Pusaka Bernoda Darah
tanztj
May 05, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Penggembala Mayat --oo0oo-- Pendekar Murtad |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PUSAKA BERNODA DARAH
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PUSAKA BERNODA DARAH
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
«₪֎ [ SATU ] ֎₪»
Suasana pagi yang bening dan sunyi, tiba-tiba saja pecah oleh teriakan-teriakan nyaring mem-bahana. Beberapa ekor burung yang bertengger di atas dahan serentak beterbangan karena terkejut mendengar teriakan itu. Tampak sesosok tubuh tegap berloncatan sambil sesekali melontarkan pukulan dan tendangan. Suara sambaran angin tajam yang mengiringi setiap pukulan dan tendangannya menandakan kalau tenaga dalam sosok tubuh itu sangat tinggi.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut..!
Kembali sosok tubuh itu berteriak nyaring. Dibarengi teriakannya,tubuhnyamelesatkedepan. Jari-jari tangannya tampak bergetar ketika melakukan tusukan pada sebatang pohon.
Crab! Crab!
Hebat sekali. Jari-jari tangan yang kelihatan lunak itu ternyata mampu menembus batang pohon yang besarnya dua kali pelukan orang dewasa. Benar-benar sebuah kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Secepat jari-jari tangannya menusuk ke batang pohon, secepat itu pula sosok tubuh itu menarik pulang lengannya. Tubuhnya melambung ke udara.
Setelah beberapa kali berputaran di udara, kedua kakinya melayang turun ke atas permukaan tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ternyata bukan hanya tenaga dalamnya saja yang hebat! Bahkan ilmu meringankan tubuhnya pun tidak bisa dipandang rendah!
"Bagus, Sanjaya...!" Terdengar suara pujian dari mulut seorang ka-kek tua yang tengah duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar. Kakek itu tersenyum puas sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang.
"Terima kasih, Eyang. Tapi, sepertinya ilmu pu-kulanku belum sehebat yang Eyang contohkan," ujar sosok tubuh yang dipanggil Sanjaya itu merendah. Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda yang kira-kira berusia dua puluh tahun. Wajahnya menyiratkan kejantanan, karena kelihatan kokoh dan keras. Ditambah lagi bentuk tubuhnya yang tinggi tegap. Benar-benar seorang pemuda yang menarik.
"Hm.... Kau terlalu merendahkan dirimu, Sanjaya. Ilmu pukulan yang kau tunjukkan tadi jelas sudah sangat baik. Nah, sekarang tunjukkanlah ilmu pedang yang telah kau pelajari itu!" Perintah si kakek yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu, lembut.
Setelah berkata demikian, Dewa Jubah Putih melemparkan sebatang pedang ke arah Sanjaya yang memang muridnya. Lemparan pedang yang dilakukan kakek itu bukanlah sekadar lemparan biasa. Kalau orang yang menerima lemparan itu tidak memiliki kepandaian yang cukup, pasti akan termakan oleh mata pedang yang meluncur pesat bagaikan anak panah lepas dari busur.
"Hiaaat..!"
Sanjaya berseru keras sambil menjejakkan ka-kinya ke atas tanah. Tubuh pemuda itu melenting ke atas disertai putaran indah. Sambil berputaran, diulurkan tangannya menangkap gagang pedang yang berada beberapa jengkal di bawah tubuhnya.
Singngng! Singngng...!
Begitu gagang pedang tergenggam erat di tangan pemuda itu, segera diputar pedang itu dengan pengerahan tenaga dalam. Seluruh badan pedang sudah tak tampak lagi. Kini yang terlihat hanyalah sinar putih yang membungkus seluruh tubuhnya. Sanjaya terus melompat dan berputar dengan gerakan yang cepat dan kuat.
Kalau dilihat dari gerakannya, tampak jelas kalau ilmu pedang yang dimainkannya terpusat pada kekuatan tenaga. Meskipun demikian, bukan berarti kalau ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu tidak mempunyai unsur keluwesan dan kelincahan. Kedua unsur itu pun tetap terlihat Hanya saja keluwesan dan kelincahannya sekadar pelengkap dan tidak terlalu dipusatkan.
Wet! Wet...!
Pemuda tinggi tegap itu menutup gerakannya dengan ujung pedang melintang didepan mata. Tangan kirinya terjulur ke depan bagaikan orang yang tengah menyembah. Sedangkan kuda-kudanya membentuk kuda-kuda rajawali, yaitu kaki kiri berada didepan dalam keadaan jinjit.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus...! Kau hanya perlu sedikit penyempurnaan lagi, Muridku. Setelah itu, silakan terjun ke dunia ramai untuk meluaskan pengalaman. Karena biarpun memiliki kepandaian tinggi, jika tanpa pengalaman kau akan dapat dirobohkan oleh orang yang berkepandaian berada di bawahmu," jelas Dewa Jubah Putih.
"Ah! Rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk turun gunung, Eyang. Kapankah kira-kira keinginanku itu bisa terlaksana, Eyang! Tapi.... Kalau aku pergi, lalu bagaimana dengan Eyang?" Tanya Sanjaya sambil menatap wajah gurunya yang sudah berusia lanjut itu. Pemuda itu berkata lirih setelah menyadari kalau Dewa Jubah Putih sudah sangat tua. Dan hal itu membuatnya merasa berat untuk meninggalkan gurunya sendirian di pertapaan yang sunyi dan jauh dari keramaian itu.
"Hm.... Kau tidak perlu merisaukan aku, Sanjaya. Aku memang sudah bertekad untuk menghabiskan sisa hidupku di Puncak Gunung Kalaban ini. Kau harus mempunyai jiwa kuat, Sanjaya. Setiap ada perjumpaan, pasti ada perpisahan," orang tua itu menghentikan kata-katanya sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. Sementara itu Sanjaya hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Pemuda itu memang murid yang sangat berbakat.
"Nah, sekarang marilah kita berlatih untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah kau pelajari. Ingat! Jangan kau anggap aku sebagai gurumu. Tapi anggaplah aku sebagai musuhmu, mengerti?"
"Mengerti, Eyang," sahut Sanjaya sambil menganggukkan kepalanya.
"Bersiaplah!" ujar Dewa Jubah Putih dengan suara yang berwibawa. Kemudian sepasang kaki kakek itu bergerak membentuk kuda-kuda silang dalam posisi merendah. Tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka berada di atas kepala. Sedangkan tangan kirinya juga dengan telapak tangan terbuka berada di bawah pusat seperti tengah menekan bumi.
"Heaaat..!" Kakek itu mulai membuka serangan dengan teriakan yang melengking. Tubuhnya berkelebat cepat disertai tamparan-tamparan tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan.
Bet! Bet!
Bergegas Sanjaya menggeser kuda-kudanya sambil memiringkan kepala. Tamparan kakek itu pun lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Kemudian, jari-jari tangannya bergerak cepat melakukan tusukan bertubi-tubi ke arah kedua lutut gurunya.
Tentu saja Dewa Jubah Putih tidak ingin lututnya dijadikan sasaran jari-jari tangan yang sekeras baja itu. Cepat digeser kedua kakinya bergantian menghindari ancaman jari-jari tangan muridnya. Tiba-tiba kakek itu melompat ke atas dan berputar sekaligus mengirimkan sebuah tendangan yang mengancam punggung Sanjaya.
Zebbb!
"Aaah...!"
Sanjaya yang sama sekali tidak menduga gerakan gurunya, serapat terkejut. Cepat-cepat dilempar tubuhnya, bergulingan menyelamatkan diri dari ten-dangan yang amat kuat itu. Dengan sebuah gerakan yang tak terduga, tubuh pemuda itu melenting bangkit dan langsung meluruk deras ke arah gurunya. Sepasang tangannya terjulur kedepan mengancam tenggorokan si kakek.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat kegesitan muridnya. Bergegas diangkat kedua tangannya, memapak tusukan jari-jari tangan muridnya yang digabungkan itu.
Plak! Plak!
"Uhhh...!"
Terdengar ledakan yang cukup keras ketika sepasang tangan mereka saling bertumbukan. Tubuh keduanya terpental balik dengan keras. Keduanya cepat melakukan beberapa kali putaran salto di udara, sebelum mendaratkan kakinya di atas tanah.
"Uhukkk... Uhukkk...!" kakek itu terbatuk-batuk sambil menekap dadanya.
"Eyang.... Kau..., kau terluka?" Tanya Sanjaya khawatir ketika melihat gurunya terbatuk-batuk sambil menekap dada. Cepat pemuda itu bangkit, lalu menghampirinya.
"Aku tidak apa-apa, Muridku. Ternyata latihanmu selama ini tidak sia-sia. Ilmu yang kau miliki sekarang, rasanya sudah cukup untuk bekalmu terjun ke dunia ramai Tapi Ingat! Jangan sekali-kali merasa takabur dengan kepandaian yang kau miliki itu. Karena, di dunia ini sangat banyak orang sakti. Oleh karenanya, kau harus berhati-hati membawa dirimu," ujar Dewa Jubah Putih. Mulutnya masih meringis menahan sakit, akibat waktu latihan tadi dadanya terpukul oleh Sanjaya.
"Baik, Eyang. Segala nasihat Eyang akan selalu kuingat," sahut pemuda itu sambil mengikuti langkah kaki gurunya. Wajah pemuda itu nampak berseri karena sebentar lagi akan segera terjun ke dunia ramai. Na-mun di balik itu, hatinya juga cemas terhadap keadaan gurunya.
"Duduklah, Sanjaya. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Sebenarnya, hal ini akan kukatakan apabila kau telah kembali dari pengembaraanmu. Tapi aku mempunyai firasat yang tidak baik. Sehingga kuputuskan untuk menceritakannya kepadamu hari ini juga," jelas Dewa Jubah Putih. Kakek tua itu menatap wajah muridnya lekat-Iekat Sesaat kemudian, sepasang mata tua itu beralih ke arah langit yang biru dan nampak jernih itu.
"Apakah yang ingin Eyang sampaikan?" Tanya Sanjaya. Hatinya mendadak berdebar mendengar ucapan gurunya yang masih mengandung teka-teki itu.
"Muridku. Sebenarnya aku masih menyimpan sebuah kitab dan sebuah senjata pusaka. Kitab itu berisikan ilmu menggunakan senjata pusaka itu. Kedua buah pusaka itu diberikan guruku secara turun-temurun. Namun sayang, sampai saat ini belum ada seorang pun dari keturunannya yang mampu mempelajari isi kitab itu secara sempurna, termasuk aku. Karena di antara semua keturunan belum ada seorang pun yang memiliki bakat yang baik. Ketika aku mengambilmu sebagai murid, bakat untuk mempelajari ilmu tersebut sudah dapat kulihat. Walaupun kau masih harus meluaskan pengalamanmu, tapi aku tetap akan menyerahkan kedua buah pusaka itu kepadamu. Karena, aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi."
Kakek tua itu kembali menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dia ingin melepaskan ganjalan yang selama ini menyesakkan dadanya.
Sanjaya hanya terdiam menanti kelanjutan cerita gurunya. Pemuda itu sama sekali tidak berusaha mendesak orang tua itu agar cepat-cepat menyerahkan kedua pusaka yang disebutkan tadi. Memang, dia bukan jenis orang yang serakah ataupun berambisi untuk hal-hal seperti itu.
"Perlu juga kau ketahui, Muridku. Aku masih mempunyai beberapa orang adik dan seorang kakak seperguruan. Sengaja aku menyembunyikan diri di tempat ini karena untuk menghindari mereka. Selama ini aku memang masih selamat dari pengejaran. Tapi siapa tahu suatu hari nanti mereka akhirnya akan mengetahui tempat persembunyianku ini"
Kakek itu sebentar menghentikan ceritanya. Matanya terus menerawang jauh, membayangkan saat-saat dikejar-kejar oleh saudara seperguruannya.
"Dan sebelum mereka sempat mengetahuinya, aku ingin menyerahkan kedua pusaka itu kepadamu. Terserah kau, apakah ingin dibawa dalam perantauanmu atau ingin disembunyikan di satu tempat. Karena, firasatku mengatakan kalau tempat ini sudah tidak aman untuk menyembunyikan kedua pusaka itu. Kalau mereka datang setelah kau pergi sambil membawa dua pusaka itu, maka kedua pusaka itu akan selamat. Karena mereka tidak mengetahui kalau aku mempunyai seorang murid. Nah! Bersediakah kau menerima kedua pusaka itu dengan menanggung segala akibatnya?" Tanya sang Guru menutup ceritanya.
"Eyang. Apapun yang diperintahkan akan kujalankan meskipun harus berkorban nyawa karenanya. Dan rasanya semua itu masih belum cukup untuk membalas budi Eyang yang telah bertumpuk-tumpuk," sahut Sanjaya, menekan keharuan dalamhatinya.
"Hm.... Kalau kesediaanmu menerima kedua pusaka itu hanya karena budi, aku tidak suka, Sanjaya," tegas Dewa Jubah Putih sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dari nada suaranya, jelas sekali kalau dia merasa tak senang dengan jawaban muridnya.
"Maafkan aku, Eyang," ucap Sanjaya lirih dan mengandung penyesalan yang dalam.
"Jangan sekali-kali kau libatkan dirimu dengan persoalan hutang budi, Muridku. Karena hal itu kelak akan mendatangkan celaka. Kedua pusaka itu kuserahkan kepadamu dengan tujuan agar kau dapat melanjutkan pengorbanan pendahulu-pendahulu kita dalam menentang segala bentuk kejahatan. Jelasnya, aku tidak ingin ilmu-ilmu perguruan yang telah turun temurun ini akan lenyap karena tak ada yang bisa mempelajarinya. Tapi ingat, aku tidak memaksamu untuk menerimanya begitu saja, Sanjaya. Kalau tidak sudi menerimanya, katakanlah! Jangan ragu-ragu."
"Aku bersedia menerimanya, Eyang. Dan aku pun berjanji untuk mempelajarinya dengan sungguh-sungguh!" jawab Sanjaya mantap. Sedikit pun tidak terlihat keraguan dalam nada suaranya.
"Hm.... Kalau kau bersedia menerimanya, marilah kutunjukkan kedua pusaka warisan perguruan kita itu," ajak Dewa Jubah Putih sambil bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Tanpa berkata sepatah pun, Sanjaya bergegas mengikuti gurunya yang berjalan memasuki hutan yang cukup lebat Saat itu matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya pun telah merata ke seluruh permukaan bumi.
"Lihatlah bukit itu, Muridku. Di balik bukit itu-lah kedua benda pusaka warisan leluhur perguruan kita tersimpan," jelas Dewa Jubah Putih sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah sebuah bukit cadas yang terletak tidak jauh dari mulut hutan.
"Mengapa Eyang tidak menyembunyikannya di dalam pondok saja?" Tanya Sanjaya. Pemuda itu merasa heran melihat tempat persembunyian kedua pusaka itu. Karena, tempat itu cukup sulit untuk didatangi.
"Hm.... Aku tidak mengatakan kalau pusaka itu disimpan di atas puncak bukit, Sanjaya. Aku hanya ingin mengatakan kalau aku menyembunyikannya di balik bukit. Jadi kita tidak perlu mendaki bukit itu untuk mengambilnya," sahut Dewa Jubah Putih seraya tersenyum mendengar perranyaan muridnya. Karena, hal itu berarti orang tentu akan mengira kalau kedua benda pusaka itu disembunyikan di puncak bukit.
Tanpa berkata-kata lagi, orang tua itu melesat cepat menuju ke balik bukit. Ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi. Tidak heran kalau dalam sekejap saja sudah bergerak jauh. Dan Sanjaya tidak mau ketinggalan. Sekuat tenaga, dikejar gurunya itu. Setelah mengitari bukit kecil itu, tidak berapa lama kemudian mereka tiba didepan sebuah mulut gua yang tidak terlalu besar. Paling-paling hanya seukuran tubuh orang dewasa.
"Di situkah Eyang menyimpannya?" Tanya Sanjaya lagi sambil menunjuk mulut gua kecil itu.
Dewa Jubah Putih hanya tersenyum mendengar pertanyaan muridnya. Kemudian kakinya melangkah lambat-lambat ke arah mulut gua itu. Diangkatnya sebuah batu sebesar kepala kerbau yang berada satu tombak dari mulut gua. Setelah menggali beberapa saat dengan menggunakan tangannya, dia mengangkat keluar sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Baru saja kakek itu hendak meletakkan kotak itu di atas tanah, tiba-tiba....
Slap!
Dua bayangan berkelebat cepat menyambarnya. Berbarengan dengan itu, terdengar suara bentakan nyaring.
"Serahkan kotak itu kepadaku, Dewa Jubah Putih!"
Kakek tua itu pun bergegas menarik kotak di tangannya ke belakang. Sehingga terkaman dua sosok tubuh itu hanya menyambar angin kosong. Dewa Jubah Putih terus melempar tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Manis sekali kakinya menjejak tanah, bahkan tanpa menimbulkan suara sedikitpun.
"Sanjaya, lari...!" Teriak kakek itu yang segera melesat meninggalkan tempat itu. Dewa Jubah Putih melarikan diri bukan karena takut, melainkan tempat itu tidak cocok untuk bertarung. Sedangkan kawan-kawan dua sosok bayangan tadi sudah pula bermunculan dari balik semak-semak.
Tanpa membantah lagi, Sanjaya bergegas melompat mengikuti gurunya. Pemuda itu sempat tertegun melihat kejadian yang tak disangka-sangka. Untunglah gurunya sempat memperingatkan. Kalau tidak, mungkin Sanjaya masih tetap berdiri bingung di tempatnya.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Manusia Serakah?!" Bentak salah seorang, sambil melesat mengejar guru dan murid itu.
Sementara itu enam orang lainnya ikut pula berlompatan mengejar. Menilik gerakan yang rata-rata gesit dan lincah, dapat dipastikan kalau orang-orang itu bukanlah tokoh sembarangan. Setelah agak lama berkejaran, mereka tiba ditempat yang agak lapang tempat Sanjaya biasa berlatih ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya yang berjuluk Dewa Jubah Putih.
"Sanjaya, kau cepat pergi! Tinggalkan tempat ini. Dan sembunyikanlah benda pusaka ini!" Perintah Dewa Jubah Putih sambil menyerahkan kotak yang berisi benda-benda pusaka warisan gurunya.
"Eyang! Mengapa tidak kita hadapi saja mereka. Bukankah kita belum tentu kalah?" Bantah Sanjaya yang merasa terheran-heran melihat sikap gurunya yang tampak begitu khawatir.
"Ah! Kau tidak tahu, Sanjaya. Mereka bukanlah orang sembarangan. Dan bukan tidak mungkin kalau di antara mereka terdapat adik ataupun kakak seperguruanku yang telah lama mencari-cari benda pusaka ini! Cepatlah sebelum mereka sampai melihatmu!" desak Dewa Jubah Putih sambil mendorong tubuh muridnya hingga jatuh terguling-guling.
«₪֎ [ DUA ] ֎₪»
Dua sosok tubuh yang baru tiba langsung melesat menerjang Sanjaya yang tengah terguling-guling. Dua pasang tangan tampak terulur saling berebutan menyambar benda di tangan pemuda itu.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat keadaan ini. Cepat bagai kilat tubuhnya melesat memapak gerakan mereka. Sepasang tangannya bergerak berputaran dan menyerang beberapa kali saling susul.
Plak! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Ledakan keras terdengar begitu tiga pasang tangan bertemu, mengadu tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh masing-masing terjajar mundur bagai dilontarkan oleh tenaga kuat yang tak tampak oleh mata.
"Kakang Aji Barga...! Adi Bukaran...! Apa yang kalian lakukan?!" Seru Dewa Jubah Putih ketika mengenali kedua orang itu.
Mereka tak lain adalah kakak dan adik seperguruan laki-laki tua yang berjuluk Dewa Jubah Putih. Kekhawatiran kakek itu memang beralasan. Dan firasatnya ternyata benar.
"Hm.... Adi Shindupala, mengapa kau masih berpura-pura bertanya. Kau pasti sudah bisa menduga maksud kedatangan kami ke sini. Ayo! Serahkan kedua pusaka itu kepadaku! Sudah terlalu lama kau menyimpannya. Apakah kau ingin mengangkangi kedua pusaka perguruan kita itu sendirian?!" Bentak orang yang bemama Aji Barga geram. Sepasang matanya merah, memancarkan ancaman kematian.
"Benar, Kakang Shindupala. Sudah terlalu lama kedua pusaka warisan guru kita itu berada di tanganmu. Dan sekarang kami datang untuk memintanya. Bukankah kedua pusaka itu memang untuk kita bertiga? Nah! Sekarang, serahkanlah ke-pada kami. Kelak kami akan mengembalikannya lagi kepadamu apabila sudah selesai mempelajarinya," timpal orang yang bernama Bukaran. Laki-laki ini adik seperguruan Dewa Jubah Putih.
"He he he...! Aku pun sudah tidak sabar lagi ingin segera melihat kedua pusaka warisan guru kita itu. Harap kau berbaik hati untuk meminjamkannya kepadaku barang satu dua tahun, Kakang Shindupala," terdengar suara lain. Rupanya di situ juga telah hadir sosok orang yang secara langsung mengaku sebagai saudara seperguruan mereka. Orang itu melangkah lebar menghampiri ketiga orang saudara seperguruan yang tengah bersitegang itu.
"Hm.... Adi Palwaka pun rupanya menginginkan juga benda itu," sindir Aji Barga. Aji Barga memang orang tertua di antara keempat orang saudara seperguruan itu. Walaupun usianya sudah lebih delapan puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih terlihat gagah dan kuat.
"Tentu saja, Kakang Aji Barga. Apakah kau pikir hanya kau saja yang ingin mempelajari kitab pusaka peninggalan guru kita?" Sahut Palwaka sambil memperiihatkan senyum sinisnya.
Tidak berapa lama setelah kedatangan Palwaka, berturut- turut muncul delapan orang lainnya. Namun kedelapan orang yang baru datang itu berusia lebih muda dari keempat tokoh sakti itu. Usia mereka sekitar dua sampai tiga puluh tahun.
"Hm.... Siapa lagi mereka itu?" Tanya Ki Shindupala atau yang berjuluk Dewa Jubah Putih dengan suara lirih, namun agak jelas terdengar.
"Mereka adalah muridku, Adi Shindupala. Dan untuk kepentingan merekalah sehingga aku datang ke sini. Ketahuilah, Shindupala. Mereka bertiga ini-lah yang akan melanjutkan kejayaan perguruan kita," sahut Aji Barga memperkenalkan tiga pemuda yang kini sudah berdiri di belakangnya. Sementara lima orang lainnya agak ke belakang lagi. Ternyata lima orang muda itu adalah murid Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang kemudian sudah berdiri di belakang gurunya masing-masing.
"Apakah kau tidak berniat memperkenalkan muridmu itu, Shindupala? Ataukah sengaja disembunyikan agar ia dapat mempelajari ilmu itu sendirian?" Sindir Ki Bukaran dengan nada sinis.
"Ya. Anak ini memang muridku satu-satunya. Dan hanya dialah yang berhak untuk mempelajari kitab pusaka peninggalan guru kita. Ingat, Kakang Aji Barga, Adi Bukaran dan Adi Palwaka. Guru telah menyerahkan kedua pusaka ini hanya untukku. Dan kalian masing-masing telah mendapatkan sebuah pusaka. Nah, mengapa sekarang kalian menjadi serakah?" Ki Shindupala atau Dewa Jubah Putih berhenti sebentar. Matanya merayapi kakak dan adik seperguruannya dengan pandangan penuh kekecewaan.
"Apakah kalian tidak takut dikutuk arwah guru kita? Apa sebenarnya yang telah terjadi pada kalian? Mengapa setelah guru meninggal lalu kalian berubah menjadi orang serakah dan selalu ingin memiliki kepunyaan orang lain? Bukankah pusaka-pusaka yang diberikan kepada kalian juga tidak kalah ampuhnya?" tegas Ki Shindupala. Suaranya terdengar bergetar. Jelas sekali kalau orang tua yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu merasa terpukul melihat sikap saudara-saudara seperguruannya itu.
Ketiga orang itu terdiam ketika mendengar ucapan Ki Shindupala yang terasa menusuk hati. Untuk beberapa saat lamanya suasana jadi hening, tak ubahnya di pekuburan. Tak seorang pun yang mengeluarkan kata-kata. Sehingga yang terdengar hanya suara napas mereka.
Aji Barga orang tertua di antara keempat tokoh itu cepat menekan perasaannya. Diakui kalau hatinya sangat lemah. Namun keinginannya untuk memiliki kedua pusaka itu rupanya telah membuatnya jadi gelap mata. Sehingga, dia berusaha melupakan hubungan saudara seperguruan yang sangat erat itu. Setelah menarik napas berulang-ulang, Ki Aji Barga mengangkat kepalanya.
"Dengar, Adi Shindupala. Kami tidak akan melupakan hubungan di antara kita. Dan aku pun juga tidak melupakan jasa-jasa guru kepadakku. Tapi, sudikah kau meminjamkan pusaka itu kepadaku barang satu dua tahun? Aku berjanji akan mengembalikannya setelah waktu yang ditentukan itu, Adi Shindupala. Apakah sikapku yang demikian masih dikatakan jahat? Aku hanya ingin meminjam dan bukan merampas!" tegas Ki Aji Barga. Suara laki-laki tua itu lebih lembut dari semula. Wajahnya pun terlihat tidak lagi tegang. Bahkan sepasang sinar matanya seperti memancarkan kehangatan dan persaudaraaan.
Tentu saja Ki Shindupala menjadi terkejut mendengar ucapan kakak seperguruannya itu. Sejenak hatinya tersentuh mendengar kata-kata maupun sinar mata saudara seperguruannya itu. Namun demikian Shindupala sadar kalau kakak seperguruannya itu tengah bersiasat dan berupaya membujuknya dengan kata-kata manis. Karena, di antara keempat orang saudara seperguruan itu hanya diri-nyalah yang memiliki perasaan welas asih. Sedangkan yang lainnya rata-rata memiliki sifat serakah dan licik. Dan rupanya, Ki Aji Barga sengaja melontarkan bujukan yang dapat melemahkan hatinya. Sebab, dia telah mengetahui segala sifat yang dimilikinya itu.
"Maaf, Kakang Aji Barga. Bukan maksudku untuk menyerakahi kedua pusaka itu sendiri saja. Tapi, kita semua sama-sama tahu kalau aku telah bersumpah didepan guru untuk menjaga kedua pusaka ini sampai akhir hayat. Dan kalian pun telah pula mengetahui pesan guru sebelum beliau wafat. Ingatkah kau, Adi Palwaka? Apa yang dikatakan guru?" jelas Ki Shindupala. Dewa Jubah Putih mencoba menggugah kesadaran saudara-saudara seperguruannya. Sengaja melontarkan pertanyaan kepada Ki Palwaka, karena hanya adik seperguruannya itulah yang paling dekat dengannya.
"Hhh.... Aku masih mengingatnya, Kakang Shindupala," sahut Ki Palwaka.
Laki-laki kurus adik seperguruan Ki Shindupala itu menundukkan wajahnya yang agak pucat. Dia memang teringat akan wejangan dan nasihat gurunya sebelum meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Ternyata ingatan itu membuatnya lemah dan tak bersemangat. Justru memang hal itulah yang diharapkan Ki Shindupala. Hanya dengan jalan mengingatkan akan guru mereka, diharapkan dapat menyadarkan saudara-saudara seperguruannya yang khilaf itu.
"Katakanlah. Apa yang dipesankan guru waktu itu, Adi Palwaka," pinta Ki Shindupala dengan suara bergetar lembut. Hingga seolah-olah suara itu menelusup ke dalam relung hati dan menggetarkan jiwa.
"Yah.... Kita harus menjaga apa-apa yang telah diwariskan guru, dan tidak boleh menyerahkan pemberian itu kepada orang lain. Meskipun, orang itu adalah saudara seperguruan sendiri. Hanya kepada murid-murid yang berbakatlah warisan itu baru bisa diturunkan," Ki Palwaka menuturkan. Dia memang tidak bisa berbohong pada yang lain. Apalagi untuk mengingkari pesan gurunya. Setelah berkata demikian, kepala laki-laki kurus itu kembali tertunduk. Seolah-olah wajahnya ingin disembunyikan karena merasa malu terhadap apa yang akan dilakukannya tadi.
"Bodoh kau, Palwaka! Kata-kata itu hanya berlaku selagi guru kita masih hidup. Dan setelah beliau pergi, maka segala aturan aku yang menentukannya. Karena aku adalah murid yang paling tua. Ingat itu!"
Ki Aji Barga yang rupanya tidak ingin mendengar kata-kata itu menjadi marah. Bentakan itu ditujukan jelas buat Ki Palwaka dengan penuh kegeraman. Wajahnya tampak memerah menahan amarah yang meledak-ledak dalam dada.
"Benar! Aku setuju dengan Kakang Aji Barga. Sebagai orang tertua di antara kita, maka dialah sekarang yang berhak mengatur kita!" tegas Ki Bukaran mendukung ucapan kakak seperguruannya itu.
"Jangan bodoh, Adi Bukaran! Bukankah pesan terakhir beliau menyuruh kita untuk menempuh jalan masing-masing dan mengamalkan apa-apa yang telah diterima dari beliau!" bantah Ki Shindupala kembali, tetap berpegang ucapan terakhir gurunya. Dan itu memang satu-satunya senjata yang paling ampuh untuk menundukkan hati saudara-saudara seperguruannya itu.
Sanjaya hanya terdiam tidak berusaha untuk mencampuri urusan itu. Karena, pemuda itu memang tidak mengetahui persoalan yang tengah diperdebatkan gurunya dengan saudara-saudara seperguruannya itu. Dia hanya dapat memandang dengan wajah cemas. Sebab disadari kalau keselamatan dirinya serta gurunya tengah terancam! Dan tentu saja hal itu membuatnya gelisah!
"Sudahlah! Kalau kau memang keras kepala mempertahankan dan menyerakahi pusaka itu, terpaksa jalan kekerasan yang akan kuambil!" Kembali Ki Aji Barga yang sudah tidak dapat menahan kesabarannya. Sepertinya pertempuran berdarah antara saudara seperguruan itu tak mungkin dapat dicegah lagi.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa harus melawanmu demi mempertahankan apa yang telah menjadi hak-ku!" Sahut Ki Shindupala, dingin. Dia segera bersiap untuk menghadapi serangan kakak seperguruannya. Dewa Jubah Putih telah bertekad untuk mempertahankan pusaka peninggalan gurunya yang diamanatkan kepadanya itu.
"Kalian rebutlah peti yang berada di tangan pemuda itu!" Perintah Ki Aji Barga kepada tiga orang muridnya. Setelah berkata demikian, kakek itu segera melesat ke arah Ki Shindupala.
"Heaaat..!" Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Ki Aji Barga mulai membuka serangannya.
Wut! Wut!
Sepasang tangan Ki Aji Barga bergerak cepat menimbulkan sambaran angin dahsyat. Sepertinya dia sudah tidak memandang Ki Shindupala sebagai adik seperguruannya lagi, melainkan sebagai musuh yang harus dimusnahkan! Ki Shindupala atau yang lebih dikenal dalam dunia persilatan berjuluk Dewa Jubah Putih bergegas menggeser tubuhnya sambil melontarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka melakukan tamparan dan bacokan susul-menyusul.
Bet! Bet..!
Jari-jari tangan Dewa Jubah Putih menusuk dan membacok menimbulkan suara meneieit tajam membelah udara. Serangannya benar-benar dahsyat dan berbahaya. Bahkan bila dialiri tenaga dalam kuat, sanggup menembus dan memecahkan batu sebesar perut kerbau bunting!
Ki Aji Barga tentu saja telah mengetahui akan kehebatan ilmu yang digunakan adik seperguruannya, karena mereka memang seperguruan. Maka, biarpun Ki Shindupala menerjang cepat dan ganas, lawannya tetap saja dapat mengelak. Ki Aji Barga memang telah mengetahui arah sasaran pukulan adik seperguruannya itu. Hanya saja yang perlu diperhitungkan, kecepatan gerak lawan. Memang semenjak muda, Ki Shindupala memiliki kelebihan itu dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain. Itulah satu-satunya keuntungan yang dimiliki Dewa Jubah Putih.
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang saudara seperguruan berkepandaian tinggi itu, benar-benar mengerikan. Sehingga di tempat pertempuran tak ubahnya seperti dilanda angin topan. Pepohonan yang berada dekat kedua tokoh sake itu berderak-derak ribut dipermainkan angin pukulan masing-masing yang menyambar-nyambar. Bahkan beberapa di antaranya telah rebah akibat terlanggar pukulan nyasar. Sehingga tempat kedua orang tokoh sakti itu bertarung bagai diamuk ribuan gajah yang sedang marah.
Sementara itu, Sanjaya yang tengah menggendong erat peti berisi benda pusaka peninggalan kakek gurunya, berusaha meloloskan diri dari sergapan tiga orang murid Ki Aji Barga. Pemuda itu tentu saja menjadi kalang kabut, karena kepandaian tiga orang pengeroyoknya boleh dibilang setingkat dengannya. Apalagi kini harus menghadapi tiga orang sekaligus!
"He he he...! Lebih baik serahkan peti itu sebelum kami memutuskan untuk membunuhmu. Pemuda Tolol! Aku berjanji akan membebaskan apabila kau mau menyerahkan peti itu kepadaku," bujuk salah seorang dari pengeroyok itu. Sambil berkata demikian, sepasang tangan dan kakinya terus saja melakukan serangan-serangan gencar.
"Huh! Apakah kalian pikir aku takut mati?! Jangan coba- coba membujukku. Karena sampai mati pun peti ini tidak akan sudi kuserahkan kepada kalian!" Bentak Sanjaya tanpa mengenal rasa takut sedikit pula.
"Bangsat, mampuslah!" Teriak salah seorang dari pengeroyok. Belum juga hilang gema suaranya, dia melontarkan sebuah pukulan yang menimbulkan deruan angin keras. Nampaknya orang itu ingin membunuh Sanjaya dengan sekali pukul.
Zebbb!
"Aaah...!"
Sanjaya sebisanya menggeser tubuh untuk menghindari pukulan yang memankan itu. Kemudian tubuhnya dilempar ke belakang, karena pada saat itu datang serangan lainnya. Tubuh pemuda itu melambung dan bersalto beberapa kali di udara. Tapi, baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dua buah pukulan dan tendangan segera menyambutnya. Cepat Sanjaya bergulingan ke kiri sambil tetap memegang erat peti mati di tangannya.
"Heaaat..!" Salah seorang murid Ki Aji Barga melompat tinggi, kemudian meluruk disertai sebuah pukulan yang siap meremukkan tubuh Sanjaya.
Brak!
Sebatang pohon yang berada di belakang pemuda tinggi tegap itu kontan roboh menimbulkan suara gemuruh. Untunglah Sanjaya telah lebih dahulu menggulingkan tubuhnya ke samping. Kalau tidak, tentu tubuhnya yang terkena sasaran pukulan lawan.
Cring!
Sadar kalau tidak mungkin dapat menyelamatkan diri dari ketiga orang itu, Sanjaya mencabut senjatanya di pinggang.
Went! Went...!
Pedang di tangan pemuda itu langsung berkelebat membentuk segunduk sinar yang menyelimuti tubuhnya. Rupanya Sanjaya berniat membentuk benteng pertahanan untuk menghalau serangan ketiga orang pengeroyoknya.
"Yeaaat..!"
Meskipun Sanjaya telah menggunakan pedang, namun ketiga orang pengeroyok itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Salah seorang dari mereka kembali menerjang. Serangannya terlihat menderu-deru.
Bet! Bet..! Wut...!
"Aaah...!" Orang itu berseru kaget dan bergegas melempar tubuhnya ke belakang. Karena pada saat melakukan serangan, tahu-tahu saja dari dalam gundukan sinar putih itu menyembul ujung-ujung pedang yang siap menghunjam tubuh. Tentu saja ia tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran ujung-ujung pedang lawan. Maka tubuhnya segera dilempar kebelakang.
"Setan...! Rupanya ilmu pedang si tolol ini hebat juga!" Puji orang itu sambil mengumpat marah dan penasaran. Dia sama sekali tidak menyangka kalau di dalam gundukan sinar putih itu tersembunyi ancaman maut. Hal itu semakin membuatnya penasaran. Menurut pikirannya, seharusnya kepandaian pemuda tinggi tegap itu masih di bawahnya. Sebab pemuda itu adalah murid Ki Shindupala, yang berarti adik seperguruan Ki Aji Barga, guru mereka. Tapi sayang dugaannya itu keliru. Biarpun guru pemuda itu masih terhitung adik seperguruan Ki Aji Barga, namun kepandaian kedua guru mereka boleh dibilang seimbang. Bahkan bisa jadi Ki Shindupala lebih unggul daripada kakak seperguruannya. Karena, Dewa Jubah Putih lebih tenang, lebih bersih hati dan tenaga batinnya.
"Sudahlah! Jangan hanya mengumpat saja bisamu, Adi! Lebih baik cabut senjatamu agar kita dapat meringkusnya lebih cepat'" usul saudara seperguruannya yang lebih tua beberapa tahun darinya.
"Baiklah, Kakang. Aku pun sudah tidak sabar ingin menghancurkan batok kepala pemuda tolol itu!" Sahutnya sambil mencabut keluar pedang yang tergantung dipunggung.
Cring! Cring! Cring!
Tiga batang pedang berdesingan ketika tercabut keluar dari sarungnya Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga orang itu pun segera melompat sambil mengayunkan pedang.
"Heaaat..!"
Sanjaya semakin mempercepat putaran pedangnya. Dan kini sinar putih itu semakin melebar melindungi dirinya. Rupanya ia benar-benar bertekad untuk mempertahankan peti itu sampai titik darah yang penghabisan.
Wut! Wut..!
Biar bagaimanapun rapatnya pertahanan pedang pemuda tinggi tegap itu, tetap saja tak akan mampu untuk menghalau tiga batang pedang pengeroyoknya. Memang, tenaga dalam yang mereka miliki boleh dikatakan rata-rata seimbang. Dan kini Sanjaya terpaksa harus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari tusukan tiga batang pedang yang terus mencecarnya. Memasuki jurus yang kelima puluh, Sanjaya tak dapat lagi menghindari sebuah sabetan yang mengancam punggung, karena kedudukannya benar-benar tidak menguntungkan.
Wut..! Bret!
"Aaah...!" Tubuh tinggi tegap itu terlempar ke samping ketika ujung pedang salah seorang pengeroyok berhasil melukai punggungnya. Meskipun luka itu tidak begitu dalam, namun cukup menimbulkan rasa perih. Darah segar pun mulai menetes membasahi rerumputan hijau.
"Huh! Sekarang terimalah kematianmu, Pemuda Tolol!" Teriak salah seorang pengeroyok yang bernafsu sekali untuk melenyapkan nyawa Sanjaya.
Singngng!
Tampak mata pedang lawan berkilatan tertimpa cahaya matahari. Sepertinya Sanjaya sudah tidak mungkin lagi bisa menyelamatkan setembar nyawanya dari kematian!
Bret!
"Aaargh...!" Sanjaya menjerit kesakitan ketika ujung pedang itu membabat kulit perutnya. Untung ia masih sempat sedikit berkelit, sehingga luka yang diderita tidak terlalu parah. Begitu lolos dari kematian, pemuda tinggi tegap itu menggulingkan tubuhnya menghindari bacokan lawan yang berikut.
"Sanjaya...!" sentak Ki Shindupala. Laki-laki tua yang tengah bertempur sengit itu terpecah perhatiannya ketika mendengar jeritan muridnya. Mau tak mau Dewa Jubah Putih harus membayar mahal akibat kekhawatiran pada muridnya itu. Sebuah pukulan telapak tangan Ki Aji Barga tak pelak lagi menghantam dadanya.
Desss!
"Ugh...!" Tubuh kurus itu terbanting keras beberapa tombak disertai semburan darah segar dari mulutnya. Namun Dewa Jubah Putih bergegas bangkit meskipun agak timbung. Sambil menekap dadanya, tubuh laki-laki tua itu melesat ke arah muridnya yang sedang bertarung.
"Jahanam kalian!" teriak kakek itu parau. Meskipun telah menderita luka yang cukup parah namun Dewa Jubah Putih masih juga berusaha untuk menyelamatkan muridnya. Tubuhnya terus meluncur dengan kedua tangan terkembang ke kiri-kanan.
Desss! Desss!
"Aaahk..!"
Dua orang pengeroyok yang siap merejam tubuh Sanjaya terlempar akibat hantaman sisi telapak tangan DewaJubah Putih. Kedua orang itu terjungkal ke tanah. Untung saja kakek itu dalam ke-adaan terluka sehingga tenaga pukulannya pun tidak sekuat semula. Namun demikian, cukup membuat dua orang itu meringis kesakitan.
"Keparat kau, Shindupala! Kubunuh kau!" teriak Ki Aji Barga yang murka melihat kedua orang muridnya jatuh terjerembab akibat pukulan Ki Shindupala.
"Sanjaya, bagaimana keadaanmu?" Tanya Dewa Jubah Putih cemas.
"Aku... aku tidak apa-apa, Eyang. Hanya luka sedikit dan tidak terlalu mengkhawatirkan," sahut Sanjaya sambil berusaha bangkit berdiri. Dengan berpegangan pada pedang, pemuda itu bangkit dari duduknya. Sedangkan tangan kirinya tetap mengempit peti yang berisikan kitab dan senjata pusaka pemberian gurunya.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Muridku. Blarlah Eyang yang akan mencegah mereka. Jangan membantah. Karena hanya kaulah satu-satunya yang akan meneruskan kelanjutan perguruan kita," tegas Ki Shindupala yang tidak ingin dibantah perintahnya. Baru saja ucapannya selesai, sesosok bayangan melesat menerjang ke arah mereka.
"Heaaat..!"
Wut! Wut!
«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»
Buk!
"Huakkk...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Shindupala tersuruk kedepan. Darah segar muncrat dari mulut-nya, sehingga luka yang dideritanya semakin ber-tambah parah.
"Uhhh...!" Sambil mengerang menahan sakit, kakek itu susah-payah berusaha bangkit berdiri. Darah masih saja mengalir dari sudut bibirnya.
"Eyang...!" Melihat keadaan gurunya yang tampak terluka parah itu, Sanjaya tak sampai hati meninggalkannya. Bergegas pemuda itu kembali dan membantu gurunya bangkit.
"Eyang.... Aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa...!" Tegas pemuda tinggi tegap itu dengan suara parau. Sanjaya menarik napas berulang-ulang untuk mengusir rasa sesak didadanya.
"Sanjaya. Kalau kau memang ingin berbakti kepada gurumu ini, turutilah perintahku. Pergilah! Tinggalkan tempat ini dan selamatkan pusaka yang kuamanatkan kepadamu itu," ujar Ki Shindupala dengan suara terputus-putus. Wajah kakek itu nampak semakin pucat, karena sudah cukup banyak kehilangan darah.
"Hm.... Shindupala! Apakah kau masih bersikeras hendak mempertahankan benda itu? Ayo, serahkan padaku sebelum kesabaranku habis!" Bentak Ki Aji Barga yang sudah berdiri tegak beberapa tombak di hadapan Dewa Jubah Putih. Rupanya kakek Itulah yang telah melepaskan tendangan keras tadi.
Ki Shindupala memandangi sosok-sosok yang mengelilinginya dan Sanjaya. Ketiga orang saudara seperguruan dan murid-muridnya itu tampak te-ngah menatap penuh ancaman. Bergegas kakek itu mencabut pedang yang tergantung dipinggangnya.
"Tidak! Aku akan mempertahankannya sampai tetes darah yang penghabisan!" Tegas Ki Shindupala sambil melintangkan pedang didepan dada. Sedikit pun tidak terlihat kegentaran dari pancaran matanya.
"Keras kepala!" Umpat Ki Aji Barga yang segera melompat sambil membacok dengan stsi telapak tangan ke arah leher Ki Shindupala. Kali ini bukan hanya Ki Aji Barga saja yang menerjang Dewa Jubah Putih. Tapi Ki Bukaran dan Ki Palwaka beserta murid-muridnya pun ikut pula menyerbu. Rupanya, nasihat yang diberikan Ki Shindupala terhadap Ki Palwaka tidak berarti sama-sekali. Buktinya, dia pun ikut menyerang.
"Lari, Sanjaya..," bisik Ki Shindupala seraya mendorong tubuh muridnya keluar arena pertempuran. Sesaat kemudian, tubuhnya segera melesat disertai putaran pedangnya yang bergulung-gulung menebarkan angin keras. Bagaikan seekor harimau luka, Ki Shindupala mengamuk dengan hebatnya.
Wut! Wut..!
Sambaran pedang yang bagaikan angin topan itu sempat membuat para pengeroyoknya melompat mundur. Ki Shindupala benar-benar kalap, sehingga serangannya begitu menggiriskan. Tanpa mempedulikan dirinya lagi, kakek itu terus saja menerjang bertubi-tubi.
Bret! Bret!
"Aaahk...!" Dua orang murid lawannya langsung terguling mandi darah tersambar pedang di tangan Ki Shindupala. Dua orang itu kontan tewas seketika dengan leher hampir putus!
Bukan main marahnya Ki Bukaran dan Ki Aji Barga melihat murid mereka tewas termakan amukan Dewa Jubah Putih. Hampir meledak dada mereka menahankan kemarahan yang memuncak.
"Keparat, kubunuh kau...!" Pekik Ki Bukaran yang segera meloloskan pedangnya. Dengan kemarahan yang meluap-luap, kakek yang berusia sekitar enam puluh lima tahun itu menerjang dahsyat.
Ki Shindupala yang sudah tidak mempedulikan keselamatan dirinya, bergegas memapak ayunan pedang adik seperguruannya. Seluruh sisa-sisa tenaganya dikerahkan untuk menyambut serangan itu.
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Bunga api memercik disertai dentang senjata beradu yang memekakkan telinga. Tubuh Dewa Ju-bah Putih yang memang sudah sangat lemah terjajar mundur dan jatuh terguling-guling. Saat itu dua orang murid yang ikut mengeroyoknya membabatkan pedang ke tubuh Ki Shindupala yang tengah bergulingan.
Crag! Crag!
"Aaakh...!"
Meskipun keadaannya sudah sangat payah, namun kakek itu temyata masih mampu melepaskan diri dari ancaman dua bilah senjata itu. Seketika tubuhnya melenting ke atas. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di-tolak. Pada saat tubuh Ki Shindupala tengah mengapung di udara, Ki Aji Barga cepat bagai kilat melompat menyusulinyadisertai tebasan ke arah pinggang kakek itu. Berbarengan dengan itu, Ki Bukaran pun melesat sambil menusukkan pedangnya ke arah jantung Dewa Jubah Putih.
Desss! Crap!
"Aaargh...!" Darah segar kembali muncrat disertai jeritan yang menyayat keluar dari mulut Ki Shindupala. Tubuhnya terbanting keras di atas tanah berumput Dan selagi tubuhnyamenggelepar meregang nyawa, telapak kaki Ki Aji Barga mendarat di atas dadanya.
Krek!
"Hukkk..!"
Ki Aji Barga baru mengangkat kakinya dari dada adik seperguruannya ketika yakin kalau tubuh tua itu sudah tidak bergerak lagi.
"Rasakanlah akibat sikap kepala batumu itu, Shindupala!" Desis Ki Aji Barga seraya menendang tubuh adik seperguruannya yang telah tewas dengan dada remuk dan tubuh berlubang itu.
"Biarpun muridmu lari ke neraka, aku akan tetap mengejarnya!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat cepat mengejar Sanjaya yang melarikan diri dengan membawa benda pusaka yang diperebutkan itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tak heran dalam sekejap saja, tubuhnya telah lenyap meninggalkan tempat itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, yang lain pun ikut pula mengejar. Hanya Ki Palwaka yang tidak terlihat di antara mereka. Rupanya dia telah mengambil kesempatan lebih dulu untuk mengejar Sanjaya. Tinggallah kini mayat Ki Shindupala dan dua orang lainnya tergolek kaku. Angin pegunungan bersilir lembut menebarkan bau anyir darah!
Sanjaya berlari terseok-seok menuruni Lereng Gunung Kalaban. Tangan kirinya masih tetap mengempit peti yang berisi pusaka yang mulai bemoda darah. Pedang di tangan kanannya masih tetap tergenggam erat.
Dug!
"Aaah...I" Tubuh pemuda tinggi tegap itu jatuh terguling-guling ketika langkah kakinya yang lelah itu tersandung sebuah batu yang menonjol menghalangi jalan. Darah pun tampak mengalir membasahi pakaiannya. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka akibat batu-batu bertonjolan yang tertindas tubuhnya selagi jatuh bergulingan. Meskipun seluruh tubuhnya terasa amat sakit, namun pemuda itu terus berusaha bertahan. Kedua tangannya menggapai-gapai mencari peti dan pedang yang terlepas dari tangannya tadi. Setelah berhasil mendapatkan kedua benda itu, Sanjaya bergegas bangkit dan kembali berlari menuruni lereng gunung.
"Eyang.... Ahhh...."
Sambil terus berlari tersaruk-saruk, mulutnya tak henti-hentinya memanggil-manggil gurunya. Suaranya demikian lirih dan menyayat. Meskipun berusaha untuk tidak menangis, tak urung dua titik air bening mengalir dari sepasang matanya yang memerah. Dengan menahan keharuan dan kesedihan, San-jaya terus saja berlari tanpa berani berhenti sekejap pun. Rasa marah, dendam, kesedihan, dan penasaran berbaur menjadi satu dalam hatinya. Masih tergambar jelas di pelupuk matanya, betapa orang tua yang telah mengasuh dan mendidiknya semenjak kecil itu bertarung mati-matian demi keselamatan dirinya. Ingatan itu membuat kerongkongannya bagai tersumbat. Seringai kesedihan tergambar di wajahnya mewakili perasaan hatinya yang tersayat-sayat.
Setelah melewati aliran sungai yang memisah-kan Gunung Kalaban dengan dunia luar. Sanjaya terus berlari memasuki mulut hutan yang terletak di sebelah Barat Kald Gunung Kalaban. Pemuda tinggi tegap yang telah lelah lahir dan batin itu terus saja menerobos semak-semak. Sudah tidak dipedulikan lagi, apakah di hutan itu terdapat binatang buas atau tidak. Saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah berlari dan berlari sejauh- jauh-nya untuk menghindari kejaran orang-orang tamak itu.
Bruk!
Kembali tubuh pemuda itu jauh tersuruk untuk yang kedua kalinya. Kali ini yang menjadi penyebab adalah akar pohon besar yang menyembul di atas permukaan tanah.
"Hhh.... Hhh...."
Sanjaya tidak berusaha bangkit. Dibiarkan saja tubuhnya yang lelah itu rebah di atas rerumputan tebal yang menghijau. Dengan napasnya demikian keras tak ubahnya seekor kuda yang habis dipacu kencang. Ketika bayangan gurunya melintas di pelupuk matanya, pemuda tinggi tegap itu berusaha untuk bangkit. Setelah meletakkan peti dan pedangnya dibawah sebatang pohon, Sanjaya bergegas bersemadi untuk memulihkan kekuatannya.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Pemuda Tolol!" Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Sanjaya terlompat dari semadinya.
Sanjaya menatap tajam wajah kakek berusia enam puluh tahun yang tahu-tahu telah berdiri be-berapa langkah di depannya. Pemuda itu terkejut begitu mengenali kalau orang itu tak lain adalah Ki Palwaka, adik seperguruan gurunya yang juga ikut memperebutkan benda pusaka yang kini dibawanya itu. Sepasang mata pemuda itu merayapi sekeliling-nya,seolah-olah ingin mencari yang lainnya. Hatinya agak sedikit lega ketika tidak melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha.... Jangan khawatir, Anak Muda. Aku sengaja mendahului mereka yang masih sibuk mengeroyokgurumu yang keras kepala itu. Ayo, serahkan benda itu!" Bentak Ki Palwaka sambil mengulur tangannya ke arah benda berbentuk peti yang telah kembali dikempit pemuda itu. Tentu saja Sanjaya tidak membiarkan benda itu terampas. Maka cepat-cepat tangannya yang meng-genggam pedang itu digerakkan.
"Heaaah...!" Wut! Wut! "Eh!"
Ki Palwaka cepat menarik pulang tangannya, karena tidak ingin tangannya putus oleh tebasan pedang pemuda itu. Wajah kakek itu berubah merah karena kemarahan yang amat sangat. Begitu pedangnya tidak mengenai sasaran, Sanjaya bergegas melompat mundur. Meskipun tenaganya belum benar-benar pulih, pemuda itu bertekad mempertahankan benda warisan gurunya mati-matian. Pedangnya ditudingkan ke arah kakek itu lurus-lurus. Sementara kedua kakinya terus melangkah mundur perlahan-lahan.
"Hiaaat..!" Diiringi teriakan nyaring, tubuh Ki Palwaka melayangke arah Sanjaya. Kedua tangannya bergerak cepat melancarkan tamparan-tamparan yang menimbulkan suara menderu keras.
Wuk! Wuk...!
Susah payah Sanjaya mengelakkan serangan laki-laki tua yang bertubi-tubi itu. Tubuh pemuda itu berloncatan sambil sesekali membalas lewat tusukan dan tebasan pedangnya. Namun apalah artinya perlawanan pemuda tinggi tegap yang masih lemah itu. Dalam lima jurus saja, dia sudah dibuat tak berdaya, sehingga tak mampu lagi untuk melindungi tubuhnya dari pukulan-pukulan lawan.
Bugk! Desss!
"Ughk...!" Tubuh pemuda tinggi tegap itu terlempar keras ketika dua buah pukulan Ki Palwaka singgah di lambung dan perutnya. Seketika peti yang berada dalam kempitannya terlempar. Dan secepat kilat, Ki Palwaka melesat menyambarnya. Dengan gerakan lambat, Sanjaya berusaha bangkit berdiri. Di sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir. Rupanya pukulan lawan telah melukai bagian dalam tubuhnya.
"Ha ha ha...! Akhirnya benda pusaka ini menjadi milikku juga!" Ki Palwaka tertawa sambil mengangkat peti yang telah berada di tangannya tinggi-tinggi. Suara tawa itu mendadak terhenti, karena peti yang tengah diangkat di atas kepalanya tahu-tahu saja telah direbut sesosok bayangan putih yang berkelebat bagaikan bayangan hantu.
"Keparat! Siapa kau?! Cepat kembalikan peti milikku itu!" bentak Ki Palwaka dengan suara menggelegar penuh kemarahan. Dengan sepasang matanya yang mengancam, dirayapinya sekujur tubuh pemuda berjubah putih yang telah berdiri dalam jarak dua tombak di depannya.
Pemuda berjubah putih itu hanya memperlihatkan senyumnya sebagai jawaban. Dan tanpa mempedulikan kakek itu, ia pun melangkahkan kakinya mendekati Sanjaya.
"Apakah benda ini milikmu?" Tanya pemuda tampan berjubah putih itu kepada Sanjaya. Meskipun mulutnya bertanya demikian, namun tangannya terulur menyerahkan peti kepada pemuda tinggi tegap itu.
Sanjaya memandang ragu ke arah pemuda tampan berjubah putih itu. Kemudian pandang matanya berpindah pada seraut wajah jelita yang tadi menolongnya bangkit. Wajah murid Dewa Jubah Putih itu tampak memancarkan keheranan yang amat sangat. Sepertinya masih belum bisa dipercaya kalau pemuda tampan berjubah putih itu benar-benar menyerahkan petinya kembali.
Wajar kalau Sanjaya masih belum mempercayai apa yang dialaminya sekarang ini. Sebab selama ini dia memang belum pernah bertemu orang lain selain gurunya. Begitu gurunya mengizinkan untuk turun gunung, tiba-tiba datang orang-orang yang menurut Ki Shindupala adalah saudara seperguruannya. Tapi sikap mereka ternyata sangat telengas dan ingin merebut benda yang menjadi hak gurunya. Lalu, mengapa sekarang pemuda berjubah putih itu malah hendak mengembalikan benda itu kepadanya? Mungkinkah pemuda itu adalah orang yang disebut-sebut gurunya sebagai pendekar?
"Kisanak, apakah benda ini milikmu? Atau benda ini memang milik kakek itu?" Kembali si pemuda berjubah putih melontarkan pertanyaan kepadaSanjaya.
Sanjaya tersentak dari lamunannya ketika mendengar pemuda berjubah putih itu mengulang pertanyaannya.
"Ya... Ya, benda itu memang kepunyaanku," Jawab Sanjaya cepat-cepat, bernada gugup. Sambil berkata demikian, tangannya terulur menerima peti itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau berjuluk Pendekar Naga Putih itu bergegas menyerahkan peti ke tangan pemliknya. Sebenarnya Panji memang mengetahui kalau peti itu milik pemuda yang kini terluka. Pendekar Naga Putih dan Kenanga memang telah sempat mendengar dan melihat perdebatan yang terjadi antara pemuda itu dengan si kakek. Itulah sebabnya, mengapa dapat dipastikan kalau peti itu adalah kepunyaan pemuda tinggi tegap yang tubuhnya penuh luka itu.
Ki Palwaka yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda berjubah putih itu, menjadi marah sekali. Gigi-giginya terdengar bergemeretak pertanda amarahnya benar-benar memuncak Wajahnya yang kian mengelam itu tampak menakutkan.b"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Anak Setan! Yeaaat..!" Ki Palwaka yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya itu berteriak keras sambil melompat menerjang Panji.
"Kakang, awas...!" Kenanga yang saat itu berpakaian serba hijau berteriak memperingatkan Panji.
Sebenarnya Kenanga tidak perlu berteriak seperti itu. Karena, saat itu juga tubuh Panji telah berbalik menghadap ke arah si kakek yang tengah meluncur untuk melancarkan serangan berbahaya. Melihat hal itu Panji segera menggeser tubuhnya ke samping dan membiarkan serangan iawan lewat setengah jengkal di sisi tubuhnya. Saat itu juga, kaki kirinya mencelat melakukan tendangan kilat menuju dagu Ki Palwaka.
Zebbb!
"Hmh...!" Ki Palwaka mendengus kasar melihat tendangan lawan. Tubuh orang tua itu meliuk menggunakan tenaga pinggang. Begitu tendangan itu lewat, tangan kanannya terulur ke depan ke arah leher Panji.
«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»
Sambaran angin kuat mengiringi cengkeraman tangan Ki Palwaka. Sepertinya kakek itu berniat menghancurkan tulang leher lawan dengan sekali remas.
Sadar kalau kekuatan lawan begitu tinggi, Panji bergegas mengangkat tangan kanannya memapak cengkeraman itu. Dikerahkannya sebagian besar tenaga dalam karena tidak ingin menganggap remeh lawan.
Plak!
"Hei...!"
Benturan dua gelombang tenaga dalam tinggi itu menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Ki Palwaka berteriak kaget ketika tangkisan pemuda itu membuat tubuhnya terjajar beberapa langkah kebelakang. Lengan yang tertangkis itu terasa sangat nyeri. Hal ini benar-benar tak masuk akal. Ki Palwaka menggelengkan kepalanya setengah tidak percaya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Palwaka. Keterkejutan kakek itu semakin bertambah ketika melihat selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti tubuh pemuda yang menjadi lawannya itu.
"Pendekar Naga Putih...?!" Seru Sanjaya yang tak kalah kaget.
Sementara itu, Ki Aji Barga dan Ki Bukaran baru saja tiba bersama dengan enam orang lainnya. Mereka langsung terkesiap melihat kehadiran Pendekar Naga Putih sehingga tanpa sadar menyebut julukan Panji.
Sanjaya meskipun belum pernah turun gunung, namun pernah mendengar tentang sepak terjang seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Cerita itu didapat dari gurunya, Ki Shindupala. Begitu mengetahui kalau pemuda tampan yang menolongnya itu adalah pendekar yang sering dipuji-puji gurunya, maka Sanjaya semakin mempercayai maksud baik Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor itu?" Gumam Ki Aji Barga dengan nada meremehkan.
Panji yang mendengar gumaman itu sama-sekali tidak merasa marah. Senyumnya tetap terkembang menghiasi wajahnya yang tampan. Kemudian, pemuda itu melangkah mendekati Sanjaya dan Kenanga.
"Kisanak, pergilah. Selamatkan dirimu, dan biar aku yang akan menahan mereka di sini," bisik Panji ke telinga Sanjaya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih. Tapi, maaf. Aku terpaksa tidak dapat memenuhi permintaanmu itu, karena tidak ingin ada orang yang menjadi korban lagi karena membelaku. Jadi, biarlah aku tetap di sini untuk ikut menghadapi mereka," tegas Sanjaya, mantap.
Sepasang mata pemuda itu tampak memancarkan sinar berkilat ketika bayangan gurunya kembali melintas di pelupuk matanya. Sebab, dengan hadirnya orang yang mengeroyok Ki Shindupala, sudah dapat dipastikan kalau gurunya telah tewas di tangan mereka. Pikiran itu membuat semangat dan kemarahan pemuda itu kian berkobar-kobar.
"Bukaran! Hadapilah murid si keparat Shindupala. Rebut peti yang berada di tangannya. Bunuh dia sekalian!" Bisik Ki Aji Barga kepada Ki Bukaran disebelahnya.
Ki Bukaran mengangguk cepat. Tubuhnya yang agak gemuk itu langsung melompat dan menerjang dengan serangan bertubi-tubi.
Bet! Bet..!
Empat buah pukulan yang dilancarkannya berturut-turut berhasil dielakkan Sanjaya. Pemuda itu berlompatan sambil menyabetkan pedang ke pinggang Ki Bukaran. Kenanga yang berniat membantu Sanjaya segera dicegah Ki Palwaka. Sedangkan Panji kini sudah bertarung melawan Ki Aji Barga.
Enam orang murid ketiga kakek sakti itu pun ikut pula terjun dalam kancah pertempuran. Mereka segera berloncatan mengeroyok Sanjaya. Tentu saja pemuda tinggi tegap itu menjadi keiabakan dibuatnya. Sanjaya terus bertahan sambil mundur tanpa menyadari kalau di belakangnya menganga sebuah jurang yang dalam. Serangan para pengeroyok yang susul-menyusul itu membuatnya kian terdesak dan terus bergerak mundur.
"Hiyaaat...!"
Ki Bukaran yang melihat keadaan itu tentu saja menjadi gembira. Sambil berteriak keras, tubuhnya berkelebat dari samping Sanjaya. Tangan kanannya terayun ke leher, sedangkan kaki kanannya menendang ke arah peti yang dihimpit di tangan kiri pemuda itu.
Melihat adanya serangan dari samping kiri, tanpa sadar pemuda tinggi tegap itu melompat ke belakang untuk menyelamatkan dirinya. Tapi sayang! Sanjaya tidak mengetahui kalau di belakangnya terdapat sebuah jurang yang siap menelan tubuhnya.
"Aaa...!" Pemuda tinggi tegap itu menjerit ngeri ketika tubuhnya melayang ke dalam jurang yang kedalamannya tidak diketahui pasti. Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun sudah tak kelihatan lagi, namun gema suaranya masih terdengar. Dan kini, sayup-sayup mulai hilang.
Ki Bukaran menjengukkan kepalanya ke dalam mulut jurang. Wajah kakek itu tampak membayangkan perasaan kecewa yang amat dalam, karena tidak berhasil menyelamatkan peti yang berisi benda pusaka yang diperebutkan itu. Memang peti itu ikut tertelan di jurang bersama tubuh Sanjaya.
Ki Aji Barga yang tengah bertarung melawan Panji, sempat melihat kejadian itu. Dia pun begitu terkejut. Maka cepat tubuhnya berkelebat menuju tempat itu. Demikian pula Ki Palwaka. Tubuhnya yang kurus itu cepat melesat ke arah Ki Bukaran berada.
"Adi Bukaran, mana peti itu?" Tanya Ki Aji Barga meskipun sudah dapat menduga apa yang telah terjadi ketika melihat di tangan Ki Bukaran tidak ada peti itu.
"Peti itu..., ikut tercebur ke dalam jurang, Kakang," sahut Ki Bukaran lesu.
"Hhh.... Bodoh!" Maki Ki Aji Barga gusar.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Aji Barga segera mengajak kedua orang muridnya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka kini berkelebat menyelinap di antara pepohonan hutan yang tumbuhrapat. Ki Bukaran dan Ki Palwaka pun segera meng-ajak murid- muridnya untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Seru Panji menahan langkah mereka yang herdak meninggalkan tempat itu. Tubuh pemuda itu melompat dan berputar di udara, kemudian kedua kakinya mendarat ringan di hadapan keenam orang itu.
"Hm.... Minggirlah, Anak Muda. Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" Bentak Ki Bukaran gusar melihat pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu menghadang jalannya.
"Huh! Tidak ada urusan katamu?! Apakah setelah kau membunuh pemuda tak berdosa itu dapat bebas begitu saja?!" Kata Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
"Keparat! Sudah kubilang aku tidak mempunyai urusan denganmu! Hihhh...!" Dengan gusar, Ki Bukaran menggerakkan tangan kanannya ke arah Panji.
Serrr! Serrr!
Seketika pukthan batang jarum halus melesat cepat bagai kilat Begitu jarum-jarumnya terlontar, keenam orang itu pun melompat ke arah gerumbulan semak yang banyak terdapat di tempat itu.
Panji bergegas mengebutkan tangannya untuk meruntuhkan jarum-jarum halus yang mengancam tubuhnya itu.
"Bangsat licik!" Teriak Panji marah, setelah berhasil merontokkan senjata rahasia itu. Cepat bagai kilat tubuh pemuda itu mengejar keenam orang itu. Kenanga pun bergegas menyertainya. Namun mereka menjadi kecewa ketika tak menemukan mereka. Memang, pepohonan yang tum-buh di hutan itu begitu rapat, sehingga Pendekar Naga Putih sulit untuk menemukan mereka. Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, Panji dan Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu.
Tubuh Sanjaya meluncur deras menuju dasar jurang. Pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar tubuhnya terlindungi dari benturan-benturan. Namun tak urung beberapa kali mulutnya mengaduh ketika batang pohon yang menjulur dari dinding jurang terlanggar tubuhnya. Pemuda itu menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Meskipun dalam keadaan seperti itu, namun Sanjaya tetap menggenggam erat batang pedang dan mengempit peti pemberian gurunya. Tekad pemuda itu sudah bulat. Hancur bersama pusaka pening-galan perguruannya, atau selamat juga bersama-sama pusaka itu.
Byurrr!
Air seketika berdebur tinggi saat tubuh Sanjaya menimpa permukaannya. Untunglah pemuda itu masih bertahan untuk tidak pingsan, selama tubuhnya meluncur tadi. Kalau tidak, mungkin sudah tewas tenggelam di dasar sungai yang membelah tebing tinggi itu. Meskipun sekujur tubuhnya terasa pedih, pemuda yang tekadnya telah bulat itu berusaha be-renang ke tepi. Air sungai yang bening dan sejuk itu sempat membuat pemuda itu merasa segar karenanya.
Dengan dengusan napas memburu, Sanjaya merangkak naik. Tepian sungai yang tidak terlalu tinggi itu membuatnya tak mengalami kesulitan untukmenjangkaunya. Sanjaya membiarkan tubuhnya yang lelah itu rebah telentang di atas tanah berumput kering. Pe-dang dan peti pemberian gurunya tetap berada di sampingnya. Rasa lelah yang amat sangat mem-buatnya langsung tertidur pulas tanpa sadar.
"Uhhh...!" Entah berapa lama sudah pemuda itu terlelap. Yang jelas begitu terbangun, hari sudah menjadi gelap. Bergegas ia bangkit dan melangkah tertatih-tatih mencari tempat yang lebih aman untuk bermalam.
"Hm.... Biarlah untuk malam ini aku beristirahat di bawah dinding yang menonjol ini. Besok, baru aku akan mencari jalan keluar dari tempat ini," gumam Sanjaya sambil menyandarkan tubuhnya pada lekukan dinding batu yang menonjol menaunginya.
Sejenak pemuda itu melepaskan pandangan ke atas, seolah-olah ingin memastikan berapa tingginya dinding jurang. Murid tunggal Ki Shindupala itu menarik napas dalam-dalam. Wajahnya yang gagah tampak murung saat melihat berapa tingginya dinding jurang itu. Sepertinya Sanjaya tak mungkin dapat keluar dari lembah itu. Tubuh Sanjaya menggelinjang ketika angin dingin berhembus menyusup ke tulang sumsumnya. Bergegas dikumpulkannya ranting kering yang banyak berserakan di sekitamya. Tak berapa lama kemudian, api unggun pun mulai berkobar menghangatkantubuhnya.
Pemuda tinggi tegap itu termenung memikirkan kejadian-kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Sepertinya masih belum bisa dipercayai kalau kejadian itu telah menimpa dirinya. Karena, segalanya terjadi demikian singkat hingga tak ubahnya sebuah mimpi buruk yang mengerikan.
"Eyang.... Aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu terhadap saudara-saudara seperguruanmu yang berhati busuk itu! Hatiku tidak akan pernah bisa tenteram selagi orang-orang biadab itu masih berada di muka bumi ini. Tenangkanlah hatimu, Eyang. Berilah aku kekuatan untuk maksudku itu," desis Sanjaya.
Kembali dada pemuda itu terasa sesak ketika teringat akan gurunya. Buku-buku jarinya berkerotokan ketika telapaknya mengepal kuat-kuat. Sepasang matanya tampak mencorong menyiratkan dendam yang amat sangat. Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu tersentak bagai disengat kalajengking, dan kedua tangannya tampak gemetar ketika memegang pemberian gurunya yang berjuluk Dewa Jubah Putih.
Diangkatnya peti itu di atas kepala untuk menghormati si pemilik ataupun si pembuat kedua benda yang berada di dalamnya. Setelah agak lama pemuda itu bersujud sambil mengangkat peti di atas kepalanya, lalu perlahan-lahan bangkit dan duduk bersila. Jari-jari tangan Sanjaya tampak gemetar ketika membuka tutup peti yang panjangnya tak lebih dari dua jengkal itu. Serangkum hawa harum seketika menyebar menyergap hidung pemuda itu pada saat penutup peti terbuka.
"Hm.... Benda apa ini...?" gumam Sanjaya. Pemuda itu terheran-heran ketika di dalam peti itu terdapat tiga butir benda bulat sebesar anggur, berwarna merah dan telah kering. Sanjaya semula berniat mengambil benda bulat itu. Namun seketika niatnya diurungkan ketika melihat goresan-goresan huruf yang tertera di bagian dalam penutup peti. Tulisan itu berbunyi,
Siapapun yang ingin mempelajari isi kitab. Dan memiliki senjata pusaka ini. Maka dia harus menelan buah pertama. Yang berjodoh akan selamat...!
Sanjaya tertegun setelah membaca kalimat yang tertera itu. Hatinya berdebar ketika membaca baris terakhir. Sepertinya, di situ terkandung sebuah ancaman yang berbau maut.
"Yang berjodoh akan selamat...." Sanjaya mengulang baris terakhir dari goresan itu. Kening pemuda itu berkerut, mencari arti dari tulisan baris terakhir itu. Dirapatkannya penutup peti. Lalu dilangkahkan kakinya perlahan-lahan sambil memikirkan makna dari baris terakhir tulisan tadi.
"Ah! Kalau saja eyang berada di sini, tentu aku tidak perlu susah-susah menanyakannya. Sebab, aku yakin kalau eyang pasti mengetahui makna tersembunyi di balik tulisan itu," gumam Sanjaya lirih.
Kedua kaki pemuda itu terus saja melangkah bolak-balik di sekttar tempat itu. Rupanya sebelum mendapatkan arti kata-kata pada baris terakhir, Sanjaya tidak mau bertindak gegabah. Karena sampai lama belum juga dapat ditemukan jawabannya, akhirnya Sanjaya merebahkan tubuhnya. Sisa-sisa kelelahan yang masih terasa, membuatnya cepat terlelap.
Kehangatan sinar mentari dan kicauan burung pagi membangunkan Sanjaya dari tidurnya. Pemuda itu bangkit sambil menggosok-gosok kedua matanya yang silau oleh semburat sinar matahari.
"Uhhh...!" Sanjaya mengeluh ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri dan linu. Dengan tertatih-tatih kakinya melangkah menuju ke sungai yang hanya terpisah beberapa tombak di depannya. Setelah melepas seluruh pakaiannya, pemuda tinggi tegap itu bergegas terjun ke dalam sungai yang berair jernih.
Byurrr!
Permukaan air sungai menyibak ketika tubuh pemuda itu jatuh menimpanya. Sambil menggigit bibir menahankan rasa perih akibat luka-luka luarnya, Sanjaya membersihkan seluruh tubuh agar luka-lukanya itu tidak membengkak. Tak lama kemudian, pemuda itu kembali naik ke darat. Wajahnya sudah mulai nampak kemerahan. Kini perut Sanjaya terasa lapar. Untung tadi dia telah menangkap beberapa ekor ikan yang banyak di sungai ini. Dan kini, dia telah duduk dekat api unggun sambil menikmati ikan bakar.
Sanjaya kini merasa tubuhnya lebih segar. Selesai menjemur pakaiannya yang telah dicuci bersih-bersih, dia duduk bersila di atas sebuah batu besar yang permukaannya lebar dan pipih sehingga tidak menyakitkan. Sesaat kemudian, Sanjaya telah teng-gelam dalam semadinya. Sanjaya bangkit dari semadinya ketika tenaga dalamnya terasa mulai pulih. Bergegas pemuda itu mengenakan pakaiannya yang telah kering.
"Haiiit...!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda itu melambung ke udara. Setelah melakukan beberapa kali putaran di udara, kedua kakinya mendarat empuk di atas permukaan tanah berumput.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut...!
Sanjaya mulai menggerak-gerakkan tangan melatih ilmu silatnya. Meskipun tenaganya belum seluruhnya pulih, namun angin pukulan yang menyambar dari kedua tangannya sudah dahsyat Sanjaya terus memainkan jurus-jurus silatnya. Setelah merasa agak lelah, gerakannya pun dihentikan Di-hirupnya udara banyak-banyak, kemudian dihembuskannya kuat-kuat.
"Hm.... Rasanya kesehatanku sudah hampir pulih. Sekarang tinggal memikirkan, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tinggal di tempat ini, atau mencari jalan untuk keluar," gumam pemuda tinggi tegap itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
Sepasang mata Sanjaya berputar merayapi daerah di sekitar tempat itu. Dilangkahkan kakinya perlahan ke tempat ia semalam beristirahat. Wajahnya yang semula cerah, kembali murung begitu matanya tertumbuk pada peti pemberian gurunya. Sepasang alisnya bertaut memikirkan apa yang harus dilakukannya terhadap benda di dalam peti itu. Sejenak hatinya meragu ketika teringat kata-kata pada baris terakhir yang masih menjadi teka-teki.
Sanjaya membalikkan tubuhnya menghadap ke sungai. Dipandanginya permukaan air sungai yang tampak tenang mengalir dan penuh kedamaian. Pemuda itu tersentak ketika di atas permukaan air sungai, tampak bayangan gurunya yang tengah dikeroyok Seluruh tubuh Ki Shindupala tampak dipenuhi luka. Pakaian yang dikenakan orang tua itu pun telah penuh ternoda darah.
"Eyang..., maafkan aku...," bisik pemuda tinggi tegap itu dengan suara bergetar.
Sanjaya menggelengkan kepala mengusir pergi bayangan yang mengganggunya itu. Kembali dihirupnya udara banyak-banyak untuk melonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak. Sekujur tubuh pemuda itu gemetar teringat akan nasib gurunya.
"Eyang pasti sudah tewas di tangan orang-orang biadab dan serakah itu! Aku harus membalasnya! Harus!" Desis pemuda itu dengan wajah geram. Sepasang matanya memancarkan api dendam yang berkobar-kobar. Begitu teringat akan kematian gurunya, tanpa berpikir panjang lagi diraihnya peti yang berisi benda pusaka itu.
"Aku tidak peduli, apa yang akan kualami nanti!" Desis Sanjaya sambil membuka penutup peti. Sepasang mata pemuda itu kembali terbentur pada tulisan yang terdapat di dalam penutup peti. Tanpa ragu-ragu lagi, diambilnya buah pertama yang disebutkan dalam tulisan tadi. Sepasang mata Sanjaya membelalak seperti hendak melompat keluar. Seluruh permukaan kulit tubuhnya tampak memerah bagai kepiting rebus. Bukan main ngeri hatinya ketika merasakan ada hawa panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya.
Hawa panas itu seperti melonjak-lonjak, dan akan menjebol seluruh jalan darahnya. Uap tipis berwarna putih pun tampak mengepul dari ubun-ubun kepala. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak cairan merah mengalir. Tapi meskipun demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa sakit. Tidak berapa lama kemudian, keadaan pemuda itu mulai kembali seperti sediakala. Permukaan kulit tubuhnya tidak lagi merah. Hawa panas yang melonjak-lonjak pun hilang entah ke mana.
"Aneh! Mengapa tubuhku terasa lebih segar dari biasa? Apakah ini pengaruh buah kering berwarna merah yang kutelan tadi? Lalu, apa pula kegunaannya? Mungkinkah buah itu dapat menambah tenaga?" Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak Sanjaya. Tapi, tak satu pun yang dapat dijawab.
"Ahhh, biarlah. Yang penting tidak apa-apa pada tubuhku!" gumam pemuda itu sambil menggelengkan kepala mengusir bayangan-bayangan buruk yang jelas mengganggu. Kini rasa keraguan semakin tipis. Perlahan diulurkan tangannya untuk menyentuh kitab yang terdapat di dalam peti itu. Dengan jari-jari gemetar, diangkatnya kitab itu dari tempatnya.
"Kitab ilmu silat 'Penakluk Sukma'...," mulut pemuda itu bergerak-gerak membaca baris kalimat yang tertera pada sampul kitab. Kemudian, dibukanya lembar pertama. Sanjaya mengangguk-anggukkan kepala begitu membaca baris-baris kalimat yang berbunyi, Kitab ini hanya dapat dipelajari orang berjiwa bersih, dan menurut apa yang tertulis di balik penutup peti ini:
Bagi mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi saja, tidak akan bisa mempelajari isi kitab. Sebab sampul kitab ini dilumuri racun yang hanya bisa ditangkal dengan buah berwarna merah.
"Ahhh..., syukurlah. Aku telah menuruti pesan yang tertera di balik penutup peti ini. Kalau tidak, pasti aku sudah tewas oleh racun ganas yang melapisi sampul kitab ini," desah Sanjaya dengan wajah agak memucat Diam-diam hatinya merasa bersyukur karena tidak langsung menyentuh kitab itu tadi.
Hati pemuda itu berdebar penuh kegembiraan ketika mengetahui kalau kitab itu berisikan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi. Setelah puas melihat-lihat seluruh isi kitab, Sanjaya kembali menutupnya. Diletakkannya kitab itu di tempat semula, kemudian diambilnya senjata yang terdapat di sebelah kitab. Sanjaya memandangi senjata yang terbuat dari perak dalam genggamannya.
Senjata itu berupa sebuah lempengan-lempengan perak yang bersambung satu sama lain. Pada tiap-tiap lubang sambungan, diikat oleh kawat baja yang menghubungkan lempengan satu sama lain. Sedangkan pada bagian gagangnya tak bedanya dengan gagang pedang. Sebuah senjata yang aneh dan jarang terdapat dalam dunia persilatan.
"Hm.... Entah apa nama senjata yang berbentuk aneh ini? Rasanya baru kali ini aku melihat senjata macam ini?" gumam Sanjaya samba tak puas-puasnya menatapi senjata yang berkilauan tertimpa cahaya matahari itu.
«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»
Dan semenjak tenaganya pulih, Sanjaya mulai melatih ilmu-ilmu yang tertera pada kitab itu, tanpa mengenal lelah dan tidak mempedulikan waktu. Setiap waktu luang selalu dipergunakan untuk melatih ilmu 'Penakluk Sukma'.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk...!
Senjata berwarna perak yang panjangnya tiga jengkal tangan orang dewasa itu menderu dahsyat menimbulkan sambaran angin kuat. Sesekali terdengar suara gemerincing ketika senjata itu digetarkan. Kalau saja ada orang lain di sekitar tempat itu, barulah akan dapat diketahui kegunaan bunyi itu. Sebab bunyi itu demikian kuat dan dapat menggetarkan udara disekitarnya.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun menghentikan gerakannya. Tubuhnya yang bertelanjang dada itu tampak tegap dan kuat. Kejan-tanannya semakin nyata tatkala tubuhnya dihiasi butiran-butiran keringat, sehingga tampak berkilat tertimpa cahaya matahari. Setelah menutup gerakannya, Sanjaya berdiri tegak mengatur jalan napasnya. Dadanya yang bidang itu bergelombang turun naik secara teratur. Wajahnya tampak segar pertanda telah benar-benar sehat.
"Hm.... Telah hampir tiga bulan aku berada di sini. Meskipun yang kupelajari belum ada separuhnya, namun nyata sekali kalau ilmu silat 'Penakluk Sukma' ini benar-benar langka. Pantaslah kalau orang-orang seperti Ki Aji Barga, Ki Bukaran dan yang lain-lain menginginkan kedua pusaka ini," gumam Sanjaya sambil melangkahkan kakinya. Diambilnya kitab 'Penakluk Sukma', lalu diselipkan di balik bajunya. Sementara, senjatanya telah dilingkarkan dipinggang.
Sanjaya memandangi tebing jurang yang hampir tak terlihat tepinya. Tekadnya hanya satu. Keluar dari dalam jurang ini. Sebentar kemudian, pemuda itu mengempos tenaganya. Kemudian tubuhnya melenting, berputaran beberapa kali di udara. Dengan gerak tangkas, tangannya meraih dahan pohon yang menjulur keluar dari dinding tebing. Setahap demi setahap, Sanjaya melompat naik dari satu pohon, ke pohon lain yang banyak terdapat di dinding tebing.
Gerakannya demikian ringan, hingga tak terasa pemudaitu telah sampai di bibir jurang. Dengan sekali lentingan dan putaran beberapa kali di udara, Sanjaya telah berdiri tegak membelakangi jurang. Pemuda itu berdiri kokoh, menatap mulut sebuah hutan yang menghadang di depannya. Pemuda tinggi tegap itu terus melangkahkan kakinya memasuki hutan lebat itu. Pohon-pohon besar yang tumbuh rapat bukan merupakan halangan baginya untuk meneruskan langkah kakinya. Hingga tidak berapa lama kemudian, Sanjaya pun tiba di sebuah tempat yang agak lapang.
Di tempat yang jarang terdapat pohon besar itu, tampak berdiri sebuah pondok yang sederhana, berdindingkan kayu. Entah siapa yang membuatnya. Yang jelas, tempat itu cocok untuk beristirahat. Sanjaya memang harus memiliki pondok untuk dijadikan tempat tinggal. Di situ dia akan menyerap seluruh ilmu yang berada di dalam kitab itu.
Hari demi hari terus berlalu. Sang surya terus berputar mengikuti peredaran masa. Hingga tanpa terasa, telah genap satu tahun Sanjaya tinggal di pondok itu. Seperti biasanya, pada setiap pagi pemuda itu tak pernah lupa untuk berlatih. Demikian juga dengan pagi hari ini.
"Hiyaaa...! Heyaaat..!"
Diselingi teriakan-teriakan nyaring, tubuh pemuda itu berloncatan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan lincah. Senjata di tangannya berkelebatan cepat membentuk gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sesekali senjata itu bergerak meliuk bagaikan seekor ular yang tengah merayap di atas permukaan tanah.
"Haiiit..!"
Suatu ketika tubuh pemuda itu melambung di-sertai bentakan yang menggetarkan jantung. Sambil bersalto beberapa kali, Sanjaya menggetarkan senjatanya hingga memperdengarkan suarahiruk-pikuk. Angin bertiup keras ketika senjata itu bergetar. Pohon-pohon yang berada beberapa tombak dari pemuda itu, berderak-derak ribut bagai hendak roboh. Beberapa pohon kecil bahkan sempat tercabut sam-pai ke akar-akarnya karena kerasnya tiupan angin yang diciptakan getaran senjata di tangan Sanjaya.
Setelah beberapa kali melakukan putaran, tu-buh pemuda itu melayang turun ke atas permukaan tanah. Begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melambung, lalu berjungldr balik menuju ke arah sebuah batu besar yang terpisah enam tombak dari tempatnya.
"Yiaaat...!" Dibarengi bentakan nyaring, senjata di tangan pemuda itu tiba-tiba bergulung melipat. Sesaat kemudian, kembali menyentak membuka.
Terdengar ledakan keras ketika senjata di tangan Sanjaya menghantam batu sebesar perut kerbau. Debu mengepul tinggi disertai batu-batu kecil yang beterbangan ke udara. Batu besar itu langsung pecah terkena ujung senjata pemuda itu. Tubuh Sanjaya kembali melenting balik menghindari terpaan batu kecil yang berpentalan ke segala arah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepasang kaki pemuda itu menjejak permukaan bumi. Senyum puas tampak membayang diwajahnya. Meskipun napasnya terlihat agak memburu, namun jelas sekali kalau dia merasa gembira dengan hasil yang dicapainya selama ini.
Sambil tetap memandang kepulan debu yang mulai menipis, Sanjaya mengelus-elus senjatanya yang tampak agak kotor itu. Kemudian dengan gerakan perlahan, dilibatkannya senjata itu ke pinggang. Ternyata, senjata itu dapat pula dipergunakan sebagai sabuk! Setelah menyimpan senjatanya, pemuda tinggi tegap itu menjatuhkan kedua lututnya di atas tanah. Wajahnya langsung ditengadahkan memandang langit biru jernih.
"Eyang.... Hari ini aku telah berhasil menamatkan kitab 'Penakluk Sukma'. Tenanglah arwahmu di sisi-Nya, Eyang. Aku akan mencari manusia-manusia keparat itu untuk meminta pertanggung-jawaban mereka. Berilah restumu, Eyang," desah Sanjaya dengan suara lirih yang menggeletar.
Berbagai perasaan berbaur menjadi satu dalam hati pemuda gagah itu. Agak lama dia tertunduk dengan mata terpejam, seolah-olah tengah menunggu jawaban dan restu Ki Shindupala, atau Dewa Jubah Putih. Tidak berapa lama kemudian, Sanjaya bangkit perlahan-lahan. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tampat itu. Pemuda tinggi tegap itu kembali menuju ke pondoknya yang berada di dalam hutan. Begitu berada di dalam pondoknya, Sanjaya mengambil kitab pusaka yang berada di dalam peti. Diambilnya pemantik api, lalu dinyalakan. Beberapa saat kemudian, api pun mulai menggerogoti permukaan sampul kitab itu.
Sanjaya memang membakar kitab yang berisikan ilmu 'Penakluk Sukma' sebagaimana yang dipesankan di halaman terakhir. Sanjaya duduk bersila memandangi lidah-lidah api yang berkobar memusnahkan kitab itu. Pemuda itu baru bangkit setelah kitab itu hanya tinggal arang hitam yang tak berarti. Kini, Sanjaya bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu untuk mencari orang-orang yang telah membunuh gurunya.
Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning keemasan menerobos sela-sela rimbunan dedaunan, membias membentuk lingkaran yang memecah menyilaukan mata. Saat itu matahari sudah mulai condong ke Barat. Tiupan angin yang silir-silir mengiringi langkah seorang pemuda tinggi tegap. Rambutnya yang panjang melewati bahu itu berkibaran lembut. Langkahnya ringan dan mantap menerobos semak-semak yang menghalangi jalannya. Sama sekali teriknya sinar matahari siang itu bukan halangan baginya.
Sesekali pemuda gagah itu menghentikan langkahnya. Kepalanya menengadah merayapi awan-awan biru yang berarak. Sepertinya, ingin memastikan ke mana arah tujuannya. Sesaat kemudian, kakinya kembali terayun, dan tangannya bergerak menyibak dedaunan. Pemuda gagah yang tak lain adalah Sanjaya itu terus melangkah menuju sebuah tempat yang agak tinggi. Diedarkan pandangannya ketika telah berada di atas sebuah batu besar. Lama juga pemuda itu meneliti dan memandang jauh sambil memayungi matanya dengan telapak tangan.
"Hm.... Kalau aku tidak salah, Gunung Kalaban tempat dulu aku tinggal, terletak di daerah Barat. Ada baiknya kalau aku menuju daerah itu dulu. Siapa tahu aku dapat meminta petunjuk penduduk di sana," gumam Sanjaya.
Setelah berpikir demikian, pemuda gagah itu melesat turun dari atas puncak bukit kecil itu. Gerakannya demikian cepat dan ringan. Seolah-olah kedua kakinya tidak lagi menginjak tanah. Dari sini saja sudah dapat dilihat kalau pemuda itu sekarang telah memiliki kepandaian yang jauh lebih hebat dibanding setahun yang lalu. Semua itu diperolehnya setelah berhasil menguras seluruh isi kitab 'Penakluk Sukma'.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, Sanjaya bergerak menuju daerah Barat. Tubuhnya berkelebat di antara pepohonan hingga tak ubahnya seekor burung yang tengah melayang-layang bebas di angkasa raya. Sanjaya yang tengah berlari cepat itu, tiba-tiba menahan gerakannya. Telinganya yang tajam, samar-samar mendengar suara seperti orang bertempur.
Namun suara itu terdengar sangat jauh, sehingga hatinya menjadi ragu. Sambil terus mempertajam indra pendengarannya, pemuda gagah itu melangkahkan kakinya mencari sumber suara orang bertempur itu. Sanjaya semakin mempercapat langkahnya manakala semakin jelas mendengar suara-suara teriakan dan den tang senjata yang mengusik telinganya.
"Hm.... Siapakah yang tengah bertempur di da-lam hutan yang lebat ini?" Dengan hati penuh tanda tanya, Sanjaya semakin mempercepat langkahnya. Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan ter-lihat belasan orang tengah bertempur. Sanjaya me-nyelinap di antara semak belukar agar tidak terlihat. Merasa terlalu jauh untuk melihat lebih jelas, maka pemuda itu mengendap-endap mendekati arena pertempuran.
Bruk!
"Aaah...!"
Sanjaya semakin merendahkan tubuhnya ketika salah seorang dari mereka tiba-tiba terlempar beberapa tombak di dekat persembunyiannya. Laki-laki tinggi kurus itu merangkak bangkit sambil mengeluh dan mendekap lambung kirinya. Darah tampak merembes dari sela-sela jari tangan-nya. Dengan gerakan limbung, orang itu berusaha untuk dapat berdiri tegak.
"Aaa...!" Terdengar jeritan kematian yang berturut-turut Bersamaan dengan itu, empat sosok tubuh berpakaian serba hitam terjungkal roboh mandi darah. Sesaat kemudian, mati.
"Biadab!" Maki si lelaki kurus dengan wajah yang semakin pucat "Ayo, kalian bunuh saja aku sekalian!"
Seorang laki-laki gemuk berwajah hitam dan berperut buncit melangkah maju menghampiri orang itu. Wajahnya yang buruk dan hitam itu memperlihatkan seringai kejam.
"He he he...! Dengar, Gayana! Sengaja kau tidak kubunuh agar dapat melaporkan kepada kepala sukumu. Katakan padanya kalau aku tidak akan membuat kekacauan lagi apabila ia bersedia mengangkat kepala suku kami sebagai menantunya!" Ancam orang gendut bermuka hitam itu galak.
"Huh! Jangan mimpi kau, Manusia Buruk! Bagaimana mungkin kepala sukumu yang tua renta itu bisa disejajarkan dengan putri kepala suku kami yang masih muda dan cantik. Apalagi, kepala sukumu telah memiliki empat orang istri," sahut lelaki kurus yang dipanggil Gayana itu, sambil menyemburkan ludah berkali-kali sebagai tanda tak gentar terhadap ancaman itu.
"Keparat! Apakah kau sudah bosan hidup sehingga berani menghina kepala suku kami?! Hih...!" Setelah memaki dengan penuh kemarahan, lelaki gendut bermuka hitam itu melayangkan kakinya.
Buk!
"Hukh...!" Gayana yang sudah terluka itu tidak mampu lagi untuk menghindari tendangan si muka hitam. Tubuhnya terlempar sejauh satu tombak. Darah segar langsung mengalir dari sudut bibirnya. Lelaki kurus itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa mual akibat tendangan keras tadi.
"Baiklah, kalau kau memang lebih memilih mati daripada melaporkan permintaanku kepada kepala sukumu itu!"
Setelah berkata dengan penuh kegeraman, laki-laki bermuka hitam itu mencabut pedangnya yang panjang dan besar. Pedang yang melengkung pada bagian tengahnya itu berkilau tertimpa cahaya matahari yang memantul. Lelaki tinggi kurus itu merapatkan giginya kuat-kuat, seperti memang lebih memilih mati ketimbang menyampaikan ucapan si muka buruk itu. Dengan pandangan tidak berkedip, ia menanri datangnya kematian.
Sanjaya yang hanya empat tombak berada di belakang lelaki kurus itu menjadi kagum dibuatnya.
"Hebat! Orang yang setia dan tak takut berkorban nyawa demi kepentingan orang yang disebut sebagai kepala suku oleh si muka hitam itu," gumam Sanjaya sambil menggeleng- gelengkan kepala sebagai tanda kekagumannya. Pemuda tinggi tegap yang berada di balik semak-semak itu sebenarnya merasa terkejut sekali mendengar ucapan 'kepala suku' yang disebut orang-orang itu. Dari perkataan dan sebutan mereka, dapat diduga kalau dirinya tengah berada di daerah suku-suku pedalaman yang jauh dari kota maupun desa.
Saat itu si muka hitam sudah tiba di hadapan Gayana. Senjatanya yang mirip pedang itu teracung ke atas, siap membelah tubuh laki-laki tinggi kurus itu. Wajah si muka hitam tampak menyeringai gembira, seolah-olah pekerjaan membunuh adalah salah satu kesenangannya. Namun lelaki tinggi kurus yang tengah terduduk itu sama sekali tidak merasa gentar. Dengan berani, ditatapnya mata si muka hitam lekat lekat. Meskipun wajahnya pucat, namun sepasang matanya tetap terbuka lebar. Bahkan mulutnya menyunggingkan senyum sinis yang membuat si muka hitam semakin mengkelap marah.
Wuttt..!
Senjata yang bentuknya perpaduan antara pedang dan golok itu meluruk ke arah si tinggi kurus. Dan belum lagi senjata itu sempat mengenai sasarannya, tiba-tiba sebentuk sinar hitam melesat bagai anak panah.
Trak...!
"Aduhhh...!" Si muka hitam menjerit kesakitan ketika benda hitam sebesar kerikil itu tepat menghantam pergolangan tangannya. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Sedangkan senjatanya terpental dari tangannya. Lelaki gendut bermuka hitam itu memijat-mijat pergelangannya yang terasa bagaikan remuk. Bibirnya yang tebal dan juga berwarna hitam itu mendesis-desis persis seperti orang yang habis makan sambal pedas.
Sementara itu, di samping laki-laki yang bernama Gayana telah berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tinggi tegap. Wajahnya yang kokoh tampak menyiratkan kejantanan. Sedangkan sepasang matanya mencorong tajam, menatap si muka hitam dan kawan-kawannya. Pemuda itu tak lain adalah Sanjaya, yang telah turun tangan menolong Gayana.
"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau anggota Suku Gandas?!" Bentak si muka hitam galak. Suaranya terdengar berat dan parau. Sepasang matanya yang lebar dan besar itu bagaikan hendak melompat keluar merayapi wajah Sanjaya. Sedangkan delapan orang kawan si muka hitam sudah bergerak mengepung kedua orang itu. Wajah mereka tampak buas menyiratkan nafsu membunuh. Senjata mereka yang berbentuk tombak, teracung lurus ke arah Sanjaya dan Gayana.
"Hm.... Aku adalah Sanjaya. Dan aku sama-sekali tidak mengenal Suku Gandas. Tapi, aku adalah orang yang paling tidak suka melihat kekejaman berlangsung di depan mataku," sahut Sanjaya yang menjadi marah melihat kekejaman orang-orang itu.
"Bunuh mereka!" Perintah si muka hitam yang sudah kehilangan kesabaran itu. Setelah berkata demikian, si muka hitam memungut senjatanya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri itu.
"Yaaa...!"
Dengan sebuah teriakan parau, delapan orang laki-laki berwajah menyeramkan itu melompat dan menari-nari mengelilingi kedua orang itu. Mereka terus berlarian mengitari Sanjaya dan Gayana sambil mengeluarkan teriakan-teriakan parau.
Sanjaya terkejut melihat gerakan yang masih asing baginya itu. Sehingga tanpa sadar tubuhnya berputar mengikuti arah putaran ke delapan orang itu. Pemuda itu semakin terkejut ketika kepalanya terasa pusing melihat gerakan-gerakan delapan orang itu. Sementara itu gerak melingkar yang dibuat delapan orang suku liar itu tampak semakin mengecil. Gerakan berputar mereka semakin cepat dan ber-ubah-ubah arah.
"Hm.... Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sepertinya sengaja mengaburkan pandangan lawan," gumam Sanjaya mulai mengerti. Kini Sanjaya tidak lagi berputar seperti semula, dan hanya berdiri tegak sambil memejamkan matanya. Sepertinya dia ingin menggunakan indra pendengaran untuk menghadapi kedelapan orang suku liar itu.
Wut! Wut...!
"Heaaa...!"
Sambil terus berteriak-teriak ribut, delapan orang itu mulai menusuk-nusukkan ujung tongkatnya. Sehingga keadaan ditempat itu semakin ribut. Tapi sampai sejauh itu, mereka hanya menggerak-gerakkan tombak tanpa berniat menyerang. Sanjaya cukup terkejut juga melihat gaya penyerangan suku liar itu. Teriakan-teriakan dan tusukan tombak membuat pemuda gagah itu memutar tubuhnya sambil tetap memejamkan mata, namun kemudian indra pendengarannya semakin dipertajam.
"Heaaa...!"
Wutt!
Sebatang tombak meluncur dari sebelah kanannya. Pemuda itu mengelak sambil memutar langkah kaki mendekati lawan. Tangan kanannya terayun deras mencari sasaran.
Bukkk.,!
"Aaah...!"
Kepalan tangan kanan Sanjaya tepat menghantam lambung salah seorang, sehingga sampai berteriak kesakitan. Seketika tubuhnya terpental ke belakang. Orang yang menyerang itu langsung jatuh pingsan tanpa ingat apa-apa lagi, karena pukulan yang dilancarkan Sanjaya memang sangat dahsyat mengandung tenaga dalam tinggi. Setelah menjatuhkan salah seorang lawannya, tubuh Sanjaya berkelebat cepat ke arah dua orang di sebelah kirinya.
Plak! Plak!
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang itu langsung terpelanting akibat tamparan telapak tangan pemuda itu. Darah seketika mengucur dari mulut mereka yang menjadi bengkak-bengkak.
Wut! Wut..!
Tubuh Sanjaya melenting ketika empat batang tombak mengincar dari belakang. Cepat bagai kilat, pemuda itu menukik turun tak ubahnya seekor elang menyambar anak ayam.
Desss! Bukkk! Desss...!
Keempat orang suku liar itu langsung berjatuhan akibat tamparan dan tendangan Sanjaya. Amukan pemuda gagah itu benar-benar membuat lawan-lawan terkejut. Lawannya yang tinggal seorang hanya berdiri tanpa berani menyerang. Wajahnya terlihat pucat bagai melihat hantu di siang bolong.
"Keparat! Kubunuh kau...!" Si muka hitam marah bukan main melihat anak buahnya berjatuhan hanya beberapa gebrakan saja. Kalau saja tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin ia tidak akan mempercayainya.
«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»
Disertai teriakan parau, tubuh gemuk dan berperut buncit itu melesat sambil mengibaskan senjata di tangannya. Meskipun gerakannya terlihat aneh, namun sambaran angin pedangnya cukup kuat dan berbahaya.
"Hm.... Sepertinya orang bermuka hitam ini mempunyai tenaga dalam tinggi," gumam Sanjaya begitu melihat gerakan-gerakan si muka hitam yang aneh dan kaku.
Wut! Wut..!
Sanjaya hanya meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari serangan si muka hitam. Gerakan-gerakannya diartikan si muka hitam bagai tengah mengejeknya. Tentu saja kemarahannya semakin berkobar.
Bett!
Pukulan Sanjaya berhasil dielakkan si muka hitam dengan menarik mundur wajahnya. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat. Dia tidak sempat lagi melihat ayunan kaki Sanjaya menjegal kakinya.
"Aaa...!"
Brug!
Tubuh tambun itu kontan terbanting jatuh ketika kedua kakinya tersepak kaki pemuda itu. Namun, ternyata si gendut itu cukup gesit. Tubuhnya langsung melenting bangkit seketika itu juga, tapi lagi-lagi harus menelan pil pahit. Karena saat itu juga telapak kaki Sanjaya telah mendarat di dadanya.
Bukkk!
"Hughk...!"
Tendangan telapak kaki Sanjaya yang dialiri tenaga dalam yang tinggi itu membuat tubuh gendut itu terpental beberapa tombak ke belakang. Darah segar langsung memercik dari mulutnya. Debu mengepul ketika tubuh gendut itu terbanting keras di atas.tanah.
"Uhhh...!" Sambil mendekap dadanya yang terasa remuk, si muka hitam merangkak bangkit. Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap.
"Lari...!" Seru si muka hitam sambil berbalik meninggalkan tempat itu.
"Eh, oh...!"
Kawannya yang tinggal seorang itu kebingungan melihat pemimpinnya melarikan diri. Sejenak kepalanya menoleh ke arah Sanjaya dan Gayana. Begitu melihat kedua orang itu sama sekali tidak bergerak, maka ia pun segera mengambil langkah seribu.
"Marilah kau kuantar pulang, Paman," ajak Sanjaya sambil menolong Gayana bangkit.
"Terima kasih, Kisanak. Nanti pun suku mereka akan datang untuk mengurusnya," ucap Gayana ketika melihat pemuda penolongnya merasa bingung dengan tujuh sosok tubuh yang bergeletakan itu.
"Hm..., baiklah. Mari, Paman," ajak Sanjaya sambil memapah tubuh tinggi kurus itu. Keduanya kini segera meninggalkan tempat itu.
Kedatangan Gayana dan Sanjaya langsung disambut hangat oleh Kepala Suku Gandas. Apalagi setelah Gayana menceritakan bagaimana sepak terjang pemuda penolongnya itu. Maka, semakin bertambah kagumlah orang-orang yang mendengarnya.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Perkenalkan. Aku, Galira yang menjadi Kepala Suku Gandas," jelas kakek tinggi besar yang bercambang bauk lebat itu. Suaranya yang besar dan berat menggema ke sekitar tempat itu.
"Namaku Sanjaya. Dan aku hanya kebetulan lewat saja ketika melihat Paman Gayana dikeroyok orang-orang liar itu," sahut Sanjaya memperkenalkan diri. Memang, pemuda itu sudah pula berkenalan dengan Gayana selagi dalam perjalanan.
"Ha ha ha...! Ini, Anakku. Namanya Garlih. Dia hendak diambil oleh orang tua gila Suku Mogula itu. Kau lihatlah, Anak Muda. Siapa orangnya yang sudi menyerahkan anak gadisnya yang secantik ini kepada tua bangka Mogul yang sudah dekat liang kubur itu?" Tegas Galira lalu sambil wajahnya diarahkan ke wajah anak gadisnya yang cantik itu.
Wajah anak Kepala Suku Gandas yang bernama Garlih itu tampak memerah karena malu mendengar perkataan ayahnya. Namun meskipun demikian, hatinya merasa bangga dipuji-puji didepan seorang pemuda gagah seperti Sanjaya. Sepasang matanya tampak mengerling penuh arti. Namun hanya sekilas, tidak ada yang sempat memperhatikannya. Terus terang, Sanjaya sebenarnya sempat tergetar hatinya melihat kecantikan putri Kepala Suku Gandas itu. Namun, cepat-cepat dibuangnya pikiran itu jauh-jauh ketika teringat akan tujuannya semula.
Dan kini Kepala Suku Gandas mengajak Sanjaya masuk ke dalam rumahnya yang hanya terbuat dari atap rumbia itu. Kakek tinggi besar itu masih saja tertawa-tawa gembira.
"Sanjaya. Kalau kau memang berniat untuk menolong kami, janganlah tanggung-tanggung," ujar Galira setelah mereka duduk mengitari sebuah meja dari kayu pohon jari hitam. Tawa kakek itu lenyap ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Apa maksud Kepala Suku?" Tanya Sanjaya yang belum mengerti, ke mana arah pembicaraan orang tua itu.
"Hm.... Begini, Anak Muda. Meskipun kami adalah suku-suku liar, tapi kami memegang teguh peraturan nenek moyang. Mogul, sang Kepala Suku Mogula adalah orang terkuat di antara suku yang banyak di daerah ini. la menginginkan putriku untuk dijadikan istrinya yang kelima. Dan terus terang, aku sendiri tidak mungkin mampu menyelamatkan putriku apabila dia datang menyerbu suku kami yang kecil ini. Tapi, ada satu peraturan yang tidak bisa dibantah suku-suku mana pun di dunia ini. Yaitu, apabila anakku mempunyai seorang Ksatria yang dapat melindunginya, maka Kepala Suku Mogula akan mengalah. Tentu saja, setelah sang Ksatria itu dapat mengalahkannya. Nah! Bagaimana pendapatmu, Anak Muda?" Tanya Galira menutup keterangannya.
Pucat wajah Sanjaya ketika mendengar keterangan Kepala Suku Gandas itu. Tentu saja pemuda itu tahu, apa yang dimaksudkan sebagai pelindung. Sanjaya bukan tidak tertarik dengan putri kepala suku yang memang cantik itu, tapi memang benar-benar tidak berpikir sampai disitu.
Kepala Suku Gandas pun berubah wajahnya. Tawanya tidak lagi terdengar. Dan senyumnya pun hilang seketika. Ditatapnya wajah pemuda di depannya yang belum dapat menghilangkan keterkejutannya.
"Anak muda. Apakah putriku kurang cantik! Ataukah kau lebih suka kalau putriku itu kuberikan kepada bandot tua gila itu?" Tanya Galira yang membuat Sanjaya semakin kebingungan.
"Bukan begitu maksudku. Tapi... Tapi masih banyak tugas yang harus kulaksanakan. Dan.... Dan aku belum berpikir ke arah itu," akhirnya Sanjaya dapat juga mengeluarkan suaranya meskipun agak tersendat
"Hm.... Baiklah. Sekarang kau boleh pilih. Bersedia menjadi pelindung putriku, atau tinggalkan kami. Biarlah kalau memang sudah demikian nasib putriku," Galira mengakhiri penjelasannya dengan helaan napas berat.
"Tapi, aku benar-benar belum bisa menjawabnya, Ki," sahut Sanjaya dengan suara perlahan. Bahkan nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba saja telinga Sanjaya menangkap suara isak yang ditahan. Hati pemuda itu menjadi terenyuh karena tahu, siapa yang mengeluarkan isak tangis itu. Siapa lagi kalau bukan isak tangis Garlih yang rupanya ikut mendengarkan pembicaraan mereka dari kamarnya.
"Ibu..., aku ingin mati saja...!" Ratap suara merdu itu lirih dan sangat menyentuh perasaan.
"Garlih, mau ke mana kau?!" Seru suara seorang wanita lain agak keras. Terdengar suara dua orang yang tengah berlari.
Sanjaya terpukul hatinya mendengar isak tangis dan ucapan yang menyentuh perasaan itu. Tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya segera berkelebat mengejar Garlih yang pasti tengah berlari menuju hutan.
"Garlih, tunggu...!" teriak Sanjaya. Pemuda itu tiba di belakang rumah dan melhat sesosok tubuh ramping berlari sambil menutup wajahnya. Kemudian, tubuhnya melompat dan berputar tiga kali diudara.
"Ohhh...!" Garlih menutup mulutnya menahan seruan ketika tahu-tahu saja pemuda gagah itu telah berdiri tegak di hadapannya.
"Garlih. Aku akan suka menjadi pelindungmu. Tapi, tugasku harus dilaksanakan lebih dulu. Bagaimana?" Tegas Sanjaya yang merasa tak tega untuk membiarkan wanita cantik itu menderita.
"Sungguh...?" Tanya suara merdu itu dengan pandangan ragu. Sepasang mata itu demikian jernih dan lembut sehingga membuat darah Sanjaya berdesir seketika.
"Tentu..," sahut Sanjaya. Suara pemuda itu agak serak karena perasaan terguncang melihat kecantikan putri kepala suku itu.
Dengan lembut, Sanjaya menyentuh bahu gadis itu, lalu membawanya kembali kepada orang tuanya. Mereka melangkah perlahan-lahan tanpa ada yang bersuara lagi. Kini mereka telah kembali duduk di dalam ruangan rumah itu. Kemudian Sanjaya segera mengutarakan syaratnya. Dan ternyata, Kepala Suku Gandas itu menyetujui usul yang diajukan Sanjaya.
Sejenak suasana menjadi hening, namun isak tangis Garlih sesekali masih terdengar. Dan belum lagi mereka bersuara, mendadak di luar terdengar suara ribut-ribut, seperti ada orang bertengkar mulut. Tiba-tiba salah seorang anak buah Galira melangkah masuk tergesa-gesa dan melaporkan kalau Mogul telah datang bersama seluruh prajuritnya. Galira, Sanjaya, dan yang lainnya langsung tersentak kaget. Tanpa banyak cakap lagi, mereka bergegas berlari keluar.
Tampak didepan halaman rumah Kepala Desa Gandas, puluhan orang Suku Mogula telah berbaris rapi, dan bersenjata lengkap. Berada paling depan, tampak Mogul dengan pakaian kebesarannya di atas punggung kuda.
"Hei, Galira! Serahkan putrimu atau ku bumihanguskan seluruh perkampungan Suku Gandas ini!" ancam Mogul dengan suara lantang.
"Tidak bisa, Mogul! Putriku telah mempunyai seorang pelindung. Jadi kalau kau ingin memlikinya, kau harus mengalahkan pelindung putriku dulu!" sahut Galira, tak kalah keras.
Tidak terdengar sahutan ketika Galira mengatakan hal itu. Terlihat Mogul melompat turun dari atas punggung kuda, kemudian kakinya melangkah lebar menghampiri. Mogul menghentikan langkahnya beberapa tombak di hadapan Galira. Wajahnya yang buruk dan dipenuhi cambang bauk itu tampak menyiratkan kekejaman.
"Aku menantang orang yang menjadi pelindung putrimu itu untuk bertarung secara ksatria. Sekarang, mana orangnya?! Ingin segera kuhirup darahnya!" kata Mogul dengan suara berat.
"Akulah orangnya! Aku siap menerima tantanganmu, Mogul," sahut Sanjaya sambil melangkah ke tengah arena, dengan sikap tenang.
"Hm.... Kaukah yang telah melukai anak buahku, Anak Muda?" Tanya Mogul, sinis. Namun sepasang matanya menatap tajam ke arah Sanjaya.
"Benar! Akulah yang telah melukai orang-orangmu," jawab Sanjaya tenang tanpa kegentaran sedikit pun.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah!" desis Mogul geram. Setelah berkata demikian, senjatanya dicabut. Pedang panjang dan lebar itu kini telah disilangkan di depan dada.
"Aku sudah siap!" sahut Sanjaya sambil meloloskan senjatanya yang membelit pinggang. Sanjaya terpaksa mengeluarkan senjatanya karena telah diberi tahu Galira kalau lawannya benar-benar tangguh. Karena kalau dilawan dengan tangan kosong, akan berarti penghinaan bagi Mogul.
"Siaaat..!" Mogul berteriak keras sambil mengayunkan senjatanya hingga menimbulkan suara angin menderu.
Wut! Wut..!
Sanjaya menggeser kaki sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan kilat. Pemuda itu juga sudah diberi tahu kalau harus memberi perlawanan pada Mogul dan tidak boleh selalu mengelak. Maka Sanjaya segera mengerahkan senjata untuk menyerang Mogul. Lebih cepat menjatuhkan lawan, akan lebih terhormat. Itulah yang dikatakan Galira.
Trang!
"Uhhh...!" Mogul terjajar mundur dengan wajah pucat ketika senjata mereka bertumbukan keras. Hampir saja Mogul tidak mempercayai dengan apa yang dialaminya itu. la yang terkenal sebagai orang terkuat di antara para kepala suku, ternyata dapat diimbangi pemuda asing itu. "Gila!" umpat kakek bertubuh tinggi besar itu penasaran. Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap. Ia benar-benar merasa dipermalukan di hadapan rakyatnya.
"Grrrh...!" Sambil menggereng keras, Mogul kembali melompat menerjang. Senjatanya terayun deras karena seluruh tenaga dalamnya langsung dikerahkan. Sementara itu, semua orang yang hadir di situ hanya bisa menahan napas dan menyangka kalau tubuh pemuda gagah itu akan hancur oleh sabetan pedang Kepala Suku Mogula itu.
"Ohhh...!" Garlih yang tak kuasa melihat, langsung menutup wajahnya sambil menahan jerit. Wajah gadis cantik itu seketika pucat melihat pemuda yang telah mencuri sekeping hatinya terancam bahaya. Hampir saja ia berlari ke tengah arena kalau tidak keburu dicegah ayahnya.
Sanjaya yang sudah dapat menebak kalau kepala suku liar itu hanya mempunyai tenaga luar yang besar, tidak menjadi gentar karenanya. Serangan Mogul yang terlihat cepat dan ganas, masih terlalu lambat baginya. Pemuda itu hanya menekuk lutut sambil merendahkan kepala ketika serangan lawan tiba. Kemudian, secepat kilat kakinya mencelat menghantam dagu lawan.
Dug!
"Aaargh...!" Mogul mengerang kesakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu langsung ambruk begitu dagunya terkena tendangan Sanjaya. Meskipun bibirnya tampak mengeluarkan darah, namun ia bergegas bangkit dan kembali menyerang. Kali ini kakek itu menggunakan kepalannya yang sebesar kepala bayi untuk menyerang. Karena, senjatanya telah terjatuh pada waktu terkena tendangan tadi. Dan memang, sudah menjadi adat suku-suku liar kalau tidak diperbolehkan mengambil senjata apabila telah terjatuh. Apabila diambil juga, maka sama saja menghina dirinya sendiri.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang keras melayang mengancam tubuh Sanjaya. Pemuda itu ternyata juga mengetahui kalau tubuh Mogul sangat kuat. Maka segera tenaga dalamnya dikempos. Dan dengan sebuah gerakan yang hampir tidak terlihat, tangan kiri Sanjaya bergerak menangkis.
Plak! Plak!
"Uhhh...!" Mogul terjajar mundur sambil menahan rasa nyeri pada jari-jari tangan yang terkena tangkisan pemuda itu. Dan sebelum dirinya sempat terkuasai, tahu-tahu sebuah tendangan keras dan pukulan telapak tangan lawan telak menghantam dada dan perutnya!
Bug! Des!
"Hughk...!" Darah segar seketika menyembur dari mulut kakek raksasa itu. Tubuhnya jatuh berdebum hingga menimbulkan kepulan debu yang cukup tinggi. Kali ini Kepala Suku Mogula itu tak mampu untuk bangkit kembali. "Horeee...!" Galira dan para pengikutnya berteriak gembira sambil bertepuk tangan. Bukan main bangganya hati orang-orang Suku Gandas menyaksikan kemenangan Sanjaya yang tidak disangka-sangka.
Tanpa malu-malu lagi, putri Kepala Suku Gan-das itu segera berlari dan memeluk tubuh Sanjaya. Diciuminya wajah pemuda itu karena kegembiraan yang meluap-luap. Sepertinya dia tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Tampak air mata bahagia mengalir membasahi pipi yang halus itu.
Sementara para anggota Suku Mogula bergegas mengangkat tubuh kepala sukunya dan membawanya pergi. Pertarungan tadi sama sekali tidak menimbulkan dendam di hati mereka, sebab berlangsung jujur dan sangat dijunjung tinggi.
Galira, Sanjaya, Garlih dan para anggota Suku Gandas pun masuk kembali ke rumah besar milik kepala suku itu. Sebab mulai saat ini, suku merekalah yang paling dihormati oleh suku-suku lain. Dan sekaligus, Suku Gandas menjadi penguasa bagi suku-suku liar lainnya.
"Karena tugasku telah selesai di tempat ini, maka mohon pamit sekarang, Paman," kata Sanjaya ketika telah berada di tengah-tengah keluarga Galira. Dan ia pun telah memanggil kakek itu dengan paman.
"Mengapa begitu terburu-buru, Sanjaya? Tidakkah sebaiknya kau mendampingi anakku dahulu?" pinta Galira, agak berat melepas kepergian pemuda gagah itu.
"Maaf, Paman. Sebelum hutang nyawa guruku terbalas, apakah patut kalau aku bersenang-senang? Percayalah, Paman. Begitu tugasku selesai, aku akan segera kembali ke sini," janji Sanjaya, mantap.
Karena memang sudah berjanji sebelumnya, maka meskipun dengan berat hati, akhienya mereka melepaskan kepergian pemuda itu. Sementara itu Galira membekalinya seekor kuda yang indah dan kuat untuk mempercepat perjalanan pemuda itu. Sanjaya kini siap berangkat setelah mendapatkan sedikit petunjuk dari Kepala Suku Gandas.
«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»
"Ah! Kalau aku mempunyai istri secantik dia, tentu tidak akan kubiarkan tertidur," desah seorang pemuda berwajah kehitaman karena terlalu sering terkena sinar matahari.
"Eh, mengapa begitu?" Tanya temannya setengah berbisik, seraya memandang heran wajah kawannya.
"Tentu saja, agar aku dapat mencumbunya sepanjang malam," sahut pemuda berwajah kehitaman sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang kehitaman.
"Ah, dasar otak kotor!" Maki kawannya juga tersenyum.
"Lagi pula, mana mungkin orang sepertimu bisa mendapat istri cantik seperti bidadari itu?"
Sementara dua orang yang mereka bicarakan terus saja mengayun langkahnya tanpa mempedulikan pandangan penduduk desa itu. Mereka terus melangkah mendekati sebuah kedai makan.
Brukkk!
"Aduhhh...!"
Pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpakaian serba hijau itu menahan langkahnya. Karena, dari dalam sebuah rumah yang akan dilewati, tiba-tiba sesosok tubuh terlempar keluar dan tersuruk persis di depan kaki mereka. Sambil mengaduh kesakitan, orang itu bergegas bangkit. Tanpa melihat kanan-kiri, orang itu kembali melangkah masuk.
"Kembalikan anakku! Akan kubayar seluruh hutang-hutangku!" Teriak laki-laki setengah baya itu serak. Ia berusaha melangkah masuk meskipun terpincang-pincang.
"Hm.... Dengan apa kau akan membayar hutang-hutangmu, Lengga? Seluruh sawahmu sudah habis tergadai. Lalu, dari mana akan mendapatkan uang, hah?!" Sahut seorang laki-laki berwajah kasar dan bopeng. Bergegas orang itu menghadang didepan pintu untuk menghalangi jalan orang yang dipanggil Lengga itu.
"Aku berjanji akan melunasinya dalam minggu ini juga, asalkan anak gadisku kau kembalikan!" Pinta Lengga tetap hendak memaksa masuk.
"Hei! Dengar, Orang Gila Judi! Kau boleh mengambil anak gadismu setelah seluruh hutangmu dilunasi. Nah, sekarang pergilah sebelum aku menggunakan kekerasan," sahut laki-laki bopeng itu pelan namun mengandung ancaman yang tidak main-main.
"Huh! Bagaimana bisa kupercayai kalau anakku berada dalam tangan majikanmu yang mata keranjang itu?" Bantah Lengga yang masih juga bersikeras hendak mengambil anaknya.
"He he he.... Jangan khawatir. Majikanku tentu akan suka mengembalikannya setelah.... He he he...! Sayang kan kalau anak gadismu yang manis itu didiamkan begitu saja," sahut si bopeng seraya terkekeh serak.
"Bajingan!" maki Lengga marah. Tentu saja laki-laki itu mengerti apa yang dimak-sudkan si muka bopeng. Tanpa mempedulikan orang itu, Lengga pun menerobos masuk.
"Heit! Mau ke mana kau...?" Ejek si bopeng sambil menangkap lengan Lengga dan menyeretnya ke luar.
"Lebih baik pergilah, Lengga. Jangan sampai aku berbuat kejam kepadamu!" Nampaknya kesabaran orang bopeng itu sudah mulai hilang. Dengan gerakan kasar, didorongnya tubuh Lengga hingga kembali terjerembab ke tanah.
"Bangsat!" Maki Lengga dengan wajah merah. Begitu bangkit, Lengga langsung mengayunkan tinjunya ke wajah si bopeng. Rupanya laki-laki setengah baya itu cukup mengerti tentang ilmu silat. Ini terlihat dari pukulannya yang tampak terarah dan cukup berisi.
"Uts!" Si muka bopeng memiringkan wajahnya sehingga serangan itu pun tidak mengenai sasaran. Dan dengan cepat tangannya terayun menampar wajah Lengga.
Plak!
"Aaah...!"
Rupanya kepandaian si muka bopeng itu jauh lebih tinggi dari Lengga. Akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu melintir. Untunglah sepasang tangan kokoh telah menahan tubuhnya sehingga tidak kembali terbanting. Lengga menoleh melihat orang yang telah menolongnya itu. Ternyata dia adalah seorang pemuda tampan berjubah putih yang kemudian tersenyum tenang kepadanya. Di sampingnya, tampak seorang gadis jelita.
"Sabarlah, Paman. Apa sebenarnya yang terjadi?" Tanya pemuda tampan itu tanpa melepaskan senyumnya.
Lelaki setengah baya yang bernama Lengga melepaskan pegangan pemuda jubah putih itu. Tanpa menjawab sepatah kata pun, Lengga kembali menerjang si muka bopeng. Kali ini golok yang tergantung di pinggangnya telah dicabut.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk...!
Si muka bopeng menggeser tubuhnya menghindari bacokan yang bertubi-tubi itu. Begitu melihat pertahanan lawannya terbuka, tangan dan kakinya langsung bergerak menghantam tubuh Lengga.
Buk! Des!
"Hukkkh...!" Tubuh Lengga kontan terbungkuk menerima hantaman pada perutnya, dan langsung terjungkal ketika tendangan lawan mendarat di tubuhnya. Darah segar muncrat membasahi permukaan tanah.
"Hm...," kembali sepasang tangan pemuda berjubah putih itu menyambar tubuh Lengga hingga tidak sempat terjatuh.
"Lepaskan penjudi tua tak tahu adat itu, Kisanak. Biar kuhajar dia sampai kapok!" Pinta si muka bopeng yang sudah melangkah maju menghampiri Lengga.
"Hm.... Berapa banyak hutang bapak ini, Kisanak?" Tanya pemuda berjubah putih itu tanpa mempedulikan seruan si mukabopeng.
"He he he...! Apakah kau akan membayarkan hutang-hutangnya?" Tanya si muka bopeng menyeringai. Laki-laki itu kemudian menyebutkan sejumlah uang yang membuat beberapa penduduk yang menyaksikan kejadian itu menggelengkan kepalanya. Karena, jumlah yang disebutkan si bopeng sangat besar bagi ukuran para petani.
"Hm.... Ambillah uang ini. Dan, kembalikan anak gadis bapak ini," kata pemuda berjubah putih itu sambil melemparkan sekantung uang yang jumlahnya melebihi hutang-hutang Lengga.
"He he he...! Tidak semudah itu, Kisanak. Kau harus menebus gadis itu dengan dua kantung uang," sahut si muka bopeng sambil tersenyum licik. Ditimang-timangnya uang pemberian pemuda itu.
"Keparat! Kalau itu kemauanmu, terimalah ini!" Bentak gadis jelita berpakaian serba hijau yang berdiri di samping pemuda itu. Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu segera melesat sambil melakukan tamparan yang menim-bulkan angin menderu.
Wut!
"Eh!" Si muka bopeng terkejut melihat serangan itu. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang karena tamparan itu demikian cepat datangnya. Setelah berputar sebanyak tiga kali di udara, tubuhnya pun melayang turun sejauh dua tombak didepan gadis jelita itu. Namun sayang si muka bopeng terlalu memandang ringan lawan yang hanya seorang gadis muda. Dan ketika gadis itu melesat cepat, sama sekali tak disadari. Sehingga ia terpaksa harus menerima sebuah tamparan yang keras pada wajahnya, ketika tangan gadis itu bergerak cepat tak terhindari.
Plak!
"Aduhhh...!" Si muka bopeng menjerit kesakitan ketika telapak tangan yang halus itu hinggap di wajahnya. Tubuhnya langsung terpelanting ke belakang dan bibirnya pecah mengeluarkan darah. Sinar matanya memancarkan kebingungan, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dialaminya itu. Si muka bopeng benar-benar tak habis mengerti, bagaimana tahu-tahu gadis itu telah berada di depannya.
"Jawablah. Apakah bayaran itu masih kurang?!" Tanya gadis jelita berpakalan hijau itu dengan pandangan galak.
"Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Apakah dikira aku sudah kalah? Lihatlah, apakah kau masih bisa menamparku sekeras tadi! Atau sebaliknya, malah akan mengelus-elus mesra wajahku!" Tantang si bopeng yang rupanya belum menyadari kelihaian gadis berpakaian serba hijau itu. Orang itu rupanya merasa kalau tamparan tadi bukanlah karena kelihaian si gadis, melainkan karena dirinya terlalu menganggap remeh.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Kotor!" Bentak gadis itu marah. Tapi sebelum sempat menyerang, sebuah tangan menahan gerakannya.
"Sabarlah, Kenanga. Kita cari jalan damai saja," bujuk si pemuda berjubah putih.
Gadis jelita yang memang Kenanga itu memandang pemuda berjubah putih dengan wajah cemberut. Pemuda itu memang tak lain dari Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Tidak, Kakang. Orang itu telah berani mengeluarkan kata-kata yang menghinaku. Maaf, Kakang. Biarlah kali ini aku menyelesaikannya terlebih dahulu," bantah Kenanga Gadis itu segera melepaskan tangannya dan melangkah menghampiri si bopeng.
"He he he...!" Si muka bopeng terkekeh membesarkan hatinya.
"Nah! Kau terima hukuman atas kekurang-ajaranmu itu!" tegas Kenanga ketus. Sesaat kemudian, tubuh ramping itu pun melesat dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa.
Orang bermuka bopeng yang telah siap menghadapi gadis itu, segera menggeser tubuhnya ke samping. Sepasang tangannya bergerak cepat untuk memapak serangan itu. Namun, kali ini pun ia harus kembali menelan pil pahit. Sebab begitu melancarkan serangan balasan, tahu-tahu tubuh lawan telah berpindah ke sebelah kirinya. Dan.... Plak! Buk!
"Aaahk...!"
Sebuah tamparan keras menghantam pipi si muka bopeng. Dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, sebuah pukulan telak telah bersarang di lambungnya. Tubuh orang itu pun terpental keras tanpa ampun, dan langsung tersuruk di tanah. Si muka bopeng merangkak bangkit sambil merings kesakitan. Wajahnya tampak berlumuran darah, karena beberapa buah giginya telah tanggal akibat tamparan yang sangat keras itu.
"Hei, ada apa ini...?!" Tiba-tiba terdengar seru seseorang. Seorang laki-laki kurus tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari Kenanga sambil memandang dengan alis berkerut. Beberapa orang laki-laki bertampang galak tampak menyertainya. Rupanya ketika mendengar ribut-ribut tadi, para tukang pukul rumah judi itu segera menghambur keluar. Dan semuanya menjadi terkejut melihat kawan mereka yang bermuka bopeng itu tampak tengah merintih sambil menekap wajahnya.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang baru datang itu, Kenanga segera memasukkan kantung uang yang telah dirampasnya dari si muka bopeng. Kemudian, pandangannya kembali terarah kepada si muka bopeng yang telah dikerumuni kawan-kawannya itu. Kenanga melihat si muka bopeng menunjuk-nunjuk dirinya. Orang bertubuh kurus itu segera melangkah mendekati Kenanga. Sepasang matanya tampak memancarkan kemarahan. Buku-buku jari tangannya terdengar bergemeletuk ketika tangannya dikepalkan.
"Siapa dirimu, Nisanak? Mengapa melukai temanku?" Tanya si kurus, datar.
"Mengapa harus bertanya padaku? Tanyakanlah kepada temanmu itu?" Sahut Kenanga ketus. Mata gadis jelita itu berkilat menantang pandang mata lawan bicaranya itu.
Bulu kuduk laki-laki kurus itu seketika meremang saat melihat sinar mata gadis jelita itu yang berkilat tajam. Diam-diam ia menjadi terkejut. Apakah mungkin gadis di hadapannya ini memiliki tenaga dalam tinggi hingga mampu menyalurkannya melalui mata?
Panji yang melihat kalau keadaan akan semakin bertambah runyam, segera melangkah mendekati Kenanga. Wajah Pendekar Naga Putih tetap menyunggingkan senyum sabar. Kemudian, dengan suara jelas, diterangkannya duduk persoalan kepada lelaki kurus itu.
"Hm.... Lebih baik tinggalkan desa ini, Anak Muda. Sebab aku tidak akan segan-segan bertindak kasar terhadap orang yang usilan sepertimu dan gadis itu!" Ancam orang bertubuh kurus.
"Dengar, Kisanak, Aku akan membayar hutang-hutang orang tua itu asalkan kau bersedia membebaskan anak gadisnya yang kalian tawan," kata Panji masih mencoba untuk bersabar.
"Huh! Tidak semudah itu, Kisanak. Selain harus menebus gadis yang kami tawan dengan dua kantung uang, kau pun harus membayar kerugian akibat luka-luka yang diderita kawan kami itu. Bagai-mana?" Sikap sabar Panji ternyata semakin membuat orang bertubuh kurus itu besar kepala dan menekannya.
"Keparat kau, Tikus Kering! Kau sengaja hendak memeras orang muda ini. Dasar tidak tahu malu!" Maki Lengga yang menjadi geram mendengar permintaan yang diajukan orang bertubuh kurus itu.
"Bedebah kau, Tua Bangka! Rasakan kepalanku!" Bentak orang itu marah mendengar makian Lengga. Setelah berkata demikian, tangan kanannya melayang ke wajah Lengga.
Plak!
"Uhhh...!" Orang bertubuh kurus itu terjajar beberapa langkah ke belakang ketika tamparannya ditepis oleh telapak tangan pemuda berjubah putih. Wajahnya tampak menyeringai kesakitan, karena merasakan tangannya tak ubahnya membentur besi baja yang keras dan kuat.
"Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari keributan, Anak Muda! Kepung dia!" Perintah si kurus kepada lima orang anak buahnya. Seketika kelima orang tukang pukul rumah judi itu mencabut senjata masing-masing.
"Heaaat..!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kelima orang tukang pukul itu langsung melompat sambil mengayunkan senjatanya.
"Kenanga, mundurlah!" ujar Panji sambil menggerakkan kakinya ke samping sambil memiringkan tubuhnya.
Kenanga yang semula berniat menuruti perkataan Panji, terpaksa menahan geraknya. Karena pada saat itu, golok di tangan lelaki kurus itu berkelebat mengancam tubuhnya. Cepat gadis itu meliukkan tubuhnya sehingga serangan lawan lewat di atas kepala. Kemudian, Kenanga menggeser kaki kirinya ke samping sambil melepaskan sebuah pukulan keras ke lambung lawan.
Wut!
Orang bertubuh kurus itu bergegas menarik tubuhnya ke belakang sehingga pukulan gadis itu tidak mengenai sasaran. Namun, begitu pukulannya berhasil dielakkan lawan, tahu-tahu kaki kanannya mencelat melakukan tendangan kilat ke arah tangan yang memegang golok.
Plak!
"Aaah...!"
Golok di tangan laki-laki kurus itu langsung terlempar ketika tendangan Kenanga tepat menghantam pergelangan tangan. Belum lagi sempat menyadari apa yang terjadi, sebuah hantaman sisi telapak tangan telah mengenai lambungnya.
Desss!
"Hughk...!"bTerdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut laki-laki kurus itu. Tubuhnya kontan terpelanting sejauh dua tombak Ketika ia tengah berusaha bangkit, kembali sebuah tendangan menghantam wajahnya. Dengan napas satu-satu dan wajah berlumur darah, laki-laki kurus itu kini telentang tak berdaya. Berbarengan dengan jatuhnya tubuh si kurus, lima orang yang menyerang pemuda berjubah putih itu langsung terkejut. Mereka yang tengah melancarkan serangan bertubi-tubi,tahu-tahu saja ke-hilangan lawannya. Dan sebelum mereka sempat menyadarinya, pemuda berjubah putih itu telah berdiri tegak sambil menggenggam lima batang golok.
"Hah...?!" Kelima orang tukang pukul rumah judi itu terbelalak dengan wajah pucat. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana senjata-senjata mereka kini telah berada di tangan pemuda itu. Mereka hanya sempat melihat bayangan putih itu melayang cepat mengintari mereka.
"Bedebah! Apa kau pikir kami akan gentar dengan ilmu sihir pasaranmu itu! Sambutlah ini. Heaaat..!"
Teriak salah seorang tukang pukul rumah judi itu. Tubuh orang itu melangkah ke depan dibarengi pukulan yang mengancam tubuh Panji. Rupanya ia belum juga mau menyadari kalau pemuda itu telah berbuat baik karena tidak melukai mereka. Melihat kawannya sudah mulai menyerang, maka keempat orang lainnya bergegas menerjang pemuda berjubah putih itu. Mereka berteriak-teriak sambil melancarkan pukulan dan tendangan.
Agak kesal juga hati Panji melihat kebandelan para tukang pukul itu. Karena, mereka ternyata belum juga jera dengan apa yang ditunjukkannya itu.
"Hm.... Aku harus memberi sedikit pelajaran agar mereka benar-benar kapok!" Gumam Pendekar Naga Putih perlahan.
Bet! Bet..!
Panji menggeser kedua kakinya bergantian untuk menghindari serangan lima orang pengeroyoknya itu. Lewat dua jurus kemudian, tiba-tiba tubuh pemuda itu berputar dan langsung melontarkan tamparan-tamparan yang menimbulkan deruan angin keras.
Plak! Plak..!
"Aduhhh...!"
"Aaah...!"
Dibarengi teriakan-teriakan kesakitan, kelima orang itu berjatuhan satu persatu. Setelah pipi mereka masing-masing telah membengkak akibat tamparan Panji.
"Hm.... Bagaimana? Apakah kalian masih akan meneruskan pertarungan ini?" Tanya Panji dengan suara tenang.
"Ampun.... Kisanak Kami menyerah...!" Ratap salah seorang di antara lima tukang pukul itu sambil mengusap-usap wajahnya yang membengkak.
"Nah! Sekarang, tunjukkan di mana anak gadis bapak ini ditahan?" Ujar Panji selanjutnya.
Tanpa berani menentang tatapan Pendekar Naga Putih, maka laki-laki itu pun memberitahu di mana putri Lengga berada.
"Kenanga, kau tinggallah di sini. Biar aku dan Ki Lengga yang akan mencarinya," kata Panji. Setelah berkata demikian, kedua orang itu pun bergegas memasuki rumah judi.
Kenanga hanya mengangguk mendengar permintaan Panji, kemudian memandang kepergian kedua orang itu yang telah menghilang di balik pintu rumah judi. Tidak berapa lama kemudian, Panji dan Ki Lengga telah kembali membawa seorang gadis manis berambut panjang. Panji dan Kenanga segera mengantarkan kedua orang itu kembali kerumahnya. Kepergian mereka diiringi oleh pandangan mata penuh dendam dari para tukang pukul rumah judi.
«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»
Panji dan Kenanga yang dipaksa untuk singgah di rumah Lengga menjadi terkejut mendengarnya. Pendekar Naga Putih bergegas bangkit meninggalkan hidangan yang tengan dinikmatinya. Dia melangkah ke luar setelah menyuruh yang lainnya untuk tetap di tempat.
"Kalian mencari aku?" Tanya Panji tenang, setelah berada di ambang pintu. Sambil menuruni anak tangga yang terdapat di bawah pintu rumah, pemuda tampan itu mengerutkan alisnya ketika melihat beberapa orang yang pernah dicundanginya didepan rumah judi.
"Hm… Itukah pemuda yang telah mengacau rumah judimu?" Tanya salah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Jelas sekali terpancar sinar kesombongan pada wajahnya.
"Betul, Kakang. Itulah pemuda yang telah merusak rumah judiku," sahut laki-laki bertubuh kurus yang wajahnya tampak dibalut kain berwama putih.
"Hm…. Jadi dia masih belum kapok Dan kali ini bahkan mengundang beberapa orang jagoan," gumam Panji dalam hati.
"Hei, Kisanak! Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu merusak rumah judi milik laki-laki ini?" Tanya pemuda sombong itu dengan suara lantang ke arah Panji.
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa selain menolong orang yang tengah mengalami kesusahan. Itu saja," sahut Panji dengan wajah tetap tenang.
"Hm…. Hebat sekali kata-katamu itu. Sadarkah kau kalau akibat perbuatanmu itu berarti telah mencari kesulitan dengan kami?" Kembali si pemuda sombong itu berkata keras. Bahkan kali ini nada suaranya seperti mengandung ancaman.
"Oh?! Jadi kalian adalah anjing-anjing peliharaan cacing kurus itu. Berapa kalian dibayar untuk melakukan penyiksaan kepada penduduk yang tidak sanggup membayar hutang-hutang judinya? Tidakkah kalian sadar kalau perbuatan kalian itu sama saja dengan menjerat leher penduduk desa!" Tegas Panji tak kalah garang sambil melangkah maju beberapa tindak kearah orang-orang itu.
"Ahhh, tunggu apa lagi! Sumbat saja mulutnya dengan kepalan, kan beres!" Pancing salah seorang anak buah pemuda sombong itu, seperti tak sabar mendengar mereka saling berbantahan.
"Ya, tunggu apa lagi?! Tanganku rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi?" Yang lain ikut menimpali sambil memandang Panji dengan mata melotot.
"Hm…. Coba kalian urus dia!" Sahut si pemuda sombong itu sambil mengulapkan tangannya tanda tak peduli.
Begitu mendapat persetujuan dari pemuda sombong itu, empat orang kawannya segera melangkah mendekati Panji. Dari cara mendekat, jelas sekali kalau mereka sangat menganggap remeh Pendekar Naga Putih. Keempat orang itu mendekati Panji dengan lagak menakut-nakuti.
"Hm…. Kau rasailah bogem mentahku ini, Kisanak!" Sambil berkata demikian, salah seorang dari mereka mengulur tangannya dengan gerakan yang terlihat dilambatkan. Dia seolah-olah sengaja berbuat demikian untuk melihat tanggapan pemuda itu. Padahal, laki-laki kurus yang memiliki rumah judi itu sudah memperingatkan, namun jelas sekali kalau mereka belum mempercayai kelihaian pemuda itu. Jelas, mereka terlihat masih memandang remeh pemuda berjubah putih itu.
Went!
Panji menggeser kaki kanan ke belakang sambil memiringkan tubuhnya sedikit Kepalan orang itu lewat beberapa jari didepan tubuh Panji. Dengan gerakan yang terlihat sembarangan, telapak tangan pemuda itu bergerak ke wajah lawannya.
Plak!
"Aduhhh…!"
Orang itu menjerit kesakitan ketika tangan Panji hinggap di wajahnya. Ia benar-benar heran, bagaimana mungkin tamparan itu masih juga mengenainya. Karena, saat itu wajahnya telah ditarik untuk menghindari tamparan pemuda berjubah putih itu.
"Keparat! Kubunuh kau…!" Pekik orang itu marah sambil mencabut keluar goloknya. Kemudian dengan kalap Panji mulai diterjang dengan sambaran-sambaran senjatanya itu.
Wut Wut..!
Panji menggeser kakinya bergantian sambil meliukkan tubuh untuk menghindari sabetan golok lawan. Tiga orang lainnya sudah pula mencabut senjata masing-masing. Setelah melihat seorang telah menerjang kalang-kabut, ketiga orang itu pun bergegas mengeroyok Panji.
Plak!
"Aaakh…!"
Salah seorang pengeroyok itu terjungkal akibat hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih yang telah menghajar lambungnya. Orang itu kontan terjengkang pingsan seketika itu juga. Rupanya hantaman pemuda itu terlalu keras baginya.
Wuk! Wuk!
Panji merundukkan wajahnya sehingga dua serangan golok lawan lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Dan saat itu juga kaki kanannya bergerak menyabet kaki lawan. Namun lawan yang satu ini ter-nyata cukup lihai. Maka cepat-cepat ia melompat sambil melakukan tendangan ke wajah Panji.
Zebbb!
"Uhhh…!"
Tendangan orang itu hanya menerpa tempat kosong, karena Panji telah lebih cepat mengegoskan wajahnya ke kiri. Secepat kilat tubuh Panji berputar sambil mengirimkan sebuah tendangan ke perut lawannya.
Desss!
"Hukkk…!" Darah menyemprot keluar ketika tendangan Panji telak menghajar perut bagian atas lawan. Tubuh orang itu kontan terpental ke belakang hingga beberapa tombak jauhnya, dan langsung menggeletak pingsan tanpa mampu bangkit lagi.
Lawannya yang tinggal dua orang itu melangkah mundur dengan wajah agak memucat. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau pemuda itu dapat merobohkan dua orang teman mereka hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal, kepandaian kedua orang itu tidak bisa dibilang rendah. Tapi, pemuda berjubah putih itu ternyata enak saja menjatuhkannya. Seolah-olah, kedua orang itu memang tidak memiliki kepandaian yang berarti!
Wajah si pemuda sombong nampak berubah be-gitu melihat kedua orang kawannya dapat dijatuhkan pemuda berjubah putih dengan mudahnya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melayang ke arah Panji.
"Jangan merasa bangga dulu, Kisanak. Sambutlah seranganku ini!" Setelah berkata demikian, pemuda sombong itu segera melancarkan serangan yang menimbulkan deru angin keras.
Wut! Wut..!
Panji melompat mundur menghindari serangan itu. Pendekar Naga Putih sempat terkejut melihat kehebatan kecepatan gerak lawan.
"Hm…. Pantas ia begitu memandang rendah orang lain. Rupanya ilmu kepandaiannya lumayan juga," gumam Panji sambil mengelak dari tendangan lawan yang mengincar perutnya. Secepat kilat dibalasnya serangan lawan dengan pukulan telapak tangan bertubi-tubi.
Bet! Bet..!
Mendapat serangan yang cepat dan bertubi-tubi, pemuda sombong itu berlompatan menghindarinya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang ketika baru saja dadanya terhantam telapak tangan pemuda berjubah putih itu.
"Hm…. Ternyata kepandaianmu boleh juga, Kisanak!" Puji pemuda sombong itu. Namun, dia masih juga menganggap kepandaiannya lebih tinggi dari lawannya.
"Sekarang tahanlah serangan pedangku ini! Haaat..!"
Wut! Wuk..!
Pendekar Naga Putih berjungkir balik ke belakang ketika mendapat serangan beruntun dari lawannya. Diam-diam pemuda itu harus mengakui kehebatan ilmu pedang lawan.
"Hm…!" Begitu kakinya menjejak tanah, Panji menyedot udara sebanyak-banyaknya. Sesaat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan pun mulai menyelimuti tubuhnya.
Wusss!
Serangkum angin yang sangat dingin berhembus keras mengiringi tarikan napas pemuda itu. Dua anak buah pemuda sombong dan lelaki kurus yang menyaksikan pertarungan itu bergegas menjauh. Mereka memang tak sanggup menahan sergapan hawa dingin yang terasa membekukan seluruh urat-urat tubuh.
"Pendekar Naga Putih…!" Desis si pemuda sombong dengan wajah berubah tegang. Kali ini kesombongannya langsung lenyap, ke-tika melihat kabut bersinar putih yang menyelimuti tubuh Panji. Ternyata lawan yang semula dianggap remeh itu adalah seorang pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia persilatan pada masa ini. Tentu saja hal itu membuatnya bungkam beberapa saat lamanya.
"Aaah…!" Si pemuda sombong menggelengkan kepalanya seperti berusaha hendak mengusir kegentaran yang menguasai hatinya.
"Heaaat..!" Merasa sudah kepalang tanggung, maka si pemuda sombong itu segera menerjang Pendekar Naga Putih. Begitu mengetahui kalau lawannya bukanlah orang sembarangan, maka seluruh kemampuannya dikerahkan dalam penyerangan kali ini.
Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang waktu lagi, bergegas melompat memapak serangan lawan. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga itu bergerak berputaran mengaburkan pandangan lawan. Sehingga, dalam lima jurus saja pemuda sombong itu pun dibuat kalang-kabut.
"Yeaaat…!" Memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-tiba Panji berteriak nyaring. Saat itu juga tubuhnya bergerak cepat sambil melontarkan serangan-serangan yang datangnya bagai air bah.
Wut! Wut..!
"Aaah…!" Pemuda sombong itu terkejut bukan main melihat kecepatan gerak lawannya. Susah payah ia berusaha menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu. Namun dua buah pukulan tetap saja bersarang telak di dada dan perutnya.
Buk! Desss!
"Aaah…!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda sombong itu pun tedempar keras diiringi semburan darahnya. Tubuhnya terbanting keras di atas per-mukaan tanah.
"Hm…. Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" Ancam Pendekar Naga Putih dengan tatapan tajam.
Dengan langkah tertatih-tatih, pemuda sombong itu pun melangkah meninggalkan tempat itu. Dua orang kawannya yang tergeletak pingsan dibawa dua orang kawannya. Sedangkan si pemilik rumah judi menggandeng tangan pemuda sombong itu.
"Wah! Orang-orang seperti mereka semestinya tidak usah diberi ampun, Nak Panji. Aku yakin tidak lama lagi mereka akan datang dengan jumlah yang lebih besar dan membawa jagoan-jagoannya," tegas Lengga yang sudah melangkah mendekati Pendekar Naga Putih.
"Benar, Kakang Panji. Mereka tidak akan pernah jera sebelum menjadi mayat!" Gadis putri laki-laki setengah baya itu ikut menimpali.
"Bagaimana menurutmu, Kenanga?" Panji memalingkan wajah ke arah kekasihnya. Ingin didengarnya sendiri, apa pendapat kekasihnya tentang hal itu.
"Menurutku, sebaiknya kita datangi saja tempat mereka. Karena kalau mereka sampai datang ke tempat ini, bukan tidak mungkin penduduk akan menjadi korban," sahut Kenanga.
Panji mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar usul gadis jelita itu. Segera disetujuinya usul yangdiajukan Kenanga. Tak lama kemudian, keduanya pun segera berpamitan setelah terlebih dahulu menanyakan di mana letak kediaman orang-orang itu.
Kenanga dan Pendekar Naga Putih terkejut ketika tiba di sebuah bangunan yang dikelilingi tembok kokoh, terdengar teriakan orang bertempur. Keduanya cepat-cepat berlari ke arah samping bangunan, lalu bergerak naik ke atas sebatang pohon yang tumbuh di dekat tembok itu.
"Eh, siapa orang berambut meriap itu? Tampaknya ia tengah terdesak oleh keroyokan ketiga orang kakek itu, Kakang," bisik Kenanga terkejut.
"Nanti dulu, Kenanga!" Cegah Panji begitu melihat kekasihnya hendak melompat turun untuk menolong orang berambut meriap, "Kita belum mengetahui secara pasti, siapa adanya orang berambut meriap itu dan siapa ketiga kakek itu?"
"Mari kita lihat lebih dekat, Kakang!" Ajak gadis jelita itu yang segera melayang turun dan menyelinap di balik tembok.
Panji bergegas melayang turun mengikuti kekasihnya. Gerakan mereka ringan sekali, pertanda telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu tinggi. Keduanya segera bergerak dan berindap-indap mendekati arena pertarungan.
"Lihat, Kakang. Senjata yang digunakan orang berambut riap-riapan itu aneh sekali bentuknya!" jelas Kenanga, heran melihat senjata yang digunakan orang berambut meriap itu.
"Hm…. Tapi kehebatan gerak serta keampuhan senjatanya tampak jelas sekali. Kalau saja mereka berhadapan satu persatu, ada kemungkinan orang berambut meriap itu akan dapat mengatasi lawannya," duga Panji setelah mengamati pertarungan itu beberapa saat lamanya.
"Lihat, Kakang! Nampaknya orang itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi!" seru Kenanga lirih. Wajah gadis itu terlihat agak cemas. Sepertinya meskipun belum mengetahui duduk persoalannya, namun gadis itu telah berpihak kepada orang yang berambut meriap.
Tubuh Panji segera melesat ketika tubuh orang berambut meriap terguling akibat tendangan salah seorang lawannya. Dan sebelum sempat bangkit, salah seorang lainnya bergegas mengayunkan pedangnya siap membelah tubuh orang itu.
Wut..! Plak!
"Aaah…!"
Pada saat yang berbahaya, tubuh Panji melesat bagal anak panah. Langsung tangannya diulurkan untuk memapak serangan orang itu. Tubuh kakek itu terjajar mundur diiringi seruan kagetnya.
"Hm…. Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih!" Ujar salah seorang kakek yang berusia paling tua di antara ketiganya. Wajah kakek itu nampak geram melihat sesosok tubuh yang terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan telah menggagalkan serangan kawannya.
Panji mengerutkan keningnya, berusaha mengingat kakek itu. Hatinya benar-benar terkejut dan juga gembira ketika melihat wajah kakek itu.
"Hm…. Kalau tidak salah, kalian bertiga pernah membunuh seorang pemuda di Kaki Gunung Kalaban." Panji seolah-olah meminta ketegasan dari ketiga orang kakek yang memang tak lain adalah Ki Aji Barga, Ki Bukaran, dan Ki Palwaka yang tahun lalu telah mengeroyok Ki Shindupala dan muridnya.
"Benar! Dan akulah pemuda itu, Kisanak!" Sahut sosok tegap berambut meriap, seraya bergerak bangkit
Panji langsung menoleh ke arah suara tadi. Keningnya agak berkerut ketika mengenali pemuda itu.
"Untuk kedua kalinya kau kembali menolongku, Pendekar Naga Putih. Entah bagaimana caranya aku harus membalas kebaikanmu itu?" Orang berambut riap-riapan itu ternyata Sanjaya. Rupanya ia telah berhasil menemukan orang-orang yang telah membunuh gurunya.
"Ah! Syukurlah kau selamat, Kisanak," sahut Panji cukup terkejut dibuatnya. Memang waktu itu dia melihat jelas kalau pe-muda itu telah jatuh ke dalam jurang. Entah apa yang telah dialami pemuda itu sehingga dapat selamat. Dan kepandaiannya pun telah jauh lebih lihai menurut penglihatan Panji.
"Mengapa kau bisa berada di tempat ini, Pendekar Naga Putih. Sepertinya kau bagai seorang malaikat saja?" Tanya Sanjaya yang merasa heran melihat kedatangan pemuda yang dulu pernah menolongnya itu.
Panji lalu menceritakan secara singkat apa sebabnya sehingga bisa berada di tempat ini.
"Hm… Rupanya kau benar-benar telah berubah jauh Ki Aji Barga. Kini kau pun telah pula bersekongkol dengan para bajingan pemilik rumah judi dan pelacuran! Tidak kusangka kau akan sebejat itu!" Ucap Sanjaya sinis.
"Tak perlu kau mencampuri urusanku, Murid Murtad! Kami sengaja menunggumu. Karena kami yakin kau belum tewas di dalam jurang itu," sahut Ki Bukaran ikut menimpali.
"Hm…. Bagaimana kalian tahu kalau aku selamat?" Tanya Sanjaya heran.
"Firasat kami yang mengatakannya. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk menyusul arwah gurumu!" Ki Aji Barga kembali menyahuti. Setelah berkata demikian, ketiga kakek itu pun kembali bersiap untuk menghadapi Sanjaya dan Pendekar Naga Putih. Sanjaya dan Pendekar Naga Putih merenggang untuk menghadapi lawan masing-masing. Kedua pemuda itu nampaknya telah bersiap menghadapi ketiga tokoh sakti itu.
"Haaat..!" Sambil berseru keras, Sanjaya memutar senjatanya menerjang Ki Aji Barga yang menjadi sasaran utamanya. Karena orang tua itulah yang telah mengakibatkan kematian gurunya.
Ki Aji Barga pun bukanlah orang bodoh. Ia tahu kalau pemuda itu pasti telah berhasil menguasai ilmu pusaka warisan perguruannya. Makanya ia tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan senjata dalam menghadapi pemuda gagah berambut riap-riapan itu.
Wut..! Trang!
Terdengar dentingan yang memekakkan telinga ketika kedua senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Ki Aji Barga sempat terkejut ketika merasakan kalau tenaga pemuda itu temyata lebih tinggi sedikit.
SEMBILAN Sanjaya yang hatinya telah diracuni dendam kembali menerjang dahsyat. Senjata di tangannya berputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deruan angin keras. Seluruh kekuatannya dikerahkan dalam melancarkan serangan kali ini.
Ki Aji Barga pun tidak mau kalah. Pedang ditangannya diputar hingga membentuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya. Sesaat kemudian, keduanya kembali saling menerjang hebat. Pertarungan yang berlangsung antara dua orang yang masih satu aliran itu benar-benar hebat. Batu-batu dan pasir beterbangan tersepak kaki-kaki mereka. Keduanya menguras seluruh kepandaian masing-masing untuk segera saling menjatuhkan!
Di tempat lain, Panji sudah pula berhadapan dengan Ki Bukaran dan Ki Palwaka. Kedua orang tokoh itu juga telah menggunakan senjata masing-masing, sehingga serangan-serangan mereka tidak bisa dibuat main-main!
Wut! Wut..!
Panji melempar tubuhnya ke belakang. Setelah berjungkir balik sebanyak tiga kali, tubuhnya mendarat ringan di atas permukaan tanah. Sadar kalau kedua orang lawannya bukan tokoh sembarangan, maka pemuda itu bergegas mencabut keluar Pedang Naga Langit yang tersampir di punggungnya.
Wuk! Wuk..!
Angin dingin bertiup kencang ketika Pendekar Naga Putih mulai menggerakkan senjata pusakanya. Suaranya mengaung dahsyat bagai raungan seekor naga yang marah!
Dua orang kakek itu bergegas melompat mundur sambil menyiapkan jurus-jurus andalan. Mereka maklum kalau pemuda yang dihadapinya adalah seorang pendekar ternama yang telah banyak merobohkan tokoh sakti dari berbagai aliran. Maka kini mereka harus berhati-hati dalam menghadapinya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi pekikan keras, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur dengan jurus andalannya. Pedang di tangannya berputar menimbulkan terpaan angin dingin yang kuat. Sehingga, kedua orang lawannya harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menghadapinya.
Pertarungan berlangsung seru dan mendebarkan. Gulungan sinar pedang ketiga tokoh sakti itu saling libat dan saling mendorong hebat. Dalam waktu yang singkat saja, ketiga orang tokoh itu telah bertempur selama kurang lebih enam puluh jurus. Namun sampai sejauh itu belum terlihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Pada jurus yang ketujuh puluh lima, Panji berseru nyaring mengejutkan lawan-lawannya. Saat itu juga tubuhnya meluruk setelah terlebih dahulu melambung ke atas.
Werrr!
Terpaan angin dingin semakin kuat dan membelenggu tubuh kedua orang kakek itu. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus pamungkas Pendekar Naga Putih menampakkan kehebatannya. Sinar pedang yang membentuk lingkaran itu berpendar menyilaukan pandangan kedua orang lawan. Merekapun tak sempat lagi untuk menghindar ketika senjata di tangan pemuda itu membeset tubuh mereka.
Bret! Bret...!
"Aaargh...!"
Ki Bukaran dan Ki Palwaka meraung keras ketika Pedang Naga Langit membeset bahu dan lambungnya. Tubuh kedua tokoh sakti itu terjungkal keras. Darah langsung menyembur dari luka memanjang pada tubuh mereka.
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih!" Teriak seorang laki-laki gagah yang berusia sekitar empat puluh tahun. Lima orang lainnya berturut-turut mengikuti gerakan orang itu, untuk mengepung Panji.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba sesosok tubuh ramping berjungkir balik memasuki arena pertempuran. Kedua kakinya mendarat ringan di tengah-tengah kepungan lima orang murid kesayangan tiga orang kakek sakti itu.
"Kau jangan serakah, Kakang...!" ujar gadis jelita yang tak lain Kenanga sambil tersenyum. Di tangan gadis itu tergenggam sebatang pedang bersinar putih keperakan.
"Heaaat..!"
Dua orang di antara pengepung itu melesat menerjang Kenanga. Sedangkan empat orang lainnya bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih. Sepasang pendekar muda itu segera mehggerakkan senjatanya menyambut serangan lawan. Sesaat kemudian, pertarungan segera berkecamuk. Dua orang pengeroyok Kenanga yang merupakan murid Ki Bukaran, menyerang ganas dan cepat Kepandaian kedua orang itu tidak bisa dipandang rendah, karena mereka murid-murid kesayangan kakek sakti itu. Sehingga, pertarungan pun semakin seru dan sengit.
Sedangkan Panji yang menghadapi empat orang lawan, berkelebat cepat bagai bayangan hantu. Sesekali Pedang Naga Langitnya menusuk tiba-tiba dan mengejutkan para pengeroyoknya. Pemuda itu rupanya tidak berniat membunuh lawan-lawannya. Buktinya, terlihat serangan serangan pedangnya tidak terlalu ganas. Bahkan jarang sekali melakukan serangan secara beruntun. Namun hal itu dianggap sebagai suatu penghinaan oleh empat orang lawannya itu. Sehingga, mereka menyerang semakin ganas dan berbahaya.
"Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Apakah kau pikir kepandaianmu sudah setinggi langit hingga menganggap remeh kepada kami!" Sambil berteriak marah, orang itu menyabetkan pedangnya secara mendatar. Suaranya mengaung tajam, karena seluruh tenaganya telah dikerahkan.
Wuuut!
Tubuh Panji menyelinap di antara sambaran pedang lainnya. Pendekar itu kemudian melompat jauh ke belakang, sehingga membuat keempat orang lawannya semakin penasaran.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya tidak ingin kalian mengikuti jejak guru kalian yang sesat itu!" Sahut Panji sambil mengibaskan senjatanya menghalau pedang lawan.
"Tak perlu menggurui kami! Kalau memang mampu, hadapilah pedang kami! Jangan hanya berkelit saja!" Ejek salah seorang yang mengenakan ikat kepala putih. Setelah berkata demikian, ia pun segera melompat sambil membacokkan goloknya untuk mem-belah tubuh pemuda itu.
"Hm.... Kalian memang harus diberi pelajaran biar kapok!" tegas Panji agak kesal. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu bergerak cepat melakukan serangan hebat!
Trang! Trang!
"Uhhh...!"
Dua orang lawannya terjajar mundur ketika menangkis pedang Panji. Dan sebelum mereka sempat mengatur serangan, kaki pemuda itu telah melakukan tendangan dua kali berturut-turut.
Desss! Desss!
"Ughhh...!"
Dua orang pengeroyok itu kontan terjungkal ke belakang. Dada dan perut mereka telak terkena tendangan Pendekar Naga Putih. Darah pun langsung menyembur dari mulut keduanya Saat itu juga keduanya menggeletak pingsan.
"Keparat! Ciaaat..!" Dibarengi sebuah pekik kemarahan, tubuh salah seorang lawannya meluncur ke arah Panji disertai ayunan senjatanya. Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi menyabetkan senjatanya dari atas ke bawah.
"Hmh...!" Sambil mendengus kasar, pedang di tangan Panji berkelebat dua kali berturut-turut.
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Kedua orang itu terpekik kaget. Seketika itu juga senjata mereka terlepas dari genggaman. Kembali pedang Pendekar Naga Putih berkelebat menyilaukan mata.
Breti Bret!
"Aaargh...!"
Darah segar menyembur ketika mata pedang itu membeset dada kedua orang itu. Tubuh keduanya terjajar ke belakang sejauh dua tombak. Panji kembali melompat dan menendang dengan kedua kakinya. Tak ayal lagi, kedua orang itu langsung ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
Sedangkan di arena yang lain, Sanjaya sudah pula berhasil mendesak Ki Aji Barga. Senjata di tangan pemuda gagah itu benar-benar membuatnya mati langkah. Beberapa kali tubuhnya nyaris termakan senjata yang berbentuk aneh itu. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga, hanya pakaiannya saja yang telah robek di sana sini.
Pada jurus yang keseratus lima, Sanjaya tiba-tiba menggetarkan senjatanya. Terdengar suara berdenting yang menyakitkan telinga. Ki Aji Barga cepat melompat ke belakang sambil memejamkan matanya untuk menahan serangan suara yang menggetarkan rongga dadanya. Sanjaya yang memang telah menunggu-nunggu kesempatan baik itu, tidak ingin menyia-nyiakannya. Saat itu juga tubuhnya berkelebat disertai ayunan senjatanya secara mendatar.
Wuttt!
Senjata berbentuk pedang yang disambung-sambung itu, berkelebat dengan kecepatan kilat. Sasarannya adalah batang leher Ki Aji Barga!
Crak!
Ki Aji Barga yang tengah berusaha menenangkan debaran dalam dadanya tak sempat lagi menghindar. Kepalanya langsung terpisah dari badan ketika senjata di tangan Sanjaya tepat membacok batang lehernya. Darah segar kontan menyemprot dari leher yang terpapas buntung itu. Melihat tubuh lawannya masih juga berdiri goyah, pemuda itu kembali mengayunkan senjatanya. Kali ini sasarannya adalah perut lawan.
Creb...!
Darah segar kembali menyembur dari luka lebar yang menganga di tubuh Ki Aji Barga. Tubuh tanpa kepala itu kini terjerembab dan diam tak berkutik lagi.
"Guru..,. Muridmu telah dapat membalaskan sakit hatimu. Semoga arwahmu menjadi tenang," ucap Sanjaya dengan suara berbisik. Setelah mengucapkan kata-kata demikian, pemuda tinggi tegap itu pun bergegas bangkit berdiri. Sanjaya menolehkan kepalanya ketika mendengar jeritan menyayat. Jeritan itu dibarengi jatuhnya dua sosok tubuh yang berlumuran darah. Kenanga melangkah menghampiri dua orang lawannya yang telah terluka itu. Sepasang matanya tampak menyiratkan ancaman yang mengerikan.
"Ampun, Nisanak.... Kami menyerah!" Ratap orang itu sambil menekap dadanya yang terluka. Sedangkan yang seorang lagi telah tewas karena pedang gadis itu terlalu dalam melukai perutnya.
"Kenanga! Biarkan orang itu!" Seru Panji yang samar-samar mendengar ratapan orang itu. Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkah menghampiri kekasihnya.
Saat itu Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang terluka parah oleh Panji, tampak bergerak bangkit Kedua kakek itu merintih sambil menekap lukanya.
"Keparat, rupanya kalian masih belum mampus!" Bentak Sanjaya ketika melihat tubuh dua orang kakek itu tengah berusaha untuk bangkit berdiri. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda itu kembali melompat disertai ayunan senjatanya.
"Sanjaya, jangann..!" Cegah Panji ketika mengetahui apa yang akan diperbuat oleh pemuda itu. Namun sayang, teriakan Panji sudah terlambat. Karena dua orang kakek itu telah menjerit ngeri.
Sanjaya menghela napas berulang-ulang sambil menatap tubuh dua orang kakek yang telah menjadi mayat itu. Senjata pemuda itu tampak masih meneteskan cairan kental berwarna merah.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku khilaf," ucap Sanjaya dengan wajah tertunduk.
"Hm.... Semuanya telah terjadi. Tak perlu disesali," sahut Panji sambil menepuk perlahan bahu pemuda itu.
"Dendamku sudah terbalas. Aku tidak mempunyai urusan lagi di tempat ini. Aku mohon diri, Pendekar Naga Putih, Kenanga," ujar Sanjaya sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Sanjaya telah memutuskan untuk kembali ke tempat Suku Gandas di mana calon istrinya menunggu.
"Selamat jalan, Sahabat...," ucap Panji lirih sambil melambaikan tangannya. Sedangkan Kenanga telah berdiri di samping kekasihnya sambil menggenggam tangan pemuda itu.
Setelah mengobati orang-orang yang terluka, Panji dan Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. Tak lupa pemuda itu berpesan agar mereka tidak mengikuti jejak guru mereka yang sesat.
Sinar matahari semakin naik tinggi. Sinarnya mulai memudar, karena sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya untuk hari ini. Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah perlahan sambil berpegangan tangan. Sang mentari pun ikut tersenyum menyaksikan kemesraan sepasang kekasih itu.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Penggembala Mayat --oo0oo-- Pendekar Murtad |