Life is journey not a destinantion ...

Racun Ular Karang

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pasukan Pembunuh --oo0oo-- Panggung Kematian



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : RACUN ULAR KARANG

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ ] ¦≡:::

CAHAYA kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah timur. Desir angin bertiup lembut menyambut datangnya senja. Saat itu, serombongan orang berkuda bergerak melintasi perbukitan yang tandus. Di sana-sini hanya terlihat bebatuan dengan pohon-pohon yang kering. Tiba-tiba penunggang kuda terdepan mengangkat tangan kanannya ke atas. Sebagai isyarat agar rombongan itu berhenti.
"Mengapa kita berhenti di sini, Tuanku? Menurut hamba, daerah ini kurang cocok untuk melewatkan malam. Sebaiknya kita terus saja. Mungkin ada tempat yang lebih-baik daripada perbukitan karang yang tandus ini...," salah seorang dari dua penunggang kuda yang berada di sebelah kanan pemimpin rombongan memberikan pendapatnya.
"Hm...," lelaki gagah berwajah brewok yang merupakan pimpinan rombongan kecii itu bergumam tak jelas. Pandangan matanya dilayangkan menyapu daerah perbukitan tandus itu. Sepertinya, ia tengah mempertimbangkan pendapat salah seorang pembantunya itu.
"Bagaimana menurutmu, Langgita...?" lelaki brewok itu menoleh ke arah lelaki berwajah kurus di sebelahnya.
"Sebenarnya, tempat ini kurang cocok untuk melewatkan malam. Tapi..., kalau kita mencari tempat lain yang lebih baik, hamba khawatir akan kemalaman di jalan. Jadi, kita memang tidak punya pilihan lain, Tuanku...," jelas lelaki berwajah kurus yang dipanggil Langgita.
"Hm...," lelaki brewok pimpinan rombongan itu kembali bergumam. Kali ini sambil tersenyum tipis.
"Bagaimana, Guwara? Menurutku, pendapat Langgita lebih cocok." Sambil berkata demikian, pimpinan rombongan kecil itu menoleh ke arah penunggang kuda di sebelah kanannya. Lelaki itulah yang tadi mengemukakan keberatan.
"Mungkin benar pendapat Kakang Langgita, Tuanku. Sekarang, terserah keputusan Tuanku. Hamba menurut saja...," sahut lelaki berkumis lebat yang bernama Guwara. Agaknya ia memaklumi kekhawatiran Ki Langgita.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, perintahkan kepada yang lain untuk membangun tenda-tenda sementara. Saat fajar mendatang, kita sudah harus meninggalkan tempat ini...," perintah lelaki gagah berwajah brewok itu. Dia segera melompat turun dari punggung kuda, dan menambatkan binatang tunggangannya itu pada sebatang pohon.
Ki Langgita dan Ki Guwara bergegas melaksanakan perintah atasannya. Kedua lelaki gagah itu mengumpulkan kedua puluh orang pengikutnya, dan memerintahkan untuk membangun tenda-tenda darurat.
"Adi Guwara. Harap kau memeriksa daerah sekitar sini. Bawalah enam orang menyertaimu. Kita harus memastikan daerah perbukitan ini benar-benar aman. Aku sendiri akan memeriksa tawanan dalam kedua kereta itu...," ujar Ki Langgita kepada Ki Guwara.
"Baiklah, Kakang," sahut Ki Guwara, segera mengajak enam orang anggota rombongan untuk ikut. Sebentar saja, lelaki gagah berkumis lebat yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu lenyap di balik bebatuan.
Sepeninggal Ki Guwara, Ki Langgita menghampiri dua buah kereta yang masing-masing ditarik empat ekor kuda. Kemudian, memerintahkan kusir kereta untuk mengikutinya. Mereka berdua memeriksa tawanan.
"Bagaimana, Langgita? Apakah semuanya sudah siap...?" tanya lelaki gagah berwajah brewok, melihat Ki Langgita melangkah menuju ke arahnya.
"Semua sudah siap, Tuanku. Tawanan-tawanan sudah hamba tempatkan dalam dua tenda yang dijaga ketat. Tenda untuk Tuan pun telah disiapkan. Silakan Tuanku beristirahat..," jawab Ki Langgita melaporkan hasil kerjanya.
Lelaki brewok berperawakan tinggi besar itu mengangguk puas. Kemudian, melangkah perlahan diiringi Ki Langgita. Mereka menuju tenda terbesar yang didirikan di tengah tenda-tenda lainnya yang lebih kecil.
"Apakah daerah sekitar sini sudah diperiksa, Langgita?" tanya lelaki brewok itu, sambil tetap melangkah diiringi Ki Langgita.
"Hamba sudah memerintahkan Adi Guwara melakukan pemeriksaan. Tuanku," sahut Ki Langgita cepat.
Pimpinannya tersenyum puas mendengar laporan bawahannya yang cekatan itu. Pembicaraan mereka seketika terhenti ketika terdengar suara langkah dari belakang. Serentak mereka membalikkan tubuh, melihat siapa yang datang.
"Ah, rupanya Adi Guwara...!" seru Ki Langgita, melihat seorang lelaki gagah berkumis lebat tengah menuju ke arah mereka.
"Sekitar daerah perbukitan sudah diperiksa dengan teliti. Tuanku. Semuanya aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan...," lapor Ki Guwara kepada lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan rombongan.
"Bagus, Guwara. Tapi, biar bagaimanapun kita harus berjaga-jaga. Tugas kita kali ini cukup berat. Untuk itu, diperlukan ketelitian dan kewaspadaan tinggi...," ujar lelaki brewok itu kepada dua orang bawahannya. 
Kemudian, kakinya melangkah memasuki tenda terbesar yang dijaga empat anggota rombongan. Ki Langgita dan Ki Guwara sendiri sudah meminta diri kepada pimpinannya untuk mengatur yang lain.

* * * * *




Malam sudah lama datang. Langit kelam terhias bulan sabit. Bintang-bintang tampak bergantungan dengan kerlipnya yang gemilang. Meskipun tidak terlalu banyak, namun cukup menyemarakkan suasana malam itu.
Saat itu, di sela-sela bebatuan tampak beberapa sosok bayangan hitam bergerak mendekati perkemahan. Menilik sikap mereka yang bergerak secara sembunyi-sembunyi, jelas kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Ketika sosok terdepan memberikan isyarat dengan gerakan jari-jari tangannya, sosok-sosok bayangan hitam itu segera menyebar.
"Hati-hati...," pesan sosok bayangan hitam yang menjadi pimpinan tamu-tamu tak diundang itu. Kemudian, ia bergerak diikuti dua orang lainnya menuju tenda terbesar.
Sedangkan delapan sosok lainnya menuju tenda tempat tawanan berada. Sosok-sosok bayangan itu agaknya memiliki kepandaian yang tangguh. Terbukti, dua orang penjaga yang berada di depan tenda tawanan, langsung tak berkutik dengan sekali sergap. Perbuatan mereka sama sekali tidak menimbulkan suara. Dua orang penjaga lain yang berada di dekat api unggun, sama sekali tidak mengetahui. Bahkan, kedua orang penjaga itu tidak sempat berteriak, ketika dua dari delapan sosok bayangan hitam itu melancarkan totokan.
"Cepat! Kalian bebaskan Ki Baureksa dan keluarganya. Biar kami yang berjaga-jaga...," perintah sosok tinggi tegap kepada enam sosok tubuh lainnya, ia sendiri bersama seorang kawannya langsung bersembunyi di tempat yang terlindung, dalam kegelapan pepohonan.
Tetapi, niat mereka membebaskan Ki Barureksa tidak berjalan lancar. Saat itu, ada seorang lelaki tinggi kurus berjalan menuju tenda tempat tawanan. Melihat dari bentuk tubuh dan raut wajahnya yang tertimpa cahaya api unggun, dapat dikenali kalau sosok tinggi kurus itu adalah Ki Langgita, tangan kanan pimpinan rombongan kecil itu.
Ki Langgita mencium sesuatu yang mencurigakan. Lelaki tinggi kurus itu memang tidak bisa dipandang remeh. Langkahnya tampak ragu, dan terhenti dengan sorot mata merayapi sekitarnya.
"Hm.... Ke mana penjaga-penjaga yang ditugaskan mengawasi tawanan...?" gumam Ki Langgita sambil melangkah perlahan. Urat-urat di tubuhnya seketika menegang. Laki-laki tinggi kurus itu langsung merasa curiga, dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Kedatangan lelaki kurus yang tidak terduga itu, membuat kedua sosok tubuh yang bersembunyi di baik pohon menjadi tegang. Mereka segera berniat membungkam sosok yang baru datang itu. Maka, keduanya langsung melesat dengan totokan-totokan yang mengincar jalan darah Ki Langgita.
Namun, tidak percuma Ki Langgita menjadi tangan kanan pimpinan rombongan itu. Desiran angin keras yang menyambar dari arah belakang, membuat lelaki tinggi kurus itu menoleh. Begitu mengetahui ada serangan, ia langsung melempar tubuh ke samping dan bergulingan. Lalu, melenting bangkit dan siap menghadapi penyerang-penyerang gelap itu.
"Siapa kalian...? Sadarkah kalian tengah menghadapi prajurit-prajurit kerajaan? Kalian bisa dianggap pemberontak. Dan, hukumannya sangat berat..," ancam Ki Langgita. Hanya dengan sekali pandang, lelaki itu sudah mengetahui tingkat kepandaian lawan. Meskipun tidak pasti, tapi ia bisa menduga kedua penyerang gelap itu bukan orang sembarangan.
"Hm.... Mengapa takut menghadapi penguasa yang telah terbujuk penjilat seperti kalian? Lebih baik bersiaplah untuk mati...!" geram sosok terdepan yang bertubuh tinggi tegap. Baru saja ucapannya selesai, ia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam. Jelas, tenaga pukulan itu tidak bisa dianggap ringan.
Ki Langgita sadar akan bahaya yang mengancam. Tanpa banyak cakap lagi, segera ia melesat ke samping menyerang lambung lawan. Tapi, serangan itu terpaksa harus ditarik pulang. Pada saat yang sama, lawannya yang lain telah menyerang disertai decitan angin tajam. Merasa tidak mempunyai kesampaian untuk menghindar, Ki Langgita mengangkat lengan kanannya, menangkis tendangan berputar yang mengancam batok kepala.
Plak!
"Heiii...?!" Ki Langgita terpekik kaget, merasakan kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik tendangan itu. Kuda-kudanya sampai tergempur. Dan telapak tangannya terasa panas. Ki Langgita menyadari tamu-tamu tak diundang itu sangat berbahaya dihadapi seorang diri. Maka....
"Heaaat..!"
Untuk menarik perhatian kawan-kawan serta pemimpinnya, Ki Langgita berteriak keras saat melontarkan serangan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat dengan kecepatan mengagumkan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan cengkeraman maut.
Bettt! Bettt!
Sosok berpakaian hitam dan berperawakan gemuk yang tendangannya tertangkis telapak tangan Ki Langgita, menggeser tubuh dua jangkah ke belakang. Dan, segera melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya. Begitu pula sosok yang satunya. Teriakan Ki Langgita yang bermaksud mengundang kawan-kawan, membuatnya cemas. Maka serangannya makin diperhebat Dan, membuat lelaki tinggi kurus itu semakin kewalahan.
Plak!
"Ughhh...!" Menginjak jurus kelima belas, Ki Langgita tak sempat menghindari tamparan seorang pengeroyoknya. Meskipun yang terkena pukulan adalah bagian bahu dan telah dilindungi tenaga sakti, tak urung tubuh lelaki itu terjerembab ke depan. Untung, Ki Langgita cukup sigap menilai keadaan, ia segera menggulingkan tubuhnya dan bergerak bangkit setelah memperhitungkan dirinya cukup jauh dari jangkauan serangan lawan. Kuda-kuda Ki Langgita sedikit goyah. Dan pada ujung bibirnya, tampak cairan merah merembes ke luar. Tamparan keras itu ternyata mengguncangkan bagian dalam tubuhnya.
Rupanya, nasib baik masih menyertai Ki Langgita. Belasan penjaga tampak berlarian mendatangi arena pertempuran. Melihat hal itu, semangat Ki Langgita bangkit kembali. Dengan pedang terhunus di tangan dan dengan dibantu delapan orang penjaga, diserbunya dua orang lawan. Pertempuran kembali berlanjut lebih seru dan lebih ramai, dari semula. Ki Langgita tidak terlalu repot menghadapi lawan-lawannya. Tingkat kepandaian delapan orang penjaga yang membantunya, cukup bisa diandalkan. Sehingga, pertempuran berjalan imbang.
Sementara itu, di dekat tenda Ki Baureksa dan keluarganya disekap, telah terjadi pertempuran juga. Keenam orang berseragam hitam yang belum sempat membebaskan tawanan, telah dipergoki para penjaga yang berdatangan. Bahkan, di arena pertempuran terlihat Ki Guwara telah mengamuk dengan sepasang belati sepanjang dua jengkal. Lelaki gagah berkumis lebat itu sangat geram terhadap orang-orang berseragam hitam yang hendak membebaskan tawanan.
"Yeaaah...!"
Pekikan-pekikan keras selalu menyertai serangan Ki Guwara. Tapi, betapapun hebat serangannya, selalu dapat ditanggulangi lawan. Kenyataan ini membuat Ki Guwara semakin penasaran. Wajah-wajah di balik kain hitam itu ingin disingkapnya. Sayang, tidak mudah untuk melakukannya. Seluruh kepandaiannya harus dikerahkan untuk melaksanakan niatnya.
Keenam orang berseragam hitam dengan wajah tertutup selembar kain hitam itu, rata-rata gesit dan lincah. Sambaran-sambaran pukulan dan tendangan mereka sangat cepat. Menimbulkan desingan angin tajam. Ki Guwara dan dua belas orang kawannya, terpaksa harus bekerja keras mengimbangi kegesitan dan kehebatan serangan lawan.
"Aaakh...!"
Dua orang penjaga yang membantu Ki Guwara memekik kesakitan, saat seorang dari keenam orang berseragam hitam berhasil menyarangkan pukulan keras ke tubuh mereka. Akibatnya, kedua penjaga itu terjengkang dan pingsan seketika. Kekuatan pukulan lawan memang sangat kuat!
"Bedebah! Rupanya kalian sudah bosan hidup...!" maki Ki Guwara. Hatinya semakin murka melihat orang-orangnya mulai berjatuhan satu persatu. Dan, Ki Guwara menjadi semakin kalap, serta memperhebat serangan.
Rasanya, memang sulit bagi pihak Ki Guwara untuk memenangkan pertarungan. Keenam lawannya memiliki kepandaian yang hanya satu tingkat di bawahnya. Tentu saja Ki Guwara semakin sulit menghadapi lawan yang hampir setingkat dengannya dalam jumlah banyak.
Pertempuran tidak hanya terjadi di dua tempat. Di depan tenda besar yang didiami pemimpin rombongan pun terjadi pertempuran sengit Pertempuran yang terjadi di sana jauh lebih hebat dari dua pertempuran lain.
"Hm.... Dengan kepandaian seperti ini kalian berani datang kepadaku? Sama saja mencari mati...," geram lelaki brewok bertubuh tinggi besar, tanpa menghentikan serangan.
Saat itu ketiga lawannya terdesak hebat. Mereka memang bukan tandingan lelaki brewok itu. Mereka hanya mampu mengelak, dan membalas sesekali. Sedangkan, gempuran lelaki brewok itu terus berlanjut bagaikan gelombang lautan.
"Mampus...!" Sambil mengumpat kasar, lelaki brewok Itu melepaskan sebuah pukulan keras ke dada salah seorang lawan. Tanpa ampun lagi, sosok berseragam hitam itu terjungkal muntah darah. Dan tidak bangkit lagi, karena tulang dadanya remuk akibat pukulan keras lawan.
"Bangsat kau, Ki Bagaswara! Kau harus menebus nyawa kawanku dengan darahmu...!" geram sosok berperawakan kekar, pemimpin orang-orang berseragam hitam. Usai berkata demikian, ia menerjang maju dengan pedang di tangan.
Wuttt..!
"Hm...," lelaki brewok yang dipanggil Ki Bagaswara hanya menggeram perlahan. Tubuhnya dibungkukkan saat pedang lawan datang mengancam ke arah leher. Lalu, dilempar ke samping, dan melepaskan sebuah tendangan ke pelipis lawan. Sungguh hebat dan mengagumkan cara menghindar yang dilakukan Ki Bagaswara. Gerakan yang sangat sukar, mampu dilakukannya tanpa kesulitan. Padahal, kedudukannya kurang menguntungkan. Kenyataan itu, menunjukkan tingkat kepandaian Ki Bagaswara sangat tinggi.
Meskipun serangannya luput karena lawan menghindar ke belakang, Ki Bagaswara tak menghentikan gerakannya. Begitu ujung kakinya menginjak tanah, tubuh Ki Bagaswara kembali melambung, dan melontarkan pukulan telapak tangan ke dada lawan yang lain.
Desss...!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kematian, saat sepasang telapak tangan Ki Bagaswara singgah di dada lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh lawan terpental menghantam sebongkah batu besar di belakangnya. Darah segar memercik ketika kepala orang itu pecah terbentur batu.
"He he he...! Sekarang giliranmu menghadap malaikat maut Manusia Pengecut! Kau boleh pilih, mati secara perlahan-lahan, atau kupecahkan kepalamu seperti yang kulakukan pada kawanmu...," ejek Ki Bagaswara sambil menatap tajam wajah yang terlindung kain hitam.
"Hm.... Sebelum nyawaku meninggalkan raga, aku tidak akan menyerah atau meminta ampun padamu, Manusia Berhati Busuk...!" desis lelaki tinggi tegap berpakaian serba hitam itu, dengan sorot mata penuh dendam. Tanpa rasa gentar sedikit pun, kakinya melangkah dengan kuda-kuda kokoh.
"He he he...! Sebelum aku mencabut nyawamu, coba katakan, mengapa kau ingin membebaskan pengkhianat seperti Baureksa?" tanya Ki Bagaswara lagi, sambil melangkah satu-satu mendekati lawan. Sikapnya sangat angkuh, dan merasa yakin akan kemenangannya.
"Kaulah pengkhianat, Bagaswara! Dirimu tak ubahnya iblis bermuka dua yang sangat licik dan berbahaya! Kalau hari ini aku gagal menyelamatkan Ki Baureksa, masih banyak tokoh-tokoh lain yang akan membebaskan beliau...," tegas lelaki tinggi tegap itu.
Jawaban yang pedas itu membuat Ki Bagaswara jengkel. Anehnya, lelaki brewok itu tersenyum, tanpa gurat kemarahan di wajahnya. Mungkin, dirinya termasuk orang aneh yang semakin murka, akan semakin tersenyum manis. Rupanya, lawan bisa merasakan hal itu. Melihat dari cara dan sikapnya, lelaki bertopeng itu cukup mengenal Ki Bagaswara.
"Heaaat...!"
Sadar kalau pembicaraan itu hanya buang-buang tenaga saja, lelaki berpakaian hitam tidak menanggapi ucapan Ki Bagaswara. Ia langsung melayang dengan putaran pedang yang menimbulkan gulungan sinar putih, yang melindungi sekujur tubuhnya.
"Hmh...," dengus Ki Bagaswara.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok itu melesat, menyambut serangan lawan. Pertarungan kembali berlanjut. Lelaki berpakaian serba hitam itu mengeluarkan seluruh kemampuan. Sehingga, serangan-serangannya semakin diperhebat. Akibatnya Ki Bagaswara terpaksa mengurangi serangan sambil mencari kelemahan lawan.

* * * * *



:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

PERLAWANAN yang gigih dari sosok berpakaian hitam, lama-kelamaan membuat Ki Bagaswara jengkel. Beberapa kali lelaki brewok itu hampir berhasil menyarangkan pukulan ke tubuh lawan. Namun, lawan menyambutnya dengan tusukan atau sabetan pedang untuk mengadu nyawa. Tentu Ki Bagaswara tidak sudi melayani, ia mulai mencari cara lain untuk menyelesaikan pertarungan.
"Hm.... Bangsat ini memang lebih suka mati daripada tertawan...," gumam Ki Bagaswara, segera melompat mundur saat ujung pedang lawan mengancam dada kirinya.
Dengan sebuah putaran yang sempurna, lelaki brewok itu mendarat ringan sejauh satu setengah tombak dari lawan. Terdengar gerengan lirih yang disertai gerakan tangan berputar dari Ki Bagaswara. Jelas, lelaki brewok itu tengah mempersiapkan ilmu andalan untuk menyelesaikan pertarungan. Angin keras berhembus menerbangkan dedaunan kering, saat tubuh Ki Bagaswara bergerak memainkan jurus-jurusnya. Ranting-ranting pohon berderak ribut bagai hendak patah. Ilmu yang digunakan Ki Bagaswara kal ini bukan ilmu sembarangan.
"Terpaksa aku harus menghabisi riwayatmu, Kisanak," desis Ki Bagaswara. Begitu ucapannya selesai, tubuh tinggi besar itu bergerak maju dengan kedua kaki terseret di tanah, dan menimbulkan guratan-guratan yang cukup dalam. Betapa hebatnya tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh raksasa itu.
Rupanya, lelaki tinggi tegap berpakaian serba hitam itu menyadari bahaya yang mengancam. Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga menimbulkan angin menderu-deru. Dengan tubuh terbungkus sinar pedang, lelaki tinggi tegap itu melangkah maju dengan gerakan menyilang. Kuda-kudanya tampak kokoh dan terlihat indah.
"Yeaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, lelaki bertubuh tinggi tegap itu memutar tubuh dan melangkah ke samping, saat pukulan lawan datang menghujani tubuhnya. Alangkah terkejut lelaki itu ketika kuda-kudanya tergempur, hanya karena dorongan angin pukulan lawan yang lewat disamping tubuhnya. Jika ia tidak bertindak cepat melempar tubuhnya bergulingan, mungkin nyawanya sudah meninggalkan badan saat itu juga. Untunglah, lelaki tinggi tegap itu masih sempat menyelamatkan diri dari sebuah pukulan menyamping yang dilontarkan lawan.
Debbb!
Untuk kesekian kalinya, Ki Bagaswara melontarkan pukulan maut. Udara di sekitar arena pertarungan bergetar, setiap kali Ki Bagaswara melepaskan pukulan maupun tendangan. Ketika lawan mencoba menangkis pukulan itu, tubuhnya terpelanting dengan dada sesak. Jelas, ilmu yang digunakan Ki Bagaswara tidak mungkin dapat dihadapi lawan.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Ki Bagaswara membentak keras, menggetarkan jantung. Membuat lutut lawan terasa lemas. Saat itu juga, tubuh lelaki raksasa itu bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang cepat dan mengaburkan pandangan lawan. Dan ketika lelaki raksasa itu melepaskan sebuah pukulan maut, lelaki tinggi tegap berseragam hitam itu tidak sempat menghindar. Akibatnya....
Desss...!
"Hugkhhh…!" Segumpal darah kental termuntah keluar, saat kepalan Ki Bagaswara yang sebesar kepala bayi singgah di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi tegap itu terlempar ke udara, dan terbanting keras ke atas tanah.
"He he he...," Ki Bagaswara memperdengarkan suara tawa mengekeh seraya menatap tubuh lawan yang meregang nyawa. Tulang-tulang lelaki berpakaian serba hitam itu remuk, dan bagian dalam tubuhnya hancur akibat pukulan maut itu. Setelah tubuh lawan diam tak bergerak, karena nyawanya telah meninggalkan badan, Ki Bagaswara bergegas menghampiri arena pertempuran lain.
Dengan beberapa kali lompatan, tubuh lelaki raksasa itu telah berada dekat dengan dua pertarungan lain. Terdengar gumaman tak jelas, ketika lelaki brewok itu melihat Ki Guwara dan tiga orang pengawal berjuang menyelamatkan diri dari serangan lima orang lawan. Dalam pertarungan itu, salah seorang lawan berhasil ditewaskan Ki Guwara dan pembantu-pembantunya. Sosok berpakaian hitam kini hanya tinggal empat orang. Sedangkan pihak Ki Guwara kehilangan sembilan orang kawan. Bahkan di beberapa bagian tubuh Ki Guwara tampak luka cakaran lawan-lawannya.
"Hmh...!" Lelaki brewok bertubuh raksasa itu mendengus kasar. Tubuhnya melayang ke arah pertempuran Ki Guwara. Sepasang tangannya terkembang melepaskan pukulan-pukulan maut
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sekali bergerak, dua orang berseragam hitam terjungkal keluar dari arena pertarungan. Pukulan keras Ki Bagaswara langsung menewaskan mereka. Tentu saja kejadian itu membuat tiga orang lain jadi terkejut.
"Hm.... Kiranya, Sepasang Tangan Maut yang menolong begundal-begundalnya...," desis salah seorang dari ketiga lelaki berpakaian hitam itu.
"Hm.... Bagus, kalau di antara kalian ada yang masih mengenaliku. Nah! Sekarang katakan, siapa yang menyuruh kalian membebaskan pemberontak Baureksa...?" tanya Ki Bagaswara yang pernah terkenal dengan julukan Sepasang Tangan Maut dalam rimba persilatan. Memang cukup pantas julukan itu diberikan kepadanya. Karena ilmu tangan kosong yang dimilikinya sangat sesuai dengan julukan itu.
"Ki Bagaswara. Tuan Baureksa adalah sahabat para tokoh persilatan golongan putih. Jadi, kalau perjalananmu ini banyak rintangan, kau tidak perlu heran. Masih banyak tokoh-tokoh yang akan turun tangan membebaskan Ki Baureksa dan keluarganya dari tanganmu...," sahut sosok gemuk pendek berpakaian serba hitam, menanggapi ucapan Ki Bagaswara. Wajah lelaki brewok itu menjadi kelam. Jelas, ia tidak senang mendengar jawaban itu.
"Tentu saja Baureksa banyak mengikat persahabatan dengan kalian, Orang-orang Kasar! Persahabatan itu hanya kedok untuk menutupi kegiatan kalian yang ingin mengumpulkan tokoh golongan putih. Setelah itu, mudah ditebak kalau Baureksa akan merebut takhta dengan bantuan orang-orang serakah yang mengaku sebagai pendekar-pendekar gagah. Padahal baik Baureksa maupun kalian, tak lebih dari anjing-anjing rakus yang hendak memperebutkan tulang...," ejek Ki Bagaswara, membuat tubuh ketiga orang lawan menahan marah.
"Bedebah kau, Bagaswara! Jangan kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah seorang maling yang meneriaki orang lain maling. Itu kau lakukan kepada Ki Baureksa yang sebenarnya berhati mulia dan bersih. Tidak sepertimu yang berhati busuk dan kotor. Orang sepertimu hanya pantas tinggal di dalam hutan dan berteman babi-babi rakus...!" maki lelaki gemuk pendek, tidak mau kalah dalam soal bersilat lidah.
Ki Bagaswara yang di dalam Kerajaan Parangkara berpangkat senapati, menjadi murka bukan kepalang. Sepasang mata lelaki raksasa itu memerah bagai saga. Kedua kepalannya teremas kuat, hingga memperdengarkan suara berkerotokan nyaring. Dan....
"Kuhancurkan batok kepala kalian, Bangsat...!" bentak Senapati Bagaswara.
Sambil berkata demikian, laki-laki yang berjuluk Sepasang Tangan Maut itu langsung menerjang tanpa memberi peringatan lebih dulu. Sepasang kepalan tangannya menyambar-nyambar, menerbitkan decitan angin tajam yang terasa pedih menyentuh kulit.
Serangan Senapati Bagaswara yang tiba-tiba itu membuat ketiga orang lawannya menjadi gugup. Dua dari mereka berhasil melompat ke belakang menghindari pukulan maut itu. Tapi, yang seorang lagi tidak sempat menghindar. Akibatnya....
Prokkk!
Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan ucapannya untuk meremukkan batok kepala lawan. Kepalannya yang sebesar kepala bayi, membuat batok kepala orang itu pecah dengan suara berderak keras. Darah segar bercampur cairan putih mengalir membasahi tanah di sekitarnya.
"Akh?!" Dua orang lawan yang sempat menyelamatkan diri, terbeliak ngeri melihat akibat pukulan Senapati Bagaswara. Wajah di balik kain hitam itu jelas menjadi pucat. Jelas, mereka tidak menyangka kalau Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan ucapannya.
"Hm.... Sekarang giliran kalian. Bersiaplah untuk merasakan kerasnya kepalanku...," geram Senapati Bagaswara, sambil melangkah satu-satu dengan wajah angker. Membuat kedua orang berpakaian serba hitam itu surut ke belakang dengan hati gentar.
"Jaga pukulanku...!" Belum lagi gema teriakan itu lenyap, tubuh Senapati Bagaswara telah melesat ke depan dengan sambaran kepalan yang siap meremukkan kepala lawan-lawannya.
Debbb!
"Heiii...?!" Dua orang lelaki berseragam hitam itu memekik kaget, ketika tubuh mereka terhuyung karena dorongan angin pukulan Senapeti Bagaswara. Padahal diyakini pukulan lelaki tinggi besar itu tidak sampai mengenai tubuh mereka. Hal itu membuat mereka lengah. Dan....
Bukkk! Desss...!
Berturut-turut dua buah pukulan Senapati Bagaswara singgah di tubuh lawan-lawannya. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terpental sejauh satu setengah tombak lebih! Darah segar langsung keluar dari mulut keduanya.
"Heaaa...!"
Senapati Bagaswara masih belum puas dengan pukulan itu. Dengan sebuah teriakan nyaring, lelaki brewok itu melesat mengejar tubuh kedua lawannya. Kemudian, melepaskan pukulan ke kepala kedua orang yang sekarat itu.
Prokkk! Prokkk!
Tanpa ampun lagi, pecahlah kepala kedua orang lelaki berpakaian serba hitam itu. Jasad tanpa nyawa itu langsung terbanting ke tanah tanpa bisa bangkit lagi. "Hmh...!" Senapati Bagaswara menggereng gusar.
Ternyata, lelaki bertubuh tinggi besar itu belum puas dengan perbuatannya. Kemarahan yang telah naik ke kepalanya belum turun. Sepasang matanya berkilat menatap pertarungan lain, di kanannya, dalam jarak dua tombak lebih. Dengan sebuah geraman bagai harimau marah, tubuh Senapati Bagaswara melayang ke tengah arena. Langsung dilepaskannya dua buah pukulan ke kepala dua orang lawan Ki Langgita, yang saat itu masih bertarung seru.
"Haaat..!" Dua kali tangan lelaki raksasa itu bergerak, terdengar suara gemeretak disertai percikan darah bercampur cairan putih, membasahi tanah. Kedua lawan Ki Langgita langsung terjengkang tewas.
Ki Langgita dan dua orang penjaga yang tersisa, menghela napas lega. Jika dalam sepuluh jurus Senapati Bagaswara belum muncul, mungkin mereka sudah tewas oleh lawan. "Terima kasih, Tuanku...," ujar Ki Langgita sambil membungkuk hormat kepada pimpinannya.
Ki Langgita dan Ki Guwara sebenarnya adalah perwira kerajaan. Dan mereka berdua tergabung dalam pasukan Senapati Bagaswara. Senapati Bagaswara hanya tersenyum tipis. Kemudian, para prajuritnya diperintahkan untuk segera melemparkan mayat-mayat itu ke tempat yang agak jauh dari perkemahan. Lalu, diajaknya Ki Langgita dan Ki Guwara ke tenda terbesar.

* * * * *



"Hm.... Sebentar lagi fajar akan terbit. Sebaiknya kau perintahkan para prajurit kita berkemas, Langgita. Ingat pesanku baik-baik. Perjalanan ini masih cukup jauh. Rintangan-rintangan lain pasti akan berdatangan satu persatu. Kita harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kawan-kawan Baureksa pasti akan bermunculan membebaskannya...," pesan Senapati Bagaswara sebelum kedua orang pembantu setianya bergerak meninggalkan tenda.
"Baik, Tuanku. Perintah Tuanku akan hamba laksanakan sebaik-baiknya. Hamba mohon pamit untuk mempersiapkan segala sesuatunya...," sahut Ki Langgita yang kemudian berlalu bersama Ki Guwara.
Senapati Bagaswara memandangi kepergian kedua orang pembantunya dengan senyum tipis. Lelaki bertubuh raksasa itu puas akan kesetiaan kedua orang pembantu utamanya itu. Sementara itu, Ki Langgita dan Ki Guwara mengatur para pengikutnya, dan memerintahkan untuk berkemas. Setelah semua selesai, berangkatlah rombongan yang kini jumlahnya berkurang. Di kiri-kanan rombongan tampak delapan batang obor menerangi jalan-jalan yang mereka lewati.
Perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu mereka lakukan tanpa berhenti, kecuali malam hari. Tapi, tidak jarang malam hari pun mereka melanjutkan perjalanan agar bisa secepatnya sampai di tempat tujuan, yaitu Pulau Karang. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga hari penuh. Melalui berbagai rintangan dari orang-orang yang hendak membebaskan tawanan mereka, tibalah rombongan itu di tepi sebuah pantai.
Senapati Bagasawara mengangkat tangan kanannya ke atas, sebagai tanda agar rombongan menghentikan perjalanan. Ki Langgita dan Ki Guwara yang berada di barisan paling belakang, bergegas membedal kudanya ke depan. Keduanya menghampiri Senapati Bagaswara, kepala rombongan yang bertugas mengawal para tawanan.
"Apakah kira langsung menyeberang ke Pulau Karang, Tuanku...?" tanya Ki Langgita menatap wajah pimpinannya yang sedang melepaskan pandangan ke lautan lepas..Suara deburan ombak terdengar susul-menyusul, membuat ucapan Ki Langgita kurang jelas terdengar. Meskipun demikian, senapati Kerajaan Parangkara itu dapat menangkap pertanyaan pembantunya.
"Ya. Aku ingin segera menyelesaikan tugas ini. Biar kita bertiga yang menyeberang, mengantarkan Baureksa dan keluarganya ke Pulau Karang. Sedang yang lainnya menunggu di sini," jawab Senapati Bagaswara, kembali mengalihkan perhatiannya ke laut.
"Maaf, Tuanku. Boleh hamba mengajukan pendapat yang selama ini mengganggu pikiran hamba...?" tanya Ki Guwara yang tampaknya sangat hati-hati mengemukakan pertanyaan itu.
"Katakan, Gurawa. Mengapa kau kelihatan ragu?" sahut Senapati Bagaswara seraya menatap wajah pembantunya itu dengan kening berkerut. Sepertinya lelaki brewok itu heran mendengar nada kehati-hatian dalam ucapan pembantunya. Tidak biasanya Ki Guwara bersikap demikian.
"Mmm.... Begini, Tuanku...."
"Langsung saja ke pokok persoalan, Gurawa, Kau tahu sendiri, aku paling tidak suka mendengar ucapan yang berbelit-belit...," sergah Senapati Bagaswara memotong ucapan pembantunya yang terdengar ragu dan membuatnya tak sabar.
"Baik..., baik...," ujar Ki Guwara menelan air liurnya, karena perasaannya agak tegang.
"Tidakkah sebaiknya Ki Baureksa sekeluarga kita bunuh saja di sini? Jika mereka kita buang ke Pulau Karang, bukankah pada akhirnya mereka akan tewas juga...?"
"Ah, kau tidak berpikir panjang, Gurawa. Kita semua tahu, ini adalah keputusan dan perintah Gusti Prabu. Selain itu, kalau dibunuh di perjalanan, kita akan dimusuhi banyak orang yang berpendapat bahwa Baureksa sekeluarga tidak bersalah. Dari pihak kerajaan pun, kita akan mendapat hukuman berat karena tidak mematuhi keputusan Sang Prabu. Lagi pula, dengan dibuangnya mereka ke Pulau Karang, bisa membuat aku senang. 
Semua orang persilatan tahu pasti kalau Pulau Karang sangat berbahaya, dan banyak dihuni binatang berbisa. Nah, kalau mereka dibuang ke sana, itu sama artinya dengan menyiksa mereka mati secara perlahan-lahan. Apa kau tidak senang membayangkan bagaimana Baureksa dan keluarganya menghadapi kematian dengan penuh ketakutan?" jelas Senapati Bagaswara, tersenyum membayangkan penderitaan Baureksa sekeluarga di pulau yang kabarnya mengerikan itu.
"Maafkan kebodohan hamba, Tuanku...," ujar Ki Guwara.
Lelaki gemuk berkumis lebat itu mengangguk-angguk, mulai mengerti jalan pikiran atasannya. Setelah mendengar jawaban Senapati Bagaswara, lenyaplah pikiran yang selama ini mengganggu kepalanya.
"Bagaimana denganmu, Langgita? Apa kau mempunyai pikiran yang mengganggu kepalamu? Kalau memang ada, katakanlah..." ujar Senapati Bagaswara kepada pembantunya yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam seperti burung elang.
"Rasanya tidak ada, Tuanku...," sahut Ki Langgita setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Jawaban Ki Langgita membuat Senapati Bagaswara kembali mengalihkan pandangan matanya ke tengah lautan luas.
"Kalau begitu, perintahkan kepada para prajurit untuk menyiapkan segala sesuatunya. Periksa belenggu kaki dan tangan para tawanan. Sebagian mencari sebuah perahu yang agak besar. Rasanya tidak sulit mencari perkampungan nelayan di sekitar daerah ini," perintah Senapati Bagaswara kepada kedua orang pembantunya.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Langgita dan Ki Guwara segera melaksanakan perintah atasannya. Dua orang prajurit diperintahkan mencari sebuah perahu yang akan digunakan untuk menyeberang ke Pulau Karang.
Senapati Bagaswara sendiri sudah memasuki tenda yang dibuat khusus untuk dirinya beristirahat. Cukup lama lelaki brewok bertubuh tinggi besar itu menunggu persiapan yang dilakukan pasukan kecilnya. Pekerjaan baru selesai saat matahari hampir berada di atas kepala.
"Lapor, Tuanku. Segala persiapan telah selesai...," lapor Ki Langgita yang datang menghadap bersama Ki Guwara.
"Ha... Bagus...," puji Senapati Bagaswara yang saat itu mengenakan pakaian ringkas berwarna biru tua. Sosok lelaki raksasa itu tampak semakin angker dengan penampilan barunya itu.
Dengan langkah tegap, Senapati Bagaswara bergegas keluar dari tenda. Wajah brewok itu tersenyum cerah, melihat sebuah perahu yang cukup besar dan kokoh telah tersedia di tepi pantai. Setelah berpesan kepada sisa prajuritnya untuk kembali ke istana lebih dulu, Senapati Bagaswara pun berangkat ditemani Ki Langgita, Ki Guwara serta delapan orang prajurit yang bertugas menjalankan perahu. Perahu yang cukup besar itu segera bertolak membawa Baureksa sekeluarga menuju Pulau Karang. Sebuah pulau yang kabarnya banyak dihuni binatang-binatang berbisa. Dan, tidak jarang udara beracun berhembus dari pulau maut itu.

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

PAGI baru saja menggantikan malam. Seiring munculnya sinar matahari pagi, tampak sebuah kapal layar bergerak mendekati Pulau Karang yang terlihat hitam di kejauhan. Sebenarnya pulau itu sangat berbahaya untuk didekati. Bila angin bertiup ke arah kapal dalam jarak sepuluh tombak saja, mungkin para penumpang akan tewas dengan tubuh menghitam keracunan. Tapi, para penumpang perahu itu agaknya telah cukup berpengalaman. Mereka datang searah angin bertiup. Sehingga, hawa beracun berhembus ke depan mereka.
Saat perahu berada dalam jarak lima tombak dari pantai Pulau Karang, tampak delapan sosok tubuh terlempar ke air. Meskipun kedalaman air di tempat itu sebatas mata kaki, namun kedelapan sosok tubuh itu sempat terbatuk-batuk, terminum air laut.
"Ha ha ha.... Selamat menikmati saat-saat ajal menanti kedatanganmu, Baureksa...!" seru Senapati Bagaswara setelah melemparkan tubuh orang-orang buangan itu ke dalam air. Sedangkan perahu yang mereka tumpangi kembali bergerak ke tengah laut.
"Keparat kau, Bagaswara...! Tunggu saja pembalasanku! Kalau aku dapat keluar dengan selamat dari pulau ini, kau akan kucari sampai ke ujung neraka sekalipun...!" balas seorang lelaki tegap berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajah lelaki setengah baya itu tampak memancarkan wibawa yang kuat. Sepasang matanya tajam, pertanda ia bukan orang sembarangan. Lelaki itu tidak lain adalah Ki Baureksa yang berpangkat senapati. Ia dikenakan hukum buang karena tuduhan hendak memberontak.
Ki Baureksa menatap perahu yang kian menjauh dengan penuh dendam. Sepasang tangannya mengepal kuat dengan gigi gemeretak menahan luapan dendam di dada. Lelaki setengah baya itu baru membalikkan tubuh ketika bayangan perahu lenyap dari pandangan.
"Ayah.... Apa yang harus kita lakukan...?" tanya seorang dara cantik berusia sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya tampak pucat. Sepasang matanya agak membengkak, karena terlalu banyak menangis. Kelihatan sekali kalau dara cantik itu sangat tertekan jiwanya.
"Apakah kita bisa selamat dari tempat ini. Ayah...?" tanya seorang pemuda tampan berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang sebenarnya gagah, tidak jauh berbeda dengan yang lain. Pucat, lusuh, dengan sepasang mata cekung.
Ki Baureksa tidak segera menjawab. Ia membawa kedua orang anak, istri, dan menantunya ke tepi pulau. Dua orang pelayan setia keluarga Ki Baureksa, ikut pula dibuang ke pulau beracun itu.
"Dengarlah, anak-anakku, menantuku, dan juga kau istriku. Selagi kita masih hidup, berusaha merupakan perbuatan wajib bagi kita. Kita tidak boleh berputus asa sebelum melakukan kewajiban yang satu itu. Jadi, simpanlah pertanyaan kalian. Sebaiknya kita mencari akal untuk dapat keluar dari tempat celaka ini...," ujar Ki Baureksa seraya melangkah menuju pantai yang kebanyakan terdiri dari batu karang.
"Aaah...?!" Baru saja mereka naik ke pantai, terdengar satu jerit kesakitan. Ki Baureksa dan putra-putrinya menoleh ke kanan. Dan, betapa terkejutnya mereka melihat menantu wanita Ki Baureksa tergeletak di atas pasir.
"Nyai...!" putra tertua Ki Baureksa, yaitu suami wanita cantik itu bergegas memburu.
"Wika, tahan...!" bentak Ki Baureksa, seraya mengulur tangan menangkap lengan putra sulungnya. Tentu saja perbuatan lelaki tua itu membuat putranya menatap heran.
"Mengapa, Ayah? Apakah aku tidak boleh memondong istriku...?" tanya pemuda tampan bernama Wika itu. Sepasang matanya yang menyimpan rasa penasaran, menatap tajam wajah ayahnya.
"Sabarlah, Anakku. Kecerobohan hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu. Ketahuilah, selain pulau ini masih asing bagi kita, juga banyak dihuni binatang berbisa. Lihatlah kulit wajah istrimu. Aku yakin, ia telah terpagut ular atau binatang berbisa lainnya," jelas Ki Baureksa menatap wajah menantu perempuannya yang terkapar dengan wajah kehijauan.
"Tapi, biar bagaimanapun aku harus memeriksanya, Ayah...," bantah Wika yang sangat mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
Ki Baureksa tetap bersikeras menahan putranya agar tidak mendekati istrinya. Menurutnya, menantunya itu sudah tidak mungkin diselamatkan lagi.
"Awasss...! Cepat naik ke darat...!" teriak Ki Baureksa tiba-tiba ketika melihat sosok-sosok makhluk kecil berjalan di bawah air.
"Mungkin salah seekor kepiting itulah yang telah menewaskan istrimu, Wika...," bisik Ki Baureksa setelah mengenali lebih jelas makhluk-makhluk kecil di bawah air.
"Tapi.... Mana mungkin istriku tewas hanya karena jepitan seekor kepiting, Ayah...?" Wika belum percaya kalau binatang kecil itu merenggut nyawa istrinya. Rasa penasaran membuatnya mendekati beberapa ekor kepiting yang bergerak ke arah dirinya.
"Wika, kau gila! Mundur...!" bentak Ki Baureksa. Laki-laki setengah baya itu terkejut bukan main ketika melihat putranya menghampiri binatang-binatang beracun itu. Cepat, disambarnya lengan kanan putranya dan membetotnya ke belakang.
"Ayah, aku hanya ingin melihat kehebatan binatang itu. Aku belum percaya kalau makhluk sekecil itu bisa mengakibatkan kematian istriku. Biar kupijak hancur binatang-binatang laknat itu!" Wika berusaha melepaskan pegangan jari-jari tangan ayahnya. Namun, meski berusaha sekuat tenaga, cekalan Ki Baureksa tidak mampu dilepaskannya. Karena tenaga orang tua itu lebih kuat daripada tenaganya.
"Hihhh!".Merasa jengkel dengan sikap keras kepala putranya, Ki Baureksa menyentakkan tangannya. Akibatnya, tubuh Wika terlempar jatuh ke atas pasir.
"Dengar, Manusia Tolol! Lihat baik-baik, berada di mana kau saat ini! Tempat ini bernama Pulau Karang, yang banyak dihuni binatang-binatang beracun. Itu artinya, semua binatang yang hidup di tempat ini, memiliki racun yang mematikan. Ingat, Wika. Kita telah dibuang ke pulau beracun oleh pihak kerajaan...!" Ki Baureksa terpaksa harus bertindak kasar pada putra sulungnya. Semua itu dilakukan karena terdorong rasa sayang, khawatir Wika akan tewas oleh binatang-binatang beracun itu.
Wika seperti baru terbangun dari tidurnya saat mendengar ucapan ayahnya. Selama ini, ia belum pernah melihat ayahnya demikian marah. Teringat mereka adalah orang-orang buangan, Wika pun sadar akan kebodohannya.
"Maafkan aku, Ayah. Tapi.... Kematian istriku benar-benar belum bisa kuterima. Apalagi ia tewas di depan mataku, tanpa aku mampu menolongnya...," rintih Wika seraya menjatuhkan kepalanya ke pasir. Jiwa lelaki gagah itu terguncang karena kematian istri tercintanya.
"Bangkitlah, Wika. Kuatkan hatimu. Kita harus bertahan untuk keluar dari neraka ini. Kalau tidak, satu persatu dari kita akan tewas dalam keadaan yang mengerikan," ujar Ki Baureksa seraya menepuk bahu putranya, seolah-olah ingin memberikan tambahan kekuatan kepada lelaki muda itu.
Setelah berpesan agar jangan sembarangan menyentuh benda-benda di sekitar tempat itu, rombongan pun bergerak memasuki Pulau Karang. Ki Baureksa yang bertanggung jawab atas keselamatan anggota rombongan, berjalan paling depan dengan langkah penahan. Sikapnya tampak tegang, dan sepasang matanya selalu menoleh curiga ke kiri dan kanan.
"Aaargh...!" Tiba-tiba terdengar jeritan melengking merobek udara. Ki Baureksa dan yang lainnya menoleh ke belakang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat salah seorang pelayan menggelepar dengan kedua tangan sibuk menggaruk sekujur tubuh.
"Mundur...!" Ki Baureksa segera bergerak menghampiri sambil memerintahkan yang lainnya untuk menjauh. Lelaki gagah itu menatap pelayan bernasib malang itu dengan wajah duka.
"Semut-semut beracun...!"
Makhluk-makhluk kecil berjumlah ratusan, itu mengerumuni tubuh pelayannya. Dan, lelaki gagah itu melompat mundur dengan wajah pucat. Dalam sekejapan mata saja, hampir seperempat bagian tubuh yang sudah menjadi mayat itu habis dimakan binatang-binatang yang biasanya tidak berdaya menghadapi manusia.
"Gila...?!" Wika terpekik kaget dengan wajah pucat pasi dan mata terbelalak lebar. Pemuda itu memeluk adik dan ibunya yang sangat ketakutan melihat kejadian mengerikan itu. Wika sendiri yang sejak kecil mendapat gemblengan ayahnya, tak urung terguncang juga.
"Cepat tinggalkan tempat ini...," perintah Ki Baureksa. Kemudian, tanpa mempedulikan mayat pelayan yang malang itu, mereka kembali bergerak memasuki Pulau Karang.
"Ssszzz...!"
Ki Baureksa menunda langkahnya ketika mendengar suara berdesis dari samping kanan. Cepat keluarganya diperintahkan mundur, ketika melihat empat ekor ular sebesar lengan merayap mendekat.
"Sebaiknya kita bunuh saja binatang celaka itu, Ayah..," usul Wika, melihat ayahnya bersiap menghadapi binatang-binatang berbisa itu.
"Lindungi ibu dan adikmu, Wika. Biar aku yang menghadapi binatang-binatang berbisa itu...," ujar Ki Baureksa bersiap menanti kedatangan makhluk melata itu lebih dekat. Ki Baureksa mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh. Dan, berdiri tegak dengan kedua tangan bersilang di depan dada. Perlahan kakinya bergerak bergantian ke arah samping. Lelaki tua itu ingin memancing ular-ular berbisa itu mengejarnya, dan menjauhi keluarganya.
"Sssszzz...!"
Seekor di antara keempat ular berbisa itu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah ulu hati Ki Baureksa. Dengan tangkas lelaki tua itu menggeser langkahnya, sambil mengibaskan lengan kanan yang berdecit membelah udara.
"Heiii...?!" Ki Baureksa memekik kaget ketika melihat binatang berbisa itu mampu berkelit dari tebasan sisi telapak tangan kanannya. Tapi, kecepatan gerak yang dipersiapkan Ki Baureksa masih lebih cepat. Jari-jari tangan kirinya bergerak menyusul, mencengkeram bagian bawah kepala ular berbisa itu. Sekali remas saja, kepala binatang itu hancur dan tewas seketika.
Tiga ekor ular lainnya bergerak berbarengan ke arah Ki Baureksa. Cepat lelaki tua itu melompat panjang ke samping kiri, melontarkan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan bergantian.
Bukkk! Bukkk!
Pukulan yang dilontarkan Ki Baureksa tepat menghantam ketiga ekor ular. Lagi-lagi lelaki tua itu keheranan. Ternyata ketiga ekor binatang melata itu memiliki tubuh kebal dari pukulan tenaga dalam. Buktinya, ular-ular itu kembali bergerak seperti tidak merasakan akibat pukulan Ki Baureksa.
"Gila! Seharusnya tubuh ular-ular itu remuk. Sebab, pukulanku tadi mampu untuk menghancurkan batu karang! Tapi, binatang-binatang celaka itu tidak merasakannya...?!" desis Ki Baureksa, mulai mencari akal mengalahkan binatang-binatang berbisa itu.
"Aaa...!" Tiba-tiba terdengar jeritan melengking tinggi dari belakang Ki Baureksa. Cepat laki-laki setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Betapa terkejut hatinya ketika matanya melihat keluarga dan pelayannya tengah menghadapi puluhan ekor ular, kalajengking, dan kelabang sebesar ibu jari kaki. Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Baureksa segera melesat menyelamatkan keluarganya dari maraba-haya itu.
"Kakang...!" Dada Ki Baureksa berdebar saat melihat tubuh istrinya tersungkur akibat patukan seekor ular yang paling besar di antara ular-ular lain. Tubuh ular itu hampir empat kali lipat besarnya dari ular biasa. Tapi, Ki Baureksa tidak bisa berbuat sesuatu yang lebih berarti. Karena binatang-binatang beracun itu demikian banyak. Ki Baureksa terpaksa harus menyaksikan kematian keluarganya satu persatu dengan mata kepalanya sendiri. Pemandangan itu membuat hatinya terguncang hebat!
"Binatang-binatang keparat...! Akan kuhancurkan kalian...!" desis lelaki setengah baya itu dengan mata basah. Tubuh binatang berbisa itu sangat kenyal dan membuat tenaga cengkeraman Ki Baureksa seperti berbalik.
"Aaa...!" Lelaki gagah itu menjerit keras ketika sang ular besar itu menggigit pangkal lengannya. Sadar kalau dirinya tidak mungkin selamat Ki Baureksa berbuat nekat dan menggigit ular itu!
Jiwa Ki Baureksa benar-benar terpukul menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya. Guncangan batin yang dirasakan sangat berat itu membuat Ki Baureksa bertindak nekat. Dengan lompatan panjang, ia mengulurkan kedua tangannya mencengkeram tubuh ular besar yang telah menewaskan istrinya. Ia tidak peduli ketika ekor ular itu bergerak melibat tubuhnya. Malah Ki Baureksa semakin mempererat cengkeraman kedua tangannya pada leher binatang itu.
"Heaaah...!" Ki Baureksa berteriak keras mengerahkan seluruh kekuatannya hendak meremas hancur tubuh binatang itu. Namun, lelaki tua itu tidak mampu melakukannya. Tubuh binatang berbisa itu terasa kenyal, membuat tenaga cengkeramannya seperti berbalik.
"Aaa...!" Akhirnya, lelaki gagah itu menjerit keras ketika taring ular besar itu menancap pada pangkal lengannya. Sadar bahwa dirinya tidak mungkin dapat selamat, Ki Baureksa berbuat nekat. Ia balas menggigit tubuh ular besar itu. Dibuangnya rasa jijik jauh-jauh ketika merasakan kulit yang kesat dan agak berlendir itu. Dan dihirupnya darah yang terus mengalir ke kerongkongannya. Hingga pada akhirnya, tubuh Ki Baureksa terkulai lemas bersama ular besar yang kehabisan darah karena tersedot lawannya.

* * * * *




"Uhhh...." Sosok tubuh yang tergeletak bersama ular besar itu tiba-tiba bergerak perlahan disertai keluhan lirih yang cukup panjang. Sosok tubuh yang tak lain dari Ki Baureksa itu ternyata hanya pingsan. Sedangkan ular besar yang menjadi lawannya telah mati kehabisan darah.
"Ohhh...?!" Ki Baureksa bergerak limbung, seraya memegangi keningnya yang pening bukan main. Sekujur tubuhnya tampak dibanjiri keringat yang membasahi seluruh pakaiannya.
"Celaka...! Ini pasti pengaruh darah ular yang kuhirup tadi," desis Ki Baureksa ketika merasakan sesuatu yang berhawa panas bergolak liar di dalam tubuhnya. Bahkan tubuhnya sampai mengeluarkan asap tipis, karena panasnya hawa yang bergolak di dalam tubuhnya.
"Aaargh...!" Ki Baureksa berteriak keras ketika merasakan nyeri dan panas di sekujur tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa itu membuatnya membanting-bantingkan tubuh ke tanah. Berkali-kali lelaki setengah baya itu berteriak-teriak. Harapan hidup sudah tidak terlintas lagi dalam pikirannya. Akhirnya, Ki Baureksa jatuh pingsan karena tak sanggup merasakan penderitaan. Cukup lama tubuh Ki Baureksa tergeletak tak sadarkan diri. Sementara itu, darah ular yang mengandung racun dahsyat, terus bergerak liar menerobos seluruh jalan darah di tubuhnya. Hingga akhirnya, orang tua itu kembali siuman.
Lama Ki Baureksa termenung, memikirkan dirinya yang selamat secara ajaib. Sebagai tokoh persilatan yang cukup berpengalaman, Ki Baureksa mengkaji apa yang sudah dialaminya. Ia tidak memperhatikan mayat-mayat keluarga dan pelayannya yang bergeletakan di depannya. Saat itu pikirannya dipenuhi oleh keajaiban yang menimpa dirinya.
Setelah mengkaji semua peristiwa yang dialaminya, Ki Baureksa bangkit. Kemudian, napasnya diatur untuk membangkitkan tenaga saktinya. Lelaki setengah baya itu terkejut bukan main ketika merasakan ada tenaga liar bergolak hebat dalam tubuhnya. Namun, Ki Baureksa tetap bersikap tenang. Disalurkannya tenaga liar itu ke kedua belah lengannya. Lalu, mendorongkan lengan itu ke sebongkah batu sebesar dua ekor kerbau. Akibatnya....
Whusss.... Blarrr...!
Hebat sekali akibat dorongan tenaga Ki Baureksa. Batu besar yang tidak mungkin dapat dihancurkan itu, meledak berkeping-keping. Tentu saja hal itu membuat Ki Baureksa terkejut bercampur gembira.
"Ah, tidak salah lagi. Pasti darah ular itu yang telah melipatgandakan kekuatan tenaga dalamku. Jangan-jangan ular besar itu rajanya binatang berbisa di pulau ini. Nyatanya, tidak ada seekor binatang berbisa pun yang menampakkan diri di depanku. Mungkinkah binatang berbisa itu yang dalam kalangan dijuluki Ular Karang? Hm.... Untuk memastikannya, aku harus mengujinya...," gumam Ki Baureksa.
Setelah mengetahui kehebatan tenaga dalamnya yang menjadi berlipat ganda, lelaki setengah baya itu bergegas menghampiri sebatang pohon. Lalu, telapak tangannya ditepuk-tepukkan ke batang pohon. Tak berapa lama kemudian, muncul semut-semut berwarna merah yang berbondong-bondong menghampiri lengan Ki Baureksa. Tanpa menunggu lagi, binatang-binatang kecil itu menyerbu dan menggigiti lengan Ki Baureksa. Tapi....
"Ha ha ha...!" Ki Baureksa tertawa terbahak-bahak ketika melihat semut-semut itu tewas berjatuhan.
Jelas, tubuh Ki Baureksa telah kebal terhadap racun yang ada dalam tubuh semut-semut itu. Dan, racun ular yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih kuat. Terbukti semut-semut itu mati setelah menggigitnya. Usai ujian pertama, Ki Baureksa menggeser mundur langkahnya sambil memperhatikan batang pohon di depannya. Dan kembali bergerak maju setelah mengalirkan kekuatan ke telapak tangan.
"Hihhh!".Sambil membentak, Ki Baureksa menekan batang pohon itu kuat-kuat dengan mengerahkan tenaga saktinya. Dan...
Untuk kesekian kalinya, Ki Baureksa memperdengarkan tawa parau yang berkepanjangan. Ternyata, pohon yang ditekan dengan telapak tangannya itu langsung mati hanya dalam beberapa saat. Jelas sudah, betapa dahsyatnya racun dan tenaga sakti yang kini mengeram dalam tubuh Ki Baureksa.
"Ha ha ha...! Tunggulah pembalasanku, Bagaswara! Setelah aku selesai menciptakan ilmu yang sesuai dengan tenaga yang kumiliki, aku pasti akan datang mengambil nyawamu...!" seru Ki Baureksa dengan suara menggelegar. Beberapa saat kemudian, orang tua itu membalikkan tubuhnya. Kemudian, memandangi mayat-mayat orang yang dicintainya.
"Kalian tenanglah di alam sana. Aku akan membalas sakit hati keluarga kita...," ucap Ki Baureksa perlahan. 
Kemudian, Ki Baureksa menguburkan mayat-mayat itu. Dan setelah selesai, tubuh orang tua itu melesat pergi memasuki Pulau Karang, mencari tempat tinggal yang cocok baginya. Ki Baureksa hendak memperdalam ilmunya untuk membalas dendam pada orang-orang yang telah mengakibatkan kematian keluarganya.

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

SESOSOK bayangan hitam bergerak cepat menerobos kegelapan malam. Langkah kakinya terlihat ringan, tanpa menimbulkan suara yang berarti. Melihat gerakannya yang cepat, dapat diketahui kalau sosok berperawakan gagah terbungkus pakaian hitam itu seorang ahli silat.
Menjelang tembok pembatas Kerajaan Parangkara, sosok berpakaian hitam itu memperlambat larinya dan berhenti. Kemudian, bersembunyi di balik sebatang pohon. Sepasang matanya bersinar tajam bagai hendak menembus kepekatan malam. Beberapa saat kemudian, tubuhnya kembali bergerak bagaikan sebatang anak panah. Sekali menggenjot tubuhnya melayang melewati tembok setinggi dua tombak. Dan, mendarat ringan di dalam lingkungan kotaraja.
Sosok berpakaian hitam itu merunduk memperhatikan sekitarnya yang tampak sepi. Hanya suara jangkrik dan burung malam yang terdengar menemani kesunyian malam. Baru saja sosok berpakaian hitam itu hendak bergerak, secercah cahaya terang mendatangi tempatnya bersembunyi. Cepat sosok bayangan hitam itu bersembunyi di semak-semak.
Tidak berapa lama kemudian, tampak dua buah obor yang apinya bergoyang lembut dipermainkan angin malam. Enam sosok tubuh peronda, tampak bergerak melewati tempat persembunyian sosok berpakaian hitam itu. Salah seorang dari keenam peronda itu tampak memisahkan diri menuju semak tempat sosok bayangan berpakaian hitam itu bersembunyi. Perbuatan peronda itu membuat hati sosok itu berdebar tegang.
"Hei! Mau ke mana kau...?" tegur salah seorang dari peronda ketika melihat kawannya memisahkan diri.
"Kalian tunggu sebentar. Aku sudah tidak tahan...!" sahut peronda bertubuh kurus itu sambil melepaskan tali celananya. Kemudian ia bergerak maju, agak menyusup ke semak.
"Setan...!" desis sosok berpakaian hitam itu, melihat apa yang akan dilakukan si peronda. Karena tidak ingin tubuhnya dikencingi, sosok berpakaian hitam itu pun mengulurkan tangannya. Gerakannya demikian cepat dan sukar ditangkap mata biasa. Sehingga…
Tukkk!
Sekejap mata saja, tubuh peronda itu langsung diam tak berkutik. Tubuhnya kaku terkena totokan. Sedangkan, sosok berpakaian hitam itu melesat ke atas pohon, terus pergi meninggalkan tempat itu. Kini tinggalan kelima orang peronda lainnya menjadi kesal. Mereka melihat kawannya masih saja berdiri dengan kedua tangan memegangi celana yang hendak melorot turun. Salah seorang di antaranya yang sudah tidak sabar lagi, langsung menegur.
"Kurang ajar! Kalau tidak suka melakukan pekerjaan ini, sebaiknya pulang saja! Dekapi istrimu yang malam ini mungkin sedang kedinginan!" ejek seorang peronda berperawakan gemuk dengan nada jengkel. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri kawannya yang masih saja tidak bergerak.
"Jangan-jangan dia kemasukan setan penunggu tempat ini...," bisik salah seorang peronda. Seketika bulu tengkuknya berdiri ketika teringat akan hal itu. Sepasang matanya liar menyapu sekitarnya.
"Hm.... Jangan menakut-nakuti orang...," desis peronda bertubuh kurus. Rupanya ia merasa takut juga ketika mendengar ucapan rekannya. Tanpa sadar, tubuhnya dirapatkan dengan tubuh rekannya. Sehingga, ketiga orang rekannya menertawakan tingkahnya yang seperti anak kecil itu.
Sementara itu, lelaki bertubuh gemuk yang menghampiri kawannya, semakin bertambah heran. Panggilannya yang berkali-kali, tidak juga disahuti. Saking kesalnya, lelaki gemuk itu menampar punggung kawannya kuat-kuat.
Bukkk!
"Hukkkh...!" Hampir lelaki bertubuh sedang itu terjerembab ke depan. Untunglah, kawannya bergerak cepat menangkap tubuh yang hendak terjatuh itu.
"Ada apa...?" tanya laki-laki bertubuh sedang yang tidak sadar akan segala yang dialaminya barusan. Tentu saja laki-laki bertubuh gemuk itu heran.
"Cepat kita pergi dari sini. Jangan-jangan tempat ini ada penunggunya...," ajak lelaki gemuk itu tergesa-gesa. Ucapan itu tentu saja mengejutkan kawannya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, ia pun bergegas mengikuti. Bahkan berusaha menyusul kawannya.
"Ada apa...?" tanya empat orang kawan mereka ketika melihat wajah kedua peronda itu pucat-pasi.
"Mungkin tempat ini ada hantunya...," sahut peronda bertubuh gemuk. Kemudian, tanpa menunggu kawan-kawannya, ia segera menghambur setengah berlari meninggalkan tempat itu.
"Celaka! Ayo kita pergi...!" seru lelaki bertubuh kurus yang penakut itu.
Tanpa diperintah lagi, kelima peronda itu langsung menghambur, saling berlomba meninggalkan tempat itu.

* * * * *




Sementara itu, sosok bayangan hitam berperawakan gagah itu terus bergerak ke dalam kotaraja. Tubuhnya berlompatan dari atap rumah yang satu ke atap rumah lainnya. Gerakannya gesit dan lincah, membuat orang tidak menduga kalau kelebatan bayangan hitam itu adalah sosok tubuh manusia.
Tidak berapa lama kemudian, sosok bayangan hitam itu tiba di samping sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok kokoh setinggi satu tombak lebih. Dengan sebuah lompatan berputar, tubuhnya berada di halaman dalam bangunan besar itu. Menilik dari bentuk bangunan dan para prajurit peronda, bangunan besar itu pasti milik seorang pejabat kerajaan.
Ketika empat orang peronda bergerak mengelilingi halaman depan bangunan, si bayangan hitam merunduk di bagian yang terlindung sinar obor. Tepat pada saat keempat peronda itu lewat di dekatnya, sosok bayangan hitam itu bergerak cepat melakukan totokan kilat. Tiga orang di antaranya tergeletak pingsan. Sedangkan seorang lagi berdiri kaku dengan mata terbelalak ketakutan.
"Cepat katakan, di mana kamar majikanmu...?" desis sosok bertubuh tegap itu mengancam.
"Kalau kau berbohong, nyawamu akan kucabut sekarang juga...!"
"Sebelah... kanan, dekat kamar perpustakaan...," jawab peronda itu dengan suara gemetar. Keringat dingin mengalir membasahi pakaiannya.
"Terima kasih. Kau boleh beristirahat..," ucap lelaki tegap itu. Lalu, ditotoknya peronda itu hingga pingsan. Setelah menyembunyikan keempat sosok peronda, ia langsung bergerak memasuki bangunan besar itu. Kemudian, terus menuju kamar yang ditunjuk si peronda tadi.
"Siapa itu...?" tiba-tiba terdengar pertanyaan yang membuat sosok berpakaian hitam itu menarik mundur langkahnya, dan bersembunyi di balik pintu.
Ketika tidak mendengar sahutan, seorang lelaki gemuk berusia sekitar empat puluh lima tahun, keluar dari kamar perpustakaan. Rupanya meski hari telah jauh malam, penghuni rumah itu belum pergi tidur, dan masih membaca di ruang perpustakaan.
"Celaka...! Rupanya keparat itu belum tidur! Tidak ada jalan lain, aku harus bertarung untuk mencabut nyawanya!" desis sosok bayangan hitam itu.
Pada saat itu terlihat sesosok tubuh gemuk tengah melangkah ke arahnya. Tampaknya ia mencari-cari sesuatu.
"Mampus kau, Widyamarta...!" seru sosok berpakaian hitam itu. Begitu sosok bertubuh gemuk itu telah mendekat ia langsung menerjang dengan sebuah pukulan maut yang berbau busuk. Jelas, serangan itu mengandung racun mematikan.
"Haiiit..!" sosok lelaki gemuk yang bernama Widyamarta itu berteriak keras, seraya melompat mundur menghindari serangan maut lawannya.
Whuuut...!
Serangan yang mengandung racun mematikan itu luput dan menghantam sebuah lemari yang langsung berderak hancur. Sementara, Widyamarta menyadari lawannya sangat berbahaya, segera melesat pergi.
"Hendak lari ke mana kau. Keparat...?!" bentak sosok berpakaian hitam itu seraya melesat mengejar buruannya. Sosok berpakaian hitam itu baru sadar mengapa lawannya melarikan diri. Rupanya Widyamarta bukan ingin melarikan diri. Tetapi menuju ruangan tempat berlatih silat. Sesampainya di sana, langsung disambarnya sebatang tombak bergolok yang terdapat di rak senjata.
Bettt! Bettt...!
Tombak bergolok di tangan Widyamarta berputar menimbulkan deruan angin tajam. Kilatan golok besar yang terdapat di ujung tombak, berkeredep tertimpa api obor yang tergantung di dinding. Lalu, bergerak menusuk dengan kecepatan yang menggetarkan!
"Hm...," sosok berpakaian hitam itu tidak menjadi gentar. Tanpa melangkah mundur setindak pun, tubuhnya berputar ketika tombak bergolok bergerak menyambar-nyambar dengan suara berdesing. Kemudian, dengan sebuah kelitan indah, sosok bayangan hitam itu melenting ke atas. Telapak tangan kanan dan kirinya bergantian didorong, dengan pukulan yang mengandung racun.
"Aihhh...?!" Widyamarta terkejut bukan main melihat serangan lawan. Cepat tubuhnya dilempar dan bergulingan. Kemudian, melejit ke kanan sambil mengibaskan senjatanya dengan gerakan melebar. Sasarannya, lambung lawan. Kali ini sosok berpakaian hitam itu tidak berusaha mengelak. Ditunggunya serangan itu dekat. Tangan kanannya bergerak melingkar dengan tangkisan yang aneh. Widyamarta harus mengakui kalau gerakan sosok bayangan hitam yang menyerangnya itu memang cepat luar biasa. Dan...
Plakkk!
"Akh...!" Untuk kedua kalinya Widyamarta berseru kaget. Tangkisan lawan membuat kuda-kudanya tergempur! Bahkan sebelum sempat mengatur kuda-kudanya, serangan lawan kembali datang menyusul.
Desss...!
"Hugkhhh...!" Widyamarta memuntahkan darah kental ketika tendangan yang amat kuat menerpa dadanya. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu terjungkal ke belakang menabrak meja dan kursi, menimbulkan suara ribut.
"Tamat riwayatmu...!" desis sosok berpakaian hitam itu seraya melontarkan pukulan mautnya.
"Aaah...?!" Widyamarta hanya memekik ngeri dengan mata terbelalak. Saat itu ia belum siap menghindar. Akibatnya...
Bresssh...!
"Aaa...!" Terdengar jeritan menyayat saat pukulan telapak tangan lawan, singgah di tubuhnya. Widyamarta terpental menghantam dinding di belakangnya. Tercium bau daging terbakar dari luka menghitam yang membekas di bagian dada Widyamarta. Sebentar saja, tubuh telaki gemuk itu berubah menghitam.
"He he he...! Rasakanlah keampuhan 'Racun Ular Karang' itu, Widyamarta...," sosok berpakaian hitam itu terbahak melihat hasil pukulannya.
"Ayaaah...?!" Sosok lelaki berpakaian hitam itu menoleh ke arah datangnya suara panggilan. Sepasang matanya berkilat melihat dua orang bertubuh ramping tengah terbelalak ketakutan, menatap sosok Widyamarta dan dirinya.
"Kau.... Mengapa kau membunuh suamiku...?" jerit wanita berusia tiga puluh tahun sambil memeluk tubuh gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahun.
Hampir bersamaan dengan munculnya kedua wanita itu, serombongan prajurit tiba di ruangan itu. Mereka terkejut bukan main melihat majikan mereka terkapar tewas dengan sekujur tubuh hangus terbakar. Dan pembunuh majikan mereka itu adalah sosok berpakaian hitam yang berdiri dengan mata mencorong tajam. 
"Tangkap orang itu...!" perintah istri Widyamarta kepada para penjaga yang berdatangan.
"Kepung...! Jangan biarkan dia lolos...!" kepala jaga yang berpangkat perwira segara memerintahkan delapan orang bawahannya untuk maju mengepung.
Namun, sosok berpakaian hitam itu tidak tinggal diam. Tubuhnya meluncur menyambut datangnya sembilan orang prajurit itu. Sepasang tangannya bergerak cepat melancarkan pukulan-pukulan yang mematikan. Sebentar saja, lima orang prajurit terlempar dengan nyawa melayang.
"Keparat...!" Perwira muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu menjadi murka bukan main. Cepat pedang di tangannya bergerak menusuk dengan kecepatan mengagumkan.
"Hmh...!" Sosok berpakaian hitam itu hanya mendengus kasar. Serangan itu baginya masih terlalu lambat. Sekali tangannya bergerak, pedang di tangan lawan terpental. Belum lagi keterkejutan perwira muda itu hilang, sosok berpakaian hitam itu sudah bergerak menyusul tubuh lawan yang terpental. Telapak tangan kanannya disorongkan ke depan.
Whusss...!
Serangkum angin panas berbau amis meluncur deras ke arah tubuh perwira muda itu. Dia hanya bisa menjerit ngeri, saat pukulan lawan tiba.
Desss...!
"Aaa...!" Tanpa ampun lagi, tubuh perwira muda yang masih melayang di udara itu kembali terhempas deras. Darah kental berwarna kehitaman termuntah keluar, saat pukulan lawan yang mengandung racun jahat itu mengenai sasaran.
Kragkkkh...!
Terdengar suara tulang berparahan, saat tubuh perwira muda itu menghantam dinding di belakangnya. Tanpa ampun lagi, tubuh yang mulai kehitaman itu menggelepar, dan tewas seketika.
Melihat kejadian itu, para prajurit yang masih tersisa menjadi pucat wajahnya. Keringat sebesar biji jagung tampak membasahi wajah-wajah yang tengah dilanda ketakutan hebat itu. Mereka sadar kejadian itu akan mereka alami juga.
Sedangkan istri dan putri Widyamarta terbelalak menyaksikan kejadian yang mengerikan itu. Genangan darah dan tubuh-tubuh yang bergeletakan menjadi mayat, membuat hati mereka benar-benar terguncang. Mereka hanya bisa meringkuk di sudut ruangan, tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Hm...." Sosok berpakaian hitam itu berdiri tegak di hadapan calon-calon korban berikutnya. Wajahnya yang semula samar dan sulit untuk dikenali, karena gerakannya terlalu cepat, kini terlihat jelas. Ternyata ia adalah seorang lelaki berusia setengah baya yang berperawakan gagah.
"Aaah...?!" Empat orang prajurit yang masih tersisa, berseru kaget. Rupanya mereka mengenali sosok yang berdiri tegak itu. Tapi, sebelum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka, mendadak sosok berpakaian hitam itu bergerak dengan kecepatan kilat melancarkan tamparan maut berturut-turut. Terdengar jerit kematian susul-menyusul, berbarengan dengan sosok-sosok yang berjatuhan dalam keadaan tewas.
"Kau... kejam...!" pekik istri Widyamarta yang juga mengenali pembunuh keji itu. Namun, wanita itu harus menerima nasib seperti suami dan prajuritnya. Saat itu juga, sosok lelaki gagah itu bergerak ke arahnya. Sekali tangannya bergerak, tewaslah wanita malang itu dengan kepala pecah!
"Ibu...!" Dara cantik berusia tujuh belas tahun itu memekik melihat ibunya terkapar mandi darah. Ia langsung berlari memburu tubuh ibunya, dan menangis tersedu.
"He he he...! Mengapa kau bersedih, Cah Ayu...? Bukankah aku masih ada di sini? Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu. Kau terlalu cantik untuk mati dalam usia semuda ini...," ujar sosok lelaki gagah itu.
Tampaknya, ia mulai tertarik pada sosok dara remaja bertubuh sintal itu. Perlahan kakinya yang kokoh melangkah menghampiri dara cantik yang tengah menangis tersedu itu. Suara yang terdengar agak parau itu, cukup untuk membangkitkan kesadaran dara yang tengah dilanda kedukaan hebat itu. Apalagi nadanya jelas menyiratkan suatu keinginan yang baginya terlalu mengerikan. Cepat ia berbalik dan menatap sosok pembunuh itu dengan wajah semakin ketakutan.
"Bunuh saja aku. Untuk apa aku hidup setelah kau membunuh kedua orangtuaku...," ujar dara cantik itu, seraya bergerak mundur melihat sosok pembunuh itu terus bergerak menghampiri.
"Tidak, Manis. Kau akan kupelihara baik-baik, untuk menemaniku. Kau tentu bersedia, bukan...?" bujuk sosok lelaki gagah itu dengan sorot mata berkilat penuh nafsu.
"Tidak.... Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih si gadis semakin ketakutan melihat sorot mata lelaki itu. Sadar kalau dirinya terancam sesuatu yang lebih mengerikan dari maut, ia langsung menghambur meninggalkan ruangan itu.
Sosok berperawakan gagah yang sedang dilanda nafsu iblis itu tidak tinggal diam. Dengan sekali lompat saja, tubuh dara cantik itu sudah berada dalam pelukannya. Tanpa mempedulikan teriakan maupun perlawanan si gadis, ia melesat pergi setelah membakar beberapa bagian gedung besar itu.
Saat api mulai menjilati setiap sudut ruangan, sosok lelaki berperawakan gagah itu telah melesat meninggalkan bangunan tempat kediaman Widyamarta. Seorang senapati muda Kerajaan Parangkara. Sosok itu bergerak menerobos kegelapan, ketika api telah membakar sebagian bangunan.

* * * * *



:::≡¦ [ 5 ] ¦≡:::

MATAHARI baru saja muncul menggantikan malam. Kehangatan sinarnya mengusir keremangan, menerobos dedaunan rimbun. Cericit burung mengusir keheningan pagi, menciptakan suasana yang merdu di telinga.
Seorang pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, tampak melangkah perlahan menikmati segarnya udara pagi Sesekali kepalanya menengadah menghirup udara bersih yang mengisi rongga dadanya. Perlahan dihembuskan kembali melalui mulut.
Di sebuah tanah berumput yang agak luas, sosok pemuda tampan itu menghentikan langkahnya. Kakinya bergerak membentuk kuda-kuda yang kokoh dan indah. Hawa segar dan suasana yang semarak, membangkitkan semangatnya berlatih silat. Dari bentuk kuda-kuda dan gerakan tangannya yang menimbulkan sambaran angin tajam, dapat diketahui kalau pemuda tampan berjubah putih itu memiliki ilmu silat tinggi.
Namun, baru beberapa saat berlatih, tiba-tiba saja pemuda tampan itu menghentikan gerakannya. Setelah sesaat lamanya terdiam, mendadak tubuhnya melayang ke atas pohon rindang. Dan bersembunyi di antara dedaunan pohon. Tidak berapa lama kemudian, tampaklah sesosok tubuh berlari melewati lapangan berumput. Pada bahu kanannya tampak sesosok tubuh ramping meronta-ronta Rupanya suara langkah berlari itulah yang membuat pemuda tampan berjubah putih itu bersembunyi.
"Hm.... Kelakuan orang itu sangat mencurigakan. Mungkin ia penjahat pemetik bunga. Aku akan mencoba menyelidikinya...," gumam pemuda tampan itu, perlahan.
Pada saat itu dilihatnya sosok lelaki gagah yang mencurigakan berlari di bawahnya. Setelah sosok yang dicurigai menjauh, ia melayang turun dari atas pohon. Kemudian membuntutinya dari jarak yang agak jauh. Gerakannya yang ringan dan tidak menimbulkan suara, membuat sosok yang dibuntutinya tidak sadar kalau sedang diikuti sosok lain.
Tapi, dugaan pemuda tampan itu meleset. Setelah beberapa saat dibuntuti, sosok lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang berlari di depannya berhenti. Kemudian menoleh ke belakang. Sepasang matanya tampak berkilat ketika yang dilihatnya hanyalah pepohonan. Padahal ia yakin ada suara langkah kaki yang membuntuti.
Untuk beberapa saat lamanya, sosok lelaki gagah itu tetap berdiri tegak mengawasi sekelilingnya. Meski tidak terlihat sesosok tubuh pun, lelaki setengah baya itu masih belum yakin. Sambil melangkah maju beberapa tindak, ia menajamkan indera pendengarannya.
"Hm.... Siapa pun yang bersembunyi di sekitar tempat ini, tunjukkanlah jika kau benar-benar bukan seorang pengecut...," akhirnya lelaki setengah baya itu berseru memancing keluar orang yang membuntutinya.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang saat itu bersembunyi di atas sebatang pohon, melayang turun, ia tidak sudi disebut seorang pengecut. Terbukti ia langsung menunjukkan diri di hadapan lelaki gagah itu.
"Hm... Mengapa kau membuntutiku dengan sembunyi-sembunyi, Bocah? Apa maksudmu...?" tegur sosok lelaki gagah itu sambil menatap tajam sosok pemuda tampan berjubah putih. Dari sikapnya, kelihatan kalau lelaki setengah baya itu memandang remeh pemuda tampan berjubah putih.
"Maaf jika kau merasa terganggu dengan perbuatanku, Orang Tua. Terus terang saja aku curiga dengan sikapmu. Dapatkah kau memberi keterangan tentang gadis yang ada dalam pondonganmu itu...?" tanya pemuda itu seraya membalas tatapan lawan bicaranya dengan sorot yang tidak kalah tajam. Seketika, wajah orang tua itu menjadi kelam.
Jelas, ia merasa jengkel dengan pemuda tampan yang menurutnya terlalu usil itu.
"He he he...! Gadis ini kuculik dari kotaraja. Kedua orangtuanya kubunuh dan tempat kediamannya kubakar habis. Nah, apakah kau sudah puas dengan jawabanku, Bocah...?" sahut lelaki setengah baya itu tanpa berusaha menyembunyikan perbuatannya. Tentu saja jawaban itu membuat lawan bicaranya menatap dengan kening berkerut.
"Kau bicara sungguh-sungguh, Orang Tua? Sadarkah kau, pengakuanmu itu bisa mencelakakan dirimu...?" ujar pemuda tampan berjubah putih, berusaha meneliti wajah orang tua itu. Ia belum percaya sepenuhnya keterangan orang tua itu.
"Hm.... Percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas, kalau kau ingin menolong gadis ini, cepatlah bertindak. Kalau tidak, aku akan pergi, dan jangan coba-coba mengikutiku lagi...!" jawab lelaki setengah baya itu mengancam. Sehingga, keraguan pemuda itu pun lenyap seketika.
"Kalau begitu, serahkan gadis dalam pondonganmu. Dan kau boleh pergi tanpa kuganggu...!" sergah pemuda tampan itu dengan sorot mata yang kian tajam.
"Ha ha ha...!" Lelaki tua itu tertawa terbahak-bahak. Jelas, ia merasa geli mendengar ucapan bernada ancaman dari pemuda tampan berjubah putih itu.
Namun, pemuda itu tidak tersinggung. Wajahnya tetap tenang. Sedikit pun tidak terlihat nada jengkel dalam ucapannya. Dan ketika mendengar lelaki tua itu tertawa keras, ia malah maju beberapa tindak
"Tertawalah sepuasmu, Orang Tua. Tapi.... Jaga baik-baik gadis dalam pondonganmu itu. Aku khawatir jantungmu akan copot apabila gadis itu sudah berpindah tangan nanti...," tenang sekali ucapan itu, membuat tawa lelaki gagah itu terhenti.
"Hm.... Gertakanmu boleh juga, Bocah. Tapi, rebutlah gadis cantik ini dari tangan Iblis Pulau Karang. Aku hadiahkan tubuh molek ini untukmu, kalau memang kau sanggup mengambilnya dari tanganku...," ujar lelaki tua yang mengaku berjuluk Iblis Pulau Karang itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!" Begitu ucapannya selesai, sosok pemuda tampan itu langsung melesat ke depan melancarkan totokan yang menimbulkan suara berdecit tajam. Bahkan sambaran angin dingin mengiringi serangannya.
"Eh...?!" Iblis Pulau Karang terkejut ketika merasakan sambaran angin dingin yang sangat kuat datang mengiringi serangan lawan. Meskipun demikian, ia masih belum yakin sepenuhnya. Setelah memiringkan tubuh, tangan kanannya bergerak mengibas, menyambut datangnya sebuah totokan yang mengancam urat lehernya.
Plakkk!
"Hei...?!" Kali ini baru terbuka mata Iblis Pulau Karang. Tangkisan yang semula dimaksudkan untuk mematahkan lengan lawan, malah membuat tubuhnya terdorong, dan hampir terjatuh. Untung ia bertindak cepat memperbaiki kuda-kudanya. Wajahnya tampak merah menahan geram.
"Hm... Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah! Rupanya kau memiliki kepandaian mengagumkan. Tapi, jangan berbesar hati dulu. Bersiaplah menyelamatkan dirimu dari seranganku...," ujar Iblis Pulau Karang seraya menurunkan gadis dalam pondongannya, dan meletakkan di bawah sebatang pohon besar. Tubuh gadis itu tidak mampu bergerak, karena telah ditotok.
"Haaat...!" Dengan sikap licik, Iblis Pulau Karang langsung menerjang lawannya. Sepasang tangannya bergerak cepat berputaran menimbulkan sambaran angin tajam berbau amis. Lelaki tua itu sudah menggunakan pukulan-pukulan mautnya yang mengandung racun mematikan.
Pemuda tampan berjubah putih itu terkejut, dan semakin yakin kalau lelaki tua berjuluk Iblis Pulau Karang itu benar-benar seorang yang kejam. Buktinya, lelaki tua itu langsung menggunakan ilmu pukulan yang mematikan. Hal itu menandakan Iblis Pulau Karang seorang tokoh yang mudah sekali bertindak kejam, meski lawannya belum tentu bersalah.
"Kurang ajar! Sekarang aku benar-benar yakin dengan pengakuannya tadi. Orang kejam seperti lelaki tua ini memang harus diberi pelajaran...!" geram pemuda tampan berjubah putih itu.
"Mampus kau...!" bentak Iblis Pulau Karang sambil melontarkan pukulan beruntun, yang menebarkan hawa panas berbau amis menyengat hidung.
Whusss! Whuttt!
"Heaaah...!" Pemuda tampan berjubah putih itu membentak perlahan, memutar tubuhnya dan melompat mundur sejauh satu tombak. Kakinya bergerak berputar dengan tumit mengarah pelipis lawan.
Zebbb!
Iblis Pulau Karang memiringkan tubuhnya ke kanan dengan kuda-kuda rendah. Kemudian, memutar tubuh sambil menyapu kaki kanan lawan yang menjadi tumpuan tubuhnya.
"Haiiit…!" Dibarengi sebuah seruan nyaring, tubuh pemuda tampan itu melayang ke udara. Dari atas, sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan tamparan yang menerbitkan angin tajam.
Lelaki tua itu terpaksa melempar tubuhnya bergulingan, ia tahu kehebatan serangan pemuda tampan itu. Kemudian kembali melenting bangkit dan menerjang dengan jurus-jurus yang lebih hebat. Pertempuran berlangsung dalam tempo yang lebih cepat dari sebelumnya. Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa disadari, kedua tokoh itu telah bertarung lebih dari enam puluh jurus. Sejauh itu, belum tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
"Yeaaat...!" Iblis Pulau Karang memekik dengan penuh penasaran. Saat itu juga, tubuhnya melompat ke belakang. Dengan kuda-kuda direndahkan, lelaki tua itu mendorong sepasang telapak tangannya melakukan pukulan jarak jauh yang mengandung racun ganas.
Whusss...!
"Hiaaah...!" Pemuda tampan berjubah putih itu melenting ke udara menghindari pukulan maut yang sangat dahsyat dari lawannya. Akibatnya....
Blarrr...!
Sebatang pohon besar berderak ribut ketika pukulan Iblis Pulau Karang menghantamnya. Asap tipis mengepul seiring dengan robohnya pohon besar itu. Yang membuat pemuda tampan itu terkejut adalah akibat lain yang ditimbulkan pukulan Iblis Pulau Karang.
"Hebat...! Pohon itu langsung hangus dan mati sampai ke akar-akarnya! Benar-benar sebuah ilmu pukulan yang berbahaya dan keji...!" gumam pemuda tampan itu, semakin bertambah sadar akan kesaktian pukulan beracun lawan.
Iblis Pulau Karang menatap lawannya dengan wajah berubah. Sejenak keningnya berkerut melihat perbuatan lawan, yang berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong tajam. Sesaat Iblis Pulau Karang merasakan jantungnya berdebar, menatap sorot mata tajam menggetarkan jantung itu.
"Ahhh...?!" Terdengar lelaki tua itu memekik keheranan, ketika melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh lawannya. Saat itu juga, ia teringat seorang tokoh muda yang telah menggegerkan rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya. Tapi, sebelum mulutnya sempat mengucapkan kata-kata, sosok pemuda tampan itu telah melayang dengan serangan yang menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
"Yeaaa...!"
Dengan agak gugup karena hatinya masih dilanda rasa terkejut Iblis Pulau Karang melompat jauh ke belakang. Sehingga, serangan pertama lawannya luput. Tapi, gempuran pemuda itu masih terus berkelanjutan. Cakar-cakarnya yang sekeras baja tampak bergerak susul-menyusul dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa. Sadar kalau ia tidak mungkin terus-menerus menghindar, Iblis Pulau Karang bertindak nekat. Ketika sepasang cakar naga lawan datang mengancam, lelaki tua itu mengangkat tangannya memapaki pukulan lawan.
Plak! Plak!
"Aaah...?!" Tokoh sesat itu terkejut bukan kepalang ketika tangkisannya membuat kuda-kudanya tergempur, dan tubuhnya terpental sejauh satu setengah tombak. Bahkan masih terhuyung beberapa langkah jauhnya.
"Gila...!" lelaki tua itu mengumpat ketika merasakan dari telapak tangan lawan mengalir hawa dingin yang menjalar ke dalam dadanya. Cepat ia mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa dingin yang berasal dari tangan lawan.
Melihat Iblis Pulau Karang menghentikan gerakan, pemuda tampan itu tidak berusaha mengejar, ia berdiri tegak menatap tajam ke arah lawannya.
"Mengapa berhenti, Iblis Pulau Karang...? Apakah kau sudah menyerah kalah...," ejak pemuda tampan berjubah putih itu dengan nada datar.
"Hm.... Pantas kau tidak terkejut mendengar julukanku. Rupanya kaulah pemuda yang belakangan ini membuat kaum sesat kalang-kabut. Sayang, kau demikian pengecut tidak mau memperkenalkan nama...," kilah Iblis Pulau Karang. Terlihat kalau lelaki tua itu agak gentar ketika mengenali ilmu-ilmu yang digunakan lawannya.
"Aku memang tidak pernah mengandalkan nama besar untuk membuat lawan gentar. Iblis Pulau Karang. Selain itu, kau pun tidak menanyakan siapa aku, bukan? Kalau hal itu kau tanyakan, mungkin aku akan menjawab seadanya. Sayang semua sudah terlambat. Aku tidak akan membiarkan orang sepertimu kembali menebar bencana. Untuk itu, paling tidak aku harus melenyapkan kepandaianmu yang digunakan untuk berbuat jahat itu...," sahut pemuda tampan itu. Dalam hal bersilat lidah pun, ternyata ia tidak kalah oleh lawannya.
"Kau memang benar-benar sombong, Pendekar Naga Putih! Tapi, jangan kira aku akan gentar setelah mengetahui siapa kau! Gadis itu baru dapat kau miliki setelah nyawaku terpisah dari badan...!" ujar Iblis Pulau Karang, kembali bersiap dengan jurus-jurus barunya.
"Hm.... Kalau begitu, aku memang harus melenyapkanmu untuk selama-lamanya...," sahut pemuda tampan yang tidak lain dari Panji, atau dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih dalam rimba persilatan. Saat itu langkah kakinya digeser, ketika lawan bergerak ke kanan. Keduanya kembali bersiap melanjutkan pertarungan.
"Haaat..!" Iblis Pulau Karang menerjang maju, menggunakan gada berduri di tangan kanannya. Kilatan-kilatan pada duri-durinya yang runcing, menunjukkan kalau senjata itu mengandung racun ganas. Meskipun demikian. Panji tidak gentar. Pemuda itu melayang ke udara menyambut serangan lawan.
Whuuut...!
Gada berduri Iblis Pulau Karang meluncur deras dengan gerakan mendatar. Sayang, Panji telah bertindak cepat merendahkan tubuhnya. Sehingga, serangan itu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya. Pendekar Naga Putih membalas dengan sambaran cakar naga yang menerbitkan angin dingin.
Whuuut!
Sambaran cakar Panji yang pertama berhasil dihindari lawan, dengan menarik mundur tubuhnya. Tapi, kecepatan gerak Pendekar Naga Putih tidak terduga. Tahu-tahu saja, cakar kanan pemuda itu datang mengancam dada lawan. Dan....
Breeet...!
"Aaakh...!" Iblis Pulau Karang memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar deras ke belakang. Darah segar langsung mengalir dari luka di dadanya yang cukup dalam.
"Tamatlah riwayatmu, Manusia Jahat...!" seru Panji seraya melontarkan hantaman telapak tangannya ke tubuh lawan yang masih bergulingan.
Blarrr...!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih. Untunglah Iblis Pulau Karang telah melenting lebih dulu. Meskipun demikian, tubuhnya sempat terhuyung karena angin pukulan lawan.
"Heaaa...!"vTanpa menunggu serangan lawan berikutnya, Iblis Pulau Karang melesat ke arah sosok gadis cantik yang menjadi tawanannya.
"Keparat licik! Jangan kau ganggu gadis itu...!" bentak Panji segera bergerak menyusul sambil melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke tubuh lawan.
Blaggg!
"Huakkkh...!" Tubuh Iblis Pulau Karang tersentak bagai ditolak tenaga raksasa yang tak tampak. Darah segar termuntah keluar. Dan tubuh lelaki tua itu terpental ke semak-semak. Meskipun demikian, tokoh sesat itu sempat mendorongkan tangannya ke arah gadis cantik yang masih tergolek pingsan.
Panji yang masih khawatir lawannya belum tewas, segera melompat ke semak-semak.
"Kurang ajar! Ke mana perginya manusia sesat itu...?" geram Panji ketika tidak menemukan sosok lawannya di dalam semak-semak.
Karena tidak ingin kehilangan lawannya, Pendekar Naga Putih berusaha mencari-cari di sekitar tempat itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Kecuali tetesan darah di atas rerumputan, yang menunjukkan Iblis Pulau Karang melarikan diri dengan luka dalam yang parah.
Setelah gagal menemukan lawannya, Panji kembali untuk melihat gadis cantik yang diduganya masih tergeletak pingsan akibat totokan Iblis Pulau Karang. Pemuda tampan itu tidak tahu kalau Iblis Pulau Karang telah melontarkan pukulan yang mengandung racun jahat ke arah gadis cantik itu.
"Ahhh...?!" Panji terpekik ketika melihat sosok gadis cantik itu berubah kehitaman. Jelas, nyawa gadis itu sudah tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Pemuda tampan itu tertunduk lesu dengan wajah berduka, ia menyesal karena terlambat mengetahui kalau gadis itu terkena pukulan beracun.
Pendekar Naga Putih yang sedang menyesali keterlambatannya itu, bangkit berdiri saat mendengar derap kaki kuda. Dari suaranya yang bergemuruh, Panji dapat menduga kalau jumlahnya cukup banyak.
"Hm.... Terpaksa aku harus meninggalkan tempat ini. Kalau tidak, mereka pasti akan menuduhku sebagai pembunuh gadis malang itu. Dan untuk menyangkal tuduhan itu, aku tidak mempunyai saksi mata...," gumam Panji segera bergegas meninggalkan tempat itu.
Dugaan Pendekar Naga Putih tidak meleset jauh. Sesaat setelah tubuhnya melesat, datang serombongan orang berkuda berseragam dan bersenjata lengkap. Berada paling depan adalah seorang lelaki brewok berpangkat senapati. Begitu tiba, ia langsung memerintahkan pasukannya menyebar, menyelidiki daerah sekitar situ. Ia sendiri menghampiri mayat putri Widyamarta yang tergeletak dengan kulit tubuh menghitam. Tidak berapa lama kemudian, pasukan yang diperintahkan memeriksa sekitar tempat itu kembali tanpa hasil. Seorang lelaki kurus berpangkat perwira memberikan laporan.
"Kami tidak menemukan sesosok manusia pun di sekitar tempat ini, Tuanku. Tapi, kami menemukan bekas-bekas pertempuran," ujar lelaki kurus itu kepada atasannya.
"Hm.... Meskipun kalian tidak menemukan pelakunya, tapi aku bisa menebak siapa manusia keji itu...," gumam lelaki brewok yang tidak lain dari Senapati Bagaswara. Senyuman tipisnya membayangkan kelicikan hatinya.
"Siapa pembunuh keji itu, Tuan Panglima...?" tanya perwira lain yang bertubuh gemuk dan berkumis lebat. Kelihatannya ia merasa heran mendengar ucapan atasannya.
"Siapa lagi kalau bukan keparat Baureksa, yang beberapa waktu lalu kita buang ke Pulau Karang...," ucap Senapati Bagaswara dengan suara tegas. Jawaban itu membuat kedua orang perwira serta beberapa prajurit terkejut.
"Tapi..."
"Penyebab kematian putri Senapati Widyamarta adalah Racun Ular Karang. Sedangkan jenis racun itu hanya terdapat di Pulau Karang. Selain itu, beberapa orang penyelidik yang bertugas mengawasi Ki Baureksa dari daratan, kedapatan tewas. Keadaannya sama persis dengan mayat gadis cantik yang malang ini. Sayang, kediaman Senapati Widyamarta telah musnah dimakan api. Kalau tidak, pasti mayatnya sama persis dengan mayat putrinya ini. Sebaiknya kita segera kembali, dan melaporkan kejadian ini kepada Gusti Prabu...," sergah Senapati Bagaswara.
Tak seorang pun membantah, ketika Senapati Bagaswara mengajak pasukannya kembali ke kota-raja. Sebentar saja, tempat itu kembali sepi. Mayat putri tunggal Senapati Widyamarta ditinggalkan begitu saja, tidak seorang pun yang berani menyentuhnya.

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

MATAHARI memancar terik, saat rombongan orang berkuda bergerak mendekati sebuah bangunan perguruan. Penjaga pintu gerbang bergegas turun melaporkan kedatangan rombongan berkuda itu. Sedang penjaga lainnya, bersiap menyambut kedatangan rombongan itu dengan ditemani murid-murid lainnya.
"Buka pintu ini, atau kuhancurkan dengan paksa...!" seorang anggota rombongan yang berpakaian perwira, berseru dengan suara lantang dan galak. Jelas, kedatangan rombongan berkuda itu tidak bermaksud baik. Lelaki brewok yang masih berada di atas punggung kuda, menggeram perlahan. Sepasang matanya berkilat, melihat pintu gerbang tetap tertutup rapat.
"Hancurkan pintu gerbang itu, Langgita...!" perintah lelaki brewok itu. Jelas, ia tidak sabar melihat orang-orang di dalam bangunan perguruan tidak mengindahkan ancaman pembantunya tadi.
"Baik, Tuan Panglima...," sahut Ki Langgita, segera bergerak mundur mengatur kedudukan. Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, Ki Langgita merapatkan kedua tangan ke sisi pinggang. Dan....
"Haaat...!" Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, lelaki kurus yang bernama Langgita itu mendorongkan kedua tangannya dengan telapak terbuka.
Whusss...!
Serangkum angin keras menderu menuju pintu gerbang yang terbuat dari kayu bulat tersusun rapi. Akibatnya....
Krakkk...!
Seiring dengan suara berderak keras, pintu gerbang yang tertutup rapat itu langsung terbuka. Pada bagian yang terkena pukulan tampak patah. Demikian juga kayu tebal palang pintu gerbang. Tentu saja kejadian itu membuat murid-murid perguruan berlompatan mundur, menjauhi pintu gerbang.
Pasukan berkuda yang dipimpin Senapati Bagaswara, langsung menyerbu masuk. Mereka berlompatan turun dengan senjata di tangan. Meskipun demikian, tak seorang pun yang bergerak menerjang murid-murid Perguruan Angin Puyuh. Senapati Bagaswara belum memberikan perintah untuk melakukan penyerangan.
"Hm.... Kiranya Senapati Bagaswara sendiri yang memimpin pasukannya untuk membuat kekacauan di tempat kediamanku ini...," tegur seorang lelaki berusia enam puluh tahun. Lelaki itu bertubuh sedang. Dan sepasang matanya yang menyimpan rasa penasaran, menatap tajam lelaki brewok yang bergerak masuk dengan menunggang kuda hitam itu.
"Kau terkejut, Baramanta...?" ejek Senapati Bagaswara.
Setelah berkata demikian, Senapati Kerajaan Parangkara itu melompat turun dari atas punggung kuda. Dan tanpa mempedulikan murid-murid Perguruan Angin Puyuh, lelaki brewok itu melangkah menghampiri Ki Baramanta, Ketua Perguruan Angin Puyuh.
"Tentu saja aku sedikit terkejut, Tuan Panglima. Apalagi kau membawa pasukan yang lengkap, serta menunjukkan sikap tidak bersahabat. Wajar saja aku terkejut dengan kedatanganmu yang tiba-tiba ini...," sahut Ki Baramanta, berusaha bersikap hormat meskipun kelihatannya sangat dipaksakan.
"Ha ha ha...! Jangan berpura-pura pikun, Baramanta. Orang-orang suruhanmu telah binasa di tanganku. Untuk apa lagi kau berdusta? Orang-orangmu berusaha membebaskan keparat Baureksa dari tanganku. Sayang, mereka gagal...," timpal Senapati Bagaswara, menyampaikan maksud kedatangannya ke Perguruan Angin Puyuh.
"Bagus kalau kau telah mengetahuinya, Bagaswara! Aku memang mengirimkan murid-muridku untuk membebaskan Senapati Baureksa, yang menurutku terkena fitnah keji! Aku pun tahu, siapa manusia keji yang melemparkan fitnah itu kepadanya. Manusia busuk itu adalah kau, Bagaswara. Jika beberapa waktu lalu murid-muridku menemui kegagalan, sekarang akulah yang akan melenyapkanmu dari muka bumi ini...!"
Begitu ucapannya selesai, Ki Baramanta langsung memerintahkan murid-muridnya menyerbu. Sedangkan ia sendiri sudah melayang ke arah Senapati Bagaswara, melancarkan serangan mautnya.
Beeet! Beeet! Beeet!
Tiga tamparan maut yang menerbitkan angin tajam, dielakkan Senapati Bagaswara dengan menarik mundur tubuhnya. Lalu, dilepaskannya serangkaian serangan balasan, yang tidak kalah cepat dan kuat. Sebentar saja, kedua tokoh sakti itu terlibat dalam pertarungan sengit.
Sedangkan pasukan Senapati Bagaswara yang berjumlah lima puluh orang, bertempur melawan murid-murid Ki Baramanta. Pertempuran kecil pun pecah. Suara denting senjata ditingkahi jerit kematian, membuat suasana semakin ribut. Darah pun mulai mengalir membasahi halaman Perguruan Angin Puyuh.
Sementara Ki Guwara dan Ki Langgita yang merupakan perwira Kerajaan Parangkara, mengamuk hebat dengan senjata di tangan. Gempuran kedua orang perwira berkepandaian tinggi itu membuat murid-murid Ki Baramanta kalang-kabut. Tak seorang pun dari mereka yang mampu menahan amukan dua orang perwira gagah itu. 
Murid-murid terbaik Ki Baramanta telah tewas di tangan Senapati Bagaswara, sewaktu hendak membebaskan Ki Baureksa. Jadi, tidak aneh kalau amukan kedua orang perwira itu membuat murid-murid Perguruan Angin Puyuh terdesak hebat. Satu persatu mereka gugur dengan tubuh bersimbah darah.
Pada saat murid-murid Ki Baramanta tidak berdaya menghadapi amukan pasukan Senapati Bagaswara, tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih yang langsung membagi-bagi tamparan dan tendangannya. Hal itu membuat pihak pasukan Senapati Bagaswara terkejut bukan main. Dalam waktu singkat, belasan anggota pasukan terjungkal pingsan terkena amukan sosok bayangan putih itu.
"Mundur...!"
Ki Langgita memerintahkan pasukannya bergerak mundur. Sedangkan ia sendiri melompat maju bersama Ki Guwara, menghalau amukan sosok bayangan putih yang menggiriskan itu.
"Haaat...!" Dengan sebuah teriakan nyaring, Ki Langgita melayang disertai kelebatan pedangnya yang menimbulkan deruan angin tajam.
"Yeaaat...!!" Ki Guwara pun tidak ketinggalan. Lelaki gemuk berkumis lebat itu ikut membantu rekannya. Pedang di tangannya yang sudah berlumuran darah, bergerak menyilang disertai desingan tajam.
"Hm...." Sosok bayangan putih itu menggeram perlahan, ia sama sekali tidak berusaha menghindari sergapan dua batang senjata itu. Malah kakinya melangkah ke depan sambil menyilangkan kedua lengannya ke kiri dan kanan. Akibatnya....
Plak! Plak!
"Aaakh...?!"
"Ughhh…?!"
Bukan main terkejutnya Ki Guwara dan Ki Langgita ketika merasakan tubuh mereka bagai direndam dalam air es. Kedua perwira itu terpelanting muntah darah. Tangkisan lawan demikian kuat, membuat dada bagian dalam mereka terguncang. Jelas, kekuatan tenaga dalam sosok bayangan putih itu berada jauh di atas kekuatan mereka berdua.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua perwira itu tidak mampu bangkit. Mereka berusaha keras mengusir hawa dingin yang meresap ke dalam tubuh. Untuk itu, Ki Guwara dan Ki Langgita memerlukan banyak waktu. Hawa dingin yang meresap ke dalam tubuh mereka terlalu kuat. Bahkan kedua perwira itu hampir putus asa ketika menyadari hawa murni mereka tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyerang dada.
Melihat kedua orang pimpinannya menggigil kedinginan, para prajurit bergerak mundur dengan wajah pucat. Kelihatan sekali kalau mereka gentar menghadapi sosok berjubah putih yang baru muncul itu. Mereka menyadari, sosok berjubah putih itu adalah seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi.
Kejadian yang tidak terduga itu, sempat terlihat oleh Senapati Bagaswara. Langsung saja tubuhnya melesat meninggalkan Ki Baramanta. Dan melayang turun dalam jarak satu setengah tombak, di hadapan sosok berjubah putih yang berdiri tegak.
"Pendekar Naga Putih...?!" Ki Baramanta yang juga melihat sosok berjubah putih itu, berseru gembira.
Tidak sulit bagi Ketua Perguruan Angin Puyuh itu untuk mengenali sosok berjubah putih yang telah membuat kedua orang lawannya menggigil kedinginan. Sekali pandang saja, Ki Baramanta tahu kalau kedua orang perwira bawahan Senapati Bagaswara itu terkena pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Itulah sebabnya, mengapa Ki Baramanta langsung dapat menebak, siapa sosok pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkan murid-muridnya.
"Maaf, aku telah lancang mencampuri urusan ini, Ki. Secara kebetulan aku lewat di dekat tempat ini, dan mendengar suara orang bertempur. Melihat murid-muridmu terdesak, terpaksa aku memberanikan diri turun ke arena...," papar pemuda tampan berjubah putih itu setelah memberi hormat kepada Ki Baramanta. 
"Ah! Jangan merendahkan diri seperti itu, Pendekar Naga Putih. Justru aku sangat berterima kasih atas bantuanmu. Kalau tidak, mungkin murid-muridku sudah tewas semua di tangan pasukan Senapati Bagaswara yang gagah itu...," ujar Ki Baramanta, menggunakan pembicaraan itu untuk mengejek Senapati Bagaswara.
Senapati Bagaswara menggeram marah mendengar ucapan itu. Namun, ia sangat terkejut mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga Putih. Senapati Kerajaan Parangkara itu menyadari kalau posisinya sekarang sangat tidak menguntungkan.
"Pendekar Naga Putih! Sadarlah kau bahwa dengan membantu Perguruan Angin Puyuh, sama artinya kau melibatkan diri dengan para pemberontak. Berarti, kau pun musuh Kerajaan Parangkara! Belum terlambat bagimu untuk mundur. Kuperintahkan kepadamu. Tinggalkan tempat ini, sebelum aku menuduhmu bersekongkol dengan para pemberontak...," dengan cerdiknya, Senapati Bagaswara menggertak Pendekar Naga Putih dengan mengatas namakan kerajaan.
"Jangan dengarkan ocehan manusia keji itu. Pendekar Naga Putih. Ia sendirilah yang ingin berkhianat pada kerajaan! Khawatir melihat Senapati Baureksa banyak mempunyai rekan di kalangan rimba persilatan, maka ia berusaha menyingkirkan panglima yang jujur itu dengan melemparkan fitnah keji. Kemudian melemparkan tuduhan bahwa Perguruan Angin Puyuh hendak bersekongkol untuk memberontak. Sebaiknya, orang seperti Senapati Bagaswara ini kita lenyapkan saja, agar negeri menjadi aman...," Ki Baramanta melempar balik tuduhan yang dilontarkan Senapati Bagaswara.
Panji menatap wajah Senapati Bagaswara dengan tatapan tajam. Seolah-olah pemuda sakti itu hendak membaca isi kepala lelaki brewok bertubuh tinggi besar itu.
"Hm.... Rasa-rasanya aku lebih percaya pada ucapan Ki Baramanta, Tuan Panglima. Maaf, aku tidak bisa menuruti perintahmu untuk meninggalkan tempat ini...," ujar Panji setelah terdiam beberapa saat.
Pendekar Naga Putih cenderung lebih mempercayai keterangan Ki Baramanta. Selain tokoh itu dari golongan putih, ia pun telah lama mendengar kabar tentang kegagahan serta kejujuran Ketua Perguruan Angin Puyuh itu.
Senapati Bagaswara menggeram gusar. Sejenak ia terdiam memperhitungkan untung rugi tindakan selanjutnya, ia pun telah lama mendengar sepak terjang Pendekar Naga Putih yang menurut kabar belum terkalahkan itu.
"Mengapa kau ragu-ragu bertindak, Bagaswara? Bunuh saja mereka, habis perkara...."
Wajah Senapati Bagaswara berubah cerah ketika mendengar suara bisikan yang dikirimkan dari jauh itu. Tak seorang pun mengetahui, termasuk Pendekar Naga Putih. Suara itu hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Panglima bertubuh tinggi besar itu sangat mengenal si pengirim suara. Buktinya, sikapnya berubah tenang.
"Kalau begitu, aku terpaksa akan menangkapmu, Pendekar Naga Putih...!"
Setelah berkata demikian, Senapati Bagaswara kembali memerintahkan para prajuritnya untuk maju menggempur murid-murid Perguruan Angin Puyuh. Ki Guwara dan Ki Langgita yang telah berhasil mengusir hawa dingin dalam tubuh mereka, segera memimpin para prajurit untuk maju menggempur.
"Serbuuu...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, pasukan Senapati Bagaswara bergerak maju menggempur murid-murid Perguruan Angin Puyuh. Pertempuran pun kembali pecah. Pendekar Naga Putih dan Ki Baramanta heran melihat perubahan sikap Senapati Bagaswara. Lelaki bertubuh tinggi besar itu kembali menunjukkan kegarangannya.
"Aneh...!? Apa yang menyebabkan keberanian panglima itu bangkit kembali? Padahal, tadi ia merasa gentar? Hm... Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya...," gumam Panji yang sejak tadi memperhatikan raut wajah panglima bertubuh raksasa itu.
Ki Baramanta sendiri tidak kalah herannya dengan Panji. Lelaki tua yang masih tampak gagah itu menatap wajah Pendekar Naga Putih. Seolah-olah ingin meminta pendapat pendekar muda itu.
"Hm.... Hadapilah panglima itu, Ki Baramanta. Aku akan berjaga-jaga, kalau-kalau ada tokoh yang bersembunyi dan siap turun tangan membantu Senapati Bagaswara...," bisik Panji yang menduga perubahan sikap senapati itu pasti ada sebabnya.
"Baik, Pendekar Naga Putih...," sahut Ki Baramanta, segera bergerak maju menyambut kedatangan Senapati Bagaswara yang kini menggenggam sebatang golok besar bergerigi.
"Hm.... Kali ini aku akan mengirimmu ke neraka, Baramanta! Biar mayatmu saja yang kubawa ke kotaraja...!" geram Senapati Bagaswara sambil menggerakkan golok bergeriginya ke kiri dan kanan. Langkahnya bersilangan dengan bentuk kuda-kuda yang kokoh dan kuat.
"Majulah, Panglima Culas! Aku tidak gentar menghadapi gergaji pemotong kayu itu...," tantang Ki Baramanta sambil menyilangkan pedangnya yang bersinar kuning di depan dada.
"Mari kita buktikan...! Haaat..!" Disertai teriakan keras, tubuh Senapati Bagaswara bergerak ke depan sambil memutar golok bergeriginya.
Wuttt...!
Golok bergerigi yang mengerikan itu, berdesing tajam menyambar batang leher Ki Baramanta. Lelaki tua yang masih gagah itu menggeser tubuhnya ke samping dengan posisi agak doyong ke belakang. Kemudian, pedangnya bergerak menusuk dengan kecepatan kilat.
Singgg!
"Hahhh!"
Senapati Bagaswara membentak keras. Berbarengan dengan itu, tubuhnya melompat ke samping sambil melepaskan tendangan kilat mengarah pelipis lawan. Memang hebat serangan yang dilakukan senapati bertubuh raksasa itu. Jarang ada tokoh yang mampu melakukannya, kecuali mereka yang memiliki kepandaian tinggi.
Plakkk!
Sadar untuk mengelak sangat sulit, Ki Baramanta terpaksa memapaki tendangan itu dengan kibasan lengan kiri. Akibatnya, tubuh mereka sama-sama terdorong ke belakang. Ki Baramanta terdorong lebih jauh dari lawan, sehingga membuatnya sadar kalau kekuatan senapati itu masih berada di atasnya. Kelebihan yang dimilikinya hanya ilmu meringankan tubuh. Dan ia harus memanfaatkan kelebihannya yang hanya sedikit itu untuk menghadapi lawan.
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Kedua tokoh sakti itu saling menyerang hebat. Jurus-jurus yang kali ini digunakan, adalah jurus-jurus andalan yang sangat jarang dikeluarkan. Tidak aneh jika pertarungan itu berlangsung seru dan mendebarkan.
Sementara itu. Pendekar Naga Putih yang semula menanti kemunculan tokoh yang mungkin bersembunyi melindungi Senapati Bagaswara, terpaksa terjun ke arena. Karena pada saat itu murid-murid Ki Baramanta kalang-kabut menghadapi amukan Ki Guwara dan Ki Langgita.
Terjunnya Pendekar Naga Putih ke arena pertempuran, membuat perubahan yang mengejutkan. Dalam waktu singkat, pasukan Senapati Bagaswara kembali terpukul mundur. Kali ini Panji bertindak lebih berani pada Ki Guwara dan Ki Langgita.
"Haiiit...!" Dengan saruan keras, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke depan. Sepasang telapak tangannya mendorong dengan kekuatan yang telah diperhitungkan. Dan....
Desss! Desss!
"Aaargh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Guwara dan Ki Langgita terjungkal. Darah segar termuntah dari mulut keduanya. Mereka terbanting pingsan, tanpa mampu bangkit lagi.
Melihat Pendekar Naga Putih kembali terjun ke arena, para prajurit Kerajaan Parangkara bergerak mundur. Mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kedua orang pimpinan mereka. Sehingga pertempuran pun terhenti dengan sendirinya.

* * * * *



:::≡¦ [ 7 ] ¦≡:::

PERTEMPURAN antara Ki Baramanta melawan Senapati Bagaswara masih terus berlanjut. Bahkan, pertarungan kelihatan semakin seru, meskipun kini keduanya hanya menggunakan tangan kosong. Ki Baramanta yang melihat lawan menyimpan senjata, segera menyelipkan pedangnya di sisi pinggang. Sehingga pertarungan berlanjut tanpa senjata.
"Heaaat...!"
Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Senapati Bagaswara jauh lebih unggul dari lawannya, ia yang mendapat julukan Sepasang Tangan Maut, mencecar lawannya dengan tamparan-tamparan yang menimbulkan desiran angin tajam.
Meskipun Ki Baramanta mengeluarkan jurus andalan yang bernama 'Pukulan Angin Puyuh', tetap saja ia harus mengakui keunggulan lawan. Apalagi tenaga dalam lawan dua tingkat di atasnya. Sehingga kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh tidak sanggup membantunya untuk menghalau serbuan sepasang tangan Senapati Bagaswara. Bahkan dalam jurus-jurus selanjutnya, Ki Baramanta tidak mampu lagi mengimbangi serangan lawan.
"Haaat…!" Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh, Senapati Bagaswara membentak nyaring. Tubuhnya bergerak cepat melancarkan dorongan telapak tangan kanan ke tubuh lawan yang terbuka. Akibatnya....
Bukkk!
"Huagkhhh...!" Tanpa terelakkan lagi, darah segar termuntah dari mulut Ki Baramanta. Tubuh lelaki tua itu terjungkal dan hampir terbanting ke tanah. Untunglah Pendekar Naga Putih bertindak cepat Mendengar jerit kesakitan Ki Baramanta, pemuda perkasa itu langsung menoleh dan berkelebat menyambut tubuh lelaki tua itu. Sehingga, Ki Baramanta tidak sampai terbanting ke tanah.
"Cepat telan pil penawar luka ini, Ki...," ujar Panji begitu mengetahui lelaki tua itu mendapat luka dalam yang cukup parah. Ki Baramanta yang percaya sepenuhnya akan kepandaian Pendekar Naga Putih, langsung saja menelan pil berwarna putih seperti salju itu.
Senapati Bagaswara agaknya tidak ingin memberi peluang. Selagi Pendekar Naga Putih menyerahkan pil penawar luka kepada Ki Baramanta, lelaki bertubuh raksasa itu melayang, melontarkan pukulan dengan kedua tangannya berganti-ganti.
"Hiaaat..!" Mendengar teriakan itu, Panji langsung menoleh ke arah Senapati Bagaswara. Hatinya geram bukan main melihat tubuh lelaki raksasa itu tengah melayang dengan serangan maut.
"Manusia licik...!" geram Panji. Dan tanpa bangkit lagi, Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kemudian, sebelah tangannya memapaki serangan Senapati Bagaswara.
Bresssh!
"Aaakh...?!" Senapati Bagaswara menjerit ngeri merasakan hembusan angin dingin menyambut serangannya. Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa itu terpental balik akibat benturan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!" Tiba-tiba terdengar seruan melengking tinggi yang menggetarkan jantung. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan hitam, menyambut tubuh Senapati Bagaswara yang saat itu tengah melayang di udara.
Tappp!
Sekali mengulurkan tangan, tubuh Senapati Bagaswara dapat diselamatkan sosok bayangan hitam itu. Kalau tidak, mungkin lelaki raksasa itu sudah remuk tulangnya, terbentur sebatang pohon besar di belakangnya. Untung sosok bayangan hitam itu bergerak cepat, menyelamatkan nyawa Senapati Bagaswara. Dengan gerakan yang sangat ringan, pertanda kesempurnaan ilmu meringankan tubuhnya, sosok bayangan hitam itu berputar indah dan melayang turun.
"Biang Iblis Tangan Api...?!" desis Ki Baramanta terkejut, melihat sosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus itu.
"Jadi, dialah yang telah membangkitkan keberanian Ki Bagaswara? Entah mengapa manusia paling jahat itu keluar dari pertapaannya...?"
Panji yang mendengar Ki Baramanta menyebut sosok tinggi kurus berpakaian serba hitam itu Biang Iblis Tangan Api, menjadi terkejut. Seperti yang diketahui Ki Baramanta, tokoh sesat yang sangat jahat itu telah lama mengasingkan diri di pertapaannya, yang tidak diketahui orang lain. Wajar jika Ketua Perguruan Angin Puyuh terkejut melihat kemunculan datuk sesat yang sakti itu.
"Pasti ada suatu sebab yang membuat tokoh sesat itu keluar dari sarangnya? Atau, mungkin Ki Bagaswara mengundang datuk sesat itu dengan janji-janji muluk...," timpal Panji, tanpa melepaskan pandangan matanya dari sosok tinggi kurus yang sangat ditakuti dalam kalangan rimba persilatan.
"Tidak. Bukan itu yang menyebabkan datuk sesat itu keluar dari pertapaannya. Memang benar ada kemungkinan Senapati Bagaswara mengundangnya. Karena senapati itu memang murid Biang Iblis Tangan Api. Jadi, tidak aneh kalau sang Guru memenuhi permintaan muridnya, membantu tercapainya keinginan Senapati Bagaswara. Tidak bisa diragukan lagi, Senapati Bagaswara hendak memberontak," ujar Ki Baramanta, yang tahu banyak hubungan Senapati Bagaswara dengan Biang Iblis Tangan Api.
Sementara itu, sosok yang mereka bicarakan sudah meletakkan tubuh muridnya di bawah pohon rindang. Senapati Bagaswara bersemadi, setelah Biang Iblis Tangan Api melakukan totokan di beberapa bagian tubuh muridnya. Panji menatap kagum, melihat cara yang digunakan tokoh sesat itu dalam melakukan pengobatan luka dalam yang diderita muridnya. Pemuda itu pun tahu. Biang Iblis Tangan Api merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai.
Selesai mengurus muridnya, Biang Iblis Tangan Api bergerak menghampiri Pendekar Naga Putih. Sorot matanya tertuju lurus ke mata pendekar muda itu. Kemudian, jangkahnya berhenti dalam jarak dua tombak.
"Aku terpaksa turun tangan ketika melihatmu mencampuri urusan ini, Pendekar Naga Putih. Kau terlalu usil dan selalu mau tahu urusan orang lain. Aku ingin memberikan sedikit pelajaran kepadamu...," ucap Biang Iblis Tangan Api. Dan begitu ucapannya selesai, telapak tangan kanannya langsung didorong ke depan.
Whuuut…!
Panji yang juga melangkah maju mendekati datuk sesat itu, segera sadar akan bahaya yang datang mengancam. Cepat, semangatnya dikempos dan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Kemudian, telapak tangan kanannya didorong menyambut datangnya serangan lawan.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras yang menggetarkan tempat itu, ketika dua gelombang tenaga sakti yang berlainan jenis saling berbenturan di udara.
"Hebat..!" puji Biang Iblis Tangan Api tulus, ketika benturan itu membuat tubuhnya terdorong sejauh enam langkah ke belakang.
Panji pun tidak kalah terkejut ketika merasakan kuda-kudanya tergempur hingga sejauh enam langkah. Sadarlah pemuda itu kalau lawan yang dihadapi memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Hal itu membuatnya lebih berhati-hati menghadapi serangan selanjutnya.
"Kau memang patut dipuji, Pendekar Naga Putih. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang terkenal itu benar-benar hebat. Sekarang, aku ingin melihat ilmu-ilmu lain yang kau miliki. Bersiaplah...," ujar Biang Iblis Tangan Api, segera mempersiapkan serangannya.
Tubuh lelaki tinggi kurus berusia tujuh puluh tahun itu, membentuk kuda-kuda yang sangat aneh. Kedua kakinya ditekuk rendah, membentuk kedudukan menunggang kuda. Tubuhnya condong ke depan seperti ingin jatuh. Sedangkan sepasang tangannya mengembang ke kiri dan kanan dengan telapak membuka.
"Hm...," gumam Panji perlahan ketika merasakan angin panas berhembus ke arahnya. Cepat-cepat pemuda itu menyilangkan kedua tangannya ke depan dada, mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebentar saja, tubuhnya telah diselimuti lapisan kabut bersinar putih keperakan. Menilik lebarnya lingkaran kabut putih keperakan itu, dapat diketahui kalau Pendekar Naga Putih telah mengerahkan tenaga sepenuhnya.
"Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...!" seru Biang Iblis Tangan Api yang segera melesat, sebelum gema suaranya lenyap.
Whuuut!
Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ketika tamparan Biang Iblis Tangan Api datang mengancam kepala. Kemudian, memutar langkah ketika serangan lawan berlanjut.
"Hiaaah...!" Seiring dengan bentakan keras, Pendekar Naga Putih melontarkan serangan balasan dengan kecepatan laksana sambaran kilat di angkasa. Jari-jari tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak menyambar susul-menyusul. Sementara Biang Iblis Tangan Api terpaksa menarik mundur tubuhnya, sehingga serangan pemuda tampan berbaju putih itu luput dari sasaran.
"Yeaaah...!"
Begitu tubuhnya terhindar dari serangan lawan, Biang Iblis Tangan Api melancarkan serangan balasan yang tidak kalah cepat dan kuat. Telapak tangannya menyambar-nyambar ganas, menerbitkan hawa panas yang membuat daun-daun pohon terdekat layu. Bahkan beberapa batang pohon yang terkena pukulan nyasar tokoh sakti itu, bertumbangan hangus seperti terbakar. Jelas, datuk sesat itu telah menggunakan jurus andalan dalam menghadapi Pendekar Naga Putih.
Pertempuran berlangsung semakin seru dan mendebarkan, karena Panji telah menggunakan ilmu silat andalannya. Pemuda itu sadar kalau lawannya kali ini sangat berbahaya. Untunglah tubuhnya diselimuti lapisan kabut berhawa dingin menusuk tulang. Kalau tidak, mungkin tubuh pemuda itu telah hangus oleh hawa panas yang keluar dari setiap serangan lawan.
Ki Baramanta yang telah menyelesaikan semadinya, bergerak bangkit menjauhi arena pertempuran. Hawa panas yang terbit dari sambaran angin pukulan Biang Iblis Tangan Api, membuat tubuhnya berpeluh. Ditambah lagi hawa dingin yang berasal dari pukulan maupun tubuh Pendekar Naga Putih. 
Meskipun ia berada dalam jarak hampir empat tombak, tetap saja Ki Baramanta merasa seperti orang terserang demam. Sebentar panas sebentar dingin. Semua murid-murid Perguruan Angin Puyuh yang berada di dekat ketuanya, menyaksikan pertarungan dari jauh. Hal itu dilakukan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
Bukan hanya pihak Perguruan Angin Puyuh saja yang bergerak menjauhi arena pertarungan. Pihak kerajaan pun berada cukup jauh dari arena perkelahian maut itu. Di antara mereka terlihat Senapati Bagaswara, yang berhasil mengatasi luka dalam di tubuhnya berkat bantuan gurunya. Sedangkan dua orang perwira bawahannya tampak masih agak pucat. 
Daya tahan mereka tidak sekuat Senapati Bagaswara, sehingga membuat luka pukulan Pendekar Naga Putih lebih parah. Kedua pihak yang masih bertarung sengit bergerak semakin cepat. Agaknya mereka ingin segera mengakhiri pertarungan.
"Haaat...!"
Panji sekuat tenaga menerjang lawan dengan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuh pemuda itu bergerak cepat laksana seekor naga sakti murka. Sepasang tangannya yang menerbitkan hawa dingin menusuk, membuat Biang Iblis Tangan Api kewalahan menghadapinya.
Plak! Plak!
"Aih...?!" Datuk sesat bertubuh tinggi kurus itu memekik kaget ketika, memapaki serangan lawan. Kali ini, Biang Iblis Tangan Api harus mengakui kehebatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' lawannya. Tangkisan itu membuat tubuhnya terhuyung dan hampir terpelanting. Untung datuk sesat itu masih sempat memperbaiki kuda-kudanya, sehingga tidak sampai terjatuh.
Pendekar Naga Putih sepertinya ingin segera menyelesaikan pertarungan. Dua buah serangan yang berhasil dipunahkan lawan, langsung disusul dengan serangan berikutnya yang lebih cepat dan kuat.
"Ahhh...?!" Biang Iblis Tangan Api tak bisa menahan kekagetannya. Wajah kakek itu berubah pucat ketika melihat tubuh lawan bergerak ke udara, dan meluncur turun dengan kecepatan yang luar biasa! Biang Iblis Tangan Api tidak sanggup lagi melihat sosok lawan yang terlindungi bulatan sinar putih keperakan, berpendar menyilaukan mata.
"Aaa...!" Terdengar teriakan panjang ketika sepasang cakar Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuh lawan. Darah segar memercik seiring terpentalnya sosok Biang Iblis Tangan Api dengan luka-luka yang sangat parah. Bahkan di beberapa bagian tubuhnya membiru. Hal itu akibat hawa dingin yang meresap ke dalam tubuhnya.
"Haiiit…!" Pendekar Naga Putih tidak mau kepalang tanggung. Tubuhnya melesat mengejar sosok lawan yang terpental. Kemudian, langsung menyarangkan sebuah tendangan maut yang membuat nyawa datuk sesat itu melayang ke akhirat!
Desss!
"Hugkhhh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh kakek tinggi kurus itu terbanting ke tanah dengan tulang dada remuk.
Kemenangan di pihak Pendekar Naga Putih, membuat murid-murid Perguruan Angin Puyuh bersorak gembira. Mereka tidak memperhatikan Senapati Bagaswara membawa pergi pasukannya dari tempat itu secara diam-diam. Jelas, Senapati Kerajaan Parangkara itu sangat terkejut melihat gurunya tewas di tangan Pendekar Naga Putih.
"Ah! Keparat itu meloloskan diri, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki Baramanta penuh sesal ketika terlambat menyadari kepergian Senapati Bagaswara dan pasukannya.
"Hm.... Aku akan mencoba mengejarnya, Ki...," ujar Panji. Kemudian, pemuda digdaya itu segera berkelebat, lenyap dari pandangan Ki Baramanta dan murid-muridnya.

* * * * *




Sosok tegap mengenakan caping bambu, melangkah ringan memasuki gerbang Kota raja Parangkara. Melihat bentuk tubuh serta caranya melangkah, lelaki tegap bercaping itu pasti seorang ahli silat berkepandaian tinggi. Apalagi dilihat dari sorot matanya yang mencorong tajam, jelas sosok tegap itu bukan orang sembarangan.
Tanpa mempedulikan orang-orang di sekitarnya, sosok tegap itu terus melangkah semakin jauh memasuki kotaraja yang ramai. Sesekali, sepasang matanya melirik tajam ke arah bangunan-bangunan besar yang berderet sepanjang jalan. Menilik dari gerak-geriknya, pasti ada sesuatu yang dicari di kotaraja itu.
Ketika berpapasan dengan serombongan prajurit peronda, sosok tegap itu membenamkan caping bambunya semakin dalam. Sehingga wajahnya semakin terlindung, tidak dapat dikenali orang. Hal itu menandakan kalau sosok tegap itu tidak ingin dikenali orang-orang di sekitarnya.
Tidak berapa lama kemudian, sosok tegap itu tiba di dekat sebuah bangunan besar yang megah. Langkahnya terhenti sejenak, mengawasi bangunan itu dengan sorot mata tajam menyelidik. Kemudian, langkahnya kembali dilanjutkan, ketika melihat dua orang penjaga gerbang memperhatikan gerak-geriknya. 
"Hm.... Rupanya kau semakin jaya, Bagaswara...," gumam sosok tegap itu sambil melangkah perlahan.
Sesaat kemudian, kembali langkah sosok tegap itu berhenti, dan memperhatikan sekelilingnya yang agak sepi. Lalu, tubuhnya melayang naik melewati pagar tembok setinggi satu tombak lebih. Sebentar saja, sosok tegap itu telah tiba di halaman dalam bangunan. Tubuhnya merunduk, bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Sungguh luar biasa! Sosok tegap itu memasuki bangunan kediaman Senapati Bagaswara pada siang hari. Perbuatannya itu sama saja dengan mencari mati!
Sosok tegap itu agaknya sangat hafal keadaan bangunan. Buktinya, ia mudah saja menyelinap kian kemari tanpa ada seorang penjaga pun yang memergoki. Akhirnya, tibalah ia di bagian belakang bangunan yang merupakan sebuah taman. Banyaknya pepohonan di taman itu membuat bayangan tubuhnya tidak mudah terlihat.
"Hm... Sudah kuduga, pada saat-saat seperti ini bangsat itu pasti tengah beristirahat di taman kesayangannya...," desis sosok tegap itu, ketika melihat seorang lelaki brewok tengah duduk di bangku taman. Cepat ia bergerak mendekat, ketika melihat suasana di sekitar taman sepi.
"Siapa itu...? Tunjukkan dirimu, kalau benar-benar jantan...!" bentak lelaki brewok bertubuh tinggi besan itu seraya bergerak bangkit dari duduknya.
Pendengarannya yang tajam menangkap gerak langkah orang mendekat. Padahal suara langkah itu tidak mudah terdengar sembarang orang. Tapi, bagi lelaki brewok itu bukan hal yang luar biasa. Sosok tinggi besar berwajah brewok itu, adalah Senapati Bagaswara yang berkepandaian tinggi.
Sadar kalau kedatangannya telah diketahui, sosok tegap itu pun menampakkan diri. Ia berdiri tegak dalam jarak satu tombajk dari Senapati Bagaswara, yang tidak bisa mengenalinya. Wajah sosok tegap itu tersembunyi oleh caping bambu lebar.
"Siapa kau...? Apa maksudmu menyelinap masuk ke taman ini...?" Senapati Bagaswara kembali membentak. Sepasang matanya menatap tajam sosok di hadapannya.
Sosok tegap itu mengangkat kepalanya sedikit Sepasang matanya menyambar tajam wajah Senapati Bagaswara. Sehingga, panglima berkepandaian tinggi itu sempat tergetar hatinya.
"Hm.... Rupanya kau sudah melupakan aku, Bagaswara...," tegur sosok tegap itu dengan suara parau yang menggetarkan.
"Kau...?!" Senapati Bagaswara mendesis parau. Pemilik suara itu hampir dikenalinya. Hatinya semakin terkejut ketika sosok tegap itu melepaskan caping yang menyembunyikan wajahnya.
"Ya. Aku, Bagaswara. Berteriaklah, agar para prajuritmu berdatangan. Bukankah itu yang hendak kau lakukan...?" desis sosok tegap itu seraya menatap wajah di depannya dengan sorot mata tajam. Sedangkan Senapati Bagaswara hanya bisa berdiri mematung untuk beberapa saat lamanya.

* * * * *



:::≡¦ [ ⑧ ] ¦≡:::

"Ha ha ha...!" tiba-tiba Senapati Bagaswara tertawa terbahak-bahak.
Sosok lelaki tegap berusia sekitar lima puluh tahun itu heran. Merasa curiga atas perubahan sikap lawan, lelaki gagah itu bergerak mundur. Pandangan matanya diedarkan ke sekeliling taman.
"Manusia keparat ini sangat licik. Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah? Mungkin segalanya telah dipersiapkan, karena tahu aku akan datang menuntut balas...," gumam sosok tegap itu dengan wajah agak tegang.
Semula, niatnya hanya ingin mengejek Senapati Bagaswara dengan memaki sebagai pengecut, dan memancing dengan kata-kata hinaan. Agar senapati itu merasa malu dan menghadapinya secara jantan. Tapi, melihat sikap lelaki tinggi besar itu yang tiba-tiba berubah, ia menjadi curiga. Bisa jadi, senapati itu mempersiapkan perangkap untuknya.
"Baureksa.... Baureksa.... Kau benar-benar nekat menyelinap ke taman ini pada waktu siang. Kemarin kau boleh tertawa puas, berhasil membunuh Senapati Widyamarta sekeluarga. Tapi, hal itu tidak akan terjadi pada diriku...," ujar Senapati Bagaswara, lalu bertepuk tangan sebanyak tiga kali.
"Keparat licik...!" desis sosok lelaki gagah yang ternyata Ki Baureksa. Hatinya geram bukan main ketika tiba-tiba saja tempat itu sudah terkepung banyak pasukan. Bahkan di antaranya, terdapat beberapa orang perwira dan senapati lain. Ki Baureksa sangat terkejut dibuatnya.
"Nah! Sekarang kau percaya dengan keteranganku, Senapati Gantika. Dugaanku tepat, bukan? Sudah kukatakan, pembunuh itu akan beraksi kembali. Dan kini kau menyaksikannya sendiri...," ujar Senapati Bagaswara kepada seorang lelaki gagah, yang muncul bersama para prajurit dan perwira lainnya.
"Benar-benar sulit dipercaya...," gumam lelaki tinggi kurus yang dipanggil Senapati Gantika, seraya menatap wajah Ki Baureksa dengan tatapan penuh sesal.
"Hm.... Tunggu apa lagi...? Ayo kita ringkus pembunuh keji itu...!" ujar Ki Langgita, perwira yang menjadi bawahan Senapati Bagaswara. Setelah berkata demikian, ia langsung bergerak maju menerjang Ki Baureksa yang masih belum hilang rasa terkejutnya.
"Haaat..!" Dengan pedang di tangan, lelaki tinggi kurus itu bergerak maju, membabatkan senjatanya ke tubuh lawan. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang perwira lain yang bertubuh gemuk dan berkumis lebat ikut maju menggempur. Sebentar saja, ketiga orang itu telah terlibat sebuah perkelahian sengit.
"Serbuuu...!" Senapati Gantika yang melihat kedua orang perwira itu terdesak, segera memerintahkan para prajurit untuk maju menggempur. Tanpa diperintah dua kali, para prajurit segera meluruk maju dengan senjata di tangan. Beberapa di antaranya ada yang membawa jala, siap meringkus Ki Baureksa.
"Hiaaat…!!"
Ki Baureksa yang sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos dari kepungan, segera berseru keras sambil memutar kedua tanagannya dengan kecepatan tinggi. Sebentar saja, hawa beracun menyebar ke sekitar taman.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kemaban susul-menyusul ketika sepasang tangan Ki Baureksa berganti-ganti melontarkan pukulan maut. Di antara yang tewas, terdapat tiga orang perwira. Sehingga, Senapati Gantika menjadi marah, dan ikut menerjang maju.
"Lemparkan jala...!" sambil membabatkan pedangnya ke tubuh Ki Baureksa, Senapati Gantika memerintahkan para prajurit melemparkan jala ke arah lawan.
Ki Baureksa bukan tidak tahu kehebatan pasukan jala itu. Ia pernah menjabat sebagai Senapati Kerajaan Parangkara, maklum akan bahaya yang mengancam jiwanya. Cepat-cepat tubuhnya bergerak menghindari sambaran senjata Senapati Gantika yang sewaktu ia masih menjabat sebagai senapati, adalah kawan akrabnya. 
Kini ia harus bertarung dengan sahabatnya itu. Tentu saja Ki Baureksa jadi serba salah. Sayang, ia tidak diberi kesempatan membela diri dengan mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hatinya saat itu.
"Hiaaah...!" Karena tidak ingin mati penasaran, Ki Baureksa membalas serangan Senapati Gantika dengan lontaran pukulan beracunnya. Sayang, sebelum serangan itu sempat dilancarkan, sebuah jala meringkus tubuhnya dari atas!
Desss...!
Seorang perwira yang melihat Ki Baureksa terkena jaring, langsung melepaskan sebuah tendangan telak pada pinggul Ki Baureksa. Orang tua itu tidak bisa mengelak iagi. Akibatnya, tubuhnya terdorong oleh kerasnya pukulan lawan. Meskipun tidak mendatangkan luka yang berarti, namun cukup membuat tokoh itu marah.
"Hihhh...!" Belum lagi Ki Baureksa sempat berbuat sesuatu untuk melepaskan diri dari belitan jala harus yang amat kuat itu, sebuah hantaman keras datang menghajar punggungnya. Karena serangan itu datang dari Senapati Bagaswara, maka akibatnya pun cukup parah! Tubuh Ki Baureksa jatuh berguling-guling memuntahkan darah segar. Pada saat itu, dua batang pedang datang mengancam tubuhnya.
"Haiiit…!"
Pada saat kritis itu, mendadak sesosok bayangan putih meluncur turun dari atas pohon. Begitu tiba, tangannya langsung mengibaskan kedua pedang yang siap memisahkan nyawa Ki Baureksa dari tubuhnya. 
Plak! Plak!
Kedua perwira yang tidak lain dari Ki Guwara dan Ki Langgita, terpekik kesakitan. Tangkisan sosok bayangan putih itu sangat kuat, sehingga keduanya terbanting keras. Kejadian yang tidak disangka-sangka itu membuat yang lain terkejut.
Belasan prajurit datang menyerbu sosok bayangan putih dengan ujung tombaknya. Tanpa menoleh ke arah penyerangnya, sosok bayangan putih itu mengibaskan lengannya. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat belasan prajurit itu terpelanting dan pingsan seketika. Sebelum yang lain bergerak, sosok bayangan putih itu telah membebaskan Ki Baureksa dari jala yang menyelimuti tubuhnya.
"Keparat! Siapa kau yang berani mati membela seorang pembunuh pejabat kerajaan...?!" bentak Senapati Gantika yang memiliki pengaruh di atas Senapati Bagaswara. Sebab, kelihatannya ia lebih berkuasa memberi perintah kepada para prajurit yang berada di tempat itu.
Sosok bayangan putih itu ternyata seorang pemuda tampan mengenakan jubah panjang berwarna putih. Ia berdiri tegak menghadap Senapati Gantika dengan tubuh terbungkus lapisan kabut putih keperakan.
"Kau... Pendekar Naga Putih...?!" seru Senapati Gantika serta beberapa perwira lain. Mereka memang pernah mendengar ciri-ciri khusus Pendekar Naga Putih. Kelihatan mereka sangat terkejut, melihat kemuculan pendekar muda itu di kotaraja. Bahkan menyelamatkan Ki Baureksa yang dianggap pemberontak, dan kini dituduh sebagai pembunuh keluarga Senapati Widyamarta.
"Benar. Aku adalah Pendekar Naga Putih. Kedatanganku kemari untuk meluruskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotaraja. Itu sebabnya, mengapa aku menyelamatkan Ki Baureksa dari kematian...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Gantika. Lelaki gagah itu tidak senang dengan ucapan Pendekar Naga Putih. Ia sudah melihat sendiri ilmu silat beracun yang dimiliki Ki Baureksa. Keadaan mayat-mayat para prajurit yang tewas akibat pukulan Ki Baureksa, sama persis seperti yang terjadi pada keluarga Senapati Widyamarta. Itu sebabnya, mengapa Senapati Gantika percaya bahwa Ki Baureksalah yang telah membasmi Senapati Widyamarta sekeluarga.
"Untuk apa mendengar ocehan pemuda sombong itu? Bunuh saja dia...!" seru Senapati Bagaswara, tidak sabar mendengar pembicaran itu. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki raksasa itu melesat ke depan disertai sambaran sepasang tangannya.
"Hm...!" Panji menggeram perlahan, seraya menggeser langkahnya. Serangan lawan pun lewat di sampingnya. Dan, ia membalas dengan sodokan jari-jari tangan lurus ke iga lawan.
Bettt!
Senapati Bagaswara sadar akan kesaktian lawannya. Cepat ia melompat jauh ke belakang untuk menghindari serangan balasan pemuda itu. Kemudian, golok besar bergeriginya dihunus, siap melanjutkan pertarungan.
"Ayo serbu...! Apa lagi yang kalian tunggu...?!" bentak Senapati Bagaswara kepada para prajurit.
Mendengar perintah itu, para prajurit segera bergerak maju. Sehingga, Pendekar Naga Putih dan Ki Baureksa kembali terkurung pasukan.
"Tahan! Hentikan pertempuran! Siapa yang berani membantah, akan kutangkap sebagai pemberontak!" tiba-tiba Senapati Gantika berseru keras, membuat para prajurit ragu, termasuk Senapati Bagaswara.
"Apa maksudmu, Senapati Gantika? Bukankah sudah jelas, kalau Ki Baureksa merupakan seorang pemberontak dan pembunuh! Dan pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu membantunya. Jadi, dia pun harus ditahan atau dilenyapkan, agar tidak membahayakan kehidupan orang banyak," bantah Senapati Bagaswara. Dia kelihatan tegang, ketika melihat Senapati Gantika mulai terpengaruh ucapan Pendekar Naga Putih. Untuk itu, ia berusaha menekan Ki Baureksa.
"Hm.... Aku ingin mendengar alasan Pendekar Naga Putih. Jika ia mempunyai bukti, mungkin aku bisa mempertimbangkannya...," sahut Senapati Gantika yang diam-diam mulai mencurigai sikap gelisah Senapati Bagaswara.
Senapati Gantika memang belum lama kembali dari tugasnya, menghalau para pemberontak di perbatasan utara. Itu sebabnya, mengapa ia tidak mengetahui secara jelas peristiwa-peristiwa yang terjadi di kotaraja.
"Sebelum datang ke tempat ini, aku sudah menyelidiki peristiwa pembasmian keluarga Senapati Widyamarta. Dari cerita-cerita yang kudengar, baru aku tahu kalau putri tunggal Senapati Widyamarta diculik pembunuh itu, dan aku memergokinya. Sayang, aku tidak menyadari bahwa pembunuh itu memiliki pukulan beracun yang sangat ganas. 
Sehingga, aku tidak sempat menyelamatkan putri Senapati Widyamarta. Meskipun demikian, aku berhasil melukai pembunuh itu. Dia bukan Ki Baureksa. Melainkan seorang tokoh sesat yang berjuluk Tangan Racun Hitam," papar Panji seraya mengerling ke arah Senapati Bagaswara yang tampak semakin gelisah.
"Tapi.... Kau tidak mempunyai bukti serta saksi, Pendekar Naga Putih. Hal itu tidak bisa kubenarkan...," bantah Senapati Gantika tegas. Bukannya tidak mempercayai penjelasan Pendekar Naga Putih, tapi Senapati Gantika harus mengikuti peraturan sebagai orang pemerintahan. Itu sebabnya, ia meminta bukti-bukti atas penjelasan Pendekar Naga Putih.
"Aku sudah menyiapkan bukti-buktinya. Tuan Panglima. Seperti yang kukatakan tadi, tokoh sesat yang berjuluk Tangan Racun Hitam itu mengalami luka yang parah. Untuk menyembuhkan luka dalamnya diperlukan waktu yang cukup lama, serta tempat yang tenang untuk beristirahat. Dan, bangunan megah ini merupakan tempat yang sangat cocok!" jawab Panji, kembali mengerling ke arah Senapati Bagaswara yang kini terlihat agak pucat. Ia semakin tegang mendengar ucapan terakhir pemuda itu.
"Lanjutkan, Pendekar Naga Putih...," perintah Senapati Gantika, mulai tertarik mendengar keterangan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Sebelum ke taman ini, aku telah memeriksa seluruh kamar di dalam bangunan ini. Dan, aku menemukan Tangan Racun Hitam di suatu kamar yang cukup tersembunyi. Sebentar...."
Tiba-tiba Pendekar Naga Putih melesat ke bagian atas bangunan. Dan beberapa saat kemudian, kembali meluncur turun dengan membawa sesosok tubuh yang tampak lemah.
"Keparat! Rupanya kau masih belum puas juga menghancurkan aku, Bagaswara! Setelah kau fitnah aku sebagai pemberontak, sekarang kau fitnah aku sebagai pembunuh keluarga Senapati Widyamarta. Sedangkan senapati itu tidak mempunyai permusuhan denganku. Bahkan ia salah seorang pejabat yang mencurigaimu! 
Rupanya setelah mendengar aku berhasil selamat dari Pulau Karang, kau kembali melemparkan fitnah untuk melenyapkan penghalang cita-cita kotormu itu! Kau benar-benar pantas mampus...!" geram Ki Baureksa. Lelaki setengah baya ini marah bukan main mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih.
"Baureksa, tahan...!" seru Senapati Gantika, membuat langkah orang tua itu tertahan.
Biar bagaimanapun dendamnya kepada Senapati Bagaswara, tapi sebagai seorang prajurit, ia harus mengikuti peraturan yang berlaku. Ki Baureksa tidak melanjutkan niatnya untuk menerjang Senapati Bagaswara yang telah pucat wajahnya. Kali ini, senapati itu tidak mungkin dapat membela diri. Semua bukti-bukti telah jelas.
"Tangkap manusia busuk itu...!" perintah Senapati Gantika kepada para prajuritnya dan bergerak mengepung Senapati Bagaswara.
"Tangkap, dan hukumlah mayatku...!" desis Senapati Bagaswara.
Rupanya, Senapati Bagaswara memilih mati daripada ditangkap sebagai seorang pemberontak. Golok bergerigi di tangannya bergerak membeset leher. Tidak seorang pun yang sempat mencegah perbuatan lelaki bertubuh raksasa itu Senapati Bagaswara tewas bunuh diri!
Robohnya tubuh Senapati Bagaswara, diikuti dengan robohnya dua orang perwira yang menjadi bawahannya. Mereka adalah Ki Guwara dan Ki Langgita. Rupanya kedua orang pembantu Senapati Bagaswara itu memilih mati daripada dihukum gantung di hadapan orang banyak! Senapati Gantika hanya bisa menghela napas panjang penuh sesal. Rupanya musuh tidak hanya datang dari luar. Tapi, di dalam kerajaan pun masih saja ada orang-orang yang hendak memberontak.
"Terima kasih atas bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau kau tidak keburu muncul, mungkin Ki Baureksa sudah tewas, dan aku akan menyesalinya sepanjang hidupku. Sebagai tanda terima kasihku, aku mengundangmu menghadap Gusti Prabu...," ujar Senapati Gantika yang merasa sangat berhutang budi atas bantuan Pendekar Naga Putih.
"Maaf, Tuan Panglima. Bukan aku menolak undangan ini. Tapi, aku harus menemui kawanku di sebuah desa yang letaknya tidak begitu jauh dari kotaraja. Mungkin saat ini ia sedang mencari-cariku. Sebelumnya, aku hanya berniat menghirup udara pagi. Biarlah aku mohon diri saja. Maaf, jika penolakanku membuat Tuan Panglima kecewa. Tapi, lain kali aku berjanji akan berkunjung ke sini...," ujar Panji. Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Benar-benar seorang pendekar berbudi yang menolong tanpa pamrih. Aku semakin bertambah kagum pada pemuda sakti itu...," gumam Senapati Gantika tanpa melepaskan pandang matanya ke arah kepergian Pendekar Naga Putih.
"Ya. Aku tidak dapat melupakan kebaikannya. Tanpa pertolongan Pendekar Naga Putih, saat ini aku sudah menjadi mayat...," balas Ki Baureksa dengan perasaan haru.
Beberapa saat kemudian, kedua orang senapati gagah itu beranjak pergi. Senapati Gantika berjanji akan menjelaskan semua peristiwa kepada sang Prabu, dan mengusulkan agar Ki Baureksa dikembalikan pada jabatannya semula.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pasukan Pembunuh --oo0oo-- Panggung Kematian


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.