Life is journey not a destinantion ...

Terdampar Di Pulau Asing

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Dendam Pendekar Cacat --oo0oo-- Kumbang Merah



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : TERDAMPAR DI PULAU ASING

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«₪֎ [ SATU ] ֎₪»

Seorang pemuda tampan berjubah putih menggeliat dan mengeluh lirih. Kelopak matanya terbuka perlahan-lahan. Dengan gerakan lemah, ia mencoba Bangkit dari atas balai-balai bambu, tempat tubuhnya terbaring.
"Jangan banyak bergerak dulu, Tuan. Kesehatanmu belum begitu pulih," ujar seorang wanita berwajah manis sambil mencegah pemuda itu bangkit. Dengan gerakan lembut dan penuh kasih, ditekannya bahu pemuda itu agar berbaring kembali.
Entah merasa tidak enak atau bagaimana, akhirnya pemuda itu kembali merebahkan tubuhnya. Pada pancaran wajahnya tergambar jelas kelelahan yang amat sangat.
"Di manakah aku, Nyai...? Dan, siapakah kau...?" Tanya pemuda itu sambil merayapi wajah wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
Wanita berwajah manis yang memiliki sifat keibuan itu kembali tersenyum lembut. Di hatinya tidak sedikit pun terbersit perasaan risih ketika pemuda tampan itu memandangi wajahnya.
"Tuan berada di gubuk kami. Menurut cerita ayahku yang membawa Tuan kemari, Tuan ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi pantai. Tapi, aku tidak tahu pasti di pantai sebelah mana Tuan ditemukan. Sebaiknya, nanti tanyakan sendiri pada ayah setelah pulang dari pasar. Sambil menunggu, sebaiknya Tuan istirahat. Mmm... Kalau Tuan suka, aku sudah menyediakan bubur hangat," ujar wanita itu seraya akan beranjak keluar dari kamar sempit itu.
"Nyai, tunggu...!" cegah pemuda tampan itu sambil bendak bergerak bangkit dari berbaringnya.
Melihat pemuda itu akan bergerak bangkit, bergegas wanita itu menghampiri dan menekan kedua bahunya perlahan.
"Tuan sangat keras kepala!" omel wanita itu, dengan melepaskan senyum menggoda. Kembali tubuhnya dihenyakkan di tepi pembaringan.
"Apa yang ingin Tuan katakan kepadaku?"
"Mmm.... Bolehkah kutahu nama Nyai...?" Tanya pemuda tampan yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu. Tubuhnya yang tegap, telah terbaring kembali.
"Mengapa tidak boleh? Namaku Sumirah. Aku tinggal di gubuk ini bersama ayahku yang bernama Ki Rungga. Puas? Atau masih ada pertanyaan lain yang ingin Tuan ajukan? Kalau masih ada, bertanyalah. Sebab, aku masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan," ucap wanita bernama Sumirah itu sambil tersenyum. Melihat dari wajah dan sikap ramahnya, jelas kalau wanita ini sangat senang dengan keberadaan pemuda itu digubuknya.
Sumirah menunggu tanggapan pemuda berjubah putih itu beberapa saat. Dipandanginya wajah tampan yang tengah termenung itu dengan penuh selidik. Ingin Ia menanyakan siapa dan dari mana sebenarnya pemuda bertubuh tegap itu. Tapi, keinginan itu disimpannya dalam hati. Sebab, ada perasaan malu menyelimuti hatinya. Apalagi sikap pemuda itu sangat sopan. Sehingga menimbulkan rasa segan. Lalu, diputuskannya untuk menunggu, meskipun hati kecilnya berharap agar pemuda yang terbaring itu mau bercerita tantang dirinya.
Sumirah mengalihkan pandangannya ketika pemuda itu tersentak dari lamunannya. Sadar kalau dirinya tengah diperhatikan, wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Lalu, dibalasnya tatapan pemuda itu dengan senyum lembut menghiasi wajahnya.
"Nyai, aku sangat berterima kasih sekali atas segala pertolonganmu dan ayahmu.... Ehm... namaku Panji. Untuk sementara ini, aku belum bisa bercerita banyak. Tubuhku masih terasa lemah, dan aku belum mampu mengingat semua peristiwa yang kualami. Tapi, aku berjanji akan menceritakan tentang diriku sepulang ayahmu dari pasar nanti. Maaf, kalau kehadiranku di tempat ini telah membuat kalian repot," ujar pemuda berjubah putih yang ternyata memang Panji atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih. 
"Baiklah, Panji.... Dan kalau kau suka, makanlah bubur hangat itu untuk mengembalikan tenagamu. Sudah hampir satu hari penuh kau terbaring tanpa sadarkan diri. Entah apa yang telah kau alami, sehingga tenagamu sampai terkuras," ucap Sumirah sambil beranjak bangkit dan melangkah keluar dari kamar. Wanita berwajah lembut dan sangat penyabar ini menoleh sejenak, kemudian tubuh ramping itu lenyap di balik pintu.
Panji sempat terkejut ketika mendengar dirinya telah terbaring hampir seharian penuh di atas balai-balai bambu itu. Namun, hal itu tidak ditanyakannya. Karena hal itu akan membuat Sumirah lebih lama menemaninya. Bukan karena ia tidak menyukai kehadiran wanita itu. Tapi, sebagai seorang pendekar, tentu saja keadaan tubuhnya yang sangat lemah di hadapan orang lain, tidak begitu disukainya. Itulah sebabnya mengapa dibiarkannya saja wanita itu pergi. Setelah Sumirah berlalu dari kamar, Panji bergegas melakukan semadi untuk mengembalikan kesehatan tubuhnya.

* * * * *




Derrr! Derrr! Derrr...!
"Hei! Ki Rungga...! Cepat buka pintu...!"
Seorang lelaki bertampang kasar yang mengenakan anting-anting bulat di telinga kanannya, menggedor-gedor pintu rumah Ki Rungga. Sikapnya tampak kasar dan galak. Tangan kirinya menggenggam sebilah giilok yang menyembul di pinggang kanannya. Setelah menunggu beberapa saat, dan pintu belum juga terbuka, lelaki kasar itu menjadi tak sabar. Dengan wajah gelap, diterjangnya pintu yang terbuat dari kayu itu. Dan....
Brakkk...!
Pintu rumah itu jebol dan hancur berkeping-keping. Dan dengan darah mendidih, bergegas lelaki kasar itu melompat masuk. Kemudian disusul oleh dua orang rekannya, yang sejak tadi hanya diam di sampingnya.
"Ayahku... ayahku tidak ada di rumah...," terdengar suara lirih yang bergetar menyambut kehadiran ketiga orang lelaki kasar itu.
"Ahhh! Lihatlah, Kakang Karpala! Tanpa setahu kita, rupanya Ki Rungga menyimpan seorang gadis cantik di dalam rumahnya. Sungguh pandai sekali orang tua itu menyembunyikannya dari kita," ujar salah seorang dari ketiga orang itu sambil menatap wajah Sumirah yang pucat pasi.
Lelaki bertampang kasar yang bernama Karpala itu tertawa terbahak-bahak. Kedua kakinya melangkah perlahan mendekati putri Ki Rungga. Sepasang matanya menjilati sekujur tubuh Sumirah yang hanya mengenakan kain sebatas dada.
"Hm.... Mengapa kau tidak membukakan pintu. Rupanya kau lebih suka kami bersikap kasar, ya?" geram Karpala seraya tangannya menyentuh wajah Sumirah.
Melihat hal itu, Sumirah segera menelengkan kepalanya, menghindari jamahan tangan Karpala.
"Mau apa kalian sebenarnya? Kalau memang perlu dengan ayahku, kalian dapat kembali lagi kemari," ujar Sumirah semakin ketakutan ketika tangan Karpala semakin kurang ajar hendak merayapi dadanya. Wanita itu pun menggeser langkahnya, menjauhi lelaki kasar yang hendak berbuat tidak senonoh terhadapnya.
"He he he.... Kau jangan berpura-pura alim, Nyai. Aku tahu Ki Rungga telah menyembunyikan seorang pemuda tampan untukmu, bukan? Nah, kalau kau ingin selamat, serahkan pemuda asing itu kepada kami. Kalau tidak, keluarga ini akan mendapat kesulitan," ancam Karpala sambil melangkah mendekati Sumira yang merapatkan tubuhnya kedinding.
"Aku tidak tahu apa yang Tuan bicarakan. Lebih baik kalian segera tinggalkan tempat ini Kalau tidak aku akan berteriak. Dan, orang-orang di desa ini akan menghukum kalian," ujar Sumirah dengan dada berdebar.
Tapi, wanita berwajah manis itu berusaha menyembunyikan rasa ketakutannya. Diam-diam hatinya berharap agar pemuda tampan yang bernama Panji tidak keluar dari kamarnya. Sebab, bila hal itu terjadi keadaan akan semakin runyam. Namun, harapan wanita itu pupus ketika pintu kamar yang terletak beberapa langkah dari tempatnya berdiri, tiba-tiba berderit. Dari balik daun pintu yang terbuka, muncul seorang pemuda tampan berjubah putih.
Sumirah sangat gembira ketika melihat wajah tampan yang semula terlihat lelah, kini nampak segar makin bercahaya. Senyum lembut yang menghiasi wajah pemuda itu, dibalasnya dengan tak kalah manis. Hingga Sumirah lupa akan dirinya yang sedang dalam keadaan terancam maut.
"Nah, sekarang kau tidak bisa berbohong lagi, Nyi. Bukankah pemuda itu yang ditemukan Ki Rungga di tepi pantai? He he he Rupanya kau merasa senang ditemaninya. Dan, kau takut kalau kami akan membawanya pergi," ujar Karpala sambil terkekeh serak. Sekilas pandangan lelaki kasar itu menatap penuh selidik ke arah Panji. Jelas, kalau kehadiran Panji di dalam rumah ini tidak disukainya.
"Nyai, kau tidak perlu khawatir. Biarkan pemuda itu kami bawa pergi dari sini, Dan, kau boleh bersenang-senang dengan Kakang Karpala. Bukankah begitu, Kakang?" timpal lelaki lain yang berkepala botak dengan kumis dan jenggot menghias wajahnya. Sehingga, wajah yang hitam itu nampak semakin Garang.
"Ha ha ha.... Bagus, Adi! Bagus. Ayo, cepat kalian bawa pemuda itu, dan tunggu aku di luar," sahut Karpala yang segera hendak memeluk tubuh Sumirah.
"Jangan ganggu wanita itu!" bentak Panji dengan suara pelan, tapi mengandung perbawa yang amat kuat Sehingga, hati Karpala sendiri merasa tergetar.
Lengan lelaki beranting-anting itu tetap mengapung di udara, bagaikan sebuah arca batu. Sedangkan kepalanya menoleh ke arah pemuda berjubah putih yang tengah menatapnya dengan sinar mata mencorong tajam dan menggiriskan.
"Ahhh...!" Tanpa sadar, lelaki berwajah kasar itu kaget. Kakinya melangkah mundur beberapa tindak melihat tatapan mata pemuda itu yang membuatnya gentar dan ngeri.
"Jangan pandangi aku seperti itu, Bocah Keparat. Matamu seperti mata iblis! Aku tidak suka melihatnya!" bentak Karpala. Suaranya sengaja dikeraskan menghalau rasa gentar yang menyelimuti hatinya. Padahal, pemuda tampan itu tidak melakukan gerakan apa-apa, hanya matanya yang memandang lekat-lekat ke wajah Karpala.
Selagi lelaki bertampang kasar itu melangkah mundur, Sumirah bergegas lari dan sembunyi di belakang tubuh Panji. Wajah wanita itu terlihat penuh kecemasan. Apalagi kekejaman Karpala dan dua orang temannya sudah lama diketahuinya. Tak heran kalau ia mengkhawatirkan keselamatan Panji.
"Panji, sebaiknya kau pergilah. Tinggalkan tempat ini. Mereka..., mereka sering bertindak kejam terhadap orang yang tak disukainya. Dan, kepandaian silatnya tinggi," bisik Sumirah, terdengar bergetar suaranya. Sekilas, putri Ki Rungga yang berwajah manis itu sangat cemas akan keselamatan Panji.
"Tenanglah, Nyai. Aku yakin mereka tidak akan bertindak kasar di dalam rumah ini. Bersembunyilah di kamar. Biarkan aku yang membereskan persoalan ini dengan mereka di luar. Percayalah, mereka pasti tidak akan berbuat jahat terhadapku," bujuk Panji, menenangkan hati Sumirah. Sambil berkata demikian, didorongnya tubuh wanita itu ke dalam kamarnya.
"Tapi.... Tapi, Panji..."
"Sudahlah, Nyai. Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa terhadapku. Mereka pasti akan mengerti kalau aku bukan orang jahat, dan tidak akan merugikan mereka," potong Panji cepat.
Sumirah langsung terdiam mendengar ucapan Pemuda berjubah putih itu.
"Mari kita bicarakan persoalan ini di luar, Kisanak," ajak Panji yang segera melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Langkah pemuda itu tenang, dan sikapnya sama sekali tidak mencerminkan rasa takut. Sehingga Karpala dan kawan-kawannya bertindak hati-hati, dan tidak berbuat apa-apa. Kecuali memandangi Panji seperti orang linglung.
Begitu tubuh pemuda berjubah putih itu lenyap balik pintu, cepat-cepat Karpala dan kedua kawannya bergerak mengejar. Mereka berloncatan, takut orang yang memang sedang dicari-cari itu melarikan diri. Rasa heran dan penasaran semakin bertambah ketika mereka tiba di luar, ternyata pemuda itu tengah menanti mereka dengan sikap tenang. Bahkan, bibir pemuda berjubah putih itu menyunggingkan senyuman. Sehingga Karpala dan kawan-nya, semakin mengerti.
Keheranan di wajah Karpala berubah menjadi sinar kebengisan ketika teringat tugas yang diembannya. Sikapnya yang tadi nampak tolol itu berubah ganas.
"Hei, Anak Muda! Perlu kau ketahui, kami ditugaskan majikan kami untuk membawamu hidup atau mati. Dan, kau tidak boleh membantah!" tegas Karpala mengandung ancaman maut. Sambil berkata demikian, tangan lelaki kasar meraba gagang golok yang tersembul di pinggang. Jelas, tindakan itu bermaksud untuk menakut-nakuti Panji.
"Maaf, karena aku tidak mengenal majikan kalian, maka permintaanmu terpaksa kutolak," tegas Panji dengan nada pelan. Jawaban yang diberikan Panji bukan tanpa alasan. Sebab, selain ia sadar berada di tempat yang masih sangat asing, juga tidak ingin terjebak kedalam sarang macan. Dan, semua itu dapat dilihatnya dari sikap ketiga lelaki kasar yang berhadapan dengannya. Karena itu, sikapnya tetap waspada.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan memaksamu dengan kekerasan!" geram Karpala yang segera mencabut golok panjangnya.
Kemudian, tangan lelaki kasar itu bergerak memberi isyarat perintah kepada dua orang temannya untuk mengepung Panji. Rupanya sikap Pendekar Naga Putih yang tenang, telah membuatnya bersikap hati-hati. Apalagi, penampilan pemuda berjubah putih itu menimbulkan perbawa yang membuat hatinya menjadi gentar.
"Serang...!"
Setelah beberapa saat terdiam, Karpala berseru memerintahkan kedua orang kawannya untuk menyerang. Sedangkan ia sendiri tetap tidak bergerak. Namun sepasang matanya, tetap mengawasi Panji. Jelas, lelaki yang mengenakan anting-anting bulat pada telinga kanannya itu ingin melihat apa yang dilakukan Panji dalam menghadapi kedua temannya.
"'Heaaat..!" Sambil berteriak nyaring, kedua lelaki kasar itu segera menerjang Panji dengan sambaran golok panjangnya.
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Diamatinya saja gerakan kedua lawannya. Bibirnya tersenyum setelah mengetahui kalau mereka hanya menggunakan tenaga kasar untuk menyerang. Tentu saja serangan itu sama sekali tidak berarti baginya. Karena itu, ia tidak berusaha mengelak.
Melihat lagak ketiga lelaki kasar yang hanya mengandalkan kekerasan itu, membuat Panji ingin memberikan pelajaran terhadap mereka, agar tidak tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Dan Pendekar Naga Putih ingin menundukkan mereka tanpa kekerasan. Sambaran dua bilah golok panjang meluncur mengancam tubuh Panji. Menyadari lawan tidak mengetahui serangannya, mereka menambah tenaga dalam untuk menggerakkan senjatanya.
Trakkk! Trakkk!
Hantaman dua batang golok yang bertenaga itu, memang tepat mengenai punggung dan dada Pendekar Naga Putih. Namun, kedua bilah golok langsung patah ketika menghantam telak tubuh yang telah diselimuti kabut bersinar putih keperakan itu. Bahkan, tubuh kedua penyerang itu terpental sejauh satu setengah tombak sambil menjerit keras memilukan.
Terkejut bukan main hati Karpala melihat kedua tubuh rekannya terhempas ke tanah sambil merintih kesakitan. Tampak lengan mereka membengkak sebatas pergelangan. Jelas tenaga yang mereka gunakan telah membalik, dan melukai diri sendiri. Rasa penasaran Karpala semakin menjadi-jadi. Maka, tanpa berpikir panjang, ia langsung melompat sammbil membabatkan golok panjangnya ke arah tubuh Panji. Walaupun serangan lelaki kasar itu jauh lebih cepat dan kuat ketimbang kedua kawannya, Pendekar Naga Putih tetap tidak bergeming sedikit pun. Ditunggunya serangan golok lawan tanpa berusaha mengelak. Dan....
Trakkk!
"Aaa...!"
Karpala menjerit ngeri ketika tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Dan, itu terjadi karena tenaga yang dipergunakannya lebih hebat dari kedua lawannya.
"Pemuda iblis...! Lari...!" teriak Karpala yang merasa tidak akan unggul melawan Panji. Dan mereka pun segera mengambil langkah seribu.
"Kau..., kau tidak apa-apa, Panji...?" Tanya Sumirah. Raut kecemasan tampak di wajahnya.
Wanita berparas cukup cantik itu memang sejak tadi menyaksikan kejadian yang dianggapnya sangat luar biasa. Terbukti, selain raut kecemasan, juga terlihat adanya keheranan dan kekaguman di wajahnya.
Panji hanya tersenyum, kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Sumirah menyusul dengan berbagai macam perasaan yang bergayut di benaknya.

* * * * *



«₪֎ [ DUA ] ֎₪»

"Jadi kau terpisah dari kawan wanitamu, yang bernama Kenanga itu?" Tanya Sumirah setelah Panji menceritakan pengalamannya sehingga sampai terlempar di pulau itu.
Panji yang berada tepat didepan Sumirah tertunduk lesu. Terdengar helaan napas berat yang mencerminkan kegalauan hati pemuda itu. Perlahan-lahan kepalanya terangkat ke atas. Dan, pandangannya kearah ke luar jendela yang terbuka lebar. Tampak sepasang mata yang tajam itu berubah sayu. Dan, keningnya berkerut seperti tengah merenung.
"Yahhh.... Badai yang ganas itu telah menghempaskan kapal yang kami tumpangi. Kemudian kapal itu pecah berantakan akibat terhantam batu karang. Aku tak berdaya sama sekali melawan keganasan alam laut itu. Untunglah aku sempat meraih sekeping papan dari pecahan kapal yang berserakan. Dan, selama tiga hari tiga malam, aku terapung di tengah samudera luas yang bagaikan tidak bertepi itu," jelas Panji yang kembali teringat akan nasib kekasihnya.
"Lalu, bagaimana kau bisa terdampar di pulau ini? Mungkinkah karena sekeping kayu dari pecahan kapal itu yang membawamu kemari?" Tanya Sumirah sambil menatap wajah Panji dengan perasaan iba.
Putri tunggal Ki Rungga itu sepertinya sangat tertarik dengan Panji. Hal itu terlihat jelas dari tatapan matanya. Bahkan sikapnya pun sangat lembut dan penuh perhatian ketika merawat dan melayani pemuda itu. Tak ubahnya seorang kakak terhadap adik kandungnya.
Panji bukannya tidak tahu akan perasaan wanita itu. Bahkan, anggapan Sumirah terhadap dirinya pun sudah dapat diduga. Dan, karena hal itu pulalah yang membuat Panji menceritakan apa yang dialaminya ketika berada di samudera luas.
"Bukan hanya sekeping kayu itu yang membuatku terdampar di pantai pulau ini. Tapi, aku sendirilah yang mendayung sekeping papan itu setelah badai reda! Karena terlalu banyak mengerahkan tenaga hingga melampaui batas itulah, membuatku tak sadarkan diri setelah tiba di tepian pantai ini. Hm... Apakah nama pulau ini, Nyai...?" Tanya Panji sambil memandangi wajah wanita itu lekat-lekat.
Sumirah sama sekali tidak berusaha mengelak dari tatapan pemuda itu. Bahkan, dia balas memandangi sambil tersenyum lembut. Dirayapinya wajah Panji tanpa rasa jengah sedikitpun.
"Panji, apakah kau mencintai wanita itu...? Dia kekasihmu, bukan...?" Tanya Sumirah seolah-olah tidak mendengar pertanyaan pemuda berjubah putih itu. Sambil bertanya demikian, sepasang mata terhunjam tepat di bola mata Pendekar Naga Putih.
"Benar, Nyai. Wanita itu memang kekasihku. Dan, aku sangat mencintainya. Hhh..., sayang aku tidak bisa munyelamatkannya dari keganasan alam. Entah bagaimana nasibnya...? Mudah-mudahan saja dia selamat," desah Panji penuh harap.
"Kenanga pasti seorang gadis cantik dan lembut. Ah..., andai saja dia ada di sini, bersamamu. Ingin aku berkenalan dengannya...," gumam Sumirah, seolah-olah berkata kepada diri sendiri.
"Ya, dia memang sangat cantik, Nyai. Dia tidak banyak menuntut dan selalu bersikap mengalah. Padahal, kalau dia mau, tentu bisa hidup bersama seorang pangeran yang kaya. Tapi ternyata dia memilihku, yang hanya seorang petualang miskin ini. Hal itulah yang membuatku semakin menyayangi dan mencintainya," desah Panji sambil menghembuskan napas penuh sesal.
"Mengapa kalian naik kapal layar? Apakah kalian sengaja hendak pergi pesiar?"
"Kebetulan waktu itu kami melewati sebuah perkampungan nelayan. Kenanga mungkin tertarik ketika melihat perahu besar sedang merapat di dermaga. Lalu ia mengajakku untuk ikut berlayar dengan kapal itu. Selanjutnya, yah..., seperti yang baru kuceritakan tadi, Nyai."
"Jadi, kalian sama sekali tidak mempunyai tujuan?" Tanya Sumirah tak mengerti. Wanita berwajah manis itu memang belum mengenal siapa sebenarnya Panji. Andaikan pemuda ini menceritakan tentang dirinya yang sesungguhnya. Sumirah pun tak akan mengetahuinya. Karena ia memang bukan orang persilatan.
"Ya..., seperti perjalanan yang selama ini kami lakukan, selalu tanpa tujuan. Aneh bukan? Tapi, itu kami lakukan semata-mata ingin mengetahui hal-hal yang baru. Karena kami berdua memang merupakan orang-orang yang menyukai petualangan. Dan, kepergian kami mengikuti kapal layar itu pun didorong rasa ingin bertualang," sahut Panji tersnyum ketika melihat wajah Sumirah memancarkan rasa heran.
Pembicaraan mereka tiba-tiba terputus ketika mendengar suara terbatuk-batuk yang cukup keras dari luar rumah. Tidak lama kemudian, nampak sesosok tubuh kurus melangkah memasuki ruangan itu.
"Hm.... Kau sudah sehat, Anak Muda...?" tegur lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun itu. Nada suaranya terdengar agak dingin.
"Kalau sudah sehat pergilah! Dan tinggalkan pulau ini. Kau bisa menyewa seorang nelayan untuk menyeberang ke daratan terdekat."
"Ayah...! Mengapa Ayah berkata demikian? Kesehatan Panji belum begitu pulih. Ayah, la masih memerlukan istirahat beberapa hari lagi, supaya tenaganya yang terkuras itu dapat kembali seperti sediakala. Berilah dia kesempatan untuk beristirahat, Ayah," ujar Sumirah yang segera beranjak bangkit menghampiri ayahnya.
Dengan raut wajah yang diliputi rasa heran dan tidak percaya, wanita itu memandangi wajah ayahnya penuh selidik. Hati kecilnya bertanya-tanya ketika melihat sinar kecemasan membayang di wajah lelaki tua itu. Dan, pikirannya segera menghubungkan kecemasan orang tua itu dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Kau lihat sendiri, Sumirah. Wajah pemuda itu telah nampak segar dan berseri. Dan, itu menandakan bahwa ia telah sehat. Bukankah begitu, Anak Muda?" Ujar Ki Rungga mengalihkan pandangannya kepada Panji.
"Benar, Ki. Kesehatanku memang sudah pulih. Aku sangat berterima kasih sekali atas kesediaan Aki yang telah bersusah-payah menolongku. Maaf, andaikan kehadiranku telah mengganggu ketenteraman rumah ini," sahut Panji tersenyum sambil membungkukkan tubuhnya dengan sikap sopan dan hormat.
"Tidak! Kau tidak boleh pergi, Panji! Kau masih belum tahu keadaan pulau ini. Selain itu, di mana kau akan bermalam jika hari gelap?" cegah Sumirah yang segera menghadang langkah Panji di ambang pintu. Jelas, wanita itu tidak menginginkan keepergian pemuda yang telah mendatangkan kegembiraan dihatinya.
Ki Rungga terpaku melihat sikap putrinya itu. Dia Kini tahu perasaan yang terkandung di dalam hati Sumirah. Sebab perasaan orang tua itu sama dengan yang dikhawatirkan putrinya. Namun, semua perasaan itu dipendamnya. Karena ada beberapa hal yang membuat Ki Rungga terpaksa menekan perasaannya.
"Sumirah. Sadarkah kau akan sikapmu itu? Dan tahukah kau kalau kehadiran pemuda ini bisa membuat hidup kita susah?" ucap Ki Rungga dengan tajam dan kening berkerut. Jelas, orang tua itu sudah dapat meraba apa yang bakal menimpa keluarga jika Panji tetap berada di rumah itu.
"Apakah mereka...?" Sumirah menggantung kata-katanya karena ucapannya dipotong oleh ayahnya.
"Ya..., dan tidak lama lagi Karpala dan kawan-kawannya akan datang kemari. Mereka menghendaki Panji!" ungkap Ki Rungga sambil mengalihkan pandangannya ke arah Panji.
"Anak muda, katakan dengan jujur. Apakah kau suka kalau aku dan Sumirah mendapat kesusahan?"
"Sudah tentu tidak, Ki. Apalagi kalian telah menolongku. Kalau saja ada sesuatu yang dapat aku perbuat untuk membalas budi kalian, meskipun dengan taruhan nyawa, tetap akan kulakukan," sambung Panji yang semakin merasa tidak enak karena kehadirannya telah mendatangkan rasa tidak tenang di hati Ki Rungga.
"Nah, kalau kau memang ingin menolong kami, tinggalkan rumah ini. Atau, lebih baik lagi, kau ting- galkan Pulau Mimpi ini. Kau bisa menyewa seorang nelayan yang dapat mengantarkanmu ke seberang. Turutilah nasihatku kalau kau ingin selamat," tegas Ki Kungga yang segera mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Sepertinya lelaki tua itu tidak sanggup lagi menentang sinar mata Panji yang tajam seperti mata pedang itu.
"Baiklah, kalau itu yang Aki inginkan. Aku permisi, Ki, Sumirah. Maaf jika aku telah membuat kalian susah," pamit Panji yang segera melangkah ketika wanita berwajah manis itu memberi jalan kepada pemuda itu.
"Hati-hatilah, Panji...," ucap Sumirah dengan suara serak. Tentu saja hati wanita itu merasa berat untuk melepas kepergian Panji.
Tanpa menoleh lagi, Panji mengayunkan langkahnya menuju tepian pantai. Meskipun ada rasa penasaran dalam hatinya, namun perasaan itu berusaha ditekannya. Karena ia tidak menginginkan kehadirannya membuat kebahagiaan dan ketenangan hidup orang lain terganggu.

* * * * *




Panji yang telah cukup jauh meninggalkan rumah Ki Rungga menolehkan kepalanya ketika mendengar suara bentakan keras. Keningnya berkerut melihat belasan orang lelaki tengah berkerumun didepan rumah yang baru saja ditinggalkannya. Terdorong rasa ingin tahu, pemuda itu melangkah mendekati rumah Ki Rungga. Dari balik bilik rumah seorang penduduk, Panji mengintai belasan orang itu.
"Aaauw...! Lepaskan! Jahanam kalian..., pergi...!" terdengar suara jeritan seorang wanita dari dalam rumah Ki Rungga.
Sejenak Panji tertegun ketika mendengar jeritan Sumirah. Dengan mengabaikan permintaan Ki Rungga, tubuh pemuda itu langsung melesat laksana anak panah lepas dari busur. Dalam sekejap saja, Panji telah berdiri tegak di belakang belasan lelaki bertampang kasar itu. Langsung saja ia menerobos masuk ketika jeritan Sumirah kembali terdengar. Darah pemuda berjubah putih itu mendidih ketika melihat tubuh Ki Rungga terkapar di tanah. Darah segar tampak mengucur deras dari bagian tubuh yang terluka.
"Jahanam...!" desis kemarahan terlontar dari bibir pemuda itu. Sepasang matanya menatap tajam ke arah empat orang lelaki yang juga tengah memandanginya. Tatapan sepasang mata Pendekar Naga Putih yang laksana kilatan mata pedang itu, membuat keempat lelaki kasar itu tersentak mundur beberapa langkah. Ketegangan jelas terbayang di wajah mereka!
"Sssi... siapa kau? Apa... apa yang kau cari disini...?" Tanya salah seorang yang memlliki goresan luka di pipi kirinya. Ucapan yang terbata-bata, menandakan kalau hatinya tergetar dengan sikap dan tatapan pemuda berjubah putih itu.
"Hm..." Panji yang sudah merasa geram melihat keadaan Ki Rungga, menggeram gusar. Tanpa menjawab sepatah kata pun, pemuda itu langsung mengibaskan tangannya ke arah empat orang lelaki kasar yang telah menyiksa orang tua itu.
Wuuut!
"Aaah. !"
Hebat sekali akibat kibasan tangan Pendekar Naga Putih. Meskipun terlihat bergerak perlahan, tapi keempat orang lelaki kasar itu menjerit ngeri. Tubuh mereka langsung terjungkal dan menjebol dinding papan yang memang sudah rapuh. Tanpa mempedulikan korbannya, Panji langsung melesat ke kamar Sumirah. Kaget bukan kepalang hatinya ketika menyaksikan putri Ki Rungga itu merintih dan tak berdaya dibekap lelaki bertampang kasar.
Wanita lembut berwajah manis itu tampak meronta-ronta, berusaha melepaskan bekapan Karpala dan lima orang pengikutnya. Sementara seorang lelaki uumuk berkepala botak, dengan napas mendengus berusaha menggagahi wanita itu.
"lblisss...!" Dibarengi suara mendesis yang meluncur dari sela bibirnya, tubuh Panji langsung melayang ke arah dua orang lelaki yang tengah memegangi kaki Sumirah. Sekali tangannya dikibaskan, tubuh kedua orang melambung hingga menjebol atap rumah!
Tindakan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ saja. Dua orang lelaki yang tengah memegangi lengan Sumirah langsung disambarnya. Salah seorang dari mereka yang ternyata Karpala, mencoba mengelak sambaran tangan pemuda itu. Namun, tak urung tangannya terkena cengkeraman Panji.
"Aaa...!" Kedua orang itu berteriak ngeri ketika Panji menyentakkan kedua tangannya dengan pengerahan tenaga dalam. Sesaat kemudian, kedua tubuh lelaki itu meluncur deras. Dan....
Brolll...!
Kembali terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh mereka menjebol atap rumah. Tubuh keduanya langsung menggelepar ketika terbanting ke tanah. Sama dengan yang lainnya, kedua orang itu pun langsung pingsan.
"Apa...? Siapa. ?"
Lelaki gemuk berkepala botak yang nafsunya hampir terlampiaskan itu, tergagap ketika melihat tubuh kawan-kawannya terjungkal dan menjebol dinding dan atap rumah. Rasa kagetnya berubah menjadi marah ketika dilihatnya sosok pemuda tampan berjubah putih berdiri dihadapannya.
"Binatang...!" geram Panji sambil mengirimkan pukulan menggeledek ke arah dada lelaki gemuk berkepala botak itu.
Wuuut...!
Lelaki berkepala botak itu rupanya cukup gesit! Pukulan keras tangan kanan Pendekar Naga Putin berhasil dielakkan dengan melompat keatas..Panji sama sekali tidak merasa heran melihat tam- parannya luput. Sebab, dari semula sudah diketahuinya kalau lelaki berkepala botak itu memang cukup berisi. Maka, ketika pukulannya tak mengenai sasaran, pemuda itu bergegas mengirimkan pukulan berantai.
Bent! Bettr! Bettt!
Terkejut bukan main hati lelaki berkepala botak itu melihat serangan yang dilontarkan lawannya. Sehingga, ia sibuk mengelakkan tiga buah pukulan yang mengancam tubuhnya.
Bukkk!
"Aaakh..!" Lelaki berkepala botak itu menjerit ketika pukulan keras yang meluncur ke arah dadanya tidak dapat dielakkan. Tubuhnya terjengkang dan menjebol dinding kamar hingga terguling ke luar rumah.
"Panji. !" panggil Sumirah segera berlari memeluk tubuh pemuda tampan itu.
"Untunglah kau cepat datang, Panji Mereka..., mereka..."
Sumirah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya karena saat itu juga tangisnya telah meledak. Panji yang selama hidupnya belum pemah merasakan kasih sayang dari seorang kakak, menggerakkan tangannya dan membelai rambut Sumirah yang hitam dan ikal. Ada keharuan yang menyelinap didalam hati pemuda tampan itu ketika melihat pakaian Sumirah yang robek.
"Sudahlah, Sumirah. Sebaiknya kita segera melihat keadaan ayahmu. Kau..., kau tidak apa-apa, bukan...?" Tanya Panji sambil mengangkat wajah wanita itu dari dadanya. Ditatapnya sepasang mata yang basah itu dengan hati berdebar.
Sumirah yang mengerti ke mana arah pertanyaan Panji, menggeleng lemah. Untuk meyakinkan hati pemuda itu, ia tersenyum, tanpa menyadari kalau saat itu wajahnya masih basah oleh air mata. Mau tak mau Panji pun tersenyum melihatnya. Perlahan tangan pemuda itu terulur. Dihapusnya air mata yang masih menempel di wajah wanita itu dengan jemari tangannya. Setelah itu, dituntunnya Sumirah untuk melihat keadaan Ki Rungga.
"Ayaaah...!" Sumirah terpekik ketika melihat tubuh ayahnya tergeletak pingsan dan berlumuran darah di sudut ruangan depan. Diguncang-guncangnya tubuh Ki Rungga tumbil memanggil-manggil nama orang tua itu.
Panji yang menangkap kegalauan hati wanita itu, bergegas mendekatinya. Disentuhnya bahu Sumirah dan diremasnya dengan perlahan.
"Ayahmu tidak apa-apa, Sumirah. la hanya pingsan," jelas Panji yang segera mengangkat tubuh orang tua itu, dan membaringkannya di atas balai-balai bambu.
"Ohhh...," Sumirah menghela napas lega setelah mendengar keterangan Panji. Ia pun bergegas bangkit dan mengikuti langkah pemuda itu.
"Kau tunggulah sebentar. Aku hendak melihat orang-orang kasar itu," ujar Panji Dan sebelum Sumirah sempat menjawab, tubuh pemuda itu telah lenyap di balik pintu.
Tak lama kemudian, Panji sudah kembali lagi. Pemuda itu tidak menemukan seorang pun didepan sana. Rupanya para penjahat itu jera merasakan kehebatan Pendekar Naga Putih.
"Bagaimana, Panji..?" Tegur wanita itu ketika melihat pemuda itu masuk ke dalam rumah.
"Syukurlah mereka sudah pergi. Mudah-mudahan saja kejadian ini tidak terulang lagi," ucap Panji berharap.
Sumirah tidak menanggapi ucapan pemuda itu. Karena pikiran dan hatinya masih diliputi perasaan khawatir melihat keadaan ayahnya. Lagi pula, ia tengah sibuk membersihkan darah yang melekat di wajah Ki Rungga.

* * * * *



«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»

"Heya...! Heya...!"
Terdengar teriakan parau yang diselingi lecutan cambuk seperti mencabik-cabik udara. Seorang lelaki berwajah brewok, memacu kudanya bagaikan orang dikejar setan. Suara teriakan yang parau dan berat, meningkahi derap kaki kuda yang bergemuruh. Puluhan penunggang kuda yang berada di belakangnya, rata-rata bertampang kasar dan bengis. Menilik wajah mereka yang kecoklatan, jelas kalau orang-orangg itu selalu terpanggang sinar matahari.
Lelaki brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun itu, terus memacu cepat kudanya memasuki Desa Pari. Tubuhnya melayang turun ketika tiba didepan sebuah pondok kayu yang nampak sudah reyot dan tua. Tindakan lelaki brewok itu diikuti puluhan orang lainnya. Mereka langsung berlompatan turun dan bergerak menyebar.
Dan dalam waktu singkat, pondok itu telah terkepung rapat dan ketat. Sehingga tak mungkin orang dapat lolos dari kurungan itu. Dengan langkah lebar dan sorot mata bengis, lelaki brewok bertubuh kekar itu menghampiri pintu pondok. Dan, sekali menggerakkan kaki, pintu pondok itu langsung hancur berkeping-keping!
"Bangsat tua Ki Rungga! Keluar kau! Cepat serahkan pemuda keparat itu!" bentak lelaki brewok itu setelah berada di ruang tengah pondok milik Ki Rungga. Wajah kemerahan itu tampak berubah gelap ketika tidak seorang pun dijumpainya di dalam pondok.
"Setan! Awas kau, Ki Rungga! Jika aku berhasil menemukanmu, akan kucincang tubuhmu...," geram lelaki brewok itu sambil mengepalkan kedua telapak tangannya, sehingga terdengar bunyi berkerotokan nyaring. Jelas, kalau ia tengah dilanda rasa marah yang hebat.
"Bakar rumah celaka ini...!" perintah lelaki brewok itu kepada para pengikutnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para pengikut lelaki brewok itu segera melemparkan obor yang memang sudah dipersiapkan. Seketika itu juga, api langsung berkobar melahap pondok milik Ki Rungga yang terbuat dari kayu itu. Terdengar suara berkerotokan ketika satu persatu kayu penyangga pondok itu patah termakan api yang kian membesar.
"Kumpulkan semua penduduk Desa Pari ini! Aku ingin tahu, apakah mereka telah bersekongkol dengan tua bangka yang tidak tahu diuntung itu!" Kembali lelaki brewok itu berteriak lantang.
Tanpa diperintah dua kali, separuh dari para pengikutnya segera menghambur dan mendatangi rumah-rumah penduduk Desa Pari. Tak lama kemudian, sekitar lima puluh orang penduduk perkampungan nelayan itu telah berkumpul disebuah tanah lapang berpasir yang cukup luas. Wajah-wajah mereka tampak tertunduk pucat.
"Hm... Kemari kau, Orang Tua...," panggil lelaki brewok itu sambil menunjuk seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Walaupun wajah lelaki brewok itu agak pucat, tapi terpancar jelas dari sinar matanya sikap yang tegas dan berwibawa. Pertanda ia bukanlah orang sambarangan. Dengan hati yang galau, lelaki tua berjenggot putih ini melangkah mendekati lelaki brewok yang memanggilnya. Sepasang matanya menarap tajam ke arah wajah lelaki brewok yang hanya berjarak satu tindak didepannya.
"Bangsat! Berani kau berlaku tidak sopan terhadap Algojo Pantai!" Bentak lelaki brewok itu sambil melecutkan cambuk di tangannya dengan kecepatan Maut.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Akh...!"
Lelaki tua itu menjerit kesakitan ketika pecut di tangan lelaki brewok menghantam tubuhnya berkali-kali. Akibatnya, tubuh orang tua itu jatuh terguling-guling Tampak guratan-guratan merah di beberapa bagian tubuhnya meneteskan darah. Sedangkan pakaian yang dikenakannya terlihat sobek dan berdarah. Sadar akan tindakannya, orang rua itu bergerak bangkit tanpa berniat untuk melawan. Kemudian merangkak mendekati lelaki brewok yang mengaku berjuluk Algojo Pantai.
"Hm.... Bagus..., bagus...! Rupanya otakmu masih dapat berpikir jernih," ujar Algojo Pantai tersenyum dengan nada mengejek dan jumawa.
Sementara itu, para pengikut Algojo Pantai. Tertawa terpingkal-pingkal. Hati mereka geli menyaksikan kelakuan lelaki tua itu yang merangkak seperti anjing.
"Sekarang jawab pertanyaanku! Ingat! Sebab jawaban yang tidak menyenangkan, akan membuatmu rugi!" ancam Algojo Pantai tersenyum licik.
"Baik.., baik...," sahut lelaki tua itu seraya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berani membantah.
"Tunjukkan di mana Ki Rungga sekarang berada...?" Tanya Algojo Pantai sambil mempermainkan cambuk di tangannya.
"Maaf, aku..., aku betul-betul tidak tahu...," jawab orang tua itu dengan wajah menegang.
"Bangsat..!" bentak Algojo Pantai sambil mengayunkan cambuknya beberapa kali ke tubuh orang tua malang itu.
Ledakan cambuk terdengar berkali-kali, ditingkahi suara jerit kesakitan yang menyayat. Tubuh orang tua itu berkelojotan, dan darah meleleh dari luka-luka di beberapa bagian tubuhnya. Namun, percikan-percikan darah dan jerit orang tua itu sama sekali tidak dipedulikan Algojo Pantai. Bahkan, semua itu semakin membuatnya kerasukan seperti orang gila. Sehingga, lecutan cambuknya semakin sering dan kian keras.
"Cepat katakan! Di mana Ki Rungga dan pemuda itu bersembunyi? Atau cambuk ini akan terus merencah tubuhmu sampai tewas!" Bentak Algojo Pantai dengan suara menggelegar.
"Aku..., aku Bdak tahu, Tuan...," rintih lelaki tua itu di antara ledakan cambuk yang mendera di sekujur tubuhnya. Sehingga pakaian yang dikenakannya robek di sana-sini. Bahkan, sekujur tubuhnya sudah dilumuri darah yang terus mengucur setiap cambuk itu melecut tubuhnya.
"Coba kau maju ke depan, Nenek Peot...!" seru Algojo Pantai sambil menudingkan telunjuknya ke arah Morang wanita berusia sekitar enam puluh tahun. Jelas, ia berniat menyiksa wanita tua itu untuk memperoleh keterangan tentang Ki Rungga dan pemuda berjubah putih.
Gemetar sekujur tubuh wanita tua itu ketika melihat jari Algojo Pantai menuding ke arahnya. Merasa ngeri dengan suara ledakan cambuk yang dl nmang-amangkan ke tubuhnya, nenek itu pun menangis ketakutan.
"Tuan, apa salah kami...? Mengapa perbuatan Ki Rungga, Tuan timpakan kepada kami? Kalau saja ada salah seorang penduduk yang mengetahuinya, tentu akan dilaporkan sekarang juga. Tapi, percayalah Tuan. Kami semua memang benar-benar tidak tahu, ujar seorang lelaki gemuk bermuka hitam yang tidak tega melihat wanita tua itu akan disiksa. Sehingga, Ia memberanikan diri mengungkapkan rasa penasaran dihatinya.
"Hm..., begitu? Jadi, kau tidak mengetahui di mana Ki Rungga dan pemuda asing itu bersembunyi. Kalau begitu, semua penduduk Desa Pari ini akan kusiksa sampai mati!" geram Algojo Pantai sambil memutar cambuknya di atas kepala.
Wuuut...
Ctarrr...!
Ujung cambuk Algojo Pantai meluncur dan langsung melecut tubuh gemuk lelaki bermuka hitam itu berkali-kali. Terdengar jerit kesakitan yang menyayat hati ketika ujung cambuk itu terus menghantam korbannya yang terpaksa bergulingan di atas tanah. Lecutan cambuk yang berpuluh kali mendera lelaki bermuka hitam itu, membuat pakaiannya robek di sana-sini. Sedangkan tubuh korban akibat lecutan cambuk itu telah mengeluarkan darah segar, yang juga menodai ujung cambuk. Sungguh malang dan betapa tersiksanya nelayan gemuk berwajah hitam itu.
Algojo Pantai menghenbkan lecutan cambuknya setelah melihat korbannya tidak bergerak lagi. Rupanya nelayan gemuk berwajah hitam itu jatuh pingsan karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Hayo, kalian kuberi waktu untuk berpikir. Jika kuhitung sampai sepuluh masih belum juga ada yang membuka mulut, jangan katakan aku kejam jika kalian mengalami nasib yang serupa dengan orang ini!" uncam Algojo Pantai dengan wajah yang semakin bertambah bengis. Sambil berkata demikian, kaki kanannya menginjak tubuh nelayan berwajah hitam yang menggeletak pingsan.
"Satu.... Dua.... Tiga...," sambil menghitung dengan pelan, Algojo Pantai melangkahkan kakinya mengitari para nelayan. Diamatinya satu persatu wajah nelayan yang pucat dan gemetar itu. Bukan main geramnya hati Algojo Pantai ketika hitungan sampai ke delapan, belum tertihat seorang pun yang mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaannya.
"Sembilan...," kembali terdengar suara Algojo Pantai melanjutkan hitungannya dengan wajah yang semakin gelap. Giginya tampak bergemeletuk keras karena para nelayan itu masih juga belum ada yang mengeluarkan suara.
"Sepu..."
"Tunggu...!" terdengar seruan nyaring yang memotong hitungan lelaki brewok itu. Suara teriakan yang nyaring dan menimbulkan pengaruh getaran dalam dada itu, membuat semua orang yang berada di tempat itu memalingkan wajahnya ke satu arah.
Para penduduk Desa Pari, termasuk Algojo Pantai dan kawan-kawannya, menjadi terkejut ketika melihat sosok berjubah putih tengah melangkah tegap mendatangi tempat itu. Hembusan angin laut yang cukup keras, membuat rambut lelaki berjubah putih yang panjang itu tersibak ke belakang. Sehingga tampaklah wajah seorang lelaki muda yang tampan dan penuh ketenangan.
Pemuda tampan berjubah putih itu tak lain adalah Panji. Langkahnya dihentikan dalam jarak satu tombak di hadapanpemimpin orang-orang kasar itu. Meskipun wajah tampan itu tetap menampilkan senyum tenang, namun sepasang matanya menatap tajam ke arah Algojo Pantai. Sehingga membuat lelaki brewok itu melangkah mundur tanpa sadar. Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangan berkeliling. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegentaran. Meskipun dirinya telah dikepung oleh dua puluh orang berwajah kasar dengan senjata tertuju kepadanya.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar berhati macan, bocah! Baguslah kalau kau datang sendiri untuk menyerahkan diri. Jadi, kami tidak perlu menyiksa penduduk desa ini, dan bersusah-payah mencarimu," ujar Algojo Pantai lantang. Sehingga suaranya terdengar oleh semua orang yang hadir di tanah lapang yang luas itu.
"Hm.... Sayang dugaanmu keliru, Kisanak Kedatanganku kemari, bukanlah untuk menyerahkan diri kepada manusia kejam seperti kau. Sebaliknya, malah aku ingin mengusirmu dengan cara halus maupun kasar. Dan kuharap, kalian tidak usah datang mengganggu Desa Pari ini lagi," sahut Panji sambil tersenyum lebar.
"Kau ingin melawan Banjai si Algojo Pantai...? Benar-benar mengagumkan sekali!" ucap lelaki brewok itu tertawa pelan.
"Tentu saja. Bukan hanya kau dan pengikutmu, Algojo Pantai. Tapi, siapa pun yang melakukan tindakan sewenang-wenang di depanku, akan kucegah. Kalau perlu kuberi sedikit pelajaran agar tidak lagi mengulangi perbuatannya. Apalagi kedatanganku ke Pulau Mimpi yang terpencil ini tidak kurencanakan. Ini, dikarenakan aku terdampar. Lalu, ditemukan dan dirawat Ki Rungga. Apakah keberadaanku di tempat ini merupakan satu kesalahan besar, sehingga kalian bersikeras hendak menangkapku? Coba kau katakan, Algojo Pantai! Kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga kalian mengejar-ngejarku?" Tanya Panji penasaran atas kejadian-kejadian yang dialaminya di Pulau Mimpi ini.
"Tentu saja kesalahanmu sangat besar, Ketahuilah, Pulau Mimpi tidak memperkenankan orang asing menginjakkan kakinya di daerah. Apabila hal itu terjadi, maka hukuman matilah yang harus diterima. Karena ada keistimewaan untukmu maka kau hanya diusir dari pulau ini. Tapi, sayang keputusan itu telah kucabut Karena kau telah mencelakakan kawan-kawan kami beberapa hari lalu. Jadi keputusan itu sudah berubah. Jika kau sampai tertangkap, bukan hanya diusir. Tapi, kematianlah jalan terbaik yang kau miliki. Karena itu lebih baik menyerah. Dengan begitu, kami tidak perlu repot-repot lagi untuk membekukmu secara paksa, Kisanak," Algojo Pantai sambil melangkah maju tiga tindak, semakin mendekati tempat Pendekar Naga putih berada.
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Algojo Pantai. Semua kejadian di Pulau Mimpi ini sudah kuketahui dari Ki Rungga. Bukankah Sepasang Manusia Sesat yang telah menyuruhmu untuk menangkap atau membunuh setiap orang asing yang menginjakkan kakinya ke pulau ini? Hm... Sayang kali ini tugasmu tidak mudah untuk kau laksanakan!" ujar Panji dengan nada menantang.
"Keparat! Kau rupanya benar-benar sudah hidup! Anak-anak, bunuh pemuda itu! Penggal batang lehernya...!" perintah Algojo Pantai dengan suara menggelegar karena amarah yang menggelegak dalam dada.
Panji hanya memperdengarkan gumaman tak jelas. Ditatapnya puluhan lelaki kasar yang mulai bergerak maju dan mengepungnya. Sedikitpun Pendekar Naga Putih tidak bergeser dari tempatnya berdiri. Pemuda itu tetap tegak dengan tatapan mata mencorong tajam.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan membahana, puluhan pengepung itu langsung menerjang Panji dengan sambaran dan tusukan senjatanya. Kilatan-kilatan cahaya senjata yang terpantul akibat terpaan sinar matahari, bagaikan tangan-tangan maut yang siap merenggut nyawa pemuda berjubah putih itu.
Wuuut! Wuuuk!
Dua buah tusukan ujung tombak yang mengarah ke lambung dan dadanya, dielakkan Panji dengan memiringkan sedikit tubuhnya. Berbarengan dengan itu, kedua tangannya bergerak menangkap senjata lawan, dan langsung menariknya kuat-kuat!
Bukkk! Desss!
Tubuh kedua lawannya, langsung terpental dan ambruk tanpa dapat bangkit lagi. Keduanya tergeletak pingsan akibat hantaman tangan Panji yang berisi tenaga dalam yang amat kuat.
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika sepasang kepalan Pendekar Naga Putih menyambar-nyambar cepat. Sebentar saja, enam orang lawannya terjun mencium tanah, tanpa mampu bangkit lagi.
Melihat kejadian yang tidak disangka-sangka para pengepung lainnya langsung bergerak mundur dengan wajah pucat. Jelas, gebrakan-gebrakan yang dilontarkan pemuda berjubah putih itu sangat mengejutkan pengeroyoknya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, gerombolan lelaki kasar itu hanya dapat menatap dalam jarak tiga tombak. Dan, tak seorang yang berani menyerang pemuda itu.
"Keparat! Mengapa kalian menjadi penakut, Hah! Hayo, serbu pemuda setan itu! Pancing dia agar menghambur-hamburkan tenaganya. Setelah itu, baru penggal lehernya untuk persembahan Ketua Agung...!" perintah si Algojo Pantai kepada para pengikutnya untuk kembali menyerang pemuda berjubah putih. Sedangkan Algojo Pantai sendiri tidak diam. Dicabutnya sebilah golok besar yang tergantung di pinggangnya. Terdengar suara mengaung ketika lelaki brewok itu memutar senjatanya dengan kecepatan yang mengagumkan.
"Yeaaa...!"
Sambil berseru keras, tubuh gemuk itu dengan disertai ayunan golok besarnya yang menyeramkan.
Wuuut..!
"Hm...," gumam Panji ketika menghindari sambaran golok besar Algojo Pantai yang bernama asli Bajal itu. Pendekar Naga Putih terus melangkah mundur untuk melihat sejauh mana kehebatan ilmu golok yang memang terlihat aneh dan asing baginya. Gerakan-gerakan ilmu silat yang dimainkan lelaki brewok itu, terlihat seperti gerakan orang mabuk. Dan, Panji sempat dibuatnya kagum. Sebab, meskipun gerakan lawannya agak aneh dan janggal, ternyata sangat membingungkan dan berbahaya. Sehingga, beberapa kali ujung golok besar itu nyaris mencium tubuh Pendekar Naga Putih. Sambil menghindari sambaran golok lawan, Panji mempelajari ilmu golok yang masih asing itu. Setelah kelemahannya diketahui, barulah Panji melancarkan serangan balasan. Dalam waktu singkat saja, Algojo Pantai dibuat tidak berdaya.
"Setan...!" umpat lelaki gemuk berwajah brewok ini jengkel. Algojo Pantai hampir tidak percaya kalau pemuda asing yang semula dianggapnya remeh itu, ternyata mampu membuatnya tidak berkutik. Padahal, semua kepandaian yang dimilikinya telah dikeluarkan untuk meringkus pemuda berjubah putih itu.
"Hahhh...!"
Algojo Pantai membentak keras untuk menghilangkan pengaruh hawa dingln yang terasa membekukan Jalan darahnya. Namun, meskipun berusaha sekuat tenaga untuk melawan hawa dingin yang menggigit itu, tetap saja tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam. Hanya dalam dua puluh lima jurus, Panji telah membuat lawannya kalang-kabut. Sebuah hantaman telapak tangannya yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', meluncur deras ke arah dada lawannya.
"Hugkh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh Algojo Pantai terlempar deras hingga dua tombak jauhnya. Darah segar mengucur dari mulutnya. Sedangkan hawa dingin yang merasuk ke dalam tubuhnya, membuat lelaki gemuk itu menggigil hebat. Tak berapa lama kemudian, tubuh lelaki kejam itu mengejang kaku.Mati.
Melihat pemimpinnya tewas, tiga belas lelaki kasar yang sejak tadi hanya menonton saja, serentak menghambur dan melompat keatas punggung kuda masing-masing. Kemudian, mereka langsung memacu binatang itu tanpa menoleh lagi.
"Husyaaa.... Husyaaa...!"
Beberapa orang penduduk yang merasa jengkel dengan gerombolan itu, berteriak-teriak menakut-nakuti. Sehingga para pengikut Algojo Pantai yang tersisa itu melarikan kudanya semakin kencang.
"Mengapa mereka tidak dibunuh saja, Kisanak. Aku khawatir mereka akan kembali dalam jumlah yang lebih besar, disertai pemimpin-pemimpin mereka yang sakti...," ujar salah seorang penduduk Desa Pari, sambil menatap Panji dengan pandangan mata yang tidaak puas atas sikap pemuda itu.
"Tidak perlu, Paman. Dan, aku yakin mereka pasti tidak akan kembali lagi ke sini. Sebab, aku sendiri yang akan pergi mengunjungi markas mereka," sahut Panji yang saat itu tengah mengobati beberapa korban akibat lecutan cambuk Algojo Pantai.
Selesai mengobati orang-orang yang tertimpa kemalangan itu, Panji pamit meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, pemuda itu terlebih dahulu menyadarkan anak buah Algojo Pantai yang telah dibuatnya pingsan. Sesudah melepaskan orang-orang itu pergi, Panji melesat meninggalkan para penduduk Desa Pari itu. Luar biasa! Orang-orang desa itu takjub dan hanya mampu menatap sosok bayangan putih dengan penuh kekaguman. Setelah sosok pemuda berjubah putih itu lenyap, mereka bergerak pulang ke rumah dengan suara riuh menceritakan sepak terjang Pendekar Naga Putih.

* * * * *



«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»

Wajah Panji tampak sungguh-sungguh mendendengar cerita Ki Rungga. Kemudian pemuda berjubah putih itu tersenyum dengan mata bersinar cerah setelah mengetahui letak bangunan dan tempat kediaman majikan Pulau Mimpi itu. Dia pun pamit dengan orang tua yang telah menolongnya. Kemudian tubuhnya melesat cepat, sehingga hanya tampak seperti bayan-bayang samar yang hampir tidak tertangkap biasa. Setelah cukup lama berlari, pemuda itu memperlambat gerakannya. Lalu langkahnya berhenti sama sekali ketika tiba di mulut sebuah hutan lebat. Ditelusurinya hutan itu dengan langkah perlahan.
"Hm.... Menurut keterangan Ki Rungga, letak bangunan majikan pulau ini berada di luar Hutan Dandara dan mengarah ke Selatan. Sayang, orang itu tidak begitu jelas mengatakan jumlah pengikut Sepasang Manusia Sesat, yang telah merebut pulau ini dari orang yang berhak," gumam Panji sambil melangkah memasuki hutan. Ketika melangkah di dalam hutan, tiba-tiba telinganya menangkap suara denting senjata dan teriakan-teriakan orang bertempur. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu menghentikan langkah kakinya. Kemudian kepalanya ditelengkan ke asal suara.
"Hm.... Sepertinya suara pertempuran itu berasal dari sebelah Timur hutan ini...," gumam Panji mengerutkan keningnya, sambil menduga-duga siapa gerangan yang tengah bertarung di dalam Hutan Dandara itu.
Sekali menjejakkan kakinya ke tanah, tubuh Pendekar Naga Putih melesat cepat hingga beberapa batang tombak jauhnya. Kemudian terus berlari dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar secepat mungkin tiba ke tempat pertempuran yang diduganya itu. Sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih tiba di sebuah tempat yang beberapa tombak di depannya terdapat lapangan berumput yang cukup luas. Di situ disaksikannya pertempuran tak seimbang yang tengah berlangsung.
Sambil mengendap-endap, Panji bergerak maju dan mendekati arena pertempuran itu. Dari balik semak-semak yang cukup tersembunyi, Panji mengawasi jalannya pertempuran itu dengan jelas. Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus bergerak mengikuti pertempuran yang berlangsung tidak adil itu. Keningnya berkerut ketika mengetahui, pihak yang terdesak itu adalah seorang gadis muda yang sangat cantik. Sedangkan lawannya yang berjumlah lima orang lelaki itu, tampak semakin menguasai pertempuran.
Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tidak segera membantu gadis cantik yang tengah terjepit itu. Lantaran ia ingin mengetahui secara jelas masalah yang membuat kedua belah pihak bertikai. Panji tidak ingin bertindak keliru. Sebab salah-salah bertindak bisa-bisa la membelah pihjak yang justru seharusnya tidak dibela. Tapi, Panji tidak tega membiarkan gadis cantik itu menjadi bulan-bulanan pengeroyoknya. Sehingga, ketika ia melihat gadis itu kembali terancam oleh pukulan salah seorang lawannya, pemuda itu segera melesat keluar dari tempat persembunyiannya.
"Tahan...!" Sambil berseru keras, Pendekar Naga Putih lang- sung memapaki pukulan yang mengancam dada gadis cantik itu. Dan....
Plakkk!
"Aaah. !"
Orang yang pukulannya terpapak oleh telapak tangan Panji, berteriak kaget Tubuhnya terlempar ke belakang hingga satu setengah tombak jauhnya. Dan, terbanting ke atas tanah berumput dengan suara berdebuk nyaring.
"Uhhh..., gila! Siapa manusia usil yang berani memapak pukulanku...," rintih lelaki berkumis lebat itu sambil mencoba bangkit berdiri. Namun, tubuhnya kembali terjatuh. Karena dadanya terasa sesak dan tangannya seperti lumpuh akibat tangkisan Pendekar Naga Putih.
Datangnya sosok yang di sekeliling tubuhnya memancarkan sinar putih keperakan itu, membuat empat orang lelaki lainnya segera berlompatan mundur. Sehingga, pertempuran itu terhenti dengan sendirinya. Sedangkan wanita cantik bertubuh langsing dan padat itu, jelas merasa gembira dengan kehadiran sosok berselimut lapisan kabut keperakan itu. Tanpa rasa canggung sedikit pun, kakinya dilangkahkan menghampiri Panji. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya.
"Kuucapkan beribu terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Kalau saja kau tidak keburu datang, mungkin aku tidak dapat menikmati indahnya matahari esok," ucap gadis cantik itu sambil membungkukkan badannya dengan penuh hormat.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, Nyai. Apa yang kulakukan ini, sudah menjadi kewajibanku," sahut Panji seraya membalas penghormatan wanita cantik itu.
Wanita itu tersenyum sambil menyeka cairan merah yang mengalir di sudut bibirnya dengan punggung tangan.
"Kau terluka, Nyai...?" Tanya Panji, cemas.
"Ah, tidak terlalu mengkhawatirkan. Lagi pula lukanya sudah tidak terasa lagi...," jawab wanita cantik itu tersenyum malu, ketika disadarinya pemuda tampan itu menatap wajahnya penuh perhatian.
Panji mengerti akan kekeliruannya, segera dangan matanya diarahkan ke arah lima orang lelaki yang telah berdiri tegak menatap keduanya. Sorot mata mereka yang beringas, jelas mencerminkan kemarahan yang hebat.
"Siapakah kau, Kisanak? Mengapa mencampuri urusan kami?" tegur salah seorang dari lima lelaki itu dengan suara mengandung ancaman.
"Maaf. Aku terpaksa, karena tidak tahan melihat ketidakadilan yang berlangsurig di hadapanku. Sebetulnya sebagai laki-laki, kalian harus malu mengeroyok seorang gadis muda," ujar Panji dengan suara tenang, namun terdengar agak menyakitkan bagi kelima orang itu.
"Huhhh! Kau tahu apa?! Wanita cantik ini sangat berbahaya bagi kami. Sehingga, kalau tidak dibunuh, kamilah yang akan celaka di tangannya. Oleh karena itu, sebaiknya kau menyingkirlah! Biar gadis ini kami yang mengurusnya!" timpal lelaki berwajah kehitaman. Dari sikapnya, dapat diketahui kalau dirinya adalah pimpinan dari kelima lelaki itu.
"Hm. Kalau boleh kutahu, apa yang telah dilakukan gadis ini kepada kalian...?" Tanya Panji yan ingin mengetahui persoalannya dari kelima orang bertampang bengis itu. Kemudian, Panji mengalihkan perhatiannya kepada gadis cantik yang berdiri di sebelah kanannya. Melihat raut wajahnya yang lembut dan tampak tak berdosa, rasanya tidak mungkin kalau gadis itu telah melakukan kejahatan. Apalagi sifat dan suaranya yang lembut. Jelas, tak terkesan sama sekali kalau gadis itu sudah melakukan tindakan yang keji. Karena itu, Penndekar Naga Putih yakin telah membela pihak yang benar.
"Sudahlah, Kakang. Mengapa kita harus meladeni ocehan pemuda usilan itu. Lebih baik bereskan saja, sebab kalau diberi hati mereka akan semakin bertindak kurang ajar kepada kita," geram lelaki berkumis lebat, tanpa sedikit pun melepaskan tatapannya ke wajah Panji. Jelas, ia masih mendendam terhadap apa yang telah dilakukan pemuda berjubah putih itu terhadap dirinya. Sejenak orang tertua dari kelima lelaki itu terdiam. Sepertinya usul lelaki berkumis lebat itu sedang dipertimbangkannya.
"Hmh..."
Sesaat kemudian, lelaki kekar berwajah kehitaman itu mengeluarkan suara geraman, sambil menggerakkan kedua tangannya sebagai perintah untuk mengurung Panji dan gadis itu. Sedangkan ia sendiri sudah bergerak maju dengan senjata di tangan.
Melihat sikap kelima lelaki berwajah bengis itu, Panji sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari lagi. Maka, dengan langkah tenang, pemuda berjubah putih itu maju beberapa tindak. Pendekar Naga Putih telah siap menghadapi keinginan kelima orang lelaki itu. Sedangkan gadis cantik di sebelahnya dimintanya untuk menyingkir.
"Hm.... Rupanya kau memang hendak membela putri Ki Raga Baya! Baiklah kalau begitu! Jangan menyesal kalau kau akan tewas di tangan kami...!" geram lelaki kekar berwajah kehitaman itu sambil menggerakkan pedang yang berada di tangan kanannya secara menyilang.
Wuuut! Wuuut..!
Terdengar sambaran angin pedang mengaum tajam yang diiringi kilatan sinar kehijauan.
"Heaaat..!"
Bersamaan dengan teriakan nyaring lelaki kekar itu, tubuhnya segera melesat disertai kibasan pedangnya. Sehingga menimbulkan deruan angin yang mendesing nyaring. Sementara, keempat kawannya ikut pula bergerak melingkari Pendekar Naga Putih. Dan, Panji kini dikurung dari lima arah.
Menyadari kepandaian kelima orang pengeroyok itu tidak bisa dipandang ringan, Panji tidak sungkan-sungkan lagi membalas serangan lawan-lawannya. Dan dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam sebuah pertarungan yang sengit.
Bettt! Bettt! Bettt!
Panji menggeser kakinya dengan gerakan yang cepat dan mantap. Sambaran pedang salah seorang lawannya yang datang bertubi-tubi, dielakkannya tanpa mengalami kesulitan. Kemudian disusul dengan lompatan ke kiri, guna menghindari tusukan pedang lawan yang mengancam lambungnya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih melesat ke belakang dengan gerakan berputar. Sekaligus dilepaskannya sebuah tendangan berputar yang mengancam kepala lawan di belakangnya.
Karuan saja lawan yang menjadi sasaran tendangan Pendekar Naga Putih merasa terkejut setengah mati. Karena serangan yang dilancarkan pemuda berjubah putih itu benar-benar mendadak dan sama sekali tidak diduganya. Apalagi saat itu posisi Panji memang tidak memungkinkan untuk melakukan tendangan berputar. Wajar kalau lawannya menjadi terkesima sesaat. Meskipun dengan gerakan yang terlihat gugup, lelaki berwajah pucat yang menjadi sasaran serangan Pendekar Naga Putih, segera mengangkat tangan kiri, sambil mengerahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Upaya menghindari diri dari tendangan Panji memang terlihat berhasil. Tapi, karena kekuatan tenaganya jauh di bawah kekuatan lawan, maka tubuh orang itu pun terjungkal karena tak sanggup menahan kekuatan tendangan itu.
Panji yang semula berniat melanjutkan serangannya, bergegas menarik tubuhnya dan didoyongkan ke belakang. Sebab, pada saat itu, serangan lain telah datang mengancamnya. Dan, begitu senjata lawan dari sebelah kanan lewat sejengkal didepan tubuhnya, langsung Panji melontarkan hantaman tebpak tangannya dengan menyilangkan kakl kiri. Sehingga, tubuhnya doyong ke samping mengikuti serangannya. Dan...
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terjengkang akibat hantaman tebpak tangan Panji yang menghajar telak tulang iganya. Darah segar langsung keluar dari mulutnya. Karena hantaman telapak tangan pemuda itu mengandung kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang memang sangat dahsyat.
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh lelaki itu ambruk dan tak bergerak lagi. Tewasnya sabh seorang dari pengeroyok itu membuat yang lainnya berlompatan mundur. Mereka berkumpul dalam jarak dua tombak dari tempat Panji berdiri. Terlihat keempat orang itu saling bertukar pandang. Seolah-olah mereka tengah merundingkan sesuatu. Sesaat kemudian, keempat orang itu saling mengangguk perlahan. Kemudian, seperti diberi aba-aba, keempat lelaki berwajah bengis itu berlompatan kesemak-semak Dan mereka langsung lenyap dari pandangan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Panji sendiri yang merasa tidak mempunyai urusan dengan keempat orang itu, tetap saja tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Sedikit pun tidak terlintas dalam benaknya untuk melakukan pengejaran terhadap orang-orang itu. Setelah keempat orang laki-laki kasar itu lenyap, Panji segera membalikkan langkahnya dan melangkah mendekati gadis cantik yang saat itu tengah menatapnya dengan pandangan mata penuh kagum.
"Wah! Kepandaianmu sangat hebat, Kakang! Kalau saja mereka tidak melarikan diri, mungkin tidak sampai sepuluh jurus lagi nyawanya melayang tersambar pukulanmu yang hebat itu," ucap gadis cantik itu seraya menatap lekat-lekat ke wajah Panji dengan rasa kagum. Sepertinya wanita itu memang tidak berusaha menyembunyikan perasaannya.
"Kau keliru, Nyai. Untunglah mereka melarikan diri dan tidak melanjutkan pertempuran. Kalau tidak, mungkin aku akan mengalami kesulitan menghadapi gempuran-gempuran mereka yang tidak bisa dipandang remeh itu," kilah Panji merendah.
"Ah! Kau terlalu merendahkan kepandaianmu Kakang.... Mmm..., bolehkah kutahu namamu, Kakang? Dan, darimanakah kau berasal? Sebab, kalau mendengar logat bicaramu, jelas kau bukanlah penduduk pulau ini," ujar gadis cantik itu, sambil tetap menatap wajah Panji lekat-lekat.
"Namaku Panji. Dan datang dari sebuah daratan yang tidak bisa kupastikah dari tempat ini. Dan kedatanganku ke pulau ini sama sekali tanpa sengaja. Jelasnya, aku terdampar dan diselamatkan oleh seorang penduduk Desa Pari yang baik hati. Dan siapakah kau, Nyai? Mengapa pula mereka sangat memusuhimu?" Tanya Panji sambil melangkah dan duduk di atas sebuah batu besar yang terletak di bawah sebatang pohon.
"Hhh... Akan memakan waktu lama kalau kuceritakan seluruhnya. Singkatnya, aku bernama Rara Ningrum, putri Ki Raga Baya yang menjadi majikan Pulau Mimpi ini. Malam tadi, aku berusaha mencari tempat ayahku ditawan. Sayang, mereka sempat memergoki dan mengejarku hingga ke Hutan Dandara ini. Ahhh..., aku memang tidak berguna. Kasihan sekali ayah...," desah gadis cantik yang mengaku bernama Rata Ningrum itu seraya menundukkan wajah- nya yang berubah gelap. Terdengar isak lirih yang tertahan Tampaknya wanita itu tak ingin suara tangisnya terdengar oleh Panji.
"Tabahkan hatimu, Ningrum. Jangan cepat berkecil hati. Aku akan berusaha membantumu, sejauh aku mampu. Mudah-mudahan saja, bantuanku yang mungkin tidak banyak berguna, dapat menyelamatkan ayahmu yang kini ditawan Sepasang Manusia Sesat. Mm... Dan, tentu saja kalau kau sudi menerima bantuanku," ujar Panji yang tersentuh hatinya ketika melihat raut kesedihan yang membayang di wajah gadis cantik itu.
"Dari mana Kakang mengetahui tentang manusia-manusia laknat yang merebut pulau ini? Dan, apa lagikah yang Kakang ketahui?" Tanya Rara Ningrum membelalakkan sepasang matanya saat mendengar ucapan Panji. Tanpa sadar, Rara Ningrum mencekal lengan pemuda berjubah putih itu erat-erat. Terkejut bukan kepalang hati wanita itu ketika mengetahui kalau Panji telah memahami tentang orang-orang yang menguasai Pulau Mimpi saat ini.
"Tidak banyak yang kuketahui dari Ki Rungga yang telah menyelamatkanku itu, Ningrum. Dengan kesaktiannya, Sepasang Manusia Sesat itu telah merebut pulau ini dari tangan ayahmu. Dan, sedikit kuketahui tentang keluargamu dan letak bangunan bekas kediaman ayahmu dulu," jawab Panji sambil melepas panndangannya ke arah cakrawala luas.
"Ibu dan kakak laki-lakiku telah dibunuh Sepasang Manusia Sesat itu, hanya untuk memaksa ayah agar memberitahukan tempat penyimpanan harta pusaka leluhur kami. Sedangkan aku sendiri berhasil melarikan diri saat Sepasang Manusia Sesat itu membasmi pengawal-pengawal ayahku. Ah..., aku sangat berterima kasih sekali kalau kau sudi membantuku Kakang. Melihat dari kepandaianmu saat menghadapi Lima Setan Hitam itu, aku merasa yakin ayah dapat diselamatkan. Sebab, kelima lelaki bengis itu merupakan pembantu-pembantu utama Sepasang Manusia Sesat. Dan, kepandaian mereka sangat tinggi. 
Nah, kalau mereka saja dapat Kakang pecundangi kurang dari lima puluh jurus. Maka, aku yakin kalau Kakang mampu menghadapi manusia-manusia laknat, yang telah membunuh ibu dan kakakku. Aku..., aku sangat berterima kasih sekali kalau Kakang memang sudi membantuku," luapan rasa gembira Rara Ningrum tidak hanya terucap di mulut saja. Bahkan, sebagai ungkapan rasa gembiranya itu, tubuhnya langsung di jatuhkan ke dalam pelukan Panji.
Sehingga, pemuda itu mau tak mau menjadi jengah dibuatnya. Panji yang semula berniat melepaskan pelukan gadis itu, tak tega hatanya ketika merasakan semakin eratnya kedua lengan Rara Ningrum melekat di tubuhnya. Meskipun dengan wajah kemerahan, Pendekar Naga Putih terpaksa mendiamkan perbuatan gadis itu untuk beberapa saat lamanya.
"Ningrum..., untuk dapat membebaskan ayahmu, terlebih dahulu kita harus mengetahui berapa banyak kekuatan yang dimiliki Sepasang Manusia Sesat itu. Dan, yang penting lagi, kita harus mengetahui secara tepat di mana tempat ayahmu ditahan. Sebab, dengan begitu akan memudahkan kita membebaskan ayahmu," ujar Panji, mengemukakan pendapatnya.
Seiring dengan penjelasannya, secara perlahan Panji melepaskan pelukan Rara Ningrum. Didorongnya tubuh padat yang hangat itu dengan gerakan halus lekali. Sehingga, Rara Ningrum sendiri tidak begitu memperhatikannya. Karena pikirannya tercurah kepada apa yang diucapkan pemuda itu.
"Kau benar, Kakang. Ah, betapa bodohnya aku selama ini. Sebab, aku sama sekali belum mengetahui tempat ayah ditawan. Hhh, untunglah sampai saat ini aku masih dilindungi Tuhan. Entah bagaimana nasibku kalau sampai bisa ditawan mereka," gumam Rara Ningrum dengan wajah sendu. Teringat akan nasib ayahnya, gadis cantik itu kembali terisak sedih. Sepertinya ia merasa putus asa ketika mendengar ucapan Panji. Dan, memang ia tidak lahu tempat ayahnya ditahan Sepasang Manusia Sesat itu.
"Sudahlah, Ningrum. Meskipun kau belum mengetahuinya, bukan berarti kita tidak bisa menyelamatkan ayahmu. Bukankah untuk mendapatkan keterangan itu tidak terlalu sulit? Kita bisa meringkus salah seorang pengikut Sepasang Manusia Sesat itu, dan memaksanya bicara. Hentikanlah tangismu, Ningrum. Marilah kita berpikir tenang," bujuk Panji sambil mengusap lembut bahu Rara Ningrum. Dengan maksud agar dapat memberikan kekuatan kepada gadis itu.
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Sepasang Manusia Sesat itu sangat kejam. Bahkan, para pengikutnya sendiri sangat takut kepada pemimpinnya. Kurasa sangat sulit sekali untuk mengorek keterangan dari mereka...," sahut Rara Ningrum sambil menjatuhkan wajahnya di dada Panji. Tangisnya kembali meledak dan terdengar begitu memilukan.
Pendekar Naga Putih sadar, jiwa gadis yang memeluk tubuhnya itu tengah terguncang oleh pukulan-pukulan batin yang diterimanya. Karena itu, Panji tidak menolak ketika Rara Ningrum menyandarkan kepala di dadanya seraya memeluk erat tubuhnya. Hati pemuda itu semakin iba ketika merasakan dadanya hangat oleh air mata gadis cantik itu. Sehingga perasaan itu mendorongnya untuk membelai rambut Rara Ningrum dengan perlahan.
"Biar bagaimanapun, kita tidak boleh berputus asa, Ningrum. Dan, aku akan berusaha mencari jalan untuk menolong ayahmu...," bisik Panji halus dan membujuk. Namun, pemuda berjubah putih itu menjadi bingung ketika usai mengucapkan kata-kata itu. Ternyata tangis Rara Ningrum bukannya berhenti, tapi malah semakin kuat dan memilukan. Dengan helaan napas panjang, Panji melepaskan pardangannya ke arah cakrawala dan menatap awan seputih kapas yang terbawa hembusan angin.

* * * * *



«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»

Angin berhembus begitu kencang di tengah malam yang pekat ini. Hal itu bisa terlihat dari daun-daun yang bergemerisik, bahkan banyak yang berguguran ke tanah. Dan, samar-samar terlihat tiak-titik air hujan mulai berjatuhan. Tampak langit pun semakin kelam dengan awan-awan hitam yang bergumpal membentuk seperti kain hitam yang membentang.
Dalam suasana seperti itu, dua sosok tubuh terlihat bergerak tanpa merasa terganggu sedikit pun dengan malam yang pekat itu. Bahkan, sepertinya suasana malam yang menyeramkah dan udara yang dingin, membuat kedua sosok tubuh itu lebih leluasa bergerak, tanpa merasa khawatir dengan bunyi berderak ribut yang ditimbulkan pepohonan di sekitarnya.
Meskipun kegelapan menghadang perjalanan mereka, namun keduanya tetap dapat bergerak lebih cepat dari manusia-manusla umumnya. Andaikan ada orang yang melihat gerakan kedua sosok tubuh itu, tentu akan menduga kalau mereka adalah makhluk halus yang sedang bergentayangan. Tidak lama kemudian, kedua sosok bayangan itu tiba di sebuah gedung besar yang tampak megah dan kokoh. Sekilas gedung megah itu terlihat seperti sebuah istana kerajaan yang megah dan indah.
Sosok pertama yang bentuk tubuhnya lebih kecil, menggerakkan tangannya memberi isyarat agar kawannya segera mengikuti. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun, sosok bayangan kedua yang berjubah putih bergerak mengikuti. Rupanya sosok pertama yang mengenakan pakaian serba hitam itu menuntun kawannya ke bagian belakang gedung. Lantaran tempat itu gelap dan sepi, sehingga tidak akan terlihat oleh seorang penjaga pun. Dan tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera melayang dan mendarat sejenak di atas dinding tembok yang mengeliling bangunan megah itu.
Setelah mengawasi keadaan sekelilingnya, kedua nosok bayangan itu pun melayang turun secara bersamaan. Begitu menjejakkan kakinya di halaman dalam belakang gedung itu, keduanya tetap tidak bergerak dalam posisi merunduk. Sebab, saat itu terlihat beberapa orang penjaga melintas melakukan perondaan. sehingga, mereka harus menunggu sembilan peronda itu lewat. Setelah para peronda itu berlalu, kedua sosok bayangan itu segera melesat dan merapatkan tubuhnya pada dinding yang agak gelap, sehingga dapat menyembunyikan tubuh mereka dari penglihatan para penjaga.
"Ningrum..., ingat pesanku! Jangan bertindak dulu. Kedatangan kita kali ini hanya untuk menyelidiki keadaan. Turuti saja kata-kataku, kalau kau tidak ingin tertangkap. Sebab, bukan mustahil di dalam gedung dan sekUar halaman ini, mereka menempatkan penjaga demi keamanan gedung. Ingat! Mereka adalah tokoh-tokoh sesat berpengalaman. Dan, bukan tidak mungkin kalau mereka mempunyai musuh lain, selain kita berdua," bisik sosok bayangan berjubah putih itu sambil menyentuh lembut bahu sosok di sampingnya yang bernama Ningrum. Sedangkan sosok berjubah putih itu tak lain adalah Panji.
Terdengar helaan napas lega Pendekar Naga Putih ketika melihat kepala gadis cantik itu mengangguk. Meskipun dalam hati tidak menyetujui sepenuhnya, gadis itu berusaha untuk menghormati Panji dengan mematuhi ucapannya. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua sosok bayangan itu terus mengitari dan memeriksa seluruh bangunan gedung itu. Gagal menemukan apa yang dicarinya, mereka bergegas kembali meninggalkan gedung megah itu, dan terus melompat melewati tembok pembatas. Kemudian, mereka menghilang di balik kegelapan malam.
"Jangan berputus asa, Ningrum. Biarpun kita belum mengetahui di mana ayahmu ditahan, tapi aku tetap akan berusaha menemukannya," hibur Panji sebelum mereka meninggalkan gedung megah itu.
"Terima kasih, Kakang...," ujar Rara Ningrum, perlahan.
Kedua tubuh itu melesat cepat melintasi pepohonan yang rimbun. Meskipun udara malam dingin menusuk tulang, tak menghalangi gerakan mereka. Panji dan Rara Ningrum bergerak cepat dengan pikiran masing-masing.

* * * * *




Panji meneguk minuman yang berada di atas meja depannya. Pandangan matanya sesekali melirik ke wajah gadis cantik yang tengah termenung di hadapannya. Perlahan, diturunkannya gelas bambunya. Dan dengan hati-hati, diletakkannya gelas itu di atas meja. Seolah-olah pemuda itu tidak ingin mengganggu lamunan gadis itu.
"Ahhh..., bukan main segarnya tuak yang kau hidangkan ini, Ningrum. Dari mana kau memperolehnya...?" Tanya Panji tersenyum sambil menatap tajam wajah cantik yang tengah termenung itu.
Seperti orang baru tersadar dari alam lamunannya, Rara Ningrum tersentak. Lalu, menarik wajahnya dengan helaan napas yang panjang. Dengan sepasang matanya yang bening itu, dibalasnya tatapan Pendekar Naga Putih dengan penuh selidik.
"Tuak itu adalah minuman kegemaran ayahku, Kakang. Sedangkan gubuk ini adalah tempat kami beristirahat setelah berburu. Dan, ayah sengaja menyimpan beberapa guci di tempat ini. Kalau kau menyukainya, aku bisa mengambil seguci lagi," sahut Rara Ningrum dengan suaranya yang terdengai seperti desahan halus.
"Hm.... Sebenarnya aku tidak begitu suka terhadap minuman ini. Tapi, karena rasa tuak ini benar-benar enak, tentu saja aku ingin meneguknya sampai puas. Itu pun kalau kau tidak keberatan...," ujar Panji seraya kembali meneguk sisa tuaknya. Terdengar suara berdecap yang keluar dari bibir pemuda itu, sambil menurunkan gelas bambunya perlahan.
Ningrum yang tadi masuk ke dalam untuk mengambil tuak, kembali sambil menenteng sebuah guci sambil tersenyum. Namun, senyum manis yang lembut di bibir gadis cantik itu berubah sinis ketika melihat kepala Panji bergoyang-goyang dengan kelopak mata mengerjap-ngerjap.
"Hugkh...!" Mendadak tubuh Panji tersentak ke belakang bersama kursi yang didudukinya. Terdengar suara napasnya yang berat.
"Kau..., kau.... Tuak ini mengandung racun jahat…!" desis Panji terbatuk-batuk hebat.
Sambil memegangi perut dan leher, Panji mencoba bergerak bangkit. Tampak wajahnya memerah. Entah pengaruh racun yang dibubuhkan Rara Ningrum, atau karena pemuda itu terlalu banyak menenggak tuak. Sehingga tubuhnya oleng, dan Panji terlihat sangat tersiksa sekali dengan keadaan itu.
"Hi hi hi..! Ternyata orang yang sangat tersohor di daratan besar, sangat mudah dikelabui. Seharusnya, julukanmu bukan Pendekar Naga Putih, Panji. Nama Pendekar Bodoh rasanya lebih patut untukmu," ejek Rara Ningrum seraya tertawa menunjukkan sifatnya yang asli. Bahkan, suaranya yang lembut itu terasa menyembunyikan sifat yang kejam dan mengerikan.
Panji yang berdiri dengan tubuh oleng, menatap Rara Ningrum setengah tidak percaya. Sulit dibayangan, di balik kelembutan wajah dan sikap gadis itu ternyata menyimpan kekejaman dan kelicikan. Kalau pemuda itu tidak mengalaminya sendiri, mungkin Panji tidak akan mudah percaya begitu saja. Sebab, bagaimana mungkin seorang gadis lembut seperti yang kini berada di hadapannya ini dapat memainkan sandiwara yang sangat sempurna. Jangankan orang lain, ia sendiri yang selalu bertindak waspada dan penuh perhitungan dalam menghadapi seseorang, ternyata masih dapat dikelabui oleh wanita cantik itu.Benar-benar sukar untuk dimengerti.
"Ningrum.... Siapakah kau sebenarnya...? Mengapa... mengapa kau demikian tega menipuku? Apa yang sebenarnya yang kau inginkan dariku...?" ucap Panjiterbata-bata. Sepasang mata Pendekar Naga Putih yang biasanya tajam mencorong itu, kini tampak meredup dan beberapa kali mengerjap lelah.
Sementara Rara Ningrum masih tetap memperdengarkan tawanya yang merdu dan kegenitan. Dengan langkah gemulai, gadis itu menghampiri Panji. Sepertinya ia benar-benar yakin terhadap keampuhan racun yang dicampurkannya ke dalam minuman Panji. Karena itu, ia tidak merasa khawatir sama sekali kalau pemuda itu akan mengamuk dan mencelakakannya.
"Hi hi hi.... Kau tebaklah sendiri, Pendekar Naga Putih. Apakah kau tidak bisa menduga siapa diriku sebenarnya...? Hm... ternyata kau tidak secerdik dan sepandai dugaanku..." dengus Rara Ningrum sambil mendorong tubuh Panji dengan telapak tangannya.
Dorongan yang kelihatannya hanya perlahan dan asal saja itu, ternyata akibatnya tidak sederhana. Sebab, tubuh Panji yang terdorong telapak tangan halus itu, terpental menabrak dinding kayu di belakangnya hingga jebol! Dapat dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam yang tersembunyi dalam telapak tangan wanita cantik itu.
"Hugkh...!"
Panji mengerang kesakitan sambil tetap memegangi perutnya. Wajah pemuda itu tampak semakin merah menahankan rasa sakit yang dideritanya. Bahkan, sepasang matanya yang jernih itu telah berwarna merah bagaikan bola api. Sambil memperdengarkan erangan lirih, Panji merangkak bangkit dengan susah payah. Namun, gerakan pemuda itu terhenti ketika ia merasakan beban berat yang menindih punggungnya. Perlahan, Pendekar Naga Putih mencoba menengadahkan kepalanya untuk melihat benda apa yang telah menekan punggungnya sedemikian berat.
Sepasang mata pendekar muda itu semakin membeliak ketika melihat sebuah kaki kokoh didepan wajahnya. Dengan setengah memaksa, Panji terus mengangkat kepalanya untuk melihat wajah si pemilik kaki itu, selain ingin mengetahui apa yang dilakukan orang itu sehingga membuatnya tak mampu bangkit.
"Ha ha ha...! Tak kusangka sedemikian mudahnya menundukkan pendekar yang konon ditakuti di daratan besar. Hm.... Sayang aku tidak sempat mengundang tokoh-tokoh persilatan untuk menyaksikan kematianmu yang menyedihkan ini, Pendekar Naga Putih. Tapi biar bagaimanapun, aku tetap merasa puas dengan hasil kerja istriku yang cantik dan pandai itu. Ha ha ha...!" ucap lelaki tinggi besar yang menekan lubuh Panji, sambil tertawa terbahak-bahak. Lelaki tinggi besar berusia sekitar empat puluh tahun yang meletakkan kaki kanannya di atas punggung Panji itu memandang wajah tak berdaya di bawahnya dengan bengis.
"Kau..., kau siapakah...? Mengapa kau melakukan semua ini kepadaku...? Bukankah di antara kita tidak ada permusuhan?" ujar Panji yang kembali mengerang sambil menekan perutnya kuat-kuat. Sepertinya pemuda itu merasakan sakit yang hebat dalam perutnya.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Agar kau tidak mati penasaran, aku akan memberitahukan kepadamu. Lihatlah baik-baik, orang yang saat ini berada di hadapanmu adalah Sepasang Manusia Sesat. Dan, nama itu telah kau ketahui dari seorang nelayan tua. Dan, orang yang kau kenal sebagai Rara Ningrum itu, sesungguhnya adalah istriku. la dijuluki sebagai Iblis Cantik Berwajah Malaikat. Sedangkan aku sendiri dikenal berjuluk Raja iblis Pantai Timur. Kami berdua adalah Sepasang Manusia Sesat, yang suatu saat akan menguasai dunia persilatan! Ha ha ha...!" tutur Raja Iblis Pantai Timur sambil memperdengarkan suara tawanya yang parau.
"Tapi, mengapa kalian memusuhiku...?" desak Panji seraya menyeringai menahan rasa sakit yang dideritanya.
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kami berdua tengah menghadapi suatu masalah penting yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Itulah sebabnya mengapa aku memerintahkan untuk membunuh orang asing yang mendarat di pulau ini. Maka, ketika aku mendengar ada seorang pemuda asing terdampar di dekat Desa Pari, langsung kuperintahkan orang-orangku untuk mencari dan membunuhmu," sahut Iblis Cantik Berwajah Malaikat mengakhiri keterangannya dengan suara tawanya yang berkepanjangan dan melengking tinggi.
"Ketika Karpala dan beberapa orang anak buahku dapat kau pecundangi, kami segera mencari tahu siapa sebenarnya pemuda asing yang terdampar itu. Setelah kami mengetahui ciri-cirimu, tentu saja aku dapat menebak dengan mudah bahwa pemuda yang terdampar itu adalah Pendekar Naga Putih. Lalu, kami atur rencana untuk menjebakmu. Ternyata tugas yang diakukan istriku dapat dijalankannya dengan mudah. Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar yang mengaku berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu tertawa bergelak-gelak melihat wajah Panji yang menggambarkan rasa penasaran setelah mendengar keterangannya.
"Kalian..., benar-benar manusia sesat yang keji!" maki Panji yang kembali menyeringai menahan rasa sakit pada tubuhnya.
"Jangan khawatir, Panji. Racun yang kucampur dalam minumanmu tidaklah mematikan. Hanya sedikit rasa sakit yang akan kau derita selama beberapa hari. Setelah itu, tubuhmu akan mengalami kelumpuhan. Sehingga sulit bagimu untuk bertarung. Sebab sedikit saja mengerahkan tenaga, kematianlah yang akan kau terima. Ingat itu baik-baik!" ujar Iblis Cantik Berwajah Malaikat seraya tersenyum manis.
"Mengapa kau tidak langsung membunuhku? Apa lagi yang kau kehendaki dariku...?" teriak Panji menekan kemarahan dalam dadanya. Dada Pendekar Naga Putih bagai hendak pecah ketika kemarahannya memuncak. Geram sekali hatinya ketika teringat begitu mudahnya terperangkap oleh Sepasang Manusia Sesat berhati keji itu.
"Hm.... Kami mempunyai rencana untuk itu. Kau boleh lihat sendiri nanti.... Ha ha ha...," sahut Raja Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawanya yang khas.
"Aaakh...!" Panji mengerang dan bergulingan ketika rasa kaku dalam tubuhnya hampir tidak sanggup ditahannya. Setelah meregang dengan urat-urat wajah bersembulan, kepala pemuda itu terkulai dan tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi.
"Hm.... Dia pingsan, Kakang...," ucap Iblis Cantik Berwajah Malaikat sambil mengerling ke arah lelaki tinggi besar di sampingnya.
"Biar aku yang akan membawanya," sahut Raja Iblis Pantai Timur sambil menyambar tubuh Panji, dan meletakkan di bahu kanannya. Kemudian, istrinya diajak untuk meninggalkan tempat itu.

* * * * *




"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari seorang pemuda, berjubah putih yang tengah terbaring di atas tumpukan jerami kering. Tampak tubuhnya menggeliat sebelum kedua kelopak matanya terbuka dan mengerjap-ngerjap.
"Ahhh…, dimanakah aku?" gumam pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji itu, seraya bergerak bangkit dan mengedarkan pandangannya berkeliling.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut dalam ketika melihat sosok seorang gadis muda tengah duduk di sudut tempat itu. Meskipun wajah itu terlihat demikian lusuh dan lelah, tapi semua itu tidak mampu menyembunyikan kecantikan wajahnya. Apalagi ketika sepasang mata gadis itu mengerling ke arah Panji, hampir saja jantung pemuda itu copot dibuatnya.
"Kenanga...," desis Panji tanpa sadar. Pendekar Naga Putih terkejut ketika melihat sepasang mata bulat yang bening itu menatap ke arahnya. la kenal betul dengan sepasang mata itu. Sebab, sepasang bola mata indah itu adalah milik kekasihnya, yang saat badai mengamuk, hilang dan belum diketahui bagaimana nasibnya.
"Kau siapakah, Kisanak...? Dan, mengapa sampai bisa ditawan manusia-manusia busuk itu? Atau kau sengaja diutus mereka untuk membujukku dengan kerampanan wajahmu itu? Huh! Percuma! Meskipun wajahmu setampan malaikat aku tetap tidak akan sudi membujuk ayahku untuk memberitahukan tempat penyimpanan harta pusaka leluhur kami. Jangan kau kira, aku tidak tahu rencana busuk yang telah kalian atur. Jangan coba-coba mendekatiku! Sandiwara konyolmu tidak akan mampu melunakkan hatiku!" umpat wanita cantik itu dengan tekanan suara yang kasar dan menyakitkan. Dan, sepasang mata indah itu tampak menatap Panji dengan penuh kebencian.
"Ahhh..." Panji terionjak mundur bagaikan disengat kala jengking. Wajah pemuda itu nampak pucat. Bahkan, napasnya pun terasa berat seperti tersumbat. Pendekar Naga Putih mengeluh dalam hati. Hatinya benar-benar ngeri sekali ketika melihat sinar kebencian yang terpancar dalam sepasang mata indah itu. Pemuda itu merasa seolah-olah Kenanga lah yang menatapnya dengan penuh kebencian. Sehingga hatinya terkejut dan berdebar-debar.
Panji benar-benar tidak habis mengerti, mengapa sepasang mata gadis itu sama persis dengan mata kekasihnya. Sebab, pandangan gadis itu membuatnya merasa seperti tengah berhadapan dengan Kenanga. Panji kenal betul dengan sepasang mata itu. Andaikan wajah gadis itu tersembunyi di balik cadar, dan hanya sepasang matanya yang tampak, tentu pemuda itu akan menduga kalau gadis itu adalah kekasihnya. Karena itu Pendekar Naga Putih hampir tidak percaya dengan pengtihatannya sendiri. Namun, keterkejutan Panji di mata gadis cantik itu hanya dianggap sebagai kepura-puraan. Sehingga, gadis itu semakin bertambah sinis saja menatap wajah Panji.
"Huh! Jangan harap aku akan terpengaruh dengan keterkejutanmu itu, Kisanak. Sudah kukatakan, percuma segala macam sandiwara yang kau pertunjukkan itu! Oleh karena itu, sebaiknya kau minta kepada majikanmu untuk keluar dari kamarku ini! Katakan kepadanya, bahwa sandiwara murahanmu telah dapat kuketahui!" ujar gadis itu dengan suara ketus dan galak.
Panji menarik napas panjang dan berulang-ulang sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding kamar. Hal itu dilakukannya untuk menahan gejolak rasa rindu terhadap Kenanga. Sepasang matanya dipejamkan untuk beberapa saat lamanya, Pemuda berwajah tampan itu benar-benar tidak sanggup melihat sinar mata wanita yang duduk di hadapannya ini. la merasa terus-menerus diteror dengan tuduhan dan sorot kebencian. Ngeri hati Panji seandainya Kenanga-lah yang melontarkan tuduhan dengan sorot mata kebencian itu kepadanya.
Melihat tubuh pemuda berjubah putih itu melorot jatuh dengan mata terpejam dan tubuh bersandar di dinding, gadis cantik itu bungkam seketika. Namun, sepasang matanya tetap mengawasi wajah Panji yang masih memejamkan matanya rapat-rapat. Diam-diam ada perasaan heran dalam wajah gadis itu ketika melihat wajah di depannya tampak menderita sekali akibat ucapan yang dilontarkannya secara kasar dan tanpa perasaan itu.
"Apakah pemuda ini benar-benar menderita karena kata-kataku? Dapatkah seseorang memainkan sandiwara dengan sedemikian sempurnanya? Dan, mengapa pandangan mata pemuda itu seperti menyimpan kerinduan yang dalam ketika melihatku? Kalau memang pemuda itu ditugaskan untuk membunuhku seperti yang sudah-sudah mereka lakukan, mengapa tampaknya seperti sungguh-sungguh? Ah, siapa tahu pemuda berjubah putih ini memang seorang pemain sandiwara yang pandai. Sehingga ia sengaja dikirim untuk mengelabuiku?" desah hati gadis cantik itu resah.
Suasana dalam kamar itu kini menjadi hening Gadis cantik itu kembali termenung seperti yang dilakukannya ketika Panji masih belum sadar dari pingsannya. Dan, gadis itu tidak lagi menghiraukan Pendekar Naga Putih yang masih menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar dengan mata terpejam rapat.

* * * * *



«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»

Setelah cukup lama menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. Hati Panji baru merasa tenang dan tenteram. Meskipun perasaan rindu dan bersalah sudah tidak mengganggunya lagi, namun matanya tetap dipejamkan rapat-rapat. Hanya saja posisi tubuhnya telah berubah. Kini tubuh yang tegap itu tidak lagi bersandar pada dinding, tapi ditegakkan dalam sikap semadi. Dalam posisi seperti itu, Panji merasa lebih tenang dalam melepaskan pikirannya. Lalu, dikajinya semua peristiwa dari sejak berada di rumah Ki Rungga, hingga berada di sebuah gubuk dalam Hutan Dandara.
"Hm... Dikiranya sedemikian mudah untuk mengelabui aku," desah Panji dalam hati, ketika teringat saat akan meneguk tuak yang disuguhkan oleh Rara Ningrum waktu itu.
"Percuma aku dibekali ilmu pengobatan apabila tidak dapat membedakan antara minuman yang beracun dan tidak. Hm... Sepasang Manusia Sesat itu mengira kalau aku telah terkecoh oleh mereka. Padahal, justru merekalah yang telah terkecoh oleh sandiwaraku."
Senyum Pendekar Naga Putih terkembang, ketika teringat akan kejadian pada waktu ia berpura-pura terkena racun yang dicampurkan Rara Ningrum dalam tuak yang disuguhkan untuknya.
"Bukan aku yang bodoh. Justru merekalah yang terlalu tolol dan angkuh. Ningrum sama sekali sadar kalau ucapanku yang memuji kenikmatannya, hanya merupakan siasatku saja. Ketika ia ke dalam kamar dan kembali mengambil guci, semua racun yang masuk ke dalam tubuhku sudah musnah. Wanita itu tidak tahu kalau dalam tubuhku terdapat sebuah kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit, yakni 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Kekuatan ini mampu menolak dan memusnahkan setiap racun yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, ketika wanita sesat itu kembali sambil menenteng guci tuak, semua racun dalam tubuhku sudah musnah oleh tenaga sakti itu," desis Panji dalam hati.
Pendekar Naga Putih kembali tersenyum sambil tetap memejamkan matanya. Pemuda itu sama sekali tidak sadar kalau tingkahnya tengah diamati oleh gadis cantik yang galak itu. Dan, kembali pemuda berjubah putih itu melanjutkan lamunan tentang pengalamannya selama berada di pulau asing itu.
Beberapa perisriwa kembali terlintas di benaknya. Pemuda tampan itu tersenyum penuh kemenangan. Sebab, jenis racun di dalam tuak itu sudah dikenalnya. Juga telah diketahui akibat yang ditimbulkan racun itu terhadap orang yang terkena sasarannya. Sehingga, dengan pengaturan tenaga yang dibuatnya sedemikian rupa, Panji dapat mengelabui wanita yang berjuluk Iblis Cantik Berwajah Malaikat itu. Bahkan, Raja Iblis Pantai Timur pun telah tertipu mentah-mentah.
Panji yang pikirannya tengah terpusat kepada pengalaman-pengalamannya itu, tetap saja memiliki pendengaran yang peka. Maka, ketika mendengar ada suara langkah lembut menghampirinya, pemuda itu membuka kedua kelopak matanya, dan menoleh ke arah si pemilik langkah lembut itu.
"Kulihat sejak tadi kau tersenyum-senyum seorang diri seperti orang kehilangan ingatan. Apa sebenarnya yang tengah kau rencanakan? Hm..., aku tahu! Kau mungkin tengah mencari akal untuk memainkan sandiwara lagi, bukan? Kembali kuingatkan, Kisanak!Simpan sandiwara murahanmu itu! Karena aku tidak akan bisa kau pengaruhi, mengerti?!" Tegas gadis cantik itu dengan nada yang tetap ketus dan galak.
Mendengar suara makian dari gadis cantik itu, Panji hanya tersenyum tanpa menatap wajah gadis itu. Sebab, ia takut melihat sepasang bola mata gadis itu yang dapat membangkitkan kerinduannya terhadap Kenanga. Itulah yang membuat Panji dapat bersikap tenang, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan-ucapan gadis cantik itu.
"Nyai, kau pastilah putri Ki Raga Baya yang bernama Rara Ningrum, bukan? Tidak perlu kau menjawab. Karena aku sudah dapat menduganya. Satu hal yang yang perlu kau ketahui, Nyai. Meskipun aku masuk ke tempat ini memang atas kemauanku sendiri dengan cara mengelabui Sepasang Manusia Sesat itu, namun kedatanganku bukanlah dengan maksud seperti tuduhanmu itu. Sebaliknya, kedatanganku ingin menyelidiki di mana tempat Ki Raga Baya ditawan orang-orang berhati keji itu," jelas Panji tanpa memberikan kesempatan kepada gadis itu untuk memotong ucapannya.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya, Pendekar Naga Putih mengangkat wajahnya dan menatap seraut wajah cantik itu sambil tersenyum lembut. Lantaran ia ingin melihat pengaruh ucapannya terhadap gadis galak itu.
"Tunggu.... Masih ada lagi yang ingin kusampaikan," cegah Panji seraya mengangkat tangan kanannya, ketika gadis itu hendak berbicara. Kemudian, dengan gerakan perlahan pemuda itu mengisyaratkan agar gadis itu sudi mendekat dan duduk di atas tumpukan jerami kering di sebelahnya.
"Huh! Kau kira dengan semua keteranganmu itu kau sudah bisa dipercaya? Lalu, kau..."
"Sabar, Nyai. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku masih ingin menyampaikan beberapa cerita lagi," potong Panji cepat.
"Kau boleh percaya dan boleh juga tidak dengan apa yang akan kusampaikan. Tapi sebelumnya, aku mempunyai satu permintaan dan kuharap kau sudi meluluskannya, Nyai..."
Gadis cantik yang memang Rara Ningrum, putri Ki Raga Baya, tercenung sejenak mendengar ucapan pemuda berjubah putih itu. Hatinya sempat merasa heran karena mau mendengarkan kata-kata pemuda itu. Bahkan, tubuhnya sudah dijatuhkan dan duduk di tumpukan jerami kering di sebelah kanan pemuda berjubah putih itu.
"Katakan, apa yang kau inginkan...?" ucap Rara Ningrum setelah terdiam beberapa saat lamanya. Meskipun suara gadis itu sudah tidak segalak semula, namun tetap saja mengandung ketegasan. Sehingga Panji menjadi kagum dengan sikap hati-hati gadis cantik itu.
"Permintaanku tidak sulit Tapi, mungkin cukup berat untuk kau lakukan," sahut Panji sambil menatap wajah gadis itu yang juga tengah menatapnya dengan kening berkerut. Dan, pemuda itu terpaksa harus menekan kembali gejolak rindunya ketika menatap sepasang mata bulat yang sangat mirip dengan mata Kenanga.
"Tidak perlu bertele-tele! Cepat katakan!" dengus Rara Ningrum tajam.
"Nyai, tataplah aku, telitilah seluruh wajahku. Lalu katakan, apakah wajah sepertiku ini mirip dengan orang yang tengah bersandiwara? Nah, nilailah sendiri. Dan, aku akan menerimanya dengan hati lapang. Kalau memang kau temukan ada pancaran kelicikan atau gambaran keculasan, kau boleh tidak mempercayaiku," pinta Panji sambil menggeser tubuhnya hingga tepat berhadapan dengan gadis cantik itu. Lalu, ditatapnya wajah gadis itu lekat-lekat.
Mendengar permintaan yang aneh dan lucu itu, hampir Rara Ningrum hdak bisa menahan tawanya. Namun, perasaan itu ditekannya ketika teringat bahwa orang yang tengah dihadapinya adalah pemuda asing, yang sama sekali tidak dikenalnya. Sadar kalau sikap manisnya bisa mengakibatkan bencana, maka gadis itu pun mengeraskan hatinya dan balas menatap tajam pemuda dihadapannya.
"Hm.... Meskipun wajahmu tidak menunjukkan tanda-tanda seorang penjahat, namun semua itu bukan jaminan. Sebab, wanita iblis yang merebut pulau ini dari tangan ayahku pun memiliki wajah yang lembut dan sama sekali tidak nampak jahat. Tapi, nyatanya ia seorang wanita berhati keji dan licik. Walaupun begitu, aku bersedia mendengarkan ceritamu, silakan!" Ucap Rara Ningrum setelah berpikir bahwa tidak ada ruginya mendengarkan apa yang akan disampaikan pemuda itu kepadanya.
"Terima kasih, Nyai. Rasanya hal itu cukup membuat perasaanku lega," ujar Panji yang semakin bertambah kagum dengan sikap hati-hati Rara Ningrum. Walaupun usia gadis itu tidak berbeda jauh dengan Kenanga, namun jelas bahwa Rara Ningrum memiliki sikap yang lebih matang ketimbang kekasihnya.
Dengan singkat dan jelas, Pendekar Naga Putih menceritakan pengalamannya bertemu dengan Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang mengaku sebagai Rara Ningrum. Selain itu, diceritakan pula tentang siapa dirinya dan bagaimana sampai terdampar di pulau ini. Bahkan, untuk meyakinkan hati gadis itu, Panji terpaksa memamerkan kedua tenaga sakti yang dimilikinya. Karena kedua tenaga sakti itu merupakan ilmu yang sangat langka, dan tidak mungkin dimiliki orang lain, sehingga Rara Ningrum sempat terbelalak menyaksikannya.
"Nah, Ningrum. Dengan kepandaian yang kumiliki saat ini, katakanlah dengan jujur, pantaskah aku berada dalam pengaruh Sepasang Manusia Sesat ...?" Tanya Panji setelah mengakhiri ceritanya.
Sementara Rara Ningrum yang masih terpesona dengan dua tenaga sakti yang dipertunjukkan Panji, belum dapat menjawab pertanyaan yang diajukan pemuda tampan itu. Rasa terkejutnya belum hilang ketika menyaksikan ilmu-ilmu dahsyat yang ditunjukkan Panji kepadanya.
"Ningrum...," panggil Panji ketika melihat gadis itu masih tetap terbengong-bengong.
"Eh, apa..., apa...?" sahut Rara Ningrum tersadar dari keterpakuannya. Tampak wajah cantik itu dijalari rona merah. Karena menyadari sikapnya yang memalukan tadi.
"Hm..., kau tidak mendengar pertanyaanku...," tegur Panji tersenyum ketika melihat wajah gadis itu menjadi tersipu.
"Kakang..., masih ada lagikah ilmu milikmu yang belum kau tunjukkan padaku...?" Tanya Rara Ningrum yang menyebut Panji dengan panggilan kakang. Jelas, panggilan itu mengungkapkan perasaan yang terkandung di dalam hati gadis cantik itu. Sebab, tidak mungkin Rara Ningrum akan memanggil demikian kalau hatinya masih tidak mempercayai Pendekar Naga Putih.
"Pertanyaanmu aneh, Ningrum. Mengapa kau bertanya demikian?" ujar Panji seraya mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan yang aneh dari Ningrum. Namun, setelah Pendekar Naga Putih mengamati raut wajah gadis cantik itu, tidak ditemukannya ejekan ataupun cemoohan terhadap apa yang telah dilakukannya tadi. Bahkan sinar matanya tampak penuh permohonan. Sehingga pemuda itu merasa tidak tega untuk menolaknya.
"Maaf kalau pertanyaanku ini terdengar aneh, Kakang. Terus terang, selama ini aku belum pernah menyaksikan ilmu-ilmu yang Kakang tunjukkan padaku tadi Bahkan, terlintas dalam benakku pun tidak, Kuharap Kakang sudi memaklumi pertanyaanku. Dan, kalau Kakang tidak keberatan, aku ingin melihat ilmu yang mungkin belum Kakang tunjukkan padaku. Karena aku sekarang telah mempercayaimu sepenuhnya, dan tentu saja aku mengharapkan bantuan Kakang, Itupun kalau Kakang tidak keberatan," jelas Rara Ningrum dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hm.... Sebenarnya tidak ada lagi yang dapat kuperlihatkan kepadamu, Ningrum. Kalaupun masih ada, mungkin tidak akan aneh bagimu. Sebab, ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan 'Tenaga Sakti Ilmu Panas Bumi' yang tadi kutunjukkan kepadamu," ujar Panji yang merasa senang dengan pengakuan gadis itu karena telah menaruh kepercayaan penuh kepadanya.
"Tunjukkanlah, Kakang. Aku ingin menyaksikannya...," desak Rara Ningrum dengan sepasang mata berbinar.
"Baiklah. Mudah-mudahan saja kau tidak kecewa," jawab Panji yang tidak sanggup melihat pancaran sinar mata Rara Ningrum. Karena tidak ingin mengecewakan perasaan gadis Itu, maka Pendekar Naga Putih segera mengerahkan tenaga batinnya dan disatukan dengan Pedang Naga Langit yang tersimpan dalam tubuhnya.
Rara Ningrum membelalakkan matanya setengah tidak percaya ketika melihat sebilah pedang bersinar keemasan yang serta merta telah berada dalam genggaman tangan pemuda itu. Hampir saja gadis itu memekik, ketika pedang yang berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pedang biasa itu, bergerak naik dan berputaran di sekeliling tubuh Panji. Bahkan gadis itu sempat merasa ngeri ketika Pedang Naga Langit bergerak mengitari tubuhnya. Sehingga tubuh gadis itu gemetar karena kengerian yang mencekam hatinya. Pedang keramat itu memang memiliki perbawa yang mengerikan.
"Cukup, Kakang. Cukup...," desah Rara Ningrum dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pendekar Naga Putih yang tidak lagi memejamkan kelopak matanya seperti pada waktu mendapatkan ilmu itu, segera menarik pulang Pedang Naga Langit, dan disatukan kembali ke dalam tubuhnya. Secara mendadak, pedang itu lenyap dari pandangan Rara Ningrum.
"Luar biasa sekali, Kakang! Dan, aku yakin kalau itu bukanlah ilmu sihir seperti yang pernah kulihat. Hm.... sekarang aku tidak ragu-ragu lagi, Kakanglah orang yang dapat menyelamatkan pulau ini dari tangan manusia-manusia rakus itu," ujar Rara Ningrum sambil menatap Panji dengan penuh kagum.
Menyaksikan tatapan Rara Ningrum, hati Panji sempat bergetar aneh. Wajah pemuda itu menegang ketika melihat sinar cinta yang tersembunyi dalam pandangan mata gadis itu. Karuan saja hal itu membuat hati Panji khawatlr.
"Mudah-mudahan apa yang kulihat ini hanya perasaanku saja. Kalau tidak, bagaimana aku harus mengatakannya? Ah, Kenanga! Kalau saja saat ini kau berada disampingku, tidak perlu aku merasa khawatir seperti saat ini. Sebab, keberadaanmu, tentu akan membuat Ningrum sadar. Dan tidak akan kecewa. Yahhh, mudah-mudahan saja dugaanku tidak benar...," desah Panji dalam hati.
"Ningrum...," panggil Panji setelah mereka sama-sama hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Hal itu dapat dilihat Pendekar Naga Putih dari sinar mata gadis itu yang tampak menerawang dan kosong. Entah apa yang sedang dilamunkannya sampai sedemikian terlena, dan tidak menyadari keadaan sekelilingnya.
"Hm...," sambut Rara Ningrum setengah mendesah.
"Apakah Sepasang Manusia Sesat itu menguasai pulau ini hanya untuk merebut pusaka peninggalan leluhurmu? Mungkinkah ada hal-hal lain yang mereka inginkan...?" Tanya Panji yang sedikit merasa heran. Meskipun disadarinya banyak manusia saling bunuh hanya karena harta dan kedudukan, namun Pendekar Naga Putih ingin mengetahui penyebab lain, yang mendorong Sepasang Manusia Sesat merebut Pulau Mimpi.
"Itu hanya salah satu dari tujuan mereka, Kakang. Selain Sepasang Manusia Sesat ingin menguasai pulau dan merebut pusaka leluhur kami, di pulau ini juga tersimpan harta karun. Karena itu pulau ini disebut sebagai Pulau Mimpi. Apakah kira-kira Kakang tidak dapat menduganya?" Rara Ningrum balik bertanya sambil menatap Panji dengan sepasang mata indahnya.
Pendekar Naga Putih kembali menekan perasaannya ketika melihat kilatan aneh di mata gadis cantik itu. Hati pemuda itu kian cemas ketika melihat sikap aneh yang tersirat dari sepasang mata Rara Ningrum. Dan, cahaya itu selalu membuat hatinya gemas. Sehingga, Panji terpaksa menekan gejolak yang bergolak di dadanya, sebelum menjawab pertanyaan Ningrum.
"Mmm..., mungkin pulau ini menyimpan sesuatu yang sangat berharga. Tapi, entahlah...? Aku tidak bisa menebaknya. Satu hal yang mungkin membuat tempat ini dinamakan Pulau Mimpi karena keindahannya. Dan, aku sudah menyaksikan semua itu ketika melintasi Hutan Dandara. Selama aku bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya, baru Hutan Dandara itulah yang demikian indah dan mempesona. Sangat menyenangkan sekali kalau dapat tinggal dan membangun sebuah pondok di sana," sahut Panji yang mengalihkan pandang matanya ke arah langit-langit kamar. Jelas, ia tidak sanggup menatap sepasang mata Rara Ningrum.
"Tidak, bukan keindahan tempat ini yang membuat orang menyebutnya Pulau Mimpi. Tapi, karena harta karun yang ada di dasar laut yang membuat pulau ini menjadi incaran orang-orang berhati serakah," bantah Rara Ningrum masih berteka-teki. Sepertinya gadis cantik itu sengaja ingin membuat hati Panji penasaran dengan keterangannya yang serba sedikit itu.
"Apa itu, Ningrum...?" desak Panji yang merasa penasaran.
"Butiran mutiara, Kakang. Biji-biji putih yang mengeluarkan sinar mempesona itulah yang membuat orang-orang serakah sering mendatangi pulau ini, dan merebutnya dari tangan ayah. Sedangkan ayah sendiri tidak begitu tertarik dengan kekayaan alam pulau ini. Karena beliau bukanlah orang serakah," jelas Rara Ningrum sambil menatap wajah Panji lekat-lekat. Sepertinya gadis cantik itu ingin mengetahui apakah sahabat barunya ini tertarik dengan harta karun itu atau tidak.
"Ohhh..., jadi itu yang menyebabkan tempat ini dinamakan Pulau Mimpi. Tidak aneh! Di dunia ini banyak orang yang hidupnya hanya mengejar harta dan kedudukan. Dan, itu merupakan suatu hal yang biasa saja," ujar Panji seraya menghembuskan napasnya.
Setelah mendengar keterangan gadis itu, Pendekar Naga Putih semakin mengerti mengapa Sepasang Manusia Sesat tidak memperbolehkan orang-orang asing mendatangi pulau ini. Dan, ia pun maklum dengan perbuatan tokoh sesat yang mengejar dan ingin membunuhnya itu. Rupanya benda-benda itu yang membuat Sepasang Manusia Sesat menjaga pulau ini secara ketat. Tiba-tiba saja, Panji memberi isyarat kepada Rara ningrum.

* * * * *



«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»

Rara Ningrum yang semula tidak mengerti dengan kelakuan Panji, menjadi heran. Namun, isyarat pemuda itu tetap diikutinya. Dan setelah telinganya menangkap suara langkah kaki beberapa orang mendatangi tempat itu, baru ia mengerti. Hatinya semakin kagum setelah mengetahui kepekaan pendengaran pemuda berjubah putih itu. Sambil duduk termenung dalam sikap semula, Rara Ningrum membiarkan pikirannya melayang ke arah pemuda tampan yang baru saja dikenalnya itu. Dan, ia tahu betul penyebab perasaan aneh yang membuat hatinya menjadi gundah. Rara Ningrum sadar kalau Panji telah membuat hatinya tertarik. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, sikap pemuda itu sangat sopan dan menimbulkan rasa hormat.
"Ah, Kakang Panji memang seorang pemuda yang hebat, dan tidak ada bandingannya. Tentu banyak gadis yang tertarik dengan sikap maupun ketenangannya. Hhh..., apakah aku sudah tertarik kepadanya...?" desah hati Rara Ningrum yang merasakan getaran aneh bila bertatapan dengan pemuda itu. Namun ia belum yakin sepenuhnya. Sebab, baginya sulit menerka apa yang terkandung dalam hati pemuda itu.
Suara derit daun pintu yang terkuak dari luar membuat gadis cantik itu menengadahkan kepalanya sejenak. Kemudian kembali menunduk ketika melihat benda yang disodorkan penjaga, melalui celah-celah pintu yang hanya terbuka sedikit. Setelah itu, pintu kembali tertutup. Dan, terdengar suara langkah kaki penjaga itu yang menjauh.
"Mereka hanya mengirim makanan untuk kita, Kakang," ujar Rara Ningrum memberitahukan Panji sambil menggeser tubuhnya mendekati pemuda itu.
"Apakah selama ini mereka sering mengirimkan makanan seperti itu untukmu...?" Tanya Panji yang segera bangkit dan mengambil makanan itu. Kemudian disodorkannya kepada Rara Ningrum yang segera menyambut tanpa ragu.
"Begitulah, Kakang. Mungkin sekarang hari sudah siang. Hhh..., benar-benar membosankan, setiap hari selalu terkurung dalam ruangan yang pengap ini," desah Rara Ningrum sambil tangannya mengambil minuman yang diletakkan Panji di samping kanan gadis cantik itu.
Panji tidak menanggapi ucapan Rara Ningrum. Saat itu makanan dan minuman yang disuguhkan untuk mereka tengah ditelitinya. Kening pemuda itu berkerut ketika mencium adanya sesuatu yang aneh dalam makanan dan minuman itu. Meskipun ia tidak dapat langsung menduga jenis racun yang dicampurkan ke dalam hidangan itu, namun Panji mengetahui kalau semua hidangan itu telah mengandung racun. Untuk dapat mengetahui jenis racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman itu, Panji mencicipinya setelah terlebih dahulu mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memang mampu melenyapkan segala jenis racun.
Setelah minuman itu mengalir ke dalam kerongkongannya, barulah Panji mengetahui jenis racun yang dicampur ke dalam makanan dan minuman itu. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak mencegah Rara Ningrum yang menyantap makanan itu tanpa curiga sedikit pun. Sebab, ia ingin mengetahui maksud Sepasang Manusia Sesat itu mencampurkan racun ke dalam makanan dan minuman. Karena itu dibiarkannya saja Rara Ningrum terkena pengaruh racun, yang diketahuinya tidak akan membawa kematian.
Diam-diam Panji merasa bersyukur, kedua tokoh sesat yang menawan mereka tidak mengetahui kalau dirinya memiliki ilmu pengobatan. Pemuda berjubah putih itu tersenyum membayangkan keterkejutan mereka jika mengetahui racun itu tidak mempengaruhi dirinya. Dan Pendekar Naga Putih ingin membuat kejutan itu!
"Mengapa kau tidak makan, Kakang? Apakah kau takut makanan dan minuman ini dicampuri racun? Hm.... Percuma kau memiliki kekuatan sakti apabila masih merasa takut dengan racun...," goda Rara Ningrum ketika melihat Panji tidak menyentuh makanan atau minuman sedikit pun.
"Nantilah, Ningrum. Aku belum merasa Tapi, kalau kurang, boleh kau ambit bagianku ini... ujar Panji menawarkan, sambil mengangsurkan makanannya kepada gadis itu.
"Kurang ajar! Apa kau pikir perutku ini mengembang seperti balon? Aku tidak serakus seperti yang kau sangka, Kakang," maki Rara Ningrum.
Meskipun marah, namun dari sinar matanya, Panji tahu kalau Rara Ningrum sama sekali tidak merasa tersinggung. Panji tertawa kecil ketika melihat mulut gadis cantik itu cemberut. Malah perbuatan gadis itu semakin membuat wajahnya menarik dan memikat.
"Gila...!" desis hati Panji sambil mengalihkan pandangannya, dan berpura-pura memperhatikan ruangan yang mengurung mereka.
Sambil bangkit dan melangkah pelan, Panji menekan getaran aneh saat beradu pandang dengan Rara Ningrum. Bersamaan dengan itu, melintas bayangan kekasihnya. Kerinduan yang menyesakkan dadanya selalu muncul bila memandang bola mata putri Ki Raga Baya itu. Sehingga, hati Panji menjadi resah dan tidak bisa bersikap tenang.
Sebenarnya, apa yang dirasakan Panji tidak akan pernah terjadi apabila nasib kekasihnya diketahui. Dan, ada perasaan bersalah yang selalu menghantui batinnya. Karena itu seBap kali matanya menatap lekat lekat bola mata Rara Ningrum, pemuda berjubah putih ini menjadi gelisah. Sepertinya ia melihat tatapan Kenanga dalam sinar mata Rara Ningrum.
"Ohhh..." Tiba-tiba saja Rara Ningrum merasakan pandangannya berkunang-kunang setelah menghabiskan makanannya. Gadis cantik itu mengeluh sambil memijat-mijat keningnya yang terasa pusing. Sedangkan wajahnya tampak mulai kemerahan. Titik-titik keringat pun mengalir dari keningnya. Jelas, racun yang dicampur ke dalam makanan itu sudah mulai bekerja.
Panji sendiri yang sudah menduga akibat yang bakal dihadapi Rara Ningrum berpura-pura kaget dan panik Kemudian pemuda itu melangkah terburu- buru mendekati gadis itu. Pemuda berjubah putih itu tidak merasa khawatir sedikit pun. Sebab, racun itu tidak berbahaya dan hanya pembius yang dapat menimbulkan rangsangan birahi.
"Ohhh..., mengapa udara tiba-tiba menjadi panas sekali, Kakang? Apakah. , apakah kau tidak merasakannya?" desah Rara Ningrum yang mulai menggeliat-geliat bagaikan orang kepanasan. Sedangkan wajahnya semakin memerah, dan bibirnya mulai membentuk senyuman yang penuh rangsangan.
Meskipun demikian, Panji tetap saja tidak berusaha untuk menolong Rara Ningrum dari penderitaannya. Sebab menurut perkiraannya, tidak lama lagi pasti ada orang yang datang ke tempat itu.vDugaan Panji ternyata tidak meleset! Tak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi tempat itu. Cepat-cepat Panji mengerahkan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'nya. Sehingga, keadaannya pun tidak berbeda dengan apa yang dialami Rara ningrum.
Terdengar suara derit pintu yang terbuka, disusul masuknya enam orang lelaki kasar. Sedangkan dibelakangnya, tampak empat orang lelaki kasar berwajah bengis yang berjuluk Lima Setan Hitam. Empat dari lima lelaki berpakaian serba hitam itu pernah berhadapan dengan Panji di dalam Hutan Dandara.
"Hm.... Cepat angkat kedua orang itu! Bawa keduanya menghadap ketua!" terdengar perintah yang keluar dari salah seorang lelaki bengis itu. Wajahnya yang tampak kehitaman menjadi semakin hitam ketika melihat wajah Panji. Sepertinya ia masih menyimpan dendam terhadap pemuda yang telah menewaskan salah seorang rekannya itu.
Tanpa diperintah dua kali, enam orang lelaki bergegas mendekati Panji dan Rara Ningrum yang tengah menggelepar dengan peluh meleleh dan membasahi pakaian mereka. Namun, sebelum mereka sempat menyentuh tubuh kedua orang itu, terdengar sebuah bentakan yang menghentikan gerakan ke- enam lelaki kasar itu.
"Tunggu...!" seru salah seorang dari Lima Setan Hitam.
"Ada apa lagi, Adi...?" tegur lelaki kekar berwajah kehitaman yang merasa tidak senang dengan kelakuan adik seperguruannya.
"Hm.... Kita harus menotok lumpuh dulu tubuh mereka sebelum membawanya. Sebab, aku khawatir kalau pemuda itu hanya berpura-pura saja, Kakang," sahut lelaki berkumis lebat itu sambil menahan langkahnya. 
"Ah, kau bodoh sekali, Adi. Bukankah kita semua telah tahu, pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih ini sudah dilumpuhkan oleh ketua kita. Sedangkan obat yang kini berada dalam tubuhnya telah membuatnya tak berdaya. Meskipun kelumpuhannya telah terbebas, namun pikirannya tidak dapat berfungsi dengan baik. Sebab, pengaruh obat perangsang itu, menurut ketua, sangat kuat sekali. Sehingga korbannya tidak dapat berpikir jernih," jelas lelaki kekar berwajah kehitaman itu.
Mendengar penjelasan itu, lelaki berkumis tebal yang semula hendak menotok Panji dan Rara Ningrum, kembali melangkah mundur setelah memerintahkan untuk mengangkat kedua tubuh yang tengah tergeletak kepayahan itu. Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, keenam orang lelaki kasar itu bergegas membawa tubuh Panji dan Rara Ningrum ke luar. Tak berapa lama kemudian, tempat itu kembali sunyi.

* * * * *




"Ketua, kami Lima Setan Hitam datang menghadap...," ujar lelaki kekar bermuka kehitaman, tnewa tali tiga orang rekannya.
"Hm.... Bagus... Cepat bawa kereta. Kita segera berangkat ke tempat tua bangka yang keras kepala itu. Ingin kulihat, apakah ia masih dapat bertahan melihat putrinya berzinah di depan matanya dengan seorang pemuda asing," dengus lelaki tinggi besar berwajah bengis itu sambil bergerak bangkit dari kursinya.
"Hi hi hi...! Aku yakin kali ini ia akan menyerah, Kakang. Dan, pusaka pulau ini akan segera menjadi milik kita," timpal wanita cantik berwajah lembut, seraya memperdengarkan suara tawanya yang melengking berkepanjangan.
Sepeninggal Lima Setan Hitam, sepasang suami istri itu pun segera melangkah lebar dari dalam ruangan megah yang lebar itu. Mereka terus berjalan menuju sebuah kereta kuda, yang telah siap didepan halaman gedung itu. Setelah berada di dalam kereta, lelaki tinggi besar yang berjuluk Raja Iblis Pantai Timur itu mengulapkan tangannya. Sebentar kemudian, kereta kuda itu bergerak meninggalkan halaman gedung. Di belakangnya menyusul sebuah kereta kuda lain, tempat Panji dan Rara Ningrum berada.
Saat itu matahari sudah semakin bergeser. Sinarnya memancar garang menjilati permukaan bukit. Namun, dua kereta kuda itu terus bergerak maju tanpa mempedulikan pariasnya sengatan matahari yang terik siang itu. Laju kereta yang semula cepat, mulai agak lambat ketika melalui jalan berbatu dan berbelok-belok. Kemudian kedua kereta kuda itu berhenti didepan mulut gua yang kiri kanannya dijaga dua orang kakek kembar berpakaian merah dan hitam.nKedua penjaga berwajah sama itu membungkuk hormat ketika Sepasang Manusia Sesat keluar dari dalam kereta pertama.
"Salam, Ketua...," ucap keduanya dengan gerakan-gerakan tangan yang terlihat aneh.
"Hm.... Bagaimana keadaan tua bangka keras kepala itu, Siluman Kembar Teluk Merah?" Tanya Baja Iblis Pantai Timur, dingin.
"Ampun, Ketua, Ki Raga Baya tetap tidak mau menunjukkan harta pusaka leluhurnya. Sepertinya ia lebih baik mati daripada menunjukkan tempat penyimpanan harta itu," jawab kakek berpakaian merah, tanpa mengangkat kepalanya.
"Bawa tua bangka itu keluar! Aku ingin tahu, apakah kali ini ia masih tetap tidak mau membuka mulutnya?" Dengus Raja Iblis Pantai Timur, seraya membalikkan tubuhnya dan melangkah ke arah sebuah bangunan sederhana yang hanya beberapa tombak letaknya didepan mulut gua. Sedangkan Iblis Cantik Berwajah Malaikat, me- langkah lebar menuju kereta kuda tempat Panji dan Rara Ningrum berada.
"Seret pemuda dan gadis itu keluar! Bawa mereka ke pondok, cepat!" perintah wanita berhati iblis itu kepada Lima Setan Hitam.
Tanpa diperintah dua kali, Lima Setan Hitam segera mematuhi perintah Iblis Cantik Berwajah Malaikat. Dengan pandangan bengis, iblis Cantik Berwajah Malaikat mengiringi anak buahnya yang membawa tubuh Panji dan Rara Ningrum. Jelas sekali adanya sorot kebencian dari sepasang mata wanita cantik berhati Iblis itu. Entah apa yang menyebabkan wanita cantik itu membenci Panji. Tubuh Panji dan Rara Ningrum dilemparkan begitu saja di halaman depan pondok. Sehingga, keduanya merintih akibat bantingan yang cukup keras itu. Meskipun demikian, mereka tetap memejamkan mata. Karena keduanya masih dalam keadaan setengah sadar.
"Hm.... Sebentar lagi kita akan menyaksikan sebuah pertunjukan yang langka dan menarik. Ha ha ha...! Betapa akan geger dunia persilatan bila berita tentang berzinahnya Pendekar Naga Putih dengan putri Majikan Pulau Mimpi, tersiar hingga ke daratan besar. Tentu keadaan akan ramai sekali...," ujar Raja Iblis Pantai Timur dengan suara parau dan berat.
"Benar, Kakang. Dan, yang lebih menggembirakan, nama kita tentu akan semakin disegani dan ditakuti kaum rimba persilatan. Sebab, kita berdualah yang sanggup membuat pendekar muda itu tidak berdaya," sambut Iblis Cantik Berwajah Malaikat dengan suaranya yang tinggi dan merdu. Jelas, Sepasang Manusia Sesat itu benar-benar memiliki hati yang keji dan tak berperasaan. Hal itu tercermin dari rencana mereka yang jahat dan kotor.
"Hm.... Ikat tua bangka tak tahu diuntung itu ke batang pohon! Biar dia dapat menyaksikan bagaimana nikmatnya melihat pertunjukan yang akan berlangsung di depan matanya," perintah Raja Iblis Pantai Timur, begitu melihat seorang lelaki setengah baya keluar dari dalam gua. Wajah dan pakaiannya kusut dan tak karuan.
Sedangkan di kanan-kirinya terdapat dua orang kakek kembar bertubuh tinggi kekar. Mereka selalu dipanggil dengan julukan Siluman Kembar Teluk Merah. Tanpa banyak tanya lagi, kakek kembar itu pun segera melaksanakan perintah ketuanya. Dengan sigap, keduanya mengikatkan rantai-rantai baja pada kedua tangan dan kaki orang tua itu ke batang pohon. Kemudian, keduanya segera berdiri di kiri-kanan lelaki setengah baya itu yang tak lain adalah Ki Raga Baya.
"Hm.... Kekejaman apa lagi yang akan kau tunjukkan kepadaku, Manusia Sesat? Apakah masih belum cukup kau bunuh putra dan istriku?" dengus lelaki setengah baya itu seraya menatap Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah Malaikat dengan pandangan mata tajam dan penuh ejekan.
"Dengar, meskipun kali ini kau akan menyiksaku, tetap tidak akan kuberitahukan di mana tempat harta leluhurku! Hmh...! Usahamu akan sia-sia, Manusia Keji!"
"Ha ha ha...! Kita lihat saja sebentar lagi, Raga Baya! Dan, buktikanlah ucapanmu itu!" sahut Raja Iblis Pantai Timur tertawa terbahak-bahak Sedikit pun hatinya tidak marah meskipun Ki Raga Baya melontarkan makian yang menyakitkan telinganya.
Ki Raga Baya mengalihkan pandangannya ke arah dua sosok tubuh yang tergeletak tak berdaya di halaman pondok itu. Sepasang matanya menyipit, berusaha mengenali kedua sosok tubuh itu.
"Ningrum...? Rupanya kau telah jatuh pula ke tangan manusia culas itu. Hhh.... Sepertinya tidak ada harapan lagi bagiku untuk dapat merebut pulau ini dari tangan Sepasang Manusia Sesat. Hm... Siapakah pemuda yang bersama Ningrum itu? Dan, mengapa manusia-manusia keji itu menawannya? Demikian pentingkah arti pemuda itu bagi mereka?" gumam Ki Raga Baya seraya mengerutkan keningnya ketika melihat sosok berjubah putih, yang tergeletak di dekat tubuh putrinya. Karena tidak mengenal pemuda itu, maka Ki Raga Baya tidak lagi memperhatikannya. Hanya sosok Ningrum yang dipandangi-mnya dengan penuh iba.
"Hm.... Kau tentu heran melihat pemuda itu, bukan?" ujar Raja Iblis Pantai Timur kepada Ki Raga Baya.
"Ketahuilah, Tua Bangka! Pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih yang namanya telah mengguncangkan daratan besar. Dan, kau segera akan melihat sebuah pertunjukan yang tidak pernah terlintas dalam pikiran tuamu itu. Atau mungkin kau dapat menduganya.?"
Mendengar pemuda yang bersama putrinya itu adalah Pendekar Naga Putih, Ki Raga Baya sempat berubah wajahnya. Memang, julukan itu sudah sampai ke Pulau Mimpi ini. Hal itu tidak aneh, karena pada masa ia masih menguasai pulau, banyak pedagang-pedagang dari daratan besar datang mengunjungi Pulau Mimpi dengan kapal-kapal dagang. Kedatangan mereka karena tertarik dengan mutira Pulau Mimpi, yang terkenal indah dan bermutu tinggi. Sehingga, hampir tiap bulan kapal-kapal besar singgah di pulaunya untuk menukar mutiara dengan barang-barang kebutuhan penduduk Pulau Mimpi. Dari para pedagang itulah Ki Raga Baya pernah mendengar tentang munculnya Pendekar Naga Putih yang telah mengguncangkan tokoh-tokoh sesat di daratan besar.
"Heran, mengapa pendekar muda itu sampai berada di pulau ini? Sepengetahuanku, Sepasang Manusia Sesat itu tidak pernah memperbolehkan orang luar memasuki pulau ini sejak mereka berkuasa. Sedangkan pedagang-pedagang yang biasanya mengunjungi pulau ini telah mereka bantai secara kejam. Lalu, dengan apa pemuda yang terkenal sakti itu sampai di pulau ini? Dan, bagaimana ia bisa tertawan...?" desah hati Ki Raga Baya yang merasa heran dengan keberadaan Pendekar Naga Putih di pulau itu. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran laki-laki setengah baya itu kalau keberadaan Pendekar Naga Putih di pulau ini karena terdampar.
"Lalu, apa hubungannya pendekar muda itu denganku, Raja Iblis Pantai Timur? Dan, hendak kau apakan dia...?" Tanya Ki Raga Baya yang merasa tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan dilakukan manusia sesat itu terhadap putrinya dan Pende- kar Naga Putih.
"Ha ha ha...! Bersabarlah, Raga Baya. Pengaruh obat yang mereka minum baru sampai pada tahap pertama. Dan, pada tahap selanjutnya, baru bisa kau saksikan dengan mata kepalamu. Mereka akan berzinah didepan matamu yang lamur itu. Cepatlah ambil keputusan, sebelum kau menyaksikan pertunjukan yang pasti sangat menarik itu," ujar Raja Iblis Pantai Timur tanpa meninggalkan suara tawanya yang lantang menggelegar.
"Biadab! Keji sekali rencanamu, Manusia Sesat! Kau..., kau benar-benar binatang kotor yang menjijikkan...!" teriak Ki Raga Baya menjadi pucat wajahnya demi mendengar ancaman Raja Iblis Pantai Timur itu. Sungguh tidak diduganya sama sekali kalau pikiran tokoh sesat itu sampai sedemikian keji dan kotor.
Dengan wajah pucat dan dada bergelombang menahan marah, Ki Raga Baya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Hati orang tua itu menjerit dan hampir tidak sanggup untuk menghadapi ujian yang semakin berat mendera jiwanya itu. Sepasang matanya nampak basah oleh genangan air mata, yang berusaha ditahannya agar tidak jatuh.
"Ah, Ningrum..... Betapa malang nasibmu, Anakku. Kalau saja kau dalam keadaan sadar, tentu kita akan dapat berbicara untuk merundingkan hal ini. Tapi, iblis itu ternyata sangat licik! Ia sengaja membuatmu pingsan dan membiusmu dengan racun pembangkit birahi. Sehingga, keputusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Ah... apa yang harus kulakukan...?" desis hati Ki Raga Baya merintih.
Sejenak orang tua itu melepaskan pandangannya ke arah sosok Pendekar Naga Putih. Rasa iba perlahan menyelinap di hatinya, tatkala melihat kalau pendekar muda itu harus tersiksa karena dirinya. Disadarinya betapa akan tersiksanya hati pemuda itu bila sadar, dan mengetahui apa yang telah dilakukannya. Sebuah perbuatan keji yang dikutuk orang banyak. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu akan menjadi gila. Karena sebagai seorang pendekar besar dan namanya dikagumi seluruh tokoh-tokoh persilatan dan masyarakat awam, tentu peristiwa ini akan sangat menyiksa batinnya.
Ki Raga Baya sedih membayangkan peristiwa yang akan menimpa Pendekar Naga Putih. Hati kecilnya yakin setelah peristiwa ini, Sepasang Manusia Sesat akan melepaskan mereka. Kemudian, menyebarluaskan peristiwa aib itu kepada kaum persilatan. Dan, hal itu tentu akan membuat Rara Ningrum serta Pendekar Naga Putih menderita batinnya. Itulah yang membuat orang tua itu sedih. Sehingga, Ki Raga Baya memutuskan untuk menunjukkan tempat penyimpanan harta pusaka leluhurnya. Baginya keputusan itu lebih baik ketimbang penderitaan yang akan dihadapi Rara Ningrum dan Pendekar Naga Putih.

* * * * *



«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»

"Bagaimana, Ki Raga Baya...? Cepatlah! Waktumu hampir habis!" desak Raja Iblis Pantai Timur tak sabar. Senyuman licik di wajah tokoh sesat itu mengembang setelah melihat perubahan sikap Ki Raga Baya. Dan, Raja Iblis Pantai Timur sudah dapat menebak keputusan yang akan diambil Ki Raga Baya.
"Raja Iblis Pantai Timur! Benarkah kau akan melepaskan mereka bila tempat penyimpanan harta itu kutunjukkan?" Tanya Ki Raga Baya dengan nada ragu. Hati kecilnya memang tidak mempercayai manusia sesat itu.
"Jangan takut. Begitu kau antarkan aku ke tempat penyimpanan harta leluhurmu, mereka berdua langsung kubebaskan. Maka, janganlah kau membuang-buang waktu lagi. Sebab, sebentar lagi mereka akan segera tersadar dari keadaan itu. Lalu, kejadian selanjutnya bisa kau bayangkan sendiri. Mereka akan saling terjang bagaikan binatang-binatang kelaparan. Apakah kau memang ingin menyaksikannya...?" pancing Raja Iblis Pantai Timur.
"Hm..., kalau begitu, cepat kau berikan obat penawarnya kepada mereka, dan aku akan mengantarkanmu begitu putriku dan Pendekar Naga Putih dibebaskan," sahut Ki Raga Baya yang wajahnya semakin pucat karena bayangan-bayangan buruk menari-nari di benaknya. Sehingga, peluh dingin menetes membasahi wajah dan tubuhnya.
"Tidak bisa, Raga Baya! Kau berada di pihak yang kalah! Oleh karena itu, akulah yang berhak menentukan...!" bentak Raja Iblis Pantai Timur. Hatinya geram melihat orang tua itu masih ragu-ragu untuk mengatakannya.
Ki Raga Baya terdiam ketika mendengar bentakan Raja Iblis Pantai Timur. Dan, ia menyadari akan ke adaannya yang memang tidak bisa untuk menekan lawan. Setetah termenung sambil menarik napas berkali-kali, orang tua itu kembali mengangkat wajahnya dan menatap Raja Iblis Pantai Timur.
"Baiklah, aku mengalah...," sahut Ki Raga Baya tertunduk sedih. Suaranya terdengar demikian lemah dan hampir tidak tertangkap telinga.
"Kalau begitu, tunjukkan tempat itu sekarang...," kembali Raja Iblis Pantai Timur mendesak.
"Bagaimana aku dapat menunjukkannya kalau tangan dan kakiku masih terbelenggu seperti ini..," kilah Ki Raga Baya gusar.
"Hm.... Bebaskan orang tua itu...!" perintah lelaki tinggi besar itu kepada Siluman Kembar Teluk Merah yang segera melaksanakannya.
"Manusia keji! Kau memang lebih pantas menjadi binatang daripada seorang manusia...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar yang mengejutkan semua orang. Dan, rasa kaget mereka semakin menjadi-jadi ketika melihat orang yang mengeluarkan suara bentakan dahsyat itu. Sosok tubuh itu terlapis kabut berwarna putih keperakan dan lapisan sinar kuning keemasan. Hati mereka tergetar dengan mata terbelalak lebar. Dan untuk beberapa saat lamanya, semua orang yang berada di tempat itu tertegun dengan mulut ternganga tak percaya.
"Heaaat..!" Suara teriakan dari mulut sosok tubuh aneh itu dibarengi dengan ayunan tangannya.
Wusss...!
Terdengar suara bercuitan keras ketika dari tangan sosok tubuh itu meluncur pukulan yang mengandung hawa panas luar biasa!
Blarrr..."
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah Malaikat cepat tersadar. Sepasang Manusia Sesat itu langsung melompat berjumpalitan menghindari pukulan dahsyat itu. Sehingga, pondok yang mereka tempati berderak roboh. Dan sebelum semuanya tersadar akan apa yang terjadi, sosok tubuh aneh yang tak lain dari Pendekar Naga Putih itu telah melesat setelah terlebih dahulu menyambar tubuh Rara Ningrum.
Siluman Kembar Teluk Merah yang melihat sosok tubuh aneh tengah meluncur ke arahnya, cepat melompat mundur dengan wajah ngeri. Sehingga, mereka melupakan Ki Raga Baya karena ingin menyelamatkan diri.
Blarrr! Blarrr!
Kembali terdengar dua kali ledakan dahsyat yang seolah-olah akan mengguncangkan tempat itu. Untung Siluman Kembar Teluk Merah telah bertindak cepat dengan melemparkan tubuhnya ke belakang beberapa kali. Sehingga, keduanya selamat dari pukulan maut Pendekar Naga Putih.
"Cepat Ki...!" seru Panji sambil menyambar lengan Ki Raga Baya dan segera membawanya lari bagaikan terbang.
"Bedebah! Kejar mereka...!" Raja Iblis Pantai Timur berteriak gusar sambil melompat melakukan pengejaran. Namun, para pengejar itu terbelalak dan pucat wajahnya ketika melihat buruannya berbalik dan melontarkan pukulan-pukulan jarak jauh.
Darr! Darrr...!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat. Dan disusul terlontarnya empat sosok tubuh akibat terlanggar angin pukulan berhawa panas menyengat. Keempat tubuh itu langsung ambruk dan tewas dengan kulit seperti terbakar.
"Gila...!" umpat salah seorang dari Siluman Kembar Teluk Merah, yang menyaksikan korban akibat pukulan maut itu. Sehingga, mereka melangkah mundur dengan wajah pucat.
Sedangkan Panji kembali menyambar tubuh Ki Raga Baya dan Rara Ningrum. Kemudian cepat melesat dengan kecepatan kilat. Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu lenyap ditelan kelebatan semak dan pepohonan.
"Setan! Cari dan bunuh mereka...!" umpat Raja Iblis Pantai Timur. Hati tokoh sesat itu gusar melihat kejadian yang sama sekali tidak disangkanya itu.
Sebenarnya, kalau saja Sepasang Manusia Sesat dan para pengikutnya dapat bersikap lebih tenang, belum tentu Panji dapat meloloskan diri dari tempat itu. Apalagi dengan membawa tubuh Rara Ningrum dan Ki Raga Baya. Tetapi, orang-orang sesat itu telah terkesima dan gentar dengan pancaran Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga Sakti lnti Panas Bumi' yang ditunjukkan Panji secara begitu mendadak, sehingga membuat lawannya panik dan ngeri. Lagi pula, gebrakan-gebrakan yang dilontarkan Panji telah membuat mereka semakin kalut, dan tidak sempat mengeluarkan kepandaiannya. Akibatnya Pendekar Naga Putih dengan mudah dapat meloloskan diri dari.

* * * * *




Setelah merasa yakin cukup jauh dari jangkauan para pengejarnya, Panji memperlambat larinya. Kemudian berhenti di dekat sebuah semak belukar. Dengan kekuatan tenaga sakti yang dimilikinya, Panji melepaskan rantai baja yang masih melingkar di tangan dan kaki Ki Raga Baya. Sehingga, orang tua itu dapat menarik napas lega.
"Bagaimana keadaanmu, Ki? Apakah kau siap bertarung? Sebab, saat ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merebut kembali Pulau Mimpi dari tangan mereka. Dengan menggempur mereka di tempat ini, tentu saja akan lebih ringan. Bukankah tempat ini cukup jauh dari gedung kediamanmu? Tentu mereka tidak bisa menghubungi para pengikutnya yang berada di gedung itu," ujar Panji setelah membebaskan orang tua itu dari belenggu.
"Meskipun tenagaku belum pulih seluruhnya, rasanya aku mampu untuk menghadapi mereka. Hanya saja, racun yang mereka jejalkan kepadaku, membuat dadaku terasa nyeri bila mengerahkan tenaga terlalu banyak. Jadi, aku tidak bisa memastikan, apakah aku mampu bertahan dalam pertempuran atau tidak," sahut Ki Raga Baya dengan wajah cemas.
Mendengar keterangan itu, Pendekar Naga Putih tidak mau membuang-buang waktu. Karena buntalan pakaian serta obat-obatannya telah hilang ketika ia hanyut di laut, maka segera diambilnya tindakan cepat. Dimintanya Ki Raga Baya memusatkan pikiran dan mengosongkan tenaga dengan sikap seperti orang bersemadi. Dan, melalui punggung orang tua itu, Panji memindahkan tenaga sakti yang berasal dari Pedang Naga Langit ke dalam tubuh Ki Raga Baya. Hanya itulah satu-satunya jalan yang terpikir olehnya.
Setelah Panji melepaskan kedua telapak tangannya dari punggung orang tua itu, tampak tubuh Ki Raga Baya bergetar hebat. Tak berapa lama kemudian, terbentuklah lapisan sinar keemasan yang menyelimuti sekujur tubuh orang tua itu!
Kejadian itu tidak berlangsung lama. Tenaga sakti yang berasal dari Pedang Naga Langit segera mengusir dan menghilangkan semua racun yang mengendap di dalam tubuh Ki Raga Baya. Sehingga, wajahnya yang semula pucat, nampak mulai kemerahan. Pertanda kesehatan orang tua itu sudah mulai pulih.
"Ahhh..., benar-benar tak dapat kupercaya! Bagaimana mungkin aku dapat sembuh sedemikian cepat? Ilmu apakah yang kau miliki, Pendekar Naga Putih...?" Tanya Ki Raga Baya yang menatap Panji dengan wajah berseri gembira.
"Lain waktu aku akan menceritakannya, Ki. Sekarang yang penting, kita harus melenyapkan pengaruh racun pembius yang mengendap dalam tubuh Ningrum," ujar Panji yang segera membungkuk dan membalikkan tubuh Rara Ningrum. Kemudian kembali ditempelkan kedua telapak tangannya ke punggung gadis cantik yang mulai sadar itu.
Namun, begitu 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' merasuk ke dalam tubuh Rara Ningrum, kontan tubuh langsung itu bergetar, meskipun tidak sehebat Ki Raga Baya. Sebab, racun yang berada dalam tubuh gadis itu jauh lebih ringan ketimbang yang mengendap dalam tubuh ayahnya. Sehingga, pengobatannya pun tidak memakan waktu yang lama.
Pendekar Naga Putih segera menarik telapak tangannya, ketika merasakan aliran tenaga sakti yang dikerahkannya telah mengalir balik. Pemuda itu menarik napas lega ketika melihat wajah Rara Ningrum perlahan membaik kembali. Sedangkan warna merah yang menyelimuti wajah gadis itu sudah mulai memudar. Pertanda racun dalam tubuh gadis itu telah lenyap oleh tenaga sakti yang berasal dari Pedang Naga Langit.
"Untuk sementara Aki tunggulah di sini menjaga Rara Ningrum. Biar aku yang mencari Sepasang Manusia Sesat untuk membuat perhitungan," pinta Panji.
Tanpa menunggu jawaban dari Ki Raga Baya, tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat meninggalkan tempat itu. Majikan Pulau Mimpi itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan hati penuh kagum. Kini ia benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kesaktian dan sikap pendekar muda itu. Dan semua cerita yang didengarnya, ternyata memang tidak terlalu berlebihan.
"Hm.... Pantas saja tokoh-tokoh sesat di daratan besar menjadi kalang-kabut! Kepandaian pemuda itu memang luar biasa sekali. Entah sudah sampai di mana tingkat ilmu yang dicapainya? Rasanya sulit untuk mengukur kepandaian pemuda perkasa itu. Gumam Ki Raga Baya yang masih memandang ke arah lenyapnya tubuh Panji.
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan Sepasang Manusia Sesat. Sebab, sepasang suami istri itu pun tengah mencarinya. Senyum di bibir Panji mengembang ketika melihat kedua orang itu tengah berlari menuju ke arahnya.
"Hm... Hendak ke manakah kalian berdua...? Adakah yang bisa kubantu, Ningrum...?" sapa Panji Sengaja. Iblis Cantik Berwajah Malaikat dipanggilnya dengan sebutan 'Ningrum'. Karena saat pertama kali bertemu, wanita licik itu mengaku bernama Rara Ningrum untuk mengelabui Panji.
"Keparat! Bagaimana kau sampai bisa terbebas dari pengaruh racun-racunku, Pendekar Naga Putih? Bukankah sewaktu kusuguhi tuak beracun, kau meminumnya?" Tanya Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang merasa penasaran sekali melihat Panji ternyata masih segar bugar, tanpa ada tanda-tanda keracunan.
"Hm.... Tidak perlu kuterangkan. Jelasnya, aku memang memiliki semacam kekebalan terhadap segala jenis racun. Selain itu, aku pun dapat menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang keracunan. Jadi, kalau selama ini aku telah menipumu, Ningrum" ucap Panji tanpa senyum sedikit pun. Karena hati benar-benar marah dengan Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang telah menipunya.
"Keparat! Ilmu setan apa pun yang kau mainkan jangan harap Sepasang Manusia Sesat akan tunduk kepadamu! Sekarang tubuhmu akan kuremas karena telah membuat impianku berantakan!"
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh Cantik Berwajah Malaikat segera melesat ke Panji. Sepasang tangannya yang berkulit halus, bertubi-tubi melontarkan pukulan-pukulan maut yang berbahaya.
Panji tidak mau lagi main-main. Setelah melompat sejauh satu tombak ke belakang, pemuda itu langsung menyiapkan ilmu andalannya.
"Hmh...!"
Sambil menggereng lirih, Panji memutar-mutar tangannya didepan dada. Sadar kalau yang dihadapinya adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak bisa dipandang ringan, maka Panji langsung mengerahkan kedua tenaga saktinya. Karuan saja hal itu membuat Sepasang Manusia Sesat terkejut.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan yang sanggup membuat lawan tersentak, Panji meluruk dan menerjang kedua orang lawannya.
Bettt! Wuttt!
Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang membentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan yang menggiriskan. Sambaran angin panas dan dingin berganti-ganti memenuhi sekitar arena pertarungan. Sehingga, kedua lawannya semakin terkejut ketika merasakan hawa yang tidak menentu itu. Namun, biar bagaimanapun Sepasang Manusia Sesat itu memang tidak bisa dipandang ringan. Kepandaian keduanya telah dibuktikan dengan jatuhnya Pulau Mimpi ke tangan mereka. Maka, pertarungan ketiga tokoh sakti itu tentu saja seru dan mendebarkan.
Pertarungan yang dalam waktu singkat telah memakan empat puluh jurus itu, terlihat semakin bertambah sengjt. Sepasang Manusia Sesat sudah pula mengeluarkan ilmu gabungan mereka, yang dirasakan Panji sangat kuat pertahanannya. Sehingga, dalam jurus-jurus selanjutnya, sempat pula Pendekar Naga Putih dibuat kewalahan.
"Haiiit..!"
Seruan nyaring dari mulut Pendekar Naga Putih kembali terdengar saat melompat menghindar sambaran tangan Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang susul-menyusul membayangi tubuhnya. Sehingga, Panji semakin berhati-hati dalam menghadapi serangan wanita cantik itu. Sebab, kepandaian yang diperlihatkan kali ini, jauh berbeda dengan yang pernah disaksikannya ketika pertama kali bertemu di dalam Hutan Dandara. Meskipun hal itu sudah dapat diduganya, tetap saja ia terdesak. Ketika pertarungan menginjak jurus yang kesembilan puluh, Panji mengangkat tangan kanannya untuk memapaki hantaman telapak tangan Raja Iblis Pantai Timur yang mengancam lambungnya. Dan....
Plakkk!
"Aaah...!"
Raja Iblis Pantai Timur menjerit ketika telapak tangan Panji, yang mengeluarkan hawa panas seperti sengatan api, bertumbukan dengan tangannya. Tubuh tinggi besar ttu terjajar mundur hingga satu tombak lebih.
"Setan keparat..!" maki Raja Iblis Pantai Timur sambil menyeringai. Wajahnya semakin beringas melihat kulit lengannya yang terbentur tangan lawan melepuh. Kenyataan itu tentu saja membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi. Namun, sebelum lelaki tinggi besar itu kembali memasuki pertempuran, terdengar jerit kesakitan yang disusul terlemparnya tubuh Iblis Cantik Berwajah Malaikat kearahnya. Terpaksa Raja Iblis Pantai Timur mengurungkan niatnya. Dan, segera menyambut tubuh Istrinya dengan kedua telapak tangannya. Sehingga, tubuh molek itu tidak sampai terjatuh ketanah.
"Kau..., kau tidak apa-apa, Nyai...?" Tanya Raja Iblis Pantai Timur cemas ketika dilihatnya cairan merah menetes dari sudut bibir wanita cantik itu.
"Tidak, Kakang...," sahut Iblis Cantik Berwajah Malaikat sambil menyeringai menekan perutnya yang terkena pukulan tangan kiri Panji. Dan, pengaruh pukulan itu terlihat dengan menggigilnya tubuh molek dalam pelukan suaminya.
"Hm... Orang-orang seperti kalian memang tidak patut dibiarkan menikmati hidup lebih lama lagi. Sebab, hanya bencana dan keonaranlah yang kalian ciptakan dipermukaan bumi ini. Jadi, semestinya kalian dilenyapkan saja!" ujar Panji yang segera melangkah mundur beberapa tindak.
Sepasang Manusia Sesat mengerutkan keningnya ketika melihat lawannya memasang kuda-kuda menunggang kuda. Tangan kanan pemuda itu teracung perlahan dengan diserrai getaran halus. Sedangkan tangan kirinya tampak bergerak turun perlahan dengan telapak tangan terbuka seperti hendak menekan tanah. Jelas, Panji tengah menyiapkan jurus-jurus terampuh dari 'Ilmu Naga Sakti'nya.
"Haiiit..!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji melesat ke arah lawannya yang tengah terpaku bagai patung. Dengan gerakan berputar seperti baling-baling, Panji meluruk dan menerkam Sepasang Manusia Sesat itu. Sadar akan kedahsyatan serangan pemuda itu.
Raja Iblis Pantai Timur dan Iblis Cantik Berwajah Malaikat serentak merenggang untuk memecah perhatian lawan. Kemudian, dengan langkah-langkah lambat tapi kokoh, keduanya bersiap menyambut serangan Pendekar Naga Putih. Raja Iblis Pantai Timur yang tidak mengetahui keistimewaan jurus yang dipergunakan lawan, bergegas menggeser tubuhnya ke samping. Sambil bersiap untuk melontarkan pukulan balasan dengan kekuatan penuh.
Tapi, bukan main terperanjatnya hati lelaki tinggi besar itu ketika melihat tubuh Panji tetap meluncur dengan cakar-cakarnya dan menebarkan hawa maut. Bahkan, saking cepatnya gerakan putaran tangan pemuda itu, tidak sempat lagi Raja Iblis Pantai Timur menghindar. Sehingga, ia terpaksa berbuat nekat dan kembali siap memapaki serangan Panji. Namun, begitu cakar Pendekar Naga Putih bertumbukan secara aneh, lengan pemuda itu berputar dan langsung cengkeramannya bersarang di dada lelaki tinggi besar itu.
Brettt! Desss!
"Aaakh...!"
Terdengar teriakan ngeri dari Raja Iblis Pantai Timur ketika cengkeraman dan hantaman telapak tangan Panji telak bersarang di lambung dan dadanya. Sehingga, tanpa dapat ditahan lagi, tubuh lelaki kekar berotot itu terjungkal mencium tanah.
Karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi, maka Panji langsung mengirimkan tendangan maut pada saat lawannya tengah berdiri limbung. Maka....
Desss...!
"Aargh...!"
Raja Iblis Pantai Timur tersentak keras hingga dua tombak lebih. Tendangan yang menghantam telak dadanya itu, membuat gumpalan darah segar terlompat keluar dari mulutnya. Tubuh lelaki tinggi besar itu kembali terjatuh ketika hendak bangkit. Kemudian meregang dan berkelojotan sejenak, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Tewasnya tokoh sesat itu akibat tulang-tulang dadanya remuk dihantam tendangan yang keras dari Pendekar Naga Putih.
Iblis Cantik Berwajah Malaikat yang menyaksikan kematian suaminya, berteriak bagai orang gila! Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat dengan serangan yang hebat dan mematikan.
Bettt! Bettt!
Panji menggeser tubuhnya dua tindak ke samping untuk menghindari serangan berantai lawannya. Dan langsung dikirimkannya cengkeraman maut dengan kecepatan yang menggetarkan.
Karuan saja wanita iblis itu kelabakan. Serangan balasan yang dilontarkan Panji benar-benar sulit sekali untuk dihindari. Sehingga sebisa-bisanya wanita itu menangkis dengan tangannya. Namun....
Plakkk! Bukkk! Brettt!
"Aaakh. !"
Meskipun berhasil menangkis satu pukulan Panji, namun pukulan dan sambaran cakar naga yang menyusulinya, tak mampu lagi dielakkan Iblis Cantik Berwajah Malaikat! Tubuh langsing dan padat itu kontan terlempar disertai ceceran darah yang me- ngalir dari lukanya. Tubuh Iblis Cantik Berwajah Malaikat menggelepar, dan dari mulutnya memuntahkan darah segar. Hantaman yang telak mengenai perutnya, membuat wanita cantik itu tidak mampu bangkit lagi. Dari luka akibat sambaran cakar naga Panji, darah segar terus mengalir. Sehingga, wanita cantik itu tidak sanggup lagi untuk hidup lebih lama. Beberapa saat kemudian ia pun menghembuskan napas terakhirnya, menyusul suaminya.
"Hhh...," Panji menghela napas lega setelah menundukkan Sepasang Manusia Sesat.
"Kakang...!"
Panji mengerutkan keningnya mendengar suara merdu yang memanggilnya. Matanya ditegasi untuk melihat wanita yang tengah berlari-lari kecil ke arahnya. Sosok ramping itu baru dapat dikenali setelah dilihatnya sosok lelaki setengah baya yang melangkah di belakang sosok ramping itu. Begitu tiba, gadis yang tak lain dari Rara Ningrum itu langsung memegang tangan Panji bagaikan sahabat yang telah lama tak berjumpa.
"Ningrum, syukurlah kau selamat..." hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Panji.
"Berkat pertotonganmu, Panji. Siluman Kembar Teluk Merah sudah kami tundukkan, begitu pula dengan Lima Iblis Hitam. Sekarang tinggal bagaimana kita merebut tempat kediamanku," ujar Ki Raga Baya tersenyum begitu tiba di dekat Panji. Rupanya Rara Ningrum telah menceritakan segalanya kepada orang tua itu. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi, Ki Raga Baya memanggil nama pemuda itu.
Ajakan tidak langsung itu segera disambut baik oleh Panji. Kemudian ketiga orang itupun segera berangkat menuju gedung megah yang merupakan tempat kediaman Majikan Pulau Mimpi.

* * * * *




Tidak sulit bagi Ki Raga Baya untuk kembali merebut gedungnya. Sebab, yang berada di dalam gedung hanyalah murid-murid rendahan dari Sepasang Manusia Sesat. Sehingga dalam waktu singkat, gedung itu sudah dapat dikuasai.
Panji yang merasa tugasnya di tempat itu telah selesai, segera meninggalkan Ki Raga Baya dan Rara Ningrum tanpa pamit. Pendekar Naga Putih tidak ingin mengganggu kegembiraan pesta yang dilangsungkan Majikan Pulau Mimpi itu. Maka, pemuda itu lenyap begitu saja tanpa diketahui Ki Raga Baya maupun Rara Ningrum. Setelah meninggalkan kediaman Ki Raga Baya, Panji langsung menemui Ki Rungga dan Sumirah yang ditinggalkannya di tempat tersembunyi, di sebelah Selatan Pulaun Mimpi.
"Panji...!"
Wanita berwajah manis yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu, berlari ketika melihat seorang pemuda berjubah putih tengah melangkah menuju pondoknya. Begitu tiba, langsung dipeluknya pemuda itu dengan penuh keharuan.
"Nyai..., apakah kau baik-baik saja...? Bagaimana dengan Ki Rungga?" sapa Panji sambil membalas pelukan wanita yang hanya mengenakan kain sebatas dada sebagai penutup tubuhnya. Siapa lagi wanita itu kalau bukan Sumirah.
"Kami berdua sehat seperti sediakala, Panji. Bagaimana dengan usahamu? Tentu kau berhasil, bukan?" Tanya Sumirah tanpa melepaskan pelukannya.
"Berkat doa mu, Nyai...," sahut Panji singkat.
"Kedatanganku hanya untuk pamit Karena segalanya telah kembali seperti biasa, aku berniat hendak mencari Kenanga. Mudah-mudahan saja ia mengalami nasib baik sepertiku," desah Panji separuh berharap.
Sumirah menundukkan wajahnya yang mendadak mendung ketika mendengar ucapan Panji. Namun, la sadar kalau pemuda yang disukainya itu memang harus pergi, dan memastikan nasib kekasihnya.
"Berjanjilah untuk menengokku apabila kau telah mengetahui nasib Kenanga, Panji...," desah Sumirah yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Ingat-ingatlah kami, Panji...," pesan Ki Rungga yang juga telah berada di tempat itu, mengantar kepergian Panji.
"Terima kasih, Ki, Sumirah...," ujar Panji seraya menyalami kedua orang yang telah menolongnya selama berada di Pulau Mimpi.
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, tubuh Panji langsung melesat meninggalkan tempat itu. Kemudian bayangan tubuhnya pun hilang dari pandangan kedua orang itu, Sengaja Panji tidak menoleh lagi. Karena hatinya merasa berat untuk meninggalkan kedua orang yang sangat baik dan teliti dalam merawatnya.
"Selamat tinggal Pulau Mimpi...," desah Panji seraya melambaikan tangannya ketika telah berada di atas sebuah perahu. Pendekar Naga Putih meninggalkan pulau itu dengan menyewa seorang nelayan untuk mengantarkannya ke daratan terdekat.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Dendam Pendekar Cacat --oo0oo-- Kumbang Merah


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.