Utusan Lembah Kubur
tanztj
June 30, 2018
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Seruling Kematian --oo0oo-- Prahara Raden Klowor >> |
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata
--≡¦ { 1 } ¦≡--
"Jeritan itu terdengar lagi," bisik Kirana, dan Lanangseta hanya mengangguk. Kemudian, Lanangseta turun dari ranjang, pergi ke luar rumah.
Ia berdiri di halaman depan. Memandang keremangan malam yang ditaburi sorot rembulan pucat. Ia memandang ke arah kanan, jauh di bawah sana ada bentangan samudra yang hanya tampak berkilau-kilauan karena memantulkan sorot rembulan petang. Sedangkan, di sebelah kirinya tampak segerombolan dedaunan remang, membentang hijau gelap bagai permukaan permadani. Itulah bentangan alam pedesaan yang paling dekat dengan Puri Bukit Bulan, tempat Lanangseta dan istrinya bergelimang peluh setiap malam.
"Ada sesuatu yang mencurigakan, Lanang?" Kirana menyusul ke luar. Rambutnya yang panjang terurai dihempas angin puncak bukit. Lanangseta mendekati istrinya dan memeluk pundak sang istri.
"Tidurlah lagi. Tak ada apa-apa "
"Tapi sudah tiga malam ini selalu ada jeritan dari arah pedesaan sana. Kurasa ada sesuatu yang tak beres," Kirana bicara pelan, bagai menggumam, matanya memandang alam pedesaan di bawah bukit Bulan.
Lanangseta mencium istrinya dengan lembut. Penuh kasih sayang dan kemesraan. Ia juga mengusap perut istrinya yang membengkak, kemudian membaringkannya ke ranjang. Malam masih berjalan panjang.
"Jangan banyak pikiran, nanti kesehatanmu terganggu," bisik Lanangseta yang berbadan tegap dan berwajah tampan.
"Aku tidak ingin anakku merengek karena ibunya resah."
Kirana tersenyum geli, lalu mencubit pipi Lanangseta, bahkan menggigit kecil dagu suaminya itu.
"Ada sesuatu yang tak beres di bawah sana, Lanang!" bisik Kirana ketika ia dipeluk dengan hangat.
"Ah, tak ada apa-apa."
"Jeritan itu selalu membuat bulu kudukku merinding."
"Jaga perasaanmu. Jangan menjadi kacau karena suara jeritan itu. Mungkin hanya ringkik seekor kuda jalang?" Lanang bersungut-sungut, dan hal itu menyenangkan hati Kirana.
"Jangan murung kuda jalang ku...." bujuk Kirana bagai memanjakan Lanang.
"Kalau kau murung, nanti anakmu juga ikut murung. Kalau anakmu murung, perutku mules...!"
"Ssssttt...!" Tiba-tiba Lanang tampak tegang. Tawa dan senyum mereka hilang. Wajah-wajah itu menjadi saling tatap dengan kaku.
"Aku mendengar suara langkah kaki," bisik Lanang.
Kirana mengangguk.
"Ya, dengus nafasnya kudengar juga."
"Kau di dalam saja, ya?"
"Hati-hati, Lanang...." bisik Kirana lagi ketika suaminya turun dari ranjang.
Pelan-pelan sekali Lanang melangkah dan membuka pintu. Sengaja Lanang memilih tempat gelap, jauh dari sorotan rembulan, karena ia yakin; ada orang yang datang mengendap-endap di sekitar rumahnya. Lanang memasang indra pendengarannya tajam-tajam. Mata melirik ke sana sini dengan sikap tubuh berdiri, merapat dengan dinding rumahnya. Ia mulai bergerak ke samping kiri perlahan-lahan. Kedua tangannya siap memukul kendati tidak menggenggam.
Ada bayangan yang mendekati sudut rumah. Lanangseta makin merapatkan badan ke dinding, ia bergeser pelan-pelan. Bayangan itu agaknya juga merapatkan badan ke dinding samping, tapi ia tidak sadar kalau sorot rembulan dari arah belakang rumah membuat bayangannya terlihat dari teras depan. Lanang menahan nafas, kini tangannya menggenggam.
Ketika bayangan itu semakin mendekati sudut rumah, Lanang segera menggerakkan kakinya:
"Hiiiiaaaattt...!"
Tepat pada saat kaki kanan Lanangseta terayun setengah lingkaran, tepat pada saat orang itu maju, hendak membelok ke teras rumah. Akibatnya, perut orang itu terkena ujung telapak kaki Lanangseta dengan keras.
"Huuuugggh...!"
Tubuh orang itu melengkung kesakitan. Tapi, ia segera berusaha memukul Lanangseta dengan tangan kanannya yang maju ke depan, sedang tangan kirinya memegangi perut. Lanangseta berkelit ke samping menghindari pukulan itu, seraya tangannya pun bergerak cepat menghantam wajah orang tersebut.
"Aaaaoooow !" Orang itu memekik.
Lanangseta tidak memberi kesempatan, ia segera menendang pundak orang itu dengan tendangan lompat.
"Hiaihh..!"
Orang itu menangkis dengan mengibaskan tangannya ke samping. Tendangan Lanang memang berhasil ditangkisnya, tetapi ia sendiri terpental karena tendangan itu cukup kuat. Tangannya segera dikibas-kibaskan karena tulang lengannya terasa semutan dan ngilu.
Sekelebat ia mengeluarkan senjata berupa pisau dari pinggangnya. Lanangseta menendang tangan yang hendak mencabut pisau, sehingga tangan tersebut tak jadi mengibaskan pisau itu. Sebaliknya, justru pisau itu tersodok ke samping dan melukai lambung kirinya. Orang itu mengaduh. Ia terguling sesaat, dan segera mengambil batu, lalu dengan keadaan terduduk di tanah, ia melemparkan batu itu kuat-kuat seraya berseru, "Kena kamu...!" Tetapi nyatanya justru lemparan batu itu disambut oleh pukulan Lanang, dan batu sebesar genggaman tangan itu hancur oleh pukulan Lanangseta.
Orang itu masih penasaran, ia meraih dua batu dan melemparkannya lagi ke arah Lanangseta secara bersamaan.
"Wes... wes...!" Batu melayang dua jurusan, satu ke wajah, satu ke dada Lanang.
Mata Lanangseta cukup awas untuk melihat melesatnya dua batu yang dilemparkan bersamaan itu. Maka ia pun segera melompat dengan badan miring ke kiri. Lompatan itu bersifat maju, sehingga ketika Lanang mendaratkan kakinya ke tanah, ia sudah berada di depan orang berpakaian serba biru itu. Kemudian kaki Lanangseta menghentak ke depan. Tangan orang itu menyilang, dan berhasil menangkis tendangan Lanangseta. Namun, sekali lagi ia menyeringai dan mengibasngibaskan tangannya sambil terpelanting ke belakang. Tendangan Lanang terasa sakit sekali di lengan.
"Hiiiaaat...!"
Pukulan Lanangseta sengaja dilancarkan secara bertubi-tubi bagai sedang berlatih silat asal-asalan. Orang itu gelagepan. Ia menggerakkan tangannya secara ngawur, menepis dan mengibas ke sana sini, sampaisampai ketika Lanang berhenti memukul, orang itu masih menepis dan mengibaskan tangannya menghindari pukulan yang tak ada. Lanang sempat tersenyum geli melihatnya. Dan, orang itu segera menggeram kesal, karena ia merasa terkecoh. Ia segera melompat untuk melancarkan tendangan dengan dua kaki maju ke depan. Lanangseta berdiri sigap, seakan membiarkan dirinya akan ditendang pada bagian kepalanya. Namun, ketika kedua kaki yang meluncur ke wajah Lanang itu sudah dekat, tibatiba Lanangseta merendahkan badan sampai jongkok. Kedua tangan Lanang menempel ke tanah, dan kaki kanannya segera menghentak ke atas, tepat mengenai pinggang belakang orang itu.
"Huaaadoowww...!" teriak orang itu. Ditambah lagi jatuhnya tepat pinggang lebih dulu dan terganjal oleh batu. Tak ayal lagi orang tersebut memekik kesakitan, sambil berusaha bangkit. Ia meringis ketika masih nekad menyerang Lanangseta dengan tendangan kaki kirinya. Lanang hanya menangkis sekelebat, kemudian sebuah pukulan tangan kanan maju menghantam dada orang itu, hingga yang dipukul terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah sedikit. Ia pun rubuh dengan nafas cengap-cengap.
Lanangseta menjadi iba setelah menyadari, bahwa musuhnya kali ini adalah anak muda yang usianya diperkirakan masih belasan tahun. Anak muda itu segera dipapah ke teras rumah, tepat ketika Kirana muncul ingin menengoknya.
"Ada apa, Lanang?".....
"Orang ini bikin perkara," Lanang menggerutu.
"Cari penyakit saja, dia...!"
"Masih muda tampaknya."
"Ya, masih muda. Tapi dia punya keberanian yang bodoh."
"Kau terluka, Lanang?"
"Aku belum sempat disentuhnya."
Lanang menghempaskan nafas, antara kesal dan kasihan kepada anak muda yang mengalami kesesakan nafas.
Anak muda itu mulai bisa bernafas dengan lega setelah mendapat beberapa pertolongan dari Lanang dan istrinya. Ia dibawa masuk ke dalam, dan digeletakkan di dekat bangku panjang. Namun, anak itu segera berusaha bangun, kemudian naik ke bangku panjang, dan merebahkan badan di sana.
"Uuuuuh... sakit..." rintih anak muda itu seraya mengusap-usap dada yang telah diberi minyak ramuan khusus buatan Kirana. Ia meringis-ringis menahan sakit. Kirana memberikan minuman air hangat yang tadi sebelum tidur sempat dimasaknya untuk minuman mereka berdua. Air itu sekarang masih sedikit hangat, tidak terlalu dingin seperti udara malam itu.
"Siapa yang menyuruhmu menyerangku?" tanya Lanang ketika anak muda itu bangun.
"Saya... tidak menyerang Malahan saya diserang."
"Karena kau mengendap-endap dan mencurigakan," kata Lanang sambil berdiri di depannya.
"Tugasku hanya mengendap-endap dan mencoba ilmu silatmu itu. Kau yang bernama Lanangseta, bukan?"
"Benar. Kenapa kau menjajal ilmuku?"
"Syarat. !"
"Syarat apa?!"
"Syarat untuk menjadi seorang murid."
Lanang menatap istrinya yang ikut memperhatikan anak muda itu. Lampu minyak yang menggantung di tengah ruangan menerangi wajah anak muda itu yang sesekali meringis sakit.
"Jadi kau ke mari ada yang menyuruhmu?"
"Ada Ada sekali," jawabnya pelan.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Seorang pendekar, calon guruku."
"Siapa dia?" desak Lanang.
"Pendekar Agung."
"Pendekar Agung siapa?" hardik Lanangseta.
"Namanya. " Anak muda itu diam sebentar, menundukkan wajah, ia duduk sambil mengusap-usap dada.
"Hei, kenapa malah bengong saja dari tadi, hah?"
"Aku sedang mengingat-ingat nama calon guruku."
"Lho, sama calon gurunya sendiri tidak tahu, bagaimana kamu bisa tahu ilmu-ilmunya?" Anak itu diam, merenung beberapa saat.
Kirana angkat bicara, "Di mana kau bertemu dengan gurumu itu?"
"Di sana "
"Di sana, mana?!" Lanang sedikit jengkel.
"Di dalam mimpi."
"Brengsek...!" geram Lanangseta, lalu ia berkata kepada istrinya, "Kita melayani orang gila ini!"
"Bukan. Guruku bukan orang gila!"
"Kau yang gila! Bukan gurumu!"
"Naah... aku ingat! Aku ingat namanya!" seru anak itu.
"Nama guruku.... Pendekar Agung Pendekar Agung Jaka Bego!"
"Jaka Bego...?!" Lanangseta dan Kirana sama-sama terpekik kaget, kemudian masing-masing tersenyum geli. Sudah sekian lama, hampir satu tahun lebih Lanang dan Kirana tidak berjumpa dengan Jaka Bego. Bahkan Paman Ludiro juga sudah tidak ikut dengannya. Namun, malam ini, tahu-tahu mereka mendengar lagi nama Jaka Bego disebut-sebut.
"Apa kata Jaka Bego kepadamu?"
"Waktu aku bermimpi bertemu dengannya," tutur anak itu.
"Aku melihat ia memainkan beberapa jurus maut, dan aku tertarik dengan ilmunya. Aku ingin menjadi muridnya, tapi dia menolak. Aku mendesak, akhirnya aku disuruh memenuhi syarat, yaitu mencoba ke- saktian orang yang bernama Lanangseta, yang letak rumahnya ada di puncak bukit Bulan. Kalau aku menang, aku akan dijadikan muridnya. Kalau aku kalah, aku harus mau menjadi murid Lanangseta. Itu perjanjiannya. Maka, aku ke mari, menjajal ilmu kesaktianmu "
"Mimpi yang konyol...!" kata Kirana sambil tersenyum geli memandang suaminya tertegun bengong.
"Siapa namamu?"
"Raden Klowor...!" jawab anak muda itu dengan tegas.
Kirana sempat mengikik. Geli. Mulutnya ditutup dengan tangan kanan. Lanang memandang istrinya dengan sedikit heran dan ingin ikut tertawa.
"Kenapa tertawa?" tanya Lanang pelan-pelan.
"Namanya lucu. Raden kok pakai Kolor segala. !"
"Huss! Bukan Raden Kolor, tapi.... Raden Klowor," bisik Lanangseta.
"Sudah, jangan tertawa, ah. Nanti dia ngelunjak."
Wajah Raden Klowor seperti orang tidak berdosa, tidak merasa ditertawakan, tidak merasa dibicarakan, yang ia rasa agaknya rasa kaku di tangan dan senutsenut di dada.
"Raden Klowor. !" sapa Lanang.
"Malam ini, kau kusuruh tidur di sini dan temui Jaka Bego di alam mimpi. Katakan kepadanya, bahwa aku tidak sanggup menjadi gurumu, dan tidak punya minat menjadikan kamu muridku. Aku belum ingin punya murid. Nah, katakan kepadanya dalam mimpimu nanti."
"Lho, apa aku meminta ingin jadi muridmu? Aku hanya ingin menjadi murid Jaka Bego Pendekar Agung itu."
Lanangseta menghempaskan nafas, sedikit keki kepada Raden Klowor.
"Kau tadi bilang apa tentang syarat tersebut?"
"Aku hanya diwajibkan memenuhi syarat seperti tadi; yaitu menjajal ilmu Lanangseta. Kalau aku menang, aku akan dijadikan murid Jaka Bego Pendekar Agung, tetapi andaikata aku kalah melawan Lanangseta, aku harus mau menjadi murid Lanangseta."
"Nah, katakan kepada Pendekar Agung yang bego itu, Lanangseta tidak mau mengangkat murid."
"Siapa yang minta diangkat menjadi muridmu?" tanya Raden Klowor dengan bingung. Lanang sendiri jadi bingung.
"Bukankah Jaka Bego menyuruhmu menjadi muridku?"
"Itu kalau aku kalah dengan kesaktianmu."
"Iya, kan. Apakah kau belum merasa kalah denganku?"
"Belum!"
"Busyeet...!" Lanangseta memandang istrinya yang tersenyum geli. Lalu, tiba-tiba kaki Lanangseta yang kanan bergerak cepat ke depan, menendang dagu Raden Klowor. Tentu saja yang ditendang menjerit kesakitan dan terpental ke belakang.
"Aaaah.... Kenapa kau menendangku...?"
"Untuk membuktikan bahwa kau kalah denganku!" kata Lanangseta, tak mau menolong Raden Klowor yang mengulurkan tangan minta dibantu berdiri.
Raden Klowor bersusah payah sendiri untuk bangun, dan duduk di bangku panjang yang mirip sebuah dipan itu. Ia mengusap-usap dagunya yang terasa mau pecah. Erangan kesakitan masih terasa tak enak didengar Kirana.
"Apakah kau belum merasa kalah denganku?" tanya Lanang.
"Belum "
"Gila! Hiaaattt !"
"Plok!" Raden Klowor menjerit mau menangis ketika pipinya dipukul dengan hentakan telapak tangan Lanangseta. Keras dan kuat. Hal itu membuat Raden Klowor menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya, takut dipukul lagi. Ia sempat merogoh mulutnya, dan membuang satu biji gigi gerahamnya yang copot karena pukulan Lanangseta.
"Masih belum merasa kalah?" tanya Lanangseta yang siap memukul Raden Klowor lagi.
Satu tangan Raden Klowor diangkat tanda menyerah. Ia meludah ke dekat pintu. Kirana ingin marah, namun ditahan Lanangseta. Raden Klowor berkata:
"Ampun.... aku mengaku kalah "
"Nah, jadi.... sekarang tidurlah lagi, lalu temui Pendekar Bego itu, katakan kalau aku tidak bersedia menerimamu sebagai muridku. Jelas?"
"Mudah-mudahan jelas. " jawab Raden Klowor, yang kemudian segera ditinggalkan oleh Kirana dan Lanangseta.
Di kamar, Kirana geleng-geleng kepala mengingat Raden Klowor yang aneh dan menjengkelkan juga itu. Kirana sempat berkata, "Aku sangsi, jangan-jangan dia memang anak gila!"
"Kalau dilihat dari pengakuannya tentang Jaka Bego, aku percaya, dia memang bermimpi bertemu Jaka Bego."
"Kenapa, kau percaya?"
"Ingat, Jaka Bego itu Dewa Seribu Mimpi. Dia yang mengatur lajunya mimpi, jatah mimpi orang-orang ada di tangannya. Termasuk mimpiku tentang kamu, dan mimpimu tentang aku."
"Ah, dasar Dewa Bego...! Mimpi saja diatur segala !"
Lanangseta hanya tersenyum tipis ketika naik ke ranjang dan menyambut rebahan istrinya yang bersungut-sungut. Esok pagi, sudah langganan bahwa matahari pasti muncul dari langit Timur. Lanangseta tidak heran. Embun yang membasah di dedaunan, juga tidak membuat Lanangseta heran. Tetapi, ia menjadi heran ketika melihat Raden Klowor sudah tidak ada di tempat. Anak muda bertubuh kurus dan berpakaian serba biru itu hilang. Entah ke mana?
"Anak gila itu hilang!" kata Lanang kepada istrinya. Kirana menyahut.
"O, ya...? Aku tidak menghilangkannya lho."
"Aaaah..!" Lanang mendesah, karena belakangan ini Kirana memang suka bercanda. Mungkinkah itu karena pembawaan bayinya dalam kandungan?
Lanang memeriksa barang-barang yang ada di kamar tamu dan di kamar-kamar lainnya. O, masih utuh. Berarti tidak ada yang dibawa kabur oleh anak gila itu, pikirnya.
Lanangseta keluar, untuk melihat apakah Raden Klowor sudah jauh dari rumahnya, atau sudah hilang dari pandangan mata. Ah, tak tampak apa-apa dari puncak bukit tempatnya tinggal itu. Tak ada langkah orang yang menuruni lereng atau berjalan menyusup ke hutan menuju pedesaan.
"Berarti sudah sejak tadi ia pergi. Mungkin malam itu juga ketika aku masuk ke kamar," kata Lanangseta sendirian.
Ketika ia hendak membalik masuk ke rumah, ia jadi punya kecurigaan. Ada sekelebat kain biru di belakang rumah. Sepertinya kain yang dipakai sebagai baju Raden Klowor. Bergegaslah Lanang ke belakang rumah. Ia menemukan baju lengan panjang tergantung di salah satu ranting pohon bunga di belakang rumah. Sementara itu, pemiliknya sedang melompat-lompat dengan gerakan lincah.
"Gila...! Ia berlatih silat sendirian...?" gumam Lanangseta sambil memandang Raden Klowor.
Raden Klowor agaknya tahu kalau Lanangseta memperhatikannya. Tetapi, ia bagai tidak perduli. Ia tetap berlatih jurus-jurus silat dengan lincah. Dan, beberapa saat kemudian Lanangseta mulai membelalakkan mata, terbengong-bengong melihat gerakan silat yang dipakai Raden Klowor.
"Anak gila....!" geramnya.
"Dari mana dia bisa mempelajari jurus Lindung Bumiku...?"
Berdebar jantung Lanangseta melihat gerakan jurus Lindung Buminya digunakan Raden Klowor. Anak itu menghentakkan kaki, melesat ke atas, dan amblas ke tanah sebentar, lalu muncul lagi dengan menyembur dari dalam tanah. Padahal, hanya Lananglah yang mampu melakukan jurus Lindung Bumi, sebab ia bergelar pula Pendekar Pusar Bumi.
Lanang buru-buru menghampiri Raden Klowor. Kemudian ia menjambak rambut anak muda itu dengan marah dan bertanya kasar:
"Siapa yang mengajarkan jurus Lindung Bumi, hah! Siapa? Kalau tidak mau mengaku, kupatahkan lehermu!"
Raden Klowor meringis kesakitan, tangannya mengejang-ngejang dengan mata terpejam kuat-kuat.
"Aku hanya berlatih jurus itu " katanya.
"Iya, tapi siapa yang mengajarimu begitu? Siapa yang memberikan jurus Lindung Bumi itu, hah?"
"Kau sendiri! Kau yang mengajarku jurus itu, dan berpesan agar pagi ini aku harus berlatih jurus itu!"
Lanang segera melepaskan jambakannya. Kepala Raden Klowor dihentakkan seenaknya. Kesal sekali hatinya, namun bingung sekali pikirannya. Ia duduk di batu yang biasa dipakai memandang laut pada sore hari.
"Kenapa kau marah padaku, seperti ini?" Raden Klowor bagai mengajukan protes kepada Lanang.
"Aku tidak pernah mengajarimu jurus apa-apa!" kata Lanang dengan kesal.
"Tapi, kenapa kau bisa menggunakan jurus itu?! Kau benar-benar memuakkan aku!"
"Kau yang menjengkelkan dan membingungkan aku, Guru!"
Mata Lanang membelalak.
"Guru...?! Sejak kapan aku mengangkat kau menjadi muridku?"
"Semalam...!" jawab Raden Klowor sambil duduk di tanah bersila, menghadap Lanangseta.
"Kau benar-benar gila!" geram Lanangseta.
"Semalam aku menyuruhmu tidur, dan kalau bertemu Jaka Bego, kau kusuruh bilang, bahwa aku tidak mau menerima murid siapa-siapa."
"Iya. Tapi di alam mimpiku aku melihat Pendekar Agung Jaka Bego berembuk denganmu, dan akhirnya kau mau menerimaku sebagai murid. Lalu, sebagai modal dasar, kau mengajarku jurus Lindung Bumi, kan? Dan kau menyuruhku, jika aku bangun pada pagi hari, aku harus mencobanya dalam satu latihan di belakang rumah. Kau sendiri yang bilang begitu, masa sekarang aku yang disalahkan?"
Kebengongan Lanangseta tiada habisnya. Kapan ia bilang begitu? Di alam mimpi? Benarkah? Kapan ia masuk ke alam impian Raden Klowor? Kenapa bisa jadi begitu aneh?
* * * * *
--≡¦ { 2 } ¦≡--
Namun kali ini, sore mulai merayap, kebisuan Lanangseta bagai menyekap. Bukan laut biru yang indah itu yang dipandanginya. Bukan warna saga di langit yang sedang dinikmatinya, melainkan kekalutan otaknya yang sedang memaksa ia diam, duduk sendirian di belakang rumah.
Sebagai istri yang setia dan amat mencintai Lanangseta, Kirana selalu gelisah jika suaminya diam termenung begitu. Namun, kali ini ia tak perlu bertanya apa sebabnya, karena Kirana sudah tahu apa yang direnungkan suaminya.
"Barangkali ini adalah sebagian riwayat kehidupan yang tak dapat dihindari," tutur Kirana dengan lembut. Ia mengusap punggung suaminya yang masih membisu.
"Kalau semua ini sudah menjadi ketentuan hidup, kurasa tak ada yang harus kita pikirkan dan kita jengkelkan, Lanang."
"Ilmuku dicolong!"
"Dan kau sudah berusaha untuk menyimpannya, bukan? Kalau suatu saat kau menyimpan pakaian, tahu-tahu pakaian itu rusak dimakan ngengat, apakah kau akan marah kepada ngengat? Tentunya kau harus segera sadar, bahwa pakaian itu memang tidak boleh kau pakai lagi. Memang sudah semestinya kau ganti pakaian dengan yang baru. Kan, begitu?!"
"Harga sebuah ilmu tidak bisa disamakan dengan pakaian, Yang. Ilmu itu sukar didapat, mahal dibeli. Beda dengan pakaian; mudah didapat, gampang dibeli."
"Lalu, kalau sudah begini mau apalagi? Mau merebut ilmu Lindung Bumi? Biar tidak dipakai oleh Raden Klowor? Mana bisa...?"
"Tidak soal itu, tapi soal bagaimana sebenarnya ia bisa mempelajari ilmu Lindung Bumi, yang kuperoleh dengan berlatih berbulan-bulan dan sengsara! Eh, dia mendapatkannya seperti melahap pete rebus saja! Brengsek!"
"Bagaimana kalau aku bicara soal kodrat?"
Lanangseta melirik istrinya yang masih bergelayut di pundak kirinya. Kirana menempelkan dagu di ujung pundak. Matanya yang indah dan tajam meneduhkan itu, memandangi Lanang dengan berkedip-kedip sesekali. Suaranya sedikit serak, basah dan enak.... sekali didengar. Dari dulu memang Lanangseta sangat mengagumi segala apa yang ada pada Kirana, bahkan sampai mau mempunyai seorang bayi pun ia masih sangat mengagumi istrinya.
"Kodrat apa, maksudmu?"
"Yaaah... kodrat tentang ilmu itu, tentang kehadiran Raden Klowor, tentang mimpinya, tentang tentang apa saja, yang semua itu harus kita sadari, bahwa memang demikian keadaan seharusnya terjadi.. Mau ditutup dan disembunyikan secara apa saja, ilmumu memang harus mengalir kepada Raden Klowor. Sekali pun kau tidak menyukainya, namun garis kepastian hidup dan sejarah yang berlaku mengatakan, bahwa Raden Klowor harus menjadi muridmu, dan siap mewarisi ilmumu."
"Kodrat yang gila itu!" gerutu Lanang.
"Ilmuku hanya akan kuwariskan kepada anakku nanti. Dia memang layak menerima, karena dia adalah pewarisku." Lanang sempat mengusap perut istrinya pelan-pelan. Itulah yang agaknya berhasil meredakan kedongkolan hati Lanangseta.
"Manusia itu kan berhak saja punya cita-cita dan usaha, tapi manusia tidak berhak menjadikan suatu kenyataan dari cita-citanya. Yang berhak menjadikan segala kenyataan adalah Yang Maha Kuasa. Bukankah begitu, Lanang?"
"Hmmm...." Lanang hanya menggumam, tampak kesal sekali menghadapi masalah itu. Dalam hatinya masih bertanya-tanya: apakah mungkin ilmunya harus diturunkan kepada Raden Klowor yang belum diketahui asal usulnya? Apakah sudah waktunya ia menjadi guru dan mempunyai murid?
"Guru, bolehkah aku turun bukit untuk menemui seseorang?" kata Raden Klowor di suatu pagi.
"Turunlah, dan jangan kembali lagi," kata Lanangseta.
"Terimakasih atas izinnya, Guru."
Entah apa yang membuat Kirana tersenyum geli melihat suaminya menggerutu tak jelas setelah Raden Klowor pergi.
Seperti halnya pada dua malam yang lalu, tiba-tiba Lanangseta terbangun bagai dalam sentakan yang menegangkan. Suara jeritan malam yang mendirikan bulu kuduk kembali terdengar. Kirana pun tersentak bangun dengan mata membelalak tegang.
"Jeritan apa itu sebenarnya?" bisik Kirana.
"Manusia...! Sepertinya ada suatu penyiksaan yang dilakukan pada tengah malam begini."
Lanangseta turun dari ranjang, keluar ke halaman depan. Ia melihat keadaan di rumahnya aman. Ia mencoba berkeliling rumah mengadakan pemeriksaan.
Di samping rumah, agak ke belakang, Lanang sedikit kaget melihat Raden Klowor telah berdiri dengan memandang ke arah pedesaan dengan melipat kedua tangannya di dada.
"Klowor...!" sapa Lanangseta dengan sikap tak ramah.
"Oh, Guru.... Apakah suara jeritan tadi mengganggumu?"
"Ya. Kau mendengarnya juga?"
"Tepat ketika aku mencapai puncak bukit ini, aku mendengar suara jeritan perempuan."
"Apa yang kau dengar ketika kau berada di bawah seharian ini?" tanya Lanang dengan tanpa memandang Raden Klowor.
"Penduduk dari berbagai desa bicara semua, Guru." Sebenarnya Lanang ingin menampar mulut Raden
Klowor untuk menghilangkan sebutan "guru" kepadanya, namun untuk kali ini ia rasa belum waktunya menampar. Ia masih butuh keterangan tentang jeritan misterius yang muncul di tengah malam begini.
"Apa yang dibicarakan penduduk?" Lanang bertanya datar.
"Orang-orang utusan."
Lanang berpaling curiga.
"Orang-orang utusan? Utusan dari mana?"
"Lembah Kubur!"
Semakin berkerut Lanang, semakin nanap memandang Raden Klowor.
"Lembah Kubur...?" Ia menggumam sendiri.
"Sudah banyak korbannya, Guru."
"Apa yang terjadi dengan orang-orang Utusan Lembah Kubur itu, Klowor?"
"Mereka mencari orang hamil!"
Lanang membelalakkan mata, hatinya berdebardebar mendengar jawaban Raden Klowor yang terlontar dengan seenaknya.
"Mencari orang hamil, bagaimana?"
"Mereka membedah perut orang hamil dan mengambil bayinya, lalu dibawa kabur."
Mata Lanang kini menyipit ngeri. Ia sebenarnya mulai tegang, karena ia merasa punya istri sedang hamil. Saat Lanang terbungkam, Raden Klowor sempat berkata.
"Untung bukan aku yang mereka cari. Sebab... aku tidak bisa hamil. Benar begitu, kan Guru?"
Kata-kata tersebut tidak perlu dikupas atau dijawab menurut Lanangseta. Yang perlu dipikirkan adalah, benar dan tidaknya keterangan dari Raden Klowor itu. Orang-orang Utusan Lembah Kubur membedah perut perempuan hamil, mengambil bayinya dan membawa kabur. Hemmm lantas untuk apa mereka melakukan
itu? Siapa dan seperti apa Utusan Lembah Kubur itu? Agaknya Lanang perlu mengalihkan perhatiannya kepada kasus seperti itu.
"Seperti apa Utusan dari Lembah Kubur itu?"
"Katanya, menurut cerita orang-orang yang memergoki, mereka adalah manusia biasa. Mereka suka menyamar sebagai dukun bayi, sebagai tukang pijat, sebagai tamu biasa, malah ada yang menyamar sebagai orang sakit dan pengemis. Anak Bayan Putung yang baru satu tahun menikah, juga menjadi korban. Bayinya diambil, perempuan itu dibiarkan mati dengan perut diaduk-aduk. Habis itu tidak dibereskan lagi. Ilmu-ilmu mereka cukup tinggi, sehingga tak ada yang bisa menangkap atau pun menandinginya. Mereka kejamkejam, tidak mengenal belas kasihan sedikit pun."
"Gila. !" Lanangseta sempat bergidik membayangkan perut seorang perempuan diaduk-aduk dengan keji.
Raden Klowor bersikap tenang, namun masih mempunyai wajah bloon, sering melongo dengan mulut terbengong. Bibirnya sedikit tebal dan kalau bicara seperti orang bersungut-sungut.
"Besok malam aku ingin memergoki mereka, Guru."
"Itu lebih baik. Dan kau akan mati secepatnya."
"Guru senang kalau aku mati?"
"Senang," jawab Lanangseta seenaknya, kemudian pergi meninggalkan Raden Klowor.
"Ada yang perlu kulakukan mulai besok!" kata Lanang kepada Kirana.
"Apa itu? Kau mau pergi?"
"Ya. Mencari keterangan tentang Utusan Lembah Kubur."
"Utusan Lembah Kubur...?!" Kirana heran. Ketika Lanang menceritakan, Kirana hanya menggumam dan manggut-manggut. Tapi ia tidak mempunyai kecemasan sedikit pun. Barangkali karena Kirana merasa mempunyai cukup ilmu dan kesaktian, sehingga ia tidak perlu cemas atau khawatir tentang keganasan Utusan Lembah Kubur itu.
"Mungkin sebaiknya aku menggunakan tenaga Raden Klowor untuk menjagaimu selama aku pergi."
"Tanpa dia juga tak apa," kata Kirana dengan mantap.
"Kau harus punya teman selama aku pergi, supaya kalau ada apa-apa bisa ada yang membantunya."
Kirana hanya angkat bahu, ia tahu, itulah perhatian dan rasa kasih Lanang terhadapnya.
Esok pagi, Lanang bersiap untuk pergi. Pedang Wisa Kobra yang dijuluki sebagai Pedang Malaikat itu disandangnya di punggung. Sejenak, ia memperhatikan keadaan sekeliling. Oh, ia lupa belum bicara dengan Raden Klowor tentang tugasnya. Tetapi, ke mana anak itu? Apakah dia masih berada di luar rumah, sebab semalam Lanangseta tidak menyuruhnya masuk.
Sekali lagi Lanangseta menggeram jengkel melihat Raden Klowor berlatih jurus-jurus silat di belakang rumah. Lanang dongkol sekali, karena yang dilatih itu adalah jurus Badai Menghembus miliknya.
"Lagi-lagi kau mempelajari jurus milikku, Klowor! Sial! Dari mana kau peroleh jurus itu, hah?" geram Lanangseta sambil memelintir tangan Klowor.
"Dari... uuuh.... sakit tanganku, Guru..."
"Dari mana kau peroleh jurus itu? Jawab!"
"Dari... dari mimpiku semalam. Bukankah Guru sendiri yang mengajarkannya lewat mimpi?"
"Omong kosong!" Tamparan melayang di wajah Raden Klowor dengan keras. Anak muda itu terpelanting jatuh dalam keadaan perut membentur tanah duluan.
"Kuhajar sampai mati kalau kau tidak mau berterus terang, Klowor...!"
"Sungguh. Sumpah...!" Raden Klowor ketakutan.
"Saya semalam tidur di teras, dan bermimpi mendapat pelajaran jurus Badai Menghembus dari Guru. Itu pun karena Guru telah berbincang-bincang lebih dulu dengan Pendekar Agung Jaka Bego. Kemudian, Guru wantiwanti agar saya mempelajarinya dengan tekun dan harus cepat berhasil. Sumpah, jurus itu Guru berikan lewat mimpiku. Sumpah, berani disambar gadis cantik kalau saya bohong!"
"Brengsek! Lain kali kau tidak boleh tidur!" bentak Lanangseta karena jengkelnya.
"Kau jaga istriku, aku akan turun mencari tahu kepastian tentang orangorang Utusan Lembah Kubur itu. Jaga istriku, dan jangan tidur!" Kemudian kata-katanya dilanjutkan dalam bentuk gerutuan:
"Kalau kau sering tidur... lama-lama jurusku kau serap habis. Enak saja, belajar kok dengan tidur mendengkur...!"
Lanangseta turun bukit. Raden Klowor masih tampak sedih ditampar dengan keras. Pipinya memerah. Panas. Namun, agaknya ia punya satu kegembiraan tersendiri sejak kepergian Lanangseta.
"Klowor..." sapa Kirana.
"O, ya....! Ada apa, Bibi...?"
"Jangan panggil aku 'Bibi'. Aku tidak suka."
"Tapi aku suka, Bi. Biarlah. Asal jangan kupanggil 'nenek' kan itu lebih tua dari Bibi." Raden Klowor pringas-pringis. Matanya yang berkedip-kedip itu sepertinya mempunyai arti tersendiri. Cacingan!
"Apa benar kau mendengar sendiri tentang keganasan para Utusan Lembah Kubur itu?" Kirana agaknya tertarik untuk mengetahui secara detil.
"Benar, Bi. Saya mendengar dari anak menantunya Bayan Putung. Mereka, para Utusan Lembah Kubur itu, membedah perut orang hamil dengan kuku tangan mereka. Iiih... mengerikan sekali, Bi. Untung saya tidak ikut membedahnya, Bi."
"Apa kau orang Utusan Lembah Kubur?"
"Ah, Bibi...!" Raden Klowor cemberut dan bersungutsungut. Kirana memperhatikan dengan tatapan mata penuh pemikiran macam-macam.
"Wor, kau tahu... untuk apa mereka mencuri bayi dalam kandungan? Ke mana mereka membawa bayi itu?"
"Yang jelas, sudah tentu dibawa ke Lembah Kubur, Bi. Sebab, memang dari sanalah asal mereka. Tentang... bayi itu untuk apa, atau mau diapakan... saya tidak tahu, Bi."
"Kenapa kau tidak tahu?"
"Karena saya belum menyelidiki, Bi."
"Apa kau mau menyelidiki ke sana?"
"Ya. Tapi, nanti kalau sudah dibekali ilmu yang cukup dari Guru."
"Siapa sebenarnya Gurumu itu, Klowor?"
"Sudah jelas, Lanangseta; Pendekar Pusar Bumi yang mendapat gelar dari si Tongkat Besi sebagai Malaikat Pedang Sakti "
Kirana berkerut dahi.
"Dari mana kau tahu hal itu? Kau dapat menyebutkan dengan jelas tentang gelar Malaikat Pedang Sakti dan Guru suamiku; si Tongkat Besi. Dari mana pengetahuan itu kau peroleh, hah?" Sambil mulutnya mucu-mucu, Raden Klowor menjelaskan:
"Ya, dari mimpi, Bi. Semua pengetahuan dan ilmu saya peroleh dari mimpi."
"Kau bicara sungguh-sungguh?"
"Ya ampuuuuuun, Bi... kalau saya bohong, saya sanggup dihukum mandi tujuh sumur, Bi."
"Hukuman itu ringan bagi seorang pembohong."
"Pokoknya, saya tidak berani berbohong kepada Bibi maupun kepada Guru. Takut dikutuk!"
"Kau pikir aku suka mengutuk?"
"Lho, Bibi sendiri bilang; kalau Bibi mau mengutuk orang, dapat dilakukan dengan mudah."
"Kapan!? Kapan aku bilang begitu? Ah, ngaco saja kamu!"
"Waktu saya bermimpi tempo hari, kan Bibi bilang begitu lewat mimpi saya, Bi. Masa' Bibi lupa?"
Tak ada yang bisa dikatakan oleh Kirana sementara itu, kecuali ia hanya terbengong dengan dahi berkerut. Raden Klowor segera mohon pamit dari hadapan Kirana.
"Saya mau membelah-belah kayu bakar dulu, ya Bi.... O, ya, hari ini, Bibi jangan repot-repot memasak, biar saya saja yang memasak. Bibi belum pernah merasakan masakan saya, kan? Ooooh pasti Bibi akan ketagihan. Percaya sajalah !"
Masih saja Kirana terbengong memperhatikan kepergian Raden Klowor. Dalam benaknya ia masih bingung; apakah mungkin segala sesuatunya diketahui Raden Klowor lewat impiannya. Memang, setiap manusia bisa saja bermimpi, namun tidak senyata itu. Ah, Kirana jadi penasaran; ingin mengetahui apa dan siapa Raden Klowor itu. Mengapa ia bisa mempunyai impian yang nyata?
Sementara itu, Lanangseta yang sudah memasuki suatu pedesaan yang terdekat dengan bukit Bulan, hanya bisa berpikir, bahwa Raden Klowor itu memang gila, dan tak perlu dilayani dengan sungguh-sungguh. Ia akan membuktikan bahwa Raden Klowor anak gila melalui berita tentang Utusan Lembah Kubur. Benar atau tidak keterangan Raden Klowor itu? Untuk membuktikan pertama kali, Lanang harus bertemu dengan orang yang sempat disebutkan oleh Raden Klowor, yaitu Bayan Putung.
"Bayan Putung ada di sebelah sana rumahnya, Tuan." jawab salah seorang penduduk yang ditanyai Lanangseta. Kemudian Lanangseta menuju rumah Bayan Putung.
"Ki Sanak datang dari mana?" tanya Bayan Putung yang bertubuh gemuk, pendek.
"Saya dari bukit Bulan, Ki Bayan."
"O, apakah... yang bernama Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi dengan gelar Malaikat Pedang Sakti?" Bayan Putung kelihatan bersemangat dan girang.
"Benar. Agaknya Ki Bayan sudah mengenal nama saya."
"O, tentu. Setiap penduduk mengenal nama Tuan Pendekar, tapi saya jamin, mereka juga belum tahu; seperti apa wajah Malaikat Pedang Sakti itu. Wah, senang sekali saya kedatangan tamu istimewa hari ini. Ehh, tunggu sebentar, biar saya perintahkan pelayan saya untuk memotong ayam sebagai hidangan nanti siang."
"Ki Bayan, rasa-rasanya tak perlu serepot itu Ki Bayan menyambut saya. Dengan keramahan dan kerelaan Ki Bayan menerima kedatangan saya, itu sudah merupakan kegembiraan bagi saya."
"O, ya. Itu pasti. Tapi, sebagai tamu istimewa, Tuan juga perlu diperlakukan dengan istimewa, dan pelayanan yang istimewa juga."
"Ki Bayan.... Tetaplah duduk di tempat, karena saya datang hanya sebentar. Hanya ingin bertanya tentang orang-orang yang menyebut dirinya Utusan Lembah Kubur."
Mata Bayan Putung ternyata terbelalak seketika, mulutnya pun jadi melompong bengong. Ada rona ketakutan yang segera membungkus wajah cerianya yang memang berbentuk bulat seperti kue serabi itu.
"Utusan Lembah Kubur...?" Bayan Putung sepertinya takut menyebutkannya.
"Sebelumnya saya ingin bertanya tentang seseorang." kata Lanang. Bayan Putung siap mendengarkan dengan alis mata berkernyit.
"Apakah Ki Bayan mengenal anak muda yang bernama Raden Klowor...?!"
"Raden Klowor...?!" Bayan Putung berpikir, dahinya makin berkerut. Lalu, jawabnya dengan pasti:
"Tidak. Saya tidak kenal orang itu. Mendengarnya saja baru sekarang. Apakah dia seorang kesatria? Putra ningrat dari keraton mana?"
Sekarang malah Lanangseta yang kebingungan. Ia tidak tahu dari mana asalnya Raden Klowor. Tetapi, karena waktu itu Lanang merasa tidak mau tahu tentang Raden Klowor, maka hal itu tidak diselidikinya. Dan, sekarang, ia kebingungan mengatakan; dari mana Raden Klowor berasal.
"Tapi, benar ? Benar, Ki Bayan tidak mengenal Raden Klowor?"
"Benar. Saya tidak mengenalnya.",
Lanangseta menghempaskan nafas penuh arti. Ia merasa telah ditipu oleh orang yang bernama Raden Klowor. Seorang pelayan waktu itu menghidangkan secangkir teh, dan Lanang dipersilahkan meminumnya bersama Bayan Putung.
"Kalau mengenai Utusan Lembah Kubur itu, bagaimana?" Kini Lanangseta memancing keterangan dari arah lain. Bayan Putung berbicara dengan hati-hati, suaranya pelan: "Soal Utusan Lembah Kubur... sebenarnya tak berani saya katakan, Tuan Pendekar."
"Kenapa?"
"Saya takut menjadi korban lagi."
"O, jadi Ki Bayan pernah menjadi korban?" Lanang berlagak kaget, padahal ia sudah tahu dari keterangan Raden Klowor.
"Korban bagaimana maksudnya?" Lanang memancing.
"Anak saya... satu-satunya, yang baru seminggu yang lalu dimakamkan, masih membayang di pelupuk mata saya, Tuan Pendekar. Ia mati muda. Sedang hamil anak pertama. Dan itulah cucu saya yang ingin saya gendong...." Bayan Putung menampakkan kesedihannya.
"Tetapi, kebiadaban para Utusan Lembah Kubur, sungguh membuat saya ingin mati bertarung dengan mereka."
"Jelaskan, apa yang mereka lakukan, Ki."
"Mereka...." Bayan Putung menelan ludahnya sendiri untuk menguatkan jiwa.
"Mereka membedah perut anak perempuan saya, dan merogoh bayinya, kemudian segera pergi sambil membawa lari bayi yang masih berusia tujuh bulan itu "
"Tak ada yang mencoba menghalangi?"
"Ada. Jagabaya kampung ini menghalangi ketika di depan pintu pagar. Tapi, Tuan tahu apa yang terjadi?"
Lanangseta menggeleng.
"Jagabaya yang meronda malam itu, kehilangan separoh kepalanya dari atas ke bawah. Entah dengan alat atau senjata apa, kepala keamanan itu dibelah menjadi dua bagian seperti semangka. Yang satu bagian kiri, masih ada, yang bagian kanan hilang. Entah ke mana hilangnya."
Gawat! Kekejiannya di luar batas, pikir Lanang. Dan tiba-tiba benaknya bertanya-tanya, tapi mengapa Bayan tidak mengenal Raden Klowor. Wah, jangan-jangan justru Raden Klowor itu sendiri Utusan Lembah Kubur. Celaka! Kirana sedang hamil! Bisa-bisa Kiranalah kali ini sasarannya. Kirana dan bayinya? Gemetar Lanangseta, merah mukanya dan sesak nafasnya.
* * * * *
--≡¦ { 3 } ¦≡--
O, ternyata ada seorang lelaki yang diikat di pohon dan sedang dihajar habis-habisan oleh massa. Lelaki itu berteriak-teriak kesakitan, namun ia tak dapat berbuat banyak karena semua tubuhnya terikat menjadi satu dengan batang pohon. Wajahnya sudah tak jelas seperti apa, karena darah membanjiri di sekujur tubuh.
"Siapa orang itu, Kang? Kenapa dia dihajar sebegitu kejam?" tanya Lanangseta kepada salah seorang yang baru saja keluar dari kerumunan. Orang itu memegang sebuah ganco, alat dari besi yang melengkung seperti pancingan.
"Dia Utusan Lembah Kubur....! Sudah banyak korban yang dibantai dengan keji di desa kami. Maka, begitu dia kesiangan, ilmunya hilang, dan kami menangkapnya. Untuk dibunuh sekaligus, sayang. Jadi, dirajang saja ramai-ramai, biar semua orang menikmati dendamnya." Sekalipun kepala Lanangseta manggut-manggut, tapi ada sedikit kebimbangan dalam hatinya. Ia pun segera mendesak masuk di antara kerumunan orang dan berseru:
"Saudara-saudara, mohon hentikan sebentar! Hentikan sebentar amarah kalian semua!"
Sosok penampilan Lanangseta yang mengenakan rompi kulit macan dan menyandang pedang di punggung, membuat kesan wibawa di mata penduduk yang mengamuk itu. Mereka menghentikan amarahnya, dan semua mata tertuju pada Lanangseta.
"Apakah kalian yakin kalau orang ini adalah Utusan Lembah Kubur?"
"Ya. Yakin. Aku percaya kok...! Bunuh saja dia...! Habisi nyawanya sekarang juga...! Atau dicacah-cacah jadi 13 potong...! Enaknya ditumbuk saja...!" Mereka saling teriak, saling mengajukan usul dengan kemarahan yang berkobar-kobar.
"Tenang-tenang...! Tenang dulu!" kata Lanangseta.
Seorang lelaki bertubuh tinggi dan berkumis, namun sedikit ceking itu segera berseru:
"Apa kepentinganmu melarang kami?!"
"O, bukan. Aku bukan melarang. Aku hanya butuh keterangan, apakah dia benar-benar orang Utusan Lembah Kubur atau bukan." Lanangseta masih bisa berpenampilan tenang.
"Jelas!" jawab lelaki tinggi berkumis itu.
"Kami menemukan dia keluar dari rumah Kang Pulung. Dan, kami tahu istri Kang Pulung sedang hamil! Dia gagal mencuri bayi Kang Pulung yang masih dalam kandungan istrinya itu!"
"Siapa yang melihat perbuatannya?"
"Aku dan... dan beberapa orang lainnya!" jawab lelaki berkumis itu.
Ada seseorang yang berseru, "Apakah orang sekejam dia perlu dilindungi dan diselamatkan?!"
"O, tidak!" jawab Lanangseta.
"Orang Utusan Lembah Kubur harus dikubur hidup-hidup, atau disiksa dulu baru dibunuh. Kalau mereka tidak mengenal kasihan, maka kita juga tidak mengenal ampun kepada mereka!"
"Setujuuu !" jawab mereka serempak.
"Tapi, kita tidak boleh gegabah. Kita harus menentukan dengan benar dan pasti, apakah dia memang Utusan dari Lembah Kubur, atau hanya dugaan kita."
"Pasti! Pasti dia Utusan dari Lembah Kubur yang menyamar sebagai kenalan Kang Pulung," Lelaki berkumis itu tampak paling emosi.
"Dan, dia ternyata gagal merobek perut istri Kang Pulung. Maka, kita hajar saja sekarang juga! Habisi nyawanya!"
"Mana yang namanya Kang Pulung?" tanya Lanang.
"Kamu?" Lanang menunjuk lelaki berkumis itu.
"Bukan. Namaku, Sargono !"
"Lalu, yang namanya Kang Pulung mana?"
Yang lain ikut memanggil, "Pulung. ?! Mana Pulung?
Hoi, Kang Pulungnya mana nih...?! Pulung dipanggil !"
Suara mereka saling sahut bersahutan. Sementara itu, orang yang sudah berlumur darah itu ternyata sudah menghembuskan nafas terakhirnya dalam ikatan dan siksaan.
"Orang itu telah mati !" teriak salah seorang. Kemudian yang lain pun menggumam dalam gerutuan.
"Siapa yang membawa orang ini ke mari?"
"Sargono, Mas !" teriak seorang perempuan.
"Benar, kau yang membawanya, Sargono?!" tanya Lanang.
"Benar."
"Orang itu telah mati sekarang."
"Itu memang yang kami cari. Kau mau membela Utusan dari Lembah Kubur?!" Sargono menuduh.
Sikap Lanang masih tenang, tanpa menunjukkan emosi kemarahannya.
"Aku tidak membelanya. Aku hanya kasihan kepada orang itu, kalau ternyata orang itu bukan Utusan dari Lembah Kubur. Kasihan sekali nasibnya kalau dia adalah penduduk biasa, yang kebetulan keluar dari rumah Kang Pulung. Karena itu, kalau ada Kang Pulung, mungkin aku bisa mendapat keterangan lengkap darinya."
"Ah, kalau memang sudah mati ya sudahlah..." Sargono hendak pergi, tetapi ia tertahan banyak orang yang mengerumuninya, sehingga memberi kesempatan Lanang berbicara lagi:
"Aku ingin bicara denganmu, Sargono!" Mulanya Sargono ragu, tapi akhirnya menimpali juga: "Soal apa?"
"Soal orang-orang dari Lembah Kubur itu. Kau kelihatannya bisa membantuku untuk membasmi mereka."
"Kau ingin membasmi mereka?!"
"Ya. Aku harus segera bertindak. Sekarang juga!"
Kemudian orang-orang itu saling menggumam kagum, saling kasak-kusuk dan saling bisik-bisik dalam iramanya sendiri. Namun, suara itu akhirnya segera reda setelah Lanang berseru:
"Siapa yang tahu, di mana tempat yang disebut Lembah Kubur?!"
Gaung suara mereka semakin membingungkan. Tetapi, kembali tenang setelah Lanang berseru:
"Siapa yang mau ikut membasmi orang-orang Lembah Kubur...?! Siapa yang tahu tempatnya, mohon beritahukan kepadaku atau kepada Sargono!"
Karena tidak ada yang menjawab, maka Lanangseta pun berkata, "Siapa bisa memberitahu tempatnya, aku akan memberikan hadiah uang kepada kalian!"
Sargono menyeletuk, "Sebenarnya aku tahu! Tapi, aku takut mengatakannya."
"Kenapa takut, Sargono?"
"Aku tidak mau ke sana. Di sana orangnya kejamkejam. Kalau membunuh tidak pernah ada puasnya. Mayat sudah mati pun kalau perlu dicacah-cacah seperti orang yang kita ikat itu. Ah, aku tidak berani ikut kamu membasmi mereka."
"Kau akan kulindungi, Sargono. Jangan takut."
Mereka tak banyak tahu, siapa Lanangseta. Sargono hanya tahu, bahwa Lanang adalah orang yang berlagak menjadi pahlawan dan berlagak berani. Sargono mencibir halus. Ia berkata dengan sedikit keras.
"Kau sendiri belum tentu bisa melindungi dirimu dari amukan orang Lembah Kubur, bagaimana kau akan melindungi aku? Ah, tidak! Aku tidak mau ikut!"
"Ternyata kecil juga nyalimu ya? Kenapa kau di sini menggebu-gebu dan memberi semangat untuk membantai orang yang terikat ini?"
"Dia orang kejam!"
"Apakah orang di sana tidak lebih kejam?! Ayolah, bantu aku, Sargono! Kita butuh menenangkan penduduk desa di sekitar sini dengan cara membasmi Lembah Kubur!"
"Pokoknya aku tidak mau. Aku juga punya istri sedang hamil, aku tidak mau kalau istriku dijadikan sasaran juga!"
"Apa betul kau punya istri sedang hamil?"
"Betul. Dan, aku tak mau kalau bayiku dijadikan santapan pimpinan Lembah Kubur."
"Hei," teriak Lanangseta menunjukkan emosinya.
"Kau tahu persis tentang keadaan mereka. Apa yang lain ada yang punya pengetahuan sama dengan Sargono?!"
"Tidak. Aku tidak tahu kalau bayi itu akan disantap!"
"Nah, apakah bukan hal yang mustahil, bahwa Sargonolah orang Utusan dari Lembah Kubur yang menyamar menjadi penduduk di desa ini?!" Gemuruh suara mereka. Sargono tegang.
Pada saat itu, tepat Kang Pulung muncul dengan tergagap-gagap. Mereka mendesak kerumunan massa, dan berseru:
"Ada apa ini?! Ada apa...?!"
Salah seorang berkata, "Itu, tamu Kang Pulung sekarang sudah kami habisi nyawanya."
Kang Pulung berseru kaget, "Hahh...?! Kalian sudah gila, apa? Kenap... kenapa...?! Oooohh.... gila! Benarbenar ini perbuatan gila!" Kang Pulung kebingungan.
"Bukankah mereka mengetahui bahwa tamumu ini orang dari Lembah Kubur? Bukankah kau tahu sendiri bahwa orang yang telah mati ini adalah Utusan dari Lembah Kubur yang menyamar sebagai tamumu?"
"Setan! Kalian benar-benar telah dirasuki setan! Ini keponakan istriku! Keponakan istriku sendiri, yang datang ingin meminjam duit. Tetapi, karena terjadi sedikit kesalahpahaman, maka ia sempat cekcok dengan istriku, Tetapi, masalahnya sudah beres, setelah kami bicara semalam, sampai dia pulang pagi...!" tutur Kang Pulung.
"Jadi, dia bukan Utusan dari Lembah Kubur?"
"Bukan! Siapa yang memfitnahnya begitu?"
"Itu Sargono!"
"Biadab kau, Sargono! Kau memang dulu bekas kekasih istriku, tapi jangan begini caranya mempermalukan keluargaku dan melampiaskan dendam kepada saudaranya. Biadab kau!"
Kang Pulung hendak mengamuk, sudah mengambil kayu milik seorang lelaki lain. Tetapi, Lanangseta segera menghalangi. Kemudian dengan tanpa melepas pandangan matanya kepada Sargono, Lanangseta berkata:
"Jelas, ini sebuah usaha seseorang untuk memanfaatkan kemarahan penduduk. Fitnah, dan kurasa semua ini ada maksud tertentu dari Sargono!" Salah seorang berteriak, "Jangan-jangan, dia sendiri orang Utusan Lembah Kubur!"
Yang lain menyahut, "Ya, jangan-jangan dia sendiri...! Kalau begitu, hajar saja dia...! Pukul kepalanya! Tikam perutnya...! Mampuslah dia...! Bakar saja hiduphidup! Serang dia...! Serang Sargono...! Hajaaarr !"
"Jahanam semuaaa...!" geram Sargono dengan mata melotot.
Sargono segera menendang kedua kakinya dalam satu kali lompatan, maka dua orang di depannya terjengkang, rubuh ke belakang menindih beberapa orang lainnya. Lalu, ketika salah seorang melompat dari belakang hendak menikamkan pisaunya, Sargono berbalik dengan mengibaskan tangannya dan mengenai pinggang orang itu. Pukulannya segera dilayangkan kembali ke wajah orang di samping kirinya. Orang itu pun terjengkang karena dorongan keras dari depan.
Dalam sekali lompatan, Sargono mampu bersalto di udara sebanyak tiga kali, keluar dari kerumunan massa. Orang-orang berbalik arah, senjata semua terangkat. Sargono segera merentangkan kedua kakinya dan merendahkan badan. Kokoh sekali kaki itu. Dan, tangannya buru-buru menyilang di depan mata. Kedua tangan itu membentuk tanda kali, lalu gemetar mengejang dengan suara menggeram. Saat itu, semua mata terbelalak, semua langkah terhenti, mereka menjadi ngeri melihat pada setiap ujung jari tangan Sargono keluarlah kuku-kuku tak begitu panjang, namun runcing.
"Ayo, lawanlah aku kalau kalian ingin modar...!" Geraman Sargono itu membuat Lanangseta tersenyum tipis. Salah seorang berseru:
"Dia benar-benar Utusan dari Lembah Kubur...! Lihat, dia bisa mengeluarkan kuku yang biasanya untuk merobek perut perempuan hamil !"
Karena ngeri melihat kuku dan kebengisan wajah Sargono, maka orang-orang itu pun jadi mundur semua dan ada pula yang lari pontang panting.
"Haaiiiitt...!"
Sargono seperti orang mencabik kain. Tangannya yang kanan mengibas ke depan dalam satu lompatan datar. Kemudian dua orang meregang dan berkelejot, karena urat lehernya putus dibabat kuku yang tajam, runcing dan bergerak dengan kecepatan luar biasa. Kini semua orang tahu, Sargono adalah salah satu dari Utusan Lembah Kubur
"Hiiaat...!"
Sargono hendak merobek dada seorang lelaki gemuk yang memegangi gagang alu untuk memukul Sargono. Tetapi, tendangan kaki kanan Lanang yang bergerak menyamping itu, telah membuat Sargono menahan nafas merasakan sakit pada tulang rusuknya.
Lanangseta tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Ia segera melangkah satu kali, kemudian dengan gerakan seperti pedang mengibas, tangan kirinya menampar Sargono dengan kuat. Tangkisan tangan Sargono kali ini berhasil. Kedua tangannya beradu dengan lengan Lanangseta. Namun, ia buru-buru memekik kesakitan, karena dari lengan tangan Lanangseta itu keluar semacam asap biru yang membuat kedua tangan Sargono menjadi melepuh.
"Ggrrrr...!" Sargono menggerang seperti erangan seekor beruang. Kuku-kukunya yang tajam segera meregang kaku. Kemudian ia melompat dalam satu putaran salto, menjauhi Lanangseta. Agaknya ia sengaja mengatur jarak untuk melakukan sesuatu.
Lanangseta siap dengan kuda-kuda kaki kiri diangkat satu dan ditekuk hingga lututnya dekat dada. Sementara itu, kedua tangan Lanangseta mengembang ke samping dengan badan sedikit meliuk ke kiri. Ia mirip seekor burung garuda yang sedang bergegas untuk mengepakkan sayap memukul mangsanya. Semua orang yang memperhatikan pertarungan itu menjadi terpana dan tegang sendiri.
Sargono menggerakkan tangannya yang kiri dan kanan dari samping paha ke depan.
"Haaahh...!" Hentakan suara dan tangan yang terbuka telapakannya itu membuat semacam hembusan badai cukup kuat. Tubuh Lanangseta terdorong ke belakang, namun secepatnya tubuh itu meletik ke atas bagai belalang terbang. Sementara, beberapa orang yang ada searah dengan Lanangseta terkena hempasan angin kencang dari Sargono. Mereka tumbang dan terpental ke mana-mana, bahkan ada yang menjerit kesakitan, karena tubuhnya menancap pada sebuah dahan runcing dari satu pohon.
Lompatan Lanangseta kembali beraksi, kali ini mengarah ke depan. Ia mendarat tepat di samping kiri Sargono. Begitu mendaratkan kaki, Sargono segera mengibaskan cakarnya dengan cepat. Matanya menjadi merah ketika itu. Lanangseta telah memperhitungkan gerakan tersebut, maka dengan cepat ia menghantamkan tinjunya ke lengan yang mengibas.
"Kraakk...!" Terdengar sesuatu yang patah dari lengan Sargono. Kemudian, "Praaakk...!" Pelipis itu dihantam tangan kanan Lanangseta hingga Sargono tak sempat menjerit lagi. Darah memercik, kepala itu retak, dan rubuhlah Sargono.
Tubuh yang kurus dan jangkung itu berguling-guling dengan darah memercik ke mana-mana. Lalu, berhenti dari gulingannya, dan mengejang beberapa saat. Setelah itu baru diam untuk selama-lamanya. Semua orang bagai menghempaskan nafas lega seraya menyatakan kekagumannya dengan suara serempak, "Huuuuuhh...?!"
Tampak Lanangseta berdiri tegak dengan kedua kaki merenggang dan dada sedikit terbusung ke depan. Matanya yang tajam memandang mayat Sargono. Tangannya menggenggam erat, lurus ke bawah. Seakan ia mempunyai kelegaan yang tersendiri terhadap kematian Sargono.
"Mampus orang Lembah Kubur itu...! Mampus sekarang dia!" teriak salah seorang yang agaknya memendam dendam membara kepada Utusan dari Lembah Kubur.
Para penduduk memburu mayat Sargono. Ada yang meludahi, ada yang memukul dengan kayu, ada yang menghantamkan goloknya berkali-kali. Dan, pada saat itu Lanangseta menyisih, sedikit menjauh. Matanya memandang ke arah sekeliling. Ia mencari kemungkinan lain, yaitu kemungkinan adanya teman Sargono yang menyaksikan pertarungan tersebut. Satu demi satu, wajah manusia di situ diperhatikan. Tetapi, Lanangseta tidak menemukan kecurigaan yang dicari. Semua wajah menampakkan wajah penduduk yang dibakar dendam atas kekejian Utusan dari Lembah Kubur.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...!"
Lanangseta berpaling ke belakang mencari si pemilik suara tersebut. Oh, ternyata ia seorang gadis berkain batik coklat sampai menutup dada, dan mengenakan kebaya hijau tipis dengan rambut dikucir belakang.
"Terima kasih, Anda telah membunuh musuh keluarga saya."
"O, apakah keluargamu bermusuhan dengan Utusan dari Lembah Kubur?" tanya Lanangseta dengan memperhatikan wajah gadis itu, yang mungil namun indah dipandang mata.
"Dua kakak perempuan saya mati oleh kekejaman mereka."
"Ooooo " Lanang manggut-manggut.
"Semuanya mati dalam keadaan hamil tua."
Lanang masih manggut-manggut. Gadis itu berkata lagi: "Kalau Tuan mau singgah di rumah saya, barangkali ayah saya mau memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih."
"Siapa ayahmu?"
"Lurah di desa ini. Kedungrejo namanya. Mampirlah ke rumah, Tuan. Barangkali ada pembicaraan penting yang bisa Anda peroleh bersama ayah saya."
Gadis manis yang lugu itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dari permohonannya itu. Lanangseta mencoba menerka-nerka dalam hati. Tetapi, yang muncul hanya rasa penasaran ingin bertemu ayah gadis itu. Timbul pula pertanyaan dalam hati Lanang; apa tindakan Lurah Kedungrejo terhadap kekejaman orang-orang Lembah Kubur?
Dengan diiringi gadis itu, Lanangseta melangkah, meninggalkan kerumunan massa yang masih mencacah habis mayat Sargono. Gadis itu agaknya seorang pemalu yang memaksakan diri membujuk Lanangseta untuk singgah ke rumahnya.
"Siapa namamu, kalau boleh aku tahu?" tanya Lanang di perjalanan.
"Rukmini " jawabnya pelan seraya tersenyum malu.
"Nama yang bagus, ya? Hemmm kau sudah kawin, Rukmini?"
Rukmini tersipu, menggeleng sambil menunduk. Tubuhnya yang lencir dan semampai itu bagai tak ingin terlalu dekat dengan Lanangseta.
"Kapan kedua kakak perempuanmu tewas?"
"Dalam satu bulan ini. Mereka dirobek oleh kuku setan Lembah Kubur, diangkat bayinya dari rahim, dan suaminya dibunuh semua."
"Keji, memang. Lalu, apa tindakan ayahmu ketika itu?"
"Ayah pingsan di tempat dan tak tahu apa saja yang telah dilakukan oleh para Utusan dari Lembah Kubur itu."
"Mereka datang bersamaan? Berapa orang?"
"Hanya dua orang. Masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Dan, agaknya mereka itu orang-orang pilihan yang diutus untuk mencari bayi dalam kandungan."
Lanangseta menggumam panjang. Sesekali melirik gadis yang bernama Rukmini itu. Apabila hal itu diketahui Rukmini, ia semakin menunduk saja rasanya. Malu dilirik oleh seorang pendekar tampan yang baru saja menampakkan keperkasaannya di depan umum.
"Apa saja yang dilakukan ayahmu sebagai Lurah di sini selama ada kejadian seperti ini?" Lanang mengorek keterangan.
"Mengumpulkan dan mencari para jagoan. Mereka dibayar untuk menjaga keamanan desa ini. Tapi, delapan orang jagoan dari Tanah Praga, lima di antaranya mati dalam kekejaman orang-orang Lembah Kubur."
Ketika Lanangseta sampai di rumah Rukmini, ia langsung dipertemukan oleh ayahnya. Lurah Kedungrejo tampak gembira dan merasa bangga setelah Rukmini menceritakan siapa Lanangseta. Tetapi, ketika Lurah Kedungrejo menanyakan nama Lanang, Rukmini dan ayahnya sama-sama terbelalak kaget. Kemudian ia menjadi minder dan penuh hormat.
"Jadi, Anda adalah Pendekar Pusar Bumi yang bergelar Malaikat Pedang Sakti?!"
"Benar Ki Lurah...! Saya yang tinggal di puncak bukit Bulan itu."
"Astagaaa....! Selama ini kudengar nama itu, tetapi baru sekarang aku melihatnya dengan mata kepala sendiri."
"Dan aku telah melihat kehebatannya dalam bertarung melawan Utusan dari Lembah Kubur, Ayah," timpal Rukmini yang makin terkagum-kagum kepada Lanangseta.
"Rukmini," kata Ki Lurah Kedungrejo, "Kalau orang semacam Den Lanangseta dijadikan keamanan di desa kita, harus menjual sawah berapa hektar Ayah untuk membayarnya. Usulmu itu tidak Ayah setujui, Rukmini."
O, rupanya Rukmini telah berbisik-bisik kepada ayahnya agar ayahnya menawarkan gaji untuk suatu pekerjaan bagi Lanangseta. Mendengar hal itu, Lanang jadi ikut tertawa sendiri di dalam hati. Senyumnya mekar dengan ramah, dan ia pun berkata:
"Ki Lurah, sebenarnya tanpa Anda meminta saya untuk membantu keamanan di desa ini, saya sudah menyediakan diri dan bermaksud mengawasi desa ini. Saya ingin menumpas habis orang-orang Lembah Kubur yang lebih sering bertandang ke mari. Dan "
"Maaf, Den Lanangseta, bayaran untuk seorang Jagabaya seperti Den Lanang, rasa-rasanya saya tidak cukup mampu untuk "
"Bayaran saya adalah kesempatan. Kesempatan dan kepercayaan dari penduduk desa ini yang sangat saya butuhkan untuk berkeliaran di sini."
"O, soal itu, saya bisa atur. Memang selama ini saya selalu mengingatkan kepada mereka, agar hati-hati kepada tamu asing, yang pura-pura bertamu, pura-pura bodoh, ternyata dia mencari kesempatan untuk merobek perut korbannya."
Oh, Lanang teringat kembali kepada Raden Klowor. Istrinya terlalu lama ditinggal, dan kini sama saja memberi kesempatan kepada Raden Klowor untuk membedah perut Kirana.
* * * * *
--≡¦ { 4 } ¦≡--
Matanya terbelalak kaget, mulutnya ternganga ketika ia melihat keadaan rumahnya sepi. Pintu rumah dan jendela jebol. Ada beberapa bagian teras yang rusak berat. Tiang penyangga atap rumah patah. Barang-barang ada yang berserakan di luar rumah, seakan dilemparkan dari dalam.
Detak-detak jantung Lanangseta seperti meledakledak berulangkali. Ia bergegas lari ke dalam rumah. Berseru dalam kecemasan:
"Yaaaaang...!" Ia memanggil Kirana dengan sebutan; Yang, atau Sayang. Karena, jika ia memanggil atau menyebutkan nama istrinya, maka akan terjadi hujan badai yang mengerikan, (dalam seri: Misteri Tebing Neraka).
"Yaaaang....? Apa yang terjadi...?!" Lanangseta kebingungan, bergerak dengan serba panik, karena ia tidak menemukan Kirana di dalam rumah. Bahkan Raden Klowor pun tak ada di mana-mana. Ia bergegas ke belakang rumah, oh... tak ada siapa-siapa di sana. Ia kembali lagi ke dalam dan memperhatikan barang-barang yang berantakan bagai habis dilanda gempa hebat. Nafas Lanang memburu, matanya memandang nanar. Garang. Giginya menggeletuk dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Ada dendam yang membakar darahnya. Ada kemarahan yang menyayat hatinya. Istrinya hilang, dan tak ada tanda-tanda ke mana perginya.
"Jahanam...!" geram Lanang bersama hempasan nafas yang memberat.
"Pasti Utusan dari Lembah Kubur sudah sampai ke mari! Biadab betul mereka...!" Lanang terengah-engah.
"Raden Klowor...?! Yah, anak itu memang perlu dirajang menjadi beberapa potong. Dialah biang keladinya! Dia orang Lembah Kubur yang berhasil membuatku ringan curiga! Biadab! Benar-benar tak bisa diberi ampun anak itu!"
Lanangseta berdiri di tepi tebing, matanya memandang sekeliling, mencari titik pandang, kalau-kalau masih terlihat jejak mereka yang membawa lari istrinya. Tapi, yang ada hanya kabut pagi kian menipis. Tak ada bayangan, tak ada titik yang bergerak. Sepi.
Lanangseta buru-buru masuk ke rumah, ke kamarnya. Tempat tidur acak-acakan. Dan yang lebih parah lagi, Cambuk Naga yang dipajang tertempel di dinding, hilang! Hilang bersama Kirana, istrinya yang sedang mengandung itu.
Semakin meluap lagi kemarahan Lanangseta. Betapapun juga, ia harus bisa merawat cambuk pusaka peninggalan bekas kekasihnya; Sekar Pamikat. Setelah Ludiro mengundurkan diri sebagai pengawalnya yang sejak perkawinan Lanang dengan Kirana, cambuk pusaka itu dikembalikan ke tangan Lanang. Ludiro ingin hidup sebagai petani, sebagai masyarakat biasa, enggan terlibat dunia persilatan lagi. Ludiro ingin menikmati hari tuanya dengan tenang dan damai. Maka, cambuk pusaka pun sudah bukan lagi pantas dimiliki. Dan, Lanangseta serta Kirana, dengan berat hati melepas perpisahannya dengan Ludiro, sebagai pelayan setia sejak semasa Sekar Pamikat masih menjadi kekasih Lanangseta. Seharusnya, Lanang bisa menjaga dan merawat pusaka Cambuk Naga. Tetapi, kenyataannya sekarang cambuk itu hilang, bersamaan pula dengan hilangnya Kirana dan bayi yang dikandung. Kemarahan Lanangseta tidak bisa ditangguhkan sedikit pun. Wajah Raden Klowor terbayang lekat dalam benaknya. Ia pun keluar dari rumah kembali dan berseru dalam luapan amarahnya:
"Klowoooooorrrr...! Ke mana pun kau pergi, akan kucari kau! Dan, aku akan membuat perhitungan tersendiri denganmu...!" Karena sesaknya dada oleh kemarahan, Lanang berseru demikian untuk melampiaskan kemarahan.
Untuk mencari di mana letak Lembah Kubur, Lanang terpaksa menghubungi beberapa orang dari desa ke desa. Salah satu yang dihubungi adalah Ki Lurah Kedungrejo. Sore hari, Lanang baru sampai ke rumah tersebut. Tetapi, pada saat itu, Rukmini yang menyambutnya. Perempuan desa yang lugu itu tampak girang dan sedikit tersipu melihat kedatangan Lanangseta.
"Aku tidak menyangka kalau kau mau datang lagi."
"Aku ingin bertemu dengan ayahmu," kata Lanang seraya membalas senyuman dengan tawar.
"Ayah sedang menengok keluarga Kang Pulung yang kemarin saudaranya dibunuh oleh penduduk."
Rukmini mempersilakan Lanang untuk singgah ke dalam. Istri Ki Lurah juga ikut menjelaskan, bahwa Lurah Kedungrejo masih ada urusan. Beberapa saat kemudian, Nyai Lurah masuk ke dalam, meninggalkan Lanang dan Rukmini di serambi depan.
"Kalau memang urusannya penting, mestinya kau tidak berkeberatan kalau harus menunggu ayah, bukan?" tanya Rukmini, yang agaknya sekarang lebih berani, tidak semalu-malu kemarin, ketika perjumpaan pertama.
"Memang penting. Dan, kuharap Ki Lurah bisa membantuku."
"Dalam hal apa? Aku boleh tahu?"
"Dalam hal... orang-orang Lembah Kubur."
Rukmini berkerut dahi, menatap Lanangseta dengan sorot mata yang berbinar-binar.
"Apakah kau bertemu dengannya lagi?"
"Tidak!"
"Lalu ?"
"Aku ingin bertemu dengannya lagi."
"Dengan orang Lembah Kubur?!" Rukmini kelihatan cemas.
"Ya. Karena... karena. istriku dibawa oleh mereka."
"Diculik ?!"
"Ya. Diculik dan... dan entah diapakan lagi. Yang jelas, aku harus ke Lembah Kubur untuk merebut kembali istriku."
Rukmini terbengong, bagai terpana oleh cerita tak diduga. Ia kelihatan menyimpan sedikit rasa takut. Ia juga menampakkan rasa ngerinya dengan bergidiknya badan. Namun, di balik itu semua kesan cemas dan was-was lebih menonjol ketimbang kesan yang lainnya.
"Aku harus mencari keterangan, di mana Lembah Kubur itu. Dan, aku harus segera menghancurkan mereka."
Rukmini diam. Seakan ia punya rasa tidak setuju kalau Lanangseta pergi ke Lembah Kubur. Hal itu diungkapkan olehnya lewat kata-kata:
"Itu tempat berbahaya."
"Aku tahu."
"Kalau utusannya saja bisa datang dan pergi dengan meninggalkan korban, tak mampu dihalangi, sudah tentu penguasa Lembah Kubur lebih sakti dari utusan-utusannya."
"Aku tahu. Tapi, kalau memang kau sendiri bisa memberi keterangan di mana Lembah Kubur, tolong berikan padaku. Aku tak perduli, seberapa besar kesaktian mereka. Aku tidak mau tahu, seberapa besar bahaya di sana. Aku hanya tahu: istriku harus kembali dengan selamat bersama bayinya."
Mata Rukmini sedikit terbelalak memandang Lanangseta.
"Istrimu hamil?"
Lanang mengangguk.
"Hamil tua "
Rukmini terbengong sesaat, kemudian menghela nafas, sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hati. Lanangseta menunggu jawaban dari Rukmini dengan mata sedikit tajam memandang.
"Mungkin aku bisa membantumu," kata Rukmini lirih.
"Syukurlah kalau kau mau membantuku."
"Tapi...." Rukmini ragu.
"Aku.... Aku takut kau mengalami bahaya dan "
"Rukmini," sela Lanang.
"Bahaya memang sering kuhadapi. Tetapi, belum pernah aku tidak bisa lolos dari bahaya. Belum pernah. Selalu saja bahaya bisa kuterobos. Kurasa kau tak perlu khawatir."
"Memang seharusnya aku tidak perlu mencemaskan dirimu. Tak perlu khawatir tentang kamu. Hanya saja "
Karena Rukmini diam dalam keraguan, maka Lanangseta buru-buru menyerobot pembicaraan: "Kau tahu persis tempatnya?"
"Secara persis, tidak. Tapi, aku pernah melihat Utusan Lembah Kubur berlari ke suatu arah."
"Arah mana?"
Setelah diam beberapa saat, Rukmini pun menjawab dengan lirih, seakan tak punya daya lagi.
"Ke Selatan !"
Gumam Lanangseta memanjang, kepalanya manggut-manggut. Rukmini menambahkan kata: "Dulu pernah ada pemuda yang ingin membawaku pergi dengan baik-baik. Ia mencintaiku. Dan, kami ingin kabur, karena ayahku tidak setuju."
"Lalu...?!"
"Lalu aku menolak. Dia patah semangat. Ia mengancam akan pergi ke Lembah Kubur, menjadi manusia sesat kalau aku tetap menolak."
"Pemuda itu sampai sekarang masih ada?"
Rukmini menggeleng.
"Dia mati. Mati dibantai temannya sendiri. Dan... kala itu ia sempat menemui aku, lalu bermaksud membawaku lagi dengan paksa. Dia menyebutkan suatu tempat dan arah, sebagai titik perjumpaan kami, jika aku mau kabur dari rumah."
"Di mana itu?"
"Arah Selatan. Melewati daerah yang dinamakan Randu Gajah. Lembah Kubur memang tidak jauh dari Randu Gajah. Arah Timur dari Randu Gajah, sudah termasuk wilayah Lembah Kubur. Tapi, waktu itu kami atau dia, merencanakan untuk membelok ke arah Barat. Ke desa Truyan. Desa itu aman oleh orang-orang Lembah Kubur. Tak ada yang berani datang atau mengganggu masyarakat desa Truyan."
"Alasannya?"
"Barong Dewa lahir di desa Truyan, dan sanak saudaranya masih tinggal di sana. Jadi tak boleh ada yang mengganggu. Desa itu aman."
"Siapa Barong Dewa itu?"
"Penguasa Lembah Kubur."
"Apakah perbuatan Barong Dewa, mencuri bayi dari dalam kandungan dilakukan sudah cukup lama?"
"Ya. Dan, mulanya desa ini tidak termasuk sasaran mereka. Namun, barangkali ada perubahan pikiran Barong Dewa. Desa ini dianggap desa yang tidak perlu dilindungi, sebab pemuda yang mencintaiku sudah mati oleh kawannya sendiri."
"Jadi, mereka langsung menyerbu desa ini karena pemuda itu telah mati?"
"Ya. Dan mereka tahu, kalau aku menolak cinta pemuda itu. Kalau saja aku jadi kawin dengannya, maka desa ini akan aman." Rukmini tertegun sejenak, lalu berbisik, "Bawalah aku ke desa Truyan, dan hiduplah di sana bersamaku, sekalipun aku hanya sebagai istri keduamu."
"Terlalu berani," kata hati Lanangseta setelah terkejut sesaat.
"Terlalu nekad perempuan ini dalam bicaranya. Apa sebab? Pasti ada alasan kuat, sehingga gadis desa yang punya lagak pemalu itu berani bicara sepolos itu. Umumnya para gadis desa seusia dengannya, tak akan berani berkata terang-terangan seperti dia...." Lanangseta berlagak biasa-biasa saja, tidak menganggap kata-kata Rukmini istimewa dan mengejutkan hatinya. Lanang justru bertanya:
"Apakah anak buah Barong Dewa itu cukup banyak?"
"Hanya ada sembilan orang. Lima di antaranya orang pilihan yang bertugas menculik bayi dalam kandungan." Omongan demi omongan memang disimak Lanangse ta, namun sejauh ini ada satu pemikiran tersendiri pada diri Lanangseta. Ia terus memancing keterangan: "Untuk apa Barong Dewa membutuhkan bayi?"
"Untuk dimakan."
"Hah...?!" Lanang membelalakkan mata, kali ini kagetnya tak sempat dikendalikan.
"Untuk dimakan?!"
Rukmini menjelaskan, "Jika Barong Dewa banyak memakan bayi yang belum lahir, maka tubuhnya makin lama akan menjadi semakin besar. Dan, ilmu silatnya pun terus meningkat. Upah yang diterima oleh anak buah Barong Dewa adalah ilmu-ilmu sakti yang jarang dimiliki tokoh persilatan lainnya. Jadi, setiap hari, ia makan daging bayi yang diperoleh dari dalam kandungan. Dan, tubuh Barong Dewa pun menjadi seperti raksasa. Tinggi, besar dan kekar. Sukar dikalahkan oleh siapapun."
Sekali lagi, Lanangseta mengangguk-anggukkan kepala.
"Rupanya kau banyak tahu tentang Lembah Kubur dan Barong Dewa, ya?"
"Ya. Karena, Rohutama menceritakan segalanya kepadaku."
"Siapa itu Rohutama?"
"Pemuda yang mencintaiku dan pernah mengajakku kabur itu."
"Ooooo.... Jadi, Rohutama dibunuh karena ia ketahuan menceritakan rahasia Lembah Kubur? Begitu?"
"Antara lain begitu. Ini pertanda ia bisa melacak ke mana perginya orang yang menculik Kirana. Tetapi, haruskah ia memenuhi permintaan Rukmini? O, tidak! Terlalu berbahaya jika ia membawa serta Rukmini ke Lembah Kubur."
Dengan suatu tipu muslihat ingin ke rumah Kang Pulung, Lanangseta berhasil pergi ke arah Selatan tanpa Rukmini. Sejak bertolak dari rumah Rukmini, hati Lanangseta selalu berdebar-debar. Ada apa gerangan? Apakah karena ada yang mengincarnya dengan sembunyi-sembunyi?
Sesekali Lanangseta mendesah. Langkahnya semakin cepat. Pikirannya dipusatkan ke Lembah Kubur dan keterangan-keterangan dari Rukmini tentang Barong Dewa. Seperti apa orang yang menjadi penguasa tunggal Lembah Kubur itu? Ilmu macam apa yang dituntutnya sehingga ia harus memakan bayi dan janin yang diambil dari dalam kandungan?
Debar-debar di dada Lanang semakin jelas, pada saat ia teringat anaknya. Anak dalam kandungan Kirana yang menjadi kebanggaannya itu kini dalam keadaan terancam. Lanang tak berani membayangkan, seandainya ia temukan Kirana sudah kempes perutnya tanpa ada bayi di sampingnya. Ooh... entah seperti apa ledakan kemarahan Lanangseta jika ia tahu, Kirana dalam keadaan terburai perutnya dan bayi dalam kandungan itu dimakan oleh Barong Dewa. Gemeretak gigi Lanangseta, menggenggam kuat tangannya, dan semakin sesak dadanya dihimpit kemarahan.
Tiba-tiba Lanangseta berhenti melangkah. Matanya melihat ke kanan kiri. Kewaspadaan dan kecurigaan saling berebut mencari tempat dalam benaknya. Ia mendengar suara langkah kaki yang membuntutinya. Ketika ia berpaling seketika, oh... tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa di belakangnya.
"Setan mana yang sengaja mempermainkan aku?!" geram Lanangseta. Ia menunggu beberapa saat, kalaukalau muncul sosok yang ingin berhadapan dengannya. Tetapi, setelah beberapa saat ia tak menemukan apaapa, akhirnya dengan desah kejengkelan ia pun melangkah lagi.
Langkahnya tegap. Langkah seorang pendekar yang tak mengenal takut. Langkah yang menampakkan ketegarannya sebagai sosok Malaikat Pedang Sakti yang selalu siap menghadapi lawannya, siapa pun dan di mana pun. Dan.... Langkah itu pun kini berhenti lagi. Ada langkah lain yang ikut menapak, tapi juga ikut berhenti. Menghilang, pada saat Lanang diam.
Mata Lanangseta memandang awas, tajam dan liar. Ia memang tidak menemukan siapa-siapa di sekitarnya. Tapi, ia yakin, bahwa ada seseorang yang mengikutinya sejak tadi. Debar-debar hatinya membawa ia semakin gelisah. Berulang-ulang Lanangseta menghirup udara panjang-panjang, supaya ada ketenangan dalam jiwanya.
"Monyet kurap...!" gerutu Lanang sendirian.
"Ia pasti orang sakti yang pandai menghilang dalam sekejap. Hemmm.... Mungkinkah aku sudah dekat dengan daerah Lembah Kubur?"
Lanangseta merasa jengkel sekali, karena ia tidak berhasil menemukan langkah kaki yang mengikutinya. Dengan kesal, ia pun kembali melangkah, karena ia tak mau kehilangan waktu terlalu banyak. Kirana harus segera ditolong, ia harus segera sampai di Lembah Kubur. Barong Dewa harus segera mati di tangannya.
Eh, masih juga ada suara langkah yang mengikutinya. Gila, kan?! Padahal waktu Lanangseta berpaling, tidak ada siapa-siapa! Hanya ada pohon-pohon dan bebatuan di sana sini, sementara di sisi lain hanya ada semak belukar di bawah pepohonan rindang. Mata Lanangseta menyapu seluruh semak, tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Setiap batu besar ia awasi, tak ada hal yang mencurigakan di sana.
"Brengsek...!"
Cepat sekali Lanang melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi, cepat pula suara langkah yang terdengar mengikutinya. Ketika ada sebuah tikungan berbatu, Lanangseta segera melesat bersembunyi di balik bebatuan. Kemudian ia melihat ada pohon tak jauh darinya. Dengan ilmu peringan tubuh yang sempurna, ia menghentakkan kaki ke bumi, dan "Seeet...." Tubuhnya melayang ke atas, hinggap di dahan dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Dari atas pohon Lanangseta bebas memandang dan meneliti sekeliling. Nafasnya tertahan beberapa saat, bahkan dihembuskan dengan pelan sekali. Sepi. Dan, hanya desau angin sore yang mulai terasa membuat tubuh merinding. Sialnya, tak ada manusia yang bersembunyi dan terkecoh ke luar dari persembunyian untuk mengikuti Lanangseta. Sinting! Padahal tadi jelas-jelas terdengar langkah kaki menginjak dedaunan dan ranting kering di belakangnya. Lanangseta terkejut begitu mendengar suara tawa yang tertahan. Ah, benar! Ada orang lain selain dirinya. Tapi, di mana suara tawa itu? Siapa yang tertawa? Lanang mencari-cari sesaat. Ah, ia semakin gelisah dan tak bisa tenang. Suara tawa itu pun terdengar lagi bagai tertutup oleh tangan pemiliknya. Dan, kali ini agak jelas, sehingga Lanang pun segera mendongak ke atas.
Busyet...! Ternyata ada orang di atas pohon, tepat di atas kepalanya. Satu pohon darinya. Lanang merasa terkecoh. Sudah cape-cape bersembunyi dengan rapi, eh ternyata orang yang dijebaknya ada di dalam satu pohon dengannya. Maka, segera saja ia menghentakkan tangan kanannya ke atas dalam keadaan telapak tangan terbuka.
"Hiiiihhh..!"
"Kraaaakk...! Krosaakkk !"
Tenaga dalam keluar dari telapak tangan Lanangseta, menghantam orang yang ada di atasnya. Tetapi dengan gerakan cepat, orang tersebut melompat dalam gerakan salto dan turun ke bawah. Bajunya yang biru berkibar bagai sayap elang. Lanangseta tak mau tinggal diam. Ia segera menyusul dengan lompatan bersalto juga.
"Jleeg...!"
Kedua kaki Lanangseta menapak dengan sempurna. Sigap dan kekar. Wajahnya kaku tanpa senyum. Matanya memandang tajam, bagai menembus hati orang yang berdiri di depannya.
"Sekarang saatnya aku membunuhmu, Klowor...!"
O, oh... rupanya Raden Klowor yang menguntitnya sejak tadi. Lanangseta teringat Kirana yang saat ini hilang. Ia juga teringat cerita tentang pembedahan perut perempuan hamil yang dilakukan oleh utusan Lembah Kubur. Dan, kemarahannya membakar darah, manakala ia membayangkan Raden Klowor telah berhasil membedah perut istrinya. Terbukti dari cengar-cengir Raden Klowor yang menampakkan rasa puas bisa berhadapan dengan Lanang. Ia, Raden Klowor itu, sepertinya merasa bangga, dan sengaja memamerkan kebanggaannya kepada Lanangseta.
"Biadab kau, Klowor...!" geram Lanang dengan serta merta melompat dengan kaki kanan lurus menyamping, dan tertuju kepada wajah Raden Klowor.
"Ploookkk...!"
"Aaauuh...! Guru, sabar...! Saya tadi cuma bercanda!" Teriakan Raden Klowor tak dihiraukan Lanangseta. Dengan cepat dan gesit, Lanangseta menghentakkan kaki kirinya dalam keadaan tubuh memutar. Kaki itu bagai batang pohon yang dikibaskan setengah lingkaran dan mengenai wajah Raden Klowor lagi. Tentu saja Raden Klowor memekik kesakitan dan jungkir balik di rerumputan.
"Jangan marah, Guru...! Maaf...! Sabar...! Ampun...!
Dan sebagainya, Guru...!"
"Hiiaaaatt...!"
Sebuah pukulan berganda dilancarkan ke dada Raden Klowor, namun sejak tadi Raden Klowor sepertinya pasrah. Tidak melawan, tidak mengelak. Sehingga ia memekik tertahan ketika dadanya yang kurus dihantam Lanangseta dua kali dengan keras. Mata Raden Klowor mendelik dengan berusaha menghirup nafas yang menyesak di dada. Tetapi, tak ada kesempatan sedikit pun yang diberikan oleh Lanangseta kepada utusan Lembah Kubur itu. Lanangseta berguling ke tanah, kakinya meletik seperti kaki belalang, menghentak kuat perut Raden Klowor.
"Huuggh...! Gulu...." ucapnya dengan nafas sesak dan mata makin mendelik kesakitan. Guru sampai disebutnya; gulu. Ia meringis menahan mules di perut. Ia cengap-cengap, namun segera mundur beberapa langkah ketika Lanangseta berdiri lagi, siap menyerangnya.
"Guru...!" Tangan Raden Klowor terangkat ke depan dengan telapak tangan terbuka, seakan ingin menahan gerakan Lanang berikutnya.
"Tunggu... jangan menyerang saya, Guru. Saya benar-benar bercanda...! Maafkan saya...!"
"Setan kudis...! Kau apakan istriku, hah?! Kau apakah dia...? Hiaaat !" Lanangseta melompat, menerjang dengan kakinya. Tetapi, dengan gesit, Raden Klowor menggunakan jurus Lindung Bumi.
"Sleeeep...!" Dia amblas ke dalam tanah, dan membuat Lanangseta semakin kebingungan, tapi juga semakin dongkol hatinya. Lawannya menghilang dengan menggunakan ilmu andalannya dulu: Lindung Bumi. Kurang ajar! Lanang harus segera mengejar, keburu Raden Klowor kabur.
"Hiiiaaaaat. !"
* * * * *
--≡¦ { 5 } ¦≡--
"Broooss...! Broooos...!"
Keduanya sama-sama melompat menerobos lapisan tanah di atas mereka. Keduanya seperti mayat bangkit dari kubur dengan satu lompatan mengagumkan. Tanah menyembur ke mana-mana ketika mereka melesat dan berada di permukaan tanah kembali.
"Jangan lari kau, Jahanaaaaaammm !
Hiiiiiaaaat....!" Lanangseta bersalto di udara, dan mengibaskan kakinya bagai sedang menendang sebuah bola. Raden Klowor ketakutan, namun dia sempat melompat pula dan bersalto ke depan, sehingga tendangan kaki Lanangseta tidak mampu mengenainya.
"Klowor....! Berhenti, dan kau harus berhadapan denganku, Penyakit!"
"Guru, jangan marah padaku. Aku tadi hanya bercanda dan memang sengaja menggodamu. Maafkan aku, Guru!"
Lanangseta berdiri tegak, kedua kakinya merenggang tegak, sedangkan Raden Klowor terengah-engah dalam ketakutan, sekalipun ia harus berhadapan dengan Lanangseta.
"Kenapa...? Kenapa Guru marah sekali? Bukankah aku hanya menguntit Guru dan bercanda ala kadarnya ?!"
Mulut pendekar tampan itu terkatup rapat. Terlihat giginya menggeletuk, dan serta merta ia mencabut pedang pusakanya Wisa Kobra, yang disebut pula Pedang Semerah Darah. Ini sudah bukan main-main lagi.
Raden Klowor membelalakkan mata, memandang takjub pada warna pedang yang berpijar merah, bagai besi membara. Terang, namun mengerikan. Bulu kuduk Raden Klowor pun merinding. Ia mundur beberapa langkah dan tergagap-gagap.
"Guru, jangan bercanda terlalu ngeri! Apa maksud Guru mencabut pedang pusaka Wisa Kobra?"
Dalam hati Lanangseta heran, dari mana Raden Klowor itu tahu nama pedang pusakanya, padahal seingatnya ia belum pernah menyebutkan nama pedangnya: Wisa Kobra.
"Kalau kau bisa berbuat kejam, sebagai Utusan Lembah Kubur, maka aku pun bisa bertindak kejam, sebagai Malaikat Pedang Sakti!"
"Guru menuduhku ngawur! Norak!" Raden Klowor kebingungan, karena Lanang bergerak maju pelanpelan, dan ia bergerak mundur dengan perlahan-lahan.
"Aku bukan utusan dari Lembah Kubur. Wah, Guru sok pintar...!"
"Tutup bacotmu! Mari, hadapi aku secara kesatria!"
"Guru kasar! Masa' mulut dikatakan bacot!"
"Hiiiiaaaatt...!"
Pedang menebas, seperti kilatan cahaya merah melayang di atas kepala Raden Klowor yang merunduk. Andai tidak merunduk, Raden Klowor akan terpenggal kepalanya. Sedangkan baru terkena angin tebasannya saja, ia sudah sempoyongan dan tersungkur beberapa saat kemudian. Sepertinya ada benda berat yang menghantam pelipis Raden Klowor.
Sadar akan kesungguhan Lanangseta yang ingin membunuhnya, Raden Klowor segera melesat ke atas dengan menggunakan dagunya sebagai pengganti kaki yang menjejak tanah. Begitu tubuhnya melayang, ia segera bersalto dan mendarat di tanah dengan sigap. Lanangseta pun jadi terbelalak kaget. Ia terhenyak bagai tak bisa bergerak. Matanya memandang lebar pada tangan kanan Raden Klowor. Di tangan kanan itu tampak sebuah benda panjang digenggam Raden Klowor. Benda itu tak lain dari: Cambuk Naga!
Tangan Lanangseta sedikit gemetar melihat cambuk naga siap dilecutkan. Bukan lantaran ia takut, namun ia sebenarnya menaruh hormat yang tinggi kepada cambuk tersebut. Bukan pula semata-mata cambuknya yang dihormati, tetapi pemilik awal cambuk itu yang disegani. Sekar Pamikat! Seorang kekasih yang rela menjadi orang suci di Goa Malaikat, dan menjadi penjaga tetap goa keramat itu. Cambuk Naga, merupakan pusaka yang sama ampuhnya dengan Pedang Wisa Kobra yang ada dalam genggaman Lanangseta. Kedua pusaka itu, seakan sejodoh yang saling bahu membahu dalam setiap pertempuran. Dulu, Ludiro yang diserahi tugas sebagai pemegang cambuk tersebut. Sekarang sudah diserahkan kembali kepada Lanang. Dan Lanang menganggapnya pusaka itu adalah pengganti sukma seorang gadis yang dulu pernah amat dicintai, sebelum ia mendapatkan Kirana.
"Guru...." kata Klowor dengan mulut mucu-mucu.
"Kalau Guru memaksa saya, maka terpaksa saya menggunakan cambuk yang Guru berikan kepada saya ini."
Membelalak lagi mata Lanangseta mendengar ucapan Raden Klowor, seakan anak muda itu pandai membuat lawannya termangu-mangu oleh kata demi kata yang meluncur dari mulutnya.
"Kapan...? Kapan aku menyerahkan cambuk itu, Biadab?!"
"Dalam mimpi siangku, ketika sebelum segalanya menjadi kacau dan balau...!" jawab Raden Klowor dengan senyum kemenangan yang memanaskan hati Lanangseta.
Geram sekali Lanang, seakan ia diledek tidak tanggung-tanggung. Maka, segera ia melompat seperti singa menerkam, dengan pedang terayun dari samping ke depan.
"Weeesss...!" Raden Klowor bersalto mundur dalam satu kali lompatan. Lalu, jurus cambuknya melecut dengan gerakan tangan menghentak ke udara, sedangkan tangannya yang kosong direntangkan dalam posisi kaki merendah sedikit.
"Tarrr...!"
Cambuk itu melecut di udara, memercikkan nyala api merah pada ujung cambuk yang sebenarnya berserat lembut dan halus itu. Ujung lecutan yang kedua tepat mengenai pedang Lanangseta yang saat itu hendak ditusukkan ke arah Raden Klowor. Maka, akibatnya, terjadilah ledakan yang mengguncangkan bumi.
"Blaaar...!"
Keduanya sama-sama terpental, delapan langkah dari masing-masing tempat berdiri semula. Lanangseta terguling-guling karena terpelanting, Raden Klowor mengaduh kesakitan akibat pinggangnya beradu dengan tonjolan tanah pohon sebesar genggaman manusia dewasa.
Kepala Lanangseta dikibaskan, karena ia merasa pusing mendengar ledakan tadi sambil terlempar dan berguling-guling. Ia berdiri dengan sempoyongan. Kemudian mengatur pernafasannya dengan gerakan kedua tangan memegangi pedang, dari sisi kanan bergerak kokoh ke depan dada. Pedang Wisa Kobra berdiri tegak bagai membelah wajah. Kemudian, pedang itu segera digerakkan dengan lamban ke samping, merapat dengan dada kiri, tetapi kedua tangan Lanangseta masingmasing sama-sama memegangi gagang pedang.
Raden Klowor menggenggam tangkai cambuk yang lentur tapi kenyal. Ujung cambuknya pun dipegang dengan satu tangan itu, sehingga bentuk cambuk menjadi melingkar seperti tali untuk menggantung seseorang. Keadaannya sama dengan Lanangseta, terengahengah dan sedikit keliyengan.
"Kurasa pertarungan ini tak perlu diteruskan, Guru.
Nanti di antara kita ada yang mati!"
Lanangseta menjawab dengan suara datar, penuh kemarahan yang terpendam.
"Itu keinginanku. Kau atau aku yang mati."
Raden Klowor mengernyitkan dahi. Katanya kemudian:
"Apakah Guru marah karena saya ke mana-mana membawa cambuk ini? Ah, seharusnya tidak perlu begitu, Guru. Karena, aku hanya mengikuti perintah Guru kepadaku melalui mimpi siang itu: Ambil Cambuk Naga, dan genggamlah ke mana ia pergi. Pusaka itu telah menjadi milikmu. Begitu kata Guru waktu itu, bukan?!"
"Aku tidak pernah bicara sebodoh itu, Setan!"
"Ah, Guru ini seorang pelupa, barangkali. Guru yang bicara sendiri, setelah Putri Ayu Sekar Pamikat membisikkan kata kepada Guru."
Merinding Lanangseta mendengar nama Sekar Pamikat disebutkan oleh anak ingusan seperti Raden Klowor itu.
"Jaga bicaramu, Iblis! Sebentar lagi kau pasti mati kalau kau menyebutkan nama itu sembarangan, tahu?!"
"Guru terlalu berbeda dengan impianku. Guru selalu ramah dan lemah lembut, punya ketegasan yang mengagumkan jika bicara lewat mimpiku. Tetapi, jika di luar mimpi, Guru seolah-olah memusuhiku mati-matian. padahal, di dalam impianku, aku pun sudah bersumpah, bahwa aku akan selalu melindungi Guru sekeluarga, setia mengabdi kepada Guru dan keluarga, serta siap menerima pelajaran apa saja, perintah apa saja, dari Guru maupun dari Bibi Guru. Sumpahku itu disaksikan Pendekar Agung Jaka Bego, dan Putri Ayu Sekar Pamikat, yang suci dalam keberadaannya."
Ada sentuhan lembut yang mengusap hati Lanangseta begitu mendengar ucapan Raden Klowor. Namun, sebagian pikirannya membantah, mungkinkah seorang Utusan Lembah Kubur akan selalu berbicara seperti itu? Mungkinkah setiap Utusan Lembah Kubur mempunyai jurus pengucap kata yang mampu melunakkan hati lawannya?
"Apapun yang kau katakan, Klowor...!" kata Lanang dengan ketegasan tersendiri.
"Aku tetap harus membunuhmu, dan menyatakan perang kepada setiap Utusan Lembah Kubur seperti kau. Tahu...?!"
"Sekali lagi sebaiknya kutegaskan, Guru. Aku bukan Utusan Lembah Kubur! Justru, Putri Ayu Sekar Pamikat di alam mimpiku memberikan tugas kepadaku, untuk membantu Guru dalam menumpas habis setansetan Lembah Kubur!"
Lanangseta menggeram mendengar Raden Klowor mengelak tuduhan. Lalu, dengan penuh kemarahan yang tertahan, Lanang pun berkata:
"Lantas kau kemanakan istriku? Di mana dia?! Setelah kau buat rumahku porak poranda, lalu istriku kau bawa kabur untuk dibedah perutnya dan diambil bayinya. Begitu, bukan?"
Tahu-tahu, Raden Klowor yang berambut lebat tapi tidak gondrong itu berkata dalam sela tawanya yang geli.
"O, oh.... Sekarang aku tahu masalahnya....!" Ia menggulung cambuk sedemikian rupa sehingga bisa diselipkan di pinggang belakang, seperti tadi.
"Di mana dia sekarang, atau kubunuh kau dari sini?!"
"Guru, aku tahu sekarang, kenapa Guru begitu berang terhadapku. Rupanya ada kesalahpahaman di antara kita! Dan, kesalahpahaman ini harus kita pahami bersama-sama, Guru. Aku tidak mau mati di tangan Guru kalau hanya sekedar salah paham."
"Jangan mengulur waktu, Biadab! Aku sudah tidak tahan untuk segera membunuhmu, tahu?!" bentak Lanangseta.
"Aku juga sudah tidak tahan ingin melarikan diri, Guru. Tapi, dengarlah dulu penjelasanku, setelah itu terserah kepada Guru, jalan apa yang terbaik yang harus Guru lakukan "
Lanangseta sedikit mengendurkan ketegangannya. Pedang Wisa Kobra yang berpijar merah membara itu sudah tidak lagi berdiri tegak dengan dipegang dua tangan di depan dada kiri, melainkan sudah teracung ke bawah dan digenggam oleh satu tangan.
"Guru..." kata Raden Klowor memberanikan diri melangkah, dan mendekat.
"Dua orang Utusan Lembah Kubur datang ke bukit Bulan ketika Guru pergi. Mereka bermaksud melukai Bibi, ingin membedah perutnya dan mengambil bayi dalam kandungan. Tetapi, saya dan Bibi bertahan. Kedua orang bercakar setan itu hampir merobek punggung Bibi, kalau saja saya tidak segera menggunakan jurus Tebar Besi, dan "
"Itu jurus milikku?! Kau bisa menguasai jurus Tebar Besi juga ?"
"Kan, Guru sendiri yang menurunkan ilmu itu padaku lewat mimpi ! Lupa juga, ya?"
"Ahh....!" Kesal hati Lanang jika mendengar mimpi dijadikan alasan.
"Teruskan ceritamu !"
"Singkatnya cerita, saya dan Bibi Guru sama-sama berhasil mengusir kedua Utusan dari Lembah Kubur. Bibi dan saya selamat, tanpa luka. Rumah berantakan, tak jadi soal. Tapi, satu hal yang membuat saya bingung,.... Bibi merasa sakit perut, dan dan beliau ingin
melahirkan. Saya benar-benar panik, juga kebingungan, karena saya seumur-umur belum pernah melahirkan. Sumpah! Dan... karena tak tahan melihat Bibi kesakitan, mules perutnya, maka saya bertekad membawa Bibi keluar, turun dari Bukit Bulan, mencari pertolongan. Sampai akhirnya, kami menemukan rumah dukun bayi, dan... dan... Bibi melahirkan bayinya dengan selamat, tanpa kurang satu apapun !"
"Anakku...! Anakku... lahir sudah? Sudah lahir ?!"
Lanangseta membelalak dalam keharuan. Ia mendekati Klowor.
"Hati-hati kau bicara! Jangan menipuku, Klowor. Kalau kau sampai menipuku, maka akan kurobek mulutmu dengan pedang ini pelan-pelan, tahu?"
"Saya akan membantu merobeknya, Guru...." jawab Raden Klowor dengan senyum ketenangan.
Nafas Lanangseta memburu, antara bangga, haru dan penasaran terhadap penjelasan Raden Klowor.
"Benar, anakku sudah lahir?!" katanya pelan.
"Benar, Guru...! Lelaki!"
"Lelaki...?!" pekik Lanangseta kegirangan.
"Lelaki yang tampan dan... tulang-tulangnya kelihatan kekar, seperti tulang pendekar, Guru...!"
"Benar...?!" Semakin bersemangat dan berapi-api Lanang menanggapinya.
"Guru, sekarang marilah kita menemui Bibi di rumah dukun bayi itu. Bibi ingin sekali bertemu dengan Guru. Ia berada tak jauh dari tempat ini, dan tugas saya adalah mencari dan membawa Guru untuk diserahkan kepada Bibi dan bayi mungil yang sehat itu. Mari, Guru !"
Langit sore bagai cerah, menaburkan sejuta bunga di padang kebahagiaan. Nafas Lanangseta menjadi plong...! Segar dan lega. Bahkan, Lanang merasa tubuhnya sedang melayang-layang dalam satu kegembiraan yang belum pernah dialami selama hidupnya itu. Ia tak mau berpikir, bagaimana kalau ternyata itu adalah tipuan Raden Klowor. Ia juga tak mau membayangkan, bagaimana kalau ternyata ia masuk dalam perangkap Utusan dari Lembah Kubur. Tidak! Semua tidak mau dibayangkan. Kegembiraan dan soraknya hati sangat mencengkeram jiwanya, sehingga dengan langkah ringan Lanang mengikuti ke mana Raden Klowor pergi.
Namun, tiba-tiba Lanangseta menahan tangan Raden Klowor, sehingga langkah kaki Raden Klowor pun terhenti.
"Kenapa, Guru?!" Raden Klowor memandang heran kepada Lanangseta. Tetapi, yang dipandang masih terpaku di tempat. Matanya terbelalak, tertegun memandang sebuah pohon. Mulutnya ternganga dan dadanya berdebar-debar.
"Guru.... kenapa begini? Ada apa?!" Klowor menampakkan keheranannya.
"Klowor..." Suara Lanang datar, seperti orang melamun.
"Ya, Guru...?" Klowor menjawab dengan sopan.
"Itu pohon apa, Klowor?"
"Pohon randu, Guru."
"Apakah ada pohon kapuk randu sebesar itu?"
"Nyatanya ada, Guru. Memangnya kenapa?"
"Jika kau melihat ada pohon randu sebesar itu, apa yang ingin kau katakan terhadap pohon itu?"
Raden Klowor diam sebentar, heran sekali. Tapi, untuk memuaskan hati Lanangseta, ia pun menjawab:
"Pohon randu kok sebesar gajah begitu. Pantasnya pohon randu itu dinamakan Randu Gajah, Guru."
Semakin tegang wajah Lanangseta. Ia pun memandang Raden Klowor dengan mata terbuka lebar, mirip orang kesetanan. Klowor jadi takut sendiri melihat wajah seram begitu.
"Kau menjebakku, Klowor...! Kau menjebakku!"
"Menjebak bagaimana, Guru? Ah, jangan membingungkan saya, Guru. Kasihanilah saya yang sudah sering dibuat bingung oleh sikap Guru selama ini."
Lanang terngiang kata-kata Rukmini ketika memberi keterangan tentang arah Lembah Kubur. Berjalan terus ke Selatan, sampai menjumpai pohon Randu Gajah, lalu membelok ke arah Timur dan sekarang...? Sekarang Randu Gajah sudah ada di depan Lanangseta. Ini berarti sudah dekat dengan wilayah Lembah Kubur. Tak aneh lagi, jika ia punya dugaan; masuk dalam jebakan Raden Klowor, yang masih diduga sebagai salah satu Utusan Lembah Kubur dalam penyamarannya. Karena itu, Lanangseta pun menggeram lagi.
"Guru, jangan memandangku demikian. Saya takut sekali melihat wajah Guru yang simpang siur begitu."
"Klowor....!" Suara Lanang menggeram. Ia siap memegang gagang pedang yang bertengger di punggung.
"Kau akan mati sebelum aku masuk ke dalam jebakanmu!"
Dengan keheranan yang menimbulkan rasa takut, Raden Klowor mencoba menjelaskan, walau dengan tergagap-gagap:
"Saya ingin membawa Guru ke rumah dukun bayi itu. Saya ingin menunjukkan bayi lelaki Guru yang kecil-kecil sudah perkasa, berkulit merah bagai tembaga membara, Guru!"
Lanangseta menggeleng-geleng, seperti robot kekurangan oli. Lalu, suaranya yang datar terdengar.
"Kau pasti akan membawaku ke Lembah Kubur, bukan?"
"Ke Lembah Kubur? Ah, ngaco saja Guru ini kalau bicara. Saya mana tahu arah dan letak Lembah Kubur, Guru?"
"Baik. Sekarang aku ingin tahu, setelah dari sini, kita akan pergi ke arah mana...?!" Sebab Lanangseta ingat kata-kata Rukmini, bahwa Lembah Kubur ada di sebelah Timur dari Randu Gajah. Sedangkan di sebelah baratnya adalah desa Truyan, yaitu sebuah desa yang tak pernah dijamah oleh kekejaman orang-orang Lembah Kubur. Dengan hati berdebar, Lanangseta menunggu jawaban dari Klowor.
"Guru, dari sini kita akan membelok ke sana, ke arah Barat. Sebab di sanalah rumah dukun bayi yang kami temukan dalam usaha pelarian kami tempo hari, Guru "
Lanangseta menghempaskan nafas lega. Seperti bebas dari himpitan barang berat.
"Desa Truyan namanya?"
"Benar. Desa Truyan, Guru. Nah, mari kita ke sana!" Dengan senyum ceria penuh kelegaan, Lanang merangkul Raden Klowor dan melangkah bersama.
"Tumben Guru baik kepada saya " kata Raden Klowor.
Menyadari kata-kata itu dapat menghilangkan kewibawaannya, Lanangseta buru-buru melepaskan rangkulan tangannya, kemudian ia berjalan sendiri dengan tegap. Gagah dan tampak keperkasaannya.
Desa itu tidak terlalu padat penduduknya. Jarak dari rumah ke rumah cukup renggang. Namun, kelihatannya dalam keadaan damai, tentram dan rakyatnya ramah tamah. Sudah beberapa kali Lanangseta mendapat anggukan dari penduduk setempat, anggukan bersama senyum, sebagai sapaan menghormat di antara sesama manusia. Padahal mereka dan Lanang belum kenal, tetapi sapaan menghormat tetap saja berlaku di desa Truyan itu. Alangkah bangganya Lanang memasuki desa tersebut, yang konon, menurut keterangan Rukmini, desa itu adalah desa tempat kelahiran penguasa Lembah Kubur yang amat kejam; Barong Dewa.
"Itu rumahnya....! Nah, dengar...! Ada suara tangis bayi, kan ?!"
Lanangseta mempercepat langkah, karena telinganya segera mendengar tangis bayi yang mendebarkan hati. Ketika ia dipersilakan masuk oleh Mak Upil, dukun bayi itu, maka hatinya benar-benar bersorak dan jantungnya semakin berdegup cepat. Matanya berbinar-binar memandang seorang perempuan yang duduk di balai-balai, hendak menyusui bayinya. Lanang segera berseru:
"Yaaaang ?!"
"Oh, kau datang juga, Lanang...!" Kirana menitikkan air mata ketika Lanang segera memeluknya dan mencium kening dan pipinya. Cahaya kegembiraan, lapisan bening kebahagiaan, menyelimuti mereka berdua, bertiga dengan bayi yang berhenti dari tangisnya, kendati belum disusui.
"Aku cemaskan keadaanmu, Lanang."
"Yang, aku tidak kekurangan apa-apa. Justru aku yang amat tegang memikirkan kamu. Apalagi ketika aku temukan rumah kita berantakan, ooooh... hatiku sepertinya sudah pecah. Kau tidak ada, rumah berantakan dan... Cambuk Naga pun tidak ada di tempatnya. Aku hampir saja bunuh diri. Untung aku takut mati, Yang "
Kirana mendesakkan wajah ke bahu Lanang dengan titik air matanya masih membasah. Air mata kebahagiaan. Kemudian, dengan lembut ia bicara kepada bayinya:
"Bapakmu datang, Le...! Lihat, itu yang namanya Pendekar Pusar Bumi, atau Malaikat Pedang Sakit.... Pandanglah dia... pandanglah perwiramu itu "
Lanang semakin terharu. Mata bayi itu belum bisa melihat, namun gerak-gerak bola mata yang tertutup kelopak tampak sedang memperhatikan bapaknya. Lanangseta sungguh iba kepada bayi itu dan istrinya.
"Maafkan aku, aku tidak bisa menunggui saat kau melahirkan, Yang."
Kirana hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Tak apa. Raden Klowor telah menunjukkan pengabdian dan kesetiaannya kepadaku. Ia yang menyelamatkan aku dari goresan kuku yang hendak membelah kulit dagingku."
Lanang menghela nafas. Ada rasa sesal yang dalam, karena ia telah memperlakukan Raden Klowor sebagai musuh, ternyata justru sebagai pelayan yang setia.
"Klowor....!" panggil Lanang, maksudnya mau minta maaf. Tetapi anak muda itu tidak ada. Menghilang begitu saja. Hanya saja menurut keterangan Mak Upil, Klowor tadi pamit mau pergi ke Lembah Kubur, setelah ia tahu dari Mak Upil, di mana letak Lembah Kubur. Wah gawat! Ia terlalu nekad!
* * * * *
--≡¦ { 6 } ¦≡--
"O, ya. Dan, andai kau nekad mau ikut, aku nekat tidak jadi berangkat," kata Lanang seraya mempermainkan jari tangan anak lakinya.
"Aku hanya bisa berdoa dan menyertaimu dari sini.
Jangan lupa namaku " bisik Kirana.
Lanangseta mengerti. Ia mengangguk, kemudian segera pergi ke Lembah Kubur. Waktu itu hari semakin sore. Tetapi cahaya bulan bersinar, seperti lampu neon yang sudah menyala menjelang maghrib.
Gerakan Lanang cukup gesit. Cepat dan penuh tenaga. Ia harus menyusul Raden Klowor sebelum anak itu sampai ke Lembah Kubur. Sebab, bagaimanapun juga jengkelnya Lanang kepada Raden Klowor yang mampu mengikuti jurus-jurusnya, tetapi Lanang berhutang budi, karena Raden Klowor ternyata memang benar menyelamatkan nyawa Kirana dan bayinya. Kirana sendiri yang bercerita banyak tentang Raden Klowor dengan segenap keanehan mimpinya.
Beberapa saat setelah Lanang melesat menuju ke arah Timur dari Randu Gajah, ia berhenti sebentar. Ada suara yang didengarnya di suatu arah. Letaknya sedikit jauh, tapi ada suara orang berseru tak jelas. Sepertinya sedang bertarung dengan sengit.
Oh, ternyata memang terjadi pertarungan sengit satu lawan dua. Lanangseta segera turun tangan, karena ia tahu, satu orang yang dilawan dua orang itu adalah Raden Klowor. Mulanya, Lanang hanya diam, memperhatikan jurus-jurus yang digunakan Klowor dalam bertarung melawan dua orang berkepala botak semua itu. Sempat pula Lanang terkesima memandang gerak dan jurus Raden Klowor yang dulu hanya ada pada dirinya, yaitu jurus pukulan Kilang Baja dan tendangan Kobra Jantan. Sungguh aneh, dan sangat mengherankan kalau sekarang jurus itu dikuasai oleh Raden Klowor. Padahal, hanya Lanangseta dan saudara kembarnya: Ekayana saja yang mempunyai jurus peninggalan leluhur mereka itu. Kapan Lanangseta mengajarkannya kepada Klowor, itu yang tak bisa dimengerti. Pasti kalau Klowor ditanya, jawabnya adalah mimpi. Lanang bosan mendengar jawaban seperti itu.
"Gila...! Tendangannya malah sudah sempurna! Ah, jangan-jangan dia pernah mencuri pandang waktu aku bertempur di suatu tempat menggunakan jurus-jurus itu?" pikir Lanang sebelum turun tangan.
Salah seorang lawan Raden Klowor menebaskan golok besar yang melengkung bagai perahu. Tetapi, dengan ringan dan lincah, Raden Klowor mengelak, melengkungkan badan ke belakang, lalu kakinya melentik ke depan, dan orang itu mendelik karena lehernya sempat terkena ujung kaki Klowor.
Lanang tersenyum bangga, sebab kalau saja ia menjadi Raden Klowor, ia juga akan berbuat demikian dalam keadaan seperti itu.
Seorang lawan yang lain, yang bersenjatakan tombak berujung garpu di kedua ujungnya, juga terbeliak sakit ketika ia menghunjamkan tombaknya, tetapi oleh Klowor dihindari dengan satu lompatan manis. Ketika melompat itulah kaki Klowor menendang dengan jurus tendangan samping. Lehernya dihantam kaki kanan Klowor dengan telak.
Hanya saja, ketika lawan yang menggunakan golok lengkung itu membuang senjatanya, kemudian memasang kuda-kuda seperti yang pernah dilakukan Sargono kepada Lanang, saat itu Lanang jadi cemas. Pasti ia akan menggunakan jurus cakar mautnya. Dan, Raden Klowor dapat terluka jika tidak siap betul menerima jurus yang cukup tangguh itu.
Itulah sebabnya, Lanang lalu segera melompat dari tempat persembunyiannya. Ia bersalto tiga kali di udara, dan begitu mendarat, sempat membuat Klowor terkejut.
"Oh, kau, Guru...?!"
"Hati-hati, mereka punya jurus maut melalui cakaran kukunya "
"Itu sudah ada dalam gagasan saya, Guru...! Istirahatlah di sana. Ada batu enak untuk diduduki. Dan biarkan kedua orang ini kuhadapi. Mereka jelas orangorang Utusan Lembah Kubur "
"Jangan sombong, lihat ke depan kau sudah terancam tombaknya!"
"Hiaaat !"
Benar, tombak yang kedua ujungnya berbentuk garpu tiga mata itu melesat ke arah dada Raden Klowor. Dengan cepat Raden Klowor memiringkan badan ke kanan, tombak itu molos, tapi hampir saja mengenai pundak Lanangseta. Untung Lanang segera meletik ke atas dan bersalto ke samping, kakinya tepat jatuh di belakang lawan yang telah tidak bersenjata golok itu.
Ternyata, orang tersebut telah menggunakan ilmu cakar mautnya, di mana ketika ia menyilangkan kedua tangan di depan wajah, gemetaran sebentar, lalu keluarlah kuku-kuku tajam dari semua jari-jemarinya.
Orang itu matanya menjadi merah, seperti membara. Ia mengibaskan tangannya ke belakang, sasarannya adalah dada Lanangseta. Tetapi, sebelum kuku-kuku tajam seperti pisau bedah itu menggores dada Lanangseta, tangan Lanang telah bergerak cepat menangkisnya. Kemudian tangan itu mengeluarkan asap kuning, dan orang tersebut menjerit kesakitan. Kulit lengannya yang beradu dengan tangan Lanang menjadi melepuh, seperti terbakar. Biru kehitam-hitaman.
"Bangsaaaaat...! Kubunuh semua keluargamu, Babiiii....!" Geram orang itu mengancam Lanangseta, "Hiaaaaaaaaat !"
Tendangan orang itu begitu cepat, antara kaki kanan dan kaki kiri bergantian dan sukar ditangkis. Satusatunya jalan, harus dihindari. Tetapi, Lanang agak terlambat, sebab salah satu dari tendangan itu telah berhasil menghentak di dada Lanang.
"Huuuggh !"
"Kubeset kau, Kunyuk! Heeeeaaah !"
Sekelebat gerakan tangan mencakar terlihat dari atas kepala Lanang ke bawah. Tepat di depan muka. Kalau saja Lanang tidak segera berguling ke tanah dan menendang selangkangan orang itu dengan kuat, wah... habis sudah wajah Lanang yang ganteng itu terkena besetan kuku tajam. Sekarang, orang itu justru membungkuk kesakitan sambil memegangi 'rudalnya' yang terasa mau pecah karena disodok kaki Lanang dengan kuat.
"Uuuh.... Bangkai busuuuuk !" erangnya kesakitan.
Kesempatan itu digunakan Lanang untuk mempercepat pertarungan. Dengan menggerakkan tangan kanan dan tangan kiri dalam putaran tiga kali, tahu-tahu kedua tangan Lanang itu menghentak dari dua sisi, kanan dan kiri, menjepit dalam satu sentakan keras kepala orang tersebut. Terdengar suara; "Praaakk...!" Kedua tangan Lanangseta itu bagai sepasang lempengan baja yang dipakai menjepit buah kelapa muda.
Tentu saja orang itu enggan menjerit, sebab jantungnya terhenyak, nafasnya sukar dikendalikan, kepalanya pecah dan berhamburan darah ke mana-mana. Mendelik pun ia tak sanggup. Matanya menjadi redup, sayu. Ia hanya sanggup jatuh bergedebug, seperti nangka busuk. Menggelepar tanpa disuruh, dan kejang-kejang seperti kambing dipotong. Kemudian, kejangan dan geleparan itu berhenti. Mungkin capek, tapi ternyata berhenti untuk selama-lamanya. Modar!
Saat itu, terlihat oleh Lanang, bahwa Raden Klowor masih mampu bertahan tidak menggunakan senjata Cambuk Naga yang terselip di pinggang belakang.
"Percepat kematiannya, Klowor...! Jangan main lompat-lompatan melulu. Banyak urusan lain!" seru Lanangseta.
Sambil menghindari tebasan tombak garpu, Klowor menjawab.
"Baik, Guru...!"
Kemudian, kaki Raden Klowor seperti kuda. Tangannya menapak di tanah dan pantatnya nungging, sambil demikian kaki keduanya menjejak ke belakang! Tendangan ala kuda birahi itu tepat mengenai perut dan ulu hati lawan, sehingga orang itu terpental ke belakang dengan mata mendelik.
Dalam hati Lanangseta menggumam kagum.
"Gila...!
Ia juga menguasai jurus Turangga Sujud...?!"
Tiba-tiba, gerakan Klowor begitu mengejutkan. Ia menggunakan jurus Lindung Bumi.
"Bleeesss...!" Ia bagai ditelan bumi. Dan itu sangat membingungkan lawan. Ketika pada saat clingak-clinguk kehilangan Raden Klowor, tahu-tahu dari arah belakangnya tanah menyembur ke atas, bersamaan dengan itu melesatlah tubuh Raden Klowor, dan menjejak tengkuk kepala lawan dengan keras. Jejakan itu terjadi dua kali dengan cepat, sehingga lawan tak sempat terpekik sebentar pun, kecuali nafasnya terhempas dalam satu sedakan.
"Haaaagh...!"
Kemudian, darah kental pun menyembur dari mulut orang itu. Ia hendak jatuh, namun senjatanya segera dipakai untuk menopang dirinya. Raden Klowor tidak sabar, ia segera melompat ke depan lawannya, menendang dengan kaki kiri dan membuat senjata tombak berujung garpu itu miring ke dalam, lalu kaki kanannya terangkat, dari atas dihentakkan ke bawah, tepat mengenai kepala orang itu lagi. Dan, senjata itu pun segera menancap di dada pemiliknya, karena tubuh tersebut bagai dihempaskan dari atas dan disambut oleh keruncingan tombaknya.
"Jruuuubb...!"
Memang tidak tembus sampai ke punggung, namun tiga mata garpu tajam itu mampu menancap tepat di jantung dan paru-parunya. Darah menyembur dari luka, seperti curahan tempayan bocor.
Raden Klowor tampak girang, bangga, dan ia bertepuk tangan sendiri setelah berhasil mengalahkan lawannya. Lanangseta segera menepak punggung Raden Klowor: "Hei, sudah....! Begitu saja tepuk tangan sendiri...!"
"Dia mati! Dia mati, Guru!" Raden Klowor tampak girang dan bersemangat kendati sudah berhenti bertepuk tangan.
"Kau bangga sekali, ya?"
"Ya. Saya bangga, Guru. Sebab, seumur hidup baru kali ini saya bisa membunuh lawan yang berat dengan ilmu-ilmu pemberian Guru. Wah, ilmu yang hebat itu, Guru. Dapat dari mana? Ah, saya tetap mau menyerap ilmu yang banyak dari Guru, ah....! Sabar ya, Guru. Nanti semua ilmu juga akan mampu diturunkan kepada saya. Yihuuuuuiii...!" Ia melonjak kegirangan.
Sebenarnya Lanang ingin menanyakan; dari mana jurus Turangga Sujud itu diperolehnya. Sebenarnya juga Lanang akan membantah bahwa ia tak pernah mengajarkan satu jurus pun kepada Raden Klowor. Tetapi, rasa-rasanya percakapan itu akan menjadi percakapan yang sia-sia. Percuma, sebab ujung-ujungnya akan kembali ke mimpi. Memang aneh anak muda itu. Misterius sekali, dan... menjengkelkan juga. Oleh sebab itu, Lanang segera mengalihkan pembicaraan ke masalah Lembah Kubur.
"Kita terus menuju ke pusat, ke sarang mereka, Klowor!"
"Mari. Saya sudah tidak tahan lagi, ingin segera membasmi setan-setan Lembah Kubur."
"Kau tahu tempatnya?"
"Saya melihat orang-orang ini keluar dari arah sana, dekat sebuah sungai kering."
"Bagus. Kalau begitu kita harus segera ke sana. Kurasa mereka berdua itu dalam perjalanan tugas mencari mangsa ke desa lain."
"Kurasa juga begitu, Guru. Yang penting, kita selidiki dulu, bagaimana suasana di sarang mereka, dan berapa kekuatan mereka."
"Kalau soal kekuatan mereka, hanya ada sembilan anak buah Barong Dewa."
"Sembilan? Dari mana Guru tahu?"
"Rukmini, anak Lurah Kedungrejo yang menjelaskannya kepadaku," jawab Lanang seraya melangkah.
"Kok dia tahu, Guru?"
"Dia pernah punya kekasih orang Lembah Kubur, dan mati dibantai oleh kawan sendiri. Itu terjadi, karena pemuda yang mencintai Rukmini membuka rahasia kepada Rukmini, dan mungkin ada yang mendengarnya."
"Oooo...?!" Raden Klowor manggut-manggut. Tubuhnya yang kurus melambai-lambai waktu berjalan.
"Kalau mereka ada sembilan, maka sekarang pasti tinggal tujuh orang, ya Guru? Kan yang dua sudah kita gilas!"
"Masih ada enam," potong Lanangseta.
"Sebab, ketika aku pergi dari bukit Bulan, ada satu orang dari mereka yang berhasil kubunuh di depan penduduk...!"
"Ssssst...! Ada dua orang lagi mendekat kemari, Guru " bisik Raden Klowor. Segera mereka berdua merunduk di balik pepohonan semak.
"Tampaknya mereka juga orang-orang Lembah Kubur."
"Benar," bisik Lanangseta.
"Tetapi, yang satu orang itu aku mengenalnya," Lanang menyambung kata-katanya setelah diam beberapa lama.
"Ya, aku juga mengenalnya, Guru. Dia itu kan... Bayan Putung, ya?"
"Ya. Bayan Putung yang katanya punya anak dibedah oleh utusan Lembah Kubur !"
"Lho, kok Guru tahu?"
"Karena dialah orang yang pertama kali kutuju, ketika aku pergi dari bukit Bulan," jawab Lanangseta sambil matanya mengawasi gerakan orang bertubuh pendek gemuk itu.
"Bukankah Bayan Putung adalah salah satu korban keganasan orang-orang Lembah Kubur? Anaknya sendiri yang sedang hamil berhasil dibedah perutnya oleh Utusan dari Lembah Kubur. Lantas, kira-kira dia ada keperluan apa datang ke mari, ya Guru?"
"Hemm " Lanang menggumam.
"Tidak mustahil kalau dia ternyata adalah bagian dari orang-orang Lembah Kubur."
"Ah, masa' dia tega memangsa anaknya sendiri. Itu kan sama saja dia menculik cucunya dari dalam kandungan sang ibu. Apa tega dia berbuat begitu, Guru?"
"Sesuatu yang menarik dari Barong Dewa, mampu membuat hati orang lupa daratan. Mungkin saja imingiming sebuah ilmu kesaktian yang dahsyat, yang akan diberikan kepada mereka apabila mereka mampu mencarikan sekian banyak bayi untuk kesaktian sang Penguasa Lembah Kubur, bisa saja Bayan Putung lantas tega kepada anaknya dan cucunya sendiri. Barangkali juga ada janji untuk diberikan ilmu untuk mencari kekayaan, seperti babi ngepet atau yang lainnya."
"Ck, ck, ck... tega nian mereka, ya?"
"Sssst...! Sudah diam. Untuk kekayaan memang orang dapat saja beralih menjadi kejam. Yang penting, sekarang kita hadapi saja dia, rampungkan keduanya dengan cepat, baru Kita menyusup ke sarang mereka. Kukira sudah tidak jauh lagi dari sini."
"Baik, Guru. Biarlah mereka saya hadapi sendiri "
Lanangseta tidak menjawab, karena Raden Klowor segera melompat dan bersalto, tahu-tahu berdiri menghadang langkah kedua orang itu.
Bayan Putung terperanjat kaget, namun lebih kaget lagi temannya yang nyaris kejatuhan tubuh Raden Klowor.
"Siapa kau, Iblis?!"
Raden Klowor tertawa pendek.
"O, ho... ada iblis teriak iblis...." Kedua orang itu menggeram dengan kesal. Mata mereka memandang nanar. Buas!
"Bayan Putung...." kata Raden Klowor.
"Anakmu menjadi korbanmu sendiri, ya? Dan cucumu ? Ah, kasihan sekali kalau punya kakek yang tega mengorbankan cucunya sendiri demi suatu tujuan!"
"Persetan dengan kau! Dia bukan anak kandungku! Dia cuma anak angkatku! Minggir, atau kubunuh kau, Gembel Sinting?!"
Lanangseta hanya menggumam dalam hati dari balik persembunyiannya. Agaknya Raden Klowor di kenal orang sebagai Gembel Sinting, dan... mungkin juga anak itu memang sinting. Ah, soal itu tak perlu dipikirkan dulu, menurut Lanang. Yang penting ia memantau keberanian Raden Klowor yang dianggap berani tanpa perhitungan karena sinting.
"Apa maksudmu menghadang kami, hah?!" gertak orang berbaju hijau teman Bayan Putung.
"Apa urusanmu bertanya begitu, hah?" Lagak Raden Klowor mulai tengil. Ia yakin, ilmunya akan mampu menandingi ilmu mereka.
"Aku tahu, kalian mau mencari mangsa bayi lagi, ya? Wah, sekarang sudah susah, Mas! Sekarang tiap urusan dari Lembah Kubur yang hendak mencari bayi, harus melalui mayatku dulu. Kalau tidak, yah... terpaksa sampean-sampean sendiri yang jadi mayat. Suka tidak suka, harus suka jadi mayat...?" Klowor menyeringai tengil. Ia tolak pinggang dengan kaki terayun-ayun, njot-njotan. Ini sangat memanaskan orang berbaju hijau berikat kepala merah.
"Hajar saja dia!" geram Bayan Putung.
"Heaaahhh..!" Orang berbaju Hijau melesat, dengan kedua tangan menebas ke kanan kiri. Klowor hanya mundur satu langkah, lalu dengan cepat menggerakkan kakinya, melayang setengah melingkar, dan tepat kena di rahang orang itu.
Orang berbaju hijau belum waktunya tua itu sempat mengeloyor dan menggeragap hendak jatuh. Ia agaknya punya ilmu yang pas-pasan. Jangan-jangan murid baru di Lembah Kubur itu. Ah, tidak perduli! Yang penting, Raden Klowor harus mengalahkan mereka berdua. Harus cepat, singkat dan tepat. Itu harapan gurunya; si Pendekar Pusar Bumi.
Maka, tanpa sungkan-sungkan lagi, Raden Klowor menggunakan jurus mautnya, berupa tendangan Kobra Jantan. Salah satu kakinya naik ke atas, tidak turunturun, seakan sedang mempermainkan wajah orang berbaju hijau yang bergerak-gerak siap menghindari tendangan. Tahu-tahu, kaki itu bergerak ke kiri, yang ditendang menghindar ke kanan, tapi ternyata kaki tersebut segera menghentak dari kiri ke kanan kepala lawan.
"Plook...!"
Lawan limbung, hampir jatuh ke kanan, tetapi segera di sambut oleh satu lompatan kaki kiri, dan kaki itu sendiri langsung menyongsong kepala yang hendak rubuh ke kanan.
"Proook...!"
"Ooouuuh...!" Sekali lagi kaki Raden Klowor bergerak dari depan dadanya lurus ke depan jauh.
"Ngekk...!" Leher jadi sasaran, sehingga orang berbaju hijau itu mendelik seperti menelan sendok atau centong nasi. Dan, akhirnya pukulan telak berkekuatan tinggi menyempurnakan serangan Raden Klowor. Dada lawan dihantam kuat-kuat hingga baju hijaunya mengeluarkan asap Terbakar. Dan, tentu saja orang tersebut segera terkulai sambil mendelik, kemudian rubuh tanpa disuruh.
Melihat kecepatan gerakan dan ketangkasan Raden Klowor, Bayan Putung segera menggunakan jurus simpanannya. Ia merenggangkan kaki, menyilangkan kedua tangannya di wajah, kemudian badannya gemetaran sebentar, dan... dari ujung tiap jarinya muncul kuku-kuku panjang yang tajam. Seperti pisau yang habis diasah.
"Hooaaaaooww...!" Bayan Putung menggeram. Kukukukunya mulai bergerak perlahan, membentang ke kanan kiri dan siap menyabet ke depan. Tetapi, kakinya dulu yang bergerak menendang Klowor. Oleh Klowor kaki itu dihindari, namun ia berputar ketika melompat dengan kibasan keras menampar dagu.
Bayan Putung terlempar kepalanya membentur batu dengan keras. Darah mengalir, namun ia tidak mati. Ia justru melakukan gerakan aneh. Tangannya terbuka lebar, kemudian kedua tangan itu menepuk tanah tiga kali.
"Buk, buk, buk...!" Tepukan yang ketiga, tangan masih tetap menempel pada tanah. Bergetar kuat. Lalu, tanah tempat kedua telapak tangannya menempel itu menjadi merah bagai membara. Klowor tidak bergerak, karena terkesima memandang keanehan ilmu tersebut.
Tak lama kemudian, sesuatu yang amat ajaib terjadi mencengangkan Klowor maupun Lanangseta dari persembunyiannya. Sebab tak berapa jauh dari belakang Bayan Putung, tanah di sana menjadi merekah. Bumi bergetar bagai ada gunung yang hendak meletus. Getarannya makin lama semakin kuat dan sangat mengerikan.
Setelah itu disusul dengan kemunculan sosok manusia bertubuh tinggi, besar, menyerupai sebuah pohon dengan kulitnya yang berlumut dan bersisik. Manusia itu lengkap seperti halnya manusia biasa, hanya bedanya, tubuhnya lebih besar dan lebih tinggi. Raksasa dalam ujud manusia biasa. Tidak ada keanehan lain pada dirinya kecuali pada kulit dan keadaan tubuhnya.
Setelah kemunculan manusia berlendir, muncul lagi empat manusia biasa yang juga berada dari tanah yang retak dan membentuk semacam jurang. Empat manusia bertampang kaku, dingin dan angker itu maju di depan kanan kiri manusia raksasa berlendir.
Lanangseta mulai berdiri dari tempat persembunyiannya.
"O, ini ujudnya Barong Dewa. ?! Pasti dia, si raksasa itulah yang suka memakan bayi dari dalam kandungan!"
"Grrrr...!" Barong Dewa mengerang dengan menyeringai. Giginya tampak besar-besar, menyerupai kampak kayu yang tajam-tajam. Ia bersuara gemuruh, seperti guruh.
"Maju, seraaaaaang...!"
Keempat orang itu segera sama-sama melompat menyerang Raden Klowor. Tetapi, Klowor lari menjauh, karena ada rasa takut menghadapi raksasa berlendir itu.
"Gunakan Cambuk Naga...!" teriak Lanangseta kepada Klowor dari tempat persembunyiannya.
"Tar...! Tar...!" Dua kali Cambuk Naga segera melecut di udara. Lecutan pertama tidak mengenai sasaran, tetapi lecutan kedua singgah di punggung Bayan Putung, sehingga punggung tersebut terpotong menjadi dua bagian tanpa mengenal ampun lagi. Keempat orang penyerang lainnya masih berusaha menyerang Raden Klowor. Mereka mulai mengepung Raden Klowor. Tetapi, dengan kecepatan luar biasa, Raden Klowor memutarkan Cambuk Naga di udara. Bunyi ledakan berulang kali terdengar, dan tubuh keempat lawannya yang mengepungnya itu menjadi berantakan dihajar Cambuk Naga. Tubuh mereka tak ada yang utuh dalam waktu singkat. Ada yang kehilangan kepala, ada yang dadanya pecah, ada yang perutnya terbelah, ada juga yang pundaknya terpisah dari bagian tubuh lainnya, sehingga dalam satu gebrakan, Cambuk itu telah menewaskan lawan dengan mudah.
Lanangseta terbengong dari tempatnya. Ia menggumam:
"Gila...! Sinting sekali bocah itu! Jurus Cambuk Naga andalan Sekar Pamikat bisa ada padanya? Dikuasai lagi! Dari mana ia peroleh jurus-jurus maut Cambuk Naga itu?"
Kali ini, Lanangseta terhenyak ketika semburan api keluar dari mulut Barong Dewa. Rambutnya yang kempal dan panjang itu mengibas menimbulkan angin besar. Angin itu bagai menambah berkobarnya api yang disemburkan dari mulut. Nyaris tubuh Raden Klowor terbakar hangus, jika ia tidak segera berguling-guling ke tanah menghindari semburan api.
Cambuk Naga dilecutkan dalam keadaan terbaring.
"Taaar...!" Kaki Barong Dewa terkena ujung cambuk, dan kaki itu pun mulai somplak. Seperti sebongkah batu yang gompal sebagian besar. Barong Dewa menjerit dengan keras:
"Hoaaaaahhhh...!"
Tiga buah pohon rubuh seketika itu karena getaran yang keluar dari mulut Barong Dewa dan hembusan angin dari teriakannya itu. Sekali lagi, Raden Klowor hanya melompat ke samping dan berguling-guling lagi menghindari rubuhan pohon yang nyaris menimpanya.
"Hajar terus kakinya...!" teriak Lanangseta dari tempatnya. Ia belum mau bergerak untuk turut campur dalam pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang itu.
Kali ini, kaki Barong Dewa melangkah beberapa kali dan menimbulkan getaran hebat pada permukaan tanah. Suara langkah kakinya pun berdentum-dentum bagai irama bedug raksasa. Ia mendekati Raden Klowor dan hendak menginjaknya.
"Gerakkan jurus Cambuk Kelabang Murka...!" teriak Lanangseta yang sengaja ingin melihat keuletan Raden Klowor. Ia sadar, bahwa ia belum pernah mengajarkan jurus itu, tapi ia mencoba, siapa tahu Klowor mengerti maksudnya.
Eh, ternyata Klowor benar-benar bisa menggunakan jurus Cambuk Kelabang Murka. Ia mengibas-ngibaskan cambuknya ke atas, ke udara seperti ia mempermainkan tali biasa. Tetapi, dalam setiap kibasan timbul ledakan-ledakan yang memancarkan api. Ujung cambuk mengenai selangkangan Barong Dewa, sehingga semakin menjeritlah raksasa berlendir itu. Sebagian paha dan sekitarnya rusak, gompal dan mengucurkan darah amiiiiisss... sekali. Lanangseta hampir saja muntah ketika itu. Untung ia sama dengan Klowor; mampu menahan diri untuk tidak muntah.
Gerakan Cambuk Kelabang Murka semakin ganas, disertai dengan bangkitnya Klowor dan melompatnya tubuh itu. Pada saat tubuh Klowor melompat, cambuk tersebut masih bergerak seperti bendera tertiup angin. Namun, ada tenaga inti yang tersalur dan menimbulkan ledakan maut yang senantiasa mengenai dan melukai tubuh lawan. Barong Dewa meliuk-liuk hampir jatuh, karena dadanya gompal terkena jurus Cambuk Kelabang Murka. Lalu, dalam keadaan yang kritis itulah, Klowor menggunakan jurus lain, mengibaskan cambuknya dan "Blaaaarr...!" Kepala Barong Dewa hancur berkeping-keping, lalu rubuh dengan meninggalkan getaran yang cukup mengerikan. Tanah yang dipakai untuk rubuh itu ambles beberapa meter dalamnya.
Klowor berdiri di ujung sebuah batu, nafas terengahengah, cambuk masih tergenggam di tangan. Ia meski ceking namun mampu berdiri dengan tegak dan kekar. Lanangseta berdecak kagum. Jurus-jurus Sekar Pamikat dan jurusnya sendiri diserap habis oleh Raden Klowor. Mungkinkah ia adalah sosok Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya? Lalu, siapakah dia itu? Anak manusia? Atau anak setan? Atau... anak raja tidur yang selalu mendapat ilmu lewat mimpinya? Lantas, bagaimana hubungannya dengan Jaka Bego, Dewa Seribu Mimpi itu?
TAMAT
INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA | |
<< Seruling Kematian --oo0oo-- Prahara Raden Klowor >> |