali-sekali ia bisa menyerang.
Melihat hal itu, Kebo Ijo semakin penasaran. Ia mengangkat tangannya sebagai tanda agar kelima temannya jangan dulu ikut campur. Pamornya bisa menurun bila ia tidak dapat mengalahkan Ki Sobrang.
Kali ini ia bergerak dengan tenaga penuh dan kemarahan yang sudah menjalari setiap tubuhnya.
Tetapi rupanya Ki Sobrang memang seorang pendekar tua yang handal. Sampai lima belas jurus terlewati, Kebo Ijo belum berhasil menjatuhkannya.
Padahal hanya dihadapi dengan tangan kosong belaka.
“Aku sudah bosan bermain-main denganmu, Kebo Busuk!” seru Ki Sobrang sambil meliukkan tubuhnya ke kiri, menghindari sodokan tombak yang dilakukan Kebo Ijo. Lalu mendadak saja dengan gerakan seperti ular dan tangan berbentuk patuk ular, Ki Sobrang mendesak masuk dan mematuk tepat di bagian kening Kebo Ijo, yang menjadi terhuyung ke belakang.
“Setan!” makinya sambil menyerang kembali. Ia sangat malu bila ia tidak segera menyerang. Dengan menyerang seperti itu, ia bisa menutupi kekalahannya.
“Lihat tombakku, Ki!”
“Aku belum buta, Kebo Busuk!” sahut Ki Sobrang dan kembali melayani setiap serangan yang dilaku oleh Kebo Ijo. Kali ini lebih hebat dari serangan yang pertama. Tombaknya terus mengancam bagian bawah Ki Sobrang yang harus berlompatan ke sana kemari. Lalu berganti arah, dengan cara memutar tombaknya ke bawah dan dibawa melalui punggung sebagai lan-dasan, dan tahu-tahu bagian leher Ki Sobrang yang diserang.
Ki Sobrang cukup kewalahan juga menghadapi serangan gencar yang dilakukan oleh Kebo Ijo.
Namun ia sudah melihat titik kelemahan ilmu tombak yang diperlihatkan lawannya. Kebo Ijo selalu memegang tombak pada tumpuan tenaga tangan kiri, kemudian melemparkannya ke tangan kanan.
Sehingga, tangan kiri seolah hanya menjadi landasan belaka, sementara tangan kanan yang bekerja.
Ini kuncinya, dan Ki Sobrang telah menemukannya. Ketika Kebo Ijo kembali melancarkan putaran tombaknya ke bagian kepala Ki Sobrang, Ki Sobrang mundur dua tindak. Bukannya untuk menghentikan serangan, melainkan mencoba melompat melewati kepala Kebo Ijo. Rupaya Kebo Ijo mengetahui taktik seperti itu. Ia mengangkat tombaknya tinggi-tinggi. Ujungnya siap menghantam perut Ki Sobrang bila me-lompatinya.
Inilah taktik yang dipergunakan Ki Sobrang. Ia tidak jadi melompat, justru ia meluncur cepat dengan sepakan kaki pada kaki Kebo Ijo dan satu sontekan tangan ke tangan kirinya. Apa yang diduganya ternyata benar. Kekuatan ilmu tombak Kebo Ijo terpusat pada tenaga di tangan kiri. Begitu tangan kirinya kena hantam, gerakannya melemah. Dengan satu gerakan yang lebih cepat, Ki Sobrang mengirimkan satu sodokan ke perut.
“Heegggh!” Kebo Ijo untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Kali ini sangat nyeri sekali lambungnya.
“Ha ha ha... hebat! Hebat!” seruan itu terdengar dari sebatang ranting pohong di dekat pertarungan itu. Mereka melihat satu sosok tubuh yang mengenakan rompi kulit ular sedang bertepuk tangan sambil cengar-cengir.
Ki Sobrang sudah mengenal siapa pemuda itu.
Makanya, keberaniannya semakin berlipat ganda.
Sementara Kebo Ijo yang sedang menahan sakit, memperhatikan dengan kening berkerut. Begitu pula dengan kelima temannya.
“Monyet gila! Turun kau!” bentak salah seorang dari mereka. Ia bernama Sudra Kepala. Tubuhnya kurus tinggi, dengan wajah tirus dan sepasang mata yang menurun bagian bawahnya. Suaranya cempreng dan keras.
Sebenarnya sejak tadi ia ingin membantu Kebo Ijo. Namun karena melihat isyarat Kebo Ijo agar jangan membantunya, ia segera mengurungkan niatnya. Dan hasilnya, Kebo Ijo kini dalam keadaan kesakitan.
Lalu muncul pemuda berpakaian rompi kulit ular itu. Siapa lagi pemuda itu? Sena turun dengan ringannya, dan hinggap di bumi bagaikan sebuah kipas, la cengar-cengir.
“Nah, aku sudah turun? He he he... kau mau apa? Ingin mengajakku dalam pertarungan ini? Bagus! Sungguh kebetulan sekali! Aku memang sudah gatal untuk mengepruk kepalamu!” seru Sena sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
“Siapa kau, Orang Gila?!” bentak Sudra Kepala.
Sena terkekeh-kekeh. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan menungging, lalu berbicara dengan posisi kepala di bawah dan kedua kaki terbuka.
“He he he... berkaca dululah kau! Siapa yang gila... he he he...” Diperlakukan seperti itu Sudra Kepala menjadi murka. Ia bermaksud hendak melampiaskan kemarahannya pada pemuda itu, karena tidak berhasil melepaskannya pada Ki Sobrang yang sudah memukul mundur Kejo Ijo.
la pun melompat menerjang ke arah Sena. Yang diserang masih saja menungging. Melihat hal itu, Sudra Kepala semakin bernafsu saja. Namun mendadak saja ia mundur, karena begitu ia mendekat, angin dari perut Sena berbunyi.
“Duuttt!” Sudra Kepala langsung melompat mundur, sementara Sena terkekeh-kekeh kembali pada posisi semula.
“Hi hi hi... kau ini rakus sekali, ya? Maunya makan sendiri saja?” Ki Sobrang tersenyum geli melihat tingkah laku Sena.
Seperti sudah disepakati, empat orang dari mereka segera melesat ke arah Sena dengan tombak terhunus. Mereka sangat marah sekali, terutama Sudra Kepala.
“Heeeaaa!”
“Mampuslah kau!”
“Kucabik-cabik tubuhmu, Monyet gila!”
“Yeaaa!” Seruan-seruan itu terdengar bersamaan empat tubuh yang memburu ke arah Sena yang masih tertawa-tawa saja sambil cengar-cengir.
“He he he... sudah bosan hidup rupanya... bagus, bagus!” serunya sambil melompat dengan ringan.
Sodokan empat buah tombak itu tidak mengenai sasarannya. Dan tombak-tombak itu terus mencecarnya, sementara Sena dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, terus menghindari serangan itu.
Melihat serangan demi serangan yang dilakukannya, Sudra Kepala berseru keras, “Kerahkan 'Tombak Pembuka Jalan'!” Dan serentak tiga orang temannya mendekatinya.
Saling menempelkan punggung. Sementara tombak di tangan siap dihujamkan ke tubuh lawan.
“He he he... apa lagi ini?”
“Hhhh! Kini mampuslah kau, Bocah gila!” seru Sudra Kepala, lalu memberi komando menyerang.
'Tombak Pembuka Jalan' merupakan satu paduan jurus yang cepat dan tepat. Serangan dilakukan saling susul-menyusul dengan gerakan kaki sedikit demi sedikit melebar. Bila salah seorang kawan terdesak, yang lain bisa saling menutupi. Tidak mudah untuk menerobos masuk ke dalam pertahanan 'Tombak Pembuka Jalan'. Bila berani menerobos, itu namanya nekat. Karena, tombaktombak itu akan segera mendapatkan sasaran yang empuk sekali.
Sena pun harus mengalami hal yang sulit sekarang. Setiap kali ia merangsek masuk, tombaktombak itu segera menghadangnya. Hebatnya, bisa langsung menyerang dengan menggeserkan tubuh sedikit demi sedikit. Bila lawan lengah, maka ia akan terjebak dan masuk ke lingkaran tombak itu.
Sementara itu Ki Sobrang sudah menghadapi salah seorang dari enam orang itu yang tinggal. Kejo Ijo yang sudah pulih dari rasa sakitnya pun segera membantu kawannya. Keduanya saling susul menyusul dan bahu membahu melakukan satu serangan yang cepat, hebat dan tangkas.
Kali ini Ki Sobrang harus mengeluarkan segenap kemampuannya. Karena, bila ia lengah, maka tubuhnya akan menjadi sasaran empuk kedua tombak itu.
Suara yang keras itu menimbulkan keingintahuan para penduduk. Mereka melihat Ki Sobrang sedang menghadapi dua orang bersenjata tombak. Mereka juga melihat seorang pemuda yang berpakaian rompi kulit ular sedang dikeroyok oleh empat laki-laki yang mengenakan tombak pula. Mereka tidak tahu siapa pemuda itu. Namun mereka sangat mengenal siapa yang sedang berhadapan dengannya, begitu pula yang berhadapan dengan Ki Sobrang.
Mereka orang-orang Juragan Soka Wijaya.
Para penduduk yang menyaksikan pertarungan itu, tidak berani untuk membela atau pun melerai.
Mereka masih sayang pada nyawa masing-masing.
Lalu disuruhnya masuk istri dan anak-anak mereka.
“Ayo, ayo masuk! Nanti jadi sasaran!” Sementara dari balik jendela rumah Ki Sobrang, Lastri mengintip dengan harap-harap cemas. Ia berdoa banyak-banyak semoga ayahnya dan Sena berhasil memenangkan pertarungan itu. Sama halnya yang dilakukan oleh para penduduk. Karena, mereka sangat membenci orang-orang Juragan Soka Wijaya dan Soka Wijaya sendiri.
“Hei, kenapa kau hanya bisa melompat-lompat, hah!” seru Sudra Kepala sambil terus mempergencar serangannya. Begitu ia menusuk, tubuhnya masuk dua tindak ke lingkar, ganti yang sebelahnya menusukkan tombak. Begitu seterusnya, bagaikan berputar mengelilingi lawan.
Sementara Sena masih tertawa-tawa saja. Sambil tertawa-tawa itu ia memikirkan bagaimana untuk menerobos masuk ke rangka tombak itu. Karena ia yakin, bila ia berhasil merangsek masuk, maka pertahanan jurus 'Tombak Pembuka Jalan', akan kocar-kacir dan ia bisa menghabisi lawan-lawannya.
Tiba-tiba Sena melompat ke belakang. Lalu mendadak tubuhnya berputar berlawanan dengan arah jarum jam, sekaligus berlawanan dengan tombak-tombak lawan. Yang dipergunakannya adalah jurus 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut'. Sudah tentu Sudra Kepala menjadi kaget.
Bila lawan berputar berlawanan arah dengan putarannya, berarti lawan berada di belakang. Dan sudah tentu sangat tidak menguntungkan bagi kedudukannya. Ia segera memberi komando untuk memutar tubuh.
Dalam waktu yang sangat sempit, penyesuaian memutar gerakan pada arah yang berlawanan tidak mungkin. Karena harus melakukan gerakan lurus ke muka, sehingga semua beraturan sebelum kembali pada sasaran.
Sena melihat kesempatan itu.
“He he he... kacau, ya? Kacau!” serunya lalu mempergunakan saat yang ditunggunya untuk merangsek masuk. Dengan mempergunakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', ia berhasil masuk.
Gerakannya seperti menari, dan dengan gemulainya menepuk.
Sudra Kepala melihat gerakan yang dilakukan lawannya seperti tidak bertenaga. Ia memberi komando, “Hadang!” Itu adalah kesalahan. Karena di balik tepukan yang lembut itu, tersimpan tenaga dalam yang hebat.
Salah seorang dari mereka mencoba menghadang, dan hasilnya... tubuhnya mencelat beberapa tombak dan ambruk dengan muntah darah.
“Bangsat keparat! Kubunuh kau!” seru Sudra Kepala.
“Hiaaattt!” Buyarlah sudah paduan jurus 'Tombak Membuka Jalan'. Selain salah seorang sudah mampus, juga Sudra Kepala yang justru melepaskan dari paduan jurus itu.
Kemarahannya melihat salah seorang adik seperguruannya tewas, membuat serangannya menjadi tidak terarah. Hal ini sudah tentu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pendekar Gila. Masih dengan rangkaian jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', tubuh Sudra Kepala terlontar beberapa tombak setelah menjerit keras.
“Aaakkhh!” Tubuhnya ambruk menabrak pohon. Dari kepalanya mengalir darah segar.
Melihat hal itu, dua orang pengeroyoknya yang masih tersisa, segera menerjang dengan hebat.
Gerakan tombak mereka sekarang tidak mempunyai bentuk. Hanya sekadar untung-untungan untuk menjatuhkan lawannya.
Sena pun menghabisi keduanya dengan sekali gebrak.
“Nah, nah... itu akibatnya kalau nekat!” Lalu diperhatikannya Ki Sobrang yang masih menghadapi serangan dari Kebo Ijo dan seorang kawannya.
Sebenarnya perhatian Kebo Ijo sudah terpecah begitu melihat keempat temannya sudah berkalang tanah. Namun ia masih berusaha mengembalikan semua konsentrasinya pada lawannya. Begitu pula dengan temannya yang lebih sering mempergencar serangan tombaknya.
Sena sendiri melihat kalau Ki Sobrang mulai terdesak. Namun diam-diam ia mengakui kehebatan Ki Sobrang. Hanya mempergunakan tangan kosong belaka ia bisa menghadapi dua serangan tombak yang datang susul-menyusul.
“Ki! Kayaknya aku ingin turut juga! Biar aku ambil satu!” seru Pendekar Gila sambil melompat memapaki serangan dari Kala Dera.
“Heit! Jangan terburu nafsu! Sabar, sabar saja... he he he....” Kala Dera kini berhadapan dengan Sena yang semakin bernafsu untuk menjatuhkan lawannya.
Sementara Ki Sobrang merasakan mendapat keringanan hanya melawan Kebo Ijo. Kali ini ia yang justru menguasai jalannya pertarungan. Didesaknya dengan rangkaian tangan kosong yang cepat dan penuh tenaga itu ke arah Kebo Ijo. Membuat Kebo Ijo kalang kabut. Apalagi dengan rangkaian jurus yang cukup mematikan.
Dengan satu gerak tipu yang hebat, Ki Sobrang berhasil menendang jatuh tombak yang dipergunakan Kebo Ijo.
“Ha ha ha... kau bisa berbuat apa sekarang, Kebo Busuk?” ejeknya sambil terus mencecar.
Tanpa mempergunakan senjatanya, sudah tentu membuat Kebo Ijo kewalahan. Berkali-kali tubuhnya terkena pukulan dan tendangan Ki Sobrang. Namun ia masih bertahan dan masih berusaha menyerang.
Sementara itu Sena yang sejak tadi mempermainkan Kala Dera, kini segera menghabisi lawannya.
'Elang Gila Menyambar Mangsa' pun dipergunakan.
Tubuhnya melenting ke atas, lalu dengan satu gerakan manis segera mencengkeram leher Kala Dera, dan memuntirnya.
Krak! Tubuh Kala Dera pun ambruk.
Melihat kawannya mampus dan merasa seorang diri, Kebo Ijo segera mencari jalan untuk meloloskan diri. Ia yakin, kalau nyawanya pun akan habis di sini saat ini juga. Tiba-tiba saja ia menjerit keras dan menyeruduk masuk ke arah Ki Sobrang. Ki Sobrang segera bersalto ke belakang.
Rupanya yang dipergunakan oleh Kebo Ijo itu hanyalah pancingan belaka. Karena begitu tubuh Ki Sobrang mundur, Kebo Ijo segera mengambil kesempatan untuk melarikan diri.
“Hayo! Hayo! Pegang, pegang!” seru Sena sambil berjingkrakan. Sementara Ki Sobrang mendesah panjang. Menghapus keringatnya.
“Aku sudah terlibat dalam kesulitan, Sena...”
“He he he... tidak usah khawatir, Ki. Tetapi menurutku, lebih baik sekarang juga kita segera meninggalkan rumah ini.” Ki Sobrang pun sudah memikirkan kemungkinan itu tadi. Ia yakin, kalau orang-orang Juragan Soka Wijaya akan kembali lagi ke rumahnya.
Setelah itu, bertiga dengan Lastri dan Sena, mereka menyelinap memasuki Hutan Alas Warangan.

***

“Bodoh! Bodoh! Begitu saja tidak becus menangkap orang tua, hah?!” maki Juragan Soka Wijaya sambil melangkah mondar-mandir dengan tangan terkepal. Sejak tadi ia sudah membayangkan bagaimana nikmatnya tubuh Lastri. Tetapi sekarang, yang didapatkannya hanyalah bayangannya belaka.
Mereka berada di ruang belakang rumah besar itu. Di sana telah duduk Jalaluta, Tiga Iblis Bergelang Bahar yang segera diterima dengan baik oleh Soka Wijaya, Nyai Sisik Merah yang bernama Mayang, dan orang cebol yang wajahnya begitu dingin, dikenal dengan julukan Si Cebol dari Utara.
Sementara itu Kebo Ijo berlutut di lantai dengan wajah yang ketakutan dan keringat dingin yang keluar.
“Maaf... maafkan saya, Juragan... Sebenarnya saya dan yang lainnya, berhasil menangkap Ki Sobrang....”
“Bagus! Tapi mana buktinya?” bentak Juragan Soka Wijaya dengan kemarahan yang semakin kuat.
Tiga orang gadis yang bersimpuh di sisinya hanya menundukkan kepalanya. Ketiganya mengenakan pakaian hijau yang tipis menerawang, memperlihatkan lekuk tubuh bagian dalam yang merangsang.
“Soalnya... Ki Sobrang dibantu oleh seorang pemuda, Juragan...”
“Dan kau tidak sanggup menghadapinya juga, hah?!”
“Ilmunya... sangat tinggi, Juragan...” “Bodoh! Bodoh!” Menggolo yang sejak tadi mendengarkan, mengangkat tangannya.
“Maaf, Tuan Soka Wijaya...
bila saya memotong. Boleh saya bertanya pada Kebo Ijo?”
“Hhh!” Juragan Soka Wijaya kembali duduk di kursinya. Ketiga gadis itu segera mengipasinya kembali.
“Kebo Ijo... bagaimanakah ciri-ciri dari pemuda itu?”
“Ia... ia sangat muda, Tuan... dan kesaktiannya sangat tinggi.... Ia... mengenakan rompi terbuat dari kulit ular.”
“Pendekar Gila!” seru Menggolo keras. Terbayang bagaimana pertarungannya tadi pagi dengan pemuda yang mengenakan rompi terbuat dari kulit ular.
“Tuan Soka Wijaya... yang dihadapi oleh Kebo Ijo dan lainnya, tak lain adalah Pendekar Gila.” Juragan Soka Wijaya terdiam. Mengusap-usap dagunya.
“Hhh! Rupanya Pendekar Budiman itu sudah masuk ke daerah ini! Sekarang kuperintahkan kepada Jalaluta dan kalian Tiga Iblis Bergelang Bahar, tangkap si Pendekar Gila! Dan bunuh Ki Sobrang! Sementara, bawa Lastri ke sini!” Yang disebut oleh Soka Wijaya segera berdiri.
“Ingat, jangan kembali sebelum membawa salah seorang dari mereka! Dan kau Kebo Ijo, karena kelalaian dan ketololanmu, kau harus menerima hukuman!” Wajah Kebo Ijo menjadi pias. Ia meratap ketakutan dan memohon ampun. Tetapi Soka Wijaya hanya tertawa saja dan sudah menggerakkan tangannya. Selarik sinar merah melesat.
Singng! “Aaaakkkhhh!” Sinar merah itu tepat menghujam ke jantung Kebo Ijo yang segera ambruk. Anehnya, perlahan demi perlahan tubuh Kebo Ijo menciut. Memucat dan memutih, seolah darah sudah tidak ada lagi di tubuhnya. Itu akibat pengaruh sinar merah yang memang mematikan, dengan jalan mengisap darah lawan.
“Buang mayat itu! Dan segera lakukan tugas kalian!” bentak Soka Wijaya. Lalu merangkul ketiga gadis cantik itu.
“Ha ha ha... hayo, Manis... hibur aku dengan permainan kenikmatan yang kalian miliki...” Jalaluta dan Tiga Iblis Bergelang Bahar itu pun segera menjalankan tugasnya dengan hati marah.
Terutama Tiga Iblis Bergelang Bahar yang sempat bentrok dengan Sena tadi pagi. Kali ini, mereka tidak akan bertindak murah hati lagi. Akan dihabisinya Pendekar Gila itu! Ketika mereka tidak menemui orang-orang yang mereka cari, mereka menjadi marah. Rumah itu pun dibakar.
Orang-orang di sana tidak berani berbuat apaapa, ketika mata Jalaluta dan Tiga Iblis Bergelang Bahar menoleh kepada mereka. Mereka pun buruburu masuk ke rumah dan mengunci pintu daripada terkena sasaran.

***



₪₪₪↨֍¦ 4 ¦֎↨₪₪₪

“Seto... kini tenagamu sudah pulih kembali.
Ceritakan, apa sebenarnya yang terjadi padamu?” Nimas Kunti bertanya sambil tersenyum pada Seto yang duduk bersila di hadapannya. Mereka berada di gubuk Nimas Kunti di bagian timur dari Hutan Alas Warangan. Selama lima belas tahun Nimas Kunti yang berjuluk si Nenek Pesolek menghuni gubuk itu.
Pagi mulai membedah alam. Suasana begitu sunyi sekali. Meskipun matahari sudah sepenggalah, namun sinarnya belum mampu menembus tinggi dan rimbunnya pepohonan di Hutan Alas Warangan.
Binatang hutan pun sudah banyak yang berkeliaran demi mencari makan.
Seto mendesah pendek. Ingatannya kembapi pada Bono yang telah menemui ajalnya. Seketika ia menjadi geram. Lalu perlahan-lahan ditatapnya wanita tua yang masih pesolek itu. Seto yakin kalau Nimas Kunti adalah seorang wanita yang jelita.
Terbukti sisa-sisa kecantikannya masih membias di wajah Nimas Kunti.
“Nimas... sebelumnya aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolonganmu....”
“Pemuda yang tahu sopan santun,” Nimas Kunti tersenyum.
“Sebenarnya, luka yang kuderita ini diakibatkan oleh sebuah keris dari tangan Jalaluta....”
“Jalaluta?” Nimas Kunti menghentikan mengunyahnya.
“Tetapi setahuku, luka dan hawa panas yang kau derita itu hanya bisa dilakukan oleh si Tua Keris Dewa alias Wasongso. Mengapa kau sebut Jalaluta?”
“Karena memang itulah namanya, Nimas....” Nimas Kunti mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hmmm... aku tahu sekarang, rupanya si Tua Keris Dewa itu telah mengangkat seorang murid.
Tetapi, ada urusan apakah kau dengan Jalaluta?”
“Nimas, sebenarnya... aku dan adikku Bono datang dengan maksud untuk membunuh Juragan Soka Wijaya.”
“Aku sudah pernah mendengar nama laki-laki itu.
Yang berpraktek lintah darat dan bertanggung jawab atas serangkaian pembunuhan terhadap para penduduk.... Mengapa kau ingin membunuhnya, Seto?” Seto mendesah panjang. Lalu diceritakannya asal muasal ia dan adiknya bermaksud untuk membunuh Soka Wijaya.
Seto dan Bono adalah kakak beradik yang telah lama ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Satusatunya yang mendidik mereka adalah adik dari ayah mereka, Bibik Utari. Dengan Bibik Utari-lah mereka dibesarkan dan hidup di Desa Bojong Lolo, desa tetangga dari Desa Bojong Sawo.
Ketika mereka berusia sembilan dan tujuh tahun, datang seorang kakek yang mengaku bernama Setan Pedang Kembar. Mereka pun dibawa ke sebuah gunung yang terletak di sebelah utara di mana mereka tinggal.
Setelah sepuluh tahun mereka berguru pada Setan Pedang Kembar, lalu tibalah mereka untuk kembali pulang. Setan Pedang Kembar memang mengizinkan, karena ia tahu, Bibik Utari terlalu lama menunggu.
Mereka pun pulang dan melihat beberapa perubahan di Desa Bojong Lolo. Desa yang dulunya sepi, kini mulai banyak penduduk yang tinggal di sana. Suasana pun sudah semakin berubah.
Keramaian mulai mewarnai.
Ketika keduanya tiba di muka perbatasan desa saja, sudah berdiri gapura tinggi yang melambangkan perdamaian dalam kehidupan ini. Rasa tak sabar mulai menyeruak pada hati keduanya. Mereka sangat rindu sekali pada Bibik Utari. Sekian tahun mereka berpisah dan tak sekalipun juga pernah bersua.
Mereka sejenak mengerutkan keningnya, ketika tiba di rumah Bibik Utari sudah melihat perubahan rumah besar itu. Sejenak mereka ragu, apakah benar ini rumah Bibik Utari? Tetapi mengingat ada dua buah pohon kelapa di sebelah kanan rumah Bibik Utari, keyakinan mereka mulai tumbuh.
“Menurutmu bagaimana, Adi Bono?” tanya Seto sambil memperhatikan rumah besar itu.
“Aku tidak yakin apakah ini rumah Bibik Utari.
Tetapi bila mengingat letak pohon kelapa itu, sepertinya, ya,” sahut Bono sambil memperhatikan rumah besar itu pula.
“Mengapa ia menjadi kaya begitu? Setahu kita, Bik Utari hanya memiliki sebidang sawah belaka.”
“Mungkin Yang Kuasa tengah menganugerahkan rezeki padanya, Kakang.”
“Kita masuk?” ajak Seto.
“Untuk lebih meyakinkan, kita memang harus masuk.” Tetapi ketika keluar sang tuan rumah, mereka cukup terkejut juga. Seorang gadis cantik. Ia tersenyum-senyum.
“Mencari siapa, Kakang?” Keduanya gelagapan. Sepuluh tahun mereka bermukim jauh dari keramaian dan gadis-gadis, sudah tentu kemunculan gadis yang nampak pesolek itu cukup membuat mereka gugup.
“Maaf... kami... kami ingin bertanya...,” sahut Seto yang mendadak merasakan keringatnya turun.
Gadis itu terkikik.
“Hi hi hi... silakan...”
“Ini... rumah Bik Utari?”
“Bik Utari?” 'Ya. Ia adalah bibik kami.”
“O...,” Gadis itu mengangguk-angguk.
“Ya, ya...
saya ingat. Wanita setengah umur yang kurus kering itu, bukan?” Seto dan Bono saling berpandangan. Kurus kering? Setahu mereka Bibik Utari bertubuh gemuk dan sehat.
“Kami... sudah sepuluh tahun tidak bertemu, jadi... tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang ini,..,” sahut Seto.
“Kalau yang kalian cari wanita itu, ia tinggal di gubuk di ujung jalan sana.”
“Gubuk?” Kedua kakak beradik itu serentak menyahut.
“Ya, gubuk.”
“Tetapi, bukankah ini rumahnya?” tanya Seto tidak mengerti.
“Dulu memang, iya. Tetapi sekarang, bukan lagi.”
“Mengapa?”
“Rumah ini sudah dijualnya.”
“Oh, Gusti... rumah siapa ini?” Gadis itu tersenyum-senyum.
“Memang betulbetul baru, ya? Ini Rumah Bunga Mawar milik Nyi Alas Nipah. Bagaimana kalau kalian mampir? Untuk Kakang-kakang yang ganteng begini, semuanya gratis. Ayo, ayo!” Kedua kakak beradik itu buru-buru pergi. Gadis itu berseru-seru memanggil, tetap mereka tidak peduli.
“Huh! Kayak banci! Belum tahu enaknya perempuan!” dengusnya sambil memasuki kamarnya lagi. Seorang laki-laki yang sejak tadi tidak sabar menunggu langsung berkata, “Oh... mengapa lama, Dewi?” Gadis itu cekikikan.
“Ih! Tidak sabar amat!” katanya sambil membukai pakaiannya dan ternyata tidak mengenakan lapisan apa-apa lagi di dalamnya.
Laki-laki itu tidak mau membuang waktu. Ia langsung menubruk tubuh gadis itu yang cekikikan.
Sementara itu Seto dan Bono dengan hati bertanya-tanya mengapa rumah itu sampai dijual, bergegas menuju ke ujung jalan sebelah timur sana.
Mereka tidak mengerti mengapa bisa terjadi seperti itu.
Mengapa? Mereka mencari-cari rumah yang ada di jalan setapak itu. Di belakang jalan itu banyak terdapat semak dan pepohonan yang tinggi. Tidak ada rumah di sana, tetapi ada sebuah gubuk yang terletak agak jauh dari jalan setapak itu.
Hati mereka tercekat.
“Apakah gubuk itu tempat tinggal Bibik Utari sekarang? Oh, Gusti... mengapa jadi seperti itu?” desis mereka pilu.
Lalu perlahan-lahan mereka mendekati gubuk itu.
Suasana hening dan sepi. Padahal matahari sudah sepenggalah. Kehidupan sudah mewarnai Desa Bojong Lolo.
Keduanya sekarang tiba di depan gubuk itu.
Sejenak mereka memperhatikannya. Oh, bila memang benar Bibik Utari tinggal di gubuk reot ini, betapa menyedihkannya.
“Sampurasun!” Seto berseru.
Tak ada sahutan.
Sekali lagi ia berkata, “Sampurasun!” Lama mereka menunggu sebelum terdengar suara batuk dari dalam, menandakan orang itu sedang sakit.
“Ya, ya... tunggu sebentar... huk! Huk! Huk!” Keduanya berpandangan. Mereka sangat ingat suara Bibik Utari. Jadi... apa yang dikatakan gadis itu ternyata benar. Bibik Utari yang meninggali gubuk ini.
Pintu gubuk itu terbuka. Seorang wanita kurus kering keluar dengan mata mengeriap-ngeriap.
“Siapa, ya?” Hati mereka semakin pilu. Semakin tertindih oleh batu besar. Selama sepuluh tahun mereka meninggalkan Bibik Utari, ternyata kehidupan telah mengubah Bibik Utari menjadi kurus kering dan miskin seperti ini.
Tak sanggup menahan haru dan sedih, keduanya melemparkan buntalan yang mereka bawa ke tanah, lalu menubruk kaki wanita itu.
“Bibik!”
“Hei, hei... siapa kalian?” Seto menengadah. Matanya berkaca-kaca.
“Lupakah Bibik dengan kami?”
“Siapa?”
“Aku Seto, Bik. Aku Seto!” Wanita itu tercekat.
“Oh, Gusti! Kau... kau Seto?” tanyanya terbata.
“Iya, Bik. Ini Bono!”
“Saya Bono, Bik...,” kata Bono dengan suara tersendat di tenggorokan.
Wanita itu memejamkan matanya. Mendadak saja ia terhuyung.
“Bibik!” seru keduanya bersamaan. Seto berkata, “Bibik nampaknya sakit panas, Adi Bono.
Kau buat ramuan, aku akan mengalirkan hawa dingin ke tubuhnya! Cepat!” Keduanya pun bekerja dengan cepat, untuk menyelamatkan nyawa Bibik Utari. Selama dua belas jam Bibik Utari pingsan. Ketika ia terbangun, dirasakannya kepalanya sedikit pening, dengan mata yang berkunang-kunang.
Perlahan-lahan fokus matanya membaik. Ia melihat dua orang pemuda sedang duduk di tepi pembaringannya. Yang seorang sedang memijat-mijat kepalanya dan yang lainnya, sedang memijat-mijat kakinya.
“Bik...,” desis Seto dengan hati pilu.
“Mengapa semua ini sampai terjadi, Bik?” Bibik Utari tersenyum. Sekian tahun ia memendam rindu yang amat sangat kepada keduanya. Dan kini, keduanya sudah kembali. Tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan.
“Tidak, Bibik tidak apa-apa....”
“Bik, katakan... siapa yang melakukan semua ini? Mengapa, Bik? Mengapa? Bukankah Bibik sangat menyayangi rumah kita yang dulu, mengapa harus menjualnya? Pasti ada alasan yang sangat kuat sehingga Bibik terpaksa menjualnya, bukan?” Bibik Utari tersenyum lagi. Sarat dengan duka.
“Bibik terpaksa menjualnya. Kau lihat sendiri bukan, Bibik sedang sakit? Bibik membutuhkan uang untuk biaya pengobatan...,” katanya dengan kepasrahan yang semakin kentara.
Hati keduanya terasa pilu.
Bono membuka buntalannya. Ada buntalan kecil yang kemudian diambilnya. Diserahkannya pada Bibik Utari, “Ini uang, Bik:.. dengan uang ini... sakit Bibik akan bisa disembuhkan....” Lagi-lagi Bibik Utari tersenyum.
“Bibik rindu pada kalian. Siang dan malam Bibik mendoakan agar kalian selamat, dan tidak kurang satu apa. O ya, kalian sudah makan?” Seto tahu kalau Bibik Utari mengalihkan pembicaraan dari masalah penjualan rumah. Tetapi untuk sementara ia akan menurut saja, nanti bila saat tepat, ia akan mulai menanyakannya lagi. Saat ini biar saja ia mencoba memendam rasa ingin tahunya.
“Kami sudah memasak untuk Bibik. Ayo, makan dulu...
“ Saat mereka makan, Seto lebih banyak bercerita tentang apa yang mereka dapatkan dari Setan Pedang Kembar. Juga tentang kerinduan mereka pada Bibik Utari yang sudah menumpuk. Bono pun bercerita tak kalah serunya. Ia mengatakan, siang dan malam selalu mengingat Bibik Utari.
Di wajah wanita setengah baya yang nampak letih itu, mulai terpancar sinar kebahagiaan. Rasanya sudah sangat lama sekali ia tidak merasakan kebahagiaan seperti hari-hari yang lalu.
“Sekarang kalian sudah pulang,” kata Bibik Utari.
“Apa yang akan kalian kerjakan?”
“Ha ha ha... Bibik ini bagaimana?” pancing Seto.
Sedikit banyaknya ia masih penasaran dengan masalah yang dihadapi Bibik Utari.
“Sudah tentu kami akan membantu Bibik menggarap sawah. Iya kan, Adi Bono?” Bono yang tidak tahu maksud dari kakangnya hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Betul, Bik... di samping itu, kami juga akan membangun rumah yang layak untuk Bibik. Gubuk yang reyot seperti ini tidak layak untuk kesehatan Bibik.” Bukannya gembira, Bibik Utari justru menghentikan makannya. Wajahnya nampak lesu sekali. Seto semakin yakin kalau ada masalah yang sangat mengganggu bibiknya.
“Kenapa, Bik?” tanyanya berlagak tidak tahu.
Bibik Utari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Hmmm... kalian sebaiknya... ah, tidak enak rasanya Bibik mengatakan hal ini.”
“Maksud Bibik, karena gubuk Bibik kecil, kemudian kami tidak bisa tidur di sini?” kata Bono sambil tersenyum.
“Tidak jadi masalah, Bik. Semuanya beres. Kami bisa tidur di luar. Selama hidup bersama Guru, kami sudah digemblengnya untuk mempertahankan diri dari kehidupan alam yang keras ini.” Bibik Utari hanya tersenyum.
Malam pun semakin merambat. Seto dan Bono mencari tempat yang tidak jauh dari gubuk Bibik Utari. Mereka mengambil dedaunan yang dijadikan alas tubuh.
Tengah malam, selagi semua penghuni Desa Bojong Lolo terlelap, Seto terbangun. Pertama yang dilihatnya, hanyalah gelap semata. Setelah fokus matanya membaik, ia bisa melihat ke sekelilingnya.
Hanya semak belukar dan pepohonan belaka. Dan suara binatang malam yang terdengar ramai.
Tiba-tiba ia teringat akan bibiknya. Oh, apakah tiba-tiba sakitnya akan kumat? Kalau kumat, siapa yang akan menolongnya? Mendadak ia bangkit, lalu perlahan-lahan melirik adiknya. Bono nampak sangat terlelap, ia lelah sekali.
Lalu Seto pun melangkah mendekati gubuk di mana bibiknya tinggal. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Rupanya Bibik Utari terlelap dalam tidurnya.
Menyadari hal itu, Seto pun bermaksud kembali ke tempatnya. Namun tiba-tiba ia terkejut, karena tiga sosok tubuh berkelebat dari sana.
“Hei! Berhenti!” serunya sambil mengerahkan ilmu larinya. Di tanah terbuka, Seto berteriak, “Heaaa!” Tubuhnya bersalto dua kali dan hinggap di hadapan ketiga orang itu. Ia melihat salah seorang dari mereka memegang golok, dan di ujungnya meneteskan darah! Pikirannya menerawang pada Bibik Utari. Dan sesuatu yang mengerikan menjelma di pikirannya.
“Hhh! Minggir kau, Bocah sialan!” membentak salah seorang yang mengenakan angkin berwarna merah. Ialah yang memegang golok berdarah itu.
“Aku cuma ingin tahu, apa yang telah kalian lakukan di gubuk itu, hah?” bentak Seto dengan mata yang tajam memperhatikan mereka.
Bukannya menyahuti kata-katanya, si angkin merah justru terbahak-bahak.
“Siapa kau adanya, Anak Muda?” bentaknya.
“Jawab pertanyaanku itu! Bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan atas Bibik Utari, kalian akan mampus di tanganku!” Si angkin merah bernama Pujo Dondong. Ia tertawa terbahak-bahak.
“Bibik? Ha ha ha... rupanya kau masih punya hubungan darah dengan si penghutang itu, hah?” Kening Seto berkerut. Penghutang? Apa maksud laki-laki itu? Bibik Utarikah? “Hei, Anak muda! Bibikmu telah mendapatkan hukuman yang setimpal karena tak mampu membayar hutang-hutangnya!”
“Apa maksudmu dengan berhutang, hah?”
“Ya, ya... kau memang orang bodoh! Bibikmu itu telah berhutang banyak sekali pada Juragan Soka Wijaya. Dan ia tidak mampu membayar! Apakah kau sudah tahu kalau rumah dan sawahnya sudah disita, hah?!” Seto tidak bisa lagi menahan amarahnya. Semua yang ingin diketahuinya, justru melalui orang-orang biadab ini. Tiba-tiba ia melompat seraya memekik keras, “Anjing keparat! Mampuslah kau!” Pujo Dondong hanya terkekeh. Lalu melompat pula, memapaki serangan yang dilakukan oleh Seto.
“Bocah kemarin sore sudah bertingkah di depanku!” dengusnya sambil meningkatkan tenaga dalamnya. Sementara dua temannya hanya memperhatikan saja. Pikir mereka, bocah itu terlalu nekat. Pasti ia akan roboh hanya dengan sekali gebrak.
Benturan itu terjadi.
Des! Des! Satu sosok tubuh terpental ke belakang. Tubuh Pujo Dondong! Sementara Seto bukannya terpental, malah semakin menggenjot tubuhnya. Memburu Pujo Dondong.
Sudah tentu Sengkala dan Bayantoro terkejut melihatnya. Mereka tidak menyangka kalau pemuda yang kelihatan lemah itu bisa membuat Pujo Dondong terpental.
Seketika keduanya mengegos tubuh, mencoba memotong gerakan Seto dengan golok di tangan.
Seto yang sudah memperhitungkan kalau serangannya akan dipotong hanya melepaskan tendangan dua kali.
Duk! Duk! Golok di tangan Bayantoro terlepas, sementara Sengkala merasakan dadanya bagai dihantam godam. Karena tendangan yang penuh tenaga itu tepat mengenai dadanya.
Seto terus memburu Pujo Dondong yang sudah terhuyung. Ia tidak menyangka kalau pemuda itu bisa melepaskan pukulan telaknya saat tubuh keduanya beradu tenaga. Dan yang tidak disangkanya pula, kalau pukulan yang dilepaskan pemuda itu mengandung tenaga dalam yang tinggi.
Kini tak ada jalan lain baginya, kecuali hanya mencoba menutupi gerakan Seto dengan jalan mengibaskan goloknya. Seto sendiri sudah tidak mungkin untuk menarik pulang serangannya. Golok yang mengibas di depan itu di tendang, hingga mencelat ke atas. Sementara dua buah pukulannya sekaligus masuk menghantam dada Pujo Dondong yang semakin terhuyung.
Bersamaan dengan itu, Seto mendadak bersalto, dan menendang dengan secepat kilat golok yang sudah turun kembali.
Plak! Singng! Golok itu melesat cepat ke arah Pujo Dondong yang hanya bisa ternganga dan... bles! “Aaaakhhhgghhh!” Jeritan panjang terdengar, memecah malam yang sunyi. Tetapi tidak ada yang keluar, karena jarak tanah kosong itu agak jauh dari desa. Hanya satu sosok tubuh yang muncul dan memperhatikan Seto sedang bertarung dengan Pujo Dondong.
“Kakang!” Seto menoleh.
“Adi Bono... periksa keadaan Bibik Utari! Dua cecunguk ini harus mampus! Heaaa!” Meskipun tidak mengerti apa maksud kakangnya, Bono berlari juga ke gubuk Bibik Utari. Sementara itu Sengkala dan Bayantoro harus menghadapi serangan yang dilakukan oleh Seto.
Keduanya cukup mengalami kesulitan dengan serangan-serangan yang dilakukan Seto! Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Sebisanya mereka menghadapi dengan golok setiap serangan yang datang ke arahnya. Mencoba untuk mencari sela menyerang... dan kalau mempunyai kesempatan mereka akan melarikan diri.
Tetapi sudah tentu Seto yang murka tidak mau melepaskan kesempatan itu. Disambarnya dua buah ranting dan dipergunakannya sebagai senjata.
Sebuah ranting di tangan orang yang memiliki ilmu kesaktian, bukanlah barang tak berguna. Bisa menjelma menjadi barang yang sangat berbahaya.
Begitu pula yang dilakukan Seto. Ia adalah murid dari Setan Pedang Kembar. Dengan memadukan jurus-jurus pedangnya, ia menghantam kedua lawannya hingga tunggang-langgang. Dan berkali-kali terdengar jeritan kesakitan.
“Ampun... ampun...!”
“Aaauhh... sakit...!” Tetapi Seto tidak juga mengendurkan serangannya. Ia semakin gencar. Tiba-tiba dilemparkannya salah sebuah ranting di tangannya, yang meluncur ke arah Bayantoro.
“Mampuslah kau, Anjing!” Ranting itu tepat menusuk jantung Bayantoro.
Menembus hingga ke punggungnya! Lalu tubuh itu ambruk tanpa sempat berteriak lagi, bersimbah darah.
Melihat Bayantoro sudah mampus, Sengkala menjadi panik. Ia mencoba melarikan diri, tetapi dengan sekali kelebat, Seto sudah berhasil menangkapnya.
“Mau ke mana kau, Setan!”
“Ampun... ampun..., Jangan bunuh saya...
jangan...,” jerit Sengkala dengan wajah yang memucat. Sungguh, ia tidak menyangka akan mengalami kejadian tidak enak seperti ini.
“Ceritakan, siapa Soka Wijaya itu!” seru Seto sambil memuntir tangan Sengkala ke belakang. Dan menariknya sehingga Sengkala menjerit-jerit.
“Ampun... ampun!”
“Katakan, siapa dia?” 'Ya, ya... saya katakan. Dia... dia majikan kami....”
“Apa kerjanya?”
“Dia... memeras rakyat dan melakukan praktek lintah darat.”
“Apa hubungannya dengan bibiku, hah? Mengapa ia sampai terlibat hutang padanya!”
“Karena... karena ia tidak pemah membayar pajak.”
“Bangsat! Pajak apa yang diterapkan!”
“Semua... penduduk Desa Bojong Lolo dan Bojong Sawo... harus menyetor pajak kepada Juragan Soka Wijaya. Kalau tidak hari ini... berarti besok akan berlipat ganda... begitu seterusnya...”
“Gara-gara pajak itu sawah dan rumah Bibik Utari dijual?” 'Ya, ya... dengan harga yang sangat murah.”
“Di mana manusia busuk itu tinggal?”
“Ampun, Tuan Pendekar... saya tidak berani mengatakannya?”
“Kau mau mampus?”
“Jangan, Tuan... jangan....”
“Katakan, Monyet!” Seto memuntir tangan Sengkala lebih kuat, yang hanya bisa menjerit-jerit kesakitan.
‘Ya, ya... dia tinggal di Desa Bojong Sawo... rumah yang paling besar....” Seto melepaskan puntirannya dan mendorong tubuh Sengkala hingga tersuruk.
“Pergilah kau dari sini, kalau tidak, kau akan mampus!”
“Oh, baik, baik...,” Sengkala berlari terbirit-birit. Ia merasa tenang sekarang, meskipun ia geram dengan anak muda itu.
Seto mengatur napasnya.
Ia bermaksud hendak ke gubuk Bibik Utari, tetapi tiba-tiba terdengar lolongan kematian dari kejauhan.
Seto bermaksud mencari suara itu, tetapi Bono telah muncul. Di tangannya ada kepala Sengkala yang putus.
“Jangan dibiarkan manusia itu hidup, Kakang....
Mereka telah membunuh Bibik Utari...,” desisnya dingin.
Seto menengadah. Lalu jatuh terduduk.
“Kita harus membalas kematian Bibik Utari, Adi Bono...,” katanya dengan hati pilu. Baru sekarang ini mereka berjumpa selama sepuluh tahun berpisah.
Dan perjumpaan itu hanya terjadi sesaat saja.
Bono melemparkan kepala Sengkala jauh-jauh.
Suaranya dingin dan kejam.
“Segera, Kakang...!”

***

Seto menghela napas panjang.
“Begitulah ceritanya, Nimas. Kemudian kami mendatangi rumah Soka Wijaya. Dan semuanya itu sia-sia belaka...
bahkan harus mengorbankan nyawa Bono.” Nimas Kunti yang mendengarkan dengan seksama, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau masih mendendam pada mereka?”
“Ya.”
“Hi hi hi... kalau begitu aku akan ikutan maju.
Kebetulan sudah lama aku tidak mencoba ilmuilmuku.... Terutama setelah aku sadari kalau bukan si Tua Keris Dewa yang melakukan semua ini. Hmmm, ternyata ia masih menepati janjinya dulu, bahwa Tiga Malaikat Pencabut Nyawa tidak akan muncul di dunia persilatan. Entah kalau Mayang, yang berjuluk Nyai Sisik Merah. Hei, Seto... kau tahu, kalau aku, Wasongso dan Mayang, adalah orang-orang dari golongan putih yang selalu membela kebenaran.
Karena sudah tua, kami memutuskan untuk tidak memasuki dunia persilatan lagi. Dan... aku akan membantumu....” Seto mengangkat kepalanya.
“Nimas mau membantu?”
“Bahkan aku akan membelikanmu sesuatu,” Nimas Kunti berdiri. Lalu masuk ke kamarnya dan keluar lagi dengan membawa sebilah peti besar. Ia begitu ringan sekali membawanya. Sejak semula sebenarnya Seto sudah merasakan kalau wanita tua ini bukanlah orang sembarangan. Nimas Kunti membuka peti itu. Lalu dikeluarkannya sebilah pedang dari sana. Pedang itu bersinar ungu, agak menyilaukan.
Lalu ditariknya dari warangkanya.
Sreettt! Sinar ungu itu semakin menyilaukan.
“Hi hi hi... sudah sangat lama Pedang Sinar Ungu ini ada di tanganku. Nah, sekarang pedang ini menjadi milikmu, Seto...”
“Tetapi, Nimas?”
“Kenapa? Kau menolaknya?”
“Bukan... maksudku, bagaimana aku bisa menerimanya?”
“Hi hi hi... kau memang pemuda yang tahu sopan santun. Sekarang mudah saja, pedang ini kuberikan kepadamu.... Dan sudah tentu kau bisa menerimanya dengan segera. Nah, apalagi yang kau pikirkan, Seto?” Seto hanya tersenyum saja. Ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Nimas Kunti. Hal ini sudah tentu sangat menguntungkannya. Diterimanya Pedang Sinar Ungu yang diberikan oleh Nimas Kunti.
“Tetapi Seto... ada syaratnya saat kau mempelajari kitab Ilmu Pedang Sinar Ungu ini,” kata Nimas Kunti kemudian.
“Oh, apakah itu gerangan, Nimas?” tanya Seto dengan dada berdebar.
“Mudah-mudahan saja. Pedang Sinar Ungu ini adalah sebuah pedang yang sangat sakti. Bahkan kesaktiannya hanya bisa ditandingi oleh Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila.”
“Siapa pula Pendekar Gila ini, Nimas?” Nimas Kunti tertawa-tawa. Rupanya pemuda ini memang benar-benar baru turun gunung. Nama Pendekar Gila selama ini sudah mulai membubung tinggi sebagai pendekar pembela kebenaran.
“Ketahuilah, Seto... Pendekar Gila adalah seorang pemuda budiman yang telah banyak menghancurkan tokoh-tokoh jahat. Ia adalah murid tunggal dari Singo Edan, yang hingga sekarang ini terus berdiam diri di Gua Setan. Kesaktian si Pendekar Gila teramat tinggi, begitu pula dengan senjatanya, yaitu Suling Naga Sakti. Nah, Pedang Sinar Ungu inilah yang bisa sejalan dengan Suling Naga Sakti. Jadi bila kau bisa mempergunakannya pada jalan kebaikan, kau akan menjadi pendekar kenamaan. Tetapi bila kau berada pada jalan sesat, maka kau akan menjadi pendekar durjana....”
“Kalau begitu, Nimas... mengapa kau tidak khawatir bila ternyata Pedang Sinar Ungu ini kubawa pada jalan sesat?” tanya Seto sambil menatap Nimas Kunti yang terkekeh-kekeh.
“Aku tahu siapa kau, Seto. Dan aku yakin, murid dari Setan Pedang Kembar tak akan mengkhianati kebajikan. Tetapi seperti yang kukatakan tadi, kau masih harus melakukan satu syarat yang harus kau jalani.” Dada Seto kembali berdebar.
“Apakah itu gerangan, Nimas?” Nimas Kunti memasukkan kembali tangannya ke dalam peti yang masih ada di hadapannya. Lalu diangkatnya sebuah benda yang terbungkus kain perca yang sudah tua.
“Ini adalah kitab Pedang Sinar Ungu. Kau harus mempelajarinya untuk bisa mendapatkan kesaktian dari Pedang Sinar Ungu.”
“Saya akan menjalankannya, Nimas...”
“Hi hi hi... hebat, hebat! Nyalimu sungguh besar, Seto. Meskipun masih kurasakan kau menyimpan dendam yang sangat kuat kepada orang-orang yang telah membunuh bibikmu dan adikmu. Kau memiliki semangat yang sangat bagus. Itu patut dipuji. Tetapi sekarang, yang menjadi masalah adalah syarat yang harus kau jalani,” kata Nimas Kunti. Lalu melanjutkan, “Sekarang yang terpenting adalah kitab ini, Seto “ “Nimas... apakah syaratnya?”
“Kau harus menamatkan seluruh isi kitab Pedang Sinar Ungu ini hanya dalam waktu satu malam.” Seto tersentak. Menamatkan kitab setebal itu hanya dalam satu malam? Edan! Siapa yang sanggup “Tetapi, Nimas.
“ “Di mana semangatmu, Seto? Pergunakanlah otakmu untuk menemukan jawaban yang paling singkat dan cara menamatkan seluruh isi kitab ini.
Bila kau tidak sanggup, lebih baik kau kembalikan lagi kepadaku. Bila kau sanggup, masih ada pula hal yang sangat mengejutkan.”
“Apakah itu, Nimas?”
“Bila kau gagal menamatkan isi kitab Pedang Sinar Ungu ini dalam satu malam, maka nyawamu sendiri yang akan terkena sinar pedang itu yang sangat mematikan. Bagaimana?” Nimas Kunti melihat wajah Seto menjadi pias.
Namun ia pun melihat ketegaran di mata itu. Betapa pemuda ini masih sanggup untuk menjalankan apa yang hendak dilakukannya.
“Bagaimana?” Seto mendesah pendek. Terbayang bibiknya yang telah menjadi mayat. Terbayang pula bagaimana Bono harus menemui ajalnya dengan cara yang menyedihkan. Semuanya masih berpendar-pendar dalam ingatan Seto.
Mungkin pula, ia tidak akan pernah bisa melupakannya. Karena dendam itulah Seto akhirnya mengangguk.
“Baiklah, Nimas... saya akan melakukannya.”
“Hi hi hi... bagus, bagus sekali... Purnama tinggal tiga hari lagi. Nah, saat purnama tiba kau harus mulai mempelajari kitab Pedang Sinar Ungu yang harus kau tamatkan satu malam. Dan... hi hi hi... kau tidak lupa akan resikonya, bukan?” Seto mengangguk mantap. Terbayang lagi bagaimana jeritan Bono ketika tangannya disambar putus oleh keris Jalaluta. Menyusul ajal yang segera menjemputnya. Tidak, ia tidak akan membiarkan semua itu membayanginya terus menerus. Ia harus membalaskan sakit hatinya! Juga membalas sakit hati Bibik Utari.
“Baiklah, Nimas... saya siap untuk melakukannya.”
“Bagus!”

***



₪₪₪↨֍¦ 5 ¦֎↨₪₪₪

Pagi mulai menjelang kembali. Suasana di Desa Bojong Sawo tetap seperti biasa, selalu dihiasi oleh ketakutan demi ketakutan. Mereka terkadang lebih suka berada di dalam rumah demi menjaga keselamatan istri dan anak gadis mereka. Tetapi pajak yang telah diterapkan oleh Soka Wijaya, mau tidak mau membuat mereka terpaksa angkat kaki ke sawah. Sebagian besar sawah dan ladang di Desa Bojong Sawo, kini sudah berpindah tangan. Menjadi milik Soka Wijaya.
Pagi itu, seorang wanita setengah umur yang melangkah dengan menggunakan tongkat, memasuki Desa Bojong Sawo. Bila melihat arah dari mana nenek itu datang, sudah jelas muncul dari Hutan Alas Warangan.
Nenek itu tak lain adalah Nimas Kunti, yang menjadi sangat penasaran ingin mengetahui rupa Jalaluta. Baginya, yang ia kenal sebagai pemilik Keris Dewa adalah Wasongso, alis si Tua Keris Dewa.
Tetapi menurut Seto, yang memiliki sekarang adalah Jalaluta. Kemungkinan besar, menurut Nimas Kunti, Jalaluta adalah murid dari Wasongso. Hanya yang membuatnya tidak habis berpikir, mengapa sangat jauh sekali watak dari Jalaluta dengan Wasongso? Itulah yang menyebabkannya datang ke Desa Bojong Sawo.
Kemunculannya sudah tentu memancing perhatian orang-orang di sana, terutama para pengawal Soka Wijaya yang memang banyak berkeliaran.
Mereka mencari siapa saja orang-orang yang menjelek-jelekkan nama Soka Wijaya, atau pun tengah berunding untuk melawannya. Bila ada yang ketahuan seperti itu, sudah pasti besoknya tidak akan pernah lagi melihat matahari.
Nimas Kunti menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaan yang sepi seperti itu. Jarang sekali ia melihat anak kecil yang bermain-main di luar rumah.
Juga, kaum wanitanya yang biasanya sedang sibuk menjemur sepagi ini.
Ia mulai merasakan kebenaran ucapan Seto.
Tiba-tiba dia berhenti di satu rumah. Di sana seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang membelah kayu.
“Maafkan aku, Kisanak... tahukah di mana tempat tinggalnya Soka Wijaya?” Laki-laki yang menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah Nimas Kunti, segera meneruskan pekerjaannya lagi. Seolah tidak mendengar apa yang ditanyakan olehnya.
Nimas Kunti mengerutkan keningnya. Ia jelasjelas sekali melihat kalau sebelumnya laki-laki itu mendengar perkataannya. Namun mengapa kemudian akhirnya justru berlagak seperti tidak mendengar? Ia yakin, ini berkaitan dengan nama Soka Wijaya yang ia sebutkan. Gagal mendapatkan jawaban, ia meneruskan langkahnya. Sementara laki-laki yang ditanya tadi mengangkat kepalanya, lalu menggelenggeleng.
Nimas Kunti mencoba bertanya lagi pada seorang wanita yang kebetulan sedang mengejar anaknya yang keluar rumah. Bukannya memberikan jawaban yang memuaskan, wanita itu justru tergesa-gesa masuk dan mengunci pintu.
Semakin kuat keyakinan Nimas Kunti, kalau nama Soka Wijaya merupakan momok yang menakutkan.
Kini ia tiba di sebuah kedai yang cukup ramai.
Seluruh pengunjungnya adalah kaum laki-laki. Melihat kemunculannya, orang-orang yang berada di sana berpandangan. Mereka yakin belum pernah melihat wanita tua itu sebelumnya.
Nimas Kunti tidak menghiraukan pandangan mereka. Ia hanya tersenyum-senyum saja sambil melangkah mendekati salah seorang pelayan yang sedang sibuk menuangkan arak. Di sudut sana, beberapa orang sudah dalam keadaan mabuk.
“Ki... tahukah di mana tempat tinggal Soka Wijaya?” tanyanya.
Pelayan itu lagi-lagi menunjukkan sikap yang sama seperti orang-orang yang ditanyanya.
Pandangannya sekilas tertuju pada lima orang lakilaki berpakaian Jingga yang duduk di pojok sebelah kiri. Lalu ia meneruskan pekerjaannya.
“Hei, tahukah kau?!” bentaknya.
Orang itu lagi-lagi tidak menghiraukannya. Nimas Kunti menjadi gemas sendiri. Tiba-tiba Nimas Kunti membalikkan tubuhnya. Pandangannya mengedar pada orang-orang yang berada di dalam kedai itu.
Mereka sebagian besar memperhatikannya sejenak, lalu sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Tiba-tiba Nimas Kunti berseru, “Hei, kalian semua! Barang siapa yang bisa menunjukkan kepadaku, di mana rumah Soka Wijaya, keping uang perak!” Orang-orang itu mengangkat kepalanya. Namun sebagian besar buru-buru menyibukkan diri dengan hidangan mereka. Kecuali enam orang yang berpakaian jingga.
Salah seorang berdiri, “Siapa yang kau cari, Nenek peot?”
“Hi hi hi... rupanya ada yang bersuara juga sekarang. Aku mencari rumah Juragan Soka Wijaya! Bila kau bisa memberitahukan di mana letaknya, kau akan mendapatkan dua keping uang perak!” sahut Nimas Kunti sambil mengeluarkan dua keping uang perak dari angkinnya.
Orang itu berpandangan pada teman-temannya.
Setelah saling mengangguk, mereka serentak berdiri dan mendekati” Nimas Kunti.
“Kami tahu!”
“Di mana?”
“Mana uang itu?”
“Bila kau sudah memberitahukan kepadaku di mana. Rumahnya, uang ini akan berpindah ke tanganmu,” sahut Nimas Kunti sambil tersenyum.
Pandangannya mengarah satu persatu pada orangorang berpakaian jingga itu.
“Uangnya dulu!”
“Katakan di mana tempatnya,” sahut Nimas Kunti tak mau kalah.
Salah seorang mencolek bahu si pembentak tadi.
la bernama Kagangga.
“Tenang... kalau Nyai bersedia kami antar... kami akan mengantarnya...”
“Bagus! Tetapi, jangan panggil aku Nyai, panggil aku Nimas. Mengerti?” Nimas Kunti mengerling genit.
Kagangga ingin rasanya tertawa, namun dua keping uang perak itu membuatnya menahan tawanya. Kalau tidak jadi, sangat sayang. Ia pun yakin, kalau nenek ini membawa lebih dari dua keping uang perak itu.
“Kalau begitu, ikuti kami!” katanya seraya melangkah, menyusul teman-temannya yang mengiringi langkah Nimas Kunti.
Orang-orang yang berada di kedai itu mendesah panjang. Mereka bisa membayangkan apa yang akan dialami oleh nenek itu, yang berani-beraninya mencari Soka Wijaya. Padahal, orang-orang berpakaian jingga itulah anak buah Soka Wijaya.
Dan sepeninggal mereka, orang-orang yang berada di kedai pun mulai berani berbicara banyak.
Sejak tadi mereka hanya makan sambil berdiam diri dan hanya membiarkan orang-orang berpakaian jingga itu bersuara.
“Ah, siapakah nenek itu sebenarnya?” tanya salah seorang, menyesali kecerobohan si nenek tadi.
“Aku baru melihatnya,” sahut salah seorang.
“Aku juga,” sahut yang lainnya.
“Aku tak bisa membayangkan bagaimana mengenaskannya nasib nenek itu nanti,” kata salah seorang.
Sementara itu, Nimas Kunti tetap mengikuti langkah orang-orang itu. Sikapnya begitu tenang sekali. Ia adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Ia bukannya tidak tahu kalau orang ini bermaksud tidak baik dengannya. Paling tidak, ia yakin, orang-orang ini punya hubungan dengan Soka Wijaya.
Nimas Kunti semakin yakin akan pikirannya, karena orang-orang itu membawanya ke arah semak belukar. Namun tetap dengan ketenangan yang sama, ia terus melangkah.
“Masih jauhkah rumah Soka Wijaya?” tanyanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau diam saja! Yang pasti kau sampai di sana!” bentak Kagangga sambil terus melangkah. Hhh! Ia bisa membayangkan kalau ia akan mendapatkan uang perak yang banyak dari nenek itu. Akan didatanginya tempat plesiran yang ada di Desa Bojong Lolo. Akan dipuaskannya nafsunya bermainmain dengan gadis-gadis cantik di sana.
Nimas Kunti cuma tertawa saja.
“Pemarah,” desisnya.
Kagangga sangat jengkel dibilang seperti itu.
Namun ia masih mencoba bersabar. Ketika tiba di tempat yang ditentukan sebuah tempat yang sepi dan penuh dengan semak belukar tiba-tiba ia menghentikan langkahnya dan berbalik pada Nimas Kunti.
Pandangannya geram. Lalu membentak dengan sangar.
“Mau apa kau mencari Soka Wijaya, nah?” Yang dibentak bukannya ketakutan, malah tertawa-tawa.
“Bukankah tadi kita sudah berjanji, kau tunjukkan di mana rumahnya, aku akan memberikan dua keping uang perak!”
“Tidak ada perjanjian! Serahkan semua uangmu, Nenek peot!” tertawa Kagangga sekarang.
Nimas Kunti masih tetap tersenyum. Lalu katanya sambil membalikkan tubuh, “Bila kau tidak mau menunjukkan di mana rumah Soka Wijaya, aku akan Begitu ia melangkah, lima orang di belakangnya sudah menghadangnya dengan pandangan beringas.
Nimas Kunti masih tertawa-tawa.
“Ada apa ini?”
“Jangan banyak bacot, serahkan seluruh uang perakmu, Nenek Peot! Kalau tidak... kau akan mampus!” bentak Togonggo sambil mencabut goloknya dari pinggang. Ia menimang-nimang golok itu di hadapan Nimas Kunti.
“Hmm.... tubuhmu yang peot dan renta itu, hanya sekali sabet saja sudah berantakan!” Kini Nimas Kunti semakin yakin, kalau orangorang ini punya hubungan dengan Soka Wijaya.
“Kalau kau memang yakin, mengapa tidak segera kau lakukan untuk merebut uang perakku, hah?” katanya sambil tersenyum.
Sudah tentu Togonggo yang bertubuh bulat pendek menjadi tersinggung mendengar kata-kata itu.
Ia langsung menyabetkan goloknya, dengan keyakinan sekali sabet nyawa Nimas Kunti akan melayang.
“Mampus kau! Yeeeaaa!” Nimas Kunti tidak bergeming dari tempatnya. Ia cuma terkekeh saja. Bersamaan golok Togonggo bergerak ke arahnya, Nimas Kunti menggerakkan tongkatnya.
Tuk! Ujung tongkat itu menotok urat kaku Togonggo yang terletak di bawah ketiak. Seketika Togonggo terdiam dalam keadaan mulut terbuka, mata terbelalak dan tangan terangkat.
“Lho, mengapa tidak jadi?” kata Nimas Kunti sambil tertawa-tawa.
Melihat gebrakan yang dilakukan oleh Nimas Kunti itu, membuat yang lainnya menjadi murka. Kini mereka yakin, nenek ini tidak bisa dianggap enteng.
Terbukti dari sekali gerak, Togonggo sudah terdiam kaku.
Yang paling marah adalah Kagangga. Ia mendahului teman-temannya menyerang. Serangan yang dilakukan adalah pembokongan, karena Nimas Kunti sudah membelakanginya. Ia mengayunkan goloknya dengan kuat ke arah leher Nimas Kunti.
Wuuttt! Sepersekian detik Nimas Kunti tidak merundukkan tubuhnya, lehernya akan berpisah dari tubuhnya.
Lalu ia melompat ke samping, “He he he... membokong adalah pekerjaan seorang pengecut.”
“Mampuslah kau, Nenek Tua!” Kagangga menyerang kembali. Kali ini dengan diiringi oleh teman-temannya. Sementara Togonggo masih berdiri kaku.
Nimas Kunti pun harus melayani golok-golok yang mengarah ke tubuhnya. Dengan licahnya ia memainkan tongkatnya dengan jurus 'Sapuan Ke Tengah Telaga'. Gerakannya begitu cepat sekali, menimbulkan gemuruh yang keras. Dan sekali-sekali tongkat itu bagaikan baling-baling belaka.
Sudah tentu Kagangga dan kawan-kawannya menjadi terkejut. Serangan mereka bukan hanya terhalang, melainkan sekali-sekali mereka mendapatkan balasan.
Trakkk! Wuttt! “Aaaakhh!” Tongkat itu telah berubah fungsinya sebagai mesin penggebuk yang cepat dan tangkas. Gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh Nimas Kunti penuh tenaga dan sangat cepat.
“Hei, mengapa kalian menjadi kocar-kacir begitu? Mana sesumbar kalian yang ingin membunuhku, hah!” serunya sambil tertawa dan terus menggerakkan tongkatnya dengan cepat.
Orang-orang itu berusaha untuk menghindar, menangkis dan membalas. Namun tongkat itu seolah memiliki mata yang tajam, ke mana mereka berpijak, ke sana tongkat itu menyerang. Dedaunan yang telah gugur beterbangan kembali. Suasana di tempat itu yang semula tenang kini menjadi hiruk-pikuk. Ramai oleh orang suara teriakan. Ramai oleh suara senjata beradu.
Kagangga merasa yakin, dalam dua gebrakan berikutnya, mereka tidak akan berhasil mengalahkan wanita tua ini. Terlihat dari gerakan yang dilakukan oleh nenek itu begitu cepat, hebat dan tangkas.
Mereka berlima saja tidak mampu untuk mengalahkannya. Jangankan untuk mengalahkan, memukul mundur saja tidak berhasil. Justru mereka yang terus didesak oleh tongkat yang menimbulkan angin kencang.
“Mengapa jadi berantakan begini, hah?” tertawa Nimas Kunti sambil terus mendesak. Sekali-sekali tongkatnya berhasil menemui sasarannya. Yang terkena pukulannya merasa bagaikan patah.
“Siapa yang mengatakan di mana rumah Soka Wijaya kepadaku, maka ia akan kuampuni! Ayo, tunjuk tangan kalian, hi hi hi!” Namun kelimanya tidak mempunyai kesempatan untuk mengangkat tangan. Karena tongkat kayu itu terus mencecar dengan gencarnya, membuat mereka menjadi kalang kabut tak karuan.
Kali ini Nimas Kunti sendiri sudah tidak mau lagi bertindak tanggung. Ia memutar tongkatnya ke atas, lalu dengan gerakan yang cepat sekali, tongkatnya menyambar kaki-kaki lawan, sehingga mereka bertumbangan.
Nimas Kunti tertawa sambil berdiri tegak. Tongkat terpancang di tangan kanannya.
Suaranya kali ini mendesis geram, “Sekali lagi kuminta, katakan... di mana rumah Soka Wijaya?” Tak ada yang bersuara. Ada ketakutan yang lebih kuat lagi di hati mereka bila memberitahukan di mana rumah Soka Wijaya pada wanita tua ini. Karena, mereka yakin hukuman yang lebih keras akan mereka terima dari Soka Wijaya. Inilah yang membuat mereka lebih suka berdiam saja walaupun tubuh mereka menggigil ketakutan.
Nimas Kunti mendengus.
“Katakan!” bentaknya keras.
Tak ada yang bersuara. Semuanya menundukkan kepalanya. Kaki mereka seakan mau patah sehingga tidak bisa diangkat kembali. Melarikan diri pun tidak kuasa lagi. Yang ada, hanya kepasrahan belaka.
Tiba-tiba Nimas Kunti menggeram, lalu mengayunkan tongkatnya dengan cepat. Lima buah jeritan terdengar, bersamaan tubuh-tubuh yang tumbang dengan kepala pecah berdarah! “Hhh! Orang-orang tak berguna!” Lalu dihampirinya Togonggo yang masih berdiri kaku. Nimas Kunti menyeringai sambil menjewer telinga Togonggo. Lalu memutar tubuhnya, bagaikan memutar patung belaka.
“Kau lihat itu, Monyet! Apakah kau ingin mampus juga menyusul teman-temanmu itu?” Dengan satu gerakan, Nimas Kunti membuka totokan Togonggo yang jatuh menggelosoh ke bumi. Dan terburu-buru mengangkat kepalanya serta meratap-ratap mohon ampun.
“Yang kuinginkan, di mana rumah Soka Wijaya....”
“Saya... saya tidak tahu, Nimas... sungguh saya tidak tahu....”
“He he he... kebohongan yang tak ada gunanya.
Baiklah, aku pun bosan bermain denganmu. Kau akan menyusul teman-teman busukmu itu!”
“Jangan, Nimas... jangan... ampun, ampuni aku, Nimas.... Jangan... jangan bunuh aku....”
“Katakan di mana rumahnya, dan kau akan tetap mendapatkan dua keping uang perak sebagaimana janjiku tadi...” Togonggo adalah orang yang tamak. Mendengar janji Nimas Kunti ia menjadi tersenyum gembira.
“Benarkah?”
“Di mana rumahnya?”
“Nimas... Nimas berjalan saja ke arah barat. Di sana nanti Nimas akan melihat rumah yang sangat besar sekali, dan sudah tentu ada beberapa penjaga di rumah itu.... Itulah rumah Juragan Soka Wijaya.”
“Apakah benar, di sana tinggal seseorang yang memiliki senjata sebilah keris?”
“Ya, ya....”
“Keris Dewa?”
“Ya, ya... saya pernah mendengar nama keris itu.”
“Siapa yang memilikinya?”
“Tuan... Tuan Jalaluta.”
“Hmmm... bagaimana orangnya? Sudah tua?”
“Tidak, tidak... Tuan Jalaluta masih muda. Ia adalah tangan kanan dari Juragan Soka Wijaya.
Kesaktiannya sangat tinggi sekali.”
“Apakah ada yang bernama Wasongso sebagai pengawal Soka Wijaya?”
“Wasongso? Tidak, sepertinya tidak ada.”
“Apakah kau dan teman-temanmu ini bekerja padanya?” 'Ya, ya... kami bekerja padanya.”
“Mengapa tadi kau mengatakan tidak tahu di mana tempat tinggalnya?” Pandangan Nimas Kunti menusuk.
“Saya... saya... takut akan dibunuh.” Nimas Kunti tersenyum. Lalu mendadak tangannya bergerak. Tongkat kayu itu mengepruk pecah kepala Togonggo yang langsung menggelosoh tanpa sempat menjerit.
“Hhh! Aku tidak pernah berjanji untuk menjaga nyawamu!” dengus Nimas Kunti.
“Aku hanya berjanji untuk memberikan uang perak itu kepadamu!” Nimas Kunti mengambil dua keping uang perak dari angkinnya dan melemparkannya pada mayat Togonggo.
“Itu hadiah untukmu!” Lalu ia melangkah keluar dari semak belukar itu.

***



₪₪₪↨֍¦ 6 ¦֎↨₪₪₪

“Bagaimana sekarang, Sena?” tanya Ki Sobrang yang siang itu tengah berembuk dengan Pendekar Gila.
Sudah tiga malam mereka berdiam diri di Hutan Alas Warangan, dan tidur di atas pohon dengan hanya memakan buah-buahan yang terdapat di sana.
Sena sudah beberapa kali keluar dari persembunyiannya. Dari satu tempat tersembunyi, Sena mengetahui kalau Soka Wijaya telah mengirimkan Jalaluta dan Tiga Iblis Bergelang Bahar untuk mencari mereka. Sena juga melihat betapa beberapa penduduk dipukuli sampai berdarah. Sebenarnya ia ingin membantu, namun yang terpenting sekali, ia mengetahui di mana Soka Wijaya tinggal. Karena pikirnya, bila sudah tiba saatnya, ia akan menggempur Soka Wijaya beserta antek-anteknya.
“Kupikir Ki, nanti malam kita mulai mengadakan penyerangan,” sahut Pendekar Gila sambil cengarcengir.
“Nanti malam?”
“Ya. Karena... berkali-kali kulihat penderitaan rakyat yang sudah amburadul terinjak-injak oleh kekejaman Soka Wijaya beserta antek-anteknya, Ki.
Hal ini tidak bisa kita biarkan lagi. Karena, keadaan yang akan membuat semakin bergelisahnya rakyat dan masyarakat di Desa Bojong Sawo.”
“Tetapi....” Sena Manggala tersenyum.
“Maksudmu, kita hanya berdua saja?”
“Begitulah.”
“Ki... yang kita perlukan sekarang adalah mampu menggerakkan rakyat untuk memberontak. Walaupun sangat sempit sekali waktunya, kita harus mencobanya.”
“Kapan kau akan mencoba mempengaruhi rakyat?”
“Siang ini juga,” Sena cengengesan sambil menggaruk-garukkan kepalanya.
“Karena, nanti malam kita akan mengadakan penyerangan ke sana.
Baiklah, Ki... aku pergi sekarang....” Sebelum Ki Sobrang menyahut apa-apa, tubuh Sena sudah menghilang hanya dengan sekali berkelebat.
Ki Sobrang menggeleng-gelengkan kepalanya. Ah, siapakah sebenarnya pemuda berpakaian rompi kulit ular yang agak gila itu? Lastri muncul, ia habis mandi di sungai yang ada di sana.
“Bapak.... di mana Kang Sena?” tanyanya karena tidak melihat Sena berada di sana.
Ki Sobrang mendesah.
“Ia pergi ke Desa Bojong Sawo.”
“Untuk apa, Bapak? Bukankah keadaan sangat genting sekali?”
“Menurut rencananya, malam ini kami akan menyerang kediaman Soka Wijaya.” Lastri terbelalak.
“Bapak dan Sena?”
“Ya.”
“Oh, Gusti... mengapa, Pak? Mengapa? Kekuatan Soka Wijaya beserta antek-anteknya sangat kuat, Pak.”
“Bapak pun mengatakan hal itu pada Sena.
Namun ia sudah mantap antuk melakukan penyerangan nanti malam di kediaman Soka Wijaya.” Lastri menjatuhkan tubuhnya di sebatang dahan pohon yang tumbang. Ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila bapaknya dan Sena menyerang kediaman Soka Wijaya.
Ah, dalam pertemuannya dengan Sena yang menolongnya dari cengkeraman Tiga Iblis Bergelang Bahar, hati Lastri sudah merasakan satu ketukan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Dan beberapa hari kebersamaannya dengan Pendekar Gila, hatinya sudah semakin lengket saja. Sudah memberikan satu masukan yang sama sekali ia tidak mengerti. Ah, apakah ini benih-benih cinta yang mulai tumbuh? Ki Sobrang dapat merasakan pula apa yang dirasakan oleh putrinya. Ia yakin, Lastri sudah menaruh hati pada pemuda itu. Ah, biarpun tingkah lakunya seperti orang gila, namun Sena memiliki kepribadian yang bagus.
Tetapi mengingat kalau ia adalah seorang pendekar kenamaan yang selalu melanglang buana sudah tentu apa yang diharapkan putrinya tidak akan mendapatkan tanggapan. Ki Sobrang tidak mau menganggu pikiran putrinya.
Lastri masih termangu.

***

Sementara itu dengan mempergunakan ilmu larinya, Sena alias Pendekar Gila melesat keluar dari Hutan Alas Warangan. Hutan yang lebat sekali.
Meskipun siang yang sampai pada titik pangkalnya, namun sinar mentari hanya sedikit yang mampu menembus kerimbunan pepohonan yang lebat.
Tiba-tiba Sena menghentikan larinya, ketika ia mendengar seruan memanggil, “Nimas! Aku berhasil, Nimas! Aku berhasil!” Sena segera melentingkan tubuhnya ke atas, dan hinggap di dahan pohon. Dari tempatnya yang sekarang, ia melihat satu sosok tubuh tengah berlari sambil memanggil-manggil.
“Nimas! Di mana kau, Nimas? Aku berhasil menamatkannya! Aku berhasil memecahkan isi Kitab Pedang Sinar Ungu!” Pemuda yang tidak lain adalah Seto itu tengah mencari Nimas Kunti. Pada purnama semalam, ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk memecahkan kitab Pedang Sinar Ungu. Tengah malam, ia sudah hampir putus asa karena belum menemukan juga kuncinya. Terbayang bagaimana nanti justru ia sendiri yang akan terkena sinar ungu dari pedang itu yang mematikan.
Namun dendamnya terus berkobar. Terus menarinari di benaknya. Bagaimana Bibik Utari mati menemui ajalnya. Bagaimana Bono harus mati secara mengerikan. Diperasnya otaknya, digunakannya seluruh akal pikirannya. Hingga tiba-tiba ia tersentak.
Ia telah menemukan kunci dari Kitab Pedang Sinar Ungu. Kuncinya justru terletak di halaman terakhir, di mana penyelesaian dari semua jurus-jurus Pedang Sinar Ungu bukannya pada halaman terakhir.
Melainkan pada halaman pertama. Itu sebabnya ketika ia mencoba memainkan jurus pada halaman pertama, se menjadi kacau. Karena itu adalah jurus penutup.
Semangat Seto semakin berlipat ganda. Satu malam suntuk ia mempelajari semua isi kitab itu tanpa mengalami kesulitan. Tak dihiraukannya kelelahan yang sudah dideritanya. Tak dipedulikannya keringat yang semakin banyak mengucur.
Tepat mentari menampakkan biasnya di ufuk timur sana, Seto menyelesaikan semua rangkaian terakhir dari jurus-jurus di kitab itu. Lalu ia jatuh pingsan karena lelahnya.
Ketika ia tersadar, dirasakannya keletihannya menghilang begitu saja. Bahkan Seto terkejut, ketika ia melangkah dirasakannya tubuhnya bertambah ringan saja. Lalu dicarinya Nimas Kunti, akan diberitahukannya kalau ia berhasil menamatkan seluruh isi buku Kitab Pedang Sinar Ungu.
Tetapi Nimas Kunti tidak ada di gubuknya, lalu ia pun mulai mencari sambil berseru-seru.
Sementara itu Sena memperhatikan dari tempat persembunyiannya. Ia memandang takjub pada pedang yang dipegang pemuda itu, memancarkan sinar ungu.
Mendadak saja selarik sinar ungu melesat ke arahnya.
Singng! “Kraaak!” Dahan pohon yang diinjak Sena pecah terhantam sinar ungu itu, sementara Sena pun melayang turun.
Kini ia berhadapan dengan pemuda itu. Dan ia tahu dari mana asal sinar ungu tadi, karena kini pedang itu sudah terlepas dari warangkanya. Terpegang di tangan kanan pemuda itu dan memancarkan sinar ungu! 'Tidak baik bersembunyi seperti maling!” dengus Seto.
Sena tertawa terkekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Benar, benar itu. Kayak maling... he he he....” Seto mengerutkan keningnya melihat tingkah pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tetapi ia harus siaga sekarang, la tidak lagi mudah percaya pada siapa pun, kecuali Nimas Kunti.
“Siapa kau gerangan?” tanyanya dengan tatapan waspada. Pedang Sinar Ungu tetap berada di tangan kanannya.
“He he he... namaku Sena... Dan kau?”
“Sena! Mau apa kau mengintip aku, hah?” bentak Seto dengan geram.
“Mengintip? Ha ha ha... mana mungkin aku mengintip kau? Kalau gadis sedang mandi... he he he... lain itu... lain sekali...” Seto semakin mengerutkan keningnya. Merasa ada sesuatu yang salah di sini. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah sifat gila itu memang milik pemuda yang bernama Sena ini? Ataukah hanya berlagak saja? “Sebutkan julukanmu!”
“He he he... julukan? He he he... tak ada gunanya.... Lebih baik, kita berpisah saja sekarang...
aku masih ada urusan.... Selamat ting... hei!” Sena melompat ke kiri, dan tempat bekas ia berpijak tadi kini mengeluarkan asap. Sinar ungu yang dipancarkan dari pedang itu telah membuat tempatnya hangus.
“Jangan bersikap seperti malingi. Hadapi aku, Manusia gila!” Seto pun melompat dengan Pedang Sinar Ungu di tangannya. Gerakannya begitu dahsyat dan cepat sekali. Yang dipergunakan adalah jurus pembuka dari sekian jurus Pedang Sinar Ungu, 'Mencabik Angkasa Raya'. Berupa rangkaian pedang yang selalu mengincar bagian atas. Dengan perpaduan tenaga dalam yang dahsyat.
Sebenarnya, ilmu-ilmu yang diturunkan dari Setan Pedang Kembar kepada Seto, adalah suatu ilmu yang tak kalah dahsyatnya. Tetapi sekarang, jurus itu hanya merupakan bagian pembuka saja, sebelum mempergunakan jurus-jurus Pedang Sinar Ungu.
Pendekar Gila cukup terkejut juga menerima serangan yang sangat gencar itu. Sebisanya ia menghindar dan hanya bisa melihat beberapa pohon tumbang. Sungguh satu ilmu pedang yang amat dahsyat diperlihatkan Seto.
“Mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Orang Gila!” dengusnya sambil terus menyerang dengan gencarnya.
Wuttt! Wuuttt! Pedangnya berkelebat ke sana kemari. Semakin banyak pohon yang tumbang karena sabetannya dan menimbulkan suara berdebam yang keras ketika jatuh ke bumi.
Sena pun mulai mempergunakan jurus tangan kosongnya, 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut'.
Tubuhnya mendadak berputar dengan arah yang berlawanan dari Seto. namun Seto pun segera melanjutkan dengan jurus kedua dari Pedang Sinar Ungu, 'Dorongan Ke Tengah Badai'. Hal itu membuat Sena menjerit kaget.
“Gila!”
“Ha ha ha... kau hanya bisa seperti kera belaka yang lompat sana lompat sini!” Mendadak Sena bersalto ke belakang dan begitu hinggap di bumi, tangannya sudah terangkum menjadi satu di dada lalu perlahan-lahan mulai direntangkan. Ajian pamungkas 'Inti Bayu' mulai dikeluarkan.
“Apa lagi yang hendak kau pergunakan, Orang gila!” seru Seto sambil merangsek maju.
“Mampuslah kau, heeeaaattt!” Bersamaan dengan tubuh Seto mendekat, Sena melontarkan kedua tangannya ke muka. Mendadak deru angin yang sangat kencang terdengar, lalu menerpa ke arah Seto. Seto terpelanting ke belakang karena tidak menyangka ada serangan yang dahsyat diperlihatkan lawannya.
Tubuhnya menabrak pohon yang langsung tumbang. Tubuhnya melayang dan saat yang kritis itu tiba-tiba ia menancapkan Pedang Sinar Ungu ke tanah. Dengan bantuan pedang itulah ia bisa berdiri tegak menerima ajian 'Inti Bayu'. Hanya pakaiannya saja yang terbuka dan celana pangsinya yang sobeksobek.
Plok! Plok! Plok! Sena bertepuk tangan sambil menghentikan serangannya. Ia yakin di antara mereka hanya ada salah paham belaka.
“Hebat, hebat!”
“Jangan berbangga dulu, Gila!” Kembali Seto mengempos tubuhnya. Kali ini jurus ketiga dari Pedang Sinar Ungu dikeluarkan, 'Memusnahkan Gunung’.
Jurus yang lebih dahsyat lagi. Jurus yang tenaganya berlipat ganda. Suara desingan dan kesiurnya angin dari pedang itu terdengar hebat.
Sena sendiri tidak mau meladeni lagi dengan tangan kosong. Ia melompat ke kiri dan ketika hinggap di bumi, di tangannya sudah terdapat Suling Naga Sakti.
Lalu disongsongnya gerakan Seto dengan cepat.
“Heeeaaattt!” Trang! Trang! Seto mundur dua langkah. Ia terkejut ketika melihat suling yang dipegang pemuda berbaju rompi kulit ular itu tidak patah. Penasaran, ia menerjang sekali lagi. Kali ini dengan tenaga penuh.
Kembali terdengar suara yang keras.
Trang! Keduanya bersalto ke belakang. Lagi-lagi Seto tidak percaya apa yang telah terjadi. Suling itu tetap tidak patah. Sementara Pendekar Gila cuma cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba Seto teringat akan kata Nimas Kunti.
Pedang Sinar Ungu adalah pedang yang sangat tajam.
Senjata apa pun tak akan mampu menandinginya, kecuali, Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila.
Seto menatap pemuda yang masih cengar-cengir itu. Bila melihat sikapnya, ia memang seperti orang gila. Apakah pemuda ini yang berjuluk Pendekar Gila? Dan apakah suling yang dipegangnya itu adalah Suling Naga Sakti seperti yang diceritakan oleh Nimas Kunti? Perlahan-lahan ia mengatur napasnya, mencoba menghilangkan ketegangannya. Lalu katanya, “Apakah... Saudara Sena yang berjuluk Pendekar Gila?”
“He he he... gila, gila... Ya, ya... orang-orang memberiku julukan yang jelek itu. Pendekar Gila... he he he... padahal aku tidak gila. Cuma sedikit gilanya.” Seto tersenyum. Ketegangannya semakin hilang.
Kini ia yakin, kalau yang berdiri di hadapannya adalah Pendekar Gila. Pedang Sinar Ungu kembali dimasukkannya ke warangkanya. Lalu ia menjura, “Maafkan aku, Tuan Pendekar. Sungguh, aku telah buta tidak mengetahui, kalau yang berdiri di hadapanku ternyata Pendekar Gila adanya.” Sena hanya tertawa-tawa sambil memasukkan kembali Suling Naga Sakti ke pinggangnya. Kini ketegangan sudah tidak ada lagi di antara mereka.
“Sudahlah, kau sangat hebat, Seto. Ilmu pedangmu sungguh dahsyat sekali....” 'Tuan Pendekar hanya memuji.”
“Hei, hei... jangan memanggilku seperti itu. Terlalu tinggi sebutan itu untukku...” Seto hanya tersenyum. Lalu keduanya saling menjelaskan apa tujuan mereka kali ini. Dari cerita Seto, Sena mengetahui kalau Seto mempunyai dendam pada Soka Wijaya. Seto pun mengetahui kalau nanti malam Sena beserta Ki Sobrang ajcan menyatroni rumah Soka Wijaya.
“Kita ternyata punya kesamaan sekarang ini, Seto....”
“Benar, Kang Sena,” kata Seto. Kini keduanya duduk di batang kayu yang tumbang.
“Tetapi, aku harus mencari dahulu Nimas Kunti.”
“Siapakah gerangan dia?”
“Nimas Kunti telah menyelamatkan nyawaku dari Keris Dewa milik Jalaluta. Ia pula yang memberikan pedang dan kitab Sinar Ungu kepadaku.”
“Kau beruntung... he he he... karena mendapatkan senjata pamungkas yang sangat hebat...”
“Aku sendiri tidak menyangka akan memilikinya,” sahut Seto dengan suara merendah.
Sena berdiri, “Apakah tidak sebaiknya kita segera menuju Desa Bojong Sawo saja? Kita harus menyusun kekuatan dengan meminta bantuan para penduduk. Paling tidak, waktu kita sangat sempit sekali. Karena menurut perhitunganku, nanti malam adalah saat yang baik untuk menyerang.”
“Mengapa?”
“Orang-orang sakti seperti Jalaluta si Keris Dewa dan Tiga Iblis Bergelang Bahar sedang berkeliaran mencariku, Ki Sobrang dan Lastri. Paling tidak, kita bisa menghancurkan lebih dulu Soka Wijaya sebelum memusnahkan seluruh antek-anteknya.” Seto hanya mengangguk saja.
Lalu keduanya melesat, saling mengeluarkan ilmu larinya. Seolah sekarang yang terlihat, ada dua anak muda yang sedang berlomba lari. Yang satu mengenakan rompi kulit ular, sementara yang satu bertelanjang dada, karena bajunya sudah terbang bersama 'Inti Bayu' yang dilontarkan Pendekar Gila.

***



₪₪₪↨֍¦ 7 ¦֎↨₪₪₪

Nimas Kunti berdiri di depan rumah besar dan megah itu. Sejenak ia memperhatikannya, sehingga empat orang penjaga yang berdiri tegak dengan wajah dingin di sana, menjadi saling pandang. Lalu serentak keempatnya mendekat.
“Mau apa kau, Nenek tua?” bentak salah seorang dengan beringas.
Nimas Kunti tersenyum, mengerling genit sehingga membuat mereka merasa muak.
“Aku mencari Soka Wijaya.”
“Kurang ajar!” Yang bertanya tadi, Madkuro menggeram marah.
“Enak saja kau menyebut majikan kami seperti kebanyakan orang layaknya.”
“He he he... lalu aku harus memanggil apa?”
“Panggil dia Juragan Soka Wijaya....”
“Ya, ya... Juragan Soka Wijaya. Panggilkan dia, katakan, Nimas Kunti datang untuk membunuhnya.” Mendengar kata-kata itu, keempatnya segera bersiaga. Tombak di tangan mereka segera terhunus.
“Nenek peot! Kau mencari mati rupanya!” Nimas Kunti hanya terkekeh saja.
“Bila kalian masih sayang dengan nyawa kalian, lebih baik segera panggilkan manusia keparat itu.” Kali ini mereka sudah tidak bisa menahan amarah lagi. Serentak keempatnya menerjang cepat dengan bentakan yang keras.
“Mampus kau... heeaaa!” Namun mendadak saja tubuh keempatnya terpental kembali ke belakang dan ambruk langsung menemui ajal. Nimas Kunti terkekeh sambil mengusap ujung tongkatnya yang penuh darah.
“Bodoh! Tidak sayang dengan nyawa sendiri!” Lalu ia segera masuk ke rumah besar itu melalui pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati yang tebal.
Sudah tentu kehadirannya membuat orang-orang yang berada di sana menjadi terbelalak. Siapa gerangan nenek peot yang berani-berani memasuki rumah majikan mereka.
Sepuluh orang laki-laki bersenjata golok, parang, dan tombak segera menghadang.
“Siapa kau!”
“He he he... namaku Nimas Kunti. Aku datang untuk membunuh Soka Wijaya!”
“Keparat!” Serentak mereka menyerang Nimas Kunti yang cuma tertawa saja. Dan lagi dengan gerakan yang sangat cepat, Nimas Kunti mengayunkan tombaknya.
Seketika lima orang dari mereka menjadi mayat dengan kepala terbelah retak.
Kelima lainnya yang masih hidup sudah tentu terkejut bukan main. Mereka seolah tidak melihat bagaimana tongkat di tangan nenek tua itu terayun.
Suatu ilmu yang sangat tinggi sekali.
Dan rupanya Nimas Kunti tidak menginginkan untuk berlama-lama lagi, yang menjadi sasarannya adalah Soka Wijaya. Bukan para keroco yang hanya menjadi duri sesaat.
Sekali lagi ia mengayunkan tongkatnya, dan....
Wuttt! Wuttt! “Aaakhh!” Prak! Des! Prak! “Aaakhh!” Kelima tubuh itu langsung berkalang tanah. Dan sudah tentu keributan yang terjadi di halaman rumah besar itu, memancing orang-orang yang menghuni rumah itu keluar. Rata-rata laki-laki yang berwajah ganas dan garang. Juga keluar dua sosok tubuh yang agak aneh. Yang wanita kurus tinggi dengan dagu yang panjang. Ia mengenakan pakaian berwarna merah seperti sisik ikan. Ia adalah Nyai Sisik Merah alias Mayang, yang menggunakan senjata seperti kebutan debu. Sementara yang satunya lagi seorang laki-laki yang pendek, ia adalah si Cebol dari Utara, yang terkenal kekejaman dan senjatanya, toya bermata tiga di ujungnya.
Nimas Kunti tertawa begitu melihat Nyai Sisik Merah.
“Aih, aih! Rupanya si penjual ikan ada di sini! Apa kabarmu, Nyai Sisik Merah?” Mayang alias Nyai Sisik Merah terkejut melihat siapa yang telah membuat keonaran di rumah majikannya. Lalu ia tertawa, “Rupanya Nimas Kunti, si Nenek Pesolek. Hmmm... mengapa harus membuat onar di sini, hah?”
“Rupanya, perjanjian yang kita ucapkan sepuluh tahun yang lalu agar mengundurkan diri dari dunia persilatan, ternyata telah kau ingkari.”
“Peduli setan dengan semua janji itu, Nenek Genit! Ketahuilah, Wasongso si Keris Dewa telah memiliki seorang murid yang bernama Jalaluta, dan kini ia telah bergabung denganku. Kunti... untuk apa masa tuamu kalau bukan kau pergunakan secara baik-baik? Manfaatkanlah untuk mendapatkan sesuatu yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya.
Kau bodoh, bila masih harus bergulat dengan segala kebodohanmu. Mengasingkan diri sesuai janji hanyalah omong kosong belaka.” Nimas Kunti tersenyum.
“Dan kini kau menjadi sekutu dari manusia busuk yang menamakan dirinya Soka Wijaya!” Nimas Kunti menggeser kedudukan kakinya.
Melihat gerakan yang diperlihatkan Nimas Kunti, Nyai Sisik Merah bersalto ke muka. Tangannya mengibas terentang, beberapa pengawal lainnya mundur beberapa tindak. Kini yang ada di halaman hanyalah Nimas Kunti dan Nyai Sisik Merah, dua sahabat yang dulu bergabung dengan Wasongso si Keris Dewa dengan julukan Tiga Malaikat Pencabut Nyawa dari golongan putih harus saling bertempur. Hanya Sasongso yang kini masih mengasingkan diri di kediamannya.
Suasana nampak sangat panas. Keduanya bertatap mata dengan senyum sinis di bibir. Si Cebol dari Utara terkekeh, “Ini pertarungan yang menarik.
Bunuh manusia itu, Mayang!” Nyai Sisik Merah memainkan kebutannya, seolah sedang berkipas. Tiba-tiba ia menggerakkannya ke arah Nimas Kunti.
Serangkum angin kuat menderu.
Wuttt! Nimas Kunti melompat sambil terkekeh. Ia berhasil meloloskan diri, namun orang-orang yang berdiri di belakangnya, harus terpental dan muntah darah sebelum mampus.
“Wah, wah... Kebutan Angin Dinginmu ternyata masih sangat hebat, Mayang. Tetapi kasihan... justru orang-orangmu sendiri yang harus mampus!” seru Nimas Kunti sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nyai Sisik Merah menggeram.
“Hhh! Kau pun masih hebat juga, Kunti! Bagus, bagus sekali! Sekarang lihat!” Tiba-tiba Nyai Sisik Merah memutar tubuhnya, gerakannya sangat cepat sekali sehingga menimbulkan getaran yang kuat. Nimas Kunti hanya tertawatawa saja. Mendadak ia mengayunkan tongkatnya, memutarnya bagaikan menamengkan diri.
Puluhan sisik berwarna merah melesat ke arahnya. Itulah yang disebut ilmu 'Sambaran Sisik Merah' milik Mayang.
Terdengar suara, crang-cring yang berkepanjangan dan deru tongkat yang bagai balingbaling belaka. Hebat sekali putaran tubuh Nyai Sisik Merah yang mengeluarkan ilmunya, namun begitu hebat pula putaran tongkat Nimas Kunti yang membuat tameng untuk melindungi dirinya.
Namun akibat yang paling fatal, begitu sisik-sisik beracun itu terpental kembali, beberapa orang kembali menjerit dengan kerasnya disusul dengan tubuh-tubuh yang ambruk.
“Kau hanya membunuhi para anak buahmu saja, Mayang!” seru Nimas Kunti sambil terus memutar tongkatnya.
Melihat hal itu, Nyai Sisik Merah menghentikan putaran tubuhnya. Pandangannya begitu geram sekali, mendadak saja ia melompat cepat dengan satu gerakan yang sangat penuh tenaga ke arah Nimas Kunti.
“Mampuslah kau, Nenek genit!” dengusnya.
Nimas Kunti yang sudah tahu kehebatan lawannya yang dulu menjadi kawannya pun tidak mau kalah. Ia langsung melompat memapaki serangan Nyai Sisik Merah dengan tak kalah cepatnya.
Pertarungan yang sengit pun terjadi. Saling serang dan bertahan dengan sengitnya. Nimas Kunti mengeluarkan segenap kemampuannya, begitu pula dengan Nyai Sisik Merah. Ia bisa jatuh pamor bila dikalahkan oleh Nimas Kunti di-hadapan anak buahnya. Paling tidak, ia bisa memukul mundur si Nenek Pesolek ini kalau tak mampu menjatuhkannya.
Namun dalam pikiran Nyai Sisik Merah, Nimas Kunti harus dikalahkannya.
Dalam waktu singkat saja lima belas jurus sudah terlampaui. Belum ada tanda-tanda kekalahan satu sama lain. Keduanya justru semakin bersemangat dan meningkatkan serangan demi serangan mereka.
Suara jeritan selalu terdengar, karena kebutan angin yang dipergunakan oleh Nyai Sisik Merah selalu berhasil dihindari oleh Nimas Kunti, dan akibatnya mengenai orang-orang yang berada di belakangnya.
Tetapi tiba-tiba, Nimas Kunti melemparkan tongkatnya ke arah Nyai Sisik Merah, gerakannya itu sangat mengejutkan sekali. Nyai Sisik Merah melompat dan menepiskan tongkat itu dengan kebutan anginnya. Justru itulah yang diharapkan oleh Nimas Kunti. Karena begitu Nyai Sisik Merah sibuk menyelamatkan diri dari lemparan tongkat Nimas Kunti, Nimas Kunti sudah merangsek masuk dengan gerakan yang cepat.
Des! Duk! Dua pukulan masuk, bersarang pada perut dan dada Nyai Sisik Merah yang segera terhuyung-huyung.
Nimas Kunti terus memburu, “Kau telah mengkhianati janji-janji kita dulu! Kini mampuslah kau!” Dalam kedudukan terhuyung dan rasa sakit yang dideritanya, sudah tentu membuat Nyai Sisik Merah tidak bisa menghindari serangan Nimas Kunti. Karena jurus yang dipergunakan Nimas Kunti sangat ia hafal sekali, 'Tepukan Satu Tangan'. Karena ternyata, tepukan satu tangan lebih keras terdengar daripada dua tangan. 'Tepukan Satu Tangan' merupakan gerakan mata rantai tangan kosong yang hebat, tepukannya mampu menghancurkan batu karang sebesar lembu jantan.
Keunikannya, bila menghindari serangan itu, justru lawan sendiri yang akan termakan. Jalan satusatunya, haruslah memapaki. Namun tenaga dalam yang sempurna dan hawa murni yang tinggi, haruslah dimiliki. Kalau tidak, akan remuk sekali kepruk.
Dalam keadaan yang kritis bagi Nyai Sisik Merah, tiba-tiba sebuah toya bermata trisula melesat ke arah Nimas Kunti. Nimas Kunti terpaksa menghentikan serangannya pada Nyai Sisik Merah. Dikepruknya tongkat itu hingga lebur menjadi abu.
Si Cebol dari Utara memandang terbengong melihatnya. Padahal senjatanya itu adalah senjata pusaka dan andalannya. Hanya sekali kepruk sudah hancur.
Nimas Kunti bersalto. Begitu ia hinggap di tanah, ia berseru sambil tertawa, “Mengapa harus menunggu terlalu lama, Cebol? Majulah kalian berdua! Akan kumusnahkan dari muka bumi ini, bila kalian tidak memangil keluar Soka Wijaya!” Sebenarnya Soka Wijaya sudah mengetahui kedatangan Nimas Kunti. Tetapi ia masih tenangtenang saja. Masih sibuk menggeluti tiga orang gadis yang berada di peraduannya. Baginya, kenikmatan ini tidak boleh dilewatkan. Permainan dengan tiga orang gadis sekaligus memberikan kenikmatan tersendiri yang tiada tara.
Si Cebol dari Utara bergerak dengan cara menggelinding seperti bola. Lalu berdiri di sisi Nyai Sisik Merah yang sedang mengalirkan tenaga dalamnya, membuang rasa sakit yang dideritanya akibat pukulan Nimas Kunti.
“Hebat, hebat! Aku kagum dengan kau, Nenek genit!” katanya sambil tertawa. Suaranya lucu, cempreng sekali.
Nimas Kunti tersenyum. Mengambil selendangnya dan mengelap wajahnya dengan perlahan dan halus.
Lalu mengeluarkan bubuk merang yang ditumbuk dengan biji-biji bunga matahari, disaputkannya ke wajahnya dengan gerakan gemulai.
Setelah selesai, ia memasukkannya lagi.
“Cebol... kau lucu sekali, ya? Hi hi hi... tubuhmu kayak bola!” Wajah si Cebol merah padam. Ia berjuluk Tunggul Petaka. Dan mendadak saja ia sudah melesat dengan gerakan yang tadi diperlihatkan, menggelinding bagaikan bola. Mencecar ke arah Nimas Kunti yang melompat ke sana kemari. Dan sekali-sekali berseru.
“Hebat! Hebat sekali! Mirip landak! Hi hi hi....” Semakin marah Tunggul Petaka karena serangannya tidak membawa hasil, la kembali berdiri tegak.
Lalu menyerbu dengan satu gerakan aneh, kali ini tubuhnya bergerak tidak beraturan seperti tadi, bukannya ke arah Nimas Kunti, melainkan ke arah yang akan dijadikan sebagai tempat berpijak Nimas Kunti bila ia menghindar.
Sudah tentu Nimas Kunti tidak akan menghindar atau berpijak ke tempat lain, karena yang diserang sekarang oleh Tunggul Petaka sepertinya bukan dirinya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Tunggul Petaka. Karena itu adalah satu gerak tipuan yang sangat manis sekali. Bila lawan sudah terpana melihat serangannya, berarti ia sudah terjebak.
Karena mendadak saja beberapa jarum berbisa mengarah pada Nimas Kunti.
Gerakannya begitu pelan sekali. Untungnya, Nimas Kunti memiliki pendengaran yang masih berfungsi dengan bagus.
“Setan!” makinya seraya menghindar. Dan ia tidak berani menyerang Tunggul Petaka dalam keadaan berguling seperti itu. Kali ini Tunggul Petaka mengarahkan serangannya langsung pada Nimas Kunti yang kembali menghindari serangannya.
Sekali ia melompat ke samping, Nyai Sisik Merah yang sudah pulih dari rasa sakitnya, segera mempergunakan kesempatan yang baik itu.
“Mampuslah kau, Nenek genit! Heeeaaa!” Kebutan anginnya mengarah pada Nimas Kunti.
Nimas Kunti masih bisa menghindari serangan kebutan angin itu. Namun pertahanannya menjadi terbuka. Dengan leluasa, Nyai Sisik Merah menendangnya.
Des! Tubuh Nimas Kunti terhuyung ke belakang.
Beberapa pengawal yang sejak tadi hanya menonton saja karena belum ada komando untuk membantu, segera mengayunkan senjata mereka. Nimas Kunti masih bisa menghindari serangan itu dengan jalan berguling. Namun tak urung lengannya terkena tusukan tombak.
Melihat darah yang mengalir, para pengawal itu mencecarnya. Kali ini Nimas Kunti memang sudah di ambang maut, namun ia masih bisa menghimpun tenaganya dalam jurus 'Tepukan Satu Tangan' dan mengibaskan pada orang yang mengejarnya.
Orang-orang itu beterbangan disertai jeritan yang menyayat hati. Dan ambruk dengan nyawa melayang.
Nyai Sisik Merah mendengus.
“Bodoh, sudah kukatakan jangan menyerang! Itulah akibatnya bila tidak mendengar perintah. Nimas, kau harus mampus!” Bersamaan dengan tubuhnya melayang menyerang Nimas Kunti, Tunggul Petaka pun bergerak.
Menggelinding seraya hendak melemparkan senjata rahasianya.
Nimas Kunti kali ini tidak bisa berbuat banyak lagi. Ia hanya terkekeh sambil mendekap lengannya yang berdarah.
Namun mendadak saja selarik sinar berwarna ungu melesat ke arah Nyai Sisik Merah dan Tunggul Petaka. Keduanya segera menghindar dengan cepat.
Lalu berdiri tegak agak menjauh dari Nimas Kunti.
Begitu mereka mendongak, di tembok yang tinggi telah berdiri satu sosok tubuh bertelanjang dada. Di tangannya ada pedang berwarna ungu.
Nimas Kunti berseru, “Seeetooo...!” Seto melompat dan hinggap di sisi Nimas Kunti.
“Kau tidak apa, Nimas?” tanyanya penuh perhatian.
Nimas Kunti tersenyum.
“Rupanya kau berhasil menamatkan isi Kitab Pedang Sinar Ungu itu, Seto.”
“Benar, Nimas,” sahut Seto sambil memandang kedua lawannya. Wajahnya tegang dengan kemarahan yang membludak, la tidak sabar untuk segera menghancurkan mereka dan membunuh Juragan Soka Wijaya.
Seto memang sudah berpisah dengan Pendekar Gila. Setelah berhasil mempengaruhi para penduduk untuk bergabung dan melakukan penyerangan pada Soka Wijaya, Seto bermaksud mencari Nimas Kunti.
Sementara Pendekar Gila akan menemui Ki Sobrang dan Lastri untuk mengabarkan semua itu.
Ketika sedang mencari Nimas Kunti, ia melewati rumah Soka Wijaya, di mana dendamnya semakin kuat membelenggu. Lalu ia pun mendengar suara Nimas Kunti dari sana. Dengan cepat ia melompat ke tembok besar itu dan melihat Nimas Kunti sedang dalam bahaya. Ia pun segera bertindak dengan cepat dan berhasil menyelamatkan nyawa Nimas Kunti.
“Hhh! Rupanya anjing-anjing Soka Wijaya yang berada di hadapanku? Mengapa manusia busuk itu tidak keluar, hah? Ataukah ia penakut?” Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari Utara saling berpandangan. Sejenak mereka kagum juga dengan pedang yang dipegang oleh pemuda itu. Keduanya yakin, sinar ungu tadi terpancar dari pedang itu.
“Anak muda... lebih baik kau bergabung saja dengan kami,” ajak Nyai Sisik Merah.
“Hidupmu akan lebih bahagia di sini!”
“Hhh! Busuk! Kalian semua adalah manusiamanusia busuk yang selalu menjunjung tinggi keangkaramurkaan!”
“Hi hi hi... bodoh, bodoh sekali kau, Anak muda,” kata Nyai Sisik Merah masih berusaha membujuk Seto.
“Bila kau bergabung dengan kami, kau akan mendapatkan pakaian yang bagus, rumah yang mewah, uang yang banyak dan gadis-gadis yang cantik, yang siap melayanimu. Untuk apa kau bersikap dingin seperti itu, hah?” Wrrrt! Seto mencabut Pedang Sinar Ungu dari warangkanya. Ia kelihatan amat geram sekali.
“Sekali lagi kau membujukku, maka kau akan mampus!”
“Hi hi hi... benar-benar pemuda bodoh! Tidak mau mempergunakan kesempatan yang bagus ini!”
“Ha ha ha... Mayang, Mayang... kau akan percuma membujuk pemuda yang kuat imannya. Yang membenci kejahatan yang kau lakukan. Percuma membujuknya....”
“Diam kau, Peot!”
“Hi hi hi... apakah kau sendiri tidak peot?” Mendengar kata-kata itu, bukan main marahnya Nyai Sisik Merah. Dengan segera ia mengempos tubuhnya dan menyerang Nimas Kunti.
Tetapi Seto tidak mau tinggal diam, ia segera memapakinya dengan hebat.

***



₪₪₪↨֍¦ 8 ¦֎↨₪₪₪

Dengan mempergunakan ilmu lari Sapta Bayu, Sena tiba di tempat di mana Ki Sobrang dan Lastri menunggu. Namun ia sangat terkejut, karena suasana di sana sangat berantakan sekali. Banyak pohon yang telah tumbang. Dan yang sangat mengejutkan sekali, ketika ia melihat satu sosok tubuh tergeletak terhimpit oleh sebatang pohon besar. Ki Sobrang! Sena memburu dengan cepat. Diangkatnya batang pohon besar itu dan ditariknya tubuh Ki Sobrang. Diperiksanya dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi bagi Ki Sobrang. Di perutnya ada luka yang sangat besar sekali.
“Oh, Tuhan... apa yang telah terjadi?” desis Pendekar Gila dengan pikiran yang kacau. Lebih-lebih setelah menyadari ia tidak melihat Lastri. Dicarinya di sekitar sana barangkali Lastri sudah menjadi mayat, namun ia tidak menemukan mayatnya.
Ke mana gadis itu? Pikirnya dengan hati bertanyatanya. Ia yakin, telah terjadi pertarungan antara Ki Sobrang entah dengan siapa. Mendadak saja Pendekar Gila melesat ke satu tempat, telinganya yang tajam mendengar satu jeritan yang menyayat hati. Bergegas ia mencari asal suara itu.
“Tolong! Lepaskan aku, Setan! Lepaskan!” suara itu terdengar lagi dan Sena yakin kalau itu adalah suara Lastri. Bergegas ia mencarinya.
Sementara itu Lastri tengah mengalami hal yang sangat mengerikan sekali. Kedua tangannya di- pegangi oleh Menggolo dan Karto Suro, sedangkan kedua kakinya dipegang erat-erat oleh Wono Jarot.
Ketiganya terbahak-bahak, sementara Jalaluta tengah membelai-belai sekujur tubuh Lastri. Lastri menjeritjerit.
“Lepaskan tanganmu, Babi! Lepaskan!” serunya sambil berusaha memberontak. Justru karena rontaannya itu, kain yang dipergunakannya tersingkap sehingga memperlihatkan bungkahan pahanya yang padat berisi, putih mulus. Membuat keempat laki-laki itu semakin terangsang.
“Ha ha ha... ayolah, Manis... Kau kan tidak mau untuk dijadikan sebagai selir Soka Wijaya. Nah, biar kau melayani kami saja...,” desis Jalaluta.
Lastri berusaha memberontak. Wajahnya memancarkan ketakutan yang teramat sangat. Ketakutan yang membuatnya menjadi panas dingin dengan keringat yang mengucur. Ia bisa membayangkan apa yang akan dialaminya ini.
Untunglah di saat yang kritis itu terdengar bentakan yang keras, “Manusia keparat! Lepaskan gadis itu!” Serentak mereka berdiri, dan Lastri mempergunakan kesempatan itu untuk beringsut dan merapatkan kedua tangannya di dada. Ia menangis di bawah sebatang pohon yang besar, meskipun ia bersyukur karena Pendekar Gila yang muncul.
Tiga Iblis Bergelang Bahar sudah sangat mengenal Pendekar Gila, pendekar yang bertarung dengannya.
“Ha ha ha... rupanya kita bertemu lagi, Pendekar Gila,” kata Menggolo sambil terbahak-bahak.
Sementara telinga Jalaluta menegak.
“Hhh! Rupanya hanya begini saja tampang Pendekar Gila yang tersohor itu. Apanya yang digembar-gemborkan oleh orang-orang persilatan, sehingga namanya melambung tinggi dan dibicarakan oleh banyak orang.” Ia pun melompat satu tindak dengan gerakan yang ringan sekali. Sengaja memperlihatkan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi.
“Rupanya engkaulah yang berjuluk Pendekar Gila! Bagus, aku tidak perlu bersusah payah untuk mencarimu dan membunuhmu! Cepat kau berlutut di hadapanku sebelum mampus!” serunya keras dan memandang sebelah mata.
Pendekar Gila kali ini sudah pada puncak kemarahannya. Pertama, dengan kematian Ki Sobrang. Kedua, ia melihat Lastri hampir saja diperkosa. Tetapi meskipun begitu, sikapnya masih cengengesan saja.
“Ha ha ha... jadi gagal ya pestanya? Bagus itu, bagus! Sekarang, katakan... siapa di antara kalian yang bernama Jalaluta?”
“Mau apa kau, hah?” bentak Jalaluta dengan suara yang angker. Wajahnya sangar, penuh kemarahan. Pertama karena keasyikannya terganggu.
Kedua, karena pemuda inilah yang diperintahkan oleh Juragan Soka Wijaya harus ditangkap. Paling tidak, ia memiliki tugas yang harus segera dijalankan.
Padahal, memperkosa Lastri lebih mengasyikkan.
“He he he... rupanya engkaulah si Jalaluta itu.
Bagus, bagus sekali... Nah, lebih baik kau bersujud di hadapanku sebelum kukirim ke neraka!”
“Pendekar Gila..., boleh juga sesumbarmu itu! Hebat, aku sangat menyukainya. Tetapi yang perlu kau ketahui... justru kau yang harus mampus sekarang, seperti Ki Sobrang!” Sesudah berkata begitu, Jalaluta segera menerjang dengan Keris Dewa di tangannya. Ia tahu, siapa lawan yang dihadapinya. Tidak perlu bertindak setengah-setengah lagi. Harus langsung pada sasarannya.
“Heeeaaa!” Pendekar Gila masih tertawa-tawa saja, membuat Jalaluta semakin murka karena merasa dianggap ringan. Makanya, ia semakin melipatkan tenaganya.
Dari gerakan keris di tangan Jalaluta, Pendekar Gila merasakan hawa panas yang aneh, yang terpancar dari keris itu.
Seketika Pendekar Gila menutupi dirinya dengan 'Inti Bayu' yang hanya ia pusatkan pada tenaga di pusarnya. Sehingga tidak terlontar keluar. Lalu dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' ia mencoba memapaki serangan Jalaluta.
“Hiaaattt!” Hawa panas itu sudah tidak dirasakannya.
Jalaluta semakin mendengus ketika tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk menghindari setiap serangannya.
“Hi hi hi... hanya begini saja nama besar Jalaluta rupanya,” ejek Pendekar Gila dan membuat Jalaluta semakin panas.
Ia menyerang semakin gencar, begitu pula dengan Pendekar Gila yang masih meliuk-liuk menghindari serangannya. Membuat Jalaluta semakin murka. Dan tiba-tiba ia menepuk. Jalaluta yakin, kalau tepukan itu yang kelihatan sangat lemah mengandung tenaga yang sangat kuat sekali.
Makanya ia menghindar. Apa yang diduganya ternyata terbukti, karena sebuah pohon langsung tumbang begitu kena tepukan Pendekar Gila.
“Ilmu edan!” maki Jalaluta.
Tiba-tiba terdengar seruan keras, “Hhh! Tanganku jadi gatal untuk turun tangan, Kawan Jalaluta!” Menggolo sudah menenang masuk ke pertarungan itu.
Begitu pula dengan Karto Suro dan Wono Jarot.
“Heeeaaa!”
“Mampus kau, Orang gila!” Menghadapi keempat lawan yang tangguh itu, Pendekar Gila masih tertawa-tawa saja. Ia mengubah jurusnya, 'Si Gila Melepas Belitan Benang Kusut' mulai digunakan. Gerakan memutar arah yang berlawanan dari lawan-lawannya sejenak mengecoh mereka. Hal ini sudah tentu tidak disia-siakan oleh Pendekar Gila. Ia terus mencecar dengan hebatnya.
Malang bagi Karto Suro yang berada di dekatnya.
Karena Pendekar Gila sudah melancarkan pukulannya dengan telak dan penuh tenaga. Tanpa ampun lagi terkena hantaman tangan Pendekar Gila yang tiba-tiba bergerak ke depan.
Prak ! “Aaakkhhh!” Jeritan itu menggema, tubuh Karto Suro langsung menggelosoh ambruk. Melihat hal itu, Menggolo dan Wono Jarot semakin murka. Keduanya melesat menerjang dibantu oleh Jalaluta.
“Kau harus membayar nyawa saudaraku, Orang gila!” seru Menggolo dan mengayunkan senjatanya dengan cepat Baginya, ia harus membunuh Pendekar Gila saat ini juga.
Pendekar Gila masih saja tertawa-tawa saja menerima setiap serangan itu. Namun kali ini ia sudah tidak ingin main-main lagi. Mendadak saja ia bersalto, sambil bersalto itu ia menggosok kedua tangannya seraya mengalirkan kedua tangannya.
“Inti Brahma!” serunya keras sambil menggerak- kan tangannya ke depan. Gulungan bola api melesat ke arah lawannya yang menjadi kocar-kacir. Hawa panas mulai menyeruak ke sana. Hutan itu pun terbakar. Namun pertarungan masih saja berlangsung. Bola-bola api yang keluar dari tangan Pendekar Gila terus menyerang lawan-lawannya.
Wono Jarot tidak mampu bertahan lagi.
Tubuhnya pun tersambar bola api itu. Dan terbakar dengan lolongan yang keras.
Menggolo yang bermaksud membantu Wono Jarot, harus mundur kalau tidak ingin tubuhnya termakan bola-bola api lainnya. Kemarahannya semakin membludak. Mendadak ia bersalto ke depan. Gerakannya sudah tidak pakai perhitungan lagi. Yang pasti ia harus bisa membalaskan dendamnya atas kematian dua adik seperguruannya.
“Kau harus membayar nyawa adik seperguruanku, Pendekar Gila!” Hal itu sudah tentu merupakan kesalahan yang sangat besar. Karena begitu ia melompat ke arah Pendekar Gila, bola api pun melesat, menghantam tubuh Menggolo yang tersuruk ke belakang dan kelojotan kepanasan terbakar.
Lalu ambruk dengan tubuh hangus. Sementara kebakaran di hutan itu sudah semakin banyak. Api menjalar dari satu pohon ke pohon lain. Lastri menjerit-jerit suara sambil berlarian ke sana kemari.
Sementara itu Jalaluta merasa tak ada gunanya lagi untuk menghadapi Pendekar Gila. Ia sudah merasa terjebak dalam lingkaran api. Mendadak saja ia melompat ke belakang, dan menerobos api yang sangat besar itu.
Begitu lawannya menghilang, Pendekar Gila segera menghentikan ajian 'Inti Brahma'. Ia menarik tangan Lastri ke tempat yang aman.
Lastri berpindah tempat, menjauh dari api yang semakin menjalar. Mendadak Sena berdiri tegak.
Tangannya tiba-tiba terangkat ke atas sambil mengalirkan tenaga dalamnya ke sendi-sendi tangannya.
Lalu dibawanya tangan itu ke bawah, dan diletakkan di pinggang. Sambil berseru keras, kedua tangannya disorongkan ke depan dengan dihentakkan, “Inti Bayu!” Seketika keluar angin besar yang menggulunggulung. Suaranya menderu-deru, bagai air laut yang luber ke daratan. Angin yang keras itu pun memadamkan api yang mulai menjalar. Tinggal asapnya yang mengepul dan beberapa batang pohon yang hangus.
Pendekar Gila menarik tangan Lastri.
“Pejamkan matamu! Kita harus ke rumah Soka Wijaya sekarang juga!” Kali ini Lastri hanya menurut saja. Ia memejamkan matanya. Dan... wuttt! Dirasakannya tubuhnya bagai terbang saja, mengikuti tarikan tangan Pendekar Gila yang sudah menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Karena, Pendekar Gila yakin, larinya Jalaluta paling tidak ke tempat kediaman Soka Wijaya.

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 9¦֎↨₪₪₪֎↨

Sementara itu, pertarungan Seto melawan Nyai Sisik Merah semakin seru saja. Apalagi setelah si Cebol dari Utara membantu. Dengan mempergunakan Pedang Sinar Ungunya Seto menembus ke pertahanan keduanya. Menggerakkan dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Wuttt! Wuttt! “Mampuslah kalian!” serunya keras dengan memutar tubuhnya sambil menggunakan jurus keempat dari ilmu Pedang Sinar Ungu, 'Gelombang Batu Karang'. Gerakannya semakin bertambah dahsyat dengan tenaga dalam yang berlipat ganda.
Yang mengejutkan sekali, karena dari pedang itu terlontar sinar ungu yang sangat panas dan menyilaukan.
Mayang dan Tunggul Petaka terkejut dibuatnya.
Mereka seperti kocar-kacir terhantam petir.
“Mau lari ke mana kalian, Monyet-monyet!” geram Seto terus mencecar.
Sementara itu Nimas Kunti sudah berdiri tegak dan menghadapi serangan dari anak buah Soka Wijaya yang lainnya. Nimas Kunti sudah mempergunakan tongkat kayunya, yang diputar menjadi baling-baling. Suasana menjadi riuh dengan teriakan dan suara senjata beradu.
Dari dalam sebuah kamar, laki-laki bertubuh tambun mendengus geram sambil bangkit dari tubuh wanita yang berada di bawahnya. Mengenakan pakaiannya.
“Bangsat! Mengapa belum diselesaikan juga!” makinya geram. Keasyikannya terganggu karena keributan-keributan itu.
Wanita yang berada di bawah tubuhnya tadi, yang bertelanjang bulat berkata dengan nada manja, “Mau ke mana? Kan belum selesai?” Soka Wijaya tertawa.
“He he he... sabar kau, Manis. Sabar ya? Hanya sebentar...,” katanya sambil mencium bibir wanita itu, sementara yang dua lagi hanya telentang-lentang sambil tertawa-tawa. Soka Wijaya tidak tahu kalau wanita-wanita itu sebenarnya merasa muak dengannya, dan merasa terbebas dari beban mental karena harus melayani Soka Wijaya.
Soka Wijaya keluar melalui pintu yang berukir itu.
Melalui ruang tengah yang penuh dengan ukiran cinderamata senjata-senjata. Lalu melangkah melalui pendopo, dan ia pun tiba di halaman depan rumahnya.
Di sana, ia melihat seorang pemuda yang bertelanjang dada dengan pedang yang memancarkan sinar ungu, seperti sedang mengamuk.
Menyerang dengan ganas dan tangkas pada Nyai Sisik Merah dan si Cebol dari Utara.
Sejenak Soka Wijaya mengerutkan keningnya, karena pemuda itu masih sangat muda sekali! Plok! Plok! Plok! Tiba-tiba ia bertepuk tangan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Masing-masing segera mengambil posisi. Begitu pula dengan orang-orang yang mengeroyok Nimas Kunti, semuanya terhenti begitu saja. Dan menjura ke arah Soka Wijaya yang masih bertepuk tangan.
“Hebat, hebat kau, Anak Muda! Ilmu pedangmu sangat tinggi sekali!” puji Soka Wijaya sambil turun melalui undakan ke halaman rumahnya.
Seto memicingkan matanya. Ia mendadak merasakan sekujur tubuhnya gemetar. Inikah Soka Wijaya, yang telah merampas seluruh harta milik Bibik Utari dan memerintahkan Bibik Utari dibunuh. Saking hebatnya getaran itu, mendadak saja sinar ungu melesat dari pedangnya.
Duarr! Tembok tinggi yang berada di sisi sebelah kanan, jebol karena hantaman sinar itu. Bersamaan dengan itu, Seto segera melesat ke arah Soka Wijaya.
Gerakannya sangat ringan dan cepat sekali. Ia mempergunakan jurus pamungkas dari Pedang Sinar Ungu, 'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan'. Karena Seto sudah tidak mampu menahan amarahnya lagi.
Ia ingin laki-laki itu segera mampus.
“Heeeaaa!” Soka Wijaya hanya tertawa-tawa saja. Ia sudah mempersiapkan diri dengan ilmu 'Beban Sejuta Beton'. Itulah sebabnya ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Hanya beberapa tindak saja pedang Seto akan menebas batang lehernya, Soka Wijaya mengangkat kedua tangannya, dan mendorong ke depan.
Serangkum angin deras menerpa tubuh Seto.
Karena dilandasi oleh amarahnya sendiri, Seto terpental ke belakang beberapa tindak.
“Ha ha ha... ilmumu sangat hebat sebenarnya, Anak Muda! Hanya sayang, kau terlalu ceroboh! Hmmm... lebih baik kau bergabung saja denganku,” kata Soka Wijaya sambil tertawa-tawa.
Seto menjadi geram. Ia kembali menyerang dengan hebat, didahului dengan hentakan sebuah sinar dari Pedang Sinar Ungunya, yang membuat Soka Wijaya harus menghindar dengan jalan melentingkan tubuhnya. Kesempatan itu pun dipergunakan oleh Seto untuk menyerang masuk.
“Hebat!” seru Soka Wijaya sambil menghindar ke kiri. Namun 'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan' adalah sebuah jurus tipu daya yang sangat mematikan. Selagi Soka Wijaya menghindar ke kanan, Seto justru menyerang bagian kiri. Hal itu disangka oleh Soka Wijaya karena kehebatan ilmu menghindarnya. Hanya saja tiba-tiba ia terkejut, karena tangan kanannya justru tergores oleh ujung pedang itu.
Rasa sakitnya tak terkira. Soka Wijaya sampai meringis, sementara Seto sudah melayang turun dan hinggap di sisi Nimas Kunti yang masih bersiaga.
“Kau hebat, Seto...,” bisik Nimas Kunti.
“Kita harus berhati-hati, Nimas. Kita memasuki kandang harimau.”
“Aku sudah bersiaga sejak tadi.” Seto berseru pada Soka Wijaya, “Ha ha ha...
ternyata Juragan Soka Wijaya yang digembargemborkan banyak orang dan ditakuti oleh siapa saja yang mendengar namanya, ternyata hanyalah seorang pecundang yang tak memiliki apa-apa! Hhh! Kurasa bibikku, Bibik Utari akan tersenyum bahagia di tempatnya sana melihat kau mampus! Soka Wijaya cuma tertawa untuk menutupi rasa malunya karena berhasil dipecundangi.
“Dan kau sekarang harus mampus di tanganku, Anak Muda!” katanya membesarkan namanya.
“Kita lihat sekarang!” Seto sudah menyerang kembali dengan satu teriakan keras, “Kini kau mampuslah, Soka Wijayaaa!” Bersamaan tubuh Seto melenting ke atas, Mayang dan Tunggul Petaka pun segera bergerak, dengan teriakan yang kencang.
“Heaaa!”
“Hiaaattt!” Seto segera mengalihkan serangannya pada keduanya. Pedangnya berkelebat ke sana kemari dengan hebatnya. Sementara Nimas Kunti terkekehkekeh.
“Soka Wijaya... lebih baik kau membunuh diri saja daripada berkalang tanah dengan mengerikan....” Soka Wijaya pun tertawa tak kalah hebatnya.
“Usiamu yang sudah senja seperti itu, seharusnya kaulah yang mampus! Lihat serangan!” Tubuh Soka Wijaya sudah merangsek menyerang, Nimas Kunti pun tidak mau kalah. Saling serang pun terjadi. Kehebatan dua pertarungan itu, sampaisampai orang-orang yang sejak tadi menunggu perintah untuk menyerang merasakan bumi yang mereka pijak bergoyang.
Pertarungan antara Seto melawan dua pengawal tangguh semakin hebat. Apalagi ketika Jalaluta tiba di sana dan langsung mengeroyok Seto.
Seto sangat mengenali sekali siapa yang baru datang ini. Terbayang bagaimana kematian Bono di tangan Jalaluta. Ia semakin mempergencar serangannya. Semakin hebat, terutama kepada Jalaluta.
'Mengelabui Bayang-bayang Rembulan' sangat hebat sekali. Si Cebol dari Utara pun harus mengakui kehebatan itu. Kakinya tertebas oleh Pedang Sinar Ungu.
Dan ia merasakan hawa panas yang menjalari sekujur tubuhnya. Panasnya tak terkira. Saking panasnya ia menjerit-jerit keras. Lalu berkelojotan dengan tubuh berguling-guling dan terdiam setelah menabrak dinding yang memagari rumah besar itu.
Dinding itu langsung ambruk dan ambrukannya menguruk tubuh si Cebol dari Utara untuk selamalamanya.
Sementara Mayang dan Jalaluta harus terus menghadapi serangan demi serangan yang dilakukan oleh Seto, yang semakin gigih dan gencar menyerang.
Seto jelas-jelas tidak memberikan kesempatan bernapas pada keduanya.
Sedangkan Nimas Kunti kelihatan terdesak sekali oleh serangan demi serangan yang gencar dan mengandung tenaga dalam yang hebat dari Soka Wijaya.
“Ha ha ha... ternyata kaulah yang harus membunuh diri, Nenek peot!” seru Soka Wijaya sambil mempergencar serangannya.
Nimas Kunti sebisanya mengayunkan tongkatnya untuk menutup setiap serangan yang dilakukan oleh Soka Wijaya. Namun hal itu pun tidak membawa arti banyak. Karena berkali-kali ia terkena pukulan dan tendangan dari Soka Wijaya. Seto yang melihat keadaan itu ingin segera membantu Nimas Kunti, namun ia sendiri masih terus menghadapi seranganserangan yang dilakukan oleh Nyai Sisik Merah dan Jalaluta.
Terutama serangan berbahaya yang dilakukan oleh Jalaluta.
Di saat yang genting itulah, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang memapaki serangan Soka Wijaya pada Nimas Kunti.
Plak! Des! Soka Wijaya merasakan nyeri di dadanya dan mundur beberapa langkah. Saat itulah ia melihat satu sosok tubuh mengenakan rompi kulit ular sedang cengengesan kepadanya.
“Anjing buduk! Siapa kau?” bentaknya murka.
Sementara Nimas Kunti mendesah lega karena ajal tidak jadi menjemputnya. Ia segera duduk bersemadi dengan mata tertutup guna memulihkan tenaga dalam dan hawa murninya.
Pemuda yang memakai rompi terbuat dari kulit ular itu, cuma cengar-cengir saja sambil menggarukgaruk kepalanya.
“Aku? He he he... orang-orang memanggilku si Gila. Padahal aku tidak gila, he he he...” Soka Wijaya memicingkan matanya. Sejak pertama kali pemuda itu muncul dan memperlihatkan sikapnya yang agak kurang, hatinya sedikit tergetar dan bertanya-tanya, apakah pemuda ini yang telah dibicarakan orang-orang rimba persilatan, dengan gelarnya yang angker? Pendekar Gila? Dan sekarang, Soka Wijaya sudah tidak ragu-ragu lagi. Yang berdiri di hadapannya pastilah Pendekar Gila.
Seto sendiri kini bisa berkonsentrasi menghadapi dua lawannya dan ia bisa bernapas lega karena Pendekar Gila yang muncul. Sementara Soka Wijaya sedang terbahak-bahak.
“Rupanya Pendekar Gila yang selama ini banyak dibicarakan orang yang berdiri di hadapanku,” kata Soka Wijaya. Tangannya terangkat mengacung, tetapi hanya sekilas. Itu merupakan tanda bagi anak buahnya untuk diam-diam membokong Pendekar Gila. Tiga orang anak buah Soka Wijaya perlahanlahan mendekati dengan senjata di tangan.
“Soka Wijaya, lebih baik kau pergi dari sini selama-lamanya dan mengurung diri di satu tempat! Daripada kau harus mampus untuk menebus segala dosa-dosamu!” kata Pendekar Gila sambil cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Soka Wijaya hanya tertawa saja. Ia semakin memancing Pendekar Gila untuk terus berbicara dengannya, sementara tiga anak buahnya terus mendekat dengan senjata siap dihujamkan ke tubuh Sena.
“Bagus, bagus sekali! Tetapi sayang, nama besar Pendekar Gila harus terkubur hari ini juga!” Saat itulah tiga orang anak buahnya bergerak dengan senjata diayunkan ke tubuh Sena. Selama dua puluh empat jam, Sena adalah seorang pendekar. Menghadapi bokongan seperti itu, dengan ringannya ia bersalto. Hanya saja, saat bersalto itulah Soka Wijaya menderu maju dengan kedua tangan berubah memerah. Rupanya ia telah menggunakan jurus 'Tapak Api' yang dahsyat. Bila terkena pukulannya, akan hangus menghitam.
“Heeeeaaa!” Sena yang masih bersalto dengan gerakan yang manis mencoba memapaki serangan itu.
Des! Des! Satu pukulan Sena berhasil masuk mengenai dada Soka Wijaya yang terhuyung ke belakang. Tetapi Sena tak urung terkena 'Tapak Api' Soka Wijaya. Ia merasakan hawa panas menjalar di tubuhnya.
Dengan cepat diputarnya kedua tangannya ke atas, lalu dirang-kumkannya di dada. Ajian 'Inti Bayu' tingkat pertama mengalir di tubuhnya dan perlahanlahan mengusir hawa panas di tubuhnya. Sebentar saja ia sudah cengengesan lagi.
“Hebat, hangat rasanya tubuhku ini... he he he... bagaimana kalau sekali lagi?” Soka Wijaya menggeram. Ia tadi sudah senang karena Pendekar Gila terkena aji 'Tapak Api' miliknya.
Namun pada kenyataannya Pendekar Gila hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk mengusir hawa panas yang mengaliri tubuhnya.
Mendadak Soka Wijaya berseru keras, “Serang manusia gila itu!” Mendadak anak buahnya segera menyerang Sena, yang tertawa-tawa saja lalu bersuit keras. Tibatiba terdengar gemuruh suara yang kencang. Para penduduk Desa Bojong Sawo masuk ke rumah besar itu dengan senjata di tangan. Apa saja mereka bawa dan dijadikan senjata.
Kegaduhan semakin berlipatganda. Suara teriakan, jeritan dan beradunya senjata terdengar mengudara. Sena sendiri segera menyerang kembali ke arah Soka Wijaya. Pertempuran sengit pun terjadi dengan hebatnya. Saling balas dan serang. Saling mengimbangi dan bertahan.
Sementara itu Seto sedang merangkum ilmu Pedang Sinar Ungu, 'Sinar Rembulan Memburu Mangsa'. Mendadak dari pedang itu berkelebat sinar warna ungu ke arah Jalaluta dan Nyai Sisik Merah.
Keduanya berlompatan menghindar dengan cepat.
Suara sinar itu sangat memusingkan kepalanya.
“Ha ha ha... menarilah kalian seperti monyetmonyet kelaparan!” Seto tertawa sambil terus menyerang. Satu ketika, Nyai Sisik Merah terkena sinar ungu itu di kakinya, ia terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Seto Ia langsung memburu dan membabat-kan pedangnya pada perut Nyai Sisik Merah.
“Aaakhhh!” Jeritan itu terdengar, membuat Jalaluta ngeri Apalagi melihat tubuh Nyai Sisik Merah terbelah miMindi dua. Matanya melotot dan darah menyembul keluar dari perutnya. Sementara darah yang menempel di ujung pedang yang dipegang Seto, perlahan lahan mengeluarkan asap dan darah itu menghilang Seto memandang buas pada Jalaluta yang semakin ngeri.
“Jalaluta, ingatkah kau ketika dua orang bertopeng menyerang rumah ini, hah?! Salah seorang itu adalah aku, dan salah seorang lagi adalah adikku, yang telah kau bunuh! Kini, terimalah ajalmu...
yeaaa!” Jalaluta harus menghadapi Seto kembali. Ia tidak menyangka kalau pemuda inilah yang berada di balik topeng hitam waktu itu. Yang membuatnya heran, mengapa kesaktiannya menjadi bertambah. Sebisanya dengan mempergunakan Keris Dewa ia menangkis setiap serangan Seto. Namun Seto yang sekali-sekali menyerang dengan sinar ungu yang berdesingan, bisa membuat jarak bila Jalaluta menyerang. Dan mempersempit jarak dengan jurusjurus Pedang Sinar Ungu.
Saat itu, Jalaluta terhimpit di tembok, ia celingukan seperti kelinci yang diburu ular. Matanya mengerjap-ngerjap menyiratkan ingin minta ampun. Namun dendam di hati Seto sudah tidak bisa ditahan lagi.
Dengan buas ia menyerang dan menusukkan pedangnya tepat ke jantung Jalaluta. Lalu diludahinya tubuh itu ketika menggelosoh ke lantai.
Setelah itu Seto pun segera membantu penduduk untuk melawan antek-antek Soka Wijaya. Begitu pula Nimas Kunti yang sudah selesai bersemadi. Mereka membuat kocar-kacir para pengawal Soka Wijaya.
Sebagian besar kini sudah merangsek masuk rumah megah itu. Beberapa pengawal yang ada di sana pun harus mampus berkalang tanah.
Para gadis yang disekap Soka Wijaya dan dijadikan selirnya, kocar-kacir meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah masing-masing. Ternak yang banyak pun berlarian menerjang siapa saja.
Suasana semakin kacau-balau saja.
Sementara Pendekar Gila sedang mendesak Soka Wijaya yang kembali mempergunakan 'Tapak Api'nya.
Pendekar Gila pun melayani dengan ajian 'Inti Bayu' yang sangat kontra dengan ajian milik Soka Wijaya.
Dan mendadak Sena menghentakkan kedua tangannya ke depan. Gulungan angin yang kuat menerpa Soka Wijaya dan menabrak dinding. Para penduduk yang berada didekatnya, segera menghujamkan senjata mereka ke tubuh Soka Wijaya.
Mereka tidak memberi ampun lagi.
Menjelang tengah malam pertarungan itu baru berhenti. Seto dan Nimas Kunti dielu-elukan oleh para penduduk. Sementara itu Seto segera mencari Sena.
Ia tak melihat pemuda berpakaian rompi ular itu di sana. Justru pada dinding, ada tulisan yang besar.
Saudara Seto, kita berpisah di sini, jaga Lastri.
Sayangi dia. Jangan lupa, hancurkan rumah mesum di Dewa Bojong Lolo.
Pendekar Gila.
Seto hanya tersenyum. Ah, sebenarnya ia sangat berterima kasih atas bantuan Pendekar Gila. Karena dialah masa jayanya Soka Wijaya bisa dihancurkan.
Malam itu juga Seto menemui Lastri dan menceritakan semuanya. Lastri hanya tertunduk sedih. Mengapa Pendekar Gila tidak berpamitan padanya? Mengapa mereka harus berpisah? Lastri merasa hatinya remuk.
Seto sendiri tahu akan perasaan Lastri terhadap Pendekar Gila. Makanya ia mendiamkan dulu. Dan Mendatangi Desa Bojong Lolo. Rumah mesum yang bangun di atas tanah rumah Bibik Utari dibakarnya, orang-orang berkeluaran dari sana dengan kalang kabut.
Seto segera menaiki kudanya kembali. Di tengah jalan ia mendesis, “Pendekar Gila, aku akan menjaga Lastri sesuai dengan pesanmu. Mudah-mudahan kita bertemu kembali.” Sementara itu, di satu jalan menuju ke timur, seorang pemuda berpakaian rompi dari kulit ular sedang melangkah sambil bersiul-siul. Tugasnya sudah selesai satu lagi. Dan sosok itu, Pendekar Gila, yakin kalau masih banyak tugas-tugas memberantas kejahatan yang akan terpampang di depan matanya.
Ia pun meneruskan pengembaraannya.

SELESAI

Serial Pendekar Gila selanjutnya: PRAHARA DI GUNUNG KEMATIAN


INDEX PENDEKAR GILA
Empat Bidadari Lembah Neraka --oo0oo-- Prahara Di Gunung Kematian


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.