Pembalasan Topeng Tengkorak
tanztj
May 15, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Utusan Dari Neraka --oo0oo-- Pembunuh Berdarah Dingin |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PEMBALASAN TOPENG TENGKORAK
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : PEMBALASAN TOPENG TENGKORAK
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
Yang seorang adalah kakek berusia sukar ditaksir. Wajahnya rusak berat! Kedua matanya menjorok ke dalam. Bola matanya kecil, seperti titik. Yang terlihat hanya dua kilatan sinar segi empat saja dan tampak mengerikan. Hidungnya hanya tinggal batangnya saja, tanpa cuping. Demikian pula mulutnya. Jelasnya, hampir seluruh daging di wajahnya habis, sehingga membuat sosok kakek ini seperti tengkorak hidup!
Sementara, sosok yang satu lagi adalah laki-laki berusia setengah baya. Badannya tinggi tegap, berpakaian abu-abu. Tangannya yang berotot kekar tampak mengepal, siap melontarkan tinjunya yang dahsyat.
"Kau sudah siap menerima ganjaranmu, Tinju Gledek!" terdengar suara aneh dari mulut kakek yang mirip tengkorak hidup. Meskipun tidak begitu jelas diucapkan, namun bergaung memenuhi penjuru bukit tempat mereka berdiri berhadapan.
"Tidak perlu berbasa-basi lagi, Iblis Laknat!" sosok bertubuh tinggi tegap berpakaian abu-abu yang dipanggil Tinju Gledek, menukas cepat.
"Dulu, nasib baik mungkin masih berpihak kepadamu. Namun kini tidak mungkin bisa terulang lagi!"
"Bagus kalau kau menyadarinya!" suara si Muka Mengkorak kembali bergema, tajam dan menggidikkan.
"Karena, hari ini kau akan terbujur menjadi mayat!"
Belum lagi hilang suara aneh yang diucapkannya hilang, seketika tubuh kakek berwajah tengkorak ini sudah melesat cepat bagai kilat. Sosoknya seakan lenyap, berubah sinar hitam yang meluncur deras ke arah Tinju Gledek.
Tinju Gledek bukanlah tokoh bau kencur yang mudah begitu saja dikelabui. Meskipun lawannya tidak terlihat jelas, namun dari sambaran angin yang datang dia tahu bagian tubuhnya mana yang diincar.
Bwet! Bwet!
Ketika senjata si Muka Tengkorak menyambar, tampak sinar hitam berkeredap disertai sambaran angin bercuitan. Namun, Tinju Gledek telah menggeser tubuhnya. Sehingga, senjata aneh berbentuk tombak yang ujungnya bercagak tiga mirip trisula, hanya menyambar angin kosong. Dan sebelum serangan balasan dilancarkan Tinju Gledek, si muka tengkorak telah memutar senjatanya. Lalu dengan kecepatan tinggi langsung ditusukkannya ke tubuh lelaki berjuluk Tinju Gledek. Karena untuk menghindar sudah tak mungkin, laki-laki tegap berpakaian abu-abu cepat mengibaskan tangannya, memapak.
Plakkk!
Tinju Gledek tak dapat menahan kagetnya, sehingga tergambar di wajahnya yang tampak berkerut. Betapa tidak? Ternyata kibasan tangannya, justru membuat tubuhnya terpental beberapa langkah. Kenyataan ini benar-benar di luar perhitungannya.
"Gila...!" desis Tinju Gledek, dengan hati berdebar dan wajah menegang! "Sungguh tidak kusangka kepandaiannya telah meningkat begitu pesat! Entah dari mana ilmu-ilmu tinggi luar biasa itu diperolehnya?"
"Sudah kubilang saat ini adalah hari kematianmu, Tinju Gledek!" ejek si Muka Tengkorak.
"Dewa Seribu Bayangan telah mendahuluimu kemarin. Dan aku yakin, kau sudah tidak sabar lagi untuk menyusulnya!"
Tinju Gledek kembali menampakkan keterkejutan di wajahnya.
"Maksudmu…!"
"Hiaaat…!"
Kata-kata Tinju Gledek tertahan, begitu terdengar teriakan lantang menggelegar. Secara licik, si Muka Tengkorak sudah menyerang dengan senjata terhunus.
Betapa geramnya hati Tinju Gledek menyaksikan kecurangan lawannya. Tapi dia tidak bisa berlama-lama hanyut dalam kegeraman. Cepat bagai kilat tubuhnya bersalto ke belakang. Lalu begitu kedua kakinya menjejak tanah langsung dipersiapkannya 'Ilmu Tinju Gledek'.
"Haaat…!"
Disertai satu pekikan mengguntur, Tinju Gledek menyerang si Muka Tengkorak. Kedua kepalannya terselimuti cahaya putih, menderu susul-menyusul. Sesekali dari kepalanya berkelebat sinar putih disertai ledakan keras berhawa panas menggiriskan.
Cusss! Cusss!
Begitu selesai mengirimkan serangan, rasa kaget muncul kembali di hati Tinju Gledek. Ternyata senjata andalan yang berupa larikan-larikan cahaya putih yang biasanya sanggup menghanguskan apa saja, kini sirna, begitu membentur salah satu ujung senjata si Muka Tengkorak.
Dari kepulan asap kehitaman setiap kali benturan terjadi, si Tinju Gledek sadar kalau senjata lawannya adalah pusaka langka yang mampu meredam pukulan-pukulan sakti. Kenyataan ini membuat hatinya bergetar. Keampuhan pukulan yang selama ini dibanggakan, ternyata sama sekali tidak berarti bagi si Muka Tengkorak. Ini berarti nyawanya benar-benar dalam bahaya!
"Hiaaat...!"
Setelah pertarungan berlangsung hingga empat puluh jurus, si Muka Tengkorak kembali membentak. Serangan-serangan si Muka Tengkorak datang bagaikan gelombang air bah. Maka tiba saatnya bagi Tinju Gledek untuk membangun pertahanan dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Namun, usahanya ini agaknya tak mampu membendung rentetan serangan si Muka Tengkorak, yang benar-benar dahsyat dan menggiriskan. Sebisanya, Tinju Gledek berusaha mengibaskan tangannya.
Plak!
Sambaran pertama masih dapat ditepis Tinju Gledek, kendati tubuhnya harus terjajar limbung. Dan kesempatan ini segera digunakan si Muka Tengkorak menyarangkan sebuah tendangan keras.
Desss...!
"Huakh...!" Tubuh Tinju Gledek terjengkang dan berguling-guling, begitu dadanya telak terhajar tendangan si Muka Tengkorak. Segumpal darah kental keluar dari mulut laki-laki tegap berpakaian abu-abu. Sesaat tubuhnya terduduk lemas di tanah. Meskipun demikian, Tinju Gledek tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia berusaha bangkit melanjutkan pertarungan lagi. Namun sebelum tubuhnya bangkit dengan tegak, ujung-ujung senjata si Muka Tengkorak telah berdesing dan langsung menusuk tenggorokannya.
"Hehkh!" Mata Tinju Gledek terbeliak seperti hendak terlompat dari rongganya. Wajahnya merah kehitaman, merasakan sakit luar biasa.
"Chiaaa...!"
Setelah memperdengarkan tawa anehnya yang menggetarkan, si Muka Tengkorak membentak sengau menyentakkan senjatanya. Dan ini membuat tubuh Tinju Gledek ikut terlempar dan jatuh terguling-guling. Tubuh Tinju Gledek baru terhenti ketika membentur sebuah batu besar. Sesaat tubuhnya menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian mengejang dan tewas dengan mata terbeliak lebar.
"Ha... ha ha ha...!"
Si Muka Tengkorak kembali memperdengarkan tawanya yang menggiriskan. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang beranjak sore. Beberapa saat kemudian, tubuh tinggi kurus kering ini melesat pergi diiringi tawa bagai iblis yang berkepanjangan.
* * * * *
Dua lelaki gagah berpakaian perwira tinggi kerajaan tampak melompat turun dari punggung kuda. Setelah menambatkan kudanya pada batang pohon di bawah bukit, bergegas mereka mendaki lereng. Jalan yang dilalui kedua lelaki ini memang sulit bila menggunakan kuda.
Tiba di atas puncak bukit, keduanya berhenti sebentar. Dengan penuh kerinduan, dipandanginya sekeliling puncak bukit itu. Beberapa kali kedua lelaki ini menarik napas panjang, seolah hendak mengisi dadanya dengan hawa segar di puncak ini.
"Hhh...," desah lelaki yang berkumis tipis.
"Setelah berada di sini, baru kusadari betapa besarnya kerinduanku pada tempat ini. Betapa indah dan manis masa-masa yang pernah kita lalui. Ah...! Betapa senang mengenang masa-masa itu, Kangmas."
Sementara lelaki yang tubuhnya lebih tinggi dan kekar daripada lelaki berkumis tipis, hanya tertawa perlahan. Wajahnya berseri-seri. Pandangan matanya berbinar, tanda tengah merasakan hal serupa. Seketika tawa laki-laki tinggi kekar ini semakin tinggi. Dan akhirnya menjadi gelak tawa berkepanjangan, bergaung memenuhi penjuru puncak bukit.
"Eh! Mengapa kau tertawa seperti itu, Kangmas Dinoyo...?!" tanya lelaki berkumis tipis seraya menatap laki-laki tinggi tegap yang bernama Dinoyo penuh keheranan.
"Ha ha ha...! Lucu... lucu...!" Dinoyo, malah menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk wajah kawannya. Tawanya semakin keras, sehingga membuat tubuhnya berguncang-guncang.
"Eh, mengapa?! Ada apa dengan wajahku...?!" Lelaki berkumis tipis itu semakin heran dan bingung. Merasa ada sesuatu yang mengotori wajahnya, segera tangannya bergerak mengusap. Namun ini justru membuat tawa Dinoyo semakin menjadi-jadi. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perutnya yang mendadak mual, melihat tingkah kawannya yang semakin menggelitik.
"Bukan.... Bukan wajahmu yang lucu, Dimas Lugino. Tapi..., tapi...." Dinoyo mengatur napasnya yang tersengal-senggal, sehingga ucapannya terpatah-patah. Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Masa kanak-kanak kita, Dimas! Ingatan itulah yang membuatku tertawa!" jelas Dinoyo.
Lelaki berkumis tipis yang bernama Lugino termangu dengan wajah ketololan. Keningnya berkerut membayangkan masa lalunya semasa kanak-kanak. Dalam benak mereka berdua memang banyak menyimpan kenangan manis dan kejadian menggelikan yang pernah dilalui bersama. Tetapi peristiwa yang mana yang membuat Dinoyo terpingkal-pingkal? Ini yang membuatnya bingung.
"Kau ingat kejadian di hutan sebelah selatan bukit ini, saat Guru pernah menyuruh kita mencari kayu bakar?" pancing Dinoyo, membantu ingatan Lugino yang sedang berpikir keras.
"Peristiwa itu terjadi sewaktu kau berusia kira-kira sembilan tahun. Ingat?"
"Mmm.... Kalau tidak salah, waktu itu kita bertemu harimau...," kata Lugino sambil berpikir.
"Betul..., betul! Ha... ha... ha...!" sahut Dinoyo, membenarkan.
"Ha... ha... ha...!"
Dan tawanya kembali terdengar keras. Tanpa dapat ditahan lagi, Lugino pun tergelak-gelak sampai mengeluarkan air mata. Peristiwa itu memang masih terbayang jelas di benaknya. Betapa ia berdiri gemetar sampai terkencing-kencing ketika seekor harimau menghadang mereka.
Binatang buas mengerikan itu tampak sangat kelaparan. Dia melangkah maju disertai gerengannya yang menggetarkan jantung, menuju ke arah Dinoyo dan Lugino. Lugino saat itu dibasahi keringat dingin. Jantungnya berdegup keras seperti mau copot.
Karena takutnya, seketika kayu bakar di tangan Lugino terjatuh. Badannya gemetar sampai tak terasa terkencing-kencing di celana. Sedangkan Dinoyo hanya berdiri gemetar dengan wajah memucat bagai mayat, tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
"Untung saat itu Guru cepat menolong. Kalau tidak, mungkin hidup kita telah tamat dimakan harimau itu," kenang Dinoyo.
"Tapi justru karena peristiwa itu, kita semakin giat berlatih. Jadi, sudah sepatutnya kita berterima kasih kepada harimau itu. Bukan malah membunuhnya setelah beberapa tahun kemudian," timpal Lugino, berkelakar.
Dinoyo mengangguk-angguk membenarkan. Tapi sesaat kemudian, keningnya berkerut. Pandangannya dialihkan ke arah sebuah bangunan pondok sederhana, yang berjarak beberapa tombak dari tempat mereka berdiri. Pondok itu berada di dataran yang agak tinggi. Meskipun agak jauh dan tampak samar, namun itu dapat dilihat dengan jelas.
"Aneh...?!" bisik Dinoyo tiba-tiba penuh curiga. Kemudian kepalanya berpaling kepada Lugino.
"Telah cukup lama kita berdiri di sini sambil tertawa-tawa. Mustahil jika Guru tidak mendengarnya...?"
Mendengar ucapan Dinoyo, seketika jantung Lugino berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada bias kecurigaan terlihat di wajahnya.
"Mungkin beliau sedang tak berada di pondok...," desah Lugino, menghibur hatinya yang tiba-tiba timbul perasaan tak enak.
"Mari kita lihat, Kangmas...!"
Tanpa menunggu jawaban lagi Lugino langsung melesat menuju pondok. Dinoyo segera menyusul, hingga keduanya seperti berlomba untuk tiba lebih cepat di pondok sederhana itu.
"Guru...!" Dinoyo yang tiba lebih dulu langsung memanggil gurunya. Kemudian tubuhnya langsung menerobos masuk, ketika ternyata pintu tidak terkunci. Lugino menyusul, melompat masuk ke dalam ruangan.
Dinoyo dan Lugino tertegun ketika mendapati pondok yang telah kosong. Bergegas mereka menuju kamar yang cuma satu-satunya. Dan ternyata, juga kosong! Maka Dinoyo dan Lugino segera keluar dari pondok.
"Kita berpencar...!" ujar Dinoyo. Kemudian tubuhnya bergerak ke arah utara.
Sedang Lugino melesat ke arah selatan. Lugino segera memeriksa daerah yang cukup banyak ditumbuhi pepohonan. Langkahnya dihentikan sambil memperhatikan sekelii.ngnya. Hatinya berdebar tegang, ketika menemukan bekas-bekas pertarungan.
"Kangmas Dinoyo, cepat kemari...!" Lugino memanggil Dinoyo, kakak seperguruannya, melalui suara yang mengandung tenaga dalam.
Suara Lugino, yang berkumandang ini, tertangkap pendengaran Dinoyo. Maka setelah memutar tubuhnya, tubuhnya segera bergegas menuju ke tempat Lugino.
"Coba perhatikan di sekitar tempat ini, Kangmas...!" Lugino langsung berseru sambil menunjuk ke bekas-bekas perkelahian, meskipun Dinoyo belum sampai di tempat.
Adanya batang-batang pohon yang tumbang wperti terkena bekas pukulan, tanah yang seolah habis diinjak-injak kerbau liar, membuat kening Dinoyo berkerut dalam. Hatinya berdebar keras, membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan.
"Melihat keadaan pohon ini," kata Dinoyo sambil memegang satu sisa dari pohon yang tumbang.
"Jelas, 'Tinju Gledek' milik Guru yang mematahkannya. Artinya Gurulah yang telah bertarung di tempat ini!" Tentu saja, mereka berdua paham betul dengan ilmu pukulan yang juga telah diwarisi guru mereka, yang tak lain Tinju Gledek.
"Kangmas, lihat...!" Tiba-tiba saja, Lugino berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah batu besar. Lalu, tanpa menunggu lagi tubuhnya langsung melesat ke arah batu itu.
Dinoyo dan Lugino berdiri gemetar ketika melihat bercak-bercak darah pada batu besar itu yang ternyata membentuk huruf-huruf, seperti sengaja ditinggalkan orang.
'Tinju Gledek sudah kuhapus keberadaannya dari muka bumi ini! Jejak ini sengaja kutinggalkan. Bagi yang ingin membalaskan kematiannya, temui aku di Gunung Bromo!
Raja Ular Siluman'
"Raja Ular Siluman...!"
Dinoyo dan Lugino saling bertukar pandang.
"Kita harus menuntut balas, Kangmas!" desis Lugino seraya mengepalkan tinjunya erat-erat sehingga, kuku-kuku jarinya memperdengarkan suara berkerotokan.
"Pasti, Dimas! Pasti!" sahut Dinoyo dengan sorot mata berapi.
"Tapi sebelumnya kita harus dapat menemukan...." Dinoyo tidak melanjutkan ucapannya. Dan saat itu matanya melihat Lugino tengah memandang ke bawah tebing di balik batu. Segera dihampirinya Dinoyo.
"Guru...!" desis Dinoyo bergetar.
Sesosok tubuh bersimbah darah, tersangkut di antara akar pepohonan, yang meranggas liar di dinding tebing, membuat Dinoyo tidak dapat menahan air matanya lagi. Dinoyo merasa hatinya seperti disayat pisau tajam. Apalagi, sosok itu tidak lain gurunya. Si Tinju Gledek!
Dengan akar pohon yang dijalin menjadi tali, Dinoyo berusaha menuruni tebing yang tidak terlalu dalam. Langsung dihampirinya mayat si Tinju Gledek. Dengan sebelah tangan dipanggulnya tubuh gurunya. Dinoyo segera bergerak naik dengan cara berlompatan sambil melibat tali akar pohon itu dengan lengan kirinya. Gerakannya demikian ringan, tanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi. Dan beberapa saat saja, dia telah tiba kembali di atas tebing.
"Raja Ular Siluman...!" desis Dinoyo penuh dendam ketika teringat nama yang tertera di atas batu, dan ditulis dengan darah gurunya.
"Tunggulah pembalasan kami...!" Suara Dinoyo terdengar menggeletar, terbawa perasaan dendam yang bergejolak memenuhi dadanya.
"Kematian guruku harus ditebus dengan darahmu, Iblis Laknat...!"
Lugino pun menggeram dengan wajah membesi. Gambaran penyesalan tampak jelas di wajahnya. Karena, dia belum sempat membalas kebaikan budi gurunya, yang telah bersusah-payah mendidik dan membesarkan. Padahal kedatangan mereka berdua di tempat ini adalah untuk membahagiakan gurunya. Tapi kini, semuanya kandas!
"Satu-satunya bakti yang bisa ditunjukkan sebagai tanda hormat dan cinta kita kepada Guru adalah, dengan mencari manusia laknat berjuluk Raja Ular Siluman itu. Sekaligus menuntut balas atas perbuatannya...," kata Dinoyo seolah mengetahui jalan pikiran adik seperguruannya.
Hal ini memang tidak aneh. Karena baik Dinoyo maupun Lugino sudah bersepakat untuk membawa guru mereka ke kotaraja. Lugino menoleh. Tangannya diulurkan, menjabat erat tangan Dinoyo.
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
Sebuah suara panggilan, membuat sosok pemuda tampan berjubah putih yang tengah melangkah, bergegas memutar tubuhnya. Sejak semula, pemuda yang dipanggil Pendekar Naga Putih ini mendengar adanya suara langkah orang berlari dari belakangnya. Namun, tak urung panggilan ini sempat membuat hatinya terkejut. Apalagi ketika ternyata yang memanggilnya seorang gadis berwajah cantik.
Gadis muda ini mempercepat langkahnya, menghampiri pemuda yang memang Panji alias Pendekar Naga Putih. Setelah meninggalkan Gunung Tengger, Pendekar Naga Putih harus melakukan perantauan seorang diri. Biasanya, dia memang ditemani Kenanga, kekasihnya. Tapi karena gadis itu harus menemani pamannya, yang tengah melakukan tugas demi kepentingan kadipaten, mereka terpaksa berpisah. Panji sendiri kini menempuh menuju Pamotan.
Kening Panji berkerut melihat gadis yang berpakaian serba putih yang tengah berlari menghampirinya. Terus-terang, dia memang tidak mengenal gadis itu.
"Kau..., kau Pendekar Naga Putih, bukan?" tanya gadis berpakaian serba putih itu langsung, begitu tiba di hadapan Panji. Pertanyaan itu diucapkan, hanya untuk meyakinkan kalau tidak salah mengenali orang. Terdengar helaan napas lega gadis itu ketika melihat Panji mengangguk.
"Siapakah, adik ini sebenarnya? Maafkan ingatanku yang buruk ini," ucap Panji, merasa tak mengenali gadis di hadapannya.
"Kita memang belum pernah berjumpa, Pendekar Naga Putih...."
"Panggil saja aku Panji, Dik," tukas Panji, memperkenalkan namanya. Memang, gadis ini nampak canggung saat menyebut julukan Pendekar Naga Putih.
"Namaku Nurita," jawab gadis berpakaian serba putih, memperkenalkan diri. Perlahan kepala gadis bernama Nurita ini merunduk. Ada pancaran kesedihan mendalam yang tergambar di wajahnya. Hal ini membuat kening Panji berkerut.
"Ada apa, Dik? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?" Panji menawarkan, menduga kalau gadis ini tengah dilanda permasalahan rumit.
"Aku..., aku memang sedang membutuhkn bantuanmu, Pendek... eh. Panji," jawab Nurita tergagap.
Kemudian, dengan menghela napas, Nurita langsung menceritakan apa saja yang menjadi ganjalan hatinya. Sementara Panji mendengarkan penuh perhatian, tanpa sekali pun ingin memotong. Sampai semua yang dipaparkan Nurita tuntas, kepala Pendekar Naga Putih masih manggut-manggut.
"Raja Ular Siluman...!" desis Panji mengulang julukan yang diduga adalah tokoh golongan hitam.
"Apa alasan Raja Ular Siluman hendak membunuh ayahmu, Nurita?"
"Kurang lebih sepuluh tahun silam, Ayah bersama beberapa tokoh golongan putih pernah mengeroyok Raja Ular Siluman. Akhirnya tokoh sesat itu tewas terjerumus ke dalam jurang. Tapi belakangan, Ayah mendengar tokoh sesat itu muncul lagi. Bahkan telah menewaskan dua orang sahabat Ayah, yang dulu ikut bersama mengeroyok Raja Ular Siluman. Dan dengan sombong, si Iblis Jahat itu sengaja meninggalkan jejak.
Dia bermaksud menantang siapa saja yang bermaksud membalas dendam, untuk datang ke Gunung Bromo. Demikian apa yang kuketahui dari Ayah," papar Nurita, disertai helaan napas panjang. Sebentar gadis itu menghentikan ceritanya. Mungkin untuk sekadar menguatkan hatinya.
"Setelah mendengar kabar kemunculan iblis itu, Ayah lalu menyuruhku mencari dan meminta bantuan seorang pendekar berjuluk Pendekar Naga Putih. Ayah bilang, kau pasti akan bersedia menolong.
Nama besarmu sudah terdengar hampir di tiap pelosok Jawa Timur ini. Lalu, aku bermaksud pergi ke Gunung Tengger. Karena belakangan ini, kudengar kabar kalau jejakmu berada di sekitar daerah pegunungan itu. Namun tak disangka, nasibku mujur. Sehingga kita bisa bertemu di sini," tutur Nurita sambi! mengawasi wajah Panji, yang membuat hatinya bergetar.
"Lalu mengapa tidak beliau saja yang mencariku?" Pertanyaan itu diajukan Panji, sekadar untuk menghilangkan perasaan risih yang menjalari hatinya, membuat Panji agak jengah.
"Waktu itu Ayah pergi untuk mencari Raja Ular Siluman. Menurut Ayah, lebih baik mencari daripada menunggu, yang justru akan membuat hatinya tak tenang." Sampai di sini Nurita berhenti. Kemudian kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Terdengai isak yang berusaha ditahan, namun tetap saja tertangkap telinga Panji.
"Jadi, kau menduga ayahmu sudah tewas...?" Innya Panji, hati-hati.
"Aku tidak tahu...," sahut Nurita menggeleng dungan suara terpatah-patah. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, tampak butiran-butiran air bening membasahi pipinya yang halus.
"Jejak Raja Ular Siluman sendiri tidak ada yang tahu. Malah sekarang, muncul iblis lain yang lebih kejam daripada Raja Ular Siluman. Dari kabar yang kudengar, tokoh iblis ini berwajah mengerikan. Sehingga dia dijuluki Iblis Topeng Tengkorak! Kemunculannya memang belum lama. Tapi, keganasannya membuat nama Iblis Topeng Tengkorak mencuat ke seantero dunia persilatan.
Dia banyak dibicarakan orang, karena membuat resah tokoh-tokoh golongan putih. Memang, tampaknya Iblis Topeng Tengkorak mempunyai penyakit gila membunuh! Hhh.... Keadaan saat ini benar-benar kacau! Persoalan Raja Ular Siluman belum lagi tuntas, kini muncul Iblis Topeng Tengkorak Bahkan lebih gila lagi!"
"Hm.... Apakah kau tahu, di mana tempat tinggal Raja Ular Siluman?" tanya Panji, sambil menatap gadis itu penuh iba. Panji memang lebih tertarik pada sepak terjang Raja Ular Siluman daripada Iblis Topeng Tengkorak. Apalagi Nurita membutuhkan bantuannya untuk menghadapi Raja Ular Siluman.
Nurita menggeleng perlahan.
"Kalau begitu, kita harus menyelidikinya lebih dulu. Kita tidak boleh bertindak ceroboh, sebelum tahu betul kekuatan lawan. Siapa tahu Raja Ular Siluman mempunyai banyak pengikut. Dan mungkin saja, Iblis Topeng Tengkorak adalah salah seorang pengikut Raja Ular Siluman yang sengaja diperintahkan untuk membuat kacau suasana.
Dengan demikian, Raja Ular Siluman akan lebih mudah menemukan musuh-musuhnya," papar Panji yang memang sudah mengambil keputusan untuk membantu Nurita.
"Mudah-mudahan saja ayahmu bukan salah satu di antara korban-korban keganasan Iblis Topeng Tengkorak...."
"Kecil sekali kemungkinannya...," desah Nurita tersendat.
"Berdoalah...," ujar Panji berusaha menanamkan harapan di hati Nurita.
Nurita mengangguk lemah. Kakinya segera melangkah ketika Panji mengajaknya untuk mencari tempat tinggal Raja Ular Siluman yang tengah mengganas ini
"Nurita," panggil Panji seraya menoleh tanpa menghentikan langkahnya.
"Bagaimana kau dapat langsung mengenaliku?"
"Apa sih sulitnya mencari orang terkenal seperti dirimu? Ciri-cirimu sangat mudah kukenali. Meskipun sebenarnya masih ragu sewaktu melihatmu, namun ketika kupanggil kau menoleh. Dari situ, aku yakin bahwa kau adalah orang yang selama ini kucari-cari," jelas Nurita, sudah bisa tersenyum.
Entah mengapa, Nurita sendiri merasa heran dengan apa yang dirasakannya. Berada dekat dengan Pendekar Naga Putih, hatinya merasa tenang, gembira, dan terlindungi. Dan semua perasaan itu tidak berusaha disembunyikannya. Gadis ini seperti tidak peduli, meskipun seandainya perasaan hatinya sampai diketahui Pendekar Naga Putih. Malah, diam-diam ia mengharapkan hal itu.
"Kau tidak takut keliru?" tanya Panji sambil lalu.
"Sebab, di dunia ini bukan hanya satu orang yang memiliki ciri-ciri seperti aku."
"Tapi orang lain pasti belum tentu menoleh, jika kupanggil Pendekar Naga Putih," bantah Nurita, kembali tersenyum. Malah senyumnya sengaja dibuat semanis mungkin, dengan harapan akan mendapat pujian Pendekar Naga Putih.
Tapi, tentu saja harapan itu tidak akan terwujud. Meskipun pada kenyataannya Nurita memang memiliki senyum manis, namun Panji bukanlah jenis pemuda yang suka mengumbar pujian. Hanya hatinya yang berbicara dan tidak sampai terucap keluar. Mau tak mau, Nurita terpaksa harus menelan kekecewaan. Apa yang diharapkannya ternyata tidak pernah terucap dari mulut Panji.
"Panji...." Kata-kata Nurita terputus ketika Panji menghentikan langkah sambil menggenggam pergelangan gadis itu. Dan ini membuat langkah Nurita tertahan.
"Ada orang sedang menguntit kita...!" bisik Panji, seraya menengadahkan wajahnya menatap pepohonan. Baru saja Pendekar Naga Putih selesai berbisik, tiba-tiba....
"Hih hih hih...!"
Panji secepatnya menarik Nurita mundur, ketika tiba-tiba dari salah satu pohon melayang turun sesosok tubuh. Sosok berambut riap-riapan dan berpakaian compang-camping itu langsung dapat dikenali ketika berdiri sejarak satu tombak di hadapan Panji.
"Nenek Setan Gila...!" desis Panji, agak menegang. Panji sadar. Kemunculan nenek ini berkaitan dengan dendam terhadapnya. Terutama, setelah rencana Nenek Setan Gila yang akan membalas dendam kepada Ki Trenggolo dan Pedang Bayangan Setan bisa digagalkan Panji.
"Kau tak lupa padaku, kan?" tegur Nenek Setan Gila, seraya memperdengarkan kekehnya yang berkepanjangan.
"Hm.... Apa maumu, Nenek Setan Gila?" tanya Panji.
"Hih hih hih...!" Sambil tertawa mengikik, Nenek Setan Gila melompat-lompat seperti monyet. Wajah dan suaranya kelihatan tidak menunjukkan rasa dendam atau pun marah. Kecuali, tatapan matanya yang mengeluarkan kilatan api. Dan, ini cukup membuat Panji waspada.
"Kau masih juga berpura-pura bego, Pendekar Naga Putih!" ujar Nenek Setan Gila, selalu mengawali dan mengakhiri ucapannya dengan tawa mengikik.
"Atau sebaliknya, julukanmu diganti saja jadi Pendekar Naga Bego. Menurutku, ini jauh lebih bagus daripada julukan Pendekar Naga Putih."
"Terserah!" tukas Panji.
"Aku tidak memusingkan soal julukan. Sebaiknya, katakan segera apa maumu. Terus terang, banyak persoalan lain, yang harus kuselesaikan!"
"Bagus..., bagus!" kata Nenek Setan Gila mengacungkan ibu jarinya sambil mengangguk-angguk.
"Seorang pendekar yang merasa besar sepertimu, memang seharusnya selalu punya persoalan. Ini wajar, karena kau terlalu usil dan sok jago! Keusilan dan kesokjagoanmu itulah yang membuat aku benci kepadamu! Apalagi usahaku di Gunung Tengger telah kau gagalkan. Persoalan itu belum selesai. Dan, sekaranglah waktu yang tepat untuk menyelesaikannya!"
Selesai berkata demikian, kedua lengan Nenek Setan Gila segera dikembangkan. Telapak tangannya yang terbuka diarahkan ke wajah Panji. Kedua telapak-tangannya diputar perlahan-lahan, sementara bibirnya komat-kamit seperti membaca mantra.
Panji kembali menarik mundur Nurita. Terasa rangsangan hawa aneh membuat kepala Pendekar Naga Putih mendadak pening. Panji sadar, Nenek Setan Gila tengah mengerahkan ilmu sihir untuk melumpuhkan dirinya. Maka bergegas pandangannya dialihkan dari telapak tangan Nenek Setan Gila, agar tidak terus terpengaruh.
Tapi, Panji lupa kalau di sebelahnya ada Nurita. Tentu saja, gadis, ini tidak paham dengan maksud gerakan Nenek Setan Gila. Dan dia merasakan keganjilan pada dirinya. Hanya saja Nurita tidak tahu mengapa kepalanya mendadak pening. Bahkan tanpa sadar pikirannya terhanyut gerakan kedua telapak tangan Nenek Setan Gila.
Dan ketika rasa pusing itu kian kuat, sekujur tubuhnya terasa panas. Butir-butir keringat mulai membasahi kening, ditingkahi desah napas yang ganjil. Selanjutnya, Nurita mulai menggerak-gerakkan tubuhnya, membangkitkan daya pikat luar biasa.
"Panji...." Dengan mata setengah terpejam, Nurita mendesah lirih. Seiring desahan, tanpa sadar tangan kanannya terulur ke wajah Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget, ketika telapak tangan Nurita yang panas ini membelai-belai wajahnya. Sadarlah Panji, apa maksud gerakan-gerakan yang dilakukan Nenek Setan Gila.
"Keparat! Dia rupanya bermaksud mempermalukan diriku...!" dengus Panji menggeram, wajahnya memerah. Untung Pendekar Naga Putih cepat menyadari keanehan ini dan segera mencegahnya. Kalau tidak, dia pasti juga akan terpengaruh oleh sihir Nenek Setan Gila ini.
"Kau benar-benar keji, Nenek Setan Gila...!" sentak Pendekar Naga Putih penuh kemarahan, melihat tingkah Nurita yang semakin menjadi-jadi.
"Nurita, hentikan!"
Bentakan Pendekar Naga Putih yang laksana ledakan guntur di siang hari bolong, membuat tubuh Nurita tersentak. Bahkan nyaris terpelanting kalau saja Panji tidak segera menangkap tubuhnya. Seperti baru terbangun dari tidur, Nurita menunjukkan wajah bingung. Untung saja kebingungannya berlangsung sesaat. Dan kini pipi gadis itu terlihat bersemu merah karena malu.
"Gila...!" umpat Panji dalam hati.
"Hih hih hih...!" Nenek Setan Gila tertawa mengekeh melihat pertunjukan ini.
"Balaslah pelukan pemuda tampan itu, Nurita. Jangan sia-siakan kesempatan baik ini. Peluk, dan ciumlah pemuda pujaanmu itu...!" Kata-kata Nenek Setan Gila ini menggeletar karena disertai pengerahan ilmu sihir. Sehingga membuat Nurita terpengaruh.
Dalam cengkeraman pengaruh sihir, Nenek berjuluk Setan Gila ini, Nurita segera melingkarkan kedua lengannya ke leher Panji. Kemudian wajahnya didekatkan disertai desahan napas panas menggelora.
"Nenek laknat..! Kau benar-benar tidak tahu malu!" Merasa tidak berdaya melepaskan Nurita dari cengkeraman ilmu sihir Nenek Setan Gila, Panji terpaksa mendorong tubuh gadis ini hingga Nurita jatuh terjengkang.
Tanpa mempedulikan Nurita, Panji bermaksud melumpuhkan sumbernya. Untuk itu segera seluruh kekuatan 'Tenaga Saka Gerhana Bulan' dikerahkan seketika. Maka, tubuh Panji terselimuti kabut putih keperakan. Dan tak lama kemudian, Nenek Setan Gila yang masih terkekeh-kekeh diterjangnya.
"Haaat..!" Disertai sambaran hawa dingin menggigit, kedua tangan Panji yang membentuk cakar naga meluncur ke arah Nenek Setan Gila.
Namun tanpa harus menghentikan kekehnya, Nenek Setan Gila menggeser tubuhnya menghindari serangan ini. Langkahnya kelihatan sembarangan. Namun justru dengan gerakan itu, dirinya terhindar dari ancaman Pendekar Naga Putih. Dan dengan gerakan seperti itu pula, tubuhnya mampu menyelinap maju, seolah sengaja memapak ancaman cakar-cakar naga yang masih berkelanjutan. Dan, setiap kali cakar naga hampir mengenai tubuhnya, Nenek Setan Gila selalu dapat mengelaknya sambil terus melangkah maju.
"Hiii...!" Pada saat jarak mereka demikian dekat, Nenek Setan Gila membentak nyaring. Lalu, sepasang tangannya yang berkuku panjang, hitam, dan runcing menyambar tenggorokan dan lambung Pendekar Naga Putih!
Serangan ini demikian hebat! Dari sambaran angin yang mencicit tajam, Pendekar Naga Putih pun sudah menyadarinya. Selanjutnya kaki Pendekar Naga Putih digeser menyilang, kemudian bergerak ke samping disertai gerakan tubuhnya.
Cwit! Cwit! Cwit!
Tiga kali sambaran kuku-kuku runcing yang mengandung racun jahat ini, membeset tempat kosong. Karena, tubuh Pendekar Naga Putih yang menjadi sasaran telah lebih dulu menghindar. Tapi, Nenek Setan Gila tidak kehilangan akal. Dengan gerakan cepat dan kuat, kedua tangannya diputar menyamping, ke arah lambung dan iga.
Duk! Duk!
Kibasan lengan kiri Pendekar Naga Putih menggagalkan serangan maut Nenek Setan Gila. Benturan keras terjadi, sehingga tubuh keduanya terhuyung mundur. Namun, nenek itu lebih dulu dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan selagi Pendekar Naga Putih masih terhuyung, dia sudah membentak. Tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi, sementara kedua cakarnya membeset menyilang.
Bret! Bret!
Pendekar Naga Putih tak sempat lagi menyelimutkan dirinya. Sambaran kuku-kuku beracun itu membuat tubuhnya terpelanting. Darah kental berwarna kehitaman langsung mengucur dari luka-luka di dadanya. Tampak jubah Pendekar Naga Putih di bagian dada terkoyak lebar oleh kuku-kuku runcing Nenek Setan Gila, sehingga guratan panjang berdarah terlihat jelas.
"Hiii...!" Nenek Setan Gila tampak bernafsu sekali melenyapkan Pendekar Naga Putih yang sangat dibencinya itu. Maka tanpa memberi kesempatan, tubuhnya sudah meluncur dengan cakar-cakarnya yang menebarkan bau busuk!
Bressssh...!
Debu, rerumputan, dan bebatuan kecil beterbangan, seiring suara keras ketika cakar-cakar Nenek Setan Gila membongkar tanah, tempat tubuh Pendekar Naga Putih berdiri. Untungnya, pada saat berbahaya ini, Pendekar Naga Putih telah menggulingkan tubuhnya. Maka selamatlah dirinya dari cakar-cakar maut Nenek Setan Gila.
Selagi Nenek Setan Gila mengebut-ngebut debu, rerumputan, dan bebatuan kecil yang beterbangan menghalangi pandangannya. Pendekar Naga Putih segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Seketika, tubuhnya terlapisi sinar kuning keemasan, berpendar menyilaukan mata. Tenaga sakti ini langsung saja membakar musnah racun yang masuk ke dalam tubuhnya.
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' dirasakan aneh bagi Pendekar Naga Putih. Sebab tenaga sakti yang biasanya langsung bekerja saat tubuhnya terkena racun, kali ini baru bekerja setelah dikerahkan. Pendekar Naga Putih maklum akan keganjilan itu.
Lawannya, Nenek Setan Gila, adalah seorang ahli sihir, tentu saja perempuan tua itu merasakan adanya hawa sakti di dalam tubuh Pendekar Naga Putih. Maka sebelum pemuda berjubah putih ini sempat mengerahkannya, dia sudah mengunci lebih dulu dengan mantra-mantra sihirnya.
Tapi sayang, Nenek Setan Gila hanya mampu membuat tenaga sakti Pendekar Naga Putih kehilangan daya kerjanya bila tidak dikerahkan. Pendekar Naga Putih yakin, mantra sihir pengunci yang digunakan Nenek Setan Gila mampu ditembus 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Itulah sebabnya tanaga sakti itu tidak menunjukkan pengaruhnya, sewaktu Pendekar Naga Putih terkena racun Nenek Setan Gila.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
"Benar-benar luar biasa...!" desis Nenek Setan Gila sambil berdecak dengan kepala menggeleng. Ucapan dan sikapnya menunjukkan rasa kekagumannya.
"Entah, dari mana dia mendapatkan kekuatan sakti seperti itu? Pantas saja kalau sampai saat ini, belum ada orang mampu mengalahkannya. Rupanya dia memiliki banyak ilmu sakti."
Saking takjub dengan kejadian yang baru disaksikannya, Nenek Setan Gila jadi tidak sadar kalau saat itu sinar kuning keemasan sudah lenyap dari tubuh Pendekar Naga Putih. Dia baru tersadar ketika terdengar teguran Pendekar Naga Putih.
"Apakah kau hendak melanjutkan perkelahian ini Nenek Setan Gila?"
"Heh!" Nenek Setan Gila menyentak kepalanya ke belakang sambil mencibirkan bibirnya. Lalu tangannya berusaha mengambil sesuatu dari balik pakaiannya. Benda yang diambilnya ternyata berupa gulungan daun sirih, dan langsung dimasukkannya ke dalam mulut. Bibir keriput Nenek Setan Gila tampak genyol-genyol beberapa saat. Setelah itu, dia meludah beberapa kali ke kiri dan kanan. Akibatnya, tanah yang terkena percikan air ludahnya mengepulkan asap tipis, meninggalkan bekas berlubang.
"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih, tak dapat menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Nenek gila ini ternyata bukan hanya biangnya ilmu sihir. Tapi, juga ahli racun yang mengerikan! Hm.... Berbahaya sekali jika manusia seperti dia dibiarkan hidup lama. Keberadaannya di atas muka bumi ini hanya akan menimbulkan kesengsaraan orang banyak!"
Berpikir demikian, Pendekar Naga Putih tampak memusatkan pikiran, sekaligus mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'-nya. Dan seiring bentakannya yang mengguntur, di tangan kanannya telah tergenggam sebatang pedang besar. Panjangnya, melebihi ukuran pedang biasa. Inilah Pedang Naga Langit! Sebuah pusaka langka, yang tidak ada duanya!
Lagi-lagi Nenek Setan Gila dibuat kagum akan kesaktian Pendekar Naga Putih. Dia sebenarnya tidak mengetahui secara pasti tentang Pedang Naga Langit ini. Anggapannya, Pendekar Naga Putih sedang mempertunjukkan sihir yang sengaja dipamrkan kepadanya.
"Hih hih hih...! Kepandaian sihir yang kau miliki hebat juga, Pendekar Naga Putih...!" ujar Nenek Setan Gila, setengah mengejek.
"Tapi, aku pun bisa melakukan hal serupa!" Usai berkata, Nenek Setan Gila segera menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Mulutnya komat-kamit, merapal mantra.
"Hiaaa...!" Sesaat kemudian, Nenek Setan Gila mengeluarkan bentakan nyaring. Tahu-tahu di tangan kanan Nenek Setan Gila sudah tergenggam sebatang pedang besar dan pajangnya tidak beda dengan Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Putih. Pedang di tangan Nenek Setan Gila sebenarnya hanya ciptaan ilmu sihir. Berbeda dengan Pedang Naga Langit yang benar-benar nyata. Namun Nenek Setan Gila tak mau tahu. Selanjutnya....
Bwet! Bwet!
Sambil mengekeh panjang, Nenek Setan Gila mengebut-ngebutkan pedang ciptaannya di sekeliling tubuhnya.
"Mari kita buktikan, pedang siapa yang lebih ampuh, Pendekar Naga Putih!" tantang Nenek Setan Gila, penuh semangat.
"Baik!" sahut Pendekar Naga Putih, menerima tantangan. Lalu diputarnya Pedang Naga Langitnya, sehingga tubuhnya seolah lenyap ditelan gulungan sinar kuning keemasan yang memancarkan hawa panas menyengat.
"Hiii..."" Nenek Setan Gila membuka serangan lebih dulu. Dan bila Panji tidak menggunakan pedang saktinya, pastilah telah merasakan adanya hawa aneh mengiringi sambaran pedang perempuan tua ini. Namun, karena Pendekar Naga Putih menggunakan Pedang Naga Langit, maka pengaruh hawa sama sekali tak terasa. Karena keampuhan Pedang Naga Langit, langsung menolak tebaran hawa aneh itu.
Bushhh...!
Tak lazimnya dua benda logam yang saling berbenturan, bertemunya pedang Nenek Setan Gila dengan Pedang Naga Langit, memperdengarkan suara aneh. Bahkan membuat pedang di tangan Nenek Setan Gila lenyap, menjadi gumpalan asap putih tebal. Kejadian ini berakibat, limbungnya tubuh Nenek Setan Gila. Wajahnya pucat. Darah tampak mengucur deras dari lengan kanannya yang putus sebatas pergelangan.
Sebenarnya wujud pedang ini sama sekali tidak ada. Yang ada hanya pengaruh sihirnya sehingga terlihat seperti pedang sungguhan. Padahal yang dikira pedang, sesungguhnya tangan Nenek Setan Gila sendiri. Oleh sebab itu, ketika Pedang Naga Langit membentur senjata Nenek Setan Gila, membuat tangan nenek tua ini putus sebatas pergelangan.
Kenyataan ini membuat Nenek Setan Gila meraung bagai singa betina luka. Wanita tua ini benar-benar tidak habis pikir, mengapa pedang di tangan Pendekar Naga Putih yang diduganya hasil ciptaan sihir, benar-benar nyata! Bahkan terbukti telah memapas putus pergelangan tangannya.
"Pedang ini memang benar-benar nyata, Nek. Sama sekali bukan hasil ciptaan sihir seperti pedangmu," jelas Pendekar Naga Putih menjelaskan.
Si Nenek Setan Gila sama sekali tak berniat menanggapi kata-kata Pendekar Naga Putih yang bernada ejekan. Hatinya saat ini benar-benar terselimuti benci mendalam. Berikutnya disertai raungan panjang mendirikan bulu roma, diterjangnya Pendekar Naga Putih menggunakan sebelah tangan dan disertai tendangan-tendangannya. Saat itu pula, ludah sihirnya yang mengandung racun jahat diumbar dengan membabi-buta.
Kehilangan sebelah pergelangan tangan, membuat Nenek Setan Gila ini benar-benar telah menjadi gila. Sehingga, membuat Pendekar Naga Putih kewalahan juga untuk mengimbanginya. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Nenek Setan Gila memaksa Pendekar Naga Putih bermain mundur. Pedang Naga Langit diputarnya sehingga membentuk gulungan sinar menyilaukan, untuk membentengi tubuhnya dari percikan ludah-ludah sihir beracun dan kuku-kuku hitam beracun Nenek Setan Gila.
Meskipun tangannya luka, namun Nenek Setan Gila masih gesit juga. Dan satu saat. Pendekar Naga Putih kecolongan. Karena, satu tendangan perempuan tua ini sempat bersarang di perutnya!
Desss!
Meskipun telah terlindung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', tak urung tubuh Pendekar Naga Putih terlempar sejauh satu tombak. Tampak sudut bibirnya mengalirkan darah.
Sementara, perempuan tua itu telah membangun serangan kembali. Sedangkan Pendekar Naga Putih menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha melupakan rasa sakit yang dideritanya. Kini tubuh Nenek Setan Gila telah meluncur dahsyat. Untuk menahan serangan, Pendekar Naga Putih mengerahkan seluruh kecepatan dan kekuatan yang dimilikinya! Begitu dibabatkan secara mendatar, senjata pusaka ini mengaung dahsyat laksana dengung ratusan lebah murka! Begitu cepat gerakannya, sehingga tak mampu dihindari Nenek Setan Gila. Dan...
Breeettt…!
"Aaa...!" Perempuan tua itu meraung keras! Babatan Pedang Naga Langit ternyata cepat sekali merobek perutnya, dari pinggang kiri hingga pinggang kanan. Seketika darah terhambur dari perut yang menganga lebar, memperlihatkan usus-ususnya yang terburai. Tubuh Nenek Setan Gila terhempas deras, dan terbanting di tanah!
Pendekar Naga Putih berdiri goyah sambil mendekap perut dengan tangan kiri. Pengerahan tenaga dalam serangannya tadi justru mengakibatkan luka di dalam tubuhnya bertambah parah. Tapi belum juga sempat menarik napas lega, tubuh Nenek Setan Gila ini bergerak bangkit.
Pendekar Naga Putih sampai membuang muka, tak sanggup menyaksikan sosok Nenek Setan Gila yang melangkah ke arahnya dengan usus terburai dan darah berceceran ke tanah. Pemandangan ini membuat mual Pendekar Naga Putih.
Karena rasa mual ini makin menjadi, tubuhnya sampai terhuyung dan muntah-muntah. Sedangkan Nenek Setan Gila sudah menyiapkan jurus-jurus serangannya. Namun belum sempat mendekati Pendekar Nnga Putih, tubuhnya sudah terjungkal roboh dengan napas putus! Kendati demikian, kedua matanya tampak terbeliak lebar, menggambarkan rata penasarannya yang dalam!
Nurita yang menyaksikan Nenek Setan Gila bangkit dan melangkah dengan usus terburai, kontan menjerit. Pemandangan yang mengerikan ini membuat jiwanya terguncang hebat. Rasa pening dan mual yang menyerang, membuatnya tak kuat mempertahankan kesadarannya. Pingsan.
* * * * *
"Panji...."
Nama itulah yang pertama kali diucapkan Nurita, ketika sadarkan diri. Senyumnya mengembara sewaktu melihat Panji tengah duduk di sampingnya. Ada keharuan di hatinya. Sikap Panji yang menjaganya selama pingsan, ditanggapi lain oleh Nurita. Apalagi, ketika tersadar tampak Panji sedang tersenyum kepadanya. Maka kian berbungalah hati Nurita.
"Apa yang kau rasakan, Nurita?" tanya Panji lembut, tanpa perasaan lain. Kecuali, kekhawatiran. Memang secara tidak langsung, keselamatan gadis itu telah menjadi tanggung jawabnya.
Tapi bagi Nurita, pertanyaan ini dianggap sebagai tanda kasih sayang Panji kepadanya. Dugaan ini membuatnya seakan dibuai bayang-bayang indah, yang bermain-main di benaknya. Dan sambil tersenyum lebar, tangannya diulurkan, menggenggam hangat telapak tangan Panji.
"Tenggorokanku kering sekali, Kakang. Aku... aku haus...," suara Nurita demikian lemah.
Namun di dalam hatinya Panji menangkap suara bernada mesra dan manja. Bahkan dia telah memanggi Panji dengan sebutan kakang. Panji tidak ingin membiarkan Nurita terus dibuai perasaan yang tidak dikehendaki. Bergegas dia bangkit dan melepaskan genggaman tangan gadis ini. Namun, Nurita sendiri semakin mempererat genggamannya, seperti tidak ingin dilepaskan.
"Kau hendak ke mana..., Kakang...?" tanya Nurita lemah.
"Bukankah kau memerlukan air?" Panji mengingatkan.
"Aku hendak mencarinya. Mudah-mudahan di sekitar tempat ini ada aliran sungai...." Perlahan-lahan Pendekar Naga Putih berusaha melepaskan genggaman Nurita.
"Sebaiknya, bawalah aku ke sumber air itu, Kakang," pinta Nurita, mengharap, "Kalau kau pergi dan sumber air itu ternyata jauh, lalu bagaimana diriku? Apa kau tega meninggalkanku terbaring sendiri tanpa daya di tempat sepi seperti ini...?"
"Hm..., baiklah," desah Panji setelah berpikir sesaat. Dia merasa, apa yang dikhawatirkan Nurita memang beralasan.
"Bangunlah. Mari kita cari sumber air itu," lanjut Panji. Dan sebenarnya, Pendekar Naga Putih tidak pernah berpikir kalau harus memondong gadis ini ke sumber air terdekat.
"Bagaimana aku bisa berdiri, Kakang? Rasanya aku sudah tak beda dengan sesosok mayat. Sekujur tubuhku lemas. Seolah tulang-tulangku dilolosi. Aku… aku seperti tidak mempunyai kekuatan lagi, Kakang...," kata Nurita setengah merengek manja. Matanya yang sayu dan wajahnya yang pucat, memang sangat mendukung ucapannya. Sehingga, untuk sesaat Panji menjadi bingung.
"Lalu..., bagaimana, Nurita?" tanya Pendekar Naga Putih. Menghadapi Nurita seperti itu, mendadak saja Panji tiba-tiba menjadi bodoh.
"Bantulah aku berdiri, Kakang," pinta Nurita sambil menatap Panji dengan mata sayu.
"Akan kucoba untuk melangkah..."
Panji jadi merasa lega. Maka segera diturutinya permintaan gadis ini. Namun, setelah berdiri, gadis ini mengeluh tak bisa melangkah.
"Kedua kakiku tidak punya kekuatan lagi, Kakang. Jangankan untuk melangkah, untuk berdiri saja, aku tak sanggup," keluh Nurita.
Tentu Panji semakin bingung jadinya. Melihat Pendekar Naga Putih terdiam, Nurita menghela napas sambil menundukkan wajahnya yang seketika diselimuti mendung.
"Jika kau merasa jijik untuk memondongku, tinggalkanlah aku di sini, Kakang. Carilah sumber air itu. Aku akan menunggumu di sini...," kata Nurita, sehingga membuat Panji serba salah.
Ucapan ini lebih menunjukkan kesedihan daripada kepasrahan. Apalagi ketika di kulit wajah yang halus ini ada butiran air bening yang menggelincir, turun. Tahulah Panji, gadis ini merasa terpukul. Mungkin menyangka, pemuda ini jijik untuk bersentuhan dengannya.
"Bukan begitu, Nurita," sanggah Panji, merasa tidak enak.
"Kau harus ingat, aku adalah laki-laki. Selain itu, kau belum lama mengenalku. Belum tahu siapa aku sebenarnya. Dan, bagaimana watak asliku. Apakah kau tidak merasa khawatir kalau aku akan berbuat tidak sopan?"
"Meskipun belum lama kenal, tapi aku percaya sepenuhnya kepadamu, Kakang. Aku tahu, kau orang baik, jujur, dan tidak segan-segan berkorban demi kepentingan orang lain. Sekalipun orang itu belum kau kenal. Tapi, segalanya memang bisa saja terjadi. Dan kalaupun benar demikian, aku tidak akan menyesal. Itu adalah kesalahanku, yang telah menaruh kepercayaan kepadamu," kilah Nurita panjang lebar. Dan Panji tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Kalau begitu, aku akan berusaha untuk tidak merusak kepercayaanmu, Nurita," ujar Panji, tak bisa mengelak lagi.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Pulih memondong tubuh Nurita. Tapi, dadanya tetap saja berdebar sewaktu gadis ini menggayutkan kedua lengan ke lehernya. Panji terpaksa harus berjuang keras mengerahkan kekuatan batin, untuk mengusir perasaan hatinya yang kacau.
Apa yang dirasakan Panji memang tidak terlalu berlebihan. Sebagai seorang laki-laki muda, wajar saja kalau hati dan pikirannya terangsang bila bersentuhan dengan wanita. Lebih-lebih terhadap Nurita.
Nurita memang gadis cantik. Rambutnya hitam tebal dan agak bergelombang. Sepasang matanya yang bulat dan indah tersembunyi di balik bulu mata lentik. Hidungnya kecil mancung dengan bibir merah segar dan selalu basah. Belum lagi tubuhnya yang hangat dan lembut, menebarkan bau harum yang khas. Inilah yang lebih kuat membangkitkan rangsangan bagi laki-laki, tidak terkecuali Panji.
Ketika melihat air yang jernih dan menjanjikan kesegaran, Nurita minta agar Panji menurunkan tubuhnya langsung di dalam air.
"Air sungai ini segar sekali. Aku jadi ingin mandi," ujar Nurita dengan wajah mulai berseri "Tolong tinggalkan aku, Kakang...."
"Hati-hatilah," pesan Panji.
"Aku menunggu mu di atas." Pendekar Naga Putih segera naik ke tepian sungai. Di bawah sebatang pohon, dia duduk bereteduh. Tanah tepian sungai cukup tinggi, sehingga Nurita tidak terlihat dari tempatnya berteduh.
"Awww...!"
Baru saja beberapa tarikan napas Panji menghenyakkan pantatnya di atas rerumputan, tiba-tiba terdengar jeritan Nurita. Dari nadanya, bisa ditangkap gambaran ketakutan yang tidak dibuat-buat. Maka tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Putih melompat dan lari ke arah Nurita disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.
"Ada ular...!" seru Nurita, begitu melihat Panji. Telunjuknya ditudingkan ke benda panjang di dalam air.
Begitu mendaratkan kakinya di sungai yang tak begitu dalam, ternyata Panji hanya berdiri tertegun! Sepasang matanya terbeliak lebar. Dadanya bergemuruh. Aliran darahnya terasa terbalik, membuat napasnya tersengal. Bukan ular yang ditunjuk Nurita, yang membuatnya seperti orang kehilangan kesadaran. Namun, justru tubuh gadis itu yang membuat Panji terpaku.
Nurita beberapa saat tidak menyadari keadaan dirinya. Saat ini, tubuhnya hanya terbungkus pakaian dalam tipis. Panjangnya hanya sebatas paha bagian atas. Namun, pakaian dalamnya yang dalam keadaan basah, melekat ketat di tubuhnya. Sehingga seluruh tubuh gadis ini membayang di depan Panji. Apalagi gadis ini menghadap ke arahnya.
Bentuk tubuh itu benar-benar sebuah pemandangan yang sanggup melenyapkan kesadaran lelaki sekuat apa pun! Tak terkecuali Panji sendiri yang kekuatan batinnya telah mendapat gemblengan manusia sakti seperti Malaikat Petir. Sampai-sampai kedua kakinya gemetar!
"Kakang, mengapa diam saja?!" sentak Nurita masih belum menyadari keadaannya. Malah kedatangan Panji, langsung disongsong. Seketika, tubuhnya dijatuhkan ke dalam pelukan pemuda perkasa yang tengah terbius pemandangan luar biasa indah di hadapannya.
Pelukan Nurita, membuat Panji semakin mabuk! Tubuh lembut itu melekat ketat di tubuhnya. Terlebih ketika merasakan himpitan dada Nurita yang membusung indah. Maka makin gemetar sekujur tubuh pemuda itu. Kedua kaki Panji menjadi lemas. Secara bersamaan, Nurita semakin mempererat pelukannya. Pemuda ini tak kuat berdiri lebih lama lagi. Tubuhnya! jatuh ke dalam sungai yang dangkal ini. Demikian pula Nurita. Gadis itu ikut terjatuh menindih Panji. Wajah keduanya saling lekat satu sama lain.
"Kakang...," bisik Nurita lirih dan bergetar. Nurita yang belum sadar dengan keadaan dirinya, malah seperti tidak ingin menarik wajahnya dari wajah Panji. Sejak pertama kali berjumpa, gadis ini sudah merasa tertarik pada Pendekar Naga Putih. Dan justru keadaan ini merupakan kesempatan baginya untuk menunjukkan perasaannya. Sehingga tanpa ragu dan malu-malu lagi, dikecupnya bibir Panji dengan segenap cintanya.
"Nurita..., ingatlah...." Panji mencoba mengingatkan Nurita, meski suaranya sendiri terdengar parau dan bergetar.
Namun karena terdorong cintanya kepada Panji, gadis ini sama sekali tidak menggubris. Malah nafsunya makin menggelora, membuat akal sehat Panji lenyap, terbius perbuatan gadis yang tengah dimabuk asmara. Panji pun mulai membalas perbuatan itu dengan hangat, membuat Nurita mengerang dan semakin liar! Sama sekali tidak disadari bahwa saat itu tubuh mereka terendam air!
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
Angin silir-silir lembut dan gemerisik dedaunan sama sekali tidak mengganggu sosok tubuh kurus itu. Tubuhnya tidak bergerak, sampai akhirnya terusik kehadiran pemuda tampan berjubah putih tengah memondong seorang gadis, yang juga berpakaian serba putih. Meraka tidak lain adalah Panji dan Nurita!
Sosok kurus ini sudah berada di tempat itu, sebelum Panji dan Nurita datang. Pembicaraan kedua anak muda itu membuat sosok kurus ini menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Dan sepasang mata yang semula redup, terbeliak lebar sewaktu Nurita yang minta ditinggalkan Panji, melepas pakaian luarnya.
"Aha! Sungguh tidak kusangka kalau di tempat ini bakal ada tontonan mengasyikkan...!" ujar sosok lubuh kurus itu dalam hati, sambil membuka matanya lebar-lebar. Beberapa kali sosok kurus ini meneguk air liurnya menyaksikan pemandangan indah yang tiada duanya. Dan seketika timbul keinginannya untuk menyergap gadis itu. Namun....
"Kakang Panji...." Terdengar teriakan Nurita, yang membuat keinginan sosok itu tertunda. Apalagi ketika melihat sosok pemuda berjubah putih yang sebelumnya bersama gadis itu, sudah melesat datang dengan kecepatan tinggi. Tentu saja sosok tubuh kurus di atas pohon ini menjadi terbengong-bengong. Tampaknya sama sekali tidak disangka kalau pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
"Setan keparat...!" maki sosok tubuh kurus itu dalam hati.
"Rupanya mereka bukan orang sembarangan! Dan kurasa, pemuda tampan berjubah pulih itu seorang tokoh besar dunia persilatan. Ini dapat kutebak dari caranya bergerak dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi...."
Ketika menyaksikan kejadian selanjutnya, mata sosok tubuh kurus kembali terbelalak. Perbuatan Panji dan Nurita membuat tubuhnya menjadi panas terbakar. Dadanya memukul keras. Dan terpaksa dia hanya bisa menelan air liurnya. Malah, ada sebagian yang menetes jatuh.
"Gila..., gila...!" desis sosok tubuh kurus, kelabakan seperti kebakaran jenggot. Tanpa sadar lelaki kurus ini menggeser tubuhnya, bergerak hingga ke ujung dahan. Langkahnya agak gemetar, karena pemandangan yang disaksikan benar-benar memancing nafsunya. Dan karena penasaran ingin melihat lebih dekat lagi agar lebih jelas, kewaspadaannya jadi hilang. Tanpa disadari dirinya sudah berada di ujung cabang pohon. Sehingga....
Krakkk...!
"Heh?!"
Karena tidak dapat menahan berat tubuhnya, cabang pohon itu pun patah! Akibatnya, sosok di atas pohon kontan terpelanting jatuh berdebuk di tanah. Justru keributan yang diakibatkan jatuhnya sosok tubuh kurus itu yang menyelamatkan Panji yang tengah berjuang keras melawan bisikan iblis yang menguasainya. Kesadaran Panji terbangkit. Maka cepat didorongnya tubuh Nurita yang telah menindih tubuhnya.
Nurita pun tidak kalah kagetnya. Namun kesadaran gadis ini tidak seperti Panji. Justru kesadarannya bangkit karena rasa malu begitu melihat tubuhnya yang nyaris tanpa pakaian. Berbarengan dengan melompatnya Panji ke atas tepi sungai, Nurita berlari dan menyambar pakaiannya. Lalu dia bersembunyi di balik batu besar dengan wajah tampak pucat kemerahan.
"Kurang ajar kau, Pemuda Sinting!"
Kedatangan Panji langsung disambut makian oleh sosok tubuh kurus. Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran. Dia merasa tidak punya salah, tapi mengapa kakek kurus tak berbaju itu, tiba-tiba marah kepadanya?
"Ada apa, Kek?! Mengapa tak ada angin dan tak ada hujan kau marah-marah kepadaku?" tanya Panji penasaran.
"Kau lah gara-garanya, Pemuda Sinting! Perbuatanmu dengan gadis itu hampir-hampir membuatku gila, tahu?! Untung aku hanya terjatuh ke tanah. Coba kalau ke dalam jurang. Apa kau kira aku sekarang masih bisa hidup? Ayo, jawab!" dengus kakek kurus ini. Pertanyaan Panji memang malah seperti api disiram minyak. Kakek kurus tak berbaju semakin gusar.
Ucapan yang tanpa tedeng aling-aling itu, langsung membuat selebar wajah Panji merah. Pemuda berjubah putih itu merasa malu, karena perbuatannya bersama Nurita tadi ternyata diketahui kakek kurus ini. Namun, harus diakuinya kalau kakek kurus itu justru telah menyelamatkan dirinya hingga tidak sampai melakukan perbuatan terkutuk. Bergidik juga hatinya membayangkan jika itu terjadi. Pikiran itulah yang membuatnya tidak merasa marah atau pun tersinggung. Justru sebaliknya, dia harus berterima kasih.
"Sudahlah, Kek. Kalau memang dianggap salah, aku minta maaf...," ucap Panji. Kemudian Pendekar Naga Putih memutar tubuhnya hendak meninggalkan kakek kurus itu.
"Hei, tunggu...!" seru kakek kurus mencegah. Berbarengan dengan seruannya, tubuh kakek ini melambung melewati kepala Panji. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya mendarat menghadang jalan.
"Kau tidak bisa pergi bagitu saja, Pemuda Sinting! Perbuatanmu harus kubalas!" lanjut kakek kurus itu lagi.
"Apa maksudmu, Kek...?" tanya Panji sambil memandang dengan kening berkerut.
"Kau telah telanjur membuatku mengilar, tahu?! Untuk itu, kuminta agar gadis molek itu kau serahkan padaku. Perbuatanmu tadi sudah membuat hatiku terbakar hangus. Aku harus menyiramnya biar dingin, dan itu hanya bisa kudapatkan dari gadis yang bersamamu tadi," ujar kakek kurus ini.
Tentu saja Panji jadi terkejut! "Mana ada aturan begitu?" bantah Panji, "Kau sendiri yang salah, mengapa melihatnya? Coba kalau matamu ditutup pasti akan lain jadinya."
"Tidak bisa..., tidak bisa...!" tukas kakek kurus itu bersikeras sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
"Aku sudah berada di sini jauh sebelum kalian berdua datang. Aku sedang enak-enak tidur di atas pohon, ketika kalian datang mengusik. Bahkan, kalian dengan sengaja membuatku seperti kebakaran jenggot! Aku tidak bisa terima! Aku menuntut segera, agar kau serahkan gadis itu sebagai ganti ruginya!"
Pendekar Naga Putih mengurungkan niatnya untuk menjawab, ketika melihat Nurita sudah naik ke tepi sungai. Perubahan tatapan Panji, membuat kakek kurus menoleh. Dan wajahnya langsung saja menyeringai, ketika melihat gadis yang membuatnya mengilar tadi.
"Nah, itu dia! Kau tidak perlu repot-repot, Pemuda Sinting. Biar aku yang mengambilnya sendiri," ujar kakek kurus itu. Langsung saja langkahnya terayun menghampiri Nurita.
"Tahan langkahmu, Kakek Gila...!" Panji tentu saja tidak mungkin mendiamkan perbuatan kakek kurus itu. Sambil berseru, tubuhnya melesat menghadang.
"Heh?! Kau masih juga hendak mempertahankan gadis itu? Apa kau tadi masih belum puas! Wah! Rakus betul kau, Pemuda Sinting!"
Dengan wajah merah menahan malu, Panji menghembuskan napasnya kuat-kuat. Ditatapnya kakek kurus ini lekat-lekat. Sorot matanya berubah tajam dan keras.
"Eh! Kau marah, Pemuda Sinting?" ejek si kakek sambil menarik kepalanya dengan sikap kaget.
"Wah! Itu tandanya ucapanku tadi benar...."
"Maaf, kami ada urusan lain yang harus segera diselesaikan. Biarkan kami pergi dari sini,"" pinta Panji, menahan sabar. Dan Pendekar Naga Putih dapat menduga kalau si kakek tidak mungkin membiarkan begitu saja mereka berdua pergi dari situ.
"Sudah... sudah...! Aku tidak mau bertengkar mulut lagi! Capek, tahu?!" tukas kakek kurus itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
"Sebaiknya kau menyingkir. Atau, terpaksa aku akan menghajarmu, Pemuda Sinting!"
"Maaf! Apa pun yang terjadi, gadis ini tak akan kuberikan kepadamu, Kakek Gila...," tandas Panji, tetap pada pendiriannya.
"Hm.... Kau menantang, ya?" sepasang mata kakek kurus itu berkilat merah.
"Kalau begitu, kau memang benar-benar minta dihajar...!" Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh kakek ini sudah melesat ke depan sambil mengirimkan pukulan lurus ke dada Panji.
Beddd!
Namun Panji lebih dulu menggeser tubuhnya ke samping sehingga pukulan kakek itu luput. Kegagalan itu tentu saja semakin membakar kemarahan si kakek kurus. Namun, Panji sudah kembali menggeser tubuhnya, siap menghadapi serangan berikut.
"Haaat...!"
Secepat kilat, kakek kurus ini kembali melesat menerjang Panji. Kali ini langsung dilancarkannya tiga pukulan sekaligus! Sasarannya, bagian-bagian tubuh Panji yang berbahaya!
Bet, bet, bet!
Tiga pukulan cepat yang disertai deruan angin keras, sedikit pun tidak membuat Panji gugup. Hanya menggeserkan kakinya yang diikuti gerakan tubuh, tiga serangan beruntun ini kembali nihil. Dan sebelum kakek ini sempat melancarkan serangan berikutnya, Pendekar Naga Putih sudah melontarkan balasan. Dua sambaran pukulan Panji disambut kakek kurus dengan gerakan nyaris tak tertangkap mata.
Duk! Plak!
Benturan itu mengakibatkan tubuh mereka sama-sama terjajar mundur beberapa langkah. Dan kenyataan ini, membuat si kakek kurus tak berbaju terkejut!
"Eh! Kau ternyata hebat juga, Pemuda Sinting...!" seru kakek kurus itu. Keterkejutannya yang tadi terpancar di wajahnya hanya terlihat sekilas. Saat berikutnya, wajah yang tersembunyi di balik rambut riap-riapan ini berubah berseri-seri.
Tampaknya kakek kurus tak berbaju justru senang setelah merasakan kalau lawan yang dihadapinya ternyata mampu mengimbangi tenaga dalamnya. Sejak semula, hatinya memang sudah yakin kalau pemuda yang dihadapinya bukan orang sembarangan. Namun, sungguh tak disangka kalau pemuda ini begitu hebat. Sehingga, mampu membuat tubuhnya terjajar mundur.
Melihat kakek kurus itu sudah menyiapkan jurus-jurus baru, Panji segera menggeser langkahnya secara menyilang. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' segera dikerahkan sampai sepertiga bagian. Sehingga dalam sekejap tubuh Pendekar Naga Putih telah terselimuti sinar putih keperakan.
"Kau..., kau Pendekar Naga Putih...!?" Melihat sinar putih keperakan yang membungkus tubuh pemuda itu, kakek kurus ini langsung berseru menyebut julukan Panji. Tampak jelas betapa wajahnya memancarkan ketidakpercayaan.
"Benarkah kau Pendekar Naga Putih? Atau orang lain yang memiliki ciri serupa dengannya?" tanya kakek kurus itu, menegasi karena kurang percaya.
Karena tidak menyangka kalau kakek kurus di hadapannya tahu julukannya, Panji menjadi bungkam. Untuk beberapa saat pemuda ini dilanda kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dan akhirnya Panji sadar, mengapa kakek kurus itu merasa ragu dengan dugaannya. Jelas, ini karena kakek itu melihat perbuatannya bersama Nurita.
"Jadi..., perempuan molek itu kekasihmu...?" tanya kakek kurus itu kembali, ketika meiihat Pendekar Naga Putih masih diam.
"Kami hanya bersahabat," jawab Panji setelah menggeleng.
"Dan apa yang kau saksikan tadi, hanya kelalaian kami saja."
"Kelalaian?!" dengus si kakek kurus mengejek.
"Pendekar Naga Putih ternyata bisa juga lalai, ya?"
"Aku hanya manusia biasa, Kek! Dan aku juga mempunyai nafsu seperti manusia-manusia lain," ujar Panji, berusaha tidak terpancing oleh ejekan tadi.
"Terserah, bagaimana anggapanmu."
"Aku tidak peduli apa yang barusan kau lakukan, Pendekar Naga Putih. Jadi sebaiknya, kau pun, tidak ambil peduli jika aku menghendaki gadis sahabatmu ini," cetus kakek kurus tak berbaju, tetap menginginkan Nurita.
"Dan aku tetap mencegahmu!" tegas Panji mantap.
"Keparat sinting, cegahlah kalau kau mampu...!"
Bersamaan teriakannya si kakek kurus kembali menerjang Pendekar Naga Putih. Kali ini serangannya benar-benar dahsyat. Kedua tangannya berputar cepat, seolah berubah delapan! Sulit mengenali, mana tangan yang sesungguhnya dan mana yang hanya bayangan.
Meskipun begitu, ketika kedepalan tangan kakek kurus ini mengancam jalan darah di tubuhnya, Pendekar Naga Putih dapat mengatasinya dengan baik. Sambil berlompatan menghindar, serangan-serangan balasannya dilontarkan untuk mengimbangi serangan.
Diam-diam Panji merasa heran. Karena belum lama bertarung melawan Nenek Setan Gila, sekarang muncul kakek kurus tak berbaju. Bahkan kepandaiannya setara dengan Nenek Setan Gila. Kemunculan dua tokoh berkepandaian tinggi yang ditemuinya dalam waktu singkat, membuat Panji bertanya-tanya. Pendekar Naga Putih yakin, tokoh-tokoh sakti seperti Nenek Setan Gila dan kakek kurus itu tentunya tidak akan menampakkan diri, apabila tidak ada penyebabnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya, membuat perhatian Panji terganggu. Akibatnya, dia jadi agak lengah. Dan kesempatan ini, dipergunakan si kakek kurus dengan sebaik-baiknya. Lalu....
Buk! Buk!
Dua kali pukulan telak bersarang di dada dan lambung, membuat tubuh Panji terpental deras. Untungnya sewaktu tubuhnya hampir terpelanting, matanya masih sempat melihat bayangan kakek kurus mengejarnya. Seketika, tubuhnya dilempar bergulingan di atas tanah, menghindari serangan susulan. Selanjutnya tubuh Panji baru melenting bangkit, setelah bergulingan cukup jauh.
Panji membesut lelehan darah di sudut bibir dengan punggung tangan kanan. Pukulan tadi cukup membuat bagian dada dan lambungnya terasa seperti remuk. Namun, rasa sakitnya dirasakan segera lenyap ketika 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai bekerja.
"Gila!? Cahaya apa lagi itu...?!" Cahaya kuning keemasan yang berpendar membungkus tubuh Pendekar Naga Putih, membuat kakek kurus ini terbeliak takjub.
"Hebat sekali pemuda sinting berjuluk Pendekar Naga Putih itu! Ilmu yang dimilikinya benar-benar sangat langka dan menakjubkan!" lanjut kakek kurus itu.
Setelah menyaksikan ilmu-ilmu sakti lawannya, kakak kurus ini sadar kalau pemuda ini tidak bisa dianggap remeh. Menyadari hal itu, seketika timbul pikiran liciknya. Tubuhnya segera melesat ke arah Nurita. Namun, niat licik si kakek kurus sudah terbaca Panji. Maka langsung saja Pendekar Naga Putih melesat mencegahnya.
"Heaaat...!
Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya, Panji melesat secepat kilat. Kakek kurus ini terpaksa menunda niatnya, begitu langkahnya terpotong gerakan Pendekar Naga Putih. Maka kini, keduanya kembali bertarung sengit. Lewat enam puluh tiga jurus kemudian, Panji yang menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya membuat si kakek kurus kewalahan dan terdesak. Kungkungan hawa dingin yang menebar di sekeliling arena, membuat gerakan kakek kurus ini terganggu. Bahkan tiga jurus berikutnya....
Buk! Desss...!
Si kakek kurus menjerit lepas begitu pukulan dahsyat Pendekar Naga Putih mendarat telak di tubuhnya yang terjengkang kencang laksana daun kerling dihempaskan angin ribut. Tanpa ampun lagi, tubuh kurus tak berbaju itu jatuh berdebuk, kontan muntah darah. Meskipun hantaman Panji mengakibatkan luka dalam yang parah, kakek kurus ini berusaha segera bangkit. Ditariknya napas berulang-ulang, sambil membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Ini dilakukannya untuk melenyapkan serangan hawa dingin yang merasuk tubuhnya.
"Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga Pulih, " puji si kakek kurus, jujur.
"Ilmu Delapan Lengan Dewa milikku ternyata dapat kau kalahkan. Untuk kali ini, aku mengakui keunggulanmu. Namun kelak, aku akan mencarimu untuk membuat perhitungan. Camkan baik-baik!" Usai berkata demikian, kakek kurus itu memutar tubuhnya. Seketika, dia berlari terhuyung-huyung meninggalkan tempat perkelahian.
Panji menghempaskan napas kuat-kuat. Ucapan berbau dendam si kakek kurus sama sekali tak menjadi ganjalan baginya. Sebagai seorang pendekar petualang, hal-hal seperti ini sudah sering alaminya. Sehingga, Pendekar Naga Putih tidak merasa terganggu atau menyesali.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Nurita...," ajak Panji tanpa menoleh ketika mendengar adanya suara langkah halus di belakangnya.
Kini Pendekar Naga Putih melangkah lambat-lambat, sementara Nurita berjalan di belakangnya tanpa kata. Sepertinya, apa yang terjadi di antara mereka tadi telah membuat keduanya merasa jengah. Sehingga dalam perjalanan ke Gunung Bromo, mereka lebih banyak berdiam diri.
* * * * *
:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::
Sebaliknya, justru tokoh-tokoh golongan hitam amat memuja dan mengagungkannya. Sepak terjangnya dianggap sebagai masa kejayaan bagi kaum golongan hitam. Dan Iblis Topeng Tengkorak dianggap sebagai biangnya datuk sesat!
Namun, ternyata tidak semua tokoh golongan hitam bersedia menerima kehadiran Iblis Topeng Tengkorak sebagai raja. Mereka yang tidak sudi menerima pengakuan itu, rata-rata para tokoh tingkat tinggi. Terutama, yang selama ini dianggap sebagai datuknya kaum sesat. Mereka merasa tersaingi dan mulai dilupakan.
"Aku akan membuat perhitungan dengan Iblis Topeng Tengkorak, keparat itu!"
Kata-kata itu dilontarkan salah seorang datuk sesat berjuluk Singa Tangan Delapan. Dia merasa marah dan juga sakit hati, karena tokoh-tokoh golongan hitam di wilayahnya yang selama ini memberikan upeti kini menunjukkan tanda-tanda hendak memberontak. Penyebabnya tak lain, munculnya Iblis Topeng Tengkorak!
Sepak terjang Iblis Topeng Tengkorak, yang membunuhi kaum golongan putih, secara tidak langsung telah melindungi tokoh golongan hitam. Selama ini, tindak kejahatan tokoh golongan hitam memang selalu ditentang keras oleh tokoh golongan putih. Maka sebagai tanda terima kasih, mereka menyisihkan sebagian hasil untuk diserahkan kepada Iblis Topeng Tengkorak, di lereng Gunung Bromo.
Udara dingin di salah satu lereng Gunung Bromo menyambut kedatangan lelaki tua berjuluk Singa Tangan Delapan. Tokoh berusia sekitar enam puluh lima tahun ini tubuhnya masih terlihat kekar. Otot-otot lengannya bersembulan bagai akar pohon yang melingkar-lingkar. Dengan pakaian rompi kulit binatang, seakan-akan dia hendak memamerkan otot-otot kekarnya.
Wajahnya yang agak mirip singa, menunjukkan wataknya yang keras dan pemberang. Ditambah kumis dan jenggot yang meranggas liar di sebagian wajahnya. Sehingga, sosok Singa Tangan Delapan terlihat semakin angker saja. Di depan sebuah bangunan berbentuk sebuah candi kuno, Singa Tangan Delapan menghentikan langkahnya.
"Hoi, Iblis Topeng Tengkorak! Keluar kau...!" Seruan tokoh berwajah mirip singa ini mengaung memenuhi penjuru lereng.
Begitulah watak Singa Tangan Delapan. Tak suka berbasa-basi, dan tidak menunda-nunda persoalan. Singa Tangan Delapan berdiri tegak, mengawasi candi kuno itu. Ditunggunya kemunculan Iblis Topeng Tengkorak. Namun sampai beberapa saat, sosok yang dinanti tak juga menampakkan diri.
Singa Tangan Delapan menggereng gusar. Ditariknya napas dalam-dalam siap mengulang teriakannya. Namun tiba-tiba angin bertiup keras, menerbangkan dedaunan dan rerumputan kering. Seketika pandangan Singa Tangan Delapan agak terganggu.
"Kau mencariku, Singa Tangan Delapan?"
Tiba-tiba terdengar teguran sengau dan ganjil membuat Singa Tangan Delapan memutar tubuhnya secepat kilat. Rasa terkejut sepintas terlihat pada sorot matanya, ketika mendapati sesosok tubuh tinggi kurus berwajah tengkorak, tahu-tahu telah berdiri tegak satu tombak di sebelah kanan.
Kehadiran tokoh yang memang Iblis Topeng Tengkorak yang tiba-tiba dan di luar sepengetahuannya sempat membuat hati Singa Tangan Delapan bergetar. Perasaan ini cepat-cepat ditekannya. Sebab sebagai seorang datuk, Singa Tangan Delapan tidak ingin ada orang lain tahu kalau hatinya sedang dilanda kengerian dan kegentaran.
"Terkejut dengan kehadiranku, Singa Tangan Delapan?" tegur Iblis Topeng Tengkorak. Suaranya yang lebih mirip desahan panjang itu terdengar mengandung ejekan.
"Atau kau merasa ngeri melihat keadaan wajahku?"
"Hmh...!" dengus Singa Tangan Delapan kasar.
"Penampilanmu memang sangat sempurna, Iblis Topeng Tengkorak. Namun, aku tidak dapat kau kelabui seperti tokoh-tokoh tolol lainnya. Sebaiknya, lepaskan saja topeng buruk itu, sebelum kesabaranku hilang sehingga membuat wajahmu benar-benar kubuat berubah jadi tengkorak!"
"Siapa bilang aku mengenakan topeng, Singa Tangan Delapan? Ini memang wajahku yang asli. Aku bukan manusia pengecut yang harus menyembunyikan diri di balik topeng!" tukas Iblis Topeng Tengkorak dengan desahan bernada dingin.
"Hm..., bagus kalau begitu!" sambut Singa Tangan Delapan dengan suara berat, tetap berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Lelaki berjuluk Singa Tangan Delapan sama sekali tidak menyangka, kalau wajah Iblis Topeng Tengkorak memang benar-benar berupa tengkorak. Sepengetahuannya, wajah tengkorak biasanya hanya sebagai topeng untuk menyembunyikan wajah sesungguhnya. Namun, Iblis Topeng Tengkorak ternyata lain. Jadi memang pantas kalau julukan Iblis Topeng Tengkorak diberikan kepadanya.
"Aku paham apa maksudmu mencariku, Singa Tangan Delapan," kata Iblis Topeng Tengkorak.
"Kau datang untuk menuntut hakmu, bukan?"
"Terus terang, ya!" jawab Singa Tangan Delapan seadanya.
"Selain itu, aku juga ingin menjajal sampai di mana kepandaian orang yang telah diangkat sebagai biangnya golongan sesat!"
"Hm..., begitu?" gumam Iblis Topeng Tengkorak dingin dan tajam. Saking dinginnya, tubuh Singa Tangan Delapan terlihat sempat menggigil.
"Kau sudah siap?" Belum sempat Singa Tangan Delapan mengangguk, Iblis Topeng Tengkorak sudah melesat disertai sambaran tombak bermata tiga di tangan kanannya.
"Licik...!" umpat Singa Tangan Delapan sambil membuang tubuhnya ke kanan sehingga serangan Iblis Topeng Tengkorak hanya mengenai tempat kosong.
"Bagi orang-orang seperti kita, mana ada istilah licik atau curang, Singa Tangan Delapan!" sahut Iblis Topeng Tengkorak, tetap melanjutkan serangan.
Begitu gencar serangan Iblis Topeng Tengkorak, sehingga Singa Tangan Delapan hanya mampui bergerak menghindar, dan terkadang menangkis.
Whuuut! Plakkk!
"Aaah...!?" Singa Tangan Delapan tak dapat menahan pekik kagetnya, begitu habis memapak serangan Iblis Topeng Tengkorak. Tubuhnya sempat terhuyung sejauh setengah tombak. Sedangkan, telapak tangannya yang digunakan untuk memapak ujung tombak laki-laki berwajah tengkorak itu, telah berubah kehitaman.
"Racun..!?" seru Singa Tangan Delapan dengan wajah pucat! Laki-laki berwajah singa ini sadar kalau racun di tombak Iblis Topeng Tengkorak sejenis racun hebat. Terbukti telapak tangannya yang telah dilindungi tenaga dalam, masih juga terkena pengaruh.
"Senjata ini memang sangat luar biasa," puji Iblis Topeng Tengkorak untuk senjatanya sendiri.
"Selain mengandung racun hebat, juga mampu meredam dan menolak segala jenis pukulan sakti."
"Siapa kau sebenarnya, Iblis Topeng Tengkorak? Rasanya aku pernah mengenal dasar-dasar gerakanmu?" Seolah tidak peduli keterangan itu, Singa Tangan Delapan menatap sosok Iblis Topeng Tengkorak penuh perhatian.
"Betulkah kau masih bisa mengenaliku, Singa Tangan Delapan?" Sambil berkata demikian, Iblis Topeng Tengkorak menggerakkan tangan kirinya, langsung dibuatnya sebuah jurus yang merupakan ciri-ciri ilmu silatnya.
"Jadi..., kau...!?"
"Benar!" tukas Iblis Topeng Tengkorak cepat.
"Tidak perlu kau teruskan lagi, Singa Tangan Delapan. Aku sengaja membuka rahasia ini kepadamu, karena sebentar lagi warna hitam itu akan menjalar ke seluruh tubuhmu. Maka dalam waktu singkat, tubuhmu akan membusuk yang akan mengantarkan ke kematianmu! Ha... ha... ha... ha...!"
"Iblis busuk..!" rutuk Singa Tangan Delapan mengutuk dengan wajah pucat. Keterangan Iblis Topeng Tengkorak benar-benar membuat Singa Tangan Delapan ketakutan setengah mati! Terlebih ketika pada telapak tangannya terlihat warna hitam yang telah menjalar hingga ke siku. Tahulah datuk sesat itu kalau ucapan Iblis Topeng Tengkorak bukan hanya gertakan belaka.
"Jangan banyak bergerak, Singa Tangan Delapan!" cegah Iblis Topeng Tengkorak.
"Setiap gerakan, terlebih dengan pengerahan tenaga dalam, akan mempercepat daya kerja racun ini. Dan kau akan mengalami rasa sakit yang luar biasa..."
"Laknat...!" desis Singa Tangan Delapan. Keringat mulai membasahi wajahnya. Kendati demikian, ucapan Iblis Topeng Tengkorak diturutinya. Kini Singa Tangan Delapan terpaksa harus berdiam diri bagaikan patung. Hanya sepasang matanya saja yang menatap sosok Iblis Topeng Tengkorak penuh dendam dan kebencian.
"Bagus! Itu namanya anak baik...," ujar Iblis Topeng Tengkorak memperdengarkan tawanya yang mendirikan bulu roma. Kemudian Iblis Topeng Tengkorak memutar tubuhnya. Lalu, dia meninggalkan Singa Tangan Delapan dengan langkah perlahan.
"Iblis busuk! Hendak pergi ke mana kau...?!" seru Singa Tangan Delapan, geram bukan main. Datuk sesat ini benar-benar ketakutan setengah mati. Sehingga, seruannya lebih mirip rintihan orang putus asa yang sedang menghadapi kematian.
"Tenang-tenang sajalah kau di tempatmu, Singa Tangan Delapan. Ingat! Semakin banyak bergerak, maka semakin cepat kematian datang menjemputmu," kata Iblis Topeng Tengkorak tanpa menoleh dan terus melangkah perlahan.
"Ampuni aku, Iblis Topeng Tengkorak...! Aku mengaku kalah. Tolonglah aku. Jangan biarkan aku mati. Aku masih ingin hidup. Aku bersedia menjadi budakmu sekalipun, apabila mau membebaskan aku dari racun keparat ini... Aku bersumpah...! Aku bersumpah, Iblis Topeng Tengkorak...!"
Karena rasa takutnya yang mendalam, Singa Tangan Delapan sampai menjatuhkan dirinya, berlutut ke arah kepergian Iblis Topeng Tengkorak. Bayangan kematian yang mengerikan, membuat kesombongannya lenyap seketika sehingga tanpa malu-malu, dia menyembah dan merintih-rintih memohon belas kasihan Iblis Topeng Tengkorak.
"Hm...." Iblis Topeng Tengkorak menahan langkahnya, setelah mengangguk sesaat, tubuhnya berputar menghadap Singa Tangan Delapan yang tengah berlutut.
"Ke mana perginya kesombonganmu, Singa Tangan Delapan?" ejek Iblis Topeng Tengkorak.
"Apa kau tidak ingat peristiwa belasan tahun silam di mana ada seorang tokoh yang hendak bergabung kepadamu, tapi ditolak mentah-mentah?
Kau hina dan kau permalukan tokoh itu di hadapan orang-orangmu. Sekarang, kau malah merengek-rengek minta belas kasihan kepadaku. Apa aku tidak salah dengar? Atau, kau pura-pura lupa bahwa tokoh yang pernah kau hina dan kau permalukan itu adalah aku?"
"Aku memang sombong dan tolol. Tapi, tidakkah kau sudi memaafkan kekhilafanku itu, Iblis Topeng Tengkorak? Aku..., aku sudah lama melupakan kejadian itu." Singa Tangan Delapan terus merengek-rengek sambil membentur-benturkan keningnya di tanah.
"Bagimu memang tidak ada artinya. Tapi bagiku, sakit hati ini jauh lebih dalam daripada lautan yang paling dalam sekalipun! Aku tidak pernah melupakan peristiwa belasan tahun silam itu. Singa Tangan Delapan! Sekarang, hatiku puas melihat kau merengek-rengek minta belas kasihan sambil menyembah-nyembah seperti itu.
Jadi, percuma saja kau merayu dengan cara seperti itu mengharapkan pertolonganku, Singa Tagan Delapan. Asal tahu saja, meskipun kau menagis mengeluarkan air mata darah sekalipun, hatiku tidak akan tergerak!"
Setelah berkata derrkian, Iblis Topeng Tengkorak kembali memutar tubuhnya. Kali ini kakinya melangkah agak cepat meninggalkan Singa Tangan Delapan yang kembali sudah bangkit berdiri.
"Keparat..!" gereng Singa Tangan Delapan lirih. Tadi Singa Tangan Delapan terpaksa merendahkan diri agar dibebaskan dari pengaruh racun itu. Tentu saja diam-diam hatinya bersumpah, suatu saat akan membalas perbuatan Iblis Topeng Tengkorak bila permohonannya dikabulkan. Namun siapa sangka kalau permintaannya sama sekali tidak digubris.
Singa Tangan Delapan bangkit kemarahannya. Dia merasa sudah kepalang tanggung. Daripada diam menunggu ajal di bawah deraan rasa ngeri, dia memilih lebih cepat mati, agar tidak merasakan penderitaan berkepanjangan.
"Haaattt..!" Keputusan nekat diambil Singa Tangan Delapan. Dengan teriakan mngguntur, dibokongnya Iblis Topeng Tengkorak, tubuhnya meluncur deras dengan kedua cakar terulur siap mencengkeram leher Iblis Topeng Tengkorak!
"Chiaaa...!" Namun sebelum sepasang cakar Singa Tangan Delapan tiba, mendadak Iblis Topeng Tengkor membentak sambil mengibaskan senjatanya tanpa menoleh.
"Haaa...!"
Breeet...!
Singa Tangan Delapan meraung panjang, ketika ujung-ujung tombak Iblis Topeng Tengkorak merobek perutnya. Darah kontan terhambur berceceran membasahi tanah. Tubuh Singa Tangan Delapan terlempar dan terbanting keras di tanah berbatu. Asap tipis berwarna kehitaman tampak mengepul dari luka di perutnya. Kini tubuhnya melejang-lejang sekarat, menekap luka dengan kedua tangannya. Namun sebentar kemudian, tubuh datuk sesat ini diam tidak bergerak lagi. Nyawanya sudah terbang, meninggalkan raga yang rusak berat.
"Hm.... Sebenarnya aku lebih suka melihatmu mati perlahan-lahan," ujar Iblis Topeng Tengkorak sambil memandang mayat Singa Tangan Delapan yang terbujur dengan usus terburai.
"Tetapi, kau rupanya sudah tidak sabar untuk segera menghadap raja akhirat..."
Iblis Topeng Tengkorak agak lama berdiri memandangi mayat Singa Tangan Delapan. Meskipun kematian datuk sesat itu tidak seperti yang diharapkan, namun hatinya puas. Karena Singa Tangan Delapan sempat menyembah dan merengek-rengek kepadanya. Satu hal yang agak disesalinya, tidak ada saksi yang melihat perbuatan Singa Tangan Delapan.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
"Heh? Ada urusan apa orang-orang kerajaan datang mengunjungi tempat ini?! Kalau mereka hendak menangkap aku, mengapa hanya datang berdua? Apa mereka sudah terlalu yakin dengan kepandaiannya?" gumam Iblis Topeng Tengkorak lirih.
Bermacam dugaan memenuhi benak Iblis Topeng Tengkorak. Rasa penasaran, membuat langkahnya terayun menyongsong kedatangan kedua orang perwira tinggi kerajaan itu. Dua orang perwira tinggi kerajaan ini tidak lain Dinoyo dan Lugino! Keduanya menghentikan langkah, ketika melihat seorang lelaki bermuka tengkorak menyongsong kedatangan mereka.
"Hei, orang-orang kotaraja! Ada urusan apa yang membuat kalian sampai ke tempat ini? Apakah di sekitar tempat ini terdapat markas pemberontak?" tegur Iblis Topeng Tengkorak langsung.
Dua orang perwira kerajaan yang juga murid Tinju Gledek tidak langsung menjawab. Mereka saling bertukar pandang sejenak, lalu memperhatikan Iblis Topeng Tengkorak dengan teliti.
"Hm... Kau pastilah Iblis Topeng Tengkorak yang belakangan ini membuat gempar kalangan persilatan," kata Dinoyo tanpa mengalihkan pandangan dari wajah yang seperti tengkorak.
"Tapi kedatangan kami bukan untuk mencarimu, Iblis Topeng Tengkorak," sambung Lugino.
"Meskipun begitu, bukan berarti kami mendukung tindakanmu yang kejam itu. Sebagai orang-orang golongan putih, kami berkewajiban menumpas manusia-manusia keji sepertimu!"
Iblis Topeng Tengkorak mendesah panjang. Dia memang tidak ingin berurusan dengan orang-orang kerajaan. Bukan berarti hatinya gentar, tapi merasa segan. Memang berurusan dengan orang-orang kerajaan hanya akan merepotkan diri saja. Itu sebabnya, mengapa selama malang-melintang di rimba persilatan, tak pernah sekali pun mengusik kotaraja. Namun, jika orang-orang kotaraja yang justru datang mencari perkara, Iblis Topeng Tengkorak tentu tidak akan menolaknya.
Ketika dua orang perwira tinggi kotaraja itu ditanya malah balik bertanya, sebenarnya sudah menjadi alasan yang cukup bagi Iblis Topeng Tengkorak untuk membunuh. Namun, keinginannya berusaha ditahan sebelum mengetahui apa maksud kedatangan mereka.
"Katakan saja, apa sebenarnya yang kalian inginkan?" tanya Iblis Topeng Tengkorak tak sabar.
"Kami mencari seorang tokoh berjuluk Raja Ular Siluman," jawab Dinoyo.
"Tokoh itu mengaku tinggal di sekitar tempat ini. Nah! Apakah kau tahu, di mana letak tempat tinggal iblis itu?"
"Ingat! Jangan coba-coba berbohong kalau tidak ingin mendapat kesulitan!" timpal Lugino memperingatkan, membuat Iblis Topeng Tengkorak memperdengarkan tawanya yang seperti tangisan!
"Sekarang aku yang ganti bertanya," kata Iblis Topeng Tengkorak sebelum memberi jawaban.
"Kalian berdua mempunyai persoalan apa denga Raja Ular Siluman?"
"Manusia laknat itu telah membunuh Guru kami!" jawab Lugino tak sabar.
"Membunuh Guru kalian?!" Iblis Topeng Tengkorak tampak agak heran.
"Siapa Guru kalian?"
"Hmh...." Dinoyo menggereng jengkel.
"Guru kami adalah Tinju Gledek!"
Iblis Topeng Tengkorak, kembali memperdengarkan tawa ganjilnya. Lalu, kepalanya diangguk-anggukkan tanda mengerti mengapa dua orang perwira tinggi kerajaan sampai ke daerah Gunung Bromo.
"Jadi kalian hendak menuntut balas kematiannya?" tanya Iblis Topeng Tengkorak hendak menegasi.
"Nah! Dengarlah baik-baik! Tokoh yang berjuluk Raja Ular Siluman, akulah orangnya!"
"Kau...!?"
Dinoyo dan Lugino, terperanjat kaget!
"Bukankah kau berjuluk Iblis Topeng Tengkorak?" tanya Lugino tak mengerti.
"Sebelumnya, aku berjuluk Raja Ular Siluman!" jelas Iblis Topeng Tengkorak.
"Guru kalianlah yang menjadi salah satu penyebab rusaknya wajahku ini! Namun, penderitaan ini justru mendatangkan keuntungan buatku. Sehingga aku bisa memperoleh ilmu-ilmu sakti yang akhirnya, dapat membunuh musuh-musuhku, termasuk Tinju Gledek!"
"Keparat!" bentak Dinoyo sambil melolos pedangnya.
"Rupanya Iblis Topeng Tengkorak dan Raja Ular Siluman sama saja orangnya! Sunggu suatu kebetulan yang menggembirakan. Berarti kami tidak perlu bekerja dua kali. Dengan melenyapkan dirimu, berarti kematian Guru kami, telah terbalaskan sekaligus menumpas manusia keji yang telah menewaskan tokoh-tokoh persilatan!"
Langsung saja Dinoyo bergerak ke kanan. Sementara Luglno yang juga sudah melolos senjatanya, bergerak dari sebelah kiri. Sedangkan Iblis Topeng Tengkorak, masih berdiam diri, berdia tegak di tempatnya sambil memperdengarkan tawannya yang mendirikan bulu roma.
"Hyaaat...!" Tanpa banyak cakap, Dinoyo langsung menerjang, meskipun Iblis Topeng Tengkorak belum bergeming dari tempatnya.
"Heaaat...!" Lugino tak mau ketinggalan. Api dendam yang bergejolak dalam dada membuat murid termuda Tinju Gledek ini langsung menggunakan jurus-jurus andalan pada gebrakan pertama. Pedangnya diputar membentuk gulungan-gulungan sinar putih yang bergerak turun-naik disertai suara menderu-deru.
Namun, Iblis Topeng Tengkorak hanya perlu melangkah dua tindak ke belakang. Maka serangan-serangan Dinoyo dan Lugino nyasar entah ke mana. Padahal gerakan Iblis Topeng Tengkorak kelihatannya lambat saja. Tapi, ternyata sanggup meloloskan diri dari kepungan serangan kedua lawannya. Dan ini terjadi sampai beberapa kali. Dan sejauh ini Iblis Topeng Tengkorak belum menunjukkan tanda-tanda akan membalas serangan.
Kegagalan berturut-turut ini membuat Dinoyo dan Lugino penasaran! Serangan-serangan mereka diperhebat. Bahkan kini, mulai mengeluarkan 'Ilmu Tinju Gledek' menggunakan kepalan kiri, sementara tangan kanan tetap memainkan pedang.
Jdar! Jdar!
Sambaran sinar putih disertai ledakan-ledakan keras, keluar dari setiap ayunan kepalan tangan kiri Dinoyo dan Lugino. Sinar pukulan maut yang berhawa panas, langsung membakar setiap batang pohon yang terkena sambarannya.
Meskipun kedua perwira kerajaan itu berusaha mencecar, namun Iblis Topeng Tengkorak dapat mengatasinya dengan baik. Tak satu pun dari serangan kedua orang murid Tinju Gledek mengenai sasaran. Dan, tokoh sesat itu selalu lenyap lebih dulu, sebelum sambaran pedang atau pukulan maut kedua lawannya mengenai tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Dua puluh jurus kemudian, tiba-tiba Iblis Topeng Tengkorak mengeluarkan lengkingan tinggi menusuk telinga. Sementara, senjata mengerikan di tangannya mengancam Dinoyo dan Lugino dengan kecepatan tinggi. Begitu Iblis Topeng Tengkorak mulai mengirimkan serangan balasan, Dinoyo dan Lugino pun menjadi kalang kabut. Kecepatan gerak tokoh sesat ini benar-benar dahsyat.
Sehingga jangankan untuk membangun serangan, sedang untuk menghindar saja kedua perwira ini tunggang-langgang. Merasakan kehebatan Iblis Topeng Tengkorak, barulah Dinoyo dan Lugino maklum, mengapa guru mereka bisa tewas. Memang, kepandaian Iblis Topeng Tengkorak luar biasa sekali!
Trang! Tring!
Dinoyo dan Lugino terpelanting kemudian jatuh terguling-guling, ketika pada satu kesempatan mereka nekat memapak serangan tombak mata tiga Iblis Topeng Tengkorak. Perbuatan itu bukan saja membuat pedang mereka terlepas dan patah menjadi tiga bagian, namun juga membuat telapak tangan lecet-lecet berdarah.
"Chiaaa...!"
Ketika Dinoyo dan Lugino terguling-guling, Iblis Topeng Tengkorak menyerangnya kembali disertai hentakan nyaring. Kali ini tokoh sesat itu tidak menggunakan senjata mautnya. Tapi, cukup tamparan saja. Dan....
Desss…!
Sasaran pertama tamparan Iblis Topeng Tengkorak adalah Dinoyo, murid tertua Tinju Gledek. Saat itu juga, perwira ini merasa kepalanya laksana dihantam palu godam.
Tamparan keras ini membuatnya terlempar sampai dua tombak jauhnya. Anehnya, tamparan itu tidak membuat kepala pecah. Kepalanya masih tetap utuh tanpa luka sedikit pun! Hanya saja, Dinoyo merasakan dunia seperti berputar cepat. Telinganya berdengung keras, menyakitkan. Dinoyo kontan rebah telentang sambil menekap kedua telinganya kuat-kuat, hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Apa yang dialami Lugino pun tidak jauh berbeda. Tamparan Iblis Topeng Tengkorak pada kepalanya, membuatnya terpelanting. Seperti halnya Dinoyo, tamparan itu sama sekali tidak melukai kepalanya, kecuali pandangannya yang dirasakan berputar cepat. Sementara suara berdengung keras menusuk-nusuk kedua telinganya sehingga Lugino tak sanggup mempertahankan kesadarannya. Pingsan!
Iblis Topeng Tengkorak memperdengarkan tawa ganjilnya. Demikian hebat tenaga dalamnya di atur sehingga tamparan yang dilakukannya sampai tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Jangankan luka. Bilur-bilur merah pun tidak. Entah, apa rencana yang ada dalam Iblis Topeng Tengkorak, sehingga dia hanya membuat kedua lawannya pingsan saja.
"Kelak bukan hanya rimba persilatan saja yang akan kubuat gempar. Tapi, sebentar lagi kotaraja pun akan kubuat kalang-kabut...!" desah Iblis Topeng Tengkorak. Kemudian diseretnya tubuh Dinoyo dan Lugino ke candi yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
* * * * *
"Hendak ke mana kalian, hah?"
Saat ini Panji dan Nurita sudah memasuki kawasan Gunung Bromo. Dan baru saja mereka hendak mendaki, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari sebuah jalan setapak yang berada di sebelah kanan. Begitu mereka menoleh tampak dua orang menghampiri.
Ternyata, suara itu tadi berasal dari seorang laki-laki berusia kira-kira enam puluh tahun. Rambutnya hitam mengkilat, panjang hitam ke bahu. Pakaian, ikat kepala, dan celana yang kenakannya terbuat dari sutera biru muda. Dari dandanannya yang rapi, sosoknya tampak lebih muda daripada usianya. Lelaki tua yang sudah pantas mempunyai cucu ini adalah salah satu datuk golongan sesat. Julukannya, Iblis Pesolek!
Sementara yang seorang lagi berusia lima tahun lebih muda daripada Iblis Pesolek. Tubuhnya lebih pendek dan gemuk. Sehingga, tampak bulat. Kepalanya gundul pelontos. Kumisnya lebat, tak terurus. Tokoh ini berpakaian serba hitam. Kedua sisi pinggangnya kosong, seperti tidak pernah membawa-bawa senjata. Baginya, tangan dan kaki yang dimilikinya sudah cukup sebagai senjata. Memang, ilmu tangan kosongnya sangat hebat.
Julukannya, Tinju Kematian. Seperti halnya iblis pesolek, Tinju Kematian pun juga datuknya golongan sesat. Kedua tokoh sesat itu datang ke Gunung Bromo untuk menemui Iblis Topeng Tengkorak Iblis Pesolek dan Tinju Kematian memang bermaksud menegur. Sekaligus memberi pelajaran kepada Iblis Topeng Tengkorak yang dianggap telah lancang berani menyebut dirinya sendiri sebagai biang golongan sesat.
"Kami hendak mengunjungi keluarga yang tinggal di desa sekitar Gunung Bromo," jawab Panji berdusta, setelah memperhatikan kedua lelaki tua itu.
"Mengunjungi keluarga...?" gumam Tinju Kematian lirih sambil menatap penuh selidik pada Panji dan Nurita.
"Benar, Ki. Apakah ada yang salah dari ucapanku?" tanya Panji. Sikapnya dibuat takut-takut, karena tidak ingin bentrok dengan kedua lelaki tua itu
"Hm... Jadi, kalian benar-benar hendak mengunjungi keluarga?"
Tinju Kematian kembali menegasi. Tokoh ini curiga, karena sorot mata Panji yang tajam menunjukkan kalau mempunyai kekuatan tenaga dalam hebat. Alasan ini yang membuat Tinju Kematian tidak mempercayai begitu saja jawaban pemuda berjubah putih ini. Panji mengangguk. Demikian juga Nurita, sewaktu Tinju Kematian menatapnya beberapa lama. Lalu, Tinju Kematian tersenyum licik.
"Cantik juga istrimu, Sobat..." Sambil berkata begitu, Tinju Kematian mengulur tangannya hendak menyentuh wajah Nurita.
Panji kaget atas tindakan si Tinju Kematian yang kurang ajar ini. Sadar kalau dibiarkan tingkah lelaki botak ini lebih berani lagi, maka lengannya segera dikibaskan ke lengan Tinju Kematian.
Duk!
"Hah!" Tinju Kematian berseru kaget. Benturan itu membuat lengannya terpental. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung beberapa langkah. Namun, hal ini bukan berarti dia kalah tenaga. Tinju Kematian memang tidak siap, karena ketika mengulur tangan hendak menyentuh wajah Nurita, sama sekali tenaga dalamnya tidak digunakan.
"Sudah kuduga kalau kau bukan pemuda sembarangan. Gerakanmu cepat, mantap, dan tepat itu berarti, kau cukup ahli! Dan ini membuatku curiga. Apalagi, kau berada di sekitar Gunung Bromo, tempat tinggal Iblis Topeng Tengkorak. Nah! Sebaiknya, berterus-teranglah kepada kami. Ada hubungan apa kalian dengan Iblis Topeng Tengkorak? Atau, kalian punya masalah dengannya?" tanya Tinju Kematian sambil menjaga jarak dari Panji.
"Kami tidak tahu! Dan kami tidak punya urusan dengan Iblis Topeng Tengkorak yang kau sebutkan itu, Orang Tua," jawab Panji tenang.
"Aku tidak percaya!" sentak Iblis Pesolek yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. Kelihatannya, hatinya merasa jengkel melihat bentakan-bentakan kedua orang ini.
"Terserah kalian!" tukas Panji "Mau percaya atau tidak, itu bukan urusan kami. Sekarang, biarkanlah kami lewat..."
"Tentu..., tentu...!" ujar Tinju Kematian tertawa.
"Nah, lewatlah melalui neraka...!" Begitu ucapannya selesai, Tinju Kematian mengayunkan kepalan kanan ke tubuh Pendekar Naga Putih. Luncuran kepalannya seakan membelah udara, memperdengarkan suara bercicit tajam.
Beddd!
Sayang, Panji telah menggeser tubuhnya ke kanan, sehingga serangan itu luput. Melihat hal Tinju Kematian menyerang kembali lewat kepalan kiri. Dan ternyata serangannya tak mengenai sasaran, membuat hatinya panas seketika.
"Keparat busuk!" maki Tinju Kematian denga rona wajah memerah menahan amarah. Sebagai seorang datuk, kegagalan serangan merupakan suatu hal memalukan. Apalagi gagal karena menyerang anak muda yang tampaknya baru mucul kemarin sore. Benar-benar membuat nama besarnya tercoreng!
"Haaat...!"
Dengan sebuah bentakan mengguntur, Tinju Kematian menerjang Panji lagi. Bergegas Pendekar Naga Putih melompat mundur. Lalu, didorongnya tubuh Nurita agar menjauhi tempat perkelahian. Kemudian baru dihadapinya serangan-serangan Tinju Kematian.
Plak! Plak!
"Hei...!?"
Panji berhasil menggagalkan lagi dua serangan Tinju Kematian, sehingga tokoh ini terpekik kaget. Benturan dua pasang lengan tadi, membuat tubuh Tinju Kematian terjajar limbung. Namun, Panji tak bergeser selangkah pun dari tempatnya. Hanya, tubuhnya saja yang bergetar.
"Dia..., dia Pendekar Naga Putih...!" Sambil menuding sosok Panji, Tinju Kematian berseru kepada kawannya. Dia memang tidak merasa ragu dengan ucapannya. Karena ketika lengannya berbenturan, terasa ada hawa dingin merasuk ke dalam tubuhnya. Sementara, tubuh pemuda yang menjadi lawannya terselimut kabut tipis bersinar putih keperakan. Inilah ciri-ciri kesaktian Pendekar Naga Putih yang sering didengarnya!
"Pendekar Naga Putih...?!" gumam Iblis Pesolek menatap sosok Panji.
"Hm..., tahulah aku sekarang. Kau pasti hendak melenyapkan Iblis Topeng Tengkorak, bukan? Kalau begitu, lanjutkanlah niatmu. Kami tidak akan menghalangi."
"Tidak!" Panji menggeleng.
"Yang hendak kami temui adalah Raja Ular Siluman! Bukan Iblis Topeng Tengkorak! Namun bukan berarti aku tidak berkeinginan untuk menghentikan kekejaman Iblis Topeng Tengkorak. Kelak bila urusan dengan Raja Ular Siluman selesai, kami akan membuat perhitungan dengan Iblis Topeng Tengkorak..."
"Raja Ular Siluman...?!"
Iblis Pesolek dan Tinju Kematian secara bersamaan menyebut nama itu, kemudian saling bertukar pandang. Keheranan tampak jelas di wajah keduanya.
"Raja Ular Siluman sudah lama lenyap!" tandas Tinju Kematian, pada Panji.
"Kalau tidak salah, dia tewas terjerumus ke dalam jurang akibat keroyokan tokoh golongan putih. Begitu berita yang pernah tersiar. Namun kami tahu betul, sampai di mana kesaktian Raja Ular Siluman. Terlalu berlebihan jika dia dikabarkan tewas akibat keroyokan beberapa orang tokoh persilatan. Padahal, kejadian sebenarnya tidak demikian. Ceritanya, waktu itu markasnya didatangi empat tokoh golongan putih. Namun, hanya seorang yang berbaku-hantam dengan Raja Ular Siluman. Dialah Pendekar berjuluk Tinju Gledek! 'Pukulan Maut Tinju Gledek'-lah yang menyebabkan Raja Ular Siluman terlempar ke dalam jurang, dan dinyatakan tewas!"
"Raja Ular Siluman belum mati! Belakangan ini, dia muncul dan melakukan pembalasan terhadap tokoh-tokoh yang pernah mengeroyoknya!"
Nurita yang tak bisa lagi menahan diri, membantah ucapan Tinju Kematian. Bantahan Nurita membuat Iblis Pesolek dan Tinju Kematian kembali saling bertukar pandang. Lalu, keduanya tertawa sinis.
"Aku kira, kepandaian Raja Ular Siluman, tak cukup mampu melakukah pembalasan itu! Kalau itu dilakukan, sama saja mengantarkan nyawa!" kata Iblis Pesolek menghina yang ditujukan kepada Raja Ular Siluman.
"Sudahlah! Kami tak mau tahu tentang hal itu!" tukas Panji menukas tak sabar.
"Meskipun demikian kami akan tetap mencari Raja Ular Siluman di sekitar lereng Gunung Bromo ini..."
Tinju Kematian dan Iblis Pesolek tidak segera menanggapi. Mereka bertukar pandang Keduanya sama mengangguk tips, lalu menatap Panji dan Nurita.
"Rasanya, lebih baik membiarkan kalian lewat...," kata Tinju Kematian setelah saling bertukar pendapat dengan Iblis Pesolek. Meskipun hanya melalui sorot mata, mereka telah mendapat kata sepakat untuk membiarkan Panji dan Nurita melanjutkan perjalanan.
Keputusan yang diambil Tinju Kematian dan Iblis Pesolek bukan tanpa perhitungan. Mereka telah mempertimbangkan untung ruginya. Sebab, jauh lebih menguntungkan apalabila mereka membiarkan kedua anak muda itu melanjutkan perjalanan. Dengan begitu, Tinju Kematian dan Iblis Pesolek tidak perlu lagi membuang-buang tenaga menghadapi Iblis Topeng Tengkorak atau pun Pendekar Naga Putih. Dan mereka tinggal menggunakan sedikit tenaga, untuk menghabisi pemenangnya, yang sudah pasti tengah kelelahan dan terluka.
* * * * *
:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::
"Singa Tangan Delapan...?!" seru lelaki setengah baya itu tertahan dengan hati berdebar tegang.
"Gila! Siapa yang telah membunuh datuk sesat ini?! Mungkinkah Raja Ular Siluman yang melakukannya? Namun, mengapa mereka bermusuhan? Bukankah mereka orang-orang segolongan? Atau mungkin, tokoh lain yang kebetulan mempunyai urusan dengan Raja Ular Siluman? Sulit kubayangkan betapa dahsyatnya kepandaian tokoh yang telah sanggup membunuh Singa Tangan Delapan...!"
Dengan berbagai pertanyaan tak terjawab, lelaki setengah baya itu melanjutkan perjalanannya. Kali ini langkahnya tidak terlalu cepat. Sementara kewaspadaannya langsung ditingkatkan. Sosok Singa Tangan Delapan yang ditemukannya tewas dalam keadaan mengerikan, membuatnya jadi mudah curiga. Sedikit terdengar suara mencurigakan, tangannya cepat menggenggam erat gagang pedang di pinggangnya.
Setelah agak jauh .meninggalkan mayat Singa Tangan Delapan, lelaki setengah baya itu menemukan sebuab candi kuno. Dugaannya candi ini sudah lama tak dirawat. Namun kecurigaannya malah bertambah. Karena letak candi kuno ini tidak terlalu jauh dari tempat mayat Singa Tangan Delapan ditemukan.
"Jangan-jangan pembunuh Singa Tangan Delapan berada di dalam bangunan candi kuno itu..." desis lelaki setengah baya itu, langsung meraba gagang pedangnya. Dengan langkah perlahan dan hati-hati-sekali, didekatinya bangunan candi kuno itu.
"Hiii…" Lelaki setengah baya itu terlonjak kaget dan nyaris terpelanting jatuh, begitu terdengar lengkingan yang sulit dibedakan antara tawa atau tangisan itu. Bahkan hampir-hampir jantungnya copot! Ketegangan yang sejak tadi mempengaruhi dirinya membuat lelaki setengah baya ini mudah terkejut. Apalagi suara ganjil ini datang tiba-tiba dan mengejutkan.
"Hm… Siapa pun kau, tempakkanlah dirimu! Aku bukan orang yang mudah percaya dengan setan marakayangan!" bentak lelaki setengah baya itu. sementara tangan kanannya masih melekat pada gagang pedang.
Tidak terdengar sahutan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah lambat seperti diseret-seret. Hal ini membuat ketegangan lelaki setengah baya ini, semakin memuncak!
"Keparat…!" umpat laki-laki setengah baya geram.
"Rupanya kau memang sengaja hendak main-main dengan Pedang Dua Belas Naga...!"
Selesai berucap, dengan gerakan perlahan lelaki setengah baya ini meloloskan senjatanya. Lalu dia bergerak maju ke arah sumber suara langkah tadi.
"Aaah…!" Lelaki setengah baya yang mengaku sebagai Padang Dua Belas Naga, kontan melompat mundur disertai pekik kaget. Sosok tubuh yang muncul dari balik dinding candi, benar-benar membuat jantungnya nyaris copot! Sikap laki-laki itu memang tidak terlalu berlebihan. Meskipun sebagai tokoh yang telah banyak pengalaman mengerikan, namun kemunculan sosok tinggi kurus berwajah tengkorak saat hatinya tengah dilanda ketegangan, jelas buatnya terkejut bukan kepalang!
"Siapa kau...?!" bentak Pedang Dua Belas Naga sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya tajam menusuk. Suaranya sengaja dikeraskan, untuk menyembunyikan hatinya yang tergetar karena penampilan sosok berwajah tengkorak ini.
"Hm.... Mustahil tokoh seperti dirimu tidak mendengar kehebohan yang belakangan ini kuciptakan..." sahut sosok berwajah tengkorak itu, berteka-teki.
"Kau..., Iblis Topeng Tengkorak...!" desis Pedang Dua Belas Naga, yang langsung menyebut nama tokoh itu. Tentu saja lelaki berjuluk Pedang Dua Belas Naga mendengar sepak terjang Iblis Topeng Tengkorak, yang membuat geger kalangan persilatan. Namun, karena ada persoalan penting yang harus didahulukannya, perbuatan Iblis Topeng Tengkorak terpaksa dikesampingkannya. Dan dia berjanji akan mencarinya kelak, setelah persoalannya selesai.
"Dan juga musuh lamamu, Pedang Dua Belas Naga...," tambah Iblis Topeng Tengkorak menambahkan. Suaranya terdengar mendesah panjang.
"Hm.... Maksudmu, kau telah bersatu dengan Raja Ular Siluman?" tanya Pedang Dua Belas Naga. Ingin menegasi sambil melirik ke kiri-kanan. Seolah hatinya khawatir kalau-kalau tokoh yang disebutnya tengah mengintai, dan membokongnya secara licik.
"Mengapa tidak kau suruh bedebah itu keluar menemuiku?"
"Sejak tadi, dia sudah berada di dekatmu, Pedang Dua Belas Naga. Apakah kau tidak melihatnya?" jawab Iblis Topeng Tengkorak, mengejutkan hati Pedang Dua Belas Naga.
"Mana...! Mana bedebah itu...?" Pedang Dua Belas Naga mengamati sekeliling tempat itu dengan teliti.
"Dia berdiri tepat di depan hidungmu, Pedang Dua Belas Naga..."
"Bangsat...!" umpat Pedang Dua Belas Naga karena merasa dipermainkan.
"Apa kau kira Raja Ular Siluman sebangsa lalat busuk! Jangan main-main denganku, Iblis Topeng Tengkorak!"
"Hm.... Siapa yang sudi bermain-main denganmu!" dengus Iblis Topeng Tengkorak.
"Raja Ular Siluman tepat di depan hidungmu. Bahkan tengah berbicara kepadamu, Goblok!"
"Kau...?! Apa..., apa maksudmu...?!" ucap Pedang Dua Belas Naga, gagap bercampur tanda tanya.
"Akibat perbuatanmu wajahku menjadi rusak seperti ini…!" desis Iblis Topeng Tengkorak penuh luapan dendam. Sepasang mata Iblis Topeng Tengkorak, yang tampak bagai kilatan menyeramkan, membuat Pedang Dua Belas Naga dijalari kengerian. Sehingga tanpa sadar kakinya berangsur mundur.
"Tinju Gledek serta yang lain sudah kukirim ke neraka, Pedang Dua Belas Naga. Dan rupanya, aku tak perlu susah-susah untuk mencarimu. Karena kau sendiri sudah datang mengantarkan nyawa busukmu!" tambah Iblis Topeng Tengkorak, dingin.
"Kau…!" Pedang Dua Belas Naga, tidak tahu harus berbicara apa. Baginya penjelasan Iblis Topeng Tengkorak sangat mengejutkannya.
"Sengaja aku menggunakan nama Raja Ular Siluman, agar kalian semua tidak dapat menemuiku. Karena, aku yakin kalian tidak menyangka kalau keadaanku akan seperti ini. Lalu kuciptakan kekacauan di kalangan persilatan. Sehingga, kini aku dijuluki sebagai Iblis Topeng Tengkorak. Aku suka julukan baruku itu. Dengan demikian, orang tidak akan pernah menduga kalau Raja Ular Siluman dan Iblis Topeng Tengkorak sesungguhnya satu orang!" Iblis Topeng Tengkorak menambahkan keterangannya, penuh kebanggaan.
"Keparat busuk! Kalau begitu, dosamu benar-benar sudah melewati takaran! Manusia sepertimu, pantasnya menjadi penghuni neraka jahanam…!" Sambil menggereng. Pedang Dua Belas Naga memutar senjatanya. Kini, dia siap menggempur Raja Ular Siluman, atau belakangan lebih dikenal sebagai Iblis Topeng Tengkorak!
Iblis Topeng Tengkorak memperdengarkan tawa ganjilnya. Tubuhnya tetap belum bergerak dari tempatnya, meski Pedang Dua Belas Naga sudah membuka jurus serangan.
"Hm…! Kepandaianmu tidak berarti apa-apa bagiku, Pedang Dua Belas Naga! Dulu kehebatan ilmu pedangmu boleh kau banggakan.
Setelah aku secara tak sengaja memperoleh ilmu-ilmu dahsyat di Pulau Ratu Api, kini bagiku ilmu pedangmu tak ubahnya seperti permainan bocah ingusan! Itulah sebabnya, mengapa aku tidak menyesal meskipun wajah harus rusak oleh taring-taring ikan hiu sewaktu berusaha mencapai pulau keberuntungan itu!"
"Pulau Ratu Api…?!" Pedang Dua Belas Naga mengulang nama itu dengan kening berkerut. Rasa-rasanya telinganya memang pernah mendengar nama pulau itu. Namun entah di mana, kapan, dan siapa yang menyebutnya. Pedang Dua Belas Naga tidak ingat lagi.
"Ya, Pulau Ratu Api!" tegas Iblis Topeng Tengkorak.
"Bawalah nama itu sebagai hadiah dariku, agar perjalananmu ke neraka tidak terlalu membosankan..."
"Bedebah...!" Pedang Dua Belas Naga menggereng, "Jangan dikira akan mudah untuk merobohkan aku, Manusia Jahanam...!"
Pedang Dua Belas Naga menggeser langkahnya ke kanan. Pedangnya diputar dan bergerak turun naik, menimbulkan bayang-bayang putih laksana dua belas ekor naga yang tengah bermain-main di angkasa raya.
"Yeaaa...!"
Pedang Dua Belas Naga membuka serangan. Tubuhnya bergerak cepat dengan langkah menyilang. Ujung-ujung pedangnya bergetar, seolah senjatanya bukan hanya satu, tapi delapan! Dan tiap-tiap ujung pedangnya, mengancam titik-titik jalan darah kematian di tubuh Iblis Topeng Tengkorak! Sungguh, sebuah serangan maut hebat!
Sementara Iblis Topeng Tengkorak mengeluarkan dengus ejekan. Bukannya menghindar, tokoh dahsyat itu justru bergerak maju, menyongsong datangnya serangan. Seolah, tubuhnya kebal senjata tajam. Namun tindakan Iblis Topeng Tengkorak justru mengejutkan Pedang Dua Belas Naga yang telah mati langkah. Karena sebelum bergerak maju, Iblis Topeng Tengkorak telah menghadang jalannya. Terpaksa Pedang Dua Belas Naga merubah gerakan.
"Aiyeee...!" Seperti sudah dapat ditebak apa yang bakal diperbuat Pedang Dua Belas Naga, tokoh sesat itu menarik mundur tubuhnya. Kemudian dia melompat ke samping kanan, seraya mengibaskan tombak mata tiga di tangan kanannya yang menderu mengancam tenggorokan Pedang Dua Belas Naga!
Trang! Trang!
Pedang Dua Belas Naga yang tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, langsung memapak serangan ini dengan dua kali babatan pedang. Namun, justru tubuhnya yang terpelanting jatuh beberapa langkah. Tangan kanannya terasa panas dan sakit begitu berusaha bangkit sehingga pedang dalam genggamannya nyaris tak dapat dipertahankan. Kagetlah hati Pedang Dua Belas Naga. Rupanya, Raja Ular Siluman bukan sekadar omong kosong saja, ketika menganggap ilmu pedangnya seperti permainan bocah ingusan.
"Hiaaa…"
Belum sempat Pedang Dua Belas Naga memperbaiki kuda-kudanya, Iblis Topeng Tengkorak telah membangun serangan kembali disertai lengkingan panjang mendirikan bulu roma. Sebisanya Pedang Dua Belas naga cepat melempar tubuhnya. Dan....
Crab! Crab!
Ujung-ujung tombak Iblis Topeng Tengkorak menghujam tanah, tepat di tempat Pedang Dua Belas Naga tadi berpijak.
"Haaat…!"
Setelah tubuhnya bangkit, Pedang Dua Belas Naga langsung berteriak membahana. Pedangnya diacungkan lurus-lurus menuding langit. Kemudian, tubuhnya melesat berputar di udara disertai babatan pedangnya yang laksana baling-baling. Tapi sebelum gerakan ini tuntas dilakukannya, Iblis Topeng Tengkorak lebih dulu melompat menyarangkan sebuah tendangan kilat ke tubuh Pedang Dua Belas Naga. Begitu cepat gerakannya sehingga…
Desss…!
Pedang Dua Belas Naga kontan terpental sejauh dua tombak. Tubuhnya bergulingan di tanah disertai muntahan darah segar. Meskipun tendangan kras tadi seperti meremukkan tulang dadanya namun kelemahannya tidak ingin ditunjukkan. Dia menggigit bibirnya berusaha menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk bagian dadanya. Pedang Dua Belas Naga kini berdiri tegak sambil melintangkan senjata di depan dada. Sorot matanya tampak tajam menatap lawannya.
"Bagus…, bagus… Kau memang hebat, Pedang Dua Belas Naga. Daya tahan tubuhmu sangat mengagumkan…!" puji Iblis Topeng Tengkorak. Namun raut wajah dan sorot matanya penuh ejekan. Memang dia tahu betul keadaan Pedang Dua Belas Naga saat itu sebenarnya. Tapi sebelum Iblis Topeng Tengkorak melancarkan serangannya kembali…
"Ayaaah…!"
Iblis Topeng Tengkorak mengurungkan niatnya untuk menghampiri Pedang Dua Belas Naga, ketika tiba-tiba terdengar teriakan seorang gadis.
"Heh?!"
Betapa terkejutnya Pedang Dua Belas Naga melihat kedatangan seorang gadis cantik yang ditemani seorang pemuda tampan berbaju putih. Mereka tak lain dari Nurita dan Pendekar Naga Putih. Memang, tadi mereka mendengar teriakan-teriakan pertarungan. Sehingga, mereka segera mendatangi asal teriakan. Dan Nurita yang mendapati Pedang Dua Belas Naga, langsung menghambur ke arah laki-laki yang ternyata ayahnya. Sedang, Panji menghadang Iblis Topeng Tengkorak.
"Dia..., Iblis Topeng Tengkorak dan juga Raja Ular Siluman!" jelas Pedang Dua Belas Naga, ketika melihat sorot mata Nurita penuh pertanyaan.
Nurita semula memang merasa heran menemukan ayahnya tengah berhadapan oengan Iblis Topeng Tengkorak. Penjelasan itu melenyapkan rasa heran di hatinya. Panji yang juga menangkap perkataan Pedang Dua Belas Naga, menatap sosok Iblis Topeng Tengkorak penuh perhatian. Diam-diam hatinya bergidik melihat wajah mengerikan Menurutnya, julukan Iblis Topeng Tengkorak memang sangat tepat untuk tokoh sesat ini.
"Dengan mencampuri urusanku, sama artinya mendatangi kematian, Anak Muda...," kata Iblis Topeng Tengkorak, diikuti desahan panjang. Cahaya segi empat dari dua rongga matanya semakin berkilat. Tanda sedang gusar atas campur tangan Pendekar Naga Putih.
"Tidak perlu menggertak. Iblis Topeng Tengkorak," sahut Panji, sambil melangkah mundur untuk menjaga jarak.
"Sesungguhnya kaulah yang telah melibatkan aku ke dalam persoalan ini. Setiap tokoh penegak keadilan, pasti akan terpanggil dan merasa bertanggung jawab untuk menghentikan sepak terjangmu. Jadi, dalihmu tidak berlaku, Iblis Topeng Tengkorak!"
"Bedebah...!" Iblis Topeng Tengkorak menggereng gusar, lalu melompat ke belakang. Dan ternyata tubuhnya melesat ke dalam bangunan candi kuno itu.
"Hei, jangan lari kau pengecut...!" seru Panji sambil menjejakkan kakinya ke tanah. Seketika tubuh Panji bersalto, mengejar Iblis Topeng Tengkorak.
Namun sebelum memasuki candi, tiba-tiba terlontar dua sosok tubuh yang keluar dari dalam candi Seketika Panji menunda niatnya, lalu melompat mundur. Dua bayangan itu berjumpalitan, lalu melayang turun di hadapan Pendekar Naga Putih dengan gerakan ringan.
* * * * *
:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Kelihatannya mereka tidak sadar dengan yang dilakukan!" kata Pedang Dua Belas Naga mengingatkan Pendekar Naga Putih agar tidak melukai dua orang murid sahabatnya.
"Baik, Paman!" Panji mengangguk, meskipun sebenarnya sudah menduga ketika melihat sikap dua orang itu yang tidak sewajarnya.
"Aku akan mencoba untuk melumpuhkan mereka..."
Sementara, tanpa mempedulikan sekelilingnya, Dinoyo dan Lugino berusaha mengepung Pendekar Naga Putih. Meskipun keadaannya tidak sadar, namun kepandaian mereka tidak hilang. Itu dapat dilihat dari cara mereka memutar senjata. Tanpa buang waktu lagi, Dinoyo dan Lugino menerjang. Sebelum serangan Dinoyo tiba, Lugino pun mengirimkan serangannya. Begitu cepat dan kuat serangan mereka, mengandung sambaran angin menderu-deru.
Bweeet! Whuuut!
Serangan pertama dihindari Panji dengan menggeser langkah disertai liukan tubuhnya. Dan, sebelum lawan memutar senjatanya, Pendekar Naga Putih telah menyerbu dengan totokan-totokan yang ditujukan ke bagian-bagian tertentu.
Tuk! Tuk!
Totokan jari-jari tangan Panji telak mengenai sasarannya. Hal ini terjadi bukan disebabkan rendahnya tingkat kepandaian Dinoyo dan Lugino. Bahkan seakan kedua murid Tinju Gledek ini sengaja membiarkan tubuhnya menjadi sasaran. Namun yang terjadi di luar perkiraan. Ternyata totokan itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap mereka. Sebaliknya, Panji merasakan jari-jari tangannya, kesemutan. Seolah jari-jari tangannya menghantam bongkahan besi!
"Hm..." Panji mengerutkan kening setelah melompat mundur mengatur kuda-kudanya. Pandangannya beredar, menari-cari sosok Iblis Topeng Tengkorak.
"Tidak salah lagi!" desis Pendekar Naga Putih, ketika tidak menemukan Iblis Topeng Tengkorak di sekitar tempat pertarungan terjadi.
"Pastilah Iblis Topeng Tengkorak tengah mengerahkan ilmu sihirnya mengendalikan mereka!"
Seketika pikiran Panji berubah. Niatnya segera diurungkan untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan kini segera dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang mampu menolak dan memusnahkan pengaruh sihir. Dan dengan ilmu ini, dia menghadapi Dinoyo dan Lugino.
"Hyaaat..!"
Panji melesat mendahului lawan-lawannya. Kedua tangannya diputar secepat kilat, sehingga tidak tampak jelas. Bahkan tubuhnya kini diselimuti sinar kuning keemasan mengandung hawa panas. Kali ini Dinoyo dan Lugino berlompatan mundur menghindari serangan Pendekar Naga Putih dengan wajah ngeri. Melihat hal ini, Panji jadi semakin bersemangat. Serangan-serangannya diperhebat, sehingga Dinoyo dan Lugino semakin kalang kabut, kewalahan untuk menghindari.
Whuuus...! Bresssh...!
Cahaya kuning keemasan membersit keluar dari telapak tangan kanan Panji, menghantam tubuh Dinoyo yang tak sempat menghindar. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terhempas diiringi lengking kesakitan, kemudian terbanting di tanah tak sadarkan diri.
Sementara cahaya kuning keemasan masih membungkus sekujur tubuh Dinoyo tanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' tengah bekerja memusnahkan kekuatan jahat yang menguasainya. Robohnya Dinoyo, membuat Lugino bergerak menjauh. Sorot kengerian tampak terlihat di matanya. Rasa ngeri ini bukan milik Lugino, melainkan dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya.
Melihat Lugino bergerak menjauh, Pendekar Naga Putih bergegas mengejar. Tubuhnya masih meluncur di atas tanah dengan telapak tangan dilontarkan bergantian. Cahaya kuning keemasan membersit susul-menyusul, meluncur deras ke arah Lugino yang tidak mampu lagi menghindar. Sehingga, salah satu cahaya kuning keemasan menghempaskan tubuhnya ke tanah. Maka Lugino pun langsung jatuh tak sadarkan diri dengan balutan cahaya kuning keemasan di sekujur tubuhnya.
"Matikah mereka, Pendekar Naga Putih...?" tanya Pedang Dua Belas Naga kepada Panji dengan nada cemas. Memang laki-laki setengah baya ini belum tahu kalau tenaga sakti yang digunakan Panji memiliki daya hidup. Bahkan tenaga sakti ini bisa membunuh dan juga menyembuhkan manusia.
"Mereka hanya pingsan," jawab Panji, setelah menggelengkan kepala.
"Setelah sadar nanti, mereka akan sembuh seperti semula..."
"Tetapi kau tidak akan sempat melihat mereka sadarkan diri, Pendekar Naga Putih…!"
Suara sengau berupa desahan panjang ini membuat Panji memutar tubuhnya. Tampak Iblis Topeng Tengkorak sudah berdiri dengan tatap mata menggiriskan. Napasnya terlihat memburu seperti habis berlari jauh. Sebagian tubuhnya terlihat dibasahi peluh. Dari penampilannya saat itu Panji yakin bahwa tokoh inilah yang mengendalikan Dinoyo dan Lugino dengan kekuatan ilmu sihir.
"Kita lihat saja Iblis Topeng Tengkorak…" sahut Panji sambil mengayunkan langkah ke tempat lapang. Dia menjauhi Nurita dan Pedang Dua Belas Naga yang tengah menunggui dua orang murid Tinju Gledek.
"Hm… Rupanya kau sangat yakin dengan kepandaianmu, Pendekar Naga Putih…!" ejek Iblis Topeng Tengkorak dengan tatap mata menggidikkan.
"Aku yakin, Tuhan akan melindungi orang-orang yang benar," sahut Panji, seraya mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya. Pendekar Naga Putih memang harus siaga, karena lawannya adalah seorang manusia kejam dan licik. Bahkan tidak akan segan-segan berbuat curang.
Iblis Topeng Tengkorak mendongakkan kepala. Terdengar suara tawanya yang ganjil, membuat kening Panji berkerut. Pendekar Naga Putih tidak tahu apa yang membuat Iblis Topeng Tengkorak tertawa. Dan baru disadari kalau perbuatan itu hanya untuk memancing perhatiannya saja. Karena begitu menghentikan tawanya, Iblis Topeng Tengkorak langsung menerjang dengan senjata aneh yang membawa hawa mengerikan.
"Haiiit…!"
Sambil mengeluarkan teriakan nyaring. Pendekar Naga Putih melompat jauh ke balakang. Tubuhnya berputar beberapa kali sebelum melayang turun. Begitu kakinya menginjak tanah Pedang Naga Langit telah tergenggam erata di tangan kanan. Rupanya sambil berputaran tadi, Panji telah mengambil pusaka saktinya. Pendekar Naga Putih memang sudah berpikir untuk menggunakan Pedang Naga Langit, sewaktu merasakan kalau senjata lawan mengandung hawa aneh yang membuat hatinya bergetar.
"Shiaaa...!"
Melihat di tangan Pendekar Naga Putih sudah tergenggam sebilah pedang bersinar kuning keemasan, Iblis Topeng Tengkorak segera dapat menduga bahwa senjata itu pasti sebuah pusaka ampuh. Maka saat itu juga langsung diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan tusukan senjata mautnya.
Trang! Trang!
Bunga api berpijar menyilaukan mata, ketika senjata mereka saling membentur dengan keras. Pendekar Naga Putih terdorong delapan langkah. Sedangkan, Iblis Topeng Tengkorak hanya empat langkah. Hal ini menunjukkan kalau kekuatan tokoh sesat itu masih lebih unggul. Bahkan dia yang lebih dulu menguasai keseimbangan tubuhnya, membentak keras sambil menudingkan senjatanya ke arah Pendekar Naga Putih.
Sreset..!
Seketika tiga larikan sinar biru membersit dari tiga ujung senjata Iblis Topeng Tengkorak, meluncur deras ke arah Pendekar Naga Putih!
"Haiiit...!"
Glarrr...!
Hampir bersamaan dengan gerakan tubuhnya yang dilempar ke samping, tiga larikan sinar biru itu membongkar tanah tempat Pendekar Naga Putih tadi berpijak! Ledakan keras terjadi. Debu dan batu-batu kecil berhamburan. Sementara, Panji terus bergulingan menjauhi tempat itu.
"Gila...?!" desis Panji takjub. Hatinya dijalari perasaan ngeri.
"Ternyata bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi. Tapi, senjata yang digunakannya juga sangat dahsyat dan mengerikan...!"
"Sebentar lagi tubuhmulah yang akan terpanggang hangus, Pendekar Naga Putih.... Ha ha ha...!" Tawa Iblis Topeng Tengkorak terdengar mendirikan bulu roma.
Pendekar Naga Putih maklum, kalau ucapan lawannya bukan gertakan kosong belaka. Buktinya, tanah tempat Pendekar Naga Putih berpijak tadi, tercipta sebuah kubangan yang masih mengepulkan asap tipis. Sempat tergetar juga hatinya melihat akibat tiga larikan sinar biru itu.
Kedahsyatan senjata pusaka Iblis Topeng Tengkorak membuat Pendekar Naga Putih memutar otaknya. Namun rupanya, Iblis Topeng Tengkorak tidak memberi kesempatan lagi. Seketika itu pula terdengar lengkingan panjang mengiringi serangan Iblis Topeng Tengkorak kembali yang berupa larikan sinar biru.
"Hyaaah...!"
Pendekar Naga Putih membentak mengguntur. Lalu diangkatnya Pedang Naga Langit tinggi-tinggi. Dan ketika tiga larikan sinar biru itu meluncur datang, senjatanya ditudingkan.
Sresettt…!
Seketika itu dari ujung Pedang Naga Langit keluar sinar kilat kuning keemasan menyambar. Sinar itu terus melebar dan akhirnya membentur tiga sinar biru.
Prasssh…!
Cahaya terang yang menyilaukan memenuhi arena pertarungan, ketika sinar biru dan sinar kuning keemasan bertemu di udara. Iblis Topeng Tengkorak terkejut bukan kepalang, ketika sinar kuning keemasan yang membersit dari ujung pedang pemuda itu mendesak sinar-sinar birunya.
"Hiaaa…!"
Iblis Topeng Tengkorak membentak, menambah kekuatannya. Kini larikan-larikan sinar biru terus membersit, lalu mendesak sinar kuning keemasan. Tampak tubuh tokoh sesat itu bergetar keras, ketika sinar kuning keemasan milik Pendekar Naga Putih memberi perlawanan gigih. Sehingga Iblis Topeng Tengkorak harus menambah kekuatannya berkali-kali.
Sementara, Pendekar Naga Putih tidak perlu menambah kekuatannya. Karena sinar kuning keemasan yang merupakan wujud 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' dapat bekerja sendiri. Dan dia cukup menudingkan terus ujung pedangnya ke arah Iblis Topeng Tengkorak, yang tengah berusaha mati-matian memukul mundur sinar kuning keemasan.
Cukup lama dua sinar berlainan warna itu saling mendesak. Napas Iblis Topeng Tengkorak semakin memburu. Namun, tetap saja sinar birunya tidak dapat mendesak sinar kuning keemasan. Pertarungan ini tentu membuat Iblis Topeng Tengkorak menjadi kepayahan. Tenaganya terkuras. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat.
Namun sinar kuning keemasan semakin bertambah kuat. Padahal ketika Iblis Topeng Tengkorak sempat matanya melirik Pendekar Naga Putih, wajah lawannya tampak tenang. Sama sekali tidak kelihatan seperti orang tengah mengerahkan tenaga. Melihat kenyataan ini, heranlah hati Iblis Topeng Tengkorak!
"Keparat...!" desis Iblis Topeng Tengkorak tak habis pikir.
"Bagaimana mungkin bedebah itu kelihatan tenang-tenang saja?! Sedemikian tinggikah tenaga dalam yang dimilikinya, sehingga kekuatanku seperti tidak berarti baginya?!"
Ketidaktenangan dan terganggunya pusat pemikirannya, membuat sinar-sinar biru itu semakin terdesak. Kenyataan ini membuat Iblis Topeng Tengkorak bercucuran keringat dingin! Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Untuk menarik sinar-sinar birunya jelas sangat berbahaya. Sementara, mendiamkan begitu saja juga tidak kalah berbahayanya. Apalagi sinar kuning keemasan itu terus mendesak, membuat hingga sinar-sinar biru hampir lenyap. Bahkan tinggal satu setengah jengkal lagi dari tubuh Iblis Topeng Tengkorak!
Darrr...!
Akhirnya, seiring lenyapnya sinar-sinar biru, terjadilah ledakan keras memekakkan telinga. Iblis Topeng Tengkorak meraung parau ketika sinar kuning keemasan menghantam, tubuhnya terlempar keras bagai selembar daun kering yang diterbangkan angin. Iblis Topeng Tengkorak terbanting di tanah dengan tubuh gosong. Sedang tombak mata tiganya terpental lepas dari genggamannya.
Pendekar Naga Putih menghempaskan napas lega, berkepanjangan. Diperhatikannya beberapa saat sosok Iblis Topeng Tengkorak yang kali ini tak mungkin dapat hidup lagi. Karena sekujur tubuhnya itu telah hangus. Tamatlah, riwayat Iblis Topeng Tengkorak!
"Wah! Aku datang terlambat rupanya...!"
Ucapan bernada sesal ini membuat Panji menoleh. Namun, wajahnya langsung berseri begitu mengenali sosok lelaki kerdil yang tengah bergerak menghampirinya.
"Malaikat Kerdil...!" seru Panji, gembira. Sungguh Pendekar Naga Putih tidak menyangka kalau dapat berjumpa lagi dengan tokoh bertubuh cebol ini, yang dulu pernah bersama-sama menyelamatkan Jubah Antakusuma dari tangan-tangan jahat.
"He he he...! Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih," ujar kakek cebol berperut buncit. Kemudian dengan langkah-langkah kecilnya, dihampirinya Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih segera menunda usahanya untuk menyadarkan Dinoyo dan Lugino. Dia berdiri menyambut kedatangan Malaikat Kerdil.
"Eh! Senjata apa ini...?!" Malaikat Kerdil menghentikan langkahnya dan membungkuk. Benda yang tidak lain milik Iblis Topeng Tengkorak, dan tergeletak di tanah segera diambilnya. Setelah mengamati beberapa saat.
"Entah dari mana dia mendapatkan senjata pusaka sedahsyat itu?"
"Kalau tidak salah, dari Pulau Ratu Api," jelas Pedang Dua Belas Naga tanpa diminta.
"Begitu juga kepandaian yang dimilikinya. Semua diperoleh dari Pulau Ratu Api itu..."
"Pulau Ratu Api…?!" gumam Malaikat Kerdil, dengan kening berkerut.
"Sebuah nama yang aneh. Ah! Sudahlah. Yang penting, Iblis Topeng Tengkorak tidak bisa hidup lagi. Heh, heh, heh..." Sambil tertawa tawa, Malaikat Kerdil mengangsurkan senjata itu kepada Panji.
"Tapi senjata ini sangat berbahaya, Kek. Sebaiknya, kau saja yang menyimpan..." Panji menggeleng, menolak benda itu. Dia memang, merasa tidak berhak untuk menyimpannya.
"Kalau begitu, biar kusimpan untuk kenang-kenangan," ujar Malaikat Kerdil, menimang-nimang tombak bercabang tiga ini.
"Tadinya aku bermaksud untuk menumpas Iblis Topeng Tengkorak. Tetapi, ternyata, aku telah keduluan. Kalau begitu, aku pergi saja. Persoalan di sini, kan sudah beres..." Setelah berkata demikian Malaikat Kerdil langsung mohon diri. Panji tidak berusaha, menahan. Dia maklum pada watak Malaikat Kerdil yang semaunya itu.
* * * * *
Tanpa sepengetahuan Pendekar Naga Putih dan yang lain, dua pasang mata mengintai dari balik semak belukar. Dua pasang mata itu ternyata milik Iblis Pesolek dan Tinju Kematian. Kedua datuk sesat telah sejak tadi mengintai pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan Iblis Topeng Tengkorak. Dan mereka sempat menyaksikan kedahsyatan senjata Iblis Topeng Tengkorak yang membuat mereka mengilar.
Tadinya, Iblis Pesolek dan Tinju Kematian merasa lega ketika senjata dahsyat yang terpental dari tangan Iblis Topeng Tengkorak telah terlupakan Pendekar Naga Putih. Namun, mereka jadi geram ketika kemunculan Malaikat Kerdil yang langsung mengambil senjata dahsyat itu. Bahkan kini dibawanya pergi dari tempat itu.
"Kita harus merebut senjata sakti itu dari tangan Malaikat Kerdil!" kata Tinju Kematian kepada Iblis Pesolek.
"Aku setuju!" sahut Iblis Pesolek bersemangat.
"Senjata sakti itu harus jadi milik kita. Dan..., rasanya aku juga tertarik, untuk mencari tempat yang bernama Pulau Ratu Api itu. Bagaimana denganmu, Tinju Kematian? Apakah kau tidak iri melihat kedahsyatan Iblis Topeng Tengkorak? Menurutku, kemungkinan besar masih banyak ilmu dan senjata langka tersimpan di pulau itu..."
"Aku juga berpikir demikian," kata Tinju Kematian, termenung sesaat.
"Raja Ular Siluman saja, yang kepandaiannya jauh berada di bawah kita, bisa sehebat itu. Apalagi kita? Namun, yang paling penting sekarang adalah merebut senjata sakti itu dari Malaikat Kerdil. Hal lainnya kita pikirkan belakangan..."
Setelah sama-sama sepakat, Iblis Pesolek dan Tinju Kematian meninggalkan tempat persembunyian secara hati-hati tanpa suara sedikit pun. Mereka terus menuruni lereng Gunung Bromo, bermaksud merebut tombak bermata tiga dari tangan Malaikat Kerdil.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Utusan Dari Neraka --oo0oo-- Pembunuh Berdarah Dingin |