Memburu Harta Karun
tanztj
May 04, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Bunga Abadi Di Gunung Kembaran --oo0oo-- Kelabang Hitam |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : MEMBURU HARTA KARUN
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : MEMBURU HARTA KARUN
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
«₪֎ [ SATU ] ֎₪»
Dalam suasana seperti ini, rasanya orang akan enggan untuk keluar rumah. Seperti halnya penghuni rumah besar yang terletak di sebelah Selatan kotaraja itu, atau tepatnya di Desa Karang Kemiri. Rumah itupun terlihat sepi bagaikan tak berpenghuni. Dua orang laki-laki yang bertugas jaga, tampak meringkuk malas di gardu jaga. Sesekali mereka terlihat menguap menahan serangan kantuk. Mata mereka menyipit dan terasa berat. Dapat dipastikan tidak lama lagi keduanya akan jatuh tertidur.
Di tengah kegelapan malam dan titik-titik air yang jatuh membasahi bumi itu, tampak belasan sosok tubuh berlarian mendekati rumah besar itu. Mereka yang rata-rata mengenakan pakaian serba hitam bergerak lincah menyelinap di antara bayang-bayang pohon. Wajah mereka tidak terlihat jelas karena tertutup selembar saputangan hitam. Tidak lama kemudian belasan sosok tubuh itu tiba di bawah tembok tinggi yang kokoh. Sejenak mereka memandangi tembok tinggi yang mengelilingi rumah besar itu. Sesaat kemudian salah seorang dari mereka membalikkan tubuhnya membelakangi tembok.
Kedua tangannya ditadahkan ke arah kawan- kawannya dengan keadaan posisi kaki kuda-kuda. Kemudian satu-persatu kawannya melompat dengan kaki menjejak tangan yang ditadahkan itu Maka orang yang membelakangi dinding itu seketika melemparkan tubuh kawannya. Perbuatan itu terus dilakukan berkali-kali hingga akhimya seluruh kawannya telah berhasil melewati tembok itu. Sedangkan dia sendiri bergegas menjejak tanah, maka tubuhnya langsung melambung melewati tembok Rupanya orang itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kawan- kawannya.
Setelah berhasil melewati tembok yang mengu-rung bangunan rumah besar itu, belasan sosok tubuh itu berpencar menjadi tiga kelompok. Masing masing kelompok terdiri dari empat orang. Mereka berpencaran untuk memasuki bangunan besar itu dari tiga jurusan. Salah satu dari kelompokorang berpakaian hitam itu bergerak mendekati pos jaga. Dua orang dari mereka cepat membekap mulut, kemudian menancapkan senjatanya ke perut dua orang penjaga pos yang tengah terkantuk-kantuk.
"Huh! Anjing-anjing pemalas! Tidurlah kalian untuk selamanya," gumam salah seorang dari mereka sambil membersihkan darah yang menetes dari senjatanya, setelah menghabisi nyawa dua orang penjaga itu.
Kemudian ia menggerakkan kepalanya sebagai isyarat untuk memasuki bangunan besar yang jadi sasaran mereka. Sementara itu di dalam sebuah kamar rumah besar itu, tampak seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh lima tahun tengah terjaga dari tidurnya. Rasa gelisah merayapi hatinya. Tangannya bergerak menggapai- gapai untuk membangunkan seorang laki-laki yang tampak masih terlelap di sampingnya.
"Kang...," panggil wanita itu pelan sambil mengguncang-guncangkan tubuh suaminya yang berusia sekitar lima puluh tahun.
"Hmmmh...," laki-laki itu hanya bergumam pelahan tanpa berusaha membuka matanya. Tapi ketika merasakan guncangan pada tangannya semakin keras, akhirnya laki-laki itu terbangun juga.
"Hhh.... Ada apa?" tanya laki- laki itu, malas.
"Aneh! Malam ini hatiku gelisah terus, Kang."
"Aaah! Jangan terlalu mengikuti perasaan. Sudah, tidurlah!" sergah suaminya yang segera kembali membaringkan tubuh tanpa mempedulikan perasaan istrinya. Sebentar kemudian, dengkurnya kembali terdengar.
Mendengar jawaban suaminya yang acuh, wanita itu terdiam. Pelahan-lahan direbahkan kembali tubuhnya di atas pembaringan yang beralaskan sutra berwarna merah muda. Meskipun kegelisahan masih menghantui, namun wanita cantik itu berusaha untuk memejamkan matanya rapat-rapat. Belum lagi sempat. terlena, tiba- tiba terdengar suara benda jatuh ke atas lantai. Wanita cantik itu langsung bangkit dengan wajah diliputi ketegangan.
"Siapa itu...?" tanya wanita itu was-was. Sementara tangan berjari lentik itu terus mengguncang-guncang tubuh suaminya. Sehingga, laki-laki itu kembali terbangun karena merasa terganggu.
"Sssttt..!" sebelum sang suami sempat bertanya, wanita cantik itu segera meletakkan jari telunjuknya di mulut. Kemudian dengan suara lirih diceritakan apa yang tadi didengarnya.
"Huh! Paling-paling hanya tikus nakal!" gumam laki-laki itu, kesal. Namun untuk memuaskan hati istrinya laki-laki gagah itu bangkit juga sambil menyambar senjatanya yang tergantung di dinding kamar.
Baru saja beberapa tindak kakinya melangkah, tiba-tiba laki-laki setengah baya itu berhenti. Dikerahkannya segenap panca indranya ketika mendengar suara-suara yang mencurigakan pada waktu menghampiri pintu tadi. Tapi begitu tidak lagi terdengar suara-suara yang mencurigakan segera diusirnya bayang-bayang buruk yang tergambar di benaknya.
"Ah! Mungkin aku hanya terbawa kegelisahan istriku saja," ujar laki- laki dalam hati.
Meskipun telah berhasil mengusir bayangan buruk itu, namun kewaspadaannya tetap ditingkatkan ketika melangkah menuju pintu kamar. Dari langkah kakinya yang ringan dan tak menimbulkan suara, dapat diduga kalau laki-laki gagah itu tentu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Pada saat jarak laki-laki gagah itu dengan pintu hanya sekitar satu tombak lagi, mendadak....
Brakkk!
Daun pintu itu langsunghancur berantakan. Empat orang yang mengenakan pakaian serba hitam serentak melompat masuk dengan senjata terhunus. Wajah mereka tertutup sehelai kain hitam hingga sukar dikenali.
"Garbala! Kalau kau dan keluargamu ingin selamat, cepat serahkan peta harta itu padaku!" ancam salah seorang dari mereka galak.
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya Perampok Busuk?! Apa yang kau maksudkan dengan peta harta itu?" bentak laki-laki gagah yang dipanggil Garbala marah. Dan ia merasa heran ketika mendengar orang berpakaian hitam mengenalnya.
"Huh! Siapa adanya aku, itu bukan urusanmu! Sekarang cepat serahkan peta harta itu sebelum kesabaranku habis!" orang itu mulai menggeram gusar.
"Maaf, Kisanak. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau ucapkan itu. Lagipula, kalaupun peta harta yang kau maksudkan itu ada padaku, belum tentu aku bersedia menyerahkannya padamu!" jawab Garbala tegas.
"Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Garbala. Orang-orang telah tahu kalau kau adalah keturunan Patih Gajati Denta. Seorang patih yang tamak dan serakah pada lima puluh tahun yang lalu. Karena terlalu serakah terhadap harta, akhirnya ia tewas di tangan para pendekar yang memang sangat membencinya. Namun sayang, para pendekar tidak berhasil menemukan harta yang ditimbunnya sejak muda itu. Dan kau sebagai keturunannya pasti mengetahui dimana harta itu disimpan," ujar salah seorang yang sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
"Aneh! Mengapa kau lebih tahu daripada aku? Siapa kau sebenarnya?" tanya Garbala semakin penasaran, karena orang itu mengetahui riwayat kakeknya dulu. Dan hal itu rasanya tidak mungkin diketahui sembarang orang. Pastilah orang itu telah mengenal keluarganya dengan baik.Garbala berusaha mencari jawaban dari semua itu, tapi otaknya seperti sulit untuk diajak berpikir.
"Bangsat! Rupanya kau pun sama tamaknya dengan kakekmu itu! Kau akan menyesal, Garbala!" bentak orang bertopeng itu. Setelah berkata demikian, orang itu segera menerjang Garbala. Pedangnya berkelebat mengancam tubuh laki-laki gagahitu.
Tranggg!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur sejauh empat langkah, ketika golok besar Garbala menangkis senjata lawan. Mereka masing-masing terpaku sejenak seraya sedikit melirik senjatanya kalau-kalau menjadi rusak akibat benturan itu. Bagaikan dua ekor ayam jago, keduanya saling pandang penuh kewaspadaan. Baik Garbala maupun lawannya sama-sama mencari kelemahan satu sama lain. Dua orang yang bersiap-siap melanjutkan pertarungan itu kali ini terlihat lebih berhati-hati. Ternyata dalam benturan senjata tadi ternyata tenaga mereka berimbang.
"Heaaattt..!" Kali ini Garbala membuka serangan terlebih dahulu. Golok besarnya berputar menimbulkan desir angin tajam yang menderu-deru. Laki-laki gagah itu rupanya telah siap mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk cepat menyelesaikan pertarungan. Tusukan golok besar Garbala berhasil dihindari lawannya hanya dengan menarik kaki depannya ke belakang. Dan secepat itu pula disabetkan pedangnya ke leher Garbala. Tentu saja laki-laki gagah itu menjadi terkejut melihat kecepatan gerak lawan. Bergegas dilempar tubuhnya ke belakang sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong.
Namun Garbala salah sangka kalau ia mengira dapat lolos dari sambaran pedang lawan. Karena begitu kakinya mendarat ternyata desingan senjata lawan terasa berkelebat dekat telinganya. Cepat-cepat kepala Garbala merunduk, maka pedang itu lewat beberapa rambut dari kepalanya. Tapi belum lagi posisinya sempat diperbaiki, sebuah tendangan lawan telah menyongsong ke arah dada.
Bukkk!
"Hukkk...!" Tubuh Garbala terpental deras ke belakang dibarengi muncratnya darah segar dari mulut.
"Oh, Kakang...! Kau... kau terluka?!" teriak wanita yang sejak tadi menggigil ketakutan begitu melihat suaminya terkapar.
Meskipun isi dadanya sempat terguncang akibat tendangan lawan, Garbala bergerak bangkit seraya melintangkan pedangnya. "Tetaplah di sini, Wilarni. Biar akan kucoba menahan mereka!" ujar Garbala berusaha menenangkan istrinya yang ternyata bernama Wilarni itu.
"He he he.... Menyerahlah, Garbala. Lebih baik serahkan peta harta karun padaku. Apakah tak merasa sayang kepada istrimu yang cantik molek itu," ejek lawannya terkekeh.
"Sudah kukatakan, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang peta harta yang kau sebutkan," sahut Garbala geram. Laki-laki gagah ini masih tidak mengerti, dari mana orang itu menduga kalau ia menyimpan peta harta milik kakeknya. Padahal, tentang peta itu pun baru diketahuinya beberapa minggu terakhir ini. Itu pun didengarnya dari orang lain.
"Betul, Kisanak. Kami sama sekali tidak mengetahui tentang peta harta yang kau maksudkan itu," Wilarni ikut pula meyakinkan orang-orang yang bertopeng itu.
"Keras kepala! Manusia-manusia tamak mampuslah!" sambil membentak keras orang bertopeng itu kembali membabatkan pedang ke tubuh Garbala yang sudah bersiap menghadapinya.
* * * * *
Sementara itu di tempat lain, tapi masih di dalam bangunan besar itu, sudah. pula terjadi perkelahian. Delapan orang berpakaian hitam yang lain rupanya telah berkumpul dan bertempur melawan dua anak muda yang dibantu beberapa orang lainnya.
"Kakang! Aku mengkhawatirkan keadaan Ayah!" teriak seorang gadis cantik berpakaian sutra merah muda sambil menangkis serangan lawan dengan pedangnya. Dan secepat kilat gadis itu membalas dengan tidak kalah ganas.
"Hm.... Lebih baik kita cepat-cepat habisi orang-orang gila ini. Setelah itu, baru kita melihat keadaan Ayah," sahut seorang pemuda tampan berusia sekitar delapan betas tahun.
Setelah berkata demikian, pemuda itu semakin mempercepat gerakan pedangnya hingga menimbulkan angin menderu-deru. Namun, ternyata kepandaian orang-orang berpakaian serba hitam itu rata-rata cukup tinggi. Sehingga, biarpun mereka telah berusaha mendesak lawan, tetap saja keadaannya tidak berubah. Malah kadang-kadang dua anak muda dan para pengikutnya yang terdesak serangan lawan-lawannya.
Tiba-tiba, ditengah bisingnya suara pertempuran, terdengar sebuah siulan panjang yang menusuk telinga. Tepat saat suara siulan itu lenyap, berkelebatan sosok tubuh yang mengenakan pakaian biru gelap sambil membabatkan pedang bersinar putih ke tubuh salah seorang kawanan berjubah hitam. Terdengar teriakan ngeri disertai semburan darah segar yang membasahi lantai. Salah, seorang dari kawanan baju hitam itu roboh tewas dengan leher hampir putus.
"Paman Gatar...!" seru sepasang muda-mudi itu gembira. Jelas terlihat kalau keduanya sudah amat mengenal orang yang baru datang itu.
"Pendekar Pedang Kilat..!" seru tujuh orang laki-laki berpakaian hitam itu kaget.
Seketika kegentaran menyelimuti hati mereka. Memang, siapa yang tidak mengenal nama besar Pendekar Pedang Kilat yang telah mengguncangkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang menggiriskan. Untuk beberapa saat lamanya, ke tujuh orang berpakaian serba hitam itu hanya berdiri terpaku.
"Hm... siapa kalian? Dan apa maksudnya datang ke tempat ini?" tanya Gatar yang berjuluk Pendekar Pedang Kilat. Sinar mata pendekar itu mencorong tajam hingga membuat tujuh orang itu semakin gentar.
"Paman, hadapilah mereka! Aku dan Adik Suntini akan melihat keadaan Ayah!" teriak pemuda tampan itu yang langsung berkelebat meninggalkan arena pertempuran. Sedangkan di belakangnya, gadis cantik yang bemama Suntini itu berlari mengikuti kakaknya.
"Baik, Shindura! Jangan khawatir, mereka hanyalah tikus-tikus busuk yang kelaparan dan tak perlu ditakuti," sahut laki-laki yang berjuluk Pendekar Pedang Kilat itu tenang. Sedikit pun tidak terlihat kegentaran pada raut wajahnya.
"Huh! Kau terlalu sombong, Pendekar Pedang Kilat! Biarpun kau memiliki kepandaian yang tinggi, tapi jangan harap kami akan tunduk kepadamu!" sahut salah seorang yang bertubuh gemuk. Begitu ucapannya selesai, tubuhnya meluncur disertai bentakan keras. Gerakan itu segera diikuti enam orang lainnya.
Serangan tujuh orang berseragam hitam yang serentak itu, tidak membuat Gatar gugup Sambil berteriak-teriak nyaring tubuhnya bergerak di antara kelebatan sinar-sinar pedang lawan. Sesekali pedang bersinar putih di tangannya melakukan serangan balasan. Angin tajam berkesiutan menandakan kalau tenaga dalam yang terkandung di dalamnya begitu kuat. Sehingga, kepungan lawan-lawannya menjadi buyar seketika.
Walaupun kepandaian Pendekar Pedang Kilat masih lebih tinggi daripada lawan-lawannya, tapi untuk menghadapi keroyokan tujuh orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, tidaklah mudah. Karena mereka bertempur secara kompak dan saling melindungi. Dan itu menyulitkan untuk dapat mendesak mereka.
* * * * *
Di tempat lain, Garbala yang tengah bertempur melawan empat orang bertopeng hitam tengah mati-matian mempertahankan nyawanya. Seluruh tubuhnya telah dipenuhi goresan senjata lawan-lawannya. Pakaian yang dikenakannya sudah tak ubahnya pakaian seorang pengemis gembel. Garbala sudah tidak mempedulikan lagi segala rasa pedih yang diderita. Yang ada dalam pikirannya adalah, bagaimana caranya mempertahankan dan keselamatan diri dan istrinya yang tengah merungkut di sudut kamar itu. Sementara, kamar yang dijadikan arena pertarungan lebih mirip kapal pecah. Beberapa kursi telah patah-patah. Beberapa hiasan dinding, tidak karuan lagi bentuknya.
"Bangsat! Rupanya kau lebih sayang peta harta itu daripada nyawamu! Kau memang patut mampus, Garbala!" teriak orang bertopeng itu geram melihat sikap lawannya yang kepala batu itu.
Crakkk!
"Aaahhh...!" Tubuh Garbala melintir akibat hantaman pedang lawan yang mengenai punggung. Darah kembali mengalir dari luka memanjang itu. Wajahnya berkerinyut menahan sakit pada punggungnya.
"Nah! Terimalah kematianmu, Keparat!" bentak orang berbaju hitam, kehilangan kesabarannya.
"Kakang...!" Wilarni menjerit histeris melihat kematian suaminya yang sudah di ambang pintu.
Wutttt! Tranggg!
"Uhhh...!" Tepat pada saat mata pedang hampir memenggal kepala Garbala, tiba- tiba sesosok bayangan berkelebat menyampok dengan senjatanya hingga menimbulkan pijaran api yang menerangi kamar itu sekejap. Sosok bayangan itu mengeluh pendek, dan tubuhnya seketika terjajar beberapa langkah ke belakang. Memang, tenaga dalamnya masih lebih rendah dibanding orang berpakaian hitam itu. Mulutnya meringis menahan rasa ngilu yang menusuk hingga ke bahunya.
Sedangkan orang berbaju hitam itu melompat mundur karena terkejut pedangnya yang sudah hampir memenggal kepala Garbala terpental balik. Kegusaran yang amat sangat tergambar jelas di wajahnya. Tanpa banyak cakap lagi, diayunkannya pedang itu ke arah pemuda remaja yang tadi menangkis senjatanya.
"Kakang Shindura, awasss...!" Gadis cantik yang bernama Suntini terpekik memperingatkan kakaknya yang tengah terancam bahaya. Suntini yang baru saja tiba di kamar itu tidak sempat lagi menyelamatkan kakaknya. Gadis itu hanya dapat memandang disertai wajah pucat. Pada saat yang gawat, Garbala yang berada di bawa kaki putranya segera mengakat golok besarnya untuk melindungi Shindura.
Tranggg!
"Huakkk..,!" Laki-laki setengah baya itu kembali terpental sambil memuntahkan segumpal darah segar. Meskipun usahanya berhasil, namun keadaan tubuhnya yang sudah lemah dan terluka itu tidak sanggup menahan tenaga lawan yang sangat kuat itu. Akibatnya, Garbala langsung roboh pingsan karena dadanya bagaikan dihantam sebuah batu besar akibat benturan tadi.
"Kakang..!" teriak Wilarni, langsung berlari menubruk tubuh Garbala yang tergolek pingsan.
"Ayah...!" seru Shindura dan Suntini berbarengan. Mereka segera berlari untuk memeriksa keadaan ayahnya.
Laki-laki berbaju hitam yang sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam itu sama sekali tidak tergugah perasaannya. Malah kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya. Segera disabetkan pedangnya kearah empat orang anak beranak itu tanpa perasaan iba sedikitpun! Namun, sebelum ia sempat mendekati keempat orang itu, mendadak sesosok tubuh berpakaian biru gelap telah berdiri menghalangi jalan orang berbaju hitam. Sebatang pedang bersinar putih yang masih meneteskan darah segar tergenggam erat di tangannya.
"Pendekar Pedang Kilat...!" seru orang itu tersentak mundur. Segera ditarik senjatanya yang semula. di arahkan kepada empat orang anak beranak itu. Sesaat terlihat kebimbangan di wajahnya. "Mengapa mencampuri urusanku, Kisanak?!" tanya orang itu kasar, tapi sedikit gusar.
"Hm... siapa bilang mencampuri urusanmu?! Kau tahu, dengan membuat urusan terhadap keluarga ini. berarti telah berurusan denganku! Mereka itu masih terhitung keluargaku," sahut Gatar tenang. "Dan sekali kau membuat urusan denganku, jangan harap akan dapat melihat sinar matahari esok pagi!" ancam pendekar itu dingin dan menggetarkan.
"Eh!?" seru orang itu terperangah. "Anak-anak gelombang besar, lari...!" orang berpakaian hitam itu yang sudah merasa tidak akan mampu menghadapi Pendekar Pedang Kilat, memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya itu. Sekejap kemudian, mereka berlompatan meninggalkan tempat itu.
Pendekar Pedang Kilat yang tidak ingin melepaskan lawan-lawan begitu saja, bergegas mengejar. Tapi alangkah terkejut hati pendekar itu ketika terdengar desingan yang menyambut tubuhnya. Maka cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bergulingan ke samping kiri untuk menghindari senjata-senjata rahasia itu.
* * * * *
«₪֎ [ DUA ] ֎₪»
Pendekar itu segera melangkahkan kakinya kembali ke dalam rumah besar milik Garbala. Dia langsung menuju kamar tempat tadi Garbala tergeletak. Tampak laki-laki gagah itu sudah dinaikkan ke pembaringan. Segera didekati dan diperiksanya luka-luka yang diderita Garbala. Setelah beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang Kilat menarik napas lega.
"Hm... untunglah tubuhnya telah terlatih baik. Kalau tidak, tentu sudah tewas tadi," ujar Gatar tenang. Kemudian Shindura diperintahkan menyediakan air hangat dan kain bersih untuk membersihkan luka-luka di tubuh ayahnya.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu telah kembali membawa apa yang diperintahkan pamannya. Di wajah remaja itu masih terbayang kecemasan dan kemarahan terhadap orang-orang berpakaian hitam yang telah menebarkan bencana dirumahnya.
"Paman, kenalkah dengan orang-orang berseragam hitam itu? Atau Paman mungkin dapat menebak?, dari perkumpulan mana mereka?" tanya Shindura langsung.
Gatar tersenyum tipis mendengar pertanyaan keponakannya. Ia segera dapat menduga, kalau pemuda itu akan bertanya demikian. "Hm.... Apa yang akan kau lakukan apabila telah mengetahui tentang perkumpulan mereka?" Pendekar Pedang Kilat malah balik bertanya.
Tentu saja hal ini membuat kening pemuda itu berkerut dalam. "Tentu saja aku akan mendatangi dan meminta pertanggungjawaban mereka, Paman. Katakanlah, apakah Paman mengetahuinya?" desak Shindura semakin penasaran.
"Hhh.... Sayang sekali Paman tidak mengetahuinya, Shindura. Tapi kalau melihat dari cara mereka, kemungkinan besar dari golongan sesat," jawab Gatar sambil melayangkan pandangannya keluar kamar.
Setelah selesai membersihkan luka-luka di tubuh Garbala agar tidak membengkak, Gatar melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Sedangkan Shindura dan adiknya bergegas mengikuti pamannya. Mereka melangkah lambat di belakang laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun itu. Sejenak tak ada yang berbicara sedikit pun.
"Ini sudah yang kedua kalinya rumah kami disatroni tamu-tamu yang tak diundang itu, Paman. Dan anehnya, meskipun kedua gerombolan itu berlainan partai, tapi mereka mempunyai tujuan sama," jelas Shindura yang masih merasa penasaran.
"Hm.... Apa sebenarnya yang mereka inginkan, Shindura?" tanya Gatar sambil membalikkan tubuhnya menghadap kedua anak muda itu. Memang, Pendekar Pedang Kilat belum mengetahui duduk persoalannya, karena baru saja tiba pagi tadi.
"Peta harta," jawab pemuda itu cepat. "Itulah yang mereka inginkan. Padahal sepengetahuan kami, Ayah sama sekali tidak mengetahui tentang peta harta itu. Apalagi menyimpannya."
"Apakah yang kau maksudkan peta harta kakekmu yang bernama Patih Gajah Denta? Itukah yang mereka inginkan?" tanya Pendekar Pedang Kilat ingin kepastian. Rupanya, dia sudah mulai dapat meraba apa yang menjadi penyebab kejadian tadi.
"Eh! Jadi, Paman sudah pula mendengar tentang peta harta itu? Bagaimana Paman dapat mengetahuinya?" kali ini gadis cantik yang bernama Suntini yang keheranan.
"Hhh.... Ayahku pernah bercerita tentang sifat kakekmu. Hartanya yang berlimpah memang didapat dari hasil keringat rakyat. Bahkan menurut cerita yang kudengar, kekayaan kakekmu itu sampai melebihi kekayaan yang dipunyai sang prabu sendiri. Ayahmu yang tidak suka akan sifat kakeknya itu mencoba menentangnya, tapi gagal! Akhirnya, ia melarikan diri dan berguru kepada ayahku," tutur pendekar itu sambil melepaskan pandangannya ke kaki langit sebelah Timur yang mulai menampakkan cahaya kemerahan. Rupanya hari telah menjelang pagi.
"Teruskanlah, Paman," pinta Suntini ketika melihat pamannya seperti tidak ingin bercerita lagi.
"Hm.... Apakah ayahmu tidak pemah menceritakannya?" tanya Pendekar Pedang Kilat heran.
"Sama sekali tidak pernah, Paman. Dan kalau kami tanya pun, Ayah selalu mengelak. Hingga kami menjadi semakin penasaran!" sahut gadis itu cemberut.
"Hm...," Gatar hanya bergumam tak jelas. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tubuh laki-laki gagah itu berbalik, meninggalkan tempat itu.
"Paman...!" Suntini dan Shindura berlari memanggil. Kedua remaja itu bergegas menghadang langkah pamannya.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik kalian pergi istirahat. Aku janji akan menceritakan selengkapnya," sahut Pendekar Pedang Kilat membujuk. Dan sebelum kedua remaja itu sempat membuka mulut, Gatar sudah melesat pergi tanpa sempat dicegah. Tinggallah Shindura dan Suntini terpaku bisu.
* * * * *
Pagi begitu cerah. Burung-burung berkicau riuh menyambut kedatangan sang mentari. Kesibukan mulai nampak di Desa Karang Kemiri. Beberapa hari setelah kejadian di rumah besar yang dihuni keluarga Garbala, tampak disibuki oleh beberapa orang yang lalu lalang. Di halaman, juga tampak tiga buah kereta yang cukup besar berjajar seperti menunggu sesuatu. Tidak lama kemudian, tampak Garbala dan istrinya menaiki kereta terdepan yang ditarik empat ekor kuda besar dan kokoh. Sepertinya, kuda-kuda itu memang dipersiapkan untuk menempuh perjalanan jauh.
Sedang Shindura, Suntini, dan Gatar, masing-masing sudah berada di atas kudanya. Demikian pula belasan orang lainnya yang merupakan para pembantu keluarga Garbala. Mereka pun akan akut mengawal kepergian keluarga itu. Tapi belum lagi kereta sempat berangkat, tiba-tiba terdengar suara terkekeh serak berkumandang.
"He he he... dasar nasibku memang sedang sial. Maksud hati ingin menikmati makanan lezat, tapi orang yang hendak dikunjungi malah akan bepergian. Huh...! Sungguh sial nasibku," keluh seorang kakek berpakaian pengemis penuh tambal. Ia berjalan sambil tak henti-hentinya menggelengkan kepala seolah-olah menyesali nasibnya.
Shindura dan Suntini bergegas menggeprak kudanya menghampiri kakek pengemis itu. Mereka merasa heran ketika melihat pakaian yang dikenakan kakek itu. Sebab meskipun penuh tambalan, tapi terlihat bersih tidak seperti pakaian yang dikenakan pengemis sewajarnya. Dan tongkat yang dipegang kakek itu lebih mengejutkan mereka, karena terbuat dari sebatang baja berwarna hitam. Yang jelas bukan tongkat kayu butut.
"Siapakah Kakek ini? Dan apa maksud kata-kata kakek tadi?" sapa Shindura ramah. Pemuda itu meskipun sebagai anak keluarga hartawan, namun sama sekali tidak memiliki sifat sombong. Apalagi untuk memandang rendah orang lain. Bahkan seorang pengemis sekalipun!
"He he he.... Siapakah kau, Anak Muda?" tanya. kakek pengemis itu sambil menatap Shindura dan Suntini penuh selidik. Sama sekali tidak dipedulikan pertanyaan Shindura.
"Hm... Kakek pengemis ini mungkin orang sinting. Pertanyaanku belum dijawab, tapi malah balik bertanya," pikir pemuda itu sambil tersenyum. Shindura sama sekali tidak merasa jengkel karena pertanyaannya tidak dibalas. la segera melompat turun dari atas punggung kudanya, namun wajahnya tetap ramah terhias senyum manis.
"Aku Shindura, dan ayahku bernama Garbala. Sedangkan gadis itu adikku, namanya Suntini. Nah, sekarang kakek harus menjawab pertanyaanku. Siapakah kakek? Dan apa maksud kakek datang ke sini?" tanya Shindura. Suaranya tetap ramah dan halus.
"Hm.... Kau anak Garbala. Kalau begitu, inilah jawabanku!" Setelah berkata demikian, kakek pengemis itu melompat sambil mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Shindura. Ayunan tongkat itu terdengar mengaung keras dan menimbulkan desiran angin tajam.
Wuttt!
"Hei...!" Shindura berteriak kaget melihat serangan yang berbahaya itu. Cepat-cepat tubuhnya dilempar ke belakang sambil mencabut pedangnya. Pemuda itu semakin terkejut ketika tongkat baja di tangan kakek pengemis itu terus mencecarnya. Karena tidak mempunyai kesempatan mengelak, akhirnya pemuda itu menggerakkan pedangnya menangkis tongkat baja itu.
Tranggg!
"Uhhh...!" Terdengar suara benturan yang memekakkan telinga dibarengi pijaran bunga api yang berhamburan. Shindura berteriak tertahan dan tubuhnya terlempar sejauh tiga tombak. Pemuda itu merangkak bangkit, lalu mencari-cari pedangnya yang terpental entah ke mana. Sementara tulang tangan kanannya terasa bagai berpatahan. Sambil meringis menahan sakit, Shindura bersiap menghadapi segala kemungkinan
"He he he.... Tidak jelek... tidak jelek...," puji kakek pengemis itu sambil terkekeh senang.
Sementara itu, Suntini yang melihat kakaknya terlempar segera melompat turun dari atas kudanya. Tanpa banyak cakap lagi, gadis cantik itu cepat meluncur ke arah kakek pengemis disertai ayunan pedangnya. "Kakek Jahat, terimalah seranganku!" teriak Suntini marah.
"Ha ha ha... sabarlah Anak Manis. Jangan terlalu cepat marah, nanti akan cepat peot seperti aku," sahut kakek itu acuh tak acuh.
"Suntini, tahan...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras yang dibarengi melesatnya sesosok bayangan memotong serangan Suntini. Dan tahu-tahu saja beberapa tombak di hadapan gadis itu telah berdiri Pendekar Pedang Kilat, yaitu paman gadis itu.
"Paman, kakek gembel itu kurang ajar sekali! Kakang Shindura bertanya baik-baik, tapi dia malah mencelakainya," dengus gadis itu tak puas.
"Sabarlah, Suntini. Si gembel peot itu tidak bermaksud melukai kakakmu. la hanya ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian yang dimiliki putra sahabatnya itu," jawab Gatar menerangkan.
"Jadi, kakek gembel itu sahabat Ayah?" tanya gadis itu ingin ketegasan.
"Benar! Cah Ayu yang galak. Aku adalah sahabat lama ayahmu itu," selak kakek pengemis itu tiba-tiba diselingi kekehnya yang serak.
"Ha ha ha.... Benar, Suntini Ki Gala Rengat adalah sahabat baik Ayah," ujar Garbala gembira yang tahu-tahu saja telah berdiri di samping Suntini. "Sifat yang aneh dan pakaian yang penuh dengan tambalan itulah yang menyebabkan kaum rimba persilatan menjulukinya sebagai Pengemis Aneh Tongkat Sakti."
"Ah! Kalau begitu, maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Eyang," ucap Suntini cepat. Dan gadis itu langsung merubah panggilannya terhadap Ki Gala Rengat itu. Perbuatan itu diikuti pula oleh Shindura yang juga telah berada di tempat itu.
Sedangkan kakek pengemis itu hanya terkekeh gembira. "Ha ha ha.... Rupanya kedatanganku telah mengganggu kesibukan kalian. Biarlah aku pergi saja," ujar Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
"Ki, tunggu…!" Garbala cepat melompat sambil bersalto di udara menghadang perjalanan kakek pengemis aneh itu.
"Hhh.... Ada apa lagi, Garbala? Sudahlah, memang nasibku sedang sial," keluh Ki Gala Rengat sambil menghela napas berat.
"Siapa bilang nasibmu sial. Kau saja yang tidak tahu diri," ujar Garbala tersenyum.
"Eh! Apa maksudmu, Garbala?" tanya kakek itu seraya mengerutkan kening.
"Bukankah kau hendak singgah di rumahku? Nah, tunggu apa lagi? Perjalananku bisa kutunda hingga esok, bagaimana?"
"He he he.... Benarkah itu, Garbala? Wah, kalau begitu tali pinggangku harus siap-siap dikendurkan," gurau kakek itu gembira.
"Nah, marilah...," ajak Garbala mempersilakan.
Kedua sahabat lama itupun berjalan berangkulan sambil tertawa gembira. Garbala segera memerintahkan untuk menunda perjalanan sampai esok hari.
* * * * *
Diri hari sekali, rombongan Garbala tampak mulai bergerak meninggalkan Desa Karang Kemiri. Diterangi beberapa buah obor, rombongan kereta kuda itu merangkak menembus pekatnya kabut pagi. Di depan tampak Shindura dan Suntini yang mengapit seorang laki-laki tinggi besar dan bercambang bauk. Dialah kepala pengawal keluarga Garbala. Namanya Maruta. Ia merupakan orang kepercayaan keluarga itu dan telah bekerja puluhan tahun..Sedangkan Garbala dan istrinya ada di dalam kereta kedua, karena kereta pertama dan ketiga untuk barang-barang dan perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan.
Beberapa tombak di belakang kereta yang ditumpangi Garbala, tampak Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Rupanya pengemis aneh yang bernama Ki Gala Rengat itu ikut pula mengawal rombongan. Laki-laki gembel yang menjadi sahabat Garbala itu bersedia membantu ketika mendengar cerita sahabatnya yang sedang terancam bahaya itu. Itulah sebabnya, mengapa dia terlihat pula mengawal rombongan.
Sementara Pendekar Pedang Kilat sendiri berada di belakang. Laki-laki gagah bernama Gatar itu ikut pula mengawasi, mengingat dirinya masih terhitung sebagai kakak seperguruan Garbala. Rombongan kereta kuda itu terus merangkak maju, namun tidak terburu-buru. Mereka sengaja menghindari jalan-jalan umum agar tidak terlalu menarik perhatian orang. Jadi tentu saja harus melewati jalan yang lebih sukar dan memakan waktu lebih lama dari semestinya. Namun, itulah yang dikehendaki Garbala agar kepergian mereka tidak diketahui oleh komplotan orang yang mengincar peta harta yang sama sekali tidak diketahui.
Ini dilakukan, karena terpaksa mengikuti kemauan Wilarni yang selalu dicekam rasa takut dan cemas. Ia tidak ingin istri yang dicintainya itu menderita karena diteror orang-orang yang sama sekali tidak jelas dari mana asalnya. Daripada istrinya setiap malam terus terjaga karena rasa khawatir akan kedatangan komplotan itu, akhirnya Garbala menyetujui usul Wilarni untuk pindah.
Di kaki langit sebelah Timur, nampak cahaya kemerahan menyemburat indah. Itu tandanya, sebentar lagi sang surya akan muncul menerangi jagad raya ini. Kicauan burung-burung mulai ramai menyemaraki suasana pagi yang tampak cerah itu.
"Aaahhhkkk...!"
Tiba-tiba saja suasana pagi yang cerah itu dikejutkan oleh teriakan menyayat, disusul jatuhnya dua orang pengawal Garbala dari atas punggung kuda. Setelah menggelepar beberapa saat, keduanya tewas dengan tubuh menghitam. Sekejap kemudian, suasana kontan menjadi hiruk-pikuk. Kuda-kuda yang lainnya meringkik ketakutan dan berlarian ke sana kemari, membuat para penunggangnya menjadi sibuk untuk menenangkannya.
"Berlindung...!" Pendekar Pedang Kilat cepat mengambil keputusan. Gatar menduga akan adanya serangan gelap yang mungkin akan berlanjut. Maka setelah berkata demikian, pendekar itu sudah melompat turun dari atas kudanya yang segera diikuti yang lainnya.
Beberapa ekor kuda segera berlarian ketika para penunggangnya melompat turun dari punggung binatang itu. Kuda-kuda itu terus berlari bagaikan dikejar setan, sehingga para penunggangnya hanya dapat memandang tanpa dapat mencegah. Sampai beberapa saat lamanya keadaan menjadi tegang dan mencekam, tanpa ada serangan. Dan apa yang diduga Pendekar Pedang Kilat ternyata meleset. Sampai lama mereka menanti, tapi tak satu pun dari para penyerang gelap itu yang menampakkan diri.
"Kalian tetaplah di tempat! Akan kucoba untuk memeriksa sekitar daerah ini!" ujar Pendekar Pedang Kilat kepada yang lain. Setelah berkata demikian, Gatar bergegas pergi. Namun sebelum melangkah lebih jauh, sesosok bayangan berkelebat di sampingnya.
"Aku ikut, Paman!" tegas bayangan itu yang ternyata Shindura. Di tangan pemuda itu telah tergenggam sebatang pedang.
"Hm... baiklah! Tapi jangan bertindak ceroboh dan jangan mendahuluiku!" pesan Pendekar Pedang Kilat sambil menatap tajam pemuda yang menjadi keponakannya itu.
"Baiklah, Paman," jawab pemuda itu cepat.
Sekejap kemudian keduanya langsung melesat meninggalkan rombongan. Dengan penuh kesiagaan, mereka mulai memeriksa daerah sekitar. Paman dan keponakan itu menyelinap di antara rimbunan pohon sambil menajamkan indra pendengarannya. Sampai agak lama mereka mengamati daerah sekitar, namun tak satu tanda pun yang ditemui. Belum lagi keduanya sempat menarik napas lega, tiba-tiba terdengar suara-suara pertempuran. Pendekar Pedang Kilat mendongakkan kepala untuk menangkap lebih jelas asal suara itu. Wajah pendekar itu sesaat menegang ketika mengetahui sumber suara pertempuran berasal.
"Shindura, ayo kita kembali!" ajak Gatar cepat. Dan tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Pendekar Pedang Kilat sudah melesat menuju ke tempat rombongan berada.
Gatar dan Shindura terkejut bukan main ketika mendaparj rombongan mereka tengah bertempur melawan puluhan orang berseragam hitam, dan sebagian wajahnya tertutup selembar kain hitam. Kepandaian mereka rata-rata cukup tinggi, sehingga para pembantu Garbala terdesak hebat.
"Hm... manusia-manusia keparat dari mana ini?!" geram Gatar yang segera mencabut senjatanya, langsung menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran yang semrawut itu.
Shindura yang tidak ingin ketinggalan oleh pamannya, cepat menggerakkan pedang sepenuh tenaga. Sekejap saja pemuda itu sudah mengamuk bagaikan harimau marah. Pedangnya berkelebat menebarkan hawa maut. Sekejap saja salah seorang lawan sudah terguling mandi darah. Di tempat lain, Pengemis Aneh Tongkat Sakti tampak tengah bertempur sengit melawan seorang berseragam hitam yang bersenjatakan sebatang golok besar. Kepandaian orang itu tampak hebat sekali, sehingga tokoh sakti seperti Ki Gala Rengat sempat dibuat kerepotan.
"Hm... rasanya sudah dapat kuduga, siapa kau sebenarnya manusia pengecut!" ejek Ki Gala Rengat yang sempat membuat lawannya terkejut sejenak. Kesempatan itu tidak disia-siakan Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Cepat-cepat disabetkan tongkat bajanya ke kepala lawan hingga menimbulkan suara mengaung tajam bagai suara ribuan ekor lebah marah!
Wuttt!
"liihhh...!" Orang berpakaian hitam itu berseru kaget.
Cepat-cepat dia melempar tubuhnya ke belakang, menghindari serangan yang mematikan itu. Tapi bukan main terperanjatnya orang berbaju hitam itu ketika tahu-tahu saja ujung tongkat baja Ki Gala Rengat meluncur mengancam perutnya. Sadar kalau untuk mengelak sudah tidak mungkin, orang berbaju hitam itu bergegas menggerakkan golok besarnya untuk menangkis tusukan tongkat lawan.
Tranggg!
"Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentang nyaring yang memekakkan telinga. Bunga api seketika berpijar menandakan betapa kuatnya tenaga benturan itu. Keduanya berseru tertahan, dan sama-sama terpental balik. Pengemis Aneh Tongkat Sakti terjajar mundur sejauh enam langkah. Kakek itu cukup terkejut ketika merasakan kalau kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata hampir menyamainya. Buktinya, benturan itu sempat membuat lengan kakek itu bergetar. Dan hal itu membuatnya lebih berhati-hari dalam menghadapi lawan.
Sedang orang-orang berpakaian hitam itu terlempar dan jatuh bergulingan sejauh beberapa tombak. Namun dengan gesit ia melompat bangkit sambil menyeringai menahan rasa nyeri yang menusuk lengannya. Seketika terlihat sinar kegetaran dari sepasang matanya.
"He he he.... Hari ini kau tak akan lolos dari tanganku, Manusia Pengecut! Nah, bersiaplah melayat ke neraka!" ejek Pengemis Aneh Tongkat Sakti terkekeh.
Setelah berkata demikian kakek pengemis itu kembali memutar tongkat bajanya, sehingga menimbulkan deru angin keras yang menerbangkan daun-daun kering di sekitarnya. Inilah jurus andalannya yang bernama jurus 'Tongkat Sakti Penggetar Jagad' yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan Kelihatan sekali kalau lawannya begitu terkejut melihat gerakan tongkat kakek pengemis itu. Sekejap teriihat ketegangan melipuri wajahnya. Memang sungguh tidak disangka kalau dalam rombongan itu terdapat seorang lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
* * * * *
«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»
Orang berpakaian hitam itu berlompatan menghindari serangan dahsyat tongkat baja Ki Gala Rengat Sesekali dicobanya untuk membalas dengan tusukan golok besarnya. Namun, kembali hatinya merasa terkejut ketika tusukan-tusukan goloknya selalu berbalik. Seolah-olah seluruh tubuh lawan terlindung benteng yang tak tampak.
Di arena lain, Garbala yang semula berada di dalam kereta berkuda kini telah pula keluar dan bertempur sengit! Sialnya, lawan yang didapat ternyata memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya, dan perkelahiannya jauh dari pengawal-pengawal maupun anaknya sendiri. Sehingga, seluruh kepandaiannya harus dikuras tanpa ada yang membantu.
"Ha ha ha.... Lebih baik cepat serahkan peta harta itu' kepadaku, Garbala. Imbalannya, kau akan kubebaskan!" ejek lawannya tertawa lepas.
"Huh! Sudah kubilang aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang peta harta itu! Kalau bisa membunuhku, silakan! Jangan banyak bacot!" teriak Garbala gusar.
Sambil berkata demikian. Laki-laki gagah itu melompat menghindari sebuah bacokan yang mengancam tubuh. Rupanya kesabaran orang berbaju hitam itu telah habis. Sambil menggereng gusar segera diperhebat serangan-serangannya. Maka, sebentar saja Garbala dibuat jungkir balik dan tak mampu membalas.
"Terimalah ini! Heaaattt...!" Orang itu membentak keras disertai ayunan pedang yang menggetarkan jantung. Senjata itu meluncur deras dengan kecepatan kilat.
Garbala menggeser tubuhnya ke kanan, maka serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Rupanya hal itu sudah diperhitungkan lawan. Dan secara tiba-tiba saja senjata itu meliuk membentuk setengah lingkaran. Sehingga...
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!" Garbala menjerit kesakitan ketika tebasan senjata lawan dua kali merobek tubuhnya. Laki-laki gagah itu terlempar disertai percikan darah segar yang berhamburan. Dan sebelum ia sempat bangkit, sebuah bacokan kembali membabat perutnya. Kembali tubuh Garbala ambruk, dan kini tidak berkutik lagi.
"Kakang...!" Wilarni menjerit ketika melihat tubuh suaminya tergeletak berlumuran darah. Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, wanita cantik itu segera menghambur dan menubruk tubuh suaminya yang telah menjadi mayat itu. Seketika tangisnya meledak begitu mengetahui suaminya benar-benar telah tewas.
"Manusia Biadab! Mengapa tidak kau bunuh aku sekalian, hah?! Mengapa diam saja?!" Wilarni berteriak-teriak bagai orang kemasukan setan. Dan segera saja dia menghambur menerjang orang berpakaian hitam yang telah membunuh suaminya itu. Namun, apalah artinya seorang wanita lemah seperti Wilarni itu. Sekali bergerak saja, kedua tangan istri Garbala sudah tak berdaya dalam genggaman orang itu. Maka kini Wilarni hanya dapat memaki dan menjerit-jerit ketakutan.
"He he he.... Sayang kalau wanita secantjk dirimu harus mati tanpa bisa dinikmati terlebih dahulu. Kau demikian liar dan penuh semangat. Marilah, Manis. Kita tinggalkan orang-orang ini sebentar, dan akan kubawa kau terbang ke langit yang ketujuh! He hehe...."
Setelah berkata demikian tangan orang itu bergerak cepat. Terdengar keluhan lirih Wilarni, kemudian tubuhnya tergantung lemas tak berdaya. Wanita itu telah tertotok di beberapa bagian tubuhnya. Orang berbaju hitam itu cepat memondong tubuh Wilarni. Diiringi tawa yang berkumandang, orang berbaju hitam itu melesat meninggalkan arena pertempuran. Sementara tubuh Wilarni tergantung lemas di punggungnya. Orang itu terus berlari memasuki hutan tanpa menghiraukan pertempuran yang masih berlangsung. Dan rupanya kejadian ini juga lolos dari pengamatan rombongan keluarga Garbala!
* * * * *
Sementara itu, pertarungan antara Pengemis Aneh Tongkat Sakti melawan orang bersenjata golok besar tampaknya akan segera berakhir. Lawan kakek sakti itu kelihatannya sudah putus asa untuk menghindari serangan tongkat baja yang terus mengancam tubuhnya itu. Pakaian hitamnya sudah dibasahi peluh yang membanjir. Hingga pada jurus yang ketiga puluh lima ia tak mampu lagi untuk menghindari hantaman keras tongkat baja hitam lawan.
Bukkk!
"Aaakhhh...!" Orang itu menjerit kesakitan ketika tongkat baja di tangan Ki Gala Rengat menghantam pada paha kanannya. Tubuhnya terpental sejauh dua tombak Namun, daya tahan tubuh yang dimiliki orang itu memang patut dipuji. Meskipun tulang pahanya terasa remuk, tapi tetap saja berusaha bangkit. Belum lagi ia sempat berdiri tegak, sebuah hantaman tongkat lawan kembali bersarang didadanya. Tubuh orang itu kembali terpental, bahkan kali ini lebih jauh dari yang pertama. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Setelah berkelojotan sejenak, tubuh itu pun diam tak bergerak. Mati. Tulang dada orang berbaju hitam itu remuk akibat hantaman tongkat baja Ki Gala Rengat.
Sementara itu, Pendekar Pedang Kilat telah merobohkan lebih dari enam orang berpakaian hitam yang menyerang rombongan saudara seperguruannya itu. Pedang sinar putihnya berkelebat tanpa ada yang mampu menahannya. Memang hebat sekali sepak terjang pendekar itu. Hingga dalam beberapa jurus saja, tak ada seorang lawan pun yang berani mencoba mendekatinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah siulan panjang yang melengking memenuhi sekitar arena pertarungan. Kelompok berseragam hitam yang hanya tersisa beberapa belas orang itu sejenak terpaku dan saling berpandangan satu sama lain. Sekejap kemudian, mereka segera berlompatan meninggalkan tempat itu.
"Bangsat! Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja!" bentak Pendekar Pedang Kilat sambil melompat yang disertai kelebatan pedangnya. Dua orang berpakaian hitam yang hendak melarikan diri kontan terjungkal mandi darah, tersabet pedang bersinar putih itu. Rupanya tidak hanya Pendekar Pedang Kilat saja yang merasa marah.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti pun tidak ketinggalan. Dia segera menghajar tiga orang lawan yang hendak melarikan diri itu. Tak ayal lagi, tiga orang berpakaian hitam langsung ambruk tanpa sempat berteriak. Kepala mereka telah remuk akibat hantaman tongkat baja yang sangat berat itu. Apalagi, senjata itu digerakkan oleh seorang tokoh sakti seperti Ki Gala Rengat yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Namun di lain hal, sayangnya tiga belas orang berpakaian hitam lainnya berhasil meloloskan diri dan menghilang ke dalam hutan. Hal ini benar-benar membuat hati penasaran Pendekar Pedang Kilat dan yang lainnya.
"Jangan dikejar...!" seru Pendekar Pedang Kilat ketika melihat Shindura, Suntini, dan beberapa orang lain hendak mengejar. Pendekar itu sengaja mencegah karena bisa saja hal itu suatu jebakan.
"Mengapa, Paman? Bukankah mereka tinggal beberapa orang saja? Apa lagi yang perlu ditakutkan?" tanya Shindura penasaran sekali melihat lawan-lawannya berhasil meloloskan diri.
"Hm.... Itu sangat berbahaya, Shindura. Kita tidak tahu, apakah sekitar daerah itu aman. Belum lagi orang yang mengeluarkan siulan tadi! Nampaknya kepandaiannya sangat tinggi. Aku pun belum tentu sanggup menandinginya," Gatarnmenjelaskan sambil menghela napas berat.
"Ternyata lawan kita mempunyai banyaknsekali orang berkepandaian tinggi. Entah, dari golongan dan partai manamereka?"
"Rasanya sudah mulai dapat kuduga, dari partai mana mereka itu!" tiba-tiba saja Ki Gala Rengat atau yang lebih dikenal berjuluk Pengemis Aneh Tongkat Sakti itu bergumam di samping Pendekar Pedang Kilat
"Hm.... Benarkah itu? Kalau begitu, dari partai mana mereka, Eyang? Katakanlah!" Shindura yang masih merasa belum puas itu segera menghampiri, lalu mengguncang tangan Ki Gala Rengat. Wajahnya terlihat menegang karena tak sabar ingin mendengar keterangan dari pengemis aneh itu.
"He he he… Sabarlah, Anak Muda. Jangan terlalu terbawa amarah. Jika tak ingin celaka karenanya," sahut Ki Gala Rengat terkekeh.
"Hm.... Gatar. Pernahkah kau mendengar tentang Partai Lima Unsur?" Tanya Ki Gala Rengat seraya memalingkan wajahnya ke arah Pendekar Pedang Kilat
Mendengar pertanyaan itu wajah Pendekar Pedang Kilat mendadak pucat. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang selalu berpetualangan, ia banyak mendengar berbagai macam partai persilatan yang terkenal dalam rimba persilatan. Dan salah satu partai besar yang sangat ditakuti kaum rimba persilatan adalah Partai Lima Unsur. Tak seorang tokoh rimba persilatan pun yang mengetahui, apakah partai itu termasuk golongan hitam atau putih.
Karena, Partai Lima Unsur merupakan partai tertutup dan tersembunyi. Hanya beberapa tokoh saja yang mengetahui tentang keberadaan partai itu. Mereka di antaranya adalah Pendekar Pedang Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Memang, keduanya merupakan tokoh yang cukup terkenal di kalangan rimba persilatan.
"Apakah Ki Gala Rengat yakin kalau mereka adalah anggota partai tersembunyi itu?" tanya Pendekar Pedang Kilat ragu. Ditunggunya jawaban yang keluar dari mulut kakek itu dengan hati berdebar. Memang, biar bagaimanapun, ia lebih suka untuk tidak berurusan dengan partai yang amat ditakuti itu.
"Hm... mari kita lihat mayat orang yang menjadi lawanku tadi," ajak Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil melangkah menghampiri mayat lawannya.
Ki Gala Rengat mencongkel mayat yang tertelungkup itu dengan ujung kakinya. Kemudian, dirobeknya baju orang itu pada bagian dada menggunakan tongkat bajanya. Maka terlihatlah sebuah lambang bergambar lima jari yang masing-masing berlainan warna. Tubuh Pendekar Pedang Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti bergetar sejenak ketika menatap lambang yang tertera pada dada orang itu. Sampai beberapa saat lamanya, mereka terdiam sambil menatap lambang itu dengan jalan pikiran masing-masing.
Tinggallah Shindura dan Suntini yang terheran-heran menyaksikan dua orang berkepandian tinggi itu menjadi terdiam hanya karena melihat lambang lima jari pada dada mayat itu. Dua anak muda yang memang belum berpengalaman dalam dunia persilatan itu tentu saja menjadi bingung ketika melihat sinar kekagetan dan kecemasan membayang di wajah dua orang tokoh saktiitu.
"Apakah artinya lambang itu, Paman? Mengapa Paman dan Eyang kelihatan gentar?" akhirnya Shindura mengeluarkan uneg-uneg yang terkandung dalam pikirannya. Jelas sekali kalau Shindura menuntut jawaban pasti dari kedua orang sakti yang dikaguminya itu.
"Hhh.... Ketahuilah Shindura, Suntini. Itu adalah lambang sebuah partai besar yang sangat ditakuti kaum rimba persilatan. Partai itu memiliki ratusan anggota yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Partai itu terkenal sangat kejam terhadap orang-orang yang mencampuri urusan mereka. Setiap orang yang mencampuri urusan mereka, hukumannya adalah kematian yang mengerikan," jelas Pendekar Pedang Kilat sambil menghela napas berat. Memang bagi Gatar sudah tidak ada jalan untuk menghindari orang- orang Partai Lima Unsur itu.
"Kami bukannya takut, Shindura. Hanya saja, orang-orang rimba persilatan lebih suka untuk tidak mencampuri urusan mereka. Karena, hal itu berarti bunuh diri!" Ki Gala Rengat ikut pula menimpali. Wajah kakek itu yang biasanya penuh senyum, kini tampak penuh ketegangan.
"Tapi, bukankah mereka yang terlebih dahulu membuat urusan dengan kita? Jadi, mengapa kita harus takut, Eyang?" kali ini Suntini yang berkata. Nada suaranya terkandung rasa penasaran yang mendalam.
"Yahhh...," kakek pengemis itu hanya dapat mendesah. Mendengar perkataan Suntini. "Kita tunggu saja, apa yang bakal terjadi nanti?"
Tapi sebelum Shindura dan Suntini mengemukakan rasa penasarannya lebih jauh lagi, tiba-tiba salah seorang pembantu Garbala yang masih tersisa berlari mendatangi mereka. Napas orang itu terlihat memburu, dan wajahnya pun teriihat pucat dan tegang sekali.
"Ada apa?" tanya Shindura cepat seraya mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi segala sesuatu.
"Anu.... Tuan.... Tuan Besar Garbala tewas, Tuan Muda," jawab orang itu gagap.
"Hahhh!?"
Keempat orang itu terkejut bukan main mendengar berita itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka segera berlarian mendatangi tempat kereta berkuda Garbala berada.
"Ayah...!"
Dua anak muda itu serentak menghambur ketika melihat tubuh ayahnya terkapar mandi darah. Sesaat kemudian tangis mereka pun meledak, sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi hening kecuali suara tangisan dua orang kakak beradik yang tengah dirundung duka mendalam.
Pendekar Pedang Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti hanya saling berpandangan satu sama lain tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Rupanya mereka berdua ikut larut pula dalam kesedihan yang dialami dua remaja itu. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Suntini mendadak bangkit bagai disengat kalajengking. Sepasang matanya yang indah itu merayapi sekelilingnya seolah-olah mencari sesuatu. Sekejap kemudian tubuh ramping itu melesat ke arah kereta berkuda yang tadi ditumpangi ayah dan ibunya.
"Mana Ibu...? Kakang, Ibu..., Ibu tak ada...?" teriak gadis itu baru menyadari kalau ibunya tidak ada.
Mendengar kata-kata adiknya, Shindura menjadi tersadar. Cepat bagai kilat pemuda itu bangkit dan melompat ke arah Suntini berada. Dan ketika tidak menemukan apa yang dicarinya, pemuda itu menjadi kalap. Ia berlarian ke sana kemari mencari-cari kalau-kalau mayat ibunya dapat ditemukan di antara puluhan mayat yang bergelimpangan tumpang tindih itu. Secercah harapan terbesit di hatinya ketika mayat ibunya tak ditemukan.
"Paman, Eyang.... Ibu..., Ibu lenyap?" seru Shindura berteriak keras sehingga membuat dua tokoh sakti itu bergegas berlari mendatanginya.
"Mari kita cari ibumu, Shindura! Ki Gala Rengat, tolong jaga Suntini!" ujar Pendekar Pedang Kilat seraya meraih lengan Shindura. Beberapa saat kemudian, tubuh keduanya lenyap di telan rimbunan pepohonan hutan.
* * * * *
Orang berbaju hitam itu terus melarikan Wilarni masuk ke dalam hutan lebat dan menyeramkan itu. Setelah yakin kalau telah berada jauh meninggalkan arena pertempuran, orang itu menurunkan tubuh Wilarni di atas rerumputan hijau yang cukup tebal bak permadani. Bibir orang itu tersenyum, tapi senyumnya lebih mirip seringai srigala yang liar merayapi kelinci putih mulus.
"He he he.... Marilah kita bersenang senang sebentar, Manis. Aku jamin, kau akan seperti berada di surga rasanya nanti," ujar orang itu sambil melepaskan pakaiannya satu persatu, namun matanya terus menatap penuh nafsu birahi. Kemudian, bagaikan seekor srigala kelaparan, ditubruknya tubuh Wilarni dan ditihdihnya kuat- kuat.
"Bangsat, kau! Manusia Iblis! Lepaskan aku, tolooonggg...!" Wilarni berusaha berontak, namun totokan orang berbaju hitam itu cukup kuat. Apalagi,..dia hanya seorang wanita yang tidak dibekali ilmu silat. Istri Garbala itu hanya mampu berteriak, hingga akhirnya....
Plakkk!
"Ohhh..." Wilarni mengeluh ketika sebuah tamparan hinggap di pipinya. Wanita cantik itu hanya bisa menangis menerima perlakuan kasar laki-laki yang dirasuki nafsu iblis itu.
"Huh! Rupanya kau lebih suka dikasari daripada diperlakukan lemah lembut! Baiklah, kalau itu yang diinginkan!" Setelah berkata demikian, laki-laki itu menarik pakaiannya dengan paksa yang dikenakan Wilarni. Terdengar suara kain sobek beberapa kali, sehingga tampaklah bagian-bagian yang semakin membuat nafsu bejat orang itu memuncak.
"Ohhh... jangan...! Kasihanilah aku. Lepaskan aku!" ratap Wilarni di antara isaknya. Tubuhnya semakin lemah karena pengaruh totokan itu masih mengungkungnya.
"Nah, begitu. Kalau kau menyerah, kan jadi lebih enak!" ujar laki-laki itu di antara desah napasnya yang memburu.
Namun sebelum laki-laki itu dapat menumpahkan hasrat bejadnya, entah dari mana, tiba-tiba seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah dan celana berwarna putih telah berdiri tegak dibelakangnya.
"Hm.... Hendak kau apakan wanita itu, Manusia Bejad?" tegur pemuda tampan berikat kepala putih itu tenang.
Laki-laki yang tengah menggumuli Wilarni langsung tersentak, dan bergegas bangkit sambil berusaha meraih pakaiannya. Jelas sekali kalau hatinya begitu terkejut akan kedatangan pemuda tampan yang sama sekali tidak diduga itu. Segera dikenakan pakaiannya. Dan karena merasa kesenangannya terganggu, kemarahannya seketika bangkit.
"Kurang ajar! Tak boleh melihat orang senang! Mampuslah kau," bentak orang itu geram. Orang berbaju hitam itu langsung menyerang pemuda yang menegurnya dengan sisi telapak tangan miring. Rupanya ia ingin mematahkan leher pemuda itu dengan sekali serang.
Pemuda itu cukup terkejut mendengar desing angin mencicit tajam yang keluar dari tebasan tangan itu. Sama sekali tidak terduga kalau orang yang disangka perampok rendahan itu ternyata memiliki tenaga dalam tinggi. Cepat-cepat pemuda itu menggeser kaki kirinya ke belakang sambil merendahkan kuda-kudanya.
Wuttt!
"Hmh!" Pemuda yang ternyata bukan lain adalah Pendekar Naga Putih itu mendengus ketika tebasan sisi telapak tangan lawan lewat di atas kepalanya. Ikat kepalanya yang berwarna putih ikut berkibar akibat angin yang ditimbulkan serangan lawan begitu kuat. Sebelum pemuda itu dapat memperbaiki kuda-kudanya, tangan kiri lawan tahu-tahu sudah menusuk perutnya. Kecepatan gerak orang itu kembali mengejutkan pemuda yang bernama Panji itu.
Rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tidak berusaha menghindari tusukan jari-jari sekeras baja itu. Secepat kilat tangan kanannya bergerak membentuk setengah lingkaran keluar. Maksudnya, sudah pasti hendak mengukur sampai di mana kekuatan tenaga orang berbaju hitam itu.
Dierrr!
"Aaahhh...!" Terdengar suara berdentam keras bagaikan dua batang besi yang dibenturkan. Orang itu berteriak kaget, lalu tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah. Wajahnya meringis menahan sakit akibat benturan tangan dengan Pendekar Naga Putih. Tulang- tulang lengannya kini terasa ngilu. Tentu saja hal itu membuatnya menjadi semakin penasaran!
Panji sendiri sebenarnya sempat dibuat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau tenaga dalam lawan cukup tinggi juga. Bahkan lengannya sempat bergetar akibat menangkis serangan lawan tadi. Padahal hampir dari separuh tenaga dalamnya telah dikerahkan. Benar-benar seorang lawan yang tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa mencampuri urusanku?! Kuperingatkan sekali lagi! Pergilah sebelum kesabaranku hilang!" bentak orang itu. Rupanya setelah merasakan kelihaian pemuda itu, matanya baru terbuka. Ternyata pemuda tampan di hadapannya bukan orang sembarangan.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, karena itu bukan urusanmu! Nah! Sekarang, bebaskanlah wanita Itu. Dan kau akan pergi tanpa aku memberi hukuman atas perbuatanmu tadi!" sahut Panji tak kalah gertak.
"Kalau memang itu keinginanmu, baiklah! Jangan katakan aku kejam kalau bertindak kasar kepadamu, Anak Muda.
Setelah berkata demikian, dihampirinya tubuh Wilarni yang hanya dapat tergolek lemas. Tubuhnya yang hampir tanpa pakaian itu tergolek di rerumputan hijau yang tebal. Orang berbaju hitam kemudian menggerakkan tangannya, melepaskan totokan pada tubuh Wilarni.
"Berhenti! Jangan sentuh wanita itu!" seru Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja orang berpakaian hitam itu telah memasukkan secara paksa sebutir pil ke mulut Wilarni. Sedang wanita malang itu hanya mampu memandang terbelalak dengan wajah pucat.
"He he he.... Jangan khawatir, Anak Muda. Aku hanya memberi obat penenang agar tidak dapat pergi ke mana-mana. Nah! Sekarang, bersiap-siaplah!" ejek orang itu sambil meraih sehelai kain hitam yang tadi dilepaskan. Setelah menutup sebagian wajah, bergegas dicabut senjatanya. Dibarengi teriakan memekakkan telinga, tubuh orang itu meluncur ke arah Panji disertai ayunan pedang. Suara pedang itu berdesing nyaring membelah udara siang.
Pendekar Naga Putih yang sudah mengetahui kalau lawannya mempunyai kepandaian yang tinggi, tidak ingin main-main lagi. Dihirupnya udara dalam-dalam, lalu dikempos semangatnya untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang sangat dahsyat itu. Kedua jari-jari tangannya mengembang membentuk sepasang cakar naga. Rupanya pemuda itu juga telah mengerahkan ilmu andalan yaitu 'Ilmu Naga Sakti' yang menggetarkan itu.
Orang berbaju hitam itukontan menjadi terkejut merasakan hembusan angin dingin yang menggigit kulit. Dan ia semakin terkejut lagi ketika melihat sekujur tubuh lawan telah terselimut selapis kabut yang bersinar putih keperakan. Sejenak hatinya tertegun ketika teringat seorang pendekar muda yang baru-baru ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmu dahsyatnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang itu kaget bercampur gentar. Namun kegentaran hanya sekilas mewarnai wajahnya. Sesaat kemudian, sinar kegembiraan terpancar pada wajahnya.
Sudah menjadi kebiasaan sifat seorang ahli silat yang seperti mandapat kehormatan apabila bertemu lawan yang memiliki kepandaian tinggi. Rupanya hal itu dirasakan pula oleh lawan Panji. Mengetahui kalau lawannya adalah seorang pendekar muda yang terkenal, orang itu segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Langsung dia meluruk, disertai serangan dahsyat. Pedangnya membentuk segunduk sinar yang menimbulkan angin menderu-deru, seolah-olah daerah sekitar hutan itu tengah dilanda angin topan hebat!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri ketika tusukan pedang lawan mengincar perutnya. Secepat kilat pemuda itu segera membalasnya, dengan tangan kanan terulur ke wah muka lawan. Maka cepat-cepat orang berbaju hitam itu menarik wajahnya ke belakang sehingga serangan Panji hanya mengenai tempat kosong. Dan secara mendadak, pedang di tangannya berputar membentuk setengah lingkaran menebas leher Panji. Dan cepat-cepat Pendekar Naga Putih memutar kepalanya disertai kuda-kuda rendah, dan sekaligus membarengi dengan hantaman ke lambung lawan. Orang berpakaian serba hitam itu tercekat melihat kecepatan pemuda itu. Kelihatan sekali kalau hatinya merasa gugup ketika menghindari pukulan yang datang bagai kilat itu.
Desss!
"Uhhh...!"
* * * * *
«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»
"Hm.... Jangan takabur dulu, Anak Muda. Aku belum kalah!" bentak orang itu menggereng murka. Dan secepat kilat tubuhnya kembali meluncur ke arah Panji. Kali ini, serangannya lebih dahsyat danberbahaya.
Keduanya kini kembali terlibat pertarungan sengit. Sinar pedang orang berbaju hitam tampak bergulung-gulung, dan menimbulkan putaran angin yang menerbangkan batu-batu kecil dan daun kering di sekitarnya. Pertarungan itu memang benar-benar hebat dan mendebarkan! Pendekar Naga Putih yang sama sekali belum merasa perlu menggunakan pedangnya, mengimbangi serangan lawan dengan hanya menggunakan 'Ilmu Naga Sakti'. Tubuh pemuda itu bagaikan seekor naga putih yang tengah bermain-main di angkasa raya. Suatu saat tubuhnya menukik cepat bagai hendak menyelam ke dasar bumi, dan di lain saat melenting ke udara seraya berputar. Sepak terjang Pendekar Naga Putih benar-benar membuat lawan menjadi pusing tujuh keliling!
Memasuki jurus kelima puluh empat, sepasang tangan Panji bergerak cepat bersilangan. Itulah jurus 'Naga Sakti Masuk ke Gua' yang merupakan jurus nomor tiga dari 'Ilmu Naga Sakti' yang amat dahsyat dan sulit dicari tandingannya. Terpaan angin dingin berhembus kuat mengiringi serangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu terkejut bukan main ketika merasakan tubuhnya bagai dikurung dinding salju yang tak tampak. Pedangnya membabat berkali-kali ke arah tubuh Panji. Namun setiap kali pedang itu digerakkan, maka setiap kali pula mata pedangnya membalik dan malah mengancam dirinya. Melihat kenyataan ini, seketika hati orang berbaju hitam itu langsung ciut. Dia tidak mampu lagi memusatkan perhatiannya. Akibatnya, orang berbaju hitam itu tidak dapat lagi menghindari sebuah hantaman lawan yang menggunakan jari-jari terbuka. Maka....
Brettt!
"Aaahkkk...!" Orang itu meraung tinggi ketika sebuah cakar Pendekar Naga Putih menghantam bagian dadanya. Tubuh orang itu terjengkang bagai sehelai daun kering yang diterbangkan angin. Darah segar seketika menyembur dari mulutnya akibat kuatnya hantaman itu. Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh orang itu terbanting di atas tanahbberumput. Namun demikian, daya tahan tubuh orang itu patut dipuji. Langsung dikerahkannya hawa murni untuk melepaskan pengaruh hawa dingin yang terasa menggigit tulangnya.
Meskipun tubuhnya masih menggigil kedingjnan, tapi orang itu segera bangkit berdiri walau agak limbung. Gigi-giginya bergemeletuk dan wajahnya pucat bagai kertas. Kembali dikerahkannya hawa murni untuk mengusir hawa dingin itu. Beberapa saat setelah pengaruh hawa dingin pada tubuhnya berhasil diusir, orang itu pun kembali menerjang Panji. Kedua tangannya bergerak berputaran dengan telapak terbuka. Diiringi bentakan keras, tubuhnya kembali meluruk cepat.
Panji yang sudah berniat menyudahi pertarungan itu bergerak cepat menyambut serangan lawan. Tubuh Pendekar Naga Putih berdiri lurus bagaikan sebatang kayu. Kedua tangannya bergerak bergantian, ke depan dada kemudian naik ke atas kepala. Dan begitu serangan lawan tiba, tahu-tahu saja tubuh pemuda itu melenting ke atas. Kedua kakinya melepaskan tendangan dua kalinberturut-turut. Sedang tangan kanannya menghantam batok kepala lawan hingga jari tangannya terbenam beberapa rambut.
Desss! Desss! Crakkk!
"Aaarghhh…!" Jerit kematian kini bagai bergema memenuhi pen-juru hutan. Darah segar menyembur dari mulut dan kepala orang berpakaian hitam itu. Tubuhnya terjajar limbung dan ambruk ke tanah. Tewas seketika! Tulang dada dan batok kepalanya remuk akibat hantaman Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak menatap kematian lawannya yang mengenaskan itu. Sejurus kemudian, pemuda itu segera melangkahkan kakinya mendekati tubuh Wilarni yang telah tergeletak pingsan itu.
"Hm... wanita yang malang," gumam pemuda itu iba.
Pendekar Naga Putih memeriksa tubuh wanita itu dengan jari-jari tangannya yang cekatan. Betapa terkejutnya hati Panji ketika merasakan ada hawa panas yang keluar dari tubuh Wilarni. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seluruh permukaan kulit tubuh wanita malang itu memerah bagai udang rebus.
"Uhhh...," terdengar keluhan wanita malang itu. Wilarni menggeliatkan tubuhnya. Sesaat kemudian kedua matanya membuka. Namun anehnya, sepasang mata wanita itu tampak merah bagaikan buah saga masak. Ketika melihat seorang pemuda tampan tengah bersimpuh di dekatnya, Wilarni bergegas bangkit. Cepat bagai kilat langsung dipeluk dan diciuminya Panji penuh nafsu. Tentu saja hal ini membuat tubuh Panji bergetar dan gelagapan.
"Ohhh.... Peluklah aku... ciumlah aku...," desah wanita cantik itu tanpa berhenti memeluk dan menciumi Panji.
Tiba-tiba saja Wilarni menarik sisa-sisa pakaian yang dikenakan sehingga tubuh molek itu terpampang jelas tanpa benang sehelai pun yang menutupinya. Segera direbahkan tubuhnya di atas rerumputan tebii sambil terus memeluk Panji.
"Eh! Oh...! Nisanak, sadarlah! Aku... aku... ufff...!" Panji yang menjadi kelabakan itu mencoba menenangkan wanita itu. Namun sebelum ucapannya habis, mulut pemuda itu telah diterkam bibir Wilarni yang panas membara bagai api itu. Seketika Panji melompat bangun sambil mendorongkan tangannya sehingga pelukan wanita itu terlepas. Dan sebelum Wilarni sempat bangkit Pendekar Naga Putih segera memberi totokan di beberapa bagian tubuh Wilarni hingga jatuh lemas.
"Bangsat! Manusia Biadab, mampuslah kau!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan di iringi melesatnya dua sosok tubuh yang langsung menerjang Panji.
Singgg!
"Heiii...!" Panji berteriak kaget ketika mendengar suara berdesingan tajam yang membuat bulu kuduknya berdiri. Cepat-cepat dihindarinya serangan gelap dan tiba-tiba itu. Tubuhnya mencelat sejauh tiga tombak, lalu mendarat ringan di atas permukaan tanah berumput. Tapi sebelum pemuda itu sempat menatap penyerangnya, lagi-lagi terdengar suara berdesing nyaring. Bahkan kali ini terdengar lebih kuat dari yang pertama.
Merasa penasaran, Pendekar Naga Putih cepat mengangkat tangan kanannya menangkis pergelangan tangan yang memegang pedang Itu. Dan tanpa dapat dicegah lagi, dua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu saling berbenturan keras.
Dukkk!
"Aaahhh...!" Tubuh si penyerang terpental balik ketika tangannya membentur tangan Panji yang keras bagai baja itu. Terdengar teriakan tertahan dari mulut orang yang menyerang tiba-tiba itu. Seketika tubuhnya terjajar mundur sejauh delapan langkah ke belakang. Wajah orang itu menyeringai menahan nyeri.
Sementara tubuh Panji juga sempat bergetar akibat kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan tadi. Diam-diam, Pendekar Naga Putih menjadi heran karena dalam waktu singkat telah bertemu, dan bertempur melawan dua orang berkepandaian tinggi.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua? Mengapa datang-datang menyerangku?" tanya Panji penasaran. Wajahnya yang tampan itu terlihat tegang dan tanpa amarah sedikit pun. Wajah seseorang yang merasa tak membuat kesalahan.
"Jangan banyak bacot kau, Pemuda Bejad! Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu! Hiaaattt..!" teriak orang itu tanpa banyak cakap lagi. Terlihat sinar bergulung-gulung menyelimuti sekujur tubuh orang yang tak lain dari Gatar atau Pendekar Pedang Kilat. Langsung dikerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang Panji yang dirasakan memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasanya Panji percuma untuk berteriak-teriak menyanggah kalau dirinya merasa tak melakuan apa-apa terhadap Wilarni. Maka terpaksa dilayaninya serangan lawan, dan sesekali melakukan serangah balasan yang cukup membuat terkejut. Sementara itu pemuda tampan yang pertama kali menyerang Panji, telah bersimpuh dekat tubuh Wilarni yang tergolek pingsan itu. Cepat pemuda yang bukan lain adalah Shindura itu melepaskan pakaiannya, lalu dikenakan ke tubuh ibunya yang polos itu. Wajah pemuda itu memerah menahan geram yang menggelora dalam dadanya. Langsung ditolehkan kepalanya ke arah Panji yang tengah bertempur melawan pamannya.
"Manusia Biadab! Kau harus menebus dosa-dosamu dengan darah!" geram Shindura penuh kemarahan. Seketika pemuda itu bergegas melompat ke dalam kancah pertarungan itu. Begitu tiba, pedangnya langsung berkelebat mengancam tubuh Panji.
Panji yang menduga kalau itu hanya sebuah kesalahpahaman saja, tidak ingin membalas serangan dua orang lawannya, kecuali sesekali jika benar-benar terancam. Sadar kalau kedua orang itu tidak akan berhenti menyerang sebelum tubuhnya tergeletak, Panji cepat mengambil keputusan. Tiba- tiba, tubuh Pendekar Naga Putih melesat sejauh empat tombak ke belakang. Dan sebelum kedua lawannya menyadarinya, dia sudah berkelebat lenyap di antara lebatnya pepohonan.
"Bangsat! Jangan lari kau, ManusiabBejad!" Shindura berteriak-teriak sambil berusaha mengejar Panji. Namun, tentu saja pemuda itu tidak akan sanggup mengejar Pendekar Naga Putih yang ilmu meringankan tubuhnya telah mencapai taraf kesempurnaan. Beberapa saat kemudian, Shindura melangkah keluar dari dalam hutan. Wajahnya terlihat muram dan agak pucat. Hati pemuda itu benar benar merasa terpukul atas kejadian yang berturut-turut dialami keluarganya itu. Diam-diam, hatinya menyesali mengapa ilmu kepandaian yang dimilikinya demikian rendah, hingga tak mau melindungi keluarganya dari segala malapetaka itu.
Pendekar Pedang Kilat yang dapat merasakan apa yang terkandung dalam hati keponakannya, mencoba menghibur. Ditepuknya bahu Shindura berkali-kali, seolah-olah dengan cara demikian dapat mengalirkan kekuatan yang dapat menenangkan hati Shindura.
"Sudahlah, Shindura. Lebih baik kitablihat keadaan ibumu sekarang," ajak pendekar itu sambil membimbing Shindura ke tempat Wilarni tergeletak.
"Hm.... Rupanya bangsat cabul itu menggunakan semacam obat untuk membangkitkan nafsu jahat dalam tubuh ibumu. Benar-benar manusia cabul!"
Pendekar Pedang Kilat benar-benar murka melihat ada ketidakwajaran dalam tubuh Wilarni. Dia yang sudah memiliki banyak pengalaman, langsung mengetahui ketika memeriksa tubuh wanita itu. Pendekar itu menarik napas lega karena tidak menemukan luka-luka pada tubuh Wilarni.
"Apakah obat itu dapat membahayakan jiwa Ibu, Paman?" tanya Shindura cemas.
"Tidak, Shindura. Obat itu hanya bekerja kurang dari setengah hari. Dan setelah siuman nanti, ibumu sudah sehat kembali seperti sediakala," jawab Gatar.
Jawaban itu memang membuat hati Shindura menjadi lega. Setelah berkata demikian pendekar itu bangkit dan melangkah merayapi sekitar tempat itu. Kening Pendekar Pedang Kilat berkerut ketika matanya menatap sesosok tubuh yang tergeletak beberapa tombak dari tempatnya berdiri.
"Eh! Tubuh siapa yang tergeletak di situ?" gumam Gatar heran.
Pendekar Pedang Kilatitu bergegas menghampiri sosok tubuh yang tergeletak di atas rerumputan. Dan hatinya menjadi tercekat ketika mengenali pakaian yang dikenakan sosok yang telah menjadi mayat itu. Sesaat kemudian, pendekar itu pun berjongkok memeriksa mayat itu.
"Eh! Bukankah ini mayat salah seorang yang tadi menyerang rombongan kita, Paman?" tiba-tiba saja Shindura telah berada di samping Gatar. Kening pemuda itu berkerut dalam seolah-olah tengah berpikir keras untuk memecahkan masalah itu.
"Hm... aku ingat sekarang!"
"Apa yang kau ingat, Shindura?" Gatar menjadi penasaran ketika mendengar ucapan Shindura yang mengejutkan hati. Pendekar itu menolehkan kepalanya ke arah keponakannya itu. Sinar matanya tampak menuntut jawaban yang sejelas-jelasnya.
"Paman, bukankah orang yang melarikan Ibu adalah komplotan orang yang berpakaian serba hitam?" tanya Shindura
"Benar. Lalu, apa maksud pertanyaanmu?" Gatar malah balik bertanya. Keningnya berkerut karena masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan keponakannya itu.
"Tapi, mengapa pemuda yang kita keroyok tadi mengenakan jubah putih?"
"Lalu...?"
"Bukankah tadi dia tidak berusaha membalas serangan kita?" tanya pemuda itu lagi.
"Sepertinya begitu."
"Memang aku sendiri tidak tahu, apa yang dilakukannya terhadap Ibu. Tapi yang jelas, orang berseragam hitam ini sudah tergeletak tewas tentunya."
"Jadi menurut dugaanmu, pemuda itu telah menyelamatkan nyawa ibumu?" tanya Pendekar Pedang Kilat sambil melepaskan pandangannya ke langit lepas.
"Aku rasa begitu, Paman. Coba Paman ingat! Kalau pemuda tampan berjubah putih tadi menghendaki, mungkin saja dia dapat merobohkan kita, meskipun itu tidak mudah baginya. Tapi anehnya, mengapa ia malah melarikan diri? Bukankah ia sama sekali tidak terlihat terdesak?" Shindura mulai dapat menduga-duga apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat itu.tadi.
"Ah, mengapa aku begitu bodoh!" teriak Pendekar Pedang Kilat sambil menampar kepalanya pelahan. "Bukankah kita ke sini karena mendengar teriakan kesakitan yang melengking tadi. Hm.... Pastilah orang ini yang menjerit tadi! Hhh... mengapa kita begitu bodoh!"
"Sudahlah, Paman. Mudah-mudahan di lain kesempatan nanti kita bisa bertemu pemuda itu lagi. Kelak aku akan mencoba untuk bertanya kepadanya," ujar Shindura.
"Yahhh...," Pendekar Pedang Kilat hanya berdesah mendengar ucapan Shindura. Dan secara iseng, dicongkelnya penutup wajah mayat itu dengan ujung pedangnya. Gatar tersentak mundur ketika mengenali wajah mayat itu. Sesaat wajahnya memucat seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ada apa, Paman? Apakah Paman mengenali orang ini?" tanya Shindura sambil menatap wajah sang paman yang teriihat pucat itu.
"Hm.... Aku kenal betul orang ini. Pada mulanya, dia seorang tokoh pengemis yang berjuluk Pengemis Tongkat Merah. Heran, benarkah ia termasuk orang Partai Lima Unsur?" tanya Gatar, seperti untuk dirinya sendiri.
Bergegas Pendekar Pedang Kilat menggerakkan ujung pedangnya untuk merobek baju pada bagian dada mayat itu. Namun alis Gatar menjadi berkerut ketika tidak menemukan tanda yang dimaksudnya itu.
"Ayo kita kembali, Shindura!" ajak Gatar cepat.
Shindura menjadi heran melihat perubahan yang tiba-tiba pada wajah pamannya itu. Jelas sekali kalau Gatar tengah berpikir keras. Dan dia berusaha untuk menyembunyikan keterkejutannya dari penglihatan Shindura dengan cara mengalihkan perhatian pemuda itu. Pendekar Pedang Kilat segera mengangkat tubuh Wilarni lalu meletakkan di atas punggungnya. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pendekar itu langsung melesat meninggalkan tempat itu, menuju rombongan mereka berada.
Melihat sikap pamannya yang seolah-olah tak ingin diajak bicara, Shindura pun menutup mulutnya. Pemuda itu berusaha menyimpan segala macam pertanyaan dan pikiran yang berkecamuk di hatinya. Bergegas diikutinya langkah pamannya yang sudah lebih dulu meninggalkan tempatitu.
"Biarlah. Nanti kalau ada waktu, akan kutanyakan pada Paman," kata hati pemuda itu untuk menenangkan pikirannya yang semrawut.
Matahari sudah semakin meninggi. Sinarnya yang kuning keemasan tampak membias di antara rimbunan dedaunan hingga membentuk garis-garis yang indah berwarna-warni.
* * * * *
«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»
"Ibu...!" panggil gadis itu serak. Perasaan gembira dan haru menyelimuti hatinya. Suntini hanya dapat terisak memeluk dan menciumi wajah ibunya yang masih tak sadarkan diri.
Pendekar Pedang Kilat mendiamkan saja perbuatan gadis keponakannya itu. Dia cukup memaklumi, apa yang saat ini tengah dirasakan Suntini. Kematian ayahnya membuat jiwa gadis itu terguncang. Untunglah ibu gadis itu berhasil ditemukan. Entah apa yang akan terjadi pada diri Suntini apabila Wilarni tak berhasil ditemukan, Mungkin jiwa gadis itu akan terguncang lebih berat lagi.
"Ibu.... Ibu kenapa, Paman? Kakang, kenapa Ibu?" tanya Suntini setelah agak tenang. Pandangannya berganti-ganti menatap paman dan kakaknya. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Tenanglah, Adikku. Ibu tidak apa-apa, dan hanya pingsan saja," jawab Shindura sambil mengusap rambut kepala adiknya penuh kasih sayang. Sebenarnya Shindura sendiri juga tidak tenang, namun berusaha untuk menyenangkan hati adiknya itu.
Saat Suntini dalam pelukan kakaknya, Pendekar Pedang Kilat melangkahkan kakinya menuju tempat kereta berkuda berada. Pendekar itu masih belum tahu, bagaimana caranya menyembuhkan wanita malang yang berada dalam pondongannya itu.
"Apa yang terjadi, Saudara Gatar?" Pengemis Aneh Tongkat Sakti melangkah menghampiri Pendekar Pedang Kilat. Kakek pengemis itu menatap wajah Wilarni dengan kening berkerut. "Hm... sepertinya ia menderita keracunan?"
"Benar, Ki. Untunglah aku menemukannya dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, bisa repot aku dibuatnya," sahut Gatar sambil terus melangkahkan kakinya.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti manggut-manggut dengan kening sedikit berkerut. Namun demikian, hatinya masih bertanya-tanya. Apa penyebabnya Wilarni keracunan.
"Tolong sediakan selimut tebal, dan hamparkan di bawah pohon itu!"perintah Gatar kepada seorang anggota rombongan yang masih tersisa.
Orang itu bergegas melaksanakan apa yang diminta Pendekar Pedang Kilat tadi. Dia mengambil selimut tebal dari dalam kereta, lalu menghamparkannya di bawah pohon yang dimaksud pendekar. itu. Gatar meletakkan tubuh Wilarni di atas hamparan selimut dengan hati-hati. Wajah wanita itu nampak masih memerah akibat pengaruh obat yang dijejalkan orang yang berjuluk Pengemis Tongkat Merah. Pendekar Pedang Kilat hanya dapat memandang iba, tanpa mampu berbuat sesuatu.
"Boleh kuperiksa sebentar, Saudara Gatar?" pinta Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Setelah mendapat anggukan dari Pendekar Pedang Kilat, kakek itu segera mulai memeriksa keadaan Wilarni. Tampak dahi kakek pengemis itu berkerut dalam. Disertai helaan napas berat, kakek pengemis yang bernama Ki Gala Rengat itu bergegas bangkit.
"Kita tidak bisa mendiamkan begitu saja, Saudara Gatar. Pengaruh obat yang mengeram dalam tubuhnya kuat sekali. Kasihan wanita ini. Kalau tidak cepat diobati, ia akan menderita selama dua hari dua malam. Sayang, Garbala sudah tiada! Kalau masih hidup, tentu istrinya tidak terlalu menderita," jelas Ki Gala Rengat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang disertai helaan napas berat.
"Bukankah kau cukup berpengalaman didalam soal racun, Ki? Masak kau tidak mengetahui cara mengobatinya?" tanya Pendekar Pedang Kilat. Sebenarnya, pendekar itu sengaja menyembunyikan perasaan tak senang dan curiga setelah menemukan mayat Pengemis Tongkat Merah yang ikut menyerang rombongannya tadi.
"Kalau diperbolehkan, aku akan berusaha mengobatinya. Yahhh... mudah-mudahan saja bisa meringankan penderitaannya," jawab Ki Gala Rengat merendah.
Sebagai orang yang telah banyak pengalaman, kakek pengemis itu dapat mengetahui perubahan sikap yang ditunjukkan Pendekar Pedang Kilat. Dan hal itu tidak dipedulikannya.
"Tolonglah ibuku, Eyang," tiba- tiba saja Suntini sudah berdiri di belakang kakek pengemis itu sambil mengguncang-guncangkan tangan kakek itu.
"Tenanglah, Suntini. Akan ku usaha menolongnya. Tunggulah sebentar, aku akan mencari ramuannya." Begitu ucapannya selesai, tubuh kakek pengemis itu berkelebat. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap dalam hutan.
Pendekar Pedang Kilat, Shindura, dan Suntini serta empat orang pembantunya yang selamat, menunggu kedatangan Pengemis Aneh Tongkat Sakti dengan hati tegang. Waktu terasa begitu lambat berjalan, seolah-olah merayap bagaikan seekor keong. Tidak berapa lama kemudian, sebuah bayangan berkelebat disertai kekehnya yang keras. Rupanya Ki Gala Rengat sudah kembali dari dalam hutan. Di tangan kanannya, tergenggam beberapa lembar dedaunan dari jenis yang berbeda.
"Tunggulah. Aku akan mempersiapkan obat ini!" kata Pengemis Aneh Tongkat Sakti gembira. Setelah beberapa lembar dedaunan itu ditumbuk dan dimasak dengan air, kakek aneh itu pun mendatangi sambil membawa ramuan obat hasil ciptaannya untuk menyembuhkan Wilarni.
"Apakah racun yang mengeram dalam tubuh Ibu akan segera hilang, Eyang?" tanya Shindura setelah obat ramuan itu diminumkan ke mulut ibunya.
"Tunggu sajalah, Shindura. Kalau dalam beberapa waktu kulit tubuh ibumu belum menampakkan perubahan, itu tandanya obatku tidak manjur," jawab Ki Gala Rengat sambil tersenyum.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik kita lanjutkan perjaianan. Rasanya tempat ini tidak cocok untuk bermalam. Shindura, angkat ibumu ke dalam kereta. Biar Suntini yang akan menjaganya," perintah Pendekar Pedang Kilat sambil bangkit berdiri dari duduknya.
Tidak lama kemudian, ditempat itu mulai sibuk untuk mempersiapkan melanjutkan perjalanan. Wilarni sudah dinaikkan ke dalam kereta ditemani Suntini. Sedangkan yang lain menunggangi kuda masing-masing yang masih tersisa, siap untuk melakukan perjalanan kembali. Kini rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan, sebagaimana tujuan Garbala semula. Sinar matahari yang mulai redup itu sangat membantu perjalanan mereka. Kini rasa panas tidak lagi terasa menyengat kulit. Angin bersilir lembut menyegarkan tubuh yang terasa mulai lelah.
Setelah beberapa saat lamanya melakukan perjalanan melalui jalan yang berkelok-kelok, rombongan itu tibadisebuahperbukitan.Batu-batu kecil yang bertebaran di jalan, sedikit menghambat laju kereta kuda yang tinggal dua buah jumlahnya. Sebab kereta ketiga terpaksa ditinggalkan agar tidak terlalu membebani perjalanan.
Pendekar Pedang Kilat yang memimpin rombongan itu mengendarai kudanya lambat-lambat. Sepasang matanya yang tajam merayapi daerah perbukitan yang akan dilalui. Sesaat kemudian, pendekar itu mengangkat tangan kanan untuk menghentikan lajunyarombongan.
"Yang lain beristirahatlah sejenak. Aku akan memeriksa di depan sana!" seru pendekar itu. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia pun menghentak tali kekang kudanya menyusuri jalan berbatu.
"Aku ikut, Paman...!" seru Shindura sambil memacu kuda mengejar pamannya yang berada beberapa tombak di depan. Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu dapat menyusul Pendekar Pedang Kilat.
"Apa yang Paman curigai? Nampaknya, daerah perbukitan itu aman-aman saja," kata Shindura ketika kuda-kuda mereka sudah berjalan berdampingan.
Sambil berkata demikian, pandangannya beredar ke sekitar daerah yang akan dilalui rombongannya itu. "Hm... biasanya di daerah seperti ini banyak dikuasai para perampok. Tapi tampaknya tempat ini tenang dan cukup aman," sahut pendekar itu sambil lalu. "Nah, kau kembalilah! Perintahkan agar rombongan terus maju."
Tanpa membantah Shindura cepat membalikkan kudanya, dan langsung membedal menuju tempat semula. Kelihatan sekali kalau wajah pemuda itu sudah mulai cerah. Rupanya ia sudah mulai melupakan kejadian yang mengakibatkan kematian ayahriya itu.
"Ayo, jalankan kereta!" seru pemuda itu dari kejauhan. Suaranya begitu nyaring, sehingga bergema. Memang, Shindura berteriak tepat di bawah tebing bukit yang agak menjorok keluar.
Mendengar perintah itu, maka kereta kembali bergerak lambat menyusuri jalan berbatu yang sedikit mendaki. Setelah agak lama karena jalan yang dilaluinya tidak mulus, rombongan itu tiba di tempat Pendekar Pedang Kilat menunggu. Mereka terus melanjutkan perjalanan melewati jalan-jalan yang lebih sulit daripada semula. Roda kereta kuda terdengar berderak-derak ketika melintas jalan yang banyak lubang dan batu-baru besar saling bertonjolan.
"Hhh...." Tiba-tiba terdengar keluhan lirih, keluar dari dalam kereta yang ditumpangi Wilarni dan Suntini. Rupanya Wilarni sudah mulai tersadar dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat sejenak, seolah-olah ingin melemaskan urat-urat yang terasa kaku. Wilarni membuka kedua matanya pelahan-lahan. Seketika bibirnya menyunggingkan senyum manis ketika mendapati anak gadisnya tengah duduk di sisinya. Seperti tak mempercayai penglihatannya, Wilarni mengerjap- ngerjapkan mata seakan-akan ingin menghilangkan bayangan yang diangap semu itu.
"Kakang Shindura...! Ibu sudah sembuh!" teriak gadis cantik itu sambil mengulurkan kepalanya melalui jendela kereta. Sepasang matanya yang indah nampak berbinar ketika menyerukan berita yang menggembirakan itu. Dan kini Suntini menangis dalam pelukan ibunya. Namun, tangisnya kali ini adalah sebuah luapan rasa bahagia karena melihat kesembuhan ibunya. Pelukan kedua tangannya demikian ketat, seolah-olah tidak ingin lagi melepaskan ibu yang dikasihinya itu.
Shindura yang mendengar teriakan adiknya, bergegas membedal kudanya ke belakang. Tampak senyum gembira menghias wajahnya yang tampan. Rupanya kegembiraan itu bukan hanya milik mereka berdua. Sebab wajah-wajah lain pun terlihat ikut mengembangkan senyum gembira pula. Kegembiraan kedua remaja itu telah pula membangkitkan kegembiraan di hati yang lain.
Saat ini, rombongan itu telah memasuki sebuah dataran yang cukup luas. Di beberapa sudut dataran, tampak tumbuh beberapa batang pohon. Melihat alam yang cukup ramah ini, Pendekar Pedang Kilat bergegas menghentikan perjalanan rombongannya. Rupanya pendekar itu berniat melepaskan malam di tempat itu. Memang, saat itu matahari sudah hampir tenggelam di kaki langit sebelah Barat. Cahaya kemerahan tampak menyemburat, mewarnai kaki langit. Senja mulai menampakkan ronanya yang indah dipandang mata.
Empat orang pengikut keluarga Garbala yang masih setia itu bergegas membuat tenda-tenda. Sigap sekali cara mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Hingga tidak berapa lama kemudian, tiga buah tenda sederhana telah berdiri kokoh. Tampak beberapa buah obor mulai dipasang, untuk menerangi sekitar tempat itu.
Shindura dan Suntini tampak menemani ibunya di tenda paling tengah. Sedang dua tenda lainnya, disediakan untuk kaum lelaki. Kesedihan di hati Wilarni sudah mulai pudar, karena dua orang anaknya terus berusaha menghibur hatinya. Wajah wanita berusia tiga puluh lima tahun yang masih nampak cantik itu sudah segar kembali. Rupanya obat yang dibuat Ki Gala Rengat benar-benar manjur. Beberapa saat kemudian, tampak Shindura dan Suntini berjalan keluar dari dalam tenda. Mereka melangkah menghampiri Pengemis Aneh Tongkat Sakti yang tampak tengah berkumpul bersama dua orang pembantu keluarga Garbala itu.
"Ah! Shindura, Suntini, mari... mari. Bagaimana keadaan ibumu?" sapa kakek pengemis itu ketika melihat Shindura dan Suntini tengah berjalan kearahnya.
"Sudah lumayan, Eyang. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolongan Eyang. Entah apa jadinya keadaan Ibu kami apabila Eyang tidak cepat bertindak," ucap Shindura sambil membungkuk hormat kepada kakek pengemis itu.
Sesaat kemudian, ketiganya telah terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikan. Sesekali terdengar suara tawa mereka ketika mendengar cerita lucu Ki Gala Rengat. Selain banyak pengalamannya dalam dunia persilatan, rupanya kakek itu pandai juga bercerita.
Setelah puas mendengar cerita kakek pengemis itu, Shindura dan Suntini mohon pamit untuk menemui Pendekar Pedang Kilat. Mereka melangkah meninggalkan tempat itu diiringi tatapan Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Malam itu cuaca nampak sangat cerah. Sinar rembulan memancar terang menghiasi sang malam. Bintang-bintang pun berkelip jenaka, bak mata dara jelita yang manja. Tiupan angin bersilir lembut menebarkan kesejukan.
* * * * *
Gatar atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pedang Kilat nampak termenung menatapi sang bulan. Laki-laki berusia empat puluh tahun itu duduk bersandar pada sebatang pohon yang letaknya tidak jauh dari tenda yang ditempatinya. Wajahnya yang masih terlihat segar dan gagah itu tampak agak berkerut seolah-olah tengah memikirkan sesuatu. Cukup lama pikirannya terhanyut dalam, hingga tidak menyadari kedatangan dua sosok tubuh yang tahu-tahu sudah dibelakangnya.
'Paman Gatar...," pangil Shindura dan Suntini pelan. Dari suara mereka, tersirat nada keengganan. Sepertinya, mereka terpaksa harus mengganggu lamunan sang paman.
"Eh! Shindura, Suntini, ada apa?" sahut pendekar itu tersentak. Seketika lamunannya terbang entah ke mana. Gatar cepat menolehkan kepalanya menatap dua orang keponakannya itu.
"Ah! Tidak ada apa-apa, Paman. Kami hanya ingin ngobrol-ngobrol saja," jawab Shindura. Langsung dijatuhkan dirinya di atas sebuah batu yang berada di samping pohon. Suntini juga segera mengambil tempat di sisi kakaknya.
"Paman, apakah yang tengah dipikirkan tadi? Tampaknya Paman begitu terhanyut dalam lamunan, sampai-sampai tidak mengetahui kedatangan kami?" tanya Suntini memecah kebisuan di antara mereka.
"Hhh."," desah Pendekar Pedang Kilat. Gatar tidak segera menjawab pertanyaan gadis itu. Di hela napas berkali-kali. Sepertinya, beban pikirannya memang terasa sangat berat. Dilepaskan pandangannya merayapi langit yang berhiaskan taburan bintang. Seolah-olah ia ingin mencari jawaban di atas sana.
"Shindura, Suntini. Benarkah kalian sama sekali tidak mengetahui tentang peta harta itu? Atau, apakah kakek kalian tidak meninggalkan sesuatu kepada Ayah kalian?" tanya pendekar itu sambil menatap tajam dua orang di depannya berganti-ganti. Seperti dia ingin meminta jawaban yang sejujurnya.
"Sepengetahuanku memang tidak, Paman. Bahkan Ayah pun hampir tidak pernah bercerita mengenai riwayat kakek kepada kami. Itulah yang membuat hatiku bertanya-tanya, dari mana orang-orang berseragam hitam itu mengetahuinya? Bahkan nampaknya begitu yakin tentang adanya peta harta itu pada keluarga kami," jawab Shindura lesu, seolah-olah menyesal karena tidak memberi jawaban yang menyenangkan.
"Apakah Ayah kalian tidak pernah memberi sesuatu benda, atau katakanlah benda peninggalan kakekmu itu?" tanya Pendekar Pedang Kilat penasaran. Sepertinya, dia masih belum puas atas jawaban yang diberikan Shindura tadi.
"Sama sekali ti... eh! Nanti dulu!" Tiba-tiba saja Shindura menghentikan ucapannya. Cepat ditolehkan kepalanya, seolah-olah teringat akan sesuatu. "Adikku, bukankah Ayah pernah memberi sebuah pedang kepadamu? Dan bukankah Ayah mengatakan kalau pedang itu adalah peninggalan Kakek satu-satunya?" tanya Shindura dengan wajah tegang, sambil menatap wajah adiknya lekat-lekat. Seolah-olah, ia ingin membantu ingatan adiknya tentang hal itu.
Pendekar Pedang Kilat berdebar hatinya mendengar ungkapan Shindura. Di wajah pendekar itu terlintas harapan yang berpendar-pendar. Sepasang matanya yang tajam mengawasi bibir gadis cantik itu.
"Ya! Aku ingat sekarang, Kakang!" seru gadis itu terlonjak bangkit.
Tentu saja gerakan gadis yang tiba-tiba, membuat Pendekar Pedang Kilat dan Shindura ikut terlonjak dari duduknya. Memang, mereka terlalu tegang menunggu jawaban Suntini, tanpa sadar merekater lonjak.
"Di mana... di mana pedang itu sekarang, Adikku?"
Saking tegangnya, Shindura sampai tak sadar mengguncang tangan adiknya terlalu keras. Akibatnya wajah gadis itu menyeringai menahan sakit.
"Ah! Maaf... maaf, Adikku," ucap Shindura menyadari perbuatannya. Serta-merta, dilepaskannya cekalan tangan yang menyakitkan lengan adiknya itu.
"Ah, Kakang! Mengapa sih, sampai begitu tegang? Apakah Kakang sudah menjadi seorang yang gila harta?" Suntini memonyongkan bibirnya cemberut. Gadis itu segera mencabut pedangnya dari pinggang. Dengan segera, diserahkannya pedang itu.
"Ini, pedangnya! Ambillah, kalau kau lebih menyayangi benda ini daripada aku!"
"Ah! Maafkan kelakuanku tadi, Adik Suntini. Tentu saja aku lebih menyayangimu dan Ibu, ketimbang pedang ini. Sudahlah, jangan marah," ucap Shindura sambil membentangkan kedua tangan dan memeluk adiknya.bRambut kepala Suntini dibelai Shindura penuh kasih sayang. Kedua kakak-beradik itu memang dekat sekali satu sama lain. Karena itulah, mengapa Shindura, tidak merasa canggung memeluk tubuh adiknya. Memang mungkin.ia tidak menyadari kalau adiknya itu telah berubah menjadi seorang remaja yang cantik dan memikat.
Melihat Shindura tidak meraih pedang yang disodorkan, tapi malah memeluk dan menghibur adiknya, Pendekar Pedang Kilat sigap menyambutnya. Bergegas pendekar itu meneliti dari ujung sampai kegagang pedang. Keningnya berkerut dalam ketika tidak dapat menemukan satu petunjuk pun dari pedang itu.
"Apakah hanya benda ini yang menjadi peninggalan kakekmu?" tanya Pendekar Pedang Kilat. Wajahnya nampak menyiratkan kekecewaan setelah berkali-kali memeriksa, tapi tak menemui sesuatu petunjuk pun. Diangsurkannya pedang itu kepada Shindura yang segera menyambutnya.
Begitu berada dalam genggaman Shindura cepat meneliti secara cermat. Namun, hasilnya tetap saja tidak ada. Bahkan sampai-sampai sarung pedang itu dibelah, hasilnya tetap sama. Pemuda itu kembali menjatuhkan pantatnya di atas batu yang semula didudukinya. Sepasang matanya tetap tak lepas dari senjata itu, seperti masih belum ingin menyerah. Otaknya bekerja tak henti-henti, memikirkan hal itu. Malah Shindura tak sadar kalau adik dan pamannya tengah mengamatinya.
"Hm.... Kalau orang-orang berseragam hitam itu sampai rela mengorbankan nyawa, pasti kabar tentang peta harta itu benar. Sedang, satu-satunya peninggalan Kakek hanyalah sebilah pedang ini. Jadi menurut hematku, sudah pasti peta harta itu berada di dalam pedang ini. Hanya saja kita tidak tahu, di bagian mana Kakek menyembunyikan peta harta simpanannya itu?"
Shindura terus berpikir keras mencari-cari jawabannya. Dikerahkannya seluruh ingatannya tentang kisah raja- raja terdahulu yang sering dibaca melalui kitab-kitab kuno.
"Suntini, bolehkah pedangmu itu kurusak?" tiba-tiba saja pemuda itu bertanya sungguh-sungguh kepada adiknya.
Pendekar Pedang Kilat berdebar hatinya ketika mendengar pertanyaan aneh itu. "Hm... anak ini cerdik sekali. Siapa tahu ia benar-benar dapat menemukan peta harta itu? Entah cara apa yang akan diperbuatnya?" kata hati pendekar itu tegang.
"Kalau hal itu memang dapat menyelamatkan keluarga kita dari ancaman musuh, aku rela Kakang," jawab gadis itu setelah berpikir beberapa saat lamanya.
Setelah berkata demikian, gadis itu melangkah mendekati, lalu duduk di samping kakaknya itu. Sepasang matanya yang indah ini menatap wajah kakaknya lekat-lekat, seolah-olah ingin mencari tahu apa yang tengah dipikirkan kakaknya.
Setelah mendapat persetujuan adiknya, Shindura mencabut keluar pedangnya yang tergantung di pinggang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun pemuda itu lalu menorehkan ujung pedangnya pada sambungan gagang pedang yang diduga menyimpan peta harta. Beberapa saat kemudian, gagang pedang itu pun terlepas. Hati-hati sekali Shindura memasukkan jari-jari tangannya ke dalam gagang pedang pada bagian tengahnya. Wajah pemuda itu mendadak tegang ketika merasakan ujung jari tangannya menyentuh benda yang agak lemas.
Melihat ketegangan yang terpancar dari wajah pemuda itu, serentak Pendekar Pedang Kilat menghampirinya. Wajahnya juga berubah tegang seperti halnya Shindura. "Apa... apa yang kau dapatkan, Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat tegang. Dari nada suaranya, jelas sekali kalau hati pendekar itu berdebar keras. Suaranya yang biasanya tenang terdengar bergetar dan napasnya agak memburu.
Shindura cepat mencabut sebuah gulungan yang terdapat di dalam lubang gagang pedang itu. Gulungan itu terbuat dari sejenis kulit binatang yang agak kaku dan tipis. Rupanya orang yang menyimpan peta itu benar-benar teliti dan pandai sekali. Buktinya kulit yang di dalamnya terdapat gambar peta sangat liat dan tidak mudah rusak. Padahal benda itu disimpan sudah puluhan tahun. Diam-diam hati pemuda itu mengagumi kecerdikan kakeknya.
Shindura hati-hati dan penuh ketegangan saat membuka gulungan kulit itu. Maka tampak sebuah gambar rumit dan tak mudah dimengerti sembarang orang. Bahkan Pendekar Pedang Kilat dan Suntini sampai mengerutkan dahinya dalam-dalam. Namun, mereka tetap saja tak dapat menerka, apa dan tempat apa yang digambarkan di atas kulit itu.
"Dapatkah kau membacanya, Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat dengan suara kering.
"Tidak, Paman. Menyesal sekali aku tidak memahami apa yang digambarkan dalam peta ini," jawab Shindura lesu.
"Boleh kulihat?" pinta pendekar itu penuh minat.
Shindura hanya mengulurkan peta itu tanpa mengucapkan sesuatu. Setelah beberapa saat meneliti, Gatar mengembalikan peta itu kepada Shindura.
"Simpanlah peta ini, Shindura. Aku pun tak dapat membacanya," ujar Gatar tak bergairah. "Malam sudah semakin larut. Mari kita beristirahat."
* * * * *
«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»
Kini pagi baru saja datang. Shindura terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara ribut di luar. Bunyi dentang senjata yang diselingi teriakan-teriakan orang bertempur itu, membuatnya terlompat seraya mencabut keluar senjatanya.
"Ada apa, Shindura?!" Wilarni juga tersentak bangun dari tidurnya. Wajah wanita itu berubah pucat. Nalurinya mengatakan kalau ada bahaya tengah mengancam mereka.
"Entahlah, Bu. Biar kuperiksa keadaan di luar!" kata Shindura cepat. "Suntini kau jaga Ibu!"
Setelah berpesan demikian, tubuh pemuda itu menghambur keluar. Gerakannya cepat bagai kilat, pertanda ilmu meringankan tubuh pemuda itu tinggi juga. Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat empat orang pembantunya telah bergelimpangan bermandi darah. Di hadapannya tampak seorang laki-laki tinggi kurus, mengenakan seragam hitam. Sebagian wajahnya tertutup sehelai kain yang juga berwarna hitam. Dia berdiri tegak mengawasi Shindura yang baru saja muncul dari dalam tenda itu.
"Hm.... Kau pasti putra si keparat Garbala itu. Ayo, serahkan peta harta itu!" bentak orang itu sember. Sepasang matanya yang setajam mata elang itu menatap penuh ancaman. Di tangan kanannya tergenggam sebilah kapak besar yang masih meneteskan darah. Rupanya dialah yang telah membunuh keempat orang pembantunya itu.
"Huh! Manusia Tamak! Jangan harap kau bisa mendapatkan peta harta itu sebelum tubuhku terbujur menjadi mayat!" sahut Shindura gagah. Kedua kakinya terpentang lebar. Sedangkan pedangnya sudah melintang di atas kepalanya. Pemuda itu siap menghadapi maut!
Sementara itu di depan tenda yang berada di kanan tenda Shindura, tampak Pendekar Pedang Kilat tengah bertarung sengit melawan seorang berpakaian hitam lainnya. Lawan pendekar itu bersenjatakan sebatang toya, dan gerakannya tampak hebat sekali. Berkali-kali Pendekar Pedang Kilat melakukan serangan-serangan yang mematikan, namun lawannya yang bertubuh tinggi kekar itu selalu saja dapat mematahkan.
"He he he.... Keluarkan seluruh kepandaianmu, Pendekar Tolol!" Orang bertubuh tinggi kekar itu tertawa mengejek sambil menangkis serangan-serangan Gatar. Nampaknya kepandaian yang dimilikinya memang di atas kepandaian paman Shindura dan Suntini itu. Buktinya ia masih saja mudah berkelit. Padahal, serangan pendekar itu berkali-kali mengancam tubuhnya.
"Huh! Jangan takabur dulu, Monyet Hitam! Tunjukkan kepandaianmu! Jangan hanya bisa mengelak!" teriak Gatar marah bercampur penasaran.
Memang diakui, hati Gatar begitu penasaran. Padahal, serangan yang dilakukannya itu diambil dari jurus- jurus pilihan yang jarang sekali digunakan. Tapi, lawannya seolah-olah enak saja menghadapinya. Tidak heran kalau hati Gatar dibuat semakin gusar.
"Heaaattt...!" Dalam kemarahannya, pendekar itu mengeluarkan sebuah jurus yang paling diandalkannya. Pedang sinar putihnya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar di angkasa. Sebentuk sinar putih bergulung-gulung menyertai ayunan pedangnya. Sesekali, ujung pedangnya yang tersembunyi di balik gulungan sinar putih mencuat mengancam keselamatan lawan. Itulah jurus 'Kilat Bersembunyi di Balik Awan' yang merupakan jurus kesepuluh dari 'Ilmu Pedang Sinar Kilat'.
Menyaksikan kehebatan jurus yang dimainkan lawan, orang berpakaian hitam itu tampak cukup terkejut. Tawanya mendadak lenyap, dan berganti kerutan dalam di keningnya. Dia segera melangkah mundur ke belakang beberapa tindak. Toya yang panjangnya hampir mencapai dua tombak diputar-putar sedemikian rupa, hingga membentuk lingkaran yang melindungi tubuhnya.
Wukkk! Wukkk!
Batu-batu kecil dan daun-daun kering seketika beterbangan terkena arus putaran tongkat yang menimbulkan angin menderu-deru. Sekejap saja, arena pertarungan telah tertutup debu-debu tipis yang mengepul tinggi di angkasa.
"Yeaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan mengguntur, tubuh keduanya melesat menerjang satu sama lain. Sekejap kemudian mereka kembali terlibat perkelahian mati-matian. Tampak gulungan sinar saling libat dan saling terjang dengan dahsyatnya!
Sementara itu di tempat lain, Pengemis Aneh Tongkat Sakti juga tengah bertarung melawan seorang bertubuh kecil kurus. Namun tubuh yang kecil kurus itu nampak demikian gesit dan licin. Sehingga kemanapun tongkat pengemis itu berkelebat, selalu saja dapat dielakkan. Malah serangan balasannya tidak kalah berbahayanya. Meskipun hanya sesekali membalas, tapi telah sanggup membuat Ki Gala Rengat kelabakan.
"Setan Kurus! Kurang ajar! Kupukul pantatmu nanti baru tahu rasa!"
Ki Gala Rengat menghindari sebuah hantaman tangan lawannya sambil memaki kalang kabut. Benar-benar tidak disangka kalau lawannya yang bertubuh kecil dan kurus itu mampu membuatnya kerepotan. Padahal, orang itu sama sekali tidak menggunakan senjata!
"He he he... jangan hanya pandai memaki, Kakek Gembel! Nih, jaga jurus 'Meledakkan Seribu Gunungku!" ancam si kecil kurus sambil melontarkan sebuah pukulan maut. Angin pukulan itu mencicit tajam membelah udara pagi dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata biasa.
Siuuuttt! Trakkk!
Bukkk!
"Arrrghhh...!"
Terdengar suara berdentang nyaring ketika telapak tangan orang itu membentur tongkat baja Ki Gala Rengat. Tubuh kakek pangemis itu terjajar mundur sejauh lima langkah. Dan selagi tubuhnya terjajar limbung, telapak tangan kiri lawan telak menggedor dadanya! Kakek pengemis itu terlempar sejauh empat tombak disertai semburan darah segar dari mulutnya. Tubuh tua renta itu terbanting di atas tanah berbatu menimbulkan suara berdebuk keras.
"Hkkk...!" Dengan dibantu tongkat baja yang masih tergenggam di tangan, Pengemis Aneh Tongkat Sakti berusaha bangkit berdiri. Kedua tangannya menekap dada yang terasa panas bagaikan terbakar itu. Meski pandangan matanya terasa bagai berputar, namun ia berusaha untuk berdiri tegak.
"He he he.... Kenapa sampai di sini saja kepandaianmu, Gala Rengat?" ejek si kecil kurus sambil melangkah menghampiri lawan yang sudah hampir tak berdaya itu.
"Kau... kau pasti yang berjuluk Raja Maut Tangan Sakti?!" tegas Ki Gala Rengat. Dia baru bisa menerka siapa sebenarnya kakek kecil kurus yang menjadi lawannya itu. Ini karena jurus yang dikeluarkan lawan hanya dimiliki oleh Raja Maut Tangan Sakti. Setelah berkata demikian, Pengemis Aneh Tongkat Sakti kembali terbatuk hebat! Darah segar segera menetes dari sela-sela bibirnya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun ambruk ke tanah. Rupanya luka dalam di tubuh Ki Gala Rengat terlalu parah, sehingga membuatnya tergeletak pingsan
"He he he.... Kau tidak akan kubunuh, kakek gembel! Terlalu enak rasanya kalau mati begitu saja. Luka di tubuhmu akan menggerogoti pelahan-lahan. Dan dalam jangka waktu satu bulan, kau akan tewas setelah mengalami penderitaan menyakitkan!"
Sesudah mengucapkan kata-kata yang membuat bulu kuduk berdiri itu, kakek kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu pun melangkah lebar meninggalkan tubuh Pengemis Aneh Tongkat Sakti yang terkapar pingsan
* * * * *
Di arena lain, tampak Pendekar Pedang Kilat tengah mati-matian mempertahankan nyawanya. Jurus 'Kilat Bersembunyi di Balik Awan' miliknya ternyata tak mampu menahan jurus 'Perisai Topan dan Badai' milik lawan. Akibatnya pada jurus yang kelima puluh satu Gatar sudah tidak dapat lagi membalas serangan lawan. Hingga memasuki jurus kelima puluh dua, Pendekar Pedang Kilat tak sanggup lagi menghindarkan sebuah hantaman toya lawan pada punggung.
Bukkk!
"Hukkk...!" Pendekar Pedang Kilat terpental sejauh tiga tombak. Darah segar mengaiir dari celah-celah bibirnya yang pucat Pendekar itu menyeringai menahan rasa sakit, terasa bagaikan remuk tulang-tulang punggungnya. Meskipun luka yang diderita cukup parah, namun Gatar masih mencoba melintangkan pedangnya siap menghadapi maut.
Sementara itu di tempat lain, Shindura telah dibuat jatuh bangun oleh lawannya. Seluruh wajahnya telah dipenuhi luka memar akibat temparan orang tinggi kurus itu. Pakaiannya telah robek di sana-sini, bagaikan tercabik binatang buas. Rupanya lawannya sengaja menyiksa Shindura yang masih belum bersedia menyerahkan peta harta yang diinginkan orang itu.
"Hm, Anak Setan! Rupanya kau memang tidak boleh dikasih hati. Baik, kalau memang lebih sayang peta itu daripada nyawamu!" ancam orang itu geram.
"Kakang Shindura...!" Suntini yang sudah merasa tidak betah berada di dalam tenda itu cepat melompat keluar. Ia langsung menubruk tubuh kakaknya yang sudah dipenuhi luka akibat goresan senjata lawan.
"Manusia Biadab, mampuslah!" teriak Suntini marah.
"Ha ha ha.... Rupanya ada kelinci manis di tempat ini? Mari, Manis. Rasanya aku tak tega menjatuhkan tangan kejam kepadamu. Sebaiknya, ikut saja bersamaku!" ujar orang itu sambil menyeringai buas. Orang berpakaian hitam itu hanya menggerakkan tubuh sedikit ketika serangan Suntini tiba. Maka senjata gadis itu hanya menusuk angin. Cepat bagai kilat, tangannya bergerak menangkap pergelangan tangan halus itu.
Suntini tercekat melihat gerakan tangan lawan yang demikian cepat. Tentu saja gadis itu tidak ingin tangannya dipegang laki-lakiberingas itu. Cepat-cepat senjatanya ditarik pulang sambil tubuhnya diputar membentuk setengah lingkaraa Hasilnya, cengkeraman lawan pun lolos! Sedangkan pedangnya terus berputar membabat perut lawan.
Singgg!
"Eh...!" Laki-laki tinggi kurus itu sempat kaget dibuatnya. Sungguh tidak diduga kalau gadis cantik itu ternyata cukup lihai. Cepat-cepat dia melompat ke belakang karena tidak rela perutnya dirobek senjata gadis itu.
"Hm.... Ternyata kau berisi juga, Bidadariku! Ayolah, kita main-main sebentar!" ledek orang itu sambil menjilati sekujur tubuh Suntini melalui tatapan matanya yang liar. Segera disimpan kapaknya di balik pinggang, kemudian melompat ke arah Suntini dengan kedua telapak tangan terkembang.
"Bangsat! Jangan kau ganggu adikku!" Shindura yang melihat adiknya terancam serentak menerjang orang itu. Padahal, keadaan tubuhnya telah lelah sekali pemuda itu segera mengayunkan pedangnya, sehingga menimbulkan desingan tajam.
"Monyet tak tahudiri, mampuslah!" bentak laki-laki itu geram, ketika melihat Shindura mengganggu kesenangannya. Seketika orang berbaju hitam itu menunda serangannya yang semula ditunjukkan kepada Suntini. Cepat sekali tubuhnya berputar, dibarengi tamparan tangan ke arah pergelangan tangan Shindura.
Sadar kalau serangannya akan kandas, Shindura cepat menarik pulang senjatanya, dan digantikannya dengan tendangan kilat yang menuju dada lawan. Tapi, tamparan orang itu ternyata membelok ke arah kaki pemuda itu. Akibatnya Shindura terlambat untuk menarik pulang kakinya. Sehingga....
Plakkk!
"Aaahhh...!" Shindura menjerit kesakitan ketika tangan lawan yang sekeras besi itu menghantam mata kakinya. Tubuh pemuda itu terpental berputar dan jatuh terguling-guling. Sambil menyeringai menahan sakit, Shindura berusaha bangkit namun keadaannya terpincang-pincang." Mata kakinya membengkak akibat tamparan orang itu. Belum lagi ia sempat menguruti kakinya, tahu-tahu tangan lawannya telah berada di depan dadanya.
Desss!
"Ouggghhh...!" Shindura mengeluh pendek, lalu tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Yang dirasakan adalah kegelapan yang menutupi penglihatan. Sama sekali tidak dirasakan lagi ketika tubuhnya terbanting di atas tanah keras. Memang pemuda itu sudah pingsan selagi tubuhnya terlempar di udara.
"Kakang...!" teriak Suntini. Gadis itu berlari memburu tubuh kakaknya yang terkapar tak berdaya. Air mata mengalir membasahi pipinya yang halus. Perkiraannya, kakaknya telah tewas di tangan laki-laki tinggi kurus itu.
"Ha ha ha.... Tidak periu dirisaukan kakakmu yang tengah melayat ke neraka itu. Lebih baik, kau ikut bersamaku dan menjadi istriku. Ayo, Dewiku...," kata orong itu sambil mengembangkan kedua lengannya menghalangi jalan Suntini.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat kesamping Suntini. Gadis itu semula sudah siap menyerang. Namun cepat-cepat senjatanya ditarik kembali ketika mengetahui kalau bayangan itu tak lain adalah pamannya. Rupanya ketika melihat keselamatan Suntini terancam, Pendekar Pedang Kilat bergegas meninggalkan lawannya.
"Paman...!" sapa gadis itu serak.
"Suntini! Berikan pedang itu kepadaku, dan kau pakai pedangku!" bisik Gatar di telinga gadis itu.
Mengerti akan maksud baik pamannya, gadis itu menyerahkan senjatanya. Lalu diambilnya senjata Pendekar Pedang Kilat yang diulurkan kepadanya. "Mereka sudah tahu tentang pedang itu. Biarlah aku akan memancing perhatian mereka dengan cara melarikan pedang ini," bisik pendekar itu lagi. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar itu segera melesat meninggalkan tempat itu.
Raja Maut Tangan Sakti dan orang tinggi besar yang menjadi lawan Gatar tadi, bergegas mengejar pendekar itu. Sedangkan laki-laki tinggi kurus tetap ditempatnya sambil menyeringai ke arah Suntini. Tentu saja gadis cantik itu menjadi ketakutan setengah mati. Tapi Suntini bukannya takut terhadap kematian. Yang ditakutkannya adalah sesuatu yang lebih hebat yang akan mengancam kehormatan dirinya. Gadis itu menoleh ke kiri dan ke kanan seolah-olah mencari perlindungan. Namun, baik Ki Gala Rengat maupun kakaknya telah tergeletak tak berdaya. Kini tinggallah dia sendiri yang harus dapat menyelamatkan dirinya tanpa bergantung kepada siapapun.
"Ha ha ha.... Menyerahlah, Manis. Tidak ada seorang pun yang dapat menolongmu kali ini!" kata orang itu terkekeh penuh nafsu. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki itu melompat menerkam tubuh Suntini.
Gadis itu menggeser tubuhnya ke samping sambil membabatkan pedang, yang berkelebat mengancam tubuh lawan. Namun tebasan itu berhasil dielakkannya. Sekejap kemudian, keduanya sudah terlibat pertarungan yang berat sebelah. Sampai beberapa jurus lamanya, Suntini masih berhasil mempertahankan diri agar tidak terjatuh ke tangan orang buas itu. Tapi, biar bagaimanapun Suntini tak akan mampu melawan orang itu hingga belasan jurus lamanya. Pada jurus kedua belas saja, gadis itu sudah mulai terdesak hebat. Sehingga dia hanya dapat melompat lompat menghindari terkaman sepasang lengan yang terus mengejarnya itu.
Pada jurus yang ketiga belas, Suntini bertindak nekad. Sepertinya gadis itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keseiamatan nyawanya. Maka, ketika sepasang tangan itu meluncur ke arah dadanya, segera dibabatkan senjatanya ke leher orang itu. Tapi, rupanya laki-laki itu sudah memperhitungkan hal ini. Sebab, pada saat senjata itu bergerak menuju leher, kepalanya diputar sambil kuda- kudanya direndahkan.
Wuttt!
Pedang Suntini meluncur membabat tempat kosong Dan tahu-tahu saja, jari-jari tangan lawan telah meluncur cepat ke arah sikutnya. Dan....
Tukkk! Tukkk!
"Ohhh...!" Suntini mengeluh tertahan. Lengan kanannya yang memegang pedang tergantung lumpuh. Bahkan bukan hanya lengannya. Kini tubuhnya pun melorot jatuh akibat totokan lawan yang tak dapat dihindari lagi.
"Bunuhlah aku, Manusia Rendah!" teriak gadis itu ketakutan melihat sinar mata laki-laki itu yang menjilati sekujur tubuhnya. Suntini merasakan tubuhnya panas dingin karena tatapan orang itu. Tampak air matanya meleleh membasahi pipinya. Bukan kematian yang ditakuti Suntini, tapi mahkota berharga yang hanya sekali dimiliki bakal hilang. Gadis itu hanya bisa menangis tanpa mampu berbuat sesuatu.
Bagaikan seekor harimau lapar, laki-laki tinggi kurus itu menerkam tubuh Suntini. Terdengar suara kain robek ketika tangan laki-laki itu merenggut kasar pakaian gadis itu. Seketika tampaklah kulit putih halus mulus yang dimiliki gadis itu. Bahkan dua bukit kembarnya sedikit tersingkap, sehingga makin membangkitkan gairah birahi. Tanpa mempedulikan tangisan pilu yang keluar dari mulut Suntini, orang itu menciumi wajah dan leher gadis itu penuh nafsu.
Wilarni yang mendengar jerit dan tangis anaknya bergegas keluar dari dalam tenda. Dan apa yang tengah dilihatnya, membuat wanita itu terbelalak pucat. Anak gadisnya yang sudah setengah telanjang itu tengah digeluti dengan buas oleh laki-laki tinggi kurus.
Tanpa pikir panjang lagi, Wilarni bergegas berlari untuk menolong anaknya. Kedua tangannya terulur mencengkeram rambut kepala orang itu. Seketika ditariknya sekuat tenaga rambut orang berbaju hitam, sehingga terdongak dan berteriak kesakitan.
Bukan main marahnya orang itu karena kesenangannya merasa terganggu. Secepat kilat tubuhnya berbalik sambil melayangkan sebuah tamparan keras. Mungkin karena rasa marah yang menggelegak, membuat orang itu tidak sadar kalau yang ditamparnya hanyalah seorang wanita lembut.
Plakkk!
Wilarni tidak sempat lagi berteriak. Tubuh wanita malang itu terpelanting dan tewas seketika. Tulang tengkorak kepalanya retak akibat tamparan yang mengandung tenaga sakti itu. Tanpa mempedulikan keadaan Wilarni, orang itu kembali meneruskan niat bejadnya yang belum terlaksana tadi. Sambil menyeringai buas kembali diterkamnya tubuh gadis malang itu.
"Ibu...!" Suntini berteriak serak ketika menyaksikan tubuh ibunya terkapar. Gadis itu tidak tahu, apakah ibunya telah tewas atau hanya sekadar pingsan saja. Secara sepintas terlihat ada genangan darah di sekitar kepala ibunya. Gadis itu merasakan dunia di sekitarnya menjadi gelap. Dia menyesali dirinya, mengapa tidak jatuh pingsan saja agar tidak merasakan penderitaan yang dialami sekarang ini. Namun sebelum kejadian yang mengerikan itu sempat menimpa diri Suntini, tiba-tiba sebuah tangan meraba leher baju laki-laki tinggi kurus itu. Tidak sampai di situ saja. Sebelum laki-laki itu sempat menyadari, tubuhnya telah terangkat dan terlempar sejauh dua tombak.
Blug!
Tubuh laki-laki tinggi kurus itu terbanting ningga menimbulkan suara berdebuk keras. Dia menyeringai menahan sakit karena tubuhnya yang miskin daging itu terbentur batu-batu yang bertonjolan.
Panji bergegas menghampiri Suntini untuk membebaskan pengaruh totokan yang bersarang di beberapa bagian tubuhnya.
"Kurang ajar! Siapa orang yang begitu berani mati mengganggu kesenangan Setan Kapak Baja?" teriak si tinggi kurus murka. Saking marahnya orang itu sampai menyebutkan julukan yang seharusnya dirahasiakan itu. Tapi begitu melihat di sekelilingnya tidak ada orang lain kecuali seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, hatinya menjadi lega. Orang yang melemparkan tubuh Setan Kapak Baja itu memang Pendekar Naga Putih. Pemuda tampan itu berdiri tegak membelakangi tubuh Suntini yang terlebih, karena keadaan tubuh gadis itu sudah tidak karuan.
"Di dalam buntalan itu ada beberapa pakaian yang masih bersih. Gantilah pakaianmu, Nini. Hhh.... Rupanya aku terlambat," kata Panji sambil melemparkan buntalan pakaiannya ke arah gadis itu. Wajah pemuda tampan itu mendadak buram ketika melihat beberapa sosok mayat nampak tergolek di sekitar tempat itu.
"Terima kasih...," ucap Suntini lemah karena hatinya masih terguncang akibat kejadian tadi. Setelah berkata, gadis itu bergegas masuk ke dalam tenda untuk menukar pakaiannya.
Sementara Panji mengarahkan pandangannya ke orang tinggi kurus yang saat itu juga tengah menatapnya. Sepasang mata pemuda tampan itu mencorong tajam bagai mata seekor naga yang marah.
* * * * *
«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»
"Hm.... Apa yang tengah melanda dunia persilatan saat ini, sehingga banyak sekali orang berpakaian hitam yang melakukan kejahatan. Entah apa yang diinginkan?" kata Panji seolah-olah berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya yang bersih dan tampan itu ditengadahkan ke langit, seakan-akan ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu.
Setan Kapak Baja menggereng ketika pertanyaannya tidak mendapat sambutan seperti yang diharapkan. Wajahnya berubah seketika. Dicabutnya kapak baja yang terselip di pinggang. Seketika terdengar suara angin yang menderu-deru ketika Setan Kapak Baja memutar-mutar senjatanya. Dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Wrrr! Wrrr!
"Mintalah kepada arwah leluhurmu, agar kematianmu tak terlalu menderita, Anak Muda," geram orang tinggi kurus itu mengejek. Begitu ucapannya selesai, tubuh orang itu melesat cepat ke arah Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam pelahan melihat serangan lawan. Dan begitu serangan lawannya tiba, tubuhnya bergerak menghindar ke arah kiri sambil melepaskan sebuah tendangan kilat.
Wusss!
Setan Kapak Baja mengegoskan tubuhnya sehingga tendangan kaki pemuda itu hanya menghantam angin. Perhitungan Panji rupanya cukup matang. Secepat lawannya menghindar, secepat itu pula kakinya menekuk untuk kemudian meluncur deras ke arah lutut lawan. Namun Setan Kapak Baja cepat melompat
"Derrr!" Tanah di sekitar tempat itu bergetar ketika telapak kaki Panji yang bertenaga dalam tinggi itu menghantam tanah.
"Gila!" desis orang tinggi kurus itu. Sama sekali tidak disangka kalau tenaga dalam anak muda yang terlihat lemah lembut itu sedemikian hebatnya. Kini barulah Setan Kapak Baja merasa yakin kalau yang melemparkan tubuhnya itu adalah pemuda itu.
"Huh! Kali ini aku tidakakan main-main lagi! Nah, sambutlah jurus 'Kapak Setan Pembelah Sukma' ku ini! Yeaaattt...!" diiringi teriakannya yang menggetarkan dada, tubuh orang itu meluruk bagai elang yang tengah memburu mangsa.
Melihat lawan telah mulai mengeluarkan jurus-jurus maut, sepasang tangan Panji segera membentuk cakar naga. Dan pengerahan tenaga saktinya langsung mengalir, membentuk selapis kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya. Rupanya pendekar muda itu telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu. Kali ini Panji tidak lagi menunggu datangnya serangan. Tubuh pemuda itu sudah melesat memapak serangan lawannya. Keduanya segera terlibat dalam sebuah pertarungan sengit!
Setan Kapak Baja rupanya sudah benar-benar kalap. Kapaknya yang besar dan berat itu berdesingan bagaikan suara ratusan ekor lebah marah, mengancam tubuh lawan. Orang tinggi kurus itu benar-benar bertekad untuk mencincang tubuh Panji
Sedangkan Panji sendiri yang sudah mengeluarkan 'Ilmu Naga Sakti' berkelebat di antara sambaran senjata lawan. Namun sampai sejauh itu, dia belum melontarkan sebuah pukulan berarti. Pendekar Naga Putih hanya sesekali membalas apabila keadaannya mulai terdesak, karena tengah mencari-cari kelemahan pertahanan lawan.
Pada jurus yang kedua puluh empat, mata pemuda itu telah menangkap ruangan kosong dalam pertahanan lawannya. Secepat kilat tangannya bergerak melakukan pukulan. Tentu saja lawannya yang tidak menduga gerakan pemuda itu menjadi terkejut setengah mati. Kecepatan pukulan itu hampir tidak dapat ditangkap matanya. Sehingga....
Desss!
"Ouggghhh...!" Orang tinggi kurus itu berteriak ngeri ketika hantaman telapak tangan Panji bersarang di dadanya. Seketika darah segar menyembur dari mulutnya.
Derrr!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa berderak keras ketika tubuh Setan Kapak Baja menabraknya. Setelah bergoyang-goyang sesaat, pohon itu tumbang menimbulkan suara gemuruh. Sedangkan Setan Kapak Baja sendiri tengah meringkuk di bawah pohon itu bagaikan orang yang terserang demam.
"Kau... kau Pendekar Naga Putihhh...!" desah Setan Kapak Baja terputus-putus. Setelah mengakhiri kata-katanya, napasnya pun putus, karena pukulan Panji telah menghancurkan dadanya.
Suntini yang menyaksikan pertempuran yang berlangsung tadi terbelalak kagum. Apalagi ketika melihat pemuda penolongnya itu ternyata dapat menyudahi perlawanan si tinggi kurus yang hampir-hampir merenggut kehormatannya. Bergegas gadis cantik itu berlari menghampiri Panji yang tengah menatap mayat lawannya itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu ini, Kisanak. Entah bagaimana aku harus membalasnya kelak," ucap Suntini sambil membungkuk hormat kepada pemuda penolongnya itu.
"Ah! Sudahlah, Nini. Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong. Hari ini aku telah menolongmu. Siapa tahu di hari lain, kau yang menolongku," sahut Panji tersenyum.
"Ohhh...," tiba-tiba terdengar suara erangan lirih. Panji dan Suntini cepat menolehkan kepalanya ke arah suara itu berasal. Mata mereka berputar mengawasi daerah sekitarnya, kemudian bergegas melangkah ketika melihat sesosok tubuh tengah berusaha bangkit. Tangan sosok tubuh itu menggapai-gapai seolah-olah mencari pegangan.
"Eyang...!" seru Suntini ketika mereka telah berada di tempat Ki Gala Rengat tergolek Kakek pengemis itu berusaha tersenyum. Tapi ternyata yang tampak adalah sebuah seringai kesakitan.
"Uhuk... uhukkk..!" Ki Gala Rengat kembali terbatuk-batuk. Darah pun kembali menetes dari bibir, namun ia masih juga mencoba bangkit.
Melihat keadaan Ki Gala Rengat, Panji bergerak cepat. Segera diperiksanya tubuh kakek itu. Setelah beberapa saat kemudian, pemuda itu pun bangkit berdiri. Dihelanya napas berulang-ulang. "Kakek ini rupanya mengalami luka yang cukup parah. Untunglah daya tahan tubuhnya sangat kuat, sehingga tidak sampai tewas karenanya," jelas Panji kepada Suntini pelan.
"Apakah ia dapat disembuhkan, Kisanak?" tanya gadis itu penuh harap. Karena sekarang, hanya kakek pengemis itulah yang dikenal dan mungkin dapat dipercayainya.
Tiba-tiba Panji menolehkan kepala dengan sikap waspada. Pendengarannya yang tajam itu menangkap suara mencurigakan yang tak jauh disampingnya. Bagaikan seekor burung besar, tubuh pemuda itu melesat menghampiri sosok tubuh lain yang tampak mulai bergerak.
Suntini yang ikut menoleh ke arah yang sama dengan pemuda itu, sempat diliputi ketegangan. Sebab, sosok tubuh yang tengah bergerak-gerak itu tak lain adalah kakaknya. Seketika itu juga hatinya berdebar cepat. Secercah harapan tampak terpancar diwajahnya.
"Kakang Shindura...!" desah gadis itu serak ketika sudah tiba di dekat sosok tubuh itu. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu pun langsung berjongkok di samping Panji yang saat itu tengah memeriksa kakaknya.
Suntini memperhatikan jari-jari tangan pemuda penolongnya yang tengah melakukan pijatan dan totokan pada tubuh kakaknya. Jari-jari tangan pemuda itu bergerak lincah di atas tubuh yang tergolek lemah. Sesekali tampak jari tangan pemuda itu menegang, dan di lain saat kembali lemas bagaikan tak bertulang. Diam- diam hati Suntini mengagumi gerakan tangan pemuda penolongnya itu.
"Hm.... Pemuda ini sepertinya seorang ahli pengobatan?Ah...siapa tahu saja ia dapat menyelamatkan Kakang Shindura dan Eyang Gala," kata hari gadis itu sambil menatap pemuda di sampingnya penuh kekagumam.
"Nampaknya luka yang diderita pemuda ini tidak terlalu parah. Kakakmu kah dia?" tanya Panji sambil lalu. Setelah berkata demikian, Panji mengangkat tubuh Shindura dan membawanya masuk ke dalam tenda.
"Apakah dia dapat disembuhkan?" Suntini rupanya tidak begitu mendengar perkataan Panji karena alam pikirannya tengah melayang.
"Kita lihat saja nanti,"sahut Panji tanpa menolehkan kepalanya. Setelah meletakkan tubuh Shindura, Panji kembali melangkah keluar dan memondong tubuh Ki Gala Rengat. Kakek pengemis itu pun dibaringkannya di dekat tubuh Shindura.
"Ohhh.... Siapakah kau, Anak Muda?" tanya Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil mencoba bangkit.
"Sudahlah, Kek. Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Biar kuobati dulu," sahut Panji mencegah Ki Gala Rengat bangkit Kemudian di masukkannya sebutir obat ke dalam mulut kakek itu. Hal itu pun dilakukan juga terhadap Shindura yang hanya dapat memandang bingung.
"Sekarang, tidurlah dulu dan jangan pikirkan yang lain-lain," ujar Panji lagi. Dalam nada suaranya tersirat ketegasan yang tak ingin dibantah lagi. Setelah berkata demikian, Panji melangkah keluar tenda.
"Dia ibumu?" tanya Panji yang tahu-tahu saja telah berada di samping Suntini. Pendekar Naga Putih mendapati gadis itu tengah terisak sambil memeluk sesosok tubuh wanita yang telah menjadi mayat Panji menatap wajah mayat itu serta mencoba mengingat- ingatnya.
"Eh, bukankah ia adalah wanita yang kutolong dua hari yang lalu?" tanya Panji dalam hati ketika teringat kejadian dua hari yang lalu di dalam hutan.
Suntini mengangkat wajahnya menatap wajah penolongnya itu. Gadis itu hanya mengangguk lemas menjawab pertanyaan Panji. Sesaat kemudian, tatapannya dialihkannya kembali. Diciuminya wajah ibunya yang telah mulai membeku itu.
"Sudahlah, Nini. Lebih baik kita kuburkan mayat ibumu itu," bujuk Pendekar Naga Putih lembut. Disentuhnya jari-jari tangan gadis itu, lalu dianggukkannya kepalanya ketika gadis itu menoleh. Dan ketika Suntini bangkit berdiri, Panji segera mengangkat tubuh mayat Wilarni untuk segera dikuburkan.
"Sebenamya apakah yang sudah terjadi, Nini?" selidik Panji. Ketika mereka duduk berdampingan di atas sebuah batu yang cukup besar. Rupanya ia telah selesai menguburkan semua mayat-mayat yang berserakan tadi.
"Panggil aku, Suntini saja," pinta gadis itu yang merasa kurang enak mendengar sebutan Nini yang diucapkan penolongnya itu. Dan dengan wajah sungguh-sungguh, Pendekar Naga Putih mendengarkan cerita gadis yang bernama Suntini itu.
"Ah! Betapa buruknya sifat manusia sampai-sampai rela membunuh sesama hanya karena soal harta," desah Panji sambil menengadahkan wajahnya menatap langit biru. "Apakah kau tidak keberatan kalau aku menemanimu sampai dua orang itu benar-benar sembuh?"
"Tentu saja tidak, Kakang Panji. Memang sebenarnya aku mengharapkan demikian," jawab Suntini tersenyum malu.
"Nah! Sekarang, kau temanilah mereka. Siapa tahu mereka memerlukan kehadiranmu," pinta pemuda itu lagi.
Setelah termenung sejenak, Suntini pun melangkah meninggalkan Panji yang hanya dapat menatap punggung gadis itu.
"Hhh... seorang gadis malang," desah pemuda itu iba.
Matahari semakin naik tinggi. Hembusan angin yang bersilir lembut mengusap wajah Pendekar Naga Putih yang tengah termenung sendiri. Sekilas terbayang wajah kekasihnya yang tidak diketahui berada di mana. Dihelanya napas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa nyeri di dalam dada.
* * * * *
Dua hari sudah Pendekar Naga Putih menunggui dan mengobati Shindura dan Ki Gala Rengat. Tampaknya usaha pemuda itu tidak sia-sia. Buktinya kesehatan Shindura dan Ki Gala Rengat tampak mulai membaik. Kedua orang itu hanya tinggal memulihkan tenaganya saja. Sedangkan luka-luka yang diderita sudah hilang karena kemanjuran obat yang diberikan Panji.
Malam itu adalah malam ke tiga semenjak Panji berada di tempat itu. Pendekar Naga Putih tampak tengah berjalan-jalan memeriksa daerah di sekitarnya karena Ki Gala Rengat dan Shindura tengah melakukan semadi untuk memulihkan tenaga. Tiba-tiba, tiga. sosok bayangan hitam berkelebat cepat menuju ke arah tenda.
"Hei! Berhenti!" teriak Panji sambil melesat menghadang lari mereka. Sekali lompat saja tubuh pemuda itu telah berdiri tegak di hadapan tiga sosok bayangan yang mencurigakan itu.
"Minggirlah kau, Anak Muda! Jangan coba-coba mencampuri urusan kami!" bentak salah seorang dari mereka. Orang itu bertubuh tinggi besar dan bersenjatakan sebatang toya. Sambil berkata demikian, orang itu mengibaskan toyanya seperti hendak mengusir Panji.
"Hm...," pemuda itu bergumam tak jelas ketika merasakan hembusan angin keras menyertai kibasan toya si tinggi besar. Kiranya, kibasan toya itu merupakan serangan tersembunyi. Panji cepat mengerahkan tenaga dalamnya sehingga daya dorong yang ditimbulkan kibasan toya itu tertahan untuk beberapa saat lamanya. Lalu tubuhnya membungkuk bagaikan orang yang memberi hormat. Serangkum angin keras yang berhawa dingin menebar mendorong balik tenaga lawannya.
"Ehhh..,! Orang bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget ketika merasakan tenaganya terhimpit tenaga pemuda itu yang mengandung hawa dingin. Tubuh orang itu mulai menggigil ketika hawa dingin dari tenaga lawannya merasuk ke dalam tubuhnya. Akibatnya, tubuhnya terdorong beberapa Iangkah ke belakang.
"Sssiapa... kau, Anak Muda?" tanya si tinggi besar sambil menatap penuh selidik setelah berhasil membebaskan dirinya dari hawa dingin yang mempengaruhinya. Rupanya mata orang itu mulai terbuka ketika merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda itu.
"Hm... siapa aku, itu bukan urusanmu. Sebaiknya, akulah yang bertanya. Siapakah kalian?! Dan apa maksud kalian mendatangi tempat ini?!" sahut Panji tegas, disertai tatapan tajam sepasang matanya.
"Gila! Apakah mungkin Anak Muda itu memiliki tenaga sakti yang tinggi? Padahal kalau melihat usianya paling sekitar dua puluh atau dua puluh satu tahun!" kata hati seorang kakek yang bertubuh kecil kurus ketika matanya sempat bentrok dengan sepasang mata Panji yang menggetarkan hatinya. Orang itu tak lain adalah Raja Maut Tangan Sakti yang telah melukai Ki Gala Rengat pada tiga hari yang lalu.
"Kakang, Panji! Mereka adalah orang-orang yang telah melukai Kakang Shindura dan Eyang Gala Rengat," tiba- tiba terdengar sebuah suara nyaring seorang gadis.
Panji menolehkan kepalanya ketika melihat Suntini berlari mendatangi.
"Nini! Sebaiknya, cepat serahkan peta harta itu sebelum aku benar-benar hilang kesabaran!" seru Raja Maut Tangan Sakti menggeram.
"Huh! Apa kalian tidak tahu kalau peta harta itu sudah dilarikan pamanku. Sia-sia saja kedatangan kalian!" sahut Suntini tak kalah gertak. Diam-diam hati gadis itu menjadi lega ketika mendengar pertanyaanbitu. Sebab dengan demikian, berarti pamannya tidak berhasil mereka kejar. Dan kemungkinan besar, keselamatan pamannya tidak terganggu.
"Bangsat Kecil! Rupanya kau ingin menipu kami! Peta yang berada dalam gagang pedangmu yang dibawa pamanmu itu palsu!" bentak si tinggi besar galak. Sambil berkata demikian dilemparkan pedang yang direbutnya dari tangan Pendekar Pedang Kilat itu.
"Ohhh...." Suntini menjerit tertahan ketika melihat pedang itu. Karena, itu berarti pamannya kemungkinan telah tewas. Cepat-cepat disambarnya pedang yang dilemparkan orang tinggi besar itu. Ditelitinya pedang yang telah dicopot dari gagangnya itu. Sebentar kemudian dikeluarkannya segulung kulit binatang dari dalam gagang pedang itu. Setelah diamati sejenak, gadis itu menjadi heran ketika mendapati kalau peta harta itu ternyata palsu. Karena, jelas sekali kalau gambar-gambar yang tertera di dalam belum lama dibuatnya. Bahkan tintanya masih terlihat baru. Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Suntini.
"Mengapa kalian tidak tanyakan saja kepada pamanku itu. Barangkali saja ia telah menggantinya," ujar Suntini lagi. Diam-diam hati gadis itu lega atas kecerdikan pamannya. Dan dia masih berharap pamannya tidak tewas!
"Tidak mungkin!" si tinggi besar menghardik. "Kalau peta harta itu tidak kami dapatkan, seluruh keluargamu harus kubunuh!" begitu ucapannya selesai, orang tinggi besar itu langsung melompat dengan kibasan toya yang menderu.
"Kau menyingkirlah dulu, Adik Suntini," ujar Panji sambil bersiap menyambut serangan lawan. Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat memapak serangan toya si tinggi besar. Selapis kabut bersinar putih keperakan telah mengelilingi tubuhnya. Rupanya Panji sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya yang dahsyat itu.
Krakkk!
"Aaahkkk...!" Terdengar suara benda patah ketika telapak tangan Panji yang membentuk cakar naga menyampok toya yang meluncur ke arah kepalanya. Dan memang toya itu patah menjadi tiga bagian. Sementara, tubuh si tinggi besar terdorong ke belakang dibarengi teriakan kagetnya. Namun dengan sebuah gerakan indah, tubuhnya segera berputar melakukan salto tiga kali, dan jatuh di belakang dua orang kawannya.
"Gila! Pantas saja tenaga Anak Muda itu sedemikian hebatnya! Kiranya dialah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, dan telah menggemparkan dunia persilatan dewasa ini!" ucap si tinggi besar terengah-engah.
Raja Maut Tangan Sakti yang juga telah dapat mengenali anak muda itu sempat terkejut. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat. "Hm... Pendekar Naga Putih. Perbuatanmu yang telah mencampuri urusan kami ini akan kau bayar mahal! Tahukah kau kalau saat ini tengah berhadapan dengan tokoh-tokoh Partai Lima Unsur? Akibat perbuatanmu, maka harus kau bayar dengan kematian!" ancam orang tua kecil kurus itu menakut-nakuti Panji.
Kakek itu terpaksa menyebutkan nama partainya. Dia bermaksud agar pemuda itu menjadi gentar dan tidak melanjutkan campur tangannya. Memang, nama Partai Lima Unsur sangat ditakuti kaum rimba persilatan. Tak peduli golongan hitam ataupun golongan putih. Apalagi, tidak seorang tokoh pun yang mengetahui, masuk golongan mana sebenarnya partai itu berpihak. Sebab, seluruh anggota partai itu hampir tidak pernah berhubungan dengan dunia luar.
"Hm.... Apakah dengan menggunakan nama partai itu lalu aku menjadi takut? Jangan harap, Kakek Tua. Selama kau masih hidup, aku akan selalu menentang setiap kejahatan. Tak peduli siapa pun yang melakukannya!" sahut Panji tegas. "Nah, mulailah! Jangan hanya berbicara saja!"
"Bangsat! Rupanya kau belum mengenal Raja Maut Tangan Sakti, Anak Sombong! Nah, rasakanlah! Yeaaattt..!"
Diiringi teriakan nyaring, tubuh kakek kurus itu melesat bagaikan kilat yang menyambar di angkasa. Kedua tangannya terjulur ke depan, mengarah dada dan kepala Pendekar Naga Putih. Panji pun tak ingin berbuat ayal- ayalan lagi. Sesaat kemudian, segera disedot udara banyak-banyak Terdengar suara berkerotokan ketika tenaga saktinya mengalir ke seluruh tubuhnya. Sambil berteriak keras, tubuh pemuda itu segera melesat menyambut serangan lawan.
Blarrr!
Tubuh keduanya terlempar balik ketika sepasang tangan mereka saling berbenturan di udara. Tanah di sekitar tempat itu bagaikan diguncang gempa sesaat. Suara ledakan keras yang ditimbulkan oleh pertempuran sepasang dua tangan bertenaga dalam tinggi, cukup membuat yang lainnya tersentak mundur beberapa langkah ke belakang.bRaja Maut Tangan Sakti jatuh bergulingan di atas tanah. Seketika darah segar menetes dari celah-celah bibirnya. Cepat kakek kecil kurus itu menjatuhkan dirinya bersemadi. Dia harus cepat menenangkan guncangan dalam dada agar tidak menimbulkan luka dalam yang parah.
Sedangkan Pendekar Naga Putih dapat mendaratkan kakinya di atas tanah tanpa menderita luka sedikit pun. Pemuda itu hanya memejamkan kedua matanya sekejap, karena benturan tadi sempat mengguncangkan dadanya. Mau tidak mau harus diakui kehebatan tenaga dalam kakek kecil kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu.
* * * * *
«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»
Panji yang sudah dapat meredakan debaran dalam dadanya, bergerak gesit menghindari serangan dua orang itu. Sesaat kemudian, mereka sudah terlibat pertarungan sengit!
Orang berpakaian hitam yang bertubuh tinggi besar itu melancarkan serangan lewat jurus-jurus tangan kosong. Karena, toya yang menjadi senjata andalannya telah patah oleh pemuda itu. Tapi, jangan dianggap enteng jurus-jurus tangan kosongnya. Angin pukulan yang berkesiutan itu menandakan kalau tenaga dalam yang terkandung sangatlah hebat, sehingga cukup membuat Panji berhati-hati.
Sedangkan seorang lagi yang bertubuh sedang, menggunakan sebatang pedang yang cukup ampuh. Senjata itu berkelebat bagaikan kilat menyambar-nyambar di angkasa. Benar-benar seorang lawan yang cukup berbahaya! Tubuh Panji berkelebat menyelinap di antara sambaran pedang dan pukulan dua orang lawannya itu. Gerakan pemuda itu demikian cepat tak ubahnya seekor burung walet yang menyambar-nyambar. Sehingga sampai puluhan jurus lamanya, kedua serangan lawan belum juga dapat menyentuh tubuhnya. Tentu saja hal itu membuat dua orang itu semakin penasaran.
"Hiaaattt..!" Si tinggi besar berteriak mengguntur sambil melancarkan sebuah pukulan maut! Sepasang tangannya yang membentuk kepalan bergetar cepat melancarkan serangan bertubi-tubi. Panji yang telah mengetahui sampai di mana tenaga si tinggi besar itu, tidak segera menghindar. Malah sebaliknya, pemuda itu menggerakkan tangannya menangkis serangan.
Dukkk!
"Uhhh...!" Tubuh si tinggi besar terpental ke belakang disertai pekikan kaget. Hawa dingin yang menyelusup ke dalam tubuh membuatnya menggigil bagai terserang demam hebat. Kedua tulang lengannya terasa remuk akibat tangkisan tangan Pendekar Naga Putih. Darah menetes pelahan di sela bibirnya.
Panji tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Secepat kilat tubuhnya kembali meluncur untuk menghabisi lawannya. Sedang, si tinggi besar hanya dapat membelalakkan matanya menanti datangnya sang maut. Namun sebelum pemuda itu sempat melaksanakan niatnya, terdengar suara berdesing tajam. Ternyata, suara itu berasal dari sambaran pedang di tangan lawan yang seorang lagi.Terpaksa Pendekar Naga Putih menunda serangannya, dan bergegas memutar tubuh menghindari sambaran pedang itu. Bukan itu saja. Sambil berputar segera dilontarkan kedua belah tangannya dalam posisi terayun dari bawah ke atas.
Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!" Orang itu meraung ketika sepasang cakar naga Pendekar Naga Putih merobek perut dan dadanya. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh orang itu terlempar bagai sehelai daun kering. Darah segar langsung muncrat dari mulutnya. Tubuhnya terbanting ke atas tanah sambil menggeliat menahan hawa dingin dan rasa sakit yang tak terkira. Sesaat kemudian, tubuhnya diam tak bergerak lagi. Untung saja bagian dadanya yang terlihat turun naik, menandakan kalau dia tidak mati dan hanya tergeletak pingsan.
Begitu melihat lawannya terkapar, Pendekar Naga Putih kembali menoleh ke arah si tinggi besar. Tampak orang itu masih berusaha melepaskan pengaruh hawa dingin akibat pukulannya tadi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu pun kembali menerjang ke arah lawannya itu.
"Heaaattt..!" Tubuh Panji meluruk cepat bagai sesosok bayangan hantu yang menyambar mangsa. Pada saat lain melesat sesosok bayangan menyongsong serangan pemuda itu. Sepasang tangan bayangan itu melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Panji. Tapi pemuda itu tetap saja meneruskan serangannya ke arah si tinggi besar. Sedangkan pukulan sosok bayangan itu dihalau dengan kibasan tangan kanannya.
Desss!
"Aaahhhkk...!"
Prattt!
Tubuh si tinggi besar terlempar keras ketika pelipisnya terhantam sambaran tangan Panji. Tubuhnya melintir bagaikan sebuah gangsing. Tampak dari pelipisnya mengalir darah segar. Si tinggi besar ambruk ke atas tanah dan tewas seketika, karena tengkorak kepalanya retak akibat kuatnya hantaman pemuda itu.
Sedang sosok bayangan yang meluruk ke arah pemuda itu terpental balik akibat kibasan tangan Pendekar Naga Putih. Dua gelombang tenaga sakti yang saling berbenturan di udara itu menimbulkan ledakan keras! Namun sosok bayangan yang kecil kurus itu cepat melakukan salto beberapa kali, sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Meskipun begitu, tetap saja tubuhnya limbung. Tampak darah segar menetes dari sela bibirnya. Rupanya luka dalam si kecil kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu kembali kambuh akibat kibasan tangan pemuda itu yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Dan ternyata Panji pun mengalami kerugian pula. Posisinya yang tidak menguntungkan karena harus memecah tenaga, membuat tubuh pemuda itu terpental akibat berbenturan dengan pukulan Raja Maut Tangan Sakti. Pemuda itu cepat melakukan salto di udara. Meski agak terhuyung, namun tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Pemuda itu cepat melakukan beberapa gerakan untuk mengusir getaran dalam tubuh akibat benturan tadi.
"Kau benar-benar seorang pendekar pilih tanding, Pendekar Naga Putih!" puji Raja Maut Tangan Sakti sejujurnya. Napas kakek kecil kurus itu masih agak memburu. Sementara kedua tangannya masih tetap menekap dadanya yang terguncang.
"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar ucapan lawannya itu. Sepasang mata Pendekar Naga Putih mengawasi lawan yang juga tengah menatap ke arahnya. Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang sakti itu saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran, Kakek Tua!" tegas Panji tiba-tiba ketika melihat lawannya hanya berdiri menatapnya. Sepertinya kakek kecil kurus itu tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungan.
"Huh! Pantang bagiku untuk mundur sebelum tubuhku terkapar menjadi mayat!" sahut Raja Maut Tangan Sakti gusar. Kakek yang selama ini ditakuti kaum rimba persilatan, tentu saja tidak sudi diampuni dengan cara seperti itu. Karena, hal itu akan menjadi bahan tertawaan kaum rimba persilatan saja.
"Mari kita lanjutkan permainan kita! Aku tak akan menyerah sebelum salah seorang di antara kita tergeletak menjadi mayat!"
Panji tegak tak bergeming meskipun lawannya telah bersiap uhtuk melanjutkan pertarungan. Pemuda itu hanya menggeser kuda-kudanya sedikit, ketika kakek kecil kurus itu melompat sambil melontarkan sebuah pukulan ke arah dada. Melihat pukulannya tak membawa hasil, kakek itu segera mengayunkan kakinya menyapu kaki lawan, disusul sebuah bacokan sisi telapak tangan miring ke arah leher.
Pendekar Naga Putih terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan melakukan salto. Pada saat kedua kakinya baru menginjak tanah, sebuah pukulan berantai sudah menyambutnya. Cepat-cepat digeser kaki ke belakang secara bergantian sambil melakukan tangkisan untuk menghalau pukulan yang datang bertubi-tubi. Tiba-tiba secara mendadak tubuh Panji berputar sambil melepaskan pukulan ke lambung kakek kecil kurus itu.
Desss!
"Hukkk...!" Raja Maut Tangan Sakti terpelanting keras! Darah segar langsung, menyembur deras. Kakek itu terjerembab di atas tanah. Seluruh tubuhnya bergetar karena hawa dingin yang hebat menelusup ke dalam tubuhnya. Setelah memuntahkan segumpal darah yang agak kental, tubuh kakek itu pun meregang nyawa. Dia mati akibat pukulan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih tadi. Raja Maut Tangan Sakti terpaksa harus rela menyerahkan nyawanya di tangan Pendekar Naga Putih.
"Kau tidak apa-apa, Kakang Panji?" tanya Suntini sambil berlari setelah pertempuran berakhir. Gadis itu keluar dari tempat persembunyiannya, karena memang tak mungkin membantu Pendekar Naga Putih.
"Adik Suntini! Rupanya Tuhan masih melindungi diriku," sahut pemuda itu tanpa ingin menonjolkan kepandaiannya.
"Apa yang terjadi, Saudara Panji...?" tiba-tiba dari arah tenda dua sosok tubuh berlari mendatangi.
Dua orang yang tak lain Shindura dan Ki Gala Rengat itu terkejut melihat tiga orang berseragam hitam telah tergeletak di tempat itu. Mereka menatapi pemuda tampan itu dengan wajah bingung. Rasanya mereka belum dapat mempercayai kalau mayat-mayat orang berseragam hitam itu adalah hasil pekerjaan pemuda itu.
Belum sempat Panji menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan jerit tertahan Suntini. Ketiga orang lainnya bergegas menoleh ke arah yang ditunjuk gadis itu. Maka mereka pun bergegas menghampiri sesosok tubuh berpakaian hitam yang tampak bergerak-gerak. Shindura, Suntini dan Ki Gala Rengat menatap tajam sosok tubuh gagah yang mengenakan pakaian hitam itu. Alis mereka berkerut seolah-olah tengah berpikir keras. Sesaat kemudian, tiba-tiba saja tangan Shindura terulur melepaskan kain hitam yang menutupi wajah orang itu.
"Paman Gatar...!" seru ketiganya tersentak mundur dengan wajah pucat!
Shindura, Suntini dan Ki Gala Rengat mengerjap-ngerjapkan matanya untuk memastikan kalau yang dilihatnya itu bukan kenyataan. Meskipun mereka berusaha untuk tidak mempercayainya, tapi wajah sosok tubuh yang tergeletak itu tetap tidak berubah. Itu adalah wajah Gatar atau Pendekar Pedang Kilat!
"Paman, mengapa Paman...?" tegur Shindura sambil bersimpuh di sisi tubuh pamannya yang tergeletak tak berdaya itu. Sepasang mata anak muda itu menatap sayu menuntut jawaban pamannya. Perbuatan itu diikuti oleh yang lainnya.
Gatar memandangi empat pasang mata yang tengah menatapnya. Sinar mata pendekar itu seolah-olah penuh permohonan maaf. Ketika mulut pendekar itu bergerak, terdengar suara mengorok. Tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya, kecuali darah segar yang mengalir deras. Rupanya tubuh pendekar itu benar-benar telah terluka dalam sehingga darah telah menyumbat kerongkongannya.
Panji bergegas menotok jalan-jalan darah yang menuju ke leher untuk menghambat aliran darah itu sementara. Keempat orang itu makin mendekat ke telinga agar dapat menangkap jelas ucapan Gatar.
"Maafkan, aku. Terpaksa kulakukan semua ini..., Aku... aku harus mendapatkan peta harta itu.... Mereka telah menjejalkan sejenis racunganas ke dalam tubuhku. Apabila aku... aku tidak menuruti perintahnya, dalam waktu tiga bulan kulit dan daging tubuhku akan mengelupas sedikit demi sedikit... Hingga akhirnya, tubuhku hanya tinggal tulang-belulang saja.... Maafkan aku, Shindura, Suntini... aku... aaakkkuuu...," Pendekar Pedang Kilat tak mampu lagi untuk menyelesaikan ucapannya. Kepala pendekar itu terkulai lemas. Pendekar Pedang Kilat tewas setelah mengucapkan perkataan yang sangat mengejutkan itu.
"Paman... ahhh! Kasihan sekali, kau Paman. Kalau saja kau ceritakan sebelumnya, aku pasti rela menyerahkan peta harta celaka ini," ucap Shindura sambil mengeluarkan gulungan kulit binatang dari balik bajunya. Wajah pemuda itu tertunduk lesu. Air matanya pun menetes mengiringi kepergian sang paman untuk selama-lamanya.
Suasana duka cita itu menyebabkan kewaspadaan mereka berkurang. Sehingga mereka tidak mengetahui ada sesosok tubuh berpakaian hitam melangkah mendatangi. Langkah orang itu demikian ringannya hingga tidak terdengar oleh mereka. Dan sekali berkelebat, gulungan peta di tangan Shindura telah berpindah ketangannya.
"Ha ha ha...! Akhirnya kudapatkan juga peta ini!" orang berpakaian hitam itu tertawa bergelak-gelak sambil melesat melarikan diri.
"Hei, berhenti!" teriak Panji kaget Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu melesat cepat bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Sementara yang lainnya ikut pula mengejar di belakang Panji.
Pendekar Naga Putih mengempos semangatnya. Segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar orang berpakain hitam itu yang berlari demikian cepat .Beberapa saat kemudian, jarak antara keduanya terlihat semakin dekat. Dan ketika mereka melintasi hamparan padang rumput luas, sekarang hanya terpisah sekitar empat tombak saja.
"Manusia Curang, berhenti!" teriak Panji sambil melompat. Tubuh pemuda itu berputar beberapa kali di udara melewati kepala orang itu. Sesaat kemudian, Panji telah berdiri menghadang di hadapan orang itu.
"Bocah tidak tahu diri, mampuslah!" bentak orang itu geram. Dia langsung melancarkan serangan maut ke arah pemuda yang berdiri menghadang jalan itu.
Wuttt!
"Hmh...!" Panji mendengus sambil menghindari serangan itu.
Sehingga, membuat lawannya melotot semakin geram. Kembali dilancarkan beberapa buah pukulan berturut-turut. Lagi-lagi Panji berhasil menghindari serangan dengan melakukan geseran-geseran yang cepat dan indah.
"Bangsat! Heaaattt...!" merasa dirinya dipermainkan, orang berpakaian hitam itu marah bukan main. Sambil memaki segera dilontarkan sebuah pukulan yang didorong tenaga dalam dahsyat! Serangkum angin keras berkesiutan mengiringi luncuran pukulannya.
Derrr!
Sebatang pohon yang berjarak tiga tombak di belakang Panji terpukul roboh, karena pemuda itu telah lebih dahulu menghindar. Pohon itu berderak menimbulkan gemuruh. Sedangkan orang berpakaian hitam itu sudah menerjang Panji kembali. Tapi, kali ini Panji tidak sudi menghindari pukulan lawannya. Melihat kedahsyatan serangan lawan tadi, pemuda itu berniat untuk menguji sampai di mana kehebatan tenaga lawan. Maka ketika serangan lawan meluncur datang, cepat-cepat diangkat kedua tangannya untuk memapak pukulan itu. Selapis kabut bersinar putih keperakan terlihat melindungi tubuhnya. Dan....
Blarrr!
"Aaahhh...!"
Hebat sekali benturan dua gelombang tenaga yang sama-sama dahsyat itu. Untuk sekejap, bumi bagaikan dilanda gempa. Pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak sekitar empat sampai lima tombak, terlihat berderak-derak bagaikan hendak roboh. Sedangkan kedua orang yang saling berbenturan itu terlempar kebelakang.
Baik Panji maupun orang berpakaian hitam itu sama-sama melakukan salto di udara untuk mematahkan daya dorong akibat benturan tadi Mereka masing-masing berdiri tegak saling berhadapan dalam jarak enam tombak. Sepasang mata mereka saling tatap penuh selidik bagaikan dua ekor ayam jago yang sedang berlagak.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, Anak Muda?!" tegas orang itu ketika merasakan adanya hawa dingin yang menyelusup ketika berbenturan tadi. Diam-diam hati orang itu bergetar merasakan kehebatan tenaga dalam pemuda yang menjadi lawannya itu. Dan pengalaman itu membuatnya semakin berhati-hati dalam mengambil langkah selanjutnya.
"Begitulah kaum rimba persilatan menjulukiku," sahut Panji tanpa mengalihkan pandangannya. Pemuda itu merasa terkejut ketika mendapat kenyataan kalau tenaga lawan ternyata kuat sekali. "Hm... orang ini pasti mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada tiga orang tadi," pikir pemuda itu.
"Hm... jangan kau merasa takabur dulu, Anak Muda. Hari ini akan kuhapus nama Pendekar Naga Putih dari kalangan persilatan. Nah, bersiaplah!" geram orang itu. Bergegas dia mencabut keluar senjatanya yang berbentuk sebuah pedang yang bercagak pada ujungnya. Disertai teriakan nyaring tubuh orang itu meluruk ke arah Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji segera mencabut Pedang Sinar Bulan yang selalu melilit pinggangnya itu. Cepat-cepat pemuda itu memiringkan tubuhnya sambil menggerakkan senjata secara bersilang. Gerakkan pemuda itu demikian cepat dan indah.
Tranggg! Tringgg!
Dua buah serangan berhasil dihalau Pendekar Naga Putih. Seketika bunga api berpijar ketika dua buah senjata yang mengandung tenaga dahsyat itu saling berbenturan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa tindak ke belakang. Setelah memeriksa senjata masing-masing, keduanya kembali saling menerjang hebat. Dua buah sinar bergulung-gulung saling menindih dan menekan. Kadang- kadang, terlihat sinar putih keperakan berada di atas menekan gulungan sinar lainnya. Tapi pada kesempatan lain, sinar pedang lawan menekannya. Sehingga, pertarungan kedua orang sakti itu benar-benar menegangkan. Sembilan puluh jurus berlalu cepat. Sampai sejauh ini kepandaian, masing-masing masih nampak berimbang.
"Hiaaattt..!" Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah' yang terasa bagaikan mengguncang jagad. Hembusan angin dingin berkesiut di sekitar arena pertarungan. Akibatnya udara di sekitar arena pertarungan itu tak ubahnya bagaikan di atas puncak gunung yang terselimut salju. Pohon di sekitar tempat itu bergoyang hingga menimbulkan suara berderak akibat pekikannya.
Orang berpakaian hitam itu terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang sebagian tertutup kain hitam tampak memucat. Tangan kirinya menekap dada yang terguncang oleh getaran 'Pekikan Naga Marah' yang dikerahkan lawan. Tepat pada saat itu, Pedang Sinar Bulan di tangan Panji berdesing menusuk lambung lawannya.
Siiinggg!
"Aaahhh...!" Lawannya berseru kaget sambil menggulingkan tubuhnya menghindari serangan maut itu Namun, jurus pedang 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' memang benar-benar hebat! Sinar putih keperakan bergulung-gulung bagaikannangin topan dahsyat, hingga menyilaukan mata lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, Pedang Sinar Bulan berputar bagaikan sebuah baling-baling menembus tubuh orang itu.
Crasss! Jrasss!
"Wuaaa...!" Diiringi jeritan panjang mendirikan bulu roma, tubuh orang berpakaian hitam itu terjungkal ke belakang. Darah segar langsung menyembur keluar dan memercik membasahi bumi. Tubuh orang itu berkelojotan sesaat, kemudian diam tak bergerak Tewas, dengan usus terburai.
"Hebat dan sungguh menakjubkan sekali! Jurus apakah yang kau gunakan tadi, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Gala Rengat yang berlari mendatangi bersama Shindura dan Suntini.
Panji hanya tersenyum memandang ke arah kakek pengemis itu. "Hanya sebuah jurus kosong yang bernama 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', Eyang," jawab Panji yang meniru panggilan Suntini dan Shindura kepada kakek itu.
Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah mendekati mayat lawannya. Tangan pemuda itu meraba dan mengambil sesuatu dari balik baju mayat itu.
"Simpanlah peta ini baik-baik, Shindura," kata Panji sambil menyerahkan gulungan peta itu kepada Shindura.
"Peta harta ini hanya akan mendatangkan bencana bagi kami. Maka kami memutuskan untuk menyerahkan peta harta ini kepada Baginda Prabu di kotaraja. Biarlah beliau sendiri yang memutuskan dan menyimpannya. Tentu harta itu akan lebih berguna apabila berada di tangan beliau. Aku tahu, beliau adalah seorang yang adil dan bijaksana," jelas Shindura. Ucapan itu disambut gembira oleh yang lainnya.
"Eh Eyang. Mengapa ketika aku dan Paman Gatar menemukan sesosok mayat di dalam hutan tidak terdapat tanda lima jari pada dadanya? Padahal, orang itu adalah anggota dari Partai Lima Unsur? Bukankah itu adalah mayat Pengemis Tongkat Merah? Bagaimana ini, Eyang?" tanya Shindura sambil menolehkan kepalanya ke arah Ki Gala Rengat.
"Mari ikut aku!" sahut kakek itu cepat.
Begitu tiba di dekat mayat orang yang tewas di tangan Pendekar Naga Putih, kakek pengemis itu merobek baju di bagian dada orang itu. Ternyata tidak terdapat tanda lima jari pada dadanya. Lalu Ki Gala Rengat menekankan telapak tangannya ke dahi mayat itu sambil mengerahkan tenaga dalam. Sesaat kemudian, tampak asap putih mengepul tipis. Maka pada dahi itu terdapat tanda sebuah jari tangan.
"Begitulah mereka menandakannya pada tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dan orang ini rupanya adalah tokoh nomor satu partai itu," jelas kakek itu menerangkan.
Sedang Shindura dan Suntini hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dalam anggukannya itu, pikiran Suntini masih diliputi satu hal yang tak dapat dimengertinya pada beberapa waktu lalu. Maka Suntini menanyakan hal itu kepada Shindura kakaknya.
"Kakang.. siapakah yang telah memalsukan peta harta itu, seperti yang diucapkan si tinggi besar tadi?" tanya Suntini tidak mengerti.
Shindura menatap wajah adiknya yang sangat ia sayangi dengan senyum cerah. Lalu membelai rambut. adiknya dengan penuh kasih sayang. "Adikku Suntini, Kakanglah yang telah memalsukan peta harta itu. Ketahuilah bahwa pada tiga malam lalu, setelah kamu dan Ibu terlelap tidur, Kakang sempatkan diri untuk memalsukan peta harta itu dengan maksud menyelamatkannya dari para perampok!" jawab Shindura yang disambut dengan senyuman manja dari Suntini.
"Eh! Ke mana perginya Kakang Panji...?" tiba-tiba Suntini bertanya kaget sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun, sosok tubuh pemuda itu telah lenyap entah ke mana. Sejenak gadis cantik itu termenung seolah-olah merasa ada sesuatu yang terbawa hilang dari hatinya.
"Hm... rupanya ia sudah pergi jauh. Pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati yang tak mengharapkan imbalan atas jasa-jasanya," puji Pengemis Aneh Tongkat Sakti mendesah pelan. Wajah orang tua itu menengadah memandang hamparan cakrawala yang biru jernih.
Angin bersilir lembut mengusap wajah-wajah mereka yang kini dipenuhi ketenangan dan kedamaian.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Bunga Abadi Di Gunung Kembaran --oo0oo-- Kelabang Hitam |