Dendam Pendekar Cacat
tanztj
May 06, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Tersesat Di Lembah Kematian --oo0oo-- Terdampar Di Pulau Asing |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : DENDAM PENDEKAR CACAT
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : DENDAM PENDEKAR CACAT
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
«₪֎ [ SATU ] ֎₪»
Saat itu, sesosok tubuh tegap tampak bergerak lincah menuruni Lereng Gunung Siluman. Wajahnya yang bersih dan tampan, selalu terhias senyum gembira. Langkah-langkah kakinya pun terlihat ringan dan mantap. Menilik dari gerakan-gerakan yang dilakukannya, jelas pemuda itu bukan orang sembarangan.
"Haiiit...!"
Ketika tiba di tepi sebuah sungai yang melintang, pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun itu berseru nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melambung ke tengah sungai. Sungguh mengagumkan sekali! Tubuh pemuda yang meluncur turun di tengah sungai itu, kembali melenting ketika ujung kaki kanannya ditotolkan pada sebuah batu yang permukaannya menonjol di atas air.
Setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, pemuda itu mendaratkan kedua kakinya di seberang sungai. kemudian tubuhnya berbalik kembali menghadap ke sungai, tampak senyum di bibirnya semakin melebar. Jelas, ia merasa gembira karena dapat melewati sungai selebar tiga tombak, hanya dengan dua kali lompatan.
"Hm.... Ayah pasti gembira melihat kemajuan ilmu yang kuperoleh selama tiga tahun ini. Tentu ia akan memuji Pendekar Kera Siluman yang telah mendidikku. Entah bagaimana pendapat ibu mengenai kemajuan yang telah kucapai selama ini? Meskipun ia tidak begitu suka melihatku lebih mementingkan ilmu silat, mudah-mudahan saja ia ikut merasa gembira," gumam pemuda itu sambil tersenyum. Binar-binar kerinduan pun terpancar dari sinar matanya.
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu termenung seraya melepaskan pandangannya menera- wang cakrawala. Bayangan wajah ayah, ibu, dan adiknya menari-nari di benaknya. Sepasang matanya nampak semakin bercahaya, karena sebentar lagi akan berjumpa dengan orang yang sangat dicintainya.
"Ahhh..., Adik Milani tentunya sudah dewasa dan menjadi seorang gadis cantik. Mmm..., tunggulah, Adikku! Sebentar lagi kita akan bertemu dan dapat bermain seperti dulu. Ah, betapa hatiku rindu akan masa-masa indah kita...," desah pemuda tampan berwajah agak bulat itu.
Sepasang alisnya yang tebal dan hitam, tampak bergerak-gerak lucu ketika bayangan masa kecil bersama adiknya bermain-main dikepalanya. Perasaan rindu yang menggelegak dan menyesakkan dada, membuat pemuda itu cepat membalikkan tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuh tegap itu telah melesat cepat bagaikan anak panah.
Kegembiraan hati pemuda itu tergambar jelas dari gerakan-gerakan langkah kakinya. Terkadang ia berjumpalitan hingga beberapa kali, sambil memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan. Untung di sekiiar tempat itu tidak ada orang yang melihat Bngkah lakunya. Kalau saja ada orang yang sempat memergokinya, tentu ia akan disangka sebagai pemuda gila.
* * * * *
"Tuan Muda Wiranta...!"
Seorang petani berusia sekitar empat puluh tahun, berseru dengan suara hampir berbisik. Sepasang matanya nampak agak sayu, menatap tajam ke arah wajah pemuda yang melintas di dekat sawahnya.
Pemuda yang tengah berlari-lari kecil itu, menoleh dan memandang berkeliling. Rupanya panggilan itu sempat tertangkap pendengarannya. Terbukti pandangannya diedarkan ke sumber suara
Petani yang wajahnya agak kecoklatan karena terlalu sering terbakar sinar matahari itu, bergegas naik dari sawahnya. Kemudian, ia melangkah melewati pemuda itu sambil berbisik lirih. Namun, terdengar jelas oleh pemuda yang bernama Wiranta.
"Tuan muda, ikut aku! Tapi, jangan terlalu kentara. Berpura-puralah agar tidak terlalu mencurigakan...," bisik petani itu ketika lewat di depan Wiranta. Tanpa menunggu jawaban atas ucapannya, lelaki bertubuh agak gemuk itu bergegas melangkahkan kakinya menuju ke luar perbatasan desa.
Meskipun dengan wajah agak bingung, Wiranta memutuskan untuk mengikuti petunjuk petani itu. Langkah kakinya diperlambat. Seolah-olah hendak mengatur jarak di antara mereka. Beberapa orang petani yang tadi sempat menolehkan kepalanya ke arah Wiranta, kembali meneruskan pekerjaannya dengan sikap masa bodoh. Meskipun mereka sempat merasa heran ketika melihat pemuda itu tidak jadi memasuki desa. Namun, para petani itu tidak ambil peduli. Di hati mereka tidak ada terbersit rasa curiga sedikit pun terhadap kedua orang itu.
Wiranta yang semula melangkahkan kakinya secara perlahan, tiba-tiba bergegas mengejar petani di depannya yang berlari cepat. Karena tidak ingin tertinggal, pemuda itu segera mengerahkan ilmu larinya. Keadaan sekitar yang hanya ditumbuhi pepohonan, membuat gerak keduanya menjadi leluasa. Ketika sampai di sebuah hutan kecil yang sunyi, Wiranta memperlambat larinya. Kemudian ia melangkah pelan ketika melihat sosok petani yang dikejarnya tengah berdiri menanti kedatangannya.
Sebagai seorang pemuda yang sejak kecil telah dilatih selalu waspada, Wiranta tidak mudah percaya begitu saja dengan petani itu. Sambil mempersiapkan tenaga dalamnya yang segera disalurkan ke seluruh tubuh, pemuda itu melangkah hati-hati menghampiri petani aneh itu.
"Tidak perlu curiga kepadaku, Tuan Muda. Kau pasti telah mengenalku dengan baik," ucap petani itu yang rupanya maklum dengan sikap hati-hati Wiranta. Sambil berkata demikian, petani itu membuka tudung bambunya. Bahkan, ia pun mencopot cambang yang menghiasi kedua pipinya.
"Kau... kau.... Bukankah Paman Losarang...?" seru Wiranta hampir berteriak gembira, bila petani itu tidak cepat menutup mulutnya dengan telunjuk.
"Ahhh..., Paman! Bagaimana kabarmu sekarang? Mengapa kau tiba-tiba menjadi seorang petani?" ujar Wiranta heran, seraya melompat dan memeluk tubuh lelaki gemuk itu. Karena ia kenal betul dengan petani yang tak lain adalah pelayan kepercayaan keluarganya. Tentu saja rasa curiga yang menyelinap di hatinya menjadi sirna.
"Aku baik-baik saja, Tuan Muda...," sambut Ki Losarang yang terharu melihat kegembiraan majikan mudanya setelah tiga tahun tidak bertemu.
"Paman, bagaimana keadaan ayah, ibu dan Adik Milani? Dan, mengapa Paman berada di tempat ini? Apakah Paman telah berbuat kesalahan dan diusir dari perguruan?" Tanya Wiranta sambil melepaskan pelukannya. Dengan tangan yang masih melekat di kedua bahu Ki Losarang, ditatapinya penuh setidik wajah pelayan keluarganya itu.
Ki Losarang yang semula memang hendak menyampaikan sesuatu kepada majikan mudanya itu, terpaksa menelan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya. Hatinya tidak tega ketika melihat kegembiraan pemuda itu. Tak mengherankan bila Ki Losarang tidak langsung menjawab pertanyaan tuan mudanya. la menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon dengan disertai helaan napas berat.
"Tuan muda. Kulihat gerakanmu sudah semakin gesit dan mantap sekarang. Rupanya selama tiga tahun terakhir ini, Tuan Muda telah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Pendekar Kera Siluman yang menjadi sahabat baik Tuan Besar. Ah..., betapa gembiranya hatiku melihat kemajuanmu yang sangat pesat itu...," ujar Ki Losarang mengalihkan perhatian tuan mudanya dengan memuji kemajuan ilmu yang telah dicapai pemuda itu.
Terdengar suara tawanya menyembunyikan perasaan petani itu. Tetapi Wiranta bukanlah orang bodoh. Walaupun Ki Losarang berusaha mengalihkan pembicaraan, pemuda itu menangkap sesuatu yang tidak beres. Namun, la berpura-pura dungu. Begitu pula suara tawa sumbang orang tua itu, ditanggapinya dengan wajar saja. Hal itu jelas menandakan Wiranta adalah seorang pemuda yang cerdik.
Sambil mencoba bersikap wajar, Wiranta menceritakan tentang keadaannya selama tiga tahun tinggal di Gunung Siluman. Semua itu dilakukannya agar pelayan setia keluarganya tidak merasa curiga. Sikap Wiranta yang tampak wajar itu, semakin membuat Ki Losarang terharu. Walaupun ia telah berusaha menutupi kesedihannya dengan cara menyimak cerita majikan mudanya, tetap saja gambaran kedukaan terpancar dari sepasang matanya.
Meski kedua orang itu tengah terlibat pembicaraan, namun pikiran mereka bercabang. Bahkan dalam hati masing-masing menyimpan pertanyaan-pertanyaan. Mendadak mereka tersentak ketika terdengar suara bentakan keras!
"Ha ha ha...! Akhirnya kau dapat juga kutemui, Losarang! Rupanya di sini kau bersembunyi selama ini!" Suara bentakan yang keras itu, disusul dengan bertoncatannya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak. Mereka langsung bergerak dan mengepung kedua orang itu.
"Hei! Siapa mereka itu, Paman? Dan, mengapa Paman bermusuhan dengan orang-orang itu...?" Ujar Wiranta sambil melompat bangkit dengan otot-otot tubuh menegang. Dipandanginya wajah Ki Losarang dengan penuh tanda tanya.
Ki Losarang yang sudah bangkit berdiri itu, memandang para pengepungnya dengan wajah pucat. Jelas, orang tua itu tengah dilanda rasa takut yang hebat. Namun, yang sesungguhnya dikhawatirkan Ki Losarang bukanlah keselamatan dirinya, melainkan nasib majikan mudanya. Itulah yang membuat wajahnya menjadi pucat.
"Tuan muda. Sebaiknya larilah jauh-jauh dari tempat ini! Biar Paman saja yang mencegah mereka," bisik Ki Losarang dengan nada penuh ketegangan. Sambil berkata demikian, lelaki itu melolos golok yang terselip di pinggangnya.
"Maaf, Paman. Aku bukan pengecut! Apalagi persoalan yang Paman hadapi ini masih sangat gelap bagiku. Jadi, maaf kalau kali ini aku tidak menuruti permintaan Paman," tegas Wiranta tanpa bermaksud membantah.
"Ahhh..., jadi pemuda ini putra Ki Tambak Baya?! Ha ha ha.... Pucuk dicinta ulam tiba Benar-benar nasibku hari ini sedang baik! Tidak disangka kalau sekali bergerak, aku telah mendapatkan dua umpan berharga! Bahkan sangat berharga!" ujar lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi kulit harimau loreng. Dadanya yang terbuka, tampak dihiasi bulu-bulu hitam. Lelaki gemuk berkepala botak dengan alis mata yang lebat dan hitam itu, seperti sengaja memamerkan kekuatannya. Terdengar dari suara tawanya yang besar dan berkepanjangan.
Wiranta sempat kaget mendengar suara tawa yang mengandung tenaga dalam luar biasa itu. Cepat pemuda itu menyalurkan hawa murni untuk melindungi dadanya dari guncangan. Sehingga suara tawa itu sama sekali tidak berpengaruh bagi dirinya. Lain halnya dengan Ki Losarang. Tubuh orang tua itu tampak agak terhuyung akibat serangan yang dilancarkan melalui suara tawa keras itu. Untunglah suara tawa itu hanya sebentar. Kalau tidak, mungkin Ki Losarang sudah menderita luka dalam.
"Anak-anak, serang kedua orang itu! Bunuh, dan jangan kasih ampun!" Perintah lelaki berkepala botak yang mengenakan rompi kulit harimau, seraya melolos sebuah pecut berduri yang tergantung di pinggangnya.
Melihat keadaan itu, baik Wiranta maupun Ki Losarang bersiap-siap dan saling beradu punggung. Karena tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya lebih jauh, pemuda itu tidak banyak cakap lagi. Segera ia memasang kuda-kuda seperti seekor kera yang sedang marah. Posisi yang digunakan Wiranta memang terlihat aneh dan lucu. Kedua kakinya menekuk rendah. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi menjinjit, membuat tubuhnya terlihat pendek. Apalagi tubuh pemuda itu agak membungkuk. Sehingga keadaan Wiranta tak ubahnya seperti seekor kera.
Sepasang tangannya yang menunjuk didepan wajah dan dada, memang benar-benar membuatnya terlihat lucu. Sayang, para pengepungnya tidak sadar dengan jurus yang tengah dipersiapkan pemuda itu, sebuah jurus andalan terampuh. Bahkan, jurus itu telah diyakininya selama kurang lebih tiga tahun. Maka, sudah dapat dibayangkan kemahiran pemuda itu dalam mempergunakannya.
"Heaaat...!"
Diiringi teriakan keras dari lelaki botak yang merupakan pimpinan belasan orang itu, serentak para pengepung Wiranta dan Ki Losarang bergerak maju. Terdengar suara sambaran belasan batang senjata berdesingan dan mengancam tubuh Wiranta dan Ki Losarang. Namun, keduanya bergerak cepat dan lincah menyambut serangan-serangan lawannya. Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Wiranta seperti menghadapi ujian terhadap ilmu yang dituntutnya selama tiga tahun di bawah bimbingan Pendekar Kera Siluman, tentu saja menjadi gembira bukan main. Sambaran-sambaran senjata para pengeroyoknya, dielakkan pemuda remaja itu dengan kelitan-kelitan indah yang membingungkan. Bahkan, tidak jarang pemuda itu berjumpalitan laksana seekor kera. Sehingga, para pengeroyoknya sempat dibuat kerepotan oleh kelincahan pemuda itu.
"Yiaaah...!"
Setelah merasa cukup puas menguji ilmu meringankan tubuhnya, Wiranta melontarkan serangan-serangan balasan yang mengejutkan. Sepasang tangannya bergerak melakukan totokan-totokan kilat, sehingga lawan yang terkena jari tangannya langsung roboh dengan tubuh berlubang. Tentu saja apa yang dilakukan pemuda itu membuat musuhnya menjadi gentar. Tanpa sadar mereka bergerak mundur dan menjauhi pemuda remaja itu.
Kenyataan itu membuat lelaki berkepala botak menjadi gelap wajahnya. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau luka, tubuh gemuk itu meluncur dengan disertai ledakan-ledakan pecut berdurinya yang memekakkan telinga.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Asap tipis berhawa panas mengepul setiap kali cambuk berduri itu meledak keras. Dari suara ledakan yang sanggup menggetarkan isi dada, jelas menandakan tenaga yang tersalur melalui cambuk berduri itu sangat dahsyat.
Wiranta sempat terkejut melihat kelihaian lawan dalam mempergunakan senjatanya. Untung ia telah dibekali dengan kelincahan gerak yang dapat membingungkan lawannya. Sehingga, setiap kali cambuk berduri lawan meledak mengancam tubuhnya, selalu saja Wiranta dapat mengelakkannya.
"Haitt...!"
Jdarrr...! Jdarrr...!
Lelaki berkepala botak itu rupanya semakin bertambah penasaran. Sambaran-sambaran cambuknya yang selalu tidak mengenai sasaran, membuatnya semakin bernafsu. Maka, ia pun merubah gerakan-gerakan senjatanya. Kali ini, cambuk berduri di tangan ielaki gemuk yang mengenakan rompi kulit harimau itu meledak-ledak, dan berputaran di atas kepalanya sendiri. Dengan badan cambuk yang masih tetap melingkar, lelaki botak itu melontarkan serangan-serangannya.
Wiranta sempat kerepotan menghadapi serangan-serangan lawannya kali ini. Ledakan-ledakan cambuk yang selalu diawali dengan bunyi berdesing nyaring itu, benar-benar membuat pendengarannya terganggu. Sehingga, beberapa kali serangan lawan nyaris mengenai tubuhnya.
"Ha ha ha...! Baru tahu kau sekarang, Bocah! Sebentar lagi Cambuk Kelabang akan merobek-robek kulit tubuhmu!" terdengar suara tawa lelaki berke- pala botak itu. Sambil melontarkan ucapan bernada sombong, ia terus saja melancarkan serangan dengan gerakan yang semakin cepat dan ganas.
Crattt!
"Aaakhhh...!" Wiranta memekik tertahan ketika punggungnya dihantam senjata lawan, ketika ia berjumpalitan di udara. Dengan gerakan indah, tubuhnya kembali melenting dan berputar beberapa kali. Meski agak terhuyung, pemuda itu mampu mendaratkan kedua kakinya di atas tanah.
Rasa pedih dan panas akibat lecutan lawan, membuat kemarahan pemuda itu bangkit seketika. Namun, rasa geram terhadap lawannya segera ditunda. Pandangannya dialihkan ke arah Ki Losarang yang keadaannya nampak sudah mulai payah. Di beberapa bagian tubuh orang tua itu telah terluka oleh senjata lawan. Sehingga Wiranta bergegas melesat membantunya.
"Mau ke mana kau, Bangsat Cilik...? Biarkan saja orang tua keparat itu menikmati kematiannya!" bentak lelaki berkepala botak yang berjuluk Cambuk Kelabang. Cambuknya kembali berputar berdesi- ngan untuk kemudian meledak-ledak mengejutkan.
Jdarrr...! Jdarrr...!
"Aaakhhh...!" Kembali Wiranta menjerit kesakitan ketika cambuk berduri lawan melecut tubuhnya dua kali. Itu terjadi karena perhatian pemuda itu terpecah ketika mendengar jerit kematian Ki Losarang. Sehingga Wiranta harus membayar mahal akibat kelalaiannya itu.
Darah segar semakin mengucur dari luka yang dideritanya, sehingga menimbulkan rasa pedih yang amat sangat, membuat pemuda itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Tanpa mempedulikan serangan lawan, cepat ia bergulingan mendekati tubuh bekas pelayan keluarganya yang tengah sekarat.
"Paman...!" panggil Wiranta sambil mengangkat tubuh Ki Losarang dan dibawanya menjauh dari lawan-lawannya.
"Tuan muda... Pergilah, selamatkan dirimu... Perguruan kita telah dikuasai orang-orang jahat.," ujar Ki Losarang dengan suara terputus-putus. Dari luka memanjang dan cukup dalam di bagian depan tubuhnya, semakin banyak mengeluarkan darah. Menilik luka-luka yang diderita Ki Losarang, jelas keadaan orang tua itu sudah tidak dapat tertolong lagi.
"Katakan! Siapa orang-orang keji itu, Paman? Dan, ke mana ayah, ibu serta Adik Milani...? Katakan, Paman! Siapa mereka? Apa yang terjadi dengan ayah, ibu dan adikku...?" Wiranta berteriak-teriak sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ki Losarang. Namun usahanya sia-sia, sebab orang tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuan pemuda itu.
"Aaahhh. !" Wiranta tersentak ketika menyadari Ki Losarang sudah tidak bernyawa lagi. "Biadab kau, Manusia-manusia Keji! Kalian apakan ayah, ibu dan adikku? Apa salah mereka kepada kalian?" Teriak Wiranta yang mencemaskan nasib orang-orang yang dicintainya.
"He he he.... Percuma saja kau berteriak-teriak seperti itu, Bocah! Karena sebentar lagi kau pun akan segera menyusul pelayanmu itu. Bersiaplah...," sahut Cambuk Kelabang sambil memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan.
Diingatkan tentang bekas pelayannya, membuat Wiranta teringat dengan ucapan terakhir Ki Losarang. Cepat pemuda itu melompat mundur, kemudian berlari dan menyelinap di antara pepohonan.
"Kejar bangsat cilik itu...!" perintah Cambuk Kelabang yang segera melakukan pengejaran dengan diikuti para pengikutnya.
* * * * *
«₪֎ [ DUA ] ֎₪»
"Ampunkan kebodohan kami, Ketua Topeng Setan. Meskipun masih berusia muda, namun putra Ki Tambak Baya itu ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Kami berjanji akan membawa kepalanya, bila kami diizinkan untuk mencarinya," ucap lelaki gemuk berkepala botak yang berjuluk Cambuk Kelabang sambil menyembah-nyembah.
Mendengar jawaban itu, lelaki tegap yang berjuluk Topeng Setan itu membalikkan tubuhnya. Ditatapnya si Cambuk Kelabang dengan sinar mata berkilat tajam. Jelas, Ia sama sekali tidak menyukai jawaban itu.
"Huh! Seharusnya kau malu menyandang nama besarmu itu, Cambuk Kelabang! Belasan tahun kau malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi menghadapi seorang bocah saja kau tidak becus! Padahal, kau dibantu beberapa orang pengikutmu. Tidakkah kau merasa bahwa kejadian itu merupakan sebuah tamparan keras bagimu? Kalau sampai dunia persilatan mendengarnya, bisa-bisa pamormu akan jatuh, Cambuk Kelabang! Apakah kau sadar akan hal itu?!" Bentak Topeng Setan dengan nada suara yang semakin berang.
"Tapi.... Tapi "
"Sudahlah! Tidak perlu banyak alasan lagi! Dan, kau tidak perlu susah-susah mencari bocah itu. Aku yakin dia tidak akan pergi jauh dari kita," potong Topeng Setan ketika si Cambuk Kelabang masih hendak membantah. Setelah berkata demikian. Topeng Setan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi bergagang gading. Sepasang matanya yang tersembunyi di balik topeng, tetap menatap tajam ke arah si Cambuk Kelabang.
"Bagaimana Ketua dapat mengetahuinya...?" Tanya si Cambuk Kelabang seraya mengangkat wajahnya perlahan. Jelas, ia ingin sekali mendengar jawaban dari lelaki bertubuh tegap yang mengenakan topeng itu.
"Hm.... Ke mana lagi kalau bukan ke cabang-cabang Perguruan Perisai Besi yang telah kita taklukkan. Seperti telah kita ketahui, perguruan itu memiliki tiga cabang dan tersebar di tiga tempat. Salah satunya terletak di kota kadipaten. Sebagai putra Ki Tambak Baya, Wiranta jelas satu-satunya ahli waris keempat perguruan itu. Karena Perguruan Perisai Besi berada dekat Desa Talung yang sudah kita kuasai, tentu ia akan mendatangi salah satu atau ketiga cabang lainnya dengan maksud meminta bantuan. Ha ha ha.... Sayang ia tidak tahu. ," ucap Topeng Setan. Seketika itu juga tawanya meledak tanpa terbendung lagi.
"Tapi, bukankah ketiga cabang Perguruan Perisai Besi itu sudah kita kuasai, Ketua...?" kilah si Cambuk Kelabang mengerutkan keningnya dengan wajah dungu. Seolah-olah lelaki berkepala botak itu belum mengerti akan seluruh ucapan sang Ketua. Dan, suara tawa yang berkepanjangan dari Topeng Setan itu membuatnya makin bingung.
"Bodoh kau, Cambuk Kelabang! Justru hal itulah yang membuat perutku tergelitik. Bocah dungu itu jelas akan segera lenyap. Sebab, ketua tiap-tiap cabang telah kuperintahkan untuk membunuh keturunan Ki Tambak Baya. Di samping itu, aku masih mempunyai senjata lain. Kalau bocah itu dapat meloloskan diri dari ketiga ketua cabang itu, maka senjata itu akan kupergunakan," ucap Topeng Setan menyiratkan senyum licik yang menyimpan misteri.
"Apa itu, Ketua...?" Tanya si Cambuk Kelabang yang ingin mengetahui rencana rahasia ketuanya.
Namun, Topeng Setan yang telah berhasil menundukkan seluruh Perguruan Perisai Besi, hanya tersenyum di balik topeng karetnya.
"Hm.... Kelak kalian akan tahu sendiri," sahut lelaki tegap itu berteka-teki." Sekarang kalian boleh pergi," lanjutnya dengan nada yang tak ingin dibantah.
Tanpa banyak cakap lagi, si Cambuk Kelabang bergerak bangkit dengan diikuti sembilan orang pengikutnya. Setelah memberi hormat kepada ketuanya, mereka pun bergegas meninggalkan ruangan itu.
* * * * *
"Uuuhhh..." Terdengar keluhan lirih dari mulut mungil seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Terpaan sinar matahari pagi yang menerobos melalui dedaunan pohon, membuat sepasang mata dara itu terbuka dan berkerjap-kerjap beberapa kali.
"Hai! Hari telah menjelang siang rupanya...," seru dara itu tersentak bangkit dari tidurnya. Sepasang matanya yang bulat dan jernih itu kembali mengerjap-ngerjap. Tampaknya, terpaan cahaya matahari pagi membuat pandangannya agak silau. Setelah pandangan matanya mulai terbiasa dengan cahaya matahari pagi, ratapannya beredar berkeliling. Sepasang matanya yang indah itu terhenti pada sesosok tubuh berjubah putih.
"Hm.... Sedaaap.... Harum sekali aroma sarapan kita yang kau buat pagi ini, Kakang," ujar dara jelita itu sambil melompat dan menghampiri sosok berjubah putih itu. Begitu mendekati sosok yang ternyata seorang pemuda tampan itu, langsung saja dara jelita itu menyambar sebatang bambu yang masih berada di atas bara. Diambilnya ikan bakar sebesar telapak tangan. Dan....
"Heit, nanti dulu!" seru pemuda tampan itu sambil menyambar ikan bakar di tangan sang dara. "Kau harus membersihkan tubuhmu dulu. Setelah itu, baru kau boleh menikmati ikan bakar ini," ujar pemuda tampan itu mengingatkan
"Ah, aku hampir lupa! Habis, bau ikan bakar ini benar-benar sedap. Tak aneh kan kalau perutku langsung berkeruyuk? Hi hi hi...," kilah gadis berpakaian serba hijau itu seraya tertawa manja.
Setelah ikan bakar itu diletakkan kembali pada tempatnya, dara yang raut wajahnya sangat cantik itu bergegas bangkit. Lalu, ia berlari-lari kecil menuju sebuah aliran sungai yang aimya jernih dan sejuk. Tidak berapa lama kemudian, gadis itu pun telah kembali dengan wajah segar kemerahan. Kejelitaannya tampak semakin nyata. Pemuda tampan yang tengah duduk menunggui ikan bakarnya, menoleh dan sepasang matanya langsung lekat pada wajah jelita itu. Sinar kekaguman terpancar jelas di wajahnya.
"Kau semakin bertambah cantik saja, Kenanga...," puji pemuda tampan itu ketika dara jelita yang bernama Kenanga duduk di sampingnya.
"Ahhh...," desah dara itu manja. "Heran, belakangan ini Kakang pandai sekali merayu? Mulai genit ya…?" goda Kenanga mengulum senyumnya sambil mengerling nakal. Gadis cantik itu sama sekali tidak menyadari kalau tingkah lakunya semakin mempunyai daya pikat.
"Hm.... Jadi, aku tidak boleh memuji kekasihku sendiri...?" ucap pemuda berjubah putih yang ternyata Panji atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Sambil bertanya demikian, tangan kanannya melepaskan batang bambu yang digunakan untuk membakar ikan. Lalu tangannya terulur perlahan memeluk bahu Kenanga. Jelas, pemuda itu semakin terpesona dengan sikap gadis jelita itu.
"Tentu saja boleh. Lagi pula kalau aku tidak cantik, mana mungkin Kakang akan suka kepadaku, betul kan...?" Ujar Kenanga yang tidak berusaha mengelak dari pelukan kekasihnya. Bahkan gadis jelita itu menyandarkan kepalanya ke dada Panji.
Pemuda berjubah putih itu tidak menyahut. Perlahan, diangkatnya wajah sang dara jelita. Lalu, dikecupnya bibir merah basah itu dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Mmmhhh..."
Kenanga bergumam lirih ketika merasakan getar-getar kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. Dibalasnya ciuman mesra pemuda pujaannya itu dengan tidak kalah hangat Sehingga untuk beberapa saat, mereka pun terlena dan tenggelam dalam lautan asmara yang membuat lupa terhadap ikan bakar yang terpanggang di atas bara. Panji bergegas melepaskan ciumannya ketika bau sangit menyengat hidungnya. Kepalanya segera menoleh dan teringat akan ikan yang dibakarnya.
"Ahhh...!" seru Panji terkejut melihat sebagian ikan bakarnya telah menghitam seperti arang. Cepat disambarnya ikan-ikan itu dari atas bara.
"Hi hi hi...! Salah Kakang sendiri. Mengapa ikan-ikan itu dilupakan...," goda Kenanga terkekeh lucu ketika melihat wajah kekasihnya yang tampak panik.
"Hm.... Kalau saja kecantikanmu tidak menggodaku, belum tentu ikan ini akan hangus." Balas Panji tak mau kalah.
"Ihhh, enak saja menyalahkan orang...," sergah Kenanga yang segera mengulurkan tangan, mencubit tubuh pemuda pujaannya.
Namun, tangan Panji bergerak lebih cepat dan menangkap lengan halus itu. Lalu, ditariknya sehingga tubuh Kenanga kembali jatuh ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih.
"Ayolah kita habiskan dulu ikan-ikan ini. Rasanya lebih nikmat menyantap ikan yang masih hangat," ajak Panji seraya menyodorkan seekor ikan bakar kepada kekasihnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun segera menyantap ikan bakar pemberian Panji. Sesekali mata indahnya mengerling ke arah kekasihnya. Dari tarikan senyum di bibir Kenanga, jelas rasa ikan itu tidak mengecewakan. Suasana di sekitar tempat itu sangat sepi. Angin bertiup pelan membuat ikan bakar yang mereka santap semakin nikmat.
"Sssttt...!"
Panji merapatkan jari telunjuk ke bibirnya ketika melihat Kenanga hendak berbicara. Ditariknya tubuh gadis jelita itu ke balik gerombolan semak yang ada di belakang mereka.
Kenanga yang semula ingin bertanya, terdiam ketika Panji menunjuk ke satu arah. Dara jelita itu baru mengerti, tampak dari kejauhan sesosok tubuh tegap tengah berlari terhuyung-huyung. Karena jarak antara mereka dengan sosok tubuh itu cukup jauh dan terhalang pepohonan, maka mereka tidak dapat mengenali secara jelas wajah sosok tubuh itu.
"Mari kita bayangi dia. Menilik dari gerakannya, orang itu seperti tengah menderita luka," ujar Panji mengajak kekasihnya untuk membayangi sosok tubuh itu. Panji mengatur jarak agar tidak sampai terlihat, atau menimbulkan kecurigaan sosok tubuh itu. Sehingga mereka dapat membayangi dengan leluasa tanpa khawatir diketahui.
Sedangkan sosok tubuh tegap yang terkadang membungkuk dan terbatuk itu, terus melesat keluar hutan. Menilik dari caranya berlari, jelas sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan. Meskipun agak tertatih-tatih, namun ayunan langkah kakinya terlihat ringan dan mantap. Pertanda sosok tubuh tegap itu memiliki ilmu lari yang cukup tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, sosok tubuh itu tiba di kaki sebuah bukit yang nampak subur. Lang-kahnya baru terhenti ketika ia sampai di depan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari susunan kayu-kayu bulat.
"Buka pintu...! Aku, Wiranta hendak bertemu dengan Paman Janar Pari...!" Sosok tubuh tegap yang ternyata Wiranta itu, berteriak ketika dari sebuah pos jaga tampak se- buah kepala dan menjenguk kebawah.
Mendengar teriakan Wiranta, kepala manusia yang menjenguk itu menghilang. Tak berapa lama kemudian, pintu gerbang berderit dan terbuka sedikit.
"Silakan, Tuan Muda Wiranta...," ujar lelaki berkumis tipis yang merupakan penjaga pintu gerbang Perguruan Perisai Besi itu.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, Wiranta bergegas melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu lenyap seiring tertutupnya pintu gerbang.
Panji dan Kenanga yang berada belasan tombak dari bangunan perguruan itu, saling berpandangan satu sama lain. Seperti telah mendapat kata sepakat, keduanya pun menunggu hingga beberapa saat lamanya. Setelah cukup lama menunggu, bangunan itu tetap saja bisu dan sunyi. Pintu gerbang perguruan itu tetap tertutup rapat. Sehingga pasangan pendekar muda itu bergegas bangkit, dan keluar dari tempat persembunyiannya.
"Kelihatannya tidak ada sesuatu di bangunan perguruan itu, Kakang," ucap Kenanga memandang Panji seperti meminta persetujuan.
"Yah..., aku kira mungkin begitu. Ayo, kita pergi dari tempat ini! Jangan-jangan malah kita yang dicurigai mereka," ujar Panji sambil mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
Sementara, di dalam bangunan Perguruan Perisai Besi, Wiranta tengah berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekiiar lima puluh tahun lebih. Saat itu mereka tengah berada di dalam ruang tengah bangunan utama Perguruan Perisai Besi.
"Sabarlah, Tuan Muda. Kita tidak boleh tergesa-gesa menarik kesimpulan. Apalagi Tuan Muda telah meninggalkan perguruan selama tiga tahun. Jadi, semua dugaanmu belum tentu benar," ujar lelaki bertubuh gemuk itu dengan suara dalam. Rupanya ia tidak mau menerima begitu saja mengenai semua hal yang dipaparkan pemuda itu.
"Tapi, Paman Danar Pari. Orang-orang itu telah membunuh Paman Losarang. Bahkan aku sempat mendengar ucapan lelaki botak bersenjatakan cambuk berduri. Dan, lelaki itu pula yang menyebabkan aku terluka seperti ini. Apakah dengan semua bukti-bukti itu Paman masih juga belum mau percaya? Hm.... Kalau saja aku bisa bertemu dengan Paman Wilangga, tentu semua persoalan ini segera dibereskannya, tanpa perlu membuang-buang waktu. Sayang adik ayahku telah pergi merantau lima tahun yang silam. Kalau tidak, tentu ia dapat membantuku menyelidiki keadaan ayah," ujar Wiranta sambil bergerak bangkit dari kursinya.
Sementara Ki Janar Pari sama sekali tidak bergerak, hanya sepasang matanya mengikuti gerak-gerik Wiranta. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki tua itu. Seolah-olah ia tidak peduli dengan kegelisahan Wiranta yang mondar-mandir di depannya berkali-kali. Ki Janar Pari tersentak kaget tatkala tubuh Wiranta berbalik mendadak. Sepasang mata pemuda itu nampak berkilat menghunjam bola mata Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara. Perguruan itu merupakan cabang dari Perguruan Perisai Besi yang terletak di dekat Desa Taking.
"Paman, masih setiakah kau kepada ayahku...?" tiba-tiba saja Wiranta melontarkan pertanyaan itu dengan nada tajam dan menuntut jawaban sejujurnya.
Ki Janar Pari tidak segera menjawab pertanyaan tajam itu. Meski lelaki tua itu berusaha untuk tetap terlihat tenang, namun jelas hatinya sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga lelaki tua itu membisu tanpa kata. Setelah ia yakin sudah mampu menguasai dirinya kembali, sepasang matanya menatap pemuda yang berdiri sekitar satu tombak dihadapannya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Wiranta?" Tanya Ki Janar Pari sambil bergerak bangkit dari kursinya.
Sambil berkata demikian, pandangan mata pemuda itu ditentangnya dengan berani. Padahal, Ki Janar Pari tidak patut berlaku demikian. Mengingat pemuda itu merupakan putra pendiri Perguruan Perisai Besi yang seharusnya dihormati. Apalagi Wiranta merupakan putra tunggal yang kelak akan menggantikan ayahnya memimpin perguruan itu secara keseluruhan. Dan, itu diketahui jelas oleh ketua cabang wilayah Utara.
Wiranta sempat melenggak mendengar ucapan Ki Janar Pari. Terbetik rasa kecurigaan di hatinya melihat sikap orang tua yang telah diberi keeperca-yaan oleh ayahnya itu. Diam-diam pemuda itu mulai merasa khawatir ketika terlintas berbagai dugaan di benaknya. Sebab, tidak biasanya Ki Janar Pati melontarkan ucapan bernada keras kepadanya. Tentu saja hal itu membuat kening Wiranta berkerut.
"Paman belum menjawab pertanyaanku, mengapa?" balas Wiranta yang kemarahannya bangkit melihat sikap bawahan ayahnya itu.
"Kalau kau memang sangat menginginkan jawaban atas pertanyaanmu, baiklah!" ujar Ki Janar Pari dengan nada geram. Melihat dari sikapnya, jelas kalau Ki Janar Pati sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada Wiranta.
Belum sempat Wiranta berpikir lebih jauh tentang sikap aneh yang ditunjukkan Ki Janar Pari, terdengar orang tua itu bertepuk tangan sebanyak tiga kali. Sesaat kemudian belasan sosok tubuh berkelebatan dan langsung mengurung Wiranta. Senjata belasan murid Perguruan Perisai Besi yang telanjang itu, tampak berkeredepan menyilaukan mata.
"Apa maksud semua ini, Paman...?" seru Wiranta terkejut. Hatinya berdebar keras dan otot syarafnya menegang.
"Artinya, kau harus ditenyapkan dari muka bumi ini, Bocah Sombong! Dengan begitu, kau baru bisa menemui arwah ayahmu di akhirat sana," ujar Ki Janar Pari seraya terbahak-bahak berkepanjangan.
"Kau... kau..."
Wiranta tak mampu untuk meneruskan ucapannya. Hatinya benar-benar terpukul melihat Kenyataan itu. Jelas, lelaki tua kepercayaan ayahnya ini telah berkhianat dan berpihak dengan orang lain.
"Ahhh, kenapa Paman sampai tega mengkhianati ayah? Apa yang dijanjikan orang-orang jahat itu kepada Paman?" Tanya Wiranta sambil terhuyung mundur karena tidak kuat menerima kenyataan pahit yang terbentang didepan matanya. Hatinya geram melihat pengkhianatan orang yang telah bertahun-tahun dididik ayahnya itu. Tapi, orang itu ternyata membalas keluhuran budi ayahnya dengan sebuah pengkhianatan keji.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Anak-anak, ayo selesaikan bocah itu!" perintah Ki Janar Pari dengan suara menggelegar. Jelas hati orang tua itu memang telah menyeleweng. Sehingga ucapan-ucapan yang dilontarkan Wiranta semakin menimbulkan api kemarahan dihati lelaki tua itu.
Wiranta masih belum bisa mempercayai semua kenyataan didepan matanya. Sejenak pemuda itu terpaku bagaikan patung. Raut wajahnya tampak berkerut-kerut seperti tengah berusaha menekan penderitaan hebat yang mengguncang jiwanya.
* * * * *
«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»
Suara teriakan nyaring itu membuat Wiranta tersentak dari lamunannya. Sadar kalau dirinya tengah terancam bahaya maut, maka pemuda itu pun nekat melakukan perlawanan terhadap orang-orang yang telah mengkhianati ayahnya. Sambaran senjata orang pertama yang menyerangnya, dikelitkan Wiranta dengan egosan tubuh ke kiri. Berbarengan dengan itu, tangannya langsung menyambar senjata lawan. Sedangkan pemiliknya jatuh telentang terkena sebuah hantaman keras pada alat vitalnya yang dikerahkan dengan tenaga dalam. Akibatnya tubuh penyerang itu langsung menggelosoh tewas.
Bagaikan seekor singa luka, Wiranta mengamuk hebat dengan pedang di tangannya. Senjata itu berkelebatan membentuk kilatan sinar yang membawa maut Setiap kali pedang itu berkelebat, selalu ada tubuh lawan terkapar tewas. Dalam waktu singkat, senjata pemuda itu telah roerobohkan tujuh orang pengeroyoknya. Amukan Wiranta temyata membuat lawannya yang lain menjadi gentar. Terbukti serangan-serangan mereka semakin mengendor. Kalaupun mereka melancarkan serangan, selalu diiringi dengan lompatan mundur. Sebab senjata pemuda itu senantiasa berkelebat menyongsong serangan lawannya. Akibatnya kepungan terhadap pemuda itu semakin longgar.
"Bangsat!"
Ki Janar Pari yang melihat belasan anak buahnya tidak berdaya menghadapi amukan pemuda itu, melompat ke tengah arena pertempuran sambil memaki kalap.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, pedang di tangan Ki Janar Pari berdesingan membentuk gulungan sinar yang bergerak turun-naik seperti ombak di laut lepas.
Melihat serangan dahsyat itu, Wiranta bergegas melompat mundur sejauh satu tombak. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, cepat tubuhnya dibungkukkan seraya ujung pedang menuding langit. Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan berada didepan wajahnya yang tertunduk seperti menekuri tanah. Itulah jurus pembuka dari Ilmu Pedang Kera Siluman'.
"Heaaat...!"
Tepat ketika serangan pedang Ki Janar Pari meluncur datang, Wiranta mengibaskan senjatanya membentuk lingkaran. Gerakan itu dilakukan sambil tubuhnya membungkuk dengan kuda-kuda sangat rendah. Sehingga, secara sepintas gerakan pemuda itu seperti seekor kera yang ketakutan. Namun, akibatnya sungguh luar biasa sekali!
Sambaran pedang lawan yang meluncur ke dadanya, terpental karena tangkisan keras yang dilancarkan pemuda itu. Bahkan, gerakan pedang di tangan Wiranta masih dilanjutkan dengan putaran balik dari bawah ke atas. Kecepatan gerak serangan balasannya, sangat mengejutkan dan sama sekali tidak diduga lawannya.
Wuttt...!
"Aih...!" Ki Janar Pari berseru tertahan dengan wajah agak memucat Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, dan langsung berjumpalitan beberapa kali di udara.
Serangan pedang Wiranta temyata tidak hanya berhenti di situ saja. Terbukti saat tubuh Ki Janar Pari sedang berada di udara, pemuda itu ikut pula melesat disertai putaran senjatanya yang menimbulkan desingan hebat. Karuan saja Ki Janar Pari yang saat itu masih mengapung di udara menjadi terkejut setengah mati! Sama sekali tidak disangkanya kalau majikan muda yang dikhianatinya itu memiliki kepandaian yang demikian hebat. Sehingga, dalam beberapa gebrakan saja, ia nyaris celaka ditangan pemuda itu. Sadar untuk mengelak sudah tidak mungkin, maka Ki Janar Pari memapaki serangan lawannya dengan ayunan pedang melingkar bersilangan.
Trang! Trang!
"Aih...!"
Bunga api berpijar ketika dua senjata yang sama-sama digerakkan tenaga dalam itu saling berbenturan keras. Ki Janar Pari yang posisinya memang lebih lemah dibandingkan lawannya, memekik tertahan. Tubuh lelaki gemuk itu terpental ke belakang hingga satu setengah tombak jauhnya. Untung ia masih sempat menyelamatkan tubuhnya sehingga tidak terbanting di tanah. Setelah melakukan dua kali putaran salto di udara, lelaki tua itu mendaratkan sepasang kakinya ke tanah dengan ringan dan mantap.
"Gila...! Tidak kusangka kepandaian bocah keparat itu sudah maju demikian pesat!" umpat Ki Janar Pari sambil mengusap peluh dingin yang menitik di keningnya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" Tanya salah seorang lelaki anggota Perguruan Perisai Besi yang berdua rekannya menghampiri Ki Janar Pari. Melihat dari caranya menghadapi lelaki tua itu, jelas kedua orang itu bukan anggota biasa.
"Tidak, Adi Ringgit. Aku baik-baik saja," ujar Ki Janar Pari tanpa menoleh kepada orang yang dipanggil dengan nama Ringgit itu.
"Rasanya kita harus bersama-sama meringkus pemuda sombong itu, Kakang," usul Sunggara, setengah berbisik. Kecemasan tergambar jelas pada wajah yang keras dan berkumis tebal itu. Karena la sempat menyaksikan Ki Janar Pari didesak habis-habisan oleh Wiranta.
"Hm.... Kukira memang sebaiknya begitu, Adi Sunggara. Kepandaian bocah itu benar-benar telah maju pesat, setelah dibimbing oleh Pendekar Kera Siluman. Hhh.... Tidak kusangka...," gumam Ki Janar Pari sambil menggeleng kagum.
Setelah mendapat persetujuan Ki Janar Pari, kedua orang yang memang merupakan pembantu utamanya itu, bergegas mencabut pedang masing- masing. Kemudian, ketiga tokoh utama Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu pun bergerak menyebar mengurung Wiranta.
Berdebar hati Wiranta ketika melihat ketiga orang tokoh utama itu maju secara berbarengan. Sadar untuk menghadapi keroyokan ketiga orang itu ia tidak mungkin unggul. Maka, pemuda itu memutuskan untuk membawa salah satu atau dua diantara mereka sebagai penebus, jika ia sampai tewas di tangan para pengkhianat ayahnya itu. Namun, sebelum keempat orang itu saling gebrak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat jantung mereka berdebar keras.
"Tahan...!"
Serentak keempat orang yang siap bertarung itu menolehkan kepalanya ke arah asal suara yang sangat berpengaruh itu.
"Guru...!" Wiranta berseru dengan dada serasa sesak menahan keharuan. Tanpa mempedulikan ketiga lawannya, pemuda itu berlari menyambut kedatangan lelaki gagah berusia lima puluh tahun dan berambut putih riap-riapan. Lelaki itu tampak berdiri tegak menanti Wiranta.
"Guru. Ahhh, syukurlah kau datang tepat pada waktunya Kalau tidak, niscaya aku sudah tewas di tangan para pengkhianat itu. Mereka. Mereka telah mengkhianati ayah, Guru. Entah siapa yang telah menghasut dan meracuni pikiran mereka," ungkap Wiranta. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Wiranta. Sepertinya pemuda itu ingin menumpahkan semua apa yang mengganjal hatinya kepada lelaki tua itu.
"Wiranta, Muridku. Kau pergilah lebih dulu. Saat ini lawan-lawan kita terlalu kuat. Aku akan mencoba untuk menghalau mereka. Setelah itu, aku akan menyusulmu ke Lembah Siluman. Tunggulah aku di Sana. Dan, jangan coba-coba kau melakukan tindakan bodoh!" Pesan Pendekar Kera Siluman yang telah mendidik Wiranta selama tiga tahun itu. Tanpa menunggu jawaban dari muridnya, Pendekar Kera Siluman melangkah lebar menghampiri ketiga tokoh utama Perguruan Perisai Besi wilayah Utara.
"Tapi, bagaimana dengan ayah, ibu dan adikku, Guru? Mereka… Apakah sudah tewas?" Tanya Wiranta yang masih penasaran. Pemuda itu mengejar gurunya. Dijajarinya langkah lelaki setengah baya yang masih gagah itu. Sepasang matanya menyapu wajah sang Guru, la berharap jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang mengusik pikirannya.
"Wiranta. Sudah kukatakan, kita menghadapi musuh yang sangat kuat. Bukan ketiga orang ini yang kutakuti. Tapi, orang yang menghasut mereka yang aku khawatirkan. Kalau sampai orang itu muncul, sukar bagi kita untuk menyelamatkan diri. Mengenai keluargamu, kita selidiki belakangan. Nah, pergilah sekarang!" ujar Pendekar Kera Siluman dengan nada hampir berbisik.
Meskipun hatinya masih merasa berat, Wiranta terpaksa mengikuti perintah gurunya. Beberapa orang murid perguruan yang hendak mencegahnya, langsung dibabat habis oleh pemuda itu. Kemengkalan dan kekalutan hatinya, membuat ia berubah bagaikan iblis haus darah. Sehingga, tidak ada seorang pun yang berani mencegah kepergiannya, setelah belasan orang dari mereka tewas terbabat pedang Wiranta.
Sebelum melesat meninggalkan bangunan Perguruan Perisai Besi, Wiranta sempat menoleh ke arah pertarungan yang berlangsung antara gurunya dengan tiga orang tokoh utama perguruan itu. Melihat gurunya dapat mendesak ketiga orang lawannya, lega hati pemuda itu. Kemudian tubuhnya lenyap di balik pintu gerbang. Setibanya di luar bangunan, Wiranta langsung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sesaat kemudian, sosok tubuhnya berkelebat cepat, sehing- ga yang tampak hanya bayang-bayang samar. Lalu, lenyap di balik pepohonan.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Kera Siluman dan tiga orang tokoh utama Perguruan Perisai Besi, masih berlangsung sengit.
"Heaaat...!"
Ki Janar Pari benar-benar penasaran dengan kehebatan lawannya. Meski ia bersama kedua orang pembantunya telah berusaha mendesak, namun tetap saja keadaan tidak berubah.
Wuuut..!
Teriakan Ki Janar Pari yang disertai sambaran pedangnya, dielakkan Pendekar Kera Siluman dengan menarik mundur tubuhnya ke samping. Berbarengan dengan itu, sebuah tendangan yang dilontarkan lawan di sebelah kanannya, sekaligus dihindarkan. Begitu kedua serangan lawannya luput, lelaki setengah baya itu langsung mengirimkan serangan balasan yang cepat dan tak terduga datangnya.
Bukkk! Desss...!
"Akh...!"
"Hugkh...!"
Tubuh Janar Pari dan Sunggara langsung terpelanting keras akibat pukulan dan tendangan yang telak menghantam dada dan lambung mereka. Ringgit yang melihat kedua kawannya terkena hantaman lawan, cepat melompat dan membabatkan pedangnya dengan gerakan mendatar.
Swing...!
Terdengar suara berdesing nyaring ketika pedang di tangan Ringgit berkelebat mengancam Pendekar Kera Siluman.
Untuk dapat melukai pendekar seperti lelaki berambut putih riap-riapan itu, tentu saja bukan hal yang mudah. Meskipun sambaran pedang Ringgit bergerak cepat dan berbahaya, ternyata dengan mudah dapat diatasi Pendekar Kera Siluman.bMata pedang lawan yang tajam lewat beberapa jengkal didepan tubuhnya, ketika pendekar itu menarik tubuh ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Begitu sambaran senjata lawan luput, tubuhnya langsung bergerak maju diiringi sebuah tendangan kilat.
Plakkk...!
Ringgit yang merasa tidak sempat lagi mengelak, segera menepiskan tendangan itu dengan telapak tangan kirinya. Akibatnya, tubuh lelaki kurus berusia sekitar empat puluh tahun itu, hampir terpelanting kalau ia tidak cepat menguasai dirinya.bBelum sempat Ringgit memperbaiki posisinya yang masih dalam keadaan terhuyung, terdengar suara menderu yang ditimbulkan hantaman telapak tangan Pendekar Kera Siluman.
Bugkh...!
"Hugkh...!"
Gedoran telapak tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu, menghantam telak dada Ringgit. Untung lelaki itu masih sempat memiringkan tubuh saat telapak tangan lawan menghajar tubuhnya. Meskipun begitu, ia tetap terpelanting sejauh satu setengah tombak. Namun, luka yang dideritanya tidak terlalu parah.
Setelah lawan terakhirnya dapat dibuat terpental, Pendekar Kera Siluman langsung melesat meninggalkan lawan-lawannya. Kemudian tubuh lelaki tegap itu lenyap di balik pagar kayu tebal yang mengelilingi bangunan perguruan itu.
Anehnya, Ki Janar Pari dan kedua orang pembantunya sama sekali tidak berusaha mengejar. Sepertinya mereka merasa gentar menghadapi pendekar itu. Kepandaian yang dimilikinya memang jauh lebih tinggi dari mereka. Terbukti ketiga tokoh utama Perguruan Perisai Besi itu tak mampu merobohkannya, setelah bertarung lebih dari enam puluh jurus.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Kakang?" Tanya Ringgit sambil tetap memandang ke arah lenyapnya tubuh Pendekar Kera Siluman.
"Kita tunggu saja perintah dari ketua...," sahut Ki Janar Pati singkat. Kemudian, lelaki setengah baya itu membalikkan tubuhnya. Dan, lenyap di balik pintu bangunan utama perguruan itu.
Ringgit dan Sunggara saling berpandangan sejenak. Setelah memerintahkan murid-muridnya untuk membersihkan bekas-bekas pertempuran, kedua pembantu utama Ki Janar Pari bergegas meninggalkan tempat itu.
* * * * *
Pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun itu duduk termenung di atas sebuah batu besar. Tatapan matanya tampak kosong. Sesekali terdengar helaan napasnya yang berat dan panjang. Jelas hatinya dilanda keresahan yang hebat. Meskipun pemuda itu terlihat tengah tenggelam dalam arus pikirannya, namun pendengarannya tetap dipasang. Telinganya menangkap gerak langkah ringan mendatangi tempat itu, cepat tubuhnya melesat dan lenyap di balik semak-semak yang rimbun.
Sepasang mata pemuda yang ternyata memang Wiranta itu menatap tajam ke arah jalan setapak yang merupakan satu-satunya jalan untuk mema-suki Lembah Siluman. Wajahnya yang semula terlihat menegang, mendadak berseru ketika ia mengenali orang yang memasuki lembah itu.
"Guru...!" Panggil Wiranta sambil berlari menyambut kedatangan lelaki gagah yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun itu.
Namun, lelaki itu tak ubahnya seperti seorang lelaki muda berusia dua puluh tahunan. Bahkan wajahnya yang terlindung rambut putih itu terlihat bersih dan nampak segar. Hanya saja sepasang mata yang biasanya terlihat tajam dan menimbulkan rasa segan itu, kini nampak kuyu seperti tidak memiliki sinar kehidupan.
"Guru..., kau... kau baik-baik saja...?" Tanya Wiranta heran setelah menangkap sinar mata orang tua itu.
"Tidak ada apa-apa, Wiranta. Aku baik-baik saja. Memang ada rasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Maklumlah aku sudah lama tidak melakukan perjalanan jauh," ujar Pendekar Kera Siluman sambil terus melangkah menuju ke sebuah bangunan, yang terletak di sebelah Timur lembah itu.
"Wiranta, tahukah kau, apa penyebab kejadian yang menimpa perguruan ayahmu...?" Tanya Pendekar Kera Siluman saat keduanya melangkah bersisian menuju bangunan besar itu.
"Entahlah, Guru. Tapi, rasanya ayah tidak pernah bercerita kalau beliau mempunyai musuh. Mmm.... Mungkin itu terjadi sehubungan dengan kemajuan Perguruan Perisai Besi yang dipimpin ayah. Sebab, sampai saat ini, perguruan yang mempunyai cabang di beberapa tempat, rasanya dapat dihitung dengan jari. Jadi, mungkin saja ada seorang tokoh yang merasa iri. Kemudian, ia menghasut atau memberikan janji-janji manis kepada para pengikut ayah. Dan, usaha orang itu tampaknya berhasil. Kalau melihat perguruan cabang Utara yang telah dikuasai mereka, bukan mustahil kedua cabang lainnya telah pula mereka tundukkan," ujar Wiranta dengan nada geram.
Tatapan mata pemuda itu berubah menyiratkan rasa penasaran bercampur dendam. Karena ia sama sekali belum mengetahui secara jelas nasib ayah, ibu dan adik perempuannya.
"Hm. Pernahkah ayahmu menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia kepadamu?" Tanya Pendekar Kera Siluman, tetap tanpa menoleh. Pandangan matanya lurus kedepan tanpa sekali pun berpaling.
"Maksud, Guru. ?"
"Yahhh..., adakah sesuatu rahasia yang pernah diceritakan ayahmu? Misalnya, sebuah benda mustika atau sejenis surat yang menurut ayahmu sangat penting artinya bagi keluarga kalian," ucap Pendekar Kera Siluman menerangkan lebih jelas maksud pertanyaannya.
Pertanyaan gurunya tidak segera dijawab oleh Wiranta. Pemuda itu malah termenung dengan kening berkerut dalam. Jelas, ia tengah menguras ingatannya mengenai apa-apa yang berhubungan dengan pertanyaan gurunya.
"Ingat-ingatlah! Sebab, hal itu merupakan kunci dari semua peristiwa pahit yang menimpa keluargamu," ujar Pendekar Kera Siluman mengingatkan.
"Kurasa tidak ada, Guru. Baik benda mustika maupun sejenis surat pusaka. Keduanya tidak pernah kudengar dari ayah. Aku yakin kedua benda itu tidak pernah dimilikinya. Kecuali, sebatang pedang ampuh yang telah mengangkat namanya dalam dunia persilatan. Hanya itu saja, Guru," jawab Wiranta menuturkan dugaannya.
"Hm.... Kalau pedang itu, aku pun telah lama mengetahuinya," ucap Pendekar Kera Siluman berdesah kecewa.
"Tidak salah lagi, Guru. Kurasa manusia laknat yang menguasai perguruan itu adalah orang yang merasa iri dan gila akan ketenaran. Melihat betapa perguruan ayahku semakin maju, ia pun berusaha untuk merebutnya," ujar Wiranta lagi dengan nada suara yang tegas dan yakin.
"Bisa juga begitu. Tapi, aku yakin ada sesuatu penyebab lain timbulnya peristiwa itu," ungkap Pendekar Kera Siluman seraya menghela napas panjang. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Keduanya membisu. Baik Wiranta maupun Pendekar Kera Siluman tenggelam dengan pikirannya masing-masing.
* * * * *
«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»
Wuuut...!
Namun, lelaki muda yang dipanggil Praja itu ternyata mampu bergerak cepat. Dengan menarik mundur tubuhnya ke belakang, maka tamparan gadis cantik itu pun luput.
"Hm... mengapa kau malah menyerangku, Milani? Sadarkah kau bahwa aku harus mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan dirimu dari cengkeraman orang-orang berhati busuk itu? Dasar kau tidak tahu berterima kasih!" maki Praja dengan sengit. Wajahnya tampak semakin merah karena terbakar nafsu iblis yang membuatnya menjadi gelap mata.
"Setan kau, Praja! Beginikah caramu memperlakukan aku? Kau kira setelah berhasil menyelamatkan aku, lalu kau dapat memperlakukan diriku seenaknya? Huh! Kalau saja ayahku masih hidup dan melihat kekurangajaranmu. ini, tentu kau akan dilumatnya habis-habisan! Dasar manusia tidak tahu diuntung! Bertahun-tahun ayahku mendidikmu dan memperbolehkanmu tinggal di Perguruan Perisai Besi, tak tahunya kau hanyalah manusia kotor yang tidak bedanya dengan Topeng Setan dan para begundalnya!" umpat gadis cantik yang ternyata bernama Milani. Jelas, ia benar-benar marah sekali dengan pemuda yang usianya sekitar dua puluh tahun lebih itu.
"Hm. Kau memang perempuan yang tidak mempunyai perasaan! Rasa cinta yang selalu kutunjukkan melalui pandangan mata maupun sikapku selama ini, hanya kau anggap sampah! Tidak patutkah diriku sebagai murid ayahmu untuk jatuh cinta kepadamu? Salahkah kalau aku tergila-gila kepadamu? Tapi, kau selalu menganggapku sebagai kacung hina yang hanya pantas untuk diperintah! Kesombonganmu itulah yang membuat aku merasa sakit hati. Maka, ketika kesempatan terbuka lebar, aku tidak menyia-nyiakannya.
Katakanlah bahwa kau pun mencintai aku, Milani. Dan, marilah kita pergi mencari tempat sunyi yang jauh dari segala kebusukan dunia. Aku berjanji akan menyayangimu sampai mati...," ucapan yang semula keras dan berapi-api, berubah dengan kata-kata membujuk. Bahkan, ketika Praja mengucap-kan kata-kata terakhir, tampak sepasang matanya memandang sayu ke arah Milani.
Ungkapan perasaan pemuda itu tentu saja membuat wajah Milani menjadi pucat. Ia benar-benar tidak menyangka sama sekali kalau pemuda yang menjadi salah seorang murid utama ayahnya itu, ternyata mencintainya sampai sedemikian parah. Padahal, sikap baik dan penuh perhatian Praja selama ini, ditanggapinya sebagai sikap seorang sahabat. Meskipun ucapan pemuda itu sempat menyentuh perasaannya. Tetapi sikap kurang ajar Praja telah membuat Milani merasa muak.
"Hm.... Jadi begitukah sifat seorang lelaki bila mencintai wanita? Berusaha menodainya justru pada saat wanita itu ditimpa kemalangan. Itukah bukti kau sangat menyayangi dan mencintaiku, Praja...?" ucap Milani sambil bertolak pinggang dan menatap pemuda itu dengan wajah sinis. Dari sinar berkilat yang memancar di mata gadis itu, dapat ditebak kalau ia benar-benar tidak bisa menerima perlakuan pemuda itu.
"Maafkan aku, Milani. Aku benar-benar khilaf. Rasanya..., aku tidak dapat hidup tanpa dirimu...," sahut Praja dengan wajah memerah. Sepertinya ia benar-benar merasa menyesal atas kelakuannya yang tidak senonoh terhadap Milani.
Sambil menatap sayu ke arah wajah gadis yang dirindukannya siang malam itu, Praja melangkah dan menjatuhkan dirinya, berlutut di bawah kaki Milani. Demikian hebatnya racun asmara yang menggerogoti hati pemuda itu. Dengan tanpa merasa malu lagi ia rela merendahkan dirinya berlutut di hadapan gadis itu. Jelas, Milani telah membuat Praja tergila-gila.
"Baiklah. Aku maafkan kekhilafanmu itu. Sekarang pergilah dan tinggalkan aku sendiri," dingin dan tegas jawaban yang keluar dari bibir gadis cantik itu. Rupanya kemarahan hati Milani sirna melihat sikap Praja yang sangat menyesali perbuatannya.
"Ah, tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi seorang diri, Milani! Marilah kita pergi bersama. Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan itu untuk kedua kalinya," seru Praja sambil melompat bangkit dan menatap Milani penuh permohonan. Jelas, pemuda itu tidak ingin membiarkan Milani pergi dari sisinya.
"Sudahlah, Praja. Lupakan persoalan di antara kita. Pergilah. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan," kilah Milani mempertahankan ucapannya. Melihat dari sikapnya, jelas keputusan gadis cantik itu tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Mendengar ucapan itu, gemetar seluruh tubuh Praja. Sepasang mata yang semula menatap sayu dan penuh harap itu, berkilat marah. Bahkan, wajahnya pun kembali berubah bengis.
"Tidak mungkin!" teriak pemuda itu dengan suara keras dan lantang, sehingga menyelusup sampai beberapa belas tombak jauhnya. "Tidak! Kau tidak boleh pergi meninggalkan aku! Kau harus ikut ke mana aku pergi, Milani!" Lanjut Praja dengan suara bergetar karena terbawa perasaan kecewanya. Melihat dari sikap dan kata-katanya, Praja hendak memaksakan kemauannya terhadap gadis itu.
Milani yang semula akan membantah, cepat melompat ke samping ketika melihat Praja sudah kembali menerjangnya. Lalu, gadis cantik itu melempar tubuhnya ke belakang, dan langsung melakukan beberapa kali putaran salto di udara.
"Hentikan, Praja!" bentak Milani begitu kedua kakinya menginjak tanah. "Kalau kau masih tetap memaksa, jangan salahkan aku jika bertindak kasar terhadapmu!" Ancam Milani sambil memasang kuda-kuda. Melihat dari sikap dan wajahnya, jelas kalau ancaman gadis cantik itu tidak main-main.
Namun, Praja yang sudah seperti orang kerasukan setan, tidak peduli dengan ancaman Milani. Sambil berseru keras, kembali Praja melontarkan serangan-serangannya.
Bettt! Bettt!
Cengkeraman-cengkeraman yang dilancarkan Praja membuat darah gadis cantik itu mendidih. Sebab, serangan pemuda itu selalu diarahkan ke dadanya. Kemarahan yang dipendam Milani pun meledak dan berkobar.
"Kurang ajar...! Pemuda gila ini benar-benar tidak bisa diberi hati!" desis Milani dengan wajah merah padam.
Wuttt...!
Milani menggeser tubuhnya untuk menghindari cengkeraman yang hendak meremas dadanya. Dengan gerakan indah dan tak terduga, gadis cantik itu langsung melontarkan serangan balasan dengan dua buah pukulan sekaligus. Praja yang seperti sudah tidak memikirkan keselamatan dirinya, cepat memapaki dua buah pukulan yang mengancam wajah dan perutnya! Maka....
Plakkk! Dukkk!
"Uhhh...!"
Keduanya sama-sama mengeluh dan terjajar mundur. Praja tampak meringis sambil memijat-mijat lengannya. Kuda-kudanya yang tergempur lebih jauh empat langkah dari gadis cantik itu, menandakan kekuatan yang dimilikinya setingkat di bawah Milani.
Sebagai putri satu-satunya dari Ki Tambak Baya, tentu saja gadis cantik itu dibekali dengan ilmu-ilmu tinggi. Wajar kalau ia memiliki kepandaian lebih tinggi dari lawannya. Meskipun tidak berbeda jauh, tapi jelas mendatangkan keuntungan bagi dirinya.
Sebaliknya, Praja bukan tidak tahu selisih kepandaian di antara mereka. Namun, tekadnya yang menggebu-gebu untuk memiliki putri gurunya itu, membuatnya tidak peduli.
"Hm... biar bagaimanapun, aku harus memilikimu, Milani!" ucap Praja dengan suara menggeram perlahan. Tekadnya itu terpancar jelas pada sepasang matanya yang berkilat-kilat menakutkan.
Geram bukan main hati Milani melihat kenekatan pemuda itu. Ada perasaan cemas membayang di wajahnya. Sebab bila seseorang telah berbuat nekat, maka segala rasa tidak dipedulikannya lagi. Dan, kini pemuda dihadapannya jelas sudah seperti orang gila. Sehingga, untuk dapat menundukkannya, Milani harus benar-benar penuh perhitungan. Kalau tidak, bukan mustahil Praja akan bisa menjatuhkannya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pemuda gagah itu kembali meluncur ke arah Milani. Serangan-serangan yang dilancarkannya tampak lebih ganas. Praja tidak lagi menggunakan cengkeraman. Kepalan-kepalan tangannya pun sesekali terlontar mengancam tubuh Milani.
Sambil berusaha menekan kemarahannya, Milani mulai membalas setiap serangan yang dilontarkan pemuda itu. Pertarungan pun terlihat lebih seru dan ramai. Empat puluh jurus telah lewat, namun keduanya terlihat masih sama-sama kuat dan gesit. Bahkan, Milani yang bertarung dengan penuh ketegangan, terlihat mulai dapat mendesak Praja dengan pukulan-pukulan dan tendangan yang susul-menyusul.
"Haiiit...!"
Milani berseru nyaring sambil melontarkan telapak tangannya ketika melihat kesempatan baik.
Blaggg!
"Hugkh...!"
Praja yang sama sekali tidak menduga serangan lawannya, memekik kesakitan. Hantaman telapak tangan gadis itu telak menghajar dada kirinya. Sehingga tubuh pemuda itu terjajar limbung.
Sadar kalau pemuda itu tidak boleh diberi kesempatan untuk membangun serangan, maka pada saat tubuh lawan terhuyung, kembali Milani berseru nyaring.
Desss...!
"Huaghk...!"
Bagai disentakkan tenaga yang amat kuat, tubuh Praja langsung terlempar dan jatuh terguling- guling hingga dua tombak jauhnya. Darah segar muncrat dari tubuh pemuda itu. Dadanya serasa remuk akibat tendangan keras menghantam telak dadanya.
"Huh! Itulah upahnya bagi orang yang berani berbuat tidak sopan kepadaku!" Umpat Milani yang segera melesat meninggalkan tubuh Praja. Tidak dipedulikannya tubuh pemuda yang tergeletak lemah sambil merintih lirih itu. Tidak lama sepeninggal Milani, Praja bergerak bangkit dan melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Praja pergi dengan membawa hati yang patah dan luka dalam yang cukup parah.
* * * * *
Seorang gadis cantik bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggosok kulit tubuhnya yang halus. Sesekali tubuhnya direndam di dalam air sungai yang sejuk dan jernih. Wajahnya yang kemerahan, tampak semakin menonjolkan kecantikan yang dimilikinya. Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik itu be- renang ke tepian sungai. Pada sebuah tempat yang terlindung batu besar, gadis itu merapat ke tepi. Kemudian, melangkah naik dan masuk ke dalam semak-semak untuk melindungi tubuhnya dari pandangan orang.
"Hey...!" tiba-riba gadis itu berseru kaget Wajahnya yang semula kemerahan, mendadak pucat seperti tak berdarah. "Jahanam! Kurang ajar! Siapa yang berani menyembunyikan pakaianku!"
Namun, tidak ada suara yang menyambut bentakan gadis itu. Sambil menutupi tubuh dengan dedaunan, gadis cantik itu melangkah perlahan-lahan dan meneliti sekitarnya. Sepasang matanya yang bulat terbelalak ketika melihat tumpukan pakaiannya tergeletak di bawah pohon. Sejenak diperhatikannya sekitar tempat itu. Setelah cukup lama menunggu dan tidak ada suara-suara yang mencurigakan, gadis cantik itu pun melangkah mendekati tumpukan pakaiannya.
"Auw...!" Gadis cantik yang ternyata Milani itu berteriak kaget ketika tiba di bawah pohon, mendadak tubuhnya terjerat jaring yang tertutup oleh dedaunan kering. Belum sempat menyadari apa yang telah menimpa dirinya, tahu-tahu sesosok tubuh telah melesat dan menotok lumpuh tubuh gadis cantik itu.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau dapat juga kumiliki, Kekasihku," ujar seorang pemuda bertubuh tegap yang menatap Milani dengan wajah penuh nafsu.
"Keparat! Turunkan aku, Praja! Kalau kau memang seorang laki-laki sejati, ayo kita bertarung sampai seribu jurus!" tantang Milani berteriak-teriak marah, seraya tangannya sibuk berusaha menutupi bagian-bagian tubuhnya yang paling vital dengan daun. Ingin rasanya gadis cantik itu mencabik-cabik tubuh Praja, yang telah berubah bagaikan orang gila. Perasaan marah, malu, benci dan dendam, bercampur baur dalam hati Milani. Sehingga, ia tidak tahu lagi harus bagaimana bertindak.
Sementara Praja masih tertawa-tawa sambil menatapi tubuh montok yang sudah tidak berdaya itu. Mungkin merasa kurang puas hanya dengan menatap saja, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan pedangnya. Sekali lompat saja, jaring yang tergantung di atas pohon itu langsung putus tat kala disambar pedang Praja.
Brukkk!
Milani meringis kesakitan ketika tubuhnya terbanting di atas tanah. Wajah gadis cantik itu semakin bertambah pucat melihat Praja melangkah ke arahnya.
"Binatang kau, Praja! Awas! Kalau kau berani berlaku tidak sopan, kelak akan kukuliti tubuhmu!" Milani berteriak-teriak mengancam.
Namun, Praja yang sudah menotok lumpuh gadis cantik itu, sama sekali tidak peduli. Bahkan teriakan dan jeritan Milani semakin membuatnya bernafsu. Sambil terkekeh, tangannya mulai bergerak menggerayangi sekujur tubuh gadis cantik itu yang memang sudah tidak mampu untuk berbuat apa-apa, hanya air mata yang turun perlahan membasahi wajahnya. Puas dengan apa yang dilakukannya, Praja segera memondong gadis itu. Kemudian dengan langkah perlahan, ia meninggalkan tepi sungai.
"Mau kau bawa ke mana aku, Manusia Iblis?!" teriak Milani dengan suara parau. Hampir habis suara gadis cantik itu karena berteriak-teriak.
Namun, Praja tetap saja tidak mempedulikannya. Sambil melangkah, tangan pemuda itu tak henti-hentinya mengelus pinggul Milani yang berada dalam pondongannya. Tawanya pun terus berkepanjangan mengiringi langkah kakinya. Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah gubuk tempat menginap para pemburu yang sudah tak terpakai. Praja bergegas melangkah masuk, tanpa rasa curiga sedikit pun. Dibaringkannya tubuh Milani di atas balai-balai bambu yang telah reyot.
"Nah, sekarang kita hanya tinggal berdua, Sayangku. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini," ucap Praja sambil membelai wajah Milani yang telah bersimbah air mata.
"Mengapa tidak kau bunuh saja aku, Praja? Bagiku mati lebih baik daripada hidup terhina. Bunuhlah aku, Praja...," ucap Milani dengan suara pelan dan mengandung isak. Sepertinya gadis cantik itu sadar kalau Praja memang sudah tidak bisa dirubah lagi. Pemuda itu benar-benar telah berubah karena memendam cinta yang patah.
"He he he... mengapa harus kubunuh! Sekarang kau boleh menyombongkan kecantikanmu yang telah membuatku menderita, Milani. Tapi, sebentar lagi, semua itu akan menjadi milikku, dan terus menjadi milikku. Maka, sebaiknya kau menyerah sajalah, dan jangan membuatku marah, mengerti!" ujar Praja tenang.
Meski nada suaranya terdengar lembut, namun mengandung ancaman. Tanpa banyak cakap lagi, Praja segera menerkam tubuh Milani dengan nafsu yang meluap-luap. Tidak dipedulikannya isak tangis gadis cantik itu, yang terdengar sangat memilukan. Karena merasa tidak berdaya menghadapi keganasan nafsu iblis yang berkobar dalam diri pemuda itu.
"Manusia rendah! Minggat kau..."
Tiba-tiba saja, selagi Praja bergulat melampiaskan nafsu bejatnya terhadap Milani, berkelebat sesosok bayangan hijau. Begitu tiba, tangannya langsung mencengkeram leher baju bagian belakang pemuda yang tengah kerasukan setan itu. Sekali sosok berpakaian serba hijau itu menyentakkan tangannya, tubuh Praja langsung melayang menjebol dinding papan gubuk tua itu.
"Aaa...!" Terdengar jeritan ngeri dari mulut lelaki muda itu. Tubuhnya terbanting keluar gubuk dengan suara berdebuk nyaring! Praja menggeliat sejenak sebelum berusaha bangkit berdiri.
"Aaakh.!"
Praja yang baru saja bergerak bangkit, tersentak kaget ketika di depannya telah berdiri tegak seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah ber- warna putih. Yang membuat ia tersentak mundur adalah sepasang mata pemuda itu yang mencorong tajam bagaikan mata naga dalam gelap. Kontan wajah Praja berubah pias.
"Sssia... pa... kau..?" ucap Praja terbata-bata sambil kakinya terus melangkah mundur. Setelah terpisah cukup jauh, baru langkahnya terhenti.
"Jangan biarkan manusia binatang itu pergi, Kakang...!"
Terdengar sebuah suara yang disusul dengan berkelebatannya sosok bayangan hijau dari dalam gubuk itu. Rupanya sosok itu adalah orang yang melemparkan tubuh Praja keluar.
Kembali hati Praja tersentak ketika melihat wajah sosok berpakaian hijau itu dengan jelas. Mulut lelaki muda itu ternganga dengan wajah ketololan. Dalam pancaran sinar matanya, terbayang jelas rasa kekaguman yang tak dapat disembunyikan.
"Kau... manusia ataukah bidadari yang turun dari langit...?" ucap pemuda itu ketika melihat wajah jelita yang sangat mempesona dari sosok berpakaian serba hijau itu. Sedangkan sepasang matanya tak lepas dari raut wajah yang benar-benar membuatnya tak mampu untuk bergerak.
"Hm... aku adalah Dewi Maut yang dirugaskan untuk mencabut nyawa burukmu! Bersiaplah!" sahut gadis jelita berpakaian serba hijau itu dengan nada suara datar dan dingin.
Meremang bulu kuduk Praja ketika mendengar jawaban yang bagaikan hendak membekukan tubuhnya. Demikian dinginnya suara dara jelita itu, sehingga tubuh lelaki muda itu menggigil bagai orang terserang demam.
"Kurasa kita tidak perlu membunuhnya, Kenanga. Cukup kita beri pelajaran agar dia kapok," tiba-tiba pemuda tampan berjubah putih itu berkata sambil melangkah dan tangannya menahan tindakan dara jetita yang ternyata adalah Kenanga itu.
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih, Kenanga seperti merasa tak puas. Namun, ia tidak berusaha membantahnya. Hanya saja rasa tak puas tergambar jelas pada raut wajahnya yang berubah muram. Selagi pasangan pendekar itu membisu, sesosok bayangan merah berkelebat, dan langsung mengayunkan pedang di tangannya untuk memenggal leher Praja yang masih terpaku bagai patung. Dan...
Crakkk...!
Mata pedang yang tajam berkilat itu, tepat menebas batang leher Praja Lelaki muda itu tak sempat berteriak lagi, karena kepalanya telah jatuh dan menggelinding ke tanah. Darah pun mengalir seiring tubuh Praja yang tanpa kepala itu roboh.
Panji yang semula hendak mencegah, menahan seruannya. Karena saat itu mata pedang sudah memenggal leher Praja yang tak sempat menghindar lagi. Sehingga lelaki muda itu pun tewas secara tragis.
Kenanga melangkah menghampiri gadis cantik berpakaian merah yang ternyata adalah Milani. Dibelainya punggung gadis itu dengan maksud agar tangisnya reda.
"Sudahlah, Nisanak. Bukankah bahaya sudah lewat...?" bujuk Kenanga dengan suara lembut Lalu dibawanya Milani ke bawah sebatang pohon besar. Keduanya duduk berdampingan. Dibiarkannya gadis cantik itu menumpahkan segala kesedihan hatinya.
* * * * *
«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»
Kenanga yang semula hendak mengajukan beberapa pertanyaan, terpaksa ditundanya ketika melihat Panji datang menghampiri mereka. Pemuda itu duduk bergabung dengan Kenanga dan Milani setelah menguburkan mayat Praja. Milani mengangkat wajahnya ketika Panji datang bergabung. Sepasang matanya menatap pemuda itu penuh selidik. Mata wanita cantik itu terus mengikuti gerak-gerik Panji, hingga pemuda itu duduk di sebelah Kenanga.
"Kisanak, kau... kau sebenarnya siapa...? Mmm... Maksudku, apakah kau mempunyai Julukan..?" Tanya Milani agak ragu-ragu. Sepasang matanya tetap menatap sosok Panji seperti hendak memastikan dugaannya.
Panji yang melihat wajah penuh harap-harap cemas itu, segera saja dapat menebak kalau gadis cantik itu telah menduga siapa dirinya yang sebenarnya. Maka, pemuda itu pun tidak tega membuyarkan harapan yang tergambar jelas di wajah dan sinar mata gadis itu.
"Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberikan julukan Pendekar Naga Putih. Sebuah julukan kosong yang berlebihan, bukan?" jawab Panji seraya tersenyum.
"Ahhh...! Jadi... jadi dugaanku tidak meleset!" seru Milani setengah berteriak.
Panji dan Kenanga menatap wajah Milani yang sedang gembira, karena apa yang diduga gadis itu ternyata tidak keliru sama sekali.
"Kau... kau benar-benar Pendekar Naga Putih! Oh..., terima kasih, Tuhan. Ternyata apa yang sering ayah katakan itu benar. Setiap kejadian yang menimpa kita, tentu ada hikmahnya," desah gadis cantik itu seraya mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah cakrawala biru. Jelas, hati Milani benar-benar sangat gembira dan bahagia. Setelah puas meluapkan kegembiraan hatinya, Milani kembali mengalihkan pandangannya ke arah Panji. Lenyap sudah kesedihan yang semula menyelimuti hati gadis cantik itu. Bahkan, wajah cantik itu tampak semakin berseri ketika menatap Pendekar Naga Putih.
"Mmm... Pendekar Naga Putih, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Kakang Panji saja...?" Tanya Milani seraya menggeserkan tubuhnya mendekati Panji. Gadis itu lupa kalau di tempat itu ada seorang wanita lain yang menatapnya dengan sinar mata tajam.
Kenanga yang merasa dilupakan Milani, berusaha menekan rasa cemburunya. Walaupun sudah berusaha untuk menutupi perasaan cemburunya, tetap saja perasaan itu tidak dapat disembunyikannya. Hal itu tercermin dari wama gelap yang terpancar dari wajah Kenanga.
"Tentu saja boleh. Bukankah begitu, Kenanga?" jawab Panji sambil menoleh ke arah kekasihnya.
Pemuda itu sadar betapapun lembut dan sabarnya hati Kenanga, tentu gadis jelita itu merasa tidak enak karena Milani seperti melupakan kehadirannya. Perasaan itulah yang membuat Panji melibatkan kekasihnya dalam percakapan itu.
"Ah, maafkan aku. Nisanak. Aku terlalu gembira dapat bertemu dengan Kakang Panji, sampai-sampai aku melupakanmu. Kuharap kau sudi memaafkan kekhilafanku," ucap Milani yang teringat kepada Kenanga ketika Panji menoleh ke arah gadis jelita yang telah menolongnya itu.
Mendung yang menyelimuti wajah Kenanga lenyap ketika mendengar permintaan maaf Milani. Senyumnya pun mengembang, pertanda ia telah memaklumi sikap gadis cantik itu. "Tentu saja boleh," sahut Kenanga buru-buru. Karena ia tidak ingin Milani melihat warna kecemburuan di wajahnya.
"Terima kasih, Nini Kenanga...," ucap Milani seraya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum manis.
"Panggillah aku dengan Kenanga saja. Bukankah kita telah menjadi sahabat?" kilah Kenanga dengan wajah yang dihiasi senyum tulus.
"Milani, apakah yang membuatmu gembira begitu mengetahui diriku? Apakah hanya karena kau ingin bertemu denganku, atau ada sesuatu yang membuatmu ingin berjumpa denganku?" Tanya Panji menyelidik setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Milani. Kalau kau mempunyai persoalan, ceritakanlah kepada kami. Siapa tahu kami bisa membantu," timpal Kenanga dengan nada suara kembali wajar. Karena rasa cemburunya telah lenyap melihat sikap Milani yang tulus.
Milani tidak segera mengutarakan apa yang tengah dihadapinya saat itu. Dia menarik napas berulang kali seperti hendak meredakan gemuruh di dalam dadanya. Setelah tertunduk sesaat, gadis cantik itu mulai memaparkan peristiwa yang telah menimpa keluarganya. Baik Panji maupun Kenanga mendengar cerita Milani penuh perhatian. Keduanya tidak satu pun memotong cerita gadis cantik itu.
"Begitulah nasib yang telah menimpa keluargaku. Selanjutnya seperti yang telah kalian saksikan tadi, diriku hampir ternoda," ujar Milani menutup ceritanya dengan wajah sedih. Tampak butiran air mata kembali bergulir di pipinya ketika ia teringat dengan ayah, ibu, dan abangnya.
"Jadi, pada saat kejadian itu, kakakmu yang bernama Wiranta belum kembali?" Tanya Kenanga yang ikut merasakan kesedihan Milani.
"Belum. Bahkan sampai saat ini, aku belum berjumpa dengan Kakang Wiranta. Mudah-mudahan saja, tidak ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Sebab, menurut perhitunganku, Kakang Wiranta saat ini pasti sudah kembali ke rumah," ujar Milani dengan suara serak.
"Apakah kau masih dapat mengenali orang yang berjuluk Topeng Setan itu?" Tanya Panji yang merasa belum pernah mendengar seorang tokoh sesat yang memiliki julukan aneh seperti itu.
"Tidak, Kakang," sahut Milani menggeleng lemah.
"Hm… kalau begitu, sebaiknya kita segera selidiki saja," timpal Kenanga mengajukan usul.
"Bagaimana, Milani? Apakah kau sudah siap menghadapi pembunuh orang tuamu...?" Tanya Panji sambil menoleh dan menatap gadis cantik itu.
"Setiap saat aku selalu siap untuk menghadapi jahanam terkutuk itu, Kakang," ujar Milani bersemangat "Kapan kita berangkat?"
"Tentu saja sekarang. Apakah kau ingin menunggu sampai menjadi nenek-nenek?" sambut Kenanga mencob menimbulkan suasana gembira di antara mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, ketiganya bergegas meninggalkan tempat itu. Karena mereka menggunakan ilmu lari cepat, maka sekejap saja tubuh ketiganya lenyap ditelan lebatnya pepohonan hutan.
* * * * *
Sesosok tubuh yang mengenakan pakaian serba putih berlari cepat di bawah siraman cahaya bulan. Sepasang kakinya seperti tidak menyentuh permukaan tanah, terus bergerak mendaki Lereng Gunung Siluman. Kakinya terus bergerak mendekati bagian belakang sebuah bangunan tua yang menjadi tempat tinggal Pendekar Kera Siluman. Rupanya kedatangan sosok tubuh berpakaian serba putih itu memang telah ditunggu penghuni bangunan itu. Sebab ada sesosok tubuh tegap berdiri dan menanti di taman belakang bangunan tua tersebut.
Sosok berpakaian serba putih yang bertubuh sama tegap dengan Pendekar Kera Siluman, menghentikan larinya ketika melihat orang yang ingin dijumpainya telah menunggu. Dengan langkah perlahan, dihampirinya sosok yang tak lain adalah Pendekar Kera Siluman. Langkah lelaki berpakaian serba putih itu terhenti dalam jarak satu setengah tombak dari Pendekar Kera Siluman.
"Mana bocah celaka itu, Kera Siluman? Cepat serahkan kepadaku!" ujar lelaki berpakaian serba putih itu membuka percakapan dengan nada dingin.
"Kau.... Jadi, kaulah si Topeng Setan itu? Tidak kusangka tindakanmu begitu keji dan tega membunuh Ki Tambak Baya dan keluarganya. Sekarang apa yang hendak kau lakukan terhadap Wiranta?" Tanya Pendekar Kera Siluman yang telah mengenal baik siapa orang yang bersembunyi di balik topeng buruk itu.
"Hm.... Aku akan membunuhnya! Cepat berikan bocah itu kepadaku, atau terpaksa aku membunuhmu seperti Ki Tambak Baya!" ancam lelaki berpakaian serba putih itu yang berjuluk Topeng Setan.
"Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Wiranta kepadamu. Sepanjang topeng buruk itu kau kenakan dan menyuruhku untuk mencari Wiranta, jangan harap permintaanmu itu kukabulkan. Dan, sekarang tidak usah kau berharap aku akan menyerahkan anak itu kepadamu," tegas Pendekar Kera Siluman tidak peduli dengan kegeraman lawannya.
"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan! Sambutlah kematianmu, Kera Siluman...!" ujar Topeng Setan sambil melesat dengan diiringi serangkaian pukulan maut yang mematikan.
Namun, Pendekar Kera Siluman yang telah bersiap, langsung menyambut serangan lawan dengan tidak kalah hebatnya. Sehingga, kedua tokoh itu bertarung sengit.
Wuuut...!
Pendekar Kera Siluman yang melihat tamparan lawan tak mungkin dielakkan, segera mengangkat tangan kirinya menyambut serangan lawan. Dan....
Plakkk!
"UhhK..!" Kaget bukan main hati pendekar berambut putih itu ketika kuda-kudanya tergempur karena tamparan Topeng Setan. Bahkan tangan yang digunakan untuk menangkis itu, terasa linu hingga ke tulang.
"Gila! Ilmu apa yang membuatnya memiliki kemajuan sedemikian pesat? Hm.... Aku harus lebih berhati-hati menghadapi serangan-serangannya," gumam Pendekar Kera Siluman sambil menatap tajam lawannya.
"Haiitt..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggetarkan dada, tampak Topeng Setan melontarkan sebuah pukulan jarak jauh sehingga menimbulkan deruan angin yang dahsyat.
Wusss...!
Blarrr...!
Sebatang pohon sebesar satu setengah kali pelukan orang dewasa, langsung tumbang akibat terkena hantaman angin pukulan yang ditontarkan Topeng Setan. Untung Pendekar Kera Siluman cepat bergulingan ke samping. Sehingga pukulan tokoh sesat yang sakti itu tidak sampai mengenai tubuhnya.
Namun, Pendekar Kera Siluman yang baru bangkit itu, kembali menggeser langkahnya guna menghindari serbuan lawan. Tubuh lelaki gagah itu berkelebatan cepat dan menyelinap di antara sambaran tangan-tangan maut lawannya.
Dalam pertarungan adu kegesitan itu, Pendekar Kera Siluman kembali dikejutkan oleh kepandaian lawannya. Topeng Setan ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Sehingga, ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh, lelaki gagah itu terpaksa menerima sebuah gedoran telapak tangan lawan pada dadanya.
Wuttt! Blaggg!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Kera Siluman langsung terjengkang keras hingga satu setengah tombak jauhnya. Gumpalan darah segar muncrat dari mulutnya. Jelas, hantaman telapak tangan lawan telah melukai bagian dalam tubuhnya.
"Hiaaat..!"
Topeng Setan tidak ingin berlama-lama menghabisi lawannya. Saat tubuh lawannya terhuyung, tokoh sesat yang sakti dan berhati kejam itu langsung saja mengejar dengan lontaran pukulan mautnya.
"Uhhh...!"
Meskipun keadaannya sudah cukup parah, namun Pendekar Kera Siluman tidak sudi menerima pukulan lawan begitu saja. Sebisa-bisanya lelaki gagah itu berkelit dan berusaha melontarkan serangan balasan ke arah tubuh lawannya. Sayang, selain kepandaian lawannya beberapa tingkat lebih tinggi, keadaan lelaki gagah itu pun sudah cukup payah. Sehingga serangan-serangan balasan yang dilakukannya, dengan mudah dapat dielakkan Topeng Setan. Bahkan, pukulan-pukulan yang dilakukan tokoh sesat itu semakin mempersempit ruang geraknya. Sehingga lelaki gagah itu terdesak hebat.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam puluh dua, Pendekar Kera Siluman kembali menerima dua buah pukulan telak pada dada dan lambungnya.
Buggg! Desss!
"Huagkh...!"
Selagi tubuh lelaki gagah itu terlempar ke belakang, Topeng Setan melesat dengan dorongan telapak tangannya yang langsung mengarah ke dada lawan.
Desss...!
"Aaargh...!"
Hantaman sepasang telapak tangan berkekuatan dahsyat itu, menghajar telak dada Pendekar Kera Siluman. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu kembali terjengkang deras hingga menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya. Kemudian tubuhnya menggeloso ke tanah dan tewas!
"Hm..."
Topeng Setan yang tengah memperhatikan mayat Pendekar Kera Siluman itu, menggeram lirih. Tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah orang berlari di sebelah Selatan lembah. Sekilas kepalanya menoleh ke arah hutan yang berjarak beberapa belas tombak dari tempatnya berdiri. Sejurus kemudian, tubuh tegap itu pun melesat melakukan pengejaran.
"Hm..." Lelaki berpakaian serba putih itu menggeram lirih sambil menatap sosok bayangan yang berlari beberapa tombak di depannya. Sesaat kemudian, lelaki yang tak lain Topeng Setan itu, langsung menjejakkan kakinya ke tanah. Bagaikan seekor burung besar, tubuh Topeng Setan melambung melewati kepala sosok tubuh di depannya itu. Dan mendaratkan kakinya beberapa langkah didepan buruannya dengan posisi membelakangi sosok tubuh itu. "Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Bocah...?" tegur Topeng Setan sambil membalikkan tubuhnya menghadapi sosok tubuh yang temyata adalah Wiranta.
Wiranta yang sempat melihat tubuh gurunya terpental dan tidak bangkit lagi itu, segera lari meninggalkan kediaman gurunya. Pemuda ini sadar tidak mungkin dapat menghadapi lelaki berpakaian putih yang dikenal berjuluk Topeng Setan itu. Pikiran itulah yang membuatnya menyingkir dan menghindari musuh besarnya itu.
Sayang, gerakan langkah Wiranta sempat tertangkap pendengaran Topeng Setan yang sangat peka itu. Sehingga, ia pun dapat dikejar oleh tokoh bertopeng buruk yang memiliki kepandaian sukar diukur itu.
"Apa yang kau inginkan dariku, Manusia Jahat..?" ujar Wiranta dengan dada berdebar tegang. Ditatapnya wajah yang tersembunyi di balik topeng buruk itu, tanpa rasa gentar sedikitpun.
Melihat betapa pemuda itu bersiap-siap hendak melakukan perlawanan, Topeng Setan memperdengarkan suara tawanya yang menggetarkan jantung. Wiranta terjajar mundur karena pengaruh kekuatan yang ditimbulkan suara tawa itu.
"Iblis...!" Desis Wiranta yang merasa bulu kuduknya meremang mendengar suara tawa yang menyeramkan itu. Ditekannya perasaan takut yang menyelimuti hatinya. Meski agak berdebar, ditentangnya pandangan mata tokoh menyeramkan itu.
"He he he... Terimalah kematianmu, Bocah...," ujar Topeng Setan sambil mengibaskan tangannya perlahan ke arah Wiranta.
Wuttt..!
Hebat sekali akibat kibasan tangan yang kelihatan sembarangan itu. Serangkum angin keras bertiup dan meluncur ke arah tubuh Wiranta. Pemuda itu terkejut bukan kepalang.
Sadar kalau kibasan angin dari pukulan lawannya sangat berbahaya, cepat Wiranta melempar tubuhnya ke samping. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu melompat kedepan, dan langsung mengirimkan serangkaian serangan dengan pengerahan seluruh tenaganya.
Topeng Setan hanya memperdengarkan suara dengusan mengejek. Serangkalan serangan yang dilontarkan Wiranta dipandangnya dengan sebelah mata. Dibiarkannya serangan itu menghantam tubuhnya.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Wiranta terkejut bukan main ketika tangannya telak mengenai tubuh lawan. Seketika ia pula kedua tangannya terasa panas seperti terbakar. Sehingga, pemuda itu menjerit kesakitan. Bahkan, tubuhnya terlempar sejauh satu batang tombak. Kenyataan itu tentu saja membuatnya bingung dan panik. Belum sempat Wiranta mengatur posisinya, tubuh Topeng Setan sudah melompat dengan disertai sebuah pukulan yang meluncur deras mengancam dadanya. Dan...
Plakkk...!
Serangan yang kemudian berubah menjadi tamparan keras itu, menghantam telak wajah Wiranta. Tubuh pemuda itu pun melintir bagaikan orang mabuk. Lalu, terbanting keras di atas tanah berumput.
Agaknya Topeng Setan tidak ingin membunuh langsung pemuda itu. Terbukti tamparannya tidak menewaskan Wiranta. Meskipun tubuh Wiranta terbanting keras, namun ia masih mampu bangkit dan berdiri.
"Uhhh...," Wiranta mengeluh menahan rasa sakit sambil meraba pipi sebelah kanannya yang terasa panas bagaikan terbakar. Terkejut bukan main hati pemuda itu, ketika mendapati Kenyataan bahwa pipi sebelah kirinya telah melepuh.
"Jahanam keji...!" desis pemuda itu kalap. Tamparan keras yang telah merusakkan sebagian wajahnya itu, membuat Wiranta menjadi semakin nekat. Maka, bagaikan kesetanan, diterjangnya tokoh sesat itu tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi.
Justru tindakan Wiranta itu semakin membuka peluang bagi lawannya. Sebab, serangan yang dilontarkan secara membabi buta itu akan membuat pertahanan dirinya menjadi lemah. Sehingga serangan pemuda itu dengan mudah dapat dipatahkan lawannya. Maka, ketika menginjak jurus yang kelima belas....
Krakkkh...!
"Aaargh...!" Wiranta meraung kesakitan ketika lengan kanan lawan terayun dan menghajar lututnya. Terdengar suara berderak keras saat lengan bertenaga kuat itu mematahkan persendian lututnya.
Tanpa rasa Iba sedikit pun, Topeng Setan kembali melontarkan sebuah pukulan keras yang menghantam dada pemuda itu.
Buggg...!
"Huagkh...!" Darah segar muncrat mengiringi terlemparnya tubuh pemuda itu. Sebuah mulut jurang yang menganga di belakangnya, langsung menelan tubuh Wiranta tanpa ampun.
"Aaa...!"
Terdengar jeritan ngeri mengiringi lenyapnya tubuh pemuda itu ke dalam jurang, yang penuh dengan baru karang runcing dan tajam.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau, Bocah Celaka...," teriak si Topeng Setan seraya tertawa terbahak-bahak.
Tawa tokoh sesat itu bergenia mengiringi tubuh Wiranta yang lenyap ke dalam jurang. Tak berapa lama kemudian, manusia berhati iblis itu pun berkelebat meninggalkan tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang masih terdengar bergenia dan berkepanjangan.
* * * * *
«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»
"Hei! Siapakau...? Mau apa kau datang kemari? Pergilah! Kami tidak mau memberimu sedekah...!"
Lelaki tegap yang kaki kanannya pincang itu, menengadahkan kepala dan menatap ke arah sebuah kepala di atas pos penjagaan. Rambutnya yang panjang meriap, disibak oleh angin Sehingga, tampak seraut wajah buruk yang bertotol-totol hitam. Hidungnya yang besar terdengar mengeluarkan dengusan kasar ketika melihat penjaga itu menatapnya dengan senyum menghina.
"Aku bukan pemalas yang datang hendak meminta derma. Tapi, kedatanganku kemari justru ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari. Ada sebuah berita penting yang hendak kusampaikan padanya. Harap kau suka menyampaikan kepada ketuamu itu," terdengar suara serak dan parau yang keluar dari bibir tebal milik lelaki muda yang cacat pada kaki dan wajahnyaitu.
Sayang, penjaga pintu gerbang itu tidak cermat memperhatikannya. Kalau saja ia bemndak sedikit lebih teliti, mungkin kejanggalan orang itu dapat dilihatnya. Meskipun lelaki berwajah buruk itu berbicara perlahan saja, namun semua yang diucapkannya sangat jelas terdengar di telinga. Padahal, pos jaga di atas gerbang itu tiingginya sekitar tiga sampai empat tombak. Pertanda lelaki cacat itu bukanlah orang sembarangan.
Lelaki berambut riap-riapan yang wajahnya dapat membuat orang lari tunggang langgang bila berjumpa dengannya di waktu malam, perlahan merundukkan kepalanya. Kembali rambutnya jatuh menutupi wajah. Lalu, masih dengan gerak kepala perlahan, ditatapnya pintu gerbang yang tertutup rapat itu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara berderak ribut. Seiring dengan suara itu, pintu gerbang Perguruan Perisai Besi perlahan-lahan terbuka. Dari balik pintu gerbang yang terbuka sedikit itu, dua sosok tubuh melangkah keluar. Kemudian, disusul dengan empat sosok tubuh lain bergerak keluar.
"Siapa kau, Sobat Muda? Ada keperluan apa mencari Ki Janar Pari?" Tanya salah seorang dari kedua lelaki gagah yang berwajah keras dan berkumis hitam lebat. Sepasang matanya bergerak meneliti wajah yang tersembunyi di balik rambut meriap itu.
"Kalau kau memang membawa berita yang cukup penting, biar kami yang akan menyampai-kannya nanti," timpal lelaki kedua yang bermata cekung, namun tajam bagaikan mata pisau. Melihat dari caranya, jelas ia maupun kawannya sama sekali tidak menyukai kehadiran lelaki tegap berambut meriap itu.
Meskipun kedua orang itu melontarkan pertanyaan dengan nada ketus, namun sosok tubuh pemuda itu sama sekali tidak peduli. Kepalanya tetap saja tertunduk dengan pandangan menekuri tanah.
"Aku ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian...," ujar lelaki berambut meriap itu tanpa mengangkat wajahnya. Ucapan lelaki Itu bernada parau dan dingin, namun ia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada kedua orang yang berdiri di hadapannya.
Wajah kedua orang lelaki itu menjadi merah, ketika mereka mendengar jawaban yang jelas merupakan penghinaan. Mereka pun menjadi marah dan berang.
"Bangsat! Angkat kepalamu! Dan lihat kami baik-baik, dengan siapa kau tengah berhadapan saat ini, Keparat Rendah!" bentak lelaki berkumis lebat itu sambil mengepalkan tangannya sehingga menimbulkan suara gemeretak keras. Jelas, ia merasa terhina dengan jawaban yang seperti disengaja itu.
Sebelum lelaki yang satunya sempat ikut membentak, sosok tegap berambut riap riapan itu sudah menyahuti.
"Hm.... Siapa yang tidak kenal dengan dua orang tokoh utama Perguruan Perisai Besi. Nama Ki Ringgit dan Ki Sunggara sudah ramai dibicarakan kaum rimba persilatan. Sayangnya...," lelaki berambut riap-riapan itu sengaja tidak menyelesaikan kalimat terakhirnya. Sepertinya ia ingin memancing rasa penasaran kedua tokoh utama Perguruan Perisai Besi itu.
Jawaban lelaki tegap Itu tentu saja membuat Ki Ringgit dan Ki Sunggara tersentak kaget. Heran bukan main mereka ketika sosok itu dapat mengenalinya dengan baik. Padahal, sepengetahuan mereka, lelaki tegap itu tidak sekali pun mengangkat kepalanya sejak mereka keluar dari pintu gerbang.
"Hm.... Bagus kalau kau telah mengenal kami berdua. Tentu kau menyadari kedudukan kami di dalam perguruan ini. Nah, mengapa kau tidak melanjutkan ucapanmu?" tegur Ki Ringgit seraya menatap lelaki berambut riap-riapan itu dengan pandangan semakin tajam.
"Sayangnya... kalian berdua ternyata makhluk-makhluk berhati busuk, dan tega mengkhianati guru kalian sendiri. Dan, aku datang kemari untuk menghukum pengkhianat-pengkhianat seperti si keparat Janar Pari itu!" jawabnya dengan nada suara mengandung getaran dendam. Sambil berkata demikian, kepalanya didongakkan dan rambut yang sejak tadi menutup wajahnya disibakkan.
"Ahhh..!"
Kontan enam orang lelaki itu melompat mundur disertai seruan ngeri. Wajah mereka pucat bagaikan melihat hantu di siang bolong. Jangankan dalam kenyataan, dalam mimpi pun rasanya mereka tidak pernah terpikir akan melihat wajah seburuk dan seseram itu. Bahkan, pimpinan mereka yang dijuluki sebagai Topeng Setan masih lebih baik ketimbang wajah lelaki tegap di depan mereka itu. Maka, wajar kalau keenam orang itu tersentak kaget.
"Sssi... siapa... kau...? Apa... apa yang kau cari di tempat ini...?" Tanya Ki Ringgit gagap. Karena hatinya masih terguncang melihat wajah yang buruk dan menakutkan.
"Hm.... Aku adalah Pendekar Cacat yang ditugaskan untuk merenggut nyawa-nyawa kotor seperti kalian!" dingin dan menggetarkan jawaban yang keluar dari lelaki tegap berambut riap-riapan itu.
Selesai mengucapkan kalimat yang mengerikan itu, kakinya melangkah menghampiri keenam orang lelaki yang masih terkesima menatapnya. Sepasang mata lelaki berwajah buruk itu nampak berkilat, memancarkan dendam kesumat yang sangat dalam.
"Mampuslah kalian, Manusia-manusia Berhati Busuk!" desisnya sambil mengibaskan tangan kanan ke arah enam orang itu.
Wuuut...!
Kibasan tangan lelaki berwajah buruk yang mengaku berjuluk Pendekar Cacat itu berkelebat cepat menimbulkan angin tajam berkesiutan.
Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Dua orang anggota Perguruan Perisai Besi yang tak sempat menghindar, langsung terpelanting dengan tengkorak kepala retak! Jerit kematian terdengar mengiringi tewasnya kedua orang malang itu.
"Keparat...!" desis Ki Ringgit yang telah berhasil menekan guncangan dalam hatinya. Cepat dicabutnya pedang yang terselip di pinggangnya.
"Yeaaat..!" Disertai seruan nyaring, Ki Ringgit langsung melompat sambil membabatkan pedangnya dengan kecepatan kilat.
Wuuut..!
Pendekar Cacat yang melihat datangnya sambaran pedang lawan, cepat menggeser tubuhnya ke samping. Lalu, segera mengirimkan sebuah tendangan kilat, begitu ujung pedang Ki Ringgit lewat di depan tubuhnya. Namun tendangan yang semula meluncur ke perut lawan, kembali ditarik ketika ia melihat sambaran pedang lain yang hendak menebas kakinya. Kemudian, tubuh yang ketika melakukan tendangan itu bertopang dengan tongkat kayunya, melenting ke belakang dengan disertai sambaran tongkatnya. Bettt...!
Trangngng...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika tongkat lelaki cacat itu dipapaki pedang Ki Ringgit.
"Aihhh...!"
Tokoh kedua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu memekik tertahan! Akibat benturan keras itu membuat tubuhnya terhuyung hingga satu setengah tombak. Karuan saja kenyataan itu semakin membuatnya penasaran.
"Yeaaat...!"
Dibarengi seruan keras, tubuh Ki Ringgit melesat dan langsung menerjang lelaki bermuka buruk yang tengah bertarung dengan Ki Sunggara. Maka, pertempuran yang berlangsung didepan pintu gerbang perguruan itu makin ramai dan sengit.
Dua orang murid yang sejak tadi hanya berdiri menonton, bergegas menyelinap masuk ke dalam bangunan perguruan. Rupanya mereka hendak melaporkan kejadian itu kepada Ki Janar Pari yang menjadi Ketua Perguruan Perisai Besi cabang wilayah Utara.
"Hoaaat..!"
Dibarengi teriakan yang menggetarkan jantung, tubuh lelaki cacat itu melesat seperti anak panah. Tongkat sepanjang enam jengkal di tangannya, meluncur dengan suara mengaung tajam.
Ki Sunggara yang menjadi sasaran hantaman tongkat itu, berusaha mengelak sambil memutar pedang di tangannya. Sehingga membentuk gulu-ngan sinar yang dapat membentengi tubuhnya. Namun, gerakannya telah terbaca oleh lawan, membuatnya tak sempat lagi melindungi punggungnya dari hantaman tongkat lawan. Maka...
Buggg...!
"Aaakh...!"
Hantaman telak tongkat kayu bulat itu, membuat Ki Sunggara memekik kesakitan. Darah segar terlompat dari mulutnya. Sedangkan tubuhnya sendiri terlempar sejauh satu batang tombak lebih.
Bukan main marahnya Ki Ringgit yang menyaksikan kejadian itu. Bagaikan banteng terluka, pedangnya diputar sedemikian rupa dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dimilikinya. Sambil membentak keras, tokoh kedua cabang Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu menerjang lawan dengan serangan-serangan bagaikan gelombang lautan.
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Namun Pendekar Cacat sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan langkah-langkah aneh yang membingungkan, tubuhnya bergerak mengelakkan sambaran pedang Ki Ringgit. Bahkan, sesekali tongkatnya terlontar melakukan serangan balasan.
Diam-diam hati Ki Ringgit merasa penasaran sekali. Sebab, setiap pedangnya menyambar, lawannya selalu saja dengan mudah mengelakkannya. Seolah-olah ilmu pedang miliknya itu telah dikenal lawannya. Tentu saja kenyataan itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya. Sayang, Ki Ringgit tidak sempat berpikir lebih jauh. Sebab, saat itu tongkat di tangan lawan mulai mendesaknya dengan serangan yang susul-menyusul bagaikan tidak pernah putus. Karuan saja Ki Ringgit menjadi kelabakan.
Untung pada saat yang gawat itu, Ki Sunggara telah kembali datang membantunya. Sehingga, ia dapat menarik napas lega karena terbebas dari gempuran lawan, meskipun bersifat sementara. Harapan Ki Ringgit rupanya tidak berlangsung lama. Sebab, ketika pertarungan menginjak pada Jurus keempat puluh, tongkat Pendekar Cacat tiba-tiba berubah gerakannya. Bahkan, serangan kali ini jauh lebih hebat dan mengerikan.
Kaget bukan main hati Ki Ringgit dan Ki Sunggara melihat kenyataan itu. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau lawannya masih memiliki ilmu lain yang belum digunakannya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, keduanya melompat mundur, dan menyiapkan ilmu pedang pasangan yang menjadi andalan mereka.
"Hiaaat...!"
Hebat sekali serangan yang dilancarkan serangan berpasangan itu. Bagi lawan yang belum pernah mengenalnya, tentu akan kewalahan karena pertahanan yang dibuat Ki Ringgit dan Ki Sunggara sangat ketat. Sekilas pandang saja, dapat ditebak kalau ilmu pedang pasangan itu memiliki inti pertahanan yang amat kuat dan sukar ditembus lawan.
Tapi, tidak demikian halnya dengan lelaki berwajah buruk itu. Ilmu pedang pasangan yang digunakan lawannya disambut dengan suara dengusan mengejek. Kemudian, tanpa gentar sedikit pun, tubuhnya langsung meluncur memapaki serangan kedua lawannya.
Kembali Ki Ringgit dan Ki Sunggara melongo heran. Serangan-serangan ilmu pedang pasangan mereka seolah-olah tidak berarti bagi lawannya. Bahkan, tubuh lawan dengan mudah menyelinap di antara kilatan cahaya pedang. Sepertinya lelaki berwajah buruk itu tahu betul kelemahan ilmu pedang pasangan lawannya. Sehingga kedua tokoh utama Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu kembali dapat didesak lawannya.
"Yeaaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus kelima puluh, tiba-tiba Pendekar Cacat memekik nyaring. Dibarengi dengan putaran tongkatnya yang menimbulkan deru angin keras, tubuh tegap itu meluruk ke arah kedua orang lawannya.
Wuuut..! Prakkk! Buggg...!
"Aaakh...!"
Hebat sekali serangan yang dilancarkan Pendekar Cacat. Sehingga, baik Ki Ringgit maupun Ki Sunggara terpaksa harus menyerahkan nyawanya di tangan lelaki cacat itu. Hantaman keras tongkat lawan mengenai kepala dan menembus jantungnya. Membuat kedua orang tokoh itu menggelepar dan tewas.
"Hm... Itulah ganjaran bagi pengkhianat-pengkhianat macam kalian...!" desis Pendekar Cacat dengan nada dingin. Tak berapa lama kemudian, lelaki berwajah buruk itu melangkah terpincang-pincang memasuki gedung perguruan.
"Berhenti...!" Terdengar bentakan menggelegar dibarengi munculnya sosok tubuh gemuk menghadang jalan lelaki cacat itu.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya? Dan, apa yang kau inginkan dengan berbuat keonaran di tempat ini?" geram lelaki gemuk yang tak lain dari Ki Janar Pari.
"Hm.... Janar Pari! Kau tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama lagi! Bersiaplah untuk menerima hukuman mati, Manusia Tak Tahu Balas Budi!" Desis Pendekar Cacat dengan nada dingin dan mendirikan bulu roma.
"Bangsat! Rejam lelaki buruk itu...!" perintah Ki Janar Pari seraya menudingkan telunjuknya ke arah lelaki cacat itu.
"Tunggu...!"
Puluhan murid Perguruan Perisai Besi yang semula meluruk maju, menghentikan langkahnya ketika mendengar teriakan menggelegar yang membuat dada mereka berdebar keras.
"Dengarlah kalian, hai murid-murid Perguruan Perisai Besi! Jika kalian tidak ingin disebut sebagai murid durhaka, jangan campuri urusan ini! Sebab, manusia busuk yang bernama Janar Pari ini, telah bersekongkol dengan iblis-iblis keji, dan membunuh Ki Tambak Waja yang menjadi guru besar kalian semua! Maka, bagi yang tidak ingin disebut murid murtad, menyingkirlah, dan tinggalkan tempat ini," ujar Pendekar Cacat sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling.
"Jangan dengarkan ocehannya! Tunggu apa lagi? Lumatkan lelaki buruk itu!" teriak Ki Janar Pari dengan suara keras.
"Yeaaat...!"
Tanpa membantah lagi, puluhan murid Perguruan Perisai Besi berteriak-teriak dan menyerbu Pendekar Cacat. Suara-suara senjata mereka berdesingan menyambar tubuh lelaki cacat yang segera berlompatan menghindarinya.
"Haiiit...!"
Sambil memekik nyaring, tubuh Pendekar Cacat melayang ke arah Ki Janar Pari yang berdiri menonton. Tongkat di tangannya langsung berputaran dengan kecepatan kilat. Tentu saja Ki Janar Pari tidak mau tinggal diam. Dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Lalu, disambutnya putaran tongkat lelaki cacat itu.
Trang! Trang!
Terdengar benturan keras ketika senjata kedua orang itu saling bertumbukan di udara. Kaget bukan main hati Ki Janar Pari ketika kuda-kudanya tergempur mundur hingga satu tombak ke belakang.
"Gila! Tenaga manusia cacat ini hebat sekali...!" Desis Ki Janar Pari sambil menyeringai menahan rasa ngilu yang menggigit pergelangannya. Namun, Ki Janar Pari tidak sempat berpikir lebih jauh. Sebab, lawannya telah kembali menerjang! Bahkan, serangannya kali ini jauh lebih hebat dan semula. Karuan saja hati tokoh utama Perguruan Perisai Besi itu semakin terkejut.
Pertempuran sengit antara kedua tokoh itu nampak semakin mendebarkan. Para murid Ki Janar Pari hanya berdiri menonton dari kejauhan. Sebab, bila mereka mencampuri pertempuran, hanya akan merepotkan ketuanya saja. Sehingga, mereka bdak berani melibatkan diri dalam pertarungan sengit itu.
Sementara itu, Ki Janar Pati semakin terkejut ketika setiap kali ia berganti jurus, selalu saja dapat dikenali lawannya dengan baik. Seakan-akan jurus-jurus yang digunakannya itu bukan lagi rahasia perguruan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya tak berkutik dalam menghadapi serangan-serangan balasan yang dilontarkan lawannya.
"Haiiit...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kelima puluh, Ki Janar Pati sudah kewalahan dan tidak sempurna lagi melancarkan serangan balasan. Sementara putaran tongkat lawan bagaikan tangan-tangan maut, terus mendesaknya dengan kecepatan dan kekuatan yang menggetarkan. Lelaki setengah baya itu tidak mampu lagi menghindari sebuah tusukan lawan yang dikerahkan dengan kekuatan hebat, meluncur ke arah tenggorokannya.
Jrosss...!
"Eeekh...!" Ki Janar Pati mengerang ketika ujung tongkat Pendekar Cacat tertanam dalam tenggorokannya. Darah segar menyembur dari luka berlubang yang cukup besar.
"Hih...!"
Belum lagi Ki Janar Pati menyadari keadaannya, lelaki berwajah buruk itu kembali membentak sambil menyabetkan tongkatnya ke arah kepala Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu.
Krakkk...!
Tanpa sempat berteriak lagi, tubuh Ki Janar Pali melorot ke tanah dengan kepala retak. Setelah menggelepar beberapa saat, tubuh lelaki setengah tua itu tewas dihadapan puluhan orang muridnya.
"Rawat perguruan ini baik-baik, dan kuburkan mayat-mayat yang mengotori bangunan ini. Kelak aku akan kembali ke sini," ujar Pendekar Cacat kepada puluhan orang murid yang hanya mengangguk dengan wajah pucat. Jelas, mereka merasa gentar dengan lelaki cacat yang berkepandaian tinggi itu.
Setelah meninggalkan pesannya, Pendekar Cacat langsung melesat meninggalkan Perguruan Perisai Besi wilayah Utara. Sesaat kemudian, tubuhnya telah lenyap di balik pintu gerbang.
* * * * *
«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»
Aneh! Sosok tubuh tegap itu tidak melalui mulut Desa Taking. Tetapi berbelok dan mengambil jalan melalui pematang sawah. Di sini, kehebatan ilmu meringankan tubuh kembali dipertunjukkannya. Meskipun jalan yang dilaluinya sangat kecil, namun semua itu tidak menjadi halangan baginya.
"Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, lelaki bertubuh tegap itu menjejakkan kakinya ke tanah. Dan, tubuhnya langsung melambung ke dataran yang lebih tinggi di depannya. Ringan sekali kedua kakinya men-darat di dataran tinggi itu. Setelah mengedarkan pandangannya sejenak, sosok yang ternyata Pendekar Cacat, melangkah tertatih-tatih. Tongkat bulat berwarna kuning gading menjadi penyangga kala ia melangkah terpincang-pincang.
Desa Taking sudah jauh berada di belakang punggungnya, dan tidak ditolehnya sama sekali. Langkahnya yang terpincang-pincang itu terus terayun di atas jalan berbatu. Tak berapa lama kemudian, langkahnya terhenti. Dari balik rimbunan semak belukar, dipan-danginya sebuah bangunan perguruan yang berdiri kokoh dengan dikelilingi pagar kayu bulat.
"Hm.... Tunggulah pembalasanku, Topeng Setan...," desis Pendekar Cacat dengan nada geram. Sinar matanya yang berkilat tajam memancarkan dendam yang membara.
Sambil tetap mengawasi bangunan perguruan itu, Pendekar Cacat menanti hari menjadi gelap. Karena saat itu senja terlihat mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Ketika keremangan senja mulai merata, lelaki berwajah buruk itu berkelebat di antara bayang-bayang pepohonan yang menyembunyikan sosok tubuhnya. Setibanya di bagian belakang perguruan itu, langkahnya dihentikan sejenak.
"Hm.... Biarpun untuk ini harus mengorbankan nyawa, tetap dendam ini akan kubalas," desisnya mengambil keputusan tanpa rasa ragu sedikit pun.
Setelah menetapkan keputusannya, Pendekar Cacat menggenjot tubuhnya. Bagaikan seekor burung besar, tubuh tegap itu melambung melewati pagar kayu bulat setinggi tiga tombak. Persis ketika tubuhnya berada di atas pagar, tangan kanannya perlahan memukul pagar. Kemudian tubuh tegap itu kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Lalu, mendaratkan kedua kakinya di taman belakang bangunan perguruan itu. Rupanya nasib Pendekar Cacat kurang beruntung. Saat tubuhnya melambung, seorang lelaki berkepala botak yang mengenakan rompi dari kulit harimau, sempat menangkap bayangan tubuhnya.
"Hei...! Siapa itu...?" bentak lelaki berkepala botak itu dengan suara keras. Disusul dengan lesatan tubuhnya yang langsung mengejar bayangan lelaki berwajah buruk itu.
Teriakan yang cukup keras itu, sempat pula terdengar oleh beberapa penjaga yang tengah bertugas. Sehingga tempat itu segera ramai oleh para penjaga yang juga telah mendengar seruan lelaki berkepala botak itu.
Pendekar Cacat terkejut bukan main. Sadar kalau tidak mungkin lagi menyembunyikan diri, maka dengan langkah tertatih-tatih lelaki cacat itu keluar dari tempat persembunyiannya.
"He he he Manusia cacat! Apa yang kau cari ditempat ini?" Terdengar teguran mengejek yang keluar dari mulut lelaki berkepala botak yang tak lain adalah si Cambuk Kelabang.
Setelah berkata demikian, tangan si Cambuk Kelabang bergerak memerintahkan murid-muridnya untuk mengepung lelaki berwajah buruk itu.
"Cambuk Kelabang...," desis Pendekar Cacat ketika mengenali lelaki berkepala botak yang memimpin orang-orangnya untuk mengepung. Tampak kilatan cahaya dendam dari sepasang mata lelaki cacat itu. Sedangkan ejekan lelaki botak itu sama sekali tidak dipedulikannya.
"Hm.... Bekuk pencuri kesasar itu! Bawa menghadap Ketua Topeng Setan...!" perintah si Cambuk Kelabang dengan suara lantang.
Tanpa diperintah dua kali, belasan lelaki berseragam putih bergerak menyerbu lelaki cacat itu.
"Hmh...!" Sambil menggeram gusar, Pendekar Cacat mengibaskan tongkat di tangannya ke sekeliling tempat itu.
Wuuut...!
Serangkum angin keras berhembus ketika tongkat di tangan Pendekar Cacat diputar dengan mengerahkan tenaga dalam. Karuan saja mereka yang semula bergerak menyerbu menjadi mundur. Sehingga dalam sekejap saja, para pengepung dibuat berantakan oleh lelaki cacat.
Gusar bukan main hati lelaki berkepala botak itu ketika menyaksikan kenyataan didepan hidungnya. Wajah si Cambuk Kelabang yang memang agak gelap, nampak semakin bertambah kelam. Jelas, ia sangat marah dengan kejadian yang baru saja berlangsung dihadapannya.
"Kurang ajar...!" desisnya dengan nada geram. Cepat tangan kanannya bergerak meloloskan cambuk berduri yang terlilit di pinggangnya. Maka....
Jdarrr! Jdarrr!
Terdengar suara ledakan keras yang memekakkan gendang telinga, ketika lelaki berkepala botak itu melecutkan cambuknya berkali-kali. Asap tipis tampak mengepul diselingi bau amis yang menyengat hidung.
"Gila...! Rupanya keparat botak itu telah melumuri racun pada cambuknya. Padahal, beberapa waktu lalu, cambuk itu belum berlumur racun. Hm... Aku harus lebih berhati-hati dalam menghadapi cambuk berduri itu..," gumam Pendekar Cacat sambil bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Yeaaat. !"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh lelaki gemuk berkepala botak itu langsung melesat disertai lecutan cambuknya yang meledak-ledak.
Jdarrr! Jdarrr...!
Cambuk berduri itu melecut-lecut mengincar bagian-bagian terlemah dari tubuh Pendekar Cacat. Namun, dengan gerakan yang ringan dan langkah-langkah aneh, tubuh lelaki cacat itu meloncat kian kemari dengan lincahnya. Sehingga, ujung-ujung cambuk berduri itu tidak sampai menyentuh tubuhnya.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan baik, Pendekar Cacat menghantamkan tongkatnya dengan kecepatan yang menggetarkan.
Wuuut...!
Sambaran angin keras menderu seiring dengan ayunan tongkat yang digerakkan melalui kekuatan tenaga dalam. Beberapa pengepung yang mencoba membokong lelaki berwajah buruk itu, terpelanting keras tanpa sanggup bangkit lagi. Tubuh mereka berkelojotan sesaat, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Jelas, hantaman tongkat Pendekar Cacat mengandung tenaga sakti yang luar biasa.
"Gila...!" umpat si Cambuk Kelabang dengan wajah semakin bertambah gelap. Dengan disertai bentakan nyaring, tubuh lelaki berkepala botak itu kembali meluruk maju disertai putaran cambuknya yang menderu dan mendesis-desis tajam. Kepulan asap tipis berbau amis semakin kuat menyergap hidung lelaki cacat itu.
"Heaaah...!"
Geram bukan main hati Pendekar Cacat melihat kecurangan lawannya. Bokongan cambuk lawannya berhasil dielakkan. Kemudian, ujung tongkatnya bergerak dengan kecepatan kilat ke arah tubuh lawan.
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Si Cambuk Kelabang memekik kesakitan. Serangan balasan tongkat lawannya menghajar telak batang leher dan dadanya. Kontan darah segar menyembur dari mulut lelaki berkepala botak itu. Tubuhnya yang besar, jatuh berdebuk di atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tubuhnya diam dan tak bergerak lagi. Si Cambuk Kelabang tewas akibat hantaman tongkat di tangan Pendekar Cacat.
Namun, lelaki cacat yang baru saja menewaskan musuhnya tersentak kaget. Hampir bersamaan dengan robohnya tubuh Cambuk Kelabang, sesosok bayangan melesat dengan kecepatan kilat, dan langsung mengirimkan tendangan keras ke dada Pendekar Cacat.
Desss...!
"Huagkh...!"
Karena posisinya saat itu sama sekali belum siap, maka tendangan keras tadi menghajar telak dadanya. Bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, tubuh Pendekar Cacat terpental deras hingga dua tombak lebih. Kemudian jatuh berguling-guling dan memuntahkan darah segar. Meskipun dadanya terasa sesak dan tulangnya terasa seperti remuk, Pendekar Cacat masih berusaha bangkit. Kedua kakinya terlihat agak goyah ketika ia memaksakan berdiri.
Belum sempat lelaki berwajah buruk itu berdiri tegak, sosok bayangan putih itu kembali meluruk dengan pukulan maut yang menimbulkan suara mencicit tajam. Jelas, pukulan yang dilancarkan sosok bayangan putih itu merupakan pukulan maut yang bisa membawa kematian bagi lawannya. Pendekar Cacat yang mengalami luka cukup parah itu, hanya mampu memandang serangan lawannya dengan pasrah. Sebab keadaannya sudah sangat lemah sehingga tidak mungkin menghindari serangan lawannya.
"Heaaat...!"
Mendadak pada saat yang gawat bagi keselamatan lelaki cacat itu, sesosok bayangan putih lainnya melesat dan langsung memapak pukulan maut sosok bayangan putih yang pertama. Maka....
Plakkk! Dukkk!
"Akh. !"
"Uhhh. !"
Terjadilah benturan hebat yang seolah-olah hendak meruntuhkan bangunan perguruan itu. Kemudian disusul seruan kaget dari kedua sosok bayangan putih yang saling bentrok pukulan itu.
Terlihat kedua sosok bayangan putih itu sama-sama terpental hingga mencapai dua tombak jauhnya. Namun, keduanya mampu melakukan salto di udara beberapa kali untuk mematahkan daya luncur tubuh masing-masing. Dan, keduanya mendarat di atas tanah dalam waktu yang bersamaan.
"Pendekar Naga Putih...!" desis sosok berpakaian putih sambil menatap lawannya setengah tidak percaya. Sepasang mata yang tersembunyi di balik topeng karet itu berkilat tajam. Jelas, ia merasa tak senang ada orang mencampuri urusannya.
"Hm.... Kau pastilah orang yang berjuluk Topeng Setan, bukan?" ucap sosok berjubah putih dengan sikap tenang. Wajahnya yang tampan tampak mengulas senyum. Tubuhnya yang tegap masih terselimut lapisan kabut tipis bersinar putih keperakan. Tidak salah lagi, orang berjubah putih itu adalah Panji yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Selagi kedua sosok yang sama-sama mengenakan pakaian warna putih itu saling tatap, dua sosok tubuh lain mendaratkan kakinya didepan lelaki buruk rupa yang tengah memegangi dadanya.
"Kisanak, kau... kau terluka...?" sapa sosok yang baru tiba sambil menyentuh bahu Pendekar Cacat. Wajahnya yang cantik tampak menyiratkan sinar penuh iba.
Lelaki cacat yang semula merunduk itu, perlahan mengangkat kepalanya. Sinar matanya tertegun sejenak. Pendekar Cacat merasa terkejut melihat gadis berpakaian merah muda yang tadi menegurnya. Bibirnya yang tebal dan berwarna hitam, menggerimit seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun, yang keluar dari mulutnya hanya desahan panjang.
"Kau hendak mengatakan apa, Kisanak...!" Tanya gadis cantik itu dengan pandangan penuh selidik. Meskipun dara cantik itu sempat kaget ketika melihat wajah yang buruk dan menakutkan itu, tapi hatinya merasa dekat dan iba sekali terhadap lelaki berwajah mengerikan itu.
"Kau.... Apakah kau bernama Milani. Nisanak...?" Tanya Pendekar Cacat terbata-bata. Nada suaranya agak ragu-ragu, namun jelas kalau ia sangat berharap dugaannya tidak keliru.
"Benar! Namaku memang Milani. Kau... siapakah kau, Kisanak? Bagaimana kau bisa mengenalku? Rasanya..., kita tidak pemah saling bertemu sebelumnya?" Tanya gadis yang ternyata Milani itu dengan wajah keheranan. Wajar kalau Milani merasa heran. Sebab, boleh dibilang, gadis cantik ini hampir tidak pernah keluar dari perguruan yang dipimpim ayahnya. Tentu saja hatinya merasa heran mendengar lelaki cacat itu mengetahui namanya.
"Milani..., percayakah kau kalau aku ini adalah Wiranta, kakakmu?" ucap Pendekar Cacat sambil menatap tepat ke bola mata Milani. Sepertinya ia hendak menegasi sambutan gadis cantik itu atas ucapannya.
Tentu saja Milani tersentak kaget mendengar pengakuan yang sama sekali tidak diduganya itu. Gadis cantik itu baru mengerti mengapa ia merasa sangat dekat dengan lelaki buruk itu, meskipun baru pertama kali bertemu. Tapi Milani tidak bisa percaya begitu saja. Sebab, bisa saja orang berwajah buruk itu memang telah mengenalnya. Dan, mencoba memanfaatkan kesempatan untuk maksud-maksud tertentu.
"Aku telah menduga kalau kau tidak percaya dengan ucapanku. Aku mengerti keraguan hatimu. Sebab, gadis cantik mana yang sudi mempunyai seorang kakak berwajah seperti setan," tutur Pendekar Cacat tertunduk sedih. Jelas, hatinya merasa terpukul ketika melihat sikap Milani yang tidak sudi mengakui dirinya sebagai kakak kandungnya.
"Maaf, Kisanak. Bukan aku tidak suka mempunyai seorang kakak seperti apa yang kau katakan itu," sahut Milani yang merasa tidak enak untuk mengatakan 'berwajah buruk'. Karena ia takut lelaki cacat itu akan menjadi lebih tersinggung. Milani tercenung sejenak seraya menatap tajam ke arah tubuh ielaki berwajah buruk itu. Seolah-olah ia ingin mencari kepastian di tubuh lelaki yang mengaku bernama Wiranta itu.
"Tapi haruskah aku mempercayai begitu saja ucapanmu? Kalau memang kau benar-benar kakakku, tunjukkanlah tanda yang ada pada dirimu. Sebab, keluarga kami memiliki tanda khusus pada lengan kanannya yang tidak bisa ditiru orang iain," tegas Milani sambil menatap wajah buruk itu dengan penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Cacat segera merobek baju pada pangkal lengannya. Dan, tanda khusus yang dikehendaki Milani ternyata memang ada pada pangkal lengan lelaki berwajah buruk itu. Keraguan di wajah gadis cantik itu pun lenyap seketika. Dipeluknya tubuh lelaki cacat itu tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Kakang.... Apa yang terjadi denganmu? Mengapa kau sampai menderita seperti ini?" isak Milani sambil menyembunyikan wajahnya di dada lelaki buruk yang memang Wiranta itu.
"Nantilah akan kuceritakan. Sekarang, sebaiknya kita bereskan dulu manusia manusia jahanam yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga kita...," sahut Wiranta sambil melepaskan pelukan adiknya.
Gadis cantik berpakaian serba hijau yang sejak tadi hanya berdiri terpaku, sempat diliputi keharuan melihat pertemuan kakak beradik itu. Kemalangan telah memisahkan mereka. Kini, keduanya bertemu lagi, meskipun dalam keadaan yang sama sekali tidak mereka inginkan bersama.
"Milani. Biar kulihat dulu luka yang diderita kakakmu. Kau berjaga-jaga saja...," ujar gadis berpakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga.
Setelah berkata demikian, Kenanga mengambil sebutir obat berwarna putih dari dalam kantung kain yang tergantung dipinggang kirinya. Kemudian, diserahkannya sebutir kepada Wiranta. Usai menyerahkan obat gadis jelita itu pun bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedangkan Wiranta sudah tenggelam dalam semadinya untuk melancarkan peredaran darahnya kembali.
"Mengapa puluhan orang lelaki itu tidak menyerang kita, Milani?" Tanya Kenanga yang merasa heran melihat puluhan orang pengikut Topeng Setan sama sekali tidak bergerak menyerang. Tapi, mereka tetap dalam posisi mengepung dengan senjata di tangan.
"Hm.... Mungkin mereka masih merasa enggan untuk menyerangku. Itu pertanda hati mereka belum sepenuhnya terbawa oleh lelaki jahanam yang berjuluk Topeng Setan itu. Hal ini tentu cukup menggembirakan bagiku. Sebab, seandainya mereka tidak lagi memandangku, tentu sejak tadi kita sudah kerepotan. Bahkan, mungkin saja Kakang Wiranta menjadi tewas. Kulihat kesehatan tubuhnya masih sangat lemah," sahut Milani sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
Namun, kelegaan hati Milani tidak berlangsung lama. Tiba-tiba berkelebat tiga sosok bayangan dari dalam bangunan utama perguruan itu. Kedatangan ketiga orang itulah yang membuat keadaan menjadi berubah.
"Hei! Mengapa kalian diam saja? Ayo, cincang ketiga orang itu!" perintah salah seorang dari ketiga orang itu dengan suara mengandung teguran.
Milani dan Kenanga memalingkan wajah ke arah asal suara itu. Kening gadis itu berkerut ketika melihat seorang wanita tua berwajah keriput. Sinar mata nenek itu nampak tajam dan mengerikan. Sedangkan dua orang lainnya adalah lelaki bertubuh gagah dan memiliki sikap agak angkuh. Dan, itu terlihat jelas baik dari sikap maupun pandangan matanya yang menyiratkan ejekan. Sepertinya mereka memandang remeh terhadap kedua orang gadis cantik itu.
"Eh...!" Sentak salah satu dari kedua orang lelaki itu agak kaget ketika sempat melihat wajah Milani lebih tegas. Tampak jelas rasa terkejut terpancar pada wajahnya.
"Ada apa, Adi Basra...?" Tanya kawannya yang memiliki kumis tipis dan cambang. Sebab ia merasa heran melihat kekagetan pada wajah kawannya yang bernama Basra itu.
"Bukankah itu putri Ki Tambak Baya..?" Tanya Basra meminta pendapat lelaki berkumis tipis itu.
"Hai..., benar! Pantas aku seperti pernah melihat wajahnya. Hm.... Kalau begitu, kita harus hati-hati. Sebab, sebagai putri Ki Tambak Baya tentu saja ia memiliki kepandaian cukup lumayan," bisik lelaki berkumis tipis itu mengingatkan kawannya.
Lelaki berwajah gagah yang dipanggil Basra itu mengangguk perlahan. Sedangkan sepasang matanya telah beralih ke arah gadis berpakaian serba hijau yang memiliki paras jelita dan sangat mempesona. Basra langsung terpikat ketika melihat gadis jelita itu. Terlihat pada tatapannya yang tak pemah lepas dari raut wajah Kenanga.
Sementara itu, puluhan lelaki bersenjata yang semula hanya mengepung, kini mulai bergerak setelah mendapat perinrah dari nenek bermata mengerikan itu. Nenek yang terkenal dengan julukan Kuntilanak Hutan Manuk itu terkekeh serak. Tongkat kepala tengkorak di tangannya diketukkan ke tanah beberapa kail Setelah itu, kakinya yang kurus dan mengenakan gelang perak melangkah beberapa tindak. Keningnya tampak berkerut ketika melihat lelaki berwajah buruk yang tengah bangkit setelah menyelesaikan semadinya.
"Bunuh ketiga orang itu...!" teriak Kuntilanak Hutan Manuk dengan suara parau, seraya mengibaskan tongkat kepala tengkoraknya sebagai aba-aba untuk menyerang.
* * * * *
«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»
Sambil berteriak keras, puluhan murid Perguruan Perisai Besi bergerak menyerang Kenanga dan dua orang putra Ki Tambak Baya.
Kenanga telah meloloskan Pedang Sinar Rembulan yang melingkari pinggangnya. Senjata pusaka yang mengeluarkan sinar putih keperakan itu diputar sedemikian rupa, sehingga membentuk gulungan sinar yang mengejutkan para pengeroyoknya.
Demikian pula halnya dengan Wiranta. Lelaki bermuka buruk yang berjuluk Pendekar Cacat itu memutar tongkatnya di depan dada, sehingga menimbulkan deruan angin yang berputar hebat Kesehatannya yang telah pulih berkat pil pemberian Kenanga, membuat semangatnya terbangkit. Dengan gagah, tubuhnya melesat menghalau musuh yang mengepung mereka.
Milani pun tidak tinggat diam, pedang yang tergenggam di tangannya, berkelebatan menyambar-nyambar bagaikan kilatan-kilatan tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan-lawannya.
Hebat bukan main gempuran yang dilancarkan ketiga orang pendekar muda itu. Dalam waktu sekejap, puluhan pengeroyok itu dibuatnya kocar-kacir. Darah segar muncrat seiring jerit kematjan yang susul-menyusul, menambah semarak sua-sana pertempuran.
Kuntilanak Hutan Manuk dan dua orang lelaki gagah yang semula memandang enteng ketiga lawannya, menjadi terkejut bukan main. Maka, ketiga tubuh itu segera melayang memasuki kancah pertempuran.
Masuknya ketiga tokoh sesat itu, membuat keadaan berubah seketika. Sehingga Kenanga, Milani, dan Wiranta terpaksa meningkatkan serangan-serangannya. Dan, jika mereka tidak ingin tewas dalam pertempuran, maka harus selalu waspada. Sebab kehadiran ketiga pentolan lawan itu membuat pertarungan semakin bertambah ramai dan sengit.
"Haaat...!"
Wiranta yang telah menjelma menjadi seorang lelaki cacat itu, berteriak nyaring sambil membabatkan tongkatnya menyapu dua orang lawan yang hendak membokongnya. Begitu tubuh kedua lawannya terjungkal, Pendekar Cacat langsung mengirimkan totokan maut. Jerit kematian terdengar melolong ketika ujung tongkat Wiranta menembus tenggorokan mereka.
"Yeaaat...!"
Lelaki bertubuh tegap yang bernama Basra cepat memanfaatkan kesempatan selagi Wiranta membelakanginya. Pedang di tangannya berdesing nyaring merobek udara malam.
Namun, Wiranta bukanlah lelaki cacat yang gampang ditaklukkan. Meskipun tubuhnya tidak sempurna akibat kekejaman Topeng Setan, tapi kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi. Maka ketika merasakan sambaran angin tajam dari belakangnya, cepat-cepat pemuda itu menjatuhkan tubuhnya, dan langsung menyodokkan ujung tongkatnya ke arah dada lawan.
Wuuut...!
"Aaah...!"
Gerakan tak terduga yang dilakukan Wiranta membuat lawannya terpekik kaget. Untung Basra sempat memiringkan tubuhnya ke samping, sehingga tusukan maut itu tidak sampai mengenai dadanya. Kemudian, terpaksa tubuhnya berjumpalitan beberapa kali ketika tongkat lawan berputar mengancam kepalanya.
"Hm.... Rupanya Ketua Perguruan Perisai Besi cabang wilayah Barat telah bersekongkol dengan Topeng Setan. Pantas ketika kudatangi kau tidak ada di tempat, Ki Basra. Rupanya kau sudah berada di sini. Rencana apa yang tengah kau susun saat ini, Pengkhianat?" geram Wiranta yang mengenal baik Ki Basra sebagai pengikut ayahnya yang menjabat Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Barat. Kegeraman pemuda itu pun semakin menjadi-jadi.
"Tidak perlu banyak bacot! Susullah tua bangka itu di akhirat!" bentak Ki Basra seraya menyerang Wiranta dengan ayunan pedangnya.
Bettt! Bettt!
Wiranta melangkah ke kiri-kanan dengan gerakan-gerakan aneh untuk menghindari serangan beruntun lawannya. Dan ketika memasuki jurus keempat puluh, ia melihat sebuah peluang yang sangat baik, langsung saja pemuda cacat itu menyabetkan tongkatnya dengan sepenuh tenaga.
Wuuut...!
Prakkk...!
Hantaman tongkat yang amat kuat itu, telak menghajar pelipis Ki Basra. Darah segar mengucur sailing dengan tubuh lelaki setengah tua itu terjengkang dan terhempas ke tanah. Tubuh itu berkelojotan, sebelum tewas dengan mata mendelik.
Setelah menewaskan lawannya, Pendekar Cacat mengamuk hebat. Belasan lawan dibabat dengan tongkatnya, sehingga para pengeroyok itu terpelanting ke kanan dan kiri. Disusul kemudian sebuah hantaman keras dari senjata yang tergenggam di tangan Wiranta. Jerit kematian terdengar pilu seiring darah mengucur dari luka-luka yang menganga di leher mereka.
Dalam pertarungan lain, Kenanga dan Milani juga mengamuk hebat seperti banteng terluka. Belasan pengeroyoknya dihajar habis-habisan. Namun, sebagian dapat diselematkan oleh tiga orang pentolannya.
Wiranta yang melihat adiknya terdesak oleh seorang lelaki berkumis tipis, segera melesat dan langsung menerjang lelaki yang dikenalnya sebagai murid ayahnya dan menjadi ketua perguruan di wilayah Timur. Sehingga Milani dapat menarik napas lega.
"Keparat busuk! Mampuslah kau...!" maki Wiranta sambil menyabetkan tongkatnya dengan kekuatan penuh.
Namun, lawannya ternyata cukup gesit. Selain sambaran tongkat pemuda cacat itu dapat dihindarinya, ia pun sempat pula melakukan serangan balasan. Sehingga pertarungan keduanya pun berlangsung sengit dan seru.
"Yeaaat..!"
"Heaaat...!"
Di arena lain, Pendekar Naga Putih sudah pula berhadapan dengan gembong penjahat yang berjuluk Topeng Setan. Kedua tokoh yang memiliki kesaktian dahsyat itu saling menerjang dahsyat. Pertempuran yang berlangsung antara kedua tokoh sakti itu, jauh lebih mendebarkan ketimbang pertempuran-pertempuran lainnya.
Sehingga suasana di sekitar arena pertarungan mereka bagaikan terlanda angin topan yang mengerikan. Beberapa batang pohon sebesar pelukan orang dewasa bertumbangan akibat angin pukulan mereka yang nyasar. Bahkan pagar kayu bulat yang berada dekat mereka, roboh berkeping-keping. Dapat dibayangkan, berapa mengerikannya pertarungan kedua tokoh maha sakti itu.
Panji yang telah menggunakan jurus andalannya, bergerak menyambar-nyambar dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya. Suara sambaran angin yang berasal dari pukulannya mencicit tajam, menandakan kekuatan hebat yang terkandung di dalamnya. Bahkan, hawa dingin yang memancar keluar dari tubuh pemuda itu membuat keadaan di sekitar arena pertempuran seperti dilanda badai salju.
Namun, lawan yang dihadapi pendekar muda itu pun bukan tokoh sembarangan. Sambaran-sambaran angin pukulannya menebarkan hawa panas menyengat. Sehingga suhu udara di sekitar pertarungan berubah-ubah. Bila si Topeng Setan tengah berada di atas angin, maka udara di sekitar arena pertempuran menjadi panas menyengat. Sebaliknya, bila Pendekar Naga Putih mendesak lawannya, suhu udara pun menjadi dingin bagai menembus tulang. Untung kedua tokoh sakti itu sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang tidak lumrah bagi manu-sia. Jika tidak, niscaya bagian dalam tubuh mereka akan rusak akibat pergantian udara yang tidak menentu itu.
"Heaaat...!"
Pada saat pertarungan menginjak pada jurus keseratus enam puluh, tiba-tiba si Topeng Setan berteriak menggetarkan dada. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat dengan disertai lontaran-lontaran pukulan. Bersamaan dengan teriakan yang menggetarkan dada, si Topeng Setan melesat disertai lontaran pukulannya yang mencicit tajam.
Blarrr...!
Pagar kayu bulat yang berada di belakang Panji, langsung roboh menimbulkan suara berderak ribut! Pecahan kayu berhamburan akibat angin pukulan berhawa panas menyengat yang terlontar dari telapak tangan si Topeng Setan. Untung pemuda berjubah putih itu sempat melompat kesamping. Kalau tidak, pastilah tubuh Panji akan terluka parah bila terkena pukulan maut itu.
Panji yang semakin menyadari kedahsyatan ilmu lawannya, segera merubah gerakannya. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga, berputar sebentar di depan tubuhnya. Terdengar suara bercuitan seiring putaran tangannya. Sesaat kemudian, sepasang tangannya bergerak cepat saling susul-menyusul dengan disertai langkah kakinya yang menimbulkan guratan-guratan dalam di tanah tempatnya berpijak.
"Hmh...!" Topeng Setan menggeram kasar ketika melihat perubahan gerak lawannya. Bergegas lelaki tegap itu menggeser kaki kanannya ke belakang, membentuk kuda-kuda menyerong. Sepasang tangannya tampak bergetar karena menyimpan kekuatan hebat di dalamnya. Sesaat kemudian, sepasang tangan kokoh itu bergerak menyabet ke kiri-kanan dengan gerakan yang sangat cepat.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sambil melontarkan pukulan-pukulan maut dan disertai langkah kaki berbentuk aneh, si Topeng Setan berteriak mengguncangkan bangunan perguruan itu.
"Heaaa...!"
Wusss...!
Begitu jarak di antara mereka tinggal satu setengah tombak, lelaki tegap itu mendorongkan sepasang telapak tangannya kedepan. Hembusan angin tajam berhawa panas menyengat, terlontar dari sepasang telapak tangannya.
Panji yang tidak ingin keringgalan, segera mendorongkan telapak tangannya. Dan, pada waktu serangan dilancarkan secara bersamaan, maka....
Blarrr. !
Ledakan dahsyat laksana hendak mengguncangkan jagat terdengar ketika dua kekuatan raksasa itu saling berbenturan satu sama lain.
"Aaargh. !"
Si Topeng Setan berteriak ngeri ketika tubuhnya terdorong dan melambung di udara. Sedangkan tubuh Pendekar Naga Putih hanya terhuyung sejauh sepuluh langkah. Sinar putih keperakan dan sinar kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuhnya. Kedua sinar itu menandakan kalau Panji tidak menderita luka dalam akibat bentrokan tersebut
Melihat tubuh lawannya terpental, Panji cepat memantek kakinya di tanah. Seketika itu juga daya luncur tubuhnya langsung lenyap. Begitu daya dorong benturan tadi dapat dipatahkan, langsung tubuhnya melesat mengejar lawannya yang masih melayang diudara.
Bukkk! Desss...!
"Huagkh...!"
Darah segar langsung keluar dari mulut si Topeng Setan. Sedangkan tubuhnya tersentak keras dan membentur sebatang pohon besar yang langsung berderak tumbang. Bergegas Panji melompat ke arah tubuh lawannya yang menggelosot sambil merintih lirih.
"Tahan...!"
Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya bermaksud mencegah lelaki berwajah buruk yang akan menghantamkan tongkatnya ke kepala si Topeng Setan yang tergeletak tak bernyawa.
"Mengapa kau mencegahku? Orang ini telah menghancurkan hidupku! MenyingkiHah..." bentak Wiranta sambil menatap tajam ke arah Panji.
"Sabarlah, Kakang...," ujar Milani mencegah Wiranta yang hendak menyerang Panji, setelah membabat lawan-lawannya.
"Tahan nafsu amarahmu, Wiranta," ucap Kenanga berusaha menenangkan pemuda cacat itu ketika berada di dekatnya, seusai menghabisi orang-orang yang mengeroyoknya.
"Hm... aku ingin melihat wajah di balik topeng jelek ini. Apakah wajah aslinya jauh lebih buruk daripada topeng yang dikenakannya?" desah Panji sambil merenggut topeng karet Upis yang selama ini menyembunyikan wajah lelaki tegap itu.
"Paman Wilangga...!?"
Wiranta dan Milani berteriak berbarengan dengan wajah pucat. Kedua kakak beradik itu sama-sama melangkah mundur dengan wajah tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
"Paman.... Mengapa... mengapa Paman melakukan semua ini...?" teriak Wiranta yang sejak kecil memang sangat dekat dengan orang yang dipanggil paman olehnya itu. Diguncangnya tubuh lelaki berusia empat puluh lima tahun yang tengah sekarat itu. Air mata tampak mengembang di bola mata lelaki berwajah buruk itu. Tokoh sesat berjuluk Topeng Setan yang ternyata adalah Wilangga, adik tin Ki Tambak Baya itu, perlahan membuka matanya yang tampak meredup.
"Wiranta... Milani..., maaf... kan aku...," desah Ki Wilangga dengan susah payah. "Aku... aku telah menjadi gila setelah mempelajari ilmu-ilmu tinggi yang kutemukan dalam sebuah gua di kaki Gunung Tumbal. Ilmu-ilmu tinggi itu ternyata sangat jahat dan telah meracuni pikiranku. Sehingga, aku sampai merebut perguruan milik ayahmu ini, dan membunuhnya," ucapan Ki Wilangga terhenti sejenak. Tampak dengan susah payah lelaki setengah baya itu berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk menceritakan segala kesalahan yang telah dilakukannya.
"Paman...!" Milani yang wajahnya sudah dibasahi air mata, memanggil sambil mengguncangkan tubuh pamannya. Sedangkan Wiranta tertunduk dengan wajah sedih.
"Milani.. Wiranta...," panggil Ki Wilangga lagi dengan nada yang semakin lemah. "Pengaruh ilmu iblis itu ternyata telah membangkitkan segala apa yang pernah kurasakan dulu. Ketahuilah, aku dan ayahmu pernah bertengkar karena memperebutkan ibumu yang sama-sama kami cintai. Namun, waktu itu aku dapat menyadarinya ketika ibumu menjatuhkan pilihannya kepada ayahmu. Tapi, semenjak menguasai ilmu iblis itu, timbul sakit hatiku dan berniat untuk memiliki ibumu dengan segala cara.
Namun, setelah ayahmu dapat kubunuh, seluruh perguruan dan cabangnya berada di bawah kekuasaanku. Sedangkan ibumu ternyata memilih lebih baik mati daripada menjadi istriku. Hhh..., kematian ibumu membuat jiwaku semakin guncang. Sehingga aku membenci kalian. Sebab dalam bayanganku kalian berdua adalah jelmaan Ki Tambak Baya. Itulah sebabnya kenapa kau ingin membunuh kalian berdua. Wiranta, Milani..., maukah kalian memaafkan aku?" Tanya Ki Wilangga setelah mengakhiri penjelasannya.
"Kami... kami memaafkanmu, Paman. Sekarang sebaiknya Paman tidak usah banyak bicara. Kami akan meminta pertolongan Pendekar Naga Putih untuk menyembuhkan luka-lukamu," ujar Milani yang berharap lelaki tegap itu tetap hidup. Sebab, hanya Ki Wilangga yang tinggal setelah ayah dan ibunya tewas.
"Aku tidak mungkin dapat sembuh lagi, Milani. Seluruh pembuluh darahku telah hancur akibat pukulan dahsyat Pendekar Naga Putih. Karena aku ingin menjelaskan persoalan ini kepada kalian berdua, maka aku mencoba bertahan beberapa saat," ujar orang tua itu seraya tersenyum getir.
"Paman..., apakah Paman juga yang telah membunuh Pendekar Kera Siluman? Ketika aku dan Pendekar Naga Putih mendatangi Lembah Siluman, kami menemukan mayat pendekar itu di tepi sebuah hutan. Menurut Kakang Panji, kematian guru Kakang Wiranta disebabkan pukulan yang mengandung hawa panas. Ketika Paman bertarung dengan Pendekar Naga Putih tadi, aku sempat menyaksikan pukulan Paman yang mengandung hawa panas. Karena itu, aku teringat dengan dugaan Pendekar Naga Putih tentang pembunuh guru Kakang Wiranta," Tanya Milani.
"Hhh..., benar, Milani. Akulah yang telah membunuh Pendekar Kera Siluman. Karena dia tidak mau kuajak menjadi pengikutku. Akh...!"
Selesai berkata demikian, Ki Wilangga mengerang dengan wajah menegang. Sesaat kemudian kepalanya terkulai di pangkuan Milani. Lelaki tua itu tewas dengan bibir menyunggingkan senyum. Rupanya semua penjelasan itu telah membuat kematiannya terasa lebih ringan.
"Paman...!" Milani berseru sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ki Wilangga. Tangisnya meledak di atas dada orang tua itu.
Wiranta sendiri hanya tertunduk tanpa suara. Hanya gelombang di dadanya saja yang menandakan kalau pemuda itu pun merasa terpukul dengan kematian pamannya. Kenanga yang merasa tidak tahan mendengar isak tangis Milani, segera menyandarkan kepalanya di dada Panji. Kedua tangan gadis jelita itu memeluk tubuh kekasihnya erat-erat.
Panji sendiri menekan keharuan yang menyeruak dalam dadanya. Dibelainya rambut Kenanga, seolah-olah dengan berbuat demikian, ia berharap dapat memberi tambahan kekuatan dalam hati kekasihnya.
Sang surya naik merambat dan menyebarkan sinarnya ke seluruh permukaan bumi. Seberkas cahaya menembus celah-celah dedaunan pohon yang tumbuh di halaman bangunan Perguruan Perisai Besi. Tampak cahaya itu menerpa wajah sepasang pendekar muda yang akan meninggalkan tempat itu.
Setelah dua hari Panji dan Kenanga menemani dan menghibur Wiranta dan Milani yang sedang dirundung kemalangan. Namun, sepasang pendekar muda itu telah berniat untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan hati berat mereka terpaksa meninggalkan kedua sahabat barunya itu.
Dengan diantar Wiranta, Milani, dan belasan murid Perguruan Perisai Besi yang telah sadar, pasangan pendekar itu melangkah meninggalkan bangunan Perguruan Perisai Besi. Setelah sosok Panji dan Kenanga hilang dari pandangan, Wiranta dan Milani melangkah memasuki bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat.
"Kakang. Kau belum menceritakan pengalaman yang pernah kau janjikan itu," ujar Milani sambil memeluk pinggang Wiranta saat mereka melangkah menuju bangunan utama perguruan itu.
"Hhh..., sebuah pengalaman yang sangat mengesankan. Ketika tubuhku meluncur ke dalam jurang setelah dilukai Paman Wilangga, secara kebetulan aku tertahan batang pohon yang terjulur di dinding tebing. Begitu tersadar dari pingsan, aku melihat sebuah gua di dinding tebing. Aku sadar bahwa gua itulah satu-satunya yang dapat kujadikan tempat tinggal. Ternyata di dalam gua itu kutemukan kerangka seorang wanita tua dengan tongkat tergenggam di tangannya. Kupelajari lukisan gerakan- gerakan orang bersilat yang terdapat di dinding gua. Setelah itu, kuikuti petunjuk yang terdapat dalam lukisan itu. Pada dinding itu tertulis sederet huruf. Kemudian aku mengikuti lorong gua yang terletak di sebelah kiri. Lalu aku menemukan gua bercabang, dan kutelusuri gua yang besar itu. Kemudian, di sanalah aku mempelajari gerakan-gerakan silat," ujar Wiranta mengakhiri ceritanya sambil menghela napas.
"Lalu, ke manakah tembusan gua itu...?" Tanya Milani yang rupanya masih belum puas sebelum mendengar semua cerita Wiranta.
"Yah... mungkin nenek sakti itu yang membuat tembusan. Tapi, entah kenapa ia tidak mau keluar dari dalam gua itu. Dan, memilih mati di dalam gua. Mungkin saat tembusan gua itu selesai, umurnya sudah terlalu tua. Sehingga, ia tidak mempunyai keinginan untuk terjun ke dunia ramai lagi. Seperti yang sering kita dengar dari cerita ayah mengenai tokoh-tokoh sakti, mereka lebih suka menyepi ketimbang hidup di dunia ramai. Setelah beberapa lama menyusuri lorong gua itu, tibalah aku di sebuah tepian pantai. Kemudian berjumpa denganmu," ujar Wiranta seraya mengetatkan pelukannya dan menatap wajah adiknya.
"Kalau begitu, apa yang membuat wajah Kakang menjadi rusak? Rasanya sejak tadi Kakang tidak menyinggungnya..."
"Hm..., aku sengaja menggunakan topeng karet tipis ini untuk menghindari Topeng Setan dan orang-orangnya. Dengan begitu, aku dapat lebih leluasa untuk menyelidiki manusia yang berjuluk Topeng Setan itu," sahut Wiranta seraya membuka topeng yang selama ini menyembunyikan wajahnya. Maka, tampaklah wajah asli pemuda itu yang bersih dan gagah.
"Ahhh... Kakang sengaja mempermainkan aku selama ini, ya?" ucap gadis cantik itu manja, sambil mencubit pinggang Wiranta.
"Hm.... Untung aku tidak menjadi gila seperti paman...," gurau Wiranta yang segera menyambar tubuh Milani dan dipondongnya memasuki bangunan utama Perguruan Perisai Besi.
Sebentar saja tubuh kedua orang kakak-beradik itu lenyap di balik pintu tebal. Hanya suara mereka saja yang terdengar hingga keluar bangunan perguruan itu. Beberapa orang murid yang tengah membersihkan halaman, menggelengkan kepalanya dan tersenyum melihat kegembiraan kedua orang majikan mereka.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Tersesat Di Lembah Kematian --oo0oo-- Terdampar Di Pulau Asing |