Empu Jangkar Bumi
tanztj
January 27, 2013
INDEX AJI SAKA | |
94.Pendekar Gunung Bromo --oo0oo-- 96.Malaikat Tanpa Wajah |
AJI SAKA
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
DEWA ARAK
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cetakan pertama, Penerbit Cintamedia, Jakarta, Penyunting :Tuti S. Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak, sebagian atau seluruh isi buku ini, tanpa izin tertulis dari penerbit
–––––––– 1 ––––––––
Kini mereka berhadapan dengan padang ilalang yang cukup luas. Tinggi ilalang yang hanya sebatas pinggang itu, tak mengganggu pemandangan mereka.
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang, tiga sosok itu menghentikan langkahnya. Pandangan mereka tertuju lurus ke depan, di tengah-tengah ke-rimbunan rerumputan. Di tempat itu tampak tertancap sebuah tongkat hitam kelam. Pada bagian atas tongkat terdapat tengkorak kepala manusia berwarna merah darah! Tampak mengiriskan!
"Apakah aku tak salah lihat?!" desis salah seorang lelaki yang berpakaian coklat. Tubuhnya jangkung dan kurus.
Suaranya terdengar bergetar seperti tengah mena-han luapan perasaan. Paras dan sinar matanya tam-pak memperlihatkan keterkejutan, kegentaran, dan kengerian hati!
"Apa artinya, Kang Abiyasa?!" tanya wanita berpakaian hijau pupus yang berwajah cukup cantik meski sudah berusia cukup lanjut. Tahi lalat cukup besar yang terdapat di dagunya menambah kecantikannya.
Lelaki satunya lagi, yang mengenakan pakaian abu-abu dan berkulit kehitaman, tak mengajukan per-tanyaan. Tapi, paras dan sorot matanya yang tertuju pada Abiyasa, menandakan pengertian yang sama.
Abiyasa malah menghela napas berat sebelum memberikan jawaban. Seakan-akan ada sesuatu yang memberatkan hatinya.
"Aku juga tak yakin akan dugaanku ini, Wati," ujar lelaki berpakaian coklat itu bernada tak yakin. "Hanya saja..., sepengetahuanku... ciri seperti itu merupakan pertanda adanya
Setan Tengkorak Merah...."
"Setan Tengkorak Merah?!" ulang lelaki berkulit kehitaman, tanpa bisa menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Setan Tengkorak Merah? Siapa dia, Kang Antasena? Julukannya demikian mengerikan?" tanya wanita yang bernama lengkap Jembawati, lagi. Kali ini ditujukan pada lelaki berpakaian abu-abu.
Antasena mengangkat kedua bahunya, ketika bentrok pandangan dengan Jembawati yang sinar matanya menghendaki jawaban. Lelaki berkulit kehitaman itu malah melemparkan pandangan pada Abiyasa.
"Entahlah, Wati. Aku hanya sedikit mengetahui perihal Setan Tengkorak Merah. Tapi, aku yakin Kakang Abiyasa tahu banyak tentang tokoh yang terkenal sakti dan amat kejam itu, jelas lelaki berkulit kehitaman ini, sekadarnya.
"Tahu banyak sih, tidak, Anta," jawab Abiyasa, merendah.
"Yang jelas berita tentang Setan Tengkorak Merah yang kudengar. Dan, menurut berita yang sampai ke telingaku, Setan Tengkorak Merah adalah seorang datuk sesat yang memiliki kepandaian menakjubkan, dan kekejaman yang tak masuk akal. Selentingan kabar mengatakan kalau dia berasal dari pulau di seberang lautan. Tokoh itu berasal dari Aceh. Dia melarikan diri dari wilayah Kerajaan Aceh karena diburu oleh orang-orang kerajaan. Dia dijuluki Setan Tengkorak Merah setelah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa Barat ini dan menyebarkan kekacauan! Entah siapa nama aslinya, kurasa tak ada seorang pun yang tahu. Bukan tak mungkin, iblis itu sendiri pun lupa, karena dia berada di tanah Jawa Barat ini sudah hampir dua puluh tahun."
"Apakah di tanah kelahirannya dia juga termasuk tokoh hitam, Kang?!" tanya Jembawati lagi, penuh rasa ingin tahu.
"Menurut berita yang kudengar sih, tidak," jawab Abiyasa, ragu-ragu. "Dia diburu karena dulu sewaktu Kerajaan Aceh masih di bawah kekuasaan Kerajaan Pedir, Setan Tengkorak Merah adalah seorang algojo, yang mengirim banyak orang dari Kerajaan Aceh ke akhirat."
Jembawati dan Antasena mengangguk-anggukkan kepala seperti layaknya orang yang mengerti.
"Berarti..." Antasena membuka suara, lambat-lambat. "Sudah lebih dari dua puluh tahun Setan Tengkorak Darah tinggal di tanah Jawa Barat ini, Kang?! Nama besarnya saja sudah terdengar dan men-gakui dirinya sebagai salah seorang dari pentolan kaum sesat sekitar dua puluh tahun."
"Ya, kira-kira demikianlah," ujar Abiyasa membenarkan, "Waktu pastinya aku tak yakin, tapi yang jelas sekitar dua puluh tahunan," tambahnya.
Suasana kembali hening ketika Abiyasa tak berbicara lagi. Keheningan yang tak menyenangkan, karena ketiga orang itu tak berani melanjutkan langkahnya lagi dan hanya terpaku menatap tongkat bergagang tengkorak kepala manusia berwarna merah!
"Kudengar...," ujar Antasena tiba-tiba memecah keheningan. "Setan Tengkorak Merah lenyap dari dunia persilatan beberapa bulan yang lalu."
"Benar, Anta," Abiyasa menganggukkan kepala. "Menurut selentingan kabar, datuk sesat itu dikalahkan oleh seorang tokoh sakti! Setelah itu, beritanya sudah tak terdengar lagi. Lenyap begitu saja bagai ditelan bumi."
"Ah...!" desis Antasena dan Jembawati, kaget.
..... Kedua orang itu saling berpandangan. Wajah mereka menampakkan perasaan terkejut. Sungguh tak pernah disangka, terutama sekali oleh Antasena, kalau Setan Tengkorak Merah dapat juga dikalahkan orang!
"Oleh karena itu," lanjut Abiyasa tanpa mempedulikan keterkejutan yang masih membelit hati Jembawati dan Antasena. "Aku masih tak yakin kalau benda itu ditancapkan oleh Setan Tengkorak Merah! Bukankah dia sudah cukup lama lenyap?!"
* * *
"Ha ha ha...!"
Tawa keras yang menggelegar tiba-tiba, membuat Abiyasa menghentikan ucapannya. Semula, lelaki itu masih hendak melanjutkan bicaranya dan mencari kata-kata yang tepat untuk menyambung pendapatnya.
Abiyasa terkejut bukan main. Bahkan bukan hanya dia saja. Antasena dan Jembawati pun demikian. Tidak hanya rasa kaget, tapi juga perasaan tegang menyelimuti hati mereka semua.
"Benarkah Setan Tengkorak Merah yang datang?! Setan Tengkorak Merahkah yang tertawa?!" tanya mereka dalam hati.
Dengan jantung berdetak kencang, mereka menunggu keluarnya pemilik tawa itu. Tapi, sampai beberapa lama menunggu, orang yang mereka harapkan tak juga keluar. Bahkan tanda-tanda kemunculannya pun tak terlihat sama sekali.
Perasaan tak sabar untuk segera mengetahui pemilik tawa itu membuat Abiyasa, Antasena, dan Jembawati, mencoba untuk mengira-ngira tempat beradanya orang yang mereka maksudkan. Setidak-tidaknya, asal tawa itu. Tapi, betapapun ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tak mampu mengetahui asal suara itu. Tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
"Aku tak bisa memperkirakan asal tawa ini, Kang," ujar Antasena dengan suara putus asa.
"Aku pun tak bisa, Anta," sahut Antasena dengan bola mata berputaran ke sana kemari untuk mencari tahu keberadaan si pemilik tawa. "Tapi, aku yakin kalau pemilik tawa itu adalah
Setan Tengkorak Merah!"
"Mengapa kau menduga demikian, Kang?!"
Kali ini Jembawati yang mengajukan pertanyaan tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.
"Menurut kabar yang kudengar, Setan Tengkorak Merah memiliki Tenaga Dalam Delapan Sudut. Dan aku yakin, Iblis itu menggunakan tenaga istimewanya ketika tertawa sehingga membuat asal tawanya seperti berasal dari delapan penjuru. Jadi, kupikir..., tak ada gunanya lagi kita bertindak seperti ini. Lebih baik kita menunggu dan bersikap waspada. Aku yakin, iblis ini akan datang menemui kita, bila dia memang merasa mempunyai keperluan dengan kita bertiga."
Antasena dan Jembawati tidak memberikan tang-gapan sama sekali. Tapi, dari wajah mereka tampak bahwa mereka membenarkan ucapan Antasena.
Setelah Antasena menghentikan ucapannya, secara tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap. Sesaat kemudian, berkelebat sesosok bayangan dari kerimbunan ilalang. Gerakannya secepat kilat sehingga tak terlihat jelas bentuknya. Yang tampak hanya sekelebatan bayangan hitam. Dan terlihat jelas ketika sudah menghentikan gerakannya dan berdiri di atas tongkat yang tertancap di tanah dengan mempergunakan kepala. Sementara kedua kaki sosok hitam itu menjulang ke angkasa.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati terperanjat melihat tingkah sosok hitam yang aneh itu. "Mendarat saja kok, mesti menggunakan kepala. Apakah berlari pun mempergunakan kepala?! Berjalan pun demikian?!" tanya ketiga orang itu dalam hati
Keterkejutan akhirnya melanda mereka, karena mengetahui sosok hitam itu memiliki kepandaian tinggi. Karena, hanya tokoh berkepandaian tinggi sajalah yang dapat mendarat di ujung tongkat tanpa tubuh atau pun tongkat bergeming sedikit pun juga.
Di samping terkejut, kelegaan hati pun melanda ketiga orang itu, terutama Abiyasa. Semula mereka mengira sosok yang akan muncul adalah sosok ringkih seorang kakek. Ternyata dugaan mereka itu, keliru!
Di atas tongkat, menempel seorang pemuda bertubuh kecil pada bagian atas tengkorak kepala manusia itu. Wajahnya cukup tampan, tapi karena kurusnya dan juga kulitnya yang pucat seperti orang penyakitan, sehingga kelihatan menyolok dan menyeramkan!
"Apakah kalian murid-murid dari Empu Jangkar Bumi?!" tanya pemuda berwajah pucat itu bernada mengancam.
Sambil bertanya demikian, pemuda berpakaian hitam itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya Abiyasa, Antasena, dan Jembawati satu persatu dengan sinar mata penuh selidik tapi terkesan memandang rendah!
Tetapi ketiga orang itu tidak memberikan jawaban. Jembawati dan Antasena menyerahkan seluruh urusan pada Abiyasa. Di lain pihak, lelaki berpakaian cok-lat itu masih balas memperhatikan orang yang menga-jukan pertanyaan padanya.
Pemuda kecil itu ternyata bukan termasuk orang yang memiliki kesabaran besar. Sepasang matanya memancarkan maut saat menatap tiga orang di hada-pannya yang belum juga memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Anjing-anjing Tuli...! Apakah kalian murid-murid anjing buduk yang bernama Keparat Empu Jangkar Bumi?!" tanya pemuda berpakaian hitam lagi. Suaranya kali ini lebih keras dan kasar.
"Tutup mulutmu, Manusia Penyakitan!" bentak Abiyasa karena tak kuasa menahan amarahnya dihina seperti itu. "Dengar baik-baik, kami bukan anjing-anjing dan juga tidak tuli! Matamulah yang harus diperiksa karena salah melihat! Pasang telingamu, agar tak salah mendengar! Benar, kami adalah muridmurid dari Empu Jangkar Bumi! Lalu, kau mau apa?!"
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali! Memang sudah lama aku ingin bertemu dengan empu keparat itu atau den-gan muridnya. Tak kusangka bisa bertemu di sini. Jadi aku tak perlu repot-repot untuk mendatangi tempat kalian yang buruk!" ejek pemuda berpakaian hitam dengan suara lantang dan keras.
Abiyasa menggertakkan giginya menahan geram. Ejekan yang diberikan pemuda jangkung terlalu menyakitkan. Meskipun sudah dapat menduga kalau pemuda berpakaian hitam itu memiliki kepandaian luar biasa, Abiyasa tak menjadi gentar. Kemarahannya rupanya menghilangkan pertimbangannya. Apalagi setelah diyakini kalau pemuda yang berada di depannya bukan Setan Tengkorak Merah! Tokoh sakti pelarian dari Aceh itu diyakini Abiyasa sudah berusia lanjut! Dan, pemuda di depannya paling banyak baru berusia dua puluh delapan tahun!
Kemarahan besar yang melandanya dan keyakinan kalau sosok di depannya itu bukan Setan Tengkorak Merah, mendorong keberanian Abiyasa. Bahkan seka-rang lelaki berpakaian coklat itu mengayunkan kaki mendekati calon lawannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Manusia Penyakitan!" bentak Abiyasa dengan suara bergetar karena kemara-han yang menggelora. "Kami tak mengenalmu, dan kami yakin, guru kami, Empu Jangkar Bumi pun tak mengenalmu! Mengapa kau bersikap demikian kurang ajar dan lancang?! Kami, selaku murid-murid beliau tak bisa membiarkan hal ini! Kalau tak segera menca-but ucapan-ucapanmu, terpaksa kami akan membuat perhitungan denganmu!"
Pemuda berpakaian hitam tertawa dengan nada menghina sekali. Ia tidak melakukan tindakan apa pun, tapi tongkat di mana kepalanya bertumpu, sedikit demi sedikit amblas ke dalam tanah!
Tubuh si pemuda itu sendiri tak bergeming sama sekali. Malah, ketika yang tampak di permukaan tanah hanya tinggal teng-korak kepala manusia, tubuh pemuda pucat itu tetap tak bergoyang sama sekali!
Abiyasa dapat melihat itu secara jelas. Walaupun begitu dia tak merasa gentar atau memperlihatkan ke-kaguman. Tapi tidak demikian halnya dengan Antase-na dan Jembawati. Kedua orang ini jelas-jelas memper-lihatkan keterkejutan dan kekaguman yang bercampur dengan kengerian!
Pemuda berpakaian hitam itu tak terlalu mempedulikan tanggapan Abiyasa. Dengan kepala tetap di bawah, ditatapnya Abiyasa yang sekarang sudah menghentikan langkahnya ketika berjarak dua tombak darinya.
"Kau hendak membuat perhitungan denganku?! Mengapa hanya sendiri majunya?! Ajak kawan-kawanmu biar urusan ini cepat selesai!" tantang pemuda bertubuh jangkung itu penuh kesombongan. "Kalau hanya menghadapi kecoak-kecoak seperti kalian, aku, Tengku Daud, dengan tanpa bergerak dari tempat pun. Akan dapat mengusir kalian semua sekali pun kalian maju berbarengan!" lanjutnya lagi.
"Sombong...!" seru Abiyasa keras, seraya melompat menerjang Tengku Daud. Lelaki berpakaian coklat itu tak bisa menahan kemarahannya lagi melihat sikap si pemuda yang kelewatan menghinanya.
Diawali suara keras melengking nyaring, Abiyasa menyerang Tengku Daud. Lelaki itu membuka seran-gannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-tubi ke arah leher. Dan memang seharusnya leher yang menjadi sasaran cengkeraman Abiyasa. Tapi, ka-rena Tengku Daud berdiri dengan kepala di bawah, serangan itu jadi meluncur ke arah bawah pusar. Sasa-ran serangan ini tak kalah besar akibatnya dibanding dengan serangan terhadap leher. Menurut perhitungan bila mengenai sasaran, nyawa Tengku Daud pasti akan melayang karenanya.
Tapi, sebelum serangan Abiyasa mengenai sasaran, ia merasakan adanya sebuah kekuatan tak tampak yang menghimpit tubuhnya dari berbagai penjuru. Himpitan itu kuat sekali tekanannya sehingga mem-buat dada Abiyasa terasa sangat sesak.
Semakin dekat tubuh Abiyasa ke arah tubuh pemuda itu, kekuatan tak tampak yang menekannya semakin membesar pula. Betapapun sudah dikerahkan seluruh kemampuannya untuk membebaskan diri dan tekanan itu, tetap saja tak mampu.
Abiyasa segera sadar kalau kekuatan tak tampak yang menekannya dari berbagai arah adalah hasil perbuatan lawannya. Seketika itu pula ia teringat akan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut'!
Ya, seperti inilah akibat serangan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut'! Dengan demikian, Tengku Daud pasti mempunyai hubungan dengan Setan Tengkorak Merah! Pikir lelaki itu tersadar.
"Mengapa aku demikian pelupa?!" maki Abiyasa dalam hati, ketika teringat akan nama pemuda di hadapannya. Bukankah nama atau gelar Tengku hanya di-miliki oleh orang Aceh?! Setan Tengkorak Merah ada-lah orang Aceh! Jadi, kemungkinan besar pemuda sombong ini mempunyai hubungan dengan datuk yang merupakan orang pelarian itu! Tak aneh kalau Tengku Daud juga memiliki tenaga dalam khas milik Satan Tengkorak Merah!"
Kenyataan yang terjadi pada dirinya dan nama Tengku Daud, membuat Abiyasa yakin kalau telah berhadapan sendiri dengan tenaga dalam unik yang membuat Setan Tengkorak Merah amat ditakuti, 'Tenaga Dalam Delapan Sudut'!
Selama ini, Abiyasa hanya mendengar cerita tentang kehebatan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut', dan belum pernah membuktikannya. Sama sekali tak disangka kalau akan sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia sudah dibuat tak berdaya. Tubuhnya bagaikan digen-cet kekuatan raksasa. Padahal, Tengku Daud sama se-kali tak menyerang. Bahkan tak terlihat adanya tandatanda kalau ia melakukan perlawanan. Pemuda itu te-tap diam di tempatnya seakan pasrah pada serangan yang akan dilancarkan lawan.
Tapi Abiyasa tahu, kalau Tengku Daud tak berdiam diri saja. Meskipun tampaknya tak melakukan apa pun, lelaki berpakaian coklat itu yakin kalau Tengku Daud memberikan sambutan atas serangannya. Seti-dak-tidaknya, pemuda berpakaian hitam itu bersiap untuk menerima serangan dengan menggunakan tena-ga dalamnya. Dan, pengerahan tenaga dalam itulah yang membuat Abiyasa mengalami tekanan berat.
Akibat tekanan yang melanda dari berbagai arah, serangan Abiyasa akhirnya kandas sebelum mencapai sasaran. Tekanan dari berbagai arah itu tak hanya membuat dadanya sesak. Tapi juga membuat tenaga dalamnya lenyap begitu saja. Seluruh uraturatnya terasa lemas dan sakit-sakit.
Lelaki berpakaian coklat itu sadar, kalau hal ini terus berlangsung nyawanya pasti akan pergi meninggalkan raganya. Dan, Abiyasa tak menginginkan hal itu. Ia masih belum ingin mati.
Di saat yang gawat dan saat lelaki itu tengah memutar otak mencari jalan untuk menyelamatkan nyawanya, terdengar tepukan tangan secara tiba-tiba. Tak nyaring, tapi menggema ke sekitar tempat itu.
"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Seseorang yang memiliki kemampuan, menggunakan kelebihan itu untuk mempermainkan nyawa orang! Nyawa yang hanya satu-satunya dan tak mampu
dibuat oleh siapa pun! Betapa kejinya...!"
Perkataan yang dikeluarkan dengan tenang dan tak lantang itu juga menimbulkan gema ke seluruh penju-ru. Bahkan ucapan yang terlontar seiring dengan lenyapnya bunyi tepukan tangan itu, mampu membuat dada Antasena dan Jembawati tergetar hebat.
Akibat yang ditimbulkan memang luar biasa. Tengku Daud merasakan pengerahan tenaga dalamnya membuyar ketika tepukan itu usai. Dan, ketika perkataan yang melanjutkan tepukan tadi lenyap, tengkorak yang menjadi tempat bertumpu kepalanya, hancur be-rantakan!
Untungnya, Tengku Daud sudah lebih dulu bertindak cepat. Sebelum ledakan tengkorak kepala itu terjadi, dan saat pengerahan tenaga dalamnya membuyar, ia melenting ke atas dan melompat menjauh. Pemuda sombong itu pun selamat dari maut.
Pada saat yang bersamaan, Abiyasa pun melompat mundur ketika kekuatan tak tampak yang menekannya lenyap. Lelaki itu kembali pada dua rekannya dan bersikap waspada untuk menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.
"Apa yang telah terjadi, Kang?!" tanya Jembawati tak sabar, ingin segera tahu.
"Aku juga belum tahu, Wati," jawab Abiyasa seraya menggelengkan kepala. "Tapi, yang jelas orang yang baru datang ini bermaksud baik. Setidak-tidaknya kemunculannya, dan tindakannya telah menyelamatkan nyawaku...."
Ucapan Abiyasa terhenti di tengah jalan karena dilihatnya sesosok bayangan ungu berkelebat mendaratkan kaki di depannya, di tengah-tengah antara di-rinya dengan Tengku Daud.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati tak bisa melihat jelas sosok ungu itu. Karena ia berdiri membelakangi mereka. Yang dapat mereka lihat hanya tubuh kekarnya, dari pakaian ungu yang membungkus tubuhnya. Serta rambut putih panjang berkibaran yang sebagian di antaranya menutupi guci yang tersampir di punggungnya.
Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi, Tengku Daud dapat melihat dengan jelas sosok yang telah mencampuri urusannya itu. Sinar mata Tengku Daud penuh dengan kemarahan, dan bahkan seperti memancarkan api. Pemuda berkulit kehitaman itu benar-benar murka, karena maksudnya yang sudah hampir tercapai untuk membunuh Abiyasa, kandas.
Sementara itu sosok bayangan ungu yang menjadi penyelamat Abiyasa, sama sekali tak terpengaruh dengan sikap Tengku Daud. Sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tampan berwajah jantan itu, tetap bersikap tenang. Sikap si pemuda berpakaian ungu, semakin membuat amarah Tengku Daud berkobar.
"Siapa kau, Keparat?! Sungguh berani kau mencampuri urusanku! Tak tahukah kau siapa aku?!" bentak Tengku Daud setengah mengancam,
Dalam hatinya Tengku Daud merasa heran ketika melihat orang yang mencampuri urusannya. Melihat dari bentuk tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang tampan dengan kulit yang masih kencang, sosok itu adalah seorang pemuda. Tapi, bila melihat rambutnya, sosok itu lebih pantas orang yang sudah berusia amat lanjut, karena seluruh rambutnya sudah berwarna putih keperakan!
"Namaku Arya Buana. Aku sengaja mencampuri urusanmu karena kulihat kau hendak bertindak sewenang-wenang. Asal kau tahu saja, pantang bagiku membiarkan terjadinya penindasan di depanku! Dan, untuk menegakkan kebenaran, aku tak peduli siapa adanya orang yang harus ku tentang! Sekarang katakanlah, siapa kau agar aku bisa mengenalmu!" jawab pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Dewa Arak.
–––––––– 2 ––––––––
"Sekarang aku mengerti, mengapa kau mempunyai sikap demikian sombong! Bukankah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?! Pendekar muda yang memiliki julukan menggetarkan dunia persilatan?!" tanya si pemuda kecil kurus bernada mengejek.
"Dugaanmu sama sekali tak salah, Sobat, aku memang orang yang kau maksudkan. Kuharap kau bersedia mengenalkan diri. Aku yakin, orang dengan tingkat kepandaian sepertimu pasti terkenal di dunia persilatan. Setidak-tidaknya, orang yang mengajarimu sampai mencapai tingkat kepandaian seperti ini, mempunyai julukan yang menggemparkan dunia persilatan," sahut Arya kalem.
Tengku Daud malah tertawa tergelak-gelak. Membuat semua yang berada di tempat itu, kecuali Dewa Arak, jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Tengku Daud malah tertawa-tawa?! Gilakah dia?! Abiyasa dan rekan-rekannya menatap Tengku Daud dengan dahi berkernyit.
"Aku gembira mendengar jawabanmu Dewa Arak, oleh karena itu aku tertawa. Perlu kau ketahui, sudah lama aku mendengar nama besarmu. Sudah lama pula aku ingin bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah kebesaran julukanmu sebanding dengan tingkat kepandaian yang kau miliki! Aku memang belum terkenal sepertimu karena aku baru saja selesai berguru. Tapi mungkin kau pernah mendengar nama ayahku. Dia di-juluki orang Setan Tengkorak Merah! Sedangkan aku, Tengku Daud!" jelas pemuda kecil kurus itu panjang lebar.
Dewa Arak memang sudah mendengar julukan Iblis
Penghisap Darah. Dan, di dalam hatinya, pemudi itu kaget bukan main. Ia juga tahu kalau Setan Tengkorak Merah adalah pentolan kaum sesat yang terkenal me-miliki kepandaian amat tinggi. Kendati demikian, Arya mampu menyembunyikan keterkejutannya sehingga tak tampak di wajahnya.
"Jadi kau putra dari datuk sesat yang terkenal itu?!" Ujar Arya dengan suara hambar. "Rupanya kau mengikuti jejak orangtua mu! Kau calon setan pula Daud! Dan, sudah merupakan tekadku untuk melenyapkan orang-orang semacammu!"
"Kalau begitu, kau yang akan kusingkirkan, Dewa Arak!" sentak Tengku Daud, keras.
"Hiyaaat...!"
Tengku Daud berseru keras, menutup ucapannya. Pada saat yang bersamaan, ia menerjang Dewa Arak. Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar, meluncur berbareng ke arah dada lawannya.
Cit, cit!
"Heh...?!"
Dewa Arak tersentak kaget ketika merasakan ada kekuatan tak tampak yang menekan tubuhnya dari berbagai penjuru. Begitu kuat tekanan itu menghimpit dadanya. Dan, seiring dengan semakin mendekatnya serangan, kekuatan tak tampak yang menekan itu se-makin kuat, dan bahkan menyesakkan dada Arya.
Keadaan yang tadi menimpa Abiyasa, kini berulang pada Dewa Arak. Hanya saja, pemuda berambut putih keperakan ini mampu memberikan perlawanan yang berarti. Sekali Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya, kekuatan yang menekannya pun berkurang jauh.
Dan secepat kilat Arya menolak serangan yang melun-cur ke arah dadanya, Prattt!
"Aah.,!"
Jeritan kesakitan tertahan itu keluar dari mulut Tengku Daud, ketika benturan dua pasang tangan ter-jadi. Tubuh putra Setan Tengkorak Merah itu terhuyung ke belakang dua langkah dengan tangan terasa sakit. Di lain pihak, Arya hanya terhuyung selangkah. Rasa sakit pada tangannya yang berbenturan ta-di, membuat Tengku Daud tak mampu menahan pekik tertahannya.
Tengku Daud menggeram keras karena lawannya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. Ia sama sekali tak pernah mimpi akan mengalami kejadian seperti itu, terhuyung-huyung dalam benturan tenaga melawan seorang pemuda. Karena dirinya adalah putra tunggal Setan Tengkorak Merah, jadi pantang baginya disaingi orang. Apalagi dia bertekad untuk menjadi datuk kaum sesat nomor satu!
* * *
Bunyi lengkingan nyaring dan tinggi, membuat Tengku Daud yang telah bersiap untuk melancarkan serangan kembali, jadi mengurungkan maksudnya. Lengkingan itu memang luar biasa, cukup membuat pendengaran Abiyasa, Antasena, dan Jembawati sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Mereka terpaksa menutup kedua telinga untuk sekadar mencegah pengaruh teriakan itu.
Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi, Dewa Arak dan Tengku Daud sama sekali tak terpengaruh dengan bunyi lengkingan itu. Dengan tenaga dalam mereka yang sudah mencapai tingkatan amat tinggi, pengaruh lengkingan itu dapat ditangkal, sehingga tak mampu masuk dan mempengaruhi bagian dalam telinga.
Sebelum bunyi lengkingan itu usai, sesosok bayangan tibatiba berkelebat dan menjejakkan kakinya di sisi Dewa Arak dan Tengku Daud yang saling berhadapan. Keberadaan sosok bayangan yang baru muncul itu membentuk empat mata angin, bila di depannya berdiri sesosok lagi.
Sosok yang baru muncul dan menebarkan wangi yang menyelimuti sekitar tempat itu, memiliki tubuh ramping yang terbungkus pakaian hijau. Ternyata seorang wanita. Wajahnya cantik dengan kulit yang putih halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya yang menggiur-kan semakin menambah daya tariknya. Apalagi ditambah dengan rambutnya yang panjang hitam dan menyebarkan wangi aneka bunga-bungaan.
Perhatian mereka semua yang ada di situ segera beralih pada wanita yang usianya kira-kira baru dua puluh tahun itu. Semuanya sama-sama mengernyitkan dahi karena tak mengenai wanita berambut wangi itu. Hanya Tengku Daud yang menampakkan sikap seperti orang yang mempunyai dugaan.
"Hey, Denok! Rupanya kau mempunyai hubungan yang erat dengan Dewi Berambut Wangi?! Kau ini mu-ridnya atau putrinya, Denok?!" tanya pemuda dari aneh itu tanpa mengurangi perasaan sombong yang terpancar jelas.
Hi hi hik...!
Wanita berpakaian hijau itu tertawa dengan sikap dibuatbuat. Tampak seperti wanita jalang dan genit.
"Kau rupanya cerdik juga, Monyet Pucat! Memang, aku mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi yang kau katakan itu. Sayangnya kau terlalu buruk untuk mendapatkan jawaban dariku. Kau tahu, hanya pemuda-pemuda berwajah tampan yang akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya padaku!" seru wanita itu mengejek.
Tengku Daud menggeram keras seperti seekor harimau yang sedang marah mendapatkan tanggapan yang sama sekali tak disangkanya itu. Ia merasa ter-singgung sekali dengan jawaban yang jelas-jelas menghinanya itu. Sementara Dewa Arak dan Abiyasa terperanjat ketika mengetahui wanita pendatang baru itu mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi.
Baik Dewa Arak maupun Abiyasa memang belum pernah berjumpa dengan Dewi Berambut Wangi. Kendati demikian, julukan tokoh itu telah lama mereka dengar. Seperti juga Setan Tengkorak Merah, Dewi Berambut Wangi muncul di dunia persilatan sekitar dua puluh tahun lalu. Tak berbeda dengan tokoh pelarian dari Aceh itu, Dewi Berambut Wangi juga menyebar kekacauan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persila-tan yang tewas di tangannya. Dan, menurut kabar yang tersiar, Dewi Berambut Wangi belum pernah dikalahkan orang. Hanya saja sekitar dua tahun lalu, kabarnya lenyap begitu saja. Dewi Berambut Wangi seakan telah mati.
Hampir tak ada orang yang mengenal nama asli Dewi Berambut Wangi. Orang-orang hanya mendengar selentingan kabar kalau wanita sakti itu berasal dari pulau seberang lautan pula, dari Bone, Sulawesi Sela-tan.
Oleh karena itu, Dewa Arak dan Abiyasa terkejut ketika mengetahui wanita yang baru datang itu mem-punyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi. Arya tahu, kalau wanita itu bisa bergabung dengan Tengku Daud, akan merupakan lawan yang teramat tangguh dan berat baginya. Putra Setan Tengkorak Merah itu saja sudah memiliki tingkat kepandaian yang hanya berselisih sedikit dari padanya. Arya bisa memperkira-an kalau tingkat kepandaian wanita berpakaian hijau itu juga tak kalah dibanding Tengku Daud. Sedikit-sedikitnya setingkat dengan putra Setan Tengkorak Merah.
"Kau melakukan sebuah kesalahan yang teramat besar, Wanita Liar!" maki Tengku Daud sambil menggeram marah. "Kau kira karena kau mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi lalu boleh bertindak dan berbicara seenaknya?! Kau tahu, bagi Tengku Daud, tak ada yang perlu ditakuti atau disegani! Bahkan kalau saat ini Dewi Berambut Wangi ada di depanku, aku mewakili ayahku, Setan Tengkorak Merah, untuk membunuhnya. Agar dia tahu kalau Setan Tengkorak Merahlah yang merupakan datuk kaum sesat yang sebenarnya!" "Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau tertawa mengikik.
"Kau mengigau, Daud! Jangankan menghadapi Dewi Berambut Wangi, menghadapi aku saja kau atau ayahmu, atau sekaligus bersama-sama mengeroyok tak akan mampu menang. Sayangnya, aku sedang tak minat bertarung. Aku mempunyai urusan lain yang lebih penting ketimbang menghadapi cecoro sepertimu!"
"Tak perlu kau jelaskan pun aku sudah bisa memperkirakannya dan pasti benar, Wanita Sundal! Kau hendak berurusan dengan keturunan Empu Jangkar Bumi, bukan?!" sergah Tengku Daud dengan nada mengejek.
Senyum memikat yang sejak tadi menghias bibir Wanita berpakaian hijau itu kini buyar. Sepasang matanya yang indah, seperti mengeluarkan api ketika menatap putra Setan Tengkorak Merah itu.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan kedua tokoh golongan hitam itu, jadi kaget ketika melihat tanggapan yang diberikan Wanita Berambut Wangi. Rahasia apakah yang terkandung dalam diri Empu Jangkar Bumi, sehingga si wanita demikian marah ketika Tengku Daud mengutarakan dugaannya. Aku yakin ada hal-hal besar yang tersembunyi di sini?! Pikir Arya, penuh perasaan tertarik.
"Mengapa masih berada di sini, Kang?!" tanya Arya pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. "Mumpung orang-orang yang mengincar kau dan kawan-
kawanmu itu tengah bersitegang, kurasa lebih baik kau segera pergi dari sini. Aku tak yakin akan mampu mencegah maksud mereka jika mereka bergabung melawanku. Cepat, mumpung ada waktu...."
Abiyasa yang mendapat pemberitahuan itu, tersentak. Tanpa berpikir lebih lama, ia segera dapat menduga kalau pengirim suara ke telinganya itu adalah Dewa Arak. Sekilas, dikerlingnya Antasena, Jembawati, dan Tengku Daud serta wanita berambut harum itu. Ia khawatir kalau-kalau orang-orang itu, terutama sekali Tengku Daud dan saingannya, mendengarnya. Tapi, ternyata ia tak melihat adanya hal-hal yang dikhawa-tirkannya itu. Ia pun segera tahu kalau pemberitahuan itu dikirim hanya untuk dirinya.
"Benar-benar tak berlebihan berita yang mengatakan kalau Dewa Arak merupakan tokoh yang luar biasa," puji Abiyasa dalam hati, penuh rasa kagum.
Murid Empu Jangkar Bumi ini mengerling sebentar ke arah Arya karena ingin memberi isyarat sebagai ucapan terima kasih.
Tapi, maksud baiknya itu tak terkabul. Dewa Arak kelihatan tengah sibuk memperhatikan Tengku Daud dan saingannya.
"Jangan membuat hal-hal yang dapat menimbulkan kecurigaan, Kang. Segeralah tinggalkan tempat ini mumpung ada kesempatan."
Suara yang sama mengiang kembali di telinga Abiyasa. Lelaki ini pun tahu kalau maksudnya tak akan terkabul. Keinginannya untuk menunggu Arya meno-leh dan mengucapkan terima kasih dengan isyarat di-urungkannya. Pemuda berambut putih keperakan itu yang justru melarangnya.
Abiyasa mengerti maksud larangan yang diberikan. Maka, ia tak merasa tersinggung. Justru kekaguman yang mendera hatinya semakin besar. Bukti nyata ten-tang kebenaran hati Dewa Arak yang tak mempeduli-kan terima kasih orang, telah dialaminya sendiri. Ma-ka, tanpa membuang-buang waktu lagi, dengan gerak isyarat, diajaknya Antasena dan Jembawati meninggalkan tempat itu.
Keberuntungan tengah berpihak pada Abiyasa, Antasena dan Jembawati, tanpa banyak tanya atau apa pun, segera mengikuti kemauannya. Dengan pelahan-lahan dan mengendap-endap murid-murid Empu Jangkar Bumi itu semakin menjauh.
"Hey...!"
Seruan keras bernada kaget itu keluar berbarengan dari mulut Tengku Daud dan wanita berpakaian hijau. Kedua tokoh muda sesat itu kaget bukan main ketika melihat orang-orang yang mereka ributkan dan dijadi-kan urusan, malah melarikan diri meninggalkan tem-pat itu. Seketika itu juga, pertentangan yang terjadi di antara mereka terhenti. Bagaikan berlomba keduanya melesat mengejar.
Arya sudah memperhitungkan kejadian seperti itu.
Maka, dia dapat bertindak cepat. Cemas jika bertindak lambat akan membuat keadaan menjadi runyam, Dewa Arak segera melesat, menghalangi tujuan Tengku Daud. Jika putra Setan Tengkorak Merah itu meneruskan maksudnya, maka ia akan menumbuk tubuh Arya.
Pada saat yang hampir bersamaan, sekejap sebe-lumnya, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya bergantian ke arah wanita berpakaian hijau. Angin berhawa panas menyengat ke arah sasaran yang dituju pemuda berambut putih keperakan itu.
Perhitungan Dewa Arak tak meleset. Tengku Daud tak berani meneruskan langkahnya ketika dihadang. Pemuda kecil kurus itu bersalto ke belakang, menjauh. Putra Setan Tengkorak Merah itu tak berani mengadu tenaga dalam karena tahu kalau pemuda di hadapan-nya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Tapi, Dewa Arak tak sepenuhnya berhasil. Serangan yang diberikannya terhadap wanita berpakaian hijau ternyata. kandas. Dua kali pukulan jarak jauh yang dilepaskannya kandas ketika wanita itu menge-butkan rambutnya yang panjang. Angin-angin pukulan berhawa panas itu lenyap begitu saja bagai ditelan oleh sesuatu yang tidak tampak.
Lalu secepat kilat wanita itu melesat mengejar Adiyasa dan rombongannya yang telah berjarak belasan tombak darinya.
Dewa Arak segera melihat adanya bahaya terhadap muridmurid Empu Jangkar Bumi itu. Ia pun tahu ka-lau kecepatan lari wanita berpakaian hijau itu jauh di atas Abiyasa dan rekanrekannya. Dalam waktu sing-kat mereka pasti akan terkejar. Dan, Arya tak mengin-ginkan hal itu terjadi. Pemuda berambut pun keperakan itu segera bersalto ke belakang dan diteruskannya dengan lompatan untuk mengejar wanita itu
Ternyata bukan Arya saja yang punya keinginan itu. Tengku Daud pun tak ingin Abiyasa, Antasena dan Jembawati diringkus oleh saingannya. Tapi, jaraknya dengan wanita berpakaian hijau terlalu jauh. Arya saja yang lebih dekat belum tentu dapat mencegah tindakan wanita itu, apalagi dirinya. Karena itu, Tengku Daud segera mengibaskan tangannya setelah terlebih dulu memasukkannya ke balik pakaiannya.
Sing, sing, singng...!
Bunyi berdesing terdengar ketika beberapa buah gelang putih mengkilat, meluncur dengan kecepatan menakjubkan ke arah punggung dan belakang kepala wanita berpakaian hijau.
Wanita berambut panjang itu menyadari akan adanya bahaya mengancam. Ia yakin, kalau maksud-nya dilanjutkan, sebelum tercapai, senjata-senjata yang di lepaskan Tengku Daud akan lebih dulu men-genainya. Dan, ia tak menginginkan hal itu terjadi.
Untuk kedua kalinya, wanita berambut panjang itu melakukan tindakan yang menakjubkan. Sambil membalikkan tubuh, rambutnya dikibaskan. Padahal, gelang-gelang baja itu masih berjarak cukup jauh dari sasaran.
Tak terdengar bunyi hembusan angin. Tapi, luncuran gelanggelang Tengku Daud terhenti di tengah jalan, bagaikan menabrak dinding yang tak tampak oleh mata. Saat itu pula, gelang-gelang tersebut berjatuhan ke tanah. Serangan putra Setan Tengkorak Merah kembali dapat digagalkan oleh lawannya.
Hanya sekejap saja wanita berpakaian hijau itu menghentikan ayunan kakinya untuk menangkis serangan lawannya tadi. Tapi, kesempatan yang sedikit itu cukup bagi Dewa Arak. Dengan gerakan cepat pemuda berambut putih keperakan itu bersalto melewati atas kepala wanita itu. Dan begitu menjejakkan kakinya, dia sudah berdiri di hadapan saingan Tengku Daud.
"Kau boleh mengejar mereka bila sudah melangkahi mayatku dulu, Sobat!" seru Arya mantap.
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau wanita berpakaian hijau memiliki kepandaian amat tinggi. Oleh karena itu, ia bersikap waspada. Sekujur urat-urat saraf dan otot-otot tubuhnya menegang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau itu tertawa mengikik dengan nada genit. Bibir dan sepasang matanya menyambar ke arah Dewa Arak dengan penuh daya pikat.
"Gagah nian sikapmu, Tampan! Aku jadi ingin tahu apakah besarnya sesumbar mu dan ketampanan wajahmu, sepadan dengan kepandaian yang kau miliki! Siapa kau sebenarnya, Tampan?! Dan, apa hubunganmu dengan keturunan Empu Jangkar Bumi sehingga kau demikian mati-matian membelanya?!"
"Tingkahmu saja yang kelewatan, Wanita Sundal!" Tengku Daud yang memberikan jawaban dengan nada memaki. "Si tampan usilan sialan itu saja tidak kau kenal?! Dia Dewa Arak! Orang yang selalu merasa dirinya paling suci dan benar di dunia ini!" timpalnya lagi.
Sepasang mata wanita berambut panjang itu menyipit. Roman wajahnya tampak terkejut mendengar pemberitahuan Tengku Daud yang sudah berdiri tak jauh darinya.
"Benarkah itu, Tampan?!" tanya wanita berpakaian hijau penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu Arya menganggukkan kepala.
"Kau sendiri siapa, Wanita Sundal?! Aku dan si dewa sialan itu sudah memperkenalkan diri. Hanya kau sendiri yang belum. Ataukah.., kau tak berani memperkenalkan dirimu?!" ejek Tengku Daud, memancing amarah saingannya.
Wanita berpakaian hijau menatap Tengku Daud dengan sinar mata seperti mengeluarkan api. Tampak jelas di wajahnya kalau ia merasa tersinggung oleh hi-naan putra dari Setan Tengkorak Merah itu.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Kerdil! Akan kubuat kau menyesali sikapmu ini!" dengus wanita itu keras. "Semula memang aku tak ingin memperkenalkan diri! Tapi, bukan karena aku takut! Kau tak pantas untuk mengenalku, tahu?! Karena kau terlalu mendesak, aku tak punya pilihan lagi. Namaku Dewi Lanjar! Kau dengar?! Dan, sebagai ganjaran atas kelancanganmu, kau akan pergi ke neraka, Monyet Kerdil! Sekarang ini juga seharusnya!" teriaknya lantang.
"Mengapa tidak kau lakukan, Wanita Sundal?!" tantang Tengku Daud, tenang.
"Karena membunuhmu semudah aku membuang ludah ke tanah!" jawab Dewi Lanjar lantang. "Jika tidak sekarang pun, masih banyak kesempatan untuk mengirim nyawamu ke neraka! Lagi pula, saat ini aku sedang tidak berselera untuk bertarung dengan orang yang memiliki kepandaian serendah dirimu! Kau terlalu hina dan rendah! Berbeda dengan Dewa Arak! Kalau kesempatan kali ini ku lewatkan, bukan tak mungkin seumur hidupku tak akan mendapatkannya lagi! Dia bisa berada di mana saja bagaikan angin! Oleh karena itu, sepatutnya kau berterima kasih padanya! Keberadaan dirinya menyebabkan nyawamu yang tak berharga itu tetap bertahan di badan!"
Tengku Daud dapat merasakan kebenaran mutlak yang terkandung dalam ucapan Dewi Lanjar. Tapi, kemarahan besar yang melandanya karena tersinggung mendengar ucapan Dewi Lanjar yang tajam, membuat pemuda berpakaian hitam itu mengenyampingkan akal sehatnya.
Tengku Daud yang sedang diamuk amarah, tak bisa menahan diri lagi. Ia langsung melesat untuk menerjang Dewi Lanjar. Tapi, tindakan itu terpaksa diurungkannya karena orang yang diserangnya, telah terlebih dulu melesat menyerang Dewa Arak!
–––––––– 3 ––––––––
Angin berhembus keras ketika Dewi Lanjar menggoyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang, hitam, dan harum, menegang kaku laksana tongkat, melayang ke arah kepala Dewa Arak! Bunyi yang ditimbulkan babatan rambut itu, tak ubahnya babatan se-batang tongkat baja yang berat dan diayunkan dengan tenaga kuat!
Dewa Arak tak berani bertindak main-main. Walaupun yang mengancam kepalanya hanya rambut; kalau yang menggerakkannya adalah orang yang bertenaga dalam kuat seperti Dewi Lanjar, serangan itu tak kalah bahayanya dengan hantaman tongkat baja. Jan-gankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun bisa hancur berantakan!
Atas dasar pertimbangan itulah, pemuda berambut putih keperakan itu tak berani bertindak gegabah.
Dengan bertumpu pada kedua kaki, dilemparkannya tubuhnya ke belakang untuk mengelak serangan la-wan. Dan, saat berada di udara, Arya bersalto bebera-pa kali, untuk berjaga-jaga dari serangan susulan lawannya.
Tindakan yang diambil Dewa Arak ternyata beralasan! Begitu serangan pertamanya kandas, Dewi Lanjar melesat mengejar lawannya. Wanita berpakaian Hijau itu menggulingkan tubuhnya di tanah beberapa kali. Kemudian, dengan sebuah gerakan indah, dia melent-ing ke atas.
"Haiiitt...!"
Dibarengi jeritan keras yang mampu membuat telinga sakit seperti ditusuk puluhan jarum, Dewi Lanjar melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah pelipis. Sikap jari-jari kedua tangannya terkembang membentuk cakar!
Arya yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah, tak kekurangan akal untuk menyelamatkan nyawa. Secepat kilat tubuhnya dirundukkan sehingga serangan lawan menyambar tempat kosong beberapa jari di atas kepalanya.
Kali ini Dewa Arak tak berdiam diri. Berbarengan dengan lewatnya serangan Dewi Lanjar di atas kepalanya, pemuda itu mengirimkan tendangan lurus ke arah pusar lawannya. Serangan balasan yang cepat dan tak terduga-duga datangnya itu membuat Dewi Lanjar agak kelabakan, namun dapat mematahkannya dengan melakukan lompatan harimau ke samping. Wanita berpakaian hijau, itu mempergunakan kedua tangannya untuk bertumpu pada tanah sebelum menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Kiranya berita besar tentang dirimu tak terlalu berlebihan, Dewa Arak!" ucap Dewi Lanjar setelah berdiri tegak di tanah.
Sepasang matanya menatap Arya dengan kekagu-man yang semakin besar. Kepalanya pun mengangguk-angguk seperti orang yang baru mengerti.
"Kepandaian yang kau miliki cukup hebat! Meskipun demikian, kau jangan besar kepala dulu! Tak akan pernah ada orang yang bisa menandingi ku, tak terkecuali kau, Dewa Arak! Jelas! Akulah yang akan menjadi orang tersakti di dunia persilatan! Hi hi hik..,!"
Dewa Arak hanya menyunggingkan senyum pahit di bibirnya mendengar sesumbar Dewi Lanjar. Pemuda berambut putih keperakan itu tampaknya tak terpengaruh dengan kesombongan sikap wanita itu. Yang kelabakan justru Tengku Daud! Terdengar bunyi bergeretakan nyaring pada tubuhnya, seakan-akan ada tulang-tulang tubuhnya yang berpatahan! Padahal, pe-muda berpakaian hitam itu tak melakukan tindakan apa pun. Tenaga dalamnya yang berkeliaran sendiri karena Tengku Daud tengah murka.
Tapi, sebelum terjadi tindakan selanjutnya, atau tercetusnya ucapan dari salah satu tiga tokoh sakti dunia persilatan itu, tibatiba terdengar pekikan nyaring seseorang yang sedang berada di ambang maut. Pekikan yang cukup panjang itu bagaikan orang yang sedang sekarat.
Sesaat ketiga orang itu masih terpaku di tempatnya. Tapi Dewa Arak cepat segera memberikan tanggapan. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melesat ke arah asal jeritan yang didengarnya. Tak dipedulikan lagi dua tokoh sesat yang bakal menjadi lawan tangguhnya. Dugaan tengah terjadinya tindak kejahatan dan kekejian, yang membuat Arya lebih mementingkan jeritan menyayat hati yang didengarnya itu.
Dewi Lanjar dan Tengku Daud tak sempat mencegah kepergian Dewa Arak. Di samping karena jarak pemuda itu cukup jauh juga kecepatan lesatannya yang dalam sekejap sudah mencapai puluhan tombak, membuat Dewi Lanjar dan Tengku Daud hanya sempat melontarkan seruan pendek.
"Hey...!"
Seruan yang dilontarkan secara keras itu tentu saja terdengar jelas oleh Dewa Arak! Tapi pemuda berambut putih keperakan itu tak mempedulikannya. Ia tetap terus berlari dengan kecepatan tinggi. "Urusan dengan Dewi Lanjar dan Tengku Daud dapat kuurus belakangan. Toh, urusan itu tak terlalu mendesak. Tidak demikian halnya dengan pemilik jeritan itu. Aku yakin tengah terjadi tindakan kekerasan dan keributan. Bukan tak mungkin ada banyak orang yang nya-wanya terancam!" pikir Arya, seiring dengan ayunan kakinya Pemuda berambut putih keperakan itu terus berlari tanpa mempedulikan seruan kaget Tengku Daud dan Dewi Lanjar. Bahkan ketika dua tokoh sesat yang sakti dan saling bersaingan itu memaki-makinya ia tetap tak peduli. Toh, muridmurid Empu Jangkar Bumi sudah tak terancam lagi!
"Dewa Arak...! Jangan lari kau, Pengecut...! Perta-rungan di antara kita belum selesai...!" jerit Dewi Lanjar keras, sehingga membuat sekitar tempat itu berge-tar hebat bak digoyang gempa.
"Hoi, Dewa Sialan...! Keberanianmu ternyata tak sebesar julukanmu! Kalau kita bertemu lagi, aku, Tengku Daud, akan mengirimmu ke akhirat! Kau tak akan mempunyai kesempatan untuk kabur lagi, Dewa Sialan...!" timpal putra Setan Tengkorak Merah, tak mau kalah gertak dengan saingannya.
* * *
Arya terpaku bagai orang terkena sihir ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya yang berjarak tiga tombak. Pemuda berambut putih keperakan yang biasanya dapat menguasai perasaannya, kali ini ternyata tak mampu. Mata dan parasnya memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat.
Padahal, biasanya Arya bisa meredamnya.
Pemandangan yang terpampang memang mengejutkan hati dan menggetarkan jantung. Belasan sosok bergeletakan di tanah bermandikan darah, Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau sosok-sosok itu adalah manusia. Tapi yang membuat pemuda itu terkejut bukan alang kepalang, tak satu pun yang berada dalam keadaan utuh. Sosok-sosok itu bergeletakan dalam keadaan bagian-bagian tubuhnya tercerai-berai.
"Keji...! Hanya iblis saja yang dapat melakukan perbuatan sekejam ini!" desis Arya menahan geram setelah dapat menenangkan perasaannya.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah mendekati hamparan potongan tubuh-tubuh manusia itu. Sekujur urat-urat saraf pemuda itu menegang penuh kewaspadaan ia tahu, siapa pun pelakunya, di samping memiliki kekejaman pasti juga memiliki kepandaian tinggi.
Menilik dari potongan tubuh dan pakaian sebagian kecil di antara mereka yang bisa dilihat. Arya yakin mereka adalah tokohtokoh persilatan. Malah, sebuah dugaan kecil bermain di benak pemuda berambut putih keperakan itu. Dewa Arak memperkirakan kalau para korban itu berasal dari satu kelompok, karena ia melihat pakaian para korban yang bisa dikenali mempunyai keseragaman satu sama lainnya.
Begitu berada di dekat potongan-potongan tubuh manusia itu, Arya berjongkok agar bisa memeriksa secara lebih jelas. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat ketika melihat adanya kelainan pada para korban yang berjumlah belasan orang itu. Bagian dadanya berlu-bang, sehingga memperlihatkan bagian tubuh di sebe-lah dalamnya yang hilang.
"Makhluk apakah yang telah melakukan kekejian seperti ini?!" tanya Arya dalam hati, bingung. "Mung-kinkah manusia?! Jika benar, untuk apa?! Ataukah ini perbuatan binatang buas?!
Kalau betul, binatang ma-cam apa yang dapat membunuh belasan tokoh persilatan ini?!" hatinya terus bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benaknya, tanpa Dewa Arak mampu menjawabnya. Jangankan jawaban, titik terang untuk mengungkap rahasia itu saja belum didapatkannya, meskipun pemuda itu su-dah menyapu sekitar tempat itu dengan pandangan matanya.
"Aaarrrggghhh...!"
Geraman yang tak layak keluar dari mulut manusia, membuat Dewa Arak berjingkat bagai disengat ular berbisa. Dalam sekejap pemuda itu sudah melesat meninggalkan tempat itu menuju ke arah asal suara tadi. Pemuda berambut putih keperakan itu tak ingin terlambat tiba di tempat kejadian, seperti sebelumnya.
Berbeda dengan sebelumnya, geraman itu berasal dari tempat yang lebih jauh, dan melalui kerimbunan semak-semak berduri yang lebat. Tapi hambatan itu tak berarti sama sekali bagi Dewa Arak. Dengan kecepatan larinya, jarak yang jauh dapat ditempuhnya da-lam waktu sangat singkat. Dan, karena tenaga dalam yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan tinggi, membuat sekujur kulitnya tak terkoyak sedikit pun meski menerabas kerimbunan semak-semak berduri.
Pemuda berpakaian ungu itu mengernyitkan alisnya ketika mendengar bunyi berkerosokan nyaring dari rerimbunan semak di saat tengah berlari. Tak membutuhkan banyak waktu bagi Dewa Arak untuk mengetahui arahnya.
Masih di depannya, agak di sebelah kiri dilihatnya kerimbunan semak-semak bergoyang-goyang bersera-butan, seakan-akan ada sosok besar yang tengah melintas di sekitar tempat itu.
Dewa Arak segera meningkatkan kewaspadaannya sewaktu berlari. Tujuannya kini beralih ke arah rimbunan semak-semak yang seakan-akan tengah di lalui oleh segerombolan binatang besar dan liar. Pemuda berpakaian ungu itu sampai mengerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, bersiap-siap untuk melancarkan serangan dahsyat. Penemuan mayat-mayat manusia dalam keadaan tercerai-berai tadi, membuat Arya bersikap luar biasa waspada.
"Aaarrrggghhh..;!"
Tiba-tiba terdengar geraman luar biasa keras yang mampu membuat sekitar tempat itu tergetar hebat Dewa Arak pun sampai terjingkat kaget. Seiring dengan geraman itu, melesat sesosok bayangan besar ke arah Dewa Arak. Sosok itu melesat dari kerimbunan semak-semak di sebelah kanan si pemuda.
Arya menyadari akan adanya serangan gelap. Ketidakadaan deru angin sewaktu sosok itu melesat yang membuat Arya tak mengetahui kedatangannya. Berkat nalurinya yang setajam binatang buas, karena terbiasa terlibat dalam pertarungan dan mempertaruhkan nyawa, yang membuat Dewa Arak mengetahui keberadaan sosok bayangan besar pemilik geraman yang mengiriskan hati itu.
Secepat kilat tubuhnya dibalikkan ke kanan, secepat itu pula Dewa Arak mengirimkan pukulan jarak jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat, menyebar dari hentakan tangan Arya. Angin yang mampu membuat semaksemak dan pepohonan yang letaknya berada di sekitar tempat itu, mengering dan layu mendadak bagaikan terbakar.
Bresss!
Dengan telak dan keras, pukulan jarak jauh Dewa Arak menghantam sosok bayangan besar yang bentuknya tak jelas karena gerakannya sangat cepat. Arya sendiri yang memiliki sepasang mata tajam tak mampu melihat jelas, dan hanya tahu kalau sosok itu besar dan kecoklatan.
Ciri-ciri sosok itu lebih dapat diketahuinya ketika pukulan jarak jauhnya mengenai sasarannya secara telak. Sosok kecoklatan itu terpental kembali ke belakang, terguling-guling di tanah sambil memperdengarkan pekikan yang tak layak keluar dari mulut manusia.
Hanya sedikit ciri-ciri sosok bayangan itu yang dapat diketahui Dewa Arak. Karena, begitu tubuhnya terguling-guling, sosok itu langsung menambahkannya dengan gulingannya sendiri. Kemudian melesat cepat, menerobos kerimbunan semaksemak dan pepohonan lebat di dekatnya.
Dewa Arak tak tinggal diam. Rasa penasaran besar untuk mengetahui sosok kecoklatan, yang diyakini memiliki tubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar dari-pada manusia pada umumnya, membuatnya segera melesat mengejar. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang tadi dilalui sosok itu diterobosnya.
Tapi Dewa Arak agak kebingungan. Ia tak melihat adanya tanda-tanda arah yang ditempuh sosok bayangan yang luar biasa besar itu. Diperhatikannya baik-baik semak-semak dan pepohonan yang ada. Pemuda itu mencoba mencari semak-semak yang bergoyang-goyang, karena menjadi pertanda kalau sosok bayangan yang luar biasa besarnya itu baru saja melaluinya. Namun, usaha Arya sia-sia. Tanda-tanda yang dimaksudkannya sama sekali tak diketemukannya. Kenyataan itu membuatnya tak mempunyai patokan arah untuk melakukan pengejaran.
Walau demikian Dewa Arak tak kehilangan akal. Kegagalan dengan mempergunakan mata, tak membuatnya putus asa. Ia segera menggunakan sepasang telinganya. Arya mencoba untuk menangkap bunyi-bunyi langkah kaki atau gerakan sosok bayangan itu Kembali, Dewa Arak gagal. Tak sedikit pun telinganya menangkap bunyi. Yang tertangkap hanya bunyi sepoi-sepoi angin yang bertiup. Lainnya tidak!
Kenyataan seperti itu benar-benar mengejutkan Dewa Arak. Sebagai tokoh persilatan yang mempunyai tingkat kepandaian tinggi, Arya tahu kalau apa yang dialaminya kali ini sepertinya mustahil. Betapapun tingginya ilmu meringankan tubuh seseorang, tak akan mungkin dalam sekejap langsung lenyap. Apalagi tanpa menimbulkan tanda-tanda, baik yang terlihat mau pun yang terdengar.
Rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar, membuat pemuda berambut putih keperakan itu tetap berada di situ. Seluruh akal sehatnya diputar untuk memecahkan keanehan yang ditemuinya kali ini.
Arya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban atas rahasia besar yang ditemuinya ini. Walaupun begitu, kewaspadaannya tak ditinggalkan, untuk berjaga-jaga terhadap kejadian-kejadian yang tak diinginkan.
Dewa Arak sempat tersentak ketika terpikir olehnya kalau kejadian yang dilihatnya tadi terjadi karena sosok bayangan itu menggunakan ilmu sejenis 'Ilmu Ha-limun' atau 'Sirna Raga'. (Untuk jelasnya mengenai il-mu-ilmu seperti itu silakan baca episode: "Ilmu Halimun"). Tapi, dugaan itu mulai diragukan ketika diketemukannya hal-hal yang memberatkan. Cukup lama ia berada di situ, tak didengarnya sedikit pun gerakan atau dengus napas.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya sedikit bimbang. Kecurigaan yang melanda hatinya tetap tak sirna. Sebagai tokoh persilatan yang memiliki ke-pandaian menakjubkan, Arya tahu kalau bagi tokoh tingkat tinggi, membuat gerakan tak terdengar atau menahan napas bukan pekerjaan yang sulit.
"Hanya ada satu cara yang dapat membuktikan ka-lau sosok bayangan itu sudah tak berada di sini lagi," pikir Arya yakin. "Dan, bila dengan cara ini sosok itu tak juga menampakkan diri, atau menunjukkan tanda-tanda keberadaannya, baru aku yakin kalau dia sudah tak berada di sini. Entah dengan cara bagaimana..."
Usai berpikir demikian, Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya yang khas. 'Tenaga Dalam Inti Matahari'. Tidak lama kemudian, dari sekujur tubuhnya menyebar hawa panas yang kian meningkat kadar kepanasannya. Semak-semak dan pepohonan yang berja-rak sekitar lima tombak dari pemuda berambut putih keperakan itu, layu seperti lama tak tersiram air. Se-saat kemudian, tetumbuhan itu mengering dan han-gus!
Cukup lama Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya, menciptakan hawa panas dengan sebuah harapan besar, sosok bayangan itu akan menampakkan diri karena terpaksa melakukan perlawanan, untuk menahan serangan hawa panas itu. Jika perlawanan diberikan, sekecil apa pun dilakukan, dan sesedikit apa pun gerakan yang dilakukan, akan tertangkap oleh telinga Dewa Arak.
Dan jika itu terjadi, sekalipun tak dapat menangkap, mengalahkan, atau membunuhnya, Arya akan merasa lega. Karena keberadaan sosok yang belum diketahuinya jelas ada di situ. Dan ini akan melenyapkan rasa bingungnya.
Ketidakberadaan penyerang gelapnya di tempat itu, akan membuat Arya bingung. Bagaimana sosok itu bisa lenyap tanpa meninggalkan bekas sama sekali?
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan Dewa Arak memang hebat. Tak hanya pepohonan dan semak-semak yang layu, kering, dan mati. Tanah di sekitar tempat Arya berada pun hangus. Di tempat itu seakan-akan baru terjadi kebakaran besar. Dan, pemuda ini pun menyadari kalau tindakannya terus dilakukan, bukan tak mungkin medan di sekitar tempatnya berada akan semakin rusak.
Arya tak menginginkan hal itu terjadi. Apalagi, ia yakin kalau sosok yang luar biasa besar itu memang tak berada di situ. Sosok itu tak bersembunyi dari pandangan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu menghilang. Kalau benar mempergunakan 'Ilmu Hali-mun' atau 'Sirna Raga', pasti akan terkena pengaruh serangan hawa panas Dewa Arak yang dahsyat, dan sosok itu akan melakukan perlawanan.
Perlawanan yang diberikan tentu akan membuat Arya mengetahui keberadaannya. Kenyataannya, Dewa Arak tak mendengar suara gerakan sosok itu selirih apa pun, selain dari hembusan angin, gemeretaknya tetumbuhan yang layu, mengering, hangus, dan mati karena pengaruh serangan tenaga dalamnya yang berhawa panas.
Dewa Arak pun segera menghentikan pengerahan tenaga dalamnya. Ia hanya menghela napas berat, tan-da kecewa dan bingung. Hasil dari usahanya itu me-nimbulkan tanda tanya besar di benak Arya. "Kemana-kah perginya sosok tinggi besar itu? Bagaimana dia bisa menghilang demikian cepat? Ilmu apa yang dipergunakannya?" Hatinya terus bertanya-tanya.
Karena menyadari kalau pertanyaan itu akan sulit dijawabnya, Dewa Arak segera melupakannya. Ia juga menyadari, titik terang untuk mengungkap rahasia itu belum didapatkannya. Hanya dalam waktu singkat, ia menghadapi dua masalah yang tak terjawab.
"Dua masalah?! Mungkinkah ada hubungannya satu sama lain?!"
Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Dewa Arak, pemuda ini hendak beranjak meninggalkan tempatnya berada.
"Memang bukan tak mungkin kalau masalah ini mempunyai hubungan satu sama lain. Bukan tak mungkin kalau pelaku pembantaian keji adalah sosok besar itu!"
Untuk ke sekian kalinya jawaban pasti bagi perta-nyaan itu tak ditemukan Dewa Arak. Setelah mengamati keadaan sekitarnya sejenak. Arya melesat me-ninggalkan tempat itu. Ia ingin kembali ke tempat di mana asal geraman yang pertama kali tadi didengarnya.
Memang, Arya tak terlalu berharap akan menemukan sosok besar pemilik geraman itu di sana. Tapi bukan tak mungkin kalau akan ditemukannya lagi kor-ban dari keganasan sosok besar itu. Dan, hal itu bukan mustahil. Bukankah sosok yang belum diketahui Arya secara pasti jenisnya itu cukup ganas?! Bukti jelas sendiri sudah didapatkannya. Sosok besar itu menyerangnya! Padahal, bukan tak mungkin antara mereka berdua sama sekali tak ada urusan! Jangankan urusan saling kenal pun belum tentu!
* * *
Abiyasa berdiri dengan kepala tertunduk. Hatinya benarbenar sangat terpukul. Berjarak tiga tombak di depannya, tergolek sesosok mayat yang sudah tak utuh lagi. Bagian-bagian tubuh mayat malang itu tea cerai-berai. Darah yang masih segar membasahi tanah membuat pemandangan semakin menyeramkan.
"Anta...," keluh Abiyasa, penuh rasa duka. "Tak kusangka nasibmu demikian buruk. Aku berjanji akan membalas dendam atas kematianmu, siapa pun adanya pelaku pembunuhan keji ini!" Cukup lama Abiyasa tenggelam dalam kedukaannya. Berdiri terpaku bagaikan patung batu. Hanya ge-rakan pada bagian dadanya yang menunjukkan kalau lelaki itu bukan patung. Sejenak Abiyasa mengalihkan pandangan ke sekeliling tempat itu. Helaan napas berat yang keluar dari mulut dan hidungnya mengiringi gerakan bola matanya.
"Sama sekali tak kusangka kalau nasibmu demikian buruk, Anta mudah-mudahan saja Jembawati tak mengalami nasib seperti yang kau alami," gumam lelaki jangkung itu lagi dengan wajah menengadah ke atas menatap langit.
Abiyasa baru mengalihkan perhatian, dan membalikkan tubuhnya ketika mendengar bunyi batuk-batuk kecil di belakangnya. Batuk yang diketahuinya pasti adalah batuk buatan.
"Ah... kiranya kau, Dewa Arak...!" seru Abiyasa gembira.
Wajah lelaki itu kelihatan berseri-seri. Sungguh pun demikian, kedukaan yang membayang pada wajah dan sinar matanya tetap tampak.
"Kau mengejutkan ku saja. Hampir saja putus jantungku karena tindakanmu…!" lanjutnya lagi.
Arya mengembangkan senyumnya. Tidak terlalu lebar, dan tidak menampakkan perasaan yang terlalu gembira. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau Abiyasa tengah bersedih. Jadi, ia pun ikut menunjukkan perasaan berkabungnya.
"Aku minta maaf kalau kau jadi terkejut karena kedatanganku, Kang. Mungkin seharusnya tadi kutunggu hingga kau selesai dengan urusanmu," sahut Arya, sekenanya.
"Itu tak menjadi soal, Dewa Arak," timpal Abiyasa buruburu. "Aku memang kaget. Tapi perasaan gembi-ra atas kedatanganmu, jauh lebih besar dari perasaan terkejutku. Kau datang pada saat yang tepat!"
"Apa yang sebenarnya terjadi, Kang?" tanya Arya seraya mengayunkan langkah mendekat dan memperhatikan mayat Antasena. Dan, seperti yang diduga Dewa Arak, bagian dada Antasena berlubang besar, memperlihatkan isi bagian dalam dada yang sudah ti-dak terlihat lagi.
"Aku juga kurang begitu jelas dengan apa yang telah terjadi, Dewa Arak," keluh Abiyasa. "Bukan tak mungkin apa yang kuketahui sama dengan yang kau ketahui...."
"Heh...?,!" Arya terkejut. "Mengapa bisa begitu Kang?" tanyanya heran.
Abiyasa menghela napas berat sebelum memberikan jawaban.
"Ini semua karena salahku, Dewa Arak. Kalau saja aku tak keliru mengambil keputusan, mungkin semua ini tak akan terjadi. Antasena tak perlu tewas dengan cara demikian mengerikan, dan Jembawati tak pernah lenyap bagai ditelan bumi...," jelas lelaki jangkung ini penuh perasaan menyesal dan bergejolak.
"Jadi Jembawati lenyap? Pantas tak kulihat keberadaannya di sini," pikir Arya, mengerti.
Sejak tadi, rasa ingin tahu di mana Jembawati berada hampir saja dilontarkannya. Karena disadari kalau pertanyaan mengenai nasib Antasena lebih pantas diajukan, yang membuat Arya mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan lainnya menyusul belakangan, telaah pemuda berambut putih keperakan itu dalam hati.
"Tidak baik terlalu menyalahkan diri sendiri Kang," hibur Arya untuk mengurangi beban batin Abiyasa. "Aku yakin, orang sepertimu tak akan bertindak keliru. Boleh aku tahu bagaimana ceritanya?"
–––––––– 4 ––––––––
Sampai di sini, lelaki jangkung itu berhenti sejenak. Parasnya memperlihatkan penyesalan.
"Setelah beberapa lama berdiri, dan tak terlihat adanya tandatanda orang yang mengejar, kuajak Antasena dan Jembawati untuk berhenti. Semula mereka tak setuju. Tapi aku bersikeras dengan pendirianku dan kukatakan kalau terus berlari, kami tak akan pernah sampai di tempat tujuan yang kami harapkan. Alasan yang kuberikan membuat mereka bimbang. Dan, untuk lebih menenangkan mereka, kukatakan untuk memperhatikan sekeliling tempat ini. Jika, ada hal-hal yang membahayakan, keputusan akan kubatalkan. Mereka setuju. Aku pun naik ke atas pohon yang paling tinggi agar dapat mengawasi keadaan di sekitar. Dari ketinggian, aku dapat melihat apa pun walau jaraknya masih cukup jauh. Bukankah demikian, Dewa Arak?!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengang-gukkan kepalanya, pertanda menyetujui pendapat Ab-iyasa.
"Sesampainya di puncak pohon, di kejauhan, aku melihat kerimbunan semak-semak dan pepohonan bergoyang-goyang keras seakan-akan ada angin besar yang meniupnya. Karena penasaran, kuperhatikan kerimbunan semak dan pepohonan di arah lainnya. Hampir tak bergeming. Seketika itu pula aku yakin kalau tak ada angin besar. Pasti ada sesuatu yang hen-dak melewati kerimbunan semak dan pepohonan yang bergoyanggoyang keras itu. Karena khawatir kalau-kalau yang lewat di situ adalah Tengku Daud atau wanita berpakaian hijau, aku memutuskan untuk turun dan memberitahu Antasena serta Jembawati," Abiyasa menghela napasnya sejenak, sebelum melanjutkan bi-caranya.
"Saat itu pula, aku mendengar bunyi gerakan yang luar biasa kerasnya. Geraman yang tak patut keluar dari mulut manusia, dan membuat sekujur tubuh ku lemas karena tenagaku sendiri lenyap entah kemana.
Yang lebih menggetarkan hatiku lagi, asal geraman dekat sekali dari tempatku berada. Sekelebatan aku te-ringat akan Jembawati dan Antasena. Dan, aku yakin geraman itu berasal dari tempat di mana kedua orang itu berada. Setelah berhasil menguasai perasaan, dan memulihkan tenaga, aku turun dari atas pohon. Ter-nyata kekhawatiran ku beralasan. Antasena telah tewas dalam keadaan mengerikan. Sedangkan Jembawa-ti sama sekali tak kulihat keberadaannya. Entah apa yang terjadi terhadapnya," keluh Abiyasa, penuh perasaan sesal bercampur sedih.
"Kalau begitu, kemungkinan besar Antasena dan mayatmayat cerai-berai yang kulihat tadi adalah korban dari sosok yang mempunyai kebiasaan menggeram itu;" pikir Arya, mulai mendapatkan satu titik terang untuk mengungkap masalah yang dihadapinya.
"Dan..., sepertinya sosok penggeram itu mempunyai ciri serupa. Kemunculannya dari satu arah menimbulkan tanda-tanda yang menyolok di arah lain-nya. Abiyasa mengalami kejadian
yang sama dengan yang ku alami "
"Kurasa keselamatan Nyi Jembawati tak terlalu mengkhawatirkan, Kang." timpal Arya penuh keyakinan. "Bahkan aku lebih condong menduga kalau dirinya selamat, kendati hanya untuk beberapa waktu."
"Mengapa kau demikian yakin kalau Jembawati se-lamat, Dewa Arak?!" tanya Abiyasa, penuh rasa ingin tahu.
"Kalau Nyi Jembawati hendak dibunuh saat itu juga, mengapa mesti repot-repot membawanya, Kang?!"
Arya memberikan alasan kuat yang membuat Ab-iyasa tak kuasa untuk menahan anggukan kepala tanda menyetujui.
"Dibawanya Nyi Jembawati menjadi pertanda kalau sosok yang membawanya tak ingin membunuhnya saat itu. Hanya saja, kita tak tahu kapan pembunuhan itu dilakukannya," lanjut Arya lagi.
Abiyasa menghela napas berat untuk menekan kekhawatiran yang mencekam hatinya.
"Khawatir memang wajar saja, Kang," ujar Arya, tanpa bernada menasihati. "Tapi, terlalu berkhawatir pun tak baik. Biar bagaimanapun juga Nyi Jembawati belum, nyata-nyata tewas. Jadi kita masih mempunyai harapan untuk menyelamatkannya. Dan bukan tak mungkin, si pembunuh kejam itu tak sempat membawanya. Barangkali saja, Nyi Jembawati sempat melarikan diri. Tapi kita tetap harus mencarinya. Kalau benar dia terancam, akan kita usahakan untuk menolongnya...,"
"Kita...?" ulang Abiyasa setengah tak percaya seraya menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat. "Jadi, kau mau membantu mencarikan, Dewa Arak?!" tanyanya lagi.
Arya mengangguk dengan senyum tersungging bi-bir. "Bukankah sudah merupakan kewajiban kita selaku manusia untuk saling menolong, Kang?!" sahut Dewa Arak tenang.
"Kau benar, Dewa Arak... Kau benar...," sambut Abiyasa, terbata-bata karena perasaan gembira yang menggelora.
Lelaki itu menyadari, bantuan Arya amat berati ba-ginya. Kalau penculik Jembawati memiliki kepandaian setingkatan Tengku Daud, hanya Arya yang menjadi andalannya.
"Aku juga tahu hal itu. Tapi, sama sekali tak ku sangka kalau kau akan bersedia membantu sampai masalahku tuntas...," lanjutnya gembira.
"Lupakanlah itu, Kang," kilah Arya halus. "Lagi pu-la saat ini aku sedang tidak mempunyai urusan, dan juga tak mempunyai tujuan. Jadi, tak ada sedikit pun halangan bagiku jika kupergunakan waktu dan ke-sempatan ini untuk membantumu....."
"Terima kasih, Dewa Arak. Terima kasih.... Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasihku padamu...," ucap Abiyasa suaranya semakin bergetar karena perasaan haru.
"Kalau begitu, tak usah ucapkan apa-apa, Kang," sahut Dewa Arak cepat dengan senyum terkulum. "Untuk apa memaksakan diri untuk mengatakan hal yang tak kau ketahui?!" lanjutnya sambil tetap tersenyum.
Abiyasa tersenyum lebar. Sambutan Arya memang lucu, dan lelaki jangkung itu merasa geli karenanya. Kalau saja saat itu tidak tengah berduka, Abiyasa pasti sudah tertawa terbahakbahak.
"Menurutmu..., arah mana yang harus kita tuju, Dewa Arak?" tanya murid Empu Jangkar Bumi itu, se-telah berhasil menekan perasaan geli yang melanda hatinya.
Arya mengarahkan pandangan berganti-ganti, ke empat arah mata angin.
"Kalau aku tak salah duga, pembunuh Kakang Antasena adalah sosok yang menyergapku secara tiba-tiba, namun melarikan diri ketika gagal. Sosok itu memang luar biasa aneh. Aku tak tahu ke mana arah yang ditujunya. Dan, karena aku tak mempunyai tujuan, kukira lebih baik kalau arah yang kita tempuh sekarang adalah arah yang semula menjadi tujuanmu, Kang," usul Arya setelah menjelaskannya panjang le-bar. "O ya, hampir aku lupa, boleh kuketahui mengapa Tengku Daud dan Dewi Lanjar begitu memusuhimu?!" tanya Arya ingin tahu.
"Hhh..."
Abiyasa menghela napas berat "Aku juga tak mengerti, Dewa Arak. Tengku Daud dan Dewi Lanjar adalah orang-orang yang mempunyai hubungan erat dengan datuk-datuk dunia hitam. Untuk apa mereka mengejar-ngejar kami. Padahal, apa artinya kami bagi orang-orang seperti mereka?! Kepandaian yang kami miliki pun tak ada artinya bila dibandingkan mereka!" jelas Abiyasa tak mengerti.
"Pasti ada alasan yang membuat mereka mengejar kau dan rombonganmu, Kang," tandas Arya, yakin. "Cobalah ingat-ingat. Barangkali saja ada perkataan mereka yang menunjukkan alasan mengapa mereka bersusah payah menghadang perjalanan kalian...!"
Abiyasa mengernyitkan kening sebentar seperti orang yang tengah berpikir.
"Ada kemungkinan kalau urusan yang tercipta antara kami dan tokoh-tokoh sesat itu disebabkan oleh guru kami. Jelas-jelas kudengar, mereka menanyakan apakah kami bertiga merupakan murid-murid dari Empu Jangkar Bumi. Setelah itu, mereka berminat untuk menangkap kami."
"Apakah antara Empu Jangkar Bumi dan datuk-datuk kaum sesat itu ada urusan, Kang?!" tanya Arya ingin tahu lebih jelas.
"Entahlah, Dewa Arak, aku tak pernah mengetahuinya. Almarhum guruku adalah orang yang tertutup. Hampir tak pernah menceritakan sesuatu tentang dirinya. Kami sendiri, selaku murid-muridnya, tak begitu mengenalnya."
"Almarhum...?!" sentak Dewa Arak, agak kaget. "Jadi Empu Jangkar Bumi sudah meninggal?!" ta-nyanya.
"Benar, Dewa Arak, kira-kira seminggu yang lalu.
Aku, Antasena, dan Jembawati pun tak mengetahui penyebab kematiannya. Beliau tewas secara penuh rahasia," jelas Abiyasa, lebih gamblang.
"Apakah tidak ada pesan-pesan dari Empu Jangkar Bumi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir?" desak Arya, setelah berpikir sejenak.
"Pesan-pesan sih tidak, Dewa Arak. Tapi, beliau meninggalkan sepucuk surat yang isinya memerintahkan kami untuk pergi ke tempat yang tertulis pada suratnya...."
"Sayang, sebelum sampai tujuan, Tengku Daud dan Dewi Lanjar telah lebih dulu menghadang. Bukankah begitu, Kang?!" lanjut Arya, ketika melihat Abiyasa tampak agak bimbang untuk melanjutkan ceritanya.
Dewa Arak tak merasa tersinggung melihat sikap Abiyasa yang masih belum terlalu percaya padanya. Dia bisa memakluminya, karena dirinya sendiri pun mungkin akan bertindak serupa jika berada di pihak lelaki jangkung itu.
Abiyasa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Arya tadi.
"Apakah kau tak keberatan aku ikut serta dalam perjalananmu, Kang? Percayalah, aku akan tersinggung. Aku sudah paham, tiap orang mempunyai rahasia yang terkadang orang terdekat pun tak boleh mengetahuinya. Oleh karena itu, bila ini termasuk rahasia, jangan segan-segan untuk mengatakannya padaku," kata Dewa Arak, terus terang.
"Sama sekali tidak, Dewa Arak," sahut Abiyasa cepat. "Tidak ada hal yang rahasia sama sekali. Lagi pula, bagaimana aku tahu ini rahasia bila aku sendiri pun belum tahu mengapa aku harus ke sana?! Itu alasan pertama. Alasan keduanya, bagaimana mungkin kau bisa membantuku mencari jejak Jembawati kalau kau tak ikut?!"
"Bisa saja, Kang," jawab Arya kalem. "Kita melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Dan...."
"Kurasa tak perlu seperti itu, Dewa Arak," potong Abiyasa cepat. "Aku lebih suka kalau kita melakukan perjalanan bersama. Jadi, kau tak perlu merasa tak enak. Aku minta maaf padamu karena telah bersikap yang membuatmu merasa tak enak."
"Lupakanlah, Kang, aku bisa memakluminya kok," sahut Arya tenang.
"Kalau begitu..., apa lagi yang harus kita tunggu Dewa Arak...?!" cetus Abiyasa, setengah mengingatkan.
* * *
Malam telah larut dan bahkan telah mendekati dini hari, ketika seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang lelaki setengah baya bertubuh jangkung, keluar dari pintu sebuah bangunan sederhana yang hanya terbuat dari papan.
"Hhh...!"
Lelaki jangkung itu menghela napas berat. Paras-nya yang terlihat lesu, memperlihatkan kekecewaan hatinya yang besar. Dari wajahnya, tampaknya ia lelah sekali. Bahkan bukan itu saja, kelelahan yang besar juga melanda batinnya.
"Bagaimana, Kang?! Semua bangunan yang ada di sini sudah kita periksa. Apakah ada di antaranya yang memberikan petunjuk mengenai pesan yang diberikan gurumu?!" tanya si pemuda yang berambut putih keperakan itu berbasa-basi karena sudah bisa memperkirakan kalau apa yang dicari tak sesuai dengan keinginan.
"Entahlah, Dewa Arak," sahut Abiyasa, si lelaki jangkung, bernada bingung.
"Heh...?!" Arya tersentak.
Dengan perasaan heran ditatapnya murid Empu Jangkar Bumi itu tepat pada bola matanya. Pemuda berambut putih keperakan itu ingin mengetahui kesungguhan jawaban yang diberikan Abiyasa.
"Mengapa bisa begitu, Kang?!" tanyanya.
"Tak terlalu mengherankan, Dewa Arak," jawab lelaki berpakaian coklat itu, kalem. "Aku sendiri tak tahu apa yang tengah kucari di tempat ini, jadi bagaimana mungkin bisa menemukannya?!"
Arya melongo. Bingung. Dan, Abiyasa yang bisa mengetahui perasaan yang bergayut di hati Arya, buru-buru memberikan keterangan tambahan.
"Sejak semula aku sendiri tak yakin akan keberhasilan dari kepergianku ini, Dewa Arak. Tapi, keinginan untuk menyingkap rahasia, dan kewajibanku sebagai seorang murid untuk memenuhi pesan sang guru, apalagi yang merupakan pesan terakhir, membuatku bersikeras melakukannya...."
"Maaf, Kang, bukannya aku bermaksud lancang mencampuri urusanmu, tapi..., sebenarnya apakah pesan yang ditinggalkan gurumu itu?!" tanya Arya hati-hati.
"Hanya pesan singkat untuk pergi ke tempat ini, Dewa Arak," keluh Abiyasa, seraya mengeluarkan secarik kulit binatang dari bagian dalam pakaiannya dan mengangsurkannya pada Arya.
Tanpa ragu si pemuda menerima kulit binatang itu. Dilihatnya, ada tulisan sembarangan di atasnya. Arya membacanya dalam hati.
Pergilah ke Banten. Cari orang yang bernama si Tongkat Halilintar. Beritahukan kalau kau mendapat perintah dariku. Kalau dia tak percaya, sebut namaku. Tongkat Halilintar akan memberitahukan mengenai hal-hal yang selama ini ingin kau ketahui. Bukankah kau dan yang lain-lain ingin tahu keanehan atas diri Nawang Wulan? Tongkat Halilintar akan menjelaskan padamu.
Arya mengembalikan kulit binatang itu lagi pada Abiyasa.
"Petunjuk yang kita dapatkan memberitahukan kalau si Tongkat Halilintar bertempat tinggal di sini dan membuka usaha pengawalan dengan bayaran. Tapi kenyataannya yang kita temukan sekarang berbeda jauh, Dewa Arak. Jangankan sekelompok orang yang seharusnya ada, sepotong manusia pun tak tampak!" Cetus Abiyasa, tanpa menyembunyikan rasa heran dan kecewanya.
"Menilik dari keadaan tempat ini... aku yakin si Tongkat Halilintar dan kelompoknya benar tinggal di sini. Banyaknya bangunan, menandakan jumlah mereka yang cukup banyak. Melihat dari tanda-tanda yang terlihat, ketidak-beradaan mereka tampaknya belum lama terjadi. Dengan kata lain, jika benar mereka semua pergi, pasti belum terlalu lama. Keadaan tempat dan bangunan masih cukup rapi," timpal Dewa Arak mengajukan pendapatnya.
"Mungkinkah merekah semua tewas dibunuh orang?!" celetuk Abiyasa, tiba-tiba.
"Meskipun kemungkinan itu ada tapi sangat kecil Kang," bantah Arya. "Jumlah kelompok si Tongkat Ha-lilintar yang cukup banyak, setidak-tidaknya akan menimbulkan bekas-bekas, jika terjadi pembunuhan. Se-dangkan keadaan di sekitar tempat ini kulihat cukup rapi dan tak memperlihatkan adanya tandatanda pernah terjadi keributan."
Abiyasa pun diam. Ia menyadari alasan yang dike-mukakan oleh Dewa Arak memang benar dan masuk akal.
"Selain kau. siapa lagi yang tahu mengenai isi surat itu, Kang?" tanya Arya, yang berusaha untuk mencari jawabannya.
"Hanya kami bertiga, Dewa Arak. Aku, Antasena, dan Jembawati. Mereka berdua adalah adik-adik seperguruanku, sama-sama murid Empu Jangkar Bumi. Selain dari mereka berdua dan aku, kurasa tak ada la-gi. Mengapa kau bertanya demikian?!" Abiyasa malah balas bertanya.
"Aku mempunyai dugaan kalau kita sudah didahului orang. Dan, aku mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Pertama, ada orang atau sekelompok orang yang mengetahui pesan Empu Jangkar Bumi. Dan orang atau sekelompok orang itu sudah membunuh semua orang yang ada di sini dan melenyapkan mayatnya. Kemungkinan kedua, seisi tempat ini pergi meninggalkan tempat bernaung mereka. Entah, karena alasan apa...."
"Dugaan-dugaan yang kau lontarkan beralasan kuat, Dewa Arak. Aku yakin, salah satu di antaranya benar. Tapi, kurasa hal itu tak perlu terlalu kita pikirkan. Yang paling penting adalah apa yang harus kita lakukan sekarang?! Satu-satunya petunjuk untuk mengetahui hal yang tersembunyi dari kematian guru dan pesannya sudah lenyap. Dan, aku tak tahu harus memulai dari mana lagi untuk mengungkapnya," keluh murid pertama Empu Jangkar Bumi itu, putus asa.
Arya terdiam. Pemuda ini menyadari kebenaran ucapan Abiyasa. Dicobanya untuk memikirkan tinda-kan mereka selanjutnya. Si lelaki jangkung juga melakukan hal serupa, sehingga keheningan menyelimuti tempat itu. Yang terdengar sekarang hanya desir angin malam dan bunyi kepak kelelawar, serta serangga ma-lam lainnya.
Mendadak Dewa Arak merasakan keanehan dalam dirinya. Ia merasa seakan-akan ada orang yang tengah memperhatikan mereka berdua. Arya tahu, kalau pe-rasaannya luar biasa peka, terkadang dirinya tak ubahnya binatang yang mempunyai naluri. Dan, hal itu terjadi karena belalang raksasa di alam gaib yang telah beberapa kali merasuk ke dalam dirinya (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis," dan "Makhluk dari Dunia Asing").
Menyadari keadaan dirinya, pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan pandangan berkeliling. Dan, ternyata perasaannya tak keliru. Di ping-gir atap salah satu bangunan, tampak sesosok tubuh tengah berdiri tegak. Rembulan bulat yang berada te-pat di belakangnya, membuat sosok itu terlihat pekat.
"Di tempat ini kita tidak hanya berdua, Kang," ujar Arya lirih, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok hitam yang berjarak sekitar lima tombak darinya. Arya khawatir sewaktu perhatiannya dialihkan, sosok itu akan melancarkan serangan.
"Ssss... siapa dia, Dewa Arak...?" tanya Abiyasa dengan suara berdesis dan bergetar. Penampilan sosok di atap bangunan itu memang mampu menciutkan ke-beranian tokoh mana pun.
Arya hanya menggeleng perlahan, karena ia memang belum mengenalnya. Ada kemungkinan sosok itu dikenalnya. Tapi, keberadaannya yang hanya tampak bentuk tubuhnya dan sepasang matanya, membuat ia tak mengenalnya.
Sepasang mata sosok hitam itu terlihat jelas karena mencorong tajam bak mata seekor harimau dalam gelap. Kelihatan menyeramkan, karena keadaan malam yang sunyi, hening, dan mencekam. Tambahan lagi, sikap sosok hitam itu tampak angker.
Dewa Arak merasakan detak jantungnya berpacu jauh lebih cepat dari biasanya. Sorot sepasang mata pendatang gelap itu sudah menunjukkan kepandaian-nya yang tinggi. Karena, hanya tokoh yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur, yang bisa mempu-nyai mata bersorot demikian.
Sesaat kemudian, sosok hitam itu melesat, dalam keadaan tubuh tegak! Seperti layaknya sebatang bambu! Tak terlihat kakinya ditekuk atau tubuhnya di-bungkukkan!
Tindakan yang dilakukan sosok hitam itu tak hanya membuat Abiyasa terkejut. Dewa Arak pun di dalam hatinya memuji kepandaian yang dimiliki pendatang gelap itu. Ia mengakui sosok yang masih penuh rahasia itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. So-rot matanya saja sudah menunjukkan kekuatan tena-ga dalamnya. Dan sekarang, lompatan uniknya mem-perlihatkan keluarbiasaan ilmu meringankan tubuh-nya. Tanpa memiliki tingkat ilmu meringankan tubuh yang sukar diukur, tak mungkin dapat melakukan tindakan seperti yang diperlihatkan sosok hitam itu.
Abiyasa tanpa sadar melangkah mundur ketika so-sok itu menjejakkan kakinya di tanah. Juga tanpa menekuk kaki atau membungkukkan tubuhnya sewaktu mendaratkan kakinya di tanah. Ia tak ubahnya seba-tang kayu atau besi!
"Siapa di antara kalian yang mempunyai hubungan dengan
Empu Jangkar Bumi?!"
Bulu kuduk Abiyasa seketika berdiri ketika men-dengar pertanyaan itu. Bukan hanya karena suara yang bernada serak, berat, dan bergaung itu. Tapi, karena melihat sosok hitam itu menatapnya lekat-lekat!
Tindakan orang itu sudah menunjukkan kalau ia sudah tahu Abiyasalah orang yang mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi.
Bukannya memberikan jawaban, Abiyasa malah melongo seperti orang melihat hantu di siang hari. Sedangkan Dewa Arak, tidak memberikan tanggapan karena merasa dirinya kurang berhak. Lelaki jangkung di belakangnya yang lebih berhak untuk memberikan ja-waban. Pemuda berambut putih keperakan itu malah mempergunakan kesempatan yang ada untuk memperhatikan sosok kurus kering di depannya.
Sosok hitam yang kedatangannya mendebarkan jantung itu ternyata kurus kering seperti cecak kelaparan. Tulang-tulang tubuhnya bertonjolan di sana-sini saking kurusnya. Dan, semua itu tampak jelas karena yang dikenakannya hanya celana panjang hitam! Kea-daan penutup tubuh ini pun ala kadarnya, karena sudah compang-camping di sana-sini.
Sosok kurus kering yang ternyata seorang kakek yang sudah berusia amat tua itu, merasa tersinggung karena tak adanya jawaban yang diterima setelah me-nunggu beberapa saat.
Ia menggeram pelan seperti seekor harimau. Sungguh pun demikian, tanah, pohon-pohon, dan bangu-nannya yang ada di sekitar tempat itu bergetar hebat bagaikan dilanda gempa. Malah, Abiyasa terhuyung mundur karena merasakan kedua kakinya mendadak lemas akibat pengaruh geraman itu.
Tapi Dewa Arak tampaknya tak terpengaruh. Pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh ge-raman kakek kurus kering, untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkannya. Arya bahkan mampu untuk bersikap tenang, meskipun sekujur urat-urat sarafnya sudah bersiap-siap untuk menghadapi segala macam kemungkinan yang tak diinginkan.
–––––––– 5 ––––––––
Dewa Arak yang sudah bersiap-siap sejak tadi, tidak tinggal diam melihat ancaman maut terhadap murid Empu Jangkar Bumi itu. Kakinya segera dilang-kahkan ke kiri, sehingga menghadang serangan si ka-kek. Pada saat yang bersamaan, tangan kanannya di-ayunkan untuk menangkis serangan.
Takkk...!
Bunyi keras seperti dua batang logam yang saling berbenturan terdengar ketika dua batang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam dahsyat itu saling beradu. Baik Dewa Arak maupun lawannya sama-sama terhuyung selangkah ke belakang.
"Keparat! Siapa kau...?!" tanya kakek kurus kering, setengah membentak seraya menatap Arya penuh seli-dik.
Si kakek tak melanjutkan penyerangan ketika kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai. Kakek itu murka bercampur terkejut melihat seorang pemuda mampu membuatnya terhuyung dalam benturan! Padahal, tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan, rasa penasaran pun menggulung di dalam dadanya. Itulah sebabnya, ia melontarkan per-tanyaan kepada pemuda berambut putih keperakan itu.
"Namaku Arya Buana. Tapi orang-orang biasa memanggilku Arya," jawab pemuda berpakaian ungu itu kalem.
"Hak hak hak...!"
Kakek kurus kering tertawa. Tawa yang aneh karena lebih patut keluar dari mulut binatang daripada mulut manusia. Tawa yang mengerikan! Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah tetap terkatupnya sepasang bibir si kakek. Mulut yang telah berkeriput itu sama sekali tak bergerak!
"Jadi kau orang sombong yang berjuluk Dewa Arak itu, heh?! Sungguh kebetulan sekali! Menurut berita yang kudengar, kau sudah banyak merobohkan lawan. Bahkan menurut selentingan kabar, kau adalah jagoan nomor satu di dunia persilatan. Dan kau tak akan bisa dikalahkan orang. Aku penasaran sekali! Ingin kubuktikan sendiri kebenaran berita itu. Sayang, aku tak pernah beruntung bertemu denganmu! Sama sekali tak kusangka kalau di saat aku mencari keturunan dan murid-murid Empu Jangkar Bumi sialan itu ma-lah bertemu kau! Padahal, sewaktu kucari-cari kau malah tak kutemukan! Aku gembira sekali, Dewa Arak! Hak hak hak...!"
"Berita yang tersebar terlalu berlebihan. Kek," kilah Dewa Arak, malu hati. "Siapa bilang aku tak pernah kalah?! Beberapa kali aku hampir mati ketika menghadapi lawan! Aku bukan jago nomor satu, Kek."
"Aku tak peduli itu, Dewa Arak! Yang penting kalau sudah bertarung denganmu, aku puas. Roboh di tanganmu pun bukan merupakan satu hal yang memalukan! Walaupun demikian, jangan mimpi untuk bisa merobohkanku, Dewa Arak! Aku, Darsakala, belum pernah dikalahkan orang! Malah, andaikata bertemu dengan Setan Tengkorak Merah atau Dewi Berambut Wangi, akan kutunjukkan pada mereka dan dunia persilatan, kalau aku jauh lebih unggul daripada mereka!" seru si kakek sesumbar.
"Sebelum kita bertarung, boleh ku ajukan pertanyaan padamu, Kala?!" tanya Arya, karena tahu pecahnya pertarungan tak akan bisa dihindarkannya lagi.
"Silakan, Dewa Arak. Selama bisa kujawab, akan kuberikan jawabannya. Anggap saja kebaikan hatiku ini karena aku terlalu gembira bisa bertemu dengan-mu," timpal Darsakala ringan.
"Terima kasih atas penghormatan berlebihan yang kuterima, Kala," Arya tersenyum samar. "Aku hanya ingin tahu mengapa kau kelihatannya memusuhi kawanku ini?!" tanyanya ingin tahu.
"Seperti yang kukatakan tadi, Dewa Arak, karena dia mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi. Bahkan kalau aku tak salah terka, orang ini adalah murid empu sialan si terkutuk itu, kan?!" sahut Dar-sakala berapi-api.
"Lalu kenapa kalau kawanku ini mempunyai hubungan dengan Empu Jangkar Bumi?!" Arya balas, bertanya bukannya memberikan jawaban.
"Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan si keparat Jangkar Bumi itu akan kubunuh! Karena, empu sialan itu telah demikian tega hati membunuh putraku!" tandas Darsakala dengan sinar mata seperti mengeluarkan api.
"Tidak mungkin!" tukas Abiyasa tak percaya. Lelaki jangkung itu merasa tersinggung mendengar gurunya terusmenerus dihina. Sedikit demi sedikit kebera-niannya timbul. "Itu hanya fitnah belaka!" tambahnya.
"Perlukah gurumu itu untuk memberikan jawaban yang sama denganku?!" rutuk Darsakala dengan geram. "Dan perlu kau ketahui, bukan hanya aku saja yang akan memberikan jawaban seperti ini! Kau boleh tanya pada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Lebih jelasnya kau boleh tanyakan pada tokoh-tokoh golongan hitam!" teriak Darsakala dengan suara keras.
Abiyasa hendak memberikan bantahan lagi. Tapi, keinginan itu ditahannya ketika mengingat beberapa tokoh-tokoh sesat yang memburunya.
"Benarkah apa yang dikatakan Darsakala itu?!" pikir lelaki jangkung itu, bimbang.
Kesempatan belum adanya tanggapan dari Abiyasa, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Pemuda berpakaian ungu itu merasa gembira karena sudah mendapatkan sebuah titik terang untuk mengungkap rahasia tentang Empu Jangkar Bumi dan masalah yang melibatnya.
"Kita lupakan siapa yang benar dan salah dulu, Kala. Masalahnya, kalau diperdebatkan tak akan ada habisnya. Yang jelas, setiap ada akibat pasti ada sebab. Lagi pula, masing-masing pasti menganggap diri dan pihaknya sendiri yang benar. Tentu saja benar menurut anggapan diri dan pikirannya sendiri," ujar Arya menengahi. "Tapi, mengapa kau kemari?! Kalau kau mempunyai urusan dengan Empu Jangkar Bumi, mengapa datang ke tempat ini. Apakah kau tak tahu kalau sang Empu tak tinggal di sini...?" lanjutnya.
"Aku telah mendatangi tempat tinggalnya, Dewa Arak!" potong Darsakala, tak sabar. "Tapi, tempat itu sudah kosong! Tak ada satu orang pun. Karena si Tongkat Halilintar adalah kawan baik si empu sialan itu, aku bergegas pergi kemari. Setidaktidaknya, akan kudapatkan petunjuk penting di sini."
"Empu Jangkar Bumi sudah meninggal, Kala," ujar Arya tenang.
"Aku pun sudah mendengar berita itu, Dewa Arak! Dan, kau kira aku percaya dengan lelucon murahan itu?!" dengus Darsakala, melecehkan.
Arya terkejut. Tapi, di wajahnya tak tampak perasaan apa pun. Tetap kelihatan tenang. Pemuda itu berhasil menguasai perasaannya, sehingga apa yang bergejolak di hati tak tampak pada wajahnya.
Sikap seperti itu tak tampak pada Abiyasa. Murid Empu Jangkar Bumi itu kelihatan kaget bercampur marah.
"Tutup mulutmu, Kakek Jahat! Kau memang hanya menyebarkan ketidak-benaran! Semula kau katakan guruku membunuh putramu. Tuduhan itu saja sudah merupakan fitnah! Sekarang, kau tambah lagi dengan ketidak-percayaanmu akan kematian beliau! Perlu ku tegaskan sekali lagi padamu. Empu Jangkar Bumi guruku, sudah tewas beberapa waktu yang lalu!
Jelas?!" serunya penuh kemarahan.
"Aku tak mau bicara dengan orang yang tak mengerti apa pun!" sergah Darsakala. "Meskipun demikian, kau tetap tidak akan selamat dari tanganku. Tunggu kesempatanmu, Monyet Bodoh! Aku lebih suka untuk berurusan dengan Dewa Arak lebih dulu! Jelas?! Me-nyingkirlah kalau kau memang masih sayang dengan nyawamu!"
Abiyasa ingin berbicara lagi. Tapi, segera diurung-kan ketika melihat Dewa Arak memberinya isyarat untuk menjauhi tempat itu. Ia tahu, kalau tetap berada di tempatnya sekarang ini, akan celaka! Pertarungan an-tara dua tokoh sakti itu akan menimbulkan akibat be-sar pada sekitarnya. Dan, bila dirinya terkena seran-gan nyasar, maut akan mengincarnya.
* * *
"Haaat...!"
Dengan didahului teriakan keras menggelegar, yang anehnya dilakukan tanpa menggerakkan bibir, Darsakala melompat menerjang Dewa Arak. Begitu be-rada di tengah jalan, di udara, tubuhnya dibalikkan. Di saat yang sama, kaki kanannya dikibaskan ke arah pe-lipis lawan.
Serangan yang dilancarkan Darsakala membuat Arya yakin kalau kakek itu tak bermain-main. Seran-gan yang dilancarkan, jangankan mengenai sasaran, baru menyerempetnya saja sudah cukup untuk mengi-rim nyawa Arya ke alam baka. Oleh karena itu, ia tak berani bertindak gegabah.
Wukkk...!
Kibasan kaki kakek kurus kering itu lewat di atas kepala ketika Dewa Arak membungkukkan tubuh den-gan menekuk kedua lututnya. Dan, secepat itu pula pemuda berpakaian ungu itu mengirimkan serangan balasan berupa tusukan jari-jari tangan terbuka ke arah ulu hati Darsakala.
Plakkk!
Benturan keras terjadi ketika Darsakala yang tak mempunyai kesempatan untuk mengelak itu mema-paknya. Akibatnya, baik Arya maupun Darsakala sa-ma-sama mundur.
"Kau memang hebat, Dewa Arak. Tapi, jangan berbesar hati dulu. Itu masih belum seberapa," ucap Darsakala ketika sudah berhasil mematahkan kekuatan lawan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
Arya yang juga menatap lawannya dan tak lang-sung membuka pertarungan, hanya tersenyum ham-bar.
"Aku percaya, Kala. Tapi, tidakkah pertarungan ini kita hentikan saja?! Antara kita berdua tak ada masalah, untuk apa mempertaruhkan nyawa?!" ucap Arya memberi usul.
"Siapa bilang tak ada masalah, Dewa Arak?!" tukas Darsakala. "Saat ini saja kita sudah berada di pihak yang saling bertentangan. Kalau kau bersedia menyingkir dan tak membela murid Jangkar Bumi sialan itu, mungkin kita tak perlu bertarung. Oleh karena itu, kalau kau bersedia menyingkir dari tempatmu dan membiarkan aku membunuh monyet buduk itu, dengan senang hati kubatalkan maksudku untuk bertarung denganmu...."
Arya terdiam. Dan, Darsakala yang memang tahu betul kalau Dewa Arak tak akan membiarkan Abiyasa terbunuh, tersenyum penuh kemenangan. Alasan yang diajukannya membuat pemuda berambut putih kepe-rakan itu mau tak mau harus bertarung dengannya.
"Tidakkah kau memikirkan tindakan yang akan kau lakukan itu, Kala?!" ujar Arya setelah berpikir se-jenak "Mungkin saja urusan antara kau dan Empu Jangkar Bumi hanya salah paham belaka? Siapa tahu ada orang yang bermaksud mengadu domba, memancing di air keruh?!" kata Arya berpendapat.
"Kau tak mengerti, Dewa Arak. Dan, aku tak mempunyai waktu dan kesabaran untuk menjelaskannya padamu! Yang jelas, tak ada salah paham. Apa yang kukatakan itu benar! Dan, sebagai tambahan, antara kita sebenarnya ada urusan. Kau sudah membunuh sahabat baikku, Arya. Dan, karena alasan itu sudah cukup untukmu. Jadi, tak ada alasan untuk tak bertarung lagi. Jelas?!" ucap Darsakala penuh kemenangan.
Arya menghela napas berat. Disadarinya kalau niatnya untuk mengurungkan pertarungan itu akan sia-sia. Tak ada jalan lain, kecuali bertarung dan men-galahkan Darsakala, dengan sedapat mungkin tanpa membunuhnya atau melukainya terlalu berat. Di lain pihak, Darsakala yang sudah tak sabar lagi untuk melanjutkan pertarungan, kembali melompat menerjang. Untuk kedua kalinya, ketika berada di udara, di ten-gah perjalanan, kakek itu kembali membalikkan tubuh. Kali ini tak hanya sebentar, melainkan terus-menerus. Darsakala berputar seperti gasing. Inilah il-mu yang menjadi andalan si kakek, yang diberinya nama ilmu 'Badai dan Petir'.
Hebat bukan kepalang ilmu 'Badai dan Petir' itu. Bunyi menderu dan meledak-ledak mengiringi berpu-tarnya tubuh kakek kurus kering itu. Dan, seiring dengan itu bertiuplah angin keras membawa debu. Ini salah satu keistimewaannya. Debu yang bertiup mem-buat pandangan lawan terhalang, sementara serangan yang dilancarkan belum tiba.
Dewa Arak kebingungan melihat ilmu lawannya. Tubuh Darsakala yang berputaran, membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan. Karena yang terli-hat hanya segulung bayangan hitam yang berputaran. Memang, Dewa Arak sudah beberapa kali menghadapi lawan yang menggunakan ilmu seperti ini. Tapi tetap saja dia bingung dan mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Dan, belum lagi perasaan bingungnya lenyap, dari balik putaran itu terjulur sebuah tangan. Seakan-akan itu tangan hantu yang keluar dari lubang kuburan.
Karena putaran tubuh itu, serangan yang meluncur jadi terlihat mendadak. Tambahan lagi, gerakan Darsakala memang luar biasa cepat. Dewa Arak sendiri hanya melihat sekelebatan bayangan meluncur jelas ke arah ubun-ubunnya.
Meskipun serangan itu demikian mendadak dan tak disangka-sangka, namun Arya mampu membukti-kan kalau dirinya adalah seorang pendekar muda yang memiliki julukan besar di dunia persilatan dan tak hanya besar namanya saja. Pemuda berpakaian ungu ini mampu menyentakkan tangannya untuk menang-kis serangan lawan.
Tapi, seperti juga munculnya, lenyapnya tangan Darsakala pun hampir tak terlihat, sewaktu menghindarkan tangan Dewa Arak. Tangan itu lenyap begitu saja ke dalam putaran tubuh kakek kurus kering itu!
Arya tak terlalu terkejut lagi ketika serangan tangannya mengenai tempat kosong. Bahkan ketika dari tubuh yang berputar itu mencuat kaki yang meluncur ke arah perutnya, pemuda itu melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauh-kan diri.
Dewa Arak tahu, menghadapi ilmu aneh lawannya dari arah dekat amat berbahaya. Karena akan menjadi sasaran empuk lawannya. Sebaliknya, Darsakala amat sukar untuk diserang, Putaran yang dilakukan mem-buat lawan sukar untuk mendaratkan serangan kare-na tak dapat melihat sasaran yang bakal dituju.
Dan sekarang, untuk menghindari kemungkinan yang tak diinginkan, Dewa Arak menghadapi serbuan lawan dengan elakan-elakan jauh. Untuk beberapa ju-rus lamanya, pemuda itu hanya mengelak saja, dan hanya sesekali melancarkan serangan balasan. Itu pun hanya pukulan-pukulan jarak jauh, yang beberapa di antaranya merupakan jurus 'Pukulan Belalang',
Memang hanya berupa pukulan-pukulan jarak jauh yang bisa dilakukan Dewa Arak. Karena jarak yang tercipta antara dirinya dengan Darsakala, tak memungkinkan untuk melakukan serangan-serangan biasa.
Di lain pihak, Darsakala tak kalah cerdik dengan Dewa Arak. Kakek itu terus-menerus bergerak mendekati lawannya dengan tubuh yang terus berputaran. Pertarungan antara kedua orang itu seperti permainan kejar-kejaran. Di satu pihak, Dewa Arak terusmenerus menjauh seraya melepaskan pukulan-pukulan jarak jauh untuk mencegah lawan mendekati, sekaligus mengirimkan serangan. Di pihak lain, Darsakala yang mengandalkan keanehan ilmunya terus mendekati Arya.
Abiyasa, satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tingkat tinggi itu, merasa khawatir atas keselamatan Dewa Arak. Memang, sepasang matanya tak mampu melihat mereka dengan jelas. Tapi, dari bayangan yang terlihat dapat diketahuinya mana Dewa Arak dan mana lawannya. Karena itu, Abiyasa tahu kalau Arya mulai terdesak. Arya menyadari keadaannya yang tak menguntungkan. Ia juga sadar, ka-lau keadaan itu terus berlangsung, ia akan celaka di tangan lawannya. Melancarkan pukulan jarak jauh te-rus-menerus akan membuatnya cepat lelah. Dan, bila itu terjadi, Darsaka akan dengan mudah mengalah-kannya.
Sambil memberikan perlawanan, Dewa Arak memutar otaknya, mencari cara untuk menghadapi ilmu Darsakala yang unik dan aneh. Dan, karena disadari kalau waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan rahasia itu cukup lama, Dewa Arak segera meraih gucinya kemudian meneguknya.
Gluk... gluk... gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian, kedua kaki muda berambut putih keperakan itu sudah tidak menapak secara tetap lagi di tanah. Itu pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti' sudah siap untuk dipergunakan.
Darsakala tahu kalau Dewa Arak sudah mempersiapkan ilmu andalannya. Tapi, ia tak merasa gentar sama sekali. Sekarang, ia mengerti mengapa sebelumnya pemuda berambut putih keperakan itu mengirimkan serangan jarak jauh bertubi-tubi. Rupanya sengaja membuatnya sibuk dan menciptakan kesempatan untuk mempersiapkan ilmu andalan.
Pertarungan kembali berlangsung, dan lebih seru daripada sebelumnya. Dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', Arya tak hanya menggunakan puku-lan jarak jauh untuk mengurangi tekanan Darsakala. Tapi juga kadang dengan semburan araknya, yang ba-hayanya tak kalah dengan serangan senjata rahasia.
Tak terasa, pertarungan sudah menginjak jurus yang ketujuh puluh. Dan pada saat itu, Arya menemukan cara yang diyakininya dapat dipergunakan untuk menekan ilmu lawannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera mempergunakannya.
Dewa Arak menggertakkan gigi untuk mengerahkan seluruh kemampuannya sampai di puncak. Sesaat kemudian, ia melesat berputar mengelilingi Darsakala yang tengah berputar. Arah putarannya berlawanan dengan arah putaran yang dilakukan Darsakala.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak terlalu keliru. Begitu cara ini dipergunakan, Darsakala kelabakan. Gerakan Dewa Arak yang berputar mengelilinginya, membuatnya kesulitan untuk menjatuhkan serangan.
Tetapi keadaannya berbeda dengan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu sambil berlari mengelilingi lawannya terkadang melancarkan serangan balasan. Tak sampai dua puluh jurus, ganti Darsakala yang berada di pihak yang terdesak. Memang bila diperbandingkan, putaran tubuh Dewa Arak yang tidak di satu tempat, membuatnya lebih mudah untuk menyerang daripada diserang.
Keadaan yang tak menguntungkan itu membuat Darsakala kehilangan kesabaran. Ia menyadari Dewa Arak sudah berhasil menemukan celah-celah kelemahan ilmunya. Terus bertahan tanpa melakukan peru-bahan, tentu akan merugikan dirinya sendiri. Maka, rasa tak sabar membuat Darsakala nekat. Dengan perhitungan matang seorang tokoh tingkat tinggi, ia melancarkan serangan berbahaya. Serangan yang bo-leh dibilang sebagai serangan orang yang mengadu nyawa.
Prattt! Plakkk! Desss!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika Dewa Arak yang tak mempunyai kesempatan untuk mengelak karena Darsakala sudah menghimpitnya sedemikian rupa, balas melancarkan serangan, yang dibaren-gi dengan tangkisan terhadap seranganserangan la-wannya. Beberapa kali tangan dan kaki mereka saling berbenturan, tapi masing-masing pihak tetap tak dapat mencegah bersarangnya serangan yang dilancarkan oleh pihak lawan.
Hampir berbarengan, tubuh Dewa Arak dan Darsa-kala sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dari mulut masing-masing mengalir darah segar, walaupun lebih banyak darah yang keluar dari mulut Darsakala.
Kakek kurus kering itu menerima gedoran tangan Arya pada dada kanan bagian atasnya. Sedangkan Dewa Arak terkena tendangan pada pahanya. Maka jalannya pertarungan terhenti seketika.
"Aku mengaku kalah, Kala. Kau memang hebat,!" ucap Arya sambil mengusap darah yang membasahi sudut bibirnya. "Dan, kurasa tak ada lagi gunanya pertarungan ini dilanjutkan."
Darsakala tersenyum pahit. Diam-diam perasaan suka dan kagumnya terhadap Arya semakin membesar.
"Kau terlalu rendah hati, Dewa Arak Akulah yang sebenarnya kalah. Tapi, aku tak penasaran kalah olehmu. Kau memang pendekar luar biasa. Dan, memandang dirimu, untuk kali ini kulepaskan murid Empu Jangkar Bumi itu. Tapi, janjiku ini tak berlaku seterusnya. Yang jelas, selama kau berada dengannya, janjiku berlaku. Di lain keadaan, aku tak menjamin keselamatannya."
"Kuucapkan terima kasih atas pengertianmu dan penghargaan yang kau berikan padaku, Kala. Tapi, bisakah kau menceritakan secara jelas penyebab permusuhan mu dengan Empu Jangkar Bumi? Dan siapa pula kawanmu yang tewas olehku, Kala?!" tanya Arya karena merasa belum puas dengan keterangan yang didapatnya dari kakek kurus kering itu.
"Aku mendapatkan seorang putra yang kudapatkan dari hasil perkawinanku. Perkawinan yang membuatku tersadar dari kotornya dunia hitam yang semula ku geluti. Sedikit kuberitahukan Dewa Arak, dulu, sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, aku adalah tokoh besar dunia hitam yang ditakuti, pada masa sebelum kedatangan Setan Tengkorak Merah dan yang lainlainnya."
Darsakala menghentikan ceritanya sebentar, men-gusap darah yang membasahi sebagian mulutnya, kemudian mencari pohon tumbang untuk dijadikan tempat duduknya. Arya pun melakukan hal yang sama. Begitu juga Abiyasa. Bahkan lelaki jangkung itu kini berani mendekat, dan duduk di dekat mereka berdua. Abiyasa ingin mendengar sendiri cerita mengenai se-pakterjang gurunya.
"Aku sadar dari dunia hitam karena istriku dan lahirnya anakku. Aku ingin hidup tenang, dan tak ingin terlibat lagi dengan kerasnya dunia persilatan. Istriku yang tak henti-hentinya menasihatiku untuk meninggalkan kotornya dunia hitam, ditambah lagi dengan munculnya kesadaran dalam diriku, maka ku boyong istri dan anakku untuk pergi ke tempat terasing yang jauh dari kerasnya dunia persilatan. Sayang, masalah datang kembali melibat kehidupan kami, meski kami sudah hidup tenang selama beberapa tahun."
Arya dan Abiyasa dapat merasakan adanya kepahi-tan dan kekecewaan besar dalam ucapan Darsakala kali ini. Tapi, keduanya tak menanyakannya. Mereka membiarkan saja, dan menunggu kakek kurus kering itu melanjutkan ceritanya, yang dapat mengungkap rahasia permusuhannya dengan Empu Jangkar Bumi.
–––––––– 6 ––––––––
Abiyasa dan Arya saling berpandangan ketika Darsakala menundukkan kepala karena kesedihan yang melingkupi hatinya. Mereka sama sekali tak menyang-ka akan demikian besar serangan batin yang melanda lelaki tua itu.
"Sekitar setahun yang lalu, saat putraku sudah berusia dua puluh tahun, untuk menjadi kawan baginya ku carikan pemuda desa yang tak mempunyai keluarga. Pemuda baik-baik dan kubawa tinggal di tempatku. Ku didik dia dengan ilmu-ilmu kepandaian agar dia betah. Sama sekali tak kusangka kalau aku malah menciptakan masalah baru. Setelah lima tahun berlatih, pemuda itu mengajak putraku yang tak mengerti apa-apa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dengan mengandalkan kepandaian dariku. Aku tak tahu apa-apa, karena terlalu percaya pada pemuda desa itu."
Arya menghela napas berat. Diam-diam ia merasa kasihan pada kakek kurus kering yang tak henti-hentinya dilanda masalah itu. Arya tahu, Darsakala bercerita yang sebenarnya. Kebenaran cerita itu bisa Arya rasakan. Paras dan sinar mata yang memancar dari wajah Darsakala menyiratkan kesungguhan dan kebenarannya.
Setelah berdiam agak lama, Darsakala kembali me-lanjutkan ceritanya
"Kenyataan yang menghancurkan hatiku baru aku ketahui sewaktu aku mendengar bunyi khas pertarungan di sekitar tempatku tinggal. Saat itu aku tengah bersemadi. Rasa ingin tahu membuatku mendatangi asal keributan. Dan, kutemui putra dan muridku tengah bertarung dengan seorang kakek sakti yang belakangan kuketahui bernama Empu Jangkar Bumi, gu-rumu," Darsakala mengalihkan perhatian pada Abiya-sa.
"Aku tak ingin merendahkan kepandaian Empu Jangkar Bumi, dalam cerita ku ini, tapi itu memang kenyataan sebenarnya. Pertarungan yang berlangsung itu, kalau berjalan dengan sebenarnya, akan menewaskan Empu Jangkar Bumi...."
"Itu tak terlalu aneh! Bukankah beliau menghadapi pengeroyokan?!" bantah Abiyasa cepat.
"Kelihatannya memang demikian. Tapi itu terjadi karena putraku tak melawan sepenuh hati. Dia mengeroyok, karena tak ingin temannya tewas. Jadi, pengroyokan yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan kawannya. Putraku hampir tak pernah melancarkan serangan, kecuali untuk menolong kawannya. Itu pun hanya serangan-serangan yang tak terlalu berbahaya.
Abiyasa menggertakkan gigi, geram, mendengar guru yang dihormatinya direndahkan. Hanya sampai di situ yang dilakukannya. Karena, ia menyadari kalau kemampuannya jauh berada di bawah kakek kurus kering itu.
"Asal kalian tahu saja, meski mempunyai kelainan jiwa, bakatnya terhadap ilmu silat luar biasa besar. Dalam usia semuda itu semua kepandaianku telah diserapnya. Bahkan, dia mampu memberikan tambahan-tambahan, membuat ilmu-ilmu yang dimilikinya jauh lebih dahsyat dari semula. Dan, aku tahu pasti kalau Empu Jangkar Bumi bukan tandingannya," Dar-sakala terdiam sejenak, sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Meski demikian, aku yakin, bila ku diamkan terus, kemungkinan ada yang terluka. Maka, sebelum berlarut-larut kuhentikan pertarungan itu. Dan, secara baik-baik kutanya Empu Jangkar Bumi apa yang menjadi penyebab pertarungan itu. Dan, jawaban yang kuterima benar-benar mengejutkan! Murid dan putraku ternyata telah memperkosa anak Empu Jangkar Bumi!" jelas kakek itu dengan suara meninggi.
Abiyasa tersentak bak disengat kalajengking. Arya menatapnya tanpa bicara apa pun. Tapi, lelaki jangkung itu tahu kalau sinar mata Dewa Arak mengajukan pertanyaan mengenai benar tidaknya Empu Jangkar Bumi mempunyai anak. Tanpa bicara, Abiyasa mengangguk.
"Saat itu aku benar-benar bingung untuk memberikan keputusan. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya kuizinkan Empu Jangkar Bumi untuk membalas sakit hatinya. Dia kubiarkan bertarung dengan muridku yang sejak kedatanganku telah ketakutan setengah mati. Dan, dengan disaksikan anakku yang ke-bingungan melihat keputusan yang kuambil, pertarungan pun berlangsung. Dan, seperti yang sudah kudu-ga, Empu Jangkar Bumi berhasil membunuh muridku. Putraku, seperti yang telah kuperhitungkan sebelum-nya, kelihatan demikian terpukul. Dia menangis me-raung-raung, meratapi mayat kawannya. Untung dengan wibawa yang masih ada, putraku itu bisa ku tenangkan.
Aku yang tak menginginkan peristiwa yang lebih tidak menyenangkan itu terjadi lagi, meminta Empu Jangkar Bumi untuk segera pergi. Kukatakan mengenai penyakit putraku, dan permohonan maaf sebesar-besarnya kepadanya. Dan, aku berjanji untuk lebih memperhatikan putraku serta menjamin tak akan ada keonaran lagi, karena tak ada lagi yang memberinya contoh tak baik. Bahkan, secara diam-diam karena khawatir diketahui putraku, kukirimkan pesan padanya untuk kembali ke rumah, dan aku akan datang dan bersedia menerima hukuman darinya.
Sayang...."
Detak jantung Abiyasa semakin cepat. Ia memang tak mendengar cerita seperti ini dari mulut gurunya. Tapi, ia yakin cerita itu benar. Perlahan-lahan lelaki jangkung itu mulai mengerti, mengapa Empu Jangkar Bumi, saat itu mulai berubah menjadi pemurung dan pendiam!
"Kiranya ia sedang menghadapi persoalan," Abiyasa berkatakata sendiri dalam hatinya.
"Empu Jangkar Bumi rupanya tak mendengar kata-kataku. Dia ingin persoalan diselesaikan saat itu juga. Putraku ingin dibunuhnya. Terpaksa kukatakan kalau akulah yang menggantikannya menerima huku-man. Dia bersikeras menolak, dan menganggapku pengecut. Putraku pun dikatakannya pengecut! Karena tak ada jalan lain, kubiarkan dia memuaskan keinginannya. Pertarungan dengan putraku pun berlangsung. Dan, seperti yang ku perkirakan, dia tak berdaya. Kalau tak ku cegah, dan hal itu kulakukan dengan susah payah, Empu Jangkar Bumi akan tewas di tangan putraku. Dia berhasil selamat, tapi beberapa tahun kemudian kembali dan berusaha membunuh putraku dan juga diriku. Aku berhasil selamat, sampai sekarang.
Tapi putraku tewas…"
Keadaan menjadi hening setelah Darsakala meng-hentikan ceritanya Abiyasa dan Arya sama-sama tak tahu harus berkata apa saat itu.
"Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang, Dewa Arak. Aku takut berubah pikiran lagi dengan janji yang kuucapkan. Selamat tinggal...."
"Selamat jalan Kala..."
Hanya ucapan itu yang diberikan Dewa Arak karena Darsakala telah lebih dulu melesat. Di tempat itu, sekarang yang tinggal hanya Dewa Arak dan. Abiyasa. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
* * *
"Jadi Empu Jangkar Bumi mempunyai anak, Kang?!" tanya Arya, setelah terlebih dahulu menghela napas berat.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Lalu..., mengapa hanya kalian bertiga yang melakukan perjalanan ke tempat ini?! Mengapa putri Empu Jangkar Bumi tak ikut serta?!"
"Dia tak ada di sana, lenyap begitu saja tanpa kami ketahui ke mana perginya sebelum Guru meninggal. Bahkan, ketika Guru meninggal pun, dia tak tahu. Semula aku, Antasena, dan Jembawati tak tahu, mengapa dia meninggalkan kediamannya tanpa pamit. Hhh...! Aku tak pernah mimpi kalau nasib dirinya demikian buruk, Dewa Arak...," desah Abiyasa sedih,
"Tak seorang pun yang tahu nasib yang menimpanya, Kang. Dan, kita tak bisa menyalahkan kepergian putri Empu Jangkar Bumi. Apa yang menimpanya terlalu mengerikan...," ujar Arya, ikut prihatin.
Abiyasa mengangguk-anggukkan kepala, membe-narkan ucapan Arya.
"Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan atau da-patkan dl sini, Kang," ujar Arya, setengah mengin-gatkan.
"Kau benar, Dewa Arak. Tak ada gunanya lagi berada di sini. Lebih baik kalau kita mencari tahu ke mana perginya orang-orang di tempat ini. Barangkali saja kita bisa mendapatkan keterangan untuk men-gungkap masalah ini, Tapi..., apakah kau tidak ingin beristirahat dulu?!" tanya Abiyasa agak cemas, karena melihat darah yang masih mengalir di sudut mulut pemuda berpakaian ungu itu.
"Hanya luka kecil, Kang. Dan, ini bisa ku atasi sambil kita mencari keterangan," tolak Arya halus.
Abiyasa tak membantah lagi, selain menyetujui. Lagi pula, menurut pemikirannya, keterangan itu tak akan terlalu jauh dari tempat ini. Menurut perhitun-gannya, penduduk daerah ini pun pasti tahu ke mana perginya kelompok si Tongkat Halilintar. Tapi, justru ingatan itulah yang membuatnya berpikiran lain
"Kurasa, sebaiknya besok pagi saja kita meninggal-kan tempat ini. Arya. Sebentar lagi matahari akan muncul, dan para penduduk akan bermunculan. Mungkin mereka dapat
memberitahu kita tentang kejadian di tempat ini."
"Begitu juga boleh, Kang. Biarlah kupergunakan waktu yang tersisa untuk mengobati luka dalamku dan memulihkan tenaga," ujar Dewa Arak menyetujui.
* * *
Abiyasa menguap lebar-lebar, dan mengerjap-ngerjapkan matanya ketika sang surya mengenai wajahnya. Meski belum panas, tapi cukup membuatnya merasa silau dan terjaga dari tidur sebentarnya. Di sebelahnya, Dewa Arak pun sudah membuka matanya. Pemuda berambut putih keperakan itu menghentikan semadinya dan menoleh ke arah murid Empu Jangkar Bumi.
"Ada orang yang tengah menuju ke tempat ini...," kata Dewa Arak lirih.
"Aku pun mendengarnya, Dewa Arak. Dan, sepertinya orang ini tak terlalu berbahaya, langkah kakinya terdengar jelas oleh telingaku," timpal Abiyasa tenang.
Lelaki jangkung itu tahu, gerak langkah yang terdengar menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tu-buh yang dimiliki orang itu masih rendah. Dan itu me-nunjukkan kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya pun tak tinggi. Setidak-tidaknya, Abiyasa yakin kalau akan dapat menandinginya.
"Kurasa sebaiknya kita bersembunyi dulu, Kang," saran Arya. "Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya di tempat Ini. Kalau kita terlihat, kemungkinan be-sar ia akan membatalkan maksudnya."
Usai berkata begitu, Dewa Arak melesat ke atas genteng dan mendarat di sana tanpa suara. Hanya berbeda sesaat saja, Abiyasa ikut menyusulnya. Dan dari tempat persembunyian itu, keduanya mengintai ke arah pintu gerbang.
Tak lama menunggu, daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal dan berat, tiba-tiba bergerak terbuka. Bunyi berderak yang cukup nyaring dari daun pintu itu mengiringi langkah masuk seorang lelaki setengah tua berpakaian sederhana warna coklat.
Arya dan Abiyasa saling berpandangan dengan si-nar mata kecewa. Dari pakaian yang dikenakan dan gerak-geriknya, kedua orang itu bisa menduga kalau lelaki setengah baya yang baru saja masuk bukan orang yang terbiasa dengan kerasnya kancah dunia persilatan
Keyakinan Arya dan murid Empu Jangkar Bumi semakin membesar ketika melihat lelaki berpakaian coklat itu mengambil sapu lidi yang pada bagian pangkalnya diikatkan pada sepotong kayu sepanjang setengah tombak. Tambahan kayu itu membuat sapu jadi lebih panjang. Dan, dengan sapu di tangan, lelaki setengah baya itu mulai membersihkan halaman!
"Kurasa tak ada gunanya lagi kita mengintai lebih jauh, Dewa Arak," ujar Abiyasa, lirih, "Lelaki itu bukan termasuk orang yang mempunyai urusan seperti kita. Tapi, setidaktidaknya dia mempunyai hubungan den-gan kelompok si Tongkat Halilintar. Mungkin dia bisa memberi keterangan yang jelas mengenai ketidak-beradaan orang-orang di sini," lanjut Abiyasa menam-bahkan
Arya tersenyum lebar dan menganggukkan kepa-lanya pertanda setuju. Dan, dengan didahului oleh Abiyasa, kedua orang itu melompat dan mendarat di ta-nah.
Bunyi yang ditimbulkan kaki Abiyasa, membuat lelaki berpakaian coklat itu menoleh. Pekerjaannya langsung dihentikan. Tapi, sebelum lelaki itu bertindak atau berbicara apa pun, Abiyasa sudah mendahului
"Jangan cemas, Sobat. Kami berdua tak bermaksud jahat," ujar Abiyasa ramah.
"Mengapa kalian berada di tempat ini, dan apa yang kalian inginkan dariku?!" tanya lelaki berpakaian coklat, seraya menatap Arya dan Abiyasa berganti-panti. Sinar matanya penuh selidik dan kecurigaan.
"Aku dan kawanku ini mendapat perintah dari guruku untuk bertemu dengan pemilik tempat ini yaitu si Tongkat Halilintar. Guruku adalah sahabat baik beliau," jelas Abiyasa cepat-cepat agar tak terjadi peristi-wa yang tak diharapkan.
"Boleh ku tahu siapa gurumu Sobat?" tanya lelaki setengah baya lagi tanpa mengurangi perasaan curi-ganya.
"Perlukah itu?" tanya Abiyasa dengan alis bertaut, karena kurang setuju
"Perlu sekali karena akulah yang diberikan wewe-nang dan tanggung jawab penuh dari si Tongkat Halilintar," jawab lelaki berpakaian coklat dengan nada kaku. "Kalau kau tak mau memberitahu, silakan angkat kaki dari tempat ini!" serunya gusar.
"Baiklah kalau demikian," keluh Abiyasa sambil menghela napas berat. "Tapi aku ingin tahu, apakah kau mengenal atau setidak-tidaknya tahu sahabat-sahabat si Tongkat Halilintar?!" tanya Abiyasa ingin tahu.
"Katakan saja, Sobat. Beliau sudah banyak mengatakan padaku mengenai siapa sahabat-sahabatnya, terutama yang terbaik," kilah si lelaki setengah baya.
"Aku murid dari Empu Jangkar Bumi," Jawab Ab-iyasa kalem seraya memperhatikan wajah lawan bicaranya lekat-lekat untuk melihat reaksinya.
Apa yang diharapkan Abiyasa memang terkabul. Wajah orang yang dipercayakan si Tongkat Halilintar itu tampak beriak memperlihatkan keterkejutannya.
"Itu belum merupakan jaminan, Sobat," bantah lelaki berbaju coklat itu halus. "Setiap orang bisa saja menyebut Empu Jangkar Bumi. Dan, hampir setiap orang tahu kalau empu itu adalah sahabat dari si Tongkat Halilintar. Kalau kau benar muridnya, katakan siapa nama aslinya," desak lelaki setengah baya itu masih belum percaya.
"Narotama," jawab Abiyasa singkat. "Bagaimana?! Masih kurang percaya?!"
"Sekarang aku sudah percaya, Abiyasa," ujar wakil si Tongkat Halilintar dengan suara yang mulai melembut dan wajah berseri-seri. "Maafkan kalau sambutanku kurang berkenan di hatimu. Tapi, hal itu kulaku-kan dengan sangat terpaksa. O, ya, panggil saja aku Sawunggaling," ujar lelaki itu lagi memperkenalkan diri.
"Tak mengapa, Sawung. Aku bisa memaklumi mengapa kau bertindak seperti itu. Sekarang, boleh ku tahu, mengapa tempat ini sepi?!"
"Mereka semua sudah pergi," jelas Sawunggiling lirih. "Mula-mula rombongan murid-murid si Tongkat Halilintar yang meninggalkan tempat ini. Mereka menggunakan kuda dan kereta. Di dalam kereta itu terdapat seorang wanita muda. Kepergian mereka sangat tergesa-gesa, entah mengapa aku sendiri tak tahu. Lalu beberapa hari kemudian, si Tongkat Halilintar pun pergi. Dia hanya berpesan padaku, agar setiap hari menengok tempat ini, menunggu kedatangan utusan Empu Jangkar Bumi. Syukurlah kau sudah datang, sehingga amanat yang membebani ku sirna sudah..." kata Sawunggaling senang.
"Apakah rombongan si Tongkat Halilintar itu berpakaian seragam coklat, Paman?!" tanya Arya, ketika Sawunggaling sudah menghentikan ceritanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu teringat pada mayatmayat yang tubuhnya tercerai-berai, yang semula merupakan teka-teki baginya. Ia teringat kembali kalau di antara mayatmayat itu bergeletakan potongan-potongan tongkat besi dan kayu yang pada sa-lah satu potongannya tergurat gambar kilat
"Benar, Anak Muda. Di samping itu mereka semuanya bersenjatakan tongkat. Murid-murid yang sudah mencapai tingkatan lebih tinggi bersenjatakan tongkat kayu, sisanya tongkat besi. Tapi pada bagian tiap tongkat terdapat guratan bergambar kilat halilintar." jelas Sawunggaling cepat. Apakah kau bertemu dengan mereka?!" tanyanya kemudian penuh harap.
Arya tak segera menjawab pertanyaan itu. Ia malah menghela napas berat dengan wajah menyiratkan kedukaan. Melihat itu, Sawunggaling yang menunggu jawaban dari mulut Arya, dapat menduga telah terjadi sesuatu yang tak menyenangkan. Sungguh pun demi-kian sebelum didengarnya sendiri jawaban yang pasti, lelaki setengah baya itu belum merasa yakin.
"Katakanlah, Anak Muda. Apa yang telah terjadi atas mereka?! Katakan saja agar hatiku tenang. Per-cayalah aku telah siap mendengar apa yang akan kau katakan, sekalipun merupakan berita terburuk," desak Sawunggaling tak sabar.
"Mereka semua telah tewas,'' jelas Arya lirih.
Kemudian, secara singkat tapi jelas, pemuda menceritakan semua yang diketahuinya.
Sawunggaling mendengarkan semua cerita Arya. Tak seluruhnya bisa ditangkap. Sepasang telinganya memang mendengar, tapi otaknya yang seperti beku ketika mendengar berita kematian murid-murid Tong-kat Halilintar itu, membuatnya seperti orang kehilangan akal.
Sampai Arya menyelesaikan ceritanya, Sawunggal-ing masih terpaku dengan sinar mata kosong. Tampak jelas perasaan terpukulnya. Melihat kenyataan ini De-wa Arak segera memberikan isyarat pada Abiyasa.
"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan Sawung. Percayalah, bantuan yang kau berikan besar artinya buat kami. Sekarang, kami akan pergi untuk melanjutkan usaha menyingkap rahasia ini. Selamat tinggal," ujar Abiyasa lambat-lambat dan pelan.
Sawunggaling kelabakan. Ucapan Abiyasa mem-buatnya tersadar kembali kalau di tempat itu masih ada orang lain.
"Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih pada kalian. Dan, harap maafkan sambutan yang mungkin kurang berkenan. Kudoakan Kalian berhasil dalam menyingkap rahasia ini," sahut lelaki setengah baya itu terbata-bata.
"Mudah-mudahan, Paman," ujar Arya memberikan
tanggapan, sebelum melangkah meninggalkan tempat itu diikuti oleh Abiyasa
Tapi, baru beberapa langkah meninggalkan pintu gerbang, tiba-tiba Dewa Arak menghentikan langkahnya. Abiyasa yang berjalan di sebelahnya, mau tak mau ikut melakukan hal yang sama. Sepasang mata murid Empu Jangkar Bumi itu menyiratkan sinar penuh selidik dan keheranan ketika menatap Arya.
"Ada apa, Arya?" tanya Abiyasa tanpa menyembu-nyikan rasa ingin tahu dan rasa khawatirnya.
Dengan gerak isyarat, Arya meminta Abiyasa untuk bersabar. Kemudian, tanpa menunggu tanggapan murid Empu Jangkar Bumi itu, Dewa Arak memusatkan perhatian pada pendengarannya. Kali ini apa yang tertangkap oleh telinganya, terdengar lebih jelas.
"Aku mendengar suara orang merintih-rintih. Sayang, suaranya tak begitu jelas. Mungkin masih jauh juga dari tempat ini. Aku yakin, ada orang yang membutuhkan pertolongan. Sayangnya, aku tak bisa melacak asal suara itu," sesal Arya, setengah memberi-tahu Abiyasa.
"Mengapa mesti bingung, Dewa Arak?! Serukan saja pemberitahuan keras, sehingga terdengar sampai jauh, dan terdengar oleh orang yang terluka. Kau min-ta dia mengeluarkan bunyi-bunyian sampai kau dapat melacak arahnya," usul Abiyasa, setelah berpikir sejenak.
"Iya, kalau orang itu percaya kita berniat menolongnya, Kang. Bagaimana kalau orang itu malah menyangka kita, yang meneriakkan pemberitahuan itu, sengaja menjebaknya?! Siapa tahu, orang itu malah menyangka teriakan yang ku keluarkan adalah teriakan dari lawannya?!" tanya Dewa Arak, tak setuju dengan usul yang diajukan oleh murid Empu Jangkar Bumi itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu kemudian mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia dan Abiyasa berdiri di atas tanah berdebu. Di sekelilingnya, di depan, kanan, dan kirinya berupa dataran turunan yang tak rata. Rerumputan, semak-semak, dan pepohonan, terdapat di segala penjuru.
Abiyasa membiarkan saja pemuda berambut putih keperakan itu mengerjakan apa yang diinginkannya. Apalagi ketika dilihatnya Arya memejamkan sepasang matanya, murid Empu Jangkar Bumi itu sampai-sampai menahan napas karena khawatir mengganggu Arya yang tengah memusatkan seluruh perhatian pada pendengarannya agar dapat menangkap bunyi yang li-rih sekalipun!
"Kudapatkan arahnya, Kang!" seru Arya tiba-tiba. Abiyasa sampai terjingkat ke belakang saking kagetnya ketika mendengar seruan Arya yang mendadak itu. Pemuda berpakaian ungu itu membuka sepasang ma-tanya dan mengarahkannya ke depan, agak ke sebelah kiri di mana terdapat dataran naik turun bergelom-bang dengan ditumbuhi rumput-rumput hijau setinggi betis.
"Kali ini bukan hanya bunyi rintihan, tapi langkah. Langkah lambat-lambat. Sepertinya, orang itu tengah menderita luka yang cukup parah," ujar Arya yakin.
Bersamaan dengan itu, secepat kilat Arya melesat ke arah yang diyakininya. Abiyasa tak mau ketingga-lan. Pemuda itu agak membatasi kecepatan larinya agar Abiyasa tak terlalu jauh tertinggal.
Setelah melalui medan naik turun bergelombang sejauh belasan tombak, Dewa Arak baru melihat kebe-naran apa yang didengarnya. Di kejauhan dilihatnya sesosok manusia dengan pakaian coklat tengah berlari terhuyung-huyung ke arah yang baru saja ia tinggal-kan.
Sosok yang belum jelas terlihat oleh Arya itu beberapa kali hampir terguling. Tapi, berkat tongkat di tangannya yang dijadikan tempat bertahan dengan menekankannya ke tanah dan bertelekan pada tongkat itu, tubuhnya tak sampai terguling.
Sosok coklat itu ternyata juga telah melihat kehadiran Arya. Berbeda dengan Arya yang terus melesat, sosok itu menghentikan larinya dan malah membalikkan tubuhnya kembali ke tempatnya semula.
Arya tahu kalau sosok itu salah paham. Tapi, disadarinya penjelasannya akan kurang berguna tanpa disertai tindakan. Maka, kecepatan larinya pun ditambah, sampai akhirnya ia melewati sosok coklat itu, membalikkan tubuh dan menghadang larinya.
–––––––– 7 ––––––––
Lelaki berkumis melintang dan kening lebar itu se-gera hentikan gerakannya. Meskipun demikian, sikapnya masih memperlihatkan kecurigaan besar. Tongkat bambunya tercekal erat di tangan kanannya.
"Bukankah kau orang yang mendapat julukan si Tongkat Halilintar, Paman?" tanya Dewa Arak menerka, setelah memperhatikan pakaian dan tongkatnya yang berguratkan lukisan kilat. Ia semakin yakin akan, dugaannya ketika menatap matanya. Sorot mata itu bagai mata harimau dalam gelap. Arya tahu, murid-murid si Tongkat Halilintar tak akan mungkin memiliki sinar mata seperti itu. Karena itulah, dugaannya jatuh pada si Tongkat Halilintar.
"Siapa kau, Anak Muda?! Aku tak mengenalmu," bentak lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan jawaban.
"Aku Arya, kawan dari murid Empu Jangkar Bumi, Paman," jelas Arya cepat, karena tak menginginkan terjadinya salah paham. "Nah! Itu Abiyasa, kawanku, murid dari Empu Jangkar Bumi yang menjadi sahabat baikmu," lanjut Arya sambil menunjuk Abiyasa yang sedang berlari ke tempat itu.
Lelaki berkumis melintang yang sudah terluka parah dengan darah kering tampak di sekujur tubuh dan pakaiannya, menoleh ke belakang. Tapi sedikit pun ia tak mengalihkan perhatiannya dari Dewa Arak. Rupanya dia merasa khawatir akan dibokong dari belakang oleh pemuda berambut putih keperakan itu.
Tapi Arya memang tak menipu. Di belakang lelaki berpakaian coklat itu, tampak Abiyasa tengah berlari-lari mendekati mereka. Sesaat kemudian, murid Empu Jangkar Bumi sudah berada di dekat keduanya.
"Benarkah kau murid Empu Jangkar Bumi?!" tanya lelaki berkumis melintang, dengan suara berge-tar dan penuh harapan.
"Benar. Dan kau sendiri benarkah si Tongkat Hali-lintar yang menjadi sahabat guruku?!" Abiyasa balik bertanya setelah memberitahukan nama asli gurunya dan nama dirinya sendiri.
"Tidak salah, Abiyasa. Akulah si Tongkat Halilintar yang mempunyai nama asli Subarnaga," jelas lelaki berpakaian coklat itu bernada gembira.
Abiyasa pun merasa gembira bukan main dengan pertemuan itu. Kemudian ia memperkenalkannya pada Arya. Si Tongkat Halilintar kaget bercampur gembira dan kagum ketika mengetahui siapa sebenarnya si pemuda berambut putih keperakan itu. Hanya dalam waktu sebentar saja, mereka bertiga sudah menjadi akrab.
"Apa yang terjadi atas dirimu, Paman, sehingga kau bisa luka-luka begitu?" tanya Abiyasa, setelah perca-kapan pembukaan telah usai dan Arya sudah memberikan pertolongan sekadarnya agar luka si Tongkat Halilintar tak bertambah parah. Dengan pengerahan hawa murninya, Dewa Arak sudah meringankan luka-luka yang diderita Subarnaga.
"Ceritanya cukup panjang, Abiyasa," sahut Tongkat Halilintar setelah terlebih dulu menghela napas berat. Ditatapnya wajah Arya dan Abiyasa berganta ganti. "Dan, hal ini sekaligus menjawab ketidaktahuan mu mengenai Nawang Wulan."
"Ceritakanlah, Paman, kami siap mendengarnya,!" sahut Abiyasa antusias, mengingat rahasia mengenai gurunya akan segera tersingkap
"Beberapa tahun lalu gurumu, Empu Jangkar Bu-mi datang ke tempatku bersama dengan putrinya, Nawang Wulan. Si empu itu menitipkan putrinya padaku, karena menderita sakit kurang waras. Nawang Wulan gila...."
Abiyasa merasakan dadanya bagai ditabrak seekor kerbau liar, sesak. Sama sekali tak disangkanya akan mendengar cerita seperti itu. Kalau bukan si Tongkat Halilintar yang memberitahukan, dia pasti tak akan percaya.
"Narotama membawa Nawang Wulan padaku untuk disembuhkan penyakitnya. Memang, aku cukup mahir dalam ilmu pengobatan. Usahaku ternyata tak sia-sia. Dalam beberapa bulan gadis itu sudah berhasil sembuh. Tapi, tak lama kemudian kambuh lagi, bahkan lebih parah."
"Kenyataan itu membuatku sadar tak akan mampu menyembuhkan penyakit Nawang Wulan. Kendati demikian, aku tak putus asa! Kemampuanku dalam ilmu pengobatan memang terbatas. Tapi, tak demikian den-gan paman guruku. Hampir tak ada penyakit yang tak bisa disembuhkannya. Kemampuanku dalam ilmu pengobatan pun ku peroleh darinya. Sayang, aku hanya mempelajarinya sebentar...."
"Karena tempat tinggal paman guruku amat jauh. Lagi pula, aku tak yakin beliau masih di tempatnya yang kuketahui karena kesukaannya berpindah-pindah tempat, kuperintahkan sebagian muridku untuk membawa Nawang Wulan pada ayahnya, Empu Jangkar Bumi. Bisma, putraku, berkeras ikut dalam rombongan. Aku tak bisa melarangnya. Aku tahu dia telah jatuh hati pada Nawang Wulan."
"Sepeninggal mereka, aku pergi untuk mencari paman guruku. Sebelum pergi, kuperintahkan murid-muridku yang tersisa untuk meninggalkan tempat mereka bernaung selama ini. Aku tak ingin terjadi sesua-tu yang tak diinginkan pada mereka. Tapi, kupesankan pada salah seorang di antara mereka untuk mengawasi tempat itu...."
Arya dan Abiyasa saling berpandangan. Sekarang mereka mengerti, mengapa tempat tinggal Tongkat Halilintar tak berpenghuni sama sekali
"Ternyata aku bukan satu-satunya orang yang mencari paman guruku. Dan ternyata aku datang terlambat. Seorang tokoh sesat telah lebih dulu menahan beliau. Semula aku tak tahu maksudnya. Tapi, belakangan kuketahui kalau tokoh itu bermaksud meminta keterangan pada paman guruku mengenai Empu Jangkar Bumi, yang secara mengejutkan jadi memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Paman guruku itu, di samping memiliki ilmu pengobatan, juga memiliki ilmu meramal yang mengagumkan! Hanya sayangnya, kepandaiannya tak setinggi ilmu pengobatan dan meramalnya. Aku yang tak ingin beliau celaka, segera menyerang tokoh sesat itu."
"Sayangnya, aku bukan tandingannya. Dia lihai bukan main. Dalam beberapa puluh jurus aku sudah dilukainya. Karena yakin tak bakal menang menghadapinya, aku melarikan diri. Tokoh sesat itu tak mengejar, tapi aku yakin kalau dia akan mencariku."
"Apakah kau mengenalnya, Paman?!" tanya Arya ingin tahu.
"Kenal sih tidak. Tapi, dia memperkenalkan diri sebagai putra dari Setan Tengkorak Merah."
"Itu pasti Tengku Daud...," gumam Arya dan Abiyasa hampir berbarengan.
"Jadi, orang itu pula yang hampir mencelakaimu itu,
Abiyasa?!" tanya si Tongkat Halilintar ketika terin-gat akan cerita Abiyasa. Murid Empu Jangkar Bumi itu memang sudah menceritakan semua kejadian yang di-alaminya.
Abiyasa menganggukkan kepala.
"Sama sekali tak kusangka kalau rahasia yang melingkupi masalah pesan Guru semakin bertambah, bu-kannya tersingkap. Sekarang, kita mesti mencari tahu ke mana lenyapnya Nawang Wulan dan Jembawati. Mungkinkah mereka berdua diculik oleh sosok coklat yang gemar menggeram itu?!" ujarnya setengah mengeluh.
"Maaf, Kang. Apakah kau tak tersinggung bila ku ajukan sebuah pertanyaan?!" tanya Arya hati-hati sekali.
"Mengapa harus tersinggung, Dewa Arak?!" Abiyasa malah balas bertanya. "Tak usah ragu-ragu, katakan saja!"
"Begini, Kang, benarkah kau sudah melihat sendiri kalau Empu Jangkar Bumi sudah tewas?!"
"Tentu saja, Dewa Arak. Bahkan aku telah menguburkannya!" jawab Abiyasa, mantap. "Boleh ku tahu mengapa kau bertanya demikian?!" tanya Abiyasa heran.
"Ucapan Darsakala, Kang," jawab Arya, puas mendapat jawaban mantap dari murid Empu Jangkar Bu-mi itu. "Kakek itu sama sekali tak percaya kalau Empu Jangkar Bumi sudah mati. Aku ingin tahu apa alasan-nya!"
"Aku yakin tak ada alasan sama sekali, Dewa Arak. Darsakala mengada-ada sendiri! Dia tak ingin Empu Jangkar Bumi mati, kecuali oleh tangannya sendiri! Oleh karena itu, dia berusaha keras untuk membantah keteranganku! Kematian Empu Jangkar Bumi membuatnya sia-sia melatih diri selama ini! Aku yakin, Kakek itu telah berusaha mati-matian untuk menambah kepandaian agar bisa membalaskan kematian putranya. "
Penjelasan panjang lebar Abiyasa memang masuk akal. Mau tak mau, Arya pun dapat menerima kebenaran ucapan itu.
Mendadak sekelebatan dugaan muncul di benak Dewa Arak. Ia menduga sosok coklat yang gemar menggeram itu adalah salah satu dari dua orang yang ada di dekatnya. Masing-masing mereka, mempunyai dasar untuk dijadikan tertuduh.
Abiyasa berada dekat dengan kejadian di mana Dewa Arak mendapat penyerangan dari sosok coklat yang luar biasa itu. Dan, siapa yang bisa menjamin cerita Abiyasa benar? Tak ada! Di lain pihak, si Tongkat Halilintar mempunyai alasan kuat untuk dijadikan tertuduh karena pakaian serba coklat yang dikenakannya. Bukankah sosok yang gemar menggeram itu berwarna coklat?!
Arya membantah dugaan yang muncul di benaknya secara sekelebatan. Ia menyadari kalau dugaan itu terlalu mengada-ada. Bukankah sosok coklat itu berkepandaian luar biasa tinggi dan berperawakan besar, yang sudah pasti jauh lebih besar daripada Abiyasa atau pun si Tongkat Halilintar!
Tapi bantahan yang muncul itu terbantah lagi ketika Dewa Arak teringat akan pengalamannya. Ia pernah bertemu dengan tokoh sesat yang mampu mengubah tubuhnya menjadi jauh lebih besar. Dan, dengan tubuh yang membesar itu, tokoh tersebut memiliki kepandaian berlipat. Tokoh itu bernama Samukti, dan ilmu luar biasa itu 'Urai Raga' (Untuk jelasnya menge-nai tokoh Samukti dan ilmunya silakan baca episode: "Sengketa Guci Pusaka"). Bukan tak mungkin kalau kejadian seperti Samukti berulang pada tokoh lainnya. Di saat dugaan yang muncul sekelebatan itu membuat batin Arya berperang, terdengar bunyi geraman keras yang telah akrab di telinga Arya dan Abiyasa. Kedua orang itu sudah pernah mendengarnya, dan tak mungkin lupa.
Wajah Arya, Abiyasa, dan Tongkat Halilintar berubah seketika. Begitu mendengar geraman itu, Dewa Arak langsung memaki dirinya sendiri di dalam hatinya. Memaki dirinya karena sudah menduga yang bukan-bukan terhadap Abiyasa dan si
Tongkat Halilin-tar.
Bagai sudah disepakati sebelumnya, Dewa Arak, Abiyasa, dan Tongkat Halilintar melesat ke arah asal geraman itu. Arya yang memiliki ilmu lari paling tinggi, berada jauh di depan. Abiyasa dan si Tongkat Halilintar berlari berjajar. Si Tongkat Halilintar sebenarnya memiliki kemampuan jauh di atas Abiyasa, tapi karena saat itu ia sedang tak berada dalam keadaan biasanya, gerakannya jadi agak berkurang.
Tak sampai lima puluh tombak, setelah melewati kerimbunan semak-semak, Dewa Arak melihat sesosok hitam melompat tinggi ke atas, bersalto beberapa kali di udara. Pada saat yang bersamaan, terdengar bunyi angin menderu yang luar biasa kerasnya.
Brakkk!
Pohon besar berbatang lima pelukan orang dewasa yang berada di dekat situ hancur berantakan dan ja-tuh di tanah menimbulkan bunyi berisik disertai bau hangus terbakar. Dewa Arak yang berada kira-kira tiga tombak dari tempat itu, sempat terkejut dan melompat ke belakang.
Tapi secepat itu pula Dewa Arak melesat mendekati tempat asal angin menderu, yang diyakininya merupakan lontaran pukulan jarak jauh seseorang yang memiliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Dan, dilihatnya sosok hitam itu melesat turun seraya mengirimkan serangan berupa tusukan, ke arah sosok yang ada di bawahnya. Di tangan sosok hitam itu tergenggam senjata, yang meskipun hanya terlihat berupa bayangan karena gerakannya sangat cepat, Arya tahu kalau itu adalah rencong! Bahkan Arya kini tahu kalau sosok hitam itu adalah Tengku Daud! Rupanya putra Setan Tengkorak Merah itu sudah menyadari kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh, sehingga sampai mengeluarkan senjata andalannya. Senjata khas dari daerah kelahirannya, Aceh!
Arya tak kaget melihat keberadaan Tengku Daud, mau pun serangannya yang dahsyat. Pemuda berpakaian ungu itu justru terpaku ketika melihat sosok yang menjadi lawan putra Setan Tengkorak Merah itu. Sosok yang diyakini betul oleh Arya sebagai sosok coklat yang dulu menyerangnya, dan yang selalu menggeram. Tapi ia sama sekali tak menyangka kalau sosok itu demikian mengiriskan hati!
Sosok itu berdiri di atas tanah, berjarak tiga tom-bak dari Arya dan hanya dipisahkan oleh kerimbunan, semak-semak. Sosok itu tinggi besar, hampir mencapai satu setengah tombak!
Sekujur tubuh sosok itu diselimuti bulu coklat. Sosok yang biasanya terlihat sebagai bayangan coklat itu ternyata adalah seekor monyet besar! Monyet berbulu coklat yang kelihatan demikian ganas dan menakutkan!
Mata Arya tak berkedip ketika ujung rencong Tengku Daud semakin mendekati sasaran, yaitu ulu hati si monyet besar, dengan kecepatan menakjubkan.
Monyet coklat mengayunkan tangannya ketika rencong semakin mendekat. Terdengar bunyi berderak ketika pergelangan tangan Tengku Daud tertangkap jari-jari tangan yang luar biasa besarnya itu. Tengku Daud tak kuasa menahan keluarnya jeritan tertahan, karena terkejut luar biasa.
Tapi Tengku Daud tak tinggal diam. Dengan tangan yang satunya dan sepasang kakinya, ia ingin melan-carkan serangan susulan agar dapat membebaskan tangannya dari cekalan makhluk itu. Tapi Tengku Daud kalah cepat bertindak. Makhluk yang luar biasa kuatnya itu menggerakkan tangannya, memutarkan tubuh pemuda berpakaian hitam itu mengelilingi tubuhnya.
Putaran itu ditopang oleh tenaganya yang luar biasa kuat. Betapa pun Tengku Daud berusaha menahannya, dia tetap tak mampu. Tubuhnya berputar dengan cepat. Semula memang tak terlalu berpenga-ruh. Tapi, beberapa lama kemudian, Tengku Daud mu-lai merasa pusing dan mual. Belum lagi dengan rasa sakit yang luar biasa pada pergelangan tangannya yang dicekal oleh monyet besar itu. Apalagi ketika ak-hirnya tulang tangan itu hancur berantakan. Sekujur wajah dan tubuh Tengku Daud seketika dipenuhi peluh sebesar biji kedelai!
Semakin lama semakin tak ada perlawanan yang diberikan putra Setan Tengkorak Merah itu. Tenaganya melemah dengan cepat, karena tindakan makhluk raksasa yang luar biasa itu.
Dalam keadaan seperti itu Tengku Daud masih sempat melihat tangan monyet yang satunya meluncur ke arahnya.
Putra Setan Tengkorak Merah itu berusaha untuk mengelak atau menangkis, tapi sia-sia. Ia merasakan pergelangan tangannya yang sebelah lagi kini tercekal oleh tangan si makhluk berbulu coklat yang besar itu. Sesaat kemudian, pemuda itu merasakan tubuhnya diangkat ke atas dan diayunkan ke bawah.
Arya yang melihat kejadian itu secara jelas, bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh monyet besar itu ketika tubuh Tengku Daud dengan bagian punggung lebih dulu, diayunkan menuju salah satu pahanya yang dipalangkan.
Dewa Arak yang memutuskan untuk menolong Tengku Daud dan mengirimkan pukulan maut ke arah monyet coklat itu, mengurungkan maksudnya ketika melihat keberadaan kakek berpakaian serba putih sederhana, bersandar pada batang pohon tak jauh dari monyet itu. "Inikah paman guru si Tongkat Halilintar?!" pikir Arya dalam hati.
Melihat itu, Arya segera memutuskan untuk menyelamatkan yang lebih penting diselamatkan. Tapi baru saja ia hendak melesat, sesosok bayangan hijau telah lebih dulu melesat menyambar tubuh si kakek
Kekhawatiran akan keselamatan paman guru Tongkat Halilintar, membuat Dewa Arak melesat keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadangnya.
Sosok bayangan hijau terperanjat melihat kenyataan yang tak diduganya itu. Kendati demikian, ia tak menjadi gugup. Dengan sebelah tangan dikirimkannya gedoran ke arah rusuk Dewa Arak!
Arya tak berani memandang rendah serangan yang tertuju ke arahnya. Apalagi setelah melihat kalau so-sok hijau itu adalah Dewi Lanjar. Maka pemuda be-rambut putih keperakan itu mengerahkan seluruh tenaganya, ketika melakukan tangkisan!
Blarrr...!
Bersamaan dengan terjadinya benturan itu, terdengar bunyi berderak keras disertai lolong kematian dari mulut Tengku Daud. Tulang pinggang pemuda berpakaian hitam itu hancur berantakan ketika berbenturan dengan tulang paha monyet besar. Darah menyembur deras dari mulutnya, dan seketika itu pula Tengku Daud tewas.
Sementara itu tangkisan yang dilakukan oleh Dewa Arak, membuat tubuhnya dan tubuh Dewi Lanjar terlempar ke belakang. Dewi Lanjar bernasib sial. Lontaran tubuhnya ternyata menuju ke tempat monyet besar berbulu coklat itu berada,
Dewi Lanjar baru menyadari akan adanya ancaman bahaya ketika tubuhnya yang melayang itu mendadak berhenti! Ada sepasang tangan kuat, besar, dan berbulu yang mencengkeram kedua bahunya. Keras sekali sehingga membuatnya kesakitan.
Dewi Lanjar bertindak cepat. Ia berusaha keras meronta untuk melepaskan diri sambil mengirimkan tendangan ke belakang dengan sasaran dada monyet yang mencekalnya. Kedua kaki wanita berpakaian hijau ini memang bebas, tergantung beberapa jengkal dari permukaan tanah.
Tindakan yang dilakukan Dewi Lanjar ternyata berbarengan dengan yang dilakukan monyet itu. Binatang raksasa itu mengayunkan tubuh Dewi Lanjar ke arah pahanya. Rupanya ia ingin membunuh Dewi Lanjar dengan cara yang sama seperti ia membinasakan Tengku Daud!
Kesialan yang dialami Dewi Lanjar berlanjut. Kedudukannya kurang menguntungkan. Tambahan lagi tenaga monyet raksasa jauh lebih besar. Dan, jeritan menyayat hati pun keluar dari mulutnya ketika tulang-tulangnya hancur berantakan! Nyawa Dewi Lanjar melayang seketika itu juga.
Tanpa mempedulikan mayat Dewi Lanjar lagi, monyet berbulu coklat itu menatap Dewa Arak yang saat itu baru berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya melayang. Binatang raksasa itu menatap Dewa Arak seraya mempertunjukkan giginya yang runcing dan besar-besar.
Tanpa sadar Dewa Arak melangkah mundur, karena bentuk monyet besar yang sangat mengerikan itu. Walaupun demikian, pemuda itu tak merasa gentar.
Yang timbul dalam hatinya malah hasrat untuk melenyapkan monyet besar itu agar pembantaian yang merajalela itu dapat berakhir.
"Grrrhhh...!"
Makhluk itu tiba-tiba menggeram keras, membuat daun-daun berjatuhan dari atas pepohonan. Apalagi ketika sepasang tangannya yang besar dan terkepal itu dipukulkan bertubi-tubi pada dadanya, sehingga me-nimbulkan bunyi berdebuk keras yang membuat ba-nyak pohon bergoyang-goyang seakan-akan sedang di-landa gempa!
Dewa Arak tahu, bahaya besar sesaat lagi akan menimpanya. Binatang yang luar biasa kuat itu tam-paknya ingin melakukan sebuah serangan. Dan Arya tak ingin didahuluinya. Buru-buru kedua tangannya dihentakkan dengan mengeluarkan jurus
'Pukulan Be-lalang'!
Menurut perhitungan, seekor binatang, betapa pun cerdiknya tak akan dapat menguasai tenaga dalamnya. Namun, apa yang ditunjukkan monyet besar itu berlainan dengan kenyataan yang seharusnya terjadi. Bi-natang yang mampu berdiri dengan kedua kaki itu, ju-ga menghentakkan kedua tangannya melakukan tindakan yang sama dengan Dewa Arak.
Dan yang lebih mengejutkan hati lagi, dari kedua tangan yang jari-jarinya setengah terbuka itu berhembus angin keras yang mengandung hawa panas luar biasa. Malah masih lebih panas dari hawa yang memancar dari pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Akibatnya, di tempat itu seperti tengah terjadi ke-bakaran hutan. Hawa yang luar biasa panasnya melingkupi sekitar tempat itu. Semak-semak dan pepohonan, seketika itu pula layu dan hangus. Bahkan seba-gian di antaranya terbakar. Padahal yang menyebabkan hal itu semua hanya pukulan angin. Itu pun tak telak kenanya, malah menyerempet pun tidak!
Blarrr...!
Bumi bagaikan runtuh ketika dua rangkum angin pukulan dahsyat berbenturan di tengah jalan diiringi bunyi menggelegar keras seakan-akan sebuah gunung sedang meletus.
Dewa Arak merasakan seperti menabrak dinding baja yang luar biasa keras. Ia terpental ke belakang dengan sekujur tubuh terutama tangan, sakit-sakit dan ngilu. Dadanya sesak dan agak terguncang. Di damping itu hawa panas pun merayapi sekujur tubuh-nya, dengan kadar panas yang melebihi panas tenaga dalamnya.
Luncuran tubuh pemuda berambut putih kepera-kan itu baru terhenti ketika punggungnya membentur sebatang pohon besar! Untung saja tenaga dalamnya langsung menyebar ke sekujur tubuhnya sebelum menghantam pohon itu. Jika tidak, benturan yang ke-ras itu akan membuat punggung Arya luka-luka.
Arya masih mampu memperlihatkan kelihayannya dengan berdiri tegak di atas tanah dengan mempergunakan kedua kakinya. Memang, ia merasa pusing se-kali. Pandangannya pun berkunang-kunang, karena pengaruh benturan dan serangan hawa panas di seluruh bagian tubuhnya. Meskipun demikian, ia tetap memaksakan dirinya untuk melanjutkan pertarungan.
Di lain pihak, monyet besar berbulu coklat itu tampaknya tidak terpengaruh dengan benturan dua gundukan tak tampak dari pukulan jarak jauh itu. Bi-natang yang mengerikan itu mengeluarkan suara ge-raman bernada kemenangan, dan bersiap mengirim-kan serangan lanjutan.
Arya merasakan detakan jantungnya mendadak berpacu lebih cepat. Pemuda itu menyadari akan keadaannya yang berbahaya. Ia tak yakin akan mampu menanggulangi serangan lanjutan makhluk besar yang luar biasa itu.
Di saat-saat yang menegangkan itulah, terdengar derap langkah dua pasang kaki. Arya mengerling sebentar, sedangkan monyet raksasa itu menoleh sambil menggeram penuh kemarahan karena merasa terganggu.
Tapi mendadak kemarahan monyet besar itu ber-ganti dengan geraman lirih. Seperti halnya bunyi yang dikeluarkan oleh binatang yang merasa ketakutan dan gelisah!
Karuan saja tingkah binatang yang luar biasa itu mengherankan Arya. Padahal, pemilik langkah-langkah kaki itu adalah Abiyasa dan Tongkat Halilintar! Dua lawan yang boleh dibilang sama sekali tak ada artinya!
Tingkah monyet raksasa itu bahkan semakin mengherankan. Binatang itu sambil menggeram lirih memperdengarkan kegentaran dan kebingungannya, binatang itu melangkah mundur. Di lain pihak, Abiyasa dan si Tongkat Halilintar terpaku kaku di tempat-nya bagai orang kena sihir! Semangat dan nyali mereka seperti lenyap entah ke mana begitu berpandangan dengan sosok yang sama sekali tak mereka perkirakan!
Keheranan Arya semakin menjadi-jadi ketika melihat monyet besar itu membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang menakjubkan. Padahal, binatang itu berlari dengan mempergunakan keempat kakinya.
Dewa Arak, satu-satunya orang yang masih sadar sepenuhnya baru mengerti akan teka-teki yang selama ini tak terjawab. Dilihatnya makhluk yang mengerikan itu melesat menerobos kerimbunan semak-semak di sebelah kanan. Tapi anehnya, semak-semak dan pepohonan yang seakan dilanda badai adalah yang berada di sebelah kiri. Entah dengan ilmu dan cara bagaimana binatang yang luar biasa besarnya itu bisa melakukannya, Arya tak mengerti, dan tak bisa menjawabnya. Yang jelas, keanehan yang dulu membuatnya bingung, telah terjawab.
"Hhh,..!"
Sambil menghela napas berat dan mengerahkan hawa murni untuk mengusir hawa panas di sekujur tubuhnya, pemuda berpakaian ungu itu menghampiri Abiyasa dan si Tongkat Halilintar yang masih terpaku di tempatnya. Rupanya dua orang itu benar-benar ter-kejut ketika melihat monyet coklat yang sangat menye-ramkan dan merindingkan bulu kuduk itu.
"Aku bersyukur sekali kalian berdua datang pada saat yang tepat," ucap Arya pelan, ketika diyakininya sergapan hawa panas itu sudah hilang dan tak membahayakannya lagi. Ia telah lolos dari kemungkinan terluka dalam.
Abiyasa dan si Tongkat Halilintar bagaikan orang tidur diguyur panas, kelabakan dan kebingungan. Arya memang tak hanya sekadar berbicara. Meski hanya pelan, tapi dengan tenaga dalamnya yang tinggi, pemuda berpakaian ungu itu mampu mengguncang bagian otak yang berhubungan dengan kesadaran, sehingga dua lelaki setengah baya itu tersadar dari keterpakuannya.
–––––––– 8 ––––––––
Kegagapannya disebabkan karena kesadaran dirinya yang dilakukan secara paksa oleh Dewa Arak, dan juga karena teringat kembali akan monyet besar berbulu coklat yang dilihatnya.
Murid Empu Jangkar Bumi dan juga si Tongkat Halilintar mengedarkan pandangan ke sana kemari, mencari-cari makhluk yang luar biasa besarnya itu. Tapi sampai lelah bola mata mereka berputar, tak juga menemukan binatang yang dicarinya.
"Binatang itu sudah pergi," jelas Arya. "Binatang itulah yang telah membantai semua muridmu, Paman. Dan, bahkan telah membantai Antasena, murid Empu Jangkar Bumi yang lainnya."
"Tidak masuk di akal, Dewa Arak!" desis si Tongkat Halilintar, tak sependapat. "Betapapun perkasanya binatang raksasa itu, tapi menghadapi tokoh-tokoh silat yang terlatih baik, rasanya mustahil menang."
"Tapi itulah kenyataannya, Paman," tegas Arya "Kalau saja Paman dan Kakang Abiyasa tak segera datang, mungkin aku pun sudah menjadi mayat yang tak utuh lagi, menyusul Tengku Daud."
"Tokoh sesat sakti itu mati di tangan monyet raksasa?!" tanya si Tongkat Halilintar tanpa menyembunyikan ketidak-
percayaannya. Tapi ia memang tak bisa untuk tak percaya, karena bukti jelasnya tergolek di depannya. Lagi pula, orang seperti Dewa Arak mana mungkin berbohong. "Kalau tak mendengar dari mulutmu, aku tak akan percaya, Dewa Arak," ujar si Tongkat Halilintar lagi.
"Memang sulit untuk dipercaya, Paman. Aku pun merasa, tak akan mungkin seekor monyet besar mempunyai kemampuan seperti itu. Akan membuat geger dunia persilatan kalau seekor monyet menjadi jago nomor satu!" tegas Arya. "Tapi,
kemungkinan itu bisa terjadi, tapi dengan satu syarat."
"Apakah syarat itu, Dewa Arak?" tanya Abiyasa angkat bicara.
"Syaratnya atau kemungkinannya, bisa saja monyet besar yang memang memiliki kemampuan besar itu adalah bukan binatang sewajarnya."
"Apa maksudmu, Dewa Arak? Aku masih belum mengerti," tanya Abiyasa lagi penasaran.
"Apakah yang kau maksudkan monyet itu adalah binatang jejadian, Dewa Arak?!"
Si Tongkat Halilintar yang bisa menangkap maksud Dewa Arak, langsung mengajukan dugaannya.
"Benar, Paman," jawab Arya sambil mengangguk-kan kepala.
"Mungkinkah itu...?!" tanya Abiyasa setengah bergumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Bukan hanya mungkin, tapi memang! Monyet besar itu adalah binatang jejadian!"
Hampir berbarengan Dewa Arak, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar mengarahkan pandangannya ke arah asal suara itu. Suara yang terdengar belakangan itu memang bukan keluar dari mulut salah seorang dari mereka.
Arya dan Abiyasa mengernyitkan keningnya ketika mereka menoleh ke arah suara itu berasal. Keduanya merasa seakan-akan sudah pernah mendengar suara itu sebelumnya. Hanya saja, kapan dan di mana keduanya lupa. Yang jelas, Dewa Arak merasa yakin kalau pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi. Jika tidak, walau ia sedang bercakap-cakap pun langkah ka-kinya pasti akan terdengar, bila orang tersebut memiliki tingkat kepandaian di bawahnya.
Sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat dan menjejakkan kakinya berjarak lima tombak dari kelompok Dewa Arak.
"Kiranya kau, Kala," ucap Arya tenang, setelah melihat jelas sang pemilik suara tadi.
Darsakala, pemilik suara yang baru datang itu hanya tersenyum hambar.
"Selamat berjumpa lagi, Dewa Arak. Syukur kalau kau sudah sadar akan kekeliruan mu."
"Kekeliruan?!" ulang Arya dengan sepasang alis bertaut "Aku tak mengerti apa yang, kau maksudkan Kala. Kekeliruan apa yang telah kulakukan?!" ta-nyanya kemudian.
"Bukankah kau semula percaya kalau Empu Jangkar Bumi sudah tewas?! Dan sekarang terbukti apa yang kukatakan, Empu Jangkar Bumi masih hidup. Kau sudah membuktikannya sendiri, kan?!" cetus Dar-sakala penuh kemenangan.
"Kapan aku telah melihat Empu Jangkar Bumi, Kala?! Kau yang keliru!"
"Eh?! Bukankah baru saja kau telah melihat empu sialan itu?! Bahkan kau katakan tadi hampir mati di tangannya!" tandas Darsakala lagi, mantap.
Bukan hanya Arya saja yang terkejut mendengar jawaban yang diberikan Darsakala. Abiyasa dan Tong-kat Halilintar pun terperanjat. Abiyasa sendiri malah kaget bercampur marah karena guru yang dihorma-tinya dan telah wafat itu masih dipermalukan! Darsakala mengira monyet raksasa itu sebagai Empu Jangkar Bumi! Sungguh merupakan penghinaan yang luar biasa besarnya!
"Jadi..., maksudmu... monyet besar tadi adalah penjelmaan dari Empu Jangkar Bumi?!" tanya Arya, meminta penjelasan.
"Tepat sekali!" jawab Darsakala mantap. "Agar jelasnya mungkin perlu kuberitahukan sedikit. Empu yang telah diamuk dendam itu tak mempedulikan jalan benar dan salah. Agar dendamnya terlampiaskan, dia bersekutu dengan setan. Oleh karena itulah dalam waktu singkat, kepandaiannya meningkat luar biasa. Dan dia berhasil membalas sakit hatinya. Tapi, akibat perjanjiannya dengan setan itu dia harus menerima akibatnya, berubah menjadi makhluk yang menjijikkan itu. Setan yang dipujanya, dalam alam nyata berupa monyet yang jauh lebih besar lagi. Karena itu, empu terkutuk itu menjelma menjadi monyet!"
Darsakala mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Dia tak terlihat terkejut, melihat dua sosok bergeletakan di tanah yang dikenalinya sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi. Sepengetahuannya, kedua orang itu mempunyai hubungan erat dengan datuk-datuk sesat persilatan. Tengku Daud adalah putra dari Setan Tengkorak Merah. Sedangkan Dewi Lanjar adalah murid terkasih dari Dewi Berambut Wangi!
"Fitnah! Itu fitnahan yang luar biasa keji! Kau manusia terkutuk, Darsakala! Biar aku mengadu jiwa denganmu!" teriak Abiyasa karena tak kuat menahan amarahnya lagi. Ia mulai bersiap-siap untuk menye-rang kakek kurus kering itu. Tapi Arya segera menyentuh pergelangan tangannya dan memberikannya isya-rat untuk bersabar. Murid Empu Jangkar Bumi itu pun mengurungkan maksudnya, dan hanya menatap Darsakala dengan sinar mata seperti mengeluarkan api!
"Boleh ku tahu alasan yang menyebabkan mu menduga demikian, Kala?! Perlu kau tahu, setiap tuduhan harus mempunyai alasan yang jelas!" tanya Arya agar masalahnya menjadi jelas.
"Tentu saja, Dewa Arak. Kau kira aku demikian sembrono melemparkan tuduhan?! Kau tahu, begitu berhasil selamat dari tangan maut empu keparat itu aku mencari tahu mengenai tindakan yang dilakukannya sehingga mempunyai kepandaian yang demikian tinggi dalam waktu singkat. Akhirnya setelah berbulan-bulan berusaha keras aku dapat mengorek rahasianya. Dia bertapa di sebuah pohon beringin angker di sebuah dataran yang dulu menjadi tempat penyembah-penyembah setan. Di sana dia meminta kesaktian! Padahal taruhan bagi permintaan di tempat itu teramat besar! Ketidak-berhasilan dalam menghadapi godaan di sana, akan menimbulkan akibat yang mengerikan kendati mungkin permintaan yang diinginkan terkabul! Si pemuja bisa menjadi gila, separo manusia separo siluman. Atau makhluk jejadian seperti yang dialami oleh Empu Jangkar Bumi!"
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar saling pandang. Mereka memang telah mendengar berita simpang-siur mengenai tempat seperti itu. Namun, sama sekali tak menyangka akan mengetahui adanya orang yang terlibat.
"Bahkan menurut penduduk desa terdekat, bukan hanya Empu Jangkar Bumi seorang yang pernah pergi ke tempat itu. Tapi, masih ada seorang lainnya. Sayang, mereka tak bisa memberitahukan ciri-cirinya. Orang kedua ini sepertinya sengaja menyembunyikan diri agar tak bisa dikenali. Nah! Bukti apa lagi yang kau inginkan, Dewa Arak?!"
"Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan, Kala. Mungkin benar Empu Jangkar Bumi pergi ke tempat itu dan meminta sesuatu. Tapi, dari mana kau tahu kalau monyet besar itu adalah Empu Jangkar Bumi? Apakah kau telah melihatnya waktu berubah wujud?!" tantang Arya, meminta kepastian.
Darsakala tampak kebingungan. "Aku memang tak melihat sendiri perubahan wujud Empu Jangkar Bumi menjadi monyet besar itu. Tapi, aku bersedia mengajak kalian untuk membuktikan benar tidaknya dugaanku! Sebagai informasi bagi kalian perlu kuberitahukan kalau aku cukup banyak mengetahui mengenai hal-hal seperti itu. Dan, aku sudah banyak melihat hal-hal ganjil di sini."
"Kuketahui, monyet besar itu selalu mencuri bagian jantung dari korban-korbannya, aku yakin itu ada alasannya. Aku yakin, monyet raksasa itu ingin kem-bali ke bentuknya semula sebagai Empu Jangkar Bumi. Dan, jantung-jantung itu sebagai syaratnya."
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar mulai percaya akan keterangan yang diberikan Darsakala. Semuanya kelihatan demikian masuk akal. Sejak semula pun mereka tak yakin kalau monyet raksasa yang mereka lihat itu merupakan binatang biasa. Ada kesan mengerikan dan menyeramkan yang memancar.
Pemberitahuan Darsakala mengenai jantung, membuat Arya dan rombongannya teringat akan le-nyapnya putri Empu Jangkar Bumi dan Jembawati. Mungkinkah kedua wanita itu pun menjadi salah satu syarat agar monyet raksasa itu dapat berubah bentuk menjadi manusia kembali, dan orang itu adalah Empu Jangkar Bumi?!
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Arya, dengan nada suara mulai lunak.
"Nanti malam adalah malam purnama. Dan, biasanya upacara-upacara yang mempunyai hubungan dengan setan, terjadi pada malam itu. Di saat upacara ini kita akan menangkap basah empu sialan itu. Me-nurut pendapatku, kita harus gagalkan upacara yang akan dilakukan. Kegagalan upacara akan membuat se-tan pemberi kekuatan marah karena merasa ditipu. Kemarahan yang timbul akan membuatnya mengambil kemampuan yang diberikannya. Bila itu terjadi, amat mudah untuk membunuhnya, bukan?!"
"Bicara memang mudah, tapi bagaimana kita bisa mengetahui tempat yang akan dipergunakan untuk melakukan upacara?!" sergah Abiyasa, tapi dengan su-ara yang lebih pelan dan lembut daripada sebelumnya.
"Mengapa harus ditanyakan lagi?! Jawaban pertanyaan ini amat mudah. Makhluk yang menjijikkan itu pasti akan membawa alat-alat upacara dan persemba-hannya ke tempat di mana dulu dia meminta kekuatan!"
"Jauhkah tempat itu dari sini, Kala?!" tanya Arya bernada cemas karena khawatir waktu yang mereka miliki tak cukup.
"Tak terlalu jauh, Dewa Arak. Aku yakin kita akan dapat tiba di sana saat upacara belum dimulai. Tentu saja hal ini hanya dapat terjadi kalau waktu yang ter-sisa ini tak kita isi dengan percakapan tak berguna, atau dengan perjalanan yang tidak keras." sindir Darsakala, seenaknya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi?!" Arya malah balas mengajukan tantangan.
Tanpa banyak bicara, Darsakala melesat mening-galkan tempat itu dengan kecepatan menakjubkan. Arya mengernyitkan alisnya melihat hal ini, karena tahu Abiyasa dan si Tongkat Halilintar akan tertinggal amat jauh, jika dibiarkan berlari sendiri. Dan, bila itu terjadi, kedua orang itu akan kehilangan jejak.
"Maaf..."
Setelah terlebih dahulu mengucapkan perkataan demikian,
Dewa Arak menyambar tangan Abiyasa dan si Tongkat Halilintar. Abiyasa dicekal pada pergelangan kirinya, sedangkan si Tongkat Halilintar pada tangan yang satunya lagi.
Hampir tak berselisih waktu, pemuda berpakaian ungu itu segera melesat cepat menyusul Darsakala. Cepatnya lari Dewa Arak, membuat Abiyasa dan si Tongkat Halilintar memejamkan mata karena merasa ngeri. Angin berciutan nyaring dan keras beberapa kali, menyambar tubuh mereka. Di lain pihak, Arya, yang membawa kedua orang itu berlari, kelihatan de-mikian tenang.
Tak lama sepeninggal Dewa Arak dan rombongan, sosok seorang kakek berpakaian putih keluar dari balik kerimbunan semak-semak yang lebat. Dia adalah paman guru Tongkat Halilintar, yang terlempar dari panggulan Dewi Lanjar, ketika terjadi benturan antara wanita sesat itu dengan Dewa Arak. Benturan yang terjadi dengan dahsyat membuat tubuh si kakek terlempar ke dalam semak-semak dalam keadaan pingsan.
Keberadaan kakek berpakaian putih yang bersembunyi dari pandangan, dan masalah menarik yang di-perbincangkan oleh Dewa Arak dan yang lain-lain membuat si kakek terlupakan! Tak seorang pun yang teringat padanya!
Kakek berpakaian putih mengedarkan pandangan berkeliling sebentar. Kemudian, dia melesat meninggalkan tempat itu untuk kembali ke tempat tinggalnya.
* * *
Malam telah cukup lama menyelimuti bumi. Sang dewi malam yang kali ini muncul di langit dalam ben-tuknya yang purnama, memancarkan sinarnya yang lembut dan kuning keemasan. Saat itu, Darsakala dan Dewa Arak yang membawa Abiyasa dan si Tongkat Halilintar, tiba di tempat seperti yang dimaksudkan oleh kakek kurus kering itu.
Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar merasakan sekujur bulu kuduk mereka berdiri ketika memperhatikan sekeliling tempat mereka berada. Saat itu, mereka semua sudah berjalan biasa karena Darsakala pun demikian. Arya sudah melepas cekalan tangannya dan mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Hanya Darsakala yang bersikap tenang. Kakek itu kelihatan tak begitu peduli dengan keadaan sekitarnya. Kakinya dilangkahkan seenaknya dengan pan-dangan tertuju lurus ke depan.
"Apakah tempat ini yang kau maksudkan, Kala?!" Hanya Arya dengan suara yang amat lirih.
"Mengapa kau menduga demikian?! Apakah karena aku tak mengajak mu berlari lagi seperti sebelumnya?!" Darsakala malah balas mengajukan pertanyaan.
"Tidak. Hanya aku merasakan adanya kelainan pada tempat ini. Meski yang terlihat hanya bebatuan besar kecil dan tanah lapang luas dengan sedikit tumbuh-tumbuhan di sana-sini, aku merasakan adanya sesuatu yang lain di sini. Tempat ini demikian menyeramkan," ujar Arya.
Darsakala tak memberikan tanggapan. Tapi Dewa Arak yakin si kakek mendengarnya. Meskipun demikian Arya tak merasa kecil hati sama sekali.
"Kau tahu, mengapa Empu Jangkar Bumi banyak menarik perhatian tokoh-tokoh sesat besar dunia persilatan, ketika terdengar kabar kematiannya?!" tanya Darsakala lagi, tetap dengan ayunan kakinya menyusuri dataran berupa tanah keras, yang pada beberapa bagian tempat terdapat gundukan-gundukan batu be-sar kecil.
Arya menggelengkan kepala. Bahkan Abiyasa dan si Tongkat Halilintar yang tak ikut ditanya mengge-lengkan kepala pula.
"Mereka ingin mengetahui kepastian tewasnya empu itu. Karena, seperti juga diriku, mereka tahu kalau Empu Jangkar Bumi sudah bersekutu dengan setan di tempat ini. Mereka ingin tahu kebenaran tewasnya empu sialan itu dan karena apa dia tewas."
"Dari mana mereka tahu mengenai Empu Jangkar Bumi?!" tanya Arya ingin tahu. "Padahal, menurut yang kuketahui, tokoh itu tak termasuk orang yang merajai di dunia persilatan, atau menonjol di dunia persilatan...."
"Mulanya memang demikian, Dewa Arak," jawab Darsakala bernada keluh. "Tapi, setelah kejadian yang menimpa putrinya dia menjadi terkenal. Dia jadi seperti kehilangan akal sehatnya dan membenci semua tokoh golongan hitam. Begitu memiliki kepandaian mukjizat, dia menebar bencana di dunia hitam. Tak terhitung tokoh-tokoh hitam yang tewas di tangannya. Dan termasuk di antara mereka adalah Setan Tengkorak Merah dan Dewi Berambut Wangi!" Darsakala berhenti sejenak mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
"Setelah dua pentolan kaum sesat ini terbunuh, baru tindakan semaunya Empu Jangkar Bumi mengendur drastis, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Belakangan, tokoh-tokoh yang senantiasa mengikuti perkembangannya, mendengar kabar bahwa dia tewas. Tokoh yang ingin mendapat kesaktian seperti yang dimiliki Empu Jangkar Bumi, berusaha untuk mencari tahu, bagaimana kakek itu dapat memperoleh kesaktian dan setan penunggu tempat ini tanpa terjadi hal-hal yang mengerikan terhadapnya!" lanjutnya.
"Bisa kau jelaskan mengenai hal-hal yang mengerikan itu, Kala?!" tanya Arya penasaran.
"Macam-macam, Dewa Arak. Ada yang menjadi gila, tak mampu berbicara kecuali mengeluarkan bunyi binatang dari mulutnya, dan ada juga yang senantiasa mengeluarkan lendir berbau busuk dari mulut, hidung, dan telinganya. Itu pun masih ditambah dengan bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuhnya," jelas Darsakala panjang lebar. "Malah, ada di antaranya yang mungkin menjadi binatang jejadian," tambahnya.
Dewa Arak, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar sejenak saling berpandangan.
"Jangan ada yang berbicara lagi. Kita sudah berada dekat sekali dengan tempat tinggal setan penunggu yang dipuja-puja Empu Jangkar Bumi. Tingkatkan kewaspadaan kalian.... Kurangi gerak-gerik yang dapat membuat kita diketahui.... Di gundukan batu besar itu kita berhenti," pesan Darsakala pada ketiga orang itu.
Tidak ada jawaban atas ucapan Darsakala. Tapi si kakek sama sekali tak berkecil hati. Ia menyadari kalau perkataannya cukup jelas untuk dapat terdengar dan dimengerti. Oleh karena itu dia bersikap tak peduli.
Kakek kurus kering itu baru menghentikan lang-kahnya ketika sudah berada di gundukan batu besar yang dimaksudkannya. Dan dari balik batu diarahkan pandangannya ke depan. Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar pun melakukan hal yang sama dari gundu-kan batu lainnya.
Terlihat oleh mereka sosok besar yang berbulu coklat sedang berlutut di depan sebuah pohon yang luar biasa besarnya dan tampak menyeramkan. Arya, Abiyasa, dan si Tongkat Halilintar, dan bahkan Darsakala sendiri, merasakan sekujur bulu di sekujur tubuh mereka berdiri ketika menatap pohon itu. Perasaan takut muncul begitu saja tanpa dapat dicegah atau dikuasai!
Di sebelah kanan dan kiri monyet raksasa itu tergolek dua sosok ramping. Arya mengenali salah satu sosok itu sebagai Jembawati. Sedangkan si Tongkat Halilintar mengenali kedua sosok itu. Sosok yang sa-tunya adalah putri Empu Jangkar Bumi, Nawang Wulan. Apa yang dikatakan Darsakala ternyata memang tak keliru!
"Apa yang harus kita lakukan, Kala?" tanya Arya dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jauh.
"Kita harus cegah terjadinya upacara itu. Makhluk itu memang terlalu lihai untuk dihadapi sendiri-sendiri. Tapi aku yakin, bila dihadapi berdua kita akan dapati menahannya. Asal kau dan aku mampu bertahan hingga matahari muncul, makhluk itu akan tewas. Upacara yang tak terlaksana yang menjadi penyebabnya," jelas Darsakala, juga dengan menggunakan ilmu pengiriman suara dari jarak jauh. "Dan untuk melaku-kan hal itu, tunggu saja isyarat dariku," lanjutnya.
Arya memberitahukan apa yang dikatakan Darsakala pada Abiyasa dan si Tongkat Halilintar.
Keempat tokoh persilatan itu terus memperhatikan semua gerak-gerik binatang berbulu coklat di hadapan mereka yang berjarak kira-kira sepuluh tombak. Ter-dengar oleh telinga mereka masing-masing suara geraman-geraman yang keluar dari mulut monyet besar itu.
* * *
"Sekarang, Dewa Arak...!"
Perintah yang dikirim Darsakala melalui penggu-naan ilmu pengirim suara dari jauh itu, membuat Dewa Arak melesat dari tempatnya. Di saat yang hampir bersamaan itu Darsakala melesat lebih dulu.
Darsakala dan Dewa Arak mengeluarkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk mendekati tempat monyet besar itu berada secepat mungkin. Sambil berlari, Arya pun tak lupa menenggak arak dari gucinya, agar dapat segera mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.
Beberapa tombak lagi jarak antara Darsakala dan Dewa Arak dari monyet raksasa, binatang berbulu cok-lat itu sudah mengetahui kedatangan tamu-tamu yang tak diundang itu. Sambil mengeluarkan geraman yang mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, monyet besar itu membalikkan tubuhnya.
Dewa Arak dan Darsakala langsung menghentikan larinya ketika dilihatnya monyet raksasa itu sudah berdiri menghadap mereka. Sepasang mata binatang itu tampak menyimpan kemarahan dan kebencian yang besar. Sepasang matanya yang merah membara, seperti mengeluarkan api.
Arya dan Darsakala kini berpencar ke kiri dan ke kanan, agar dapat menghadapi makhluk itu dari dua arah.
"Bila kami sudah terlibat dalam pertarungan, cepat bawa dan selamatkan kedua tawanan itu, Kang," ujar Arya pada Abiyasa dengan menggunakan ilmu pengirim suara dari jarak jauh.
Baru saja berkata begitu, monyet raksasa itu sudah melompat menerkam Dewa Arak, laksana seekor harimau menerkam mangsanya. Diiringi oleh suara geraman yang keras keluar dari mulut binatang itu.
Dewa Arak yang memang sudah sering berhadapan dengan bahaya maut, dan bahkan nyawanya tak ja-rang berada di ujung tanduk, selalu mampu bersikap tenang. Tapi kali ini sikap seperti itu tak mampu dila-kukannya lagi.
Serangan monyet besar itu ternyata tak hanya mengandung kekuatan nyata, tapi juga kekuatan gaib! Dan, Arya dapat merasakan pengaruhnya. Angin yang berhembus ternyata mampu membuat sekujur tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan. Bahkan isi kepalanya pun buntu, tak dapat dipergunakan untuk berpikir.
Hanya ada sekelebatan pikiran samar yang mem-
beritahukannya kalau nyawanya tengah terancam. Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukannya. Pemuda berambut putih keperakan itu seperti pasrah menunggu datangnya maut!
Wuttt...!
Terkaman monyet raksasa hanya mengenai tempat kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tak berada di situ lagi. Di saatsaat yang menentukan, Darsakala bertindak cepat. Kakek itu mendorongkan kedua tangannya, menimbulkan deru angin keras yang mampu membuat tubuh Dewa Arak terpental dan tergulingguling namun tanpa terluka sama sekali! Tindakan yang dilakukan Darsakala hanya untuk membuat Dewa Arak pindah dari tempatnya sehingga lolos dari maut
Tindakan yang diperbuat Darsakala ternyata tak hanya memindahkan tubuh Dewa Arak. Tapi juga membuat pemuda berambut putih keperakan itu kembali dapat berpikir jernih. Dan, di saat tubuhnya tengah terguling-guling, Arya memusatkan perhatian untuk mengerahkan tenaga dalamnya di pusar. Begitu tenaga itu timbul, Arya segera mengerahkan dan mengalirkannya ke berbagai bagian tubuhnya. Dan ketika berhasil bangkit kembali, ia sudah siap untuk bertarung!
Tetapi Dewa Arak ketinggalan! Monyet raksasa itu sudah sibuk bertarung dengan Darsakala. Memang, ketika terkamannya berhasil digagalkan kakek kurus kering itu, si monyet besar segera mengalihkan seran-gannya pada Darsakala. Darsakala terpaksa berjuang keras agar tak kehilangan nyawanya. Dan kini tam-paknya ia mulai terdesak. Monyet raksasa itu memang benarbenar menakjubkan!
Di saat Dewa Arak melesat ke dalam kancah perta-rungan untuk membantu Darsakala, si monyet raksasa tengah mengirimkan pukulan keras ke arah pelipis kakek kurus kering itu.
Plakkk!
Darsakala yang tak mempunyai pilihan lagi hanya dapat menangkis serangan itu. Akibatnya, tubuhnya terbanting ke samping terbawa ayunan serangan lawannya. Ia merasakan sekujur tangannya lumpuh dan dadanya sesak.
Monyet Raksasa tak memberikan kesempatan dan melesat dengan kecepatan menakjubkan untuk meng-habisi nyawa Darsakala. Di saat yang genting, Dewa Arak segera bertindak. Pemuda itu menghentakkan kedua tangannya mengirimkan pukulan jarak jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan
Belalang'
Deru angin keras berhawa panas seketika menyengat, menyadarkan monyet besar akan adanya ancaman bahaya terhadapnya. Tubuhnya segera dibalikkan se-raya kedua tangannya dihentakkan untuk menangkis serangan itu. Untuk kedua kalinya terdengar deru angin keras, dan ketika akhirnya terjadi benturan di tengah jalan menimbulkan bunyi menggelegar serta sekitar tempat itu bergetar. Tubuh Dewa Arak melayang jauh ke belakang bagaikan daun kering diterbangkan angin. Sementara monyet raksasa itu sendiri, tak bergeming sama sekali.
Setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak dan terbanting keras di atas tanah, Arya bangkit berdiri dengan susah payah. Getaran yang timbul akibat benturan itu, membuat dadanya sesak bukan main. Meskipun demikian, pemuda itu merasa gembira karena, Darsakala berhasil diselamatkannya.
Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir rasa sesak di dada agar tak menyebabkan terjadinya luka dalam. Hanya sebentar hal itu dilaku-kannya, kemampuannya pun pulih kembali. Dan dia segera melesat kembali ke dalam kancah pertarungan membantu Darsakala yang sudah mulai terdesak.
Untuk pertama kalinya terjadi, seekor binatang di-keroyok oleh dua tokoh besar dunia persilatan. Dan yang mengherankan, binatang itu sama sekali tak terdesak! Malah, Dewa Arak dan Darsakala yang dibuat pontang-panting ke sana kemari untuk menyela-matkan nyawanya.
Untungnya, walau tak pernah bertarung bersama-sama menghadapi lawan, Dewa Arak dan Darsakala mampu bekerja sama secara baik. Kerja sama untuk saling memperdahsyat serangan dan memperkuat pertahanan. Dan, berkat pengalaman mereka masing-masing, kedua tokoh itu memutuskan untuk menitik-beratkan pada pertahanan agar pertarungan berlangsung lama.
Jurus demi jurus sudah berlangsung dengan cepat. Dan sekarang pertarungan sudah berlangsung seratus lima puluh jurus lebih. Selama itu tak terhitung sudah Dewa Arak maupun Darsakala terpental dan terguling
akibat benturan tangan atau kaki si monyet besar. Namun demikian, serangan kedua tokoh ini pun beberapa kali mengenai berbagai bagian tubuh lawannya. Tapi, makhluk yang mengerikan itu ternyata tak terpengaruh sama sekali.
Bunyi mencicit, menderu dan mengaung mengiringi jalannya pertarungan itu. Belum lagi ditambah dengan suara-suara berupa gerengan dan geraman dari mulut si monyet besar. Keriuhan yang terjadi membuat tem-pat itu bagai dilanda badai, porak poranda.
Semakin bertambah jumlah jurus pertarungan, monyet raksasa tampak semakin kalap. Serangan-serangannya semakin dahsyat dan mengerikan, karena malam semakin mendekati dini hari! Dengan nalu-rinya, binatang itu tahu kalau keadaan sudah memba-hayakan dirinya.
Di lain pihak, Arya dan Darsakala yang memang bermaksud mengulur-ulur waktu hingga terbit matahari, semakin berbesar hati. Kelelahan yang mendera seperti lenyap begitu saja apalagi ketika di ufuk timur sana tampak bias kemerahan mulai tampak.
"Arrrggghhh...!"
Monyet raksasa meraung keras bagaikan hendak mengguncangkan isi bumi. Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Arya dan Darsakala sendiri sampai ja-tuh, dan berdiri dengan mempergunakan kedua lutut-nya.
Sang surya muncul di kaki langit sebelah timur dan memancarkan sinarnya yang lembut. Sinar yang membuat monyet besar meraung-raung dan menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Semua kejadian itu disaksikan oleh Arya, Darsakala, si Tongkat Halilintar, dan Abiyasa dengan penuh perasaan ngeri.
Diiringi bunyi berdebuk keras tubuh monyet besar itu jatuh ke tanah. Sesaat kemudian, terjadi perubahan pada wajah dan sebelah tangannya bagian kanan. Menjadi wajah dan tangan manusia!
Hampir berbarengan keempat orang itu melesat menghampiri. Mereka semua ingin tahu orang yang telah menjadi monyet jejadian itu. Jantung mereka masing-masing dirasakan berdetak jauh lebih cepat karena perasaan tegang untuk mengetahui orang yang berada di balik semua kejadian mengerikan ini.
Tapi, ketika melihat wajah yang berada di atas tubuh monyet besar itu, Darsakala mengeluarkan seruan heran. Arya menatap Abiyasa. Dan dilihatnya pada wajah lelaki itu tak tampak perasaan apa pun, kecuali senyum kemenangan yang ditujukan pada Darsakala.
"Masih tak percayakah kau kalau kukatakan guruku sudah meninggal?!" ejek Abiyasa penuh perasaan menang.
Semua yang berada di situ tahu, manusia bertubuh monyet itu belum mati. Tapi mereka pun sadar kalau binatang jejadian itu tak mampu berbuat apa pun lagi. Makhluk itu sudah sekarat dan hanya tinggal menunggu ajal saja!
"Bisma.... Bisma...! Apa yang terjadi...?! Mengapa kau bisa jadi begini...?! Mengapa, Anakku...?!"
Ratapan yang keluar dari mulut si Tongkat Halilintar secara tiba-tiba membuat Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala terjingkat bagaikan mendengar bunyi halilintar di dekat situ. Dengan mata membelalak lebar dan mulut keluar karena kaget, ketiga orang itu menatap si Tongkat Halilintar.
"Maafkan aku, Ayah," sahut monyet berkepala manusia yang bernama Bisma, terbata-bata dan lirih. "Aku terpaksa melakukan hal ini agar Nawang Wulan kembali menjadi perawan dan sembuh dari penyakitnya...."
"Dari mana kau tahu tempat ini?!" tanya si Tongkat Halilintar dengan wajah, suara, dan sorot mata menyiratkan kedukaan yang besar.
"Empu Jangkar Bumi, Ayah. Tapi, beliau menjadi sakti tanpa ada masalah sepertiku karena berhasil lulus dalam ujian-ujian mengerikan ketika bertapa. Dia meninggal sebagaimana manusia umumnya. Aku sial, Ayah. Aku gagal dalam ujian ketika bertapa."
"Mengapa kau lakukan hal bodoh seperti ini, Bisma?!" tanya Tongkat Halilintar, setengah mengeluh. Suaranya terdengar parau. "Apakah Empu Jangkar Bumi yang menyuruhmu?!" tanya Tongkat Halilintar.
"Tidak, Ayah! Bahkan beliau berusaha melarangku. Tapi, aku bersikeras! Aku mencintai Nawang Wulan, Ayah. Aku ingin mengawininya."
Napas Bisma mulai tersengal-sengal. Ucapannya pun mulai terbata-bata, pelan dan hampir tak terden-gar. Tongkat Halilintar menatapnya dengan wajah se-pucat mayat! Lelaki itu tahu, ajal putranya sudah de-kat
"Empu Jangkar Bumi mengingatkan ku akan akibat mengerikan yang akan menimpa ku, Ayah. Tapi, aku tetap bersikeras. Kekhawatirannya ternyata benar! Aku gagal, dan berubah menjadi makhluk seperti ini! Akal sehatku pun hampir sepenuhnya hilang, berganti dengan keinginan membunuh seperti seekor binatang buas yang haus darah!" Bisma terdiam sejenak mena-han sakit di sekujur tubuhnya. Lalu dengan terbata-bata dia melanjutkan lagi. "Aku hampir putus asa, Ayah. Tapi, penunggu pohon ini mengatakan aku akan kembali menjadi manusia, dan Nawang Wulan akan sembuh dari penyakitnya, asal memenuhi persyaratannya. Kalau saja akal sehatku dapat bekerja dengan baik, tak akan ku penuhi syarat ini. Akan kucari cara lainnya.
Syarat itu terlalu mengerikan, Ayah. Aku harus mempersambahkan seorang wanita dan tiga belas jantung manusia. Maka, kupersembahkan Nyi Jemba-wati. Menurut penunggu pohon itu, setelah upacara persembahan ini Nawang Wulan akan menjadi perawan kembali dan sembuh dari penyakit gilanya. Dan, aku kembali menjadi manusia serta sakti. Tapi... akh...!"
"Bisma...!" seru si Tongkat Halilintar, kaget bercampur pilu. Dan, karena guncangan batinnya yang demikian besar, lelaki ini jatuh pingsan!
Dewa Arak, Abiyasa, dan Darsakala saling berpan-dangan melihat hasil akhir dari peristiwa berdarah itu. Tanpa bicara apa pun, Darsakala meninggalkan tem-pat itu diikuti Dewa Arak. Sementara Abiyasa meng-hampiri Jembawati dan Nawang Wulan yang masih tak sadarkan diri.
Angin berhembus pelan, seakan ikut merasa berduka dengan apa yang tengah terjadi. Sang surya pun mulai meredup sinarnya ketika kelompok awan gelap yang ditiup angin menutupi sinarnya. Alam seperti ikut berduka.
SELESAI
INDEX AJI SAKA | |
94.Pendekar Gunung Bromo --oo0oo-- 96.Malaikat Tanpa Wajah |