Life is journey not a destinantion ...

Misteri Lembah Seram

INDEX SUTO SINTING
113.Tabib Sesat --oo0oo-- 122.Kencan Di Lorong Maut

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


|₪: 1 :₪|

DULU, ketika Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu belum lahir, ada sebuah lembah yang angker dan menyeramkan. Di lembah itu, menurut cerita orang-orang kedai, banyak dihuni oleh roh-roh yang bergentayangan. Banyak hantu yang sering unjuk gigi di depan manusia, tanpa peduli giginya tak pernah digosok dalam ratusan tahun.Lembah itu dinamakan Lembah Seram. Semula orang-orang ingin menamakannya Lembah Menakutkan, tapi karena kurang mudah diingat, maka mereka sepakat menamakan Lembah Seram. Jarang ada manusia yang berani lewat Lembah Seram, kecuali tersesat. Biasanya orang yang tersesat di hutan Lembah Seran sulit mencari jalan keluar dari hutan tersebut. Selain hutannya yang belantara dan liar, juga menurut kepercayaan mereka, orang yang tersesat itu dibuat bulan-bulanan oleh para hantu yang bergentayangan di lembah tersebut.
Tetapi lama kelamaan, ternyata ada juga orang yang nekat masuk ke Lembah Seram. Jelas orang itu kepepet. Lari dari musuh yang tangguh. Sembunyi di lembah seram. Sang musuh pun pikir-pikir kalau harus mengejar lawannya ke Lembah Seram. Salah-salah dia bukan bertemu lawannya tapi bertemu dengan biangnya hantu.
Orang yang melarikan diri dan bersembunyi di Lembah Seram itu bernama Ki Pujasera. Nama itu bukan berarti Pusat Jajan Serba Ada, tapi punya makna sendiri bagi si pemilik nama. Pujasera kalau menurut si empunya nama, adalah sebuah kependekan dari kata Pujaan setiap dara. Disingkat, Pujasera.
Itu hanya celoteh si pemilik nama yang memang rada-rada konyol. Pada dasarnya, Ki Pujasera ternyata mampu mengalahkan hantu-hantu di sekitar Lembah Seram. Dengan kesaktian gaibnya, termasuk sederetan mantera-mantera pengusir hantu, akhirnya Lembah Seram dinyatakan 'bebas hantu' dan menjadi kekuasaan Ki Pujasera.
Keberhasilannya ita membuat Ki Pujasera mempunyai gagasan bagus bagi dirinya. la berusaha menenggelamkan nama Pujasera agar tak dikenali lagi oleh musuh bebuyutannya. Akhirnya nama tersebut di gantinya sendiri dengan nama: si Kusir Hantu.
Kusir Hantu diambil dari asal kata 'Kuasa mengusir Hantu'. Agaknya cocok juga dengan pengalaman pribadinya itu. Dan sampai sekarang nama itu cukup dikenal di rimba persilatan. Hanya beberapa orang saja masih memanggil Kusir Hantu dengan nama aslinya Pujasera. Sekali pun demikian, Pendekar Mabuk kenal baik dengan Pak Tua berambut kucai warna merah jagung seperti warna jenggotnya yang pendek itu.
Perkenalan Suto Sinting dengan Pak Tua berbaju biru celana hitam itu diawali ketika Suto Sinting berurusan dengan tokoh sesat di Selat Bantai. Semakin akrab lagi hubungan Suto dengan si tua yang suka bermain dengan pepatah itu setelah mereka kalahkan Hulubalang Iblis dari Tebing Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Cendana Sutera"). Salah satu kedua cucunya yang cantik-cantik itu ada yang menaruh hati kepada Pendekar Mabuk, yaitu yang bernama Pematang Hati. Suto hanya membalas dengan sikap persahabatan yang baik. Sedangkan di pondok Kusir Hantu juga tinggal seorang gadis yang naksir Suto Sinting juga sejak Suto berhasil membantunya mencari Bunga Kecubung Dadar. Gadis itu adalah si Tenda Biru, yang kini dianggap sebagai gurunya Panji Klobot, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Kabut tipis yang biasanya merambah permukaan anah Lembah Seram sudah menghilang sejak tadi. Kicau burung di awal pagi pun sudah tiada, karena para burung kecapekan berkicau, Berarti matahari pun sudah mulai menuju pertengahan langit. Pada saat itu, Lembah Seram sedang menjadi buah bibir pengunjung kedai. Bukan berarti bibir pengunjung kedai berbuah, tapi hampir setiap pengunjung kedai, terutama para tokoh di dunia persilatan, saling membicarakan tentang Lembah Seram. Nama lembah itu disebut-sebut oleh mereka, sehingga menarik perhatian seorang pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Pemuda yang duduk di bangku kedai dengan tetap menyanding bumbung tempat tuaknya itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, si murid sinting Gila Tuak yang akrab dipanggil Suto Sinting.
"Lembah Seram...?! Hmmm... aku ingat di sana ada si Kusir Hantu dan dua cucu cantiknya," ujar Suto dalam hati. "Di pondoknya itu juga tinggal si Tenda Biru dan Panji Klobot. Lalu.. mengapa orang-orang itu menyebut-nyebut nama Lembah Seram? Apa yang terjadi diLembah Seram saat ini?"
Pemuda berbaju buntung warna cokiat dengan celana putih kusam itu sengaja diam tanpa suara, bahkan mulutnya berhenti mengunyah peyek kacang agar telinganya bisa menyimak percakapan orang-orang kedai. Sikapnya seolah-olah cuek, tapi sebenarnya sangat memperhatikan apa yang dibicarakan orang-orang disekitarnya.
"Orangnya tinggi, besar, brewok, matanya melotot seperti jengkol."
"Ah, kurasa bukan matanya yang seperti jengkol tapi jengkol itu seperti matanya!"
"Pokoknya angker! la bersenjata rantai dengan kapak dua mata."
"Namanya... namanya siapa kau bilang tadi?"
"Berhala Murka!"
"lih...! Seram juga namanya, ya?"
"Dia berasal dari mana?!"
"Entah. Aku tak sempat tanya, sebab aku buru-buru lari ketika ia membunuh Ujanggu dan Mubara. Yang jelas, minta diantar ke Lembah Seram. Tapi karena Ujanggu dan Mubara tidak tahu letak Lembah Seram, termasuk aku juga tidak tahu, maka kami tak bisa mengantarnya. Eeeh... Berhala Murka marah, dia sangka kami tak mau mengantarnya ke sana. Ujanggu dan Mubara menjadi berang ketika dibentak-bentak. Maka terjadilah pertarungan itu dan aku buru-buru kabur setelah melihat Ujanggu dan Mubara tewas dalam satu gebrakan."
"Mau apa dia ke Lembah Seram?"
"Mana kutahu, aku sudah terlanjur kabur dan tak mau menengoknya lagi."
Di sisi lain, Suto Sinting mendengar percakapan yang menyinggung-nyinggung Lembah Seram juga. Setelah mencatat nama Berhala Murka di dalam ingatannya, perhatian Pendekar Mabuk tertuju pada sekelompok orang di sebelah kanannya.
"Tidak mungkin! Di Lembah Seram itu tidak ada Goa"
"Ada...! Pasti ada!"
"Apa kau pernah memeriksa bukit di sekitar Lembah Seram?"
"Memang belum. Tapi aku yakin ada goa di sana. Entah di sebelah mana! Dan di dalam goa itulah harta karun itu tersimpan."
"Bagaimana kalau sekarang juga kita pergi ke Lembah Seram?!
"Untuk apa?!"
"Untuk mencari goa itu!"
"Lembah Seram kekuasaan si Kusir Hantu. Apa kau mau digerogoti oleh si Kusir Hantu hingga kepalamu geripis?! Kusir Hantu itu galak dan angker!"
"Dari mana kau tahu?"
"Yaah... dari namanya! Namanya saja Kusir Hantu, pasti menyeramkan dan ganas!"
"Tapi tunggu dulu...," ujar orang yang satunya lagi.
"Apakah kabar tentang harta karun di sana itu memang benar? Jangan-jangan hanya isapan jempol saja?!"
"Aah.. jempolnya siapa yang mau dihisap oleh hantu?! Ini kabar yang dapat dipercaya!"
"Kau mendengar kabar itu dari siapa?!"
"Sekelompok orang yang datang entah dari mana, tapi mereka bermalam di Pantai Bejat. Aku menyadap percakapan mereka!"
Sekali lagi, inti pembicaraan mereka dicatat oleh Suto Sinting dalam benaknya. Sejumlah harta karun diburu orang. Harta karun itu ada di dalam goa, di sekitar wilayah Lembah Seram.
"Aneh-aneh saja pikiran orang itu. Kalau di Lembah Seram ada harta karun, tentu saja sudah jadi milik siKusir Hantu!" ujarnya dalam hati.
Ucapan batinnya sengaja tidak dilanjutkan, karena sekarang ia tertarik pada percakapan tiga orang yang duduk mengelilingi meja belakangnya. Tanpa harus menoleh ke belakang, Suto Sinting sudah bisa mendengar suara mereka dari tempatnya.
"Kita tidak mungkin berpura-pura gagal. Pasti ketua mengetahuinya. Jadi, gagal atau berhasil, kita harus tetap menuju ke Lembah Seram. Setidaknya kita bisa ceritakan keadaan di sana kepada ketua, kalau memang goa itu tidak ada!"
"Sebenarnya aku ingin menolak tugas ini. Aku ngeri berhadapan dengan si Kusir Hantu. Tua-tua ilmunya tinggi Iho! Tapi kalau aku menolak, pasti sang ketua marah padaku!"
Orang ketiga berkata dengan suara cempreng, mirip kaleng rombeng.
"Kau memang tidak pantas jadi anggota kami, Jumala! Nyalimu sebesar kerupuk bantat! Tidak ada orang Lembah Ajal yang punya nyali seperti nyalimu! Kalau kau keberatan, aku bisa saja keluar dari Lembah Ajal! Jangan menghina nyaliku sebesar kerupuk bantat, Garu Sodok! Kalau nyaliku sebesar kerupuk bantat,berarti aku tak berani bertarung melawanmu!
Kenyataannya, sekarang pun kalau kau bersedia, aku siap bertarung sampai mati denganmu, Garu Sodok"
"Sudah, sudah... nanti kelahi...," ujar temannya yang satu meleraikan perdebatan itu. Kening si pemuda tampan berhidung bangir itu mulai mengkerut. la menangkap suatu kesimpulan yang tak diduga-duga. Ternyata tiga orang di meja belakangnya itu adalah orang-orang Lembah Ajal. Suto Sinting masih ingat, Lembah Ajal dulu dikuasai oleh lblis Gembira. Tapi sejak iblis Gembira tewas di tangannya, 
Lembah Ajal dikuasai oleh kakaknya si lblis Gembira, yaitu si Begundal Tengik, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Kebangkitan lblis Gembira"). 
"Ooo... berarti si Begundal Tengik sudah mendengar kabar adanya harta karun di Lembah Seram. Lalu ia mengutus tiga orangnya untuk menyelidiki kebenaran kabar tersebut," gumam Suto Sinting. "Hmmm...agaknya Begundal Tengik mau ikut campur juga dalam perkara ini!"
Terdengar lagi salah satu dari ketiga utusan Begundal Tengik itu berkata kepada temanya.
"Pokoknya kita jangan takut menghadapi siapa pun! Kita harus memeriksa goa itu. Benar dan tidaknya kabar tentang harta karun itu, baru bisa kita buktikan setelah menyelidiki Lembah Seram. Soal nanti berhadapan dengan si Kusir Hantu atau Hantu Kusir, itu urusan nanti! Terjang saja!"
"Benar, kurasa memang kita harus begitul Jangankan si Kusir Hantu, sekali pun kita nantinya kepergok si Pendekar Mabuk yang sinting itu, kita tak boleh mundur. Terjang saja pemuda sinting itu. Kita serang bertiga, masa' kekuatan kita kalah dengan satu orang saja?!"
Jumala berkata, "Ngomong memang enak! Tapi kenyataannya nanti kalau kita bertemu Pendekar Mabuk, lalu kau kabur, kau sendiri yang akan kubunuh!"
"Yaaah, Pendekar Mabuk itu keciiil.."
"Jangan menganggap kecil bocah edan itu! lImu nya gila-gilaan! Mantan ketua kita yang dulu saja hancur di tangannya, apalagi cuma kita bertiga!"
Garu Sodok yang cempreng menyahut, "Kabarnya memang si Pendekar Mabuk punya hubungan dengan si Kusir Hantu. Tapi kita memang tak perlu takut. Kalah ilmu, pakai akal!"
"Apa kau punya akal?"
"Siasatku dari dulu tak pernah gagal. Dalam menghadapi Pendekar Mabuk, kita harus pakai siasat!"
"Siasat bagaimana?!" desak Jumala penasaran.
"Kasih saja umpan gadis cantik! Bocah gendeng itu.kalau ketemu gadis cantik pasti luluh, lengah, lalai....Dan kalau sudah begitu, hajar saja dari belakang sampai dia mati!"
"Betul, betul...! Aku setuju dengan siasatmu. Kalau Kita bertemu Pendekar Mabuk, kita gunakan siasatmu, Garu Sodok! Kudengar si Pendekar Mabuk memang termasuk pendekar rakus perempuan. Jangankan gadis, janda saja disikatnya."
"Jangankan janda, kambing perempuan saja dihajar juga! Jangankan kambing, celana perempuan saja ditimpa juga olehnya!"
Panas juga hati Suto mendengar kecaman menjijikkan itu. Tapi di balik rasa panasnya hati, terselip satu kelucuÄ…n yang menggelikan. Orang-orang itu bicara seenaknya tanpa sadar bahwa yang dibicarakan ada didekat mereka. Ini hal yang lucu bagi Suto Sinting, sehingga rasa ingin marahnya menjadi padam, berganti rasa ingin tertawa geli. Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja sambil berlagak menghabiskan ketan bakar kesukaannya.
Tiba-tiba suara kasak-kusuk percakapan di kedai menjadi enyap seketika. ibarat bunyi jangkrik di malam hari yang hilang karena langkah kaki seseorang. Pendekar Mabuk yang duduknya memunggungi pintu masuk kedai menjadi heran. la berkerut dahi dan mencoba menyimak suasana dengan telinganya. Rupanya ada seseorang yang masuk ke dalam kedai dan membuat semua percakapan menjadi berhenti.
Orang yang baru datang itu tampaknya mempunyai perangai yang kasar. la duduk di bangku dengan timbulkan suara gedubrak. Bahkan ia sengaja berseru kepada pemilik kedai sambil menggebrak meja.
Brrakk....!
"Minta arak!!"
Suto mendengar salah seorang dari empat orang yang duduk di meja samping berbisik kepada temannya.
"Dia minta orok...?! Hiih...! menyeramkan sekali. Rupanya makanan orang itu orok alias bayi baru lahir?"
"Budeg! Dia bukan minta orok! Dia minta arak!"
"Arak..." ralat temannya yang satu.
"O0o... arak...?!"
Orang yang baru datang dan belum dilirik Suto itu berseru lagi kepada pemilik kedai yang bergegas mendekatinya, siap melayani.
"Maaf, aku kurang jelas. Kau tadi bilang apa, Kisanak?"
"Dasar kuping ember! Aku minta arak! Apakah kau punya persediaan arak?!"
"Oh, arak...?! Ada, ada... sebentar kuambilkan dulu,Kisanak! Tapi, hmmm.. eeh... arak putih atau arak merah?"
"Arak apa saja! Arak yang pelangi juga boleh! Pokoknya arak!"
"Baa... baik! Sebentar.." pemilik kedai gugup karena ketakutan. la kembali lagi temui orang tersebut.
"Mau satu cangkir atau satu poci, Kisanak?"
"Satu guci!"
"Waah... kalau satu guci tidak ada, Kisanak. Aku tidak punya arak satu guci. Kalau gucinya saja, mau?"
Brraak..! Orang itu menggebrak meja lagi. Marah mendengar pertanyaan si pemilik kedai. Pak tua pemilik kedai itu segera disambar dengan tangan kanannya.
Bajunya dicengkeram dan ditarik ke dekatnya. Mata orang itu mendelik sambil menggertak si pemilik kedai.
"Kau pikir aku apa, kau suruh makan guci kosong, hah?!"
"Hmmm, hmmm, hmmmaa... maaaf, Kisanak! Yang kumaksud, kalau araknya tidak satu guci penuh, apakah Kisanak mau atau tidak!"
"Bicara denganku jangan sampai salah, tahu!"
"Ya, ya, ya, ya...! Lain kali aku tak akan salah bicara. Maaf, Kisanak!"
"Ada berapa banyak arakmu?"
"Hanya seperempat guci, Kisanak!"
"Bawa kemari semua!" bentak orang itu.
Bba... baik. Baik, Kisanak. Tapi... tapi... saranku arak itu jangan diminum semua."
"Kenapa tak boleh?! Kau pikir aku tak mampu membayar semua harga arakmu?! Hmmm...! Rupanya kau belum kenal siapa aku ini, hah?!"
Buuhk...! Orang itu menepuk dada sendiri.
"Aku adalah Belatung Gerhana! Orang terkaya di Pulau Garong!"
"Ooh, hmmm... maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Kisanak."
"Jangankan harga semua arakmu, seluruh isi kedai ini dan kau sendiri mampu kubeli sekarang juga! Mau minta berapa kau, hah?! Mau minta dibayar berapa harga kedaimu dan isinya, termasuk para langgananmu yang mirip tikus-tikus got itu, hah?! Mau kau jual berapa?!"
"Tid... tidak, Kisanak! Maksudku mengingatkan Kisanak agar jangan minum semua arak, bukan karena aku takut tidak kau bayar, tapi.. tapi supaya jangan sampai Kisanak menjadi mabuk gara-gara minum arak di sini. Kalau sampai Kisanak mabuk atau teler, nanti siapa yang akan mengantar pulang dirimu, Kisanak!"
"Hei, dengar..!" bentak orang yang mengaku bernama Belatung Gerhana itu. "Yang namanya Belatung Gerhana kalau minum arak atau tuak sebanyak apa pun tak pernah mabuk! Jangankan hanya arak setengah guci, arak satu lautan pun mampu kuhirup habis tanpa mabuk sedikit pun, tahu?!"
"Oh, hmm, eeh... iya, aku tahu sekarang, Kisanak!" si pemilik kedai masih terbungkuk-bungkuk dalam bicaranya.
"Sudah, ambil arakmu! Bawa kemari semua!"
"Baa... baik, Kisanak!"
Baru saja pemilik kedai ingin pergi, Belatung Gernana sudah memanggilnya lagi.
"Hei, tunggu, tunggu..." Pemilik kedai kembali mendekat dengan membungkuk hormat.
"Kau punya ayam masih hidup?!"
"Ayam yang masih hidup?! Oh, ya... aku punya"
Salah seorang berbisik, "Gila! Makanannya ayam hidup?! Pantas garang begitu?!"
Belatung Gerhana berkata lagi dengan nada tetap keras.
"Ada berapa ekor ayammu, Pak Tua?"
"Hmmm, eeh... empat ekor! Masih hidup semua, Kisanak!"
"Kubeli semua ayammu itu! Empat-empatnya akan kumakan di sini!"
"Baik, akan kuambilkan juga. Hmmm... apakah..apakah ayamnya perlu dibunuh dulu, Kisanak?!"
"Goblok!" kepala pemilik kedai dijulekin. "Tentu saja dibunuh dulu, dibersihkan dan dipanggang sampai matang! Apa kau pikir aku ini binatang buas? Doyan makan ayam mentah?!"
Beberapa orang yang ada di kedai itu saling tersenyum. Mereka salah duga. Ternyata si Belatung Gerhana bukan bermaksud makan ayam mentah.
Pendekar Mabuk sendiri juga ikut tersenyum geli. Tapi tetap berlagak tidak tertarik untuk menengok ke belakang. Namun pada saat si pemilik kedai mempersiapkan pesanan orang tersebut, Pendekar Mabuk mulai berniat untuk memandang ke arah Belatung Gerhara, karena tertarik mendengar seruan yang bersifat menantang.
"Heii..! Siapa saja yang mau ikut minum denganku, silakan duduk di sini! Jangan takut bayar. Aku yang bayar semua arak atau minuman yang kalian minum! Aku ingin tahu, apakah di antara kalian ada yang jago minum arak tanpa mabuk?! Silakan saudara-saudara... siapa yang berani menandingi kekuatan minumku?!"
Orang-orang diam saja. Bahkan yang berani mengangkat wajah hanya beberapa gelintir hidung saja.
Umumnya mereka merasa ngeri dan percaya betul bahwa si Belatung Gerhana mampu bertahan minum arak berapa guci pun tanpa mabuk.
Tapi bagi Suto Sinting, itu sebuah tantangan yang perlu dijawab. Hati pemuda itu sempat heran mendengar orang-orang tak ada yang berani bersuara.
Dasar pengecut semua," gumam Suto dalam hati sebelum berpaling memandang Belatung Gerhana.
Gumamnya lagi dalam hati, "Mengapa tak ada yang berani bersuara? Mengapa pada takut dengan gertakan kerasnya? Hmmm... agaknya tantangan itu ditujukan padaku Kalau tak kujawab, alangkah sayangnya?"
Terdengar lagi suara si Belatung Gerhana berseru,
"Ayooo Jangan malu-malu kalau mau dapatkan minuman gratis! Datang ke mejaku sini! Atau... atau kalian da yang doyan minum?! Siapa di antara kalian belum pernah minum arak?!"
Semua diam. Sepi.
"Siapa di antara kalian yang pernah minum arak?!"
Masih diam. Sepi juga.
"Budeg semua kalian!" bentak Belatung Gerhana Siapa yang berani menemaniku minum?! Hanya menemani! Siapa...? "
Saat itulah Pendekar Mabuk berpaling memutar badan sambil menjawab,
"Aku..."
"Bagus...! Huaa, haa, haaa, haaa.."
Pendekar Mabuk terbengong melompong, jantungnya seperti berhenti seketika. Karena ternyata orang yang bernama Belatung Gerhana itu bertubuh sangat gemuk. Gemuuuuk... sekali. Seperti tiga pemain sumo Jepang dijadikan satu. Begitu dipandang saja sudah menyesakkan dada, apalagi ketiban tubuhnya?
"Ya, ampuuun...?!" gumam hati Suto Sinting. "Pantas pada takut semua?! Rupanya mereka melihat raksasa masuk kedai?"
Suto menarik napas. Berat sekali helaan napasnya karena melihat orang segemuk itu. Kepalanya nyaris seperti pentol korek karena tak seimbang dengan besar badannya. Bukan hanya perutnya yang membengkak penuh lemak, tapi dadanya pun membengkak kendor, sepertinya ia menyembunyikan kendil nasi di sisi kanan-kiri dadanya.
"Betisnya lebih besar daripada pahaku. Lengannya lebih besar dari betisku," gumam Suto dalam hati.
Dagunya saja seperti ada tiga susun. Mulutnya....busyet, itu bibir apa sandal jepit?! Sudah tebal, lebar lagi?! Wah, wah, wah... bukan main, bukan main." desak Suto dalam hati sambil geleng-geleng dalam hati juga.
"Ayo, duduklah di sini bersamaku, Bocah ingusan! Kita minum bersama! Haah, haah, haah, haah!"
Suto Sinting masih terbengong. Shock. Tapi hatinya masih berkecamuk tiada henti.
"Rupanya seperti ini wujudnya belatung dari dalam gerhana bulan?! Kalau belatung dari gerhana matahari seperti apa wujudnya, ya?! Oooh, pantas tak ada yang berani menyambut tantangan minumnya? Orang seperti dia tentu saja kuat minum arak banyak-banyak, malahan kalau perlu gucinya ditelan juga, mungkin masih saja belum puas minum! Kalau begini kenyataannya, apakah aku harus menyambut tantangan minumnya?"
"Hei, mengapa bengong saja, Bocah umbelan?! Ayo, sini minum arak denganku!!" seru si Belatung Gernana saat pelayan kedai menyuguhkan pesanannya.
Suto Sinting sadar dari kebengongannya. la malu Jika harus membatalkan kesanggupannya tadi. Mau tak mau ia pun bergegas bangkit sambil menenteng bumbung tuaknya. Belatung Gerhana tak tahu kalau bumbambu itu berisi tuak. Tapi tiga anak buahnya Begundal Tengik mengetahui dan mengenali siapa pemuda dengan bumbung tuak itu.
"Celaka! Rupanya pemuda itulah si Pendekar Mabuk yang kita bicarakan tadi!" bisik Jumala.
"lya! Sebaiknya kita cepat-cepat kabur dari sini, sebelum dia ingat ejekan kita tadi."
"Yuk, yuk.. kita kabur lewat pintu dapur saja!"
"Tapi tungguin dulu, aku ingin tahu, apakah Pendekar Mabuk berani hadapi tantangan minum araknya si Belatung Gerhana itu?!" bisik Garu Sodok dengan kepala menunduk dan mata melirik ke arah Suto Sinting, penuh kecemasan dalam hatinya. 

* * *

|₪: 2 :₪|

ORANG berbadan gemuk sekali dan berbentuk bundar itu mengenakan baju tanpa lengan warna hitam bertepian sulaman benang emas. Celananya juga demikian. Kancing pada bajunya tampak terbuat dari emas ukir dan besar-besar.
Di kedua tangannya terdapat lempengan emas ukir yang melingkar pada tiap pergelangan tangan. la mengenakan sabuk logam campuran antara emas dengan perak. Dihiasi batu-batuan merah sekeliiing pinggang.
Bahkan ia juga mengenakan kalung berupa lempengan emas bundar-bundar seperti tutup gelas dengan bagian tengah tiap lempengan terdapat batuan hijau seperti giok.
Dilihat dari perhiasan yang dikenakan, siapa pun orang nya akan menilai bahwa belatung gerhana bukan rakyat jelata. Ia pasti orang kaya yang gemar pamer kekayaan melalui barang-barang yang dipakai. Belatung gerhana juga mempunyai senjata berupa pedang papak ujungnya. Pedang besar itu bersarung perak ukir dengan hiasan batu-batuan merah bening. Pedang itu kini diletakkan di atas meja.
Sambil mengoceh macam-macam Belatung Gerhana sebentar-sebentar meneguk araknya. Suto Sinting melayaninya dengan keramahan yang penuh waspada.
"Aku sengaja datang kemari untuk melihat kebenaran kabar itu, Suto!" ujarnya setelah Pendekar Mabuk tadi perkenalkan diri sebagai Suto, tanpa menyebut nama Sintingnya. Sebab itulah, tidak banyak orang kedai yang mengetahui bahwa pemuda tampan itu adalah si Pendekar Mabuk. Hanya tiga orang Lembah Ajal saja yang sejak tadi berkasak-kusuk membicarakan Pendekar Mabuk.
"Kebenaran atas kabar apa yang kau maksud, Belatung Gerhana?!"
"Bodoh kau! Bodoh, haaa, haaa, haaa, haaa..." sambil ia menuding-nuding Suto. "Apakah kau belum dengar tentang orang-orang Tanah Pasung yang memburu harta karun itu di Lembah Seram?! Kau belum dengar?"
"Ooo, tentang itu?! Ya, ya... aku memang sudah dengar orang-orang Tanah Pasung memburu harta karun di Lembah Seram," ujar Suto berlagak telah mengetahui, padahal baru kali itu ia mendengar nama Tanah Pasung dan perburuan harta karun.
"Berarti kupingmu belum buntu! Haa, haaa, hhaaa, haaa...!"
Pendekar Mabuk ikut tertawa walau tak sekeras Belatung Gerhana.
"Tapi aku tidak percaya dengan kabar tersebut belatung Gerhana. Kuanggap itu hanya kabar burung."
"Itu yang ingin kubuktikan, apakah hanya kabar burung atau kabar cicak?! Huaah, haaa,haa,haa,haa...! Ayo, minum lagi. Minum lagi, Suto"
Suto Sinting pun meneguk arak di cangkirnya. Mereka sama-sama telah meminum dua cangkir arak. Pelayan kedai yang berbadan kurus dan masih remaja itu disuruh menuangkan arak setiap ada cangkir yang kosong.
Belatung Gerhana terus berceloteh tentang kehebatan ilmunya, pengalaman dengan gadis-gadis cantik dan sebagainya. Tak terasa mereka berdua masing-masing sudah menghabiskan empat cangkir arak.
Belatung Gerhana sudah mulai goyah. Matanya merah dan sebentar-sebentar cegukan. Tapi pendekar tampan itu tetap kalem, tak merasa pusing sedikit pun.
"Buat apa kau bawa-bawa, huk.. bumbung itu,Huk...?!" tanya Belatung Gerhana sambil tubuhnya tersentak-sentak jika sedang cegukan. "Apa isi huuk...bumbung itu, Suto. Huuk...?!"
"Jangkerik! Aku tukang cari jangkerik aduan untuk kujual di satu tempat."
"Jangkerik...?! Huaaah, haaa, haaa, haa, haa... huk, huk...! Badan kekar muka tampan mau-maunya jadi pemburu jangkerik?! Lebih baik, huk... kau ikut aku! Bekerja denganku huk.."
Belatung Gerhana diam sesaat. Lalu memandang Suto dengan mata merah yang makin sayu.
"Aku jadi mau bilang apa? Huuk...?"
"Kau menawarkan pekerjaan padaku."
"Ooo, iya.. huuk..! Sebaiknya, huuk...! Sebaik
nya... sebaiknya minum lagi dulu. Minum...! Haah,haaa, haaa, haaa...!"
Mereka sama-sama menenggak arak kembali. Kini masing-masing sudah habiskan lima cangkir arak.
Ukuran cangkir cukup kecil. Dua kali ukuran sloki. Persediaan arak masih cukup banyak. Tapi si Belatung Gerhana sudah mulai tampak mabuk.
Selain bicaranya sudah mulai kacau, gerakan badannya yang gemuk sekali itu juga sering limbung ke sana-sini. Pandangan matanya semakin sayu. Sedangkan si pemuda tampan itu tetap tenang dan seperti tak pernah menelan arak setetes pun.
"Sebetulanya, Sut...," ujar Belatung Gerhana sambil tepuk-tepuk dada dengan gerakan lemas.
"Aku ini... ini aku... di Pulau Garong sa, huk... na, adalah orang yang, huuk... dihormati!"
"Ooo.. kau orang yang dihormati?" Suto Sinting sengaja manggut-manggut menanggapi nada-nada sumbang si Belatung Gerhana.
"Aku ini, huuuk... aku ini, Sut... kalau minum tidak pernah maok, eeh... mabuk!" sambil tangannya dikibas-kibaskan di depan wajah Suto, Suto Sinting tersenyum.
"Tidak ada... huuuk... orang sepasar yang.. yaang....huk.. bisa tandingi, huuk... kekuatan minumku, huuk..! In..ini bukan muluk-muluk, Iho. Bukan..."
"Iya aku tahu kau orang yang tidak suka muluk-muluk."
"Tidak suka.!" Sambil tangannya berkelebat, badannya oleng mundur. "Aku paling benci sama orang yang muluk-muluk. Belatung Gerhana, putra penguasa Pulau Garong, huuk...! tidak pernah som... sombong."
"Ooo... kau putra penguasa Pulau Garong?!"
"Ratu...!
"Lho, tadi katanya putra penguasa Pulau Garong?
"lbuku yang ratu!"
"Ratu di Pulau Garong?"
"Ratu kecantikan!"
"Haa, haa, haa, ha...!" Suto tertawa geli. Benar-benar geli. Orang-orang yang menonton di sekelilingnya juga ikut tertawa. Belatung Gerhana ikut tertawa Juga. Tapi segera diam dan menyodorkan wajahnya ke
depan sambil berkata pelan.
"Ini bukan muluk-muluk lho, ya..?"
"Oo, bukan...! Kau kuanggap bukan muluk-muluk!"
"Eeh, eeh... kau mau tahu? Mau tahu apa tidak?"
"Soal apa?!"
"So... huuk, sooo.. soal rahasia, huuk...rahasia Ibuku!"
"O, ibumu punya rahasia? Rahasia apa itu?" ujar Suto menanggapi.
"Tapi ini bukan muluk-muluk, Iho ya...?! Bukan muluk-muluk, Iho ya...?!"
"lya, iya..."
"Ibuku sudah, suud.. sudah janda Iho. Asyik kan?"
"Haaaa, haaa, haa, haa, haaa.." mereka tertawa bersama.
"Eh, eh, mau tahu tidak...?! Ibuku sebenarnya huk..mengincar harta karun itu juga, Iho. Kar... karena... dia tahu bahwa, huuk... bahwa harta karun itu...sebenarnya milik leluhur kami. Jumlahnya, huu... buaaaanyak sekali! Dimakan... dimakan tujuh puluh turunan tidak akan habis, apalagi kalau tidak dimakan-makan, pasti makin tidak habis-habis.."
"Haaa, haaa, haaa, haaa..." tawa mereka.
"Eeh, eeh... tapi ini bukan muluk-muluk, lho.."
"lya, tapi... ngomong-ngomong sambil minum lagi ah! Masa' banyak ngobrolnya daripada minumnya!"
ajak Suto.
"O, iya, iya... minum lagi!" Belatung Gerhana bersemangat. la dan Suto sama-sama minum. Satu cangkir habis. Total enam cangkir mereka habiskan arak.
"Eh, eh.. kau mau tahu, di mana sebenarnya harta karun itu, huuk... tersimpan?!"
"Hmmm... aku tak ingin tahu, sebab aku tak percaya"
"Tapi... tapi kali ini bukan kabar dari burung
dengan kabar burung melainkan dari lbuku sendiri buk... bukan..bukan muluk-muluk Iho...?!
"Jadi sebenarnya harta karun itu ada di mana?"
Tanya salah seorang pengunjung kedai yang duduk paling dekat dengan Belatung Gerhana.
"Kau... kau mau tahu...Sini,sini...mendekatlah sini!"
Orang itu segera mendekat merasa ingin dibisiki.
la benar-benar ingin tahu tentang harta karun itu. Tapi begitu wajahnya mendekat, tangan besar Belatung Gerhana menaboknya dengan keras.
Clepoook...!
"Aaooow...!" orang itu terpental sambil tubuhnya melintir dan jatuh di atas meja. Gubraak...! Praang...!
Pendekar Mabuk tersentak kaget, karena tak menduga Belatung Gerhana akan menampar orang tersebut sebegitu kerasnya. Mulut orang itu pun berdarah karena Beberapa giginya, terutama bagian geraham, rontok akibat tabokan keras tadi.
"Kurangajar! Beraninya kau mengorek-ngorek keterangan dariku, hah? Hukk...!"
"He!., hei... tenang, Belatung Gerhana! Tenang.."
Suto Sinting menenangkan orang gemuk besar itu.
"In... ini.. ini bukan muluk-muluk, Iho ya...?! Bukan muluk-muluk...!" sambil Belatung Gerhana angkat dua tangan dan sedikit membungkuk-bungkuk.
Sambungnya lagi, "Tapi... tapi kalau orang itu,huk.. memancing rahasiaku, terpaksa dengan tidak muluk-muluk dia harus, huuk... kubunuh!"
"Sabar, tenang...! Kalau minum jangan rese begitu!" bujuk Suto Sinting sambil mengajaknya duduk kembali,
"Ayo, kita habiskan arakmu ini. Masih banyak yang harus kita tenggak, Belatung Gerhana!"
"O, ya.. harus dihabiskan, tanpa muluk-muluk. Haah, haaa, haaa, haaa...!"
Glek, glek, glek, glek...!
"Untung aku belum, huuk.. bilang kalau harta karun itu ada di Goa Kembar, di Lembah Ser... Ser...Ser-seran, eeh... Lembah Ser...."
Gubraak...! Bruuk...!
Belatung Gerhana tumbang setelah meneguk arak ketujuh. Matanya terasa sulit dibuka lagi. la mengoceh dalam keadaan terkapar tapi tak jelas apa yang diocehkan.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum memandanginya. Orang-orang saling cekikikan melihat Belatung
Gerhana tumbang dalam minuman ketujuh. Diam-diam mereka juga terkagum-kagum penuh keheranan melihat Pendekar Mabuk tetap tegak tanpa goyah sedikipun, dan matanya tak berwarna merah seulas pun.
Belatung Gerhana dan beberapa orang lainnya tak tahu bahwa Pendekar Mabuk tak bisa teler seperti Belatung Gerhana. Sebanyak apa pun tuak maupun arak yang diminumnya, ia tetap akan tegar dan justru Menambah kekuatannya, karena darah Pendekar Mabuk sudah bercampur dengan 'Tuak Setan', sebuah pusaka terminum olehnya tanpa sengaja, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Suto sendiri agak menyesal melayani minum siBelatung Gerhana, karena orang sangat gemuk itu telah menyebarkan bencana Secara tak langsung. Bencana itu berupa celotehnya tentang harta karun yang tersimpan di Goa Kembar, di daerah Lembah Seram. Tentu saja orang-orang yang ada di kedai tersebut mencatat dalam ingatan mereka tentang Goa Kembar.
"Setidaknya mereka akan semakin bernafsu dan penasaran untuk mencari kebenaran ucapan Belatung Gerhana tadi," ujar Suto dalam hatinya. Lalu, ia berusaha menganjurkan kepada mereka agar jangan mempercayai kata-kata orang mabuk itu. Tapi tentu saja anjuran itu diabaikan oleh mereka. Para pemburu harta karun itu semakin bersemangat untuk menjelajahi Lembah Seram.
"Aku harus memberitahukan kepada si Kusir Hantu. Lembah Seram pasti aka jadi tempat perburuan bagi mereka. Bisa-bisa akan terjadi banjir darah di sana jika Goa Kembar memang ada dan harta karun itu terlihat tanda-tandanya!" Pikir Suto Sinting.
Kemudian ia serahkan keadaan Belatung Gerhana kepada pemilik kedai.
"Kalau sampai esok hari dia belum sadar, guyur pakai air sebanyak-banyaknya!" saran Suto kepada pemilik kedai.
"Kalau sudah diguyur pakai air banyak tapi belum sadar juga bagaimana, Kisanak?
"Cemplungkan ke sumur!" jawab Suto Sinting seenaknya, lalu segera pergi tinggalkan kedai dan desa tersebut. Arah tujuannya langsung ke Lembah Seram.
Untuk mempersingkat waktu, Pendekar Mabuk sengaja memotong jalan melalui sebuah perbukitan yang memanjang dari timur ke barat. Perbukitan itu sebagian
berhutan renggang sebagian lagi justru tampak tandus, tak ada pohon yang tumbuh di perbukitan tandus tersebut. Batu-batunya pun tak seberapa tinggi, sehingga perbukitan itu terkesan gundul.
Pada saat Pendekar Mabuk melintasi perbukitan tersebut, perhatiannya segera tertarik pada gerak langkah pelarian seseorang yang melesat begitu cepatnya dari arah selatan ke utara. Orang yang melesat cepat itu diperkirakan berilmu tinggi, karena gerakannya seperti melayang bagaikan daun dihembus badai. Tentunya orang tersebut menggunakan ilmu peringan tubuh yang mendekati sempurna, sehingga dalam sekejap ia sudah bisa sampai di atas perbukitan Tetapi langkah orang tersebut segera terhenti karena ada yang menghadangnya. Orang yang menghadangnya itu bagaikan jatuh dari langit, tahu-tahu sudah berada di depan langkah orang yang berlari dari selatan.
Wuuut, wees...! Blaamm...!
Suara dentuman tak seberapa keras terasa menggetarkan tanah perbukkitan. Dentuman itu terjadi karena si penghadang melepaskan pukulan tenaga dalamnya dengan kibasan tangan kiri yang berkelebat ke kanan.
Angin tenaga dalam itu ditahan oleh si pendatang dari selatan dengan sentakan tangan kanannya yang bertenaga dalam pula. Akibatnya, dua tenaga dalam itu saling bertabrakan dan menimbulkan dentuman seperti tadi.
Pendekar Mabuk sempat terpelanting mau jatuh karena getaran tanah tempatnya berpijak bagai ingin membuatnya terpelanting. la buru-buru melompat ke balik batu setinggi dadanya dan mendekam di sana matanya memperhatikan ke arah pertarungan tersebut.
"Celaka! Aku kenal betul dengan mereka berdua,!" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Matanya tetap tertuju ke arah seorang nenek berjubah hijau lengan panjang. Nenek bertubuh kurus dan agak bungkuk itu diperkirakan berusia sekitar tujuh puluh tahun. la memegang tongkat kayu hitam yang ujungnya bundar dan selalu menyala pijar merah, seperti besi membara. Pendekar Mabuk ingat betul bahwa nenek berambut putih meriap tanpa konde sedikit pun itu bernama nyai Jurik Wetan. 
Di masa mudanya Nyai Jurik Wetan pernah terlibat asmara dengan si Kusir Hantu. Karena sesuatu hal mereka berpisah. Nyai Jurik Wetan menikah dengan musuhnya sendiri yang bernama Bagaspati, sudah meninggal. Si Kusir Hantu pun menikah dengan perempuan lain yang bernana Rahayu, juga sudah meninggal. Putusnya tali cinta mereka di masa itu membuat mereka saling bermusuhan, terlebih setelah Nyai Jurik Wetan berpihak pada penguasa Tebing Hitam yang diketuai oleh mendiang Nyai Gerang Sayu, kakaknya Nyai Jurik Wetan sendiri. Sedangkan Nyai Gerang Sayu tewas dalam pertarungannya melawan Suto Sinting,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Hulubalang iblis").
"Kenapa Nyai Jurik Wetan jadi bentrok sama sikeparat terkutuk itu?!" gumam Suto dalam hati, merasa heran melihat lawan Nyai Jurik Wetan yang berkerudung kain hitam dari kepala hingga kaki. Orang tersebut berwajah pucat, bibir biru, mata berkesan dingin, tajam, tanpa perasaan. la memegang senjata tongkat berujung sabit panjang melengkung seperti paruh burung yang sering disebut-sebut sebagai senjata tongkat Elmaut.
Lawan sang Nyai tak lain adalah si manusia terkutuk yang menjadi musuh utama Pendekar Mabuk. Dia adalah Siluman Tujuh Nyawa alias Durmala Sanca. Jantung Suto menjadi berdebar-debar bukan karena takut melihat Siluman Tujuh Nyawa, namun justru tak sabar ingin segera menyerangnya.
"Ini sebuah kesempatan lagi bagiku untuk memenggal kepalanya!" geram Pendekar Mabuk, "Kalau sekarang dia kuserang kepalanya dengan bumbung tuakku, maka si keparat itu pasti akan tumbang dan aku mudah memenggal kepalanya, lalu kuserahkan kepada Ningrum sebagai maskawin pinanganku!"
Terbayang wajah cantik berlesung pipit dari seorang ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi. Yang bernama Dyah Sariningrum. Sang kekasih, calon istri Suto Sinting itu, sebenarnya tidak menghendaki maskawin kepala Siluman Tujuh Nyawa. Tapi lantaran Suto Sinting merasa dendam karena Siluman Tujuh Nyawa pernah nyaris membunuh Dyah Sariningrum, maka Suto pun berjanji akan datang melamar Dyah Sariningrum dengan membawa kepala Siluman Tujuh Nyawa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
Janji itu sampai sekarang belum bisa terlaksana Karena Siluman Tujuh Nyawa selain berilmu tinggi juga Berilmu licik. Oleh sebab itulah Suto Sinting belum berani melamar Dyah Sariningrum secara resmi dan perkawinan mereka belum juga terlaksana walau hubungan cinta mereka sudah terjalin cukup lama. Didalam hatinya sendiri Pendekar Mabuk sudah bersumpah tidak akan buru-buru menikah dengan Dyah Sariningrum jika belum bisa memenggal kepala si manusia paling terkutuk itu.
"Tapi jika sekarang juga kuserang dia dari belakang, ooh... alangkah bancinya aku?! Memalukan sekali, sebagai seorang pendekar aku melakukan serangan dari belakang lawan, sungguh perbuatan yang tak terpuji di mata dunia persilatan. Jika kuserang dari depan. bisa-bisa aku dikecam sebagai pendekar lancang karena mencampuri urusan orang yang belum selesai. Nyai Jurik Wetan akan kecewa dan... Ah, sebaiknya kutunggu sampai urusan mereka selesai dulu,baru aku bertindak."
Agaknya Nyai Jurik Wetan sendiri berusaha membunuh Siluman Tujuh Nyawa. Dari matanya yang cekung terpancar sinar kebencian dan permusuhan yang amat dalam. Pendekar Mabuk tak bisa mengira-ngira apa masalahnya sehingga Nyai Jurik Wetan memancarkan kebencian kepada si Durmala Sanca itu. Yang jelas, Siluman Tujuh Nyawa sendiri tampak bernafsu membunuh Nyai Jurik Wetan.
Nenek tua berambut putih itu sempat terjungkal ke belakang beberapa kali ketika tenaga dalamnya beradu dengan tenaga dalam lawan. Tapi ia segera bangkit dengan tongkat diangkat ke atas. Siap melepaskan serangan ke arah lawan.
Rupanya lawan berkerudung hitam itu tak mau buang-buang waktu. Belum sampai Nyai Jurik Wetan lakukan serangan, ia sudah menerjangnya dengan tongkat Elmaut sabetkan ke arah leher Nyai Jurik Wetan.
Wuut. wuuuss. Traak, duaaarr...!
Tongkat Elmaut ditangkis oleh tongkat Nyai Jurik Wetan akibatnya, ledakan cukup keras terjadi bersama bunga api yang memercik dari kedua tongkat tersebut.
Ledakan itu tak sampai menggetarkan tanah. Hanya keras saja. Tapi timbulkan sentakan kuat yang mengalir pada tongkat masing-masing. Tangan mereka seperti sama-sama terkena aliran listrik. Tubuh Nyai Jurik Wetan bergetar sesaat.
Pada saat itulah, kaki Siluman Tujuh Nyawa menendang dada Nyai Jurik Wetan dengan curahan tenaga dalam ke telapak kaki cukup besar. Beet...!
"Baah..!" terdengar suara pekik kesakitan Nyai Jurik Wetan yang tertahan di tenggorokan. Perempuan tua itu terlempar sejauh delapan langkah, jatuh terbanting di atas batu sebesar anak kerbau. Brruuk...!
Pendekar Mabuk melengos sambil pejamkan mata sebentar Tak tega melihat tubuh setua itu terbanting di atas batu hitam.
Tendangan itu bukan saja membuat Nyai Jurik Wetan terbanting parah, namun juga keluarkan darah gan menahan rasa sakit, tapi napasnya tersedak dan dari mulutnya tersembur darah kental berwarna merah
Kehitam-hitaman. arah kental itu menempel pada batu didepannya. Plok...!
Nyai Jurik Wetan tetap berusaha bangkit dengan menggeram, tapi ia terhuyung-huyung limbung. sebelum jatuh ia sudah dapatkan tempat untuk bersandar,
yaitu sebongkah batu setinggi perutnya. Di batu itulah ia sandarkan punggungnya sambil menyilangkan tongkat di depan dada sebagai perlindungan. Tongkat itu digenggam dengan dua tangan yang gemetar.
Siluman Tujuh Nyawa melangkah dengan santai dekati lawannya. Tongkat Elmaut dijadikan tumpuan dalam langkahnya, seperti seorang gembala sedang mendekati domba-domba piaraannya. Wajah pucat itu sama sekali tak menunjukkan ekspresinya. Datar dan tetap dingin.
Pendekar Mabuk yang sudah sejak tadi memandang ke arah mereka kembali segera menggunakan ilmu 'Sadap Suara', yaitu sebuah ilmu yang bisa dipakai untuk mendengarkan percakapan dari jarak cukup jauh. Rupanya saat itu Siluman Tujuh Nyawa sengaja berhenti di depan Nyai Jurik Wetan dalam jarak lima langkah. Suara bernada datar terdengar dari mulut si tokoh aliran hitam yang paling keji dan paling ditakuti oleh kalangan penganut aliran hitam.
"Sekali lagi kutanya padamu, Jurik Wetan... Di mana kau sembunyikan anakku yang bernama Singo Bodong itu?"
"Manusia iblis!" geram Nyai Jurik Wetan. "Sudah kubilang berkali-kali, bocah gagah yang ikut denganku tidak ada hubungannya denganmu, Jahanam! Dia adalah muridku yang bernama Ragadenta!"
"Dia sendiri mengaku Singo Bodong dan menantangku bertarung sampai mati!"
"Itu lantaran dia benci padamu dan muak dengan desakanmu yang memaksa dirinya mengaku sebagai Singo Bodong!"
Pendekar Mabuk sedikit berkerut dahi. la ingat bahwa beberapa waktu yang lalu, Siluman Tujuh Nyawa juga mendesak Hantu Laut untuk tunjukkan di mana sisa anaknya yang masih hidup yang bernama Singo Bodong itu. Siluman Tujuh Nyawa ingin turunkan ilmunya ke anak tersebut, tapi Hantu Laut tidak sebutkan bahwa Singo Bodong ada bersamanya di Pulau Beliung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tewasnya Seorang Pengkhianat").
Rupanya si tokoh terkejam mantan ketua bajak laut masih penasaran mencari anaknya yang bernama Singo Bodong. Padahal kakak kembar Singo Bodong yang bernama Dadung Amuk, dibunuh oleh siluman Tujuh Nyawa sendiri ketika Dadung Amuk gagal menangkap Pendekar Mabuk. Sedangkan sekarang Singo Bodong sudah menjadi Pengikut Pendekar Mabuk dan keamanannya dilindungi oleh si Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Rupanya sekarang yang jadi sasaran adalah murid Nyai Jurik Wetan yang bernama Ragadenta itu. Siluman Tujuh Nyawa menyangka Ragadenta adalah Singo Bodong, sehingga ia ingin dapatkan anak itu. Sekalipun Siluman Tujuh Nyawa belum pernah bertemu muka dengan Singo Bodong, tapi ia dapat bayangan wajah Dadung Amuk yang menjadi saudara kembarnya Singo Bodong. Berarti wajah Ragadenta ada kemiripan dengan Singo Bodong, sehingga Siluman Tujuh Nyawa berkeyakinan bahwa Ragadenta adalah anaknya yang dicari.
Tapi rupanya Nyai Jurik Wetan tak rela jika muridnya disentuh oleh Siluman Tujuh Nyawa. Apa pun alasannya, Nyai Jurik Wetan tak izinkan Siluman Tujuh Nyawa membawa Ragadenta, sehingga terjadilah pertarungan tersebut. Nyai Jurik Wetan yang semula merasa terdesak segera larikan diri ke tempat yang jauh untuk memancing, agar Siluman Tujuh Nyawa mengejarnya.
Dengan begitu Ragadenta punya waktu untuk sembunyikan diri dari incaran si tokoh paling sesat itu.
"Siluman Tujuh Nyawa masih tetap menuduh Nyai Jurik Wetan menyembunyikan Singo Bodong.Ooh kalau begitu sang Nyai sengaja membawa lari muridnya dan disembunyikan di suatu tempat, lalu kepergok: Siluman Tujuh Nyawa?!" ujar Suto Sinting menarik kesimpulan dalam hatinya. Tapi ia segera tak pedulikan kesimpulan itu sebab, matanya segera melihat gerakan Siluman Tujuh Nyawa yang tak mau banyak tanya lagi.
Tongkat berujung sabit panjang itu berkelebat menyambar kepala Nyai Jurik Wetan dari samping kirinya.
Nyai Jurik Wetan segera menangkisnya kembali dengan tongkatnya, sambil ia berkelit memutar maju untuk hindari keruncingan sabit tersebut. Traak, daarrr..!
Begitu tubuh Nyai memutar maju, tangan kiri Durmala Sanca menghantamkan telapak tangannya ke wajah kanan sang Nyai
Deess..!
"Aaahk..!" Nyai Jurik Wetan memekik sambil berguiling- guling dalam kemiringan tanah. Tubuhnya yang kurus tersangkut batu hingga berhenti berguling. Kepalanya berasap dengan darah mengalir dari telinga dan hidungnya. Nyai Jurik Wetan tetap berusaha bangkit dengan menahan rasa sakit dan tubuh sempoyongan
Kekuatannya semakin berkurang setelah mendapat pu-mkulan bertenaga dalam cukup tinggi tadi.
Pendekar Mabuk tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa pasti akan menggunakan pukulan penghancur yang amat berbahaya.
Tapi sebelum Pendekar Mabuk bertindak, Sinar merah lurus dari telapal tangan kiri sudah lebih dulu melesat dan menghantam Nyai Jurik Wetan. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget dan kecewa dengan gerakannya yang terlambat. Tapi ia juga segera terperanjat karena sinar merah itu tahu-tahu meledak dipertengahan jarak karena terhadang sinar biru sebesar telur angsa.
Jlegaaarr..!
Munculnya sinar biru itu bersamaan dengan munculnya tokoh tua berambut merah jagung. Tokoh bertubuh agak pendek dengan mengenakan baju tanpa lengan warna biru dan celana hitam itu tak lain adalah si Kusir Hantu sendiri. Karenanya, wajah Suto tampak terperanjat dan sedikit tegang menyadari siapa orang yang menggagalkan pukulan mautnya Durmala Sanca itu.
"Celaka! Kusir Hantu mencoba untuk menyelamatkan nyawa mantan kekasihnya!" gumam Suto Siting dalam hati. "Ooh, dia bisa mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa jika tak penuh perhitungan dalam bertindak!"
Zlaaap....!

* * *

|₪: 3 :₪|

PENDEKAR MABUK berpindah tempat bersembunyi. Kali ini ia berada di balik batu lebar, lebih dekat lagi dengan tempat pertarungan tersebut. la masih merunduk di balik batu itu sambil memperhatikan apa yang dilakukan Kusir Hantu terhadap si jahanam Durmala Sanca itu.
Selama dua helaan napas, Siluman Tujuh Nyawa sengaja diam saja. Tak terdengar sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Tak terlihat perubahan air mukanya sedikit pun. Matanya memandang dingin kepada Kusir Hantu yang bergerak ke samping pelan-pelan dengan maksud mengalihkan perhatian lawan agar tak tertuju pada Nyai Jurik Wetan.
Rupanya Nyai Jurik Wetan masih bisa bertahan dengan kerahkan sisa tenaganya untuk atasi luka parah yang diderita. la berdiri dengan berpegangan pada batu Setinggi dada. la berusaha berseru kepada Kusir Hantu yang tampak kalem dan berkesan cengar-cengir dalam berhadapan dengan manusia terkejam di dunia itu.
"Pujasera Minggatlah sana, dan jangan campuri urusanku! Aku masih mampu menumbuk hancur mulut si jahanam itu!"
"Gusimu sendiri yang akan ditumbuknya!" sahut Kusir Hantu dengan lagak konyolnya. Lalu ia berseru kepada Durmala Sanca dengan nada konyol juga.
"Mas Bei...! Kalau mau jadi jagoan, jangan melawan seorang perempuan! Lawanlah sesama lelaki. Seperti pepatah mengatakan: Biarkan anjing menggonggong kafilah tetap kafilah... Artinya, jangan hiraukan tantangan seorang perempuan, karena lelaki tetaplah lelaki, lawannya juga harus lelaki. Kecuali di tempat tidur, lawannya tak boleh sesama lelaki. Itu namanya Pak Mali, eeh.. pamali!"
"Bersiaplah mati bersama, Bocah ingusan!"
Siluman Tujuh Nyawa hanya berkata begitu dengan nada datar. Pendekar Mabuk dapat memahami maksudnya, karena ia tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa yang tampak muda itu sebenarnya sudah berusia seratus tahun lebih. Jauh lebih tua dari Kusir Hantu maupun Nyai Jurik Wetan. Tak heran jika ia menyebut Kusir Hantu 'bocah ingusan', sebab menganggap Kusir Hantu seperti anak kemarin sore.
Siluman Tujuh Nyawa tak banyak bicara lagi. Selesai berkata tadi, ia segera menyentakkan wajahnya ke samping seperti orang menoleh ke kiri dengan gerakan
cepat. Wuuut..! Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu terlempar ke samping kanannya sejauh lima langkah. Wuuus...!
Gedebuuk...! Brruuk..! Gubrass...!
"Ya, ampunn..." keluh Suto Sinting dalam hati. Ia memejamkan mata lagi karena tak tega melihat Kusir Hantu terbanting-banting seperti karet mentah. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa mulai gunakan kekuatan yang ada pada matanya. Dengan sekali kibaskan wajah, kekuatan mata itu dapat melempar Kusir Hantu sedemikian cepatnya.
Kesempatan itu digunakan oleh Nyai Jurik Wetan untuk menyalurkan hawa murninya ke bagian yang terluka. la tak sempat melihat Kusir Hantu terbanting karena kedua mata Nyai Jurik Wetan sedang terpejam dengan wajah menunduk, tangan kanan menempel dada, tangan kiri pegangi tongkatnya. Tapi agaknya Kusir Hantu tak merasa sakit hati dengan sikap Nyai Jurik Wetan yang tidak ikut membantu menyerang tokoh sesat itu.
Kusir Hantu tetap bangkit berdiri dengan cepat dan masih berwajah cengar-cengir. Kali ini cengar-cengirnya bukan karena sesuatu yang menggelikan, tapi karena sesuatu yang menyakitkan. Sekujur tulangnya terasa remuk akibat terbanting-banting tadi.
Pendekar Mabuk ragu untuk membantu menyelamatkan Kusir Hantu, sebab ia ingat sebuah ilmu yang dimiliki oleh si Kusir Hantu. ilmu itu dapat dijadikan andalan si Kusir Hantu dalam pertarungannya melawan.Siluman Tujuh Nyawa.
Dia mempunyai jurus Timbal Rasa' yang membuat lawan merasa kesakitan sendiri jika menghantam tubuh Kusir Hantu. "Hmmm... kurasa Kusir Hantu akan menggunakan jurus itu! Biar saja si Durmala Sanca rasakan pukulannya membalik kenai tubuhnya sendiri Syukur-syukur bisa mati oleh ilmunya sendiri!"
Dugaan Suto memang benar. Kusir Hantu menggunakan jurus 'Timbal Rasa'. Karena pada saat Siluman Tujuh Nyawa lepaskan pukulan sinar merahnya yang dapat untuk hancurkan tubuh lawan, Kusir Hantu se
ngaja diam saja. Claap...! Zuuubs...! Sinar lurus itu menembus dada Kusir Hantu.
Tubuh si Kusir Hantu terdorong mundur hingga melayang sejauh lima langkah. Tapi ia dapat berdiri tegak kembali tanpa rasakan sakit sedikit pun. Hanya saja, Siluman Tujuh Nyawa tiba-tiba terpental dengan tubuh guncang. ia sempat membentur batu setinggi dada. Brruk...! Lalu jatuh berlutut dengan dada berasap. la buru-buru pegangi dadanya sendiri dengan wajah sedikit tertunduk.
"Kena! Dia kena pukulannya sendiri!" ujar Suto Sinting membatin dengan girangnya.
Tapi rupanya Siluman Tujuh Nyawa cepat tanggap dengan keadaan yang terijadi saat itu. la tahu bahwa lawannya menggunakan ilmu Timbal Rasa' yang kini membuat dadanya sendiri mengalami luka bakar amat berbahaya. Dengan satu tarikan napas, hawa murni yang bergabung dengan tenaga saktinya mengalir membalut luka. Sebelum si Kusir Hantu lepaskan serangan ke arahnya, Siluman Tujuh Nyawa sudah bangkit dengan wajah datar-datar saja. Dingin dan berkesan kejam sekali.
Kusir Hantu telah mencabut cambuknya yang pendek, sekitar empat jengkal kurang. Cambuk itu dilecutkan ke arah Siluman Tujuh Nyawa pada saat si kerudung hitam melayang bagaikan terbang. Ctaaar...! Ternyata cambuk itu bisa berubah menjadi panjang sendiri, empat kali lipat dari ukuran sebenarnya. Ketika dilecutkan, ujung cambuk itu memercikkan tiga larik sinar biru berkelok-kelok bagaikan cahaya petir yang ingin menyambar Siluman Tujuh Nyawa. Cralaap, clap, claap...!
Busss...! Siluman Tujuh Nyawa lenyap di udara, berubah menjadi asap putih yang menghembus dan segera lenyap disapu angin. Tiga sinar biru dari cambuk terpaksa melesat tanpa kenai sasaran dan saling bertabrakan di langit tinggi. Glegaarr, blaaarr..!
"Dia masuk ke alam gaib!" sentak hati Suto. "Pasti akan menyerang Kusir Hantu dengan cara liciknya!"
Pendekar Mabuk segera bertindak. la mengusap keningnya. Di kening itu ada noda merah kecil yang tak bisa dilihat oleh orang-orang berilmu rendah. Dengan mengusap noda merah kecil, ia dapat masuk ke lapisan alam gaib dalam waktu sangat singkat. Laaap...!
Tak seorang pun tahu bahwa Pendekar Mabuk telah lenyap dari persembunyiannya. la sudah berpindah di alam gaib. Kini ia berani berdiri tegak tanpa takut dilihat Kusir Hantu atau Nyai Jurik Wetan.
Pada saat itu ia melihat Siluman Tujuh Nyawa sedang menerjang Kusir Hantu dengan tendangan kakinya yang bertenaga dalam tinggi itu. Terjangan tersebut dilakukan dari depan, sehingga wajah Kusir Hantu pun bagaikan disambar batu lahar yang amat panas.
Bruuusk...!
"Aaaoh.." Kusir Hantu terlempar sejauh tujuh langkah. la mengerang karena rasakan wajahnya bagaikan terbakar. Wajah itu memang tampak merah kehitam-hitaman. Dengan menyeringai ia berusaha bangkit. Tapi baru saja dapat separoh berdiri sudah disambar dengan sabit lengkung di ujung tongkat lawan itu. Wuuut,
Craass...!
"Aaaaahk...!" Kusir Hantu terpekik keras. Lengan kirinya nyaris putus disambar sabit panjang itu. Tapi seandainya ia tidak terpelanting akibat menginjak batu licin, mungkin lehernya yang putus saat itu juga. Beruntung tanpa sengaja ia terpelanting sehingga sabetan senjata Elmaut itu tidak tepat kenai lehernya.
Melihat Kusir Hantu terkapar dengan tangan kiri luka parah bercucuran darah, Siluman Tujuh Nyawa tidak memberi kesempatan lebih banyak bagi si Kusir Hantu. Terlebih ia melihat Nyai Jurik Wetan bergegas menghampiri Kusir Hantu dengan wajah cemas.
"Pujasera...!! Bangsat itu melukaimu, Tolol! Jangan diam di situ!"
Weesss...! Nyai Jurik Wetan berhasil menyambar tubuh Kusir Hantu sebelum ayunan sabit membedah perut si Kusir Hantu.
Tapi seandainya Suto Sinting tidak menerjang dari samping kiri, mungkin ayunan sabit itu tidak meleset sasaran dan tidak terhambat gerakannya. Terjangan Suto Sinting dari kiri itu membuat tangan yang mengayunkan sabit tersendat sekejap, sehingga tubuh Kusir Hantu lebih dulu tersambar tangan Nyai Jurik Wetan sebelum tersambar sabit tersebut.
Terjangan yang tak diduga-duga oleh Siluman Tujuh Nyawa itu membuat tubuhnya melayang berjungkir balik tak karuan. Pendekar Mabuk mengejarnya kembali dengan mulai menggunakan bumbung tuaknya.
Bumbung tuak itu dihantamkan ke kepala Siluman Tujuh Nyawa, tapi dengan cepat sabit panjang itu menghadang gerakan bumbung tuak. Dua pusaka aneh itu saling beradu di alam gaib.
Jegaaaarrr...!
Nyai Jurik Wetan dan Kusir Hantu dikejutkan oleh munculnya ledakan dahsyat yang memancarkan sinar biru di udara lepas.
"Suara apa itu?!" gumam Nyai Jurik Wetan. Si mantan kekasih yang menahan sakit sambil memegangi luka di lengan kirinya ikut memandang ke langit.
"Mungkin hujan mau turun!"
Brruuk...! Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sesosok tubuh yang seperti keluar dari lapisan udara di atas sana. Tubuh berjubah hitam itu ternyata adalah Siluman Tujuh Nyawa yang terpental keluar menembus lapisan pembatas alam hingga dapat terlihat lagi oleh mata manusia biasa. la segera bangkit dengan gagahnya. Kusir Hantu dan Nyai Jurik Wetan terperangah.
"Bukan hujan yang turun, Tolol! Tapi penyakit!" ujar Nyai Jurik Wetan kepada Kusir Hantu.
Gubrasss...! Ternyata di sisi lain juga muncul sesuatu yang seperti jatuh dari langit. Kusir Hantu dan Nyai Jurik Wetan semakin terperangah karena ia segera kenali sesuatu yang jatuh terbanting ke tanah itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk.
"Gila! Dari mana dia muncul?!" gumam Kusir Hantu, tapi perhatiannya segera dialihkan kepada Siluman Tujuh Nyawa yang melepaskan pukulan bersinar sangat berbahaya.
"Hindarii..." teriak Pendekar Mabuk dari tempatnya bangkit berdiri.
la melihat lima larik sinar hijau yang menyerupai cahaya petir itu keluar dari lima ujung jari tangan kirinya yang disentakkan ke depan. Pendekar Mabuk tahu bahwa jurus itu adalah jurus 'Lima Dewa Kilat' yang hanya dimiliki oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Jurus Lima Dewa Kilat itu hanya bisa ditangkis dengan sinar tenaga dalam lawannya yang keluar secara bersamaan dengan sinar hijau tersebut. Terlambat sedikit sinar tangkisan itu keluar dari tangan lawannya, maka 'Lima Dewa Kilat' akan menembus sinar tangkisan lawan, tak bisa ditahan sedikit pun. Oleh sebab itu, Suto Sinting hanya bisa berteriak menyuruh Kusir Hantu dan Nyai Jurik Wetan menghindarinya.
Blaass, blaass...!
Kedua tokoh tua itu secara serentak menghindar dengan lompatan bertolak belakang. Kusir Hantu ke kiri dan Nyai Jurik Wetan ke kanan. Lima larik sinar hijau itu akhirnya menghantam bebatuan yang ada jauh di belakang kedua tokoh tua tersebut.
Jegaaar, blaaar, blegaaaarrrr..!
Perbukitan tandus bagaikan ingin runtuh. Tanahnya bergetar kuat membuat beberapa lereng menjadi longsor dan batu-batu berserakan.
Pendekar Mabuk berkelebat cepat menahan gerakan Siluman Tujuh Nyawa yang ingin lepaskan jurus serupa. Zlaaap..! Bruuuss...!
Terjangan dari samping kiri membuat Siluman Tujuh Nyawa terpental-pental menuruni lereng landai.
Pendekar Mabuk segera mengejarnya tanpa hiraukan batu-batu yang menggelinding menuruni lereng landai itu.
Zlaaap..! Dalam sekejap ia sudah berada di depan Siluman Tujuh Nyawa yang baru separoh berdiri. Tubuh Suto Sinting meliuk-liuk bagai orang mabuk mau tumbang, tahu-tahu bumbung tuaknya disodokkan ke perut lawan. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' digunakan Suto untuk menumbangkan lawan. Tapi kekuatan lawan cukup tangguh.
Dengan satu kaki berlutut, tangan kiri Siluman Tujuh Nyawa menyentak menahan sodokan bumbung tuak itu. Tangan kiri itu memancarkan sinar merah bara, sehingga ketika menahan sodokan bumbung tuak sama saja mengadu kekuatan hawa sakti mereka.
Jegaaarrr...!
Ledakan keras dan menyentak kuat kembali terjadi. Pendekar Mabuk terlempar dalam keadaan tubuh melambung ke belakang cukup tinggi, sedangkan lawannya terlempar berguling-guling bersamaan menggelindingnya batu-batu yang terlempar akibat ledakan tersebut.
Brak, brruk, brruus, gruduk, prrok...!
Tubuh manusia terkutuk itu dilindas batu besar beberapa kali. Dan ia masih belum bisa menghentikan gerakan tubuhnya yang menggelinding terus itu. Pendekar Mabuk sudah bisa berdiri tegak kembali walau dengan wajah memar membiru dan dada hangus. la menahan rasa sakitnya agar bisa memperhatikan kemana gerakan sang lawan.
Ternyata si mantan raja bajak laut itu mengalami luka parah juga, baik karena adu kesaktian maupum karena tergilas batu-batu besar. Luka-lukanya kelihatan sangat parah ketika ia berusaha bangkit berdiri di kaki bukit. la memandang ke atas bukit sebentar, kemudian seperti biasanya, tanpa pamit dan tanpa tinggalkan ancaman apa pun, ia melesat pergi dengan kecepatan sangat tinggi. Dalam beberapa waktu saja sudah lenyap dari pandangan siapa pun, karena ia masuk ke alam gaib lagi. Blaas...!
Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin mengejar musuh utamanya itu, walau keadaannya sendiri cuku babak belur. Tapi ia ingat luka berbahaya di tangan Kusir Hantu. Sabit maut milik Durrmala Sanca itu bukan saja panjang dan tajam, tapi juga mengandung racun yang membahayakan nyawa orang yang dilukai.
Pendekar Mabuk batalkan niatnya mengejar Siluman Tujuh Nyawa, di samping ia sendiri merasa akan gagal menangkap orang terkutuk itu karena jaraknya sangat jauh. Kusir Hantu segera ditolong dengan meminumkan tuaknya tiga teguk. Tuak sakti itu selalu sangat berguna dalam keadaan yang serba darurat seperti saat itu. 
Tapi sang nenek berjubah hijau itu menolak untuk minum tuak. la tak peduli melihat hasil kesaktian tuak itu yang membuat luka si Kusir Hantu segera mengering dan sebentar lagi menjadi rapat kembali seperti sediakala. la juga tidak peduli melihat wajah biru memar pada Suto Sinting telah berubah menjadi segar dan bersih kembali, seperti yang dialami wajah Kusir Hantu juga.
Rupanya perempuan tua itu memang keras kepala dan menganggap tabu untuk menerima pertolongan dari lawannya.
"Kau yang membunuh kakakku; si Garang Sayu! Seharusnya kau bikin perhitungan denganku, bukan malah menolongku!" tuding Nyai Jurik Wetan kepada Suto Sinting.
Kusir Hantu menyentaknya, "Perempuan bodoh! Sudah ditolong bukannya berterima kasih, malah bikin ancaman baru! Pepatah mengatakan: 'Air susu dibalas air tuba'. Artinya.."
"Aku sudah tidak punya air susu lagi. Sudah tua, Goblok!" bentak Nyai Jurik Wetan memotong kata-kata Kusir Hantu.
"Kau memang sudah tidak punya air susu, tapi kan masih punya tempatnya?!" ujar Kusir Hantu dengan nada konyol juga. Suto Sinting biarkan kedua orang tua mantan kekasih itu saling debat sendiri. la hanya tersenyum tipis menahan rasa geli dalam hatinya.
"Pujasera...! Lain kali tak kuizinkan kau ikut campur dalam urusanku! Kau tak perlu menolongku, karena ternyata justru aku yang menolongmu tadi!"
"Lain kali aku akan membantu lawanmu!" jawab Kusir Hantu dengan nada acuh tak acuh.
"Hmmmh..!" Nyai Jurik Wetan mendengus kesal.
"Ingat, kau tak perlu menolongku apa pun bahaya yang mengancamku, karena aku bukan kekasihmu lagi! Mengerti?!"
"Minggatlah sana! Perutku sudah mulai mual jika terlalu lama melihatmu!" ujar si Kusir Hantu dengan dongkol juga.
"Aku juga sudah mules sejak mencium bau keringatmu!" balas Nyai Jurik Wetan, kenudian segera bergegas pergi dengan langkah cepat, Lukanya sudah bisa diatasi sendiri.
"Hei, mau ke arah mana kau, Jurik" teriak Kusir Hantu.
"Jangan menyusulku kau, Kura-kura tinja! Aku mau ke Goa Kembar!"
"Sudi amat menyusulmul" gerutu Kusir Hantu sambil bersungut-sungut dan beralih kepada Pendekar Mabuk.
Sebenarnya tadi saat Nyai Jurik Wetan menyebut Kusir Hantu dengan julukan si Kura-kura tinja, Suto ingin tertawa lepas. Tapi begitu mendengar Nyai Jurik Wetan sebutkan nama Goa Kembar, senyum dan tawa geli itu cepat menjadi punah. Suto Sinting sedikit kaget dan ingat celoteh mabuk si Belatung Gerhana tentang harta karun yang ada di dalam Goa Kembar.
"Bukankah Goa Kembar itu berada di wilayah Lembah Seram, Pak Tua?" tanya Suto Sinting yang terbiasa memanggil Kusir Hantu dengan sebutan 'Pak Tua'
"Ya, memang masih dalam wilayah Lembah Seram. Tapi goa itu sudah tak ada."
"Tak ada bagaimana?!"
"Hilang termakan zaman. Dulu ketika aku pertama kali masuk ke Lembah Seram, Goa Kembar memang masih ada. Tapi aku segera temukan tempat yang nyaman dan layak untuk membangun pondok, agak jauh dari goa tersebut. Terlebih setelah kedua cucuku ikut denganku, aku sudah tak peduli lagi dengan Goa Kembar yang.."
Kata-kata Kusir Hantu berhenti sendiri. Rupanya ia baru sadar ada kejanggalan yang timbul dari pertanyaan Suto Sinting itu.
"Hei, mengapa kau mendesakku untuk membicarakan Goa Kembar, Nak?"
"Apakah kau belum dengar kabar penting, Pak Tua?"
"Kabar apa?!"
"Orang-orang Tanah Pasung memburu harta karun. Kini bukan hanya mereka, tapi banyak orang Tanah Jawa sendiri ikut berburu harta karun yang kabarnya berada di sekitar Lembah Seram."
"Oooo.. itu?! Hhhe, hee, hee, hee! itu sudah kuno, Nak! Sudah ketinggalan zaman! Pepatah mengatakan: 'Hujan setahun dihapus panas sehari'...."
"Artinya..?"
"Salah hitungan!" jawabnya pendek. Kusir Hantu terkekeh lagi, Suto Sinting berkerut dahi, mencoba memahami maksud kata-kata si tokoh tua itu.
"Perburuan harta karun itu sudah pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa di Lembah Seram dan sekitarnya. Tak ada emas secuil pun yang tercecer di Lembah Seram. Lalu, mereka pergi dan kabar adanya harta karun di Lembah Seram itu dingin sendiri. Ibarat pepatah mengatakan: "Menabur garam di tengah lautan...."
"Apa maksudnya, Pak Tua?"
"Orang tumpah!" jawabnya pendek lagi. la memang suka bermain pepatah tapi jarang ada hubungannya dengan yang dibicarakan, bahkan jarang benar arti yang dimaksudkan. Jika begitu, Suto Sinting hanya tertawa pelan seperti orang menggumam.
Kusir Hantu melangkah pelan-pelan, Pendekar Mabuk mengiringinya. Padahal ia tak tahu mau ke mana arah langkah si Kusir Hantu itu. la belum sempat bertanya, karena Kusir Hantu sibuk menceritakan masalah harta karun tersebut.
"Menurut kabar yang kudengar sekian tahun yang lalu, katanya harta karun itu termasuk harta pusaka peninggalan sebuah kerajaan kuno bernama Hastamanyiana. Cerita yang kudengar, kerajaan itu diserang oleh lawannya yang tangguh. Kemudian sebelum hancur, harta kekayaan kerajaan Hastamanyiana disembunyikan di suatu tempat. Peperangan berlangsung kembali, sampai akhirnya kerajaan Hastamanyiana benar-benar jatuh, dikuasai musuh. Tapi hartanya sudah tidak ada. Itu menurut dongeng kuno!" tegas si Kusir Hantu.
Sambungnya, "Dongeng itu diambil dari kenyataan, bisa diambil dari khayalan! Tapi jika kenyataannya harta karun itu tidak ada secuil pun di Lembah Seram, berarti dongeng itu diambil dari khayalan! Kuingatkan padamu, jangan mudah percaya oleh dongeng khayalan seperti itu. Pepatah mengatakan: Tong kosong berbunyi blegaaarr..."
"Bukannya tong kosong berbunyi nyaring, Pak Tua?
"Itu kalau tongnya tidak meledak. Kalau meledak bunyinya blegaaar...!"
Suto Sinting tertawa pendek. la kurang berminat untuk hanyut dalam kekonyolan itu. Dalam benaknya masih ada pertanyaan yang ingin diajukan kepada si Kusir Hantu.
"Apakah kerajaan Hastamanyiana itu juga hanya sebuah kerajaan di alam khayal, Pak Tua?"
"Setahuku, tidak! Hastamanyiana memang pernah ada. Berdiri megah di Pulau Layang. Negeri itu memang terkenal sebagai negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, buang sampah bisa jadi kursi. lbaratnya begitu!
Tapi mustahal sekali kalau...."
"Mustahil, Pak Tua! Bukan mustahal!" ralat Suto.
"Sesuatu yang sangat mustahil itu disebut 'mustahal', Nak!" bantah Kusir Hantu menutupi salah ucapnya. Suto Sinting hanya tersenyum sambil tertawa tanpa bunyi.
"Jadi... mustahal sekali kalau kekayaan negeri itu dipindah ke Tanah Jawa dan disimpan dalam Goa kembar, sebab di Pulau Layang sendiri banyak goa yang nganggur. Pepatah mengatakan: 'Air beriak tanda tak dalam'"
"Apa maksudnya, Pak Tua?"
"Becek!" jawabnya singkat sekali. "Jadi jika sekarang kau bilang ada orang berburu harta karun di Goa Kembar, itu sudah bukan hal aneh lagi bagiku. Hanya saja, kalau sampai mereka mengacak-acak pondokku, atau menyentuh ujung rambut kedua cucuku, maka mereka harus berani bertaruh nyawa di depanku! Pepatah mengatakan: 'karena nila setitik rusak susu sebelahnya'. Dan aku tak mau susu kedua cucuku rusak sebelah. Kecuali susunya Jurik Wetan, mau rusak sebelah atau rusak semua, peduli setan! Itu sudah bukan peganganku lagi. lya, toh...?!"
Suto Sinting lepaskan tawa tanpa suara yang membuat tubuhnya terguncang-guncang. la segera sadar akan langkah kakinya yang belum diketahui ke arah mana itu.
"Lalu, kita mau ke mana ini, Pak Tua?"
"Mencari si Pematang Hati, cucuku yang bandel itu!"
"Ooh, jadi... Pematang Hati hilang?"
"Minggat! Bukan hilang" tegas Pak Tua dengan nada konyol. "Bertengkar dengan adiknya, si Mahligai Sukma, lalu kakaknya minggat!"
"Adiknya...?"
"Belum minggat aku sudah minggat duluan!"
Jawab Kusir Hantu. 
"Maksudku, aku buru-buru pergi mencari
Pematang Hati, sebab Tenda Biru tak berhasil mengejar kepergian Pematang Hati. Panji Klobot malah pulang dengan babak belur."
"Ada apa denga Panji Kiobot?!"
"Dipukuli orang tak dikenal. Menurutnya banyak orang berkeliaran di sekitar Lembah Seram. Maka aku khawatir kalau Pematang Hati ada apa-apa, oleh sebab itu harus segera kutemukan!"
"Kurasa orang-orang yang dimaksud Panji Klobot itu adalah para pemburu harta karun, Pak Tua."
"Aku malah baru dengar sekarang kalau harta karun itu diburu lagi. Mereka itu bodoh-bodoh. Dari pada memburu harta karun, lebih baik memburu si Kirun, orang dari wetan! Lebih muda dan lebih nyata dipegang daripada memburu harta khayalan. Dalam pepatah dikatakan: 'becik ketitik ala rupamu'...."
"Artinya apa itu, Pak Tua?"
"Yang baik pasti kelihatan, yang jelek... wajahmu! Maksudnya..."
Baru sampai 'maksudnya' si Kusir Hantu sudah hentikan suara. Suara itu terhenti bukan karena mulut Kusir Hantu kemasukan capung, tapi karena mereka sama-sama mendengar suara orang merintih dari balik bebatuan yang menggunung.
"Aku mendengar suara orang merintih. Apakan kau mendengarnya juga, Nak?" tanya Kusir Hantu.
"Ya, aku mendengarnya, Pak Tua. Sepertinya..., Sepertinya suara seorang wanita, Pak Tua!"
"Gawat! Jangan-jangan cucuku, si Pematang Hati?!"
Wuuut..! Kusir Hantu berkelebat pergi
"Pak Tua...! Arahnya bukan ke sana, tapi ke sini!"
seru Suto. Kusir Hantu kembali arah. "Aku hanya menguji ketajaman telingamu!"
"Pak Tua memang pandai mengelak!"
"Hanya sekedar memberi contoh, ya begini ini akibatnya jika tak mau tanya dulu padamu di mana sumber suara itu. Seperti pepatah mengatakan: 'Malu berjalan sesat ditanya'"
"Terbalik, Pak Tua! Yang benar Malu bertanya sesat di jalan'"
"Sengaja kubalik. Biar kau membetulkannya!"
Blaass...! Kusir Hantu berkelebat lebih dulu begitu selesai bicara. Suto pun bergegas menyusul dengan rasa ingin tahu, siapa orang yang merintih kesakitan itu?

* * *

|₪: 4 :₪|

SUARA rintihan menderita itu memang suara orang gadis. Kusir Hantu dan Suto Sinting serempak terkejut bersama tanpa dikomando. Mereka sangat kenal dengan gadis berwajah imut-imut yang rambutnya dikonde dua itu.
"Pak Tua, bukankah dia adalah si Cawan Pamujan?"
"Memang. Celaka! Kenapa dia jadi seperti ini? Siapa yang menyakitinya?"
Cawan Pamujan adalah cucu dari si Tua Bangka alias Ki Sanupati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Kapak Setan Kubur").
Melihat keadaan Cawan Pamujan robek perut sampingnya dan wajah imut-imutnya menjadi biru legam,
Kusir Hantu tampak sedikit panik. Kemarahan si Kusir Hantu nyaris tak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri, sebab Cawan Pamujan termasuk cucunya juga. Ki Sanupati alias si Tua Bangka adalah kakak kandung si Kusir Hantu.
"Agaknya ia habis lakukan pertarungan dengan lawan yang tak seimbang, pak tua."
"Kurasa begitu! Tapi siapa lawannya yang berhati keji dan tega melukai separah itu?"
"Kurasa sebentar lagi dia bisa jelaskan, Pak Tua. Kesaktian tuakku sedang bekerja memulihkan keadaannya" ujar Suto Sinting yang telah berhasil meminumkan tuak ke mulut Cawan Pamujan walau dengan susah Payah, sebab Cawan Pamujan segera terkapar tak sadarkan diri begitu mereka tiba di dekatnya.
Pendekar Mabuk memeriksa keadaan sekeliling.
Menurutnya, orang yang melukai Cawan Pamujan pasti belum jauh dari sekitar tempat itu. Darah yang keluar dari luka gadis itu masih segar, menandakan luka itu terjadi tak lama sebelum Suto dan Kusir Hantu tiba di tempat itu.
Beberapa saat Pendekar Mabuk mencari seseorang yang patut dicurigai. Tetapi hasiinya nihil. Tak ada manusia di sekitar tempat tersebut dalam radius Seratus langkah. Dugaan Suto, orang yang melukai Cawan Pamujan pasti berilmu cukup tinggi, dan mempunyai kecepatan gerak yang sukar dikejar oleh Cawan Pamujan sendiri.
Ketika Suto Sinting kembali ke tempat ditemukan nya Cawan Pamujan, Gadis itu sudah bisa berdiri dan luka-lukanya sudah mengering. Gadis yang jika tersenyum mempunyai lesung pipit itu sedang memasukkan Pedangnya dan bicara dengan Kusir Hantu. la terkejut girang melihat Pendekar Mabuk, namun segera berubah menjadi tegang dalam mengadukan pertarungannya tadi. Gadis cerewet dan manja itu buru-buru berbalik menghadap ke arah Pendekar Mabuk, sementara Kusir Hantu hembuskan napas jengkel karena dipunggungi.
"Orangnya tinggi, besar, badannya penuh bulu" tutur Cawan Pamujan berapi-api. "Hmmm, itu lho...wajahnya ada itunya, apa itu...," gadis itu mengusap-usap dagunya.
"Jenggot...?!"
"Lebih dari jenggot!"
"Kusir Hantu menyahut, "Lebih dari jenggot ya dada!"
"Bukan! ltu... yang seperti sarang lebah sampai pipi."
"Brewok...?!"
"Nah, iya! Orangnya brewokan. Rambutnya yang tengah botak, tapi tepiannya panjang sampai pundak. Matanya lebar, alisnya lebar, kumisnya juga lebar.."
"Lebat!" ralat Kusir Hantu.
"Lebar kok, Eyang...!" gadis berusia dua puluh satu tahun itu tak mau disalahkan.
"Orang itu pakai rompi merah, Suto. Rompi merah, terus di tengahnya ada tali-tali silang, celananya juga merah. Tapi... badannya penuh bulu, Suto!"
"Seperti orang hutan maksudmu?!"
"Yaaah, tapi tidak sebanyak itu. Pokoknya lengan nya penuh bulu, dadanya penuh bulu, dan bawahnya Juga penuh bulu."
"Husy! Kau lihat sampai bawahnya?!" sentak Kusir Hantu.
"Maksudku, kakinya itu Iho... kakinya juga penuh bulu. Kulitnya itu seperti terbuat dari perunggu. Keras dan warna abu-abu."
"Siapa namanya?"
"Aku tidak tahu. Aku tidak mau kenalan sama dia. Aku jijik dan ngeri, Suto," jawab Cawan Pamujan dengan manja.
"Pak Tua... apakah Pak Tua kenal dengan orang berciri-ciri seperti itu?"
Kusir Hantu menggeleng. "Pepatah mengatakan: Tak kenal maka tak tahu'. Sebaiknya kita cari saja orang berciri-ciri seperti itu! Tapi... apa persoalannya
sehingga kau bentrok dengan orang itu, Nduk?!"
"Aku... aku cuma membela Pematang Hati kok."
"Hahh...?!" Kusir Hantu kaget. Suto Sinting terkesiap pandangi si manja Cawan Pamujan.
"Jadi, kau tadi bersama adikmu; Pematang Hati?"
"Benar, Eyang. Pematang Hati datang ke rumahku mengajakku pergi ke Pantai Dawai, mau ke rumah sahabatnya. Habis, katanya dia sedang kesal sama Mahligai Sukma dan pergi dari rumah. Maka kuhibur dengan menemaninya pergi ke Pantai Dawai. Tapi di tengah jalan kami dicegat orang itu, Eyang!"
"Lalu.. lalu di mana Pematang Hati?"
"Dipaksa oleh orang itu!"
"Diperkosa...?!"
"Aku tidak tahu, Eyang. Yang jelas aku tidak ikut diperkosa. Aku tidak mau kalau sampai harus diperkosa segala," Cawan Pamujan bersungut-sungut manja.
"Dipaksa bagaimana maksudmu?!" desak Pendekar Mabuk begitu melihat Kusir Hantu menjadi gusar.
"Kami dipaksa untuk menunjukkan letak Lembah Seram. Dia mau cari Goa Kembar!" jawab Cawan Pamujan dengan masih bersungut-sungut manja.
"Tapi kami menolak. Aku bilang padanya, bahwa aku dan Pematang Hati tak tahu di mana Lembah Seram walaupun Pematang Hati tinggal di Lembah Seram.
Kami juga tidak tahu Goa Kembar, walaupun Pematang Hati pernah tersesat di sebuah goa di Lembah Seram. Eh... dia tidak percaya kalau kami tidak tahu. Dia memaksa kami. Tentu saja aku dan Pematang Hati melawannya. Tapi... tapi aku dihajar babak belur, dan terluka oleh senjatanya yang terbuat dari rantai berujung kapak dua sisi."
"Celaka! Kurasa orang itu adalah si Berhala Murka. Pak Tua!"
"Kau kenal dengan orang itu?"
"Tidak. Tapi aku mendengar ciri-cirinya dipercakapkan oleh orang-orang di kedai. Berhala Murka memang mencari Lembah Seram, dia ingin dapatkan harta karun itu, Pak Tua!"
"Keparat!" geram Kusir Hantu. "Pasti si Pematang Hati dipaksa agar membawanya ke Lembah Seram."
"Apakah Pematang Hati tahu tentang letak Goa Kembar?"
"Aku serndiri tak tahu, seberapa banyak pengetahuannya tentang goa-menggoa!" jawab Kusir Hantu.
"Aku akan segera mencarinya ke sana, Nak!"
"Aku tidak mau ikut. Aku takut, Eyang!" ujar Cawan Pamujan dengan nada manja.
"Tolong antarkan pulang si Genduk ini, Nak!" ujar Kusir Hantu, setelah berkata begitu ia mencabut cambuknya dan melecutkan di udara. Ctaarr...!
Blaasss..! Kedua kaki Kusir Hantu tak menyentuh tanah. la seperti menunggang kereta berkuda dan menjadi kusir kereta tersebut. Sesekali cambuknya dilecutkan, sehingga tubuhnya melayang lebih cepat dalam keadaan berdiri tegak. Ctaar, taar, taar...!
Pen dekar Mabuk hembuskan napas. Agak dongkol mendapat tugas mengantarkan si gadis manja itu. Padahal ia ingin ikut ke Goa Kembar dan melihat sendiri seperti apa keadaan di sana. Terbayang olehnya keadaan Pematang Hati yang dengan terpaksa harus membawa Berhala Murka ke Goa Kembar. Tentunya orang yang menuju ke sana bukan hanya Berhala Murka saja.
Cawan Pamujan tampak senang sekali dapat berjalan bersama pendekar gagah berwajah tampan. Wajah cantiknya yang imut-imut itu tampak berseri-seri, sering mengumbar senyum yang berlesung pipit.
Padahal hati Suto selalu bergetar jika melihat senyum lesung pipit, kekasihnya yang ada di Pulau Serindu itu juga mempunyai lesung pipit jika tersenyum. Setiap Suto melihat gadis berlesung pipit, ia selalu dibakar rindu ingin jumpa dengan Dyah Sariningrum.
"Aku jadi ingin menengoknya ke Pulau Serindu Kangen sekali aku padanya," ujar Suto Sinting dalam hati. Sekali pun Cawan Pamujan banyak bicara dengan kecerewetan dan kemanjaannya, tapi pikiran Pendekar Mabuk bagaikan terbang melamunkan Dyah Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi itu.
Lamunan dan langkah terpaksa berhenti. Padahal perjalanan menuju rumah Cawan Pamujan baru beberapa saat diawali. Agaknya langkah itu memang harus dihentikan karena Suto Sinting dan Cawan Pamujan melihat seseorang berlari di depannya. Orang tersebut tampaknya berlari terburu-buru menuju ke arah mereka berada.
"Siapa itu, Suto?!"
"Belum jelas! Tapi... sepertinya aku kenal dengan orang itu!" jawab Suto Sinting sambil mengecilkan matanya agar dapat memandang dengan jelas. la mencoba mengenali orang tersebut. Semakin jaraknya dekat, semakin jelas sosok tubuh dan rupa wajahnya.
Orang itu adalah gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun. Rambutnya sepundak, bagian depannya diponi rata. Gadis cantik berwajah mungil seperti kemungilan wajah Cawan Pamujan itu mengenakan rompi panjang berwarna merah muda. la mengenakan penutup dada warna hitam transparan. la berlari sambil menenteng pedang yang sudah dicabut dari sarungnya.
"Ooh, sepertinya dia si Kelambu Petang, Suto!"
"Ya, kurasa memang Kelambu Petang. Tapi... tapi tampaknya dia terluka dari satu pertarungan!"
Pendekar Mabuk segera menyambut langkah kelambu Petang. Tentu saja ia dan Cawan Pamujan mengenal gadis itu, sebab Kelambu Petang adalah cucu dari sahabat Kusir Hantu yang dikenal dengan nama si Kapas Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gairah Sang Ratu").
Tubuh gadis itu segera oleng dan terengah-engah. Pendekar Mabuk segera menyambar tubuh itu sebelum jatuh terkulai dengan lemas. Wuuut, deeb...! Kelambu Petang dipeluk Suto Sinting. Bau wangi rempah-rempah tercium bersama bau amis darah.
Suto sengaja memeluk erat-erat supaya tubuh itu tak merosot jatuh ke tanah. Tapi Kelambu Petang tak bisa rasakan debar keindahan dalam hati sekali pun dipeluk erat Pendekar Mabuk, sebab ternyata rahangnya hangus. Punggungnya juga berlubang kecil dan keluarkan darah kental.
"Tol... tolong... ak... aku tak kuat..." Kelambu Petang mengerang terputus-putus. Pendekar Mabuk cepat tuangkan tuak ke mulut gadis itu. Si gadis dibaringkan di rerumputan.
"Apakah dia mau mati, Suto?! Mau mati sekarang atau nanti?! Aduh... bagaimana kalau mati sekarang?! Nanti jadi hantu dia! Jangan boleh, Suto! Jangan boleh dia jadi hantu!"
"Ssst...! Diamlah kau!" Hardik Suto Sinting menghadapi Cawan Pamujan yang cerewet dan tampak panik itu.
Kelambu Petang belum jelaskan siapa yang melukainya. Tapi tak lama kemudian dari arah tempat datangnya Kelambu Petang tadi, muncul seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun. Kedua mata pemuda itu ditutup kain merah seperti ikat kepala. Bajunya berwarna biru, sedangkan celananya berwarna merah gelap.
Pemuda rambut cepak itu hentikan langkah dengan tetap membiarkan kedua matanya ditutup kain merah tebal. Pedang putih anti karat yang diselipkan dipinggang segera digenggamnya, tapi belum dicabut dari sarungnya yang mengkilap itu. Tampaknya ia cepat curiga terhadap orang yang ada di depannya.
Cawan Pammujan mencabut pedangnya, mulai siap membela Kelambu Petang. Tetapi tangan kiri Suto Sinting merentang, memberi isyarat agar Cawan Pamujan tidak lakukan serangan apa pun terhadap Pemuda tertubuh sedang itu.
Setelah terang-terangan menghirup udara beberapa sentakan, pemuda itu pun segera perdengarkan Suaranya
"Apakah di sini ada sahabatku, si Pendekar Mabuk?"
"Dari mana kau tahu aku ada di sini, Mangku Randa?!"
"Bau tuakmu tercium olehku, Suto!"
"Penciumanmu memang lebih tajam dari mata pedangmu sendiri, Mangku Randa," sanjung Pendekar Mabuk dengan nada ramah namun berkesan tegas.
"Hanya sayangnya, mengapa kau lukai gadis yang menjadi sahabatku ini, Mangku Randa?"
"Gadis itu berbau wangi rempah-rempah, seperti bau wangi pembunuh ibuku, Pendekar Mabuk!"
"O, begitu?! Jadi kau belum temukan pembunuh ibumu?!"
"Sampai sekarang pembunuh itu masih berkeliaran, Pendekar Mabuk! Mungkin kali ini langkahku tak salah lagi, gadis sahabatmu itulah pembunuh ibuku!"
"Aku tak tahu siapa ibumu, Keparat!" sahut Kelambu Petang yang sudah mulai kehilangan rasa sakitnya itu. Pendekar Mabuk segera menengahi persoalan itu.
Sejak ia kenal dengan Mangku Randa, pemudra dari Teluk Borok yang bermata buta itu memang selalu kebingungan mencari pembunuh ibunya. Setiap wanita berbau rempah-rempah pasti langsung diserangnya, dengan harapan wanita itulah pembunuh ibunya. Tapi agaknya ia selalu gagal menemukan pembunuh sejati sang ibu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Kebangkitan lblis Gembira").
"Siapa nama ibumu sebenarnya, Mangku Randa?!"
"Orang-orang mengenal ibuku dengan nama Nyai Sindang Rumi!" jawab Mangku Randa.
Kelambu Petang cepat berdiri dengan wajah kaget. Badannya sudah lebih segar lagi, sehingga ia bisa berdiri dengan cepat.
"Jadi... kau anak Nyai Sindang Rumi?!"
"Benar! Berarti kau kenal dengan ibuku, bukan?!" desak Mangku Randa mulai melangkah mendekati suara Kelambu Petang. Tapi langkahnya tertahan oleh tangan Suto yag menghalanginya.
"Nyai Sindang Rumi telah tewas?! Ooh... tidak mungkin! Tidak mungkin Nyai Sindang Rumi tewas"
"Mengapa kau tak percaya, Gadis busuk?!" sentak Mangku Randa.
"Jika benar ibumu Nyai Sindang Rumi, berarti aku memang kenal dengan beliau. Aku kenal betul dengan Nyai Sindang Rumi, sebagai orang berilmu tinggi di Teluk Borok!" tegas Kelambu Petang.
Sambungnya lagi, "Beliau pernah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut si Ratu Sinden!"
Hening sejurus, masing-masing saling bertanya dalam hati mendengar nama Ratu Sinden yang agaknya baru kali itu mereka dengar. Pendekar Mabuk segera ajukan tanya kepada Kelambu Petang setelah terdengar suara pedang Cawan Pamujan dimasukkan dalam sarungnya. Sriing..!
"Siapa itu orang yang bernama Ratu Sinden?!"
"Murid andalan mendiang Nyai Dayang Demit!"
Jawaban itu membuat Suto Sinting kelihatan lebih terkejut lagi.
"Bukankah anak buah Nyai Dayang Demit sudah kita hancurkan semua?!"
"Memang! Tapi pada waktu itu, murid andalannya yang bernama Ayundani sedang bertapa di Gunung Gerowong. Beberapa waktu kemudian, Ayundani selesaikan bertapanya dan mendengar bahwa Nyai Dayang Demit, gurunya, tewas di tangan Pendekar Mabuk dan Kelambu Petang. Satu-satunya orang yang dikenalnya adalah diriku, kerena aku pernah jumpa dengannya."
Mangku Randa diam menyimak dengan telinga dihadapkan ke arah Kelambu Petang. Gadis itu lanjutkan penjelasannya.
"Beberapa waktu yang lalu, kudengar kabar bahwa Ayundani telah berhasil kuasai sebuah daerah. la menobatkan dirinya di situ sebagai sang penguasa dengan mengubah nama menjadi Ratu Sinden. Sekitar dua purnama yang lalu, aku bertemu dengannya. Dia ingin membunuhku sebagai balas dendam atas kematian gurunya: Nyai Dayang Demit. Untung pada waktu itu ada Nyai Sindang Rumi. la menyambarku dan membawaku lari menjauhi Ratu Sinden. Tapi Ratu Sinden tetap mengejar. Aku mendengar si Ratu Sinden yang akan membunuh Nyai Sindang Rumi jika tak mau serahkan diriku. Tapi Nyai Sindang Rumi tetap selamatkan nyawaku dan berhasil membawaku pulang. Nyai Sindang Rumi ternyata adalah bekas sahabat kakekku, sewaktu kakek masih berusia sekitar empat puluh tahun!"
"Siapa nama kakekmu?!" tanya Mangku Randa masih bernada ketus.
"Kapas Mayat!"
"Ooo..." Mangku Randa manggut-manggut. "Berarti kau tidak bohong! Ibuku memang pernah bercerita tentang sahabat-sahabatnya di antaranya yang kuingat adalah nama Kapas Mayat, karena nama itu kuanggap aneh."
"Kalau begitu.." ujar Suto Sinting. "Besar kemungkinan yang membunuh ibumu adalah si Ratu Sinden itu, Mangku Randa!"
"Apakah tubuhnya berbau wangi rempah-rempah?!"
"Ya." jawab Kelambu Petang. "Tapi menurutku bau wanginya adalah bau mesum!"
Mangku Randa tampak menggeletukkan gigi, tapi Juga menghembuskan napas panjang sebagai tanda merasa lega telah mengetahui siapa pembunuh ibunya.
Sementara gigi yang menggeletuk menandakan bahwa ia tak sabar ingin segera menuntut balas kepada Ratu Sinden atas kematian ibunya.
Mangku Randa perdengarkan suaranya yang bernada datar.
"Nyai Dayang Demit.... Yah, aku kenal nama itu sebagai nama Ketua Perampok Wanita yang berkeliaran di laut. Nyai Dayang Demit mempunyai adik bernama Dewi Geladak Ayu..."
"Perempuan itu sudah tersingkirkan semua dari permukaan bumi," sahut Suto Sinting sambil mengenang tewasnya Dewi Geladak Ayu di tangan sesama tokoh aliran hitam dari Gunung Rancak Hantu. Tokoh tersebut adalah mendiang Rangkak Dulang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Titisan Peri) Tetapi dari mana kau tahu tentang Nyai Dayang Demit itu,Mangku Randa?
"Dia yang membunuh ayahku!" geram Mangku Randa dengan suara nyaris tak terdengar karena tertutup napas dendamnya. "Sejak itu lbu selalu menganggap musuh utamanya adalah Nyai Dayang Demit.
Kurasa... si Ratu Sinden itu juga tahu betul permusuhan antara gurunya dengan ibuku, dan... dan ia berhasil membunuh ibuku! Aku pun akan berhasil membunuhnya dalam waktu singkat!"
Kelambu Petang yang kini benar-benar telah sehat tanpa luka seujung jarum pun, segera dekati Mangku Randa dengan sikap tidak bermusuhan, justru menaruh rasa iba atas kematian Nyai Sindang Rumi.
"Kubantu usahamu mencari Ratu Sinden! Aku tahu di mana dia berada!"
"Aku tidak butuh bantuanmu!" tegas Mangku Randa. "Aku hanya butuh pemberian maafmu atas tindakanku yang tadi hampir menewaskan dirimu, Kelambu Petang!"
"Aku sudah sehat kembali berkat tuak saktinya Pendekar Mabuk. Kurasa hal itu tak perlu kita bahas lagi!"
Cawan Pamujan segera angkat bicara. Sebelumnya ia batuk-batuk kecil agar memperoleh perhatian dari mereka.
"Kakekku juga tahu tentang Ratu Sinden. Belum lama ini dia bicara padaku tentang Ratu Sinden. Kata Kakek, Ratu Sinden sekarang menjadi penguasa disebuah pulau. Pulau itu dikenal dengan nama Tanah Pasung"
"Tanah Pasung...?!" Suto Sinting terkejut.
"Tepat sekali!" sahut Kelambu Petang. "Tanah Pasung itulah yang kini dikuasai oleh Ayundani, dan disitulah ia menobatkan diri sebagai Ratu Sinden!"
"Tapi orang-orang Tanah Pasung sedang menuju ke Lembah Seram!" sahut Pendekar Mabuk.
"Ke Lembah Seram...?" gumam Kelambu Petang sedikit tegang,"Maksudmu... orang Tanah Pasung mau merebut Lembah Seram dari tangan si Pujasera?! Ooh, kalau begitu aku harus segera memberitahu kakekku!"
"Tidak, Kelambu Petang! Orang-orang Tanah Pasung menuju Lembah Seram karena ingin temukan Goa Kembar
"Ada apa di sana?!" sahut Mangku Randa.
"Mereka memburu harta karun yang kabarnya berada di Goa Kembar. Tapi menurut Kusir Hantu, semua itu hanya dongeng yang tak pernah terbukti sejak dari dulu!"
"Kalau begitu...," ujar Mangku Randa. "Besar kemungkinan si Ratu Sinden ada di Lembah Seram. Aku harus menemuinya di sana!"
Mangku Randa bergegas pergi, tapi segera ditahan pundaknya oleh Suto Sinting.
"Tunggu sebentar..!"
"Aku tak ingin kehilangan kesempatan untuk membalas kematian ibuku, Pendekar Mabuk!"
"Kita akan berangkat ke sana bersama-sama, Mangku Randa!"
"Lho, aku bagaimana?" cetus Cawan Pamujan.
"Kelambu Petang, kumohon padamu dampingi si Cawan Pamujan pulang ke rumahnya"
"Lhoo. kenapa dialih tugaskan?" ujar Cawan Pamujan dengan cemberut manja.
"Cawan Pamujan, aku harus membantu kakekmu Juga, si Kusir Hantu, untuk bebaskan Pematang Hati dari tangan Berhala Murka! Kalau tindakanku terlambat, adik dari kakekmu itu akan mati di tangan Berhala Murka!"
"Tapi... tapi kurasa Eyang Kusir Hantu bisa atasi sibrewok itu sendirian, Suto!"
"Cawan... kau harus segera pulang dan kabarkan hal ini kepada kakek kandungmu itu; si Tua Bangka!
Katakan aku sedang menuju ke Lembah Seram bersama Mangku Randa!"
Perintah tegas itu tak bisa ditolak lagi oleh Cawan Pamujan. Gadis itu memang cemberut, tampak kecewa sekali. Tapi Kelambu Petang segera memberinya semangat agar mereka berdua segera sampaikan kabar tersebut kepada Ki Sanupati alias Tua Bangka itu.
"Tak ada waktu lagi untuk berdebat, Cawan. Kita harus segera beritahukan kepada kakekmu tentang kedatangan orang-orang Tanah Pasung itu!"
"Aku akan ikut kalau kakek ke Lembah Seram!
"Itu bisa kau bicarakan pada kakekmu nanti! Kita berangkat sekarang juga, Cawan!" tegas Kelambu Petang."
Dengan hati berat, Cawan Pamujan akhirnya pergi bersama Kelambu Petang. Pendekar Mabuk bergegas menuju ke Lembah Seram bersama Mangku Randa.
Perjalanan menuju ke sana diperkirakan memakan waktu seperempat hari. Mungkin mereka akan tiba di Lembah Seram pada saat malam telah mulai larut.
Namun ketika mereka mencapai perbatasan senja dengan petang, mereka sempat tertarik dengan munCulnya sekelebat bayangan yang menuju ke sebuah bukit. Bayangan itu sangat jauh dan sukar dikenali wajah pemiliknya. Tetapi penciuman Mangku Randa membuat mereka terpaksa belokkan arah ke bukit tersebut.
"Suto... aku mencium bau wangi rempah-rempah! Apakah.. apakah di sekitar kita ada orang?!"
"Ada. Tapi jauh. Sekelebat bayangan menuju bukit di samping kiri kita!"
"Bau wangi rempah-rempah ini menggetarkan hatiku. Jangan-jangan orang yang kau lihat itu adalah si Ratu Sinden?!"
"Aku tak bisa memastikan. Penglihatanku terganggu cahaya senja."
"Aku akan memeriksanya ke sana, Suto!!"
"Jika itu maumu, baik. Kita kejar bayangan yang tadi kulihat menuju ke bukit itu!"
Mereka pun bergegas mengejar bayangan tersebut.

* * *

|₪: 5 :₪|

BUKIT itu tak seberapa tinggi. Mudah didaki walau berpepohonan lebat. Pada salah satu lerengnya terdapat sebuah pondok. Pondok itu sangat sederhana, tapi dikelilingi oleh tanaman rimbun, sehingga tak mudah terlihat dari arah mana pun. Jika bukan karena ada jalan setapak yang menuju pondok itu, maka tak seorang pun tahu bahwa di bukit berhutan rimbun itu ada sebuah pondok sederhana. Hanya pondok itu saja satu-satunya bangunan di bukit tersebut. Kelebatan hutan membuat seseorang tak akan menduga ada pondok di dalamnya.
Seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun telah menerobos masuk ke dalam kerimbunan pohon dan semak yang mengelilingi pondok tersebut. Perempuan itu mengenakan jubah biru tua agak kehitam-hitaman dengan kain bawahnya berwarna hitam. Rambutnya yang sepundak mengenakan ikat kepala dari lempengan logam putih anti karat yang berhias bintang-bintang.
la merupakan perempuan yang cantik bertubuh sekal, padat dan menggairahkan. Dadanya memang tak terlalu montok, tapi cukup sekal dan menonjol kencang. Perempuan yang bersenjata pedang di punggungnya itu adalah seorang janda yang cukup dikenal oleh Pendekar Mabuk. Sayangnya, waktu itu Pendekar Mabuk tidak segera temukan si janda, karena nyaris kehilangan jejak, sehingga ia masih belum tahu bahwa perempuan itu adalah bekas istrinya Badra Sanjaya, mantan pengawal kepercayaan Ratu Dekap Rindu. Dia adalah Laras Wulung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Jarum Surga").
Laras Wulung bagai sudah ditakdirkan menjadi perempuan yang selalu membutuhkan 'jarum surga'. la
mempunyai ilmu Titisan Panewu', yang merupakan ilmu turunan dari leluhurnya. Jika ia melahirkan anak, maka seluruh ilmu ibunya akan menitis ke anak tersebut dengan sendirinya. Seluruh kebiasaan, kesaktian dan kekuatan sang ibu akan dimiliki oleh sang anak.
Ilmu 'Titisan Panewu' itu membuat Laras Wulung mempunyai suatu kelainan unik. Jika gairah bercumbunya timbul, ia tak boleh menundanya. Gairah itu harus segera dilampiaskan. la harus mencari seorang lelaki untuk memuaskan hasrat bercumbunya. Sebab itulah ia selalu membutuhkan 'jarum surga' seorang lelaki.
Apabila gairahnya itu tidak segera dilampiaskan, maka tenaganya akan tersedot oleh kekuatan hasrat bercumbunya itu. Sedikit demi sedikit Laras Wulung akan menjadi lemas karena kehilangan tenaga. Semakin lama gairahnya tertunda, semakin habis tenaga dan kekuatannya. la bisa menjadi perempuan lumpuh tanpa daya sedikit pun jika tak segera mendapatkan 'jarum surga' dari lawan jenisnya.
Perceraiannya dengan Badra Sanjaya membuat Laras Wulung mengembara menjadi pemburu jarum surga' seorang lelaki. Tak peduli ada cinta ataupun tidak di hati mereka, tapi kencan harus segera dilakukan.
Laras Wulung selalu menyukai pria yang punya ketangguhan bercinta cukup tinggi. Jelek rupa tak jadi soal baginya, yang penting mampu menjaga keutuhan tenaganya.
Tak heran jika Laras Wulung terkadang juga rela menjadi budak seorang lelaki, terutama bagi lelaki yang mampu memberinya kekuatan. Dan di dalam pondok itu, Laras Wulung sudah ditunggu oleh seorang pemuda berusia sebaya dengannya. Pondok itu menjadi pondok kencan bagi Laras Wulung, karena di dalam pondok itu tersedia jarum surga' yang siap melayani gairahnya.
Pendekar Mabuk berhasil temukan pondok itu dalam keremangan senja setelah menggunakan penciuman Mangku Randa yang tajam itu. Mereka mengendap-endap dekati pondok berdinding kayu. Celah dinding kayu itu akan dijadikan lubang pengintaian bagi Suto Sinting. Tentu saja Mangku Randu tak mau ikut mengintip karena memang kedua matanya buta. Tapi ia bisa menggunakan ketajaman telinganya untuk menyadap pembicaraan sekecil apa pun.
Suto Sinting terperanjat saat Laras Wulung berkata kepada pemuda berambut ikal yang mengenakan ikat kepala kuning itu.
"Keadaannya semakin ramai, Ragadenta! Orang-orang Tanah Pasung mulai mendekati Lembah Seram!"
"Ragadenta...?" gumam Pendekar Mabuk dalam hati. "Ooo... rupanya di sinilah Nyai Jurik Wetan sembunyikan muridnya dari incaran Siluman Tujuh Nyawa?!"
Pemuda yang menjadi murid Nyai Jurik Wetan itu berpakaian biru garis-garis putih. la pemuda berwajah lumayan tampan dengan kumis tipisnya yang menawan. Tubuhnya tergolong tegap, kekar dan tingginya sejajar dengan Pendekar Mabuk. Pantas jika Laras Wulung tergiur untuk menikmati kehangatan pemuda perkasa itu.
"Apakah kau sudah dapatkan keterangan di mana persisnya Goa Kembar itu berada?!"
"Ya. Di sebelah selatan Bukit Seram. Aku berhasil mengorek keterangan dari mulut Panji Klobot."
"Siapa itu Panji Klobot?
"Orangnya si Kusir Hantu."
"Bagus! Itu baru kerja yang memuaskan, Laras Wulung!"
"Kerjaku pasti memuaskan untukmu, Ragadenta. Sebab kau pun selalu memuaskan hasrat asmaraku,
Pria perkasa! Hik, hik, hik, hik...!"
Laras Wulung tertawa cekikikan ketika Ragadenta memeluknya dari belakang. Mencium tengkuk dan pundak perempuan itu.
"Jangan cium aku begitu, Ragadenta."
"Mengapa tak boleh?"
"Sama saja kau membangunkan macan betina yang sedang tidur, Ragadenta!"
"Aku ingin kasih hadiah untuk seorang mata-mata pribadiku yang bekerja dengan baik."
"Lewat mana hadiah itu akan kau berikan padaku, Ragadenta?"
"Pilih saja sendiri. Mau lewat depan atau lewat belakang, terserah seleramu!"
"Ooh, kau benar-benar sangat menyenangkan bagiku, Ragadenta," ujar Laras Wulung sambil tangan kirinya ke belakang. Ragadenta yang masih memeluk dan sesekali menciumi bagian punggung Laras Wulung itu sengaja sedikit merenggangkan jarak untuk memberi peluang bagi tangan kiri Laras Wulung.
"Kau tak ingin lepaskan pembungkusnya?" goda Laras Wulung sambil sedikit menarik kain celana sebagai isyarat maksud kata-katanya. Ragadenta tertawa pelan.
"Akan kulepaskan kalau kau sudah beri penjelasan padaku tentang kedua cucu si Kusir Hantu itu!"
"Mahligai Sukma dan Pematang Hati tidak kutemukan di sekitar pondoknya. Yang ada di sekitar pondok hanya seorang gadis yang dipanggil Panji Klobot dengan nama Tenda Biru."
"Itu bukan cucu Kusir Hantu. Lalu, apa lagi yang kau dapat dari sana?"
"Tapi waktu aku dalam perjalanan pulang kemari, aku melihat Pematang Hati dan seorang gadis lain, bukan Mahligai Sukma, sedang bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi dan berbulu. Pematang Hati dilumpuhkan dengan sebuah totokan yang membuat gadis itu seperti gadis dungu dan patuh pada perintah orang berbulu itu!"
"Dibawa ke mana dia?"
"Kudengar samar-samar, dia dipaksa untuk membawa orang berbulu itu ke Goa Kembar!"
"Celaka! Kalau begitu orang berbulu itu akan dapatkan harta karun lebih dulu daripada kita, Laras!" Ragadenta tampak tegang. Laras Wulung memutar tubuh hingga berhadapan.
"Tak usah khawatir. Mereka menuju ke utara bukit, bukan ke selatan. Goa itu ada di selatan!"
"Kalau begitu besok kita langsung ke selatan bukit saja."
Laras Wulung memandang dengan mata sayu menggoda. Senyumnya pun sudah berupa senyum tantangan bagi seorang lelaki. Apalagi ditambah dengan ucapan katanya yang sudah mulai bersuara parau, hasrat siapa pun akan tergelitik oleh tantangan Laras Wulung.
"Besok kita ke selatan bukit. Lalu, sekarang kau ingin mendaki bukit juga, Ragadenta?"
"Sekarang...?"
"lya. Bukankah bukit di depanmu sudah siap kau daki sepuas hati?" sambil Laras Wulung melirik ke dadanya sendiri. Lirikan sekejap itu dibarengi dengan senyum yang makin memikat. Ragadenta pun tertawa kegirangan.
Tangan pemuda itu mulai menjamah dada Laras Wulung, menyelusup ke balik kain penutup yang tipis transparan itu. Tangan tersebut menemukan puncak bukit dan meremasnya dengan lembut.
"Kita akan menjadi kaya jika harta karun itu berhasil kita peroleh. Kita dapat membangun sebuah istana dengan harta itu, dan kau akan kujadikan ratu di dalam istanaku nanti, Laras."
"Bagaimana kalau gurumu mengetahuinya?"
"Oh, itu tidak mungkin. Guru tidak akan tahu kalau aku sendiri juga berminat memiliki harta karun itu. Guru pasti akan kecele dan tak akan bisa dapatkan harta karun itu, Laras. Hanya kita berdua yang tahu persis di mana letak harta peninggalan kerajaan Hastamanyiana itu."
"Jangan lupa, kalau kita sudah punya istana, beternaklah ayam, lebah dan sapi."
"Mengapa harus begitu, Laras?"
"Kau harus rajin meminum telur ayam, madu lebah dan susu sapi. Biar selalu tampil perkasa di depanku!"
"Apakah aku sekarang kurang perkasa?"
"Oh, tentu saja hanya perempuan dungu yang mengatakan kau tidak perkasa."
"Ooh, Ragadenta... ciumlah aku. Hmmm." Laras Wulung sodorkan bibirnya yang sedikit direkahkan.
Ragadenta menyambar bibir itu dengan kecupan lembut, lalu lidah perempuan itu pun dipagutnya pelan-pelan. Akhirnya mereka saling melumat, bersilat lidah dan berkecup ria. Tangan perempuan itu pun mulai lepaskan ikat pinggang Ragadenta, juga menyingkirkan baju pemuda tersebut. Pruuk, pruuk...!
Pakaian Ragadenta pun terpuruk di lantai. Bibir mereka masih saling pagut dan saling lumat. Ragadenta juga membuang jubah biru Laras Wulung. Kain penutup dada pun dibuangnya ke samping. Laras Wulung tinggal kenakan kain merah penutup bagian bawahnya. Kain itu mempunyai belahan tengah dari bawah sampai ke perut. Tentu saja tangan Ragadenta menyingkapkan kain tersebut.
"Oo0ohhh...!"
"Indah, Laras...?! Nikmat...?! Oooh, oooh, oooh..nikmat, hahh?!"
"Ooh, yaah... nikmat sekali malam ini, Raga! Ooohh... kau lebih dahsyat dari biasanya, Raga."
"Uuuhf..! Puaskan hatimu. Puaskan gairahmu, Raga! Aaku... akuu, o0ohh..."
Draak, drrak, drrak, kriiet, krriet, draak...!
Pondok bagai dilanda gempa. Seolah-olah seluruh benda yang ada di permukaan bumi itu ikut terguncang-guncang oleh amukan asmara mereka.
Sayang sekali waktu itu Pendekar Mabuk sudah tidak ada di tempat. la tak mau tersiksa batinnya oleh adegan-adegan panas yang bisa diintipnya dengan leluasa itu.
Maka pada saat Ragadenta tadi mulai menyusupkan tangannya ke dalam penutup dada Laras Wulung,
Pendekar Mabuk sudah lebih dulu pergi tinggalkan pondok bersama Mangku Randa. Baginya, yang penting sudah mengetahui bahwa perempuan berbau wangi rempah-rempah itu bukan Ratu Sinden, melaikan Laras Wulung. Suto juga merasa beruntung, karena ia dapat mengetahui adanya persekongkolan antara Ragadenta dengan Laras Wulung yang sama-sama ingin memburu harta karun tersebut. Laras Wulung dijadikan mata-mata si Ragadenta dengan upah kemesraan yang sangat berarti bagi perempuan itu.
"Ragadenta akan mengkhianati gurunya; Nyai Jurik Wetan itu!" ujar Suto Sinting kepada Mangku Randa.
"Dia ingin menguasai harta karun itu bersama Laras Wulung. Secara tak langsung ia akan bersaing dengan sang guru."
"Sayang sekali perempuan itu bukan Ratu Sinden. Padahal aku sudah bersiap menjungkirbalikkan pondok itu bersama isinya!"
"Sabarlah dulu! Ada saatnya kapan kau harus bertemu atau berhadapan dengan seorang pembunuh yang menewaskan ibumu! Mungkin sekarang belum waktunya. Jangan paksakan diri, nanti justru akan membuat batinmu lebih tersiksa lagi!" saran Suto Sinting sambil mencari tempat yang aman untuk bermalam. Rupanya Mangku Randa sangat setuju untuk melanjutkan perjalanan esok pagi, karena hari itu ia sangat lelah dan butuh istirahat.
"Jika tenagaku terbuang banyak, dan malam ini tak beristirahat, maka esok jika aku harus menuntut balas pada Ratu Sinden, aku akan cepat kehabisan tenaga," ujarnya kepada Suto Sinting.
Rasa letih yang berlebihan ternyata membuat Mangku Randa cepat tertidur walau hanya beralaskan tiga dahan berjajar yang tumbuh di atas pohon tak seberapa tinggi. Mau tak mau Suto Sinting paksakan matanya untuk segera tertidur, karena Mangku Randa sudah tak bisa diajak bicara lagi.
Perjalanan menuju Lembah Seram dilanjutkan kembali pada saat matahari mulai beranjak dari peraduannya. Pendekar Mabuk sengaja tak menggunakan jurus 'Gerak Siluman', karena jika ia berlari menggunakan jurus tersebut, maka sahabat barunya itu akan tertinggal jauh. Suto Sinting kasihan jika Mangku Randa yang Buta itu kehilangan jejak dan tersesat di sembarang tempat.
Sebelum mereka menyeberang sungai yang menjadi batas Lembah Seram, tiba-tiba langkah kaki mereka dihentikan oleh berdentingannya suara senjata beradu.
Trang, tring, tring, traang, triing...!
Suara itu sangat jelas karena berasal dari tempat yang tak begitu jauh dari mereka. Mangku Randa menelengkan kepala untuk mempertajam pendengarannya.
Sebelum bergerak ke tempat beradunya senjata tajam itu, Mangku Randa berkata lebih dulu kepada Pendekar Mabuk.
"Aku mendengar suara pertarungan, Suto Sinting. Apakah kau juga mendengarnya?"
"Ya, aku mendengarnya. Letaknya tak jauh dari sini. Kita ke sana dulu, Mangku Randa."
Tapi pemuda buta itu justru berlutut dan membuat Suto Sinting memandanginya dengan terheran-heran.
Setelah berlutut, Mangku Randa tempelkan telinganya ke tanah. Saat itu Suto baru mengerti maksud Mangku Randa. Pemuda buta itu mencoba mendengarkan suara pertarungan melalui getaran tanah.
Sesaat kemudian ia bangkit berdiri lagi, menepuk-nepukkan tangan membuang tanah yang menempel di telapak tangannya.
"Ada empat orang di sana!" ujarnya sambil mengawali langkahnya pelan-pelan.
"Empat orang..?! Kau yakin ada empat orang bertarung di sana?" Suto Sinting sangsi
"Ya menurut dugaanku begitu. Salah satunya bertubuh gemuk sekali. Gerakannya lamban. Orang gemuk sekali itu bisa tewas dalam beberapa jurus saja. Orang gemuk sekali...?" gumam Suto Sinting sambil termenung. "Orang gemuk sekali tak ada lainnya kecuali si Belatung Gerhana!"
"Lawannya kurus-kurus, tapi lincah dan gesit-gesit."
"Benarkah begitu?"
"Getaran kakinya saat menapak di tanah kudengar cukup lamban. Sedangkan getaran kaki yang lain kudengar cukup lincah. Jadi menurutku si gemuk besar itu akan tumbang dalam beberapa jurus lagi. la hanya mampu bertahan, tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang."
Rasa penasaran Suto mendesak langkahnya agar lebih cepat lagi. Mangku Randa tak merasa tersinggung ditinggal Suto beberapa langkah. la justru menyusul dengan lompatan-lompatan pendek menerabas semak-semak ilalang.
Mereka tiba di tanah agak tinggi berilalang lebat.
Dari sana mereka dapat memandang ke arah pertarungan tanpa mengundang perhatian mereka yang bertarung.
"Gila! Benar juga apa katamu tadi, Mangku Randa." gumam Suto Sinting penuh nada heran.
Ternyata orang gemuk yang dimaksud Mangku Randa memang si Belatung Gerhana. la menghadapi Tiga orang lawannya yang berbadan kurus, rata-rata berusia sekitar empat puluh tahun.
Mereka yang berbadan kurus memang punya gerakan lincah dan cepat. Belatung Gerhana hanya bisa menangkis setiap serangan tiga lawannya yang semuanya berambut panjang sepundak dan mengenakan ikat kepala lain-lain warna.
Sejauh ini Belatung Gerhana masih bisa bertahan dengan pedangnya. Setiap tebasan senjata lawan, berhasil ditangkis, namun tak berhasil dikembalikan. Tiga orang kurus berpakaian serba kuning itu akhirnya menyerang dari tiga arah secara bersamaan. Depan, kanan dan kiri. Mereka sama-sama menggunakan golok berujung runcing.
"Seraaaang..!" teriak salah satu dari ketiga orang itu. Maka mereka pun maju serempak dalam satu lompatan. Ujung golok yang runcing dan sedikit lengkung itu dihujamkan ke tubuh gemuk Belatung Gerhana.
Wuuus..!
Suto Sinting tak tega melihat pertarungan tak seimbang itu. Dari jarak sekitar dua puluh lima langkah tempatnya bersembunyi, Pendekar Mabuk lepaskan jurus Jari Guntur-nya secara beruntun. Jari tangannya menyentil tiga kali berturut-turut ke arah tiga orang berpakaian kuning itu. Tees, tees, tees.!
Hawa padat yang keluar dari sentilan tersebut melesat cepat dan berhasil tepat menghantam tiga orang berpakaian serba kuning itu, dess, dess, dess.!
"Aaahk, aaoh, uuhk...!" ketiganya terpental sebelum mendekati Belatung Gerhana. Tenaga dalam yang keluar dari sentilan 'Jari Guntur' itu masing-masing mempunyai kekuatan seperti tendangan kuda jantan.
Tak heran jika ketiga orang tersebut saling terjungkal dan berguling-guling. Ada yang terkena pelipisnya, ada yang kena punggungnya dan ada yang kena dadanya.
Belatung Gerhana terperanjat dengan bengong dengan bibir tebalnya menjadi mirip dompet tanggal tua. Memble tanpa isi.
"Apa yang kau lakukan, Suto?!"
"Memperhatikan si gemuk mengatasi tiga lawannya itu," jawab Suto sengaja berbohong untuk memancing tanggapan Mangku Randa. Ternyata pemuda buta itu tidak bisa dibohongi.
"Aku mendengar suara hawa padat melesat tiga kali dari tanganmu, Suto!"
"Heh, heh, heh, heh... memang!" jawab Suto akhirnya mengaku sambil cengar-cengir. "Aku menyelamatkan si gemuk itu. Habis, tak tega melihat pertarungan yang sangat tak seimbang. Aku kenal dengan si gemuk itu."
"Terserah kau saja. Tapi aku tak mau ikut campur, karena kurasa aku tidak mengenal kedua belah pihak.
Aku tak tahu siapa yang berada di pihak yang salah. Jadi aku tak mau ikut campur."
"Kurasa kau bisa tetap di sini. Aku akan ke sana melerai pertarungan pincang itu!"
"Jika melerai, aku akan ikut serta, Suto!"
Blaass...! Mangku Randa berkelebat lebih dulu. Cepat sekali. Sempat membuat Suto terperanjat kaget.
Namun kecepatan geraknya segera tersusul oleh jurus Gerak Siluman'-nya Pendekar Mabuk, yang kecepatannya menyamai kecepatan cahaya itu. Zlaaap.!
Pendekar Mabuk tiba di tempat lebih dulu. Kurang dari setengah helaan napas disusul dengan kemunculan Mangku Randa. Melihat pemuda tampan menggantungkan bumbung bambu di pundaknya, Belatung Gerhana terperanjat dan segera menyapanya dengan nada heran.
"Suto...?! Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
Suara Belatung Gerhana masih sedikit sumbang karena pengaruh mabuknya masih tersisa sedikit. Pedekar Mabuk segera sunggingkan senyum tipis yang membuatnya tampak gagah dan mantap. Tiga orang berpakaian kuning itu memandang dengan masing-masing menahan rasa sakit yang membuat mereka tidak bisa cepat-cepat berdiri tegak kembali.
Belatung Gerhana, kurasa kau tak perlu lanjutkan pertarunganmu ini!"
"Persetan dengan saranmu, Pemburu jangkerik! Orang-orang ini memaksaku untuk mengatakan di mana tepatnya harta karun itu berada! Jika aku menolak mengatakannya, maka mereka akan membunuhku atau menyiksaku lebih dulu!"
Ketiga orang kurus itu segera bergabung menjadi satu dan saling kasak-kusuk sambil masih menahan sakit. Pendekar Mabuk bertanya dengan nada suara pelan. Hanya Mangku Randa dan Belatung Gerhana
yang mendengar suara Suto.
"Siapa mereka sebenarnya?!"
"Siapa lagi kalau bukan orang-orang rakus dari Tanah Pasung?!"
Suto Sinting terperanjat, tapi Mangku Randa tersentak lebih kuat dan kedua tangannya segera menggenggam kencang.
"Kalau begitu, mereka adalah urusanku!" geram Mangku Randa.
"Siapa dia, Suto?"
"Temanku dari Teluk Borok. Mangku Randa namanya!"
Mangku Randa perdengarkan suara lagi.
"Aku punya urusan sendiri dengan orang Tanah Pasung. Kuharap kau mau menyingkir sebentar, Orang besar!"
"Seenaknya saja kau menyuruhku menyingkir, hah?! Apakah kau sudah cukup mampu memindahkan tubuhku dari sini ke tempat lain?!" geram Belatung
Gerhana yang merasa tak suka diperintah dan merasa dianggap tak mampu hadapi tiga lawannya. Belatung Gerhana tak ingin dianggap remeh oleh siapa pun sehingga ia tetap ngotot akan melawan tiga orang Tanah Pasung itu.
Salah satu dari tiga orang Tanah Pasung itu berseru, "Hei.! Untuk apa kalian ribut sendiri?! Kurasa lebih baik kalian bertiga maju bersama!"
Yang berikat kepala kain merah menimpali, "Atau kalau ada teman kalian yang lain, panggil dulu yang lain! Kurasa kekuatan kalian bertiga sangat tidak seimbang dengan kekuatan kami. Satu orang Tanah Pasung sama dengan lima orang Tanah Jawa atau sepuluh orang Pulau Garong!"
"Hmmmrr...!" Belatung Gerhana menggeram gusar mendengar ejekan seperti itu. la menjadi berang mendengar orang Pulau Garong dianggap lebih rendah kekuatannya daripada orang Tanah Jawa atau orang Tanah Pasung. Tapi Suto Sinting hanya diam saja dengan senyum tersungging kalem di bibirnya. la hanya membatin dalam hati,
"Rupanya tiga orang ini sudah tahu bahwa Belatung Gerhana adalah orang Pulau Garong. Agaknya mereka juga beranggapan bahwa Belatung Gerhana tahu persis letak harta karun tersebut, sehingga mereka nekat mendesaknya. Mungkin saja mereka diberitahu oleh salah satu dari orang-orang yang kemarin mendengar celotehan mabuknya si Belatung Gerhana saat di kedai."
Mangku Randa ingin maju dekati tiga orang tanah Pasung itu, tapi pundaknya segera dicekal oleh Belatung Gerhana, lalu tubuh itu dihempaskan ke samping dengan kasar.
"Minggir kau!"
Wuuut, brruk...!
Jangan sok jago! Urusanku dengan mereka belum selesai!" bentak Belatung Gerhana kepada Mangku Randa yang jatuh terjengkang. Orang gemuk itu segera melangkah dekati tiga lawannya tadi. Mangku Randa tanpa bicara sepatah kata pun langsung bangkit berdiri.
Telapak tangan kanannya segera disentakkan ke depan bersamaan satu kaki berlutut ke tanah. Wuuut...!
Wuuus...! Tubuh gemuk besar si Belatung Gerhana seperti kapas tertiup angin. Melayang tinggi dan jatuh terbanting berdebam dalam jarak sekitar tujuh tombak.
Bluuuk..!
Tiga orang Tanah Pasung terperangah melihat si gemuk besar terlempar sejauh itu. Pendekar Mabuk tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala. Kemudian ia segera hampiri si gemuk besar yang mengerang seperti gajah disunat itu.
Namun sebelum Suto Sinting sampai di dekat Belatung Gerhana, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara letusan kecil yang beruntun.
taar, taaarr...! Tarr, taaar...! Ctaaar, taar, taar...!
"Suara cambuknya si Kusir Hantu...?!" sentak hati Suto Sinting. la segera memandang arah datangnya Suara tersebut.
Ctaaarr, dueeerrr...!
Pasti si Kusir Hantu berusaha membebaskan Pematang Hati dari tangan Berhala Murka!" ujar Suto menyimpulkan dalam hatinya. la pun segera berseru kepada si pemuda tunanetra itu.
"Mangku Randa, aku akan ke selatan! Urus saja mereka yang ada di sini!"
Mangku Randa tak menjawab. Tapi ia tahu bahwa Suto Sinting segera berkelebat pergi setelah selesai berseru. Suara angin cepat dari langkah 'Gerak Siluman' tertangkap oleh pendengaran Mangku Randa.
Zlaaap, zlaaap....!

* * *

|₪: 6 :₪|

SESOSOK tubuh pendek melayang tegak lurus, berdiri dengan kaki tanpa menyentuh tanah. Gerakannya sangat cepat, bagai menunggang kereta berkuda delapan. Cambuknya dilecutkan ke depan
beberapa kali. Tiap lecutan cambuk timbulkan percikan bunga api yang mengagumkan siapa pun yang melihatnya. "Itu dia si Pak Tua! la pasti sedang mengejar lawannya! Sebaiknya kuikuti dulu dia sampai kutahu siapa yang dikejarnya!" pikir Pendekar Mabuk, lalu dengan tetap menggunakan jurus 'Gerak Siluman' ia berkelebat mengikuti si Kusir Hantu. Jurus itu kini digabung dengan jurus 'Layang Raga' yang membuat tubuhnya dapat melayang di udara seringan kapas.
Suto Sinting sengaja lakukan penguntitan melalui jalur atas. Dari pohon ke pohon, dari daun ke daun, dan semuanya ia lakukan tanpa suara yang mencurigakan.
Telapak kakinya dapat berdiri di atas selembar daun sayu tanpa harus mematahkan tangkai daun tersebut.
Itulah kehebatan jurus 'Layang Raga' yang digunakan Suto dalam keadaan tertentu saja. Dengan lakukan penguntitan melalui jalur atas,
Seandainya ada orang lain yang mengikuti gerakan Kusir Hantu, maka orang tersebut tak akan melihat keberadaan Pendekar Mabuk. Di samping itu jika ada pihak lain yang ingin menyerang Kusir Hantu dari tempat tersembunyi, Suto akan mudah mengetahuinya dari atas.
"Oo, itu dia orang yang dikejar Kusir Hantu?!" sentak hati Suto Sinting, sebab dari ketinggian tempatnya ia dapat memandang ke arah depan lebih jauh dibanding ia harus mengikuti Kusir Hantu dari belakangnya.
Pendekar Mabuk segera potong arah. Kecepatan geraknya ditambah. Dalam waktu singkat ia sudah berhasil berada di jalur yang akan dilewati orang yang dikejar Kusir Hantu.
Orang itu tampak sedang memanggul Pematang Hati. Rupanya gadis itu sengaja dilumpuhkan agar mudah dibawa lari. Tapi Suto yakin, Pematang Hati tidak dalam keadaan pingsan atau mati.
Orang yang membawa lari Pematang Hati memang persis seperti yang diceritakan oleh Cawan Pamujan atau orang-orang kedai. Tinggi, besar, brewok, rambut tengahnya botak hingga jidatnya tampak lebar, tapi rambut lainnya tumbuh panjang walaupun tipis. Orang yang kenakan rompi merah dan celana merah itu memang berbadan kekar dan berbulu. Bulunya Cukup lebat untuk ukuran manusia. Badannya pun tergolong besar untuk ukuran manusia wajar.
Wajahnya yang berkesan buas dan beringas itu mempunyai mata lebar dan alis tebal. Kedua kakinya terlihat sangat kokoh dan agaknya sukar dipatahkan. la menyelipkan piringan putih mengkilap di pinggangnya yang bersabuk hitam itu. Piringan putih mengkilap tak lain adalah kapak dua sisi yang ada di ujung rantai hitam.
Ctaaar...!
Kusir Hantu semakin mendekat. Orang brewok yang bernama Berhala Murka itu sengaja hentikan langkahnya sebentar. la berpaling ke belakang, lalu tangan kirinya menyentak ke arah sebatang pohon. Claap...!
Tangan kiri itu keluarkan cahaya merah seperti mata tombak. Cahaya merah itu menghantam pohon yang dituju. Claap..! Slasss...! Cahaya itu bagaikan memantul ke arah lain dan kenai pohon yang satunya lagi.
Claap, slaas...! Claap, slaas...! Claap, slaas...!
Gerakan sinar merah yang memantul ke sana-sini membingungkan si Kusir Hantu. Gerakan sinar itu sangat cepat dan sukar diikuti. Semakin nekat mengikuti gerakan sinar dengan pandangan mata, semakin memusingkan kepala dan mengaburkan penglihatan.
Akibatnya, ketika sinar itu akhirnya melesat ke arah Kusir Hantu, dengan sedikit menggeragap Kusir hantu menghindarinya dalam gerakan melayang ke samping dan bersalto di udara satu kali. Wuut, wuuus...!
Ketika tubuhnya bergerak turun, cambuk pun di lecutkan ke arah sinar merah tersebut. Ctaaar...! UJung
Gambuk tepat kenai sinar merah berbentuk mata tombak. Blaaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sampai menggetarkan pepohonan dan merontokkan daun-daun di sekitar tempat itu. Tubuh si Kusir Hantu terlempar dan jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Bruuuk...!
"Ueehhk..." Kusir Hantu menggeliat kesakitan sementara gema ledakan itu masih belum habis juga. 
Kusir Hantu tak bisa cepat berdiri karena seluruh persendiannya bagaikan lepas dan urat-uratnya terasa putus.
la butuh waktu untuk memulihkan keadaan seperti itu dengan kekuatan hawa saktinya. Tak heran jika kesempatan itu digunakan oleh Berhala Murka untuk melanjutkan pelariannya sambil memanggul Pematang Hati di pundak kanannya.
Tuak dalam bumbung pun segera ditenggak beberapa teguk. Setelah itu, tanpa banyak kompromi lagi dengan batinnya, Pendekar Mabuk langsung melayang turun dari atas pohon bagai seekor burung garuda perkasa ingin menghadang lawannya. Wuuut, jleeeg..!
Berhala Murka tersentak kaget dan hentikan langkahnya. Matanya yang besar itu mendelik angker ke arah Pendekar Mabuk.
Yang dipandang tetap tenang. Bahkan bumbung tuak telah siap menggantung di pundak. Kapan saja akan mudah diraih untuk digunakan sebagai senjata.
"Grrrrhk...! Keparat busuk! Mau apa kau menghadapi langkahku, hah?!" sentak Berhala Murka dengan Suara besar. Pendekar Mabuk tetap tampil tenang dan mengumbar senyum tipisnya.
"Kurasa aku masih waras dan tahu betul bahwa kau adalah seorang lelaki. Jadi jelas aku menghadapmu bukan karena mau memperkosamu, Berhala Murka! Tak ada lain yang ingin kudapatkan kecuali gadis di atas pundakmu itu! Aku sahabatnya!"
"Tunggulah dia di neraka, Jahanam!"
Wuuut...! Berhala Murka tahu-tahu sudah ada di depan Suto Sinting dalam jarak kurang dari dua langkah. Pendekar Mabuk tak melihat kapan orang itu bergerak mnelompat ke arahnya. Hal itu membuat Suto jadi menggeragap sekejap. Tapi justru memberi kesempatan kaki besar si Berhala Murka berhasil menjejak dada Suto dengan terjangan gaibnya itu.
Bruuusk...!
Weeerrs...! Tubuh pemuda tampan itu melayang kebelakang, hilang keseimbangan. Pandangan matanya sempat menjadi gelap sekejap, napasnya tak bisa dihela. Dadanya terasa bolong besar dan tak bisa rasakan detak jantungnya. Tahu-tahu Suto merasa terbanting setelah punggungnya membentur pohon dengan keras.
Duuur...! Brruuk...! Daun-daun pohon itu berguguran Akibat getaran keras dari benturan tubuh Suto Sinting itu.
"Mati aku! Gelap sekali tempat ini?!" ujar Pendekar Mabuk bernada tegang. "Napasku ke mana kalau begini?! Celaka..."
la buru-buru meraih bumbung tuaknya. Tanpa banyak bicara batin lagi, tuak segera dituangkan ke mulut.
Cuur..! Glek, glek...!
Bruuusk..! Terjangan kedua terjadi lagi. Suto tak tahu dari mana arahnya dan bagaimana caranya. Yang jelas ia merasakan tubuhnya melayang sekejap, tahu-tahu sudah terbanting lagi di atas akar-akar pohon yang bertonjolan seperti batu itu.
Tuak menyiram wajah. Cukup banyak yang tumpah berceceran. Tapi tali bumbung tuak itu masih melingkar di telapak tangan kanan, sehingga Suto dapat segera memeluk bumbung itu dan menutupnya kembali. Pandangan mata mulai terang, walau masih samar-samar.
"Sial! Dia lari lagi!" geram Pendekar Mabuk. la segera bangkit tanpa menunggu kekuatannya pulih seperti sediakala. Lalu melesat dengan kekuatan 'Gerak Siluman' penuh
Zlaaaaaaaappp...!
Brooookss...!
"Aaahk..."Berhala Murka terpekik.
Tiba saat pembalasanku menerjangmu, Sobat! geram Pendekar Mabuk yang teiah berhasil menerjang Berhala Murka dari samping kiri.
Terjangan berkekuatan 'Gerak Siluman' penuh telah membuat tubuh besar Berhala Murka itu melayang ke depan dan tersungkur berguling-guling tanpa ampun lagi. Sementara itu, tubuh gadis yang dipanggulnya terlepas dan melayang tanpa kendali. Weess..! Guzraak...!
"Yaah, nyangkut..?!" gumam Suto Sinting sambil matanya memandang sebentar ke arah tubuh Pematang Hati yang tersangkut di atas pohon. Tubuh itu terkulai disangga dahan-dahan kecil yang nyaris membentuk anyaman. Salah satu kaki Pematang Hati tergantung karena terselip di sela-sela dahan.
"Ah, itu urusan nanti! Sekarang aku harus bersiap hadapi si manusia lutung itu! Sedikit lengah, habislah riwayat hidupku!"
Benar apa kata Suto; sedikit lengah dia pasti akan hancur. Karena begitu selesai membatin kata-kata tersebut, tiba-tiba Berhala Murka sudah ada di depannya lagi dalam jarak kurang dari dua langkah.
"Hhahh...?!" Suto Sinting sangat terkejut. Wuuut...!
Bumbung tuak segera disilangkan di depan wajahnya.
Duaar..! Ledakan cukup keras terjadi akibat bumbung Tuak itu dipakai menahan pukulan tangan Berhala Murka. Orang itu terpental ke belakang, tapi Suto Sinting guling-guling kembali tanpa bisa hentikan gerakannya. Gelombang ledakan tadi menyentak sangat kuat, Seperti terpanggang api. Untung mata segera berkedip. Jika tidak, kilatan cahaya merah yang keluar dari ledakan tadi dapat menghanguskan kedua biji matanya.
"Edan! Pukulannya benar-benar dahsyat?! Aduh...panas sekali wajahku. Tapi agaknya tak punya waktu untuk menenggak tuak. Ooh, dia sudah mulai bergerak. Jangan sampai tahu-tahu di depan mataku lagi seperti tadi."
Zlaaap..! Pendekar Mabuk melesat bagaikan sinar ke arah kirinya. Berhala Murka ternyata memang sudah bergerak dengan terjangan gaib seperti tadi. Tapi kali ini ia kecele. Suto Sinting sudah melesat lebih dulu, sehingga yang menjadi sasaran terjangannya adalah sebatang pohon besar yang kulitnya berduri.
Croooks..!
"Aaaaaaaooww..! teriaknya keras sekali.
Wajah mulai berlumur darah karena duri-duri yang seperti memarut kulit wajahnya itu. Dalam keadaan wajah berlumur darah, Berhala Murka tampak semakin menyeramkan. Bibirnya yang juga robek karena duri pohon besar itu melebar menampakkan gusi dan giginya yang besar-besar.
"Aaaaaahhkkrrr..!
la tampak berlari hampiri Suto Sinting dengan rantai sudah tercabut dari pinggangnya. Kini rantai berujung kapak dua mata itu diputarnya di atas kepala.
Wuuung, wuuung, wuung, wuung...!
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Pendekar Mabuk sengaja pindah-pindah tempat, sehingga membingungkan Berhala Murka. Rantainya masih diputar di atas kepala tapi belum tahu ke mana sasaran yang harus dituju.
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Wuiiing...! Kedua mata kapak itu terlepas dari ujung rantai. Melayang berputar seperti piring terbang.
Craaas, craas, craas...!
Brrruk, brrruk, bluumm...!
Tiga pohon tumbang dalam waktu hampir bersamaan. Tiga pohon itu menjadi sasaran dua mata kapak yang berputar cepat seperti baling-baling itu. Dengan melecutkan rantainya yang panjang, craaak...! Mata kedua mata kapak yang saling bergandengan itu berhasil melekat kembali pada ujung rantai. Sang rantai dan mata kapaknya diputar lagi di atas kepala. Berhala Murka clingak-clinguk dengan wajah makin berang.
"Bangsaaat..! Jangan pindah-pindah tempat kau! Hadapilah aku kalau kau memang inginkan gadis pemanduku itu!!"
"Kusarankan sebaiknya pulang saja. Harta karun itu hanya sebuah dongeng!"
Berhala Murka cepat berpaling ke belakang, karena Suara Pendekar Mabuk ada di belakangnya. Tapi pemuda tampan itu sudah pindah tempat lebih dulu.
Zlaaappp..!
Berhala Murka kebingungan mencari ke sana-sini.
"Aku tak akan pulang sebelum membawa harta karun milik leluhurku itu, Keparaaat...!! Di mana kau?!"
"Di sini, Sobat...!" jawab Suto yang ternyata ada di atas pohon.
"Heeaaaaahhh...!!"
Wuiiing...! Rantai disabetkan ke arah kaki Suto yang berdiri di atas dahan tak seberapa tinggi. Tapi dengan gerakan seperti cahaya, Suto Sinting berhasil hindari mata kapak tersebut. Craaassk...!
Brrruuk..! Dahan itu terpotong rapi dan tumbang ke bawah. Padahal besar dahan sama dengan besar pahanya Berhala Murka.
"Kalau kau tak mau tinggalkan tempat ini, aku terpaksa memberimu pelajaran terpahit sepanjang sejarah hidupmu, Berhala Murka!"
"Heeeaaaaahh...!
Wuuuuiing...! Berhala Murka mengamuk, rantainya dilecutkan ke mana-mana. Beberapa dahan terpotong, bahkan dua-tiga pohon sempat tumbang. Salah satu dahan ada yang jatuh menimpa kepalanya sendiri.
Prrok...!
"Wuaadooow...!!"
Tentu saja Berhala Murka berteriak kesakitan, karena dahan yang menimpa kepalanya lebih besar dari pahanya sendiri. Kesempatan itu digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk menerjangnya. Zlaaap...! Prrook....!
Tubuh yang berputar limbung itu berhasil diterjang oleh Pendekar Mabuk. Bumbung tuaknya menyodok telak kepala Berhala Murka. Darah menyembur dari telinga dan mulut. Orang itu mengerang dengan liar dan menyeramkan.
"Aaaahhhrrr...!! Aaaaahhhrrr...!"
Gerakannya yang masih memutar dengan terhuyung-huyung membuat tubuhnya dililit oleh rantainya sendiri. Akhirnya ia pun tumbang karena kedua kakinya terlilit rantai. Brruuuk...!
Tapi pada saat itu tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tubuh besar Berhala Murka. Wees, wuuut...!
"Haahh...?! Siapa itu...?!" Pendekar Mabuk tersentak kaget. Matanya memandang ke arah gerakan bayangan yang menyambar Berhala Murka. Tapi kurang dari setengah kedipan mata, bayangan itu telah hilang dan sukar dilacak dengan pandangan. Pendekar Mabuk mencoba mengejarnya, tapi gagal. la tak tahu ke mana perginya si bayangan hitam yang menyambar tubuh Berhala Murka itu.
"Kurangajar! Siapa yang punya ilmu setinggi itu?! Gerakannya menyamai dengan 'Gerak Siluman'-ku!"
Pendekar Mabuk clingak-clinguk sendiri. Akhirnya ia segera pasang kuda-kuda begitu merasa ada yang datang dari balik pepohonan rapat itu. Seet...!
"Oooh, siaal..." gerutunya pelan sambil kendorkan ketegangannya, karena orang yang datang itu adalah siKusir Hantu sendiri.
Kusir Hantu telah berhasil atasi lukanya, sehingga ia bergegas lanjutkan pengejarannya. Tapi dari kejauhan tadi ia sempat melihat Pendekar Mabuk menyodokkan bumbung tuak ke arah Berhala Murka. Sebab itulah kini si Kusir Hantu pun menanyakan manusia berbulu itu.
"Ke mana lutung tanpa sarung tadi?."
"Disambar seseorang yang tak bisa kulihat rupanya, Pak Tua!"
"Celaka! Lalu... bagaimana dengan cucuku?!"
Suto Sinting hanya tersenyum tipis sambil menuding ke atas pohon.
"Jabang bayi! Kenapa kau sangkutkan di sana?"
"Bukan sengaja kusangkutkan, Pak Tua! Memangnya dia sarung kumal?!" gerutu Suto Sinting, kemudian buru-buru menenggak tuaknya. Kusir Hantu mengambil cucunya dengan ilmu peringan tubuh dan sang cucu pun yang terkena totokan lawan itu segera disadarkan.
Dengan satu jari menyentak ke tengkuk, Pematang Hati pun bebas dari totokan yang melumpuhkan itu. Mangku Randa muncul beberapa saat kemudian.
Tiga orang Tanah Pasung itu melarikan diri semua dalam keadaan luka parah. Tapi menurut pengakuan mereka, Ratu Sinden sekarang sudah berada di Goa Kembar, sedang berusaha masuk ke dalam.
"Oleh sebab itu aku segera mencarimu dan meninggalkan si gemuk yang Susah berjalan itu, Suto."
"Berarti si Ratu Sinden lebih dulu temukan Goa kembar daripada Berhala Murka.? Lalu... di pihak mana sebenarnya Berhala Murka itu?"
Belum ada yang menjawab pertanyaan itu, Kusir Hantu sudah menyahut dengan kata sanggahan.
"ltu tidak mungkin!"
"Apanya yang tidak mungkin?! Tahu-tahu kok bilang tidak mungkin?!" gerutu Pematang Hati.
"Goa Kembar sudah tak ada!"
"Sebaiknya kita lihat saja, Pak Tua. Maukah kau membawa kami ke bekas tempat Goa Kembar berada?"
"Aku akan memandu kalian!" sahut Pematang Hati yang merasa kurang setuju melihat kakeknya agak keberatan membawa Suto Sinting dan Mangku Randa ke bekas goa tersebut.
Kusir Hantu hembuskan napas lemas. Mau tak mau ia turuti juga keinginan anak-anak muda itu.
Sambil melangkah mengikuti pemandu cantik itu,
hati Suto Sinting masih bertanya-tanya dengan penasaran
"Siapa orang yang menyelamatkan Berhala Murka tadi?! Benarkah harta karun itu milik leluhurnya?! Padahal si Belatung Gerhana juga mengatakan harta karun itu milik leluhurnya?! Sementara itu, Kusir Hantu bilang, Harta karun itu hanya sebuah Dongeng.? Mana yang benar jika begini?! Aaah.. pusing sekali aku memikirkan misteri harta karun ini!"
Hari makin siang. Matahari seakan ingin membakar hangus misteri di Lembah Seram itu. Sang mentari seakan membisik pula di telinga orang, "Jika ingin tahu jawaban misteri Lembah Seram ini, ikuti saja kelanjutannya dalam kisah mendatang!"

|₪: SELESAI :₪|



INDEX SUTO SINTING
113.Tabib Sesat --oo0oo-- 122.Kencan Di Lorong Maut


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers