Life is journey not a destinantion ...

Pembalasan Berdarah

INDEX RAJA PETIR
Pembalasan Berdarah --oo0oo-- Empat Setan Goa Mayat >>

JAKA SEMBADA
Raja Petir
Karya: Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar Sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

--≡¦ { SATU } ¦≡--

Usia senja nampaknya sudah semakin larut saja. Bahkan keindahannya makin terganggu oleh ledakan guntur yang terdengar saling bersahutan. Sebentar kemudian, air mengucur cukup deras, ditumpahkan langsung dari langit. Sehingga membuat para penduduk Desa Tegalreja sedikit sibuk.
Sementara sebagian penghuni rumah yang terbuat dari papan, tampaknya lebih suka berada di dalamnya. Memang, rata-rata rumah penduduk di desa itu terbuat dari papan.
"Hujan seperti ini biasanya bertahan lama," kata lelaki di dalam sebuah pondok sambil menempatkan lampu di dinding kayu.
Lelaki berpakaian serba putih itu melangkah perlahan, menghampiri istrinya yang tengah menyusui anaknya yang berusia baru empat puluh lima hari. Seorang bayi laki-laki yang nampak begitu montok.
Lelaki itu berhenti agak jauh dari sisi tempat tidur. Matanya yang begitu sarat oleh kegembiraan, diarahkan pada istrinya lamat-lamat. Tak lama kemudian, lelaki berumur tak lebih dari tiga puluh tahun itu duduk di bibir tempat tidur. Sebentar tangannya mencekal paha anak lelakinya yang dirasakan begitu kenyal.
"Kulitnya tebal dan berotot," kata lelaki itu lagi seraya mencium bayinya yang nampak begitu sehat.
Sementara di luar sana, hujan semakin deras mengucur diiringi guntur yang bersahut-sahutan. Udara dingin nampak semakin menusuk kulit. Tidak ada yang tahu kalau tiba-tiba dari balik kerimbunan pohon sebelah Timur, melenting beberapa sosok bayangan hitam yang jumlahnya sekitar sepuluh orang. 
Mereka sudah menjejakkan kakinya dengan indah di atas tanah becek. Sedikit pun tak terdengar suara saat kaki mereka mendarat bersamaan. Jelas, kesepuluh bayangan itu bukanlah orang-orang sembarangan! Paling tidak, kepandaian mereka tidak bisa dianggap remeh.
Salah satu bayangan itu tampak mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kemudian merentangkannya. Rupanya dia memberi aba-aba agar kesembilan bayangan lainnya berpencar ke empat penjuru rumah yang menjadi sasarannya.
Tak lama setelah kesembilan bayangan tadi menghilang dari hadapannya, lelaki yang nampak berwajah kasar dengan sebaris luka memanjang di pipi sebelah kiri itu melangkah perlahan. Dia menuju pintu rumah yang dihuni suami istri yang sedang tenggelam dalam kebahagiaan karena telah dikaruniai seorang bayi.
Tiba di depan pintu kayu, kepala lelaki bertampang angker itu menoleh kekanan, kekiri, dan kebelakang. Entah apa yang dicarinya. Yang jelas, setelah tak ada sesuatu yang dikhawatirkan, tanpa ragu lagi dia mengetuk pintu di hadapannya.
Sebentar laki-laki itu menunggu, tak lama kemudian terdengar suara ayunan langkah dari balik pintu. Lalu, terdengar suara berderak pintu yang terbuka.
"Kakang!" sebut lelaki berbaju putih yang baru dikaruniai anak itu.
Dia berdiri di ambang pintu, seperti menahan perasaan. Tapi sebentar kemudian, dia mampu menguasai keadaan. Langsung dipersilakannya lelaki yang sudah dikenalnya itu untuk masuk. Maka, laki-laki berwajah angker itu segera masuk.
"Tak kusangka, Kakang akan datang kemari," ujar lelaki berbaju putih itu sambil menggeser bangku kayu.
"Duduklah, Kakang."
Lelaki berbaju merah menyala yang dipanggil kakang melepas senyum sinisnya sambil mengangkat kaki, dan meletakkannya di atas bangku yang disediakan oleh tuan rumah tadi.
"Sepertinya ada perlu penting, sehingga Kakang datang ke sini," duga si tuan rumah.
Lelaki berbaju serba putih itu melipat kedua tangan dan menyilangkan di depan dada. Dia sesungguhnya sudah tahu maksud kedatangan orang di hadapannya ini.
"Sangat penting!" sentak lelaki berwajah angker itu.
Suara lelaki berpakaian merah menyala dan berkepala botak itu terdengar menggelegar. Bahkan kursi yang ada dalam pijakannya langsung dihantam dengan kakinya sambil menyeringai buas. Tampangnya benar-benar angker. 
Sepasang palu bergerigi warna hitam dengan rantai baja, yang dililitkan di pinggang, memberi kesan kuat akan keangkerannya.
"Katakanlah, Kakang. Mungkin aku bisa membantu," ujar lelaki berbaju putih, tenang. Sedikit pun tak Nampak kegugupan pada ucapannya. Wajahnya pun tidak nampak ada ketegangan.
"Aku akan menjemput Purwakanti!" keras suara lelaki botak itu.
Purwakanti adalah istri lelaki berbaju putih itu. Dia yang mendengar ucapan tadi menjadi tersentak. Tapi, hatinya sedikit pun tak ada rasa takut Purwakanti yakin, suaminya yang bernama Sempani itu akan mampu menandingi kedigdayaan kakak seperguruannya yang saat ini tengah mengadu urat dengan suaminya. Lelaki berbaju merah menyala yang merupakan kakak seperguruan Sempani memang mempunyai watak telengas. Sepak terjangnya benar-benar merugikan orang banyak.
"Kau tidak lihat, Kakang Gandewa? Antara aku dan Kakang Sempani sudah terjalin suatu ikatan yang tak mungkin dapat dipisahkan! Bahkan di antara kami telah hadir sosok bayi yang menandakan, betapa kuatnya hubunganku dengan Kakang Sempani. Jadi, untuk apa kau menjemputku?" sentak Purwakanti.
Lelaki berkepala botak yang ternyata bernama Gandewa tersenyum nyinyir. Sebentar kemudian, senyumnya ditukar dengan ledakan tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sempani sangat terkejut mendapat serangan tawa ini. Cepat-cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi tawa lelaki berkepala botak itu.Begitu juga yang dilakukan Purwakanti. Tapi, bagaimana dengan bayi yang berada dalam pelukannya?
Tiba-tiba secara berbarengan, Sempani dan Purwakanti mengibaskan tangan kanannya. Dari gerakan yang cukup kuat itu, terciptalah hembusan angin dahsyat yang mampu mengusir tawa Gandewa.
"Apa maumu, Gandewa?!" sentak Sempani, mulai naik pitam.
Lelaki berkepala botak yang bernama Gandewa itu kembali terkekeh. Namun, kali ini tak disertai pengerahan tenaga dalam.
"Sudah kukatakan, kedatanganku ke sini untuk menjemput Purwakanti, kekasihku," jawab Gandewa sambil memandang genit ke arah Purwakanti.
"Kekasihmu?!" teriak Purwakanti, meleceh.
"Cih! Tak tahu malu! Siapa yang sudi jadi kekasihmu."
Purwakanti langsung maju menyerang. Tapi, Sempani lebih cepat menahan langkah istrinya. Sehingga, Purwakanti hanya mampu menahan geram saja.
"Jangan gegabah! Dia bukan Kakang Gandewa yang bisa dianggap remeh seperti dulu," ujar Sempani, mengingatkan.
Purwakanti kini hanya menatap sinis ke arah lelaki botak yang tak tahu diri itu.
"Kau masih tetap cantik dan galak seperti tiga tahun lalu, Kanti. Namun itulah yang membuatku tak mampu melupakan dirimu. Kecantikanmu, kegalakanmu, dan..., suaramu. Ya, suaramu yang merdu membuatku tak mampu melupakanmu. Itulah sebabnya, aku datang menjemputmu sekarang."
Gandewa menyebar senyumnya. Sedangkan Sempani begitu jijik menyaksikan senyum itu. Namun sejauh ini, amarahnya berusaha dikekang.
"Jangan harap aku sudi menerima ajakanmu!"
"Hm..., Jangan sampai aku bertindak kasar, Kanti!" bentak Gandewa.
"Kau pikir, bisa semudah itu?" Purwakanti mencibir, seraya melirik ke arah Sempani.
"Mestinya kau sadar, dengan siapa sekarang berhadapan, Kanti. Namaku memang tetap seperti yang pernah kau kenal dulu. Gandewa! Tapi, aku bukanlah Gandewa tiga tahun lalu, yang selalu kau lecehkan. Dan sekarang kau harus mematuhi perintah dan keinginanku. Aku sekarang adalah penguasa di daerah ini!" 
"Kalau aku tidak mematuhi?" pancing Purwakanti kesal.
"Aku akan menurunkan tangan kejam. Dan kalian, kuharap jangan menyesal!"
"Setan gundul!"
Purwakanti langsung bergerak cepat sehingga Sempani sampai terkejut Namun ia tak mampu lagi membendung kemarahan istrinya yang tiba-tiba menyerang Gandewa. Luar biasa! Apa yang dirasakan Purwakanti betul-betul di luar dugaannya. Serangannya yang tiba-tiba dilancarkan, mampu dielakkan Gandewa begitu saja dengan memiringkan tubuhnya sedikit. Dan begitu serangan pertamanya gagal, Purwakanti kembali mengirim serangan dengan menyodokkan tangan kanan ke arah ulu hati Gandewa. Sementara, tangan kirinya digunakan untuk menggendong bayinya.
"Akh!" pekik Purwakanti.
Seketika dia merasakan sengatan yang teramat kuat di pergelangan tangannya, ketika tangan Gandewa berhasil menepis serangannya.
"Sudah kukatakan, Gandewa sekarang lain dengan Gandewa tiga tahun lalu. Turuti sajalah keinginanku, Kanti."
"Keparat!"
Purwakanti kembali menyerang, tapi Sempani lebih cepat meneegah.
"Jangan gegabah, Kanti! Ingat bayi kita," cegah Sempani sedikit keras. Purwakanti kontan mengurungkan niatnya. Didekapnya bayinya kuat-kuat, dan dikecupnya sebentar......
"Kakang Gandewa, bisa kumaklumi apa yang menjadi keinginanmu. Tapi sayang, aku tak bisa mengabulkan keinginan Kakang yang tak masuk akal itu," tukas Sempani.
Betapa terkejutnya Gandewa mendengar ucapan adik seperguruannya. Giginya beradu, dan tangannya terkepal kuat. Lalu....
Brakkk. !
Seketika meja yang ada di hadapan lelaki berkepala botak itu hancur terhantam kepalannya.
"Rupanya kau sudah punya nyali, Sempani!" bentak Gandewa keras.
Sempani hanya menimpali dengan senyum.
"Kau masih seperti dulu, Sempani. Masih suka merendahkan orang lain. Padahal kau tahu, siapa aku dan bagaimana aku menyingkirkan Eyang Seleguri dari muka bumi ini. Hm.... Lelaki tua busuk itu memang pantas kulenyapkan. Dialah yang selama ini jadi penghalangku untuk mendapatkan Purwakanti. Dia rupanya pilih kasih, sehingga memilihmu daripada aku. Kau masih ingat itu, Sempani?"
"Tentu ingat, Kakang Gandewa. Aku juga ingat kelicikanmu. Mana mungkin kau mampu menandingi kehebatan Eyang Seleguri kalau tidak menggunakan empat pembokong gelap. Kakang telah keluar sebagai pemenang tapi dengan cara licik. Dan itu tindakan yang tidak ksatria, Kakang."
"Bedebah laknat!" Gandewa langsung bergerak cepat mengirim serangan bertenaga dalam penuh ke lambung Sempani.
Menyaksikan gelagat yang tidak baik, Sempani secepat kilat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pukulan bertenaga dalam penuh yang dikerahkan Gandewa hanya menyambar ruang kosong. Namun demikian, Sempani merasakan angin keras dari pukulan Gandewa. Dan belum lagi Sempani membetulkan letak berdirinya, Gandewa kembali menyerang. Bahkan kali ini menggunakan jurus 'Seribu Topan Membelah Samudera' yang didapat dari Eyang Seleguri.
"Hup!"
Sempani melentingkan tubuhnya ke belakang. Namun, Gandewa terus mencecar dengan jurus-jurus yang berubah-ubah. Tidak heran dalam waktu singkat, sepuluh Jurus sudah digelar Gandewa. Tapi sampai sejauh ini, belum ada satu pun yang bisa untuk mendesak Sempani. Padahal, Sempani sendiri hanya menghindar, meladeni serangannya.
Tentu saja hal ini membuat geram hati Gandewa. Padahal, serangan yang dilontarkannya tidak main-main.
"Sempani!" bentak Gandewa keras.
"Jangan menyesal bila malaikat maut menjemputmu sekarang, dihadapan anak istrimu!"
"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan, Kakang!"
"Bedebah!"
Semakin geram hati Gandewa mendengar ucapan Sempani. Langkah kakinya yang sudah telanjur maju, ditariknya kembali. Gandewa kini bermaksud memberi pelajaran terakhir pada Sempani. Laki-laki berkepala botak dan berwajah angker itu merenggangkan sedikit kakinya. Sedangkan kedua telapak tangannya ditempelkan satu sama lain, kemudian diangkat tinggi-tinggi hingga melewati ubun-ubun. Dan kini tangannya diturunkan, lalu berhenti tepat di depan dadanya yang bidang.
Sempani sebenarnya sedikit bingung juga menyaksikan gerakan yang dilakukan bekas saudara seperguruannya. Betapa tidak? Kini kedua telapak tangan Gandewa nampak dikelilingi cahaya merah yang menyebarkan panas ke seluruh ruangan.
"Seluruh kemampuanmu harus kau kerahkan, Sempani. Itu jika kau masih ingin menikmati matahari esok pagi," ancam Gandewa sambil menatap tajam.
"Ajian ini sangat langka. Rasanya sukar sekali bagi orang yang memiliki ilmu olah kanuragan rendah sepertimu untuk mengelak. Bersiaplah menghadapi aji 'Pembeku Darah'."
Setelah berkata demikian, Gandewa langsung menaikkan tangannya melewati kepala. Sinar merah yang mengelilingi telapak tangannya terlihat berpencar.
"Haaat...!"
Seberkas sinar melesat cepat dari sampokan tangan Gandewa ke arah Sempani.
"Hip!"
Sempani memasang kuda-kuda dengan kedua tangan disilangkan di atas.
"Aku ingin tahu, sampai di mana keampuhan aji 'Pembeku Darah' yang kau miliki, Kakang," tantang Sempani, tak kalah dingin. Tubuhnya kini sudah terbungkus sinar keperakan. Dan ketika sinar merah yang dikirim Gandewa itu membentur tubuh Sempani, maka....
Blarrr. !
Betapa terkejutnya hati Gandewa menyaksikan keadaan Sempani yang masih seperti sediakala.
"Hebat kau, Sempani," puji Gandewa menutupi keterkejutannya. 'Tiga tahun lamanya kita tak berjumpa. Dan ternyata, kau sudah punya kebolehan yang patut diandalkan. Sungguh tak kusangka."
"Kebolehan yang kumiliki sesungguhnya tidak terlalu hebat. Hanya aji 'Pembeku Darah' milikmu itu terlalu dangkal, karena tak ada kekuatan di dalamnya. Buang saja ajianmu itu, Kakang," ejek Sempani.
"Dan perlu kau ketahui. Aji 'Baja Raga' yang kupamerkan tadi merupakan pemberian Eyang Seleguri. Itu merupakan hadiah untuk muridnya yang berbakti. Tidak seperti Kakang yang selalu membangkang!" 
"Persetan dengan Seleguri!" pekik Gandewa keras.
Sungguh tak disangka kalau seiring pekikan itu, Gandewa menyertakannya dengan sebuah ajian dengan sambaran tangan kanannya. Aji 'Dewa Api' namanya.
"Akh...!"
Sempani menjerit kesakitan ketika bahunya terasa seperti terbakar. Bau sangit dan kulit terbakar seketika tercium hidung Sempani. Tampak bahu sebelah kirinya hangus, setelah tangan kanan Gandewa berhasil mendarat telak.
"Licik kau, Gandewa!" maki Sempani sambil mencabut pedang dari balik punggungnya.
Gandewa hanya terkekeh melihat pedang wama keemasan yang siap menantangnya.
"Tahanlah, Sempani!" sentak Gandewa.
Gandewa kembali mengirim aji 'Dewa Api' ke arah Sempani dengan sambaran tangan kiri. Namun, kali ini Sempani lebih waspada. Cepat-cepat dia membuang dirinya ke kanan, lalu berjumpalitan di lantai. Kemudian, dia bangkit berdiri sambil mengibaskan pedang keemasan di tangannya. Gandewa terkekeh-kekeh menyaksikan Sempani sibuk menghindari serangan-serangannya.
"Tahan lagi, Sempani!"
Sempani tak bergeming sedikit pun melihat Gandewa kembali melancarkan serangan. Dia hanya berdiri mantap, dengan meletakkan pedang keemasannya sejajar hidung. Sementara itu, kedua tangan Gandewa sudah tercipta api yang membentuk seperti bola. Dan ketika tangannya dihentakkan, maka seketika meluncur bulatan api yang mengarah ke tubuh Sempani.
Namun bulatan api ciptaan Gandewa itu dibiarkan meluruk maju. Dan ketika sudah semakin dekat, Sempani memajukan sedikit pedang keemasannya. Baru kerika menyentuh pedang yang berada di tangannya, bara api itu seperti tak berpengaruh apa-apa, seperti tertelan sinar keemasan yang keluar dari bilah pedang Sempani.
Melihat hal ini, Gandewa kembali tercengang "Sudah kukatakan, jangan terlalu banyak bermain-main, Gandewa!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara teguran keras yang datangnya entah dari mana. Dan belum lagi gema suaraitu hilang, mendadak muncul empat sosok tubuh yang berlompatan ringan di samping kiri-kanan Gandewa. Melihat dari gerakan mereka, jelas kalau ilmu meringankan tubuh mereka sudah cukup tinggi.
Sempani terkejut juga menyaksikan keberadaan empat tokoh aliran sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat. Begitu juga dengan Purwakanti yang sedang menggendong bayinya. Bagaimanapun juga, suami istri itu sadar, dengan siapa sekarang sedang berhadapan. Bahkan Eyang Seleguri sendiri tak akan mampu menghadapi Empat Setan Goa Mayat. Apalagi suami istri itu.
"Kau rupanya terkejut juga, Sempani!" ujar salah seorang dari Empat Setan Goa Mayat
Dia mempunyai nama asli Regita. Konon, sepak terjangnya sangat ditakuti. Julukannya dalam rimba persilatan adalah Telapak Setan. Walaupun berjenis kelamin perempuan, namun dia betul-betul berhati setan!
"Terkejut?" ledek Sempani.
"Kalian pikir, aku anak baru kemarin, heh!?"
"Ha ha ha.... Ini tantangan yang menarik, Gandewa! Ayo, jangan buang-buang waktu. Sebentar lagi ayam berkokok. Kita sudahi saja permainan ini." Dia adalah laki-laki kekar berotot dan berjubah hitam. Selesai menuntaskan ucapannya, tangannya diangkat tinggi-tinggi. Gerakan yang nampak aneh itu segera diikuti rekannya. Hanya Gandewa yang kelihatan malah melepaskan lilitan rantai baja di pinggangnya. Sepasang palu bergerigi warna hitam nampak terikat pada ujung rantai.
"Hiaaat...!"
Gandewa meluruk maju mendahului Empat Setan Goa Mayat. Sepasang palu bergeriginya berputar-putar cepat di atas kepalanya. Hawa dingin menggigilkan seketika keluar dari putaran palu bergerigi yang tak tampak wujudnya. Hanya lingkaran kehitaman saja yang nampak di atas kepala Gandewa.
"Alirkan hawa murnimu ke tubuh Jaka Sembada, Kanti!" teriak Sempani lantang. Biar bagaimanapun juga, dia mengkhawatirkan keadaan anaknya.
"Tak ada artinya, Sempani!" ejek Gandewa.
"Kalian semua harus mati, kecuali Purwakanti."
"Setan!"
Sempani memutar pedang keemasannya untuk mengusir hawa dingin yang semakin menggigit.
Blarrr...! Salah satu palu bergerigi milik Gandewa yang diluncurkan membentur dinding, ketika Sempani mengegos ke kiri.
"Satu lagi, Sempani!"
Gandewa kembali melepas Palu bergerigi ke arah Sempani yang seketika juga memutar tubuhnya dan melakukan lompatan dua kali.
"Biar aku saja yang menghabisinya, Gandewa!" pinta Telapak Setan. Perempuan itu kemudian melompat ke hadapan Sempani, diikuti ketiga rekannya. Sementara, Gandewa mengurungkan niatnya untuk menyerang. Dibiarkan saja empat orang lawannya menyerang dari empat penjuru.
Beberapa saat kemudian. Wusss...!
Perempuan setan itu segera mengibaskan tangannya. Begitu juga yang dilakukan ketiga rekannya. Gerakan mereka begitu serempak, dan sepertinya tak mengeluarkan apa-apa. Tapi dari bau yang keluar, sudah membuat Sempani sibuk memutar-mutar pedang keemasannya.
"Hiyaaa...!" Wusss!
Mendapat serangan dari empat penjuru, Sempani benar-benar kelabakan.
Bahkan ketika empat lawannya melepaskan benda lembut berwama keperakan, dia jadi terkesiap. Cepat-cepat tubuhnya melenting dan bersalto dua kali. Tapi, tetap saja salah seorang pengeroyoknya telah membaca gerakannya. Maka, serangan yang rupanya berupa jarum-jarum beracun itu tak bisa dihindari. Maka....
"Aaakh. !"
Sempani menjerit keras ketika dada sebelah kanannya terkena tusukan puluhan jarum beracun. Pedang keemasannya pun terpental agak jauh.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang sejak tadi. Serahkan saja Purwakanti padaku, habis perkara. Dan kau tak perlu susah-susah merasakan sakit seperti itu. Kau bisa selamat dan mencari perempuan lain. Tapi sekarang..., ha ha ha. Kau akan mati dengan tubuh membiru."
Sempani bangkit hendak meraih pedangnya, tetapi....
Bug!
Tendangan telak mendadak dilancarkan oleh lelaki berbaju biru langit, sehingga membuat Sempani terjengkang mencium tanah. Laki-laki yang baru saja menendang itu namanya Angkara. Badannya kurus, tapi wataknya telengas. Melihat lawannya sudah tak berdaya, tapi tetap saja dia masih memberikan tendangan.
Purwakanti tersedak. Bayinya segera diletakkan di atas tempat tidur. Lalu dengan cepat, dia menghambur dan menubruk Sempani.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?" tanya Purwakanti khawatir sambil memegangi tubuh suaminya.
"Sebaiknya kau melarikan diri, Kanti. Selamatkan anak kita. Biar aku yang menghadang mereka. Cepat, Kanti!" Sempani berusaha bangkit, seraya mendorong sedikit tubuh Purwakanti.
"Cepat, Kanti! Selamatkan Jaka Sembada." 
"Tak ada gunanya kalian lakukan itu," perempuan yang berjuluk Telapak Setan itu terkekah.
"Anak buahku sudah mengepung bangunan ini. Lagi pula, dengan tubuh yang membiru seperti itu, mana kuat kau menghadang kami." 
"Cepat, Kanti!" ujar Sempani kembali, agar Purwakanti cepat pergi.
"Tapi, Kakang. "
"Cepat kataku!"
Purwakanti baru hendak melesat pergi, namun tiba-tiba tubuhnya terasa ada yang menahan. Ternyata segulung sinar kehitaman ciptaan seorang lelaki yang mengenakan topeng berbentuk tak karuan telah berputar-putar di leher dan pergelangan kakinya. Sehingga, mau tak mau gerakannya jadi tertahan.
Sementara, Sempani tengah sibuk melawan hawa dingin yang sudah merasuk ke tulang sumsum. Sedangkan Gandewa sudah maju mendekati Purwakanti yang tak berdaya terkurung sinar kehitaman lelaki bertopeng. Nama sebenarnya lelaki bertopeng itu adalah Barrot. Tapi karena setiap kemunculannya menggunakan topeng hitam, dia dijuluki si Topeng Hitam.
Tuk! .
"Akh!" Purwakanti mengeluh terkena totokan Gandewa. Maka, seketika tubuhnya terasa tanpa daya.
Sempani makin pasrah saja saat si Topeng Hitam mendekatinya dengan golok terhunus. Mata Sempani hanya mampu terbeliak lebar saat dengan cepat golok Barrot siap menghunjam tubuhnya. Dan....
Blesss! "Akh. !"
Pekikan tertahan yang keluar dari mulut Sempani, semakin membuat Purwakanti terkejut. Namun dengan keadaan tanpa daya seperti ini, dia tak mampu berbuat apa-apa.
"Kakang...!" panggil Purwakanti. Dengan linangan air mata, disaksikannya tubuh Sempani terbujur kaku dengan sebilah golok berbentuk aneh tertanam tepat di jantung.
"Ayo kita tinggalkan tempat ini!" ujar Gandewa sambil menggendong tubuh Purwakanti.
"Bagaimana dengan bayi itu?" selak Barrot.
"Biar aku yang habisi," kata lelaki yang bersenjatakan cambuk berduri.
Dia bernama Jatianom. Tubuhnya tinggi besar. Wajahnya yang kasar dihiasi cambang bauk. Sehingga menambah keangkeran wajahnya. Kini dihampirinya ranjang yang terbuat dari jati ukir itu. Cambuk berdurinya pun sudah diangkat tinggi-tinggi. Ada sinar kebencian ketika cambuknya diarahkan ke bayi merah anak Sempani dan Purwakanti itu.
"Jangan kau kotori cambukmu dengan darah bayi yang tak berdosa, Jatianom!" tahan Regita ketika cambuk berduri Jatianom mulai terayun.
Jatianom mengurungkan niatnya. Dipandanginya Regita dengan tatapan aneh.
"Apa maksudmu, Regita?" tanyanya tak puas.
"Anak ini akan jadi penghalang kalau tidak dibinasakan sekarang." Regita tak segera menyahuti pertanyaan Jatianom yang disertai nada kekecewaan. Si Telapak Setan yang berhati setan itu hanya menyunggingkan senyum dingin.
"Aku tak bermaksud membiarkan bayi itu hidup, Jatianom," lanjut Regita setelah sekian saat membalas tatapan tajam Jatianom.
Jatianom tersenyum mendengar ucapan Regita.
"Biarkan bayi itu terkubur oleh abu bangunan rumah ini. Ayo..., hup!"
Regita melempar lampu yang menempel di dinding. Tubuhnya melesat cepat meninggalkan rumah Sempani yang mulai dimakan api. Sementara, Gandewa yang membopong tubuh Purwakanti, Angkara, Jatianom dan Barrot melesat tak kalah cepat.

* * * * *



Ayam mulai berkokok satu-satu dari kejauhan, seiring semakin benderangnya api yang menjilati bangunan rumah Sempani.
Tiang-tiang penyangga yang terlalap api satu-satu berjatuhan ke lantai. Sementara di atas tempat tidur yang belum terjamah api, seorang bayi tengah bergerak-gerak dengan tangisan yang melengking. Seolah-olah hendak menandingi suara dinding-dinding papan yang berguguran ke lantai rumah akibat termakan api.
Seiring lengking tangis yang memilukan, selarik bayangan biru meluruk masuk menerobos kobaran api yang berkobar dengan ganas. Bayangan itu ternyata adalah seorang kakek. Gerakannya sangat cepat, walaupun usianya sudah lanjut Dia berhenti tepat di depan tempat tidur dari jati ukir.
Kakek berjubah biru itu menatap bayi yang terus menangis! Sementara keadaan di dalam kediaman Sempani layaknya seperti neraka saja. Begitu panas! Segera kakek beijubah biru itu menggendong bayi yang kepanasan. Begitu cepatnya kakek berjubah biru itu bergerak, sehingga sebentar saja tubuhnya sudah jauh meninggalkan rumah yang semakin habis dijilart api. Sulit untuk menerka, setinggi apa ilmu yang dimiliki kakek itu.

* * * * *



--≡¦ { DUA } ¦≡--

Hari terus berjalan dari waktu ke waktu. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Tak terasa, sudah sepuluh tahun peristiwa pembantaian di Desa Tegalreja berlalu. Bahkan telah dilupakan orang.
Sementara itu, di puncak Gunung Kalaban, tampak kabut tebal masih menyelimuti. Gerakannya perlahan-lahan, mulai turun. Kemudian, kabut itu mulai tergeser oleh sinar matahari yang keluar dari peraduannya.
Seorang kakek beijubah biru tampak sedang duduk bersila di sebuah ruangan yang lebih mirip lorong. Tak jauh dari situ, duduk seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun lebih. Tampaknya, dia sedang melatih diri.
"Sempurnakan jurus yang terakhir, Jaka!" perintah kakek berjubah biru, setelah meneguk air yang ada di depannya. Kakek berjubah biru itu kemudian menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Ditatapinya bocah kecil yang bernama Jaka yang tengah begitu tekun melatih ilmu olah kanuragan. Sesungguhnya ada yang mengusik hati kakek berjubah biru itu manakala menyaksikan kesungguhan Jaka berlatih. Lagi pula..., kakek berjubah biru itu kembali menarik napas.
Betapa inginnya seluruh ilmu yang dimilikinya diturunkan. Tapi, mana mungkin hatinya tega memperkenalkan Jaka di mata orang-orang rimba persilatan sebagai pewaris ilmu golongan hitam?
Kembali kakek itu meneguk minuman yang ada di hadapannya. Kerongkongannya terasa kering mengingat sepak terjangnya pada masa lalu yang sudah merenggut puluhan, bahkan ratusan nyawa orang tak bersalah. Bukan itu saja. Akibat perbuatannya juga, nyawa kepala-kepala suatu padepokan telah hilang. Bahkan tak jarang dia menghancurkan beberapa padepokan, dan membakarnya hingga rata dengan tanah.
Kakek berjubah biru itu juga ingat saat dirinya pernah menyelamatkan nyawa seorang perempuan dari keroyokan tokoh aliran hitam. Tujuannya sebetulnya bukan karena tak tega melihat kesewenangan. Tapi justru sebaliknya. Dia telah tertarik pada kecantikan perempuan yang ditolongnya, yang ternyata bernama Selasih.

* * * * *



Selasih memang begitu santun budinya. Rasa terima kasihnya yang begitu besar, diperlihatkan pada Legar yang telah membebaskannya dari keroyokan tokoh-tokoh aliran hitam. Dan itu dibuktikan ketika Legar menginginkannya untuk menjadi seorang sahabat. Selasih tak menolak, meski belakangan ia tahu kalau Legar sesungguhnya seorang lelaki dari golongan hitam yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa!
Dan ketika terang-terangan si Hantu Pemburu Nyawa yang dengan jubah birunya, hingga penampilannya begitu angker, mengungkapkan perasaannya. Waktu itu Selasih tak menolak. Karena, perempuan itu beranggapan kalau manusia itu pada dasarnya baik. Begitu juga Legar yang berjuluk si Hantu Pemburu Nyawa. Hanya saja, hatinya sejak dulu tertanam keangkaramurkaan dan nafsu setan yang tak terkendali.
"Kau mau menerima diriku, Selasih?" begitu lembut pertanyaan yang keluar melalui bibir Legar waktu itu.
Ucapannya yang tersusun rapi, tak mencerminkan kalau Legar adalah seorang tokoh aliran hitam yang sering berurusan dengan darah dan kematian.
Namun justru hal inilah yang menjadi pertimbangan Selasih. Ada suatu ketulusan dalam penuturan Legar. Maka, Selasih perlahan menganggukkan kepala, untuk menerima kehadiran Legar di sampingnya. Tentu saja ada satu syarat yang menyertai anggukannya.
"Ada syaratnya, Kakang Legar," kata Selasih, lembut.
"Apa syarat itu, Selasih?" juga masih begitu lembut suara si Hantu Pemburu Nyawa.
"Kau bersedia meninggalkan kebiasaan burukmu selama ini, Kakang Legar?" pinta Selasih, disertai senyumnya yang manis sekali.
Ada keterenyuhan yang menyejukkan, menyelusup rongga dada si Hantu Pemburu Nyawa. Tak biasanya dia mengalami perasaan itu. Tapi, kali ini? Perasaan Legar benar-benar terkuasai kata-kata lembut yang diucapkan Selasih sebagai persyaratan.
Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa begitu yakin ketika menganggukkan kepalanya. Namun, Selasih juga ingin penegasan dari arti anggukan kepala itu.
"Aku bersungguh-sungguh, Selasih. Duniaku yang selama ini tercemar oleh keonaran dan kekejian, akan segera kutinggalkan," tegas Legar.
Manusia memang hanya berusaha, dan Tuhanlah yang menentukan. Walaupun Legar menunjukkan kesungguhannya, namun tetap saja nasib menentukan lain. Ternyata tokoh-tokoh aliran putih menentang hubungan mereka habis-habisan. Bahkan menuduh Legar telah meracuni Selasih dengan janji-janji kosong.
"Manusia keji selamanya akan tetap keji," begitu yang selalu diucapkan mereka terhadap si Hantu Pemburu Nyawa. Dan pada kenyataannya, Legar tak kuasa membantah. Apalagi bukti-bukti janjinya itu belum mampu diperlihatkannya.
Begitu pula yang dialami Selasih. Dirinya tak bisa menentang keinginan orang-orang yang dekat dengannya agar menjauhi Legar. Dia benar-benar tak mampu berbuat apa-apa.
"Akan kubuktikan tuntutan orang-orang yang dekat denganmu, Selasih. Meski aku yakin antara kita tak dapat bersatu, namun akan tetap kuwujudkan niat baikku. Aku akan mengasingkan diri, meninggalkan keramaian rimba persilatan yang tak pernah selesai ini."

* * * * *



"Eyang. Sudah tujuh kali aku mengulangi jurus yang terakhir, tapi...."
Kakek berjubah biru yang bernama Legar itu masih pada ketermenungannya. Sungguh tak disadari kalau bocah berusia sepuluh tahun sudah bersila di hadapannya dengan tutur kata lembut.
"Eyang... Eyang Legar," Jaka kembali memanggil kakek beijubah biru itu.
"Eyang Le. "
"Heh! Eh, oh.... Sudah berapa kali kau mengulangi jurus terakhir, Jaka?" Eyang Legar seketika tergagap, lamunannya tentang masa lalu bersama Selasih seketika lenyap.
"Tujuh kali, Eyang."
"Tujuh kali?"
"Benar, Eyang. Apa sudah ada peningkatan?"
Eyang Legar tak segera menjawab pertanyaan bocah kecil di hadapannya. Hatinya seketika tersentak. Baru disadari kalau sejak tadi dia tidak memperhatikan latihan cucu angkatnya. Pikirannya terlalu asyik dengan masa lalunya. Wajah Eyang Legar sebenarnya memerah, namun segera cepat dapat ditahannya.
"Coba kau ulangi sekali lagi," pintanya.
Jaka tak membantah. Ia segera bangkit, dan langsung memainkan jurus terakhir dengan sungguh-sungguh.
Plok, plok, plok...!
"Bagus! Bagus sekali, peningkatan yang luar biasa. Jurus terakhir yang kau mainkan begitu sempurna, Jaka," puji Eyang Legar atau si Hantu Pemburu Nyawa, seraya mengelus-elus jenggotnya.
"Apa Eyang akan menurunkan jurus yang lainnya?"
Eyang Legar tak menjawab pertanyaan bocah kecil di hadapannya. Mata tuanya yang tajam langsung menatap wajah Jaka. Seolah-olah, kakek berjubah biru itu ingin mengetahui, apa saja yang tersimpan di dalam benak bocah di hadapannya.
Sebentar kemudian, Eyang Legar menarik napas dalam-dalam. Mungkin inilah saatnya dia menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, sekaligus memberikan alasan kenapa dirinya tak menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya. 
"Maafkan Eyang, Jaka. Rasanya seluruh ilmu yang kumiliki tak pantas diwarisi oleh bocah bagus sepertimu," lembut namun pasti ucapan yang keluar dari mulut Eyang Legar.
"Kenapa bisa begitu, Eyang? Apakah karena aku masih terlalu kecil untuk mewarisi seluruh kepandaianmu?"
Eyang Legar menggelengkan kepalanya.
"Kau belum tahu, siapa diri Eyang yang sesungguhnya, Jaka."
"Maksud Eyang?" Jaka menatap lurus, langsung menusuk ke bola mata Eyang Legar.
"Semasa muda, aku adalah seorang tokoh rimba persilatan yang disegani lawan maupun kawan. Tak satu pun tokoh rimba persilatan yang mampu menandingi kedigdayaanku. Eyang memang bangga akan apa yang telah Eyang miliki. Namun, kebanggaan itu telah membawa diriku pada kesombongan yang akhirnya melahirkan banyak keresahan. Eyang berubah menjadi seorang tokoh persilatan yang kejam. Pemerasan dan pembunuhan sering kulakukan. Hingga pada akhirnya, aku menggelari diri sebagai Hantu Pemburu Nyawa," tutur Eyang Legar.
Si Hantu Pemburu Nyawa itu menghentikan ceritanya sebentar. Ditatapnya bocah kecil di hadapannya. Sepertinya, dia ingin menuangkan segala perasaannya. Sementara yang ditatap hanya menunduk, seperti berusaha memahami ucapan gurunya.
"Julukan itu memang begitu angker terdengar di telinga. Namun, aku begitu bangga waktu itu. Pembantaian pun lebih sering lagi kulakukan. Siapa saja yang berani berurusan denganku, maka harus berani pula menyerahkan nyawanya. Berapa banyak tokoh sakti yang telah kutaklukkan dan kukirim ke akhirat. Namun, ketika suatu hari Eyang berjumpa dengan Selasih...," kakek beijubah biru itu menghentikan ceritanya seraya membuang mukanya ke kanan, untuk menghindari agar cucu angkatnya tak melihat kalau matanya mulai merembang. Dia tak ingin tangisnya diketahui Jaka. 
"Eyang berhasil ditaklukkan Selasih?" tanya Jaka ingin tahu.
"Tidak Jaka," kata Eyang Legar sambil menggelengkan kepala. 
"Lalu. " Hantu Pemburu Nyawa mengarahkan pandangannya pada wajah Jaka, matanya seperti tak berkedip. Sebentar kemudian dari mulutnya mengalir cerita tentang dirinya dan Selasih.
"Karena Selasih, aku rela meninggalkan kebiasaanku yang selalu berurusan dengan darah dan kematian Karena Selasih pula aku rela menghilang dari rimba persilatan dan pergi jauh mengasingkan diri ke gunung ini."
Kembali Jaka tertunduk mendengar cerita Eyang Legar.
"Aku rasa kau mengerti, kenapa aku tak mewarisi ilmu yang kumiliki. Aku tak ingin nantinya kau dikenal sebagai seorang tokoh dari golongan hitam. Mereka yang berkecimpung dalam rimba persilatan, telah mengenal betul jurus-jurus yang kumiliki. Dan mereka juga telah menggolongkanku dalam aliran sesat," jelas Eyang Legar. Kakek berjubah biru ini meletakkan kedua tangannya yang nampak masih kekar pada bahu Jaka. Sementara bocah berusia sepuluh tahun itu tetap duduk terpekur. 
"Tapi jangan khawatir, Jaka," lanjut Eyang Legar.
"Aku akan berusaha mempertemukan kau dengan Selasih."
Jaka mengangkat kepalanya. Sinar kegembiraan terpancar jelas dari wajahnya yang putih bersih. 
"Eyang akan membawaku menjadi murid. "
"Panggil dia Eyang Putri Selasih."

* * * * *



Malam merangkak perlahan. Angin kering berhembus cukup kuat. Meskipun begitu, hawa dingin yang menggigit itu seperti tak dipedulikan oleh dua bayangan hitam yang tengah bergerak cepat. Sementara bulan sabit yang menggantung di atas, tak kuasa menerangi orang yang tengah bergerak cepat itu. Sehingga, wajah mereka sulit dimengerti.
"Masih jauhkah kediaman Eyang Putri Selasih, Eyang?" tanya salah seorang yang ternyata masih berusia sangat muda. Usianya sekitar sepuluh tahun. Namun, ilmu lari cepatnya patut dibanggakan.
"Kau sudah lelah?" yang ditanya malah balik bertanya sambil menatap wajah bocah kecil yang tertimpa sinar bulan sabit.
"Sedikit, Eyang," kata bocah sepuluh tahun itu sambil mengatur napasnya yang agak memburu.
"Masih kuat untuk berlari jauh?" tanya kakek beijubah biru ingin tahu.
Bocah kecil yang ditanya tak segera menjawab. Kembali kakinya bergerak cepat. Kakek berjubah biru yang memang Eyang Legar dan berjuluk Hantu Pemburu Nyawa itu tersenyum menyaksikan tingkah cucu angkatnya.
Mereka kembali berlari cepat menembus malam yang semakin jauh, disertai hawa dingin yang semakin menusuk ke tulang sumsum. Di tengah lari cepatnya, Eyang Legar masih sempat mendengar suara napas memburu yang keluar dari hidung cucu angkatnya.
"Kalau sudah tidak kuat, katakan terus terang, Jaka!" ujar Eyang Legar sambil memperlambat larinya.
Jaka hendak menanggapi ucapan eyangnya, tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, tiba-tiba....
"Hup...! Begini lebih baik untukmu, Jaka," Eyang Legar mengangkat tubuh bocah kecil itu ke atas pundaknya.
"Dengan begini kita akan lebih cepat sampai." Setelah berkata demikian, Eyang Legar langsung mempercepat larinya. Sementara, malam sudah semakin lanjut umurnya. Dua sosok bayangan hitam kini sudah menjadi satu, berlari dengan kecepatan yang sukar diukur. Dan kini, mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dijejeri pohon-pohon mahoni.
Kakek berjubah biru itu melayangkan pandangan ke seluruh bangunan besar berkesan sederhana. Di depan rumah itu terdapat anak tangga beberapa undak untuk menghubungi ke ruang utama. Eyang Legar terus melayangkan pandangan pada rumah yang temaram oleh beberapa lampu yang menempel di dinding. Tiba-tiba....
"Hip! Hip. !"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tiga sosok tubuh meluruk maju dengan pedang keperakan melintang di depan dada. Mereka ternyata anak-anak muda yang memiliki potongan tubuh cukup bagus. Tinggi dan kekar.
"Siapa kau?!" bentak salah seorang yang berkumis tebal, namun berperawakan lebih pendek dari kedua rekannya.
"Dan untuk apa berada di sini malam-malam begini?"
"Aku Legar, dan ini cucuku. Namanya Jaka. Keberadaanku di sini untuk menemui Nyi Selasih," lembut jawaban yang keluar dari bibir Eyang Legar.
Ketiga anak muda yang menghadang kakek berjubah biru itu saling berpandangan.
"Apa hubungan Kakek dengan guru kami?"
"Aku sahabat lamanya. Katakan saja, Legar ingin bertemu."
"Malam-malam begini? Pasti kau membawa niat yang tidak baik!" selak anak muda yang bertubuh lebih tinggi.
"Mana mungkin seorang sahabat berniat tidak baik, Anak Muda. Tolonglah pertemukan kami dengan gurumu," kata Eyang Legar lembut, disertai senyumnya yang manis.
"Besok pagi saja Kakek kembali lagi!"
"Aku harus bertemu Nyi Selasih sekarang," masih lembut suara kakek berjubah biru itu.
"Kami tidak mungkin membangunkan guru. Kalau itu kami lakukan, berarti telah mengganggu tidurnya. Sedangkan guru kami paling tidak suka jika tidurnya diganggu. Maka lebih baik Kakek datang lagi besok pagi," putus anak muda berparas tampan, namun berahang menonjol. Anak muda itu memang sedikit tenang dibanding kedua temannya.
"Sudah kubilang, aku harus bertemu guru kalian malam ini juga," tegas Eyang Legar pelan, namun tekanan suaranya cukup membangunkan amarah ketiga anak muda yang menghadangnya.
"Tidak bisa! Dan jangan paksa kami mengambil jalan kekerasan!"
"Sabar, Anak Muda," tahan Eyang Legar kerika pedang salah seorang yang menghadangnya terayun ke atas.
"Aku tidak akan memaksa, kalau kalian memang tidak ingin membangunkan guru kalian. Tapi, ijinkanlah aku yang membangunkan guru kalian."
"Kurang ajar!"
Anak muda yang barusan mengurungkan ayunan pedangnya, kini tanpa ragu-ragu lagi mengangkat senjatanya. Dan dengan kuat pedangnya ditebaskan ke pangkal leher Eyang Legar.
"Uts!"
Eyang Legar merundukkan kepalanya sedikit, sehingga sambaran pedang keperakan anak muda itu hanya membentur tempat kosong. Namun kakek berjubah biru itu menyadari kalau serangan yang dilakukan lawan tadi tidak main-main. Disertai pengerahan tenaga dalam, tebasan anak muda itu cukup membahayakan juga.
"Keparat!" maki anak muda itu, menyaksikan serangannya tidak menemui sasaran. Namun dia tak putus asa. Kembali pedangnya diayunkan dan menebas bagian bawah kakek berjubah biru itu.
Wuttt...!
"Hip!"
Eyang Legar melentingkan tubuhnya ke atas. Begitu juga dengan bocah kecil yang berada di sebelahnya. Mereka bersamaan melenting ke atas dan mendarat ringan secara berbarengan di tanah.
"Menyingkirlah, Jaka. Biar aku urusi dulu orang-orang ini," ujar Eyang Legar.
"Baik, Eyang," sahut Jaka. Bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu segera menyingkir dari arena pertarungan. Dan memang, orang-orang itu lebih menginginkan Eyang Legar.
Sementara itu, menyaksikan temannya selalu membentur ruang kosong, anak muda yang berperawakan tinggi dan sedikit kurus maju membantu serangan. Pedang keperakannya yang sejak tadi terhunus, ditusukkan ke arah perut kakek berjubah biru itu.
"Eit!"
Eyang Legar cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka serangan anak muda berperawakan tinggi itu melesat beberapa tombak dari, pinggang lawan.
Namun belum lagi Eyang Legar membetulkan letak berdirinya, kembali datang serangan dari anak muda yang berkumis tebal.
Wuttt! "Hup...!"
Eyang Legar menggenjot kakinya ke udara dan melakukan putaran dua kali untuk menghindari serangan selanjutnya. Akan tetapi, belum lagi kakinya menginjak tanah, kelebatan pedang keperakan kembali mengancam kakinya.
"Hip!"
Eyang Legar cepat-cepat mengangkat sedikit kakinya. Dan begitu pedang keperakan tepat berada di bawah kakinya, dengan sedikit pengerahan tenaga dalam, senjata itu dijadikan pijakan untuk kembali melenting ke udara.
"Awas...!" teriak Eyang Legar, seraya menyerang balik ke arah tubuh anak muda berkumis lebat
Anak muda itu memiringkan tubuhnya ke kiri, menghindari serangan kakek beijubah biru yang seper-tinya main-main. Namun dia kembali terperangah menyaksikan kecepatan tendangan Eyang Legar yang tiba-tiba sudah berada di depan wajahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat anak muda berkumis lebat itu menjatuhkan dirinya ke sarnping kiri, lalu bergulingan beberapa kali. Namun Eyang Legar tak mengejar. Sementara itu, sebuah serangan tengah mengancam pinggang Hantu Pemburu Nyawa itu. Dan....
"Hip. !"
Dug! "Akh. !"
Anak muda berperawakan tinggi yang mem-bokong kakek berjubah biru itu memegangi perutnya yang terkena sodokan kaki. Mulutnya tampak meringis, menahan rasa sakit dan mual yang menyerang perutnya. Sungguh tak diduga kalau kakek beijubah biru itu menyertai tenaga dalam pada tendangannya.
"Sudah kukatakan, maksudku ke sini tidak disertai niat jahat," tukas Eyang Legar mencoba menahan anak muda berparas tampan yang hendak turut menyerang.
Sementara itu, anak muda lainnya hanya saling pandang. Sedangkan anak muda yang tadi tertendang, sudah bangkit berdiri dan menghampiri kawan-kawan-nya.
"Kalau aku bermaksud jahat, sebentar saja nyawa kalian telah kukirim ke akhirat," lanjut Eyang Legar sambil menghampiri bocah kecil yang sejak tadi menjadi penonton.
"Kalau memang bermaksud baik, kenapa tidak kau turuti permintaan kami untuk datang lagi besok pagi?" tanya pemuda tampan berahang menonjol.
"Karena aku mempunyai keperluan yang tak bisa ditunda sampai besok, Anak Muda," sahut Eyang Legar sambil melempar senyuman.
"Itu hanya alasanmu! Hiyaaat...!"
Anak muda berkumis lebat yang punya watak keras, kembali menyerang. Kali ini tusukan pedang keperakannya mengarah ke jantung Eyang Legar. Namun kembali kakek beijubah biru itu melenting sambil membopong Jaka. Kemudian, mereka mendarat lunak beberapa tombak dari penyerangnya.
"Hiaaat...!" 
"Tahan!"
Bentakan kuat tiba-tiba datang dari arah pintu utama. Sehingga, membuat anak muda berperawakan tinggi dan berkumis lebat itu mengurungkan serangannya.
"Ada tamu tak diundang rupanya," lembut sekali ucapan yang keluar dari bibir wanita yang sudah cukup punya usia.
"Kenapa kalian tak membangunkan aku, kalau yang datang Legar?"
Semua anak muda yang ada di situ hanya diam membisu. Wajah mereka pun langsung tertunduk.
"Dan kau, Kakang Legar. Kenapa datang tak memberi kabar lebih dahulu? Kau telah membuat mereka bertiga terkejut, Kakang. Hei! Sentanu, Raharja, Sudana, kenapa bengong di situ? Kembali ke tempat kalian!"
"Kami kembali, Nyi," tukas Sentanu sambil memberi isyarat pada kedua temannya.
Perempuan tua itu kemudian mengembangkan senyum seraya menganggukkan kepala. Sementara ketiga lelaki muda itu segera membalikkan badannya, setelah lebih dahulu menganggukkan kepala pada kakek beijubah biru. Maka, Eyang Legar juga membalas dengan anggukan tanda pamit ketiga anak muda di hadapannya.
"Mereka bertiga muridmu, Selasih?" tanya Eyang Legar, setelah ketiga anak muda yang barusan menyerang, menghilang dari hadapannya.
"Seperti yang kau ketahui tentang watak ayahku. Nah, seperti itulah aku, Legar."
"Sampai setua ini kau belum mengangkat seorang murid pun?" Eyang Legar membelalakkan matanya sedikit.
"Lalu, ketiga anak muda tadi apa bukan muridmu?"
"Nada pertanyaanmu masih seperti belasan tahun lalu, Kakang. Jangan curiga seperti itu. Ketiga anak muda tadi memang mengaku sebagai murid. Tapi, aku sendiri tidak mengaku sebagai gurunya," sahut Selasih, seraya melirik bocah kecil yang berdiri di sarnping Eyang Legar.
"Kau masih seperti dulu, Selasih. Masih suka merendah dan senang bergurau," selak Eyang Legar polos.
"Aku tidak bergurau, Kakang Legar," bantah Nyi Selasih.
"Bisa kau lihat, bagaimana jurus-jurus yang mereka gunakan untuk menyerangmu. Tak ada keistimewaannya sedikit pun, bukan? Kau tahu, Kakang. Itulah jurus yang kuciptakan sambil lalu, atas desakan mereka. Mereka bertiga memang memiliki kemauan keras untuk mempelajari ilmu olah kanuragan." 
"Kalau memang begitu, kenapa tidak kau turunkan sedikit kepandaianmu?"
"Entahlah. Sampai saat ini, aku memang belum tertarik."
"Kasihan mereka," desah Eyang Legar, pelan sekali.
Nyi Selasih membelalakkan matanya. Telinganya yang memang sudah terlatih, mendengar juga ucapan Eyang Legar.
"Kalau merasa kasihan, Kakang saja yang mengangkat mereka sebagai murid," sahut Nyi Selasih.
Eyang Legar mengerutkan dahinya, lalu tersenyum lepas.
"Ilmuku tak baik dituruni pada orang baik-baik, Selasih. Kau paham, bukan?" 
"Dan anak kecil di sampingmu itu?"
Nyi Selasih menatap mata Jaka. Nyi Selasih nampak terkejut. Dia merasakan hatinya berdesir aneh ketika tatapannya membentur bola mata hitam pekat milik bocah kecil yang berdiri di sarnping kakek beijubah biru itu.
"Ah! Mari masuk ke dalam, Kang," putus Nyi Selasih mencoba menutupi keterkejutannya sambil meraih tangan bocah kecil di samping Eyang Legar.
Kembali Nyi Selasih terkejut setelah kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Jaka. Terasa ada hawa lain yang keluar dari kulit bocah kecil yang begitu tebal itu. Apakah bocah ini yang akan menjadi muridnya, seperti yang pernah diceritakan mendiang ayahnya?
Nyi Selasih terus bertanya-tanya dalam hati, sambil terus menuntun tangan Jaka masuk ke ruang utama.

* * * * *



"Kau bisa ceritakan, siapa anak kecil itu, Kakang?" desak Nyi Selasih setelah kembali mengantar Jaka ke kamar tidur.
"Kau suka padanya?" pancing Eyang Legar.
Nyi Selasih tak menimpali pertanyaan Eyang Legar, si Hantu Pemburu Nyawa. Seorang tokoh persilatan golongan hitam yang sudah insyaf.
"Aku khawatir, kau tak menyukai dan tak sudi mengangkatnya sebagai murid. Bukankah kau sudah berjanji untuk itu, Selasih?"
"Sampai kutemukan seseorang yang betul-betul pas menjadi muridku, Kakang," tegas Nyi Selasih.
"Itu berarti tak tertutup kemungkinan bagi Jaka Sembada untuk jadi muridmu?" 
"Namanya Jaka Sembada, Kakang?" Eyang Legar menganggukkan kepalanya sambil mengusap jenggotnya yang hampir memutih sebagian.
"Nama yang begitu bagus. Dia pasti anakmu, Kakang," tebak Nyi Selasih.
Si Hantu Pemburu Nyawa melepas tawanya perlahan.
"Semenjak kegagalanku dalam mengawinimu, Selasih. Tak pernah sekali pun aku berurusan dengan perempuan," tegas Eyang Legar.
"Kau...," sebut Nyi Selasih, sambil menundukkan kepalanya.
"Tak ada perempuan lain yang kucintai selain kau, Selasih. Itulah suratan dari sang Pencipta yang tak bisa digugat. Ah! Lupakan masa lalu yang hanya membuat kita bersedih, Selasih," ujar Eyang Legar periahan, sambil memegang punggung Nyi Selasih dengan kedua telapak tangannya.
"Sebagai penerus hubungan kita, kuingin kau menuruni seluruh kemampuanmu kepada Jaka. Dia seorang anak kecil yang penuh keistimewaan. Dan kuharap, kau menyukainya."
"Tapi. "
"Tanpa kau minta pun, aku akan menjelaskan asal-usul anak itu, Selasih," potong Eyang Legar yang kemudian mengarahkan pandangannya ke arah jendela yang tak tertutup rapat
Mata kakek berjubah biru itu tampak tak berkedip ke arah jendela. Mata tuanya yang masih kelihatan segar seperti hendak menembus kepekatan malam.
"Aku tak tahu, kenapa malam itu perasaanku begitu kuat untuk keluar dari persembunyianku," ungkap Eyang Legar periahan.
"Semula, aku tak menurutinya. Tapi ketika keinginan itu terasa semakin kuat, akhirnya kaki ini melangkah. Aku menggunakan langkah biasa ketika menuruni gunung. Namun lama kelamaan, langkah yang sudah lama tak kugunakan semakin cepat saja, tanpa kuhendaki sama sekali. Setelah kusadari, ternyata aku telah jauh meninggalkan kaki gunung."
Eyang Legar menghentikan ceritanya sejenak. Matanya kini beralih ke wajah Nyi Selasih. Nampak wanita tua itu mengharapkan agar Eyang Legar untuk segera melanjutkan ceritanya.
"Aku baru menghentikan Iangkah kerika samar-samar kudengar suara pertengkaran, yang kemudian berlanjut pertarungan. Hal ini bisa kuduga dari suara senjata yang beradu. Semula, aku tak mau ikut campur. Aku sudah berjanji tak ingin berurusan lagi dengan kekerasan sejak kita berpisah puluhan tahun lalu. Namun, perasaanku yang lain mengajakku untuk menyaksikan pertempuran itu. Aku memang mampu menekan ajakan itu, tapi aku tak mampu beranjak dari situ. Aku tersentak ketika mendengar pekik seorang perempuan. Bahkan aku langsung ingat kau, Selasih. Kuhentakkan kakiku cepat-cepat, namun kembali kuhentikan ketika nama perempuan itu disebut seseorang," lanjut Eyang Legar.
"Siapa nama perempuan itu, Kakang?" potong Nyi Selasih.
"Kalau tak salah aku mendengarnya, namanya Purwakanti."
"Purwakanti?" ulang Nyi Selasih sedikit terkejut
"Kau mengenalnya?" selidik Eyang Legar.
"Nama Purwakanti tidak hanya satu di jagat ini, Kakang. Teruskan ceritamu," ujar Nyi Selasih.
"Aku kembali mengayun langkah dengan kecepatan penuh, manakala kudengar tangis seorang bayi. Lalu, aku berhenti di depan rumah yang ternyata sudah dilahap api. Sementara lengking tangis bayi semakin kuat menusuk telinga, seolah-olah menyuruhku untuk menerobos lingkaran api yang sudah membumbung tinggi. Aku melakukannya, Selasih. Lingkaran api itu kuterobos. Dan di dalamnya kutemukan sosok mungil di atas tempat tidur. Sementara di tempat lain, sosok tubuh lelaki kulihat tergeletak. Dan tak jauh darinya, tergeletak sebilah pedang yang berwarna kuning keemasan. "
"Pedang keemasan?! Pasti dia Sempani," gumam Nyi Selasih perlahan.
"Sempani...?" ulang Eyang Legar.
"Ya, ya. Nama itu juga disebut-sebut ketika pertarungan itu kudengar dari kejauhan. Sempani. Kau kenal dengan lelaki itu, Selasih?"
"Aku yakin, lelaki itu adalah pemilik pedang keemasan yang kau lihat. Dialah Sempani. Ya, Sempani murid Ki Seleguri dari Perguruan Soka Merah."
"Tentunya kau juga kenal Purwakanti?"
Nyi Selasih mengangguk.
"Dia anak sahabatku. Namanya, Seroja. Dan bocah bagus yang sedang terlelap di kamar pasti anak Purwakanti, cucu Seroja. Dan berarti, bocah bagus itu cucuku juga." Kakek berjubah biru yang berjuluk Hantu Pemburu Nyawa itu menatap wajah Nyi Selasih dalam-dalam. Seolah-olah, dia mencari kesungguhan dari ucapan perempuan tua di hadapannya. Sementara dari wajah Eyang Legar juga terpancar seberkas sinar kegembiraan.
"Itu berarti juga dia cucuku." 
"Aku berjanji akan menjaganya dan menuruni seluruh kemampuanku, Kakang Legar."
"Terima kasih, Selasih. Ternyata harapanku terkabul," bola mata Eyang Legar tampak berbinar-binar.
"Kau belum menceritakan keadaan Purwakanti waktu itu, Kakang Legar. Kau tidak menceritakan kalau kau melihat mayatnya."
"Ya. Di rumah yang tengah dilalap api itu tak kutemukan sosok lain, selain sosok lelaki yang kau pastikan bernama Sempani."
"Itu berarti membuka kemungkinan kalau Purwakanti masih hidup."
"Kemungkinan itu bisa saja terjadi."
"Kakang! Dalam pertempuran itu, telingamu mampu mendengar nama Purwakanti, Sempani, dan Jaka Sembada disebut-sebut. Apakah ada nama lain yang kau dengar?"
"Ada."
"Siapa?" desakNyi Selasih, tak sabar.
"Gandewa dan Empat Setan Goa Mayat" 
"Gandewa?" gumam Nyi Selasih. Dahi perempuan tua berusia lebih dari enam puluh tahun itu berkerut.
"Sepertinya, nama itu pernah kukenal. Hei! Bukankah dia yang pernah dikenalkan Ki Seleguri kerika aku membawa Purwakanti ke Perguruan Soka Merah?"
"Dia kakak seperguruan Purwakanti. Lalu, apa hubungannya dengan Empat Setan Goa Mayat?"
"Aku tak tahu, siapa itu Gandewa. Tapi Empat Setan Goa Mayat pernah kudengar sepak terjangnya," tukas perempuan tua itu seraya pikirannya menerawang jauh.
"Hari semakin larut, Selasih. Keteranganku sudah tidak kau butuhkan lagi. Sekarang aku mohon diri. Aku yakin, di tanganmu Jaka akan hadir sebagai sosok pendekar welas asih, yang selalu membela kebenaran dan memerangi kebathilan."
"Mudah-mudahan, Kakang. Kelak, jika saat yang tepat sudah datang, Pusaka Raja Petir akan kuserahkan padanya."
"Pusaka? Ayahmu meninggalkan pusaka? Pusaka apa?"
"Entahlah. Aku sendiri belum berani membukanya. Tapi menunjt ayah, pusaka itu berupa sebuah kitab, sebuah sabuk, dan dua buah bambu kuning sebesar ibu jari lelaki dewasa, sepanjang jengkalan bocah umur tiga tahun," jelas Nyi Selasih.
"Kalau boleh kuduga, kitab itu berisi pelajaran ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian yang ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Dugaanmu itu tak meleset, Kakang. Menurut ayah,isi kitab itu seperempatnya telah diturunkan padaku." 
"Sebuah kitab yang mengagumkan kalau begitu. Aku yakin, Jaka akan mampu menguasai pelajaran yang terkandung di dalamnya. Dia cerdas dan memiliki kemauan keras."
"Mudah-mudahan keyakinanmu menjadi kenyataan, Kakang," timpal Nyi Selasih.
"Aku pamit sekarang." 
"Terima kasih, Kakang." 
"Hip!" 
Sekali hentakan saja, tubuh kakek berjubah biru itu melesat cepat dari hadapan Nyi Selasih. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah menghibng dari pandangan. Sementara, malam beranjak semakin tua. Angin dingin pun berhembus semakin kuat.

* * * * *



--≡¦ { TIGA } ¦≡--

Malam merangkak semakin jauh. Bahkan tanda-tanda fajar akan menyingsing sudah semakin kuat. Pada sebuah ruangan yang cukup luas, tampak seorang perempuan yang sudah cukup umur tengah mondar-mandir dari ujung ruangan yang satu ke ujung ruangan yang lain.
Dahi perempuan yang berusia sekitar enam puluh dua tahun itu nampak berkerut. Kulit dahinya yang memang sudah keriput nampak turun naik. Itu menandakan kalau dia sedang memikirkan sesuatu yang cukup membutuhkan banyak pertimbangan.
"Diakah bocah yang dimaksud ayah?" perempuan tua berpakaian longgar berwarna putih itu memindahkan kerut d dahinya menjadi sebuah pertanyaan yang menggema di sudut hatinya.
Perempuan tua yang memang bernama Selasih itu kini menyunggingkan senyum sekilas, untuk sebuah keyakinan yang tertanam dalam hatinya.
Dia sesungguhnya senang mendapatkan seorang bocah yang kehadirannya memang sudah bertahun-tahun ditunggu. Namun, bukan hanya itu saja yang membuat nenek berpakaian longgar warna putih ini bersenang hati. Ada hal lain yang membuatnya bersuka cita. Yakni, keberadaan bocah yang ditunggu-tunggu ternyata masih ada kaitan dengan kehidupan masa lalunya.
Bocah yang sudah lama ditunggu itu ternyata cucu dari sahabat karibnya, yang memang sudah seperti adik kandung sendiri. Bahkan Almarhum Raja Petir pernah mengukuhkan Seroja sebagai anak angkatnya. Dan itu berarti, bocah yang kini tengah terlelap di kamarnya adalah buyutnya. Sedangkan buat Nyi Selasih, Jaka Sembada adalah cucunya. Karena, dia sendiri tetap menganggap Purwakanti, ibu si bocah, sebagai anak kandungnya.
Kembali senyum Nyi Selasih berkembang.Dan kali ini diiringi langkah kakinya menuju kamar Jaka yang tergolek dengan irama napas teratur. Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu melangkahkan kakinya dengan ringan, hampir tidak menimbulkan suara. Sinar matanya yang masih tetap tajam, tak lekang menatapi wajah keras namun lembut milik Jaka yang tengah terlelap.
Ada keinginan untuk memeluk tubuh yang selama ini ditunggu-tunggunya. Namun, Nyi Selasih mengurungkan keinginannya itu. Dia merasa tak tega untuk mengganggu tidur bocah yang mungkin terlalu lelah, karena telah menempuh perjalanan jauh bersama Eyang Legar. Mengingat nama Legar, ada perasaan menggiriskan yang tiba-tiba mengisi hati Nyi Selasih. Nama seorang lelaki yang telah salah jalan, namun telah bertobat karena dirinya semata. Tapi, tobatnya tak menghadirkan apa yang diharapkan. Tobat yang tidak pernah diterima orang-orang golongan putih.
"Uhhh...!"
Nyi Selasih mencoba mengusir bayangan masa lalunya bersama Eyang Legar. Putri tunggal Raja Petir itu kembali menatap ke arah bocah kecil yang tak terusik oleh desah napasnya barusan. Kembali Nyi Selasih terkejut ketika matanya seolah-olah dapat menembus kelopak mata yang terpejam rapat itu. Dan bola mata bocah itu nampak seperti menariknya untuk mendekat. 
Dan anehnya, hati Nyi Selasih langsung berdesir kuat Ada keterkejutan lain yang melanda hati perempuan tua berpakaian longgar warna putih bersih itu saat tangannya tiba-tiba seperti digerakkan oleh kekuatan lain. Nyi Selasih mencoba menahan gerakan yang dirasanya aneh. Namun semakin kuat menahan gerakan aneh itu, semakin kuat pula gerakan aneh itu menariknya.
Nyi Selasih akhirnya memutuskan untuk mengikuti keanehan yang sesungguhnya membuat hatinya bertanya-tanya. Dibiarkannya saja gerakan aneh itu membawa tangannya menyelusuri setiap lekuk tubuh bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini.
Nyi Selasih merasakan kalau otot-otot bocah kecil yang dirabanya seperti bersembulan keluar, seperti layaknya otot lelaki dewasa yang tengah melakukan pengerahan tenaga dalam penuh. Malah ketika meraba susunan tulang bocah berusia sepuluh tahun itu, kegembiraan hatinya menjadi berlipat-lipat Dirasakan, susunan tulang itu begitu sempurna.
"Dia cerdas dan memiliki kemauan keras," terngiang kembali ucapan Eyang Legar.
"Hhh."
Nyi Selasih kembali menarik napas lega. Ya! Biar bagaimanapun juga, dia berharap agar bocah yang tengah terlelap ini mampu mewarisi ilmu Pusaka Raja Petir. Dengan begitu, Nyi Selasih akan mendapatkan penghargaan sebagai seorang anak yang berbakti pada orang tua, dan sekaligus berbakti pada leluhur. 
Karena, dia telah berhasil menyampaikan pusaka leluhurnya pada orang yang tepat. Meskipun Nyi Selasih sendiri sadar, kalau dihubungkan dengan ayahnya, ataupun kakeknya, sesungguhnya Jaka tidak terikat tali keluarga. Tapi pada leluhur-leluhur sebelumnya, Nyi Selasih tidak bisa menduga. Mungkin saja leluhur-leluhur Seroja, nenek Jaka Sembada, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengannya.
Suara ayam hutan yang bersahut-sahutan membuat Nyi Selasih sadar dari keterpakuannya di samping tempat tidur Jaka. Kembali ditatapnya sekujur tubuh bocah yang tengah tertidur pulas itu. Perempuan tua itu nampak tersenyum puas. Dan dengan Iangkah ringan, ditinggalkannya kamar bocah cilik yang diharapkan dapat menjadi pendekar yang menggegerkan dunia persilatan. Pendekar digdaya welas asih dan tanpa tanding. Pendekar yang selalu berpihak pada kebenaran, dan selalu tampil sebagai penghancur kebathilan

* * * * *



"Habiskan sarapanmu, Jaka. Biar tenagamu pulih kembali. Pagi ini, aku akan menyuruhmu mempertontonkan apa-apa yang telah kau terima dari Eyang Legar. Ayo habisi. Jangan sungkan-sungkan. Tak perlu ada yang disungkankan di rumah ini, Jaka. Rumah Eyang Putri adalah rumahmu juga," ujar Nyi Selasih.
"Baik, Eyang Putri," jawab Jaka sambil meneruskan sarapannya yang memang sudah tinggal beberapa suap saja.
Selesai menyelesaikan tugasnya di meja makan, Jaka digiring perempuan tua berpakaian longgar itu ke halaman luas di belakang rumah. Halaman belakang yang memang diperuntukkan melatih diri itu begitu memukau mata bening milik Jaka Sembada. Suasananya seperti sebuah alam bebas, yang sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun lebat. Letaknya berjajar rapi.
"Kau bisa memperlihatkannya padaku sekarang, Jaka," tukas Nyi Selasih menghentikan keterpakuan Jaka.
Yang diperintah segera menganggukkan kepala, kemudian maju ke tengah-tengah lapangan berumput tebal. Sebentar Jaka memusatkan pikirannya. Matanya dipejamkan rapat-rapat, dan napasnya ditarik kuat-kuat seraya dibawanya ke perut pusat. Lalu, kekuatan dalam perut itu dialirkan ke seluruh tubuh, setelah terlebih dulu matanya yang terpejam dibuka.
Beberapa lama Jaka mempermainkan napas yang bersumber pada perut pusat, dan memindah-mindahkannya pada bagian-bagian yang diinginkannya. Dada, punggung, kaki, pangkal paha, betis, dan kepalan tangan.
Seluruh permukaan wajah Jaka berwarna kemerahan saat terus mempermainkan napas dalam perut pusat. Namun, sebentar kemudian wajahnya kembali seperti sediakala ketika dari sela-sela giginya keluar desahan yang begitu mirip ular mendesis.
Sekitar jarak tujuh tombak nampak Nyi Selasih menyaksikan dengan seksama. Mata tuanya menyorot begitu tajam, menatap setiap gerakan pernapasan yang dilakukan Jaka tanpa berkedip sedikit pun.
Perempan tua itu semakin membelalakkan matanya, menatap otot-otot yang bersembulan dari kulit Jaka yang tak terbungkus baju. Dari kulit Jaka Sembada yang putih bersinar, otot-otot itu tertihat bagai lempengan baja. Sehingga, mulut Nyi Selasih tak sadar berdecak kagum. Betul-betul sempurna keberadaan bocah kecil ini.
Kembali Jaka Sembada memperagakan ilmu olah kanuragan yang telah didapat dari si Hantu Pemburu Nyawa. Sepasang tangan yang membentang lurus tengah diperagakannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Kemudian, tangan kanan yang terbentang lurus itu ditekuk sebatas pangkal lengan dengan jari-jari terkepal rapat. Sementara tangan kirinya yang masih membentang lurus dengan jari-jari terbuka, digerakkannya ke arah dada seperti memberikan dorongan. Ya! Jaka memang tengah melakukan dorongan melalui telapak tangan kiri yang terbuka, terhadap telapak tangan kanannya yang terkepal.
Setiap dorongan tangan kiri Jaka disertai helaan napas yang teratur, serta liukan pinggang yang begitu gemulai bak seorang penari.
Nyi Selasih kembali terpukau menyaksikan kelenturan tubuh anak didiknya.
"Betul-betul bibit unggul," kata batin Nyi Selasih sambil terus memantau setiap gerakan Jaka Sembada.
Entah sudah berapa jurus yang dimainkan Jaka ketika tiba-tiba saja perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu melemparkan benda bulat kehitaman sebesar kepalan tangan lelaki dewasa. Lemparan itu demikian cepat Namun desingan benda yang melayang di udara itu sempat tertangkap pendengaran Jaka yang tengah memusatkan pikiran pada jurus-jurus yang didapat dari Eyang Legar.
Singgg...!
Benda bulat kehitaman sebesar kepalan lelaki dewasa itu bergerak cepat, mencecar bagian tubuh Jaka yang mematikan. Namun belum sempat benda itu menemui sasaran, tubuh bocah ini telah melenting lebih dulu ke udara sambil melakukan salto dua putaran.
"Hup...!"
Tubuh Jaka Sembada kembali menjejak tanah dengan ringan.
"Bagus!" puji Nyi Selasih berteriak.
Namun berbarengan dengan pujiannya yang tidak main-main, meluncur kembali bulatan kehitaman sebesar kepalan orang dewasa. Bahkan kali ini bulatan kehitaman itu bertambah satu.
Kembali Jaka melentingkan tubuhnya, menyaksikan serangan beruntun dari perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu. Agak terkejut juga hati Jaka melihat kedatangan benda bulat kehitaman yang disertai sebuah benda lain berwarna kehitaman yang juga meluncur deras dan mencecar ulu hatinya.
Namun dengan ketenangan yang sempat membuat Nyi Selasih terkagum-kagum, Jaka mampu menghindari dua benda yang hendak melumatkan tubuhnya itu.
"Bagus!" puji Nyi Selasih lagi. Maka sekali hentakan saja, tubuh Nyi Selasih yang berada tujuh tombak di depan Jaka, kini sudah beberapa jengkal saja.
"Jaga ini...!" teriak Nyi Selasih tiba-tiba.
Mendapati serangan yang begitu mendadak, Jaka menjadi sedikit kikuk. Serangan mendadak yang seharusnya ditangkis, kini malah dilepaskan. Karuan saja serangan yang berikutnya membuatnya sukar mengelak. Apalagi menangkis serangan yang tidak main-main itu.
Namun Jaka bukanlah bocah yang berotak bebal. Dalam keadaan yang terjepit pun, dia masih memutar otak agar dapat keluar dari bahaya mengancam.
"Hip!"
Takkk! Takkk!
Dengan kelebihan melenturkan badannya, Jaka mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Sementara bagian penting yang dicecar Nyi Selasih, dilindunginya dengan gerakan melentur sambil mengangkat pangkal pahanya ke sebelah kiri. Maka cecaran tangan Nyi Selasih hanya membentur tempat kosong, beberapa rambut dari sasaran awalnya.
Sementara, kedua tangan Jaka yang pada serangan awal berada di tanah, kini telah berada di kepala. Dia melindungi dirinya dari incaran tangan maut Nyi Selasih yang mengarah ubun-ubunnya.
"Hebat..!" sanjung Nyi Selasih. Kali ini tidak disertai serangan mendadak.

* * * * *



"Caramu mengelak dan menangkis cukup sempurna, Jaka. Namun sayang, kau tak mencoba melancarkan serangan balasan. Seharusnya, itu bisa kau lakukan, Cucuku. Agar kau tidak mendapat tekanan terus-menerus," saran Nyi Selasih mantap.
"Setangguh-tangguhnyapertahanan yang kau miliki, satu dua serangan pasti akan menemui sasaran jika terus-menerus mendapatkantekanan.Jadi, sebaik-baiknyapertahanan,adalah dengan melakukan penyerangan, Cucuku." JakaSembadamenundukkankepala saat mendapat nasihat yang baginya cukup berarti.Nasihatyangakanselalu diingatnya.
"Apakah Eyang Legar tidak memberi jurus menyerang?" tanya Nyi Selasih.
Jaka tidak menjawab. Namun kepalanya yang menggeleng lemah cukup memberikan jawaban bagi pertanyaan Nyi Selasih.
"Kenapa?" tanya Nyi Selasih lagi. Sesungguhnya Nyi Selasih sudah tahu, kenapa Eyang Legar tidak memberi jurus-jurus serang mautnya pada Jaka. Namun dia ingin tahu alasan yang diberikan Eyang Legar pada bocah itu. Jaka tak segera menjawab pertanyaan itu.
"Kenapa, Jaka? Apa Eyang Legar takut tersaingi? Atau mungkin Eyang Legar tidak berniat mengangkat mu sebagai murid, karena dirinya tak merasa menyayangimu?" pancing Nyi Selasih memanasi.
Jaka mengangkat wajahnya perlahan. Ditatapnya mata perempuan tua yang berpakaian longgar warna putih itu.
Mendapat tatapan yang cukup tajam dari bocah cilik di hadapannya, Nyi Selasih merasakan kekikukan sesaat. Hatinya terasa berdesir aneh, dan jantungnya terasa berdetak tak teratur. Dia juga merasa heran. Setiap kali bola matanya beradu pandang dengan bola mata bocah cilik di hadapannya, selalu saja ada keanehan-keanehan yang menyergapnya.
"Eyang Legar begitu menyayangiku, Eyang Putri," agak parau jawaban yang keluar dari bibir Jaka.
"Kalau Eyang Legar betul-betul menyayangimu, kenapa dia tidak menurunkan kepandaiannya kepadamu, Jaka? Padahal, Eyang Legar memiliki banyak jurus pamungkas yang disegani lawan maupun kawan. Jurus-jurusnya sangat mematikan, dan selalu mendebarkan hati pendekar-pendekar rimba persilatan," Nyi Selasih masih terus memancing Jaka.
"Eyang Legar adalah tokoh persilatan golongan hitam, Eyang Putri," kilah Jaka dengan kepala tertunduk penuh hormat
Nyi Selasih mengembangkan senyumnya sesaat "Apa bedanya kepandaian golongan hitam dan golongan putih? Dalam soal ilmu olah kanuragan, rasanya tak ada perbedaan antara keduanya. Jadi, Eyang Legar tak punya alasan untuk tidak menurunkan kepandaiannya padamu."
"Menurut Eyang Legar, namanya telah tercemar sebagai seorang tokoh yang terlampau sering membuat kekacauan, kekejaman, dan pembantaian. Jurus-jurus yang dimiliki Eyang Legar telah dikenali tokoh-tokoh rimba persilatan sebagai jurus yang keji," jelas Jaka.
"Itukah alasannya, sehingga dia tak mau menurunkan kepandaiannya padamu?" 
"Eyang Legar tak ingin kalau aku terjun ke rimba persilatan dengan cap sebagai pewaris ilmu golongan hitam."
Nyi Selasih tersenyum-senyum mendengar penuturan bocah kecil di hadapanNya.
"Mendekatlah kemari, Jaka," pinta Nyi Selasih.
Jaka melangkahkan kakinya dan duduk bersila di hadapan gurunya.
"Kapan Eyang mengajarkan jurus-jurus menyerang?" tanya Jaka penuh hormat.
"Kau mulai tak sabar rupanya, Cucuku."

* * * * *



Sudah tujuh kali fajar menyingsing, dan itu berarti tinggal semalaman lagi Jaka menuntaskan pelajaran terakhirnya yang diberikan Nyi Selasih. Pelajaran yang menurut Nyi Selasih memerlukan kepekaan jasmani dan rohani.
Angin dingin dini hari tak lagi mampu mengusik tubuh Jaka yang terbungkus keringat. Sementara itu, kokoh ayam hutan juga tak mampu membangunkan seseorang dari keterlenaannya dalam berlatih ilmu olah kanuragan. Dan sebentar kemudian, sayup-sayup terdengar suara yang lembut namun begitu mantap merasuk gendang telinga Jaka.
"Cukup, Cucuku."
Jaka segera menghentikan jurus-jurusnya, dengan dua telapak tangan disatukan di depan muka, lalu dibawanya turun periahan. Bocah kecil yang kini sudah berusia dua belas tahun itu duduk bersila dengan dua telapak tangan merapat di depan dada. Sebentar jalan napasnya diatur, kemudian pandangannya dilepas jauh ke depan.
Tak lama kemudian, selarik bayangan putih tiba-tiba berkelebat dan berhenti persis di depan bocah yang khidmat tengah bersila itu.
"Kau telah berhasil menyerap seluruh ilmu yang kumiliki, Cucuku. Karena kecerdasan dan kegigihanmu, pelajaran yang seharusnya terkuasai dalam waktu lama, dapat dipersingkat menjadi dua puluh empat bulan saja. Aku kagum dengan kecerdasan dan kegigihanmu."
"Terima kasih, Eyang Putri." 
"Apakah kau bangga dengan ilmu yang kau miliki sekarang, Jaka?" Tak terdengar jawaban dari mulut Jaka Sembada.
"Kenapa kau tak menjawab?" selidik Nyi Selasih.
"Aku tak tahu harus menjawab apa, Eyang Putri," kilah Jaka, polos.
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tahu, sampai di mana kehebatan ilmu yang kupunyai sekarang. Itulah sebabnya, mengapa aku tak bisa mengatakan apakah aku bangga atau tidak."
"Benar sekali ucapanmu, Cucuku. Sekarang ini, memang bukan saatnya untuk berbangga diri. Kelak, sekalipun kau telah hadir sebagai sosok yang disegani di kalangan dunia persilatan, kau pun tak patut menyandang arti kebanggaan itu. Karena, apa yang telah kau miliki, sebenarnya bukanlah milikmu. Apa yang kau miliki saat ini adalah titipan dari Yang Maha Kuasa."
Jaka terpekur mendengar kebenaran-kebenaran yang diucapkan gurunya.
"Dan kau jangan kaget jika kukatakan kalau ilmu yang kau miliki belum seberapa. Masih terlalu cetek jika dibanding ilmu yang dimiliki tokoh-tokoh golongan hitam yang kini tengah menguasai dunia persilatan."
Tersentak hati Jaka mendengar penuturan gurunya. Kepalanya langsung diangkat. Kini, ditatapnya wajah gunanya sekilas. Maka, Jaka bisa menemukan kesungguhan ucapan yang keluar melalui bibir perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu.
"Kalau begitu, aku masih harus berguru jika ingin menandingi kepandaian tokoh-tokoh golongan hitam itu, Eyang Putri?"
Perempuan berusia sekitar enam puluh dua tahun itu menganggukkan kepala.
"Apakah Eyang Putri tahu, pada siapa lagi aku harus berguru?" desak Jaka.
Kembali perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu menganggukkan kepala.
'Terima kasih, Eyang Putri." 'Tapi Eyang Putri tak tahu, apakah kau akan mampu menyerap seluruh ilmunya atau tidak."
"Seberat itukah, Eyang Putri?" 
"Ya! Warisan Raja Petir yang turun-temurun tidaklah dapat dikuasai dalam waktu setahun atau dua tahun. Mempelajari ilmu peninggalan Raja Petir, paling tidak membutuhkan waktu puluhan tahun," jelas Nyi Selasih, sambil menatap wajah bocah di hadapannya. Tampak ada kesungguhan yang terpancar dari wajah tampan milik Jaka.
"Raja Petir sendiri harus menunggu waktu lima belas tahun untuk menguasai ilmu leluhurnya yang memang jarang dijumpai tandingannya di jagat ini."
"Selama itu, Eyang Putri?" selidik Jaka. Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Benar. Namun Raja Petir pernah berkata, hanya orang yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi yang akan mampu menguasai ilmu warisan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Apakah kau sanggup belajar terus-menerus dalam jangka waktu selama itu, Jaka?"
"Sanggup, Eyang Putri!" tegas jawaban yang keluar melalui bibir tipis Jaka.
"Bagus!" puji Nyi Selasih.
"Sebelum Raja Petir meninggalkan kehidupan dunia yang fana ini, dia pernah berkata, kalau kelak akan hadir seseorang yang memiliki kecerdasan luar biasa yang akan mampu menuruni ilmu warisan leluhurnya hanya dalam waktu satu windu."
"Mudah-mudahan, Eyang Putri. Aku akan berusaha sekuat tenaga. O ya, Eyang Putri. Siapakah Raja Petir itu sebenarnya?"
"Ayah kandungku."
"Ayang kandung Eyang Putri?" ulang Jaka.
"Kenapa ilmu itu tidak diwarisi pada Eyang Putri?"
Perempuan tua berpakaian longgar warna putih itu mengembangkan senyumnya sesaat
"Itulah keanehan ilmu yang ditinggalkan leluhur Raja Petir."
"Keanehan?"
"Ilmu peninggalan Raja Petir tidak untuk diwarisi seorang perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi seorang perempuan keturunannya untuk mempelajari. Hanya saja, tak akan mampu menguasai lebih dari seperempat pelajaran itu."
"Kenapa bisa begitu, Eyang Putri?" 
"Menurut orang tuaku, ilmu itu memang khusus diperuntukkan kaum lelaki."
Jaka tak bertanya lagi. Tubuhnya terasa begitu letih setelah delapan malam berturut-turut melatih diri.
"Kau siap mempelajarinya, Cucuku?" tanya Nyi Selasih. Jaka Sembada menganggukkan kepala.

* * * * *



--≡¦ { EMPAT } ¦≡--

Keletihan belum seluruhnya hilang dari dirinya, tapi Jaka harus kembali berhadapan dengan malam yang merangkak semakin tua. Dan itu menandakan kalau dirinya harus segera berangkat bersama Nyi Selasih.
"Kau dengar suara apa itu, Cucuku?" tanya Nyi Selasih sambil berkelebat cepat menuju arah matahari terbenam.
Lari perempuan tua itu begitu cepat. Jelas, kalau Nyi Selasih tengah mempergunakan ilmu lari cepat yang dipadukan dengan ilmu meringankan tubuh. Meskipun, tidak sepenuhnya karena harus mengimbangi lari muridnya yang kini mengenakan pakaian ketat warna kuning keemasan.
"Seperti suara air terjun, Eyang Putri," duga Jaka sambil tak mengurangi kecepatan larinya.
"Sebentar lagi kita akan tiba di tempat tujuan." 
"Senang sekali, Eyang Putri," ucap Jaka sambil meningkatkan kecepatan larinya.
Kini mereka tiba di depan sebuah kubangan air yang tak begitu lebar. Kira-kira telah berada sekitar enam batang tombak, Nyi Selasih berhenti tepat di depan sebuah batu besar yang terletak persis di tengah kubangan air yang nampak begitu jernih. Jaka hanya mengikuti sambil memandang keheranan pada pemandangan yang berada di hadapannya.
"Sungai apa namanya, Eyang Putri?" tanya Jaka ingin tahu.
"Ini bukan sungai, Jaka. Tapi aliran air terjun yang tersasar."
"Aneh."
"Memang aneh. Terlebih, jika kau masuk ke dalamnya," jelas Nyi Selasih.
"Masuk? Ah! Airnya saja tak mencapai sebatas pinggang, Eyang Putri."
"Di situ pula letak keanehannya. Ayo kita turun," ajak Nyi Selasih seraya menurunkan kakinya, menjejak air yang terasa begitu dingin.
Apa yang dilakukan Nyi Selasih, diikuti Jaka. Sebentar kemudian, mereka sudah berada di batu besar yang berada persis di tengah-tengah aliran air terjun. Nyi Selasih lalu menempelkan tangannya pada batu hitam yang bagian bawahnya sudah berwarna kehijauan. Maka tak lama batu yang cukup besar itu bergeser, dan berpindah sedikit dari tempatnya.
Jaka terperangah menatap kenyataan yang ada di hadapannya. Sebuah lubang berukuran seperempat tombak terlihat setelah batu itu tergeser.
"Masuklah ke dalamnya. Maka kau akan menemukan keanehan lagi di sana," perintah Nyi Selasih.
"Tarik napasmu dalam-dalam, dan simpan di perut pusat. Lalu keluarkan sedikit-sedikit jika kau tak mampu bertahan."
"Eyang Putri?"
"Eyang Putri akan mengikutimu dari belakang." Tanpa diperintah dua kali, Jaka langsung membawa turun tubuhnya untuk menyelam. Kemudian dia memasuki lubang yang menganga tak seberapa besar itu. Suasana gelap segera menyergapnya kerika Jaka masuk ke dalamnya. Sepanjang lubang yang layaknya disebut lorong itu terisi air yang sanggup membuat tubuh menggigil.
Jaka terus memusatkan perhatian sambil mengatur pernapasannya. Dia terus menyelusuri lorong berair yang semakin lama semakin membesar. Di belakangnya, tampak Nyi Selasih, putri tunggal Almarhum Raja Petir mengikuti dari belakang.
Lorong yang semakin lama semakin besar itu kini terbelah menjadi dua jalur. Jaka tak tahu, harus memilih jalur yang mana. Namun dengan aba-aba yang diberikan Nyi Selasih, dia tahu kalau harus mengambil jalan sebelah kanan.
Namun belum seberapa jauh Jaka bergerak, sebongkah batu besar menghadang perjalanannya. Maka kembali kepalanya menoleh ke arah Nyi Selasih. Setelah mendapat petunjuk, segera didorong batu yang ada di hadapannya.
Seiring terdorongnya batu besar itu, Jaka kembali menjumpai keanehan. Di hadapannya kini terlihat anak tangga. Beberapa saat lamanya dia terkesima, namun sesaat kemudian tanpa ragu lagi segera menaiki anak tangga. Di belakangnya, Nyi Selasih melakukan hal yang sama.
"Aku tak percaya kalau di bawah air yang tak seberapa dalam terdapat ruangan seluas ini," ucap Jaka sambil menatap sekeliling ruangan. Tampak di setiap sudutnya ditumbuhi pohon-pohon yang tak seberapa tinggi, namun memiliki buah warna kemerahan yang cukup menantang seleranya.
Dari sudut yang dirimbuni pohon, Jaka diajak Nyi Selasih untuk menyaksikan pemandangan lain di sudut sebelah Utara. Hampir berdecak mulut Jaka menyaksikan pemandangan yang cukup menakjubkan. Di hadapannya terbentang dinding melingkar dengan garis tengah sekitar lima belas tombak lebih. Dan yang lebih mengejutkan, adalah sebuah tirai putih yang tak lain air terjun yang menutupi mulut goa tempat Jaka berada. Sungguh mengagumkan.
Belum berapa lama Jaka menikmati kekagumannya, lengannya sudah ditarik Nyi Selasih untuk menyaksikan apa yang ada di sudut goa sebelah Timur. Kembali Jaka terpukau menyaksikan pemandangan aneh di hadapannya. Di situ tampak sebuah kuburan tua yang tertata begitu rapi dan menebarkan aroma yang cukup menyengat Dan pada awalnya, kepala Jaka terasa berdenyut-denyut ketika mencium aroma wangi yang keluar dari kuburan tua yang ada di hadapannya. Bahkan hatinya pun terasa gelisah seketika. Pikirannya seperti dibawa terbang jauh. Dan kakinya.... 
"Ohhh."
Rasanya tak kuat lagi Jaka menahan kepalanya yang seketika berputar-putar. Matanya pun berkunang-kunang dan kedua kakinya seolah-olah tak mampu menahan bobotnya sendiri. Namun Jaka nampak berusaha menahan sekuat tenaga. Seluruh inderanya dipusatkan untuk menangkal pengaruh yang cukup kuat itu.
"Hiiip."
Jaka nampak menarik napasnya dalam-dalam. Seluruh tenaganya dipusatkan di perut. Dia lalu mengeluarkan napasnya sedikit demi sedikit. Kemudian kembali dihirupnya napas dalam-dalam.
Selang beberapa lama, Jaka kembali menghembuskan napasnya. Nampak dia tengah merangkai sebuah pernapasan segitiga yang dipusatkan pada kepala, hidung, dan mata.
"Hip.... Yeaaa. !"
Dengan membuat kuda-kuda rendah, dengan telapak tangan yang didorong penuh kemuka, Jaka telah berhasil mengusir pengaruh kuat yang ditimbulkan dari kuburan tua yang menebarkan aroma wangi itu.
"Apa yang tengah kau rasakan, Jaka?" selidik nenek berpakaian longgar warna putih itu.
"Keadaanku sekarang menjadi lebih enak, Eyang Putri. Tubuhku terasa menjadi begitu ringan sekarang. Pikiranku menjadi lebih jernih, dan mataku menjadi seperti sepuluh kali lipat terangnya. Seolah-olah aku mampu menembus ketebalan dinding goa ini, Eyang Putri," jawab Jaka dengan hati masih diliputi tanda tanya atas keanehan lain yang bam diterimanya.
"Pengaruh apakah itu, Eyang Putri?"
Nenek berpakaian longgar warna putih itu tersenyum bijaksana.
"Aku tak bisa menjelaskan keanehan-keanehan yang kau alami sekarang, Jaka. Namun aku yakin, suatu saat kau akan mendapat jawaban lewat Pusaka Raja Petir yang sebentar lagi akan turun ke tanganmu."
"Pusaka?" gumam Jaka dalam hati.
"Pusaka Raja Petir? Oh. Sebuah keberuntungan yang tak ternilai. Tapi. "
"Kau patut. dan pantas menerimanya, Jaka," tukas Nyi Selasih.
Sepertinya, perempuan tua itu telah mampu membaca arah pikiran Jaka. Nyi Selasih kemudian menggerakkan langkahnya perlahan, mendekati kuburan tua yang menebar aroma yang begitu wangi. Tanpa diperintah, Jaka segera melangkah mendekati batu nisan yang bertuliskan nama Raja Petir. Dia lalu duduk bersila dengan khidmat di samping kanan kuburan tua yang terawat rapi itu. 
"Menepilah sedikit, Jaka. Eyang Putri akan menggeser makam ini," perintah Nyi Selasih tiba-tiba.
Jaka tanpa banyak cakap segera menuruti. Padahal, ucapan Nyi Selasih barusan sempat pula memancing pertanyaan dalam benaknya.
"Menggeser? Duh! Keanehan apa lagi ini?" ucap Jaka dalam hati. Namun matanya sigap memperhatikan seluruh gerakan yang dilakukan nenek berpakaian longgar wama putih itu.
Suara berderit sesaat terdengar mengisi ruangan goa. Jaka kembali terkesima menyaksikan pemandangan di hadapannya. Ternyata makam Raja Petir tergeser. Dan sekitar delapan tombak dari dasar makam, terdapat sebuah ruang bawah tanah yang dinding atapnya terbuat dari lempengan baja.
Jaka terus menyaksikan tanpa mengeluarkan sepatah pertanyaan pun. Baru ketika Nyi Selasih berhasil membuka atap baja yang membatasi ruang bawah tanah, mata Jaka yang berbinar menyaksikan kotak besi ukir berwarna keemasan.
"Di kotak keemasan itukah tersimpan pusaka Raja Petir, Eyang Putri?" tanya Jaka, hati-hati sekali.
Nenek berpakaian longgar berwarna putih itu tidak segera menjawab. Dia hanya mengangkat kepalanya sedikit, lalu menebarkan seulas senyum kepada murid tunggalnya. Namun Jaka mengerti maksudnya. Senyum itu berarti mengiyakan pertanyaannya. 
Maka, kini Jaka tak bertanya lagi demi menjaga kekhidmatan Nyi Selasih saat mengangkat kotak Pusaka Raja Petir yang berwarna keemasan itu. Begitu penuh hormat nenek itu mengangkat kotak pusaka peninggalan mendiang ayahnya. Kemudian dipondongnya kotak itu penuh hati-hati. Dan ketika sudah berada di atas, kotak itu belum juga diletakkannya.
Jaka terkesima menyaksikan begitu tinggi rasa hormat gurunya terhadap benda itu. Maka ketika gurunya menggelar selembar kain beludru warna putih, Jaka segera membantu dengan rasa hormat yang cukup tinggi. Nyi Selasih segera meletakkan kotak pusaka mendiang ayahnya di atas selembar kain beludru berwarna putih bersih, setelah terlebih dahulu menggeser makam Raja Petir menjadi seperti sediakala.
"Kau tahu, Jaka. Betapa para leluhur Eyang Putri menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap benda pusaka ini. Dan merupakan suatu kehormatan yang besar jika benda pusaka ini dapat terwarisi. Dan kenyataannya memanglah demikian. Para leluhur Eyang Putri mewarisi benda pusaka ini dengan segenap roh dan jasad mereka. Dengan benda pusaka ini, mereka telah lahir sebagai sosok seorang pendekar yang berpijak pada kebenaran, keadilan, dan rasa welas asih. Mereka juga lahir sebagai seorang pendekar yang menentang keangkaramurkaan nomor satu. Di mana ada kekejian dan kebejatan moral, di situlah sosok mereka hadir sebagai penumpasnya." Jaka tertunduk mendengar semua ucapan yang keluar dari bibir nenek berpakaian putih itu.
"Apakah kau sanggup mewarisinya?" Jaka mengangkat kepalanya sedikit.
Ditatapnya wajah nenek berpakaian longgar warna putih itu dengan seluruh permukaan wajah berwarna kemerahan dan dijalari rasa panas.
"Kau sanggup, Cucuku?" tanya Nyi Selasih kemudian.
Sebuah anggukan periahan tertangkap bola mata nenek tua berpakaian longgar warna putih itu. Nyi Selasih lalu tersenyum.
"Kau sanggup, Jaka?" 
"Sanggup, Guru!"

* * * * *



Sinar kuning keemasan seketika memendar memenuhi seluruh ruangan goa, kerika kotak pusaka peninggalan Raja Petir dibuka Nyi Selasih dengan hati-hati. Bahkan Jaka merasakan seluruh tubuhnya Jadi menggigil.
"Kerahkan hawa murni yang kau miliki, Jaka," perintah Nyi Selasih.
Jaka segera menuruti perintah gurunya. Dengan mengerahkan hawa murni, getaran pada badannya terasa mulai berkurang.
"Sebelum mempelajari atau menggunakan peninggalan mendiang Raja Petir, terlebih dahulu kau harus menyesuaikan diri dengan perbawa peninggalan Raja Petir," jelas Nyi Selasih. Kemudian, diambilnya salah satu dari tiga benda yang berada dalam kotak pusaka berwarna keemasan.
"Terhadap sabuk kuning keemasan ini, kau harus mampu menyesuaikan diri. Sabuk kuning keemasan ini dikenal dengan sebutan Sabuk Petir. Pengaruh dingin yang ditimbulkannya cukup dahsyat Bahkan dapat menimbulkan kelumpuhan total pada setiap orang yang memiliki tingkat olah kanuragan rendah."
Nyi Selasih kemudian mengangkat sepasang bambu warna kuning keemasan sebesar ibu jari lelaki dewasa. Sedangkan panjangnya, sejengkalan bocah berumur tiga tahun.
"Dan terhadap sepasang bambu warna kuning ini, masing-masing memiliki keistimewaan sendiri, Jaka. Bambu kuning yang di bagian tengahnya berlubang, dapat mengeluarkan seberkas sinar keperakan seperti petir. Bahkan juga dapat menimbulkan ledakan dahsyat, seperti guntur menggelegar sehingga dapat merobek gendang telinga. Dan pada bambu yang tanpa lubang di tengahnya, dapat mengeluarkan secercah sinar kuning keemasan. Bila sinar itu menyentuh tubuh, kulit akan terasa mengelupas dengan sendirinya," jelas Nyi Selasih lagi, sambil memotong tatapan Jaka yang terkagum-kagum mendengarkannya. Jaka kemudian mengalihkan tatapannya ke arah kotak kayu itu. Sungguh tak disangka kalau senjata-senjata di dalamnya mempunyai pengaruh dahsyat seperti itu.
"Itulah beberapa manfaat dari peninggalan Raja Petir yang kuketahui. Selebihnya, dapat diketahui dari kitab pusaka ini," Nyi Selasih mengangkat kitab pusaka yang terbalut sutera berwarna kuning keemasan.
"Yang kuketahui, kitab pusaka ini hanya menyajikan inti-inti ilmu olah kanuragan dan beberapa ajian inti menghindari serangan lawan. Di antaranya, adalah ajian 'Bayang-Bayang' dan aji 'Kukuh Karang' yang mampu meredam setiap jenis senjata atau segala ajian yang dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam."
Mata tua pendekar wanita pada zamannya itu masih tetap cerah menatap wajah Jaka. Sebentar suasana jadi hening. Sedangkan Jaka menanti diam membisu, dengan kepala tertunduk.
"Harapanku, kau mampu menuruni apa yang diwarisi mendiang Raja Petir dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dasawarsa. Bahkan kalau memungkinkan, kau mesti berhasil menyelesaikan tugas yang maha berat ini dalam waktu satu windu. Delapan tahun, Cucuku. Karena itu, bersungguh-sungguhlah! Dunia persilatan butuh pendekar digdaya, beraliran putih, agar berpijak pada kebenaran dan keadilan. Pendekar yang berani menentang keangkaramurkaan dan kelaliman."
"Aku akan berusaha sekuat tenaga, Eyang Putri," tegas Jaka, mantap.

* * * * *



Tujuh purnama telah dilalui Jaka untuk menyesuaikan diri dengan benda pusaka peninggalan Raja Petir. Tak ada lagi rasa menggigil yang menerpa tubuhnya ketika kotak pusaka warna kuning emas dibuka. Demikian pula ketika sabuk warna kuning keemasan yang dikenal sebagai Sabuk Petir dililitkan ke Pinggangnya. Tak lagi dirasakan kalau sabuk itu seolah-olah ingin mengeluarkan isi perutnya.
Jaka sendiri sesungguhnya takjub terhadap benda pusaka yang diwarisinya kini. Sebuah sabuk warna kuning keemasan. Dan apabila dipergunakan, dapat mengeluarkan seberkas sinar keperakan layaknya sebuah petir yang mampu menghanguskan sesuatu yang disambarnya.
Begitu juga terhadap sepasang bambu kuning yang terikat di pergelangan tangan kirinya, yang mempunyai kegunaan berbeda.
Di lain pihak, Nyi Selasih begitu bangga menyaksikan kepesatan perubahan yang dialami Jaka. Hingga tak terasa, delapan puluh sembilan purnama kembali menggelinding, mengimbangi kepesatan Jaka dalam mempelajari dan mewarisi peninggalan Almarhum Raja Petir. Dan pada malam purnama terakhir....
"Kerahkan seluruh kemampuanmu mengolah aji 'Kukuh Karang', Jaka. Eyang Putri akan melempar pedang ini dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Pusatkan seluruh kepekaanmu," ujar Nyi Selasih. Tanpa diperintah dua kali,Jaka segera mengangkat keduatangannya ke atas kepala. Kemudian napasnya ditarik tanpa menimbulkan bunyi,seiring rentangan tangannya yang menimbulkan bunyi gemeretak. Otot-otot baja Jaka seketika nampak bersembulan seiring mengepalnya jari-jari tangan. 
Kemudian, dibawa kedua tangannya ke depan dada secara menyilang. Sinar kuning yang membungkus kepala hingga dada, dan sinar kuning yang membungkus lutut hingga ujung kaki, nampak memancar setelah Jaka tuntas menyelesaikan gerakannya dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Dan, di hadapannya kini sekitar lima tombak berdiri Nyi Selasih. Tangan kanannya tampak menggenggam sebilah pedang pendek.
Mulanya, wajah Nyi Selasih merah padam. Namun sebentar kemudian, wajahnya berubah menjadi begitu keras. Dari tubuhnya yang nampak menggigil, terlihat kalau perempuan tua itu tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Hiyaaat" Singgg...!
Pedang pendek yang tergenggam di tangan nenek berpakaian longgar warna putih itu seketika terlepas. Kecepatannya sungguh sukar diikuti mata biasa. Dan senjata itu terus meluruk deras ke arah Jaka yang telah siap dengan aji 'Weduk Sukmaraga'nya. Suara deru angin yang keluar dari pedang pendek yang tengah melayang itu mampu menyingkirkan kerikil-kerikil sebesar ibu jari lelaki dewasa. Dan ketika pedang pendek itu menyentuh kulit Jaka, maka....
Trak!
Percikan bunga api seketika menerangi ruangan goa. Benturan benda yang terlempar disertai kekuatan tenaga dalam penuh membuat pedang pendek itu terlempar jauh dan membentur dinding goa. Bahkan pedang pendek itu kini terpecah jadi dua bagian.
Jaka nampak puas dengan apa yang telah didapatnya. Wajahnya yang tampan nampak bersinar cerah setelah melepas napasnya yang tertahan di perut. Akan tetapi, kecerahan wajah Jaka menjadi sima manakala Nyi Selasih tampak tengah terkulai. Maka, segera dihampirinya, nenek itu.
"Kau tidak apa-apa, Eyang Putri?" tanya Jaka cemas.
Nenek berpakaian longgar warna putih itu menggelengkan kepalanya dengan bibir terkulum senyum.
"Tidak apa-apa, Cucuku. Tidak apa-apa. Aku hanya merasakan sekujur tubuhku tidak dialiri sedikit tenaga pun. Aku terlalu penuh mengaliri tenagaku ke dalam pedang pendek itu. Tapi aku puas, Cucuku. Puas sekali."
Nyi Selasih kemudian menyeka keringatnya yang sebesar butiran jagung, lalu kembali mengembangkan senyum. Rupanya dia puas menyaksikan Jaka yang tiba-tiba duduk di hadapannya dengan keadaan kaki menyilang dan kepala tertunduk.
"Terima kasih, Eyang Putri. Terima kasih," ucap Jaka parau.
"Pada pencipta jagat semesta inilah seharusnya kau mengucapkan kalimat itu, Cucuku. Bukan kepadaku. Sebab tanpa jalan Yang Maha Kuasa, aku ini bukan apa-apa."
Jaka semakin menundukkan kepala. Betapa sesungguhnya perempuan tua di hadapannya ini sangat dihormatinya. Dia telah mendidiknya hingga menjadi seperti sekarang ini. Begitu besar jasanya....
Sebutir air menggulir dari balik kelopak mata Jaka. Air mata haru atas ketulusan hati seorang perempuan tua di hadapannya.
"Besok, sebelum matahari terbit, kau sudah harus meninggalkan tempat ini. Berjalanlah menuju Utara. Di sana, kau akan menemui hal yang dapat menempa dirimu untuk menjadi seorang pendekar bijaksana. Di sana pula kau dapat menemukan kelaliman-kelaliman yang tengah merajalela. Maka, gunakan kesempatan untuk mengamalkan apa yang telah didapatkan selama ini. Tampilkan dirimu sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran. Dan saranku, jangan gunakan Pusaka Raja Petir selagi masih bisa mempergunakan cara lain. Terkecuali, memang terpaksa."
Jaka mengangkat kepalanya perlahan. Air matanya sudah kering sejak tadi. Dan ketika permukaan wajahnya mencium punggung Nyi Selasih, tubuhnya terasa bergetar hebat Pikirannya pun terbawa arus deras perasaannya. Haruskah dia berpisah dengan orang yang begitu dicintai dan dihormatinya?

* * * * *



--≡¦ { LIMA } ¦≡--

Selaret sinar kuning seketika menyibak tirai putih yang menutupi mulut goa. Beberapa saat, tirai putih itu menggantung akibat terkena sibakan sinar kuning yang diciptakan Jaka. Namun ketika selarik bayangan kuning yang ditimbulkan akibat gerakan Jaka dengan ilmu lari cepatnya, tirai putih yang menggantung itu kembali meluruk ke bawah dan kembali menutup mulut goa.
"Selamat tinggal, Eyang Putri! Kita pasti akan berjumpa lagi," ucap Jaka seiring lesatan tubuhnya meninggalkan goa yang ditutupi air terjun. Suaranya terdengar menggema terpantul dinding-dinding goa.
Melalui pengerahan tenaga dalam yang tinggi, Nyi Selasih membalas ucapan muridnya.
"Selamat jalan, Cucuku. Jaga dirimu baik-baik!"

* * * * *



Sepuluh tahun setelah Jaka diselamatkan Eyang Legar dari kurungan api telah terlewatkan. Dan entah ke mana bocah yang telah menjadi pemuda tampan itu mengembara.
Hari merambat begitu cepat, menuntun sang surya pada ketinggiannya. Sementara di tempat lain, dia berdiri tepat di atas ubun-ubun, dengan sinarnya yang pongah seperti hendak membakar apa saja yang ada di bawahnya. Sebuah perkampungan yang nampak masih dikelilingi pepohonan besar pun, tak urung terselimut hawa panas yang menerobos lewat celah-celah dedaunan.
"Rasanya hari ini begitu lain ya, Kang?" kata seorang lelaki pendek sambil meraih gelas minumnya.
"Ya. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan," timpal lelaki berpakaian serba hitam.
Ditilik dari cara duduk dan cara berpakaiannya, tampaknya mereka adalah orang-orang persilatan yang tengah berada dalam sebuah kedai dan sekaligus tempat penginapan.
"Huh! Kenapa penginapan ini terlalu rendah atapnya. Begitu sempit," umpat lelaki bertubuh pendek lagi. Diseruputnya minumannya, lalu diletakkannya kembali seraya menarik napas dalam-dalam.
Sementara di lain tempat, pada meja yang terletak di sudut ruangan, nampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun sedang asyik menikmati hidangan di hadapannya. Dia mengenakan pakaian wama hijau daun. Sepasang arit tampak terselip di kiri-kanan pinggangnya. Rupanya, dia merasa tidak terganggu oleh pembicaraan tamu lain yang bertubuh pendek.
"Kang," panggil lelaki bertubuh pendek itu.
"Hari ini perasaanku tak enak. Semenjak kita tinggal di penginapan ini, hatiku dag dig dug tak karuan. Akan ada apa ya, Kang?"
Lelaki berpakaian serba hitam tersenyum-senyum mendengar ucapan rekannya yang bertubuh pendek.
"Kau terlalu perasa, Wiratma," tukasnya sambil mengusap kepala rekannya.
"Aku tahu, kenapa jantungmu dag dig dug seperti itu."
Lelaki bertubuh pendek yang bernama Wiratma itu mengernyitkan dahinya.
"Kau pasti terlalu memikirkan si Mirah. Ha ha ha...," ledek lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terbahak-bahak.
Lelaki muda berpakaian hijau daun itu menoleh. Disaksikannya kelucuan lelaki berpakaian hitam yang tengah terbahak-bahak.
"Sabar ya, Wiratma. Tak lama lagi kita akan sampai di padepokan. Dan berarti, sebentar lagi kau akan bertemu si Mirah yang menurutmu perempuan yang paling pandai membuat sambal. Ha ha ha. "
"Bukan itu, Kang Jalu. Bukan itu!" selak Wiratma sambil menahan guncangan tawa rekannya.
"Lalu, apa?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam yang ternyata bernama Jalu.
"Firasatku mengatakan, kalau akan terjadi sesuatu di tempat ini," jelas Wiratma.
"Ngaco!"
"Dia benar, Kisanak!" tukas laki-laki tinggi besar yang tiba-tiba saja muncul di halaman penginapan.
"Firasat temanmu yang mirip bola itu sungguh tajam. Di tempat ini, jika kalian semua tidak menuruti keinginanku, maka akan terjadi banjir darah!"
Kemunculan lelaki tinggi besar berpakaian merah darah itu cukup mengejutkan Ki Lunta yang kebetulan keluar dari kamarnya. Laki-laki tua pemilik kedai dan penginapan ini kenal, siapa lelaki tinggi kekar berpakaian merah itu.
"Ah! Maaf, Tuan Bontan. Sekali ini, tolong jangan ganggu tamu-tamuku," ratap Ki Lunta terbata-bata.
Lelaki bertubuh kekar yang ternyata bernama Bontan itu tersenyum sinis.
"Berani betul kau berkata seperti itu, Ki Lunta! Kau tahu, apa akibatnya atas ucapanmu yang jelek barusan?"
Lelakitinggikekarberpakaian merahdarahituadalahkakitangan Gantangga,seorangtokohsesatyang menguasaidaerahini.Diakemudian menepuk dada kiri dan kanannya. Tak lama setelahtepukanitu,berkelebattiga bayanganmerahyangtahu-tahutelah berdiri tegak di sarnping kiri-kanannya.
"Sarkam,Jalil,Warman! Beri pelajaran pada kakek peot itu!" perintah Bontan.
Tiga laki-laki berpakaian merah yang baru datang itu segera menuruti perintah Bontan. Sekali lesatan saja mereka sudah berada di hadapan Ki Lunta. Dan itu semua tanda kalau Sarkam, Bayong, dan Warman cukup menguasai ilmu bela diri.
"Di hadapan kami, sebaiknya kau tutup mulut, Ki Lunta!" sentak Sarkam sambil mengarahkan tinjunya.
Ki Lunta tak mampu mengelak ketika tinju Sarkam yang cukup keras mendarat di wajahnya. Tubuh laki-laki tua itu terhuyung ke belakang. Namun, pemilik penginapan dan rumah makan itu masih mampu menguasai diri, hingga tidak terjerembab. Hanya saja, tak urung dari wajahnya yang terkena pukulan keras Sarkam tadi mengalir juga darah dari sela-sela bibirnya.
Sarkam kembali melangkah menghampiri Ki Lunta. Tangannya yang masih terkepal erat, kembali diarahkan ke wajah Ki Lunta. Laki-laki tua pemilik kedai itu hanya mampu terbeliak.
"Terimalah ini, Kakek Peot!" Trak!
"Ukh...!"
Sarkam terpekik ketika sebuah benda menghadang tangannya. Kontan tangannya terasa seperti kesemutan. Wajah Sarkam pun seketika berubah merah.
"Kurang ajar!" maki Sarkam. Matanya yang seperti ingin keluar, ditujukan ke arah lelaki pendek yang berdiri di dekat lelaki berpakaian serba hitam, yang menghalangi serangannya.
"Berani betul kau menghalangi keinginanku, Gentong Busuk!"
Sarkam langsung melancarkan serangan ke arah lelaki bertubuh pendek yang telah menggagalkan niatnya itu. Sebuah sodokan tangannya yang mengarah ke ulu hati lelaki bertubuh pendek itu hanya menemui tempat kosong. Wajah Sarkam semakin merah. Kembali pukulannya diarahkan ke wajah lelaki bertubuh pendek yang bernama Wiratma itu. Wiratma memang sudah siap menerima serangan. Maka tubuhnya segera direndahkan. Dan bersamaan dengan itu, jari-jari tangannya yang membentuk seperti kerucut, disodokkan ke ulu hati Sarkam yang melompong.
"Akh...!"
Sarkam kontan terhuyung ke belakang terkena sodokan tangan Wiratma.
"Mau coba-coba menyerang lagi?!" tantang Wiratma.
Sarkam mendengus geram. Langsung pinggangnya diraba. Maka, seberkas sinar putih berkilatan keluar dari sarungnya. Sarkam kini telah menghunus golok, siap melancarkan serangan kembali.
"Terimalah ini, Gentong Busuk!" pekik Sarkam marah.
Golok yang ada di genggamannya langsung ditebaskan ke arah leher Wiratma. Namun, kembali lelaki bertubuh pendek itu merendahkan tubuhnya. Maka tebasan golok Sarkam kembali membentur tempat kosong.
Dan pada saat tubuhnya merendah, Wiratma cepat menyodokkan sikut kanannya ke ulu hati Sarkam.
"Aaakh...!"
Sarkamkontanterpekikmenerima sodokansikutkananlelakibertubuh pendek itu. Maka tubuhnya kembali terjajar ke belakang.
Menyaksikan Sarkam kewalahan menghadapi lelaki bertubuh pendek, Jalil dan Warman datang membantu dengan golok terhunus.
"Hiaaat..!"
Melihat keadaan yang tak menyenangkan ini, lelaki berpakaian serba hitam yang memang saudara seperguruan Wiratma juga segera membantu.
"Rupanya kalian senang main keroyok!" dengus Jalu sambil menghunus senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau pun ingin cepat-cepat mampus!" bentak Jalil.
"Terima ini!" 
"Hiaaat...!" 
"Uts!"
Trang! Trang...!
Jalu kini slbuk menangkis serangan yang bertubi-tubi. Begitu juga yang dialami Wiratma. Maka pertarungan tak seimbang pun terjadi ketika lelaki tinggi kekar yang bernama Bontan ikut turun ke gelanggang pertarungan. Hingga pada suatu kesempatan, Bontan melihat bidang lowong di perut Wiratma. Kesempatanitubenar-benar dimanfaatkannya. Maka.,..
Blesss! "Aaakh...!"
Wiratma kontan terpekik keras. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kanan mendekap perutnya yang terkena tusukan senjata Bontan.
"Kau..., jahanam!"
Menyaksikan temannya tergeletak bermandikan darah, Jalu semakin naik pitam. 
"Terimalah ini, Jahanam!" 
"Hiyaaa...!"
Trang!
"Hiya! Hiyaaa...!" Trang! Trang!
Bug....
Bret!
Lelaki berpakaian hitam itu terhuyung tiga langkah, setelah rusuk kanannya terserempet senjata Sarkam.
"Keparat...!" maki Jalu tanpa mempedulikan rusuknya yang sedikit mengeluarkan darah.
Bontan kembali menerjang. Senjata nya diayun-ayunkan ke arah leher lelaki berpakaian hitam.
Bet! "Hup. !" Jalu membawa turun kepalanya. Beberapa rambut lagi, kepala lelaki berpakaian hitam itu terpisah dari badannya. Tapi untungnya, gerakannya sedikit lebih cepat dari penyerangnya. Namun siapa sangka kalau gerakan kaki Sarkam datang begitu cepat ke arah dadanya.
Dug! "Akh...!"
Jalu terhuyung sejauh tiga batang tombak. Karena tak kuasa menahan tendangan yang cukup keras, maka tubuhnya yang limbung segera saja menghantam meja yang ditempati anak muda berpakaian hijau daun.
Meja yang tertimpa tubuh kekar milik Jalu hancur seketika. Maka mau tak mau makanan yang ada di atasnya berpentalan tak tentu arah. Bahkan di antaranya ada yang mengotori pakaian anak muda yang menempati meja itu.
Melihat kenyataan yang terbentang di depan matanya, lelaki lain yang berpakaian merah darah segera memburu lawannya yang sudah tak berdaya. Dia memang bermaksud menghabisi nyawa lelaki berpakaian serba hitam ini.
"Hiyaaat...!" 
"Tunggu!"
Secara mendadak, Jalil menghentikan gerakannya. Goloknya yang sudah terayun di udara, seketika terhenti.
"Apa maumu, Anak Muda?!" sentak Jalil pada anak muda berpakaian hijau daun.
"Rupanya kau ingin cari mampus juga, heh?!"
"Sabar, Kisanak," ucap anak muda berpakaian hijau itu sabar.
"Sesungguhnya, aku tidak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya berkewajiban mencegah penginapan ini dari banjir darah."
"Jaga mulutmu, Anak Muda!" sentak Sarkam.
"Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan sekarang, heh!"
"Ya. Sekarang ketahuilah! Kami adalah kaki tangan Ludah Setan yang tak pernah segan berurusan dengan nyawa. Termasuk nyawamu! Bersiaplah!" timpal Warman.
"Sabar, Kisanak. Sabar. Jadi manusia itu harus memiliki banyak kesabaran, karena akan membawa kita pada keselamatan. Kuulangi lagi, sebetulnya aku tak bermaksud mencampuri urusan kalian. Aku hanya tidak senang kalau di penginapan ini terjadi pertumpahan darah. Darah itu amis, Kisanak. Aku paling tidak suka dengan bau amis," kata pemuda itu, seraya berdiri.
"Bedebah...!"
"Sabar!" anak muda berpakaian hijau daun itu kembali mengangkat tangannya.
"Baiklah aku berterus terang. Aku merasa terganggu dengan ulah kalian. Pertama, kalian semua telah membuat tempat penginapan ini kotor dan rusak. Kedua, secara tak langsung kalian telah mengotori pakaianku. Dan yang ketiga, kalian telah melakukan pembunuhan di tempat ini, di hadapanku. Kalian semua harus bertanggung jawab!"
"Keparat..!"
"Anak muda sombong! Terimalah ini!
Hiyaaa...!"
"Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka tusukan golok yang mengarah ke perutnya tentu saja menemui tempat kosong. Bukan itu saja. Sikutnya dengan begitu cepat menghantam pelipis penyerangnya.
Bletak! "Ughhh...!"
Sarkam terpental sejauh dua batang tombak. Namun serangan berikutnya harus dihadapi anak muda berpakaian hijau daun yang belum sempat merubah kedudukannya.
"Kurang ajar! Hiyaaat...!" Tebasan golok ke arah pinggang,
dapat dihindari anak muda berpakaian hijau itu dengan gerakan amat lentur. Lalu dengan lugas, tubuhnya digenjot ke atas. Dia melakukan lentingan menakjubkan seraya berputar dua kali di udara.
Menyaksikan kebolehan anak muda berpakaian hijau daun itu, darah Bontan terasa mendidih. Dia yang merasa sudah banyak makan asam garam dunia persilatan, jelas merasa direndahkan.
"Kurang ajar! Hei, Anak Muda! Jangan bangga dulu setelah berhasil terlepas dari serangan yang dilakukan anak buahku. Hm..., akan segera kucincang dagingmu. Bersiaplah!"
Mendengar ancaman yang tidak main-main, lelaki muda berpakaian hijau daun itu segera merubah letak berdirinya.
"Hiaaat...!" 
"Hup!"
"Hei pengecut! Jangan kabur. Hup!" Setelah melejitkan tubuhnya dengan kecepatan penuh, anak muda berpakaian hijau itu mendaratkan kakinya di luar halaman penginapan denganmanis.Itu menandakan kalau ilmumeringankan tubuhnya cukup tinggi.
"Hup!"
Begitu pula lelaki berpakaian merah darah yang bernama Bontan. Dia kini telah mendarat di hadapan anak muda berpakaian hijau daun itu dengan manis.
"Aku bukan pengecut, Kisanak! Aku hanya tak ingin menyaksikan tempat penginapan milik Ki Lunta berantakan. Kau tahu, Kisanak? Nanti malam aku ingin tidur nyenyak di kamar penginapan itu." 
"Kadal gudik! Terimalah ini.... Hiyaaat!"
"Uts!"
Anak muda berpakaian hijau daun itu menggeser tubuhnya ke belakang menghindari sabetan golok lawan. Namun belum betul mengatur keseimbangan tubuhnya, serangan lain datang hendak membabat punggungnya.
Takkk! Buggg!
Di luar dugaan, anak muda berpakaian hijau daun itu cepat membalikkan tubuhnya untuk menangkis serangan si pembokong. Bukan itu saja tindakannya. Si pembokong pun harus rela menerima sambaran tangan yang cukup keras dari anak muda itu. Pada saat yang bersamaan, Sarkam mengayunkan goloknya dari belakang. Angin mendem kuat ketika keluar dari gerakan Sarkam. Jelas, Sarkam melakukannya dengan seluruh tenaga.
Merasakan adanya bahaya mengancam, anak muda itu merendahkan tubuhnya. Melalui cetah ketiak nya, dia dapat menyaksikan gerakan yang dilakukan
Sarkam.
"Hiyaaa...!" 
"Hair!" Desss! Desss! "Aaakh...!"
Melalui kecepatan gerakan yang luar biasa, anak muda berpakaian hijau daun itu melakukan tendangan belakang yang tak mampu dihindari Sarkam. Akibatnya, tubuh Sarkam terlempar sejauh tiga batang tombak.
Menyaksikan tubuh Sarkam yang terjerembab dan tak bangkit lagi, Bontan segera saja meningkatkan serangannya. Bahkan Jalil dan Warman diperintah untuk menyerang pula.
"Hiyaaat...!" Trang! Trang..! Bret! "Uuugkh...!"

* * * * *



Jalil dan Warman terkejut menyaksikan pimpinan mereka dengan begitu mudah dapat ditundukkan anak muda berpakaian hijau daun itu. Dengan gerakan cepat, tubuh Jalil melejit untuk menangkap tubuh Bontan yang terpental ke arahnya.
"Hup!"
Sekuatnya Jalil menahan tubuh Bontan. Namun tak urung, tubuhnya terdorong juga. Memang begitu keras tendangan anak muda berpakaian hijau muda itu setelah terlebih dahulu membabat perut Bontan dengan senjatanya yang mirip arit.
"Keparat!" maki Jalil setelah mengatur keseimbangan tubuhnya.
Lelaki berperawakan sedang itu kembali hendak menerjang anak muda berpakaian hijau daun itu, tetapi....
"Tahan, Jalil!" sentak Bontan sambil mendekap luka sabetan di perutnya.
"Rasanya kau tak akan mampu meladeni anak muda usilan itu. Lebih baik mundur. Kita akan membuat perhitungan nanti."
Jalil mengurungkan niatnya. Sekarang dia baru merasakan kalau anak muda berpakaian hijau daun itu memang bukan tandingannya. Ditatapnya mata anak muda itu dengan sinar mata menggiriskan. Sebentar kemudian, giginya terdengar bergemeretak menahan amarah, menyaksikan tubuh Sarkam yang tergeletak tanpa nyawa dan tubuh Bontan yang terluka parah.
"Hai, Anak Muda Usilan! Dengarlah! Kami kaki tangan Ludah Setan tak pernah menganggap persoalan ini selesai sampai disini.Kamibersumpahakansegera kembali menemui kadal buduk sepertimu, untuk menuntut balas. Kau dengar itu?!" Dengan tangan bertolak pinggang, anak muda berpakaian hijau daun itu menyunggingkan senyum mengejek ke arah lawannya.
"Pulang, dan mengadulah kepada pimpinanmu. Aku yang bernama Roka akan selalu menunggu kedatanganmu," tantang pemuda itu.
"Bocah sombong!" maki Jalil.
"Warman! Kau bopong mayat Sarkam. Biar aku memapah Kakang Bontan."
Warman segera melaksanakan perintah temannya. Dengan cepat diangkatnya mayat Sarkam. Sementara, Jalil memapah Bontan dengan Iangkah terhuyung-huyung.
Belum lagi jauh Jalil meninggalkan anak muda yang telah mempecundanginya, kepalanya menoleh, menatap penuh dendam pada anak muda berpakaian hijau daun itu. Sedangkananakmudaberpakaian hijau daun itu hanya tersenyum-senyum geli saja menyaksikan tingkah lawannya.
"Sampaikan salamku untuk Ludah Setan, Ludah Jin, dan ludah-ludah lainnya! Katakan, Roka menunggu di tempat ini!"
Mendengar ejekan yang memerahkan telinga itu, Jalil segera membuang tatapannya. Dadanya terasa sesak dipenuhi bara dendam.
"Awas kau! Rasakan balasanku nanti, Anak Muda Bau Tengik!" gerutu Jalil sambil terus memapah tubuh Bontan.
Sementara, anak muda berpakaian hijau daun yang bernama Roka itu berpaling, setelah terlebih dahulu mengusap-usap debu yang mengotori pakaiannya.

* * * * *



--≡¦ { ENAM } ¦≡--

Roka kembali memasuki ruangan penginapan yang tengah dibenahi pemiliknya. Ki Lunta, si pemilik penginapan sederhana ini, melirik sekilas ke arah anak muda yang tengah duduk kembali. Dia segera menarik napasnya dalam-dalam, sebelum kakinya melangkah menghampiri Roka.
"Tindakanmu terlalu berani, Anak Muda," kata Ki Lunta periahan. Wajah tuanya nampak jelas begitu pucat.
"Apa tindakanku barusan salah, Ki?" selidik Roka dengan alis terangkat.
Ki Lunta tak menjawab pertanyaan itu. Wajah tuanya tertunduk seketika, dan napasnya ditarik dalam-dalam.
"Kau takut kaki tangan Ludah Setan kembali lagi ke sini, Ki?" tanya Roka. Anak muda berpakaian hijau daun itu menatap wajah lelaki tua, di hadapannya.
Dia tersentak menyaksikan wajah Ki Lunta yang semakin pucat.
"Kau sakit, Ki?" Roka memegang bahu Ki Lunta yang terasa begitu dingin.
Lelaki tua berumur sekitar enam puluh tahun itu menggelengkan kepala.
"Tindakan yang kau ambil barusan sebenarnya tidak salah, Anak Muda."
"Ah! Panggil saja aku Roka, Ki." Ki Lunta mengangguk.
"Kau terlalu berani berurusan dengan Ludah Setan, Roka. Aku tidak yakin, kepandaian yang kau miliki mampu menandingi kesaktiannya." 
"Setinggi apakah kesaktian Ludah Setan itu, Ki?" selidik Roka.
Mendengar ucapan Ki Lunta, Roka merasa dirinya direndahkan. Mungkin dikira dirinya tak mampu menandingi kehebatan Ludah Setan.
Mendengar pertanyaan Roka, dahi Ki Lunta sedikit berkerut.
"Sukar mengukur kesaktian si Ludah Setan yang sudah betul-betul menjadi setan di desa ini. Puluhan tokoh sakti, terutama tokoh dari aliran putih telah dibinasakannya. Bahkan belum lama ini, seorang tokoh yang cukup dikenal kedigdayaannya harus menyerahkan selembar nyawanya ke tangan Ludah Setan. Kau tahu siapa tokoh itu, Roka?"
Roka menggeleng mendengar pertanyaan Ki Lunta. Memang, dia tidak tahu-menahu tentang sepak terjang Ludah Setan. Roka memang baru saja menamatkan pelajaran ilmu olah kanuragan di Perguruan Hijau Kemuning.
"Macan Kumbang dari Selatan," tegas Ki Lunta kemudian.
Roka tersentak mendengar nama besar Macan Kumbang dari Selatan yang disebut Ki Lunta telah mati dibunuh oleh Ludah Setan. Meskipun dirinya belum pernah menyaksikan kehebatannya, namun melalui mulut guru besarnya, Roka penah mendengar kehebatan dan kedigdayaan yang dimiliki Macan Kumbang dari Selatan. Dia adalah pendekar berusia setengah baya yang sudah malang melintang di rimba persilatan.
Bergetar juga hati Roka mendapatkan kenyataan seperti itu. Akan tetapi, siapa yang dapat menduga kalau kejadiannya jadi seperti sekarang ini? Roka mengerutkan dahinya. Otaknya tengah berpikir keras.
"Ludah Setan," gumam Roka dalam hati.
"Sesakti apa pun, aku harus menghadapimu."
"Kau menyesal, Roka?"
Pertanyaan Ki Lunta bagai petir menggelegar di telinga Roka. Ditatapnya wajah Ki Lunta dalam-dalam. Roka menggeretakkan giginya sebelum bicara.
"Apakaupikirakuiniseorang pengecut, Ki?" tukas Roka ketus. Sifat kependekarannya seketika muncul.
"Siapa pun si Ludah Setan dan setinggi apa pun kesaktiannya, aku akan tetap menunggunya di tempat ini. Pantang bagiku menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah. Aku telah menantang si Ludah Setan, dan berarti harus pula menghadapinya."
Ki Lunta terkejut mendengar ucapan anak muda berpakaian hijau daun yang begitu tegas itu. Dia kelihatannya tidak main-main dengan ucapannya.
"Aku kagum dengan keberanianmu, Roka. Tetapi. "
"Tetapi apa, Ki?" selak Roka cepat "Untuk sementara ini, Rasanya kau tak akan berhadapan langsung dengan Ludah Setan. Kau harus lebih dulu berhadapan dengan Gantangga."
"Siapa itu Gantangga, Ki?" 
"Tangan kanan Ludah Setan," jelas Ki Lunta.
"Seandainya aku mampu mengalahkan Gantangga?"
Ki Lunta tak menimpali pertanyaan Roka. Kakinya malah melangkah ke arah lelaki berpakaian hitam yang telah selesai membalut luka-lukanya.
"Seharusnya kejadian ini tidak terjadi, Kisanak," kata Ki Lunta pada lelaki berpakaian serba hitam yang bernama Jalu.
"Akan tetapi, siapa yang dapat mencegah suratan yang telah digariskan sang Pencipta. ?"
Jalu tak menimpali ucapan Ki Lunta. Sepertinya, dia membenarkan perkataan yang keluar melalui mulut lelaki tua di hadapannya itu. Itulah sebabnya, ketika Ki Lunta sudah tidak berkata lagi, Jalu mohon pamit.
"Aku pamit, Ki," ucap Jalu datar. , Ki Lunta menganggukkan kepalanya. Sementara, Roka hanya memandang wajah Jalu yang kini sudah memondong temannya itu.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan, Jalu melesat dari hadapan Ki Lunta. Namun tak lama kemudian, suaranya yang dikirim lewat pengerahan tenaga dalam terdengar Ki Lunta dan Roka.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Roka!"

* * * * *



Blarrr...!
Suara gaduh seketika terdengar di pagi buta seperti ini. Belum lagi hilang keterkejutan penghuni sebuah penginapan, suara lain yang tak kalah kerasnya terdengar.
"Ki Lunta! Keluarkan semua penghuni penginapanmu. Biar kukirim nyawa-nyawa mereka ke neraka! Ki Lunta! Kau dengar!"
Brakkk...!
Pemilik kedai dan penginapan yang bernama Ki Lunta keluar tergesa-gesa. Dugaannya yang kemarin terbukti kini. Di depannya, sekarang tengah berdiri sosok angkerberpakaianmerahdarahdengan ikat kepala juga berwarna merah darah. KakiKiLuntasepertitakmampu menahan bobot badannya. Lelaki tua itu merasakanseluruhtubuhnyamenggigil menyaksikanGantanggaberdiridi hadapannya dengan senjata andalan yang sudah terlepas dari pinggang. Sepasang senjata berbentuk palu bergerigi, dan terbuat dari logam keras berwarna hitam legamitutergenggameratditangan
kanannya.
Belum lagi Ki Lunta berhasil mengatasi rasa ketakutannya, sosok angker itu telah mengayunkan senjata. Bunyi bergemuruh seketika terdengar disertai deru angin keras yang menerbangkan kerikil-kerikil di sekitarnya. Itu menandakan kalau sosok angker ini tidak main-main dengan serangannya.
Wukkk! Wukkk..!
"Mati aku," ujar Ki Lunta dalam hati. Wajah tuanya nampak semakin pucat, seperti tanpa darah yang mengalir di tubuhnya.
Blarrr...! Sebuah meja di depannya hancur berkeping-keping terhajar senjata Gantangga. Dialah tangan kanan Ludah Setan yang datang untuk menuntut balas atas kekalahan anak buahnya terhadap Roka.
Gantangga melangkah ke arah Ki Lunta yang kini terkulai di lantai. Keringat dingin sebesar biji jagung semakin deras mengaliri tubuhnya.
"Tamatlah riwayatku," gumam Ki Lunta. Namun belum lagi langkah kaki Gantangga tiba di hadapan Ki Lunta, tiba-tiba....
"Berhenti. !"
Tiba-tiba sebuah bentakan keras telah menghentikan langkah Gantangga. Dan seiring dengan terdengarnya bentakan itu, berkelebatlah sesosok bayangan hijau ke arah Ki Lunta.
"Minggirlah, Ki Lunta. Biar kuhadapi orang yang tak tahu sopan ini." Mendapatkan kesempatan 0untuk menyelamatkan diri, Ki Lunta secepatnya
bergegas.
"Keberanianmu patut dipuji, Anak Muda," kata Gantangga seraya memutar-mutar senjatanya periahan.
"Akan tetapi, keberanianmu bukan pada tempatnya. Kau tidak tahu, dengan siapa berhadapan sekarang."
Mendapatkan gertakan yang seperti itu, seketika Roka mengembangkan senyumnya.
"Siapa pun kau, dan setinggi apa pun kepandaianmu, selama aku berpijak pada kebenaran rasanya aku tak akan lari. Meskipun nyawa yang jadi taruhannya," sahut Roka, dingin.
"Ternyata kau punya nyali dua, Bocah Sombong! Rasanya aku tak sabar lagi ingin mengunyah kedua nyalimu. Tahan seranganku. Hiyaaa!"
Wukkk! Wukkk. !
Menyaksikan lawannya yang sudah menggunakan senjata, Roka segera menggeser kakinya ke belakang.
"Hiaaat. !"
Wukkk! Wukkk. !
Blarrr!
Dengan gerakan ringan, Roka melenting seraya melakukan putaran dua kali di udara untuk menghindari hantaman palu bergerigi yang dikirim Gantangga.
"Hup!"
Roka menjejakkan kakinya dengan manis di luar penginapan.
"Tidak semudah membalikkan telapak tanganuntukmenyingkirkanku, Gantangga!" tukas Roka sambil menarik keluar senjata andalannya berupa sepasang arit keperakan.
Sret! Sret! Wukkk! Wukkk...!
"Hiyaaa...!" Trang!
Roka menangkis sambaran palu bergerigi itu dengan senjatanya. Dan betapa terkejutnya hati Gantangga ketika menyadari kalau tenaga dalam lawan hampir seimbang dengannya. Tubuhnya terjajar ke belakang tiga langkah, sementara tangannya terasa linu.
"Boleh juga tenaga dalam bocah ingusan ini!" desis Gantangga sambil membetulkan kakinya setelah terhuyung tiga langkah ke belakang.
Pertarungan kembali berlanjut setelah masing-masing mengetahui kekuatan lawan. Hanya saja kali ini Roka yang mengambil keputusan untuk menyerang.
"Hiaaat..!" Sret! Sret! "Uts!!"
Gantangga mendoyongkan tubuhnya menghindari sambaran senjata Roka yang mencecar ke perut. Sambaran itu berhasil dielakkannya, namun sodokan sikut yang dilancarkan Roka kembali mengancam wajahnya yang berahang keras.
Menyaksikan keadaan itu, Gantangga segera melempar tubuhnya ke kanan. Mirip lompatan seekor harimau. Tubuhnya yang kekar itu seketika bergulingan di tanah berdebu.
Akan tetapi, Roka tak begitu saja membiarkan lawannya lolos. Dengan gerakan yang sukar dilihat mata biasa, Roka kembali mencecar lawannya. Sepasang senjata andalannya berputar-putar cepat, mencecar bagian yang mematikan pada tubuh lawan.
"Hiyaaa!"
Srat! Srat! Srat! "Hup!" 
"Hiyaaa...!"
Roka terus mencecar tubuh Gantangga yang kerepotan menghindari setiap serangannya. Rupanya, Roka tahu caranya menghadapi lawan yang menggunakan senjata palu bergerigi. Pertarungan memang harus dilakukan dengan jarak dekat. Sementara, lawan membutuhkan pertarungan jarak jauh.
Di situlah keunggulan Roka. Hingga pada jurus yang ke lima belas, tendangan yang dialiri pengerahan tenaga d alam, berhasil disarangkan di tubuh lawan. Bugkh! "Akh...!"
Tubuh Gantangga terpental sejauh tiga batang tombak. Perutnya kontan terasa melilit dan mual. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan berwarna merah. Dan sebelum Roka kembali menyerang, Gantangga segera bangkit sambil membenturkan kedua telapak tangannya.
Plak! Plak! Plak...!
Seiring tepukan tangan Gantangga, berturut-turut lima sosok bayangan berkelebat cepat mengurung Roka.
"Kali ini kau harus mampus, Bocah Ingusan!" bentak Gantangga setelah menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Kini Gantangga kembah memutar-mutar senjata andalannya.
Wukkk.... Wukkk...!
Dalam keadaan terkurung seperti itu, Roka segera meningkatkan kewaspadaannya. Dengan ekor mata, diperhatikannya empat orang lawan yang bersenjatakan pedang dan seorang lawan yang senjatanya sama dengan senjata Gantangga. Dialah Majakot, orang kedua setelah Gantangga.
"Seraaang...!"
Empat orang lawan bersenjata pedang seketika merangsek maju. Secara bersamaan, empat orang berpakaian merah itu menusukkan senjatanya ke bagian-bagian mematikan tubuh Roka. Maka kembali Roka menggenjot tubuhnya. Dengan bertumpu pada salah satu pedang lawan, dia melenting ke udara dan bersalto dua kali.
"Hup!"
Roka mendarat ringan di tanah. Namun belum lagi sempat menarik napas lega, senjata Majakot sudah datang mencecar kepalanya.
"Pecah kepalamu, Bocah!" Wuttt...!
"Uts!"
Roka menundukkan kepalanya. Senjata andalan yang dilancarkan Majakot, lewat lima rambut di atas kepala Roka. Namun tak urung dia merasakan angin keras yang seperti mengangkat pori-pori kulit kepalanya.
Setelah Roka berhasil melepaskan diri dari maut, dengan mengandalkan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, Roka mengirimkan serangan ke arah dada Majakot yang lowong.
"Hiyaaa...!" Sret! Sret!
"Heh?!"
Roka menarik mundur serangannya ketika sebilah pedang mengkilat memapak serangannya.Kemudian,tubuhnyayang sudah berada di udara dibuang ke kanan. Seorang penyerang gelap yang hendak memanfaatkan keadaan Roka, ternyata bernasib sial. Pada saat membuang tubuhnya kekanan,Roka sudah dapat mengambil kesimpulan kalau lawan akan memanfaatkan keadaannya yang kurang menguntungkan. Maka....
"Hap!" Bret!! "Aaakh. !"
"Keparat!" Gantangga memekik geram, giginya bergemeretak keras menahan amarah yang meluap-luap.
"Kau telah menghilangkan nyawa murid kesayanganku! Maka kau harus menukar dengan nyawamu, Bocah Edan!"
"Hiya! Hiyaaa. !"
Gantangga dan Majakot merangsek bersamaan. Keduanya tampak tengah mempersiapkan jurus andalan untuk melumat tubuh Roka.
"Kusayangkan kalau akhirnya kau harus menerima kematian begitu cepat, Anak Muda. Untuk itu, sebut namamu. Karena biar bagaimanapun juga, aku harus angkat jempol akan keberanianmu menentang Ludah Setan, junjungan kami," ujar Gantangga dengan suara ditekan.
Roka mencibir mendengar ucapan Gantangga.
"Jurus apa yang kalian andalkan hinggam emiliki kesombongan seperti itu?" tak kalah berat nada suara Roka.
"Bocah ingusan! Kau memang pantas menerima jurus 'Badai Gurun' yang akan mengirimmu ke neraka. Ayo, Kakang! Lebih cepat bocah ingusan ini mampus, lebih baik!"
"Baik, Adi Majakot!" Wukkk...! Wukkk...!
Terbelalak juga mata Roka menyaksikan dua pasang senjata dari dua orang lawan yang kini tengah berputar bersamaan di udara. Senjata berbentuk palu yang pada ujung gagangnya disambung dengan rantai itu berputar di atas kepala begitu cepat. Hingga yang terlihat kini hanya segulungan warna hitam yang mengeluarkan angin deras.
Udara di sekitar tempat pertarungan itu seketika menjadi dingin. Debu dan kerikil beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon kecil yang ada di sekitarnya kontan bertumbangan. Roka merasakan tubuhnya seperti hendak diterbangkan. Namun dengan segenap kemampuannya, dia berhasil mengatasi. Akan tetapi bukan main terkejutnya Roka ketika merasakan hawa dingin yang mendadak lenyap. Dan kini telah berganti hawa panas yang timbul akibat berputarnya dua pasang senjata berbentuk palu bergerigi dengan kecepatan penuh.
Dengan mengerahkan hawa murni, hawa panas yang keluar dari senjata yang terus berputar itu mampu diredam Roka. Malahan, Roka kini sedang menyiapkan serangan. Sepasang kakinya bertumpu membentuk kuda-kuda gantung. Sedangkan tubuhnya digerak-gerakkan begitu gemulai, layaknya padi yang tertiup angin sepoi-sepoi. Ya! Roka tengah menyajikan jurusnya yang bernama 'Gemulai Padi Menguning'.
Gerakan Roka yang semula nampak gemulai kini menjadi mengejang. Seluruh permukaan wajahnya dialiri warna kemerahan. Dan sebentar kemudian, gerakannya yang begitu cepat berkelebat deras ke arah tubuh Gantangga.
"Hiaaa...!"
Sepertidalammimpi,Gantangga menerimaserangantakterdugayang dilancarkan Roka. Maka segera dia melempar diri ke kiri ketika sambaran sepasang arit Roka hendak memakan lambungnya. Seiring lemparan tubuhnya, Gantangga sempat mengirim serangan dengan palu bergeriginya.
Wukkk!
Roka mengangkat sedikit kakinya yang sudah berada di udara. Dan ketika menjejak tanah, tubuh Roka kembali melenting mengejar Gantangga yang tengah bergulingan.
"Hiaaa. .!"
"Hiyaaa...!" Bugkh!
"Agkh!" Roka terpekik tertahan.
Tubuh anak muda berpakaian hijau itu terjajar dua batang tombak ketika menerima serangan gelap Majakot. Seketika Roka merasakan dadanya sesak. Tendangan yang dilancarkan lawan tadi terlalu keras menghantam dadanya. Darah nampak merembes dari sudut bibirnya.
Belum lagi Roka mampu metawan sesak di dadanya, Majakot kembali menyerang. Rupanya dia tidak ingin membuang-buang kesempatan yang cukup baik
Wukkk. Wukkk!
Majakot segera melepas senjata andalannya kembali, mengarah ke tubuh Roka. Dan Roka hanya terpekik ketika senjata bergerigi milik lawan sempat menyerempet tubuhnya.
Brettt! "Akh!"
Pakaian Roka tampak koyak terkena sambaran senjata lawan. Bahkan kulit yang ikut terserempet,
sedikit mengeluarkan darah.
"Hiaaat...!"
Gantangga menyusulkan serangan ketika melihat Roka terdesak hebat. Tubuhnya yang tengah melayang di udara, mengirimkan sebuah tendangan bertenaga. Suara yang cukup kuat terdengar mengiringi hantaman kaki kekarnya.
Bug! "Akh!"
Roka kembali terpekik menerima hantaman yang cukup keras. Tubuhnya terpental sejauh tiga batang tombak. Darah kental tampak keluar dari mulutnya yang terbatuk-batuk.
Melihat tubuh Roka yang tak mampu bangkit, Gantangga dan Majakot melancarkan serangan secara bersamaan. Senjata mereka yang bergerigi tajam berkelebat cepat mencecar batok kepala Roka.
"Hiaaat...!"
"Hiyaaa...!"
Roka hanya terhenyak menyaksikan kedua lawan yang merangsek maju. Dia sudah pasrah menanti saat-saat ajal yang akan segera menjemput, tapi...
Trak! Trak...!

* * * * *



--≡¦ { TUJUH } ¦≡--

Sejengkal lagi senjata milik Gantangga dan Majakot menghantam batok kepala Roka, tiba-tiba benturan keras seketika terdengar. Tubuh Gantangga dan Majakot seketika terpental sejauh tiga batang tombak. Kedua lelaki berpakaian merah darah itu merasakan tangannya seperti lumpuh. Dan itu jelas tenaga dalam mereka kalah dibanding orang yang memapak serangannya.
"Kurang ajar!" bentak Gantangga keras.
Seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun berdiri tegak disertai senyum di bibir. Wajah pemuda berpakaian kuning keemasan dengan sabuk juga berwarna keemasan melilit di pinggang,nampak begitu tampan. Hidungnya
berukuran sedang. Bola matanya tampak cemerlang. Kulit mukanya juga bersih, dan berahang kuat.
Pada pergelangan tangan kiri pemuda itu nampak dua batang bambu kuning sepanjang jengkal bocah berusia tiga tahun. Dia kemudian kembali melepas senyumnya.
"Maafkan aku, Kisanak," ucapan yang bernada lembut seketika terdengar melalui bibir tipis milik lelaki muda berpakaian warna kuning keemasan itu.
"Sebenarnya aku tak bermaksud mencampuri urusanmu."
"Setan!" sentak Majakot seraya bangkit setelah mampu menguasai dirinya.
"Lalu, apa namanya dengan tingkahmu yang barusan itu?!"
"Sekali lagi, aku mohon maaf, Kisanak. Tingkahku yang barusan itu semata terdorong oleh kecurangan yang telah kalian lakukan," timpal pemuda itu.
"Cari mampus!"
Menggelegar suara yang dikeluarkan Gantangga, karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Sehingga sempat membuat Ki Lunta yang sejak tadi menyaksikan pertarungan secara tersembunyi menekap telinganya. Bahkan tubuhnya juga terdorong ke belakang beberapa langkah.
Sementara pemuda berpakaian kuning keemasan itu hanya mempertontonkan sebaris giginya yang tertata rapi.
"Mati tidak bisa dicari, Kisanak. Tetapi mati memang akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa."
"Setan belang! Hiyaaa...!"
Gantangga membuka serangan. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk menjatuhkan lawan yang jauh lebih muda.
Plak! Plak...!
Pemuda berpakaian kuning keemasan itu menangkis sodokan kiri kanan yang dilancarkan Gantangga. Ringan saja gerakan yang dilakukannya, akan tetapi hasilnya sangat mengejutkan Gantangga.
"Bocahsetan!"maki Gantangga geram. Dia kembali merasakan tubuhnya seperti tersengat ratusan lebah.
"Seraaang...!" teriak Majakot
ketika menyaksikan Gantangga terkulai di tanah.
Tiga orang bersenjata pedang yang sejak tadi hanya sebagai penonton, seketika merangsek maju. Tak ketinggalan Majakot yang barusan memberi aba-aba.
"Tahaan..!" bentak pemuda berpakaian kuning keemasan, menggelegar.
"Lebih baik kalian pergi dari sini, daripada membuang nyawa percuma!"
"Bocah sombong!" maki Majakot geram. Tangannya kembali bergerak memberi aba-aba.
"Jangan salahkan aku kalau umur kalian hanya sampai di sini," pemuda berpakaian kuning keemasan itu meloloskan sabuk yang melilit pinggangnya.
la memang ingin mengetahui keampuhan sabuk yang belum pemah dipergunakannya. Maka, cahaya menyilaukan tampak mengiringi lolosnya sabuk. Bahkan cahaya itu mampu menghentikan para penyerang yang bergerak maju.
Melalui gerakan manis, pemuda berpakaian kuning keemasan itu memutar pergelangan tangannya. Dan kemudian, sabuk kuning yang tercekal dilecutkan kuat-kuat
Glarrr...!
Pohon sebesar pelukan dua lelaki dewasa seketika rumbang seiring bunyi ledakan dahsyat. Bukan itu saja. Seberkas sinar keperakan yang tercipta barusan pun mampu menghanguskan pohon besar yang tumbang tadi.
"Raja Petir?!" terbeliak mata Ki Lunta menyaksikan kejadian di depan matanya.
Begitu juga yang dialami penghuni penginapan yang turut menyaksikan pertarungan. Benak mereka seketika dijejali pertanyaan dan dugaan yang simpang siur.
"Dia pasti jelmaan Raja Petir" tebak lelaki kurus berkumis lebat.
"Ngaco!" bantah yang lain.
"Raja Petir itu sudah tua. Lagi pula, orang yang mati mana mungkin bisa hidup lagi." 
"Mungkin ia keturunan Raja Petir. Atau pasti cucunya," selak lelaki berambut keriting, dari belakang.
Mereka yang mendengar ucapan lelaki berambut keriting serempak menganggukkan kepala. Sementara, di tempat lain Ki Lunta masih sibuk dengan pikirannya.
"Itu baru peringatanku, Kisanak. Lebih baik kalian segera pergi jauh-jauh sebelum menyesal. Dan, jangan coba-coba kembali lagi!" ujar pemuda berpakaian kuning keemasan, lantang.
"Bocah sombong!" maki Majakot "Seraaang...!"
Tiga sosok berpakaian merah langsung merangsek maju mendengar perintah pemimpinnya. Namun belum lagi serangan mereka tiba, seberkas sinar keperakan telah datang mendahului. Seperti ada petir menyambar, ketiga sosok berpakaian merah itu kontan berpentaian beberapa tombak dengan keadaan tubuh sebagian menghangus.
"Dia pasti pewaris Raja Petir," gumam Ki Lunta.
Ada perasaan lega seketika mengisi dada. Ki Lunta berharap, dengan kehadiran Raja Petir, ketakutan penduduk terhadap ulah Ludah Setan dan kaki tangannya akan segera berakhir.
Sementara, Gantangga dan Majakot yang menyaksikan nasib malang ketiga anak buahnya, langsung merasa gentar. Apalagi menyaksikan keadaan tubuh anak buahnya yang sebagian menghitam.
"Bagaimana? Apa kalian akan melanjutkan pertarungan ini?" tanya pemuda berpakaian kuning keemasan, tenang.
"Hhh.... Kali ini kami mengaku kalah. Tapi Ludah Setan, yang merupakan junjungan kami, tidak akan tinggal diam. Kalian semua sebentar lagi akan melayat ke neraka. Camkan itu!"
Setelah berkata demikian, Gantangga dan Majakot berkelebat pergi. Mereka meninggalkan ketiga anak buahnya yang tewas begitu mengerikan.

* * * * *



"Kau hebat, Anak Muda."
Ki Lunta terbungkuk-bungkuk menghampiri pemuda berpakaian kuning keemasan. Wajahnya sudah kembali biasa, karena ketegangan sudah tidak menghinggapinya.
Ki Lunta kembali membungkukkan badan. Tapi kali ini disertai tundukan kepala sebagai tanda hormat dan terima kasih.
"Kalau tak ada dirimu, mungkin aku dan rumah penginapanku sudah rata dengan tanah. Ah! Siapa namamu, Anak Muda? Aku sendiri bernama Ki Lunta. Biarlah aku akan selalu mengingat budi baikmu yang tak ternilai ini."
Pemuda berpakaian kuning keemasan itu mengembangkan sedikit senyumnya. Wajahnya nampak lebih tampan ketika sinar mentari pagi menerpanya.
"Pujianmu terlalu berlebihan, Ki. Rasanya belum pantas aku menerimanya. Apalagi, kau menyebut-nyebut budi baik barusan. Kukira, apa yang kulakukan barusan hanyalah sebuah kewajiban yang memang harus dijalani. Manusia memang diharuskan saling tolong-menolong, Ki Lunta."
Ki Lunta tersenyum simpul mendengar kerendahan bicara anak muda di hadapannya ini.
"Ah, ya. Namaku Jaka Sembada. Dan biasa dipanggil dengan sebutan Jaka," lanjut pemuda berpakaian kuning keemasan itu sambil menoleh ke arah Ki Lunta dan Roka bergantian.
"Aku Roka," kata lelaki berpakaian hijau daun, ikut memperkenalkan diri.
"Aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu."
"Melihat apa yang telah kau lakukan, aku jadi teringat seorang tokoh sakti golongan putih yang berbudi luhur. Tokoh itu pernah malang-melintang di dunia persilatan, yang disegani lawan dan dihormati kawan," ujar Ki Lunta kemudian.
"Siapa nama tokoh itu, Ki?" selidik Jaka.
"Raja Petir," jawab Ki Lunta.
"Apakah kau pewarisnya?" Jaka tersenyum mendengar pertanyaan Ki Lunta.
"O ya, Ki Lunta. Apa kau telah kenal lama dengan kaki tangan Ludah Setan?" tanya Jaka mengalihkan pembicaraan.
"Sudah," jawab Ki Lunta periahan.
"Mereka memang sudah lama menguasai desa ini."
"Penduduk desa ini tak ada yang berani menentang?"
"Ludah Setan sudah benar-benar menjadi setan di desa ini. Dia begitu bengis dan kejam. Siapa saja yang berani membangkang, nyawa yang jadi taruhannya," sahut Ki Lunta sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa senjata si Ludah Setan sama dengan senjata yang dipakai Gantangga dan Majakot?" selidik Jaka lebih jauh. Jaka ingin meyakini kemiripan senjata yang pernah diceritakan Nyi Selasih.
"Sama persis," jawab Ki Lunta.
Ada kegeraman seketika mengisi rongga dada Jaka. Pikirannya langsung tertuju pada cerita Eyang Legar dan Nyi Selasih. Kata mereka, dirinya terkurung api yang melahap sebuah rumah, dua puluh tahun yang lalu. Ayah Jaka telah dibunuh seseorang yang bernama Gandewa. Sedangkan ibunya, diculiknya pula. Bahkan rumah mereka dibakar. Padahal, Jaka yang saat itu masih bayi, terkurung di dalamnya. Untung saja, dia sempat diselamatkan Eyang Legar.
"Gandewa!" Jaka memekik dalam hati. Tangannya tiba-tiba saja terkepal dan wajahnya yang tampan berubah kemerahan.
"Apa kau pernah bentrok dengan Ludah Setan?"tanya Roka yang sejak tadi memperhatikan sikap Jaka.
"Ah... eh! Be..., belum," tergagap jawaban yang keluar dari mulut Jaka. Lamunannya akan kejadian yang pernah menimpa kedua orangtuanya terpenggal.
"Aku permisi ke dalam, Ki Lunta, Roka." Jaka segera melangkah perlahan menuju ke kamarnya. Dia memang ingin menenangkan pikirannya. Ternyata sebelumnya Jaka memang sedang menginap di situ.

* * * * *



"Rasakan pembalasanku nanti, Gandewa!" batin Jaka memekik keras.
Pemuda itu bangkit dari pembaringannya. Jari-jari tangannya yang berisi nampak meraba-raba sabuk warna kuning keemasan, yang bernama Sabuk Petir. Kelak, sabuk itu akan membuat para tokoh aliran hitam tercengang.
Jaka kembali membaringkan tubuhnya setelah sekian lama berdiri tegak sambil mengelus elus Sabuk Petir yang melilit pinggangnya.
Dua mata cemerlang yang sangat menopang ketampanan wajah Jaka, seketika terpejam. Dari pikirannya yang menerawang jauh, kembali terdengar ucapan Nyi Selasih yang menyatakan kemungkinan masih hidupnya ibu kandung Jaka.
"Eyang Putri memang tidak dapat memastikan kalau ibumu masih hidup, Jaka. Tapi dari pemberitahuan yang kudapatkan melalui Eyang Legar, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Karena di dalam rumahmu yang sedang dilalap api, tak ditemukan mayat lain selain mayat ayahmu, yang bernama Sempani."
"Keparat!"
Kembali hati Jaka memekik. Sementara pikiran lain terbersit, kalau si Ludah Setan telah merampas istri orang. Ibu kandungnya sendiri!
Jaka kini telah terlelap sambil membawa dendam nya ke dalam mimpi. Malam kian merambat larut. Dan sebentar lagi, pagi datang menyingsing.

* * * * *



Matahari sudah keluar sepenuhnya manakala Jaka Sembada berpamitan pada Ki Lunta.
"Aku keliling dulu sebentar, Ki. Ingin lihat lihat keadaan di luar," pamit Jaka pada Ki Lunta yang tengah sibuk membenahi rumah penginapannya yang sedikit rusak akibat ulah kaki tangan Ludah Setan.
Ki Lunta mengangguk saja mendengar ucapan Jaka. Mata tuanya menatap wajah tampan Jaka, seperti tak berkedip.
"Masih muda, ilmunya sudah tinggi," desah Ki Lunta dalam hati.
Firasat Ki Lunta sendiri mengatakan akan terjadi perubahan besar dengan hadirnya sosok muda yang memiliki kepandaian tinggi. Ya, Ki Lunta memang sudah lama mengharapkan hadirnya sosok tangguh yang akan mampu menandingi kebengisan Ludah Setan dan para begundalnya.
Sementara Ki Lunta masih sibuk berkhayal-khayal, sosok yang diidam-idamkannya telah lenyap dari hadapannya. Sosok Jaka Sembada yang kini telah pergi jauh meninggalkan perbatasan Desa Jelaga. Jaka terus melangkah ke arah Timur. Kakinya yang kokoh bergerak cepat, karena ilmu meringankan tubuhnya memang sudah tinggi. Sementara perbatasan Desa Jelaga sudah jauh ditinggalkan. Dan Jaka baru berhenti ketika tiba-tiba....
Trang! Trang. !
"Haiiit. !"
Bugkh! "Akh. !"
Jaka langsung memasang pendengarannya yang tajam. Dia memang seperti mendengar suara orang bertarung. Maka bergegas kakinya melangkah ke arah suara pertarungan berasal. Dugaannya memang tidak meleset Di hadapannya, sekitar sepuluh batang tombak nampak seseorang sedang dikeroyok.
"Seorang perempuan?" desis Jaka. Maka dia segera saja mencari tempat persembunyian untuk menyaksikan sebuah pertarungan yang kelihatannya tidak seimbang itu.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, Jaka terus mengikuti jalannya pertarungan. la kagum melihat kepandaian yang dimilikt perempuan yang ternyata masih begitu muda itu. Jaka mengira-ngira, paling tidak usia gadis berpakaian warna hijau itu tak lebih dari tujuh belas tahun.
"Hiyaaa...!" Bugkh! "Aaakh...!"
Tendangan keras gadis itu mendarat telak ke tubuh salah seorang pengeroyok yang jumlahnya belasan.
"Anak manis! Sungguh tak kusangka kalau kau menyimpan kepandaian yang mengagumkan," kata seseorang yang seketika menghadang serangan gadis berpakaian hijau itu, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Tapi akan lebih mengagumkan jika kali sudi ikut bersama kami. Gadis secantikmu tak layak terjun di dunia persilatan yang penuh kekerasan. Lebih baik, pergunakanlah kecantikanmu untuk mereguk madu kebahagiaan bersamaku. Kau akan senang ikut bersamaku."
"Cis!"
Gadis berpakaian hijau itu meludahi wajah laki-laki bercambang bauk yang merupakan salah seorang pemimpin dari pengeroyok bersenjata pedang.
Lelaki setengah baya yang diludahi itu segera memiringkan kepalanya. Hingga, terjangan ludah gadis berpakaian hijau itu hanya lewat di samping kin kepalanya.
"Hiaaat...!"
Belum lagi lelaki bercambang bauk siap, gadis berpakaian hijau itu kembali menyerang.
Trang...!
Dua tubuh saling berpentalan ke belakang sejauh tiga batang tombak.
"Gadis setan," maki lelaki setengah baya bercambang bauk itu. Dia merasakan tangannya bergetar ketika memapak serangan yang dilancarkan ke arah lehernya.
Sementara, gadis berpakaian hijau itu merasakan hal yang sama. Serangannya terasa seperti membentur dinding baja. Bahkan hampir saja pedangnya terlepas.
"Rupanya kau gadis keras kepala!" bentak lelaki bercambang bauk lebat itu.
"Menghadapi anak buahku yang memiliki kepandaian rendah, kau boleh bangga. Tapi menghadapi kami. "
Tiba-tiba lelaki setengah baya bercambang bauk itu menjentikkan ujung jemari tangannya. Maka dua sosok bayangan seketika berkelebat cepat, dan mendarat ringan di samping kiri dan kanannya.
"Bagus!" lantang suara yang keluar dari bibir tipis gadis berpakaian hijau itu.
"Majulah kalian semua! Biar lebih cepat kukirim ke neraka."
"Gadis sombong!" sentak salah seorang lelaki yang berdiri di samping kanan lelaki bercambang bauk.
"Terimalah ini! Hiyaaa...!" 
"Hiyaaat...!"
Gadis berpakaian hijau itu menyambut serangan lelaki yang barusan memakinya.
Trang...!
Dentang senjata beradu kembali terdengar memekakkan telinga, disertai percikan bunga api dari benturan pedang yang dialiri tenaga dalam penuh.
"Kurang ajar!" teriak lelaki yang tubuhnya terpental sejauh dua batang tombak.
"Habisi saja gadis keras kepala itu! Jangan beri ampun!"
Belasan pengeroyok kelas rendah itu seketika berhamburan menebaskan senjata ke bagian-bagian mematikan dari tubuh gadis berpakaian hijau itu.
"Hait! Hup!"
Gadis yang ternyata memiliki kemampuan tinggi, segera menggenjot tubuhnya hingga melambung di udara. Lalu, dia melakukan salto dua kali.
Akan tetapi belum lagi gadis itu berdiri tegak, serangan pengeroyoknya kembali datang. Gadis cantik itu sedikit pun tak gentar menghadapi pengeroyok yang seperti hendak melumat tubuhnya. Pedangnya yang berwarna keperakan diputar-putarnya hingga menimbulkan suara menderu.
Gadis cantik yang sudah siap menerima serangan, seketika terbelalak menyaksikan para pengeroyoknya seketika menghentikan langkahnya. Namun, pedang-pedang mereka langsung dilepas dengan pengerahan tenaga dalam lumayan. Gadis itu terus memutar-mutar pedangnya, hingga pedang-pedang lawan yang meluncur deras ke arahnya berhasil dihalau.
Trang! Trang! Trang!
Pedang-pedang itu terlontar ke kiri dan kanan. Namun bersamaan dengan itu, tiga sosok bayangan melesat susul-menyusul. Serangan yang dilakukan secara bergelombang membuat gadis cantik berpakaian hijau itu kerepotan. Kibasan-kibasan tangannya selalu saja dirasakan seperti membentur dinding baja. Sehingga ia harus menguras seluruh tenaganya. Dan pada suatu kesempatan....
Desss! Desss! Brugkh! "Aaakh. !"
Gadis berpakaian hijau itu terpekik keras ketika dua tendangan lawan mendarat telak di tubuhnya. Mulutnya meringis menahan sakit yang amat sangat. Dari bibirnya yang tipis nampak mengalir cairan berwarna merah.
"Hoeeek. !"
Cairan kental berwarna merah, seketika keluar dari mulut gadis cantik yang terkulai di tanah itu. Nampaknya, dia terluka dalam.
Sementara itu dari tempat persembunyiannya, Jaka sempat geram melihat lagak lelaki-lelaki pengeroyok yang mirip banci itu.
"Ha ha ha. Rupanya hanya sebegitu saja kepandaian yang kau miliki! Semula niatku ingin menikmati kecantikanmu. Tetapi karena kesombonganmu, aku menjadi tidak berselera. Kau harus mampus, Gadis Liar!"
Selesai lelaki bercambang bauk itu mengeluarkan cemoohan, dua orang temannya seketika berkelebat dengan pedang terayun di udara. Mereka memang berniat menghabisi nyawa gadis cantik yang terkulai tak berdaya itu.
Menyaksikan pemandangan yang terbentang di hadapannya, Jaka seketika merasakan darahnya naik ke ubun-ubun.
"Betul-betul curang!" maki Jaka, seraya menggenjot tubuhnya kuat-kuat.
"Hiyaaat...!" Tap! Tap!
Sosok kuning yang berkelebat cepat tiba-tiba saja sudah berhasil menangkap dua bilah pedang yang hendak merejam tubuh gadis yang terkulai tanpa daya itu. Maka, si pemilik senjata tentu saja geram menyaksikan pedangnya sudah berpindah tangan. Tubuhnya yang terhuyung karena daya tarikan Jaka, tak dipedulikannya lagi. Kemudian langsung saja tubuhnya berbalik, dan kembali
menyerang dengan tangan kosong.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pukulan keras dan tendangan yang dialiri tenaga dalam penuh berhasil dielakkan Jaka hanya dengan memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Bahkan bukan itu saja. Kaki kanan Jaka telak mendarat di bagian dada dan perut penyerangnya. Kedua sosok itu kontan terjengkang sejauh dua batang tombak. Jaka sendiri terkejut melihat akibat yang ditimbulkan dari sepakan yang sedikitpun tidak dialiri tenaga dalam. Bagaimana jadinya jika pengerahan tenaga dalam dikerahkan? Menyaksikan kedua lawannya berhasil dilumpuhkan,lelaki setengah baya bercambang bauk segera memerintahkan belasan anak buahnya untuk merangsek maju.
"Seraaang...!"
Pada berdirinya yang membelakangi gadis cantik berpakaian hijau daun, Jaka nampak tengah menyiapkan sebuah jurus. Tangannya yang terentang di bawah pinggang, diangkat seiring tarikan napasnya. Kedua tangan yang kini sudah berada di atas pinggang tiba-tiba didorong ke depan secara perlahan-lahan. Sementara jari-jari tangannya nampak terbuka.
Wusss...!
Dari jari-jari tangan Jaka yang terbuka, seketika mengeluarkan segumpalan angin yang menggulung, seperti sebuah pusaran. Karuan saja para penyerang yang memiliki kemampuan rendah tak mampu mena-han angin yang menerpa tubuh mereka. Serangan yang semula ditujukan pada satu titik, malah berubah ke lain arah. Bahkan di antara serangan yang berubah arah itu harus meminta korban.
Srat! Srat! "Akh...!"
"Ugkh...!"
Dua sosok bersenjata pedang seketika bergelimpangan di tanah dengan perut dan paha robek terserempet pedang kawannya sendiri. Sedangkan keadaan penyerang lain terpental dengan arah berlawanan satu sama lain.
Bukan main terkejutnya lelaki setengah baya bercambang bauk menyaksikan tindakan pemuda berpakaian warna kuning keemasan itu. Dia sendiri merasakan tubuhnya bergetar hebat, saat merasakan hembusan angin yang keluar dari telapak tangan pemuda di hadapannya. Padahal, tenaga dalam telah dikeluarkannya.
"Kalau kalian bertarung secara jantan, mungkin aku tak akan mencampuri urusan kalian," tukas Jaka, setelah selesai mencoba jurus 'Pukulan Pengacau Arah' yang didapat dari Nyi Selasih.
"Bocah usilan! Jangan kau bangga dulu. Tahanlah ini! Hiyaaa...!"
Lelaki setengah baya bercambang bauk lebat itu meiejitkan tubuhnya. Suara angin menderu mengiringi serangannya yang disertai seluruh tenaga dalamnya.
Sementara Jaka tetap berdiri seperti semula. Disaksikannya sendiri, bagaimana lelaki tinggi kekar itu mengerahkan segenap kemampuannya.
Plak! Plak! Bug! "Ugkh...!"
Lelaki bercambang bauk itu seketika terpental terkena sodokan tangan Jaka, setelah lebih dahulu berhasil memapak pukulannya. Lelaki tinggi kekar itu merasakan tangannya seperti lumpuh. Barusan dia seperti habis memukul sebuah dinding baja saja.
"Kisanak! Seingatku, kita tak pernah berurusan. Tapi kenapa kau begitu lancang mencampuri urusanku?!" sentak lelaki bercambang bauk, kembali bangkit dengan pedang terhunus.
"Itu juga urusanku, Kisanak. Kau tahu kenapa? Karena kau tak jantan, Kisanak. Kau lihat! Orang yang kau hadapi adalah seorang gadis yang masih belia. Dan satu lagi, kalian sudah berani main keroyok. Kalian licik!"
"Hm.... Aku mengerti sekarang," tukas lelaki bercambang bauk itu.
"Kau juga butuh kecantikan gadis itu bukan? Ha ha ha.... Kita sama kalau begitu. Kenapa kita harus bertengkar? Bukankah kita bisa memerintah gadis itu untuk melayani kita secara bergantian?"
"Manusia bejat!" bentak gadis yang berada di belakang Jaka.
Gadis berwajah cantik itu hendak bangkit menerjang. Namun baru saja mencoba bangkit, dirinya sudah kembali terkulai di tanah.
"Aku tak akan menuruti ucapan lelaki gila itu, Nisanak. Malahan aku akan memberesinya segera. Biar jagat ini tak lagi dipenuhi lelaki hidung belang macam dia," ujar Jaka seraya menunjuk lelaki setengah baya bercambang bauk. Sebentar kemudian, dia sudah melepas sabuk kuning keemasan yang melillt di pinggangnya.
Lelaki yang ditunjuk Jaka kontan merasa gentar hatinya. Itu dapat dilihat dari berdirinya yang tak lagi tegak.
"Siap-siaplah kau, Kisanak. Aku akan segera mengubur tubuhmu!" geram Jaka. Tubuhnya dirundukkan sedikit, karena tengah menciptakan kuda-kuda penuh untuk menyajikan sebuah serangan.
Blarrr!
Sebatang pohon besar sebesar dua pelukan tangan lelaki dewasa, seketika tumbang terkena sambaran seberkas sinar keperakan seperti petir yang keluar seiring hentakan sabuk kuning keemasan yang digerakkan Jaka.
Lelaki bercambang bauk seketika melentingkan tubuhnya, menghindari terpaan pohon yang cukup besar. Dia melakukan salto dua kali di udara, kemudian mendarat di tanah dengan kaki tak lagi sempurna. Lelaki itu nampak semakin kentara kegentarannya. Dia tidak mampu membayangkan seandainya pukulan itu mengenai tubuhnya.
"Oh.... Kau, kaukah Raja Petir?" suara laki-laki bercambang bauk itu terdengar agak gemetar.
"Kenapa, kau takut dengan Raja Petir?" tanya Jaka, melepas senyumnya. la merasa julukan itu terlalu hebat untuk dirinya yang baru terjun di rimba persilatan.
Lelaki bercambang bauk itu menundukkan kepalanya perlahan-lahan. Namun sebentar kemudian, sudah kembali terangkat dengan tatapan mata sedikit terbelalak.
"Aku laki-laki, Raja Petir. Meskipun sekarang aku kalah, aku tetap menyimpan dendam padamu. Suatu saat nanti, aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan" Tanpa malu-malu lagi lelaki bercambang bauk itu memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan arena pertarungan. Sementara, Jaka menyaksikan kepergian pengeroyok itu dengan pandangan mencemooh.
"Aku akan menanti perhitunganmu, Kisanak!" leceh Jaka.
Setelah tubuh lelaki bercambang bauk hilang tertelan kelebatan pepohonan, tatapan mata Jaka beralih pada gadis cantik berpakaian hijau yang masih terkulai di tanah.
"Kau terluka dalam, Nisanak."
Gadis cantik berpakaian hijau itu mengangkat kepalanya dengan tangan masih mendekap dada.
"Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Petir," ujar gadis berpakaian hijau itu sambil berusaha bangkit berdiri.
Jaka menundukkan kepalanya mendengar panggilan gadis cantik di depannya. Dirinya jelas masih merasa sungkan dipanggil seperti itu. Raja Petir? Memang sebuah julukan yang amat angker kedengarannya.
"Ugkh...!" tangan gadis berpakaian hijau itu kembali mendekap dadanya ketika berusaha bangkit.
"Maukah kau mengantarku, Raja Petir?" Jaka tak segera menanggapi permintaan gadis dihadapannya. Sekilas diamatinya paras gadis yang berkulit putih lembut itu.
"O, ya. Namaku Seruni, dan tempat tinggalku tak begjtu jauh dari perbatasan desa ini," lanjut gadis itu memperkenalkan diri.
"Sebenarnya, aku mampu kembali ke tempat tinggalku seorang diri. Tapi, aku khawatir berjumpa lagi dengan laki-laki yang barusan menyerang, dan mengaku anak buah Ludah Setan. Dalam keadaan seperti ini, rasanya aku tak mampu menghadapi mereka."
Jaka mengembangkan senyum mendengar penuturan Seruni yang terang-terangan.
"Kalau kau tak bersedia, aku tak memaksa," lanjut Seruni sambil bersusah
payah mengangkat badannya.
Seruni memang mampu berdiri. Namun tubuhnya yang oleng, segera saja disangga Jaka.
"Aku akan mengantarmu, Seruni." Sambil melangkahkan kakinya perlahan, gadis cantik bernama Seruni itu menceritakan hal bentroknya dengan lelaki bercambang bauk tadi.
"Lelaki bercambang bauk itu mengatakan kalau daerah perbatasan ini ada dalam wilayah kekuasaannya. Setiap orang yang lewat di wilayah kekuasannya, harus membayar upeti. Kalau seorang laki-laki, maka seluruh hartanya harus ditinggalkan. Dan kalau seorang perempuan, harus bersedia dibawa ke hadapan junjungannya. Ludah Setan."
"Biadab!" maki Jaka sambil terus melangkahkan kakinya.

* * * * *



--≡¦ { DELAPAN } ¦≡--

Pendopo Perguruan Hijau Kemuning nampak begitu luas. Jaka nampak tengah berbincang-bincang dengan seorang lelaki tua berpakaian serba putih. Rambut, kumis, dan jenggot lelaki itu sebagian berwarna putih.
"Jadi kau anak Sempani, Jaka?" tanya orang tua yang ternyata bernama Terala, minta penegasan.
Jaka menganggukkan kepala. Begitulah cerita yang pernah kudengar."
"Jadi ada kemungkinan, ibumu bernama Purwakanti," duga Terala.
Tersentak Jaka mendengar dugaan lelaki yang ternyata ayah Seruni.
"Dari mana Ki Terala tahu nama ibu kandungku?"
"Jangan panggil aku seperti itu, Jaka. Aku terhitung paman denganmu."
Terala langsung memeluk tubuh Jaka yang belum lepas rasa keheranannya. Baru setelah Terala menjelaskan perkara yang sebenarnya, Jaka dapat memaklumi apa yang dikatakan lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun itu.
"Dulu, kami. Paman, ayahmu, dan Gandewa sama-sama menuntut ilmu olah kanuragan pada Perguruan Soka Merah, di bawah bimbingan Eyang Seleguri. Di antara kami, hanya Gandewa yang memiliki watak keras. Rasa ingin memiliki begitu besar menguasai jiwanya, termasuk pada hal-hal yang kurang baik," tutur Terala, memulai ceritanya.
Dan memang, sikap Gandewa itu terbukti ketika sosok lain hadir sebagai murid baru Perguruan Soka Merah. Dia seorang wanita muda dan cantik. Namun, siapa yang dapat menyangka kalau kehadiran gadis muda dan cantik itu mendatangkan perpecahan. Terutama, antara Gandewa dan Sempani yang diam-diam menyemai bibit asmara. dan ternyata perpecahan itu semakin
meruncing ketika Purwakanti memilih Sempani sebagai pujaan hatinya. Gandewa waktu itu tak dapat berbuat apa-apa menerima kenyataan ini. Apalagi, Eyang Seleguri merestui hubungan Sempani dan Purwakanti. Maka darah di hati Gandewa tentu saja menggelegak. Benci dan dendam langsung menyeruak masuk ke dalam jiwanya yang keras. Gandewa bukan saja membenci Sempani, tapi juga membenci Terala dan Eyang Seleguri.
Lalu secara diam-diam, Gandewa pergi meninggalkan perguruan dengan membawa dendam membara. Dia kemudian datang kembali ke perguruan itu setelah dua tahun berselang dalam rangka menuntaskan dendamnya.
Gandewa dulu memang telah berubah. Dia dulu memiliki ilmu olah kanuragan di bawah Terala. Tapi dalam waktu dua tahun, di bawah tempaan Lengkong Pendekar Sesat, perkembangan ilmu olah kanuragannya begitu pesat.
Kedatangan Gandewa ke Perguruan Soka Merah sesungguhnya tidak sendiri. Dia telah berkomplot dengan tokoh sesat yang berjuluk Empat Setan Goa Mayat.
Awalnya, Ketua Perguruan Soka Merah mampu meredam amukan Gandewa. Tapi ketika Regita, Angkara, Jatianom, dan Barrot turun gelanggang, seluruh penghuni Perguruan Soka Merah tak lagi memiliki kemampuan mengusir orang-orang sesat itu. Seluruh murid Perguruan Soka Merah terbantai, kecuali Terala, Sempani, dan Purwakanti. Eyang Seleguri pun tewas dalam kejadian itu.
Keheningan seketika tercipta setelah Terala menghentikan ceritanya. Seorang lelaki sebaya Terala tiba-tiba menghampiri dengan sikap begitu hormat "Bagaimana keadaan Seruni, Kakang Gumai?" tanya Terala, khawatir. Sejak meninggalnya ibu Seruni, Terala memang melipat gandakan kasih sayang pada putri tunggalnya.
"Dia harus semadi untuk memulihkan keadaannya, Adi Terala," jawab Gumai.
"Oh ya, Paman Terala. Apakah kau juga mempunyai murid yang bernama Roka?"
"Betul" 
"Akh!"
Jaka tiba-tiba tersentak. Ingat Roka, ia jadi ingat Ki Lunta dan ancaman kaki tangan Ludah Setan.
"Maaf, Paman. Aku harus pergi. Permisi."
Tubuh Jaka seketika berkelebat cepat. Gerakan-nya yang ringan menandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf sempurna. Terala tertegun menyaksikan kemampuan pemuda itu. Sesungguhnya tak disangka kalau anak semuda Jaka telah memiliki kesempurnaan ilmu meringankan ubuh.
"Kau tunggui Seruni, Kakang Gumai. Aku ingin menyusul Jaka."
Tanpa berkata dua kali, tubuh lelaki berusia lima puluh tahun itu berkelebat cepat. Ilmu meringankan tubuhnya tak beda jauh dengan yang dimiliki Jaka.

* * * * *



Jaka menghantamkan kepalannya ke udara, menyaksikan penginapan milik Ki Lunta yang sudah rata dengan tanah. Api masih memercik dari sisa-sisa bangunan yang terbakar.
"Gandewa, biadaaab...!"
Jaka berteriak keras ketika menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat di sebatang pohon besar. Keadaan dua tubuh itu sungguh menggiriskan.
Bumi seperti berguncang hebat seiring teriakan Jaka. Pohon-pohon kecil di sekitarnya bertumbangan. Terala yang sudah berhasil menemui jejak Jaka, terlihat limbung. Dia terpaksa menutup kedua telinganya.
Perlahan Jaka menghampiri mayat Roka dan Ki Lunta yang terikat di pohon sebesar tiga kali pelukan tangan lelaki dewasa. Tubuh Roka yang tanpa kaki dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, membuat tekad Jaka untuk melumat Gandewa semakin kuat. Ditambah lagi, Beberapa bilah pedang yang tertanam di tubuh mereka.
"Gandewa biadaaab...!"
Raja Petir berteriak keras ketika menyaksikan dua tubuh yang dikenalinya terikat disebuah batang pohon besar. Tubuh Roka yang tanpa kaki, dan tubuh Ki Lunta yang tanpa tangan, terikat dibatang pohon dengan beberapa bilang pedang menancap ditubuh!
"Betul-betul biadab!" maki Jaka.
Belum lagi Jaka selesai meletakkan mayat Ki Lunta, dua sosok manusia berpakaian merah seketika melesat ke arahnya. Dengan senjata sepasang palu bergerigi berantai baja, mereka mengirim serangan begitu cepat.
"Uts! Hip!"
Tubuh Jaka melenting seraya berputaran dua kali di udara. Tubuhnya yang bergerak ringan, sudah menjejakkan kaki ke tanah. Dan dengan secepat kilat pula, dikirimkannya pukulan jarak jauh.
"Hiya! Hiyaaa...!" Blarrr!
Sebatang pohon besar tumbang terkena pukulan jarak jauh yang dilancarkan Jaka. Namun kedua lawannya mampu mengelak dengan melempar tubuhnya ke arah yang berlawanan.
Jaka bermaksud mengirim kembali serangannya ketika tiba-tiba....
"Ha ha ha. !"
Tawa panjang seketika terdengar memekakkan telinga. Jaka segera mengurungkan niatnya. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dicobanya mengusir kebisingan tawa orang yang tak diketahui keberadaannya.
Seiring lenyapnya tawa yang disertai pengerahan tenaga dalam itu, tiba-tiba berlompatan puluhan sosok berpakaian merah dengan pedang terhunus. Maka Jaka yang dipenuhi kewaspadaan tinggi, melirik satu pesatu sosok yang mengepungnya. Malahan, Jaka menghitungnya dalam hati.
"Hm.... Lima puluh lebih," batin Jaka.
"Aku harus menguras tenaga untuk mengusir semuanya."
Jaka kembali menatap tajam sosok berpakaian merah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Itu bisa dibuktikan dari cara mereka yang hadir tanpa menimbulkan suara.
"Kenapa tidak sekalian Gandewa yang turun tangan?!" sentak Jaka disertai pengerahan sebagian tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengukur sejauh mana tenaga dalam yang dimiliki para pengepung yang berjumlah lima puluh orang lebih itu.
"Hanya segitu?" tanya Jaka perlahan ketika menyaksikan pengepungnya mundur ke belakang.
"Ternyata kau punya kepandaian juga, Anak Muda!"
Sosok kekar berkepala botak dengan bekas luka memanjang di pipi sebelah kiri seketika hadir di antara para pengepung Jaka. Pakaiannya merah dengan senjata sepasang palu bergerigi warna hitam berantai baja yang dililitkan di pinggang. Dia tak lain adalah Gandewa yang berjuluk Ludah Setan, seorang tokoh sesat yang menjadi momok di dunia persilatan.
"Apakah kau yang disebut-sebut anak buahku sebagai si Raja Petir, Anak Muda?" tanya Gandewa seperti meremehkan. Sesungguhnya dia tak yakin kalau pemuda di hadapannya ini dijuluki Raja Petir. Sepengetahuannya, Raja Petir adalah tokoh tua yang sudah lama meninggal. Bukan anak muda seperti di hadapannya sekarang ini yang berjuluk Raja Petir. Begitu pula dengan Terala. Dari tempat persembunyiannya, orang tua itu meragukan kepandaian Jaka dalam menghadapi Gandewa. Keinginannya untuk terjun membantu Jaka seketika tercetus. Namun, ternyata pikiran jernihnya melarang. Dalam urusan yang gawat seperti ini, Terala tak mau mengambil tindakan sembrono. Dia ingin melihat dulu, sejauh mana kemampuan Jaka dalam menghadapi si Ludah Setan. Terala akan turun ke arena pertempuran jika keadaan menginginkan.
Belum lagi pikiran Terala tuntas, empat sosok berpakaian merah menyerang Jaka secara bersamaan Dari tempat persembunyiannya, Terala sempat terhenyak menyaksikan ulah Jaka yang tidak mempedulikan serangan lawan-lawannya.
Trak! Trak...!
Tubuh empat penyerang itu berpentalan, sedangkan senjata yang dihantamkan ke tubuh Jaka patah menjadi dua bagian!
"Kenapa hanya empat orang saja yang maju? Coba kalian semua maju! Keroyoklah aku, biar lebih cepat memberesi kalian semua!"
Seperti diberi aba-aba, para pengepung Jaka segera merangsek maju. Mereka telah termakan ucapan Jaka yang memang tidak main-main. Menghadapi pengeroyoknya yang berjumlah tidak sedikit, Jaka segera meloloskan sebuah bambu kuning yang berlubang di bagian tengahnya. Lalu, diselipkannya bambu itu di sela-sela bibirnya.
Slats! Slats! Slats!
Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka. Sinar keperakan itu seperti sambaran petir. Maka akibatnya....
Giant! Glarrr! Glarrr!
Tiga ledakan dahsyat seketika terjadi. Para pengeroyok yang semula merangsek maju, seketika berguguran ke tanah.
Sementara, Terala yang menyaksikan pertarungan dari tempat tersembunyi, merasakan hal yang sama. Namun berkat ketinggian tenaga dalamnya, ia berhasil mengatasi ledakan dahsyat yang mampu merobek gendang telinganya. Namun di balik keberhasilan Terala, tersimpan keterkejutan yang luar biasa di hatinya.
"RajaPetir?!"itulah suara keterkejutan Terala.
Menyaksikan ketidak berdayaan anak buahnya, darah Gandewa atau yang lebih dikenal sebagai si Ludah Setan naik ke ubun-ubun. Dan tiba-tiba dia memekik keras sambil melepaskan ludah mautnya yang berwarna kemerahan, dan terpecah menjadi lima bagian. Masing-masing pecahan ludah, mencecar ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Jaka.
"Hiaaa! Cuh! Cuh...!"
Si Ludah Setan kembali melancarkan serangan manakala serangan pertamanya berhasil dielakkan Jaka.
"Uts! Hip!"
Jaka kembali melenting menghindari teipaan ludah maut milik Gandewa.
Blarrr...!
Pohon besar tumbang terterjang ludah maut ciptaan Gandewa. Bukan itu saja yang sempat mengejutkan Jaka. Pohon yang terkena sambaran ludah maut itu nampak hangus!
"Aku harus berhati-hati," kata batin Jaka.
Pemuda itu langsung saja menyiapkan aji 'Kukuh Karang' untuk meredam kehebatan Ludah Setan. Seluruh kepala hingga dadanya seketika terbalut sinar warna kuning keemasan. Begitu juga pada bagian lutut hingga ujung kaki. Hanya bagian ulu hati hingga pangkal paha saja yang tak terbalut sinar kuning keemasan. Gandewa mengira, pada bagian yang tak terbalut sinariah kelemahan aji 'Kukuh Karang' milik Jaka Sembada. Makanya, dia mencecar bagian itu. Namun setelah sekian kali ludah mautnya tak mampu menembus tubuh Jaka, segera saja dikeluarkannya aji 'Dewa Api'. Maka dari telapak tangannya seketika tercipta gumpalan-gumpalan api yang bebas menerjang tubuh Jaka.
Namun bukan main geramnya hati Gandewa menyaksikan aji 'Dewa Api'nya tak mampu berbuat banyak. Kegeraman Gandewa ternyata memancing Jaka untuk mengambil alih penyerangan.
Dengan menggunakan sebilah bambu kuning yang terdapat di tangan kirinya, Jaka melakukan penyerangan.
Gandewa segera menyajikan aji 'Dinding Setan' untuk menangkis serangan lawan. Dan memang, serangan yang dilakukan Jaka telah berhasil diredam Gandewa. Begitu juga dengan pukulan jarak jauh yang dilancarkannya. Aji 'Dinding Setan' milik Gandewa memang lebih ampuh.
Menyaksikan serangan Raja Petir yang tak mampu menembus ajiannya, tawa Gandewa seketika meledak.
"Ha ha ha...! Rupanya hanya segitu saja kemampuanmu! Terhadap anak buahku, kau bolah saja unjuk gigi, Raja Petir. Tapi terhadapku.... Ha ha ha. "
"Tak ada jalan Iain," desis Jaka.
Pemuda itu segera meloloskan lilitan Sabuk Petir dari pinggangnya. Maka seketika sinar kuning keemasan memendar dari sabuk yang terlepas dari pinggang Jaka.
"Hati-hatilah, Setan Gundul!" teriak Jaka lantang.
"Jurus 'Petir Membelah Malam' akan segera mengirimmu ke alam kubur! Hiaaa. !"
Ctarrr! Blarrr. !
Bunyi bergemuruh seketika terdengar seiring bergeraknya pergelangan tangan Jaka yang memainkan Sabuk Petirnya dalam jurus 'Petir Membelah Malam'. Seberkas sinar keperakan pun menyambar seperti petir.
Dan hasilnya, aji 'Dinding Setan' yang dibuat Gandewa berhasil dibobol. Gandewa sendiri nampak terpental sejauh tiga batang tombak.
"Gandewa! Sebelum dirimu kukirim ke alam baka, alangkah baiknya kau mengetahui siapa diriku. Kau ingat peristiwa dua puluh tahun silam, Gandewa? Kau ingat Sempani, Purwakanti? Kau ingat bayi merah yang kau biarkan terkurung api?! Ketahuilah, Gandewa! Akulah bayi merah itu. Akulah putra Sempani yang berhasil kau bunuh, dan Purwakanti yang telah kau miliki secara paksa. Dan sekarang, aku datang untuk menuntut balas, Gandewa. Camkan itu!"
Bukan main terkejutnya hati Gandewa mendengar penuturan lawannya. Sungguh tak dikira kalau lawannya kini adalah putra tunggal Sempani yang telah dibunuhnya.
"Bersiap-siaplah untuk mampus, Setan Gundul!" bentak Jaka, geram. Dia kembali menggerak-gerakkan pergelangan tangannya untuk memainkan jurus 'Sabuk Petir Pelebur Raga'.
"Hiyaaa...!"
Seiring teriakan Jaka, seiring itu pula tercipta jurus ampuh 'Sabuk Petir Pelebur Raga'. Akibatnya Gandewa jadi terkesima menyaksikan apa yang dilakukan lawannya. Namun nalurinya mengajarkannya untuk bertahan. Maka dengan tangan kanan, Gandewa menciptakan jurus 'Badai Gurun' untuk meredam serangan Jaka.
Ctar! Ctar! Blarrr...! Bunyi menggelegar kembali mengisi jagatraja, mengiringi terpentalnya sosok Gandewa dengan tangan kanan terpisah dari tempatnya. Tangan kanan Gandewa memang telah putus terhantam jurus maut 'Sabuk Petir Pelebur Raga'. Gandewa menggeram keras menerima kenyataan itu. Pada saat yang gawat untuk mempertahankan nyawanya, segera diciptakannya ludah mautnya.
"Cuh! Cuh...!"
Jaka tak mengira kalau Gandewa masih mampu melancarkan serangan dari jarak jauh. Maka tubuhnya seketika itu juga dilentingkan ke udara dan berputaran beberapa kali untuk menghindari terjangan ludah maut Gandewa.
Melihat kesempatan itu, Gandewa segera mempergunakan akal liciknya. Pada saat lawannya sibuk mengelakkan serangan, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, tubuhnya melesat kabur.
"Hai, Setan Gundul! Jangan kabur!" teriak Jaka keras.
Langkah kaki Jaka yang ringan, seketika diciptakan untuk mengejar Gandewa. Namun setelah seratus tombak mengejar, seketika Jaka menghentikan larinya. Niatnya diurungkan untuk terus mengejar Gandewa, orang yang telah menghilangkan nyawa ayahnya.
Kenapa Jaka Sembada membatalkan pengejarannya? Apakah dia yakin kalau Gandewa akan tewas di perjalanan?
Atau, itu hanya siasat Jaka untuk memancing Empat Setan Goa Mayat yang telah berkomplot dengan Gandewa dalam pembunuhan orangtuanya dan memusnahkan Perguruan Soka Merah?

Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, silahkan simak serial Raja Petir dalam episode :
"Empat Setan Goa Mayat".

SELESAI



INDEX RAJA PETIR
Pembalasan Berdarah --oo0oo-- Empat Setan Goa Mayat >>
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.