Life is journey not a destinantion ...

Kecapi Perak Dari Selatan

INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pendekar Murtad --oo0oo-- Serigala Siluman



PANJI
Pendekar Naga Putih
Karya: T. Hidayat
EP : KECAPI PERAK DARI SELATAN

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


«₪֎ [ SATU ] ֎₪»

Merambah hutan membawa duka.
Mendaki gunung membawa luka.
Dari Selatan dendam membara.
Mencari durjana penyebab sengsara


Suara nyanyian yang seperti menimbulkan kesan maut itu bergema, menyelusup ke dalam hutan dan lembah. Alunan denting kecapi mengiringinya, dengan irama tidak tetap. Terkadang petikan kecapi itu mengalun lembut laksana hembusan angin gunung yang sejuk dan membawa kedamaian. Namun dilain saat, berubah garang bagai amukan badai di lautan yang siap menelan korban.
Beberapa petani yang saat itu tengah mengerjakan sawahnya, berhenti sejenak sambil mengerutkan kening. Mereka merayapi daerah sekitarnya, seolah- olah ingin mencari asal nyanyian dan petikanvkecapi itu.
"Nyanyian aneh? Petikan kecapinya pun terdengar aneh dan lain dari biasanya? Dan yang lebih aneh lagi, suara itu seolah-olah berasal dari segala penjuru? Mungkinkah yang membawakannya adalah manusia?" gumam salah seorang petani yang berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang kehitaman karena selalu terpanggang sinar matahari itu tampak menegang, karena mencium sesuatu yang tidak wajar dari nyanyian itu.
"Kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Tentu saja yang memainkannya pasti manusia! Lagipula, mana ada setan yang dapat memainkan kecapi? Apa lagi siang hari seperti ini. Sudahlah! Lebih baik kita selesaikan pekerjaan ini, agar bisa pulang cepat," timpal petani lain yang bertubuh kurus bagaikan tulang terbungkus kulit. Dari nada suara dan wajahnya yang agak memucat, jelas sekali kalau dia mulai terpengaruh ucapan kawannya. Hanya saja hal itu berusaha disembunyikannya agar tidak membuat panik yang lain.
"Hei? Mengapa kalian tampaknya begitu ketakutan? Dengarlah. Suara petikan kecapi itu begitu merdu dan terasa menyegarkan!" seru petani yang lainnya lantang. Memang, saat itu irama alunan kecapi itu demikian merdu dan melenakan. Sehingga para petani yang semula merasa lelah, terbangkit semangatnya. Dan kini merekapun bekerja semakin giat.
"Wah! Hebat sekali kepandaian orang itu. Rasa- rasanya pemain-pemain kecapi didesa kita tidak ada yang bisa menyamainya. Kalau saja kepala desa kita mendengar, mungkin orang itu akan dijadikan pembantunya agar senantiasa memainkan musik kecapi itu untuknya," ujar petani yang pertama kali membuka pembicaraan. Dan kini rasa takutnya mulai hilang ketika mendengar petikan kecapi yang bersuara merdu dan menyegarkan itu.
"Hm... Kurasa ia belum tentu mau. Karena, kalau melihat dari permainannya, paling tidak ia biasa bermain di istana," timpal kawannya yang rupanya lebih mengerti tentang kecapi.
Para petani itu pun menghentikan pembicaraannya ketika beberapa orang wanita mendatangi mereka. Kalau dilihat dari bawaan para wanita itu, pastilah mereka adalah anak-anak atau istri petani yang datang membawakan makanan. Dan kini para petani itu terlihat bergegas naik dan mencuci tangannya yang penuh lumpur. Para petani itupun tidak menyadari kalau saat itu suara kecapi yang mereka nikmati tadi telah lenyap. Dan suasanapun kembali hening dan sepi.

* * * * *




Matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya yang semula memancar garang, kini tampak meredup. Sesosok tubuh berambut meriap tampak duduk bersila di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Jari-jari tangannya tampak menari-nari di atas dawai kecapi didepannya. Wajahnya menunduk dalam seolah benar-benar tengah menikmati alunan musik yang dimainkannya itu. Sesaat kemudian, kepalanya terdongak menatap cakrawala biru. Terdengar tarikan napasnya yang berat. Sesaat kemudian, nyanyiannya kembali terdengar.
Merambah hutan membawa duka. Mendaki gunung membawa luka. Dari Selatan dendam membara. Mencari durjana penyebab sengsara.
Suara nyanyian terdengar bergetar, seolah-olah apa yang tengah dirasakannya ditumpahkan dalam nyanyian itu. Maka orang-orang yang mendengarnya seperti ikut terhanyut dalam kedukaan. Tapi ketika orang mendengar nyanyian baris ketiga dan keempat, bulu kuduk pun merinding. Bisa ditebak kalau suara lelaki itu terdengar jelas mengandung dendam yang dalam!
Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam melangkah dengan tergesa-gesa keluar dari dalam gerbang Perguruan Jalak Hitam. Kemudian mereka menghampiri seorang lelaki pemetik kecapi yang terpisah sejauh enam tombak dari pintu gerbang perguruan itu.
"Kisanak. Jika saja kau suka mengubah syairmu dengan kata-kata yang lebih indah, aku yakin permainan musikmu akan lebih terasa kenikmatannya," tegur salah satu dari kedua orang itu ketika tiba di depan si pemetik kecapi.
"Benar, Kisanak. Syair-syair yang kau nyanyikan itu terasa tidak enak dihati kami. Cobalah rubah dengan kata-kata yang lebih indah. Pasti nanti kami akan memberi bayaran tinggi. Bagaimana?" usul orang yang bertubuh pendek dan gemuk.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam kearah kecapi yang dimiliki orang itu. Kecapi yang berwarna perak itu tampak berkilatan tertimpa cahaya matahari. Diam-diam hatinya merasa heran melihat kecapi itu.
Lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak menyahut. Jemarinya terus saja digerakkan di atas dawai-dawai kecapi. Dan sepertinya, ia memang tidak peduli dengan kedua orang itu.
"Kisanak. Apakah kau tuli sehingga tidak mendengar kata-kata kami?" tanya orang yang bertubuh kurus, mulai merasa tersinggung karena ucapannya tidak ditanggapi.
"Sabarlah, Kakang. Siapa tahu orang ini benar-benar tuli," bujuk orang yang bertubuh gemuk. Kemudian tubuhnya pun dibungkukkan untuk melihat lebih jelas wajah orang itu. Namun ia menjadi penasaran karena wajah orang itu tertutup rambut yang meriap. Sehingga wajahnya tidak bisa terlihat jelas.
"Kisanak. Apakah kau memang tidak mendengar suara kami? Atau sengaja ingin mempermainkan kami?" tanya orang bertubuh gemuk itu dengan suara agak keras.
Namun pemetik kecapi itu tetap saja membungkam, bahkan sama sekali tidak mengangkat kepalanya.
"Huh! Aku tidak peduli apakah kau tuli atautidak! Sekarang cepat tinggalkan tempat ini, sebelum kesabaran kami hilang!" bentak orang pertama, gusar. Wajahnya tampak gelap karena hawa kemarahan telah naik kekepalanya.
Mendengar bentakan itu, si pemetik kecapi perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Sepasang matanya tampak mencorong tajam, membuat kedua orang itu bergerak mundur tanpa sadar.
"Hm.... Apakah kalian murid Ki Suta yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki berambut meriap itu. Suaranya terdengar dingin dan kaku, sehingga membuat tubuh kedua orang itu semakin gemetar hebat 
"Siapa... siapa kau? Apa maksudmu menanyakan guru kami?" tanya orang yang bertubuh kurus dengan suara gagap. Sedangkan kakinya terus melangkah mundur seraya meraba gagang pedang, meskipun dengan tangan gemetar.
"Jawab saja pertanyaanku kalau kau masih sayang nyawamu," sahut si pemetik kecapi. Nada suaranya datar, namun mengandung ancaman maut. Setelah berkata demikian, jemari tangan kanannya bergerak memetik dawai kecapi secara berbarengan.
Creeeng!
"Aaah...!"
Dua orang itu berteriak kaget. Tubuh mereka langsung terjengkang bagai didorong kekuatan hebat yang tak tampak. Sambil menekap dada yang berguncang akibat suara petikan kecapi, keduanya bergerak bangkit. Wajah mereka nampak semakin pucat! Mereka benar-benar terkejut karena tidak melihat orang itu menggerakkan tangannya. Kelihatannya kedua orang itu belum tahu kalau yang membuat mereka jatuh adalah suara petikan kecapi.
"Katakan kepada gurumu kalau ada seorang pemetik kecapi yang datang menagih hutang sepuluh tahun yang lalu. Pergilah sebelum aku berubah pikiran dan menjatuhkan tangan kejam kepada kalian," ancam lelaki berambut meriap itu datar. Setelah berkata demikian, wajahnya kembali ditundukkan. Sedangkan jemari tangannya kembali menari-nari di atas dawai kecapi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang lelaki itu pun bergegas berbalik. Mereka kemudian melangkah, masuk ke dalam perguruan. Dengan langkah lebar-lebar mereka langsung menghadap guru besar mereka yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti.

* * * * *




"Hm.... Apakah orang itu tidak menyebutkan nama dan daerah asalnya?" tanya Ki Suta setelah mendengar penuturan kedua orang muridnya. Lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu beranjak dari kursinya. Ia berjalan hilir mudik dengan kening berkerut.
"Ampun, Guru. Kami tidak berani banyak bertanya, karena orang itu akan membunuh kami," jawab salah satu dari dua orang murid yan gmelapor. Wajah mereka tertunduk dalam-dalam, dan tidak berani menatap wajah Ki Suta yang terlihat keruh itu.
"Bangkil, Wirja! Coba kalian lihat dan tanyakan, apa maunya orang itu menanyakan aku. Kalau dia berbuat macam-macam, beri pelajaran agar lain kali tidak meremehkan orang lain!" perintah Ki Suta kepada dua orang murid utama yang duduk bersila di sampingnya. Orang yang dipanggil Bangkil dan Wirja itu bergegas bangkit berdiri.
"Baik, Guru," sahut keduanya. Mereka menjura untuk memberi hormat, kemudian segera melangkah keluar. Setibanya diluar bangunan perguruan, kedua orang itu mengisyaratkan kepada beberapa orang murid untuk mengikutinya.
"Hm... Diakah yang kalian maksud?" tanya Bangkil kepada kedua orang yang tadi melaporkan kejadian itu. 
"Betul, Kakang. Hati-hatilah! Sepertinya orang itu memiliki kepandaian tinggi. Buktinya kami tadi dapat dijatuhkan dengan mudah," jawab laki-laki bertubuh gemuk pendek itu setengah berbisik.
"Hm...." Orang yang bernama Bangkil itu hanya bergumam tak jelas. Kelihatan sekali kalau dia tidak memandang sebelah mata pun kepada lelaki berambut meriap yang masih asyik memainkan kecapinya. Sepertinya kedatangan murid-murid Perguruan Jalak Hitam sama sekali tidak diketahui. Kepalanya pun tetap saja menunduk tanpa mempedulikan keadaan disekelilingnya.
"Hm.... Siapakah di antara kalian yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki pemetik kecapi itu tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun. Sedangkan jari-jarinya tetap saja menari-nari di atas dawai kecapi.
"Siapa kau, Kisanak. Dan apa keperluanmu mencari guruku?! Apakah kau sedemikian pengecutnya, sehingga tidak berani memperkenalkan nama?!" bentak Bangkil. Laki-laki berbadan tegap dan berusia sekitar tiga puluh tahun ini merasa tersinggung sekali melihat cara orang itu menghadapinya. Wajahnya berubah gelap, karena seumur hidupnya baru sekali inilah ada orang yang demikian rendah memandangnya. Ingin rasanya Bangkil menebas putus leher orang itu kalau tidak ingat pesan gurunya.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sebaiknya panggil saja guru kalian," tegas orang itu lagi yang masih saja memainkan kecapinya. Meskipun dalam nada suaranya terdengar biasa, namun jelas sekali kalau dia telah menganggap remeh orang-orang yang mendatanginya.
"Keparat, kau! Apakah kau kira dirimu raja yang dapat memerintah seenak perutnya! Huh...! Kau memang pantas untuk diberi pelajaran!" bentak Bangkil yang sudah menjadi kalap.
Srettt!
Bangkil melolos pedangnya dengan sikap mengancam. Meskipun dalam keadaan marah, namun Bangkil tetap saja tidak sudi berbuat curang. Laki-laki ini belum juga melancarkan serangan, karena pemain kecapi itu masih saja menundukkan kepalanya. Sikapnya benar-benar tidak peduli.
"Beri dia pelajaran agar lain kali tidak bersikap sombong dan memandang rendah orang lain!" perintah Bangkil mengisyaratkan beberapa orang murid Perguruan Jalak Hitam untuk menghajar lelaki pemetik kecapi itu.
"Haaat..!"
Wuttt! Wuttt...!
Enam batang senjata berkelebat mengancam seluruh tubuh lelaki berambut meriap itu. Namun dengan masih bersila, tubuh orang itu mendadak melayang dan berpindah ke tempat lain. Maka senjata orang-orang itu hanya membabat rerumputan kering.
"Hm.... Kuperingatkan sekali lagi, pergilah! Panggil gurumu! Jangan sampai kesabaranku habis!" ancam lelaki berambut riapan, seraya berdiri tegak sambil menenteng kecapinya. Ternyata, orang itu baru berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampak dingin dan kaku. Garis-garis penderitaan tampak jelas diwajahnya yang kokoh itu.
"Keparat kau, Jembel Busuk! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari keributan!" maki Bangkil, seraya melangkah maju dengan pedang terhunus.
"Hm...." Dimaki demikian, orang itu sama sekali tidak menunjukkan kemarahan. Wajahnya tetap datar tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya saja yang mencorong menggetarkan jantung. Maka tidak satu pun dari mereka yang berani menatap mata lelaki itu secara langsung.
"Yeaaat..!" Bangkil berseru nyaring disertai sambaran pedang yang berdesing tajam. Nampaknya, murid utama Ki Suta ini sudah tidak mempedulikan lagi, apakah serangannya dapat membunuh orang itu atau hanya melukainya. Ia benar-benar telah marah melihat sikap angkuh yang diperlihatkan pemetik kecapi itu. 
Melihat saudara seperguruannya sudah mulai menerjang, Wirja juga bergegas menyusul. Senjatanya yang juga berupa sepasang pedang, berkelebat cepat mengancam beberapa bagian tubuh lawan yang mematikan.
Lelaki pemetik kecapi itu hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari sambaran pedang Bangkil. Kemudian tubuhnya diliukkan, menggunakan kuda-kuda harimau. Maka, serangan Wirja hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya. Lalu secara tak terduga kaki kanannya terangkat naik menghantam punggung Wirja yang saat itu sudah berada didepannya.
Zebbb!
"Heaaah...!" Tapi Wirja bukan orang bodoh. Mendapat serangan yang takterduga itu, diasegera bergulingan menjauhi lawan sambil berteriak keras. Kemudian, cepat sekali pedangnya disabetkan ke arah kaki lawan.
"Mampus kau!" teriak Wirja yang merasa yakin kalau babatan pedangnya itu pasti akan memutuskan kaki lawan. Namun untuk menjatuhkan si pemetik kecapi tidaklah semudah yang dibayangkannya. Karena pada saat yang tepat, kaki si pemetik kecapi telah lebih dulu menendang cepat ke arah punggung.
Bettt!
Dugkh!
"Aaakh...!" Terdengar jerit kesakitan ketika ujung kaki lelaki pemetik kecapi itu menghantam punggung Wirja tepat dan keras. Tubuh murid Perguruan Jalak Hitam itu langsung terpental hingga beberapa tombak ke belakang. Wirja bergegas bangkit berdiri. Wajahnya tampak menyeringai menahan rasa nyeri yan ghebat dipunggung.
"Uhhh...! Bangsat kau...!" umpat Wirja sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, untuk menahan rasa sakit yang dideritanya.
Bangkil dan teman-temannya begitu terkejut melihat Wirja dapat dilumpuhkan hanya dalam beberapa jurus saja. Dengan kemarahan yang meledak-ledak, laki-laki bertubuh sedang itu kembali menyerbu. Demikian pula enam orang murid lainnya, yang turut menerjang secara berbarengan. Mereka berpencar dan bersiap menghabisi si pemetik kecapi dengan penyerangan dari segala penjuru. Tapi lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak gentar. Dengan gerakan tenang, ia malah duduk di atas rerumputan. Alat musik kecapi diletakkan di depannya. Sesaat kemudian, jemari tangannya bergerak semakin cepat. Hingga permainan kecapi itu tak ubahnya ombak samudera yang bergemuruh dahsyat!
"Aaa...!"
Seketika Bangkil dan enam orangcmurid Perguruan Jalak Hitam mendadak menghentikan serangan. Dan memang, ternyata dari depan mereka seolah-olah ada sebuah kekuatan yang mendorong kebelakang. Bukan itu saja. Dada dan telinga mereka bagaikan digedor dari dalam. Akibatnya, tubuh mereka bergetar hebat bagaikan terserang demam. Ketujuh orangcberseragam hitam itu berteriak dan menjerit-jerit kesakitan. Kedua tangan mereka masing-masing menekap telinga yang terasa bagai hendak pecah, disertai gerakan limbung. Seolah-olah, saat itu tengah terjadi gempa yang mengguncangkanvjagat!
Sedangkan alunan suara kecapi yang dimainkan orang itu semakin kacau dan tak beraturan. Sebentar terdengar lambat, namun di lain saat berubah cepat dan bergemuruh. Akibatnya ketujuh orang yang semula hendak mengeroyoknya semakin kelabakan bagaikan cacing kepanasan.
"Hentikan...!"
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat disertai bentakan menggelegar! Bayangan itu menjejakkan kaki dalam jarak enam tombak dari lelaki pemetik kecapi yang segera menghentikan permainannya. Rupanya bayangan itu adalah Ki Suta, Ketua Perguruan Jalak Hitam. Dia juga ditemani beberapa muridnya. Begitu irama permainan kecapi berhenti, ketujuh orang itu langsung roboh bagai sebatang pohon lapuk. Mereka langsung bergeletakan pingsan, dan tidak ingat apa-apa lagi.
"Hm.... Sepertinya kau sengaja tidak bermaksud membunuh murid-muridku. Sebenarnya kalau mau, kau dapat saja mengerahkan tenaga dalam lebih kuat lagi. Maka akan tamatlah riwayat tujuh orang muridku itu. Mengapa tidak kau lakukan? Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, Kisanak?" tanya sosok yang baru datang itu dengan suara berwibawa. Lelaki setengah baya itu menatap wajah si pemetik kecapi lekat-lekat. Sepertinya dia tengah berusaha mengingat, siapa gerangan tokoh ini.
"He he he.... Matamu ternyata tajam sekali, Ki Suta. Tapi apakah ingatanmu juga setajam matamu?" kata lelaki berambut meriap sambil tertawa dingin. Meskipun bibirnya bergerak bagaikan orang tertawa, namun wajahnya tetap dingin dan beku sehingga kesan yang ditimbulkan semakin menyeramkan.
"Tidak perlu berteka-teki denganku, Kisanak. Sebut saja siapa namamu, dan apa keperluanmu mencariku? Cepatlah!Kalau kau tidak mau berterus-terang, maka aku tidak akan sudi melayanimu! Namun, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus bertanggung jawab atas kekacauan yang kau timbulkan di tempat ini!" tegas Ki Suta. Meskipun nada suaranya tetap terdengar tenang, namun nyata sekali kalau tersirat suatu ancaman.
"Hm.... Kalau kau memang sudah melupakannya, aku akan membantumu untuk mengingat-ingatnya di akhirat nanti. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk melayat ke neraka!" ancam lelaki berambut meriap itu sambil memasang kuda-kuda, siap menghadapi sebuah pertempuran mati-matian.
"Kurang ajar! Kau benar-benar tidak memandang muka kepadaku. Bedebah! Apakah kau pikir aku akan takut melihat ilmu silat pasaran yang kau pertunjukkan itu! Huh! Jangan merasa sombong dulu, Kisanak. Kalau memang sebuah pertempuran yang diinginkan, aku tidak akan menolaknya!" sahut Ki Suta sambil meraba gagang pedangnya yang tersampir dipunggung.
Srek!
Perlahan-lahan selarik sinar kebiruan muncul ketika pedang Ki Suta mulai tercabut. Rupanya sinar kebiruan itu muncul dari badan pedang, sehingga begitu menyilaukan mata.
Cwiiit! Swiiing!
Terdengar suara sambaran angin tajam ketika Ki Suta menggerakkan senjata didepan tubuhnya. Lalu lelaki setengah baya yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti itu melangkahkan kaki kanannya mundur ke belakang. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri menekuk. Pedangnya tampak melintang di depan muka dengan mata pedang menuju ke bawah. Sedangkan tangan kirinya teracung lurus ke depan menunjuk wajah lawan. Itulah pembukaan jurus Ilmu Pedang Delapan Arah Mata Angin yang merupakan ilmu andalan Ki Suta. Dan kini ilmu itu dikerahkan karena disadari kalau lawannya bukanlah orang sembarangan. Dan itu sudah disaksikan ketika lelaki berambut meriap itu tengah menghadapi keroyokan murid-muridnya.
"Hm...." Lelaki gagah pemetik kecapi itu bergumam lirih, dan sepasang matanya mencorong tajam meneliti setiap gerakan lawannya. Sepertinya ia sudah dapat menebak kalau jurus yang akan digunakan Ki Suta bukanlah jurus-jurus pasaran, melainkan sebuah ilmu silat tinggi yang tidak bisa dianggap remeh. Sesaat kemudian, laki-laki muda berwajah dingin dan kaku itu menggeser tubuhnya beberapa langkah ke belakang.
Dengan pandangan mata tetap tertuju ke depan, segera dibentuknya kuda-kuda serong dengan posisi menyamping. Kecapi yang berwarna perak itu terangkat tinggi di atas kepalanya. Sedangkan tangan kirinya yang jari-jarinya terbuka berada di sisi pinggang. Rupanya si pemetik kecapi itu telah pula menyiapkan ilmu andalannya yang cukup dahsyat. Dan untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh itu hanya saling pandang sambil melangkah berputarke arah yang berlawanan.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan menggelegar, tubuh lelaki pemetik kecapi itu melompat tinggi hingga dua tombak. Kecapi perak di tangannya bergerak cepat membuat putaran. Sesaat kemudian, kecapi itu meluncur deras menuju batok kepala lawan.
Wuttt!
Ki Suta bukan tidak tahu akan bahaya yang tengah mengancamnya. Begitu melihat lawannya mulai membuka serangan, pedangnya segera digerakkan membentuk gulungan sinar biru yang berpendardan membungkus tubuhnya. Dan begitu melompat menyambut serangan lawan, ujung pedang di tangannya tiba-tiba saja muncul dari dalam lingkaran dan langsung melancarkan serangan sebanyak lima kali berturut-turut.
Cwiiit! Swiiit...!
Mata pedang yang membentuk gulungan sinar biru itu meluncur mengancam lima buah jalan darah di tubuh lawan. Melihat serangan yang mematikan, lelaki muda berwajah dingin itu menarik pulang serangannya. Cepat-cepat gerakannya dirubah untuk memapak lima buah serangan Ki Suta dengan menggunakan badan alat musik kecapinya.
Trang! Trang! Trang!
"Aaah...!"
Terdengar benturan nyaring yang disusul teriakan kaget dari mulut Ki Suta. Tubuh laki-laki setengah baya itu terpental ke belakang akibat tangkisan lawan. Namun dengan sebuah gerakan indah, dia berputar sebanyak tiga kali di udara, dan hinggap di atas tanah dengan indahnya. Hanya saja, wajahnya agak sedikit pucat.
Sedangkan gerakan lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak terpengaruh benturan keras tadi. Bahkan ia kembali meluncur dan melancarkan serangan yang mematikan kearah Pendekar Pedang Sakti.
Ki Suta yang belum sempat memperbaiki posisinya, bergegas melempar tubuh dan bergulingan hingga sejauh tiga tombak. Kemudian ia kembali melenting bangkit dan mengatur kuda-kudanya. Begitu serangan lawan kembali datang, pedangnya diayunkan untuk menyambut serangan lawan. Dan kini pertarungan pun kembali berlangsung semakin sengit.
Ketua Perguruan Jalak Hitam itu melancarkan serangannya dengan cepat dan ganas. Sebagai seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti, tentu saja permainan pedangnya tidak bisa dipandang rendah. Serangan-serangan yang dilancarkan tampak demikian hebat dan menggetarkan. Cahaya kebiruan yang terpancar dari batan gpedangnya tampak bergulung-gulung dan menyambar- nyambar di sekeliling tubuh lawan. Tampaknya Ki Suta telah menguras seluruh kepandaiannya untuk mengalahkan orang itu.
Di lain pihak, lelaki berambut meriap itu ternyata memang bukan orang sembarangan. Senjata yang digunakannya sebenarnya tidak lumrah bagi seorang pesilat. Namun ternyata, ia dapat mengimbangi permainan lawan dengan baik. Bahkan serangan-serangan balasannya tidak kalah berbahaya dengan sambaran pedang lawan.
Setelah menghabiskan kurang lebih lima puluh jurus, mulai nampak kalau ilmu yang dimiliki lelaki berwajah dingin itu ternyata masih lebih tinggi dibanding Ki Suta. Hingga memasuki jurus kelima puluh tiga, tampak Pendekar Pedang Kilat semakin terdesak oteh serangan-serangan lawan yang semakin gencar dan berhawa maut itu.
Wukkk!
"Aihhh...!" Ki Suta berseru tertahan ketika pada jurus keenam puluh hampir saja tubuhnya terkena hantaman kecapi perak lawan. Untunglah tubuhnya masih sempat digulingkan, sehingga hantaman senjata lawan hanya mengenai tempat kosong. Namun wajah Ketua Perguruan Jalak Hitam itu mendadak pucat. Karena pada saat tubuhnya melenting bangkit, tahu-tahu saja kecapi yang terlapisi perak itu telah meluncur mengancam kepalanya. Cepat orang tua itu meliukkan tubuhnya dengan kuda-kuda rendah. Untunglah serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan baru saja Ki Suta hendak menarik napas lega, telapak tangan kiri lawan telah menggedor dada kirinya.
Blakkk!
"Huaghkkk..!" Pendekar Pedang Sakti langsung memuntahkan darah segar ketika hantaman telapak tangan yang berisi tenaga dalam tinggi itu mengenai dadanya. Tubuh orang tua itu terjengkang ke belakang tanpa dapat dicegah lagi. Belum lagi tubuhnya terjatuh ketanah, kecapi perak ditangan lawan kembali terayun ke arah kepalanya.
Wukkk! Prakkk!
"Hugkh...!" Sungguh malang nasib orang tua itu. Kini kecapi perak itu telah menghantam kepalanya hingga pecah! Darah segar bercampur cairan putih kental langsung memercik membasahi bumi. Tubuh tanpa kepala milik Ki Suta langsung ambruk keatas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh Ketua Perguruan Jalak Hitam itupun diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Lelaki berambut meriap itu berdiri tegak mengawasi mayat lawannya. Bibirnya tampak menyunggingkan senyum puas. Lalu tangannya diulurkan, merobek sabuk Ki Suta. Dengan tenang, dibersihkannya alat musik kecapi di tangannya dengan sobekan kain itu. Setelah bersih, orang aneh itupun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Guru...!"
Belasan orang laki-laki berseragam hitam dengan bagian dada bergambar burung jalak itu menghambur kearah mayat gurunya. Beberapa diantaranya berlari memburu orang yang telah membunuh gurunya itu. Rupanya mereka baru tersadar setelah melihat kepergian si pemetik kecapi. Belasan orang murid yang menyaksikan pertarungan tadi sempat terkesima melihat kematian Ki Suta. Mereka hampir tidak mempercayai kalau sang Guru telah roboh di tangan orang itu.
"Jahanam! Mau lari ke mana kau, Pembunuh Keji?! Kau harus menebus kematian guruku dengan darahmu!" bentak salah seorang murid yang telah mengepung lelaki pemetik kecapi itu.
"Maaf. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Lebih baik urus mayat gurumu itu," kilah orang itu sambil terus melangkahkan kakinya tanpa mempedulikan orang-orang yang menghadangnya dengan senjata terhunus.
"Huh! Enak saja bicara! Langkahi dulu mayat kami baru kau dapat meninggalkan tempat ini!" teriak yang lainnya dengan kemarahan yang meluap-luap. Dan tanpa mempedulikan keselamatan lagi, orang itu pun melompat menerjang dengan sambaran pedangnya.
Wuttt!
"Hm...." Sambil tetap menenteng kecapi peraknya, lelaki itu melangkah mundur menghindari sambaran pedang yang mengancam perutnya. Begitu sambaran pedang luput, kakinya kembali bergerak melakukan tendangan kedada murid Perguruan Jalak Hitam itu.
"Hugkh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh penyerang itu terjungkal disertai semburan darah dari mulutnya, dan langsung tergeletak tak berdaya dengan napas satu-satu.
Melihat kejadian itu, yang lainnya tanpa sadar bergerak mundur! Dan kesempatan itu tidak disia-siakan lelaki berambut meriap. Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat meninggalkan tempat itu disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup sempurna. Beberapa saat saja,tubuhnya hanya berupa bayangan samar yang bergerak di antara pepohonan. Sedangkan murid-murid Ki Suta hanya dapat memandang tanpa mampu mengejarnya.
"Keparat! Tunggu saja pembalasanku nanti!" teriak salah seorang murid, geram dan penuh dendam.
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan Jalak Hitam bergegas mengangkat tubuh Bangkil dan tujuh orang lainnya yang masih tergeletak pingsan. Sedangkan murid yang lain membawa mayat guru merekacke dalam bangunan perguruan. Sehingga dalam beberapa saat saja, halaman depan gedung perguruan itu tampak sunyi dan hening.

* * * * *



«₪֎ [ DUA ] ֎₪»

Dibawah siraman cahaya matahari pagi, tampak dua orang pengendara kuda bergerak menuju ke arah Barat. Mereka menggebah kudanya agar berlari semakin cepat, sehingga menimbulkan kepulan debu yang membumbung keangkasa. Padahal, kuda-kuda itu sudah mendengus-dengus kelelahan.
Kedua orang penunggang kuda itu menarik tali kekang ketika tiba pada sebuah pertigaan jalan. Untuk beberapa saat lamanya mereka mengamati jalan yang terbentang di depan mereka. Sepertinya, keraguan mereka mulai timbul ketika melihat jalan yang terpecah, antara belok kiri dan belok kanan.
"Mengapa berhenti, Kakang? Apakah kau telah lupa jalannya?" tanya penunggang kuda yang bertubuh kurus seraya menatap wajah kawannya yang bertubuh kekar itu.
"Hm..., entahlah. Sebaiknya kita ambil jalan yang kekiri saja. Kalau bertemu desa nanti, aku akan bertanya kepada penduduk. Mari, kita berangkat!" ajak lelaki bertubuh kekar itu. Dia kemudian melarikan kudanya perlahan, karena jalan yang dilewati itu banyak ditebari batu yang bertonjolan. Kalaupun dipaksa cepat, mungkin kuda mereka akan terperosok.
"Huh! Jalanan rusak seperti ini, apa mungkin di depan sana ada pedesaan?" gumam lelaki bertubuh kurus mengomel tak karuan.
"Seingatku, di depan sana memang terdapat sebuah desa, Adi," sahut lelaki bertubuh kekar itu.
Tidak berapa lama kemudian, jalan yang dilalui kembali mulus. Dan mereka kembali membedal kuda mereka agar berlari lebih cepat
"Nah, betulkan kataku. Lihatlah! Bukankah itu mulut sebuah desa," ujar lelaki bertubuh kekar sambil menunjuk ke sebuah tanda yang menunjukkan adanya desa yang hanya beberapa ratus batang tombak lagi.
Laki-laki kurus yang diajak bicara hanya mengangguk dengan wajah cerah. Sepertinya hatinya merasa gembira karena apa yang diduga kawannya itu benar. Dan kini desa itu tidak jauh lagi di depan mereka.
"Berarti perjalanan kita tidak akan lama lagi, bukan?" laki-laki bertubuh kurus itu minta penegasan, seraya menyusut keringat yang menitik dikening.
"Hm...," gumam orang bertubuh gemuk itu mengiyakan. Kemudian kudanya segera digebah agar berlari semakin cepat. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk mencapai mulut desa.
"Heya, heya, heyaaa...!"
Lelaki bertubuh kurus yang berada di belakang, bergegas membedal kuda, menyusul kawannya yang telah melesat ke depan. Hingga tidak berapa lama kemudian, rumah-rumah penduduk pun mulai nampak.
"Kita beristirahat dulu sejenak di kedai itu untuk menyegarkan tubuh. Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan," usul orang bertubuh kekar itu seraya membelokkan kudanya ke arah kedai yang terlihat agak ramai oleh pengunjung. Maka, kawannya pun bergegas mengikuti.

* * * * *




Laki-laki bertubuh kekar dan yang bertubuh kurus telah keluar dari kedai dengan wajah lebih cerah dan segar. Mereka bergerak menuju kuda masing-masing.
"Kau tidak jadi bertanya kepada penduduk disini, Kakang?" tanya si kurus mengingatkan kawannya, sambil melangkah.
"Hm.... Tidak perlu! Karena setelah bertemu desa ini, aku yakin tujuan kita sudah dapat ditemukan," sahut laki-laki bertubuh kekar itu.
Dia kemudian segera melompat keatas punggung kuda, diikuti temannya. Begitu ringannya gerakan mereka. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah cukup tinggi. Kini kuda mereka kembali berlari menuju batas akhir desa itu.
Tidak berapa lama, kedua penunggang kuda itu tiba di sebuah bangunan yang cukup besar. Kelihatannya bangunan itu adalah sebuah perguruan. Mereka tampak berhenti sejenak sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu, seolah-olah hendak meyakini kalau tempat itu memangyang dituju. Dan belum lagi mereka berbuat sesuatu, tiba- tiba....
"Hei, berhenti! Siapa kalian?! Dan apa maksud kalian datang ketempat ini?!" tanya seorang laki-laki yang sepertinya penjaga pintu gerbang perguruan. Sedangkan penjaga yang seorang lagi tampak menyelidiki wajah kedua orang itu dengan teliti.
"Namaku Bangkil, dan ini Wirja. Kami adalah utusan dari Perguruan Jalak Hitam. Kedatangan kami kemari bermaksud akan menemui Ketua Perguruan Jari Besi," jawab lelaki kekar yang ternyata adalah Bangkil itu. Tubuhnya yang tinggi besar tampak membungkuk hormat kepada penjaga itu.
"Maksudmu, kau murid Pendekar Pedang Sakti!" tanya si penjaga menegasi. Wajahnya tampak berubah begitu mendengar asal kedua orang itu.
"Benar. Dan kedatangan kami kemari membawa sebuah berita yang sangat penting!" jawab Bangkil cepat.
"Ah! Kalau begitu, mari, mari silakan masuk!"
Kemudian Bangkil dan temannya bergegas memasuki pintu perguruan itu, diiringi dua penjaga tadi.
"Kami akan melapor kedatangan kalian kepada guru kami. Jadi, tunggulah di sini," ujar penjaga itu lagi sambil melangkahkan kaki meninggalkan kedua orang tamunya untuk melapor kepada guru mereka.
"Baik," jawab Bangkil dan Wirja sambil merayapi daerah sekitar bangunan besar itu. Mereka menganggukkan kepala ke arah para murid yang tengah hilir-mudik mengerjakan kesibukan masing-masing.
Tidak berapa lama kemudian, penjaga yang melapor tadi telah muncul dan mempersilakan Bangkil dan Wirja memasuki bangunan utama perguruan. Bangkil dan Wirja bergegas memasuki bangunan utama Perguruan Jari Besi. Ternyata, di situ telah menunggu seorang laki-laki setengah baya yang berwajah bulat. Dialah yang menjadi ketua perguruan disini. Maka Bangkil dan Wirja segera menjura memberi hormat layaknya orang persilatan.
"Hm.... Kalian murid utama Ki Suta? Pesan apa yang kalian bawa dari Ki Suta?" tanya Ketua Perguruan Jari Besi seraya mempersilakan duduk kedua tamunya.
Namun, dua orang murid Perguruan Jalak Hitam itu tidak segera menjawab. Mata mereka malah terarah kesatu tempat. Disitu memang ada seorang lagi yang usianya kira-kira empat puluh tahun.
"Tidak perlu khawatir. Dia ini juga sahabat gurumu!" lanjut lelaki setengah baya itu seperti bisa membaca pikiran mereka.
Sinar keraguan di wajah Bangkil dan Wirja pun lenyap setelah mendapat keterangan Ketua Perguruan Jari Besi. Lalu mereka segera menceritakan maksud kedatangan kepada kedua orang sahabat guru mereka itu.
"Apa?! Guru kalian mati terbunuh?! Siapa yang telah membunuhnya?" tanya lelaki setengah baya itu terbangkit dari kursinya. Sepertinya orang itu belum sepenuhnya mempercayai keterangan Bangkil. Karena ia tahu betul sampai di mana kepandaian Ki Suta. Dan rasanya sulit dapat dipercaya kalau ada orang yang berani membunuh sahabatnya itu.
"Betul, Ki. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri," timpal Wirja, ikut menegaskan.
"Dan kami tidak tahu, siapa orang yang telah membunuh guru kami. Karena dia sama sekali tidak memberitahukan namanya. Menurut yang kulihat, orang itu memiliki sebuah alat kecapi yang bagian luarnya dilapisi perak. Dalam sebuah syair yang dinyanyikannya, disebut-sebut kalau ia membawa dendam dari Selatan. Entah, kami tidak tahu apa maksud syair yang selalu dinyanyikannya itu," tutur Bangkil melengkapi keterangannya.
"Hm.... Bersenjata sebuah kecapi perak dan datang dari daerah Selatan?" gumam Ketua Perguruan Jari Besi mengerutkan keningnya, seraya melangkah perlahan. Dia berusaha untuk mengingat seorang tokoh yang memiliki senjata aneh itu.
"Kau dapat menerka, siapa tokoh itu, Adi Sura?"
Laki-laki bertubuh sedang yang dipanggil Sura itu hanya menggelengkan kepalanya, karena memang belum pernah mendengar tentang seorang tokoh yang bersenjatakan sebuah kecapi berwarna perak.
"Entahlah, Kakang Ranggit. Mungkin orang itu tokoh yang baru muncul didunia persilatan! Rasanya aku sama sekali belum pernah mendengarnya?" sahut Sura setelah berpikir beberapa saat. Sepertinya, hatinya juga merasa penasaran ketika mendengar cerita Bangkil tadi.
"Bangsat! Siapa pula manusia keparat itu?! Ingin rasanya aku melihat wajahnya!" ujar lelaki setengah baya yang bernama Ki Ranggit sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Terdengar suara buku-buku jarinya berderak keras ketika tangannya dikepalkan.
"Hm.... Kalau memang Ki Suta sampai tewas ditangannya, berarti kepandaian orang itu tidak bisa dipandang ringan, Kakang. Mungkin ia seorang tokoh tua yang baru turun dari pertapaan. Entah, apa masalahnya hingga ia sampai bentrok dengan Ki Suta?" gumam Sura yang telah bangkit berdiri. Kakinya melangkah perlahan menghampiri Ki Ranggit.
"Menurut penglihatanku, orang itu belumcterlaluctua. Mungkin usianya sekitar tiga puluhctahun. Dan rambutnya panjang meriap," Bangkil yang mendengar ucapan orang bernama Sura itu kembali memberi gambaran tentang lelaki aneh yangctelahcmembunuh gurunya.
"Jadi orang yang membunuh gummu itu masih muda?" tanya Sura semakin bertambah heran.
"Betul! Aku melihat jelas ketika ia mengangkat wajahnya yang selalu menunduk itu," jawab Bangkil cepat.
"Hm..., aneh!" gumam Ki Ranggit.
"Merambah hutan membawa duka. Mendaki gunung membawa luka. Dari Selatan dendam membara. Mencari durjana penyebab sengsara"
Pada saat Ki Ranggit dan Ki Sura tengah berpikir keras untuk mengingat tokoh itu, tiba-tiba terdengar alunan musik kecapi disertai nyanyian yang menyelusup masuk ke dalam ruangan bangunan Perguruan Jari Besi. Mendengar suara nyanyian itu, tubuh Bangkil dan Wirja menggigil hebat. Wajah mereka langsung pucat bagai tak berdarah.
"Itulah! Itulah nyanyian orang itu, Ki! Dialah orang yang telah membunuh guru kami!" kata Bangkil dengan suara gemetar karena rasa takut dan tegang.
Ki Ranggit dan Sura yang semula hanya heran mendengar suara nyanyian itu, jadi terkejut. Rasa penasaran dan kemarahan semakin melecut hati mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya bergegas melangkah keluar.
"Sepertinya suara itu berasal dari samping perguruan," duga Sura begitu mereka berhenti di depan bangunan utama untuk mencari sumber suara nyanyian dan alunan kecapi itu.
"Hm.... Mari kita lihat! Aku semakin tak mengerti, mengapa orang aneh itu bisa sampai kemari?" gumam Ki Ranggit sambil mempercepat langkahnya melewati pintu gerbang perguruan.
Bangkil dan Wirja bergegas mengikuti kedua orang itu dari belakang. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang sahabat gurunya itu. Begitu tiba di halaman samping bangunan perguruan, tampaklah seorang lelaki berambut meriap tengah asyik memetik kecapinya di bawah sebatang pohon. Ki Ranggit pun melihat empat orang muridnya sudah berada disitu. Namun, sepertinya si pemetik kecapi sama sekali tidak mempedulikan ucapan dan bentakan empat murid Ki Ranggit. Bahkan tetap saja menunduk sambil menggerakkan jemarinya dengan lincah dan teratur.
Keempat murid Perguruan Jari Besi menoleh ketika mendengar langkah kaki mendatangi tempat itu. Begitu melihat kalau salah seorang dari mereka adalah gurunya, keempat orang itu segera berlari menyambutnya.
"Ampun, Guru. Kami sudah berusaha mengusirnya. Tapi orang itu sama sekali tidak peduli. Kami tidak tahu, apakah dia memang tuli atau sengaja membandel," lapor salah seorang murid Ki Ranggit yang sudah bersimpuh dihadapan lelaki setengah baya itu.
"Hm.... Jadi dia memang sengaja tidak mau pergi?" tanya Ki Ranggit penuh wibawa. Kemudian, jenggotnya yang sudah mulai berubah warna itu dielus-elusnya.
"Betul, Guru. Kami tidak tahu, dari mana datangnya. Karena tahu-tahu saja ia telah duduk di bawah pohon itu dan memainkan kecapinya,"jawab orang itu lagi.
"Kalian menyingkirlah! Biar kulihat, apa sebenarnya yang dikehendaki orang itu!" ujar Ki Ranggit yang segera melangkahkan kakinya mendekati orang itu.
Sedangkan si pemetik kecapi masih tetap saja menunduk, seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan kedatangan orang-orang itu. Kecapinya terus dipetik sambil memperdengarkan nyanyian yang menimbulkan kesedihan dan keseraman itu.
"Kisanak. Apa sebenarnya tujuanmu datang ke tempat ini?" tanya Ki Ranggit sambil meneliti sosok tubuh yang tengah duduk di hadapannya itu. Jarak keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.
Mendengar teguran yang bernada mengancam itu, si pemetik kecapi segera menghentikan permainannya. Setelah menghembuskan napasnya kuat-kuat, kepalanya perlahan-lahan diangkat.
"Eh...!?" Ki Ranggit berseru tertahan. Hatinya benar-benar terkejut melihat sinar mata orang itu yang mencorong tajam dan mengandung kekuatan dahsyat.
"Hm.... Kau pasti si Jari Besi yang tersohor itu, bukan?" tanya lelaki pemetik kecapi itu dengan suara dingin menyeramkan. Sedangkan wajahnya tetap beku dan tidak menggambarkan perasaan apa-apa. Hanya sinar matanya saja menyiratkan dendam dan sakit hati.
"Betul. Akulah si Jari besi. Kau sudah mengenalku, Kisanak? Siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki Ranggit lagi. Memang sejak tadi orang itu belum menjawab pertanyaannya.
"Hm.... Terserah, julukan apa yang hendak kau berikan kepadaku. Aku tidak peduli! Yang pasti, kedatanganku kemari adalah untuk menagih hutang darah pada sepuluh tahun silam!" sahut orang itu dengan wajah berubah gelap. Setelah berkata demikian, jemari tangannya bergerak memetik dawai kecapinya secara berbarengan.
Jreeeng!
"Aaah...!" Ki Ranggit berseru kaget karena tubuhnya terasa bergetar akibat serangan suara kecapi itu. Cepat ia melompat mundur sambil menyedot napas dalam- dalam. Kemudian tenaga dalamnya dikerahkan untuk melawan pengaruh suara petikan kecapi yang telah menggetarkan dadanya itu. Diam-diam laki-laki setengah baya itu semakin merasa terkejut melihat kehebatan tenaga dalam pemetik kecapi yang dapat disalurkan melalui kecapinya.
Sedangkan orang-orang lain yang ada di sekitar situ sudah berlompatan mundur. Memang suara itu juga mempengaruhi mereka. Bahkan empat orang murid Perguruan Jari Besi sampai jatuh terjengkang. Dari sudut bibir mereka nampak cairan merah merembes keluar. Hebat sekali tenaga serangan yang dilontarkan melalui dawai-dawai kecapi itu.
"Kisanak. Mungkin kau salah alamat! Kami sama sekali tidak mengenalmu. Jadi, bagaimana mungkin kalau mempunyai urusan denganmu? Jika kau memang sengaja ingin mencari gara-gara, tidak perlu menggunakan alasan! Kami akan melayani tantanganmu!" tegas Sura. Sura yang sudah bangkit kemarahannya bergegas melangkah maju. Ditangannya telah tergenggam dua batang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. Sepertinya ia telah siap untuk menghadapi orang itu.
"Hm...Pendekar Tombak Kembar, jadi kau sudah berada di sini? Bagus kalau begitu. Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi mencarimu," kata lelaki berambut meriap itu agak terkejut melihat adanya Sura ditempat itu. Rupanya tadi ia sama sekali tidak memperhatikan keberadaan Sura.nBukan main terkejutnya Sura ketika orang itu ternyata sudah mengenalnya. Dan hal itu membuatnya semakin keheranan. Dan seingatnya, ia sama sekali belum pernah bertemu pemetik kecapi itu.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Dan dari mana kau mengetahui kalau aku adalah Pendekar Tombak Kembar? Jangan jadi seorang pengecut yang mencari selamat, dengan menyembunyikan nama atau julukan?" bentak Sura semakin penasaran.
Meskipun Sura telah berusaha mengingat, namun tetap saja tidak dapat menebak lelaki aneh pemetik kecapi itu. Dan hatinya semakin heran, karena orang itu mengenalinya.
"Hm.... Tidak kusangka kalian telah menjadi seorang pengecut! Dan meskipun kalian telah melupakan peristiwa berdarah dikaki Gunung Balak pada sepuluh tahun yang lalu, bagiku hutang itu tetap harus dibayar lunas! Dan hari ini aku datang menagihnya!" sahut orang itu yang tetap saja tidak bersedia menyebutkan namanya.
"Hei!" Ki Ranggit dan Sura berseru kaget berbarengan. Mereka melangkah mundur dengan wajah pucat. Kedua tokoh itu seperti terpukul setelah diingatkan tentang kejadian itu.
"Dari.... Dari mana kau mengetahui peristiwa itu, Kisanak? Dan rasanya, kami tidak mengenalmu?" tanya Ki Ranggit. Wajah orang tua itu nampak sedih. Sepertinya dia merasa menyesal dengan kejadian yang telah membuat hati mereka terpukul.
"Maaf. Bukan aku ingin menyembunyikan namaku, tapi memang telah lama tidak kuingat lagi. Sepuluh tahun aku menyembunyikan diri untuk dapat membalaskan dendam sakit hati ini. Segala penderitaan dan kesengsaraan tidak kupedulikan demi hutang darah yang telah kalian perbuat. Dan kini aku datang menagihnya!" tegas orang itu. Suaranya bergetar, membayangkan peristiwa berdarah yang masih melekat dibenaknya.
"Kisanak. Kami memang bersalah saat itu. Dan rasa bersalah itu terus mengganggu sehingga hidup kami tidak memperoleh ketenangan. Namun kami tidak mengelak dari tanggung jawab. Marilah persoalan ini diselesaikan dengan ujung senjata," tantang Sura yang rupanya juga tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dan sepertinya ia pun tidak takut menerima pembalasan akibat perbuatan sepuluh tahun yang silam.
"Aku tidak peduli, apakah kalian sudah menyesal atau belum. Tugasku adalah membalas dendam! Jadi jangan berharap dosa kalian akan kuampuni. Karena penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi!" tegas lelaki berambut meriap itu yang segera bersiap menghadapi Ki Ranggit dan Sura.
"Kami tidak mengharap belas kasihanmu, Kisanak. Dan kami pun tidak takut menerima hukuman, karena hal itu akan lebih baik lagi. Dengan demikian perasaan berdosa itu akan berkurang," sahut Ki Ranggit yang juga sudah bersiap menghadapi pembalasan yang akan dilakukan laki-laki pemetik kecapi yang sama sekali tidak dikenal itu.
"Bersiaplah!" ujar lelaki bersenjata kecapi perak, memperingatkan kedua orang lawannya. Sesaat kemudian, tubuhnya telah melesat disertai teriakan nyaring.
"Heaaat...!"
Melihat lawan sudah membuka serangan, Sura segera memutar sepasang tombak pendeknya secara berlawanan. Kemudian tubuhnya melompat menyambut serangan.
"Yeaaat...!"
Menyadari kalau lelaki berambut meriap itu bukan orang sembarangan, maka Ki Ranggit sudah pula maju menyerbu. Meskipun hanya menggunakan tangan kosong, namun serangannya jangan dianggap remeh. Karena jari-jari tangannya itu sanggup menembus tubuh lawan. Bahkan serangan tangannya dapat lebih berbahaya daripada senjata tajam. Itulah sebabnya, mengapa dia dijuluki Pendekar Jari Besi.
"Heaaah...!"
Lelaki pemetik kecapi membentak keras dan melempar tubuhnya ke belakang. Karena pada saat itu, serangan dari kedua orang lawannya datang secara berbarengan. Begitu kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat kembali ke arah lawan-lawannya. Senjata di tangannya mengaung dahsyat bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah.
Wuttt! Wuttt...!
Selarik sinar keperakan berkilatan menyilaukan mata ketika kecapi perak ditangan laki-laki berambut meriap menyambar dengan kecepatan menggiriskan!
Ki Ranggit yang menjadi sasaran utama serangan itu, bergegas menarik mundur kaki kanan sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Begitu serangan lawan luput, kaki kanannya kembali melangkah maju disertai tusukan jari-jari tangannya yang meluncur deras menuju lambung dan iga lawan. Namun hal itu sama sekali tidak membuat si pemetik kecapi gugup. Dengan tenang kakinya digeser ke samping disertai gerakan tubuh. Sementara, tangan kirinya langsung terlontar ke lambung lawan yang terbuka.
Tentu saja hati Ki Ranggit menjadi tercekat melihat gerakan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat kedua serangannya ditarik pulang dan langsung tubuhnya dilempar hingga bergulingan beberapa tombak. Pada saat yang bersamaan, serangan tombak kembar Sura meluncur datang. Dari sambaran anginnya dapat ditebak kalau pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sepasang mata tombak kembar itu bergerak saling susul-menyusul dengan kecepatan menggetarkan.
Swiiit! Swiiit...!
Si pemetik kecapi yang semula hendak mengejar Ki Ranggit, terpaksa menarik tubuhnya. Ujungbtombak kembar pertama lewat di depan tubuhnya beberapa jari. Sedangkan tombak yang lain bergerak menyilang ke arah leher.
"Hmh...!" Sambil mendengus mengejek, si pemetik kecapi meliukkan tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu ia telah berada di belakang tubuh Sura. Saat itu juga kecapi peraknya terayun deras menghantam punggung Pendekar Tombak Kembar.
Bugkh!
"Huaaagkh...!" Hantaman yang telak dan keras itu membuat tubuh Sura tersuruk ke depan, dan langsung memuntahkan darah segar. Dan sebelum tubuhnya sempat mencium tanah, sebuah tendangan keras kembali menghajar punggungnya.
Desss!
"Hugkh...!" Tubuh Sura langsung terpental deras ke depan. Sepasang tombak yang semula tergenggam ditangannya kontan terpental entah ke mana. Sedangkan tubuhnya terus meluncur dengan kepala terlebih dahulu mengarah kesebatang pohon besar.
Derrr!
"Aaakh...!" Terdengar bunyi berderak tulang patah, ketika kepala Pendekar Tombak Kembar menghantam batang pohon itu. Diiringi jerit kesakitan, tubuhnya langsung ambruk ke tanah. Darah segar kontan mengalir deras dari ubun-ubun kepalanya yang retak akibat tumbukan yang keras tadi. Setelah meregang nyawa beberapa saat, tubuh Sura pun diamtak bergerak-geraklagi.Diatewasdenganluka-luka yang amat parah di bagian kepala.
"Adi Sura...!" Ki Ranggit berteriak parau memanggil nama sahabatnya. Tubuh laki-laki setengah baya itu menggigil hebat melihat kematian kawannya yang mengenaskan. Untuk beberapa saat lamanya ia hanya dapat berdiri kaku dengan sepasang mata membelalak dan wajah pucat
"Jahanam kau, Manusia Iblis! Kau harus bayar mahal kematian sahabatku itu!" bentak Ki Ranggit dengan kemarahan menggelegak, memenuhi rongga dadanya. Bagaikan orang kerasukan setan, Ki Ranggit menerjang lawannya dengan serangan-serangan ganas.
"Yeaaat..!" Sambil memekik nyaring, jari-jari sepasang tangannya yang terbuka menusuk susul-menyusul.
Swittt! Wuttt..!
Angin tajam berdesiran mengiringi tusukan jari tangan yang keras bagaikan besi itu. Dalam waktu singkat saja, Ki Ranggit telah melancarkan tujuh buah serangan mematikan. Kalau saja lawannya tidak berilmu tinggi, pasti sudah tergeletak tewas dengan tubuh dipenuhi lubang. Tapi sayang, kali ini Ki Ranggit harus menelan kenyataan pahit. Serangan-serangannya yang demikian gencar itu, ternyata dapat dihalau lawan tanpa kesulitan berarti. Gerakan lawan yang demikian lincah dan gesit, membuat kemarahannya semakin meledak-ledak. Hatinya benar-benar merasa penasaran sekali melihat serangan-serangannya sama sekali tidak ada artinya bagi si pemetik kecapi. Sehingga hal itu semakin membuat Pendekar Jari Besi itu semakin kalap! Serangan-serangannya pun semakin membabibuta dan tidak lagi terarah.
"Haaat..!"
Pada jurus yang keempat puluh, tiba-tiba lelaki berambut meriap itu mengeluarkan bentakan keras dan mengejutkan. Bersamaan dengan itu,tubuhnya bergeser ke kiri dan langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke dada lawan. Tidak sampai di situ saja. Kecapi perak di tangan kanannya juga terayun deras menyusuli tendangannya.
Zebbb!
"Uh...!" Ki Ranggit memiringkan tubuh untuk menghindari tendangan yang kekuatannya tidak diragukan lagi itu. Kemudian tubuhnya dilempar, lalu berputar beberapa kali di udara untuk menghindari sambaran kecapi perak yang mengancam pinggulnya. Begitu kedua kaki menjejak tanah, Ki Ranggit kembali bersalto ke belakang untuk menjaga kalau-kalau lawan akan menyusuli serangan.
Tapi lelaki bersenjata kecapi perak itu sama sekali tidak berusaha mengejar lawan. Dia malah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Sepasang matanya mencorong tajam menatap lawannya yang terpisah sejauh lima batang tombak. Tampak lelaki aneh itu menarik napas panjang, disertai geseran kedua kakinya membentuk kuda-kuda. Tubuhnya merendah dengan kedua lutut hampir bersentuhan. Sepertinya ia tengah menyiapkan sebuah ilmu baru yang merupakan andalannya.
"Bersiaplah menghadapi ilmu 'Kecapi Maut Perenggut Sukma'ku, Jari Besi! Berbanggalah kau! Karena, kaulah orang pertama yang akan merasakannya!" desis si pemetik kecapi, dingin.
Wuuusss...!
Tak lama kemudian, angin keras berhembus memenuhi daerah sekitar pertarungan. Ki Ranggit terlihat gelisah karena merasakan ada suatu pengaruh luar biasa yang menguasainya. Seketika itu juga bulu kuduknya meremang karena dicekam kengerian hebat.
"Gila! Ilmu iblis macam apa lagi ini...?" desis Ki Ranggit dengan perasaan gentar dan ngeri. Dan tanpa malu-malu lagi, murid-muridnya segera diperintahkan untuk mengeroyok lelaki anehvberambut meriap itu. 
"Hei! Kenapa kalian diam saja seperti patung! Serang dan bunuh manusia iblis, itu, Goblok!"
Puluhan murid Perguruan Jari Besi yang sejak tadi sudah berkumpul di tempat itu, menjadi pucat ketika mendengar bentakan gurunya. Dengan perasaan takut-takut, mereka segera mencabut senjata dan siap mengeroyok laki-laki bersenjata kecapi perak itu. Bahkan empat orang murid utama Ki Ranggit sudah mengambil kesempatan untuk menerjang lebih dulu.
"Yeaaat...!"
Sambil berteriak keras, salah seorang dari mereka memberi isyarat untuk segera menyerang. Empat batang pedang pun berkelebat mengancam dari empat penjuru.
Wuttt! Wuttt..!
Suara sambaran angin pedang sama sekali tidak mengganggu lelaki aneh itu. Bahkan terus saja melakukan gerakan perlahan yang semakin lama semakin cepat. Sesekali jemari tangan kanannya bergerak menyentil dawai-dawai kecapi yang terasa menggetarkan dada.
Creeeng! Jreeeng!
Hembusan angin bergemuruh semakin keras mengiringi alunan kecapi yang kini digunakan untuk menyerang. Pepohonan disekitar tempat itu berderak ribut bagaikan dilanda angin topan. Bahkan tembok-tembok bangunan perguruan juga terlihat bergetar bagaikan hendak roboh.
"Aaakh...!"
Empat orang murid utama Ki Ranggit terpental balik bagaikan didorong sebuah kekuatan yang tidak tampak. Tubuh mereka terbanting mencium tanah disertai mengalirnya darah dari mulut, hidung, dan telinga. Tubuh keempat orang itu berkelojotan bagai mengalami siksaan hebat!
Demikian pula halnya dengan puluhan orang murid yang tengah bersiap melakukan pengeroyokan. Mereka berteriak dan menjerit-jerit kesakitan sambil menutupi daun telinga yang terasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk ratusan jarum. Tubuh mereka berjatuhan bagaikan pohon lapuk. Bahkan beberapa belas orang di antaranya sudah diam tak bergerak, tewas akibat serangan yang dilancarkan melalui petikan dawai kecapi. 
Untunglah Bangkil dan Wirja sempat melarikan diri ketika melihat lelaki bersenjata kecapi itu mulai merubah gerakan. Mereka yang pernah merasakan kelihaian orang itu sudah mendapat firasat tidak enak melihat gerakan-gerakan yang dilakukan si pemetik kecapi.
Ki Ranggit yang mengalami serangan secara langsung dari lawannya, menjadi menggigil hebat. Orang tua itu mengerahkan seluruh kekuatanvtenaga dalamnya untuk mempertahankan isi dada yang seperti terguncang hebat akibat petikan kecapi. Keringat nampak semakin banyak membanjiri tubuhnya. Wajahnya pucat dan merah berganti-ganti. Sepertinya tidak lama lagi orang tua itu akan mengalami nasib yang serupa dengan murid-muridnya.
"Haaat..!" Tiba-tiba saja, Ki Ranggit berteriak mengguntur disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Saat itu juga tubuhnya meluncur melancarkan serangan.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Ranggit terus bergerak maju sambil menggerakkan kedua tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan. Telapak tangan yang jari-jarinya terbuka meluncur bergantian secara bersilangan.
"Yeaaat..!" Lelaki muda bersenjata kecapi perak itu berteriak nyaring. Tubuhnya melayang menyambut serangan Ki Ranggit. Petikan kecapinya semakin keras dan meng- getarkan jantung.
Creeeng!
"Aaargh...!" Ki Ranggit menjerit ngeri ketika lawan semakin memperkuat tenaganya dalam petikan kecapi itu. Tubuh orang tua itu terlonjak ke belakang bagai disentakkan sebuah tenaga raksasa yang tak tampak. Selagi tubuhnya melambung ke udara, si pemetik kecapi segera melompat tinggi disertai ayunan kecapi perak kearah kepala Ki Ranggit.
Wukkk! Prakkk!
"Hugkh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, kepala orang tua itu kontan berderak pecah. Cairan merah yang bercampur otak, berhamburan membasahi rerumputan disekitar tempat itu. Tubuh Ketua Perguruan Jari Besi ambruk menimbulkan suara berdebuk keras. Kini tewaslah Pendekar Jari Besi dalam keadaan yang lebih menyedihkan daripada sahabatnya.
"Mampuslah kau, Manusia Busuk! Susullah dua orang kawanmu yang telah pergi lebih dulu," maki lelaki berambut meriap itu dengan suara dingin namun bernada maut.
Setelah berdiri beberapa saat sambil memandangi mayat lawan-lawannya, ia pun melesat pergi meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa lompatan saja, tubuhnya telah lenyap ditelan keremangan bayangan-bayangan pepohonan. Tak lama setelah kepergian orang itu, Bangkil dan Wirja muncul dan berlari mendatangi tempat itu. Cepat diperiksanya sosok-sosok tubuh yang bergeletakan. Beberapa orang yang masih bernapas bergegas dibawa masuk.
"Bangsat kau, Pemetik Kecapi! Tunggu saja pembalasanku nanti!" seru Bangkil sembari memandang ke arah perginya orang bersenjata kecapi perak itu.
"Marilah kita kuburkan mereka, Adi. Sedangkan yang masih hidup diobati nanti."

* * * * *



«₪֎ [ TIGA ] ֎₪»

Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya memancar terik dan terasa panas menyengat kulit. Sepertinya sang raja siang itu ingin menampakkan kekuasaannya pada seluruh makhluk bumi.
"Huh.... Panas sekali udara siang ini," desis seorang gadis jelita berpakaian hijau. Sebentar-sebentar dia menyusut peluh yang membasahi dahi dan lehernya. Wajahnya yang bersih dan cantik nampak kemerahan. Namun keadaan itu malah semakin menambah kecantikan parasnya.
"Yahhh. Seperti terpanggang di atas tumpukan bara api saja layaknya. Ayolah bergegas, agar kita bisa tiba lebih cepat didesa depan sana itu," seorang pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di sebelahnya menimpali. Seusai berkata demikian, pemuda itu pun melangkah lebih cepat memasuki daerah hutan karet yang cukup luas.
Gadis jelita berpakaian hijau itu juga bergegas mempercepat langkahnya menjajari pemuda berjubah putih. Mereka terus melangkah menyusuri jalan yang cukup lebar ditengah-tengah hutan karet. Hawa panas yang menyengat kulit itu mulai berkurang ketika angin berhembus menyegarkan.
"Masih jauhkah desa yang kau maksud itu, Kakang?" tanya gadis jelita itu, tak sabar. Sepertinya ia kini ingin segera tiba di pedesaan untuk melepaskan rasa lelahnya.
"Entahlah, Kenanga. Aku hanya menduga-duga saja. Tapi dengan adanya hutan karet ini, pasti ada perkampungan didaerah ini," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Huh! Kalau hanya menduga-duga saja, aku pun bisa," tukas gadis jelita itu, cemberut.
Panji hanya tersenyum saja melihat kekasihnya merajuk. Dibiarkannya saja ketika gadis itu melangkah mendahuluinya. Pemuda itu tahu, Kenanga hanya merasa jengkel dengan ucapannya tadi.
"Hei, Kakang. Lihat ini!" teriak Kenanga sambil membungkukkan tubuhnya seperti menemukan sesuatu.
Panji bergegas menghampiri. Dan memang jarak antara mereka terpisah sekitar sepuluh tombak lebih, sehingga pemuda itu belum sempat mengetahui apa yang telah ditemukan kekasihnya itu.
"Kenapa orang itu, Kenanga?" tanya Panji yang segera mempercepat langkahnya ketika melihat gadis itu tengah memandangi sesosok tubuh yang tergeletak tak bergerak.
"Ia telah meninggal, Kakang. Entah siapa yang telah berbuat sekejam ini? Seluruh tubuhnya penuh luka bacokan," sahut Kenanga sambil memeriksa sosok mayat yang sepertinya belum lama tewas itu.
"Hm....Sepertinya sebelum tewas, ia telah disiksa mati-matian," gumam Panji setelah memeriksa mayat itu beberapa saat. Sedangkan Kenanga sudah melangkah lagi mengikuti ceceran darah yang telah hampir mengering.
"Rupanya orang itu telah berusaha melarikan diri, sebelum akhirnya tewas kehabisan darah," duga gadis itu sambil terus mengikuti bercak-bercak darah diatas permukaan tanah berbatu itu.
"Kakang! Cepat kemari!" teriak Kenanga keras.
Mendengar seruan kekasihnya, Panji bergegas melesat meninggalkan sosok tubuh yang telah kaku. Dari teriakan gadis itu, Panji yakin kalau Kenanga telah menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi. Pemuda itu semakin terkejut ketika melihat belasan sosok mayat bergelimpangan beberapa tombak di depannya.
"Sepertinya mereka rombongan pemusik panggilan, Kakang. Lihat saja pedati-pedati ini!" jelas Kenanga lagi sambil memperlihatkan beberapa alat musik terdapat di dalam pedati itu.
"Hm... Apa yang telah terjadi dengan mereka?" gumam Panji bertanya kepada dirinya sendiri. Segera diperiksanya sosok-sosok mayat yang bergelimpangan tak karuan itu. Di antaranya juga terdapat mayat wanita.
"Mungkinkah mereka telah bertemu perampok di tempat ini?" duga pemuda itu.
"Tidak mungkin, Kakang," Kenanga yang mendengar kata-kata pemuda itu cepat menyahuti.
"Karena semua barang-barang mereka sepertinya masih utuh. Dan lagi kalau betul bertemu perampok, pasti wanita-wanita itu tidak akan dibunuh. Perampok-perampok itu pasti akan menawannya, karena wajah mereka cukup cantik-cantik juga."
"Kalau bukan perampok, lalu siapa yang telah membantai mereka sedemikian kejam? Rasanya tidak mungkin kalau mereka dibunuh tanpa sebab yang jelas?"
"Bisa saja rombongan pemusik lain yang merasa iri dengan mereka. Mungkin robongan pemusik ini lebih terkenal dan lebih disukai daripada yang lainnya?" sahut Kenanga.
Gadis itu rupanya lebih mengerti soal rombongan- rombongan pemusik panggilan. Karena sebagai putri kepala desa, semasa ayahnya masih hidup, ia pun sering mengundang rombongan pemusik apabila ayahnya mengadakan pesta. Jadi ia pun tahu pula kalau ada persaingan di antara rombongan pemusik panggilan itu.
"Hm.... Kalau hanya masalah persaingan mereka sampai dibantai habis begini, rasanya sudah melewati batas. Dan ini sudah merupakan suatu kejahatan yang tidak bisa didiamkan saja," sahut Panji geram.
Setelah sekian lama meneliti namun tidak juga mendapatkan petunjuk tentang pembunuh rombongan pemusik itu, Panji yang dibantu kekasihnya segera membuat sebuah lubang besar untuk mengubur belasan mayat itu.
"Kita harus menyelidikinya, Kakang. Pembunuh biadab itu tidak boleh bebas berkeliaran begitu saja! Terlalu enak bagi mereka! Kita harus memberikan hukuman yang setimpal!" tegas gadis itu. Kenanga memang merasa marah, tapi tak tahu harus kemana menyalurkannya. Sepasang matanya yang indah nampak mengeluarkan sinar berkilat yang menggetarkan jantung. Jemarinya yang lentik terkepal erat hingga menimbulkan suara berderak.
"Sabarlah, Kenanga. Masalah ini masih gelap bagi kita. Jadi kita tidak bisa melemparkan tuduhan sembarangan. Bisa saja rombongan pemusik itu yang bersalah," bujuk Panji menyabarkan kekasihnya. Dibelainya jemari gadis itu untuk menenangkan kemarahan yang bergejolak dalam dada kekasihnya.
"Hhh...," Kenanga menghela napas panjang. Kemarahan gadis itu terlihat mulai reda. Memang, ucapan pemuda itu ada benarnya juga. Dan kemarahannya tidak boleh diumbar dalam menghadapi masalah yang sama sekali belum diketahuinya.
Panji membelai rambut yang hitam lembut milik kekasihnya. Dipandanginya wajah jelita yang sudah kembali seperti sediakala itu. Ia tahu kalau Kenanga telah dapat menguasai perasaannya kembali. Panji pun tersenyum melihatnya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Padahal kita sama sekali tidak mengetahui, apa masalahnya hingga orang-orang itu sampai terbunuh secara kejam," desah Kenanga sambil merebahkan kepalanya di dada bidang milik Panji.
"Lupakanlah, Kenanga. Akupun sempat merasakan, apa yang kau rasakan. Hanya saja aku dapat lebih cepat menyadarinya," sahut Panji menghibur.
"Lebih baik kita mempercepat perjalanan agar tidak kemalaman ditengah hutan karet yang luas ini."
"Ayolah, Kakang. Siapa tahu kita bisa mencari keterangan di desa-desa yang kita temui nanti. Aku masih tetap penasaran kalau belum dapat mengungkapkan misteri ini," sahut Kenanga yang rupanya masih belum puas.
Tidak lama kemudian, kedua pendekar muda itu telah berlari meninggalkan tempat itu mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sayang, pedati-pedati itu sudah tidak ada kudanya lagi. Mungkin para pembunuh itulah yang telah mengusirnya. Sehingga keduanya terpaksa harus mengerahkan ilmu lari cepat untuk tiba lebih cepat di desa yang dimaksud.
Senja mulai menapak ketika kedua orang pendekar muda memasuki mulut sebuah desa. Di jalan utama desa tampak ramai oleh para petani dan pedagang yang pulang ke rumah masing-masing. Kedua pendekar itu telah menghentikan larinya, agar tidak terlalu menarik perhatian penduduk desa.
"Mudah-mudahan saja di desa ini ada penginapan?" ujar Kenanga, berharap. Gadis itu terus melangkah mengikuti Panji. Tidak dipedulikannya pandangan beberapa orang pemuda yang menatapnya penuh kagum. Bahkan seperti terpesona. Dan memang, kecantikan Kenanga sangat menyolok. Sehingga, hampir setiap lelaki yang berpapasan dengannya selalu melemparcpandangan meskipun sembunyi-sembunyi. Sepertinya mereka merasa rugi kalau melewatkannya begitu saja.
"Kalaupun tidak ada, kita bisa menginap disebuah rumah penduduk dengan memberikan bayaran yang cukup. Mereka pasti akan menerimanya dengan senang hati," usul Panji menyahuti kata-kata kekasihnya. Setelah berkata demikian, Panji membelokkan langkahnya ke arah sebuah rumah. Dihampirinya seorang wanita setengah baya yang nampak tengah menyapu halaman.
"Maaf, Nisanak. Apakah di desa ini ada sebuah penginapan?" tanya Panji, sopan.
Wanita setengah baya itu mengangkat wajahnya meneliti pemuda tampan berjubah putih yang berdiri didepannya. Kemudian wanita itu menunjukkan apa yang diinginkan Panji. Setelah memperoleh petunjuk, Panji dan Kenanga kembali melangkah menyusuri jalan utama desa. Menurut keterangan wanita setengah baya tadi, penginapan yang dimaksud terletak hampir ditengah desa.
"Kalau saja wanita itu masih muda, kau tentu akan berlama-lama berbicara dengannya. Sayang sekali, wanita itu sudah tua. Tadi sempat kulihat, bagaimana ia memandangi wajahmu dengan sinar mata berseri- seri," goda Kenanga dengan senyum dikulum.
"Yahhh, sayang sudah tua. Coba kalau masih muda sepertimu, mungkin akan kutanyakan, apakah ia sudah bersuami? Dan kalau dijawab belum, pasti aku akan melamarnya untuk menjadi istriku yang kedua," balas Panji dengan wajah sungguh-sungguh.
"Istri yang kedua? Memangnya kau sudah mempunyai istri pertama?"
"Oh, iya. Apakah aku belum melamarmu?" Panji balik bertanya hingga membuat selebar wajah Kenanga menjadi merah karena jengah.
"Sudah, ah. Kakang semakin ngaco!" sergah gadis jelita itu, seraya menundukkan wajahnya yang tersipu.
"Sayang ayahmu sudah tiada. Kalau tidak, tentuchari ini juga aku akan menghadap beliau untuk melamarmu. Kira-kira, diterima apa tidak ya?" goda Panji lagi.
Kali ini Pendekar Naga Putih tersenyum sambil memandang wajah kekasihnya yang tertunduk itu. Panji semakin senang melihat sepasang pipi yang kemerahan bagai buah tomat masak.
"Tidak tahu, ah...," ujar Kenangacsambil menepiskan tangan Panji yang hendak menggenggam tangannya.
"Kita sudah sampai, Kakang. Jadi tidak kita menginap?" Kenanga memang sengaja mengalihkan pembicaraan untuk mengurangi rasa jengahnya. Bukan saja jengah. Bahkan wajahnya semakin memerah.
"Ya..., jadilah," sahut Panji.
Kemudian, mereka bergegas memasuki rumah penginapan itu. Kenanga mengetahuinya setelah membaca papan yang tergantung diatas pintu rumah itu. Mereka lalu memesan dua buah kamar yang letaknya berdampingan. Malam semakin larut ketika keduanya telah memasuki kamar masing-masing. Suara binatang malam semakin ramai dan menyemarak. Hembusan angin bersilir lembut membuat kedua orang pendekar itu cepat terlelap.

* * * * *



«₪֎ [ EMPAT ] ֎₪»

Seorang gadis yang berusia sekitar delapan belas tahun, melangkah riang menyusuri jalan utama Desa Dadapan. Wajahnya yang bulat telur itu nampak selalu dihiasi senyum cerah. Sepasang matanya bersinar bagaikan bintang dini hari. Menandakan kalau gadis itu memiliki sifat periang danjenaka. Gadis cantik itu membelokkan langkahnya ketika melihat sebuah kedai makan yang cukup besar.
Sebentar kemudian, dimasukinya kedai itu. Beberapa orang pengunjung yang tengah menikmati hidangan langsung menoleh sejenak. Beberapa diantaranya malah menyapa dengan sikap hormat. Pemilik kedai makan yang semula tengah sibuk melayani pelanggan, bergegas menyambut gadis itu dengan terbungkuk-bungkuk. Jelas sekali kalau gadis yang baru datang itu sangat dihormatinya.
"Ah, Nini Kencana Wungu. Ada keperluan apa sampai-sampai Nini sendiri yang datang ke tempat ini?" sambut pemilik kedai sambil membungkuk hormat. Wajahnya yang tampak mulai dijamah ketuaan itu tampak berseri-seri.
"Tidak ada keperluan apa-apa, Paman. Aku hanya ingin mengambil pesanan ayah. Habis, pembantu ayah yang biasa mengambil pesanan sedang ada keperluan lain. Apakah pesanan ayah sudah siap, Paman?" tanya gadis yang dipanggil Kencana Wungu itu ramah. Kelihatan sekali kalau sikapnya tidak merasa sombong walaupun orang-orang yang berada didalam kedai sangat hormat kepadanya.
"Oh! Sudah, sudah. Sebentar Paman ambilkan. Nini duduklah dulu," sahut lelaki berusia enam puluh tahun itu cepat. Kemudian dia bergegas mengambil pesanan yang dimaksudkan oleh gadis cantik itu.
Kencana Wungu duduk tenang sambil merayapi sekelilingnya. Senyum manisnya tak pernah lepas dan selalu menghias wajahnya. Sikapnya pun bebas lepas dan tidak ragu-ragu menegur orang yang dikenalnya. Maka wajar saja kalau penduduk Desa Dadapan menyukai dan menghormatinya. Apalagi gadis itu adalah putri kepala desa.
Beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu muncul kembali membawa pesanan kepala desanya yang selalu disiapkan tengah hari. Dan itu sudah berlangsung lama. Hanya bedanya, kali ini yang mengambilnya justru putri kepala desa itu sendiri. Sudah pasti hal itu membuat pemilik kedai menjadi sibuk dibuatnya
"Terima kasih, Paman. Aku pulang dulu," pamit gadis itu setelah menerima sebuah bungkusan yang diserahkan pemilik kedai.
"Ya, ya.... Sering-seringlah kemari, Nini. Paman akan merasa senang sekali," kata pemilik kedai sambil membungkuk hormat.
Kencana Wungu hanya tersenyum mendengar ucapan orang tua itu. Kakinya segera melangkah melewati pintu kedai. Namun gadis cantik itu menghentikan langkahnya sejenak ketika terdengar alunan musik kecapi yang terbawa angin. Untuk beberapa saat ia terdiam, seolah-olah hendak mencari sumber suara itu. Setelah memastikan asal suara petikan kecapi yang mendayu-dayu itu, Kencana Wungu bergegas menghampirinya. Hatinya sempat tergetar mendengar alunan irama yang terasa menyentuh perasaan itu.
Merambah hutan membawa duka. Mendaki gunung membawa luka. Dari Selatan dendam membara. Mencari durjana penyebab sengsara
"Ihhh, Paman. Mengapa lagu yang kaunyanyikan demikian sedih dan menyeramkan? Mengapa tidak memainkan lagu gembira saja? Bukankah kedengarannya akan lebih enak?" Kencana Wungu yang tahu-tahu telah tiba di tempat si pemetik kecapi langsung saja mencela. Diperhatikannya pemetik kecapi yang berambut meriap itu tanpa merasa takut sedikitpun. Sepertinya gadis lincah ini sama sekali tidak berprasangka buruk terhadap orang itu. Bahkan enak saja ia berjongkok di depan si pemetik kecapi.
Lelaki pemetik kecapi yang duduk dibawah pohon rindang ditepi jalan itu, tersentak kaget. Karena yang menegur adalah seorang gadis. Terbawa rasa penasaran, maka kepalanya segera diangkat. Dia ingin melihat, siapa gerangan gadis yang telah berani menegurnya.
"Ahhh...!" Lelaki pemetik kecapi itu tersentak kaget begitu melihat wajah gadis yang menegurnya. Hampir saja tubuhnya terjengkang. Untung keseimbangan tubuhnya segera terkuasai. Sepasang matanya yang sayu itu membelalak bagaikan melihat hantu di siang bolong.
"Ada apa, Paman? Mengapa Paman memandang ku seperti itu? Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut," ucap Kencana Wungu, seraya bangkit berdiri. Gadis itu benar-benar tidak mengerti, mengapa si pemetik kecapi sampai sedemikian terkejutnya. Padahal, kata-katanya tadi tidak terlalu keras. Gadis itu terus berpikir tak habis mengerti.
"Siapa kau...?" tanya si pemetik kecapi. Suara laki- laki berusia tiga puluh tahun itu bergetar dan hampir tidak terdengar. Dengan kedua kaki gemetar, dia beranjak bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon.
"Kalau sikap Paman masih seperti itu, aku tidak sudi menjawabnya!" sungut Kencana Wungu tanpa perasaan canggung sedikit pun. Dan memang, dia sama sekali belum pernah bertemu orang itu sebelumnya. Namun sikap yang ditunjukkan tak ubahnya tengah berhadapan dengan orang yang telah lama dikenal. Bahkan sudah pula bisa mengancam! Benar-benar gadis yang luar biasa.
"Ah! Aku..., aku..." Si pemetik kecapi semakin gugup melihat sikap yang ditunjukkan gadis cantik berpakaian kuning cerah itu. Cepat-cepat perasaannya yang memang tidak semestinya itu ditekan. Setelah beberapa saat kemudian, barulah hatinya dapat dikuasai. Itu pun belum sepenuhnya berhasil.
"Oh! Gadis ini benar-benar mirip Wirani. Sikapnya yang lincah dan matanya yang bening itu hampir tidak berbeda sedikitpun! Tapi, tidak mungkin! Wirani telah tewas sepuluh tahun yang lalu. Dan aku masih ingat dengan kejadian itu. Jadi, siapakah gadis yang kini berada di depanku? Dan apa yang dikehendakinya dariku?" bermacam pertanyaan timbul, memenuhi benak si pemetik kecapi. Sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya berdiri terpaku menatap gadis itu.
"Ada apa, Paman? Apakah wajahku aneh? Kalau tidak, mengapa Paman memandangku seperti itu?" tanya Kencana Wungu sambil bertolak pinggang.
Kemarahan gadis itu mulai timbul melihat sikap lelaki berambut meriap yang sepertinya tidak waras itu. Atau mungkin orang ini memang kurang waras? Rasanya kasihan sekali kalau orang segagah itu ternyata pikirannya terganggu. Benak Kencana Wungu terus digayuti dugaan.
"Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nisanak. Aku..., aku hanya merasa terkejut melihatmu yang tahu-tahu sudah berada di depanku. Siapakah kau, Nisanak? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?" tanya lelaki itu menyadari kesalahannya. Diam-diam ia merasa heran sendiri kepada dirinya. Sebab, tidak bisanya ia berbicara begitu banyak dan lancar. Padahal, biasanya dia enggan sekali mengeluarkan kata-kata. Dan itu sudah lama terjadi semenjak tunangannya dibunuh secara kejam, setelah terlebih dahulu dinodai musuh-musuh gurunya. Tapi menghadapi gadis ini, ia benar-benar merasa lain. Memang sulit dicari penyebabnya
"Hm..., baiklah. Kumaafkan sikapmu tadi, Paman. Dan sebaiknya kaulah yang lebih dulu memperkenalkan namamu. Bukankah sudah sepantasnya demikian?" ujar Kencana Wungu dengan sikap wajar. Kemarahan di hati gadis itu telah lenyap ketika mendengar permintaan maaf laki-laki yang semula disangka sinting itu. Diam-diam gadis itu mengagumi wajah lelaki gagah yang tampak matang dan penuh garis-garis penderitaan itu.
"Ya, ya.... Memang begitu seharusnya. Namaku Rimang. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di desa ini," jawab si pemetik kecapi memperkenalkan dirinya.
"Namaku Kencana Wungu, dan biasa dipanggil Kencana saja. Aku adalah penduduk desa ini yang kebetulan lewat dan tertarik dengan permainan kecapimu yang menyedihkan itu. Mengapa sih, kau suka sekali menyanyikan lagu sedih? Hm.... Sebaiknya aku memanggilmu apa ya? Rasanya kau belum terlalu tua. Jadi, tidak pantas menyebutmu paman. Bagaimana kalau kau kupanggil dengan sebutan kakang saja. Setuju?" gadis yang memang pandai bicara itu terus nyerocos, seperti tak mau berhenti.
Mendengar ucapan gadis cantik yang lincah dan pandai bicara itu, mau tak mau Rimang tersenyum. Kembali hatinya dijalari perasaan aneh? Buktinya, ia sudah bisa pula tersenyum! Padahal, rasanya ia sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Dan memang, hal itu sudah tidak pernah lagi dilakukannya. Yang ada, selama ini hanyalah kebekuan dan hati yang mati. Tapi menghadapi gadis cantik ini, rasanya dirinya telah hidup kembali. Gadis itu ternyata sanggup menghidupkan semangatnya yang telah mati. Dan hal itu benar-benar membuatnya heran.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku?" tanya lelaki itu kepada dirinya sendiri.
"Kau tidak keberatan, Kakang Rimang?" tanya Kencana Wungu lagi, ingin penegasan. Memang, gadis itu melihat Rimang hanya terpaku disertai pandangan mata kosong dan menerawang jauh. Sementara bibirnya mengulas senyum sehingga membuat Kencana Wungu menahan tawanya.
"Oh! Eh,apa..., apa?" tanya Rimang tersentak dari lamunannya. Pemetik kecapi itu menjadi rikuh menyadari sikapnya.
"Hi hi hi...!" gadis itu tak dapat lagi menahan tawanya melihat wajah Rimang yang ketolol-tololan itu.
"Aku tadi hanya bertanya, apa boleh memanggilmu dengan sebutan kakang?"
"Oh...," desah Rimang lega.
"Terserah bagaimana baiknya menurutmu, Kencana. Bagiku tidak menjadi soal." Rimang juga menjadi tersenyum melihat kegembiraan gadis itu.
"Nah! Sekarang, kuminta agar Kakang menyanyikan lagu gembira. Mau, kan? Aku tidak suka lagu sedih, karena akan membuatku jadi teringat almarhum ibuku," ujar gadis cantik itu seraya menundukkan wajahnya.
"Oh! Jadi, ibumu sudah tiada?" sentak Rimang. Si pemetik kecapi itu menjadi iba melihat wajah yang semula riang itu mendadak tertutup mendung. Ingin sekali rasanya membelai rambut gadis itu dan menghiburnya agar tidak bersedih lagi.
"Ya, sejak aku berusia lima tahun," jawab Kencana Wungu seraya mengangkat wajahnya.
"Ah, sudahlah, Kakang. Untuk apa mengingat hal-hal yang sudah lalu. Ayolah, mainkan kecapimu."
Melihat mendung di wajah gadis itu sudah mulai hilang, Rimang segera menggerakkan jemarinya memetik dawai-dawai kecapi. Maka terdengarlah alunan denting kecapi yang merdu merayu. Kencana Wungu memandangi jemari laki-laki itu yang menari-nari lincah di atas papan kecapi. Matanya berbinar-binar memancarkan kegembiraan yang amat sangat. Senyum dibibir Rimang semakin melebar melihat kegembiraan yang terpancar dari sepasang mata indah itu. Maka dia semakin bersemangat memainkan lagu-lagu gembira.
Padahal selama ini lagu-lagu itu belum pernah dimainkannya. Rimang merasa seolah-olah baru terlahir ke bumi, dan baru dapat melihat betapa indahnya hidup ini. Dan yang membuatnya heran, adalah keinginan untuk berlama-lama bersama gadis lincah yang baru dikenalnya itu. Entah apa yang ada dalam diri gadis itu, sehingga membuatnya bersemangat dan bergairah menghadapi hidup. Hanya saja Rimang jadi takut begitu mengetahui, kalau dia memiliki suatu perasaan terhadap Kencana Wungu.
Dan kini kegembiraan dan kebahagiaan yang mereka rasakan itu tidak berlangsung lama, dan tiba-tiba direnggut begitu saja oleh dua orang berseragam hitam yang menghampiri mereka.
"Nini Kencana. Ayahmu menyuruh kami untuk segera menjemputmu," kata salah seorang di antaranya, penuh hormat. Alisnya nampak berkerut ketika memandang orang berambut meriap yang bersama putri majikannya itu.
Kencana Wungu menoleh kepada dua orang itu dengan kening berkerut. Sepertinya gadis itu merasa tak senang dengan kehadiran kedua orang pembantu ayahnya yang telah merusak kegembiraan itu.
"Nih! Bawalah pesanan ayah. Dan pulanglah! Aku akan menyusul nanti!" kata gadis itu, ketus. Sambil berkata demikian, diserahkannya bungkusan yang dibawa kepada kedua orang pembantu ayahnya yang nampak heran dengan sikap putri majikannya itu.
"Tapi, kami juga disuruh menjemputmu, Nini Kencana. Dan kami tidak berani kembali tanpa Nini," ucap salah satu dari kedua orang itu, bingung.
"Ya. Sebaiknya Nini pulang saja dulu agar kami tidak kena marah oleh beliau," timpal yang seorang lagi dengan nada memohon pengertian putri majikannya itu.
Kerutan di kening gadis itu nampak semakin dalam. Wajahnya yang selalu cerah seketika berubah gelap setelah mendengar bantahan kedua orang pembantu ayahnya itu. Kencana Wungu sudah bergerak bangkit dan siap menumpahkan kemarahannya.
Rimang yang melihat kemarahan pada wajah gadis cantik itu menjadi tidak enak hati. Cepat-cepat dia bergerak bangkit untuk ikut membujuk Kencana Wungu agar mengikuti kata-kata kedua orang yang diduga adalah pembantu-pembantu ayah gadis itu. Hal itu tertangkap jelas dari pembicaraan maupun sikap kedua orang itu yang terlihat hormat
"Pulanglah, Kencana. Jangan membuat cemas ayahmu. Siapa tahu beliau saat ini tengah menunggumu dengan perasaan gelisah," desah Rimang sambil menghela napas berat.
"Jadi kaupun tidak menyukai kehadiran ku disini, Kakang? Kalau memang kehadiranku telah membuatmu terganggu, baiklah. Aku akan pergi!" sahut Kencana Wungu, seraya membalikkan tubuhnya menghadapi Rimang. Terlihat kekecewaan di wajahnya.
"Jangan salah mengerti, Kencana. Aku merasa sangat beruntung kau suka bersahabat denganku. Dan sikap bersahabatmu telah membuat aku sadar kalau tidak seharusnya tenggelam dalam kedukaan dan memandang dunia ini dari sisi yang pahit. Tapi, kau juga harus pula memikirkan kekhawatiran ayahmu. Aku tidak ingin kau mendapat marahhanya karena gara-gara aku. Pulanglah. Masih banyak waktu untuk kita bertemu," bujuk Rimang mencoba memberi pengertian kepada Kencana Wungu. Meskipun untuk mengucapkan kata-kata itu harus menahan rasa nyeri dalam hatinya, namun Rimang sadar kalau tidak mempunyai hak untuk menahan gadis itu. Padahal hatinya merasa berat untuk berpisah.
Mendengar ucapan Rimang, Kencana Wungu jadi sadar akan keadaan dirinya. Ia tahu kalau ayahnya pasti akan marah apabila menemukannya tengah berduaan dengan orang asing. Dan gadis itu tidak ingin kalau Rimang akan terkena kemarahan ayahnya pula.
"Maafkan sikapku yang kekanak-kanakan, Kakang. Baiklah. Aku pulang dulu, dan besok akan kemari lagi. Berjanjilah, bahwa Kakang akan menungguku di tempat ini," pinta Kencana Wungu penuh permohonan.
"Aku berjanji," sahut Rimang cepat disertai senyuman. Namun demikian, si pemetik kecapi itu berusaha menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya. Memang diakui kalau dirinya merasa berat berpisah dengan gadis yang telah mampu membangkitkan kegembiraan dalam hidupnya yang telah kosong.
"Aku pergi dulu, Kakang," pamit gadis itu sembari melangkah mengikuti kedua orang pembantu ayahnya. Beberapa langkah kemudian, Kencana Wungu menoleh dan melemparkan senyumnya kepada Rimang yang masih berdiri menatap kepergiannya.
Rimang melambaikan tangannya dengan keharuan yang menyesakkan dada. Diam-diam hatinya mengeluh begitu menyadari kalau ada suatu perasaan terhadap gadis itu. Gadis itu masih terlalu muda serta sangat polos. Sikapnya pun dapat berubah-ubah setiap saat. Betapa mudahnya untuk jatuh cinta kepada gadis itu. Dan Rimang memang tidak boleh berharap terlalu banyak. Hanya dia sendirilah yang tahu, perasaan apa yang terkandung dalam dadanya. Dia tidak ingin Kencana Wungu mengetahuinya.
"Hhh..." Rimang menghela napas berat menyadari kalau dirinya terlalu tua untuk gadis seusia Kencana Wungu. Ia tidak ingin menderita kekecewaan untuk yang kedua kali.
"Aku tidak boleh menyalah artikan kebaikan serta sikap gadis itu. Siapa tahu dia hanya merasa suka dengan permainan kecapiku dan bukan kepada diriku!" kata hati Rimang kepada dirinya sendiri.
Setelah bayangan ketiga orang itu sudah tidak kelihatan, Rimang pun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Telah diputuskan kalau dia tidak akan menemui gadis itu lagi setelah urusannya di Desa Dadapan ini selesai. Karena, Rimang takut kalau-kalau perasaan cintanya terhadap gadis itu akan semakin berkembang. Ia tidak ingin menderita kekecewaan lagi, yang mungkin saja akan jauh lebih parah daripada yang pertama. Rimang melangkah perlahan sambil memperhatikan bayangan tubuhnya yang memanjang. Ditatapnya cakrawala yang sebentar lagi akan gelap. Kembali terdengar helaan napas beratnya.

* * * * *



«₪֎ [ LIMA ] ֎₪»

"Ampuni aku, Tuan. Apa salahku?" rintih seorang laki- laki setengah baya yang wajahnya berlumuran darah. Ia berusaha merangkak bangkit dengan susah-payah. Wajahnya menatap memohon belas kasihan kepada seorang laki-laki tegap yang berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang lebar.
"Hmh...! Merengeklah sepuasmu sebelum kubunuh, Tua Bangka! Siapa pun di dunia ini yang memainkan alat kecapi, akan kubunuh!" bentak laki-laki tegap itu. Wajahnya bengis dan penuh dendam. Ia sama sekali tidak tergerak hatinya melihat wajah lelaki tua yang tampak sangat menderita akibat siksaannya. Malah hal itu membuatnya semakin senang.
"Tapi, apa salahku kepada Tuan? Bukankah kita tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu sebelumnya," tukas lelaki setengah baya itu dengan seribu pertanyaan yang tergambar di wajahnya. Sepertinya ia memang tidak mengetahui sama sekali apa yang menyebabkan dirinya sampai disiksa sedemikian rupa.
"Kau memang tidak bersalah, Orang Tua! Tapi jahanam keparat itu telah membunuh guruku, kawan-kawanku, dan juga guru kawanku ini. Dan pembunuh itu juga seorang pemain kecapi, tahu?! Pembunuh keji itu mengaku datang dari daerah Selatan, dan memiliki sebuah alat musik kecapi berwarna perak! Nah! Karena kesalahannya itulah, maka aku bersumpah untuk membunuh dan menyiksa semua orang yang suka mainkan alat kecapi dan alat-alat lainnya. Kau boleh menyumpah dan mengutuk keparat jahanam itu! Karena perbuatannya itulah, maka kau menderita!" jelas laki-laki tegap itu lagi, tanpa rasa kasihan sedikit pun. Setelah berkata demikian, kembali ditendangnya tubuh lelaki setengah baya yang sudah hampir berdiri itu.
Desss!
"Aaakh...!" Lelaki setengah baya yang ternyata seorang pemain kecapi itu menjerit kesakitan. Tubuhnya yang kurus terlempar dan menabrak bilik rumah hingga jebol. Darah segar kembali menyembur dari mulutnya.
"Ya, Tuhan! Ada apa ini?" teriak seorang wanita bertubuh gemuk yang bergegas memasuki rumah itu.
"Manusia biadab! Apa kesalahan suamiku hingga kau tega menyiksa sedemikian kejam?" Wanita gemuk itu rupanya istri lelaki setengah baya yang tengah merintih dan mengerang kesakitan.
"Mengapa..., mengapa kesalahan Kecapi Perak dari Selatan ditimpakan kepadaku, Kisanak? Mengapa bukan orang itu saja yang kau cari dan kau siksa? Mengapa harus orang lain yang tidak berdosa yang harus menanggung akibat perbuatannya itu?" tanya lelaki setengah baya itu. Sambil bertanya demikian, dia menekap lambungnya yang terasa bagaikan remuk tulang-tulangnya. Sedangkan wanita gemuk itu sudah menubruk suaminya yang sepertinya sudah tidak mampu bangkit lagi. Wajah wanita gemuk itu telah dipenuhi air mata melihat penderitaan suaminya.
"Hehehe.... Baiklah. Aku tidak akan menyiksamu lagi, Ki. Dan aku pun akan mengurangi rasa sakit yang kau derita itu!" tegas lelaki tegap itu dengan wajah sinis, sambil mencabut keluar pedang yang tergantung di pinggangnya.
Sret!
Sinar putih berkilatan langsung memendar ketika pedang lelaki itu tercabut dari sarungnya. Tentu saja hal ini membuat suami istri itu semakin ketakutan. Wajah mereka mendadak pucat bagai tak dialiri darah.
"Oh...! Binatang, kau! Mengapa kesalahan orang lain kau timpakan kepada suamiku?! Apakah kau takut untuk membalas kepada orang itu?" teriak wanita gemuk itu dengan wajah bersimbah airmata. Dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi, wanita itu segera menubruk si lelaki tegap dan melontarkan pukulan.
"Nyai, jangan...!" teriak laki-laki setengah baya itu mencegah perbuatan istrinya. Sambil mengerang menahan sakit, tubuhnya berusaha bangkit karena mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
Si lelaki tegap sudah kalap mendengar ucapan yang dilontarkan perempuan gemuk itu tadi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan geram. Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera disambarnya tubuh perempuan itu dengan tendangan keras.
"Perempuan jelek! Rasakan ini, hih!"
Bukkk!
"Aaah...!" Tubuh perempuan malang itu langsung terlempar kebelakang ketika tendangan yang keras itu hinggap diperutnya. Terdengar jerit kesakitan yang berbareng dengan menyemburnya darah segar dari mulut perempuan itu.
Brakkk!
Tubuh gemuk itu terus meluncur menabrak tiang bambu yang menopang bilik rumahnya. Seketika dinding rumahnya yang terbuat dari bilik itul angsung jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh perempuan itu sendiri terlempar keluar.
"Nyai...!" si suami berteriak parau. Laki-laki itu segera berlari terpincang-pincang memburu tubuh istrinya. Dipeluknya tubuh wanita gemuk yang rebah dengan napas satu-satu itu. Rupanya perempuan itu telah pingsan karena tidak kuat menahan bobot tendangan yang melebihi kekuatan tubuhnya.
"Biadab! Kalian benar-benar sudah seperti binatang! Tidak berperikemanusiaan!" maki lelaki setengah baya itu yang menjadi kalap demi melihat istrinya telah rebah tak bergerak. Sambil berkata demikian, dia memeluk dan memanggil-manggil nama istrinya dengan suara parau.
Dengan sorot mata penuh dendam, lelaki bertubuh tegap itu perlahan-lahan melangkah keluar diikuti lima orang kawannya, dengan sikap mengancam. Pedang telanjang di tangan kanannya ditimang-timang, membuat sepasang mata lelaki setengah baya itu membelalak lebar. Karena dia tidak mampu berbuat apa-apa lagi, dan hanya pasrah menanti datangnya maut.
"Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Dan sumpahilah si Kecapi Perak dari Selatan itu sepuasmu!" bentak lelaki tegap itu yang sudah tiba di dekat sepasang suami istri yang malang. Dengan gerakan perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi, siap untuk memenggal leher orang itu. Namun tiba- tiba....
Wuttt! Trang!
"Akh...!" Tubuh lelaki tegap itu terjengkang kebelakang diiringi teriakan kagetnya. Pedang di tangannya terlempar akibat benturan sebuah batu kecil yang melesat dengan kecepatan tinggi. Cepat tubuhnya dilempar dan bersalto beberapa kali hingga tidak sampai terbanting ke tanah. Dengan wajah yang berubah pucat, lelaki itu melotot kearah seorang pemuda berjubah putih yang melangkah tenang menghampiri sepasang suami istri yang tengah meringkuk menanti ajal.
Bersama pemuda tampan itu, nampak seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Sepasang matanya yang indah menatap geram kepada lelaki tegap dan lima orang kawannya yang hanya mampu memandang bengong. Mereka seperti terkesima melihat kecantikan gadis itu. Beberapa di antaranya bahkan menelan air liur, penuh nafsu. Untuk beberapa saat lamanya keenam orang itu tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya berdiri terpaku bagai patung.
Sementara itu, pemuda tampan berjubah putih membungkuk menyentuh tubuh lelaki setengah baya yang masih memejamkan mata.
"Aaah...!" Lelaki setengah baya itu terlonjak bagai tersengat kalajengking. Karena dikira, sentuhan tangan itu adalah mata pedang yang siap memenggal lehernya. Tubuh kurus itu pun semakin merungkut ketakutan. Keringat dingin sudah membanjir membasahi pakaiannya.
"Bangunlah, Ki. Tidak ada lagi yang perlu ditakuti," ujar pemuda berjubah putih itu dengan suara lembut dan halus.
Perlahan-lahan lelaki setengah baya itu membuka matanya begitu mendengar suara yang sangat jauh berbeda dari suara lelaki yang menyiksanya. Dan hatinya pun merasa heran ketika melihat seraut wajah bersih dan tampan tengah membungkuk dan memegang bahunya. Lalu ia pun bergerak bangkit sambil mengedarkan pandangannya. Tampak keenam orang yang menyiksanya tengah berdiri terpaku berhadapan dengan seorang gadis yang membelakanginya.
Dengan wajah yang hampir tidak percaya, orang tua itu kembali mengalihkan pandangan matanya kepada pemuda berjubah putih yang mengangguk dan tersenyum padanya. Kini sadarlah orang tua itu, kalau nyawanya telah diselamatkan kedua orang muda itu.
"Marilah kita kedalam, Ki," ajak pemuda itu sambil mengangkat tubuh wanita gemuk yang masih pingsan. Dengan langkah terpincang-pincang, lelaki setengah baya itu mengikuti langkah pemuda tampan memasuki rumahnya. Ia pun duduk ditepi balai-balai bambu, tempat tubuh istrinya dibaringkan pemuda tampan berjubah putih itu.

* * * * *



«₪֎ [ ENAM ] ֎₪»

Pemuda berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih, bergegas mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh perempuan gemuk. Kemudian, diberikannya pengobatan kepada lelaki setengah baya yang terluka parah itu. Setelah menyuruh orang tua itu agar beristirahat Panji bergegas melangkah keluar. Namun baru saja sampai di ambang pintu, laki-laki setengah baya itu bangkit dan menghampirinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kau telah menyelamatkan kami dari kematian," ucap orang tua itu, mencoba tersenyum. Namun bagi Panji senyum itu terlihat seperti seringai kesakitan. Dan pemuda itu membalasnya dengan senyum tulus.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong, Ki. Sebaiknya beristirahatlah dulu. Sebentar lagi juga istrimu segera sadar. Biarlah mereka aku yang mengurusnya, karena memang telah lama kucari-cari sehubungan dengan pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan," jelas Panji.
Kemudian, Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya ke arah enam orang laki-laki yang tengah berhadapan dengan gadis jelita berpakaian hijau yang sudah pasti Kenanga adanya. Sementara laki- laki setengah baya itu kembali mendekati istrinya.
"Tidak salah lagi, Kakang, Merekalah yang telah melakukan pembunuhan terhadap rombongan pemusik panggilan dan para pemetik kecapi," jelas Kenanga begitu Panji mendekat. Gadis itu berbicara sambil tetap menatap keenam orang calon lawannya.
"Akupun telah menduganya," sahut Panji pelan. Pendekar Naga Putih melangkah semakin mendekati keenam orang laki-laki yang sepertinya dipimpin lelaki yang bertubuh tegap. Dialah yang baru saja hendak memenggal kepala suami istri tadi.
"Siapakah kalian? Apa maksud kalian membunuhi dan menganiaya orang-orang yang tak berdosa?" tegur Panji, dingin. Sepasang mata Pendekar Naga Putih mencorong tajam, menimbulkan perbawa yang kuat. Maka seketika keenam orang itu melangkah mundur dengan sikap waspada. Tangan-tangan mereka serentak meraba gagang senjata yang menyembul di balik pakaian.
"Bangsat! Mestinya akulah yang mengajukan pertanyaan kepadamu, manusia usil! Mengapa kau mencampuri urusan kami? Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku berniat jelek kepadamu!" bentak lelaki tegap itu tak kalah gertak. Sambil berkata demikian matanya melirik kearah Kenanga. Cepat pandang matanya dialihkan begitu melihat sinar mata gadis itu yang tidak kalah tajamnya dengan sepasang mata pemuda berjubah putih.
"Huh! Jangan banyak tingkah kau, Iblis Laknat! Hari ini kau akan merasakan bagaimana rasanya sebuah siksaan! Bersiaplah!" geram Kenanga.
Gadis ini rupanya sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Karena setelah sekian lama menyelidiki, baru kali inilah bertemu pembunuh yang dicari-cari itu. Selama ini ia dan Pendekar Naga Putih hanya menemukan bekas-bekas kejahatan yang mereka lakukan. Dan hal itu tentu saja telah membangkitkan rasa penasaran dihati gadisvjelita ini. Itulah sebabnya, mengapa Kenanga sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi begitu bertemu orang-orang itu.
"Sabarlah, Kenanga. Biar aku yang akan menghadapi mereka." Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih menyentuh lembut bahu Kenanga untuk menenangkan perasaannya. Dan memang, Panji ingin mengorek keterangan keenam orang itu lebih dahulu. Ia ingin tahu, apa sebabnya orang-orang itu berbuat demikian. Melihat tingkah laku serta penampilan keenam orang itu, Pendekar Naga Putih tahu kalau mereka tidak dapat disamakan dengan para penjahat atau perampok yang pernah ditemuinya. Dan Panji merasa yakin kalau ada suatu sebab yang membuat keenam orang itu melakukan kejahatan.
"Tidak, Kakang! Kali ini, berilah kesempatan padaku. Percayalah, aku tidak akan membunuh mereka, tapi hanya memberi sedikit pelajaran agar lain kali tidak sembarangan berbuat kejam," sahut Kenanga yang terpaksa membantah kata-kata Pendekar Naga Putih. Hanya saja, nada suaranya hampir mirip permohonan. Demikian juga dengan pandang matanya, yang seperti meminta pengertian Panji.
"Hm...," Panji hanya memperdengarkan gumaman yang tak diketahui maknanya. Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga Putih menatap wajah Kenanga dengan pandangan menyelidik. Sesaat kemudian, senyum di wajah pemuda itu pun mengembang begitu melihat sinar kesungguhan di mata kekasihnya. Dan Panji tahu kalau gadis itu akan menepati janjinya untuk tidak sampai membunuh orang-orang itu.
"Kurang ajar! Apakah kalian pikir aku ini sebuah mainan yang dapat kalian perebutkan begitu saja!" teriak lelaki tegap itu, merah padam. Hati laki-laki tegap itu benar-benar tersinggung melihat pembicaraan dua orang di depannya. Dan memang jelas, mereka membicarakan dirinya dengan seenaknya saja. Seolah-olah ia adalah seorang lemah yang tidak mempunyai daya sama sekali.
"Hm.... Kau pikir dirimu itu apa? Bagiku kau tak lebih dari orang sinting yang harus segera diberi pengobatan. Dan akulah orang yang akan mengobatimu!" sambut Kenanga yang sudah melangkah maju sehingga berjarak sekitar dua batang tombak. Bibir gadis itu menyunggingkan senyuman manis yang membuat wajah keenam orang itu menjadi panas. Langkah kakinya dibuat sedemikian rupa laksana algojo yang hendak melaksanakan hukuman. Kedua tangannya bertolak pinggang dengan sikap santai.
"Keparat kau, Gadis Sombong! Kalau tertangkap, hmh.... Kau akan rasakan sendiri akibatnya!" bentak yang lain. Mereka juga menjadi geram melihat sikap gadis itu yang demikian meremehkan.
"Hi hi hi...! Laki-laki besar mulut yang hanya bisa menyiksa orang lemah! Ayo, majulah! Ingin kulihat, sampai dimana kepandaianmu!" ejek Kenanga yang semakin menjadi-jadi begitu melihat lawan-lawannya mencak-mencak bagai cacing kepanasan.
"Setan! Kuntilanak kuburan!" teriak lelaki bertubuh tegap yang sudah tidak bisa menahana marahnya. Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya segera melayang disertai sambaran pedang yang berputaran cepat
Wuttt! Wuttt...!
"Eit, tidak kena! Hayo tambah kecepatan, Kerbau Dungu! Mengapa demikian lamban? Apakah kau merasa sayang untuk melukai tubuhku?" Sambil mengejek memanaskan telinga lawan, tubuh gadis jelita itu meliuk menghindari dua buah serangan lawan. Tentu saja hal itu membuat darah lawannya semakin mendidih.
"Kubunuh kau!" bentak lelaki bertubuh tegap itu yang kemarahannya semakin meledak-ledak. Sepertinya ia benar-benar sudah lupa kalau yang dihadapinya itu adalah seorang dara jelita yang amat memikat. Sehingga serangan-serangannya tampak semakin gencar dan menderu-deru.
"Yeaaat..!"
Lima orang kawan lelaki tegap itu segera berlompatan mengeroyok Kenanga. Karena, mereka melihat betapa kawannya demikian sibuk menghadapi gadis jelita itu. Dan kini mereka memang baru sadar kalau kepandaian gadis itu ternyata hebat sekali. Meskipun serangan yang dilancarkan enam orang laki-laki itu demikian menderu-deru, namun enak saja tubuh gadis itu menyelinap di antara sambaran senjata enam orang lawan yang berbau maut itu. Dan anehnya, tak satu pun yang dapat menyentuh pakaiannya. Apalagi menyentuh kulit tubuhnya.
Wuttt! Wukkk...!
"Eit.. sedikit lagi!" ejek Kenanga ketika dua buah senjata lawannya menyambar dari kiri-kanan, dan berhasil dihindarinya.
"Ayo, teruskan! Masak menghadapi seorang wanita saja kalian tidak mampu berbuat apa-apa? Mana kehebatan kalian? Ayo tunjukkan?" Sambil terus berlompatan, mulut gadis jelita itu tak henti-hentinya mengejek. Akibatnya hati keenam orang pengeroyoknya semakin kalap bagaikan kakek-kakek kebakaran jenggot.
"Keparat! Heaaat..!"
Sambil berteriak memaki, salah seorang dari pengeroyok menusukkan pedang membentuk garis lurus. Sinar pedang berpendar menyilaukan mata. Sedangkan dari belakang, pengeroyok yang lainnya melompat tinggi sambil membabatkan pedang menebas leher yang jenjang dan mulus itu.
Wuttt! Wuttt!
Menghadapi dua buah serangan dari arah berbeda itu, sama sekali tidak membuat Kenanga gugup. Dengan gerakan tenang, tubuhnya dimiringkan sambil kakinya diputar kekanan. Maka serangan dari depan itu pun mengenai tempat kosong. Gerakan gadis itu tidak hanya sampai disitu saja. Berikutnya, tubuhnya berputar dengan menggunakan tenaga pinggang dengan kepala ikut berputar. Dengan demikian, bacokan pedang lawan yang mengancam kepala lewat beberapa jari diatasnya.
"Hi hi hi..! Kerbau-kerbau tolol! Masak kalian berenam tidak mampu menjatuhkanku? Mana kehebatan yang kalian bangga-banggakan itu?" ejek Kenanga kembali sehingga membuat keenam orang pengeroyoknya semakin kalap.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kaupun sejak tadi hanya bisa mengejek tanpa mampu membalas serangan-serangan kami! Kalau memang hebat, tunjukkanlah kehebatanmu!" teriak lelaki bertubuh tegap, mencoba membalas ejekan lawan. Rupanya ia baru sadar kalau orang yang mereka keroyok itu sama sekali belum pernah membalas serangan.
Mendengar ucapan lawannya, Kenanga hanya tertawa terkikik. Sesaat kemudian wajahnya berubah galak. Dengan tatapan setajam mata pedang, gadis itu berdiri tegak setelah melenting menjauhi para pengeroyok itu. Sepertinya Kenanga sudah merasa puas mempermainkan musuh-musuhnya.
"Hm.... Kau menagih, Kerbau Dungu? Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima hajaranku!" kata gadis itu dengan suara datar. Kemudian sepasang tangannya bergerak, siap melancarkan serangan.
Mendengar ucapan gadis yang sudah berdiri dengan sepasang mata mengancam, mau tak mau keenam lelaki itu melangkah mundur. Wajah mereka langsung berubah tegang. Sewaktu gadis itu bertahan saja, mereka sudah merasa kewalahan sekali. Entah apa jadinya kalau gadis itu mulai mengumbar pukulan dan tendangannya. Sanggupkah mereka bertahan?
Kenanga yang tidak ingin keenam orang lawannya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan, segera melesat dibarengi teriakan nyaring dan menggetarkan.
"Haiiit...!" Bagaikan seekor elang yang siap menyambar anak ayam, tubuh gadis itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah lawan-lawannya. Sepasang tangannya siap melakukan cengkeraman-cengkeraman maut yang akan merenggut nyawa lawan.
Wuttt! Wuttt!
"Aaakh...!" Dua orang dari pengeroyok yang menjadi sasaran cengkeraman jari-jari mungil itu, bergegas melempar tubuhnya ke belakang. Mereka terus melakukan beberapa kali salto untuk menjaga dari serangan susulan yang mungkin masih akan mengancam.
Sedangkan lelaki tegap bersama kawannya yang pada tangan kanannya menggunakan cakar baja, bergegas menyabetkan pedang untuk menahan serangan Kenanga. Mata pedang dan cakar baja itu bergerak menyilang dan mendatar, memapak serangan gadis itu. Melihat ancaman yang cukup berbahaya, Kenanga menarik pulang tangannya. Dan secepat kilat tubuhnya berputar sambil melontarkan tendangan kilatke dagu si lelaki tegap. Sedangkan, tangannya siap melakukan serangan susulan.
"Heaaah...!" Dugkh...! "Aaakh...!"
Tubuh lelaki tegap itu terdongak ketika tendangan kaki Kenanga mencium dagunya. Seketika terdengar jerit kesakitan. Darahpun menetes dari bibirnya yang pecah.
Kenanga tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Cakarnya yang memang siap terlontar itu segera meluncurkearahseoranglagiyangsamasekalitidak menduga ada serangan. Maka dia berusaha untuk mengelakkannya. Tapi sayang, serangan yang dilakukan gadis itu terlihat demikian matang dan penuh perhitungan. Apalagi kecepatan gerak lawan kalah cepat. Maka...
Brettt!
"Aaakh...!" Dibarengi jerit kesakitan, tubuh orang itu terlempar dan terbanting keras di atas tanah. Darah segar tampak mengucur dari luka memanjang yang menghias dadanya. Orang itu hanya dapat merintih sambil berusaha bangkit
Sementara itu, lelaki bertubuh tegap sudah bangkit berdiri dan slap melontarkan pukulannya. Tapi sayang, gerakan yang dilakukan Kenanga masih jauh melebihi kecepatannya. Sehingga pada saat baru bersiap melakukan penyerangan, tahu-tahu saja telapak kaki gadis itu telah telak menghantam dadanya.
Bugkh!
"Hugkh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu kembali terbanting keras diatas tanah. Darah segar semakin banyak mengucur membasahi pakaiannya. Ia hanya telentang sambil menekap dadanya yang terasa remuk tulang-tulangnya.
Amukan gadis jelita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Empat orang lainnya ternyata juga mendapat bagian yang sama. Rupanya dalam hal membagi pukulan dan tendangan, gadis jelita itu dapat pula bersikap adil dan tidak pilih kasih. Sehingga dalam beberapa jurus saja, keenam orang pengeroyoknya sudah bergeletakan tanpa mampu bangkit. Dari mulut mereka terdengar rintihan memelas.
"Ampunkan kami, Nini Pendekar. Kami lakukan ini terdorong rasa dendam yang tidak mungkin dapat kami balas. Sehingga kami melakukan pembalasan dengan jalan menyiksa dan membunuh orang-orang yang segolongan dengan musuh kami," rintih lelaki tegap itu sambil menundukkan wajah dalam-dalam.
"Hm.... Aku tidak peduli dengan semua urusan kalian!Yang penting sekarang kalian harus menerima hukuman atas perbuatan-perbuatan kejam yang telah dilakukan!" bentak Kenanga. Gadis itu sepertinya tidak mau memberi ampunan kepadake enam orang laki-laki yang telah melakukan kejahatan dengan membunuh dan menyiksa orang- orang yang menjadi pemusik. Terutama para pemain kecapinya.
"Sudahlah, Kenanga. Bukankah kau berjanji hanya akan memberikan pelajaran saja kepada mereka? Lalu, mengapa sekarang hendak membunuh mereka?" tanya Panji mengingatkan gadis itu akan janjinya.
"Aku tidak menyalahi janjiku, Kakang. Dan yang akan memberi keputusan hukuman bukan aku, tapi kau. Meskipun ingin rasanya aku membunuh mereka semua sekaligus! Paling tidak mereka akan berpikir dua kali apabila hendak melakukan perbuatan jahat lagi!" sahut Kenanga yang dari nada suaranya jelas masih belum puas dengan apa yang telah dilakukannya terhadap keenam orang itu.
Panji hanya tersenyum memandangi wajah kekasihnya yang cemberut itu. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lelaki tegap yang merupakan pimpinan keenam orang itu.
"Kisanak. Bersediakah kau menerangkanbsebab-sebab perbuatanmu itu? Ceritakanlah. Mungkin setelah mendengarnya, aku bisa mengambil keputusan yang lebih baik," pinta Panji kepada orang itu.
Melihat sikap dan kata-kata pemuda itu yang halus dan sopan, lelaki tegap itu melihat adanya kemungkinan untuk lolos dari kematian. Maka meskipun dengan suara terpatah-patah, diceritakanlah duduk persoalannya.
"Demikianlah. Karena tidak sanggup melawan Kecapi Perak dari Selatan yang memang memiliki kesaktian hebat itu, maka kami melakukan pembalasan dengan cara kami sendiri. Meskipun kami tahu kalau perbuatan itu salah," lelaki tegap yang ternyata bernama Bangkil itu menutup ceritanya dengan helaan napas berat.
"Hm.... Apakah kalian tahu, apa yang menyebabkan guru kalian sampai dibunuh orang itu?" tanya Panji kepada keenam orang yang tiga di antaranya adalah murid Ki Ranggit dari Perguruan Jari Besiyang telah dihasut Bangkil dan Wirja.
"Entahlah, Kisanak. Kami tidak mengetahuinya. Sebab menurut laki-laki pemetik kecapi itu, ia datang untuk menagih hutang pada sepuluh tahun yang lalu," jawab Bangkil yang sempat mendengar ucapan Kecapi Perak dari Selatan sewaktu berhadapan dengan gurunya.
"Bolehkan kami tahu nama ataupun julukan Kisanak?" tanya salah seorang murid Ki Ranggit takut-takut. Mendengar pertanyaan itu, yang lain serentak memandang Panji. Rupanya mereka baru tersadar ketika mendengar pertanyaan salah seorang kawannya.
"Huh...! Ketahuilah, orang yang berada dihadapan kalian itu adalah pendekar muda yang saat ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat 'Naga Sakti'nya!" sahut Kenanga tak sabar.
"Hahhh?! Pendekar Naga Putih...!"
Keenam orang itu berteriak dengan wajah pucat. Namun dalam sepasang mata mereka memancar sinar penuh harapan. Tanpa ragu-ragu lagi, keenam orang itu segera berlutut dihadapan Pendekar Naga Putih. Mereka membentur-benturkan kepalanya di tanah sambil memohon ampun berulang-ulang.
"Ampunkan kami.... Ampunkan kami..," ucap keenam orang itu berbarengan.
"Hm...Bangkitlah kalian!" ujar Panji dengan suara halus, namun mengandung ketegasan yang tida kbisa dibantah. Maka meskipun agak takut-takut keenam orang itu bergerak bangkit dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
"Pendekar Naga Putih. Perbuatan kami memang sudah keterlaluan. Dan setelah bertemu denganmu, maka kami rela menyerahkan nyawa di tanganmu. Kami siap menerima hukuman," sahut Bangkil mewakili teman-temannya. Karena, mereka memang merasa tidak ada muka untuk berhadapan dengan pendekar besar itu. Apalagi untuk meminta pertolongan. Mereka tidak berani.
"Hm.... Aku tidak akan menghukum apabila kalian memang telah benar-benar menyadari perbuatan-kalian. Dan aku pun akan mencoba untuk mencari pembunuh guru kalian itu," tegas Panji, tenang. Sehingga, enam orang itu saling pandang setengah tak percaya.
"Apakah itu berarti kami mendapat ampunan?" tanya Bangkil ragu.
"Asalkan kalian bersedia kembali ke jalan yang benar," tegas Panji lagi.
"Kami berjanji... kami berjanji...!" sambut mereka serempak sambil kembali berlutut
"Nah! Sekarang kalian kembalilah ke perguruan masing-masing. Aku akan mencoba menemui Kecapi Perak dari Selatan," kata Panji.
Tanpa menunggu lama, keenam orang itu bergegas meninggalkan tempat itu sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.

* * * * *



«₪֎ [ TUJUH ] ֎₪»

Malam itu bulan bersinar penuh, menerangi permukaan bumi. Cahayanya yang keemasan membuat keadaan alam yang gelap itu menjadi terang dan indah. Beberapa anak desa tampak berlarian bermain petak umpet. Rupanya, suasana terang bulan seperti itu membuat mereka merasa betah untuk berlama-lama berada di luar rumah. Bukan hanya anak-anak saja. Orang-orang tua pun tampak berkumpul di beranda rumah, menikmati purnama yang indah. Sepertinya suasana seperti ini membangkitkan rasa gembira dihati mereka.
Agak jauh dari keramaian itu, sesosok tubuh melangkah lambat sambil menenteng sebuah alat musik kecapi. Rambutnya yang panjang terurai, berkibaran dipermainkan angin. Sebagian wajahnya yang biasanya selalu tersembunyi, tampak tersibak jelas karena hembusan angin yang menyibakkan rambutnya. Pakaiannya yang berwarna biru gelap dan sederhana terlihat bersih. Demikian pula ikat kepalanya yang juga berwarna biru tua. Ia terus melangkah tanpa mempedulikan suasana malam yang indah itu.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Rimang atau lebih dikenal berjuluk Kecapi Perak dari Selatan itu menghentikan langkahnya disamping sebuah rumah besar. Perlahan-lahan ia pun duduk di atas sebongkah batu pipih yang berada di bawah sebatang pohon besar. Tak berapa lama kemudian, terdengar alunan musik kecapinya yang mendayu-dayu menyentuh dinding-dinding kalbu.
Seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun tampak gelisah di dalam rumahnya. Wajahnya yang semula tenang dan berwibawa, tampak dibasahi keringat ketika mendengar petikan kecapi yang disertai nyanyiannya yang bergetar dan menyelusup kedalam setiap ruangan bangunan besar itu.
"Gila! Kecapi keparat itu telah sampai di sini juga rupanya!" desis lelaki gagah itu semakin gelisah.
"Tuan! Ada apa, Tuan...?" tanya salah seorang lelaki berpakaian hitam yang datang bersama seorang kawannya. Mereka adalah dua orang kepercayaan Kepala Desa Dadapan yang bergegas menghadap begitu mendengar nama mereka dipanggil.
"Hm...," lelaki gagah yang usianya hampir setengah baya itu menggumam tidak jelas. Kepala Desa Dadapan itu tengah berjalan hilir- mudik. Kepalanya segera menoleh kepada dua orang pembantunya. Lekaki yang bernama Ki Burga itu segera mengulapkan tangannya sebagai isyarat agar keduaorang pembantunya datang mendekat.
Tentu saja kedua orang itu menjadi bingung melihat sikap majikan mereka yang nampak gelisah itu. Setelah berpandangan sejenak, mereka bergegas menghampiri majikannya yang tengah kebingungan. Begitu keduanya tiba, Ki Burga lalu berbisik kepada keduanya. Sepertinya pembicaraan itutidak ingin didengar orang lain.
Sementara di salah satu kamar rumah besar itu, seorang gadis cantik bergegas bangkit dari pembaringannya. Setelah merapikan rambut dan pakaiannya, dia cepat meninggalkan kamarnya dan langsung menuju samping luar bangunan. Karena diduga, tempat itulah suara petikan kecapi terdengar. Tak lama kemudian, dari kejauhan gadis itu melihat sesosok tubuh yang tengah asyik memainkan kecapinya diatas sebongkah batu pipih dibawah pohon besar. Kilauan kecapi perak yang tertimpa cahaya rembulan, menimbulkan bias-bias yang berpendar sehingga menyelubungi sosok tubuh itu. Sepertinya, sosok tubuh itu bagai seorang dewa yang tengah menghibur penduduk bumi.
"Kakang Rimang...!" sapa gadis itu dengan suara merdu dan lembut. Setelah melihat orang yang disapanya menoleh, gadis itu melangkah mendekati tanpa keraguan lagi. Karena diyakini kalau orang yang tengah memainkan kecapi itu telah dikenalnya.
"Kencana Wungu! Kau... kaukah itu...?" sahut Rimang menghentikan permainannya. Sejenak laki-laki berambut meriapi tuhanya berdiri termenung memandangi gadis cantik yang tengah melangkah kearahnya.
"Celaka!Bagaimana Kencana Wungu bisa berada di tempat ini? Apakah rumahnya tidak berjauhan dengan rumah si keparat itu? Apakah ia datang ketika mendengar irama alunan kecapiku?" pikir Rimang yang begitu terkejut melihat kedatangan Kencana Wungu.
"Kau...kau sedang apa, Kakang?" tanya gadis yang memang Kencana Wungu adanya. Ia memandangi wajah tampan berambut meriap yang juga tengah memandangnya.
"Aku... aku hanya sedang menikmati keindahan sinar rembulan, Kencana. Dan aku tergugah memetik dawai-dawai kecapiku karena merasa terpukau oleh keindahan purnama malam ini," setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Rimang dapat juga menemukan suatu alasan yang sangat tepat "Di manakah rumahmu, Kencana?"
"Eh, jadi Kakang belum tahu?" sahut Kencana Wungu menutupi mulutnya karena hampir saja tawanya meledak mendengar pertanyaan yang baginya terdengar sangat lucu dan menggelitik perut itu.
"Aku.., aku sama sekali belum tahu," kata Rimang. Laki-laki itu hanya bisa menatap wajah Kencana Wungu dengan wajah ketololan. Tentu saja ia tidak mengerti, mengapa gadis itu menertawakannya. Apakah ada sesuatu yang aneh di wajahnya.
"Hi hi hi...! Kau membuat perutku sakit, Kakang. Kau menanyaka nrumahku. Padahal, saat ini tengah berada di sampingnya. Kukira kau sengaja datang untuk bertemu denganku. Ah! Ternyata aku salah menduga. Tapi aku senang dapat bertemu lagi denganmu, Kakang," desah Kencana Wungu. Sungguh tidak diperhatikannya betapa wajah pemuda berusia tiga puluh tahun yang berdiri didepannya itu telah pucat.
Bagaimana Rimang tidak menjadi terkejut? Karena, saat itu ia bermaksud menyatroni musuh terakhir gurunya. Dan orang itu diketahuinya telah memegang jabatan sebagai Kepala Desa Dadapan. Malam ini, dia memang bermaksud menyelesaikan dendam gurunya yang telah tewas membawa penasaran yang dalam. Tapi, siapa sangka gadis yang telah membuat semangat hidupnya bangkit itu tahu-tahu telah berada didekatnya. Dan diduga....
"Siapakah nama ayahmu, Kencana?" tanya Rimang dengan suara gemetar penuh ketegangan. Hati laki-laki itu menjerit mengharapkan agar wanita cantik ini bukanlah anak musuh besarnya. Rimang menanti jawaban yang keluar dari mulut gadis itu dengan dada berdebar bagai badai dilautan.
Tentu saja Kencana Wungu jadi heran mendengar pertanyaan itu. Meskipun sebenarnya hal itu suatu yang wajar, tapi mengapa pada saat yang seperti ini dia malah menanyakan ayahnya? Ada apa sebenarnya?Tapi demi melihat ketegangan yang terpancar diwajah si pemetik kecapi itu, mau tak mau Kencana Wungu jadi berdebar hatinya.
"Mengapa... mengapa kau tanyakan itu, Kakang? Apakah... apakah kau mempunyai maksud tertentu?" akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.
Melihat wajah gadis itu menjadi tegang, Rimang juga menyadari akan sikapnya. Ditariknya napas panjang berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang dilanda ketegangan. Dicobanya untu kmenahan gejolak dalam dadanya dan kembali bersikap wajar. Sejenak suasana jadi hening.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mempunyai maksud tertentu. Aku berada di tempat ini hanya suatu kebetulan saja. Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut dengan pertanyaan tadi," kilah Rimang. Dia merasa bersyukur karena telah dapat bersikap wajar kembali.
"Tapi, apa maksudmu menanyakan nama ayahku? Apakah kau hanya sekadar ingin tahu?" tanya Kencana Wungu yang masih penasaran dengan pertanyaan yang tadi dilontarkan pemuda itu. Sepasang matanya yang indah memandang penuh selidik.
"Hanya sekadar ingin tahu saja. Karena aku menduga, kau pasti putri seorang yang terpandang didesa ini. Jadi aku merasa penasaran ingin mengetahui nama orang tuamu. Tapi kalau merasa keberatan, tidak perlu kau jawab pertanyaanku itu. Lupakanlah," sahut Rimang mengajukan alasan yang kira-kira dapat diterima gadis yang telah menarik hatinya itu.
"Kalau memang benar-benar ingin mengetahuinya, aku tidak keberatan, Kakang. Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, ibuku sudah lama meninggal. Dan aku tinggal bersama ayahku yang bernama Ki Burga dan menjadi kepala desa ini. Nah! Apakah kau sudah puas dengan jawabanku? Kalau sudah puas, sekarang aku ingin mendengar riwayat hidupmu. Boleh?" jelas Kencana Wungu.
Mendengar kalau gadis itu adalah anak Ki Burga, seketika gemetar seluruh anggota tubuh Rimang. Kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat dan mata terbelalak lebar. Keterangan yang meluncur dari mulut gadis itu bagai ledakan petir ditelinganya. Kali ini Rimang tidak dapat lagi menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Kau... kau kenapa, Kakang?" seru Kencana Wungu lirih dan bergetar. Wajah gadis ini langsung berubah pucat melihat laki-laki itu terhuyung mundur sambil menekap dadanya. Gadis cantik ini semakin tak mengerti melihat wajah Rimang yang berkerut-kerut seperti hendak menangis juga hendak tertawa. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah dilanda penderitaan hebat
Sedangkan Rimang terus terhuyung mundur. Sesekali terdengar keluhan yang keluar dari bibirnya. Tangan kanannya terjulur ke depan seperti hendak menghalangi gadis itu agar tidak melangkah mendekatinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat pergi sambil memperdengarkan jeritan melengking memilukan. Dari nada suara jeritannya, jelas sekali kalaucdia tengah mengalami suatu pukulan dalam hatinyacyang sama sekali tidak dimengerti Kencana Wungu. Dan gadis itu hanya dapat memandang bingung.
"Kakang Rimang...!" Kencana Wungu berteriak memanggil nama pemuda itu setelah terbebas dari keterpakuannya. Sambil berteriak memanggil, tubuh gadis cantik itu cepat melesat ke arah perginya pemuda pemetik kecapi itu. Namun hatinya jadi kecewa ketika tidak berhasil menemukan pemuda itu meskipun telah berlari dalam jarak yang cukup jauh. Rimang yang berjuluk Kecapi Perak dari Selatan lenyap bagaikan ditelan bumi saja.
"Kakang.... Apakah sebenarnya yang terjadi denganmu? Mengapa tiba-tiba saja kau meninggalkan aku?" keluh Kencana Wungu dengan tubuh lunglai.
Tiba-tiba saja gadis itu merasa begitu sepi dan nelangsa. Sepertinya seluruh hati dan semangatnya ikut terbang bersama kepergian pemuda yang telah menimbulkan rasa kagum dan simpati dalam hatinya. Ingin rasanya dia berteriak sekuat-kuatnya memanggil nama pemuda pemetik kecapi itu. Dan kini dadanya terasa sesak oleh berbagai perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya saat itu.
"Oh, Kakang...," Kencana Wungu kembali mengeluh, menyebut nama pemuda yang telah mencuri sekeping hatinya.
Dilangkahkan kakinya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Lambat sekali kakinya melangkah dengan kepala tertunduk. Air mata yang hendak runtuh ditahan dengan sekuat hatinya. Baru kali inilah ia benar-benar merasa sepi dan sendiri dalam dunia ini. Hatinya terasa kosong dan pedih mengingat kepergian pemuda itu yang telah membawa kesan pada dirinya. Tanpa sadar, dua butir air bening menggelinding di kiri kanan pipinya.
Kencana Wungu baru tersentak ketika mendengar langkah langkah kaki yang mendatanginya. Dengan hati berdebar, gadis itu menunggu dan berharap kalau orang yang datang itu adalah Rimang, pemuda yang telah menimbulkan getar-getar aneh di dalam hatinya. Namun hatinya menjadi kecewa ketika orang yang datang itu ternyata dua orang pembantu ayahnya. Cepat air mata yang membasahi wajahnya dihapus dengan punggung tangan. Ditariknya napas berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya dan berusaha bersikap wajar.
"Nini Kencana? Nini... sedang apa di sini?" tegur salah seorang dari mereka dengan perasaan heran. Karena, tidak biasanya gadis itu berada di luar pada saat malam seperti itu, meskipun saat itu bulan purnama. Kedua orang pembantu utama Ki Burga itu saling pandang satu sama lain dengan wajah bingung. Keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tak mengerti. Mereka kembali mengalihkan pandangke arah gadis yang tampak berusaha tersenyum. Tapi sayang, senyum di wajah cantik itu tampak getir sehingga seperti sebuah seringai.
"Hm.... Apakah aku tidak boleh menikmati keindahan purnama malam ini? Dan Paman berdua mengapa pula berada ditempat ini?" tanya Kencana Wungu. Gadis itu rupanya telah dapat menyembunyikan perasaannya dari pandangan kedua orang pembantu ayahnya itu. Ia mencoba bersikap wajar dan melangkah menghampiri keduanya dengan senyum yang dibuat semanis mungkin untuk menutupi kedukaan.
"Ah, tidak apa-apa. Kami berdua diperintahkan ayahmu untuk mengamati daerah sekitar tempat ini. Karena kami tadi mendengar suara nyanyian dan alunan kecapi," sahut salah seorang, sambil mencoba bersikap wajar. Meskipun bagi sepasang mata Kencana Wungu jelas terlihat kalau mereka menyembunyikan sesuatu.
"Apakah Nini juga mendengar suara itu?" tanya yang lain dengan pandangan menyelidik.
"Tidak. Memangnya kenapa, Paman? Apakah nyanyian itu mengganggu perasaan ayah?" Kencana Wungu berbalik bertanya. Memang, tidak biasanya kedua orang itu meronda. Padahal biasanya mereka hanya disuruh menjaga saja. Dan sebagai seorang gadis cerdik, ia pun mulai dapat meraba kalau ada sesuatu yang tidak wajar yang tengah dialami ayahnya. Hal itu terlihat dari sikap ayahnya yang nampak gelisah dan selalu marah-marah waktu belakangan ini. Dan ketika ia melihat keanehan pada si pemetik kecapi tadi, maka gadis yang banyak akal ini pun mulai merangkai dan menduga-duga. Meskipun ia belum dapat menemukan apa yang terjadi penyebab semua itu, Kencana Wungu beeriat menyelidikinya.
"Ah! Sama sekali tidak, Nini. Sebaiknya kita lekas kembali. Siapa tahu, saat ini ayahmu tengah mencari- carimu. Dan kami bisa mendapat marah besar kalau beliau mengetahui Nini ada di sini," ajak salah satu dari keduanya dengan sikap hormat dan tidak terlalu berani mendesak.
"Hm.... Baiklah, Paman. Ayo kita pulang!" setelah berkata demikian, gadis itu melangkah mendahului kedua orang pembantu ayahnya itu. Tanpa berkata sepatah pun, kedua orang itu bergegas mengikuti langkah kaki putri majikannya meninggalkan tempat itu.

* * * * *



«₪֎ [ DELAPAN ] ֎₪»

Setelah merasa cukup jauh, Rimang segera memperlambat larinya dan kemudian berhenti. Pemuda gagah berusia tiga puluh tahun itu menghela napas panjang berulang-ulang, lalu duduk di atas sebongkah batu besar di luar perbatasan Desa Dadapan.
"Hhh.... Mengapa kejadian ini harus terulang lagi? Haruskah aku mengalami kehancuran hati untuk yang kedua kali? Apakah Wirani tidak rela kalau aku jatuh cinta lagi?" keluh pemuda itu dengan suara bergetar penuh kedukaan.
Terbayang kembali dipelupuk matanya, peristiwa sepuluh tahun lalu. Waktu itu dia diperintah gurunya untuk membasmi para perampok yang mengganggu dusun yang terletak cukup jauh dari tempat tinggal gurunya. Betapa terkejut dan hancurnya hati Rimang. Ketika kembali dari tugas, dia menemukan tubuh guru dan istri gurunya, serta Wirani, telah terkapar mandi darah!Sedihnya lagi, Wirani yang anak gurunya itu, adalah juga tunangannya. Tiba-tiba Rimang tersentak bangkit dengan sepasang mata nyalang. Pendengarannya yang terlatih menangkap suara berkeresek dibelakangnya. Namun pemuda itu menghela napas lega, dan kembali duduk tenang ketika melihat seekor kelinci gemuk berlari ke arah semak-semak.
"Guru. Mengapa derita ini tak habisnya mendera jiwaku?" keluh pemuda itu.
Wajah Rimang semakin berduka. Karena di saat tugas pembalasan dendamnya hampir tuntas, ia dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat sulit. Betapa tidak?Sebab ternyata musuh besarnya yang hanya tinggal Ki Burga seorang itu, mempunyai seorang putri cantik dan telah dikenalnya. Bahkan mereka telah bersahabat. Selain itu, gadis putri musuh besarnya justru telah menebarkan benih kasih di dalam hatinya yang selama ini kering dan hampa. Rimang benar-benar bingung menghadapi keadaan itu. Ia harus memilih antara perasaan cinta dan bakti terhadap gurunya sekeluarga.
"Hhh...," pemuda itu menghembuskan napasnya kuat-kuat seolah ingin membuang semua kekalutan melalui hembusan napas beratnya itu.
Hati Rimang kembali terbakar dendam dan kemarahan mengingat kalau orang yang telah membunuh dan menodai tunangannya itu masih tersisa seorang lagi. Dan orang itu adalah ayah dari gadis yang telah membangkitkan gairah dan semangat hidupnya kembali.
"Tidak! Apa pun yang terjadi, aku harus melunasi dendam penasaran guruku sekeluarga! Aku tidak peduli, meskipun hal itu membuatku menderita selamanya. Tunggulah, Ki Burga! Aku akan datang untuk mengambil nyawamu!" geram Rimang yang segera bangkit dengan sorot mata penuh dendam.
Pemuda itu memang harus mengenyampingkan perasaan pribadi demi bakti terhadap gurunya dan demi kecintaannya terhadap kekasihnya yang telah dibunuh dan dinodai secara biadab. Setelah mengambil keputusan bulat, dia melangkah memasuki mulut desa sambil menenteng kecapi peraknya. Wajahnya yang gagah dan cukup tampan itu kembali dingin dan beku. Demi guru dan tunangannya, semua perasaan terhadap Kencana Wungu ditekan dan dimatikannya. Tubuhnya berkelebat cepat di antara bayang-bayang pepohonan yang memanjang tertimpa cahaya pumama malam itu. Tubuh pemuda yang kini terbakar dendam itu berlompatan di atas atap rumah-rumah penduduk menuju kediaman kepala Desa Dadapan. Begitu tiba di tempat tujuan, tubuhnya segera menyelinap memasuki bangunan besar rumah kepala desa.
Wuuut!
Tangan pemuda itu bergerak melemparkan sebilah pisau kearah tiang penyangga rumah yang berada di ruangan depan. Setelah itu tubuhnya kembali berkelebat lenyap meninggalkan rumah kediaman Ki Burga.
Tappp!
"Hei, apa itu...?" teriak lelaki gagah yang bukan lain dari Ki Burga sendiri. Tubuh Ki Burga langsung mencelat bangkit dari kursinya. Gerakan ini diikuti pula oleh dua orang pembantunya, karena saat itu mereka memang tengah berbicara di ruang depan. Ki Burga melangkah hati-hati ke arah tiang yang menjadi sasaran sinar putih yang tadi dilihatnya itu. Dua orang pengawalnya ikut melangkah dibelakang majikannya, siap dengan senjata ditangan.
"Lihat, Ki! Di gagang pisau itu sepertinya ada selembar daun lontar!" kata salah seorang dari kedua pengawal kepala desa itu.
"Ambillah, dan bawa kemari!" perintah Ki Burga dengan hati tegang dan diliputi tanda tanya.
Seorang penjaga kemudian mengambil pisau yang tertancap, kemudian membuka gulungan daun lontar. Diserahkannya daun lontar itu, yang kemudian diambil Ki Burga. Dengan hati-hati, kepala desa itu membuka gulungan daun lontar yang kemudian segera dibacanya. Ia yang sudah mendengar kabar terbunuhnya tiga orang sahabatnya, langsung dapat menerka. Mungkinkah ini perbuatan orang yang dijuluki Kecapi Perak dari Selatan? Kalau benar, mengapa mengirimkan surat ini? Mengapa tidak datang langsung menemuinya seperti yang dilakukan terhadap ketiga orang kawannya? Dengan tangan gemetar karena dilanda ketegangan hebat, Ki Burga pun mulai membaca tulisan di dalam surat itu.

Ki Burga! Kutunggu kau malam ini juga! Datanglah kesebuah lapangan rumput di Selatan desa. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!

Wajah Ki Burga mendadak gelap sesudah membaca isi surat itu. Diremasnya surat itu dengan penuh geram, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
"Huh! Jangan kau kira aku takut kepadamu, Manusia Keparat! Akan kuremas hancur batang lehermu!" geram Ki Burga dengan suara lirih.
"Kalian berdua ikut aku!"
Dengan diiringi dua pembantu utamanya, lelaki gagah berusia empat puluh lima tahun itu bergegas memenuhi tantangan Kecapi Perak dari Selatan.
Tiga orang tampak berkelebat menuju suatu tempat. Mereka adalah, Ki Burga dan dua orang pengawal pribadinya. Kini mereka telah tiba di lapangan yang dimaksud di dalam surat. Dari kejauhan, mereka melihat sesosok tubuh berambut meriap berdiri angker sambil menyandang sebuah kecapi berwarna perak.
"Hm.... Ternyata kau cukup gagah dan jantan, Ki Burga!" puji sosok tubuh yang tak lain Rimang itu.
Suara si pemetik kecapi itu terdengar dingin dan angker. Sehingga hati ketiga orang itu berdebardan semakin tegang. Dan memang mereka sudah mendengar sepak terjang tokoh itu yang menggiriskan.
"Hmh...! Aku tidak akan lari dari tanggung jawab, Kisanak. Kedatanganku kemari bukan bermaksud untuk membela tiga orang kawanku yang telah kau bunuh itu, tapi justru untuk menebus dosa-dosa akibat kekhilafanku dulu. Dulu aku telah dibujuk Ki Suta untuk mengeroyok dan membunuh gurumu itu. Selama sepuluh tahun aku menyesali perbuatanku yang telah membuat dosa besar terhadap gurumu. Kini, aku datang untuk menebusnya," tegas Ki Burga sambil melangkah perlahan mendekati Rimang.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku datang untuk menagih hutang nyawa guruku?" tanya Rimang.
"Tidak perlu heran, Kisanak. Aku sudah mulai menduga ketika mendengar kematian tiga orang sahabatku itu. Sebab, peristiwa itu sampai saat ini masih tetap mengganggu pikiranku. Itulah sebabnya, mengapa aku dapat memastikan dirimu sesungguhnya," sahut Ki Burga yang telah dapat menenangkan dirinya.
"Hm.... Meskipun begitu, jangan harap aku akan mengampunimu, Orang Tua! Meskipun kau mengatakan sangat menyesali perbuatanmu itu, namun aku akan tetap mengirimmu ke liang kubur!" bentak Rimang yang tak tergerak hatinya oleh pengakuan Ki Burga.
"Hm.... Apakah kau tahu, apa yang menyebabkan gurumu sampai tewas di tangan kami?" tanya Ki Burga.
"Tentu! Pada saat usai pembantaian, aku datang. Kutemui kalau ternyata guruku masih belum tewas. Beliau menceritakan kalau perbuatan itu dilakukan oleh seorang yang pernah menjadi tunangan istri guruku. Tapi istri guruku menolaknya, dan memilih beliau sebagai suaminya. Tapi, rupanya orang yang bernama Ki Suta itu mendendam. Maka diajaknya tiga orang kawannya untuk membunuh guruku sekeluarga, setelah dua puluh tahun menahan dendam. Bahkan salah seorang dari kalian telah menodai tunanganku sebelum membunuhnya!"
Rimang berhenti sebentar. Dihirupnya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Dadanya terasa bergemuruh, menahan gejolak amarah. Sedangkan Ki Burga tetap mendengarkan dengan sabar, walau hatinya juga tidak menentu.
"Beliau telah mewariskan aku sebuah kitab dan kecapi perak yang kupelajari selama sepuluh tahun untuk membalaskan dendam. Ia juga menyebutkan nama-nama orang yang mengeroyoknya. Itulah sebabnya, mengapa aku tidak terlalu sulit mencari keempat orang pembunuh biadab itu. Aku memang tidak tahu, siapa diantara kalian yang telah menodai tunanganku. Namun, aku telah cukup puas bisa melenyapkan kalian dari muka bumi ini!" tegas Rimang dengan suara bergetar mengingat kematian gurunya sekeluarga.
"Ah! Aku sama sekali tidak mengetahui kalau salah seorang dari kami telah menodai putri gurumu itu." desah Ki Burga agak kaget
"Sudahlah, Ki Burga. Sekarang bersiaplah untuk menerima hukuman atas perbuatanmu itu!" bentak Rimang yang segera bersiap untuk melakukan serangan. Pemuda itu menggeser kaki kanannya kesamping membentuk kuda-kuda silang. Tangan kirinya ditekuk di atas kepala. Sedangkan tangan kanannya yang memegang kecapi berada di depan dada.
"Menepilah kalian. Jangan mencampuri urusan ini," perintah orang tua itu kepada kedua orang pembantunya.
"Kalau aku tewas, bawa mayatku pulang!"
"Baik, Ki," sahut kedua orang itu serempak. Meskipun dengan hati dipenuhi tanda tanya, namun kedua orang pembantu yang setia itupun melangkah ke tepi arena.
"Aku sudah siap, Kisanak!" seru Ki Burga yang sudah mencabut sepasang pedang yang tergantung dipunggung.
Wuuut! Wuuut..!
Ki Burga memutar pedang secara bersilangan. Sepasang pedang itu berkesiutan membentuk gulungan sinar putih yang bergerak cepat turun naik.
"Yeaaat..!" Diiringi teriakan keras, Rimang mulai membuka serangan. Tubuhnya yang tinggi tegap itu meluncur cepat ke arah lawannya.
Wuuut!
Kecapi perak yang berada di tangan kanannya menyambar cepat dengan kekuatan menggiriskan, tertuju kearah kepala Ki Burga. Laki-laki kepala desa itu segera menggerakkan pedangnya untuk menangkis. Namun, serangan itu ternyata hanyalah sebuah tipuan. Karena pada saat hampir mencapai sasaran, tiba-tiba kecapi perak itu tertarik pulang. Rimang segera menggantikannya dengan tusukan jari-jari tangan kiri yang terbuka mengancam lambung lawan.
Zebbb!
"Aaah...!" Ki Burga yang tidak mengira gerakan lawan demikian cepatnya, cepat melompat ke belakang untuk menghindari serangan berbahaya itu. Sambil melompat, dikirimkannya sebuah bacokan yang tidak kalah berbahayanya. Pedang di tangan kanannya menyambar ganas mengancam leher lawan.
Rimang pun bukanlah orang bodoh. Kaki kanannya segera digeser ke samping disertai liukan tubuhnya, maka serangan Ki Burga hanya mengenai tempat kosong. Kemudian dilancarkannya serangkai serangan balasan yang mengancam jalan-jalan darah kematian di tubuh orang tua itu. Dengan tidak kalah ganas, sepasang pedang di tangan kepala Desa Dadapan menyambar, menyambut serangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin sengit. Kedua tokoh itu saling menyerang dahsyat. Dalam waktu singkat, mereka telah bertarung lebih kurang empat puluh jurus. Namun, masih terlihat sama-sama seimbang.
"Yeaaat...!" Memasuki jurus yang keempat puluh lima, Ki Burga berteriak melengking tinggi. Sepasang pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. Nampaknya, orang tua itu telah mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera menjatuhkan lawan. Serangannya kali ini benar-benar hebat dan menggiriskan.
Wukkk! Wukkk!
"Haiiit...!" Sambil membentak keras, Rimang berkelebat cepat menghindari sambaran pedang yang berhawa maut itu. Di sini diperlihatkannya kehebatan ilmu meringankan tubuhnya yang jarang ada duanya. Setiap kali pedang di tangan lawan menyambar, selalu saja hanya mengenai tempat kosong. Dan memang, gerakan tubuh pemuda itu masih jauh lebih cepat daripada sambaran pedang lawan. Bukan hanya itu saja. Dalam setiap elakannya, laki-laki tinggi tegap itu selalu mengisinya dengan sambaran kecapi peraknya maupun tusukan jari-jari tangan yangd apat meremukkan batu karang. Sehingga dalam beberapa jurus kemudian, Rimang kini sudah mulai dapat mendesak lawannya. Ki Burga terus dipaksa bermain mundur dan semakin dipersempit ruang geraknya.
Memasuki jurus kelima puluh tiga, Ki Burga sudah tidak mampu lagi membalas serangan. Setiap kali pedangnya menyambar, selalu membentur kecapi perak yang bergulung-gulung membentuk gundukan sinar bagai benteng baja yang kokoh. Setiap kali membentur gundukan sinar perak itu, pedangnya selalu terpental balik dan tangannya kontan terasa nyeri. Hal itu menandakan kalau kekuatan tenaga dalam lawan ternyata masih beberapa tingkat di atasnya. Dan hal itu membuatnya semakin kewalahan.
"Gila! Kepandaian pemuda ini benar-benar hebat. Pantas saja kalau ketiga orang kawanku sampai tewas ditangannya. Dan rasa-rasanya, akupun tidak akan bertahan lebih lama lagi," keluh Ki Burga yang seluruh tubuhnya sudah dibasahi peluh yang membanjir keluar. Bahkan napasnya pun terlihat mulai memburu karena harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mempertahankan nyawa.
"Heaaat...!"
Pada saat pertarungan memasuki jurus yang kelima puluh lima, Rimang berteriak nyaring disertai sentilan jari-jarinya pada dawai kecapi. Hebat sekali akibat yang ditimbulkan oleh petikan kecapi yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sekitar arena pertarungan bagai dilanda angin ribut, hingga membuat pepohonan berderak bagaikan hendak roboh! Bahkan dua orang pembantu Ki Burga yang menyaksikan pertarungan dari tepi arena sampai terjengkang kebelakang. Mereka terkejut bukan main ketika merasakan sebuah getaran yang amat kuat seperti menghantam bagian dalam dada. Maka kedua orang itu cepat mengerahkan tenaga untuk melindungi tubuh mereka dengan jalan melakukan semadi dan mengatur jalan napas.
Kejadian itu juga dialami Ki Burga. Bahkan akibat yang dialaminya lebih hebat lagi, karena serangan itu memang ditujukan kepadanya. Tubuh orang tua itu gemetar bagai orang terserang demam tinggi. Padahal dirinya sudah dilindungi tenaga dalam penuh. Namun tetap saja suara itu mempengaruhinya. Dari mulut, hidung, dan telinganya nampak mengalir darah segar. Jelas kalau Ki Burga mengalami luka dalam yang cukup parah.
"Hiaaa...!" Karena tidak sanggup bertahan lebih lama, tiba- tiba Ki Burga mengeluarkan lengkingan tinggi yang nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat disertai sambaran sepasang pedangnya. Orang tua itu tidak sadar kalau keadaannya yang lemah telah memperlambat gerakannya. Sehingga pada saat melompat, ia tidak sempat lagi menghindari sambaran kecapi perak yang menghantam punggungnya.
Desss!
"Huagkh...!" Tubuh Ki Burga langsung terjengkang disertai semburan darah segar dari mulut. Sepasang pedangnya pun terlempar entah ke mana. Sebelum tubuhnya menyentuh permukaan tanah, Rimang sudah menyusul dengan tusukan jari-jari tangan yang meluncur kearah leher orang tua itu. Rasanya, nyawa Ki Burga hanya sampai disini. Laki-laki tua itu hanya dapat memejamkan mata, menunggu ajal tiba. Sikapnya sudah benar-benar pasrah.

* * * * *



«₪֎ [ SEMBILAN ] ֎₪»

"Aaah...!"
Tubuh Rimang terpental balik ketika tusukan jari tangannya membentur lengan kokoh bagai sebatang baja yang mengeluarkan hawa dingin menggigit tulang. Cepat tubuhnya bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan daya luncur tubuhnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Rimang. Laki-laki pemetik kecapi itu terkejut melihat sesosok tubuh sedang dan berjubah putih tengah berdiri tegak beberapa langkah di depan Ki Burga. Orang itu dikenalnya betul karena sekujur tubuhnya dikelilingi selapis kabut yang bersinar putih keperakan. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga Putih.
Sementara tubuh Ki Burga yang terluka, tengah dipapah ke tepi oleh seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. Gadis itu tak lain adalah Kenanga yang datang bersama Panji.
"Hm.... Mengapa kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih?! Bukankah hal ini tidak ada sangkut pautnya denganmu? Lagi pula keparat itu adalah musuh besarku yang telah membantai guruku sekeluarga," tegur Rimang dengan suara tak senang. Keningnya berkerut dalam, melihat campur tangan pendekar muda itu.
"Kisanak. Membunuh musuh yang sudah tidak berdaya bukanlah suatu sifat bijaksana," sahut Panji yang menjadi semakin bijak karena pengalaman-pengalamannya dalam petualangan.
"Adalah merupakan sikap terpuji apabila kita sudi memaafkan lawan yang sudah tidak berdaya. Siapa tahu ia akan menjadi sadar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,"
"Jangan coba menasihatiku, Pendekar Naga Putih! Biarpun kau seorang pendekar besar, namun usiaku jauh lebih tua darimu. Dan aku tidak membutuhkan nasihatmu! Lebih baik serahkan orang tua itu kepadaku, dan kau boleh pergi tanpa kuganggu!" bentak Rimang.
Dia memang menjadi tersinggung mendapat nasihat dari Pendekar Naga Putih yang dianggapnya sebagai anak kemarin sore. Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat dan penuh ancaman.
"Kakang, orang tua itu terluka cukup parah. Dan menurut keterangan dua orang yang mungkin pembantunya, dia memang sengaja datang kesini untuk memenuhi tantangan Kecapi Perak dari Selatan. Hal ini dilakukan untuk menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya pada masa silam," jelas Kenanga yang sudah berada disamping Panji. Gadis jelita itu melemparkan pandang sejenak kepada Rimang yang tengah berdiri dengan sikap menantang.
"Nah! Kau dengar itu, Kisanak. Orang tua yang menjadi musuh besarmu itu telah lama menyesali perbuatannya. Apakah kau tidak sudi mengampuni dan memaafkannya?" bujuk Panji dengan suara halus.
Meskipun demikian, Panji tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Karena dari benturan tadi, bisa diduga kalau kepandaian lelaki berambut meriap itu tidak bisa dipandang remeh.
"Tidak perlu banyak cakap, Pendekar Naga Putih! Kalau kau hendak membelanya, bersiaplah!Aku ingin tahu, apakah kepandaianmu sehebat perkataanmu?" tantang Rimang yang tidak ingin berpanjang kata lagi.
"Tunggu dulu, Kisanak. Bagaimana kalau kita bertaruh saja?" usul Panji yang rupanya telah mendapat jalan keluar untuk memecahkan persoalan.
"Apa maksudmu?" tanya Rimang mengerutkan kening.
"Hm.... Aku terima tantanganmu, tapi dengan satu syarat. Apabila dalam pertarungan nanti aku kalah, kau boleh membunuhku dan juga orang tua itu. Tapi sebaliknya, apabila kau yang kalah, kau harus mengampuni dan memaafkan orang tua itu. Bagaimana? Setuju?"
Rimang tidak segera menjawab. Ia termenung sejenak memikirkan usul yang diajukan Pendekar Naga Putih. Sekilas terbayang mayat ibu guru dan tunangannya yang bermandi darah. Masih terngiang di telinganya rintihan kesakitan sang Guru saat menjelang ajal dan menyerahkan kecapi perak berikut sebuah kitab. Terbayang juga wajah Kencana Wungu, gadis yang telah mempu membangkitkan gairah hidupnya yang telah lama mati.
Apa yang akan dilakukan Kencana Wungu yang telah mencuri sekeping hatinya, apabila mengetahui kalau dirinya yang membunuh orang tua satu-satunya yang masih tinggal? Apakah mungkin kalau gadis itu akan berduka dan kemudian melakukan pembalasan terhadapnya? Rimang meringis menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Karena ia tidak mungkin sanggup membayangkan kesedihan dan kedukaan gadis yang telah dicintainya itu. Apalagi untuk menghadapinya. Ia tidak akan sanggup.
"Hhh...," Rimang menghembuskan napasnya kuat-kuat untuk menghilangkan rasa pening akibat pertentangan batinnya. Ia benar-benar bingung dan tak tahu harus memilih yang mana.
"Kisanak, aku percaya kalau mendiang gurumu adalah seorang yang bijaksana. Dan akupun percaya apabila saat ini beliau masih ada, pasti akan mengampuni dan memaafkan musuhnya yang telah sadar akan kesalahannya," bujuk Panji yang membuat Rimang mengangkat kepalanya dan menatap pemuda berjubah putih itu lekat-lekat
"Betulkah ucapanmu itu, Pendekar Naga Putih?" tanya Rimang yang hatinya telah dilanda keraguan.
"Untuk apa berbohong," sahut Panji tersenyum.
"Lagi pula dengan melukai orang tua itu, bukankah kau telah memberikan ganjaran atas perbuatannya? Dan itu, sama artinya bahwa kau telah menunaikan tugasmu dengan baik."
"Hm.... Kurasa ucapanmu itu cukup masuk akal," gumam Rimang seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah. Aku setuju dengan usulmu tadi. Nah, sekarang bersiaplah!"
Laki-laki pemetik kecapi itu segera memasang kuda-kuda, siap menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Sudah kuduga, kalau kau sebenarnya memiliki sifat bijaksana, Kisanak. Aku kagum padamu," jawab Pendekar Naga Putih yang segera bersiap menghadapi Kecapi Perak dari Selatan.
"Jangan terlalu memujiku, Pendekar Naga Putih," sahut Rimang. Terus terang, diam-diam si Pemetik Kecapi dari Selatan merasa malu. Karena keputusan yang diambilnya itu bukan dari kebijaksanaan. Keputusan itu diambil karena ia takut akan kemarahan dan kedukaan putri musuh besarnya yang telah mencuri sekeping hatinya itu. Sesudah mengeluarkan ucapan itu, Rimang mulai bergerak maju dengan sikap hati-hati. Karena disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Mau tak mau dia harus berjuang keras untuk mengalahkannya. Bahkan, jarinya sudah digerakkan memetik dawai kecapi dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Mendengar irama kecapi yang kian lama kian menggetarkan dan melengking itu, Kenanga dan tiga orang lainnya bergegas menjauhi arena pertarungan. Sedangkan Panji sendiri sudah melolos Pedang Naga Langit yang tersandang di punggungnya. Cepat-cepat pedang itu diputar untuk menindih suara kecapi yang mengaung dan melengking menggetarkan dadanya.
Wuuuk! Wuuuk...!
Segunduk sinar putih keperakan bergulung-gulung menimbulkan deruan angin dahsyat. Gundukan sinar itu bergerak turun naik, bagai seekor naga yang melayang-layang di angkasa. Suaranya mengaung dahsyat bagai pekikan naga yang marah!
Rimang tercekat ketika merasakan suara mengaung yang ditimbulkan putaran pedang lawan ternyata mampu menindih irama petikan kecapinya. Dibarengi teriakan nyaring, laki-laki gagah itu melompat menerjang Panji dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaat..!"
Wuuuk!
Angin tajam berhembus keras ketika Rimang mengayunkan kecapi peraknya untuk menerjang Panji. Namun Pendekar Naga Putih bergegas menyambut dengan sambaran Pedang Naga Langit yang mengaung menggetarkan sukma. Sesaat kemudian, kedua orang tokoh sakti itu sudah terlibat pertarungan dahsyat
Trang!
"Aaah...!"
Terdengar benturan keras yang memekakkan telinga ketika pedang di tangan Panji membentur kecapi perak lawan. Tubuh Rimang terdorong sejauh hampir dua tombak dan wajahnya terlihat agak pucat. Sedangkan Panji hanya terjajar mundur sejauh tiga langkah. Dari sini saja sudah dapat ditakar kalau tenaga dalam yang dimiliki si Pemetik Kecapi dari Selatan cukup lumayan juga. Paling tidak, ini membuat Pendekar Naga Putih harus mengakui kehebatan lawannya.
"Sudah kuduga kalau kau pasti memiliki tenaga dalam hebat, Kisanak," puji Pendekar Naga Putih tulus tanpa bermaksud menghina.
"Hhh...!" Rimang hanya menggeram sambil menyedot napas dalam-dalam. Tubuhnya tampak bergetar, pertanda kalau laki-laki gagah itu tengah mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk penyerangan selanjutnya. Dengan sebuah bentakan menggeledek, tubuh Rimang kembali melayang kearah Panji.
"Hiaaa...!"
Wuuut! Wuuut..!
Dalam sekejapan mata saja, laki-laki gagah berambut meriap itu telah melancarkan serangkai serangan maut yang membahayakan nyawa lawan. Sepertinya, kali ini Rimang benar-benar marah dan bermaksud menjatuhkan lawan secepat mungkin. Maka serangannya kali ini tidak bisa dipandang enteng.
Wuuut! Derrr!
Sambaran kecapi perak yang mengandung kekuatan dahsyat itu hanya menghantam sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa. Pohon itu langsung tumbang sehingga menimbulkan suara berderak ribut. Untung gerakan Panji lebih cepat dalam menghindari hantaman maut itu. Kalau tidak, niscaya tubuhnya akan terkena hantaman yang kuat dari lawannya itu.
"Haiiit...!"
Panji memutar pedang ditangannya dengan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' yang sudah tersohor itu. Sinar emas pun bergulung semakin cepat, menimbulkan terpaan angin dingin yang dapat membekukan jalan darah di tubuh lawan yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Gulungan sinar itu menukik cepat menyambar lambung Rimang yang sudah bersiap menghadapinya.
Wuuut!
Sambil melompat menghindari sambaran pedang lawan, tangan kiri Rimang bergerak cepat melakukan tusukan dengan jari-jari terbuka ke arah ubun-ubun Pendekar Naga Putih. Bergegas Panji memiringkan tubuh dengan kuda-kuda rendah ketika merasakan sambaran angin tajam di atas kepalanya. Dengan sebuah gerakan indah dan kuat kaki kiri Panji mencelat naik melakukan tendangan kilat ke dada lawan. Namun Rimang pun bergerak cepat memapak tendangan itu dengan hantaman kecapi perak ke lutut lawan.
Wuuut!
Tendangan Panji yang ternyata hanya sebuah tipuan, menekuk cepat hingga hantaman kecapi perak lawan hanya mengenai tempat kosong. Sambil menarik pulang tendangannya, tubuh pemuda tampan itu berputar setengah lingkaran. Dan tahu-tahu saja tumit kanannya telah mencelat menuju pelipis lawan. Memang, gerakan berputar yang dilakukan Pendekar Naga Putih diiringi pula dengan lompatan.
Dungngng!
Rimang terjajar mundur ketika berhasil menangkis tendangan Panji dengan bagian samping kecapi peraknya. Ia segera melakukan beberapa kali salto ke belakang, karena khawatir kalau-kalau lawan akan melakukan serangan berikut. Dan ternyata apa yang diduganya menjadi kenyataan. Panji yang sempat merasa tergetar akibat tangkisan kecapi perak lawan, segera melesat. Bahkan pedangnya langsung ditusukkan ke arah dada lawan. Serangkum angin dingin yang menggigit kulit mendahului sambaran Pedang Naga Langitnya.
Wuuut! Trangngng!
"Ahhh...!"
Meskipun berhasil menangkis tusukan pedang dengan senjatanya, namun tubuh si Pemetik Kecapi dari Selatan hampir terjengkang karenanya. Dan sebelum sempat merubah posisi kuda-kuda, sebuah tendangan kilat telah hinggap ditubuhnya.
Desss!
"Hugkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Rimang terbanting jatuh dengan suara berdebuk keras. Darah segar tampak mengucur dari mulut, sehingga membasahi pakaiannya. Sedangkan kecapi peraknya sudah terlepas dari pegangan. Namun sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, ia pun cepat menguasai keadaan. Tubuhnya melenting bangkit, lalu bergulingan menjauhi lawannya.
"Hhh.... Kau hebat Pendekar Naga Putih. Tapi aku belum kalah!" kata Rimang terengah-engah sambil menekap perutnya yang terkena tendangan tadi.
"Hm...." Panji hanya bergumam sambil menyimpan senjatanya. Memang, Pendekar Naga Putih tidak ingin dikatakan mendapatkan kemenangan dengan mengandalkan senjata. Apalagi, lawannya kini sudah tidak memegang senjata lagi. Dan kini kedua tangannya bergerak membentuk cakar naga.
"Sambutlah ini, Kisanak!" ujar Panji memperingatkan lawannya. Saat itu juga tubuh Pendekar Naga Putih melesat menerjang lawan yang sudah mempersiapkan jurus- jurus tangan kosongnya.
Wuuut! Wuuut!
Dua buah cakar Panji yang mengarah lambung dan dada, berhasil dihindari Rimang dengan menggeser tubuhnya kesamping. Sambil mengelak, dilepaskannya sebuah pukulan dan tendangan secara berturut-turut. Meskipun dalam keadaan terluka, ternyata pukulan dan tendangan si Pemetik Kecapi dari Selatan masih tetap berbahaya. Akibatnya,Panji tidak mau bersikap ayal-ayalan, dan cepat menggeser tubuhnya dua langkah kebelakang.
"Yeaaat..!" Begitu serangan lawan mengenai tempat kosong, tubuh Panji kembali melesat sambil mendorong sepasang telapak tangannya yang meluncur deras dan menghantam dada lawan.
Bresss!
"Aaakh...!" Rimang menjerit ketika sepasang telapak tangan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu telak menghantam dadanya. Tubuhnya langsung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi.
"Kau.... Kau..., benar-benar..., hebat, Pendekar Naga Putih. Aku..., mengaku kalah...," kata Rimang dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya tampak kehijauan akibat serangan hawa dingin yang telah merasuk kedalam tubuhnya akibat hantaman Panji.
Melihat lawannya sudah mengaku kalah dan tidak berdaya, Panji bergegas menghampirinya. Cepat-cepat Pendekar Naga Putih menotok dan mengurut di beberapa jalan darah tubuh Rimang untuk menyembuhkan luka akibat pukulannya tadi. Ini dimaksudkan agar laki-laki gagah itu tidak sampai tewas oleh pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya tadi.
"Nah! Sekarang, beristiraharlah untuk memulihkan tenagamu," ujar Panji setelah memberi obat penawar luka yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kau benar- benar seorang pendekar sejati yang bijaksana," ucap Rimang. Si Pemetik Kecapi dari Selatan benar-benar terharu melihat, betapa bekas lawannya itu ternyata malah mengobatinya. Dan sebagai seorang pendekar, Rimang pun tahu maksud dari kata 'istirahat' yang dilontarkan Panji. Maka, matanya pun mulai dipejamkan, lalu bersemadi.
Saat itu kegelapan sudah sirna. Semburat ke menahan mulai tampak menghias kaki langit sebelah Timur. Seorang gadis tampak berlari mendatangi tempat itu.
"Ayah...! Begitu melihat sesosok tubuh yang tengah terduduk, gadis yang tak lain dari Kencana Wungu itu langsung berteriak dan hendak menubruk ayahnya.
"Tahan dulu, Adik Manis. Ayahmu tengah bersemadi untuk mengobati luka dalamnya," Kenanga buru-buru mencegah gadis itu agar tidak mengganggu ayahnya.
"Siapa..., siapa yang telah melukai ayah?" tanya Kencana Wungu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dan gadis itu semakin terkejut ketika melihat sosok tubuh tegap tiba-tiba bergerak bangkit setelah menyelesaikan semadinya.
"Aku yang telah melukainya, Kencana!" sahut Rimang sambil menahan debaran dalam dadanya. Rimang terpaksa mengakui perbuatannya karena tidak mau menanggung beban perasaan yang terlalu berat. Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata sayu. Wajahnya yang semula telah segar kembali pucat. Rupanya laki-laki tegap itu telah siap menghadapi pukulan yang seberat apapun.
"Kau yang melukai ayahku?" tanya gadis cantik itu lirih dan tak percaya. Sepertinya Kencana Wungu akan lebih percaya kalau pemuda tampan berjubah putih itu yang melukai ayahnya, karena dia sama sekali belum mengenalnya.
"Tapi..., mengapa, Kakang?" tanya gadis itu menuntut jawaban.
"Karena aku dahulu adalah salah seorang pembunuh gurunya sekeluarga!" tiba-tiba terdengar suara berat menyahuti.
"Ayah...!" Begitu melihat ayahnya tengah bergerak bangkit Kencana Wungu segera berlari menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Orang tua yang sangat mengasihi putri satu-satunya itu memeluk dan membelai rambut kepala anak gadisnya.
"Mengapa, Ayah?" tanya gadis itu seraya mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak penuh garis-garis penderitaan. Setelah menarik napas sejenak, Ki Burga kemudian menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya. Ditumpahkannya seluruh beban yang selama sepuluh tahun mengganjal hatinya itu.
"Oh, Ayah...." Tangis gadis itu kembali melesak begitu mendengar cerita ayahnya. Sekilas terbayang di benaknya seraut wajah gagah milik Rimang yang selalu pucat dan tak bergairah itu. Kini baru dimengerti, mengapa laki-laki itu seperti tidak mempunyai gairah hidup. Rupanya hatinya penuh beban derita yang sangat berat. Kencana Wungu mengangkat kepalanya ketika teringat akan laki-laki itu.
"Ke mana dia...? Mana, Kakang Rimang?" tanya Kencana Wungu yang segera melepaskan pelukan ayahnya. Gadis itu mencari-cari orang yang dimaksud bagai seorang ibu yang kehilangan anaknya.
"Dia telah pergi," sahut Kenanga yang melangkah mendekati gadis itu. Sebagai seorang gadis, ia pun tahu apa yang terkandung di dalam perasaan Kencana Wungu.
"Kulihat ia pun sangat mencintaimu. Kau susullah. Karena dia tidak mungkin mendatangimu. Ia merasa terlalu tua untukmu."
Kenanga rupanya telah dapat menyelami perasaan Rimang. Rupanya dalam perantauan bersama Panji, gadis ini telah banyak melihat pengalaman yang dipetik sebagai pelajaran. Dan salah satunya adalah persoalan yang terjadi antara Rimang dengan Kencana Wungu. Buktinya, si Pemetik Kecapi dari Selatan itu bergegas pergi begitu Kencana Wungu datang. Tentunya, setelah mengakui perbuatannya terlebih dahulu.
"Oh." Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kencana Wungu bergegas menyusul kearah yang ditunjukkan Kenanga.
Sementara Ki Burga memandanginya dengan hati terharu. Dan orang tua itupun berharap agar putrinya dapat menyusul Rimang. Sepertinya, ia setuju karena hal itu bisa mengurangi rasa bersalahnya.
"Kakang...!" Kencana Wungu berseru ketika melihat sosok tubuh tegap tampak melangkah lesu beberapa tombak di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi, gadis cantik itu segera memeluk tubuh Rimang yang menjadi terkejut setengah mati. Ia hanya berdiri terpaku dengan tubuh gemetar. Benar-benar sulit untuk mempercayai keadaan itu.
"Tidak perlu banyak bicara dan alasan lagi. Aku bersedia menerimamu, walaupun kau telah melukai ayahku. Ayo, kita menghadap ayah!" ajak gadis itu. Kencana Wungu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Rimang untuk berbicara. Ditariknya tangan laki-laki itu untuk menemui ayahnya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tersenyum melihat kedua orang itu sudah kembali sambil bergandengan tangan. Selagi seluruh perhatian Ki Burga dan dua orang pembantunya tercurah kepada Rimang dan Kencana Wungu, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Memang, sepasang pendekar itu harus menyelesaikan tugas lain yang masih menunggu.

S E L E S A I



INDEX PENDEKAR NAGA PUTIH
Pendekar Murtad --oo0oo-- Serigala Siluman


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.