Life is journey not a destinantion ...

Pendekar Gunung Bromo

INDEX AJI SAKA
93.Perawan Buronan --oo0oo-- 95.Empu Jangkar Bumi

AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta



Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta. Penyunting : Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau mcmperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

1
Semut-semut besar berwarna merah merayap turun dari pucuk pohon mangga yang sudah tak berbuah lagi. Binatangbinatang kecil itu kemudian berbondong-bondong merayapi sekujur tubuh seorang pemuda yang duduk di salah satu cabang pohon.
Semut-semut merah itu tak hanya merayapi, tapi juga menggigit tubuh pemuda itu.
Tapi, pemuda berpakaian ungu itu tak terusik sedikit pun. Dia tetap duduk di tempatnya dengan pandangan tertuju ke arah sebuah kedai. Antara kedai dan pohon mangga dipisahkan jalan tanah yang cukup lebar.
Pemuda berpakaian ungu memiliki ciri-ciri aneh. Wajahnya tampan dan menyiratkan kejantanan. Usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi, aneh rambutnya memiliki warna sebagaimana yang dimiliki orang-orang berusia lanjut. Rambut pemuda yang panjang tergerai ke bawah pundak itu berwarna putih keperakan.
Pemuda berpakaian ungu ini bukan orang semba-rangan. Dia merupakan tokoh besar dunia persilatan! Seorang pendekar muda yang julukannya menggem-parkan dunia persilatan. Ditakuti lawan dan disegani kawan. Ia adalah Arya Buana. Lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.
Arya sama sekali tak merasa terganggu dengan gigitan semut-semut merah. Dengan tenaga dalamnya yang telah mencapai tingkat sempurna, Arya mampu membuat kulit tubuhnya menjadi kebal. Jangankan gigitan semut, bacokan senjata tajam pun tak akan berarti. Kecuali senjata itu berada di tangan tokoh yang memiliki tenaga dalam lebih kuat.
Sang surya telah tergelincir dari titik tengahnya. Arya tetap mengawasi kedai. Tindakan itu dilakukannya sejak matahari belum mencapai titik tengah. Tapi bukan kedai itu yang menjadi pusat perhatiannya, melainkan sosok yang berada di emper kedai dekat pintu masuk.
Sosok itu duduk bersandar pada dinding kedai dengan kedua kaki terjulur ke depan. Pakaiannya kumal dan koyak di beberapa tempat. Tubuhnya kurus kering. Berwajah pucat dengan sepasang mata sayu. Sosok yang memiliki jenggot jarang-jarang ini tampaknya telah beberapa hari tak makan.
"Kasihan, Den.... Kasihan, Tuan... Berilah aku uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku tak makan, Tuan. Berilah aku uang.... Aku akan membalas dengan Ramalan yang jitu. Akan kuberikan petunjuk angka yang akan keluar dan dapat membuatmu kaya, Den," hiba lelaki kurus kering itu dengan suara lemah dan bibir gemetar.
Entah sudah berapa puluh kali lelaki kurus kering menggunakan kata-kata demikian, tapi tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Padahal, banyak orang berdatangan ke kedai itu. Bunyi riuh rendah menyeruak dari dalam kedai yang tak berapa besar.
"Ayo! Mari... Silakan pasang lagi. Pasang satu da-pat tiga.
Silakan pasang! Barangkali saja Tuan berun-tung!"
Hibaan lelaki kurus kering maupun seruan-seruan keras dari dalam kedai yang mengajak pengunjung bermain judi terdengar jelas oleh Dewa Arak. Tapi, sampai sekian jauh pemuda berambut putih keperakan ini tak berbuat apa pun.
Arya mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak demikian. Kalau menuruti perasaan, sudah sejak tadi dia melompat turun dan memberikan uang pada lelaki kurus kering. Arya jadi teringat kembali dengan keja-dian yang dialaminya kemarin pagi. Saat itu Arya ten-gah berjalan menyusuri tepian Sungai Brantas.
Arya melangkahkan kaki seenaknya. Beberapa kali ujung kakinya menendangi batu-batu kecil yang dite-muinya di jalan. Pemuda berpakaian putih keperakan ini berjalan dengan pikiran menerawang.
"Melati... Oh, Melati... Betapa rindunya aku padamu. Apakah kau pun demikian? Sabarlah, Melati. Saat ini pun aku tengah dalam perjalanan untuk menemuimu," gumam Arya pelan. Sepasang mata menerawang ke angkasa, seakan-akan di sana gadis itu berada.
Tak terlalu lama Arya tenggelam dalam pikirannya. Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi riak air. Sesuatu melalui permukaan Sungai Brantas. Dan, bunyi itu berasal dari belakangnya.
Arya bersikap seakan-akan tak mengetahui. Ayunan kakinya tetap dilanjutkan. Tapi, lamunannya segera dihentikan. Semua perhatiannya kini dipusatkan pada pendengaran. Bahkan, sekujur urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang penuh kewaspadaan.
Bunyi yang terdengar semakin keras. Sesuatu yang menimbulkan bunyi itu semakin dekat. Tanpa meno-lehkan kepala untuk melihat, Arya bisa mendengar bunyi itu timbul dari laju perahu. Arya menangkap bunyi kayuhan pada permukaan air.
Dewa Arak tetap bersikap tak peduli Bahkan ketika perahu melewatinya, Arya hanya mengerling dengan sudut matanya. Arya mulai merasa tertarik ketika me-lihat satu-satunya penumpang perahu, terus menoleh ke arahnya kendati perahu terus melaju.
Meski hanya melihat sekilas, tampaknya orang yang berada di perahu bukan orang persilatan. Arya sempat melihat adanya jala di perahu. Pakaian yang dikenakan pemilik perahu pun pakaian seorang ne-layan.
Arya tersenyum. Tindakan pemuda ini membuat nelayan lebih berani. Dia mengayuh perahunya ke pinggir sungai.
"Maafkan aku, Den," ujar nelayan itu seraya menghampiri Arya. Perahunya ditambatkan di sebatang pohon di pinggir sungai. "Apakah kau orang yang bernama Arya Buana, Den?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab Arya sambil tersenyum lebar. "Kau mencariku, Paman? Apa yang bisa kubantu?"
"Sebenarnya bukan aku yang mencarimu, Den," kilah si nelayan. "Aku hanya penyambung dari seseorang. Tapi sebelum aku yakin kau orang yang dimaksudkannya, bisa kau sebutkan julukanmu?"
"Dewa Arak, itulah julukanku, Paman."
..... "Kalau begitu, memang kaulah orang yang dimaksudkan Kakek itu," sahut si nelayan penuh perasaan gembira. "Ini titipan yang harus kuberikan padamu, Den Arya."
Arya mengulurkan tangan menerima gulungan ku-lit binatang yang diberikan lelaki berpakaian nelayan.
"Terima kasih, Paman," ucap Arya. Dibukanya gulungan kulit binatang itu.
"Sama-sama, Den. Sekarang aku mohon diri."
"Silakan, Paman," jawab Arya seraya menganggukkan kepala.
Arya memandangi hingga nelayan itu mengayuh perahunya dan lenyap di kejauhan. Kemudian, perhatiannya dialihkan pada gulungan kulit binatang yang terbentang lebar di kedua tangannya. Arya memba-canya dalam hati.
Dewa Arak.
Selamat berjumpa lagi, meski hanya lewat tulisan. Kuberitahukan padamu, aku mendapat petunjuk kalau di daerah Pandakan tenagamu sangat dibutuhkan. Kau dapat melibatkan diri dalam masalah di sana. Carilah sebuah kedai di daerah Pandakan dan tunggulah hingga tengah hari. Kedai itu merupakan tempat munculnya urusan yang akan kau hadapi.
Tertanda,
Penyair Cengeng.
Arya menggulung kembali kulit binatang itu. Penyair Cengeng adalah seorang kakek berpakaian abu-abu yang dikenalnya sebagai Ki Jaran Sangkar. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi. Juga kemampuan ilmu gaib yang menakjubkan. Beberapa kali Dewa Arak mendapatkan petunjuk darinya (Untuk jelasnya men-genai tokoh Ki Jaran Sangkar alias
Penyair Cengeng, silakan baca episode 'Kembalinya Raja Tengkorak').
"Kurasa sudah saatnya aku pergi ke kedai itu dan mengetahui masalah yang dimaksud Penyair Cengeng," pikir Arya, setelah memperhatikan matahari melalui celah-celah daun mangga.
Arya lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan dialirkan ke sekujur tubuh. Seketika, semut-semut yang tengah merayap di tubuhnya berjatuhan. Tanpa mempedulikan binatang-binatang kecil itu, Dewa Arak melompat dari cabang pohon. Tinggi tempat itu sekitar empat tombak. Tapi, Arya mampu menjejak tanah tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Padahal tanah tempat kedua kaki Arya menjejak tertutupi daun-daun kering!
Dengan langkah pasti Arya menghampiri kedai yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya berada. Seperti juga orangorang yang hendak masuk ke dalam kedai, Dewa Arak pun segera mendapat sambutan dari lelaki kurus kering yang duduk di depan pintu kedai.
"Kasihan, Den.... Berilah aku uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku tak makan, Den. Kasi-han, Den...."
Arya melepaskan buntalan kain hitam yang terselip di pinggang, kemudian dilemparkannya pada lelaki kurus kering.
"Terimalah ini, Paman. Gunakan untuk mengisi perutmu. Dan jangan kau hambur-hamburkan tanpa guna," ujar pemuda berpakaian ungu itu bernada menasihati.
Keluhan tertahan tanpa sadar dikeluarkan Arya. Pemuda ini merasa kaget. Begitu buntalan kecil yang diberikannya dipegang lelaki kurus kering, dirasakan ada kekuatan menarik yang dahsyat. Kekuatan itu membuat tangan Dewa Arak tak bisa ditarik kembali.
Pemuda itu memang telah mempunyai dugaan kalau lelaki kurus kering bukan orang sembarangan. Namun, sungguh di luar dugaannya akan memiliki kekuatan tenaga dalam sekuat ini. Arya tak membiarkan tenaga dalamnya disedot. Segera dikerahkan tenaga dalamnya dan balas menarik. Adu tenaga dalam pun berlangsung.
Arya semakin kaget. Lelaki kurus kering benar-benar memiliki tenaga dalam amat kuat. Setelah Arya mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, baru berhasil mengungguli lawan. Perlahan-lahan tubuh lelaki kurus kering ikut tertarik. Pantatnya yang semula menempel di tanah sedikit demi sedikit terangkat ke atas.
"Cukup, Den," ucap peminta-minta itu ketika tubuhnya terus terangkat naik.
Lelaki kurus kering ini rupanya sadar kalau Dewa Arak lebih kuat daripadanya. Arya segera menarik kembali tenaganya. Pada saat yang bersamaan lelaki kurus kering menyimpan tenaganya pula.
"Aku tak mengerti maksud perbuatanmu ini, Paman," ujar Arya.
"Tak perlu kau pusingkan hal yang tak berarti ini, Den," kilah si peminta-minta. "Sekarang aku ingin memenuhi janjiku.
Kau akan kuberikan nomor agar dapat memenangkan taruhan.
Dan...."
"Terima kasih, Paman," potong Arya buru-buru. "Tanpa mengurangi rasa hormatku akan janjimu, aku tak bisa menerima kebaikan yang kau berikan padaku. Aku tak menginginkan balasan atas apa yang kuberikan padamu. Dan yang terpenting, aku tak suka bermain dadu. Jadi, dengan sangat menyesal kukatakan aku tak bisa menerima kebaikanmu...,"
"Tunggu dulu, Den," sambut si peminta-minta cepat. "Mungkin perlu kau tahu, bukan hanya kau saja yang mempunyai aturan. Aku pun demikian. Sudah menjadi sifatku tak bisa menerima pemberian seseorang tanpa memberikan balasan. Aku, Kertapati, tak suka berhutang budi. Kalau kau tak mau kuberikan balasan, pemberianmu pun tak akan kuterima!"
Arya bisa merasakan kesungguhan dalam ucapan Kertapati.
"Percayalah, Paman. Aku ikhlas memberikan uang itu padamu. Dan aku tak menganggapnya sebagai budi. Jadi, balasan yang kau berikan padaku tak bisa kuterima," bantah Arya, bersikeras dengan pendapatnya.
"O ya, perlu kuberitahukan, Paman. Kau tak usah memanggilku dengan demikian hormat. Sapa saja aku dengan namaku, Arya Buana."
Kertapati bangkit berdiri. Ada seri gembira di wajahnya. Arya melihatnya dan pemuda ini merasa he-ran.
"Apa yang membuat lelaki ini kelihatan gembira? Mudahmudahan bukan karena dia menemukan siasat untuk memaksaku menerima pembalasan budinya," pikir Arya agak cemas.
Kertapati tak mengetahui kecemasan Arya. Nada ucapan lelaki ini sarat dengan kegembiraan ketika ia kembali berbicara.
"Kau katakan tak bisa menerima balas budiku karena kau tak suka main dadu. Bagaimana kalau kuberikan dalam bentuk lain? Bukan nomor yang akan keluar dalam permainan judi di dalam kedai. Apakah kau akan menerimanya, Arya?" tanya Kertapati ingin tahu.
"Tergantung," jawab Arya setelah berpikir sejenak. "Aku tak bisa langsung menerimanya."
"Ha ha ha...!" Kertapati tertawa terkekeh. "Kau memang cerdik sekali, Arya. Cerdik dan hati-hati. Kau membuatku kagum. Nah! Dengar baik-baik. Balas budi yang akan kuberikan padamu adalah Ramalan atas nasib dirimu. Bagaimana?"
Arya tercenung sebentar memikirkan jawaban yang akan diberikan. Sesaat kemudian kepalanya diangguk-kan, kendati pemuda ini tak merasa tertarik sedikit pun.
"Bagus! Kau memang orang yang tak mudah mengingkari janji, Arya. Sekarang ulurkan tangan kananmu. Buka
telapaknya," ujar Kertapati penuh gairah,
Tanpa banyak bicara, pemuda berambut keperakan ini memenuhi permintaan Kertapati. Dengan penuh minat lelaki kurus kering memperhatikan garis-garis telapak tangan Arya. Beberapa kali ujung jarinya me-nyentuh telapak tangan.
"Hhh...."
Kertapati menghela napas berat. Dahi lelaki ini berkernyit dalam, seakan ada sesuatu yang membebani pikirannya. Arya jadi penasaran melihat tingkah Kertapati. Tadi sewaktu memeriksa telapak tangannya beberapa kali Kertapati menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau akan menghadapi berbagai macam bahaya, Arya. Kau harus berhati-hati. Kulihat kau akan mendapat masalah yang membuatmu selalu dikelilingi bahaya besar. Malah, ada bahaya terbesar yang senantiasa berada di dekatmu," beritahu Kertapati dengan sungguh-sungguh.
"Terima kasih atas peringatanmu, Paman. Akan kuingat baikbaik semua nasihatmu," Arya menarik kembali tangannya. "O ya, bagaimana kalau kita masuk ke dalam?"
Kertapati menatap Arya penuh selidik. Ada sorot keheranan di sana. Semula Arya tak mempedulikan, tapi ketika teringat sesuatu wajahnya jadi merah padam.
"Jangan kau salah menduga, Paman. Aku bukan hendak bermain dadu, perutku kosong dan kerongkonganku terasa kering kerontang," jelas Arya buru-buru.
"Ah...!" seru Kertapati tertahan. Wajahnya memerah oleh rasa malu. "Maafkan dugaanku yang buruk, Arya."
"Lupakanlah, Paman. Mari, " ajak Arya. Kemudian ia mendahului melangkahkan kaki ke pintu kedai.
–––––––– 2
Seorang gadis berpakaian kuning melangkah mondar-mandir di hadapan seorang lelaki setengah baya yang tengah duduk bersila. Sikap gadis itu kelihatan gelisah bukan main. Lelaki bertubuh kurus kering dan berpakaian abu-abu seperti tak tahu tingkah si gadis. Dia tak bergeming dari duduknya. Sepasang matanya terpejam. Padahal, lelaki ini tidak tengah bersemadi.
Gadis berusia dua puluh tahun dan berwajah cantik jelita dengan bentuk tubuh menggiurkan itu menghentikan langkahnya tepat di depan lelaki berpakaian abu-abu. Langkahnya tak dihentakkan, tapi dinding ruangan bergetar. Debu-debu halus berguguran ke tanah. Sepasang mata lelaki kurus kering bergerak membuka. Sinarnya tampak penuh kelembutan dan kasih sayang ketika menatap si gadis.
"Ada apa, Ratna?" tanya lelaki berpakaian abu-abu. "Kau kelihatan gelisah sekali."
Jawaban yang diberikan si gadis yang bernama lengkap Dewi Ratna, adalah meruncingkan bibirnya. Meski demikian, tak terlihat buruk. Bentuk sepasang bibir itu indah dan berwarna merah muda.
Lelaki kurus kering yang bernama Ardaraja terse-nyum. Dia tak merasa kaget melihat sambutan Dewi Ratna. Watak gadis itu memang manja sekali.
"Apakah keinginanmu yang dulu kambuh lagi?" masih tetap lembut pertanyaan Ardaraja.
"Aku jemu terus-menerus tinggal di tempat ini, Paman," jawab Dewi Ratna seraya mengedarkan pan-dangan ke sekitarnya. Mereka berada di dalam sebuah gua di lereng Gunung Welirang. "Apakah sampai nenek-nenek aku tak boleh keluar?"
"Sabarlah, Ratna," hibur Ardaraja dengan senyum terkembang di bibir. "Akan datang saatnya kau boleh meninggalkan tempat ini. Bahkan ke mana pun kau mau. Tapi tak sekarang. Ada beberapa alasan yang membuatku tak bisa mengizinkan kau pergi."
"Kapan, Paman?" desak Dewi Ratna penasaran. "Apakah setelah rambutku ini memutih?!"
"Tak perlu sampai selama itu, Ratna. Cukup sampai kau mampu menahan hawa beracun yang menye-bar di puncak Gunung Bromo."
"Bukankah itu sama artinya dengan memaksaku tinggal di sini hingga rambutku memutih? Kau yang sudah setua ini, Ayah, dan Paman Buluk Siwu tak mampu menahan hawa beracun itu. Apalagi aku?" keluh Ratna putus asa.
Wajah Ardaraja berubah muram. Kelihatan jelas ucapan Dewi Ratna menyinggung perasaannya.
"Kau jangan berkecil hati dulu, Ratna. Ketidakmampuan kami menahan hawa racun itu karena tak bersiap menghadapinya. Lain halnya dengan mu, Ratna. Selama hampir dua tahun kau kupersiapkan. Aku yakin sebelum purnama tiba, kau akan sampai di tem-pat manusia terkutuk itu. Jangan sia-siakan usahaku selama bertahun-tahun hanya karena kau tak kerasan tinggal di tempat yang memang tak menyenangkan ini, Ratna. Jangan kecewakan harapan kami."
Kekerasan Dewi Ratna pun luluh mendengar uca-pan bernada memelas itu. Selalu demikian akhirnya. Setiap kali gadis ini mengutarakan keinginannya.
"Lagi pula apa untungnya keluar ke dunia bebas, Ratna. Dunia persilatan amat keras. Kalau tak memiliki kepandaian tinggi, kau akan menjadi sasaran kejahatan. Juga, kau tak terkurung sepenuhnya di gua ini. Setiap hari kau bisa keluar."
Dewi Ratna menundukkan kepala. Ucapan Ardaraja yang terakhir membuat keinginannya untuk menghirup udara bebas semakin menciut. Gadis ini merasakan kebenaran dalam nasihatnasihat pamannya. Sungguhpun demikian, masih ada yang mengganjal di hati Dewi Ratna.
"Mengapa Paman seperti merendahkan kemampuan yang kumiliki? Bukankah seluruh ilmu Ayah telah ku kuasai dengan baik? Aku telah pula menguasai ilmu-ilmu yang Paman ajarkan."
Ardaraja terdiam sebentar mencari jawaban. Lalu ditatapnya Dewi Ratna dalam-dalam.
"Jangan kau salah mengira, Ratna. Kepandaian yang kau miliki memang telah cukup tinggi. Malah aku yakin lebih tinggi dari kepandaian ayahmu. Kau telah menguasai ilmu-ilmu ciptaanku. Namun camkan Ratna, dunia persilatan dipenuhi orang-orang sakti berkepandaian tinggi. Sekitar lima tahun lalu dunia persila-tan di tanah Jawa Timur ini dikuasai tokoh-tokoh sesat beraliran hitam yang menamakan diri Kelompok Penjagal Manusia. Kepandaian mereka tinggi-tinggi. Terutama ketuanya yang berjuluk Iblis Penghisap Darah. Kepandaiannya luar biasa dan mengiriskan hati!"
Dewi Ratna diam-diam tak senang mendengar ceri-ta pamannya. Dia menganggap Ardaraja terlalu men-ganggap tinggi Kelompok Penjagal Manusia. Apalagi, karena dirasakan adanya nada kegentaran dalam uca-pan lelaki kurus kering itu.
"Apa yang perlu dikagumi pada Kelompok Penjagal
Manusia?" pikir Dewi Ratna tak puas.
Setahunya Kelompok Penjagal Manusia telah dihancurkan Ardaraja, ayahnya, dan Buluk Siwu, yang terkenal sebagai Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. Ketuanya-sendiri, Iblis Penghisap Darah, telah mereka kalahkan dan ditawan di salah satu gua di puncak Gunung Bromo.
"Bukankah kelompok mereka telah Paman hancurkan? Malah, Ketua Kelompok Penjagal Manusia sampai sekarang tertawan di Gua Landak. Lalu... apa lagi yang harus ditakuti?" Ardaraja menghela napas berat.
"Aku tak menyalahkan kalau kau tak menganggap mereka.
Hal itu memang kami rahasiakan darimu maupun putri Buluk Siwu, Winarni," beritahu lelaki kurus kering dengan suara lirih.
Ardaraja menghentikan ucapannya. Sesaat ditariknya napas berat. Dewi Ratna menunggu dengan pera-saan tak sabar.
"Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikan lebih lama lagi," sambung Ardaraja. "Kurasa sudah tiba waktunya bagimu untuk mengetahui. Aku ingin kau tahu betapa mengerikan Kelompok Penjagal Manusia. Juga karena aku telah mendapat firasat jelek. Aku khawatir apabila tak menyampaikannya sekarang, tak mendapatkan kesempatan lagi...."
"Paman!" seru Dewi Ratna kaget. "Mengapa kau berkata seperti itu. Kau tidak akan mati, Paman"
Ardaraja tersenyum melihat sikap Dewi Ratna yang terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Apa yang kau katakan itu tak akan mungkin terjadi, Ratna," ujar Ardaraja lembut. "Tak ada manusia yang tak mati. Semua pasti akan mati. Kau tahu itu, bukan?"
"Aku tahu, Paman," jawab Dewi Ratna. "Tapi, itu tak berarti Paman harus mati dalam waktu dekat ini!"
"Apa kau lupa kalau aku telah terkena hawa beracun di puncak Gunung Bromo? Hawa beracun itu mengeram di dalam tubuhku dan tak dapat ku keluarkan. Ayah dan ibumu serta ibu dari Winarni tewas karena hawa beracun itu. Kurasa kau tahu pula kalau aku dan Buluk Siwu terkena akibatnya pula. Ilmu yang kumiliki jadi semakin rendah karena hawa beracun menghalangi peredaran tenaga dalamku. Masih ingatkah kau akan semua ini, Ratna?"
Dengan sepasang mata berkaca-kaca Dewi Ratna menganggukkan kepala. Bibir bawahnya digigit untuk menekan rasa haru dan sedih yang tiba-tiba menyeruak.
"Mengapa kau menjadi manusia yang cengeng dan mengikuti perasaan?" sentak Ardaraja. "Kalau almar-hum Guru mengetahui, tentu beliau akan malu dan marah. Kecengengan tak layak berada di batin orang keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo! Kau harus tegar dan tabah, Ratna. Kalau tidak, aku tak bersedia menceritakan Kelompok Penjagal Manusia dan Iblis Penghisap Darah!"
Dewi Ratna mengepalkan jari-jari tangannya seraya menggertakkan gigi.
"Aku tak apa-apa, Paman!" ujar gadis itu mantap sekali. Dikuatkannya perasaan hatinya.
"Bagus!" puji Ardaraja dengan wajah berseri-seri. "Kau memang tak memalukan menjadi keluarga Pen-dekar Gunung Bromo yang terkenal gagah perkasa dan tak takut mati! Sesuai janji yang ku ucapkan, akan kuceritakan semuanya tentang Kelompok Penjagal Manusia dan Iblis Penghisap Darah!"
Ardaraja menghentikan ucapannya sejenak. Da-hinya berkernyit karena berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai ceritanya.
"Sekitar sepuluh tahun lalu dunia persilatan di-gemparkan dengan munculnya sekelompok tokoh sesat yang menamakan dirinya Kelompok Penjagal Manusia.
Kepandaian mereka rata-rata tinggi. Mereka pun kejam bukan main. Membunuh manusia bagi kelompok itu tak ubahnya membunuh nyamuk. Tak terhitung sudah orang-orang yang menjadi korban. Empat tahun sete-lah merajalela dengan kebengisannya, Kelompok Pen-jagal Manusia dicari oleh guru kami. Beliau adalah pertapa di Gunung Bromo. Iblis Penghisap Darah yang tahu kalau dirinya dicari, balas mencari. Pertarungan pun tak bisa dielakkan."
Sesaat Ardaraja menghentikan ceritanya. Hendak dilihatnya tanggapan Dewi Ratna. Tapi gadis cantik itu tampak dengan bersungguh-sungguh mendengarkan ceritanya.
"Iblis itu ternyata memiliki kepandaian menakjubkan! Kakek gurumu tewas, Ratna. Tentu saja kami tak bisa berdiam diri. Kami ajukan tantangan terhadap Iblis Penghisap Darah. Tokoh sesat yang yakin dirinya tak terkalahkan itu memenuhi tantangan kami. Dia datang sendiri. Iblis itu memang benar-benar sukar ditandingi. Meski telah mengeroyoknya, kami tak mam-pu mengalahkannya. Di saat kami hampir celaka mun-cullah sahabat kakek gurumu, Eyang Nararya. Beliaulah yang membuat pimpinan Kelompok Penjagal Manusia tak berdaya. Dengan sela aji yang tak kuketahui apa namanya, kekuatan Iblis Penghisap
Darah berkurang. Semakin lama kekuatan tokoh sesat itu semakin menyusut. Sampai akhirnya dia rubuh di tanah. Itulah kejadian sebenarnya, Ratna."
Dewi Ratna terdiam. Gadis ini tak tahu harus berkata bagaimana. Dia terlalu terkejut mendengar cerita selengkapnya mengenai kemenangan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. Selama ini dia hanya tahu pimpinan Kelompok Penjagal Manusia dikalahkan oleh Pendekar Gunung Bromo.
"Lalu bagaimana dengan Kelompok Penjagal Manusia itu, Paman? Apakah benar Paman telah menghancurkannya?" tanya Dewi Ratna, setengah tak yakin akan kebenaran cerita yang pernah didengarnya.
"Memang kami datang mengunjungi markas mere-ka untuk menghancurkannya. Tapi rupanya maksud kedatangan kami telah diketahui Kelompok Penjagal Manusia sudah merasa gentar. Mereka kehilangan ke-beranian ketika mendengar ketuanya telah kami ka-lahkan."
"Jadi Paman mendapati markas yang kosong?" duga Dewi Ratna.
"Tidak sampai demikian, Ratna," kilah Ardaraja. "Kami tetap menemukan sisa-sisa Kelompok Penjagal Manusia. Kami pun menumpasnya. Setelah itu markas mereka kami bakar habis."
Suasana jadi hening ketika Ardaraja menghentikan ucapannya. Dewi Ratna terlihat agak terpukul. Cerita yang disampaikan pamannya itu terlalu mengejutkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa Paman sangat menginginkan aku dapat menguasai ilmu-ilmu warisan Paman dan Ayah," ujar Dewi Ratna sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Paman khawatir aku menjadi sasaran balas dendam Kelompok Penjagal Manusia."
"Tidak terlalu tepat demikian, Ratna. Kuharapkan kau tidak hanya bersiaga terhadap balas dendam mereka. Tapi juga berjagajaga kalau mereka mengacaukan dunia persilatan kembali. Kau pun harus menjaga tawanan kami agar tak dapat dibebaskan. Jangan khawatir, Ratna. Kau tak perlu menjaganya seumur hidup. Apabila kau berhasil menjaganya hingga purnama berakhir dan lewat dua pekan, kau boleh tinggalkan tempat itu."
"Aku mengerti, Paman. Kepercayaan yang Paman berikan tak akan ku sia-siakan. Akan ku coba memenuhi semua harapan Paman. Akan kucari orang-orang Kelompok Penjagal Manusia dan kuhancurkan!" janji Dewi Ratna sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
Sepasang mata Ardaraja tampak berkaca-kaca. Lelaki ini merasa terharu mendengar janji keponakannya. Bahkan, suaranya terdengar agak serak ketika dia berbicara.
"Aku bangga terhadapmu, Ratna. Aku yakin andaikata Mundarang masih hidup dia akan merasa bangga pula."
Dewi Ratna tertunduk. Kesedihan mendadak melingkupi hatinya. Ucapan Ardaraja mengingatkannya akan kematian ayahnya. Mundarang tewas karena ke-racunan dan mayatnya tertinggal di lereng Gunung Bromo.
"Bukan hanya Mundarang saja, Ardaraja! Buluk Siwu pun telah mati! Dan, sebentar lagi kau akan menyusul mereka ke neraka!"
Ucapan itu menyambuti perkataan Ardaraja. Bunyinya tidak keras. Tapi mampu membuat ruangan tempat Ardaraja dan Ratna berada tergetar hebat.
Ardaraja terjingkat ke belakang bagai disengat ular berbisa. Lelaki ini kelihatan tak mampu meredam rasa kagetnya. Dewi Ratna tampak kebingungan. Gadis ini menatap wajah Ardaraja. "Siapa itu, Paman? Apa maksud ucapannya?" tanya Dewi Ratna.
Ardaraja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Ratna," ujar lelaki kurus kering itu. Sepasang matanya tertuju ke luar gua. Tapi karena lorong gua tak lurus, Pendekar Gunung Bromo ini tak bisa melihat apa pun. "Siapa pun orang yang berada di luar itu, dia tak memiliki maksud baik. Aku mempunyai firasat tak enak, Ratna. Mungkin aku akan menyusul ayahmu. Tapi aku sudah ikhlas. Pergilah, Ratna. Aku tak ingin kau celaka. Gunakan jalan belakang. Dan...."
"Keluar kau, Ardaraja! Aku tahu kau berada di dalam! Kau tak bisa bersembunyi lagi. Sudah tiba saatnya kau mempertanggung-jawabkan perbuatanmu lima tahun lalu!"
Suara dari luar gua kembali berkumandang. Na-danya tetap seperti semula. Tapi getaran pada bagian dalam gua jauh lebih besar.
"Karena kau tak mau keluar, biar aku yang me-maksamu, Ardaraja!" sambung sebuah suara lain dari luar gua. Lebih lembut dari suara sebelumnya.
Ardaraja tampak cemas. Tamu tak diundangnya tak hanya seorang. Padahal dari suaranya Ardaraja bi-sa menilai orangorang di luar gua memiliki kepandaian tinggi. Dia tak mencemaskan keselamatannya. Yang dipikirkan hanya Dewi Ratna. Gadis itu masih berdiam diri di tempatnya. Ardaraja segera mengibaskan tangan kanan.
"Cepat pergi, Ratna!" seru Ardaraja keras.
Angin keras yang berhembus dari tangan Ardaraja membuat tubuh Dewi Ratna terpental ke belakang, Ardaraja sendiri segera melesat keluar.
Saat lelaki kurus kering ini melesat terdengar bunyi mendenging seperti suara nyamuk. Guncangan menghebat secara tiba-tiba. Lantai gua terbelah. Atap gua runtuh membawa batubatu dan debu yang berhamburan.
"Ratna!"
Ardaraja memekik kaget, lesatannya keluar gua dihentikan. Ardaraja bermaksud menolong keponakannya. Tapi tindakannya terpaksa diurungkan. Batu-batu besar berguguran dari atap gua diiringi bunyi bergemuruh.
Tak ada gunanya lagi menolong Dewi Ratna. Tempat di mana tubuh gadis itu tergolek banyak dijatuhi batu-batu besar. Debu tebal menghalangi pandangan. Ardaraja terpaksa melesat keluar.
Lelaki kurus kering ini tak ingin mati konyol den-gan terkubur hidup-hidup di dalam gua. Dia tak ingin mati percuma seperti yang dialami Dewi Ratna. Dan, kematian Dewi Ratna harus dibalaskannya.
–––––––– 3
Seorang lelaki pendek berperut buncit tampak ber-gegas menghampiri Dewa Arak dan Kertapati. Keduanya tengah duduk saling berhadapan dibatasi meja berbentuk empat persegi panjang.
Lelaki pendek berperut gendut yang ternyata pemi-lik kedai meletakkan pesanan tamunya. Arya maupun Kertapati tak memperhatikan kehadiran pemilik kedai. Pandangan mereka tertuju pada salah satu meja besar yang banyak dikerumuni orang.
Dari meja ini terden-gar seruan-seruan keras.
"Ayo.... Mari...! Silakan pasang lagi! Pasang satu keping dapat tiga keping. Silakan pasang. Barangkali saja Tuan yang beruntung!" seru seorang lelaki gemuk.
Ia lelaki berusia enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi gemuk. Dia hanya mengenakan rompi dari bulu burung garuda. Di depan lelaki gemuk duduk bebera-pa orang lelaki. Mereka semua tokohtokoh persilatan.
Di permukaan meja besar tampak selembar kulit kambing berbentuk bujur sangkar yang berukuran tiga jengkal. Di atas kulit kambing tertera garis-garis yang membentuk enam buah kotak. Pada tiap kotak terdapat noktah merah seukuran buah ceremei. Noktah pada tiap kotak tidak sama jumlahnya. Angkanya berurut mulai dari satu sampai enam. Pada kotak-kotak inilah tokoh-tokoh persilatan itu meletakkan uangnya.
Lelaki gemuk memegang sebuah kotak kecil berbentuk kubus. Kotak yang bersisi sama itu mempunyai noktah-noktah seperti pada lembaran kulit kambing. Di depannya terdapat sebuah mangkuk dari tempu-rung kelapa. Lelaki gemuk mengambil mangkuk itu dan menangkupkannya pada kotak bernoktah
"Tidak ada yang memasang lagi atau merubah pasangan?" tanya lelaki gemuk. "Kalau sudah tidak ada, kita tentukan siapa yang akan beruntung!"
Lelaki berompi bulu burung garuda itu memo-nyongkan bibir, meniup bagian atas mangkuk. Tidak terjadi apa-apa atas mangkuk tempurung kelapa. Tapi, di dalamnya terdengar bunyi berkerotokan dari kotak yang berputaran keras.
"Ayo! Kesempatan terakhir! Masih adakah yang ingin ikut serta atau merubah pilihannya? Masih ada ke-sempatan sebelum mangkuk ini dibuka!" seru lelaki gendut ketika bunyi putaran kotak kecil di dalam tem-purung kelapa tak terdengar lagi.
Lelaki gemuk mengedarkan pandangan menatap wajahwajah penasaran di hadapannya. Tak satu pun menunjukkan gelagat ingin merubah pilihan.
"Kalau sudah tak ada lagi, sekarang mangkuk ini akan kubuka. Kita lihat bersama siapa yang akan beruntung!"
Lelaki gemuk ini batuk sekali begitu ucapannya selesai. Semua orang yang ada di situ tahu kalau batuk itu hanya buatan.
Dugaan mereka memang tak salah. Begitu batuk lelaki gemuk usai, mangkuk melayang naik ke atas setinggi tiga jengkal. Sebuah pertunjukan tenaga dalam! Tapi, tak seorang pun yang mempedulikan. Mereka semua menunjukkan perhatian pada kotak kecil yang semula berada di dalam mangkuk.
"Bagaimana, Arya?" celetuk Kertapati sambil mengunyah makanannya. "Apakah kau berubah pikiran dan merasa tertarik dengan permainan itu? Cobalah Arya. Amat menyenangkan!"
Arya menggelengkan kepala seraya tersenyum. "Aku tetap pada pendirianku, Paman. Kuakui aku memang tertarik. Tapi, bukan berarti aku berminat untuk main. Aku hanya ingin tahu mengapa orang-orang menyukainya," jawab Arya.
Kertapati tersenyum mendengar jawaban Dewa Arak. "Mereka bermain judi bukan untuk mendapatkan uang, tapi karena kesenangan. Mereka telah kecanduan bermain judi. Asal kau tahu saja Arya, permainan itu berlangsung jujur. Tak ada yang bermain curang dengan mengakali putaran dadu. Terkecuali kalau mereka bermain berdua."
"Ha ha ha,..!"
Tawa bergelak penuh kegembiraan membuat Arya dan Kertapati menolehkan kepala. Tindakan ini menimbulkan kejadian yang lucu. Tangan mereka membawa makanan ke dekat mulut yang telah dibuka, tapi gerakan itu tak berkelanjutan.
Tampak oleh mereka seorang lelaki kecil berpakaian dari kulit macan tutul tertawa bergelak-gelak. Lelaki yang memiliki keanehan pada matanya itu gembira bukan main. Kedua
tangannya diangkat-angkat ke atas,
"Aku yang menang! Ha ha ha...! Aku yang menang!" seru lelaki berpakaian kulit macan tutul. Mata kanannya membengkak sebesar buah kedondong, sehingga bola matanya tak kelihatan. Sedang mata kirinya begi-tu kecil dan hampir merupakan satu garis.
Lelaki kecil ini menatap ke arah dadu yang menun-jukkan noktah dua buah. Pada noktah ini lelaki ber-pakaian dari kulit macan tutul meletakkan taruhan uangnya.
"Kau kenal orang yang tengah tertawa gembira itu?" bisik Kertapati.
Arya menggeleng.
"Pernah mendengar tokoh hitam yang berjuluk Mata Iblis?" tanya Kertapati lagi.
"Pernah, Paman," jawab Arya sambil mengingat-ingat.
"Kalau tak salah dia berasal dari Jawa Timur."
"Benar. Tepatnya dari Tuban. Di sana dia amat ditakuti karena tindakan-tindakannya yang menggemparkan," sambung Kertapati menambahkan.
"Aku ingat," timpal Arya. "Bukankah dia bajak laut?"
"Bajak laut tunggal yang merajai pesisir."
Arya mengangguk-angguk.
"Sungguh tak kusangka bajak laut itu berkelana sampai ke tempat ini. Mungkinkah dia datang jauh-jauh hanya untuk permainan ini?" gumam Arya tak menyembunyikan rasa herannya.
"Kemungkinan itu kecil, Arya," bantah Kertapati. "Kalau hanya untuk urusan demikian, tak akan mungkin Mata Iblis sampai meninggalkan tempatnya. Pasti ada alasan lain."
Arya tak memberikan tanggapan. Dengan tenang makannya dilanjutkan. Kertapati pun demikian. Lelaki ini mengunyah makanannya perlahan-lahan. Sikap yang tak pantas ditunjukkan seorang gelandangan kelaparan.
Di meja judi permainan kembali berlangsung. Lelaki gemuk berteriak-teriak menyuruh orang-orang memasang. Kepingankepingan uang pun diletakkan di dalam kotak-kotak. Bunyinya gaduh bercampur den-gan tegukan-tegukan kasar dari mereka yang me-nyempatkan diri untuk minum.
Di saat Arya dan Kertapati asyik menikmati makanan, sementara di meja besar permainan terus berlangsung, terdengar bunyi gaduh yang semakin lama semakin keras. Bunyinya bertubi-tubi menghantam bumi. Suara langkah kaki kuda yang tengah berlari cepat.
"Itu dia! Aku yakin kuda yang sebentar lagi lewat di depan kedai ini ditunggangi gadis liar itu!" Ucap Mata Iblis seraya bangkit dari kursinya.
"Tenang saja, Mata Iblis," sela lelaki gemuk agak kesal. "Gadis itu tak akan pergi jauh. Kita saksikan dulu siapa yang akan beruntung kali ini!"
"Tapi, ada baiknya kalau kita pastikan dulu apakah benar itu kuda tunggangan si gadis liar!" bantah Mata Iblis tanpa menyembunyikan ketidak-senangannya. Kendati demikian, Mata Iblis masih menyem-patkan diri mengerling ke arah dadu yang masih berputaran!
Ternyata tak hanya Mata Iblis yang bangkit dari kursinya. Tokoh-tokoh lain pun demikian. Sebentar-sebentar bola mata mereka berputar ke pintu kedai kemudian beralih pada dadu yang masih berputar.
"Mengapa mesti bingung? Dari sini pun kita bisa mengetahui siapa penunggang kuda yang sebentar lagi akan lewat!"
Setelah mengeluarkan perkataan yang ditutup dengan dengusan itu, lelaki gemuk menarik napas panjang. Wajah dan tubuhnya menampakkan perubahan. Perut dan wajah lelaki itu menggembung seperti balon ditiup. Kemudian, lelaki gemuk menghembuskan udara yang berkumpul pada kedua pipinya. "Puuuh...!" Brakkk...!
Daun pintu kedai yang tertutup hancur berkeping-keping. Pecahan papan berpentalan ke jalan. Pintu kedai memang sengaja ditutup oleh pemiliknya karena di luar angin keras musim kemarau bertiup membawa debu.
Pemilik kedai dan pelayannya hanya bisa membelalakkan mata kaget. Di samping itu mereka pun merasa ngeri. Mereka khawatir akan terjadi keributan yang menimbulkan kerusakan di dalam kedai.
Dewa Arak, Kertapati, Mata Iblis, dan tokoh-tokoh lainnya kaget melihat pertunjukan tenaga dalam yang amat kuat itu. Tapi, mereka semua mampu menyem-bunyikan keterkejutan itu.
Bahkan Arya dan Kertapati memperlihatkan sikap seakan pertunjukan yang dila-kukan lelaki gemuk adalah hal yang biasa.
"Kau tahu siapa lelaki gemuk itu?" tanya Kertapati pelan pada Dewa Arak. Saat itu kegaduhan telah mereda. Kertapati tak berani bicara keras-keras.
"Tidak, Paman," jawab Arya dengan pelan pula.
"Wajar kalau kau tak mengenalnya, Arya. Lelaki gemuk itu memang belum lama berada di tanah Jawa Timur ini. Dia terkenal di daerah Madura dengan julu-kan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Menurut kabar yang tersiar, Raja Babi gemar berkelana ke tempat-tempat asing."
"Kepandaiannya cukup tinggi. Terutama tenaga dalamnya," puji Arya sejujurnya.
"Bukan hanya itu saja, Arya," Kertapati menambahkan. "Raja Babi pun banyak memiliki ilmu-ilmu aneh. Ilmu-ilmu yang didapatkan dari orang-orang aneh. Mereka memiliki tubuh seperti anak berusia belasan tahun. Bicaranya pun aneh seperti orang berkumur-kumur."
Arya mengernyitkan alis mendengar penjelasan Kertapati. Dia percaya cerita lelaki ini kemungkinan besar benar. Arya sendiri telah beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang memiliki ciri-ciri aneh (Untuk jelasnya, silakan baca episode
"Pembantai Dari Mongol" dan "Petualang-Petualang Dari Nepal"),
Raja Babi Bertenaga Raksasa sendiri bersikap tak peduli dengan tanggapan orang-orang yang berada di situ. Dengan nada datar tapi mengandung tekanan, lelaki gemuk ini kembali berbicara.
"Kurasa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Begitu gadis itu lewat, kita dapat melihatnya. Perlu ku tekankan sekali-lagi, kita tak perlu khawatir dia akan lolos. Di tempat yang akan dilaluinya telah ku tempatkan beberapa orangku."
"Di mana kau tempatkan orang-orangmu itu, Raja Babi?" tanya lelaki berikat kain hitam di kepala.
"Sekitar dua puluh tombak dari tempat ini, puas?"
"Tidak!" sentak Mata Iblis keras. "Aku tak ingin karena kesombongan sikapmu, aku hanya membuang-buang tenaga datang ke tempat ini!"
Sepasang mata Raja Babi berkilat-kilat memancarkan hawa maut. Mata Iblis yang telah lama berkecimpung di dunia persilatan dapat mengetahui artinya. Tapi, tokoh tenar dari Tuban ini tak merasa gentar sedikit pun. Dibalasnya tatapan Raja Babi dengan sinar mata penuh tantangan.
Sementara itu putaran dadu semakin lambat. Tapi hampir tak ada yang memperhatikan lagi. Semua yang duduk di depan Raja Babi Bertenaga Raksasa bersiap-siap untuk meninggalkan kursi mereka. Sebentar lagi akan terjadi keributan. Bukan tak mungkin mereka akan terkena serangan nyasar.
"Apa pun pendapatmu, silakan kau tujukan untuk dirimu sendiri! Aku datang jauh-jauh hanya untuk mencari gadis itu. Aku akan keluar dan mencegah gadis itu mencapai maksudnya. Siapa pun yang menentang maksudku akan ku terjang. Tak terkecuali kau, Raja Babi!" tandas Mata Iblis penuh tantangan.
Raja Babi mendengus. Sepasang alisnya terangkat tinggitinggi melihat tanggapan Mata Iblis yang dianggapnya keterlaluan. Meskipun demikian, lelaki ini tak bangkit dari kursinya.
"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Mata Ib-lis!" desis Raja Babi penuh tekanan. "Aku mempunyai aturan yang selama ini kupegang teguh. Tak seorang pun boleh meremehkan aturan ini. Dengar baik-baik, Mata Iblis! Aturanku adalah, jika permainan belum selesai maka tak seorang pun boleh pergi, kecuali orang itu tak menyayangi nyawanya lagi. Jelas?!"
"Jelas sekali!" tegas Mata Iblis mantap. "Dengan kata lain, bila aku hendak meninggalkan tempat ini, kau akan membunuhku?!"
"Kau memang cepat mengerti, Mata Iblis!"
"Kau boleh melakukan itu apabila kau mampu melakukannya, Raja Babi! Sekarang aku akan pergi. Ingin kulihat apa yang akan kau lakukan!"
"Aku ragu kau dapat meninggalkan tempat ini!" ejek Raja Babi Bertenaga Raksasa penuh keyakinan.
Ketegangan yang semakin memuncak membuat to-koh-tokoh persilatan lainnya meninggalkan kursi masing-masing. Raja Babi membiarkan saja. Saat itu putaran dadu sudah berhenti. Tapi tak seorang pun yang mempunyai keinginan melihat jumlah angka yang tercipta.
Mata Iblis bergerak paling akhir. Dengan mata tunggalnya yang terpaku menatap semua gerak-gerik Raja Babi, bajak laut dari Tuban ini bergerak bangkit dari kursinya. Semua pasang mata hampir tak berkedip menatap ke arah Raja Babi dan Mata Iblis. Mereka terbelalak keheranan ketika melihat Mata Iblis tampak terkejut.
Mata Iblis yang hendak bangkit dari kursinya merasakan betapa kekuatan dahsyat yang tak nampak membuat pantatnya sukar diangkat dari kursi. Mata Iblis menatap Raja Babi. Tokoh yang terkenal di Madura itu tersenyum sinis. Mata Iblis tahu apa artinya. Tokoh itu telah membuktikan ancamannya!
Mata Iblis melihat kedua telapak tangan Raja Babi yang terbuka ditempelkan ke daun meja. Melalui perantaraan kedua tangan itu Raja Babi membuatnya tak bisa mengangkat pantat!
Bagi tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam kuat, apa yang dilakukan Raja Babi bukan merupakan hal yang luar biasa. Tenaga dalam dialirkan ke permu-kaan meja terus ke kakikakinya, merambat melalui lantai ke kaki kursi Mata Iblis.
Mata Iblis tak tinggal diam. Dia tak melakukan perlawanan langsung dengan mengarahkan tenaga dalam, Mata tunggal tokoh dari Tuban ini membelalak, sehingga terlihat lebih besar dari biasanya. Sebentar kemudian bagian matanya yang berwarna putih berubah hijau.
Raja Babi yang memperhatikan semua gerak-gerik Mata Iblis segera melihat hal yang mencurigakan itu. Kewaspadaannya membisikkan akan adanya bahaya.
Kewaspadaan inilah yang menyelamatkan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Karena, mata bajak laut dari Tuban memancarkan sinar kehijauan yang menuju ke arah dada Raja Babi! Melihat sinar kehijauan meluncur ke arahnya, Raja Babi segera bertindak. Lelaki gemuk itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh.
Blosss...!
Bunyi gaduh terdengar ketika empat kaki kursi amblas ke dalam lantai. Amblasnya kaki kursi menye-babkan sinar hijau dari mata bajak laut dari Tuban meluncur di atas kepala Raja Babi.
Brakkk..!
Dinding papan yang berada beberapa tombak di belakang Raja Babi menjadi sasaran sinar hijau. Dinding itu hancur berkeping-keping diiringi bau hangus terbakar. Asap tipis menyebar di tempat itu.
Tindakan yang dilakukan Raja Babi Bertenaga Raksasa membuatnya melepaskan tenaga dalam untuk menahan Mata Iblis dari tempat duduknya. Mata Iblis merasakan kekuatan yang membelenggunya telah sirna. Buru-buru dia bangkit berdiri. Bertepatan dengan itu di luar kedai terlihat seekor kuda hitam putih melesat dengan kecepatan tinggi. Semua orang di dalam kedai mengalihkan perhatian ke sana. Tampak oleh mereka seorang gadis berpakaian merah duduk di punggung binatang itu.
Bagai anjing-anjing kelaparan melihat tulang, tokoh-tokoh persilatan tak terkecuali Mata Iblis dan Raja Babi, melesat keluar kedai. Mereka bagai berlomba un-tuk tiba lebih dulu di dekat gadis berpakaian merah. Arya dan Kertapati saling berpandangan. Dalam pertemuan mata itu keduanya mengerti apa yang berkecamuk di benak masing-masing.
"Sekarang aku mengerti tujuan mereka berada di sini, Paman," cetus Arya. "Rupanya mereka semua menanti
kemunculan gadis berpakaian merah itu."
"Kau baru mengetahui tujuannya, Arya. Tapi belum tentang alasan mereka mencari gadis itu. Satu persoalan berhasil kau pecahkan, tapi persoalan lain justru muncul," sahut Kertapati kalem.
"Tak sulit untuk mengetahuinya, Paman," kilah Arya. "Aku akan ikut mereka menjumpai gadis itu. Aku yakin akan dapat mengetahui hal yang mereka ributkan."
"Silakan, Arya. Dan selamat berpisah. Kuharap kau berhasil dengan maksudmu itu. O ya, sampaikan salamku pada Jaran Sangkar. Terima kasih kuucapkan atas kesediaannya mengirimmu kemari. Katakan dari Eyang Nararya."
–––––––– 4
"Selamat tinggal, Paman."
Arya mengucapkan selamat berpisah sebelum melesat meninggalkan tempat duduknya. Kertapati alias Eyang Nararya menggeleng-gelengkan kepala kagum melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat begitu cepat. Dia tak melihat Arya mengambil ancang-ancang, tapi tahu-tahu sudah tak berada di tempatnya lagi.
"Seorang pemuda yang hebat!" puji Kertapati penuh rasa kagum.
Sementara itu, gadis berpakaian merah sudah hampir dua puluh lima tombak meninggalkan jalan di depan kedai. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan tinggi, sehingga menimbulkan gumpalan debu tebal di belakangnya. Beberapa tombak di depan si gadis, tam-pak di kanan kiri jalan sebatang pohon besar yang mempunyai semak-semak di sekitarnya. Gadis berpa-kaian merah tak ambil peduli. Pandangannya ditujukan lurus ke depan. Kedua tangan tak henti-hentinya menggeprak tali kekang kuda.
Gadis itu tak melihat seutas tambang yang tergolek di tanah memanjang dari pohon di kanan jalan ke pohon di sisi jalan lain. Tambang itu mempunyai warna yang hampir sama dengan tanah hingga sulit dikenali.
"Ahhh...!"
Seruan keterkejutan gadis berpakaian merah hampir berbarengan dengan ringkikan kuda. Tubuh binatang dan penunggangnya terjungkal. Tambang yang semula tergolek menegang tiba-tiba saat kuda si gadis melewatinya.
Berbeda dengan binatang tunggangannya yang tak mampu bangun lagi dari tanah, gadis berpakaian merah tak semudah itu dapat dipecundangi. Dia bersalto beberapa kali di udara dan menjejak tanah dengan mantap.
"Kunyuk-kunyuk dari mana berani menjegal perjalananku?!" bentak gadis berpakaian merah seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
Tiga lelaki berompi hitam yang tahu-tahu mengurung si gadis malah tersenyum mendapat makian itu. Merekalah yang memasang tambang itu. Lalu langsung bergerak mengurung ketika si gadis mendarat di ta-nah.
"He he he...!" sahut lelaki yang bermuka hitam seperti arang. Digaruk-garuknya dada dengan kedua tangan. "Matamu awas juga, Gadis Liar! Kami memang kunyuk-kunyuk. Lebih tepat lagi Tiga Kunyuk Pangandaran! Kami bertiga anak buah Raja Babi Bertenaga Raksasa. Aku dijuluki Kunyuk Muka Hitam.
"Aku Kunyuk Muka Merah," sambung lelaki yang kulit mukanya merah seperti udang direbus.
"Dan aku.... Kunyuk Muka Putih!" tandas lelaki te-rakhir yang kulit mukanya putih seperti dikapur.
Gadis berpakaian merah memiliki wajah yang cantik. Kulitnya putih halus. Berhidung mancung dan bibir tipis merah delima. Bentuk tubuhnya menggiurkan! Seorang gadis yang sangat menarik.
Sayang, kecantikan wajah gadis ini terlihat agak menyeramkan. Gadis berpakaian merah menampilkan sikap yang diagung-agungkan. Itu terlihat jelas dari si-kapnya yang sombong.
"Aku tak peduli siapa kalian! Kuperingatkan, kalau masih ingin selamat tinggalkan tempat ini!" tandas gadis berpakaian merah dengan kedua tangan di ping-gang.
"Sombong!" bentak Kunyuk Muka Putih. Ia merasa tersinggung melihat sikap yang ditunjukkan gadis ber-pakaian merah. Sepasang mata anggota Tiga Kunyuk Pangandaran ini bak hendak melompat keluar dari rongganya. "Berani kau menghina kami Tiga Kunyuk Pangandaran?!"
Dengan kedua tangan tetap bertolak pinggang, ga-dis berpakaian merah mendengus. Sepasang matanya yang bening indah menatap tiga pengepungnya dengan sorot mata seperti majikan menatap budak-budaknya.
"Jangankan hanya Tiga Kunyuk Pangandaran yang tak lebih dari kucing-kucing tua, raja setan sekalipun tak akan membuat tokoh dari Gunung Bromo gentar! Aku, Winarni, Pendekar dari
Gunung Bromo tak pernah merasa gentar terhadap siapa pun!
Jelas?!"
"Luar biasa! Luar biasa! Benar-benar tak percuma menjadi salah satu Pendekar Gunung Bromo!"
Suara yang dikeluarkan dengan lantang itu lebih dulu menyambuti ucapan Winarni. Tampak beberapa lelaki menghampiri tempatnya berada. Mereka berasal dari kedai yang tadi dilaluinya.
Winarni mengalihkan pandangan kepada orang yang berbicara. Seorang lelaki gemuk yang memiliki sorot mata mencorong tajam. Kendati demikian, gadis yang memiliki watak tinggi hati ini tetap bersikap me-mandang rendah. Seperti biasa, dia menatap seseorang dengan agak mendongak.
Memberitahukan kalau di-rinya lebih tinggi dari orang lain.
Lelaki gemuk itu bukan lain Raja Babi Bertenaga Raksasa. Tokoh ini tak muncul sendiri. Di sebelah Raja Babi berdiri Mata Iblis. Di belakang kedua tokoh sesat itu berjalan mendekat beberapa tokoh hitam dunia persilatan. Mereka memiliki maksud yang sama dengan Raja Babi dan Mata Iblis.
Tokoh-tokoh sesat yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur itu bersikap cerdik. Mereka tak ingin lebih dulu terlibat dalam bentrokan. Biarkan anjing-anjing lain memperebutkan tulang, nanti apabila anjing-anjing itu kelelahan, baru mereka turun tangan! Begitu akal licik mereka.
"Tepat sekali berita yang kudengar selama ini," tandas Raja Babi Bertenaga Raksasa melanjutkan ucapannya. "Tokoh-tokoh dari Gunung Bromo memiliki kesombongan yang tak terukur. Mereka menganggap keluarganya berbeda dengan kebanyakan orang. Sekarang aku melihat sendiri buktinya!"
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek kehabisan sirih! Kemukakan saja apa maksud kalian menghadang perjalananku. Cepat! Aku tak punya banyak waktu!" tandas Winarni keras.
Wajah Raja Babi Bertenaga Raksasa mulai memerah. Lelaki gemuk ini terbakar amarahnya. Sikap Winarni yang demikian sombong sangat menyinggung harga dirinya.
"Kau terlalu sombong, Gadis Liar! Orang seperti kau harus diberi pelajaran. Agar tahu kalau yang memiliki kepandaian tinggi bukan hanya kau dan keluargamu!" geram Raja Babi.
"Begitukah?" sambut Winarni tenang. "Buktikanlah kebenaran ucapanmu, Gendut! Kalau kau tak berani maju sendirian, boleh ajak gerombolanmu itu untuk membantu!" Hampir semua orang yang berada di tempat itu menggelenggelengkan kepala. Mereka tak senang mendengar ucapan sombong Winarni. Bahkan Arya yang menguntit mereka menyayangkan sikap Winarni.
Dewa Arak bisa menilai Winarni memang memiliki kepandaian. Tapi meskipun demikian, tak sepatutnya gadis itu bertingkah demikian sombong. Padahal, semakin tinggi kepandaian seseorang seharusnya sema-kin sadar kalau betapa banyaknya orang-orang pandai di dunia ini. Padi pun semakin berisi semakin tunduk!
Raja Babi yang mendengar ucapan tajam Winarni hampirhampir tak bisa menahan kemarahan. Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya Winarni. Tapi, lelaki gemuk ini merasa malu menghadapi seorang lawan yang masih muda. Apalagi seorang gadis. Karena itu, Raja Babi berpaling pada Tiga Kunyuk Panganda-ran yang menjadi orang-orangnya.
"Serang wanita liar itu! Lakukan apa yang kalian inginkan terhadapnya!"
"Baik, Raja Babi!" sahut Tiga Kunyuk Pangandaran bersamaan. Serempak pula ketiga tokoh sesat berompi hitam ini mempersempit ruang gerak Winarni.
Winarni hanya mendengus seraya menyunggingkan senyum sinis. Meski lawan-lawannya telah bersiap hendak menyerang, gadis ini tetap diam di tempatnya. Malah, kedua tangannya yang berada di pinggang tak dipindahkan. Bola matanya yang indah tertuju pada Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sikapnya tetap seperti semula, memandang rendah.
"Kiranya kau yang berjuluk Raja Babi Bertenaga Raksasa. Kudengar tempat tinggalmu di Madura. Sungguh jauh perjalananmu hingga sampai di tempat ini. Dan, semua itu kau lakukan untuk menemuiku. Luar Biasa! Rupanya aku telah menjadi orang yang demikian penting. Kulihat Mata Iblis dari
Tuban pun ada pula!"
"Jebol perutmu, Wanita Liar!" seru Kunyuk Muka Hitam, bertepatan dengan selesainya ucapan Winarni.
Lelaki berkulit muka hitam ini mengirimkan tendangan lurus ke arah perut Winarni. Deru keras yang mengiringi serangan menunjukkan betapa kuatnya te-naga yang terkandung. Batu karang yang keras sekali-pun akan hancur jika terkena dengan telak.
Di saat Kunyuk Muka Hitam melancarkan serangan, Kunyuk Muka Merah mengirimkan pukulan me-nyamping ke arah kepala. Dari arah lain Kunyuk Muka Putih bergulingan ke depan dan mengirimkan sapuan ke arah kaki. Tiga buah serangan sekaligus tertuju ke arah Winarni!
Tatapan semua orang terarah pada Winarni. Mereka semua ingin melihat tindakan yang akan dilakukan gadis itu. Ternyata Winarni tak bergeming dari tempatnya. Kendati demikian, kewaspadaannya terpasang penuh. Winarni mengetahui bagianbagian yang dijadikan serangan.
Tendangan Kunyuk Muka Hitam dipapaknya dengan gerakan yang sama. Serangan Kunyuk Muka Merah ditangkis dengan mengangkat tangan kiri. Sedang-kan sapuan Kunyuk Muka Putih dibiarkan menghan-tam kaki kirinya. Gadis berpakaian merah ini tak lupa mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kakinya yang kecil dan indah seperti berakar dengan tanah.
Desss, bukkk, desss...!
Tiga benturan terjadi hampir bersamaan. Jerit-jerit kesakitan dari mulut Tiga Kunyuk Pangandaran pun terdengar. Kunyuk
Muka Hitam merasakan kaki kanannya lumpuh. Tubuhnya terjengkang ke belakang. Bahkan kemudian terbanting cukup keras di tanah.
Keadaan yang sama diterima Kunyuk Muka Merah. Sekujur tangannya yang berbenturan dengan Winarni sakit bukan main. Seakan bukan dengan tangan ma-nusia, melainkan besi baja yang amat kuat. Akibat benturan ini tubuh Kunyuk Muka Merah terputar!
Keadaan yang diterima Kunyuk Muka Putih tak lebih baik. Lelaki ini malah yang paling keras menjerit. Dia seperti menyapu batang baja yang amat keras.
Kunyuk Muka Putih tak ingin memberi kesempatan pada Winarni. Dia segera menggulingkan tubuh men-jauh. Tindakan ini menyelamatkannya dari serangan balasan yang akan dilancarkan Winarni.
Gadis itu mendengus dengan sikap yang menunjukkan kesombongan besar,
"Orang-orang dengan kepandaian seperti kalian ingin menangkapku? Kalian hanya bermimpi! Seperti sudah kukatakan tadi, lebih baik julukan Tiga Kunyuk Pangandaran diganti dengan Tiga Kucing Pincang Tua. Kalian sama sekali tak punya kepandaian!" dengus Winarni dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Tiga Kunyuk Pangandaran menggertakkan gigi menahan perasaan geram. Tangan mereka mengepal keras. Ucapan
Winarni terlalu menyakitkan hati.
"Tahan...!"
Seruan keras yang amat mereka kenal membuat Tiga Kunyuk Pangandaran yang telah bersiap melan-carkan serangan segera menghentikan gerakannya. Ti-ga tokoh hitam itu mengalihkan perhatian pada pemi-lik suara.
"Menyingkir kalian!" seru Raja Babi penuh wibawa. "Biar aku yang menghadapi wanita liar itu!"
Berbarengan dengan langkah maju Raja Babi, Tiga Kunyuk Pangandaran melangkah mundur. Namun me-reka masih sempat mengarahkan pandangan penuh ancaman kepada Winarni.
Raja Babi menghentikan ayunan kakinya pada jarak lima tombak dari Winarni. Gadis itu sendiri tetap berdiri tenang di tempatnya. Malah, sejak tadi me-nyaksikan gerak-gerik Raja Babi dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Raja Babi menatap Winarni. Gadis berpakaian me-rah itu tak mau kalah gertak. Dia balas menatap den-gan sorot mata penuh tantangan.
"Kalau menuruti perasaan...," ucap Raja Babi dengan suara bergetar menahan amarah. "Sikap dan ucapanmu telah cukup untuk membuatku membunuhmu, Wanita Liar! Setidak-tidaknya aku harus menghukum mu. Tapi, hal itu tak akan kulakukan apabila kau bersedia bekerja sama denganku. Bagaimana?!"
"Kerja sama?!" dengus Winarni penuh ejekan, "Suatu penghinaan besar! Apakah kau pernah mendengar ada anggota keluarga Gunung Bromo yang bekerja sama dengan penjahat?!"
"Orang seperti kau memang harus dikasari dulu baru mau mendengarkan ucapan orang lain. Tapi sebelum kuberikan hajaran, kuberitahukan padamu, Wanita Sombong! Aku hanya ingin kau pergi bersamaku ke Gua Landak di Gunung Bromo! Bagaimana?" Raja Babi masih berusaha membujuk
"Rupanya kau mempunyai otak bebal dan telinga yang tuli, Babi Gemuk!" sentak Winarni kasar. "Tidakkah kau dengar ucapanku?! Aku, selaku Pendekar dari Gunung Bromo, tak akan mungkin bekerja sama denganmu. Jelas?!"
"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita Liar!" geram Raja Babi.
Berbarengan dengan terkatupnya mulut Raja Babi, kedua tangannya ditempelkan di depan dada lalu sal-ing digesekkan satu sama lain. Sesaat kemudian, pada bagian telapak tangan itu tampak sinar kemerahan.
Winarni tetap bersikap seperti semula. Tenang dan menatap dengan sinar mata merendahkan. Tapi orang-orang yang bermata tajam seperti Raja Babi, Dewa Arak, dan Mata Iblis sekilas dapat melihat sorot keter-kejutan dalam sinar mata Winarni.
Sementara itu Raja Babi Bertenaga Raksasa tak hanya saling menggesekkan kedua telapak tangannya. Begitu warna merah semakin membara, kedua tan-gannya dihentakkan bersama-sama ke arah Winarni. Serangkum sinar kemerahan meluncur. Winarni melompat ke atas lalu bersalto beberapa kali untuk mendekati Raja Babi. Tindakan gadis ini membuat sinar kemerahan menghantam batang pohon besar. Pohon yang sial itu pun ambruk ke tanah memperdengarkan bunyi bergemuruh.
Saat tubuhnya tengah meluncur ke arah Raja Babi, Winarni menghunus pedang dan membabatkannya ke arah leher lelaki gemuk itu. Raja Babi menyadari adanya ancaman maut ketika melihat kilatan sinar menyilaukan menyambar ke arahnya. Tanpa banyak membuang waktu dihunusnya ruduih (golok di Suma-tera Barat) dari sarungnya. Secepat kilat diayunkan memapak pedang lawan.
Trangngng...!
Bunga-bunga api berpercikan ke udara ketika pe-dang dan ruduih berbenturan. Tubuh Winarni dan Raja Babi terpental ke belakang. Raja Babi merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Lelaki gemuk itu penasaran bukan main melihat hasil benturannya. Dia terkenal memiliki tenaga yang amat kuat. Tapi mengapa berbenturan dengan seorang gadis muda bisa kalah? Kenyataan ini benar-benar menjatuhkan namanya!
Raja Babi Bertenaga Raksasa buru-buru mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. Ia ingin segera mengirimkan serangan balasan. Sayang, ternyata dia kalah cepat. Winarni telah lebih dulu melesat ke arahnya dan mengamuk dengan pedang di tangan.
Bentuk pedang gadis itu lenyap menjadi segulun-gan sinar menyilaukan mata. Berkelebatan dengan cepat memperdengarkan bunyi berdesingan nyaring. Raja Babi tak mau kalah. Lelaki gemuk itu meluruk maju memapaki serangan lawan.
Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi. Kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan-nya. Di jurus-jurus awal tampak pertarungan berlang-sung sengit. Tapi ketika menginjak jurus kedua puluh, Raja Babi mulai terdesak. Lelaki gemuk ini memang kalah segala-galanya dibandingkan lawan. Sekarang Raja Babi hanya bisa bertarung mundur. Jarang sekali dia melancarkan serangan. Dan lebih sering mengelak serta menangkis.
Desss!
Sebuah tendangan kaki kanan Winarni mendarat telak di paha kanan Raja Babi. Tubuh lelaki itu terjengkang ke belakang lalu terguling-guling di tanah. Winarni tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memburu dengan pedang siap dihujamkan.
Mata Iblis yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan segera mengetahui kalau Winarni lawan yang amat tangguh. Dirinya sendiri bukan tandingan gadis itu. Maka di saat perhatian Winarni tengah ter-pusat untuk segera merobohkan Raja Babi Bertenaga Raksasa, Mata Iblis mengirimkan serangan dengan mempergunakan mata tunggalnya.
Zooot...!
Sinar kehijauan meluncur ke arah Winarni. Cepat bukan main lesatannya.
Ketika serangan maut itu menyambar dekat, Winarni baru menyadari adanya bahaya mengancam. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda ini sempat melihat ketika sinar hijau masih cukup jauh.
Dewa Arak segera bertindak. Dikirimkannya pukulan jarak jauh ke arah sinar kehijauan.
Bresss...!
Pukulan jarak jauh Dewa Arak berhasil menghantam sinar itu. Tapi karena pemuda berambut putih keperakan ini terburuburu, kekuatan pukulannya hanya ditopang oleh sebagian kecil tenaga. Akibatnya hanya membuat arah sinar kehijauan melenceng.
Kendati demikian, tindakan Dewa Arak berhasil menyelamatkan nyawa Winarni. Sinar yang seharusnya tertuju ke tubuh gadis itu melesat beberapa jari di sisi tubuhnya.
"Keparat...!" geram Mata Iblis melihat hasil serangannya.
––––––––

5
Mata Iblis memang gagal menyarangkan serangan. Tapi, serangan yang dilancarkannya tadi membuat Winarni gugup. Desakan gadis itu terhadap Raja Babi Bertenaga Raksasa segera dihentikan. Winarni bersiap menghadapi gempuran Mata Iblis selanjutnya.
Kegugupan itu harus dibayar mahal. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Babi. Lelaki gemuk itu menghentakkan tangannya mengirimkan pukulan jarak jauh.
Bresss...!
Tubuh Winarni terjengkang ke belakang dan melayang. Dari mulutnya muncrat darah segar. Mata Iblis dan Raja Babi bagaikan berlomba ingin segera menangkap tubuh Winarni.
Tappp...!
Sesosok bayangan Ungu telah terlebih dulu menyambar tubuh gadis itu. Mata Iblis dan Raja Babi Bertenaga Raksasa hanya bisa menatap dengan sorot mata geram.
"Anjing kecil dari mana berani dengan lancang menentang Raja Babi?!" bentak Raja Babi Bertenaga Rak-sasa. "Kalau masih ingin selamat, serahkan wanita yang kau panggul itu padaku!"
"Enak saja!" sentak Mata Iblis gusar. "Bukan padanya harus kau serahkan wanita itu. Serahkan pada-ku, Bocah!"
Dewa Arak menatap Raja Babi dan Mata Iblis bergantian. Sikapnya terlihat tenang bukan main. Tubuh Winarni ada di panggulannya. Winarni tak meronta-ronta karena tubuhnya lemas bukan main.
"Kalian dengar baik-baik, Raja Babi dan Mata Iblis! Aku tak akan memberikan wanita ini pada siapa pun. Kalian dengar?! Biarkan aku pergi dari tempat ini. Aku tak ingin membuat keributan dengan kalian. Bagaimana?"
"Kau boleh pergi, Bangsat Kecil! Tapi ke neraka!" bentak Mara Iblis seraya menerjang Dewa Arak.
Tokoh sesat dari Tuban ini bersenjatakan clurit, senjata khas wilayah Jawa Timur. Mata Iblis memang tak seperti Raja Babi yang merantau ke berbagai dae-rah, sehingga bisa mempunyai senjata dari daerah lain.
Mata Iblis mengirimkan bacokan ke arah leher. Clurit mengaung tanpa terlihat bentuk senjata itu. Yang tampak hanya kelebatan sinar menyilaukan ma-ta.
Wusss...!
Serangan Mata Iblis mengenai tempat kosong. Beberapa jari di depan sasaran ketika Dewa Arak mena-rik kakinya ke belakang seraya mencondongkan tu-buh.
Kegagalan serangan membuat Mata Iblis semakin beringas. Kakinya dilayangkan ke perut Dewa Arak dengan tendangan lurus yang telak. Tendangan yang mampu menghancurkan batu karang.
Untuk kedua kalinya Arya mengelakkan serangan itu. Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu melompat tinggi ke atas melewati kepala Mata Iblis. Tepat di atas kepala tokoh sesat bermata satu itu, Dewa Arak berjungkir balik dan mengirimkan totokan ke arah ubun-ubun.
Ternyata Mata Iblis bukan termasuk lawan yang mudah dipecundangi. Serangan Dewa Arak tak membuatnya gugup. Tubuhnya dicondongkan ke depan seraya mengayunkan cluritnya ke belakang melalui atas kepala! Tokoh sesat dari Tuban ini tak hanya membuat serangan Dewa Arak kandas, tapi juga mengancam pemuda itu.
Kedudukan tubuhnya yang berada di udara membuat Dewa Arak tak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Pemuda ini mengambil gucinya dan mema-pak serangan Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Klangngng...!
Benturan keras yang terjadi menimbulkan berpercikannya bunga-bunga api dan muncratnya butiran arak! Tubuh kedua petarung itu terhuyung-huyung.
Namun, Dewa Arak dan Mata Iblis segera dapat memperbaiki kedudukan tubuhnya. Sekejap kemudian kedua tokoh ini telah saling berhadapan kembali.
"Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah!" geram Mata Iblis sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Kiranya kau memiliki kepandaian lumayan. Tapi perlu kau ketahui, tak ada seorang pun yang dapat menga-lahkan Mata Iblis! Camkan itu!"
"Terima kasih atas pujian mu, Mata Iblis! Kau pun tokoh yang luar biasa!" puji Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak sekadar berbasabasi. Telah dirasakan sendiri kuatnya tenaga dalam lawan. Arya harus mengakui kalau tenaga da-lamnya hanya sedikit lebih kuat dari Mata Iblis. Padahal lawan yang harus dihadapinya bukan hanya to-koh dari Tuban itu. Masih ada Raja Babi Bertenaga Raksasa.
Raja Babi yang berasal dari Madura ini tak berada di bawah Mata Iblis. Sungguh merupakan lawan-lawan yang amat berat!
Apalagi di situ masih ada tokoh-tokoh persilatan aliran hitam lainnya.
"Aku benci dengan orang yang suka berbasa-basi tanpa mau bertindak!"
Seruan keras itu dikeluarkan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Seiring dengan seruannya tokoh sesat dari Madura ini melesat menerjang Dewa Arak.
Di tangan kanannya telah tergenggam sebatang piarit (tombak berujung tiga dari Sumatera Barat). Dengan piarit itu Raja Babi melancarkan tusukan ke arah perut!
Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan kejadian seperti ini, melompat ke atas setinggi satu tombak. Lalu menjejakkan kaki di atas piarit. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung mengerahkan tenaga untuk memberatkan tubuhnya.
Raja Babi merasakan tekanan yang amat berat di ujung piaritnya. Yang berdiri di atas senjata itu seperti bukan seorang manusia, melainkan beberapa ekor ga-jah besar. Tapi, tokoh dari Madura ini tak mau kalah gertak. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam.
Raja Babi benar-benar memang memiliki tenaga luar biasa! Ujung piarit yang sudah tertekan ke bawah kembali naik ke atas dengan bagian ujung agak mendongak ke atas.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa Arak!
Sungguh tak disangkanya demikian besar tenaga dalam Raja
Babi.
"Ambrol dadamu!" seru Mata Iblis keras seraya mengirimkan serangan sinar hijau melalui matanya yang sebelah.
Dewa Arak mengetahui serangan maut itu. Serangan yang datang dari arah belakang. Dewa Arak memperhitungkan kejadian ini untuk keuntungan dirinya. Raja Babi tepat berada di depannya. Arya lalu mengu-rangi tenaga yang diarahkan di kedua kaki. Akibat tin-dakannya itu piarit naik ke atas secara cepat. Arya mempergunakan kesempatan itu untuk melompat kemudian bersalto beberapa kali di udara.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat serangan sinar hijau lewat di bawah kakinya. Raja Babi pun kehilangan keseimbangan. Dan, serangan Mata Iblis meluncur ke arahnya! Kendati demikian, tokoh asal Madura ini masih mampu mempertunjukkan keheba-tan dirinya. Piarit yang agak terayun deras ke atas di-putar untuk menangkis serangan sinar hijau.
Crattt...!
Wusss....!
Pada saat yang bersamaan dengan ayunan piaritnya. Raja Babi menghentakkan tangan mengirimkan pukulan jarak jauh. Tepat di saat sinar hijau berbenturan dengan ujung piarit, pukulan jarak jauh itu telah terlontar setengah jalan.
Benturan antara sinar hijau dengan piarit mengakibatkan Raja Babi terjengkang ke belakang. Sekujur tangannya terasa panas bukan main. Sementara Mata Iblis menggulingkan tubuh di tanah untuk mengelakkan serangan pukulan jarak jauh Raja Babi.
Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan oleh De-wa Arak. Maka ketika mengelakkan serangan sinar hijau Mata Iblis, pemuda ini menyambungnya dengan lesatan cepat meninggalkan tempat itu. Tokoh-tokoh persilatan yang ada di situ mencoba mencegah. Tapi mereka berpentalan ke sana kemari Ketika Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya.
"Keparat...!" maki Mata Iblis geram. "Bocah kurang ajar itu telah mengecoh ku!"
"Ke mana pun kau lari akan kukejar, pemuda sombong!" seru Raja Babi Bertenaga Raksasa tak kalah murka.
Kedua tokoh sesat yang merasa tertipu ini tak me-lanjutkan pertarungan lagi. Mereka hanya saling berpandangan sejenak sebelum melesat meninggalkan tempat itu menuju arah yang ditempuh Dewa Arak
Arya yang tahu betapa berbahayanya Raja Babi dan Mata Iblis, mengerahkan seluruh kemampuan larinya. Dalam waktu sekejap saja ratusan tombak telah dilalui. Pemuda berambut putih keperakan itu baru memperlambat kecepatannya ketika merasakan rontaan di bahunya.
"Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri" Kata-kata itu membuat Dewa Arak menghentikan lari. Lalu diturunkanya tubuh Winarni
"Terima kasih atas pertolonganmu Sobat. Tapi, kau terlalu tergesa-gesa campur tangan. Padahal aku bermaksud
melenyapkan penjahat-penjahat kecil itu."
"Maaf, Nona. Bukan maksudku bertindak lancang mencampuri urusanmu. Tapi, kulihat kau terancam bahaya.
Dan...."
"Siapa bilang aku terancam?!" potong Winarni cepat. "Memang kuakui saat itu aku tengah terdesak. Tapi itu bukan berarti aku akan kalah. Ilmu andalan ku belum ku keluarkan! Tak ada kata kalah buat to-koh persilatan dari Gunung Bromo! Aku adalah keturunan dari Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang amat terkenal di dunia persilatan!"
"Sayang sekali... gadis secantik ini memiliki watak demikian tinggi hati," pikir Arya menyesalkan. Tapi di mulutnya ia mengeluarkan perkataan lain. "Maaf, atas kelancanganku. Kalau saja ku tahu kau keturunan tokoh-tokoh itu, tak mungkin aku berani ikut campur tangan! Dengan sedikit kepandaian yang kumiliki ini mana mungkin aku berani tak tahu diri menolong keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang terkenal memiliki kepandaian setinggi langit!"
"Syukurlah kalau kau mengerti," sahut Winarni tanpa mengurangi rasa sombongnya.
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata apa pun. Hanya, di dalam kepalanya bergayut pertanyaan yang tak terkeluarkan.
"Siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang berjuluk Pendekar Gunung Bromo? Kalau saja tak mengingat kesombongan yang ditunjukkan gadis ini, akan kutanyakan padanya siapa sebenarnya mereka...."
"Kau tahu siapa diriku. Tapi, kau belum memperkenalkan siapa dirimu sebenarnya. Aku yakin meski tingkat kepandaian yang kau miliki belum berapa tinggi, kau telah mempunyai cukup nama di dunia persila-tan," ujar Winarni lagi berusaha mengetahui tentang Dewa Arak.
"Orang sepertiku mana mungkin punya nama di dunia persilatan, Nona," sahut Arya merendahkan diri. "Terlalu banyak orang-orang sakti di dunia persilatan. Apalah artinya aku ini? Tak ada gunanya diketahui tentang diriku. Lain halnya dengan dirimu, Nona."
Winarni hanya mengangkat bahu dengan sikap tak peduli, kendati rasa ingin tahunya meluap-luap. Se-kuat tenaga perasaan itu ditahannya.
"Aku tak ingin menakut-nakuti. Tapi perlu kuberitahukan padamu untuk berhati-hati. Orang-orang yang bertarung denganku memiliki kepandaian amat tinggi. Aku yakin tindakanmu mencampuri urusanku dengan mereka akan berbuntut panjang. Mereka akan mencarimu. Dan...."
"Kuucapkan terima kasih yang sebesarnya atas perhatianmu, Nona," sela Arya tak sabar. "Meskipun kepandaian yang kumiliki tak setingkat denganmu, aku tak akan mundur jika orang-orang itu meminta pertanggung-jawaban. Sampai jumpa lagi, Nona. Sayang, aku masih mempunyai urusan lain."
Tanpa banyak basa-basi lagi Arya meninggalkan Winarni dengan langkah seenaknya. Winarni menggertakkan gigi. Geram melihat tingkah Dewa Arak yang berani menyela ucapannya dan meninggalkan dirinya begitu saja.
"Lancang sekali pemuda itu! Sungguh berani dia bersikap seperti itu padaku. Lupakah dia kalau aku keturunan PendekarPendekar Gunung Bromo?!" rutuk Winarni dalam hati. Kemudian, tubuhnya dibalikkan dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil memonyongkan bibir.
***
Arya duduk di pinggir sungai dengan pandangan tertuju ke permukaannya. Tatapannya yang tak pernah berubah menunjukkan kalau pemuda berambut putih keperakan ini tengah tenggelam dalam lamunan.
"Tak salahkah Penyair Cengeng? Masalah apakah yang dimaksudnya akan kutemui di daerah ini? Semula kupikir ada hubungannya dengan gadis berpakaian merah yang sombong itu. Tapi ternyata tidak! Masalah gadis itu hanya kecil saja. Atau, sebaiknya ku tinggalkan daerah ini?" pikir Arya dengan pandang mata tak bergeming dari permukaan air sungai,
Pekikan melengking nyaring membuat Arya tersadar dari lamunan. Kepalanya didongakkan ke atas. Tampak sosok berwarna kuning keemasan tengah melayang-layang di angkasa, berputaran tepat di atasnya.
Arya harus mengerahkan tenaga dalam ke mata agar dapat melihat lebih jelas sosok kuning keemasan itu. Ternyata seekor burung garuda!
"Garuda Emas?!" desis Arya. "Bukankah binatang itu yang ditunggangi Penyair Cengeng?"
Dewa Arak pernah berjumpa dengan Penyair Cen-geng di saat tokoh itu menunggangi Garuda Emas. (Untuk jelasnya, silakan baca episode "Angkara Si Anak Naga").
"Hei! Apa itu?!"
Arya melihat sesuatu melayang jatuh dari burung Garuda Emas. Sesuatu yang meluncur tepat ke arah Dewa Arak. Semula Dewa Arak bersikap waspada. Khawatir akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Tapi ketika benda itu terlihat semakin jelas, kewaspadaan Arya berkurang. Benda itu ternyata segulungan kulit binatang.
Setelah yakin gulungan kulit binatang itu tak berbahaya, Dewa Arak menerimanya ketika telah hampir menimpa kepala.
Dewa Arak
Untuk kedua kalinya kita berjumpa dengan cara ini. Aku yakin sekarang kau telah terlihat dalam masalah yang ku maksud. Kendati mungkin kau belum mengetahuinya secara pasti. Masalah yang kuharap dapat kau selesaikan berawal pada lima tahun lalu antara Pendekar-Pendekar Gunung Bromo dengan musuh bebuyutannya. Selamat bertugas, Dewa Arak. Kuharap dengan pemberitahuan ini, kau akan mengetahui masalah yang sebenarnya. Aku pun tahu tentang masalah ini dari Eyang Nararya alias Kertapati. Sebenarnya dia bermaksud mengurusnya sendiri. Tapi, dia sudah jemu berurusan dengan kekerasan! Sekali lagi selamat bertugas, Arya!
Penyair cengeng.
Arya mendongakkan kepala menatap ke angkasa. Tak ada sesuatu pun di sana. Kecuali langit biru dan gumpalan awan putih. Pemuda ini mengedarkan pan-dangan ke sekitarnya. Namun Garuda Emas sudah tak ada.
"Kalau saja gadis itu tak demikian sombong," pikir Arya menyesalkan. "Mungkin sudah kuketahui masalah yang harus kuhadapi. Sikap gadis sombong itu membuat semuanya berantakan! Tapi, akan ku coba memenuhi harapan Penyair Cengeng"
Arya bangkit berdiri. Gulungan kulit binatang itu diselipkannya ke pinggang. Kemudian, pemuda ini membalikkan tubuh dan melesat pergi hendak menyu-sul Winarni.
Maksud Arya terhenti di tengah jalan. Matanya sekilas melihat sesuatu timbul tenggelam di permukaan sungai. Arya memperhatikan lebih teliti. Ternyata seorang manusia! Arus sungai yang cukup deras membuat sosok itu melaju cepat.
Arya segera bertindak. Tangan kanannya dijulurkan ke depan. Saat itu sosok kuning yang terapung lewat di depannya. Jarak antara Arya dan sosok itu tak kurang dari lima tombak.
Juluran tangan Arya yang ditopang pengerahan tenaga dalam membuat sosok itu tidak terbawa arus. Arya lalu memutar pergelangan tangannya. Seketika, sosok berbaju kuning melayang deras ke arahnya. Se-belum sosok itu jatuh menimpa pinggir sungai yang berbatu-batu, Arya telah menangkapnya dengan sebelah tangan. Seakan sosok itu tak lebih dari sehelai daun!
Arya langsung merebahkan sosok berbaju kuning di batu yang berpermukaan rata. Dia seorang gadis cantik. Kulitnya putih halus. Tubuhnya yang montok tampak jelas karena pakaiannya yang basah melekat di badan.
"Seorang gadis yang sangat cantik...," pikir Arya penuh kagum sambil mengamati sekujur tubuh sosok kuning.
Pemuda berambut putih keperakan ini tak langsung memberikan pertolongan.
"Gadis ini tak bernapas lagi. Jantungnya berhenti berdenyut. Kalau kubiarkan lebih lama, tentu dia akan mati. Tapi..., bagaimana mungkin aku menolongnya? Jika dia sadar dan tahu tindakanku, dia akan marah besar dan mendugaku yang bukanbukan."
Arya benar-benar bingung. Di satu pihak dia ingin menolong. Tapi kekhawatiran muncul di hatinya. Setelah dipertimbangkan sejenak, akhirnya Arya mengambil keputusan yang dirasanya tepat.
Jantung Arya berdetak cepat ketika mendekatkan wajahnya ke wajah gadis berpakaian kuning. Tercium oleh pemuda ini keharuman khas wanita dari tubuh si gadis.
Arya memang seorang pemuda yang berhati dan pikiran bersih. Tak pernah pemuda ini mengimpikan untuk melakukan tindakan tak senonoh terhadap seo-rang wanita. Apalagi di saat wanita tersebut tak sadar-kan diri. Kendati demikian, dia seorang manusia biasa. Tak luput dari serbuan berbagai macam perasaan dan hawa nafsu. Dan, kali ini perasaan itu melandanya.
"Jangan bertindak bodoh, Arya," bisik setan di hati pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan lagi kau mendapatkan kesempatan seperti ini? Gadis di depanmu cantik sekali. Bisa dihitung dengan jari wanita yang memiliki kecantikan seperti dirinya. Bentuk tubuhnya pun menggiurkan. Dia toh tak akan tahu. Lagi pula, kau tak akan melakukan tindakan yang keterlaluan terhadapnya."
Godaan setan di hati Arya membuat napas Arya agak memburu. Sekelebat pikiran yang mendukung gagasan tak baik itu muncul di benaknya.
"Benar! Kurasa tak ada salahnya melakukan hal itu. Toh, gadis ini tak akan rugi apa pun! Hanya cium, membelai. Lain tidak"
Pikiran-pikiran itu yang melanda Arya di saat wajahnya didekatkan ke wajah berpakaian kuning. Tapi di saat wajah kedua muda-mudi itu semakin dekat, akal sehat Arya bekerja.
Arya mampu menekan gejolak nafsu ketika bibirnya bertemu dengan bibir indah gadis berpakaian kuning. Dengan mempergunakan mulutnya, Arya menghembus udara ke dalam mulut gadis berpakaian kuning yang terbuka.
Sambil menghembus, sesekali Arya mengiringinya dengan menekan dada si gadis. Beberapa kali hal itu dilakukan. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning bernapas kembali. Arya pun menghentikan pertolon-gannya.
Pada saat yang bersamaan dengan berhentinya Arya melakukan pertolongan, gadis berpakaian kuning membuka matanya. Seketika mata indah itu memancarkan keterkejutan.
"Sabar dulu. Nona. Sabar! Kau salah paham!" ujar Arya dengan kedua tangan terjulur ke depan dan me-langkah mundurmundur. "Aku tak bermaksud kurang ajar atau berbuat tak senonoh. Tapi,..."
"Manusia terkutuk!" sela gadis berpakaian kuning geram seraya melompat bangun. Sepasang matanya menyiratkan kemarahan. "Kau harus menebus kekurang-ajaranmu dengan nyawamu yang tak berharga!"
Gadis berpakaian kuning yang bukan lain Dewi Ratna ini langsung mengirimkan serangan. Tangan kanannya menegang kaku. Dengan sisi telapak tangan gadis ini membacok leher Dewa Arak. Bunyi bercuitan tajam mengiringi gerakan tangannya.
"Gila!" pikir Arya, kaget bercampur kagum. "Gadis ini hebat juga! Tidak hanya tenaga dalamnya yang kuat, juga ilmunya hebat. Ilmu yang dipergunakannya mirip dengan ilmu Darba" (Untuk mengetahui lebih jelas tentang tokoh yang bernama Darba, silakan baca episode "Cinta Sang Pendekar").
Dengan berdasarkan pengalaman bertarung dengan Darba, Dewa Arak tahu kalau babatan tangan Dewi Ratna tak kalah berbahayanya dengan babatan golok pusaka! Karena itu Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Kendati diyakini kalau menangkis dengan tangan telanjang dia mampu, namun hal itu tak dila-kukannya. Sudah menjadi sifat Arya untuk lebih dulu melihat kedahsyatan ilmu lawan sebelum bertindak le-bih jauh.
Wuttt...!
Beberapa helai rambut Dewa Arak putus. Tangan Dewi Ratna memang lewat beberapa jari di atas kepala Arya ketika pemuda berambut putih keperakan itu mengelak dengan menundukkan kepala. Sambaran angin serangan Dewi Ratna yang memutuskan ram-but-rambut itu.
Kegagalan serangan pertama membuat Dewi Ratna semakin sewot. Arya ternyata bukan lawan yang rin-gan. Serangan lanjutan yang sudah dipersiapkannya meluncur dalam bentuk tusukan jari tangan kiri ke arah dada. Kali ini Dewa Arak tak mengelak.
–––––––– 6
Takkk...!
Benturan agak keras terdengar ketika Dewa Arak melakukan tangkisan. Begitu tangan mereka beradu, pemuda ini segera mengerahkan tenaga menyedot. Dewi Ratna tak bisa menarik tangannya kembali.
"Heh...?!" Dewi Ratna tak kuasa untuk menahan pekikan kaget. Kejadian ini sama sekali tak disangka-sangkanya. Sesaat dia tertegun keheranan. "Apa yang hendak dilakukan manusia kurang ajar ini?! Kepandaiannya boleh juga!"
Sadar kalau tangan kirinya tak bisa dibebaskan, Dewi Ratna mengirimkan serangan susulan. Gadis ini mengirimkan bacokan ke arah pelipis. Salah satu tempat yang lemah di tubuh manusia. Kendati manusia itu memiliki kesaktian setingkat dengan Dewa Arak! Sebagai pendekar muda yang kenyang pengalaman, tentu saja Arya mengetahui ancaman maut itu.
"Gadis ini benar-benar kalap. Dia tak main-main lagi. Setiap serangannya berakibat maut bagiku," pikir Dewa Arak. Bergegas Arya mengelakkan serangan Dewi Ratna. Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tak membutuhkan tenaga banyak. Hanya dengan mengge-rakkan tubuh bagian atas Dewa Arak berhasil mem-buat serangan Dewi Ratna tak mengenai sasaran. Sisi tangan miring gadis berpakaian kuning itu hanya mengenai pundak kanan Dewa Arak.
Dukkk....
Untuk kedua kalinya tangan Dewi Ratna tak bisa ditarik kembali. Tangannya menempel pada bahu De-wa Arak!
Betapapun putri Mundarang ini berusaha keras menarik tangannya, tetap saja sepasang tangannya tak bergeming.
Dewi Ratna tak putus asa. Dia meronta-ronta agar dapat melepaskan diri. Sayang, usahanya sia-sia. Sepasang tangannya tetap tak bergeming.
"Sabarlah, Nona. Tenangkan hati. Jangan menuruti amarah belaka. Aku sama sekali tak bermaksud buruk. Apa yang kulakukan karena ingin menyela-matkanmu. Tak ada maksudmaksud lainnya," beritahu Arya tanpa mempedulikan Dewi Ratna yang terus meronta-ronta.
Arya memang memiliki kesabaran yang cukup besar. Kendati Dewi Ratna tak mempedulikan seruannya, tetap saja ucapannya dilanjutkan. Tapi ketika terus tak ada perubahan, Arya sadar kegagalan akan diterimanya.
Tanpa menggerakkan anggota tubuh dan hanya mengerahkan tenaga dalam, Dewa Arak melemparkan tubuh Dewi Ratna ke belakang. Di saat tubuh gadis itu masih melayang Dewa Arak menjulurkan tangan. Dewi Ratna merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Ia telah terkena totokan dari jarak jauh.
"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas, "Manusia kurang ajar ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku jelas bukan tandingannya. Apa akalku agar dapat selamat? Paman Ardaraja memang tak berlebihan mengatakan kalau di dunia persilatan banyak tokoh-tokoh sakti!"
Kedongkolan Dewi Ratna agak mengendur ketika mengetahui tubuhnya mendarat di tanah secara perlahan-lahan. Tidak terbanting begitu saja.
"A... apa yang hendak kau lakukan?" tanya Dewi Ratna dengan tubuh masih tergolek di tanah ketika melihat Dewa Arak mendekatinya.
"Buang jauh-jauh dugaan burukmu, Nona. Ingat-lah baikbaik kejadian sebelum ini. Apa yang kau alami sebelum hanyut dibawa sungai?"
Ucapan Dewa Arak ternyata membawa pengaruh besar. Dewi Ratna terjingkat bagai disengat ular berbisa. Ucapan Arya mengingatkannya akan hal yang terlupakan. Karena seluruh perhatiannya tercurah pada amarah terhadap Dewa Arak.
Gadis berpakaian kuning ini mulai ragu dengan dugaannya. Kalau pemuda berambut putih keperakan itu memang kurang ajar dan memiliki watak tak baik, saat dirinya tak berdaya merupakan kesempatan ba-gus. Tapi, kenyataannya tidak. Bahkan, beberapa kali Arya mengingatkan akan terjadinya salah paham.
"Kau kutemukan hanyut di sungai ini," lanjut Arya ketika dilihatnya Dewi Ratna tercenung. "Aku berusaha menolong. Ternyata kau tak sadarkan diri. Detak jantungmu pun tak terdengar lagi. Untuk menyelamatkan nyawamu terpaksa kulakukan pernapasan buatan. Aku yakin kesalah-pahaman kemungkinan besar akan terjadi. Tapi, kuambil kemungkinan buruk itu untuk menyelamatkanmu...."
Penjelasan Dewa Arak terdengar samar-samar di telinga Dewi Ratna. Sebagian besar perhatiannya tengah tercurah pada kejadian yang dialaminya sebelum hanyut ke sungai. Peristiwa itu terbayang kembali di benak Dewi Ratna....
Dewi Ratna terhuyung-huyung ketika Ardaraja mengibaskan tangan. Gadis yang berhati keras itu hendak melesat keluar gua. Tapi, runtuhan atap gua membuat gadis ini mengurungkan niatnya.
Dewi Ratna berlomba dengan batu-batu besar yang berjatuhan dari atas untuk menyelamatkan nyawa. Dia menggulingkan tubuh ke sisi sebelah kanan gua. Di sana terdapat celah selebar satu tombak.
Dewi Ratna memang berhasil menghindar dari batu-batu besar. Tapi, batu-batu kecil sebesar kepala manusia banyak yang menimpa sekujur tubuhnya. Untung, tak satu pun yang mengenai kepala! Gadis ini juga berhasil mencapai celah di dinding gua.
Dewi Ratna lalu merayap untuk tiba di ujung celah. Belasan tombak dilalui akhirnya gadis itu berhasil mencapai ujung celah rahasia. Ujung celah terlindungi oleh lebatnya rerumputan dan semak, sehingga tak terlihat dari luar.
Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang kotor berdebu, Dewi Ratna menguak rerumputan dan se-mak-semak. Gadis ini sudah tak sabar untuk segera tiba di gua tempat tinggalnya. Agar dapat membantu pamannya menghadapi tamu-tamu tak diundang yang agaknya dari Kelompok Penjagal Manusia! Gadis yang keras hati ini tak khawatir Ardaraja akan memara-hinya habishabisan. Dia lebih khawatir kehilangan pamannya.
Di saat Dewi Ratna meninggalkan ujung celah rahasia, Ardaraja telah berdiri berhadapan dengan lelaki yang mempunyai ciri berbeda satu sama lain.
"Akhirnya kau menampakkan congormu juga, Ardaraja," ujar lelaki tinggi kurus bercelana pendek hitam. Lelaki ini tak henti-hentinya mengipasi tubuhnya yang berpeluh.
Lelaki kedua yang berdiri di belakang lelaki jang-kung memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang.
Tubuhnya pendek gemuk. Dari ujung kaki sampai kepala, kecuali wajah, tertutup oleh pakaian dari kulit binatang. Kedua tangannya dilipat di depan dada seperti layaknya orang kedinginan. Padahal, keadaan ha-ri itu sangat panas. Sang surya yang berada tepat di atas kepala memancarkan sinarnya dengan terik.
Ardaraja yang berdiri dua tombak dari mulut gua menatap sengit lelaki kurus di depannya. Orang yang ditatap terlihat tenang saja dan terus mengipasi tubuhnya.
"Itu berarti nyawamu akan pergi meninggalkan raga, Ardaraja," sambut lelaki pendek gemuk yang memi-liki suara lembut seperti wanita, "Kau akan menyusul Buluk Siwu yang tewas di tanganku! Sayang, putri Buluk Siwu tak berada di tempat, sehingga bisa lolos dari maut!"
"Tapi, kau akan selamat jika mau menunjukkan di mana pimpinan kami," timpal lelaki jangkung yang memiliki suara kasar.
"Kalian hanya dapat mengetahuinya bila telah melangkahi mayatku!" tandas Ardaraja. "Dan sebelum itu terjadi, kalian berdua akan lebih dulu melayat ke lu-bang kubur!"
Seiring dengan keluarnya bentakan itu, Ardaraja mengeluarkan seuntai tasbih yang tersusun dari batu-batu kecil. Lelaki yang tak kuasa menahan amarahnya itu kemudian menyabetkan tasbih ke arah kepala lelaki bercelana pendek.
Wuttt...!
Serangan tasbih mengenai tempat kosong. Lelaki jangkung telah merendahkan tubuhnya. Rambut dan pakaiannya berkibaran keras ketika senjata Ardaraja lewat di atas kepalanya.
Lelaki bercelana pendek hitam tak tinggal diam. Kipas yang terbuat dari bulu binatang ternyata bergu-na pula sebagai senjata. Bahkan tak kalah ampuhnya dengan tasbih. Dua tokoh bersenjata aneh ini pun terlibat pertarungan sengit!
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semula tak terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Tapi, begitu menginjak puluhan jurus Ardaraja harus mengakui keunggulan lawan. Dia mulai terdesak.
Saat Ardaraja hanya dapat bergerak mundur, Dewi Ratna tiba. Dalam jarak beberapa tombak gadis itu berseru penuh semangat.
"Jangan khawatir, Paman...! Aku datang membantu!" Trakkk...!
Tangkisan yang dibuat lelaki tinggi kurus membuat Dewi Ratna terjengkang ke belakang. Pedang yang tergenggam hampir saja lepas dari pegangan.
Di lain pihak, lelaki bercelana pendek hitam yang setiap gerakannya menyebarkan hawa panas luar bi-asa tak terpengaruh sedikit pun. Waktu yang longgar sedikit itu dipergunakan oleh Ardaraja untuk melan-carkan serangan.
Serangan Ardaraja terlalu cepat datangnya. Lelaki bercelana pendek hitam tak mempunyai kesempatan untuk menangkis. Yang dilakukan hanya mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang lalu bergu-lingan menjauh.
Kesempatan itu kembali dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ardaraja. Dengan mempergunakan kibasan tangan, gulingan tubuh Dewi Ratna ditambahnya. Kibasan tangan tokoh Gunung Bromo ini menimbulkan deru angin keras.
"Pergilah kau, Ratna. Jangan sia-siakan nyawamu!" seru Ardaraja.
Lelaki ini ingin berbicara banyak. Tapi, kesempatan yang tercipta sangat singkat. Ketika pemberitahuannya terhadap Dewi Ratna baru saja selesai, lelaki pendek gemuk melesat menerjangnya.
Berbeda dengan lelaki bercelana pendek hitam, se-rangan lelaki pendek gemuk menimbulkan gelombang hawa dingin luar biasa. Ardaraja mengelak seraya mengerling ke arah keponakannya. Lelaki dari Gunung Bromo ini terkejut melihat Dewi Ratna belum juga me-ninggalkan tempat itu. Bahkan, gadis itu seperti akan membantunya. Ardaraja merasa cemas. Apalagi ketika melihat lelaki jangkung telah bersiap hendak menyerbunya kembali.
"Ratna! Pergilah cepat! Atau kau ingin aku mati penasaran?!"
Ucapan yang dikeluarkan dengan nada keras itu membuat Dewi Ratna kebingungan. Dia merasa bimbang. Sementara Ardaraja semakin kelabakan. Lelaki jangkung kurus melesat menerjangnya. Sedangkan le-laki pendek gemuk bergerak meninggalkannya.
"Urus dia! Biar aku yang akan menangkap gadis liar itu!" ujar lelaki pendek gemuk yang berpakaian kulit binatang.
Kenyataan ini membuat Ardaraja semakin cemas. Tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri dia me-lompat berusaha menghalangi maksud lelaki pendek gemuk.
"Ratna! Lari! Apa aku harus membunuh diri di depan matamu agar kau menuruti kehendakku?!" teriak Ardaraja di tengah terjangan yang dilakukannya.
Perintah yang dikeluarkan dengan nada putus asa ini membuat Dewi Ratna terisak. Gadis ini merasa terharu sekali. Dia tahu pamannya menginginkan dia selamat. Sebaliknya, Dewi Ratna lebih suka mati bersa-ma-sama Ardaraja.
Dewi Ratna tak ingin mengecewakan pamannya. Setelah melepas pandangan terakhir, tubuhnya dibalikkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu. Gadis berpakaian kuning itu meninggalkan Ardaraja dengan hati tak rela. Beberapa kali kepalanya ditolehkan ke belakang. Ketika untuk kesekian kalinya ia berpaling, gadis itu melihat Ardaraja roboh dan tak bergerak lagi terkena hantaman lelaki Jangkung.
Dewi Ratna ingin segera kembali membalaskan kematian Ardaraja. Tapi, akal sehat melarangnya. Dia pun melesat terus. Bahkan menambah kecepatan larinya. Apalagi ketika dilihatnya pembunuh-pembunuh pamannya berlari mengejar.
Karena kecepatan lari dua orang pembunuh Arda-raja itu berada di atas Dewi Ratna, jarak antara mere-ka semakin dekat. Putri Mundarang ini menyadari keadaan yang berbahaya itu. Lambat laun dirinya akan tersusul. Maka segera dicarinya jalan keluar.
Dewi Ratna cukup mengenai daerah sekitar tempat itu. Belasan tombak darinya terdapat jalan buntu. Tidak ada jalan lagi. Di bawahnya ada sebuah sungai. Beberapa puluh tombak dari atas tebing.
Tepat di saat Dewi Ratna melayang turun pengejar-
pengejarnya tiba di tepi tebing. Yang jangkung berdiam diri saja. Hanya lelaki pendek yang bertindak. Kedua tangannya dihentakkan ke depan menimbulkan deru angin dingin yang meluncur ke arah tubuh Dewi Rat-na!
Sampai di sini Dewi Ratna menghentikan lamunannya. Dia masih ingat saat tubuhnya masih me-layang sergapan hawa dingin yang luar biasa melanda. Lalu dia pun tak ingat apa-apa lagi. Bahkan ketika tu-buhnya menyentuh permukaan air. "Kurasa...," ucapan Arya membuat Dewi Ratna mengalihkan perhatian. "Kau telah berhasil mengingat kejadian yang menimpamu, Nona."
Dewi Ratna tak memberikan tanggapan. Tapi, kecurigaanya telah lenyap. Saat itu Arya mendengar jeritan-jeritan menyayat hati. Bergegas pemuda ini bangkit dari duduknya. Dewi Ratna yang melihat tingkah Arya sempat merasa kaget.
Arya menyadari keheranan Dewi Ratna. Tapi, dia tak mempunyai waktu untuk menjelaskan. Dia ingin segera tiba di tempat datangnya teriakan-teriakan me-nyayat hati. Agaknya telah terjadi pembantaian di sa-na.
"Selamat tinggal, Nona. Kuharap pertemuan antara kita bisa terulang dalam suasana yang lebih menyenangkan!"
Arya membalikkan tubuh setelah terlebih dulu me-lambaikan tangan seperti orang mengucapkan selamat berpisah. Kemudian, pemuda ini melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dewi Ratna semula terkejut melihat tindakan Arya. Demikian kejikah pemuda itu sehingga tega meninggalkannya dalam keadaan seperti ini? Tapi, kecemasannya langsung buyar ketika dirasakan jalan darahnya kembali normal. Pemuda berambut putih keperakan itu ternyata masih ingat untuk membebaskan dirinya dari totokan. Kenyataan ini semakin membuat Dewi Ratna ragu kalau Dewa Arak bermaksud tak baik terhadapnya.
"Mungkin yang dikatakannya benar," pikir Dewi Ratna. "Sepertinya tak mungkin orang segagah dan sejantan dia memiliki watak demikian buruk!"
Masih dengan benak memikirkan Dewa Arak, Dewi Ratna bangkit melesat ke arah yang ditempuh Arya.
Pada saat yang bersamaan dengan Dewa Arak me-nemukan tubuh Dewi Ratna, Raja Babi Bertenaga Raksasa dan Mata Iblis terus berlari melakukan pengejaran. Karena jarak yang tertinggal terlalu jauh, dua tokoh sesat ini salah mengikuti jejak. Keduanya berlari dengan arah lurus. Padahal Dewa Arak telah berbelok pada suatu persimpangan. Dewa Arak berbelok ke arah kiri.
Mata Iblis dan Raja Babi yang saling berlomba untuk mendapatkan Winarni lebih dulu terus saja berlari. Mata Iblis ternyata memiliki ilmu lari cepat di atas saingannya. Raja Babi tertinggal belasan tombak di be-lakang Mata Iblis.
Sekarang dua tokoh sesat tingkat tinggi itu berada di jalan tanah selebar tiga tombak. Di kanan kirinya terdapat semaksemak dan pepohonan. Biasanya daun-daun pohon dan semak akan bergoyang jika an-gin berhembus agak keras. Tapi, kali ini bukan hanya daun-daun. Batang pohon yang besarnya tiga pelukan orang dewasa itu pun bergoyang keras.
"Ada yang tak beres...," pikir Mata Iblis dan Raja Babi ketika melihat keanehan ini.
Seperti telah disepakati sebelumnya, Raja Babi dan Mata Iblis menghentikan lari. Kedua tokoh sesat ini memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan penuh waspada. Dan, kewaspadaan itulah yang menyebabkan mereka berdua dapat mendengar bunyibunyi mencurigakan. Serempak keduanya mengeluarkan senjata masing-masing. Raja Babi mengeluarkan piaritnya, sedangkan Mata Iblis mencabut clurit!
Bertepatan dengan tindakan kedua tokoh sesat itu, dari atas pohon di kanan kiri jalan melayang turun beberapa sosok tubuh. Di tangan mereka tergenggam sebatang tombak yang pada dekat ujungnya dilekatkan kain bendera. Kain berwarna merah darah bergambar tengkorak kepala manusia yang ditunjang oleh sepasang tulang yang saling bersilangan!
Berbeda dengan Mata Iblis yang masih memperhatikan sosok-sosok itu dengan pandang mata penuh selidik, Raja Babi tampak memucat wajahnya. Memang, dibanding tokoh dari Tuban itu Raja Babi Bertenaga Raksasa yang memiliki pengalaman luas bisa memperkirakan siapa para penghadangnya.
"Tidak salah lihatkah aku? Apakah kalian orang-orang dari Kelompok Penjagal Manusia?!" tanya Raja Babi dengan suara menyiratkan ketegangan.
Mata Iblis kendati tak bisa menebak siapa tiga sosok yang menghadang perjalanannya, tapi begitu mendengar ucapan Raja Babi jadi terperanjat kaget. Julukan Kelompok Penjagal Manusia telah pernah didengarnya. Namun Mata Iblis yang percaya akan kemam-puan diri tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan, den-gan sikap angker diperhatikannya tiga lawannya satu persatu.
"Ternyata kau mempunyai pengetahuan yang cukup luas, Gendut!" sambut salah seorang dari tiga penghadang. Ia bertubuh tinggi kurus. Tinggi tubuhnya terlihat lebih jelas karena dia mengenakan celana pendek hitam. Lelaki ini mempunyai kulit tubuh merah kehitaman. "Memang, kami tokoh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia! Sudah tahu siapa adanya kami, mengapa tak lekas berlutut dan memohon am-punan?!"
"Tidakkah tindakan yang kau lakukan itu terlalu keras, Setan Pembakar Jasad? Aku yakin ucapanmu membuat mereka kaget dan ketakutan," sambung sosok lain yang memiliki suara lebih lembut.
Sosok kedua ini memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan sosok pertama. Lelaki ini bertubuh pendek gemuk. Tubuhnya tertutup pakaian tebal dari bulu binatang.
––––––––
7
Melihat sorot mata Setan Pembakar Jasad dan temannya yang berjuluk Setan Pembeku Darah, Mata Iblis serta Raja Babi tahu kalau kedua tokoh itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Sinar mata kedua penghadangnya ini mencorong tajam bagai mata hari-mau dalam gelap!
Sosok yang berdiri di belakang Setan Pembakar Jasad dan Setan Pembeku Darah lebih mengiriskan hati. Ia bertubuh tinggi besar dan kokoh laksana batu karang. Pakaian dan celananya berwarna merah darah. Terbungkus jubah luar hitam pekat. Wajahnya dingin tak membiaskan perasaan apa pun. Sepasang mata tokoh berjubah hitam ini memancarkan warna hijau kemerahan!
Tokoh yang memiliki mata mengerikan itu berdiri diam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sikapnya menunjukkan ketidak-perhatian pada masalah yang terpampang di depannya.
Ucapan Setan Pembakar Jasad segera mendapat tanggapan dari Mata Iblis. Memang, tokoh dari Tuban ini tak lebih berangasan dari Raja Babi. Tapi dia kurang begitu mengenal Kelompok Penjagal Manusia. Karena itu, Mata Iblis lebih berani mengutarakan penda-patnya.
"Kalian kira siapakah kalian sehingga dapat membuatku merasa takut?!" bentak Mata Iblis dengan suara keras menggelegar. "Jangankan tokoh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia, Kelompok Penjagal Iblis sekalipun Mata Iblis tak merasa gentar. "
"Sungguh berani kau bicara seperti itu, Picak? Rupanya kau sudah bosan hidup, heh?!" sergah Setan Pembakar Jasad penuh kemarahan. Lelaki ini memang memiliki watak mudah marah.
"Kaulah yang sudah tak ingin melihat matahari terbit besok jika berani menentang Mata Iblis!" bentak tokoh sesat dari Tuban tak kalah keras.
Usai berkata demikian, Mata Iblis menerjang Setan Pembakar Jasad. Dikirimkannya pukulan lurus ke arah dada. Pukulan itu langsung dipapak oleh tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia dengan gerakan yang sama.
Desss...!
Bunyi keras seperti bertumbukannya dua benda keras terjadi. Dua kepalan tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh Mata Iblis terjengkang ke belakang dengan sekujur tubuh terasa sakit. Sementara Satan Pembakar Jasad tak bergeming sama sekali!
Ketika berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar, Mata Iblis tampak terkejut bukan main. Bukan hanya karena mengetahui benturannya gagal. Tapi juga karena adanya rayapan hawa panas di tangannya. Buru-buru dipunahkan hawa panas itu dengan mengerahkan tenaga dalam
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, Pi-cak?!" ejek Setan Pembakar Jasad. "Hanya dengan kemampuan seperti itu kau berani menentang Kelompok Penjagal Manusia. Sungguh lucu!"
Terdengar bunyi gemeretak keras seperti tulang-tulang berpatahan. Padahal Mata Iblis tak melakukan tindakan apa pun. Lelaki itu hanya merasa geram bukan main. Dan, itu membuat tenaga dalamnya mengalir sendiri sehingga menimbulkan bunyi keras.
"Sombong...!" rutuk Mata Iblis dengan suara bergetar. "Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Apa yang ku keluarkan tadi belum seberapa!"
Mata Iblis menghimpun tenaga dalam. Matanya yang semula hampir berupa garis mulai membeliak dan memancarkan sorot kehijauan. Sorot itu semakin lama semakin terang. Kemudian melesat ke arah Setan Pembakar Jasad.
Setan Pembakar Jasad terperanjat kaget. Dia sama sekali tak menyangka lawannya mempunyai ilmu seperti itu. Ilmu yang semula diyakininya hanya dimiliki oleh dua orang. Iblis Penghisap Darah yang dulu menjadi ketuanya, dan seorang tokoh lagi yang sekarang menjadi ketua baru.
Kendati demikian, tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia ini tak menjadi gugup. Kedua tangannya yang terkepal disilangkan di depan dada untuk menghimpun seluruh tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, mengepul uap tipis disertai hawa panas menyengat menyebar dari sekujur tubuh Setan Pembakar Jasad!
Hawa yang tercipta ternyata cukup panas untuk memaksa Raja Babi menjauhi kancah pertarungan. Sementara lelaki tinggi besar dan Setan Pembeku Darah tak beranjak dari tempat itu. Malah, Setan Pembeku Darah tetap dengan kebiasaannya, menggigil kedinginan tak peduli cuaca apa pun yang tengah dihadapinya.
Setan Pembakar Jasad menarik tangan kanannya ke pinggang dalam kedudukan jari-jari terkepal. Lalu dihentakkan ke depan dengan kekuatan dan kecepatan penuh.
Wusss...!
Bola api kemerahan meluncur ke arah sinar kehijauan dari Mata iblis. Di tengah jalan kedua sinar maut itu berbenturan menimbulkan bunyi ledakan nyaring. Tokoh sesat dari Tuban terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Setan Pembakar Jasad hanya terhuyung-huyung.
Setan Pembakar Jasad benar-benar tak mau memberi kesempatan pada lawan, Dia segera melompat tinggi ke atas dan turun tepat di atas tubuh Mata Iblis yang baru berhasil bangkit. Setan Pembakar Jasad mengirimkan pukulan kanan kiri ke arah kedua sisi bahu Mata Iblis.
Mata Iblis tak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Waktu yang dimilikinya terlalu sempit. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nyawanya. Mata Iblis nekat menghentakkan kedua tangan terkepal ke atas menyambuti serangan Setan Pembakar Jasad. Padahal, tokoh sesat dari Tuban ini tahu kalau cara itu dapat mencelakakan dirinya. Kekuatan tenaga lawan berada di atasnya.
Dukkk, dukkk...!
Tubuh Setan Pembakar Jasad agak terpental ke atas. Tapi, kejadian yang dialami Mata Iblis lebih mengerikan. Tokoh ini terbenam ke dalam tanah sampai sepinggang! Kedua tangannya terlepas sambungannya pada pangkal tangan. Dan mulut, hidung, dan telinga mengalir darah segar! Benturan kali ini terlalu dahsyat untuk diterima Mata Iblis.
Mata Iblis segera menyadari keadaannya yang tak menguntungkan. Maka buru-buru dia meloloskan diri dari jeblosan dalam tanah. Tapi Setan Pembakar Jasad tak membiarkan lawannya lolos dari maut. Dia bersal-to lalu meluruk turun kembali ke arah Mata Iblis.
Desss...!
"Aaakh...!"
Jerit tertahan Mata Iblis terdengar ketika tendangan kaki kanan Setan Pembakar Jasad mendarat telak di dadanya.
Tubuh tokoh sesat dari Tuban ini terpental ke belakang dan melayang jauh. Saat tubuhnya melayang itulah nyawa Mata Iblis lepas dari raga. Tulang dadanya hancur berantakan. Kulitnya hangus karena te-naga dalam berhawa panas yang terkandung dalam serangan Setan Pembakar Jasad!
Raja Babi Bertenaga Raksasa terperanjat melihat kejadian yang menimpa Mata Iblis. Dengan sorot mata bingung ditatapnya tubuh bekas saingannya.
"Mata Iblis memang pantas mendapat nasib seperti itu. Dia telah bertindak lancang meremehkan Kelompok Penjagal Manusia yang terkenal," puji Raja Babi Bertenaga Raksasa untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
"Bukan hanya dia saja," sahut Setan Pembakar Jasad sinis. "Siapa pun orang yang berani mencari urusan dengan tokohtokoh dari Gunung Bromo akan menerima nasib seperti orang tak tahu diri itu!"
Wajah Raja Babi langsung berubah memucat. Dia mulai menyadari ancaman bahaya maut terhadap dirinya.
"Begitukah kiranya? Kalau demikian, biarlah saat ini juga ku habiskan persoalanku dengan orang-orang dari Gunung Bromo. Aku tak mengetahui kalau orang-orang dari Gunung Bromo berurusan dengan Kelompok Penjagal Manusia. Sekarang aku telah tahu dan tak akan ikut campur lagi."
"He he he...!"
Sambutan berupa tawa itu keluar dari mulut Satan Pembeku Darah. Lelaki berpakaian kulit binatang itu segera menyela sebelum Setan Pembakar Jasad mem-berikan tanggapan.
"Tak semudah itu, Kawan! Kelompok Penjagal Manusia telah mempunyai aturan. Siapa pun orang yang mencampuri urusan kami, tahu atau tidak akan mendapat hukuman!"
"Maafkan aku kalau demikian," ucap Raja Babi buru-buru. "Aku mengaku salah. Dan, hanya bisa mengharapkan kebesaran hati Kelompok Penjagal Manusia untuk memberikan kesempatan bagiku mencuci tan-gan dalam masalah ini."
"Kebijaksanaan yang kami anut adalah melenyapkan setiap orang yang mempunyai salah terhadap kami, Jelas?! Jadi tak ada pilihan bagimu, Kawan. Kau melawan atau tidak, bukan masalah. Kami akan tetap mencabut nyawamu!" tandas Setan Pembeku Darah dengan suara khasnya yang bernada lembut.
Sekujur tubuh Raja Babi menggigil hebat. Lelaki ini tak kuat menahan amarahnya. Dirinya telah terlalu mengalah, tapi tanggapan yang diterima semakin merendahkan. Rasa takutnya segera terusir berganti dengan amarah! Biar bagaimanapun Raja Babi belum membuktikan sendiri kehebatan tokoh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia.
Getaran pada tubuh yang timbul karena amarah mengiringi bergolaknya tenaga dalam ke seluruh tubuh Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sedikit demi sedikit tubuh Raja Babi terbenam ke dalam tanah.
"Rupanya kau mempunyai kepandaian lumayan. Bagus! Aku suka karena aku mendapat perlawanan yang lumayan," ujar Setan Pembeku Darah bernada gembira.
Raja Babi meraung. Begitu usai raungan yang mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, tokoh ini berlari mendekati Setan Pembeku Darah dengan kepala di depan seperti layaknya seekor babi menyerang lawan.
Setan Pembeku Darah tetap berdiri tenang di tempatnya, menunggu hingga serangan mendekat. Lelaki ini baru kehilangan senyumnya ketika merasakan ke-kuatan dahsyat melandanya.
Sebagai tokoh tingkat tinggi Setan Pembeku Darah segera menyadari lawan tengah menyerangnya dengan sebuah ilmu mukjizat. Ilmu yang mempergunakan kepala seperti layaknya binatang babi.
Tapi justru dengan kepala kedahsyatan serangan jadi berlipat ganda.
Meskipun demikian Setan Pembeku Darah tak mau beranjak dari tempatnya. Perasaan tinggi hati menyebabkannya bersikap demikian. Dia malah mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya, sehingga sekitar tempat itu berhawa dingin luar biasa!
Serbuan hawa dingin yang amat dahsyat itu juga melanda Raja Babi. Tapi karena tubuhnya terlindungi pancaran kekuatan dahsyat yang menyebar dari seku-jur tubuhnya, serbuan hawa dingin tadi tertahan banyak
Kenyataan ini cukup membuat Setan Pembeku Darah kaget. Pancaran hawa dinginnya biasanya cukup untuk membuat lawan tak bisa melanjutkan serangan. Otot-ototnya akan kaku dan tak bisa digerakkan. Ketidak-berhasilan pancaran hawa dingin kali ini menjadi petunjuk kalau Raja Babi Bertenaga Raksasa memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Ketika serangan kepala Raja Babi menyambar semakin mendekat, Setan Pembeku Darah menghentakkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka. Tokoh Kelompok Penjagal Manusia ini hendak mengadu keras lawan keras.
Begitu kedua telapak tangannya hampir berbentu-ran dengan batok kepala Raja Babi, Setan Pembeku Darah terperanjat. Dirasakannya kekuatan luar biasa dahsyat hendak melemparkan tubuhnya ke belakang. Hal ini memaksa Setan Pembeku Darah mengerahkan tenaga untuk memberatkan tubuhnya.
Desss...!
Benturan sangat keras yang terjadi membuat tubuh keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Bumi dan benda-benda yang berada di sekitar tempat itu bergetar hebat. Namun, kedua petarung itu kembali saling menghampiri begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung berhasil dipatahkan.
Di saat kedua tokoh yang terlibat perselisihan itu saling menghampiri, Setan Pembakar Jasad melesat meninggalkan tempatnya. Dihampirinya tokoh-tokoh persilatan yang dilihatnya berlari menuju tempat mereka.
Setan Pembakar Jasad benar-benar memiliki watak luar biasa kejam. Sambil melesat menghampiri, tangan kanan dan kirinya bergantian dipukulkan ke depan mengirimkan bola api.
Jeritan-jeritan menyayat hati pun menguak angkasa ketika bola-bola api menerpa tubuh tokoh-tokoh persilatan.
Mereka yang sial terbungkus api menjerit sejadi-jadinya. Jeritan mereka itulah yang terdengar oleh Dewa Arak.
Tokoh-tokoh persilatan itu menghunus senjata masingmasing dan memberikan perlawanan sekuat tenaga. Tapi karena memang kemampuan mereka terpaut terlalu jauh, perlawanan yang diberikan tak ubahnya semut-semut menerjang api. Mereka roboh semua ketika telah dekat!
–––––––– 8
"Terkutuk...!"
Seruan keras bernada geram itu mengiringi lesatan sesosok bayangan ungu. Sosok ini langsung melesat ke dalam pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan aliran hitam dengan Setan Pembakar Jasad!
Saat itu di kancah pertarungan hanya tinggal beberapa gelintir yang masih berdiri tegak dan melakukan perlawanan. Sisanya telah bergeletakan di tanah dalam keadaan tak bernyawa.
Begitu melesat masuk ke dalam kancah pertarungan, sosok ungu langsung menyambuti serangan Setan Pembakar Jasad yang tertuju pada sisa lawan-lawannya.
Besss...!
Gedoran tangan terbuka Setan Pembakar Jasad di-papak dengan hantaman tangan terbuka Dewa Arak. Keduanya segera terhuyung-huyung ke belakang.
Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh tokohtokoh persilatan yang tersisa. Mereka berlari se-cepat mungkin meninggalkan tempat itu, Setan Pembakar Jasad tak mengejar. Perhatian tokoh kejam ini ditujukan sepenuhnya pada sosok ungu yang bukan lain Dewa Arak.
"Siapa kau, Anjing Kecil?! Sungguh berani mencampuri urusanku! Apakah kau ingin buru-buru tinggal di lubang kubur, heh?!" bentak Setan Pembakar Jasad geram bercampur heran. Orang yang mampu membuatnya terhuyung ternyata seorang pemuda.
"Namaku Arya. Bukan maksudku lancang mencampuri urusanmu, Sobat. Aku hanya tak bisa melihat tindak kekejaman di depanku!" tandas Arya mantap.
Bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dewa Arak tahu Setan Pembakar Jasad seorang lawan yang teramat tangguh. Benturan tangan yang terjadi tadi telah menunjukkan kalau tenaga dalam to-koh Kelompok Penjagal Manusia ini tak berada di ba-wahnya.
"Sombong sekali ucapanmu, Anjing Buduk!" geram Setan Pembakar Jasad. "Tahukah kau siapa aku?" Arya menggelengkan kepala.
"Biarpun aku tahu siapa adanya kau, tak mengurangi tindakanku untuk ikut campur tangan dalam masalah ini!" jawab Arya tegas.
"Keparat!" Setan Pembakar Jasad hampir tak bisa menahan rasa murkanya lagi. "Aku adalah Setan Pembakar Jasad, tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia!"
Harapan Setan Pembakar Jasad untuk bisa menciutkan nyali Dewa Arak dengan cara memperkenalkan julukannya ternyata kandas. Pemuda berambut putih keperakan itu tak merasa takut sama sekali.
"Mengapa anjing buduk ini tak merasa takut. Apakah dia belum pernah mendengar julukan Setan Pembakar Jasad dan Kelompok Penjagal Manusia?" tanya lelaki jangkung kurus itu dalam hati.
Dugaan Setan Pembakar Jasad tak sepenuhnya benar. Dewa Arak memang belum pernah mendengar julukan Setan Pembakar Jasad. Tapi, nama Kelompok Penjagal Manusia pernah didengarnya. Kelompok Penjagal Manusia beranggotakan tokohtokoh sesat berkepandaian tinggi.
Setan Pembakar Jasad yang telah sewot langsung menyerbu Dewa Arak Pukulan bertubi-tubi diarahkan ke dada. Namun, dengan sekali jejak Dewa Arak me-layang melewati kepala lawannya. Sebelum mengelak Arya menyempatkan diri mengerling ke sekitar tempat itu. Terlihat olehnya mayat Mata Iblis dan Raja Babi. Sukar dibayangkan betapa tingginya kepandaian Setan Pembakar Jasad mengingat kedua pentolan tokoh se-sat itu bisa dikalahkan.
Arya sungguh tak mengira kalau Raja Babi bukan tewas di tangan Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari Madura itu tewas di tangan Setan Pembeku Darah. Dan, Setan Pembeku Darah bersama ketuanya telah meninggalkan tempat itu. Mereka melesat menuju Gunung Bromo, meninggalkan Setan Pembakar Jasad yang belum berhasil menghabiskan lawan-lawannya. Karena itu, Arya hanya menjumpai Setan Pembakar Jasad.
Sementara itu, begitu berada di atas Dewa Arak berjumpalitan. Kemudian, tangan kanannya disam-pokkan ke arah belakang kepala Setan Pembakar Jasad.
Wuttt!
Sampokan Dewa Arak mengenai tempat kosong. Setan Pembakar Jasad telah lebih dulu merendahkan tubuhnya. Jari-jari tangan Arya lewat beberapa jari di atas sasaran.
Kegagalan serangan ini sudah diperhitungan Dewa Arak. Maka serangan susulan berupa sepakan kaki kanan ke bawah segera dikirimkan.
Tappp...!
Dewa Arak hampir tak percaya akan apa yang terjadi. Setan Pembakar Jasad membalikkan tubuh dan mengulurkan tangan, mencekal pergelangan kaki De-wa Arak.
Begitu berhasil Setan Pembakar Jasad segera menyentakkannya. Arya bertindak tak kalah cepat. Di saat lawan menyentakkan, dia pun ikut menyentak pula sambil mengeraskan kemampuan yang membuat kulit tubuhnya menjadi licin. Dewa Arak berhasil dengan usahanya. Pergelangan kakinya dapat dibebaskan dari cekalan Setan Pembakar Jasad.
Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula Dewa Arak menerjang lawannya. Di saat yang bersamaan Setan Pembakar Jasad melakukan hal yang sama. Pertarungan pun tak bisa dielakkan lagi.
Kedua belah pihak tak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Hawa yang luar biasa panas menyebar ke sekitar tempat itu.
Di waktu pertarungan berlangsung sengit-sengitnya Dewi Ratna muncul. Gadis ini tak berani terlalu mendekat. Dari jarak beberapa belas tombak dia memperhatikan jalannya pertarungan. Cepatnya gerakan Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad membuat Dewi Ratna tak bisa melihat dengan jelas gerakan mereka.
Dewi Ratna memperhatikan dengan penuh minat. Dia harus mengakui kalau orang-orang yang tengah bertarung itu memiliki tingkat kepandaian di atasnya.
"Paman Ardaraja benar. Dunia persilatan dipenuhi oleh banyak orang sakti. Arya saja telah memiliki kepandaian di atasku. Kalau dia mempunyai maksud yang tak baik, mungkin aku tak bisa berbuat apa pun untuk mencegahnya," pikir Dewi Ratna, dengan perasaan ngeri.
Di kancah pertarungan kembali Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad berbenturan tangan. Tubuh kedua tokoh itu sama-sama terhuyung. Hal ini membuat gerakan mereka lambat dan terlihat jelas oleh Dewi Ratna.
"Dia...!" seru Dewi Ratna dalam hati ketika melihat Setan Pembakar Jasad. "Dia orang yang telah membunuh Paman
Ardaraja!"
Teringat akan hal ini Dewi Ratna tak bisa menahan perasaan lagi. Sambil mengeluarkan pekikan keras, dia menghunus pedang dan meluruk ke arah Setan Pem-bakar Jasad. Campur tangan orang luar itu membuat Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad terperanjat. Se-ketika pertarungan terhenti.
"Nona! Jangan...!" teriak Arya berusaha mencegah. Tingkat kepandaian gadis itu belum bisa dibandingkan dengan Setan Pembakar Jasad.
Setan Pembakar Jasad memang tak memiliki belas kasihan sama sekali. Di saat Dewi Ratna tengah meluruk ke arahnya, tinju kanannya dihentakkan. Bola api merah pun meluruk ke arah gadis itu.
Dewi Ratna langsung pias wajahnya. Kalau serangannya diteruskan, sebelum berhasil mengenai sasaran dirinya akan lebih dulu terhantar bola api merah. Tapi, dalam kesempatan yang demikian sempit Dewi Ratna masih bisa menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi. Putri Mundarang ini membanting tubuhnya ke tanah sehingga lolos dari bo-la api yang mematikan
"Kiranya kau, wanita sial! Sekarang jangan harap kau dapat lolos dari tanganku!" seru Setan Pembakar Jasad sambil melesat ke arah Dewi Ratna.
Tindakan tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia mengejutkan Dewi Ratna. Gerakannya terlalu cepat. Yang dapat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan da-lam bentuk tak jelas.
Rasa gugup membuat Dewi Ratna meneruskan bantingan tubuhnya dengan gulingan. Dia tak mempunyai kesempatan lagi untuk bangkit berdiri dan menjauhi Setan Pembakar Jasad. Lelaki jangkung ber-telanjang dada itu tak tinggal diam. Ia berdiri memburu.
Dewa Arak tak bisa berpangku tangan melihat an-caman terhadap Dewi Ratna. Apalagi setelah diyaki-ninya gadis itu adalah orang baik-baik. Tanpa me-nunggu lebih lama Dewa Arak melesat menghadang ge-rak Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari Kelompok Pen-jagal Manusia itu tak mempunyai pilihan ketika Dewa Arak berada di depannya.
Setan Pembakar Jasad menghentakkan kedua tangan terbuka ke arah dada Dewa Arak. Pendekar muda itu tak diberi kesempatan nampaknya dengan gerakan yang sama.
Plak, plakkkk...!
Benturan keras dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam berhawa panas kali ini tak membuat tubuh mereka terjengkang ke belakang. Keduanya mengadu tenaga dalam secara langsung dari jarak dekat. Tangan-tangan mereka bertempelan.
Keriuhan yang semula tercipta dari pertarungan Dewa Arak dengan Setan Pembakar Jasad berganti dengan keheningan adu tenaga dalam. Kedua belah pihak sama-sama mengerahkan tenaga dalam sampai puncaknya. Sebuah pertarungan maut. Selisih tenaga dalam sedikit saja cukup untuk membuat nyawa yang unggul terluka parah, dan yang kalah tewas!
Mula-mula tak terjadi apa pun. Tapi beberapa saat kemudian, wajah kedua lelaki itu mulai merah padam. Peluh membanjir. Kian lama keadaan kedua tokoh itu semakin mengkhawatirkan. Dari atas kepala Dewa Arak maupun Setan Pembakar Jasad mengepul uap putih.
"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas. "Pertarungan ini telah mencapai puncaknya. Bukan hanya iblis jahanam itu saja yang akan celaka. Pemuda itu pun demikian. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Aku harus berbuat sesuatu!"
Dewi Ratna yang tak menginginkan Dewa Arak celaka segera melesat ke arah kancah pertarungan. Pedang terhunus tercekal di tangannya. Gadis ini melesat tanpa mempedulikan sengatan hawa panas luar biasa yang menyebar dan pertarungan tenaga dalam antara Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad.
Wajah Dewi Ratna merah padam dan dipenuhi cucuran peluh ketika berhasil mendekati Setan Pembakar Jasad Tanpa banyak bicara pedang di tangannya dibabatkan ke punggung tokoh Kelompok Penjagal Manusia itu.
Takkk...!
Bukan hanya pedang saja yang terpental kembali begitu berbenturan dengan punggung. Tapi tubuh Dewi Ratna ikut terjengkang ke belakang, lalu terbanting keras di tanah.
Kejadian yang menimpa Dewi Ratna membuat Dewa Arak tak bisa bersikap lunak lagi. Kemampuan istimewa yang jarang dikeluarkannya dalam penggunaan ilmu 'Tenaga Sakti Inti Sinar Matahari' kali ini dipergunakannya!
Sejak tadi Dewa Arak memang telah menggunakan tenaga inti mataharinya. Tapi, itu hanya terbatas pada tenaga yang berada di dalam dirinya. Hampir tak pernah Dewa Arak menggunakan tenaga yang berada di luar dirinya. Tapi sekarang pemuda berambut putih keperakan itu menggunakannya. Ia mengambil tenaga tambahan dari luar. Tenaga matahari! (Untuk jelasnya mengenai hal tersebut, silakan baca episode "Pedang Bintang")
Dewa Arak memusatkan perhatian. Ia membuat gerakan di benaknya mengenai pengambilan kekuatan dari matahari. Dibayangkan seakan-akan kekuatan yang diambilnya itu berupa garis yang masuk ke dalam dirinya, terus turun ke dalam dada dan diputarkan di pusar.
Seketika itu pula Dewa Arak merasakan kekuatan dahsyat bergolak di pusarnya. Kekuatan yang diyakini Dewa Arak didapatkannya dari matahari itu segera di-arahkan sebagian pada kedua tangannya.
"Aaakh...!"
Setan Pembakar Jasad meraung keras bagai binatang disembelih. Tubuhnya melayang deras ke belakang. Dari mulut, hidung, dan telinga tokoh Kelompok Penjagal Manusia itu mengalir darah segar. Samar-samar tercium bau hangus daging terbakar.
Tanpa mempedulikan nasib Setan Pembakar Jasad, Arya melesat menghampiri tubuh Dewi Ratna. Pemuda itu berjongkok di dekatnya untuk memeriksa. Arya sampai terjingkat kaget ketika Dewi Ratna mem-buka matanya.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Arya agak gugup.
"Tidak. Aku hanya terjengkang saja. Mungkin sebentar tak sadarkan diri akibat tenagaku sendiri yang membalik. Aahhh...! Keparat-keparat itu ternyata benar-benar lihai! Mungkin benar Paman Buluk Siwu telah berhasil mereka tewaskan, sebagaimana
Paman Ardaraja. Sungguh menyedihkan! Pendekar-Pendekar Gunung Bromo akhirnya berguguran di tangan musuh-musuhnya. Keturunannya pun hanya tinggal menunggu nasib," keluh Dewi Ratna.
"Maaf, Nona, "ujar Arya sopan, "Dari kawanku aku pernah mendengar tentang Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. Tentang kepandaian dan kegagahan mereka. Malah, diceritakan pula tentang musuh bebuyutan pendekar-pendekar itu. Sayang, kawanku tak bercerita lebih jauh tentang musuh besar itu. Apakah musuh bebuyutan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo adalah Kelompok Penjagal Manusia?"
"Benar," angguk Dewi Ratna. "Orang yang telah mati di tanganmu itu adalah salah satunya. Paman Ardaraja tewas di tangan iblis yang satunya lagi, yang berjuluk Setan Pembeku Darah. Demikian pula dengan pamanku yang lain. Buluk Siwu namanya."
"Buluk Siwu!" ulang Arya dengan alis berkerut. "Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Ah ya...! Nama itu disebutkan oleh Raja Babi terhadap seorang gadis yang dikejar-kejarnya. Menurut berita yang kudapatkan, gadis itu dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh persilatan golongan hitam karena merupakan keturunan Pendekar Gunung Bromo."
"Apakah gadis Itu berpakaian merah?" terka Dewi Ratna dengan mata berbinar. Arya mengangguk.
"Gerak-gerik dan sikapnya memperlihatkan keyakinan hati, bukan?" kejar Dewi Ratna lagi.
Tanggapan yang diberikan Arya lebih dulu adalah kerutan sepasang alisnya.
"Aku tak setuju dengan ucapanmu, Nona. Aku telah cukup berbincang-bincang di saat nyawanya selamat dari ancaman Raja Babi dan Mata Iblis. Dari percakapan singkat dengannya, aku cenderung menilai sikapnya bukan merupakan keyakinan hati yang besar terhadap kemampuan sendiri, melainkan kesombongan! Sombong karena kepandaian yang dimiliki dan garis keturunan yang didapatkan!" tandas Arya karena belum bisa melenyapkan rasa jengkelnya terhadap Winarni.
Dewi Ratna hanya bisa tersenyum kecil melihat kejengkelan Dewa Arak.
"Gadis itu bernama Winarni. Seperti juga aku, dia pun termasuk keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo."
Kemudian secara singkat Dewi Ratna menceritakan semua yang berhubungan dengan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. Juga mengenai sebab-sebab timbulnya permusuhan dengan Kelompok Penjagal Manusia.
"Kelompok Penjagal Manusia yang merasa sakit hati kemudian membalas dendam. Paman Ardaraja tewas di tangan mereka. Aku lihat sendiri kematiannya. Bahkan, Paman Buluk Siwu pun telah berhasil mereka bunuh. Aku berhasil kabur. Tapi Setan Pembeku Darah sempat mengirimkan pukulan jarak jauh berhawa dingin luar biasa. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi," Dewi Ratna mengakhiri penjelasannya.
"Hawa dingin yang luar biasa menghentikan kerja alat-alat tubuhmu, tak terkecuali jantung. Tubuhmu pun dibawa arus sungai. Melihat dirimu masih bisa diselamatkan, kutolong kau dengan napas buatan. Dan..."
"Aku minta maaf atas piciknya pandanganku."
"Aku bisa memakluminya, Ratna," ujar Arya sambil mengembangkan senyum. "Aku yakin setiap wanita pun pasti akan melakukan tindakan yang sama bila mendapat perlakuan seperti itu."
Dewi Ratna menundukkan kepala. Dia merasa malu. Di samping itu, di dalam hatinya timbul getar-getar aneh. Getaran yang muncul ketika mengetahui betapa gagahnya Arya.
"Kurasa kita harus bertindak cepat, Ratna. Aku yakin pemimpin Kelompok Penjagal Manusia yang sekarang pasti akan berusaha menemukan bekas pimpinannya. Kalau pimpinan kelompok itu, Raja Setan, berhasil menemukan Winarni maka keadaan akan menjadi kacau!"
"Kalau begitu kita harus segera pergi ke puncak Gunung
Bromo!"
"Tentu saja!"
***
Dua sosok berkelebatan cepat menuju puncak Gunung Bromo. Gerakan kedua sosok itu demikian cepat. Berlompatan dari satu batu ke batu lainnya.
Dua sosok itu terdiri dari lelaki dan wanita. Yang lelaki memiliki tubuh tinggi besar. Sedangkan yang wanita cantik dan mengenakan pakaian merah. Dua sosok ini adalah Raja Setan atau pimpinan Kelompok Penjagal Manusia, dan Winarni!
"Tidak bisakah kau bergerak lebih cepat lagi?" dengus Raja Setan, tak sabar mengikuti gerakan Winarni yang dirasakannya terlalu lambat. "Awas kalau kau berani mempermainkan ku! Akan ku jarah tubuhmu! Ku permainkan!"
Wajah Winarni berubah. Tampak jelas kengerian membias di wajahnya. Terbayang kembali kejadian yang dialaminya sampai akhirnya bisa bersama-sama dengan Raja Setan.
Gadis ini tengah duduk pada sebatang pohon besar berdaun rindang. Dia beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelahnya. Winarni telah berlari ribuan tombak, sejak berpisah dengan Dewa Arak di persimpangan jalan.
Dengan punggung bersandar pada batang pohon, Winarni memejamkan sepasang matanya. Winarni tak tahu ketika di depannya telah berdiri dua sosok tubuh. Mereka adalah Raja Setan dan Setan Pembeku Darah.
Raja Setan tak sabar menunggu Winarni membuka matanya. Tokoh sesat ini melancarkan serangan dengan mempergunakan sinar kebiruan yang keluar dari matanya untuk menghantam batang pohon tepat di atas kepala Winarni.
Brakkk...!
Batang pohon itu hancur berantakan dan tumbang di tanah memperdengarkan bunyi hiruk-pikuk. Tapi, Winarni sudah tak berada di situ lagi. Gadis ini sudah lebih dulu menggulingkan tubuh meninggalkan tem-patnya.
"Kau putri Buluk Siwu bukan?!" tanya Raja Setan dengan suara mengguntur.
Winarni benar-benar memiliki ketabahan hati yang besar. Sebagian besar tokoh persilatan akan segera memberikan jawaban bila mendapat pertanyaan dari Raja Setan. Wibawa tokoh ini terlalu mengiriskan. Tapi Winarni malah mendengus dan membuang ludah.
Raja Setan menggeram mendapat tanggapan yang tak diharapkan. Tokoh tinggi besar ini murka bukan main. Dia yang selalu dihormati dan ditakuti, Sekarang mendapat hinaan dari seorang gadis muda! Tangannya pun diulurkan dan bergerak seperti mencengkeram. Terdengar bunyi kain robek. Pakaian Winarni di bagian dada koyak. Tampaklah apa yang tersembunyi di ba-liknya. Salah satu dari sepasang bukit kembar menyembul keluar. Wajah gadis itu langsung pias.
"Kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku, seluruh pakaianmu akan ku koyak-koyak. Bukan hanya itu saja. Kau pun akan kuberikan pada anak buahku agar diperkosa sampai mati! Nasibmu ditentukan oleh sikapmu terhadap pertanyaanku!" gertak Raja Setan yang tahu betul cara memberikan ancaman jitu. "Aku berjanji akan memberikan jawaban yang kau inginkan. Ku mohon kau bersedia memberikan kain untuk menutupi bagian tubuhku yang terbuka," pinta Winarni dengan suara gemetar. Tak terlihat lagi ke-sombongan yang semula terlihat jelas pada sikapnya.
"Sekarang jawab pertanyaanku. Dan jangan coba mencari penyakit," ujar Raja Setan setelah memenuhi permintaan Winarni.
"Aku memang putri dari Buluk Siwu," jawab Wi-narni hatihati. Khawatir sikapnya akan mengundang kemarahan Raja
Setan.
"Berarti kau keturunan dari tokoh-tokoh yang terkenal dengan julukan Tiga Pendekar Gunung Bromo," Raja Setan mengangguk-anggukkan kepala. "Kau tentu pernah mendengar cerita ayahmu mengenai kami, to-koh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia?"
"Benar," Winarni mengangguk cepat. "Menurut cerita Ayah, antara Kelompok Penjagal Manusia dengan Tiga Pendekar Gunung Bromo terjadi permusuhan. Ayah bersama dua saudaranya bentrok dengan pimpinan Kelompok Penjagal Manusia yaitu Iblis Penghisap Darah yang berjuluk Biang Setan. Tokoh itu lihai sekali dan tak dapat dibunuh. Namun, Ayah dan saudara-saudaranya berhasil melumpuhkannya dengan sebuah pusaka. Pusaka itu membuat Biang Setan kehilangan semua tenaganya. Ayah dan saudara-saudaranya kemudian mengurungnya di puncak Gunung Bromo."
"Kemudian ayahmu dan dua saudaramu itu menyerbu markas Kelompok Penjagal Manusia. Membantai semua orang yang ada di situ tanpa kenal ampun. Hanya beberapa yang berhasil selamat. Inilah kami semua yang berhasil selamat," sambung Raja Setan tanpa menyembunyikan rasa sakit hatinya yang besar. "Bukankah demikian?"
"Benar," jawab Winarni singkat.
"Sekarang aku ingin kau membawaku ke tempat tahanan Biang Setan. Aku ingin kau membuang pusaka yang membuatnya kehilangan tenaga. Ingat, aku tak ingin kau berpikir terlalu lama.
Kau sendiri tahu akibatnya pada dirimu bila tak setuju!"
"Aku bersedia," jawab Winarni tanpa sempat berpi-kir panjang lagi. Ancaman yang mengintai terlalu me-nakutkan untuknya. Dia tak berani menghadapi.
Sampai di sini ingatan Winarni buyar. Gadis ini kembali memusatkan perhatian pada perjalanannya. Hal itu harus dilakukan kalau ia masih ingin sayang pada nyawa. Jalan menuju tempat tahanan Biang Se-tan penuh ancaman maut! Winarni masih ingat jalan-jalan yang aman, kendati telah lima tahun tak mengin-jak Gunung Bromo. Dulu sewaktu usianya masih belasan, ayahnya sering mengajaknya ke tempat itu.
Winarni juga masih ingat semua tempat-tempat berbahaya. Sekarang dia melihat salah satu dari tem-pat-tempat itu. Berupa hamparan padang pasir yang terlihat bening. Winarni mulai berpikir menggunakan tempat itu untuk melepaskan diri dari ancaman Raja Setan.
Semakin dekat dengan padang pasir semakin te-gang perasaan Winarni. Gadis ini sampai khawatir ka-lau-kalau Raja Setan mengetahui kegalauan hatinya dari bunyi detak jantungnya.
"Apakah harus kulakukan rencanaku menjebak iblis ini? Tapi, bagaimana kalau gagal? Kelihatannya iblis jelek ini terlalu sakti untuk dapat dijebak begitu saja? Tapi kalau tak dipergunakan, bukan kesempatan na-manya! Siapa tahu jebakan itu akan berhasil?" pikir Winarni galau.
Bloss...!
Raja Setan tak kuasa untuk menahan pekik kagetnya. Kedua kakinya amblas ke dalam hamparan pasir sampai sebatas betis. Pasir yang diinjaknya ternyata empuk seperti bubur!
Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, Raja Setan merasakan kekuatan aneh menarik kakinya terus ke dalam hamparan pasir. Sementara Winarni terus saja melesat tanpa terjadi apa pun.
"Lumpur hidup...!" desis Raja Setan geram. Tokoh Kelompok Penjagal Manusia ini murka karena merasa ditipu. Winarni sengaja menjebaknya. Terbukti, gadis itu sama sekali tak peduli akan nasibnya.
Raja Setan bersikap tenang kendati tubuhnya terus tertarik ke dalam hamparan pasir. Bahkan, pimpinan tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini masih sempat memperhatikan semua tingkah Winarni.
Raja Setan cukup cerdik. Dia tahu ada tempat-tempat yang aman untuk dipijak dengan kaki. Dan, Winarni menggunakan tempat yang aman itu. Dengan mempergunakan benaknya, Raja Setan mencatat tempat-tempat itu. Dengan goyangan kepalanya, dia mem-buat beberapa helai rambutnya terbang dan mendarat di tempat-tempat yang dijadikan pijakan kaki Winarni.
Tindakan yang dilakukan Raja Setan membuat tubuhnya terbenam semakin cepat. Sekarang bagian tubuh yang tenggelam mencapai pinggang. Kendati de-mikian, Raja Setan tak merasa gugup
Tokoh puncak Kelompok Penjagal Manusia ini menarik napas dalam-dalam. Kedua telapak tangannya yang terbuka dipertemukan di depan dada. Sesaat kemudian, tubuhnya berputar. Mula-mula lambat, tapi semakin lama semakin cepat.
Lumpur pun berpercikan ke sana kemari.
Permukaan lumpur hidup bergolak hebat terbawa putaran tubuh Raja Setan. Putaran tubuh itu bergerak ke atas sedikit demi sedikit. Tubuh Raja Setan terangkat naik.
Ketika tubuh yang terbenam dalam lumpur hidup tinggal sebetis, Raja Setan membarengi putaran tubuhnya dengan lompatan ke arah tempat-tempat yang telah diberi tanda dengan rambutnya.
Jliggg!
Raja Setan menghembuskan napas lega. Kakinya mendarat di permukaan pasir tanpa terbenam. Tokoh yang mengiriskan ini menggeram seraya menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, seperti seekor ayam mem-bersihkan tubuhnya dari debu. Sesaat kemudian, lumpur yang menempel di sekujur tubuhnya berpercikan jatuh. Dalam waktu yang demikian singkat Raja Setan telah kembali seperti sedia kala, seperti selesai mandi dan mengeringkan tubuh!
Dengan sepasang mata seperti mengeluarkan api Raja Setan menatap Winarni. Winarni mengetahui Raja Setan berhasil lolos dari jebakannya. Gadis ini tahu tak ada gunanya lagi terus berlari. Telah dilihat tanda-tanda yang dibuat Raja Setan pada tempattempat di mana kaki harus berpijak. Winarni sadar kalau terus melarikan diri akan tertangkap juga. Jarak antara mereka berdua belum terlalu jauh. Itulah sebabnya Wi-narni menghentikan lari dan membalikkan tubuh me-nunggu kedatangan Raja Setan. Bahkan, gadis ini memberi petunjuk di mana-seharusnya Raja Setan menjejakkan kaki. Kalau saja tokoh sesat itu belum memberi tanda, Winarni tak terlalu bodoh untuk me-mutuskan menyerah!
Tak sampai sepuluh pijakan Raja Setan telah berada di depan Winarni. Gadis itu menabah-nabahkan hati dengan tetap menatap wajah Raja Setan.
"Maafkan aku, Raja Setan. Bukan maksudku untuk...."
Ucapan Winarni terhenti di tengah jalan. Tangan Raja Setan dilambaikan padanya. Tubuh gadis berpa-kaian merah itu tertarik ke arah Raja Setan secara keras. Raja Setan menyambut tubuh si gadis dengan kedua tangan terkembang dan merengkuhnya dalam pelukan.
Pelukan Raja Setan erat sekali. Winarni hampir tak bisa bernapas. Pelukan itu saja sudah membuat semangat Winarni seperti lenyap. Apalagi ketika Raja Se-tan menciuminya dengan buas.
Tokoh yang kelihatannya tak menyukai wanita ini ternyata memiliki nafsu yang besar. Dia menciumi sekujur wajah Winarni penuh nafsu. Buas dan liar! Bahkan, bibir Winarni yang indah dikulumnya habis-habisan. Mulut Raja Setan lalu berpindah ke leher Winarni. Tangannya yang sebelah menjelajah bagianbagian tubuh Winarni. Winarni meronta-ronta ngeri.
"Hentikan, Raja Setan! Hentikan! Aku tak akan mengulangi perbuatanku...," rintih Winarni dengan su-ara memelas.
Raja Setan mendengarnya dengan jelas. Tapi, tokoh sesat ini tak mempedulikan. Dia hendak menumpah-kan seluruh kemarahannya pada Winarni. Dia pun te-lah dimabuk nafsunya sendiri!
"Hentikan, Raja Setan! Kalau tidak, aku tak akan mau mengantarmu ke tempat hukuman Biang Setan! Toh, aku bisa bunuh diri setelah kau menjarah tubuh-ku!" pekik Winarni di tengah keputus-asaan nya.
Ancaman Winarni ternyata manjur juga. Raja Setan seperti baru bangun dari mimpi buruk. Pelampiasan nafsunya dihentikan. Malah, tubuh gadis itu didorong-nya hingga terbanting ke tanah.
Sepasang mata tokoh sesat ini tampak memerah.
"Kali ini kau kuampuni. Tapi ingat, setelah kali ini tak ada kelonggaran lagi. Kau akan kujadikan mainan, dan tak akan kubiarkan membunuh diri! Camkan itu!" desis Raja Setan dengan suara bergetar.
Winarni tak sanggup berkata-kata. Dia masih terlalu ngeri mengingat peristiwa yang hampir saja menimpanya. Perutnya terasa mual. Kalau tak mengingat Raja Setan bisa tersinggung. Winarni tak akan menahan isi perutnya yang ingin keluar.
"Mari kita lanjutkan perjalanan!" sentak Raja Setan keras.
Winarni tak berani bergerak ayal-ayalan. Dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk bisa mengim-bangi lari Raja Setan!
Gundukan batu yang jauh lebih besar hancur lebur menjadi kepingan ketika Raja Setan menyorot dengan sinar matanya. Tampaklah sebuah lubang menganga. Kiranya, gundukan batu itu menjadi penutup gua.
Dengan setengah menyeret Winarni, Raja Setan memasuki gua di depannya. Ternyata gua itu mempunyai lorong yang cukup panjang, sebelum berakhir di ruangan yang lebih luas.
"Raja Setan...!" seru Sosok yang berada di atas sebuah batu.
Sosok yang tengah duduk ini bergegas bangkit. Sosok ini bertubuh kecil kurus. Potongan tubuhnya mengingatkan orang akan seekor kera. Inilah tokoh sesat yang amat terkenal. Biang Setan!
"Matamu masih awas juga rupanya, Biang Setan!" dengus Raja Setan tanpa kesan ramah sama sekali.
Pimpinan tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini menatap pimpinannya terdahulu yang tampak kebin-gungan. Raja Setan tak peduli. Winarni dicampakkan begitu saja ke samping. "Kiranya aku salah menduga...," Biang Setan menganggukanggukkan kepala. Dia bisa merasakan adanya ancaman terhadap keselamatannya. "Kau datang tidak dengan niat untuk menyelamatkanku, bukan?"
"Syukur kau mengerti, Biang Setan Ompong!" sa-hut Raja Setan sinis, "Apa untungnya kutolong dirimu. Kedudukanku akan lenyap. Kau lagi yang akan menjadi pimpinan. Dan aku menjadi pesuruh mu. Karena ku tahu kepandaianmu masih di atasku! Aku tak mau bertindak bodoh dengan membebaskan mu, Biang Setan Ompong!"
"Kalau begitu..., untuk apa kau kemari?!" tanya Biang Setan kendati telah bisa memperkirakan maksud bekas anak buahnya.
"Sederhana saja. Aku ingin melenyapkanmu selamalamanya. Agar kau tak menjadi ancaman bagiku di waktu nanti. Kaulah satu-satunya yang tahu kelema-han ku. Sekarang terimalah kematianmu, Biang Setan Ompong!"
Raja Setan mengirimkan serangan berupa larik sinar kebiruan. Dalam keadaan biasa Biang Setan tak akan mengalami kesulitan memapak serangan itu. Tapi, sekarang kekuatannya lenyap. Yang dimiliki bekas tokoh datuk sesat ini hanya kekuatan manusia biasa. Menghadapi serangan yang meluncur dalam kecepatan yang menakjubkan itu, dia tak mampu berbuat apa pun.
Di saat-saat yang mengkhawatirkan itu angin berhembus keras ke arah Biang Setan. Angin yang mampu membuat tubuh Biang Setan terpental dan terguling-guling.
Raja Setan menggeram mengetahui serangannya kandas. Seseorang telah menolong Biang Setan dengan mempergunakan dorongan angin pukulan. Pimpinan Kelompok Penjagal Manusia ini juga tahu kalau penolong itu berada di belakangnya. Buruburu tubuhnya dibalikkan.
Di depan Raja Setan telah berdiri Dewa Arak dan Dewi Ratna. Dewi Ratna yang tahu kalau lelaki kokoh itu memiliki kepandaian menakjubkan, segera menyingkir.
"Kurasa tindakan kejimu harus segera dihentikan, Raja Setan!" tandas Arya mantap. "Kau harus menyusul Setan Pembakar Jasad dan Setan Pembeku Darah yang telah lebih dulu pergi ke akhirat!"
"Kaulah yang akan menemui malaikat maut, pe-muda sombong!"
Raja Setan menjejakkan kakinya ke tanah. Tak kelihatan dihentakkan. Malah, seperti diletakkan pelan-pelan. Namun akibatnya tanah di dalam ruangan itu bergetar hebat! Yang mengerikan adalah ketika tanah retak memanjang menuju Dewa Arak.
Retakan tanah itu tak hanya memanjang, tapi juga melebar. Sedikit demi sedikit terjadinya. Seiring dengan itu pula dari atap gua berjatuhan debu-debu. Dinding-dinding gua bergetar hebat. Rubuhnya gua hanya menunggu waktu saja.
Dewa Arak adalah seseorang yang kenyang pengalaman. Dia tahu dirinya bisa masuk ke dalam tanah.
Arya menjejakkan kedua kakinya bergantian. Tanah amblas sampai sedalam mata kaki. Dan, jejakan kedua kaki Dewa Arak membuat retakan pada tanah merapat kembali! Tanah retak yang semula berjarak sejengkal dari Arya perlahan-lahan menjauh menjadi tiga jengkal.
Raja Setan menggeram. Getaran pada dinding dan atap gua semakin hebat. Batu-batu kecil serta debu berjatuhan. Winarni dan Dewi Ratna yang tak ingin terkubur hidup-hidup segera melesat keluar. Dewi Ratna tak lupa menyambar tubuh Biang Setan dan membawanya keluar gua.
Lawan ternyata memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat! Kalau diperturutkan hati terus melawan, Arya akan celaka. Pemuda ini segera melesat keluar gua.
Bumi bagaikan dilanda kiamat. Perginya Arya membuat retakan pada tanah kembali melebar dan memanjang secara cepat. Atap dan dinding gua langsung ambruk. Beruntung Dewa Arak telah berhasil melesat keluar.
"Hhh...!"
Arya melepas napas lega ketika menatap gundukan tanah yang mengepulkan debu tebal. Pemuda ini bersyukur dalam hati karena berhasil lolos. Sukar dibayangkan bagaimana nasibnya apabila tidak berhasil keluar. Dia akan terkubur hidup-hidup di dalam gua. Kendati demikian, ada perasaan sangsi di hati Arya. Benarkah Raja Setan telah binasa? Sulit untuk memastikan kebenarannya! Tokoh itu begitu sakti untuk tewas, begitu mudah dengan terkubur di dalam gua.
"Berakhir sudah riwayat tokoh yang mengerikan itu!" desah Winarni gembira seraya mengerling ke arah Dewa Arak.
Arya hanya menggumam perlahan. Dia segera teringat akan janjinya dengan Kertapati beberapa waktu yang lalu.
"Kalau kau berhasil menyelesaikan persoalan itu, segera kunjungi aku, Dewa Arak. Akan kubuktikan padamu kalau aku pandai bermain dadu. He he he...! Kau bersedia kembali kemari, Arya?"
"Bersedia, Kek," jawab Arya mantap.
"Kalau begitu segeralah selesaikan urusan itu se-cepatnya! Ajaklah Penyair Cengeng untuk ikut ambil bagian dalam permainan ini!"
Dewa Arak tanpa sadar tersenyum sendiri. Dia tak tahu kalau dua gadis yang berdiri di dekatnya tengah memperhatikan. Kedua wanita yang sama-sama cantik ini merasa tertarik pada Arya.
Pemuda itu sendiri tak tahu-menahu dengan gejolak perasaan Winarni dan Dewi Ratna. Arya masih sibuk memikirkan janjinya terhadap Kertapati alias Eyang Nararya.

––––GS––––

SELESAI


INDEX AJI SAKA
93.Perawan Buronan --oo0oo-- 95.Empu Jangkar Bumi
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.