Life is journey not a destinantion ...

Prahara Di Gunung Kematian

INDEX PENDEKAR GILA
Misteri Dendam Berdarah --oo0oo-- Pendekar Gila

SENA MANGGALA
Pendekar Gila
Karya: Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Fahri
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit


↨֍₪₪₪↨֍¦ ① ¦֎↨₪₪₪֎↨

Di sebelah utara Lembah Setan, terdapat sebuah pegunungan yang amat menyeramkan. Gunung yang disebut oleh para penduduk di sana, Gunung Kematian. Karena, bentuk gunung itu amat menakutkan. Penuh dengan hutan yang lebat dan binatang buas yang mencari mangsa.
Pagi itu, Gunung Kematian nampak semakin mengerikan saja. Kabut tebal yang menyelimutinya, seolah raksasa yang sedang terlelap. Dan suatu waktu bisa bangun dengan amarah yang membabi buta.
Di sanalah tempat bermukim para gerombolan yang telah lama menyerang desa-desa di sekitar sana dan banyak membuat keonaran. Gerombolan itu menamakan diri Gerombolan Iblis dari Pacitan, yang terdiri dari orang-orang kejam dan bengis.
Teror yang mereka timbulkan amat membuat orang-orang yang tinggal di sekitar Gunung Kematian dan desa-desa dekat sana, selalu dicekam ketakutan.
Karena orang-orang itu tak segan-segan membunuh bila keinginan mereka tak terpenuhi. Dan terkadang dengan diiringi tawa yang menggema, mereka bergilir memperkosa seorang gadis.
Tidak hanya sampai di sana saja mereka berbuat.
Setelah diperkosa, gadis itu pun mereka bunuh.
Bahkan ada yang dicincang sambil tertawa-tawa.
Kekejaman mereka tiada taranya. Tak seorang pun yang berani menentang semua tindakan mereka.
Sehingga lambat laun mereka pasti akan rebah berkalang tanah.
Gerombolan itu juga sering mencegat para pedagang yang siap menjajakan barang dagangan yang mereka bawa ke desa seberang. Bukan sekali dua kali perampokan yang mereka lakukan disertai dengan pembunuhan terjadi. Tetapi sudah berpuluh kali. Dan mereka merasa memiliki kepuasan tersendiri melakukan kejahatan itu, tertawa-tawa bermandikan darah. Kalau rombongan itu membawa penumpang wanita, sudah bisa dipastikan kalau wanita itulah yang paling mengenaskan nasibnya.
Mereka akan memperkosanya bergantian. Tidak jarang sepuluh orang yang melakukannya. Setelah itu, dibunuh dengan kepala ditumbuk pakai batu. Lalu orang-orang kejam itu pun akan kembali ke markas mereka di Gunung Kematian. Mereka selalu mengenakan pakaian berwarna hijau, lambang Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Namun di pagi ini, ketua mereka yang bernama Rodopalo sedang marah-marah, karena gerombolannya gagal menggasak desa yang dijadikan sasaran perampokannya. Rodopalo bertubuh tegap, dengan sepasang alis yang tebal dan mata yang tajam.
Cambang bauk menghiasi wajahnya yang keras. Di dadanya ada kalung tengkorak yang menambah kengerian siapa saja yang melihatnya.
Menurut laporan anak buahnya, ada seorang pemuda yang mengenakan rompi terbuat dari kulit ular yang menggagalkan rencana mereka. Bahkan banyak yang tewas ketika bertarung dengan pemuda yang selalu cengengesan itu.
Beberapa orang anak buahnya yang datang menghadap hanya menundukkan kepala saja, ketika Rodopalo mengebrak meja hingga beberapa kendi berisikan tuak segar berterbangan dan pecah di lantai.
Tuak-tuak segar dengan harga yang cukup mahal itu tumpah. Wajahnya demikian geram sekali. Jiwanya tidak pernah mau menerima apa yang telah terjadi.
Kemarahan sudah mengikatnya. Dan bila ia marah, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi sesuatu yang amat mengerikan. Amat menakutkan untuk dibayangkan.
Dia adalah sosok manusia yang kejam dan bengis.
Siapa pun yang melihatnya akan jatuh mental duluan karena ngeri. Di samping wajahnya sendiri memang menakutkan. Belum lagi dengan kesaktian yang dimilikinya. Konon amat tinggi sekali.
“Bodoh, bodoh semua! Menghadapi seorang saja kalian tidak mampu? Itu bodoh namanya!” Penuh kegeraman yang memuncak Rodopalo memaki-maki. Mendengus, dengan wajah yang membiaskan kemarahan yang tak terkirakan. Membuat para anak buahnya semakin ketakutan saja. Dan merasa kecil. Mereka tahu, sebentar lagi mereka akan menghadapi kiamat dari Rodopalo.
Kakinya yang mondar-mandir menandakan bahwa dirinya amat marah. Tangannya berkali-kali terbuka dan mengepal. Penuh dengan tenaga yang sanggup menghancurkan batu sebesar kambing. Konon, Rodopalo memiliki tenaga dalam yang amat dahsyat Bahkan terdengar kabar pula, bahwa dialah yang telah menghancurkan batu besar kala sebuah jalan tertutup akibat gempa bumi kecil, yang telah membuat semuanya menjadi panik.
Di dekatnya sejak tadi duduk bersila seorang wanita berusia kira-kira enam puluh tujuh tahun.
Wajah wanita itu mengerikan sekali. Sudah peot semuanya. Ia asyik mengunyah sirihnya sambil sekalisekali menganggukkan kepalanya.
Di sisinya tergeletak sebuah tongkat kayu berwarna hitam, dan di ujungnya ada relief ular cobra.
Dia adalah Nyai Titir, guru dari Rodopalo yang bergelar, Wanita Berhati Iblis. Kekejamannya tidak perlu disangsikan lagi. Nyai Titir sangat pandai dalam ilmu racun.
Sejak tadi ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja melihat kelakuan muridnya yang mencak-mencak. Dia membiarkan saja muridnya itu marah-marah. Namun karena tak melihat hasil yang diinginkan di hatinya, akhirnya ia berkata, “Rodopalo...” panggilnya masih tetap tersenyum.
“Oh! Nyai Guru... Kenapa?” sahut Rodopalo dengan wajah memerah dan masih mondar-mandir.
Ia masih sangat geram sekali pada anak buahnya.
Hhh! Siapa sebenarnya pemuda yang memakai rompi terbuat dari kulit ular itu? “He he he... tak pernah kusangka kalau anak buahmu sebodoh itu!” kata Nyai Titir yang sejak tadi selalu berdiam diri dan hanya memperhatikan Rodopalo saja. Pikirannya terus bekerja memikirkan siapakah pemuda yang telah mengacaukan rencana muridnya. Sebenarnya pikirannya tiba pada satu ingatan, kalau di rimba persilatan ini telah tersiar kabar tentang seorang pemuda yang mengenakan rompi berkulit ular, yang berjuluk Pendekar Gila.
Apakah pemuda yang mengacaukan rencana muridnya itu adalah Pendekar Gila? “Kau benar, Nyai Guru! Mereka bodoh! Bodoh!” seru Rodopalo sambil menendang meja yang langsung berantakan. Benda yang ada di atasnya berpentalan. Tak ada yang berani mengangkat wajahnya.
“Kau tidak bisa menerimanya?” Mereka melakukan sebuah tindakan yang teramat bodoh! Dan aku tidak menyuruh mereka untuk gagal dalam menjalankan perintahku?”
“Memang benar. Tetapi bila memang demikian lagi mau di apakan?” tanya Nyai Titir sambil tersenyum penuh arti.
“Mereka harus mati!” Mendengar kata-kata itu, sepuluh orang anak buahnya yang gagal menjalankan perintahnya, semakin ciut saja hatinya. Mereka menundukkan kepala dalam-dalam sementara hati mereka berdoa agar tidak menerima hukuman yang mengerikan itu.
Nyai Titir tersenyum, “Mengapa kau masih berdiam diri saja?” Mendengar kata-kata Nyai gurunya, Rodopalo menghentikan langkahnya. Lalu mendadak dia terbahak-bahak. Perutnya yang buncit berguncangguncang.
“Ya, ya... mengapa aku harus marah-marah tak karuan? Ya, ya... hei kalian semua!” bentaknya dengan suara yang menggelegar yang mampu membuat jantung copot bagi yang mendengarnya. Karena saking kerasnya.
Tergagap semuanya mengangkat kepala dan saling berpandangan dengan hati cemas. Lalu serempak dengan suara yang gugup mereka mendesis.
“Ya... iya... Ketua...”
“Kalian mendengar apa kata guruku?” Tak ada sahutan, yang ada hanya kepala-kepala yang mengangguk dengan wajah memucat.
“Kalau kalian sudah mendengarnya, mengapa kalian tidak segera membunuh diri, hah?” Serempak terdengar suara yang mengiba, meminta belas kasihan dengan tubuh ditundukkan ke depan. Bagaikan ratapan belaka.
“Ketua... ampuni kami, Ketua... ampuni kami...”
“Hmm... meminta ampun, berani kalian melakukannya, hah?!” maki Rodopalo dengan suara mengejek.
“Ketua... beri kami kesempatan sekali lagi,” kata salah seorang.
“Kami berjanji... tidak akan melalaikan tugas ini lagi....”
“Bagus!” Wajah yang berkata tadi berseri-seri.
“Terima kasih Ketua. Terima kasih. Ketua memang junjungan kami...,” katanya yang serentak diikuti oleh teman-temannya yang memuja-muja Rodopalo.
Rodopalo terbahak melihat wajah-wajah pias yang kini gembira itu.
“Jadi kalian pikir, aku mengampuni? Ha ha ha...
lucu, lucu! Aku, Rodopalo ternyata masih memiliki rasa kasihan!” Tiba-tiba Rodopalo memalingkan kembali wajahnya kepada para anak buahnya yang semakin ciut nyalinya. Sepasang matanya memerah menandakan kejengkelan dan kemarahan. Suaranya pun bagaikan dengusan kala dia berkata, “Kalian harus mampus sekarang!” Wajah-wajah itu bagaikan melihat sesuatu yang amat mengerikan. Mulut mereka terbuka bagaikan menanti masuknya jaringan yang jahat.
Dan serentak kepala-kepala itu menundukkan kepala. Lalu suara mereka terdengar bagaikan meratap-ratap.
“Ketua... ampuni kami... Ampuni kami...”
“Berilah kami kesempatan sekali lagi, Ketua...” Tetapi sosok di hadapannya itu malah tertawa lebih lebar. Lebih mengerikan. Tawanya mengandung hawa kematian yang semakin tercium dan merebak.
'Tak akan pernah lagi aku mengampuni orangorang macam kalian! Orang-orang yang bodoh! Cepat cabut golok kalian dan penggal kepala kalian!”
“Ketua....”
“Bangsat! Kalian masih berani membantah juga, hah?!” maki Rodopalo dengan suara yang menggelegar.
Menangis bagai anak kecillah mereka. Meratapratap minta dikasihani. Meskipun mereka tahu siapa ketua mereka, yang sudah tentu tidak mengenal arti kasihan dan ampun.
“Percuma kalian menangis di hadapanku!” seru Rodopalo sambil menghentikan langkahnya, kedua kakinya dibuka. Sepasang tangannya mengepal dengan keras. Mendadak saja ia membuka kedua tangannya, mendorongnya ke depan sambil berseru, “Mampuslah kalian semua!” Serangkum angin keras menerpa kesepuluh orang yang sedang mohon ampun itu. Tubuh mereka langsung terjengkang ke belakang diiringi dengan jeritan yang menyayat hati. Lalu terlihatlah pemandangan yang amat mengerikan. Sepuluh buah kepala jatuh bergulir di lantai. Dan darah pun bersimbah.
Melihat pemandangan yang mengerikan itu, Rodopalo malah terbahak-bahak.
“Itulah akibatnya bila berani melalaikan tugas dariku!” seru Rodopalo yang membuat anak buahnya yang lain hanya menundukkan kepalanya.
“Bila kalian gagal menjalankan tugas dariku, maka inilah akibatnya! Mengerti?!” Sahutan 'mengerti' terdengar keras.
“Singkirkan mayat-mayat itu! Buang ke Lembah Setan!” seru Rodopalo sambil melangkah mendekati Nyai Titir.
Anak buahnya yang semuanya memakai baju berwarna hijau itu segera menjalankan perintahnya.
Lalu mereka keluar dari aula besar yang terdapat di belakang.
“Hhh! Siapa sebenarnya pemuda berompi ular itu, Nyai Guru?” tanya Rodopalo sambil menangkap tabung bambu yang berisi tuak merah, lalu menenggaknya dan menghapus mulutnya yang masih tersisa tuak itu dengan lengannya.
Nyai Titir masih mengunyah sirihnya.
“Aku sudah memikirkan sesuatu sebenarnya.”
“Nyai Guru tahu siapa pemuda keparat itu? Hhh! Aku sudah tidak sabar untuk mengepruk kepalanya!” sahut Rodopalo geram.
“He he he... tenang, tenang,” kata Nyai Titir.
“Rodopalo... pernahkah kau mendengar kalau di rimba persilatan sekarang ini, ada seorang pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular?”
“Aku. . tidak pernah mendengarnya, Nyai Guru.” Nyai Titir mendengus. Bagaimana kau bisa tahu kalau kau sibuk memuaskan nafsumu pada gadis-gadis itu? “Orang-orang rimba persilatan menyebutnya Pendekar Gila. Kalau memang dia yang mengacaukan rencanamu, bisa jadi.”
“Maksud Nyai Guru... ilmunya sangat tinggi.”
“Bahkan terlalu tinggi.”
“Hhhh! Seperti apa tampang pemuda itu? Aku sudah tidak sabar untuk membunuhnya!” Rodopalo mengepalkan tangannya dengan geram, lalu menghentakkannya ke depan. Serangkum angin keras yang bergulung-gulung melontarkan beberapa buah kursi. Uniknya, kursi-kursi itu seperti bisa dimainkannya. Ibarat bermain layang-layang. Dilontarkannya ke sana kemari, lalu dihempaskannya ke lantai hingga pecah berantakan.
“Aku ingin tahu, apakah Pendekar Gila mampu menghadapi 'Pukulan Angin Manik'ku?” Nyai Titir tertawa.
“Pukulan Angin Manik itu sengaja aku ciptakan untukmu. Yakinlah, kalau pukulan itu tak ada duanya.
Namun, sekarang aku hendak meninggalkan tempat ini.” Rodopalo terkejut.
“Mau ke manakah, Nyai Guru?”
“Aku mau menghubungi kerabatku yang telah lama mengasingkan diri. Dulu kami dikenal dengan julukan Empat Malaikat Kahyangan. Hhh! Aku adalah orang pertama. Kedua, Ki Rongsowungkul yang bergelar, Si Tua Penghuni Gunung Karang. Orang ketiga adalah Nyai Priatsih, yang bergelar Si Tongkat Iblis. Dan orang keempat dari Malaikat Kahyangan adalah Kuntala yang bergelar Kipas Maut. Dulu, Empat Malaikat Kahyangan sangat menguasai rimba persilatan.
Hanya karena ada sedikit kesalahpahaman saja sehingga kami memutuskan untuk memisahkan diri.
Tetapi sekarang aku yakin, dengan bergabungnya kembali Empat Malaikat Kahyangan, kekuatan kita akan semakin bertambah, Rodo...” Rodopalo menganggukkan kepalanya. Ia sangat setuju dengan usul gurunya. Namun saat ini, ia sangat geram sekali dengan pemuda berompi kulit ular yang telah menggagalkan rencananya.
“Hhh! Seperti apa saktinya Pendekar Gila itu?”
“Tetapi mengapa harus hari ini juga Nyai Guru berangkat?” tanyanya kemudian.
Nyai Titir berdiri dari duduknya.
“Menurut pengamatanku, malam ini adalah malam yang terbaik untukku. Hmmm, persiapkanlah kudaku, Rodo!” Rodopalo segera bertepuk tiga kali. Dua orang anak buahnya dengan sigap mendekat dan sedikit membungkuk, “Ada apa, Ketua?”
“Siapkan si Hitam untuk Nyai Guru,” sahut Rodopalo “Baik, Ketua.” Kedua anak buahnya segera menjalankan perintahnya. Tak lama kemudian, Nyai Titir sudah berada di atas kuda hitam yang gagah perkasa.
“Aku tidak lama, Rodo,” katanya.
“Aku akan menunggu, Nyai Guru. Dan jangan lupa... kalau Nyai Guru bertemu dengan seorang gadis yang cantik, bawa saja kemari. Sudah lama aku menginginkannya... hua ha ha ha...” Nyai Titir cuma mendengus saja. Meskipun ia tahu kebiasaan dan kesenangan murid tersayangnya. Tak lama kemudian kudanya pun segera melesat. Begitu kencangnya karena Nyai Titir telah menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga kuda hitam itu seakan tidak membawa beban apa-apa.
Rodopalo segera masuk ke dalam. Dan memerin tahkan beberapa anak buahnya untuk pergi ke perbatasan Gunung Kematian. Daerah hutan kecil namun lebat.

***

Rombongan iring-iringan itu melangkah perlahanlahan. Ada tiga buah kereta kuda yang sarat dengan muatannya. Beberapa penunggang kuda berpakaian pendekar mengiringi kereta kuda di mana ada dua orang gagah yang menjaga muatannya.
Di belakang kereta kuda itu pun mengiringi dua orang penunggang kuda dengan pedang di punggung.
Jelas sekali kalau rombongan itu adalah para pedagang yang hendak berniaga ke desa Sawo Jajar.
Di salah satu kereta kuda itu yang berada di tengah, satu sosok tubuh berpakaian bagus sedang melihat keadaan di sekelilingnya. Ia adalah Baruna, pemilik barang-barang dagangan itu. Baruna sengaja menyewa orang-orang bayaran untuk menjaganya dan barang-barangnya ke tempat tujuan.
Siang perlahan-lahan meranggas, namun rombongan itu terus bergerak. Pimpinan mereka, Soko Pati yang mengenakan pakaian putih-putih dengan selendang warna hitam di pinggang, mengangkat tangannya ketika rombongan mulai memasuki Hutan Bawengan, yang terletak di perbatasan Gunung Kematian.
“Kita beristirahat di sini.” Tak lama terlihatlah kesibukan di hutan Bawengan. Beberapa orang menjaga keamanan.
Mereka mondar-mandir dengan gagah. Beberapa orang segera mendirikan tenda darurat dan memasak air. Mereka pun lalu makan dengan lahapnya. Setelah itu memberi kuda-kuda mereka makan dan minum.
Namun belum lagi mereka melepaskan lelah dengan sempurna, mendadak saja bermunculan berpuluh orang bersenjatakan golok yang amat tajam.
Dan di antara mereka berdiri seorang laki-laki yang bertubuh tegap dengan kalung tengkorak di dadanya.
Soko Pati bersiaga. Tangannya mengepal, ia mencium sesuatu yang tak enak sekarang. Begitu pula dengan teman-temannya. Tangan mereka pun berada di hulu golok, siap dicabut dan diayunkan.
Tetapi Soko Pati yang tidak mau mencari keributan, mengangkat kedua tangannya tanda bersahabat. Baginya, jalan kekerasan tak ada gunanya. Apalagi ia melihat wajah-wajah di hadapannya itu begitu amat ganas dan sepertinya kelaparan, siap menerkam mangsa yang berada di hadapannya. Hal ini membuat cuping hidungnya seolah mencium darah.
“Sabarlah...,” desisnya pada teman-temannya yang sudah amat bersiaga. Sementara dalam kereta kuda kedua, Baruna menjadi pias. la ngeri membayangkan apa yang akan terjadi.
Soko Pati memperhatikan orang-orang yang berdiri di hadapannya, yang memandangnya dengan wajah beringas. Tidak sedikit pun terlihat kesan bersahabat.
“Kisanak sekalian... ada apakah gerangan Kisanak sekalian mengganggu saat istirahat kami?” katanya dengan suara yang sopan dan bibir yang menguak senyum.
Laki-laki yang berkalung tengkorak itu mendengus.
Sepasang matanya berkilat-kilat, menandakan sebuah kebencian yang amat sangat.
“Hhh! Kisanak... jangan berpura-pura tidak tahu!” katanya dengan nada membentak.
“Apa maksud, Kisanak?” tanya Soko Pati dengan nada suara yang tenang. Dia bisa menduga, laki-laki inilah yang memimpin gerakan mereka. Terlihat hanya dialah yang bersuara sementara yang lain terdiam mendengarkan, namun tetap dengan golok di tangan.
Dan golok itu siap menerkam mangsanya! “Hhh! Serahkan semua yang kau bawa kepadaku, Kisanak? Bila kau melakukannya, sudah pasti aku tidak akan mengusik dan mengganggu perjalananmu...” Soko Pati yang sudah menduga akan niat jahat orang-orang beringas di hadapannya, hanya tersenyum saja. Ketenangannya sungguh benar-benar nyata.
“Hmm... apakah tidak salah pendengaranku?” 'Tidak!”
“Mengapa kalian harus mengharuskan aku untuk menyerahkan harta milikku ini?”
“Jangan banyak bacot!”
“Aku sungguh tidak mengerti.”
“Hmm... agaknya kau mau bermain-main denganku, hah?!” bentak si kalung tengkorak yang tak lain adalah Rodopalo. Semenjak kegagalan anak buahnya menyerang Desa Sawo Jajar, Rodopalo memang sengaja memimpin aksi perampokannya. Karena ia berharap, suatu saat akan bertemu dengan Pendekar Gila.
“Kisanak... bukankah ini barang-barang milikku, mengapa harus kuserahkan kepadamu?!”
“Keparat!”
“Aku tidak mengerti!” kata Soko Pati yang mencoba mengulur waktu.
“Jangan banyak lagak!” Soko Pati mendesah. Rasanya tidak mungkin bisa mengulur waktu lagi. Manusia berkalung tengkorak ini nampak amat kejam. Dan tentunya tak segan-segan mengayunkan senjatanya untuk memusnahkan orang yang membuatnya marah.
“Bagaimana bila tidak kuserahkan?”
“Berarti kau memancing macan yang sudah ada di hadapanmu untuk bangun!” bentak Rodopalo dengan suara marah.
“Hmm... agaknya aku tidak pernah menyangka, kalau di muka bumi ini masih banyak terdapat orangorang jahat dan serakah! Di antaranya kau!”
“Keparat!” 'Yah, dan kau pun tahu bukan apa jawabanku?”
“Anjing buduk! Kau menghendaki mati rupanya!”
“Sebenarnya tidak, tetapi daripada kebebasanku dijajah oleh kau, lebih baik aku dan kawan-kawanku ini melawanmu!” kata Soko Pati tetap dengan suara yang tenang.
“Bangsat! Kau memang ingin mampus rupanya!”
“Atau... kau yang ingin mampus, karena telah lancang berani mengganggu ketenangan kami!”
“Bangsat!”
“Dan kau lebih bangsat lagi, karena kau dan teman-temanmu itu kerjanya hanya mengganggu ketenangan orang lain dan mengambil harta benda Rodopalo sudah tidak kuasa lagi menahan amarahnya. Ia memang sengaja berlama-lama karena menunggu kemunculan Pendekar Gila, namun setelah ia yakin Pendekar Gila tidak akan muncul, ia pun segera mengambil keputusan. Sambil membentak keras ia menenang, “Buat lumat mereka! Ratakan dengan tanah!” Tanpa perlu dikomando sekali lagi, anak buahnya pun segera menerjang dengan ganasnya.
Sudah tentu Soko Pati pun segera berbuat yang sama. Ia pun mengomandoi orang-orangnya seraya ia sendiri, ikut terjun ke medan laga.
“Jaga Tuan Baruna!” serunya dan beberapa orangnya segera bersalto dari kuda mereka, hingga di sisi kanan dan kiri kereta kuda yang dinaiki Baruna.
Baruna menjadi panik. Ia menjerit-jerit ketakutan.
Pertempuran memang tak bisa dielakkan lagi.
Masing-masing sudah saling menyerang dan berupaya menjatuhkan lawan dengan membela diri.
Suara senjata beradu, pekikan yang dahsyat dan suara jeritan membaur menjadi satu. Soko Pati segera menghadapi si kedok hitam yang terlihat paling ganas.
“Hhh! Kau punya nyali juga, Bangsat!” maki Rodopalo sambil tertawa-tawa.
Soko Pati yang merasa memang sudah saatnya untuk membela diri pun bersiap dengan goloknya.
“Tidak ada jalan lain, bukankah kau sendiri yang menghendaki hal seperti ini?!”
“Dan kau akan mampus di tanganku!”
“Kita lihat saja nanti, siapa yang akan berkalang tanah!” sahut Soko Pati gagah.
“Bangsat keparat! Lihat serangan...!” seru Rodopalo dan tubuhnya pun segera melesat ke muka diiringi dengan jeritan yang keras.
Soko Pati pun berbuat yang sama. Dengan tak kalah garangnya ia pun memapaki serangan itu.
Trang! Trang!! Memang pertempuran tak bisa dielakkan lagi, karena senjata-senjata telah terangkat. Soko Pati sendiri berusaha sekuat tenaga, di samping ingin menjatuhkan lawannya ini, juga ingin melindungi Baruna yang telah menyewanya.
“Ha ha ha... lebih baik menyerahkan saja barangbarang bawaanmu itu, daripada kau mati konyol!” tertawa Rodopalo sambil terus mencecar. Senjatanya berkelebat ke sana kemari dengan dahsyatnya. Ia masih mencoba menggunakan senjatanya. Padahal biasanya, ia selalu bertangan kosong. Terutama dengan jurus 'Pukulan Angin Manik'nya. Tetapi ia pun secara tidak langsung hendak mencoba jurus-jurus ilmu goloknya.
Setiap gerakan yang ia lakukan, menimbulkan angin yang berdesis. Jurus-jurus yang diperlihatkannya teramat kejam. Namun Soko Pati hingga sejauh ini masih bisa mengimbanginya dengan permainan goloknya yang hebat.
Perlahan-lahan terdengar jeritan kematian dari mereka. Soko Pati bisa menduga, kalau satu persatu orang-orangnya menemui ajal. Para gerombolan ini teramat kejam dan sakti. Mereka nampaknya tidak sanggup untuk melayani mereka.
“Ha ha ha... bodoh! Kau bukan hanya mengorbankan hartamu, tetapi juga mengorbankan nyawamu!” desis Rodopalo dan mendadak ia bersalto ke angkasa, lalu meluncur deras ke arah Soko Pati dengan senjata yang mengarah ke dada.
Sepersekian detik saja Soko Pati lengah, habislah dia. Untungnya ia masih sempat berguling ke kiri dan mendadak pula tubuhnya bagaikan terbang menyerbu ke arah Rodopalo yang masih bergerak meluncur.
Rodopalo terkejut.
Cepat ia mengangkat tangannya dan menangkis.
Trang! Namun Soko Pati yang melihat adanya kesempatan untuk terus menyerang, melakukannya lagi. Dia berbalikkan tubuh dan memutar goloknya pindah ke tangan kiri, lalu dikibaskannya dengan ganas.
Wuuuttt! Bila saja Rodopalo tidak menghindar, maka lepaslah kepalanya dari lehernya. Hal ini membuatnya begitu amat geram dan marah. Ia menggeram dengan hebat.
“Bangsat busuk! Mampuslah kau! Hiaaaattt!” Dan mendadak kembali ia menyerang. Kali ini dengan teramat ganas. Ia tidak suka lawannya bisa mempermalukannya dengan gerakan seperti itu.
Rasanya menyakitkan sekali.
Tentu saja Rodopalo yang memiliki tabiat mengerikan dan ganas itu, tidak terima dengan perlakuan yang diperlihatkan oleh Soko Pati.
Ia menyerbu dengan ganasnya.
“Mampuslah kau!” Kali ini Soko Pati yang kewalahan menghadapi serangan-serangan yang ganas dari lawannya.
Serangan-serangannya begitu cepat dan mencecar titik kematian dari tubuh Soko Pati. Serangan yang benar-benar hebat dan mengejutkan. Dan tak mengenal ampun.
Sebisanya Soko Pati bertahan. Ia adalah seorang jago dari timur yang telah lama dikenal dengan julukan si Golok Maut. Telah berulangkali orang-orang mempercayakan dirinya untuk menjaga keselamatan mereka, dan selama ini Soko Pati selalu berhasil membuktikan diri dalam menjalankan tugasnya.
Namun kali ini ia nampaknya gagal. Berkali-kali bagian tubuhnya terkena pedang Rodopalo. Melihat darah yang keluar dari berbagai bagian tubuh Soko Pati, semakin membuat Rodopalo bertambah buas dan marah. Ia terus mencecar dengan ganasnya.
Hingga suatu ketika, senjatanya mengenai paha Soko Pati yang langsung ambruk. Tak kuasa berdiri lagi. Wajahnya menampakkan kesakitan yang luar biasa.
Goloknya terlepas.
Kini ia merasa sedang mandi dalam keadaan telanjang bulat, tanpa mengenakan apa-apa. Sama seperti yang dirasakannya sekarang, ia tak memegang senjata apa-apa. Itu adalah kekalahan bagi seorang pendekar yang biasa bersenjata. Sama seperti halnya dengan pendekar yang selalu mempergunakan tangan kosong. Saat seperti yang dialami oleh Soko Pati, pendekar itu telah buntung kedua tangannya. Rodopalo menghentikan serangannya.
“Ha ha ha... apakah kau masih ingin melanjutkan pertarungan ini?” ejeknya terbahak-bahak, sementara mayat-mayat sudah bergelimpangan. Dari rombongan Soko Pati, sudah banyak sekali yang mati. Darah sudah bersimbah.
Sambil menahan rasa sakit di hati maupun di bagian-bagian tubuhnya, Soko Pati mendengus.
“Bangsat! Jangan kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Sejengkal pun aku tak akan mundur dari hadapanmu!”
“Bagus! Aku menyukai keberanianmu itu!”
“Bangsat perampok! Kerjamu hanya menyakiti dan menyabet harta milik orang lain saja?!”
“Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan?”
“Apakah tidak kau pikir, betapa kejamnya kau yang menghabisi nyawa orang lain begitu saja?”
“Dan setelah mendengar kata-katamu itu, apakah kau pikir aku akan membiarkan kau hidup begitu saja?” ucap Rodopalo dengan nada mengejek yang menyakitkan.
“Tidak... aku tidak akan pemah melepaskan lawanku yang hendak kujadikan mangsa begitu saja? Tak terkecuali kau!”
“Keparat!”
“Aku sudah bosan berlama-lama berbicara kepadamu! Kini terimalah ajalmu, Bangsat!” Lalu tubuhnya pun melenting dan melayang menyerbu dengan ganasnya.
Pekikannya teramat keras.
Soko Pati yang menahan rasa sakit di pahanya, tak kuasa lagi untuk menggerakkan tubuhnya. Ia hanya pasrah saja menerima ajal yang hampir tiba.
Perlahan-lahan dipejamkannya matanya, seakan ia telah siap menerima ajalnya.
Namun mendadak terdengar suara, “Trang!” yang amat keras. Salah seorang anak buah Soko Pati dengan nekat menyerbu dan menahan serangan yang dilancarkan oleh Rodopalo.
Sudah tentu kejadian itu membuat Rodopalo kaget, sekaligus menjadi marah. Maka ia pun mengalihkan serangannya kepada orang yang berani menahan serangannya itu.
“Bangsat! Rupanya kau dulu yang harus mampus!” serunya terus mencecar.
Tak memerlukan waktu yang cukup lama, karena Rodopalo berhasil melepaskan kepala orang itu dari lehernya. Lalu ia mendengus dengan nafas turun naik.
“Keparat! Itulah ganjaran bagi orang yang berani menghalangi musang murka!” makinya. Lalu ia menoleh kembali kepada Soko Pati, “Kini tiba giliranmu untuk mampus!” Mendadak saja ia membuka kedua kakinya agak lebar. Lalu kedua tangannya direntangkan ke samping dan dibawanya ke atas, lalu disatukan di dada. Gerakan itu sangat cepat dilakukan, merupakan gerakan pertama dari 'Pukulan Angin Manik' miliknya. Dan mendadak saja ia menggerakkan kedua tangannya ke depan secara bersamaan.
Serangkum angin dingin menerpa ke arah Soko Pati.
Ambruklah Soko Pati menjadi mayat yang sebelumnya melengkingkan suara jeritan yang teramat keras.
Terbahak-bahak manusia kejam itu.
“Ha ha ha... itulah ganjaran bagi orang yang berani menentang keinginan Rodopalo!” serunya sambil melangkah mendekati mayat Soko Pati dengan langkah yang pasti dan lebar. Seakan ingin menunjukkan, bahwa ialah orang yang paling berkuasa di muka bumi ini.
Lalu menendang mayat itu setelah meludahinya berkali-kali. Dan ia terbahak-bahak sendiri dengan suara yang terdengar menakutkan, “Ha ha ha... tak seorang pun yang bisa menghalangi keinginanku!” Tiba-tiba ia menggeram.
“Pendekar Gila, tak lama lagi kau pun akan mampus di tanganku!” Lalu ia menoleh kepada para anak buahnya yang masih bertempur dengan hebat, dan berseru, “Cepat bereskan! Aku sudah bosan melihatnya!” Tak perlu menunggu waktu lama lagi, para gerombolan itu semakin menyerang dengan ganasnya. Dan tak lama kemudian, semuanya pun ambruk berkalang tanah.
Salah seorang menendang pintu kereta kuda di mana Baruna sedang meringkuk ketakutan. Ditariknya tubuh itu dengan hentakan keras sehingga terjerembab ke tanah. Lalu tanpa banyak cakap, diayunkannya pedangnya ke leher Baruna. Baruna yang belum sempat berkata apa-apa pun ambruk dengan leher putus.
Kemudian gerombolan itu dengan leluasa dan sambil bernyanyi-nyanyi menjarah harta milik Baruna.
Namun masih ada yang belum puas begitu saja melepaskan mayat yang telah mati, mereka menendang dan meludahi. Bahkan masih ada yang mengayunkan goloknya dengan perasaan geram.
“Ketua... tidak ada wanita di sini,” kata salah seorang.
“Bangsat! Kembali ke markas! Sia-sia aku muncul, karena Pendekar Gila tidak muncul di sini! Hhh! Siasia aku memperlihatkan 'Pukulan Angin Manik'ku.” Tak lama kemudian, barang-barang hasil jarahan itu mereka bawa ke markas mereka dengan kegembiraan yang luar biasa. Sambil masih terus bernyanyi-nyanyi.
Meninggalkan mayat-mayat yang bergeletakan.
Siang pun berganti senja. Senja terasa amat kelam.
Dan di senja itulah baru saja terjadi pembantaian besar-besaran yang amat mengerikan.
Selang beberapa lama, terlihat satu sosok di antara mayat yang bergelatak bergerak. Rupanya ia belum mati. Tadi hanya pingsan saja.
Melihat keadaan di sekelilingnya, orang itu menjadi amat sedih sekali. Lebih sedih melihat keadaan Soko Pati yang terluka parah dan kini telah mampus.
Beringsut sambil dengan menahan rasa sakitnya, ia bergerak ke arah Soko Pati. Hatinya semakin hancur melihat kenyataan itu. Lalu sambil mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia naik ke atas kudanya dengan susah payah setelah mengucapkan selamat jalan pada Soko Pati.
Dihelanya tali kekang kuda itu agar kuda bergerak.
Dari tubuhnya banyak mengalirkan darah. Dan dira sakannya hawa dingin dan panas yang bermain di sekujur tubuhnya. Terutama bila angin berhembus kencang, terasa sangat menyiksa sekali.
Lalu perlahan-lahan ia tertelungkup di atas kudanya. Seakan mengerti ada orang yang membutuhkan tenaganya agar cepat berlari, kuda itu pun melesat dengan cepatnya. Sangat cepat sekali menuju ke satu tempat

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 2 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Pagi sudah menjelang beberapa saat. Matahari pun sudah tinggi, sinarnya sepenggalah. Menaungi seisi Hutan Bawengan. Angin berhembus semilir, seakan memberikan kesejukan pada siapa saja. Namun bau yang datang pagi itu sangat tidak enak, sangat amis dan memuakkan.
Bau itu pun tercium oleh si penunggang kuda berwarna putih. Ia seorang gadis yang berparas jelita.
Mengenakan pakaian ringkas berwarna merah.
Wajahnya bulat telur dengan kedua alis hitam legam.
Kulitnya sawo matang, mulus dan langsat. Sepasang matanya jernih dan bening, sebening air telaga.
Hidungnya bangir dan sepasang bibir yang tipis ranum, semakin menambah kejelitaannya. Namun, di punggungnya terdapat sepasang pedang kembar yang bersilangan, menandakan di balik kejelitaannya juga terdapat darah pendekar yang mengalir.
Gadis itu bernama Sekar Wangi. Mendadak ia menghentikan lari kudanya. Memandangi alam sekitarnya yang penuh dengan pepohonan tinggi.
Cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu mendengus karena bau amis itu sangat menyesakkan nafasnya.
“Hhh! Aku seperti berada di tempat pemotongan hewan,” katanya dalam hati.
“Bau amis ini berasal dari mana?” Lalu ia memacu kudanya dan dirasakannya bau amis itu semakin menyengat, semakin menggoda perasaannya untuk mengetahui dari manakah asal bau amis dan busuk itu. Alangkah terkejutnya Sekar Wangi ketika matanya melihat berpuluh mayat bergeletakan di hadapannya. Ada tiga buah kereta kuda yang hancur berantakan, sementara kuda-kuda yang menariknya entah ke mana.
“Oh, Gusti Allah... apa yang telah terjadi?” desisnya sambil melompat turun dari kudanya. Gerakannya sangat ringan sekali, menandakan ilmu yang dimiliki gadis itu sangat tinggi. Lalu ia berjalan perlahanlahan, memeriksa mayat-mayat itu satu persatu.
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bukan main, rupanya telah terjadi pembantaian besarbesaran. Hhh! Rupanya apa yang dikatakan Guru benar, kalau di dunia ini sangat banyak sekali kejahatan.” Gadis itu terus berjalan dan memeriksa mayatmayat itu. Dan berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat mayat-mayat yang sangat mengerikan. Karena, mayat-mayat itu ada yang buntung kepalanya, lengannya, kakinya, perutnya.
Bahkan beberapa mayat memburai isi perutnya.
Membuat gadis itu ingin muntah, namun ditahannya.
Karena, ia ingin mengetahui apakah penyebab dari semua ini.
“Sepertinya mereka para pedagang,” gumamnya lagi.
“Hmmm... mungkin dijegal oleh komplotan perampok yang sangat ganas.” Tiba-tiba gadis itu mendadak menoleh dan sepasang matanya yang jernih memicing.
“Hhh! Rupanya ada Pengintip busuk yang tidak mau menampakkan batang hidungnya!” dengusnya keras. Lalu bertolak pinggang, “Manusia pengecut, keluar kau!”
“He he he he... hebat, hebat... gadis manis yang sangat hebat...,” terdengar kekehan itu dan ber- samaan dengan munculnya satu sosok tubuh dari atas pohon. Ia seorang pemuda berpakaian rompi terbuat dari kulit ular. Di pinggangnya terselip sebuah suling yang di ujungnya ada ukiran naga. la tak lain dari Pendekar Gila.
Sekar Wangi mendengus melihat siapa yang muncul.
“Rupanya manusia seperti kau yang bertindak pengecut!” Sena menggaruk-garuk kepalanya.
“He he he...
pengecut, pengecut? Tidak, aku tidak pengecut... he he he...” Mata Sekar Wangi memicing. Tiba-tiba ia membentak keras, “Rupanya manusia busuk seperti kaulah yang telah melakukan pembantaian seperti ini!” Sena terbengong sejenak. Lalu cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku? Wah, wah... sudah tentu tidak. He he he...
kau salah sangka, Manis. Ya, ya... kau manis. Hmm...
tidak, tidak... kau jelita. Ya, ya... Jelita Penunggang Kuda... Wah, wah... bagus itu, bagus sekali...” Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Merasa aneh melihat sikap pemuda itu. Tetapi ia sudah salah sangka. Pikirnya, pasti pemuda yang bersikap gila inilah yang melakukan pembantaian ini. Dengan mendadak saja ia menggerakkan tangannya ke belakang dan kini sepasang pedangnya sudah berada di tangan. Sangat cepat sekali gerakan yang dilakukannya.
“Kau harus membayar nyawa orang-orang ini, Pemuda Gila!” bentaknya dan menyilangkan kedua tangannya di dada, bertanda ia siap menyerang.
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Tidak, aku tidak melakukannya... sumpah! Tetapi... he he he... pasti kau yang melakukannya, bukan?”
“Aku?” Sekar Wangi melotot.
“Sudah tentu tidak! Pasti kau yang melakukannya!”
“Aku?” Sena mengikuti gerakan yang dilakukan oleh Sekar Wangi.
“Sudah tentu tidak! Pasti kau yang melakukannya!” Sekar Wangi merasa diejek dengan sikap Sena.
Ia menggeram marah.
“Kau! Pasti kau!”
“Kau! Pasti kau!” sahut Sena menirukan seruan Sekar Wangi.
“Brengsek!” serunya sambil menghentakkan kakinya.
“Brengsek!” Sena menirukan gerakannya sambil cengengesan.
Wajah Sekar Wangi memerah padam. Ia jengkel ditirukan seperti itu. Mendadak saja tubuhnya melenting ke arah Sena, kedua tangannya yang menggenggam pedang siap dihujamkan ke tubuh Sena.
“Hhh! Lebih baik kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Orang gila!” Pedangnya berkelebat dua kali, merupakan satu rangkaian jurus pedang yang tangguh. Sena sendiri sejenak cukup terkejut. Karena sebelum pedang itu ditebaskan pada tubuhnya, ia sudah merasakan hawa panas yang menerpa tubuhnya.
“Haittt! Hebat, hebat!” serunya sambil melompat menghindar.
“Sayang, dilakukan dengan penuh amarah! Tetapi... he he he... kalau tidak begitu, bisa buntung leherku nanti....” Sekar Wangi yang sudah marah dan merasa yakin kalau pemuda inilah yang harus bertanggungjawab atas kematian orang-orang ini, semakin mencecar.
Sabetan dan tusukan pedangnya dilakukan secara beruntun. Hawa panas setiap kali ia menggerakkan pedangnya terus dirasakan oleh Sena. Merupakan hawa yang mampu menghanguskan tubuh, terutama bila mengenai tubuhnya.
Namun Sena masih terus menghindari saja.
Karena ia sendiri yakin kalau pertarungan ini hanyalah salah paham belaka. Ia sendiri tidak yakin kalau gadis itu yang melakukan pembantaian terhadap orang-orang ini. Karena bau bangkai sudah merebak ke hidungnya.
“Nona Manis... lebih baik kita sudahi saja pertarungan ini,” katanya sambil terus menghindar.
“He he he... kau lebih manis bila tidak sedang marah.”
“Kurang ajar!” Sekar Wangi terus mencecar. Mendadak ia bersalto ke belakang dan ketika hinggap di bumi, kedua pedangnya sudah bersilangan di dadanya.
“Hhh! Rupanya kau punya kebolehan juga, Orang gila! Sekarang lihat serangan!” Kedua tangan Sekar Wangi bergerak, ke atas dan ke bawah. Ini merupakan jurus 'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'. Suatu jurus yang sangat dahsyat sekali. Karena ke mana lawannya pergi, pedang-pedang itu akan mengejar, persis menguasai penjuru angin Sena sendiri sudah memperhitungkan kehebatan ilmu pedang yang diperlihatkan Sekar Wangi. Tetapi seperti sifatnya, ia hanya tersenyum-senyum saja.
He he he... lumayan, karena pedangmu itu seolah mengipasi tubuhku,” katanya terkekeh, padahal justru hawa panas yang keluar dari ayunan pedang itu.
“Kurang ajar! Mampuslah kau! Heeeeaaa!” sambil berseru keras, Sekar Wangi menenang dengan hebat Pedangnya terus mencecar Sena ke mana Sena menghindar. Dan beberapa batang pohon yang terkena babatan pedangnya segera hangus dan mengeluarkan asap. Jurus pedang yang sangat hebat “Hei, apakah kau hanya bisa menghindar saja?” bentak Sekar Wangi.
Sampai sekian lamanya Sena belum juga membalas. Karena, ia yakin ini adalah salah paham belaka. Tetapi lama kelamaan ia bisa kewalahan juga.
Mendadak sambil bersalto ia meraih sebatang ranting yang segera dialiri tenaga dalamnya. Dengan ranting itulah ia menangkis setiap serangan Sekar Wangi.
Justru Sekar Wangi yang kini diam-diam merasa kagum. Karena ketajaman pedangnya sudah tidak pernah disangsikannya lagi. Baja yang terkeras sekali pun akan putus seketika. Tetapi sang lawan hanya menggunakan sebatang ranting. Itu menandakan betapa tingginya tenaga dalam lawannya.
“Wah, wah... mengapa jadi pias seperti itu, nah?” ejek Sena yang dengan memadukan jurus 'Kera Gila Melempar Buah' dengan ranting yang dipegangnya, justru membuat Sekar Wangi terdesak.
Karena, Sekar Wangi seolah-olah melihat kalau ranting itu akan dilemparkan Sena, sehingga ia sangat berkonsentrasi dengan lemparan ranting itu.
Padahal sebenarnya tidak. Jurus 'Kera Gila Melempar Buah' memang merupakan jurus yang mirip dengan seekor kera yang sedang melempar buah, padahal hanya angin saja yang mampu menahan serangan lawannya.
Mendengar ejekan Sena, Sekar Wangi mengubah jurusnya, 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga'. Jurus ini lebih dahsyat dari jurus yang pertama.
Karena, tenaga dalam dan hawa panas yang terangkum menjadi satu, menimbulkan bunyi seperti ledakan. Bunyi itu bukan hanya mampu mengecoh lawannya, juga mampu menghancurkan lawannya.
“Wah, wah... ini baru seimbang! Bagus, bagus...
gadis manis seperti kau ini ternyata memiliki banyak ilmu... He he he... bagaimana kalau kau jadi istriku?” kata Sena sambil terus menghindar dan sekali-sekali menyerang tetapi ia tidak bermaksud melukai. 'Tetapi tidak, punya bini yang galak kayak kau ini, bisa gawat nanti... he he he....” Wajah Sekar Wangi memerah lagi. Sambil meludah jijik dan meneruskan serangannya, ia berseru, “Siapa kesudian menjadi istri orang gila, hah?!”
“Benar, benar... siapa yang mau, ya?” sahut Sena sambil terkekeh-kekeh.
“Tetapi, kau mau, bukan?”
“Kurang ajar!”
“He he he... biasanya begitulah gadis-gadis... purapura tak mau padahal hatinya mau...” Sekar Wangi semakin jengkel diejek seperti itu. Ia semakin mempergencar serangannya.
Sena sendiri merasa kalau ia tidak segera mengalahkan Sekar Wangi, bisa-bisa pertarungan ini akan berlangsung lama. Padahal kedatangannya ke Hutan Bawengan untuk menyelidiki Gerombolan Iblis dari Pacitan yang bermukin di Gunung Kematian.
Soalnya, kemarin malam ketika Sena sedang bercakap-cakap dengan Ki Lurah Somata, mendadak muncul seekor kuda dengan penunggangnya yang luka parah. Dan sebelum ajalnya, si penunggang kuda itu hanya mampu berkata pelan dan terpatak-patah, “Kami., dirampok....” Hanya itu. Karena ajal lalu menjemputnya.
Sena pun bermaksud menyelidiki tentang hal itu.
Yang tidak disangkanya, ia bertemu dengan Sekar Wangi yang justru menganggapnya sebagai pelaku dari pembantaian itu. Sena sekarang yakin, kalau mayat-mayat yang bergeletakan di hadapannya, adalah teman-teman dari si penunggang kuda yang tidak sempat menyebutkan namanya.
Mengingat hal itu, mendadak saja Sena melemparkan ranting yang dipegangnya dan membuat Sekar Wangi menjadi kalang kabut Dengan gerakan yang cepat ia membabat ranting itu hingga terpotongpotong.
Itu adalah pengalihan perhatian dari Sena, karena begitu Sekar Wangi sibuk mempertahankan diri dari lemparan rantingnya, ia segera melesat maju. Dan menubruk tubuh Sekar Wangi sehingga keduanya jatuh bertindihan.
“Ih!” desis Sekar Wangi sambil berusaha membebaskan diri. Tetapi Sena segera menotok urat kakunya, sehingga gadis itu terdiam.
Masih dengan menindih tubuh Sekar Wangi, Pendekar Gila cengar-cengir.
“Hehehe... asyik juga.
Empuk lagi. Jangan marah, jangan marah, Nona Manis? Kalau tidak kulakukan seperti ini, kau tidak akan mau diam, bukan? He he he... tetapi asyik juga...”
“Lepaskan aku! Lepaskan! Kita akan bertarung sampai mati, Pengecut!” seru Sekar Wangi dengan wajah merah padam. Ia malu diperlakukan seperti ini.
Sena pun perlahan-lahan bangkit dari tubuh Sekar Wangi dan duduk di sebelahnya sementara Sekar Wangi menjerit-jerit marah dengan mata melotot.
“He he he... jangan marah. Kita hanya salah paham saja, Nona.... Atau... kau senang ya aku tindih? He he he... jangan kuatir, masih banyak kesempatan...” Lalu Sena bangkit.
“Maaf... aku masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Mudah-mudahan kita bertemu lagi,” katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Lalu.... Wuuutt! Tubuhnya segera menghilang dari pandangan.
Tinggal Sekar Wangi yang menjerit-jerit minta dilepaskan dari totokan Sena. Namun mendadak saja ia bisa melepaskan dirinya. Rupanya totokan yang dilakukan Sena hanya bersifat sementara.
Sekar Wangi segera melompat mengejar, tetapi Pendekar Gila sudah tidak nampak lagi di matanya. Ia menghentakkan kakinya jengkel. Malu karena diperlakukan seperti itu oleh Sena. Ia berjanji, akan membalas rasa malunya.
Lalu dinaikinya kudanya dan dihentakkannya dengan cepat. Harinya masih marah pada Pendekar Gila. la bermaksud akan membalas perbuatan Pendekar Gila. Tanpa sadar, kudanya menuju ke Gunung Kematian.
Siapakah sebenarnya Sekar Wangi yang dijuluki Pendekar Gila sebagai, Jelita Penunggang Kuda?

***

Di pesisir Laut Kidul, terlihat satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian ringkas berwarna merah sedang berlatih memainkan ilmu pedangnya. Ia adalah Sekar Wangi, gadis berusia tujuh belas tahun yang telah lama digembleng oleh Nyai Harum Tari, yang dikenal sebagai Penjaga Laut Kidul.
Nyai Harum Tari sangat sayang pada Sekar Wangi, nama yang diberikannya ketika ia menemui gadis itu selagi bayi. Dan di sisi bayi perempuan montok yang sedang menangis itu tergolek satu sosok tubuh wanita yang sudah menjadi mayat.
Dengan hati iba, Nyai Harum Tari menguburkan mayat wanita itu yang ia yakin adalah ibu dari bayi perempuan itu. Lalu membawa bayi itu pulang.
Memberinya nama dan membesarkannya. Dari selentingan kabar, Nyai Harum Tari mendengar kalau desa yang ada di sebelah utara Laut Kidul telah diserbu oleh Gerombolan Iblis dari Pacitan, daerah selatan dari Laut Kidul.
Nyai Harum Tari pun melakukan pembalasan ke Pacitan seorang diri. Dan berhasil mengusir gerombolan itu dari sana. Yang sekarang entah berada di mana.
Lalu ia pun mendidik dan menggembleng Sekar Wangi dengan ilmu yang dimilikinya. Ternyata gadis itu memiliki otak yang sangat cerdas. Pada suatu malam, Nyai Harum Tari menceritakan asal-usul Sekar Wangi yang hanya bisa menangis pilu mendengar ceritanya.
“Lalu di manakah Gerombolan Iblis dari Pacitan itu bermukim sekarang, Nyai?” tanyanya tersendat.
“Aku tidak yakin mereka berada di mana. Tetapi selentingan kabar, aku mendengar mereka bermukim di Gunung Kematian.”
“Oh, di manakah gunung itu berada, Nyai?” “Jauh dari sini, Sekar.” Sekar Wangi terdiam. Air matanya semakin menitik. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya, “Nyai... aku ingin membalas kematian kedua orang tuaku yang telah mereka bunuh.” Mendengar kata-kata Sekar Wangi, Nyai Harum Tari hanya menundukkan kepalanya. Ia bisa merasakan dendam yang tiba-tiba muncul di hati murid tunggalnya. Namun sangat disayangkan bila ia mempunyai dendam seperti itu.
“Sekar... memang sudah tiba saatnya kau keluar ke dunia ramai. Tidak hanya berdiam di daerah yang sepi dan dingin seperti ini.”
“Tetapi aku senang berada di sini, Nyai. Aku bisa melihat debur ombak dan lautan yang luas. Juga camar-camar yang beterbangan kian kemari. Namun, aku ingin mencari orang yang telah membunuh kedua orangtuaku.” Nyai Harum Tari mengangguk.
“Bagus. Memang, di dunia persilatan ini, darah harus dibalas darah. Tetapi akan lebih bagus lagi bila kita saling memaafkan.
Tetapi bila tekadmu telah bulat, kau bisa segera keluar dari daerah sunyi ini besok siang...”
“Nyai....”
“Jangan bersedih. Bila Hyang Widi menghendaki kita bertemu, kita pasti akan bertemu lagi.” Malam itu Sekar Wangi tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia hanya bisa menatap langit-langit gubuk di mana ia dan Nyai Harum Tari tinggal. Ada rasa berat untuk meninggalkan gubuk dan daerah yang sudah melekat di hatinya. Tetapi ia telah bertekad untuk mencari orang-orang yang telah membunuh kedua orangtuanya, yang telah dipukul mundur oleh Nyai Harum Tari dan kini menamakan diri mereka Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Dan pagi itu, Sekar Wangi berlatih seorang diri di tepi pesisir Laut Kidul. Sejak pagi buta. Sementara itu Nyai Harum Tari hanya memperhatikan saja dari kejauhan. Ia sangat menyayangkan kalau Sekar Wangi sampai pergi meninggalkannya. Namun ia pun merasa tidak memiliki hak untuk menahan Sekar Wangi lebih lama.
Setelah berpikir demikian, ia pun memanggil Sekar Wangi yang datang menghadap dengan keringat bercucuran di wajah dan sekujur tubuhnya. Kedua pedangnya sudah disarungkan kembali ke warangkanya.
“Nyai...,” ia bersimpuh. Kedua lututnya menekan pasir putih yang banyak terdapat di sana. Angin laut berhembus dingin.
“Berdirilah, Cucuku...,” kata Nyai Harum Tari dengan suara gemetar.
“Kini, telah tiba saatnya bagimu untuk meninggalkan daerah ini dan mencari orang-orang yang telah membunuh kedua orang tuamu. Carikah orang yang bernama Rodopalo dan Nyai Titir salah seorang dari Empat Malaikat Kahyangan yang sangat kejam. Jangan lupa pula, setelah kau menumpas mereka, berjalanlah di jalan yang lurus. Minta ampunlah pada Hyang Widi.”
“Nyai...”
“Aku tidak suka bersedih-sedihan. Sudah kupersiapkan seekor kuda yang membawamu dalam perjalanan. Ingat Sekar, dunia ramai penuh dengan intrik kejahatan. Kau jangan sampai lengah sedikit pun. Apalagi kau seorang gadis.”
“Nyai....” Nyai Harum Tari memeluk Sekar Wangi. Lalu meninggalkannya setelah berkata, “Pergilah... dan jangan menengok lagi ke sini sebelum kau keluar dari daerah ini....”
“Nyai!” Nyai Harum Tari terus melangkah. Sekar Wangi tahu kalau gurunya sekaligus orangtua angkatnya, menuju ke Pendopo yang ada di samping batu karang besar di sebelah timur.
Sekar Wangi menguatkan hatinya. Lalu ia berlari ke belakang tempat tinggal mereka. Seperti yang dikatakan Nyai Harum Tari, ada seekor kuda putih di sana. Juga ada sebuah buntalan yang berisi pakaian dan sedikit makanan di sisi pelana kuda itu. Lalu dinaikinya kuda itu. Sejenak ia memperhatikan gubuk dan sekelilingnya.
Lalu dikuatkannya hatinya. Dan mulailah digebraknya kudanya dengan kencang, dengan satu tekad untuk mencari orang-orang yang telah membunuh kedua orangtuanya. Akan ia balaskan sakit hati mereka!

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 3 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Malam menyelimuti alam. Ratu malam nampak enggan bersinar, tersaput oleh awan hitam yang berarak. Suasana Desa Sawo Jajar sangat sepi sekali.
Sesekali terdengar bunyi binatang malam yang sibuk mencari makan atau pun sedang memacu birahi.
Biasanya kalau malam begini, masih ada satu dua orang yang berkeliaran. Namun semenjak penyerangan yang dilakukan orang-orang Gerombolan Iblis dari Pacitan dan berhasil digagalkan dengan bantuan Pendekar Gila, sudah membuat mereka justru tidak bisa tidur.
Penjagaan pun sebenarnya diperketat. Para penjaga malam siaga dalam menjalankan tugasnya.
Apalagi mereka tahu, Pendekar Gila yang membantu mereka waktu itu dalam menghadapi orang-orang biadab, kini sedang meninggalkan desa.
Di rumahnya, Ki Lurah Somata sedang bercakapcakap dengan beberapa orang. Membicarakan masalah yang baru saja mereka hadapi. Menurut Ki Lurah Somata, keadaan sudah semakin genting.
Sehingga penjagaan harus diperketat.
Namun mendadak dari satu rumah terdengar jeritan-jeritan keras, membangunkan seisi Desa Sawo Jajar. Rumah itu telah terbakar. Api terus menjalar.
Membuat desa yang sunyi itu menjadi riuh rendah.
Kepanikan sudah meraja dan menguasai seisi desa Orang-orang segera bergotong royong untuk memadamkan api. Ki Lurah Somata dengan sigap melompat keluar rumah bersama tamu-tamunya. Ia memberi semangat dan ikut terjun langsung memadamkan api.
“Jangan panik! Selamatkan anak dan istri kalian!” serunya sambil menyiram air. Suara jerit kepanikan semakin terdengar kencang.
Tetapi mendadak saja beberapa anak panah berapi melesat dari satu tempat, membakari rumahrumah yang lain. Kepanikan semakin terasa.
“Kawan-kawan!” seru Ki Lurah Somata di tengah kepanikan.
“Nampaknya ada orang jahat di balik semua ini! Siapkan senjata kalian dan ungsikan anakanak dan wanita!” Segera yang laki-laki mempersiapkan diri dengan senjata mereka. Apa saja. Pacul, golok, parang, pedang, tombak atau apa saja yang bisa dijadikan senjata. Sementara anak-anak dan wanita berlarian ke Hutan Gamis yang ada di belakang Desa Sawo Jajar. Sebisanya mereka menyelamatkan diri. Barang yang bisa mereka raih, mereka bawa.
Para laki-laki termasuk Ki Lurah Somata bersiaga di tanah yang lapang. Mereka tidak lagi menghiraukan rumah yang terbakar, walau memang ada beberapa orang yang berusaha memadamkan api.
Apa yang diperkirakan oleh Ki Lurah Somata ternyata benar. Karena, mendadak saja dari balik semak belukar bermunculan berpuluh orang bersenjata golok dengan suara gegap gempita.
“Hancurkan mereka!”
“Bunuh!” Mendapat serangan seperti itu, Ki Lurah Somata pun tak mau kalah. Ia mengomandoi dan mengobarkan semangat para warganya untuk menyongsong serangan itu.
Seketika terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Suara senjata beradu dan jerit kematian pun terdengar. Baru beberapa saat pertempuran itu terjadi, darah sudah bersimbah dan mayat-mayat bergeletakan.
Ki Lurah Somata melihat satu sosok tubuh yang menyeramkan dengan mengenakan pakaian berwarna hitam, sedang mengibaskan kedua tangannya dengan cepat. Hasil yang dilihat Ki Lurah Somata amat mengenaskan sekali. Karena para penduduk yang berada di dekatnya dan mencoba menyerang atau menghalanginya, harus ambruk dengan kepala putus terkena angin dari pukulan laki-laki itu tanpa menjerit! Ki Lurah Somata segera bersalto sambil mengibaskan tombaknya ke kanan dan kiri. Beberapa orang dari penyerangnya segera mampus. Lalu ia tiba di hadapan laki-laki tinggi besar itu dengan wajah marah dan hati yang panas.
“Anjing buduk! Rupanya kau Rodopalo yang gagal menyerang desa kami dua hari yang lalu!” geramnya murka.
Rodopalo terbahak-bahak.
“Ha ha ha... inilah akibatnya bila berani melawan kehendakku! Ki Lurah, desamu akan selamat bila kau menyerahkan Pendekar Gila kepadaku!”
“Jahanam! Kau harus mampus!”
“Ha ha ha... kasihan kau, Ki Lurah. Memang, hanya orang-orang bodohlah yang merasa ajalnya masih jauh dalam menghadapi kejadian seperti ini!” seru Rodopalo sambil terbahak-bahak.
“Tetapi, seluruh rimba persilatan mengenal aku sebagai orang baik-baik! Serahkan atau tunjukkan di mana Pendekar Gila berada, maka kau akan terbebas dari ancaman maut yang akan menimpamu beserta isi desa ini!”
“Manusia anjing! Lebih baik kau pergi ke neraka...
heaaa!” Dengan tombak terhunus, Ki Lurah Somata menerjang ke arah Rodopalo yang masih terbahakbahak, namun ia segera mendesis kaget, “Keparat!” Karena Ki Lurah Somata sudah sepersekian meter saja berada di hadapannya dan siap menghujamkan tombaknya ke tubuhnya..
“Kau mempunyai nyali juga, Ki!” seru Rodopalo sambil menghindar.
“Karena orang seperti kau bukan hanya harus minggat dari tempat ini, tetapi harus mampus menghadap Yang Kuasa untuk dimasukkan ke neraka!”
“Ha ha ha... bagus, bagus sekali! Tetapi jangan salahkan aku bila kau harus mampus sekarang juga, Ki!” Pertarungan keduanya pun berlangsung seru. Ki Lurah Somata, meskipun yakin ia tidak akan mampu untuk mengalahkan Rodopalo, terus berusaha untuk mendesaknya. Paling tidak, sebagai lurah ia telah mempertanggungjawabkan tugasnya meskipun ajal akan menjemputnya.
Sementara itu pertempuran masih terus berlangsung. Kali ini sudah jelas sekali kemenangan berada di pihak para penyerang. Karena, mereka adalah orang-orang yang terlatih sementara para penduduk Desa Sawo Jajar hanya mengandalkan keberaniannya saja. Paling tidak, mereka akan mempertahankan milik mereka.
Para penyerang itu pun mulai masuk ke dalam rumah yang belum terbakar, mengambili apa saja.
Dan beberapa orang dari mereka mulai menyergap para wanita yang tidak sempat melarikan diri.
Beberapa orang dari wanita itu langsung mengambil tindakan membunuh diri daripada kesuciannya ternodai. Namun yang tidak sempat melakukannya, sudah tentu dengan terpaksa menjadi pemuas nafsu laki-laki yang menyergapnya.
Kejadian itu membuat para laki-laki penduduk desa itu menjadi terpecah. Apalagi bila melihat wanita yang sedang diperkosa oleh para gerombolan itu adalah anak atau istri mereka. Mereka langsung menyerang si pemerkosa yang sedang asyik memacu diri. Namun para penduduk laki-laki yang bermaksud menyelamatkan para wanitanya, harus mampus sebelum mengayunkan senjata mereka.
Para penyerang pun semakin buas memperkosa para wanitanya. Ada yang digilir. Ada yang langsung dibunuh setelah berhasil memuaskan nafsunya.
Sementara itu Ki Lurah Somata sudah terdesak hebat oleh Rodopalo yang sudah menggunakan 'Pukulan Angin Manik'nya yang hebat.
“Sudah kukatakan, beritahu ke mana perginya Pendekar Gila?” seru Rodopalo yang sejak tadi tidak melihat Pendekar Gila muncul. Berarti, saat ini memang Pendekar Gila tidak berada di sana.
“Pergilah kau ke neraka!” sahut Ki Lurah Somata dengan gagah. Ia masih berusaha untuk mempertahankan diri, namun hanyalah kesia-siaan belaka yang ditemuinya.
Karena, dadanya jebol terkena 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Rodopalo secara jitu.
Laki-laki gagah itu pun menemui ajalnya. Rodopalo terbahak-bahak.
“Itulah akibatnya bila berani membantah keinginan dari Rodopalo! Hei, kalian semua! Bakar seluruh rumah ini! Ambil harta apa saja! Jangan lupa, bawa beberapa gadis manis untukku!” Merasa yakin kalau Pendekar Gila tidak berada di sana, dengan gerakan yang sangat ringan, Rodopalo melompat ke kudanya kembali dan menggebraknya.
Hhh! Ia akan tetap mencari Pendekar Gila. Dan membunuhnya! Anak buahnya pun segera mengikutinya. Dengan membawa barang-barang hasil rampasan dan beberapa orang gadis yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Sedangkan orang-orang Rodopalo yang tewas, tidak diangkuti. Dibiarkan bergeletakan di sana.
Namun belum lagi mereka sempat meninggalkan tempat itu, mendadak saja tubuh mereka beterbangan dengan muntah darah dan ajal segera menjemput.
Satu sosok tubuh berpakaian rompi terbuat dari kulit ular menerjang dengan cepat, memukuli mereka satu persatu. Setelah tak satu pun yang dilihatnya masih, pemuda yang tak lain Pendekar Gila itu segera melompat ke satu arah. Mencoba mengejar Rodopalo yang tidak mengetahui kejadian itu.
Tetapi Rodopalo dan gerombolannya sudah menghilang dari pandangan.

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 4 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Pendekar Gila pun kembali lagi ke tempat kejadian bersamaan dengan pagi menjelang. Pagi tragis, pagi berdarah di Desa Sawo Jajar.
Suasana sangat mengerikan sekali. Bau amis darah tercium. Semuanya bergeletakan dengan tubuh yang tidak lengkap. Sisa asap masih membubung dari rumah-rumah yang terbakar.
Hatinya marah menyaksikan mayat-mayat itu. Yang membuatnya murka, ketika melihat beberapa orang wanita yang mati dalam keadaan telanjang bulat. Ada di antara mereka dari selangkangannya mengalirkan darah.
Dengan sigap Sena meneliti mayat-mayat itu satu persatu. Lalu menemui satu mayat yang dadanya jebol.
“Ki Lurah!” desisnya. Dan perasaannya semakin terpukul melihat kenyataan ini.
Ia menyesali kejadian ini, kejadian yang tak pernah disangkanya sebelumnya. Padahal, ia hanya menyelidiki tentang gerombolan yang pernah menyerang desa itu sebelumnya. Namun rupanya, orang-orang gerombolan itu lebih dulu datang dan menyerang, selagi ia tidak berada di sana.
Sementara satu sosok tubuh menunggang kuda putih tiba di tempat itu. Keningnya berkerut, la adalah Sekar Wangi yang hanya terheran-heran melihat mayat-mayat bergeletak dan bau amis darah tercium.
Ia melihat seorang pemuda berompi kulit ular sedang terpekur di salah satu mayat yang ada di sana. Ia melompat turun, tidak berbuat apa-apa, hanya berdiri tegak. Ia yakin kalau laki-laki yang mengenakan rompi dari kulit ular itu dan telah membuatnya malu kemarin pagi, mengenal orangorang ini.
Ia melihat Sena jatuh terduduk dengan kepala terlungkup ke tanah. Nampak sangat menyesali diri.
Dan mendadak saja Sekar Wangi terkesiap, karena pemuda itu berdiri dan sambil menjerit keras, ia menghentakkan kedua tangannya ke empat penjuru angin.
Serangkum angin, besar terdengar. Rupanya, saking marahnya, Pendekar Gila melampiaskan kemarahannya dengan mengeluarkan ajian 'Inti Bayu' yang menerpa dan segera menerbangkan pohonpohon yang tumbang, rumah-rumah yang terbakar dan mayat-mayat yang bergeletakan.
Entah mengapa melihat hal itu, Sekar Wangi menjadi pilu. Padahal yang dilakukan Sena sangat mengerikan.
'Tuan Pendekar... hentikan semua ini!” desisnya.
Namun Sena masih terus melakukannya dengan hati marah. Sampai kemudian ia jatuh terduduk dan menangis tersedu-sedu. Hati Sekar Wangi menjadi pilu. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan memegang kedua pundak Sena.
'Tuan... sabarlah....” Sena masih menangis.
“Hu hu hu... mengapa hal ini harus terjadi? Mengapa? Oh, Gusti... siapa yang melakukan semua ini?” Hati Sekar Wangi semakin pilu. Rasa marah dan dendamnya pada Sena menghilang. Ia pun berlutut di samping Sena.
“Sudahlah... semuanya sudah terjadi....” Entah apa yang menggerakkan semua ini, mendadak saja Sekar Wangi merangkul Sena yang masih menangis.
Mengusap-usap kepalanya dan berkata, “Tabahlah...
akan kita cari siapa yang telah melakukannya....” Sena masih menangis di dada Sekar Wangi, sampai ia mengangkat kepalanya lagi. Sekar Wangi mengira ia masih melihat air mata yang keluar, tetapi justru pemuda itu sekarang cengengesan.
Sekar Wangi mengerutkan keningnya. Kenapa jadi begini? “He he he... aku sedih melihat semua ini. Ini salahku, salahku...”
“Mengapa?” tanya Sekar Wangi yang semakin heran.
“Tadi pemuda ini menangis, sekarang malah cengar-cengir. Apakah pemuda ini... gila?” desisnya dalam hati.
Sena duduk bersila, di antara puluhan mayat, begitu pula dengan Sekar Wangi. , “He he he...
seharus-nya aku tidak meninggalkan desa ini kemarin. Ah, semuanya memang sudah terjadi. Benar kata-katamu itu, Nona manis...” Sekar Wangi hanya mengerutkan keningnya.
Apakah karena melihat pemandangan yang mengerikan seperti ini sehingga pemuda itu jadi kacau bicaranya? “Tuan, namaku Sekar Wangi.”
“Hmm, nama yang bagus. Bagus sekali. Namaku Sena...,” sahut Sena sambil cengengesan dan menjabat tangan Sekar Wangi yang terulur. Setelah menjabat tangan itu, ia mencium telapak tangannya sendiri.
“He he he... wangi, wangi sekali...” Sekar Wangi jadi tertawa sendiri. Seluruh rasa kesal dan dendamnya karena dipermainkan Sena waktu itu menghilang. Kini ia yakin, kalau pemuda ini tidak gila karena mayat-mayat yang bergeletakan.
Sikapnya memang sudah tenang, tetapi sekali-sekali masih menunjukkan rasa sedihnya.
“Kakang Sena...,” panggil Sekar Wangi dan ia tidak meneruskan kata-katanya karena Sena sudah memotong dengan gembira.
“Haya! Betul itu, betul sekali. Kakang Sena... he he he... enak sekali kedengarannya. Ada apa, Rayi Sekar? Wah, wah... pas sekali. Kayak sepasang kekasih yang sedang memadu kasih...,” Sena menggaruk-garuk kepalanya.
Sekar Wangi tertawa dengan tersipu.
“Hmm, apakah Kang Sena tahu siapa yang melakukan semua ini?” tanyanya kemudian.
“Pasti, siapa lagi kalau bukan Gerombolan Iblis dari Pacitan yang melakukannya.” Mendengar jawaban Sena, Sekar Wangi tersentak.
“Oh, Gusti! Gerombolan Iblis dari Pacitan?”
“Ya, pasti mereka. Karena, beberapa hari yang lalu mereka gagal menyerang desa ini. Ah, sebenarnya...
he he he... aku sudah yakin kalau mereka akan kembali lagi menyerang. Tetapi, aku sudah telanjur melangkah untuk mencarinya.”
“Kakang tahu di mana mereka bermukim?”
“Di Gunung Kematian.”
“Oh, jauhkah dari sini?”
“Cukup jauh, Rayi Sekar. Kira-kira... sehari satu malam bila menunggang kuda.... He he he... kalau berjalan kaki, bisa encok kita.” Sekar Wangi terdiam. Ia teringat kembali akan tugasnya keluar dari pesisir Laut Kidul. Untuk mencari gerombolan itu yang telah membunuh kedua orangtuanya.
Melihat Sekar Wangi terdiam, Sena bertanya, “Rayi Sekar... apakah ada masalah dengan Gerombolan Iblis dari Pacitan?” Sekar Wangi menganggukkan kepalanya. Lalu berceritalah ia seperti yang diceritakan oleh gurunya tentang orangtuanya yang telah dibunuh oleh Rodopalo, Ketua Gerombolan Iblis dari Pacitan.
“Hmmm, sepertinya kita punya tugas yang sama,” kata Sena kemudian.
“Aku juga mempunyai tugas untuk menghancurkan gerombolan itu...”
“Kang Sena, katamu kau bentrok dengan mereka beberapa hari yang lalu di sini. Benarkah?”
“Ya, Rayi....”
“Ceritakan, Kakang... aku ingin tahu bagaimana ciri-ciri Rodopalo itu?” Sena pun akhirnya bercerita.

***

Malam itu, sudah hampir menjelang subuh, ketika Sena alias Pendekar Gila memasuki Desa Sawo Jajar.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau di Desa Sawo Jajar sedang terjadi bentrokan yang hebat. Antara penduduk dengan orang-orang yang berpakaian hijau lumut.
Sena juga melihat seorang laki-laki setengah baya yang sedang gigih mempertahankan diri dan memberikan komando pada yang lainnya.
“Jangan mundur! Kita hancurkan mereka!” serunya gagah sambil mengibaskan tombaknya ke sana kemari dan menimbulkan desingan angin yang cukup kuat.
Orang-orang yang menyerang Desa Sawo Jajar, terdiri dari tiga puluh orang, dengan keganasan yang semakin menjadi-jadi. Dalam beberapa menit saja, sudah terlihat kalau para penduduk sudah terserang hebat.
Saat itulah, Sena melentingkan tubuhnya dan terjun dalam pertempuran itu. Dengan mempergunakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' ia menghajar para penyerang Desa Sawo Jajar dengan hebat dan cepatnya. Tubuhnya meliuk-liuk dengan manisnya seperti menari dan tangannya sekali-sekali menepuk.
Sekilas memang hanya bagai tepukan belaka, namun hasil yang terjadi sangat luar biasa. Tubuh lawan yang terkena tepukan-nya akan terhuyung ke belakang dan bisa mati seketika dengan meninggalkan bekas di dada lawan.
Melihat kemunculan seorang pemuda yang berompi dari kulit ular, membuat para penduduk desa bersemangat. Terutama laki-laki setengah baya yang menyerang dengan menggunakan tombak. Ia adalah Ki Lurah Somata yang terjun langsung dan memberikan semangat para penduduk.
Sudah tentu dengan kemunculan Sena, orangorang ganas yang menyerang Desa Sawo Jajar menjadi terhenyak. Mereka memperkirakan, kalau tidak segera membunuh pemuda yang menyerang sambil cengengesan itu, akan membahayakan kedudukan mereka.
Dan mendadak tiga orang segera mengurungnya dengan golok tajam di tangan.
“Anjing buduk! Siapa kau?” membentak salah seorang yang berwajah seram dan memiliki codet di pipi kanannya.
Sena cuma terkekeh saja.
“He he he... namaku Sena. Orang-orang menjuluki Pendekar Gila.”
“Hhh! Kau memang patut menyandang julukan seperti itu, Orang gila!” serunya sambil menyerang.
Dan seperti dikomandoi, kedua temannya pun ikut menyerang dengan ganasnya.
Golok-golok tajam yang berada di tangan mereka berkelebat dengan cepat dan ganas. Pendekar Gila hanya terkekeh-kekeh saja, sambil bergerak bagaikan menari. Dan sekali-sekali melepaskan pukulannya yang seperti menepuk.
“He he he... siapa sebenarnya kalian ini yang kerjanya hanya merampok dan membunuh saja?” seru Sena sambil menghindar dan membalas dengan santainya.
“Keparat busuk! Kau seharusnya bertekuk lutut dan bersujud di hadapan kami, hah!”
“He he he... di depan kaki buduk? Wah, wah...
tidak mau! Tidak mau!”
“Orang gila keparat! Cepat kau bersujud di hadapan kami, Gerombolan Iblis dari Pacitan!” seru si Codet sambil terus menyerang dengan cepat, begitu pula dengan kedua temannya. Namun sampai sejauh ini mereka belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sementara itu pertempuran antara para penduduk dengan orang-orang jahat itu semakin bertambah seru. Kali ini kemenangan berada di pihak para penduduk.
Ki Lurah Somata dengan cepat dan tangkasnya merangsek maju ke penyerang-penyerang itu, sehingga sedikit banyaknya mereka mulai terpukul mundur.
Sedangkan Sena kali ini sudah tidak ingin bertindak tanggung lagi. Mendadak saja ia meliukliukkan tubuhnya dan tiga buah tepukan mengenai dada lawannya. Yang langsung ambruk berkalang tanah.
Melihat keadaan yang tidak memungkinkan dan suasana yang mulai kacau-balau, sisa-sisa penyerang itu segera melarikan diri dengan kuda-kuda mereka.
“Hayo, hayo! Jangan lari! Pegang! Pegang!” seru Sena sambil berjingkrakan, membuat Ki Lurah Somata hanya tersenyum saja. Lalu menghampirinya.
'Tuan Pendekar... terima kasih atas bantuanmu...,” katanya sementara yang lain sedang mengangkuti mayat-mayat teman mereka, atau memberi pertolongan pada yang terluka.
Sena menggaruk-garukkan kepalanya.
“He he he... sebagai sesama manusia, kita memang wajib tolong menolong.... He he he sudah tentu dalam kebaikan, Ki...”
“Aku Lurah di sini. Orang-orang memanggilku Ki Lurah Somata.”
“He he he... namaku Sena. Orang-orang menjulukiku Pendekar Gila... he he he... aku tidak gila sebenarnya.... Ya, ya... aku tidak gila....” Sementara itu, pagi semakin menjelang dan suasana yang biasanya hiruk-pikuk dengan kegiatan sehari-hari, kali ini mereka sibuk dengan menggali tanah untuk mengubur kawan-kawan mereka yang menjadi mayat.
Suara jerit dan tangis terdengar memilukan dari sanak famili yang ditinggal mati. Lebih memilukan dari seorang wanita yang sedang hamil tua, begitu menyadari suaminya sudah meninggal. Wanita itu jatuh pingsan dan langsung diberi pertolongan.
Ki Lurah Somata hanya menghela nafas panjang.
Sedih bercampur pilu. Lalu ia berkata pada Sena, “Mari kita ke tempat tinggalku.” Tempat tinggal Ki Lurah Somata sama seperti kebanyakan rumah-rumah yang ada di sana.
Keduanya duduk di pendopo. Tidak ada air minum dan sedikit makanan. Suasana dalam keadaan tidak enak.
“Ki Lurah... siapakah sebenarnya orang-orang itu?” tanya Sena setelah kebisuan meraja beberapa saat.
“Ah...,” Ki Lurah Somata mendesah.
“Mereka adalah para begundal dan perampok yang kejam, Nak Sena....” Sena menggaruk-garukkan kepalanya.
“Mereka menyebut diri Gerombolan Iblis dari Pacitan. Benar?”
“Ya.”
“Siapakah pemimpin mereka, Ki Lurah?” tanya Sena cengengesan. Seolah tanya jawab yang dilakukannya dengan Ki Lurah Somata tidak ada artinya. Tetapi, memang seperti itulah sifat Pendekar Gila. Sepertinya tidak serius, padahal ia sangat serius.
“Hmmm... namanya Rodopalo. Laki-laki yang terkenal sangat kejam dan telengas. Tidak pandang bulu. Kekejaman mereka sudah lama terdengar, dengan seringkalinya mereka merampok para pedagang di daerah perbatasan atau pula di Hutan Bawengan. Yah, kekejaman itu sangat mengerikan sekali...”
“Apakah tidak ada upaya pemberantasan mereka?”
“Sudah berulang kali. Namun, Gunung Kematian di mana tempat mereka bermukim, sangat menyeramkan. Sementara penjagaan yang ada di sana sangat ketat sekali.”
“He he he... dan jalannya, pun seram, bukan?”
“Begitulah keadaannya, Nak Sena....”
“Kalau begitu... saya akan mendatangi tempat itu.”
“Oh! Nak Sena...,” Ki Lurah Somata terbelalak dan tidak jadi berkata apa-apa karena Sena sudah memotong.
“He he he... sekalian berjalan-jalan. Tempat itu sudah tentu sangat indah, bukan?” Ki Lurah Somata hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Dulu, dulu sekali. Tetapi sekarang, seperti namanya, gunung itu menyimpan banyak misteri yang mengerikan....” Tetapi Sena tetap pada tekadnya untuk mendatangi tempat itu. Jiwanya yang paling tidak suka bila melihat kejahatan, memberontak.
Pagi itu pula ia berpamitan menuju Gunung Kematian.

***

Sena mendesah panjang, “He he he... begitulah ceritanya, Rayi Sekar.... Mengapa sampai aku merasa dekat sekali dengan orang-orang ini.” Sekar Wangi mendesah panjang. Rasa bencinya pada Rodopalo berikut gerombolannya semakin menikam dadanya. Semakin membuatnya muak bercampur marah yang sangat besar.
“Lalu, apa yang hendak Kang Sena perbuat sekarang?” tanyanya sambil menatap Sena. Ah, pemuda ini sangat tampan sekali. Sikapnya meskipun agak tidak waras, namun mencerminkan kebijaksanaannya. Di matanya ada kilatan Jenaka. Sena cengar-cengir.
“Sudah pasti aku akan memburu Gerombolan Iblis dari Pacitan.”
“Kalau begitu aku turut bersamamu.” Sena terbelalak.
“Hah? Bersama dengan gadis cantik?” Kening Sekar Wangi berkerut.
“Kang Sena keberatan?”
“He he he... sudah tentu tidak, Manis.... Malah sangat mengasyikkan.” Wajah Sekar Wangi memerah. Tiba-tiba ia berdiri dengan jengahnya, ketika terbayang kembali bagaimana Sena memeluk dan menindihnya waktu itu.
Sena pun berdiri. Menepuk-nepuk pantatnya yang berdebu.
“Kenapa membelakangiku?” tanyanya sambil cengar-cengir. Lalu melangkah berhadapan dengan Sekar Wangi.
“He he he... wajahku yang ganteng ini tiba-tiba jadi jelek, ya?”
“Ah, Kang Sena ini!” seru Sekar Wangi sambil melompat ke kudanya dan langsung menggebraknya.
“Hei, mau kemana?” seru Sena.
“Ke Gunung Kematian!” sahut gadis itu sambil menghentikan laju kudanya.
“Mengapa tidak bersamaku?”
“Kang Sena menolaknya tadi!”
“He he he... tidak, Manis... sudah tentu tidak!” Tetapi Sekar Wangi sudah jengah, lalu ia menggebrak laju kudanya.
“Hei!” seru Sena. Tetapi Sekar Wangi terus menjalankan kudanya.
“Kita belum menguburkan mayatmayat ini?” seru Sena pula sambil menggarukgarukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mendengus, “Hhh! Jelita Penunggang Kuda!” Bersamaan dengan.itu, bermunculan para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di Hutan Gamis.
Karena cukup lama menunggu tidak ada yang muncul juga, mereka sepakat untuk segera kembali ke desa.
Dan alangkah terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat bergeletakan. Bergegap gempita mereka berlarian mencari suami dan sanak famili.
Tangis berkepanjangan pun terdengar.
Sena hanya berdiri mematung tanpa bisa berbuat apa-apa Lalu perlahan-lahan ia membujuk mereka untuk merelakan yang telah pergi.
'Tuan... cari bangsat-bangsat itu! Bunuh mereka! Balaskan sakit hati kami!” rintih mereka sambil berlutut di hadapannya.
Sena cuma mendesah panjang. Setelah menguburkan mayat-mayat itu seorang diri ia pun segera berkelebat, dengan satu tujuan, menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan.

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 5 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Gunung Kematian pagi hari.
Suasana tetap menyeramkan. Kesunyian Gunung Kematian teramat menakutkan. Di beberapa tempat tersembunyi, telah bersiaga beberapa anak buah Gerombolan Iblis dari Pacitan.
Di pendopo bangunan besar di mana Gerombolan Iblis dari Pacitan berdiam, nampak sedang ada pesta kecil. Suasana terdengar riuh. Di empat buah pintu masuk, berdiri dua orang penjaga dengan senjata di tangan.
Saat ini, Nyai Titir sudah kembali ke Gunung Kematian. Ia berhasil mengundang kembali Empat Malaikat Kahyangan untuk bersatu. Dalam menyambut kedatangan mereka, Nyai Titir khusus memerintahkan Rodopalo mengadakan pesta.
Empat Malaikat Kahyangan telah lama dikenal di rimba persilatan ini. Terdiri dari orang-orang hitam yang kerjanya hanya membuat orang lain merana.
Namun, pertikaian terjadi sendiri di kubu Empat Malaikat Kahyangan, sehingga akhirnya mereka tercerai-berai. Dan sekarang, Nyai Titir berhasil mengumpulkan mereka kembali.
Nyai Titir sendiri duduk bersila sambil menuang tuaknya. Di sebelah kirinya, berjarak satu tombak duduk seorang kakek yang mengenakan jubah berwarna putih dengan wajah yang kekar dan menampakkan kekerasannya, la adalah Ki Rongsowungkul atau yang berjuluk si Tua Penghuni Gunung Karang. Telah sekian tahun Ki Rongso- wungkul mendiami tempat itu. Ia bersenjatakan sebuah tasbih.
Di sebelah kanan Nyai Titir yang berjarak satu tombak pula, duduk seorang laki-laki tegap yang sangat tampan. Kulitnya putih. Kumis tipis menghiasi wajahnya, menambah ketampanannya. Ia adalah Kuntala atau yang berjuluk si Kipas Maut. Ayunan kipasnya mampu menghancurkan batu sebesar kerbau.
Di sebelah Kuntala, berjarak satu tombak pula, duduk Nyai Priatsih yang mengenakan pakaian berwarna hitam. Sikapnya tenang dan dingin. Ia memiliki banyak cara untuk menyiksa lawannya sangat kejam. Ia benuluk Si Tongkat Iblis. Ilmu tongkatnya cukup tinggi.
Sementara Rodopalo sendiri duduk di hadapan mereka.
“Mari, mari, Saudara-saudara sekalian!” katanya sambil mengangkat tuaknya.
“Kira rayakan kebersamaan ini dengan meminum tuak sampai mabuk...
ha ha ha ha!” Suasana ruangan itu pun penuh dengan tawa.
Semuanya mengangkat tuak masing-masing.
Setelah beberapa saat, terdengar suara Ki Rongsowungkul, “Titir... kau belum menceritakan maksudmu untuk mengundang kami di sini?”
“Ya,” sahut Nyai Priatsih.
“Sekarang ceritakan kepada kami, ada apa gerangan?” Nyai Titir menunggu sampai Kuntala bertanya pula, tetapi si Kipas Maut nampak tak acuh saja. Barulah Nyai Titir berkata, “Ha ha ha... jangan bersikap sungkan seperti itu sesama teman. Kita masih tetap Empat Malaikat Kahyangan yang telah lama menguasai rimba persilatan dan kini akan menguasainya kembali....”
“Kau tahu bukan, aku tidak suka bertele-tele?” tiba-tiba Kuntala bersuara sambil berkipas.
“Sifatmu memang tidak pernah berubah, Kipas Maut,” kata Nyai Titir.
“Baik, akan kujelaskan maksudku mengundang kalian untuk berkumpul di sini. Hmmm, terus terang, saat ini aku telah memungut seorang murid dan ia berada di hadapan kalian sekarang ini. Dengan bantuan muridku itulah aku mengadakan perampokan, pembunuhan dan pencurian besar-besaran. Ha ha ha... aku menyukai ini, sangat menyukai-nya....
“Lalu, apa maksudmu mengundang kami?” tanya Ki Rongsowungkul sambil mengusap janggutnya yang putih.
“Ha ha ha... sudah tentu untuk mengundang kalian bersatu padu dengan kami. Dengan bergabungnya kita kembali, sudah tentu Empat Malaikat Kahyangan tidak akan pemah terkalahkan. Hmm... apakah kalian sudah pernah mendengar tentang Pendekar Gila?”
“Singo Edan!” seru semuanya berbarengan sambil menatap Nyai Titir.
“Ha ha ha... nama besar Singo Edan memang masih menjadi momok sampai sekarang ini. Tetapi, aku tahu, sekarang ia menyembunyikan diri di Gua Setan,” kata Nyai Titir sambil tersenyum meremehkan.
“Lalu, siapa maksudmu dengan Pendekar Gila itu?” tanya Nyai Priatsih.
“Aku menduga, kalau Singo Edan telah mengambil seorang murid, yang sudah tentu kesaktiannya sama dengannya.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Kuntala ya ini memperlihatkan perhatiannya.
“Karena, baru-baru ini ia menggagalkan aksi perampokan yang kami lakukan di Desa Sawo Jajar.
Ia adalah seorang pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular. Dan aku yakin seyakin-yakinnya, kalau pemuda itu adalah murid dari Singo Edan yang juga berjuluk Pendekar Gila.”
“Dengan maksud untuk menghadapinyakah kau mengundang kami kembali?” tanya Nyai Priatsih sambil mendengus.
“Ha ha ha... sudah tentu tidak. Kesaktianku semakin meningkat sekarang ini. Aku cuma ingin mengembalikan nama besar Empat Malaikat Kahyangan ke dunia persilatan. Apakah kalian bersedia?” Nyai Titir memandang ke sahabatsahabatnya.
Tak ada yang bersuara. Tiba-tiba Ki Rongsowungkul mendehem.
“Titir... bukannya aku tidak menghendaki nama besar Empat Malaikat Kahyangan bersatu padu dan kembali merajai rimba persilatan. Namun usiaku sudah tua... dan sebentar lagi ajal akan menjemputku.
“ Nyai Titir menatap tajam, “Jadi... apa maksudmu, Rongsowungkul?'' “Sekali lagi kukatakan, aku tidak menolak bila Empat Malaikat Kahyangan bersatu kembali. Namun, aku keberatan bila kita bergabung untuk kejahatan.”
“Hei, apakah Gunung Karang telah membuatmu mematikan segala dosa-dosamu?” ejek Nyai Titir. Ia nampak kecewa sekali karena Ki Rongsowungkul menolak keinginannya.
“Tidak. Tetapi rasa penyesalan itu datang dari diriku sendiri. Aku tidak ingin lagi di masa tua seperti ini harus melumuri tanganku dengan dosa, Titir.
Sekali lagi kukatakan, aku minta maaf... karena telah menolak ajakanmu.” Suasana kelihatan menegang. Satu sama lain saling berpandangan kecuali Ki Rongsowungkul yang masih mengusap-usap janggutnya yang putih. Sampai Nyai Titir berkata, “Hei, kalian tidak usah tegang. Ha ha ha... Ki Rongsowungkul terima kasih atas kesediaanmu memenuhi undanganku. Tidak apa-apa, kau bisa membersihkan dosa-dosa yang selama ini telah kau lakukan.” Ki Rongsowungkul berdiri.
“Akan kulakukan, Titir. Dan aku hanya bisa berharap, agar kalian mengikuti jejakku untuk meninggalkan perbuatan dosa yang telah lama kita lakukan....” Lalu dengan gerakan yang ringan sekali, Ki Rongsowungkul meninggalkan tempat itu.
Sepeninggalnya, Kuntala mendengus, “Tua bangka keparat! Masih bertingkah rupanya! Titir, aku ikut denganmu!”
“Bagus, bagus!” sahut Nyai Titir.
“Kau bagaimana, Priatsih?” Nyai Priatsih terkekeh.
“Sudah tentu aku akan mengikutimu. Hhhh! Terlalu bodoh bila aku harus berdiam diri di masa tuaku....”
“Bagus, bagus sekali! Mari, kita bersulang untuk kembali pada masa jaya!” Mereka meminum tuak lagi. Lalu Nyai Titir berkata, “Empat Malaikat Kahyangan telah mati seorang... berarti, kita tinggal bertiga....”
“Kau hebat sekali, Titir...,” sahut Nyai Priatsih.
“Lalu mengapa kita berdiam saja untuk menjadikan Empat Malaikat Kahyangan menjadi tiga?” Nyai Titir terbahak-bahak.
“Bagaimana Kuntala, kau setuju?”
“Sejak semula aku menyatakan persetujuanku, sudah tentu aku akan ikut denganmu selamanya.”
“Ha ha ha... bagus, bagus! Kita akan menghajar adat pada Ki Rongsowungkul! Dan akan kita beritahu padanya, kalau salah seorang dari Empat Malaikat Kahyangan harus mati!” Mereka kembali terbahak-bahak.
Rodopalo yang sejak tadi berdiam diri, semula tidak mengerti maksud kata-kata Nyai gurunya.
Namun kemudian ia paham. Berarti, Ki Rongsowungkul harus mati!

***

Ki Rongsowungkul meneruskan langkahnya dengan ringan. Ia sudah berani berkata, dan berarti berani mempertanggungjawabkan kata-katanya. Ia paham, kalau maut sedang mengintainya. Namun ia sudah tidak mempedulikannya. Baginya yang terpenting, ia harus meninggalkan segala perbuatannya.
Sambil melangkah, Ki Rongsowungkul membuka mata dan telinganya. Karena ia yakin, kalau ketiga sahabatnya sangat tidak menyukai tindakannya.
Lebih-lebih diucapkan dalam pertemuan mereka yang pertama.
Namun sudah bulat tekad di hati Ki Rongsowungkul, kalau ia akan meninggalkan dunia hitam yang telah lama digelutinya. Selama ia bermukim di Gunung Karang, ia sudah bertekad untuk mensucikan dirinya dari dosa.
Yang tak pernah disadarinya, ia selalu terbayang bagaimana jerit kematian dari orang-orang yang mereka bunuh. Bahkan kaum wanita pun dibunuhnya setelah diperkosa. Tidak hanya itu, anak kecil yang masih bayi pun pernah dibunuhnya.
Dan sungguh, keadaan seperti itu teramat menyiksa Ki Rongsowungkul. Itulah sebabnya ia bertekad untuk meninggalkan dunianya yang lama.
Ketika Nyai Titir muncul dan menyuruhnya untuk datang ke Gunung Kematian ia memang bersedia.
Dan Ki Rongsowungkul pun sedikit banyak sudah mencium, masalah apa gerangan yang akan dirundingkan. Karena, Nyai Titir berkata akan mengundang pula Kuntala dan Nyai Priatsih.
Ternyata apa yang diduganya benar. Walaupun ia yakin akibat dari penolakannya itu, namun ia sudah bertekad untuk tetap mengundurkan diri.
Apa yang diduganya ternyata benar. Begitu ia memasuki Hutan Bawengan, mendadak terdengar derap langkah kuda yang cepat mendekatinya. Ki Rongsowungkul bersiap dan memicingkan mata. Ia melihat tiga sosok tubuh di atas kuda-kuda itu, dan melompat dengan jalan bersalto ke arahnya. Lalu hinggap di tanah dengan ringannya.
Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja.
“Sudah kuduga, pengalaman yang pahit akan kualami sekarang ini,” katanya sambil tertawa dan memperhatikan tiga orang yang dulu menjadi sahabatnya. Kini mengurungnya dengan sikap siap menyerang.
Nyai Titir tersenyum sinis.
“Rongsowungkul, kita dikenal dengan nama Empat Malaikat Kahyangan. Tetapi, karena kau menolak untuk bersatu kembali, nama itu terpaksa harus dihapuskan....”
“Dengan kata lain, kalian menjelma menjadi Tiga Malaikat Kahyangan?” kata Ki Rongsowungkul dengan sikap tenang. Lalu terbahak-bahak.
“Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak membunuh diri?” ejek Kuntala si Kipas Maut sambil mengipas-ngipas dirinya.
“Aku sangat menyayangi nyawaku. Dulu, aku pun selalu mempertahankannya. Dan sekarang, apakah aku harus berdiam diri bila bahaya menghadangku?” kata Ki Rongsowungkul dengan sikap yang tetap tenang.
“Bagus kalau begitu!” dengus Nyai Titir sambil memutar tongkatnya.
“Bersiaplah untuk mampus!”
“Ha ha ha... kau, ingin menghadapiku seorang diri? Jangan bermimpi, Titir. Dulu, bolehlah kau menjadi orang pertama dalam Empat Malaikat Kahyangan.
Tetapi sekarang, jangan kau pandang dirimu sebagai orang pertama.” Nyai Titir merah padam mendengar kata-kata Ki Rongsowungkul yang bernada mengejek. Mendadak saja ia mengempos tubuhnya dan melenting ke arah Ki Rongsowungkul.
“Orangtua keparat! Mampuslah kau! Heaaaa!” Ki Rongsowungkul hanya tertawa saja. Tidak bergeming dari tempatnya. Tubuh Nyai Titir menderu maju. Namun beberapa tindak lagi tongkat di tangan Nyai Titir menghantam kepalanya, Ki Rongsowungkul mengibaskan sebelah tangannya ke depan! Nyai Titir terhenyak sejenak, namun ia sudah tidak bisa lagi menahan tubuhnya. Dirasakannya serangkum angin keras menerpa tubuhnya, membuatnya menjadi sedikit oleng. Bila bukan Nyai Titir yang terkena pukulan itu, sudah jelas dadanya akan jebol.
“Hebat! Rupanya di usia senjamu ini kau masih bisa menciptakan jurus yang ampuh!” Ki Rongsowungkul terbahak-bahak.
“Itu adalah jurus 'Pukulan Angin Gunung Karang' yang sengaja kuciptakan untuk menandingi 'Pukulan Angin Manik'-mu, Titir! Ha ha ha... sebuah jurus yang sangat hebat, bukan? Hmm, mana racunmu yang hebat itu? Aku sudah lama ingin merasakannya!” Diejek seperti itu, Nyai Titir menggeram. Lalu ia mengambil sesuatu dari dalam kantong yang tersampir di pinggangnya. Dua ekor ular berwarna merah.
“Hmmm, kalau kau ingin bermain-main dengan racunku, lebih baik kau hadapi saja kawanku ini.” Wajah Ki Rongsowungkul diam-diam pias. Ia tahu kalau dua ekor ular yang berwarna merah itu adalah salah satu senjata dari Nyai Titir. Kedua ular itu dikenal dengan sebutan 'Si Merah Pencabut Nyawa'.
Tetapi sudah tentu Ki Rongsowungkul tidak memperlihatkan rasa piasnya. Ia cuma terbahak-bahak saja.
“Bagus, bagus sekali! Sudah lama aku ingin merasakan kehebatan si Merah Pencabut Nyawa,” katanya.
“Mengapa kau tidak melepaskannya, hah?” Nyai Titir menggeram, dengan kegeraman yang sama, dilepaskannya sepasang ular merahnya.
“Ayo, Manis... lakukan tugasmu dengan baik...,” katanya sambil tertawa.
Sepasang ular berwarna merah itu mendesis.
Hebat, karena ular-ular itu seolah tahu siapa yang harus diserangnya. Keduanya menjalar ke arah Ki Rongsowungkul yang menjadi waspada. Ia sudah sangat mengetahui betapa kejamnya bisa yang keluar dari ular-ular itu.
Ular-ular itu meliuk-liuk seolah mencari sela.
Tatapan keduanya memerah, semerah kulitnya. Dan mendadak saja keduanya meluncur ke arah Ki Rongsowungkul yang menghindar dengan berkelit.
Serangan pertama dari dua ular itu melesat.
Dan naluri yang dimilikinya tak bedanya dengan kekejaman milik Nyai Titir. Ular-ular itu terus merangsek maju ke arah Ki Rongsowungkul yang harus berkelit dengan sekali-sekali melancarkan 'Pukulan Angin Gunung Karang'nya.
Namun ular-ular itu jelas-jelas ular pembunuh yang terlatih. Karena keduanya dapat menghindari setiap pukulan yang dilancarkan oleh Ki Rongsowungkul.
“Ha ha ha... bagaimana mungkin kau mampu menghadapi kehebatanku dalam ilmu racun, melawan dua binatang kesayanganku saja kau sudah kewalahan seperti monyet gila,” kata Nyai Titir sambil tertawa.
Begitu pula dengan Nyai Priatsih dan Kuntala yang terbahak-bahak.
“Lebih baik kau membunuh diri saja, Orangtua!” seru Kuntala dengan tatapan dinginnya.
Ki Rongsowungkul terus berusaha menghindar.
Dan mendadak ia melenting ke belakang dan ke depan, karena kedua ular itu mendadak menegak dan dari mulut mereka, meluncur bisa-bisa ular yang sangat kuat racunnya.
“Bangsat!” Ki Rongsowungkul memaki sambil menghindar. Karena kedua ular itu terus menerus melancarkan serangan bisa mereka. Membuat Ki Rongsowungkul harus bekerja lebih keras dalam upaya menyelamatkan diri.
“Ha ha ha... ada tarian monyet gila di sini!” tertawa Nyai Titir.
“Ayo manis... jangan beri kesempatan dia untuk hidup lagi... ha ha ha!” Ki Rongsowungkul terus menghindar. Bisa-bisa ular yang tak mengenainya, menghantam batang kayu yang langsung menghitam, dan dahannya langsung mengering. Sementara daun-daunnya meranggas lalu berguguran.
“Kalau begini, lama-lama tenagaku akan terkuras,” dengus Ki Rongsowungkul dalam hati. Ia menunggu sampai ular-ular itu melontarkan lagi bisa-bisa mereka. Saat itulah Ki Rongsowungkul berkelit ke depan, melewati kedua ular itu. Dan sambil bersalto, ia melepaskan jurus, 'Angin Gunung Karang'nya.
Satu ular terhantam dan langsung terbelah retak.
Yang satunya lagi mendesis. Lebih ganas menyerang.
Ki Rongsowungkul kali ini memutar tubuhnya, dengan tiba-tiba saja ia kembali melepaskan 'Pukulan Angin Gunung Karang'-nya.
Des! Ular itu mendesis kelojotan. Lalu tubuhnya meledak. Melihat kenyataan itu, Nyai Titir sambil menjerit marah menyerang membabi buta dengan tongkatnya.
“Kau harus mengganti nyawa kedua binatang kesayanganku dengan nyawamu, Rongsowungkul!” Serangannya kali ini lebih ganas, lebih terarah dan bertubi-tubi. Setiap kali ia menggerakkan tongkatnya, menimbulkan suara angin yang keras dan cukup memekakkan telinga Namun menghadapi Nyai Titir bagi Ki Rongsowungkul yang sudah banyak mengetahui kelemahan ilmu dari Nyai Titir, lebih mudah daripada harus menghadapi ular-ular berbisa itu.
“Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Kau sudah tidak punya gigi lagi!” ejeknya sambil membalas dengan cepat. 'Pukulan Angin Gunung Karang' yang dilepaskannya membuat Nyai Titir kalang kabut. Ia harus berjumpalitan ke sana kemari.
Bersamaan Nyai Titir menghindar, mendadak saja tubuh Ki Rongsowungkul berputar bagai baling-baling.
Itu adalah jurus 'Angin Gunung Karang Menerbangkan Badai' yang berhasil ia ciptakan.
Hasilnya sudah mengejutkan Nyai Titir. Ia seakan terbawa dalam arus pusaran angin yang ditimbulkan akibat berputarnya tubuh Ki Rongsowungkul. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya lagi.
Tanpa ampun dua sodokan keras yang dilakukan oleh Ki Rongsowungkul menghantam telak dadanya.
Membuat Nyai Titir terhuyung dengan tangan mendekap dadanya.
“Ha ha ha... kau sudah tua, Titir. Sudah tua!” seru Ki Rongsowungkul.
Kuntala melompat satu tindak.
“Ki... aku pun ingin bermain-main dengan 'Pukulan Angin Gunung Karang'mu itu,” katanya dengan suara dingin, sedingin tatapannya.
“Bagus! Mengapa kau tidak segera maju? Atau...
mengapa kalian tidak sekaligus maju menyerangku, hah? Jangan sampai yang terjadi, bukannya tinggal Tiga Malaikat Kahyangan lagi, melainkan Satu Malaikat Kahyangan. Ha ha ha ha.,..” Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan nada mengejek itu, Kuntala segera merangsek maju.
Kipas di tangannya mengembang dan menutup.
Menyerang Ki Rongsowungkul dengan hebatnya. Ki Rongsowungkul masih tertawa-tawa saja. Ia segera memapaki serangan Kuntala dengan 'Pukulan Angin Gunung Karang'nya yang sangat ampuh.
Di luar dugaan, Kuntala justru membuka kipasnya dan mengayunkan ke depan. Serangkum angin tercipta dari sana dan memapaki 'Pukulan Angin Gunung Karang' Ki Rongsowungkul. Sementara tubuhnya menderu dengan deras.
Plak! Plak! Terpaksa Ki “Rongsowungkul memapaki serangan itu. Gerakan yang diperlihatkannya sangat cepat.
Kuntala tertawa.
“Ha ha ha... hanya begitu saja keampuhan dari pukulan angin kentutmu, Ki!” serunya sambil mencoba mendesak Ki Rongsowungkul. Kali ini keduanya bertarung sangat sengit. Berkali-kali Kuntala mengibaskan kipas mautnya yang menimbulkan hawa panas dan dingin bergantian. Itu adalah jurus 'Kipas Mengubah Mata Angin'.
Ki Rongsowungkul pun segera melepaskan senjata tasbihnya yang ia putar-putar untuk melayani serangan si Kipas Maut Saat menggunakan tasbihnya, terlihat kalau Ki Rongsowungkul bisa menghalau semua serangan yang dilakukan oleh Kuntala.
Melihat itu, Nyai Titir dan Nyai Priatsih saling berpandangan. Lalu setelah saling angguk, keduanya memasuki kancah pertempuran.
“Ha ha ha... mengapa tidak sejak tadi kalian lakukan itu?” tertawa Ki Rongsowungkul. Meskipun ia yakin tidak akan mampu bertahan melawan ketiganya, ia tetap berusaha menahan dan membalas setiap serangan.
Sudah tentu kali ini keadaan Ki Rongsowungkul yang sangat terdesak. Ia diserang dari tiga arah yang berbeda. Berkali-kali ia terkena pukulan, tendangan atau pun senjata lawan-lawannya. Dan dirasakannya dadanya sangat sesak ketika si Tongkat Iblis menghantam telak di ulu hatinya.
“Hhh! Masih menjual lagak saja kau di hadapan kami!” dengus Nyai Priatsih sambil terus mencecar dengan jurus 'Tongkat Iblis Menghancurkan Badai'.
Setiap kali tongkatnya bergerak, menimbulkan deru angin yang sangat keras sekali.
Tetapi Ki Rongsowungkul tetap berusaha bertahan. Sebisanya, karena keadaannya sudah sangat tidak memungkinkan sekali.
Dan mendadak ia terjungkal di tanah ketika 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Nyai Titir menghantam kedua kakinya. Posisinya sangat sulit sekali untuk melepaskan diri. Mencoba menahan setiap serangan yang datang pun tidak memungkinkan.
“Mampuslah kau, Orangtua keparat!” dengus Nyai Titir sambil melepaskan 'Pukulan Angin Manik'nya.
Sementara Nyai Priatsih dan Kuntala sudah menderu maju.
Kali ini Ki Rongsowungkul hanya bisa memejamkan mata. Untuk menghindar suatu hal yang sangat tidak mungkin sekali. Terlalu sempit posisinya.
Bahkan tenaganya sudah lenyap sama sekali.
Ia hanya bisa pasrah. Dalam hatinya, ia sudah merasa puas, karena bisa membuktikan diri untuk tidak melakukan perbuatan dosa lagi.
Namun ia justru terkejut karena terdengar teriakan dari ketiga lawannya yang bernada kaget.
Lalu tubuh masing-masing berlompatan seperti terkena serangan mendadak. Memang, beberapa senjata rahasia berupa sirip ikan layur beterbangan ke arah ketiganya.
“Bangsat! Siapa yang berani menjual muka, hah?” dengus Nyai Titir begitu hinggap di tanah.
Ia baru menyadari kalau satu sosok tubuh telah menyambar tubuh Ki Rongsowungkul dan hinggap dengan ringannya pada kuda yang sedang berlari.
Lalu digebraknya kudanya dengan kecepatan tinggi.
Tinggal ketiga orang itu yang saling mendengus sendiri.
“Bangsat! Siapa bocah perempuan yang berani ikut campur itu!” dengus Kuntala marah.
“Melihat gerakan yang dilakukannya, ilmunya cukup tinggi!” seru Nyai Priatsih marah.
“Hhh! Bila ia berani muncul kembali, akan kupatah-patahkan tubuhnya!” seru Nyai Titir. Lalu melompat ke kudanya.
“Biarkan saja mereka, kita kembali ke Gunung Kematian!” Nyai Priatsih nampak masih terdiam. Ia memandangi senjata rahasia sirip ikan layur yang dilepaskan penyerangnya semata untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Priatsih!” seru Nyai Titir.
“Kenapa kau?” Nyai Priatsih menggelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa!” Lalu melompat ke kudanya. Ia seperti mengenal senjata rahasia ikan layur ini. Namun ia lupa siapakah tokoh yang pernah menggunakan senjata rahasia serupa.
Lalu disusulnya Nyai Titir dan Kuntala yang sudah melesat dengan cepatnya ke arah Gunung Kematian.
Di wajah Nyai Titir dan Kuntala memperlihatkan wajah yang marah. Kemarahan itu sangat nampak di wajah Nyai Titir.
“Hhh! Kalau saja ia berhasil menangkap manusia itu, akan disiksanya dengan racun-racunnya yang berbisa.” Sementara itu, Nyai Priatsih masih memikirkan tentang tokoh yang pernah didengarnya memiliki senjata rahasia berupa sirip ikan layur.
Namun ia belum juga berhasil memulihkan ingatannya.

***

Sementara itu, kuda putih itu terus bergerak dengan cepatnya. Penunggangnya yang tak lain adalah Sekar Wangi mengendalikan kudanya dengan baik. Di depan tubuhnya yang menggebrak kuda, satu sosok tubuh tergolek pingsan karena keletihan.
Tadi Sekar Wangi tidak sengaja melihat pertempuran yang menurutnya sangat dahsyat dan mengerikan. Setelah berpisah dengan Pendekar Gila, ia langsung menggebrak kudanya menuju ke Gunung Kematian. Dendamnya pada Rodopalo yang telah membunuh kedua orangtuanya, semakin dalam saja.
Ia merasa tidak akan pernah tenang hidup di dunia ini sebelum melihat durjana itu mampus di tangannya.
Dan yang tak disangkanya, ketika kudanya memasuki Hutan Bawengan, ia melihat pertempuran yang sangat seru. Karena, satu orang dikeroyok tiga orang. Bila mendengar dari bentakan demi bentakan yang mereka lakukan, sepintas Sekar Wangi bisa menduga, kalau laki-laki yang berbaju putih itu sebelumnya adalah sahabat dari ketiga penyerangnya. Yang karena suatu sebab entah apa Sekar Wangi tidak tahu, terjadi perselisihan di antara mereka.
Sebagai orang yang baru muncul di rimba persilatan, sudah tentu berjumpa dengan tokoh-tokoh aneh dan ilmu-ilmu yang asing membuatnya keheranan. Selama ini, Sekar Wangi hanya menganggap kalau orang yang paling sakti adalah gurunya, Nyai Harum Tari. Ialah satu-satunya di mata Sekar Wangi yang paling tinggi kesaktiannya.
Namun pada kenyataannya, apa yang dikatakan oleh gurunya memang benar. Kalau rimba persilatan adalah dunia yang sangat kejam sekali. Banyak tokoh sakti yang bermunculan. Banyak pula tokoh-tokoh hitam dengan ilmunya yang keji dan ganas.
Kini Sekar Wangi disadarkan oleh pengalaman baru. Kalau sekarang ia tidak bisa menganggap remeh siapa pun juga. Termasuk Pendekar Gila yang ditinggalkannya.
Ah, bila teringat pemuda itu, Sekar Wangi menjadi malu sendiri. Pertama, ia dipeluk dan ditindih oleh Sena ketika sedang bertarung karena salah paham.
Kedua, ia merangkul Sena yang menangis bagai anak kecil ketika menyaksikan mayat-mayat Desa Sawo Jajar yang bergeletakan.
“Sena, Sena... mengapa ada sesuatu yang tidak wajar di hatiku?” desisnya. Sungguh, ia menyesal telah meninggalkan Pendekar Gila di Desa Sawo Jajar.
Namun ia tidak mau mengingatnya lagi.
Dipacu kudanya dengan cepat. Ia yakin, kalau lakilaki tua yang gagah ini membutuhkan pertolongan.
Seharusnya ia bisa dengan segera mencoba menyadarkan laki-laki berbaju putih ini. Namun Sekar Wangi pun tidak mau kepergok oleh orang-orang yang menyerang laki-laki tua ini.
Makanya, ia terus memacu kudanya. Melarikannya jauh-jauh dari tiga orang penyerang laki-laki berbaju putih ini tadi yang ia yakin, kalau kesaktian mereka sangat tinggi sekali.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih, ia menghentikan laju kudanya. Dengan satu gerakan ringan, ia bersalto sambil membopong tubuh Ki Rongsowungkul.
Dialirkannya tenaga dalamnya ke tubuh yang lemah itu. Namun tidak ada fungsi sama sekali. Ia mencoba melakukannya berulang-ulang, namun hasilnya tetap sama. Laki-laki tua yang gagah itu tidak bergeming sama sekali. Tetap tergolek pingsan.
Bergegas ia ke tepi sungai untuk mengambil air.
Barangkali saja dengan bantuan air yang dingin ia bisa menyadarkan laki-laki ini.
Namun baru saja ia akan mengambil air dengan daun lebar itu, terdengar bentakan yang keras, “Siapa itu yang iseng mengintip, hah?!”

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 6 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Sekar Wangi menjadi bersiaga, ia menarik keluar sepasang pedangnya dari warangkanya.
“Siapa itu?” bentaknya dengan tatapan menerawang. Kali ini perhatiannya menjadi terbagi dua.
Pertama, ia harus menyelamatkan nyawa laki-laki tua berpakaian putih itu. Kedua, ada seseorang yang ia yakin bukanlah orang yang dikenalnya.
Yang dikhawatirkannya, bila suara itu keluar dari tiga orang penyerang laki-laki berbaju putih yang sekarang sedang pingsan.
Bukannya sahutan yang terdengar, justru kekehan yang menerpa telinganya, dari atas pohon. Sekar Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang pemuda berompi kulit ular sedang cengar-cengir dengan kaki menjuntai di atas pohon itu.
Sekar Wangi mendengus.
“Sena! Bantu aku!” Bukannya turun, Pendekar Gila justru menggarukgaruk kepalanya.
“He he he... ketahuan ya, kau suka mengintip orang mandi?” Sekar Wangi sadar, kalau yang membentak itu - adalah Sena yang sedang mandi. Untungnya, ia tidak memergoki pemuda yang tentunya sedang bertelanjang bulat.
Melayani Pendekar Gila dalam suasana genting semacam ini percuma. Sekar Wangi buru-buru mengambil air dan kembali mendatangi Ki Rongsowungkul yang tergeletak di tanah.
Sena melihat semua itu dari atas. Dengan satu lentingan yang ringan, ia melompat dan hinggap di sisi Sekar Wangi yang sedang berusaha menyadarkan Ki Rongsowungkul.
“Siapa dia, Rayi?”
“Jangan banyak tanya! Bantu aku!” bentak Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya.
“Wah, wah, jadi galak lagi rupanya, si Jelita Penunggang Kuda ini.” Lalu ia membungkuk dan memeriksa tubuh Ki Rongsowungkul. Sesaat kemudian ia berdecak kagum.
“Hebat, meskipun tubuhnya sudah renta seperti ini, namun ia memiliki kekuatan yang tinggi.
Berarti tenaga dalamnya cukup tinggi. Kalau tidak, ia akan langsung mampus terkena pukulan sakti seperti ini. Lihat, di dadanya ada bekas telapak tangan.”
“Kenapa dia tidak mau siuman juga, Kakang?” Sena nyengir.
“He he he... ceritakan apa yang terjadi, aku akan mencoba menyadarkannya...” Sementara Sekar Wangi bercerita tentang laki-laki berjanggut putih ini, Sena berusaha mengalirkan tenaga dalamnya. Bekas 'Pukulan Angin Manik' Nyai Titir perlahan-lahan menghilang, bersamaan Sekar Wangi selesai bercerita.
“Sepintas, aku hanya mengetahui namanya, Ki Rongsowungkul,” kata Sekar Wangi mengakhiri ceritanya.
Sena menutup kembali pakaian yang dikenakan Ki Rongsowungkul. Ia mengangkat tubuhnya, mendudukkannya dengan kaki selonjor ke depan.
Mendadak ia menotok di beberapa bagian tubuh Ki Rongsowungkul. Lalu terdengar gagah itu terbatukbatuk dan... huak! Tuak yang telah mengisi perutnya, terbuang sebagian. Perlahan-lahan Ki Rongsowungkul merasa- kan kepalanya berdenyut. Dan perlahan-lahan pula ia membuka matanya.
Begitu melihat ada dua sosok tubuh di dekatnya, mendadak ia melompat ke belakang.
“Hei!” seru Pendekar Gila.
“Kau masih lemah, Orangtua!” Apa yang diserukan Sena terbukti, karena Ki Rongsowungkul bukannya hinggap di tanah dengan ringannya, ia justru terpelanting dan ambruk.
Sena memburu sambil ngomel-ngomel.
“Bandel!” dengusnya, sementara Ki Rongsowungkul sudah jatuh pingsan lagi. Sena memeriksa lagi tubuh itu.
Lalu katanya pada Sekar Wangi, “He he he... orangtua ini memang bandel. Sudah ketahuan sedang terluka dalam, mencoba menyerang juga. Rayi... tolong kaujaga dia, aku hendak mencari buah-buahan. He he he... bukan dia saja yang lapar tentunya, perutku sendiri sudah kekuruyukan. Kau mau, Rayi?” Sekar Wangi cuma mengangguk saja. Ia geli melihat sikap Sena yang lucu seperti itu. Lalu Sena berkelebat memasuki hutan untuk mencari buahbuahan. Sedangkan Sekar Wangi, membopong tubuh Ki Rongsowungkul ke balik semak. Sementara si Putih sudah asyik memakan rumput.
Tak lama kemudian Pendekar Gila sudah kembali dengan buah-buahan yang banyak.
“He he he... kita makan enak sekarang. Seperti orang di kadipaten atau pun di keraton yang suka makan enak... Mari, Rayi...
Keduanya pun memakan buah-buahan itu. Sekar Wangi entah mengapa merasakan dirinya sudah semakin akrab dengan Pendekar Gila. Padahal, baru beberapa hari ia bertemu dengan Pendekar Gila.
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk, keduanya segera melompat ke arah Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang tidak ingin kalau Ki Rongsowungkul membuat gerakan lagi, segera berkata pelan, “Ki...
jangan takut, kami orang baik-baik....” Ki Rongsowungkul membuka matanya. Baru kali ini ia mendengar suara yang sangat merdu menerpa telinganya. Ia melihat seorang gadis jelita sedang tersenyum padanya. Sementara di sisi gadis itu, dilihatnya seorang pemuda yang berompi kulit ular sedang menggaruk-garuk kepalanya sambil cengarcengir.
“Oh!” desisnya bagai keluhan.
Sekar Wangi membantu Ki Rongsowungkul untuk bangkit, menyandar di sebatang pohon. Ki Rongsowungkul menghela nafas panjang. Terbayang bagaimana pertempurannya dengan sahabat-sahabatnya sendiri karena ia menolak untuk bergabung dengan mereka. Ah, bukankah saat itu ia sudah dalam keadaan terjepit, terjebak dalam lingkaran serangan yang dilakukan sahabatnya yang telah menjadi lawannya? Diingatnya pula kalau satu sosok tubuh menyambar tubuhnya. Hanya itu yang diingatnya, karena setelah itu ia jatuh pingsan.
“Sia... siapakah kalian?” tanyanya terbata. Sekar Wangi tersenyum.
“Namaku Sekar Wangi.” Sena terkekeh.
“Kalau aku... Sena. Siapakah kau, “Oh, namaku Ki Rongsowungkul. Orang lebih mengenal julukanku, si Tua Penghuni Gunung Karang.”
“Siapakah orang yang bertempur denganmu, Ki?” tanya Sekar Wangi.
“Oh! Mereka... mereka adalah sahabat-sahabatku....” Kali ini kening Sekar Wangi berkerut, sementara Sena cuma terkekeh saja sambil memakan terus buah-buahan yang dipetiknya di hutan tadi.
“Kalau memang kalian bersahabat, mengapa harus saling tempur, Ki?” Ki Rongsowungkul menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
“Begitulah, karena aku menolak untuk bergabung dengan mereka, sehingga akhirnya aku harus dimusnahkan....” Sena cengengesan sambil berkata, “Ki... he he he... apakah ada orang yang bernama Rodopalo di sana?”
“Oh! Ada! Ia murid dari Nyai Titir, sekaligus pimpinan Gerombolan Iblis dari Pacitan.”
“Bisakah Ki Rongsowungkul memberikan gambaran jalan yang tepat untuk menuju ke Gunung Kematian?” tanya Sena pula, kali ini sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Mau apa kau, Anak muda?”
“He he he... mereka telah membunuh sahabatsahabatku di Desa Sawo Jajar. Aku harus menuntut balas atas kematian mereka, di samping aku sendiri hendak memusnahkan gerombolan mereka...,” sahut Sena.
Ki Rongsowungkul menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak muda yang nampaknya gila ini hanya bermaksud untuk mencari mati saja. Menghadapi Empat Malaikat Kahyangan yang kini menjadi tiga dan bersa-tupadu, haruslah orang yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Hanya Singo Edan-lah yang mampu mengalahkan mereka. Mungkin juga...
muridnya. Tetapi di manakah muridnya sekarang ini? “Anak muda... mereka terdiri dari orang-orang yang tinggi ilmunya. Bukan maksudku untuk melarangmu ke sana, tetapi berpikirlah sebelum semuanya terlambat,” kata Ki Rongsowungkul sambil menerima buah yang disodorkan .Sekar Wangi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya.
“He he he... aku memang tidak boleh sombong.
Guru bisa marah besar kalau tahu aku sombong...
tetapi aku tidak sombong. Karena, Guru yang memerintahkan aku untuk membasmi setiap kejahatan... he he he... Guru, Guru... aku jadi rindu padamu....” Ki Rongsowungkul kali ini mengerutkan keningnya.
Bila melihat caranya berbicara, sudah jelas pemuda ini gila. Tetapi bila mendengarkan dengan seksama, kata-katanya sangat terarah. Dan mendadak hatinya berdebar keras.
“Anak muda... siapakah gurumu itu dan di mana ia bermukim?” tanyanya hati-hati.
“He he he... guruku adalah seorang pendekar sakti yang mengundurkan diri.... Namanya... Singo Edan...”
“Oh, Tuhan!”
“... ia bermukim di Gua Setan.” Jantung Ki Rongsowungkul seolah berhenti berdetak. Sejurus kemudian ia terbahak-bahak.
Ha ha ha... rupanya engkaulah pemuda yang telah menggagalkan aksi Gerombolan Iblis dari Pacitan ke Desa Sawo Jajar. Bagus, bagus... Nyai Titir pasti kebingungan bila engkau muncul... ha ha ha...
Maafkan aku, Anak muda... aku tidak tahu kalau engkaulah Pendekar Gila yang diceritakan Nyai Titir....” Bukannya bangga dipuji seperti itu, Sena Manggala justru menggaruk-garukkan kepalanya.
“Memangnya kenapa dengan namaku? Semua orang sepertinya kaget bila mengetahui kalau akulah si Pendekar Gila....”
“Karena, engkaulah pendekar pembela kebenaran...” Suasana tidak lagi tegang seperti tadi. Ki Rongsowungkul yang memang tidak suka dengan rencana Nyai Titir semakin bersemangat saja. Ia pun bertekad untuk menghancurkan rencana Nyai Titir berikut gerombolannya.
Lalu diceritakannya tentang kelemahan dari Nyai Titir, Kuntala si Kipas Maut dan Nyai Priatsih si Tongkat Iblis.
“Merekalah orang-orang yang menjadi pentolan dari Gerombolan Iblis dari Pacitan. Sayangnya, aku tidak tahu tentang ilmu Rodopalo. Namun yang kuduga, pasti tidak jauh berbeda dengan Nyai Titir.
Karena ia adalah muridnya. Meskipun kalian sudah mengetahui letak kelemahan dari ilmu mereka, bukan berarti mereka mudah untuk ditaklukkan. Masih ada ajian yang sangat sakti yang mereka miliki...”
“Apa itu, Ki?” tanya Sekar Wangi serius.
“Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan'.”
“Oh, katamu... kau pun termasuk salah seorang dari mereka ?”
“Benar.”
“Apakah ajian itu masih ampuh tanpa dirimu?”
“Kemungkinannya sangat tipis untuk mengatakan masih sangat ampuh. Karena ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' merupakan penguncian gerak empat penjuru. Tetapi jangan lupa... masih ada Rodopalo yang akan mengisi tempatku....”
“Maksudmu Ki... mereka akan melatihnya?” tanya Sekar Wangi pula.
“Kemungkinan itu ada,” sahut Ki Rongsowungkul sambil menganggukkan kepalanya.
“Kalau Rodopalo mampu menerima ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' dan mampu mengisi kekosongan penjuru utara di mana biasanya aku yang mengisi, sudah tentu ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' tidak akan bisa dikalahkan. Tetapi yang bisa kuharapkan saat ini, kalau Rodopalo tidak bisa menerima dengan sempurna jurus-jurus rahasia dari Empat Malaikat Kahyangan. Berarti, yang harus kita cecar dan jatuhkan, adalah Rodopalo yang mengisi bagian mata angin, utara.” Suasana hening, hanya Pendekar Gila yang nampaknya acuh tak acuh. Ia tengah mengelap mulutnya yang baru saja memakan buah-buahan lagi.
Kali ini perutnya sudah kenyang.
“He he he... aku mengantuk....”
“Kang Sena!” dengus Sekar Wangi sebal.
“Wah, wah... kenapa, Rayi Sekar?”
“Kau ini bagaimana, kita sedang membicarakan bagaimana caranya untuk menghancurkan Gerombolan Iblis dari Pacitan, tetapi kau enak saja mau tidur...”
“He he he... si Jelita Penunggang Kuda tertawa lagi...,” kata Sena tidak jadi berbaring.
“Karena kau cantik dan aku senang melihatmu... aku tidak jadi mengantuk.” Sekar Wangi mendengus sebal karena merasa dipermainkan. Sementara Ki Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa. Diam-diam ia mampu menebak perasaan hati Sekar Wangi. Bentakannya tadi gemetar dan mengandung kasih sayang yang tak bisa dipungkiri dari pendengaran Ki Rongsowungkul.
Hanya sikap Pendekar Gila saja yang acuh tak acuh. Seperti sifatnya. Diam-diam Ki Rongsowungkul teringat bagaimana sifat Singo Edan. Tidak jauh berbeda dari sifat Singo Edan! “Sudahlah... kita tidak usah bertengkar,” katanya berlagak tidak tahu tentang perasaan Sekar Wangi “Kita memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar tenaga kita pulih kembali dan pikiran kita menjadi jernih. Terutama bagiku sendiri yang untuk memulihkan semuanya kembali. Dan menurut hematku, lebih cepat menyerang ke Gunung Kematian, kita akan mendapatkan satu keuntungan.
Karena, ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang akan segera diturunkan kepada Rodopalo akan semakin singkat waktunya. Sehingga ia tidak bisa memilikinya dengan sempurna.
“ Pendekar Gila nyengir pada Sekar Wangi yang cemberut.
“He he he... tidur dulu, kan?” katanya sambil merebahkan tubuhnya.
Sekar Wangi hanya terdiam. Huh! Berkali-kali Pendekar Gila mempermainkannya. Tetapi entah mengapa ia sangat menyukai pemuda yang bertingkah laku mirip orang gila itu. Meskipun begitu, Sekar Wangi mempunyai rencana yang lain.

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 7 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Apa yang diperkirakan Ki Rongsowungkul ternyata benar. Setelah disepakati, Nyai Titir pun mengajarkan ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' pada Rodopalo.
Dibantu oleh Nyai Priatsih dan Kuntala. Mereka bermaksud mengisi kekosongan di penjuru utara yang biasanya dipegang oleh Ki Rongsowungkul.
Sekarang, Ki Rongsowungkul telah menolak kerja sama dengan mereka. Hal itu sudah tentu membuat mereka marah. Setiap saat mereka selalu membicarakan siapakah gerangan orang yang telah menolong Ki Rongsowungkul dari kematian. Hal itu tidak bisa mereka biarkan. Biar bagaimana pun juga, satu-satunya orang yang mengetahui titik lemah dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' adalah Ki Rongsowungkul.
Hanya Nyai Priatsih yang sekali-sekali kelihatan mengerutkan keningnya. Bukan apa-apa, ia merasa pasti kalau ia pernah mengenali senjata rahasia sirip ikan layur ini. Namun sialnya, sampai saat ini ia belum bisa menemukan dengan jelas, siapakah tokoh yang pemah mempergunakan senjata rahasia itu.
Lalu untuk mengalihkan perhatiannya, ia pun turut menggembleng Rodopalo.
Jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' sebenarnya tidak bisa dilakukan dengan secepat ini. Namun, ketiganya bersikeras agar Rodopalo berhasil mengisi kekosongan di penjuru utara. Paling tidak, bisa pula merangkaikan setiap gerakan dari jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'.
“Bagus, Rodo!” seru Nyai Titir pada muridnya.
“Tetapi langkahmu kurang cepat. Ajian pamungkas dari Empat Malaikat Kahyangan yang sekaligus nama dari ajian itu, saling tutup menutupi setiap kelemahan. Bagian utara menutupi bagian timur.
Begitu seterusnya. Timur ke selatan, selatan ke barat.
Bisa pula timur langsung ke barat.
Sehingga masing-masing bisa berkutat dalam kebersamaan. Dan tidak ada sedikit pun celah bagi lawan untuk menjatuhkan. Apalagi untuk menjatuhkan, menyerang saja suatu hal yang sangat mustahil.
Kau harus mempercepat langkahmu, Rodo.”
“Baik, Nyai Guru...” Rodopalo mengulangi lagi jurus yang barusan diajarkan oleh Nyai Titir, bergantian lalu yang mengajarkan Nyai Priatsih dan Kuntala. Ada kesombongan tersendiri di hati Rodopalo. Secara tidak langsung, ia pun masuk pada jajaran Empat Malaikat Kahyangan. Bahkan menggantikan kedudukan dari Ki Rongsowungkul.
Hanya saja, di hadapan gurunya, ia masih rada sungkan. Padahal ia sangat jengkel dengan cara mengajar yang diperlihatkan oleh Kuntala si Kipas Maut. Yang seringkah membentak-bentaknya bila ia melakukan kesalahan.
“Titir! Apakah kau tidak salah memilih murid yang bodoh seperti ini?” bentak Kuntala ketika melihat tubuh Rodopalo yang hinggap di tanah setelah melenting bersalto dalam keadaan renggang.
“Gila! Kalau ia terus menerus merenggangkan kedua kakinya, sudah bisa dipastikan langkah dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' akan kecolongan.
Berulangkah aku melihatnya melakukan seperti itu.
Ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Rodo, kau harus paham! Bila kau memang cerdas, hanya sekali diberitahu pasti kau akan mengerti! Bila kau masih merenggangkan pula kedua kakimu setiap kali bersalto dan mencoba menutupi celah, maka lawan akan dapat menyerang kita! Bahkan bisa pula menjatuhkan! Apalagi bila yang menghadapinya adalah Ki Rongsowungkul!” Rodopalo menggeram dalam hati. Ia benar-benar muak dengan laki-laki setengah baya namun wajahnya tampan itu. Dalam hatinya ia bertekad, bila ada kesempatan ia akan menghajar adat.
Tetapi karena sekarang ada gurunya, ia menjadi segan sendiri. Paling tidak, ia menaruh hormat pada Nyai Titir.
“Tidak usah tegang, Kuntala. Maklum, muridku belum mengenal ajian 'Empat Malaikat Kahyangan',” sahut Nyai Titir yang juga melihat celah yang dilakukan oleh Rodopalo. Paling tidak, sekarang ini ia tidak ingin ada keributan di antara mereka. Ia tahu Kuntala sangat panasan. Begitu pula dengan muridnya, yang paling pantang dihina.
“Tetapi kita mengejar waktu. Bila Ki Rongsowungkul masih hidup dan membocorkan rahasia kelemahan dari ajian 'Empat Malaikat Kahyangan', kita bisa kocar-kacir!” seru Kuntala dengan sewot.
“Kita masih memiliki ilmu yang sangat hebat yang kita punyai masing-masing!”
“Tetapi jurus pamungkas kita adalah jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Bila yang kita hadapi Ki Rongsowungkul sudah bisa dipastikan kita akan kacau-balau. Jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita ciptakan bersama, bukannya jurus milik kita sendiri. Jurus itu tidak akan pernah bisa dilakukan bila hanya beberapa orang yang melakukan!”
“Tetapi percayalah, muridku mampu melakukannya!”
“Hhh!” Kuntala mendengus.
“Bila melihat kenyataan yang dilakukannya seperti itu, sudah bisa dipastikan kita akan runtuh diserang oleh Ki Rongsowungkul!”
“Kuntala!” seru Nyai Titir dengan geram. Sebagai guru dari Rodopalo ia merasa diinjak-injak harga dirinya.
“Kau seolah sangat meremehkan muridku!” Kuntala terbahak-bahak.
“Titir! Yang kita hadapi sekarang adalah Ki Rongsowungkul, Si Tua Penghuni Gunung Karang.
Lalu Pendekar Gila yang sampai sekarang belum kita ketahui batang hidungnya! Seperti dugaanmu, Pendekar Gila yang muncul bukanlah Singo Edan yang sudah mengasingkan diri di Gua Setan! Tetapi muridnya, yang sudah tentu memiliki ilmu yang setingkat dengannya! Lalu... penolong Ki Rongsowungkul yang hingga sekarang belum kita ketahui!” Nyai Titir membuka kedua kakinya.
“Sikapmu terlalu pengecut, Kuntala!” serunya yang menjadi jengkel karena dibentak dan diejek terusmenerus.
Melihat gurunya seperti memberi angin, Rodopalo melompat ke depan.
“Nyai Guru... bila diperkenankan, saya menghendaki untuk meminta pelajaran dari si Kipas Maut.” Mendengar kata-kata itu, Kuntala terbahak-bahak.
Sementara Nyai Titir yang tidak ingin rencananya jadi kacau-balau, menolak permintaan Rodopalo.
“Tidak. Kita kalangan sendiri, untuk apa saling mencoba?” katanya.
Sedangkan Kuntala semakin terbahak-bahak.
“Biarkan saja dia, Titir! Barangkali ia tidak puas dengan kehadiranku di sini!”
“Tidak! Kita harus bersatu padu. Ajian 'Empat Malaikat Kahyangan' yang kita percayai pada Rodopalo belum berhasil diselesaikan dengan sempurna,” kata Nyai Titir.
Rodopalo yang sejak tadi tidak menyukai Kuntala, segera berkata dengan congkaknya, “Nyai Guru... aku ingin sekali meminta pelajaran dari si Kipas Maut.” Belum lagi ia meminta persetujuan dari Nyai Titir, Rodopalo yang memang keras kepala dan kejam, sudah merangsek masuk dengan 'Pukulan Angin Manik'nya.
Kuntala melompat sambil tertawa.
“Rupanya jurus pamungkas milikmu itu sudah dikuasainya pula. Bagus sekali, Titir!” desisnya sambil membuka kipasnya. Lalu diayunkannya kipasnya dengan gerakan berlawanan arah jarum jam. Dengan cara seperti itu, 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Rodopalo, jadi melenceng arahnya.
Melihat lawannya mengetahui kelemahan jurus 'Pukulan Angin Manik' Rodopalo mengubah serangannya. Sudah tentu Kuntala sangat mengenal sekali pukulan itu. Bahkan ia tahu titik kelemahannya.
Hanya Rodopalo yang tidak mengerti adat.
Ia terus merangsek maju dengan seranganserangan yang ganas. Ajian 'Tangan Dewa' pun dikeluarkannya. Setiap kali ia memukul, terasa hawa panas menderu. Kuntala sedikit terkesiap, ketika ia mengayunkan kipasnya, justru hawa panas yang menerpanya, sehingga pukulannya melenceng.
“Ha ha ha... kita seri sekarang!” seru Rodopalo sambil terus menyerang. Pertarungan itu pun semakin seni. Semakin terlihat kalau keduanya sangat bernafsu untuk menjatuhkan lawan. Lebih- lebih pada Rodopalo yang memang sangat jengkel pada Kuntala. Sehingga setiap serangannya terasa sekali, kalau ia ingin menjatuhkan si Kipas Maut.
Sementara si Kipas Maut pun tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran serangan Rodopalo. Ia pun menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rodopalo dengan gerakan-gerakan yang cepat dan tangkas.
Disusul dengan setiap serangan yang merangsek masuk.
Dari pertarungan itu, terlihat kalau Kuntala sebenarnya berada di atas angin. Dari segi kesaktian, keduanya seimbang. Tetapi dari segi pengalaman, Kuntala yang sudah memakan asam garam kehidupan ini, lebih bisa menguasai jalannya pertarungan itu.
Sampai suatu ketika, keduanya sama-sama bersalto ke belakang, lalu hinggap dengan kesiagaan penuh. Masing-masing rupanya memang ingin membuktikan dirinyalah yang lebih baik di antara keduanya.
Rodopalo segera menyiapkan diri dengan jurus pamungkasnya, 'Angin Manik Menghancurkan Gunung'. Suatu rangkaian jurus yang mengerikan.
Karena, angin yang keluar dari setiap serangannya, bukan hanya mampu membuat lawan keder, tetapi mampu menerbangkan iawan dengan tubuh yang hancur.
Sementara Kuntala mengeluarkan ajian, 'Kipas Mengusir Kabut'. Suatu jurus pamungkas dari jurus kipasnya, yang sanggup pula menerbangkan seekor gajah.
Nyai Priatsih hanya terdiam dengan wajah tegang.
Sementara Nyai Titir segera melompat ke tengahtengah keduanya. Tangannya terentang. Ia sangat mengenal jurus keduanya. Jurus Rodopalo, adalah jurus ciptaannya. Sementara jurus yang diperlihatkan si Kipas Maut, sangat dikenalnya karena mereka telah bertahun-tahun bersama.
“Hentikan pertarungan yang tak ada gunanya ini! Sesama orang sendiri, lebih baik kita menjalin kesiagaan bersama!” serunya.
Rodopalo merandek.
“Nyai Guru, seperti kukatakan tadi... aku ingin meminta pelajaran dari si Kipas Maut!” Meskipun berkata hanya 'meminta pelajaran saja' tetapi di balik semua itu, ada nafsu untuk menjatuhkan Kuntala di hati Rodopalo. Bahkan kalau bisa, menghancurkannya sekalian. Selama ini Rodopalo tidak pernah diejek sekali pun. Bahkan oleh gurunya sendiri.
Tetapi si Kipas Maut sudah mencorengkan amarah di hatinya. Dan ia tidak bisa membiarkannya begitu saja! Kuntala terbahak-bahak.
“Rupanya, meskipun namamu ditakuti orang sebagai begundal yang kejam, tetapi kau masih harus banyak belajar, Rodopalo!” seru Kuntala sambil terbahak-bahak.
“Diam kau!” bentak Rodopalo. Kedua tangannya berputar ke atas, lalu merangkum menjadi satu di dada.
“Tahan, Rodo!” bentak Nyai Titir.
“Sekarang bukan saatnya untuk menunjukkan kepandaian! Kita sesama teman, seharusnya saling menghormati!”
“Tapi, Guru....”
“Rodo!” suara Nyai Titir menggelegar.
Seganas apa pun, sekejam siapa pun, Nyai Titir adalah orang yang sangat dihormati Rodopalo. Ia tidak berani membantah perintahnya. Hanya tatapannya saja yang memancarkan sinar amarah dan dendam pada Kuntala.
Kuntala sendiri terbahak-bahak.
“Untungnya, gurumu sendiri yang turun tangan, Anak ingusan! Kalau tidak, kau akan mampus berkeping-keping!” Panas sekali telinga Rodopalo mendengar katakata itu. Namun lagi-lagi ia tidak bisa berbuat apaapa. Dengan menahan amarahnya, ia melangkah ke luar.
“Rodo! Kau masih harus menguasai jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'!” seru Nyai Titir.
“Persetan dengan semua itu, Nyai Guru!” serunya sambil melangkah ke ruangan besar dalam bangunan itu. Tangannya bertepuk tiga kali. Seorang anak buahnya muncul dengan tergopoh-gopoh.
“Ampun, Ketua. Ada keperluan apa?” tanyanya sambil menjura.
“Bawa ke kamarku tawanan-tawanan wanita itu! Lekas!” serunya keras dan langsung masuk ke kamarnya. Ia sangat tidak puas dengan sikap gurunya. Rodopalo yakin, ia dapat menghancurkan Kuntala dengan jurus pamungkasnya.
Terdengar suara dari luar, diselingi dengan jeritan tertahan dari tiga orang wanita, “Ketua... kami datang.” Yang mengenaskan, justru nasib tiga wanita itu.
Mereka dijadikan sebagai pelampiasan amarah Rodopalo. Diperkosa bergantian, dengan kedua tangan dan kaki diikat di pembaringan. Setelah puas memperkosa ketiganya, dengan ganasnya Rodopalo menghantam kepala ketiganya dengan 'Angin Manik Menghancurkan Gunung'.
Seketika kepala ketiga gadis itu hancur menjadi debu.
“Singkirkan kotoran ini!” serunya dan melangkah kembali ke ruangan di mana Nyai Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala berada.
“Kita lanjutkan pelajaran tadi! Ki Kuntala... aku minta maaf atas kelancanganku itu!” Kuntala terbahak-bahak.
“Aku justru kagum dengan kekejamanmu! Kau tahu Rodo, dulu, beberapa tahun yang lalu, kekejamanku pun seperti kau!” Entah gembira atau tidak mendengar pujian itu, yang pasti Rodopalo tersenyum.
Mereka pun kembali melanjutkan jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'. Rodopalo kali ini terlihat sangat keras kemauannya. Ia tidak peduli lagi bila si Kipas Maut membentak atau menyalahkannya. Yang terpenting sekarang, menyusun kekuatan kebersamaan mereka. Karena, ia pun akan termasuk dalam Empat Malaikat Kahyangan!

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 8 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Ki Rongsowungkul terbahak-bahak melihat sikap Pendekar Gila yang uring-uringan dan ngomel-ngomel sendiri. Sebabnya, ketika mereka bangun dari tidur tadi, keduanya tidak melihat Sekar Wangi berada di sana.
Sena sudah mencarinya berkeliling di sekitar sungai itu, tetapi si Jelita Penunggang Kuda tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
“Brengsek! Brengsek!” seru Pendekar Gila sambil membanting-banting kakinya.
“Kita lagi enak tidur, dia menghilang begitu saja!”
“Kau sudah mencarinya?” tanya Ki Rongsowungkul sambil menahan tawa.
“Ke mana-mana aku sudah mencari! Tetapi... wah, wah... si Jelita Penunggang Kuda sudah tidak ada! Gawat, ini gawat!” Sena masih uring-uringan.
“Apanya yang gawat?”
“Pasti, pasti dia ke Gunung Kematian,” kata Sena yang kemudian terkekeh.
“He he he... dia memang keras kepala. Kepala keras. Tetapi... dia cantik.
Bukan begitu, Ki?” Ki Rongsowungkul hanya mengangguk saja melihat Sena yang nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. Tadi ia marah-marah, sekarang malah tertawa tawa.
“Ia memang sangat jelita. Kau pantas mendapatkannya, Sena,” kata Ki Rongsowungkul bersungguhsungguh.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya lagi.
“Wah, wah... bisa gawat. Runyam. Edan. Kalau aku mendapatkan gadis pemarah seperti itu.”
“Tetapi ia cantik, bukan?”
“He he he... ia sangat cantik bahkan. Sayang... he he he galak, dia galak sekali.” Ki Rongsowungkul sadar, berbicara mengenai gadis itu pada Sena adalah sesuatu yang percuma.
“Kalau memang menurut dugaanmu itu ke Gunung Kematian, mengapa kita tidak segera ke sana saja?” ajak Ki Rongsowungkul.
Sena nyengir kuda.
“Kau benar, Ki... he he he... ayo, kita musnahkan Gerombolan Iblis dari Pacitan itu!” Ki Rongsowungkul kembali tertawa.
“Kita mulai!” Lalu tubuhnya melesat dengan cepat, mempergunakan ilmu lari 'Bayu Gunung Karang'.
Sena cuma terkekeh saja, lalu segera menyusul dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'.
Ki Rongsowungkul yang semula ingin melihat kepandaian ilmu lari dan meringankan rubuh Pendekar Gila, cukup terkejut pula. Karena, dengan sekali berkelebat Pendekar Gila sudah mensejajarkan diri dengannya.
Diam-diam ia semakin kagum dengan Pendekar Gila, hanya sayang... masih muda sudah gila.

***

Sementara itu, apa yang diduga oleh Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul memang benar. Karena saat ini, Sekar Wangi dengan sembunyi-sembunyi sedang mengintai di sekitar Gunung Kematian. Ia melihat penjagaan sangat ketat sekali.
Untuk memasuki Gunung Kematian, harus melewati jalan setapak yang dijaga oleh beberapa orang yang bertampang garang dan bengis. Di tangan mereka ada sebilah golok yang sangat tajam dan siap dikibaskan pada orang yang tak dikenal.
“Hhh! Kalau begini caranya... aku harus nekat Paling tidak, aku harus bisa membalaskan sakit hatiku pada Rodopalo!” dengus Sekar Wangi, lalu dengan diam-diam diambilnya kantung senjata rahasianya yang ia sampirkan pada punggung kudanya. Kantung itu ia ikatkan di pinggang.
Dengan satu gerakan yang sangat terlatih, senjata rahasia berbentuk sirip ikan layur yang berbisa itu dilemparkannya. Empat tubuh ambruk ke tanah tanpa sempat berteriak.
Sekar Wangi segera menyelinap. Si Putih ia tambatkan di hutan kecil yang ada di sana. Dengan perlahan-lahan dan kesiagaan yang penuh ia memperhatikan lagi sekelilingnya.
Dua orang penjaga lewat, dan langsung ambruk termakan senjata rahasianya.
“Hhh! Kalau begini terus menerus, senjata rahasiaku bisa habis!” dengusnya.
Suasana dingin dan sunyi di Gunung Kematian sangat dirasakan oleh Sekar Wangi. Ilalang tumbuh tinggi. Pepohonan menambah keseraman suasana di sana.
Tetapi tekad di hatinya sudah bulat. Ia harus menemui Rodopalo dan membalas kematian kedua orang tuanya. Karena bagi Sekar Wangi, ia tidak akan pernah tenang bila orang itu masih hidup.
Sekar Wangi memperhatikan sekelilingnya lagi. Di kejauhan ia melihat sebuah bangunan besar di dekat Gunung Kematian. Bangunan itu tak ubahnya sebuah kediaman seorang raja. Di depan bangunan itu ada sebuah pintu yang tinggi terbuat dari kayu jati. Dan terlihat lima orang berpakaian hijau lumut tengah berdiri di sana.
“Monyet busuk!” maki Sekar Wangi begitu melihat betapa susahnya ia untuk menerobos masuk.
Penjagaan sangat ketat sekali. Bahkan sebelum ia bisa mencapai pintu itu, ia harus melewati sebuah penjagaan yang telah berdiri tiga orang di sana.
Lagi Sekar Wangi mengendap-endap. Dan dengan cepatnya dilemparkannya senjata rahasianya kembali. Tiga orang itu pun ambruk tanpa sempat menjerit.
Kini sasaran selanjutnya mendekati pintu gerbang besar itu. Sekar Wangi yakin, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Namun tekad yang bulat telah tertanam di hatinya, ia harus bisa membunuh Rodopalo.
Sebenarnya, Sekar Wangi tidak ingin meninggalkan Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul. Hanya saja dendam di hatinya sudah tidak bisa dibendung lagi untuk membunuh Rodopalo. Makanya, selagi keduanya tidur, ia pun segera pergi ke Gunung Kematian.
Sekar Wangi mengendap-endap perlahan. Malang, kakinya menginjak sebatang ranting yang kering.
Krakkk! “Siapa itu?” salah seorang yang menjaga di pintu gerbang itu segera membentak, disusul dengan gerakan tubuh berlarian ke arah Sekar Wangi.
Tidak ada jalan lain lagi sekarang selain menampakkan diri. Sekar Wangi muncul sambil mendengus. Melihat yang muncul seorang gadis, lima orang itu terbahak-bahak saling berpandangan.
“Rupanya seekor kelinci manis yang muncul,” kata salah seorang. Ia bernama Koro.
“Hei, Gadis manis...
bukan begitu caranya untuk menjadi selir dari ketua kami. Kau harus berdandan lebih cantik dan datang secara baik-baik. Tetapi... ha ha ha... kau sudah sangat cantik. Ketua pasti suka denganmu.” Menggigil menahan marah Sekar Wangi mendengar kata-kata yang jijik itu. Dengan cepat sambil menggeram, dilemparkannya senjata rahasianya pada Koro yang menjerit dan ambruk. Nyawanya melayang seketika.
Melihat hal itu, keempat kawannya menjadi murka. Mereka segera mengurung Sekar Wangi yang memang tidak ada jalan lain kecuali menghadapi mereka. Ia menyesali kecerobohannya tadi, mengapa sampai menginjak ranting yang kering.
“Keparat!” Memaki salah seorang sambil menggerakkan goloknya ke arah Sekar Wangi, yang langsung menghindar dan ketika hinggap di tanah di tangannya sudah tergenggam pedangnya.
“Hhh! Anjing-anjing Rodopalo, lebih baik kalian mampus saja!” Lalu dengan jurus 'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin' Sekar Wangi mengobrak-abrik pertahanan lawannya. Rupanya keempat penjaga itu bukanlah tandingan Sekar Wangi, karena dengan sekali sentak saja kepala keempatnya telah menggelinding.
Namun pertarungan singkat itu telah memancing perhatian orang-orang di dalam bangunan itu. Dua puluh orang dengan serentak keluar dengan golok di tangan.
Melihat teman-teman mereka yang sudah mampus itu, mereka menjadi marah. Sambil berteriak-teriak mereka mengurung Sekar Wangi yang semakin waspada. Namun ia senang dengan kejadian ini, karena paling tidak, akan terpancing pula Rodopalo untuk muncul.
“Tangkap gadis setan itu!”
“Cincang saja! Bunuh!”
“Kita perkosa beramai-ramai!” Seruan-seruan itu terdengar keras, disusul dengan serangan yang dilakukan serempak pada Sekar Wangi yang kembali memainkan jurus 'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'. Jurus itu memang sangat dahsyat. Benar-benar menguasai empat penjuru mata angin. Setiap kali pedangnya berkelebat, maka satu nyawa pun meregang. Tetapi mereka bukannya bertambah ngeri melihat ngamuknya Sekar Wangi. Mereka justru bertambah nekat untuk menaklukkan Sekar Wangi, bahkan jumlah mereka semakin banyak.
“Hayo, maju kalian semua! Biar mampus!” seru Sekar Wangi sambil menerjang. ke sana-kemari.
Gerakannya benar-benar menguasai empat penjuru angin, membuat orang-orang itu menjadi kocar-kacir.
“Panggil keluar Rodopalo biadab! Biar ia berkenalan dengan Sekar Wangi!” Orang-orang berpakaian hijau itu semakin berusaha untuk menutup gerakan Sekar Wangi. Namun bagi Sekar Wangi yang benar-benar sudah menguasai jalannya pertarungan, malah semakin enak saja menyabetkan pedangnya ke sana-kemari.
Korban yang jatuh sudah tidak bisa dihitung.
Namun mendadak saja terdengar teriakan keras, “Mundur kalian semua!” Serentak orang-orang yang menyerang Sekar Wangi mundur, membentuk lingkaran mengurung Sekar Wangi. Sekar Wangi dapat melihat siapa yang membentak itu. Seorang laki-laki tinggi besar dengan wajah yang seram dan kalung tengkorak di dada! Di sisi laki-laki itu berdiri tiga sosok tubuh yang menatap angker ke arahnya. Mereka tak lain dari Nyai Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala. Sungguh, mereka sangat terkejut sekali begitu mengetahui siapa yang tengah membuat onar.
Rodopalo terbahak-bahak.
“Rupanya gadis jelita yang datang ke tempatku.
Hmm... mengapa kita harus bersilang sengketa, Manis? Bukankah kau bisa datang secara baik-baik?”
“Cuih!” Sekar Wangi membuang ludah dengan kemuakan yang nampak.
“Anjing keparat! Kaukah Rodopalo?” Mendengar kata-kata itu Rodopalo semakin terbahak-bahak.
“Tentu, tentu, Manis... akulah Rodopalo!” Dada Sekar Wangi membuncah menahan geramnya. Kedua tangannya yang memegang pedang bergetar.
“Rodopalo... ingatkah kau. . peristiwa tujuh belas tahun yang lalu?” katanya dengan suara bergetar pula.
“Hmm, masalah apakah gerangan, Manis?”
“Bangsat! Kau telah menghancurkan sebuah desa di Laut Kidul. Lalu kau membunuh seorang laki-laki yang bernama Abimanyu. Dan kau membunuh pula istrinya yang bernama Lestari. Kau ingat itu, Anjing buduk?” Rodopalo terbahak-bahak.
“Sudah sangat banyak manusia yang mati di tanganku. Ha ha ha... segelintir manusia tak akan mungkin bisa kukenali. Tak terkecuali orang yang kau sebutkan tadi, Manis!”
“Keparat! Aku adalah putri dari Abimanyu dan Lestari! Kini, kau bersiaplah, Rodopalo!” Sambil berkata begitu, Sekar Wangi membuka jurus 'Sepasang Pedang Menguasai Mata Angin'.
“Mampuslah kau... heaaaa!” Dengan diiringi teriakan yang keras, Sekar Wangi menenang ke arah Rodopalo yang langsung menghindar.
“Hebat!” desis Rodopalo. 'Tetapi lebih baik kau menjadi selirku, saja, Manis....” Serang menyerang antara Sekar Wangi dan Rodopalo demikian serunya. Sekar Wangi tidak ingin bertindak tanggung lagi. Dendamnya harus terbalas.
Pikirnya tadi, ia akan melihat Rodopalo yang terkejut ketika ia menyebutkan nama kedua orangtuanya.
Namun Rodopalo hanya terbahak saja sambil mengejeknya.
“Dosa-dosanya sudah tidak bisa diampuni lagi!” dengus Sekar Wangi dan terus mencecar. Sepasang pedangnya berkelebat dengan cepat. Membentuk satu pusaran dengan kecepatan yang luar biasa, dan mencoba menutup gerak Rodopalo.
Sementara itu, tiga pentolan dari Empat Malaikat Kahyangan hanya memperhatikan saja dengan serius. Terutama Nyai Priatsih. Ia benar-benar merasa mengenal jurus yang dipergunakan oleh gadis itu.
Hmm... kini tidak salah lagi. Tentunya ia adalah murid dari Nyai Harum Tari, si Penguasa Laut Kidul. Dan sudah tentu senjata rahasia berbentuk sirip ikan layur itu adalah miliknya.
Rodopalo pun menggunakan 'Pukulan Angin Manik'nya untuk mengimbangi serangan dari Sekar Wangi. Pertama-tama ia mengangggap ringan jurus yang diperlihatkan oleh Sekar Wangi. Namun pada kenyataannya, justru mang geraknya tertutup. Ke mana ia menghindar, di sanalah Sekar Wangi telah menunggu dengan serangan berikutnya.
“Pantas kau bertindak sewenang-wenang, Manusia keparat!” seru Sekar Wangi yang kini lebih banyak menghindar, karena ada serangkum angin keras yang menerpa ke arahnya setiap kali Rodopalo menggerakkan tangannya.
“Sudah kukatakan tadi, lebih baik kau menyerah dan menjadi selirku.... Bila kau tidak mau, kau menjadi pemuas nafsuku saja... ha ha ha!” Rodopalo terus mencoba mendesak Sekar Wangi. Dengan 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskannya, ia bisa menjaga jarak agar Sekar Wangi tidak mendekat.
Dengan begitu, ia memiliki banyak kesempatan untuk menjatuhkan Sekar Wangi.
Kali ini Sekar Wangi sadar kalau jurus yang dipergunakannya sudah tidak banyak membawa hasil. Lalu ia pun mengubah jurus berikutnya, 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga'. Jurus yang diperlihatkannya lebih cepat dan terarah dari pada jurus pertama tadi. Karena, serangannya hanya terarah pada tubuh Rodopalo saja. Bahkan dengan kibasannya yang kuat, mampu menghalau 'Pukulan Angin Manik' yang dilepaskan oleh Rodopalo.
Kali ini Rodopalo kocar-kacir dibuatnya. Ia memaki-maki sendiri. Lalu dengan cepatnya ia melompat ke belakang.
Kuntala terbahak-bahak.
“Melawan gadis yang masih bau kencur itu kau tidak bisa mengalahkannya, Rodo?” serunya sambil mengipas-ngipasi tubuhnya.
Rodopalo mendengus mendengar kata-kata bagai ejekan itu. Mendadak sambil menjerit keras ia merangsek maju ke arah Sekar Wangi, yang dengan hebatnya justru memapaki serangan itu.
Dua benturan keras terjadi.
Tubuh Sekar Wangi terlempar beberapa tombak ke belakang. Ia merasakan dadanya remuk terkena hantaman pukulan Rodopalo yang penuh tenaga.
Sementara Rodopalo sendiri harus tergores di lengan kirinya yang mengeluarkan darah.
Melihat hal itu Rodopalo menjadi murka. Selama ini ia belum pernah sekali pun melihat darah yang keluar dari bagian tubuhnya. Dan gadis itu telah melakukannya. Ia bukan hanya merasa terhina, tetapi juga merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Sekar Wangi.
Dengan kemarahan yang amat sangat, Rodopalo menggeram murka, “Monyet betina! Kau harus mampus!” Lalu kedua tangannya diayunkan ke bawah, lalu ke samping dengan gerakan yang cepat. Mendadak kedua tangannya menjadi hitam legam. Itu adalah jurus kedua dari 'Pukulan Angin Manik'. Jurus yang sangat hebat dan cepat. 'Angin Manik Menerbangkan Gunung.' “Hhh! Kau harus mampus, Monyet betina!” geramnya seraya menyerang.
Sekar Wangi yang dalam keadaan terluka, tidak bisa berbuat banyak. Tubuhnya seakan sukar untuk digerakkan. Bahkan untuk menggeser tubuhnya saja tidak mungkin ia lakukan.
Yang bisa dilakukan, hanyalah menatap pasrah. Ia merasa sedih dan kesal karena tidak bisa membalaskan kematian kedua orangtuanya. Lawan yang dihadapinya terlalu tangguh. Bahkan ia sendiri kini yang sedang menghadapi maut.
Tubuh Rodopalo sudah menerjang dengan diiringi oleh teriakan yang dahsyat. Semua terpaku. Tak ada yang bergeser dari pijakannya. Dan mereka akan menyaksikan tubuh Sekar Wangi yang lumat dan hanya bisa memejamkan matanya, pasrah.
Namun mendadak saja satu keanehan terjadi.
Karena tubuh Rodopalo bukannya menerjang ke arah Sekar Wangi, justru melompat kembali ke belakang.
“Bangsat busuk! Siapa yang berani menghalangi niat Rodopalo, hah?!” bentaknya gusar.
Sementara itu tiga pentolan Empat Malaikat Kahyangan seketika bersiaga. Nyai Priatsih melihat beberapa senjata rahasia sirip ikan layur menancap di sebatang pohon, yang layu seketika.
Mendadak terdengar suara tawa yang keras, lalu muncul satu sosok tubuh bongkok dengan sebatang tongkat di tangannya. Langkahnya begitu ringan.
“Rupanya, ada yang ingin membunuh muridku. Hhh! Tidak semudah itu bisa dilakukan,”katanya sambil tertawa.
“Guru!” terdengar seruan Sekar Wangi bernada gembira.
Penguasa Laut Kidul!” terdengar seruan Nyai Priatsih.

***



↨֍₪₪₪↨֍¦ 9 ¦֎↨₪₪₪֎↨

Nyai Harum Tari terbahak-bahak. Ialah yang tadi melemparkan senjata rahasia berbentukirip ikan layur pada Rodopalo yang siap mencabut nyawa Sekar Wangi.
“Mengapa Guru berada di sini?” seru Sekar Wangi yang masih belum bisa juga mengangkat tubuhnya sendiri.
Nyai Harum Tari mendekati muridnya.
“Anak bodoh! Sudah lama aku mengikuti sepak tenangmu, hah?! Kau pikir, aku tega melepaskan kau pergi mencari manusia laknat itu seorang diri?” dengus Nyai Harum Tari. Tangannya dengan cepat menotok beberapa bagian tubuh Sekar Wangi, yang mengeluh sebentar. Lalu dirasakannya aliran darahnya lancar kembali.
“Jangan manja! Kau sudah bisa berdiri!”
“Oh, Guru... terima kasih atas kemunculanmu....”
“Jangan cengengesan!” dengus Nyai Harum Tari sambil berbalik pada orang-orang itu. Ia menggeram pada Rodopalo, “Rupanya kau belum jera juga setelah kuobrak-abrik markasmu di Pacitan, Rodo! Kini, aku tidak akan mengampunimu!” Bukannya Rodopalo yang menyahut, justru Nyai Titir yang melangkah ke depan.
“Hmmm... kehebatan Penguasa Laut Kidul titisan Nyai Roro Kidul, sudah lama kudengar. Selamat bertemu denganku, Harum Tari!” Meskipun bibirnya tersenyum, namun wajahnya menampakkan kemurkaan yang teramat sangat.
“Bagus, bagus. Siapa yang tidak mengenal keganasan Empat Malaikat Kahyangan, hah? Tetapi...
mana si Tua Penghuni Gunung Karang, si Rongsowungkul, hah?! Apakah ia membelot dari Empat Malaikat Kahyangan? Sayang, sayang sekali....” Nyai Titir menggeram.
“Sudah lama aku ingin mencoba kehebatan Penguasa Laut Kidul!” dengusnya sambil membuka jurusnya.
Nyai Harum Tari tertawa. Lalu berkata pada para anggota gerombolan.
“Lebih baik kalian pergi dari sini, jangan membuang nyawa percuma untuk manusia-manusia biadab seperti mereka!” Orang-orang itu kelihatan ragu-ragu. Mereka tak mungkin berani melanggar perintah Rodopalo.
Apalagi ada Nyai Titir sekarang ini. Namun mereka pun menyayangi nyawa mereka yang hanya semata wayang. Jalan satu-satunya memang harus meninggalkan tempat ini. Karena mereka tahu, sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang hebat.
Tetapi, mereka pun tahu apa yang akan mereka dapati bila mereka melarikan diri.
Tak ada jalan lain, kecuali menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi. Tanpa diperintahkan lagi, salah seorang memberi komando dan menyerang ke arah keduanya.
“Hhhh! Bocah-bocah nakal!” dengus Nyai Harum Tari dan tangannya pun berkelebat menebar. Puluhan senjata rahasia sirip ikan layur pun melayang mencari sasaran.
Jeritan kematian pun terdengar dengan putusnya berpuluh nyawa.
“Yang masih mau hidup, tinggalkan tempat ini!' seru Nyai Harum Tari sambil mengancam untuk melemparkan kembali senjata rahasianya, sementara Sekar Wangi bersiaga karena siapa tahu Rodopalo, Nyai Titir, Nyai Priatsih dan Kuntala mengambil kesempatan.
Sedangkan orang-orang itu kelihatan ngeri juga.
Nampak kalau mereka masih sangat menyayangi nyawa mereka. Tetapi justru Rodopalo terbahakbahak.
“Ha ha ha... kalian memang pengawal-pengawalku yang rela berkorban! Maju! Bunuh kedua manusia busuk itu!”
“Mundur! Atau nyawa kalian akan putus hari ini juga!” dengus Nyai Harum Tari.
Orang-orang itu kebingungan. Bila terus menyerang Nyai Harum Tari bisa dipastikan kalau mereka akan termakan senjata rahasia sirip ikan layur milik Nyai Harum Tari. Bila tidak menyerang bisa dipastikan akan mampus di tangan Rodopalo.
Namun dua orang di antara mereka mencoba mengambil kesempatan untuk melarikan diri.
Bertepatan dengan itu, tangan Nyai Titir berkelebat.
“Aaakhh!” Dua jeritan bersamaan tubuh ambruk terlihat. Dari sekujur tubuh keduanya mendadak berubah menjadi hitam.
“Racun Kelabang Hitam!” seru Nyai Harum Tari.
Nyai Titir terbahak-bahak.
“Itulah akibatnya bila berani menentang kehendakku! Serang kedua manusia busuk itu!” Melihat kenyataan yang menerima dua orang itu, yang lainnya menjadi keder juga. Serentak mereka menyerang Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi yang lagi-lagi hanya Nyai Harum Tari yang bertindak.
“Hhh! Kalian seharusnya tahu, kalau manusiamanusia busuk itu tidak patut dijaga!” dengus Nyai Harum Tari yang diam-diam merasa kasihan karena harus merenggut nyawa orang-orang itu.
Sementara itu, apa yang diduga Sekar Wangi ternyata benar. Karena Rodopalo sudah menyerang dengan 'Angin Manik Menerbangkan Gunung'.
Dengan sigap, Sekar Wangi segera melompat menyongsong dengan jurus 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga'.
“Hhhh! Kau harus membalas kematian kedua orangtuaku, Rodopalo!” geramnya dengan hebatnya ia menyabetkan pedangnya. Membuat Rodopalo tidak bisa merangsek masuk.
Melihat hal itu, Kuntala segera melompat dengan kipas mautnya.
“Bagus!” seru Sekar Wangi.
“Kalian memang pengecut! Kenapa baru mengeroyokku, hah?!” Meskipun Sekar Wangi dengan gigih bertahan, namun menghadapi dua serangan itu sudah tentu ia tidak bisa bertahan lebih lama. Berkali-kali tubuhnya terkena hantam kipas dari Kuntala.
Sementara itu Nyai Harum Tari sudah menghabisi lawannya. Ia mendesah panjang melihat mayat-mayat dari orang yang tak berdosa. Tetapi belum sempat ia menyesali semua ini, Nyai Titir dan Nyai Pritsih sudah menyerang.
“Hhh! Bagus, bagus!” seru Nyai Harum Tari dan segera menahan dua serangan yang datang bergantian itu.
Terlihat dua sosok tubuh yang terpecah menjadi dua dikeroyok masing-masing dua orang. Bila melihat posisinya, Sekar Wangi benar-benar tidak bisa mengimbangi setiap serangan yang dilancarkan oleh Rodopalo dan si Kipas Maut.
Sedangkan Nyai Harum Tari bukan hanya tidak bisa mengimbangi, bahkan ia bisa merangsek masuk dan menguasai pertarungan itu.
Hanya saja, ketika Nyai Titir mempergunakan 'Racun Kelabang Hitam'nya, ia menjadi agak mundur.
Tidak berani untuk masuk.
Mendadak terdengar kekehan, “He he he... wah, wah... Ki, kita sudah terlambat sekarang!”
“Benar, Sena! Mereka sudah berpesta!” Yang datang itu adalah Pendekar Gila dan Ki Rongsowungkul. Sekar Wangi yang melihat munculnya keduanya, segera berseru, “Jangan cengar-cengir saja, Kang Sena! Ambil lawanku ini!” Melihat kehadiran pemuda yang mengenakan rompi dari kulit ular itu, Rodopalo menggeram murka.
Telah lama ia mencari Pendekar Gila karena pernah menggagalkan aksi perampokannya. Dipergencarnya serangannya pada Sekar Wangi.
Pendekar Gila langsung bergerak memapaki serangan Rodopalo pada Sekar Wangi, sementara Sekar Wangi sendiri menghadapi Kuntala.
“Bagus! Sudah lama kutunggu kedatanganmu, Orang Gila!” Rodopalo mencecar dengan 'Pukulan Angin Manik'nya. Pendekar Gila menghindar sambil melancarkan serangannya, 'Kera Gila Melempar Buah'.
“Kau harus membalas semua perbuatanmu yang telah menggagalkan rencanaku!” Sementara Ki Rongsowungkul melesat ke arah Nyai Titir. Ia mengambil alih pertarungan antara Nyai Harum Tari yang dikeroyok oleh Nyai Titir dan Nyai Priatsih. Kini mereka satu lawan satu.
Sekar Wangi berseru, “Kang Sena! Kau hadapi si Kipas busuk ini! Aku harus membunuh manusia bangsat itu!” Sena bersalto ke belakang, mengambil alih lawan.
Kini ia berhadapan dengan Kuntala si Kipas Maut Sementara Rodopalo yang dipenuhi dendam mencoba mengejar Sena, namun dihalangi oleh Sekar Wangi.
“Dendam kedua orangtuaku harus kubalas!” serunya sambil kembali menyerang dengan pedangnya.
Sedangkan si Kipas Maut sudah mengibaskan kipasnya.
“Wah, wah... enak! Dingin... he he he...!” seru Sena.
“Orang gila keparat!” maki Kipas Maut sambil menerjang dengan cepatnya. Ia memburu bagian bawah Sena yang melompat-lompat mirip seekor kera dan seperti sedang melemparkan buah, ia melakukannya ke arah Kuntala. Yang harus bersusah payah berkelit karena serangkum angin menerpa ke arahnya. Bukan hanya itu, bahkan serangannya pun mampu ditahan oleh angin itu.
Sedangkan Sekar Wangi sedang sibuk menahan setiap serangan yang dilancarkan Rodopalo. Dua buah kesaktian diperlihatkan oleh masing-masing yang berkeinginan keras untuk menjatuhkan lawannya.
Sekar Wangi dibaluri dengan api dendam yang membara. Ia bertekad untuk membunuh Rodopalo.
Sedangkan Rodopalo didasari oleh dendamnya pada Pendekar Gila. Ia bermaksud untuk menyudahi Sekar Wangi untuk membunuh Pendekar Gila.
Namun ia pun mengalami kesulitan yang tidak sedikit untuk mendekati Pendekar Gila. Karena jurus 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga' yang dilancarkan Sekar Wangi bukan hanya mampu untuk menghalangi serangannya, bahkan merangsek masuk ke arahnya. Membuat Rodopalo menggeram berkalikali. Amarahnya semakin naik saja. Tidak dipikirkannya lagi mengenai Pendekar Gila.
Tiba-tiba tubuhnya berkelit ke belakang, lalu bagaikan orang terjun ke air, ia meluncur ke arah Sekar Wangi. Kedua tangannya terlihat hitam.
Menandakan ia telah menggunakan jurus-jurus racun yang dipelajari dari gurunya. Rodopalo pun menguasai 'Racun Kelabang Hitam'.
“Mampuslah kau, Gadis keparat!” serunya.
Sekar Wangi tahu, ia tidak boleh bentrok dengan Rodopalo. Paling tidak, ia hanya bisa bertahan agar salah satu anggota tubuhnya tidak tersentuh oleh tangan Rodopalo. Tadi ia sudah menyaksikan bagaimana 'Racun Kelabang Hitam' itu menghantam dua orang anak buah Nyai Titir sendiri.
Apa yang diperkirakannya ternyata benar. Karena, ketika ia menghindari serangan itu dan tangan Rodopalo menyentuh sebatang pohon, pohon itu langsung menghitam dengan dedaunannya yang berguguran.
“Ini gawat! Lama kelamaan aku bisa kehabisan nafas!” gerutunya sambil bersalto ke belakang. Dan dengan mendadak tangannya menebar ke depan.
Beberapa senjata rahasia sirip ikan layumya beterbangan ke arah Rodopalo. Yang serentak segera menghentikan serangannya dan menghindari senjatasenjata rahasia itu.
Ia menggeram marah.
Serangannya pun berhasil dipatahkan! Sementara itu Nyai Titir dengan gencarnya mencoba mendesak Ki Rongsowungkul. Ayunan tongkatnya begitu kuat dan cepat, sementara Ki Rongsowungkul dengan tasbihnya segera membalas.
Trak! Trak! Benturan sering terjadi. Diselingi dengan tenaga dalam yang kuat. Bila tenaga dalam yang dimiliki salah seorang itu tidak sejajar, sudah bisa dipastikan dadanya akan jebol.
“Lebih baik kau bertobat, Titir! Dosa-dosamu sudah menumpuk!” seru Ki Rongsowungkul yang memutar-mutar tasbihnya untuk menghindari serangan Nyai Titir dan sekali-sekali membalasnya.
“Hentikan segala ocehanmu itu, Rongsowungkul! Lebih baik kau mampus saja!” Nyai Titir terus mendesak dengan tusukan, sabetan, ayunan tongkatnya. Dan mendadak tongkatnya terlihat menjadi banyak.
“Ha ha ha... Rongsowungkul, bukan hanya kau saja yang telah berhasil menciptakan jurus baru! Aku pun berhasil melakukannya! Kini, terimalah jurusku 'Tongkat Menipu Bayang-Bayang'.” Ki Rongsowungkul hanya mendengus, dari angin tongkat itu sudah dapat dirasakan dingin sekali, mampu menembus urat. Begitu pula dengan kecepatan yang dilakukannya. Di matanya, Ki Rongsowungkul seolah melihat tongkat itu menjadi banyak.
Ia pun menghadapinya dengan jurus 'Tasbih Seribu', sebuah jurus yang tak kalah hebatnya dengan jurus ciptaan Nyai Titir yang baru. Hanya kelemahannya jelas terlihat, karena tasbih itu pendek saja sementara tongkat Nyai Titir cukup panjang.
Sehingga Ki Rongsowungkul hanya bisa menghindar dan menangkis serangan itu, sedangkan Nyai Titir terus merangsek dengan pukulan-pukulan tongkatnya.
“Ha ha ha... lebih baik kau membunuh diri saja, Rongsowungkul!” seru Nyai Titir sambil terus melancarkan serangannya.
Ki Rongsowungkul terdesak hebat. Ia mencoba untuk masuk, namun segera menghindar kalau tidak ingin kepalanya pecah dikepruk tongkat Nyai Titir.
Namun mendadak saja ia bersalto ke belakang, sambil bersalto itu dilancarkannya 'Pukulan Angin Gunung Karang'.
Wuuttt! Nyai Titir yang tengah mendesak, terpaksa melompat ke samping.
“Bangsat!” Melihat kesempatan itu, Ki Rongsowungkul mencoba mendesak. Sambil mengayunkan tasbihnya dengan jurus 'Tasbih Seribu' juga sesekali melancar 'Pukulan Angin Gunung Karang'nya. Kini Nyai Titir yang terdesak.
Sementara itu Nyai Harum Tari dengan hebatnya bertarung dengan Nyai Priatsih.
“Hhhh! Rupanya kebolehan si Penguasa Laut Kidul tidak perlu disangsikan lagi!” dengus Nyai Priatsih sambil terus melancarkan serangannya.
Nyai Harum Tari menyahut, “Tongkat Iblismu pun sangat hebat, Priatsih! Ha ha ha... rupanya sekarang Empat Malaikat Kahyangan sudah bercerai-berai! Masih mampukah kalian membentuk kembali jurus 'Empat Malaikat Kahyangan', hah?!” Mendengar kata-kata bagai ejekan itu, Nyai Priatsih mempergencar serangannya. Namun hingga jurus keduapuluh ia tidak berhasil mendesak Nyai Harum Tari. Dua tokoh sakti bertempur dengan senjata tongkat, sudah tentu hasilnya sangat mengejutkan sekali.
Gunung Kematian yang biasanya ramai dengan banyaknya orang-orang Gerombolan Iblis dari Pacitan, kini hanya terlihat delapan orang saja, yang sedang bertarung mati-matian.
Pendekar Gila merasa ia harus menutup segala serangan si Kipas Maut. Kipasnya benar-benar mampu mencabut nyawa. Angin yang ditimbulkannya mampu membuat jantung terasa copot. Tetapi Pendekar Gila melayaninya sambil terkekeh-kekeh saja.
“Rupanya hanya begini saja kehebatan si Kipas Maut,” kekeh Sena sekarang ia telah mengubah jurusnya 'Si Dewa Gila Melebur Gunung Karang', yang membuat Kuntala terperanjat dan harus menghindar ketika dirasakannya serangkum angin besar mendatanginya dengan cepat.
“Keparat!” maki Kuntala yang terus menerus menghindar. Sementara angin besar itu menghantam dinding rumah yang hancur lebur, dan rumah itu langsung ambruk sebagian. Suaranya sangat keras, mengepulkan debu yang banyak. Dan gadis-gadis yang ada di dalam yang ditawan Rodopalo berlarian kocar-kacir. Mereka berusaha menyelamatkan diri.
“He he he... persis seperti monyet yang kesakitan!” ejek Pendekar Gila melihat Kuntala berlompatan ke sana-kemari.
Sementara perhatian Rodopalo pun terpecah melihat kediamannya ambruk dan gadis-gadis yang selama ini dijadikan pemuas nafsunya berlarian. Ia tidak penuh menghadapi Sekar Wangi yang dengan cepat menggerahkan pedangnya.
Craaass! “Aaakhh!” Rodopalo mundur sambil menekap lengan kirinya yang berdarah. Ia menggeram marah. Namun sudah tentu Sekar Wangi tidak mau memberinya kesempatan lagi. Ia terus merangsek dengan gencarnya. Dan sebisanya Rodopalo menghindari serangan itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara mengaduh Sekar Wangi, disusul dengan tubuh yang terjajar ke belakang. Dadanya terhantam tongkat yang dilemparkan oleh Nyai Titir.
“Sekar!” seruan itu terdengar dari mulut Nyai Harum Tari. Namun ia tidak bisa membantu Sekar Wangi dan membalaskan dendamnya pada Nyai Titir, karena si Tongkat Iblis tidak mau memberi kesempatan pada Nyai Harum Tari.
Diserang seperti itu dan dibaluri perasaan marah, bukannya membuat Nyai Harum Tari menjadi surut serangannya, la justru membalas dengan gencarnya.
Seketika dua kali Nyai Priatsih terhantam tongkatnya.
Sementara Ki Rongsowungkul yang melihat kalau Nyai Titir sedang tidak dalam siaga penuh, merangsek maju. Dua kali tasbihnya menghantam paha dan lengan Nyai Titir yang mundur terhuyung.
“Ha ha ha... kini kau mampuslah, Titir!!” serunya dan tubuhnya menderu maju sambil mengayunkan tasbihnya. Nyai Titir mencoba menghadang serangan itu dengan jalan menerjangnya. Dua seruan keras terdengar. Dua tenaga pun beradu! Terdengar suara jeritan kecil disusul dengan asap yang mendadak mengepul dan debu yang menebal.
Lalu dua tabuh terlempar ke belakang. Masingmasing muntah darah.
Sedangkan saat ini si Kipas Maut harus kocarkacir menghadapi serangan-serangan yang dilakukan Sena. Ia menjadi kelimpungan sendiri ketika Pendekar Gila itu mengubah-ubah jurusnya. Sehingga ia tidak melihat satu bentuk serangan yang pas dari lawannya.
“He he he... itulah jurus-jurus si Orang gila!” terkekeh Sena dan kali ini ia menyerang dengan jurus 'Kera Gila Berayun Menyambar' yang membuat Kuntala menjadi kelimpungan. Kalau tadi lawannya menyerang bagian bawahnya, kini Sena menyerang dari atas. Tubuhnya seperti melompat berayun dan menyerang Kuntala dari atas sambil melayang dalam ayunan tubuhnya.
Kuntala berkali-kali harus bergulingan, sehingga pakaiannya menjadi sangat kotor sekali. Ia masih berguling pula ketika Sena mengubah jurusnya 'Kera Gila Menyambar Mangsa'. Jurus itu sebenarnya khusus untuk menghadapi lawan yang menyerang bagian bawah. Tetapi karena Kuntala berada di posisi bawah, maka ia sangat terkejut sekali ketika tiba-tiba Pendekar Gila menyerang bagian bawahnya.
Dengan cepat sambil memaki Kuntala melompat ke atas kalau tidak ingin kepalanya remuk dihantam oleh ayunan kaki Pendekar Gila. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Pendekar Gila inilah yang membuatnya bingung, karena jurusnya berubah-ubah dan arah serangannya sukar dipastikan.
Sedangkan Pendekar Gila tertawa-tawa melihat lawannya kelimpungan.
“He he he... lebih baik kau bertobat saja, Kipas busuk! Dosa-dosamu sudah menumpuk, dan tak akan bisa diampuni bila kau tidak bertobat!”
“Jangan ngoceh kau, Orang gila!” Dengan gagahnya si Kipas Maut kembali mencoba menyerang, namun lagi-lagi ia harus menghindar karena serangan lawannya sangat mengejutkan, seperti sedang melempar sesuatu padanya, namun mampu membuat serangannya jadi terhadang. Itu adalah jurus 'Kera Gila Melempar Buah'.
Kali ini Kuntala 'benar-benar kewalahan dibuat oleh Pendekar Gila. Berkali-kali ia terkena hantaman dan tendangannya. Ia yakin kalau dalam waktu dua jurus lagi ia tidak akan mampu bertahan menghadapi Pendekar Gila.
Tiba-tiba ia bersalto ke belakang dan berseru, “Titir, Priatsih dan Rodopalo, kita membentuk jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'!” Serentak orang-orang itu mendekati Kuntala. Ki Rongsowungkul melayang mendekati Sekar Wangi, “Jangan lepaskan Rodopalo! Ia adalah kunci dari jurus 'Empat Malaikat Kahyangan'!” Tetapi Rodopalo sudah berhasil meloloskan diri dari pusaran 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga' milik Sekar Wangi. Sedangkan Pendekar Gila langsung menyerbu ke arah Rodopalo. Ia pun sadar kalau Rodopalo merupakan kunci dari jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' seperti yang diserukan oleh Ki Rongsowungkul.
Rodopalo yang sangat geram dan mendendam pada Pendekar Gila, memapaki dengan jurus 'Pukulan Angin Manik'. Serangkum angin keras menderu ke arah Pendekar Gila yang langsung melompat, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Rodopalo untuk mendekati kerabatnya yang lain. Kini, keempatnya segera membentuk pormasi angkara, bujur sangkar kecil. Masing-masing menyimpan senjatanya dan mengatupkan kedua tangan di dada menjadi satu. Sepintas gerakan mereka mirip robot.
Masing-masing berdiri dengan jarak tiga tindak.
Membentuk satu bangunan serangan yang kokoh.
Ki Rongsowungkul mendesah masygul dan mendengus melihat Rodopalo sudah menguasai jurus itu pula. Nyai Harum Tari dan Sekar Wangi hanya memandang saja. Sedangkan Sena menggaruk-garuk kepalanya sambil cengar-cengir.
“He he he... jurus apa lagi ini? Kayak anak kecil yang sedang main petak umpet!” Keempat orang itu kini merentangkan kedua tangannya. Kehebatan dari jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' selain bahu membahu juga bisa memberikan tenaga pada masing-masing bagian. Juga, serangan yang dilakukan tetap pada pormasi bujur sangkar kecil. Lalu terlihat dari rentangan tangan itu mengalirkan asap. Pendekar Gila terkekeh-kekeh, “Wah, wah... jurus memanggang ayam yang kalian perlihatkan, ya?” Ki Rongsowungkul yang sangat tahu kehebatan jurus itu karena ia termasuk salah seorang penciptanya, menjadi pias. Jurus itu sangat sulit untuk ditembus, kalau pun nekat berarti hanya mengantarkan nyawa belaka.
Ia berkata, “Kita masing-masing mengambil la wan. Jangan mencoba untuk merangsek masuk. Ingat ajaran bujur sangkar itu. Bila ada yang masuk ke dalamnya, berarti membuang nyawa percuma. Ingat jangan masuk dalam pormasi itu. Sekar, aku mengambil lawanmu. Karena, akulah yang tahu kunci dari jurus itu.” Sekar Wangi hanya mengangguk saja. Dan melihat kalau rentangan tangan tadi telah kembali mengatup di dada. Kembali terlihat asap yang mengepul dari masing-masing tubuh.
Nyai Titir tertawa.
“Rongsowungkul, kau akan merasakan bagaimana hebatnya jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' ini. Dan, kau akan mustahil untuk bisa mengalahkan pormasi jurus ini! Dan kau Pendekar Gila... kau akan mampus hari ini juga!” Sena cuma menggaruk-garuk kepalanya.
“Wah, wah... kalau begitu lebih baik aku kembali saja ke Gua Setan. Tetapi he he he... sudah tentu tidak, karena kalian masih hidup. Jurus yang kalian perlihatkan itu, kayak anak kecil yang ketakutan. He he he... apakah kalian sebenarnya ketakutan, ya? Ini gawat! Tetapi, he he he... bila kalian mampus pun...
aku akan terus mengembara.” Nyai Titir segera membuka tangannya ke depan.
Ki Rongsowungkul berbisik, “Segera ambil lawan! Itu tanda menyerang!” Serentak keempatnya bergerak mengambil lawan.
Sekar Wangi berhadapan dengan Nyai Titir, sedangkan Ki Rongsowungkul mengambil alih menghadapi Rodopalo. Sementara Pendekar Gila dan Nyai Harum Tari tetap dengan lawannya masing-masing.
Apa yang diperkirakan oleh Ki Rongsowungkul ternyata benar. Begitu Nyai Titir membuka kedua tangannya, yang lain pun bergerak pula. Ketika Nyai Titir mulai menyerang, mereka pun segera menyerang.
Gerakan itu hampir sama, dan dilakukan dengan waktu yang sama pula.
“Hati-hati, itu adalah jurus pembuka yang penuh tipuan!” seru Ki Rongsowungkul dan mencoba menyerang Rodopalo. Ia mendengus berkali-kali, karena Ro-dopalo melakukannya dengan sangat sempurna.
Yang lainnya pun segera menghadapi lawanlawannya. Sungguh, mereka sangat sulit untuk menggempur pertahanan itu. Memasuki pormasinya, berarti maut yang didapatkan.
Serangan serentak dengan penuh tenaga dan saling bantu itu, terus melebar dan mengecil, tetap dengan pormasi yang sama. Namun mendadak, mereka berputar.
“Awas! Jangan dekat-dekat, itu adalah jurus kedua dari 'Empat Malaikat Kahyangan'!” seru Ki Rongsowungkul.
Pusaran tubuh dengan melancarkan serangan itu kembali pada satu titik, pada posisi semula. Dan kembali melancarkan serangan yang sangat tangguh.
“Ki... apakah tidak ada jalan lain untuk menghancurkan pormasi itu?” seru Pendekar Gila sambil cengengesan dan melancarkan serangannya. Namun kali ini serangan-serangan itu mudah sekali dipatahkan. Bahkan dikembalikan pada pemiliknya.
“Jalan satu-satunya, hanyalah menghancurkan formasi utara. Berarti Rodopalo harus ditumbangkan!” sahut Ki Rongsowungkul.
“Namun itu bukanlah hal yang mudah! Karena kau lihat sendiri, Sena...
mereka justru membagi tenaga pada Rodopalo!” Memang sangat sulit untuk menggempur pertahanan itu. Mendadak Pendekar Gila berseru, “Minggir kalian semua!” Dan dengan serentak mereka berlompatan ke belakang, sementara lawan mereka menghentikan jurusnya. Dan kembali membuka dengan kaki kanan ke depan, tubuh condong dan kaki kiri membujur ke belakang. Kekuatan bertumpu pada kaki kanan seharusnya, namun dugaan itu salah. Karena jurus 'Empat Malaikat Kahyangan' mengandalkan serangan dan kekuatan tangan.
“Jangan tertipu!” Seru Ki Rongsowungkul.
“Itu hanyalah pancingan belaka! Kekuatan terletak pada tangan mereka!” Sementara itu Pendekar Gila sedang terdiam. Tibatiba ia menyatukan tangannya, lalu diangkatnya ke atas dan direntangkannya sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke sendi-sendi tangannya. Lalu dibawanya tangannya ke bawah dan diletakkan di pinggang.
Yang lain hanya memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh Pendekart Gila. Dan mendadak Pendekar Gila melontarkan tangannya ke depan.
Bersamaan dengan seruan Nyai Titir, “Putaran Tujuh Dewa Angin!” Bersamaan angin besar menerpa ke arah mereka, tubuh Empat Malaikat Kahyangan pun berputar.
Sangat kerasnya, melawan angin topan yang ditimbulkan akibat ajian 'Inti Bayu' yang dilepaskan Pendekar Gila.
Hebat! Ajian 'Inti Bayu' bukan hanya mampu menerbangkan batu sebesar gajah, juga mampu mencabut akar pohon yang besar. Namun Empat Malaikat Kahyangan itu terus berputar pada jurus 'Putaran Tujuh Dewa Angin', mereka tidak bergeming sama sekali. Akibat dari ajian 'Inti Bayu' yang dilakukan Pendekar Gila, bangunan besar yang sudah ambruk sebagian itu pun beterbangan.
Ki Rongsowungkul, Nyai Titir dan Sekar Wangi hanya terperangah melihat ajian yang dilepaskan Pendekar Gila. Namun itu tidak membawa hasil sama sekali.
Sena terkekeh-kekeh.
“Hebat, hebat sekali! Kalian benar-benar tangguh!” Nyai Titir menggeram, “Gempur mereka!” Tetapi Sena sudah mempersiapkan ajian 'Inti Brahma'. Ia menggosok-gosok kedua tangannya, bersamaan dengan tubuh Nyai Titir menyerang Sena dengan bantuan tenaga dari ketiga lawannya, Sena sudah menggerakkan tangannya ke muka.
Pijaran bola api keluar menggulung-gulung ke muka.
“Satukan tenaga dalam! 'Mata Api Dewa Matahari'!” Dan mendadak saja dari masing-masing tubuh 'Empat Malaikat Kahyangan' mengeluarkan panas yang luar biasa. Sehingga bola-bola api yang dilakukan Pendekar Gila kalah panasnya. Tidak sanggup untuk mematahkan mereka. Kalau tadi banyak pohon yang tumbang dan bangunan rumah besar itu beterbangan, sekarang semuanya terbakar.
“Pendekar Gila! Kau tidak akan membawa hasil bila tidak Rodopalo!!” seru Ki Rongsowungkul dan mencoba menyerang Namun ia harus mundur karena hawa panas yang ditimbulkan oleh lawannya mampu membuatnya mengaduh dari jarak dua tombak.
Nyai Harum Tari mencoba melemparkan senjata rahasianya, begitu pula dengan Sekar Wangi. Namun tidak membawa hasil sama sekali, karena seranganserangan itu berhasil dipatahkan pula.
“He he he... hebat, hebat sekali... kalian sangat tangguh,” tertawa Pendekar Gila.
“Tetapi, kalian adalah orang-orang kejam yang harus dibasmi!” Pendekar Gila telah mempersiapkan 'Ajian Tamparan Sukma' yang sangat dahsyat dan jarang dipergunakan. Karena jurus itu terlalu kejam. Namun saat ini, terpaksa Pendekar Gila menggunakannya.
“Hhhh! Jurus apa lagi yang kau perlihatkan, Orang Gila!” seru Nyai Titir dan dengan serentak, ia menyerang Pendekar Gila.
Sena mendesah dalam hati. Jurus yang akan dipergunakannya terlalu kejam, bahkan sangat kejam. Namun tidak ada jalan lain lagi kecuali melakukannya.
Bersamaan tubuh Nyai Titir menyerang, Sena pun bergerak. Gerakannya sangat tidak kelihatan, ia bagaikan menepuk belaka. Tetapi ajian itu menggunakan getaran sukma yang bisa dikendalikan. Jiwa yang suci yang hanya bisa menggunakannya.
Des! Benturan pun terjadi.
Ki Rongsowungkul terkejut melihatnya, la yakin, tubuh Pendekar Gila akan hancur. Namun yang sangat mengejutkannya pula, justru Nyai Titir yang memekik keras, lalu tubuhnya ambruk hangus dan meledak.
“Oh, Tuhan!” desis Ki Rongsowungkul.
“Jurus yang sangat kejam, tetapi terpaksa harus dilakukan.” Dengan matinya Nyai Titir, berarti formasi Empat Malaikat Kahyangan menjadi kacau-balau. Untuk kembali pada jurus mereka masing-masing membutuhkan waktu beberapa menit. Tetapi Ki Rongsowungkul sudah maju menderu ke arah Kuntala.
Praaaakk! Tasbihnya menghantam kepala Kuntala hingga berantakan. Sedangkan Nyai Priatsih harus menerima senjata rahasia yang dilemparkan oleh Nyai Harum Tari.
Sementara Sekar Wangi sudah menderu maju dengan jurus 'Sepasang Pedang Kembar Membunuh Naga'. Rodopalo yang masih terhenyak karena kematian gurunya, harus buntung kepalanya. Sekar Wangi mendesah panjang. Dendamnya sudah terbalas. Namun yang lebih penting lagi, karena ia bisa membasmi kejahatan.
Selagi mereka menghela nafas lega, terdengar seruan keras, “He he he. . kayaknya perjumpaan kita hanya sampai di sini saja, Kawan-kawan! Kalau ada umur panjang, kita akan bertemu lagi!” Orang-orang itu tersentak. Ki Rongsowungkul memanggil, “Senaaa!” Suaranya menggema, tetapi tidak ada sahutan.
Yang terdengar justru isak Sekar Wangi yang langsung menaiki kudanya dan menggebrak lari.
Hatinya sedih sekali karena Sena yang telah mencuri hatinya tidak berpamitan lagi padanya.
“Nyai... muridmu?” desis Ki Rongsowungkul.
“Tidak apa-apa. Biarkan saja. Anak muda yang dimabuk cinta memang seperti itu. Tetapi yakinlah, ia pasti kembali ke Laut Kidul,” kata Nyai Harum Tari tersenyum.
“Ki... kita berpisah sekarang. Mudahmudahan kita akan bertemu lagi.” Wuuutt! Tubuh Nyai Harum Tari sudah menghilang. Ah, Sekar Wangi... kau telah jatuh cinta rupanya.
Menunjuk pada suatu jalan menuju kedewasaan.
Mudah-mudahan, kau bisa mengubur semua cintamu itu dan melupakannya.
Sementara itu Ki Rongsowungkul menengadah menatap langit yang tiba-tiba menjadi kelam.
“Ah...
kalian adalah sahabat-sahabatku. Mengapa tidak mau bertobat?” Lalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ki Rongsowungkul pun kembali ke Gunung Karang.
Di satu jalan, satu sosok tubuh berompi kulit ular sedang melangkah sambil bersiul-siul. Dia adalah Sena, Pendekar Gila yang meneruskan pengembaraannya.

Serial Pendekar Gila selanjutnya: DEWI BAJU HIJAU

SELESAI



INDEX PENDEKAR GILA
Misteri Dendam Berdarah --oo0oo-- Pendekar Gila


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.