Life is journey not a destinantion ...

Racun Puri Iblis

INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
Racun Puri Iblis --oo0oo-- Rahasia Sendang Bangkai >>

LANANGSETA
Pendekar Cambuk Naga
Karya: Barata

--≡¦ { 1 } ¦≡--

CAHAYA petir berkelebat terang di angkasa, bagai hendak merobek langit. Disusul suara guntur bergemuruh, dan Bukit Tanah Iblis bagai bergetar. Hembusan angin kencang bagai mendatangkan selaksa jarum dingin yang menembus tulang. Begitu mencekamnya dingin, namun tak mampu membuat seorang gadis beranjak dari puncak Bukit Tanah Iblis.
"Sebentar lagi kita akan kehilangan matahari, Putri Ayu. Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke pondok?"
Seorang lelaki pendek bertubuh kekar mengajak bicara gadis asuhannya. Lelaki yang hanya mengenakan baju buntung seperti rompi itu tak lain adalah Ludiro. Sedangkan gadis berbadan kurus yang sejak tadi berdiri tegak menatap cakrawala itu sesungguhnya adalah Putri Ayu Sekar Pamikat. Hanya saja, ada sesuatu hal yang membuatnya resah dan merasa janggal dengan mengaku sebagai Putri Ayu Sekar Pamikat. Ia sering menahan nafas di dalam dada jika seseorang mau memanggilnya Sekar Pamikat.
Awan mendung menggulung-gulung, menaungi Bukit Tanah Iblis, yang terletak sebelah barat hutan jati, sebelum hutan itu menjadi pusat kerajaan Majapahit. Dari atas Bukit Tanah Iblis itu, dapat terlihat jalan berbatu yang bagai menyusuri kaki bukit. Sesekali mata Sekar Pamikat tertuju di jalanan itu, bagai ada sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ludiro sendiri juga ikut memperhatikan jalanan berbatu cadas, sesekali menggumam, sering kali menggerutu.
"Saya rasa mereka tidak akan lewat daerah ini, Putri."
"Kalau kau bosan, pulanglah ke pondok lebih dulu. Biar aku sendiri yang akan menghadapi mereka, Paman Ludiro."
Suara Sekar Pamikat begitu lembut, namun sesungguhnya cukup menggetarkan hati Ludiro. Ia tahu, itu suara geram.
Ludiro tidak beranjak pergi, melainkan justru mendekat ke tebing dan duduk di sebuah batu besar. Punggung Putri Ayu Sekar Pamikat tepat ada di depannya. Pada punggung berkulit mulus itu terlihat sebatang gagang cambuk berkepala naga. Cambuk berwarna hitam melingkar dalam tempat khusus yang diatur sedemikian rupa, sehingga jika ditarik gagangnya, maka cambuk itu akan meluncur deras ke suatu arah. Dan Putri Ayu Sekar Pamikat paling jago menggunakan senjata cambuk itu, daripada menggunakan sebilah pedang yang terselip di pinggang kirinya. Cambuk itu sangat tersohor di dunia persilatan, sehingga dari cambuk itulah maka Putri Ayu Sekar Pamikat mengumandangkan gelarnya sebagai Pendekar Cambuk Naga.
Mendung kian pekat. Ludiro gelisah, sebab ia paling benci dengan air hujan.
"Bagaimana jika mereka menunda keberangkatan? Apakah kita akan langsung datang ke Kadipaten Jangga?" tanya Ludiro sekedar menghalau kegelisahannya.
"Kalau memang begitu kenyataannya, apa boleh buat, Paman Ludiro," jawab Sekar Pamikat tanpa berpaling ke arah Ludiro. Ia tak tahu kalau Ludiro saat itu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dan mengerti betul apa yang menjadi rencana Sekar Pamikat.
"Lalu, apakah Raden Praja, putra Adipati Jangga itu harus kita bunuh sekalian? Bukankah ia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?"
Kali ini, Sekar Pamikat berpaling memandang Ludiro.
"Aku tidak pernah menyuruh Paman untuk membunuh Raden Praja. Aku hanya bermaksud menjelaskan kepadanya siapa sebenarnya Nawang Puri itu. Aku hanya ingin menyarankan agar Raden Praja membatalkan perkawinannya dengan Nawang Puri. Jika Raden Praja menolak saranku, baru aku akan membunuhnya, Paman."
"Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan orang Kadipaten Jangga, Putri Ayu."
"Apakah kau gentar, Paman Ludiro?" bisik Sekar Pamikat.
Ludiro gelisah, bingung memberi jawaban. Ia hanya menggeleng dan membuang pandangan matanya ke arah lain. Pada saat itulah tiba-tiba ia berteriak: "Awasss...!"
Sebatang anak panah melesat menuju arah mereka. Ludiro menggulingkan tubuhnya ke arah samping, dan kepalanya sempat terbentur batu sehingga lecet dan memar. Matanya mulai tegang, membelalak memandang Sekar Pamikat yang masih berdiri dengan tenang. Lebih terheran-heran lagi bagi Ludiro, ia melihat anak panah itu berada dalam genggaman Sekar Pamikat.
"Putri...! Awas...!" Ludiro memekik melihat sebatang anak panah melesat Lagi dan kali ini menuju punggung Sekar Pamikat.
Sekar Pamikat masih berdiri memandang Ludiro. Namun tangan kirinya dengan gesit menyambut luncuran anak panah yang nyaris menembus punggungnya. Anak panah itu berhasil ditangkap kendati ia tidak melihat ke arah datangnya benda kecil itu. Ia membalikkan tubuh, memandang kearah datangnya anak panah itu. Tepat pada saat ia berbalik, ia disambut oleh tiga anak panah yang meluncur sekaligus. Lalu tiga menyusul lagi, dan tiga lagi menyusul beruntun.
"Hiaaatt...!" Sekar Pamikat meloncat kesamping sambil bersalto melingkar. Pada kesempatan itu, sebilah pedang berkelebat dari pinggang Sekar Pamikat, lalu terdengarlah bunyi: "krak, krak, krak..," secara beruntun. Ketika Sekar Pamikat berdiri kembali dengan tegak di atas sebuah batu besar yang datar, ia melihat anak panah itu telah patah semua. Teriris rapi bagai sebuah timun terpotong.
"Mereka ada di bawah!" seru Sekar Pamikat. Lalu tanpa menunggu komando lebih lanjut, Ludiro melayang berjumpalitan menuruni lereng bukit.
Setibanya di bawah ia disambut oleh sebatang tombak yang nyaris menancap di ubun-ubunnya. Ia berkelit seraya membuang pisau kecil dari balik ikat pinggangnya.
"Wess...!" Pisau itu menerjang rerumputan tinggi, menembus terus ke satu arah dan menancap di dada seorang lelaki yang bersembunyi di sana.
"Aaaakh...!" Lelaki itu memekik, lalu rubuh. Ludiro hendak memeriksa di balik rerumputan itu, namun tiba-tiba sebuah serangan meluncur dari samping kirinya. Tendangan itu begitu kuatnya sehingga ketika rahang Ludiro terkena, ia terpelanting ke kanan dan jatuh tersungkur.
Dua orang berpakaian kembar itu menerjang dengan tombak mereka. Nyaris mengenai tubuh Ludiro jika ia tidak segera berguling-guling ke tempat lain. Tombak mereka menancap di tanah. Ludiro bergegas bangkit dan melayangkan jurus tendangan ganda yang diberinya nama: jurus Tendangan Dewa.
"Bangsat kalian...!" pekik Ludiro setelah kedua lawannya terhuyunghuyung ke belakang sambil memekik kesakitan. Pada saat itu, Ludiro hendak menyerang lagi, tapi sebilah pedang menebas arah kepalanya sehingga Ludiro merunduk lalu berguling ke arah kaki lawan. Dengan suatu hentakan keras, kaki Ludiro menendang alat vital salah seorang dari kedua lawannya itu. Orang tersebut menjerit kuatkuat, pedang di tangannya terlepas. Ludiro tak mau menunggu lawan yang satunya membabat habis tubuhnya, ia segera berdiri dan menghentakkan kakinya di leher orang yang kesakitan pada alat vitalnya. Ludiro tetap menekan leher orang tersebut dengan sebelah kaki ketika musuh yang satu lagi menyerangnya dengan sebilah pedang yang serupa dengan pedang milik temannya. Ludiro nyaris robek dadanya oleh pedang itu. Hanya sebuah goresan tipis yang membekas di dada Ludiro. Untung ia segera mengandalkan jurus Pukulan Hati Dewa, sehingga orang tersebut terpental ke belakang, kepalanya membentur pohon.
Kaki Ludiro yang menekan leher musuhnya dilepaskan, sebab orang itu telah berhenti menggelepar-gelepar dan mati tanpa basa-basi lagi. Ludiro segera menghampiri musuhnya yang sedang keliyengan itu.
"Setan mana kau sebenarnya?! Apa perlunya mengganggu kami, ha?.'" bentak Ludiro.
Orang itu tidak menjawab, namun bahkan melambung ke udara seraya mengayunkan pedangnya berkali-kali. Kecepatan ayunan pedang begitu mengagetkan Ludiro sehingga ia buruburu berguling ke tanah. Ketika ia bangkit lagi, ia sudah menemukan kekuatan dan kesadarannya. Namun orang bertubuh kekar tadi telah melarikan diri. Langkah larinya begitu cepat dan mengagumkan hati Ludiro.
Walau begitu, ia tetap berusaha untuk mengejarnya melalui arah lain. Ia yakin dapat mencegat orang tersebut. Dan betul juga dugaannya, ia berhasil memotong jalan sehingga lebih cepat berada di jalan depan orang itu. Namun ia terpaksa menggerutu tak jelas, sebab ia melihat Sekar Pamikat sudah berdiri menghadang orang tersebut. Ludiro sendiri melihat betapa beraninya orang itu, menyerang Sekar Pamikat dengan sebilah pedang. Tapi agaknya Sekar Pamikat tidak memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk menyerang kedua kalinya.
"Sreet...!"
Sekar Pamikat mencabut pedangnya. Sekelebat. Cepat. Musuhnya tak sempat terkejut ketika tahu-tahu dadanya robek dan jantung nya pun terbelah menjadi dua bagian oleh ujung pedang Sekar Pamikat. Maka orang itu pun rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mati tanpa berkelojot.
Sekar Pamikat dengan tenang menyarungkan pedangnya yang bernama Pedang Jalakpati. Tubuhnya yang kurus dengan pakaian bergaya dodotan sebatas dada, dibiarkan dihembus angin pembawa embun hujan. Ludiro mendekatinya dengan langkah-langkah kecewa.
"Maaf, Paman... terpaksa aku percepat masalah ini."
"Itu sama saja menganggap saya tidak mampu mengalahkan orang itu, Putri," Ludiro berbicara bagai orang menggerutu. Ia masih memandangi mayat musuhnya.
"Bukan soal tidak mampu, tapi lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar lagi daerah ini akan dilalui rombongan Raden Praja yang akan berembuk soal perkawinannya dengan Nawang Puri"
"Dari mana Putri tahu kalau sebentar lagi mereka akan lewat?" Ludiro berkerut dahi.
"Paman tidak mengenali ketiga orang itu?".....
Ludiro memperhatikan mayat yang masih terkapar tak jauh dari kaki Sekar Pamikat.
"Apakah orang ini ada hubungannya dengan Raden Praja?"
"Ya," jawab Sekar Pamikat sambil melangkah.
"Mereka adalah prajurit Kadipaten Jangga. Mereka prajurit pengintai. Merekalah yang berjalan paling depan dari rombongan Kadipaten, tugasnya menyelidiki tempat yang akan dilalui kerabat dan keluarga Kadipaten. Dan kurasa mereka telah mendengarkan pembicaraan kita di atas tadi, Paman. Sebab itulah mereka ingin membunuh kita."
Ludiro manggut-manggut, mengelus cambangnya yang tipis. Ia menggumam lirih, "Hemm... rupanya mereka pengawal depan dari rombongan Kadipaten..." Guruh menggelegar di angkasa, namun hujan belum juga turun. Sekar Pamikat duduk di sebuah batu, di balik cadas besar yang layak sebagai tempat persembunyian. Ludiro yang bertugas mengawal keselamatan Sekar Pamikat, kali ini sengaja berlindung di sebuah batu cadas, di seberang jalan. Suara langkah kaki kuda berderap-derap di kejauhan. Roda kereta bergeretak samar-samar. Itu pertanda rombongan dari Kadipaten Jangga sedang menuju ke arah Lembah Bukit Tanah Iblis. Sekar Pamikat dan Ludiro semakin bersiaga dari tempatnya masing-masing.
Derap kaki kuda semakin jelas. Debu beterbangan berbaur dengan kelembaban embun hujan. Sekar Pamikat memberi isyarat kepada Ludiro, dan beberapa detik kemudian Ludiro keluar dari tempat persembunyiannya, ia berdiri menghadang derap-derap kaki kuda.
Dua penunggang kuda paling depan segera menarik tali kekang kuda. Dalam jarak kurang lebih 50 meter rombongan itu berhenti. Ranggowo dan Darmala turun dari punggung kuda, namun mereka tidak mendekat. Ranggowo berbicara kepada ketiga penunggang kuda yang berada di belakangnya.
"Katakan kepada Raden, ada penghalang yang mau cari mampus. Biar kuhadapi dulu bersama Darmala!"
"Hati-hati, Kakang Ranggowo," ujar penunggang kuda yang bertugas menghubungi kereta berkuda empat itu.
Ludiro mendekat, menampakkan sikapnya yang tidak bermusuhan. Suaranya cukup tegas kendati disertai dengan senyum sedikit hambar.
"Maaf, saya terpaksa mengganggu perjalanan Tuan-tuan."
Tanpa bicara sepatah kata pun, Darmala yang berkumis lebat itu langsung melancarkan pukulan ke arah Ludiro.
"Heaaat...!!"
"Wuss... wus..."
Ludiro menghindari pukulan itu dengan sedikit menggeragap. Ia tak sempat berpikir akan datang serangan secara tiba-tiba. Darmala dan Ranggowo mengepung Ludiro dengan jurus-jurus yang siap dilancarkan.
"Tunggu, Tuan-tuan...! Tahan emosi Anda!" Ludiro mengingatkan. Namun ia sendiri bersiap mengambil jurus untuk menanggulangi serangan dari kedua orang Kadipaten Jangga itu. Agaknya Darmala lebih bernafsu untuk membunuh ketimbang Ranggowo yang botak dan bercambang lebat itu.
"Apa perlumu menghadang perjalanan kami, hah?!" bentak Ranggowo dengan matanya yang nanar.
"Saya ingin bertemu dengan Raden Praja. Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada beliau."
"Ciih...! Puih...!" Darmala meludah kasar.
Setelah menggeram dan memandang penuh selidik kepada Ludiro, Ranggowo pun bertanya lagi, "Apakah kamu termasuk rakyat Kadipaten Jangga?"
"Bukan. Saya tinggal di luar wilayah Kadipaten."
"Hemm... jadi kau harus melangkahi mayat kami berdua jika ingin bertemu Raden Praja," geram Ranggowo.
Ludiro mengendurkan urat-uratnya yang sudah menegang. Ia jadi lebih tenang dari semula. Sementara itu, delapan orang penunggang kuda lainnya telah mengelilingi mereka, membuat suatu lingkaran yang siap mematikan Ludiro.
"Saya punya maksud baik," kata Ludiro dengan tenang.
"Alangkah sayangnya jika maksud baik ini harus disertai dengan darah korban tak berdosa."
"Dalam setiap kebaikan memerlukan pengorbanan. Itu wajar," Ranggowo mencoba berkilah.
"Memang. Tapi tidak semua niat baik harus membutuhkan korban nyawa. Sayangilah nyawa Tuan-tuan. Jangan mau mati karena kepicikan dan kesalah pahaman."
"Orang ini terlalu banyak bacot, Kakang Ranggowo!" geram Darmala.
"Serang dia!"
Perintah Darmala sudah merupakan suatu rumusan bagi prajurit Kadipaten. Tiga orang penunggang kuda yang berada di posisi belakang Ludiro segera menghunjam tombak mereka secara bersamaan. Hal itu terjadi tepat pada saat Darmala memekikkan semangat untuk menyerang. Hampir saja perhatian Ludiro terpusat pada gerakan Darmala itu. Untung kewaspadaan Ludiro begitu tinggi, sehingga dengan sekali lompatan ketiga tombak itu dapat dihindari. Begitu kakinya menyentuh tanah, Ludiro disambut oleh suatu pukulan hebat bertenaga inti. Darmala itulah orangnya yang menyerang, dan membuat Ludiro terguling-guling.
Belum sempat ia bangkit, kaki Ranggowo nyaris menginjak batang lehernya. Dengan cekatan Ludiro menangkap kaki kokoh itu, kemudian ia berputar cepat sambil mengayunkan kakinya ke atas. Tendangan Dewa Mimpi dilancarkan bagai sebuah sapuan angin. Tendangan itu masuk ke perut Ranggowo sehingga lelaki botak bercambang lebat itu terpental ke belakang beberapa meter. Ia jatuh menerjang tubuh Darmala yang hendak melancarkan serangannya.
Ludiro bergegas berdiri. Ekor matanya sempat menangkap dua orang penunggang kuda sedang membidikkan anak panah ke arahnya. Dengan gerakan yang tak terlihat oleh mata manusia, Ludiro melemparkan dua bilah pisau kecil yang menjadi senjatanya selama ini. Kedua pisau itu menancap di mata musuhnya, yang satu lagi tepat di tenggorokan pemanah sebelahnya. Kedua pemanah itu menjerit histeris dan rubuh dari punggung kuda.
Darmala dan Ranggowo mengambil posisi, lalu siap melancarkan jurus andalan mereka, yaitu jurus Tapak Darah Harimau Kembar.
"Hiaaaattt...!!"
Ludiro sigap. Ia meletik bagai belalang dan berguling di udara, melancarkan jurus Tendangan Dewanya dengan pekik yang tak kalah keras dari suara Darmala dan Ranggowo.
Kedua pengawal depan Kadipaten itu terpental, pecah kedua arah. Mulut Darmala menyemburkan darah kental. Sedangkan Ranggowo mengucurkan darah dari telinganya yang kiri.
"Seraaang...!!" teriak salah seorang penunggang kuda. Seketika itu kuda mereka bergerak mendekat! Ludiro. Tombak dan pedang teracung, siap mencabik-cabik tubuh Ludiro yang tengah berdiri tegak menantang maut.
"Hentikaaan...!!"
Sebuah teriakan berhasil membuat prajurit-prajurit Kadipaten membatalkan serangannya. Mereka menjauh, lingkaran menjadi lebih lebar lagi. Darmala dan Ranggowo berdiri dengan masih sempoyongan. Semua mata tertuju pada kereta bangsawan berkuda empat. Mereka begitu patuh terhadap suara tadi. Ludiro pun ikut memandang kereta tersebut. Dari kereta berpintu rapat, yang terbuat dari kayu berukir dilapisi perak, turunlah seorang lelaki yang mengenakan pakaian kebangsawanan. Tinggi, tegap dan mencerminkan wibawa yang cukup menggetarkan hati.
Dari balik tempat persembunyiannya, Sekar Pamikat menggumam dan berdecak sendiri. Matanya tak berkedip memandang lelaki bangsawan yang turun dari keretanya itu.
"Oh, itu rupanya yang bernama Raden Praja. Hemm... pantas Nawang Puri tidak menolak cintanya, dia... oh, laki-laki itu memang tampan dan sangat mempesona. Alangkah sayangnya jika ia harus beristri perempuan seperti Nawang Puri. Alangkah bodohnya Raden Praja jika ia benar-benar bertekuk lutut dihadapan Nawang Puri." Raden Praja mendekati Ludiro dengan langkah-langkah pelan. Matanya memandang lembut tak berkedip, penuh selidik. Ludiro yakin betul, orang yang di hadapannya itu sungguh seorang anak Adipati. Sebab itu ia membungkuk,
sekedar memberi hormat selayaknya.
"Apa perlumu menghentikan perjalananku, Ki sanak?"
"Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Raden," jawab Ludiro dengan sopan.
"Pesan dari siapa?"
"Dari..." jawaban Ludiro terpotong oleh suara: "Dari aku!"
Semua mata berpaling, memandang sosok perempuan kurus berwajah layu. Hidungnya tak begitu mancung dan bulu matanya sangat tipis. Ada sebuah codet di dekat matanya yang kiri. Meski codet bekas luka yang kecil, namun sangat mempengaruhi wajahnya. Ia tak memiliki daya tarik sama sekali. Hanya rasa keingintahuan mereka yang membuat ia dipandang oleh sekian banyak mata lelaki.
Dialah Putri Ayu Sekar Pamikat. Ia berjalan lebih mendekat, bahkan masuk dalam lingkaran pasukan berkuda, dan berhadap-hadapan langsung dengan Raden Praja.
Putra Adipati itu menggumam dan memandang sinis pada Sekar Pamikat. Di ujung gumamnya ia bertanya:
"Apa yang kau inginkan, dan siapa kau sebenarnya?"
Sekar Pamikat tahu, ia tidak menarik di mata pria. Ia merasa dipandang jijik oleh Raden Praja. Namun kesedihan hatinya itu ditekannya kuat-kuat. Ia berusaha untuk berbicara sejelas-jelasnya.
"Saya mohon... Raden mau membatalkan perkawinannya dengan Nawang Puri."
Suara Sekar Pamikat membuat Raden Praja terperanjat dan berpaling memandangnya.
Kata Raden Praja, "Kau bicara apa sebenarnya? Siapa yang mau menikah dengan perempuan yang kau sebutkan itu?"
Sekar Pamikat saling berpandangan dengan Ludiro. Lalu Ludiro memberanikan diri bertanya, "Bukankah Raden ingin memperistri Nawang Puri?"
"Siapa bilang?!" Raden Praja berkerut dahi semakin tajam. Sambungnya lagi, "Saya akan mengawini seorang putri cantik, tapi bukan Nawang Puri. Melainkan... Sekar Pamikat!"
Sekar Pamikat dan Ludiro samasama terperanjat. Mereka tampak kebingungan, sebab itu Raden Praja menjelaskan lagi.
"Calon istriku bernama Putri Ayu Sekar Pamikat. Bukan Nawang...? Nawang Puri, seperti yang kalian duga."
Sekar Pamikat masih terpana. Kesedihan mulai tergambar jelas di wajahnya. Ludiro menelan ludah beberapa kali, mencari ketenangan.
"Kamu siapa?" Raden Praja bertanya sinis.
"Saya... sayalah Sekar Pamikat, sebenarnya," jawab Sekar Pamikat dengan ragu. Dan Raden Praja tertawa dingin. Kemudian para prajurit Kadipaten itu ikut menertawakan dirinya juga. Geram dan dendam membakar hati Sekar Pamikat.
"Dasar pengacau! Bunuh saja mereka, Raden!" teriak Darmala yang ada di belakang Sekar Pamikat.
"Sudah wajahnya memuakkan, berlagak tahu lagi! Huhhh...!"
"Kau mengigau," ujar Raden Praja yang mulai menjauh.
"Sekar Pamikat berwajah cantik, lemah lembut dan sangat menggairahkan. Ia mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Dan ia pula yang bergelar Pendekar Cambuk Naga. Ia yang menolong keluargaku dari ancaman perampok gunung Sewu."
Terdengar suara Darmala membakar hati, "Orang ini memang hanya mengacau saja! Bunuh dia!"
Sejumlah tombak menghunjam ke arah Sekar Pamikat dan Ludiro. Dengan gesit Ludiro menghindar, sedangkan Sekar Pamikat menyambut tombak-tombak itu dengan kibasan cambuk naga. Tombak-tombak itu patah menjadi serpihan kayu dan besi. Raden Praja sempat tertegun memandang kilatan cambuk yang mengeluarkan warna biru.
"Seraaang...!" seru Darmala.
Sejumlah prajurit turun dari kuda dan menghambur menyerang Sekar Pamikat dan Ludiro. Namun Sekar Pamikat melompat keluar dari kepungan dan menghantamkan cambuknya dengan jurus Naga Penjilat Nyawa.
"Tar... tar... tar..."
Prajurit Kadipaten itu menjerit ketika tenaga yang keluar dari ujung cambuk menghantam mereka. Yang kepalanya pecah, tak sempat menjerit, namun yang dadanya bolong sempat memekik kesakitan lalu meregang, dan mati tak berkutik lagi. Sementara itu Darmala dan Ranggowo maju bersamaan, mengkombinasikan jurus Cakar Harimau dipadukan dengan jurus Elang Berbisa. Namun sebelum keduanya menyentuh tubuh Sekar Pamikat, cambuk naga telah menyambutnya lebih dulu.
"Tar... Tar..."
Darmala melengking tinggi karena sebelah kakinya terpotong sebatas lutut, sementara itu Ranggowo pun melengkingkan suara kesakitannya karena tangan kirinya buntung seketika.
Pada saat itu ada seorang prajurit yang hendak membokong Sekar Pamikat dari belakang. Namun Ludiro lebih dulu melemparkan senjata kecilnya mata pisau yang tajam dan beracun. Senjata itu tepat menancap di pelipis Si Pembokong. Menjeritlah orang itu dan berguling-gulinglah ia menahan kesakitan yang membuat jiwanya tak dapat tertolong lagi. Sekar Pamikat tak sempat memperhatikan orang itu, karena sebuah cambuk rantai berduri sedang menghantamnya dari tangan Darmala. Lelaki itu mencoba menyerang dalam posisi duduk dan menahan rasa sakit pada kakinya yang terpotong. Tetapi Sekar Pamikat sempat menghindari serangan cambuk rantai berduri itu. Cambuk naganya meluncur dan membelit pada rantai berduri, Dengan sekali sabet, tali rantai itu putus menjadi beberapa bagian.
"Hentikan...! Hentikan semua ini!!" teriak Raden Praja.
Prajurit Kadipaten tak ada yang menyerang. Mereka tinggal empat orang; dua prajurit, Darmala dan Ranggowo. Darah membasahi di beberapa tempat. Raden Praja memandang mayat-mayat Prajuritnya dengan rasa prihatin.
"Benarkah kau yang bernama Putri Ayu Sekar Pamikat? Yang bergelar Dewi Cambuk Naga itu?" tanya Praja.
Sekar Pamikat belum sempat menjawab, tiba-tiba Raden Praja menjerit kesakitan dengan mata terbelalak. Sebuah pisau kecil telah menancap di punggungnya, dan ia pun rubuh. Hal ini sangat mengejutkan Ludiro dan Sekar Pamikat, juga yang lainnya. Raden Praja menggelepar sebentar, kemudian menghembuskan nafas terakhir. Suasana semakin tegang, Ludiro sempat berteriak, "Siapa yang telah membunuhnya?!"

* * * * *



--≡¦ { 2 } ¦≡--

SEJENGKAL penyesalan masih menyekat di hati Sekar Pamikat. Hal itu membuatnya tidak berselera menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh pemilik kedai. Belakangan ini Ludiro memang lebih sering menemukan Sekar Pamikat sedang melamun, daripada berlatih seperti biasanya. Bahkan di kedai itu pun, Ludiro dapat mengetahui bahwa Sekar Pamikat sedang dalam keadaan menerawang pikirannya.
"Berapa lama lagi saya harus menunggu Putri Ayu selesai makan?" tanya Ludiro memancing pembicaraan.
Sekar Pamikat hanya menghela nafas. Ia tidak berpaling memandang Ludiro, melainkan hanya memandang lurus pada permukaan meja. Ludiro meraih guci tuak, dan menenggaknya beberapa kali. Ia telah kenyang, dan badannya kembali segar bergairah setelah seharian penuh ia tidak menemukan makanan yang mengenyangkan perut.
"Kita jadi mencari penginapan, Putri?" pancing Ludiro lagi. Sekar Pamikat hanya mengangguk.
Sebenarnya Ludiro tahu apa yang sedang dipikirkan oleh momongannya itu. Sudah berulangkali Ludiro menyarankan agar Putri Ayu Sekar Pamikat melupakan soal Raden Praja. Tapi agaknya gadis itu belum dapat mengikuti sarannya. Ini sangat membahayakan jiwa Sekar Pamikat, menurut Ludiro. Sebab itu, ia harus tak bosanbosannya mengalihkan perhatian atau memberinya saran agar Pendekar Cambuk Naga itu melupakan peristiwa di lembah bukit Tanah Iblis itu.
"Menurut saya, penyesalan itu adalah suatu kesia-siaan belaka, Putri. Hanya orang bodoh yang lemah jiwanya yang mau melakukan penyesalan sampai berlarut-larut begini."
Barangkali tak tahan menghadapi ketekunan Ludiro dalam mengajaknya bicara, akhirnya Sekar Pamikat pun menyahutnya:
"Aku bukan menyesal, melainkan penasaran."
"Penasaran dengan... dengan ketampanan Raden Praja?"
Sekar Pamikat mendesis pertanda menyepelekan pendapat itu.
Ludiro menenggak tuaknya lagi. Waktu itu, Sekar Pamikat berbicara pelan, sepertinya ditujukan pada diri sendiri, "Mengapa waktu itu aku tidak memberi penjelasan yang sebenarnya kepada Raden Praja, atau kepada para pengawalnya itu? Mengapa waktu itu...terburu nafsu mengejar sesosok bayangan di atas bukit, yang diperkirakan sebagai pembunuh gelap Raden Praja?"
"Kita memang terburu nafsu, memang," kata Ludiro.
"Tetapi kematian Raden Praja itu bukan lantaran kekejaman kita, toh? Kita tidak menyerang ataupun..."
"Tapi senjata yang dipakai membunuhnya itu, Paman!" sahut Sekar Pamikat dengan geram.
"Mengapa senjata itu serupa betul dengan senjata andalanmu: Mata Pisau Beracun?!"
Ludiro tertegun. Sekar Pamikat bagai menggumam, "Aku yakin, orangorang Kadipaten Jangga yang berhasil membawa pulang mayat Raden Praja itu akan beranggapan bahwa kematiannya itu sangat berkaitan dengan kita. Mereka akan menyelidiki mata pisau beracun yang ada pada punggung Raden Praja. Mereka akan bersepakat mengatakan bahwa senjata itu sama persis dengan senjata yang menancap pada tubuh korban lainnya, yang memang kau bunuh dengan senjata andalanmu itu."
"Sejauh itukah mereka akan berpendapat?"
"Tentu," jawab Sekar Pamikat cepat.
"Kita pergi dengan maksud mengejar sosok bayangan yang kita perkirakan sebagai pembunuh Raden Praja. Kita pergi sampai lama melakukan pengejaran tanpa hasil. Dan ketika kembali, orang-orang Kadipaten Jangga yang selamat maupun yang tewas oleh tangan kita telah tiada. Hilang. Dan tentu mereka melapor kepada Adipati Jangga, bahwa kitalah pembunuh Raden Praja."
Sekar Pamikat mendesah panjang, bernada kesal. Ia berkata lirih, "Hahh...?! Menjengkelkan sekali masalah ini. Kita telah dianggap menantang orang-orang Kadipaten Jangga. Padahal kita sebelumnya tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan Kadipaten itu."
"Sebenarnya..."
Ludiro tak-jadi melanjutkan katakatanya, karena tiba-tiba mereka mendengar sebuah siulan panjang yang aneh.. Siulan itu semakin lama semakin melengking. Bangku, meja dan lainlainnya mulai bergetar bagai digoncang gempa kecil. Jelas siulan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Dan Sekar Pamikat mengetahui, siapa pemilik siulan itu.
Seorang lelaki tua berambut panjang dan berwarna putih muncul dari sisi lain. Ia duduk di bangku bagian depan kedai, dekat dengan pintu masuk. Ia tertawa terkekeh kepada orang yang ada di sebelahnya. Dari pakaiannya yang sangat sederhana dan kantong kulit yang digembolnya, pemilik kedai sudah tahu siapa laki-laki tua itu. Pemilik kedai segera menyambut dengan ramah dan sopan: "Selamat siang Pendekar Burung Bangkai..."
"Hei, Sakrosan...?! He, he, he... kukira anakmu yang akan menyambutku," ujar Pendekar Burung Bangkai yang tersohor dengan ilmu siulnya di rimba persilatan.
"Mana dia anakmu: Pambayun? Sudah besarkah dia?"
"Dia sedang bermain dengan temantemannya, Pendekar Burung Bangkai. Dia dalam keadaan sehat. Sejak dia sembuh, bisa berjalan karena bantuan Anda, ia jadi nakal. Jarang membantu kami dan lebih sering bermain dengan temantemannya di sungai,"
Pendekar Burung Bangkai itu terkekeh lagi. "Biarkanlah ia. Yang dibutuhkan adalah kebebasan dan kasih sayang. Aku tahu, hatinya masih terkesan oleh kesembuhan kakinya. Selagi ia bisa berjalan, tentu ia ingin berlari. Itulah salah satu sifat manusia yang dirintisnya sejak kecil." Pemilik kedai tertawa kecil.
"Anda pasti membutuhkan arak Jariwangi, bukan?"
"He, he, he... kamu benar-benar manusia cerdas di dalam kebodohahmu, Sakrosan. Arak Jatiwangi memang bermutu tinggi, mudah memabokkan, tapi kau tetap saja menyuguhkannya untukku, sebab kamu tahu kalau aku selalu membutuhkannya." Pendekar Burung Bangkai terkekeh lagi. Namun kali ini Sakrosan pun ikut terkekeh walau sambil pergi menyiapkan arak kesukaan lelaki tua berambut uban itu.
Ludiro dan Sekar Pamikat memperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Mereka hanya berbisik-bisik sambil berusaha menghindari tatapan mata Pendekar Burung Bangkai.
Ludiro berkata lirih, "Eyang Gati..."
"Ya. Aku tahu. Tapi aku tak berani menemuinya."
"Mengapa, Putri?"
"Ia akan marah kepadaku, karena pasti ia telah dibayar oleh Adipati Jangga untuk menangkap aku. Dan ia juga tidak akan percaya kalau aku ini sebenarnya Sekar Pamikat."
Meskipun Sudah cukup umur, namun suara Eyang Gati alias Pendekar Burung Bangkai itu masih cukup lantang. Ia berseru kepada Sakrosan, pemilik kedai:
"San, sebentar lagi aku akan mendapat rezeki yang cukup untuk melebarkan kedaimu ini."
"O, ya...? Rezeki dari mana itu?" Sakrosan juga berseru dari tempatnya.
"Hadiah dari Kanjeng Adipati Jangga. Lima ratus keping uang emas akan kuterima, jika aku berhasil menemukan pembunuh Putra sulungnya."
"Astaga...!" Sakrosan terbelalak, juga para pengunjung kedai yang lainnya. Hampir setiap orang yang mendengar suara Pendekar Burung Bangkai itu menjadi tegang dan memusatkan pandangan matanya ke arah lelaki tua itu.
"Jadi, putra Sulung Kanjeng Adipati Jangga ada yang membunuhnya?"
"Ya. Dibunuh dengan curang," ujar Eyang Gati.
"Sebuah mata pisau beracun dilemparkan dari tempat persembunyian. Dan pelakunya adalah kawanan rampok kelas teri yang dipimpin oleh seorang perempuan murahan. Perempuan itu telah mengaku bernama Sekar Pamikat. Padahal aku tahu betul siapa gadis yang bernama Sekar Pamikat itu. Ia putri bekas seorang Patih di Kepatihan Anjar Puspa. Aku kenal baik dengannya, dan aku tahu prilakunya yang tak mungkin dapat bertindak sekeji itu..."
Pendekar Burung Bangkai meneguk tuaknya dan mendesah keras, menandakan dia amat puas dengan tuak Jatiwangi.
"Aku yakin, San..." sambungnya lagi, "Perempuan yang mengaku Sekar Pamikat itu hanya perempuan murahan yang haus harta dan kepuasan seorang lelaki. Nanti, San... kalau aku sudah berhasil memboyong kepala perempuan jalang itu ke hadapan Adipati Jangga, dan hadiahnya sudah kuterima, kedaimu ini akan kusumbangi modal untuk memperlebar dan menambah daganganmu, San..." Ia meneguk tuak lagi ketika Sakrosan tertawa girang. Setelah meneguk tuak, ia berkata lagi, "Katanya... perempuan itu bersedia adu tanding dengan Adipati Jangga. He, he, he... Bagaimana dia akan berani adu tanding dengan Sang Adipati, jika melawanku saja ia harus mengalami sekarat selama tujuh hari tujuh malam. Betul kan, San?!"
"Betul...! Betul sekali pendapat Anda itu...!"
Sekar Pamikat berbisik, "Apakah paman Ludiro pernah menantang adu tanding dengan Kanjeng Adipati?"
Ludiro yang bertubuh kecil namun kelihatan kekar itu hanya menggeleng. Mulutnya masih terbengong dan keresahan terlihat jelas di wajahnya.
"Aku sendiri tidak pernah mengatakan demikian."
"Itu cuma fitnah, Putri Ayu. Fitnah itu memang lebih kejam dari pada tidak difitnah..."
"Ssstt... siapa orang yang berdiri di ambang pintu itu?" bisik Sekar Pamikat sambil matanya memandang ke arah orang yang dimaksud.
Orang itu masih bisa dikatakan muda. Ia menyandang sebilah pedang di punggungnya. Badannya terlihat kekar, rambutnya panjang, diikat dengan kulit macan tutul. Ia mengenakan baju rompi dari kulit beruang, demikian juga dengan celananya. Namun ikat pinggangnya itu terbuat dari kulit buaya. Cukup tebal dan lebar.
Sepanjang ingatan Sekar Pamikat, ia belum pernah bertemu dengan pemuda itu. Juga menurut Ludiro, pemuda itu masih asing di dunia persilatan. Jadi kesimpulan mereka, dia adalah pendatang asing dari perguruan yang jauh entah di sudut bumi sebelah mana.
Pemuda itu bertanya kepada lelaki yang duduk di seberang Pendekar Burung Bangkai:
"Maaf, Paman... boleh saya bertanya, ini daerah mana?"
Yang ditanya meneliti sebentar, kemudian baru menjawab dengan ragu, "Ini Kabupaten Abangan. Anda orang mana? Pendatang dari mana?"
"Saya dari Pesanggrahan Cendana Manik..."
"Silakan duduk, Tuan..." Sakrosan melayani.
"Hemm... terima kasih, Pak. Saya hanya ingin bertanya di mana arah Kadipaten Jangga itu?"
Hampir semua mata tertuju kepadanya, kecuali Pendekar Burung Bangkai dan Sekar Pamikat yang berlagak tidak tertarik dengan kemunculan pemuda itu.
"Anda ingin datang ke Kadipaten Jangga?"
"Benar, Pak. Saya ada undangan khusus dari Raden Praja untuk..." tiba-tiba suaranya terhenti oleh celetukan Pendekar Burung Bangkai: "Raden Praja telah tewas!"
Pendekar tua berkulit hitam itu memandang sinis kepada pemuda tersebut.
"Kau tak perlu datang ke Kadipaten Jangga."
Pemuda itu tertegun beberapa saat, lalu berkata, "Benarkah Raden Praja telah tewas?"
"Ya, benar!" jawab Pendekar Burung Bangkai dengan tegas.
"Mau apa kamu?"
"Kalau begitu, tolong berikan arah letak Kadipaten itu. Saya harus segera ke sana untuk..."
"Untuk mengetahui pembunuhnya? Mencoba menangkap pembunuhnya?" sahut Pendekar Burung Bangkai. Ia tersenyum sinis, "Itu tidak perlu. Sayalah yang mendapat tugas menangkap pembunuh Raden Praja! Sayalah yang berhak mendapatkan hadiahnya itu."
"Saya tidak mengejar hadiah. Saya hanya ingin..."
"Jangan banyak mulut! Pulang ke tempat asalmu sana!" Pendekar Burung Bangkai kelihatan berang. Sekar Pamikat hanya geleng-geleng kepala sambil menyembunyikan wajah di tempat duduknya yang memojok itu. Ia berbisik kepada Ludiro:
"Sifatnya masih juga belum berubah: mata duitan!"
Ludiro hanya menggumam pendek, namun hatinya masih diliputi perasaan cemas. Ia pun tak berani memandang ke arah depan, takut ada yang mengenalinya dan diketahui Pendekar Burung Bangkai.
Sementara itu, pemuda tersebut berkata dengan nada menahan kejengkelan:
"Apa kuasamu mengusirku begitu, Pak Tua?"
"Eit...! Jangan sebut-sebut aku pak tua, ya? Julukanku Pendekar Burung Bangkai! Tahu...?!"
"Baru sekarang saya tahu seorang pendekar yang takut kehilangan uang hadiah," Pemuda itu tersenyum sinis.
Pendekar Burung Bangkai semakin geram. Ia berdiri dan bertolak pinggang di hadapan pemuda tersebut.
"Lancang sekali mulutmu...!" Kemudian tanpa diduga-duga Pendekar Burung Bangkai melancarkan pukulannya ke arah perut pemuda tersebut. Pukulan mengena telak di ulu hati pemuda tersebut. Tapi yang dipukul hanya tersenyum menjengkelkan. Bergeming sedikit pun tidak.
"Sabar, Pak Tua. Jangan mengumbar kemarahan di masa lanjut usia, dapat mengakibatkan pendek umur!" kata pemuda berotot dan tegap itu. Rupanya Pendekar Burung Bangkai merasa lebih dihina dengan kata-kata itu. Sebuah pukulan yang dinamakan jurus Jalak Pemecah Karang dilancarkan.
"Hiaaat...!"
"Buk... buk... buk..."
Pemuda gagah itu terdorong keluar sedikit limbung. Dalam hati Pendekar Burung Bangkai merasa heran baru kali ini jurus Jalak Pemecah Karang-nya tidak mampu merubuhkan lawan. Biasanya jurus itu tak akan sempat membuat lawan berdiri sedikit pun. Aneh, rupanya kali ini ia mendapatkan lawan yang cukup tangguh.
Dengan rasa penasaran Pendekar Burung Bangkai memburu keluar kedai. Di sana, pemuda tangguh itu telah menanti dengan suatu sikap siap melayani Pendekar Burung Bangkai.
"Kau memaksaku untuk melawan, Pak Tua."
"Anggap saja ini suatu syarat untuk dapat menuju Kadipaten Jangga! Bersiaplah untuk mampus, Anak lancang!"
Kemudian Pendekar Tua itu melayang tinggi, meluncurkan kakinya yang masih kekar ke arah wajah pemuda tersebut. Kali ini serangan Pendekar Burung Bangkai tidak sekedar salam perkenalan belaka, namun benar-benar diperhitungkan. Sebab ia tahu, pemuda bersabuk kulit buaya itu mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Kendati sampai saat ini pemuda tersebut hanya menghindar dan bertahan, tapi Pendekar Burung Bangkai yakin, bahwa pada suatu kesempatan pemuda itu akan melancarkan serangannya yang mungkin amat mengejutkan. Sekali pun masih terbatas perkelahian tangan kosong, namun banyak orang yang sudah mulai tegang dan was-was. Mereka menyaksikan dari kejauhan, termasuk Sakrosan, pemilik kedai. Sedangkan Sekar Pamikat dan Ludiro masih berada di tempat duduknya semula. Keduanya masih diliputi kegelisahan. Hanya saja, Ludiro lebih nyata menanggung kegelisahannya, sedangkan Sekar Pamikat masih bisa berusaha menenangkan diri, menekan
kegelisahan yang ada.
"Melihat penampilannya, pemuda itu bukan orang sembarangan, ya Paman?"
"Ya. Tapi... biarlah dia berurusan dengan Eyang Gati. Kita bisa manfaatkan untuk segera pergi dari sini sebelum Eyang Gati mengetahui kehadiran kita, Putri Ayu."
Sekar Pamikat mengangguk-angguk.
"Gagasan yang bagus. Tapi sebenarnya aku mengkhawatirkan keselamatan Eyang Gati. Kali ini Eyang Gati salah perhitungan, pemuda itu punya ilmu silat yang tidak bisa diremehkan, Paman. Bisa jadi Eyang Gati akan..."
"Sudahlah, Eyang Gati juga belum tentu mau mengerti siapa Putri sebenarnya. Ia tetap akan menangkap kita, dan itu berarti pertarungan tak dapat dielakkan lagi." Ludiro semakin memperlihatkan kecemasannya. Kemudian mereka bergegas pergi meninggalkan kedai setelah membayar makanannya. Ludiro dan Sekar Pamikat bermaksud pergi lewat jalan belakang. Tetapi mendadak mereka pun berhenti melangkah.
Sebuah siulan menirukan suara burung terdengar melengking tinggi. Semua orang tak tahan mendengarnya. Siulan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu membunuh setiap pendengarnya. Sekar Pamikat dan Ludiro sama-sama terkejut.
"Gawat, ia mengeluarkan jurus siulan Jalak Pematok Jantung...!!" ucap Sekar Pamikat dengan tegang.
"Sampai sejauh itukah Eyang Gati harus bertindak karena soal sepele tadi?!"
Sekar Pamikat bergegas menghampiri kerumunan orang yang menutup telinga masing-masing dengan menyeringai kesakitan. Dari sana, tampak Pendekar Burung Bangkai berdiri tenang sambil bersiul. Pemuda lawannya juga turut berdiam diri. Ia berdiri, memejamkan mata, memusatkan konsentrasi untuk melawan siulan maut itu. Sekar Pamikat merasa heran sekali dan kagum terhadap pemuda itu.
"Orang lain menutup telinga kuatkuat, dia hanya memejamkan mata dengan tenang," bisik Ludiro yang ikut merasa kagum dan secara tak langsung mengakui kehebatan ilmu pemuda itu.
Sekar Pamikat tak dapat bersabar diri, ia segera mencabut Cambuk Naga dari punggungnya. Cambuk itu melesat ke udara, bagai memutar-mutar dengan menimbulkan suara letusan kecil berulang-ulang.
"Tar... tar... tar... tar."
Suara itu bertujuan untuk mengimbangi lengking siulan Pendekar Burung Bangkai. Dengan diimbangi suara Cambuk Naga, pengaruh kekuatan tenaga dalam yang meluncur lewat suara siulan itu mulai berkurang. Pemuda gagah terbelalak matanya memandang kibasan cambuk yang nyaris tak terlihat oleh mata awam. Sedangkan Pendekar Burung Bangkai segera menghentikan siulannya dan berpaling memandang Sekar Pamikat.
"Setan betina! Kau sengaja mencampuri urusanku, hah?!"
Pendekar Burung Bangkai geram sekali dan segera menghampiri Sekar Pamikat. Sekar Pamikat menghentikan permainan Cambuk Naganya. Sementara itu Ludiro tampil ke depan, menghadang kehadiran Pendekar Burung Bangkai.
Orang tua berkulit hitam dan berambut uban itu menghentikan langkahnya. Ia bagai terkejut melihat Ludiro berdiri di depannya.
"Ludiro...?! Kau ada di sini?!"
"Benar, Eyang Gati."
Pendekar Burung Bangkai tertegun sejenak. Tak banyak orang yang tahu nama aslinya, hanya keluarga Kepatihan Anjar Puspalah yang mengetahuinya. Dan kini, Ludiro dapat menyebutkan nama itu, berarti ia benar-benar Ludiro bekas pengawal setia Putri Ayu Sekar Pamikat.
"Ludiro...? Kau bersekongkol dengan setan betina yang berdiri di belakangmu itu?!"
"Tidak, Eyang. Dia bukan setan betina. Eyang salah sangka."
"Hemm...!" gumam Pendekar Burung Bangkai.
"Lalu, apa maksudmu berdiri di depanku? Minggirlah, aku akan menghajar perempuan yang suka mencampuri urusan orang lain itu."
"Sabar, Eyang. Kami perlu bicara disuatu tempat yang cukup sepi. Maukah Eyang mengikuti kami?"
Pendekar Burung Bangkai menimbang-nimbang. Sementara itu, Sekar Pamikat lebih dulu pergi meninggalkan Ludiro dan Eyang Gati. Namun tak lama, tanpa menunggu jawaban dari Eyang Gati, Ludiro pun ikut pergi menyusul Sekar Pamikat. Dan akhirnya, dengan rasa penasaran Pendekar Burung Bangkai pun pergi menyusul kedua orang tersebut.
"Berhenti!" seru seorang yang tiba-tiba. muncul didepan Sekar Pamikat. Lelaki itu mengenakan busana kebangsawanan, umurnya belum seberapa tua. Di belakang lelaki itu ada tiga orang prajurit Kadipaten dan seorang lelaki brewok bertangan buntung. Sekar Pamikat tahu, lelaki bertangan buntung itu adalah Ranggowo. Dengan begitu, Sekar Pamikat pun tahu, mereka pasti utusan dari Kadipaten Jangga. Sekar Pamikat ingin angkat bicara, namun Ranggowo lebih dulu membuka mulutnya dengan berkata:
"Perempuan inilah yang membunuh Raden Praja, adik Anda Raden Panewu."
"Ya. Aku sudah bisa menebaknya lewat wajahnya yang mirip setan rakus. Dia pasti pembunuh adikku!"
Sekar Pamikat menjadi tegang, sukar dijelaskan.

* * * * *



--≡¦ { 3 } ¦≡--

RADEN Panewu mengambil posisi, kuda-kuda jurus Brajamusti. Sekar Pamikat bermaksud mengalah dan ingin menjelaskan hal yang sebenarnya. Tapi Panewu sudah terlanjur maju dan menyerang tanpa tanggung-tanggung lagi. Pukulan jarak jauhnya tak sempat dihindari oleh Sekar Pamikat. Akibatnya gadis itu pun terjengkang ke belakang. Bahu kirinya terasa panas dan membiru.
"Orang ini cukup membahayakan," pikir Sekar Pamikat. Tak ada waktu untuk berembuk dan mengadakan musyawarah. Naluri Raden Panewu sudah merupakan naluri untuk membunuh. Karenanya, Sekar Pamikat pun berteriak nyaring sambil, tubuhnya melejit tinggi. Ia bersalto di udara beberapa kali. Ketika ia mendarat kembali, kaki kanannya sempat mengenai dagu Raden Panewu.
"Hiaaat...!"
Sekali lagi pukulan Badai Angkasa telah mengenai tengkuk kepala Raden Panewu.
"Aachk...!"
Raden Panewu terhuyung-huyung. Secepatnya ia berbalik dan melancarkan serangan jarak jauhnya yang disertai dengan aliran hawa murninya. Sekar Pamikat berkelit, melesat kembali ke udara, Dalam masa itu, ia pun melancarkan pukulan tenaga dalamnya dari jarak 5 meter. Pukulan itu membuat Raden Panewu menjerit kesakitan. Dagunya terdongak ke atas dengan keras, kemudian darah kental mulai meleleh dari mulutnya.
Secepatnya Penewu menjaga keseimbangan tubuh. Berkonsentrasi memulihkan tenaga dalam dirinya.
"Setan jalang...! Hadapilah aku!" teriak Ranggowo ketika ia tahu Sekar Pamikat hendak menyerang Panewu.
"Tunggu!" seru Sekar Pamikat.
"Jangan menambah korban untuk kesalahpahaman ini. Jangan sia-siakan nyawa buat masalah yang belum jelas maknanya!"
"Hanya orang dungu yang belum jelas makna pembunuhan Raden Praja, heeaaaatt...!!"
Dengan menggunakan satu tangan Ranggowo menyerang Sekar Pamikat. Hampir saja Sekar Pamikat terpanggang trisula yang ada di tangan Ranggowo. Untung ia segera bersalto ke belakang, sehingga trisula itu hanya merobek udara kosong. Sekar Pamikat segera mencabut pedang dari pinggangnya untuk menandingi trisula Ranggowo. Trang... trang... trang... nyaring mengiris hati bunyi benturan pedang dengan trisula Itu. Agaknya Ranggowo bukan sekedar memenuhi tugas membunuh pelaku pembunuhan terhadap diri Raden Praja, namun juga ada unsur dendam atas sebelah tangannya yang buntung akibat sasaran Cambuk Naga. Ranggowo kelihatan sangat bernafsu. Ia memutarmutar senjata trisulanya, menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, dan sejauh ini, Sekar Pamikat selalu lolos dari serangan Ranggowo. Sebaliknya, kali ini Ranggowo sendiri yang jatuh terpental akibat menghindari pedang Sekar Pamikat. Karena pada saat ia menghindari kibasan pedang itu, Sekar Pamikat mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang diberi nama Badai Pembelah Bumi.
Ranggowo sempat mendelik dan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah belakang Sekar Pamikat:
"Seraaang...!!"
Komando Raden Panewu membuat ketiga prajurit Kadipaten melancarkan serangan serentak kearah Sekar Pamikat. Ketiganya mengandalkan senjata tombak bermata dua yang begitu ganas menghunjam tubuh Sekar Pamikat.
"Jangan biarkan dia lolos!" seru Raden Panewu. Ketiga prajurit itu bertambah semangat. Mereka semakin gila dan punya nafsu membunuh lebih ganas lagi. Pekik dan teriakan saling bersahutan. Denting suara pedang beradu dengan senjata mereka nyaris tak ada masa senggangnya.
Ranggowo bangkit pada saat Sekar Pamikat berada dalam posisi yang tepat. Ia melemparkan trisulanya kearah punggung Sekar Pamikat.
"Wusss..."
Trisula meluncur cepat. Namun sebelum menyentuh punggung Sekar Pamikat, trisula itu tertahan oleh sebuah lempengan besi tipis, mirip piring kecil seukuran telapak tangan.
"Tring...!"
Ranggowo dan Raden Panewu terbelalak kaget, kemudian keduanya memandang ke arah datangnya senjata aneh itu. Di sana, mereka memandang seorang lelaki bertubuh pendek, berkulit hitam namun kelihatan kekar.
Ludiro.
Sekar Pamikat mengetahui kehadiran Ludiro yang masih berdiri bagai menyaksikan pertarungan itu. Sekar Pamikat tak peduli apa yang dilakukan Ludiro, yang jelas ketiga Prajurit Kadipaten itu agaknya lebih tangguh dari yang sudah-sudah. Ia terpaksa semakin gesit menghindari serangan dari tiga arah. Pedang dipermainkan bagai sebuah kipas penghalau lalat.
Sementara itu, Pendekar Burung Bangkai pun tiba di tempat tersebut. Ia bersungut-sungut menyaksikan pertarungan tersebut. Mulanya ia tidak ingin ikut campur, sebab ia melihat Ludiro sedang menghindari serangan Ranggowo. Pendekar Burung Bangkai sedikit merasa bingung, mengapa Ludiro sampai berurusan dengan orang-orang Kadipaten.
Tetapi demi mendengar seruan Raden Panewu, "Burung Bangkai...! Mengapa kau diam saja! Bunuh perempuan itu. Dia yang telah menewaskan adikku: Praja!" Maka serta merta Pendekar Burung Bangkai memutar-mutar kantong kulitnya di udara. Agaknya tali kantong kulit itu dapat terjulur menjadi panjang. Dalam satu hentakkan sarung kulit yang berputar dan menjadi sekeras besi itu menghantam pinggang Sekar Pamikat.
"Aaakhh...!" Sekar Pamikat mengaduh dan tersungkur jatuh terkena kantong kulit itu. Pendekar Burung Bangkai tertawa terkekeh-kekeh. Merasa senang dapat menjatuhkan musuhnya.
"Ingat, aku yang menjatuhkan! Jika ia mati, akulah yang membunuhnya!" seru Pendekar Burung Bangkai.
Entah ada yang mendengarkan seruan itu atau tidak, tapi yang jelas saat ini Sekar Pamikat merasa keteter menghadapi serbuan ketiga tombak prajurit Kadipaten itu. Ia bergulingguling sambil mempermainkan pedangnya untuk menangkis tombak-tombak tersebut. Lalu pada suatu kesempatan, ia berhasil meloncat tinggi, bersalto di udara dan mengibaskan pedangnya seketika itu. Dua orang prajurit berteriak nyaring. Mereka roboh dengan kepala terluka par ah, untuk kemudian tak sempat berkutik lagi.
Di lain sisi, Ludiro nyaris keteter oleh serangan beruntun dari Ranggowo. Mereka sama-sama menggunakan tangan kosong, namun agaknya Ranggowo lebih menguasai ilmu tenaga dalam, dalam berbagai gerakan. Bahkan dari kakinya pun Ranggowo mampu menendang Ludiro disertai hembusan angin yang membuat mata menjadi perih. Dalam suatu pukulan Tapak Darah Harimau Kembar, telinga Ludiro sempat berdarah dan kepalanya menjadi pening.
Ranggowo tak menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Ludiro terhuyung-huyung, dan Ranggowo segera menyempatkan peluang itu untuk melancarkan pukulannya secara bertubi-tubi ke dada Ludiro.
"Hiaaatt...! Heeeaaat...!"
"Aaaakhhh..." Ludiro terpental
jatuh dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Mulutnya memuntahkan darah segar. Namun tepat pada saat Ranggowo berteriak:
"Mampus kau, Bangsaaat...!!" dan ia sentakkan kaki ke atas, lalu melayangkan tendangan menuju dada Ludiro. Pada detik itu pula, Ranggowo terpaksa berteriak kuat-kuat. Dari arah belakangnya terdengar suara:
"tarrr...!"
Cambuk Naga mulai beraksi. Meluncur cepat, menyabet pinggang Ranggowo dengan mengeluarkan nyala sinar birunya. Pinggang itu robek seketika, dan Ranggowo jatuh. Isi perutnya terburai, ia mengerang sambil kelojotan. Untuk beberapa saat ia masih kelojotan bagai ayam dipotong. Lalu... diam untuk selamanya.
Raden Panewu semakin terbelalak matanya. Wajahnya yang sempat pucat menjadi memerah dibakar amarah. Ia segera mencabut keris yang sejak tadi terselip di pinggang belakang.
"Setan betina...! Terimalah pusaka Layon Ragaku ini...!" Kegeraman Raden Panewu begitu kuat. Matanya yang mendelik bagai memancarkan nafsu membunuh yang berapi-api. Ia menggenggam keris pusaka Layonraga dengan gemetar. Ketika ia berusaha merobek dada Sekar Pamikat, gadis itu berkelit. Keris pusaka Layonraga tak jadi merobek kulit, namun kekuatan anginnya sempat membuat dada Sekar Pamikat jadi membiru. Biru kemerah-merahan. Garis itu membentang panjang dari belahan dada hingga ke ujung pundak. Ada rasa perih yang menjalar di kulit, namun tak begitu parah.
Cambuk Naga tak mau tinggal diam. Ia melecut ke arah Raden Panewu. Menimbulkan suara ledakan yang amat menggetarkan tubuh. Agaknya Panewu pun telah siap menghadapi keampuhan Cambuk Naga. Ia hanya terguncang sebentar, kemudian menyerang lagi dengan garangnya. Sementara itu, seorang prajurit Kadipaten yang telah lemas dan berkeringat segera melemparkan tombaknya ke arah Sekar Pamikat. Namun pada saat ia hendak melemparkan tombak, tiba-tiba sebuah logam berwujud mata pisau meluncur dari arah Ludiro. Mata pisau beracun itu menancap di paha prajurit tersebut. Ia memekik kesakitan. Lemparan tombaknya menjadi salah arah. Hampir saja tombak itu meluncur mengenai Pendekar Burung Bangkai yang sejak tadi terpana menyaksikan pertarungan tersebut. Untung lelaki beruban itu segera melejit ke atas dan jatuh kembali ke tanah dengan posisi sigap.
"Edan...! Sinting!" teriaknya dalam makian. Ia bersungut-sungut dan memandang prajurit itu. Namun rasarasanya ia tak perlu banyak berbuat, karena prajurit itu kini dalam keadaan mengerang menahan sakit pada pahanya.
Sementara itu, Ludiro bagai lumpuh akibat serangan Ranggowo tadi. Ia hanya bisa duduk menggelosot dan matanya mengawasi Sekar Pamikat yang kali ini sedang melancarkan serangannya ke arah Raden Panewu.
Dewi Cambuk Naga berteriak lengking sambil melecutkan cambuknya. Pada saat itu tangan Panewu bergetar. Keris pusakanya jatuh. Ia mengaduh sambil memegangi tangannya. Cambuk naga memang tak sempat membelit di tangan, tetapi rasa ngilu begitu kuat, bagai hendak mematahkan pergelangan tangannya.
Sebuah tendangan meluncur dari Sekar Pamikat. Panewu terjengkang karena rahangnya terkena telak tendangan Sekar Pamikat. Sambil berguling ke tanah ia meraih keris pusaka Layonraga.
"Set...!"
Panewu siap dengan senjata pusakanya kembali. Tapi demi melihat satu-satunya prajurit Kadipaten yang masih hidup dan hanya terluka itu melompat ke punggung kuda, Panewu menjadi grogi. Gerakan matanya yang nanar dan garang itu menjadi sangat tak teratur. Prajurit itu sudah melarikan diri dengan menunggang kuda secepat angin. Panewu sangat tegang. Ia sendirian. Ia berseru:
"Burung Bangkai...! Bantu aku menangkap perempuan jalang ini! Lekas!"
Pendekar Burung Bangkai tergeragap sejenak setelah namanya dipanggil. Agaknya ia tadi keasyikan menyaksikan pertarungan seru itu. Namun setelah ia menyadari seruan Raden Panewu, ia tidak langsung bergerak, melainkan justru semakin kikuk dan ragu-ragu.
"Cepat! Cepat tangkap atau bunuh perempuan ini! Ingat, hadiah itu akan kau peroleh, Burung Bangkai!" bujuk Panewu dalam teriakannya, sambil ia berusaha menghindari lecutan cambuk naga.
"Heeeaaaa..!!" teriak Pendekar Burung Bangkai seraya maju menyerang Sekar Pamikat dengan jurus Capung Loncat.
Sekar Pamikat lolos kontrol, pinggangnya terhantam oleh pukulan Pendekar Burung Bangkai. Gadis itu sempat meringis kesakitan. Kemudian ia limbung sejenak, karena Pendekar Burung Bangkai menghantamkan kantong kulitnya tepat di rusuk Sekar Pamikat.
"Rasakan jurus Ayunan Gagakku itu, he... he... he."
Sekar Pamikat menjadi serba salah. Ia ingin menghantam tangan Pendekar Burung Bangkai, dengan cambuk naga, tapi ia ingat bahwa lelaki tua itu sangat baik kepadanya. Hanya saja saat ini lelaki berkulit hitam itu tidak tahu, siapa yang menjadi musuhnya saat itu. Sekar Pamikat menjadi kebingungan. Terutama terhadap jurus Capung Loncat itu, Sekar Pamikat merasa keteter jika harus menghindar dan menghindar lagi. Ah, memang sulit menentukan sikap pada saat itu. Dilawan, bukan musuh. Dibiarkan, ia bisa mati.
Ludiro bergegas melemparkan senjata rahasianya, berupa mata pisau kecil yang beracun. Ia lemparkan ke arah Raden Panewu yang hendak melarikan diri dengan menunggang kuda. Tetapi kali ini senjata andalan Ludiro bisa disingkirkan oleh kibasan keris pusaka Layonraga. Senjata itu melesat jauh kibasan keris pusaka Layonraga. Senjata itu melesat jauh, dan menancap pada sebatang pohon. Kesempatan itu digunakan Raden Panewu untuk menghalau kudanya, melarikan diri dari pertarungan tersebut. Ia merasa belum saatnya ia harus mengimbangi kesaktian musuhnya. Ia merasa akan mati konyol jika tetap bertahan di situ. Harus ada akal untuk melenyapkan perempuan iblis yang amat dibenci itu.
Pendekar Burung Bangkai menggerakkan tangannya ke samping. Kedua tangan itu mengembang kokoh, salah satu kakinya terangkat ke samping.
"Jalak Pemecah Karang!" serunya dengan girang hati. Ia yakin akan dapat membunuh Sekar Pamikat pada saat itu, sebab kali ini Sekar Pamikat sedang menahan sakit akibat terkena pukulan Kutilang Jantan.
Sekar Pamikat mengetahui, betapa bahayanya jika jurus Kutilang Jantan dikombinasi dengan jurus Jalak Pemecah Karang. Sedangkan untuk menghindar dalam saat yang amat sempit itu ia tak akan mampu. Paling tidak payudaranya akan pecah terkena kombinasi jurus. tersebut. Maka Sekar Pamikat hanya mempunyai satu harapan yang tidak mengandung resiko bagi lawannya. Ia berseru dengan mata memandang tajam pada mata Pendekar Burung Bangkai.
"Eyang Gati..,!!"
Lelaki berkulit hitam, keriput, namun masih kokoh itu tiba-tiba berhenti seketika dari gerakan. Salah satu kakinya masih terangkat ke samping, kedua tangannya masih mengembang bagai ingin terbang. Ia berkerut dahi pada saat Sekar Pamikat memanggilnya: "Eyang Gati."
"Kau tahu namaku?"
"Eyang Gati, redakan dulu amarahmu. Kita bicara secara nalar."
"Siapa kau sebenarnya, Gombal?!" tanya Eyang Gati sambil kedua tangannya masih mengembang dan salah satu kakinya terangkat ke samping.
Sekar Pamikat menjelaskan secara singkat, "Aku Sekar Pamikat. Aku putri Ki Juwanata, Patih di Kepatihan Anjar Puspa."
"Kau? Kau Sekar Pamikat? Ah, omong kosong!"
"Eyang tidak melihat cambuk naga di tanganku ini?!
"Aku belum rabun. Aku melihatnya dengan jelas. Itu senjata andalan Putri Ayu Sekar Pamikat yang bergelar: Pendekar Cambuk Naga. Tapi... kau curi dari mana cambuk itu, ha?"
"Ini barang milikku, Eyang. Ini pusakaku. Akulah Sekar Pamikat. Aku Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya." Eyang Gati tertawa terkekeh, tangan dan kaki masih dalam posisi sama seperti tadi.
"Bohong! Aku kenal betul dengan wajah Pendekar Cambuk Naga. Tidak sejelek kamu!"
"Ceritanya cukup panjang, Eyang. Kita perlu bicara dengan tanpa dibebani kemarahan dan nafsu membunuh."
"O, ya? Coba ceritakanlah sekarang juga..."
"Tapi, tolong turunkan kaki Eyang lebih dulu. Lepaskan kedua tangan Eyang supaya kita bicara tanpa ketegangan."
"Astaga...!" mata Pendekar Burung Bangkai terbelalak sekejap.
"Aku lupa kalau masih dalam posisi seperti ini."
Kemudian ia bergerak cepat, kedua tangannya berkelebat ke atas bagai hendak menopang langit. Dan pada saat itu terjadilah sebuah ledakan yang menyemburkan asap hitam tebal di angkasa. Itulah curahan dari kombinasi jurus Jalak Pemecah Karang dengan jurus Kutilang Jantan. Sekar Pamikat tak dapat membayangkan andai ia terkena serangan itu, oh. sedikit
sekali harapan baginya untuk hidup lebih dari sehari. Ia tahu betul keampuhan kedua jurus itu.
"Nah, jelaskan dengan singkat dan tepat siapa dirimu sebenarnya. Kalau aku percaya, kau tidak akan mati di tanganku. Tapi kalau aku tidak percaya, aku akan segera membunuhmu, tanpa pertarungan sedikit pun. Mengerti?"
Sekar Pamikat menghela nafas dalam-da-lam. Sejak tadi ia masih dalam posisi setengah merebah di tanah, dan kali ini ia telah berdiri dengan tegap.
"Aku memang Sekar Pamikat, Eyang. Roh dan jiwaku adalah milik Sekar Pamikat. Tetap ragaku ini adalah milik Nawang Puri. Perempuan itu telah berhasil mencuri ragaku pada saat aku dalam keadaan pingsan karena suatu pertempuran."
Beberapa saat lamanya Eyang Gati terbungkam, bibirnya mencucu dan manggut-manggut. Sekar Pamikat berharap tegang, menunggu reaksi Eyang Gati. Karena terlalu lama tanpa ada komentar, maka Sekar Pamikat pun berkata:
"Aku bisa menjelaskan siapa diri Eyang Gati sebenarnya. Bahkan aku sanggup menceritakan bagaimana hubungan Eyang Gati dengan perempuan yang bernama Arum Kusuma. Aku tahu ada hubungan antara."
"Sudah... sudah... sudah. !"
Eyang Gati kelihatan menggeragap dan ketakutan waktu mendengar nama Arum Kusuma. Matanya melirik ke kanan, ke kiri, clingak-clinguk sebentar, kemudian mendekatkan wajah dan berbisik, "Tolong, jangan terlalu keras-keras menyinggung nama Arum Kusuma, ya? Dan... sebaiknya lupakan saja nama itu. Aku percaya sama kamu. Begitu sajalah...!" Sekar Pamikat hanya menahan geli.
"Aku ingin mendengar ceritamu selengkapnya, tapi... lihat pengawalmu itu: Ludiro. Agaknya ia perlu pertolongan kita secepatnya. Aku tahu, ia terkena pukulan Tapak Darah Harimau Kembar dari Ranggowo."
"Astaga... Aku hampir lupa dengan keadaannya..." Sekar Pamikat langsung melompat tiga kali lompatan, dan ia telah berada di samping Ludiro.
"Paman...?! Paman Ludiro...?!"
Ludiro lemas. Di sela kepucatan wajah dan birunya bibir, tampak darah membasah dari telinga dan mulut. Keadaannya cukup mengerikan. Sekar Pamikat sempat mencemaskan keselamatan Ludiro.
"Eyang... Aku perlu tempat khusus untuk menyelamatkan jiwa paman Ludiro ini," kata Sekar Pamikat dengan memperlihatkan kecemasannya.
"Dia cukup parah," ujar Eyang Gati.
"Tak lama lagi ia akan mati. Hemm... kasihan kau Ludiro..."
"Eyang, di mana ada tempat yang bisa kupakai menolong paman Ludiro?" ulang Sekar Pamikat dengan jengkel.
"O, tempat?" Pendekar Burung Bangkai seakan baru menyadari pertanyaan itu.
"Hemm... ada. Aku punya tempat di Kabupaten Abangan ini. Sebuah kamar sederhana."
"Dimana? Di mana, Eyang?"
"Di penginapan."
"Oh, syukurlah. Kalau begitu izinkan aku membawanya ke penginapan Eyang Gati, ya?"
Jawab Pendekar Burung Bangkai, "Boleh-boleh saja. Tapi kau perlu tahu, bahwa aku menyewa kamar itu semalam harganya 5 keping. Kalau kau mau membayarku 2 keping untuk satu malamnya, silakan Ludiro kau bawa ke sana. Tapi kalau cuma gratis... wah, nanti dulu. Masalahnya..."
"Keterlaluan!" gerutu Sekar Pamikat dengan dengus kejengkelan.
"Orang sakit masih dijadikan bahan perasan."
"Eit, jangan salah sangka dulu," ujar Eyang Gati.
"Aku bukan sematamata mencari keuntungan pada diri orang sakit, tapi... ini sekedar timbal balik antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Harus ada. Jelas harus ada rasa timbal balik itu. Hanya dalam bentuk uang atau jasa, itu tergantung kebijaksanaan masing-masing manusianya."
"Baiklah..." tukas Sekar Pamikat sambil menggotong tubuh Ludiro.
"Baiklah bagaimana? Jelaskan dulu!" sergah Eyang Gati.
"Baiklah, akan kupertimbangkan setelah jiwa paman Ludiro ini tertolong."
Eyang Gati ingin mengatakan sesuatu, mulutnya telah menganga, namun tak jadi berkata apa pun karena Sekar Pamikat telah terlanjur berjalan cepat. Eyang Gati hanya dapat menghempaskan nafas, lalu mengikuti Sekar Pamikat yang kebetulan berjalan ke arah yang benar menuju penginapannya itu. Entah gerutu apa yang dilontarkan dari mulut Pendekar Burung Bangkai, Sekar Pamikat tidak peduli lagi.
Di dalam penginapan yang sangat sederhana itu, tubuh Ludiro dibujurkan di atas dipan yang hanya satu-satunya ada di dalam kamar tersebut. Sekar Pamikat mencoba menyalurkan hawa murni ke tubuh Ludiro. Ia bersemedi sejenak, kemudian tangannya bergerak bagai meraba seluruh tubuh Ludiro. Hanya bagai orang meraba namun sebenarnya menyentuh sedikit pun tidak. Sementara itu, Eyang Gati masih bersungut-sungut dan merasa khawatir jiwa Sekar Pamikat tidak jadi membayarnya 2 keping untuk izin penyembuhan di dalam kamarnya itu.
Malam mulai menjelma, dan kesunyian pun kian merambah. Pendekar Burung Bangkai masih meneguk tuak yang sempat diambilnya kembali dari kedai Sakrosan. Sesekali ia melontarkan gerutu tentang kegagalannya mendapat hadiah jika ia berhasil menangkap atau membunuh orang yang telah menewaskan Raden Praja. Sekar Pamikat yang mendengar gerutuan itu, lama-lama jadi tak enak juga. Dan ia menjelaskannya kepada Eyang Gati:
"Ada pembunuh gelap yang memancing di air yang keruh, Eyang. Mereka atau pembunuh itu memanfaatkan saat pertikaian kami dengan rombongan dari kadipaten. Pembunuh itu sengaja mencari atau membuat senjata yang serupa betul dengan senjata andalan paman Ludiro. Dengan begitu, maka orang Kadipaten akan menuding kami lah sebagai pembunuhnya. Dan... agaknya ia berhasil," geram Sekar Pamikat.
Eyang Gati manggut-manggut. Ia mulai memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu ia bertanya, "Tapi... apakah kematian Raden Praja mempunyai hubungan dengan persoalanmu sendiri bersama Nawang Puri?" Ketika itu, Sekar Pamikat terbungkam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu. Barangkali saja memang Nawang Puri itulah yang menewaskan Raden Praja dengan suatu maksud tersendiri.

* * * * *



--≡¦ { 4 } ¦≡--

SEKAR PAMIKAT merasa perlu menuturkan peristiwa yang terjadi hampir satu tahun yang lalu. Ia berharap Eyang Gati dapat memberinya jalan keluar bagi persoalan yang cukup rumit baginya. Memang sejak kepergian Eyang Gati dari Dalem Kepatihan 4 tahun yang lalu, mereka tak pernah saling mengetahui perkembangan masingmasing, sehingga Eyang Gati pun terkejut ketika Sekar Pamikat mengatakan, bahwa Dalem Kepatihan telah menjadi abu.
"Jahanam busuk!" geram Eyang Gati.
"Mengapa hal itu sampai terjadi?"
"Hal itu bermula dari perselisihan antara Singasari dengan Jayakatwang, raja Kediri. Prabu Kertanegara gugur, dan Singasari menjadi lemah. Lalu Dalem Kepatihan pun menjadi akibat dari serangan prajurit Jayakatwang. Mereka mengira Kepatihan Anjar Puspa punya hubungan politik dengan Singasari, sehingga kekuatan Kediri pun menghantam kami. Kekuatan itu tidak sebanding, Eyang. Lalu, Kepatihan Anjar Puspa dibumi hanguskan oleh mereka."
Wajah sendu terbias lewat sorot mata Sekar Pamikat. Ia berhenti sejenak dalam penuturannya, menelan ludah beberapa kali guna menenangkan kepedihan di hatinya. Agaknya Sekar Pamikat enggan menitikkan air mata untuk suatu malapetaka yang amat pahit itu. Ia ingin tampil sebagai sosok Pendekar Cambuk Naga yang kokoh dan tak mengenal tangis. Memang sulit. Tapi ia selalu berusaha mati-matian untuk hal itu. Kemudian, segumpal ketenangan mulai menetralisir guncangan jiwanya. Nafas terhirup dalam-dalam, dan ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Pendekar Burung Bangkai.
Lelaki tua itu mengangguk, sabar, seraya berkata lirih:
"Teruskan..."
"Saat itu, saya dan Nawang Puri sedang menghadiri pemakaman Eyang guru Purbaseto dan Nyai guru Sukmalaras..."
"Tunggu..." sergah Pendekar Burung Bangkai. "Kalau tidak salah Purbaseto dan Sukmalaras adalah suami istri, bukan? Mereka pasangan abadi yang tak pernah bertengkar selama
perkawinan mereka."
"Benar, Eyang. Dan mereka pun meninggal dalam kebersamaan yang memilukan. Eyang Guru Purbaseto meninggal akibat usia lanjutnya, sedangkan Nyai guru Sukmalaras berusaha menyalurkan prana dalam tubuh Eyang guru Purbaseto. Tapi mereka hanya dapat bertahan tujuh hari, lalu keduanya meninggal dalam keadaan berdampingan di peraduannya."
Terdengar keluhan lirih dari Pendekar Burung Bangkai. Keluhan itu bak menyimpan segumpal duka yang dalam di hati lelaki tua berkulit hitam keriput itu. Sekar Pamikat memberi peluang waktu yang cukup bagi Eyang Gati untuk merenungkan kematian Eyang gurunya. Setelah itu ia berkata kembali:
"Aku dan Nawang Puri menjalani masa berkabung di lereng gunung Panembahan selama tujuh hari lamanya."
"Nanti dulu..." sekali lagi Eyang Gati memotong kata.
"Jadi kau dengan Nawang Puri itu satu guru?"
"Bisa dikatakan begitu, bisa juga tidak, Eyang. Sebab, murid Eyang guru Purboseto hanya ada satu, yaitu aku sendiri. Dan murid Nyai guru Sukmalaras juga hanya satu, yaitu Nawang Puri. Karena itulah di antara kami ada satu perbedaan dalam ilmu yang diajarkan kepada guru-guru kami. Entah kalau sekarang Nawang Puri berhasil menemukan kitab Prana Sukma yang berisi ilmu-ilmu kadigdayan yang tak boleh diajarkan kepada siapapun, mungkin aku berada di bawah kepandaian Nawang Puri."
"Ooo... ya, ya... aku paham sekarang. Nah, terus...?"
"Singkatnya cerita, masa berkabung kami sudah usai, kemudian kami pulang ke rumah. Nawang Puri ikut aku, sebab ia sebenarnya terlibat percintaan dengan Tamtama, adik sepupu denganku, yaitu anak dari Dadung Manca, pamanmu yang buta itu?" tukas Eyang Gati.
"Benar. Dan... begitulah, Eyang. Sewaktu kami tiba di Kepatihan Anjar Puspa, kami hanya menemukan reruntuhannya yang telah menjadi abu." Suara Sekar Pamikat kian lemah.
"Apakah tak ada satu pun yang selamat?"
Putri Ayu Sekar Pamikat menggeleng lemah.
"Kami menemukan mayat mereka bergelimpangan baik yang terbakar hangus maupun yang membusuk tak terurus."
"Lalu bagaimana dengan Ludiro? Bukankah dia orang kepercayaan ayahanda mu?" Eyang Gati semakin ingin tahu.
"Paman Ludiro bertugas mendampingi saya dalam pemakaman Eyang guru. Jadi dia berada bersama saya dan Nawang Puri selama itu. Kemudian...
melihat keadaan yang amat memilukan hati dan membakar am arah, maka Nawang Puri membujuk aku untuk menyerang Kediri. Jelas itu suatu tindakan yang konyol dan tanpa perhitungan. Tetapi Nawang Puri berhasil membakar semangatku, sehingga tanpa pikir panjang lagi kami menuntut balas kepada Jayakatwang. Tapi... seperti yang sudah kukatakan tadi, itu adalah tindakan yang konyol. Sia-sia. Seperti ketimun menyerang durian. Tindakan itulah yang membuat aku jatuh sakit, nyaris mati di tangan Senopati Kediri."
"Tapi nyatanya kamu tidak mati, bukan?" Eyang Gati memancing pertanyaan bersifat santai.
"Memang, Eyang. Paman Ludiro berhasil melarikan tubuh saya yang dalam keadaan sekarat pada waktu itu. Agaknya kondisi saya yang seperti itu sudah menjadi bahan incaran bagi Nawang Puri. Ia menyimpan niat jahat selama ini. Niat Jahat itu tak sempat saya ketahui sebelumnya. Lalu... pada saat paman Ludiro menghubungi Resi Garba, gurunya, yang tinggal di goa Ciptakawekas, pada saat itulah Nawang Puri melaksanakan niat busuknya."
Pendekar Burung Bangkai manggutmanggut. Setelah menghela nafas sekali, Sekar Pamikat melanjutkan kisahnya:
"Dalam keadaan luka parah dan tak sadarkan diri, Nawang Wulan mematikan raga sendiri. Lalu dengan ilmu peninggalan Eyang gurunya, yaitu Nyai guru Sukmalaras, Nawang Puri menjalankan salin raga dengan diriku."
"Salin raga? Uh, aneh dan hebat sekali dia. Ilmu apa yang dipakainya?" Eyang Gati terheran-heran.
"Ia memang memiliki ilmu Giling Sukma, di mana ia mampu memasukkan atau memindahkan sukmaku ke raganya, dan sukmanya sendiri masuk ke ragaku. Dan setelah itu... Nawang Puri pergi, melarikan diri entah ke mana. Ia membawa lari raga saya, dan membiarkan jasad kasarnya menampung rohku, roh Sekar Pamikat yang sebenarnya. Sehingga... seperti yang Eyang lihat saat ini, aku memang roh Sekar Pamikat, tapi Ragaku adalah raga Nawang Puri..." Sekar Pamikat menunduk, menahan gejolak dendam dan kesedihan.
"Ketika aku sadar dari pingsan yang panjang, aku menemukan paman Ludiro dan Resi Garba telah berdiri di sampingku. Tapi agaknya Resi Garba dapat mengetahui apa yang telah terjadi pada diriku. Sebab itu, paman Ludiro percaya bahwa aku adalah Sekar Pamikat asli yang bergelar Pendekar Cambuk Naga..." sambung Sekar Pemikat dengan suara mulai bersemangat.
Eyang Gati menggumam. Manggutmanggut. Menggumam lagi. Manggutmanggut lagi. Rupanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sehingga ia lontarkan pertanyaan yang bersikap menyelidik, "Lantas, apa sebenarnya maksudmu mencegah perkawinan Raden Praja dengan Nawang Puri?"
"Jelas aku tidak akan mengizinkan ragaku dinodai oleh lelaki mana pun, Eyang. Jika Nawang Puri yang memakai ragaku dan memakai namaku juga itu menikah dengan Raden Praja, mau tidak mau, apabila rohku dapat kembali ke ragaku yang sebenarnya, maka aku akan memperoleh kebusukan. Aku sudah tak perawan lagi, Dan... dan itu adalah salah satu kebanggaan mahkota hidupku, Eyang. Aku tak ingin mahkotaku hancur dan dirusak oleh orang lain. Jadi aku harus menjaga dengan caraku sendiri agar aku tetap menjadi gadis yang suci. Bukan hanya sukmaku saja yang masih perawan, tapi aku berharap agar ragaku sendiri tetap suci, sampai saatnya nanti aku jatuh cinta pada suamiku, dan kami menikah dengan kemurnian cinta sejati."
Eyang Gati manggut-manggut. Menggumam. Manggut-manggut lagi. Menggumam... tak jadi. Sebab Sekar Pamikat telah berkata dengan semangat yang membara:
"Aku harus mendapatkan kembali ragaku, namaku dan kesucianku. Harus!" Terdengar Pendekar Burung Bangkai mendesis, "Suatu pekerjaan yang cukup sulit. Apalagi dalam keterlibatan kasus kematian Raden Praja. Hemmm... jelas ini bukan pekerjaan yang mudah. Lebih sulit daripada mencari kutu busuk!"
"Apakah Eyang Gati mengira usahaku ini akan gagal?"
Lelaki beruban rata itu tersenyum, memperdengarkan kata yang tak terdengar oleh telinga Sekar Pamikat, namun dapat jelas diterima hati nuraninya.
"Jadi Eyang sangsi dengan usaha saya?" desak Sekar.
"Aku tidak berkata begitu. Betapapun sulitnya suatu usaha manusia, semuanya tergantung tekad dan kesungguhannya dalam berupaya. Jika kau disuruh mencari air Prawitasari, yang sebenarnya air tersebut tidak ada, maka karena tekad dan kesungguhanmu dalam mencari, maka akhirnya akan kau dapatkan juga air yang semula tak pernah ada itu."
"Kesimpulannya apa itu, Eyang?"
"Keyakinan atau kepercayaan seseorang menentukan gagal dan berhasilnya suatu upaya. Jika kau tidak yakin akan dapat mengangkat batu kerikil, maka batu sekecil itu pun tak akan mampu kau angkat."
Malam semakin jauh melantur. Terdengar Ludiro menggeram lirih, mengerang dan akhirnya menggeliat dari pembaringannya. Sekar Pamikat tersenyum lega.
"Paman Ludiro telah selamat, Eyang."
"Keyakinanmu yang membuatnya selamat," gumam Pendekar Burung Bangkai dengan sorot matanya yang mulai redup karena diserang kantuk.
Sekar Pamikat tidak peduli status Ludiro dalam hidupnya. Meski Ludiro hanya sebagai pengawal, namun kesetiaannya sudah layak mendapat penghargaan dari Sekar Pamikat. Bahkan mungkin, apabila Kepatihan Anjar Puspa masih utuh, dan ayahandanya Sambangbumi, akan mengangkat Ludiro sebagai bekel, atau lurah, atau penuwu, bisa jadi malah sebagai manggala yuda Kepatihan Anjar Puspa. Jelas hal itu dianugrahkan atas dasar jasa dan dharma bhaktinya kepada tugas dan atasannya. Namun dalam keadaan seperti ini, penghargaan yang dapat diberikan kepada Ludiro hanyalah perawatan yang baik. Sekar Pamikat merawat Ludiro dari hari ke hari, sehingga pada saatnya tiba, Ludiro sudah mencapai kondisi kesehatan yang normal kembali. Sampai tiba pada suatu saat, ketika mereka telah meninggalkan penginapan dan berpisah dengan Eyang Gati, Ludiro datang dengan tergopohgopoh. Sekar Pamikat mulai tertarik dengan awal berita yang disampaikan Ludiro: "Saya membawa kabar yang menggembirakan, Putri Ayu."
"Langsung saja katakan!"
"Nawang Puri...!" ucap Ludiro.
"Nawang Puri? Sungguh? Kau tidak salah lihat?"
"Tidak, Putri Ayu. Hampir saja tadi saya salah langkah, karena saya kira dia adalah Putri Ayu Sekar Pamikat. Dandanan, lagak lagunya, bahkan cambuk di punggungnya, sama persis dengan Putri Ayu."
Debar-debar jantung Sekar Pamikat bertambah cepat. Ia terbungkam beberapa saat, matanya menerawang jauh. Kembali terngiang di telinganya kata-kata Eyang Gati yang terakhir, sebelum mereka berpisah karena tujuan yang berbeda.
"Dewi Cambuk Naga...." kata Pendekar Burung Bangkai.
"Aku harus mencari kembali Gelang Pangasih warisan leluhurku. Aku harus memburunya ke arah mana pun. Dan kali ini, aku telah mendapat keterangan bahwa Gelang Pangasih ada di tangan seorang Pendeta Sarak, yang menjadi ketua partai di perguruan Lumbung Darah. Aku sudah tahu letak tempatnya, dan aku harus ke Sana. Jadi pesanku, berjalanlah kau ke arah tenggelamnya sang surya. Di sana ada sebuah wilayah yang bernama Kadipaten Nilakencana. Cobalah datang ke sana. Sebab kudengar, dulu Raden Praja sedang dalam perjalanan ke Kadipaten Nilakencana untuk menemui calon istrinya. Memang dari Kadipaten Jangga, jika ingin menuju Kadipaten Nilakencana, harus melalui Kabupaten Abangan ini. Tapi kurasa itu bukan berarti calon istri Raden Praja berada di Kabupaten Abangan ini,..."
Dan sekarang Sekar Pamikat memang sudah berada di perbatasan Kadipaten Nilakencana. Bukan hal yang mustahil bila Ludiro menyatakan telah bertemu dengan Nawang Puri yang masih mengenakan raga Sekar Pamikat. Tapi dapatkah ia dan Ludiro bebas bertindak di Kadipaten Nilakencana? Sebab setahunya, Kadipaten ini adalah sebuah Kadipaten yang senantiasa menjaga kerukunan dan kedamaian rakyatnya. Apakah dengan memaksa Nawang Puri agar mau menyerahkan kembali raga Sekar Pamikat, tidak akan dianggap suatu tindakan yang mengacaukan kedamaian di Kadipaten itu?
"Putri Ayu...." tegur Ludiro setelah mereka saling termenung dan membisu beberapa saat lamanya.
"Saya rasa ini kesempatan baik untuk menemui Nawang Puri. Dengan mendekat kan diri kepada orang Kadipaten, mungkin kita bisa meminta bantuannya untuk menangkap Nawang Puri tanpa kegaduhan."
"Mendekatkan diri, itu tidak mudah. Kecurigaan dapat memancing kita ke dalam lobang jebakan yang ada, Paman."
Ludiro tersenyum. Saya baru ingat kalau Kadipaten ini adalah dalam kekuasaan Adipati Reksoguno. Kalau tidak salah ingatan saya, Reksoguno itu masih ada hubungan saudara dengan Resi Garba, guru saya itu. Dengan memperkenalkan diri sebagai murid Resi Garba, barangkali saya dapat menjalin hubungan dengan beliau, dan rencana kita dapat dilaksanakan. Bahkan bila mungkin kita akan mendapat bantuan dari pihak Adipati Reksoguno."
Sekar Pamikat manggut-manggut. Sebenarnya hatinya sudah tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan Nawang Puri dan merebut kembali raganya. Tetapi tiba-tiba terselip sesuatu yang mengganjal di hati.
"Rencana memang bagus. Tapi apakah Adipati Reksoguno itu masih menaruh hormat kepada Resi Garba?!
"Saya yakin, pasti Reksoguno masih memandang Resi Garba sebagai kakak misannya. Ah, sebaiknya kita mencobanya. Jika gagal, pasti ada cara lain yang saat ini memang belum kita temukan, Putri Ayu."
Ludiro selalu memberi semangat dan gairah kepada Sekar Pamikat. Akhirnya gadis itu pun nekad masuk ke wilayah Kadipaten Nilakencana. Untuk mencapai Dalem Kadipaten, mereka harus melalui beberapa desa dan pademangan. Geram dan dendam di hati Sekar Pamikat hanya membuat keresahan yang menyolok. Ludiro selalu mengingatkan agar Sekar Pamikat harus bisa menahan emosi dan memperkaya kesabaran.
"Biasanya kesabaran itulah yang akan menghasilkan buah yang manis, Putri Ayu."
Sekar Pamikat hanya menggumam. Ia tetap melangkah dengan tegap dan tegas. Matanya bergerak-gerak lincah, memasang kewaspadaan di sekelilingnya. Ketika mereka hendak memasuki pusat keramaian Kadipaten, mendadak langkah Sekar Pamikat terhenti, tangannya menarik tangan Ludiro seraya ia berbisik," Paman... berlindunglah." Dengan keadaan bingung, Ludiro berlindung di balik pohon, menyatu
dengan Sekar Pamikat.
"Ada apa, Putri?" Ludiro balas berbisik.
"Lihat penunggang kuda yang menuju regol Kadipaten itu? Bukankah dia Raden Panewu, kakak Raden Praja itu?"
"Ya, Panewu..." ucap Ludiro dalam desah keheranan.
Lelaki bertubuh sedang dan mengenakan baju kebangsawanan warna putih berhias benang emas di setiap tepiannya itu, sempat berhenti sejenak di regol Kadipaten. Matanya memandang penuh curiga ke sekeliling. Setelah merasa aman, ia pun masuk ke pintu gerbang Kadipaten Nilakencana yang dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak dan perisai perak.
"Rupanya ia memang sering datang kemari, Putri. Lihat saja, sewaktu dia masuk, kedua pengawal pintu regol hanya membungkuk, menghormat, kemudian membukakan pintu tanpa melalui beberapa pertanyaan seperti umumnya orang mau masuk Dalem Kadipaten."
Sekar Pamikat hanya menggumam. Setelah kuda yang ditunggangi Raden Panewu menghilang, dan pintu regol ditutup kembali, Sekar Pamikat menghempaskan nafas panjang. Ada rona keheranan yang berbaur dengan perasaan resah.
"Sudahlah," Ludiro menghibur.
"Mungkin itu hanya suatu kunjungan biasa."
"Kunjungan tanpa pengawalan? Dari Kadipaten Jangga ia berani datang sendirian kemari tanpa pengawalan?" Sekar Pamikat berkerut dahi.
"Aneh. Caranya masuk pun sangat mencurigakan."
Di seberang Dalem Kadipaten, ada sebuah kedai bagi para penarik gerobak. Memang sedikit agak jauh dari pintu regol, tapi dari kedai itu orang dapat melihat jelas keadaan di pintu regol tersebut. Tak ada tempat lain yang strategis bagi Ludiro dan Sekar Pamikat selain ikut duduk di kedai itu, membaur dengan para penarik gerobak sayuran dan padi, sambil menyusun rencana dan mempelajari situasi yang ada.
"Saya jadi penasaran," ujar Ludiro.
"Ada apa sebenarnya di balik tembok Dalem Kadipaten itu?"
"Hei, lihat...!" Sekar Pamikat nyaris terpekik kaget. Tangannya menuding ke arah pintu regol Dalam Kadipaten. Rupanya bukan hanya sepasang mata sayu bercodet saja yang membelalak lebar, melainkan sepasang mata Ludiro yang belo itu pun ikut membelalak lebar.
"Itu dia!" seru Ludiro bertahan, takut menjadi pusat perhatian orangorang di sekitar situ.
"Itu Nawang Puri!"
Seorang perempuan berbaju warna ungu, tipis dan amat menarik, sedang berjalan menuju pintu gerbang Dalem Kadipaten. Perempuan itu amat cantik. Tubuhnya langsing, namun bukan ceking. Padat, berisi, dan sangat menggairahkan setiap lelaki yang memandangnya. Terbukti dari celoteh para pembeli kedai memuji-muji kecantikan gadis itu.
Seseorang berpakaian hitam yang duduk di seberang meja berkata kepada temannya:
"Cantik sekali gadis Itu. Serupa betul dengan bidadari dalam impianku." Yang lain menyahut, "Edan! Kenapa sejak lahir baru sekarang kuketahui ada gadis secantik dia. Putri Anggraini, anak kanjeng Adipati itu, tak ada sekuku hitamnya kecantikan yang ia miliki dibanding gadis itu.
Wah, wah,wah."
Salah seorang berkata, "Dia bukan orang Kadipaten Nilakencana. Dia cuma seorang tamu."
"Tamu?"
Pemilik kedai menyahut, 'Ya, tamu istimewa Kanjeng Adipati. Dia itulah yang bernama Putri Ayu Sekar Pamikat. Ia bergelar Cambuk Naga. Lihatlah cambuk bergagang perak yang terselip di pinggangnya, membuktikan bahwa dia benar-benar seorang dewi, yang selain cantik, menggairahkan, juga berilmu tinggi."
"Tapi mengapa ada dua pengawal yang menyertainya? Kalau sakti, punya ilmu kanuragan yang tinggi, tentunya ia tak perlu pengawalan," bantah yang lain.
"Hei, Sobri... Kamu kira kedua pengawal itu benar-benar bertugas mengawal Putri Ayu Sekar Pamikat?" kata pemilik kedai yang perempuan.
"Kedua orang itu hanya sekedar pesuruh yang sewaktu-waktu siap melayani Sang Pendekar Cambuk Naga!"
"Ooo... kalau begitu ia sudah nyaris menjadi seorang putri Adipati, ya?"
"Lha, memang kok. Memang Pendekar Cambuk Naga itu saudara angkat Putri Anggraini, dan sudah disyahkan menjadi anggota keluarga Adipati Reksoguno.."
"Berarti punya hak penuh sebagai wakil keluarga Kadipaten Nilakencana, ya? Wah, benar-benar ia menduduki jabatan yang enak dan menyenangkan hati."
Ludiro membisu. Matanya melirik putri momongannya. Ada selaput merah membungkus wajah sayu Sekar Pamikat. Ada genangan air bening di sudut mata bercodet dan berbulu mata tipis itu. Ada suara gemeretaknya gigi geraham. Ada hembusan-hembusan nafas tak teratur, dan semua itu jelas serangkaian emosi yang ditahan kuat-kuat oleh Sekar Pamikat.
"Putri Ayu..." bisik Ludiro hatihati sekali.
Suara sumbang dan datar terdengar dari mulut Sekar Pamikat, "Jahanam itu telah berhasil bermegah sanjungan dan pujian. Orang-orang itu... oh, mereka tak tahu kalau itu, yang mereka pandang itu adalah jasadku, Paman."
"Sssttt... jangan keras-keras," bisik Ludiro cemas.
"Sudan saatnya kita harus bertindak, Paman. Aku tak tahan menerima siksaan batin seperti ini. Aku tak tahan!" Suara Sekar Pamikat semakin ditekan, diendapnya agar tak menimbulkan kecurigaan bagi orang lain.
"Jangan, jangan...!" Ludiro yang bertubuh kekar dan mengenakan baju tanpa lengan itu sangat mengkhawatirkan ledakan emosi yang bisa terjadi pada diri Sekar Pamikat.
"Menahan emosi adalah belajar memahami pribadi setiap manusia, Putri Ayu. Jangan gegabah."
"Tapi... tapi dapatkah aku bertahan seperti ini, sementara aku melihat ragaku yang banyak dikagumi orang itu berjalan masuk ke Dalem Kadipaten? Dapatkah aku menahan diri, sementara aku melihat bayangan pribadiku melintas di depan mataku, Paman?"
"Harus bisa. Memang sulit, tapi segala yang sulit akan menelorkan sesuatu yang membahagiakan, Putri. Percayalah, ini bukan saatnya untuk bertindak. Jangan mau gagal karena diperbudak oleh emosi. Tapi bersabarlah untuk menggunakan perhitungan otak yang sehat."
Sekar Pamikat menggigit bibirnya sendiri. Memang sosok Nawang Puri yang mengenakan raganya itu telah masuk ke Dalem Kadipaten, tapi rasa-rasanya Sekar Pamikat bagai masih melihat bekas bayangan sosok tubuhnya di depan regol. Tiba-tiba pemilik kedai berseru kepada orang-orang:
"Nah, yang itu kabarnya calon suami Pendekar Cambuk Naga..."
Ludiro serta Sekar Pamikat terbelalak tegang.

* * * * *



--≡¦ { 5 } ¦≡--

GEMETAR rasanya tulang-tulang dan persendian Sekar Pamikat ketika matanya tertuju pada seorang pemuda yang sedang berbicara dengan kedua pengawal regol. Pemuda itu pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu. Badannya tinggi, tegap, mengenakan rompi dari kulit beruang, demikian juga celana pangsi ketat dari kulit beruang juga. Pemuda itu berambut panjang, rapi. Diikat dengan ikat kepala dari kulit macan tutul. Sedangkan ikat pinggangnya jelas terbuat dari kulit buaya, lebar dan tebal. Sekar Pamikat memperhatikan sebilah pedang yang bertengger di pundak pemuda itu. Pedang berkepala kobra yang terbuat dari semacam gading. Mungkin gading gajah Uar.
Sekar Pamikat juga ingat, pemuda itu pernah mengalami sedikit bentrokan dengan Pendekar Burung Bangkai, atau yang dipanggilnya Eyang Gati. Semua gerakan, sikapnya, ketangguhannya menghadapi ilmu Eyang Gati, masih terbayang dalam ingatan Sekar Pamikat. Bahkan saat pertama matanya bertatapan sekilas oleh sorot mata pemuda itu, Sekar Pamikat masih ingat betapa waktu itu sebenarnya hatinya berdebar tak tentu rasa. Namun ketika itu ia mampu segera menghilangkan kekacauan hatinya karena sikap Eyang Gati yang membuat suasana menjadi tegang. Dalam jarak yang bisa dibilang jauh untuk jarak pandang itu, Sekar Pamikat dapat memperhatikan dengan jelas otot-otot dan kegempalan badan pemuda itu. Kekar. Kencang. Bagai menggoda suatu kehangatan yang menggelitik hatinya. Wajahnya bersih, tanpa kumis atau pun cambang. Entah memang dirawat sedemikian rupa, atau memang tak ada selembar kumis pun yang dapat tumbuh di wajah kesatriaannya, yang jelas dengan keadaan wajah bersih itu, ia tampak seperti seorang pangeran yang baru pulang dari berburu rusa di hutan.
Seorang perempuan muda, anak pemilik kedai, sempat memperhatikan ke arah pintu regol Dalem Kadipaten. Ia tak sadar kalau mulutnya sejak tadi melongo, memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda berpedang kobra.
"Katmi...." tegur ibunya.
"Apaapaan kamu memandang lelaki kok sampai terbengong-bengong begitu?"
Tawa beberapa orang terdengar. Gadis yang dipanggil Katmi itu tersipu-sipu. Namun Sekar Pamikat bagai kaku dan tak mampu berekspresi lain kecuali sendu. Namun telinganya masih sempat mendengar suara Katmi yang bertanya kepada ibunya:
"Dia itu siapa sih, Mak?"
"Kata Mbok Jirah, abdi Dalem Kepatihan itu, dia.. dia calon suami Pendekar Cambuk Naga."
"Wah, cocok. Pendekar Cambuk Naga ayu, calon suaminya gantengnya bukan main. Cocok sekali ya, Mak? O, lalu... namanya siapa, Mak?"
Ayah Katmi menyahut, "Namanya ash" tidak ada yang tahu. Tapi dia punya gelar: Pendekar Pusar Bumi."
Tanpa disadari Sekar Pamikat menggumam lirih:
"Pendekar Pusar Bumi..."
"Putri...." sapa Ludiro.
"Ada apa?" Ludiro memancing. Sekar Pamikat menghela nafas.
"Tidak apa-apa..." suaranya begitu parau, dan Ludiro tahu apa yang sedang bergejolak di hati Sekar Pamikat. Sangat pribadi. Karenanya ia tak perlu mendesak dengan pertanyaan lain. Namun secara tidak sengaja, telinga mereka sama-sama menunggu suara dari orangorang itu yang diharapkan membicarakan tentang Pendekar Pusar Bumi. Ternyata harapannya terpenuhi. Ada seseorang yang bertanya kepada pemilik kedai.
"Dia orang mana, Pak?"
"Kabarnya sih. dari Pesanggrahan Cendana Manik. Itu kalau aku tidak salah dengar lho. Sebab sebelum dia masuk pertama kali ke Dalem Kadipaten, ia menyempatkan minum tuak dulu di sini sambil bertanya tentang ini-itu sama aku."
"Ooo... jadi dia memang sudah lama tinggal di wilayah kita?"
"Lama sih tidak. Mungkin sudah ada dua bulan, cuma tidak menetap di sini. Ia sering pergi entah ke mana, dan tahu-tahu muncul lagi."
Sebenarnya pemuda yang konon bergelar Pendekar Pusar Bumi itu telah lama masuk Dalem Kadipaten, namun mereka masih saja membicarakan. Tanpa disadari, sesekali hati Sekar Pamikat merasa berbunga-bunga, karena seakan dirinya itulah yang sedang dibicarakan. Jika ada yang mengatakan: "Alangkah bahagianya Pendekar Cambuk Naga bisa berdampingan dengan Pendekar Pusar Bumi yang tampan itu."
Sekar merasa seakan orang itu sedang menyindirnya dalam canda. Malahan ia sempat tersenyum ketika Katmi, anak pemilik kedai itu berkelakar dengan salah seorang lelaki yang sedang menikmati makanannya di situ:
"Hei, Kang... kalau kau seumpama menjadi Pendekar Pusar Bumi, apa yang akan kaulakukan pada malam pertama? Kau ingin mencium Pendekar Cambuk Naga?"
Orang itu menjawab, "Untuk apa kucium? Aku tahu pasti kalau Pendekar Cambuk Naga akan menciumku sendiri, seandainya aku Pendekar Pusar Bumi. Sayang... nyatanya aku toh cuma tukang ramban, cari rumput! Paling-paling yang cium aku kuda...!"
Gelak tawa itu membuat Sekar Pamikat menjadi tersipu sendiri. Ia benar-benar seakan mereka sedang membicarakan percintaannya dengan Pendekar Puser Bumi. Wajah Sekar Pemikat saat itu menjadi merah dadu. Ia menunduk. Tersenyum-senyum sehingga Ludiro memandangnya dalam keheranan. Tak sengaja Ludiro bertanya sendiri:
"Ada apa kok jadi tersenyumsenyum begitu?" Sekar Pamikat buruburu menarik nafas panjang. Ia kembali dalam kesadarannya dan mengetahui bahwa orang-orang itu tidak sedang membicarakan dirinya. Pendekar Cambuk Naga yang mereka maksud, adalah Pendekar Cambuk Naga yang saat ini berada di dalam Dalem Kadipaten. Bukan yang berada di kedai itu. Yang berada di kedai, sama sekali tak dikenal oleh mereka, dan sama sekali tak mendapat perhatian karena tidak memiliki kecantikan seperti Pendekar Cambuk Naga yang ada di dalam Dalem Kadipaten itu. Hati Sekar Pamikat bagai menerima irisan-irisan yang memedihkan begitu ia menyadari hal itu.
Secara lahiriah, ia memang tertarik melihat ketampanan, kegagahan dan ketegaran Pendekar Pusar Bumi. Tapi toh ia belum tahu isi hatinya. Ia belum mengenai watak dan pribadi pemuda itu. Karenanya, Sekar Pamikat buru-buru membuang perasaan simpatinya, mengacau balaukan hati yang sedang berbunga-bunga. Ia tak mau tersiksa sendiri.
"Paman, sebaiknya..."
Kata-kata itu terputus. Sekar Pamikat memandang sekeliling. Oh, kedai itu telah sepi. Ludiro tidak ada di sampingnya. Hanya tinggal dua orang yang tengah menikmati makanannya. Dan... astaga, ia terlalu panjang melamun. Ia tak sempat menyadari kalau hari telah merayap menjadi petang. Ouw... luar biasa. Barangkali Ludiro maupun orang lain telah menegurnya berulangkali, namun agaknya ia telah terseret ke dalam lamunan yang dalam. Lamunan tentang Pendekar Pusar Bumi? Lamunan tentang kecantikan diri yang sebenarnya? Lamunan tentang bunga asmara yang berusaha ditekan dan dimatikan di dalam hati?
Ah, entahlah. Ia sendiri tak tahu mengapa ia menjadi linglung seperti itu. Waktu ia menanyakan kepada Katmi.
"Apakah kau melihat temanku yang tadi makan bersama aku?"
Katmi hanya menjawab, "Dia pergi. Dia sudah berpesan kepadamu agar jangan kemana-mana sebelum ia kembali."
"O, dia bicara kepadaku?"
"Juga kepadaku, aku disuruh menjagamu. Tapi... itu tak mungkin kulakukan. Tugasku banyak. Sebentar lagi akan banyak orang yang datang untuk bersantap malam di sini."
Jawaban-jawaban itu, perkataanperkataan itu, sungguh bersifat menyepelekan diri Sekar Pamikat. Mungkin karena wajahnya tak secantik Katmi, dan sosok tubuhnya tak menggairahkan seperti Katmi, sehingga seorang perempuan pun enggan bersahabat dengannya. Memang, dengan gigi depan yang sedikit menjorok ke luar itu, ia benar-benar tak enak dipandang. Tapi, mengapa mereka harus bersikap demikian jika wajah yang dipakai ukuran?
Tidak. Sekar Pamikat tidak mau berpikir hal itu. Terlalu ringan dan sia-sia. Ada persoalan lain yang lebih penting, lebih membutuhkan pikirannya.
"Nawang Puri!" Ketika Sekar Pamikat mencoba berdiri di halaman depan kedai itu, ia melihat seseorang keluar dari pintu regol Kadipaten. Orang itu, menurutnya adalah dirinya sendiri. Tapi sebenarnya ia adalah Nawang Puri.
Sekar Pamikat sempat gugup sebentar karena ia kebingungan, antara mencari dan menunggu Ludiro di kedai, atau berjalan mengikuti kepergian Nawang Puri. Apalagi kini dibelakang Nawang Puri berjalan seorang pemuda berambut panjang, rapi dan bersih. Dialah Pendekar Pusar Bumi. Oh, begitu gundahnya hati Sekar Pamikat saat ini. Mereka hanya berdua. Memang benar-benar hanya berdua. Mereka melangkah perlahan, bagai sedang menyusuri cahaya purnama yang malam itu begitu in dan, memancarkan warn a perak mendamaikan hati. Begitu romantis mereka melangkah seiring. Entah apa yang mereka bisikkan dari hati ke hati, namun hati Sekar Pamikat kian terpecah menjadi dua bagian. Salah satu hatinya merasa masygul, berdebar-debar, karena ia bagai sedang melihat dirinya berjalan rapat dengan pemuda segagah itu. Namun sebagian hatinya terbersit dendam kepada Nawang Puri. Gara-gara kelicikan Nawang Puri, saat itu ia hanya dapat menjadi penonton setia terhadap kemesraan yang
ada di depan matanya itu.
"Setan! Memang setan keparat dia! Malam ini juga aku harus menunjukkan siapa sebenarnya dirinya dan siapa sebenarnya Pendekar Cambuk Naga!" geram Sekar Pamikat sambil melangkah di keremangan cahaya purnama, mengikuti ke mana arah kepergian sepasang remaja dalam kemesraan itu.
Malam terus merayap. Ada hembusan udara yang membawa angin dingin. Rambut Nawang Puri yang tersanggul rapi itu bagai bertiras. Tepiannya beriap-riap bagai tarian serabut benang sutra. Sementara itu, baju longgar bergaya jubah warna ungu menari-nari karena hempasan angin. Baju itu tampak lebih lembut dan menakjubkan ketika terkena cahaya bulan purnama. Langkahnya maju setapak demi setapak, seakan sengaja menggoda hati Sekar Pamikat, yang berada dalam raga Nawang Puri sebenarnya.
"Kalau sukmaku telah menjadi satu dengan ragaku, barangkali perasaanku saat itu sama dengan apa yang kurasa saat ini!" kata Sekar Pamikat sendirian. Suaranya sedikit bergetar karena menahan kepedihan.
Dalam jarak tertentu, Sekar Pamikat ikut melangkah, mengawasi sepasang muda-mudi itu. Dalam jarak pandangnya, ia dapat melihat betapa indahnya ikat kepala Pendekar Pusar Bumi di sela taburan cahaya rembulan. Ikat kepala dari bahan kulit macan tutul, kelihatan seperti sehelai kain emas bertaburkan manik-manik hitam yang indah. Pedang bergagang gading bentuk kobra itu, terasa begitu menggugah gairah. Pedang yang tersandang di pundaknya itu bagai mempunyai daya magnetisme tersendiri bagi Sekar Pamikat. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa pemuda dan pedang itu telah memancing khayalannya untuk saling berdekap erat. Sayang... hanya segelintir khayalan.
Debur ombak pantai terdengar. O, rupanya Pendekar Pusar Bumi membawa gadisnya ke pantai yang sepi dan memang sangat romantis. Sekar Pamikat masih mengikutinya terus dalam jarak yang diatur sedemikian rupa sehingga sukar diketahui oleh mangsanya. Debardebar jantungnya sesekali bagai ingin meledak, manakala ia memperhatikan tangan Nawang Puri diremas oleh jemari tangan Pendekar Pusar Bumi. Tanpa sadar tangan Sekar Pamikat bergerakgerak meremas udara hampa. Ia merasakan bagai sedang bergandengan tangan dengan Pendekar muda itu. Oh, alangkah melenakan jika ia dapat merasakannya langsung.
"Aku harus bergerak. Bergerak sekarang," pikir Sekar Pamikat.
"Tapi, oh... jangan. Jangan sekarang. Biar dulu ingin kutahu sehangat apa kemesraan itu berlangsung."
Sekar Pamikat menggelinjang kegelian ketika Pendekar Pusar Bumi menggelitik pinggang Nawang Puri. Ia bagai merasa sedang bercanda dengan pemuda itu. Ia nyaris terpekik kegelian. Buru-buru ia segera menutup mulutnya dan mengendap dalam semak tanaman perdu. 
Ombak pantai semakin jelas. Pendekar Pusar Bumi berdiri dengan kaki terentang tegak. Kedua tangannya bersedekap. Sementara cahaya bulan memancar dari arah depannya. Sekar Pamikat yang berada dalam persembunyian semak, mengeluh dan berdecak kagum berulangkali. Cuma dalam hati. Ia memandang tubuh yang tegar dan tegap itu membentuk dalam bayangan yang menampakkan kejantanannya. Pemuda itu bagai sedang menantikan kapal musuh dan siap menghancurkannya.
Sekar Pamikat semakin merayap mendekat. Ketika itu Nawang Puri sedang memeluk pundak Pendekar Pusar Bumi, bahkan kini bergelayutan dengan manja. Tawa dan kata terdengar samarsamar, angin berhembus membawa kikik tawa mereka. Dan ketika tangan kekar nan tegap itu merangkul pundak Nawang Puri, tak sadar mulut Sekar Pamikat melontarkan keluh yang romantis.
"Ooh..." dan ia pun menggelinjang, bagai ingin merapatkan badan ke tubuh kekar yang menghangat itu. Tak tahan rasanya hati untuk mengeluh dan mengeluh terus. Sekar Pamikat merayap lebih mendekat, namun masih dalam rimbunan semak dan rimbunan pohon nipah. Matanya menatap tajam tak berkedip, memandang kemesraan Nawang Puri dengan Pendekar Pusar Bumi.
Suara-suara mereka mulai terdengar sayup, namun Sekar Pamikat segera menggunakan aji Gineng memusatkan pikiran pada segala macam suara, lalu memilih suara mana yang perlu daya tangkap khusus. Sebab itu, Sekar Pamikat dapat mendengar Pendekar Pusar Bumi berkata:
"Rasa-rasanya aku tak sabar untuk menunggu terlalu lama, Dewi."
Terdengar pula Nawang Puri yang dipanggil Dewi itu menjawab lirih, "Ya, aku pun juga tak tahan, Kakang."
"Dewi..." Pemuda itu mendesah punya makna tersendiri. Diam-diam hati Sekar Pamikat semakin berdebar-debar dan penuh desah juga.
"Sayang kita harus menunggu ayah sembuh. Jika tidak, mungkin malam ini juga kita telah resmi menjadi suamiistri dan dapat... dapat."
"Dapat apa?" goda Nawang Puri dengan tawa kecilnya.
"Kau bisa menebaknya, bukan?"
"Aku sudah tahu jawabannya. Dan. dan aku sudah siap menjawab tanpa kata, Kakang."
Angin berhembus tak begitu kencang, cukup dipakai buat pelena suasana mesra itu. Sekar Pamikat menggigit bibirnya sendiri pada saat Pendekar Pusar Bumi memeluk tubuh Nawang Puri, yang sebenarnya tubuh Sekar Pamikat sendiri. Bahkan ketika Pendekar Pusar Bumi memeluk lalu menciumnya pelan-pelan, Sekar Pamikat merintih pelan. Pelan sekali. Bahkan ia sempat mengerang dalam nada rengekan. Ia tak tahan. Sangat tak tahan. Ia ingin segera muncul dan menampakkan diri, lalu adu kadigdayan dengan Nawang Puri. Tapi, hati kecilnya mengatakan, jangan! Masih ada sesuatu yang harus ditunggu. Entah apa dan kapan.
"Kau tidak kecewa karena gagal bersuami Raden Praja?" tanya Pendekar Pusar Bumi. Tampak dari semak-semak, Nawang Puri menggeleng. Lalu perempuan itu berkata:
"Dia sudah tiada, yang sudah tiada tak perlu dibuat menjadi ada. Itu hanya menjadikan diri kita mayat tertunda."
Pendekar Pusar Bumi tersenyum dalam tawa kecilnya. Cahaya bulan menerangi tawa kecil dan senyuman itu. Lalu mulut Sekar Pamikat semakin terperangah. Ia, pemuda itu, semakin memikat saja dengan tawa tipisnya itu. Apalagi saat ini ia mengusap lembut pipi Nawang Puri, merapikan anak rambut yang meriap di kening Nawang Puri, oh... Sekar Pamikat terpaksa memejamkan mata untuk meresapinya.
"Kakang Seta..." bisik Nawang Puri dalam desah yang telah memabokkan itu.
"Kurasa tak ada salahnya jika kita berbulan madu lebih dulu sekarang ini. Aku..aku takut kehilangan kau, Kakang Seta."
Terperanjat hati Sekar Pamikat. Ia buru-buru melepaskan diri dari penghayatannya. Ia mendengar pemuda yang dipanggil kakang Seta itu tertawa kecil, bercampur desah nafas yang memburu.
"Apakah kau rela memberikannya malam ini?"
"Ya. Aku rela. Aku rela, Kakang. Inilah bukti bahwa cintaku bukan mekar di tepian bibir saja, namun di ujungsukmapun cinta itu masih mewangi, Kakang."
Tidak! Sekar Pamikat berteriak dalam hati. Ia tidak mau ternoda. Ia ingin mendapatkan jasadnya kembali dalam keadaan masih suci. Masih perawan! Sama persis seperti ketika raga itu dipakai sukma Nawang Puri. Namun agaknya sepasang kasih itu semakin hangat dan semakin merayap. Sekar Pamikat dalam kebimbangan. haruskah ia menampakkan diri saat ini? Tapi bagaimana dengan gejolak kewanitaannya yang telah tertawan kemesraan Pendekar Pusar Bumi dengan Nawang Puri itu?
"Kakang..." desah Nawang Puri semakin tipis. Gaun jubah berwarna ungu nan halus dan lembut itu sudah tidak lagi hanya dipermainkan oleh angin saja, tetapi jari-jemari tangan Nawang Puri sendiri sudah lebih berani mempermainkannya, bagai memberi kesempatan kepada Seta untuk menghangatkan hembusan angin pantai itu. Debur ombak pun semakin deras, seakan merupakan irama yang terselip di sela ketegangan Sekar Pamikat.
"Ini harus dihentikan!" ucap Sekar Pamit dalam hati. Tetapi sebelum ia berdiri dari jongkoknya yang telah lama itu, tiba-tiba ia merasakan ada benda dingin yang menempel di tengkuk kepalanya. Menempelnya benda dingin yang mendirikan bulu kuduknya itu diiringi dengan suara bisikan lembut, yang terlontar dengan sangat hati-hati sekali.
"Jangan bertindak bodoh. Ikuti aku, lekas!"
Suara itu, jelas suara Panewu. Sekar Pamikat hafal dengan suara yang sedikit serak, bagai orang kebanyakan madat, Benda dingin. yang menempel di tengkuk kepalanya jelas sebilah keris. Baunya yang khas sempat ter-hirup hidung, dan keruncingannya sempat membuat perih di kulit Sekar Pamikat.
Di luar dugaan Panewu, Sekar Pamikat menggulingkan tubuhnya ke kiri bagai seekor kucing tersengat api Bersamaan dengan itu kakinya yang kecil dan keras menghantam pergelangan tangan Raden Panewu. Keris hampir saja terlepas. Untung hanya terhempas ke belakang dengan gagang masih kukuh terpegang tangan.
"Jahanaaamm...!" Raden Panewu berteriak keras. Ia berusaha mengayunkan kerisnya ke arah pinggang Sekar Pamikat, tapi perempuan kurus itu lebih dulu melentik ke udara bagai anak belalang keluar dari persembunyian. Ia sempat melayang dan membuat gerakan salto di udara. Sarung pedangnya yang terbuat dari perak tembaga memantulkan cahaya bulan. Berkilat dan melesat, seperti seekor kunang-kunang menari di udara. Dengan sigap, tanpa goyah sedikit pun, Sekar Pamikat telah menampakkan kedua kakinya dengan sempurna di tanah berpasir lembut. Dan hal ini sangat mengejutkan Pendekar Pusar Bumi dan Nawang Puri. Terlebih Nawang Puri ia nyaris menjerit kaget sewaktu ia merasa melihat dirinya berada di depannya sendiri. Untung ia segera sadar bahwa saat ini ia masih mengenakan raga Sekar Pamikat, sehingga tubuh yang dulu pernah dimiliki sukmanya itu kini justru dipandanginya dengan sinis.
"Nawang Puri...?!" geram Sekar Pamikat. Pendekar Pusar Bumi sempat terperangah dan heran beberapa detik.
"Nawang Puri, kembalikan ragaku itu!"
Sekar Pamikat sengaja bicara terang-terangan di depan Pendekar Pusar Bumi. Nyatanya pemuda itu semakin terheran-heran setelah Sekar Pamikat berkata lagi:
"Belum puaskah rohmu memakai ragaku, Nawang Puri? Belum puaskah kau meninggalkan ragamu ini yang sekarang dipakai sukmaku? Belum puaskah kau, Setan!" bentak Sekar Pamikat.
"Siapa dia?" tanya Pendekar Pusar Bumi.
"Entah, rasanya aku belum pernah berkenalan dengannya, juga bertemu pun baru kali ini," Nawang Puri berlagak bego.
Panewu yang sejak tadi telah geram-geram sambil memegangi keris pusakanya, kali ini menjadi bersuara lantang.
"Hai, kamu... Perempuan jalang! Masihkah kau akan mengaku sebagai Cambuk Naga? Pendekar Cambuk Naga? Nah, sekarang kau berhadapan sendiri dengan tokoh sakti di kalangan persilatan di sini! Ayo, kalau berani mengaku, silakan!"
"Aku tidak bicara soal berani mengaku atau tidak berani mengaku," kata Sekar Pamikat yang mulai menguasai ketenangan.
"Aku hanya ingin berkata kepadamu, bahwa yang ia kenakan itu ragaku, Dan kenyataan dirinya, diri Nawang Puri ini, ada di depan Anda sendiri Tuan Pendekar yang agung." 
"Bohong! Kau memang pengacau!" bentak Nawang Puri.
"Dari dulu kerjamu selalu mengacaukan hubungan cintaku dengan lelaki mana pun! Bah! Apa maumu sekarang, bah?"
"Kembalikan ragaku. Titik". Sekar Pamikat menjawab tegas.
"Perempuan mabok...! Terimalah jawabanku ini, hiaat...!" Nawang Puri menyerang dengan suatu jurus tendangan pembuka. Tubuhnya melayang dengan gesit dan luwes. Jubah ungunya bagai lautan berombak di tengah malam. Berkilauan dihempas angin, dan berayun-ayun begitu indah, Namun sayang tendangan pembuka itu tidak mengenai sasaran. Lengan gaun yang panjang berkelebat ke arah depan mata Sekar Pamikat. Dengan satu kali tangkisan cepat, pukulan itu meleset. Kini bahkan Nawang Puri meringis kesakitan, karena tulang hastanya bagai terasa mau patah ketika beradu dengan tulang lengan Sekar Pamikat.
"Enyah kau dari sini, Iblis!" bentak Nawang Puri yang benar-benar marah sekali. Bau harum dari tubuh Nawang Puri sangat menyegarkan, sebenarnya. Sayang sekali Pendekar Pusar Bumi tak mau banyak bergerak. Hanya sepasang mata yang bening itulah yang mengikuti gerakan Sekar Pamikat sejak tadi. Kelenturan tubuh Sekar Pamikat, kepandaiannya membuang serangan dan pukulan Nawang Puri itu membuat Pendekar Pusar Bumi terlolonglolong melongo. Namun demikian ia masih kelihatan tenang dan menganggap ini hal yang sepele.
Panewu menerjang dengan menghujamkan keris ke tubuh Sekar Pamikat. Tetapi usaha itu bagai sia-sia belaka. Gesit dan lincah Sekar Pamikat meliuk, melayang dan menerjang Nawang Puri yang dibantu oleh Raden Panewu.
Panewu mencoba melakukan serangan beruntun ke arah Sekar Pamikat. Tetapi sekali lagi Sekar Pamikat meloncat bagai kupu-kupu melebarkan sayap, kemudian menghantam kuat kepala Panewu. Lelaki bertubuh sedang itu berputar-putar keliyengan. Sementara itu Nawang Puri hendak menyerangnya. Tetapi dicegah oleh Pendekar Pusar Bumi.
"Tunggu! Jangan teruskan dulu!"
"Apa maksudmu, Kakang Seta?"
"Dewi... pulanglah bersama Kakang Panewu. Biar aku saja yang menghadapi perempuan ini. Pulanglah segera...! Jantung Sekar Pamikat berdebardebar, ia harus berhadapan dengan pemuda itu, uuuh... celaka!
"Aku tidak ada urusan dengan kamu, Bung!"
"O, ya?" Pemuda itu tersenyum.
"Tapi aku masih merasa kagum atas permainanmu ketika aku berhadapan dengan Pesiul Iblis yang bergelar Pendekar Burung Bangkai itu. Aku ingin berkenalan denganmu. Barangkali kau sudi mengajarku untuk bisa mengendalikan gelombang suara siulan itu."
Sekar Pamikat kebingungan. Sementara itu ia melihat Nawang Puri sedang berbicara dengan Raden Panewu. Segera ia tidak menghiraukan pemuda itu, ia meloncat menerjang Panewu dengan satu jurus penghentak.
"Hiaaat...!"
Panewu sigap. Ia melompat mundur bagai menghindari lemparan api rokok. Pada kesempatan itu, Nawang Puri mengibaskan sapuan tangannya ke arah pelipis Sekar Pamikat. Gaun jubah berwarna ungu dan mengabarkan bau harum itu bagai percikan air panas. Rupanya Nawang Puri tidak hanya sekedar mengibaskan tangannya, melainkan diiringi hembusan hawa panas dari dalam tubuhnya. Sayangnya, Sekar Pamikat sudah mempunyai daya refleks untuk melapisi tubuhnya dengan hawa dingin, sehingga penyaluran tenaga dalam Nawang Puri tidak membuatnya menggelinjang atau sempoyongan sedikit pun.
Hal itu cukup mengherankan Pendekar Pusar Bumi. Sebenarnya ia masih ingin menonton pertarungan itu beberapa jurus lagi. Namun, dalam hati Pendekar Pusar Bumi tidak rela jika calon istrinya harus memeras tenaga untuk mengalahkan perempuan yang belum dikenalnya itu. Dengan satu gerakan yang tak terlihat oleh mata, kaki Pendekar Pusar Bumi menebarkan pasir ke arah kaki Sekar Pamikat.
Seketika itu pula Sekar Pamikat menjerit kesakitan Tulang-tulangnya menjadi linu, terutama tulang kakinya. Ia tak tahan untuk berdiri. Ia meringis kesakitan. Ia sempat mendengar Pendekar Pusar Bumi memerintahkan Nawang Puri untuk segera pulang. Dan perempuan itu pun pergi bersama Panewu. Kemarahan Sekar Pamikat meluap-luap. Ia ingin berjalan mengejarnya, namun kedua kakinya bagai sedang dijepit oleh suatu alat yang amat kuat. Ia nyaris tak tahan dicekam rasa sakit tersebut.

* * * * *



--≡¦ { 6 } ¦≡--

DEBURAN ombak mengganas. Sesekali memercik ke tubuh Sekar Pamikat, bagai usapan selaksa jarum. Kakinya yang sakit bukan kepalang itu berusaha untuk digerak-gerakkan. Oh, semakin bertambah sakit saja rasanya. Sekar Pamikat meringis, menegang nafas, namun tetap tak berhasil mengatasi rasa ngilu pada tulang kakinya. Sekar Pamikat merasa heran mendapat serangan ilmu semacam itu. Ia telah mengerahkan tenaga intinya, menyalurkan tenaga murni pada kaki, tapi tetap tidak berhasil.
"Setan! Jahanam!" teriak Sekar Pamikat sendirian.
Orang yang dicaci, diam dengan tenang di depannya, kira-kira hanya berjarak 4 meter, darinya. Orang itu berdiri tegap, kedua kakinya terentang dengan jarak tiga jengkal. Kedua tangannya saling lipat di dada. Dan sepasang matanya yang bening namun tajam itu masih memandang lurus pada Sekar Pamikat. Dalam serangan kesakitan yang mengganas itu, Sekar Pamikat masih sempat menangkap senyuman tipis Pendekar Pusar Bumi. Seakan pendekar gagah perkasa itu sedang menertawakan kebodohan Sekar Pamikat.
Kemarahan dan dendam membakar hati Sekar Pamikat. Kian lama kian tak dapat terkendalikan. Akhirnya ia mencabut senjata andalannya: Cambuk Naga. Cambuk itu bergagang hitam, talinya bukan terbuat dari serat yang kuat, melainkan hanya dari rajutan benang sutera. Namun kekuatan lecutnya sangat menghebohkan dunia persilatan. Dan kali ini Sekar Pamikat melecutkan Cambuk Naga ke arah Pendekar Pusar Bumi dalam posisi tak dapat berdiri.
"Kau memang pantas dihancurkan, Jahanam!"
"Tar... tar... tar...!"
Air laut bagai bergolak mendengar 1ecutan Cambuk Naga. Ombaknya mengamuk bersamaan dengan deru angin yang bagai ingin membalikkan seisi lautan.
Pendekar Pusar Bumi meletik ke belakang dengan gerakan saltonya yang sempurna. Sambil menahan sakit pada kedua tulang kaki, Sekar Pamikat melancarkan serangan Cambuk Naga berulang-ulang, bagai tidak memberikan kesempatan pada lawannya untuk berhenti bergerak. Semakin jauh Pendekar Pusar Bumi menghindar, semakin keras suara lecutan Cambuk Naga dan getaran yang ditimbulkan begitu kuatnya, sehingga mampu menaburkan berjutajuta pasir pantai.
Suara pekikan Sekar Pamikat bersahut-sahutan dengan letusan ujung cambuknya. Semakin jauh Pendekar Pusar Bumi menghindar semakin hebat daya lecut Cambuk Naga. Ia sempat kewalahan sejenak menghadapi kekuatan yang menghantam bagai tak memberi peluang sedikit pun untuk mengadakan balasan. Pasir yang beterbangan bertambah banyak, seperti telah terjadi pusaran topan yang hebat di depan mata Sekar Pamikat. Karena banyaknya pasir yang meluap-luap, maka pemandangan pun menjadi kabur. Pendekar Pusar Bumi tak terlihat sedikit pun batang hidungnya. Untuk mengetahui keadaan pendekar muda itu, Sekar Pamikat menghentikan lecutan Cambuk Naga. Jutaan pasir beterbangan ke arah di mana angin berhembus. Kemudian hilang. Mata Sekar Pamikat menyipit, memandang keadaan di depan dan di sekelilingnya. Ternyata Pendekar Pusar Bumi sudah tak tampak lagi. Entah lari ke mana, yang jelas Sekar Pamikat bagai ditinggalkan begitu saja dalam keadaan lumpuh.
Suara debur ombak mereda, dan Sekar Pamikat memasang telinga, mempertajam pendengaran dengan aji Ginengnya. Ternyata ia tidak menangkap suara langkah kaki yang melarikan diri. Cahaya bulan yang berwarna perak itu pun tidak menampakkan adanya bayangan berkelebat. Sepi. Hanya Sekar Pamikat dan ombak yang ada di pantai itu. Sayang kedua kaki masih terasa bagai diremukkan tulang-tulangnya, sehingga Sekar Pamikat tak dapat mencari ke mana arah larinya Pendekar Pusar Bumi.
Nafas dihempaskan lepas. Ia masih menyeringai menahan sakit. Keringat bercampur dengan butiran air laut yang membasahi sekujur tubuhnya yang kurus kering itu.
Tetapi tiba-tiba Sekar terhentak kaget. pasir di depan hidungnya bergerak-gerak, dan seketika itu muncullah tubuh Pendekar Pusar Bumi dari dalam tanah.
"Heaaaat..." Tubuh tegap berotot gempal itu meluncur ke atas, melayang sejenak dan, jatuh ke tanah dengan sikap berdiri yang tegap. Kokoh dan kekar.
Kalau saja Sekar Pamikat masih mampu menggerakkan kakinya, maka saat itu ia pasti akan lari atau terlonjak kaget. Namun karena kedua kaki itu menjadi lumpuh dan terasa sakit yang luar biasa, maka Sekar Pamikat hanya dapat berteriak dalam satu kejutan. Cambuk naga dihentakkan ke arah Pendekar Pusar Bumi yang membuat pendekar itu berjumpalitan ke udara kian ke mari.
"Bangsaaaattt...!!" kemarahan itu meluap, sama seperti meluapnya air laut yang menimbulkan deburan ombak mengganas. Pasir-pasir beterbangan mendengar letusan ujung Cambuk Naga. Pendekar Pusar Bumi masih sibuk menghindari kekuatan hantam cambuk itu. Dan sebelum pasir beterbangan bagai disedot topan gila, Pendekar Pusar Bumi mencabut pedang kobranya
"Sreet...!"
Lalu terdengar suara halus yang kian lama kian tinggi. Suara denging yang timbul sejak pedang berujung kepala kobra itu dicabut dari sarungnya. Sekar Pamikat semakin menyeringai menahan sakit di kaki dan di telinga akibat denging yang keluar dari pedang itu. Namun amukan cambuknya masih terus melecut-lecut memburu sasaran. Bunyi denging yang bagai menembus gendang telinga itu beradu sendiri dengan letupan yang keluar dari hantaman Cambuk Naga.
Pendekar Pusar Bumi mengibasngibaskan pedangnya sambil memekik berulang-ulang. Dan Sekar Pamikat pun melecutkan cambuknya seraya berteriakteriak tiada henti. Sudah tentu gerakan-gerakan mereka tidak sekedar gerakan kosong, namun penuh getaran tenaga dalam yang hanya dimiliki oleh orang berilmu tinggi. Hal itu membuat air laut mengamuk. Gelombang laut bergulung, melonjak-lonjak setinggi rumah. Dan tanah pesisir itu tergoncang, miring ke kiri kekanan, seakan terjadi gempa setempat yang dapat menjadi hebat. Angin pun berhembus dengan kecepatan tinggi, memutar-mutar kuat seakan hendak menelan seisi bumi.
Pada detik berikutnya, semuanya menjadi hening. Diam dan sepi. Nafas terengah dari kedua belah pihak. Dan Sekar Pamikat tercengang melihat ujung Cambuk Naga membelit pedang kobra yang dipegang erat-erat oleh Pendekar Pusar Bumi. Mereka sama-sama saling tatap dalam kebisuan. Sekar Pamikat mencoba menarik Cambuk Naga, namun tak berhasil. Dan baru sekarang ia melihat sebuah benda yang mampu menahan kedahsyatan Cambuk Naganya. Umumnya benda yang tersentuh Cambuk Naga akan hancur, namun kali ini tidak.
Kesaktian yang luar biasa. Keduanya berpikir demikian. Sebab Pendekar Pusar Bumi juga sebenarnya merasa heran. Biasanya dengan angin kibasan pedangnya saja benda apa pun bisa hancur, namun kali ini seutas cambuk terbuat dari serat sutera tipis bahkan membelit di batang pedangnya, tak mau putus atau pun rantas sedikit pun. Diam-diam ia pun mengakui kehebatan cambuk tersebut.".
"Sudah berakhir riwayatmu, Perempuan malang!" geram Pendekar Pusar Bumi.
"Kau pun akan hancur juga, laknat!" balas Sekar Pamikat menggeram.
Tanpa disengaja, tangan kiri Sekar Pamikat merentang dan gemetar. Demikian juga tangan kiri Pendekar Pusar Bumi merentang dan gemetar. Keduanya bergerak lamban, searah dan seirama. Pemusatan tenaga pada telapak tangan masing-masing, sedangkan tangan sebelahnya memegang senjata masingmasing pula. Pedang teracungkan ke atas, kokoh. Cambuk Naga terentang membelit pedang, kokoh.
Gerakan telapak tangan Sekar Pamikat semakin bergetar, kemudian ia menghentakkan tangan itu ke depan, tepat pada saat Pendekar Pusar Bumi juga menghentakkan tangannya ke depan. Mereka sama-sama berteriak tanpa disengaja:
"Wiwahaaaaa!!!!"
Mereka mengucap kata yang sama. Kemudian sinar hijau bening meluncur dari telapak tangan Sekar Pamikat, juga dari telapak tangan Pendekar Pusar Bumi. Sinar hijau bening itu beradu di pertengahan jarak mereka. Menimbulkan sebuah ledakan yang dahsyat: "blaaarr...!"
Detik berikutnya bumi berguncang dan mereka sama-sama terpental ke belakang. Sekar Pamikat telentang nyaris mendekati seonggok karang pantai. badannya lemas dan nafasnya terengah-engah. Cambuk Naga masih tergenggam di tangan kanannya. Ia membiarkan dirinya terbaring lunglai. Ia tak tahu bahwa Pendekar Pusar Bumi pun terbaring lemas dengan pedang masih tergenggam di tangan kanannya.
Hening dan sepi dibiarkan berlalu. Debur ombak menipis. Angin tidak lagi seperti puting beliung yang mengamuk. Guncangan tanah diam kembali. Sepi, dan memang dibiarkan bumi menjadi sunyi dalam sorot cahaya purnama.
Entah sudah berapa kali angin bertiup berganti arah. Yang nyata adalah desah. Ya, desah yang terdengar mendekat di telinga Sekar Pamikat. Desah seorang lelaki yang merayap dengan merangkak mendekatinya. Sekar Pamikat melupakan rasa sakit pada kedua tulang kakinya. Ia menyempatkan memandang wajah lelaki itu, yang begitu mempesona dalam sorotan cahaya rembulan. Ikat kepala dari kulit macan tutul bagai sebuah tan da pengenal yang sengaja ditunjukkan kepada Sekar Pamikat.1
"Oh... kau.." desah Sekar Pamikat sangat pelan. Ia membiarkan Pendekar Pusar Bumi berbaring di sampingnya dalam keadaan loyo, seakan habis terkuras tenaganya. Mereka sama-sama membiarkan kebisuan sejenak, sama-sama menatap langit berbintang dan bercahaya bulan. Kemudian di sela nyanyian ombak yang samar-samar terdengar suara Pendekar Pusar Bumi bertanya:
"Siapa kau sebenarnya...?"
Sekar Pamikat menyeringai menahan sakit di kakinya. Namun ia pun berkata, "Kau bertanya pada dirimu sendiri. Dan kau pula yang akan menjawabnya. Karena aku sukar memberi jawaban kepada lelaki yang tidak kukenal."
Pendekar muda itu menghela nafas beberapa kali, sengaja membiarkan keheningan sejurus. Setelah itu barulah ia berkata lirih:
"Namaku... Lanangseta."
Sekar Pamikat mendesah antara sakit dan lega. Ia mengucap lirih, "Apa hubungannya dengan Eyang guruku yang bernama Purbaseta?"
"Itu Eyang gurumu?!" Lanangseta terkejut, mengangkat kepalanya seketika dan memandang Sekar Pamikat dengan mata terbelalak. Sekar Pamikat tidak menjawab, ia hanya mengerang lirih seraya memegangi pahanya yang sakit.
"Pantas kau menguasai jurus Wiwaha Moksa...." kata Lanangseta dalam keluh.
"Eyang guru berpesan untuk tidak mengumbar kekuatan Wiwaha Moksa. Tapi, aku tadi benar-benar terpepet.."
"Aku juga..." sahut Lanangseta.
"Jadi kau telah mempelajarinya dari Eyang guruku juga?" Lanangseta menggeleng.
"Kakekku yang mengajarkan dan menurunkan ilmu Wiwaha Moksa. Aku anak Gagakseta. Ayahku mempunyai seorang kakak yang bernama Purbaseta, kawin dengan perempuan luhur yang bernama Sukmalaras. Kau pasti mengenalnya, bukan?"
"Ooh... pantas."
"Pantas kalau kita sama-sama memiliki ilmu itu, bukan?"
"Pantas kalau kau tega membiarkan kakiku remuk sampai saat ini," sindir Sekar Pamikat dengan perasaan dongkol. Pendekar Pusar Bumi tertawa lirih. Kemudian ia bangkit, menyarungkan pedangnya dan duduk di samping kaki Sekar Pamikat. Ia bagai bicara pada diri sendiri, "Kalau tahu kita satu aliran, mungkin tak kan kugunakan jurus Tebar Besiku tadi. "
"Apakah kau tak sanggup memulihkan keadaan kakiku?"
"Kau, sendiri? Kurasa kau bisa menggunakan ilmu Sembur Sawan untuk mengobati kakimu ini."
"Sudah kucoba, tapi tak berhasil. Tebar Besi adalah ilmu leluhurmu yang cukup dahsyat dan hanya diajarkan kepada darah keturunan leluhurmu. Kepadaku tidak. Uuhh..." Sekar Pamikat mengerang kesakitan. Hening sejurus, dan kemudian terdengar lagi suara Lanangseta bagai bicara dalam keraguan.
"Kalau begitu... mungkin hanya akulah yang bisa memulihkan kakimu. Tapi... tapi..."
"Tapi apa? Tapi kau menunggu saatmu puas menyiksaku?"
"Aku belum tahu siapa namamu sebenarnya, dan paman Purbaseta tidak pernah menceritakan dirimu. Ia hanya pernah menceritakan seorang muridnya yang bernama..."
"Sekar Pamikat!" sahut Sekar Pamikat Sendiri.
"O, kau mengenal dia, rupanya?"
"Sangat mengenal, dan bahkan lebih dari kenal."
"Maksudmu?"
"Akulah... akulah Sekar Pamikat."
"Kau. ?!"
Lanangseta mengernyitkan kening dan membelalakkan matanya.
"Kau Sekar Pamikat? Ah, kau becanda, ya?"
"Kau lihat permainan Cambuk Nagaku?"
Lanangseta mengangguk.
"Luar biasa. Konon, kata Eyang guruku, hanya seutas Cambuk Naga yang tak dapat terpotong oleh pedangku Wisa Kobra ini. Dan... dan cambukmu tadi."
Lanangseta memperhatikan Cambuk Naga yang masih di tangan Sekar Pamikat.
"Semua benda, bahkan gunung pun akan sanggup kupotong dengan pedang Wisa Kobra, tapi cambuk ini."
"Karena akulah Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya," tukas Sekar Pamikat dengan suara parau.
"Akulah Sekar Pamikat yang asli."
"Yang asli? Lantas itu tadi...? Yang... yang."
Sekar Pamikat buru-buru menyahut: "Yang hendak kau kawini itu; Nawang Puri! Murid dari bibimu, Sukmalaras."
Lanangseta dalam wajah kebingungan. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun tak tahu harus berkata apa. Sekar Pamikat memanfaatkan masa cengangnya dengan berkata:
"Nawang Puri telah menguasai ilmu Giring Sukma, dan berhasil memindahkan rohku ke dalam raganya, dan rohnya sendiri masuk di dalam ragaku. Jadi yang kau dekap tadi, sesungguhnya ragaku sendiri. Yang kau... kau cium tadi, adalah pipiku sendiri. Sayang, aku tak merasakannya. Nawang, Puri yang merasakan, betapa hangatnya saat kau mencium-nya tadi."
"Nawang Puri...?" Lanangseta bicara dalam keraguan.
"Pergilah temui dia. Ambil cambuk di pinggang Nawang Puri dan potonglah. Jika memang dapat terpotong oleh pedang Wisa Kobramu, berarti itu bukan Cambuk Naga! Dan aku yakin, pasti akan terpotong oleh pedangmu."
"Murtad...!" geram Lanangseta.
"Harus kubunuh dia! Memalukan aliran kita!"
"Jangan...!" Sekar Pamikat mencegah dengan menarik tangan Lanangseta sewaktu pendekar muda itu hendak bangkit.
"Jangan kau lukai dia," pintanya.
"Dia harus dihukum menurut ajaran keruhun Karangseta".
"Tapi... tapi yang ada padanya adalah ragaku. Kalau ia sampai terluka, terpotong, itu sama saja kau melukai atau memotong anggota tubuhku. Tidak. Dia tidak boleh terluka. Aku masih menyayangi ragaku itu."
"Kalau begitu akan kudesak ia untuk mengembalikan ragamu..." Lanangseta bergegas bangun, tapi sekali lagi tangannya ditahan Sekar Pamikat.
"Bagaimana dengan kakiku?" Lanangseta menghempaskan nafas, menahan rasa geli. Lalu ia menundukkan kepala, memperhatikan sepasang kaki yang kurus kering bagai tanpa darah. Kaki itu membiru. Legam. Lanangseta berkata lirih, "Seharusnya jurus ini tidak untuk disembuhkan. Setiap orang yang telah menerima seranganku, tak pernah ada yang dapat pulih kembali."
"Terima kasih, kau pasti akan memulihkannya, bukan?"
Lanangseta mendengus.
"Maaf... jangan salah duga dengan cara penyembuhanku ini."
Sekar Pamikat sama sekali tidak menduga kalau penyembuhan itu sangat unik. Lanangseta merentangkan kedua tangannya, mengejang kuat-kuat, menghirup nafas banyak-banyak, kemudian bertahan beberapa saat, lalu melemas kembali. Itu tidak heran. Yang mengherankan adalah, gerakan berikutnya. Lanangseta menunduk, mendekatkan wajah ke kaki Sekar Pamikat, lalu menjilati kaki yang biru legam itu ke segala tempat.
"Lanang...?!" Sekar Pamikat sempat terperanjat kaget. Ia hampir saja menampar wajah Lanangseta, namun segera menyadari bahwa sebelumnya lelaki itu sudah meminta maaf untuk cara penyembuhannya.
Kedua kaki yang bagai remuk tulangnya itu menimbulkan bekas membiru sampai ke atas lutut. Dan Lanangseta terpaksa menjilat-nya semua. Sekar Pamikat resah, berdebardebar hatinya. Lidah Lanangseta menghangat, menjalar dari telapak kaki terus merayap naik ke atas, ke tulang kering, ke lutut, dan Sekar Pamikat mendesah. Bukan sakit, namun menahan geli dan rasa syur yang membuat hatinya gemetar. Ia bagai sedang dipancing gairah kewanitaannya. Ia jadi berkeringat dingin dan menggelinjang dalam desah. Setelah beberapa saat Lanangseta mengobatinya, kaki itu terasa ringan. Rasa nyeri hilang, bahkan sudah. dapat digerak-gerakkan. Tetapi sebelumnya Sekar Pamikat terhempas lemas dengan keringat dingin bercucuran begitu Lanangseta selesai mengobati kakinya. Ia nyaris tak dapat bicara ketika Lanangseta berkata:
"Bagaimana, masih terasa sakit...?"
Sekar Pamikat hanya mampu menggeleng, nafasnya terengah-engah dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Apa yang mau dikatakan dalam keadaan seperti itu? Tak ada kata lain kecuali, "kelak, jika aku sudah kembali di dalam tubuhku, lukailah lagi kakiku, dan sembuhkan lagi dengan caramu."
Lanangseta tertawa, bagai tawa yang menggoda. Sekar Pamikat hanya dapat tersenyum malu, namun terselip suatu kebahagiaan yang membuat hatinya berbunga-bunga. Lanangseta menolong bangkit Sekar Pamikat dengan mengangkat kepala gadis itu. Kemudian wajah mereka berhadapan dalam jarak dekat. Namun Lanangseta hanya berkata, "Cepat, temui mereka sebelum temanmu, Ludiro mati teraniaya oleh murid murtad itu."
"Hah...?!" Sekar Pamikat terbelalak.
"Paman Ludiro ditawan mereka?"
"Ya, tadi sore ia tertangkap saat mencoba menerobos masuk Dalem Kadipaten. Mungkin ia akan menyelidiki keadaan di dalam Kadipaten. Kemudian ia tertangkap, dan Panewu merencanakan untuk menyiksanya sampai mati, Waktu itu, aku tak mau tahu urusan tersebut, dan kutinggalkan kemari bersama"
"Calon istrimu, bukan?" sahut Sekar Pamikat.
"Ahh jangan bermain sindiran begitu. Sekarang aku tahu segalanya, dan tunggulah pada saatnya nanti, kau pasti akan kembali memperoleh ragamu."
"Kau bersungguh sungguh, Lanangseta?"
"Kau harus membuktikan katakataku. Ayo, sebelum segalanya terlambat. !"
Pantai yang hening, pantai yang hanya menyanyikan irama ombak dan riak-riak pantai, segera ditinggalkan dengan suatu semangat baru. Sekar Pamikat tak mau berjarak jauh dari Lanangseta. Langkah mereka cepat, namun bukan lari. Langkah Sekar Pamikat bagai seorang prajurit yang bergairah untuk bertempur. Hatinya masih berbunga-bunga manakala ia menyadari bahwa pemuda tegar yang berjalan di sampingnya itu sejak tadi masih menggenggam tangannya erat-erat. Oh, semilir angin pun bagai tak mampu menembus genggaman tangan mereka.
Di sela perjalanan cepatnya, Sekar Pamikat sempat menyinggung kemunculan Lanangseta ketika ada di Kabupaten Abangan.
"Jadi untuk apa kau datang ke sana dan mencari arah Kadipaten Jangga? Apakah benar kau teman Raden Praja?".
"Tidak. Justru aku ingin datang ke Kadipaten Jangga untuk membunuh Raden Praja, tapi... ternyata ia telah tewas di tangan seorang pembunuh gelap."
"Membunuh? Ada urusan apa kau membunuh dia?"
"Sekedar mas kawin bagi Sekar Pamikat, maksudku... Nawang Puri. Atas persetujuan kakaknya, Panewu, ia boleh menikah denganku jika aku bisa membunuh Raden Praja."
Sekar Pamikat berhenti melangkah.
"Jadi, Panewu itu adalah kakak Nawang Puri? Raden Bukankah Panewu mempunyai adik Raden Praja? Bukan Panewu anak dari Adipati Jangga?"
Lanangseta tersenyum tipis, kemudian melangkah pelan.
"Belakangan ini baru kuketahui, bahwa Panewu adalah anak angkat Adipati Jangga. Setelah Sang Adipati mengangkat anak Panewu, barulah istrinya bisa hamil dan melahirkan Raden Praja. Tetapi, Panewu agaknya khawatir akan dirinya yang bisa disingkirkan dari keluarga Kadipaten Jangga. Dengan membunuh Raden Praja, maka mutlak seluruh warisan akan jatuh ke tangannya, dan dialah yang berhak menggantikan Adipati Jangga yang saat ini dalam keadaan sakit berat."
"Jadi... Panewu itulah yang membunuh Raden Praja?"
"Bukan."
"Lalu, siapa...? "Nawang Puri sendiri."
Kening Sekar Pamikat berkerut tajam.
"Nawang Puri sendiri yang membunuhnya? Dengan alasan apa?"
"Dia tak mau melibatkan aku dalam kasus perebutan tahta kadipaten Jangga. Ia tak mau aku punya andil dalam alih kuasa yang, akan dipegang oleh kakaknya. Dengan ia bunuh sendiri Raden Praja, maka aku tak punya jasa apa-apa dan tak berhak menuntut imbalan warisan yang akan diperoleh Panewu. Sementara itu, ia sendiri berusaha keras untuk dapat menjadi bagian dari keluarga Kadipaten Nilakencana ini. Itu menurut penafsiran ku."
Sekar Pamikat manggut-manggut.
"Semakin jelas kebusukannya. Kurasa ia memerlukan pasukan yang kuat Untuk merebut tahta Kadipaten Nilakencana, sehingga ia berusaha menguasai dirimu dengan menjalin perkawinan kalian."
"Menurut dugaanku juga begitu. Baru kusadari tadi, setelah ia berkata padaku, bahwa kelak akan ada seorang Adipati perempuan yang berkuasa di Kadipaten Nilakencana ini.
Tanpa kutanya siapa orangnya, aku sudah menduga bahwa dialah calon adipati perempuan itu. Dan..."
"Dan pasti putri Sang Adipati sendiri akan dibunuhnya. Sama persis dengan rencana Panewu terhadap Raden Praja."
"Ya. Aku sependapat dengan jalan pikiranmu. Dan aku yakin, bahwa hatimu saat ini juga setuju jika kita melenyapkan orang-orang rakus, yang tamak dan gila jabatan itu."
Sekar Pamikat menggenggam erat. Lebih erat lagi, dan Lanangseta pun membalasnya. Barangkali itulah persepakatan mesra yang penuh arti bagi hidup mereka.
Untuk menghindari keributan di dalam Kadipaten, Lanangseta mempunyai siasat sendiri. Lanangseta memancing Raden Panewu dan Nawang Puri untuk keluar dari Dalem Kadipaten.
"Kita bertiga harus menghadang orang-orang dap Kabupaten Abangan," ujar Lanangseta kepada Panewu dan Nawang Puri.
"Ada apa dengan orang-orang Kabupaten Abangan? Selama ini hubungan kami baik-baik saja."
"Memang. Tapi perempuan jalang yang telah bertanding denganku di pantai tadi, sedang menuju Kabupaten Abangan. Ia meminta bala bantuan dari sana. Konon, ia mempunyai pengaruh yang dapat membuat Bupati Abangan membelanya. Benar dari tidaknya omongan dia, aku tidak perduli. Yang kukhawatirkan kalau sampai terjadi keributan di dalam Kadipaten Nilakencana ini, kita sendiri akan menderita malu."
Panewu geram, giginya menggeletuk.
"Mari kita hadang mereka. Tunjukkan kepada Kanjeng Adipati Nilakencana, bahwa kita mampu menjadi benteng kadipaten."
"Kita cukup bertiga. Tak perlu banyak orang!" usul Nawang Puri.
"Baik. Tapi kuminta kau jangan jauh-jauh dariku, Dewi," kata Lanangseta, seakan masih mencintai Nawang Puri. ,
Dalam naungan cahaya bulan perak, ketiga sosok berjalan tegap menuju suatu perbukitan yang menjadi batas penghubung Kadipaten Nilakencana dengan Kabupaten Abangan. Di lereng perbukitan itu, ternyata seorang perempuan bertubuh ceking, sayu, telah menunggu kehadiran mereka. Panewu dan Nawang Puri tercengang. Segera mereka berdua menyadari bahwa mereka telah masuk dalam jebakan.
"Kita terjebak, Kakang," ujar Nawang Puri kepada Panewu.
Sekar Pamikat tersenyum sinis, berdiri tegap di depan Panewu.
"Siapa memasang jerat akan terperangkap sendiri."
Nawang Puri berpaling memandang Lanangseta yang ada di belakangnya. Dengan geram ia berkata, "Penghianat!" Kemudian meluncurlah sebuah pukulan keras ke arah Lanangseta. Pukulan itu dibiarkan mengenai dada. Lanangseta hanya tertawa pelan. Sementara itu, dengan garang Panewu melesat cepat menerjang Sekar Pamikat.
"Bersiaplah bertarung untuk yang terakhir kalinya...!" Serangan itu berhasil ditangkis dengan gerakan tangan Sekar yang tangkas. Tubuhnya yang kecil kerempeng seakan sebuah tugu kokoh yang sulit ditumbangkan.
Panewu membuka jurus yang belum pernah dipakai melawan Sekar Pamikat. Gerakannya mirip tingkah laku seekor kera. Gerakannya begitu cepat, meloncat ke sana, ke mari, dengan pukulan-pukulan yang menyerupai cakar monyet. Mulutnya sendiri bergerakgerak, mengerang-erang mirip suara monyet. Berguling kesana, melompat ke sini, menendang sambil berjumpalitan, sedangkan Sekar Pamikat masih mampu mengatasi jurus tersebut. Sesekali ia memang terkena kibasan cakar monyet dari Panewu, tapi tak sempat membuat kefatalan.
"Tak kusangka kau berani berkhianat padaku, Seta!" seru Nawang Puri seraya menerjang dengan pukulan berantainya. Oleh Lanangseta pukulan itu masih dibiarkan mengenai dada, punggung dan anggota tubuh lainnya. Panewu sendiri tak sempat mengontrol pertarungan Nawang Puri, tetapi ia tahu bahwa perlawanan Lanangseta belum kelihatan nyata. Ia masih perlu mengkonsentrasikan dalam pertarungannya sendiri melawan Sekar Pamikat yang terasa alot dan susah ditembus.
Cahaya bulan bagai kian terang. Bayangan mereka berloncatan terpantul pada dinding batu cadas yang ada di kaki bukit. Terlihat gerakan Nawang Puri begitu cepat sehingga tahu-tahu ia telah berada di belakang Lanangseta, melancarkan pukulannya yang mengandung tenaga dalam. Hal itu membuat Lanangseta bergegas bangun, dan siap menghadapi serangan berikutnya. Agaknya Nawang Puri sudah kelewat jengkel kepada musuhnya, ia berputar. Semula tubuh itu berputar pelan, kian lama kian cepat dan kini bagai sebuah gangsing.
Ada hembusan angin yang keluar dari tubuh yang berputar secepat itu. Lanangseta segera melompat, bersalto di udara, menjauhi hembusan angin tersebut. Sebab ia mulai merasakan adanya kejanggalan pada udara di sekelilingnya. Lanangseta segera teringat kepada cerita ayahnya, bahwa bibi Sukmalaras mempunyai jurus yang sukar ditembus musuh, yaitu jurus Angin Beracun. Rupanya Nawang Puri sudah mewarisi jurus Angin Beracun yang sangat membahayakan musuhnya itu. Segera Lanangseta juga menggunakan jurus pilihannya: yang bernama Lindung Bumi. Tubuhnya yang kekar itu amblas ke tanah, dan tak kelihatan lagi. Rupanya jurus ini pula yang dipakai melawan Sekar Pamikat sewaktu di pantai tadi.
Beberapa detik kemudian, tubuh Nawang Puri yang berputar-putar itu terlempar ke udara dengan teriakan yang sangat histeris. Pada saat itu, Lanangseta muncul dari dalam tanah dengan gerakan melempar sesuatu ke atas. Tubuh Nawang Puri bagai kehilangan keseimbangan, sehingga ia jatuh tersungkur ketanah, dagunya membentur batu. Dagu itu berdarah dan kecantikan wajahnya mulai berkurang.
Mengetahui keadaan Nawang Puri demikian, Sekar Pamikat menjadi cemas. Ia berseru, "Jangan lukai dia. tolol!" Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Panewu untuk melancarkan pukulan cakar monyetnya sehingga lengan Sekar Pamikat pun terluka, berdarah dan ia terpaksa memekik kesakitan.
Sekar Pamikat melompat mundur sambil memasang kuda-kuda siap serang. Ketika Panewu berguling bagai monyet mengkais makanan di tanah, Sekar Pamikat meloncat cepat. Begitu kakinya menginjakkan tanah, ia melancarkan pukulannya dengan kedua tangan ke arah kepala Panewu. Lelaki itu berguling sambil menjerit mirip kera hutan. Pada saat ia bangkit lagi, di tangannya telah memegang keris pusaka yang mempunyai kekuatan cukup hebat. Panewu menyerang dengan kerisnya, Sekar Pamikat berkelit bagai belut lincah. Ia segera mencabut pedang Jalak Pati.
"Wuss...!" pedang nyaris menyambar kepala Panewu. Namun pada saat itu, Panewu berhasil melompat cepat ke samping kiri, dan "juss...!" keris itu menusuk pinggang Sekar Pamikat. Sekar Pamikat menjerit dan oleng ke kiri. Darah mengucur dari luka di pinggang. Sekar Pamikat bermaksud menyerang dengan pedang Jalak Pati, namun Panewu melompat ke atas, dan dalam keadaan kepala di bawah ia berhasil menggoreskan kerisnya pada lengan Sekar Pamikat. Luka semakin bertambah dan Sekar Pamikat menjerit kesakitan. Saat itu pedang Jalak Pati terlepas. Sekar Pamikat berusaha memungutnya, namun pada saat ia merunduk, tangan Panewu yang mirip cakar monyet itu dengan cepat menarik Cambuk Naga yang "terselip di punggung Sekar Pamikat. Kini, Cambuk Naga itu ada di tangan Panewu. Panewu tertawa keras, bagai suara kera liar berpesta pora.
Sekar Pamikat tergeragap. Ia berusaha merebut Cambuk Naga. Namun Panewu menjauh, melompat-lompat seperti kera melarikan diri. Sekar Pamikat mengejarnya.
"Tarr...!"
Cambuk Naga meluncur, nyaris mengenai tubuh Sekar Pamikat Ia mulai gugup tanpa cambuk itu. Dan Panewu masih terus melecutkan cambuk sambil berlari. Buat Sekar Pamikat, tak ada cara lain untuk merebut kembali Cambuk Naganya, kecuali dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang dapat melompat tinggi dan berkecepatan luar biasa. Panewu sempat tergagap sewaktu ia menemukan Sekar Pamikat tahu-tahu sudah berdiri di depannya. Ia hendak melancarkan pukulan Cambuk Naga, namun kedua telapak tangan Sekar Pamikat telah lebih dulu bergerak maju seraya ia berseru: "Wiwahaaaa...!!"
Ada sebuah ledakan yang menggetarkan perbukitan. Nyala sinar hijau muda bagai membakar tubuh Panewu. Dengan cepat Sekar Pamikat melayang, merebut cambuknya pada saat nyala sinar hijau muda itu redup. Kini Cambuk Naga sudah berada di tangannya kembali.
Panewu masih berdiri tegak. Ia hanya tersenyum, merasa dirinya tak mampu dirubuhkan oleh ilmu Wiwaha Moksa. Tetapi pada detik berikutnya, ia tercengang melihat jari jemarinya berjatuhan satu persatu. Kemudian ia juga merasakan bahwa denyut jantungnya berhenti, lengannya lepas sendiri, kakinya, telinganya dan semua akhirnya rontok menjadi suatu onggokan daging yang makin lama semakin menjadi semacam serpihan, lalu berubah menjadi abu. Sekar Pamikat sempat merinding sendiri melihat lawannya terkena serangan ilmu Wiwaha Moksa itu.
Namun perhatiannya segera beralih pada Pendekar Pusar Bumi yang sedang bertarung melawan Nawang Puri. Tetapi di sana pun agaknya sudah tak ada pertarungan lagi. Sekar Pamikat segera berlari mendekati Lanangseta, dan ia tercengang melihat tubuh Nawang Puri yang masih memakai raganya itu terkapar di tanah. Dagunya berdarah, namun tak ada luka lainnya.
"Kau telah mencelakakan tubuhku, Lanangseta!" geram Sekar Pamikat. Lanangseta tersenyum tenang.
"Aku hanya menotok jalan darahnya. Dan sekarang giliran kamu, huuop...!"
Secepat kilat Lanangseta menotok jalan darah sehingga Sekar Pamikat tak dapat menghindari lagi. Ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi. Kini, Lanangseta tertawa sedikit keras dan memperhatikan kedua perempuan itu terkapar.
Malam kian larut dan mulai merembas ke dini hari. Samar-samar cahaya bulan masih menerangi alam sekitar. Cahaya warna perak itu masih sempat menerpa sesosok tubuh yang duduk bersila di depan kedua tubuh perempuan yang berbaring. Beberapa saat kemudian tubuh pemuda itu bergerak pelan. Tangannya terangkat keduanya, kemudian tangan itu mengeras kuat-kuat, bergetar beberapa lama hingga keringat semakin deras mengucur.
Cahaya bulan menerpa dua sosok perempuan yang berbaring. Cahaya itu membuat jelas adanya kepulan asap putih yang keluar dari jasad kedua perempuan tersebut. Masing-masing tubuh mengeluarkan asap putih, lalu kedua asap itu saling bersilangan, dan masuk ke tubuh mereka kembali.
Ada suara kokok ayam di kejauhan. Jauh sekali. Pada saat itu, tubuh perempuan cantik bergerak, menggeliat bagai seseorang yang sedang tertidur lelap. Tapi tiba-tiba ia bangkit dengan satu hentakan, kemudian memegangi luka pada dagunya yang terasa perih. Namun ketika itu, ia memandang Lanangseta dengan perasaan bimbang.
"Dewi... kau telah kembali dalam ragamu."
Sekar Pamikat memandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya dan meraba wajahnya sendiri, kemudian ia berseru: "Ini tubuhku...?! Oohh. aku
telah kembali dalam ragaku sendiri! Aku telah kembali...!" ia melonjak kegirangan. Ia berlari dalam derasnya derai tawa keharuan.
"Aku telah kembali dalam ragakuuu...!" teriaknya keras-keras.
Lanangseta bergegas menghampiri nya. Sekar Pamikat tertawa lepas, kemudian berlari memeluk Lanangseta. Ia memeluk erat-erat bagai merasa tak ingin melepaskannya.
"Aku Pendekar Cambuk Naga. ! Aku yang asli, Lanang!"
"Dan aku menyukai keaslian, Dewi..,." bisik Lanangseta.
"Oh, terimakasih atas bantuanmu, Lanang. Aku ingin segera memperhhatkan hal ini kepada paman Ludiro."
"Dia masih dalam tawanan, tapi kita akan bebaskan. Itu pekerjaan yang sangat mudah."
"Mendadak, mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan hitam. Bayangan itu bergerak dengan cepat, kemudian pergi sambil membawa tubuh Nawang Puri yang belum sadar diri.
"Nawang Puri...? Dia diambil oleh orang itu...! Kejar!" Lenangseta menarik tangan Sekar Pamikat.
"Ada saatnya untuk mengejar dia, dan ada saatnya sendiri untuk memadu kasih. Kau dapat membedakannya, bukan?" Sekar Pamikat tersenyum, lalu memeluknya erat-erat kembali. Meresap ke sanubari.
Ludiro hampir tidak percaya kalau yang ada di hadapannya itu adalah Sekar Pamikat asli. Begitu ia keluar dari kamar tahanan Kadipaten, ia tak langsung menegur Sekar Pamikat. Ia bahkan memandang penuh curiga. Kemudian Pendekar Pusar Bumi menjelaskan kepada Ludiro peristiwa semalam. Dan, dengan rasa hormat yang penuh bahagia Ludiro membungkuk di depan Sekar Pamikat, alias Pendekar Cambuk Naga, yang berparas cantik, tinggi semampai, dengan kepadatan tubuhnya yang begitu sexy, punya daya tarik yang amat menggairahkan setiap lelaki.
"Lalu kemana Nawang Puri pergi?" tanya Ludiro.
Sekar Pamikat hanya menjawab, "Kita tunggu saatnya untuk mencari, atau bahkan mungkin ia akan menemuiku sendiri. Kurasa kisah ragaku hanya cukup sampai di sini, Paman. Dan… tolong siapkan segalanya untuk perkawinanku dengan Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang menggemaskan itu, ya?"
Ludiro tertawa di sela senyum Sekar Pamikat yang memang sangat memikat itu.

TAMAT



INDEX PENDEKAR CAMBUK NAGA
Racun Puri Iblis --oo0oo-- Rahasia Sendang Bangkai >>
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.