Bencana Dari Alam Kubur
tanztj
May 05, 2017
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Asmara Di Ujung Pedang --oo0oo-- Hilangnya Pusaka Kerajaan |
PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : BENCANA DARI ALAM KUBUR
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : BENCANA DARI ALAM KUBUR
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
«₪֎ [ SATU ] ֎₪»
Terdengar teriakan-teriakan penuh semangat yang berasal dari halaman depan sebuah perguruan. Teriakan itu dibarengi gerakan langkah dan pukulan belasan sosok tubuh bertelanjang dada. Tubuh bagian atas mereka tampak telah dibanjiri keringat. Jilatan cahaya obor yang terpancang di empat penjuru, membuat tubuh mereka tampak berkilat, menggambarkan kejantanan.
"Hap!"
Laki-laki bertubuh tegap yang berada di depan, kembali mengeluarkan aba-aba dengan teriakan nyaring. Berbarengan dengan teriakan itu, kaki kanannya melangkah ke depan membentuk kuda-kuda serong. Sepasang tangannya yang berbentuk cakar terayun ke depan dari bawah ke atas.
Wuttt!
Dari desir angin yang ditimbulkan sambaran sepasang tangannya, jelas kalau lelaki tegap itu memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan. Sambil berteriak nyaring, belasan sosok tubuh di belakangnya melangkah dan meniru gerakan yang dilakukan lelaki tegap itu.
"Bagus!" pujinya dengan wajah berseri. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah sambil meneliti bentuk tangan maupun kuda-kuda muridnya. Lelaki tegap itu sepertinya merasa puas me- lihat belasan muridnya yang dapat meniru gerakannya dengan baik. Dengan wajah berseri-seri, lelaki tegap berusia sekitar empat puluh tahun itu kembali melangkah kedepan untuk memberi contoh gerakan berikutnya. Namun belum sempat memberi aba-aba, tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang yang mendirikan bulu roma!
"Kekh, kekh, kekh...!"
Sebelum gema tawa menyeramkan itu lenyap, sesosok bayangan tinggi kurus melayang melewati pagar kayu setinggi empat tombak. Kemudian sepasang kakinya mendarat di dekat lelaki tegap yang tengah mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya. Jilatan cahaya obor yang menerangi wajah sosok tubuh tinggi kurus itu, membuat si lelaki tegap dan belasan orang muridnya melangkah mundur beberapa tindak. Wajah mereka nampak agak pucat
"Siapa kau...?!" bentak lelaki tegap itu memberanikan diri, menegur lelaki tinggi kurus yang ternyata seorang kakek berwajah pucat bagai mayat.
Kakek berwajah mayat dan berkulit pucat itu kembali memperdengarkan tawanya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh belasan orang itu bergetar, dan terhuyung limbung. Termasuk juga lelaki bertubuh tegap itu.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak ada gunanya kalian mempelajari ilmu murahan, dan tidak bermutu itu!" kata kakek itu, bernada menghina sekali.
Merah selebar wajah lelaki tinggi tegap ini ketika mendengar hinaan dari mulut tamu tak diundang itu. Buku-buku jari tangannya tampak mengepal keras, hingga memperdengarkan suara berkerotokan.
"Hei, Ki! Apa maksudmu datang-datang menghina perguruan kami? Apakah kau memang sengaja hendak mencari keributan?!" bentak lelaki tinggi tegap tanpa mempedulikan rasa hormat. Hal ini karena sikap kakek itu yang jelas-jelas tidak menghormati mereka.
"Jangan cerewet! Katakan saja pada gurumu, Hantu Kematian telah datang untuk mencabut nyawanya!" sahut kakek yang mengaku berjuluk Hantu Kematian dengan suara dingin dan kaku.
"Keparat sombong! Langkahi dulu mayatku, baru kau boleh bertindak sesuka hatimu di tempat ini!" bentak laki-laki tegap yang merupakan salah seorang tokoh Perguruan Macan Liwung, setelah rasa gentar hilang dari hatinya.
"Hmh...!" Sambil menggeram gusar, lelaki tegap itu sudah memasang kuda-kuda yang kokoh dan indah. Tangan kanannya bergerak ke atas kepala dalam sikap menekuk. Sedangkan tangan kirinya terjulur ke depan. Kedua-duanya membentuk cakar harimau.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kau sudah tidak sabar untuk segera melayat ke neraka. Majulah, biar secepatnya kuantarkan ke sana!" ancam Hantu Kematian seraya mengulapkan tangan. Sorot matanya tampak sedingin es.
Gampala, demikian nama lelaki tinggi tegap itu, sudah tidak dapat lagi membendung kemarahannya. Sepasang tangannya yang membentuk cakar, nampak bergetar karena dialiri tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!" Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Gampala melompat menerjang lawannya. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul disertai gerakan kaki yang gesit.
"Hm... Silakan pilih, bagian mana yang kau anggap paling lunak," kata Hantu Kematian meremehkan, sambil bertolak pinggang menanti datangnya serangan Gampala.
Terdengar suara berdebukan keras ketika sepasang cakar Gampala berkali-kali mendarat di tubuh kakek itu. Namun, tubuh Hantu Kematian sama sekali tidak bergeming sedikit pun. Seolah-olah, hantaman jari-jari tangan lawan bagaikan elusan tangan seorang wanita lemah. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati Gampala ketika merasakan cakaran maupun tendangannya bagai menghantam seonggok kapas lunak. Sehingga tenaganya seperti amblas ke dalam lautan yang tak berdasar!
"Gila!" maki tokoh berusia empat puluh tahun itu sambil melompat mundur menjauhi lawan.
Hati Gampala mulai dijalari kekhawatiran melihat kehebatan kakek yang tidak dikenalnya ini. Ia mulai mencemaskan nasib gurunya. Rasanya, kesaktian Hantu Kematian tidak mungkin dapat tertandingi. Apalagi, ia tahu betul kalau kepandaiannya tidak berselisih jauh dengan kepandaian gurunya. Maka, kegelisahannya pun semakin jelas tergambar diwajahnya.
"Hei?! Mengapa kalian diam saja?! Cepat, kepung kakek gila itu!" bentak Gampala kepada belasan orang muridnya yang masih terpaku kebingungan.
"Yang lain pergi ke balai utama. Laporkan kejadian ini kepada guru!"
Setelah mendengar bentakan Gampala, lima betas orang murid Perguruan Macan Liwung itu pun berlompatan mengepung Hantu Kematian. Sedangkan dua orang lainnya bergegas meninggalkan tempat itu, untuk melapor kepada Pendekar Macan Putih. Dialah yang menjadi ketua perguruan ini.
"Serbu...!" teriak Gampala yang segera melompat mendahului murid-muridnya.
Golok besar yang semula terselip di pinggang laki-laki tegap itu sudah tercabut ke luar. Dan kini sudah diayunkan kuat-kuat ke batang leher Hantu Kematian. Serbuan belasan orang pengeroyok sama sekali tidak membuat kakek berusia tujuh puluh tahun itu merasa gentar atau gugup. Ia hanya berdiri sambil memandang dengan sorot mata yang semakin dingin dan menyeramkan. Begitu belasan batang senjata itu hampir menyentuh tubuhnya, Hantu Kematian mengibaskan kedua tangannya ke samping.
"Rebah...!" teriak laki-laki tua itu.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan lengan kakek itu. Tubuh belasan pengeroyoknya seketika terlempar deras bagai daun-daun kering yang tertiup angin. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh belasan murid Perguruan Macan Liwung berikut Gampala terbanting keras di tanah. Beberapa orang di antaranya bahkan langsung tewas. Dari mulut, telinga, dan hidung mereka tampak mengalir darah segar.
"Ilmu iblis!" kutuk Gampala sambil merangkak bangkit, dan menekap dadanya. Tokoh itu merasakan dadanya sesak akibat kibasan tangan lawan yang mengandung kekuatan hebat. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah.
"Hm.... Kau kuat juga rupanya," geram Hantu Kematian dengan sinar mata mengandung ancaman.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang berlari, mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, muncullah puluhan orang murid yang dipimpin tiga orang murid utama Perguruan Macan Liwung. Sementara itu, Hantu Kematian segera membalikkan tubuh. Kemudian kakinya melangkah menuju balai utama Perguruan MacanLiwung.
Bukan main terkejut dan marahnya ketiga orang adik seperguruan Gampala ketika melihat keadaan di tempat itu. Wajah mereka mendadak gelap, melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak bergelimpangan takkaruan.
"Kakang...!" seru salah seorang dari ketiga murid utama itu. Hati orang itu mendadak cemas ketika melihat Gampala yang tampak berdiri goyah sambil menekap dada. Segera dia berlari menghampiri tubuh kakak seperguruannya yang jelas mengalami luka parah. Sedangkan dua orang murid utama lainnya segera memerintahkan murid-murid lainnya untuk mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa dan membawanya ke tepi.
"Keparat! Iblis itu telah membunuh sepuluh orang murid perguruan kita!" geram salah seorang dari kedua murid utama Pendekar Macan Putih. Dia memang telah memeriksa tubuh lima belas orang murid perguruan yang ternyata hanya lima orang selamat. Sedangkan yang lainnya tewas dengan keadaan yang menyedihkan.
"Kita harus membalasnya, Widarta!" sahut yang lain kepada orang yang dipanggil Widarta. Setelah berkata demikian, orang itu bergerak bangkit sambil mencabut pedangnya.
"Mari kita beri pelajaran kepada iblis itu!" Widarta pun bergegas bangkit dan mencabut keluar pedang yang terselip di pinggangnya.
Sementara itu, Gampala yang sudah dipapah adik seperguruannya segera melepaskan pelukannya ketika melihat Hantu Kematian tengah melangkah tenang menuju balai utama.
"Berhenti...!" bentak Gampala sambil melintangkan golok besarnya di depan dada.
"Adi Sudirja, kita harus mencegah kakek iblis itu agar tidak dapat mendekati bangunan utama perguruan!"
"Mau apa dia menyatroni perguruan kita, Kakang?" tanya Sudirja yang sudah pula melintangkan pedang di depan dada.
"Hm... Dia hendak membunuh guru kita," sahut Gampala tanpa mengalihkan pandangan dari Hantu Kematian.
"Kita bukan saja harus mencegahnya, Kakang. Tapi harus membunuhnya! Karena kakek iblis itu telah membunuh sepuluh orang murid perguruan kita," kata Widarta yang juga sudah berada di sebelah Gampala.
"Benar, Kakang. Iblis tua itu tidak boleh dibiarkan berbuat sesuka hatinya di tempat kita," Sumirja yang datang bersama Widarta ikut pula menimpali.
"Bedebah! Kalau begitu, iblis tua itu memang harus mati!" geram Gampala ketika mendengar laporan dua orang adik seperguruannya. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengurangi rasa nyeri yang terasa menusuk dada.
Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang murid utama Perguruan Macan Liwung itu melesat, mendekati Hantu Kematian yang sudah mendekati balai utama. Mereka langsung mengepung dari empat penjuru.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kalian benar-benar tidak sabar untuk melihat neraka!" ejek Hantu Kematian seraya terkekeh menyeramkan. Sambil berkata demikian, pandangannya beredar, merayapi keempat tokoh Perguruan Macan Liwung yang bergerak mengitarinya.
Namun sebelum keempat orang tokoh itu bergerak menerjang Hantu Kematian, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang disusul melayangnya sesosok tubuh kekar menuju tempat itu.
"Tunggu...!" teriak sosok tubuh itu sambil mengangkat tangan kanannya keatas.
"Guru...!"
Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya bergegas berlari menyambut kedatangan orang yang tak lain dari Pendekar Macan Putih itu. Mereka langsung saja menjatuhkan diri, berlutut di depan lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang memiliki wajah gagah itu.
"Menyingkirlah kalian," pinta Pendekar Macan Putih dengan suara berat dan dalam.
"Tapi, Guru..." Gampala yang semula hendak membantah perintah gurunya, menahan kata-katanya. Karena, ia melihat sinar mata orang tua itu menyorot tajam ketika mendengar bantahannya. Terpaksa ucapannya yang sudah berada di ujung lidah ditelan kembali.
"Aku tahu, apa yang harus kulakukan, Gampala," ujar Pendekar Macan Putih sambil menepuk bahu murid tertuanya perlahan. Setelah berkata demikian, orang tua yang masih tampak gagah itu melangkah mendekati Hantu Kematian.
"Kau masih ingat aku, Jalasena?" sapa Hantu Kematian ketika melihat Pendekar Macan Putih nampak mengerutkan kening sambil menatap penuh selidik.
Ketua Perguruan Macan Liwung yang ternyata bernama Ki Jalasena itu tidak segera menjawab. Ia hanya berdiri terpaku, sambil berpikir keras. Sepertinya, pendekar itu tidak mempercayai pandangan matanya. Hal itu terlihat dari sepasang mata yang membelalak lebar.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah tewas setahun yang lalu? Hm Siapa kau sebenarnya, Kisanak? Dan apa maksudmu menyamar sebagai Hantu Kematian?" tanya Ki Jalasena yang rupanya sudah lama mengenal tokoh yang mengaku berjuluk Hantu Kematian.
"Kekh, kekh, kekh,...! Kau keliru, Jalasena. Saat itu aku memang belum mati. Meskipun boleh juga dikatakan mati. Sebab, saat itu aku benar-benar telah sekarat. Tapi, setelah kepergianmu dan kawan-kawanmu, muridku datang dan membawaku ke Bukit Tiga Iblis. Nah, di atas puncak bukit itulah aku dikuburkan. Namun bukan karena aku telah mati, tapi karena aku hendak menyempurnakan ilmu-ilmu ciptaanku. Setelah aku berhasil menyempurnakannya, maka tidak ada seorang pun yang akan dapat menaklukkan Hantu Kematian! Sekarang, bersiaplah untuk menjadi korban pertama dari 'Ilmu Memecah Sukma'ku, Jalasena," jelas Hantu Kematian, yang diakhiri ancaman. Wajah laki-laki tua itu tampak kaku tanpa perasaan.
Mendengar ucapan kakek itu, Ki Jalasena melangkah mundur. Disadari kalau lawan yang dihadapinya kali ini tidak bisa dianggap ringan. Apalagi setelah iblis itu berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu ciptaannya yang sudah pasti sangat dahsyat. Tipis rasanya untuk dapat menang melawan kakek itu. Namun, Ki Jalasena bukanlah orang yang gampang ciut nyalinya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kematian. Sebenarnya yang menjadi beban pikirannya saat itu adalah, bagaimana harus menyelamatkan keluarga dan murid-muridnya? Sebab ia kenal betul, siapa Hantu Kematian itu. Tokoh sesat itu pasti tidak akan bertindak tanggung-tanggung. Bukan tidak mungkin setelah kematiannya nanti, Hantu Kematian akan menghabisi pula seluruh keluarga dan murid- muridnya. Itulah yang membuat dirinya menjadi tidak tenang.
"Kekh, kekh, kekh...! Mengapa wajahmu demikian pucat, Pendekar Macan Putih? Apakah kau takut menghadapi Malaikat Maut?" ejek Hantu Kematian terkekeh ketika melihat calon korbannya gelisah. Watak tokoh sesat ini memang aneh. Hatinya akan semakin gembira apabila melihat calon korbannya ketakutan! Apalagi kalau calon korbannya sampai merintih dan merengek minta ampun. Dia akan semakin puas!
Merah selebar wajah Ki Jalasena ketika mendengar ejekan lawannya. Sambil menggeram marah, pedang yang tergantung di pinggang kirinya itu dicabut.
"Hm.... Aku tidak pernah takut menghadapi maut, Hantu Kematian! Kalau memang mampu, buktikanlah kesombonganmu itu!" bentak Ki Jalasena sambil melintangkan pedang di depan dada.
"Kalau begitu, majulah! Apa lagi yang. ditunggu?" sergah Hantu Kematian seraya tersenyum dingin.
"Keparat! Sambutlah seranganku...!" Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh orang tua gagah itu melesat menerjang lawan. Pedang di tangannya berkelebat cepat hingga bentuk senjata itu menjadi lenyap.
Wuttt! Wuttt...!
Pedang di tangan Pendekar Macan Putih yang kini berbentuk gulungan sinar memanjang itu, bergerak cepat menimbulkan deru angin keras! Senjata itu terus meluncur mengincar bagian tubuh lawan yang mematikan. Sayang, yang kali ini dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan. Meskipun serangan-serangan Pendekar Macan Putih datangnya tak terduga, namun enak saja Hantu Kematian menghindarinya. Tentu saja Ki Jalasena semakin penasaran dibuatnya.
"Heaaat..!"
Setelah kurang lebih sepuluh jurus menyerang tanpa hasil, Ki Jalasena berseru keras sambil merubah gerakannya. Kali ini senjata di tangan orang tua gagah itu tidak lagi secepat semula. Gerakannya terlihat agak lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat. Itulah jurus 'Pedang Tujuh Harimau' yang menjadi ilmu andalan Pendekar Macan Putih.
"Hm.... Rupanya ilmu pedangmu nampaknya sudah semakin maju, Jalasena! Hebat.., hebat!" puji Hantu Kematian yang merasakan kehebatan ilmu pe- dang lawannya.
Sambil berkata demikian, kedua kakinya melakukan gerakan-gerakan aneh. Kelihatannya kacau dan berkesan sembarangan. Dan setiap kali pedang lawan datang menyambar, selalu saja menemui tempat kosong! Padahal, Ki Jalasena telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk melancarkan serangan itu. Tapi sampai sejauh itu, belum juga berhasil menyentuh tubuh lawan.
"Bedebah! Mengapa kau tidak membalas seranganku, Hantu Kematian? Apakah kau memang tidak mampu balas menyerang?" geram Ki Jalasena yang semakin penasaran karena serangan-serangannya belum juga membawa hasil.
"Kekh, kekh, kekh.... Aku sengaja memberi kesempatan padamu untuk menyerang selama dua puluh jurus, Pendekar Macan Putih! Maka jangan sia-siakan kesempatan yang hanya tinggal empat jurus lagi," sahut kakek tinggi kurus itu tanpa mempedulikan kemarahan lawannya.
"Setan!" maki Ki Jalasena semakin mengkelap. Hati Pendekar Macan Putih benar-benar marah mendapat hinaan yang sangat menyakitkan itu. Pedang di tangannya berputar setengah lingkaran dari bawah ke atas untuk menyambar tenggorokan lawan. Bahkan tangan kirinya pun menyusuli dengan cengke- raman ke arah lambung.
Bettt! Wuttt!
Dua buah serangan maut yang dilancarkan Ki Jalasena, sama sekali tidak membuat gugup Hantu Kematian. Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba tu- buh kakek itu berputar sambil merundukkan kepala. Dua buah serangan lawan pun hanya mengenai angin kosong.
"Waktumu sudah habis, Pendekar Macan Putih!" seru Hantu Kematian memberi peringatan. Berbarengan dengan habisnya ucapan itu, sepasang tangan kakek itu tiba-tiba berputar cepat. Langsung disambarnya pelipis serta dada kiri Pendekar Macan Putih.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Macan Putih. Serangan yang datangnya tiba-tiba itu, benar-benar hebat dan sulit dielakkan. Karena tidak mempunyai kesempatan menghindar, cepat-cepat pedangnya diputar untuk memapak tangan kanan lawan yang mengancam jalan darah kematian di pelipisnya.
Tapi, Hantu Kematian pun bukanlah orang bodoh. Tangan kanannya yang semula mengincar pelipis itu, langsung berputar cepat. Kemudian cepat ditotoknya pergelangan tangan lawan. Sedangkan tangan kirinya yang mengincar dada, bergerak naik ke atas. Langsung dicengkeramnya tenggorokan lawan.
Tukkk! Brettt!
"Aaakh...!" Pendekar Macan Putih menjerit kesakitan ketika totokan lawan tepat menghantam jalan darah di pergelangannya. Maka tangan kanan pendekar itu kontan lumpuh. Dengan demikian, senjatanya pun terpental lepas dari genggaman. Namun dalam keadaan gawat itu, ternyata Pendekar Macan Putih masih sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, cengkeraman tangan kiri lawan hanya melukai punggungnya.
"Bagus...!" puji Hantu Kematian melihat lawannya masih juga berhasil menyelamatkan diri dari cengkeraman. Sehabis berkata demikian, tubuhnya kembali melesat mengejar lawan yang tengah terhuyung.
Kreppp!
Jari-jari tangan kiri Hantu Kematian berhasil membeset leher Pendekar Macan Putih yang tengah terhuyung. Dan sebelum disadari lagi, tahu-tahu Hantu Kematian telah berbalik dan tangan kanannya meluncur cepat kearah bagian atas perut lawannya!
"Aaargh...!" Pendekar Macan Putih meraung setinggi langit ketika jari-jari tangan lawan mencoblos perutnya. Tangan itu langsung ditarik keluar, disertai jantung Pendekar Macan Putih yang sudah tergenggam erat di tangan Hantu Kematian.
Desss!
Tubuh Ki Jalasena yang tengah bergoyang-goyang itu langsung terpental akibat tendangan keras Hantu Kematian. Tubuhnya kontan terbanting keras di atas tanah, dan langsung tewas seketika.
Kejadian yang hanya berlangsung sekejapan mata itu membuat murid-murid Perguruan Macan Liwung terpaku bagai kehilangan kesadaran. Mereka hanya dapat berdiri kaku, dengan sepasang mata membelalak lebar. Kesadaran baru merasuk hati mereka, ketika terdengar kekeh menyeramkan dari Hantu Kematian.
"Kekh, kekh, kekh...! Jantungmu ternyata sangat bagus dan bersih, Pendekar Macan Putih! Dan aku akan mencicipinya sesuai janjiku. Kelak jantung yang lain akan menyusul!" Setelah berkata demikian, Hantu Kematian dengan rakusnya melahap jantung lawan yang berada dalam genggaman tangannya itu.
"Guru...!"
Murid-murid Ki Jalasena yang tersadar dari keterpakuannya, berlari menghambur ke arah tubuh gurunya. Sedangkan yang lain memandang Hantu Kematian dengan sinar mata marah. Namun belasan orang murid itu bergerak mundur dengan wajah jijik. Apa yang disaksikan itu, benar-benar membuat isi perut mereka bagaikan terbalik. Bahkan beberapa di antaranya langsung muntah-muntah. Sedang yang lain segera memalingkan wajah yang sudah menjadi pucat
"Manusia iblis...!" desis beberapa orang di antaranya dengan suara bergetar.
Bukan main hancurnya hati Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya melihat keadaan mayat guru mereka yang amat mengenaskan itu. Murid tertua Ki Jalasena itu bangkit, lalu membalikkan tubuhnya menghadap Hantu Kematian. Mendidih darah Gampala melihat kelakuan kakek iblis itu. Wajah Hantu Kematian yang masih dipenuhi darah jantung gurunya itu, membuat rasa gentar di hati murid utama Perguruan Macan Liwung itu lenyap seketika. Yang diingatnya hanyalah kematian gurunya. Dan itu harus dibalas dengan darah Hantu Kematian pula.
"Jahanam keji! Harus kau bayar mahal kebiadabanmu itu!" teriak Gampala dengan suara bergetar marah.
"Benar, Kakang. Meskipun harus berkorban nyawa, aku rela asal kematian guru kita terbalaskan!" Sudirja yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Gampala, bergegas bangkit. Perbuatannya diikuti Widarta dan Sumija. Gampala yang sadar akan kepandaian Hantu Kematian, segera memerintahkan seluruh murid Perguruan Macan Liwung untuk mengepungnya.
"Kepung manusia keji itu! Kita pertaruhkan nyawa demi membalas kematian guru kita!" teriak Gampala yang sudah melompat mendekati Hantu Kematian.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus..., bagus...! Senang rasanya dapat mengantarkan kalian menyusul arwah guru kalian itu. Mari, majulah!" ujar Hantu Kematian dengan wajah tetap dingin.
Kakek tinggi kurus itu hanya berdiri tegak menanti serangan. Hatinya sama sekali tidak merasa gentar, meskipun jumlah pengeroyok. mencapai enam puluh orang lebih. Hal itu menunjukkan kalau Hantu Kematian benar-benar merasa yakin dengan ilmu kepandaiannya.
"Heaaat...!" Dibarengi teriakan keras, Gampala melompat mendahului yang lainnya. Golok besar di tangannya berkelebatan cepat hingga menimbulkan deru angin keras. Sesaat setelah Gampala melompat, murid-murid yang lain pun bergerak menyerbu Hantu Kematian yang masih berdiri tegak menanti serangan.
"Haiiit..!"
Pada saat serangan Gampala hampir tiba, mendadak Hantu Kematian berseru nyaring dan menggetarkan! Saat itu juga, tubuh tinggi kurus itu melesat ke depan sambil menghindari sambaran golok Gampala.
"Rebah...!"
Hebat sekali bentakan yang keluar dari mulut Hantu Kematian. Belasan orang pengeroyoknya langsung terpental bagai daun-daun kering tertiup angin. Beberapa orang langsung tewas seketika, karena teriakan itu didorong tenaga dahsyat. Dan memang, pembuluh darah mereka langsung pecah.
Belum lagi yang lain sempat menyadari keadaan itu, Hantu Kematian seketika menggerakkan kedua tangannya ke atas kepala. Sepasang tangan yang mengandung kekuatan dahsyat itu segera bertemu dan menimbulkan ledakan keras.
Plarrr!
"Aaargh...!"
Beberapa murid Perguruan Macan Liwung yang masih hidup meraung kesakitan akibat ledakan yang ditimbulkan oleh pertemuan sepasang telapak tangan kakek tinggi kurus itu. Mereka langsung terjungkal ke tanah. Tubuh mereka menggelepar bagaikan ayam disembelih. Kedua tangan menekap telinga yang mengalirkan darah segar! Setelah berkelojotan sambil meraung kesakitan, mereka pun tewas dalam keadaan mengenaskan!
Sementara itu Gampala dan ketiga murid utama Perguruan Macan Liwung ternyata masih selamat. Tapi mereka juga mengalami luka yang cukup parah. Jurus 'Memecah Sukma' yang dilancarkan Hantu Kematian benar-benar dahsyat dan mengerikan! Sehingga meskipun Gampala dan tiga orang lain masih selamat, namun sudah tanpa semangat lagi. Lenyap, entah ke mana. Dan mereka hanya bisa pasrah menanti datangnya maut yang akan menjemput
"Hmh...!" Hantu Kematian menggeram ketika melihat Gampala dan tiga orang lainnya tengah berdiri bergoyang-goyang. Tanpa banyak cakap lagi, kakek tinggi kurus itu segera melesat ke arah mereka. Langsung dikirimkannya tamparan ke kepala keempat orang itu. Keempat orang murid utama Perguruan Macan Liwung itu hanya dapat memejamkan mata sambil menanti datangnya kematian. Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya itu tidak kuasa lagi mengelak. Apalagi sekujur tubuh mereka seperti lumpuh, sehingga tidak mungkin lagi melakukan perlawanan.
Terdengar suara berderak keras berturut-turut ketika tamparan telapak tangan Hantu Kematian menghantam kepala mereka secara bergantian. Tubuh keempat orang itu langsung ambruk ke tanah. Darah segar bercampur cairan putih, seketika mengalir membasahi tanah halaman depan Perguruan Macan Liwung. Empat murid utama perguruan itu pun tewas di tangan Hantu Kematian.
Kekejaman Hantu Kematian ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menewaskan empat orang murid kepala Ki Jalasena, kakek tinggi kurus itu melesat memasuki balai utama perguruan itu. Terdengar jeritan-jeritan menyayat ketika Hantu Kematian membantai seluruh wanita dan anak-anak yang berada di dalam balai utama Perguruan Macan Liwung. Tak lama kemudian, kakek tinggi kurus itu melesat meninggalkan Perguruan Macan Liwung diiringi tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Kekh, kekh, kekh...! Dunia persilatan akan kubuat gempar dengan kemunculanku ini...," tegas Hantu Kematian di sela-sela kekehnya yang parau dan berat.
* * * * *
«₪֎ [ DUA ] ֎₪»
Rambutnya yang legam dan tergerai lepas, mengibas lembut mengikuti gerakan kepala yang menoleh ke kiri-kanannya. Sepertinya, penunggang kuda itu tengah menikmati suasana pagi yang cerah ini. Dilihat dari raut wajah yang cantik dan berkulit halus itu, paling banyak usianya baru sekitar delapan belas tahun. Matanya yang bulat dan bening nampak berbinar cerah menikmati pemandangan indah di kaki pegunungan Mentawak. Bibirnya yang merah dan segar, tak bosan-bosannya melepas senyum.
"Kita berhenti sebentar, Hitam. Lihat, air sungai itu nampak segar sekali! Rasanya aku ingin merendam tubuhku sejenak," kata dara cantik itu sambil menepuk-nepuk punggung kudanya perlahan.
Kuda hitam bertubuh kekar itu meringkik lirih, seolah mengerti kata-kata majikannya. Binatang itu menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah aliran sungai yang terlihat jernih. Gadis cantik bertubuh ramping itu bergegas melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Nah! Sementara aku membersihkan tubuh, nikmatilah rumput-rumput segar yang ada di sekitarmu," ujar gadis cantik itu sambil mengelus-elus leher binatang tunggangannya. Kemudian, kakinya melangkah menuju aliran sungai yang terpisah beberapa langkah di depannya.
Setelah melepas pakaiannya di tempat aman, dara cantik itu pun segera merendam tubuhnya di dalam air sungai yang agak dalam dan terlindung. Ia berenang kian kemari, menikmati sejuknya air yang mengalir dari pegunungan. Sayang kegembiraan yang dinikmati gadis cantik itu tidak berlangsung lama. Karena, tiba-tiba muncul tiga orang laki-laki kasar dari balik semak-semak. Seketika dara cantik itu segera berlari, untuk bersembunyi di balik sebuah batu besar di tengah sungai.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka kalau di pagi ini kita akan bertemu seorang dewi yang turun dari langit! Lihatlah! Bukankah ia mengundangku untuk mandi bersamanya!" kata laki-laki bertubuh gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang bauk, kepada kedua orang kawannya sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha...! Betul.... Betul! Kakang Kobar, apakah tidak sebaiknya diundi saja, siapa yang lebih dahulu menemani sang Dewi mandi?" usul orang bertubuh tinggi kurus sambil terkekeh memuakkan. Sepasang matanya yang sipit itu nampak melebar, karena ingin melihat jelas tubuh gadis yang tanpa pakaian itu.
"Aku setuju!" timpal yang lain, sambil mengibar-ngibarkan pakaian gadis itu, yang diambilnya dari semak-semak. Jakunnya yang sebesar biji salak itu nampak turun-naik, membayangkan tubuh mulus dara cantik itu.
"Ah, tidak perlu! Aku yang paling tua, maka sudah tentu mendapat giliran pertama," bentak lelaki gemuk yang dipanggil Kobar itu sambil mengibaskan tangan dengan sikap kesal.
"Hei! Kurang ajar, kalian! Kembalikan pakaianku, atau kalian akan menyesal nanti akibatnya!" tiba-tiba dara cantik itu berteriak mengancam. Sehingga, ketiga orang kasar yang tengah bertengkar itu serentak menoleh ke arahnya.
"Ha ha ha...! Sabarlah, Manis. Bukankah kau masih ingin berlama-lama berendam dalam air yang sejuk ini? Nah! Tunggulah. Aku akan ikut berendam bersamamu. Bukankah rasanya akan lebih nikmat?" sahut Kobar sambil melepas pakaiannya dan siap menceburkan diri ke dalam air sungai.
"Bangsat, berhenti! Kalau kau nekat mendekatiku, kupecahkan kepalamu yang berisi pikiran kotor itu!" teriak dara cantik yang wajahnya menjadi merah ketika melihat lelaki bercambang bauk itu mendekati tempatnya bersembunyi.
"Hei, Nisanak yang cantik! Kalau kau menginginkan pakaianmu, naiklah! Tidak usah malu-malu!" sahut lelaki tinggi kurus yang masih berdiri di tepi sungai, sambil melambaikan tangannya. Dia memberi isyarat agar gadis cantik itu naik ke darat
"Bajingan! Kalau tidak juga mau menyerahkan pakaianku, tubuh kalian akan ku cabik-cabik dan mayat kalian kulemparkan ke dalam sungai! Cepat lemparkan ke sini!" teriak gadis cantik itu. Gadis itu hampir menangis karena rasa malu dan marah yang menyesak dadanya. Kakinya dibanting-banting di dalam air, karena tidak tahu harus ber- buat apa untuk menghadapi kekurangajaran ketiga orang laki-laki kasar itu.
Sementara itu, Kobar sudah berenang mendekati tempat gadis itu bersembunyi. Lelaki gemuk itu terkekeh-kekeh kegirangan. Di benaknya sudah tergambar keindahan bentuk tubuh gadis yang sudah jelas berkulit putih dan halus.
"Ayo, Manis. Keluarlah. Apakah kau lebih suka kalau aku yang mendekat ke situ? Kalau memang maumu begitu, aku pasti akan menurutinya," bujuk Kobar. Laki-laki itu sudah maju semakin dekat saja dengan batu besar tempat gadis itu bersembunyi. Deru napasnya terdengar saling berebutan, bagai seekor kuda yang habis dipacu.
"Pergi, kau! Jangan mendekat ke sini! Setan!" dara cantik yang merasa tidak berdaya itu berteriak-teriak hampir menangis. Dia memang merasa serba salah. Kalau diam, sudah pasti lelaki gemuk itu akan sampai ke tempat persembunyiannya. Sedangkan untuk menyerang, jelas tidak mungkin. Sebab perbuatan itu sama saja dengan mempertontonkan anggota tubuhnya. Akhirnya, ia pun bergerak menjauh sambil merendam tubuhnya sebatas leher.
"He he he....! Jangan takut, Manis. Aku tidak akan menyakitimu. Malah sebaliknya, aku akan membuatmu bahagia dan membawamu terbang ke langit tingkat tujuh," bujuk Kobar. Suara laki-laki itu mulai gemetar, karena nafsu iblisnya telah bangkit setelah melihat kulit leher yang putih halus itu. Saat itu jarak antara keduanya terpisah sekitar satu batang tombak.
"Setan kau! Awas, kalau berani bersikap kurang ajar kepadaku. Aku tidak akan segan-segan me- mecahkan kepalamu!" gadis cantik itu berteriak-teriak sambil mengacaukan air sungai hingga menjadi kotor. Dengan demikian, tubuhnya terlindung dari pandangan sepasang mata liar Kobar.
Kobar sama sekali tidak mempedulikan anca- man itu. Ia terus saja maju mendekat sambil mengembangkan kedua tangannya. Sepertinya, lelaki gemuk itu tengah bersiap-siap menerkam tubuh gadis cantik yang semakin ketakutan itu.
"Heyaaa...!"
Karena gadis cantik itu terus saja menjauh, Kobar menjadi tidak sabar. Meskipun jarak mereka masih tetap terpisah satu batang tombak, akhirnya Kobar nekat melompat dan menubruk tubuh gadis itu. Wajahnya menyeringai, membayangkan betapa sebentar lagi akan memeluk tubuh berkulit halus itu.
Gadis itu bergegas menghindari terkaman Kobar. Namun, ia tidak berani menyambut tubuh lelaki gemuk itu dengan pukulan. Karena jika berbuat demikian, berarti sebagian tubuhnya harus diangkat. Dan perbuatan itu sama saja mempertontonkan anggota tubuhnya. Maka ia pun memutuskan untuk menghindarinya saja.
Tapi sebelum Kobar sempat mencapai tubuh gadis itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat cepat di atas permukaan sungai. Sambil melompat, sosok tubuh itu melancarkan tamparan ke kepala Kobar. Karena tidak menduga bakal ada kejadian seperti itu, Kobar pun tak sempat lagi menghindar. Cepat-cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melindungi kepala yang terancam tamparan bayangan putih itu.
Plakkk!
Lelaki gemuk itu mengeluh ketika tamparan itu tepat mengenai kepala. Tubuh gemuk itu langsung terpelanting ke dalam air! Meskipun tamparan keras itu tidak melukainya karena kepalanya terlindung tenaga dalam, namun tetap saja Kobar merasakan alam di sekitarnya berputar.
"Bangsat! Siapa kau?! Berani-beraninya mencampuri urusanku...?! Rupanya kau ingin dianggap pahlawan, ya? Huh! Jangan mimpi, Sobat! Kau belum kenal, siapa Kobar yang berjuluk Setan Kepalan Besi!" bentak Kobar yang sudah bangkit berdiri tegak di atas batu besar, di tengah sungai.
"Hm.... Paling-paling kepalanmu itu hanya bisa meremukkan krupuk!" ejek sosok tubuh berpakaian putih. Dia ternyata seorang pemuda tampan bertubuh tegap. Pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang. Sikapnya nampak gagah sekali.
"Ni sanak, kuharap kau bersembunyi di balik batu itu. Biar aku yang mewakilimu memberi pelajaran kepada mereka," lanjut pemuda itu sambil menolehkan kepala ke arah si gadis.
Kobar yang menyadari keadaannya tidak mengizinkan untuk bertarung, bergegas menghambur ke tepi sungai. Cepat-cepat disambarnya pakaian yang diasongkan salah seorang kawannya. Lalu, pakaian itu dikenakan secara tergesa-gesa. Sedangkan pemuda tampan berpakaian putih itu pun segera melesat menghampiri Kobar dan kawan-kawannya.
"Hmh...!" Lelaki gemuk yang telah selesai berpakaian itu membalikkan tubuh disertai geraman marah. Sepasang tangannya terkepal erat, sehingga berkerotokan.Sepasang matanya menatap lekat-lekat, seolah-olah ingin menelan tubuh pemuda tampan itu hidup-hidup.
"Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini. Sadarlah, perbuatan kalian tadi itu melanggar tata krama," ujar pemuda tampan itu.
"Diam kau, Pemuda Sok Suci! Lebih baik bersihkan hidungmu yang masih ingusan itu! Dan jangan sekali-kali mencoba menggurui kami!" bentak Kobar garang. Kemudian, dia maju beberapa langkah mendekati pemuda tampan itu.
Kobar dan pemuda tampan itu saling menatap dalam jarak satu setengah tombak. Sepasang mata lelaki gemuk itu memancarkan sinar berapi-api yang siap membakar hangus tubuh calon lawannya. Sedangkan yang ditatap, tetap saja tenang tanpa menunjukkan rasa gentar sedikitpun
"Hehhh...!" Lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang bauk itu menghembuskan napas kuat-kuat. Berbarengan dengan itu, kedua kakinya bergerak membuka membentuk kuda-kuda. Sepasang tangannya dengan telapak terbuka, didorongkan ke atas hingga melewati kepala. Kemudian tangan itu turun perlahan-lahan, dengan gerakan menyilang di depan dada.
"Bersiaplah, Anak Muda! Kau harus diberi pelajaran agar lebih mengenal siapa Setan Kepalan Besi!" geram Kobar yang sudah mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Kaki kanannya ditarik ke belakang, agak rendah.
"Majulah! Aku ingin tahu, sampai di mana kerasnya tangan besimu itu," sahut pemuda tegap berpakaian serba putih itu tenang. Ia tetap saja berdiri tegak, tanpa mempersiapkan jurusnya. Tentu saja Kobar yang merasa dipandang remeh menjadi semakin marah.
"Keparat sombong! Sambutlah...!" Sambil berteriak nyaring, Kobar menggeser langkahnya mendekati pemuda itu. Sepasang kepalannya menyambar-nyambar menimbulkan angin kuat
Bettt! Bettt!
"Hmh...!" Melihat serangan yang dilancarkan lelaki gemuk itu, pemuda tampan itu hanya bergumam lirih. Sambil menggeser kaki kanannya ke samping, tubuhnya diputar hingga mendadak doyong ke kanan. Maka dua buah serangan Kobar pun lewat di depan tubuhnya.
Namun, gerakan Kobar pun ternyata cukup gesit! Begitu sadar kalau kedua serangannya dapat dihindari lawan, kaki kanannya cepat bergerak menyapu kaki kiri lawan yang berada di depan. Sebenarnya, sapuan kaki kanan Kobar itu hanyalah sebuah gerak tipu untuk memancing gerakan lawan. Apabila lawan berhasil terkecoh sehingga mengangkat kaki kirinya, maka sapuan kaki Kobar dapat berubah menjadi tendangan kilat yang berbahaya. Sebaliknya, bila lawan tidak berusaha menghindar, maka sapuan kakinya akan terus berlanjut. Bahkan akan langsung disusul dorongan kedua telapak tangan ke arah dada. Benar-benar sebuah serangan berbahaya dan penuh perhitungan!
Tapi, sepertinya pemuda itu sama sekali tidak menyadari akan perhitungan serangan lawan. Ia tetap saja menanti sapuan kaki Kobar tanpa berusaha mengelak. Tentu saja lelaki gemuk itu menjadi gembira bukan main. Sudah terbayang jelas di benaknya, betapa laki-laki muda itu akan terlempar oleh dorongan sepasang tangannya yang siap dilontarkan.
Pada saat sapuan kaki Kobar hampir mengenai kaki lawan, tiba-tiba saja pemuda itu menunduk. Lututnya segera dijatuhkan untuk menghantam tulang kering lawannya. Berbarengan dengan gerakan itu, tangan kanannya dengan telapak terbuka menggedor dada lawan
Dukkk! Buggg!
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gemuk itu terlempar ke belakang sejauh dua batang tombak! Kobar terus bergulingan, hingga satu batang tombak lebih. Jerit kesakitan seketika terdengar dari mulutnya. Kobar bangkit duduk dengan mimik wajah lucu. Ia terlihat sibuk mengurut-urut kaki kanan dan menekap dadanya yang terasa sesak. Lelaki gemuk itu tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang dirasakan saat itu. Di sisi lain, dadanya yang terhantam telapak tangan pemuda itu terasa sesak dan nyeri. Sedangkan tulang kering kaki kanannya yang terkena hantaman lutut, sakitnya sukar dilukiskan. Sehingga, Kobar tidak tahu apakah harus menangis atau menjerit-jerit akibat rasa sakit yang bercampur aduk.
"Ah! Sayang kau hanya memperhatikan kekuatan tanganmu, Kisanak. Sehingga, kau lupa kalau kakimu belum sekeras besi. Ku nasihatkan, agar kau cepat-cepat melatih kakimu. Sehingga, julukanmu akan lebih lengkap dan menyeramkan. Setan Kepalan dan Kaki Besi! Nan, bukankah julukan itu lebih hebat?" ledek pemuda tampan itu seraya tersenyum lucu.
"Hi hi hi...! Tepat sekali! Aku setuju dengan julukan itu," tiba-tiba terdengar suara merdu yang berasal dari aliran sungai.
Pemuda tampan itu menoleh, lalu melemparkan senyum kepada dara cantik yang rupanya juga mendengarkan ucapan itu.
"Kau setuju, Ni sanak?" tanya pemuda tampan itu tanpa melepaskan senyum yang menghias wajah.
"Tentu saja aku setuju, Kakang!" sahut gadis cantik itu, dengan mata kocak. Sepertinya, gadis itu sudah lupa kalau hampir saja celaka tadi.
Sementara itu, kedua orang kawan Kobar bergegas menghampiri dan memapah tubuh lelaki gemuk itu. Sebelum pergi, mereka sempat meninggalkan kata-kata ancaman kepada pemuda tampan itu.
"Ingat, Kisanak! Persoalan kita belum selesai! Kelak, kami akan mencarimu dan membalas hinaan ini!" geram lelaki tinggi kurus dengan tatapan penuh dendam. Pemuda tampan itu hanya tersenyum tanpa mempedulikan ancaman orang itu. Dan setelah ketiga orang itu lenyap di balik rimbunan pepohonan, tubuh- nya pun segera berbalik menghadap ke sungai. Di sana, dara cantik itu masih bersembunyi.
"Hei, Ni sanak! Apakah pakaian ini harus kulemparkan, atau kau yang akan naik ke sini!" tanya pemuda tampan itu, agak keras.
"Lemparkan saja! Biar aku mengenakannya di sini!" sahut dara cantik itu sambil menyembulkan kepala dari balik batu.
"Tangkaplah...!" ujar pemuda itu sambil melemparkan pakaian yang terbuat dari sutra kuning cerah. Setelah melemparkan pakaian, pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya, duduk di atas sebuah batu yang agak pipih. Sepasang matanya menerawang jauh, menembus mega-mega biru yang berarak pergi.
* * * * *
«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»
"Ah! Jangan terlalu sungkan-sungkan. Bukankah tolong-menolong sudah menjadi kewajiban kita bersama," sahut pemuda tampan itu merendah.
"Namaku Samanggala. Kebetulan pondokku tidak begitu jauh dari sungai ini. Jadi, suara teriakanmu terdengar cukup jelas dari pondokku."
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Dan mudah-mudahan, aku bisa membalasnya kelak," sambut Wurati lagi sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Ah, sudahlah! Mengapa kau begitu terikat segala aturan konyol itu? Tapi kalau kau memang bersikeras hendak membalas budiku itu, tunggulah di sini sebentar!" Setelah berkata demikian, pemuda tampan yang bernama Samanggala itu berkelebat lenyap menuju sebuah mulut hutan.
Wurati yang tidak sempat mencegah kepergian Samanggala, berdiri terpaku dengan wajah bingung. Sama sekali tidak dimengerti, mengapa tiba-tiba saja penolongnya berlari menuju mulut hutan yang membentang beberapa belas tombak di depannya. Gadis itu berdiri mematung, menunggu kemunculan pemuda itu dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Tak lama kemudian, Samanggala kembali sambil menenteng dua ekor ayam hutan yang cukup besar. Wajah pemuda tampan itu tampak tersenyum cerah ketika menghampiri Wurati.
"Nah! Kalau memang ingin membalas budiku, mari ikut aku ke pondok. Dengan memenuhi undanganku, maka berarti kau sudah tidak punya hutang lagi. Bagaimana? Bersedia?" tanya Samanggala sambil memandang wajah cantik di depannya dengan sinar mata kagum.
"Hi hi hi...! Kau ini ada-ada saja, Kakang. Baiklah, aku menerimanya dengan senang hati. Apalagi, saat ini perutku memang sudah minta diisi," sahut Wurati terkekeh gembira. Dan sudah dapat diduga, untuk apa dua ekor ayam hutan yang berada dalam genggaman pemuda itu.
"Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Ayolah, kita berangkat," ajak Samanggala, segera melangkah mendahului Wurati.
Gadis cantik berpakaian kuning cerah itu, mengangkat bahunya sambil tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Wurati pun bergegas menyusul penolongnya. Menurutnya, pemuda itu berwatak aneh. Tidak berapa lama kemudian, keduanya pun ti- ba di depan sebuah pondok kayu yang sederhana dan terlihat cukup bersih.
"Nah, inilah istanaku. Tapi sayang, tidak ada dayang seorang pun yang menyambut kedatangan kita. Bagaimana menurutmu? Apakah cukup memadai?!" gurau Samanggala seraya mengulum senyum.
"Hm.... Benar-benar sebuah istana yang menyenangkan. Tentunya di sini kau sering menikmati nyanyian-nyanyian alam. Seperti desau angin lirih, lembutnya gemerisik dedaunan, dan juga gemuruh air sungai yang mengalir. Apakah kau tinggal seorang diri, Gusti Pangeran?" tanya Wurati dengan sikap dibuat wajar.
Seolah-olah gadis itu memang tengah berhadapan dengan seorang pangeran. Padahal, tawanya sudah hampir meledak ketika melihat wajah Samanggala yang seperti orang tolol. Rupanya, pemuda itu cukup terkejut mendengar jawaban Wurati yang sama sekali tidak disangka itu. Beberapa saat kemudian, barulah pemuda itu menyadari sikapnya. Senyum di wajahnya tampak mengembang. Hatinya benar-benar gembira, karena Wurati ternyata seorang gadis yang menyenangkan dan pandai bergurau.
"Yah, aku memang tinggal seorang diri di tempat ini. Tapi, hari ini nasibku sedang baik. Karena, tiba-tiba saja seorang putri jelita bersedia memenuhi undanganku," timpal Samanggala mengakhiri ucapannya dengan derai tawa bergelak-gelak.
"Ya, seorang putri yang tersesat dan kelaparan," sambung Wurati terkekeh gembira.
"Kalau begitu, Tuan Putri tunggulah di sini. Hamba akan segera menyiapkan hidangan istimewa," Setelah berkata demikian, Samanggala melangkah memasuki pondok.
Wurati duduk menunggu di bawah pohon di depan pondok itu. Wajahnya terlihat berbinar gembira. Perkenalan singkat itu ternyata telah menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Diam-diam, gadis itu memuji cara bergaul Samanggala yang membuatnya cepat akrab, dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
Samanggala adalah seorang pemuda tampan yang menyenangkan. Belum lagi kepandaian silatnya, yang sempat dilihat Wurati sewaktu menundukkan Setan Kepalan Besi. Benar-benar pemuda yang jarang duanya. Senyum di wajah Wurati mengembang mengenang semua itu. Ketika tersadar, ia menjadi malu sendiri. Kedua pipinya seketika dijalari warna merah, ketika teringat betapa tidak pantas membayangkan wajah seorang pemuda yang baru beberapa saat dikenalnya.
"Aduh, kasihan! Sayang ayam bakar yang dibayangkan belum siap. Padahal, Tuan Putri sudah tersenyum-senyum sendirian membayangkan kelezatannya," goda Samanggala yang tiba-tiba keluar dari da- lam pondoknya. Di tangan pemuda itu telah tergenggam dua buah gelas yang terbuat dari bambu.
"Sialan! Aku bukannya tengah membayangkan ayam bakarmu. Enak saja menuduh orang!" sungut Wurati. Gadis itu menjadi agak malu, karena perbuatannya dipergoki sosok yang tengah dinilainya itu.
Samanggala tertawa lunak melihat Wurati tersipu malu. Dihampirinya gadis itu, lalu disodorkannya salah satu gelas bambu di tangan kanannya.
"Arak ini sama sekali tidak memabukkan. Dan rasanya sangat cocok untuk teman hidangan kita nati," jelas Samanggala yang kembali masuk ke dalam pondoknya setelah meletakkan gelas yang satunya lagi.Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah kembali sambil membawa dua buah gumpalan tanah sebesar bola. Samanggala sama sekali tidak merasa kepanasan meskipun bulatan tanah yang dipegangnya masih mengepulkan asap. Jelas pemuda itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi. Sehingga, rasa panas itu tidak membuat telapak tangannya melepuh. Tentu saja Wurati semakin bertambah kagum.
"Hei? Untuk apa kedua gumpalan tanah itu, Kakang?" tanya Wurati seraya mengerutkan keningnya. Gadis itu benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang akan dilakukan pemuda itu. Padahal, tadi Samanggala berjanji akan membawa dua ekor ayam yang telah dimasaknya. Mengapa sekarang malah membawa dua buah gumpalan tanah? Apakah pemuda itu mempermainkannya?
Samanggala sama sekali tidak menyahuti pertanyaan Wurati. Sehabis meletakkan dua buah gumpalan tanah di depan gadis cantik itu, lalu disambarnya dua helai daun pisang. Kemudian, pemuda itu duduk bersila di hadapan sahabat barunya. Diserahkannya sehelai daun pisang kepada gadis itu. Tanpa mempedulikan tatapan heran mata Wurati, Samanggala membelah gumpalan tanah di hadapannya.
"Eh...?" Wurati tertegun melihat isi gumpalan tanah sebesar bola itu. Asap tipis mengepul menebarkan aroma yang membuat rasa laparnya semakin menggigit.
Wurati menjadi agak dongkol melihat pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya. Gadis itu hanya meneguk air liur, melihat betapa lahapnya Samanggala menikmati daging ayam yang berwarna kekuningan. Diraihnya gumpalan tanah yang berada di depannya, lalu ditiru perbuatan sahabatnya. Tanpa malu-malu lagi, Wurati menyantap daging ayam yang ternyata sangat nikmat itu. Dalam sekejap saja, ayam bakar itu pun lenyap, masuk ke dalam perutnya.
"Bagaimana, Tuan Putri? Apakah rasa laparmu masih mengganggu?" tanya Samanggala. Pemuda itu juga telah menyelesaikan makannya. Arak harum di gelas bambunya pun telah berpindah dalam perutnya. Pemuda itu memandang Wurati, dengan senyum menggoda.
"Wah! Kau benar-benar hebat, Kakang. Dari mana kau belajar cara memasak seperti ini? Aku ingin sekali mempelajarinya," puji Wurati tanpa malu-malu lagi, seraya meneguk minumannya.
"Oh, ya. Aku belum tahu asal-usulmu. Kau datang dari mana?" tanya Samanggala tanpa mempedulikan pujian Wurati.
"Aku dari Desa Maja Tengah. Sejak kecil, aku dititipkan ayah di Perguruan Silat Cakar Naga," jelas Wurati.
"Hm... Apakah gurumu Ki Bala Dewa yang berjuluk Pendekar Cakar Naga?" tebak Samanggala.
"Oh! Kau kenal guruku, Kakang?" Wurati kaget. Rasa kagumnya pada Samanggala makin besar. Betapa tidak? Pemuda itu ternyata luas pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan.
"Gurumu memang pendekar sejati. Julukannya membuat orang berpikir seribu kali untuk menghadapinya. Tapi sayang kematiannya masih menjadi teka-teki," kata Samanggala.
"Itulah sebabnya, Kakang. Aku sekarang ini tengah mengembara, mencari pembunuh guruku. Walaupun kakak seperguruanku melarang, tapi aku nekat. Pokoknya, pembunuh guruku harus kubalas!" tegas Wurati.
Hati Samanggala sebenarnya agak terkesiap mendengar penegasan Wurati. Ini terpancar jelas dari wajahnya. Untung saat itu kepalanya tengah tertunduk, sehingga Wurati tidak sempat melihatnya.
"Oh, ya. Apakah arak itu terlalu keras bagimu, Wurati?" tanya Samanggala mengalihkan pembicaraan.
"Sama sekali tidak, Kakang. Malah menurutku, arak ini harum dan manis," sahut Wurati.
"Syukurlah kalau begitu," desah Samanggala. Sepasang mata pemuda itu tampak menyiratkan sinar aneh ketika melihat wajah Wurati kemerahan. Mendadak saja, senyumnya yang semula lembut kini berubah licik. Jelas sekali kalau hatinya merasa gembira melihat perubahan wajah gadis itu.
Wurati pun bukan tidak menyadari perubahan pada dirinya. Dan kini tubuhnya mendadak saja terasa panas bagai terpanggang api. Titik-titik keringat mulai membanjir, turun membasahi wajah dan tubuhnya.
"Ooohhh...," Wurati mengerang lirih.
Tubuh gadis itu tampak menggeliat gelisah. Suatu rangsangan aneh yang selama hidup belum pernah dirasakannya, kini mencengkeram hatinya. Dan yang lebih membuatnya tidak mengerti, rangsangan aneh itu terasa begitu nikmat. Sedangkan deru napasnya terasa semakin memburu.
"Wurati...," desah Samanggala dengan suara serak dan bergetar. Pemuda itu sama sekali tidak merasa bingung melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu. Bahkan, sebaliknya malah merasa gembira melihatnya.
Samanggala mengulur tangannya menyentuh jemari gadis itu. Wajah pemuda itu pun memerah. Hanya bedanya, ia masih bisa menguasai kesadaran. Sedangkan Wurati sudah bagai orang kehilangan kesadaran Sehingga, gadis itu berkali-kali mengerang dan merintih lirih. Sentuhan lembut telapak tangan Samanggala membuat tubuh Wurati bagai melambung ke angkasa. Suatu perasaan aneh yang nikmat membuat gadis itu menggenggam, bahkan meremas-remas jemari tangan Samanggala dengan tubuh gemetar hebat
"Ha ha ha...!" Samanggala tertawa bagai iblis ketika merasakan sambutan hangat Wurati.
"Marilah kita masuk, Wurati. Aku akan membawamu terbang ke langit yang ke tujuh," ujar Samanggala yang segera memondong tubuh Wurati dan membawanya masuk ke dalam pondok.
Tawa Samanggala semakin nyaring berkumandang, ketika sepasang tangan halus Wurati bergayut di lehernya. Begitu tiba di dalam pondok, tubuh gadis cantik itu direbahkan di atas balai-balai bambu. Kemudian, seluruh pakaian yang membungkus tubuh Wurati dilepaskan. Sedangkan gadis cantik itu tetap tidak mau melepaskan pelukannya pada Samanggala.
"Sabarlah, Dewiku...," desah Samanggala. Bergegas pemuda itu melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Bagaikan seekor harimau lapar, tubuh gadis itu diterkamnya. Sedangkan Wurati menyambutnya dengan tidak kalah ganas.
Malang nian nasib gadis cantik itu. Tanpa disadarinya, ia telah terjebak dalam perangkap iblis yang sengaja dipasang Samanggala dengan lihainya. Samanggala melampiaskan nafsu iblisnya sambil tertawa penuh kepuasan!
* * * * *
Samanggala melangkah keluar dari dalam pondok disertai seringai iblisnya. Tubuh bagian atasnya yang belum tertutup pakaian itu tampak dibasahi butir-butir keringat yang mengalir turun
"Bagaimana, Tuan Muda? Apakah gadis cantik itu sudah ditundukkan?" tanya seorang lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang bauk.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Setan Kepalan Besi. Ia datang ditemani dua orang kawannya yang pernah mengganggu Wurati ketika sedang mandi.
Pemuda tampan yang ternyata seorang penjahat cabul itu memang majikan Setan Kepalan Besi. Dan memang, mereka berempat telah bersandiwara untuk menjebak Wurati. Dan jebakan itu ternyata berhasil baik.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir! Dia masih belum sadar. Kalian boleh menikmatinya sekarang," sahut Samanggala yang segera melesat meninggalkan tempat itu setelah mengenakan pakaiannya kembali.
Setan Kepalan Besi sama sekali tidak mempedulikan kepergian Samanggala. Lelaki gemuk itu bergegas memasuki pondok sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Bagaikan seekor harimau lapar, Setan Kepalan Besi langsung menerkam tubuh molek di atas pembaringan. Meskipun saat itu korbannya sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, sama sekali tidak dipedulikannya. Digelutnya tubuh gadis itu untuk melampiaskan nafsu iblisnya.
Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang menikmati tubuh Wurati. Dua orang lain yang berjuluk Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau pun ikut menggilirnya. Mereka melakukannya tanpa perasaan iba sedikitpun terhadap penderitaan gadis malang itu.
Wurati masih juga belum sadarkan diri, saat tiga orang tokoh sesat yang sebenarnya berjuluk Tiga Setan Kali Brantas itu meninggalkan pondok. Obat perangsang yang dicampur ke dalam minuman arak gadis itu memang termasuk jenis yang amat keras. Sehingga, setelah rangsangan iblisnya terlampiaskan bersama Samanggala, gadis cantik itu pingsan kehabisan tenaga. Maka kesempatan baik itu dipergunakan Tiga Setan Kali Brantas dalam melaksanakan nafsu bejatnya.
"Ohhh..." Beberapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari mulut Wurati. Dengan mata masih terpejam, gadis itu mengerang merasakan nyeri dan linu pada seluruh tubuhnya.
"Aaahhh !" Bagaikan disengat kalajengking, Wurati menjerit-jerit bagai orang kemasukan setan. Ketika melihat keadaannya yang tidak karuan, ia langsung sadar akan apa yang terjadi dengan dirinya. Meskipun demikian, Wurati tidak mampu untuk bangkit dari atas balai-balai bambu itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit, dan tulang-tulangnya terasa hancur akibat kebiadaban Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas yang memperkosanya secara bergilir.
"Aaa...!" Lengkingan panjang memilukan terdengar memecah kesunyian wilayah Hutan Mentawak. Wurati meraung menyesali nasib buruk yang dialaminya itu. Akibat pukulan batin yang amat berat, membuat gadis itu pingsan untuk yang kedua kalinya. Lama sekali gadis cantik bernasib malang itu tidak sadarkan diri. Hingga keesokan harinya, barulah ia siuman. Tertatih-tatih gadis itu bangkit dari balai-balai bambu. Air mata tak henti mengalir membasahi wajahnya yang pucat dan kusut itu.
"Keparat kau, Samanggala. Sampai ke ujung dunia pun, aku akan mencarimu! Akan ku cabik-cabik tubuhmu, dan akan kuhirup darahmu!" kutuk Wurati dengan sinar mata liar, di antara isak tangisnya yang memilukan. Dengan langkah tidak tetap, Wurati berjalan menuju ke luar pondok setelah terlebih dahulu mengenakan pakaiannya. Sambil melangkah perlahan, dicobanya untuk mengingat kejadiannya. Dari saat ditolong Samanggala, sampai pemuda itu bisa membawanya ke pembaringan dan menodainya.
"Manusia licik...!" desis Wurati yang segera teringat arak harum yang disuguhkan pemuda tampan itu. Wurati yakin kalau minuman itulah yang telah membuat kesadarannya lenyap. Ia tidak ingat lagi, apa yang dilakukannya setelah meneguk arak itu. Yang diketahuinya kini, dirinya telah ternoda. Hal itu diketahuinya dari rasa sakit dan darah yang mengalir di sela-sela pahanya.
Kalau menuruti perasaannya yang hancur, Wurati rasanya ingin menghabisi saja nyawanya. Ia merasa tidak pantas hidup dengan menanggung aib yang memalukan. Ada beberapa hal yang membuatnya tetap ingin bertahan hidup. Mencari pembunuh gurunya, dan mencuci nodanya dengan darah Samanggala!
* * * * *
«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»
"Aku benar-benar tak habis pikir, Kakang," kata seorang lelaki gagah yang kumis dan jenggotnya dicukur pendek.
"Apa yang mendorong pembunuh biadab itu, hingga tak satu pun anggota Perguruan Macan Liwung yang dibiarkannya lolos. Ini merupakan satu tanda tanya besar yang mengganggu pikiranku." Laki-laki gagah itu, dalam dunia persilatan dikenal berjuluk Pendekar Tongkat Maut. Sepak terjangnya memang cukup mengiriskan.
"Hm.... Meskipun kita bertiga belum menemukan jawabannya, tapi sudah menjadi kewajiban untuk terus mengusutnya. Aku yakin, kalau kita terus melakukan penyelidikan, suatu hari nanti akan dapat menemukan jawabannya dan sekaligus menemukan manusia keji itu!" sahut lelaki setengah baya yang memiliki kening lebar. Nada suaranya terdengar geram, dan tanpa keluhan. Jelas kalau orang itu memiliki tekad yang keras dan tidak pantang menyerah. Itu tergambar dari ben- tuk rahangnya yang kokoh, dan sinar matanya yang menyala memancarkan semangat tinggi.
"Yah! Aku pun tidak akan berhenti sebelum pembunuh Kakang Jalasena dapat diringkus! Ini menjadi tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang yang paling dekat dengannya. Aku akan menemanimu untuk mencari tahu orang itu, Kakang Wanggala," sambut lelaki berusia empat puluh tahun, sambil menggenggam telapak tangan lelaki setengah baya berkening lebar, yang bernama Wanggala. Orang yang dipanggil Wanggala itu tersenyum dan menggenggam erat telapak tangan sahabatnya.
"Bukan hanya aku dan kau saja, Adi Jabrang. Tapi, kita bertigalah yang harus melaksanakan tugas berat ini. Bukankah begitu, Adi Legawa?" tegas Ki Wanggala seraya menolehkan kepalanya ke arah Pendekar Tongkat Maut
"Tentu, Kakang. Memang sudah seharusnya hal itu kita lakukan," sahut Pendekar Tongkat Maut yang bernama asli Legawa itu. Ia pun segera mengulurkan tangannya, dan menggenggam telapak tangan kedua orang sahabatnya.
Tanpa setahu ketiga orang tokoh persilatan itu, tampak seorang pemuda tampan berjubah putih ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Lelaki muda berwajah tampan yang duduk agak ke sudut itu rupanya merasa tertarik dengan pembicaraan mereka. Meskipun terlihat tengah menunduk menikmati hidangannya, namun pendengaran tajam pemuda itu dapat menangkap jelas pembicaraan Ki Wanggala, Ki Legawa, dan KiJabrang.
Pemuda tampan itu mengangkat wajah ketika pendengarannya tidak lagi menangkap pembicaraan yang menarik hatinya itu. Sepasang matanya menatap ke arah Ki Wanggala dan kawan-kawannya yang terpisah beberapa meja dari tempat duduknya. Kedai yang saat itu cukup ramai, membuatnya leluasa untuk meneliti dan menilai ketiga orang itu.
"Ada apa, Kakang...?" tanya seorang gadis jelita berpakaian serba hijau yang duduk bersama pemuda itu. Gadis itu melayangkan pandangan, mengikuti arah tatapan pemuda tampan yang duduk di seberang mejanya.
"Tidak ada apa-apa, Kenanga. Habiskanlah makananmu, nanti keburu dingin," sahut pemuda tampan itu. Dia sudah pasti adalah Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Suara pendekar muda ini terdengar rendah, karena tidak ingin terdengar ketiga orang yang diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
Kenanga yang sudah hafal tindak-tanduk kekasihnya, segera meneruskan makannya. Hatinya sama sekali tidak tersinggung atas ketidakterusterangan pemuda itu. Namun ia tahu betul, kekasihnya pasti menyimpan sesuatu yang tidak mungkin dikatakan di tempat itu. Dan itu bisa dimengerti olehnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya itu. Hatinya merasa lega melihat wajah jelita itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Diam-diam, ia merasa bersyukur memiliki gadis jelita yang penuh pengertian. Dipandanginya wajah Kenanga yang tengah menunduk itu dengan rasa cinta mendalam.
Kenanga yang merasakan tatapan mata penuh kasih itu, perlahan mengangkat wajahnya. Ada rasa hangat yang seketika menjalari permukaan wajahnya saat melihat tatapan kekasihnya yang jelas-jelas memancarkan kasih kepadanya. Darah di tubuh gadis jelita itu berdesir nikmat ketika jemari tangannya digenggam lembut telapak tangan Panji. Kenanga terpaksa menundukkan wajahnya yang dijalari rona merah.
"Makin lama, semakin bertambah saja perasaan cintaku kepadamu, Kenanga," kata Panji perlahan, sambil meremas-remas jemari lentik gadis jelita itu.
"Kakang, ini bukan di hutan! Ini kedai makan. Malu kan, kalau dilihat orang," Kenanga mengingatkan sambil menarik jemari tangannya dengan gerakan perlahan. Genggaman telapak tangan Panji mengendur. Bukan teguran gadis itu yang menyebabkannya, melainkan karena pandangan Pendekar Naga Putih tertuju kepada ketiga orang tokoh persilatan yang saat itu sudah bersiap hendak meninggalkan kedai makan. Begitu Ki Wanggala dan dua orang kawannya lenyap di balik pintu sebelah luar kedai, Panji cepat mengulapkan tangan kanannya memanggil pelayan dan membayar harga makanan.
"Mengapa terburu-buru, Kakang? Bukankah kita akan bermalam di Desa Lawatan ini?" tegur Kenanga yang merasa heran atas sikap Panji.
"Nantilah..., sambil jalan kuceritakan," sahut Panji perlahan. Kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas mengajak kekasihnya meninggalkan kedai makan itu.
Kenanga pun mengikutinya tanpa membantah lagi. Panji mengajak Kenanga menuju perbatasan Desa Lawatan, karena ketiga orang tokoh persilatan itu tampak tengah bergegas meninggalkan desa. Sambil berjalan, pemuda itu mulai menceritakan apa yang telah didengarnya dari pembicaraan Ki Wanggala dan teman-temannya tadi. Kenanga mendengarkan penuturan Panji tanpa sedikit pun memotong.
"Hm.... Jadi itu yang menyebabkan Kakang berniat menguntit perjalanan mereka. Apa Kakang yakin, kalau ketiga orang itu akan dapat menemukan jejak pembunuh keji itu?" tanya Kenanga setelah Panji menyelesaikan ceritanya.
"Menurut apa yang kudengar tadi, aku menarik kesimpulan kalau Ki Wanggala dan kedua orang temannya adalah sahabat dekat Pendekar Macan Putih. Meskipun saat ini mereka belum mengetahui penyebab musnahnya Perguruan Macan Liwung, tapi lama-kelamaan pasti akan dapat mengetahuinya. Sebab, sebagai sahabat dekat Pendekar Macan Putih, ada ke- mungkinan mereka pun tahu musuh-musuh Ki Jala- sena itu. Jadi untuk memudahkan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau mereka kita ikuti," jawab Panji panjang lebar.
"Apakah tidak sebaiknya kalau kita memperkenalkan diri kepada mereka, Kakang? Aku yakin, mereka akan menerima dengan senang hati. Lebih-lebih kalau kau memperkenalkan julukanmu. Pasti mereka akan menyambut gembira," usul Kenanga yang rupanya lebih suka bersikap terbuka.
Panji tidak segera menjawab usul yang diajukan kekasihnya. Sambil terus melangkah, pemuda tampan berjubah putih itu mempertimbangkan juga anjuran Kenanga.
"Untuk sementara, biarlah kita melakukannya secara sembunyi, Kenanga. Aku khawatir, kalau memperkenalkan diri kepada mereka, belum tentu akan diterima dengan hati terbuka. Bukan maksudku untuk berprasangka buruk. Tapi, tidak semua tokoh persilatan dapat menerima kelebihan orang lain. Bukankah para tokoh persilatan adalah juga manusia biasa, yang memiliki perasaan sama dengan yang lainnya? Kalau aku memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Putih, ada dua kemungkinan yang akan kuterima. Pertama, mereka mungkin menerima secara wajar dan bisa juga menyambut gembira kedatangan kita." Sebentar Panji terdiam. Sementara Kenanga seperti terkesan oleh alasan kekasihnya itu. Gadis itu masih terdiam, seperti berharap agar Pendekar Naga Putih meneruskan penjelasannya.
"Tapi, bagaimana kalau perkenalan kita dianggap sebagai suatu kesombongan? Apalagi, aku harus memperkenalkan julukan! Bukankah hal itu akan menimbulkan rasa iri, dan mungkin saja mereka akan menguji kepandaianku? Kemungkinan kedua inilah yang tidak kuinginkan," lanjut Panji.
"Yah, mudah saja. Beri pelajaran agar mereka sadar kalau di atas gunung masih ada langit. Kan, beres," sambut Kenanga ringan. Ucapan itu dikeluarkan tanpa rasa ragu sedikit pun. Dan memang, sudah menjadi sifat Kenanga yang tidak ingin dipandang remeh orang lain. Meski, orang itu dari golongan putih sekalipun.
"Ha ha ha...! Kau ini aneh, Kenanga. Kalau kau selalu menuruti perasaanmu, bisa-bisa akan mempunyai banyak musuh. Dan tentu saja hal itu akan merugikanmu sendiri," Panji tertawa bergelak mendengar ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tahu betul, Kenanga memang memiliki sifat keras. Berbeda dengan dirinya yang berusaha mengalah, dan sebisa mungkin menyembunyikan julukannya. Karena ia yakin hal itu bisa menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan bagi tokoh-tokoh persilatan.
"Aku tidak takut..!" sahut Kenanga sungguh-sungguh.
"Tokoh persilatan yang mempunyai sifat jelek seperti itu, matanya harus dibuka. Mereka harus tahu, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling digdaya. Apakah pendapatku salah, Kakang?" bantah Kenanga mempertahankan pendapatnya.
"Tidak...," sahut Panji seraya tersenyum.
"Nah...," seru Kenanga dengan wajah berseri.
"Ya, tidak betul...!" sambung Panji lagi seraya tertawa bergelak.
"Aaa...," rengek Kenanga manja. Bergegas dikejarnya Panji, ketika pemuda itu melarikan diri menghindari cubitannya.
* * * * *
"Tolooong...!"
Di bawah siraman garangnya cahaya matahari, sesosok tubuh penuh luka berlari terpincang-pincang menerobos dedaunan. Tangan kanannya yang menggenggam sebilah pedang dikibaskan ke kanan dan ke kiri untuk memapas ranting yang menghalangi jalannya.
"Aaah..." Sosok tubuh lelaki itu terguling ketika kaki kanannya tersangkut akar pohon yang menyembul di atas permukaan tanah.
Sambil mengaduh menahan sakit, bergegas dia bangkit meskipun gerakannya susah payah. Wajahnya yang pucat nampak berkerinyut menahan rasa sakit pada dada yang ditekap telapak tangan kiri. Dari sudut bibirnya, tampak mengalir cairan merah. Demikian juga dari kedua lubang telinganya. Jelas, kalau lelaki itu mengalami luka yang tidak ringan. Namun daya tahan tubuhnya yang cukup kuat, menandakan kalau lelaki itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Itu terlihat dari kemampuannya untuk bertahan, meski dengan luka yang bisa menewaskan orang berkepandaian rendah.
"Kau dengar teriakan itu?" tanya Ki Wanggala seraya menolehkan kepalanya kepada Jabrang dan Legawa yang saat itu juga tengah memandang ke arahnya.
Tanpa berpikir dua kali, Legawa dan Jabrang langsung mengangguk. Memang, teriakan itu pun sempat tertangkap pendengaran mereka yang telah terlatih baik. Begitu melihat anggukan kepala kedua orang temannya, Ki Wanggala bergegas melesat menuju asal teriakan tadi. Kedua orang temannya pun langsung saja menyusul tanpa banyak cakap lagi. Tidak berapa lama kemudian, Ki Wanggala yang berlari paling depan melihat sesosok tubuh yang ten- gah berusaha bangkit berdiri. Sekali lompatan saja, orang tua itu telah berdiri tegak di depan sosok tubuh yang tengah menderita luka itu.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Wanggala. Dia segera berjongkok, memeriksa luka-luka yang diderita orang itu.
"Hantu.... Hantu.... Kematian..., aaakh...!" Setelah berkata demikian, orang itu langsung terguling dengan mata mendelik. Dari mulut, telinga, dan hidungnya mengalir darah segar. Orang itu tewas di pangkuan Ki Wanggala karena luka-lukanya yang diderita.
"Hei...?! Rasanya aku kenal orang ini. Kalau tidak salah, ia adalah salah seorang murid utama Ki Jemparang yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Putih. Apa yang terjadi dengannya, Ki?" seru Legawa atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tongkat Maut.
"Ki Jemparang Di mana pusat perguruan itu, Adi Legawa?" tanya Ki Wanggala, tanpa mempedulikan pertanyaan sahabatnya. Sepasang mata orang tua itu menatap tajam menuntut jawaban secepatnya.
Memang, dalam hal mengenal tokoh-tokoh persilatan, Pendekar Tongkat Maut lebih banyak tahu daripadanya. Itu dapat dimaklumi, sebab Pendekar Tongkat Maut adalah pendekar pengembara. Dia selalu mengadakan perjalanan, untuk meluaskan pengalaman. Berbeda dengan Ki Wanggala maupun Jabrang yang lebih banyak tinggal untuk mengurus perguruan masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa Ki Wangga- la dan Jabrang tidak mengenali lelaki yang tewas di pangkuan Ki Wanggala itu.
"Perguruan Tangan Putih berpusat di dekat Sungai Legong. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat ini," sahut Legawa yang segera dapat menduga, apa yang telah menimpa perguruan sahabatnya itu.
"Ikut aku!" ajak Ki Wanggala yang segera melesat meninggalkan mayat lelaki malang itu. Gerakan orang tua itu demikian cepat, sehingga dalam beberapa kali lompatan saja sudah jauh meninggalkan kedua orang sahabatnya.
Sadar kalau harus secepatnya untuk tiba di Perguruan Tangan Putih, maka Legawa dan Jabrang pun segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepat yang dimiliki. Sesaat saja, tubuh mereka sudah berkelebat bagaikan bayangan hantu yang sating berkejaran berebut mangsa.
Ki Wanggala tiba lebih dulu daripada kedua temannya, di depan pintu gerbang Perguruan Tangan Putih. Darah di tubuh orang tua itu mendidih ketika di depannya terhampar suatu pemandangan mengerikan. Belasan sosok mayat tampak bergelimpangan tumpang tindih dalam keadaan hampir tidak bisa dikenali.
"Biadab...!" desis Ki Wanggala. Kemarahan laki-laki tua itu seketika menggele- gak. Wajahnya merah padam terbakar api kemarahan yang hampir meledakkan dadanya. Setelah memperhatikan mayat-mayat itu sejenak, Ki Wanggala menggenjot tubuhnya melewati pintu gerbang yang telah hancur berkeping-keping. Ia langsung melesat, menuju balai utama perguruan itu.
Pemandangan serupa kembali membuat tubuhnya terpaku di halaman depan bangunan perguruan. Di tempat ini pun, puluhan sosok tubuh bergelimpangan bermandikan darah yang menggenangi sekitarnya. Cepat orang tua itu melesat ke dalam bangunan besar yang beberapa tiang penyangganya sudah patah.
Sepasang kaki orang tua bertubuh tegap itu berlompatan di antara mayat-mayat yang rebah tak beraturan. Keningnya berkerut, dan giginya bergemeretak melihat sosok-sosok tubuh wanita telanjang bermandikan darahnya sendiri. Bahkan seorang di antaranya yang memiliki wajah cantik dan berkulit halus, tergeletak dalam keadaan sangat menyedihkan. Tubuh wanita yang usianya kira-kira sekitar tiga puluh tahun itu sama sekali tidak tertutup pakaian. Dia tewas dengan tengkorak kepala retak. Ki Wanggala dapat menduga kalau wanita itu telah diperkosa, sebelum dibunuh oleh manusia biadab yang melakukan pembantaian di perguruan ini.
"Keparat! Keji...!" kutuk Ki Wanggala mendesis geram. Laki-laki tua itu tak sampai hati melihat pemandangan di sekitarnya. Ia lalu melepaskan jubah luarnya untuk menutupi tubuh mulus yang tanpa sehelai benang pun menutupinya. Lama tokoh setengah baya itu terpaku dengan wajah muram. Tak lama kemudian, tubuhnya pun kembali berkelebat untuk memeriksa sekitar perguruan itu.
"Bagaimana, Kakang...?" sebuah suara mengejutkan Ki Wanggala yang saat itu tengah berdiri tegak, menatapi empat sosok mayat di halaman samping kanan Perguruan Tangan Putih. Pendekar Tongkat Maut dan Jabrang yang berjuluk Harimau Cakar Besi, melangkah mendekati orang tua yang tengah termenung dengan wajah muram.
"Sepertinya kita terlambat...," desah Ki Wanggala dengan suara hampir tidak terdengar. Setelah berkata demikian, orang tua itu melangkah perlahan sambil menengadahkan kepalanya menatap langit. Terdengar helaan napas berat yang berkepanjangan dari mulut dan hidungnya.
"Benar! Orang tua ini adalah Ki Jemparang yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Putih. Heran, bagaimana orang tua sakti ini sampai dapat tewas demikian cepat? Padahal, ia masih dibantu tiga orang murid utamanya? Entah seberapa tingginya kepandaian manusia keji yang melakukan pembantaian ini?" kata Pendekar Tongkat Maut, seperti untuk dirinya sendiri.
Laki-laki bernama Legawa itu penasaran melihat tewasnya Ki Jemparang. Karena, ia tahu betul kepandaian Ketua Perguruan Tangan Putih itu. Patut diakui, dirinya sendiri pun pernah dikalahkan Ki Jemparang dalam waktu kurang dari lima puluh jurus. Benar-benar tidak bisa diukur, sampai berapa hebat kepandaian musuh Ki Jemparang itu. Hal lain yang membuatnya tidak habis mengerti adalah, tidak ditemukannya mayat lawan di antara mayat murid-murid Perguruan Tangan Putih. Legawa benar-benar pusing dibuatnya.
"Kau masih ingat tokoh sesat berjuluk Hantu Kematian yang telah kita bunuh kurang lebih setahun yang lewat?" tanya Ki Wanggala tiba-tiba, dan sangat mengejutkan Legawa.
"Maksud, Kakang...?" tanya Legawa dan Jabrang hampir bersamaan.
"Menurut keterangan laki-laki yang kita temukan dekat mulut hutan tadi, pelakunya adalah Hantu Kematian," jelas Ki Wanggala lirih.
"Mana mungkin, Kakang! Aku yakin betul kalau iblis itu telah tewas setahun yang lalu. Mungkin saja ada tokoh lain yang mencoba menakut-nakuti, dengan menyamar sebagai Hantu Kematian," bantah Harimau Cakar Besi, tak percaya.
"Sudahlah. Hal itu dipikirkan nanti. Sekarang, marilah kita kuburkan semua mayat ini," ajak Ki Wanggala yang segera bergegas melakukan penggalian.
* * * * *
«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»
"Gila...! Bagaimana seorang manusia sampai tega melakukan kekejaman seperti ini? Orang seperti itu tidak lagi pantas disebut manusia. Tapi, lebih pantas sebagai iblis berwujud manusia! Kebiadaban seperti ini tidak bisa didiamkan begitu saja," Panji yang ikut melihat hamparan mayat murid Perguruan Tangan Putih menggeram penuh kemarahan.
Kedua pendekar muda itu menoleh bersamaan ke arah kanan. Saat itu, terlihat tiga orang yang mereka ikuti kini mendatangi. Rupanya, Ki Wanggala dan dua orang kawannya sempat mendengar jeritan Kenanga. Maka mereka pun menunda pekerjaan, lalu berlari mendatangi asal jeritan tertahan tadi.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang menatapi kedua orang di depannya dengan sinar mata, penuh selidik. Kerut di kening mereka semakin dalam ketika tidak mengenali Kenanga dan Panji.
"Siapa kalian berdua...?" tegur Ki Wanggala mewakili dua orang temannya. Sikap orang tua itu tampak hati-hati sekali. Memang, sebagai seorang tokoh tua yang masa hidupnya dihabiskan untuk menggali ilmu silat, dapat diduga kalau pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu dapat diduga dari langkah kaki maupun sinar mata mereka.
"Maafkan kelancanganku, Ki. Seperti halnya kalian, kedatanganku ke tempat ini juga bertujuan sama. Dan maaf kalau jeritan kawanku ini telah mengganggu kalian," Panji mendahului Kenanga menjawab pertanyaan Ki Wanggala. Pemuda itu sengaja tidak menyebutkan nama Ki Wanggala, meskipun telah mengetahuinya. Karena, ia tidak ingin urusannya akan semakin panjang apabila menyebut nama orang tua itu.
"Hm.... Ki Wanggala belum menanyakan keperluan kalian. Yang ingin kami ketahui, siapa dan dari mana kalian berdua?" selak Harimau Cakar Besi yang berwatak berangasan, tak sabar.
Melihat sinar mata yang mengandung ancaman, Panji tersenyum sabar dan membungkuk hormat. Ia sadar kalau dalam keadaan seperti itu, apalagi wajah ketiga orang itu nampak menyiratkan dendam, Panji harus menjawab hati-hati. Sebab, ia tidak ingin kalau di antara mereka terjadi bentrokan hanya karena salah paham.
"Namaku Panji, dan ini Kenanga. Kami berdua adalah perantau yang tidak terikat partai manapun. Kami sampai ke tempat ini juga karena tertarik berita tentang musnahnya Perguruan Macan Liwung pada beberapa hari yang lalu. Sayang, di sini pun kami terlambat," jelas Panji yang memang sesungguhnya sangat menyesali keterlambatannya itu.
"Anak muda! Kalau kau seorang ksatria, sebutkan julukanmu," pinta Pendekar Tongkat Maut. Mata pendekar itu menatap tajam, bagaikan hendak menjenguk isi hati pemuda tampan di hadapannya. Sepertinya, Legawa mulai dapat menduga siapa adanya pemuda tampan itu. Sepasang mata lelaki gagah yang kumis dan jenggotnya terawat rapi itu mengeluarkan cahaya, ketika matanya tertumbuk pada sebuah gagang pedang yang menyembul dari balik punggung Pendekar Naga Putih.
"Aku hanyalah orang bodoh. Orang menjuluki diriku sebagai Pendekar Naga Putih," sahut Panji, kembali membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki gagah itu.
Pendekar Tongkat Maut dan Ki Wanggala tersenyum gembira ketika mendengar disebutnya julukan yang telah lama menimbulkan rasa kagum di hati. Mereka langsung percaya terhadap pengakuan pemuda berjubah putih itu. Sebab, dari sikap maupun suaranya, pemuda itu sama sekali tidak bermaksud membanggakan julukannya yang tersohor itu. Tapi sebelum kedua orang tokoh itu menyambut tokoh muda yang dikaguminya, mendadak Harimau Cakar Besi melompat disertai suaranya yang berat dan dalam.
"Hm.... Aku tidak semudah itu mempercayai pengakuanmu, Anak Muda. Buktikanlah, kalau kau memang benar-benar Pendekar Naga Putih! Bersiaplah!" tantang Jabrang yang sudah mempersiapkan jurus andalan. Itu dilakukan untuk membuktikan kebenaran ucapan Panji.
Melihat hal itu, Ki Wanggala maupun Legawa sama sekali tidak berusaha mencegah perbuatan Jabrang. Mereka juga ingin mengetahui, sampai di mana kelihaian pendekar muda yang telah mengguncangkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat itu. Kedua tokoh itu melangkah ke tepi, sengaja memberikan kesempatan kepada kawannya untuk menguji kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Biar aku yang melayaninya, Kakang," pinta Kenanga. Gadis itu merasa dongkol bukan main melihat kekasaran sikap orang di depannya. Namun, langkahnya tertahan ketika telapak tangan Panji menepuk bahunya sebagai isyarat untuk mundur.
"Tidak, Kenanga. Orang ini tidak akan puas kalau belum menjajal kemampuanku. Jadi, percuma saja kau menghadapinya," bisik Panji lirih, hingga tidak sampai terdengar yang lainnya.
"Aku sudah siap, Paman...," sahut Panji setelah Kenanga melangkah ke tepi. Pendekar muda itu berdiri tegak, siap menyambut serangan lawan.
"Bagus...! Nah, sambutlah seranganku...!" Begitu ucapannya selesai, tubuh Jabrang sudah maju. Langkah kakinya menggeser hingga menimbulkan goresan-goresan dalam di atas permukaan tanah.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya, hingga doyong ke belakang menghindari serangan cakar lawan yang susul-menyusul. Sambaran angin kuat yang ditimbulkan membuat pemuda itu berhati-hati dalam menghadapi setiap serangan yang mengincar bagian-bagian tubuhnya yang terlemah.
Plak!
"Uhhh...!"
Memasuki jurus ke sepuluh, Panji mengangkat tangan kirinya ke alas untuk menangkis serangan lawan yang mengancam pelipis. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkan pemuda itu membuat tubuh Jabrang terdorong dan hampir terpelanting dibuatnya. Untunglah Harimau Cakar Besi bertindak cepat. Tubuhnya dilempar ke belakang, dan langsung melakukan salto beberapa kali di udara. Dengan manis, kedua kakinya mendarat ringan di atas permukaan tanah.
"Hebat..!" puji Harimau Cakar Besi tulus. Setelah berkata demikian, ia menarik napas berkali-kali sambil menggerak-gerakkan kedua tangan untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Sebab, tangkisan tangan Pendekar Naga Putih tadi sempat membuat tubuhnya menggigil bagai orang terserang demam. Beberapa saat kemudian, Jabrang menatap Panji yang saat itu tubuhnya telah terlapisi kabut bersinar putih keperakan.
Pemuda tampan itu masih berdiri, menatap tajam kearahnya. Dugaan Panji yang mengira lawannya puas, ternyata salah. Sebagai seorang ahli silat yang haus ilmu, Jabrang tentu saja menjadi girang ketika melihat kelihaian pemuda tampan itu. Ia bagaikan bocah yang baru saja dibelikan mainan. Dan akibatnya bisa ditebak. Jabrang ternyata tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Ia pun kembali menantang Panji.
"He he he...! Jangan bertindak kepalang tanggung, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan pertarungan menyenangkan ini!" tantang Harimau Cakar Besi seraya terkekeh gembira. Lupa sudah ia akan janjinya semula, yang hanya ingin menguji kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Janganlah terlalu pelit memberi pelajaran pada kawanku ini. Sedikit banyak, tentu kami akan dapat memetik pelajaran dari pertarungan ini," desak Ki Wanggala yang juga merasa tertarik terhadap kepandaian pemuda itu.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Tongkat Maut. Lelaki gagah berusia empat puluh tahun ini pun mengajukan alasan yang sama. Dia meminta kepada Pendekar Naga Putih agar bersedia melanjutkan pertarungan, yang baginya memang sangat menarik dan berarti itu.
Pendekar Naga Putih hanya mengangkat bahunya, tanda pasrah. Ia tidak sampai hati menolak permintaan itu. Apalagi, sikap yang ditunjukkan Harimau Cakar Besi bukanlah sikap permusuhan. Melainkan sikap seperti seorang sahabat yang meminta petunjuk darinya. Akhirnya, Panji pun menerima tantangan itu.
"Baiklah, Paman. Dan kuharap Paman suka bersikap lunak kepadaku," kata Panji merendah. Agar tidak dituduh memandang rendah lawan, Pendekar Naga Putih memasang kuda-kuda siap menghadapi gempuran Harimau Cakar Besi.
"Hm Anak ini benar-benar memiliki jiwa pendekar sejati. Ia tetap saja merendah, meskipun tahu kalau kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dariku. Hebat..!" gumam Harimau Cakar Besi dalam hati kecilnya.
"Haiiit..!" Jabrang atau yang lebih dikenal berjuluk Harimau Cakar Besi kembali melompat menerjang lawan. Sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau menyambar-nyambar bagian tubuh lawan yang terlemah, disertai angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt...!
Panji menggeser tubuhnya ke belakang disertai langkah-langkah kakinya yang beraturan dan terlihat kokoh. Terkadang, kedua tangannya bergerak menangkis. Tubuh Harimau Cakar Besi beberapa kali bergetar mundur apabila serangannya tertangkis lengan pemuda itu. Jelas sekali kalau dalam hal tenaga dalam, Jabrang masih jauh berada di bawah kekuatan lawannya yang masih muda itu. Dan ia pun bukan tidak tahu kalau Panji tidak menggunakan tenaga dalam sepenuhnya. Namun, itu saja sudah membuatnya kalang kabut
Setelah pertarungan itu lewat dari empat puluh jurus, terlihat Panji mulai menguasai pertarungan. Pemuda itu mendesak dan memaksa lawannya untuk bermain mundur. Dan rasanya, Jabrang tidak akan mampu bertahan lebih dari lima jurus lagi. Melihat keadaan Harimau Cakar Besi yang su- dah tidak mampu lagi untuk membalas serangan lawan. Maka Ki Wanggala dan Legawa tampak saling bertukar pandang sejenak. Kemudian....
"Yeaaat..!"
Bagaikan telah sepakat, Ki Wanggala dan Pendekar Tongkat Maut melesat memasuki arena pertarungan Begitu tiba, mereka langsung mengirim serangan dahsyat ke arah Panji. Ki Wanggala melancarkan pukulan-pukulan maut, sehingga menimbulkan angin berkesiutan tajam. Kadang-kadang tangannya meliuk dengan jari-jari terbuka, dan mematuk-matuk bagaikan dua ekor ular hidup. Jemari tangannya yang sanggup menghancurkan batu karang itu langsung mengancam leher dan lambung Pendekar Naga Putih. Sedangkan Legawa sudah memutar tongkat mautnya, sehingga kain lebar yang semula melibat batang tongkat itu pun berkibar menghalangi pandangan mata lawan
Wukkk! Wrrr!
Angin keras menderu ketika Legawa mengibarkan tongkat mautnya untuk menyerang Pendekar Naga Putih. Serangan itu tentu saja tidak bisa dipandang ringan. Karena di balik kibaran tongkat mautnya, ternyata tersembunyi tendangan dan pukulan yang dapat meremukkan tubuh lawan. Itulah sebabnya, mengapa Legawa dijuluki Pendekar Tongkat Maut. Dengan masuknya kedua orang tokoh yang tidak kalah lihai dengan Harimau Cakar Besi, tentu saja sempat membuat Panji kewalahan. Bahkan Panji terlihat terdesak menghadapi keroyokan mereka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya hingga sejauh empat batang tombak ke belakang. Begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, tubuhnya kembali melesat menerjang lawan-lawannya. Kali ini tiga perempat bagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sakti itu. Bahkan Panji pun telah memainkan 'Silat Naga Sakti' yang menjadi jurus andalannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru dan menegangkan. Jurus 'Silat Naga Sakti' yang dimainkan Panji benar-benar membuat ketiga orang lawannya menjadi ciut nyalinya. Sepasang tangan yang berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dahsyat. Apalagi setiap sambaran tangan Pendekar Naga Putih juga menebarkan hawa dingin menusuk. Tentu saja hal itu membuat ketiga tokoh itu semakin terkejut.
"Heaaah...!"
Ki Wanggala membentak keras sambil membuka kedua tangannya ke samping, untuk membuyarkan hawa dingin yang terasa membekukan seluruh jalan darah di tubuhnya. Namun sama sekali tidak disangka, ternyata perbuatan itu justru membahayakan dirinya. Karena dengan berbuat demikian, berarti pertahanan dirinya dibiarkan kosong.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji yang memiliki pandangan tajam. Saat itu juga, tubuhnya meliuk mendekati Ki Wanggala. Dan sebelum lawan sempat menyadarinya, tahu-tahu saja tubuh pemuda itu muncul di depan orang tua itu. Langsung dikirimkannya hantaman ke dada Ki Wanggala dengan telapak tangan terbuka.
Desss!
"Hugkh...!" Tubuh Ki Wanggala yang kuda-kudanya tergempur itu langsung terjajar mundur sejauh lima batang tombak. Dari sudut bibirnya tampak cairan merah mengalir. Padahal, Panji telah menekan tenaganya sekecil mungkin agar tidak melukai orang tua itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, sambaran Harimau Cakar Besi datang dari sebelah kanannya. Sepertinya, sambaran itu hendak mengancam lambung! Pendekar Tongkat Maut pun tidak ingin ketinggalan. Saat itu juga, tongkat maut di tangannya menderu mengancam leher Pendekar Naga Putih. Bahkan masih disusulinya dengan sebuah tendangan miring ke arah dada pemuda itu. Benar-benar gawat sekali keadaan Panji saat itu.
Namun, Panji yang sekarang tentu saja berbeda dengan Panji yang dulu. Semenjak sembuh dari penyakit yang diderita, tenaga sakti pemuda itu telah meningkat jauh (Untuk jelasnya, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode Bunga Abadi di Gunung Kembaran). Apalagi, ia memang tidak pernah lupa melatih ilmu-ilmu di setiap kesempatan. Maka kepandaian yang dimilikinya pun semakin sukar diukur.
Dalam menghadapi serangan berbahaya dari dua arah yang berlawanan itu pun, Panji tidak menjadi gugup. Maka kaki kanannya segera digeser jauh ke samping, disertai liukan tubuhnya yang membentuk setengah lingkaran. Dengan demikian, Pendekar Naga Putih bukan saja berhasil menghindari serangan Harimau Cakar Besi. Bahkan telah menghindari serangan Legawa sekaligus. Gerakan Panji tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya yang meliuk itu tiba-tiba saja telah berada di samping kiri Jabrang. Maka langsung dikirimkannya hantaman sikut ke arah iga Harimau Cakar Besi.
Bukkk!
"Ugkh...!"
Setelah itu, tubuh Pendekar Naga Putih kembali berputar dan mengirimkan tendangan lewat jurus 'Sabetan Ekor Naga'nya yang mendarat telak di dada Pendekar Tongkat Maut
Desss!
"Akh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang pendekar itu terlempar hingga satu setengah tombak jauhnya. Tubuh mereka langsung terbanting di atas tanah. Dari sela-sela bibir tampak mengalir darah segar.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku sama sekali tidak bermaksud melukai kalian," ucap Panji sambil membungkuk hormat kepada ketiga orang tokoh itu.
Sementara itu, ketiga pendekar itu sudah bangkit dan melangkah ke arah Pendekar Naga Putih. Bergegas Panji menyerahkan kepada mereka masing- masing, sebutir obat pulung berwarna putih salju.
"Mengapa harus meminta maaf, Pendekar Naga Putih? Justru seharusnya kami berterima kasih karena kau sudi memberi pelajaran tambahan kepada kami bertiga," sahut Ki Wanggala sambil mengulur tangan menerima obat pulung pemberian Panji.
"Kau benar-benar hebat, Panji. Aku yakin, kau belum seluruhnya mengeluarkan kepandaianmu ketika menghadapi keroyokan kami tadi. Aku benar-benar kagum kepadamu. Dalam usia semuda ini, kau ternyata telah memiliki ilmu kesaktian yang sukar sekali dicari bandingannya," puji Harimau Cakar Besi dengan wajah berseri gembira.
"Sudahlah, Paman. Bisa-bisa kepalaku semakin bertambah besar nanti. Kalau begitu, bukankah aku sendiri yang kerepotan? Bagaimana aku harus membawanya?" gurau Panji yang membuat ketiga orang tokoh persilatan itu tergelak.
Kenanga yang sudah berada di antara mereka, ikut terkekeh ketika mendengar ucapan Panji yang terasa menggelitik perutnya.
"Lebih baik, kalian beristirahat dulu untuk memulihkan kesehatan," usul Panji kepada ketiga orang tokoh persilatan yang masing-masing telah menelan obat pemberiannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Wanggala. Tampaknya orang tua itu begitu gembira karena kehadiran pendekar muda itu telah membawa setitik harapan. Dan orang tua itu merasa yakin, Pendekar Naga Putih pasti akan dapat menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Maka ia pun berniat mengajak Panji melakukan penyelidikan terhadap pembunuh keji yang saat ini tengah berkeliaran menebarkan bencana.
"Aku dan Kenanga akan menunggu kalian dalam memulihkan kesehatan. Setelah itu, kita atur rencana untuk menjebak iblis keji pembantai manusia itu," sahut Panji, sehingga membuat ketiga orang tokoh persilatan itu menarik napas lega.
Ketiga orang tokoh persilatan itu pun bergegas melakukan semadi untuk memulihkan tenaga mereka. Sementara Panji bersama Kenanga duduk menanti di bawah pohon, tidak jauh dari mereka.
* * * * *
«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»
Selama beberapa hari setelah kejadian terkutuk yang menimpa dirinya, Wurati telah menjelajahi seluruh wilayah hutan dan Bukit Mentawak. Tapi, orang yang dicarinya ternyata lenyap tanpa jejak bagai ditelan bumi. Dalam keadaan putus asa, gadis itu duduk termenung di tepi sungai, tempat pertama kali berjumpa Samanggala. Butir-butir air bening mengalir menuruni pipinya yang pucat. Hatinya merintih pilu mengingat dirinya yang kini sudah tidak berharga lagi. Masa depannya hancur direnggut manusia iblis yang tidak berperi-kemanusiaan itu.
"Ohhh...," Wurati mengeluh putus asa. Suasana pagi yang indah ini, tidak lagi dapat dinikmati gadis itu. Semuanya kini terlihat buruk dalam pandangan matanya. Karena, hatinya telah mati dan jiwanya telah kosong semenjak tahu kalau dirinya telah ternoda. Semangat yang mendorongnya untuk tetap hidup, adalah melakukan pembalasan atas kebiadaban Samanggala yang kini menjadi musuh besarnya dalam dunia ini. Dan juga membalaskan kematian gurunya.
Ketika matahari semakin naik tinggi, Wurati beranjak bangkit dari duduknya. Ia tidak tahu lagi, ke mana harus pergi untuk mencari manusia yang telah merusak hidupnya. Asal-usul pemuda itu sama sekali tidak diketahui. Dan bukan tidak mungkin kalau nama pemuda itu pun nama samaran yang sengaja digunakan sewaktu menjebak dirinya. Jadi sebenarnya, segala sesuatu mengenai musuh besarnya itu masih gelap.
"Tidak! Aku tidak boleh berputus asa! Aku harus mencarinya biar sampai ke ujung langit sekalipun! Aku harus menemukan Samanggala dan mencincang tubuhnya sampai halus. Dan lagi, aku harus membalaskan kematian guru!" tekad Wurati dengan tubuh menggigil menahan kemarahan yang meluap-luap.
Sepasang mata yang semula indah dan mempesona itu kini menjadi menyeramkan. Terkadang, kedua bola mata gadis cantik itu berputar liar bagai orang kurang waras. Hal itu dapat dimaklumi, karena jiwa Wurati memang mengalami tekanan sangat berat. Masih bagus ia tidak menjadi gila. Untunglah gadis itu tidak tahu, kalau selagi dirinya pingsan, tubuhnya dipermainkan Tiga Setan Kali Brantas. Kalau saja tidak dalam keadaan pingsan, mungkin perbuatan ketiga laki-laki itu bisa membuatnya gila!
Setelah mengambil keputusan demikian, Wurati bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan tempat itu. Wurati tidak tahu, ke mana harus mencari manusia keji yang telah menghancurkan hidupnya itu. Ia pun tidak peduli ketika sepasang kakinya melangkah menuju wilayah Selatan.
Hembusan angin sejuk yang biasanya selalu dinikmati, kini tidak lagi membuat hatinya damai. Gadis cantik yang tengah mengalami tekanan batin itu terus saja melangkahkan kakinya dengan tatapan lurus ke depan. Sedikit pun hatinya tidak tertarik untuk menikmati pemandangan indah di sekitarnya. Bahkan ketika memasuki wilayah Hutan Tiga Iblis, sama sekali tidak merasa gentar. Padahal, suasana hutan itu sangat sunyi dan menyeramkan.
Pohon-pohon yang akar-akarnya bersembulan di atas permukaan tanah dan telah berumur hampir mencapai seratus tahun, tidak lagi menimbulkan rasa takut sedikit pun di hati gadis itu. Wurati tetap saja melangkah,dengansorotmatadinginluruskedepan. Tiba-tiba saja, Wurati menghentikan langkahnya. Gadis itu memiringkan kepalanya untuk menajamkan pendengaran. Secara samar-samar tadi, telinganya menangkap jeritan minta tolong dari kejauhan. Rasa penasaran membuat langkah kakinya semakin dipercepat, sehingga semakin jauh ke dalam hutan.
"Hhh Mungkin yang kudengar tadi hanya desau angin," desah Wurati kecewa, karena jeritan samar-samar tadi tidak lagi terdengar. Baru saja ia memutuskan untuk tidak memikirkan jeritan samar-samar tadi, tiba-tiba saja jeritan itu kembali terdengar. Dan kali ini lebih jelas.
"Ohhh.... Jangaan..! Tolooong !"
Jeritan wanita bernada ketakutan itu membuat Wurati tidak berpikir dua kali lagi. Tubuhnya yang agak kurus langsung melesat menuju asaljeritan tadi. Apa yang disaksikan gadis cantik berwajah pucat itu membuat darahnya mendidih. Untuk beberapa saat lamanya, ia hanya berdiri mematung teringat akan keadaandirinya. Beberapa tombak di hadapan Wurati, terbentang sebuah pemandangan yang membuat sepasang matanya jadi basah.
"Begitukah Samanggala memperlakukan aku?" gumam Wurati. Gadis itu melihat tiga orang wanita setengah telanjang tengah meronta-ronta dalam pelukan tiga orang lelaki kasar, Dan dia mengenali betul ketiga orang lelaki itu. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengganggunya ketika mandi di sungai dekat Hutan Mentawak.
"He he he...! Merontalah terus, Manis. Itu akan membuatku semakin bersemangat!" kata lelaki bercambang bauk, sambil terus menciumi wajah manis dalam dekapannya yang meronta liar.
"Jangan, Tuan. Kasihanilah aku," rintih gadis berwajah bulat telur dan berkulit kuning langsat itu memohon. Sedang tubuhnya masih terus meronta, berusaha melepaskan pelukan orang yang tak lain adalah Setan Kepalan Besi.
Rintihan gadis manis itu, membuat Wurati tersadar dari keterpakuannya.
"Bangsat keji! Lepaskan gadis-gadis itu...!" ben-tak Wurati. Seketika gadis itu melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Tubuhnya langsung melesat ke dekat tempat itu.
"Eh?!" Tiga Setan Kali Brantas terkejut begitu mendengar bentakan. Mereka sama sekali tidak menduga kalau di dalam hutan yang sunyi dan menyeramkan masih ada orang yang memergoki perbuatan mereka. Bergegas mereka melepaskan ketiga orang wanita muda itu, lalu menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Dewi Cantik! Rupanya kau rindu kepada kami, sehingga ingin mengulangi kemesraan kita," tegur Setan Kepalan Besi sambil terkekeh memuakkan.
"Keparat! Apa maksud ucapanmu itu...?!" bentak Wurati sambil menudingkan ujung pedangnya ke wajah penuh cambang bauk itu. Hatinya berdebar tegang, mendengar ucapan Setan Kepalan Besi yang menimbulkan berbagai dugaan.
"Ah! Kau berpura-pura lupa kepadaku, Ni sanak. Bukankah kita pernah bercumbu di dalam pondok dekat Hutan Mentawak beberapa waktu yang lalu? Malah, kedua temanku ini pun ikut pula menikmati tubuhmu," sahut Setan Kepalan Besi.
Laki-laki itu tanpa sadar memang telah membuka persekongkolan nya yang diatur bersama Samanggala. Apalagi, dia memang terlalu sombong, sehingga menganggap rendah kepandaian Wurati. Jadi, dia pun tidak takut kalau-kalau gadis cantik yang wajahnya sudah semakin pucat itu akan membalas dendam. Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau terkekeh seperti membenarkan ucapan Setan Kepalan Besi. Kedatangan Wurati membuat mereka lupa terhadap ketiga orang wanita yang hampir juga menjadi korban nafsu bejat Tiga Setan Kali Brantas. Memang, Wurati jauh lebih cantik dan lebih menarik ketimbang ketiga orang gadis yang mereka culik dari desa sekitar daerah itu.
"Apa..., apa yang kalian maksudkan...?" desis Wurati dengan jantung hampir copot. Tubuh gadis itu menggigil, takut dengan bayangan buruk yang melintas dibenaknya.
"He he he...! Mungkin ia tidak ingat, Kakang. Sebab waktu itu dia masih pingsan. Tapi kalau sekarang ingin mengulanginya, tentu akan lebih nikmat bagi kita," ujar Setan Muka Putih yang wajahnya putih bagaikan kapur. Wajah putihnya itu disebabkan menjalani latihan ilmu keji yang mengandung racun ganas. Dan setelah ilmu itu berhasil diselesaikan, maka wajahnya pun berubah putih bagaikan kapur. Selain itu, kepandaiannya juga meningkat jauh.
"Jadi..., jadi kalian...! Oh, tidaaak...!" Wurati menjerit sambil menutupi wajahnya yang kini dibasahi air mata.
Pengakuan Tiga Setan Kali Brantas itu benar-benar telah memukul dan membuat luka hatinya kembali berdarah. Wurati jatuh ke atas tanah, bertopang pada lututnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemah bagaikan tak bertenaga. Alam di sekitarnya terasa berputar, seperti menertawakan dirinya. Hingga, ia hanya bisa menangis sesenggukan menyesali nasibnya. Sebab biar bagaimanapun, ia lebih memilih Samanggala saja yang telah menodai dirinya. Bukan ketiga orang kasar yang menyeramkan itu. Membayangkan saja, telah cukup untuk membuatnya jijik. Selain wajah mereka yang kasar dan menyeramkan, tubuh mereka pun terlihat kotor tidak terurus.
"He he he...! Tidak perlu menangis, Dewi Cantik. Kalau kau memang ingin mengulanginya lagi, tentu aku akan bersedia melakukannya dengan senang hati. Bukan begitu, Kawan-kawan?" ledek Setan Kepala Besi yang merupakan orang tertua dari Tiga Setan Kali Brantas.
Ketiga tokoh terkenal itu memang beraliran sesat, dan sangat ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya. Akibatnya, mereka pun semakin merajalela menebarkan kejahatan. Satu hal yang paling mereka sukai, menculik gadis-gadis sebagai pemuas nafsu setan mereka.
Ketika mendengar kata-kata Setan Kepalan Besi, Wurati seperti diingatkan akan tujuannya semula. Cepat gadis itu bangkit dan menghapus air matanya. Disambarnya pedang yang tergeletak di sampingnya. Kemudian, ia berdiri tegak dengan tatapan tajam.
"Hm... dengarlah manusia-manusia terkutuk! Aku memang sengaja mencari kalian dan juga pemuda iblis yang bernama Samanggala. Dan tujuanku adalah untuk mencabut nyawa manusia-manusia biadab penghancur hidup wanita macam kalian! Sekarang, bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut!" geram Wurati sambil menggerakkan pedangnya menyilang di depan dada.
"Heaaat..!" Tanpa menunggu jawaban dari Tiga Setan Kali Brantas, gadis itu langsung melompat disertai ayunan senjatanya.
Wuttt! Wuttt...!
Sambaran pedang yang menimbulkan suara berdesing itu membuat Setan Kepalan Besi dan kawan-kawannya melompat mundur.
"Kalian jaga tiga orang wanita itu! Biar aku saja yang menghadapi gadis liar ini!" perintah Setan Kepalan Besi. Setelah berkata demikian, Setan Kepalan Besi pun melompat memapak serangan Wurati yang saat itu tengah melompat
"Mampus kau, Iblis Keparat...!" maki Wurati seraya menyabetkan senjatanya berkali-kali hingga membuat Setan Kepalan Besi sesaat menjadi kerepotan.
Swiiit!
Setan Kepalan Besi merendahkan tubuhnya ke kanan dengan kepala terdongak. Sambaran ujung pedang itu lewat satu jari di atas kulit lehernya. Secepat kilat, tubuh lelaki gemuk itu berputar melingkar disertai ayunan kaki kiri. Maksudnya untuk menyapu kaki depan lawannya.
Wuttt!
Meskipun dalam keadaan jiwa terguncang, namun Wurati ternyata bermata awas. Sambil menarik tubuh kebelakang, gadis itu mengangkat kaki depannya dengan lutut tertekuk. Secepat kakinya ditarik, secepat itu pula dilancarkan tendangan lurus mengancam pelipis kiri lawan dengan totokan ujung jari kakinya. Sebuah serangan balasan yang sangat berbahaya. Sudah dapat dipastikan kalau tubuh gemuk itu akan menggelepar apabila terkena totokan ujung jari kaki yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Sayang perhitungan Wurati meleset! Totokan ujung jari kakinya hanya mengenai angin kosong. Karena, tubuh Setan Kepalan Besi tiba-tiba saja bergerak meliuk disertai geseran kakinya. Sebelum Wurati sempat menyadarinya, tahu-tahu saja perutnya terasa bagaikan dihantam palu godam.
Bukkk!
"Hugkh...!" Hantaman telapak tangan Setan Kepalan Besi yang hinggap di perut, membuat tubuh Wurati terlempar sejauh dua batang tombak ke belakang. Kemudian, dia terbanting keras di atas tanah berumput
"Ohhh...," Wurati mengerang menahan rasa sakit yang mengaduk-aduk isi perutnya. Gadis cantik bernasib malang itu mencoba bangkit sambil menghapus cairan merah di sudut bibirnya. Sepasang matanya berputar, mencari-cari pedangnya yang terlempar entah ke mana.
"He he he...! Gadis binal! Kali ini kau akan merasakan cumbuanku dalam keadaan sadar. Tidak usah malu-malu untuk mengulangi kemesraan kita," ujar Setan Kepalan Besi seraya terkekeh.
Laki-laki gemuk itu menyeringai buas menatap Wurati yang tidak mampu bangkit. Memang, rasa sakti pada perutnya masih terasa menyiksa. Namun sebelum Setan Kepalan Besi sempat menjamah tubuh gadis cantik itu, sebuah bayangan putih melesat disertai bentakan menggelegar.
"Tunggu, Setan Kepalan Besi! Gadis itu bagianku...!" seru sosok tubuh berpakaian putih yang sudah berdiri tegak menghadang di depan lelaki gemuk bercambang bauk lebat itu.
"Oh! Kiranya Tuan Muda Samanggala yang datang. Kuserahkan betina liar itu kepadamu, Tuan Muda. Aku masih mempunyai satu lagi." Setelah membungkuk hormat, Setan Kepalan Besi meninggalkan sosok pemuda tampan yang tak lain adalah Samanggala.
"Silakan kalian bersenang-senang dengan wanita-wanita itu," ucap Samanggala kepada Tiga Setan Kali Brantas. Sementara, ia sendiri sudah memondong tubuh Wurati. Tentu saja setelah terlebih dahulu menotok lumpuh tubuh gadis itu. Kemudian, dijejalkannya sebutir obat ke mulut Wurati yang tak kuasa menolaknya.
Samanggala melemparkan tubuh gadis cantik itu di atas rerumputan tebal di balik semak-semak. Diterkamnya tubuh Wurati yang saat itu sudah mengerang dan merintih akibat pengaruh obat yang dijejalkan pemuda itu. Kejadian terkutuk itu pun kembali terulang menimpa Wurati.
Di tempat lain, Tiga Setan Kali Brantas pun tengah terkekeh menikmati tubuh korban-korbannya. Tiga orang gadis desa yang lemah itu hanya bisa menangis, menerima nasib buruk yang menimpa. Suasana Hutan Tiga Iblis yang semula riuh oleh hembusan angin, kini mendadak sunyi. Sepertinya, alam ikut berduka atas nasib malang yang menimpa keempat orang wanita itu. Hutan Tiga Iblis menjadi sunyi dan mencekam tanpa seekor binatang pun yang menyemarakkannya. Hanya suara kekeh dan desah napas manusia-manusia bejat itu yang terdengar saling bersahutan.
* * * * *
Wurati tersadar dari pingsannya ketika cahaya matahari siang menerobos rimbunan dedaunan, lalu menimpa wajahnya. Gadis cantik bernasib malang itu menangis pilu, dengan hati hancur luluh. Dikenakannya pakaian yang berserakan di sekitar tubuhnya. Air matanya mengalir, hingga seluruh wajahnya yang pucat menjadi basah.
"Ohhh.... Apa lagi artinya hidup bagiku? Mengapa manusia-manusia iblis itu tidak membunuhku saja sekalian? Mengapa mereka membiarkan aku hidup? Oh, Tuhan! Dosa apa yang telah hamba lakukan, sehingga sedemikian buruk nasib yang harus hamba terima?" rintih Wurati sambil melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Kini, tidak ada lagi niatan di hatinya untuk tetap hidup di dalam dunia yang menurutnya sangat kejam. Segala tekadnya pun hancur.
"Oh, Guru.... Maafkan muridmu ini. Rasanya aku tak mampu membalaskan dendammu. Aku telah hancur sebelum bertarung, Guru. Rasanya, hidupku tak ada gunanya lagi di dunia ini. Maafkan aku, Guru...," rintih Wurati. Sepasang mata sayu itu terlihat semakin redup ketika menemukan mayat tiga orang gadis yang berlumuran darah. Rupanya tiga orang gadis desa yang malang itu dibunuh, setelah Tiga Setan Kali Brantas puas menodai mereka.
"Nasib kalian masih lebih baik dariku. Kalian tidak lagi merasakan derita yang berkepanjangan, seperti yang kualami. Rasanya, kematian memang merupakan jalan satu-satunya yang paling baik. Daripada hidup hanya untuk menanggung derita dan cemoohan orang banyak," gumam Wurati, pilu. Dengan tangan gemetar, Wurati mengeluarkan pedang yang tadi diselipkan dipinggangnya.
Sret!
Sinar pedang yang berwarna kebiruan, berkeredep ketika gadis itu mengeluarkan dari sarungnya. Sambil menahan isak, Wurati mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ujung pedang tajam berkilat itu ditempelkan di belahan dadanya. Gadis cantik yang sarat penderitaan itu memutuskan untuk menghabisi nyawanya. Dia benar-benar sudah melupakan tekadnya. Membalaskan kematian gurunya, dan membunuh Samanggala.
Wurati memejamkan mata, sehingga air matanya pun kembali mengalir menuruni pipinya yang cekung dan pucat. Ditariknya napas dalam-dalam. Sepasang tangannya tampak bergetar, siap menghunjamkan ujung pedang kedadanya. Tak lama kemudian, Wurati menggerakkan pedang yang segera meluncur turun menuju dadanya. Sebelum ujung pedang menembus kulit dadanya, seberkas sinar putih meluncur dengan bagai kilat!
Wuttt! Trang!
Seberkas sinar itu langsung membentur ujung pedang yang sempat menggores permukaan kulit dada gadis cantik itu.
"Akh...!" Gadis cantik itu memekik tertahan ketika tangannya terasa lumpuh sebatas bahu. Sedangkan pedangnya sendiri terpental sejauh dua batang tombak dari tempatnya berdiri. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam orang yang menggagalkan niatnya. Padahal, benda yang dipergunakan hanya sebuah batu kerikil sebesar ibu jari tangan! Sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat dan tahu-tahu telah berdiri di samping Wurati.
"Bunuh diri adalah perbuatan sesat, Ni sanak. Dan setiap persoalan dapat dicari jalan keluarnya," sergah sosok berjubah putih yang ternyata adalah seorang pemuda tampan dan terlihat bijaksana.
"Keparat keji! Berani kau datang lagi setelah menodai diriku! Mengapa tidak kau bunuh saja aku sekalian, Manusia Iblis!" maki Wurati begitu melihat kedatangan sosok pemuda berjubah putih itu. Begitu ucapannya selesai, gadis cantik itu langsung melancarkan serangan bertubi-tubi. Pukulan dan tendangannya meluncur deras, meskipun tidak beraturan. Karena saat itu jiwanya memang tengah mengalami guncangan yang sangat parah.
"Eh, eh! Tunggu dulu, Ni sanak. Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu itu!" cegah pemuda berjubah putih itu sambil berusaha mengelak dari serangan Wurati. Sadar kalau serangan gadis itu tidak mungkin dapat dicegah dengan kata-kata, maka pemuda tampan yang tak lain Panji itu pun bergerak cepat menotok lumpuh tubuh Wurati.
Tukkk!
"Uhhh...!" Wurati mengeluh pendek ketika totokan Panji tepat mengenai sasarannya. Tubuh gadis cantik bernasib malang itu pun langsung roboh, tanpa mampu bergerak lagi.
"Bunuh saja aku! Bunuh saja aku...!" Wurati berteriak-teriak ketika seluruh tubuhnya terasa lumpuh.
"Ni sanak, lihat baik-baik. Apakah memang aku orang yang kau maksudkan itu!" tanya Panji sambil mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga, suaranya terdengar jelas dan mengandung pengaruh kuat
Pada saat itu, terlihat empat sosok tubuh berlarian mendatangi. Mereka adalah Kenanga, Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang. Mereka memang tertinggal oleh Panji, yang melesat bagai anak panah ketika pen- dengarannya yang tajam mendengar rintihan Wurati dari kejauhan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda itu tiba lebih awal daripada yang lainnya.
"Mengapa dia, Kakang...?" tanya Kenanga sambil memandang iba pada Wurati. Sekali pandang saja, Kenanga tahu kalau gadis cantik yang tertotok lumpuh itu tengah mengalami penderitaan batin yang sangat berat. Itu terlihat dari raut wajah dan sinar matanya yang membayangkan keputus asaan.
Wurati menjadi sadar ketika mendengar ucapan Panji yang mengandung perbawa dahsyat. Dipandanginya wajah pemuda tampan di depannya itu lekat-lekat. Ia pun segera tahu kalau pemuda di hadapannya itu bukanlah Samanggala, meskipun bentuk tubuh keduanya hampir sama. Demikian pula warna pakaian yang dikenakan. Dan secara sekilas, rasanya kedua pemuda itu hampir mirip. Hanya saja, wajah Panji lebih tenang dan penuh senyum. Sedangkan Samanggala, meskipun penuh senyum, tapi wajahnya agak keras.
"Tidak... kau bukan dia.... Kau bukan dia...," Setelah berkata demikian, Wurati menutup matanya rapat-rapat. Butiran air bening kembali mengalir membasahi wajahnya. "Hm... Biar kutangani gadis ini, Kakang. Rasanya aku dapat menduga, apa yang telah menyebabkannya jadi begini," pinta Kenanga.
Kemudian gadis itu meminta agar membiarkannya berdua saja dengan Wurati. Karena, ia yakin kalau gadis itu akan lebih terbuka kepadanya. Sebagai wanita seperti halnya Wurati, tentu mereka memiliki perasaan yang sama. Hal itulah yang membuatnya merasa yakin. Saat itu, Panji dan ketiga orang lainnya tengah sibuk menutupi mayat tiga orang gadis yang tanpa benang sehelai pun menempel di tubuh mereka. Hati keempat orang pendekar itu merasa geram melihat mayat ketiga orang wanita desa yang malang itu. Mereka pun dapat menduga, apa yang telah menimpa wanita-wanita ini sebelum kematiannya.
"Benar-benar manusia keji! Tega benar orang yang melakukan perbuatan biadab ini!" kutuk Ki Wanggala sambil mengepal tangannya kuat-kuat
"Entah siapa yang sampai hati melakukan kekejaman seperti ini? Yang jelas, ia pasti manusia berhati binatang!"
Jabrang yang berwatak berangasan, menggertakkan giginya kuat-kuat. Rasanya batok kepala pembunuh keji itu ingin dihancurkannya. Sedangkan Panji dan Legawa tidak memberikan sambutan. Pemuda berjubah putih itu malah melangkah, meneliti keadaan sekitarnya. Ia menghela napas berat sambil menyandarkan tubuhnya di sebatang pohon.
* * * * *
«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Kenanga. Rasanya, aku sudah tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Diriku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Pemuda biadab itu telah menghancurkan hidupku...," Wurati menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Totokan yang tadi dilakukan Panji memang sudah dibebaskan Kenanga, sehingga Wurati dapat bergerak leluasa seperti semula.
"Menangislah, jika hal itu memang bisa melegakan rasa sesak yang menggumpal dalam dadamu," bisik Kenanga sambil mengembangkan tangannya memeluk tubuh Wurati yang tangisnya semakin terisak.
Setelah tangis Wurati benar-benar reda, Kenanga lalu mengajaknya menghampiri Panji dan yang lainnya. Diperkenalkannya Wurati kepada keempat orang itu. Wajah pucat itu pun terlihat agak cerah, karena Kenanga telah berjanji untuk membantunya membalaskan dendam kesumatnya kepada Samanggala. Juga, mencari pembunuh gurunya. Tanpa menyinggung persoalan Wurati, Kenanga lalu menceritakan penyebab kematian tiga orang wanita itu. Dan orang-orang yang telah melakukannya.
"Hm..., Tiga Setan Kali Brantas.... Rasanya julukan itu pernah kudengar. Tapi, mengapa mereka membawa ketiga wanita desa itu ke tempat ini? Bukankah tempat tinggal mereka di tepi Kali Brantas!" gumam Panji sambil memutar otak mencari jawaban dari pertanyaannya.
"Mereka bersekongkol dengan pemuda yang bernama Samanggala. Adanya ketiga tokoh sesat itu di sini, mungkin karena Samanggala tinggal di sekitar tempat ini," Wurati yang memang lebih tahu, segera menyahuti pertanyaan Panji.
"Seingatku, wilayah Hutan Tiga Iblis ini termasuk kekuasaan Hantu Kematian. Dia juga menguasai Bukit Tiga Iblis, yang sekaligus tempat tinggalnya. Dan tokoh iblis yang sakti itu tidak pernah suka terhadap orang lain yang tinggal di sekitar daerah kekuasaannya. Jadi, ada kemungkinan juga kalau pemuda bernama Samanggala itu memiliki hubungan dengan Hantu Kematian. Kalau tidak demikian, tokoh iblis itu pasti sudah mengusirnya jauh-jauh," timpal Ki Wanggala yang tidak asing dengan tempat itu
Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar Besi mengangguk-anggukkan kepala menyetujui ucapan Ki Wanggala. Memang, setahun yang lalu, keduanya ikut membantu melenyapkan Hantu Kematian di Bukit Tiga Iblis. Mereka datang kembali, karena menurut keterangan salah seorang murid Utama Perguruan Tangan Putih yang telah tewas, Hantu Kematian lah penyebab musnahnya Perguruan Macan Liwung dan Perguruan Tangan Putih. Dan ketiga pendekar itu ingin menyelidiki kebenarannya, sehingga meminta bantuan Panji. Tentu saja setelah terlebih dahulu menceritakan duduk persoalannya kepada pemuda sakti itu. Panji pun menyanggupi permintaan ketiga orang tokoh persilatan itu. Dan sebenarnya, ia memang ingin menyelidiki tentang pembunuhan yang ramai dibicarakan orang.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Bukit Tiga Iblis, sebelum hari gelap. Kalau Hantu Kematian benar-benar bangkit dari kubur, sudah pasti ia akan tetap tinggal di tempatnya yang lama. Apalagi ia merupakan seorang tokoh sesat yang berkemampuan tinggi, tentu saja tidak sudi untuk pindah tempat, karena tidak ingin dituduh pengecut," usul Panji setelah semuanya terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing.
"Yah, memang sebaiknya begitu. Ayolah kita berangkat," ajak Ki Wanggala.
Orang tua itu kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Panji dan yang lainnya bergegas mengikuti dari belakang. Tinggallah tiga buah gundukan tanah basah tempat ketiga orang gadis malang itu dikuburkan. Sepeninggal keenam orang itu, Hutan Tiga Iblis kembali dicekam kesunyian.
* * * * *
Bukit Tiga Iblis berdiri angker dengan jejeran pohon besar yang berdiri kokoh bagaikan penjaga-penjaganya. Pohon-pohon itu tampak tua sekali, sehingga beberapa di antaranya telah mengelupas kulit luarnya. Akar-akarnya bersembulan di atas permukaan tanah, membuat tempat itu semakin sulit dilewati.
Lerengnya yang terjal dan hampir tegak lurus, membuat Bukit Tiga Iblis hampir tidak pernah didatangi orang. Siapa pula yang sudi menjejakkan kakinya di atas batu-batu berlumut itu? Rasanya memang tepat kalau bukit itu dinamakan Bukit Tiga Iblis. Sebab dari kejauhan, bukit itu terlihat terpecah menjadi tiga bentuk kepala yang berwarna pekat dan menyeramkan. Belum lagi penghuninya, yang tidak kalah seram dengan nama dan suasana bukit itu sendiri. Lengkaplah sudah keangkeran bukit yang tidak seberapa besaritu.
Enam orang pendekar yang berniat mendatangi bukit itu menghentikan langkah di kaki bukit. Mereka berdiri tegak menatap ke atas puncak yang ditumbuhi pepohonan besar. Ki Wanggala menarik napas panjang untuk menekan debaran keras yang memukul dadanya. Hatinya menjadi tegang mengingat peristiwa setahun yang lalu. Masih terbayang di benaknya, bagaimana waktu itu dia harus membantu kawan-kawannya untuk melenyapkan Hantu Kematian. Seorang tokoh sesat yang selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagai pembunuh berdarah dingin.
Ki Wanggala harus kehilangan tiga orang kawannya sebelum berhasil menamatkan riwayat Hantu Kematian. Ciut juga hatinya membayangkan, kalau tokoh sesat yang mengiriskan itu memang benar telah bangkit kembali dari kuburnya. Dan terus terang hatinya menjadi ragu, apakah dapat menumpas manusia iblis itu sekarang ini. Apalagi, tokoh sesat itu telah me- lakukan pembantaian-pembantaian tokoh silat berkepandaian tinggi beberapa hari belakangan ini. Sukar dibayangkan, sampai di mana kesaktian Hantu Kematian sekarang ini. Ki Wanggala mengusap wajahnya yang berpeluh karena memikirkan hal itu.
Bukan hanya Ki Wanggala saja yang mengalami ketegangan itu. Harimau Cakar Besi dan Pendekar Tongkat Maut pun mengalami hal serupa. Mereka yang dulu pernah ikut mengeroyok Hantu Kematian, menjadi ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kedatangan mereka justru hanya untuk mengantarkan nyawa saja. Kekhawatiran itu timbul akibat dugaan, kalau Hantu Kematian telah bangkit dari kuburnya! Hal itu bisa saja terjadi, mengingat tokoh sesat yang menyeramkan itu memang banyak memiliki ilmu tinggi yang aneh dan sangat dahsyat. Maka wajah keduanya pun agak memucat memikirkan hal itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita segera mendaki Bukit Tiga Iblis ini, Ki?" tanya Panji, memecah keheningan sesaat itu.
Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa heran melihat Ki Wanggala dan dua orang lainnya hanya berdiri termenung memandangi puncak bukit itu. Tapi ketika melihat perubahan pada wajah ketiga orang tokoh persilatan itu, Panji sadar kalau hati mereka tengah diliputi ketegangan. Hal itu dapat dimakluminya, karena Ki Wanggala pernah bercerita tentang pertarungannya dengan Hantu Kematian. Bahkan orang tua itu harus berjuang keras, sehingga harus kehilangan tiga orang kawannya sebelum menghabisi Hantu Kematian. Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang, tersentak dari lamunan ketika mendengar teguran Panji. Wajah mereka pun berseri ketika teringat ada Pendekar Naga Putih, yang kesaktiannya tidak diragukan lagi.
"Hm... Marilah kita segera berangkat!" ajak Ki Wanggala setelah agak lama terdiam menenangkan hati agar kegelisahan dan ketegangannya tidak terlihat Panji. Lalu, orang tua itu pun melangkahkan kakinya siap mendaki Bukit Tiga Iblis.
Panji tersenyum, namun pura-pura tidak mengetahui apa yang tengah dirasakan ketiga orang pendekar itu. Langkahnya pun terayun, mengikuti Ki Wanggala yang dianggapnya sebagai pimpinan. Karena, dialah orang yang paling tua di antara mereka. Sedangkan Panji yang tidak suka menonjolkan kepandaiannya, memilih sebagai pengikut. Dan itu lebih disukainya.
"Berhenti! Hendak ke mana kalian...?!" terdengar bentakan yang disusul berloncatannya tiga sosok tubuh menghadang perjalanan Ki Wanggala dan kawan-kawan.
Ternyata mereka adalah Tiga Setan Kali Brantas yang saat itu hendak meninggalkan Bukit Tiga Iblis. Hingga berpapasan dengan rombongan yang hen- dak mendaki lereng bukit itu. Tiga Setan Kali Brantas berdiri tegak sambil menatap wajah-wajah di depannya. Mereka tampak terkejut ketika mengenali Wurati dan tiga orang tokoh persilatan itu. Dan memang, Ki Wanggala dan dua orang temannya tidaklah asing bagi mereka. Hal itu wajar, karena ketiga orang itu merupakan pendekar digdaya dalam dunia persilatan. Tentu saja Tiga Setan Kali Brantas dapat cepat mengenalinya.
"Oh! Kiranya kau, Ki Wanggala, Pendekar Tongkat Maut, dan Harimau Cakar Besi! Apakah kalian sengaja datang untuk mengantarkan dewi cantik itu kepadaku? Atau si dara jelita yang sangat molek itu?" ejek Setan Kepalan Besi yang menatap Kenanga dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
"Bangsat keji! Manusia kotor! Kini aku harus membalas kekalahanku waktu itu! Bersiaplah. Heaaat...!"
"Tahan, Wurati!"
Wurati yang melihat kemunculan Tiga Setan Kali Brantas langsung kalap. Dia bersiap menyerang, namun pergelangan tangannya langsung dicekal Pendekar Naga Putih. Gadis itu hanya bisa memendam perasaannya, lalu memeluk Kenanga.
"Sabarlah, Wurati. Biar Ki Wanggala dan yang lainnya menghadapi Tiga Setan Kali Brantas itu. Bukankah kami sudah berjanji untuk membantumu?" bujuk Kenanga sambil merangkul erat gadis itu. Nada suaranya lembut, sehingga membuat kemarahan di hati Wurati lenyap seketika.
Sementara Tiga Setan Kali Brantas hanya tersenyum memuakkan. Apalagi Setan Kepalan Besi. Laki-laki gemuk bercambang bauk lebat itu seperti lupa kepada yang lainnya. Ia benar-benar terpesona dengan kecantikan dan kejelitaan Kenanga. Hingga tanpa sadar, mulutnya sampai ternganga dan hampir meneteskan air liur. Untung saja keburu disadarinya.
"Setan Kepalan Besi! Kedatanganku kemari memang berniat hendak mengantarkan," sahut Ki Wanggala tenang.
"Dan nyawamu lah yang akan kuantarkan ke akhirat! Rupanya kau sudah tahu akan hal itu. Dan kelihatannya memang sudah siap!"
"Keparat sombong! Besar sekali mulutmu, Ki Wanggala! Justru sebaliknya aku yang akan mengirim nyawamu ke neraka!" bentak Setan Kepalan Besi murka. Sepasang tangannya tampak terkepal erat hingga menimbulkan bunyi berkerotokan nyaring.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sama sekali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Sebab sekali lihat saja, pemuda itu sudah dapat menilai kepandaian Tiga Setan Kali Brantas. Ia tahu kalau Ki Wanggala dan kawan-kawannya mampu mengatasi tiga tokoh sesat itu, meskipun harus dengan susah payah.
Sementara itu, enam orang tokoh dari dua aliran yang berbeda sudah berdiri saling berhadapan! KiWanggala yang memang memiliki keistimewaan dalam ilmu silat tangan kosong, berhadapan dengan Setan Kepalan Besi yang juga lebih menyukai tangan kosong. Kedua orang tokoh itu sudah menyiapkan jurus-jurus untuk saling menyerang. Nampaknya pertarungan sudah tidak bisa dihindari lagi. Terlihat keduanya sudah melangkah saling mendekat dengan langkah-langkah yang kokoh dan kuat.
"Hiyaaat..!"
Setan Kepalan Besi yang sudah tidak sabar menunggu itu berteriak keras membuka serangan. Sepasang kakinya bergerak maju membentuk kuda-kuda kokoh. Sedangkan sepasang tangannya bergerak cepat menimbulkan deru angin tajam. Jelas kalau lelaki gemuk itu telah mengerahkan seluruh tenaga, karena sadar kalau lawan kali ini bukanlah tokoh sembarangan.
"Yeaaat..!"
Ki Wanggala pun tidak mau menunggu datangnya serangan lawan. Orang tua itu sudah melompat menyambut terjangan dahsyat Setan Kepalan Besi. Dalam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarungan seru dan menegangkan.
Wuttt! Wukkk...!
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Setan Kepalan Besi mengaung, menimbulkan deru angin keras. Sepertinya, tokoh sesat bertubuh gemuk itu ingin segera menundukkan lawannya. Hal itu terlihat jelas dari serangannya yang menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun yang dihadapi Setan Kepalan Besi kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Meskipun serangan-serangan yang dilancarkannya sangat cepat dan ganas, ternyata Ki Wanggala mampu mengimbanginya. Bahkan orang tua itu pun dapat balas menyerang tidak kalah berbahayanya. Sehingga, pertarungan kedua orang tokoh itupun semakin seru dan menegangkan. Pada saat yang hampir bersamaan, dua pertempuran lain pun sudah pula berlangsung. Pendekar Tongkat Maut yang berhadapan dengan Setan Muka Putih sudah menggunakan senjata andalannya untuk menghalau pukulan-pukulan beracun yang dilancarkan lawan.
Wuttt! Wuttt..!
Kain yang berada di ujung tongkat milik Legawa berkibaran membuyarkan serangan-serangan lawannya. Pukulan dan tendangan yang tersembunyi di balik kibaran senjatanya, membuat Setan Muka Putih tidak berani bertindak ceroboh. Sebab dari sambaran angin pukulan itu dapat diduga kalau serangan-serangan itu tidak bisa dianggap enteng.
"Haiiit..!" Sambil berseru nyaring, Setan Muka Putih melompat tinggi menghindari sambaran ujung senjata lawan. Dibarengi gerakan itu, tangan kanannya meng- hantam ke depan dengan jari-jari terbuka.
Wusss! Serangkum angin dingin yang menebarkan bau amis meluncur mengancam dada Legawa yang terbuka. Pendekar itu cepat memutar senjata dengan kedua tangan membentuk setengah lingkaran.
Blub!
Terdengar suara begitu dua gelombang tenaga yang saling berlawanan berbenturan. Kedua orang tokoh itu berseru tertahan, dan bergetar mundur beberapa langkah kebelakang. Dilihat sepintas, jelas kalau kekuatan mereka berimbang. Untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka persis seperti dua ekor ayam jago yang tengah berlaga.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali saling menerjang hebat. Masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu pilihan untuk mendesak lawannya. Sementara itu, Jabrang atau yang lebih dikenal berjuluk Harimau Cakar Besi bertarung seru melawan Setan Kelabang Hijau. Di arena ini pun tercium bau amis yang memualkan perut. Sebab sesuai julukannya pukulan-pukulan Setan Kelabang Hijau juga mengandung racun ganas. Sekali saja orang terkena pukulan 'Kelabang Hijau'nya, sudah pasti tidak akan berumur panjang.
Itulah sebabnya, mengapa pertarungan yang berlangsung di arena itu terlihat agak lamban. Harimau Cakar Besi bertindak sangat hati-hati, dan penuh perhitungan. Sebab disadari, betapa berbahayanya pukulan beracun yang dilancarkan lawan. Sehingga, pendekar itu lebih banyak menghindar daripada melakukan serangan. Akibatnya, pertarungan itu kelihatan tidak menarik dan terkesan membosankan.
"He he he...! Mana ilmu yang kau bangga-banggakan itu, Harimau Cakar Buntung? Hayo, keluarkan! Atau, kau memang bisanya hanya berlari-lari seperti maling?" ejek Setan Kelabang Hijau terkekeh ketika melihat lawannya hanya banyak menghindar daripada melakukan serangan balasan.
Namun, Harimau Cakar Besi sama sekali tidak meladeni ejekan lawannya. Perhatiannya tetap terpusat kepada serangan-serangan lawan. Sebab sekali saja lengah, bukan tidak mungkin pukulan beracun lawan akan mengenai tubuhnya. Tentu saja hal itu sama sekali tidak diinginkannya.
"Haaat..!"
Apa yang diduga Jabrang, terbukti. Selesai melontarkan kata-kata ejekan, tubuh Setan Kelabang Hijau melompat dengan dorongan sepasang telapak tangannya. Bau amis menebar, membuat Harimau Cakar Besi melompat mundur. Cepat-cepat ia menahan napas, agar hawa beracun yang menyertai serangan lawan tidak sampai tercium. Sambil melompat, sepasang telapak tangannya didorongkan ke depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Wusss!
Serangkum angin kuat menghantam buyar hawa beracun yang dilontarkan Setan Kelabang Hijau. Tubuh Setan Kelabang Hijau yang baru menyentuh tanah dengan ujung kakinya, kembali melenting mengejar Harimau Cakar Besi. Sepasang tangannya bergerak bersilangan, dan berputar mengaburkan pandangan lawan.
Bukan main terkejutnya hati Jabrang melihat kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat tubuhnya bergulingan ke kiri menghindari sepasang tangan lawan yang susul-menyusul mengincar tubuhnya. Sayang, gerakan Harimau Cakar Besi kalah cepat dengan lawannya. Pada saat tubuhnya hendak melenting bangkit, tahu-tahu saja kaki kanan lawan sudah tiba mengancam perutnya.
Bukkk!
"Hugh...!" Tak ayal lagi, tubuh Jabrang terhempas keras ke belakang ketika telapak kaki lawan tepat menghantam perut pendekar itu. Harimau Cakar Besi jatuh terguling-guling sejauh dua batang tombak. Sebelum dapat bangkit te-gak, serangan lawan kembali meluncur mengincar dadanya.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan yang menebarkan bau amis itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Rasanya serangan itu tidak mungkin lagi dapat dihindari Harimau Cakar Besi. Tokoh berwatak berangasan itu hanya dapat pasrah menanti datangnya maut. Pada saat yang gawat itu, sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat menuju ke tengah arena. Langsung telapak tangan kanannya dihantamkan ke arah Setan Kelabang Hijau.
Plakkk!
"Ugkh...!"
Terdengar benturan keras dan jerit tertahan yang keluar dari mulut Setan Kelabang Hijau, kemudian disusul terlemparnya tubuh tokoh sesat itu. Suara berdebuk keras mengiringi jatuhnya Setan Kelabang Hijau ketanah. Setan Kelabang Hijau mengerang tertahan. Tubuhnya tampak menggigil hebat. Dari mulutnya keluar gumpalan darah segar akibat luka dalam yang dideritanya. Kemudian perlahan wajahnya berubah kehijauan.
Tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih itu ternyata demikian kuat. Dan akibatnya, tenaga beracun yang dikerahkan Setan Kelabang Hijau berbalik, hingga melukai dirinya sendiri. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sosok bayangan putih itu. Ia bukan saja mampu menolak racun yang dikerahkan tokoh sesat itu, bahkan mampu membuat tenaga lawan berbalik dan melukai pemiliknya.
Sosok berjubah putih yang tak lain Pendekar Naga Putih itu sama sekali tidak memperhatikan Setan Kelabang Hijau yang telah menghembuskan napas terakhirnya. Tokoh sesat bertubuh sedang itu mengejang kaku, dengan sekujur tubuh berwarna kehijauan. Luka dalam yang dideritanya telah membuat dia tewas seketika itu juga. Pendekar Naga Putih kemudian menghampiri Harimau Cakar Besi yang masih mengerang memegangi perutnya.
"Bagaimana lukamu, Paman...?" tanya Panji dengan nada khawatir.
"Tidak terlalu mengkhawatirkan. Rasanya, aku bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih," ucap Harimau Cakar Besi yang wajahnya masih agak pucat
Bukan hanya Panji dan Jabrang saja yang tidak mengetahui kematian Setan Kelabang Hijau. Keempat tokoh lainnya pun juga tidak menyadari hal itu. Mereka terlalu sibuk dengan lawan masing-masing.
* * * * *
«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»
"Ingat, Wurati. Jangan bertindak ceroboh...!" bisik Kenanga ketika melihat Wurati tengah melolos pedangnya dengan sorot mata penuh dendam.
Wurati yang semula hendak membantah, terpaksa menurut ketika melihat sepasang mata Kenanga yang menatapnya lembut. Apalagi ketika lengan dara jelita itu menggenggam hangat telapak tangannya. Seketika luluhlah kekerasan hatinya. Pedang yang semula terhunus itu perlahan dimasukkan ke sarungnya. Setelah itu dikutinya langkah Kenanga yang menuju mayat Setan Kelabang Hijau yang terbaring menelungkup.
"Jangan kau sentuh tubuhnya...." Kenanga mengingatkan sahabatnya, ketika melihat Wurati hendak menyentuh tubuh kehijauan yang menelungkup.
"Tubuh orang ini sudah dicemari racun ganas. Sedikit saja kau sentuh, mungkin aku tidak akan sanggup menyelamatkan nyawamu." Kenanga melangkah maju sejauh dua langkah.
Setelah beberapa saat memperhatikan, tahulah dara jelita itu kalau Setan Kelabang Hijau telah tewas. Melihat keadaan mayatnya, gadis itu sadar kalau orang itu telah termakan ilmunya sendiri. Meskipun belum diketahui secara pasti, namun dapat diterka kalau kematian orang itu disebabkan tangkisan kekasihnya tadi. Wurati yang belum mengetahui kalau orang itu telah tewas, timbul niatnya untuk membalas dendam atas perlakuan orang itu terhadapnya.
"Inilah kesempatan baik bagiku," kata hati gadis yang dipenuhi dendam kesumat itu. Tanpa setahu Kenanga, gadis cantik berwajah pucat itu melolos pedangnya tanpa menimbulkan suara.
"Terimalah pembalasanku, Manusia Jahanam...!" sambil membentak nyaring, Wurati mengayunkan pedangnya ke leher Setan Kelabang Hijau yang telah menjadi mayat.
"Wurati, jangan,..!" cegah Kenanga yang sama sekali tidak menduga gerakan gadis itu.
Terlambat! Wurati yang bagaikan orang kemasukan setan telah mencincang seluruh tubuh Setan Kelabang Hijau. Terlebih dulu, dipenggalnya leher mayat itu.
"Mampus kau, Biadab! Pergilah ke neraka...!" Wurati berteriak-teriak di antara isak tangisnya. Pedang ditangannya berkali-kali menghunjam tubuh yang telah kaku.
"Dia memang telah tewas sebelumnya, Wurati...," seru Kenanga di antara teriakan-teriakan gadis itu. Setelah berseru demikian, tangannya bergerak menangkap pergelangan tangan gadis cantik yang kesetanan itu.
"Lepaskan aku...! Lepaskan! Biar kucincang hancur tubuh jahanam keparat itu...!" Wurati berteriak-teriak sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Kenanga.
Tangan kiri Kenanga melingkar semakin erat menjepit pinggang gadis cantik itu. Sedangkan tangan kanannya menjepit pergelangan Wurati yang memegang pedang. Panji yang mendengar teriakan-teriakan kedua orang wanita itu, membalikkan tubuhnya. Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah Kenanga dan Wurati yang masih memberontak.
"Ada apa, Kenanga...?" tegur Panji demi melihat keadaan itu. Pemuda itu baru mengerti ketika melihat tubuh Setan Kelabang Hijau yang tergeletak dalam keadaan tidak utuh. Pantas saja Kenanga tidak mau melepaskan pelukannya pada tubuh Wurati. Rupanya gadis jelita itu hendak mencegah perbuatan Wurati.
"Lepaskan aku...! Lepaskan...," teriak Wurati kian melemah. Tak lama kemudian, kepala gadis cantik itu pun terkulai. Wurati kini pingsan dalam pelukan Kenanga.
Belum lagi Kenanga dan Panji dapat menarik napas lega, tiba-tiba terdengar tawa menggema berkepanjangan. Hebatnya, suara tawa itu seolah-olah datang dari berbagai penjuru. Sehingga, Panji sendiri sulit untuk menentukan arah suara tawa itu berasal. Saking hebatnya tenaga dalam yang terkandung di dalam suara tawa itu, sampai-sampai keempat orang tokoh yang tengah bertarung sengit sama-sama melompat ke belakang. Mereka cepat mengerahkan hawa murni untuk melawan pengaruh tawa yang sem- pat mengguncangkan isi dada.
Untunglah saat itu Wurati dalam keadaan pingsan. Kalau tidak, gadis yang memiliki kepandaian paling rendah di antara yang lain, pasti tidak akan kuat menahan pengaruh tenaga dalam yang dikerahkan melalui tawa itu. Panji yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka, tidak membiarkan keadaan itu berlangsung terus. Bukan tidak mungkin kalau kawan-kawannya akan mendapat luka dalam yang cukup parah. Cepat-cepat ditariknya napas dalam-dalam sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang dahsyat itu
Sinar putih keperakan mulai berpendar menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Sesaat kemudian, terdengar lengkingan dari kerongkongannya. Lengkingan itu berusaha menindih suara tawa yang masih menggema berkepanjangan. Bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika mendapat kenyataan yang sungguh diluar dugaannya. Sebab setelah seluruh tenaga saktinya dikerahkan, barulah ia dapat menindih suara tawa yang benar-benar luar biasa itu. Kenyataan itu sempat membuat jantungnya berdebar-debar. Karena, lawan yang mungkin bakal dihadapinya sudah jelas memiliki kepandaian tinggi dan sukar diukur.
Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan Panji, angin dingin bertiup keras yang disusul berkelebatnya sesosok tubuh tinggi kurus. Sebelum sepasang kaki sosok tinggi kurus itu menyentuh permukaan bumi, sosok bayangan lainnya datang menyusul.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak kusangka! Rupanya tempatku ini mendapat kehormatan dikunjungi seorang tokoh muda yang telah mengguncangkan rimba persilatan! Selamat datang, Pendekar Naga Putih," ucap sosok tinggikurus. Dia ternyata seorang kakek, berusia kira-kira tujuh puluh tahun lebih. Suaranya terdengar serak dan parau. Meskipun kata-katanya memuji, namun tarikan bibirnya jelas membuktikan kalau meremehkan Pendekar Naga Putih.
Sedangkan pemuda tampan berbaju putih di sebelah kiri kakek itu memandang sinis kepada Panji. Sepasang matanya yang penuh ejekan itu berubah liar, begitu menangkap seraut wajah jelita yang penuh pesona. Senyum sinis di bibirnya berganti dengan senyum kelicikan.
"Hm.... Gadis seperti inilah yang patut jadi istriku," gumam pemuda tampan yang tak lain dari Samanggala. Matanya terus saja menjilati sekujur wajah dan tubuh Kenanga tanpa malu-malu.
"Terima kasih atas pujianmu itu, Ki Sayang aku tidak seperti yang kau bayangkan. Kuharap kau tidak kecewa, karena pendekar yang diagung-agungkan orang hanyalah seorang pemuda dusun yang bodoh," ujar Panji. Suara dan wajah Pendekar Naga Putih tetap tenang, meskipun di dalam hatinya merasa tegang. Karena, kakek itu jelas seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Sehingga, hatinya pun merasa ragu-ragu, apakah dapat menandingi kesaktian kakek itu.
"Berhati-hatilah, Pendekar Naga Putih. Ternyata kabar yang semula kukira hanya isapan jempol, benar adanya. Dialah yang berjuluk Hantu Kematian. Entah bagaimana caranya hingga sampai dapat bangkit dari kuburnya. Pada setahun lewat, ia telah kami bunuh. Padahal kami yakin, saat itu ia telah tewas," bisik Ki Wanggala yang saat itu telah berada di samping kanan Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu terlihat agak pucat dan tegang.
Bukan hanya Ki Wanggala seorang yang merasa tegang. Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar Besi yang berada di sebelah kiri Panji pun mengalami hal serupa. Wajah mereka nampak gelisah dan agak pucat. Lain halnya Kenanga. Setelah terbebas dari pengaruh suara tawa yang menggetarkan hati tadi, gadis jelita itu langsung sibuk mengurus Wurati yang tengah pingsan. Sama sekali tidak dipedulikan yang lainnya. Dan memang, dara jelita itu menaruh kepercayaan penuh pada kekasihnya. Dia yakin, Pendekar Naga Putih akan dapat mengatasi semuanya.
Meskipun Panji tidak menyahuti, namun bukan berarti tidak memperhatikan ucapan Ki Wanggala. Dan dugaannya ternyata tidak meleset Kakek itu memang Hantu Kematian seperti dugaannya. Hal itu membuatnya semakin berhati-hati. Apalagi menurut Ki Wanggala, Hantu Kematian telah tewas terbunuh pada setahun lewat. Hal itu telah membuktikan kalau kakek kurus itu sudah tentu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dan ini sudah dibuktikannya ketika melawan pengaruh suara tawa kakek berwajah pucat bagai mayat itu.
"Apakah kau pernah mendengar sebuah ilmu yang dapat membangkitkan orang mati, Pendekar Naga Putih?" tanya Pendekar Tongkat Maut, berbisik lirih ke telinga Panji.
"Ilmu seperti itu memang pernah kudengar, Paman. Tapi, yang satu ini rasanya lain. Ia tidak seperti kebanyakan mayat hidup yang pernah kudengar, sebab dapat berbicara dan bertindak menurut kemauannya sendiri. Bukan atas perintah orang lain," sahut Panji dengan suara rendah, tanpa menoleh.
Mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih, Pendekar Tongkat Maut hanya mengangguk-anggukkan kepala saja. Patut diakui kalau pengetahuannya tidak sampai sejauh itu.
"Hm.... Guruku pernah bercerita tentang suatu ilmu yang hanya dapat disempurnakan saat orang itu mengalami sekarat. Cara menyempurnakannya pun harus dengan mengubur diri selama beberapa bulan. Kalau tidak salah, ilmu itu bernama 'Ilmu Memecah Sukma'. Tapi menurut guruku, ilmu itu telah lama lenyap dari dunia persilatan. Apakah mungkin, kakek itu sekarang memilikinya," gumam Panji setengah tak percaya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika kakek tinggi kurus itu melangkah sejauh enam tindak, mendekati Panji dan kawan-kawannya.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus! Rupanya kalian bertiga pun telah datang untuk mengantarkan nyawa! Bersiaplah menyusul kedua orang kawan kalian yang telah lebih dulu kuantarkan ke neraka," ancam Hantu Kematian kepada Ki Wanggala, Pendekar Tongkat Maut, dan Harimau Cakar Besi yang merupakan musuh lamanya. Begitu ucapannya selesai, Hantu Kematian langsung melompat menerjang Ki Wanggala yang berada di sebelah kanan Panji. Gerakannya demikian cepat, sehingga Panji dan kawan-kawannya hampir tidak menduga.
Sadar akan bahaya yang mengancam Ki Wanggala, Panji menggenjot tubuhnya memapak serangan Hantu Kematian. Selapis kabut bersinar putih keperakan berpendar menyelimuti tubuhnya. Rupanya, pe- muda itu langsung mengerahkan hampir seluruh tenaga dalam untuk memapak serangan Hantu Kematian yang memiliki kepandaian tinggi.
Wusss!
Hawa dingin yang sanggup membekukan tubuh, berhembus keras mengiringi tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih. Tamparan itu dimaksudkan untuk menggagalkan serangan Hantu Kematian yang mengancam pelipis Ki Wanggala. Hantu Kematian rupanya sudah memperhitungkan, apa yang bakal dilakukan Panji. Tangan yang semula berniat melakukan totokan kepada Ki Wanggala, berputar setengah lingkaran. Tangan itu kemudian langsung bergerak mencengkeram lengan Panji. Gerakannya demikian cepat dan tak terduga, sehingga sempat membuat Panji terkejut
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah orang yang mudah gugup oleh perubahan gerak tipu lawan. Telapak tangan yang semula menampar, kini sudah membentuk cakar naga. Setelah bergerak melingkar secara mengejutkan, cakar naga Panji langsung menyambar lambung kanan Hantu Kematian.
Wuttt!
"Bagus...!" puji Hantu Kematian sambil melompat mundur menghindari cakaran yang mengandung hawa dingin kuat itu.
Diam-diam Pendekar Naga Putih memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh lawannya yang me- mang hebat luar biasa itu. Tubuh kakek itu terlihat demikian ringan, hingga tak ubahnya sehelai kapas yang terbang tertiup angin. Benar-benar sebuah pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang tidak ada duanya
"Hm.... Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Pendekar Naga Putih! Tapi kalau memang ingin mengadu kepandaian denganku, tunggulah sampai ketiga musuh lamaku itu kubereskan!" geram Hantu Kematian yang rupanya tidak suka melihat campur tan- gan Pendekar Naga Putih.
"Memang benar aku tidak mempunyai persoalan denganmu secara pribadi, Hantu Kematian. Tapi perbuatanmu yang telah membantai dua partai persilatan, membuatku tidak bisa berpangku tangan saja. Sudah menjadi kewajibanku untuk menumpas segala kejahatan di muka bumi ini," sahut Panji berwibawa. Saat itu keduanya berdiri dalam jarak tidak lebih dari dua batang tombak jauhnya.
"Hm.... Kalau kau memang sudah ingin menghadapi Malaikat Maut, baiklah! Aku bersedia membantumu! Sambutlah...!" ancam Hantu Kematian dengan suara parau dan sember.
Panji menggeser kakinya ke belakang, siap menghadapi serangan Hantu Kematian kembali. Sadar kalau yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan, maka pemuda itu pun sudah mengeluarkan jurus 'Naga Sakti'nya.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulut Hantu Kematian. Kakek kurus itu berdiri tegak dengan sepasang mata menyorot menyeramkan. Perlahan-lahan, sepasang tangannya bergerak naik ke atas kepala.
"Rebah...!" bentak Hantu Kematian dengan suara mengguntur, dibarengi tepukan tangannya di atas kepala. Pengaruh gerakan sederhana itu hebat bukan main! Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat bagaikan orang terserang demam! Sedangkan Ki Wanggala dan dua orang kawannya, termasuk juga Kenanga, terhuyung mundur dengan wajah pucat dan napas memburu. Dari sudut bibir mereka, nampak cairan merah mengalir turun. Untunglah mereka memiliki tenaga dalam kuat, sehingga tidak sampai terjatuh karena serangan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikerahkan Hantu Kematian untuk menundukkan Panji.
Sadar akan kedahsyatan pertarungan yang tengah berlangsung itu, mereka pun bergegas menjauh. Samanggala, Setan Kepalan Besi, dan Setan Muka Putih pun tidak ingin mengalami celaka. Ketiganya segera berlari menjauhi arena pertarungan yang mengerikan itu. Kedua kelompok yang sama-sama menjauh, akhirnya bertemu. Samanggala yang memang sejak tadi mengincar Kenanga, langsung menerkam gadis jelita itu.
Kenanga yang tengah memondong tubuh Wurati, bergegas meletakkan tubuh gadis itu. Ia yang sejak semula memang sudah marah oleh cara Samanggala menatapnya, langsung saja menyambut dengan serangan yang tidak kalah ganas. Dalam waktu yang singkat, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Demikian pula halnya Ki Wanggala dan Pendekar Tongkat Maut Keduanya melompat menyambut Setan Kepalan Besi dan Setan Muka Putih yang saat itu juga sudah menerjang. Keempat orang tokoh dari aliran berbeda itu segera terlibat dalam pertarungan mati-matian. Mereka saling menyerang ganas untuk menjatuhkan lawan secepat mungkin.
Tinggallah Harimau Cakar Besi berdiri menonton. Sebagai seorang berjiwa ksatria, tentu saja ia tidak sudi melakukan pengeroyokan. Karena, ia yakin kalau kawan-kawannya pasti akan dapat menguasai lawan masing-masing. Tokoh berwatak berangasan itu berdiri tegak menyaksikan pertarungan yang berlangsung antara Panji dan Hantu Kematian. Dan memang, perkelahian kedua orang tokoh sakti itu lebih menarik perhatiannya.
"Heaaa...!"
Hantu Kematian berteriak nyaring sambil memutar kedua tangan secara bersilangan. Serangkum angin kuat menderu mengiringi pukulan dan tamparannya,
Plok, plok, plok!
Sambil merangsek maju, kakek kurus itu kadang-kadang menepukkan kedua tangannya berkali-kali. Bagi orang yang tidak mengetahui kehebatan tepukan itu, tentu saja terlihat lucu dan menggelikan. Sebab, mana ada orang yang berkelahi sambil bertepuk tangan?
Lain halnya Panji, yang berhadapan langsung dengan kakek itu. Pengaruh tepukan itu ternyata sangat merugikannya. Sebab, setiap kali suara tepukan terdengar, tubuhnya bagai dijalari pengaruh aneh hingga membuatnya bergetar. Bukan hanya itu yang dirasakannya. Jurus-jurus yang digunakannya pun menjadi kacau, dan tidak beraturan seperti biasanya. Karena jurus-jurusnya berantakan dan tidak terarah, maka Hantu Kematian mulai dapat mendesak Pendekar Naga Putih. Bahkan beberapa kali pukulan maupun tendangannya hampir mencelakai pendekar muda itu.
"Gila! Mengapa bisa begini...!?" desis Panji tak habis mengerti. Otak Pendekar Naga Putih seperti tidak bekerja dengan baik. Gerakan-gerakannya semakin kacau dan terlihat ragu-ragu, apabila balas menyerang. Panji benar-benar tidak mengerti, apa yang telah membuatnya demikian bodoh.
Wuttt! Wuttt!
Memasuki jurus yang kelima puluh, sebuah tendangan keras membuat tubuh Panji terjungkal keras ke belakang. Cepat-cepat pemuda itu bergulingan menghindari serangan susulan lawan.
"Ugkh...!" Panji mengerang lirih menahan rasa sakit yang melilit perutnya. Tendangan yang keras dari lawannya bagaikan mengaduk-aduk seluruh isi perut, dan membuatnya mual. Sebelum Panji sempat menekan rasa sakit dengan pengerahan hawa murni, serangan lawan sudah meluncur datang.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang mengincar dada dan pelipis dapat dielakkan Panji dengan memutar tubuh sambil merendah. Kemudian, ia melompat mundur sambil menepiskan tendangan yang mengancam ulu hati.
Plakkk!
Panji mengeluh ketika merasakan telapak tangannya bagai bertemu sebatang baja yang amat kuat. Sehingga, telapak tangannya yang digunakan untuk menepis tendangan lawan terasa nyeri bukan main. Tepukan tangan yang menimbulkan pengaruh aneh kembali terdengar. Akibatnya kepala Pendekar Naga Putih bagaikan terbentur dinding baja. Tubuh pemuda itu tampak limbung ke belakang. Otaknya pun terasa buntu, dan tidak dapat berpikir jernih.
Hantu Kematian tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Sepasang tangannya mendorong ke depan dengan pengerahan seluruh tenaga.
Wusss! Blaggg!
"Hugkh...!"
Sepasang telapak tangan mengandung kekuatan dahsyat itu telak menghantam dada Pendekar Naga Putih. Tubuh pemuda tampan itu terlempar deras, dibarengi jeritnya yang melengking. Darah segar langsung menyembur dari mulutnya. Tubuh Panji terbanting keras di atas tanah berumput. Pendekar Naga Putih berusaha bangkit, meskipun tulang-tulang dadanya terasa hancur. Kembali ia terbatuk-batuk hebat mengeluarkan darah segar yang agak kental.
"Hm.... Selamat tinggal, Pendekar Naga Putih...," ejek Hantu Kematian seraya mengangkat tangannya, siap dihantamkan ke tubuh Panji yang tengah berusaha bangkit
Wukkk! Bummm!
Debu, tanah, dan rumput beterbangan ketika telapak tangan Hantu Kematian menghantam tanah tempat tubuh Panji semula tergeletak. Untunglah dengan seluruh sisa-sisa tenaganya, Panji masih sempat menggulingkan tubuhnya untuk menghindari hantaman maut itu. Kalau saja terkena, sudah pasti dia akan tewas tanpa bentuk!
"Kakek ini benar-benar luar biasa! Mungkin petualanganku tamat sampai di sini...," gumam Panji yang sudah merasa tidak mampu untuk melawan Hantu Kematian yang jelas-jelas memiliki kepandaian sangat tinggi.
"Hm.... Kali ini kau tidak akan lolos, Pendekar Naga Putih!" ancam Hantu Kematian, seraya melangkah mendekati Panji. Yakin kalau lawannya sudah benar-benar tidak berdaya, kakek itu sengaja memperlambat langkahnya untuk menakut-nakuti lawan.
Pada saat-saat gawat itu, Panji teringat akan pedang pusakanya yang tergantung di punggung. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pedang Naga Langit dicabut dari sarungnya.
Sring!
Cahaya kekuningan berpendar menyilaukan mata ketika pedang yang tidak ada duanya itu tercabut keluar.
"Pedang Naga Langit,..!" seat Hantu Kematian antara perasaan kagum dan terkejut bercampur menjadi satu melihat perbawa pedang itu. Sebagai seorang tokoh tua yang berpengalaman, tentu saja ia pun mengetahui tentang senjata pusaka yang tergenggam di tangan lawannya.
"Yeaaat..!" Bagai memperoleh sebuah kekuatan baru, Panji berseru nyaring dan menyabetkan pedangnya dengan jurus 'Ilmu Pedang Naga Sakti'nya.
Wuttt! Wukkk!
Angin pedang mengaung tajam menimbulkan getaran aneh di dalam hati Hantu Kematian. Kakek itu semakin terkejut ketika melihat lawannya sama sekali tidak terpengaruh oleh tepukannya. Dan tentu saja hal itu membuatnya menjadi heran.
Sebenarnya hal itu tidaklah aneh. Sebab, pedang yang kini berada di tangan Panji memiliki keistimewaan melumpuhkan semua pengaruh ilmu hitam. Sedangkan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikuasai Hantu Kematian, adalah gabungan dari ilmu hitam. Maka dengan demikian, ilmu yang telah membuat Panji tidak berdaya itu tidak lagi berguna.
Pertarungan sengit itu sepertinya tidak akan berlangsung lama. Serangan Panji yang menderu-deru membuat Hantu Kematian kelabakan menyelamatkan diri dari sambaran ujung pedang. Apalagi ilmunya sudah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya kakek itu pun semakin terdesak hebat.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh satu, Panji berseru nyaring. Tubuhnya mendadak meluncur disertai putaran pedangnya yang membentuk bulatan. Dari bulatan sinar kekuningan itu terkadang menyembul ujung-ujung pedang secara tak terduga. Itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus terdahsyat dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Terkejut bukan main hati Hantu Kematian melihat dahsyatnya serangan lawan. Sepasang tangannya bergerak mendorong, dengan maksud untuk menghalau.
Wungngng! Wungngng!
Crakkk! Jresss!
"Aaa...!" Hantu Kematian meraung merobek angkasa ketika sepasang tangannya terpapas buntung sebatas siku. Dan selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, Pedang Naga Langit kembali menyambar batang lehernya.
Crakkk!
Darah segar langsung menyembur membasahi permukaan tanah berumput. Seketika kepala tokoh sesat yang mengiriskan itu menggelinding, terpisah dari tubuhnya. Hantu Kematian akhirnya tewas di tangan Panji dengan kepala terpisah!
Tindakan Pendekar Naga Putih yang secara tidak sengaja itu memang tepat sekali. Sebab, seorang yang telah berhasil merampungkan 'Ilmu Memecah Sukma', tidak akan bisa mati kecuali dengan cara seperti yang dilakukan Panji. Dengan kepala terpisah dari badan, barulah ia akan tewas tanpa dapat bangkit lagi.
"Kakang...!" Kenanga yang sejak tadi telah menyelesaikan pertarungannya, berlari menghambur ke arah Panji yang tengah terduduk dengan wajah agak pucat.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Kakang,..?" tanya gadis jelita itu, cemas.
"Tidak ada yang perlu dicemaskan.... Aku sudah menelan obat luka dalam. Jadi..., hanya tinggal memulihkan tenaga saja," sahut Panji terputus-putus, karena napasnya masih memburu.
"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Kenanga, lega.
"Hei? Ke mana Wurati? Bukankah dia tadi bersamamu?" tanya Panji ketika tidak melihat gadis itu bersama kekasihnya.
"Gadis malang itu telah tewas setelah berhasil melampiaskan dendamnya kepada Samanggala," jawab Kenanga dengan wajah penuh sesal.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi, Kenanga?" tanya Panji, heran. Karena Pendekar Naga Putih tahu kalau Kenanga bisa melumpuhkan Samanggala sekaligus melindungi Wurati.
"Saat itu aku telah berhasil melumpuhkan Samanggala. Leher pemuda itu ku todongkan dengan pedangku. Lalu, aku mengorek keterangan darinya, tentang pembunuh Ki Bala Dewa, guru Wurati. Ternyata, Samanggala mengakui kalau telah membunuh Ki Bala Dewa. Itu dilakukannya, karena dia tidak diterima menjadi murid, sebelum Wurati menjadi murid Perguruan Cakar Naga. Dan ketika aku sedang mendengar pengakuan Samanggala, ternyata Wurati telah siuman dan mendengar juga penuturan pemuda bejat itu. Amarah Wurati pun tak tertahankan. Maka Wurati langsung menubruk dan menusukkan pedangnya hingga menembus punggung Samanggala. Tapi, sayangnya, Samanggala pun sempat menghunjamkan pisau yang tersembunyi ke tubuh Wurati di saat terakhirnya," jelas Kenanga panjang lebar, tapi disertai rasa menyesal karena tidak dapat menjaga Wurati.
"Mungkin itu memang jalan yang paling baik menurutnya. Andaikata selamat, belum tentu ia sanggup menjalani kehidupan yang menurutnya sudah tak berarti itu," desah Panji sambil mengelus rambut kepala kekasihnya yang hitam pekat.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang yang juga telah berhasil membasmi musuh-musuhnya, tengah berdiri tegak di dekat kedua orang muda itu.
"Syukurlah kalian selamat...," ujar Panji yang baru menyadari kehadiran ketiga orang tokoh itu.
"Tanpa pertolonganmu, rasanya kami tidak mungkin masih bisa selamat, Pendekar Naga Putih. Sekali lagi, kami bertiga mengucapkan terima kasih kepadamu, dan juga kepada Kenanga. Sekarang kami mohon diri. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi kelak," pamit Ki Wanggala dan yang lainnya.
Memang mereka sadar kalau saat itu Panji dan Kenanga mungkin tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka. Setelah berpamitan, ketiga orang tokoh persilatan golongan putih itu pun meninggalkan kaki Bukit Tiga Iblis.
"Kita pun harus segera pergi dari tempat ini, Kenanga. Tapi, sebelumnya lebih baik kuburkan dulu mayat-mayat mereka, termasuk juga mayat Wurati," ajak Panji sambil bergegas bangkit
"Tidak perlu repot-repot, Kakang. Mayat Wurati dan yang lainnya sudah kami kuburkan bersama-sama tadi. Jadi, yang tinggal hanya mayat Hantu Kematian saja. Kau istirahatlah dulu, Kakang. Biar aku saja yang mengerjakannya," ujar Kenanga sambil melepaskan pelukannya pada tubuh Panji.
"Terserah kau sajalah...," sahut Panji sambil memandangi punggung kekasihnya yang tengah melangkah ke arah mayat Hantu Kematian.
Selesai menguburkan mayat tokoh sesat itu, sepasang pendekar itu pun meninggalkan kaki Bukit Tiga Iblis.
"Sampai kapan kita akan terus melakukan petualangan ini, Kakang?" tanya Kenanga sambil melangkah di sisi kekasihnya. Jemari tangan gadis itu menggenggam erat telapak tangan Panji. Sepertinya, gadis itu tidak ingin melepaskan lengannya dari genggaman kekasihnya.
"Hm.... Sampai aku sudah tidak tahan...," Panji menggantung kata-katanya dan tersenyum penuh arti.
"Tidak tahan...?" sambut Kenanga heran.
"Tidak tahan untuk apa, Kakang?" tanyanya penasaran.
"Ya..., tidak tahan untuk segera mengawinimu..." Selesai berkata demikian, Panji memeluk tubuh kekasihnya erat-erat.
"Ihhh...! Kakang nakal!"
"Aduh...!" Panji memekik ketika cubitan Kenanga hinggap di pinggangnya.
Terdengar tawa berderai penuh kebahagiaan mewarnai langkah keduanya. .
S E L E S A I
INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH | |
Asmara Di Ujung Pedang --oo0oo-- Hilangnya Pusaka Kerajaan |