INDEX MIMBA PURANA | |
Dewi Tangan Jerangkong --oo0oo-- Sri Maharaja ke Delapan |
Satria Lonceng Dewa
Karya : Bastian Tito
MAHLUK ANEH MELINTAS DI MALAM DINGIN
Desa Gentasari yang terletak di pedataran subur di sisi utara Kali Oyo masih tenggelam dalam kegelapan malam serta udara luar biasa dingin karena sore sebelumnya hujan turun sangat tebal. Kesunyian yang menyelimuti desa dipecah oleh suara roda gerobak ditarik seekor kuda coklat besar. Walau kuda penarik gerobak sudah lari kencang seperti dikejar hantu di jalan yang becek namun pemuda yang menjadi sais masih saja terus menghujani punggung binatang itu dengan cemeti di tangan kiri sementara tangan kanan memegang tali les kuda kencang-kencang.
Dari kejauhan gerobak tampak seperti kosong, tidak ada barang tidak ada penumpang. Namun di lantai gerobak saat itu terkapar dua sosok mayat Keduanya laki-laki berusia muda. Kepala dan tubuh mereka utuh, tidak tampak ada bekas luka atau pukulan, juga tidak ada noda darah. Namun sepasang mata mereka kelihatan membeliak besar seperti mau berlompatan dari rongganya. Agaknya sebelum menemui ajal kedua orang Ini telah melihat sesuatu yang sangat menakutkan!
Di depan sebuah rumah besar berpekarangan luas, sais hentikan gerobak. Sebelum dia melompat turun, pintu depan rumah besar terbuka lebar. Seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar, mendatangi dengan cepat. Walau wajah garang berkumis tebal dan berjanggut lebat namun air mukanya tampak letih karena kurang tidur sejak dua malam yang lalu.
Wanadhaya pemuda sais gerobak melompat turun. Sebelum dftanya dia sudah jatuhkan diri di hadapan lelaki yang barusan keluar dari rumah. Walau suara terbata-bata karena nafas mengengah, dia cepat berkata.
"Bapak Kepala Desa, Ki Joran Dhamakara, saya.... saya berhasil menemukan mereka. Tapi" Si pemuda tidak meneruskan ucapan. Dia berpaling ke arah gerobak.
Ki Joran Dhamakara yang adalah Kepala Desa Gentasari segera menghampiri gerobak. Memandang ke dalam dan melihat dua mayat pemuda yang tergeletak di lantai gerobak wajah kuyunya berubah tegang membesi. Setelah menarik nafas dalam dia berucap perlahan.
"Dewa Bathara Agung.... Aku sudah menduga Kepala Desa Ini ulurkan tangan, singkap baju yang dikenakan dua pemuda yang telah menjadi mayat. Pada masing-masing dada mayat dia melihat jelas tanda kebiru-biruan berbentuk ladam atau tapal kuda.
"Kematian dua pemuda ini sama dengan dua pemuda terdahulu. Ada tanda ladam kuda di dada....Apakah benar-benar seekor kuda yang telah membunuh mereka? Akalku tidak bisa menerima... Tapi banyak orang mengatakan mendengar suara itu. Suara ringkik kuda...."
"Ki Joran, apa yang harus kita lakukan...? “bertanya Wanadhaya.
"Bangunkan tetangga. Jenasah dua pemuda ini harus diurus malam Ini juga. Paling lambat pada fajar menyingsing keduanya bisa diperabukan. Jangan lupa memberi tahu kejadian Ini pada kedua orang tua mereka."
Wanadhaya segera hendak beranjak dari tempat itu. Namun bahunya dipegang oleh Kepala Desa.
"Wanadhaya, dua pemuda sahabatmu ini, apakah mayatnya kau temukan di tempat yang sama dengan dua mayat yang ditemukan penduduk sebelumnya?"
"Benar sekail Ki Joran "
"Benar sekali apa?"
"Sa...saya menemukan mereka tak jauh dari Lembah Hantu...."
"Lembah Hantu" Ki Joran Dhamakara berucap perlahan. "Bagaimana lembah itu tiba-tiba saja di beri nama Lembah Hantu. Ada berita tersebar kalau di situ kini ada penghuni seorang sakti yang konon siap menurunkan ilmu kepandaian kepada siapa saja yang bisa menemuinya, terutama para pemuda. Anehnya hampir setiap malam dari arah lembah terdengar suara kuda meringkik. Para pemuda pemberani mendatangi lembah untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Yang mereka dapatkan justru kematianl Sembilan pemuda pergi ke lembah. Hanya empat yang kembali. Itulah dalam keadaan mati. Lalu kemana mereka yang berlima..."
Kepala Desa berpaling pada Wanadhaya, pemuda yang tegak di sampingnya.
"Sebelum kau pergi, siapkan kudaku...."
"Bapak Kepala Desa mau pergi kemana?" tanya Wanadhaya.
"Sudah empat penduduk desa menemui ajal. Lima orang tidak diketahui nasib keadaannya. Apakah aku hanya akan berpangku tangan? Saatnya aku melakukan sesuatu."
"Maksud Ki Joran. mau pergi ke Lembah Hantu..."
"Apapun namanya aku harus pergi ke sana. Siapkan saja kudaku. Jangan banyak tanya lagi!" jawab Kepala Desa Gentasarl lalu masuk ke dalam rumah.
Ketika Wanadhaya kembali ke halaman depan membawa seekor kuda hitam besar. Ki Joran sudah menunggu. Kini dia mengenakan pakaian ringkas warna kelabu. Sebilah keris bersarung perak terselip di pinggang. Di tangan kanan Kepala Desa Ini memegang sebatang tombak yang ujung lancipnya dilapis perak murni. Dalam kegelapan malam ujung tombak tampak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak memancarkan cahaya terang. Pada bagian bawah mata tombak terdapat ukiran berbentuk naga bergelung. Inilah salah satu senjata sakti milik Ki Joran Dhamakara yang konon bernama Naga Sungkem. DI leher Kepala Desa tergantung sebuah kalung kain hitam tebal berbentuk empat persegi.
"Ki Joran...." berkata Wanadhaya. "Kalau Ki Joran hendak ke Lembah Hantu, sebaiknya jangan sendirian.."
"Kau hendak menemaniku?" tanya Kepala Desa. Wajah si pemuda langsung pucat Dia susun sepuluh jati di atas kepala seraya berkata. "Kalau disuruh ke sana lagi, saya minta ampun. Tapi saya bisa memanggil beberapa orang teman untuk menemani Ki Joran:.."
"Tidak ada gunanya." Kata Kepala Desa pula.
"Dengar baik-baik. Kalau sampai tengah hari besok aku tidak kembali ke desa Ini, berarti aku sudah menemui ajal. Cari mayatku di dalam lembah...."
Ucapan Kepala Desa terputus. Tiba-tiba terdengar suara meringkik disertai derap kaki kuda mendatangi. Ki Joran Dhamakara dan Wanadhaya terkejut. Keduanya segera palingkan kepala. Cepat sekali. hanya sekilas dan itupun nyaris menyerupai bayangbayang, di hadapan mereka bergemuruh lewat mahluk aneh. Dalam sekejapan mata mahluk itu telah lenyap. Wanadhaya usap tengkuknya yang terasa dingin. Ki Joran masih kelihatan tenang walau dadanya
berdebarkencang.
..... "Ki..Ki Joran....Mahluk apa yang barusan lewat...?" bertanya Wanadhaya sementara mata masih menatap tak berkesip ke arah lenyapnya mahluk-mahluk bayangan tadi, kuduk masih merinding.
"Tak dapat dipastikan. Aku hanya melihat sekilas. Jumlah mereka mungkin lebih dari sepuluh. Hantu lembah atau mahluk jejadian apa. Kalau benarbenar kuda mengapa tubuh mereka tegak seperti manusia Kalau manusia mengapa berkepala dan meringkik seperti kuda."
Wanadhaya memandang ke tanah lalu berkata.
"Aneh...mengapa di tanah tidak ada bekas jejak kaki mereka? Padahal tanah dalam keadaan becek. Tadi jelas sekali terdengar suara kaki seperti tapal kuda mendera tanah yang mereka lewati..."
"Ini keanehan yang harus aku selidiki," sahut Kepala Desa. "Yang disebut Lembah Hantu jauh dari sini. Jika mahluk-mahluk Itu sudah gentayangan sampai ke sini berarti mereka mencari sesuatu. Berarti bahaya sudah semakin meluas mengancam penduduk. Wanadhaya, lakukan tugas yang aku berikan padamu..." Lalu tanpa bicara lebih banyak Ki Joran Dhamakara melompat ke atas punggung kuda. Sesaat kemudian sosok Kepala Desa Qentasari ini bersama kuda tunggangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.
2.
MAHLUK "TUMAN KEKU”
Kawasan sepanjang utara Kail Oyo merupakan
daerah subur. Di sana terdapat beberapa buah lembah
dengan kemiringan sangat cukup tajam, nyaris
membentuk jurang lebar hingga tidak ada penduduk
yang mau bercocok tanam disitu. Salah satu lembah
yang paling besar terletak di bagian tengah di utara
Dlingo, sekitar selengah hari perjalanan dari Desa
Gentasari. Inilah yang oleh penduduk sekitar
kawasan Itu disebut-sebut sebagai Lembah Hantu. Di
masa lalu masih ada penduduk yang melintas atau
turun ke dalam lembah Namun sejak diketahui adanya
peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di tempat itu,
kini tidak seorangpun berani mendekat Konon pada
malam hari sering terdengar suara ringkikan kuda
Selain itu pada slang hari, kerap kali terlihat
serombongan mahluk aneh berkelebat cepat, keluar
atau masuk ke dalam lalu lenyap begitu saja dengan
meninggalkan suara derap kaki kuda di kejauhan.
Karena tahu jalan memintas dan memacu kuda
sekencang yang bisa dilakukannya, jauh sebelum
sang surya terbit di timur Ki Joran Dhamakara telah
sampai di bibir lembah sebelah selatan. Dalam
kegelapan yang masih menghitam dia nyaris tidak
melihat apa-apa selain deretan pepohonan serta
semak belukar lebat Namun Kepala Desa yang
memiliki Ilmu kesaktian cukup tinggi ini selagi di atas
punggung kuda sudah mampu merasakan bahwa di
sekitar lembah ada sesuatu. Sesuatu yang bernyawa
dan bernafas seperti dirinya. Banyak sekali. Tetapi
belum tentu bisa dikatakan sebagai manusia.
Setelah merapal doa keselamatan, menggosokkan
jimat kain hitam di atas kening dan memegang tombak
Naga Sungkem erat-erat di tangan kanan, Ki Joran
Dhamakara memandang sekali lagi berkeliling. Gelap,
sunyi dan dingin.
Perlahan-lahan Kepala Desa Gentasari ini tundukkan
kepala, mulut didekatkan ke kuda hitam
tunggangannya lalu berbisik.
"Bayu Ireng, meringkiklah tiga kali. Jika kita
mendapat sahutan berarti lembah ini memang ada
penghuninya...." Selesai mengeluarkan ucapan Ki Joran Dhamakara usap tengkuk kuda hitam dengan
tangan kiri sambil merapal mantera. Lalu dengan
tangan yang sama dia menepuk pinggul binatang Itu.
"Sekarang Bayul Meringkiklah!"
Mendengar ucapan sang majikan serta tepukan
pada pinggul, seolah mengerti apa yang diperintahkan
kuda hitam besar itu lalu dongakkan kepala dan
meringkik tiga kali berturut-turut.
Tidak menunggu lama tiba-tiba dari dasar lembah
sebelah timur terdengar sahutan ringkik kuda, hanya
dua kali. Suara ringkikan ke tiga mendadak lenyap
seolah mahluk yang meringkik dicekik atau ditabas
batang lehernya!
"Arah timur. Kira-kira dua ratus tombak dari sini...
Bayul Cepat!"
Kuda hitam kibaskan ekor lalu berputar dan lari
dengan sebat ke arah timur.
DI DASAR lembah sebelah timur dari atas
sebatang pohon besar melesat turun seorang
berpakaian putih. Gerakan luar biasa enteng, pakaian
yang diterpa angin tidak mengeluarkan suara. Begitu
juga ketika dua kakinya menginjak tanah. Dua kaki
ini, Ternyata bukan berbentuk kaki manusia,
melainkan merupakan kaki kuda lengkap dengan
ladam besinya, berbulu putih, dan di sebelah atas,
mulai dari pangkal leher orang ini memiliki kepala
menyerupai kuda berbulu putih. Yang hebatnya, di
tangan kanan mahluk bertubuh manusia kepala dan
kaki kuda ini memegang sebilah golok besar
berlumuran darah.
Setelah lari cukup jauh orang Ini sampai dihadapan
dua pohon besar. Dia langsung menyelinap diantara
dua batang pohon. Golok berdarah diselipkan ke
pinggang. Tangan kiri kanan memegang pohon lalu
menekan. Terdengar suara siuran angin halus.
Tanah yang diinjak sepasang kaki kuda orang itu
bergerak turun. Sesaat kemudian mahluk bertubuh
manusia berkaki dan berkepala kuda lenyap seperti
ditelan bumi.
Tak selang berapa lama, jauh di dasar lembah
yang oleh penduduk disebut sebagal Lembah Hantu
mahluk berpakaian putih berkepala kuda berbulu
coklat tadi sampai ke sebuah pedataran luas. Di sini
terlihat satu pemandangan hebat! Lima puluh sosok
manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih
tegak lurus dalam dua barisan memanjang. Tidak
satupun yang bergerak atau bersuara, bahkan
sepasang mata menatap lurus ke depan, tidak
berkedip barang satu kallpunl Namun ketika orang
berpakaian putih muncul di ujung pedataran sebelah
barat dan melangkah cepat melewati mereka, ke lima
puluh manusia berkepala kuda Ini serentak samasama tundukkan kepala. Setelah orang tadi lewat baru
mahluk-mahluk itu kembali luruskan kepala masingmasing seperti dia.
Sampai di ujung pedataran sebelah timur orang
berkepala kuda putih berlutut lalu bersujud dan
menyentuhkan kening tiga kali ke tanah. Pada kail ke
tiga kening tetap ditempel di tanah dan baru bangkit
berdiri ketika ada kilauan cahaya tiga warna
memancar dari dalam tanah.
“Kanjeng Panglima, saya Abdika Brathama datang
membawa berita buruk...."
Cahaya tiga warna bergerak ke kiri dan ke kanan.
Lalu ada suara gema jawaban, datang dari dalam
tanah.
"Abdika Brathama, ceritakan berita buruk apa
yang kau bawa"
"Ada penyusup memasuki Lembah Hantu dari
arah selatan. Dia berhasil memancing keberadaan kita
dengan menyuruh kudanya meringkik. Ringkikan telah
dibalas oleh Ceti Kanwa, kuda coklat pengiring
saya...."
"Ceti Kanwa berasal dari orang berkepandaian
cukup tinggi. Tidak mungkin dia bisa terpengaruh
suara dari luar...."
"Saya kira ada orang berkepandaian lebih tinggi
dari Ceti Kanwa menerapkan Ilmu kesaktian. Besar
kemungkinan dia adalah pemilik kuda yang meringkik
di lembah arah selatan. Ceti Kanwa mungkin tidak
sengaja balas meringkik karena menyangka kawan
sendiri..."
"Sengaja atau tidak sengaja kesalahan telah terjadi.
Orang luar telah mengetahui keberadaan kita.
Tindakan apa yang telah kau lakukan Abdika
Brathama?" Suara di dalam tanah bertanya dan
cahaya tiga warna berkilau lebih terang.
"Saya telah menjagal kepala Ceti Kanwa hingga
putus!" Menjawab mahluk berkepala kuda putih yang
menyebut diri Abdika Brathama.
"Bagusi Setiap kesalahan ada hukumnya. Siapa yang
salah wajib dihukum. Tapi Ingin bukti! Tunjukkan
bukti!"
Abdika Brathama cabut golok besar yang terselip
di pinggang. Golok yang masih berlumuran darah itu
diletakkan di tanah. Sesaat kemudian cahaya tiga
warna kembali bergerak dan dari dalam tanah
terdengar suara.
"Abdika Brathama, golok berdarah tidak
membuktikan apa-apa. Perlihatkan padaku secara
gaib apa yang telah kau lakukan. Jika kau berdusta
maka golok itu akan kupakai memenggal kepalamu!
Aku punya tanggung Jawab besar yang harus aku
berikan pada Junjungan!"
"Mohon izinmu kanjeng Panglima," kata Abdika
Brathama.
Setelah membungkuk dalam-dalam lalu manusia
berkepala dan berkaki kuda berbulu putih Ini membuat
gerakan-gerakan silat. Gerakannya luar biasa enteng
dan cepat Dua kaki yang dilapisi ladam besi sama
sekali tidak mengeluarkan suara walau berulang kali
menghentak tanah pedataran hingga debu mengepul.
Setelah tiga jurus berlalu dia berhenti, menarik nafas
dalam. Bersamaan dengan melepas nafas dia
bentangkan dua tangan ke sisi kiri dan kanan.
Saat itu juga muncul asap kelabu, bergelung
keluar dari tanah. Asap ini berlahan-lahan berubah
membentuk sosok seekor kepala kuda berwarna
coklat, bersambung dengan tubuh manusia berjubah
hitam yang kemudian berakhir pada sepasang kaki
berupa kaki kuda lengkap dengan tapal besi. Inilah
Ceti Kanwa. mahluk seperti Abdi Brathama, tubuh
manusia tapi kepala dan kaki berujud kuda. Selama
Ini Ceti Kanwa selalu menyertai kemana Abdika
Brathama pergi.
DI saat yang bersamaan, muncul pula kepulan
asap kedua berwarna putih yang kemudian berbentuk
ujud sosok Abdika Brathama.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda tiga kali.
Mendengar suara ringkikan ini Ceti Kanwa, manusia
kuda berbulu coklat dongakkan kepala, siap
membalas ringkikan.
Sosok asap Abdika Brathama berteriak memberi
ingat
"Ceti Kanwal Jangan dibalas ringkikan itu!"
Tapi terlambat.
Dari tenggorokan Ceti Kanwa telah melesat keluar
dua kail ringkikan. Ketika dia hendak meringkik yang
ke tiga kali, sosok gaib Abdika Brathama segera
mencabut golok besar dan langsung membabat putus
leher Ceti Kanwa.
Abdika Brathama yang tegak di pedataran, mainkan
kembali tiga jurus Ilmu silat aneh. Perlahan-lahan
kepulan asap lenyap. Sosok Ceti Kanwa dan Abdika
Brathama ikut sirna.
"Kanjeng Panglima, begitulah kira-kira kejadiannya," kata Abdika Brathama.
"Bagusi Aku sudah melihat kenyataan. Aku sudah
melihat bukti!" Suara dari alam tanah berucap.
"Terima kasih Kanjeng Panglima mempercayai
saya..."
"Tapi menerima bukti dan melihat kenyataan
belum berarti aku mempercayai dirimu. Ada yang
Ingin aku tanyakan. Setelah semua Ini terjadi apa
yang akan kau lakukan?"
Abdi Brathama terdiam sesaat baru menjawab.
"Saya mengerti maksud Kanjeng Panglima. Saya
akan menghadap penyusup itu sebelum dia menemukan tempat ini dan membunuhnya. Kecuali
Kanjeng Panglima berkehendak lain...."
"Si penyusup, apakah kau mengenal siapa dia
adanya?" tanya suara dari dalam tanah sementara
cahaya tiga warna kembali bergerak-gerak.
"Saya mengenal sekail Kanjeng Panglima.
Namanya Joran Dhamakara. Dia Kepala Desa
Gentasari...."
"Apakah dia memiliki ilmu kepandaian dan
kesaktian?"
"Setahu saya ilmu silatnya cukup tinggi.
Kesaktiannya lumayan. Selain itu dia membekal tiga
benda bertuah..."
"Ceritakan padaku mengenai tiga benda bertuah
itu"
"Yang pertama sebuah jimat, dibungkus kain
hitam persegi empat dikalung di leher. Benda kedua,
sebilah keris bersarung perak. Yang ketiga sebatang
tombak bermata perak murni bernama Naga Sungkem."
"Apakah Kepala Desa Itu berasal dari selatan atau
utara?"
"Selama puluhan tahun dia tinggal di wilayah
selatan. Hubungannya dengan Kerajaan di utara tidak
terialu dekat.."
"Kalau begitu orang tersebut Jangan dibunuh.
Kita akan memasukkannya ke dalam jajaran Balatentara Mataram Baru. Jimat di dalam kain dan keris
berurung perak tidak ada manfaatnya, harus kau
musnahkan. Tapi tombak Naga Sungkem harus kau
rampas dan serahkan padaku sebelum sang surya
mencapai titik tertingginya, hari ini!"
"Ucapan Kanjeng Panglima saya dengar. Perintah
segera saya jalankan! Satu hal perlu saya beritahukan.
Ki Joran Dhamakara memiliki seekor kuda hitam
bernama Bayu Ireng..."
"Aku tahu maksudmu. Jadikan dia mahluk Tuman
Keku. Satukan sang kuda dan majikannya!"
(Tuman Keku = Tubuh Manusia Kepala dan Kaki Kuda)
"Akan saya laksanakan Kanjeng Panglima.
Namun saya ada satu pertanyaan. Apakah dia akan
diberi kemampuan bicara atau bisu seribu bahasa
seperti Tuman Keku yang lain-lainnya?"
"Berikan dia kemampuan bicara. Tapi dia hanya
bisa bicara jika kita tanya dan perintah. Lain dari Itu
dia tetap mahluk bisu seribu bahasa."
"Terima kasih Kanjeng Panglima, Perintah akan
segera saya laksanakan."
Abdika Brathama lalu bersujud dan sentuhkan
kening tiga kali ke tanah. Saat itu juga cahaya tiga
warna lenyap dari pemandangan. Pembantu Utama
mahluk yang disebut Kanjeng Panglima Ini ambil
golok yang tergeletak di tanah lalu cepat-cepat
tinggalkan tempat itu.
3.
KERAJAAN MATARAM BARU
HANYA beberapa saat setelah Abdika Brathama
meninggalkan pedataran rahasia di bawah dasar
Lembah hantu tiba-tiba terdengar suara deburan
ombak serta tiupan angin kencang. Lima puluh mahluk
berkepala dan berkaki kuda yang ada di pendataran
langsung berlutut lalu bersujud di tanah.
Di satu tempat dari mana tadi suara Kanjeng
Panglima keluar dari tanah terdengar suara berat
menggema yang menggetarkan tanah pedataran.
Maka terjadilah pembicaraan antara dua mahluk yang
tidak kelihatan ujud masing-masing. esekali ada
cahaya tiga wama merah, biru dan hitam memancar
dari dalam tanah.
"Panglima Pawang Sela, aku perintahkan agar
kau segera datang ke tempatku...."
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. saya
mendengar suaramu. Saya menghaturkan sembah dan
sujud dan saya akan segera menghadap Junjungan
saat ini juga...."
"Aku punya firasat kita belum tentu akan berhasil
mendapatkan dua bayi begitu mereka dilahirkan
secara gaib. Berarti kita hanya punya waktu enam
purnama lagi sebelum dua bayi mencapai usia tujuh
bulan. Mereka bukan bayi-bayi biasa. Pada usia tujuh
bulan keduanya akan sama dengan anak seusia tujuh
tahun. Sebelum hal itu terjadi, kau harus sudah
mendapatkan tujuh puluh satu Tuman Keku. Jumlah
yang disyaratkan untuk melakukan serangan pertama
ke utara Dua bayi itu harus dibunuh. Kalau tidak usaha
selanjutnya untuk meruntuhkan Kerajaan Mataram
dan mendirikan Mataram baru akan mengalami lebih
banyak kendala dan kesulitan. Kau dengar kata-kataku
Panglima Pawang Sela...?"
"Saya dengar Junjungan."
"Kau mengerti?!"
"Saya mengerti Junjungan Yang dengan segala
hormat saya sebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan."
"Baik. aku tunggu kedatanganmu di lapis ketiga
dasar Lembah Hantu."
Terdengar kembali suara deru ombak dan tiupan
angin kencang. Lalu lenyap dan sepi. Lima puluh
manusia berkepala dan berkaki kuda yang ada di
pedataran secara bersamaan berdiri kembali.
Ki Joran Dhamakara hentikan kuda di lereng
lembah yang terjal lalu melompat turun.!
"Bayu Ireng...." kata Kepala Desa Gentasari ini
sambil mengusap tengkuk kuda hitam. "Menuruni
lembah terjal dan licin akan sangat sulit bagimu. Aku
akan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kau
kembalilah ke desa. Tak usah menunggu...."
Kuda hitam menjilati tangan majikannya tapi
sampai Ki Joran Dhamakara beranjak pergi binatang
Ini masih tetap berdiri di tempat itu. Kuda yang sangat
setia pada majikannya itu kemudian ternyata tanpa
diketahui Ki Joran Dhamakara diam-diam mengikuti
dari belakang.
Mencapai dasar lembah Kepala Desa berhenti
sejenak. Saat itu mulai terang-terang tanah karena tak
lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sambil
memegang jimat di tangan kiri dan tombak Naga
Sungkem di tangan kanan lelaki Itu berkata.
"Naga Sungkem, aku merasakan ada mahluk lain
di sekitar sini. Beri petunjuk padaku..."
Ki Joran Dhamakara memandang berkeliling,
memperhatikan ke atas pohon-pohon besar di
sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa. Tiba-tiba
tombak sakti di tangan bergetar. Mata tombak yang
terbuat dari perak mumi mengeluarkan cahaya
berpijar. Tanpa dapat dicegah tombak itu terlepas dari
tangan Kepala Desa lalu melesat sejauh tiga puluh
langkah untuk kemudian menancap di tanah antara
dua batang pohon besar.
"Bagus, tombak Naga Sungkem berhasil
menemukan arah sumber suara ringkikan kuda tadi.
Dewa Agung, tolong saya menemukan sumber
malapetaka. Beri saya kekuatan untuk menumpas
semua angkara murka di Bhumi Mataram ini" Ki Joran
Dhamakara memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.
Dengan cepat Kepala Desa Gentasari Ini kemudian
berlari ke arah dua pohon dimana tombak sakti Naga
Sungkem menancap di tanah, tiba-tiba ada satu
bayangan putih melesat disertai suara orang berseru
memerintah.
"Joran Dhamakaral Cukup langkahmu sampai di
situl Berhentil Jangan berani bergerak sebelum aku
memberi ijin"
Dalam keterkejutan dan juga ada rasa jengkel,
Kepala Desa Gentasari hentikan langkah. Memandang
ke depan, ke arah celah dua pohon besar kaget orang
Ini jadi bertambah-tambah. Di depan sana berdiri satu
sosok berpakaian putih. Sepasang mata Ki Joran
mendelik terbeliak.
"Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...?
membatin Ki Joran Dhamakara. "Tubuh manusia,
bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti
kuda. Berbulu putih... Astagal Mahluk aneh ini telah
mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah. Seperti
dia Ingin menguasai senjata sakti itu !"
Tidak peduli peringatan orang Ki Joran
Dhamakara melangkah maju sambil berteriak.
"Kembalikan tombakku!"
Mahluk diantara celah dua pohon tertawa. Suara
tawanya aneh. Antara tawa manusia dan ringkikan
halus kuda.
"Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu,
berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada
penguasa Lembah Hantui Termasuk nyawanya.
Apalagi Cuma sebatang tombak butut begini.
Ha..ha...ha!"
"Kurang ajar, siapa penguasa Lembah Hantu?
Katakan padakul Jangan berani menghina senjata
pusaka milikku. Mahluk salah bentuk. Kau sendiri
siapa? "
"Namaku Abdika Brathama. Aku mewakili
Penguasa Lembah Hantu. Dan aku tidak akan
mengembalikan tombak ini padamu."
"Mahluk salah kaprah! Kau pasti mahluk kutukan
Dewal Mewakili Penguasa Lembah Hantu katamu!
puah!" Ki Joran meludah ke tanah. "Bagiku kau tidak
lebih dari seorang penyamun bertopeng dan berkaki
palsu! Topeng kuda kaki kuda!"
Abdika Brathama tertawa tergelak-gelak.
'Tanggalkan topeng keparat itu atau topeng akan
aku buat melesat menjadi satu dengan batok kepala
dan wajahmu!"
"Joran Dhamakara, Kepala Desa Gentasari. Aku
sudah tahu. Aku sudah mengukur sampai dimana
ilmu kepandaian dan kesaktianmul Berserah dirilah
secara pasrah maka kau akan aku beri kedudukan
cukup tinggi sebagai anggota Pasukan Kerajaan
Mataram Baru yang ke lima puluh satu...."
"Mahluk celaka Ini tahu seluk beluk diriku..." ucap Ki Joran Dhamakara dalam hati.
"Joran Dhamakara, kebetulan sekali kuda hitam
tungganganmu bernama Bayu Irong menyusul ke sini
hingga aku tidak susah-susah mencari pasangan
dirimu..."
Kepala Desa Gentasari itu terkejut Menoleh ke
belakang dia melihat Bayu Ireng, kuda yang
ditinggalkannya di lereng lembah sudah berada di
tempat itu. Bintang ini tampak gelisah. Ekor dikipas
tiada henti sementara kepala tidak bisa diam, selalu
bergerak ke kiri atau ke kanan, sesekali menyusup ke
bawah atau mendongak ke atas.
"Sesuatu akan terjadi. Ada bahaya besar
mengancam. Bukan cuma diriku, tapi juga kuda ini.
Bayu Ireng berusaha memberi tahu padaku dengan
semua gerakannya Itu..."
"Abdika Brathama, slapapun kau adanya. setan
atau mahluk jejadian. Kau mengaku mewakili
Penguasa Lembah Hantu. Berarti kau bertanggung
jawab atae kematian empat pemuda desa serta
lenyapnya lima pemuda lainnya!"
"Kau Kepala Desa yang baik. Tahu berapa jumlah
warga yang mati dan yang lenyapl Ditambah dengan
ilmu kepandaian yang kau miliki, serta tombak Naga
Sungkem yang kini menjadi milikku maka kau
memang pantas dijadikan anggota utama Pasukan
Kerajaan Mataram Baru..."
"Persetan dengan segala ucapanmu! Kembalikan
tombak itu atau kau akan..."
"Joran Dhamakara, kau inginkan tombak Ini?
Jika kau memang keliwat memaksa ambillah!"
Mahluk Tuman Keku Abdika Brathama ulurkan
tombak Naga Sungkem. Ki Joran tidak segera
mengambil karena melihat mata tombak berkilau
mengeluarkan sinar berpijar pertanda orang telah
mengalirkan tenaga dalam ke senjata sakti itu. Dan
benar saja Tiba-tiba mahluk berkepala kuda putih itu
membuat gerakan menusuk ke arah dada Begitu yang
diserang mengelak melesat serangan susulan berupa
gebukan ke arah kepala.
"Traaangg."
Terdengar suara berdentrangan ketika tombak
menghantam batok kepala Ki Joran Dhamakara.
Abdika Brathama terkejut Dia menggebuk sekail lagi
dengan mengerahkan tambahan tanaga dalam.
Kembali terdengar suara berdentrang. Walau kail Ini
Ki Joran tampak terhuyung-huyung namun kepala
sama sekali tidak cidera. Dalam kejutnya Abdika
Brathama menjadi penasaran. Tongkat sakti digebukkan ke kepala Kepala Desa itu bertubi-tubi hingga
mengeluarkan suara berdentrangan berulang kali.
Kepala tetap tidak cidera karena Ki Joran Dhamakara
memang memiliki ilmu kebal di bagian kepala yang
disebut Wesi Wulung. Namun hantaman yang
berulang kali membuat Kepala Desa itu tersenyum
pening berputar-putar.
Dalam keadaan seperti itu Ki Joran tarik kalung
jimat hitam di leher. Sambil meniup jimat yang
menimbulkan buncaran asap hitam dengan gerakan
kilat dia cabut keris di pinggang lalu dilemparkan ke
arah mahluk kepala kuda yang menggebukinya. Kena
menancap telak di dada kanan Abdika Brathama. Tidak
ada jerit kesakitan, tidak ada darah mengucur. Ketika
keris menancap di dada mahluk Tuman Keku ini
kelihatan ada cahaya tiga warna menerangi dadanya.
Sambil menyeringai Abdika Brathama cabut keris
yang menancap di dada kanan lalu dibanting hingga
amblas masuk ke dalam tanah. Bersamaan dengan itu
dia membuat gerakan kilat. Tombak Naga Sungkem
bergerak seperti hendak dihunjamkan ke ulu hati Ki Joran Dhamakara. Namun begitu lawan membuat
gerakan mengelak Abdika Brathama miringkan tubuh
ke kiri lalu sambil keluarkan suara meringkik kaki
kanan melesat ka depan.
“Dukk!"
Kaki kanan berladam besi menghantam dada kiri
Ki Joran Dhamakara dengan telak hingga kepala desa
itu terpental, jatuh meneler tang tak berkutik,
sepasang mata terbeliak. Mulut menganga
menggenang darah yang kemudian perlahan-lahan
meleleh ke pipi. Orang lain yang terkena tendangan
Tuman Keku Ini pasti menemui ajal saat itu juga,
seperti yang kejadian dengan empat pemuda desa
sebelumnya.
Melihat majikannya roboh Bayu Ireng kuda milik Ki Joran Dhamakara meringkik keras. Dua kaki diangkat
tinggi-tinggi dan ditendangkan ke arah Abdika
Brathama
Tendangan kaki kiri mengenai angin. Tendangan
kaki kanan sebelah depan menghantam batang pohon
hingga hancur berkeping-keping lalu tumbang dengan
suara bergemuruh.
"Binatang jahanaml Kau memang pantas ikut
majikanmu!" teriak Abdika Brathama lalu tombak Naga
Sungkem ditusukkannya ke dada Bayu Ireng
Didahului suara ringkikan keras kuda hitam besar ini
tersungkur ke tanah, tergelimpang di samping tubu Ki Joran Dhamakara tapi majikannya tidak segera
menemui ajal.
Abdika Brathama tancapkan tombak Naga Sungkem
ke tanah. Lalu berdiri lurus dengan dua kaki
terkembang. Sepasang tangan membuat gerakangerakan silat aneh hingga memancarkan cahaya tiga
warna. Tangan kiri kemudian didorongkan ke arah
kuda hitam Bayu Ireng sedang tangan kanan
diarahkan ke sosok Ki Joran Dhamakara. Saat Itu juga
tubuh kuda dan majikannya mengeluarkan letupan
keras disertai kepulan asap kelabu. Ketika asap kelabu
sirna Bayu Ireng dan Ki Joran Dhamakara tak ada lagi
di tempat Itu. Yang kelihatan terbujur di tanah adalah
sosok manusia berpakaian hitam, memiliki kepala dan
kaki kuda berbulu hitam. Kuda dan majikannya telah
berubah menjadi mahluk Tuman Keku.
"Joran Dhamakara. kau sudah menjadi anggota
ke lima puluh aatu Pasukan Kerajaan Mataram Baru.
Berdirilah dan meringkik satu kali tanda kau setia
kepada Kerajaan dan Junjungan Sri Maharaja Ke
Delapan!"
Sosok Tuman Keku yang tergeletak di tanah,
gabungan antara tubuh manusia dan tubuh kuda
menggeliat lalu melompat bangkit Begitu berdiri
mahluk ini dongakkan kepala dan meringkik satu kali.
4.
MAYAT GEDE KABAYANA LENYAP
DALAM serial sebelumnya berjudu!"Dewi Tangan Jerangkong" diriwayatkan ketika hampir celaka di
tangan orang bermuka anjing yang mengaku bernama
Dharma Soma, Liris Pramawari alias Dewi Tangan
Jerangkong diselamatkan oleh Sri Sikaparwathi dan
kura-kura saktinya. Si nenek meminta Dewi
Tangan Jerangkong untuk tidak membunuh manusia
berkepala anjing itu karena ingin lebih dulu menguras
keterangan. Si nenek sangat curiga kalau orang ini
mempunyai sangkut paut dengan semua kejadian
belakangan ini. Termasuk rahasia Sumur Api serta
cahaya tiga warna. Namun hanya sedikit keterangan
yang bisa didapat Karena sewaktu dipaksa
menerangkan siapa yang dimaksudkannya dengan Sri
Maharaja Ke Delapan manusia aneh Ini memukul
kepalanya sendiri dengan dua tangan hingga hancur
dan tewas saat itu juga.
Marah dan penasaran Dewi Tangan Jerangkong
lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih
berwarna biru milik manusia kepala anjing yang sejak
tadi dipegangnya, tiga senjata maut masuk amblas ke
dalam tubuh orang yang sudah tak bernyawa itu.
Tubuh meletup keras terkutung-kutung. Cahaya tiga
warna mencuat ke langit, lenyap dari pemandangan.
"Cahaya merah, biru dan hitam..." ucap Sri
Sikaparwathi. "Kecurigaanku pada manusia berkepala
anjing ini ternyata tidak keliru. Aku pernah melihat
sebelumnya. Selain luar biasa sakti, aku punya
dugaan ada satu rahasia dibalik tiga cahaya ini!
Ada pemilik yang sekaligus menjadi pengendali.
Mahluk yang pernah menggandakan diriku? Manusia
kepala anjing ini jelas dia merupakan kaki tangan
orang sakti dibalik semua kejadian. Dia begitu
ketakutan dan tidak mau membuka rahasia siapa
adanya Sri Maharaja Ke Delapan. Dia lebih memilih
mati bunuh diri!"
"Nenek berpakaian Jingga, aku yang telah kau
tolong menghanturkan banyak terima kasih.
Sementara aku masih berusaha berbuat kebajikan, kau
telah mendahului. Semoga Hyang Bathara Dewa
memberi pahala berlipat ganda padamu."
Sri Sikaparwathi berpaling ke arah Dewi Tangan
Jerangkong yang saat itu telah berdiri di sampingnya
sambil membungkuk dalam. Si gadis kemudian
menatap ke atas kepala si nenek dimana bertengger
Cahyo Kumolo. kura-kura sakti hijau bermata merah.
Mulutnya tersenyum lalu berucap.
"Sahabat bertubuh hijau bermata merah, aku
tahu kau juga tadi menolongku dengan semburan
cahaya merah dari dua matamu. Aku berterima
kasih..."
Kura-kura di atas kepala nenek menggerakkan kepala sedikit lalu keluarkan suara mendesis
halus.
Kemudian Dewi Tangan Jerangkong yang
sebenarnya bernama Liris Pramawari berkata
lagi.
"Mengenal cahaya tiga warna, saya pernah bertemu
dengan seorang pemuda. Namanya sebayang
Kaligantha. Menurut pemuda itu dia memiliki sebuah
jimat, menjadi satu dengan tubuhnya. Namun jimat Itu
kemudian dirampas orang dengan cara menjebol
dadanya. Katanya, Jimat itu memiliki cahaya merah,
biru dan hitam..."
"Gadis berwajah cantik. Kalau begitu ceritamu,
aku, mungkin juga beberapa orang pandai di Bhumi
Mataram ini merasa perlu menemui dan mencari
pemuda itu untuk ditanyai..." Ucapan nenek mendadak terputus ketika tak sengaja pandangannya
membentur tangan kanan gadis di hadapannya
dimana sebatas pergelangan tangan kebawah yaitu
sampai ke ujung jari hanya merupakan tulang tanpa
kulit tanpa daging. Dia melirik ke tangan kiri, ternyata
keadaannya juga sama. "Maafkan, aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa Nek, keadaan saya memang seperti
Ini..."
Sri Sikaparwathi sebenarnya hendak bertanya
apa yang terjadi hingga dua tangan si gadis
berkeadaan seperti itu. Apakah cacat sejak lahir atau
ada penyebab yang lain. Namun merasa tidak enak
maka nenek Ini mengalihkan pembicaraan.
"Sebelumnya aku melihatmu berteriak di tepi
jurang. Lalu kau terjun ke dalam jurang dalam dan
gelap. Namun kemudian ada dua orang bertubuh
hitam keluar dari jurang besar bekas ledakan Sumur
Api. Salah seorang diantaranya memanggul sosok
perempuan. Kau kulihat melesat keluar dari jurang,
mengejar kedua orang hitam itu. Aku mengikutimu
dari belakang. Namun kemudian aku temui kau tengah
bertarung dengan manusia berkepala anjing itu. Apa
yang telah terjadi? Siapa dua orang yang melesat
keluar dan dalam jurang?"
"Sebenarnya saya bermaksud mencari seorang
teman bersama dua pengikutnya yang masuk ke dalam
jurang. Tapi setengah jalan saya justru melihat ada
dua orang lelaki kembar hitam melesat keluar dari
dalam jurang yang gelap. Masing-masing memboyong seorang bayi. Lalu yang satunya juga
memanggul seorang perempuan. Saya membatalkan
niat mencari teman tadi lalu mengejar dua orang
kembar hitam. Tapi sebelum berhasil tahu-tahu
muncul mahluk kepala anjing itu. Rupanya dia yang
berada di sebelah depan juga tengah berusaha
mengejar dua orang lelaki kembar hitam. Hanya saja,
karena saya mengacaukan jalan pikirannya maka dia
terpesat dan justru lari ke arah saya..." ,
"Aku yakin manusia kepala anjing Itu mengejar
dua manusia hitam untuk merampas bayi..." membatin Sri Sikaparwathi. Lalu dia menatap wajah
Liris Pramawari. "Kau mampu mengacaukan jalan
pikiran orang hingga berbalik ke arahmu. Semuda
ini tapi ilmu kesaktianmu tinggi sekali. Gadis cantik
berkerudung putih, kalau aku boleh tahu dirimu,
siapakah kau adanya? Siapa gurumu? Mengapa
mementingkan mengejar orang yang melarikan dua
bayi dari pada mencari teman sendiri?"
Liris Pramawari menyesal telah terlepas bicara
mengenal Ilmu mengacaukan jalan pikiran orang itu.
Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyombongkan
diri. Dia bicara tadi polos-polos saja. Karena walau
Ilmunya tinggi dan jalan pikirannya jernih namun
sebagai gadis muda usia dia tetap saja mempunyai
sifat lugu.
"Menurut Nenek, apakah tidak aneh kalau ada
dua bayi keluar dari dalam jurang dalam dan gelap.
Diboyong dua lelaki kembar. Malah yang satunya
membawa seorang perempuan muda?"
"Kau yakin yang dibawa dua orang itu benarbenar bayi?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Saya mendengar suara tangisan mereka Nek," jawab Dewi Tangan Jerangkong.
Si nenek merenung sejenak. Tadi dia juga memang
mendengar suara tangisan dua bayi itu. Dia lalu
teringat pada Gading Bersurat serta cerita yang
berkembang di kalangan para tokoh di Bhumi
Mataram. Walau dia hanya mengetahui sebagian
tulisan sedikit cerita namun hatinya berdetak. "Dua
orang bayi. Jangan-jangan anak perawan pilihan Para
Dewa itu benar-benar telah melahirkan." Si nenek
memandang pada mayat orang berkepala anjing.
"Setiap ada kejadian aneh atau terjadi pembunuhan,
cahaya tiga warna selalu muncul. Apakah....Sri
Maharaja Ke Delapan. Siapa adanya insan itu? Apakah
dia benar-benar ada?"
"Nek...?"
Sri Sikaparwathi tersentak dari renungannya lalu
cepat-cepat tersenyum.
"Anak gadis, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Maafkan saya Nek. Keadaan membuat saya tidak
bisa menerangkan siapa saya..."
"Paling tidak kau pasti punya nama,"
"Seorang sahabat belum lama ini memberikan
nama bagus untukku. Dewi. Lalu aku menambahkan
Tangan Jerangkong. Kau boleh memanggilku Dewi
Tangan Jerangkong."
Sri S ikaparwathi tertawa.
"Sahabat yang kau cari ke dalam jurang itu,
apakah dia seorang pemuda aneh berkepala Bunga
Bangkai disertai dua pengiringnya. Yang satu
membawa tambur yang satunya lagi membekai
seruling?" bertanya si nenek.
"Ah, kau sudah tahu rupanya, apakah kau juga
mengenalnya Nak? Atau mungkin kau mencarinya
karena satu silang sengketa?"
Mahluk aneh itu pamah menyelamatkan Cahyo
Kumolo, kura-kura dia atas kepalaku. Sebelum ada
ledakan di tempat ini dia berada di sekitar sini. Aku
Ingin menemuinya untuk menyampaikan rasa terima
kasih... Tapi rasanya maksud itu belum akan
kesampaian. Dia terlanjur pergi. Sementara aku harus
melakukan sesuatu. Ada seorang sahabat yang tewas.
Aku menduga pembunuhnya adalah mahluk kepala
anjing Ini. Dia menyerang secara pengecut dengan
senjata rahasia yang tadi kau hantamkan ke tubuhnya.
Aku harus mengurus jenazah sahabat itu..."
"Kau seorang sahabat yang baik. Aku juga selalu
Ingin berbuat kebajikan Nek. Apakah aku boleh
membantumu?"
Sri Sikaparwathi melirik ke arah dua tangan Liris
Pramawari lalu sambil tersenyum dia gelengkan
kepala.
"Terima kasih. Kau juga sahabat yang baik. Aku
suka padamu. Semoga kita bisa bertemu lagi..."
Selesai berucap si nenek segera berkelebat pergi.
kembali ke tempat dimana jenazah Gede Kabayana
tergeletak. Tapi ketika si nenek sampai di tempat itu,
heran dan kejutnya bukan alang kepalang. Ternyata
jenazah itu tidak ada lagi di sana.
"Aku meninggalkan jenazah tidak terlalu lama.
Bagaimana bisa lenyap? Siapa yang mencuri....?" Sri
Sikaparwathi memandang berkeliling. "Mencuri
kataku..." Si nenek tertawa sendiri. "Perlu apa ada
orang mencuri jenazah?"
Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Disusul
suara derap kaki yang riuh sekali. Memandang
berkeliling Sri sikaparwathi tidak melihat seekor
kudapun. kura-kura hijau di atas kepala si nenek
keluarkan suara mendesis panjang. Lalu binatang
sakti bernama Cahyo Kumolo ini melesat ke arah
kanan. Namun tak lama kemudian prakk! Tubuhnya
kura-kura hijau itu terbalik terpental disertai suara
menguik panjang.
Si nenek cepat menyambut! tubuh binatang
peliharaannya Itu.
"Apa yang terjadi Kumolo?!" tanya si nenek sambil
mengusap dan memeriksa punggung binatang itu ada
tanda berbentuk ladam kuda. "Jahat sekali. Cahyo, ada
mahluk yang menghantammu?"
Kura-kura hijau kedipkan sepasang mata merah
lalu mendesis perlahan. Sambil terus mengusap
punggung Cahyo Kumolo Sri Sikaparwathi kerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti hingga akhirnya tanda
berbentuk tapal kuda di punggung kura-kura hijau itu
lenyap.
HANYA beberapa ketika saja setelah si nenek
yang membawa kura-kura hijau di atas kepalanya itu
lenyap, tiba-tiba Dewi Tangan Jerangkong merasakan
dua telapak kakinya yang dialas kasut kulit dijalari
hawa dingin, gadis ini memandang berkeliling.
"Ada apa inf? Mengapa tiba-tiba tanah menjadi
dingin. Dua kakiku seolah berubah menjadi esl Udara
sekitar sini juga berubah dingini aku mulai menggigil..." Ketika si gadis memperhatikan ke dua
kakinya, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kaki
yang berkasut itu kini telah diselimuti benda putih
yang mengepulkan asap tipis putfh.
"Salju?! Bagaimana mungkin?!" ucap Liris
Pramawari. "Dewa Agung, apakah Kau hendak
menjatuhkan hukuman lagi atas diriku?"
5.
RESI GARIPASTHIKA
Untuk menolak hawa dingin yang luar biasa itu
Dewi Tangan Jerangkong alirkan hawa sakti ke seluruh
tubuh. Perlahan-lahan dia mulai merasa badannya
hangat kembali dan lapisan putih di kedua kaki leleh
menghilang.
"Wahai Roh Agung, apakah kau ada di sekitar sini?"
Liris Pramawari keluarkan ucapan sambil memandang
berkeliling.
Tak ada jawaban. Tidak ada suara mendesah
ataupun tiupan angin. Berarti ini bukan pekerjaan
Para Dewa.
"Aku harus menyelidik. Mungkin ada orang hendak
mencelakai diriku dengan ilmu aneh. Kalau kehendak
alam tidak mungkin terjadi seperti ini. Tapi aku harus
menyelidik bagaimana" Dalam herannya Liris
Pramawari ingat pada Pangeran Bunga Bangkai
Nalapraya dan dua pengiring aneh.
"Mana yang harus aku pilih, menyelidik atau
mencari Pangeran itu?"
Setelah bimbang sesaat si gadis akhirnya
memutuskan untuk kembali ke jurang di bekas Sumur
Api, mencari Pangeran Bunga Bangkai dan dua
pengiringnya.
Belum sempat kakinya bergerak melangkah
tiba-tiba tempat di sekitarnya telah diselimuti
kabut tipis. DI arah kanan, di dalam kabut tipis
dan malam gelap, bergerak ke arahnya melangkah
berjubah putih. Rambut, serta kumis yang bersatu
dengan janggut berwarna putih, melambai-lambai
ditiup angin malam. Di tangan kanan orang tua
ini memegang sebatang tongkat yang tertutup
lapisan putih. Setiap hembusan nafas yang keluar
dari hidung kakek ini menimbulkan uap putih. Uap
yang sama juga tampak keluar dari sepasang
matanya. Bedanya uap yang keluar dari hidung
membawa hawa hangat sedang yang membersit
dari sepasang mata menebar hawa dingin.
"Kakek berjubah putih...." Ucap Liris Pramawari.
"Aku yakin dia tidak kesasar berada di tempat ini.
Apakah dia barusan yang mengerjai diriku, mengirim
hawa luar biasa dingin?" Liris Pramawari terus
memperhatikan lalu kembali membatin. Kali ini
disertai perasaan heran. "Aneh. orang tua berjubah
putih itu sejak tadi melangkah ke arahku. Tapi
mengapa tidak sampai-sampai?"
Dalam ketidakmengertiannya, si gadis kini yang
bertindak, bergerak melangkah ka arah si orang tua,
Dia merasa tambah aneh karena setelah menggerakkan kaki melangkah berulang kali, tetap saja dia tidak
mampu mendekati. Antara dia dan si kakek tetap
berpaut dalam Jarak sekitar tiga tombak.
"Bertongkat putih, mata dan hidung mengeluarkan
uap. Apakah aku berhadapan dengan Roh Agung?”
Begitu Liris Pramawari Jadi mengingat Roh Agung
kembali.
"Orang tua." Akhirnya Liris Pramawari alias Dewi
Tangan Jerangkong berseru menyapa. "Kau siapa?
Kau berjalan ke arahku. Aku melangkah ke jurusanmu!
Mengapa kita tidak bisa saling mendekat?!"
Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya ,
layangkan senyum dan lambaian tangan kiri. Justru
saat itu tiba-tiba terdengar dua suara tawa bergelak.
Lalu seorang berucap lantang.
"Mana ada orang maupun setan di Bhumi Mataram
Ini yang sanggup menembus Ilmu Kabut Pembatas
Raga Ha...ha...ha!"
Bersamaan dengan gema suara tawa, dua sosok
berjubah hitam berkelebat muncul menghadap
langkah orang tua berjubah putih. Dua orang ini
ternyata seorang kakek dan seorang nenek berjubah
hitam yang sama-sama berkepala botak dan memiliki
daun telinga menjulai panjang hampir menyentuh
bahu. Kalau si nenek tidak memakai anting-anting
bulat besar akan sulit membedakan mana yang lelaki
mana yang perempuan di antara kedua orang Ini.
Melihat kemunculan kakek nenek aneh Liris
Pramawari membatin dalam hati. "Dua orang tua
botak itu rupanya memiliki Ilmu kesaktian tinggi.
Mereka mampu mendekati kakek jubah putih. Ilmu
Kabut Pembatas Raga. Mereka rupanya yang punya
pekerjaan hingga si kakek dan aku tidak bisa
melangkah saling mendekat, berjalan tidak sampaisampai..."
"Resi Garipasthika! Sampai seratus tahun kau
melangkah, kau tak akan pernah mampu melanjutkan
perjalanan. Apa lagi bermimpi mendapatkan dua bayi
itu. Hik...hik...hik. Nyawamu sudah ada dalam
genggaman kami!" Si nenek berteriak lalu tertawa
cekikikan.
"Dua bayi. Perempuan tua itu menyebut-nyebut
dua bayi." Liris Pramawari terkejut mendengar ucapan
nenek kepala botak.
Kakek berjubah putih yang dipanggil dengan nama
Resi Garipasthika tampak tenang-tenang saja. Dia
dongakkan kepala lalu meniupkan nafas panjang
dari mulut Saat itu juga di udara kelihatan uap putih
bergelung seperti ular melesat ke langit "Aku mendengar suara tapi tidak melihat orang
yang bicara. Sayang sekali....Malang nasib diriku.
Mengapa aku harus menderita seperti Ini." Orang tua
berjubah putih keluarkan ucapan. Suaranya lembut
Habis bicara dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika
batuk, dari mulutnya keluar empat gumpalan putih
seperti bola salju, berjatuhan ke tanah. Ketika melihat
gumpalan-gumpalan putih Itu menggelinding ke arah
mereka, dua kakek nenek botak berteriak marah lalu
cepat melompat ke udara. Empat gumpalan putih
melesat di bawah dua kaki mereka. Tiga gumpalan
menderu ke tempat kosong yang keempat
menyambar ke arah kaki kanan Liris Pramawari.
"Bukk! Byaarr!"
Gumpatan putih hancur bertebaran.
Liris Pramawari berjingkrak jingkrak menjerit
keras kesakitan. Kaki kanannya yang kena hantaman
gumpalan putih terangkat ke atas membuat dirinya
hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.
"Celaka. Putus kakiku!" Gadis itu berteriak lalu
singsingkan pakaian putihnya di sebelah bawah untuk
melihat kaki kanannya. Tenyata kaki itu masih utuh.
Liris Pramawari cepat berdiri, memandang jengkel
ke arah Resi Garipasthika si kakek jubah putih malah
tertawa terkekeh-kekeh!
Kakek nenek kepala botak berpaling ke arah Liris
Pramawari. Si kakek membentak.
"Kau siapa?! Kau tidak punya urusan di tempat
ini. Lekas pergi atau kami berdua akan membuatmu
amblas ke dalam tanah!"
Masih kesal karena kesakitan. Liris Pramawari
menyahuti bentakan orang. "Antara kita memang tidak
ada urusan. Jika kau punya urusan dengan kakek
berjubah putih itu mengapa tidak menyelesaikan lebih
dulu? Malah membawa-bawa dan mempersalahkan
diriku!"
Mendengar ucapan si gadis nenek kepala botak
kini yang membentak.
"Wajahmu cantik! Tapi mulutmu kurang ajari Apa
kau tidak kenal siapa kami berdua?! Pergilah sebelum
aku gebuki"
Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri.
"Kakek nenek, terima kasih atas pujian sekaligus
hinaan. Kalian manusia apa? Aku tidak punya pikiran
kalau kalian adalah orang-orang Jahat. Tapi mengapa
menghadang orang di malam buta?l Hanya bangsa
begal yang berkelakuan seperti Itu!"
"Benar-benar gadis kurang ajar...." Kakek botak
mendamprat
"Kami bukan begal! Kami muncul hanya untuk
mengambil nyawa kakek jubah putih itu!"
"Ah, kalian ini rupanya semacam utusan pencabut
nyawa. Tapi aku tidak yakin para Dewa yang mengutus
kalian. Dewa tidak berkenan akan segala macam
perbuatan seperti itu. Membunuh seorang Resi. ooh
Hyang Jagat Batara Dewa. Pasti dosanya berat sekali.
Seperti memikul gunung di atas bahu... Malam-malam
begini orang tua seperti kalian seharusnya berada di
tempat tidur."
Mendengar ucapan Liris Pramawari si nenek botak
menggelegak amarahnya. Dia melompat ke hadapan
Liris Pramawari. Tangan kanan yang dipentang begitu
rupa. Lima jari tangan pancarkan sinar kuning yang
serta merta melesat ke arah kening dan empat bagian
tubuh si gadis. Liris berusaha menghindar tapi
terlambat Saat itu juga Liris Pramawari tidak bisa
bergerak maupun bersuara.
"Kau tunggu di sini. Selesai kami membantai
kakek jubah putih Itu. kami akan menentukan
nasibmu! Apakah akan kami kubur hidup-hidup di
dalam tanah atau tubuhmu akan kami buat cerai berai
di udara!"
"Jangan ganggu gadis itul Dia keponakanku!"
Resi Garipasthika tiba-tiba berseru. Lalu mulutnya
meniup. Selarik cahaya putih berbentuk kipas terbuka
menerpa ke arah Liris Pramawari. Begitu cahaya putih
menyentuh wajah dan tubuhnya, Liris Pramawari serta
merta kembali mampu bergerak dan mengeluarkan
suara. Dia segera mendatangi nenek kepala botak
yang tadi membuatnya lumpuh dengan lima sinar
kuning. Namun langkahnya tertahan ketika mendengar
ucapan kakek jubah putih.
"Keponakanku. Tetap di tempatmu!" Lalu Resi
bermata putih berpaling ke arah dua kakek nenek
botak. "Jika kalian berdua ingin menghabisiku, habisi
dulu gadis itu. Aku mau lihat apa kalian mampu."
Mendengar ucapan kakek jubah putih Liris
Pramawari jadi terkesiap, keluarkan seruan tertahan.
"Kek. Enak saja kau bicara! Aku..."
"Sssttti Sudah, kalau kau mau berbakti pada aku
pamanmu hadapi saja ke dua orang Itu!" Resi
Garipastika menyahuti sambil palangkan jari telunjuk
tangan kiri dia atas bibir.
Melihat Liris Pramawari bebas dari kelumpuhan, si
nenek kepala botak kembali hendak membungkam
gadis itu. Namun sampai berkali-kali dia menghujani
Liris Pramawari dengan lima sinar kuning yang
memancar dari tangan kanan, kali ini ilmu kesaktian
yang dimilikinya tidak mampu lagi melumpuhkan
gadis Itu. Si nenek mendelik, berpaling ke arah kakek
berjubah putih.
"Kurang ajar. Resi Itu pasti telah melindungi si
gadis dengan cahaya putih tadi "
Di seberang sana kakek jubah putih tertawa
perlahan.
"Aku hanya meminjam Ilmu Kabut Pembatas
Raga milik kalian dan aku berterima kasih."
Kejut kakek nenek kepala botak bukan alang
kepalang. Keduanya saling pandang lalu sama-sama
membalikkan badan. Sambil berteriak mereka
menghambur serangan ke arah kakek Jubah putih.
Melihat hai Ini Liris Pramawari yang merasa sudah
ditolong orang serta merta berkelebat memotong
gerakan kakek nenek kepala botak.
Resi Garipasthika tertawa senang. "Bagusi Kau
baru keponakanku yang hebat! Jika kau bisa
menyentuh ubun-ubun dua mahluk botak itu maka
kau akan menggembosi mereka seperti bisul pecah
tertusuk duri. Ha.. .ha.. .ha!"
Mendengar ucapan kakek Jubah putih, sepasang
kakek nenek botak jadi terkejut dan berubah wajah
masing-masing. Si nenek berbisik.
"Tua bangka jahanam itu memberi tahu kelemahan
kita. Kurang ajar, bagaimana dia bisa tahu. Lekas
keluarkan destar pelindung!"
Dua kakek nenek botak kemudian keluarkan
sebuah destar hitam menyerupai belangkon lalu cepat
mengenakan di kepala hingga kepala botak mereka
kini terlindung.
Melihat hal Ini Resi Garipasthika kembali tertawa
bergetok. Begitu mulutnya meniup dua kali. destar di
atas kepala kakek nenek botak mental Jauh ke udara.
Kedua orang ini berteriak kelabakan dan juga marah.
Ketika di depan sana Liris Pramawari bergerak
mendatang] cepat-cepat mereka letakkan telapak
tangan kiri di atas kepala, melindungi ubun-ubun. Lalu
tidak menunggu lebih lama keduanya mendahului
menyerang si gadis.
6.
SI MATA SALJU
MESKIPUN hanya menggunakan tangan kanan
untuk menyerang lawan, namun gempuran sepasang
kakek nenek botak jurus demi jurus membuat Liris
Pramawari mulai terdesak. Untung saja gadis ini
memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi yang
diwariskan ayahnya. (Baca riwayat bagaimana Liris
Pramawari mendapatkan ilmu kesaktian dari ayahnya
dalam serial sebelumnya berjudu!"Dewi Tangan Jerangkong") Namun demikian, setelah ditekan habishabisan, dalam jurus ke enam belas satu pukulan
nenek botak berhasil menyusup dan mendarat keras di
pertengahan dada Liris Pramawari, membuatnya
terpental, jatuh terjengkang di tanah. Di sela bibir
tampak lelehan darah pertanda dia terluka di sebelah
dalam.
Resi Garipasthika yang melihat kejadian ini tampak
tenang-tenang saja, malah mengulum senyum sambil
pencet-pencet hidung. Liris sendiri saja heran. Walau
digebuk keras dan sampai mengeluarkan darah dari
mulut tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa sakit.
Ini adalah akibat perlindungan Ilmu bernama Kabut
Pembatas Raga milik sepasang kakek nenek botak
yang dipinjam Resi Garipasthika yang dimasukkan ke
dalam tubuh si gadis.
Belum sempat berdiri, selagi masih terheran-heran
dan tergeletak di tanah, kakek kepala botak telah
menyerbu dan arahkan tendangan kaki kanan ke
kepala Liris Pramawari. Saat itulah gadis ini merasa
telinga kanannya bergetar. Ada tiupan angin dingin.
Bersamaan dengan Itu dia mendengar suara seperti
orang berbisik di telinganya.
"Keponakanku, Ingat jurus Menabas Tiang
Meruntuh Atap. Pergunakan salah satu kakimu
menendang kaki kiri lawan. Kuda-kudanya akan
ambruk. Bila lawan tersungkur melintang, Itulah
kesempatan balas menyerang. Pilih sasaran
pantangan. Kepala botaknya. Kau gadis hebat. Kau
pasti mampu melakukan! Sekarang!
Mendengar suara yang diketahuinya pasti bisikan
si kakek jubah putih Liris Pramawari cepat gerakan
kaki kiri, menendang ke arah tulang kering kaki kiri
kakek botak yang berpijak di tanah sewaktu
melancarkan serangan. Jurus serangan yang
dilakukan gadis tangan jerangkong Ini yaitu Menebas
Tiang Meruntuh Atap adalah salah satu jurus serangan
ilmu silat yang dimiliki ayahnya. Apa yang dibisikkan
Resi Garipasthika menjadi kenyataan.
"Bukk”
Liris Pramawari tidak merasa apa-apa begitu
kakinya menghantam tulang kering kaki kiri lawan.
Si kakek botak sendiri menjerit keras. Tubuhnya
tersungkur ke depan, kepala lebih dulu dan mengarah
ke tempat Liris Pramawari berada. Itulah bagian jurus
bernama Menabas Tiang. Tidak tunggu lebih lama
gadis Ini segera pukulkan tangan kanan ke kepala
botak si kakek. Dan Inilah jurus kelanjutan bernama
Meruntuh Atap.
Pukulan keras mengandung tenaga dalam tinggi
yang dilancarkan Liris Pramawari sanggup membuat
rengkah kepala seekor gajah. Apa lagi kepala botak
si kakek berdaun telinga menjulai panjang ini, pasti
akan hancur mengerikan. Namun Itu tidak terjadi.
"Desss!"
Di kepala botak hanya muncul sebuah lobang
kecil mengeluarkan asap disertai lelehan darah. Si
kakek menjerit keras sambil dua tangan pegangi
kepala. Temannya si nenek Ikut menjerit lalu
melompat merangkul si kakek. Satu hai aneh terjadi
pada diri kakek ini. Seperti ucapan Resi Garipasthika
tadi keadaan kakek botak itu tidak beda dengan bisul
yang gembos tertusuk duri. Kepalanya menciut
mengecil sementara darah kehitaman terus mengucur
menutupi wajah. Setelah kepala menyusui tubuh jadi
mengecil dan berubah pendek.
Si nenek yang merangkul tubuh si kakek
menggerung keras ketika tahu kalau si kakek sudah
tidak bernyawa lagi. Dia baringkan tubuh temannya
itu di tanah lalu menghambur ke arah Liris Pramawari.
Seperti orang kemasukan setan dia menyerang sambil
berteriak-teriak. Dua kali pukulannya mendarat di
tubuh Liris Pramawari. ditambah satu tendangan di
daerah pinggul. Walau hantaman lawan sempat
membuatnya tergelimpang jatuh namun seperti tadi
waktu dijotos dadanya dia sama sekali tidak merasa
sakit
"Nek, hentikan seranganmu. Lebih baik kau
mengurus mayat kakek itu dan pergi dari sini..."
Berseru Liris Pramawari.
"Gadis kurang ajari Kau membunuh sahabatku!
Sekarang enak saja menyuruh aku pergil Aku baru
akan pergi setelah mencincang tubuhmu!"
Si nenek mendongak ke langit lalu berteriak keras.
Tangan kanan dipentang di atas kepala. Tiba-tiba ada
satu cahaya berkilau dan tahu-tahu di tangan kanan
itu telah tergenggam sebilah golok besar berbentuk
segi empat. Anehnya golok ini berujud samar, antara
terlihat dan tidak dan mendatangkan rasa angker bagi
siapa saja yang memandangnya. Di rimba persilatan
Bhumi Mataram golok aneh ini dikenai dengan nama
Empat Mulut Penghirup Darah. Sesuai namanya pada
badan golok yang samar terdapat empat buah lobang
berwarna hitam. Siapa saja musuh yang kena
ditambas, ditusuk atau dibacok senjata ini maka
empat buah lobang di badan golok akan menghirup
darah di tubuhnya hingga korban akan kehabisan
darah dan dengan mudah menjadi bulan-bulanan
serangan hingga akhirnya menemui ajal secara
mengerikan.
Golok aneh samar itu menebar bau amis busuk.
Konon itu adalah bau amis busuknya darah dari
sekian banyak korban yang telah menjadi korban! Kata
orang yang mengetahui sehabis menghirup darah
korban maka golok itu akan bertambah keangkeran
sekaligus kesaktiannya.
"Aku mendengar suara, aku mencium bau. Golok
Empat Mulut Penghirup Darah," ucap Resi
Garipasthika sambil menatap ke langit malam.
"Bathara Agungi Apakah Ilmu kabut Membatas Raga
pinjaman masih bisa melindungi keponakanku dari
golok itu?"
Tidak menunggu lebih lama si nenek langsung
menyerbu. Golok menderu, keluarkan suara menguing
diserta sambaran empat asap hitam yang mengepul
dari empat buah lobang.
Asap hitam membuat pandangan Liris Pramawari
terhalang. Suara menguing menyebabkan telinganya
mendenging hingga tidak mampu mendengar suara
gerakan lawan. Dalam keadaan seperti itu si nenek
kirimkan dua kali babatan dan satu kali bacokan. Liris
Pramawari cepat melompat mundur namun tak urung
salah satu babatan golok sempat menyambar pundak
kiri hingga pakaian putihnya robek besar. Untung kulit
bahunya tidak sampai tergores luka. Kalau hal itu
menjadi maka akan ada sebagian darahnya yang
dihirup golok.
Mendengar suara robekan pakaian kakek jubah
putih menjadi sangat kawatir. Dia cepat berseru
menegur si nenek.
"Sudah tua masih suka main-main senjata tajam.
Apa tidak takut terluka sendiri?"
Nenek botak mana perduli. Serangannya
menghambur laksana hujan membuat Liris Pramawari
terpekik berulang kali. Kembali baju pulihnya kena
disambar ujung golok. Kali Ini di bagian perut.
Ketika satu bacokan kilat menyambar dari atas
kiri ke arah kepalanya. Liris Pramawari cepat berkelit
selamatkan diri. Malang, kaki kirinya tersandung pada
sosok mayat kakek botak hingga tak mampu lagi dia
terhuyung jatuh ke arah datangnya bacokan golok.
Sesaat lagi kepala gadis cantik dari Kadiri Itu
akan terbelah tiba-tiba satu benda putih disertai
tebaran hawa luar biasa dingin di udara dan kraak. Si
nenek botak menjerit keras. Lengan kanannya patah
terkena pukulan tongkat Resi Garipasthika. Golok
besar yang tadi digenggam terpental lepas. Dengan
cepat dia melompat ke udara untuk menyambar
senjata sakti berbentuk samar Itu. Namun satu
hantaman mendera dadanya hingga tubuhnya
mencelat dan terguling di tanah. Ketika dia berusaha
bangkit dilihatnya Golok Empat Mulut Penghirup
Darah berada di bawah Injakan kaki kiri Resi
Garipasthika.
"Keponakanku sudah menyuruhmu pergi secara
baik-baik. Mengapa kau masih nekat mau membunuhnya? Apakah seumur sisa hidupmu kau akan
terus berbuat kejahatan dan tidak pernah bertobat
minta ampun pada para Dewa? Apakah kematian
sahabatmu tidak cukup memberi peringatan
padamu?!"
"Resi Garipasthika, mahluk berjubah putih
berpenampilan suci. Kau belum tentu lebih baik dari
diriku dan sahabatku yang telah dibunuh gadis
terkutuk inil Kembalikan Golok Empat Mulut
Penghirup Darah padaku!"
"Senjata ini bukan milikmu. Bukankah kau
mencurinya dari seorang Resi yang bertapa di puncak
Mahameru yang kemudian kau bunuh secara keji?!"
"Kalau begitu aku lebih baik mengadu nyawa
denganmu!" Teriak si nenek. Lalu begitu berdiri dia
melompat ke arah Resi Garipasthika. Dari sepuluh
ujung Jarinya menyembur keluar sepuluh larik sinar
hitam. Sekejapan kemudian sepuluh larik sinar hitam
itu telah menggulung melibat sekujur tubuh Resi
Garipasthika.
Si nenek tertawa mengekeh.
"Rasakanl Sekarang terima kematianmu!"
Resi Garipasthika sesaat terkesiap. "Jaring
Sepuluh Gurita Hitam," ucapnya dalam hati ketika
menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.
Sementara itu melihat lawan sudah tidak berdaya
laksana kilat si nenek hantamkan satu jotosan ke
batok kepala Resi Garipasthika.
"Hancur kepalamu!" Teriak si nenek.
Yang diserang hanya menatap tenang dengan
sepasang mata putih mengeluarkan uap dingin. Tiba
tiba mulut sang resi berteriak.
"Pindah!"
"Rrrtrrttt"
Sepuluh larik sinar hitam yang melibat sekujur
tubuh Resi Garipasthika secara aneh terlepas lalu
dengan cepat melesat ke arah si nenek. Di lain kejap
tubuh si nenek kini yang terlibat dan digulung sepuluh
larik sinar hitam itu hingga dia berteriak-teriak marah
dan berusaha melepaskan diri dari ilmu kesaktian
miliknya yang mencelakai dirinya sendiri. Sambil
melangkah mundur menjauhi kakek jubah putih dia
mengeluarkan kutuk serapah.
"Resi jahanaml Aku bersumpah beralas bumi
beratap langit! Aku akan datang lagi mencari dan
membunuhmu!"
Resi Garipasthi ka geleng-gelengkan kepala. "Ilmumu banyak. Semua hebat-hebat. Sayang
mengapa dipergunakan untuk kejahatan? Sekarang
biar aku membantumu agar bisa lebih cepat pergi dari
sini."
Sang Resi kebutkan tongkat bertapis benda putih
di tangan kiri ke udara. Hawa sangat dingin menebar.
Angin bertiup kencang. Si nenek menggigil. Sang
Resi kebutkan lagi tongkatnya satu kali. Saat Itu juga
seperti diterbangkan angin puyuh nenek kepala botak
melayang ke udara daan lenyap dalam kegelapan.
Resi Garipasthika menarik nafas lega namun
kemudian pandangannya membentur sosok jenasah
kakek botak yang telah menciut.
"Kau pergi susul temanmu!" Ucap sang Resi.
Sekali dia menyapukan tongkat berlapis benda putih
dingin maka mayat kakek botak melesat ke udara dan
menghilang di arah lenyapnya si nenek. Perlahanlahan kakek berjubah putih ini memutar tubuh,
berpaling ke arah Liris Pramawari. Jarak mereka
hanya terpisah dua langkah hingga si gadis dapat
melihat jelas wajah orang tua itu dan membuatnya
jadi tercekat.
Tidak percaya Liris Pramawari kembangkan
telapak tangan kanan lalu digoyang-goyang di depan
wajah si kakek. Sepasang mata berwarna putih dan
mengepulkan uap dingin Itu sama sekali tidak
bergerak.
"Kek. saya tidak percayai Apa benar yang saya
lihat Ini? Dua matamu buta?!"
Resi Garipasthika tersenyum.
"Dewa menakdirkan aku memiliki sepasang mata
berupa gumpalan salju..."
"Gumpalan salju...." Liris melirik ke arah tongkat
si kakek. Benda putih yang menggumpal melapisi
tongkat itu ternyata juga adalah salju. "Bagaimana
bisa begitu?"
"Ketika aku berusia tujuh tahun, seorang Brahmana
membawa aku ke Gunung Himalaya jauh di negeri
India sana. Aku melakukan tapa di puncak gunung itu
selama sepuluh tahun lebih. Ketika tapaku selesai dan
aku memperoleh berbagai macam ilmu kesaktian,
ternyata sepasang mataku menjadi buta, berubah
menjadi gumpalan salju. Benda apa saja yang aku
pegang bisa berubah menjadi es atau berlapis salju.
Seperti tongkat kayu Ini.Walau aku buta namun Yang
Maha Kuasa juga berlaku adil, memberikan berkah
hingga aku bisa melihat dengan apa yang disebut
Indera ke enam ditambah satu mata hati." Sambil
berkata kakek berjubah putih ini letakkan
telapak tangan kanannya di atas dada.
"Kek, apa benar kau seorang Resi?" tanya Liris
Pramawari.
"Menurut penglihatanmu apakah aku seperti
seorang begal atau juru sihir?"
"Mungkin dua-duanya!" jawab Liris Pramawari.
Si gadis cantik dan si kakek kemudian sama-sama
tertawa gelak-gelak.
"Aku bernama Garipasthika. Tapi orang lebih
suka menyebutku dengan panggilan Si Mata Salju..."
"Ilmu kesaktianmu luar biasa. Membuat saya
sangat kagum. Waktu kau melindungi diri saya dengan
Ilmu pinjaman milik si nenek Itu, saya tidak merasa
sakit walau kena jotos telak di bagian dada. Tapi
mengapa ada darah yang menyembur dari mulut
saya? Apakah saya benar-benar tidak terluka di
dalam?"
Si kakek tersenyum. Lalu dia memandang
berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang lain di
tempat itu maka diapun berkata.
"Darah yang keluar dari mulutmu sebenarnya
adalah darah haid. Coba kau hitung, bukankah saat
Ini sudah saatnya kau datang bulan...?"
"Hueekkk"
Liris Pramawari keluarkan suara seperti orang
muntah. Perutnya terasa mual. Setelah meludah
berulang kali dan mengusap wajahnya yang mendadak dingin keringatan, dia berkata.
"Kau bicara melanturl Mana ada perempuan haid
dari mulut Ibu saya saja tidak tahu kapan saya akan
haid...."
Si kakek bermata salju tertawa.
"Sudahlah, aku tadi cuma menjelaskan. Kau mau
percaya atau tidak suka-suka kau saja. Kalau nanti
kau ternyata tidak haid, berarti apa yang aku jelaskan
bukan ucapan melantur..."
Diam-diam Liris Pramawari menghitung-hitung
dalam hati. Apa yang dikatakan sang Resi memang
benar. Hari ini seharusnya memang dia sudah
mendapat haid. Tapi bagaimana mungkin?
"Kek. apakah untuk selanjutnya aku akan haid
seperti Ini lagi? Keluar dari mulut?"
Resi Garipasthika tersenyum.
"Tentu saja tidak...."
"Lalu apakah ilmu kebal yang kau pinjamkan milik
nenek Itu saat Ini masih melekat di tubuh saya?"
SI orang tua menggeleng.
"Sesuatu, apa saja yang kita pinjam, harus
dikembalikan pada pemiliknya. Sekalipun si pemilik
adalah orang jahat. Ilmu kesaktian Itu sudah kembali
pada nenek tadi. Jadi mulai sekarang kau harus
berhati-hati lagi."
"Kek. saya..."
"Sudah. Sekarang Jangan bicara dulu. Ada
sesuatu yang harus segera aku lakukan."
Resi Garipasthika memandang ke bawah. Saat
itu dia masih menginjak Golok Empat Mulut
Penghirup Darah. Mulutnya merapal panjang hingga
mengeluarkan uap putih dingin. Hawa sakti dan
tenaga dalam dialirkan ke kaki kiri. Kaki diangkat lalu
diinjakkan kembali ke badan golok seraya berucap.
"Perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Golok di bawah kaki si kakek pancarkan cahaya
putih. Begitu cahaya lenyap golok besar yang tadi
tampak samar kini terlihat nyata dan utuh.
"Mana sarungmu!"
Resi Garipasthika kembali merapal lalu mengangkat
kaki kiri untuk kemudian diinjakkan lagi ke badan
golok. Seperti tadi muncul cahaya putih lalu lenyap.
Aneh. Golok di bawah kaki yang tadi telanjang kini
kelihatan sudah terbungkus sarung, terbuat dari
Gading. Si kakek membungkuk mengambil Golok
Empat Mulut Penghirup Darah lalu diserahkan pada
Liris Pramawari.
"Anak gadis keponakanku, ambil dan simpan
senjata mustika sakti ini. Kau memiliki kewajiban
untuk nanti membawanya ke puncak Gunung
Mahameru, menyerahkan pada pewarisnya."
Liris Pramawari ternganga lalu cepat-cepat
melangkah mundur.
7.
MENDUKUNG SANG RESI
SEPASANG mata salju yang mengepulkan uap
dingin Resi Garipasthika menatap ke arah Liris Pramawari.
"Ada apa keponakanku?" Untuk kesekian kalinya
Resi ini menyebut si gadis sebagai keponakannya. "Apakah kau tidak mau menolongku?"
"Bukan tidak mau menolong. Tapi saya belum
pernah ke Gunung Mahameru. Saya tidak
pula kenal dengan pewaris golok sakti itu." Jawab Liris
Pramawari.
"Para Dewa akan membimbingmu ke puncak
Mahameru dan mempertemukanmu dengan pewaris
yang berhak memiliki golok sakti itu Perihal kapan
kau akan pergi ke sana dan menyerahkan itu terserah
pada kehendak Para Dewa. Bukankah yang disebut
langkah dan pertemuan itu adalah kehendak dan
hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"
"Tapi Kek..."
"Sudah, aku titipkan senjata Ini padamu."
SI kakek gerakkan tangan yang memegang golok
bersarung gading. Tahu-tahu senjata Itu lenyap dari
pegangannya. Ketika Liris Pramawari meraba ke
belakang tubuh, ternyata pedang Itu telah tersisip di
balik punggung pakaian putihnya, hanya gagangnya
yang tersembul. Gadis itu terpaksa menyerah.
Resi Garipasthika tersenyum.
"Bagus, berbuat sedikit kebajikan hari Ini, besok
sedikit lagi, lusa ditambah sedikit lagi, lama-lama
bukankah akan menjadi segunung kebajikan...."
Ucapan sang Resi membuat Liris Pramawari
terkejut "Hyang Jagat Bathara Dewa! Bagaimana aku
sampai terlupa kalau aku masih punya sekian banyak
kewajiban?" Ucap orang tua ini....
Tidak sengaja sepasang mata Liris Pramawari
memperhatikan tangan kanannya.
"Sang Hyang Jagat Bathara!" SI gadis kembali
mengucap. Tiga ujung jari tangan kanan yang
sebelumnya dipatahkan sendiri untuk menghindari
racun senjata rahasia yang dilemparkan manusia
berkepala anjing saat itu telah berada dalam keadaan
utuh meski tetap dalam bentuk tanpa kulit tanpa
daging.
"Apakah hari ini aku telah berbuat kebajikan?"
Liris bertanya pada diri sendiri sambil menatap Resi
Garipasthika.
"Kek, kau...kau tahu apa tentang diri saya?"
"Aku sudah berulang kali menyebut dirimu
sebagai keponakan. Kalau kau keponakanku masakan
aku tidak tahu menahu tentang dirimu?"
"Jujur saja Kek. Saya bukan keponakanmu
benaran 'kan?"
Sang resi tertawa mengekeh hingga uap putih
dingin keluar mengepul-ngepul dari mulutnya. "Benar
atau bohong apa perlu dipersoalkan? Sekarang
apakah kau tidak Ingin tahu siapa dua kakek botak
yang hendak membunuhmu tadi?"
"Tentu saja Kek. Saya juga ingin tahu mengapa
mereka sebelumnya menghadang dan hendak
membunuhmu."
"Sepasang kakek nenek botak itu adalah orangorang dari selatan tapi lebih banyak gentayangan di
kawasan utara, di Bhumi Mataram. Mereka mengaku
diri sebagai Dewa Dewi Penjuru Angin. Nama yang
terlalu berat dan sangat tidak pantas karena menebar
kejahatan, mengalirkan darah dan membegal nyawa
orang tidak berdosa. Yang lelaki bernama Durangga,
si nenek yang tadi kabur bernama Arvpadi. Mereka
selalu berduaan kemana-mana dan menjalani hidup
sebagai suami istri tanpa perkawinan yang syah.
Mereka jahat dan mesum"
"Lalu mengapa mereka hendak membunuhmu Kek?"
"Aku dalam perjalanan mencari seorang bayi.
Mereka berusaha menghalangi aku mendapatkan bayi
itu. Untuk itu tidak ada cara lain. Mereka harus
membunuhku!"
Ucapan Resi Garipasthika membuat Liris Pramawari
terkejut
"Seorang bayi atau dua orang bayi Kek?" Si gadis
bertanya ingin memastikan.
Orang tua buta yang berjuluk SI Mata Salju
tertawa.
"Kau sudah tahu ceritanya. Aku hanya butuh satu
saja diantara dua bayi. Kalau aku mengambil kedua-duanya bukankah terlalu serakah? Ketahuilah Para
Dewa paling tidak suka pada orang yang serakah"
"Kek, kalau keponakanmu Ini boleh tahu, mengapa
kau menginginkan bayi itu? Bukankah itu berarti kau
hendak melakukan penculikan? Itu lebih jahat dari
keserakahan."
Sepasang alis putih Resi Garipasthika naik ke atas.
Sesaat kakek ini terdiam. Lalu setengah mengulum
senyum orang tua ini berkata.
"Mengambil barang orang lain untuk maksud jahat
memang adalah kejahatan. Tapi mengambil barang
orang lain untuk kebaikan mana bisa dikatakan
kejahatan. Demikian juga dengan maksudku
mengambil bayi itu. Kalau aku mengandung niat jahat
kau boleh mengatakan aku menculiknya. Tapi karena
aku punya maksud baik menyelamatkannya dan kalau
Dewa mengizinkan aku punya niat memberikan
sesuatu untuk pegangan hidup padanya. Maka
perbuatanku itu namanya bukan penculikan.
Liris Pramawari tertawa.
“Terserah padamu Kek, kau mau menyebut apa
nama perbuatanmu itu. Aku tidak mau ikut campur
urusanmu..."
"Bagaimana mungkin. Kau justru sudah terlibat!" Jawab Resi Garipasthika pula.
"Maaf Kek, aku pernah membaca dalam sebuah
Kitab Agama. Disitu ada kalimat yang berbunyi begini.
Manusia dilarang mengambil barang kepunyaan orang
lain...."
"Kalimat itu betul. Tapi aku mengambil bayi itu
bukan dengan maksud untuk memilikinya. Justru
untuk melindunginya, sekaligus berbakti pada
Kerajaan Bhumi Mataram..."
"Kek, apakah kau ini penjelmaan Roh Agung...".
Resi Garipasthika tertawa mengekeh. Setelah
mengusap wajah dia berkata.
"Keponakanku, kau sudah tahu sebagian cerita
Kalau begitu sekarang bantu aku mencari bayi itu.
Kita berjalan ke arah timur. Aku harap kau mau
menggendongku di punggungmu."
"Apa Kek?" Kejut Liris Pramawari.
"Apakah kau tidak ingin berbuat kebajikan lagi?"
"Tentu saja mau Kek. Tapi menggendongmu di
punggungku, membawamu ke mana-mana dalam
perjalanan yang bisa satu hari bisa satu minggu
mungkin bulan berbulan-bulan, saya mohon maaf
Kek."
"Aku tahu diri. Tua bangka jelek begini siapa
yang mau mendukung. Eh, kalau aku ini seorang
pemuda gagah apakah kau mau menggendongku?"
"Tetap saja tidak Kek. Kecuali kau adalah ibu
saya, maka apapun yang kau katakan pasti saya
lakukan."
"Begitu?" Ujar SI Mata Salju sambil menatap
dengan sepasang mata putihnya ke arah Liris
Pramawari. "Kalau begitu maka kau akan menggendong ibumu..." Tiba-tiba tubuh tang Resi dipijari
cahaya putih.
Liris Pramawari terpekik.
"Tidak mungkin!" teriak gadis Ini.
Di hadapannya kini seorang perempuan, yang
dari sosok serta raut wajahnya adalah sangat
menyerupai Suri Dhuranl, ibunya yang mati dibunuh
Sangga Wikerthi. (Baca serial sebelumnya berjudul "Dewi Tangan Jerangkong")
"Ibu...?
"Anakku, apakah kau kini bersedia menggendong
diriku?"
Perempuan di hadapan Liris Pramawari keluarkan ucapan. Dan suara perempuan Ini ternyata juga
sama dengan suara sang ibu yang telah tiada itu!
Liris Pramawari jatuhkan diri di hadapan sosok
sang ibu.
"Anakku, aku tidak menyuruh kau berlutut Aku
memintanya agar kau mau menggendongku."
"Ibu, saya akan menggendongmu kemana yang
kau inginkan. Sekalipun sampai ke ujung dunia..."
"Anakku, ketulusan hati serta budi baktimu
merupakan satu kebajikan, bagaimanapun kecilnya.
Berdirilah, aku bukan bayi cengeng yang ingin
digendong kemana-mana. Aku hanya ingin menguji
dirimu..."
Saat itu juga sosok perempuan menyerupai ibu
Liris Pramawari lenyap dan berubah kembali ke
bentuk dan sosok Resi Garipasthika.
"Ibu...Kakek, siapapun kau adanya saya tidak
akan mengingkari janji. Saya tidak akan berdiri
sebelum kau naik ke punggung saya..."
"Keponakan nakal. Baik, sekedar untuk menyenangkan dirimu aku akan naik ke punggungmu."
Si kakek lalu naik ke punggung Liris Pramawari.
Gadis ini bangkit berdiri lalu mulai melangkah
membawa kakek yang digendong di atas punggung.
Baru menindak tiga langkah Liris berhenti Dia merasa
heran.
"Keponakanku, baru beberapa langkah berjalan
kau sudah berhenti. Apa kau keletihan? Apakah
tubuhku seberat gunung?"
Tidak Kek. Justru saya tidak merasa apa-apa.
Tubuhmu seringan kapas...." Jawab Liris Pramawari.
Gadis ini sapukan tangan kiri ke belakang ke arah
bahu kakek yang digendongnya Dia tidak merasa apaapa selain menyentuh udara malam yang dingin. Dia
berpaling kebelakang. Bathara Agungi Sosok Resi
Garipasthika tidak ada lagi di atas punggungnya!
8.
PETUNJUK DI DALAM JURANG
FAJAR telah menyingsing. Dasar Jurang dimana
Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya berada
kini mulai terang. Kemanapun mata memandang
segala sesuatunya tampak Jelas.
Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya duduk di atas
satu bongkahan batu besar sambil memangku dan
mengusap Ragil Abang, kucing milik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dia memandang sekeliling dasar
Jurang yang luas.
"Hampir setengah malaman kita berada di sini.
Sekarang fajar telah menyingsing. Semua kelihatan
jelas di dasar jurang luas Ini. Tapi kita tidak
menemukan apa-apa..." Yang berkata adalah si
gemuk pendek Si Tambur Bopeng.
"Pangeran, apa yang harus kita lakukan.
sekarang?" bertanya Si Suling Burik. Sampai saat itu
kedua orang tersebut masih setia ikut mendampingi
Pangeran Bunga Bangkai.
Kelopak bunga bangkai yang menjadi kepala
Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu bergerakgerak. "Dua sahabat, kita memang belum menemukan
apa-apa yang menjadi petunjuk. Tapi aku yakin dasar
jurang yang terjadi di bekas Sumur Api ini pernah
menjadi tempat tinggal kediaman istriku. Aku bisa
mencium harum melati bau tubuhnya yang tertinggal
di tempat Ini. Pertanda dia pernah berada di sekitar
sini. Tapi aneh, mengapa tidak ada apa-apa di sini?
Jangankan benda hidup, benda matipun tidak
kelihatan. Mana bangunan bagus yang dulu aku
pernah tinggal bersamanya selama tujuh malam?
Mana taman indah penuh bunga mekar menebar bau
wangi serta pedataran berumput hijau segar yang
pernah kulihat Semua sirna. Mana istriku, mana dua
bayi itu. Agaknya Para Dewa belum mengizinkan aku
bertemu dengan mereka. Karena diriku belum bersih
dan belum keluar dari hukum kutukan..." Sang
Pangeran terdiam sesaat Terdengar desah tarikan
nafasnya berulang kali. Kemudian dia ingat sesuatu.
"Dua sahabatku, ketika kita melayang turun ke dalam
jurang aku mendengar suara angin berdesau. Namun
sekarang aku menduga suara yang kudengar
sebenarnya adalah suara tangisan bayi. Apakah kalian
berdua mendengar suara itu?"
"Kami memang mendengar. Pangeran. Namun
seperti Pangeran saat itu kami tidak punya dugaan
apa-apa. Suara gemuruh angin mengacaukan
pendengaran kami..." Menjawab SI Suling Burik.
"Pangeran, kalau kau mengizinkan, kami berdua
akan mengeluarkan apa yang mungkin terkubur di
bawah lapisan dasar jurang ini." Berkata Si Tambur
Bopeng, lelaki gemuk pendek yang mukanya bopeng
dan membawa tambur yang diikat di pinggang, di
gantung di atas perut
"Benar Pangeran, siapa tahu dengan kehendak
Para Dewa kita menemukan benda-benda yang bisa
memberi petunjuk." Kata Si Suling Burik menyambung kata-kata Si Tambur Bopeng.
"Lakukan opa yang bisa kalian perbuat. Tapi hatihati, jangan sampai kesalahan tangan yang menyebabkan aku semakin jauh dari istri dan anak-anakku.
Mudah-mudahan Para Dewa menolong kita," kata
Pangeran Bunga Bangkai menyetujui pendapat kedua
pengiringnya.
Maka Si Tambur Bopeng mulai menabuh tambur.
Si Suling Burik segera meniup seruling peraknya.
Dasar jurang dan dinding yang mengeliling bergetar
hebat Di beberapa bagian tampak tanah menjadi retak.
Lalu terdengar suara bergemuruh ketika sebagian
demi sebagian dasar jurang itu melesat berhamburan
ke atas. Namun sebegitu jauh yang bermentalan ke
udara hanyalah bongkahan tanah dan bebatuan.
Tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah besar
mengeong keras.
Kepala Bunga Bangkai sang Pangeran mendongak
ke atas.
“Tahan!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Sekali
bergerak sambii mengepit kucing merah di ketiak kiri
tubuhnya melesat tiga tombak ke udara Di lain kejap
tangan kanannya dengan cepat menangkap sebuah
benda berlumuran lumpur yang melayang di udara.
Setelah turun kembali ke dasar jurang, Pangeran
Bunga Bangkai cepat membersihkan lumpur yang
melekat Ternyata benda itu adalah sebuah piala kecil
berkilat terbuat dari perak. Sambil memperlihatkan
piala itu pada kedua pengiringnya Pangeran Bunga
Bangkai berkata. Suaranya tersendat haru.
"Setiap aku datang selama tujuh malam berturutturut, istriku selalu menyediakan minuman sejuk
berupa embun murni di dalam piala perak ini. Jelas
sekali dia memang pernah ada di sini. Di dasar Sumur
Api ini. Tapi dimana dia sekarang gerangan. Wahai
istriku. Bahkan namamupun aku tidak pernah tahu..."
Pangeran Bunga Bangkai mencium piala berulang
kali. Kuncup hijau di kepalanya bergerak-gerak, bunga
kuning berbintik coklat bergetar lalu dipenuhi titiktitik air seolah tetesan air mata. Mahluk malang ini
kembali duduk di atas bongkahan batu besar. Dia ingat
pada gadis berpakaian dan berkerudung putih yang
ditemuinya sebelum masuk ke dalam jurang.
"Gadis bertangan jerangkong itu. Wajahnya sangat
mirip dengan istriku. Suaranya juga sangat sama..."
"Pangeran." berkata Si Tambur Bopeng. "Kalau
tidak keliru kami mengingat, bukankah dulu Pangeran
pernah bercerita kalau Pangeran tidak pernah
mendengar suara istri Pangeran karena setiap dia
bicara dari mulutnya tidak keluar suara apa-apa"
"Kau benar sahabatku," jawab Pangeran Bunga
Bangkai. "Tapi aku mendengar bukan dengan dua
telingaku. Aku mendengar dengan telinga hatiku. Aku
mendengar jernih suaranya walau tidak jelas
mendengar apa yang diucapkan. Itu saiah satu berkah
dari Para Dewa walau Mereka telah memberikan
kutukan padaku..."
"Dewa penuh rakhmat, penuh keadilan..."Ucap
Si Suling Burik.
"Pangeran, kau ingat perempuan gemuk pemilik
kucing merah ini yang bernama Ratu Dhika GelangGelang?" Bertanya Si Suling Burik.
"Aku ingat. Ada apa dalam pikiranmu sahabatku?"
"Aku punya dugaan dia ada sangkut paut dengan
istri Pangeran serta dua bayi itu..."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" Kembali
Pangeran Bunga Bangkai bertanya.
"Pada malam kedatangan kita ke Sumur Api,
kalau tidak ada sangkut paut, dia tidak akan berada
di sekitar Sumur Api. Lalu tubuhnya amblas ke dalamsakti yang membawanya. Dia
tahu satu tempat yang tidak boleh diinjak oleh
binatang hidup apapun. Ratu Dhlka Gelang Gelang
pasti dibawa ke tempat itu. Jika kita bisa menemui
mungkin dia dapat memberi tahu keberadaan istri
Pangeran serta dua bayi."
Pangeran Bunga Bangkai bangkit berdiri.
"Apa nama tempat itu. Dimana letaknya?" Sang
Pangeran bertanya.
"Candi Miring. Terletak di bukit gersang..."
Pangeran Bunga Bangkai gerakkan kepalanya ke
arah atas jurang.
"Kita akan pergi ke sana. Tapi tidak saat ini. Aku
akan melakukan samadi pendek. Mungkin bisa
membantu menjajagi dimana beradanya Istriku. Kita
akan tetap berada di sini menunggu sampai matahari
tenggelam dan malam kembali datang."
"Kalau begitu, sementara Pangeran berada di
sini, kami akan naik ke atas berjaga-jaga. Pada saat
sang surya tenggelam kami akan turun kembali ke
sini..."
"Pergilah, aku merasa lebih tenteram berada di
dasar jurang Ini," jawab pangeran Bunga Bangkai.
KETIKA akhirnya matahari tenggelam di ufuk
barat dan dua pengiring Pangeran Bunga Bangkai
turun ke dasar jurang kembali, mereka melihat sang
Pangeran duduk bersila di atas bongkahan batu.
Kucing merah Ragil abang duduk di tanah di samping
batu. Di atas batu di hadapan Pangeran Bunga Bangkai
terletak piala perak. Di balik pakaiannya Pangeran
mengeluarkan secarik kain berwarna merah muda.
Potongan kain ini adalah sebagian dari sapu tangan
merah yang dirobek oleh Ananthawuri dan diberikan
pada Pangeran Bunga Bangkai pada malam terakhir
sebelum mereka berpisah.
Pada saat cahaya sang surya lenyap dan jurang
diselimuti kegelapan Pangeran Bunga Bangkai mulai
melakukan samadi.
Menjelang tengah malam ketika samar-samar
dalam semadinya Pangeran melihat satu bayangan
bangunan, piala di atas batu bergetar keras. Tiba-tiba
dari atas jurang melesat masuk tiga larik cahaya.
Merah, biru dan hitam.
Tiga cahaya menyambar piala perak hingga
hancur berkeping-keping. Namun anehnya potongan
sapu tangan merah muda yang ada di dalam piala
sama sekal! tidak rusak sedikitpun. Sapu tangan ini
melayang ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh
kembali di haribaan Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik berteriak
keras lalu sama-sama melesat ke atas jurang. Tambur
ditabuh suling ditiup. Sampai di atas jurang mereka
tidak menemukan apa-apa.
"Tidak ada siapa-siapa di atas sini. Serangan
cahaya tiga warna itu pasti dikirim dari tempat jauh..."
Berkata Si Tambur Bopeng.
Si Suling Burik menyahuti. "Kita sudah baberapa
kali melihat cahaya tiga warna Ini. Cepat kembali ke
dasar jurang. Aku kawatir..."
Ketika kedua orang itu sampai di dasar jurang
kembali, mereka melihat Pangeran Bunga Bangkai tak
kurang suatu apa. masih duduk bersila sambil
meletakkan lipatan sapu tangan merah muda di atas
dadanya.
"Pangeran, agaknya ada orang yang tidak ingin
kau berhasil menjajagi dimana keberadaan istri dan
anakmu." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ada orang jahat, mengapa ia tidak langsung
membunuh diriku?" Ucap Pangeran Bunga Bangkai.
"Mungkin hal Ini sengaja dilakukan. Orang jahat
itu bisa melakukan banyak hal jika Pangeran masih
hidup. Dia hanya berusaha memutus jalan agar
Pangeran tidak sampai menemui istri dan dua bayi.
Mungkin hal itu dilakukan hanya untuk sementara.
satu saat dia tetap akan mencelakai Pangeran..." Yang
menjawab adalah Si Suling Burik.
"lalu mengapa hanya piala yang hancur, padahal
sapu tangan merah muda ada di dalam piala." Kata
pangeran Bunga Bangkai pula.
"Saya punya dugaan, piala itu bukan milik
langsung Istri Pangeran. Sementara sapu tangan
adalah milik istri Pangeran. Sapu tangan mendapat
perlindungan Para Dewa sedang piala perak tidak..."
"Sahabatku Tambur Bopeng, ucapanmu mungkin
betul, tapi mengapa pengendali cahaya tiga warna
juga tidak membunuhmu dan Suling Burik?"
Untuk beberapa lamanya dasar jurang yang gelap
itu diselimuti kesunyian. Tidak ada yang bicara.
"Suling Burik," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai
memecah kesunyian. "Turut apa yang kau katakan
tadi, jika orang jahat itu sengaja membiarkan aku
hidup, berarti dia juga ingin kalian berdua tetap
hidup. Untuk sementara, tapi untuk maksud apa?"
Suling Burik dan Si Tambur Bopeng saling pandang.
Entah mengapa bulu tengkuk kedua orang ini tiba-tiba
jadi merinding.
Mendadak di atas jurang sana terdengar suara kuda
meringkik menyusui suara derap kaki kuda banyak
sekail, lalu lenyap dan sepi kembali.
"Kuda meringkik di malam buta. Semakin banyak
keanehan di tempat ini..." Berucap Si Suling Burik
sambil mendongak menatap ke atas jurang.
"Dua sahabatku, kita harus segera meninggalkan
tempat ini."
"Kita mau pergi kemana, Pangeran?" tanya Si
Tambur Bopeng.
"Sebelum cahaya tiga warna muncul menghancurkan piala, aku sempat mendapat petunjuk Yang
Maha kuasa. Dalam samadlku aku sempat melihat
samar bangunan candi. Berdiri agak miring..."
"Candi Miring" seru Si Suling Burik.
"Berarti istri Pangeran ada di candi itu" Kata Si
Tambur Bopeng.
"Mungkin juga dua anakku." Ujar Pangeran
Bunga Bangkai. Lalu dia berlutut di tanah sambil
tampungkan dua tangan. "Para Dewa, betapapun
besarnya hukumanMu padaku, namun aku percaya
kau akan tetap melindungi diriku, istriku dan dua
anakku. Wahai Para Dewa, aku mohon, pertemukan
diriku dengan mereka..."
Ragil Abang si kucing merah mengeong lalu
melompat ke atas bahu Pangeran Bunga Bangkai. Si
Tambur Bopeng dan Si Suling Burik siap melangkah
mencari tempat yang baik untuk menjejak dan
melompat ke atas. Mereka merasa menginjak sesuatu.
Ketika Si Tambur Bopeng memandang ke bawah
ternyata saat itu kaki kirinya menginjak sebatang
tongkat kayu. Di Sebelahnya Si Suling Burik tengah
memperhatikan kaki kanannya, melihat ada sebuah
kitab dibawah telapak kakinya. Dia berseru kaget dan
cepat-cepat mengangkat kaki lalu mengambil kitab.
Sambil menjunjung kitab di atas kepala mulutnya
berucap berulang kali.
"Wahai Para Dewa. Mohon ampun dan maaf Mu.
Aku tidak tahu kalau tadi menginjak Kitab Weda..."
"Sahabat berdua, ada apa? Pangeran Bunga
Bangkai bertanya. Ketika dia melihat benda yang ada
di tangan dua sahabatnya itu terkejutlah sang
Pangeran. "Tongkat kayu dan Kitab Suci Weda...Aku
pernah melihat benda-benda ini di dalam kamar
istriku. Jelas sekali, ini petunjuk dari Dewa bahwa
istriku dan juga dua bayi itu sebelumnya memang
ada di sini. Di dasar Sumur Api."
Pangeran Bunga Bangkai bersihkan tanah yang
melekat di tongkat dan kitab. Lalu dia menyerahkan
kitab pada Tambur Bopeng dan tongkat kayu pada
Suling Burik.
"Kalian berdua, simpan tongkat dan kitab itu
baik-baik. Sekarang saatnya kita meninggalkan
tempat ini."
Seperti diriwayatkan dalam serial pertama
berjudu!"Perawan Sumur Api", tongkat dan Kitab
Weda itu adalah milik orang tua bernama Dhana
Padmasutra yang menemui Ananthawuri di halaman
Candi Loro Jonggrang. Orang tua ini kemudian
menemui ajal di tangan Setunggul Langit, anak buah
Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau sendiri anak
buah Arwah Ketua yang khianat dan kemudian
dihukum oleh Arwah Ketua dengan menjadikan
dirinya sebagal ganjalan dinding selatan Candi
Miring.
Tak lama kemudian ke tiga orang itu melesat
keluar dari dalam jurang, sayup-sayup terdengar
suara ngeongan Ragll Abang si kucing merah
peliharaan ratu Ohlka Gelang Gelang yang saat itu
mendekam di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
9.
TENUNG ARWAH DI HUTAN JATI
DALAM gelapnya malam candi besar yang berdiri
miring di bukit gersang dan disaput kabut nampak
angker. Candi yang memiliki beberapa menara Ini
konon dibangun oleh Raja Kedua Kerajaan Mataram
Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Sejak
didirikan candi ini tidak pernah dipergunakan, tidak
pernah didatangi orang apa lagi ada yang mendiami.
Dari mulut ke mulut tersebar cerita bahwa candi yang
kemudian diberi nama Candi Miring itu dihuni oleh
berbagai mahluk halus dari alam arwah. Bilamana ada
mahluk yang bernama manusia berani datang ke
tempat itu maka pastilah dia seorang yang memiliki
ilmu kesaktian sangat tinggi. Yang tidak takut pada
segala macam mahluk halus penghuni candi, malah
bisa berhubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.
Ketika di kejauhan terdengar suara raungan anjing
hutan, di langit di atas Candi Miring melesat satu
benda hitam yang kemudian melayang turun dan
berubah menjadi seekor Burung Hantu jejadian
berwarna hitam legam. Binatang ini hinggap di
puncak salah satu menara candi. Setelah
mengepakkan sayap, sosoknya berubah menjadi ujud
seorang pemuda berpakaian hitam yang keseluruhan
tubuh berwarna hitam termasuk kedua matanya.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya Arwah Hitam
Pengawai Malam, datang untuk membawa kabar.
Saya melihat tiga orang menyusup di hutan jati
ke arah pedataran yang ditumbuhi alang-alang.
Tanda-tanda menunjukkan mereka hendak menuju
ke Candi Miring. Mohon petunjukmu apa yang
harus saya lakukan."
Sebagai jawaban terdengar suara mengorok
panjang disertai hembusan angin yang memerihkan
kulit dan mata.
"Arwah Hitam Pengawai Malam. Kau selalu
datang membawa ketololan di masa lalu. Sebelum
datang ke tempat ini apa kau sudah menyelidik siapa
ketiga orang itu? Mana bisa aku membuat keputusan
kalau kabar yang kau berikan tidak lengkapi Kalau
kau masih tolol seperti yang sudah-sudah mungkin
kau lebih berguna aku jadikan ganjalan dinding candi
di sebelah selatan, menemani Arwah Muka Hijaui"
Kulit hitam wajah Arwah Hitam Pengawal Malam
sekilas berubah kelabu. Sambil tundukkan kepala
bungkukkan badan dia berkata.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya mohon maaf dan
ampunmu. Saya sudah coba menyelidik. Namun salah
seorang dari mereka tubuhnya mengeluarkan bau
busuk yang sangat santar hingga ketika saya coba
menyelidik yang terlihat hanya ujud samar karena
kepala saya menjadi pusing dan pandangan mata
menjadi nanar...."
"Kalau begitu, sebelum malam berganti siang
bunuh ke tiganya."
"Baik Kanjeng Arwah Ketua. Perintah Kanjeng
akan saya lakukan..."
"Tunggu." Tibe-tiba ada seseorang berkelebat
yang menimbulkan angin kencang disertai suara
perempuan berseru. "Rakanda Arwah Ketua, jangan
bunuh ke tiga orang itu. Aku yakin mereka adalah
orang-orang yang bersahabat dengan diriku. Paling
tidak pernah menolongku ketika Sumur Api diserbu
sembilan tokoh rimba persilatan..."
"Radinda Ratu! Kalau kenal ke tiga orang itu
mengapa tidak menerangkan siapa mereka secara
jelas biar aku membuat pertimbangan mau diapakan
ketiganya!"
Mahluk bernama Arwah Ketua yang menjadi
penguasa dan penghuni Candi Miring keluarkan suara
menggembor pertanda kesal. Mengenai siapa adanya
Arwah Ketua dan riwayat candi angker itu harap baca
riwayatnya dalam serial sebelumnya berjudul "Arwah Candi Miring"
"Rakanda mereka adalah mahluk bernama Pangeran
Bunga Bangkai bersama dua sahabatnya yaitu orang
sakti bernama Tambur Bopeng dan Suling Burik..."
Ratu Dhika Gelang-Geiang yang ada bersama Arwah
Ketua memberi tahu.
"Ah...mereka rupanya. Bukankah aku pernah
memberi tugas padamu untuk mengawasi Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik?"
"Benar rakanda Arwah Ketua. Ternyata mereka
bukan orang jahat dan kini bersahabat serta menjadi
pengiring Pangeran Bunga dari Kerajaan
Tarumanegara itu..."
"Hemmm..." Arwah Ketua keluarkan suara
menggumam. "Mungkin mereka bukan orang jahat.
Tapi maksud mereka menuju tempat ini bukan lain
untuk mencari Ananthawuri bersama dua bayinya!"
"Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi Rakanda
Arwah Ketua. Karena kalau Rakanda sudah tahu siapa
mereka mohon mereka bertiga jangan dibunuh."
"Baiklah, memenuhi pintamu aku tidak akan
membunuh mereka. Tapi cukup memendam ketiganya
selama delapan purnama di dalam tanah. Kau tahu
apa akibatnya kalau Pangeran itu berhasil menemui
istri dan dua putera sebelum waktu yang ditetapkan
Para Dewa."
"Terima kasih Rakanda Arwah Ketua. Aku mengerti.
Tapi rasanya, memendam mereka selama delapan
purnama di dalam tanah bagiku masih terasa sangat
tidak adil. Padahal belum ketahuan apakah mereka
berniat baik atau jahat.."
"Radinda Ratu, kau ingin melihat Para Dewa
murka karena apa yang telah Mereka rencanakan sejak
bertahun-tahun lalu akan jadi berentakan? Lebih dari
Itu kau Ingin menyaksikan Bhumi Mataram dilanda
kehancuran karena dua putra terbaik yang diharapkan
akan menjadi kesatria pamungkas kejahatan di masa
depan akan menjadi dua manusia tidak berguna atau
terbunuh sebelum dewasa dan sempat berbakti pada
Kerajaan?"
"Rakanda Arwah Ketua, aku memang tidak berpikir
sampai sejauh itu. Karena terkadang aku punya
pikiran, berprasangka buruk pada orang lain
merupakan satu dosa yang tersembunyi yang kelak
akan muncul di kemudian hari pada saat hari
perhitungan di alam baka." Jawab Ratu Dhika Gelang
Gelang yang telah dibawa secara paksa oleh Arwah
Ketua sebelum Sumur Api meledak.
"Radinda, kita saat ini masih hidup di alam nyata.
Perlu memperhitungkan segala sesuatunya dengan
sangat hati-hati karena apa yang kita perbuat akan
kembali menjadi tanggung jawab di pundak kita
masing-masing. Aku tahu, kurasa kau juga tahu,
begitu banyak bangsa manusia juga mahluk gaib yang
suka mencuci tangan dari segala tanggung jawab."
Ratu Dhika Gelang-Gelang terdiam beberapa
lamanya.
"Apakah pembicaraan ini sudah selesai sampai
di sini Radinda Ratu? Atau ada yang masih hendak
kau sampaikan?' bertanya Arwah Ketua.
"Kalau boleh, bukankah Rakanda memiliki ilmu
tenung arwah yang disebut Melangkah Ke Depan.
Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang,
Arwah Tiba DI Depan. Melangkah Ke Samping Arwah
Berputar Di Tengah Tengah. Menurut hematku,
Rakanda cukup menerapkan ilmu itu pada mereka.
Sekarang mereka masih berada di hutan jati. Itu
tempat yang paling baik untuk menurunkan Tenung
Arwah sebelum mereka mencapai pedataran alangalang. Aku Juga teringat pada Ragil Abang. Kucing
merah peliharaanku itu pasti ada bersama Pangeran
dari Kerajaan Tarumanegara itu. Aku kawatir terjadi
apa-apa dengan dirinya walau sang Pangeran suka
padanya dan Ragil Abang bersikap penurut dan jinak
pada mahluk berkepala Bunga Bangkai itu."
"Radinda Ratu, kau tahu salah satu pantangan
besar di candi inil Tidak ada binatang sungguhan yang
boleh menjejakkan kakinya di dalam candi. Bahkan
binatang sungguhan melintas di halaman candi saja
sudah merupakan larangan besar!"
"Aku tahu Rakanda. Aku tidak akan membawa Ragil
Abang ke sini. Aku hanya mohon seperti yang tadi
kupinta..." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Radinda Ratu, kalau bukan kau yang meminta
mana mungkin aku mengabulkan. Tapi jika terjadi
apa-apa kau tetap akan memikul tanggung jawab
penuh..."
"Rakanda, jika terjadi apa-apa aku bersedia
dijadikan ganjalan dinding candi sebelah selatan. Asal
saja aku tidak ditelentangkan di bawah tubuh Arwah
Muka Hijau. Hik..hik..hik."
"Cara bicara dan sikapmu masih tidak berubah
dari dulu. Radinda Ratu Dhika Gelang Gelang, pergi
bersama Arwah Hitam Pengawal Malam. Terapkan
segera ilmu penyesat itu. Jangan lupa memberi tahu
pada Arwah Putih Pengawal Siang. Jika pekerjaanmu
sudah selesai lekas kembali menemuiku. Dua orang
bayi dan ibunya sudah berada di Candi Miring. Pada
hari pertama bulan ke tujuh dia harus di bawa keluar
candi agar bersentuhan dengan cahaya sang surya.
Sejak itu pula menjadi tugasmu untuk menjaganya
sampai turun petunjuk Dewa apa yang harus kita
lakukan kemudian terhadap dua anak itu. Aku sudah
menyiapkan daerah berbukit-bukit rendah di selatan
candi, satu daerah subur sejuk, ada taman bunga dan
kebun buah yang luas untuk tempat kedua anak itu
bermain. Lengkap dengan sebuah air terjun dan
telaga
kecil. Seluruh tempat itu sampai ke candi akan
kupagari dengan Ilmu Seribu Arwah Menutup Langit
Memagar Bumi. Sehingga tidak ada satu orangpun
mampu memasukinya...."
"Rakanda Arwah Ketua, aku mengucapkan terima
kasih. Aku dan Arwah Hitam Pengawal Malam mohon
diri sekarang juga..."
KICAU burung mulai memecah kesunyian. Di
kejauhan sudah beberapa kali terdengar suara kokok
ayam. Perlahan-lahan langit di sebelah timur berubah
terang tanda fajar mulai menyingsing. Di dalam hutan
jati Pangeran Bunga Bangkai hentikan langkah,
palingkan kepala anehnya kearah dua pengiring. "Setengah malaman lebih kita berjalan. Sampai
matahari tersembul dan malam berganti siangi Adalah
aneh kalau kita masih juga berada di dalam rimba
belantara hutan jati inil Dua sahabat kalau ucapanku
keliru harap kau memberi tahui"
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik
memandang ke atas, ke arah ujung dedaunan pohonpohon yang ada di sekitar mereka.
"Pangeran, ucapanmu tidak keliru. Aku melihat
ada bayangan sinar Jingga di pinggir dedaunan di
atas pohon. Itu adalah wama kesukaan para lelembut
Agaknya mahluk halus itu yang telah dipergunakan
oleh orang pandai untuk menurunkan tenung di dalam
hutan ini. Aku kawatir kita telah terjebak dalam satu
kekuatan gaib yang membuat kita hanya mampu
berputar-putar di dalam rimba belantara hutan jati ini.
Tidak mampu keluar sampai seratus tahun sekalipun!
Kecuali kita mengetahui kunci penembus kekuatan
gaib itu atau ada orang dari luar yang menolong. Tapi
siapa orang saktinya yang mampu mengeluarkan kita.
Sekali dia masuk ke dalam hutan ini maka dia akan
ikut terjebak bersama kita."
"Meong..."
Tiba-tiba Ragil abang yang ada di pundak kiri
Pangeran Bunga Bangkai mengeong keras lalu
melompat ke cabang pohon yang ada di dekat tempat
ketiga orang itu berdiri. "Kucing itu, apakah dia juga
ikut terjebak dan tak bisa keluar dari rimba belantara
ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tidak segera
memberi jawab melainkan sama-sama saling pandang.
Lalu Si Tambur Bopeng angkat dua tangannya yang
memegang penabuh. Tapi sampai ditabuh berulang
kali, tambur yang berada di atas perutnya sama sekali
tidak mengeluarkan suara.
Si Suling Burik dalam herannya cepat-cepat meniup
sulingnya. Tapi sampai mengedan-edan dan mukanya
menjadi merah, suling itu tidak mengeluarkan bunyi.
"Sahabat berdua, kita menghadapi satu kekuatan
luar biasa hebat Mendekati kekuatan Para Dewa," kata
Pangeran Bunga Bangkai pula. "Kalian belum
menjawab pertanyaanku tadi. Apakah Ragil Abang
juga terjebak seperti kita? Berada dalam kekuasaan
gaib itu?"
"Bilamana kekuatan gaib itu datang dari penguasa
Candi Miring yang hendak kita datangi, rasanya kucing
merah itu tidak akan terpengaruh. Binatang
sungguhan merupakan pantangan bagi Candi Miring..."
Mendengar ucapan SI Tambur Bopeng, Pangeran
Bunga Bangkai lambaikan tangannya ke arah kucing
merah di cabang pohon.
"Ragil Abang, kemarilah..."
Kucing merah mengeong perlahan lalu melompat ke
pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
"Sahabatku..." kata sang Pangeran sambil
mengusap tengkuk Ragil Abang. "Keluarlah dari
rimba belantara ini. Berjalan ke arah selatan hutan.
Cari pertolongan. Berlakulah hati-hati. Jangan sampai
tersesat dan berada di dekat Candi Miring. Apakah kau
mengerti ucapanku, sahabat?"
Ragil Abang menjilat tangan Pangeran Bunga
Bangkai. Setelah mengeong lembut dia melompat
turun, menyelinap ke balik deretan pohon jati dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Pangeran, kami menyesal telah membawamu
ke dalam keadaan seperti ini." Berkata Si Suling Burik.
Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa.
"Kita sama-sama satu nasib. Aku justru
mengawatirkan kalian. Aku punya firasat paling cepat
kita akan terkurung di hutan ini selama tujuh bulan.
Aku bisa bertahan hidup tanpa makan. Bagaimana
dengan kalian berdua. Apakah di hutan jati Ini ada
pohon berbuah yang bisa dimakan?"
"Bhumi Mataram bertanah subur. Di tanah gersang
sekalipun Yang Maha Kuasa menyediakan makanan
bagi siapa saja yang menjadi mahluk hidup..." Berkata
SI Tambur Bopeng.
"Kalau ini memang sudah suratan takdir Yang Maha
Kuasa, kita manusia bisa berbuat apa? Mari kita
mencari tempat yang baik. Kita akan melakukan tapa
tiga ratus hari. Mudah-mudahan Para Dewa akan
menolong kita keluar dari hutan ini..." Wajah dan
suara Si Suling Burik terdengar tabah. Dia memeluk
bahu sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu melangkah ke
arah timur hutan. Pangeran Bunga Bangkai mengikuti
dari belakang. Di tengah jalan dia meminta Kitab Weda
yang tadi diserahkan pada Si Tambur Bopeng. Sambil
berjalan sang Pangeran membaca kitab itu mulai dari
halaman pertama. Suara lafalnya ataupun mulut
berucap perlahan namun menimbulkan gema halus di
dalam hutan jati.
10.
MAHLUK DI BALIK TIRAI
MALAM dingin gelap gulita. Hujan turun lebat
sekail. Diantara suara deru angin dan gemertsik
daun pepohonan yang saling bergeser sayup-sayup
terdengar suara kepakan sayap. Tak lama kemudian
tampak sebuah benda hitam melayang terbang di
udara. Benda itu ternyata adalah seekor Burung Hantu
yang kemudian melayang turun lalu menjejak tanah di
antara dua batang pohon besar di dasar lembah.
Di dasar tanah yang disebut lapisan Ke Tiga di
Lembah Hantu, Panglima Pawang Sela masuk ke dalam
satu lorong batu sunyi dan redup. Didalam lorong Itu
terdapat tujuh lapis tirai tebal berlainan warna.
Panglima Pawang Sela hanya berani menyibak sampai
di tirai yang ke empat yaitu tirai berwarna Jingga. Kini
dia berdiri di hadapan tirai ke lima berwarna biru. Dia
tidak berani menyibak tirai ini karena Itulah batas
dimana dia boleh berada di dalam lorong batu. Untuk
beberapa lama dia berdiri diam sambil merapal
sesuatu lalu perlahan-lahan lelaki separuh baya
bertubuh tinggi kekar dan mengenakan Jubah serta
destar kuning ini berlutut di lantai seraya mulut
berucap.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, yang juga
saya sebut Si Maharaja Ke Delapan, mahluk arwah
alam gaib yang kita tunggu sudah datang. Saya mohon
izin untuk membawanya menghadap Junjungan..."
Dari balik tirai ke tujuh yang berwarna merah,
terpisah dua tirai dari tempat Pawang Sala berdiri saat
itu, keluar suara jawaban.
"Panglima Pawang Sela. Sebelum kau membawa
mahluk itu ke hadapanku, ada beberapa hal yang
perlu kutanyakan dan harus mendapat jawaban saat
Ini juga..."
"Junjungan, saya menunggu pertanyaan," kata
Panglima Pawang Sela sambil bangkit berdiri.
"Pertama, sudah berapa jumlah Tuman Keku yang
berhasil kau dapatkan sampat saat ini?"
"Saya Ingat sekail Junjungan. Jumlah sudah
mencapai enam puluh tiga. Saya masih menbutuhkan
delapan orang lagi..."
"Jumlah tujuh puluh satu harus kau penuhi tujuh
hari sebelum hari yang telah aku tentukan!"
"Saya sanggup dan yakin akan berhasil
mendapatkan Jumlah itu sesuai dengan perintah
Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru."
"Pertanyaan kedua. Berapa jumlah mahluk
berkepala anjing Tuman Kean yang sudah kau dapat?"
(Tuman Kean = Tubuh manusia Kepala Anjing)
"Saya tidak Ingat pasti Junjungan. Harap maafkan.
Tapi Jumlahnya pasti sudah melebihi seratus."
"Sekarang pertanyaan ke tiga. Apakah kau telah
berhasil berhubungan dengan Arwah Muka Hijau yang
saat ini masih terpendam di dinding selatan Candi
Miring, dibuat sebagai ganjalan?!"
"Mohon maafmu Junjungan. Hal itu belum dapat
saya lakukan karena masih menunggu petunjuk dari
mahluk gaib yang berada di dalam lembah sana. Yaitu
tentang apa saja yang harus dilakukan agar bisa
melakukan bicara Jarak jauh dengan dia tanpa
diketahui penghuni Candi Miring termasuk Arwah
Ketua. Lalu bagaimana cara untuk membebaskannya
dari ganjalan candi." Jawab Panglima Pawang Sela.
"Tapi yang paling penting," kata sang Junjungan
pula. "Mencari tahu bagaimana melumpuhkan Arwah
Ketua dan kaki tangannyal Sehingga ketika kita
bergerak Arwah Ketua dan semua penghuni Candi
Miring tidak berdaya melakukan upaya apapun."
"Baik Junjungan. Hal itu akan saya lakukan."
"Pertanyaan ke empat. Apakah kau sudah
menghubungi Wakil Kepala Balatentara Kerajaan
Bhumi Mataram untuk membantu menggembosi
pasukan Kerajaan dari dalam pada saat hari
penyerbuan kita nanti?"
"Saya sudah menghubungi, tapi orang bernama
Jenggal Kantanu Itu tidak bisa dibujuk, tidak mempan
disogok. Saya bahkan membawanya ke sebuah
pondok. Disitu saya telah mempersiapkan seorang
perawan desa. Tapi dia tetap menolak. Dia tidak mau
berkhianat pada Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah
Saladu, Raja yang memerintah di Bhumi Mataram saat
ini. Padahal sesuai pesan Junjungan saya memberi
tahu dia bakal menduduki jabatan sebagai Kepala
Pasukan bilamana Kerajaan Mataram Baru berdiri
nanti. Ketika saya memaksa dia menunjukkan gelagat
seperti hendak membunuh saya. Tapi itu tidak
dilakukannya mungkin mengingat saya adalah kakak
iparnya."
"Manusia bodohi" rutuk orang dibalik tirai merah
yang dipanggil Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru.
"Lalu apa yang telah kau lakukan terhadap manusia
satu ltu?"
"Saya telah membunuhnya Junjungan. Kotaraja
sampai geger selama tujuh hari. Beberapa orang
ditangkap. Kepala Balatentara Kerajaan dicurigai dan
diawasi gerak-geriknya. Orang-orang Mataram sampai
saat Ini tidak mampu menjajagi jejak saya. Junjungan,
apakah Junjungan ingin saya memberikan bukti
dengan memperlihatkan apa yang terjadi secara gaib
seperti halnya sewaktu saya menyuruh Abdika
Brathama sehabis dia membunuh Ceti Kanwa?"
"Tidak perlu. Aku cukup percaya padamu. Sekarang
pertanyaan ke lima. Apakah Abdika Brathama saat ini
masih berada di Kotaraja memata-matai keadaan?"
"Benar Junjungan Dia akan tetap berada di sana
sampai saat-saat terakhir menjelang kita memasuki
Kotaraja."
"Pertanyaan keenam. Bagaimana dengan seribu
anggota pasukan yang berada di Lembah Hantu
sebelah barat..."
"Mereka tetap bersiaga sambil terus melakukan
latihan perang-parangan."
Yang disebut Junjungan Sri Maharaja Mataram
Baru yang berada di balik tirai tebal wama merah
agaknya cukup puas dengan semua jawaban Panglima
Pawang Sela. Maka diapun berkata.
"Bagus. Sekarang kau boleh membawa masuk orang
di luar sana. Ingat dia hanya bisa masuk sampai di
depan tirai ke tiga, tirai kelabu. Jangan lupa
menyumpalkan Batu Baramundu ke dalam rongga
matanya Lakukan itu sebelum dia masuk ke dalam
lapisan ke tiga dasar lembah."
"Perintah Junjungan segera saya lakukan. Saya
akan kembali sebelum hitungan ke seratus!"
"Satu hal harus kau yakini, Panglima Pawang Sela."
"Gerangan apakah itu Junjungan?"
"Kau harus yakin, mahluk yang akan kau bawa
ke hadapanku itu adalah benar-benar Arwah Hitam
Pengawal Malam. Bukan mahluk tipuan yang bisa
mencelakakan kita! Kau tahu Arwah Ketua adalah
mahluk seribu ilmu seribu akal!"
"Saya berani menjamin Junjungan. Mahluk yang
akan saya bawa ke tempat ini adalah benar-benar
Arwah Hitam Pengawal Malam. Saya mohon pergi
sekarang."
"Tunggu dulu!"
"Ada hal lain yang Junjungan hendak katakan?" tanya Panglima Pawang Seia sambil berhenti
memutar tubuh lalu menatap tirai biru di hadapannya "Jika nanti aku puas dengan semua apa yang telah
dilakukan mahluk bernama Arwah Hitam Pengawal
Malam itu, hadiahkan dia seorang gadis desa..."
"Maaf Junjungan. Mahluk itu tidak suka pada
perempuan. Dia hanya menggauli lelaki sesama
jenis."
"Apa? Ha ha . ha" Sang Junjungan tertawa
tergelak. "Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau
lakukan. Di desa Kaltwungu ada banyak bocah remaja.
Pilihkan seorang untuknyal Ha...ha...ha. Orang-orang
lelaki Mataram! Kalian ini serba aneh. Para Dewa telah
menyediakan perempuan untuk menjadi pasangan
kalian bersenang-senang! Mengapa mau menggauli
bangsa laki-laki yang hanya punya satu lobang di
bawah perutnya dan itupun berbau busuk? Ha...ha...
hal Satu pertanda kalian menyimpang dari jalan hidup
yang benar. Para Dewa akan mengutuk kalian!
Kerajaan Bhumi Mataram memang sudah saatnya
dihancur luluhkanl Ha...ha...hal Panglima, lakukan
apa yang aku perintahkan!"
"Akan saya lakukan Junjungan."
Panglima Pawang Sela membungkuk di hadapan
tirai biru lalu sekali dia menggerakkan kaki, tubuhnya
melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Suara tawa dari balik tirai merah masih menggema,
membuat tujuh tirai di dalam bergoyang melambailambai.
11.
ARWAH YANG KHIANAT
BURUNG hantu yang mendekam di antara dua
pohon besar menyalangkan sepasang mata hitamnya
lebih besar ketika Panglima Pawang Sela muncul
kembali di tempat itu.
"Junjungan Sri Maharaja Kerajaan Mataram Baru
bersedia menerimamu. Sekarang perlihatkan ujudmu
yang sebenarnya!"
Burung Hantu kepakkan kedua sayapnya. Saat itu
juga tubuhnya berubah menjadi sosok seorang
pemuda mengenakan pakaian hitam. Seperti pakaian,
kulit di tubuh pemuda ini termasuk wajah dan
sepasang mata berwarna hitam legam.
"Jadi kau yang bernama Arwah Hitam pangawal
Malam?"
Si pemuda membungkuk lalu anggukkan kepala.
Panglima Pawang Sela letakkan tangan kanannya
di atas ubun-ubun kepala. Ketika tangan diturunkan,
di tangan itu kini terlihat dua buah benda bulat merah
menyala mengepulkan asap serta hawa panas.
"Arwah Hitam Pengawal Malam, maju satu langkah.
Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Pemuda berpakaian hitam melirik pada dua benda
menyala di tangan kanan orang yang berdiri di
hadapannya. Wajahnya yang hitam legam berubah
kelabu.
"Bara menyala..." ucap si pemuda dalam hati dan
dada berdebar. "Panglima Pawang Sela, kau hendak
melakukan apa?" Si pamuda bertanya dengan suara
agak tercekat
"Tidak ada pertanyaan. Aku akan berkata sekali
lagi dan itu untuk yang terakhir kali. Maju satu
langkahi Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Walau merasa bimbang perlahan-lahan si pemuda
rundukkan kepala sedikit lalu di dekatkan ke arah
Panglima Pawang Sela. Dess...dessl Secepat kilat
Pawang Sela susupkan dua bara menyala ke dalam
rongga mata kiri kanan Arwah Hitam Pengawal
Malam. Asap merah mengepul. Dua bara menyala
melesak masuk ke dalam rongga mata. Namun
anehnya Arwah Hitam Pengawal Malam tidak
merasakan panas atau sakit Selain itu kedua matanya
tetap bisa melihat seperti biasa. Dua bara menyala
sama sekali tidak menutup pemandangannya.
Pemuda dari alam gaib ini merasa lega sedikit
"Arwah Hitam Pangawal Malam, saat ini bara
menyala di dalam dua rongga matamu memang tidak
menimbulkan rasa sakit Tapi jika nanti kau melakukan
hal-hal yang tidak berkenan pada Junjungan kami,
menipu dan memberi keterangan palsu maka dua bara
menyala itu akan menjadi panas, membuat kepalamu
leleh lalu sekujur tubuhmu akan meledak berkepingkeping."
"Aku sudah bertindak sejauh ini. Jika kau dan
Junjungan tidak percaya lebih baik urusan antara kita
hanya sampai di sini saja!" Pemuda berpakaian dan
bermuka hitam rupanya merasa tidak senang.
Panglima Pawang Sela menyeringai.
"Kau pandai menggertak," ucapnya. "Jika itu kau
lakukan padaku, aku akan memaafkan. Tapi Jika kau
berani bersikap seperti itu terhadap Junjungan, kau
akan dirubah menjadi debu. Tidak berguna di atas
dunia, tidak berguna di alam gaib" Selesai keluarkan
ucapan Panglima Pawang Sela ulurkan tangan kiri
menyambar lengan kanan si pemuda. Sesaat
kemudian sosok kedua orang itu amblas dan lenyap
masuk ke dalam tanah antara dua pohon besar di
dasar Lembah Hantu.
SESUAI perintah Junjungan, Panglima Pawang
Sela membawa Arwah Hitam Pengawal Malam
memasuki lorong batu dan berhenti di depan tirai
berwarna kelabu yang merupakan Tirai Ketiga.
Panglima memberi isyarat pada pemuda berkulit
hitam itu agar mengikuti apa yang dilakukannya yaitu
membungkuk di depan tirai.
"Panglima," tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal
Malam berbisik. "Aku tidak melihat Junjungan yang
kau katakan itu. Mengapa kita memberi penghormatan
pada tirai kelabu. Apakah tirai ini..."
'Tutup mulutmu!" Bentak Pawang Sela. "Jangan
berani membuka mulut kalau tidak ada yang bertanya
atau menyuruh! Atau kau ingin dua bara rmmyala di
dalam matamu itu segera kujadikan panas?!"
"Harap maafkan aku Panglima. Aku hanya
gugup...." Jawab si pemuda.
Panglima Pawang Sela membungkuk sekali lagi.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, saya
sudah berada di hadapan Tirai Kelabu. Di sebelah saya
berdiri Arwah Hitam Pengawal Malam."
Tujuh tirai di dalam lorong batu bergoyang
melambai-lambai seolah ditiup angin. Sesaat
kemudian terdengar suara di ujung lorong, dari arah
belakang Tirai Merah.
"Pemuda berkulit hitam, kami mengenalmu
sebagai Arwah Hitam Pengawal Malam. Aku tahu dari
Panglima kau telah membantu kami sejak beberapa
lama belakangan ini. Aku merasa puas dengan apa
yang telah kau kerjakan. Itu sebabnya aku meminta
Panglima membawamu ke sini. Ceritakan siapa dirimu
yang nyala dan yang gaib. Beritahu siapa dirimu
adanya, apa kedudukanmu di Candi Miring."
"Junjungan, seperti yang kau saksikan ujud
nyata saya adalah seperti Ini. Saya adalah mahluk
alam gaib yang bisa berubah menjadi seekor Burung
Hantu hitam. Di Candi Miring saya dipercayai menjadi
salah seorang pembantu utama Arwah Ketua..."
"Sebagai pembantu utama kau pasti banyak
mengetahui keadaan di Candi Miring. Apakah Arwah
Muka Hijau masih berada di sana, dijadikan ganjalan
dinding candi?"
"Benar sekail Junjungan. Arwah Muka Hijau
sampai saat ini tidak beranjak dari tempatnya di dasar
dinding selatan Candi Miring."
"Aku akan membebaskannya. Kau tahu bagaimana
caranya menghubungi mahluk itu melalui ilmu bicara
jarak jauh tanpa ada seorangpun penghuni Candi
Miring bisa mendengar?"
"Lemparkan dua ekor kodok mati di arah dinding
selatan candi. Tiga malam kemudian Arwah Muka
Hijau akan mampu mendengar suara yang dikirim dari
jarak jauh kepadanya. Sebaliknya ia juga bisa bicara
memberikan jawaban."
"Bagus. Aku minta kau yang mencari dua kodok
mati lalu melemparkan ke dinding candi. Sanggup?!"
"Sanggup Junjungan..." jawab Arwah Hitam
Pengawal Malam.
"Jika sudah kau lakukan beri tahu Panglima."
"Baik Junjungan."
"Aku kehilangan jejak seorang perawan desa
bernama Ananthawuri bersama dua bayi yang baru
dilahirkannya. Menurut apa yang aku ketahui, ibu dan
dua anaknya itu lenyap di sekitar halaman depan
Candi Miring. Katakan apa yang kau ketahui..."
Sebenarnya orang yang bicara dibalik tirai merah
maupun Panglima Pawang Sela sudah tahu keberadaan Ananthawuri dan dua bayinya di dalam Candi
Miring. Namun sang Junjungan ingin menguji.
"Perawan desa bernama Ananthawuri dan dua
bayinya saat ini memang berada di dalam Candi
Miring. Dibawah perlindungan Arwah Ketua. Mereka
diselamatkan oleh Arwah Kembar dari dasar
reruntuhan Sumur Api. Arwah Kembar sendiri
menemui kematian tak jauh dari Candi Miring..."
"Orang suruhanku yang membunuh mereka."
Berkata sang Junjungan. Arwah Hitam terkejut tapi
diam saja. Sang Junjungan kemudian bertanya.
"Selain Arwah Ketua, siapa saja yang berada di Candi
Miring?"
"Seorang perempuan bernama Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dia masih memiliki garis darah
dengan Raja Bhumi Mataram Sri Maharaja Rakal
Pikatan Dyah Saladu. Dia ditugasi menjaga dua bayi
siang dan malam."
Dibaiik tirai sang Junjungan mendengus lalu
tertawa pendek. "Ketika diberi tugas menjaga Sumur
Api dia tidak mampu. Sekarang ditugasi menjaga dua
bayi..Ha..hal Panglima aku melihat kita bisa lolos dari
lobang jarum. Kita punya kesempatan membunuh dua
bayi jika memang perempuan gemuk berkerincing
emas yang menjaga merekat"
"Junjungan, bagaimana kalau tugas membunuh
dua bayi kita serahkan pada pemuda ini?" Panglima
Pawang Sela mengajukan usul.
Sebelum Junjungan menjawab, Arwah Hitam
Pengawal Malam mendahului.
"Maaf Junjungan, saya tahu kemampuan saya.
Tingkat ilmu kepandaian saya tidak memungkinkan
untuk melakukan hal itu. Ratu Dhika Gelang Gelang
terlalu sakti. Belum lagi Arwah Ketua. Lalu masih ada
Arwah Putih Pengawal Siang serta Arwah Gelap
Gulita.."
"Aku tahu perempuan itu. Dia memang merupakan
salah satu ganjalan. Orang-orangku telah berusaha
membunuh kekasihnya, seorang pemuda bernama
Sebayang Kaligantha. Tapi Para Dewa menolong
menyelamatkan dirinya. Perempuan dan kekasihnya
itu bisa kita urus kemudian. Arwah Hitam, kau tahu
rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring?"
Bertanya Panglima Pawang Sela.
"Saya tahu Junjungan. Tapi jika saya mengatakan
maka lidah saya akan terpotong dan saya tidak akan
mampu lagi bicara untuk selama-lamanya."
Panglima Pawang Sela menyeringai. Sang
Junjungan keluarkan suara tertawa lalu berkata.
"Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau berada di
tempat yang aman dibawah perlindungan Panglima
dan diriku. Katakan rahasia menembus masuk ke
dalam Candi Miring."
Arwah Hitam tidak segera menjawab.
"Kau mau menerangkan atau tidak?" Panglima
menegur. Suaranya menyatakan kegusaran melihat
sikap Arwah Hitam yang hanya diam saja.
Akhirnya pemuda berkulit hitam itu membuka
mulut
12.
LIDAH YANG TERPOTONG
SAMBIL memegang tengkuknya yang mendadak
dingin, pemuda berkulit hitam legam itu berkata.
"Diperlukan mayat seorang gadis, seorang anak
perawan berusia antara empat belas dan dua puluh
satu tahun. Yang meninggal paling lama tiga hari dan
jenazahnya dikubur bukan dibakar. Mayat digali dari
makamnya lalu dikuburkan lagi pada satu tempat arah
utara Candi Miring, sejarak paling dekat lima ratus
tombak. Kaki mayat harus menghadap candi. Orang
yang hendak masuk kedalam Candi harus membawa
dua kepalan tanah kuburan. Satu kepalan berasal dari
kubur lama dan satu kepal lagi dari kubur baru..."
"Itu saja? Tanya sang Junjungan.
"Betul Junjungan. Itu saja..."
"Kau tahu bagaimana caranya menyekap Arwah
Ketua agar tidak bisa keluar dari dalam candi?" Sang
Junjungan kemudian bertanya. Sementara Panglima
menatap lekat-lekat ke wajah hitam pemuda di
hadapannya.
"Maaf Junjungan, saya tidak mengetahuinya..."
"Lalu apa kau tahu kelemahan Arwah Ketua?" kembali sang Junjungan yang juga disebut Sri
Maharaja Mataram Baru atau Sri Maharaja Ke
Delapan ajukan pertanyaan sementara Panglima
Pawang Sela menatap lekat-lekat kewajah pemuda
berkulit hitam itu.
"Setahu saya Arwah Ketua tidak boleh terkena
tetesan embun murni yang menempel di dedaunan.
Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya
jika sampai ada tetesan embun menyentuh tubuhnya..."
"Hemmm... Itu sebabnya dia sengaja tinggal di
Candi Miring yang terletak di bukit gersang. Bukit
tanpa pohon tanpa daun..." Berkata Panglima Pawang
Sela.
"Kau betul Panglima. Sekarang kita sudah tahu
kelemahannya, kita bisa memancing dirinya berada
di satu kawasan rimbun pepohonan, sewaktu embun
masih melekat di dedaunan..."
"Berarti kita sebaiknya melancarkan serangan
pada saat dinihari. Ketika embun masih banyak
melekat di dedaunan. Jika arwah Ketua berani
muncul..."
"Kau cerdik. Tapi aku punya satu rencana baru.
Aku lebih suka membentuk serombongan pasukan
yang sengaja membawa ranting pepohonan yang
memiliki daun penuh dengan tetesan embun. Jika
Arwah Ketua muncul di kancah pertempuran pasukan
pembawa embun ini yang akan menghadangnya. Hal
ini akan kita bicarakan lagi... Sekarang aku akan
meminta sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam
melakukan satu hal lagi..."
"Saya siap Junjungan," menyahuti Arwah Hitam.
"Kau harus membunuh Arwah Putih Pengawal
Siang. Mahluk satu itu bisa menjadi biang racun
mengacaukan semua rencana-kita. Kau sanggup?!"
"Sanggup Junjungan."
"Bagus. Sekarang aku mengucapkan selamat
jalan padamu. Semua janji hadiah harta maupun
jabatan yang telah disampaikan Panglima Pawang
Sela akan kupenuhi setelah Kerajaan Bhumi Mataram
kita hancurkan. Saat ini, sekeluar dari Lembah Hantu,
Panglima akan membawamu ke satu tempat untuk
bersenang-senang..."
"Terima kasih Junjungan. Saya mohon diri."
Arwah Hitam Pengawal Malam membungkuk di depan
Tirai Kelabu lalu mengikuti Panglima Pawang Sela
yang telah memberi isyarat padanya untuk segera
meninggalkan lorong.
KETIKA muncul dari dalam tanah dan sampai di
antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu tibatiba Arwah Hitam Pengawal Malam merasa ada cairan
hangat dan asin di dalam mulutnya. Bersamaan
dengan itu perutnya terasa mual.
"Hek... hekk..."
Arwah Hitam semburkan cairan yang ada di
mulutnya. Yang keluar ternyata darah kental. Dan
bukan hanya darah tapi juga sekerat benda merah.
Ketika diperhatikan oleh Panglima Pawang Sela
merindinglah bulu kuduknya. Benda itu ternyata
potongan lidah. Kutukan dari candi Miring telah jatuh
atas diri Arwah Hitam Pengawal Malam karena
pengkhianatannya.
Arwah Hitam Pengawal Malam meraung keras.
Dia tidak peduli lagi rencana Panglima Pawang Sela
yang hendak mengajaknya ke Desa Kaliwungu.
Bahkan tanpa menanggalkan bara merah yang masih
menempel di dalam rongga matanya dia menghambur
tinggalkan tempat itu.
Panglima Pawang Sela cepat menghadang. Dia
korek dua Batu Baramundu yang ada di dalam rongga
mata si pemuda seraya berkata.
"Bagaimanapun keadaanmu, tugas yang diperintahkan oleh Junjungan harus tetap kau laksanakan. Kalau tidak nasibmu akan lebih mengerikan dari yang kau alami sekarang! Kau
dengar?."
"Hak..huk....hak..huk!" Arwah Hitam hanya bisa
keluarkan suara seperti itu sambil angguk-anggukkan
kepala berulang kali.
SATU hari setelah Arwah Hitam Pengawal Malam
menghadap sang Junjungan di dasar lapisan ke tiga
Lembah Hantu, desa Jamburewo dilanda kegegeran.
Wudhania, anak gadis berusia enam belas tahun puteri
seorang petani lenyap dari rumahnya. Penduduk
beramai-ramai melakukan pencarian. Setelah dua hari
mencari mereka belum berhasil menemukan si gadis.
Namun di dekat sebuah telaga dangkal berair kotor
ditemukan sebuah kuburan dalam keadaan terbuka.
Tanah kuburan masih gembur dan merah pertanda
kuburan itu masih baru. Agaknya siapapun yang
dikubur di tempat ini mayatnya telah digali dan
dikeluarkan. Mungkinkah itu mayat Wudhania, anak
gadis desa Jamburewo yang lenyap tidak tentu
rimbanya?
Hanya beberapa hari setelah ditemukan kuburan
kosong. Arwah Ketua di Candi Miring menerima
laporan dari pembantu utamanya Arwah Gelap Gulita
kalau Arwah Putih Pengawal Siang ditemukan telah
jadi mayat di kaki bukit gersang. Mayat itu kemudian
berubah menjadi bangkai seekor kadal putih, sesuai
dengan ujud aslinya.
"Saya juga ingin memberi tahu wahai Arwah Ketua.
Sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam sudah
beberapa hari tidak kelihatan. Saya kawatir sesuatu
telah terjadi dengan dirinya."
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok.
"Arwah Gelap Gulita. Aku minta kau menyelidiki
semua perkara kejadian ini sampai tuntas. Aku hanya
memberikan waktu tiga hari padamu. Kita harus
bertindak cepat Aku punya firasat sejak Sumur Api
meledak serangkaian peristiwa aneh yang terjadi akan
membawa kepada satu malapetaka yang lebih besar.
Aku perintahkan juga padamu untuk menyelidiki dari
luar hutan jati, apa Pangeran Bunga Bangkai dan dua
pengiringnya masih berada di sana. Aku tidak yakin
ada kekuatan bisa membuat mereka lolos. Tapi Yang
Maha Kuasa bisa berbuat sekehendakNya. Aku tidak
boleh menyombongkan diri dengan Ilmu kesaktian
yang aku miliki yaitu ilmu Tenung Arwah. Di atas
langit masih ada langit..."
"Perintah Arwah Ketua segera aku laksanakan."
"Aku mencium bau yang tidak enak diarah selatan
candi. Selidiki ke arah itu lebih dulu."
"Segera saya lakukan," kata Arwah Gelap Gulita.
"Sebelum pergi harap kau sirap keberadaan candi
ini."
"Baik Arwah Ketua."
Setelah membungkuk Arwah Gelap Gulita berkelebat
keluar dari Candi Miring. Sejarak seratus tombak di
timur candi dia mencari tempat ketinggian. Di sini dia
tegak rangkapkan dua tangan di depan dada kaki
terkembang, mata terpejam. Setelah sepasang
telinganya tidak lagi mendengar suara tiupan angin,
perlahan-lahan Arwah Gelap Gulita angkat ke dua
tangan ke udara. Telapak diarahkan ke Candi Miring.
Secara aneh candi angker itu beberapa saat kemudian
mulai tampak samar dan akhirnya
lenyap sama sekail dari pemandangan seolah telah
bersatu dengan udara yang dibungkus oleh kegelapan
malam.
13.
MAYAT BICARA
SEPERTI yang dikatakan sang Junjungan, ketika
menyelidik ke kawasan selatan Candi Miring, Arwah
Gelap Gulita yang berujud seorang kakek bersorban
dan berjubah hitam mencium bau busuk. Saat itu di
pertengahan hari dan sang surya memancarkan sinar
terik.
"Kalau ini bukan bangkai binatang, tidak bisa lain
pasti bangkai manusia Bangkai manusia konon lebih
busuk dari bangkai binatang..."
Sejauh lebih dari lima ratus tombak Arwah Gelap
Gulita dari candi, di satu telaga kecil yang airnya
sudah lama mengering Arwah Gelap Gulita melihat
banyak orang kerkerumun mengelilingi sebuah lobang.
Tak jauh dari situ beberapa orang tengah membuat
usungan dari bambu. Mendekat ke tepi lobang
pembantu utama sang Junjungan ini melihat ada tiga
orang lelaki di dalam lobang tengah menggotong
sesosok mayat yang ditutupi sehelai kain panjang.
Mayat inilah yang menebar bau luar biasa busuk.
Arwah Gelap Gulita membentak.
"Manusia-manusia kurang ajari Beraninya kalian
mengubur mayat di kawasan Candi Miring"
Semua orang di tempat itu termasuk tiga yang
di dalam lobang tersentak kaget. Mengira yang
muncul adalah seorang Resi, salah seorang yang
berdiri di tepi lobang agak takut-takut berkata.
"Resi, kami bukan hendak mengubur mayat Tapi
justru mau mengeluarkan mayat dari dalam lobang."
"Siapa yang mati? Bagaimana bisa ada kuburan
di tempat ini? Kalian siapa?!" Bentak Arwah Gelap
Gulita
Orang yang tadi bicara kembali menjawab.
"Kami penduduk Desa Jamburewo. Seorang anak
perawan bernama penduduk desa hilang. Dua hari
lalu kami menemukan sebuah makam kosong tak jauh
dari desa. Kelihatannya ada jenazah pernah dikubur
di situ lalu dibongkar dikeluarkan. Kami curiga
jangan-jangan anak perawan yang hilang itu telah
menemui kematian dan pernah dikubur di situ. Kami
berbagi menjadi tiga rombongan dan meneruska
melakukan pencarian. Di tempat ini, di dalam lobang
kami menemui jenazah anak perawan itu, baru
setengah tertimbun. Kami tengah berusaha
mengeluarkan dan mau mengusungnya kembali ke
desa sewaktu Resi datang..."
Dalam kejutnya mendengar keterangan orang
desa. Arwah Gelap Gulita ingat satu hal. Dalam hati
dia membatin. "Dikubur, lalu belum tiga hari jenazah
lenyap. Gadis ini agaknya sengaja dibunuh untuk
memenuhi satu tirakat Jangan-jangan ada seseorang
yang mengetahui..." Kakek ini tidak meneruskan apa
yang ada dalam hati dan pikirannya.
"Aku akan membantu kalian mengeluarkan jenazah
dari dalam lobang. Kalian bertiga menyingkirlah..."
Tiga orang di dalam lobang walau merasa heran
namun meletakkan jenazah kembali ke dasar lobang.
Begitu ketiganya keluar dari dalam lobang Arwah
Gelap Gulita letakkan tangan kanan di atas lobang
hingga bergetar dan memancarkan cahaya putih
redup. Semua orang yang ada di tempat itu
tercengang kaget ketika melihat jenazah yang ada di
dalam lobang perlahan-lahan naik ke atas, melayang
sebentar di udara lalu turun dan rebah di atas usungan
bambu yang baru saja selesai dibuat.
Arwah Gelap Gulita dekati usungan bambu. Kain
panjang di bagian kepala disingkap hingga dia dapat
melihat wajah dan bagian dada jenazah. Di leher
tampak tanda kebiru-biruan.
"Bekas cekikan. Aku dapat memastikan tulang
leher gadis ini remuk sampai ke pangkal. Ganas sekali.
Siapa yang begitu tega melakukan...?" Kata Arwah
Gelap Gulita dalam hati. Saat itu dia melihat jenazah
masih mengenakan pakaian. Sambil menutup kain
kembali pembantu utama Arwah Ketua ini bertanya.
"Siapa nama gadis malang ini?"
"Wudhania." Seorang menjawab memberi tahu.
Arwah Gelap Gulita kemudian susupkan dua
tangannya ke bagian kaki jenazah. Brett! Kakek ini
robek ujung pakaian yang masih melekat di tubuh
jenazah. Robekan pakaian di simpan di balik jubah
Lalu pada semua orang yang ada di situ kakek ini
berkata.
"Kalian boleh mengusung jenazah. Bawa kembali ke
desa Jamburewo. Para Dewa akan memberkati kalian
karena telah berbuat kebajikan."
Selesai berkata Arwah Gelap segera berkelebat
tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lama orangorang Desa Jamburewo masih tegak tercengangcengang di tempat itu. Sampai akhirnya ada
seseorang yang berkata.
"Jangan-jangan orang tua tadi bukan seorang
Resi. Tapi mahluk halus penghuni Candi Miring."
"Kurasa kau benar. Kalau tidak mengapa tadi dia
kelihatan marah. Kita dituduh mengubur mayat di
kawasan Candi Miring."
"Teman-teman, sebaiknya kita segera mengusung
jenazah dan tinggalkan tempat ini." Seorang lain
berkata Empat orang segera memanggul usungan. Tak
lama kemudian setelah semua orang Desa Jamburewo
pergi tempat itu tenggelam dalam kesunyian bahkan
suara anginpun tidak terdengar.
Namun sesaat kemudian dari balik serumpunan
semak belukar terdengar suara perempuan bicara
"Cahyo Kumolo, kau menyaksikan semua apa
yang barusan terjadi?"
Sebagai sahutan ada suara mendesis pendek "Aku yakin kakek tadi bukan seorang Resi. Adalah
aneh mengapa dia sengaja merobek dan membawa
potongan pakaian Jenazah. Aku melihat tadi dia
berkelebat lenyap ke arah utara. Bukankah di situ
letak Candi Miring yang dihuni mahluk halus bernama
Arwah Ketua bersama pengikut-pengikutnya?"
Kembali terdengar suara mendesis.
"Aku ingin sekali menyelidik ke Candi Miring.
Tapi tidak mudah bagi kita bisa masuk kesana.
Mendekat saja sulit." Sambil mengusap punggung
kura-kura hijau di atas kepalanya, orang yang bicara
yang bukan lain adalah Sri Sikaparwathi berkata lagi.
"Entah mengapa aku ingin menduga-duga. Apakah
ada kaitan Candi Miring dengan Sumur Api? Lalu
mengapa orang yang kita cari Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya lenyap begitu saja. Cahyo,
menurutmu apa mungkin Arwah Ketua di Candi Miring
adalah mahluknya yang menjadi pengendali cahaya
tiga warna yang selama ini kerap muncul. Dan setiap
muncul ada kejadian orang yang menemui ajal..."
Kali ini tidak terdengar jawaban suara mendesis.
KETIKA Arwah Ketua mendengar keterangan yang
disampaikan Arwah Gelap Gulita mengenal jenazah
anak perawan di selatan Candi Miring, penguasa Candi
Miring ini langsung meminta robekan pakaian jenazah
yang dibawa Arwah Gelap Gulita.
"Sang surya tak lama lagi akan tenggelam. Malam
ini juga aku akan melakukan Samadi Menghimbau Jiwa
Kehidupan. Kau harus menemaniku. Kita akan
mendapat kejelasan apa yang sebenarnya terjadi."
Malam harinya, di salah satu menara candi Arwah
Ketua dan Arwah Gelap Gulita duduk berhadaphadapan. DI lantai, di atas sehelai daun kering yang
dipotong berbentuk segi enam, terietak robekan
pakaian jenazah Wudhania. Langit di atas candi
tampak gelap, bulan sabit dan bintang tidak satupun
yang kelihatan. Hampir setengah malam kedua mahluk
penghuni candi itu melakukan samadi tiba-tiba daun
alas robekan pakaian jenazah memancarkan cahaya
biru lalu perlahan-lahan bergerak naik ke atas.
Sekira setinggi manusia berdiri robekan kain berhenti
lalu tampak sosok samar terbungkus cahaya biru.
"Jenazah anak perawan bernama Wudhania
unjukkan ujudmu. Roh di alam gaib masuklah ke
dalam jenazah. Aku Arwah Ketua penguasa Candi
Miring membutuhkan pertolongan. Berupa jawaban
dari beberapa pertanyaan... Para Dewa di Swargaloka,
Izinkan dan bantu kami berdua mengetahui
kebenaran. Demi keselamatan ibu dan dua bayi
pilihanMu yang ada di candi ini. Jiwa Kehidupan,
datanglah."
Sesaat setelah Arwah Ketua berucap dan menara
candi diselimuti kesunyian, sosok samar terbungkus
cahaya biru perlahan-lahan bergerak mundur ke sudut
menara. Sementara bergerak ujudnya berubah
menjadi jelas. Ternyata dia adalah sosok seorang anak
gadis berusia sekitar enam belas tahun. Sebagian
wajah, tubuh dan pakaiannya diselubungi tanah
kuburan. Di leher ada tanda biru. Sesekali kepala
mayat hidup ini terkulai ke samping. Sepasang mata
yang membeliak besar menatap tidak pernah berkedip
ke arah Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita. Air muka
menunjukkan rasa takut yang amat sangat.
"Jiwa kehidupan, tamu yang datang dari alam
barzah. Rohmu berada di tempat yang aman. Buang
jauh-jauh rasa takutmu."
Dua mata yang menatap mendelik perlahan-lahan
mengecil sayu dan mengedip.
"Anak gadis, apakah betul kau bernama Wudhania?
Gadis berasal dari Desa Jamburewo?" Arwah Ketua
mulai bertanya.
Mahluk di sudut menara perlahan-lahan mengangguk lalu kepalanya terkulai ke kiri. Dari mulutnya
keluar suara seperti orang tercekik. Arwah Ketua
melirik pada Arwah Gelap Gulita lalu kembali
mengajukan pertanyaan.
"Apakah benar kau masih perawan? Belum
pernah berhubungan badan dengan laki-laki?"
Kepala jenazah hidup yang terkulai bergerak
lurus lalu mengangguk. Setelah itu kembali terkulai.
Kali ini ke samping kanan.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi dengan
dirimu... Bicaralah!"
Menunggu cukup lama mahluk yang ditanya baru
menjawab. Suaranya seolah datang dari sumur yang
dalam dan sesekali tersendat tercekik.
"Ada orang datang ke rumah. Dia mencekik leherku.
Aku mati. Mayatku dibawa pergi. Dikubur di satu
tempat. Satu hari kemudian kuburku dibongkar..."
"Siapa yang membongkar?" tanya Arwah Gelap
Gulita.
"Orang yang sama yang sebelumnya
menguburku..."
"Lalu apa yang terjadi?" Arwah Ketua yang
bertanya.
"Aku dibawa seperti terbang. Lalu dikuburkan
lagi di satu tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Aku ditinggal begitu saja di dalam kubur. Tanah kubur
tidak ditimbun. Lalu orang itu pergi..."
"Jiwa kehidupan. Tamu yang datang dari alam
barzah. Ingat baik-baik, sebelum pergi apakah orang
Itu melakukan sesuatu..."
"Dia pergi begitu saja. Tidak mengambil sesuatu
dariku..."
"Harap kau mau mengingat lagi. Orang itu
mungkin tidak mengambil apa-apa dari dirimu. Tapi
mungkin sekali sebelum pergi dia melakukan
sesuatu..."
"Aku mengingat...aku mengingat..." Kepala
jenazah hidup itu terkulai ke belakang.
"Kau pasti bisa mengingat. Kau mampu mengingat
Kau mampu mengingat Katakan apa yang dilakukan
orang itu sebelum pergi!" Arwah Ketua mendesak.
"Dia membungkuk ke samping tubuhku. Dia
aku ingat. Dia menggumpal tanah. Sekitar sebesar
tinju..."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita saling
berpandangan. Wajah dua mahluk alam gaib ini samasama berubah. Satu kilatan cahaya api muncul di mata
Arwah Ketua. Lalu Arwah Ketua kembali bertanya.
"Berapa buah gumpalan tanah yang dibuat
orang itu?"
"Aku ingat..aku ingat Dua buah. Yah, dua buah.
Dia memegang satu di tangan kiri, satu di tangan
kanan lalu pergi begitu saja..."
"Kau tahu siapa orang itu? Pemah melihatnya
sebelumnya?"
“Tldak...tidak..."
"Kau bisa mengatakan bagaimana rupanya, keadaan
tubuhnya serta pakaian yang dikenakannya?'
"Orang itu tidak mengenakan pakaian. Aku
tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan.
Mukanya polos licin. Tidak punya hidung, tidak
punya mata, tidak ada mulut. Telinga juga tidak
punya..."
"Jahanam bergundal licik" menyumpah Arwah
Ketua. Dari mulutnya menyembur suara mengorok
keras. Setelah amarahnya reda dia laiu bertanya.
"Tamu jauh dari alam barzah. Apa lagi yang kau
ingat?"
"Muka licin orang Itu memiliki tiga warna...."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita tersentak.
"Apa?" tanya Arwah Gelap Gulita. "Ulangi
ucapanmu!"
"Orang bermuka polos licin itu wajahnya
berwarna. Ada tiga warna..."
"Kau ingat warna apa saja?!" tanya Arwah Ketua
menahan tegang bercampur marah.
"Merah, biru dan hitam..."
"Kurang ajari Mahluk yang sama lagi." Rutuk
Arwah Ketua.
"Hekk....!"
Jenazah hidup di sudut menara keluarkan suara
tercekik. Mata mendelik. Lidah terjulur. "Waktu kita habis..." kata Arwah Ketua. Dia cepat
angkat tangan kanannya sambil berucap. "Mahluk
kehidupan, tamu yang datang dan jauh. Terima kasih
kau telah membantuku. Selamat jalan. Semoga kau
kembali ke alammu penuh ketentraman. Semoga Para
Dewa akan memberikan tempat paling indah di alam
baka."
Sosok jenazah Wudhania berubah samar
berselimut cahaya kebiruan. Sedikit demi sedikit
sosoknya lenyap, berubah menjadi robekan pakaian
lalu melayang dan kembali ke tempatnya semula di
atas daun kering di lantai candi.
"Arwah Gelap Gulita. Kita menghadapi bahaya
Besar. Ada mahluk yang akan menembus ke dalam
Candi Miring."
"Arwah Ketua, saya sulit mempercayai. Bagaimana
orang luar bisa mengetahui rahasia..."
"Ada yang berkhianat diantara kalian para
pembantukul Aku pasti akan menemukan siapa
mahluknya!"
"Mereka pasti mengincar dua bayi." Berkata
Arwah Gelap Gulita.
Arwah Ketua mengangguk. Kemudian sambil
sepasang mata bergerak berputar dia berkata. "Aku
merasa lantai candi bergetar!" Ucap Arwah Ketua
sambil mendongak ke langit hitam di atas candi. "Aku
juga mendengar auara desau aneh angin. Dari
samping selatan candi. Arwah Gelap Gulita, aku akan
melihat dua bayi dan ibunya serta Ratu Dhika Gelang
Gelang. Kau cepat menyelidik ke dinding selatan
cand"
Dua mahluk gaib penghuni Candi Miring itu
sesaat kemudian lenyap dari pemandangan.
14.
ARWAH GANJALAN CANDI LENYAP!
LAKSANA tiupan angin Arwah Gelap Gulita
berkelebat ke bagian atas dinding candi sebelah
selatan. Dari sini dia memperhatikan ke bawah. Sunyi
dan gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Satusatunya benda yang tampak di kejauhan adalah
sebatang pohon yang telah meranggas kering,
miring ke kanan siap menunggu tumbang.
Arwah Gelap Gulita memperhatikan sekali lagi. Kali
Ini sambil mengerahkan hawa sakti ke kepala. Tibatiba mahluk ini tersentak.
"Aku merasa pasti. Sangat pasti..."
Secepat kilat Arwah Gelap Gulita yang
berperawakan tinggi besar dan memiliki rambut
berjingkrak seperti kawat lurus Ini melayang turun ke
tanah. Begitu menginjak tanah dua kakinya yang tidak
berkasut terasa panas. Matanya mendelik ke arah dua
benda yang tergeletak di tanah, hanya beberapa
jengkal dari dinding selatan candi.
"Bangkai kodok. Hyang Jagat Bathara Dewa. Apa
yang terjadi?" Arwah Gelap Gulita berteriak.
"Bagaimana mungkin. Aku sudah menutupi kawasan
candi dengan Ilmu Gelap Di Langit Gelap Di Bumi.
Kembali dia alirkan hawa sakti, kali Ini disertai tenaga
dalam ke kepala lalu dua mata menatap tajam
kebagian dasar candi. Untuk kedua kalinya pembantu
utama Arwah Ketua ini tersentak kaget, tidak
menunggu lebih lama lagi dia segera merapal aji
mengirim suara dari jarak jauh.
"Arwah Ketua, kita mengalami malapetaka besar."
"Kau menemukan apa?!" Cuara bertanya Arwah
Ketua mengiang di telinga Arwah Gelap Gulita.
"Arwah Muka Hijau yang selama Ini jadi ganjalan
candi tidak ada lagi di dasar dinding sebelah selatan!"
"Berarti ada dua bangkai kodok di sekitar situ?!"
"Betul sekali Arwah Ketuai Saya telah menemukan."
'Terapkan ilmu Arwah Memantek Roh. Aku akan
segera ke sana. Kita akan segera menemukan siapa
pelakunya!"
Arwah Gelap Gulita segera luruskan dua Jari tangan kiri kanan. Diarahkan pada dua bangkai kodok
yang tergeletak di tanah. Dua larik sinar hitam menderu. Dua bangkai kodok amblas masuk ke dalam
tanah.
Saat itu juga tiba-tiba mengumbar suara tawa
bergelak di halaman selatan candi. "Penghuni Candi
Miringi Kalian bertindak terlambat. datanglah ke
halaman selatan candi! Kalian akan melihat ketololan
kalian sendiri! pada saat kalian berada di halaman,
aku Arwah Muka Hijau sudah sampai seribu tombak
jauhnya dari Candi Miring! Kalian boleh mengeluarkan
seribu ilmu Arwah Memantek Roh. Aku mau lihat apa
kalian bisa membuat aku amblas setengah badan ke
dalam tanah?! Ha..ha..ha.
"Arwah Muka Hijau! Kau boleh tertawa sepuasmu!
Arwah Ketua akan menjebol ubun-ubunmu. Menyedot
darahmu!" Balas berteriak Arwah Gelap Gulita.
Tiba-tiba satu cahaya hijau pekat membentuk
puluhan benda berupa pisau besar bermata dua
menderu dari balik dinding candi. Menyambar ke arah
Arwah Gelap Gulita.
KETIKA Arwah Ketua sampai di halaman samping
candi bagian selatan kejutnya bukan kepalang. Di sini
dia menemukan Arwah Gelap Gulita terkapar di tanah.
Sekujur tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dan
berwarna hijau. Memperhatikan ke bagian bawah
dinding candi, Arwah Ketua tidak melihat apa-apa.
Kosong. Sosok Arwah Muka Hijau yang selama ini ada
disana dijadikan ganjalan dinding miring lenyap tak
berbekas!
"Melihat tubuh mayat berwarna hijau, Ini adalah
pekerjaan keji Arwah Muka Hijau. tapi Arwah Muka
Hijau belum punya kemampuan untuk mengalahkan
apa lagi membunuh Arwah Gelap Gulita secara cepat
pasti ada satu kekuatan dari luar yang membantu,
kalau tidak mana mungkin dia lolos deii himpitan
dinding candi" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok
keras dan panjang. "Mahluk keji terkutuk Arwah Muka
Hijau kau tidak akan bisa lari Aku akan mengejarmu
sekalipun sampai di neraka ke tujuh." Teriak Arwah
Ketua.
PADA saat dua bangkai kodok amblas ke dalam
tanah akibat hantaman dua larik sinar hitam yang
dilepas Arwah Gelap gulita. Arwah Muka Hijau yang
lolos dari himpitan dinding selatan candi Miring telah
berada di daerah selatan. Sesuai bisikan yang
didengarnya dia harus pergi ke sebuah tempat di barat
Pleret dimana terdapat sebuah candi kecil yang pada
bagian atas gapura depannya ada ukiran batu berupa
burung besar mengembangkan sayap.
"Duduk di tangga candi, sampai ada seseorang
datang menjemputmu. Sebelum orang itu datang kau
akan terlebih dulu melihat cahaya tiga warna keluar
dari dalam tanah."
Sebelum pagi datang, selagi malam gelap masih
dipagut udara dingin dan kesunyian, tidak sulit bagi
Arwah Muka Hijau yang aslinya bernama Cendadaluh
mencari candi yang dimaksudkan dalam bisikan. Maka
dlapun mendudukkan diri di tangga depan candi,
menunggu orang yang akci menjemputnya.
(Mengenal riwayat Arwah Muka Hijau dapat dibaca
daiam serial sebelumnya berjudul "Arwah Candi Miring")
Wajah mahluk berjubah hijau ini angker
mengerikan, dia tidak memiliki mata. hidung dan
mulut maupun telinga, pada bagian itu hanya terdapat
sayatan tipis dijahit benang hitam kasar, selain itu di
wajah dan beberapa bagian tubuhnya terdapat banyak
bekas luka yaitu akibat pertarungan dengan Ratu
Dhika Gelang Gelang hingga terkurung dalam Bubu
Ikan Berbisa. Namun kemudian senjata aneh
perangkap berbentuk ikan ini mencelakai Arwah Muka
Hijau sendiri (Baca serial pertama berjudul "Perawan Sumur Api") ,
Tidak lama duduk menunggu di tangga candi,
dari arah timur tiba-tiba Arwah Muka Hijau melihat
ada bayangan samar putih sosok menyerupai manusia
mendatanginya. Sosok samar yang merupakan
seorang tua agak membungkuk mengenakan pakaian
selempang kain putih, berambut, janggut dan
berkumis putih Ini sampai dan berhenti di hadapan
Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau menduga-duga
tapi hatinya merasa bimbang.
"Mahluk yang akan menjemputku." Pikir Arwah
Muka Hijau. "Tapi mengapa tidak sesuai bisikan.
Mengapa tidak ada sinar cahaya tiga warna keluar dari
dalam tanah?" Sepasang mata yang berupa sayatan
garis dijahit benang hitam bergerak-gerak memperhatikan. Hatinya mulai merasa tidak enak dan curiga.
"Mahluk gaib, kau siapa? Jika kau bukan mahluk
yang menjemput diriku lekas menyingkir pergi dari
sini."
"Aku memang bukan Ingin menjemputmu, aku
datang sesuai kehendak Para Dewa. Jika kau mau
bertobat dan minta ampun pada penguasa Candi
Miring, maka kau akan diselamatkan dari kematian
kedua serta hukuman diganjal seratus tahun di bawah
dinding candi..." Sosok samar di hadapan Arwah
Muka Hijau menjawab. Suaranya Jelas suara orang
yang sudah berusia lanjut
Tentu saja Arwah Muka Hijau jadi terkejut
mendengar ucapan mahluk samar itu. Dia membentak
keras.
"Pergi dari sini. Atau aku akan mengirim dirimu
kembali ke alam roh. dan kau tidak akan bisa keluar
lagi untuk selama-lamanya..."
"Jangan mengancamku. Aku datang bermaksud
baik untuk menyelamatkan dirimu. Walau di dalam
tubuh tua Ini sebenarnya ada dendam terhadap
dirimu..."
Arwah Muka Hijau dengan cepat bangkit berdiri.
tangan kanan diangkat ke atas, telapak yang telah
berubah menjadi hitam diarahkan pada mahluk samar
di hadapannya.
"Ah..." mahluk samar menghela nafas panjang.
"Ilmu Serat Arang. Dengan ilmu ini dulu anak buahmu
yang bernama Setunggul Langit membunuhku!"
Arwah Muka Hijau terkesiap kaget. Mata
dibesarkan agar bisa melihat lebih jelas.
"Jadi...jadi kau adalah Dhana Padmasutra!"
"Betul sekali, dulu kita saling bermusuhan.
Puluhan tahun. Tapi setelah berada di alam roh.
bagiku semua permusuhan itu habis sudch, malah
sekarang aku Ingin menolongmu. Bertobat pada Yang
Maha Kuasa dan minta ampun pada Arwah Ketua.
Maka kau akan diselamatkan dari malapetaka!"
"Dhana Padmasutra! Aku tidak perlu
pertolonganmu! Aku juga tidak merasa perlu untuk
bertobat. Semua apa yang terjadi adalah karena
hukum sebab akibat!"
Saat Itu juga tiba-tiba menggelegar suara tawa
bergelak.
"Arwah Muka Hijau. Dosa kejahatan mu setinggi
langit sedalam kerak bumi! Kau masih bicara
sombong takabur! Mana ada pengampunan bagimu!
Malam ini kau bahkan telah membunuh seorang
pembantuku di Candi Miring!"
"Wussss!"
Satu gelombang angin luar biasa kencang
menyambar hingga sosok Arwah Muka Hijau yang
berdiri di tangga candi tergontai-gontai sementara
sosok samar Dhana Padmasutra bergerak naik ke
udara sambil keluarkan suara.
"Sayang sekali....sayang sekali! Kau lebih suka
menemui ajal kedua kali dalam kesesatan dari pada
mendapat pengampunan! Gendadaluh. jika takdir
Yang Maha Kuasa sudah menentukan memang tidak
satu manusiapun bisa mengelak diri. Termasuk kau."
Sosok samar Dhana Padmasutra lenyap.
Tiba-tiba ada satu mahluk besar luar biasa
melayang turun menjejak tanah. Candi kecil dan tanah
sekitarnya bergetar keras. Beberapa bagian atas candi
yang memang sudah lapuk runtuh ke tanah. Sesaat
kemudian di tempat itu berdiri satu sosok besar
memiliki tinggi sampai tiga kali candi. Mengenakan
jubah biru yang dadanya tidak dikancing. Berkepala
botak dengan satu tanduk tunggal yang
memancarkan cahaya merah, sepasang mata besar
menjorok keluar rongga. Hampir keseluruhan mata
berwarna putih karena bola matanya hanya
merupakan satu titik hitam kecil. Dari mulut mahluk ini
keluar suara menggembor. Tiupan nafasnya
memerihkan kulit dan mata. Inilah Arwah Ketua dari
Candi Miring. Jika dia muncul dalam ujud begini rupa,
itulah satu pertanda bahwa dia berada dlpuncak
kemarahan dan hanya kematian mahluk lain yang
dibencinya yang mampu menyurutkan amarahnya.
INDEX MIMBA PURANA | |
Dewi Tangan Jerangkong --oo0oo-- Sri Maharaja ke Delapan |