Life is journey not a destinantion ...

Panggung Kematian

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Racun Ular Karang --oo0oo-- Pembunuh Bayaran



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PANGGUNG KEMATIAN

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

"Hiaaat...!" 
Pekikan itu terdengar demikian keras, hingga terasa menulikan telinga. Sedang sosok yang mengeluarkan suara, tengah melayang di udara, menuju sosok lain yang berada di depannya.
Bettt! Bettt! 
Serangkaian serangan yang dilancarkan sosok di atas itu memang hebat dan berbahaya sekali. Sehingga orang yang menjadi sasaran serangan itu kewalahan menghadapinya. 
Whuuut...! 
"Aaah...!" Sosok tinggi besar berwajah keras berseru kaget. Hampir saja kepalanya terkena tamparan lawan. Untunglah tubuhnya masih sempat menghindar, meskipun harus bergulingan ke samping. 
Kerumunan orang yang menyaksikan dari bawah panggung bersorak, menjagoi lelaki tegap berwajah tampan yang saat itu berada di atas angin. 
"Hayo! Habisi lawanmu, Kakang Somanggala...!" teriak seorang lelaki tinggi kurus, memberi semangat kepada sosok tegap berwajah tampan. 
"Hei, Ludingga! Jangan mau kalah! Kau harus memenangkan pertarungan ini...!" 
Penonton lain memberi semangat kepada lelaki tinggi besar berwajah keras yang menjadi lawan Somanggala. Memang, kedua orang yang tengah berlaga di atas panggung itu mempunyai pendukung masing-masing, dan pendukung Somanggala jauh lebih banyak. Sementara, pertarungan di atas panggung masih berlangsung sengit Somanggala nampakbersemangat sekali ingin segera menundukkan lawan. Serangan-serangannya semakin lama semakin bertambah cepat dan kuat. 
"Yeaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, Somanggala memekik keras, mengejutkan lawan. Bersamaan dengan itu tubuhnya menceiat ke udara sambil melancarkan serangan bertubi-tubi. 
Ludingga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keras, nampaknya tidak bisa diharapkan untuk dapat memenangkan pertarungan. Serangan lawan yang laksana air bah, tidak dapat dihindarinya. Sehingga.... 
Bukkk! Desss.! 
"Aaakh.!" Serangan gencar yang dilancarkan Somanggala tidak sia-sia. Dua pukulannya mendarat telak di tubuh lawan. Akibatnya Ludingga terjengkang ke belakang, dan hampir terjatuh ke bawah panggung. 
Terdengar sorak-sorai penonton ketika tubuh Ludingga terjatuh akibat pukulan lawan. Pendukung Somanggala berteriak-teriak ribut memberi semangat kepada jagoannya untuk segera menghabisi lawan. 
Tanpa diperingatkan pun, Somanggala akan menghabisi nyawa lawannya. Karena sudah menjadi peraturan penyelenggara pertarungan. Siapa saja yang ingin maju bertarung, berarti harus mempertaruhkan nyawanya! Maka ketika melihat lawannya masih mampu bangkit, Somanggala tidak mau berpikir lagi. Saat itu juga tubuhnya melesat ke depan. Sepasang tangannya bergerak berputaran. Kemudian mendorong sepasang telapak tangannya ke dada lawan, yang saat itu baru bangkit berdiri. 
Bresssh! 
"Aaa...!" Terdengar jerit kematian merobek angkasa saat sepasang telapak tangan Somanggala yang berisi tenaga penuh menghajar telak sasarannya. Tanpa ampun lagi, tubuh Ludingga terjungkal ke bawah panggung disertai semburan darah segar yang termuntah dari mulutnya. Tubuh besar itu berkelojotan sesaat bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian diam tak bergerak.Tewas! 
"Hidup Somanggala...!" 
Terdengar pekik riuh dari bawah panggung menyambut kemenangan Somanggala. Lelaki itu hanya tersenyum sambil membungkukkan tubuh ke empat penjuru. Butir-butir keringat yang berlelehan di tubuh bagian atasnya yang telanjang tidak dipedulikan. Dan melangkah turun ke bawah pang- gung dengan tenang. 
"Ini bagianmu, Somanggala...," ucap seorang lelaki pendek gemuk yang wajahnya berminyak. Tangannya terulur menyerahkan sebuah bungkusan kepada Somanggala, yang menerimanya dengan wajah cerah. 
"Terima kasih, Kakang Jarangka. Kutunggu kabar berikutnya...," ujar Somanggala seraya melangkah lebar meninggalkan panggung yang telah banyak menelan korban. Somanggala menyambar pakaiannya dari tangan seorang pendukungnya. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata penuh kekaguman dari para pendukungnya. 
Kemenangan lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, membuat mereka ikut gembira. Karena hampir semua penonton mempertaruhkan hartanya dengan memilih salah satu dari kedua petarung. Dan kemenangan Somanggala, berarti kemenangan bagi orang-orang yang bertaruh atas nama lelaki itu. 
Somanggala beranjak pergi tanpa mempedulikan orang-orang yang masih sibuk membicarakan pertarungan tadi. Sedang mayat lelaki tinggi besar yang menjadi lawan Somanggala, telah dibawa kawan-kawannya untuk dimakamkan. Keadaan di sekitar panggung pun mulai sepi, ketika satu persatu penonton meninggalkan tempat itu. Tinggallah panggung pertarungan berdiri angker, ditemani hembusan angin yang sesekali bertiup keras. 

* * * * *



Di bawah siraman matahari pagi yang menyentuh kulit, sesosok lelaki gemuk bergerak turun dari kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kemudian melangkah memasuki halaman sebuah rumah sederhana, dengan diiringi dua lelaki kekar berwajah kasar. Sekali pandang dapat diketahui, dua lelaki kekar itu adalah pengawal lelaki gemuk pendek yang tidak lain dari KiJarangka. Seorang lelaki tergesa-gesa menyambut kedatangan Ki Jarangka dengan senyum mengembang. Kelihatan sekali kalau ielaki itu sangat senang dengan kedatangan tamunya. 
"Kau tampak sehat. Adi Somanggala...," tegur Ki Jarangka melihat tubuh tegap yang masih bertelanjang dada dan basah oleh keringat. 
"Hm... Sebagai seorang juara, aku dituntut harus selalu menjaga kesehatan, kelincahan, dan keperkasaan. Jadi jangan heran jika sepagi ini Kakang melihat tubuhku sudah berpeluh. Aku baru saja menyelesaikan latihan," sahut lelaki tegap yang tidak lain dari Somanggala. Kemudian, dipersilakannya Ki Jarangka masuk ke dalam rumah. 
"Kau pasti sudah bisa menebak maksud kedatanganku, Adi Somanggala," ujar Ki Jarangka ketika keduanya telah duduk berhadapan. Sementara, kedua orang tukang pukulnya berdiri di kiri kanannya. 
"Hm..." Somanggala bergumam perlahan dengan mata berbinar. Pemuda itu paling suka pertarungan. Itulah sebabnya, mengapa Somanggala menyertakan diri sebagai petarung. Keberuntungan masih mengikuti langkahnya. Terbukti dari kemenangan-keme-nangan yang telah belasan kali diperolehnya. 
Entah sudah berapa banyak nyawa yang terbang oleh sepasang tangannya. Satu-satunya yang menjadi saksi bisu bagi kemenangan-kemenangan Somanggala hanya sebuah panggung yang dijuluki orang Panggung Kematian. Karena bagi siapa yang kalah, tidak ada pilihan lain kecuali kematian. Para peserta telah menerima peraturan itu sebelum bertarung. Dan sejauh ini pertarungan yang diselenggarakan Ki Jarangka masih berjalan lancar tanpa hambatan. 
"Siapa lawanku kali ini, Kakang...?" tanya Somanggala yang memanggil lelaki pendek gemuk bermata sipit itu kakang. 
"Hm.... Kau mungkin sudah pernah mendengar namanya. Orang itu berasal dari daerah selatan. Keistimewaannya terletak pada kedua kakinya. Coba kau terka siapa orang itu...?" jawab Ki Jarangka berteka-teki. 
Somanggala kelihatan agak kaget mendengar penjelasan Ki Jarangka tentang ciri-ciri calon lawannya. Wajah pemuda itu tampak bersungguh-sungguh ketika memberi jawaban atas pertanyaan Ki Jarangka, yang selalu mencarikan lawan untuknya. 
"Maksud Kakang Jarangka, orang yang akan menjadi lawanku kali ini Garbanaka alias si Tendangan Angin Topan...?" tegas Somanggala menatap tajam wajah lelaki gemuk di depannya. 
"Tepat sekali, Adi Somanggala!" seru Ki Jarangka dengan senyum lebar.
"Bagaimana...? Apakah kau menerima tantangannya? Bayaran yang akan kau terima jauh lebih besar dari pertarungan sebelumnya." Ki Jarangka sengaja menyebutkan soal bayaran untuk menarik minat Somanggala, jagoan panggung yang belum terkalahkan. 
"Bukan soal bayaran yang membuatku berpikir, Kakang. Tapi.... Apakah Kakang tidak pernah mendengar siapa Garbanaka, dan bagaimana perangainya? Itu yang menjadi pikiranku...," sahut Somanggala yang kali ini tidak bersemangat menanggapi rencana pertarungan. Padahal biasanya kabar dari Ki Jarangka selalu disambut gembira. 
"Maksudmu, Adi...?" sergah Ki Jarangka meminta ketegasan Somanggala. Seolah-olah tidak tahu maksud ucapan jagoan panggung itu. 
"Kakang.... Garbanaka adalah seorang berhati licik dan berangasan. Dia tidak akan segan-segan berbuat curang untuk memperoleh kemenangan. Itu yang membuatku belum bisa memutuskan untuk menghadapinya," jelas Somanggala yang rupanya pernah mendengar sepak terjang dan sifat calon lawannya. 
Ki Jarangka tidak segera menanggapi ucapan Somanggala. Lelaki pendek gemuk yang kelihatan licik dan selalu mendapatkan keuntungan besar dalam setiap penampilan Somanggala itu, terlihat mengangguk-angguk perlahan. Meskipun demikian terlihat kerutan pada keningnya. Pertanda tidak menyetujui penilaian Somanggala tentang Garbanaka. 
"Dengan kata lain kau takut menghadapi Garbanaka, dan hendak melepaskan sebutan jagoan panggung...?" tanya Ki Jarangka memancing. Sepasang matanya yang memang sudah sipit, tampak semakin mengecil menatap wajah Somanggala. 
Somanggala agak kaget mendengar ucapan Ki Jarangka. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda itu. Namun bayangan kemarahan itu sirna, sebelum sempat tertangkap Ki Jarangka. Rupanya Somanggala segera menyadari orang yang duduk di depannya itu tidak pantas menjadi tumpuan kemarahannya. Karena segala yang didapatnya selama ini bersumber dari Ki Jarangka. Akhirnya Somanggala hanya bisa menghela napas panjang tanda kegundahan hatinya. 
"Bukan Garbanaka yang kupikirkan, Kang. Tapi orang di belakangnyalah yang membuatku berpikir dua kali untuk menghadapinya. Ki Gending Sendapa pasti tidak akan tinggal diam jika murid kesayangannya binasa ditanganku." Dengan sangat terpaksa, Somanggala mengungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya. 
"Ha ha ha.!" Ki Jarangka tertawa mendengar alasan Somanggala. Jelas kalau lelaki itu tidak sependapat dengan Somanggala. 
"Mengapa Kakang menertawakan aku.,.?" tegur Somanggala dengan kening berkerut 
"Bagaimana aku tidak geli, Somanggala. Bukankah kau tahu peraturan pertarungan? Sebelum pertarungan berlangsung, kita sudah sepakat tidak ada dendam, meski apa pun yang terjadi di atas panggung. Sekarang aku bertanya padamu. Pernahkah selama ini ada pihak lawan-lawanmu terdahulu yang menuntut balas? Padahal kau telah banyak menewaskan orang, bukan? Coba kau jawab?" ujar Ki Jarangka menjelaskan alasannya menertawakan kekhawatiran Somanggala. 
"Sampai saat ini memang belum ada yang mendendam kepadaku. Tapi... Siapa yang akan mampu menahan bila Ki Gending Sendapa mengamuk, seandainya Garbanaka tewas di tanganku?" bantah Somanggala lagi, masih belum bisa menerima penjelasan Ki Jarangka. 
"Hm.... Sepertinya kau demikian yakin bisa mengalahkan lawanmu, Adi Somanggala," kata Ki Jarangka dengan nada yang sedikit menghina. 
"Sehebat apa pun ilmu Tendangan Angin Topan' milik Garbanaka, aku masih bisa menanggulanginya. Meski harus berjuang keras, aku yakin bisa menundukkannya...," jawab Somanggala sedikit menyombong karena merasa tersinggung dengan ucapan Ki Jarangka, yang menganggap dirinya tidak mampu menghadapi Garbanaka yang berjuluk Tendangan Angin Topan. 
"Sekarang begini saja. Kau bersedia memenuhi tantangan Garbanaka atau tidak? Aku minta jawabanmu sekarang juga! Kalau tidak, aku akan menyerahkan gelar juaramu kepada Garbanaka, dan mencarikan lawan untuknya...!" ujar Ki Jarangka dengan nada tinggi. Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk itu bangkit dari kursinya dengan wajah tidak sedap. 
"Baiklah! Aku terima tantangannya...," jawab Somanggala lantang. 
Keputusan itu diambil bukran karena tidak rela melepaskan gelar yang disandangnya. Tapi karena tidak ingin dianggap seorang pengecut. Somanggala sadar siapa Ki Jarangka. Lelaki gemuk itu pasti akan menyebar luaskan berita penolakannya bertarung dengan Garbanaka. Kalau sampai berita itu tersebar luas, celakalah dirinya. Dia pastiakan menjadi bahan ejekan dan cemoohan orang banyak. Somanggala lebih memilih mati daripada hidup terhina! 
"Bagus! Persiapkan dirimu baik-baik. Satu minggu dari sekarang, pertarungan akan diselenggarakan di tempat biasa.... Sadarlah, kau telah menjadi milik orang banyak, hingga harus selalu memenuhi keinginan penggemarmu kalau tidak ingin hancur dan menjadi bahan ejekan mereka...," tandas Ki Jarangka, segera beranjak pergi setelah melemparkan sekantung uang ke pangkuan Somanggala. 
Sepeninggal Ki Jarangka, Somanggala termenung dengan wajah muram. Pemuda itu menyesali tindakannya yang telanjur menceburkan diri ke dalam perangkap Ki Jarangka. Orang banyak hanya tahu dirinya seorang jagoan panggung, tapi tidak tahu kehidupan yang dijalaninya sangat berat. Sebenarnya Somanggala tak ubahnya seperti sapi perahan bagi Ki Jarangka. Meskipun tidak dapat dibantah, pekerjaan yang dijalaninya mendatangkan hasil cukup banyak bagi dirinya dan kedua orangtuanya, yang semula hidup miskin sebagai petani penggarap. 
Sekarang ayahnya tidak perlu lagi menggarap sawah orang lain. Uang hasil kemenangannya dibelikan sawah yang cukup untuk menghidupi kedua orangtuanya. Bahkan sekarang mereka mempunyai pekerja untuk membantu menggarap sawah. Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya menaruh hormat kepada keluarga Somanggala. Semua itu bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Tapi dengan kerja keras mempertaruhkan nyawa di atas Pang- gung Kematian! 
Merasa kepalanya agak pening, Somanggala melangkah ke luar untuk menyegarkan pikiran. Pemuda itu sadar pka ditolaknya permintaan Ki Jarangka, bukan hanya dirinya yang terhina dan celaka. Tapi kedua orangtuanya pun akan menanggung akibatnya. Somanggala mengenal betul siapa Ki Jarangka sebenarnya. Dengan wajah tertunduk, Somanggala melangkah melintasi jalan besar yang membelah desa. Dan berbelok masuk perkebunan, menuju sebuah sungai yang berair jernih. 
Tapi baru saja pemuda itu akan duduk di atas sebuah batu, terdengar jeritan minta tolong seorang wanita! Somanggala berpaling ke kiri dan kanan mencari sumber teriakan tadi. Serentak tubuh tegapnya melesat ke timur, setelah memastikan dari mana arah jeritan berasal..Tidak sulit bagi Somanggala untuk menemukan sumber jeritan itu. Tidak berapa lama kemudian, sampailah di suatu tempat yang agak jauh dari desa. Sepasang mata pemuda itu berkilat ketika menyaksikan pemandangan didepannya. 
"Lepaskan gadis itu, Keparat..!" bentak Somanggala kepada dua lelaki berwajah bengis yang tengah berusaha menyeret seorang gadis ke semak-semak. Cepat tubuhnya berkelebat disertai tamparan. 
Whuuut...! 
Salah satu dari dua lelaki bengis itu bergerak ke depan menyambut serangan Somanggala. Tangan kanannya terangkat memapaki tamparan pemuda bertubuh tegap itu. 
Plak! 
"Aihhh...?!" Lelaki kekar dengan wajah terdapat bekas luka di pipinya, terpekik kaget. Tubuhnya hampir tercebur ke sungai akibat menangkis tamparan Somanggala. Untunglah lelaki kekar itu masih sempat menyelamatkan diri. Meskipun demikian, wajahnya meringis sambil mengurut lengan kanannya yang terasa ngilu bukan main. Jelas hal itu menandakan kalau tenaganya kalah jauh dengan pemuda tegap yang baru datang. 
"Siapa kau, Bedebah! Mengapa mencampuri urusan kami...?!" bentak lelaki kekar itu yang sudah meloloskan goloknya, siap untuk menghadapi Somanggala. 
"Hm.... Akulah yang seharusnya bertanya! Apa yang kalian kerjakan di wilayah Desa Jari Mulya ini? Dan siapa kalian...?" ujar Somanggala tak kalah gertak. Sepasang matanya berkilat tajam penuh amarah. 
"Ooo.... Kau ingin disebut pahlawan, heh?! Kau salah alamat, Kisanak. Nyawamu akan melayang sia-sia!" geram lelaki kekar itu sambil mengacung-acungkan goloknya. 
Somanggala tidak mempedulikan ocehan laki-laki kekar itu. Tubuhnya berkelebat ke arah laki-laki yang satunya. Somanggala ingin membebaskan wanita muda yang berada dalam cengkeraman mereka. Orang itu rupanya sadar akan bahaya yang mengancam. Terbukti, langsung mendorong perempuan muda itu, hingga jatuh terguling-guling. Kemudian senjatanya dicabut untuk memapaki serangan Somanggala. 
Bettt! Bettt...! 
Kilatan sinar putih berkelebat ketika laki-laki bercambang bauk itu mengibaskan goloknya ke kiri dan kanan secara bersilangan. Rupanya laki-laki itu sempat melihat kawannya terpental karena menangkis tamparan Somanggala. Sehingga begitu serangan Somanggala tiba, langsung senjatanya dikelebatkan untuk melindungi dirinya dari serangan lawan. 
Somanggala pun tidak ingin kehilangan lengan. Serangannya ditarik pulang, sambil mendoyongkan tubuh ke belakang. Kemudian kaki kirinya bergerak menyodok perut lawan dengan kecepatan mengagumkan. 
Bukkk! 
Tanpa dapat dielakkan lagi, tendangan Somanggala bersarang telak di tubuh lawan. Lelaki brewok itu terjungkal diiringi teriakan kesakitan. Dan Somanggala tidak lagi mempedulikan lawannya. Pemuda itu bergerak menyelamatkan perempuan muda yang tengah terbelalak ketakutan dengan air mata berlinang membasahi wajahnya. 

* * * * *



:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

"BANGSAT!" maki lelaki brewok seraya menyusut lelehan darah pada ujung bibir. Sepasang matanya merah karena marah Lalu bersama kawannya, bergerak mengepung Somanggala. 
"Kalian yang bangsat, tidak punya belas kasihan pada gadis ini! Karena itu, kalian harus diberi pelajaran...!" geram Somanggala tidak mau kalah gertak, dan langsung menyerang. 
"Haaat..!" Diiringi pekik menggetarkan jantung, tubuh Somanggala melesat ke depan. Sepasang tangannya menyambar ganas dengan pukulan-pukulan berbahaya. 
Bettt! Bettt! 
Kedua lelaki berwajah bengis bergerak mundur saat merasakan terpaan angin pukulan Somanggala. Agaknya mereka sadar kalau serangan lawan sangat berbahaya, dan tidak mungkin dapat ditahan. 
"Mampus...!" 
Begitu dapat menghindarkan diri dari pukulan Somanggala, lelaki berwajah codet yang berada di kirinya, melancarkan serangan balasan dengan tebasan golok. Tapi dengan manis Somanggala memutar tubuh. Kemudian, mengirimkan tendangan kilat ke dada lawan. 
Bukkk! 
"Huakhhh...!" 
Tanpa ampun lagi, lelaki itu terbanting jatuh dan memuntahkan darah segar. Golok yang tergenggam di tangannya, terpental entah ke mana. Tanpa mempedulikan korban tendangannya, Somanggala memutar tubuh dengan langkah ke samping, menghindari tebasan golok dari lawan yang lain. 
"Hiaaah...!" Dibarengi bentakan menggetarkan, pemuda itu bergerak maju setelah melihat pertahanan lawan kosong. 
Dess...! 
Hantaman sepasang telapak tangan Somanggala singgah tepat di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi, orang itu langsung terjungkal muntah darah! 
"Jangan bunuh mereka...!" tiba-tiba terdengar seruan halus, saat Somanggala siap menamatkan riwayat lelaki brewok dengan sebuah pukulan ke kepala. 
Dengan wajah heran. Somanggala berpaling ke arah asal suara. Dilihatnya dara cantik berusia sekitar sembilan belas tahun, yang nyaris menjadi korban kebiadaban kedua orang itu tengah berdiri menatapnya. 
"Mengapa, Nisanak? Bukankah mereka hampir mencelakakanmu?" tanya Somanggala penasaran melihat gadis itu memintakan ampun orang yang hendak menodainya. 
"Mereka..., sudah tidak berdaya. Barangkali dengan tidak membunuhnya, mereka akan sadar. Dan tidak akan mengulanginya lagi...," jelas gadis itu dengan ragu-ragu. 
"Hm..." Somanggala bergumam dengan kening berkerut Meskipun kurang setuju, gerakannya tidak dilanjutkan. Kemudian, kepalan tangannya yang siap menghancurkan batok kepala ditarik pulang. Somanggala memendam debaran jantungnya ketika menerima senyum manis dara cantik itu. Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah dua orang lawannya 
"Nasib kalian rupanya masih baik. Pergilah sebelum aku berubah pikiran...," usir Somanggala yang dengan senang hati terpaksa melepaskan mereka. 
Tanpa banyak cakap lagi, kedua lelaki itu bergegas pergi. Beberapa kali mereka menoleh kebelakang, seakan-akan tidak percaya ucapan pemuda yang melepasnya. 
"Hhh..." Setelah kedua lelaki itu lenyap dari pandangan, Somanggala menghela napas panjang. Dan pemuda itu tidak menoleh ketika terdengar suara langkah halus menghampiri. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang. Entah apa jadinya aku, jika Kakang tidak cepat datang. ," ujar gadis cantik itu dengan suara bening mendayu-dayu. 
Somanggala merasa bagai mendengar nyanyian di telinga, membuat hatinya sejuk.
"Simpanlah ucapan terima kasihmu, Nisanak. Kalau aku boleh bertanya, mengapa kau berada di tempat sesepi ini seorang diri? Di mana tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala, heran melihat dara secantik itu berada di tempat yang jauh dari desa, dan seorang diri. 
"Rumahku tidak jauh dari sini. Marilah singgah sebentar, Kakang. ," jawab dara cantik itu singkat. Tanpa menunggu jawaban Somanggala, gadis itu segera membalikkan tubuh meninggalkan tepian sungai. 
Setelah berpikir sejenak, Somanggala bergegas mengikuti langkah dara cantik yang telah membuatnya gelisah itu Diam-diam sepasang matanya mencuri pandang sosok dara itu dari belakang. Untuk kesekian kalinya, darah pemuda gagah itu berdesir. Sosok di depannya demikian padat dan menggairahkan, membuatnya harus membuang pandang matanya ke arah lain. Gadis ini terlalu menarik, bisiknya dalam hati. Mau tak mau Somanggala harus mengakui kelebihan-kelebihan gadis di depannya. Dan Somanggala merasa waktu demikian singkat, ketika dara cantik itu menunjuk sebuah gubuk sederhana yang letaknya agak terpencil. 
"Itukah tempat tinggalmu...?" tanya Somanggala tak bisa menahan keingin tahuannya. 
"Yaaah, di gubuk itulah aku tinggal. Kedua orang tuaku telah meninggal. Kini aku seorang diri...," sahut gadis cantik itu sambil menundukkan wajahnya yang kelihatan menyimpan duka. 
"Maaf, kalau pertanyaanku membuatmu sedih..." Somanggala merasa iba melihat kedukaan membayang di wajah gadis itu. Ingin rasanya memeluk dan menghiburnya dengan kata-kata lembut. Tapi Somanggala tidak berani. Mereka baru saja bertemu, dan nama gadis cantik itu pun belum diketahuinya. 
"Silakan, Kakang...," ucap gadis itu, mempersilakan Somanggala masuk. 
Untuk beberapa saat pemuda itu berdiri di ambang pintu, memperhatikan ruangan yang hanya diisi sebuah balai-balai bambu. Itu pun kelihatan sudah tua dan reot. Somanggala duduk di balai-balai menanti gadis cantik yang telah masuk ke dalam. Tidak berapa lama kemudian, gadis itu muncul kembali membawa dua buah gelas bambu di tangan kanannya. Dan menyerahkannya kepada Somanggala. 
"Hanya air teh dingin, Kakang. Aku takut kalau menghangatkan Kakang akan menunggu lama..," ujar gadis cantik itu dengan tatapan minta maaf. 
"Tidak apa, ini sudah cukup," sahut Somanggala menyambut gelas bambu. Dada pemuda itu kembali berdebar ketika tanpa sengaja jemari tangan mereka bersentuhan. 
"Mmm.... Namaku Somanggala. Dan, biasa dipanggil Soma...," lanjutnya memperkenalkan diri. 
"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Seruni," ujar gadis cantik itu setelah sadar kalau mereka belum berkenalan. 
"Seruni...," desah Somanggala mengulang nama itu, seolah ingin melekatkannya dalam hati.
"Sebuah nama yang sangat indah dan serasi dengan pemiliknya." 
"Ahhh..." Seruni mendesah dengan wajah tertunduk malu.Gadis itu merasa jengah dengan pujian Somanggala. 
"Ahhh..., hari sudah sore. Aku harus segera pulang, Seruni. Lain kali aku akan singgah kesini. Tentu saja kalau kau tidak keberatan...," ujar Somanggala seraya melepaskan pandang keluar jendela disertai desahan penuh sesal, karena sebenarnya ingin berdekatan lebih lama dengan gadis cantik itu. 
"Tentu saja aku tidak keberatan, Kakang. Jangan-jangan Kakang sendiri yang enggan datang kemari. Karena rumahku hanya gubuk tua yang reot..," kilah Seruni tersenyum manis, membuat Somanggala kembali harus membuang muka, tak tahan melihat senyum gadis cantik itu. 
"Hhh... Kalau saja aku tidak mengingat tata kesopanan, mungkin aku akan bermalam di sini, Seruni...," kata Somanggala terus-terang, seraya menatap wajah Seruni dengan sinar mata aneh. 
Seruni hanya tersipu menundukkan wajah. Sebagai seorang gadis yang cukup dewasa, dapat ditangkap arti tatapan mata Somanggala. 
"Seruni..." 
Gadis cantik itu tersentak kaget ketika tahu-tahu Somanggala telah berdiri di depannya, dan menggenggam jemari tangannya. Wajahnya semakin merah karena jengah. Meskipun demikian, genggaman tangan Somanggala tidak berusaha dilepaskannya. Sehingga pemuda itu semakin berani menyentuh wajah Seruni. 
"Apabila urusanku telah selesai, aku akan kembali untuk membawamu tinggal di rumahku...," ujar Somanggala dengan suara agak parau terbawa perasaan. 
Seruni masih tidak bergerak ketika Somanggala melepaskan genggaman tangannya dan beranjak pergi. Gadis itu baru berani mengangkat wajah, saat bayangan pemuda tegap itu sudah jauh. Sekilas terlihat senyum aneh di bibir gadis cantik itu. 

* * * * *



Dua sosok tubuh bergerak memasuki sebuah kedai makan yang banyak didatangi pengunjung. Keduanya langsung mengambil tempat kosong. Meskipun letak meja itu agak ke sudut, namun cukup leluasa untuk memperhatikan sekeliling ruangan kedai. Mereka duduk diam menanti hidangan yang telah dipesan. 
"Desa apakah ini. Paman? Nampaknya, penduduknya cukup padat...," tanya pemuda tampan yang tubuhnya terbungkus jubah putih, pada pelayan kedai yang datang membawa pesanan mereka. 
"Wah...! Kalian rupanya pendatang dari jauh, ya? Desa ini bernama Jati Mulya. Penduduknya tidak terlalu padat Jika dalam beberapa hari ini kelihatan sangat ramai, karena akan ada pertarungan di atas Panggung Kematian. Peristiwa inilah yang membuat Desa Jati Mulya ramai, dan banyak didatangi orang dari luar desa. Peristiwa ini juga membuat orang-orang yang membuka usaha seperti kami, bisa mendapat keuntungan berlipat..," pelayan berusia separuh baya itu terkekeh ketika mengakhiri penjelasannya. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum. 
"Pertarungan di atas Panggung Kematian...? Apa itu. Paman? Kedengarannya aneh dan menyeramkan...," tanya pemuda tampan itu lagi. 
"Panggung Kematian itu sebenarnya hanya sebutan untuk tempat pertarungan mati-matian. Setiap kali ada pertarungan, korban pasti jatuh. Itulah sebabnya, arena adu ilmu kesaktian itu disebut Panggung Kematian," jelas pelayan kedai dengan wajah berseri. Karena merasa bangga bisa memberitahukan peristiwa menarik itu kepada pengunjung kedainya. 
"Maksud Paman, orang-orang yang bertarung baru dinyatakan menang apabila dapat menewaskan lawan...?" tanya pemuda tampan itu menegasi. Sedang dara jelita di sebelahnya hanya mendengarkan tanpa terlihat keinginan untuk menimpali pembicaraan itu. 
"Begitulah peraturan yang ditetapkan Ki Jarangka, yang menjadi penyelenggara pertarungan," jawab pelayan kedai. 
"Lalu.... Apa yang dicari para petarung itu? Apakah mereka mendapatkan uang sebagai imbalannya...?" pemuda tampan itu kembali melanjutkan pertanyaannya dengan penuh keingintahuan. 
"Benar. Petarung yang memenangkan perkelahian, akan mendapat imbalan uang yang cukup besar. Itu pun sudah menjadi ketetapan pihak penyelenggara. Karena orang-orang yang menyaksikan pertarungan dikenakan biaya beberapa keping uang. Nah, dari hasil pungutan itulah, sang Juara mendapatkan bayarannya...," jelas pelayan kedai yang rupanya penggemar pertarungan Panggung Kematian. 
Pemuda tampan berjubah putih merasa cukup puas dengan keterangan yang diperolehnya. Kepalanya mengangguk sopan saat pelayan kedai minta diri untuk melayani pengunjung lain yang berdatangan. 
"Kelihatannya kau sangat tertarik dengan pertarungan Panggung Kematian, Kakang...?" tegur dara jelita berpakaian hijau di sebelah pemuda tampan itu, sesaat setelah pelayan kedai meninggalkan mereka. 
"Kedengarannya cukup menarik. Kalau kau tidak keberatan, kita bermalam di desa ini. Dengan demikian, kita bisa menyaksikan peristiwa itu esok hari...," sahut pemuda tampan itu. 
"Untuk apa menyaksikan pertarungan itu, Kakang. Mereka hanya orang-orang kasar yang memiliki sedikit kepandaian. Kemudian memanfaatkannya untuk mencari uang dan ketenaran, agar ditakuti dan dihormati orang...," bantah dara jelita itu. Agaknya usul pemuda tampan berjubah putih itu kurang disetujuinya. 
"Jangan berprasangka buruk dulu, Kenanga. Siapa tahu mereka bukan orang-orang kasar seperti yang kau sangka. Walaupun benar petarung-petarung itu melakukannya untuk uang dan ketenaran, tapi yang jelas pertarungan itu berbeda dengan yang kita ketahui selama ini. Bisanya para petarung mencari kemenangan dan imbalan. Entah itu berupa julukan, keperkasaan, atau suatu jabatan. Tapi mereka hanya sebatas memperoleh kemenangan, tanpa harus membunuh lawan. Sedangkan pertarungan Panggung Kematian harus membunuh lawan, baru kemudian dinyatakan menang. Nah, bukankah ini sangat menarik untuk diketahui latar belakangnya...?" jelas pemuda tampan berjubah putih itu yang dapat dipastikan bernama Panji. Sebab, siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan Panji, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih. 
"Terserah Kakang sajalah...," ujar Kenanga menyerah.
"Menurutku, mereka orang-orang kasar yang tidak menghargai nyawa manusia. Hal seperti itu tidak perlu diselidiki, tapi harus diberantas! Sebab, bisa saja kawan atau kerabat pihak yang kalah dan terbunuh akan menuntut balas di Panggung Kematian. Jadi lebih banyak mendatangkan akibat buruk, daripada kebaikan atau keuntungan...," bantah Kenanga. 
"Kita lihat saja besok. Apakah mereka orang-orang kasar yang hanya mengandalkan sedikit kepandaian, atau orang-orang berkepandaian tinggi yang gila bertarung. Sebab, tidak sedikit tokoh-tokoh seperti itu dalam dunia persilatan...," jelas Panji yang rupanya tetap ingin menyaksikan pertarungan di atas Panggung Kematian. 
Kenanga tidak membantah lagi. Gadis itu jadi penasaran ingin melihat kepandaian para petarung. Tanpa banyak cakap lagi, perhatiannya dialihkan pada hidangan di atas meja. Kemudian, menyantapnya perlahan. 
"Kita harus segera mencari penginapan. Aku khawatir tidak mendapatkannya bila terlambat memesan. Melihat banyaknya orang yang datang ke desa ini, bukan tidak mungkin penginapan penuh," kata Panji saat mereka menyusuri jalan utama Desa Jari Mulya. 
Karena kedai makan tadi tidak menyediakan kamar untuk menginap, maka mereka harus mencari di tempat lain. Kekhawatiran Panji terbukti. Semua penginapan yang memang tidak banyak di Desa Jari Mulya, telah penuh. Sehingga, mereka tidak mendapat tempat untuk melewatkan malam. 
"Apa yang harus kita perbuat, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa putus asa setelah gagal mencari tempat menginap, walaupun mereka telah mengelilingi desa. 
"Kita datangi rumah penduduk. Siapa tahu di antara mereka ada yang bersedia menerima kita untuk bermalam," usul Panji yang rupanya tidak kehilangan akal mendapatkan tempat bermalam. 
Kenanga menurut saja ketika kekasihnya melangkah menuju rumah terdekat. Rupanya nasib mereka masih cukup baik. Penghuni rumah sederhana itu mengizinkan mereka menginap. Meskipun hanya dua balai-balai bambu yang sudah reot, tapi mereka menerima dengan gembira. 
"Hanya ini yang bisa Paman berikan untuk Tuan Muda berdua. Maklumlah, kami orang miskin...," sesal orang tua itu, meminta maaf tidak bisa menyediakan tempat yang lebih baik bagi tamunya. 
"Tidak mengapa, Paman. Ini sudah lebih dari cukup. Diizinkan untuk menginap saja, sudah baik bagi kami...," sahut Panji tersenyum kepada lelaki tua berusia setengah baya itu. 
Setelah mempersilakan kedua tamunya untuk beristirahat, lelaki setengah baya itu pun bergegas menuju kamarnya. Karena Panji dan Kenanga berada di ruang depan. 
"Kelihatannya pemilik rumah ini benar-benar miskin, Kakang...," bisik Kenanga. Saat itu mereka telah membaringkan tubuh di balai-balai masing-masing, yang letaknya tidak berjauhan. 
"Hm..., kita jauh lebih miskin daripada orang tua itu, Kenanga. Karena kita tidak mempunyai tempat tinggal. Sedangkan orang tua itu masih punya, meskipun hanya sebuah gubuk tua...," sahut Panji, membuat Kenanga mencibirkan bibir, bersungut-sungut. 
Panji tersenyum melihat kekasihnya memalingkan wajah ke bilik tidak mau memandangnya lagi.
"Kau ingin aku membangun rumah untuk kita berdua tinggal...?" tanya Panji, sekadar ingin menggoda kekasihnya. 
"Tidak tahu ah! Aku mau tidur...," sahut Kenanga, yang kemudian tidak berkata-kata lagi. 
Panji tahu Kenanga tidak mungkin bisa tidur dengan cepat. Tapi pemuda itu tidak mengganggunya lagi. Matanya kemudian dipejamkan dengan bibir masih mengulas senyum. 

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

PAGI ini di sebuah lapangan rumput yang letaknya cakup jauh dari Desa Jati Mulya, tampak orang berkerumun mengelilingi sebuah panggung yang cukup luas. Tapi itu tidaklah mengherankan. Karena pada pagi itu akan berlangsung pertarungan antara Somanggala melawan Garbanaka. 
Somanggala yang telah berkali-kali memenangkan pertarungan di atas Panggung Kematian, kini harus berhadapan dengan seorang tokoh dari selatan yang berjuluk Tendangan Angin Topan. Selain terkenal dengan kehebatan ilmu tendangannya, Garbanaka juga seorang yang licik dan selalu membanggakan kepandaiannya. Tidak jarang Garbanaka bertindak sewenang-wenang dengan mengandalkan kesaktiannya. 
Sedang Somanggala yang dijuluki Jagoan Panggung, adalah seorang pemuda sederhana yang senantiasa selalu menjunjung tinggi kegagahan. Jika harus membunuh lawan-lawannya di atas panggung, itu karena terikat peraturan, dan demi kelangsungan hidup keluarga. Sayang, Somanggala terlambat menyadari keterlibatannya. Sudah telanjur menceburkan diri, tidak ada istilah mundur kecuali sudah bosan hidup. 
Saat orang-orang yang berkerumun di bawah panggung telah semakin padat, muncullah seorang lelaki tinggi besar berwajah brewok. Langkahnya demikian mantap. Lelaki itu menaiki panggung dengan dada membusung. Sepasang matanya bergerak ke kiri dan kanan disertai senyum mengejek, menandakan kesombongan hati. 
"Hidup Garbanaka...!" 
Terdengar sorak-sorai dan teriakan di sana-sini, menyambut kemunculan lelaki kekar yang tidak lain Garbanaka atau lebih dikenal berjuluk Tendangan Angin Topan. Dan. orang-orang yang berteriak itu adalah pendukung Garbanaka. Beberapa di antara mereka bertaruh untuk kemenangan Tendangan Angin Topan. 
"Hidup Tendangan Angin Topan...!" 
Beberapa kelompok yang berada di kanan panggung, ikut bersorak menyambut Garbanaka. Membuat lelaki kekar berwajah brewok itu semakin congkak saja. Tangan kanannya melambai ke arah para pendukungnya. 
Tidak berapa lama kemudian, sosok yang ditunggu-tunggu muncul dengan segala kesederhanaannya. Sosok tegap berwajah tampan itu tak lain dari Somanggala. Beberapa pendukung pemuda itu tampak mengerutkan alis ketika melihat wajah Somanggala pucat. Tentu saja mereka heran. Sebab tidak biasanya Somanggala sepucat itu dalam menghadapi lawan-lawannya. Kenyataan itu menimbulkan bermacam pertanyaan di hati para pendukungnya. 
"Aneh...? Mengapa jagoan kita kelihatan gelisah dan pucat? Apakah dia gentar menghadapi Garbanaka...?" desis seorang lelaki tinggi kurus yang mengenakan pakaian cukup mewah. Melihat penampilannya, agaknya orang itu bertaruh cukup besar untuk kemenangan Somanggala. 
"Hm.... Mustahil Somanggala gentar menghadapi tokoh dari selatan itu. Bukankah dia sering bertarung melawan orang-orang yang kepandaiannya hampir setingkat dengan Garbanaka? Mungkin Somanggala sedang sakit..," sahut lelaki gemuk berwajah kelimis, yang rupanya juga pendukung Somanggala. Sambil berkata demikian, sepasang matanya tak lepas dari wajah Somanggala. Nampak kekhawatiran membayang jelas di wajahnya. Bukan khawatir jika Somanggala mengalami cidera atau kalah. Tapi khawatir jika harta yang dipertaruhkannya untuk kemenangan pemuda itu hilang. 
"Ha ha ha...!" Garbanaka tergelak dengan sikap yang sangat jumawa. Lelaki itu menertawakan Somanggala yang kelihatan pucat dan tidak bersemangat. Bahkan di kening pemuda tegap berwajah tampan itu terlihat bintik-bintik keringat. Entah apa yang dirasakan Jagoan Panggung itu. 
Somanggala seperti tak peduli dengan tawa mengejek calon lawannya. Pemuda itu terus melangkah ke kanan panggung. Dan berdiri tegak setelah membungkukkan tubuh ke empat penjuru untuk memberi penghormatan. Saat kedua petarung sudah siap di sudut masing- masing, muncul seorang lelaki tinggi kurus, melangkah ke tengah panggung dengan senyum lebar. 
"Saudara-saudara sekalian. Sebentar lagi kita menyaksikan sebuah pertarungan yang sangat mendebarkan. Di kanan saya Somanggala, si Jagoan Panggung. Sedang lawannya kali ini seorang tokoh dari selatan yaitu Garbanaka, alias Tendangan Angin Topan," ujar lelaki tinggi kurus memperkenalkan kedua petarung kepada penonton yang berjubel. Ketika penonton berteriak-teriak agar pertarungan segera dilaksanakan, lelaki tinggi kurus segera memerintahkan kepada Somanggala dan Garbanaka maju ke tengah panggung. 
"Kalian pasti sudah tahu peraturan pertarungan ini, bukan..,?" tanya lelaki tinggi kurus seraya menoleh kepada Somanggala dan Garbanaka berganti-ganti. Kedua petarung menganggukkan kepala dengan gerakan pasti. Kemudian mundur beberapa tindak, ketika lelaki tinggi kurus itu memerintahkan untuk bersiap. 
"Hmhhh...!" Garbanaka menggeram sambil memasang kuda-kuda kokoh dan kuat. Sepasang matanya mencorong tajam dan tangannya terbuka, siap melancarkan serangan. 
Somanggala kelihatan seperti orang kurang bersemangat. Meskipun butir-butir keringat di keningnya semakin banyak, namun pemuda itu tidak mempedulikannya. Melihat lawannya bersiap, Somanggala menarik mundur kaki kanannya sambil merendahkan tubuh. Dan menggeser kaki kiri ke samping, dengan kedua tangan menekuk ke kanan. 
"Kakang, lelaki tegap yang bernama Somanggala itu rupanya tidak siap bertarung. Lihat saja wajahnya yang pucat dan berkeringat..." Seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang menyaksikan pertarungan di kanan panggung, berbisik kepada pemuda tampan berjubah putih di sebelahnya. Tampak jelas kalau dara jelita itu mencemaskan keadaan Somanggala yang tidak siap bertarung. 
"Benar. Aku pun agak mengkhawatirkannya. Tapi..., kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pertarungan ini kuhentikan, penonton akan marah. Jadi kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Aku belum tahu pasti apa yang terjadi dengan pemuda yang bernama Somanggala itu. Jarak antara panggung dengan kita cukup jauh," sahut pemuda tampan berjubah putih, yang tak lain dari Panji. Memang jarak antara Panji dan Kenanga dengan Panggung Kematian, terpisah sekitar tiga tombak lebih. 
"Mungkin Somanggala gentar menghadapi lawannya, Kakang...?" tanya Kenanga lagi, yang rupanya belum bisa menghilangkan keheranan di hatinya. 
"Entahlah, Kenanga. Tapi menurutku bukan itu persoalannya. Sebagai petarung yang sudah beberapa kali mengalahkan lawan-lawannya, Somanggala tidak lagi mengenal kata takut. Mungkin hanya kurang sehat," jawab Panji. 
"Jika benar Somanggala tidak siap bertarung karena kesehatannya terganggu, apa tidak sebaiknya pertarungan itu ditunda dulu, Kakang...?" ujar Kenanga lagi, tidak setuju jika pertarungan tetap berlangsung. Padahal salah seorang petarung tidak siap bertarung. 
"Hm.... Kita lihat saja nanti. Jika dugaanmu benar kalau Somanggala kurang sehat, aku akan berusaha menghentikan pertarungan. Sebaiknya kita lihat saja dulu...," sahut Panji akhirnya. 
Kenanga tampaknya puas dengan jawaban kekasihnya. Terbukti pandangannya sudah beralih ke atas panggung, dan memperhatikan kedua petarung yang saling bergerak mendekati. 
"Haaat...!" Garbanaka rupanya ingin menyelesaikan pertarungan secepatnya. Serangan-serangannya mengandung tenaga dan kecepatan yang menggetarkan. Agaknya lelaki itu ingin melumpuhkan lawannya hanya dengan satu serangan. 
Bettt! Wuttt...! 
Kaki dan tangan Garbanaka bergerak cepat menimbulkan desiran angin tajam, mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan. Somanggala kelihatan tidak berani menyambut serangan lawan secara langsung. Terbukti pemuda tegap berwajah tampan itu menggeser langkahnya ke samping. Dan ketika serangan lawan luput dari sasaran, kaki kanannya digeser ke depan seraya mengirimkan sodokan jari-jari tangan yang mengancam ulu hati dan iga Garbanaka. 
Wuttt...! 
Dua buah serangan balasan yang dilancarkan Somanggala memang cukup berbahaya, dan memiliki kecepatan yang mengagumkan. Tapi Garbanaka tidak berusaha menghindari serangan itu. Tubuhnya malah bergerak ke depan sambil menyilangkan kedua lengannya menangkis serangan lawan. Dan.... 
Dukkk! Plakkk! 
Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan yang dilindungi tenaga sakti saling berbenturan keras. Dan para pendukung Somanggala serentak terpekik kaget. Betapa tidak? Tampak jagoan mereka terjajar mundur, hampir terpelanting ke bawah panggung. Untunglah pemuda itu dapat menyelamatkan diri dengan bergulingan ke samping, dan bangkit dengan kuda-kuda goyah. 
"Ha ha ha...! Mana kekuatanmu, Somanggala? Ayo tunjukkan padaku.!" Garbanaka tertawa terbahak-bahak melihat tubuh lawan hampir terpelanting ke bawah panggung. Lelaki kekar bercambang bauk itu semakin sombong saja saat melihat wajah Somanggala bertambah pucat. Garbanaka merasa kemenangan telah berada di depan mata. 
Somanggala rupanya tidak bergairah menanggapi ejekan lawan. Keadaan tubuhnya kelihatan semakin lemah. Dan tatapan matanya layu. Kenyataan itu membuat para pendukungnya khawatir. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak memberi semangat kepada pemuda tegap berwajah tampan itu. 
"Somanggala! Jangan kecewakan kami! Tunjukkan kehebatanmu, lumpuhkan lawanmu seperti kau menjatuhkan lawan-lawanmu terdahulu...!" teriak seorang pendukung Somanggala. Orang itu agaknya mempertaruhkan banyak harta demi kemenangan Somanggala. Tidak heran jika ia lebih bersemangat memberi dorongan kepada jagoannya, yang kali ini sangat loyo dan tidak bisa diharapkan 
"Hm..,. Jelas sudah, Somanggala memang tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri, Kakang. Rasanya mustahil jika hanya sekali berbenturan saja, pemuda itu sudah tidak berdaya. Kita harus segera bertindak, Kakang." Kenanga yang melihat keadaan Somanggala semakin parah, tidak bisa menahan diri lagi. Kalau saja Panji tidak cepat mencegah, mungkin tubuh dara Jelita itu sudah melayang ke atas panggung. 
"Sabarlah, Kenanga. Kita tidak bisa turun tangan begitu saja. Tunggulah sebentar lagi. Percayalah, aku tidak akan berdiam diri melihat ketidakadilan terjadi di depan mata," ujar Panji ketika dara jelita itu memandangnya dengan tatapan penuh teguran. 
Untuk kesekian kalinya, Kenanga kembali menuruti kata-kata kekasihnya. Meskipun rasa penasaran masih membayang di wajahnya, dara jelita itu tetap berdiri di tempatnya menunggu kejadian yang terjadi di atas Panggung Kematian. 
"Yeaaa.!" Garbanaka yang semakin bernafsu menghabisi lawan, menerjang maju sambil mengeluarkan bentakan nyaring menggelegar. Tubuh lelaki kekar itu melesat ke depan dengan sebuah pukulan keras yang menerbitkan deruan angin tajam. 
Serangan pertama masih dapat dielakkan Somanggala dengan susah-payah. Tapi pada serangan-serangan berikutnya, tubuh pemuda tegap itu terpaksa harus menerima pukulan dan tendangan lawan. 
Bukkk! Desss...! 
"Huakhhh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Somanggala terpelanting. Darah segar termuntah seiring dengan terbantingnya tubuh tegap itu ke lantai panggung. 
"Uhhh...!" Meskipun keadaan tubuhnya semakin bertambah lemah, Somanggala berusaha bangkit dan melanjutkan pertarungan. 
"Yeaaah...!" 
Baru saja Somanggala bergerak bangkit, Garbanaka sudah meluncur dengan sebuah tendangan berputar! 
Desss...! 
"Aaakh...!" Tendangan yang keras itu, membuat tubuh Somanggala tersentak dan kembali terbanting di lantai panggung dengan suara berdebum. Darah segar kembali termuntah dari mulutnya. Kali ini Somanggala tidak mampu bangkit berdiri. Pemuda itu merasa dadanya sesak akibat hantaman telapak kaki lawan. 
"Tamatlah riwayatmu, Somanggala...!" desis Garbanaka dengan sorot mata tajam menggambarkan nafsu membunuh yang berkobar dalam dadanya. Usai berkata demikian, tubuh lelaki brewok itu kembali meluncur. 
"Hiaaah...!" Agaknya Garbanaka ingin meremukkan kepala lawan dengan sekali pijak. Lelaki kekar berwajah brewok itu melesat ke udara. Kemudian meluncur turun dengan sepasang kaki siap dijejakkan ke batok kepala Somanggala, yang hanya bisa menunggu datangnya maut dengan mata terpejam. 
Namun malaikat maut enggan mengambil nyawa pemuda tegap itu. Ketika sepasang telapak kaki Garbanaka meluncur turun dengan deras, sesosok bayangan putih berkelebat ke atas panggung, menyambut serangan maut Garbanaka. 
Bresssh...! 
"Aihhh...?!" Garbanaka memekik kaget ketika melihat sosok bayangan putih menyambut serangannya. Benturan keras tak terelakkan lagi. Akibatnya tubuh Garbanaka yang tinggi besar dan kekar, terlempar balik bagai membentur benda kenyal. 
Tapi lelaki kekar itu masih mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan dua kali putaran di udara yang dibarengi bentakan nyaring, Garbanaka meluncur turun di lantai panggung dengan kedua kaki lebih dahulu. Kenyataan itu menunjukkan kalau ilmu meringankan tubuh Garbanaka tidak bisa dipandang ringan. 
"Bagus...!" Pujian itu datang dari sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Somanggala dari kematian. Sosok sedang dengan sorot mata tajam itu berdiri tegak di dekat Somanggala yang masih belum menyadari nyawanya telah diselamatkan. 
Somanggala yang merasa heran serangan lawan belum menghantamnya, perlahan membuka mata. Sepasang matanya yang semula redup terbeliak heran melihat sosok berjubah putih berdiri membelakangi. Sama sekali tidak disangka kalau sosok berjubah putih itu telah menyelamatkannya dari kematian. Selama ini tidak ada yang berani mencampuri pertarungan di atas Panggung Kematian. Itulah sebabnya, Somanggala merasa heran saat menyadari apa yang dilakukan sosok berjubah putih itu. 
Perbuatan sosok berjubah putih itu tidak hanya membangkitkan kemarahan Garbanaka, yang merasa hampir mencapai kemenangan. Para penonton yang berkerumun di sekitar panggung pun berteriak-teriak mencela perbuatannya. Demikian juga Ki Jarangka yang menjadi ketua penyelenggara pertarungan maut itu. Kalau ada pihak pendukung Somanggala yang diam-diam bersyukur atas kejadian itu, hanya beberapa gelintir saja. Suasana jadi ribut dengan teriakan-teriakan dan makian yang ditujukan kepada sosok berjubah putih itu. 
"Hei, Bocah Goblok! Apa kau tidak tahu peraturan pertandingan?! Ayo, lekas turun! Biarkan Tendangan Angin Topan menyelesaikan pertandingan...!" seru seorang penonton pendukung Garbanaka. Orang itu marah karena perbuatan sosok berjubah putih yang tidak lain Panji, membuat kemenangan yang hampir dapat diraihnya terbang. 
"Turun kau, Pemuda Tolol! Tidak seharusnya kau berada di atas panggung dan mencampuri pertarungan...!" teriak penonton lain, geram. 
Sementara, Ki Jarangka bergerak bangkit dari kursi. Namun langkahnya tertunda saat melihat Garbanaka maju menghampiri pemuda tampan berjubah putih itu dengan sorot mata berapi. Rupanya kemarahan lelaki kekar itu jauh lebih besar daripada penonton maupun penyelenggara pertarungan. 
Langkah Garbanaka berhenti beberapa tindak di hadapan sosok berjubah putih itu. Sepasang matanya yang memerah saga, mencorong tajam, bagai hendak menelan bulat-bulat sosok di depannya. Sedangkan Panji tetap tenang, seperti tidak mempedulikan kemarahan si Tendangan Angin Topan itu. 
"Bocah! Kau pasti bukan penduduk daerah sini. Dan belum tahu peraturan pertandingan yang berlaku di atas panggung, bukan? Nah, ketahuilah. Pertarungan di atas panggung baru berakhir dan seorang petarung menang jika telah berhasil menewaskan lawan. Sekarang menyingkirlah dari sini, sebelum aku melemparmu ke bawah!" ujar Garbanaka, berbaik hati di hadapan orang banyak. 
Lelaki brewok itu tidak ingin langsung menghajar Pendekar Naga Putih, yang mungkin mempunyai kawan di antara para penonton. Agaknya, Garbanaka telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang merugikan jika langsung menghajar Panji." 
"Garbanaka," ujar Panji tenang, membuat Garbanaka mengerutkan kening.
"Aku sudah tahu peraturan yang berlaku di atas panggung ini. Menurutku pertarungan seperti ini tidak pantas dilakukan orang-orang gagah yang menjunjung tinggi keadilan. Aku percaya kau termasuk orang yang kumaksud. Alasan itu yang membuatku terpaksa mencampuri ketidakadilan ini. Apalagi aku melihat Somanggala tidak siap bertarung. Kau lihat sendiri, bukan? Apa kau tidak malu memperoleh kemenangan dari lawan yang tubuhnya tidak sehat? Somanggala sedang sakit, Garbanaka...," jelas Panji panjang lebar. 
Suaranya yang lantang dan jelas terdengar, membuat pendukung Somanggala menganggukkan kepala, membenarkan ucapan pemuda itu. Apalagi beberapa pendukung Somanggala yang sempat merasa heran melihat jagoan mereka naik ke atas panggung dengan wajah pucat dan tidak bersemangat. 
"Pemuda itu benar! Somanggala memang sedang sakit, jadi wajar saja jika tidak bisa bertarung dengan baik. Pertarungan ini tidak sah...!" teriak seorang pendukung Somanggala, membenarkan ucapan Panji. 
Teriakan itu tidak sepenuhnya ingin membela Somanggala secara tulus, tapi karena takut uangnya lenyap. Itu bisa terjadi jika Somanggala tewas di tangan Garbanaka. Tapi setidaknya, teriakan itu mengundang simpati orang pada Somanggala. Panji mengetahui hal itu. Pemuda itu tersenyum tenang. Apa pun alasan pendukung Somanggala yang membenarkan ucapannya, tidak menjadi soal. Yang penting bisa menghentikan pertarungan dan menyelamatkan Somanggala dari kematian. 
"Bohong! Aku tidak percaya kalau Somanggala kurang sehat! la hanya berpura-pura membenarkan ucapanmu, takut uangnya lenyap karena kalah bertaruh! Pertandingan ini sah, dan akan kulanjutkan!" bentak Garbanaka dengan suara menggelegar. 
Lelaki kekar berjuluk Tendangan Angin Topan itu tidak mau menerima alasan yang dikemukakan Panji maupun pendukung Somanggala. Bahkan kelihatan sudah siap menghabisi nyawa Somanggala yang terduduk di belakang Panji. Agaknya Garbanaka tidak peduli jika pemuda tampan di depannya menghalangi niatnya. 
"Tahan amarahmu, Garbanaka! Kalau niatmu kau teruskan, aku terpaksa bertindak sedikit kasar...!" cegah Panji seraya mengulurkan tangan, menghalangi niat Garbanaka. 
"Keparat! Rupanya kau minta dilenyapkan lebih dulu, Bocah Tolol!" geram Garbanaka tidak bisa dicegah lagi kehendaknya. 
Sadar Garbanaka harus dicegah dengan jalan kekerasan. Panji bergerak mundur beberapa langkah. Maksudnya hendak membawa Somanggala ke tepi panggung dihentikan, ketika matanya menangkap sesosok bayangan hijau bergerak ke atas panggung dan meluncur turun di dekatnya. 
"Biar aku yang mengurus Somanggala, Kakang. Kau berikan sedikit pelajaran kepada lelaki brewok itu, agar terbuka matanya dan tidak lagi memandang dirinya orang yang paling pandai..," ujar sosok ramping terbungkus pakaian hijau, yang tidak lain Kenanga. Tanpa menunggu jawaban Panji, Kenanga langsung menyambar tubuh Somanggala, siap dibawa turun ke bawah panggung. 
Tapi penonton yang mendukung Garbanaka sudah telanjur marah. Melihat seorang gadis siap melarikan Somanggala, belasan orang yang berada di bawah panggung melempari dengan batu-batu. Tentu saja Kenanga yang mendapat serangan dari segala arah itu menjadi jengkel. Dengan sebelah tangan, dikibaskannya semua serangan. Dan kibasan lengan dara jelita itu dilakukan dengan tenaga sakti yang amat kuat. 
"Hiaaah,..!" 
Kibasan lengannya yang mempunyai kekuatan menggetarkan, berakibat fatal bagi penonton yang berada di sekitar panggung. Belasan orang yang berada di barisan depan berteriak kesakitan, ketika batu-batu itu berbalik menghantam tubuh dan kepala mereka. Kejadian itu membuat suasana yang sudah ribut semakin bertambah kacau. Apalagi di antara korban lemparan batu ada yang jatuh pingsan. Tentu saja kerumunan penonton itu menjadi kacau-balau. 
Penonton yang di antaranya tidak sedikit memiliki kepandaian, marah melihat kejadian itu. Mereka segera berloncatan ke atas panggung. Jelas, mereka ingin mengeroyok Panji dan Kenanga yang dianggap telah membuat kerusuhan di tempat itu. 

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

MELIHAT belasan penonton yang memiliki kepandaian silat berlompatan ke atas panggung, Panji segera menggeser tubuhnya mendekati Kenanga.
"Cepat bawa pergi Somanggala dari tempat ini. Biar aku akan menahan mereka, agar tidak mengejarmu...," bisik Panji tanpa mengalihkan pandangan dari calon lawan-lawannya. 
"Mengapa kita harus melarikan diri seperti seorang pengecut, Kakang? Aku sanggup merobohkan mereka...," bantah Kenanga marah melihat orang-orang yang menurutnya pantas dihajar. 
"Kenanga, keadaan Somanggala belum kita ketahui pasti. Bisa saja kita merobohkan mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga. Tapi bagaimana, seandainya Somanggala keburu tewas saat kita bertarung? Lagi pula kita berada di pihak yang salah, selama persoalan ini belum jelas. Kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya. Aku khawatir penonton lain yang jumlahnya ratusan mulai terpengaruh dan beramai-ramai mengeroyok kita. Daripada orang-orang tidak bersalah menjadi korban, lebih baik kita pergi...," tegas Panji, berbisik. Kali ini ditatapnya Kenanga, seolah minta pengertian dara jelita itu agar mau bersabar dan melihat kenyataan. 
"Kalau begitu keinginanmu, baiklah, Kakang...," sahut Kenanga mengalah dan bersiap meninggalkan Panggung Kematian. 
"Cegah gadis itu...! Jangan biarkan membawa Somanggala...!" Garbanaka yang tidak ingin kehilangan lawannya, segera berseru memerintahkan orang-orang dibawah panggung agar mencegah kepergian Kenanga. 
Penonton yang kebanyakan pendukung Garbanaka, segera mencabut senjata masing-masing untuk menghalangi kepergian Kenanga. Maka, saat dara jelita itu menjejakkan kaki di bawah panggung, puluhan orang telah mengepungnya dengan senjata terhunus. 
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manis...? Apa masih kurang puas dengan satu lelaki, hingga ingin membawa Somanggala yang tegap dan gagah itu...?" ejek seorang lelaki bermuka hitam dengan perawakan tinggi tegap. Lelaki itu menghadang Kenanga sambil menyeringai menampakkan giginya yang kehitaman. 
Kenanga yang menangkap maksud kotor di balik ucapan laki-laki bermuka hitam, menggeram dengan wajah merah. Sepasang matanya berkilat memancarkan api kemarahan yang berkobar di dalam dadanya. Tanpa banyak bicara, tubuhnya melesat ke depan seraya melontarkan sebuah pukulan yang mengarah lambung lelaki itu. 
Whuttt..! 
Kepalan tangan Kenanga yang halus dan mungil meluncur cepat disertai sambaran angin menderu. Lelaki bermuka hitam yang semula memandang rendah gadis itu terkejut. Cepat dia melompat mundur, menjauhi serangan lawan.
"Keroyok gadis binal itu...!" teriak lelaki bermuka hitam, memerintah temannya untuk menyerbu Kenanga. 
"Heaaa...!" 
"Haaat...!" 
Tanpa diperintah dua kali, puluhan lelaki dengan senjata terhunus langsung bergerak maju mengeroyok Kenanga. Sehingga Kenanga yang semula hendak mengejar lawan, terpaksa menarik pulang serangannya, dan langsung dikibaskan ke kiri sambil membentak nyaring. 
"Hiaaah...!" 
Whusss! 
"Ahhh...?!" 
Delapan lelaki yang menerjang Kenanga dari sebelah kanan, terkejut bukan main. Tubuh mereka tertolak balik, akibat deruan angin keras yang berasal dari kibasan lengan dara jelita itu. 
"Haiiit..!" Gerakan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Kibasan lengannya langsung disusul dengan lesatan tubuh ke arah lawan yang masih belum memperbaiki kedudukan. Dan melancarkan totokan kilat yang menimbulkan suara angin mencicit tajam. 
Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul ketika jari-jari tangan mungil namun mengandung kekuatan hebat itu mengenai sasaran. Delapan orang pengeroyok terjungkal pingsan. Kejadian yang tidak disangka-sangka para pengeroyoknya itu, membuat mereka gentar, dan bergerak mundur tanpa diperintah. 
"Goblok! Mengapa kalian takut dengan gadis liar itu?! Hayo serbu..!" bentak lelaki bermuka hitam, jengkel melihat yang lainnya bergerak mundur. Begitu ucapannya selesai, lelaki bermuka hitam itu langsung melesat ke depan sambil memutar pedang di tangannya. 
"Heaaah...!" 
Bettt! Whuuut...! 
Kilatan sinar putih terpancar saat pedang di tangan lelaki bermuka hitam datang mengancam Kenanga. Melihat dari sambaran angin pedang yang terdengar cukup kuat, Kenanga sadar lelaki bermuka hitam itu berbeda dengan lawan-lawannya yang lain. Kenanga tidak mau bertindak ceroboh. Apalagi harus bertanggung jawab atas keselamatan Somanggala yang berada di bahu kirinya. Maka saat serangan pedang lawan datang, dara jelita itu menggeser tubuhnya dengan lompatan pendek ke samping. Kemudian melontarkan tendangan kilat yang meluncur deras ke lambung lawan. 
Zebbb! 
Gerakan lelaki bermuka hitam itu cukup lincah juga. Meskipun tendangan Kenanga datang tak terduga, orang itu masih sempat melempar tubuhnya ke samping dan bergulingan menjauh. Begitu melenting bangkit, dia langsung membangun serangan kembali. Orang-orang yang tadi merasa gentar dengan sepak teriang dara jelita berpakaian serba hijau itu, mulai bergerak maju. Sebentar saja, Kenanga kembali harus menghadapi para pengeroyoknya. 
Di atas panggung Panji pun harus menghadapi keroyokan banyak lawan. Sebenarnya, pemuda itu dapat merobohkan lawan dengan pukulan-pukulannya yang cepat dan kuat. Tapi karena tidak ingin melukai lawan, pemuda itu agak sibuk juga menghadapi keroyokan Garbanaka dan kawan-kawannya. 
"Haiiit..!" 
Garbanaka yang sangat dendam kepada Panji, selalu mengirim serangan mautnya bertubi-tubi. Agaknya lelaki kekar berwajah brewok itu ingin menewaskan lawannya. Serangan-serangannya selalu ditujukan ke jalan darah kematian di tubuh pemuda itu. 
Bettt...! 
Lagi-lagi sebuah tusukan jari-jari tangan Garbanaka datang mengarah tenggorokan Panji. Sadar kalau lelaki brewok itu bukan orang baik-baik, Pendekar Naga Putih menjadi jengkel juga. Saat tusukan jari-jari tangan yang berisi tenaga dalam itu meluncur menuju sasaran, Panji memiringkan tubuh sedikit, kemudian membalas dengan sebuah tamparan ke dada lawan. 
Whuttt...! 
Tindakan Garbanaka rupanya cukup cepat. Buktinya dapat mengelakkan dorongan telapak tangan Pendekar Naga Putih dengan menarik mundur kaki depannya. Bahkan tubuh lelaki kekar itu langsung berputar mengirimkan sebuah tendangan kilat ke bawah pusar lawan. 
"Keji...!" desis Panji, mulai marah melihat sasaran-sasaran serangan Garbanaka. Cepat Pendekar Naga Putih mengulur tangannya dengan kuda-kuda serong, melindungi sasaran tendangan Garbanaka. Begitu serangan lawan datang, Panji menekan lengannya ke bawah. 
Dukkk! 
"Akh...?!" Tanpa dapat dihindari lagi, lengan dan kaki mereka berbenturan keras. Garbanaka terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh terguling-guling. Ketika lelaki kekar itu bergerak bangkit, kelihatan langkahnya terpincang-pincang. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakit yang dirasakan. 
"Haaat...!" 
"Heaaa!" 
"Hm...." Panji yang mulai merasa jengkel dengan lawan- lawannya segera menyilangkan kedua lengannya didepan dada, saat para pengeroyoknya datang menyerbu. Kemudian.... 
"Heaaah.!" Dibarengi bentakan menggelegar, tubuh Pendekar Naga Putih melesat di antara sambaran senjata lawan. Sambil mengelak, sepasang tangannya bergantian melancarkan totokan yang sukar ditangkap mata. Akibatnya.... 
"Akh...?!" 
"Ahhh...?!" 
Satu persatu belasan orang pengeroyoknya bertumbangan, akibat totokan yang melumpuhkan tubuh mereka. Bahkan beberapa di antaranya langsung tak sadarkan diri. Karena totokan pemuda itu demikian kuat menghantam tubuh mereka. 
"Gila.?!" Garbanaka yang menyaksikan kejadian itu, terbelalak heran. Meskipun disadarinya kalau pemuda tampan itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, tapi tidak diduganya sampai demikian hebat. Hingga mampu merobohkan lawan-lawannya yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin Garbanaka tidak akan mempercayainya. Apalagi usia Panji masih muda. Sukar untuk dipercaya! 
Tidak berapa lama kemudian, belasan pengeroyok itu tidak tersisa lagi. Semuanya bergeletakan dalam keadaan lumpuh atau pingsan. Tinggal Garbanaka seorang yang kini telah melolos senjata, dan menggenggam erat-erat. 
"Hm.... Aku tidak punya permusuhan pribadi denganmu, Garbanaka. Sebaiknya menyingkirlah, biarkan aku pergi. ," ancam Panji. Rupanya Pendekar Naga Putih masih enggan melukai Garbanaka. Panji menganggap lelaki kekar berwajah brewok itu tidak mempunyai kesalahan terhadapnya. Jika benar Garbanaka seorang yang kejam dan licik. Panji tetap tidak mempunyai alasan kuat untuk menghukumnya. Itu sebabnya, mengapa Panji masih mencoba mencari jalan damai. 
"Semula di antara kita memang tidak ada permusuhan, Kisanak. Tapi setelah kau mempermalukanku di hadapan orang banyak, dan menghancurkan pertarungan yang hampir kumenangkan, maka di antara kita telah tertanam bibit-bibit permusuhan. Jadi jangan harap kau pergi dari tempat ini dengan nyawa melekat di badan...!" sahut Garbanaka semakin bertambah benci pada pemuda didepannya. Maka tanpa banyak bicara lagi, lelaki kekar itu segera melompat disertai kibasan pedangnya. 
"Hm...!" Panji bergumam melihat serangan pedang yang siap merencah tubuhnya. Kaki kanannya digeser ke samping sambil merendahkan kuda-kuda, ketika tebasan pedang Garbanaka meluncur hendak menebas lehernya. 
Whuttt..! 
Begitu pedang lawan lewat satu jengkal di atas kepala. Panji mengulurkan lengan menyambar pergelangan lawan. Kecepatan geraknya sukar ditangkap mata, membuat Garbanaka tak sempat mengelak. Dan... 
Kreppp! 
Whuttt! 
Desss...! 
"Aaargh...!" Kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, hingga Garbanaka tidak tahu apa yang telah menimpa dirinya. Tahu-tahu saja tubuhnya terlempar ke udara dengan dada sesak. 
Setelah menangkap pergelangan tangan lawan, Panji langsung mengirimkan hantaman telapak tangannya ke dada Garbanaka. Tanpa mempedulikan keadaan lelaki kekar itu, Pendekar Naga Putih segera melompat turun dari atas panggung. Kemudian, mengajak Kenanga segera pergi dari tempat itu. 
Kenanga yang melihat Panji tiba-tiba saja berada di dekatnya, langsung bergerak meninggalkan tempat itu. Para pengeroyoknya yang tinggal beberapa belas orang, bergerak menyingkir dengan wajah gentar. Setelah lelaki bermuka hitam roboh di tangan Kenanga, tidak ada lagi yang berani mencegah kepergian mereka membawa Somanggala. 
Para pengeroyok itu hanya bisa memandang dengan hati penasaran dan gentar. Panji dan Kenanga yang tidak lagi dihalangi, terus bergerak meninggalkan tempat itu. Arah yang mereka tuju bukan Desa Jati Mulya. Melainkan ke selatan desa yang merupakan daerah perbukitan. 
Garbanaka yang menyaksikan kepergian kedua orang itu, hanya bisa menatap penuh dendam sambil mendekap dada. Jari-jari tangan kanannya dikepalkan kuat-kuat, sehingga menimbulkan suara berkerotokan yang cukup keras. 
"Tunggulah pembalasanku, Bocah Keparat! Jangan sangka tidak ada orang yang bisa mengalahkanmu...," geram Garbanaka yang berjanji dalam hati akan meminta bantuan gurunya. Tubuh lelaki kekar itu meluncur turun dari atas panggung, setelah bayangan Panji dan Kenanga lenyap dari pandangan. Dia hanya mendengus kasar kepada Ki Jarangka yang sejak tadi bersembunyi. 
"Bayaranmu belum bisa kuberikan, Garbanaka. Somanggala belum sepenuhnya kau kalahkan...," ujar Ki Jarangka yang rupanya mengerti arti tatapan Garbanaka, hingga dia langsung mengatakannya. 
"Hm..." Garbanaka menggeram gusar. Tapi tidak berani berbuat apa-apa. Karena di kiri dan kanan Ki Jarangka ada empat orang tukang pukul lelaki gemuk itu. Sadar kalau keempat tukang pukul itu bukan orang sembarangan, Garbanaka pergi meninggalkan tempat itu setelah berkata dengan nada mengancam. 
"Tunggulah kedatanganku untuk mengambil uang hasil kemenangan yang kuperoleh tadi!" 
Ki Jarangka hanya tersenyum sinis. Lelaki gemuk itu agaknya tidak merasa gentar dengan ancaman Garbanaka. Dipandanginya punggung lelaki kekar yang berlalu dari hadapannya itu. Kemudian, mengajak keempat tukang pukulnya pergi dari tempat itu, setelah bayangan Garbanaka menjauh. 
Panggung Kematian berdiri kokoh dengan segala keangkerannya. Tidak peduli pada orang-orang yang pergi meninggalkan tempat itu satu persatu. Hingga tempat itu kembali sunyi, tanpa satu sosok manusia pun terlihat. Hanya hembusan angin yang bertiup keras dan pancaran matahari, menemani Panggung Kematian yang telah banyak meminta korban. 

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

PANJI dan Kenanga berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh, menuju daerah perbukitan.Untung daerah itu tidak terlalu gersang, cukup ba-nyak pepohonan tumbuh di sana. Hingga mereka bisa mencari tempat berteduh dan terhindar dari sengatan matahari siang yang terasa menggigit kulit. 
"Kita beristirahat di sini saja, Kenanga. Aku ingin memeriksa keadaan Somanggala. Mudah-mudahan tidak mengalami luka dalam yang terlalu berat..," ujar Panji memperiambat larinya, lalu berhenti. 
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga memperlambat dan menghentikan larinya. Kemudian tubuh Somanggala yang sejak tadi dipondongnya diserahkan kepada kekasihnya. Panji langsung menyambutnya, dan merebahkan tubuh Somanggala di atas sebuah batu yang cukup besar dengan permukaan datar, sehingga tidak menyakitkan Somanggala. 
"Bagaimana, Kakang? Apa yang terjadi dengannya...?" tanya Kenanga tidak sabar. 
Saat itu Panji masih memeriksa tubuh Somanggala. Dan melakukan totokan di beberapa tempat yang merupakan jalan darah. Tidak berapa lama kemudian, Panji mengangkat kepala disertai helaan napas berat. Sehingga Kenanga semakin penasaran ingin segera mendapat jawaban dari kekasihnya. 
"Hm.... Ada sejenis racun aneh di dalam tubuhnya. Tidak membunuh seketika, tapi melumpuhkan kekuatannya perlahan-lahan. Itulah sebabnya, mengapa Somanggala kelihatan pucat dan tak bersemangat sewaktu bertarung dengan Garbanaka. Untung tubuhnya terlatih baik, sehingga masih sanggup bertahan dan mampu menghadapi Garbanaka, meskipun hanya beberapa belas jurus. Entah apa yang terjadi sebelum hari pertarungan...?" jelas Panji, yang membuat Kenanga ikut menghela napas panjang mendengar keterangan kekasihnya. 
"Hm.... Mungkinkah Garbanaka berbuat curang kepada Somanggala, Kakang? Setelah melihat sepak terjangnya, agaknya Garbanaka termasuk orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Mungkin saja Garbanaka telah melakukan sesuatu, di luar pengetahuan Somanggala...," duga Kenanga, membuat Panji mengangguk-anggukkan kepala. 
Pendekar Naga Putih mempunyai dugaan yang sama dengan Kenanga. Meskipun demikian. Panji tidak berani langsung memastikan dengan menuduh Garbanaka. Hanya menurut pikirannya, Garbanaka patut dicatat sebagai orang pertama yang harus dicurigai. 
"Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya. Setelah Somanggala siuman dan kesehatannya pulih kembali, baru kita tanyakan hal itu kepadanya. Aku pun ingin tahu alasan pemuda itu mengikuti pertarungan maut Panggung Kematian. Menurutku, orang-orang gagah seperti Somanggala tidak akan sudi melakukan pertarungan itu. Lain halnya jika pertarungan itu memperebutkan kedudukan atau mencari ketua suatu perkumpulan. Tapi.., yang dilakukan Somanggala semata-mata karena bayaran, dan harus membunuh lawan. Benar-benar sukar dimengerti..," papar Panji. 
"Pasti ada alasan yang kuat, mengapa dia sampai melakukannya, Kakang," timpal Kenanga. Kenanga pun tidak setuju dengan peraturan pertandingan Panggung Kematian. Dan menurutnya, Somanggala bukan termasuk orang yang gila harta dan kehormatan. Pasti ada alasan lain. 
"Ya, itu pasti. Hm.... Mudah-mudahan dia mau menceritakannya kepada kita...," desah Panji penuh harap. Rupanya Pendekar Naga Putih ragu kalau Somanggala akan menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada mereka berdua. Sikap pemuda itu tidak lepas dari pengawasan Kenanga, yang menatap kekasihnya dengan heran. 
"Kelihatannya kau meragukan kejujuran Somanggala, Kakang?" Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu dari bibir Kenanga. Rupanya rasa ingin tahunya lebih besar dari keheranannya. 
"Tidak. Aku bukan meragukan kejujuran Somanggala, Kenanga. Tapi aku khawatir kalau dia tidak mau menceritakan persoalannya kepada kita. Melihat raut wajah dan pembawaannya, Somanggala orang yang tertutup dan lebih suka memendam persoalan di dalam hatinya. Kalau dugaanku benar, kita akan menemui kesulitan untuk mengetahui, bagaimana racun aneh itu bisa mengeram di tubuhnya? Mengapa orang pandai sepertinya sampai tidak mengetahui? Bukankah itu berarti yang meracuni Somanggala orang yang dekat dengannya, dan mungkin sangat dipercaya olehnya...," jawab Panji menjelaskan panjang lebar kekhawatirannya. 
Setelah mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga menjadi bingung. Kalau dugaan kekasihnya benar, mereka akan menemui kesulitan. Tidak mungkin mereka akan memaksa Somanggala menceritakan persoalan yang mungkin sangat pribadi sifatnya. 
"Hm.... Memang sulit juga, Kakang...," desah Kenanga. Pikirannya jadi buntu setelah mendengar penjelasan Panji 
"Jangan putus asa, Kenanga. Apa yang kukatakan tadi baru dugaan, belum tentu benar. Untuk mengetahuinya secara pasti, nanti setelah Somanggala siuman dan kesehatannya pulih kembali," ujar Panji tersenyum melihat tingkah laku kekasihnya. 
Mendengar nasihat kekasihnya, Kenanga merasa sedikit lega. Dara jelita itu melemparkan pandang ke sekitar daerah itu yang banyak dipenuhi bebatuan. Untuk beberapa saat lamanya keduanya membisu, menunggu Somanggala siuman dan sembuh dari keracunan. Biasanya obat yang diberikan Panji sangat manjur untuk mengobati luka dalam. Racun yang mengeram di tubuh Somanggala telah dibakar habis oleh Panji dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. 

* * * * *



"Ouhhh..." Sosok lelaki tegap berwajah tampan itu menggeliat sambil mengeluh perlahan. Kemudian bergerak bangkit dari atas batu besar, tempat tubuhnya terbaring. 
"Tahan...! Jangan banyak bergerak dulu, Somanggala. Sebaiknya tetap berbaring. Atur napasmu. Setelah merasa agak segar, cobalah mengerahkan tenaga dalam. Jika semua berjalan baik, baru kau boleh bangkit dan bersemadi, untuk memulihkan tenagamu kembali...," ujar Panji. Pendekar Naga Putih menekan kedua bahu Somanggala perlahan-lahan, agar jangan bangkit dulu sebelum mengikuti petunjuknya. 
"Siapa kau...? Dan..., di mana aku? Apa aku sudah mati, dan ini alam akhirat...?" tanya Somanggala dengan wajah penuh tanda tanya. Rupanya pemuda tegap berwajah tampan itu tidak ingat dengan kejadian yang telah menimpanya beberapa saat lalu. 
"Tenanglah, Somanggala. Kau masih berada di dunia nyata. Sebaiknya ikuti saja petunjukku. Setelah itu, baru kita bicarakan semuanya," ujar Panji perlahan, namun terdengar jelas di telinga Somanggala. 
Somanggala tidak langsung mengikuti petunjuk Panji. Matanya menatap ke sekeliling, hingga pandangannya bertumbukan dengan sosok Kenanga yang berada beberapa langkah di sampingnya. Sepasang mata lelaki itu terbelalak sekejap. Sebelum bibirnya mengucapkan sesuatu. Kenanga telah berkata lebih dulu. 
"Turutilah apa yang dikatakannya, Somanggala. Percayalah, kami tidak bermaksud mencelakakanmu. Kami hanya ingin menolongmu...," ucap Kenanga seraya melangkah dua tindak menghampiri Somanggala. 
Pemuda tegap berwajah tampan itu semakin heran. Untuk sesaat lamanya, Somanggala terpaku dengan bermacam tanda tanya di benaknya. Dan baru mengikuti petunjuk yang diberikan Panji setelah menatap kedua penolongnya bergantian. Keduanya menganggukkan kepala, sebagai isyarat agar mengikuti petunjuk Panji. 
Panji dan Kenanga menghela napas lega. Somanggala kembali rebah dan memejamkan mata. Setelah Somanggala melakukan semua petunjuk pemuda itu, Panji dan Kenanga menjauh, menunggu Somanggala menyelesaikan pemulihan tenaganya. 
Tidak berapa lama kemudian, Somanggala selesai melakukan semua yang diperintahkan kepadanya. Pemuda itu bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai, merasakan gigitan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya, yang terkena pukulan Garbanaka saat bertarung di atas Panggung Kematian. Meskipun demikian, Panji dan Kenanga tidak berusaha mencegah pemuda itu bangkit dan duduk dengan sikap semadi. 
"Bersemadilah seperti yang biasa kau lakukan untuk memulihkan tenagamu...," ujar Panji saat Somanggala menatapnya lekat-lekat. 
"Hm..., aku ingat sekarang. Rupanya kau sosok berjubah putih yang telah menyelamatkan aku. Katakan, mengapa kau menolongku...?" tanya Somanggala, tidak sabar. 
"Hhh..." Panji menghela napas perlahan melihat rasa penasaran yang terpancar dari sepasang mata lelaki muda itu. Tidak ada jalan lain bagi Pendekar Naga Putih kecuali menjelaskan alasan perbuatannya. 
"Jadi karena melihat keadaaanku yang tidak wajar saat bertanding, kalian turun tangan menyelamatkanku?" Somanggala ingin mempertegas penjelasan Panji. Rupanya pemuda itu tidak menyadari pada saat bertarung dirinya telah keracunan. 
"Begitulah, Somanggala. Sekarang bersemadilah. Tenagamu belum pulih seluruhnya...," sahut Panji kembali mengingatkan Somanggala untuk bersemadi guna memulihkan tenaganya. 
Kali ini Somanggala tidak membantah ucapan Panji. Melihat wajah pasangan pendekar muda itu, dirinya mulai menaruh kepercayaan pada mereka. Mulailah Somanggala bersemadi guna memulihkan kekuatannya. 

* * * * *



"Terima kasih atas pertolongan kalian. Kesehatanku sudah pulih seperti semula. Sekarang aku harus kembali untuk menjenguk kedua orang tuaku. Maaf, kalau perbuatanku ini kalian anggap kurang sopan...," ujar Somanggala setelah menyelesaikan semadinya. 
Mendengar ucapan Somanggala. Panji dan Kenanga saling bertukar pandang sejenak. Lalu berpaling ke arah Somanggala yang tengah bersiap kembali ke Desa Jati Mulya. 
"Somanggala...," panggil Panji. Pendekar Naga Putih tidak ingin pemuda itu pergi sebelum mengetahui persoalan yang dihadapi Somanggala. Terutama mengenai keracunan yang diderita pemuda itu. 
"Ada apa, Panji...?" tanya Somanggala menahan langkah. Somanggala memanggil pemuda tampan berjubah putih hanya dengan nama saja. Itu memang permintaan Panji, setelah dia dan Kenanga memperkenalkan diri. 
"Hm.... Saat mengobati luka-lukamu, aku menemukan sejenis racun pelumpuh tenaga mengeram di tubuhmu. Racun itu membuatmu lemah hingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh lawanmu. Kami ingin mengetahui, bagaimana racun itu bisa mengeram di dalam tubuhmu? Apa kau tidak menyadarinya...?" tanya Panji. 
Somanggala tidak segera menjawab pertanyaan pemuda penolongnya. Otaknya berpikir, seperti hendak mencari jawabannya.
"Hhh... Sayang aku tidak bisa mengingatnya dengan baik, Panji. Mungkin racun itu telah berada di tubuhku sejak aku lahir. Maaf, kalau jawabanku tidak memuaskan hatimu...," jawab Somanggala, membuat Panji menghela napas panjang. 
"Somanggala...," panggil Kenanga tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya.
"Racun itu tidak mungkin ada sejak kau lahir. Jika benar demikian, kau sudah tewas sejak belum sempat menikmati dunia lebih lama. Jawabanmu tidak masuk akal, Somanggala. Kalau kau tidak ingin persoalanmu diketahui, masih bisa kumaklumi. Tapi jangan bohongi kami." Dara jelita mengucapkan kata-katanya dengan agak pedas. Jelas hatinya jengkel mendengar jawaban Somanggala, yang menurutnya terlalu mengada-ada sehingga menimbulkan kesan bohong. 
"Maafkan aku, Kenanga. Bukan maksudku membohongi kalian yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanku. Tapi aku memang tidak tahu. Aku hanya merasa lemas dan semakin lemas saat bertarung. Hanya itu yang kutahu. Mengenai siapa yang meracuniku, aku tidak tahu. Maaf, aku harus segera pergi. Sekali lagi, terima kasih atas pertolongan kalian berdua...," jawab Somanggala dengan wajah penuh sesal. Usai berkata demikian, pemuda gagah itu membalikkan tubuh dan bergerak meninggalkan tempat itu. 
Kenanga yang kejengkelannya belum lenyap, bermaksud mencegah kepergian Somanggala. Tapi langkahnya terhenti saat merasakan jemari tangan kekasihnya mencekal pergelangan tangannya. 
"Mengapa, Kakang...?" tegur Kenanga dengan kening berkerut. Dara jelita itu merasa penasaran bercampur heran dengari perbuatan Panji yang mencegahnya menahan Somanggala. 
"Kenanga. Bukankah aku sudah menduganya sejak semula. Jadi percuma kau memaksanya untuk bercerieta. Sebaiknya kita biarkan saja, dan mengikutinya diam-diam. Menurutku dia akan mencari orang yang telah meracuninya. Dengan begitu, kita tidak susah-susah mengetahi persoalan yang dihadapinya. Aku pun ingin mengetahui alasannya mempertaruhkan nyawa di Panggung Kematian...," jelas Panji, melenyapkan rasa penasaran di hati kekasihnya. Pendekar Naga Putih tersenyum melihat wajah dara jelita itu kembali cerah seperti semula. 
"Kakang...," panggil Kenanga perlahan, saat keduanya tengah melangkah meninggalkan daerah perbukitan. Kepalanya menoleh sekejap, kemudian menatap lurus ke depan. 
"Hm..." Panji hanya bergumam perlahan seraya menatap wajah kekasihnya yang tampak tengah memikirkan sesuatu. 
"Kalau benar Somanggala tidak ingin kita ketahui persoalannya, untuk apa kita ikut campur? Biarkan saja dia mengurusi persoalan itu sendiri. Dengan menyembunyikan persoalannya, bukankah sama artinya dengan menolak bantuan yang akan kita berikan? Dan menganggap dirinya paling hebat? Sudahlah, Kakang. Lupakan saja pemuda sombong itu. Kita tinggalkan Desa Jati Mulya dan melanjutkan perjalanan...," papar Kenanga menatap wajah kekasihnya lekat-lekat. Ucapannya jelas menggambarkan kejengkelan hatinya. 
Panji menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Ucapan Kenanga membuatnya berpikir. Kalau Somanggala tidak ingin urusannya dicampuri, untuk apa mereka bersusah payah menolongnya? 
"Kenanga. ," ucap Panji setelah terdiam beberapa saat memikirkan pendapat dara jelita itu.
"Bagaimana, Kakang...?" sergah Kenanga ingin segera mendengar pendapat kekasihnya. 
"Mungkin Somanggala mempunyai alasan tersendiri, hingga tidak ingin ada orang lain mencampuri urusannya. Bisa saja karena dia tidak mau melihat kita celaka. Jadi menurutku, apa pun yang tengah dihadapi Somanggala, kita harus bisa mengungkapkannya. Sebagai orang berilmu yang telah digembleng secara matang oleh guru-guru kita, ketabahan dan kesabaran merupakan hal penting. Jangankan menolak secara halus, walaupun dia mengusir dan memusuhi kita karena mencampuri urusannya, kita harus tetap sabar. Anggaplah semua itu ujian bagi kita...," jelas Panji mengingatkan Kenanga mengenai siapa mereka berdua, dan apa tugas dan kewajiban mereka di dunia. 
Mendengar jawaban Panji, Kenanga terdiam. Dara jelita itu tidak segera menyetujui pendapat kekasihnya. Terlebih dulu, dipikirkannya kata-kata yang merupakan sebuah nasihat bagi dirinya. Setelah beberapa saat lamanya mereka membisu, Kenanga mengatakan pendapatnya. 
"Maafkan aku, Kakang. Kata-kata Kakang tadi membuatku sadar. Kita memang harus menahan sabar menghadapi hal-hal seperti itu. Baiklah, aku setuju membongkar rahasia diri Somanggala dan pertarungan di Panggung Kematian yang akan terus berlangsung meminta korban...," sahut Kenanga membuat Panji tersenyum. 
Pendekar Naga Putih kemudian melingkarkan tangannya ke bahu Kenanga. Dan keduanya berjalan sambil bergandengan tangan menuju Desa Jati Mulya. 

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

SOMANGGALA melangkah tenang memasuki mulut Desa Jati Mulya. Beberapa orang desa yang kebetulan melihat kemunculannya, langsung menyelinap masuk ke dalam rumah, dan cepat-cepat menutup pintu rapat-rapat. Seakan sosok pemuda tegap berwajah tampan itu mengidap penyakit menular yang sangat berbahaya. 
Kelakuan penduduk desa itu tentu saja membuat Somanggala heran. Dia merasa tidak pernah berbuat salah atau menyakiti mereka dengan mengandalkan kepandaiannya. Kepala pemuda itu jadi dipenuhi berbagai pertanyaan yang berdesakan di dalam benaknya. 
"Aneh?! Apa sebenarnya yang sudah terjadi denganku? Mengapa mereka ketakutan melihatku...?" desis Somanggala. 
Pemuda itu kian gelisah melihat jalan yang semula cukup ramai, mendadak sepi. Langkahnya jadi ragu menyusuri jalan utama desa yang kini tampak lengang. Somanggala mencoba mengusir semua kegundahan di hati. Tiba-tiba saja, perasaannya was-was saat teringat kedua orangtuanya. Berbagai dugaan muncul di kepalanya. Cepat-cepat tubuhnya melesat mengerahkan seluruh ilmu larinya ketika kecemasan semakin keras melecut hatinya. 
Bagai anak panah yang lepas dari busur, tubuh Somanggala meluncur membelah jalan desa. Dan jarinya berhenti mendadak saat tiba di halaman rumahnya. Hati pemuda itu berdebar tegang, ketika merasakan kesunyian aneh menyelimuti rumah sederhana yang dibangun dengan cucuran darahnya. 
"Ayah...! Ibu...!" 
Sambil melesat ke dalam rumah, Somanggala berseru memanggil kedua orangtuanya. Hatinya semakin tidak karuan melihat ruang tengah sepi. Kecurigaannya semakin besar. Pada tengah hari menjelang sore seperti ini, ayahnya biasa duduk di ruang tengah sambil menghisap pipa tembakau. Tapi pemuda itu tidak mendapatkan ayahnya di tempat ini. 
Kenyataan itu membuat hati Somanggala semakin kalang-kabut. Somanggala berlari ke kamar orangtuanya. Dan langsung berteriak seolah sudah mencium petaka yang menimpa keluarganya. Dan..., ketika kaki Somanggala menjejak kamar tidur mereka, mata pemuda itu terbelalak seperti hendak melompat ke luar! 
"Ahhh...?!" Somanggala menahan jeritan yang meluncur dari mulutnya. Kaki pemuda itu mendadak gemetar menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan mata. Napasnya memburu bagai kerbau liar yang mengamuk 
"Ayah..., Ibu.... Mengapa..., siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?" desis Somanggala sambil melangkah dengan kaki gemetar, memasuki kamar. 
Pemuda tegap berwajah tampan itu jatuh bertelekan kedua lututnya, persis di bawah tubuh kedua orangtuanya yang tewas dengan lidah terjulur dan mata mendelik ke luar. Ayah dan ibu Somanggala tewas seperti orang yang sengaja menggantung diri. Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakannya saat itu. Yang jelas, hatinya sangat terpukul menyaksikan kematian orangtuanya dengan cara menyakitkan untuk dipandang. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu tidak mampu berkata-kata. Dia hanya bisa menatap mayat kedua orangtuanya dengan mata basah. 
Cukup lama Somanggala terdiam seperti patung batu. Setelah kesadarannya pulih, pemuda itu berdiri dan menurunkan mayat orang tuanya, lalu merebahkannya di atas pembaringan. Telapak tangannya disapukan ke wajah kedua orang yang sangat dicintainya. Somanggala tidak ingin kedua orangtuanya meninggal dunia dengan penasaran. Setelah mengangkat telapak tangannya, mata mereka dapat terpejam, sebagaimana layaknya orang meninggal secara damai. 
"Hm.... Kalau kedua orangtuaku terbunuh, pasti tetanggaku melihat siapa orang yang datang ke rumah ini...!" desis Somanggala dengan mata liar penuh dendam. 
Pemuda itu melesat ke luar, mendatangi rumah tetangga yang terpisah beberapa belas tombak dari rumahnya. Tapi yang ditemukan Somanggala makin membuat hatinya penasaran. Tetangga terdekatnya ternyata tidak berada di rumah. Ketika mendapati rumah itu kosong, hampir saja dia mengamuk dan merobohkan rumah itu. Untung segera teringat bahwa tetangganya telah pergi dua hari yang lalu. Mereka sekeluarga menjenguk saudaranya yang tertimpa musibah di desa lain, yang letaknya cukup jauh dari Desa Jati Mulya. Ingatan itu membuat Somanggala menunda kemarahan yang membakar dada. 
"Keparat! Buntu sudah jalanku! Entah bagaimana aku dapat menemukan orang yang telah memaksa orangtuaku menggantung diri!" geram Somanggala sambil menghantamkan kepalannya pada sebatang pohon besar tempat tubuhnya bersandar. 
Dengan langkah gontai, Somanggala pulang ke rumahnya. Pemuda gagah itu duduk dengan wajah murung di depan mayat orangtuanya. Pikirannya dibiarkan menerawang ke masa silam, saat orangtua yang dicintainya masih hidup. Tanpa sadar, pikiran itu membawa Somanggala pada saat pertama kali mengikuti pertandingan Panggung Kematian. Ingatan itu membuatnya tersentak bangkit bagai disengat kalajengking. 
"Ki Jarangka...! Yah, orang tua gendut yang tamak itu pasti tahu tentang kematian orangtuaku! Hm.... Aku harus minta penjelasan darinya...!" geram Somanggala seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan gigi gemeretuk menahan dendam. Sesaat kemudian tubuh pemuda itu melesat ke luar, menuju tempat kediaman Ki Jarangka yang letaknya di ujung Desa Jati Mulya. 

* * * * *



"Hei, mau ke mana kau...?!" 
Dua orang penjaga yang berada di gerbang depan membentak sambil melesat menghadapi jalan. Saat itu mereka melihat sesosok bayangan bergerak cepat memasuki pekarangan rumah besar yang kokoh dan dikelilingi tembok bata 
"Eh...?! Bukankah dia si Jagoan Panggung yang tadi pagi hampir tewas di tangan Garbanaka...?" seru penjaga ketika sosok tegap itu berhenti beberapa langkah di depan keduanya. 
"Hai, benar...!" seru penjaga bertubuh tinggi kurus dengan mata menjorok kedalam. 
Melihat senyum sinis yang selalu menghias wajahnya, lelaki tinggi kurus itu mempunyai sifat tinggi hati, dan memandang rendah orang lain. Begitu pun terhadap Somanggala. Senyum sinisnya tersungging, menyiratkan ejekan. Lelaki itu tidak merasa gentar pada Somanggala, meskipun pemuda itu telah banyak menewaskan lawan di panggung pertandingan. 
"Aku memang Somanggala. Kedatanganku kemari mencari Ki Jarangka! Tolong beri tahu kedatanganku padanya...," ujar Somanggala seraya menatap wajah kedua penjaga dengan mata berapi. 
"Hm.... Setelah kejadian di panggung tadi pagi, tidak kusangka kau berani menemui Tuan Besar, apa kau tidak sadar kalau Tuan Besar menderita kerugian pada pertarungan tadi pagi? Manusia tidak tahu malu...!" maki penjaga tinggi kurus itu sambil menudingkan jarinya ke wajah Somanggala yang langsung memerah seperti kepiting rebus. 
"Banyak omong! Katakan di mana Tuan Besarmu sekarang? Atau kalian ingin merasakan kerasnya kepalanku...?!" bentak Somanggala tidak lagi mengenal kata sungkan dan gentar, meskipun harus menghadapi Ki Jarangka yang secara tidak langsung majikannya. 
"Kurang ajar! Berani kau mengancam kami! Rupanya kau harus diajar adat agar bisa bersikap lebih sopan di tempat ini...!" bentak lelaki tinggi kurus tidak mau kalah gertak. Begitu ucapannya selesai, kepalan tangannya segera dilontarkan ke kepala Somanggala. 
Wuttt! 
Somanggala hanya memiringkan kepala sedikit. Begitu serangan lawan lewat di samping telinga, pemuda itu mengirimkan tusukan jari-jari tangannya ke iga lawan. Tentu saja lelaki tinggi kurus itu terkejut, dan cepat merendahkan tubuh dengan menggeser kaki kanannya. Sayang Somanggala hanya melakukan serangan pancingan. Sebelum lawan menyadarinya, mendadak pemuda itu menarik tangannya. Kemudian memutar tubuh disusul sebuah tebasan miring. 
Desss...! 
"Hugkh...!" Tubuh lelaki tinggi kurus yang banyak lagak itu tersungkur mencium tanah, ketika telapak tangan miring Somanggala menghajar belakang lehernya. Belum sempat lawannya bangkit, telapak kaki Somanggala telah menjejak punggung lawan yang langsung muntah darah dan pingsan seketika. 
"Huh! Kukira kepandaianmu sebesar mulutmu! Tak tahunya hanya gentong kosong...!" desis Somanggala, kemudian berpaling pada penjaga yang lain. 
Sreet! 
Sinar putih menyilaukan mata berkilau seiring dengan suara gemerincing senjata Rupanya penjaga bertubuh sedang dan berkumis lebat telah meloloskan pedangnya, ketika melihat rekannya dapat dirobohkan dengan mudah oleh Somanggala. 
"Lebih baik kau menyingkir! Aku tidak punya urusan denganmu! Katakan kepada Ki Jarangka, aku datang untuk membuat perhitungan dengannya...!" bentak Somanggala seraya menatap tajam penjaga pintu gerbang itu. 
Penjaga berkumis lebat itu agaknya lebih takut pada majikannya daripada menghadapi Somanggala. Lelaki Itu menggeser langkahnya ke samping sambil mengkelebatkan pedang. Kemudian bersiul nyaring, sebagai isyarat kepada kawan-kawannya yang lain. 
"Setan! Rupanya kau sudah bosan hidup lebih lama di dunia...!" geram Somanggala jengkel melihat kebandelan penjaga itu. 
Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu melesat ke depan dengan tamparan yang menimbulkan deruan angin tajam. Penjaga berkumis lebat tidak mau tinggal diam menanti serangan lawan. Pedangnya langsung bergerak melingkar menyambut tamparan Somanggala. 
"Bagus...!" puji Somanggala ketika melihat cara penjaga itu menyambut tamparannya. Cepat tangannya ditarik pulang, disusul sebuah tendangan kilat secara berputar! 
Plakkk! 
Terdengar benturan cukup nyaring saat pergelangan kaki belakang Somanggala beradu dengan telapak tangan lawan. Penjaga berkumis lebat itu masih sempat menyusuli tangkisannya dengan tebasan pedang yang mengancam lambung Somanggala. Lagi-lagi Somanggala memuji tindakan lawan yang cukup cekatan. Pemuda tegap itu melompat ke samping semakin mendekati lawan. Sehingga tebasan pedang lawan mengenai tempat kosong, dan gerakan pemuda itu membuat lawannya gugup. Kenyataan ini tidak disia-siakan Somanggala, yang segera menyarangkan pukulan telak ke iga lawan! 
Bukkk 
"Huakkkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh lawan langsung terjungkal ke belakang. Cepat Somanggala bergerak mengejar untuk menyusuli serangan. Namun, pemuda itu segera menunda pukulannya saat mendengar suara berdesingan yang datang mengancam tubuh. 
Singgg, singgg...! 
"Haiiit...!" Somanggala sekilas melihat datangnya empat batang benda berkilau. Pemuda itu langsung membentak sambil menjejak tanah kuat-kuat. Saat itu juga tubuhnya melambung setinggi satu tombak lebih. Dengan sebuah putaran manis, sepasang tangannya bergerak menangkap dua di antara benda berkilau yang nyaris merenggut nyawanya. 
"Bedebah licik...!" maki Somanggala sambil melontarkan kembali benda berkilau yang ternyata pisau terbang. 
Suttt! Suttt! 
Dua bilah pisau terbang yang dikembalikan Somanggala bergerak cepat, diiringi suara bercuitan yang menyakitkan telinga. Terdengar jerit kematian ketika dua senjata yang dikembalikan Somanggala, tepat menancap di dada dan tenggorokan dua orang lawan yang baru tiba di tempat itu. Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang malang itu ambruk dengan nyawa melayang. Somanggala belum bisa menarik napas lega. Pada saat itu, dua sosok tubuh berkelebat ke arahnya, disertai suara desingan yang berasal dari senjata-senjata penyerangnya. 
"Yeaaah...!" 
Dengan sebuah bentakan nyaring, tubuh Somanggala kembali berputar di udara. Namun ancaman kedua mata pedang lawan masih mengejarnya. Somanggala kembali melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri dari kematian. 
Srettt! 
Menyadari kedua lawan yang harus dihadapi bukan orang-orang sembarangan, Somanggala meloloskan pedang di pinggangnya. Kemudian memutar di depan tubuhnya dengan kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan! 
Whuttt.... Whuttt...! 
Kilauan sinar putih berpendar diiringi suara mengaung tajam, pertanda kekuatan yang dikerahkan Somanggala tidak bisa dipandang remeh. 
"Hm.... Majulah kalian. Anjing-anjing Jarangka...! Aku akan mengirim kalian ke neraka, untuk menebus nyawa kedua orangtuaku yang telah kalian bunuh...!" desis Somanggala dengan wajah gelap dan sepasang mata mencorong tajam. 
"Keparat! Setelah menjadi pecundang di tangan Garbanaka, rupanya otakmu jadi miring, Somanggala! Kalau begitu, biarlah kami yang akan menyelesaikan pekerjaan Garbanaka pagi tadi..," sahut seorang dari dua lawan Somanggala. 
"Haaat...!" 
Tanpa memberi kesempatan kepada Somanggala untuk mempersiapkan jurus-jurusnya, kedua orang itu menerjang maju dengan serangan-serangan hebat dan menimbulkan deruan angin tajam. 
"Hm...!" Somanggala menggeram melihat kehebatan serangan kedua orang lawannya. Pedang di tangannya bergerak ke kiri kanan dengan menyilang. Begitu serangan seorang lawannya datang, pemuda bertubuh tegap itu mendoyongkan kaki kanannya dengan kuda-kuda serong. 
Syuuut...! 
Ujung pedang lawan meluncur deras lewat di sisi tubuh Somanggala. Saat itu juga, Somanggala mengirimkan sebuah tendangan kilat dengan ujung sepatunya, mengarah ulu hati lawan. Gerakan pemuda itu amat cepat dan kuat, membuat lawan agak gugup. 
"Setan...!" Lelaki bertubuh kekar yang sebelah matanya cacat, mengumpat jengkel sambil menarik mundur tubuhnya. Sayangnya tendangan Somanggala hanya sebuah pancingan, untuk melihat apa yang dilakukan lawan. Maka begitu melihat lawannya bergerak mundur, Somanggala menarik lututnya dan menjejakkan kakinya ke depan sambil mengibaskan pedangnya dengan gerakan mendatar. 
Traggg! 
Untunglah lawannya yang seorang lagi keburu datang menyelamatkan kawannya, dengan cara memapak pedang Somanggala. Kalau tidak, mungkin mata pedang pemuda tegap itu telah merobek perut lawan. Meskipun demikian, karena tenaga serangan yang digunakan Somanggala sangat kuat, maka lawan yang membenturkan pedangnya pun terhuyung ke belakang sejauh satu tombak. Sedang Somanggala terjajar dua langkah ke belakang. Kenyataan Itu membuktikan kalau tenaga dalam Somanggala masih berada di atas lawan-lawannya. 
"Hmhhh...!" Somanggala menggeram dengan wajah gusar. Pedang kembali berputar menimbulkan gulungan sinar putih yang mengaung-ngaung menulikan telinga. 
"Haaat...!" Dengan sebuah teriakan menggeledek, tubuh Somanggala melesat ke depan laksana sambaran kilat. Pedang di tangannya masih berputaran tanpa terlihat bentuk aslinya. Serangan yang dilancarkan Somanggala sangat hebat dan mengejutkan hati lawan-lawannya. 
Namun kedua orang itu rupanya memiliki sebuah ilmu pedang gabungan. Dapat diketahui dari cara mereka bergerak, satu di depan dengan kedudukan rendah, dan yang lain berdiri tegak dengan mata pedang menuding langit. Kemudian mereka bergerak susul-menyusul menyambut datangnya serangan Somanggala. 
"Yeaaat..!" 
Sebentar saja ketiga lelaki itu terlibat dalam pertarungan yang sengit dan mendebarkan! Terkadang teriakan-teriakan mereka diselingi suara berdentingan dan pijaran bunga api yang menyilaukan mata. Sehingga, di arena pertarungan kelihatan seperti sedang terjadi pesta kembang api 
Somanggala sangat terkejut dan harus mengakui kehebatan ilmu pedang lawan. Berkali-kali pemuda tegap itu mencoba menerobos pertahanan lawan dengan serangan-serangan gencar. Tapi setiap kali itu pula pedangnya terpental balik, seperti menghantam dinding baja yang kokoh dan kenyal. Kenyataan itu membuat hati Somanggala semakin penasaran. 
Dan kedua lawannya benar-benar tidak ingin memberi kesempatan Somanggala untuk berpikir. Setiap kali pemuda tegap itu mengendurkan se- rangan, maka akan dihujani serangan gencar oleh pengeroyoknya. Sehingga Somanggala harus benar-benar sigap menghadapi serangan-serangan lawan. 
"Haiiit...!" 
"Yeaaah...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus keempat puluh tiga, mendadak kedua lawannya memekik susul-menyusul. Lalu, tubuh mereka mencelat ke depan. Satu menyerang dari atas, sedang yang satunya menyerang dengan cara bergulingan di tanah. Benar-benar sebuah serangan hebat dan sangat berbahaya! 
Dengan sekuat tenaga, Somanggala berusaha keras menghalau serangan lawan. Pedangnya diputar sedemikian rupa membentuk gulungan sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi meskipun begitu, Somanggala tetap tak mampu melindungi diri dari sengatan ujung pedang lawan. 
Whuuut... crasss... brettt...! 
"Aaakh...!" Somanggala memekik kesakitan saat pangkal lengan serta pahanya tersayat pedang lawan. Tubuh pemuda tegap itu terhuyung mundur. Darah segar langsung keluar dari lukanya. 
"Haaat...!" Kedua lawannya kembali menerjang ganas. Agaknya mereka ingin melenyapkan pemuda itu secepat mungkin. Maka meluncurlah kedua mata pedang yang membawa hawa maut, mengancam tubuh Somanggala! 

* * * * *



:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::

MENYADARI dirinya terancam bahaya maut, Somanggala mengerahkan seluruh sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri. Pedang di tangannya kembali mengaung dengan gerak melingkar-lingkar. Dan... 
Tranggg! Tranggg! 
"Uhhh...!" Meskipun dua kali Somanggala berhasil mematahkan serangan pengeroyoknya, namun karena keadaannya lemah, benturan itu membuat tubuhnya terjajar limbung. Kedua lawannya yang terjajar mundur beberapa langkah, tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Secepat kilat keduanya melesat seiring dengan babatan senjata mereka. 
"Aaah...!" Somanggala terpekik ngeri melihat dua batang pedang meluncur mengancam leher dan perutnya. Lengannya yang masih terasa ngilu akibat benturan tadi, membuat gerakan pedangnya bertambah lemah dan lamban. Kendati demikian Somanggala berusaha menyelamatkan nyawanya dari incaran pedanglawan-lawannya. 
Brettt! Crattt! 
"Aaa...!" Untuk kesekian kalinya Somanggala menjerit kesakitan. Tubuh tegap itu terjajar limbung. Darah kembali mengalir dari luka memanjang di dada dan perutnya. Rupanya pemuda itu masih sempat menghindar dari ancaman yang mematikan, meskipun harus mendapat tambahan luka di tubuhnya. 
"Hm...! Keparat ini ternyata benar-benar alot...!" geram lelaki bermata cacat. 
"Tapi kali ini tidak akan bisa menghindar lagi, Kakang Duwarsa...," sahut pengeroyok yang lain. Orang itu sama tinggi dan kekarnya dengan Duwarsa. Wajahnya pun terhias brewok lebat. Hanya kedua matanya masih sempurna, tidak seperti Duwarsa yang picak sebelah kanan. 
Somanggala berusaha berdiri tegak, dan menatap kedua pengeroyoknya dengan penuh kebencian. Meskipun keadaannya sangat lemah, dan berdiri pun tidak kokoh, tapi Somanggala tetap ingin melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Saat itu kedua lawannya kembali menerjang maju. 
Somanggala hanya berdiri menunggu dengan pedang di tangan. Pemuda itu rupanya bertekad mengadu nyawa! Dan sebisa mungkin membawa salah satu lawannya, walaupun untuk itu dia harus tewas. Maka pada saat serangan lawan semakin dekat, Somanggala mengangkat pedangnya untuk menerjang, bukan menyambut tebasan pedang lawan. 
Kedua pengeroyok itu agaknya dapat membaca pikiran Somanggala. Kelihatan keduanya semakin mempercepat gerakan. Perbuatan itu membuat harapan Somanggala untuk mengadu nyawa dengan lawan, tidak mungkin terwujud. Sebab lawan merubah permainan yang kecepatannya tidak bisa diikuti mata Somanggala yang mulai kabur. Akibatnya.... 
"Yeaaah.!" 
"Heaaah.!" 
Seiring dengan bentakan-bentakan parau, kedua bilah pedang lawan meluncur datang. Kali ini Somanggala tidak mungkin dapat menghindar dari kematian! 
Whuttt! Bettt! 
Saat kedua batang pedang siap merenggut nyawanya, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih memapaki luncuran pedang. Sehingga.... 
Plak! Plak! 
"Akh...!" 
"Ughhh...!" 
Akibatnya benar-benar mengejutkan! Tubuh Duwarsa dan kawannya terpental balik bagai tersapu badai hebat. Keduanya jatuh berguling-guling sejauh dua tombak lebih. Dan pedang mereka terpental entah kemana. 
"Bedebah...!" maki Duwarsa segera bergerak bangkit dengan wajah menyeringai. Lelaki bermata picak itu memijit-mijit lengan kanannya yang sakit bukan main. 
"Setan alas...!" umpat yang seorang lagi, juga mengalami hal yang serupa dengan Duwarsa. 
Sosok bayangan putih yang menyelamatkan Somanggala, tidak mempedulikan kedua orang itu. Dan membalikkan tubuhnya menghampiri Somanggala. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna putih salju. 
"Kau...?!" desis Somanggala setelah mengenal penolongnya.
"Mengapa kau menolongku lagi.?" 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Somanggala. Apalagi kau sedang dalam kesulitan. Jadi tidak ada salahnya aku menolongmu. ," sahut sosok berjubah putih yang tidak lain Panji, seraya memberikan obat luka dalam kepada Somanggala. 
"Benar yang dikatakan Kakang Panji, Somanggala. Meskipun kau tidak menyukai campur tangan kami, tapi sebagai orang gagah, kami berkewajiban menolong orang yang teraniaya." Tiba-tiba terdengar suara lain, membuat Somang- gala menoleh mencarinya. 
"Kenanga...?!" seru Somanggala ketika melihat sosok dara jelita berpakaian serba hijau tengah melangkah menghampiri mereka. 
"Dirimu dikelilingi banyak rahasia yang membuat kami penasaran, Somanggala. Itu sebabnya mengapa kami mengikutimu. Menurut kami, kau membutuhkan pertolongan...," timpal Panji, dengan senyum penuh persahabatan. 
"Kalian tidak marah ketika aku menolak menceritakan persoalan yang tengah kuhadapi...?" tanya Somanggala seolah tak percaya dalam dunia yang menurutnya sangat keras dan kejam, ternyata masih ada orang yang peduli dengan nasibnya. Sepanjang pengetahuannya, setiap pertolongan mempunyai pamrih tersembunyi. Tapi melihat kejujuran pasangan pendekar muda itu, Somanggala yakin pertolongan yang diberikan kepadanya sangat tulus, tanpa maksud-maksud lain di belakangnya. 
Panji dan Kenanga menggeleng perlahan dengan bibir tersenyum. Sehingga hati pemuda tegap yang hidupnya selalu bergelimang kekerasan itu terharu. Tanpa banyak bicara lagi, diambilnya pil berwarna putih salju yang diulurkan Panji. Somanggala tahu obat pemuda tampan berjubah putih itu sangat manjur untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Tanpa ragu-ragu lagi, obat itu langsung ditelannya. 
"Hm..,. Hendak pergi ke mana kalian, Pengacau-pengacau Tengik?!" bentak Duwarsa segera memerintahkan kawan-kawannya untuk mengepung. 
Panji yang memapah tubuh Somanggala, dan Kenanga yang berjalan di belakang mereka, berhenti. Pemuda tampan berjubah putih itu menatap Duwarsa yang diduga pimpinan tukang pukul Ki Jarangka. 
"Kalau kau ingin menolongku, bawalah aku menemui Ki Jarangka, pemilik rumah besar ini. Mereka telah membunuh kedua orangtuaku secara biadab," bisik Somanggala kepada Panji, saat teringat maksud kedatangannya ke tempat itu. 
"Kau yakin kalau Ki Jarangka yang telah membunuh kedua orangtuamu...?" tegas Panji, Pendekar Naga Putih tidak terkejut mendengar kematian orangtua Somanggala. Sejak semula dia sudah menduga kalau pemuda tegap berwajah tampan itu tengah menghadapi kesulitan besar. 
"Aku yakin, Panji. Karena sejak aku terjun dalam pertarungan di Panggung Kematian, tidak ada pilihan lain bagiku. Sudah telanjur kata Ki Jarangka. Aku harus terus bertarung jika tidak ingin melihat kedua orangtuaku celaka," jelas Somanggala membuka persoalan yang selama ini disimpannya. 
"Lalu kau menyerah diperas Ki Jarangka,..?" tanya Panji belum bisa menerima penjelasan Somanggala. Pendekar Naga Putih melihat pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga sulit dipercaya kalau orang seperti Somanggala takut pada ancaman. 
"Tidak ada pilihan lain, Panji. Ki Jarangka mempunyai jagoan-jagoan tangguh. Selain itu aku tidak ingin membuat kedua orangtuaku yang sepanjang hidupnya miskin, bertambah susah. Aku melihat sebuah harapan lain dengan cara mempertaruhkan nyawa di atas panggung. Dari sana aku bisa mendapatkan banyak uang untuk membahagiakan kedua orangtuaku. Itu sebabnya, mengapa aku mengikuti pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan Ki Jarangka...," jelas Somanggala dengan panjang lebar. Sehingga, Panji mulai memahami persoalan yang sedang dihadapinya. 
"Hm.... Tapi meskipun demikian, kita tidak bisa melemparkan tuduhan kepada Ki Jarangka. Harus diselidiki dulu kebenarannya. Apa kau mempunyai saksi yang melihat kejadian itu...?" tanya Panji dengan hati-hati. 
"Aku yakin orang-orang Ki Jarangka yang melakukannya. Karena pertandingan pagi tadi telah membuatnya menderita kerugian yang tidak sedikit. Dan orang-orang tidak akan percaya lagi, bila Ki Jarangka melaksanakan pertandingan lain di panggung. Dia menimpakan kesalahan itu kepadaku. Itu sebabnya kedua orangtuaku dibunuh, sebagai tanda ancamannya dahulu tidak main-main...," jawab Somanggala, membuat Panji mengangguk-anggukkan kepala. 
"Baiklah, kalau begitu. Aku akan membawamu menemui Ki Jarangka," sahut Panji pasti. 
"Tapi. Aku harap kau berhati-hati. Panji. Manusia tamak itu sangat licik dan penuh tipu muslihat. Belum lagi dua tukang pukul lainnya yang lebih lihai dari kedua lawanku tadi ," ujar Somanggala. Pemuda itu agaknya belum yakin akan kepandaian Panji maupun Kenanga. Kecuali ilmu pengobatannya yang telah dirasakan sangat manjur. Kalau soal kepandaian, Somanggala masih meragukannya. Apalagi usia Panji jauh lebih muda darinya. 
Panji hanya mengangguk perlahan seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih menyadari kekhawatiran Somanggala. Karena meskipun telah dua kali menolongnya, tapi Somanggala tidak melihat secara jelas. Panji maklum akan perasaan pemuda itu. Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih membalikkan tubuhnya dan bergerak memasuki bangunan induk setelah memberi isyarat pada Kenanga. Dara jelita itu segera mengikuti tanpa banyak tanya lagi. Sebab Kenanga sempat mendengar pembicaraan Panji dan Somanggala. 
"Hei...?!" 
Duwarsa yang melihat ketiga orang itu berbalik dan memasuki bangunan, menjadi terkejut. Sambil berteriak, lelaki kekar bermata picak itu mengejar. Diambilnya sebatang pedang dari seorang kawannya, kemudian melompat menghadang jalan masuk ketiga tamu tak diundang itu. 
Panji menghentikan langkahnya melihat Duwarsa dan kawan-kawannya bergerak mengepung. Sehingga ketiga orang gagah itu berada dalam lingkaran kepungan belasan orang lawan. 
"Hm.... Katakan kepada majikanmu kami datang hendak menemuinya...!" perintah Panji kepada lelaki kekar bermata picak itu seraya menentang pandang Duwarsa yang melotot marah. 
"Tidak bisa! Majikan kami tidak berada di tempat! Lagi pula kau telah bertindak lancang mencampuri urusan ini, Bocah! Untuk itu kau patut diberi hajaran seperti Somanggala!" sahut Duwarsa dengan wajah berang. Setelah berkata demikian, Duwarsa bergerak maju dari depan, diiringi empat tukang pukul lainnya. Kemudian, pedangnya disilangkan di depan dada, dengan sikap jumawa. 
"Julantara, jangan biarkan mereka lolos...!" lanjut Duwarsa kepada lelaki brewok kekar yang lain. 
Lelaki kekar berwajah brewok yang dipanggil Julantara, bergerak dari belakang bersama empat orang di kanan kirinya. Sedang yang lain bergerak dari samping kiri dan kanan Panji. Para pengeroyok itu bergerak serentak, siap melumatkan tubuh ketiga pendekar itu. 
"Hm..." Panji bergumam perlahan melihat pengepungnya mulai bergerak. Pemuda itu menoleh ke arah Somanggala yang masih dipapahnya. 
"Kau sudah dapat memulihkan tenagamu, Somanggala?" tanya Panji perlahan. 
"Jangan khawatir. Panji. Kalau hanya menghadapi cecunguk-cecunguk itu selain Duwarsa dan Julantara, aku masih sanggup...," sahut Somanggala dan melepaskan lengannya dari bahu Panji. Kemudian pemuda tegap itu menarik napas panjang-panjang. Seolah dengan berbuat demikian, Somanggala berharap dapat mengembalikan kekuatannya. 
Panji tersenyum melihat semangat Somanggala yang besar. Pemuda tampan itu menoleh ke arah Kenanga dan menganggukkan kepala sebagai tanda mengizinkan kekasihnya untuk bertindak. Kenanga tersenyum melihat anggukan kepala kekasihnya. Langsung saja dara jelita itu membalikkan tubuh menghadapi pengeroyok yang berada di kirinya. 
"Serbuuu...!" 
Duwarsa yang kelihatan tidak sabar lagi, segera memberikan perintah. Tubuhnya segera melompat menerjang Panji yang dianggap telah mengacaukan pekerjaannya yang hampir tuntas barusan. Kemarahan dan kebenciannya ditumpahkan melalui serangan-serangan pedang yang ganas dan berbahaya. Empat tukang pukul di kiri dan kanan Duwarsa pun tidak tinggal diam. Mereka ikut menyertai lelaki kekar bermata picak itu untuk mencincang tubuh Panji. 
Dan Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak, menanti datangnya serangan lima orang pengeroyoknya. Gerakan lawan baginya terlalu lamban. Hingga pemuda itu tidak perlu segera menghindarkan diri. Tubuhnya baru mengelak saat pedang di tangan Duwarsa tinggal setengah jengkal dari sasaran. 
Whuttt..! 
Tusukan pedang Duwarsa luput dari sasaran. Panji melompat ke samping kanan, menghindari dua batang pedang yang mengancam tubuhnya. Sepasang tangannya dikembangkan untuk memapaki sambaran dua batang pedang lain yang menyambut tubuhnya. 
Plak! Plak! 
Tanpa ampun lagi, kedua tukang pukul itu langsung terjengkang akibat kuatnya tangkisan Pendekar Naga Putih. Dan sebelum mereka sempat mempersiapkan serangan selanjutnya. Panji sudah mengirimkan dua buah tamparan ke pelipis lawan. Tamparan yang dimaksudkan untuk memberi pelajaran kepada lawan-lawannya, membuat tubuh kedua tukang pukul itu terbanting pingsan! 
"Heaaah...!" 
Marah dan terkejut bukan main Duwarsa menyaksikan kejadian itu. Sambil membentak marah tubuhnya melesat ke depan, disertai tebasan pedang mengarah ke batang leher Panji. Namun pemuda itu dapat menangkap gerakan Duwarsa, dan segera menggeser tubuhnya sambil memutar leher. 
Bettt! 
Sambaran pedang Duwarsa lewat setengah jengkal di atas kepala Pendekar Naga Putih. Tentu saja lelaki bermata picak itu menjadi geram. Cepat senjatanya diputar kembali, meluncur mengancam leher Panji untuk kedua kali. 
"Bagus...!" seru Panji memuji kesigapan gerak lawan. Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih memutar tubuh. dan memapaki serangan lawan dengan tepisan telapak tangan. Dan sekaligus menyertainya dengan bacokan sisi telapak tangan miring 
Plak! Desss...! 
"Akhhh...!" Bagaikan terkena hantaman palu, Duwarsa terpental akibat bacokan telapak tangan Pendekar Naga Putih yang telak menghajar iga kanannya. Belum lagi Duwarsa sadar apa yang menimpa dirinya, Panji sudah mengirimkan sebuah tendangan kilat ke dada lelaki kekar itu. 
Bukkk! 
"Huakhhh...! Darah segar termuntah keluar seiring dengan terbantingnya tubuh Duwarsa ke tanah. Tendangan yang keras itu, membuat Duwarsa tidak ingat lagi keadaan di sekelilingnya. Karena pingsan saat itu juga. 
Melihat pimpinannya menggeletak pingsan, pengeroyok yang lain bergerak mundur dengan hati gentar. Kesempatan itu digunakan Panji untuk mengajak Somanggala dan Kenanga menerobos masuk ke dalam bangunan. Baik Somanggala maupun Kenanga berhasil membuat gentar lawan-lawannya dengan merobohkan banyak kawan mereka. Bahkan Kenanga dapat menewaskan Julantara dengan sebatang pedang yang direbut dari seorang pengeroyok. Sehingga mereka dapat leluasa menerobos masuk ke dalam bangunan. 
Somanggala yang berada di depan, membawa Panji dan Kenanga menggeledah setiap tempat untuk mencari Ki Jarangka. Sebenarnya Somanggala sudah curiga ketika tidak melihat Ki Jarangka muncul saat keributan terjadi. Bahkan kedua orang jagoan lain tidak kelihatan. Maka ketika tidak dapat menemukan Ki Jarangka di dalam bangunan, Somanggala tidak kaget. 
Ketidak beradaan Ki Jarangka membuat Somanggala semakin bertambah yakin kalau kedua orangtuanya dibunuh Ki Jarang- ka dan begundal-begundalnya. Jengkel karena tidak menemukan orang yang dicarinya, Somanggala menarik seorang pelayan yang gemetar ketakutan di sudut ruang belakang. 
"Katakan, di mana majikanmu? Kalau kau berbohong, kuparahkan batang lehermu...!" ancam Somanggala sambil mencengkeram leher pelayan itu dengan jari-jari tangannya yang kokoh bagai jepitan besi. 
"Tuan Besar.., sedang pergi. Aku tidak tahu kemana...," jawab pelayan itu pucat ketakutan, bahkan sampai terkencing-kencing. 
"Keparat! Rupanya kau ingin mampus...!" geram Somanggala tidak mempercayai jawaban pelayan itu. Jari-jari tangannya siap meremas hancur tulang leher pelayan malang itu. 
"Tahan, Somanggala...!" seru Panji mencekal pergelangan tangan Somanggala dengan mengerahkan tenaga dalam. Akibatnya cekalan jari-jari tangan lelaki tegap berwajah tampan itu kendor. Urat-urat lengannya terasa lumpuh akibat cekalan tangan Panji. 
"Pelayan itu tidak berbohong. Sebaiknya kita selidiki ke mana perginya Ki Jarangka...," lanjut Panji mengajak Somanggala dan Kenanga meninggalkan tempat itu. Tanpa banyak cakap lagi keduanya mengikuti langkah Panji. 

* * * * *



:::≡¦ [ DEL@PAN ] ¦≡:::

PANJI, Somanggala, dan Kenanga segera meninggalkan tempat kediaman Ki Jarangka. Tak seorang pun dari tukang pukul di rumah besar itu berani menghalangi kepergian mereka. Rupanya para pengawal Ki Jarangka itu merasa gentar dan tidak ingin mencari penyakit. Saat ketiganya hendak menyeberangi sungai, tiba-tiba Somanggala menghentikan langkah. Membuat Kenanga maupun Panji merasa heran, dan menghentikan larinya. 
"Ada apa, Somanggala...?" tanya Panji melihat Somanggala seperti memikirkan sesuatu. 
"Aku baru ingat sekarang...!" seru pemuda tegap itu seperti baru terbangun dari mimpi. 
"Apa yang kau ingat...?" tanya Panji lagi. 
"Sehari sebelum pertandingan di atas panggung, aku menyelamatkan seorang gadis dari ancaman dua lelaki kasar. Kemudian aku mengantarkannya pulang, dan disuguhi teh dingin yang rasanya aneh tapi baunya menyegarkan," gumam pemuda itu, seolah berkata pada diri sendiri. 
"Hm.... Mungkin teh itu yang menyebabkan tenagamu lenyap perlahan-lahan, karena telah dicampuri racun pelumpuh...," sergah Panji mencoba menduga ke mana arah pembicaraan Somanggala. 
"Kurang ajar! Pantas gadis itu berusaha mencegah ketika aku ingin menghabisi nyawa kedua orang kasar itu. Kemungkinan besar mereka kaki tangan Garbanaka yang sengaja memasang perangkap untukku. Sebab betapapun lihai Garbanaka, dalam keadaan biasa aku sanggup menundukkannya. Keparat itu berbuat curang untuk memperoleh kemenangan!" geram Somanggala, kemudian melesat menyusuri tepian sungai. 
"Somanggala! Mau ke mana kau...?" seru Panji sambil bergerak mengejar pemuda itu. 
Kenanga tidak mau ketinggalan. Dara jelita itu mengerahkan ilmu lari cepatnya mengejar Panji dan Somanggala. Sebentar saja dia telah dapat memperpendek jarak dan berlari di belakang kedua lelaki itu. 
"Rumah gadis yang kutolong itu tidak jauh dari sini...!" jawab Somanggala tanpa menghentikan larinya. Seruan itu merupakan jawaban pertanyaan Panji. Pada saat hampir tiba di tempat tujuan, mendadak Somanggala menghentikan larinya, dan merunduk bersembunyi di semak-semak. Panji dan Kenanga yang pendengarannya jauh lebih tajam, lebih dahulu mendengar tangisan yang membuat Somanggala bersembunyi. 
"Itu suara tangisan Seruni, gadis yang pernah kutolong...," bisik Somanggala dengan wajah heran. Di antara isak tangis itu terdengar bentakan dan makian kasar. Membuat ketiganya saling berpandangan. 
"Suara yang besar dan berat itu mungkin milik Garbanaka...," ujar Panji yang pendengarannya lebih tajam dari Kenanga dan Somanggala.
"Sepertinya dia sedang menyiksa gadis yang bernama Seruni itu...?" Tanpa menunggu persetujuan Somanggala, Pendekar Naga Putih segera berkelebat ke tempat asal suara. 
"Lepaskan aku...! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan menggangguku lagi, bila aku melaksanakan perintahmu meracuni Somanggala...!" 
Setelah mendengar ucapan gadis yang membuka rencana jahat itu. Panji langsung melayang ke tempat sosok Garbanaka berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Di dekat kaki lelaki kekar itu, tampak seorang gadis cantik bersimpuh dengan wajah berurai air mata. 
"Seruni...!" Somanggala yang jatuh hati kepada dara cantik yang pernah ditolongnya, langsung berseru memanggil. Kebenciannya lenyap saat mendengar pengakuan gadis itu. Dan rasa cintanya bangkit kembali. 
Garbanaka yang sebelum mendengar seruan Somanggala telah menangkap desiran angin yang meluncur ke arahnya, langsung menoleh dan mengirimkan pukulan jarak jauh. Samar-samar dia menangkap sosok bayangan putih meluncur ke arahnya. Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam. Pukulan jarak jauh Garbanaka disambutnya dengan kibasan lengan yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Akibatnya, dapat dibayangkan! 
Bresssh...! 
"Aaakh...!" Seiring dengan benturan itu, tubuh Garbanaka terlempar muntah darah! Kemudian terbanting di tanah dengan dada sesak. 
"Bangsat! Setan mana yang berani mati melukai muridku...!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan parau disusul berkelebatnya sosok seorang kakek yang semula berada di kanan Garbanaka. Rupanya orang tua itu guru Garbanaka. Merasakan adanya sambaran angin yang sangat kuat, Panji tidak ingin bertindak ceroboh. Pemuda itu mendorong sepasang telapak tangannya menyambut serangan lawan. Pada saat itu kedua kakinya belum menyentuh tanah. 
Blarrr...! 
Terdengar benturan yang sangat hebat, membuat udara di sekitar tempat itu bergetar. Tubuh Panji terdorong ke belakang. Hal itu dikarenakan kedudukannya memang sangat lemah. Sedangkan kakek kurus itu berjumpalitan, kemudian meluncur turun ke tanah dengan kuda-kuda goyah. Jelas, kakek itu pun terpengaruh benturan tadi. 
"Ki Gending Sendapa...?!" seru Somanggala yang rupanya mengenali orang tua kurus itu. Wajah pemuda tegap itu kelihatan cemas dan agak pucat Jelas, hatinya gentar melihat orang tua sakti itu. 
"Hm.... Rupanya gurumu takut menghadapiku, Somanggala. Sehingga menyuruhmu mengundang Pendekar Naga Putih dalam persoalan ini...," sahut Ki Gending Sendapa. Nada suara lelaki kurus itu demikian menghina Somanggala. Hebatnya dia dapat menebak dengan pasti, siapa pemuda berjubah putih di hadapannya. 
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Somanggala dengan mata membelalak lebar. Pemuda itu merasa dirinya benar-benar bodoh, tidak mengenali Pendekar Naga Putih. Padahal belakangan ini dirinya cukup dekat dengan pemuda itu. 
"Begitulah orang-orang rimba persilatan memberi julukan kepadaku, Somanggala...," ujar Panji, memperjelas ucapan Ki Gendirg Sendapa. 
Somanggala tidak tahu lagi apa yang dirasakannya saat itu. Malu, gembira, dan entah apa lagi? Somanggala sendiri tidak bisa mengartikannya satu persatu. Yang jelas, hatinya gembira dapat bertemu bahkan mengenal Pendekar Naga Putih. Gurunya sering menceritakan kegagahan dan kemuliaan pendekar muda itu. 
"Ke mana gurumu, Bocah? Apa sudah tidak mampu bertarung lagi...?" ejek Ki Gending Sendapa kepada Somanggala. 
"Hm.... Guruku tidak sepertimu, Ki Gending Sendapa. Beliau tidak ingin mencampuri urusan dunia karena merasa sudah tua. Sekarang beliau bertapa dan menyepi di tempat kediamannya. Tidak sepertimu yang masih mengumbar nafsu, tidak menyadari usia yang sudah terlalu tua dan bau tanah...," balas Somanggala, tidak lagi merasa gentar pada Ki Gending Sendapa. Karena di pihaknya ada Pendekar Naga Putih yarg diyakini akan mampu menundukkan tokoh tua yang sakti itu. 
"Bocah kurang ajar! Kau harus diberi pelajaran agar tidak kurang ajar kepada orang tua...!" Marah bukan main Ki Gending Sendapa, mendengar makian Somanggala. Secepat kilat tubuhnya melayang dengan tamparan maut yang menerbitkan angin bercicitan. 
Panji tentu saja tidak ingin Somanggala celaka. Cepat tubuhnya melesat menyambut tamparan Ki Gending Sendapa. Sadar kalau orang tua itu bukan tokoh sembarangan. Pendekar Naga Putih langsung menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang terkenal ampuh dan mukjizat. 
"Setan...!" Ki Gending Sendapa mengumpat jengkel. Seraya menarik pulang tamparannya dan ganti menerjang Panji dengan serangan-serangan maut. Sebentar saja kedua tokoh itu terlibat dalam pertarungan sengit. 
Melihat Pendekar Naga Putih bertarung dengan Ki Gending Sendapa, Somanggala bergegas mendekati Seruni yang tengah menatapnya dengan penuh penyesalan. 
"Berhenti...!" 
Langkah Somanggala tertahan mendengar bentakan itu. Cepat kepalanya berpaling ke arah dua lelaki kasar yang melompat menghadang jalannya. Somanggala mengenali kedua lelaki itu sebagai orang yang pernah menjebaknya bersama Seruni. Maka tanpa banyak cakap lagi, Somanggala menghadapi kedua orang itu dengan sinar mata penuh dendam. 
"Somanggala, tahan...!" terdengar seruan merdu disusul berkelebatnya sesosok bayangan hijau. 
"Kenanga.... Mengapa kau mencegahku...?" tegur Somanggala tak mengerti akan tindakan gadis jelita itu. 
"Kau selamatkan Seruni. Biar aku yang menghadapi kedua cecunguk itu...," ujar Kenanga seraya melangkah ke arah kedua lelaki kasar itu. 
"Baiklah, Kenanga. Terima kasih...," sahut Somanggala, gembira mendengar usul dara jelita itu. Tapi baru saja kakinya melangkah dan menarik bangkit tubuh Seruni, terdengar bentakan parau yang mengejutkan. 
"Jangan sentuh gadis itu, Somanggala! Seruni milikku...!" bentakan itu datangnya dari Garbanaka yang rupanya telah dapat memulihkan tenaganya. Lelaki kekar berwajah brewok itu berdiri tegak menatap Somanggala dengan mata mencorong tajam. 
Melihat Garbanaka berdiri dengan sikap menantang, Somanggala segera menyuruh Seruni menyingkir. Kemudian kakinya melangkah maju beberapa tindak menghadapi Garbanaka. 
"Hm.... Bagus, Garbanaka. Sekarang mari kita lanjutkan pertarungan di atas panggung yang tertunda dulu...," tantang Somanggala tanpa rasa gentar sedikit pun. Karena kali ini merasa yakin dapat menundukkan lawan. 
"Hm..." Garbanaka tidak menjawab. Lelaki kekar itu menggeram sambil melolos pedang, siap bertarung mati-matian.
"Sambut seranganku, Somanggala...!" teriak Garbanaka seraya melesat maju disertai putaran pedang yang mendatangkan angin menderu-deru. 
Somanggala yang telah siap dengan senjata terhunus, langsung memapaki serangan lawan. Pedangnya berkelebatan cepat membawa gumpalan sinar putih bergulung-gulung laksana angin topan. Sebentar saja keduanya terlibat dalam perkelahian sengit. 
"Heaaah.!" Garbanaka kelihatan sangat bernafsu untuk dapat segera merobohkan lawan. Serangan pedangnya sangat ganas dan selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan di tubuh lawan. Meskipun demikian, Somanggala selalu dapat mematahkan serangan lawan. Bahkan mampu membalas dengan tidak kalah ganasnya. 
"Yiaaat.!" 
Breeet.! 
"Akh!" 
Pada jurus keempat puluh, Somanggala berhasil menggoreskan ujung pedangnya ke pangkal lengan kiri lawan. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, namun cukup membuat gerakan Garbanaka terganggu. Sehingga mulai dapat didesak dengan serangan-serangan cepat Somanggala. 
Di arena lain, Panji sedang berusaha mendesak lawan, Pendekar Naga Putih telah mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. Karena Ki Gending Sendapa bukan lawan yang ringan bagi pemuda itu. 
"Haiiit..!" Ketika, pertarungan menginjak jurus kesembilan puluh dua, tiba-tiba Panji berseru nyaring sambil melancarkan serangkaian serangan yang cepat bagai sambaran kilat di angkasa. 
"Aihhh...!" Ki Gending Sendapa sempat dibuat gugup oleh kecepatan gerak lawan. Sehingga ketika hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih meluncur datang, lelaki tua itu tidak sempat menghindar. 
Bukkk! 
"Huakhh..." Darah segar termuntah keluar dari mulut Ki Gending Sendapa. Hantaman yang amat kuat itu membuat tubuhnya terlempar sejauh satu setengah tombak. Meskipun demikian, orang tua itu ternyata cukup lincah. Tubuhnya dapat meluncur turun dengan selamat ke tanah. Sayangnya tokoh tua itu masih kalah cepat dengan Pendekar Naga Putih. Baru saja kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali terlempar akibat hantaman sepasang telapak tangan Panji yang menyusuli serangannya. 
Bresssh.! 
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Gending Sendapa terlempar deras bagai daun kering tertiup angin. Dan terus meluncur merobohkan sebatang pohon besar. Lalu melorot jatuh, dan tidak mampu bangkit lagi. Bagian dalam dadanya hancur akibat pukulan Panji. 
Mengetahui lawannya telah tewas, Pendekar Naga Putih bergerak mendekati Kenanga yang sedang duduk di dekat Seruni. Rupanya dara jelita itu sudah menyelesaikan pertarungannya. Tidak jauh darinya terlihat dua sosok tubuh menggeletak tewas. 
"Kakang, Seruni korban kejahatan Garbanaka. Gadis ini diculik oleh lelaki itu dengan janji akan dilepaskan bila Seruni mau mengikuti perintahnya meracuni Somanggala," jelas Kenanga ketika Panji duduk di dekat kedua gadis itu. 
"Hm.... Apa Somanggala sudah tahu...?" tanya Panji sambil menatap wajah Seruni lekat-lekat. Seolah pemuda itu ingin mencari kejujuran di mata Seruni. Sesaat kemudian Pendekar Naga Putih kembali mengalihkan pandangannya, setelah melihat gadis itu seorang yang jujur. 
"Biar aku sendiri yang mengatakannya, Kakang Panji...," ucap Seruni dengan suara agak serak, karena terlalu banyak menangis. 
"Seruni juga mengatakan kalau pembunuh kedua orangtua Somanggala adalah Ki Jarangka. Sedangkan Ki Jarangka dan dua orang pengawalnya telah dilenyapkan Ki Gending Sendapa dan Garbanaka. Karena Garbanaka tidak senang karena tidak dibayar dalam pertandingannya melawan Somanggala di atas Panggung Kematian...," jelas Kenanga lagi yang rupanya telah banyak berbicara dengan Seruni. Sehingga, mengetahui persoalan yang selama ini menjadi rahasia mereka bertiga. 
"Syukurlah kalau segalanya telah terungkap...," ujar panji sambil memperhatikan jalannya pertarungan antara Somanggala melawan Garbanaka. 
"Nampaknya mereka memiliki kepandaian yang seimbang, Kakang..," kata Kenanga, ikut memperhatikan jalannya pertarungan. 
"Yahhh.... Kalaupun Somanggala lebih unggul, hanya sedikit. Seandainya Somanggala dapat menang, mungkin akan menderita luka...," sahut Panji mencoba memberi penilaian. Penilaian pemuda itu hampir dapat dipastikan kebenarannya. Karena secepat apa pun gerakan mereka, mata Panji yang telah terlatih baik dapat mengikuti setiap gerak Somanggala dan Garbanaka. 
Sementara di arena pertempuran, Somanggala sedang berusaha sekuat tenaga merobohkan lawan. Pedang di tangannya selalu mengincar bagian-bagian mematikan di tubuh lawan. Tapi walaupun telah terluka pada pangkal lengan kirinya, Garbanaka masih mampu melakukan serangan-serangan balasan yang tidak bisa dianggap remeh Somanggala. Akibatnya, pertempuran pun berlangsung seru dan mendebarkan. 
Somanggala yang hanya menang kecepatan dari lawannya, berusaha menggunakan kelebihan itu. Bahkan tidak jarang pemuda tegap itu merubah gerakannya secara mendadak, dengan tujuan mengacaukan pikiran lawan. Taktik Somanggala ternyata berhasil. Beberapa kali Garbanaka terpengaruh, dan melompat mundur memperbaiki kedudukan. Kemudian kembali menerjang maju dengan sambaran dan tusukan pedang. 
"Hiaaat...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus ketujuh puluh, Somanggala bertindak nekat. Pedangnya diputar sedemikian rupa, membentuk gulungan sinar yang membuat wujud senjata itu lenyap. Kemudian meluncur ke depan dengan serangkaian tusukan maut bertubi-tubi. 
"Haiitt..!" 
Garbanaka yang melihat kenekatan lawannya, berseru nyaring sambil memutar pedang untuk membentengi dirinya. Sehingga setiap kali ujung pedang lawan datang mengancam, selalu terpental balik terbentur pedangnya. Sayang Somanggala kali ini mengerahkan segenap tenaganya, dan terus mencecar tanpa mengenal putus asa. Sehingga beberapa tusukan pedangnya dapat menerobos ben- teng pertahanan Garbanaka. Akibatnya.... 
Cappp! Cappp! 
"Aaakh.!" Garbanaka menjerit kesakitan ketika ujung pedang lawan menyentuh tubuhnya. Darah segar mengucur dari lubang-lubang di perut dan dadanya akibat tusukan pedang lawan. 
"Haiiit.!" 
Saat tubuh lawan terjajar mundur, mendadak Somanggala membentak keras sambil melompat, disertai ayunan pedang membabat leher lawan. Dan.... 
Crakkk...! 
Tanpa ampun lagi, putuslah batang leher Garbanaka terbabat pedang Somanggala! Tubuh tinggi kekar itu ambruk dengan kepala terpisah dari badan! Darah segar berceceran membasahi permukaan tanah lembab. Somanggala jatuh terduduk lemas di dekat mayat Garbanaka. Pemuda itu telah melakukan segalanya untuk memenangkan perkelahian itu. 
"Kakang..." 
Terdengar panggilan merdu yang membuat Somanggala mengangkat kepala. Dada pemuda itu berdebar keras melihat Seruni datang menghampirinya dengan mata basah. Dan Somanggala merasa bermimpi ketika dara cantik itu tanpa malu-malu memeluk tubuh tegap yang basah oleh keringat. 
"Maafkan aku, Kakang Somanggala...," desah Seruni yang langsung menangis di dada pemuda itu. 
Dengan jari-jari gemetar namun hati dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan, Somanggala membelai rambut gadis cantik itu. hatinya benar-benar gembira tak terlukiskan. Somanggala seolah bermimpi kejatuhan bulan ketika mendapati kenyataan dalam dekapannya ada tubuh Seruni, yang kecantikannya membuat jantung Somanggala melompat-lompat. Apalagi tubuh lembut dan hangat itu kini berada dalam dekapannya. Sukar sekali bagi Somanggala untuk mengungkapkan perasaannya saat itu. 
Melihat kedua insan itu saling berpelukan seolah lupa dengan sekelilingnya, Panji dan Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. Menurut keduanya persoalan sudah selesai. Kalaupun Somanggala masih ingin mencari pembunuh kedua orangtuanya. Seruni dapat menjelaskan. Dan ketika melihat Somanggala dan Seruni saling jatuh cinta, pasangan pendekar muda itu tidak khawatir lagi dengan nasib Seruni. Karena Somanggala pasti akan mengantarkan gadis itu ke rumah orang tuanya.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Racun Ular Karang --oo0oo-- Pembunuh Bayaran


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.