Dewa Tangan Api
tanztj
May 06, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Tragedi Gunung Langkeng --oo0oo-- Macan Tutul Lembah Daru |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : DEWA TANGAN API
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : DEWA TANGAN API
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
«₪֎ [ SATU ] ֎₪»
Sosok tubuh berperut buncit yang mengeluarkan suara itu berlari cepat mendaki lereng Gunung Bulangkang. Langkah kakinya terlihat demikian ringan dan gesit. Sungguh tak cocok dengan bentuk tubuhnya yang pendek gemuk. Belum lagi, perutnya yang bagaikan wanita hamil. Tapi, semua itu ternyata sama sekali tidak menghambat gerakannya. Dari sini saja sudah dapat dinilai kalau kepandaian orang itu cukup tinggi.
Sedangkan sosok tubuh lain yang dikejar memiliki perawakan tegap dan gagah. Dia terus saja berlari tanpa mempedulikan ejekan pengejarnya. Kelihatannya, usia orang itu paling jauh sekitar dua puluh tahun. Namun, kepandaian ilmu larinya ternyata lumayan juga. Sehingga, jarak di antara mereka tidak berubah.
Lelaki berperut buncit yang berusia sekitar lima puluh tahun itu seperti memang sengaja tidak sungguh-sungguh mengejar. Dia sudah memperhitungkan kalau orang yang dikejar tidak akan tolos dari tangannya. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha memperpendek jarak di antara mereka. Dan, apa yang diperhitungkan lelaki gendut itu ternyata memang tidak meleset.
Pemuda berwajah keras yang memiliki sepasang mata licik itu terlihat bingung ketika telah tiba di atas puncak Gunung Bulangkang. Dia kemudian menghentikan larinya. Dan memang, yang dilewatinya kini adalah jalan satu-satunya untuk menuju puncak gunung. Sedangkan di kiri kanannya terdapat tebing-tebing curam yang tertutup semak belukar. Rasanya, tebing itu siap menelan mentah-mentah tubuhnya.
"Gila! Rasanya aku memang harus mati di tangan iblis gendut itu!" Umpatnya dengan wajah pucat. Tubuhnya hanya terpaku, menanti kedatangan orang yang mengejarnya.
"He he he...! Sudah kukatakan, kau tidak akan mungkin lolos dari tanganku, Setan Cilik! Nah, bukankah ucapanku sekarang terbukti?" Ejek lelaki setengah baya berperut buncit itu tertawa penuh kemenangan ketika telah dekat dengan pemuda itu. Kaki-kakinya yang pendek kini hanya melangkah perlahan-lahan semakin mendekati pemuda itu.
"Ha... Dedemit Bukit Saji! Jangan dikira aku akan menyerah begitu saja! Meskipun aku bukan tandinganmu, tapi jangan harap untuk bisa menangkapku!" geram pemuda itu.
Kaki kanan pemuda itu bergeser ke belakang dan langsung merendahkan tubuh. Sedangkan tangan kanannya dengan telapak terbuka melindungi ubun-ubun kepala. Sementara tangan kirinya yang mengepal menjulur ke depan. Jelas kalau pemuda itu tidak sudi menyerah begitu saja kepada laki-laki gendut yang dipanggil Dedemit Bukit Saji itu.
"Hei?! Kau masih belum menyerah juga rupanya?" ejek Dedemit Bukit Saji. Langkah kakinya pun berhenti ketika melihat buruannya telah bersiap menghadapi pertarungan mati-matian.
Dengan langkah pendek-pendek, Dedemit Bukit Saji mengintari pemuda itu disertai kekehnya yang berkepan- jangan. Sepasang matanya yang bulat dan tajam meneliti bentuk kuda-kuda yang dipergunakan pemuda itu. Jelas kalau lelaki gendut itu sangat memandang rendah lawannya.
"Hmh...!" Disertai geraman kasar, mendadak tubuh Dedemit Bukit Saji berbalik dan membentuk kuda-kuda dengan telapak kaki depan tergantung di atas tanah.
Melihat lawannya sudah bersiap bertarung, pemuda itu kembali bergerak. Sepasang tangannya berputar sejenak disertai geseran kakinya, namun tetap dalam bentuk kuda-kuda kokoh.
"Hiyaaat..!" Dibarengi teriakan nyaring, tubuh pemuda itu langsung melesat ke arah lawannya. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dalam bentuk pukulan dan tusukan jari-jari tangan. Sekali serang saja, la telah melontarkan serangkaian pukulan yang menimbulkan sambaran angin tajam.
Wuttt! Wuttt!
Heberapa buah kepalan dan tusukan jari-jari pemuda itu meluruk di sekitar tubuh Dedemit Bukit Saji. Tapi dengan gerakan cepat, lelaki gendut itu dapat menghindarinya. Bahkan dua buah pukulan yang mengarah ke dada dan leher berhasil dipapaknya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuugh...!" Lelaki muda itu mengeluh pendek ketika dua buah pukulannya terasa bagai membentur besi panas. Kuda- kudanya tergempur mundur, akibat tangkisan lawan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Mulut pemuda itu kontan menyeringai. Jelas, rasa sakit akibat benturan dengan lawan telah mendera tangannya.
"Heaaah...!" Sambil membentak kesal, pemuda itu menjejakkan kaki ke tanah kuat-kuat untuk mematahkan daya dorong tangkisan lawan. Sepasang tangannya bergerak cepat agar keseimbangannya terjaga, sekaligus menyalurkan tenaga dalam untuk menghilangkan rasa linu pada tulang lengannya.
"Happp...!"
Saat itu Dedemit Bukit Saji sudah melompat dan langsung mengirimkan pukulan lurus ke dada lawan. Sedang- kan tangan kirinya berada di sisi telinga, siap melontarkan tamparan.
Melihat serangan yang mengincar dadanya datang, pemuda itu memutar tubuh dengan menggunakan gerakan pinggang. Seketika kaki kirinya juga terangkat naik melakukan tendangan lurus ke perut Iawan. Benar-benar sebuah serangan yang patut dipuji. Karena itu dilakukan sekaligus untuk menghindari pukulan Dedemit Bukit Saji.
Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji pun tidak kalah hebatnya. Kaki kirinya segera melangkah kedepan membentuk kuda-kuda silang. Gerakan itu dibarengi putaran tubuhnya ke samping. Lalu, tangan kiri yang semula berada di dekat telinga bergerak turun, untuk menghantam tulang kering Iawannya. Tidak berhenti sampai di situ saja. Dedemit Bukit Saji yang habis menangkis kembali menggerakkan tangannya menghantam dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.
Desss! Buggg!
"Hugkh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tangkisan dan hantaman punggung tangan Dedemit Bukit Saji telak menemui sasaran. Tubuh pemuda itu langsung tersentak kuat ke belakang. Darah segar langsung menyembur membasahi tanah berumput di sekitar tempat itu. Tubuh pemuda itu terbanting keras di atas permukaan tanah. Untuk sesaat lamanya dia hanya terduduk sambil terbatuk-batuk. Rupanya hantaman punggung tangan Dedemit Bukit Saji bukan sebuah pukulan ringan. Buktinya, akibat yang dirasakan pemuda itu ternyata cukup parah.
"He he he...! Kematian sudah berada di ambang pintu. Lekaslah berlutut dan memohon ampun kepadaku. Mungkin saja aku akan berbaik hati dengan memukul pecah kepalamu. Sebuah kematian yang enak dan tidak menyakitkan, bukan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil melangkah lebar mendekati tubuh lawan yang masih terduduk lesu.
"Phuih...!" Dengan sikap kasar, pemuda itu meludah ke atas tanah. Saat itu juga, la langsung bergerak bangkit dengan wajah geram.
Hilang sudah kesabaran Dedemit Bukit Saji begitu melihat sikap keras kepala lawannya. Tangannya langsung bergerak cepat bagai kilat ke arah kepala pemuda itu.
Wuuuttt! Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!" Dua kali tamparan keras telak menghajar kepala pemuda itu. Tubuhnya kontan terpelanting ke atas tanah berumput. Dari mulut dan hidungnya tampak mengalir darah segar. Untunglah tamparan itu tidak sampai membunuhnya, sehingga sampai saat ini dia masih bisa bernapas.
"Bunuh saja aku, Iblis Gendut! Jangan dikira aku takut menghadapi kematian!" Teriak pemuda itu dengan wajah bersimbah darah. Ditentangnya pandangan mata Dedemit Bukit Saji tanpa rasa gentar sedikitpun.
Namun, tiba-tiba saja Dedemit Bukit Saji menengadahkan kepala memandang langit. Sepasang matanya yang bulat itu tampak menyipit. Sepertinya dia tengah menajamkan telinganya untuk memastikan sesuatu yang didengarnya secara samar-samar. Dan sesaat kemudian, senyum liciknya pun mengembang.
"Baiklah! Kalau memang itu sudah menjadi kemauanmu, bersiaplah untuk segera kukirim ke neraka...!" Ujar lelaki berperut buncit itu dengan suara agak keras. Dia sengaja berbuat demikian, sepertinya untuk memancing sesuatu yang tengah diduganya.
"Lakukanlah! Jangan hanya mulutmu saja yang besar!" Tantang pemuda itu, siap menghadapi maut yang akan menjemput.
"Bangsat..!" sambil memaki marah, Dedemit Bukit Saji melompat diiringi kibasan tangan. Dari angin pukulannya, bisa diduga kalau serangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.
Wuttt!
Serangkum angin tajam berhembus mengiringi telapak tangan Dedemit Bukit Saji. Tamparan itu meluncur deras mengancam kepala pemuda itu. Dapat dipastikan, kalau kepala orang itu akan pecah! Namun pada saat yang amat menentukan bagi nasib pemuda gagah itu, tiba-tiba saja sesosok bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Tangannya Iangsung terulur disertai bentakannya yang menggetarkan isi dada.
Wuttt!
Tiupan angin keras yang tidak kalah kuatnya dengan tamparan Dedemit Bukit Saji, menyambar cepat dan menggetarkan. Maka....
"Harm"
Hebat bukan main akibat pertemuan dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Ledakan keras terdengar menggelegar bagaikan sambaran petir di angkasa.
"Akh. !" Keluhan pendek terdengar dari mulut lelaki berperut buncit yang tubuhnya terlempar tanpa dapat dicegah lagi.
Brakkk...!
Sebatang pohon besar yang berada di belakangnya, berderak ribut ketika tubuh gendut yang masih terlindungi hawa sakti itu menghantamnya. Pohon itu langsung tumbang diiringi suara bergemuruh.
"Gila...! Setan dari mana yang berani main-main dengan Dedemit Bukit Saji?!" Umpat lelaki setengah baya bertubuh gendut itu marah
Dengan tertatih-tatih, Dedemit Bukit Saji langsung bangkit meski dengan langkah agak limbung. Di sudut bibirnya terlihat cairan merah yang mengalir turun. Sedangkan kedua tangannya menekap dada yang terasa sesak dan panas membakar. Cepat tokoh sesat itu menghirup udara banyak dan mengerahkan hawa murni untuk memulihkan kekuatannya. Tak berapa lama kemudian, gerakan-gerakan tangannya berhenti, lalu kepalanya menoleh ke arah tempat pemuda buruannya tadi berada.
Sementara itu, sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan jubah hitam telah berdiri tegak didepan pemuda itu. Setelah melepaskan pandangan sejehak ke arah Dedemit Bukit Saji yang tengah sibuk mengobati lukanya, sosok berjubah hitam itu pun berbalik dan merunduk. Tangan kanannya yang berjari-jari kurus terulur hendak memeriksa luka sipemuda.
Namun, begitu tubuh tinggi kurus yang ternyata orang kakek itu semakin membungkuk, tiba-tiba saja pemuda yang hendak ditolongnya malah melontarkan sesuatu dari tangan. Kakek tinggi kurus yang sama sekali tidak menyangka kalau orang yang ditolongnya akan berbuat demikian, tentu saja menjadi terkejut setengah mati! Tapi karena jarak di antara keduanya terlampau dekat, maka tidak mungkin lagi baginya untuk bisa mengelak. Akhirnya kakek itu mengibaskan lengan yang terulur untuk menghalau benda halus yang belum diketahuinya itu.
Wusss! Crab! Crab!
"Aaah...!" Malang! Karena jaraknya terlampau dekat, maka perbuatan kakek itu pun tidak seluruhnya berhasil. Beberapa benda halus yang seperti jarum langsung mengenai tubuhnya. Akibatnya, dia terjajar mundur sejauh beberapa langkah. Sedangkan pemuda yang semula terduduk lemah itu telah menggulingkan tubuhnya, menjauhi kakek
Wusss! Crab! Crab!
"Aaah...!" Kakek tinggi kurus yang tadinya bermaksud menolong pemuda itu tidak bisa mengelak lagi. Sebab dia tidak menyangka sama sekali kalau pemuda itu akan melepaskan jarum-jarum rahasianya!
Kakek tinggi kurus yang jelas sangat lihai. Kemudian, tubuhnya langsung melenting bangkit dengan gerak sangat cekatan. Entah apa yang menyebabkan pemuda itu sampai tega menyerang penolongnya.
"He he he...! Bagus, Palawa! Ternyata pengorbanan kita tidak sia-sia...!" Terdengar gelak tawa penuh kemenangan dari Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat itu terus saja terbahak-bahak sambil tersenyum dan mengangguk-angguk puas.
"Ha ha ha...! Jadi, sandiwara yang aku perankan tadi sudah bagus, Guru?" Tanya pemuda yang dipanggil Palawa juga tertawa-tawa penuh kepuasan.
Sementara itu, kakek tinggi kurus yang ternyata berjuluk Dewa Tangan Api terduduk lemah dengan wajah pucat. Jelas kalau jarum-jarum halus yang menancap di tubuhnya mengandung racun ganas.
"Hm.... Dedemit Bukit Saji. Lagi-lagi kau datang mengganggu ketenanganku, dengan cara menjebak. Kau masih tetap belum berubah. Bahkan sekarang kau bawa anak muda itu untuk mengikuti kesesatanmu. Apa yang kau kehendaki dariku kali ini, Dedemit Bukit Saji...?" Tanya kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun, dengan napas tersengal.
Wajah tua yang semakin pucat itu terlihat dibasahi peluh. Dari mimik wajahnya yang bergetar, jelas kalau ia tengah berusaha menahan rasa sakit yang diderita.
"Ha... Jangan berpura-pura bodoh, Tua Bangka! Seperti pada lima tahun yang lalu, kedatanganku kemari masih dengan maksud yang sama. Aku menginginkan Kitab Telapak Darah yang kau ciptakan. Cepat, katakan di mana kitab itu?!" bentak Dedemit Bukit Saji.
Laki-laki berperut buncit itu kemudian melangkah lebar mendekati kakek itu. Dari sikapnya yang tanpa curiga, sudah dapat ditebak kalau ia tahu akan keadaan Dewa Tangan Api, sehingga kelihatan tidak perlu khawatir.
"Hhh.... Sudah beberapa kali kukatakan, Kitab Telapak Darah itu telah kumusnahkan. Karena kusadari kalau ilmu ciptaanku itu sangat berbahaya dan dapat membawa kesesatan bagi siapa saja yang mempelajarinya. Jangan desak aku, Dedemit Bukit Saji. Percuma! Kau tidak akan mendapatkannya dariku...," sahut Dewa Tangan Api. Napas kakek itu tampak semakin memburu. Selebar wajahnya telah berubah kemerahan. Sepertinya, racun akibat jarum yang dilemparkan Palawa semakin menunjukkan pengaruhnya.
"He he he...! Kau tidak tahu, racun apa yang sekarang mengeram dalam tubuhmu, Peot! Tak satu obatpun yang dapat menyembuhkanmu. Ia akan terus menyiksa selama satu tahun. Dan setelah lewat dari waktu itu, kau akan mati secara perlahan-lahan dengan daging terkelupas sedikit demi sedikit. Bahkan semua persendianmu akan terlepas satu persatu. Nah! Dapat kau bayangkan, betapa menyedihkan akhir hidupmu, Dewa Tangan Api...," kata Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak melihat wajah kakek itu menjadi semakin pucat ketika mendengar keterangannya.
"Jadi..., maksudmu racun ini..., racun... racun....Aaah. !" Dewa Tangan Api tak sanggup lagi untuk meneruskan ucapannya. Wajahnya nampak sangat cemas ketika mulai dapat menduga tentang racun yang mengeram dalam tubuhnya.
"Benar! Racun itu berasal dari laba-laba biru dan kumbang merah, yang telah berusia puluhan tahun. Aku berhasil menemukannya di gua tempat kediaman mendiang guruku. Sayang, beliau keburu meninggal sebelum menciptakan obat penawarnya. Dan kau pasti pernah dengar tentang kehebatan racun itu, bukan? Nah! Sekarang kau boleh menikmatinya seumur hidupmu," jelas Dedemit Bukit Saji sambil tersenyum penuh kemenangan. Kemudian, laki-laki gendut itu membalikkan tubuhnya dan berpaling kepada Palawa, anak muda yang ternyata adalah murid tunggalnya.
"Mari kita pergi, Palawa. Meskipun Kitab Telapak Darah telah dimusnahkan, aku yakin kakek peot itu masih menyimpan salinannya. Ayo kita cari!" ujar Dedemit Bukit Saji mengajak muridnya untuk memeriksa tempat kediaman Dewa Tangan Api.
"Dedemit Bukit Saji...! Kau benar-benar manusia Iblis yang melebihi segala macam lblis! Kau..., kau..., biladab...! Ohhh..."
Setelah memaki-maki dengan suara serak dan terputus-putus, Dewa Tangan Api roboh tak sanggup menahan derita yang menyiksa. Rasa panas, dan gatal yang amat hebat, akhirnya membuat tokoh tua itu jatuh tak sadarkan diri.
Sedangkan Dedemit Bukit Saji dan Palawa meneruskan langkah menuju pondok tempat kediaman Dewa Tangan Api. Tak sedikit pun rasa iba di hati mereka terhadap kakek renta itu. Tak dipedulikan lagi teriakan-teriakan dan makian yang dilontarkan kakek itu kepada mereka. Sepertinya, hati kedua orang itu memang telah mati karena nafsu dan keserakahan.
* * * * *
«₪֎ [ DUA ] ֎₪»
"Bedebah! Di mana si peot itu menyembunyikan Kitab Telapak Darahnya? Rasanya tidak mungkin kalau dimusnahkan begitu saja! Pasti kitab itu disembunyikan di suatu tempat," umpat Dedemit Bukit Saji. Seluruh ruangan telah habis diperiksanya. Namun, kitab yang dicari belum juga dapat diketemukan. Tentu saja hatinya menjadi berang.
"Tapi, apa tidak mungkin kalau Dewa Tangan Api memang benar-benar sudah memusnahkannya, Guru? Dan, menurut cerita Guru sendiri, ilmu ciptaan Dewa Tangan Api itu sangat berbahaya. Bahkan bisa melumpuhkan syaraf-syaraf penting di kepala orang yang tidak kuat menerimanya. Jadi mungkin saja kakek itu benar-benar telah memusnahkannya," sergah Palawa mengemukakan pendapatnya.
"Hm.... Jangan bodoh, Palawa. Sekarang, coba pikirlah dengan otakmu yang jernih! Si tua peot itu telah menghabiskan waktu selama kurang lebih lima tahun, untuk menciptakan ilmu 'Telapak Darah'. Nah! Apakah setelah berhasil menciptakan, lalu sudi memusnahkannya begitu saja? Bukankah itu perbuatan bodoh namanya?" Sentak Dedemit Bukit Saji dengan suara agak keras. Sepertinya, kejengkelan hatinya ingin dilepaskan melalui ucapan-ucapannya. Dan kebetulan hanya Palawa-lah yang berada bersamanya. Maka sudah tentu kejengkelan hatinya itu ditumpahkan kepada muridnya.
"Kalau begitu, ia pasti mempunyai tempat lain untuk menyembunyikan kitab itu. Apakah di sekitar tempat ini ada gua atau semacam itu, Guru?" Tanya Palawa yang tiba-tiba saja mengeluarkan pendapatnya.
"Ahhh...! Betapa tololnya aku!" Seru Dedemit Bukit Saji sambil menampar kepalanya perlahan.
"Benar apa yang kau ucapkan itu, Palawa. Sudah pasti si peot itu mempunyai ruangan khusus yang dipergunakan untuk bersemadi atau menciptakan ilmu itu. Ayo, mari kita periksa seluruh pelosok puncak ini." Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji langsung melesat keluar meninggalkan pondok itu.
"Biar aku mencari ke sebelah Barat..!" ujar Palawa yang keluar belakangan. Dan, tanpa menunggu jawaban dari gurunya, pemuda itu segera melesat ke arah Barat.
Dedemit Bukit Saji pun tak ambil peduli dengan pendapat muridnya. la terus saja berlari ke sebelah Timur puncak. Ditelitinya setiap sudut puncak Gunung itu langsung untuk mencari tempat-tempat seperti yang dimaksud muridnya. Cukup lama Dedemit Bukit Saji memutari seluruh daerah puncak Gunung Bulangkang sebelah Timur. Namun sampai sebegitu jauh, tempat yang dimaksudkan belum juga dapat ditemukan. Sehingga, kemendongkolan hatinya pun kembali terusik.
"Huh! Benar-benar setan, si tua bangka itu! Awas kau! Dalam jangka waktu beberapa hari, akan kau rasakan betapa jahatnya pengaruh racun yang mengeram dalam tubuhmu!" Geram Dedemit Bukit Saji kembali memaki-maki. Setelah lelah mencari namun belum juga menemukan apa-apa, lelaki berperut buncit itu bergegas kembali ke pondok. Wajah yang dipenuhi brewok itu tampak semakin tak sedap dipandang mata.
"Guru...! Aku sudah menemukan tempat itu...!" Dedemit Bukit Saji yang tengah termenung itu, tersentak ketika mendengar teriakan muridnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tokoh sesat berperut buncit itu segera melesat menuju asal teriakan Palawa.
Tak berapa lama kemudian, Dedemit Bukit Saji sudah berada di dekat sebuah aliran sungai. Tampak Palawa tengah berdiri menanti di dekat sebatang pohon besar di tepi sungai. Cepat ia berlari menghampirinya.
"Di mana kau menemukannya, Palawa...?!" Seru Dedemit Bukit Saji tak sabar, walau masih berada beberapa tombak jauhnya dari tempat Palawa berdiri menunggu.
Palawa hanya tersenyum melihat ketidaksabaran gurunya. Tapi, ia sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu hanya berdiri menanti sampai sang Guru tiba di dekatnya.
"Di mana tempat itu, Palawa...? Mengapa kau diam saja? Hayo, cepat tunjukkan tempat itu!" Begitu tiba di dekat muridnya, Dedemit Bukit Saji langsung memberondong Palawa dengan serentetan pertanyaan yang membuat senyum di wajah pemuda itu semakin melebar.
"Sabarlah, Guru. Lagi pula, belum tentu tempat yang kutemukan merupakan tempat semadi Dewa Tangan Api. Dan belum tentu pula ada Kitab Telapak Darah di dalamnya. Jadi, jangan terlalu gembira dulu. Jangan-jangan, hanya kekecewaan lagi yang kita dapatkan di tempat itu," sambut Palawa, tenang. Tentu saja sikapnya itu membuat Dedemit Bukit Saji semakin marah.
"Diam kau, Anak Bodoh! Kau memang tidak tahu betapa hebatnya ilmu yang diciptakan Dewa Tangan Api! Kalau saja kita tidak menggunakan siasat, tidak mungkin kesaktian tua bangka peot itu dapat ditandingi. Nah! Bisa kau bayangkan, betapa hebatnya ilmu Telapak Darah' yang diciptakannya. Sebab, ilmu itu merupakan inti dari keseluruhan ilmu yang dimilikinya. Dapatkah kau membayangkannya, Otak Kerbau?!" Bentak Dedemit Bukit Saji sewot. Dan memang, dia merasa tersinggung melihat muridnya seperti tidak tertarik pada kitab itu.
"Baiklah, Guru. Mari, kita periksa gua di balik semak belukar itu," sahut Palawa. Pemuda itu menjadi terkejut juga melihat kemarahan gurunya. Tapi, ketika mendengar alasan-alasan yang diberikan, ia pun yakin kalau perkataan gurunya mungkin ada benarnya. Maka bergegas diajaknya orang tua itu untuk melihat apa yang ditemukannya.
Mendengar ucapan Palawa, Dedemit Bukit Saji langsung saja mengenjot tubuhnya ke arah tempat yang ditunjuk muridnya. Rasa ketidaksabaran, membuatnya tidak lagi mempedulikan Palawa. Sehingga, ia langsung saja menerobos masuk ke dalam gua di balik semak belukar.
"Ha ha ha...! Tidak salah lagi, Palawa! Tempat ini memang jelas ruangan bersemadi kakek peot itu!" seru Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak.
Sambil berdiri di ambang mulut gua, sepasang mata tokoh sesat itu berputar merayapi daerah sekeliling ruangan gua. Dedemit Bukit Saji sama sekali tidak kecewa meskipun ruangan gua itu terlihat kosong. Langkahnya segera diteruskan memasuki ruangan gua yang terdiri dari dinding-dinding batu alam. Udaranya terasa lembab. Sambil mengerahkan tenaga, setiap jengkal dinding mulai ditekan-tekannya. Melihat dari apa yang dilakukannya, jelas kalau Dedemit Bukit Saji tengah mencari-cari sesuatu.
Tapi mendadak tokoh sesat berwajah brewok itu menghentikan pencariannya. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Palawa yang masih berdiri di ambang mulut gua. Kening Dedemit Bukit Saji berkerut melihat Palawa hanya berdiri memperhatikan perbuatannya.
"Mengapa hanya berdiam diri saja, Palawa? Bantu aku mencari ruangan rahasia tempat kakek peot itu menyimpan kitabnya!" Bentak Dedemit Bukit Saji kesal.
Dengan malas-malasan, Palawa melangkahkan kakinya ke arah Dedemit Bukit Saji. Sepertinya, pemuda itu tidak menyetujui perbuatan gurunya, karena menurutnya hanya membuang-buang waktu saja.
"Aku pun tadi sudah meraba-raba seluruh dinding gua ini. Tapi, tak ada satu pun yang dapat kutemukan. Nampaknya tempat ini bukan seperti yang kita kehendaki, Guru," bantah Palawa dengan wajah cemberut.
"Ohhh.... Jadi, itukah sebabnya mengapa kau seperti tidak suka dengan apa yang kuperintahkan tadi? Coba tunjukkan, bagaimana caramu meraba dinding gua ini," perintah Dedemit Bukit Saji, mengejek. Sepertinya lelaki berperut buncit itu merasa pasti kalau apa yang dilakukan muridnya adalah salah.
Mendengar perintah gurunya, maka Palawa bergegas mendekati dinding gua dan mulai meraba-raba. Secara sepintas saja, dapat terlihat kalau cara yang dilakukan pemuda itu sangat berbeda dengan Dedemit Bukit Saji.
"Hra... Begitukah caramu memeriksa? Jelas, kau tidak akan menemukan apa-apa. Coba kerahkan tenagamu melalui tekanan telapak tangan. Dengan begitu, kau akan segera mengetahui apabila terdapat pintu-pintu rahasia. Dan memang bukan tidak mungkin kalau di dalam salah satu dinding gua Ini terdapat sebuah pintu rahasia," jelas Dedemit Bukit Saji.
Setelah mendengar apa yang dikatakan gurunya, maka Palawa mulai mengerti. Kini ia tidak lagi hanya sekadar meraba-raba saja, melainkan menggunakan tekanan-tekanan menggunakan kekuatan tenaga saktinya. Dan, mulailah terasa ada perbedaan dengan apa yang diperbuatnya tadi. Diam-diam pemuda itu harus mengakui, biar bagaimanapun pengalamannya masih terlalu mentah bila dibandingkan gurunya. Dengan cerdik, disimpannya pengetahuan itu dalam otaknya. Siapa tahu, kelak pengalaman ini berguna bagi pengembaraannya.
"Hm. Lihat ini, Palawa. Apa yang telah kutemukan," tiba-tiba terdengar suara penuh kegembiraan yang memecah kesunyian ruangan gua itu.
Palawa cepat menoleh ke arah gurunya. Tampak orang tua itu tengah membungkuk seperti memperhatikan sesuatu yang menarik di bawahnya. Maka, ia pun segera mendekat. Dan apa yang dltemukan gurunya ternyata benar-benar membuat wajah pemuda itu berseri-seri. Jadi, apa yang diduga gurunya itu ternyata memang tidak meleset.
Setelah Palawa tiba di dekatnya, barulah Dedemit Bukit Saji memutar sebuah batu yang berada dekat mata kakinya. Hal itu pun dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam. Jadi, tidak setiap orang bisa melakukannya. Dan itu menandakan, betapa cerdiknya Dewa Tangan Api dalam membuat ruang semadi.
Gerrrggg...!
Terdengar suara berderak diiringi bergetamya dinding binding gua yang berada didepan Dedemit Bukit Saji dan Palawa. Debu mengepul disertai terbukanya sebuah pintu batu yang cukup lebar.
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga tempat persembunyianmu, Tua Bangka Peot!" Kata Dedemit Bukit Saji sambil tertawa penuh kepuasan.
Wajahnya yang semula keruh, mendadak berseri gembira. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, kakinya langsung melangkah masuk ke dalam mangan itu. Begitu masuk ke dalam ruangan, sepasang mata Dedemit Bukit Saji langsung membentur sebuah kotak kayu jati yang tergeletak di atas sebuah batu pipih. Tanpa ragu-ragu lagi, tangannya langsung terulur mengambil petiitu. Dengan wajah tegang karena perasaan gembira tak terkira, dibukanya penutup peti itu. Dan apa yang dilihatnya di dalam peti itu, benar-benar membuat sepasang mata tokoh sesat itu terbelalak lebar.
"Lihat! Apa yang kutemukan ini, Palawa! Inilah Kitab Telapak Darah yang selama ini kuidam-tdamkan. Ha ha ha...! Akhirnya apa yang kucari-cari selama lima tahun ini dapat juga kutemukan! Sebentar lagi, dunia persilatan akan kubuat guncang!" Tawa Dedemit Bukit Saji berkumandang bagai hendak meruntuhkan langit-langit gua. Didekapnya kitab lusuh bersampul kulit kayu itu dengan wajah mengadah.
"Ha ha ha..! Benar, Guru. Dunia persilatan akan guncang dengan kemunculan kita. Tak ada seorang pun yang perlu ditakuti lagi setelah ilmu 'Telapak Darah' dapat kita kuasai!" kata Palawa. Pemuda itu ikut merasa gembira dengan apa yang ditemukan gurunya itu. Tawanya pun berkumandang meningkahi suara tawa Dedemit Bukit Saji.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Palawa! Aku yakin, tidak lama lagi dunia persilatan akan heboh!" kata Dedemit Bukit Saji sambil berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Hei?! Siapa lagi yang akan membuat heboh, Guru...?" Tanya Palawa ketika melihat sinar aneh di mata gurunya. Jelas bukan mereka berdua yang dimaksudkan Dedemit Bukit Saji.
"Tunggu sajalah...," sahut Dedemit Bukit Saji tanpa mempedulikan keheranan muridnya.
* * * * *
Malam sudah cukup larut. Cahaya bulan sepotong yang menggantung di langit pekat, tampak redup bagai tak bergairah. Suara binatang malam menyemarak ditingkahi hembusan angin semilir yang melenakan. Saat itu, dalam keremangan cahaya rembulan tampak sesosok bayangan hitam bergerak cepat bagai hantu. Jubahnya yang lebar dan berwarna hitam berkibar karena gerakannya demikian cepat.
Sosok itu terus berlari melintasi jalan lebar yang berhubungan dengan Desa Pejagal. Begitu tiba di mulut desa, sosok tubuh tinggi kurus itu menghentikan larinya secara mendadak. Rimbun pepohonan menyembunyikan tubuhnya dari pandangan.
"He he he...!" Terdengar suara tawa terkekeh perlahan, meluncur dari bibir sosok tubuh itu. Setelah beberapa saat merayapi daerah sekitarnya, dia kembali melesat memasuki desa. Tiba pada sebuah rumah yang terletak di mulut desa, kakinya dijejakkan di tanah. Seketika itu juga, tubuhnya langsung melenting dan mendarat ringan di atap rumah.
Perlahan-lahan dan tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan, tangan berjari-jari kurus dan runcing itu membuka beberapa buah genteng rumah. Sepasang matanya yang berkilat tajam langsung merayapi keadaan di sekitar ruangan dibawahnya. Sesaat kemudian, tubuh tinggi kurus itu langsung melayang turun dan hinggap di atas tanah tanpa suara sedikit pun. Melihat dari caranya melompat turun dan mendarat, jelas kalau sosok tinggi kurus itu memiliki kepandaian tinggi dan sulit dicari tandingannya. Entah apa yang dicarinya di rumah salah seorang penduduk Desa Pejagal itu.
Kemudian, tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya, sosok tubuh kurus itu langsung mendekati sebuah dipan yang terletak di sudut ruangan. Wajahnya tampak menyeringai penuh nafsu ketika melihat sosok tubuh ramping yang terbaring dengan kain tersingkap sebatas paha.
"He he he.... Haluuus...," desah sosok tubuh itu sambil mengelus tembut kulit paha sosok tubuh ramping yang tengah terlelap.
Makin lama, gerakan tangannya tampak semakin liar ditingkahi dengan napasnya yang berpacu. Karena gerakan tangannya semakin tak terkendali, maka wanita muda yang tengah terlelap itu tersentak bangkit dari tidurnya.
"Oh... ufs...?!"
Seruan tertahan wanita muda itu langsung terhenti karena mulutnya telah tertutup tangan sosok tinggi kurus ini. Dan sekali sentak saja, tubuh ramping itu pun telah berada dalam pondongannya.
"Hei...! Siapa kau...?!" Terdengar teguran yang tersendat-sendat. Rupanya lelaki muda yang tidur di samping istrinya terbangun akibat seruan tertahan tadi. Begitu melihat istrinya telah berada dalam pondongan sosok tubuh tinggi kurus yang tak dikenal, lelaki muda itu langsung menyambar sebatang golok di dinding. Seketika, dihunusnya golok berwarna putih yang mengeluarkan cahaya berkilat itu.
"Mau apa kau...? Hayo, lepaskan istriku!" bentak lelaki muda Itu sambil menudingkan ujung goloknya ke arah sosok tinggi kurus didepannya.
Melihat ujung golok yang ditudingkan ke arahnya, sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki tua itu tampak memandang marah. Sepasang matanya menyiratkan sinar tajam yang menggetarkan hati lelaki muda itu. Kemudian disertai geram kemarahannya, lelaki tua itu mengibaskan lengan kanannya secara serampangan. Jelas, gerak yang dilakukannya bukan gerak silat.
Desss!
"Hegkh...!" Dan akibat yang ditimbulkan gerakan tangan serampangan itu ternyata sangat parah. Tubuh lelaki muda itu langsung terpelanting deras. Padahal, jelas sekali kalau lengan lelaki tua itu tidak sampai menyentuh tubuhnya. Tapi anehnya, tubuh yang terbanting jatuh itu langsung saja diam tak bergerak. Lapat lapat tercium bau amis darah yang mengalir di sekitar kepala lelaki muda itu. Rupanya, lelaki malang itu langsung tewas tanpa sempat merasakan sakit lagi.
Setelah melihat sasarannya diam tak bergerak, sosok tubuh berambut putih riap-riapan itu kembali melambung ke arah atap rumah. Dia terus melesat meninggalkan desa, lenyap di dalam kepekatan malam dan bayang pepohonan.
"He he he...!" Sambil terkekeh parau, lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu merebahkan tubuh wanita muda yang dibawanya di atas rerumputan tebal. Dan tanpa malu-malu lagi, diciuminya wajah wanita muda yang bersimbah air mata karena ketakutan. Bahkan tangan berjari-jari kurus dan runcing itu mulai merayap bagaikan seekor ular.
"Ohhh..., jangan..., kasihanilah saya, Tuan....n." Terdengar rintihan lemah dari mulut wanita muda itu setelah totokan pada lehernya dibebaskan. Gerakan perlawanannya pun terlihat demikian lemah. Seolah-olah ia memang tidak berdaya menghadapi kebuasan lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu.
Rintihan memelas yang keluar dari mulut wanita muda itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba di hati lelaki tua itu. Bahkan gerakannya semakin liar bagaikan seekor binatang buas kelaparan. Sehingga lama kelamaan perlawanan wanita muda itu tidak ada gunanya lagi. Yang terdengar hanyalah deru napas lelaki tua itu yang bagaikan kuda pacu.
Setelah puas melampiaskan nafsu binatangnya, lelaki tua bertubuh tinggi kurus itu kembali mengenakan pakaiannya diiringi suara kekeh parau yang mendirikan bulu roma. Sedangkan wanita muda yang menjadi korban kebiadabannya, hanya dapat menangis menyesali nasib buruk yang menimpa. Tapi sayang, isak tangis lirih yang memilukan itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan iba sedikit pun. Bahkan tangisan lirih itu membuat lelaki tua itu menatap penuh kemarahan.
"Hei! Mengapa kau menangis? Kau tidak suka? Atau ingin kepalamu kupukul hancur? Hayo, jawab!" Bentak laki-laki tua itu tanpa perasaan iba sedikit pun. Sepertinya, hati orang tua itu terbuat dari batu. Hingga tangisan itu sama sekali tidak mampu melunakkan hatinya.
Bentakan yang menggelegar tentu saja membuat wanita muda itu pucat wajahnya. Bentakan keras yang laksana ledakan petir di telinga itu membuat tangisnya terhenti. Meskipun demikian, masih juga tersisak-isak sesekali.
"Nah, begitu. Kau benar-benar menggairahkan. Malam ini harus kita nikmati bersama. Ayo, tersenyumlah. Lihat sang bulan di atas itu. Bukankah ia tengah tersenyum melihat kita...?" Ujar lelaki tua itu yang sepertinya merasa gembira karena hasratnya sudah terlampiaskan. Sambil terkekeh gembira, tangan kanannya terulur membelai wajah manis wanita muda itu.
Dengan tubuh yang semakin gemetar karena rasa takut yang hebat, wanita muda itu perlahan mengegoskan wajahnya. Sehingga, belaian tangan sosok tinggi kurus itu hanya mengenai angin saja. Melihat kenyataan ini, kemarahan sosok tinggi kurus itu pun kembali terbangkit.
"Kurang ajar! Kau berani menolak, ya? Kau memang tidak patut disayang! Rasanya, kau sudah tidak berguna lagi!" bentak lelaki tua itu. Langsung telapak tangannya diayunkan kearah kepala wanita muda itu. Maka….
Wuttt! Prakkk!
Terdengar suara keras yang menandakan pecahnya kepala wanita muda itu! Darah segar yang bercampur cairan putih, menyembur keluar dan membasahi rerumputan di bawahnya. Tubuh wanita muda yang malang itu terkulai rebah dan diam tak bergerak-gerak lagi. Ia tewas ditangan lelaki tua yang seperti orang kurang waras itu. Di sini, kembali lelaki berambut putih dan bertubuh tinggi kurus itu memperlihatkan kekuatannya. Tamparan yang kelihatannya perlahan, ternyata sanggup meremukkan batok kepala manusia. Benar-benar hebat kepandaian yang dimiliki sosok tubuh tinggi kurus itu
Sementara, malam semakin merayap mendekati fajar. Suara binatang malam masih menyemarak Tak berapa lama kemudian, suara kukuruyuk ayam jantan hutan mulai terdengar bersahut-sahutan. Suatu pertanda bahwa sebentar lagi pagi akan segera tiba.
* * * * *
«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»
"Minggir...! Minggir...!"
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun melangkah lebar sambil mengibaskan tangannya ke kiri kanan. Beberapa orang penduduk yang semula menoleh marah, langsung membungkukkan tubuhnya begitu mengenali lelaki gagah berwajah kokoh itu.
"Oh! Kiranya, Kakang Turangga yang datang. Silakan, Kakang...," sambut salah seorang penduduk yang semula memandang marah karena tubuhnya didorong begitu saja. Wajahnya yang semula berang, berubah hormat terhadap lelaki gagah yang mendorong tubuhnya ke pinggir tadi.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini...?" Gumam lelaki gagah yang dipanggil Turangga itu pelan.
Melihat dari sinar matanya yang tidak ditujukan ke- pada salah seorang penduduk, jelas kalau ia tidak begitu memerlukan jawaban atas pertanyaannya. Tapi, salah seorang penduduk berusia sekitar lima puluh tahun, langsung saja mendekati Turangga dan melaporkan mengenai apa yang diketahuinya.
"Barta tewas...? Siapa yang telah berani membunuhnya? Lagi pula, kita semua tahu kalau ia memiliki kepan- daian silat yang cukup tangguh. Jadi, siapa yang membuatnya sampai tewas secara mendadak? Lalu, bagai- mana istrinya? Apakah selamat?" Tanya Turangga beruntun kepada lelaki setengah baya yang melaporkan keja- dian itu kepadanya.
"Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadiannya, Kakang. Dan mengenai istrinya, kami belum tahu. Sebab, yang kami temukan hanya mayat Barta," sahut lelaki berkumis tipis itu.
Rupanya, jawaban itu tidak memuaskan Turangga.Maka lelaki gagah itu bergegas meninggalkannya danlangsung masuk ke dalam rumah yang tertimpa musibah.Begitu tiba di dalam ruangan, Turangga langsungmembuka kain putih yang menutupi sekujur tubuh ma-yat itu. Setelah meneliti sejenak, pandangannya dialihkan kepada orang desa yang berkumpul di dalam ruangan tengah itu.
"Hm.... Siapa yang paling dulu menemukan mayat Barta ini..?" Tanya Turangga sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Dirayapinya wajah belasan laki-laki yang berada di ruangan itu dengan sinar mata lajam menusuk.
"Aku yang lebih dulu melihatnya, Kakang. Seperti biasanya, kami selalu berangkat ke sawah bersama-sama. Pagi tadi, ketika mengetuk pintu dan tidak ada sahutan sama sekali, aku segera ke pintu belakang yang biasanya memang tidak terkunci. Tapi yang kudapati, ternyata hanya mayat Barta. Tubuhnya telah terbujur kaku di dekat pembaringannya. Sedangkan istrinya, entah pergi ke mana. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya, Kakang," sahut salah seorang lelaki pendek gemuk berwajah putih.
"Jadi, belum ada seorang pun yang melihat istri Barta pagi ini?" Turangga kembali menegasi dengan suara berat dan berwibawa.
Lelaki gagah itu memang sangat disegani para penduduk Desa Jagalan. Jabatannya di desa ini memang pembantu kepercayaan kepala desa, merangkap sebagai kepala keamanan. Sikapnya sama sekali tidak pernah sombong. ltulah salah satu alasan, mengapa para penduduk menyenanginya. Maka ketika la bertanya tadi, para penduduk langsung mengerumuninya. Sepertinya mereka merasa yakin kalau Turangga akan dapat menyelesaikan masalah yang tengah terjadi di desa itu. Sebab biasanya segala urusan yang dipegang lelaki berusia empat puluh tahun itu selalu saja menemukan titik terang, dan akhirnya selesai.
"Belum, Kakang. Kami tidak tahu harus mencari ke mana. Kalau mereka bertengkar dan istri Barta melarikan diri dari rumah, jelas tidak mungkin. Sebab, selama ini mereka terlihat rukun-rukun saja. Apalagi masih pasangan baru. Dan lagi, tidak ada teriakan apa-apa yang kudengar semalam. Maka aku pun merasa terkejut ketika melihat tubuh Barta sudah menjadi mayat di atas genangan darahnya sendiri. Karena merasa khawatir, aku pun membawa beberapa orang teman untuk membantu mengangkat mayatnya," kembali lelaki pendek gemuk itu menceritakan apa-apa yang diketahuinya.
"Hm. Peristiwa ini harus segera kukabarkan kepada Pimpinan Perguruan Golok Perak. Aku yakin, Pendekar Golok Sakti bersedia membantu kita untuk menyelidik kejadian ini. Sebagai ketua partai, ia tentu tidak akan tinggal diam melihat salah seorang anggotanya mati secara menyedihkan," kata Turangga yang kemudian kembali melangkah ke luar.
Sebelum meninggalkan tempat kediaman Barta, Turangga memerintahkan kepada para penduduk yang berkumpul agar segera mengurus dan merapikan mayat Barta. Paling tidak, apabila Pendekar Golok Sakti atau wakilnya yang datang menjenguk tidak kecewa.
"Panjawa... Balung! Kemari kalian...!" Panggil Turangga kepada kedua orang pembantunya.
Dua orang laki-laki yang dipanggi] Panjawa dan Balung bergegas menghampirinya. Setelah menerobos di antara kerumunan penduduk, mereka tiba didepan Turangga. Keduanya kemudian langsung membungkuk memberi hormat kepada laki-laki gagah itu.
"Ada apa, Kakang...?" Lelaki botak bertubuh gempal yang bemama Balung langsung saja menanyakan maksud laki-laki gagah itu memanggilnya.
"Hm... Kalian berdua pergi ke Perguruan Golok Perak. Sampaikan kepada salah seorang pimpinan perguruan tentang peristiwa yang menimpa salah seorang muridnya yang bernama Barta. Ceritakan apa adanya dan jangan dilebih-lebihkan," perintah Turangga kepada kedua orang pembantunya.
"Baik. Kami pergi, Kakang," pamit Balung dan Panjawa berbarengan.
"Jangan lupa! Sampaikan salam hormatku kepada Pendekar Golok Sakti," pesan Turangga mengingatkan.
"Baik, akan kami sampaikan," kali ini yang menyahut adalah Panjawa, lelaki berusia tiga puluh tahun berwajah kecoklatan.
Sebentar kemudian, Balung dan Panjawa telah berada di atas punggung kuda masing-masing. Mereka bergegas meninggalkan Desa Pejagal dengan memacu cepat kuda masing-masing.
Sepeninggal kedua orang pembantunya itu, Turangga bergegas menuju tempat kediaman kepala desa untuk melaporkan mengenai peristiwa ini. Begitu berada di punggung kuda, lelaki gagah itu langsung membedal binatang tunggangannya yang segera melesat bagai anak panah.
* * * * *
"Heya.... Heya...!"
Terdengar teriakan-teriakan nyaring yang ditingkahi derap kaki kuda yang bergemuruh. Debu mengepul tinggi membentuk bulatan-bulatan pekat di angkasa. Di antara kepulan debu, tampak lima orang gagah memacu cepat kuda masing-masing. Tak berapa lama kemudian, lima orang penunggang kuda itu melintas cepat di jalan utama yang nenuju Desa Pejagal. Saat itu hari sudah menjelang siang. Meskipun sinar matahari tidak terlalu menyengat kulit, tapi tubuh para penunggang kuda itu telah basah bersimbah peluh. Tampaknya perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh dan melelahkan.
Lima orang yang di antaranya terdapat Balung dan Panjawa, mulai memperlambat lari kudanya. Dan memang, beberapa tombak di depan mereka adalah mulut Desa Pejagal. Untuk tidak mengganggu para penduduk dengan kepulan debu yang bergulung-gulung, maka kelima orang itu hanya menjalankan kudanya lambat-lambat.
"Kami ingin langsung melihat mayat yang kau ceritakan itu, Kisanak," ujar salah seorang penunggang kuda kepada Balung. Ucapan yang dikeluarkannya lebih tepat sebuah permintaan daripada sebuah perintah. Sehingga, Balung tidak keberatan untuk mengantarkan mereka melihat mayat Barta.
"Baik, mari ikut aku...," ajak Balung yang kemudian segera menolehkan kepalanya kepada Panjawa.
"Kakang, sebaiknya kau laporkan perihal kedatangan tiga orang utusan Perguruan Golok Perak ini kepada Kakang Turangga. Aku akan mengantarkan mereka dulu untuk melihat mayat Barta."
Setelah mengangguk sebagai jawaban atas yang diberikan Balung, Panjawa segera membedal kudanya menuju tempat kediaman Kepala Desa Jagalan. Sementara, Balung mengantarkan ketiga orang utusan Perguruan Golok Perak untuk melihat mayat anggota perguruannya. Dan kini Balung dan ketiga orang utusan Perguruan Golok Perak telah tiba didepan halaman rumah Barta. Balung segera melompat turun dari atas punggung kudanya, diikuti ketiga orang utusan itu.
"Mari! Silakan masuk, Kisanak...," ajak Balung mempersilakan ketiga orang utusan itu.
Lelaki berkepata botak dan bertubuh gempal ini menyingkir sejenak dari ambang pintu ketika ketiga orang itu melangkah masuk.
Begitu tiba di dalam mangan, mereka langsung melangkah ke arah jenazah Barta yang ditutupi sehelai kain berwarna putih. Salah seorang yang berkumis lebat dan berwajah keras, bergegas menyingkap kain penutup jenazah.
"Hmm..." Laki-laki berkumis lebat itu hanya bergumam dengan rahang mengeras. Ditutupnya kain itu kembali dan melangkah mendekati Balung.
"Maaf, Kisanak. Apakah sudah ada usaha untuk mencari istri murid kami ini? Baru sekitar satu bulan mereka menikah. Jadi, tidak mungkin kalau di antara mereka terjadi pertengkaran. Oh, ya. Boleh aku tahu, apakah ada keterangan lain selain dari ceritamu tadi?" Tanya lelaki berkumis lebat itu yang jelas-jelas merasa tidak senang melihat kematian salah seorang anggota perguruannya.
Cara dan sikap yang ditunjukkan orang itu sedemikian sombong dan memandang rendah Balung. Sehingga, laki-laki berkepala botak itu sempat tersinggung karenanya. Balung menarik napas dalam-dalam untuk menenteramkan kegusarannya yang terbangkit atas sikap dan ucapan lelaki berkumis lebat itu. Setelah merasa agak tenang, maka ditatapnya tajam-tajam orang itu.
"Kisanak. Rasanya tidak ada untungnya aku menyembunyikan cerita. Kalau kalian memang kurang percaya, silakan tanyakan sendiri kepada mayat Barta. Mungkin ia bisa memberi jawaban yang Iebih memuaskan," sahut Balung. Kata-katanya demikian tajam, sehingga langsung memukul balik hinaan lelaki berkumis lebat itu.
Dua orang kawan lelaki berkumis lebat itu tersentak kaget ketika mendengar suara yang bernada tidak mengenakkan. Bergegas keduanya mendekat untuk mengetahui, apa gerangan yang tengah terjadi antara kawan mereka dengan lelaki botak itu.
"Hm.... Ada apa ini...? Mengapa kalian berdua sepertinya tengah bersitegang? Tidakkah kalian bisa menghormat sedikit kepada orang yang tengah mendapatkan musibah?" Sergah lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu memiliki wajah gagah, dan tampaknya cukup berpengaruh. Meskipun ucapannya jelas ditujukan kepada dua orang yang tengah adu urat itu, tapi sepasang matanya lebih tepat menghunjam ke wajah Balung. Seolah-olah, secara sembunyi ia sengaja menyalahkan Balung.
Merah selebar wajah Balung ketika mendengar sindiran yang membuat telinganya panas. Namun karena orang-orang yang menurutnya sangat sombong itu masih menyindir, maka ia pun tidak berani marah secara terang-terangan. Ditelannya kemarahan itu, seraya mendinginkan otaknya agar dapat mencari jawaban untuk memukul balik sindiran orang-orang angkuh itu.
"Hhh.... Sayang kami belum menemukan istri dari anggota perguruanmu itu, Kisanak. Ahhh..., aku menyesal sekali. Padahal, Barta seorang yang baik dan sopan. Jarang aku menemukan orang seperti dia. Biasanya orang yang memiliki sedikit kepandaian silat, akan mengangkat dada dan memandang rendah orang lain. Hhh... Sayang sekali kalau orang sepertinya harus menerima kematian secara mengenaskan," kata Balung yang saat itu sudah berada di dekat jenazah Barta.
Perkataan yang dikeluarkannya itu sengaja ditujukan untuk memukul hati ketiga orang tokoh Perguruan Golok Perak yang bersikap angkuh dan seperti tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Dan ternyata memang sangat mengena.
Lelaki bertampang beringas dan berkumis lebat itu sudah tak dapat lagi menahan kegeramannya. Sepasang matanya tampak menyorot tajam, menyiratkan kemarahan yang tidak bisa lagi disembunyikan. Kalau saja lelaki tegap berwajah gagah yang sepertinya bertindak sebagai pemimpin itu tidak keburu mencegah, mungkin perkelahian tidak bisa dihindari lagi. Padahal, saat itu Balung sudah meraba gagang pedangnya. Dan memang, dari ekor matanya ia sempat menangkap gerakan lelaki berkumis lebat itu.
Di saat ketegangan sudah semakin memuncak, tiba-tiba muncul Turangga di ambang pintu. Sehingga, Balung dan ketiga orang itu sama-sama menganggukkan kepala ke arah Turangga. Dan dalam sekejap saja, ketegangan di antara mereka lenyap seperti tersapu angin.
"Hm.... Saudara Turangga. Rasanya sudah cukup lama kami berada di sini. Karena tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, maka lebih baik kami pamit sekaligus untuk mencari istri anggota perguruan kami. Siapa tahu nanti kami bisa mendapatkan sedikit petunjuk," kata lelaki tegap berwajah gagah itu lantang. Dari nada ucapannya, terlihat jelas kalau ia menyalahkan Turangga dan kawan-kawannya yang tidak berusaha mencari istri Barta. Dan sindiran itu juga dirasakan Turangga.
"Baiklah, Kisanak. Kami memang sengaja belum melakukan penyelidikan atas kejadian ini. Sebab, kami masih memandang Pendekar Golok Sakti. Maka, aku langsung memerintahkan Balung dan Panjawa untuk segera menyampaikan berita duka Ini kepada beliau. Setelah beliau mengetahuinya, barulah kami akan mengambil tindakan. Sebenarnya, kami hanya takut dikatakan lancang dan juga tidak melangkahi beliau," sahut Turangga. Rupanya, Turangga dapat bersikap tenang dan sabar dalam menghadapi ucapan-ucapan yang jelas-jelas menyinggung perasaannya itu.
"Hm.... Kami pamit dulu...," ucap laki-laki tegap itu kemudian. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, ketiga utusan Per- guruan Golok Perak itu segera beranjak meninggalkan Desa Jagalan.
Turangga mengantarkan kepergian ketiga orang utusan Perguruan Golok Perak itu dengan senyum dan anggukan kepala. Wajahnya sama sekali tidak memancar-kan kemarahan meskipun ketiga orang itu tidak menoleh lagi kepadanya. Dipandanginya punggung ketiga orang itu yang membedal kudanya meninggalkan kepulan debu yang membumbung ke angkasa.
"Orang-orang Perguruan Golok Perak itu sombong-sombong sekali, Kakang. Hampir-hampir saja aku bertarung dengan mereka tadi. Untunglah Kakang Turangga keburu datang. Sepertinya, ketiga orang itu masih memandang Kakang," Balung yang masih mrasa sebal dengan tingkah laku dan sikap sombong ketiga orang itu, mengadu kepada Turangga.
"Maklumilah perasaan mereka, Balung. Mungkin kejadian yang menimpa Barta sangat memukul hati dan kewibawaan Perguruan Golok Perak. Jadi, maklum saja kalau mereka tidak dapat menahan diri dengan melontarkan ucapan-ucapan yang memanaskan telinga," sahut Turangga.
Laki-laki itu tidak menyalahkan atau membela kedua belah pihak. Dilihat dari caranya saja, sudah dapat ditebak kalau dia tentu bukan orang sembarangan. Pandangan dan sikapnya jelas menunjukkan kematangan jiwanya. Dan kedua hal itu biasanya hanya dimiliki oleh orang yang kepandaiannya telah cukup tinggi.
Baik Balung maupun Panjawa sama sekali tidak berani membantah nasihat Turangga. Mereka hanya berdiri membisu dengan kepala tertunduk. Jelas kalau kedua orang pembantunya itu sangat menyegani pimpinannya.
"Lebih baik, sekarang kalian berdua ikut bersamaku. Aku sudah meminta izin kepada kepala desa untuk mencari istri Barta. Menurut dugaanku, ada seseorang yang dengan sengaja menculiknya. Sedangkan tempat persembunyian satu-satunya, aku yakin adalah hutan lebat di sebelah Barat desa kita ini," ujar Turangga.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah lebar menuju kuda tunggangannya. Sekali melompat saja, tubuhnya telah mendarat ringan di atas punggung kuda. Perbuatannya diikuti Balung dan Panjawa. Sebentar kemudian, ketiga binatang beserta penunggangnya itu melesat meninggalkan Desa Jagalan.
* * * * *
Turangga terus menyelusuri hutan lebat dengan diiringi Balung dan Panjawa. Semak belukar diterobos, karena hutan ini memang jarang didatangi manusia. Bahkan tidak terdapat jalan setapak sedikit pun. Jadi mereka harus membuat jalan sendiri untuk melakukan pencarian itu. Matahari semakin naik tinggi ketiga ketiga orang itu sudah melewati tengah hutan. Meskipun sampai sejauh itu belum ditemukan petunjuk sedikit pun namun mereka sama sekali tidak berputus asa. Turangga tetap tenang di atas punggung kudanya. Sepertinya, lelaki berusia empat puluh tahun yang masih terlihat gagah itu merasa yakin akan menemukan yang tengah dicarinya. Sehingga, ia sama sekali tidak terlihat gelisah.
Lain halnya Balung dan Panjawa. Kedua orang pembantu Turangga ini tampak sudah mulai tak sabar. Sesekali mereka menyusut peluh yang berlelehan di wajah. Bahkan tidak jarang mata mereka melirik kepada Turangga yang tampak tenang dan sama sekali tidak merasa letih itu. Kalau saja Balung dan Panjawa tidak bersama pimpinannya, rasanya sudah meninggalkan hutan dan kembali ke desa. Tapi, rasa segan terhadap pimpinannya yang sangat tenang dan penyabar itu membuat mereka terpaksa menahan rasa lelah dan terus mengiringi langkah kaki kuda Turangga.
"Sebentar...," bisik Turangga tiba-tiba. Ucapan laki-laki gagah itu masih diikuti gerakan tangannya.
Seketika, langkah kaki kuda kedua orang pembantunya tertahan. Karena baik Balung maupun Panjawa sudah menarik tali kekang secara berbarengan.
"Ada apa, Kakang...?" Tanya Balung juga berbisik lirih. Seketika wajah lelaki pendek gempal berkepala botak itu menegang ketika sepasang matanya mengikuti arah telunjuk Turangga. Kalau saja lelaki gagah itu tidak segera menaruh telunjuknya didepan mulut, mungkin Balung sudah bertanya lagi.
"Kalian berdua tunggu di sini, dan tunggu isyarat dariku. Mengerti...?" Bisik Turangga, perlahan.
Sehingga, kedua orang pembantunya itu hanya dapat mengangguk dengan wajah tegang! Hati-hati sekali Turangga melompat turun dari atas punggung kuda. Kemudian dengan langkah perlahan, kaki lelaki gagah itu pun mulai melangkah mendekati sosok tubuh berambut panjang yang tengah terbaring di atas rerumputan.
Turangga mengambil jalan memutar untuk memastikan kalau sosok tubuh itu mungkin tengah terlelap. Namun, kening lelaki gagah yang biasanya penuh ketenangan itu berkerut ketika matanya menangkap cairan merah di belakang kepala sosok tubuh ramping di depannya. Setelah dapat memastikan kalau cairan mengering itu benar-benar darah manusia, Turangga segera melesat mendekatinya. Setelah memeriksa sejenak dan memastikan kalau sosok tubuh ramping itu sudah tidak bernapas lagi, laki-laki gagah itu pun mengangkat tangan kanannya memanggil Balung dan Panjawa.
"Dapatkah kalian mengenali, siapa mayat wanita muda ini?" Tanya Turangga, seolah-olah ingin memastikan dugaannya. Pertanyaan itu dilontarkan setelah kedua orang pembantunya turun dan mendekat.
Sosok mayat yang mulai menebarkan aroma tak sedap itu, digulingkan Turangga dengan menggunakan ujung alas kakinya. Sehingga, mayat wanita muda yang semula menelungkup itu kini membalik dan dapat terlihat jelas wajahnya.
"Ya, Tuhan. Bukankah wanita ini istri Barta?! Siapa pula manusia biadab yang telah membunuhnya secara keji ini?!" Geram Balung dengan tangan terkepal erat.
Jelas, lelaki berkepala botak itu merasa sangat marah dengan apa yang disaksikannya. Napasnya seketika memburu menahan kegeraman.
"Dia bukan hanya dibunuh, Balung. Perhatikanlah baik-baik pakaian yang dikenakan wanita muda ini," ujar Turangga yang memang memiliki pandangan lebih awas dan teliti daripada kedua pembantunya.
"Biadab...! Iblis keji itu rupanya telah memperkosa wanita malang ini terlebih dahulu sebelum membunuhnya! Benar-benar perbuatan keji!" Maki Balung dengan wajah merah padam.
Panjawa dapat bersikap lebih tenang. Ia hanya meneliti sekujur tubuh wanita muda yang malang itu dalam jarak beberapa langkah. Melihat dari pancaran matanya, jelas kalau dia tengah dilanda kegeraman hebat. Namun, ia masih dapat menahan dirinya disertai helaan napas.
* * * * *
«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»
"Bagaimana, Kakang? Apakah mayat istri Barta ini kita bawa ke desa?" Tanya Balung mengusir lamunan yang mengganggu pikiran Turangga.
"Mmm..." Lelaki gagah itu hanya bergumam perlahan, seolah-olah hendak mencari jawaban atas pertanyaan Balung. Padahal, sebenarnya ia tidak begitu mendengar pertanyaan pembantunya tadi. Maka, ia sengaja bergumam agak panjang agar Balung mengulangi kembali pertanyaannya.
"Kakang, bagaimana dengan pertanyaan Adi Balung tadi? Apakah kita akan membawa pulang mayat ini, atau pendam saja di sini secara sederhana. Kita tidak bisa mendiamkannya terlalu lama, Kakang," Panjawa tiba-tiba mengulangi pertanyaan yang diajukan Balung tadi.
Mendengar pertanyaan itu, Turangga tersenyum. Dan senyum di wajahnya itu perlahan memudar diiringi gerakan tubuhnya yang bangkit berdiri. Lalu pandangannya beredar ke sekitarnya dengan maksud mencari tempat yang cocok untuk istirahat panjang wanita malang itu.
"Kita kuburkan saja di tempat itu...," sahut Turangga sambil menunjuk tanah gembur di bawah sebatang pohon besar. Kemudian kakinya melangkah ke arah pohon itu.
Tanpa diperintah dua kali, Balung dan Panjawa segera mengangkat mayat wanita malang itu dan meletakkannya di bawah pohon. Mereka kemudian mulai menggali dengan menggunakan senjata masing-masing. Karena pekerjaan itu dilakukan dengan menggunakan tenaga dalam, maka sebentar saja terciptalah sebuah lubang yang cukup besar. Kini Balung dan Panjawa kembali mengangkat mayat wanita itu untuk dimasukkan ke dalam lubang. Namun, sebelum tubuh kaku itu sempat mereka turunkan, tiba- tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.
"Keparat keji! Rupanya kalianlah yang menjadi biang keladi kerusuhan di desa kami!" seru sebuah suara berat menggetarkan. Sesaat kemudian, berloncatan belasan sosok tubuh yang segera mengurung Turangga, Balung, dan Panjawa. Sehingga ketiga orang itu menjadi terkejut dibuatnya.
"Hei! Apa-apaan ini...?" Seru Balung yang segera menurunkan kembali tubuh mayat wanita muda itu. Hati laki-laki botak itu memang tengah dilanda kekesalan, sehingga membuatnya cepat sekali menjadi marah. Dengan wajah merah padam, diambilnya golok besar yang tadi diletakkan di atas rerumputan. Dia langsung bersiaga menghadapi orang-orang yang mengurungnya.
"Sabar, Balung. Ini pasti hanya kesalahpahaman saja," bisik Turangga mencoba menyabarkan Balung agar persoalannya tidak menjadi bertambah rumit.
"Tidak perlu banyak cakap lagi! Jelas sudah, kalian adalah iblis-iblis keji yang selama ini kami cari-cari! Serbuuu...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada Turangga dan kawan-kawannya untuk membela diri, lelaki bertubuh kekar langsung meluruk maju disertai tebasan golok bergeriginya. Sepertinya, dia merupakan pimpinan belasan orang itu.
Wuuuttt!
"Hei, tahan...!" Turangga yang menjadi sasaran utama sambaran golok bergerigi, langsung merendahkan kepala sambil mencoba menyadarkan lelaki brewok bertubuh kekaritu.
Namun, lelaki brewok itu sepertinya sudah tida bisa disabarkan lagi. Tanpa mempedulikan seruan Turangga, goloknya kembali berputar dan berkelebat dari atas ke bawah. Kecepatan serangannya demikian dahsyat dan menggetarkan. Sambaran angin menderu yang ditimbulkannya menandakan kalau serangan itu dialiri tenaga dalam tinggi. Sehingga, mau tidak mau Turangga harus melompat ke belakang untuk menghindari ancaman maut itu.
"Kisanak, sabarlah. Ini hanya kesalahpahaman saja!" bujuk Turangga. Laki-laki setengah baya itu mendaratkan kakinya sejauh dua batang tombak, sambil mencoba mengingatkan lawan. Tapi sambaran yang amat kuat dan bertubi-tubi, memaksanya untuk melakukan perlawanan. Jelas, Turangga pun tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran senjata mengerikan yang digunakan lawan.
"Heaaat..!" Dibarengi seruan nyaring, Turangga mencabut pedang yang selaki berada di pinggangnya. Sekali berkelebat senjata di tangan laki-laki gagah itu telah melakukan serangkaian tangkisan untuk mematahkan serangan lawan.
Trang! Trang...!
Terdengar suara keras yang diwarnai percikan-percikan bunga api berkilauan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Setelah memeriksa senjata masing-masing, keduanya kembali saling menerjang hebat. Pertarungan pun semakin ramai setelah Turangga terpaksa membalas serangan lawan, daripada mati konyol!
Di tempat lain, Balung dan Panjawa tengah disibuki oleh keroyokan dua belas orang pengikut lelaki brewok bertubuh kekar itu. Baik Balung raaupun Panjawa tampak terdesak hebat akibat keroyokan lawan. Apalagi, kepandaian yang dimiliki para pengeroyok rata-rata cukup tinggi. Maka dapat dibayangkan, betapa sibuknya kedua orang pembantu Turangga itu dibuatnya.
"Yeaaat..!"
Salah seorang pengeroyok bertubuh jangkung yang berada di sisi kiri Panjawa tiba-tiba berseru nyaring. Dan pada saat itu juga, tubuhnya langsung melesat disertai tebasan pedang yang bergerak mendatar mengancam perut Panjawa. Belum lagi Panjawa sempat menghindari ancaman maut itu, dari depan dan sisi kanan terdengar suara berdesing nyaring. Masing-masing serangan itu mengancam belakang telinga dan lambung kanannya. Tentu saja Panjawa menjadi semakin sibuk dan terjepit.
"Heaaat..!"
Sadar kalau untuk lolos dari ketiga serangan itu sudah tidak mungkin, Panjawa segera berteriak nyaring. Pedangnya langsung diputar, sehingga membentuk gulungan sinar melindungi tubuh. Maksudnya, jelas. Untuk menghalau semua serangan ketiga orang lawannya yang meluncur disertai hawa maut mematikan.
Trang! Trang! Brettt!
"Aaakh...!" Pertahanan Panjawa rupanya tidak terlalu sia-sia. Dua bilah senjata lawan yang menyerang dari kiri dan kanan, berhasil diparahkan. Tapi sayang, seorang penyerang dari depan berhasil menyarangkan senjata itu di lambung kanannya.
Diiringi jerit kesakitan yang menggema, tubuh Panjawa melintir, ketika ujung pedang yang menancap di lambungnya disentakkan ke atas secara tiba-tiba. Dapat dibayangkan, betapa sakitnya luka akibat tusukan pedang lawannya. Darah segar seketika mengucur keluar dari luka yang memanjang dan dalam. Panjawa terhuyung-huyung sambil menekap luka yang terus saja mengucurkan darah segar. Wajahnya pun sudah pucat karena banyaknya darah yang keluar.
"Panjawa..." Balung yang sempat mendengar teriakan Panjawa, menjadi hilang pertahanannya. Belum lagi kekeliruannya sempat disadari, tahu-tahu saja ujung-ujung pedang dari dua lawannya melesak menembus bahu dan iganya. Cara yang dilakukan kedua orang itu sama dengan yang dilakukan lawan Panjawa. Ujung-ujung pedang yang menan- cap itu langsung disentakkan, sehingga sebagian daging dan kulit tubuh Balung ikut tersentak keluar. Darah segar pun kembali mengucur membasahi rerumputan kering.
"Ohhh..." Balung merintih menahan rasa pedih pada luka di tubuhnya. Tangan kirinya pun sibuk menutupi luka-luka di tubuhnya. Wajahnya yang semula merah terbakar, menjadi pucat karena terlalu banyak kehilangan darah. Kedua orang pembantu Turangga yang tampaknya sudah tidak bisa bertahan lama lagi, segera merapatkan punggungnya untuk saling menjaga. Rupanya baik Balung maupun Panjawa sudah bertekad untuk mati bersama-sama. Meskipun tanpa ucapan, namun dari sinar mata mereka jelas terpancar tekad bulat.
"Habisi kedua iblis keji itu...!"
Salah seorang pengeroyok yang mengenakan ikat kepala berwarna merah, menuding dengan ujung pedang ke arah Balung dan Panjawa. Kemudian tubuhnya langsung meluruk, disertai sambaran senjatanya yang siap melumatkan tubuh kedua orang pembantu Turangga itu. Serangan sosok berikat kepala merah itu segera disusuli kawan-kawannya. Mereka langsung meluruk disertai ayunan dan sabetan senjata. Rasanya, kali ini Balung dan Panjawa tidak mungkin selamat. Dan memang, serangan kedua belas orang itu datang dari empat penjuru. Maka sangat sulit bagi Balung dan Panjawa untuk dapat lolos.
"Jangan sampai kematian kita sias-sia, Balung! Kita harus mengajak, paling tidak dua orang untuk ikut melayat bersama ke akhirat!" tekad Panjawa. Panjawa menggenggam gagang senjatanya erat-erat. Sepasang matanya tajam tak berkedip menunggu tibanya serangan. Jelas kalau dia berniat menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk melakukan perlawanan terakhir.
"Baik, Kakang. Aku pun tidak ingjn mati sia-sia!" sahut Balung, mantap. Sepasang mata Balung menatap lurus ke depan. la hanya menggunakan ekor matanya untuk mengamati gerakan pedang lawan yang siap akan merencah tubuhnya. Kedua tangannya bergetar. Jelas, Balung telah mengerahkan seluruh kekuatannya di saat terakhir kehidupannya.
"Yeaaat..!" Teriakan membahana yang dimaksudkan untuk melemahkan semangat lawan, terdengar mengiringi luncuran senjata-senjata belasan orang itu. Namun meskipun demikian, baik Balung maupun Panjawa tetap tak bergeming dari tempat semula. Hanya saja, mereka telah benar-benar siap membabatkan senjata secara berbarengan pada saat serangan lawan datang. Dengan demikian, mereka berharap dapat membawa serta beberapa orang lawan untuk menghadap Malaikat Maut.
Tapi pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Balung dan Panjawa, tiba-tiba sesosok bayangan putih melesat cepat bagai kilat. Sepasang tangannya langsung mendorong ke arah belasan tubuh yang siap merejam Balung dan Panjawa.
Wusss!
"Aaah...!"
Serangkum angin dingin yang menusuk tulang menyambar keluar dari sepasang telapak tangan sosok bayangan putih itu. Dan akibatnya hebat sekali! Belasan sosok tubuh yang semula meluruk kedepan itu langsung tertolak balik, bagai tersapu angin topan dahsyat. Bagaikan karung basah, tubuh belasan orang itu jatuh saling tumpang tindih. Terdengar suara gigi bergemeretak akibat hawa dingin yang menusuk tulang belasan orang itu. Wajah-wajah mereka pun pucat bagaikan tak dialiri darah.
Siapa lagi orang yang mempunyai pukulan seperti itu kalau bukan Panji atau yang lebih dikenal beijuluk Pendekar Naga Putih. Sosok bayangan putih yang memang Pendekar Naga Putih itu langsung turun tangan begitu melihat bayangan kematian yang mengancam Balung dan Panjawa. Pendekar Naga Putih langsung dapat menduga kalau kedua orang itu bukan orang jahat. Maka ia segera turun tangan menolong. Sikap gagah yang ditunjukkan kedua orang itulah yang membuat Pendekar Naga Putih turun tangan. Dan sepanjang pengetahuannya, hanya orang-orang berjiwa bersihlah yang menghadapi kematian dengan sikap gagah. Lain halnya dengan golongan sesat, yang selalu merengek ketakutan apabila menghadapi kematian.
Pendekar Naga Putih langsung memberi totokan pada luka di tubuh Balung dan Panjawa agar darah berhenti mengalir. Juga, diberikannya obat pulung untuk memulihkan dan menghilangkan rasa sakit di tubuh mereka. Tak berapa lama setelah Pendekar Naga Putih mengobati Balung dan Panjawa, datang sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba hijau. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Kenanga, kekasih Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Balung dan Panjawa segera melangkah kedepan Pendekar Naga Putih. Kedua orang itu langsung membungkuk disertai ucapan terima kasih atas pertolongan pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kisanak, kami berdua mengucapkan ribuan terima kasih atas pertolonganmu. Rasanya hidup kami tinggal seujung rambut lagi. Tanpa pertolongan yang kau berikan, mungkin kami berdua tidak akan menikmati sinar matahari esok pagi. Sekali lagi, kami mengucapkan banyak terima kasih...," ucap Balung. Sedangkan Panjawa hanya mengangguk-angguk menyetujui ucapan rekannya itu.
"Janganlah terlalu berlebihan, Kisanak. Apa yang kulakukan tadi hanya suatu kewajiban saja. Jadi, Janganlah dianggap suatu budi yang harus dibalas," sambut Panji yang membungkuk membalas penghormatan Balung dan Panjawa. Senyum ramahnya terkembang menghias wajah.
Balung dan Panjawa semakin bertambah kagum melihat sikap ramah dan sopan dari pemuda penolongnya. Dari cara pemuda tampan itu membalas sikap hormatnya saja, sudah benar-benar membuat kedua orang itu tidak merasa rendah diri. Padahal, mereka tahu secara jelas kalau belasan orang pengeroyok itu dibuat tidak berdaya hanya dalam sekejap mata saja. Tapi, sikap pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan kesombongan. Diam-diam Balung dan Panjawa mengukir dalam hati sikap pemuda penolongnya.
"Mmm.... Maaf, Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang menyebabkan kalian sampai bertempur mati-matian? Bukankah kalau ada masalah bisa dibicarakan secara kepala dingin?" Tanya Panji mengorek keterangan dari Balung yang memang lebih banyak bicara daripada Panjawa.
Pendekar Naga Putih yang tengah terlibat pembicaraan dengan Balung dan Panjawa, tiba-tiba menolehkan kepala ke arah pertarungan lain. Ia yang semula berniat melerai kedua orang yang tak lain Turangga dan lelaki kekar berwajah brewok itu, segera mengurungkan niatnya. Dan memang, Kenanga lebih dahulu menghentikan pertarungan itu.
"Lelaki brewok itulah yang lebih dahulu memulai perkelahian ini, Kisanak. Kami terpaksa membela diri karena tidak ingin terbunuh di tangan mereka," jelas Balung mengadukan kejadian yang menyebabkan pertarungan mati-matian itu.
"Hm.... Mari kita kesana. Nampaknya mereka masih sama-sama dipengaruhi amarah. Bisa-bisa, pertarungan akan kembali terulang apabila masalahnya tidak segera diselesaikan. Padahal menurut dugaanku, kalian semua adalah orang baik-baik yang selalu berpikiran dingin," ujar Pendekar Naga Putih. Kata-kata itu diucapkan Pendekar Naga Putih sambil melangkah mendekati tempat Turangga yang lengah bersitegang dengan lelaki brewok.
"Maaf kalau aku bersikap lancang dengan mencampuri urusan kalian," ucap Panji begitu tiba di tempat kedua orang yang tengah bersitegang. Sambil berkata demikian, Panji menelirik lelaki brewok dan Turangga tanpa kentara. Sehingga, kedua orang itu tidak sadar kalau Pendekar Naga Putih tengah menilai mereka.
"Hhh.... Susah sekali mendamaikan mereka, Kakang. Lebih baik biarkan saja mereka bertempur sampai puas. Barangkali saja, dengan begitu baru tidak ada yang perlu diributkan lagi!" dengus Kenanga. Jelas sekali kalau hatinya jengkel menghadapi kebandelan kedua orang yang hendak didamaikannya itu.
Panji hanya tersenyum melihat kekesalan hati kekasihnya dalam menghadapi kedua orang itu. Namun, ia tidak menyalahkan Kenanga, karena jalan untuk berbuat kebaikan memang sangat sulit dan banyak menuntut pengorbanan. Meskipun demikian, Panji tetap bertekad mendamaikan kedua belah pihak yang tengah bersitegang itu.
"Hm. Siapa kau, Anak Muda?! Dan apa hakmu mencampuri urusan kami? Kami tidak memerlukan seorang penengah di sini. Apalagi orang seusiamu!" tegas lelaki kekar berwajah brewok itu dengan sikap memandang rendah dan nada mengejek.
Tapi, Pendekar Naga Putih hanya tersenyum menanggapinya. Sedikit pun tidak tampak kemarahan pada wajahnya yang tampan. Sepertinya, sikap yang ditunjukkan lelaki brewok itu merupakan hal yang wajar saja. Lain halnya dengan Kenanga. Mendengar kekasihnya diejek dengan nada yang amat tidak enak, gadis jelita itu melangkah maju sambil bertolak pinggang. Sepasang mata yang biasanya indah bagai bintang pagi itu, kini nampak menggetarkan hati yang memandangnya. Hal itu wajar saja, karena gadis jelita itu tanpa sadar telah mengerahkan kekuatan tenaga sakti melalui pancaran sinar matanya.
"Hei, Brewok! Tahukah kau, dengan siapa saat ini berhadapan?! Sikapmu itu sama sekali tidak menunjukkan sikap kependekaran! Tapi, lebih tepat sikap golongan sesat yang memang selalu mengandalkan kepandaian untuk menekan orang lemah! Tapi aku yakin, apabila kau tahu sosok di hadapanmu, kau pasti akan berlutut minta ampun! Tahu?!" Semprot Kenanga tanpa merasa gentar sedikitpun. Sepertinya, dia memang sudah siap menghadapi kemarahan lelaki brewok itu.
Lelaki kekar berwajah brewok yang ternyata bernama Danar Pari itu, memang memiliki sifat berangasan. Dia kini malah sudah siap membalas makian Kenanga. Sepasang matanya melotot penuh ancaman. Wajah yang dipenuhi brewok itu pun merah terbakar amarah.
Lain halnya dengan Turangga. Begitu mendengar penegasan Kenanga, sepasang matanya segera saja menatap Panji penuh selidik. Sepasang mata lelaki setengah baya itu tampak menyipit, seperti hendak mengingat-ingat sesuatu. Meskipun ada semacam dugaan dalam benaknya, tapi rupanya ia masih meragukan dugaannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, Turangga negera bertanya kepada Panji.
"Kisanak. Bagiku tidak ada masalah, apakah kau akan menjadi penengah bagi kami atau tidak. Tapi kalau boleh tahu, siapakah kau sebenarnya? Dan mengapa mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya denganmu ini?" Tanya Turangga yang ingin mengetahui, sampai di mana kepandaian pemuda tampan itu dalam mengelakkan ucapannya.
Kenanga yang juga mendengar pertanyaan itu menjadi tidak sabar. Tubuh ramping itu langsung berbalik dan menghadap ke arah Turangga dengan sinar mata galak. Sepertinya, gadis jelita itu hendak melampiaskan kejengkelan hatinya kepada siapa saja. Dan kali ini yang jadi sasarannya adalah Turangga.
Panji yang memang hafal terhadap sikap keras kekasihnya, segera melangkah mendekat. Ditepuknya bahu gadis itu perlahan, seperti hendak menyabarkan. Apa yang dilakukan pemuda itu ternyata berhasil. Sebab, Kenanga yang merasakan tepukan kekasihnya langsung membalikkan tubuh dan tidak lagi mempedulikan Turangga. Jelas, Kenanga hendak menyerahkan masalah itu kepada kekasihnya.
* * * * *
«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»
Panji melangkah semakin mendekati tempat Turangga berdiri. Langkah pemuda itu yang ringan dan kokoh, diam-diam diperhatikan Turangga. Dan hal ini membuat laki-laki setengah baya itu terkejut. Sebagai orang yang memiliki pengalaman Iuas, ia tahu kalau pemuda tampan berjubah putih itu pass bukan orang sembarangan. Apalagi, sikapnya terlihat tenang dan penuh percaya diri. Maka, Turangga semakin bertambah kagum saja dibuatnya.
"Paman," panggil Panji sambil memutar otak memilih kata yang tepat untuk disampaikannya kepada Turangga.
"Namaku Panji. Dan orang-orang rimba persilatan mengenalku sebagai Pendekar Naga Putih..."
"Jadi, kaukah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih? Dugaanku ternyata tidak meleset! Terimalah hormat dari orang tua yang bodoh dan buta ini, Pendekar Naga Putih," sahut Turangga yang tanpa ragu-ragu membungkukkan tubuhnya didepan Panji. Jelas, sikap yang ditunjukkan lelaki setengah baya itu tidak dibuat-buat.
Mendengar kalau pemuda tampan itu adalah Pendekar Naga Putih, maka semua orang yang berada di tempat itu langsung membungkukkan tubuhnya dengan sikap hormat. Tidak ketinggatan lelaki brewok yang bernama Danar Pati. Dia juga membungkuk hormat ketika mengetahui julukan pemuda tampan berjubah putih itu. Bahkan tubuhnya dibungkukkan paling dalam diantara lainnya. Jadi biarpun Danar Pati seorang lelaki yang memiliki sifat berangasan, namun memiliki watak jujur yang sudi mengakui kesalahannya.
"Sudahlah, jangan terlalu berlebihan," cegah Panji merendah. Pendekar Naga Putih menjadi merasa tidak enak melihat sikap orang-orang itu yang demikian menaruh hormat kepadanya. Diam-diam, hati pemuda itu semakin mantap untuk mengetahui apa yang membuat kedua belah pihak bertarung sengit.
"Aku tadi melihat Paman dan yang lainnya bertarung mati-matian. Jadi aku merasa tertarik untuk mencampurinya. Setelah memperhatikan agak lama, aku merasa yakin kalau Paman sekalian pasti tokoh-tokoh golongan putih. Nah! Dengan berpegang pada dugaan itulah aku memberanikan diri untuk menengahi urusan ini. Dan kalau boleh, aku ingin mengetahui jelas pokok persoalannya. Mudah mudahan saja persoalan ini dapat diselesaikan dengan jalan damai tanpa harus mengorbankan nyawa percuma," jelas Panji tentang ikut campurnya dalam masalah ini.
Sekarang, Danar Pati yang angkat bicara. Dan tanpa ragu-ragu lagi, persoalan yang tengah dihadapinya segera dlceritakan. Dalam nada suaranya, jelas sekali tergambar kegeraman hati dan rasa penasaran yang amat sangat. Sehingga, beberapa kali ceritanya harus dihentikan karena tak sanggup menahan amarah yang menggemuruh dalam dada.
"Bayangkan saja. Bagaimana hatiku tidak penasaran, Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak gadis yang lenyap tanpa dapat diketemukan lagi. Beberapa kali iblis-iblis itu muncul, dan sengaja memancing kemarahan kami. Tapi, mereka selalu lenyap tanpa jejak. Tidak sedikit tokoh persilatan yang menjadi korban karena ingin mengungkapkan peristiwa yang sangat pelik ini. Itulah sebabnya, mengapa tanpa banyak cakap lagi kami langsung menyerang saudara Turangga dan kedua orang kawannya. Hal itu kami lakukan, karena takut kalau mereka akan lenyap lagi. Jadi, terpaksa kami menyerangnya tanpa bertanya lagi," tutur Danar Pati. Dia juga segera meminta maaf kepada Turangga, Balung, dan Panjawa. Kedua orang pembantu Turangga itu tampaknya telah pulih kesehatannya.
"Hm. Jadi, Paman sudah cukup lama mengejar iblis-iblis penculik wanita itu?" Tanya Pendekar Naga Putih.
"Benar. Dan sampai saat ini, kami belum juga berhasil menangkap iblis itu. Jangankan menangkapnya, untuk melihat wajahnya saja, belum mampu. Sebab, setiap kali menunjukkan diri, iblis itu selalu saja berada dalam tempat gelap. Sehingga, kami hanya bisa melihat bayangannya saja," jelas Danar Pati sambil menundukkan wajahnya dengan hati penasaran.
"Lalu, bagaimana dengan Paman Turangga? Apakah persoalan yang Paman hadapi sama?" Tanya Panji mengalihkan pandangannya kepada Turangga yang semenjak tadi hanya diam mendengar penuturan Danar Pati.
Turangga tidak segera menjawab pertanyaan pemuda tampan itu. Ditariknya napas terlebih dahulu sebelum memulai ceritanya. Sebab, apa yang akan diceritakannya masih belum jelas benar. Dan memang, ia sendiri belum mengetahui apa yang menyebabkan kematian Barta dan istrinya.
"Persoalan yang kuhadapi, memang tidak serumit apa yang tengah dihadapi Danar Pati. Kejadian ini baru pertama sekali menimpa desa kami, dan tanpa seorang saksi pun yang memergokinya. Jadi, kami masih belum mengetahui secara pasti, siapa dan apa yang menjadi penyebab kematian Barta dan istrinya. Yang jelas, istri Barta diculik dan diperkosa secara biadab di dalam hutan ini, sebelum dibunuh manusia berwatak keji itu," jelas Turangga.
"Hm... Persoalan ini ternyata masih sangat gelap. Tapi yang jelas, ada kemungkinan pelaku yang dimaksud Paman Danar Pari dan Paman Turangga memiliki suatu pertalian atau hubungan. Meskipun belum bisa kupastikan, namun aku akan berusaha membantu Paman berdua dalam memecahkan persoalan ini. Sekarang, ada baiknya kalau kita menyusun rencana untuk menjebak penculik dan pemerkosa biadab itu," usul Panji setelah mendengarkan keterangan Danar Pati maupun Turangga.
* * * * *
Matahari sudah semaldn bergeser ke arah Barat, ketika dua sosok tubuh bergerak cepat melintasi padang rumput luas. Menilik dari gerakannya, jelas kalau kedua orang itu merupakan tokoh persilatan tingkat atas. Dan memang, ilmu lari cepat yang digunakan telah mencapai tingkat tinggi.
Yang seorang bertubuh pendek gemuk, dan berperut buncit Dia berlari tanpa mempedulikan sekitarnya. Tatapan matanya yang bulat dan menyiratkan ketidak-wajaran, menyorot tajam. Siapa saja yang beradu pandang dengannya pasti bergidik ngeri. Wajahnya yang dipenuhi bulu hitam itu membuatnya terlihat semakin angker. Apalagi, di pipi kirinya terdapat segaris luka melintang. Sehingga, semakin lengkaplah keangkeran wajahnya.
Sedangkan yang seorang lagi, tubuhnya tampak tegap dan gagah. Wajahnya mencerminkan kekerasan. Sedangkan sepasang matanya memancar licik, menandakan kalau ia memiliki otak cerdik. Dalam usianya yang paling jauh baru sekitar dua puluh satu tahun, ia terlihat matang pemikirannya. Apalagi kegesitan dan keringanan gerakannya tidak kalah dengan orang tua di sebelahnya. Benar-benar seorang pemuda yang bisa dikatakan berbahaya.
"Ke mana kita, Guru...?" Tanya pemuda itu, ketika tiba pada sebuah persimpangan jalan. Pemuda itu memperlambat larinya, untuk kemudian berhenti sama sekali. Dari caranya bertanya, jelas kalau dia belum mengetahui arah tujuannya.
"Hm..." Laki-laki berperut buncit yang juga telah menghentikan larinya, memandang bingung ke arah persimpangan jalan itu. Sejenak kepalanya berpaling kepada pemuda di sebelahnya, seolah-olah meminta pertimbangan mengenai arah yang akan ditempuh.
Pemuda berwajah keras itu menggelengkan wajahnya sambil mengangkat bahu. Sepertinya persoalan itu ingin diserahkannya kepada lelaki gendut yang dipanggil guru itu. Tampaknya ia tidak mengetahui kebingungan gurunya, dan hanya memandang berkeliling menikmati keindahan alam sekitarnya.
"Hei! Ayo bantu aku berpikir. Jangan hanya diam saja seperti kerbau!" Sambil membentak pemuda itu, si lelaki gendut melayangkan tangan kanannya menampar perlahan kepala pemuda itu.
Tamparan perlahan dan bentakan rupanya cukup mengejutkan pemuda itu. Cepat kepalanya menoleh dengan kening berkerut. Jelas, ia merasa tidak suka dengan apa yang diperbuat gurunya tadi.
"Ah! Mengapa aku yang harus diajak berpikir? Kalau aku disuruh memilih, maka akan kupilih jalan yang di sebelah kanan. Sebab, jalan itu terlihat lebih enak. Apalagi, di kiri kanannya banyak terdapat pepohonan dan sawah yang padinya telah menguning. Tentu rasanya menggembirakan melakukan perjalanan sambil menikmati keindahan di sekeliling tempat itu," sahut pemuda berwajah keras itu sekenanya. Ucapan itu memang bukan berdasarkan pemikiran, tapi berdasarkan kesenangan dirinya sendiri.
Tapi anehnya, lelaki gendut yang dipanggil guru itu sama sekali tidak mempedulikannya. Bahkan malah tertawa terkekeh-kekeh dan mengangguk-anggukkah kepala sebagai tanda kepuasan hatinya atas pilihan muridnya. Melihat dari tindak tanduknya yang aneh dan wajahnya yang selalu terhias senyum aneh itu, jelas kalau pikirannya tidak waras sebagaimana mestinya.
"Bagus...! Kau memang benar-benar seorang murid berbakti, Palawa. Jalan yang kau tunjukkan itu memang tepat sekali. Karena, di sanalah Perguruan Ruyung Maut berdiri. Jadi, jalan yang kau tunjukkan itu memang betul!" Seru lelaki berperut gendut yang tak lain adalah Dedemit Bukit Saji. Entah apa maksudnya ia hendak mengunjungi Perguruan Ruyung Maut seperti yang diucapkannya tadi.
Dedemit Bukit Saji dan muridnya yang bernama Palawa sudah cukup lama turun gunung setelah berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang terkandung dalam Kitab Telapak Darah. Hanya sayangnya, otak lelaki gendut berusia sekitar lima puluh tahun lebih itu agak terganggu setelah menamatkan isi kitab. Padahal, ada beberapa bagian isi kitab itu yang hilang. Sepertinya, itu memang sengaja dihilangkan. Entah apa sebabnya. Yang mengetahuinya hanyalah seorang kakek sakti yang berjuluk Dewa Tangan Api, karena dialah yang lelah menciptakan ilmu pukulan 'Telapak Darah' yang sangat ganas dan berbahaya.
Untungnya Palawa dapat bersikap lebih cerdik daripada gurunya. Sengaja seluruh kandungan isi kitab itu tidak dipelajarinya. Yang dipelajarinya hanya beberapa bagian yang penting-penting saja, sehingga otaknya tidak mengalami gangguan sebagaimana yang dialami gurunya. Dan kini, setelah genap hampir setengah tahun guru dan murid itu menggembleng diri dengan ilmu yang kabarnya sangat mengerikan itu, mereka pun turun ke dunia ramai. Tujuan mereka kali ini adalah Perguruan Ruyung Maut.
Tak berapa lama kemudian, mereka bergegas menggenjot tubuhnya melintasi jalanan berdebu yang dipenuhi pula oleh bebatuan bertonjolan. Tapi, semua itu sama sekali tidak menghambat lari mereka. Padahal, jalan yang dilewati cukup sulit karena tertutup debu tebal. Namun, kedua orang itu sama sekali tidak pedulikan jalan yang dilalui. Dedemit Bukit Saji dan Palawa kini terus melintasi daerah persawahan cukup luas. Setelah melewati persawahan, kini langkah kaki sosok tubuh itu berhenti didepan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari kayu gelondongan.
"Hm.... Aku yakin, di sinilah tempatnya monyet jelek yang berjuluk Ruyung Delapan Bayangan. Ayolah, kita harus menemuinya," ajak Dedemit Bukit Saji. Tanpa menunggu jawaban muridnya, dia segera melompat melewati pintu gerbang yang cukup tinggi.
Enak saja tubuh gendut itu melambung bagai sebuah bola karet yang ringan. Ketika berada di atas pintu gerbang yang ujungnya runcing, mendadak tubuh gendut itu berputar seperti sengaja mempertontonkan kebolehannya. Sepasang tangannya terkembang dan perlahan menepak ujung-ujung pintu gerbang itu. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali melenting manis, dan hinggap di tengah halaman depan. Ringan, dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Hebat memang ilmu meringankan tubuh yang dipertunjukkannya. Rasanya, jarang ada orang yang mampu melakukan hal seperti itu.
Palawa yang masih berdiri menyaksikan pertunjukan gurunya, hanya tersenyum dikulum. Begitu tubuh gurunya lenyap, kakinya segera dijejakkan ke tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya langsung melayang. Bagaikan seekor burung besar. Dan gerakan itu masih ditambah gerakan kedua tangannya yang mengembang ke kiri dan kanan. Tingkah pemuda itu memang benar-benar mirip seekor burung, apabila tengah mengembangkan sayapnya. Seperti juga yang tadi dilakukan gurunya, sepasang tangan Palawa bergerak cepat melakukan tepukan perlahan pada ujung-ujung pintu gerbang Perguruan Ruyung Maut. Setelah melenting dan berputaran beberapa kali, kedua kakinya menjejak tanah tanpa suara sedikit pun.
"Ha ha ha...! Guru ternyata semakin hebat saja gerakannya. Aku jadi kagum sekali melihatmu melewati pintu gerbang sialan itu," ujar Palawa tertawa memuji kehebatan gurunya.
"Hm... Kau pun sudah memiliki kemajuan yang sangat pesat, Palawa. Gerakanmu ternyata telah hampir menyamaiku. Jangan-jangan kau sudah metewatiku. He he he...!"
Setelah berkata demikian, Dedemit Bukit Saji mengumbar tawanya berkepanjangan. Namun anehnya, meskipun tawa tokoh sesat itu bergema sampai jauh, tapi tak seorang pun yang tampak datang menyambutnya. Tentu saja hal itu membuat keduanya menjadi keheranan. Dan hal ini baru mereka sadari.
"Kurang ajar...! Apakah Ruyung Delapan Bayangan sudah melarikan diri? Mengapa sunyi sekali? Bahkan seorang murid pun Udak tampak batang hidungnya!" umpat Dedemit Bukit Saji, geram.
"Kalau memang tidak ada, ya kita pergi. Untuk apa di sini lama-lama," sahut Palawa seenaknya tanpa mempedulikan perasaan gurunya.
Memang sifat guru dan murid ini tidak lumrah! Terkadang saling berbantahan hanya karena persoalan sepele, tapi semua itu lenyap begitu saja setelah salah satu merasa disenangkan oleh yang lain. Sikap yang ditunjukkan Palawa memang sangat berbeda dengan murid-murid lain pada umumnya. Sikapnya tampak bebas dan tidak terikat peraturan apapun.
"Kau mencariku, Dedemit Bukit Saji...?" Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara menggetarkan, yang disalurkan kekuatan tenaga dalam. Bersamaan terdengamya suara lantang itu, tiga sosok tubuh keluar dari dalam rumah besar di tengah perguruan. Mereka langsung melangkah ke arah demit Bukit Saji dan Palawa.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau muncul juga Ruyung Delapan Bayangan! Hei? Ada Pendekar Golok Sakti juga, rupanya! Dan.... Ha ha ha... Bukankah yang seorang lagi itu Ki Bardala si Tendangan Maut..! Ha ha ha. Tidak kusangka, ternyata kau telah mengundang mereka hanya untuk menjaga selembar nyawamu, Ruyung Delapan Bayangan?" ejek Dedemit Bukit Saji sambil tertawa terbahak-bahak, melihat lawannya ternyata telah memanggil bantuan. Tapi, lelaki gemuk pendek yang sombong itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Sepertinya ia sangat percaya dengan kepandaian yang sekarang dimiliki.
"Hm.... Kau jangan mengada-ada, Dedemit Bukit Saji. Aku sama sekali tidak mengundang mereka. Saat ini kami bertiga memang tengah berembuk sehubungan adanya penculikan-penculikan dan juga perkosaan yang tengah terjadi belakangan ini. Secara kebetulan, kedatangan mereka sangat bertepatan dengan kedatanganmu. Dan jangan berpikir kalau aku akan mengeroyokmu. Tidak! Aku akan tetap menghadapimu seorang diri, seperti sepuluh tahun yang lalu. Kuharap, kau sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dan kali ini, jangan harap aku akan membebaskanmu seperti waktu itu," balas Ruyung Delapan Bayangan yang segera melolos senjatanya dari balik punggung.
Wungngng! Wungngng...!
Terdengar suara mengaung nyaring ketika ruyung emas di tangan pendekar berusia lima puluh tahun itu berputaran di atas kepala. Dedemit Bukit Saji tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan lawannya. Dengan langkah lebar, dia maju beberapa tindak ke depan.
"Lebih baik kau ajak kedua orang temanmu itu untuk maju bersama-sama, Ruyung Delapan Bayangan. Jangan sampai kau menyesal karena tidak mengkuti anjuranku. Cepatlah, sebelum semuanya terlambat!" tantang Dedemit Bukit Saji, pongah.
"Hm.... Jangan sesumbar dulu, Dedemit Bukit Saji. Nanti kau akan kecewa, karena kubuat jungkir balik seperti pada waktu sepuluh tahun yang lalu..." balas Ruyung Delapan Bayangan tersenyum menimpati ejekan lawan.
"Hmh...!" Dedemit Bukit Saji tidak mengatakan apa-apa lagi. Langkahnya segera bergeser membenruk kuda-kuda yang terlihat kokoh kuat bagai sebuah gunung karang. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan menimbulkan deru angin ribut.
"Mulailah, Dedemit Bukit Saji. Aku sudah bersiap...," tantang Ruyung Delapan Bayangan. Ketua Perguruan Ruyung Maut itu memainkan senjatanya hingga menimbulkan angin tajam yang berkesiutan. Jelas, pendekar itu tidak ingin membuka serangan terlebih dahulu. Sepertinya, ia lebih suka bersikap menunggu serangan lawan.
"Tidak bisa, Ruyung Delapan Bayangan. Sebagai Tuan rumah, seharusnya kaulah yang memulainya. Tapi kalau kau memang takut, tentu saja aku akan menyerang meski terpaksa," sahut Dedemit Bukit Saji balik menantang lawannya.
"Baik! Nah, sambutlah...!" bentak Ruyung Delapan Bayangan.
Pendekar itu segera melcmpat disertai sambaran ruyung emasnya yang kadang-kadang berputar membentuk lingkaran. Dan di satu saat, ruyung itu mampu meluncur lurus bagai sebatang tongkat yang diluncurkan. Benar-benar sebuah pemnainan senjata yang indah dan dahsyat.
Melihat lawan sudah mulai membuka serangan, Dedemit Bukit Saji bergerak mundur sambil menyiapkan dirinya. Serangan yang melewati samping tubuhnya langsung dibalas oleh sebuah tendangan kilat yang sangat mengejutkan.
Zebbb!
Tendangan Dedemit Bukit Saji yang meluncur lurus menuju perut lawannya, hanya mengenai tempat kosong. Lalu, kembali datang serangan, berupa sambaran ruyung emas yang mengancam tubuh Dedemit Rukit Saji. Namun, gerakan yang dilakukan Dedemit Bukit Saji benar-benar mengejutkan. Tendangan yang semula mengenai angin kosong itu tiba-tiba berputar dari dalam ke luar. Maksudnya untuk mematahkan serangan ruyung lawan dan sekaligus mengancam batang leher Ruyung Delapan Bayangan.
Wuttt! Wuttt! Desss! Plakkk!
Hantaman ruyung emas itu terpental balik akibat putaran kaki Dedemit Bukit Saji. Tokoh sesat berperut buncit yang rupanya sudah memperhitungkan kekuatan tenaganya, terus saja membabatkan kaki mengincar belakang leher Ruyung Delapan Bayangan.
Wuttt...!
"Akh...!" Ruyung Delapan Bayangan berseru tertahan melihat kaki lawannya masih terus meluncur setelah mematahkan serangan ruyungnya. Sadar akan bahaya yang mengancam, maka pendekar itu segera melempar tubuhnya ke belakang. Dia langsung melakukan beberapa kali salto di udara, untuk menjauhi lawannya.
Dedemit Bukit Saji rupanya tidak ingin kehilangan kesempatan begitu saja. Ketika lawannya terlihat melempar tubuh ke belakang, kaki yang menendang itu cepat ditekuk dan langsung menjejak tanah! Saat itu, tubuhnya yang gendut melayang ke arah Ruyung Delapan Bayangan yang masih mengapung di udara. Dengan sikap tubuh lurus bagai tonggak, tokoh sesat itu mendorongkan sepasang telapak tangannya ke arah dada lawan.
Bukan main terkejutnya hati Ruyung Delapan Bayangan ketika melihat serangan datang. Karena sudah tidak mungkin lagi mengelak, maka seluruh kekuatan tenaga dalamnya bergegas dikerahkan untuk melindungi tubuh agar jangan sampai terluka parah.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Ruyung Delapan Bayangan, Ki Bardala yang semenjak tadi mengikuti jalannya pertarungan langsung melesat cepat untuk menyelamatkan kawannya. Begitu menyerang, sepasang kakinya langsung berputaran mengirim serangkaian tendangan maut!
Perbuatan Ki Bardala tentu saja membuat Dedemit Bukit Saji menjadi geram. Tindakan itu membuat tokoh sesat berperut buncit itu terpaksa harus menunda serangannya. Kini perhatiannya beralih kepada Ki Bardala untuk menghadapi tendangan maut kakek itu. Cepat sepasang tangannya yang terbuka berputar memapak tendangan lawan.
Plak! Plak! Plak!
"Akh...!" Terdengar seruan tertahan ketika tiga buah tendangan Ki Bardala berhasil dipatahkan Dedemit Bukit Saji dengan tamparan telapak tangannya. Tubuh pendekar berusia enam puluh tahun itu terpental balik, karena tenaga dalamnya masih kalah kuat dengan lawannya. Tapi, Ki Bardala segera menunjukkan kebolehannya dengan mematahkan daya luncur tubuhnya. Dengan beberapa kali gerakan berputar, tubuh kakek itu dapat mendarat di tanah dengan kedua kaki terlebih dahulu. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting.
"Hm. Kau semakin hebat saja, Dedemit Bukit Saji..," puji Ki Bardala tulus.
Ucapan kakek itu bukan hanya sekadar bualan saja. Harus diakui kalau tangkisan yang dilakukan tokoh sesat itu begitu dahsyat. Padahal sepuluh tahun yang lalu, tokoh sesat berperut buncit itu dapat dipecundangi Ruyung Delapan Bayangan hanya dalam empat puluh jurus. Tapi sekarang, justru Dedemit Bukit Saji-lah yang hampir menundukkan lawannya hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Benar-benar suatu kemajuan yang sangat pesat.
"He he he Sudah kukatakan sejak semula, majulah kalian bersama-sama. Tapi, kalian ternyata merasa terlalu tinggi untuk mengeroyokku. Dan sebagai akibat kesombongan itu, nyawa Ruyung Delapan Bayangan hampir saja meninggalkan raganya," ejek Dedemit Bukit Saji tertawa bergelak.
Sepertinya tokoh sesat yang dulu pernah dipecundangi Ruyung Delapan Bayangan merasa bangga dengan hasil yang dicapai selama ini. Dan itu telah dibuktikannya dengan membuat Ruyung Delapan Bayangan, kalang-kabut dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Tentu saja hatinya menjadi semakin sombong saja.
* * * * *
«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»
Wungngng! Wungngng...!
Putaran ruyung yang menimbulkan angin menderu-deru itu sama sekali tidak membuat Dedemit Bukit Saji gentar. Dengan tatapan tajam menusuk jantung, tokoh sesat berperut buncit itu menarik mundur kakinya. Kemudian tubuhnya direndahkan dengan menekuk lutut. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan kanan, terus berputar ke atas untuk kemudian turun di bawah pinggang.
"Hm. Hadapilah ilmu 'Telapak Darah' yang baru kurampungkan ini..," geram Dedemit Bukit Saji dingin, namun mengandung getaran yang mempengaruhi daya pikir lawan.
Bet! Bet!
Serangkum angin panas yang amat kuat menebar mengiringi gerakan tangan tokoh sesat itu. Sekilas, terlihat kedua telapak tangan Dedemit Bukit Saji mengepulkan asap samar yang juga berhawa panas. Sepertinya, ia sudah tidak sabar untuk menamatkan nyawa lawannya.
"Yeaaat. !" Dibarengi bentakan menggeledek, tubuh gendut itu meluruk ke arah Ruyung Delapan Bayangan. Sepasang tangannya yang menebarkan uap panas menyambar- nyambar dahsyat.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin panas yang menimbulkan suara mencicit tajam menulikan telinga, mengiringi serangan tokoh sesat itu. Sepintas saja, jelas terlihat kalau serangan yang dilancarkannya memang benar-benar berbahaya dan mengandung hawa maut.
Menyadari bahayanya serangan lawan, maka lelaki gagah yang menjadi Ketua Perguruan Ruyung Maut itu cepat memutar senjatanya semakin cepat. Seluruh tenaga saktinya dikerahkan ketika merasakan sambaran hawa panas yang menerpa tubuhnya. Kali ini, ia benar-benar harus menggunakan ilmu andalan untuk menghadapi serangan itu.
Wungngng! Wungngng...!
Putaran ruyung yang semakin kuat dan menimbulkan suara mengaung, ternyata masih belum dapat mengalahkan deru angin pukulan Dedemit Bukit Saji. Sehingga suara mencicit tajam yang dibarengi hawa panas itu tetap saja mengganggu perhatiannya.
Kedua tokoh yang merupakan musuh bebuyutan itu kembali saling menerjang dahsyat. Ruyung emas di tangan lelaki gagah berusia lima puluh tahun itu berputaran cepat dan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung wallet. Setiap kali sambarannya selalu diiringi suara mengaung menggetarkan dada. Benar-benar tidak bisa diremehkan kali ini. Jelas, ucapan yang dikeluarkannya tadi bukan merupakan bualan belaka.
Tapi, Dedemit Bukit Saji pun tidak tinggal diam. Ilmu 'Telapak Darah' yang dikatakannya tadi memang benar- benar luar biasa. Setiap sambaran telapak tangannya selalu disertai hembusan hawa panas menyengat. Sehingga dalam waktu beberapa jurus saja, tubuh Ruyung Delapan Bayangan sudah dibanjiri peluh. Bahkan setiap sambaran ruyung emasnya selalu saja bertolak balik ketika hampir menyentuh lawannya. Tentu saja hal itu membuatnya terdesak hebat
"Heaaah...!"
Ketika pertarungan memasuki Jurus yang kelima belas, tiba-tiba Dedemit Bukit Saji mengeluarkan bentakan mengejutkan. Berbarengan suara bentakan itu, tubuh gendut itu melayang disertai hantaman telapak tangan secara bergantian dan susul-menyusul.
Tentu saja rangkaian serangan Dedemit Bukit Saji membuat Ruyung Delapan Bayangan menjadi tercekat. Sambaran-sambaran hawa panas yang semula terasa tidak begitu kuat, kini mulai terasa menyentuh permukaan kulit. Sebab, hantaman-hantaman telapak tangan lawan seperti mengelilingi tubuhnya. Maka pendekar itu hanya dapat bertarung mundur tanpa melakukan serangan balasan.
Meskipun demikian, Ruyung Delapan Bayang sama sekali tidak merasa putus harapan. Ruyung emasnya tetap digerakkan walaupun sadar kalau hal itu tidak berguna banyak. Sebab setiap kali senjatanya menyambar, ruyung itu selalu saja berbalik dan mengancam dirinya sendiri. Hal itu disebabkan kuatnya sambaran hawa panas yang juga menebar dari tubuh lawan. Sehingga, dapat dtpastikan kalau Ruyung Delapan Bayangan tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Ki Bardala dan Pendekar Golok Sakti yang mengikuti jalannya pertarungan, tentu saja menjadi cemas. Sadar akan keselamatan nyawa kawannya, maka kedua orang pendekar itu pun memutuskan untuk ikut menerjunkan diri dalam pertempuran itu.
"Dedemit Bukit Saji...! Sambutlah seranganku...!" Setelah memberikan peringatan kepada lawannya, tubuh kedua orang pendekar itu meluruk terjun ke dalam kancah pertarungan.
Tapi sayang niat kedua orang itu tidak tercapai. Selagi tubuh keduanya meluruk ke arah pertarungan Dedemit Bukit Saji dan Ruyung Delapan Bayangan, tahu-tahu saja sesosok bayangan lain telah melesat memotong arus luncuran tubuh mereka. Siapa lagi bayangan itu kalau bukan Palawa yang sejak tadi juga mengikuti jalannya pertarungan seru itu.
"Jangan ganggu mereka...! Kalau tangan kalian ludah gatal, marilah kita bermain-main sejenak...!" tantang Palawa sebelum melompat untuk menyambut Ki Bardala dan Pendekar Golok Sakti yang bermaksud masuk ke dalam pertarungan.
Bukan main geramnya hati kedua tokoh golongan putih itu Karena dengan datangnya anak muda yang menjegal serangannya, berarti telah hilanglah kesempatan untuk menolong Ruyung Delapan Bayangan. Maka dengan kemarahan yang meluap-luap, mereka segera menerjang Palawa dengan serangkaian serangan gencar. Hal itu dimaksudkan agar salah seorang dari mereka bisa pergi.
"Bedebah, kau! Minggir...!" bentak Ki Bardala. Serta-merta laki-laki tua itu mengayunkan kedua kakinya melakukan serangkaian tendangan maut. Sekali bergerak saja, kedua kakinya telah melancarkan delapan kali tendangan dengan sasaran berbeda-beda. Sehingga mau tak mau, Palawa menjadi terperangah dibuatnya.
Pendekar Golok Sakti pun tidak ketinggatan. Sepasang golok perak yang tergenggam di tangannya berkeredep menyilaukan mata. Sepasang senjata ampuh itu berkelebatan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Palawa. Tapi pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar. Meskipun serangan yang dilancarkan kedua orang tokoh tua itu begitu dahsyat namun Palawa dapat bersikap tenang dalam menghadapinya.
Palawa yang memang sudah bersiap menghadapi pertarungan, langsung saja mengumbar pukulan telapak tangan yang juga menimbulkan hawa panas seperti halnya Dedemit Bukit Saji. Rupanya, Palawa pun sudah pula mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah' yang sangat ampuh.
"Yeaaat...!"
Dibarengi teriakan parau, sepasang telapak tangan pemuda itu meluncur deras ke dada Ki Bardala. Sejenak laki-laki tua itu terperangah, namun segera memutar kaki kanan untuk menghalau serangan itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga sakti yang sama-sama kuat itu sating berbenturan keras.
Blarrr...!
Terdengar ledakan keras yang disusul terlemparnya tubuh Ki Bardala ke belakang. Namun, tubuh kakek itu dapat berjumpalitan dan langsung mendaratkan kakinya ke tanah, tanpa menderita luka sedikit pun! Hanya saja, wajahnya agak sedikit pucat! Dirasakan ada selaput hawa hangat yang meresap ke dadanya. Tapi karena rasa itu tidak begitu menyakitkan, maka pendekar itu pun tidak mempedulikannya.
Sedangkan tubuh Palawa sendiri, hanya terjajar mundur sejauh empat langkah ke belakang. Hal itu menandakan kalau tenaga dalamnya berada dua tingkat di atas tenaga dalam Ki Bardala. Tentu saja kakek itu hampir tak percaya melihatnya.
"Gila...! Hebat sekali tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu. Entah apa hubungannya dengan Dedemit Bukit Saji? Mungkinkah pemuda itu muridnya? Tapi, mengapa kepandaian dan kekuatan tenaga dalamnya hampir menyamai iblis itu sendiri?" gumam Ki Bardala tak habis mengerti ketika merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Palawa.
Tentu saja ia tidak tahu kalau guru dan murid itu sama-sama mempelajari ilmu 'Telapak Darah' secara berbarengan. Sehingga tenaga dalam yang dimiliki tidak berselisih jauh.
Sementara itu, Pendekar Golok Sakti tengah mencecar Palawa dengan sambaran-sambaran senjatanya yang bertubi-tubi bagaikan gelombang lautan. Sepertinya pendekar itu tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya untuk membalas. Maka kalau dilihat sepintas, Jelas Palawa terdesak oleh serangan-serangan gencar lawannya.
Tapi, tidak demikian halnya yang dirasakan Palawa. Pemuda berotak licik itu sengaja berbuat demikian untuk memancing kemarahan lawan. Maka ia pun berpura-pura terdesak dan tak mampu melancarkan serangan balasan. Dengan demikian, lawannya diharapkan akan lengah dan pertahanannya pun terbuka. Pada saat itu, barulah Palawa akan menggempur lawannya habis-habisan.
Apa yang diduga Palawa mulai terlihat. Pendekar Golok Sakti yang sebenarnya tokoh berpengalaman, menjadi semakin penasaran. Serangannya yang selama sepuluh jurus itu sama sekali tidak bisa menyentuh tubuh Palawa. Jangankan untuk melukai, untuk menyentuh ujung baju lawannya pun sangat sulit. Tentu saja ia semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawan.
Palawa yang mulai melihat pancingannya membawa hasil, semakin berani membiarkan tubuhnya diserang. Beberapa kali ujung golok yang memancarkan sinar keperakan hampir melukai tubuhnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan, sehingga ujung golok lawan hanya mengenai ujung bajunya.
Melihat serangan-serangannya mulai dapat menyentuh lawan, Pendekar Golok Sakti pun semakin bertambah semangatnya. Kilatan-kilatan perak semakin ganas menyambar-nyambar. Dan memang, Pendekar Golok Sakti sudah tidak sabar untuk menyelesaikan pertarungan secepatnya. Namun sayang, ia tidak sadar kalau hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar baginya.
"Yeaaa...!"
Pada saat serangan lawan tengah gencar-gencarnya, tiba-tiba Palawa membentak keras mengejutkan Pendekar Golok Sakti. Saat itu juga, pemuda licik itu meluruk sambil menampar-nampar keras menimbulkan suara mencicit tajam.
Plak! Plak...!
"Aaakh...!" Terdengar pekik kesakitan keluar dari mulut Pendekar Golok Sakti. Dia benar-benar terkejut begitu melihat Palawa melancarkan serangan balasan yang tak terduga. Apalagi, pemuda itu pun mengiririginya dengan bentakan yang sangat mengejutkan. Maka, tak ayal lagi tubuh Pendekar Golok Sakti terpental bergulingan akibat tamparan lawan yang menghantam dada dan pelipisnya.
"Huagkh...!" Segumpal darah kental terlompat dari mulut pendekar itu. Perlahan tangan kanannya mengurut dada yang terasa nyeri dan panas akibat hantaman tadi. Tapi, wajah pendekar itu mendadak pucat. Matanya terbeliak ketika mendapati titik-titik darah yang bersembulan dari setiap pori-pori tubuhnya.
"Ahhh...!" Dengan wajah yang semakin pucat, Pendekar Golok Sakti meneliti seluruh anggota tubuhnya. Lelaki gagah yang tak pernah merasa gentar menghadapi maut itu, kini semakin terbelalak ngeri melihat keadaan dirinya.
"Aaargh...!" Bagaikan orang yang kehilangan ingatan, Pendekar Golok Sakti meraung setinggi langit. Hatinya benar-benar ngeri melihat seluruh pori-pori di tubuhnya telah mengalir darah segar. Dengan gerakan limbung, pendekar itu bangkit dan berlarian kesana kemari. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Pendekar Golok Sakti kini ambruk, karena tubuhnya mendadak lemas. Setelah berkelojotan sesaat, dia tewas dalam keadaan menyedihkan.
Apa yang dialami Pendekar Golok Sakti, ternyata juga menimpa diri Ki Bardala. Ia yang semula terbelalak ngeri melihat apa yang terjadi terhadap sahabatnya, tersentak kaget bagai disengat kalajengking. Betapa tidak? Sebab dari seluruh sepasang lengannya, tampak mulai menitik cairan merah. Dengan wajah tegang, Ki Bardala menghapus perlahan dengan harapan titik-titik darah itu hanyalah percikan dari tubuh sahabatnya.
Tapi ketegangan di wajah kakek itu semakin menjadi- jadi, ketika ujung jarinya yang gemetar mencoba menghapus titik-titik darah dari pori-pori lengannya muncul lagi titik darah yang lainnya. Bahkan kini mulai menyebar di sepanjang lengannya, untuk kemudian terus berkepanjangan ke sekujur tubuhnya. Melihat hal ini, betapa ngerinya hati Ki Bardala melihat keadaan dirinya yang baru kali ini dialami.
Palawa yang memang sudah mengetahui akibat pukulan ilmu 'Telapak Darah' tertawa terbahak-bahak. Pemuda licik itu benar-benar merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya. Dengan langkah lebar, dihampirinya Ki Bardala yang tengah bergulat dengan maut.
"Ha ha ha. Jangan dikira hanya orang yang terkena pukulan saja akan mengalami hal itu. Tapi, sedikit benturan dengan pengerahan tenaga dalam pun bisa mendatangkan kematian yang mengerikan," jelas Palawa sambil tertawa-tawa puas. Sedikit pun tidak ada rasa iba melihat betapa mengerikannya keadaan tubuh Ki Bardala saat itu.
Ki Bardala yang semula tidak mengerti kalau keadaan itu juga menimpa dirinya, mulai dapat menebak setelah mendengar keterangan Palawa. Ia teringat kakinya sempat berbenturan dengan telapak tangan pemuda licik itu. Pasti, itulah yang menyebabkan la mengalami hal yang serupa dengan Pendekar Golok Sakti.
"Bangsat kau, Manusia Iblis! Ilmu setan apa yang kau pergunakan ini?!" Teriak Ki Bardala yang semakin kalang-kabut bagai orang kebakaran jenggot. Sadar kalau kematian sudah tidak mungkin dapat dihindari lagi, maka Ki Bardala menjadi nekat. Disambarnya sebilah golok perak yang tergeletak tidak jauh dekat kakinya. Disertai teriakan parau, tubuh Ki Bardala langsung meluncur ke arah Palawa!
Melihat kenekatan lawannya, Palawa sama sekali tidak gentar. Dengan sebaris senyum licik, pemuda itu berdiri menunggu dengan kedua kaki terpentang lebar.
"Hmh...!" Sambil menggeram marah, Palawa memutar kedua tangannya secara bersilangan didepan dada. Sedangkan, matanya tetap tertuju kepada Ki Bardala yang semakin mendekat. Dan ketika jarak antara mereka hanya tinggal satu batang tombak lagi, terdengar bentakan keras yang menggetarkan isi dada.
"Haaat..!" Palawa membarengi bentakannya dengan dorongan telapak tangan kanan kedepan. Serangkum angin panas terlontar dan langsung menghantam dada Ki Bardala dengan hebatnya.
Desss...!
Tak ubahnya sehelai daun kering, tubuh kakek itu terlempar deras disertai semburan darah segar dari mulutnya. Raung kematian terdengar menggema seiring terbantingnya tubuh Ki Bardala atau si Tendangan Maut di atas rerumputan.
Apa yang dialami tubuh tua itu ternyata mengerikan sekali. Tubuh Ki Bardala yang tengah berkelojotan meregang nyawa, meleleh bagaikan gumpalan es mencair! Asap tipis yang menebarkan bau busuk mengepul seiring lenyapnya tubuh Ki Bardala. Dan kini tubuh si Tendangan Maut lenyap tanpa bekas. Yang tersisa hanyalah cairan merah menggenang di atas rerumputan hijau. Kakek yang namanya cukup terkenal dalam kalangan rimba persilatan itu tewas di tangan seorang pemuda tak dikenal, namun memiliki ilmu 'Telapak Darah' yang amat menggiriskan!
"Ha ha ha.... Ternyata jerih payahku selama ini tidak sia-sia!" gelak tawa penuh kepuasan berkumandang menggetarkan Perguruan Ruyung Maut Palawa benar-benar merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya.
"Benar, Palawa. Kini tidak ada lagi yang perlu ditakuti di dunia ini. Dengan sempurnanya ilmu 'Telapak Darah' yang kita miliki, tak seorang pun akan dapat menghalangi kita," sambut suara parau tertawa bergelak sambil melangkah mendekati pemuda itu.
"Ah, Guru.... Bagaimana dengan Ruyung Delapan Bayangan? Apakah telah berhasil ditundukkan?" Tanya Palawa ketika melihat Dedemit Bukit Saji tengah melangkah ke arahnya.
"Ha ha ha.... Sebelum kau menyelesaikan lawanmu, aku telah lebih dulu menghabisi nyawa manusia sombong itu. Nasibnya pun sama dengan yang dialami lawanmu itu," sahut Dedemit Bukit Saji, jelas-jelas sangat gembira dengan hasil mereka berdua.
"Kalau begitu, kita berdua telah hampir mencapai titik kesempurnaan," seru Palawa gembira.
"Ayo, kita pergi...," ajak Dedemit Bukit Saji tidak menanggapi ucapan muridnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Palawa segera melangkah mengikuti gurunya. Saat itu, sinar kemerahan telah menghiasi kaki langjt sebelah Barat. Pertanda sang mentari bersiap naik ke peraduannya.
* * * * *
«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»
Seorang lelaki setengah baya yang mengenakan pakaian indah, tak henti-hentinya mengumbar senyum menyambut para tamu yang datang. Sinar kebahagiaan jelas terpancar dimatanya.
Pada ruangan depan yang terhias indah, tampak dua sosok tubuh duduk bersanding di pelaminan mengenakan pakaian indah. Wajah lelaki muda dan wanita cantik di sebelahnya terhias senyum menyalami para tamu yang da tang. Sepertinya, mereka benar-benar bahagia menikmati kehidupan baru menjadi suami istri.
"Pasangan mempelai itu benar-benar cocok dan menimbulkan rasa iri di hatiku. Kau benar-benar pandai dalam memilih menantu, Prakosa," bisik seorang lelaki gendut berpakaian mewah. Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, paling tidak dia merupakan seorang hartawan kaya. Selesai mengucapkan kata-kata itu, tawanya berderai menambah kebisingan.
"Ha ha ha.... Maruta... Maruta. Akan kau ke manakan kelima orang istrimu itu? Apakah lima orang Istri yang cantik dan muda masih kurang memuaskanmu?" Sahut laki-laki setengah baya itu, dengan suara rendah.
la yang merupakan tuan rumah pesta itu, senantiasa selalu bersikap ramah dalam menyambut tamu-tamunya. Tidak peduli, apakah tamu yang datang itu merupakan orang terhormat atau hanya penduduk biasa. Itulah salah satu sifat Juragan Prakosa yang sangat disukai penduduk Desa Rawa Jati. Meskipun ia salah satu orang terkaya di desa itu, namun dalam menyebarkan undangan ia tidak memilih. Maka wajar saja kalau pesta pemikahan putra pertamanya itu berlangsung ramai dan meriah.
Di tengah ramainya suasana pesta yang diadakan Juragan Prakosa, tiba-tiba terdengar suara terkekeh serak. Hebatnya, suara kekeh itu sanggup menindih irama gamelan yang menyemarakkan pesta. Para tamu yang saat itu tengah mencicipi hidangan, serentak menoleh ka arah asal suara. Wajah-wajah mereka tampak menyiratkan sinar kemarahan ke arah sosok tubuh tinggi kurus yang melangkah menuju rumah besar itu.
"Hm.... Apa maksudnya kakek-kakek gila itu datang kemari? Apakah Juragan Prakosa juga mengundang orang seperti itu?" bisik salah seorang tamu. Dia memang merasa terganggu dengan kehadiran kakek tinggi kurus berpakaian compang-camping itu.
"Kurasa tidak. Mungkin orang gila itu merasa tertarik melihat keramaian di sini, kemudian melangkah mendatanginya. Biasa, untuk mencari makanan," sahut lelaki berkumis tipis menyahuti ucapan teman sebangkunya.
Tapi kakek berpakaian compang-camping dan berambut putih panjang yang awut-awutan itu terus saja melangkah sambil tertawa-tawa serak. Tidak dipedulikan pandangan para tamu yang tertuju kepadanya. Melihat dari penampilannya, jelas kalau kakek tinggi kurus itu memang bukanlah orang waras.
"He he he.... Ramai..., ramai.... Lucu...," celoteh kakek itu. Pandangannya beredar sambil memperlihatkan gigi-giginya yang hitam tak terawat. Kakinya terus saja terayun menuju ruangan utama tempat terdapat pasangan pengantin rumah itu.
Dua orang pengawat keluarga Juragan Prakosa, tentu saja tidak ingin mendapat marah dari majikannya. Maka keduanya cepat bergerak menghadang langkah kakek gila itu.
"Hei, Kakek Gila! Ayo, pergi dan tinggalkan tempat ini! Atau aku akan menyeretmu secara paksa!" Bentak salah seorang tukang pukul Juragan Prakosa, sambil memutar- mutar kumisnya dengan lagak dibuat seram.
"He he he.... Dua kerbau menghadang jalan. Galak-galak bertampang seram. Lucu.., lucu...," kata kakek itu seraya tertawa gembira. Sambil berkata demikian, jari telunjuknya yang berkuku hitam ditudingkan ke wajah kedua orang itu bergantian. Sementara tangan kirinya sibuk mengusap-usap perut, berlagak seperti orang mules.
"Tua bangka keparat! Berani kau mengatakan kami sebagai kerbau! Apakah kau memang sengaja ingin mencari keributan di sini?" Bentak lelaki berkepala botak itu menahan kegeramannya.
Kalau saja tempat itu tidak ramai, mungkin sudah diterjangnya kakek itu. Tapi karena ia tidak ingin mengganggu acara pesta, maka kemarahan itu ditahan di dalam dada. Orang kedua yang memiliki tubuh tinggi besar dan berwajah cukup gagah melangkah semakin dekat. Tanpa berbicara apa-apa, diambilnya beberapa macam penganan dari atas meja. Lalu, diserahkannya kepada kakek gila itu.
Tapi kakek gila itu sama sekali tidak mempedulikan sikap baik mereka. Uluran tangan itu sama sekali tidak disambutnya. Bahkan sepasang matanya yang senantiasa berputar liar menatap wajah lelaki tinggi besar itu lekat-lekat. Kepalanya ditelengkan ke kiri kanan dengan sikap lucu. Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan tawa berderai dari para undangan. Sikap ketolol-tololan yang ditunjukkannya benar-benar menggelitik perut. Sehingga tanpa sadar, para undangan tertawa geli. Merah selebar wajah lelaki tinggi besar itu mendengar tawa yang jelas-jelas ditujukan kepadanya. Namun, kemarahan dan kedongkolan hatinya ditahan sekuat tenaga.
"Kakek, ambillah. Makanan ini enak sekali...," bujuk lelaki tinggi besar itu sambil kembali mengangsurkan makanan yang berada dalam genggaman.
Namun, apa yang dilakukan. kakek gila itu benar-benar di luar dugaan. Tanpa berkata sepatah pun, tangannya bergerak cepat menyambar makanan di tangan lelaki tinggi besar itu. Namun yang membuat orang-orang terpekik ngeri adalah, bukan hanya makanan itu saja yang diambil si kakek gila. Tapi, telapak tangan lelaki tinggi besar itu pun ikut tertarik hingga putus sebatas pergelangan. Maka, hiruk-pikuklah suasana pesta yang semula ramai dan meriah itu.
"Akh...!" terdengar keluhan tertahan, ketika orang tinggi tegap itu menyadari keadaan tangannya. Lelaki tinggi besar yang merupakan salah seorang pengawal Juragan Prakosa itu langsung berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kanannya yang putus! Wajahnya yang kecoklatan itu berubah pucat sambil menatapi cairan merah yang tak henti-hentinya menyembur membasahi lantai.
"Gila...!" seru lelaki berkepala botak yang juga merupakan tukang pukul Juragan Prakosa. Jelas, wajah lelaki botak itu dicekam kengerian melihat keadaan kawannya. Rasa terkejut yang menguasai hati membuatnya tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun.
Sementara itu, kakek gila berambut riap-riapan sama sekali tidak mempedulikan kedua orang tukang pukul Juragan Prakosa. Telapak tangan sebatas pergelangan yang masih menggenggam makanan itu dilemparkannya begitu saja. Kemudian, kakinya melangkah lebar memasuki ruangan pengantin sambil memperdengarkan kekeh seraknya.
Juragan Prakosa yang merasa terkejut ketika mendengar jeritan-jeritan para tamu undangannya, bergegas ke luar. Wajah lelaki setengah baya itu berubah geram ketika melihat seorang kakek tinggi kurus yang mirip jembel gila tengah melangkah kearahnya.
"Keparat! Usir dan enyahkan kakek gila itu dari sini...!" teriak Juragan Prakosa kepada empat orang tukang pukul yang senantiasa berada dibelakangnya.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang tukang pukul itu langsung berlompatan dan mengurung kakek gila. Mereka menyangka kalau kakek berambut awut-awutan itu hanya merupakan pengemis gila biasa. Maka salah seorang dari mereka langsung mengulur tangan menjambret leher baju kakek itu, lalu menariknya keluar. Namun, kegemparan pun kembali terjadi. Tukang pukul bertubuh gemuk yang terlihat sangat kuat itu sama sekali tidak berhasil mengangkat tubuh kurus kakek gila itu. Seolah-olah, tubuh kakek gila itu berubah menjadi patung batu yang amat berat.
"He he he Kau sangat membosankan! Pergilah, aku tidak suka padamu," kata kakek tinggi kurus sambil menggerakkan tangan kirinya yang juga menjambret leher lelaki gemuk itu.
"Aaah. !" Tukang pukul bertubuh gemuk yang belum hilang rasa keheranannya, kembali dibuat terbelalak! Tubuhnya yang semestinya tidak mungkin dapat diangkat kakek itu, ternyata dengan mudah dapat dilemparkan hanya sekali sentak saja.
Brakkk!
Pohon besar di sudut halaman rumah itu bergetar ketika terhmpa tubuh gemuk itu. Setelah mengerang lirih menahan rasa sakit, lelaki gemuk itu pun pingsan seketika.
"Bangsat! Bunuh kakek gila itu...!" teriak salah seorang lainnya yang bertubuh kekar dan berwajah kasar, sambil menghunus senjatanya. Dia langsung melompat membabat tubuh tinggi kurus itu.
Dua orang tukang pukul lain yang juga sudah tidak bisa menahan sabar, segera mencabut senjata masing-masing dan menyabetkan ke tubuh kakek itu. Namun kakek gila itu seperti tidak mempedulikan serangan para pengeroyoknya, dan malah enak saja melenggang masuk menuju tempat pasangan pengantin bersanding. Dan ketika ujung-ujung senjata hampir menyentuh tubuhnya, tangan kanannya langsung mengibas perlahan seperti mengusir pergi seekor lalat.
Bresss!
"Aaa...!"
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan perlahan kakek gila itu. Tiga sosok tubuh pengeroyoknya langsung terpental balik bagaikan dihembus kekuatan raksasa yang tak tampak. Semburan darah segar seketika membasahi lantai. Dan, ketiga orang tukang pukul Juragan Prakosa itu pun tewas seketika.
Sedangkan kakek gila itu sudah berada di ambang pintu. Sepasang matanya yang tajam bergerak merayapi sekitar ruangan yang tertata rapi dan indah. Seringai di wajahnya terkembang begitu melihat tubuh ramping pengantin wanita yang saat itu tengah diungsikan.
"He he he.... Mau lari ke mana kau, Manisku...?" kata kakek gila itu. Tubuh tua itu langsung saja melesat dan menyambar tubuh molek berpakaian indah. Kemudian, tanpa mempedulikan keributan dan teriakan-teriakan marah orang-orang yang berada di dalam ruangan, tubuh si kakek gila langsung melesat dan lenyap di balik tembok pembatas rumah.
"Kejar...! Tangkap penculik gila itu...!" Juragan Prakosa berteriak-teriak memanggjl para tukang pukulnya. Bagaikan orang kesetanan, lelaki setengah baya itu berlarian kian kemari dengan perasaan kalut. Sedangkan pengantin pria yang tadi hendak melindungi mempelai wanitanya, sudah tergeletak pingsan akibat sambaran tangan si kakek gila.
Semua kejadian yang berlangsung demikian cepat dan tak terduga itu membuat para tamu yang berada di dalam ruangan terpaku bagai patung. Kesadaran mereka baru pulih ketika terdengar teriakan Juragan Prakosa. Suasana pun semakin kalut, karena para tamu yang tersadar langsung berlarian mencari keselamatan masing-masing.
Para tukang pukul Juragan Prakosa yang hanya tinggal tiga orang, bergegas mengejar si penculik. Beberapa orang tamu yang memiliki keberanian ikut pula mengejar kakek gila itu. Namun sayang, kepandaian ilmu lari penculik itu ternyata sangat hebat. Dalam waktu yang singkat saja, bayangan tubuhnya telah mencapai perbatasan Desa Rawa Jati. Untuk kemudian, lenyap di antara pepohonan.
Tentu saja para pengejar yang hanya memiliki sedikit kepandaian menjadi kehilangan jejak. Mereka hanya berdiri saja sambil mencari-cari dengan pandangan matanya di dekat mulut desa. Ketika tidak seorang pun yang melihat bayangan si penculik, baru tukang pukul dan beberapa orang tamu itu bergegas kembali ke rumah Juragan Prakosa untuk melaporkan hasil pengejaran mereka.
* * * * *
"Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Gadis cantik yang berada dalam pondongan lelaki tinggi kurus itu meronta-ronta ketakutan. Wajahnya yang semula terhias cantik sudah dibasahi air mata. Namun, dekapan kakek gila yang menculiknya dari rumah Juragan Prakosa itu ternyata sangat erat dan sulit sekali dilepaskan. Sehingga, wanita muda itu hanya dapat menangis sedih.
"Uh, uh..., bisamu hanya menangis saja, Kuntilanak! Tidak bisakah kau tersenyum dan menyenangkan hatiku? Atau kau memang ingin kusiksa agar tangismu berhenti?!" ancam kakek gila itu. Wajahnya yang kumal itu tampak cemberut tak senang.
Karena tangis wanita muda itu tak juga berhenti, maka ketika tiba di dalam sebuah hutan kecil, kakek gila itu melemparkan tubuh dalam pondongannya ke atas tanah berumput. Melihat dari caranya yang kasar itu, jelas kalau hati kakek itu merasa tidak senang mendengar tangisan wanita yang diculiknya.
Brukkk!
Gadis manis itu menggeliatkan tubuh, karena pinggulnya terasa sakit akibat terbentur akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. Wajahnya tetap menunduk tak berani menatap sepasang mata beringas kakek gila itu.
"Hayo! Mengapa tidak menangis lagi, Budak Hina!" Bentak si kakek gila sambil mengulurkan tangannya menjambret baju yang dikenakan wanita itu.
Brettt!
"Aaaw...!" Perempuan muda itu menjerit dan tubuhnya terlempar bergulingan. Kedua tangannya yang berjari-jari lentik itu sibuk menyembunyikan bagian dadanya yang terbuka, ketika pakaiannya robek terenggut tangan kakek gila yang menjambretnya secara kasar. Sadar akan bahaya yang akan menimpa, maka tanpa mempedulikan pakaiannya, perempuan muda itu bergerak bangkit dan langsung melarikan diri.
"He he he.... Bagus... bagus! Larilah sesukamu. Aku senang dengan permainan ini...," ledek kakek gila itu sambil terkekeh gembira. Dibiarkannya gadis itu melarikan diri semakin jauh ke dalam hutan. Tak berapa lama kemudian, barulah kakek itu melangkahkan kakinya menyusul perempuan itu.
Sambil terus memperdengarkan tawa terkekeh, kakek gila itu melangkah lambat-lambat menuju ke dalam hutan. Meskipun langkahnya terlihat lambat, namun jarak belasan tombak yang ditempuh dapat dicapai hanya dalam waktu singkat. Benar-benar suatu kepandaian ilmu meringankan tubuh yang sukar diukur.
Pengejaran yang dilakukan kakek gila itu tentu saja tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat saja, tampaklah bayangan wanita buruannya itu. Nampaknya, kakek itu hanya memerlukan beberapa langkah lagi untuk dapat menangkap gadis muda itu. Rasa takut semakin hebat menguasai hati gadis itu ketika menoleh ke belakang. Tampak kakek gila berambut awut-awutan itu sudah semakin dekat dengan dirinya.
"Ohhh...!" Karena terlalu sering menoleh ke belakang, akhirnya tubuh gadis itu terjerembab karena kakinya terantuk akar pohon. Dengan gerakan kalut, ia berusaha bangkit berdiri. Tapi baru saja hendak melangkah, sebuah cengkeraman kuat membuat gadis itu menahan jeritannya.
Sebelum gadis itu menyadari keadaannya, tahu-tahu saja tubuhnya tertarik ke belakang. Dia kembali jatuh ke dalam pelukan kakek gila yang terkekeh sambil menciumi kulit lehernya. Namun, sebelum sesuatu yang lebih mengerikan menimpa gadis cantik bernasib malang itu terjadi, terdengar bentakan keras.
"Jahanam keji! Lepaskan gadis tak berdosa itu..!" Berbarengan bentakan yang menggetarkan itu, beberapa sosok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak. Begitu tiba, mereka langsung bergerak mengurung kakek gila yang tengah dirasuki nafsu iblis itu.
Bukan main marahnya kakek gila itu melihat ada orang yang berani mengganggu kesenangannya. Dengan gerakan kasar, dilemparkannya tubuh wanita muda dalam pelukannya. Sepasang matanya yang tajam mencorong, merayapi belasan orang yang mengurungnya. Tatapan sepasang mata yang menggetarkan itu membuat belasan orang pengepungnya tersentak mundur dengan wajah pucat. Hanya dua orang saja yang tetap di tempat, dan menentang pandangan mata kakek gila itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Dewa Tangan Api...!" seru salah seorang pengepung yang ikut melompat mundur. Nada suaranya terdengar penuh keraguan. Jelas, lelaki kekar yang berwajah brewok itu masih meragukan ucapannya.
"Hei? Benarkah dia Dewa Tangan Api, Paman Danar Pati...?" Tanya pemuda berjubah putih yang menentang pandang mata kakek itu. Pemuda itu hampir-hampir tak percaya dengan penglihatannya. Sedangkan gadis jelita berpakaian serba hijau yang berada di sebelah kiri pemuda itu hanya berdiri tegak, dan tetap menatap ke arah kakek gila yang ternyata adalah Dewa Tangan Api.
"Rasanya mataku masih awas, Pendekar Naga Putih. Jelas, kakek ini adalah Dewa Tangan Api. Aku masih dapat mengenalinya meskipun pakaian dan penampilannya sudah seperti seorang jembel gila. Hhh... Mengapa ia sampai berbuat demikian? Padahal setahuku, ia telah lama menyadari kesesatannya dan menyembunyikan diri di Gunung Bulangkang. Tapi, mengapa sekarang kembali berbuat kejahatan?" desah orang yang bernama Danar Pati.
Dia rupanya telah mengenal Dewa Tangan Api cukup baik. Bahkan lelaki kekar berwajah brewok itu tahu tentang masa lalu kakek gila itu. Sehingga, ia dapat menerangkannya kepada pemuda berjubah putih yang memang Pendekar Naga Putih.
Dugaan Danar Pari memang tidak salah. Kakek gila itu memang Dewa Tangan Api. Hanya yang tidak diketahuinya adalah penyebab kegilaan dan bangkitnya nafsu jahat dalam diri kakek itu. Memang, sebenarnya Dewa Tangan Api terkena racun yang telah lama mengeram di tubuhnya. Itu terjadi ketika dia bertarung dengan Dedemit Bukit Saji. Racun itu dilepaskan murid tokoh sesat itu yang bernama Palawa secara licik. Dan setelah melalui penderitaan panjang yang menyakitkan, akhirnya Dewa Tangan Api kini menjelma menjadi seorang iblis keji hamba nafsu.
Racun jahat yang menurut Dedemit Bukit Saji belum ada obatnya itu telah merusakkan syaraf-syaraf di kepalanya. Sehingga, kesadarannya pun lenyap. Dia sama sekali tidak menyadari tingkah lakunya yang dikutuk tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Sebab yang menjadi keinginan kakek itu hanyalah, bagaimana harus melampiaskan nafsu binatangnya yang senantiasa bergolak tak tertahankan. Itulah yang menyebabkan, mengapa seorang kakek seperti Dewa Tangan Api masih tega melakukan perbuatan-perbuatan biadab dan keji.
"Hm.... Rasanya dapat kuduga, apa yang menyebabkan Dewa Tangan Api sampai tega melakukan perbuatan-perbuatan keji selama ini," gumam Panji, perlahan. Sedangkan sepasang matanya tetap saja mengawasi kakek itu.
"Hm.... Apa yang menjadi penyebabnya, Pendekar Naga Putih...?" Tanya Danar Pari memandang Pendekar Naga Putih dengan sinar mata heran.
"Coba perhatikan tingkah laku dan sinar matanya. Rasanya, ada keanehan yang menguasainya. Apakah Paman tidak dapat melihatnya," jelas Panji.
"Ya, ya.... Aku melihatnya. Sinar matanya begitu liar dan tidak wajar. Apalagi caranya berpakaian. Jelas kalau Dewa Tangan Api telah menjadi orang tak waras. Dan, ketidakwarasannya itulah yang telah menyeretnya melakukan perbuatan-perbuatan keji dan biadab. Tapi, apa yang membuatnya bisa menjadi gila?" Tanya Danar Pati seraya menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
"Tidak perlu heran, Paman. Meskipun kepandaian Dewa Tangan Api sangat tinggi, tapi masih banyak orang yang dapat melebihi kesaktiannya. Dan mungkin saja dia pernah bertarung melawan orang yang seperti kusebutkan itu. Entah karena pukulan ataupun senjata-senjata beracun, yang jelas ia berhasil dilukai lawannya. Hingga akhirnya, Dewa Tangan Api kini menjadi orang gila yang selalu berkeliaran mencari mangsa. Hal seperti itu bisa saja terjadi, Paman," sahut Panji menerangkan dugaannya.
Danar Pati, Kenanga, maupun yang lain mengangguk-anggukkan kepala mendengar uraian Panji. Sepertinya, keterangan pemuda itu dapat diterima akal. Dan memang, mungkin saja hal seperti itu terjadi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pendekar Naga Putih...?" Tanya Danar Pati yang merasa kehilangan akal.
Dan memang, untuk menghadapi kakek gila yang berkepandaian tinggi itu memang sangat berbahaya. Kalau ia dan kawan-kawannya nekat mengeroyok, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Maka, lelaki brewok itu sengaja menyerahkan persoalan kepada Pendekar Naga Putih. Tentu saja maksudnya agar Panji menghadapi kakek sakti itu.
"Hm.... Paman dan yang lainnya harap menyingkir dulu. Aku akan berusaha sekuat tenaga menundukkannya. Kalau nasibku baik, mungkin selamat. Sebab melihat sinar matanya, jelas kalau Dewa Tangan Api seperti ingin menelan tubuh kita bulat-bulat," sahut Panji merendah.
Setelah berkata demikian, pemuda tampan yang mengenakan jubah putih itu melangkah beberapa tindak kedepan. Langkahnya terhenti dalam jarak kurang dari dua tombak di hadapan Dewa Tangan Api yang menatap penuh nafsu membunuh.
* * * * *
«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»
"Hmh...!" Dewa Tangan Api menggeram gusar. Rupanya kedatangan pemuda itu semakin membuatnya marah. Dan tanpa peringatan lagi, kakek itu langsung mendorongkan telapak tangan kanan dengan pukulan jarak jauh.
Wusss,..!
Serangkum angin kuat berhawa panas menyengat menerjang deras tubuh Pendekar Naga Putih. Daun-daun pohon yang terkena hawa sambaran angin pukulan itu langsung berjatuhan dalam keadaan kering. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya hawa panas yang terkandung di dalam pukulan tadi.
Panji tentu saja tahu akan bahaya yang mengancamnya. Maka 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dalam tubuhnya langsung bergolak dan membentuk lapisan kabut bersinar putih keperakan. Berbarengan mungepulnya kabut yang menyelimuri sekujur tubuhnya, bertiuplah angin dingin menusuk tulang. Pendekar Naga Putih sengaja tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
Dia tahu, apabila pukulan jarak jauh kakek itu dihindari, maka lawan akan kembali menyusuli dengan pukulan-pukulan dahsyat. Dan hal itu tentu saja dapat menghilangkan kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda itu memutuskan untuk memapak pukulan jarak jauh Dewa Tangan Api.
"Hmh...!" Disertai gerengan menggetarkan, sepasang tangan Pendekar Naga Putih bergerak naik lurus menuding langit. Kemudian meluncur turun dan terhenti didepan dada dalam posisi menyilang.
"Yeaaah...!" Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih mendorong telapak tangan kanannya dengan menggunakan lebih separuh tenaga saktinya. Maksudnya untuk menjaga, jangan sampai menderita kerugian dalam gebrakan adu tenaga dalam itu.
Wusss...!
Angin dingin yang dapat membekukan darah meluncur pesat menimbulkan suara mencicit tajam. Angin pukulan yang terlontar dari telapak tangan pemuda itu melesat memapak pukulan jarak jauh lawan.
Blarrr...!
Dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu saling berbenturan menimbulkan ledakan dahsyat seperti hendak merobohkan gunung. Bukan main hebatnya tenaga sakti yang dimiliki kedua tokoh sakti itu.
Tapi hebatnya, meskipun benturan itu telah membuat bumi di sekitarnya bergetar, namun tubuh mereka satu sama lain hanya terjajar mundur sejauh empat langkah ke belakang. Dari sini saja sudah dapat dinilai kalau kekuatan yang dimiliki Panji dan Dewa Tangan Api berimbang.
Panji sama sekali tidak merasa heran terhadap kekuatan yang dimiliki lawannya. Dan memang, nama Dewa Tangan Api telah sangat terkenal dan termasuk tokoh silat kelas satu pada masa itu. Ingatan itu pula yang membuatnya harus berhati-hati dalam menghadapi kakek gila yang berkepandaian tinggi itu.
"Bangsat! Bocah setan...!" umpat Dewa Tangan Api sambil mengibaskan kedua tangannya untuk memperoleh keseimbangan. Kemudian, dengan gerakan aneh, kedua kakinya bergeser ke kiri dan kanan. Kemudian dia bergerak maju ke arah Pendekar Naga Putih.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin panas yang mencicit tajam, menyertai pukulan-pukulan Dewa Tangan Api yang terkadang bergerak lurus mengancam dada. Tapi di lain saat, sepasang tangan itu berputaran membentuk lingkaran gelombang bagai dinding berhawa menyengat.
Pendekar Naga Putih yang memang telah menyadari akan kehebatan lawan, tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Melihat lawan sudah menerjang maju kembali, maka pemuda itu bergegas menggeser kaki kanannya ke samping. Sedangkan sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga, bergerak susul-menyusul disertai langkah kakinya.
"Haiiit...!" Dibarengi bentakan keras, sepasang tangan Pendekar Naga Putih mulai menyambar-nyambar mengancam tubuh lawan. Sambaran angin dingin yang mencicit tajam menyertai setiap ayunan tangannya.
Namun Dewa Tangan Api juga tidak ingin tinggal diam. Sambil berkelebatan menghindari sambaran cakar naga lawan, sesekali kakek gila itu pun melontarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya dengan serangan lawan. Sehingga, pertempuran yang berlangsung antara kedua orang tokoh sakti itu semakin seru dan menegangkan.
Bettt!
Panji menggeser kaki kiri ke samping sambil merendahkan tubuh untuk menghindari hantaman telapak tangan lawan yang mengincar dada. Begitu hantaman itu luput, tubuh Pendekar Naga Putih langsung mengegos disertai tendangan kilat yang meluncur deras menuju pelipis Dewa Tangan Api.
Meskipun dalam keadaan kurang waras, namun kakek itu ternyata tidak kehilangan kepandaiannya. Tubuhnya segera didoyongkan ke belakang saat tendangan miring lawan meluruk menuju pelipis. Gerakan itu masih dibarengi tepisan tangan kanan yang tepat menghantam tumit Panji.
Plakkk!
Terdengar suara keras ketika telapak tangan kakek gila itu menepiskan tendangan lawan. Namun, tendangan yang berhasil ditepiskan itu terus saja berputar mengikuti tenaga sampokan tangan Dewa Tangan Api. Sepertinya, hal itu memang sudah diperhitungkan Pendekar Naga Putih. Dan sebelum kakek gila itu menyadari, tahu-tahu saja tendangan lawan kembali menyambar deras. Kali ini bukan pelipis yang menjadi sasaran, melainkan lambung Dewa Tangan Api.
Zebbb!
Kegilaan itu ternyata tidak mengurangi kewaspadaannya terhadap ancaman bahaya. Melihat datangnya tendangan lawan yang meluruk mengincar lambung, cepat tubuhnya meloncat ke atas dan terus melakukan beberapa kali salto diudara.
Tapi kali ini Pendekar Naga Putih tidak sudi membiarkan lawan lolos begitu saja. Ketika lawannya terlihat melontarkan tubuhnya ke atas, pemuda itu segera menarik pulang tendangannya. Sacepat telapak kakinya menghentak bumi, secepat itu pula tubuhnya melesat menyusuli tubuh Dewa Tangan Api. Gerakannya dibarengi dengan dorongan kedua tangannya yang terbuka.bKeadaan itu tentu saja sangat sulit bagi Dewa Tangan Api untuk menghindar. Maka tanpa dapat dicegah lagi, sepasang telapak tangan itu pun menghantam telak dadanya.
"Huagkh...!"
Hantaman dahsyat yang telak mengenai dada kakek itu, membuat tubuhnya terlontar bagaikan sehelai daun kering. Semburan darah yang keluar dari mulut kakek itu muncrat membasahi rerumputan hijau.
Brukkk!
Bagaikan sehelai kain basah, tubuh kakek itu langsung ambruk di atas permukaan tanah. Melihat tubuh lawannya diam Udak bergerak, Pendekar Naga Putih bergegas menghampirinya. Tapi pada saat jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba saja tubuh Dewa Tangan Api melenting bangkit. Langsung diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan dorongan sepasang telapak tangan.
"Aaah..,!" Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga Putih melihat serangan tak terduga yang amat berbahaya bagi keselamatannya. Untunglah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang ada dalam dirinya telah terlatih baik. Maka ketika sambaran angin panas datang menerpanya, tenaga sakti dalam tubuhnya pun bergerak dan langsung melindunginya.
Hantaman telapak tangan lawan yang hanya tinggal beberapa jengkal dari tubuhnya, langsung dipapak Pen'dekar Naga Putih dengan menggunakan seluruh kekuatan tenaga sakti yang ada dalam dirinya. Hal itu dilakukan, semata-mata untuk melindungi dirinya dari kematian. Sebab, disadari betul kalau saat itu Dewa Tangan Api pasti mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghabisi orang yang mengganggunya.
Blarrr!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga dahsyat ltu kembali bertemu. Asap putih kehitaman lang- sung mengepul akibat pertemuan dua tenaga dalam yang berlainan sifat. Akibat yang diderita Panji pun tidak ringan. Tubuhnya terlempar ke belakang, hingga menabrak sebatang pohon yang langsung tumbang menimbulkan suara bergemuruh.
"Heaaah...!"
Sadar kalau benturan dahsyat itu telah mengakibatkan luka dalam yang tidak ringan, cepat Panji menghimpun kekuatan hawa murninya. Didorongnya keluar pengaruh benturan yang terasa mengganjal di dalam dadanya. Sedangkan keadaan Dewa Tangan Api, jelas lebih parah. Apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih dalam keadaan terluka dalam. Sehingga tubuh kurus itu terlempar bagaikan sehelai daun kering. Dari mulutnya tampak menyembur darah segar.
Brakkk..!
Sebatang pohon yang berada di belakangnya, tak kuat menahan daya luncur tubuh kakek itu. Terdengar suara berderak ribut ketika pohon itu tumbang. Sementara, tubuh Dewa Tangan Api sendiri tergolek lemah dengan napas satu-satu. Jelas, kalau luka yang kali ini dialaminya lebih parah. Sehingga orang tua tidak mampu lagi bangkit.
Panji yang sudah mengusir pengaruh benturan melangkah mendekati tubuh Dewa Tangan Api. Kini sikapnya lebih hati-hati. Bahkan, pemuda itu tela menyiapkan tenaga saktinya untuk berjaga-jaga dari kecurangan kakek gila itu. Namun, ketika melihat betapa keadaan Dewa Tangan Api benar-benar parah, Panji pun bergerak membungkuk dan melakukan beberapa kali totokan untuk mengurangi penderitaan kakek itu. Lalu, dijejalkannya sebutir obat berwarna putih yang berkhasiat menyembuhkan luka dalam.
"Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apakah masih bisa disembuhkan?" Tanya Kenanga yang tahu tahu telah berada di samping Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum dan mengedarkan pandangannya kepada Danar Pati dan yang lainnya. Rupanya mereka telah berkumpul di belakang pemuda itu.
"Untunglah Dewa Tangan Api memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa. Sehingga benturan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya tewas. Rasanya semua telah berakhir, Paman. Aku akan membawa Dewa Tangan Api untuk menyembuhkan luka-luka ataupun racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Tolong antarkan gadis itu pulang. Dan jangan lupa sampaikan salamku kepada Paman Turangga," pamit Panji yang segera meletakkan tubuh Dewa Tangan Api di atas bahunya. Lalu, bersama Kenanga, mereka berpisah dengan rombongan Danar Pati.
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," desah Danar Pati, parau. Jelas kalau laki-laki brewok ini merasa berat untuk berpisah dengan pendekar muda yang sangat dikaguminya itu. Setelah bayangan tubuh Panji dan Kenanga lenyap, Danar Pari pun mengajak rombongannya untuk meninggalkan tempat itu.
* * * * *
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang telah cukup jauh meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya, tiba-tiba berbalik dengan wajah tegang.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" Tanya Panji seperti hendak memastikan apa yang didengarnya.
"Aku pun mendengarnya, Kakang. Sepertinya jeritan itu berasal dari tempat rombongan Paman Danar Pati yang baru saja kita tinggalkan?" Sahut Kenanga yang juga menjadi tegang.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebab, nalurinya membisikkan sesuatu yang mengerikan tengah menimpa rombongan sahabatnya itu. Pendekar Naga Putih terus melesat ketika tidak menemukan rombongan Danar Pati di tempat semula. Dia menduga kalau rombongan sahabatnya itu pasti hendak meninggalkan hutan.
Maka Panji segera mengambil jalan setapak yang menuju mulut hutan. Sementara Kenanga hanya mengikuti beberapa tombak di belakangnya. Jerit kematian yang merasuk telinganya, membuat pemuda tampan itu semakin mempercepat larinya. Sehingga, tubuhnya hanya seperti bayangan putih yang bergerak menyelinap di antara pepohonan hutan.
"Ahhh...!" Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika melihat enam sosok tubuh bergeletakan mandi darah! Dikenalinya betul kalau keenam orang itu adalah anggota rombongan Danar Pati. Maka cepat kepalanya menoleh ke arah pertempuran yang tengah berlangsung ramai. Tampak seorang lelaki gemuk berperut buncit tengah dikeroyok Danar Pati dan kawan-kawannya. Melihat keadaan sahabatnya itu tengah terancam maut, maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih segera berkelebat menuju ke arena pertempuran. Hal itu dilakukannya setelah terlebih dahulu mengamankan Dewa Tangan Api.
"Heaaat..!"
Plakkk!
Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepaskan sebuah tamparan keras untuk menyelamatkan Danar Pati dari ancaman maut. Kedatangannya memang sangat tepat. Sehingga, tamparan lelaki gemuk berperut buncit itu dapat dipukul mundur. Kalau tidak, mungkin batok kepala Danar Pati sudah pecah berhamburan akibat tamparan lawannya.
Danar Pati menarik napas lega ketika mengetahui kalau yang telah mendongnya adalah Pendekar Naga Putih. Bergegas ia dan kawan-kawannya menyingkir dari arena pertempuran. Karena, saat itu Panji sudah bertarung hebat melawan laki-laki berperut buncit yang tak lain dari Dedemit Bukit Saji.
Panji yang saat itu telah langsung melontarkan serangan-serangan kilat ke arah Dedemit Bukit Saji, menjadi terkejut sekali. Dan memang, kepandaian laki-laki setengah baya itu ternyata sangat hebat. Bahkan boleh dibilang tidak kalah hebat dengan kepandaian Dewa Tangan Api.
"Heaaah...!"
Plakkk! Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji yang mengarah dada dan lambung Dedemit Bukit Saji, berhasil ditangkis lawan. Bahkan tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan sebuah hantaman tinju ke perut Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih menghapus cairan merah yang mengalir di sudut bibimya. Sadar kalau tenaga saktinya masih belum pulih akibat bertempur mati-matian melawan Dewa Tangan Api, maka tanpa ragu-ragu lagi, Pedang Naga Langit yang tergantung di punggungnya segera dicabut.
Sring!
Kilatan sinar keemasan berkeredep menyilaukan mata. Kini Pedang Naga Langit telah tergenggam erat di tangan kanan Pendekar Naga Putih. Dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan, pemuda itu cepat memutar pedang dan langsung membabatkannya secara mendatar.
Wuttt!
"Eh...?!" Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji ketika merasakan hawa aneh yang keluar dari pedang lawan. Cepat ia melompat ke belakang hingga dua batang tombak jauhnya. Rupanya sekali melihat saja, tokoh sesat berperut buncit itu tahu kalau senjata yang berada di tangan lawan sangat ampuh dan berpengaruh.
"Palawa! Hayo bantu aku merebut pedang di tangan pemuda ini!" Teriak Dedemit Bukit Saji sambil menoleh ke arah pemuda bertubuh tegap yang tengah bertarung melawan Kenanga, dibantu Danar Pati dan kawan-kawannya.
"Tidak bisa. Guru! Seharusnya kaulah yang membantuku! Lihat! Aku sedang terdesak!" Sahut pemuda itu yang tak lain dari Palawa, murid Dedemit Bukit Saji. Sambil menyahut, pemuda itu kembali melompat menghindari sambaran Pedang Sinar Rembulan yang mengancam perut.
Elakan Palawa ternyata tidak membuat senjata itu berhenti menyerang! Sebab begitu serangannya lolos, Kenanga memutar senjatanya. Pedang itu langsung bergerak turun menyambar pinggang lawannya. Gerakannya yang cepat dan tak terduga itu, tentu saja membuat Palawa semakin kalang kabut. Maka, la pun segera melompat jauh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali salto diudara, barulah pemuda itu dapat menarik napas lega.
Tapi, kelegaan di hati Palawa tidak berlangsung lama. Sebab, baik Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya, kembali datang menyerbu ke arahnya. Tentu saja Palawa tidak sudi tubuhnya dirajam senjata-senjata lawan. Maka tubuhnya segera bergerak menghindar, diselingi pukulan balasannya sesekali.
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan Dedemit Bukit Saji sudah kembali berlangsung. Tokoh sesat berusia lima puluh tahun itu tengah mati-matian menghindari sabetan pedang lawan yang benar-benar membuatnya mati langkah! Sebab, ke mana saja berlari menghindar, selalu saja senjata Panji membayanginya. Sehingga, Dedemit Bukit Saji menjadi kalang kabut.
Panji yang kelihatan jelas ingin segera menyelesaikan pertarungan, segera melancarkan serangan susul-menyusul bagaikan gelombang laut yang tak pernah putus. Sehingga, gulungan-gulungan sinar keemasan semakin mengurung rapat tubuh lawannya dari segala arah. Sambaran-sambaran Pedang Naga Langit yang menimbulkan hawa menggiriskan, membuat Dedemit Bukit Saji semakin kelabakan dan tidak sempat menggunakan jurus andalannya, ilmu 'Telapak Darah'. Tentu saja hal itu membuat jurus-jurusnya jadi kacau dan tidak terarah. Sehingga, serangan-serangan Panji semakin gencar mengincar tubuhnya.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ketujuh puluh, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring dari mulut Pendekar Naga Putih. Saat itu juga, tubuh Panji mencelat naik dan melambung ke udara. Rupanya, pemuda itu ingin segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
"Heaaat..!"
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji melihat serangan yang dilancarkan lawan. Bulatan sinar keemasan berpendar dan menyilaukan mata membuatnya tidak sanggup memandang. Apalagi deru angin tajam yang ditimbulkan putaran senjata lawan seperti membuat urat-urat tubuhnya lumpuh seketika. Maka....
Brettt! Brett!
"Aaargh. !" Dedemit Bukit Saji berteriak setinggi langit ketika ujung pedang Pendekar Naga Putih menghunjam tubuh- nya berkali-kali. Darah segar memercik mengiringi terlemparnya tubuh gemuk berperut buncit itu.
Berbarengan tewasnya Dedemit Bukit Saji, terdengar raungan panjang yang menggetarkan hutan. Sebentar kemudian, tampak terbanting sosok tubuh tegap. Siapa lagi kalau bukan Palawa. Cairan merah tampak mengalir turun dari luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh Palawa menghembuskan napasnya yang terakhir. Pemuda itu tewas di ujung pedang Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya.
"Dedemit Bukit Saji...," gumam Pendekar Naga Putih memandangi mayat lawannya.
"Rupanya ia kembali membuat keonaran setelah bertahun-tahun menghilang dari rimba persilatan."
"Ya! Syukurlah kini ia telah tewas di tanganmu, Pendekar Naga Putih. Tentunya penyebab kegilaan Dewa Tangan Api pun pasti karena diracuni oleh tokoh sesat ini, sehingga pikirannya berubah. Dedemit Bukit Saji memang terkenal dengan racun-racunnya yang sangat jahat. Kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, dan juga Kenanga. Untunglah kedatangan kalian tepat pada waktunya. Kalau tidak, mungkin kami sudah melayat ke akhirat," ucap Danar Pati seraya membungkukkan tubuhnya dalam-dalam ke arah Panji dan Kenanga.
Panji tersenyum sambil mengulurkan tangan meraih bahu kekasihnya.
"Sudahlah, Paman. Sekarang kami benar-benar hendak pamit. Dan mudah-mudahan, tidak ada lagi yang menghalangi perjalanan Paman dan kawan-kawan lainnya," kata Pendekar Naga Putih seraya menarik napas lega.
Dengan tubuh Dewa Tangan Api yang kembali berada di atas bahu Panji, sepasang pendekar itu melangkah meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya. Mereka mengantar kepergian Pendekar Naga Putih dan Kenanga dengan pandangan penuh terima kasih.
"Lebih baik kuburkan dulu mayat kedua orang ini. Setelah itu, barulah kita lanjutkan perjalanan," usul Danar Pati melihat bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan.
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Tragedi Gunung Langkeng --oo0oo-- Macan Tutul Lembah Daru |