Pembunuh Berdarah Dingin
tanztj
May 15, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Pembalasan Topeng Tengkorak --oo0oo-- Sepasang Intan Biru |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PEMBUNUH BERDARAH DINGIN
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PEMBUNUH BERDARAH DINGIN
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
Ki Arja Wiguna memang bukan orang sembarangan. Bagi kalangan persilatan, namanya sudah tidak asing lagi. Menimbulkan rasa jerih di hati kaum golongan hitam. Akan tetapi, bagi kaum golongan putih, nama Ki Arja Wiguna mendatangkan perasaan segan dan hormat. Memang, tidak banyak yang mengetahui nama sebenarnya. Kebanyakan hanya tahu julukannya, Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, sejak lebih dari lima belas tahun silam, sepak-terjang Dewa Mata Seribu tidak lagi santer terdengar. Sejak kematian istrinya, akibat terjangkit wabah penyakit menular, Ki Arja Wiguna meninggalkan desa kelahirannya. Memboyong keluarganya ke sebuah tempat terpencil. Dan karena sepak-terjangnya tak lagi terdengar, maka namanya pun jarang dibicarakan orang. Advertisement
Bahkan beberapa tahun kemudian, nama besar Dewa Mata Seribu, telah nyaris dilupakan orang. Tentunya, kalangan rimba persilatan merupakan kekecualian. Lebih-lebih mereka yang terhitung merupakan tokoh-tokoh kelas atas. Dewa Mata Seribu masih tetap mereka perhitungkan keberadaannya.
Di tempat tinggalnya yang baru, yang jauh dari pedusunan, Ki Arja Wiguna menggembleng dua orang anaknya laki-laki dan perempuan dan seorang murid laki-laki. Dan ketika melihat anak laki-lakinya sangat berbakat dalam ilmu meringankan tubuh, maka setelah menggemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun, segera saja dititipkan kepada sahabatnya, yang ilmu meringankan tubuhnya telah sangat terkenal. Sedangkan putri dan murid laki-lakinya, tetap ia sendiri yang mendidiknya.
Seperti apa yang biasa dilakukannya pada setiap pagi, Ki Arja Wiguna tampak tengah duduk bersemadi di bagian belakang bangunan di udara terbuka. Namun, pagi ini semadinya terusik oleh kehadiran seseorang. Pada mulanya Ki Arja Wiguna tidak ambil peduli, mengira kalau yang datang itu putrinya atau mungkin juga muridnya. Akan tetapi, ketika telinganya menangkap suara langkah yang berbeda, karena ia telah hafal suara langkah putrinya dan juga muridnya, maka segera saja Ki Arja Wiguna menyudahi semadinya. Dan... alangkah terkejut hatinya sewaktu melihat si pendatang.
"Siapakah Tuan? Apakah Tuan bermaksud mencariku?" tanya Ki Arja Wiguna sambil berusaha mengenali si pendatang, yang menyembunyikan wajahnya di balik kerudung hitam. Ada kecurigaan dalam nada suara Ki Arja Wiguna. Karena, dengan menyembunyikan wajah di balik kerudung, si pendatang telah membuat kesan yang kurang baik.
Orang berkerudung nampak kaget. Karena Ki Arja Wiguna sudah bangkit dan memutar tubuh sebelum ia sempat tiba dekat. Maksudnya semula mungkin hendak membokong Ki Arja Wiguna selagi bersemadi. Sayang, meskipun ia datang, dengan berindap-indap, melangkah dengan sangat hati-hati sekali, pendengaran Ki Arja Wiguna tetap dapat menangkap suara langkahnya. Pikiran itu melintas di kepala Ki Arja Wiguna sewaktu tegurannya mendapat jawaban yang cukup mengagetkan hatinya.
Si orang berkerudung menjawab tegurannya dengan serangkaian serangan maut! Serangan-serangan keji, yang biasanya hanya digunakan oleh kaum golongan hitam. Tentu saja Ki Arja Wiguna tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran. Cepat ia menggeser langkahnya untuk menghindari serangan maut itu.
"Tahan seranganmu, Tuan?" Ki Arja Wiguna mencoba untuk mencegah seraya mengulurkan telapak tangan, yang diangkat setinggi dada. Ki Arja Wiguna tentu saja tidak menghendaki pertempuran yang tanpa sebab yang jelas. Ia harus tahu dulu duduk perkaranya. Baru setelah itu ia bisa meng ambil keputusan.
Akan tetapi, manusia berkerudung hitam itu sama sekali tidak mengindahkan ucapan Ki Arja Wiguna. Serangannya kembari dilanjutkan. Bahkan setelah serangan pertamanya digagalkan Ki Arja Wiguna, dia melanjutkan dengan serangan yang lebih hebat lagi. Lebih ganas!
Akan tetapi, tidak percuma Ki Arja Wiguna mendapat julukan Dewa Mata Seribu. Benar serangan si orang berkerudung itu sangat cepat dan kuat, membuatnya kagum kendati tidak diucapkannya lewat sebuah pujian. Namun semua serangan itu dapat dihindarinya dengan tanpa kesulitan yang berarti. Setiap anggota tubuhnya yang dijadikan sasaran serangan, tak ubahnya memiliki mata. Meliuk lincah bagai ular, hingga serangan lawan selalu saja luput. Dan ketika si orang berkerudung semakin bertambah penasaran, Ki Arja Wiguna segera memapak serangan berikutnya.
Dukkk! Plakkk!
"Uuhhh...!" Terdengar si orang berkerudung mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar sebanyak enam langkah. Kibasan lengan Ki Arja Wiguna, yang mengandung tenaga dalam kuat itu, bukan saja telah menggagalkan serangannya, malah membuat dua lengannya terasa nyeri dan linu.
"Sebaiknya kau jelaskan alasanmu menyerangku." Ki Arja Wiguna menatap si orang berkerudung dengan mata disipitkan. Seolah hendak menembus kerudung hitam yang menutupi kepala dan wajah orang itu. Akan tetapi, Ki Arja Wiguna tetap tidak bisa mengenalinya. Apalagi orang berkerudung itu selalu menggerak-gerakkan kepalanya seperti tahu jalan pikiran Ki Arja Wiguna, dan ia berusaha agar dirinya tidak dikenali.
Si orang berkerudung masih tetap bungkam, menundukkan kepala sambil memijat-mijat kedua lengannya bergantian. Tampaknya dia masih belum bisa melenyapkan rasa nyeri dan linu akibat tangkisan Ki Arja Wiguna tadi.
"Nampaknya kau sengaja menunggu kesabaranku habis," lanjut Ki Arja Wiguna ketika si orang berkerudung belum menjawab pertanyaannya. Dan wajah Ki Arja Wiguna mulai mengelam ketika si orang berkerudung masih saja menunduk. Emosi Ki Arja Wiguna terpancing. Dan setelah menunggu beberapa saat namun si orang berkerudung masih juga belum merubah sikap, Ki Arja Wiguna melangkah maju.
"Aku menginginkan pusaka-pusaka warisan leluhurmu, Ki Arja Wiguna!" Tiba-tiba saja si orang berkerudung membuka suara, tegas dan lantang.
Dan Ki Arja Wiguna tersentak kaget. Bukan ucapan si orang berkerudung yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya. Suara itu membuat paras Ki Arja Wiguna memucat, karena ia kenal betul dengan suara si orang berkerudung. Suara yang selama puluhan tahun telah begitu lekat dengan telinganya.
"Kau...?!"
Akan tetapi, Ki Arja Wiguna tidak sempat untuk menyelesaikan kalimatnya. Pada saat ia tengah terkejut, terkesima, tertegun-tegun, belum percaya dengan pendengarannya sendiri, tiba-tiba saja si orang berkerudung melompat dan menerjangnya dengan ganas! Sebuah serangan licik yang hanya pantas dilakukan manusia-manusia berakhlak rendah!
Suara sambaran angin yang berkesiutan, menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung, membuat Ki Arja Wiguna maklum akan bahayanya serangan itu. Dua kepalan yang meluncur datang dan mengancam bagian kepalanya, membuat Ki Arja Wiguna bertindak cepat. Dengan geram, diangkatnya dua lengannya yang segera dikibaskan kuat-kuat. Tampaknya Ki Arja Wiguna hendak memberi pelajaran kepada si orang berkerudung.
Namun, apa yang dilakukan si orang berkerudung ternyata di luar dugaan Ki Arja Wiguna. Serangannya yang ganas itu ternyata cuma berupa tipuan belaka, karena semasih di tengah udara sebelum sampai pada sasaran si orang berkerudung membuka kepalannya yang segera dikibaskan ke muka Ki Arja Wiguna. Terkejut hati Ki Arja Wiguna ketika sadar bahwa si orang berkerudung ternyata telah menebarkan bubuk beracun ke arah wajahnya.
"Aaakhh...!" jerit Ki Arja Wiguna yang tak sempat lagi untuk mengelak. Perbuatan si orang berkerudung memang tidak pernah diduganya, sehingga ia tidak sempat mengelak lagi. Apalagi saat itu hatinya tengah terguncang oleh dugaan bahwa si orang berkerudung bukanlah orang yang asing baginya. Semua itulah yang membuat Ki Arja Wiguna lalai.
"Ha ha ha...! Racun itu akan membuat ilmu 'Mata Seribu'-mu lumpuh!" si orang berkerudung tertawa penuh kemenangan. Dan selagi Ki Arja Wiguna sibuk mengucak-ucak kedua matanya yang kemasukan bubuk beracun, si orang berkerudung melompat cepat sambil melepaskan sebuah tendangan keras.
Desss...!
Ki Arja Wiguna menjerit keras, terjungkal ke tanah. Demikian keras tendangan yang menerpa dadanya iiu, hingga membuat tubuhnya jatuh terguling-guling muntah darah.
Si orang berkerudung mengejar, dan langsung menginjak dada Ki Arja Wiguna, yang belum sempat bangkit berdiri. Akan tetapi, kendati dari kedua matanya yang kemasukan bubuk beracun telah mengeluarkan darah, Ki Arja Wiguna masih juga memberikan perlawanan yang cukup berarti. Saat telapak kaki lawan menginjak dadanya, Ki Arja Wiguna menyentakkan dua kakinya menendang punggung si orang berkerudung, hingga terjurunuk dan nyaris jatuh tersungkur di tanah.
Terdengar si orang berkerudung menggereng marah. Memutar tubuhnya secepat kilat. Sorot matanya laksana kobaran api yang seolah hendak membakar hangus tubuh Ki Arja Wiguna. Dan dengan sebuah lengkingan panjang, dilontarkannya dua pukulan maut. Ki Arja Wiguna menjerit, terjungkal roboh dan muntah darah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya ketika kaki si orang berkerudung kembali menginjak dadanya.
"Katakan, di mana kitab-kitab berisikan ilmu-ilmu rahasia leluhurmu itu kau simpan, Orang Tua keparat?" bentak si orang berkerudung sambil memutar telapak kakinya, hingga membuat Ki Arja Wiguna meringis kesakitan. Dan darah segar semakin banyak yang merembes keluar lewat celah-celah bibirnya yang terkatup rapat.
"Kau... kau..., mengapa kau lakukan semua ini, Malintang? Apa... apa sebenarnya yang sudah terjadi denganmu?" tanya Ki Arja Wiguna dengan suara bergetar menahankan kedukaan dan hati yang penasaran.
Sepasang mata si orang berkerudung menunjukkan kekagetan hatinya. Terkejut ketika mendengar Ki Arja Wiguna telah dapat mengenali siapa dirinya. Si orang berkerudung seketika menjadi gelisah. Menoleh ke kiri-kanan seolah takut ada yang mendengar perkataan Ki Arja Wiguna dan juga me-lihat apa yang dilakukannya itu. Dan sikapnya baru kembali tenang setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang menyaksikan semua kejadian itu.
"Cepat katakan, Orang Tua keparat! Atau... kuremukkan saja tulang-tulang dadamu ini!" si orang berkerudung yang disebut Ki Arja Wiguna dengan nama Malintang itu mengancam tak sabar. Kemudian kembali menekan dan memutar telapak kakinya yang berada di atas dada Ki Arja Wiguna.
"Terkutukkah kau, Malintang! Manusia tidak tahu balas budi! Kau... kau... Entah iblis dari mana yang telah menghasut dan merasuki pikiranmu itu. Tapi..., jangan mimpi kalau aku akan memenuhi permintaanmu itu, meskipun sebenarnya semua itu kelak akan kuwariskan kepadamu," ujar Ki Arja Wiguna dengan napas terengah-engah.
Malintang, si orang berkerudung kain hitam, tampak tertegun. Akan tetapi cuma sesaat. Saat berikutnya ia mengeluarkan dengusan mengejek sambil membuka kerudung yang menutupi kepalanya. Ternyata, Malintang adalah seorang pemuda yang sebenarnya cukup menarik. Wajahnya bersih dan tampan. Paling jauh usianya baru sekitar dua puluh dua tahun. Tubuhnya jangkung dan agak kurus, namun terlihat cukup kokoh. Terlebih dalam balutan pakaian serba hitam yang saat itu dikenakannya.
"Huh, apa kau kira aku akan percaya begitu saja dengan bualanmu itu, Orang Tua keparat!" Malintang tampak semakin beringas.
"Sekali lagi kuberi kau kesempatan. Katakan di mana pusaka-pusaka leluhurmu itu kau simpan, atau tulang-tulang dadamu kubikin remuk!"
Ki Arja Wiguna menyeringai, menahan rasa nyeri yang menyerang dadanya. Bukan karena luka-luka yang dideritanya, melainkan perbuatan Malintang-lah penyebabnya. Sakit bukan main hati Ki Arja Wiguna dengan perbuatan Malintang yang tega mengkhianati dirinya itu. Padahal apa yang dikatakannya adalah yang sebenarnya. Tapi, setelah apa yang sekarang dilakukan Malintang terhadap dirinya, telah membuat Ki Arja Wiguna merubah keputusannya.
"Kau telah mengecewakan aku, Malintang," ujar Ki Arja Wiguna serak, karena menahankan kepedihan hatinya.
"Nah, sekarang lakukanlah apa yang hendak kau lakukan kepadaku," lanjutnya pasrah.
Malintang menggereng marah, karena ia tahu betul bagaimana watak Ki Arja Wiguna. Memaksa pun akan percuma saja, sebab Ki Arja Wigura tidak akan merubah keputusannya.
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Orang Tua bodoh!"
Sembari berkata demikian, Malintang mengangkat telapak kakinya yang kemudian dijejakkan kuat-kuat ke dada Ki Arja Wiguna. Terdengar suara berderaknya tulang-tulang yang patah.
Ki Arja Wiguna menjerit ngeri. Darah menyembur dari mulutnya. Dan, setelah berkelojotan beberapa saat, Ki Arja Wiguna pun diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya yang rusak itu.
"Salahmu sendiri, Orang Tua goblok!" desis Malintang, yang kemudian segera melesat pergi.
* * * * *
Pemuda yang tengah melangkah dengan wajah berseri-seri ini tiba-tiba tertegun. Ayunan langkahnya seketika terhenti. Suara jerit kematian yang melengking tinggi itu membuat parasnya berubah tegang. Pandangannya segera ditujukan ke arah bangunan tempat tinggal Ki Arja Wiguna tempat di mana selama ini ia juga tinggal.
Rakai, demikian nama pemuda ini. Ia adalah satu-satunya orang luar yang sangat beruntung, karena Ki Arja Wiguna mau mendidiknya dan mengangkatnya menjadi murid. Itu sebabnya mengapa pemuda ini bisa berada di sekitar ternpat tinggal Ki Arja Wiguna.
Pagi itu seperti yang biasa dilakukannya Rakai pergi berlatih di hutan. Setelah merasa puas, baru ia pulang. Kebiasaan seperti itu sudah cukup lama dijalaninya. Sejak Ki Arja Wiguna menurunkan dua macam ilmu pilihan, menurut bakat yang ada padanya. Dan sejak itu pula Rakai semakin giat berlatih, karena ia tidak ingin mengecewakan hati gurunya.
Setelah hampir satu tahun giat melatih diri di dalam hutan pada setiap pagi, Rakai merasa telah memperoleh kemajuan yang pesat. Tentu saja ia sangat gembira sekali, dan ingin menunjukkan selekasnya kepada gurunya. Akan tetapi, kegembiraannya seketika lenyap. Rakai kenal betul kalau jerit kematian yang didengarnya itu adalah suara gurunya, suara Ki Arja Wiguna. Apalagi datangnya dari arah bangunan. Karuan saja Rakai menjadi tegang. Dan, meskipun ada rasa kurang percaya kalau jeritan itu benar-benar suara gurunya, tapi Rakai sudah melesat berlari secepat terbang.
Sebagai orang yang selama belasan tahun berada dalam asuhan gurunya. Rakai tahu betul apa yang selalu dilakukan gurunya pada tiap-tiap pagi. Itu salah satu alasan mengapa setiap pagi berlatih di hutan. Tak lain karena ia tidak ingin mengganggu ketenangan gurunya dalam bersemadi. Dan Rakai hafal betul di mana tempat gurunya biasa bersemadi. Maka, Rakai langsung saja menuju bagian belakang bangunan, tanpa merasa perlu untuk memeriksa bagian dalam bangunan lagi.
Dan..., alangkah terkejutnya hati Rakai sewaktu menemukan gurunya tergeletak di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Rakai menubruk tubuh Ki Arja Wiguna, dan baru menyadari kalau gurunya itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Kenyataan itu membuat hatinya terguncang hebat. Lebih-lebih keadaan mayat gurunya itu sangat mengenaskan. Tewas dengan dada remuk dan kedua mata buta.
Rakai merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas bagai tak bertenaga, ia jatuh terduduk di samping mayat gurunya. Hatinya belum bisa menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa Ki Arja Wiguna, tokoh yang sangat terkenal dan jarang menemui tanding, dan bahkan sampai mendapat julukan Dewa Mata Seribu itu, mati terbunuh.
Cukup lama Rakai berada dalam keadaan seperti itu, duduk di tanah sambil memeluk mayat gurunya, sampai akhirnya sebuah ingatan menyadarkannya. Akan tetapi, sebelum ia melompat bangkit untuk mengejar pembunuh gurunya, yang menurut perkiraannya pasti belum pergi jauh, tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan yang mengagetkan hatinya, membuat Rakai nyaris berjingkrak saking kagetnya.
"Manusia biadab, apa yang kau lakukan terhadap ayahku?" Pucat paras Rakai seketika. Suara itu tidaklah asing bagi telinganya. Suara yang dikenalnya dengan baik yang selama belasan tahun sangat akrab dengan telinganya. Rakai tahu betul siapa pemilik suara itu. Maka, cepat ia melompat bangkit dan langsung memutar tubuhnya. Dan wajah pucatnya seketika berseri.
"Kakang Malintang!" seru Rakai dengan penuh luapan kegembiraan, yang seketika menjadi lupa dengan kematian gurunya. Akan tetapi, kegembiraan itu seketika lenyap tanpa bekas, dan berganti dengan keheranan besar.
Orang yang membentaknya itu memang Malintang. Rakai sama sekali tidak keliru. Yang keliru adalah perkiraannya. Kalau semula ia membayangkan pertemuan yang sangat menggembirakan, yang Malintang juga akan menunjukkan wajah berseri-seri, ternyata Rakai salah besar. Malintang, yang berdiri menatapnya itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah ramah, apalagi gembira. Sebaliknya malah menatapnya dengan sorot mata berapi-api, dengan wajah merah-padam. Maklumlah Rakai kalau Malintang telah salah menilai apa yang dilihatnya.
"Kau telah salah menyimpulkan apa yang barusan kau saksikan, Kakang Malintang," ujar Rakai mencoba untuk menjelaskan.
"Sebenarnya..."
"Cukup!" menggelegar suara bentakan Malintang.
"Tidak ada gunanya kau membela diri, manusia rendah! Apa yang telah kusaksikan sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup! Entah mengapa kau sampai tega mengkhianati orang yang selama belasan tahun mendidikmu dengan penuh kasih-sayang. Siapa sangka kalau yang kami pelihara selama belasan tahun ternyata adalah seekor serigala. Dosamu tidak mungkin bisa kumaafkan, Rakai. Bahkan kematian pun rasanya masih belum cukup untuk menebus dosamu. Akan tetapi, biarlah. Paling tidak, kematian akan mengurangi dosamu itu..."
"Tunggu, Kakang Malintang, jangan salah mengerti! Jangan cepat mengambil keputusan, yang kelak aku yakin pasti akan kau sesali seumur hidup. Sebaiknya dengar dulu penjelasanku, Kakang..." Rakai berusaha untuk mencegah.
Namun, Malintang, yang sebenarnya cuma bersandiwara itu, sama sekali tidak menggubris. Malah ia langsung menerjang Rakai dengan serangan-serangan yang ganas. Rakai tidak mempunyai pilihan lagi. Meskipun Malintang adalah putra gurunya, namun bukan berarti boleh memukuli dirinya sesuka hati. Tidak, Rakai tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran pukulan-pukulan ganas itu.
Akan tetapi ia tidak ingin melawan, karena ia maklum kalau hal itu hanya akan semakin menambah kemarahan Malintang saja. Maka yang dilakukan hanyalah mengelak. Menghindari pukulan-pukulan maut itu sambil terus berusaha memberikan penjelasan yang sebenarnya.
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
"Pasti ada musuh yang hendak mengadu domba kita, Kakang Malintang! Mungkin pembunuh guru itu tahu tentang kepulanganmu, dan ia mempergunakan kesempatan ini untuk memecah-belah ki..."
Desss...!
Rakai tak sempat lagi untuk menyelesaikan ka-limatnya. Salah satu pukulan yang dilontarkan Malintang membuat Rakai menjerit keras, terpelanting jatuh ke tanah. Rakai memang tidak sempat lagi untuk menghindar, karena sebagian perhatiannya terpecah untuk memberikan penjelasan. Dan Malintang telah mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Rakai belum sempa bangkit, dan ia memang tidak berusaha, hingga Malintang yang langsung memburunya, sudah berdiri di samping tubuhnya. Dan Rakai memang sudah pasrah.
"Kalau kau memang tidak lagi mempercayaiku, lakukanlah apa yang kau kehendaki," ujar Rakai yang tidak berusaha melawan lagi. Membiarkan tangan Malintang mencengkeram leher bajunya. Mengangkat tubuhnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan Malintang yang terkepal erat, sudah siap untuk memukul remuk batok kepalanya.
"Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak melakukan seperti apa yang kau tuduhkan..."
Malintang, yang sudah siap melontarkan pukulannya untuk mengakhiri hidup Rakai, tiba-tiba saja tertegun. Dengan tangan kiri yang masih tetap mencengkeram leher baju Rakai, ditatapnya murid ayahnya itu dalam-dalam. Tampak jelas betapa wajah Malintang menunjukkan keraguan. Membuat hati Rakai berdebar tegang, dan segera saja mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
"Kakang Malintang," ucap Rakai hati-hati.
"Pikirkanlah hal ini dengan kepala dingin. Mungkinkah aku, yang selama belasan tahun dididik dan diasuh ayahmu dengan penuh kaslh-sayang akan tega berkhianat dan bahkan sampai membunuh beliau. Dan, kalaupun itu benar kulakukan, apa alasanku? Untuk apa aku melakukan semua kekejian itu?"
Malintang tidak menjawab, hanya menarik napas panjang beberapa kali. Keraguan di wajah dan bahkan di matanya semakin tampak jelas. Sungguh pandai sekali Malintang bersandiwara, hingga sampai-sampai Rakai tertipu oleh permainannya yang begitu sempurna.
"Berani kau bersumpah atas nama arwah kedua orangtuamu?" tiba-tiba saja Malintang bertanya kepada Rakai. Tentu saja ini pun hanya sandiwaranya belaka. Malintang tahu persis bahwa Rakai memang tidak membunuh ayahnya. Karena dialah yang sebenarnya telah membunuh ayahnya itu. Dan ia sengaja menjebak Rakai, yang menurutnya mungkin saja tahu tentang pusaka-pusaka leluhur yang disimpan ayahnya. Menurutnya kemungkinan itu bisa saja ada, mengingat Rakai adalah murid kesayangan ayahnya.
Malintang memang sengaja bersandiwara. Sengaja berpura-pura menuduh Rakai sebagai pembunuh ayahnya. Berpura-pura marah, lalu menyerangnya habis-habisan. Menurut perkiraannya, Rakai pasti tidak akan melawan, dan berusaha untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya kepadanya, yang kemudian akhirnya akan menyerah, pasrah dengan apa yang akan dilakukannya. Dan perkiraannya memang tidak meleset, itu karena Malintang telah cukup mengenal bagaimana watak Rakai sebenarnya.
"Bukan saja demi arwah kedua orangtuaku, bahkan demi nama Tuhan pun aku berani bersumpah!" jawab Rakai tegas dan lantang, sambil menentang tatapan Malintang. Dan Malintang mengangguk-angguk. Melepaskan cengkeramannya pada leher baju Rakai. Bahkan kemudian mengangkat Rakai bangkit berdiri.
"Maafkan sikapku yang terburu nafsu, Rakai," ucap Malintang seraya menepuk-nepuk bahu Rakai.
"Sebenarnya aku pun ragu. Akan tetapi, pemandangan yang kusaksikan telah membuat pikiranku buntu. Aku benar-benar khilaf," lanjutnya mengakui kesalahannya.
Rakai menarik napas lega. Tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Malintang telah menarik tuduhannya serta mengakui kekhilafannya. Rakai menerima permintaan maaf Malintang. Sama sekali tidak merasa dendam ataupun sakit hati. Rakai maklum betul dengan apa yang dirasakan Malintang. Karena jika itu terjadi pada dirinya, ia pun pasti akan melakukan tindakan serupa.
"Aku masih penasaran, bagaimana Ayah sampai bisa terbunuh? Padahal, orang yang bisa mengalahkan Ayah sangat sedikit sekali jumlahnya? Dan lagi, apa sebenarnya alasan si pembunuh itu?" Malintang mengungkapkan perasaan hatinya kepada Rakai, selesai memakamkan mayat ayahnya.
"Menurutku, Guru dibunuh dengan cara yang sangat licik, yang hanya dilakukan oleh manusia-manusia pengecut!" timpal Rakai, yang menilai dari keadaan mayat gurunya.
"Si pembunuh itu pastilah salah seorang musuh yang menaruh dendam terhadap Guru. Hal itu sangat mungkin sekali, mengingat sepak-terjang Guru di masa lalu..."
"Tapi menurutku, si pembunuh itu kemungkinan besar juga mempunyai maksud lainnya, seperti mengincar pusaka-pusaka leluhur Ayah," lanjut Malintang, yang mulai mengarahkan pembicaraan pada sasarannya.
Rakai menoleh, menatap Malintang sesaat, lalu mengangguk-angguk.
"Mengapa kau menduga demikian, Kakang Malintang?" tanyanya kemudian, karena Rakai memang tidak pernah berpikir ke arah itu.
"Kalau memang si pembunuh itu cuma bertujuan membalas dendam, kurasa bukan cuma Ayah saja yang akan dibinasakannya, tapi kita pun pasti ditumpasnya juga. Sebab jika tidak demikian, hidupnya pasti akan selalu dibayang-bayangi kecemasan akan pembalasan dendam dari kita, " jawab Malintang memberikan alasan atas dugaannya itu.
Dan tiba-tiba ia menjadi tertegun, seperti baru teringat sesuatu.
"Eh, mengapa sejak tadi aku tidak melihat Suranti, adikku? Ke mana dia, Rakai?" Dalam nada ucapannya terkandung kecemasan. Tapi tentu saja sikap itu cuma sandiwara Malintang saja. Sebab, dalam hatinya, saat ini ia justru tidak menghendaki kehadiran Suranti, adiknya itu.
Seperti juga baru teringat, Rakai pun tersentak. Akan tetapi, ia tidak kelihatan gelisah ataupun cemas. Malah ketidakberadaan Suranti, justru membuat Rakai nampak lega. Tentu saja Malintang jadi lebih ingin tahu, ke mana adiknya itu, dan apa yang sudah terjadi semenjak kepergrannya yang lebih dari satu tahun itu.
"Sudah hampir satu bulan ini atas kehendak Guru, Suranti tinggal di tempat kediaman seorang pujangga, sahabat beliau. Di tempat kediaman pujangga itu, Suranti mempelajari hurup-hurup kuno, agar bisa membaca serta lebih memahami kitab-kitab peninggalan leluhur kita, " jelas Rakai, yang diam-diam telah membuat hati Malintang lega.
Tapi tentu saja Malintang menyembunyikan perasaannya itu dalam-dalam. Di luarnya ia cuma mengangguk anggukkan kepala saja.
"Hm..., dulu Ayah seringkali menyinggung tentang pusaka-pusaka leluhur kita itu kepadaku, namun belum sekali pun aku melihatnya. Bahkan aku tidak tahu di mana Ayah menyimpannya.
Sedangkan sekarang, setelah Ayah tiada, semua itu akan menjadi tanggung jawabku. Aku harus menyelamatkannya agar tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat. Tapi..., sayangnya Ayah belum sempat memberitahukan tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu." Ada nada sesal dalam ucapan Malintang, yang lebih mirip sebuah keluhan itu.
"Aku tahu di mana Guru menyimpan pusaka-pusaka leluhur kita itu," ujar Rakai, yang membuat Malintang menoleh cepat, dan menatapnya dalam-dalam.
"Kau tahu?" tanyanya setengah tidak percaya.
"Mengapa kau diberitahu tapi aku tidak?" ada nada penasaran dalam ucapan Malintang.
Kening Rakai berkerut. Ia heran dan agak kurang percaya kalau Malintang tidak diberitahu tempat penyimpanan pusaka. Padahal semestinya Malintanglah yang lebih tahu, karena Malintang adalah putra Ki Arja Wiguna. Sedangkan dirinya cuma murid, yang biar bagaimanapun termasuk orang luar.
Akan tetapi, Rakai tidak terlalu memikirkan hal itu. Sebab mungkin saja Ki Arja Wiguna mempunyai rencana tertentu untuk Malintang. Sayangnya segala sesuatunya terjadi di luar dugaan. Ki Arja Wiguna tewas tanpa disangka-sangka, hingga tak sempat menyampaikan segala rencananya kepada putra-putrinya.
"Rakai," suara Malintang membuat Rakai tersentak dari lamunan. Rakai menoleh dan balas menatap Malintang.
"Sebaiknya pusaka-pusaka itu segera kita amankan. Aku khawatir..." Tiba-tiba saja raut wajah Malintang menegang. Ada sesuatu yang saat itu melintas dalam pikirannya.
Rakai pun ternyata tidak berbeda. Ucapan Malintang yang tak selesai itu, seketika membuat parasnya berubah. Rakai maklum apa yang ada dalam pikiran Malintang, karena ia pun memikirkan hal serupa.
"Ayo, kita lihat!" Rakai segera melompat bangkit. Dan tanpa menunggu persetujuan Malintang, Rakai langsung saja berlari masuk ke dalam bangunan.
Bergegas Malintang mengikuti dengan hati berdebar. Dan tanpa setahu Rakai, Malintang tersenyum penuh kemenangan. Sudah terbayang dalam benaknya betapa sebentar lagi seluruh pusaka-pusaka langka peninggalan leluhur Ki Arja Wiguna akan segera menjadi miliknya. Dan bayangan itu membuat angan-angan Malintang melambung tinggi. Merasa pasti bahwa tidak lama lagi, ia akan membuat rimba persilatan geger, ia akan segera menjadi penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu yang tak terkalahkan!
Rakai berhenti di ruangan tempat Ki Arja Wiguna biasa berlatih. Sebuah ruangan yang cukup luas, yang di kiri-kanannya terdapat rak-rak senjata, yang terdiri dari bermacam-macam jenis. Tapi Rakai tidak memperhatikan semua itu. Ia langsung menuju ke sebuah lemari kayu jati yang cukup tebal dan kelihatan berat. Dan Rakai menoleh sekilas ke arah Malintang yang berada di belakangnya, sebelum akhirnya ia menggeser lemari itu ke samping kanan. Tampaklah sebuah ruangan di balik lemari itu.
Malintang menahan napasnya yang dirasakannya menjadi berat. Ruangan itu memang menjadi sangat sempit. Tapi bukan itu yang membuat napas Malintang mendadak memburu, melainkan peti-peti kuno di dalam ruangan itulah yang menjadi penyebabnya. Malintang merasa pasti bahwa di dalam peti-peti kuno itulah pusaka-pusaka leluhur Ki Arja Wiguna berada. Maka seketika itu juga, suatu rencana melintas di benaknya.
Rakai menoleh sekilas, dan tersenyum kepada Malintang, "Inilah tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu. Guru yang menunjukkannya kepadaku, termasuk isi peti-peti kuno itu," katanya, yang kemudian segera melangkah ke dalam ruangan.
Malintang cuma mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan Rakai. Akan tetapi, ketika Rakai berbalik dan melangkah memasuki ruangan sempit itu, Malintang langsung melompat. Cepat bukan main dan begitu tiba-tiba, yang langsung menghunjamkan ujung pedangnya ke punggung Rakai.
Cappp!
"Akkhh...!?" Rakai menjertt kesakitan. Meskipun ia sempat mendengar sambaran angin pedang dan gerakan Malintang, namun apa yang dilakukan Malintang sungguh tidak pernah dibayangkannya. Sehingga, serangan licik yang begitu dekat itu tak dapat dielakkannya lagi.
Dan perbuatan Malintang ternyata tidak cuma sampai di situ saja. Jerit kesakitan dan lelehan darah di punggung Rakai malah membuatnya semakin beringas. Sebuah tendangan dilontarkannya, hingga membuat tubuh Rakai terjerembab jatuh. Tapi itu pun belum membuatnya puas. Sekali lagi pedangnya diayunkan. Kali ini batang leher Rakai yang dijadikan sasaran. Dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan Rakai. Tidak sempat menjerit ataupun mengutuk. Rakai terkulai. Bukan cuma lehernya saja yang putus, tapi napasnya pun putus seketika itu juga.
* * * * *
Perempuan muda itu duduk bersimpuh di tengah dua buah gundukan tanah yang masih baru. Wajahnya pucat dan bersimbah air mata. Dua gundukan tanah itu bukan lain adalah makam Ki Arja Wiguna dan Rakai. Sedangkan perempuan muda ini adalah Suranti, putri Ki Arja Wiguna.
Suranti, yang meskipun belum merampungkan pelajarannya, minta izin kepada gurunya untuk menjenguk ayahnya. Hatinya merasa tidak enak sekali. Bayangan wajah ayahnya dan wajah Rakai, membuat hatinya tidak bisa tenang. Mulanya ia tidak terlalu ambil pusing, karena mengira semua itu cuma karena kerinduan hatinya saja. Akan tetapi, setelah dua hari berusaha menahan diri, dan bayangan kedua orang yang dicintainya itu tidak juga lenyap, akhirnya Suranti memutuskan untuk pulang menjenguk ayahnya dan Rakai, tunangannya.
Antara Suranti dan Rakai memang telah terjalin hubungan asmara. Dan Ki Arja Wiguna yang menyadari hal itu merasa tidak keberatan. Menurut penilaiannya. Rakai tidak terlalu buruk untuk putrinya. Meskipun Rakai anak yatim-piatu anak yang ditemukannya dalam perjalanan untuk mencari tempat tinggal baru namun merupakan seorang anak yang baik, patuh dan sopan. Maka, ketika mengetahui hubungan antara putrinya dengan muridnya itu, Ki Arja Wiguna pun menyetujuinya. Bahkan ia yang mengusulkan agar mereka segera bertunangan.
Setelah mendapat restu gurunya, Suranti pun segera bergegas. Jarak antara tempat tinggal gurunya dengan rumahnya tidaklah terlalu jauh, cuma membutuhkan waktu setengah hari lamanya. Dan karena Suranti berangkat pagi-pagi sekali, maka saat menjelang tengah hari ia pun tiba di tempat kediamannya.
Kesunyian dan hamparan sampah dedaunan pohon yang menumpuk menyambut kedatangannya. Suranti merasa hatinya semakin tidak enak. Suranti tahu betul bahwa Rakai tidak pernah membiarkan sampah menumpuk seperti itu. Semua itu membuat Suranti tiba-tiba saja menjadi gelisah. Dengan setengah berlari, Suranti menerobos masuk ke dalam bangunan. Sunyi dan hening. Itulah yang ditemukan Suranti di dalam rumahnya, membuat kegelisahannya semakin menjadi-jadi. Suranti mulai kalap.
Firasatnya mengatakan adanya sesuatu yang tidak beres. Apalagi ketika suara panggilannya tidak ada yang menyahuti, semakin gelisah saja hati Suranti. Bayangan-bayangan buruk pun mulai bermain-main di benaknya. Membuat Suranti kalap dan berteriak-teriak memanggil ayahnya, memanggil Rakai. Namun, tidak ada sahutan kecuali gaung suara teriakannya.
Kegelisahan, ketegangan dan kecemasan, membuat Suranti mulai berkeringat. Napasnya mulai memburu, hingga membuatnya agak terengah. Dan, ketika ia memeriksa ruangan tempat ayahnya biasa berlatih di satu sudut ruangan dekat lemari. Suranti melihat adanya sesosok tubuh yang telah menjadi mayat, dan mulai membusuk. Suranti merasakan kepalanya pening. Sekujur tubuhnya lemas, hingga membuat kedua kakinya menjadi goyah. Akan tetapi, Suranti memaksa diri, menguatkan hatinya untuk melihat sosok yang menelungkup dengan kepala terpisah itu lebih dekat lagi.
Dengan kedua kaki gemetar, mata membelalak dan hati berdebar, Suranti melangkah lambat-lambat. Sebenarnya ia sudah dapat menduga-duga siapa adanya sosok mayat itu. Akan tetapi, dugaan itu berusaha ditepiskannya. Membuangnya jauh-jauh, berharap dugaannya keliru. Akan tetapi, setelah semakin dekat, Suranti pun tak dapat lagi menahan jeritannya. Suranti menutup wajah dengan kedua belah tangannya. Jatuh terduduk di lantai. Menangis mengguguk, sementara air mata mengalir melalui celah-celah jari tangannya.
Suranti tidak ingat lagi, berapa lama sudah ia menangisi mayat Rakai, tunangannya, yang tewas dengan sangat mengenaskan itu, sampai akhirnya ia teringat dengan ayahnya. Dengan langkah terhuyung-huyung, Suranti bergerak menuju bagian belakang bangunan. Cuma bagian itu yang belum di periksanya. Meskipun merasa ragu, Suranti berharap akan menemukan ayahnya dalam keadaan sehat.
Akan tetapi, harapan Suranti lenyap sewaktu ia melihat adanya gundukan tanah yang masih baru. Urat-urat di sekujur tubuh Suranti menegang seketika. Namun, meskipun dengan langkah tertatih, Suranti mencoba untuk melihat gundukan tanah itu lebih dekat lagi.
"Ayaaah...!" Dan, Suranti menjerit pilu. Hancur hatinya sewaktu melihat guratan-guratan kasar pada permukaan batu nisan. Guratan-guratan itu dibuat dengan jari jari tangan dengan menggunakan tenaga dalam. Suranti tidak sempat lagi untuk memikirkan siapa yang memakamkan dan membuat guratan nama ayahnya itu, karena ia telah terguling ke tanah, roboh tak sadarkan diri. Suranti tak sanggup menerima semua kenyataan itu, membuat jiwanya terguncang hebat, hingga membuatnya roboh pingsan.
Suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan, terdengar sayup-sayup memasuki telinganya, membuat Suranti mengeluh tersadar dari pingsannya. Suranti tidak segera berdiri. Diingat-ingatnya segala apa yang telah dialaminya, berharap semua itu hanyalah mimpi buruk yang menakutkan. Namun, ketika ia menoleh, pandangannya tertumbuk pada gundukan tanah tempat ayahnya dimakam-kan. Tahulah Suranti kalau semua itu bukanlah sekadar mimpi, tapi sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus diterimanya.
Kalau saja tidak ingat bahwa ia harus membalas dendam atas kematian ayah dan tunangannya, mau rasanya Suranti mengakhiri hidupnya saat itu juga. Namun, luapan gejolak api dendam yang seolah membakar hangus seluruh tubuhnya, membuat Suranti bangkit. Ia harus tetap hidup untuk membalas semua kebiadaban itu. Akan ia cari pembunuh laknat itu kendati sampai ke ujung dunia sekali pun! Ya, ia harus tetap hidup. Ia harus mencari manusia laknat keparat yang telah menghancurkan kebahagiaannya itu.
Gelora api dendam membuat semangat Suranti terbangkit. Perlahan ia berdiri. Dan yang pertama-tama hendak dilakukannya adalah memakamkan mayat tunangannya. Setelah itu, ia akan menjelajah setiap penjuru untuk mencari si pembunuh keji itu. Memang bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, Suranti yakin akan bisa menemukannya kelak.
Dan ia akan bisa mengenali si pembunuh itu melalui ilmu silatnya. Karena sewaktu hendak menguburkan mayat tunangannya, Suranti mendapat kenyataan bahwa si pembunuh juga membawa lari pusaka-pusaka leluhurnya. Hanya itu satu-satunya petunjuk baginya untuk bisa menemukan si pembunuh.
* * * * *
"Hoiii..., Arja Wiguna, keluar kau! Kami datang memenuhi janji...!"
Suara teriakan yang menggema hingga ke bagian belakang bangunan tempat tinggal Ki Arja Wiguna itu, membuat Suranti yang tengah tenggelam dalam kedukaan, seketika tersentak. Detak jantungnya berdentam keras. Darahnya mengalir cepat dan menimbulkan amarah yang menggelegak. Suranti menggeram. Kedukaan membuat amarahnya cepat sekali bangkit. Dan, tanpa berpikir dua kali, segera saja Suranti melompat bangkit. Bergegas menghambur menuju ke halaman depan.
Di halaman depan, Suranti menemukan adanya tiga orang lelaki. Mereka nampak tertegun sewaktu melihat dirinya. Saling berpandangan satu sama lain dengan penuh tanda tanya. Namun, masing-masing menggeleng, karena tak satu pun dari mereka yang merasa mengenal gadis muda itu.
"Mana Ki Arja Wiguna? Mengapa dia tidak keluar untuk menemui kami? Apakah Dewa Mata Seribu sudah berubah menjadi seorang lelaki pengecut, hingga menyuruh perempuan muda macam kau untuk menghadapi kami?" salah satu dari ketiga lelaki itu, yang bagian tengah kepalanya botak, menatap Suranti dari ubun-ubun sampai ke ujung jempol kaki.
Tapi wajah Suranti tetap membeku. Tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Tanpa mempedulikan pertanyaan itu, dengan matanya yang masih sembab, Suranti mengawasi dua lelaki yang berdiri di kiri-kanan orang yang bertanya itu. Yang di sebelah kiri, adalah seorang lelaki bertubuh jangkung. Sikap berdirinya agak bongkok seperti udang.
Menggenggam sebatang tongkat besi kuning di tangan kanan. Suranti me-ngerutkan kening sewaktu melihat mata lelaki itu. Mata lelaki itu jereng, hingga sulit bagi Suranti untuk menebak, ke mana sebenarnya lelaki itu memandang. Dan Suranti menaksir usia lelaki itu sedikitnya enam puluh lima tahun.
Sedangkan yang berdiri paling kanan, tidak begitu jauh berbeda dengan si mata jereng. Sosoknya sama persis, dan juga memegang tongkat dari besi kuning. Pakaian keduanya pun tidak berbeda, sama-sama mengenakan jubah berwarna kuning gading, yang panjangnya selutut. Dan..., kalau saja saat itu ia tidak sedang dalam kedukaan, mungkin ia akan tertawa melihat mata lelaki itu. Mata itu... juga jereng! Akan tetapi, ada sedikit perbedaan di antara keduanya, yaitu adanya codet (bekas luka) di pipi kiri.
"Cukup sudah kau menilai kami, perempuan!" si codet berkata kepada Suranti. Suaranya pecah seperti kaleng rombeng dipukul. Membuat Suranti menyeringai, karena suara itu membuat telinganya sakit.
"Dan sebaiknya cepat kau suruh keluar Ki Arja Wiguna, sebelum kesabaran kami habis," lelaki jereng di sebelah kanan menyambung. Suaranya tidak sember, tapi besar seperti gema, hingga tak begitu jelas terdengar. Akan tetapi, telinga Suranti dapat menangkapnya dengan baik.
"Sebaiknya jelaskan dulu siapa kalian, dan ada urusan apa dengan Ki Arja Wiguna?" Suranti malah balik bertanya, tanpa mempedulikan ancaman itu. Ia tidak menjelaskan siapa dirinya, dan sengaja tidak menyebut 'ayah', tapi 'Ki Arja Wiguna'. Suranti ingin tahu jelas dulu siapa merela dan ada keperluan apa dengan ayahnya.
Sikap keras kepala Suranti membuat ketiga lelaki itu jadi saling bertukar pandang antara satu dengan yang lain. Nampaknya mereka merasa heran dengan keberanian Suranti. Akan tetapi, mereka segera menjadi maklum mengingat gadis itu masih muda dan mungkin belum pernah terjun ke dunia persilatan, hingga tidak mengenal siapa adanya mereka bertiga.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
"Kau boleh sebut aku Penyabit Kepala," lanjutnya memperkenalkan diri seraya mengangkat dan menggerak-gerakkan arit di tangan kanannya. Rupanya senjata yang biasanya digunakan untuk menyabit rumput itulah yang membuatnya mendapat julukan Penyabit Kepala.
"Aku Malayo," ujar lelaki bermata jereng, di sebelah kiri Penyabit Kepala.
"Dan aku Maloya," lelaki yang berada di sebelah kanan Penyabit Kepala, juga memperkenalkan diri. Ia juga bermata jereng, namun mempunyai codet di pipi kiri.
"Kami berdua di juluki Iblis Kembar Tongkat Kuning!" Seperti telah bersepakat, Malayo dan Maloya menyebut julukannya bersama-sama, dan sambil menyeringai.
"Hm..., sepantasnya kalian berdua memakai julukan Tua Bangka Kembar Bergigi Kuning!" tukas Suranti seraya tersenyum mengejek, membuat paras Malayo dan Maloya menjadi merah seketika.
Keduanya menggereng marah, namun Suranti menanggapinya dengan dengusan yang penuh ejekan. Malayo dan Maloya tak dapat menahan diri lagi. Keduanya mendengus-dengus marah bagaikan banteng-banteng liar. Belum pernah selama hidup ada orang yang berani menghina dan mempermainkan mereka seperti itu. Bahkan tokoh-tokoh yang telah mempunyai nama besar pun tidak berani sembarangan kepada mereka, apalagi ini cuma seorang gadis muda. Karuan saja mereka berjingkrak-jing-krak seperti cacing kepanasan.
"Kucopot mulutmu, perempuan lancang!" Malayo menggereng seraya melompat ke depan sambil mengulur cengkeraman tangan kirinya.
"Kurontokkan gigi-gigimu, anak setan!" Maloya pun tidak mau ketinggalan. Seperti berlomba saja, Maloya juga melompat dengan kepalan yang siap merontokkan gigi Suranti.
Dan barulah Suranti terkejut! Serangan Iblis Kembar Tongkat Kuning itu begitu cepat, hingga membuat pandangannya kabur. Sambaran anginnya pun memperdengarkan suara mencicit, tanda bahwa tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu sangatlah kuatnya.
Dan Suranti menjadi pucat sewaktu merasakan tubuhnya bergoyang-goyang. Padahal dua serangan itu masih satu tombak dari tubuhnya, dan ia cuma baru terkena sambaran anginnya saja. Maklumlah Suranti kalau ke dua orang kakek kembar itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi.
Cemaslah Suranti. Maklum kalau ia tidak mungkin dapat menandingi kakek kembar itu. Akan tetapi, semua sudah telajur, dan ia harus berusaha untuk menyelamatkan dirinya. Dengan mengerahkan seluruh kecepatannya, Suranti berusaha menghindari dua serangan dahsyat itu dengan lompatan ke belakang. Akan tetapi bukan main kaget hatinya sewaktu melihat dua serangan itu masih terus mengejarnya. Bahkan daya luncurnya semakin cepat.
Suranti pun maklum akan percuma saja jika ia menghindar. Maka ia pun menjadi nekad. Ditunggunya dua serangan itu dengan berdiri tegak sambil menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke kedua tangan. Dan ketika dua serangan itu tiba, sambil membentak Suranti mengangkat kedua lengannya. Nekad memapak serangan Iblis Kembar Tongkat Kuning!
Plakkk! Plakkk!
Dan sebagai akibatnya Suranti menjerit. Tangkisan itu membuat tulang-tulang lengannya terasa seperti patah-patah. Dan ia pun terlempar ke belakang. Jatuh terguling-guling di tanah tanpa dapat ia cegah lagi.
Iblis Kembar Tongkat Kuning mengeluarkan dengusan keras. Lalu, berbarengan mereka melompat mengejar Suranti Saling berebut untuk bisa lebih dulu menangkap gadis itu. Dan Suranti, yang saat itu masih rebah telentang di tanah, hanya bisa memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat! Terbayang di benaknya betapa ia akan segera menjadi seorang perempuan yang tidak bermulut dan tidak bergigi. Ngeri hati Suranti membayangkan nasib yang sebentar lagi bakal menimpa dirinya itu. Dan kengerian itu membuat Suranti memejamkan matanya erat-erat.
Suranti masih tetap memejamkan matanya erat-erat, kendati merasa heran sewaktu telinganya menangkap suara benturan yang cukup keras. Dan ia juga mendengar pekik-pekik kaget dari mulut Iblis Kembar Tongkat Kuning yang tertahan. Akan tetapi, ia masih belum berani membuka matanya, meskipun ia ingin tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi.
Dan selelah menunggu agak lama, tapi mulutnya belum juga tersentuh cengkeraman dan kepalan Iblis Kembar Tongkat Kuning, barulah Suranti memberanikan diri membuka kedua matanya. Itu pun dilakukannya dengan hati-hati dan perlahan-lahan.
Hampir Suranti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Takut kalau-kalau semua itu cuma khayalannya belaka, Suranti mengerjap beberapa kali. Baru setelah apa yang terpampang di depan matanya tidak juga berubah, Suranti pun sadar bahwa semua itu memang benar-benar nyata! Suranti melihat Iblis Kembar Tongkat Kuning berada agak jauh di depannya, kira-kira dua tombak.
Sementara, kira-kira empat langkah di depannya, ada sesosok tubuh berpakaian serba putih berdiri membelakangi dirinya. Melihat kenyataan itu, maklumlah Suranti kalau dirinya telah diselamatkan orang. Diselamatkan lelaki berpakaian serba putih, yang ia tidak tahu kapan dan darimana datangnya. Tapi yang jelas ia merasa sangat berterima kasih sekali kepada lelaki berpakaian serba putih itu. Suranti tengah meneliti sosoknya ketika lelaki berpakaian serba putih ini menoleh. Untuk sesaat, mereka saling bersitatap.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya kemudian. Membuat Suranti agak tergagap.
Sebab lelaki yang telah menyelamatkan nyawanya ini adalah seorang pemuda berwajah tampan. Bersikap gagah dan juga sopan tutur katanya. Suranti jadi agak kikuk. Karena penolongnya itu begitu memperhatikan dan mencemaskan keadaannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa," geleng Suranti kemudian, setelah ia menyadari dan menguasai dirinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan," sambungnya seraya melemparkan senyum sebagai tanda rasa terima kasihnya.
Si pemuda berpakaian serba putih mengangguk lega, dan membalas senyum Suranti.
"Apa sebenarnya..."
"Hei, badut konyol tak tahu penyakit! Siapa kau? Apa kau sudah bosan hidup?" suara bentakan Malayo, orang tertua dari Iblis Kembar Tongkat Kuning, membuat kalimat pertanyaan pemuda berpakaian serba putih terputus.
Pemuda itu cepat memutar tubuh. Menghadapi Iblis Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala.
"Namaku Panji," pemuda berpakaian serba putih ini menjawab dengan sikap tenang dan tutur kata yang sopan.
"Tapi aku bukan badut konyol, dan juga masih ingin hidup. Kalau bisa sampai seribu tahun lagi," lanjutnya berkilah.
Jawaban pemuda berpakaian serba putih, yang ternyata adalah Panji ini, membuat Iblis Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala sama mendengus geram. Jawaban yang sama sekali tidak mereka harapkan itu, semakin membangkitkan kejengkelan dan juga kemarahan mereka.
"Bagus... bagus," Malayo mengangguk-angguk sambil melangkah maju beberapa tindak.
"Aku suka jawabanmu, Anak Muda. Tampaknya kau begitu mengandalkan kepandaianmu, hingga dengan sengaja telah berani lancang mencampuri urusan kami. Rupanya kau belum mengenal kami, heh! Sudah merasa bangga karena bisa menggagalkan serangan kami?"
"Tidak juga," kilah Panji seraya menggeleng pelan.
"Kalaupun aku berani lancang mencampuri urusan kalian, itu karena menyangkut soal nyawa manusia. Soal ketidakadilan, yang memang harus ditentang oleh setiap orang. Tapi tentu saja yang kumaksud adalah mereka yang menjunjung tinggi keadilan serta kebenaran. Kalian telah berlaku tidak adil. Itu sebabnya aku memberanikan diri untuk meluruskannya," lanjutnya, yang meskipun tidak langsung, namun jelas merupakan tantangan bagi Iblis Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala.
"Heh heh heh...!" Malayo terkekeh demi mendengar ucapan Panji. Suaranya bergema hingga getarannya sampai menyelusup ke dalam dada Panji. Bukan sembarang kekeh, karena Malayo sengaja mengerahkan tenaga dalamnya. Dan Panji pun harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk meredam getaran dalam dadanya.
"Kau jangan cari-cari alasan, Anak Muda," lanjut Malayo, setelah mengakhiri kekehnya.
"Bilang saja kalau kau memang sengaja hendak menantang kami. Itu lebih baik daripada segala macam omongan plintat-plintut!"
"Itu tidak benar," Panji menyanggah tuduhan Malayo.
"Di antara kita tidak ada persoalan apa-apa. Kita tidak saling kenal. Bahkan baru kali ini bertemu. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menantang kalian. Aku cuma kebetulan lewat, dan mendengar teriakan. Lalu, ketika aku melihat kalian berdua, yang sudah kakek-kakek, menyerang seorang gadis, maka aku mencoba untuk mencegah perbuatan kalian. Karena perbuatan kalian jelas tidak adil!"
"Karena gadis itulah yang telah memaksa kami!" Maloya, si pipi codet, orang kedua dari Iblis Kembar Tongkat Kuning, berkata untuk membela diri.
"Kalau tidak, mana sudi kami mengotori tangan untuk menghadapi gadis sok tahu tapi tak bisa apa apa itu!"
"Enak saja menuduh orang!" Suranti, yang tidak terima tuduhan Maloya, langsung saja menyanggah. Bahkan, tanpa merasa gentar sedikit pun ia balik menuding.
"Kalianlah yang tidak tahu diri! Datang ke tempat orang tanpa permisi. Berteriak-teriak seperti orang hutan kesasar. Tentu saja aku menjadi berang. Aku tidak suka tempatku diinjak-injak dan dirusak manusia-manusia kasar seperti kalian!"
"Huh… kami tidak akan bertindak kasar kepadamu apabila kau menuruti permintaan kami untuk memanggil Ki Arja Wiguna keluar," Maloya masih juga tak mau kalah.
"Kami cuma perlu kepada Ki Arja Wiguna. Denganmu kami tidak mempunyai urusan. Jadi, sebaiknya kau panggil Ki Arja Wiguna. Katakan kepadanya bahwa Iblis Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala sudah datang memenuhi janji..."
Suranti kelihatan jengkel sekali. Tapi ia berusaha menahan diri. Keningnya kelihatan berkerut Suranti tengah berpikir. Dan sesaat kemudian, ia mengangguk-angguk sambil mempelihatkan senyum mengejek.
"Jadi kalian benar-benar ingin bertemu dengan ayahku?" tanyanya tiba-tiba, yang membuat kening Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning berkerut. Mereka kelihatan kaget sewaktu mendengar bahwa gadis itu ternyata adalah putri Ki Arja Wiguna. Akan tetapi kekagetan itu cuma berlangsung sesaat. Saat berikutnya mereka sama menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, silakan kalian temui ayahku di belakang bangunan ini," kata Suranti kemudian.
"Silakan kalian katakan kepada beliau mengenai maksud kedatangan kalian. Dan seperti yang kalian kehendaki, aku tidak akan ikut campur lagi!" lanjutnya tandas.
"Nah, kalau dari tadi kau bilang begitu, segala sesuatunya kan jadi lancar," kata Penyabit Kepala sambil mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, mengisyaratkan Iblis Kembar Tongkat Kuning untuk segera mengikutinya.
Sikap Suranti tentu saja membuat Panji menjadi heran. Dalam hatinya ia menjadi ragu akan kewarasan pikiran gadis itu. Padahal jelas-jelas ketiga kakek itu datang bukan dengan maksud baik. Tapi mengapa gadis itu membiarkan dan bahkan ringan saja menyuruh mereka untuk menemui ayahnya. Dan Panji menjadi semakin tidak mengerti sewaktu dilihatnya gadis itu malah tersenyum-senyum.
"Tenang saja, Panji," kata Suranti, yang seperti dapat membaca pikiran Panji.
"Sebentar lagi mereka pasti akan kembali menemuiku. Kau tidak perlu khawatir. Ayahku tidak akan bisa mereka lukai," lanjutnya sambil tersenyum-senyum, yang kemudian memperkenalkan dirinya kepada Panji.
Meskipun sebenarnya masih merasa penasaran, dan hatinya dipenuhi bermacam pertanyaan, namun Panji tidak berkata apa-apa. Ditunggunya kebenaran kata-kata Suranti.
Tidak berapa lama kemudian, apa yang dikatakan Suranti pun terbukti. Dari bagian samping bangunan, Panji melihat Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning sudah muncul kembali dan tengah menghampiri mereka berdua. Akan tetapi, kening Panji berkerut ketika melihat wajah ketiga kakek itu, yang rata-rata gelap dan menggam-barkan kemarahan yang siap meledak.
"Kurang ajar!" Belum lagi tiba dekat, Penyabit Kepala sudah mengumpat kasar.
"Berani kau mempermainkan kami, perempuan sundal!"
Tapi Suranti tetap bersikap tenang. Sebaliknya, Panjilah yang merasa cemas. Cemas akan keselamatan Suranti. Karena Panji maklum betul kalau ketiga kakek itu bukanlah orang-orang sembarangan. Ia sudah merasakan sendiri betapa kuatnya tenaga dalam kakek kembar yang bersenjata tongkat dari kuningan itu.
"Hm..., mengapa kalian kelihatannya tidak merasa senang?" Suranti malah bertanya dengan nada mengejek.
"Bukankah kalian sudah bertemu dengan ayahku?"
"Perempuan setan!" Malayo menyambut pertanyaan Suranti dengan makian. Nampaknya ia benar-benar marah kepada Suranti, sampai-sampai gigi-giginya bergemeretak.
"Rupanya kau memang sengaja hendak mempermainkan kami! Untuk itu kau akan merasakan akibatnya!"
"Dan kami juga masih belum percaya kalau ayahmu itu benar-benar sudah tewas," Maloya ikut angkat bicara.
"Jangan kira dengan makam itu kau bisa mengelabuhi kami..."
"Apa untungnya aku mengelabuhi kalian?" lontar Suranti.
"Ayahku memang sudah tewas. Aku sendiri belum tahu siapa yang telah membunuhnya, dan kapan terjadinya. Kemarin pun, saat aku baru kembali dari tempat kediaman sahabat Ayah, makam itu sudah ada. Dan aku yakin kalau itu memang benar-benar makam ayahku.
Karena tunanganku pun kudapati sudah menjadi mayat. Dia dibunuh dengan cara yang sangat kejam sekali. Dan saat kalian datang, aku baru saja selesai memakamkan mayat tunanganku, yang juga merupakan murid ayahku satu-satunya itu," jelas Suranti kemudian. Ia merasa perlu untuk memaparkan semua itu kepada ketiga orang kakek, yang diduganya adalah musuh-musuh lama ayahnya itu.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning tampak saling bertukar pandang. Mereka menilai bahwa apa yang dikatakan gadis itu bukanlah sekadar siasat. Mereka tahu kalau gadis itu bersungguh-sungguh. Apalagi mereka kenal betul siapa adanya Ki Arja Wiguna.
Seorang tokoh berwatak jantan, yang mustahil akan tega membiarkan putrinya untuk menghadapi mereka, sementara Ki Arja Wiguna sendiri pergi bersembunyi. Itu bukan watak Ki Arja Wiguna. Bukan watak seorang tokoh besar yang bahkan telah mendapat julukan Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, bagaimanapun mereka tetap merasa tidak puas. Merasa kecewa. Mereka telah jauh-jauh datang untuk menemui Ki Arja Wiguna. Telah bersusah-payah bertahun-tahun melatih diri untuk membalas kekalahan mereka. Ya, mereka memang pernah dipecundangi Ki Arja Wiguna. Dipecundangi Dewa Mata Seribu.
Dan mereka tidak dibunuh karena telah mengakui kekalahan mereka. Kemudian, di hadapan Dewa Mata Seribu mereka bersumpah untuk membalas kekalahan. Kelak, mereka akan datang untuk menantang Dewa Mata Seribu. Untuk mengulangi pertarungan, yang apa bila mereka masih juga dapat dikalahkan, mereka berjanji akan meninggalkan jalan sesat, yang selama ini mereka jalani.
Dewa Mata Seribu tidak merasa keberatan. Justru merasa lega. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Ketiganya merupakan gembong-gembong golongan sesat. Untuk membunuh mereka saat itu memang mudah saja baginya. Akan tetapi, merupakan pantangan baginya untuk membunuh lawan yang telah mengaku kalah. Dewa Mata Seribu lebih suka apabila mereka meninggalkan dunia sesat atas kesadaran sendiri. Maka diterimanya tantangan itu.
Apalagi, setelah mengucapkan sumpah, Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning berjanji untuk tidak melakukan kejahatan dulu. Mereka akan bersembunyi untuk memperdalam ilmu silat mereka, yang kelak setelah siap, baru mereka akan menemui Dewa Mata Seribu. Dan tentu saja mereka sangat kecewa sekali ketika setelah sekian tahun lamanya melatih diri, yang mereka temui ternyata cuma gundukan tanah. Dewa Mata Seribu sudah tewas. Dan kenyataan itu sulit untuk mereka terima.
"Hm..., sulit bagi kami untuk bisa menerima bahwa ada orang yang bisa membunuh Dewa Mata Seribu," kata Penyabit Kepala, memecah keheningan yang cukup lama berlangsung.
"Hal itu memang bukan tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, siapa orang yang telah membunuhnya? Mungkinkah orang itu juga menaruh dendam kepadanya, atau ada alasan lain?" lanjutnya sambil menatap wajah Suranti dalam-dalam.
Suranti tidak segera menjawab. Memang ia tahu kalau pembunuh ayahnya itu mempunyai juga alasan lain. Pusaka-pusaka leluhurnya telah lenyap. Dan Suranti yakin kalau si pembunuh itulah yang mencuri pusaka-pusaka leluhurnya. Akan tetapi, tidak mungkin baginya untuk mengatakan hal itu. Kalau hal itu dikatakannya, mungkin saja ketiga musuh ayahnya itu akan tertarik, dan ikut mencari pusaka-pusaka leluhurnya itu. Bukan untuk diserahkan kepadanya, melainkan untuk memilikinya. Suranti tentu saja tidak ingin hal itu sampai terjadi.
"Entahlah," geleng Suranti. Mengambil keputusan untuk merahasiakan hal itu.
"Tapi yang jelas, apa pun alasan manusia durjana itu, aku akan tetap mencarinya. Aku harus membalas perbuatan manusia biadab itu agar arwah Ayah dan tunanganku dapat tenang di alam baka..."
Selesai Suranti berkata, keheningan kembali tercipta di antara mereka. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning kelihatan bingung sekali. Padahal mereka harus melaksanakan sumpah yang telah mereka ucapkan pada beberapa tahun silam itu. Tapi Dewa Mata Seribu sudah tewas. Mereka merasa tidak puas. Masih tetap merasa penasaran. Sumpah itu harus merela lunasi. Tapi kepada siapa? Putri Dewa Mata Seribu? Tidak mungkin!
Kepandaian putri Dewa Mata Seribu tidak ada apa-apanya dibanding mereka. Menghadapi gadis itu cuma hanya akan semakin menambah rasa penasaran dan tidak puas di hati mereka saja. Tapi, untuk pulang dengan membawa kekecewaan, mereka juga tidak mau. Sumpah itu tetap harus mereka pe-nuhi!
Cukup lama keheningan itu berlangsung. Dan kalau Suranti maupun Panji berbeda terbawa alir pikirannya masing-masing, sebaliknya dengan tiga kakek ini. Meskipun tidak ada kata sepakat di antara mereka, namun baik Penyabit Kepala maupun Iblis Kembar Tongkat Kuning, mempunyai pikiran yang serupa.
Mereka sama-sama memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi sumpah mereka itu. Dan meskipun tidak ada kata sepakat antara satu dengan yang lain, tapi ternyata mereka menemukan satu jawaban. Dan seperti telah mengetahui pikiran masing-masing saja, secara bersamaan mereka menatap ke arah Panji.
Mendapat tatapan dari ketiga kakek itu, Panji jadi mengerutkan kening. Dan diam-diam Panji merasa berdebar hatinya sewaktu ia mulai dapat menduga-duga dan merasakan apa arti tatapan mereka itu.
"Anak Muda," tiba-tiba saja Penyabit Kepala berkata sambil tetap menatap Panji.
"Dengan sengaja kau telah mencampuri urusan kami. Itu artinya kau telah ikut melibatkan diri ke dalam persoalan antara kami dengan Ki Arja Wiguna. Dan karena sekarang Ki Arja Wiguna telah tiada, maka mau tidak mau kau harus menggantikan kedudukannya, mewakilinya untuk memenuhi janji yang telah kami sepakati bersama pada lima belas tahun silam!"
Panji menarik kepalanya dengan kekagetan yang tidak sempat disembunyikannya. Meskipun ia tidak tahu-menahu tentang janji yang telah dibuat Ki Arja Wiguna dengan ketiga kakek itu, namun ia maklum betul apa arti ucapan Penyabit Kepala. Sebenarnya, kalau ia mau, tidak sulit baginya untuk mengelak dan menyanggah ucapan Penyabit Kepala itu. Akan tetapi, ia tidak bisa dan juga tidak mau. Mana mungkin ia akan membiarkan Suranti menghadapi ketiga kakek itu seorang diri. Apalagi gadis itu baru saja kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Jiwa Suranti jelas tengah mengalami guncangan hebat. Tengah didera kesedihan, dan rasa penasaran karena belum tahu dan belum mempunyai gambaran tentang pembunuh ayah dan tunangannya. Panji maklum bagaimana perasaan gadis itu, yang semuanya tergambar jelas di wajahnya. Dan Panji tidak ingin menambah penderitaan Suranti.
Apalagi ketika ia menoleh, dilihatnya gadis itu tengah memandangnya. Menyerahkan jawabannya kepada dirinya. Akan tetapi, tentu saja Panji tidak ingin melangkahi gadis itu. Biar bagaimanapun, dalam urusan itu ia termasuk orang luar.
"Sebenarnya aku tidak berhak untuk mencampuri urusan ini lebih jauh lagi," kata Panji kemudian sambil menatap ketiga kakek di depannya bergantian.
"Akan tetapi, disini masih ada keturunan Ki Arja Wiguna. Artinya, Suranti-lah yang berhak memutuskannya. Aku tak ingin dianggap lancang dan sok gagah. Jadi, terserah Suranti. Tapi apa pun keputusannya, aku akan menerimanya," lanjut Panji. Sambil berkata demikian, Panji menoleh dan menatap ke arah gadis itu.
Tapi Suranti tidak segera mengambil keputusan. Meskipun sebenarnya ada perasaan atau keinginan di hatinya untuk melihat bagaimana Panji menghadapi ketiga kakek sakti itu, namun ada juga kekhawatiran kalau-kalau Panji akan mendapat celaka. Dan, Suranti tidak ingin Panji terluka di tangan ketiga kakek sakti itu. Apalagi kalau sampai tewas, ia akan merasa berdosa. Dan ia tidak ingin dikejar-kejar rasa bersalah.
"Tidak," geleng Suranti akhirnya.
"Aku tidak bersedia jika Panji harus dilibatkan ke dalam persoalan antara kalian dengan ayahku," lanjutnya, yang kemudian menatap Panji dengan sorot menyesal.
"Maaf, Panji. Bukan berarti aku meremehkan kepandaianmu. Itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam hati maupun pikiranku. Cuma saja, selain aku, Ayah masih mempunyai pewaris ataupun keturunan lainnya. Orang itu adalah kakakku, putra ayahku. Rasanya, dialah orang yang lebih berhak untuk menggantikan kedudukan Ayah..."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak suruh kakakmu itu segera keluar menemui kami?" Penyabit Kepala langsung saja berkata. Tampaknya ia sudah tidak sabar ketika mendengar penuturan Suranti. Kalau benar Ki Arja Wiguna masih mempunyai seorang putra, tentu saja ia merasa lebih setuju untuk menghadapinya, ketimbang Panji yang cuma orang luar.
Dan pendapat Penyabit Kepala ternyata tidak berbeda dengan Iblis Kembar Tongkat Kuning. Dua orang kakek kembar ini pun lebih condong untuk menghadapi keturunan Ki Arja Wiguna daripada Panji. Sebab, tujuan mereka memang hendak mengalahkan ilmu-ilmu Ki Arja Wiguna. Ilmu-ilmu yang pernah membuat mereka menjadi pecundang.
"Sayangnya, sudah lebih dari satu tahun, Malintang, kakakku itu dititipkan Ayah kepada salah seorang sahabatnya," jawab Suranti dengan nada menyesal.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning tentu saja merasa kecewa sekali. Harapan yang baru saja muncul, segera lenyap kembali.
"Katakan, kepada siapa kakakmu itu dititipkan? Kami akan mendatanginya," Maloya berkata menunjukkah ketidaksabaran hatinya.
Akan tetapi, Maloya jadi kecewa ketika melihat Suranti menggelengkan kepala. Sebenarnya Suranti bukan tidak tahu di mana kakaknya berada. Tapi ia tidak ingin membuat kakaknya terkejut dengan kedatangan Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning. Suranti ingin memberitahukan kakaknya lebih dulu. Agar bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik. Maka ia terpaksa berdusta. Suranti minta waktu tiga puluh hari untuk mencari kakaknya. Dan kelak akan menemui mereka bertiga di tempat yang kemudian mereka sepakati bersama.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning mengangguk setuju. Mereka percaya kalau gadis itu tidak akan mengingkari janjinya. Maka, meskipun dengan hati agak kecewa, akhirnya merelakan pergi meninggalkan tempat itu.
Panji dan Suranti mengiringi kepergian tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dan mereka masih menatap ke depan, meskipun sosok Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning sudah tidak kelihatan lagi. Lama mereka sama terdiam sampai akhirnya Panji memecah keheningan di antara mereka.
"Rasanya aku juga harus pergi," ujar Panji pendek. Mengangguk tipis kepada Suranti. Lalu, tanpa menunggu jawaban lagi, Panji segera melesat meninggakan Suranti, yang hanya bisa memandangi sosok pemuda penolongnya yang semakin jauh itu.
Lama Suranti termenung di tempatnya dengan kepala terangguk-angguk. Bayangan Panji sudah tidak nampak lagi. Lenyap di kejauhan, di antara batang-batang pohon besar. Dan setelah sadar dari keadaannya, Suranti memutar tubuhnya. Melangkah menuju rumahnya untuk berkemas-kemas, ia harus segera mencari Malintang. Kakaknya, untuk memberitahukan bencana yang telah menimpa keluarga mereka.
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
Suranti menghela napas. Ada kenyerian yang menusuk hatinya, saat semua kenangan itu melintas di benaknya. Membuat Suranti tiba-tiba merasa nelangsa. Merasa diri tidak lagi mempunyai arti. Semua sudah berlalu. Masa telah berubah. Ayah dan tunangannya, yang merupakan bagian dari kenangan manis itu pun sudah tidak ada lagi. Yang tersisa cuma tinggal kenangan dan goresan luka yang menimbulkan dendam kesumat di hatinya.
"Semua ini harus kubalas...!" Tanpa sadar Suranti menggeram dengan mengepal tangan kuat-kuat. Sepasang matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan dan semangat hidup, kini yang terlihat cuma kilatan api dendam. Di depan makam ayah dan kekasihnya, Suranti bersumpah untuk membalas semua kekejian itu. Tidak peduli kendati untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya!
Sekali lagi, sebelum memutar tubuh dan meng ayunkan langkahnya, dipandanginya bangunan itu. Disusutnya dua titik air mata yang mengalir turun di atas pipinya yang putih dan halus itu. Dan dengan menguatkan hatinya, Suranti pun mulai bergerak menuruni lereng gunung.
Akan tetapi, baru kira-kira sekitar seratus tombak, Suranti sudah menghentikan langkahnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Membuat keningnya berkerut. Ditundanya perjalanannya. Karena ia merasa tertarik dengan benda yang berada di atas rerumputan, di dekat semak-semak.
Benda itu sebenarnya tidak bisa dibilang menarik. Kalau di tempat lain, sudah pasti tidak akan ada yang memperhatikannya. Jangankan melihat, sedang melirik pun orang pasti tidak akan melakukannya. Siapa orangnya yang mau peduli dengan selembar kain hitam?
Dan Suranti pun pasti tidak akan tertarik kalau saja benda itu tergeletak di tanah, di tengah keramaian sebuah pekan. Bahkan jika kain hitam itu adanya di tengah jalan desa pun, tidak akan ditolehnya! Dan itu sudah pasti!
Akan tetapi, yang membuat Suranti merasa tertarik, karena kain hitam itu adanya di lereng gunung. Padahal Suranti tahu betul kalau daerah itu sangat jarang dilalui orang, ia sudah belasan tahun tinggal di sekitar daerah itu. Dan sudah hafal betul dengan liku-likunya. Jadi, tidak heran kalau kain hitam itu bisa membuatnya tertarik. Dan kain itu sendiri bukan dari bahan kasar, melainkan kain sutera. Kain yang tidak mungkin dikenakan orang-orang desa.
Suranti mengulurkan tangannya, meraih kain sutera hitam itu. Sewaktu mengangkat dan membentangnya di depan wajahnya, kerutan di kening Suranti jadi semakin banyak. Dan, kalau tadinya ia cuma sekadar ingin tahu saja, maka sekarang hatinya benar-benar tertarik!
Bukan cuma bentuknya saja yang seperti sebuah kantung, tapi juga terdapat dua buah bolongan, yang seolah sengaja dibuat untuk mata. Tentu saja Suranti menjadi semakin tertarik. Diperkirakannnya kalau kain itu digunakan untuk menyembunyikan wajah agar tidak bisa dikenali. Orang-orang jahat biasa menggunakannya sebagai topeng penutup kepala dan wajah. Hanya dua matanya saja yang kelihatan.
Cukup lama Suranti meneliti kain sutera hitam berupa kerudung itu. Kain itu masih kelihatan baru, hingga timbul dugaan bahwa ada orang yang sengaja membuangnya. Dan menurut perkiraannya, orang itu pasti habis melakukan kejahatan. Dan tiba-tiba saja wajah Suranti menegang. Dadanya berdebar keras, hingga membuat dengus napasnya mengalir berat. Bahkan kedua tangannya yang memegang kerudung sutera hitam itu sampai gemetar.
"Mungkinkah kerudung sutera hitam ini ada hubungannya dengan kematian Ayah dan tunanganku?" mendadak saja pikiran itu melintas di benak Suranti. Dan menurutnya hal itu bukan tidak mungkin. Suranti jadi teringat bagaimana sewaktu ia pulang, ayahnya sudah dikuburkan orang. Siapa yang telah menguburkan mayat ayahnya? Kalau si pembunuh yang melakukannya, jelas tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan Rakai, tunangannya? Mengapa Rakai terbunuh di ruang rahasia?
Berbagai pertanyaan yang baginya merupakan sebuah misteri itu, membuat Suranti berpikir keras. Dicobanya untuk merangkaikan kejadian-kejadian yang mengakibatkan tewasnya kedua orang yang dicintainya itu. Mungkinkah ayahnya dibunuh lebih dulu, yang kemudian si pembunuh memaksa Rakai untuk menguburkan mayatnya?
Lalu, di bawah ancaman si pembunuh, Rakai dipaksa untuk menunjukkan ruang rahasia tempat penyimpanan pusaka-pusaka leluhur mereka. Dan setelah tiba di ruang rahasia, Rakai pun dihabisi nyawanya. Kemudian pembunuh itu pergi dengan membawa pusaka-pusaka leluhur mereka.
"Ah, tapi itu hampir tidak mungkin!" Suranti membantah rangkaian kejadian yang dibuatnya itu.
"Aku kenal betul bagaimana watak Rakai. Dia pasti lebih suka mati daripada menunjukkan ruang rahasia itu!"
Dan Suranti jadi termenung. Diperhatikannya kerudung kain sutera hitam yang masih dipegangnya itu, sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban. Ada keyakinan dalam dirinya bahwa kerudung kain sutera hitam itu mempunyai kaitan dengan bencana yang menewaskan ayah dan tunangannya.
"Hm..., ada baiknya benda ini kusimpan," gumam Suranti akhirnya mengambil keputusan.
"Siapa tahu kelak akan ada gunanya," Suranti segera memasukkan kerudung kain hitam itu ke dalam buntalan pakaiannya. Kemudian melanjutkan perjalanannya.
Menuruni lereng dengan setengah berlari, la ingin cepat-cepat bertemu dengan kakaknya, untuk kemudian bersama-sama mencari si pembunuh. Tapi, terlebih dulu ia akan menemui gurunya. Untuk minta izin, dan agar gurunya tidak mencemaskannya. Kepada gurunya ia berjanji akan kembali dalam tujuh hari.
Akan tetapi, ketika tiba di tempat kediaman gurunya, Suranti menjadi terkejut dan sekaligus heran. Gurunya ternyata tidak berada di tempat. Tiga hari yang lalu setelah kepergiannya gurunya pergi bersama seorang pemuda. Demikian penjelasan seorang penduduk sewaktu Suranti menanyakan tentang gurunya itu.
"Tahukah Paman, ke mana kira-kira Guru pergi?" tanya Suranti dengan rasa ingin tahu, karena hal itu tidak biasanya. Sepanjang pengetahuannya selama ia belajar ilmu sastra gurunya boleh dibilang hampir tidak pernah pergi jauh. Jadi, tidak heran kalau Suranti ingin tahu lebih jelas, ke mana gurunya itu pergi dan bersama siapa.
Tapi, dengan wajah menyesal petani tua itu menggeleng.
"Mereka pergi ke arah utara. Cuma itu yang aku tahu, Nona," jawabnya kemudian.
Suranti cuma bisa mengangguk-angguk. Dan setelah mengucapkan terima kasih, ia pun beranjak pergi. Sebelum meninggalkan rumah gurunya, Suranti menuliskan pesan agar gurunya tidak perlu mencarinya, karena ia hendak menemui kakaknya. Baru setelah itu Suranti melanjutkan perjalanannya menuju arah utara. Bukan hendak menyusul gunanya, melainkan untuk mencari seorang tokoh yang berjuluk Camar Laut.
Suranti tidak tahu jelas di mana tokoh itu tinggal. Yang ia tahu, kepada tokoh berjuluk Camar Laut itulah kakaknya berguru. Ayahnya menghendaki agar Malintang memperdalam ilmu meringankan tubuhnya. Dan Camar Laut adalah satu di antara sekian tokoh yang ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat terkenal.
* * * * *
Panji baru saja meninggalkan perbatasan sebuah desa. Namun sesuatu yang dilihatnya agak janggal, membuat Panji memperlambat langkahnya. Dua orang yang berpapasan jalan dengannya, telah menarik perhatiannya. Membuatnya menaruh curiga. Dan perasaan itu membuat mata Panji menelitinya dengan lebih jauh lagi.
Dua lelaki yang berpapasan dengan Panji itu memang bisa menarik perhatian siapa saja. Mereka adalah lelaki tua, berumur kira-kira enam puluh lima tahun, dan seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Tapi bukan perbedaan usia mereka yang membuat Panji merasa tertarik. Itu bukanlah suatu pemandangan yang aneh, dan tidak pantas membuat orang menaruh curiga. Akan tetapi, wajah dan sikap lelaki tua itulah yang telah menarik perhatian Panji.
Wajah lelaki tua itu nampak pucat seperti orang yang menyimpan ketakutan. Sikapnya terlihat selalu gugup, dengan sepasang mata senantiasa bergerak-gerak gelisah. Sementara si lelaki muda menunjukkan wajah garang. Lebih-lebih sewaktu melihat ada seorang pemuda yang memperhatikannya. Sepasang matanya langsung melotot, menyiratkan ancaman kepada Panji. Tentu saja Panji jadi semakin tertarik, dan berusaha mencari cara untuk menge-tahui ada apa sebenarnya di antara kedua orang itu.
"Maaf," sapa Panji yang akhirnya bergerak mendekati kedua lelaki itu. Si pemuda semakin melotot, sementara si lelaki tua nampak semakin ketakutan, Tapi Panji tidak mempedulikannya. Ia kembali melanjutkan kata-katanya, "Kelihatannya Orang Tua itu sakit? Ayahmukah, atau kakekmu? Dan, kurasa kalian harus segera mencari tabib..."
Si lelaki tua nampak semakin gelisah. Panji tahu kalau lelaki tua itu ingin sekali untuk menjawab pertanyaannya, tapi ia kelihatan sangat takut kepada pemuda di sampingnya. Bahkan wajahnya kemudian meringis menahan sakit, karena pemuda itu sudah mencengkeram lengannya kuat-kuat. Dan itu semakin menambah kecurigaan Panji. Semakin merasa yakin bahwa ada apa-apa di antara kedua lelaki itu.
"Hei!" si pemuda menatap Panji dengan sinar matanya yang tajam dan barkilat-kllat.
"Sebaiknya kau lanjutkan saja perjalananmu dan jangan campuri urusan orang lain! Kecuali kalau kau memang bermaksud hendak mencari penyakit!" sentaknya kemudian, dengan kegeraman yang ditahan-tahan.
Panji mencoba tersenyum ramah. Lalu, dengan tetap tenang, dibalasnya tatapan pemuda itu.
"Sobat, aku bermaksud baik. Sama sekali tidak terlintas dalam benakku untuk mencari penyakit. Dan kalaupun aku mau tahu tentang urusan kalian, itu karena aku merasa kasihan dengan lelaki tua yang..."
"Banyak bacot!" kata-kata Panji langsung dipotong si pemuda, yang kemudian menerjang dengan sebuah tamparan keras. Sambaran anginnya yang menderu, membuat Panji agak terkejut. Pemuda berpakaian serba hitam ternyata bukan orang sembarangan. Cepat Panji menggeser tubuhnya, sambil memiringkan kepala, hingga serangan itu tidak mengenai sasarannya.
Tak menyangka kalau serangannya dapat dielakkan lawan, pemuda berpakaian serba hitam, yang bukan lain dari Malintang ini, menjadi semakin geram. Penasaran bukan main hatinya. Serangan itu dilakukan dengan cepat. Orang yang mampu menghindarinya pun sangat sedikit sekali. Tapi, pemuda berpakaian serba putih itu ternyata mampu melakukannya. Hal itu benar benar tidak pernah disangkanya!
"Hm..., pantaslah kau demikian usil. Kiranya kau memiliki kepandaian juga," ujar Malintang seraya meneliti sosok Panji dengan penuh selidik.
"Kelihatannya kau bukan orang dari daerah ini. Nada bicaramu kudengar agak asing. Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang ke daerah ini?" tanyanya kemudian.
"Namaku Panji. Dan kedatanganku ke daerah ini cuma sekadar untuk meluaskan pengalaman," jawab Panji tenang sambil memasang sikap waspada. Kepandaian pemuda itu cukup berbahaya. Dan kelengahan sedikit saja, bukan mustahil jika pemuda itu akan mempergunakannya.
Malintang mengangguk-angguk kepala. Tarikan bibirnya demikian sinis. Begitu juga dengan sorot matanya. Sangat merendahkan sekali. Namun, Panji tetap tenang. Tidak mempedulikan sikap yang penuh ejekan pemuda itu. Dan tetap pada sikap semula, meskipun pemuda berpakaian serba hitam itu kemudian melangkah dan mengitari tubuhnya. Malintang seperti tengah menaksir-naksir kekuatan lawannya.
"Hyahhh...!" Mendadak saja Malintang mengeluarkah bentakan pendek. Dari samping, begitu menghentikan gerak langkahnya, Malintang langsung melompat sambil melontarkan tiga pukulan beruntun, yang mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh Panji.
Namun Panji sudah waspada sejak semula. Maka, ketika Malintang menyerangnya, Panji langsung melangkah mundur dua tindak. Tiga pukulan maut itu disambutnya sekaligus!
Plak! Plak! Dukkk!
Baik Panji maupun Malintang sama-sama terjajar mundur sebanyak empat langkah. Tenaga mereka ternyata berimbang. Akan tetapi, baik Panji maupun Malintang sama-sama maklum kalau masing-masing belum mengerahkan tenaga sepenuhnya. Dan sementara keduanya menyiapkan diri untuk melanjutkan pertarungan, lelaki tua yang bersama Malintang, yang bukan lain dari Empu Darna, segera saja menepi, menjauhi arena pertarungan.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, ketika pertarungan berlanjutpun, Malintang kembali berada di pihak penyerang. Berbeda dengan sebelumnya, karena sadar bahwa Panji ternyata bukan pemuda sembarangan, dan mampu mengimbangi kekuatannya, Malintang lebih meningkatkan serangan-serangannya, ia tidak mau main-main lagi, dan ingin mengakhiri pertarungan sesegera mungkin.
Dan, kali ini Panji baru benar-benar dibuat terkejut. Serangan-serangan yang dilancarkan Malintang, yang jauh lebih hebat dari sebelumnya, sempat juga membuat Panji kerepotan. Malintang ternyata memiliki ilmu yang beragam, yang membuat Panji merasa kesulitan untuk menebak ke mana arah serangan pemuda berpakaian serba hitam itu. Malintang memang sengaja selalu merubah gerakannya. Sehingga, dalam belasan jurus saja Malintang sudah dapat menguasai arena. Mendesak Panji dengan gerak ilmu silatnya yang campur aduk.
Bukkk!
Pukulan itu demikian telak menghantam iga kanan Panji. Itu terjadi setelah Malintang menyerang selama lebih dari dua puluh lima jurus. Malintang tertawa berkakakan. Tampaknya hasil serangannya itu telah membuat hatinya puas. Ia tidak segera melanjutkan. Seolah sengaja memberi kesempatan kepada lawan untuk mempersiapkan diri. Hendak menunjukkan kemenangannya, dan bahwa dirinya mempunyai tingkatan lebih tinggi.
Panji yang merasakan iga kanannya seperti dihantam sabongkah batu, menanggapi sikap takabur lawan dengan senyum. Tapi Panji mengakui bahwa pemuda berpakaian serba hitam yang menjadi lawannya itu memang benar-benar hebat. Ilmu-ilmu beragam yang dimiliki lawannya begitu ganas dan membingungkan, yang bahkan mampu menerobos benteng pertahanannya. Padahal jarang sekali ada tokoh yang mampu melakukannya. Tapi pemuda itu ternyata mampu. Malah telah membuat dirinya kecolongan.
"Itu cuma sekadar peringatan pertama. Baru untuk kelancangan matamu saja. Belum untuk kelancangan mulutmu dan sikapmu yang sok mau tahu itu," kata Malintang sambil berkacak pinggang, menatap Panji dengan sorot mata penuh ejekan.
"Sekali saja bagiku rasanya sudah lebih dari cukup, Sobat. Tidak akan ada kedua kali atau pun selanjutnya," sahut Panji seraya menggeleng dan tersenyum. Lalu melangkah maju beberapa tindak sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan seketika itu juga, lapisan kabut bersinar putih keperakan pun segera menyelimuti tubuhnya.
Malintang tercengang untuk sesaat lamanya. Namun, ia segera menyadari sikapnya. Cepat ditutupinya dengan tertawa keras, hingga tubuhnya berguncang.
"Memang tidak akan ada kedua kali atau pun selanjutnya,", lanjut Malintang. Masih dengan nada penuh kesombongan.
"Karena untuk yang berikutnya kau akan segera enyah ke akhirat!"
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuhnya langsung melesat ke depan. Terdengar suara mengaung tajam dari sebilah pedang yang entah kapan dicabutnya, tahu-tahu saja telah barada dalam genggaman tangan kanannya. Dengan pedang itulah Malintang mener-jang Panji.
Namun, Panji yang telah mempersiapkan dirinya, dapat menyambut serangan-serangan Malintang dengan sangat baik. Dengan kecepatan menakjubkan, Panji berkelebatan di antara sinar pedang lawan. Tak satu pun serangan Malintang yang mengenai tubuhnya. Bahkan ketika Malintang semakin meningkatkan serangannya, Panji malah berhasil menyarangkan sebuah pukulannya.
Desss...!
Bagai didorong tangan raksasa, Malintang merasakan tubuhnya terhempas ke belakang. Akan tetapi, sewaktu Panji mengejar, Malintang masih sempat juga membabatkan pedangnya dengan gerak datar untuk melindungi diri. Namun, hal itu tidak banyak berguna. Panji, yang sambil bergeser mundur selangkah, mengirimkan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan Malintang yang memegang pedang. Membuat Malintang terpekik. Dan pedangnya pun lepas dari genggaman. Terpental jauh tanpa dapat dicegahnya lagi. Sedangkan pada saat itu juga, Panji sudah melepaskan dua pukulan untuk menyusuli tendangannya.
Bukkk! Desss...!
Dan, tanpa ampun lagi, Malintang terpental deras. Melayang di udara sampai lebih dari tiga tombak, yang akhirnya terbanting ke tanah dengan kerasnya. Demikian kuat pukulan yang dilontarkan Panji, hingga membuat Malintang muntah darah!
Meskipun merasakan bagian dalam dadanya nyeri dan panas bagai terbakar, namun Malintang memaksa diri bangkit berdiri. Dan ketika melihat Panji tidak berbuat apa-apa tidak menghampirinya hanya berdiri sambil memandangnya, Malintang memutar tubuhnya. Terus melesat pergi tanpa mempedulikan Empu Darna, yang semula hendak dipaksanya untuk membacakan kitab-kitab hasil curiannya.
Panji tidak berusaha mengejar. Hanya memandangi sosok pemuda berpakaian serba hitam itu, yang semakin jauh dan samar. Dalam hatinya ia berharap agar pemuda itu bisa menyadari kesalahannya dan kemudian memperbaikinya.
"Kejar dia, Anak Muda! Jangan biarkan manusia keparat itu lolos!"
Teriakan itu berasal dari mulut Empu Darna. Membuat Panji menoleh dengan kening dikerutkan. Ditatapnya lelaki tua itu, yang tengah berlari menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk sosok Malintang, yang semakin jauh dan samar.
"Tidak mengapa, Kek," ujar Panji seraya tersenyum, "Mudah-mudahan setelah apa yang dialaminya hari ini akan membuatnya jera..."
"Tapi..., pemuda itu adalah manusia durjana yang tidak kenal budi! Dia... dia telah membunuh orang yang merawat dan mendidiknya sejak kecil! Dan..., malah telah mencuri pusaka-pusaka orang yang telah mengangkatnya sebagai anak sendiri!" Empu Darna seperti berusaha menjelaskan sesuatu kepada Panji. Namun, karena kegugupannya, keterangannya malah membingungkan Panji. Apa yang dikatakannya tidak begitu jelas dan terpatah-patah.
"Tenang dulu, Kek, tenang dulu," Panji mencoba untuk menenangkan Empu, Darna, yang saat itu masih saja menunjuk-nunjuk ke arah tempat lenyapnya sosok Malintang.
"Jelaskan semuanya dengan tenang. Sebab apa yang kau katakan itu malah membuat aku menjadi bingung..."
Empu Darnna menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya mencerminkan penyesalan yang dalam, ia tidak menyalahkan Panji. Justru menyesali diri sendiri, yang tak bisa berlaku tenang, ia memang bukan ahli silat. Malah tidak mengerti sama sekali tentang ilmu silat. Lain halnya kalau bicara soal keris dan sastra. Boleh dibilang Empu Darna adalah jagonya. Jarang yang bisa menandinginya dalam dua hal itu. Jadi, tidak heran kalau dia mampu menguasai perasaannya, yang saking tegang dan bernafsunya, hingga apa yang dikatakannya malah menjadi tak jelas.
"Dia... pemuda keparat itu...."
"Mulailah dari awal, Kek," potong Panji, yang sambil tersenyum, dipegangnya bahu Empu Darna.
Empu Darna segera menarik napas beberapa kali. Kemudian dihempaskannya panjang-panjang. Sesaat, ditatapnya wajah pemuda di depannya, yang didengarnya mengaku bernama Panji.
"Pemuda itu bernama Melintang..."
"Melintang...?!" Panji mengulang nama itu, yang tanpa sadar telah memotong kalimat Empu Darna.
"Apa kau pernah mendengar namanya?" tanya Empu Darna sambil menatap wajah Panji, yang dilihatnya tengah mengerutkan kening. Empu Darna maklum kalau Panji sedang berusaha untuk mengingat-ingat. Maka ia pun tidak berkata apa-apa lagi. Menunggu sampai Panji bisa mengingatnya.
"Hm… ya, ya, aku ingat sekarang!" ujar Panji sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Aku pernah mendengar seorang gadis bernama Suranti menyebut nyebut nama Malintang....!"
"Apakah yang kau maksud Suranti putri Ki Arja Wiguna?!" Kali ini Empu Darna yang memotong ucapan Panji. Heran juga hatinya ketika mendengar Panji menyebut nama Suranti. Empu Darna heran, kapan dan bagaimana Panji bisa mengenal Suranti. Gadis itu adalah muridnya. Dan sepanjang yang ia tahu, Suranti belum pernah bercerita tentang pemuda bernama Panji padahal Suranti sangat terbuka dengannya. Boleh dibilang, hampir tidak ada yang tidak diketahuinya tentang Suranti.
"Benar, Kek," jawab Panji cepat.
"Kalau aku tidak salah ingat, aku juga mendengar Suranti berkata tentang ayahnya yang bernama Ki Arja Wiguna. Sayangnya aku tidak sempat berkenalan dengan beliau. Ki Arja Wiguna tewas dibunuh orang. Mengenai siapa pembunuhnya, Suranti pun tidak mengetahuinya. Menurutnya, sewaktu pulang, ia menemukan tunangannya telah menjadi mayat. Sementara ayahnya sudah dimakamkan orang," lanjutnya, yang kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan Suranti.
"Tepat sekali!" tukas Empu Darna.
"Mau tahu siapa pembunuhnya?" tanyanya kemudian seperti berteka-teki.
"Pembunuhnya adalah Malintang!" lanjutnya setelah dilihatnya Panji mengangguk.
"Malintang...?!" Tentu saja Panji heran bukan main. Ditatapnya mata Empu Darna dalam-dalam, seolah ia hendak mencari kebenaran di mata kakek itu. Tapi ia tahu kalau Empu Darna tidak berbohong. Hanya saja ia masih tidak mengerti, bagaimana seorang anak bisa sampai tega membunuh ayahnya sendiri? Sungguh sulit baginya untuk menerima hal semacam itu.
"Malintang bukanlah anak kandung Ki Arja Wiguna. Aku tahu betul hal itu," jelas Empu Darna, seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Panji.
"Mungkin itu pula sebabnya mengapa dia sampai tega membunuh Ki Arja Wiguna, selain hendak menguasai pusaka-pusaka leluhur sahabatku itu. Malintang sendiri yang mengatakannya kepadaku. Aku sendiri dipaksa untuk menuruti segala kemauannya. Dia mengancam akan menyiksaku dengan siksaan yang katanya akan sangat menyakitkan sekali.
Aku akan dibuatnya mati tidak hidup pun tidak. Ketika aku tetap berkeras menolak, ancamannya segera dibuktikan, yang hanya dengan sentuhan jari-jari tangannya saja, sudah membuat seluruh tubuhku nyeri bukan main. Akhirnya aku menyerah. Berjanji akan membantunya untuk menterjemahkan isi kitab yang dicurinya dari Ki Arja Wiguna..."
"Keji sekali...!" desis Panji, yang merasa geram setelah mendengar penuturan Empu Darna.
"Tapi, mungkin ia masih mempunyai alasan lain, hingga sampai tega melakukan semua kekejian itu, Kek..."
"Entahlah," Empu Darna menggeleng.
"Yang pasti, sekarang aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Panji. Aku sangat khawatir dengan keselamatan Suranti. Dia harus segera diberitahu tentang kejadian yang sebenarnya..."
"Tentu, Kek, tentu," jawab Panji seraya mengangguk-anggukkan kepala.
"Akan kuusahakan mencegahnya. Mungkin saat ini ia sudah pergi untuk mencari Malintang. Sebab, beberapa hari yang lalu, sebelum kami berpisah, Suranti mengatakan hendak mencari Malintang." Lalu Panji menceritakan tentang tantangan tiga orang tokoh sesat, mu-suh Ki Arja Wiguna yang datang untuk menagih janji.
"Kalau tentang mereka aku sama sekali tidak tahu," Empu Darna menggeleng.
"Tapi, jika benar Suranti hendak mencari Malintang, ia pasti menuju ke utara. Kau bisa mendahuluinya, Panji. Temuilah seorang tokoh berjuluk Camar Laut. Dia tinggal di sebuah bangunan tua di selatan pantai barat," pinta Empu Darna kemudian. Menatap Panji dengan pandangan penuh permohonan.
"Baiklah, Kek," jawab Panji.
"Akan kulakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan saja Suranti mau percaya dengan keteranganku. Sebab, seperti yang kau bilang, Suranti hanya tahu bahwa Malintang adalah kakak kandungnya. Rahasia itu cuma Malintang dan Ki Arja Wiguna yang tahu..."
Empu Darna mengangguk maklum. Ia sadar bahwa tugas yang diberikannya kepada Panji memang bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi jika mengingat bahwa Panji adalah seorang pendatang. Jadi, bukan mustahil kalau Suranti tidak akan bisa menerima penjelasan Panji dengan begitu saja.
"Tapi, percayalah, Kek. Aku akan berusaha agar Suranti mau mendengar serta percaya dengan semua keteranganku," kata Panji lagi, yang merasa tidak tega sewaktu dilihatnya wajah murung Empu Darna.
Empu Darna menarik napas lega. Mengucapkan terima kasih sampai berkali-kali, sebelum akhirnya mereka berpisah. Empu Darna menuju ke selatan, sebaliknya Panji menuju ke utara.
* * * * *
:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::
"Camar Laut memang sangat jarang sekali keluar. Bahkan belakangan ini, sudah lama sekali tidak ada yang pernah melihatnya." Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di telinga Panji. Jawaban seorang nelayan separo baya, yang memberitahukan tempat kediaman Camar Laut, sewaktu ia bertanya.
Panji mengangguk-angguk sesaat. Kemudian, diayunkan langkahnya memasuki halaman bangunan. Kembali tidak ada yang menyambutnya selain keheningan. Tapi, sebelum ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja telinganya menangkap suara langkah dari arah belakangnya. Cepat Panji memutar tubuhnya untuk melihat orang yang datang ia berharap yang datang adalah salah seorang dari penghuni bangunan tua itu.
"Hei, mengapa kau bisa berada di tempat ini?! Apa yang kau lakukan di tempat ini. Panji?!" tegur orang yang baru datang, setelah tersadar dari keterkejutannya. Dan sambil berkata demikian, kakinya dilangkahnya menghampiri Panji.
"Menunggumu," jawab Panji singkat. Panji tidak merasa kaget. Sebab, kedatangannya ke tempat itu memang dengan tujuan untuk menunggu kedatangan orang itu, yang bukan lain dari Suranti.
"Menungguku?!" Suranti membelalakkan matanya yang bagus.
"Untuk apa?" tanyanya, yang tak dapat lagi menahan keheranan hatinya.
"Untuk menyampaikan berita yang sangat penting," jawab Panji.
"Banyak sekali yang akan kuceritakan kepadamu..."
"Berita tentang apa?"
"Tentang semua yang berhubungan dengan kematian ayah dan tunanganmu. Juga tentang Malintang, kakakmu," jawab Panji sambil menatap wajah Suranti lekat-lekat. Dan seperti apa yang diduganya, wajah Suranti nampak memucat. Bibirnya bergetar, tanda bahwa Suranti tengah terguncang. Apa yang dikatakan Panji memang sangat mengejutkan sekali baginya.
"Apa maksudmu, Panji?" tanya Suranti akhirnya, setelah ia mulai dapat menguasai perasaannya. Dan Panji mendengar adanya kecurigaan dalam nada suara Suranti. Begitu juga pada sorot matanya. Tapi Panji tidak merasa heran. Wajar saja baginya jika Suranti malah mencurigainya. Itu memang sudah diperhitungkannya. Karena Suranti memang belum begitu mengenalnya. Belum tahu jelas asal usulnya.
"Tentu saja untuk menolongmu, Suranti," jawab Panji ringan dan sambil tersenyum.
"Mengapa kau hendak menolongku? Bukankah sewaktu di Gunung Bakau sudah kujelaskan semuanya kepadamu? Aku tidak ingin melibatkanmu ke dalam persoalan keluargaku. Aku masih mempunyai seorang kakak yang bisa membantuku untuk menyelesaikannya. Apa kata-kataku waktu itu masih kurang jelas bagimu?" Jawaban Panji malah membuat Suranti memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang nadanya sangat tidak enak sekali bagi telinga Panji.
Tapi Panji tidak merasa tersinggung. Panji maklum kalau Suranti ingin menyelesaikan bencana yang menimpa ayah dan tunangannya tanpa bantuan orang luar. Itu karena Suranti belum tahu tentang kakaknya.
"Malintang memang bisa menyelesaikan semua bencana yang menimpa ayah dan tunanganmu, Suranti. Karena dialah dalang dari semua kekejian itu!"
"Panji!" Suranti memekik dengan wajah merah padam. Tampak jelas dalam sorot matanya, betapa kata-kata Panji itu telah membuat kemarahannya terbangkit. Dan hanya karena mengingat bahwa Panji pernah menyelamatkan nyawanya sajalah, maka Suranti masih menahan diri.
"Pergilah, Panji," kata Suranti kemudian, dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
"Dan jangan campuri lagi urusan keluargaku..."
"Sudah kuduga kalau kau tidak akan mempercayai kata-kataku," ujar Panji dengan perlahan. Lalu mengayun langkah seperti hendak menuruti permintaan Suranti. Dan ketika lewat di samping gadis itu, Panji berkata lirih, "Entah kalau Empu Darna yang mengatakannya...."
Suranti tersentak kaget. Suara Panji memang tidak keras. Tapi, apa yang dikatakan Panji, bagi Suranti tak ubahnya dengan ledakan halilintar. Sangat mengejutkan sekali.
"Beberapa hari lalu, secara kebetulan aku berpapasan dengan dua orang laki-laki. Kemudian aku tahu bahwa mereka adalah Malintang dan Empu Darna, orang tua yang mengajarkanmu ilmu sastra," lanjut Panji, mempergunakan kesempatan selagi Suranti terdiam. Setelah itu Panji diam. Menunggu tanggapan Suranti.
"Kalau masih ada yang ingin kau katakan, jelaskanlah semuanya, Panji. Jangan bikin kepalaku pusing!" Suranti menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian lemah suaranya, seperti yang dirasakannya pada sekujur tubuhnya saat itu. Kata-kata Panji membuat jiwanya kembali terguncang. Membuat kedua kakinya gemetar, seolah tak lagi sanggup menahan berat tubuhnya. Dan Suranti pun melorot, jatuh terduduk di tanah.
Panji mendekat, duduk di samping Suranti. Lalu, seperti apa yang dipaparkan Empu Darna, Panji pun menceritakan semuanya kepada Suranti, termasuk alasan perbuatan Malintang menurut dugaan Empu Darna.
"Tidak mungkin! Tidak mungkiiin...!" pekik Suranti dengan kepala digeleng-gelengkan. Menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Terdengar suara isak-tangis yang ditahan-tahan. Ya, Suranti menangis. Menangis dengan sedihnya. Menangisi nasibnya yang malang. Apa yang dipaparkan Panji benar-benar membuat hatinya terpukul.
Dan kalau saja semua cerita itu Panji dapat bukan dari Empu Darna, ia pasti tidak akan percaya. Tapi semua itu atas suruhan gurunya. Orang tua yang disayanginya, yang sangat bisa dipercaya. Empu Darna bukanlah seorang pendusta. Suranti tahu betul tentang bagaimana watak gurunya itu.
"Di dunia ini. segala sesuatu bisa saja terjadi," ujar Panji lirih, seperti berkata kepada dirinya sendiri.
"Menangislah, Suranti. Menangislah sepuas hatimu, karena tangis bisa mengurangi beban yang menghimpit dadamu..."
Puas menumpahkan segala kesedihan hatinya, Suranti menyusut air matanya. Ditariknya napas berulang-ulang, sebelum akhirnya menoleh dan menatap Panji.
"Aku hendak menemui Camar Laut," katanya singkat. Kemudian melompat bangkit. Dan tanpa menunggu lagi, Suranti segera melesat masuk ke dalam bangunan tua itu.
Tanpa berkata apa-apa, Panji segera mengikuti langkah gadis itu. Berdua mereka memeriksa seluruh bagian dalam bangunan, sewaktu mendapati ruangan tengah yang kosong dan kotor, seperti tidak berpenghuni. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Camar Laut, kecuali tulang-tulang manusia yang berserakan di bagian belakang bangunan.
Tidak tahan dengan bau busuk yang memenuhi ruangan itu, buru-buru Suranti keluar. Sedangkan Panji masih bertahan untuk tetap berada di ruangan itu. Di atas kepala salah satu kerangka di dinding ruangan Panji menemukan guratan-guratan yang cukup dalam. Guratan itu merupakan sebaris kalimat, yang menjelaskan kepada Panji tentang kerangka-kerangka yang berserakan di ruangan itu. Kalimat itu berbunyi:
"Malintang, manusia laknat! Kelak kau akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatanmu!"
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Setelah itu baru ia meninggalkan ruangan. Dihampirinya Suranti yang ternyata masih menunggunya.
"Salah satu dari kerangka di dalam ruangan itu adalah Camar Laut," ujar Panji, yang lalu menjelaskan tentang tulisan yang didapatinya di salah satu dinding ruangan.
"Kalau dilihat dari keadaan kerangka-kerangka itu, kurasa kejadiannya sudah lebih dari setahun..."
"Tapi, mengapa Kakang Malintang melakukannya?" Suranti menggelengkan kepalanya, ia masih belum bisa mengerti, mengapa Malintang melakukah semua kekejian itu.
"Aku juga tidak tahu," sahut Panji.
"Mungkin juga seperti apa yang terjadi dengan ayahmu..."
"Mengambil pusaka-pusaka maksudmu?" ujar Suranti menegasi.
Panji mengangguk pelan.
"Dan dari dua kejadian ini, kurasa mungkin Malintang hendak menguasai dunia persilatan. Hendak menjadikan dirinya jago tak terkalahkan. Dan untuk keinginannya itu, jalan satu-satunya yang paling singkat, adalah dengan mencuri pusaka-pusaka tokoh-tokoh terkenal, yang kemudian akan dipelajarinya," ujar Panji mengutarakan dugaannya. Dan nampaknya dugaan itu bisa diterima Suranti.
"Kalau begitu, kita harus mencarinya, sebelum ia berhasil menguasai semua ilmu dari pusaka-pusaka curiannya!" kata Suranti dengan penuh semangat.
Panji menganguk. Dan sebentar kemudian, keduanya pun sudah bergerak meninggalkan tempat kediaman Camar Laut. Mereka memang belum mendapatkan petunjuk tentang di mana adanya Malintang. Tapi hal itu tidak mengurangi semangat mereka. Terutama Suranti. Meskipun semua bukti-bukti jelas-jelas mengarah kepada Malintang, namun Suranti ingin mendengar sendiri dari mulut kakaknya itu, yang setelah sekian tahun, baru hari itu ia tahu bahwa Malintang bukanlah kakak kandungnya.
"Mengapa kau menaruh perhatian besar pada Raja Sesat, Panji? Bukankah seharusnya kau lebih mengutamakan pencarian Malintang? Menurutku, untuk saat-saat sekarang ini, sebaiknya kita kesampingkan saja dulu perbuatan Raja Sesat. Persoalan yang satu saja belum kita temukan titik terangnya, sekarang kau sudah mau menambahnya dengan persoalan lain. Atau... mungkin kau sudah tidak ingin membantuku lagi?"
Suranti mengungkapkan rasa penasaran di hatinya, ketika mereka baru saja selesai membersihkan tubuh di sebuah aliran sungai. Dari nadanya, Panji tahu kalau Suranti tidak senang dengan apa yang pernah diutarakannya itu. Panji memang merasa tertarik dengan apa yang dilakukan Raja Sesat. Bukan cuma sekali didengarnya, tapi sudah beberapa kali. Itu sebabnya ia merasa tertarik dan mengutarakannya kepada Suranti tentang keinginannya untuk menyelidiki Raja Sesat.
Selama menempuh perjalanan yang lebih kurang sebelas hari, setelah mereka meninggalkan tempat kediaman Camar Laut di beberapa desa yang mereka singgahi, Panji merasa tertarik dengan berita-berita tentang Raja Sesat. Meskipun orang-orang di beberapa kedai yang mereka singgahi berbicara dengan suara hampir berbisik, namun Panji merasa terusik untuk ikut mendengarkannya.
Tentu saja tanpa sepengetahuan mereka yang sedang bercerita. Panji tahu kalau cerita itu sudah diberi bumbu ditambah-tambah agar kedengaran lebih seru. Tapi yang jelas, cerita mereka tentang Raja Sesat, yang melakukan penculikan terhadap beberapa orang pujangga, telah menyita perhatiannya. Sehingga, ia terus mendengarkan dengan penuh perhatian.
Apa yang dilakukan Panji memang bukan tanpa alasan. Sebab hal itu mengingatkannya pada Empu Darna dan Malintang. Malintang pernah menculik Empu Darna, yang kemudian digagalkannya, Malintang menculik Empu Darna dengan tujuan untuk menterjemahkan tulisan kuno di dalam kitab-kitab yang dicurinya. Dan ingatan tentang perbuatan Malintang inilah yang membuat Panji menaruh perhatian kepada Raja Sesat.
Tapi ia belum menjelaskan alasannya itu kepada Suranti. Itu karena Panji tidak mau terburu-buru. Ia tidak ingin Suranti kecewa, karena belum tentu perbuatan Raja Sesat ada hubungannya dengan Malintang. Tapi, ketika mendengar nada bicara Suranti, akhirnya Panji memutuskan untuk mengungkapkan alasan keinginannya itu.
Suranti mengangguk-angguk sewaktu mendengar alasan Panji. Hatinya merasa lega, karena ia khawatir kalau-kalau Panji sudah merasa bosan membantunya, setelah selama beberapa hari mereka belum juga mendapatkan berita tentang Malintang. Dan ketika sudah merasa tidak tahan untuk terus menyimpan pikiran yang mengganjal hatinya itu, Suranti pun mengungkapkannya. Dan, alangkah senang hatinya ketika mendengar jawaban Panji. Tapi ia juga merasa malu karena sudah menduga yang bukan-bukan.
"Maafkan kebodohanku, karena sudah berpikiran yang bukan-bukan tentang dirimu, Panji," kata Suranti, usai mendengar penjelasan Panji.
"Lupakanlah, Suranti," ujar Panji tersenyum, yang kemudian melemparkan pandangannya ke kaki langit sebelah barat.
"Sebentar lagi hari gelap. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan di sebelah depan sana kita akan menjumpai sebuah perkampungan. Bosan juga rasanya selalu menginap di hutan," canda Panji seraya tertawa pelan.
"Takut lama-lama jadi orang hutan?" sambut Suranti yang kemudian disusul dengan kekehnya.
Panji yang sudah bangkit berdiri cuma tersenyum menanggapi gurauan itu, seraya mengulurkan tangan yang langsung disambut Suranti. Sebentar kemudian, mereka sudah berlarian, berlomba dengan waktu yang mulai terselimut keremangan.
Harapan Panji ternyata terkabul. Saat keremangan semakin memekat, dari kejauhan terlihat cahaya-cahaya pelita, yang menerangi bagian depan rumah-rumah penduduk. Segera saja Panji dan Suranti bergegas. Dan saat malam mulai jatuh, mereka berdua sudah memasuki desa. Desa itu ternyata cukup luas dan penduduknya pun terbilang padat, sehingga Panji dengan mudah dapat menemukan penginapan. Panji segera menyewa dua buah kamar ketika melihat penginapan itu cukup bersih.
"Malam ini aku bermaksud menyelidiki tempat kediaman Raja Sesat," ungkap Panji kepada Suranti, saat mereka baru saja selesai makan.
"Kau tidak perlu ikut. Tapi bukan berarti aku meremehkan kepandaianmu, aku cuma hendak melihat-lihat keadaan. Setelah itu aku akan kembali..."
"Mengapa tidak bersama-sama saja?" Suranti masih menunjukkan keberatan hatinya.
"Nanti, setelah aku mendapatkan kepastian bahwa Raja Sesat memang mempunyai hubungan dengan Malintang," jawab Panji dengan nada yang tidak ingin dibantah.
Tahu kalau Panji tidak akan merubah keputusannya lagi, Suranti akhirnya mengangguk. Diikuti Panji, Suranti beranjak bangkit dari duduknya. Lalu melangkah menuju kamarnya. Panji mengikuti sampai di pintu. Kemudian kembali ke tempat duduknya sambil mengawasi pintu kamar Suranti. Panji memang belum yakin Suranti akan menuruti kata-katanya. Cukup banyak ia mengenal gadis-gadis seperti Suranti. Di depannya saja kelihatannya menurut, tapi dalam hatinya memberontak, yang kemudian akan menyusulnya begitu ia pergi.
Tapi Suranti ternyata berbeda dengan gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Cukup lama Panji duduk mengawasi, namun pintu kamar Suranti tetap tertutup rapat. Tampaknya gadis itu memang benar-benar mempercayai kata-katanya. Padahal tidak seluruh kata-katanya benar. Panji bermaksud untuk menyelidiki dan bukan sekadar melihat-lihat saja. Dan sebenarnya, memang ia merasa khawatir jika Suranti ikut bersamanya. Salah-salah gadis itu hanya akan menghambat gerakannya saja.
Panji masih menunggu beberapa saat lagi, untuk meyakinkan bahwa Suranti benar-benar tidak bermaksud menyusulnya. Setelah merasa pasti, barulah Panji meninggalkan penginapan itu. Bergerak menerobos kegelapan malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Dari beberapa penduduk yang ditanyainya di dalam perjalanan, Panji mengetahui letak tempat kediaman Raja Sesat. Sehingga, kendati pun bergerak dalam keremangan malam, Panji dapat memperkirakan arahnya dengan benar.
Tengah Panji bergerak hati-hati di antara bayangan pepohonan, tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara orang yang sedang bertarung. Panji merasa tertarik. Cepat ia bergerak ke arah suara pertarungan berasal. Tidak berapa lama kemudian, di sebuah tempat yang agak terbuka, dilihat-nya sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan hatinya.
Sebuah ketidakadilan sedang berlangsung. Empat orang lelaki tengah mengeroyok seorang perempuan. Panji dapat memperkirakan bahwa perempuan yang tengah dikeroyok empat laki-laki itu masih muda. Panji menilainya berdasarkan bentuk tubuh serta suara teriakannya.
Suara perempuan itu melengking bening. Gerakan-gerakannya cukup gesit. Sambaran-sambaran pedang di tangannya pun menunjukkan tenaga yang cukup kuat Namun, meskipun begitu, Panji segera dapat menilai bahwa perempuan itu tidak akan bisa memenangkan pertarungan. Keempat lelaki pengeroyoknya terlalu tangguh baginya. Panji dapat menilai suasana pertarungan setelah menyaksikannya selama lebih-kurang lima jurus.
"Aiii...!" Mendadak saja perempuan itu menahan jeritnya. Jatuh terpelanting ke tanah.
Panji tentu saja menjadi kaget. Tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Perempuan itu jatuh bukan karena serangan lawan. Panji tahu pasti itu. Perempuan itu jatuh seperti telah menginjak atau pun terantuk sesuatu. Itu yang diperkirakan Panji. Akan tetapi, Panji tidak mau lagi membuang-buang waktu.
Tidak mau berlama-lama memikirkan apa yang menyebabkan terjatuhnya perempuan itu. Ia sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Perempuan itu harus segera ditolongnya. Terlambat sedikit saja, bukan mustahil kalau perempuan itu akan tewas dengan tubuh tercacah empat senjata pengeroyoknya.
"Hiaaattt...!"
Dengan disertai sebuah lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, Panji melayang ke tengah arena. Dua tangannya diayunkan bergantian, membuat keempat lelaki yang sedang tertegun oleh lengkingannya menjadi semakin terkejut. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu saja senjata mereka telah kena dirampas Panji, yang langsung melemparkannya ke semak-semak. Dan sebelum keempat laki-laki sadar bahwa senjata mereka telah dirampas orang, Panji sudah melepaskan tendangan berputar. Empat laki-laki itu menjerit. Tubuh mereka berpelantigan mencium tanah.
Sementara itu, Panji yang sudah mendaratkan kakinya di samping perempuan yang dikeroyok, segera mengulur tangannya. Menarik bangkit dengan satu sentakan perlahan. Panji merasakan tubuh perempuan itu lemah. Seperti orang yang kehabisan tenaga. Pakaian gadis itu terkoyak di beberapa tempat.
Meskipun tidak ada luka yang berarti, namun Panji maklum kalau perempuan itu telah cukup lama bertarung. Diam-diam timbul kekaguman di dalam hatinya. Seorang perempuan yang bukan saja cantik, tapi juga memiliki semangat dan daya tahan yang mengagumkan, pikir Panji yang dalam hatinya memuji perempuan itu.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
"Dasar pemuda tolol! Rupanya kau sengaja malam-malam berkeluyuran mencari penyakit!" Lelaki di sebelah depan Panji berteriak memaki. Dan tanpa menunggu sahutan, langsung saja ia melompat sambil melepaskan sebuah pukulan lurus ke wajah Panji.
Serangan lelaki pertama belum lagi tiba dekat, dan tiga kawannya sudah berlompatan susul-menyusul, menyerbu Panji dengan serangan-serangan yang tidak bisa dianggap remeh. Mereka ternyata rata-rata memiliki kepandaian di atas lumayan.
Akan tetapi, hanya dengan geseran-geseran langkah dan liukan tubuhnya, dengan tanpa kesulitan, semua serangan itu dapat dielakkannya. Malah, saat itu juga Panji langsung mengirimkan serangan balasan dengan tamparan-tamparan yang menerbitkan sambaran angin menderu, yang juga menebarkan hawa dingin menusuk! Ya, Panji memang sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya.
Dan, hasilnya pun segera terbukti. Empat pengeroyok itu, yang sepertinya tidak pernah menyangka sebelumnya, terperangah dengan wajah memucat. Mereka terkesima. Tak sempat lagi untuk berpikir. Dan tahu-tahu, mereka merasakan tubuh mereka bagai dihantam bongkahan es. Seketika itu juga, tubuh mereka melayang-layang di udara, untuk kemudian terhempas ke tanah. Begitu keras mereka terbanting, hingga masing-masing menggeliat, merasakan tulang-tulang tubuh seperti patah. Erangan dan rintihan pun tak dapat lagi mereka tahan.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran!" ancam Panji seraya memandangi keempat wajah lelaki itu satu persatu.
Bukannya buru-buru minggat, keempat lelaki itu malah saling bertukar pandang. Sepertinya belum percaya dengan pendengaran sendiri. Dan baru ketika Panji mengulangi ucapannya, mereka langsung mengambil langkah seribu. Lari terbirit-birit bagai dikejar setan.
"Terima kasih atas kesediaan Tuan menolongku," sambil berucap demikian, perempuan ini segera menjatuhkan diri di bawah kaki Panji.
Tentu saja Panji terkejut. Cepat diraihnya tubuh perempuan itu dan diangkatnya bangkit.
"Jangan terlalu dilebih-lebihkan, Nona," ujar Panji seraya menggeleng pelan.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong..."
"Terima kasih," ucap perempuan itu lagi.
"Aku, Maliani, tidak akan melupakan kebaikan Tuan..."
Panji tersenyum sambil menggeleng.
"Ingat, Maliani, bukan aku yang menyuruhmu untuk tidak melupakan," ujarnya yang kemudian tertawa pelan. Dan Maliani tak dapat lagi menahan tawanya demi mendengar kelakar penolongnya.
"Akan kuingat itu," timpal Maliani kemudian. Dengan masih tetap tersenyum, Panji mengangkat pundaknya.
"Tapi sebaiknya yang perlu kau ingat, adalah jangan terlalu sering bermalam di dalam hutan. Apalagi kau seorang perempuan. Cantik lagi. Itu bisa memancing orang untuk berbuat jahat," kata Panji, setelah memperkenalkan namanya.
"Aku tidak sedang bermalam, dan mereka pun bukan penjahat-penjahat biasa," Maliani menyanggah dugaan Panji.
Membuat Panji mengerutkan kening. Melihat sikap Panji seperti itu, Maliani segera menambahkan, "Mereka adalah begundal-begundalnya Raja Sesat. Sedangkan Raja Sesat sendiri, adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling kejam dan paling ditakuti di daerah ini..."
"Lalu, bagaimana kau sampai bisa bentrok dengan mereka?" tanya Panji, yang tentu saja menjadi heran ketika mendengar penjelasan Maliani. Kalau Maliani sudah mengenal Raja Sesat, mengapa nekad mencari penyakit?
"Beberapa waktu lalu, lewat kaki-tangannya, Raja Sesat telah membunuh keluargaku," jawab Maliani, membuat Panji mengangguk-angguk. Baru ia mengerti mengapa Maliani sampai begitu nekad bentrok dengan kaki-tangan Raja Sesat yang terkenal itu.
"Lalu, kau hendak menuntut balas? Kau satroni tempat kediaman Raja Sesat, yang lalu tertangkap basah dan dikejar kaki-tangannya, begitu?" tebak Panji, berdasarkan rekaan dan pengalaman-pengalamannya.
Dan Maliani ternyata mengangguk. Membenarkan rekaan Panji.
"Aku sudah putus asa, Panji," ujar Maliani lemah, dan dengan kepala tertunduk.
"Kematian Ayah, ibu dan adikku, membuat hidupku terasa hampa. Dan, satu-satunya yang membuat aku bisa bertahan hidup sampai saat ini, hanyalah keinginan untuk membunuh Raja Sesat. Itu sebabnya mengapa aku nekad menyatroni tempat kediaman Raja Sesat..."
"Tapi apa yang kau lakukan itu sama saja dengan bunuh diri. Bukan mustahil kalau kau akan tewas sebelum sempat berhadapan dengan Raja Sesat," ujar Panji menyayangkan tindakan Maliani yang tanpa perhitungan itu.
"Jadi menurutmu aku harus diam saja, begitu?" sentak Maliani seraya mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat. Jelas sekali betapa sepasang matanya memancarkan rasa penasaran yang dalam.
"Haruskah aku membiarkan arwah keluargaku bergentayangan dengan membawa rasa penasaran? Tidak, Panji. Aku tidak ingin me-reka mengutukku. Dan aku lebih baik mati daripada hidup menjadi anak yang tak berbakti!"
"Kau keliru, Maliani. Bukan itu yang kumaksud," geleng Panji sambil tersenyum masam.
"Lalu?" tuntut Maliani sambil masih tetap menentang tatapan Panji.
"Pikirkan dulu untung-ruginya, baik-buruknya. Jangan terburu nafsu mengambil keputusan. Sebab, dengan menurutkan hati yang terbakar dendam, hanya akan mencelakakan diri kita sendiri," lanjut Panji memberikan pandangannya, yang juga merupakan nasihat.
Tapi, Maliani malah menanggapinya dengan dengusan sinis.
"Kalau kau sendiri yang mengalaminya, pasti kau tidak akan berkata seperti itu. Tindakanmu pasti tidak akan berbeda jauh denganku. Malah mungkin kau akan langsung melabrak Raja Sesat secara terang-terangan. Tidak harus pikir-pikir dulu, dan tidak lagi menimbang-nimbang..." Sangat tidak enak sekali nada ucapan Maliani. Tampaknya ia tidak bisa menerima pandangan Panji. Malah ia seperti tersinggung.
"Ya, ya, mungkin aku memang akan berbuat seperti itu." Merasa tidak ada gunanya berdebat, akhirnya Panji mengalah. Terdengar helaan napasnya yang panjang.
"Tapi sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah terjadi. Dan yang jelas, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga. Tentu saja jika kau tidak merasa keberatan..."
Dan, wajah kelam Maliani mendadak saja menjadi cerah. Senyumnya pun mengembang perlahan. Begitu gembira hati Maliani ketika mendengar apa yang diucapkan Panji. Hampir ia tidak mempercayai pendengarannya. Sehingga, saking girangnya, Maliani sampai lupa diri. Tubuh Panji langsung dipeluknya erat-erat. Karuan saja Panji menjadi gelagapan. Bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki biasa, yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki lainnya. Pelukan Maliani membuat Panji merasakan darahnya seketika berdesir.
Namun, Panji bukanlah jenis laki-iaki yang suka memanfaatkan keadaan. Dengan kekuatan batinnya, ditekannya letupan gairah yang dirasakan menyentak dadanya. Dan dengan perlahan, didorongnya tubuh Maliani, agar gadis itu tidak merasa tersinggung.
"Mari kita lihat bagaimana keadaan tempat tinggal Raja Sesat," ujar Panji kemudian. Berusaha untuk mengalihkan perhatian Maliani agar tak begitu memperhatikan perbuatannya.
Maliani mengangguk. Kemudian, dengan menerobos keremangan malam, mereka pun bergerak menuju tempat kediaman Raja Sesat.
* * * * *
Di dalam kamar penginapan, Suranti mendengar adanya suara langkah kaki yang mendekati jendela. Sejak memasuki kamar, Suranti memang belum bisa memejamkan matanya sekejap pun. Kepergian Panji membuat pikirannya tak bisa tenang. Sulit baginya untuk menepiskan kekhawatirannya. Karena, dari apa yang didengarnya selama dalam perjalanan, Raja Sesat adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang paling terkenal, yang selain sangat kejam, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Itu yang membuatnya tak bisa tenang tinggal di dalam kamarnya.
Ketika mendengar suara langkah yang mendekati jendela, Suranti menjadi waspada. Perlahan, diulurkan tangannya menjangkau pedang yang berada di atas meja kecil di samping kanan tempat tidur. Dengan hati-hati dan tanpa mengeluarkan bunyi, dihunusnya pedang itu. Suasana di dalam kamar yang gelap sangat membantunya. Lampu ka-mar itu memang sudah dimatikannya sejak ia masuk.
"Suranti...!" Tiba-tiba saja, dari luar jendela terdengar suara orang memanggil dengan bisikan yang ditekan serendah mungkin. Dan, Suranti mendadak tegang. Dadanya berdebar keras, membuat deru napasnya sulit untuk dikuasai. Mengalir deras sampai nyaris berupa dengusan.
"Sss... siap... pa...?" Suranti bertanya dengan suara terpatah-patah. Gugup dan seperti orang tercekik lehernya. Ya, Suranti memang merasa gugup dan tegang bukan main. Karena ia seperti mengenal suara itu. Suara yang rasanya tak asing bagi telinganya.
"Aku kakakmu, Malintang...," terdengar suara orang di luar jendela menyahuti.
Deg! Jawaban itu membuat jantung Suranti seperti berhenti berdetak. Meskipun memang sudah menduga sebelumnya, tak urung Suranti terkejut juga. Ia tidak menyahut. Ketegangan dan keterkejutan membuat ia kehilangan kata-kata. Suasana menjadi hening beberapa saat.
"Suranti," suara di luar jendela kembali berlanjut, memecah keheningan yang mengantarai mereka.
"Aku tahu, mungkin kau sudah mendengar berita tentang aku. Tapi, kalau kau masih percaya padaku, masih mengakui aku sebagai kakakmu, ketahuilah, bahwa semua yang kau dengar sama sekali tidak benar. Semua adalah ulah Raja Sesat. Manusia jahat itulah yang telah menyebar fitnah!"
Suara Malintang berhenti. Suranti tetap membisu, ia masih sulit untuk mengatasi perasaan hatinya yang terguncang. Bagaimanapun, Malintang adalah kakaknya. Orang yang menjadi bagian dari kenangan masa lalunya yang manis. Orang yang selalu menjaga dan menyayanginya sejak ia kecil! Dan, meskipun ia tidak pernah membantah segala tuduhan yang dijatuhkan kepada Malintang, namun jauh di dasar hatinya ia masih belum percaya sepenuhnya. Belum bisa percaya kalau Malintang sampai tega membunuh ayah dan tunangannya.
"Suranti...." Karena Suranti belum juga bersuara, belum juga menanggapi ucapannya, Malintang kembali memanggil dengan suara lirih.
"Apakah kau lupa siapa Raja Sesat itu sebenarnya? Ia adalah musuh bebuyutan ayah kita, Suranti! Tapi, karena ia tidak berani berhadapan langsung dengan Ayah, maka digunakannya cara lain. Aku difitnahnya, yang maksudnya tak lain adalah untuk memecah belah keluarga kita. Malah, guruku sendiri, Camar Laut dan pelayan-pelayannya, dibantai habis oleh Raja Sesat.
Lalu disebarkannya fitnah, bahwa akulah pelaku dari semua kekejian itu. Dan akibatnya, aku bukan saja dimusuhi tokoh-tokoh golongan putih. Malah pihak kerajaan pun memburuku. Sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Aku tidak bisa lagi bebas berkeliaran. Setiap langkahku selalu diintai maut. Aku terpaksa main kucing-kucingan dengan mereka. Kecuali malam hari, aku tidak berani keluar. Itupun aku harus tetap waspada. Sebab, setiap saat nyawaku bisa saja melayang..."
Malintang menghentikan ceritanya. Menarik napas berat berulang-ulang. Suranti mendengarnya dengan jelas, tapi ia tetap membungkam. Pikirannya masih buntu. Batinnya bergejolak. Peperangan antara percaya dan tidak, berkecamuk hebat. Yang bisa dilakukannya cuma diam, diam dan diam. Sedikit banyak penuturan Malintang memang telan membuat hatinya tersentuh.
Apa yang dikatakan Malintang tentang Raja Sesat, memang pernah ia dengar dari ayahnya. Sehingga ia mulai meragukan cerita yang didapat Panji dan Empu Darna. Apa yang dikatakan Malintang memang bukan mustahil terjadi Raja Sesat memfitnah kakaknya untuk memecah-belah keluarganya.
"Aku sadar sepenuhnya, dan tidak bisa terlalu berharap kau akan mempercayai semua kata-kataku, Suranti," suara Malintang terdengar lagi. Begitu sedih kedengarannya. Seperti orang yang putus harapan. Penuh dengan getaran perasaan hatinya yang menderita. Membuat Suranti mendesah pelan.
Perasaannya sebagai wanita, sebagai adik, merasa tersentuh. Suranti dapat merasakan dan membayangkan, betapa menderitanya hidup kakaknya selama ini. Suranti jadi tertarik, ingin melihat seperti apa kakaknya sekarang, yang setelah hampir tiga tahun tak pernah dilihatnya itu.
Perlahan, Suranti bergerak turun dari atas pem-baringan. Dan, meskipun ada sedikit keraguan dalam harinya, namun kakinya tetap dilangkahkan mendekati jendela. Laiu, dengan dada berdebar, dengan kedua tangan gemetar, diraihnya daun jendela. Perlahan, dibukanya jendela kamarnya itu.
Dan, Suranti menutup mulutnya, menahan jeritnya. Seraut wajah pucat dengan sorot mata sayu, benar-benar membuat hati Suranti seperti ditusuk. Membuat bibirnya gemetar, sementara air bening mulai menggenang di matanya, yang kemudian meluncur perlahan membasahi kedua belah pipinya. Dan Suranti terisak.
Keadaan kakaknya benar-benar menusuk pera-saannya. Membuat hatinya iba, terharu, hingga tak dapat lagi menahan isak. Kakaknya kelihatan sangat menderita sekali. Menatapnya seperti seorang anak kecil yang minta perlindungan ibunya. Suranti merasa kerongkongannya seperti tersumbat. Kering, membuatnya harus menelan ludah beberapa kali.
"Kakak Malintang...," akhirnya dapat juga Suranti mengeluarkan suara. Parau dan bergetar. Tapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Begitu juga dengan Malintang. Malintang seperti ragu. Seperti masih belum percaya bahwa adiknya akan mau mempercayainya. Suranti dapat merasakan apa yang sedang dirasakan kakaknya itu.
"Suranti, Adikku...," sambut Malintang, juga dengan, suara parau, seperti tersekat di tenggorokan. Tapi Malintang masih tetap berdiri di luar jendela. Belum berani mendekati Suranti. Dari sinar matanya, Suranti dapat mengetahui bahwa kakaknya masih takut kalau ia akan menghindar.
"Dari mana kau tahu kalau aku berada di penginapan ini, Kak Malintang?" tiba-tiba saja, seperti baru teringat, Suranti menanyakan hal itu. Dan dengan tiba-tiba pula, kecurigaannya bangkit. Membuat Suranti undur dua tindak. Suranti berusaha menekan rasa iba dan keharuan yang menyeruak, sewaktu didapatinya betapa kesedihan semakin terpancar jelas dari sorot mata kakaknya.
Malintang menarik napas berat.
"Tidak sulit, Adikku," ujar Malintang seraya tersenyum sedih.
"Raja Sesat mempunyai banyak sekali pengikut yang tersebar di mana-mana. Dari mereka itulah Raja Sesat mengetahui tentang kau dan pemuda berpakaian serba putih yang belakangan ini selalu bersamamu. Dan kalau aku tidak salah dengar, pemuda yang bersamamu itu berjuluk Pendekar Naga Putih. Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang berasal dari tanah Jawa.
Tanpa sepengetahuan kalian, kaki-tangan Raja Sesat selalu membayangi perjalanan kalian. Bahkan saat ini pun Raja Sesat sudah mengetahui bahwa Pendekar Naga Putih hendak menyatroni tempat kediamannya. Dan ia sudah mempersiapkan penyambutan, yang kalau aku tidak salah dengar, Raja Sesat bahkan akan menggunakan putrinya untuk menjebak Pendekar Naga Putih..."
Suranti menahan jeritnya. Kaget bukan main hatinya sewaktu mendengar penuturan kakaknya itu.
"Lalu... lalu apa yang akan mereka lakukan terhadap Panji?" tanya Suranti, saking bingung dan cemasnya.
"Tentu saja Pendekar Naga Putih akan dibunuhnya," jawab Malintang.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan?"
"Kita?!" Malintang menegasi dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau ia salah dengar.
"Ya, kita," tegas Suranti, yang membuat Malintang membelalakkan matanya.
"Jadi... maksudmu... Kau... kau masih mempercayaiku?!" Seperti masih belum percaya, Malintang berkata terbata-bata. Sambil berkata demikian, ditatapnya wajah adiknya dengan sorot mata bersinar-sinar.
Suranti tidak segera menjawab. Sebenarnya, ia belum percaya sepenuhnya dengan kakaknya itu. Akan tetapi, bayangan bayangan buruk yang mungkin akan terjadi dengan Panji, membuat Suranti menganggukkan kepala.
"Aku akan lebih percaya lagi apabila kau mau membantuku untuk menyusul Panji..., maksudku Pendekar Naga Putih. Aku akan merasa berdosa sekali jika sampai terjadi apa-apa dengannya, Kak Malintang. Panji orang baik. Ia mau membantu aku tanpa mengharapkan imbalan. Malah ia tidak segan-segan untuk menyelidiki Raja Sesat, meskipun sadar bahwa dengan perbuatannya itu nyawanya akan terancam..."
Malintang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tentu saja ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya yang sesungguhnya, ia yakin Suranti sudah termakan siasatnya. Sudah masuk ke dalam perangkapnya. Malintang tahu betul bagaimana watak adiknya itu. Sejak kecil, Suranti memang berhati lembut. Suranti mudah merasa iba. Mudah terbawa perasaannya yang halus. Itu sebabnya, mengapa begitu melihat Pendekar Naga Putih pergi, Malintang segera mendatangi Suranti untuk menjalankan siasatnya.
Malintang memang tidak berdusta sewaktu mengatakan bahwa perjalanan Panji dan Suranti selalu diawasi kaki-tangan Raja Sesat. Gerak-gerik dan semua rencana mereka dapat diketahui oleh Raja Sesat, yang mendapat laporan dari kaki-tangannya itu.
Panji dan Suranti memang tidak menyadari, dan tidak tahu kalau hampir seluruh daerah itu berada dalam kekuasaan Raja Sesat. Tak seorang pun yang berani menentang Raja Sesat. Baik itu tokoh-tokoh persilatannya, maupun mereka yang cuma penduduk biasa. Tidak terkecuali para petani, pemilik kedai sampai kepala desa.
Semua berada di bawah pengaruh Raja Sesat. Dan dari mereka itulah Raja Sesat bisa mengetahui siapa Panji dan siapa Suranti, termasuk tujuan perjalanannya. Itu sebabnya mengapa Panji sampai tidak mengetahui bahwa selama perjalanan, mereka tidak mengetahui dari pengawasan Raja Sesat. Dan itu pula sebabnya, mengapa Malintang bisa mengetahui tempat Panji dan Suranti menginap. Kemudian mendatangi Suranti sewaktu Panji pergi.
Dan, seperti yang sudah diduganya, siasatnya berjalan mulus. Meskipun belum sepenuhnya Suranti percaya kepadanya, namun Malintang sudah merasa girang sekali. Apalagi ketika Suranti mengajaknya untuk menyusul Pendekar Naga Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, Malintang mengangguk. Tapi anggukkan kepala Malintang belum membuat Suranti puas. Ditatapnya wajah Malintang lekat-lekat.
"Berjanjilah, Kak," pintanya, yang lebih mirip merupakan tuntutan.
Malintang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Permintaan itu jelas menunjukkan bahwa Suranti belum percaya sepenuhnya kepadanya. Hal itu membuat Malintang diam-diam berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati. Malintang maklum, sedikit saja kesalahan dalam sikap ataupun ucapannya, bukan mustahil Suranti akan merubah pendiriannya.
"Baiklah," ujarnya sambil menghela napas.
"Aku berjanji akan membantumu untuk mencari Pendekar Naga Putih..."
Setelah mendengar janji Malintang, barulah Suranti merasa lega. Dan tanpa ragu-ragu lagi ia segera melompat keluar jendela. Lalu, diayunkan langkahnya mengikuti Malintang, yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu.
* * * * *
:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::
Maliani tidak ragu-ragu untuk memegang ataupun menarik tangannya sewaktu berjalan. Malah tidak jarang Maliani berjalan terlalu merapat kepadanya, hingga sampai-sampai siku Panji menyentuh buah dada gadis itu. Tapi Maliani tidak kelihatan risih.
Sebaliknya, justru Panji-lah yang merasa risih, hingga dengan tidak kentara Panji menggeser tubuhnya agar mereka tidak terlalu rapat. Dalam pengembaraannya, tidak jarang, bahkan hampir seringkali Panji berhadapan dengan perempuan. Dan meskipun kelihatannya ia tidak menaruh perhatian, sesungguhnya diam-diam Panji selalu menilai dalam hati. Dan dari semua pengalamannya itu, sedikit banyak Panji jadi dapat menilai dan dapat membedakan mana perempuan baik-baik, dan mana perempuan yang tidak benar.
Dan, menurut pengamatan Panji, Maliani termasuk dalam golong-an perempuan yang tidak benar. Paling tidak, Maliani termasuk jenis perempuan mata keranjang. Malah mungkin lebih dari sekedar mata keranjang saja. Dan rasanya, kalau ia tidak salah menilai, andaikata ia mau meladeni sikap Maliani, mau menunjukkan sikap kurang ajar, bukan tidak mungkin gadis itu akan menyerahkan dirinya bulat-bulat.
Ah! Panji menepiskan penilaiannya yang terlalu kasar itu. Akan tetapi, Panji malah menjadi penasaran. Benar sikap Maliani kadang selalu berlebihan. Terlalu menjurus sikap genit dan menantang. Tapi, itu bisa saja cuma kelihatannya. Sedangkan yang sebenarnya, mungkin tidak demikian. Begitu bantahan sisi lain hati Panji. Dan karena bantahan itu pula ia menjadi penasaran. Merasa tertantang untuk membuktikan benar tidaknya penilaiannya, ia akan mencoba untuk melayani sikap genit Maliani. Hitung-hitung pengalaman. Begitu pikirnya.
"Panji," panggil Maliani dengan sikap dan suara manja. Dan sambil berkata Maliani menaruh tangannya di bahu kanan Panji. Menggelayut manja. Sedikit pun tidak kelihatan risih.
"Kalau kita berhasil membasmi Raja Sesat, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Maliani kemudian.
Panji membalas senyum gadis itu. Ini kesempatan yang kutunggu-tunggu. Begitu kata hati Panji. Kemudian, tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Panji menaruh tangannya di atas punggung tangan Maliani. Ditepuk-tepuknya perlahan-lahan. Hendak dilihatnya bagaimana tanggapan gadis itu.
"Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Panji mengembalikan pertanyaan gadis itu. Dan sambil masih tetap tersenyum, Panji mulai meningkatkan usahanya. Kalau tadi baru sebatas menepuk-nepuk, sekarang Panji mulai berani mengelus-elus punggung tangan Maliani.
Perbuatan Panji, yang diluar dugaan itu, karena sebelumnya selalu menghindar, membuat senyum di bibir Maliani semakin merekah. Sepasang matanya berbinar. Kelihatan sekali betapa Maliani sangat gembira. Panji sudah mulai terpengaruh! Begitu pikirnya. Maka, Maliani pun semakin berani mengirimkan tantangan.
"Kawin!" jawab Maliani sambil mengerjap ngerjapkan matanya.
"Itulah yang akan kulakukan, Panji. Kalau kau?"
Mendengar jawaban Maliani, Panji tertawa pelan. Begitu juga hatinya, ikut tertawa. Karena, setelah berkata demikian, Maliani membalikkan tangannya yang dielus-elus Panji. Dan tanpa ragu-ragu lagi, digenggamnya dan diremasnya tangan Panji. Dan Panji pun tidak mau kalah. Remasan tangan gadis itu segera dibalas kontan.
"Aku juga mau kawin," jawab Panji seraya tertawa pelan. Kemudian Panji menghentikan langkahnya. Karena jawabannya telah membuat Maliani berhenti melangkah. Sehingga, sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. Dekat sekali, cuma terpisah satu jengkalan tangan!
Maliani mengangkat kepalanya, sementara Panji terpaksa agak menunduk. Karena tinggi Maliani cuma sampai telinganya. Dan mereka saling tatap.
"Kau sudah punya pilihan?" tanya Maliani sambil terus menatap mata Panji.
"Kau sendiri?" Kembali Panji memancing Maliani untuk menjawab lebih dulu. Meskipun sudah ada dugaan, namun ia ingin tahu apa jawaban gadis itu.
"Mmm... sudah, tuh!"
"Siapa?" desak Panji lagi, sementara Madani semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Panji. Dan Panji tidak menghindar. Malah, ketika gadis itu melingkarkan lengan di bahunya, Panji segera meraih pinggang gadis itu.
"Kau, Panji," jawab Maliani, yang kemudian menjatuhkan kepalanya di dada Panji.
"Kaulah pilihanku, Panji..."
"Tapi, bagaimana kalau kita berdua tewas di tangan Raja Sesat?" tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas di benak Panji. Dan tanpa perlu berpikir lagi, segera saja dilontarkannya pertanyaan itu.
"Tidak akan, Panji, tidak akan!" jawab Maliani sambil mengangkat kepalanya, yang kemudian digelengkannya keras-keras. Tentu saja Panji merasa agak heran.
"Mengapa?" tanya Panji lagi.
"Raja Sesat sangat tinggi sekali kepandaiannya. Belum lagi pengikut-pengikutnya. Lalu, mengapa kau bisa begitu yakin kalau kita tidak akan mati di tangannya. Padahal aku tidak merasa punya nyawa cadangan..."
"Aku juga tidak punya nyawa cadangan, Panji," tukas Maliani, yang kembali saling tatap dengan Panji.
Kemudian hening sesaat. Dan secara perlahan namun pasti, Maliani mendekatkan wajahnya ke wajah Panji. Dan untuk bisa mencapainya Maliani mengangkat tumitnya. Panji tahu apa yang diinginkan Maliani. Maka, tanpa merasa ragu lagi, segera saja Panji menundukkan kepalanya. Dan, Maliani yang merasa tidak sabar, langsung menyergap bibir Panji. Melumatnya dengan lahap.
Memang pada mulanya Panji cuma sekadar ingin membuktikan penilaiannya saja lapi, ketika ia merasakan ciuman gadis itu, Panji seperti lupa dengan tujuannya semula. Maliani bukan saja tidak jelek, malah bisa dibilang sangat cantik. Lebih-lebih bentuk bibirnya sangat bagus dan seperti selalu menantang siapa saja. Jadi, tidak heran kalau Panji sampai terangsang. Dan ia pun segera membalas dengan tidak kalah hangatnya. Bibir gadis itu digasaknya habis-habisan.
Akan tetapi, betapapun rangsangan itu menuntutnya, namun Panji tahu batas. Dan ia tidak ingin melewati batas-batas itu. Maka, ketika dirasakannya Maliani semakin gila, semakin memperturutkan tuntutan nafsu yang menyentak-nyentak, Panji segera melepaskan pelukannya. Perlahan dijauhkannya tubuh gadis itu.
"Mengapa, Panji, mengapa?!" Dengan napas terengah-engah, Maliani bertanya tak mengerti.
"Kita tidak boleh melakukannya, Maliani," jawab Panji tegas.
"Ada batas-batas yang harus dijaga kecuali mereka yang sudah menjadi suami-istri..."
"Tapi kau suka kepadaku, bukan? Kau... kau mau menjadi suamiku, bukan?" kata Maliani sambil menatap Panji dengan sorot penuh tuntutan.
Panji tidak segera menjawab. Ditariknya napas untuk sesaat.
"Lalu bagaimana dengan Raja Sesat? Bukankah kau harus menuntut balas kematian keluargamu?" ujar Panji mengingatkan Maliani. Dan dengan pertanyaannya itu, Panji bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan. Karena jika ia menjawab, bukan mustahil kalau Maliani akan mengamuk. Malah mungkin akan menuduhnya sebagai lelaki hidung belang.
Maliani tertegun, ia kelihatan bingung, seperti kehilangan kata-kata. Cuma menatap Panji dengan sorot mata yang sulit ditebak. Dan itu berlangsung cukup lama.
"Maliani? Kau kenapa?" Merasa khawatir ketika melihat gadis itu masih juga membisu seperti patung, Panji pun segera menegurnya. Membuat Maliani tersentak. Lalu Panji mendengar gadis itu menarik napas, yang kemudian membuang pandangannya ke arah lain.
"Panji," ujar Maliani sambil kembali menatap Panji.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Raja Sesat?"
"Kau sudah tahu jawabannya, Maliani. Aku cuma membantu," jawab Panji sambil membalas tatapan gadis itu. Sengaja Panji tidak menyebutkan membantu siapa. Kalau ia menyebutkan membantu Maliani saja, berarti ia telah berdusta. Dan Panji tidak ingin berdusta, karena ia juga membantu Suranti.
Itu sebabnya mengapa ia cuma mengatakan 'membantu' saja. Dengan begitu jawabannya mempunyai dua pengertian. Bisa berarti membantu Maliani, dan juga bisa berarti membantu Suranti. Tapi tentu saja yang Panji maksud sebenarnya adalah membantu keduanya.
"Artinya kau sendiri tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan Raja Sesat?" Maliani masih juga menegasi. Tampaknya ia kurang puas.
"Mengapa kau malah mendesak aku, Maliani? Ada apa sebenarnya? Nada suaramu kedengarannya agak aneh? Kau... seperti berpihak kepada Raja Sesat?" kilah Panji, yang menjadi heran ketika merasakan seperti ada perubahan pada diri Maliani.
Maliani jadi kelihatan bimbang. Sebenarnya ia hendak menjebak Panji. Dan cerita tentang keluarganya maupun pengeroyokan empat lelaki terhadapnya, adalah bagian dari rencana yang disusunnya bersama ayahnya dan Malintang. Maliani tahu kalau ayahnya merasa jerih kepada Pendekar Naga Putih. Apalagi setelah mendengar sendiri cerita Malintang, yang dipecundangi Pendekar Naga Putih.
Ayahnya semakin yakin kalau berita tentang Pendekar Naga Putih, yang telah banyak merobohkan tokoh-tokoh kelas atas, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Ayahnya semakin jerih saja. Maliani tahu itu, kendati ayahnya berusaha menyembunyikannya rapat-rapat, yang lalu bersama Malintang, merencanakan untuk menjebak Pendekar Naga Putih.
Tapi sekarang, setelah bertemu dan berhadapan langsung, setelah mengetahui bagaimana watak dan sikap Pendekar Naga Putih, dan setelah melakukan perjalanan bersama-sama, hati Maliani menjadi goyah. Maliani bukanlah seorang gadis ingusan, bukan gadis kemarin sore, dan bukan baru pertama kali berjumpa dengan pemuda yang tampan dan gagah. Bukan, bukan dan bukan!
Pemuda-pemuda seperti itu telah banyak yang dijumpainya. Sudah banyak yang masuk ke dalam kehidupannya. Dari mereka adalah perayu-perayu, penjilat-penjilat, yang begitu melihatnya langsung tergila-gila kepadanya. Mereka tidak segan-segan untuk berlutut di bawah kakinya demi untuk mengemis cintanya.
Bahkan kalaupun ia menyuruh mereka untuk menjilati telapak kakinya, mereka pasti akan melakukannya. Dan Maliani sudah muak dengan pemuda-pemuda seperti itu. Sedangkan terhadap Panji...
Sejak Panji menolongnya dan menyatakan kesediaannya untuk membantunya membalaskan dendam keluarganya, Mallani sudah merasa tertarik. Apalagi Panji ternyata tidak mengharapkan imbalan apa-apa darinya. Hendak menolongnya dengan tulus. Padahal Panji tahu bahwa dengan menolongnya, bukan tidak mungkin dirinya akan menjadi korban. Dan itu sungguh berbeda sekali dengan apa yang ditanamkan ayahnya kepadanya sejak ia kecil.
Menurut ayahnya, kaum golongan putih adalah kelompok orang-orang sombong. Orang-orang yang sok suci. Kelompok orang-orang yang selalu memusuhi kaum golongan hitam. Merasa benar sendiri, meremehkan dan menghina kaum golongan hitam, yang menurut mereka hanyalah kelompok orang-orang kotor berhati busuk, yang sudah semestinya dibasmi habis.
Akan tetapi, pada diri Panji, Maliani tidak menemukan semua itu. Panji tidaklah sombong, kendati memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak sembarangan membunuh. Itu sudah terbukti dengan membiarkan empat pengeroyoknya pergi. Malah Panji tidak memusuhi Raja Sesat secara langsung. Padahal Raja Sesat jelas-jelas merupakan tokoh golongan hitam yang sangat berbahaya. Dan kalau pun Panji memusuhi Raja Sesat, itu disebabkan karena hendak membantunya.
Tapi bukan hanya cuma karena itu saja yang menyebabkan Mallani tertarik. Panji ternyata tidak terpesona dengan kecantikannya. Tetap berusaha menjaga kesopanan kendati ia telah berulangkali memancingnya. Dan Panji ternyata bukanlah termasuk lelaki yang mau memanfaatkan kesempatan. Padahal ia sudah pasrah. Menyerahkan dirinya bulat-bulat. Dan meskipun jumlah kekasihnya sudah tidak terhitung lagi, namun Maliani tetap menjaga kesuciannya.
Tapi Panji ternyata menolaknya. Padahal laki-laki lain pasti akan berebutan untuk memilikinya. Tapi Panji ternyata tidak. Dan itulah sebabnya mengapa hati Maliani sampai menjadi goyah. Maliani sadar bahwa ia telah jatuh cinta kepada Panji. Kepada Pendekar Naga Putih! Orang yang dimusuhi ayahnya. Baginya, Panji adalah seorang pemuda pilihan yang tidak ada duanya!
"Raja Sesat adalah Ayahku...."
Kalau saja saat itu ada petir menggelegar di telinganya, mungkin Panji tidak akan sekaget mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Maliani! Padahal Maliani mengucapkannya dengan suara yang nyaris berupa bisikan lirih dan bergetar. Malah wajah Maliani tampak pucat. Tapi, Panji tetap saja kaget bukan main. Dan saking kagetnya, Panji sampai tersurut ke belakang. Memandang Maliani de-ngan mata terbelalak. Dengan wajah memucat!
"Kami merencanakan untuk menjebakmu, Pendekar Naga Putih!" lanjut Maliani.
"Dan aku adalah umpannya..."
Panji cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit baginya untuk menerima pengakuan Maliani. Bukannya ia tidak percaya, tapi bagaimana mungkin Maliani menceritakan semua itu kepadanya? Mengapa Maliani menjadi berubah pikiran? Padahal dia sudah masuk ke dalam perangkap gadis itu? Ban kalau Maliani tetap melanjutkan sandiwaranya, bukan mustahil kalau rencana itu akan berhasil dengan baik. Tapi, Maliani malah meng-hancurkan rencananya sendiri. Sungguh Panji jadi tidak habis mengerti.
"Mengapa kau menceritakan semua ini kepadaku, Maliani?" tanya Panji setelah dapat menguasai perasaannya. Ditatapnya wajah gadis itu dengan penuh keheranan.
"Setelah aku melihatmu dan mengetahui watak serta pendirianmu, terus-terang aku tidak bisa melanjutkan rencana ini. Aku... tidak mau kau sampai celaka. Panji," jawab Maliani dengan suara serak. Semula Maliani hendak mengatakan "Aku telah jatuh cinta kepadamu, Panji." Tapi diurungkannya. Maliani takut jika Panji akan memandang rendah dirinya, meremehkannya, karena ia adalah putri seorang dedengkot golongan sesat.
Lagi-lagi Panji menggeleng. Menarik napas berulang-ulang. Tidak mendesak, meskipun sedikit banyak ia dapat menduga apa yang menyebabkan Maliani mengungkapkan rencana itu kepadanya. Akan tetapi, apa pun alasan Maliani, Panji merasa sangat berterima kasih sekali. Membuat penilaiannya berubah. Karena ia tahu sekarang, mengapa Maliani begitu jinak kepadanya, sampai-sampai hendak menyerahkan kehormatannya.
"Sadarkah kau bahwa perbuatanmu ini akan membuat ayahmu murka?" ujar Panji yang malah jadi mencemaskan nasib gadis itu.
"Aku sudah siap untuk menanggung semua akibatnya," begitu tegas dan mantap suara Maliani. Membuat Panji terharu. Sungguh tidak disangkanya kalau putri seorang dedengkot golongan sesat, yang kekejamannya telah sangat terkenal, ternyata memiliki hati yang mulia. Rela berkorban untuk dirinya, orang yang baru dikenalnya.
"Tidak," geleng Panji tegas.
"Aku tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi. Kau tidak ingin melihat aku celaka. Demikian juga dengan aku, Maliani. Sebaiknya, lanjutkan saja apa yang sudah menjadi rencana ayahmu. Biarlah nasib yang akan menentukan, apakah aku akan selamat atau tidak..."
"Tidak!" bantah Maliani dengan tidak kalah tegasnya.
"Aku tidak akan melanjutkannya. Kalaupun Ayah akan murka kepadaku, paling jauh aku cuma dihukum. Beda dengan kau, Panji. Jika sampai tertangkap, kau akan dibunuhnya!"
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian!" sergah Maliani cepat "Mungkin saat ini sudah terlambat, dan aku sangat menyesal sekali," lanjutnya, yang kemudian menceritakan tentang Malintang dan apa yang akan diperbuatnya terhadap Suranti. Dijelaskannya juga, mengapa Malintang sampai melakukan semua kejahatan itu.
Panji tentu saja menjadi kaget bukan main. Ia menjadi gelisah, karena masih mencemaskan nasib Maliani, yang mungkin saja akan disiksa Raja Sesat. Sementara, ia juga mengkhawatirkan keselamatan Suranti.
"Pergilah, Panji," ujar Maliani yang dapat menebak kebingungan Panji.
"Terima kasih kau masih peduli kepadaku. Tapi, temanmu itu harus segera diselamatkan. Nah, selamat tinggal...."
Panji mengangkat tangan kanannya hendak mencegah. Akan tetapi, Maliani sudah melesat pergi tanpa menoleh lagi. Terpaksalah Panji memutar tubuhnya, berlari secepat-cepatnya untuk segera tiba dipenginapan.
* * * * *
"Apa kita tidak salah jalan, Kak Malintang?" Suranti menghentikan langkahnya, menatap wajah Malintang dengan kening berkerut. Kelihatan sekali betapa sorot mata Suranti memancarkan kecurigaan.
"Tentu saja tidak, Suranti," jawab Malintang yang segera menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadapi Suranti. Suranti memang berlari di belakang Malintang, kira-kira empat langkah jaraknya. Itu karena Suranti belum percaya sepenuhnya kepada Malintang, dan merasa perlu untuk terus waspada.
"Bukankah tempat kediaman Raja Sesat berada di sebelah barat di dekat anak bukit?" bantah Suranti seraya menunjuk ke sebelah kirinya.
"Sepertinya kau sengaja hendak menyesatkan aku?"
"Suranti," ujar Malintang lemah. Lalu melangkah maju.
"Dengar, Adikku manis..."
"Berhenti!" Suranti membentak seraya melangkah mundur dua tindak. Kemudian terdengar suara mendesing. Dan tahu-tahu, tangan kanan Suranti telah menggenggam pedang.
"Rupanya kau memang berniat jahat kepadaku. Kau hendak memisahkan aku dari Panji. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa kau memang benar-benar sudah berubah. Kau... kau... pastilah kau yang telah membunuh Ayah dan Rakai! Mengakulah, Malintang! Kau akan menerima pembalasan dariku!"
"Ha ha ha...!" tiba-tiba Malintang tertawa berkakakan.
Sikapnya berubah seketika. Tidak lagi tampak memelas. Malah kelihatan garang. Sorot matanya pun tidak lagi sayu, malah tajam berkilat-kilat. Membuat Suranti tersurut mundur. Hatinya bergidig ngeri demi melihat sikap dan tatapan Malintang. Tatapan itu begitu mengerikan. Tak ubahnya tatapan binatang buas yang kelaparan. Dan sebagai perempuan, Suranti sadar apa arti tatapan mata Malintang itu.
"Kau sama saja dengan ayahmu, Gadis tolol! Kalian menyisihkan aku. Tidak mempedulikan aku. Kalian berdua lebih menyayangi si bedebah Rakai daripada aku. Aku memang anak gelandangan yang dipungut ayahmu, yang kemudian diangkatnya sebagai anak. Tapi aku tahu kalau sesungguhnya Orang Tua keparat itu tidak menyayangiku. Kenyataannya aku malah dibuang! Diberikan kepada orang lain, sementara si bedebah Rakai dididiknya dengan ilmu-ilmu tinggi.
Bahkan ia malah memilihnya untuk menjadi jodohmu! Padahal dia tahu kalau aku sangat mencintaimu. Bukan sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki. Dan aku merasa lebih berhak mencintaimu ketimbang si bedebah Rakai, yang cuma murid itu!" Malintang berteriak-teriak dengan berapi-api. Menumpahkan semua perasaannya yang dipendamnya selama bertahun-tahun.
Suranti tentu saja merasa terkejut bukan main. Sungguh tidak pernah disangkanya kalau Malintang ternyata mempunyai pikiran yang salah.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak benar, Malintang!" Suranti menyanggah tuduhan itu dengan tidak kalah kerasnya.
"Aku sendiri tidak pernah tahu kalau kau bukanlah kakak kandungku. Ayah tidak pernah menceritakannya kepadaku. Aku cuma tahu bahwa kau adalah kakakku.
Dan kalaupun Ayah memilih Rakai untuk menjadi jodohku, itu karena kami memang saling mencintai. Aku memang mencintai Rakai, dan bukan karena Ayah yang memilihkannya untukku. Sedangkan terhadapmu, aku menyayangimu sebagai kakakku. Dan kalau pun kau dititipkan kepada Camar Laut, itu karena Ayah ingin agar kau bisa lebih pandai daripada Ayah!"
"Bohong!" sentak Malintang dengan suara menggeledek.
"Kalau benar dia menyayangiku, seharusnya ia tahu perasaanku, tahu kalau aku menginginkan dirimu untuk menjadi istriku. Bukankah kita tidak sedarah? Tidak ada larangan bagiku untuk menikahimu, bukan? Lalu mengapa Rakai yang dipilih? Padahal aku sangat mencintaimu, Suranti. Dan aku tidak sudi kau diperistri orang lain, sekalipun oleh si bedebah Rakai! Aku benci si bedebah Rakai yang telah merebutmu dariku! Aku benci ayahmu yang telah memisahkan kita!
Dan, aku juga benci dengan Camar Laut, yang mengekang kebebasanku, selama satu tahun lebih! Itu sebabnya kubunuh si keparat Camar Laut dan semua pelayannya. Kemudian aku pergi mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Tidak perduli kendati yang kupelajari adalah ilmu dari golongan sesat. Bahkan aku lalu menjadi pengikut dan murid Raja Sesat, yang kelak setelah ilmunya kuserap habis, kakek jelek itu pun akan kuhabisi! Dan aku akan menjadi penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu yang tak terkalahkan! Ha ha ha...!"
"Bedebah kau, Malintang! Kau manusia durhaka yang tidak tahu balas budi! Kau... manusia serakah! Keinginanmu itu telah membuatmu menjadi gila! Kau... iblisss! Kau harus membayar nyawa Ayah dan Rakai!"
Suranti tak dapat lagi menahan kemarahannya. Menurutnya Malintang memang benar-benar telah menjadi gila. Otaknya sudah dirusak oleh keinginan gilanya itu. Dan di saat Malintang masih tertawa-tawa seperti orang gila, Suranti langsung melompat sambil menusukkan pedangnya ke tenggorokan Malintang.
Siingng...!
Suara desing pedang menyadarkan Malintang dari kegilaannya. Dan begitu dilihatnya Suranti menyerang tenggorokannya, segera saja Malintang menggeser tubuhnya satu langkah ke kanan. Dan begitu sambaran pedang lewat di sampingnya, dua tangannya langsung bergerak susul-menyusul, melepaskan totokan-totokan untuk melumpuhkan Suranti.
Cepat bukan main serangan balasan yang dilontarkan Malintang, hingga membuat Suranti menjadi terkejut. Segera saja Suranti melempar tubuhnya ke belakang. Berjumpalitan beberapa kali, sebelum akhirnya melayang turun ke tanah. Akan tetapi, Malintang ternyata tidak tinggal diam begitu saja. Pada saat Suranti melempar tubuh ke belakang, Malintang langsung memburunya dengan serangan-serangan yang tetap dimaksudkan untuk melumpuhkan Suranti.
Malintang memang tidak bermaksud untuk membunuh Suranti. Ia sangat mencintai adik angkatnya itu. Ingin memilikinya tanpa ada yang mengganggu. Demikian hebat rasa cinta yang meracuni hati dan pikiran Malintang, hingga membuat jiwanya terganggu. Apalagi ketika Ki Arja Wiguna, ayah angkatnya, malah menjodohkan Suranti dengan Rakai. Jiwanya semakin terganggu. Sehingga ia membenci dan menaruh dendam terhadap ayah angkatnya dan juga kepada Rakai. Itu salah satu alasan mengapa Malintang sampai tega membunuh Rakai dan ayah angkatnya.
* * * * *
:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::
Cwit! Cwit!
Namun Suranti bertindak cepat untuk segera memindahkan kedua kakinya dengan langkah-langkah yang cukup ampuh. Dua totokan Malintang kembali menemui kegagalan. Malintang rupanya sudah memperhitungkan tindakan Suranti itu. Dan tahu-tahu saja, tubuh Malintang melambung tinggi dengan gerak menyamping. Saat itu juga, dua jari tangannya bergerak cepat menotok dua jalan darah di dekat bahu Suranti. Pucatlah selebar paras Suranti. Tidak mungkin lagi baginya untuk menghindari dua totokan itu.
Tukkk! Tukkk!
Dan Suranti cuma bisa memekik dengan mata terbelalak. Dua totokan Malintang tepat mengenai sasaran di tubuhnya, yang seketika itu juga melorot jatuh bagaikan sehelai kain basah. Dan Malintang tertawa berkakakan, sementara Suranti yang rebah di tanah, cuma bisa mengigit bibir. Dua titik air bening terlompat dari matanya. Hatinya sudah ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi kemudian. Dari tatapan Malintang yang menjelajah sekujur tubuhnya, Suranti memang sudah bisa menebak apa yang dikehendaki Malintang pada dirinya.
"Ha ha ha...! Malam ini juga kau akan kujadikan pengantinku, Suranti. Kita akan bersenang-senang, adikku yang manis. Lalu kemudian, kau akan melahirkan anak-anak kita. Mereka pasti akan segagah aku dan secantik kau. Ha ha ha...!" Malintang tertawa-tawa seperti orang gila. Dan begitu tawanya terhenti, Malintang berjongkok di samping Suranti. Dirabanya wajah cantik yang berkulit halus itu. Dicubitnya bibir Suranti dengan gemas.
"Binatang, pergi kau! Jangan sentuh aku! Aku lebih baik mati daripada bersuamikan orang gila sepertimu!" Suranti cuma bisa berteriak-teriak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya yang telah dilumpuhkan oleh totokan Malintang.
Malintang cuma terkekeh. Tidak peduli dengan segala makian maupun sumpah serapah yang dilontarkan Suranti. Dan setelah puas meraba wajah serta sekujur tubuh Suranti, diraihnya tubuh gadis malang itu. Dipondongnya dan diciuminya habis-habisan. Dan sambil tertawa-tawa, dibawanya Suranti pergi meninggalkan tempat itu. Langkah Malintang yang tergesa-gesa akhirnya terhenti. Belum lagi jauh ia berjalan, baru sekitar empat puluh tombak, namun sesosok tubuh yang terselimut keremangan malam telah menghadang perjalanannya.
"Lepaskan gadis itu, Malintang!" terdengar suara si penghadang.
Malintang mengerutkan kening. Menajamkan pandangannya karena suara itu seperti tidak asing bagi telinganya. Dan, ketika samar-samar ia mulai dapat mengenali siapa adanya penghadang itu, Malintang pun tertawa berkakakan.
"Ha ha ha...! Kau cemburu rupanya, ya?" kata Malintang yang disambut si penghadang dengan sebuah dengusan kasar.
"Lepaskan kataku, atau aku harus memaksamu!" sosok penghadang kembali membentak. Kali ini sambil bergerak maju mendekati Malintang. Ternyata sosok ini adalah seorang perempuan cantik dengan sorot mata setajam mata pedang. Menikam langsung ke mata Malintang.
"Jangan takut, Maliani. Aku tetap mencintaimu. Kau akan kujadikan istri pertama. Sedangkan gadis tolol ini biar jadi istri kedua saja," ujar Malintang sambil terkekeh-kekeh. Malintang sama sekali tidak mempedulikan perintah si penghadang yang ternyata adalah Maliani itu. Mungkin ia menganggap ancaman Maliani itu cuma main-main. Maka, ketika Maliani melangkah maju, Malintang pun bergerak menyambut.
Sringng!
"Eh!?" Malintang baru merasa kaget ketika Maliani mencabut pedang. Kekehnya seketika lenyap. Keningnya berkerut-kerut. Kemudian ditentangnya pandang mata Maliani. Sorot mata gadis itu demi kian tajam. Wajahnya dingin menyiratkan ancaman. Tahulah Malintang kalau Maliani memang tidak main main.
"Jadi kau sungguh-sungguh?" tanyanya sekadar untuk meyakinkan hatinya.
"Ini permintaanku yang terakhir..." Maliani sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan Malintang.
"Lepaskan gadis itu!" pintanya sembari menyilangkan pedangnya di depan dada.
"Tidak!" Kali ini Malintang berkata tegas.
"Malah kau pun akan kulumpuhkan! Kau sudah berani membentak-bentak dan memerintahku. Kemarin-kemarin memang aku mengalah dan tidak pernah memaksa untuk menjamah tubuhmu. Tapi sekarang, kau pun akan mengalami nasib seperti perempuan tak tahu diuntung ini. Kalian berdua akan kulahap sepuas-puasnya. Setiap waktu, setiap hari kalian akan kupaksa untuk melayaniku sampai kalian mengandung dan melahirkan anak-anakku!"
"Bangsat!" Maliani menjadi marah bukan main. Selebar parasnya menjadi merah. Ancaman Malintang memang kedengarannya sangat mengerikan. Akan tetapi Maliani sama sekali tidak menjadi gentar. Sebaliknya ia malah ingin segera memenggal batang leher Malintang.
"Haiiittt...!
Dengan sebuah bentakan melengking, Maliani menerjang maju. Pedang di tangannya berkelebatan cepat, hingga yang nampak hanyalah kilatan-kilatan sinar putih yang membelah keremangan malam. Cepat dan kuat bukan main serangan yang dilancarkan Maliani itu. Akan tetapi, Malintang menyambutnya dengan tawa ganda.
Tanpa melepaskan Suranti yang masih tetap berada dalam pondongannya, Malintang menggeser langkahnya dengan lincah menghindari setiap sambaran pedang Maliani. Dan bukan cuma itu saja, malah Malintang sempat juga mengirimkan tendangan-tendangan pendek sebagai balasannya.
Maliani menjadi penasaran bukan main, meskipun ia tahu bahwa kepandaian Malintang masih berada di atas kepandaiannya. Dan yang membuatnya jengkel, ayahnya juga telah menurunkan beberapa macam ilmu kepada Malintang, termasuk ilmu pedang yang sekarang digunakannya. Sehingga, Malintang dapat dengan mudah mematahkan setiap serangannya. Karena Malintang telah mengetahui ke mana pedangnya akan bergerak.
Karena dengan ilmu pedang itu ia tidak dapat berbuat banyak, maka Maliani segera merubah jurus-jurus serangannya. Digunakannya ilmu tangan kosong dengan menggunakan pedang. Ilmu-ilmu yang tidak diketahui Malintang. Untuk beberapa jurus lamanya, Malintang memang menjadi sibuk oleh serangan-serangan Maliani. Akan tetapi, setelah lewat dari dua puluh jurus, Malintang mulai dapat mengatasinya dengan baik. Malah serangan-serangan balik yang mulai dilancarkan Malintang, beberapa di antaranya nyaris mengenai tubuhnya.
"Setaaan!" Maliani mengumpat seraya menggertakkan giginya dengan penuh kegeraman. Dan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, Maliani mencoba untuk mendesak Malintang. Namun, Malintang bertindak lebih sigap. Dua di antara tiga sambaran pedang Maliani dielakkannya dengan liukan tubuhnya. Sedangkan yang ketiga, segera dipapakinya dengan kibasan tangannya.
Plakkk!
Kibasan lengan Malintang membentur lengan Maliani. Cukup keras, hingga membuat Maliani menahan pekik kesakitannya. Tubuhnya terjajar mundur sampai empat langkah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Malintang, yang segera melompat dengan sebuah tendangan menyamping. Maliani terbelalak, karena pada saat itu ia masih belum sempat untuk memperbaiki kuda-kudanya.
Bukkk!
Maliani tak dapat menghindar lagi. Maliani menjerit keras ketika tendangan Malintang bersarang telak di perutnya. Membuat tubuhnya terpental deras, untuk kemudian jatuh terjengkang ke tanah. Dan selagi Maliani merasakan perutnya mulas bukan main, Malintang sudah kembali menyerbu datang. Kali ini ia melepaskan totokan dengan menggunakan jari-fari tangan kirinya, sementara yang kanan menyangga tubuh Suranti, yang tetap dalam pondongannya.
Maliani membelalakkan matanya dengan wajah ngeri. Bukan karena totokan yang tengah dilancarkan Malintang. Akan tetapi, ancaman mengerikan yang tadi diucapkan Malintang. Bergidig hatinya teringat ancaman yang ia tahu pasti akan segera dilaksanakan Malintang.
Namun, sebelum jari-jari tangan Malintang melumpuhkan tubuh Maliani, sesosok bayangan putih berkelebat cepat dan langsung menyambut totokan itu. Demikian cepat gerakan sosok bayangan putih itu, yang kemunculannya disertai dengan hamparan hawa dingin menusuk tulang.
Kali ini Malintang yang menjerit kesakitan, tubuhnya tertolak balik. Terhuyung-huyung sampai hampir dua tombak jauhnya. Sedangkan sosok bayangan putih itu tidak tinggal diam. Cepat bergerak memburu Malintang. Dua tangannya bergerak susul-menyusul. Yang kiri mendorong bahu kanan Malintang, sedangkan yang kanan digunakan untuk merebut tubuh Suranti.
Malintang memaki kalang-kabut. Perbuatan sosok bayangan putih itu tidak bisa dicegahnya lagi. Sementara tubuhnya terpelanting jatuh ke tanah, tubuh Suranti pun lepas dari pondongannya.
"Keparat busuk, akan kucincang hancur tubuhmu!" Sambil berteriak-teriak kalap, Malintang melompat bangkit. Mencabut pedangnya yang segera saja memperdengarkan suara sambaran angin mendesing-desing. Akan tetapi, begitu ia memandang sosok bayangan putih yang dimakinya dan hendak dicincang tubuhnya, mata Malintang terbeliak. Wa-jahnya seketika menjadi pucat. Dan, dengan bibir gemetar terdengar ia berucap, "Pendekar... Naga... Putih...!?"
Sosok bayangan putih yang kemunculannya tepat pada saat Maliani terancam itu, ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih. Tidak heran kalau Malintang sampai sedemikian terkejutnya. Karena ia pernah dipecundangi Panji, yang kemudian membebaskan Empu Darna, sastrawan tua yang dipaksa ikut dengannya untuk membacakan kitab-kitab kuno yang dicurinya dari ayah angkatnya.
Dukkk!
Panji merasa bersyukur dapat menemukan Malintang pada saat yang tepat. Bukan saja ia dapat merebut Sutanti, akan tetapi, juga telah menyelamatkan Maliani, yang ia tidak tahu bagaimana caranya tahu tahu didapatinya sudah berada di bawah ancaman serangan Malintang. Ketika kembali ke penginapan, Panji tidak menemukan Suranti di kamarnya.
Bukan main cemas hatinya ketika ia melihat pintu jendela yang terbuka. Tahulah Panji bahwa Maliani memang tidak berdusta. Akan tetapi ia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari Suranti. Untung-untungan dijelajahinya sekitar penginapan. Terus melebar hingga beberapa ratus tombak. Namun jejak Suranti tetap tidak bisa diketemukannya. Membuat Panji nyaris putus asa.
Panji sudah merasa seluruh tubuhnya lemas, ketika tiba-tiba-ia menangkap suara teriakan melengking di kejauhan. Sebuah teriakan seorang perempuan yang sedang marah. Tanpa berpikir dua kali, langsung Panji berlari secepat-cepatnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya kalau teriakan itu berasal dari mulut Maliani sewaktu bertarung melawan Malintang. Beruntung ia datang pada saat yang tepat, hingga dapat menyelamatkan Maliani dan Suranti dari ancaman malapetaka yang mengerikan.
"Kejahatanmu-lah yang telah mempertemukan kita kembali, Malintang," ujar Panji, setelah membebaskan Suranti dari pengaruh totokan, dan menyuruhnya untuk memeriksa keadaan Maliani. Dan Panji merasa lega ketika Suranti mengatakan bahwa luka Maliani tidak terlalu mengkhawatirkan. Maka dihadapinya Malintang, yang menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Malintang tertawa berkakakan. Panji mengerutkan kening, khawatir kalau-kalau Malintang terganggu ingatannya "Aku tahu sekarang," lanjut Malintang sambil menatap Panji dengan penuh ejekan.
"Kau hendak mengangkangi kedua perempuan itu sendirian, bukan? Berpura-pura sok pahlawan, sok suci, padahal dalam hatimu terkandung niat yang sama buruknya denganku."
"Jangan dengarkan mulutnya yang kotor itu. Panji!" Suranti berseru mengingatkan Panji. Tampaknya gadis ini khawatir kalau-kalau Panji akan terpancing oleh ejekan Malintang yang memang sangat tajam sekali.
Panji menoleh kepada Suranti dan memberikan senyumnya agar Suranti tidak perlu khawatir. Kemudian, kembali di hadapinya Malintang. Dihampirinya dengan langkah perlahan. Malintang menjadi kelabakan, karena ia sadar betul bahwa kepandaiannya masih belum mampu untuk mengimbangi Pendekar Naga Putih. Kecuali...
Tiba-tiba saja satu siasat licik melintas di benak Malintang.
"Pendekar Naga Putih," katanya sambil mengangkat dada.
"Jika kau memang benar-benar seorang jantan, aku menantangmu bertarung pada tiga tahun mendatang. Hari ini aku sedang tidak berselera. Bagaimana, apakah kau mau menerima tantanganku?"
"Kau mau menungguku selama itu?" Panji malah balik bertanya, hingga membuat Malintang menjadi tertegun.
"Asalkan kau bersedia menerima tantanganku, aku akan menunggumu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama," jawab Malintang, yang diam-diam berdebar girang karena ia bisa mengelabuhi Pendekar Naga Putih.
Suranti dan Maliani sudah merasa cemas. Mereka tahu betul kalau semua itu cuma siasat Malintang untuk menyelamatkan diri. Akan tetap, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panji melarang mereka dengan memberikan isyarat dengan goyangan tangan. Meskipun sebenarnya tidak mengerti maksud Panji, namun baik Suranti maupun Maliani mematuhi isyarat Panji.
"Bagaimana kalau kau kuberi waktu yang lebih lama lagi?" tanya Panji lagi, tapi Malintang malah kebingungan, kendati ia mengangguk juga.
"Kalau begitu, silakan kau tunggu aku di...," Panji menunda kalimatnya. Lebih dulu ia menoleh ke arah Suranti dan Maliani. Panji memberikan senyumnya demi melihat wajah-wajah penuh kecemasan. Setelah itu, Panji kembali menghadapi Malintang.
"Di mana?" Malintang tak sabar ketika melihat Pendekar Naga Putih masih juga belum menyebutkan tempatnya.
"Di pintu... neraka!"
Mendengar jawaban Panji, Maliani dan Suranti tak dapat lagi menahan kegelian hatinya. Mereka terkekeh-kekeh sambil menunjuk-nunjuk muka Malintang, yang sebentar merah sebentar pucat. Malu bukan main hatinya. Pendekar Naga Putih ternyata tidak sebodoh perkiraannya. Sudah siasatnya tidak berhasil, malah menjadi bahan tertawaan.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pulih!". Dari malu, Malintang menjadi marah.
"Biarpun kesaktianmu setinggi langit, aku, Malintang tidak merasa gentar secuil pun!"
Dan Malintang benar-benar membuktikan bahwa dirinya tidak gentar menghadapi Pendekar Naga Putih. Dengan sebuah teriakan membahana, Malintang melompat maju dengan babatan pedangnya yang berdesing-desing bagaikan lebah-lebah yang marah. Begitu hebat serangan yang dilancarkan Malintang, hingga Panji tidak berani memandang rendah.
Dengan menggunakan geseran-geseran dan langkah-langkah pendek, serangkaian serangan Malintang dapat dihindari Panji. Dan sebagai balasannya, Panji melontarkan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan Malintang. Akan tetapi, Malintang bukan saja bisa menghindari semua serangan balasan Panji, malah serangkaian babatan dan tusukan pedangnya langsung dilontarkan, membuat Panji merasa kagum dan menyayangkan kalau pemuda setangguh Malintang sampai memilih jalan sesat.
"Jiahhh...!" Berkali-kali Malintang membentak sambil membarenginya dengan sambaran pedangnya. Malah, setelah lewat tiga puluh jurus, Malintang menyelingi dengan pukulan tangan kiri dan tendangan tendangan kilat.
Perubahan serangan Malintang membuat Panji bergerak mundur. Bukan terdesak, melainkan untuk memancing rasa penasaran Malintang. Dan perhitungan Panji memang cukup jitu. Malintang, yang serangan-serangannya selalu saja kandas, memang menjadi geram dan penasaran bukan main.
Ia menjadi kalap, menerjang Panji habis-habisan, hingga melupakan pertahanan dirinya. Dan memang itulah yang tengah ditunggu-tunggu Panji. Begitu melihat pertahanan Malintang mengedur, dua telapak tangannya langsung dilontarkan ke dada dan perut Malintang.
Bukkk! Desss...!
"Arrghhh...!" Malintang menjerit parau karena pada saat yang bersamaan darah termuntah dari mulutnya. Gedoran dua telapak tangan Panji membuat tubuhnya terpental deras, melayang-layang di udara sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan kerasnya.
Tubuh Malintang jatuh tidak jauh dari tempat Suranti dan Maliani berada. Dan Panji terkejut ketika melihat kedua gadis itu melompat bangkit. Saling berlomba mendatangi Malintang dengan senjata terhunus.
"Suranti, Maliani, tahaaan...!" Panji berteriak mencegah, karena ia maklum apa yang akan dilakukan kedua gadis itu.
Akan tetapi, dua gadis itu seperti tidak mendengar teriakan Panji. Dua pedang mereka menderu. Malintang, yang baru saja merangkak bangkit, langsung pucat selebar wajahnya. Terbelalak ketika menyaksikan Suranti dan Maliani sama mengayunkan pedang ke tubuhnya.
Dan, seiring dengan memerciknya darah, terdengarlah jerit kematian dari mulut Malintang. Tubuh pemuda jangkung itu kembali roboh. Menggelepar beberapa saat untuk kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Malintang tewas dengan dada dan perut tertembus pedang.
Panji cuma bisa menghela napas. Ia sadar kalau semua itu memang sudah menjadi takdir Malintang, tewas di tangan dua orang perempuan yang dicintainya.
"Maliani!"
Suara bentakan yang menggelegar itu sampai membuat Suranti dan Maliani berjingkrak saking kagetnya. Panji pun tidak kalah kagetnya. Tapi tidak sampai berjingkrak, karena tenaga dalamnya langsung bergolak melindungi dada dan telinga. Cuma saja Panji sempat bergetar hatinya, karena ia tidak mendengar adanya suara langkah kaki orang yang mendatangi. Dan tahu-tahu, entah dari mana datangnya, seorang lelaki tua bertubuh kurus kering seperti orang penyakitan, sudah melangkah ke arah Maliani dan Suranti.
"Ayah?!" Maliani kelihatan kaget dengan kemunculan ayahnya. Wajahnya agak pucat seperti orang yang merasa bersalah. Dan bersama Suranti, Maliani menggeser tubuhnya mendekati Panji.
Seperti baru sadar, lelaki tua yang ternyata adalah Raja Sesat ini menatap Panji dengan mata disipitkan. Terdengar gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Kau pastilah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih," kata Raja Sesat sambil mendongakkan kepala dengan sikap angkuh. Raja Sesat memang tidak memerlukan jawaban, karena ia sudah menjawab sendiri pertanyaannya itu.
"Selamat bertemu Raja Sesat..." Tanpa memperdulikan sikap angkuh Raja Sesat, Panji menyapa seraya tersenyum.
"Sungguh suatu kebetulan yang sangat menyenangkan, karena aku bermaksud untuk mengunjungi tempat kediamanmu," lanjut Panji, yang tentu saja belum lupa dengan perbuatan Raja Sesat yang menangkapi para sastrawan.
Raja Sesat cuma bergumam tak jelas. Sombong sekali sikapnya. Malah, seolah tidak mendengar perkataan Pendekar Naga Putih, tatapannya segera dialihkan ke arah Maliani, putrinya.
"Kemari kau!" dengan setengah menghardik, Raja Sesat memanggil Maliani. Ada gambaran ancaman dalam sorot matanya. Sikap Maliani, yang seperti berpihak kepada Panji, telah membuat Raja Sesat maklum bahwa rencana yang disusunnya pasti telah dirusak putrinya.
"Tidak, Ayah,.." Maliani menggeleng, membuat Raja Sesat sampai tertegun. Maliani sudah berani membantah perintahnya. Seperti jelas-jelas hendak menunjukkan bahwa putrinya itu sudah berpihak kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm, rupanya kau sudah termakan hasutan Pendekar Naga Putih," ujar Raja Sesat seraya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu tatapannya beralih ke Pendekar Naga Putih.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
'Tidak ada," geleng Panji, yang dengan tenang ditentangnya pandang mata Raja Sesat.
"Putrimu telah sadar akan kesesatannya selama ini. Dan kesadaran itu tidak bisa dipaksakan, sebab akan percuma. Lain halnya jika datang dari hati sendiri," lanjut Panji yang disambut Raja Sesat dengan dengusan kasar.
"Hm..., kalau begitu, kau dan gadis itu menyingkirlah. Biar kuselesaikan dulu urusan antari ayah dan anak," kata Raja Sesat dengan suara geram. Setelah berkata demikian, Raja Sesat mengayun langkah menghampiri Maliani.
"Tidak bisa. Raja Sesat!" ujar Panji sambil melangkah maju untuk mencegah tindakan Raja Sesat.
"Aku tidak akan membiarkan kejahatan berlangsung di depan mataku, apa pun alasannya!"
Begitu lantang dan tegas kata-kata yang diucapkan Panji, hingga membuat Raja Sesat menunda langkahnya. Raja Sesat menggeram marah. Namun, darahnya menjadi berdesir, mengalir lebih cepat sewaktu dilihatnya betapa sepasang mata Pendekar Naga Putih menyorot tajam dan berkilat-kilat. Raja Sesat segera mendesah untuk menekan debaran di dadanya.
"Aku pun tidak akan membiarkan kau mencelakai Maliani, kendati dia adalah anakmu sendiri!" yang berkata adalah Suranli. Dan gadis ini melangkah maju, siap untuk melindungi Maliani.
"Aku juga tidak akan pasrah begitu saja," Maliani juga menentang ayahnya.
"Ini bukan lagi persoalan ayah dan anak, tapi antara kebaikan dan kejahatan!"
Raja Sesat tambah terperanjat saja. Dan sorot matanya yang semula garang, tampak mulai meredup. Dan Raja Sesat tidak berhasil menutupi rasa jerihnya. Terhadap Pendekar Naga Putih saja sebenarnya Raja Sesat sudah merasa jerih. Dan itu bukan tanpa alasan kuat.
Raja Sesat mendengar bahwa Pendekar Naga Putih telah merobohkan beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Kabar itu bukanlah isapan jempol belaka. Bukan kabar burung. Karena Raja Sesat sudah mengirimkan kaki-tangannya untuk menyelidiki kebenaran berita itu.
Dan tokoh-tokoh sesat itu ternyata memang telah tewas di tangan Pendekar Naga Putih. Dan kalau menghadapi Pendekar Naga Putih saja ia sudah merasa ragu untuk bisa menang, apalagi jika ditambah dengan putri Ki Arja Wiguna dan Maliani, putrinya sendiri. Dan lagi, sebenarnya ia sangat menyayangi putrinya. Lalu, apa artinya hidupnya jika putrinya yang cuma semata wayang itu tak lagi mau dekat dengannya?
"Sudahlah," desah Raja Sesat seraya menepiskan tangannya di udara.
"Mari kita pulang, Maliani, " lanjutnya seraya menatap putrinya dengan bibir tersenyum.
"Tidak, sebelum Ayah berjanji akan memenuhi permintaan Pendekar Naga Putih," kata Malinai sambil menentang pandang mata ayahnya.
Raja Sesat tertegun untuk beberapa saat lamanya. Lalu terdengar helaan napasnya sebagai tanda bahwa ia menyerah Dan Raja Sesat mengangguk lemah.
"Apa yang kupinta tidaklah berat bagimu, Raja Sesat," kata Panji.
"Kuharap kau mau membebaskan pujangga-pujangga yang kau culik..."
"Sebenarnya semua itu bukanlah sepenuhnya atas keinginanku. Tapi, karena Malintang berjanji akan memperbolehkan aku untuk ikut mempelajari ilmu-ilmu dalam kitab apabila aku mau menyediakan penterjemahnya," kata Raja Sesat seolah hendak mengatakan bahwa ia tidak bersalah dalam hal itu.
"Sekarang Malintang sudah binasa. Kelihatannya kau tidak keberatan untuk melepaskan para sastrawan yang kau culik, termasuk kitab-kitab hasil curian Malintang," kata Panji lagi, yang didukung oleh Maliani.
Raja Sesat menghela napas berulang-ulang.
"Baiklah, baiklah. Tapi aku tidak menyimpan kitab-kitab milik Ki Arja Wiguna," katanya menyerah, karena ia tidak ingin kehilangan putrinya.
"Aku tahu di mana Malintang menyimpannya," kata Maliani seraya menoleh kepada Suranti.
"Akan kuantarkan kau untuk mengambilnya, Suranti. Tidak jauh dari sini ada sebuah gubuk. Dan kitab-kitab itu disembunyikan Malintang di tanah tepat di bawah dipan bambu." Maliani berhenti sesaat, menatap ayahnya dan berkata, "Ayah aku pergi dulu untuk mengantarkan Suranti!"
Dan tanpa menunggu lagi, Maliani langsung menarik lengan Suranti. Raja Sesat cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Luar biasa sekali putrinya itu. Baru saja tadi bersikap memusuhinya, tapi dalam sekejap sudah berubah lagi.
"Ayo, ikut aku, Pendekar Naga Putih. Bocah bengal itu pasti akan menyusul," ajak Raja Sesat seolah tidak menyimpan perasaan apa-apa kepada Pendekar Naga Putih.
Panji mengangguk. Lalu mengikuti langkah Raja Sesat, ia sendiri tidak menyimpan perasaan apa-apa, karena memang tidak ada permusuhan pribadi di antara mereka. Dan pada dasarnya Panji tidak membenci dan memusuhi orang-orang golongan sesat, tapi golongan mana pun jika melakukan kejahatan tetap akan ditentangnya.
Karena tugas yang diberikan mendiang Eyang Tirta Yasa adalah menegakkan keadilan dan menentang perbuatan-perbuatan jahat. Siapa pun pelakunya. Jadi, bukan orangnya yang dimusuhi dan harus ditumpas, melainkan perbuatannya.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Pembalasan Topeng Tengkorak --oo0oo-- Sepasang Intan Biru |