INDEX SURO BODONG | |
Suro Bodong (Pendekar 7 Keliling --oo0oo-- Pedang Urat Petir »» |
SURO BODONG
Pendekar 7 Keliling
Karya: Barata
Pendekar 7 Keliling
Karya: Barata
Penerbit Wirautama, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
֍↨::::¦ 1 ¦::::↨֎
Yang satu berpakaian serba hitam dengan senjata pedang lengkung bercabang dua, namun pada gagang pedang terdapat rantai yang diikatkan pada pergelangan tangannya. Pedang itu sewaktu-waktu dapat dilemparkan menuju sasaran, lalu dengan sekali hentak pedang itu akan kembali ke tangan pemiliknya. Sedangkan wajah bengis yang satu berpakaian serba abu-abu. Tingginya sama dengan orang berpakaian serba hitam itu. Namun yang berpakaian abu-abu mengenakan ikat kepala hitam lusuh berambut lebat mengempal, pertanda jarang kramas. Ia bersenjata tombak berujung bola berduri sebesar buah jeruk nipis. Bukan hanya satu bola berduri, melainkan ada empat bola berduri yang seakan saling melekat mirip sedompol anggur.
"Ssst..! Aku mendengar suara langkah orang, Rombal!" bisik yang bersenjata tombak berujung bola berduri.
"Ya. Aku juga tidak tuli, Degom. Kupikir mereka sudah dekat dan sedang menuju ke mari," jawab temannya yang bersenjata pedang lengkung berantai itu. Rupanya dialah yang bernama Rombal, sedangkan temannya yang berbusana serba abu-abu itu bernama Degom.
Dari arah tikungan bukit cadas muncul empat orang pembawa tandu. Mereka memikul tandu berukir indah, melambangkan tandu seorang bangsawan. Dua orang pengawal ada di depan mereka. Kedua pengawal itu sama-sama memegang tombak berujung trisula yang tajam. Keduanya sama-sama berpakaian celana hijau tua dan baju lengan panjang warna hijau muda. Agaknya pakaian itu merupakan seragam suatu kekuasaan dalam tingkat tertentu. Sebab, keempat pemikul tandu itu mempunyai seragam lain dengan kedua pengawal tersebut. Keempat pemikul tandu itu berseragam celana hitam tanpa baju semua. Namun masing-masing tetap menyelipkan pedang yang sama bentuknya di pinggang mereka.
"Tak salah lagi, itulah mereka, Rombal..." bisik Degom. Rombal hanya mengangguk dan tetap diam di tempat.
Mereka sama-sama menunggu sampai saat baik tiba di depan mereka, sesuai dengan perhitungan. Sejenak, Rombal sempat berbisik kepada temannya:
"Kau serang orang-orangnya, aku akan menuju ke tandu itu dan membunuh sasaran kita."
"Beres...!" kata Degom seraya mengepalkan tangannya, mengeraskan urat-uratnya, besiap melompat ke luar dari persembunyiannya.
Tepat ketika para pembawa tandu telah melewati depan hidung mereka, maka kedua wajah bengis itu pun melompat dari tempat persembunyian.
"Ciaaat...!!" keduanya sama-sama langsung menyerang dua orang membawa tandu bagian belakang.
"Aaaahh...!" pekik mengerikan terdengar lepas. Kedua tubuh pembawa tandu belakang itu berdarah karena kibasan pedang Rombal dan sabetan tombak berujung bola berduri dari Degom.
Dengan cekatan kedua pembawa tandu bagian depan segera menurunkan tangkai tandu, sehingga tandu tidak sempat terguling jatuh. Pada saat itu, Rombal segera menyerang ke arah tandu dengan gerakan melompat.
Namun salah seorang pengawal bersenjatakan tombak trisula itu telah lebih dulu menghalanginya dengan tombak tersebut. Ia mengibaskan tombak yang telah menghadang di depan pintu tandu, nyaris membelah dada Rombal.
"Hiaaat...! Kunyuk sapi...!" Rombal mencaci maki seraya menghindar sabetan ujung tombak yang bertubi-tubi itu. Dua orang pemikul tandu depan menyerang Degom dengan pedang mereka. Degom menggeram dengan mata melotot sambil menangkiskan tombaknya untuk menghadang pedang lawannya. Sesekali ia berguling di udara sambil menendang, dan sesekali pula tendangannya membuat lawan terjengkang ke belakang.
Salah seorang pengawal berseragam hijau masih diam di dekat tandu berukir. Ia tidak ikut menyerang, melainkan berjagajaga di depan tandu. Ia membiarkan temannya yang sama-sama bersenjata tombak trisula itu menerjang lawan yang bersenjata pedang berujung dua yang melengkung ke arah berlawanan.
"Sanggu...! Bantu aku!" teriak pengawal yang sedang melawan Rombal. Pengawal yang tadinya diam di depan tandu segera menyerang Rombal dari belakang dengan menghujamkan tombaknya ke punggung Rombal. Tapi agaknya Rombal sulit dibokong. Secepatnya ia berkelit dari serangan pengawal yang pertama menyerangnya, sambil ia mengibaskan pedang menangkis tombak orang yang dipanggil Sanggu tadi. Kemudian Rombal melompat beberapa kali menjauhi kedua pengawal.
Pada saat itu, tepat kedua kaki Degom menendang keras dada kedua pemikul tandu yang menyerangnya. Kedua pemikul tandu itu terpental beberapa langkah ke belakang, dan jatuh terguling-guling bersamaan. Degom segera berdiri bersampingan dengan Rombal. Masing-masing siap menghadapi serangan lawan.
"Sia-sia kalian menaruhkan nyawa...!" kata Degom.
"Lebih baik kalian segera pergi meninggalkan tandu itu!"
Sanggu, pengawal berkumis tipis itu menjawab dengan suara lantang:
"Kalian yang sia-sia bertindak! Kalian salah sasaran. Pasti kalian pikir kami membawa harta berharga yang dapat kalian rampok. Begitu, kau...? Hem...!" Sanggu mencibir.
Temannya menambahkan kata: "Rupanya kalian memang perampok-perampok bodoh! Tidak bisa mencari mangsa yang menguntungkan. Kalian dungu! Pikun...!"
"Diam...!" bentak Degom seraya mengacungkan tombaknya. Rombal membentangkan tangan kirinya ke depan Degom,
pertanda memberi isyarat agar Degom jangan menyerang dulu. Lalu, Rombal berkata kepada lawan-lawannya: "Kami tahu kalian ini orang-orang Kedipaten Puspagiwang, bukan? Hem...! Kalian tak perlu bohong. Kami tahu ciri-ciri pakaian seragam kalian!"
"Memang, kami orang-orang Kadipaten Puspagiwang. Tetapi kami merasa tidak pernah bermusuhan dengan kalian. Mengapa kalian menyerang kami dan menewaskan dua orang kami itu? Apa sebabnya?" kata Sanggu.
"Sebabnya... sebabnya kami ingin membunuh kalian semua!" sahut Degom.
Lalu, pengawal yang satu menyahut, "O, kalau begitu, datanglah ke Kadipaten kami. Di sana banyak orang-orang Kadipaten Puspagiwang. Kalian bisa memilih yang mana yang kalian akan bunuh lebih dahulu. Itu kalau kalian mampu tiba di sana dengan selamat…"
Kata-kata itu membuat panas hati Rombal dan Degom. Dengan menggeram Rombal berkata: "Suatu penghinaan halus yang menyakitkan! Serang...?!"
Sambil berteriak begitu, Rombal melayangkan tubuhnya dengan posisi kaki kanan lurus ke depan dan kaki kiri bersiap menahan tubuh apabila jatuh ke tanah. Tetapi sebelum kaki itu mengenai wajah pengawal, lebih dulu kaki itu ditendang ke atas kuat-kuat oleh pengawal itu, sehingga tubuh Rombal ikut terbawa melayang ke atas dan bersalto ke belakang. Sedangkan Degom sendiri segera melayani kedua pemikul tandu yang melancarkan serangan dengan pedang mereka. Degom mengibaskan tombaknya sehingga kedua pedang yang menghantam ke arah tubuhnya nyaris terpental dari tangan pemegangnya.
"Gempur dia dari dua arah!" teriak salah seorang lawan Degom, "Ciaaat...?!"
Mereka bersalto ke samping kanankiri Degom, kemudian dari sana mereka melancarkan pukulan seraya melayangkan tubuh ke arah Degom. Kedua kaki Degom melompat ke atas, dan membentang secara bersamaan.
"Aauuhh...! Huuggh...!"
Kedua kaki yang membentang ke samping secara bersamaan itu tepat mengenai dagu dan leher kedua lawannya. Kedua pemikul tandu itu saling bergulingan kembali. Degom melompat mundur, bagai sedang mengatur jarak. Kedua pemikul tandu itu sama-sama bangkit dan melesat menyerang Degom. Namun dengan gerakan tak disangka-sangka, Degom menyodokkan tombak berujung bola berduri empat butir itu. Kedua pemikul tandu itu segera berhenti menyerang, dan berkelit mundur sampai beberapa langkah.
"Mampus kalian sekarang, Babi...!" teriak Degom, lalu jempol tangannya menekan ujung tombak yang dipegangnya. Dengan tekanan jempol tangan itu, tiba-tiba keempat bola berduri itu melesat dari tangkai tombak. Melayang ke depan dengan membentuk empat jurusan.
Gemerincing rantai yang keluar dari ujung tombak itu sangat mengagetkan kedua pemikul tandu tersebut. Karena kagetnya, mereka sampai tidak menyadari kalau ada empat bola berduri yang menyerang ke arahnya. Mereka segera memisahkan diri ke kanan kiri. Namun justru keempat bola berduri itu memisahkan diri juga ke empat arah.
"Crook...!"
Salah satu bola berduri itu mengenai tengkuk kepala salah satu pemikul tandu.
"Aaaahh...!!" ia berteriak histeris dan matanya mendelik dengan tubuh kaku. Bola berduri itu seakan terbenam di tengkuk kepalanya. Sementara itu, bola berduri yang satunya lagi juga membenam di leher salah satu pemikul tandu itu. Ia juga menjerit dan berkelojotan seraya berusaha mencabut bola besi berduri. Namun bola besi berduri itu bagai sukar dicabut dan seakan semakin terbenam di lehernya. Sedangkan kedua bola berduri lainnya menembus tempat kosong.
Degom menghentakkan tangannya ke belakang. Seketika itu rantai-rantai yang terjulur dari ujung tombak itu tertarik masuk ke dalam tongkat tombak. Seiring dengan itu, kedua pemikul tandu semakin menjerit karena bagian tubuhnya jebol. Bola berduri yang membenam di leher dan tengkuk terasa bagai merobek bagian tepian luka. Mereka roboh ke tanah dan berkelejotan tanpa suara lagi. Lalu, tubuh mereka pun lama-lama diam melemas dan tak bergerak lagi.
Melihat keadaan anak buahnya seperti ayam disembelih, Sanggu menjadi semakin marah. Ia meninggalkan Rombal yang tengah sibuk menghadapi temannya, kini Sanggu menyerang ke arah Degom dengan teriakan: "Manusia binataaang...! Hiaaaat...!"
Sanggu bersalto beberapa kali, kemudian kakinya tepat mengenai pundak Degom. Tubuh Degom terpelanting ke samping. Bertepatan dengan itu, tombak trisula Sanggu dikibaskan ke arah perut Degom. Namun tangan Degom cepat bergerak ke samping, memegang tombaknya kuat-kuat dan menahan tombak Sanggu.
"Mampus kau, Bajingaaan...!" teriak Sanggu yang segera menyerang dengan tendangan kaki kanannya ke samping. Tendangan itu memang mengenai leher Degom, sehingga Degom geloyoran membentur tubuh Rombal. Hampir saja pedang Rombal menebas kepalanya, karena dikira yang menyentuh tubuhnya adalah kepala Sanggu.
"Jangan ke mari, tolol!" bentak Rombal kepada Degom.
"Tidak sengaja...! Leherku hampir patah...!" Degom bergegas untuk berdiri dengan benar. Ia siap dengan tombak menyilang di dadanya. Sanggu juga siap dengan tombak trisula teracung ke arah tubuh Degom.
Saat itu, Rombal berhasil melayangkan tendangannya ke dada lawannya dengan keras. Lawannya bagai melayang ke belakang dalam posisi tubuh melengkung ke depan. Secepat itu pula Rombal melemparkan pedangnya yang berujung bengkok ke dua arah. Rantai yang mengikat gagang pedang gemerincing mengantarkan pedang itu ke arah tubuh lawannya, sedangkan ujung rantai yang lain terikat di pergelangan tangan Rombal.
"Traaang...!"
Nyala api memercik akibat benturan pedang pengawal dengan pedang Rombal. Hampir saja dada pengawal terkena lemparan pedang berujung dua itu. Untung ia gesit menangkis. Pedang berujung dua itu ditarik kembali dan melayang mundur ke arah pemiliknya. Pedang itu kembali dalam genggaman Rombal.
Pengawal teman Sanggu kembali berdiri dengan tegap, ia menggerakkan pedangnya ke belakang dengan tubuh mulai merendah, siap menyerang. Tapi di luar dugaan, Degom melancarkan serangan mautnya. Keempat bola besi berduri itu hagai melesat dari ujung tombaknya. Keempatnya menuju ke empat arah. Saat itu sasarannya adalah tubuh Sanggu. Namun Sanggu mampu menangkis bola besi yang mengarah padany.a Hanya saja, salah satu bola besi berduri itu ada yang meluncur nyasar ke arah pengawal teman Sanggu. Bola itu tepat mengenai lengan pengawal itu.
"Crook...!"
"Aahh...!" Pengawal itu menjerit dalam keadaan kaget.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Rombal untuk melayangkan pedangnya sekali lagi. Rantai pedang bergerincing, dan desau angin pedang menuju ke arah leher pengawal itu.
Sambil menyeringai kesakitan, pengawal itu melengkungkan badan ke belakang, sehingga lehernya terhindar dari goresan pedang. Tetapi dadanya yang menjadi sasaran berikutnya.
"Aaoow...! Aku kena lagi, Sanggu...!!" teriaknya ketika pedang berujung bengkok dua arah itu mengenai dadanya. Lalu ia menjerit keras lagi.
"Aaaauuhhh...!!"
Degom menarik tongkatnya, dengan demikian rantai penghantar bola-bola besi berduri itu pun melesat kembali ke arahnya semula. Hal itu mengakibatkan kulit tubuh yang tertancap bola tersebut menjadi semakin robek bagai dipaksa ditarik dalam hentakan yang kasar.
Darah mengucur dari dada dan lengan pengawal itu. Sanggu mulai gentar melihat temannya terluka. Ia bersalto ke arah Degom. Tombak trisulanya dipakai untuk mencungkil kepala Degom dari leher. Tapi gagal. Karena pada saat itu, pedang Rombal melayang dengan cepat dan mengenai paha Sanggu. Paha itu robek di luar dugaan. Sanggu memekik kesakitan, sehingga gerakan tombak trisulanya menjadi salah sasaran, melesat dari leher Degom.
Kaki Dogemlah yang bekerja berikutnya.
"Hiaaat...! Huhh...! Modar kau...!" seru Degom seraya menghentakkan kaki ke pelipis Sanggu. Hal itu membuat Sanggu terpental dan menyeringai kesakitan segera memegangi pahanya yang terluka.
Degom dan Rombal sama-sama menertawakan kedua pengawal yang sudah kepayahan itu.
"Saat-saat kematianmu sudah dekat, Kunyuk!" kata Degom kepada Sanggu.
Sanggu hanya menyeringai karena pahanya semakin membiru. Jelas pedang Rombal yang mengenainya itu beracun, demikian juga dengan luka pengawal yang satu. Dada pengawal itu mulai menampakkan luka goresan yang membiru. Mereka samasama menyeringai dan mengerang-erang tertahan.
"Rombal...! Hancurkan tandu itu seisinya!" perintah Degom seraya tertawa dan bertolak pinggang.
Rombal ikut tertawa lebar seraya mendekati tandu tersebut. Lalu segera melompat dengan jurus tendangan yang diarahkan ke tandu itu.
"Ciaaaatt...!!"
Rombal yang bertubuh kekar mempunyai kaki yang besar. Tentu saja tandu kayu berukir itu akan hancur sekali ditendangnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Tepat pada saat kaki Rombal hampir menyentuh tandu, tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat cepat dan berhenti di depan tandu. Ia menangkis kaki Rombal dan bahkan membuat tubuh Rombal berjumpalitan ke belakang.
"Bangsaaat..!!" Rombal jatuh dengan punggung duluan. Sebongkah batu membentur punggung itu sehingga Rombal mengerang dalam caciannya.
Mata Degom membelalak di sela kobaran amarah. Mata itu memandang lebar ke arah tandu. Di sana telah berdiri seorang lelaki berambut panjang tak teratur. Wajahnya cukup kasar. Alisnya tebal dan berkumis tebal juga. Matanya bulat dan tajam, warna matanya kemerah-merahan. Ia berdiri tegak. Kedua kakinya merenggang kekar. Lelaki berumur antara 40 tahunan itu mengenakan baju jubah merah dan celana biru tua. Badannya sedikit gemuk, perutnya agak membuncit dan pusarnya menonjol ke depan. Sekali pun ia mengenakan ikat pinggang dari kain warna hijau, namun pusarnya tidak sempat tertutupi oleh ikat pinggang itu. Melihat sosok penampilannya yang angker, ditambah dengan ikat kepala yang berwarna merah darah, jelas sekali ia bukan orang sembarangan di dunia persilatan.
Rombal mulai resah dan merasa sedikit gentar melihat ketenangan lelaki itu, yang berdiri sambil menikmati jagung bakar. Mata Rombal mengawasi penuh selidik. Dalam hati ia berkata:
"Orang gila dari mana dia? Datang-datang menyerangku sampai tulang kakiku linu semua...! Hemm... agaknya ia tidak bersenjata apa pun. Pasti dia mengandalkan pertarungan tangan kosong. Pasti dia tidak sanggup bertarung dengan menggunakan senjata…"
Lelaki berjubah merah dan bercelana biru tua itu mengamati tandu tersebut dari luar. Ia sendiri agaknya merasa heran, mengapa tandu itu dijadikan masalah oleh kedua lelaki berwajah bengis itu. Apa isinya? Menurut dugaannya, tandu tersebut memang bukan berisi barang berharga atau emas permata. Sebab tadi ia melihat Rombal hendak menghancurkan tandu tersebut. Jelas isinya pasti seorang putri cantik, gadis anak bangsawan yang hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat. Buktinya ada dua pengawal yang ditugaskan menjaganya.
Degom tak sabar, ia segera mendekati lelaki berambut acakacakan namun berikat kepala merah darah.
"Hei, Kunyuk...!" bentak Degom menampakkan keberaniannya.
"Apa urusanmu mengganggu pekerjaan kami, hah?!"
Lelaki yang kelihatan pusernya itu seperti tidak mendengar kata-kata Degom. Ia tetap asyik makan jagung bakar sambil meneliti tandu dan keadaan sekitarnya. Ia juga memandang kedua pengawal yang kesakitan sambil menatapnya pula itu. Degom merasa disepelekan, amarahnya semakin naik.
"Kunyuk...! Jawab pertanyaanku! Apa urusanmu sehingga kamu mengganggu kami berdua, hah? Ada hubungan apa kau dengan orang-orang Kadipaten Puspagiwang itu?!"
Lelaki berambut panjang tak teratur itu masih tenang menggigit-gigit jagung bakar, ia bahkan menyampar kedua pengawal yang kelojotan menahan sakit karena luka-lukanya. Kedua pengawal itu pun memandang heran kepada lelaki tersebut, sehingga Rombal berbisik kepada Degom:
"Dia bukan orang Kadipaten Puspagiwang! Aku yakin, dia dan pengawal itu tidak saling kenal "
Degom manggut-manggut dan berbisik, "Tapi kita harus hati-hati terhadap dia. Kulihat gerakannya tadi seperti angin setan dan membuat kau terpental "
Rombal menggumam dalam geram kedongkolan. Matanya memandang lelaki berambut acak dan bertingkah laku seenaknya itu. Ketika lelaki itu hendak mendekati tandu kembali, Rombal memberikan isyarat kepada Degom dengan kerlingan mata Degom mengangguk samar. Kemudian tombak Degom bergerak cepat, disodokkan ke arah punggung lelaki itu. Namun lelaki berjubah merah itu hanya merundukkan badan dan jongkok sambil menikmati jagung bakarnya. Sodokan tombak berujung bola besi berduri itu molos melewati atas kepalanya. Degom menarik tombaknya, dan menggeram jengkel. Ia berdiri dengan tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri memegangi tombak yang berdiri tegak di sampingnya.
"Kunyuk edan,..! Apa maumu sebenarnya, hah? Jawab! Jangan menunggu kesabaranku habis!" seru Degom.
"Apa kamu bicara denganku?!" tanya lelaki itu seraya mengunyah jagung bakarnya.
"Iya! Tapi dari tadi kurasa kau memang tuli!"
"Ah, tidak," jawab lelaklitu tenang.
"Aku tidak tuli. Cuma, kukira kau dari tadi bicara dengan kunyuk, bukan denganku. Makanya aku diam saja. Sebab aku bukan kunyuk. Aku belum jadi kunyuk."
"Bangsat...!" Degom mau menghantam memakai tombaknya, tetapi Rombal menahan tangan Degom. Kini Rombal sendiri yang menghadapi lelaki pemakan jagung bakar.
"Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kau tiba-tiba menyerangku, hah?!"
"Nah... ini baru pertanyaan yang baik. Sopan," katanya sambil memandang Degom dan menuding Rombal.
"Namaku... Suro Bodong!"
Rombal menatap Degom, sama-sama merasa asing dengan nama itu. Kemudian Rombal memandang Suro Bodong.
"Suro Bodong... kami baru kali ini mendengar namamu. Jadi, kita memang baru kali ini berjumpa, bukan. Tetapi apa alasanmu tiba-tiba menyerangku?'
"Melindungi yang lemah," jawab Suro Bodong seraya memetik-metik jagung bakar, dan melemparkan ke mulutnya.
"Hah...! Mau berlagak jadi pendekar kamu, ya?!" seru Degom.
"Kamu belum tahu siapa kami ini, hah?! Belum tahu?!"
"Ah, buat apa mengetahui kalian siapa. Kalian bukan jagoan yang kondang! Kalian cuma pengganggu rakyat kecil. Jadi, kalian itu tidak lebih dari wereng hama padi!"
Degom semakin terpancing kemarahannya, demikian juga dengan Rombal.
"Suro Bodong, kuingatkan...!" kata Rombal.
"Kau tidak akan mampu mengalahkan kami berdua, tau?! Kau akan mati konyol tanpa penghargaan dari Adipati Kusumadharma, sebab tak ada orang yang selamat dari hadapan kami berdua! Tapi kalau kau ingin mati tidak penasaran, yah... silahkan saja melawan kami!"
Suro Bodong bangkit. Berdiri seraya menggigit-gigit jagung bakarnya. Iapun berkata tak kalah sombong:
"Aku sanggup melawan kalian berdua, dengan satu syarat!"
"Bah...! Pakai syarat-syaratan segala...!" kata Degom.
Rombal menyahut, "Syarat apa maksudmu?!"
"Jika kalian bertarung melawanku, kalian tidak boleh mati terbunuh oleh tanganku! Kalian harus bertahan untuk tetap hidup. Itu syaratnya. Tapi kalau kalian tidak mau bertahan tetap hidup dan menyukai kematian, sebaliknya kalian pergi saja dan batalkan pertarungan kita. Jelas?"
Rombal mencibir seraya memandang Degom yang berdiri di samping kanannya.
"Dia pikir kita ini mudah mati di tangannya..." kata Rombal kepada Degom.
"Soalnya begini...." sahut Suro Bodong.
"Aku sudah bosan membunuh lawanku. Setiap kali aku mendapat lawan yang katanya tangguh, tapi nyatanya ia selalu berhasil kubunuh dengan mudah. Aaah... tidak seru kalau begitu, kan? Aku mau lawan yang tangguh dan mampu bertahan supaya tidak mati di tanganku. Aku bosan kalau mendapat musuh kelas nyamuk!" Suro Bodong menggigitgigit jagung bakarnya lagi.
"Kau menghina kami?! Kau menyepelekan kesaktian kami, ya?"
"Yaaah... bagaimana aku tidak menyepelekan kalian," kata Suro Bodong seenaknya seraya menikmati jagung bakar.
"Dari tadi kulihat kalian sulit membunuh kedua pengawal itu. Padahal, aku hanya sekali gebrak membunuh mereka. Nah, kalau membunuh kedua pengawal itu saja lama, apalagi kalian membunuhku... Huhh, mustahil saja itu!"
"Kunyuk Bodong...!! Bersiaplah melawan kami...!!" geram Degom. Tapi Suro Bodong masih tenang dan berkata.
"Ah, malas...!" ia bersikap seenaknya saja, memperhatikan tandu tersebut. Ia mendengar suara nafas yang gementar dari dalam tandu. Saat itu Degom menyerang dengan tendangan kaki kanannya. Kaki itu terarah ke pipi Suro Bodong. Tetapi dengan gerakan tangan yang sukar dilihat, tahu-tahu Degom terpelanting hampir satu putaran tubuhnya. Rombal sendiri tak dapat melihat gerakan tangan Suro Bodong yang menangkis tendangan Degom dengan satu pukulan yang sangat cepat dan kuat.
"Kalian mau melawanku sungguh? Tidak cuma dolanan...?" kata Suro Bodong seraya melirik seram kepada Rombal.
"Baiklah. Aku akan melayani kalian, asal kalian punya niat yang baik, yaitu niat bertarung, jangan niat coba-coba saja!"
"Tutup bacotmu, Bangsaat...!!" seraya berseru, begitu Rombal mengibaskan pedangnya ke arah leher Suro Bodong.
Suro Bodong langsung tiarap. Lalu bangkit lagi. Ia baru saja menggerakkan tangannya untuk mengambil sikap jurus pukulan, tahu-tahu tombak Degom menghantam kepalanya. Sebelum mengenai kepala, Suro Bodong langsung tiarap lagi. Tubuhnya rapat dengan tanah.
"Tidak kena, he, he, he... lumayan bisa selamat...." katanya seraya hendak berdiri. Ia baru membersihkan tanah yang menempel pada pakaiannya, tahu-tahu tendangan Rombal melesat ke arah dadanya. Suro Bodong menangkis kaki kiri Rombal. Ia hendak memukul dada Rombal, namun pedang Rombal segera menebas lehernya, dan Suro Bodong buru-buru tiarap lagi dengan gerakan cepat. Tapi kaki Rombal menginjaknya dengan keras sehingga punggung Suro Bodong menjadi sasaran yang empuk.
"Huuugghh...!" Suro Bodong mengejang. Rombal mengangkat kakinya dan hendak menginjaknya lagi. Tetapi Suro Bodong segera telentang dengan satu gerakan kaki menendang ke arah kemaluan Rombal.
"Hiaaat...! Kena kamu...!"
"Aaakkh...! Uuuhh...!!" Rombal berlari terlonjak-lonjak seraya memegangi 'barangnya' yang terasa pecah itu. Suro Bodong bergegas bangun. Degom melancarkan serangan dengan bola besi berduri yang melesat dari ujung tombaknya ke empat penjuru. Suro Bodong berguling ke tanah beberapa kali dan berhenti tepat di bawah kaki Degom. Lalu ia menggerakkan kakinya lurus ke atas dan mengenai kemaluan Degom.
"Nah... kena lagi, kan? He, he, he...!" Suro Bodong bangkit sambil tertawa.
"Aaauuh...! Uuuh...! Aaaoooww...!!" Degom kelojolan dan berjingkrak-jingkrak kesakitan seraya memegangi bagian vitalnya. Suro Bodong terkekeh-kekeh.
"Ditendang kok malah jejingkrakan begitu? Gembira, ya?"
"Kau bangsat tak patut diberi ampun...!!" geram Rombal.
"Lho, memang jangan diberi ampun...!!" sahut Suro Bodong
seraya merundukkan kepalanya, karena Rombal melemparkan pedang berujung bengkok dua arah. Dan pada kesempatan itu, Suro Bodong bergerak menjauhi kedua lawannya.
"Hei, jangan lariii, Kunyuk...!!" teriak Degom.
"Tidak!" sahut Suro Bodong.
"Aku cuma ambil jarak buat menyerang kalian. Tenang sajalah...!"
Benar, Suro Bodong behenti di suatu tempat yang agak jauh dari kedua lawannya. Lalu ia berseru, "Hei, para musuhku...." Ia bersikap seperti orang hendak berkhotbah atau berpidato.
"Dengarlah baik-baik, aku akan melancarkan jurus saktiku. Namanya, ilmu Pedang Jitu. Tahu artinya jitu? "
Degom dan Rombal masih menyeringai sukar berjalan karena alat vitalnya terasa sakit sekali. Kedua pengawal yang masih hidup dalam keadaan parah itu masih sempat merasa heran melihat cara berkelahi Suro Bodong.
"Jitu artinya: Siji dadi pitu. Satu jadi tujuh...! Kalau kalian mampu menerima serangan ilmu Pedang jitu, kalian lulus menjadi musuh teladan dan akan mendapatkan penghargaan dariku berupa jurus-jurus yang lain. Nah, sekarang terimalah, ya...? Jangan berebut...!!"
Suro Bodong meraba pergelangan tangan kirinya, lalu menarik pergelangan tangan kiri itu. Dan mata mereka yang memandangnya sama-sama terbelalak kaget, ternyata tangan kanan Suro Bodong telah memegang sebilah pedang warna ungu. Pedang itu putih, tapi memancarkan sinar warna ungu. Padahal dari tadi mereka tidak melihat ada pedang di tubuh Suro Bodong. Dan kali ini, Suro Bodong menyeringai sinis.
Pedang itu dilemparkan, lalu ditendang ke udara sampai berputar tujuh kali. Setelah berputar tujuh kali, pedang itu pecah atau terpotong menjadi tujuh bagian. Ketujuh potongan itu melesat cepat bagai meteor ke arah Rombal dan Degom. Empat potong pedang menembus tempat kosong, dua potong menembus leher Rombal dan satu potong lagi menembus dada Degom. Keduanya menjerit bersamaan dengan nyaring.
"Aaaaahh...!!"
Mereka kelojotan. Ketujuh potong pedang yang sudah tidak bersinar ungu itu melayang kembali membentuk satu bagian. Setelah kembali ke ujud semula, sebuah pedang bersinar ungu, pedang tersebut melesat kembali ke pemiliknya.
Tangkas dan tegap Suro Bodong menangkap kembali pedangnya. Ia membiarkan kedua lawannya mengeram, tersedak-sedak dan berguling-guling di tanah seperti kambing disembelih. Beberapa saat kemudian, Rombal dan Degom tak mampu bernafas sedikit pun. Mereka mati. Dan Suro Bodong menghampiri dengan cemberut.
"Tuh, apa kubilang tadi...? Jangan mati! Berlarianlah untuk hidup. Tapi rupanya kalian menyepelekan kata-kataku. Uhhh...! Percuma kalau cuma mau mati saja harus bertarung melawanku. Mendingan gantung diri aja di pohon...!"
Suro Bodong geleng-geleng kepala melihat kedua musuhnya meregang dan kaku menjadi mayat.
Sanggu dan seorang pengawal lainnya masih memandangi Suro Bodong seraya menahan sakit. Mereka sama-sama menjadi terheran-heran lagi ketika menyaksikan suatu keanehan Suro Bodong memasukkan pedang berwarna sinar ungu itu ke pergelangan tangannya. Pedang itu menusuk kulit lengan kirinya dan kemudian hilang tak terlihat lagi. Tetapi pergelangan tangan kirinya itu tidak berdarah sedikit pun, bahkan tak ada bekas goresan atau tusukan pedang sekali pun sebesar titik jarum. Ajaib! Aneh sekali ilmunya, pikir Sanggu. Suro Bodong tersenyum jelek kepada Sanggu yang menyaksikan hal itu.
"Heran? Ah, pasti kalian heran melihat kesaktianku...!" Sanggu mencoba tersenyum, tapi kaku karena menahan sakit.
Suro Bodong berkata: "Tidak usah memaksakan diri untuk tersenyum. Aku tahu kalian kesakitan karena luka beracun itu. Tetapi, tenang... ada aku!" seraya Suro Bodong menepuk dada dengan gayanya yang tengil.
"Nanti akan kusembuhkan...! Kalau aku bisa. Tapi... ngomong-ngomong putri siapa yang ada dalam tandu itu? Mengapa kedua orang bengis itu hendak membunuhnya?"
"Putri...?" Sanggu heran.
"Dia dia bukan seorang putri."
"Lho, jadi siapa?" Suro Bodong tak sabar, lalu segera pergi mendekati tandu dan membuka pintu tandu yang tertutup rapat Astaga ! Dia ternyata seorang nenek peot!
֍↨::::¦ 2 ¦::::↨֎
"Kami utusan dari Kadipaten Puspagiwang," tutur Sanggu.
Suro Bodong sibuk merobek pakaian teman Sanggu yang hendak diobatinya.
"Utusan untuk apa?"
"Untuk menjemput nenek Limbak. Dia seorang dukun bayi yang terdekat tempat tinggalnya dari Kadipaten Puspagiwang. Dia juga yang dulu menolong ibu Adipati Kusumadharma melahirkan adik Kanjeng Adipati sendiri. Jadi, karena istri Kanjeng Adipati hendak melahirkan, kami diutus menjemput nenek Limbak dalam suatu penghormatan dan pengawalan yang bertujuan menyenangkan hati nenek Limbak."
"O, jadi sekarang ini istri Adipati akan melahirkan?"
"Benar, Paman "
"Jangan panggil aku Paman. Aku belum pernah kawin dengan bibimu. Panggil saja namaku: Suro Bodong."
"O, baiklah kalau itu pennintaanmu. Suro Bodong."
Suro Bodong meludah ke dada pengawal teman Sanggu.
Pengawal itu menghindari kendati tak berhasil.
"Hei, mengapa kau meludahi aku?"
Suro Bodong memandang gemas.
"Kau mau mati apa mau sembuh? Kalau mau mati ya sudah, kutinggal saja."
"Tentu aku mau sembuh. Mau selamat, sebab bulan depan aku akan menikah. Tapi, jangan diludahi begitu dong !"
"Memang itu caraku untuk menyembuhkan kamu dari racun pedang itu, tolol!" bentak Suro Bodong.
"Boro-boro aku mau meludai kamu. Bukannya terima kasih malah sewot. !" Sanggu menengahi
"Maafkan temanku ini, Suro Bodong. Dia masih heran dan tidak tahu caramu menyembuhkan luka."
Suro Bodong menggerutu tak jelas. Kemudian ia membentak, "Mau disembuhkan apa tidak?"
"Mau. " jawab pengawal dengan lemah.
Suro Bodong meludahi luka di dada sebanyak tujuh kali. Luka itu mengepulkan asap. Lalu Suro Bodong berdiri dan menyuruh pengawal itu telentang. Setelah telentang, Suro Bodong menginjak-injaknya selama 7 kali juga.
"Huuggh...! Huhhg...! Aauuhg...!" Orang itu kejot-kejot selama diinjak-injak Suro Bodong. Tetapi ia tak jadi marah, karena melihat dadanya yang terinjak-injak itu menjadi rapat. Luka yang menganga dan berwarna biru itu hilang sama sekali bagai tak pernah ada luka.
"Gila ! Dadaku menjadi rata!" katanya.
Sanggu tertawa dalam senyum kelegaan. Kemudian Suro Bodong menyembuhkan luka yang ada di lengan orang itu akibat bola besi berduri. Cara penyembuhannya sama, dan hasilnya juga sama. Demikian pula dilakukan oleh Suro Bodong kepada luka di paha Sanggu. Juga diludahi tujuh kali dan diinjak-injak. Suatu pengobatan yang aneh dan mengherankan bagi kedua pengawal itu. Sehingga ketika Sanggu berkata kepada temannya: "Hebat sekali dia itu, ya?"
Temannya menjawab sedikit bersungut-sungut, "Iya. Tapi cara pengobatannya itu yang aku kurang setuju. Dadaku diinjakinjak dan diludahi seenaknya...! Pengobatan tidak berdasarkan sopan santun itu namanya "
Suro Bodong mendengar bisik-bisik itu, tapi dia tidak mau menimpali dengan kata apa pun. Sebaliknya, Sanggu bahkan berkata:
"Aku sangat berterima kasih kepadamu, Suro Bodong. Aku yakin, kalau kau mau ikut mengawal nenek Limbak ke Kadipaten, pasti Kanjeng Adipati mau memberimu hadiah sebagai tanda ucapan terima kasih atas pertolonganmu ini "
"Ah, itu tidak perlu. Aku ada urusan sendiri yang lebih penting,'' kata Suro Bodong seraya mencari-cari jagung bakarnya yang tadi terlempar entah ke mana.
"Kalau begitu, aku bisa mengusulkan kepada Kanjeng Adipati agar beliau mau membantumu menyelesaikan urusan itu," bujuk Sanggu.
Suro Bodong berhenti mencari, berpaling kepada Sanggu. Lalu ia mendekat dan berkata:
"Apakah Adipati bisa menolongku menemukan kembali seorang gadis yang bernama Ratna Prawesti."
"Ratna Prawesti...?" Sanggu dan temannya menggumam.
"Kalian pernah mendengar nama itu?"
"Belum. Siapa dia, Suro?"
"Dia adalah kekasihku. Gadis itu bertubuh lencir. Kulitnya kuning langsat. Lehernya jenjang. Matanya indah bulat bening dengan bulu mata yang lentik dan lebat, ia mempunyai bibir semerah delima merekah. Selalu kelihatan basah dan menawan. Hidungnya bangir. Kalau tersenyum ada lesung pipit di pipinya yang halus mulus itu. Ia juga mempunyai buah dada yang sekal. Tidak besar, tapi tidak termasuk kecil. Padat berisi. Ia suka mengenakan kaian sutra berlengan panjang warna kuning gading. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sering diriap dengan jepit rambut di kanan kiri kepalanya. Ia juga mengenakan gelang kaki dari perak putih bermata batu merah delima... Apakah, kalian pernah melihatnya?"
Kedua pengawal itu menggeleng. Tetapi Sanggu menjawab, "Barangkali Kanjeng Adipati bisa membantu mencarikan gadismu itu, Suro. Kita coba saja "
Suro Bodong menggumam, menerawang bagai membayangkan sosok Ratna Prawesti yang dirindukan selama ini.
Setelah ditimbang-timbangnya, Suro Bodong bermaksud mencoba mencarinya di daerah Kadipaten Puspagiwang. Siapa tahu di sana ia memperoleh petunjuk di mana Ratna Prawesti berada. Syukur kalau memang bisa bertemu dengan gadis itu. Untuk itu, mau tak mau ia ikut mengantar dan mengawal nenek Limbak ke Kadipaten Puspagiwang.
Adipati Kusumadharma sangat berterima kasih kepada Suro Bodong setelah Sanggu menceritakan pertempuran melawan dua orang bertampang bengis itu. Suro Bodong berdiri saja dibelakang beberapa pegawai kadipaten yang duduk bersila menghadap Kanjeng Adipati Kusumadharma yang arif dan bijaksana itu.
"Suro Bodong, sebaiknya kau duduk bersila seperti yang lainnya. Kita ini menghadap Kanjeng Adipati di Paseban harus menghormat. "
Suro Bodong berkata kepada Sanggu dengan suara lantang dan membuat pegawai lainnya menengok ke belakang:
"Beginilah caraku menghormat. Kalau aku kau paksa untuk duduk bersila, lebih baik aku keluar dari Paseban. Aku tak mau diperintah seperti itu! Aku mau berdiri, ya berdiri. Kalau aku capek kan akan duduk sendiri. Kenapa kamu dari tadi ribut melulu soal duduk bersila, Sanggu?"
"Maksudku supaya "
''Kalau memang aku dianggap menghina, aku pulang saja! Aku mohon pamit, Adipati!" kata Suro Bodong bagai tak mengenal tata krama sedikit pun. Tetapi Adipati Kusumadharma tersenyum sabar dan berkata:
"Tinggallah beberapa hari di Kadipaten ini, Kakang Suro Bodong. Ada hal-hal yang perlu kubicarakan denganmu."
"Tapi aku dipaksa duduk oleh Sanggu! Aku tidak mau kalau diperintah untuk mengikuti peraturan di sini. Kurasa aku sudah cukup sopan dengan diam begini tanpa mengganggu pertemuan ini. Aku toh tidak membikin keributan di sini!"
"Benar! Kau yang benar,Kakang Suro Bodong. Dan kuharap kau mau memaklumi bahwa Sanggu itu belum bisa berpikir dengan benar. Mungkin ia sangat mencintaiku, sehingga semua orang maunya disuruh duduk menghormat seperti caranya. Ah, sudahlah, lupakan saja hal itu, Kakang Suro Bodong."
Dilihat dari kerapian dan kebersihan wajahnya, Adipati Kusumadharma memang kelihatan lebih muda dibandingkan usia Suro Bodong. Namun sebenarnya usia Adipati itu sejajar dengan usia Suro Bodong. Namun dalam memberi penghormatan yang biasanya ia lakukan, Sang Adipati selalu memanggil 'kakang' kepada seseorang yang perlu dihormatinya seperti Suro Bodong. Dengan panggilan itu, setidaknya hubungan keduanya akan semakin lebih akrab dan tali persaudaraan terjalin secara tak langsung.
Adipati Kusumadharma memang orang yang cepat tanggap terhadap sikap orang lain. Ia tahu bahwa Suro Bodong bukan bermaksud berkurangajar kepadanya, tetapi kekakuan dan kepolosan bertindak dari Suro Bodong sudah merupakan sikap pembawaan hidupnya. Suro Bodong tidak mau bermuluk-muluk dalam menghargai seseorang, namun ia juga tidak mau diperintah seperti kacung atau pelayan yang hina. Dengan warna persaudaraan yang diciptakan Adipati Kusumadharma, Suro Bodong lebih menaruh rasa hormat dengan caranya sendiri. Dan keintiman itu pun terjalin dengan lugas.
Suro Bodong bahkan berani mengeluh di depan Adipati, yaitu ketika mereka berdua di taman Kadipaten yang ditanami banyak bunga indah warna-warni.
"Kalau kau bertanya dari mana asalku, itu suatu pertanyaan yang sedang kupikirkan, Adipati," kata Suro Bodong.
"Aneh," gumam Adipati Kusumadharma. Lalu berkata.
"Jadi Kakang Suro Bodong sendiri tidak tahu Kakang dari mana? Masa' sampai begitu? Apakah Kakang juga tidak tahu siapa orang tua Kakang?"
Suro Bodong menggeleng.
"Yang kutahu dan yang kupikirkan; di mana Ratna Prawesti dan sedang apa dia? Bagaimana nasibnya? Itu saja."
Kusumadharma tertawa geli. Ia masih memegangi gelas minuman yang terbuat dari perak putih.
"Hanya karena cinta Kakang Suro kepada perempuan yang bernama Ratna Prawesti itu, maka kakang sampai lupa dari mana asalnya? Begitu? Oh, sangat aneh, tapi juga mesra "
Sekalipun Adipati Kusumadharma tertawa, namun Suro Bodong hanya tersenyum tawar dan manggut-manggut sendiri, ia bagai merenungkan sesuatu seraya memandang keindahan taman berair mancur lebar itu.
"Sebelum aku mengenal Ratna Prawesti," kata Suro Bodong, "Aku memang sudah tidak mengenali siapa diriku. Kadang-kadang aku bertanya kepada Ratna, siapa diriku sebenarnya, tapi Ratna hanya tersenyum dan menganggap pertanyaan itu aneh. Lalu sepanjang hari aku bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa aku? Tapi aku tak pernah menemukan jati diriku. Aku serba bingung. Dan kalau sudah bingung, aku tidak peduli lagi pada diriku sebenarnya. Terserah; mau jadi raja, apa gelandangan, terserah Sang Nasib saja. Namun aku percaya, suatu saat pasti aku tidak akan bingung lagi. Suatu saat pasti aku tahu, siapa aku sebenarnya."
"Kalau begitu, bagaimana kalau Kakang kutawarkan untuk menetap di sini saja. Kuangkat kau menjadi pengawal pribadiku, Kakang."
"Ah, males...!" jawab Suro Bodong seperti bicara dengan rakyat jelata.
"Kalau aku tinggal di sini, mana mungkin aku bisa menemukan Ratna Prawestiku. Paling-paling ketemu kamu terus-terusan, Adipati."
Adipati Kusumadharma tidak marah melihat sikap dan penampilan Suro Bodong seenak udelnya sendiri itu. Memang Adipati menyadari bahwa itulah sikap Suro Bodong yang asli. Adipati bahkan berkata:
"Selama belum ada titik terang, Kakang bisa tinggal di sini. Tetapi jika sudah ada titik terang di mana Ratna Prawesti itu, Kakang bisa pergi mencarinya, lalu membawanya ke mari."
Suro Bodong menggeleng.
"Ogah! Aku mempunyai sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang apabila tidak dicari tidak akan ketemu. Dan lagi... kudengar kau sudah mempunyai dua orang pengawal pribadi yang ampuh."
Mengangguklah Kusumadharma dalam senyumnya yang berwibawa dan punya kharisma sendiri.
"Memang. Mereka adalah Mahesa Tameng dan Kebo Jagal."
"Nah, jadi untuk apa lagi kau mempunyai pengawal pribadi seperti aku ini? Kan sudah ada Mahesa tameng dan Kebo Jagal? Apa masih kurang kuat orang kepercayaanmu itu?"
"Kalau menurut cerita Sanggu, aku bisa menyimpulkan bahwa kesaktian kedua pengawalku itu tidak sebanding dengan kesaktianmu, Kakang Suro Bodong. Mereka tidak mempunyai keistimewaan seperti yang kau miliki."
"Itu sudah pasti. Tapi apa perlunya kau memelihara pengawal seperti aku? Apakah kau dalam keadaan ancaman bahaya? Ada yang mengancammu?"
Kusumadharma masih memperlihatkan senyum yang ramah.
"Sejak peristiwa terbunuhnya keempat pemikul tandu itu, aku jadi khawatir akan ada orang yang menyerangku secara diam-diam, Kakang,"
Suro Bodong berkerut dahi dan memandang Adipati Kusumadharma. Ia baru berpikir kembali, mengapa nenek Limbak hendak dibunuh oleh kedua orang berwajah bengis itu? Bukankah nenek Limbak tidak mempunyai kesaktian apa-apa selain keahlian sebagai dukun bayi?
Hal itu dilontarkan kepada Adipati Kusumadharma, dan Sang Adipati sendiri menghela nafas dan menggeleng samar.
"Itulah yang membuatku heran. Ada apa dan kenapa mereka menghendaki kematian nenek Limbak? Dia bukan orang kaya, bukan orang sakti dan bukan orang penting yang bisa mempengaruhi rakyat. Bicaranya saja sudah tak selancar kita. Tapi mereka sangat bernafsu untuk membunuh nenek Limbak? Apakah ada persaingan dalam hal panggilan dukun bayi, atau ada persaingan rebutan rezeki dari bayi yang akan ditolong kelahirannya? Itu sendiri masih membingungkan aku, Kakang Suro. Sekarang ini aku masih mencari-cari alasan mereka hendak membunuh nenek Limbak."
Suro Bodong ikut termenung. Sebenarnya dia tidak ingin turut pusing memikirkan nenek Limbak. Namun karena kejadian kemarin sore itu merupakan kejadian yang ganjil, aneh, maka tak sadar ia jadi memikirkannya. Pikirannya kian lama tidak saja tertuju pada nenek Limbak, melainkan kepada Adipati Kusumadharma sendiri, yang menurutnya sangat aneh dalam usia sebanyak itu baru akan mempunyai anak pertama dari istrinya yang cantik dan masih muda itu.
"Ah, itu urusan dia...." gumam Suro Bodong seraya memandangi isi kamarnya. Ia diberi kamar yang cukup bagus. Ada tempat tidur berlapis kain halus. Ada satu set tempat minum dari perak putih. Ada satu guci arak mahal yang rasanya segar. Suro Bodong hanya tersenyum sinis.
"Pasti ini bujukan agar aku mau tinggal di sini," pikirannya. Menurut Suro Bodong, membujuk orang dengan cara seperti ini sudah terlalu umum. Ini pula yang membuat ia kurang menyukai cara berpikir Adipati Kusumadharma.
"Kalau boleh, aku mau pergi sekarang juga," kata Suro Bodong ketika malam itu ia ditemui Adipati Kusumadharma.
"Apa kamar dan pelayanan untuk Kakang Suro di sini kurang memuaskan?"
"Memang memuaskan. Tapi aku jenuh hidup dalam kepurapuraan seperti ini," seraya Suro Bodong garuk-garuk kepala.
"Penuh kepura-puraan bagaimana, maksudnya?" Suro Bodong kebingungan. Akhirnya menjawab, "Tidak tahulah. Aku cuma menirukan kata-kata orang yang pernah kudengar: hidup penuh kepura-puraan. Begitu saja. Katanya, hidup seperti itu tidak enak."
"Dan Kakang merasa tidak enak hidup di sini?"
Suro Bodong semakin bingung. Ia mengangguk walau bersikap tenang.
"Enak. Memang enak. Tapi "
"Sudahlah, tinggallah di sini semalam saja. Malam ini saja, Kakang. Ada dua hal yang masih ingin kubicarakan." Adipati Kusumadharma tersenyum ramah. Suro Bodong berkerut dahi dalam memandangnya.
"Pertama, aku ingin memberikan kabar gembira buat Kakang Suro Bodong."
"Kabar apa?"
"Anakku telah lahir."
"O, ya?!" Suro terkejut. Lalu memandangnya gembira. Adipati Kusumadharma lebih kelihatan gembira.
"Lelaki, Kakang. Kata nenek Limbak, wajahnya persis aku, dan kuharap ia akan menjadi serupa denganku."
"Aku ikut senang mendengar kabar itu. Istrimu selamat?"
"Ya. Dan... dia minta supaya kau tinggal di sini sampai besok. Dia ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, yang telah ikut mengawal nenek Limbak tiba dengan selamat di sini."
Suro Bodong menggumam, menyerupai gerutu tak jelas. Kemudian ia berkata terang-terangan tanpa memandang Adipati Kusumadharma.
"Lama-lama kau akan berhasil membujukku untuk menjadi pengawalmu."
Adipati tertawa penuh kesabaran.
"Aku tak pernah mau membujuk jika sekali bujukanku gagal. Soal tawaranku itu, terserah Kakang. Kalau kurang cocok, jangan segan-segan menolaknya. Sebab apalah artinya bekerja dengan separuh hati? Bukankah begitu, Kakang?"
Ternyata dugaan Suro Bodong salah. Adipati melayaninya, memberi kamar bagus, bukan lantaran membujuk, melalaikan semata-mata rasa ucapan terima kasih terhadap Suro Bodong yang telah ikut menyelamatkan dukun bayi yang kini telah berhasil membantu melahirkan anak pertamanya. Suro Bodong jadi kikuk sendiri berbaring di atas tempat tidur mewah itu. Tidak seperti biasanya, malam ini ia cukup gelisah. Pikirannya semakin bercampur aduk jika ia teringat khayalannya: betapa indah tidur berdua di ranjang empuk seperti ini jika bersama Ratna Prawesti.
Sampai larut malam, Suro Bodong masih gelisah. Rupanya itu adalah naluri yang ada pada dirinya. Naluri yang tak dapat ditipu oleh hiburan batin apa pun. Sebab, antara menjelang fajar, dia dikejutkan oleh suara gaduh di luar kamar. Ia bergegas bangun dan lari ke luar kamar.
"Ada apa...?!" tanyanya kepada petugas Kadipaten yang berlari ke pintu regol depan. Orang itu menjawab sambil lari:
"Bayi Kanjeng Adipati diculik orang...!"
"Apa...?!" pekik Suro Bodong. Tapi tidak dijawab lagi oleh orang tersebut. Suro Bodong jadi kebingungan dan garuk-garuk kepalanya yang berambut tak teratur. Kemudian ia bergegas ke dalam Kadipaten, dekat dengan ruang Paseban. Ia melihat beberapa orang sibuk kebingungan. Ia tertegun beberapa saat di pojok, di bawah pilar menuju Paseban.
"Ada apa, Bi?" tanyanya kepada emban yang menangis.
"Putra Dalem...! Bayi itu ada yang mencurinya...!"
"Siapa? Siapa pencurinya? Namanya siapa alamatnya di mana? Katakan, biar aku yang ke sana!"
"Mana ada pencuri menyebutkan nama dan tempat tinggalnya. Uuh... dasar Bodong...!" geram bibi Emban yang segera berlari ke arah kamar-kamar punggawa Dalem.
Suro Bodong clingak-clinguk semakin tak jelas apa yang harus dilakukan. Semua orang sibuk sendiri-sendiri dalam kepanikannya. Semua mencari dengan gugup. Dan Suro Bodong tak tahu harus ikut mencari atau diam.
"Hei, sudah tahu kalau bayi Kanjeng Adipati dicuri orang?" kata Mahesa Tameng bernada sinis.
"Ya. Tahu." jawab Suro Bodong seenaknya.
"Kenapa tidak ikut mencari? Hem ! Kurasa Kanjeng Adipati telah salah menilai kamu jika benar ia mencalonkan kamu untuk menjadi pengawal pribadinya! Tidur saja sana!"
Hati Suro Bodong bagai direbus mendengar ucapan Mahesa Tameng yang berbadan lebih besar dari Suro Bodong. Namun untuk mendinginkan hati yang seperti direbus itu, Suro Bodong berkata dengan tenang, seakan tidak terjadi rasa apa pun saat itu.
"Mahesa Tameng... bagaimana kalau kita keluar dari gedung ini? Ada tempat yang sedikit lega apa tidak, ya?"
"Mau apa kau?!" Mahesa Tameng tak tahu maksudnya.
"Tempat yang... yah, kira-kira lebar lima langkah dan panjang lima langkah. Asal sepi. Ada apa tidak di sini?"
"Kalau ada mau apa? Mau ngumpet?"
"Sttt... jangan keras-keras...!" Kemudian Suro Bodong berbisik pelan, "Aku ingin menghajarmu di tempat itu. Yuk?"
Sekarang Mahesa Tameng yang merasa hatinya bagai tersundut kayu bakar. Ia menggeram, menggeletakkan gigi. Tangannya mengepal. Namun buru-buru pergi, tidak melayani kata-kata Suro Bodong mengingat saat itu ia ditugaskan menggeledah seluruh tempat yang ada di luar dan dalam halaman Dalen Kadipaten itu. Mahesa Tameng hanya menggeram dan menggumam pelan, "Suatu saat, ku rontokkan gigimu dengan ujung kakiku, Bodong...!"
"Aku juga akan merontokkan jari kakimu dengan ujung gigiku... Ayam!"
Suto Bodong mencibir saat Mahesa Tameng pergi meninggalkannya. Suro memang sudah merasa ada gelagat tak baik dari Mahesa Tameng maupun Kebo Jagal. Kedua pengawal pribadi Sang Adipati itu agaknya kurang suka jika Suro Bodong diangkat oleh Sang Adipati untuk menjadi pengawal pribadi juga. Paling tidak, mereka menganggap telah mendapat saingan atas rencana pengangkatan itu. Karenanya, sikap Mahesa Tameng dan Kebo Jagal menunjukkan adanya permusuhan batin. Tetapi, Suro Bodong tidak peduli dengan sikap mereka itu, asal jangan membuat darahnya mendidih tanpa meminta maaf.
Ketika hari menjelang pagi. Adipati Kusumadharma menemui Suro Bodong dengan raut muka penuh kesedihan. Saat itu, Suro Bodong sedang hendak masuk ke kamarnya dan berkemas untuk pergi.
"Kakang Suro, sudah mendengar bencana yang menimpaku, bukan?" ujar Adipati Kusumadharma dengan sedih.
Suro Bodong hanya mengangguk.
"Tolonglah aku sekali ini, Kakang. Jangan pergi dulu: Tolonglah aku. Anakku, anak pertamaku yang kurindukan kehadirannya, kini dicuri oleh seseorang."
"Kau punya dugaan siapa yang mencurinya?" tanya Suro Bodong setelah berdiam diri beberapa saat. Saat itu, Adipati hanya menggeleng. Lalu Suro Bodong bertanya lagi:
"Siapa orang yang membencimu?"
Adipati diam saja. Suro berkata lagi setelah diam lama: "Pasti ada orang yang memusuhimu, yang pernah cekcok denganmu, atau yang pernah kau kecewakan. Siapa-siapa saja mereka itu? Sebutkan!"
"Selama ini aku tidak pernah memusuhi dan dimusuhi orang. Mereka berteman baik denganku. Kecuali "
"Kecuali siapa? Sebutkan!" desak Suro Bodong ketika Adipati Kusumadharma diam beberapa saat.
"Kecuali... bekas istriku yang pertama. Rukmini! Dia kuceraikan setelah tiga kali aku memergoki dia berbuat serong dengan pegawaiku. Dan untung kami tak dikarunia seorang anak dari perkawinan itu."
"Hemm... kalau begitu, dialah sumber malapetaka ini. Dasarnya, rasa iri, sebab istrimu yang sekarang bisa memberimu keturunan. Jelas dialah penyebabnya!"
֍↨::::¦ 3 ¦::::↨֎
"Rukmini perempuan lemah. Ia tidak bisa melakukan kekerasan. Untuk menculik bayiku itu, jelas ia membutuhkan suatu keberanian dan kepandaian tersendiri, misalnya kepandaian menyelinap dan melompati pagar tembok Dalem Kadipaten. Hal itu, menurutku, tidak mungkin bisa dilakukan oleh Rukmini."
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya dengan jari telunjuk. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata pelan: "Tapi Rukmini masih punya otak, bukan?"
"Maksudmu?"
"Ketika kau menceraikan dia, dia masih membawa otaknya di dalam kepalanya, bukan?"
Kusumadharma manggut-manggut dalam renungannya.
Suro Bodong melanjutkan kata-katanya: "Dia bisa saja mengupah seseorang, atau lebih dari seorang untuk mencuri bayimu, Adipati. Dia juga bisa membayar seseorang, atau lebih, untuk membunuh nenek Limbak."
Adipati Kusumadharma kaget dan memandang Suro Bodong.
"Apa hubungannya dengan nenek Limbak?"
Suro Bodong menggaruk-garuk kumisnya lagi yang tebal.
Lalu berkata dengan pelan, bagai berbisik: "Dia tahu saat istrimu membutuhkan dukun bayi. Dia tahu, bahwa istrimu membutuhkan nenek Limbak. Kemudian dia menyuruh orang bayaran, yaitu kedua orang yang membunuh keempat pemikul tandu. Dengan uang, ia bisa mengupah kedua orang itu untuk membunuh, nenek Limbak. Kalau nenek Limbak mati, maka pertolongan untuk melahirkan anakmu itu akan terlambat. Kalau istrimu melahirkan tanpa pertolongan dukun bayi, ia akan mengalami masa bahaya. Besar kemungkinan ia akan mati bersama bayinya. Tetapi, karena nenek Limbak ternyata bisa selamat dan sempat menolong kelahiran anakmu itu, maka satu-satunya jalan untuk memuaskan rasa irinya adalah dengan mencuri bayimu. Dengan mencuri bayimu itu, maka kau akan merasakan betapa menderitanya hidup tanpa keturunan, sama halnya kau hidup dengan Rukmini dulu."
Adipati Kusumadharma tertegun dengan dada bagai terbakar. Giginya menggeletuk dan wajahnya mulai memerah. Suro Bodong memberi keterangan lagi dengan tenang:
"Rukmini memang terbuang. Lebih-lebih sejak ia mendengar istrimu hamil, ia merasa benar-benar terhina dan tersisih. Ia tak ingin istrimu yang sekarang ini bisa memberimu keturunan. Ia tak rela kalau istrimu yang sekarang ini bisa memberimu keturunan. Sebab itu, dia harus menghilangkan bayimu, supaya kedudukan Rukmini sama dengan kedudukan istrimu, yaitu sama-sama tidak bisa memberimu keturunan. Jelas ? Perlu penjelasan lagi?"
Hening menyiram mulut Adipati. Suro Bodong memperhatikan kesedihan di wajah Adipati yang bercampur baur dengan kemarahan yang membara. Lalu, dengan suara pelan Adipati Kusumadharma berkata seakan untuk dirinya sendiri:
"Dari mana dia tahu kalau istriku hamil, dan mau melahirkan? Dari mana Rukmini tahu kalau nenek Limbak yang akan menolong kelahiran anakku?"
"Jelas itu soal mata-mata. Pasti ada mata-mata di dalam sini. Orang yang berpihak kepadanya itu pasti dibayar mahal untuk keterangan-keterangan seperti itu. Tak perlu heran lagi. Itu soal kelicikan dan kejelian."
Adipati menghempaskan napas panjang-panjang.
"Kalau begitu, ada pengkhianat di dalam sini, Kakang."
'Tentu! Pengkhianat itu selalu ada di mana-mana. Kadangkadang kita berpacu dengan pengkhianat untuk memperoleh hidup yang sejati."
"Maksud, Kakang Suro, bagaimana itu?"
"Jangan tanyakan maksudnya...." Suro Bodong bersungutsungut malu.
"Aku cuma menirukan omongan orang yang pernah kudengar. Kalau soal masudnya, ya tanyakan saja sama orang yang pernah bicara begitu padaku." Sekali lagi. Adipati menghempaskan napas dengan kedongkolan yang masih menyesak di dada.
"Apa menurut saran Kakang?"
"Cari bayi itu dan bawa dia kembali."
"Itu sudah jelas, Kakang. Aku sudah memerintahkan Mahesa Tameng dan Kebo Jagal untuk memimpin pencarian bayi itu. Tetapi, apakah mereka tahu kalau hal ini ada hubungannya dengan bekas istriku?"
"Kalau tidak tahu, ya diberi tahu! Gampang, kan?! Suruh kedua jagomu itu menemui Rukmini dan menanyakan apakah benar dia yang mencuri bayimu. Kalau benar, diminta. Kalau tidak, diselidiki sampai benar. Begitu!"
Sanggu, salah satu pengawal yang pernah diselamatkan oleh Suro Bodong, datang menghadap Adipati Kusumadhanna yang tengah berbincang-bincang dengan Suro Bodong. Sanggu tampak tergesa-gesa, sepertinya mempunyai suatu berita yang cukup penting.
"Kanjeng...." ucapnya setelah duduk bersila dan menghaturkan sembah.
"Ada apa, Sanggu?"
"Nenek Limbak hilang dari kamarnya."
Adipati terkejut dan memandang Suro Bodong yang disangkanya terkejut juga, ternyata tidak. Suro Bodong memperhatikan Sanggu dengan tenang, seakan berita itu berita yang biasa-biasa saja.
"Hilang bagaimana?!" kata Adipati.
"Bukankah dia sedang pingsan ketika mengetahui bayiku hilang, lalu kau dan beberapa orang menggotong ke kamarnya?"
"Tapi ketika Emban masuk untuk membawakan minum penghangat, dia sudah tidak ada di kamarnya. Kanjeng." Sanggu menegaskan. Adipati Kusumadharma semakin tegang.
"Kakang Suro... nenek Limbak hilang dari kamarnya..!"
"Aku tidak menghilangkan lho " jawab Suro spontan.
Adipati Kusumadharma bergegas ke kamar nenek Limbak, yang ada di sebelah kamar bersalin. Suro Bodong mengikuti langkahnya setelah Sanggu pergi mendampingi Sang Adipati. Suro Bodong kelihatan tenang. Langkahnya pun tak secepat Adipati maupun Sanggu. Sambil melangkah ia meneliti setiap jengkal ruangan yang dilaluinya.
Di kamar nenek Limbak, ada beberapa orang yang saling bertutur kata dengan tegang. Ribut. Para pelayan berwajah tegang, ketakutan. Para pengawal hilir mudik, sibuk mencari, ada pula yang sibuk karena bingung apa yang harus dilakukan.
Suro Bodong bertanya kepada salah seorang pelayan perempuan yang paling tampak ketakutan.
"Bagaimana dia bisa hilang dari kamarnya?"
"Tidak tahu. Saya tidak tahu."
"Siapa yang mengetahui kehilangannya yang pertama?"
"Emban Surti...!" orang itu menunjuk seorang perempuan
berkain sebatas dada. Perempuan itu bertubuh sedikit gemuk dan berwajah bulat. Ia berdiri di pojokan dengan jari digigit-gigit, penuh ketakutan.
"Kamu yang bernama emban Surti?" tanya Suro Bodong seraya garuk-garuk kumis dengan telunjuk.
"Ya. Sa... saya emban Surti. Ada yang bisa kubantu?"
Suro Bodong tersenyum geli. Lagak bicara emban ini seperti seorang pembesar saja. Pikir Suro Bodong. Tapi Suro menanggap, itu hanya cara untuk menutupi ketakutannya.
"Kau yang pertama kali melihat nenek Limbak hilang?"
"Benar, Tuan..." jawab emban Surti polos.
"Bagaimana cara menghilangnya?"
Emban Surti sedikit bingung.
"Ya... ya, hilang begitu saja. Maksudku... waktu saya masuk, membawakan minuman... tahu-tahu saya melihat kamar itu kosong. Lalu saya meletakkan minuman di meja dan mencari nenek Limbak di kolong tempat tidur. Ternyata tidak ada. Saya membuka almari..."
"Untuk apa?"
"Untuk melihat kalau-kalau nenek Limbak bersembunyi di dalam almari, ternyata juga tidak ada."
"Lalu...?!" desak Suro Bodong "Lalu saya berteriak..."
"Keras atau pelan...? "
"Pelan, Tuan. Sebab saya takut mengagetkan Gusti Ayu yang sedang tertidur lemas itu "
"Itu namanya bukan teriak. Kalau teriak itu keras."
"Soalnya "
"Sudah, sudah... Kita lupakan soal pelajaran teriak. Terus bagaimana setelah kau berteriak itu? "
"Banyak yang datang. Dan saya bilang kalau nenek Limbak tidak ada di kamarnya. Lalu beberapa orang terpekik dan saya memanggil pengawal, dan... dan beginilah keadaannya "
Suro Bodong menggumam, masih sesekali garuk-garuk kumis yang tebal itu. Matanya yang tajam dan sedikit lebar itu memandang lurus ke wajah emban Surti. Emban Surti menunduk dan sedikit malu. Karena ia ditatap sampai beberapa lama, dan setiap ia memandang ke atas selalu bertatapan mata, maka ia pun berkata dengan tersipu-sipu:
"Saya sudah punya calon suami sendiri, Tuan "
"Brengsek...! Kau kira aku naksir kamu. Bah !" Suro Bodong
membentak dongkol, lalu segera masuk ke kamar nenek Limbak dan menemui Adipati Kusumadharma.
"Aneh, ajaib sekali. Kamar tanpa jendela, tapi nenek Limbak bisa hilang. Jelas dia bukan diculik tapi hilang secara ajaib," kata Adipati kepada Suro Bodong.
"Hilang lewat pintu kok dibilang ajaib. Itu wajar."
Adipati memandang Suro Bodong setelah mendengar sanggahan Suro Bodong.
"Lewat pintu?" Adipati berkerut dahi.
"Kalau kamar ini tanpa jendela, tanpa jalan rahasia, jelas nenek itu keluar dari pintu, Adipati. Bukankan pintu kamar tidak terkunci?"
Adipati manggut-manggut.
"Dari pintu, ya? Hemm atas perintah siapa dia keluar dari kamar lewat pintu? Untuk keperluan apa? Dan mengapa sampai sekarang tidak kembali lagi?"
Kepanikan menjadi bertambah setelah mereka mendengar suara jeritan seorang perempuan. Jeritan itu begitu melengking dan bernada penuh ketakutan yang mengagetkan. Mereka bergegas ke luar, karena jeritan itu berasal dari belakang, tepatnya di taman keputren.
"Apa lagi itu...?!" Suro Bodong menggerutu seraya mengikuti Adipati yang melangkah dengan tergesa-gesa. Sanggu berlari lebih dulu dan dua pengawal lainnya masih mendampingi Adipati Kusumadharma. Orang-orang, para pelayan dan beberapa emban ikut berhamburan ke arah jeritan itu terdengar.
Belum sempat mereka sampai ke taman keputren, seorang perempuan ceking bertubuh pendek berlari-lari dalam hamburan tangis air matanya. Ia langsung bersujud di hadapan Adipati dan menyembah.
"Ada apa, Nini Taman?" tanya Adipati, sementara beberapa orang mengerumuninya.
Nini Taman berkata dengan tangis yang terbata-bata: "Kanjeng... ada... ada orang menyeret... menyeret nenek Limbak. Ia... ia berusaha membawa mayat nenek Limbak ke luar dari tembok pertamanan..."
"Mayat nenek Limbak...?!" kata-kata Adipati sama persis dengan ucapan kaget yang terlontar dari mulut orang-orang yang mengerumuni Nini Taman.
"Apakah nenek Limbak sudah mati?"
"Iya, benar...!" jawab Nini Taman terbata-bata.
"Saya melihat... saya melihat leher nenek Limbak hampir putus dan... dan..."
"Dan sekarang di mana orang itu?!" desak Suro Bodong.
"Ada di sudut taman...! Sedang berusaha... berusaha... membunuh suami saya "
Semua menghambur ke sudut taman keputren yang penuh dengan pohon kemuning dan beberapa pohon besar yang rindang.
Seorang berpakaian serba hitam dan menyandang pedang di pinggangnya sedang bertarung melawan Juru Taman, suami perempuan yang menjerit tadi. Orang berpakaian serba hitam itu tak jelas wajahnya, karena ia mengenakan topeng wajah yang menyeramkan. Tapi gerakannya begitu gesit.
"Tangkap orang itu...!" perintah Sang Adipati kepada para pengawalnya.
Sanggu dan beberapa pengawal segera mengepung lelaki bertopeng menyeramkan. Tetapi agaknya lelaki itu tidak peduli. Ia sedang berusaha merubuhkan Juru Taman yang bertarung menggunakan gagang sapu lidi yang panjang. Juru Taman kelihatan terteter oleh serangan orang tersebut, dan akhirnya ia terpental jatuh karena satu tendangan yang amat keras. Tubuh Juru Taman melayang dan nyaris menabrak Adipati. Untung Suro Bodong segera menangkapnya dan berseru:
"Kalau berkelahi yang niat! Jangan nubruk sana nubruk sini. Sudah, diam saja kau di sini !" Nafas Juru Taman terengah-engah. Mulutnya mengeluarkan darah, ia menyeringai menahan sakit seraya memandang Sang Adipati. Ia bagai anak yang ingin mengadu kepada ayahnya:
"Mereka... mereka telah membunuh nenek Limbak, Kanjeng "
"Mereka...?!" Suro Bodong berpaling dan menatap Juru Taman. Merasa heran.
"Orang-orang dari Gerombolan Topeng Setan itu...." kata Juru Taman seraya menunjuk orang bertopeng seram.
"Tadi " katanya lagi.
"Saya melihat temannya telah berhasil lolos... melompati pagar. Sedangkan orang itu berusaha menyeret mayat nenek Limbak... dan saya mencoba menahannya "
"Kurangajar...!" geram Adipati yang kemudian terharu melihat mayat nenek Limbak terhampar di rerumputan dengan darah membasah di sekujur dadanya.
Beberapa orang, termasuk emban dan para pelayan, menjauhi tempat tersebut. Mereka merasa ngeri melihat ketangkasan orang bertopeng yang dengan ganas memukul para pengawal hingga mereka berdarah.
"Gerombolan Topeng Setan...!" gumam Sang Adipati.
"Ada urusan apa mereka memusuhiku?"
"Jelas istrimu yang dulu telah berhasil bersekutu dengan Gerombolan yang dipimpin Bayupati itu," jawab Suro Bodong seraya memandang perkelahian keempat pengawal dengan lelaki bertopeng. Tak lupa, Suro tetap bergaruk-garuk kumis dengan telunjuk kanannya.
"Rupanya kau sudah mengenal siapa Gerombolan Topeng Setan, Kakang. Kau tahu nama pimpinan mereka"
"Aku selalu menghapalkan nama-nama mereka, sebab aku punya tujuan untuk membenamkan mereka ke dasar neraka!"
Suro Bodong kelihatan menggeram dan memancarkan kebencian. Namun buru-buru ia menghilangkan sikapnya itu. Ia kembali kelihatan tenang dan berkata:
"Mereka berhutang beberapa nyawa padaku. Dan yang lebih parah lagi, mereka harus bertanggung jawab atas hilangnya Ratna Prawesti. Merekalah yang membantai keluarga Ratna Prawesti dan membumi hanguskan rumah Ratna sehingga rata dengan tanah. Mayat bergelimpangan di Kabupaten Jangga. Namun, tak satu pun mayat yang mencerminkan wajah Ratna Prawesti. Pasti mereka yang membawanya kabur. Jahanam-jahanam itu harus menyerahkan Ratna sebelum kubenamkan ke dasar neraka...!"
Adipati Kusumadharma paham dengan maksud Suro Bodong. Dan ia mulai sedikit lega, sebab dengan begitu Suro Bodong pasti akan segera membereskan orang berpakaian serba hitam itu. Namun sementara ini. Suro Bodong ternyata masih senang menjadi penonton suatu perkelahian maut, antara para pengawal Kadipaten dengan orang bertopeng itu.
Suro Bodong bertolak pinggang di tempat, setelah berbisik agar Adipati menjauh, ia memperhatikan jurus-jurus yang digunakan oleh orang bertopeng. Memang sedikit aneh jurusjurusnya. Penuh tipuan. Buktinya, Sanggu sendiri terkena tendangan telak di dagunya ketika ia merunduk pada saat lelaki bertopeng itu menendangnya ke atas. Ternyata bukan kaki atas yang dijadikan sasaran, melainkan kaki yang masih berpijak di tanah itulah yang berbahaya. Sebab kaki itu menghentak tanah sehingga membuat suatu lompatan sederhana, namun justru ujung kaki itu menendang dagu Sanggu yang merunduk. Tentu saja tendangan itu cukup telak dan menyakitkan, karena tepat kepala Sanggu bergerak turun, tepat saat itu pula kaki tersebut bergerak naik dengan cepat. Tak ayal lagi tubuh Sanggu terjengkang dalam posisi tengadah ke atas. Dan saat itulah kaki yang di atas turun dengan cepat, tumitnya menghentak keras di dada Sanggu.
"Ciaaaat...!!"
Ketiga pengawal lainnya menyerang orang bertopeng dari kanan, kiri dan belakang. Tetapi lompatan orang bertopeng itu cukup gesit. Tubuhnya bagai melayang beberapa saat di udara dan membiarkan ketiga pengawal itu saling berbenturan. Bahkan ada yang terkena goresan pedang temannya sendiri. Pada saat itulah pengawal bertiga dikejutkan oleh kibasan pedang dari atas yang menukik bagai burung hendak mendarat dengan landai.
"Heaaatt...!!"
"Trang... trang... trang...!!"
Untung ketiga pengawal segera menangkis kibasan pedang itu sehingga tubuh mereka masing-masing luput dari bahaya maut. Tetapi tubuh lelaki bertopeng segera melentik lagi ke udara begitu kaki kirinya menjajak ke dasar tanah. Tubuh itu melayang dalam posisi menghadap ke langit dan sedikit melengkung, sehingga kepalanya dapat melihat musuh yang hendak dituju. Pedangnya siap di depan kepala yang meluncur, dan ternyata gerakan itu pun merupakan gerak tipuan. Tubuh yang melengkung menghadap ke langit itu tiba-tiba bangkit dan segera bersalto ke depan. Sambil bersalto, ia mengibaskan pedangnya ke arah samping. Salah seorang pengawal terkena sabetan pedang itu sehingga berteriak nyaring sambil memegangi telinganya. Rupanya orang itu terpotong daun telinganya dan membuatnya gulung-gulung di tanah. Kedua temannya menyerang lelaki bertopeng yang sudah berdiri tegak dengan kedua kaki direnggangkan kokoh.
Lelaki itu menyilangkan pedang ke depan dada. Keadaan tubuhnya tegap, tangan kanan memegangi tangkai pedang, dan tangan kiri memegangi ujung pedang. Bagian pedang yang tajam menghadap ke depan, Sewaktu kedua pengawal menyerang maju, ia tidak menggerakkan pedangnya, melainkan menggerakkan kakinya. Sebuah tendangan berputar dilancarkan. Kedua pengawal merunduk seraya berusaha menebas kaki itu. Tetapi tanpa didugaduga, justru pedangnya itulah yang kini membabat punggung salah satu pengawal sehingga pengawal yang satu tercengang kaget. Pada saat itu lelaki bertopeng menusukkan pedang ke arah pengawal yang kaget. Pengawal itu melompat, tapi pedang sudah terlanjur menembus pahanya dan ia pun rubuh dalam keadaan kesakitan.
Lelaki bertopeng mengkibaskan pedangnya sambil bersalto ke atas pengawal yang mencoba berdiri dengan luka di paha. Hampir saja pedang itu tepat membelah kepalanya kalau saja Suro Bodong tidak segera melompat, menyongsong gerakan bersalto lelaki bertopeng.
Punggung lelaki itu terkena tendangan Suro Bodong yang bergerak miring itu. Karena kuatnya tendangan Suro Bodong, maka tubuh lelaki bertopeng itu terpental sampai membentur tombak pagar taman keputren.
"Mengatasi orang satu saja sampai mau-maunya dibacok pedang. Huhh... dasar pengawal-pengawal malas menghindar!" gerutu Suro Bodong seraya melangkah mendekati lelaki bertopeng yang sudah berdiri mepet dengan tembok pagar.
"Buka topengmu! Aku jijik...!" bentak Suro Bodong seraya menuding wajah lelaki bertopeng.
"Bukalah sendiri kalau kau mampu," jawab lelaki itu dengan berani. Suro Bodong berseru:
"Justru karena aku tak mampu maka kusuruh kau membukanya, goblok!"
"Persetan dengan perintahmu! Hihh...!" Lelaki itu memasang kuda-kuda, merendahkan badan dengan menarik tangannya ke belakang, sehingga pedangnya ada di atas kepala, sedangkan tangannya yang satu mengepal, dan terlipat di depan dadanya. Ia siap menyerang atau diserang. Tetapi Suro Bodong justru duduk di batu besar sebagai penghias taman. Ia berkata dengan garuk-garuk kumis sebentar.
"Ah, kau curang. Kau pakai topeng sedangkan aku tidak punya topeng. Buka dulu topengmu, baru kita berkelahi! Ayolah, buka.... Jangan malu-malu...." Suro Bodong duduk dengan santai, kaki kanannya ditekuk dan ditaruh di atas lutut kaki kirinya.
Namun agaknya orang bertopeng itu semakin panas hatinya karena dianggap mainan oleh Suro Bodong. Ia segera menebaskan pedangnya dengan gerakan kaki kiri melangkah maju. Suro Bodong merundukkan kepala dan tetap duduk saja. Ia justru tertawa pendek:
"Hahh...! Gerakanmu kurang gesit, Kawan. Kalau aku merunduk, hantam bagian bawahnya, jangan bagian atasnya. Tolol! Badanmu pun harus sedikit meliuk sehingga lebih luwes untuk membelokkan pedang ke bawah...!"
Lelaki bertopeng itu mengikuti saran Suro Bodong, karena ingin membuktikan saran tersebut, ia menebaskan pedangnya sekali lagi ke atas kepala. Tujuannya membabat kepala Suro Bodong, ia juga meliukkan badan ke samping, dan tiba-tiba gerakan pedangnya itu tak jadi meleset ke atas, namun berbalik ke arah bawah. Bagai menyapu kaki Suro Bodong. Pada saat itu Suro Bodong justru bergerak cepat, bagai hendak menelentangkan di atas batu. Kemudian begitu pedang sudah melesat ke bawah dan tidak mengenai apa-apa, ia buru-buru menarik kepalanya yang melengkung ke belakang, ia kembali duduk dengan garuk-garuk kumis sebentar.
"Dasar tolol...! Tentu saja aku bisa menghindar sebab aku sudah tahu kau akan membabat ke bawah. Jangan lakukan dengan sungguh saranku itu, goblok! Sudah tentu aku tidak akan menghindari dengan cara seperti tadi. Huhh...! Pulang saja sana. Belajar lagi yang tekun dan jangan malas bernafas. Sungguh. Jangan malas bernafas...!"
"Tutup bacotmu. Orang gila...! Hiaaat...!" Lelaki itu melayangkan tendangan ke arah Suro Bodong yang masih duduk dengan bertumpang kaki. Pedang lelaki itu siap menebas kepala Suro Bodong jika tendangannya melesat. Tetapi, dengan tangkas Suro Bodong menendang betis yang hendak menghantam wajahnya. Tendangan kaki yang tadinya di atas lutut kiri itu begitu keras, sehingga lelaki bertopeng itu terpental ke atas dalam keadaan hendak bersalto balik.
Pedangnya melambai di depan hidung Suro Bodong. Secepatnya Suro Bodong memiringkan badan dan kepalanya ke kiri. Lalu tangan kanannya memukul pergelangan tangan lelaki bertopeng dengan keras.
"Aauuw...!!" Lelaki itu menjerit kesakitan. Genggaman pedangnya terlepas, dan jatuh hampir menancap di pundak Suro Bodong. Suro Bodong segera melemparkan pedang itu ke depannya. Pada saat itu, tubuh lelaki bertopeng yang melayang jatuh ke bawah karena kehilangan keseimbangan. Ketika jatuh, punggungnya membentur ujung pedang yang dilemparkan Suro Bodong. Punggung itu menancap, dan pedang itu menebus tubuh lelaki bertopeng. Berkelojotan lelaki itu, meregang dalam keadaan sekarat.
Suro Bodong bergegas menolong, "Hei, jangan mati dulu!" Tapi terlambat. Nyawa lelaki bertopeng tak sabar, dan pergi juga dari raganya.
"Bangsat...! Mati lagi...!" caci Suro. 4
SEMAKIN jelas sekarang. Gerombolan Topeng Setan yang dipimpin oleh Bayupati itu ikut campur dalam urusan penculikan bayi Adipati. Suro Bodong menegaskan, bahwa Rukmini, bekas istri pertama Adipati Kusumadharma itu, punya hubungan dengan Gerombolan Topeng Setan. Entah hubungan jual beli jasa dan sewa menyewa pembunuh bayaran, atau memang Bayupati punya pamrih lain sehingga ia mau menolong usaha Rukmini. Yang jelas, Suro Bodong mendesak Adipati agar segera mengirim orangorangnya untuk menemui Rukmini.
Mulanya Adipati hendak menyuruh Suro Bodong sendiri untuk bertemu dengan Rukmini dan menyelesaikan urusan itu bersama beberapa orang Kadipaten. Tetapi Mahesa Tameng mencegah dengan berkata:
"Apakah pantas seorang tamu disuruh begitu. Kanjeng? Apakah tamu Kanjeng itu tidak punya harga diri? Bukankah sepatutnya seorang tamu diam saja di tempat menikmati sajian dan pelayanan tuan rumah?"
"Apa maksudmu sebenarnya, Mahesa?" tanya Adipati setelah ia melihat rona wajah Suro Bodong kelihatan kecewa dan ingin memprotes kata-kata itu.
"Kanjeng," kata Mahesa.
"Di sini, saya dan Kebo Jagal bertugas sebagai pengawal pribadi. Dengan lain perkataan, saya dan Kebo Jagal bertanggung jawab atas keamanan Kanjeng khususnya, dan keamanan Dalem Kadipaten pada umumnya. Jadi, sudah sepantasnya jika masalah ini kami tangani berdua, sebagai rasa bakti dan setia kami kepada Kanjeng dan Kadipaten Puspagiwang ini."
Adipati Kusumadharma manggut-manggut. Ruang Paseban dilanda sepi sejenak. Dari kursi kebesaran yang diduduki itu. Adipati memandang beberapa wajah yang tampak siap mati demi membela Kadipaten Puspagiwang. Kemudian, ia juga memandang wajah Suro Bodong yang berdiri di luar lantai Paseban, menikmati jagung bakar, bersadar pada salah satu tiang teras Paseban.
"Kakang Suro Bodong...!" panggil Adipati.
Suro Bodong berpaling. Adipati melambaikan tangan. Dengan perasaan malas dan lagak jalan seenaknya saja, Suro Bodong mendekati Adipati Kusumadharma.
"Apa...?" kata Suro Bodong setelah berdiri di samping Adipati. Secara singkat, Adipati menjelaskan kata-kata Mahesa Tameng yang sebenarnya sudah didengar oleh Suro Bodong sendiri.
"Lalu, bagaimana menurut pendapatmu, Kakang Suro?"
Sambil mengunyah jagung dan menjadi bahan perhatian para punggawa Kadipaten lainnya, Suro Bodong menjawab:
"Kalau menurutku, kata-kata jagoanmu itu benar. Memang mereka berdua yang bertanggung jawab terhadap keamanan di sini. Jadi kalau sekarang keadaan di sini tidak aman, berarti merekalah yang membuat keadaan jadi tak aman."
"Hei, bicara jangan seenaknya, ya?!" hardik Kebo Jagal yang bertubuh besar dan bermata belo.
"Aku bicara sesuai kata-kata jagoan itu...." Ia menunjuk Mahesa Tameng yang memandang Suro dengan sinis.
"Kalian adalah petugas keamanan di sini. Tugas kalian adalah mengamankan Kadipaten dan seisinya. Jadi kalau ternyata Kadipaten ini tidak aman, berarti kalian tidak bertugas. Kan benar apa kataku, ya tidak? Seorang petugas keamanan kerjanya mengamankan. Kalau sampai tidak aman, berarti tidak bekerja."
"Hati-hati kau, Suro Bodong " geram Mahesa Tameng
"Aku kan sudah hati-hati!" tegas Suro Bodong.
"Apa aku bicara salah? Aku kan mengatakan, petugas keamanan gunanya untuk mengamankan satu daerah. Kalau daerah ini tidak aman, berarti petugas itu tidak berguna. Kan benar, ya kan?" Suro berkata kepada Sanggu, Sanggu mengangguk tanpa sadar. Mahesa Tameng semakin menggeram, dan Sanggu buru-buru menunduk.
Melihat gelagat adanya permusuhan batin. Adipati segera menengahi dengan berkata:
"Aku bangga dengan kesetiaanmu, Mahesa Tameng dan kau, Kebo Jagal. Aku sangat gembira mempunyai petugas keamanan seperti kalian. Tanpa kalian mungkin aku dan Kadipaten ini tidak aman karena itu "
Mahesa dan Kebo Jagal gelisah mendengar ucapan itu. Hatinya semakin gondok, karena gara-gara ucapan Suro Bodong maka ia jadi menerima sindiran yang amat pedas.
"Karena itu... kutugaskan kalian berdua untuk menemui bekas istriku, dan merebut kembali bayi itu."
"Maaf, Kanjeng...." kata Mahesa.
"Apakah Kanjeng yakin betul, bahwa Gusti Ayu Rukmini adalah pencuri putra Kanjeng? Sebab menurut pengamatan kami. Gusti Ayu Rukmini itu perempuan biasa. Artinya tidak mempunyai ilmu silat ataupun keberanian menyelusup dan mencuri bayi dari dalam Kadipatan ini. Rasarasanya beliau tidak mungkin menjadi pelakunya, Kanjeng. Menurut pengamatan saya "
"Apakah selama ini kau merasa pengamatanmu selalu benar?" sahut Adipati dengan cepat. Dan hal itu membuat Mahesa terbungkam seketika, lalu menunduk. Adipati Kusumadharma berkata lagi:
"Kerjakan perintahku, Mahesa. Kau pasti sanggup menemukan putraku kembali! Aku percaya kepada kalian berdua. Jelas Kebo Jagal?!"
"Jelas, Kanjeng."
"Berangkatlah bersama orang-orang pilihanmu sekarang juga!" tegas Adipati Kusumadharma.
Suro Bodong tetap menikmati jagung bakar yang diperolehnya dari juru masak Kadipaten tadi. Sesekali ia menggaruk kumisnya yang lebat. Sesekali ia melirik gerakan Mahesa dan Kebo Jagal yang merasa dongkol kepadanya. Suro Bodong tahu, ia tidak disukai oleh kedua jagoan yang diandalkan Adipati Kusumadharma, tetapi ia tak mau mengimbangi kedongkolan itu. Ia tetap berlagak tidak tahu menahu perasaan mereka berdua.
Menjelang sore, Suro Bodong terlihat melintasi regol depan. Adipati Kusumadhanna segera memanggilnya lewat perantara prajurit yang bertugas di sekitar halaman depan. Sebab sejak peristiwa hilangnya bayi yang baru lahir itu, semua prajurit dikerahkan untuk berjaga-jaga setiap saat di sekeliling Dalem Kadipaten.
"Kakang Suro mau pergi?" tegur Adipati setelah Suro Bodong menemuinya.
"Ya. Aku mau jalan-jalan menghirup udara sore di sekeliling Kadipaten." jawab Suro Bodong seraya membetulkan letak jubahnya yang berwarna merah menyala.
"Kuharap Kakang Suro Bodong jangan pergi jauh-jauh dariku. Ketahuilah, Kakang Suro aku sudah menganggap Kakang
Suro Bodong sebagai saudara kandungku sendiri, terutama sejak Kakang menyelamatkan nenek Limbak di perjalanan, dan terlebih lagi setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kehebatan Kakang Suro dalam melawan orang bertopeng itu."
Suro Bodong tidak memandang Adipati, melainkan memperhatikan cahaya sore yang menerpa dedaunan di sekeliling Dalem Kadipaten itu.
"Aku akan kembali lagi...!" kata Suro Bodong setelah terbungkam beberapa saat, dan tanpa menunggu perintah maupun izin dari Adipati, ia nyelonong saja ke luar lewat pintu regol depan. Adipati Kusumadharma hanya memperhatikan dengan kepala menggeleng-geleng pelan. Ia mengagumi kehebatan Suro Bodong. Ia menyukai kepolosan dan keluguan sikap bicara maupun tindaktanduk Suro Bodong. Sebab itu ia akan merasa rugi jika kehilangan Suro Bodong. Tetapi, betapa pun sukanya ia, namun ia tahu bahwa Suro Bodong tidak senang dikekang dan diperintah seenaknya. Maka, ia pun membiarkan Suro Bodong keluar dari Dalem Kadipaten dan melakukan apa saja sekehendak hatinya.
Adipati Kusumadharma tidak tahu ke mana Suro Bodong pergi. Yang jelas, ketika malam hari, Mahesa dan Kebo Jagal pulang, Suro Bodong tidak terlihat ada di situ ia belum pulang. Dan ia tidak tahu apa yang dikatakan Mahesa tentang Rukmini, bekas istri pertama Adipati itu.
"Kanjeng... saya temukan Gusti Ayu Rukmini telah tewas di belakang rumahnya "
"Apa...?! Rukmini mati...?!" Adipati terkejut sekali, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya dengan mata membelalak lebar. Pada saat itu, Kebo Jagal menjawab:
"Benar,.Kanjeng. Gusti Ayu kami temukan dalam keadaan terluka parah pada bagian tubuhnya, termasuk bagian leher. Menurut keterangan seorang pencari rumput, beberapa saat sebelum kami datang, ada tiga orang bertopeng yang masuk ke rumah Gusti Ayu Rukmini "
"Agaknya, Gerombolan Topeng Setan itulah yang telah membunuh Gusti Ayu Rukmini, Kanjeng," sambung Mahesa.
Sampai beberapa saat lamanya Adipati Kusumadharma tertegun dalam kesedihan. Ia sempat merasa kasihan kepada bekas istrinya itu. Sekalipun ia pernah sakit hati atas tindakan Rukmini yang berbuat serong dengan pegawainya, tetapi demi mendengar kematian Rukmini, ia jadi sedih dan terharu.
"Begitu tragisnya kematian itu." pikir Adipati.
Mahesa menghibur hati Adipati dengan mengatakan, "Tetapi, Kanjeng... malam ini juga kami tetap ingin mencari putra Kanjeng ke mana pun berada. Jangan khawatir, kami akan membawa pulang bayi itu, sekalipun kami harus melawan Gerombolan Topeng Setan."
"Gerombolan Topeng Setan?!" Adipati berkerut.
"Kau yakin anakku dibawa mereka?"
"Yakin sekali tidak, Kanjeng. Tetapi ada kemungkinan begitu," ujar Kebo Jagal.
"Sebab, kematian Gusti Ayu Rukmini itu jelas disebabkan oleh keganasan Gerombolan Topeng Setan. Sedangkan mereka pasti tahu, bahwa Gusti Ayu adalah bekas istri Kanjeng. Lalu, ada kemungkinan kematian Gusti Ayu itu akibat beliau mengetahui rencana penculikan putra Kanjeng. Mungkin karena Gusti Ayu tidak mau membantu penculikan tersebut, sedangkan niat mereka sudah terlanjur diutarakan kepada Gusti Ayu, maka untuk menutupi jejak mereka membunuh Gusti Ayu Rukmini."
Sambil berkerut dahi, Adipati Kusumadharma manggut-manggut. Kemudian berkata, "Terserah kalian! Pergilah dan dapatkan kembali mahkotaku yang amat kurindukan kelahirannya itu...!"
Kegelisahan Adipati sangat menyiksa batinnya, ia mondarmandir di kamarnya. Istrinya selalu menangis dan tak hentihentinya menanyakan apakah bayinya sudah ketemu atau belum. Sesekali Adipati membujuk istrinya untuk tenang, sesekali ia kebingungan sendiri, terkadang ia menjadi jengkel dan membanting pintu kamar lain. Emban ada tiga yang merawat dan melayani istri Adipati. Sementara istrinya dalam pelayanan dan perawatan emban, Adipati mencoba melongok kamar Suro Bodong. Tetapi lelaki bertubuh agak gemuk dengan perut sedikit buncit itu belum juga muncul.
Kira-kira tengah malam lewat, ketika Adipati tidak bisa tidur, Suro Bodong datang dengan mengunyah jagung bakarnya. Ia kelihatan santai sekali. Ia sempat membagikan dua potong jagung bakar kepada penjaga regol depan. Dan ketika ia bertemu dengan Adipati di ruang tengah yang menuju kamarnya, ia masih mengunyah-ngunyah jagung bakar kesukaannya.
"Aku sudah sejak tadi menunggu-nunggu kedatanganmu, Kakang," kata Adipati Kusumadharma sedikit lega.
"Kenapa ditunggu? Aku kan tidak menyuruhmu menunggu." jawab Suro Bodong sembari memetik-memetik biji jagung dengan jempol kanannya. Sesekali ia melemparkan biji jagung itu ke mulutnya, dan mengunyah dengan santai.
"Ada berita yang perlu kau dengar, Kakang," Dan kali ini Adipati mengajak Suro Bodong duduk di kursi samping pintu kamar Suro Bodong.
"Kabar apa?"
"Tentang Rukmini!"
"O, jadi kedua jagoanmu itu sudah ke sana?" Suro Bodong garuk-garuk kumis sebentar, lalu memetik jagung lagi.
"Memang, mereka sudah sampai sana. Tetapi... mereka menemukan Rukmini dalam keadaan... mati."
Ada beberapa jagung yang jatuh. Suro Bodong memungutinya dengan acuh tak acuh, tanpa malu. Lalu melemparkan ke mulutnya, dan mengunyah. Ia kelihatan tenang, tidak terkejut sedikitpun.
"Rukmini mati, Kakang...!"
"Hemmm...!" Suro Bodong menggumam, tenang.
Melihat reaksi Suro Bodong tenang saja. Adipati jadi bingung. Lalu ia menjelaskan lagi karena mengira Suro Bodong tidak jelas.
"Rukmini tewas...!"
"Iya. Aku tidak tuli. Aku mendengarnya!"
"Kakang tenang saja."
"Sebab aku tidak menyuruhnya mati " jawab Suro Bodong
seenaknya. Adipati sempat dongkol sedikit, tapi buru-buru memaklumi sikap cuek yang ada pada Suro Bodong.
"Menurut laporan Mahesa, ada seorang pencari rumput yang melihat tiga orang bertopeng masuk ke rumah itu. Dan ketika Mahesa serta orang-orang kita datang ke sana, Rukmini ditemukan mati di belakang rumahnya. Berarti... bukan dia mencuri bayiku, Kakang."
"Lalu siapa?"
"Orang-orang Topeng Setan itu!"
Sambil mengunyah jagung, Suro Bodong sempat tersenyum sinis. Ia memperhatikan biji jagung yang dipetik-petiknya. Lalu, setelah beberapa saat bungkam, ia berkata seenaknya: "Yang bilang dia mati, siapa?"
"Mahesa...!" jawab Adipati bersemangat.
"Mahesa dan Kebo Jagal. Mereka melihat dengan jelas keadaan mayat Rukmini yang menderita banyak luka, terutama di bagian leher."
"Lalu, mayatnya di mana?"
"Kata mereka, mereka ke situ malah seperti petugas kubur saja. Mereka menggali kubur dan memakamkan jenazah Rukmini di belakang rumah."
"Apakah Rukmini tinggal sendiri di rumah itu?"
Adipati Kusumadharma terhenti sejenak.
"Setahuku." katanya setelah berpikir, "Ia tinggal bersama kakaknya yang bernama Turonggo !"
"Apakah kakaknya itu juga mati?"
"Hemm... tidak tahu. Mahesa tidak menjelaskan di mana dan bagaimana Turonggo. Mungkin juga mereka tidak menemukan Turonggo. Sebab, Turonggo adalah seorang pemburu kulit macan yang lebih suka tinggal di hutan daripada di rumahnya sendiri."
Sebentar, Suro Bodong garuk-garuk kumisnya, lalu menggumam. Adipati Kusumadharma menunggu kata-kata dari Suro Bodong. Tapi Suro Bodong sibuk mengunyah jagung bakarnya. Hanya saja, beberapa saat kemudian, Suro Bodong bicara pelan, sepertinya bicara pada diri sendiri:
"Terlalu. !"
"Apanya yang terlalu, Kakang?" desak Adipati penasaran.
"Capeknya ini ! Terlalu capek aku habis keliling alun-alun dan melihat keramaian malam Kadipaten Puspagiwang. Aku ingin tidur."
'Kakang tidak punya saran untukku?"
"Tidur. Itu saranku."
Suro Bodong beranjak dari kursi dan bergegas masuk ke kamarnya. Sedangkan Adipati Kusumadharma hanya tertegun memandanginya. Lalu ia pun bergegas menemui istrinya. Ia juga mengkhawatirkan kesehatan istrinya yang baru melahirkan itu. Terutama kesehatan jiwanya. Sebab, beberapa kali ia menemukan istrinya bicara bagai sedang menimang bayi. Hal ini sangat membuat Adipati prihatin sekali. Ia bagai tak sabar, ingin lekas menemukan bayinya kembali.
Tapi kapankah ia akan menemukan bayinya? Orang yang paling dicurigai telah mati. Sekarang kecurigaan ada pada Gerombolan Topeng Setan.
Tapi mengapa sampai saat ini belum ada utusan atau surat yang mengatakan bahwa gerombolan itu menghendaki uang tebusan bagi bayi Adipati. Seandainya gerombolan itu menuntut uang tebusan, berapa pun permintaannya, berapa pun mahalnya. Adipati akan menebusnya dengan suka rela. Ia lebih baik kehilangan harta benda daripada kehilangan satu putra keturunannya. Kalau memang hal itu dikehendaki oleh pencuri bayi, Adipati tak akan menunggu pertimbangan lain. Ia akan melaksanakan. Dan, ah... mengapa ia tidak bicarakan kepada Mahesa, supaya Mahesa bisa menyampaikan kepada Gerombolan Topeng Setan. Bukankah Mahesa dan Kebo Jagal saat ini menyerang ke sana? Ke sarang Gerombolan Topeng Setan..?!
Pagi menyingsing di ujung fajar. Semalaman Adipati tak dapat tidur. Ia segera membangunkan Suro Bodong, sebab saat itu, hanya Suro Bodong yang enak diajak bertimbang rasa.
Tapi ketika ia membuka pintu kamar Suro Bodong yang tak pernah terkunci itu, ternyata kamar itu telah kosong. Adipati Kusumadharma berpikir sejenak, mungkinkah Suro Bodong kencing atau bahkan mandi sepagi ini? Atau mungkinkah ia sedang duduk di taman menghirup embun pagi?
Tidak. Di kamar mandi maupun di taman tidak ada Suro Bodong. Di mana pun ia mencari dan bertanya, tak seorang pun tahu di mana Suro Bodong. Bahkan penjaga regol depan dan regol samping tidak ada yang melihat Suro Bodong keluar dari pagar Dalem Kadipaten.
"Kok aneh?" pikirnya.
Mulanya Adipati Kusumadharma mencoba untuk melupakan keanehan itu. Suro Bodong memang manusia yang menyimpan banyak keanehan, pikirnya. Adipati mencoba menenangkan diri dengan menganggap hal itu adalah salah satu kebiasaan Suro Bodong yang mungkin amat digemari, selain makan jagung bakar dan garuk-garuk kumis. Menghilang, membuat orang heran, itulah salah satu kesukaan Suro Bodong menurut Adipati. Tetapi setelah siang mulai merayap dan Suro Bodong belum kelihatan juga, Adipati mulai curiga, bahwa lelaki berambut tak pernah disisir dan dirapikan itu ternyata telah meninggalkan Kadipaten secara diam-diam. Ia sengaja tak mau pamit, sebab kalau pun pamit pasti tak akan diizinkan. Jadi, Adipati merasa ditinggalkan begitu saja, sehingga sempat pula hatinya menjadi dongkol.
Hanya saja, ketika siang itu ia bersama istrinya di dalam kamar, membujuk istrinya, menghiburnya supaya sedikit menghilangkan kesedihan, tiba-tiba ia mendengar suara Suro Bodong berseru kepada salah seorang pelayan. Hati Adipati tergugah dan segera beranjak ke luar dari kamar. Ia bertanya kepada salah seorang pengawal yang berdiri di depan pintu kamarnya:
"Aku mendengar suara Suro Bodong. Di mana dia?!"
"Ada di ruang depan. Kanjeng," jawab pengawalnya.
Langkah Adipati begitu cepat, malah hampir-hampir ia tersandung selopnya sendiri. Langkah itu menjadi berhenti seketika setelah dia berhadapan dengan Suro Bodong. Mata Adipati melebar, mulutnya ternganga. Ia sempat gemetar, sebab kali ini Suro Bodong muncul tidak sendirian, melainkan bersama seseorang yang terikat tangan dan kakinya.
"Adipati " kata Suro Bodong seraya membuka ikatan pada mulut orang itu.
"Aku punya oleh-oleh untukmu. Kau pasti kenal dengannya. Dan Mahesa serta Kebo Jagal itu pasti juga mengenalnya dengan baik, mungkin lebih baik mereka daripada kau. Adipati."
Beberapa saat Adipati tak mampu bicara. Tertegun, melotot memandang perempuan bertubuh sedikit kurus dengan kulit warna sawo matang.
"Rukmini !" Adipati mengucapkan nama itu dengan sangat pelan. Perempuan yang dipanggil Rukinini buang muka dengan kebencian yang terlintas di wajahnya.
Adipati tak habis pikir, mengapa Mahesa mengabarkan bahwa Rukmini bekas istrinya itu telah mati dibunuh Gerombolan Topeng Setan. Padahal kenyataannya Suro Bodong malah berhasil menawannya dan membawanya ke Kadipaten ini benar-benar membingungkan bagi Adipati.
"Kakang Suro Bodong... bagaimana hal ini bisa terjadi, Kakang?"
"Mudah saja...!" seraya Suro Bodong membiarkan Rukmini jatuh terduduk di lantai, sedangkan ia sendiri sibuk garuk-garuk kumis sejenak. Ia menjelaskan kepada Adipati:
"Waktu kau katakan bahwa Rukmini mati, aku tidak terkejut. Kenapa? Karena aku mengikuti ke mana perginya Mahesa dan Kebo Jagal. Eh... bukan, bukan begitu!" Suro Bodong bingung sendiri.
"Begini " katanya lagi.
Raut wajah Rukmini disembunyikan di balik rambutnya yang lepas tergerai. Ia bagai muak, tak mau menatap Adipati, juga muak tak mau mendengar ocehan Suro Bodong. Namun Suro Bodong jelas tidak peduli dengan kemuakkan itu. Ia tetap saja bercerita kepada Adipati Kusumadharma.
"Aku sengaja mengintai dari kejauhan, apa yang terjadi di rumah Rukmini. Ingat, kau pernah memberiku keterangan tentang letak rumahnya, bukan? Dan aku mengintip dari kejauhan, ingin mengetahui apa saja yang dilakukan kedua jagoanmu itu di rumah Rukmini. Eh, ternyata mereka malah bermesra-mesraan. Satu lawan dua.... Gila, kan! Untung aku tidak ikut nimbrung sekalian !"
Memerah wajah Adipati mendengar hal itu. Namun Suro Bodong belum meberinya kesempatan untuk bicara. Suro Bodong meneruskan kisahnya:
"Lalu aku mendengar mereka membuat suatu rencana. Rencana licik. Dan... ternyata rencana itu kau sampaikan pula padaku. Sebab itu, aku tidak kaget. Aku malas untuk kaget! Lalu tadi malam, aku tak bisa tidur. Sebenarnya aku ingin mencari keterangan secara diam-diam dimana perempuan ini menyembunyikan bayimu, tetapi aku tidak sabar. Lalu, diam-diam kucolong dia dan kubawa ke mari. Sumpah, itu kulakukan diamdiam. Waktu dia hendak mandi, aku menyelusup masuk. Dan kebetulan kakaknya tidak ada, maka kugendong dia ke mari. Yaah... lumayan juga capeknya. Tapi, mudah-mudahan dengan kubawa dia ke mari, kita bisa mengetahui di mana bayi itu disembunyikan olehnya!"
"Aku tidak tahu soal bayimu!" cletuk Rukmini tiba-tiba kepada Adipati. Suaranya ketus, dan bernada memusuhi.
"Lalu siapa yang mencuri bayiku, Rukmini?"
"Aku tidak tahu, titik! Kalian salah duga!" jawabnya sambil membentak.
"Aku tidak mencuri bayimu, tahu?!" Suro Bodong menyela kata.
"Adipati, kurasa memang bukan dia yang mencuri bayimu, tapi perintah itu adalah perintahnya. Orang lain yang melakukannya. Dan di mana bayi itu disembunyikan, tentu dia tahu, sebab perintah menyembunyikan bayi juga darinya. Dia berkomplot dengan orang-orang Gerombolan Topeng Setan!"
"Benarkah begitu, Rukmini?!" sahut Adipati dengan geram.
"Kau berkomplot dengan orang-orang Topeng Setan?!"
Rukmini tidak menjawab, tetapi Suro Bodong yang menyahut dengan lantang:
"Kurasa bukan hanya berkomplot, tapi dia juga sebagai anggota Topeng Setan. Lihat wajahnya... sudah tidak perlu pakai topeng memang mirip setan jika begini..!"
"Benar-benar iblis...!" geram Adipati Kusurnadharma.
"Memang benar!" jawab Suro Bodong.
"Dan menurut apa yang kulihat sejak kemarin, ternyata Turonggo kakaknya itu. Adalah orang penting di dalam Gerombolan Topeng Setan. Dan adiknya ini, sebagai anggota di belakang layar "
"Luar biasa...!" geram Adipati sambil dadanya kembang kempis karena menahan emosi marah.
"Ternyata pengkhianatanmu dari dulu sampai sekarang masih berkelanjutan, Rukmini!"
"Dia bohong! Dia tahu apa tentang aku!" bantah Rukmini. Suro Bodong meraih dagu Rukmini dengan kasar.
Perempuan yang umurnya sudah cukup namun masih kelihatan cantik dan menggairahkan itu meringis kesakitan. Suro Bodong tidak peduli. Ia berkata dengan wajah hampir berjarak sejengkal dari mulut Rukmini.
"Hei, aku mendengar keluhanmu ketika bergumul dengan Mahesa dan Kebo Jagal. Dan dari hasil keluhanmu itu aku bisa menarik kesimpulan, bahwa Topeng Setan akan membuang kamu, kalau kamu sudah tidak bisa menjadi pemasok modal bagi mereka !"
"Pemasok modal?!" Adipati mendekat dan terperanjat.
Suro Bodong memandang Adipati sambil berdiri. Ia menggaruk-garuk kumisnya sebentar, lalu berkata:
"Sejak ia menjadi istrimu, dialah yang selalu memberi dana kepada Gerombolan Topeng Setan itu. Dia salah satu orang penyumbang dana terkuat dari beberapa penyumbang dana lainnya. Karena itu, kalau saja Tunggoro bukan kakaknya, tentu ia sudah dibuang dari Gerombolan Topeng Setan itu. Sebab dia sudah tidak bisa menjamin kehidupan keuangan gerombolan tersebut"
Adipati memejamkan mata, menahan amarahnya kuat-kuat.
Rukmini tersenyum iblis memandang kejengkelan Adipati.
"Pengawal...." teriak Adipati. Dua orang pengawal datang dengan tergesa-gesa.
"Bawa dia ke belakang dan jebloskan dalam penjara tanpa hawa...!!" perintah Adipati, sebagai luapan amarahnya.
Beberapa saat setelah itu, Suro Bodong ke dapur. Kepada juru masak, ia meminta dibikinkan jagung bakar. Kebetulan masih ada sisa lima buah jagung mentah yang dimiliki juru masak. Maka dalam waktu beberapa saat, Suro Bodong telah memegang sebuah jagung bakar sebagai makanan kesukaannya. Ia menemui Adipati dengan memetik-metik dan meniup jagung itu.
"Adipati, keluarkan Rukmini dari penjara tanpa hawa!" katanya dengan tenang.
"Kenapa?" tanya Adipati dengan malas.
"Dia bisa mati di dalam penjara itu."
"Biar. Aku memang ingin dia mati dengan pelan-pelan."
"Dan kita akan kehilangan keterangan untuk mengetahui di mana bayimu berada, begitu?"
Adipati memandang Suro Bodong, ia menghela nafas. Baru sekarang ia ingat kalau tujuan Rukmini dibawa ke mari adalah untuk menunjukkan di mana bayi itu disembunyikan. Kemudian Adipati segera menyuruh pengawal untuk memindahkan Rukmini ke tempat penjara yang mempunyai udara.
"Hati-hati terhadap pegawaimu," ujar Suro Bodong.
"Bisa-bisa kau hidup di sini dalam lingkaran pengkhianat! Mungkin hanya satu dua dari orangmu saja yang memang setia kepadamu. Selebihnya... musuh!"
Pucat wajah Adipati mendengar kata-kara Suro Bodong.
Berdebar jantungnya, dan kecemasan semakin menekan batin.
Pada saat itu, seorang penjaga pintu regol berlari-lari menemui Adipati. Karena wajah orang tersebut berlumuran darah, maka Adipati menjadi terperanjat. Jantungnya hampir saja istirahat selamanya.
"Ada apa ini...?!" seru Adipati dengan tegang.
"Seorang lelaki mengamuk di luar pagar. Beberapa pengawal telah tewas dan "
"Kakang Suro Bodong...?!" sekali lagi Adipati terpekik, karena orang tersebut jatuh dan tak mau berkutik lagi selamanya. Mati.
Suro Bodong masih kelihatan tenang. Ia melangkah pergi dan diikuti Adipati yang semakin panik.
"Pasti orang-orang Topeng Setan, Kakang "
"Entah, ya. Aku tidak pernah menyuruh mereka datang ke mari kok. Kita lihat saja!"
Pintu regol depan sengaja ditutup dari dalam oleh beberapa prajurit Kadipaten. Sementara bunyi pedang dan teriakan terdengar di luar Dalem Kadipaten. Suro Bodong memberi perintah kepada prajurit:
"Buka pintu...!"
"Jangan, Pak. Bahaya. Orang itu mengamuk seperti kebo kesurupan macan. Mengerikan!" kata seorang prajurit.
Suro Bodong tidak sabar dan tidak mau banyak kata. Pintu regol yang besar dan kekar, terbuat dari balok-balok kayu jati itu ditendangnya dengan tendangan putar.
"Bruaaak...!!"
Pintu itu pecah menjadi beberapa potong. Salah satu pecahannya ada yang melayang nyaris mengenai orang lelaki berpakaian hitam dengan ikat kepala kuning. Pertarungan antara prajurit-prajurit Kadipaten dengan orang itu terhenti seketika. Prajurit-prajurit menyisih setelah tahu Suro Bodong muncul bersama Adipati Kusumadharma.
"Kusumadharma...! Mana adikku!" bentak orang itu.
"Turonggo...?!" Adipati terbelalak.
"O, kamu yang namanya Turonggo…?!" kata Suro Bodong, ia masih mengunyah-ngunyah jagung bakar dan sesekali menggaruk-garuk kumisnya yang lebat, hampir sama lebatnya dengan kumis Turonggo.
"Siapa kamu, Babi picak...?!" kata Turonggo.
"Kamu yang picak!" sahut Suro Bodong.
"Kamu yang tidak bisa membedakan manusia dengan babi! Sialan!" Turonggo tersenyum sinis. Otot tangannya yang kekar dan lengannya yang gempal bergerak-gerak bagai tak sabar menunggu pertarungan.
"Aku Suro Bodong!" kata Suro Bodong.
"Kamu kakaknya Rukmini, ya?"
"Aku kakaknya Rukmini!"
"Aku yang menculik Rukmini!" balas Suro Bodong.
"Bangsat..!!" geram Turonggo.
"Nanti dulu, jangan berkelahi dulu." cegah Suro Bodong "Biarkan aku makan jagung dulu sampai habis, baru kita berkelahi. Bagaimana? Setuju?!"
"Aku tak punya waktu untuk melayani tikus sawah, hiaat..!"
Turonggo menyerang dengan sebuah tendangan kaki kanan yang mampu menendang sampai tegak di atas kepala. Suro Bodong hanya melengkungkan badan ke belakang, menghindari tendangan yang membentuk garis lurus ke atas. Turonggo memutar kaki yang sudah ke atas, kini kaki itu menginjak tanah sedang kaki kirinya menendang pelipis Suro Bodong. Tangan Suro Bodong menangkis, dan jagungnya mental.
"Tunggu dulu!" bentak Suro.
"Bagaimana kalau kita tukar tawanan. Kuserahkan adikmu, tapi kau harus menyerahkan bayi putra Adipati. Bagaimana? Setuju apa sepuluh?!"
֍↨::::¦ 5 ¦::::↨֎
"Lebih baik kita tukar nyawa daripada tukar tawanan! Nyawamu atau nyawaku yang harus hengkang ke akherat...!"
Pedang Turonggo menebas pundak Suro Bodong. Dengan gesit Suro Bodong memiringi badan ke kiri, dan secepatnya kaki kanannya menendang ke perut Turonggo.
"Heaaatt...!"
Tendangan itu mengenai perut, dan Turonggo tersentak ke depan dengan badan membungkuk. Tangan kanan Suro Bodong segera menghantam pelipis kiri Turonggo. Keras. Gerakan tangan kanan Suro Bodong dalam memukul pelipis itu seperti pedang yang dikibaskan menyamping.
"Kalau begitu nyawamu saja yang ke akherat. Aku mengalah saja, tidak ikut ke sana, hiaaat...!!"
Turonggo terpelanting. Pedangnya masih berusaha dikibaskan. Suro Bodong melompat ke depan dan membiarkan Turonggo sempoyongan.
"Jangan keras kepala, Turonggo," kata Suro Bodong sembari berdiri sigap, garuk-garuk kumis sebentar.
"Lebih baik kita tukar adikmu itu dengan putra Adipati!"
"Akan kurebut adikku; Rukmini. Tapi jangan harap kau dapat merebut putra Adipati sinting itu. Hiaaatt...!!"
Turonggo mengibaskan pedangnya kian ke mari dan segera diam dalam posisi badan merendah dan kaki kanan ditarik ke belakang. Pedangnya berada di depan dada, diarahkan lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya ada di atas kepala dalam posisi jari seperti cakar elang. Siap melancarkan serangan mautnya.
"Jurusmu cukup gagah, Turonggo," kata Suro Bodong.
"Tapi kuda-kudamu cukup lemah, Lihat kaki kananmu, terlalu sejajar dengan kaki kirimu. Kalau kusengkat pasti kau jatuh!"
Turonggo segera memperbaiki posisi kakinya agak merenggang. Nafasnya memburu dan kepalanya masih terasa keliyengan akibat pukulan yang mengenai pelipisnya tadi.
"Posisi pedangmu juga kurang mantap. Turonggo. Genggaman tanganmu masih lemah. Kau harus memegang lebih maju sedikit, supaya, ada keseimbangan antara gagang pedang dengan mata pedang itu."
"Jangan banyak bacot. Bodong kurap! Hiaaaat. !!"
Turonggo maju menyerang dengan satu loncatan. Pedangnya terarah ke dada Suro Bodong. Tetapi tiba-tiba pedang itu dilemparkan ke tangan kiri, sedangkan tangan kanannya segera memukul wajah Suro Bodong. Pada saat itu Suro Bodong sudah bersiap menghindari tusukan pedang. Ia tidak menyangka kalau tiba-tiba pedang berpindah ke tangan kiri. Karena itu, ketika tangan kiri Turonggo mengibaskan pedang ke leher Suro Bodong, hampir saja leher itu terbabat habis. Suro Bodong cepat berkelit ke samping. Namun, agaknya gerak tipu Turonggo mengenai sasaran. Kaki kanannya menendang keras dan mengenai dada Suro Bodong.
Seketika itu Suro Bodong terpental ke belakang dan jatuh terduduk di tanah berbatu. Ia meringis kesakitan, bukan memegangi dadanya yang ditendang, melainkan memegangi pantatnya yang terbentur batu sebesar genggamannya. Tulang kodoknya yang ada di ujung pantat terasa lecet.
"Monyet kudis...! Uuh... pantatku seperti disengat kepiting rebus !" gerutu Suro Bodong dalam cacian. Dan tiba-tiba ia segera
berguling ke kiri, lalu berguling lagi. Tendangan kaki Turonggo datang dengan bertubi-tubi diselingi tebasan pedang ke kanan bawah dan ke kiri bawah. Sasarannya adalah punggung Suro Bodong. Tetapi gerakan Suro Bodong masih cukup lincah. Ia berguling lagi ke samping, kemudian menendang pinggang Turonggo seperti kuda menyepak lalat.
"Hhuuggh !!"
Turonggo tersedak, nafasnya bagai terputus sedetik. Pedangnya menancap dalam ke tanah. Sambil menahan rasa sakit, Turonggo berusaha mencabut pedangnya dari tanah. Tetapi gerakan Suro Bodong lebih cepat. Ia melompat dan menendangkan kakinya ke punggung Turonggo dengan hentakan kaki kanan yang sangat keras. Turonggo mendelik, tubuhnya melengkung seperti papan kepanasan.
Ada salah seorang prajurit Kadipaten yang menggunakan kesempatan itu untuk melampiaskan kebenciannya. Ia memukulkan gagang pedangnya kuat-kuat ke ubun-ubun Turonggo.
"Pletaak...! Pletook...!"
"Bangsat kau...!" teriak Turonggo, dan prajurit itu buru-buru lari ke tempat teman-temannya berkumpul. Saat itu, Suro Bodong garuk-garuk kumis dalam kebingungan. Ia tak tahu, akan diapakan lawannya itu? Dipaksa untuk menukar tawanan atau dibunuh begitu saja?
"Kakang Suro...! Habisi nyawanya sekalian...!" seru Adipati Kusumadharma dengan geram.
"Aku tidak habis kalau untuk menghabisi nyawanya" jawab Suro Bodong dengan tenang dan seenaknya bicara, ia menggaruk kumisnya lagi. Sebentar saja. Lalu mundur beberapa langkah, karena melihat Turonggo telah berdiri dengan pedang berhasil dicabut dari tanah. Walau posisi berdiri Turonggo sedikit limbung, namun Suro Bodong yakin, bahwa musuhnya itu pasti akan menyerang lagi. Sebab itu ia harus siap sedia menerima dan menghindar, atau kalau perlu menyerang lebih dulu. Ini masih dipertimbangkan oleh otaknya yang gampang bingung itu.
"Suro Bodong...! Tidak mudah kau membunuh anggota Gerombolan Topeng Setan !"
"Ah, siapa bilang?! Buktinya kemarin kubunuh satu. Sayang orang itu bukan kamu. " kata Suro Bodong, garuk-garuk kumis.
"Bangsat! Terimalah ilmu Batu Geni-ku ini...!" Turonggo mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala mendongak bagai hendak berdoa. Suro Bodongheran melihat tangan Turonggo keduanya ditarik ke bawah seketika dan kedua telapak tangannya segera menghentak ke depan. Lurus. Lalu, dari telapak tangan itu keluar butiran-butiran batu sebesar kelereng berwarna merah membara, seperti butiran besi panas. Butiran batu itu melesat cepat menuju Suro Bodong. Tentu saja hal itu membuat Suro Bodong tegang dan kebingungan. Ia melompat seperti katak. Lompatannya cukup jauh. Dan butiran batu itu menghantam sebuah batu di belakang Suro Bodong. Batu itu meledak dengan menimbulkan suara berdesis dan asap mengepul di beberapa tempat. Suro Bodong semakin panik. Ia diserang terus dengan butiran batu panas yang mempunyai kekuatan dahsyat.
"Wah, kacau ini !!" gerutu Suro Bodong seraya melompat-
lompat seperti katak. Ia menjadi panik. Tembok Kadipaten jebol di bagian sudutnya karena terkena benturan batu pijar itu. Dan biasanya kalau Suro Bodong panik, ia akan menjadi orang serba bingung tujuh keliling. Sekarang pun ia berlari ke sana sini menghindari serangan Batu Geni dari Turonggo. Ia sangat ketakutan, seperti pendekar tanpa ilmu. Turonggo sendiri menertawakan gerakan pilon Suro Bodong. Ia semakin mempermainkan Suro Bodong, menyerang bagian depan, menghadang langkah Suro Bodong dengan batu-batu yang jumlahnya puluhan itu.
Sudah tentu hal itu membuat banyak kerusakan di beberapa tempat yang terkena batu tersebut. Malahan ada seorang prajurit yang berdiri memojok, tepat di belakang Suro Bodong. Ketika Suro Bodong menghindari batu-batu api itu, prajurit tersebut menjadi korban. Batu-batu tersebut mengenai tubuh prajurit itu, dan ia menjerit dalam keadaan sekarat. Tubuhnya sempat terbakar sbentar, lalu hancur karena lebih dari sepuluh batu yang menghunjam di tubuhnya.
"Ngeri sekali akibatnya...?!" Suro Bodong bicara sendiri sambil melompat, berlari dan melompat lagi dalam keadaan serba bingung. Adipati sendiri menjadi cemas melihat Suro Bodong kebingungan dan lari ke sana sini seperti ayam babon dikejar kawan ayam jantan.
"Adipati...!" teriak Suro Bodong.
"Apa yang harus kulakukan nih...!!" seraya Suro Bodong melompat, berguling dan berlari bagai dikejar setan. Jika ia lari ke Utara, Turonggo melancarkan batu pijarnya keUtara akibatnya Suro Bodong kembali ke Selatan, namun Turonggo segera melancarkan Batu Geni itu ke Selatan, Suro Bodong terpaksa melompat ke arah lain. Dan begitu seterusnya ia dipermainkan oleh Turonggo seraya berteriak-teriak:
"Hoii... penonton...! Tolong aku...! Tolong, jangan menonton saja...! Memangnya aku pemain sulap? Akrobat dari India, ya? Busyeeeettt...! Bagaimana ini?! Huuuuhh... payah semua oran-gorang sini...!"
"Prass... prass... prasss...!!"
Begitu suara yang timbul apa bila Batu Geni mengenai benda apa pun. Suro Bodong berkeringat dan benar-benar bingung tujuh keliling.
"Berhenti...! Berhenti dulu, Turonggo...! Aku capek...!" Teriak Suro Bodong semakin ditertawakan Turonggo, dan ia tambah dijadikan barang mainan oleh Turonggo. Bahkan beberapa prajurit ada yang tertawa terkikik-kikik melihat Suro Bodong melompat-lompat dengan kaki terkangkang tak teratur. Tangannya tak mampu bergerak lain kecuali berusaha menahan Batu Geni, namun sesekali ditarik dan disembunyikan di belakang jika Batu Geni menju ke arahnya.
"Kakang Suro...! Tenanglah...!" teriak Adipati.
"Hadapi dia dengan tenang...!" Mungkin memang hanya itu yang bisa diteriakkan oleh Adipati Kusumadharma yang bersembunyi di balik pecahan pintu regol.
"Tenang?! Bagaimana bisa tenang?!" gerutu Suro Bodong.
"Tapi... ah, ya... ada baiknya kalau aku berusaha untuk tenang. Ya, aku harus tenang. Tenang... tenang... tenang..."
Sekali pun masih melompat-lompat, namun pikiran Suro Bodong berusaha untuk menenangkan diri. Ia menganggap itu suatu latihan melompat, ia menganggap sedang berlatih menghindari lemparan-lemparan batu. Siapa tahu kelak ada gunung meletus dan batunya menyembur ke arah Suro, maka Suro dapat menghindarinya dengan tangkas. Oh, ya... betul juga, pikir Suro Bodong. Ini latihan loncat kok, bukan pertarungan.
"Bersaltolah ke atas dan serang dia dari arah lain!" teriak Sanggu yang sempat ikut tegang menyaksikan hal itu.
"Nenekmu yang bersalto...?!" teriak Suro Bodong. Maksudnya, ia tidak mempunyai kesempatan untuk bersalto, sebab serangan Turonggo membabi buta. Tetapi Sanggu dan beberapa prajurit mengira bahwa Suro Bodong pendekar yang tidak bisa bersalto. Maka ada yang berteriak.
"Huhh... payah! Pendekar kok tidak bisa bersalto!"
Tetapi Suro Bodong tidak mau menghiraukan seruan itu. Ia sibuk menenangkan diri dan menghindarkan serangan Batu Geni yang terasa tak ada habis-habisnya itu.
"Astaga... aku kan punya pedang..." pikir Suro setelah ketenganan berhasil diperolehnya. Kemudian ia segera meraba tangan kirinya. Dan dari pergelangan tangan kiri, keluarlah sebilah pedang yang dicabut dengan gerakan secepat kilat. Tahu-tahu banyak orang terperangah melihat tangan kanan Suro Bodong telah memegang pedang yang memancarkan sinar ungu. Indah sekali warnanya.
"Ha, ha, haaa.... Aku lupa kalau aku punya pedang...! Ciaaaat...!!"
Suro Bodong menangkis semua Batu Geni itu dengan pedangnya.
"Trang... trang... trang...!!" Bunyi pedang membelah bulatan besi pijar itu. Semua semakin tercengang melihat gerakan jurus pedang Suro Bodong yang begitu cepat dan mampu membuat tiap batu terbelah menjadi beberapa bagian. Turonggo sendiri segera menghentikan serangannya dan memandang Suro Bodong dengan terbengong-bengong.
Nafas Suro Bodong terengah-engah, namun ia tersenyum gembira dan berseru:
"Nah... sekarang kau seperti sapi ompong, Turonggo...!"
Lelaki bertubuh kekar itu menggeram, matanya memerah menahan amarah. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya, membentuk tanda silang di depan wajah. Lalu dari mata yang memerah itu meluncurlah nyala sinar merah ke arah Suro Bodong. Sinar itu tidak ditangkis oleh Suro Bodong, melainkan dihindari dengan melompat ke kanan.
"Blaaar...!!" Dentuman keras terdengar. Ledakan terjadi ketika sinar merah itu menghantam tanah. Tempat di mana sinar itu menghantam menjadi berongga. Tanahnya berhamburan. Dan semua orang mengguman kagum. Sedangkan Suro Bodong hanya tersenyum kecut. Tetap tenang.
Turonggo tetap menyilangkan kedua tangannya di depan wajah. Sekali lagi sinar merah melesat dari kedua mata Turonggo, dan sekali lagi Suro Bodong menghindar.
"Blaaar...!!" Tanah berhamburan ke udara. Tempat itu jadi berongga sedalam setengah meter lebih. Andaikata sinar merah itu mengenai tembok Kadipaten, maka sudah pasti tembok itu akan hancur. Suara gumam kagum terdengar serempak.
"Aku juga punya ilmu semacam itu," kata Suro Bodong seraya tersenyum sinis.
"Keluarkan...!"
"Ogah! Nanti kamu contek...! Weee...!" Suro Bodong meledek dengan mencibirkan bibir. Turonggo menjadi panas hati, lalu melancarkan serangan sinar merahnya kembali. Tetapi kali ini Suro Bodong tidak menghindar, melain menangkis sinar itu dengan pedangnya yang berkilauan warna ungu.
"Taar...! Ter, ter, ter, ter...!"
Sinar merah itu memantul beberapa kali ke arah Turonggo, namun padam sebelum sampai menyentuh tubuh Turonggo. Suro Bodong tersenyum.
"Masih kalah hebat dengan ilmuku yang mirip itu!"
"Jangan membual kau, Kucing Kurap...! Keluarkan semua ilmumu!" tantang Turonggo dengan kobaran amarahnya.
"Hemm...!" Suro Bodong mencibir.
"Nanti kamu tiru, repot aku. Lagi pula, belum tentu kau bisa bertahan jika terkena pukulan Tapak Geni-ku. Sekarang, kau terima jurus Pedang Jitu saja. Kalau kau bisa bertahan, nanti akan kuberi pukulan Tapak Geni. Benar kok. Aku tidak bohong."
Suro Bodong melemparkan pedangnya ke atas hingga pedang itu berjumpalitan tujuh kali. Saat itu Turonggo bergegas menyerang Suro Bodong. Namun Suro Bodong segera menendang tepat di gagang pedangnya yang telah berputar tujuh kali.
"Ciaaaat...!" Suro Bodong menendang pedang ke arah Turonggo. Pedang pecah menjadi tujuh bagian. Semua bagian melesat, melebar ke arah Turonggo. Sejenak Turonggo terkejut, lalu segera berkelit, melompat dan bersalto ke sana ke mari menghindari pecahan pedang itu. Dan beberapa saat kemudian, pedang tersebut bergabung lagi dan melesat kembali ke tangan Suro Bodong utuh menjadi satu pedang.
Suara gumam dan decak dari para prajurit Kadipaten membahana. Suara itu nyaris menutup pekikan pelan yang terlontar dari mulut Turonggo. Rupanya ada salah satu pecahan pedang yang menggores pundaknya hingga menimbulkan luka lebar dan dalam. Namun Turonggo tampak masih bisa bertahan. Pantas rasanya jika Turonggo menjadi orang penting di dalam Gerombolan Topeng Setan, karena ia seorang yang tangguh dan sukar dirobohkan.
Suro Bodong segera berlari dan melayangkan tendangan kaki kanannya. Turonggo masih belum siap karena menahan luka, sehingga dadanya terkena telak tendangan Suro Bodong.
"Huuugh...!!" Turonggo terpental ke belakang dengan tubuh melengkung ke depan, ia bertahan untuk tidak jatuh sekali pun harus berdiri sempoyongan.
"Sebentar lagi tamatlah riwayatmu, Turonggo...!" seru Suro Bodong seraya segera bergerak mengayun-ayunkan kakinya ke kanan dan ke kiri beberapa saat, seperti orang menari. Para prajurit Kadipaten terheran-heran melihat jurus ayun-ayunan kaki itu.
"Sekarang terimalah Tendangan Ayam Kawin ini, hiaaat...!"
Semua mata terbengong melihat kaki Suro Bodong bergerak seperti baling-baling, menendang dada, dan wajah Turonggo dengan kecepatan yang luar biasa dan beruntun sebanyak tujuh kali. Setiap tujuh kali tendangan beruntun, selalu ganti kaki, dari yang kanan ganti yang kiri. Dan hal itu membuat Turonggo tak mampu menghindar. Ia hanya kelabakan dan terguncang-guncang akibat tendangan Ayam Kawin itu. Berteriak pun tak mampu. Lalu ia rubuh ke tanah dengan darah mengalir dari segala lubang di tubuhnya.
"Bagaimana? Mau mati sekarang, atau nanti saja?!" kata Suro Bodong yang membuat para penonton tertawa cekikikan.
Tubuh yang sudah berlumuran darah itu masih sanggup berdiri. Turonggo bersiap menyerang Suro Bodong. Apalagi waktu itu terdengar suara yang berseru:
"Lawan terus, Turonggo...! Rukmini sudah di tangan kami!"
Selain semangat Turonggo menjadi bertambah, semua mata menjadi terbelalak melihat Mahesa dan orang bertopeng telah menggandeng Rukmini. Kebo Jagal menggendong bayi dan siap mencekik bayi itu, di sampingnya berdiri emban Surti, orang yang katanya mengetahui hilangnya nenek Limbak dari kamar.
"Anakku...!" teriak Adipati dalam keadaan tegang.
"Jangan mendekat, Adipati!" seru Suro Bodong. Sanggu segera menahan gerakan Adipati. Saat itu, Turonggo menggunakan kesempatan kelengahan Suro Bodong, ia menendang pinggang belakang Suro Bodong hingga lelaki agak gemuk itu jatuh seperti nangka busuk.
Segera Suro Bodong berdiri dan berlari menjauhi Turonggo yang sempoyongan itu. Mahesa Tameng dan Kebo Jagal tertawa, lalu berseru: "Suro Bodong...! Kalau kau tak mau menyerah, bayi ini akan kucekik sampai mati."
"Jangan...! Jangan cekik bayiku," teriak Adipati.
"Sabar, Adipati. Tenang saja. Suro Bodong pasti bisa mengatasinya," bisik Sanggu.
Suro Bodong kebingungan. Biasanya ia menjadi panik, lalu bingung tujuh keliling. Sanggu yang mengetahui kebingungan Suro Bodong segera berseru:
"Suro... tenanglah! Tenang seperti tadi...!"
Segera Suro Bodong menyadari kelemahannya, lalu ia berusaha untuk tenang. Mahesa Tameng berseru:
"Menyerahlah, Suro Bodong! Jika kau menyerah dan bersedia menjadi tawanan kami, maka bayi ini kami kembalikan kepada orang tuanya. Tapi jika tidak, bayi ini akan mati di depan orang tuanya! Percuma saja kau bertahan, lihat... Rukmini sudah di tangan kami. Ha, ha, ha...!"
Suro Bodong segera memasukkan pedangnya ke lengan kiri dengan cepat, sehingga tak seorang pun melihat gerakan itu, kecuali Sanggu. Sebab Sanggu pernah melihat Suro Bodong menyimpan pedang ajaibnya dengan pelan-pelan.
"Baiklah...." kata Suro Bodong.
"Lihat, aku sudah tidak bersenjata lagi. Sudah kubuang pedangku: Sekarang, kembalikan bayi itu kepada Adipati!"
"Tidak semudah itu! Kau harus kami ikat dulu...!"
"Silahkan! Ikatlah aku asal bayi itu kau kembalikan dengan selamat. Tapi jangan coba-coba menipuku, Mahesa!"
Mahesa menyuruh lelaki bertopeng dan berpakaian serba hitam untuk mengikat Suro Bodong. Pekerjaan itu cepat selesai, karena Suro Bodong tidak melawan waktu diikat kuat-kuat di kedua tangannya. Sementara itu. Adipati dan para prajurit menyesalkan keputusan Suro Bodong.
"Pengkhianat...!" teriak Adipati.
"Serahkan anakku!" Mahesa Tameng tertawa keras.
"Terlalu bodoh kalau aku menyerahkan padamu sebelum Rukmini memerintahkan hal itu!"
"Curang! Suro Bodong telah kau ikat, telah menyerah, sekarang kau mengingkari janji!" teriak Sanggu.
"Diam kau, Sanggu! Lebih baik tutup mulut daripada mati tanpa bintang jasa, tau?!" teriak Kebo Jagal yang tangannya siap mencekik bayi itu.
"Rukmini," kata Mahesa.
"Bagaimana dengan bayi itu?!"
Rukmini memandang penuh dendam kepada Adipati, lalu berseru: "Bunuh bayi itu di depan orang tuanya! Biar dia tahu bagaimana rasanya kalau hidup tanpa anak! Biar dia belajar untuk tidak membuang perempuan seperti aku! Bunuh sekarang juga, Kebo Jagal!"
"Tunggu...!" teriak Suro Bodong. Dengan loyo Turonggo masih sempat menendang Suro Bodong hingga Suro Bodong mengaduh kesakitan.
"Sebelum kau bunuh bayi itu, aku punya satu permintaan yang ringan. Tidak memberatkan kalian!"
Setelah menimbangnya sesaat, Rukmini berkata: "Kau pun akan kubunuh, Suro Bodong Karatan! Tapi, baiklah... kuizinkan kau mengajukan permintaan yang tidak memberatkan kami. Katakanlah!"
Suro Bodong diam. Seperti ragu untuk bicara. Tetapi dalam hatinya ia menyebut nama-nama mereka yang dipandanginya satu persatu: "Rukmini, Mahesa Tameng Kebo jagal, Emban Surti, Orang bertopeng di sampingku, dan... Turonggo "
"Ayo lekas !" bentak Mahesa Tameng. Tetapi Suro Bodong masih seperti ragu-ragu. Kini ia bahkan bersiul mendendangkan lagu. Karena semasa itu belum ada irama jazz, maka Suro Bodong mendendangkan tembang Jawa yang beraliran Maskumambang. Suara siulannya cukup tinggi melengking dan enak di dengar. Tetapi beberapa detik kemudian, orang bertopeng di samping Suro Bodong menutup telinganya. Lalu Turonggo dan Rukmini juga menutup telinganya. Siulan itu meninggi, masih mendendangkan tembang Maskumambang. Mereka semakin kesakitan, menutup telinga rapat-rapat. Mahesa dan emban Surti pun tak tahan mendengar siulan itu. Mereka tak tahu bahwa saat itu Suro Bodong menggunakan jurus Siulan Celeng yang bertenaga dalam tinggi. Hanya orang-orang yang disebutkan dalam hatinya tadi yang merasa kesakitan mendengar siulan tersebut, sedangkan orang lain merasa terayun-ayun lelap bagai dalam buaian mimpi.
"Aaaahhhkk !!" teriak mereka dari pelan menjadi tinggi. Suro Bodong segera mengerahkan tenaganya untuk melepas ikatan pada tangan. Ikatan itu terlepas dengan kekuatan tenaga dalamnya juga. Dia tetap bersiul. Kebo Jagal menutup satu telinganya. Namun ia tak tahan, hendak menutup kedua telinga dengan kedua tangannya. Bayi tersebut pasti akan jatuh jika Kebo Jagal menutup kedua telinganya. Maka dengan segera Suro Bodong melompat, dan bersalto di udara sebanyak 3 kali. Bayi disahut oleh tangan yang bersalto dan kini bayi itu dalam gendongan tangan lain. Tetapi semua mata memandang heran dan terbengong-bengong melihat ujud Suro Bodong sudah berubah menjadi anak kecil umur antara 10 tahunan. Anak itu tetap bersiul sambil berjalan mendekati Adipati, ia menggendong bayi dengan hati-hati sekali. Bayi itu sempat merengek sebentar, dan anak kecil itu menggoyang- goyangkan gendongannya pelan-pelan.
Sementara itu, terjadi sesuatu keanehan yang mengerikan. Orang-orang Rukmini dan Rukmininya sendiri menjerit kesakitan. Mereka sampai terguling-guling di tanah dan saling memekik histeris. Suasana menjadi ramai. Anak kecil masih bersiul. Mereka semakin melengking berteriak. Darah mengucur dari lobang telinga mereka. Kemudian mereka sama-sama menjerit tinggi dan panjang:
"Aaaaaahh...!!"
Ada asap mengepul dari kepala mereka, yang kemudian membuat mereka tak bergerak lagi. Kepala mereka masing-masing menjadi retak. Rengat, bagai hendak meledak. Tapi anak kecil itu berhenti bersiul. Suasana jadi sepi. Hening. Darah berhamburan di mana-mana. Mahesa, Kebo Jagal dan teman-temannya termasuk Turonggo sudah tidak bernyawa lagi dalam keadaan kepala rengat mengerikan, berlumur darah hitam.
"Adipati...." kata anak berumur 10 tahun itu.
"Ini bayimu. Dia selamat...!"
Adipati segera menerima uluran tangan anak itu, dan mendekap bayinya kuat-kuat. Ia menciumi bayi itu dengan senyum keharuan yang amat bahagia.
"Terima kasih.... Terima kasih kau telah selamatkan putraku." kataAdipati.
Orang-orang mengerumuni bocah bercelana hitam, dan telajang dada. Ia berkalung katapel dari kayu dan alas batunya dari kulit binatang yang berbulu putih. Anak itu berambut cepak, pendek namun tak terlalu acak-acakan. Matanya jeli, alisnya tipis, tapi bulu matanya lebat. Lentik. Ia tersenyum-senyum malu ketika dikerumuni para prajurit yang masih terheran-heran.
"Siapa kau sebenarnya, Nak?" tanya Adipati.
"Namaku Tole!" jawab anak itu tanpa basa basi.
"Bukan Suro Bodong...?" tanya salah seorang prajurit.
"Sama saja!" jawab anak itu.
"Sama saja bagaimana?" Adipati meminta penjelasan.
"Tadi kulihat Suro Bodong melompat dan bersalto tiga kali, tahu-tahu ia hilang dan muncul kamu."
Tole menjawab, "Itulah aku. Adipati. Kalau aku bersalto di udara, tanpa menyentuh tanah, sebanyak tiga kali, maka aku akan menjadi seperti ini. Namaku Tole. Bagus, ya?"
Beberapa orang ada yang tertawa. Ada yang bertanya, "Tiga kali menjadi seperti ini, kalau lima kali menjadi apa, kamu? Bayi?"
"Menjadi seorang kakek," jawab Tole.
"Aku bisa berubah ujud sampai tujuh kali, Paman. Tergantung berapa kali aku bersalto, melingkar-lingkar di udara. Kalau aku bersalto ke udara satu kali, maka aku akan berubah menjadi Suro Bodong lagi. Tapi jangan tanya, kenapa aku bisa begitu. Sebab aku sendiri tidak tahu, kenapa aku punya ilmu begitu."
"Cobalah bersalto satu kali...!" perintah Adipati.
Tole menjawab, "Kau selalu ragu, Adipati. Itu tidak baik, sebab kata orang: manusia yang suka ragu-ragu, ia tidak akan menemui keberhasilan. Walaupun sebenarnya aku juga suka ragu-ragu," Lalu Tole meringis. Orang-orang tertawa pendek. Tole melangkah, menjauhi mereka, dan ia segera menghentakkan kakinya ke tanah, melesat ke atas serta bersalto satu kali putaran.
"Hah...?! Dia jadi Suro Bodong lagi?!" teriak Sanggu.
Suro Bodong tersenyum. Ia garuk-garuk kumisnya yang lebat. Lalu berkata:
"Adipati... tugasku telah selesai. Semoga kau berbahagia dengan putramu itu. Sekarang tugasku adalah melanjutkan perjalanan, mencari Rara Prawesti. Selamat pergi, Adipati!"
'Terima kasih. Pendekar... Pendekar Tujuh Keliling..?" kata Adipati yang membuat orang-orang tertawa dan melambaikan tangan.
SELESAI
INDEX SURO BODONG | |
Suro Bodong (Pendekar 7 Keliling --oo0oo-- Pedang Urat Petir »» |