Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau terkejut.
Keduanya sanm-sama berpaling ke arah orang
barusan hadir di tempat itu sambil mengeluarkan
bentakan.
2. MEMBANTAI RAGA MENGHISAP NYAWA
ARWAH Muka Hijau punya dugaan cepat dan tepat
Selagi Arwah Ketua perhatikan mahluk yang datang,
dia sudah melompat ke samping mahluk itu.
Sementara puluhan pisau mata dua lumut hijau masih
menggantung di udara berputar-putar mengeluarkan
suara nyaring bising, masih berada dalam kuasa
kekuatan ilmu kesaktian Arwah Ketua.
Walau terkejut namun Arwah Ketua tetap berlaku
tenang dan waspada. Melihat sosok mahluk yang
muncul hatinya berdetak jangan-jangan mahluk ini
datang sebagai tuan penolong Arwah Muka Hijau.
Dengan kata lain mahluk ini adalah sahabat bekas
pembantunya itu.
"Mahluk salah ujud!Aku belum pernah melihat
sebelumnya!" membatin Arwah Ketua, memandang
dengan sepasang mata tak berkedip.
Sebaliknya Arwah Muka Hijau dalam kejut diamdiam merasa gembira. Hatinya berucap. Dia melirik
ke samping.
"Mahluk aneh ini pasti yang di maksud dalam
petunjuk berupa bisikan yang sampai ke telingaku.
Orang yang di katakan akan datang menjemputku.
Tapi mengapa ujudnya begini rupa? Lalu mengapa
tidak ada cahaya tiga wama seperti yang dikatakan ?"
Mahluk yang muncul di hadapan Arwah Ketua
dan Arwah Muka Hijau bertubuh manusia, berkepala
dan berkaki kuda berbulu putih.
"Jika manusia mengapa berkepala dan berkaki
kuda. Kalau kuda mengapa bertubuh seperti
manusia?!" pikir Arwah Muka Hijau.
Dipandangi Arwah Muka Hijau dari samping,
manusia berkepala kuda berkata tanpa alihkan mata
dari Arwah Ketua.
"Arwah Muka Hijau", jangan ada keraguan di
hatimu! Aku diutus Untuk menjemputmu! Aku punya
kewajiban menyelamatkanmu, itu tugas utamaku. Tapi
kalau terpaksa mungkin aku sekalian akan
menamatkan riwayat mahluk raksasa yang sudah
terlalu lama berkeliaran di Bhumi Mataram! Tubuhnya
sudah bau kerak neraka. Saatnya disingkirkanl"
Mendengar ucapan mahluk berkepala kuda Arwah
Muka Hijau kini merasa yakin sekali kalau mahluk
itulah memang sang penjemput yang ditunggunya.
Maka diapun memutar tubuh menghadap ke arah
Arwah Ketua dan berdiri dengan berkacak pinggang.
Arwah Ketua mendengus. Membuat dua mahluk
di depannya harus menahan rasa perih pada mata
masing-masing.
'"Hebat! Mahluk salah ujudl Rupanya kau
berkerabat dan berserikat dengan kepompong yang
keluar dari dubur iblis! Pantas bau tubuhmu tidak jauh
dari bau pantat!" Habis berucap begitu Arwah Ketua
tertawa gelak-gelak hingga pohon bergoyang-goyang
candi berderak-derak dan tanah bergetar. Lalu dia
membentak. "Katakan siapa kau adanya dan siapa
yang mengutusmu?!"
"Namaku Abdika Brathama! Aku berasal diri
segala tempat dan waktu! Jika kau ingin tahu siapa
yang mengutusku, apakah kau punya kemampuan
mengikutiku masuk ke dalam lapisan bumi Ketiga?"
Mahluk bertubuh manusia berkepala dan berkaki
kuda dan mengaku bernama Abdika Brathama seperti
diketahui adalah anak buah Panglima Pawang Sela
pembantu utama dari orang yang mereka panggil
sebagai Sri Maharaja Ke Delapan atau Sri Maharaja
Mataram Baru. Selama Ini dia berada di Kotaraja
untuk memata-matai keadaan di sana terutama
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasukan
Kerajaan. Karena mendapat tugas dari Sang Panglima
untuk menjemput Arwah Muka Hijau maka diapun
meninggalkan Kotaraja menuju Plered. Dia tidak
menyangka kalau aakn kedahuluan oleh Arwah Ketua.
Walau ujud Arwah Ketua besar dan tinggi seperti
raksasa namun Abdika Brathama sama sekali tidak
gentar.
Merasa ditantang oleh ucapan mahluk berkepala
dan berkaki kuda yang dalam kelompoknya dikenal
dengan nama Tuman Kcoku (Tubuh Manusia Kepala
Kuda) Arwah Ketua mendengus marah. Hembusan
napasnya membuat Arwah Muka Hijau dan Abdika
Brathama sama-sama keperihan mata masing-masing.
Keduanya bersurut mundur sambil siap melepas
serangan.
"Wusssl"
Sosok Arwah Ketua lenyap dari hadapan kedua
orang itu. Di tanah di hadapan mereka tampak satu
lobang kecil mengepulkan asap kebiru-biruan Ketika
lobang keecil dan asap lenyap tiba-tiba di belakang
mereka kembali terdengar suara wuussssss!
Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama cepat
berpaling dan dapatkan Arwah Ketua tahu-tahu sudah
berada di hadapan mereka. Sepasang mata putih yang
hanya memiliki titik hitam sebagai bola mata
mendelik. Mulut menyeringai.
"Sang Penjemput. Mahluk bernama Abdika
Brathama. Kau mau mengajakku masuk ke dalam
bumi lapisan ketiga. Aku barusan masuk dan sampai
kedalam bumi tapisan ketujuh!"
"Mahluk penghabis tempat penyesak udaral Apa
bukti kau telah masuk ke dalam lapisan bumi ke
tujuh?! Jangan bicara sombongi Jangan menggertak
aku akan kedustaan!"
Arwah Ketua menyeringai.
"Suaramu bergetarl Tanda ada rasa getar!
Ha...ha...ha! Buka lebar-lebar mata kudamul Lihat
ini!"
Mahluk gaib raksasa dari Candi Miring itu
ulurkan tangan kiri. Kepalan jari tangan sebesar
pisang tanduk dibuka. Di atas telapak tangan ada
gumpalan batu berbentuk setengah lingkaran
berwarna hitam kebiruan mengepulkan asap.
"Cendawan batu!" ucap Abdika Brathama.
Tampang kudanya berubah, darahnya berdesir, tapi
tetap saja dia tidak merasa takut Anak buah Panglima
Pawang Sela ini tahu kalau tanda yang ada di tangan
Arwah Ketua Ku memang berasal dari perut bumi pada
kedalaman paling sedikit di lapisan ketujuh.
"Mata kudamu sudah melihat! Apa kau ingin aku
bawa kau ke perut bumi untuk lebih membuktikan?!"
Abdika Brathama terdiam. Arwah Muka Hijau juga
tidak keluarkan suara karena dia tahu bahwa apa yang
barusan diucapkan Arwah Ketua bukan main-main.
Mahluk sakti yang pernah jadi pimpinannya di Candi
Miring itu kalau mengatakan dia masuk ke dalam
lapisan bumi ke tujuh maka dia benar-benar telah
melakukan hal itu! Bukan satu kedustaan karena d!a
memang memiliki kemampuan!.
"Mahluk mengaku Sang Utusan. Sang
Penjemput! Kesombongan tidak ada artinya di
hadapanku. Apalagi di hadapan Para Dewa Penguasa
Alam Semesta! Tinggalkan tempat ini sebelum kau
aku jadikan sampah tak berguna. Dan jangan kau
berani menyentuh mahluk hijau ini, apa lagi
membawanya dari hadapankul Para Dewa telah
menentukan nyawa busuknya akan lepas dari raga
kotornya untuk selama-lamanya sebelum fajar
menyingsing!"
Ketika Arwah Ketua lenyap menembus tanah,
puluhan pisau hijau bermata dua masih terus
mengambang berputar-putar di udara. Tadinya Arwah
Muka Hijau bermaksud pergunakan kesempatan untuk
segera melenyapkan senjata-senjata. Maka dia mulai
merapal mantera sambil gosokkan dua tangan.
Namun ternyata Arwah Ketua muncul kembali lebih
cepat. Saat itu Arwah Ketua berdiri sambil
mengangkat tangan kanan pertanda dia masih
menguasai dan mengendalikan kekuatan yang ada
pada puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau.
Abdika Brathama yang jadi jengkel mendengar
ucapan Arwah Ketua menyahuti dengan ucapen
sangat melecehkan.
"Kalau kau merasa gusar karena aku pergi hanya
membawa Arwah Muka Hijau, aku tidak keberatan
mengajakmu sertai Tubuhmu cukup besar untuk
dijadikan ganjalan dasar Istana Sang Junjungan
Mataram Baru di lapisan bumi ke tiga! Berlututlah
minta pengampunan agar tubuhmu tetap utuh sampai
di dasar bumi lapisan ke tiga! Ha... ha... hal"
Arwah Ketua menggembor keras. Saat itu dia
sudah gatal tangan untuk menghabisi Abdika
Brathama. Namun dia perlu menanyakan sesuatu.
"Ujudmu tidak karuan rupal Otakmu pasti lebih
sembrawutan kacau balaul Katakan siapa yang kau
maksud dengan Sang Junjungan Mataram Barui"
Abdika Brathanvt usap-usap dagu kudanya lalu
sambil tertawa dia berkata, "Suaramu aku dengar
digetari nyali yang tiba-tiba menjadi ciut Itu baru aku
sebut nama Sang Junjungan! Apalagi kalau kau
panjang umur sempat berhadapan muka dengannya!
Di hadapannya kau bisa leleh mencair seperti air
Comberan!"
"Mahluk kurang ajar! Jawab saja pertanyaanku!
Siapa Sang Junjungan Mataram Baru? Aku mencium
ada komplotan jahat dan kau pasti adalah salah satu
anggotanya!" bentak Arwah Ketua hingga udara
menggaung dan tanah bergetar, pohon-pohon
bergoyang, candi tua berderak-derak.
"Katanya kau mahluk berkuasa, sakti
mandraguna. Mengapa memaksa orang memberi
keterangan? Apa kau tidak mampu menyelidik
sendiri? Apa kemampuanmu hanya sampai sebatas
cium-mencium? Berarti kau tidak lebih dari seekor
kucing. Atau mungkin merasa seekor gajah tapi
otakmu sebesar udang! Ha...ha...ha!"
Dihina begitu rupa Arwah Ketua segera
hantamkan ke bawah tangan kanannya yang sejak
tadi dipentang ke atas. Arwah Muka Hijau dan Abdika
Brathama mengira Arwah Ketua mengerahkan ilmu
Menahan Angin Menggantung Arwah untuk
menghantamkan puluhan pisau beracun ke arah
mereka. Kedua mahluk itu tertipu!
Ternyata puluhan Pisau Terbang Racun Lumut
Hijau dikibas ke bawah dibuat menancap amblas ke
dalam tanah. Dalam ketidak mengertian apa yang
sebenarnya dilakukan lawan tiba-tiba tanah yang
dipijaksbergetar. Lalu wuuttt...wuuttt! Puluhan pisau
terbang yang tadi berputar amblas lenyap masuk ke
dalam tanah tiba-tiba mencuat keluar, tepat di bawah
tubuh Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama!
Kejut dua mahluk ini bukan olah-olah! Mereka
berteriak keras lalu cepat melompat ke udara, kalang
kabut berusaha selamatkan diri. Arwah Muka Hijau si
pemilik puluhan pisau beracun jentikkan sepuluh jari
tangan. Sepuluh larik sinar hijau menderu menangkis
serangan pisau miliknya sendiri.
"Tring...tring...tring!"
Tujuh pisau terbang mental. Sisanya terus
mengejar kedua orang itu. Arwah Muka Hijau menjerit
putus asa ketika melihat delapan pisau tidak mampu
ditangkis, berputar ganas menyambar ke arah dua
kakinya. Sementara itu Abdika Brathama, walau
berhasil menghantam hampir selusin pisau dengan
dua kakinya yang terbungkus ladam besi namun lima
pisau melesat berputar menyambar ke arah perut dan
lehernya! Anak buah Panglima Pawang Sela ini
keluarkan suara meringkik.
Arwah Ketua tertawa bergelak. Selagi Abdika
Brathama berusaha selamatkan diri dari serangan lima
pisau, dari atas Arwah Ketua hantamkan kepalan
tangan kanan yang sebesar buah kelapa ke batok
kepala mahluk kepala kuda ini.
Sesaat lagi batok kapala itu akan hancur
dihantam pukulan tiba-tiba tiga cahaya berwarna
merah, biru dan hitam entah dari mana datangnya
menyambar di tempat itu. memecah menjadi puluhan
cahaya. Sebagian menyambar ke arah pisau terbang
yang menyerang Arwah Muka Hijau, sebagian lagi
menyambar pisau terbang yang mengancam Abdika
Brathama dan sisanya sebanyak dua belas larikan
Sinar terpecah dua. Masing-masing menyerang ke
arah tangan kanan Arwah Ketua yang tengah
memukul dan melesat ke arah dada yang tersingkap
penuh bulu!
"Praak:"
Hantaman tangan Arwah Ketua ternyata masih
lebih cepat sedikit demi sambaran cahaya tiga Warna.
Kepala Abdika Brathama hancur. Tubuh
terbanting dan melesak di tanah sampai ke pinggang.
Mulut masih mampu keluarkan ringkikan aneh.
Tangan menggapai-gapai lalu diam tak bersuara dan
tak bergerak lagi.
Tiga cahaya merah, biru dan hitam memang
mampu membuat mental belasan pisau terbang yang
menderu menyerang Arwah Muka Hijau. Tapi masih
ada dua pisau yang lolos, berputar lalu membabat
dada bekas anak buah Arwah Ketua ini.
"Rrrkkkkk!"
Benang hitam yang menjahit mulut Arwah Muka
Hijau berderik putus ketika mahluk ini membuka
mulut lebar-lebar keluarkan jeritan dahsyat. Dada
cabik bersilang, mulai dari bahu kiri ke pusar dan
satu lagi dari bahu kanan ke sisi kiri. Darah berwarna
hijau menyembur.
Arwah Ketua sendiri dengan sigap sambil
meniup berhasil membuat mental pisau terbang
beracun hijau yang menyerang dada. Namun dia tidak
sempat menarik tangan yang barusan memukul
hancur kepala kuda Abdika Brathama.
Dua pisau terbang membabat berputar ganas.
"Craass! Craasss!"
Tangan kanan Arwah Ketua terbabat putus di dua
tempat Di bagian pergelangan dan di bawah siku
Mahluk bertubuh raksasa ini menggerung keras Dua
potongan tangannya melayang di udara lalu jatuh di
tanah Arwah Ketua terhuyung-huyung sebentar lalu
jatuh berlutut Dari kutungan-kutungan tangan meleleh
darah merah kehijauan pertanda bercampur racun
pisau.
Masih terhuyung-huyung Arwah Ketua berkomat
kamit merapal sesuatu lalu berucap, "Batu Asmasewu
Dengan kuasa Dewa tolong diriku! Dua kutungan
tangan! Kembali ke tempat asalmu!"
Dalam keadaan setengah sadar sementara lengan
kanan yang buntung dijalari warna biru pertanda
racun pisau lumut hijau telah mengindap dan menjalar
di tubuhnya, Arwah Ketua letakkan tangannya yang
buntung di tanah. Terjadilah hal yang luar biasa. Dua
kutungan tangan yang tergeletak sejarak delapan
langkah bergerak-gerak lalu meluncur ke arah
buntungan tangan yang ditempelkan Arwah Ketua di
tanah.
"Ssttt! Sttt!”
Dua kutungan tangan bergabung menjadi satu.
Warna hijau yang menjalar sampai ke wajahnya
perlahan-lahan sirna. Namun Arwah Ketua belum
terlepas dari ancaman bahaya.
Satu bayangan kuning berkelebat. Didahului
memancarnya cahaya tiga warna satu tendangan
keras menderu di udara.
"Bukkk!"
Tendangan melanda dahsyat punggung Arwah
Ketua hingga mahluk raksasa ini mencelat dan
tertelungkup di tanah dengan punggung berlobang
besar bekas hantaman tendanganl Antara sadar dan
pingsan Arwah Ketua mendengar suara orang berseru
lantang disusul suara tawa bergelak.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru! Sri Maharaja Ke Delapan! Untuk menyingkirkan mahluk
terkutuk bernama Arwah Ketua ternyata kita tidak
perlu mencari embun murni! Tendangan Membantai
Raga Menghisap Nyawa berhasil membuat mahluk
paling berbahaya di Bhumi Mataram ini kembali ke
alam roh untuk selama lamanya! Ha...ha...hal"
3. ANANTHAWURI DICULIK
HANYA beberapa saat tenggelam dalam
ketidaksadaran. Arwah Ketua tersentak lalu
menggembor keras. Tangan kiri menggapai ke
punggung yang hancur. Meraba cidera besar bekas
tendangan orang yang menyerang secara
membokong.
Sadar akan keadaan dirinya Arwah Ketua cepat
jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Mulut
merapal ajian, kembali memanggil Batu Asmasewu,
memohon pertolongan.
"Batu Asmasewu. Aku membutuhkan pertolonganmu lagi. Wahai para dewa di Swargaloka. Asal
tanah kembali ke tanah. Asal sukma berpulang
kembali pada sukma. Asal arwah kembali ke alam
gaib. Saya pasrah namun saya mohon. Bhumi
Mataram dalam bahaya besar. Sambungkan roh tali
kehidupan bagi diri saya. Kecuali jika saya memang
ditakdirkan tidak ada harganya lagi di permukaan
bumi Ini..."
"Rrrrrmr”
Permohonan penguasa Candi Miring didengar oleh
Yang Maha Kuasa.
Tanah bergetar memancarkan cahaya. Getaran dan
cahaya menjalar ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ketika
batu yang ada di dalam tubuh Arwah Ketua ikut
mengalirkan hawa sakti ke punggung yang berlubang,
ada satu kekuatan memancarkan cahaya tiga warna
coba mencegah. Bentrokan dua kekuatan dahsyat
membuat tubuh raksasa Arwah Ketua mencelat ke
udara setinggi tiga tombak!
Terbungkuk-bungkuk Arwah Ketuu jejakkan kaki di
tanah. Kembali dia meraba ke punggung. Lobang
besar tak ada lagi. Sambil usap dada di arah
beradanya
Batu Asmasewu mahluk penguasa Candi Miring ini
mengucap syukur, berulang kali menyebut nama Yang
Maha Kuasa, lalu bangkit berdiri.
Ketika memandang berkeliling Arwah Ketua terkejut
Mahluk kepala kuda Abdika Brathama lenyap. Tanah
dimana tadi tubuhnya melesak sampai ke pinggang
dengan kepala hancur, kini sosoknya tak ada lagi. Apa
yang terjadi? Sewaktu Arwah Ketua masih
tertelungkup di tanah, sosok Abdika Brathama
mengepulkan asap hitam lalu lenyap laksana
hembusan angin. Yang tertinggal kini hanya lobang
bekas tubuhnya amblas.
Berpaling ke kiri, Arwah Ketua mahluk seram yang
sudah banyak kali melihat kejadian mengerikan,
namun kali ini tidak dapat menyembunyikan rasa kejut
serta ngerinya. Tubuh Arwah Muka Hijau yang
mengenakan jubah hijau tergeletak di tanah. Tapi
dalam keadaan tidak utuh. Karena kepala dan dua
kakinya lenyap entah kemana!
"Hyang Jagat Batharal Apa yang terjadi dengan
mahluk penghianat ini? Kemana lenyap kepala dan
dua kakinya?!" Arwah Ketua keluarkan suara
mengorok panjang. Dia ingat pada suara berseru
setelah tubuhnya ditendang. "Ada mahluk ke tiga di
tempat ini. Yang tadi menendangkul Aku mendengar.
Aku ingat dia jelas-jelas menyebut Sri Maharaja
Mataram Baru. Sri Maharaja Ke Delapan. Lalu cahaya
tiga warna itu... Aku harus segera kembali ke Candi
Miring. Aku harus cepat-cepat menemui Ratu Dhika
Gelang
Gelang. Gadis itu pernah cerita tentang pemuda
kekasihnya. Apakah pemuda itu masih hidup? Sri
Maharaja Ke Delapan! Bukan sekali ini aku mendengar
sebutan itu!. Ah, firasatku menyatakan Bhumi
Mataram benar-benar dalam satu bahaya besar…”
Sekali Arwah Ketua berkelebat, tubuh raksasanya
serta merta lenyap, laksana tiupan angin melesat
kembali ke Candi Miring.
****
FAJAR masih belum menyingsing. Hari masih
gelap dan udara serta tiupan angin masih terang
mencucuk jagat. Begitu keluar dari rimba belantara
dan selagi melayang di udara memandang ke utara,
kejut Arwah Ketua bukan alang kepalang. Dia dapat
melihat bangunan candi di atas bukit dengan jelas.
Salah satu menara candi tampak hancur. Dinding
candi samping kanan jebol. Kepulan asap mengambang di udara. "Sesuatu telah terjadi!" pikir Arwah Ketua.
Dengan melipat gandakan ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya, sesaat kemudian dia sudah berada
di pintu depan candi. Tubuh raksasa menciut, melesat
masuk ke dalam candi. Di ruangan dalam beberapa
stupa batu berbentuk binatang hancur berantakan.
Dekat puing-puing stupa singa pandangan Arwah
Ketua membentur sesuatu. Ketika diperhatikan
dengan mata tak berkedip darahnya tersirap. Benda
itu adalah kutungan tangan kanan manusia sebatas
siku sampai ujung jari, sebagian tertutup robekan kain
berwarna kuning. Di lantai candi darah berceceran.
"Darah merah, berarti mahluk yang punya tangan
ini adalah manusia biasa. Namun memiliki ilmu
kepandaian sangat tinggi. Kalau tidak bagaimana dia
bisa masuk menembus ke dalam candi?" Ketika
Arwah Ketua memperhatikan lima jari tangan buntung
yang terkepal, dalam kejutnya dia segera mendapat
jawaban. "Lima jari mengepal tanah merah. Tanah
kuburan! Rahasia masuk ke Candi Miring sudah
diketahui orang luar! Celakai" Dia hendak berteriak
memanggil Ratu Dhika Gelang Gelang yang selama
ini berada di Candi Miring untuk menjaga dua bayi
keramat yang dilahikan Ananthawuri secara gaib.
Namun mulutnya serta merta terkancing ketika
melihat dua buah benda bulat kuning tergeletak di
lantai candi.
Arwah Ketua membungkuk memungut dua
benda itu. Ketika diperhatikan dadanya jadi berdebar.
"Kerincing emas milik Radika Ratu..." Mulut
Arwah Ketua berucap, "Apa yang terjadi dengan
dirinya. Bayi-bayi itu. Dewa Agung, saya mohon..."
"Radinda Ratu! Kau dimana?!" teriak Arwah
Ketua. Suaranya menggelegar, menggetarkan
bangunan Candi Miring.
Memandang berkeliling Arwah Ketua tidak dapatkan jawaban. Tanduk merah di kepala berpijar-pijar.
“Radinda!"
Tiba-tiba sebuah stupa singa setengah hancur
yang menutupi dinding kiri ruangan bergerak ke
samping lalu roboh ke lantai.
"Radinda...?!"
Arwah Ketua melangkah mendekati dinding
candi. Di saat yang bersamaan dinding batu itu hancur
berantakan oleh satu kekuatan yang mendorongnya
dari belakang. Dari lobang yang muncul di dinding
menjorok keluar kepala manusia dengan kening
bertanda garis tiga warna, merah, hitam dan biru.
"Tiga warna keparat!" teriak Arwah Ketua marah.
Kaki kanannya berubah menjadi besar lalu memandang ke arah kening orang yang keluar dari lobang
dinding candi!
"Rakanda! Tahan! ini akui"
Dari balik dinding tiba-tiba ada suara perempuan
berteriak disusul runtuhnya dinding candi hingga
membentuk lobang lebih besar. Dari lobang di
dinding ini perlahan-lahan merangkak keluar sosok
seorang perempuan gemuk. Pakaiannya sehelai
kemben merah robek di beberapa bagian. Rambut
yang sebelumnya dikonde di atas kepala kini tampak
tergerai awut-awutan. Darah mengotori tangan kanan
dan bahu kirinya.
"Radinda Ratu Dhika! Apa yang terjadi?!" teriak
Arwah Ketua dan dengan cepat menarik tubuh
perempuan itu keluar dari lobang di dinding. "Mana
dua bayi keramat...?"
Ratu Dhika Gelang Gelang batuk-batuk,
semburkan darah kental. Suaranya parau ketika
berkata, "Dua bayi dalam keadaan selamat Tapi... tapi
jahanam berjubah kuning itu berhasil melarikan
Ananthawuri. Aku... aku hanya bisa membuang
buntung tangan kanannya. Aku..."
"Bagaimana mungkin! Ibu dua bayi keramat itu
memiliki Ratu Kaladungga di dalam tubuhnya. Siapa
saja orang yang bermaksud jahat terhadapnya pasti
tidak mampu melihat sosok tubuhnya! Siapa yang kau
maksud dengan orang berjubah kuning?"
Ratu Dhika Gelang Gelang tidak memberikan
jawaban karena saat itu juga tenaganya seperti habis,
napas menyengat. Gadis yang masih keturunan Raja
Bhumi Mataram ini terjerembab pingsan di lantai.
4. PETI DEWA PENYELAMAT RAGA DAN JIWA
Arwah Ketua bertindak cepat. Dia segera menotok
beberapa bagian tubuh gemuk Ratu Dhika
Gelang Gelang. Sambil menotok dia susupkan tenaga
dalam dan hawa sakti. Ditambah dengan aliran
kesaktian yang memancar dari Batu Asmasewu
yang ada dalam dirinya. Tak selang berapa lama Ratu
Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga
dikenal dengan julukan Ratu Meong keluarkan
suara mengeluh panjang. Mulut batuk-batuk tapi kali
ini tidak lagi disertai semburan darah.
Arwah Ketua dudukkan gadis itu di lantai
bersandar ke dindingcaridl lalu dua pipi yang tembam
ditepuk-tepuk. Perlahan-lahan Ratu Dhika Gelang
Gelang buka kedua matanya.
"Rakanda... Orang berjubah kuning itu melarikan
Ananthawuri. Aku..."
"Tenang Radinda. Saat ini ada hal lain yang lebih
penting ingin kuketahui!" memotong Arwah Ketua.
"Dua bayi yang menjadi tanggung jawab kita! Kau
bilang mereka selamat. Dimana keduanya sekarang?!"
"Mereka aku sembunyikan di tanah halaman
halaman barat di luar candi..."
"Maksudmu dengan ilmu kesaktianmu mereka
kau benamkan ke dalam tanah?!" tanya Arwah Ketua
dengan nada suara terkejut
Ratu Dhika Gelang Gelang mengangguk.
"Gila!" Arwah Ketua menggebrak lantai candi
hingga hancur berantakan membentuk lobang besar "Aku tidak bodoh Rakanda Arwah Ketuai Aku"
mempergunakan ilmu Peti Dewa Penyelamat Raga Dan
Jiwa. Hanya dengan penyelamatan seperti itu kurasa
cara paling aman bagi dua bayi. Kalau aku
sembunyikan di dalam candi pasti masih bisa
ditemukan. Tadipun orang berjubah kuning itu sudah
mengobrak-abrik candi. Dia tidak menemukan dua
bayi tapi menemui Ananthawuri dan melarikannya..."
Walau lega mengetahui dua bayi selamat namun
Arwah Ketua merasa risau dengan diculiknya
Ananthawuri ibu dua bayi itu. Lalu tidak menunggu
lebih lama dia melesat keluar menuju halaman candi
sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang mengikuti
dari belakang.
Dengan kesaktiannya melalui sepasang mata
putih bertitik hitam Arwah Ketua sudah dapat melihat
keberadaan dua buah benda kelabu berbentuk peti
yang terpendam di dalam tanah.
"Peti Dewa penyelamat Raga Dan Nyawa, kalian
telah berjasa menyelamatkan dua bayi calon Ksatria
Utama Kerajaan Bhumi Mataram. Saatnya kami
mengambil kedua bayi itu kembali. Keluarlah dari
dalam tanah. Bila dua bayi keramat sudah berada di
tangan kami, kalian dua peti sakti boleh kembali ke
alam kalian disertai ucapan terimakasih kami!"
Baru saja Arwah Ketua selesai mengeluarkan
ucapan tiba-tiba b!aar...blaaar! Tanah halaman
terbongkar di dua tempat. Dari tanah yang terkuak
melesat keluar dua buah benda kelabu berbentuk peti
terbuat dari batu gunung yang kukuh dan atos.
Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang
dengan cepat mendekati dua peti batu, membuka
penutup di sebelah atas. Begitu penutup peti
tersingkap keduanya sama-sama keluarkan seruan
keras.
"Dewa Jagat Bhatara!" teriak Ratu Dhika Gelang
Gelang. Tubuhnya yang gemuk langsung jatuh
terduduk di tanah. Mukanya yang gembrot pucat pasi.
Di sebelahnya Arwah Ketua keluarkan suara
mengorok keras dan panjang. Mata putihnya menatap
terbelalak. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa
berada dalam keadaan kosong melompong. Tidak ada
seorang bayi pun di dalamnya!
"Celaka besar! Kutuk dan amarah Dewa akan
jatuh atas diri kita! Radinda Ratu Dhika! Bagaimana
bisa begini?! Kau yakin telah merapal dan
mempergunakan ilmu kesaktianmu secara benar?!"
"Tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru
Rakanda. Aku..." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak
dapat meneruskan uerpan. Perempuan gemuk ini
menangis menggerung-gerung sambil menjambakjambak rambutnya. Arwah Ketua berlutut di tanah.
Wajah ditengadahkan ke langit Kepala ditinju-tinju
sendiri. Sementara di timur kaki langit mulai tampak
terang pertanda fajar telah menyingsing dan sang
surya akan segera muncul menerangi jagat.
Tiba-tiba ada sesiur angin sejuk bertiup. Hawa
di bukit gersang dimana Candi Miring terletak
perlahan-lahan berubah dingin.
"Radinda, tidaklah kau merasa ada keanehan?" ujar Arwah Ketua pada Ratu Dhika Gelang Gelang.
' Puluhan tahun aku tinjgsl di bukit gersang ini udara
selalu panas. Sekarang mengapa tiba-tiba hawa terasa
dingin?"
"Aku juga tidak mengerti Rakanda mungkin para
Dewa..." Ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang terputus oleh
suara orang menegur.
"Kalian dua insan di samping candi di atas bukit
tandus, apakah dua anak ini yang kailan cari sampai
memukul kepala menjambak rambut?"
Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang
langsung melompat. Saat itu mereka melihat seorang
tua berjubah putih melangkah mendaki lereng bukit
Di balik punggung menyembul sebatang tongkat
terbungkus lapisan putih menebar hawa dingin. Dari
ubun-ubun di atas kepala, sepasang mata, hidung
serta setiap hembusan napas yang dibuatnya,
mengepul keluar uap putih dingin. Meski berada
dalam jarak sejauh itu namun suaranya bicara seolah
dia berada beberapa langkah di hadapan Arwah Ketua
dan Ratu Dhika.
Akan tetapi bukan keanehan itu yang menjadi
perhatian dua mahluk di atas bukit. Yang membuat
mala mereka terbeliak dan mulut berteriak nyaring
adalah ketika melihat dalam gendongan tangan kiri
kanan si orang tua terdapat dua orang bayi berusia
satu bulan namun memiliki keadaan tubuh tidak beda
dengan bayi seusia satu tahun. Itulah Mimba Purana
dan Dirga Purana, dua bayi yang dilahirkan secara
gaib oleh sang ibu bernama Ananthawuri, perawan
pilihan para dewa berasal dari Desa Sorogedug, tak
jauh dari Prambanan. Dalam gendongan si orang tua,
dua bayi tampak tertidur lelap.
"Tua bangka penculik anak!" amarah Arwah
Ketua menggelegar." Lekas serahkan dua bayi itu
padaku atau kubuat lumat dan amblas tubuhmu ke
dalam tanah!" teriak Arwah Ketua. Tanduk tunggal di
alas kepala memancarkan sinar merah. Tubuhnya
serta merta mencuat menjadi besar setinggi Candi
Miring. Dua kaki melangkah cepat dan tangan kiri
kanan diulurkan menjadi panjang untuk dapat
mengambil dua bayi dalam dukungan si kakek tak
dikenal. Namun hebatnya dua tangan yang diulurkan
itu jangankan menyentuh, sampaipun tidak. Padahal
si orang tua yang mendukung dua bayi justru terus
saja melangkah enteng ke atas bukit, mendekati ke
arah dimana Arwah Ketua dan Ratu Dhika berada.
Ratu Dhika Gelang Gelang setengah berlari
mendatangi si orang tua penggendong bayi.
"Kakek, bagaimana dua bayi itu bisa berada
padamu? Aku sebelumnya telah..." ucapan Ratu
Dhika terhenti. Matanya memandang besar-besar dan
lekat-lekat ke paras si orang tua. Mulutnya lalu
berucap, "Orang tua, maafkan diriku kalau salah
berkata. Aku melihat seluruh matamu berwarna putih.
Kau buta...?"
"Dewa Agung memberikan sepasang mata yang
terbuat dari gumpalan salju padaku. Buta atau tidak
apa perbedaannya? Mata hati dan mata perasaan
pemberian Yang Maha Kuasa terkadang lebih
sempurna dari mata biasa. Apa lagi mata yang senang
melihat kemaksiatan," jawab si orang tua sambil
tertawa. Waktu bicara dari mulutnya keluar uap
dingin.
"Gadis gemuk, aku senang. Kau bertanya lebih lembut
dan lebih sopan dari raksasa penguasa Candi Miring
itu. He... he... he. Aku tahu. Sebelumnya dua bayi ini
bukankah kau selamatkan dengan cara memasukkan
mereka ke dalam dua peti batu bernama Peti Dewa
Penyelamat Raga Dan Jiwa? Kau punya akal panjang.
Tapi musuh tidak berkepandaian lebih rendah
dirimu."
Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang
mendengar si kakek dengan jelas mengetahui dan
menyebut nama dua peti batu. Lalu tahu pula
keadaannya yang gemuk.
"Orang tua, bagaimana kau tahu...? Kau datang
dari arah kaki bukit. Apakah sebelumnya kau berada
di atas sini? Kami berdua tidak mengenal siapa kau
adanya. Jangan-jangan kau utusan..." Ratu Dhika
tidak teruskan ucapan karena saat itu dia harus
menghalangi Arwah Ketua yang hendak hendak
menerjang menyerang siorang tua yang mendukung
dua bayi. "Sabar Rakanda... sabar. Jangan sampai
kesalahan tangan..."
"Radinda Ratu Dhika! Kau mau membela orang
yang hendak menculik dua bayi keramat?!" bentak
Arwah Ketua.
"Rakanda, harap kau mau berpikir jernih. Jika
orang tua Itu punya maksud jahat menculik dua bayi,
dia tidak akan melangkah mendatangi ke arah kita.
Dia sudah lama kaburi" jawab Ratu Dhika Gelang
Gelang.
Saat itu orang tua berjubah putih telah berada
dekat sekali di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika
Gelang Gelang.
"Kalian berdua dengar baik-baik. Aku hanya
kebetulan saja lewat di kawasan ini. Mungkin sudah
takdir Dewa aku harus melakukan satu kebajikan. Apa
kalian tidak memperhatikan tanah di halaman barat
candi ini?"
"Memangnya ada apa Kek?" ucap Ratu Dhika
Gelang Gelang. Tapi bersama Arwah Ketua dia
memandang juga ke seputar halaman, terutama
sekitar keluarnya dua peti tadi dari dalam tanah. Kini
keduanya baru sadar dan melihat.
"Apa yang kailan lihat?" bertanya si orang tua.
Arwah Ketua tidak menjawab. Yang membuat
Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Aku... aku melihat ada noda darah berceceran.
Hampir mengering..."
"Matamu tajam, anak gadis. Tapi apakah kau
tahu itu darah siapa?"
5. SANG PENYELAMAT DUA BAYI KERAMAT
RATU Dhika Gelang Gelang menggeleng, "itu adalah
darah manusia berjubah kuning yang kau buntungi tangannya. Dalam keadaan terluka parah dia keluar dari
candi, berusaha mengeluarkan dua
buah peti dari dalam tanah. Kebetulan saja aku berada
di sekitar sini dan Para Dewa berkenan memberi
kepercayaan padaku untuk menyelamatkan dua bayi
sebelum orang berjubah kuning mengambilnya..."
"Tapi mengapa barusan kau justru datang dari
arah kaki bukit. Seharusnya kau berada di atas bukit
sinil" bentak Arwah Ketua.
Dengan tenang dan sabar orang tua itu menjawab, "Kalau aku masih berada di atas bukit di sekitar
candi, besar kemungkinan si jubah kuning yang mau
menculik mengetahui keberadaanku dan dua bayi.
Bukankah itu berbahaya sekali? Selain untuk
menyelamatkan mereka, aku juga senang pada dua
bayi ini. Apa salahnya aku mengajaknya berjalan-jalan
barang sebentar ke kaki bukit. Ada rimba belantara
cukup teduh di bawah sana. Dibanding dengan
keadaan gersang, kering dan panas di bukit ini
Bukankah menghirup udara segar sangat penting bagi
pertumbuhan seorang bayi?"
"Soal mengurus dua bayi itu adalah tanggung
jawab kami. Mengapa kau orang tua yang tidak aku
kenal mau merepotkan dlri?l" ucap Arwah Ketua
dengan mata mendelik.
"Betul apa yang kau ucapkan. Soal mengurus
dua bayi adalah tanggung jawab kalian Tapi apakah
kalian telah merawat bayi-bayi ini dengan benar?
Kalian hanya memperhatikan keamanan dan
keselamatannya. Tapi kalian memperlakukan mereka
tidak lebih dari dua ekor hewan yang kalian sekap
dalam candi pengap yang hanya sedikit lebih baik
dari kurungan ayam!"
Mendidihlah amarah Arwah Ketuar ampai asap
merah mengepul keluar dari batok kepa!anva yang
botak. Lagi-lagi Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa
menghalangi ketika mahluk raksasa Ini hendak
menerjang si orang tua.
"Orang tua kurang ajar! Jaga muiutmu! Beraninya
kau mengatakan dua bayi sebagai hewan! Kau tidak
tahu siapa adanya bayi itu! Lekas pergi dari sini!
Serahkan mereka padaku! Atau kupecahkan
kepalamu saat ini juga!" ancam Arwah Ketua yang
menjadi luar biasa marah mendengar kata-kata si orang tua berjubah putih.
Yang dibentak dan diancam malah cuma tertawa.
"Mahluk penguasa candi! Seribu hari sebelum
dua bayi ini lahir aku sudah lebih dulu mengetahui
keberadaan mereka. Aku lebih banyak tahu siapa
adanya dua bayi ini dari pada kalian! Bukankah begitu
wahai dua bayi pilihan Para Dewa?" sambil berkata
si orang tua menggoyang sedikit tangannya yang
menggendong. Anehnya dua bayi itu sama-sama
tertawa dalam kelelapan tidur mereka!
Sementara Ratu Dhika tercengang Arwah Ketua
tetap masih meradang. "Aku tidak percaya padamu!
Bagaimana kau bisa tahu kalau dua bayi ada di dalam
tanah di halaman ini, dimasukkan dalam dua peti
batu!"
Si orang tua kembali tersenyum sabar.
"Mahluk bertubuh raksasa. Keberadaanmu
sungguh hebat tapi sayang jalan pikiranmu tidak
sehebat penampilanmu! Kalau Para Dewa memberi
kepercayaan padaku untuk menolong dua bayi,
apakah kau lebih kuasa dan lebih mengetahui dan
mereka?"
Rahang Arwah Ketua menggembung, hidung
mengendus dan lenggorokan menggembor, mata
putih mendelik. Mau rasanya dia menelan buiat-butat
tua bangka di hadapannya itu.
Tanpa memperhatikan Arwah Ketua lagi si orang
tua melangkah ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.
Dua bayi diserahkan pada si gadis seraya berkata.
"Jaga dua bayi keramat ini baik-baik. Karena pada
satu hari kelak aku akan datang menjemput salah
seorang dari mereka..."
Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang heran
mendengar ucapan itu. Sebaliknya Arwah Ketua
kembali menjadi marah dan menghardik.
"Hai! Apa arti ucapanmu itu?l"
"Mahluk hebat, bersyukurlah pada Yang Maha
Kuasa bahwa dua bayi telah diselamatkannya."
"Tua bangka bunglonl Kau tidak menjawab
pertanyaanku! Kau tidak mau memberi tahu siapa
dirimu! Dan jangan kra aku tidak tahu kalau kau ke
sini tidak sendirian!" sambil bicara Arwah Ketua
menatap ke kaki bukit dimana terdapat sebuah batu
besar.
"Eh, apa maksudmu mahluk penguasa candi?" tanya si mata buta.
"Kau datang membawa teman! Saat ini dia
sembunyi di balik baju besar di kaki bukit! Lihat saja!
Aku akan buktikan kedustaanmu!"
Selesai berucap, selagi si orang tua terheran-heran, tubuh raksasa Arwah Ketua melesat ke kaki
bukit ke arah sebuah batu besar Sesaat kemudian
dia sudah kembali sambil memanggul sosok seorang
gadis berpakaian dan berkerudung putih. Dengan
kasar Arwah Ketua melemparkan si gadis ke tanah.
Namun dengan gerakan enteng si gadis berjungkir
balik, lalu di lain kejap dia sudah berdiri di samping
si orang tua bermata salju! Pundak kiri jubah putihnya
ada bekas robekan yang telah dijahit Kerudung putih
di atas kepala jatuh ke bahu. Wajahnya kini tersingkap
jelas.
Sambil berdiri bertolak pinggang gadis ini keluarkan
ucapan ketidak senangan tapi dengan mulut
tersenyum.
"Tiada salah kau hendak membanting diriku ke
tanah. Benar ucapan pamanku ini tadi. Otakmu tidak
sehebatt penampilan dirimu! Hik... hik..!"
Baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika Gelang
Gelang tidak perdulikan ucapan si gadis.Yang menjadi
pusat perhatian keduanya adalah justru wajah cantik
gadis berpakaian putih itu. Mereka tidak melihat
bagaimana keadaan dua tangan si gadis yang
berkacak pinggang yaitu yang hanya merupakan
tulang belulang tak berdaging tidak berkulit sebatas
pergelangan sampai ujung jari.
"Ananthawuri!” seru Arwah Ketua dan Ratu Dhika
hampir berbarengan ketika mereka melihat paras si
gadis.
'Tunggul Rakanda Arwah Ketua apa salah mata
kita melihat?" Ratu Dhika Gelang Gelang susul
seruannya dengan ucapan.
Gadis berpakaian putih yang rambutnya tergerai
lepas sebenarnya adalah Dewi Tangan Jerangkong
puteri Giring Mangkureja dar! Kadiri. Wajahnya,
seperti yang pernah disaksikan sendirl oleh Pangeran
Bunga Bangkai memang memiliki banyak kemiripan
dengan Ananthawuri. (Riwayat gadis ini bisa dibaca
dalam "Dewi Tangan Jerangkong")
"Kalian berdua salah menyangka orang. Gadis
ini bukan Ananthawuri, Ibu dari dua bayi. Dia adalah
keponakankul Namanya Liris Pramawari," berkata
orang tua bermata buta. Lalu tongkat berlapis benda
putih yang mengepulkan asap dingin dimelntangkan
atas bahu kanan si gadis seraya berkata, "Kau gadis
nakal. Mengapa kau mengikutiku sampai ke sini.
Bukankah aku suah memberi satu tugas padamu?"
"Kau benar Paman. Tapi ketika saya masih
bingung, belum tahu mau menuju ke mana di tepi
hutan saya molihat satu kejadian. Saya membatalkan
meneruskan perjalanan, memilih lebih baik menemui
paman untuk memberi tahu. Itu sebabnya saya
berusaha mengejarmu sampai ke sini. Saya..." karena
si kakek sudah menganggap dirinya sebagai
Keponakan maka saat itu Liris Pramawari memanggil
si orang tua dengan sebutan Paman.
"Sudah...sudah! Kau anak nakal. Ayo kita
tinggalkan tempat ini. Di tengah jalan kau boleh
menceritatan kejadian apa yang telah kau alami..."
Si orang tua lalu memukul-mukulkan tongkatnya ke
pinggul si gadis. Tidak banyak bicara lagi dua orang
itu segera melangkah menuruni puncak bukti gersang,
meninggalkan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang
Gelang. Namun Arwah Ketua yang masih penasaran
berteriak.
"Orang tua! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku ada
beberapa pertanyaan! Kau belum memberi tahu siapa
dirimu sebenarnya!" Arwah Ketua mengejar. Dua kaki
raksasanya membuat tanah lereng bukit berlobanglobang ketika berusaha mengejar si orang tua dan
gadis berwajah sama dengan Ananthawuri. Namun
tiba-tiba tubuhnya laksana pohon besar tak bisa
bergerak karena tertahan akar. Dua kaki mendadak
sontak dibalut oleh tumpukan benda putih dingin luar
biasa hingga rahangnya menggembung dan geraham
bergemeletakan.
Di lereng bukit orang tua bermata putih berhenti,
berpaling pada Arwah Ketua lalu berseru.
"Apa perlunya mengejar diriku! Lebih baik kalian
mengamankan dua bayi. Selain itu kau harus cepatcepat melenyapkan tanda tiga warna di kening gadis
gemuk itu. Kalau tidak maka dalam tiga hari otaknya
akan berubahl Dia bisa berbalik menjadi musuh yang
bisa mencelakai dirimu! Di bumi Mataram ini hanya
ada dua orang yang bisa menolong gadis gemuk itu.
Pertama, seseorang yang telah kau aniaya di rimba
belantara sana..."
"Siapa orang yang kau maksudkan?!" tanya
Arwah Ketua.
Orang tua yang ditanya tidak menjawab melainkan
meneruskan ucapan.
"Orang kedua adalah keponakanku ini. Tapi tadi
kau telah sempat membuatnya kecewa. Membantingnya ke tanah..."
Tapi keponakanmu itu tidak cidera..." menengahi Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Cidera rubuh memang tidak. Tapi kecewa hati
Karena diperlakukan jahat kurasa tidak semua orang
bisa menerima..." Jawab si orang tua pula.
"Orang tua! Katakan siapa kau sebenarnya.
Apakah kau penjelmaan atau utusan Roh Agung...''
Mendengar dirinya disebut Roh Agung si orang
tua hentikan langkah, berpating menghadap ke arah
Arwah Ketua.
"Mahluk raksasa penguasa Candi Miring. Jangan
terlalu mudah menduga insan biasa sebagai
penjelmaan Roh Agung. Aku melihat hal yang tidak
pada tempatnya sering terjadi dan dilakukan orang
di Bhumi Mataram ini. Banyak orang pandai yang
menyangka telah bicara dan bertemu dengan Roh
Agung ketika mereka melihat cahaya atau mendengar
suara tanpa ujud. Roh Agung Yang Maha Kuasa
memang bisa beraba dimana-mana bahkan
bersemayam dalam diri setiap insan. Namun jangan
sekali-kali menganggap setiap cahaya atau suara yang
tidak berujud itu adalah roh Agung. Kuasa Roh Agung
jauh lebih hebat dan lebih mulia dari itu. Cahaya yang
muncul, suara yang terdengar bisa saja ulah arwah
yang mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuasa untuk
memberi petunjuk atau memberikan pertolongan
pada setiap insan. Jangan sekali-kali merendahkan
Roh Agung kalau tidak mau kualat! Ketahuilah sekali
seorang anak manusia berkesempatan melihat cahaya
Roh Agung maka dia akan tertidur lelap sampai
seratus tahun! Camkan itu baik-baik!"
Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang
terdiam. Si orang tua memutar tubuh kembali.
meneruskan langkah menuruni lereng bukit.
"Dewa Jagat Bathara! Siapa orang tua bermata
buta itu? Apa aku telah kejatuhan kutuk?!" ucap
Arwah Ketua. Dia kembali berteriak memanggil orang
tua berjubah putih sambil berusaha membebaskan dua
kakinya yang dibalut lapisan putih dingin. Namun
orang tua itu terus melangkah menuruni lereng bukit
sambil terus memukuli bagian bawah tubuh gadis
berpakaian putih. Yang dipukuli tidak merasa sakit,
malah senyum-senyum. Tongkat itu sendiri setiap
dikibaskan menebar hawa luar biasa dingin. Namun
hawa dingin tidak mempengaruhi si gadis sebaliknya
melesat ke arah Arwah Ketua membuat mahluk
bertubuh raksasa ini semakin menggigil kedinginan.
"Orang tuai Kau pasti tukang sihir! Sudah! Aku
tidakakan mengejarmu! Kau mau pergi kemana aku
tidakperduli”
Arwah Ketua akhirnya memutuskan untuk tidak
meneruskan pengejaran. Aneh, begitu dia
membalikkan badan, tumpukan benda putih dingin
yang melapisi dua kaki raksasanya langsung meleleh
dan akhirnya lenyap sama sekali!
"Radika Ratu," kata Arwah Ketua ketika sampai
di hadapan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kita harus
mencari siasat baru menyembunyikan dua bayi.
Setelah bayi berada dalam keadaan aman, aku ingin
bicara banyak denganmu. Kau cepat masuk duluan
ke dalam candi."
"Kau ingat ucapan orang tua aneh tadi? Tiga
warna di keningku Ini mengancam keselamatan
diriku..."
“Radinda. bagaimana tanda itu bisa ada di
keningmu?" tanya Arwah Ketua.
"Ketika aku berhasil membuat buntung tangan
kanan orang berjubah kuning, dia sempat
menyusupkan pukulan telapak tangan kiri ke mukaku.
Saat ml aku merasa ada yang tidak beres dengan
diriku. Kita harus segera masuk ke dalam candi."
"Saatnya kau masuk ke dalam candi. Bawa dua
bayi ke dalam Ruang Enam Dinding Dewa. Nyalakan
kayu cendana. Tunggu sampai aku menyusul..."
"Kau sendiri mau melakukan apa Rakanda Arwah
Ketua?" tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Banyak yang harus aku lakukan. Aku harus
melindungi candi ini dengan ilmu Menebar Kabut
Menutup Pandang. Lalu aku akan mengamankan
potongan tangan kanan orang berjubah kuning yang
ada dalam candi. Dari kutungan tangan di dalam candi
dengan Ilmu Menjejak Bumi Menerawang Langit. Aku
akan melacak siapa manusia itu sebenarnya dan
dimana dia berada. Lalu aku harus melenyapkan tiga
wama yang ada di keningmu... Tobat, begini banyak
pekerjaan yang harus aku lakukan. Sang Hyang Jagat
Bathara. saya mohon pertolonganMu..."
Dengan menggendong dua bayi keramat Ratu
Dhika Gelang Gelang masuk ke dalam candi. Di
halaman Arwah Ketua merapal mantera. Dua buah
peti batu yang ada di tempat itu perlahan-lahan
terlihat samar dan akhirnya lenyap. Candi Miring
sendiri walau saat itu matahari telah terbit dan
keadaan di atas bukit menjadi terang namun ujud
candi seperti diselimuti kabut tebal dan akhirnya
lenyap pula dari pemandangan, inilah kesaktian ilmu
bernama Menebar Kabut Menutup Pandang yang
kekuatannya lima kali dari kesaktian yang dimiliki
Arwah Gelap Gulita yang telah menemui ajal di tangan
Arwah Muka Hijau.
Ketika Arwah Ketua masuk ke dalam candi,
ternyata potongan tangan orang berjubah kuning tak
ada lagi. Darah yang sebelumnya berceceran di lantai
juga lenyap.
"Ada yang mengambil tangan dan menghapus
noda darah menghilangkan jejak..." ucap Arwah Ketua
perlahan. Kumis dan janggut diusap-usap. Mulut
sunggingkan seringai. "Apa kalian kira aku tidak
punya akal lain?!" Arwah Ketua cepat keluar cari
dalam candi, menuju ke halaman sebelah barat. Di sini
dia mengambil cairan darah yang telah mengering dan
bercampur tanah lalu dengan cepat kembali masuk
ke dalam candi.
****
SIAPAKAH adanya orang tua aneh bermata buta
dan memiliki kesaktian yang membuat Ratu Dhika
Gelang Gelang tercengang sementara Arwah Ketua
menjadi penasaran setengah mati? Di dalam episode
sebelumnya ("Meringkik Di Lembah Hantu") diriwayatkan kakek bermata putih buta ini adalah
seorang Resi dikenal dengan nama Resi Garispasthika, berjuluk Si Mata Salju. Dituturkan bahwa
orang tua ini suatu ketika bertemu dengan Liris
Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. Peda saat
itu Si Mata Salju tengah diserang oleh dua kakek
nenek bernama Durangga dan Arupadi yang dikenai
dengan julukan Dewa Dewi Empat Penjuru Angin.
Durangga tewas. Si nenek kabur. Si Mata Salju
berhasil merampas sebilah golok sakti bernama Empat
Mulut Penghirup Darah yang kemudian diserahkan
pada Liris Pramawari. Gadis yang dianggap sebagai
keponakannya itu oleh Si Mata Salju ditugaskan untuk
membawa golok ke puncak Gunung Mahameru guna
diserahkan pada pewarisnya.
Ternyata di tengah jalan dalam bingungnya Liris
Pramawari menemui satu peristiwa yang
membuatnya bejtoalik dan mencari Si Mata Salju.
6.PENYUSUP MENEMBUS CANDI MIRING
YANG DISEBUT Ruang Enam Dinding Dewa adalah
satu ruangan gaib yang tidak terletak di dalam Candi
Miring, melainkan mengambang di udara di atas
bannunan candi. Empat dinding ditambah lantai
dan atap terbuat dari susunan batu kebiru-biruan
memancarkan cahaya terang disertai hawa sejuk,
Konon untuk membangun ruangan yang tahan segala
macam bahaya ini dibutuhkan sekitar dua ratus
mahluk gaib dan menghabiskan waktu hampir sepuluh
tahun. Lamanya waktu pembuatan dikarenakan
mahluk gaib harus bertapa dan menunggu Para Dewa
menurunkan satu demi satu batu berwarna biru yang
menjadi bahan pembuatan dinding, lantai dan atap
ruangan.
Sebenarnya sejak pertama kali kedatangan
bayi keramat Arwah Ketua ingin menempatkan
mereka di ruangan tersebut. Namun sekitar dua puiuh
tahun silam, ruang gaib yang boleh dikatakan sulit
ditembus orang luar bagaimanapun kesaktiannya,
pemah kebobolan disusupi musuh. Karena khawatir
ha! tersebut akan terulang untuk kedua kalinya maka
Arwah Ketua tidak menempatkan dua bayi yang dijaga
Ratu Dhika di ruangan tersebut
"Aku berharap dua bayi ini sekarang benar-benar
aman berada di tempat ini..." kata Ratu Dhika Gelang
Gelang.
"Bagaimanapun juga kita harus tetap berwaspada
Radinda Ratu. Aku masih penasaran pada tua bangka
bermaLi putih itu! Aku tahu dia pendusta besar! Gadis
yang wajahnya sangat mirip Ananthawuri itu..."
"Belum tentu hanya sangat mirip tapi siapa tahu
dia sebenarnya memang Ananthawuri," kata Ratu
Dhika pula. Rupanya baik Arwah Ketua maupun Ratu
Dhika tidak melihat keadaan dua tangan jerangkong
Liris Pramawari. Kalau saja mereka sempat melihat
tentu keduanya akan berpikiran lain tentang gadis
cantik berjubah dan bei kerudung putih itu.
"Gadis itu aku yakin bukan keponakannya. Kalau
dia menjadi paman lalu ayah si yadis berapu tahun
lebih tua bangkanya dan si mata salju itu!"
"Rakanda Arwah Ketua. aku rasa perihal orang
tua aneh itu tidak penting kita bicarakan. Ada hal
lain..."
"Radinda Ratu, jangan kau menganggap
gampang persoalan yang kita hadapi. Kalau dugaanmu
benar bahwa gadis itu memang Ananthawuri dan
berhasil disirap serta ditenung hingga patuh saja pada
si mata buta itu, rasanya aku harus segera melakukan
pengejaran sebelum Para Dewa murka atas diriku.
Belakangan ini aku telah sering berbuat kekeliruan
dan kelalaian..."
"Rakanda, mendengar ucapan si orang tua
bahwa dia akan datang menjemput salah satu dari
bayi ini. apa perlunya dia menculik ibu Mimba dan
Dirga..."
"Si mata salju berkata begitu. Kalau dia memang
Inginkan salah satu bayi, mengapa tidak sekarangsekarang dia mengambilnya. Lalu mengapa cuma satu
bayi saja? Aku merasa perlu meneliti kembali apa
yang tertulis di empat Gading Bersurat..."
"Rakanda, kalau tidak ada hal lain yang kau
perlukan dariku, kuharap kita bisa berganti tugas
untuk sementara."
"Eh, apa maksudmu Radinda Ratu?"
"Aku tidak tenang selama tiga warna celaka ini
masih ada di keningku. Ingat ucapan orang tua aneh
itu?"
"Jangan kau terpengaruh. Bisa saja dia melakukan
kedustaan..."
"Rakanda Arwah Ketua, kau jaga dua bayi baikbaik. Aku akan meninggalkan candi..."
"Memangnya kau mau kemano?" tanya Arwah
Ketua dengan mata mendelik.
"Aku akan mengejar gadis yang wajahnya mirip
Ananthawuri itu. Minta tolong dia melenyapkan tiga
wama di keningku sebelum aku nanti benar-benar jadi
berubah pikiran alias gila dan menjadi musuhmu!"
Arwah Ketua terdiam beberapa ketika lalu berkata.
"Radinda. kau masih punya waktu tiga hari.
Mengapa harus terburu-buru? Kau beluin menuturkan
apa yang terjadi di candi ini sampai dua bayi nyaris
diculik orang. Siapa orang yang berjubah kuning
yang kau katakan itu? Aku sudah mengambil
gumpalan cairan darah keringnya. Aku akan
melakukan semedi Menjejak Bumi Menerawang Langit
untuk mengetahui siapa dia adanya. Kalau perlu aku
akan mendatangi sampai ke sarangnya, kalau
memang dia punya sarang sekalipun di neraka!'
"Kalau begitu aku akan membantumu..." kata
Ratu Dhika Gelang Gelang pula karena dia tahu untuk
melakukan semedi Menjajak Bumi Menerawang Langit
guna menjajaki seseorang berdasarkan sesuatu yang
merupakan bagian tubuhnya tidak rnungkin dilakukan
seorang diri.
"Aku akan menceritakan padamu. Tapi setelah
itu aku tetap akan pergi mengejar gadis itu..."
"Kau belum tentu bisa mengejar dan menemukannya. Orang tua bermata salju dia pasti akan
menghalangimu."
"Aku yakin dia tidak sejahat itu. Tapi kalau kelak
itu jadi kenyataan, aku akan mencari penolong yang
kedua. Yaitu orang yang menurut si mata salju telah
kau aniaya dan berada di dalam rimba belantara."
"Radinda Ratu. Kau ini ada-ada saja. Janganjangan kau benar-benar sudah berada dalam sirap dan
pengaruh orang tua tadi. Seingatku aku tidak pernah
menganiaya orang di dalam rimba belantara di kaki
bukit sana..."
"Bagaimana kalau yang dimaksudkan si orang
tua adalah Pangeran Bunga Bangkai dan dua
pengikutnya yang kau tenung dengan ilmu Melangkah
Ke Depan. Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke
Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke
Samping Arwah Berputar Di Tengah. Hingga Pangeran
dan dua kawannya itu tidak bisa keluar dari rimba
belantara. Selain itu aku tidak tahu dimana
keberadaan kucingku Si Ragil Abang..."
"Astaga Radinda, Soal ilmu tenung itu! Bukankah
kau sendiri yang minta aku menerapkan ilmu itu agar
Pangeran aneh itu tidak datang mengacau ke sini?"
"Benar sekali Rakanda. Namun itu hal terakhir
yang bisa aku mintakan padamu. Karena sebelumnya
bukankah kau bermaksud hendak membunuh orangorang itu?"
"Aku tidak mengerti! Benar-benar tidak mengerti..."
"Rakanda Arwah Ketua, aku akan menceritakan
apa yang terjadi. Aku hanya akan menceritakan satu
kali dan tidak akan mengulang-ulang. Setelah itu aku
akan membantumu bersemedi. Lalu setelah itu aku
akan pergi."
Arwah Ketua tidak keluarkan ucapan apa-apa. Dia
mengembalikan dua kerincing emas milik Ratu Dhika
yang ditemuinya di lantai candi.
***
PENUTURAN Ratu Dhika Gelang Gelang...
SAAT itu menjelang pagi. Di dalam candi, tak
lama setelah Arwah Ketua pergi, di satu ruangan
rahasia Ratu Dhika Gelang Gelang tengah mengawasi
dua bayi yang tertidur lelap di alas dua pembaringan
rotan beralas kasur kapuk lembut. Dua bayi walau
baru berusia satu bulan namun keadaan tubuh
menyerupai anak berumur satu tahun. Mendadak Ratu
Dhika melihat beberapa bagian dari lantai dan dinding
ruangan seperti bergelombang, laksana permukaan
air danau disaput tiupan angin. Ratu Dhika Gelang
Gelang yang tahu seluk beluk keadaan Candi Miring.
yakin betul bahwa saat itu ada bahaya mengancam
candi, dirinya dan pasti juga yang sangat berbahaya!
mengancam dua bayi.
"Ada orang sakti mau menyusup ke dalam
candi..." Ratu Dhika berkata dalam hati. Lalu dia
melangkah cepat ke salah satu bagian dinding candi.
Ujung ibu jari tangan kanan dijilat. Ujung jari yang
basah oleh ludah itu diusap sambil ditekan ke
dinding. Ketika Ratu Dhika mendekatkan mata
kanannya ke bagian dinding yang ditekan dengan ibu
jari tadi, dia seperti mengintai melalui sebuah lobang
dan dapat melihat keadaan di luar candi bagian
selatan. Hanya kegelapan malam menjelang pagi yang
terlihat. Tidak kelihatan satu mahluk pun di luar sana.
Namun bagian dinding dan lantai yang
bergelombang bertambah banyak. Pertanda orang
yang tengah berusaha menyusup semakin dekat.
Ratu Dhika kembali basahi ujung ibu jari tangan
kanan. Kini ujung jari diusap dan ditekan pada
dinding sebelah kiri dimana tampak gerak gelombang
yang lebih kencang. Begitu untuk kedua kali Ratu
Dhika mengintai melalui dinding yang seolah tembus
berlobang, kali ini dia dapat melihat halaman timur
candi. Seperti tadi dia melihat suasana gelap. Namun
dalan kegelapan dia dapat melihat seorang berbadan
tinggi, mengenakan jubah panjang yang wajahnya
belum terlihat jelas.
Ketika orang ini semakin dekat ke dinding candi
sebelah timur kelihatan kalau dia mengenakan destar
dan jubah kuning. Ada bayangan tiga warna
menyelubungi tubuhnya. Bayangan ini sangat tipis
hingga kalau bukan orang berkepandaian tinggi
seperti Ratu Dhika niscaya tidak akan melihatnya.
Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang.
Namun bukan cuma bayangan tiga warna tipis itu
yang membuat gadis yang masih punya darah
keturunan penguasa di Kerajaan Bhumi Mataram ini
menjadi terkejut. Yang paling mengagetkan hingga
tengkuknya terasa dingin adalah ketika melihat dalam
genggaman tangan kiri kanan, orang ini mengepal
gumpalan tanah merah.
"Celaka! Kalau yang dipegang orang itu tanah
kuburan pasti tembus! Dia pasti bisa masuk ke dalam
candi!" Ratu Dhika memandang berkeliling lalu
berteriak, "Rakanda Arwah Ketua! Ada penyusup mau
masuk ke dalam candi!"
Tak ada sahutan karena Arwah Ketua saat itu
memang tidak ada di Candi Miring, tengah melakukan
pengejaran terhadap Arwah Muka Hijau yang telah
membunuh Arwah Gelap Gulita.
7.SANG PENYUSUP: PANGLIMA PAWANG SELA
RATU Dhika kertakkan rahang. "Arwah Ketua tidak
ada di candi! Apa boleh buat! Aku harus menghadapi
penyusup berkepandaian tinggi itu seorang diri! Siapa
dia sebenarnya. Ada cahaya tipis tiga warna
menyelubungi tubuhnya. Aku harus bisa menangkapnya hidup-hidup! Kalau terpaksa harus menyabung
nyawa apa boleh buat. Wahai Para Dewa di
Swargaloka. Saya Ratu Dhika Gelang Gelang tidak
takut mati. Namun saya mohon ulurkan tangan
pertolonganMu. Selamatkan dua bayi Mimba dan
Dirga!"
Ratu Dhika kerahkan tenaga dalam penuh dari
pusar. Dua tangan dikembang lalu didorong. Empat
buah menara candi memancarkan cahaya berpiijar
berwarna kelabu. Empat cahaya ini adalah satu
kekuatan sakti yang diarahkan Ratu Dhika pada orang berjubah kuning yang berada di halaman timur
atau halaman depan Candi Miring.
Mendadak di udara gelap melesat sambaran
cahaya tipis tiga warna. Menyambar ke arah empat
cahaya kelabu. Benturan hebat tidak terelakkan.
Empat letusan keras menggelegar di kegelapan
menjelang pagi. Cahaya kelabu di tiga menara
bertabur lenyap. Puncak empat menara bergoyang,
mengeluarkan suara berderak. Menara ke empat yang
tidak sanggup menahan sambaran cahaya tiga warna
hancur berentakan. Di halaman depan candi orang
berjubah kuning terbanting ke tanah. Namun masih
mampu berdiri dengan cepat agak sedikit terbungkuk
pertanda mengalami cidera walau tidak berat.
Di dalam candi Ratu Dhika Gelang Gelang jatuh
berlutut di lantai. Sekujur tubuh bergetar dan basah
oleh keringat.
"Orang berjubah kuning itu..." ucap Ratu Dhika
dalam hati. "Dia memiliki dasar tenaga daiam tinggi.
Ditambah kekuatan berasal dari cahaya tiga warna
yang menyelubunginya... Apa yang harus aku
lakukan. Langsung menghadapi dan membunuhnya
atau lebih dulu menyelamatkan dua bayi."
Saat Itu salah seorang dari dua bayi tampak menggeliat sambil keluarkan suara mendesah pendek.
"Dua bayi itu! Mereka harus aku selamatkan lebih
dulu" Ratu Dhika mengambil keputusan. Dia ingat
ruangan gaib bernama Enam Dinding Dewa yang
terletak di atas candi. Namun hatinya meragu untuk
membawa dan menyelamatkan dua bayi ketempat
itu. Memandang ke arah pintu depan candi, Ratu
Dhika merasa heran. Seharusnya orang berjubah
kuning itu sudah melewati pintu dan berada dalam
candi. Tapi sampai saat itu tidak kelihatan sosoknya.
Selagi Ratu Dhika memperhatikan bagian dalam candi
yang cukup luas tiba-tiba dinding candi sebelah utara
jebol hancur berantakan. Satu bayangan kuning
berkelebat rnasuk ke dalam candi lewat lobang besar
di dinding.
Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
mengenakan destar dan jubah kuning, berwajah tiras
dan berkulit pucat berdiri di hadapan Ratu Dhikia
Gelang Gelang. Orang Ini hanya memiliki satu alis
yaitu di atas mata sebelah kiri. panjang hitam
menjulai
"Perempuan gemuk! Yang aku kenal dengan
panggilan Ratu Dhika Gelang Gelang! Lekas jatuhkan
diri berlutut. Jangan berani menggagalkan niat
kedatanganku! Aku utusan Sri Maharaja Ke Delapan
Kerajaan Mataram Baru datang untuk mengambil dua
Bayi!"
Si jubah kuning ini bukan lain adalah Panglima
Pawang Sela. Pembantu paling utama dan paling
terpercaya dari orang yang menyebut dirinya sebagai
Sri Maharaja Ke Delapan dari Kerajaan Mataram Baru.
Tidak mengenal manusia di hadapannya tapi
orang mengetahui siapa dirinya tidak membuat Ratu
Dhika Gelang Gelang terkejut. Namun yang membuat
dia terkesiap ketika untuk kesekian kalinya dia
mendengar orang menyebut tentang Sri Maharaja Ke
Delapan dan kini disebut-sebut pula Kerajaan Mataram
Baru.
"Aku harus bisa menangkap manusia satu ini
hidup-hidup. Aku harus bisa mengorek apa arti
semua ucapannya tadi!"
Dengan cepat gadis gemuk ini sentakkan dua kaki
dan hantamkan dua tangan. Dua puluh kerincing emas
yang melingkar di lengan dan pergelangan kaki
bergemerincing keras disertai melesatnya dua puluh
larik cahaya kuning.
Walau cepat mengelak dan menangkis dengan
kebutkan dua ujung lengan jubah kiri kanan, namun
ada perasaan menganggap enteng serangan Ratu
Dhika Gelang Gelang. Tapi ketika breett... breett...
breettt..brettt empat dan dua puluh larik sinar kuning
merobek jubahnya di empat bagian, tidak menunggu
lebih lama sambil membentak orang berjubah kuning
ini melesat setinggi atap candi, membuat gerakan
aneh seperti baling-baling berputar sementara dua
tangan menebar hawa sakti.
"Wuttt! Wuttt!”
Satu stupa hancur. Satu lainnya terbongkar dari
alasnya. Dinding dan lantai candi remuk di beberapa
tempat Namun saat itu dua bayi dan Ratu Dhika
Gelang Gelang sudah tidak ada di tempat tersebut
Di satu ruang rahasia di bawah lantai candi Ratu
Dhika Gelang Gelang menggendong dua bayi erat-erat.
Walau kedua anak ini tampak tenang-tenang saja
namun sepasang mata mereka dalam keadaan terbuka
dan sesekali bergerak berputar seoiah tahu kalau diri
mereka berada dalam ancaman bahaya.
"Anak baik-baik bagus... jangan menangis.
Jangan mengeluarkan suara..." Ratu Dhika berbisik
lalu hembus kening dua bayi. "Tidur... tidurlah anakanak manis..." Begitu ditiup dua mata bayi yang tadi
nyalang perlahan-lahan menutup. Ratu Dhika merasa
lega sedikit. Di dalam ruangan dia berdiri tidak
bergerak. Dua kaki sedikit dikembang. sepasang mata
dipejamkan, mulut merapal ajian kesaktian ditutup
dengan doa.
"Para Dewa di Kahyangan. Dengan segala
kehinaan diri ini, saya mohon pertolonganMu.
Selamatkan dua bayi ini. Para Dewa telah menetapkan
ibundanya sebagai perawan pilihan. Dua bayi ini
sesuai dengan kehendakMu wahai Para Dewa. Mereka
akan menjadi dua Ksatria Utama Bhumi Mataram,
pembela Kerajaan pembela Keadilan dan penegak
Kebenaran. Oleh karena itu Wahai Para Dewa.
dengarkan doa saya ini. Saya percaya Engkau Yang
Maha Kuasa akan mengulurkan tangan pemberi
pertolongan."
Sambil masih menggendong erat dua bayi yang
tertidur lelap Ratu Dhika Gelang Gelang rundukkan
badannya yang gemuk. Begitu tubuh diluruskan
kembali mulutnya berucap perlahan.
"Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwal Dengan
kehendak Yang Kuasa muncullah! Selamatkan dua
bayi keramat ini!"
Belum habis gema seruan Ratu Dhika tiba-tiba
dua cahaya berpijar dan di atas lantai dalam ruangan
rahasia itu tahu-tahu lelah berada dua buah peti
terbuat dari batu gunung kokoh kelabu.
“Blakk. .blaakkk."
Penutup dua buah peti terbuka "Terima kasih Dewa. terima kasih..." ucap Ratu
Dhika berulang kali. Dua bayi dalam gendongan
dimasukkan ke dalam dua peti batu.
“Blaakk...blaakkk!"
Dua peti tertutup dengan sendirinya lalu
melayang ke arah kiri. Luar biasa sekali! Dua peti batu
berisi bayi menembus dinding candi laksana angin
melesat ke halaman barat, melayang sebentar di
udara lalu amblas lenyap masuk ke dalam tanah tanpa
bekas sama sekali!
Ratu Dhika Gelang Gelang yang masih berada
di dalam ruang rahasia cepat merapat ke dinding di
belakangnya ketika tiba-tiba salah satu dinding
ruangan hancur dan dari lobang bosar yang kini
terkuak melesat masuk orang bermuka oucat berjubah
kuning dan hanya punya satu alis yaitu di atas mata
kiri. panjang menjulai sampai ke pipi!
"Kau sembunyikan dimana dua bayi?!" bentak
si jubah kuning alias Panglima Pawang Sela. "Lekas
ambil dan serahkan padaku! Atau aku buat candi ini
sama rata dengan tanah dalam sekejapan mata! Dan
kau akan terpendam di dalam reruntuhannya sampai
kiamat!"
Ratu Dhika Gelang Gelang menyeringai,
keluarkan suara mendengus lalu berkata.
"Kau inginkan dua bayi itu! Carilah di neraka!"
Ratu Dhika Gelang Gelang lalu buka mulutnya lebarlebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara
mendesis panjang lalu berubah menjadi kempis. Dari
mulut yang terbuka menderu satu kekuatan luar biasa
dahsyat, menyedot tubuh si jubah kuning hingga saat
itu juga sosoknya laksana dibetot, naik setinggi dua
tombak lalu melesat ke arah tembok candi.
"Braaakkk!"
***
8.PERTARUNGAN DALAM CANDI MIRING
ILMU kesaktian yang dikeluarkan Ratu Dhika
Gelang Gelang adalah Selaksa Angin Menghisap Roh. Jangankan manusia, pohon besar atau
gajah sekalipun pasti akan tersedot lalu dibanting ke
arah yang dikehendaki. Dengan ilmu inilah Ratu Dhika
Gelang Gelang dulu menghajar Arwah Muka Hijau
ketika dirinya dimasukkan ke dalam bubu ikan berbisa.
Akan halnya Panglima Pawang Sela meskipun
dengan kesaktiannya Ratu Dhika mampu membuat
orang ini terbanting ke dinding candi hingga untuk
sesaat tubuhnya serasa remuk melesak namun
tampaknya dia hanya mengalami cidera tidak berarti.
Sambil memukul hancur dinding di sekitarnya dengan
dua tangan, Panglima Pawang Sela melesat keluar
dari dalam dinding. Didahului teriakan aneh yang
mirip-mirip suara ringkikan kuda dan lolongan anjing
Panglima Pawang Sela menerjang ke arah Ratu Dhika.
Serangan yang dilancarkan merupakan kebutan dua
ujung lengan jubah mengeluarkan suara seperti
gelombang menghantam karang di pantai, disertai
sambaran cahaya kuning.
"Perempuan gemuk jahanam! Jangan kira aku
tidak tahu kau menyembunyikan dua bayi dimana!
Sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan mereka!
Tapi tidak ada salahnya kalau lehermu yang banyak
lemak itu aku buat buntung lebih dulu!"
***
PADA saat yang sama di halaman candi sebelah
barat di mana dua peti berisi bayi lenyap masuk ke
dalam tanah tanpa bekas, seorang berjubah putih
berkelebat di tempat itu. Tangan kanan yang
memegang tongkat putih berlapis salju dingin diketuk
dua kali ke tanah lalu di sapukan di udara dua kali
pula. Mulut berucap perlahan.
"Wahai para Dewa di Swargaloka. Kau tahu ada
orang berniat jahat di dalam candi memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan dua peti dari dalam
tanah. Dengan kuasaMu izinkan saya menyelamatkan
dua bayi itu!"
Satu cahaya putih memancar di dua tempat di
tanah. Lalu terdengar suara mengiang di telinga orang
tua yang memegang tongkat yang mengepulkan hawa
dingin.
"Resi Garipastika. Para Dewa mengabulkan
permintaanmu. Selamatkan dua bayi. Tapi ingat baikbaik. Jangan kau berlaku culas. Mengambil salah satu
dari dua bayi. Belum saatnya kau melakukan itu!
Berlutut di tanah, kembangkan dua tanganmu!"
Mendengar suara mengiang serta merta si orang
tua yang ternyata adalah Resi Garipasthika yang di
kenal dengan julukan Si Mata Salju jatuhkan diri
berlutut ke tanah. Tongkat putih diselipkan di
punggung, dua tangan dikembang.
"Arwah Suci...Kau pasti Arwah Suci yang
mewakili para Dewa, yang selama ini selalu disalah
artikan sebagai Roh Agung oleh banyak insan di
Bhumi Mataram ini. Saya Reshi Garipasthika
mengucapkan terima kasih atas izin Mu. Saya
mengerti. Saya..."
Belum selesai ucapan sang Resi tiba-tiba
dess...desss! Dari dalam tanah melesat dua bayi yang
sebelumnya berada daiam dua buah peti bernama
Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Dua bayi
kemudian melayang ke arah Resi Garipasthika, masuk
ke dalam gendongan tangan kiri kanan. Tidak
menunggu lebih lama orang tua sakti yang pernah
bertapa di puncak Gunung Himalaya selama sepuluh
tahun ini segera berkelebat lenyap dari tempat itu.
KEMBALI ke dalam Candi Miring. Suara teriakan
yang menyerupai ringkik kuda dan lolongan anjing
yang di keluarkan Panglima Pawang Sela cukup
membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkesiap.
Apalagi mendengar ucapan orang yang berjubah
kuning itu yang menyatakan mengetahui di mana dia
menyembunyikan dua bayi. Walau hanya sesaat
terkesiap namun sudah cukup memberikan kesempatan pada Panglima Pawang Sela menyambar
leher Ratu Dhika dengan dua cengkeraman tangan
kiri kanan.
Sesaat batang leher gemuk itu siap hendak di
puntir remuk, Ratu Dhika tersandar. Dengan cepat dia
jatuhkan diri ke bawah. Dalam keadaan setengah
berlutut dia lepaskan satu pukulan telak ke dada
Panglima Pawang Sela. Orang beralis satu ini
semburkan darah kental tapi mulutnya malah
menyunggingkan senyum. Tubuhnya lalu mengapung
di udara, tangan kanan Ratu Dhika yang masih
membentuk kepalan melekat di dada seolah
menunjang! Ratu Dhika terpekik ketika merasakan
tinjunya yang menempel di dada lawan dijalari hawa
panas sekali. Didahului suara tertawa seolah mengejek
Panglima Pawang Sela semburkan ludah campur
darah yang ada di mulutnya ke muka Ratu Dhika.
Dalam waktu bersamaan tangannya kiri kanan yang
tadi hendak memuntir tanggai leher kini bergerak
menggebuk ke arah batok kepala gadis gemuk itu.
Tidak bisa melepaskan tangan kanan yang
lengket di dada lawan sementara orang hendak
menggebuk hancur kepalanya. Ratu Dhika Gelang
Gelang mengadu jiwa dengan balas melancarkan
serangan bernama Cakar Besi Penghancur Berhala
dengan mempergunakan tangan kiri. Tangan menjulur
panjang. Lima jari berubah besar menjadi cakar besi,
hitam mengerikan. Serangan Ratu Dhika menyambar
lawan lebih dulu dan lebih cepat dari dua gebukan
yang dilancarkan Panglima Pawang Sela. Masih
untung orang ini mampu selamatkan kepalanya yang
semula hendak jadi sasaran. Namun begitu gagal
menyambar kepala, lima jari kini berkelebat ke bawah
ke arah tangan kanan lawan.
"Breett!" Lengan jubah Panglima Pawang Sela
robek besar.
"Kraakk!"
Terdengar suara tulang patah dan tanggal!
Panglima Pawang Sela menjerit keras ketika siku
tangan kanannya kena disambar Cakar Besi Penghancur Berhala. Siku putus, lengan langsung tanggal
buntung mulai dari siku ke bawah! Darah menyembur
dari urat-urat besar yang putus berbusaian! Piukk!
Buntungan lengan tercampak di lantai. Lima jari
bergetar lalu mengepal.
Dalam keadaan menahan sakit luar biasa
Panglima Pawang Sela masih sempat menghantamkan telapak tangan kirinya ke kepala Ratu Dhika
Gelang Gelang. Gumpalan tanah liat kuburan yang
masih melekat di tangan kiri Pawang Sela mendarat
di kening si gadis gemuk.
Tiga cahaya berpijar! Di kening Ratu Dhika
kelihatan tiga garis lebar berwarna hitam, merah dan
biru! Ratu Dhika menjerit keras. Tubuh gemuknya
terpental membentur dinding candi hingga jebol lalu
terguling jatuh di satu ruangan gelap. Dalam keadaan
setengah sadar dia pentang dua tangan, siap melepas
pukulan sakti bernama Langit Roboh Bumi
Terbongkar. Pukulan ini mengandung hawa panas
luar biasa yang mampu membuat tubuh lawan hancur
berkeping-keping. Kalau lawan di luar sana masuk
mengejar maka dia akan menghabisi dengan dua
pukulan sekaligus!
Tadinya Panglima Pawang Sela bermaksud
hendak mengejar masuk ke dapan ruangan sempit
dan gelap itu namun khawatir akan mendapat
serangan mendadak selain itu karena lebih
mementingkan mendapatkan dua bayi maka tidak
pikir panjang lagi dia menjebol dinding barat candi,
melesat ke halaman.
Walau tidak ada tanda di tanah bekas masuknya
dua peti batu namun dengan kesaktiannya, melalui
penciuman serta getaran di gumpalan tanah kuburan
yang masih ada di genggaman tangan kiri dia mampu
mengetahui keberadaan dua peti batu dlmana dua
bayi disembunyikan. Pawang Seia merapal mantera
lalu berseru.
"Dua peti sakti ciptaan Dewa! Tempatmu tidak
layak di dalam tanah! Keluarlah!"
"Braakk! Braakk!"
Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dua
Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa melesat keluar
dari dalam tanah, melayang turun di hadapan
Panglima Pawang Sela.
"Blaakk! Blaakk!"
Penutup peti terbuka.
Sepasang mata Pawang Sela terbeliak besar.
Mulut keluarkan suara bengis. Dua peti batu ternyata
berada dalam keadaan kosong!
***
9.SANGKALA DARUPADHA RAJA JIN HUTAN
ROBAN
DALAM amarah menggelegak Pawang Sela
tendangkan kaki kanan ke salah satu peti batu di
hadapannya Cahaya tiga warna memancar di ujung
kaki kanan. Walau bernama Peti Dewa tapi
tendangan yang dilancarkan Pawang Sela bukan
tendangan sembarangan, bernama Tendangan Tiga
Warna. Peti batu itu pasti akan hancur berkepingkeping!
Namun dua peti tiba-tiba lebih dulu lenyap dari
pemandangan, hanya meninggalkan kepulan asap
kelabu tipis.
"Kurang ajar! Ratu Dhika! Jangan harap kau bisa
lolos dari tanganku! Akan aku kubur kau hidup-hidup
dalam runtuhan candi!"
Ketika Pawang Sela hindak keluarkan ilmu
kesaktian bernama Angin Pranara Lembah Hantu yang
mampu menghancurkan luluhkan Candi Miring tibatiba ada satu suara mengiang di telinganya.
"Panglima, kau telah terlalu banyak mengeluarkan
darah. Perhatikan keselamatanmu! Lawan mampu
menjebol perlindungan yang aku berikan. Menurut
penglihatanku dua bayi berada dalam lindungan
seorang sakti yang belum bisa kau tandingi dalam
keadaanmu seperti saat ini. Kau harus mengalah
dulu. Lupakan gadis gemuk berkepandaian tinggi itu.
Kau telah meninggalkan tanda di keningnya. Kalau
saja dia tidak memiliki ilmu kebal yang tangguh,
niscaya saat kau memukul keningnya dengan
Pukulan Tiga Warna tubuhnya telah tercerai berai!
"Sekarang kita bisa menghabisinya dalam waktu tiga
hari mendatang. Tapi lebih bermanfaat kalau kita bisa
menyirapkan untuk datang dan bergabung dengan
kita. Kita telah banyak kehilangan anggota berkepandaian tinggi. Kita perlu yang satu ini. Sebelum
pergi kau harus cepat mengambil potongan tanganmu
yang ada dalam candi. Jangan sekali-kali sampai orang bisa menjajagi keberadaanmu sebelum rencana
besar kita terlaksana "
Panglima Pawang Sela cepat membungkuk.
"Junjungan Sri Maharaja Ke Oelapan, jika itu
perintahmu, saya akan segera melakukan!"
"Sekarang segera tinggalkan kawasan candi.
Aku berada di luar hutan di kaki bukit. Temui aku di
pinggiran sebelah timur. Cari pohon jati kering yang
tidak bercabang dan tidak berdaun. Aku ada di situ..."
"Saya maklum junjungan. Saya mengerti."
Sebelum meninggalkan tempat itu, sesuai
perintah ngiangan suara di telinganya Panglima
Pawang Sela lebih dulu masuk ke dalam candi untuk
mengambil kutungan tangannya. Itu sebabnya ketika
Arwah Ketua masuk kembali ke dalam candi dia tidak
menemukan lagi buntungan tangan yang sebagian
masih terbungkus lengan jubah berwarna kuning.
Tidak terduga pada saat itu terdengar perempuan
meratap disertai suara memanggil berulang kali.
"Anakku Mimba dan Dirga! Di mana kalian
wahai... Hyang Jagat Bhatara tolong... tolong dimana
mereka! Lindungi mereka. Apa yang terjadi di candi
ini... Ratu Dhika... Kau dimana?"
Panglima Pawang Sela serta merta hentikan
gerakannya hendak meninggalkan candi. Begitu dia
berpaling, dari balik reruntuhan dinding candi muncul
keluar seorang gadis berpakaian biru, berwajah cantik
dan berkulit putih. Rambut panjang hitam tergerai
lepas sampai ke pinggang.
"Gadis ini...Dia meratap memanggil anaknya.
Dua bayi... Apakah dia ibu dari dua bayi itu? Siapapun
dia, pasti bukan orang sembarangan di tempat ini!
Aku tidak boleh berbuat lalai. Lebih baik aku tangkap
dulu dia! Tidak menunggu lebih lama lagi Panglima
Pawang Sela segera menghambur menangkap gadis
itu lalu secepat kilat tinggalkan Candi Mining.
Sebenarnya di dalam tubuh Ananthawuri terdapat batu
sakti Kaladungga pemberian gaib patung Loro
Jonggrang, yang membuat dirinya tidak bisa terlihat
oleh siapa saja yang berniat jahat. Namun karena ilmu
kesaktian yang dimiliki Pawang Sela jauh lebih tinggi
dia mampu melihat Ananthawuri secara nyata.
Dari dalam ruangan gelap Ratu Dhika Gelang
Gelang masih sempat melihat apa yang terjadi. Dia
berteriak keras lalu melompat coba mengejar. Tapi
entah mengapa saat itu kepalanya terasa sangat berat
Ketika dia berusaha menerobos lobang besar di
dinding candi, kepalanya membentur pinggiran
lobang hingga tubuhnya terpental dan kembali
tergelimpang di lantai. Untuk beberapa lama
pandangannya berbintang-blntang. Namun mulutnya
masih bisa berucap, "Hyang Bhatara Agung...
Tolong...Manusia jahat itu menculik Ananthawuri...
Selamatkan ibu dua bayi itu. Tolong…”
***
KETIKA berlari cepat menuruni bukit gersang,
di kejauhan Panglima Pawang Sela melihat seorang
berjubah putih melangkah seenaknya mendaki ke arah
puncak bukit Sosok yang terlihat begitu samar hingga
dia tidak bisa mengenal siapa adanya orang itu. Kalau
saja dia tidak diperintahkan oleh Sang Junjungan
segera pergi menemuinya di pinggiran rimba
belantara sebelah timur, sebenarnya ada niat hendak
mendatangi dan menyelidik siapa adanya orang
tersebut. Pawang Sela tidak pernah menduga kalau
orang yang terlihat samar itu adalah Resi
Garispasthika alias kakek berjuluk Si Mata Salju yang
tengah menggendong dua bayi keramat dan telah
lebih dulu diambil diselamatkan dari dalam Peti Dewa
Penyelamat Raga Dan Jiwa.
***
KEMBALI ke dalam Candi Miring di Ruang Enam
Dinding Dewa.
"Rakanda Arwah Ketua, kau telah mendengar
penuturanku apa yang terjadi ketika kau meninggalkan candi mengejar si keparat Arwah Muka Hijau. Sekarang sebaiknya kita cepat-cepat melakukan samadi
Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mencari
tahu siapa dan dimana sarang manusia jahanam itu..."
"Radinda Ratu, aku harap kau bisa bersabar
sedikit Kau beruntung. Berkat Ilmu Kebal Lemah
Kebal Banyu pukulan lawan yang meninggalkan tanda
tiga warna di keningmu tidak membuatmu celaka atau
keracunan... Apa yang kau tuturkan membuat aku
ingat kembali pada tugas yang pernah aku berikan
padamu. Tapi mungkin belum sempat kau lakukan.
Kau ingat tiga tugas itu Radinda Ratu...?"
"Aku ingat Rakanda," jawab Ratu Dhika Gelang
Gelang.
"Kita harus menyelidik siapa yang sejak
belakangan ini disebut-sebut dan menamakan dirinya
sebagai Sri Maharaja Ke Delapan. Ketika aku
berhadapan dengan manusia aneh bernama Abdika
Brathama, mengaku utusan Sri Maharaja Ke Delapan,
dia juga menyebut mengenai Mataram Baru! Semakin
jelas bagiku kalau Bhumi Mataram berada dalam satu
ancaman luar biasa besar. Ada orang yang hendak
meruntuhkan tahta Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala yang masih pamanmu. Ada satu
rencana pemberontakan besar-besaran terhadap
penguasa yang syah saat ini. Rasanya dalam waktu
singkat aku harus menghadap Sri Maharaja di
Kotaraja."
Arwah Ketua berhenti bicara sejenak lalu
melanjutkan.
'Tugasmu yang ke dua menyelidik apa dan siapa
sebenarnya pemilik ilmu kesaktian yang selalu
menampakkan ujud dalam cahaya tiga warna. Merah,
biru dan hitam. Ilmu kesaktian itu agaknya bisa
dipecah, bisa diberikan kepada siapa saja oleh sang
pemilik yang sekaligus sang pengendali. Aku punya
dugaan keras mahluk ini adalah sang pengendali. Dia
kunci dari semua kejadian. Mungkin sekali dialah Sri
Maharaja Ke Delapan itu..."
"Aku juga punya dugaan sama sepertimu
Rakanda," menyahuti Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Kalau sekarang kaki tangannya berhasil
menculik Ananthawuri maka keadaan akan lebih parah
dan tambah sangat berbahaya bagi masa depan
Bhumi Mataram. Dia punya kekuatan untuk menekan."
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok, hembuskan
nafas panjang yang memerihkan jangat dan mata lalu
berkata lagi.
"Kau juga aku minta mencari pemuda bernama
Sebayang Kaligantha. Pemuda itu mempunyai
hubungan dengan ilmu kesaktian memancarkan
cahaya tiga warna itu. Aku menyirap kabar dia
memiliki satu ajimat sangat sakti yang didapatnya
ketika masuk ke dalam alam gaib di negeri seberang,
di satu bekas Kerajaan Kuna. Pemuda bernama
Sebayang Kaligantha itu, bukankah dia kekasihmu
Radinda Ratu? Apakah kau sudah berkesempatan
menemuinya?!"
Ratu Dhika Gelang Gelang tertunduk lalu
menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Dulu aku pernah curiga kalau sang pengendali
ilmu kesaktian yang selalu menampilkan cahaya tiga
warna Itu adalah mahluk yang dikenal dengan nama
Pangeran Bunga Bangkai. Ternyata bukan dia. Aku
juga menyirap kabar bahwa orang-orang di selatan
tengah menggalang satu pasukan besar untuk
melaksanakan niat jahat, menyerang Kotaraja,
merebut tahta Kerajaan... Beberapa di antara mereka
telah menyusup dan melakukan pembunuhan. Ingat
peristiwa tewasnya Wakil Balatentara Kerajaan Janggel
Kantanu? Sampai saat ini tidak diketahui siapa
pembunuhnya. Belakangan ini banyak orang-orang
tak dikenal gentayangan menyebar maut. Di antara
mereka ada yang mempergunakan senjata rahasia
berupa kepingan besi bulat biru mengandung racun
mematikan..."
"Itu jelas orang dari selatan..." kata Arwah Ketua
sambil mengusap tanduk merah di atas kepalanya
yang botak. "Aku harus mengirim seseorang ke
selatan untuk menyelidik. Kalau tidak aku sendiri yang
akan kesana..."
"Rakanda. sampai saat ini Arwah Hitam
Pengawal Malam tidak diketahui dimana beradanya.
Juga Arwah Putih Pengawal Siang..."
"Aku punya firasat Arwah Putih sudah menemui
ajal. Tunggu saja dalam beberapa hari ini. Kalau
bayangan arwahnya muncul di salah satu menara
candi menjelang matahari tenggelam, berarti memang
pembantuku itu sudah tidak ada lagi di alam nyata
ini... Radinda, saatnya kita harus bertindak. Aku
benar-benar harus segera berangkat ke Kotaraja..."
Namun Arwah ketua kemudian terdiam. Selang
beberapa ketika baru berucap lagi. "Kalau aku ke
Kotaraja dan kau pergi mencari gadis yang katanya
bisa mengobatimu itu, lalu siapa yang menjaga dua
bayi di Ruang Enam Dinding Dewa?"
"Rakanda, aku mengusulkan agar kau menemui
Raja Jin Hutan Roban. Minta bantuannya untuk
mengirim beberapa puluh jin guna bantu mengawal
dua bayi..."
Sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua
mendelik tak berkesip menatap Ratu Dhika Gelang
Gelang.
"Ada apa Rakanda? Mengapa kau menatapku
seperti hendak menelanku bulat-bulat?" tanya Ratu
Dhika yang merasa aneh melihat cara Arwah Ketua
menatapnya. Dalam keadaan seperti itu gadis gemuk
ini keluarkan cermin kecil yang selalu dibawanya
kemana-mana. Ketika melihat wajahnya di cermin,
setengah sesenggukkan dia berkata. "Aduh, jeleknya
parasku. Ada noda tiga warna di kening. Aduh
bagaimana ini..."
"Radinda, simpan cermin itu. Bukan saatnya
untuk bersolek!" tegur Arwah Ketua. "Kau tahu
mengapa barusan aku memandangmu seperti itu?
Karena jalan pikiranmu benar-benar dapat
diandalkan."
"Jangan membuat hidungku tambah besar dan
mekar Rakanda..." kata Ratu Dhika sambil senyum
dan usap-usap hidungnya yang memang agak besar "Radinda, tahu apa yang kini ada dalam benakku
setelah mendengar ucapanmu tadi?"
Ratu Dhika gelengkan kepala.
"Sudoh terlalu lama aku melupakan sahabatku
Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban! Dia dan
anak buahnya bukan saja bisa dimintakan pertolongan
untuk menjaga dua bayi keramat, tapi juga mampu
menghadapi ratusan bahkan ribuan pasukan
pemberontak. Jika pengkhianatan itu kelak benarbenar terjadi..." Arwah Ketua usap-usap kepala botak
bertanduk, lalu mengelus janggut tebal hitam.
"Radinda, kau belum menceritakan apakah kau sudah
menemui pemuda kekasihmu bernama Sebayang
Kaligantha itu."
"Aku memang sudah menemukannya, Rakanda
Arwah Ketua. Berdasarkan petunjuk yang diberikan
Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya. Konon
mahluk aneh itu berasal dari Kerajaan Tarumanegara
di daerah barat. Sebayang ketika kutemui keadaannya
sudah setengah mayat Setelah itu dia benar-benar
jadi mayat."
Kening Arwah Ketua mengernyit
"Coba kau ceritakan apa yang terjadi dengan
pemuda kekasihmu itu," kata Arwah ketua pula.
Wajah Ratu Dhika Gelang Gelang tampak mumng
sesaat. Lalu dengan suara perlahan dia mulai
bercerita.
10. TAMU DARI JAUH
SEPERTI diriwayatkan dalam episode sebelumnya
berjudul "Pangeran Bunga Bangkai" Ratu Dhika Gelang
Gelang menemukan kekasihnya Sebayang Kaligantha
di sebuah candi runtuh di satu bukit kapur yang jarang
didatangi manusia. Pemuda itu terbujur mengenaskan
di atas gundukan batu hanya mengenakan celana.
Nafas satu-satu. Dua mata terpejam dan tampak
bengkak membiru. Di dadanya kelihatan satu robekan
luka sepanjang satu jengkal. Kaki dan tangan pemuda
ini diikat dengan rantai sebesar betis yang ujungnya
dipendam ke dalam gundukan batu. Pemuda yang
dulu gagah dan bertubuh kekar penuh otot itu kini
kelihatan seperti mayat, tubuh kurus lunglai tiada
daya.
Ratu Dhika hancurkan empat rantai besi yang
mengikat dua tangan Sebayang Kaligantha lalu
membaringkan pemuda kekasihnya di lantai candi.
Dalam keadaan sekarat Sebayang Kaligantha
menerangkan beberapa hari sebelumnya tiga orang
tidak dikenal mendatangi rumahnya. Dia dibawa ke
candi runtuh. Dada dirobek. Mutiara Mahakam, sebuah
jimat sakti mandraguna yang didapatnya ketika
memasuki alam gaib di bekas Kerajaan Kutai dan
tersimpan di rongga dadanya dirampas. Menurut
Sebayang dia mengenali salah seorang pelaku, yaitu
orang dari selatan. Namun sebelum sempat
menyebutkan nama orang itu dua buah senjata
rahasia berbentuk besi bulat pipih bergerigi berwarna
biru menderu. Senjata rahasia pertama berhasil
dipukul mental oleh Ratu Dhika sementara rahasia
kedua tidak dapat ditangkis dan menancap telak di
tenggorokan Sebayang Kaligatha. Saat itu juga tubuh
pemuda ini berubah biru legam mulai dari leher,
kepala dan sebagian dada.
"Waktu itu kucingku Ragil Abang bertingkah
aneh." kata Ratu Dhika dalam menuturkan riwayatnya.
"Kucing itu lari ke satu arah. Menduga dia akan
menunjukkan arah dirnana pembunuh Sebayang
berada, aku mengejar. Ternyata aku menemui
pemuda berkepala aneh itu. Kepalanya berbentuk
bunga besar dan busuk. Dia tidak mau memberi tahu
nama kecuali mengatanan kalau dia berasal dari
Kerajaan Tarumanegara. Belakangan aku mengetahui
bahwa dirinya disebut Pangeran Bunga Bangkai.
Tadinya aku menduga dialah yang telah membunuh
Sebayang ternyata tidak. Anehnya kucingku Ragil
Abang sangat jinak padanya. Dari penuturan mahluk
aneh itu aku mengetahui kalau dia adalah ayah dari
dua bayi, suami dari Ananthawuri. Sulit diterima akali
Saat ini seperti Rakanda ketahui dia berada di hutan
jati dalam keadaan tersesat tidak bisa keluar kemanamana. Karena kita telah menyirap menenung dia dan
dua kawannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi
dengan Ragil Abang..."
Arwah Ketua tercengang mendengar penuturan
Ratu Dhika itu.
"Apakah jalan pikiranmu bisa dipercaya Radinda
Ratu?"
"Semua aku sulit dipercaya. Namun ketika
Pangeran Bunga Bangkai memberi petunjuk bahwa
jenazah Sebayang telah ada yang mengurus dan
terbukti benar, hatiku jadi bimbang. Lalu ketika aku
menduganya sebagai pembunuh Sebayang dan
mengejar ke sebuah goa, ada suara tanpa ujud
menegurku..."
"Roh Agung...?"
"Semula aku menduga begitu. Tapi turut apa
yang tadi diucapkan kakek bermata salju itu. sekarang
aku punya dugaan yang menegurku adalah Arwah
Suci."
"Ah. rupanya dialah yang selama ini dipercaya
oleh Sang Hyang Dewa Bathara Agung untuk
membimbing dan menolong insan di Bhumi Mataram
ini. Sementara manusia dan mahluk alam gaib
menganggapnya sebagai Roh Agung. Sungguh kita
semua harus minta ampun dan maaf pada Roh Agung
dan berterima kasih pada Arwah Suci...." Setelah
terdiam sesaat Arwah Ketua berkata, "Radinda. kau
belum menceritakan apa yang terjadi dengan jenazah
Sebayang Kaligantha. Apa kau telah mengurusnya..."
"Rakanda, justru di sini terjadi satu keanehan,"
Jawab Ratu Dhika pula. "Beberapa sahabat Sebayang
Kaligantha mengurus jenazahnya. Melakukan upacara
pembakaran di halaman candi. Ketika api mulai
berkobar mendadak sosok Sebayang Kaligantha
bergerak naik ke atas. Bersamaan dengan itu ada
cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuhnya.
Cahaya melesat ke langit diikuti tubuh Sebayang. Di
arah langit tubuh Sebayang meledak. Berubah
menjadi kepulan asap dan lenyap..."
"Lagi-lagi cahaya tiga warna! Ini pasti jahanam
yang menyebut diri sebagai Sri Maharaja Ke Delapan
itu yang punya pekerjaan!" kata Arwah Ketua sambil
keluarkan suara mengrombor geram. "Mungkin sekali
kekasihmu itu telah menjadi korban penggandaan.
Seperti yang terjadi dengan Sri Sikaparwathi..."
"Berarti dia masih hidup. Mungkin hanya tinggal
menunggu ajal.." kata Ratu Dhika pula. Sepasang
matanya berbinar menahan air mata yang hendak
mengucur keluar. "Semoga Para Dewa melindungi,
menyelamatkan dan mempertemukan kami
kembali..."
"Mudah-mudahan dia masih hidup. Dia pemuda
baik. Candi ini dia yang mengurusi. Mudah-mudahan
Dewa Agung melindungi dan memanjangkan
umurnya..." (Kisah yang dialami Sebayang Kaligantha
bisa diikuti lebih lengkap dalam episode sebelumnya
berjudul "Pangeran Bunga Bangkai")
"Aku bersumpah akan mencari kembali pemuda
itu setelah aku berhasil menemui gadis yang berwajah
seperti Ananthawuri... Yang lebih penting menentukan
kembali azimat Mutiara Mahakam."
"Kau betul Radinda," kata Arwah Ketua pula.
"Azimat itu telah disalahgunakan. Kini menjadi
pangkal malapetaka bagi Bhumi Mataram." Setelah
diam sejenak Arwah Ketua meneruskan ucapan.
"Saatnya kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi
Menerawang Langit! Kita harus bisa mengetahui siapa
adanya mahluk berjubah kuning yang tangannya kau
buntungi itu. Kita harus mampu mencari tahu dimana
sarangnya. Sekaligus menjajagi siapa adanya keparat
yang mengagulkan diri Sri Maharaja Ke Delapan itu.
Selesai semadi kau boleh pergi mengejar gadis
berwajah mirip Ananthawuri itu. Aku akan membantumu menjajagi keberadaannya. Tapi Radinda,
apa salahnya kalau aku coba dulu melenyapkan tanda
tiga warna di keningmu. Jika Para Dewa menghendaki
dan aku berhasil menolongmu berarti sebagian dari
bebanmu sudah bisa dikurangi..."
"Rakanda. aku sangat berterima kasih atas
kebaikan hatimu. Tapi apa kau lupa apa yang
dikatakan orang tua bermata putih dingin itu. Hanya
ada dua orang yang mampu menolong diriku. Yaitu
gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip
Ananthawuri. Satunya lagi Pangeran Bunga Bangkai,
yang kini terkurung di dalam hutan jati dan kita
dituduh oleh orang tua bermata putih telah
menganiaya..."
"Radinda. kau boleh saja percaya pada ucapan
orang tua itu. Tapi bagaimanapun juga segala
sesuatunya adalah Yang Maha Kuasa yang menentukan. Jika aku berniat baik. masakan Para Dewa
tidak memperhatikan..."
"Kalau begitu kata Rakanda aku menurut saja.
Silahkan Rakanda mulai..."
Ratu Dhika Gelang Gelang lalu duduk bersila di
lantai candi. Dua tangan diletakkan di atas paha Mata
dipejam dan perlahan-lahan dia menyalurkan hawa
sakti ke arah kepala. Saat itu Arwah Ketua telah
berlutut di belakangnya. Dua telapak tangan
dltekapkan ke kening sampai pelipis kiri kanan Ratu
Dhika. Mulut merapal, mata membellak dan seperti
yang dilakukan Ratu Dhika, Arwah Ketua juga salurkan
tenaga dalam serta hawa sakti ke arah dua tangan
yang memegang kepala.
"Sekarang Radinda..." bisik Arwah Ketua.
Dua orang itu sama-sama alirkan tenaga dalam
dan hawa sakti penuh.
"Dess! Desss! Desss!"
Tiga kali terdengar suara letupan disusul
memancarnya cahaya tiga warna. Bangunan candi
bergoyang. Batu-batu di dinding, lantai dan atap
berderak. Ada beberapa yang hancur. Saat itu juga
Arwah Ketua berteriak keras. Ratu Dhika Gelang
Gelang terpekik.
"Wusss!"
Satu gelombang angin luar biasa deras
menyambar. Sosok Arwah Ketua terbanting ke
belakang, tergeletak menelungkup di lantai candi.
Ratu Dhika dalam keadaan terhuyung-huyung cepat
berbalik. Kagetnya bukan alang kepalang sampai dia
keluarkan beberapa kali jeritan keras.
"Rakanda! Apa yang terjadi dengan dirimu! Sang
Kyang Jagat Bathara mengapa bisa jadi begini?!"
Setengah meratap Ratu Dhika jatuhkan diri dan
cepat balikkan tubuh Arwah Ketua. Matanya terbeliak
begitu menyaksikan keadaan Arwah Ketua. Kembali
gadis gemuk ini menjerit Saat itu sosok Arwah Ketua
diam tidak bergerak walau hembusan nafasnya masih
terasa memerihkan jangat dan mata. Sepasang mata
terpejam.
Satu hal yang hebat telah terjadi pada Arwah
Ketua. Tangan kirinya pindah ke tangan kanan sedang
tangan kanan pindah ke tangan kiri. Begitu juga dua
kaki saling berubah pindah. Yang kanan ke kiri, yang
kiri ke kanan!
"Rakanda! Rakanda!" teriak Ratu Dhika sambil
mengguncang tubuh Arwah Ketua.
Cahaya tiga warna, merah, hitam dan biru, sangat
tipis mengepul keluar dari kepala Arwah Ketua.
Perlahan-lahan mahluk alam gaib ini nyalangkan
kedua mata.
"Ratu Dhika... Apa yang terjadi..."
"Tubuhmu Rakanda! Bangun dan lihat keadaan
dua tangan serta kakimu!" teriak Ratu Dhika.
Saat itu Arwah Ketua memang merasakan ada
aliran aneh dalam tubuhnya. Dengan cepat dia
melompat bangun. Tubuhnya huyung berat. Kalau
tidak cepat menjaga keseimbangan niscaya dirinya
akan tersungkur ke lantai. Begitu melihat dan
menyadari keadaan kedua tangan serta kakinya Arwah
Ketua langsung menggembor keras. Dia melompat
ke kiri. Kaki kanan yang sebenarnya kaki kiri
menendang arca besar berbentuk gajah duduk di
sudut ruangan namun tendangannya tidak mengenai
sasaran. Lewat dua jengkal dari arca. Padahal arca
Itu hanya dua langkah di hadapannya.
Arwah Ketua banting salah satu kaki ke lantai
candi hingga lantai yang terbuat dari batu gunung
yang sangat keras itu melesak hancur sedalam mata
kaki! Keadaan di dalam maupun di luar candi benarbenar telah centang perenang hancur-hancuran.
"Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa bisa
begini! Ada orang mengerjai dengan ilmu kesaktiannyai Lihat sajal Aku akan membalas lebih ganas!"
Ratu Dhika meraba keningnya lalu bertanya.
"Rakanda, apakah tanda tiga warna di keningku
sudah lenyap?!"
"Jahanaml Belum Radindal Tanda itu masih
Ada!"
Pucatlah wujah gemuk Ratu Dhika Gelang
Gelang.
Arwah Ketua kepalkan dua tinju kepala mendongak dan suara berucap gemetar ketika berkata,
"Wahai Para Dewa. ketika Bhumi Mataram berada
dalam ancaman malapetaka besar mengapa pada
kami masih dijatuhkan cobaan begini berat!"
"Rakanda, jangan mengumpat. Jangan bicara
seperti itu pada Para Dewa. Semua apa yang terjadi
ini pasti ada hikmahnya..." Berkata Ratu Dhika walau
dirinya sendiri sebenarnya diam-diam juga merasa
sangat terpukul.
Rasa kecewa di hati Arwah Ketua agak mengendur
sedikit.
"Radinda cepat ikut aku. Kita harus melakukan
samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit sekarang
juga!"
"Tapi bagaimana keadaan dirimu? Kau harus
melakukan sesuatu agar dua tangan dan kakimu
kembali ke tempat semula! Katakan apa yang bisa aku
lakukan untuk membantu."
"Aku tidak perduli tangan dan kakiku pindah ke
pantat sekalipun! Yang penting mencari tahu siapa
sumber biang racunnya! Pasti bangsat yang mana!
Si pengendali cahaya tiga warna itu! Kalau aku
mampu membuat tubuhnya hancur cerai berai pasti
keadaan tubuhku dapat kembali seperti semula!"
Arwah Ketua melangkah lebih dulu. Tubuhnya
terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya keluar
kutuk serapah berkepanjangan. Kepala dipukul-pukul!
"Lihat saja pembalasanku! Tunggu!" teriaknya.
Walau di samping kiri ada pintu yang menuju ke
halaman selatan namun dalam amarahnya Arwah
Ketua langsung saja menabrak jebol dinding candi.
Sampai di halaman Arwah Ketua berpaling pada Ratu
Dhika.
"Kau sudah siap?!"
Ratu Dhika anggukkan kepala.
"Letakkan dua telapak tanganmu di punggungku."
Ratu Dhika lakukan apa yang dikatakan Arwah
Ketua.
Begitu telapak tangan menempel di punggung
Arwah Ketua... wuss! Dess! Sosok kedua orang itu
amblas masuk ke dalam tanah!
Hanya satu kejapan mata setelah lenyapnya tubuh
Arwah Ketua dan Ratu Dhika ke dalam tanah untuk
melakukan samadl Menjejak Bumi Menerawang Langit
tiba-tiba seorang tua berpakaian hitam muncul di
halaman depan Candi Miring. Kening diikat seutas
tali besar berbentuk jalin terbuat dari ijuk. Sambil
berjalan ataupun diam berdiri dua telapak tangan
selalu dlgosokan satu sama lain. Walau memelihara
rambut putih menjulai. namun wajahnya bersih
kelimis. Di usianya yang hampir mencapai delapan
puluh tahun sikap gerak geriknya tampak masih
gagah.
Sambil menggosok-gosok dua telapak tangan
orang tua Ini memandang seputar bangunan candi
sebelah depan. Lalu mulut berucap perlahan.
"Aku melihat banyak kerusakan di tempat ini.
Apakah ini penyebab tuan rumah tidak muncul
menyambut kedatanganku? Sahabatku Arwah Ketua,
aku mendengar kau menyebut namaku. Dari jauh aku
datang untuk mencari tahu. Tapi gerangan dimana
kau berada saat ini?"
Orang tua ini pejamkan mata, kepala dldongakkan. Kembali terdengar suaranya berkata.
"Ahh... Ada dua mahluk mungil telah mengisi
Ruang Enam Dinding Dewa. Sayang aku punya
keterbatasan tidak mampu melihat secara terbuka.
Sahabatku Arwah Ketua, kau mampu melihat secara
terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mungkin tengah
melakukan sesuatu atau belum berada di tempat ini.
Baiklah, aku akan menunggu. Sementara menunggu
perkenankan aku menghibur diri sendiri. Udara di sini
terasa sangak dan panas. Perlu sedikit keteduhan..."
Dua telapak tangan berhenti digosokkan. Tangan
kanan diangkat ke atas. Saat itu juga tahu-tahu telah
tergenggam sebuah seruling terbuat dari bambu. Si
orang tua duduk di tangga candi. Seruling
ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian terdengar
suara alunan tipuan seruling mendayu-dayu merdu
sekali. Aneh. udara bukit gersang yang panas
perlahan-lahan terasa sejuk. Tiupan angin yang
hampir tak pernah menyapu kawasan itu kini
mengalun nyaman sepoi-sepoi basah seolah
mengikuti alunan suara tiupan seruling.
11.DINDING TAK BERUJUD
KITA tinggalkan dulu Arwah Ketua dan Ratu Dhika
Gelang Gelang yang tengah melakukan Samadi
Menjejak Bumi Menerawang Langit di dalam tanah di
halaman selatan Candi Miring serta tamu tidak dikenal
yang menyebut diri datang dari jauh dan saat itu
tengah duduk di tangga candi sambil meniup
seruling.
Mari kita ikuti Resi Garispasthika yang sedang
berjalan menuruni bukit bersama Liris Pramawari. Si
gadis membawa sang Resi ke pinggiran sebuah hutan
jati sebelah timur.
"Liris Pramawari. Kita sudah berpisah beberapa
hari. Kau tiba-tiba muncul. Berarti kau masih belum
menempuh jalan ke Gunung Mahameru. Apa kau lupa
tugas yang aku berikan atau sengaja tidak mau
melaksanakan?"
"Bukan begitu Kek, eh Paman..."
"Sudah, jangan memanggil aku Paman. Panggil
seperti yang sudah-sudah kau lakukan. Panggil aku
Kakek.."
"Tapi bukankah kau sudah menganggap diriku
sebagai keponakan. Dan kau mengatakan pada
banyak orang. Jadi pantas aku memanggilmu Paman
bukan...?"
"Seharusnya begitu. Keponakan memanggil
paman pada adik ayahnya. Tapi Jika kau memanggilku
Paman..." Sepasang mata putih si orang tua tampak
seperti mau mencair. Resi Garipasthika cepat
tengadahkan kepala. Dua gundukan salju putih yang
mulai mencair serta merta menggumpal keras
kembali.
"Ada apa Kek... Apakah aku sudah bicara salah
padamu?" tanya Liris Pramawari memandang dengan
heran.
Si orang tua tersenyum. "Suatu ketika aku akan
menceritakan padamu riwayat diriku. Dulu... puluhan
tahun silam aku memang punya seorang keponakan.
Saat itu usianya sebayamu sekarang ini. Lalu ada
manusia jahat membunuhnya. Ketika pertama kali
menemuimu, aku merasa keponakanku itu hidup
kembali. Dewa sungguh Agung..."
Liris Pramawari cepat-cepat memegang kedua
tangan Resi Garipasthika. "Kek. kalau begitu harap
maafkan diriku. Aku tidak tahu riwayat masa
silammu..." Kata Liris cepat menyambung ucapannya.
"Mengenal tugas darimu pasti saya laksanakan,
tapi saya masih dalam keadaan bingung..."
"Kalau hidupmu hanya dipenuhi kebingungan, lalu
kapan kau akan berbuat kebajikan?"
Liris Pramawari terdiam. Mata menatap dua
tangan mulai dari pergelangan sampai ke ujung jari.
Dia memperhatikan dan menyadari kalau tangan tidak
berkulit dan tidak berdaging itu kini kembali menjalar
naik ke arah pertengahan lengan.
Melihat sang keponakan terdiam. Resi
Garipasthika jadi kasihan. Dia tahu kalau gadis itu
tidak akan melalaikan tugas yang diberikan. Tapi
derita beban kehidupannya memang bukan mainmain dan sungguh berat Mulai dari kematian ibunya
yang dibunuh orang di depan mata kepalanya sendiri.
Laku hukum kutukan Dewa yang dijatuhkan atas diri
ayahnya dimana sang ayah kemudian menghilang
tidak diketahui alam rimbanya meski sebelum pergi
sempat memindahkan seluruh ilmu silat dan ilmu
kesaktiannya ke dalam diri Liris Pramawri yang oleh
Sebayang Kaligantha kemudian diberi julukan Dewi
Tangan Jerangkong. Gadis malang tapi berhati
perkasa ini telah bersedia menanggung dosa
kesalahan sang ayah. Ini membawa akibat hukuman
jatuh pada dirinya yaitu berupa seluruh tubuh akan
berubah menjadi jerangkong jika dia tidak bisa
berbuat tiga kebajikan besar dalam dua belas bulan
purnama. Sejauh ini dia baru mampu berbuat satu
kebajikan besar yaitu ketika menolong Sebayang
Kaligatha. (Baca "Dewi Tangan Jerangkong")
Dalam rasa haru dan kasihan Resi Garipasthika
bertanya sengaja alihkan pembicaraan.
"Keponakanku, bagaimana kau bisa mengetahui
aku berada di kawasan Candi Miring?"
Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong
cabut golok berikut sarungnya yang terbuat dari
gading dan sejak diterima diselipkan di balik
punggung.
"Golok sakti ini Kek. Senjata ini yang
membimbing saya ke arahmu..."
Senjata yang berada di tangan Liris Pramawari
adalah golok sakti bernama Golok Empat Mulut
Penghisap Darah yang beberapa waktu lalu
diterimanya dari kakek bermata salju itu.
Resi Garipasthika terdiam. Walau saat itu sang
surya bersinar terik namun dari hidung serta sepasang
matanya yang putih terus saja keluar uap dingin.
Dalam hati sang Resi membatin, "Kalau memang
Golok Empat Mulut Penghisap Darah itu yang
membimbingnya, berarti gadis ini tidak mengada-ada.
Segala sesuatunya seperti sudah dikehendaki Yang
Maha Kuasa. Kaiau dia tidak menaruh hormat padaku,
tidak nanti dia akan mencari diriku. Aku berterima
kasih Dewa telah mempertemukanku dengan gadis
itu. Meski beban derita dirinya sendiri begitu berat
dia masih ingat dan mau melakukan sesuatu untuk
kebaikan orang lain."
Kedua orang itu lanjutkan perjalanan kembali.
Di satu tempat, di tepi hutan yang sunyi Liris
Pramawari berhenti.
"Kek, kita sudah sampai di pinggir hutan dimana
saya menyaksikan kejadian itu..."
Resi Garipasthika memandang berkeliling
dengan sepasang mata putihnya. Lalu berkata, "Sebelumnya aku juga berada di sekitar hutan ini.
Ketika mengamankan dua bayi. Aku hanya mampu
masuk sejauh tujuh langkah. Setelah itu ada satu
kekuatan yang sulit ditembus..."
"Itu yang terjadi dengan diri saya Kek. Saya
mendengar suara kucing mengeong di sekitar sini.
Suara ada tapi binatangnya tidak kelihatan. Ketika
saya hendak masuk ke dalam hutan saya seperti
dihalangi oleh tembok kokoh yang tidak kelihatan..."
"Rimba belantara ini telah diselimuti sirap
tenung yang dilakukan oleh Arwah Ketua, penguasa
di Candi Miring itu. Maksudnya mungkin baik. Namun
aku punya dugaan kali ini dia telah mengambil
langkah keliru. Aku menyirap kabar ada seorang
pemuda aneh bersama dua sahabatnya terkurung di
dalam hutan. Pemuda itu mungkin sekali adalah
ayahanda dari dua bayi keramat yang ada di Candi
Miring. Suara kucing yang kau dengar pasti binatang
peliharaan gadis gemuk bernama Ratu Dhika itu.
Keponakanku, sekarang cehtakan apa yang telah kau
alami di tempat ini…”
Liris Pramawari usap tengkuknya yang mendadak terasa dingin lalu mulai bercerita.
***
KISAH Liris Pramawari...
SUARA ngeongan kucing membuat Liris
Pramawari hentikan lari.
Karena rimba belantara itu diselimuti kesunyian,
suara kucing terdengar jelas sekali. Namun setelah
mencari kian kemari dia tidak berhasil menemukan
binatang itu.
"Kucing di dalam hutan, terasa agak aneh. Aku
ingin mencari binatang itu tapi tugas yang diberikan
kakek bermata salju sungguh tugas berat.
Perjalananku masih sangat jauh... Aku harus pergi
jauh ke timur. Padahal di Bhumi Mataram masalah
yang aku hadapi banyak dan berat.." Liris termangu
beberapa saat di pinggir hutan sampai dia mendengar
kembali suara ngeongan kucing. Suara itu begitu
menghiba seperti hendak memberitahukan sesuatu
atau seolah minta pertolongan. Akhirnya Liris
Pramawari memutuskan masuk ke dalam hutan.
Namun baru menindak satu langkah ke dalam rimba
tiba-tiba braakk! Tubuhnya menabrak sesuatu hingga
dia terpental beberapa langkah ke belakang.
"Aneh, apa yang menghalangi? Aku tidak melihat
apa-apa!"
Untuk kedua kalinya gadis ini melompat masuk
ke dalam hutan. Untuk kedua kalinya pula tubuhnya
membentur sesuatu. Kening, hidungnya dan lutut
terasa sakit
"Benar-benar aneh..." Liris Pramawari
memandang ke dalam hutan dengan mata terbelalak.
Lalu dia melangkah. Dua tangan disapukan dan
diketukkan ke depan. Dia menyentuh satu benda
tebal. Kemanapun dia meraba dan mengetuk benda
tebal
itu tetap terasa. "Dinding penghalang tidak berujud.
Tidak bisa dilihat mata... Bagaimana mungkin? Orang
sakti mana yang punya pekerjaan? Atau dedemit
hutan tengah berpesta hingga orang luar tidak boleh
masuk ke dalam hutan?" Si gadis usap-usap
tengkuknya yang terasa dingin. Tapi otak masih terus
berpikir.
"Kucing tadi. Apa binatang itu ada di dalam atau
di luar hutan?"
Liris menatap hutan belantara di hadapannya.
Coba menebus pandang sampai jauh ke dalam
dimana pohon jati tumbuh rapat dan keadaan redup.
Karena belum yakin dan masih penasaran gadis
ini mundur beberapa langkah. Dua tangan diangkat
ke atas, siap melepas pukulan sakti bernama Menabas
Tiang Meruntuh Atap yaitu ilmu kesaktian yang
didapat dari ayahnya. Dua tangan memancarkan
cahaya keputih-putihan bergetar tanda Liris
Pramawari mengerahkan seluruh kemampuan tenaga
dalam yang dimiliki.
Sesaat lagi pukulan sakti akan melesat tiba-tiba
di hutan sebelah utara dan selatan terdengar suara
ringkikan kuda seperti saling bersahutan.
"Siapa...?" pikir Liris Pramawari yang terpaksa
turunkan dua tangan. Batal melepas pukulan sakti.
Telinganya yang tajam menangkap satu kejanggalan.
12. PERMAISURI MATARAM BARU
INI aneh lagi. Ada suara kuda meringkik tapi tidak
ada suara tapal kaki mendera tanah! Aku tadi seperti
melihat ada sambaran cahaya dari selatan..."
Liris Pramawari mengambil putusan cepat dan
tepat. Gadis ini melesat ke atas satu
pohon jati besar, berpijak di atas cabang paling tinggi,
mendekam di balik daun-daun jati yang lebar dan
lebat.
Tidak menunggu lama, dari arah kiri, dari jurusan
dimana terletak bukit gersang, berkelebat satu
bayangan kuning. Di bawah pohon kemudian tampak
seorang berdestar dan berjubah kuning berdiri sambil
memegang buntungan tangan yang ternyata adalah
tangan kanannya sendiri.
Orang ini memiliki hanya satu alis, yaitu di atas mata
kiri, panjang menjulal sampai ke pipi. Di bahu si jubah
kuning memanggul seorang perempuan berambut
tergerai lepas yang wajahnya tidak bisa dilihat oleh
Liris Pramawari. Orang ini bukan lain ialah Panglima
Pawang Sela. Perempuan yang dipanggulnya adalah
Ananthawuri yang beberapa saat lalu diculiknya dari
Candi Miring.
Liris memperhatikan ke arah kanan. Tadi ada
suara meringkik dari jurusan itu namun mengapa tidak
ada orang atau binatang atau mahluk lain yang
muncul?
Mata dibesarkan, telinga dipasang tajam-tajam.
Di pinggir hutan Pawang Sela mencari pohon jati
kering tidak bercabang dan tidak berdaun.
"Apakah aku datang ke tempat yang salah? Aku
tidak melihat pohon jati yang dikatakan Junjungan
Sri Maharaja Ke Delapan."
Baru saja Pawang Sela membatin mendadak ada
suara mengiang.
"Panglima, aku ada di sini."
Pawang Sela cepat menoleh ke pinggiran hutan
sebelah kiri. Di situ semua pohon jati tumbuh
bercabang dan berdaun lebat. Namun tiba-tiba dia
melihat ada satu pohon jati tinggi besar, berkulit
kering, tidak memiliki cabang maupun ranting apa
lagi daun. Sekilas tampak ada cahaya tiga warna
memancar di batang pohon lalu lenyap.
Dengan cepat Pawang Sela melompat ke
hadapan pohon, membungkuk dalam-dalam sambil
berkata. "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, saya
sudah berada di hadapanmu. Mohon maafmu, tadi
saya tidak melihat pohon jati ini..."
"Aku sengaja tadi menutup pandanganmu karena
ketika menuju ke sini aku mencium bau manusia lain
di sekitar rimba belantara Ini. Apakah ada orang yang
mengikutimu Panglima?" Suara yang bicara seolah
datang dari dalam batang jati kering.
"Saya yakin tidak..."
"Lalu mengapa aku masih mencium bau manusia
di sekitar sini?" mengatur napas demikian rupa agar
jangan sampai terdengar karena dia kini tahu orangorang berkepandaian luar biasa tinggi di bawah sana.
satu masih belum kelihatan ujudnya yaitu yang disapa
dengan panggilan Junjungan Sri Maharaja Ke
Delapan. Saat itu karena terlindung oleh dedaunan
Liris Pramawari tidak melihat bayangan cahaya tiga
warna di batang pohon jati kering tak bercabang dan
tidak berdaun.
"Kalau begitu izinkan saya menyelidik... Atau
mungkin bau manusia yang Junjungan cium adalah
perempuan yang ada di atas panggulan saya saat ini?"
"Perempuan yang kau bawa berbau harum bunga
melati. Yang aku cium baunya lain..."
"Junjungan mengizinkan saya melakukan
penyelidikan?"
"Tidak perlu. Waktuku tidak lama. Mungkin saja
bau yang aku cium berasal dari beberapa manusia
yang terkurung di dalam rimba belantara. Bukankah
ada mahluk yang mempergunakan ilmu kepandaian
untuk menyesatkan orang lain hingga terkurung di
dalam rimba?"
"Saya mendengar hal itu Junjungan. Saya tahu
siapa pelakunya yaitu Arwah Ketua Penguasa Candi
Miring. Tapi saya tidak tahu siapa yang terkurung di
dalam rimba..."
"Nanti kau harus menyelidik. Kalau bisa kita
keluarkan siapa tahu mereka bisa kita jadikan mahluk
Tuman Keku. Sekarang untuk sementara lupakan
orang-orang itu. Panglima, aku melihat keadaanmu
sangat menyedihkan..."
"Mohon maafmu wahai Junjungan. Saya berhasil
menembus Candi Miring namun tidak mampu
mendapatkan dua bayi. Saya kehilangan tangan
kanan..."
"Aku tahu. Pembalasan dan hukuman akan
segera jatuh pada perempuan gemuk bernama Ratu
Dhika Gelang Gelang yang telah mencelakai dirimu.
Tapi aku lebih dulu akan memanfaatkan ilmu
kesaktiannya. Sampai saat ini kita belum punya
mahluk Tuman Keku betina. Ha... ha... ha!" Mahluk
di dalam pohon kering tertawa. Panglima Pawang Sela
juga tertawa tapi tidak berani keras-keras.
"Panglima, buntungan tanganmu itu, kau sudah
menyelamatkannya. Tak ada orang yang bisa
menjajagi keberadaanmu. Tapi aku tidak terlalu yakin.
Sekarang kau tidak memerlukan lagi buntungan
tangan itu...""
"Saya mohon petunjuk Junjungan. Apakah tangan
ini tidak bisa disambung lagi?"
"Cakar besi yang merenggut putus tanganmu
mengandung racun jahat Racun Liang Sungsum.
Kalau kutungan tangan disambung, racun akan
mengalir kembali dalam aliran darahmu dan masuk
ke dalam sungsum. Kau akan menemui ajal dalam
waktu dua hari... Kalau saja aku punya ilmu penawar
racun itu..."
"Saya mengerti," jawab Panglima Pawang Sela
pula. Lalu tidak menunggu lebih lama Panglima
Pawang Sela bantingkan buntungan tangan ke tanah
hingga amblas.
"Pawang Sela, kau pembantuku yang sangat
berbakti. Walau tanganmu kini cuma satu, aku akan
menambahkan kadar cahaya tiga warna dalam
tubuhmu hingga ilmu kesaktianmu berlipat ganda."
"Terima kasih Junjungan," kata Panglima
Pawang Sela sambll membungkuk. Lalu dia menatap
ke arah pohon dan berkata. "Junjungan, saya berhasil
menculik ibu dari dua bayi keramat itu."
"Itu. pekerjaan hebatl Aku sudah melihat.
Bukankah namanya Ananthawuri. Menurut apa yang
tersurat di Empat Gading Bersurat, dia adalah gadis
pilihan Para Dewa. Dia akan tetap perawan meskipun
telah melahirkan dua bayi."
"Saya mohon petunjuk, apa yang akan saya
lakukan dengan gadis ini..."
"Serahkan padaku." kata suara di dalam pohon.
"Bukankah seorang Sri Maharaja memerlukan seorang
calon Permaisuri?"
Panglima Pawang Sela terkesiap mendengar
ucapan mahluk di dalam pohon jati. Dalam hati dia
membatin.
"Bagaimana mungkin. Dua bayinya mau dibunuh,
ibunya mau dijadikan Permaisuri..."
13. KEBAJIKAN KEDUA
MATA baja putih berkilau Sri Maharaja Ke Delapan
menatap Pawang Sela.
"Panglima, apa yang ada di benakmu?!"
Panglima Pawang Sela tersentak mendengar
teguran itu. Apakah dia tahu apa yang barusan
aku ucapkan dalam hati?" pikir Pawang Sela. Cepatcepat Panglima dari Kerajaan Mataram Baru
ini membungkuk berulang-ulang.
"Dewa Agung. Wahai Junjungan, saya tidak sadar
kalau saat ini saya tengah membawa calon Permaisuri
Kerajaan Mataram Baru..."
Di atas pohon dengan hati-hati Liris Pramawari
menyibakkan daun jati agar bisa melihat ke bawah
lebih jelas.
"Permaisuri...? Mahluk sakti itu hendak menjadikan
Ananthawuri sebagai Perrhalsuri? Sang Kyang Jagad
Bathara. apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri
ini. Apa pula yang'akan terjadi kemudian...?"
"Panglima, lebih mendekatlah ke pohon. Aku
segera akan mengambil gadis itu." Sri Maharaja Ke
Delapan berkata.
Dengan cepat Panglima Pawang Sela melangkah
lebih dekat ke arah pohon jati kering lalu berlutut satu
kaki di tanah hingga tubuh dipanggulnya akan lebih
mudah untuk diambil. Cahaya tiga warna yang ada di
batang pohon berpijar terang lalu lenyap. Sekali ini
Liris Pramawari sempat melihat keberadaan cahaya
tiga warna itu.
"Cahaya tiga warna..." desis Liris Pramawari
dengari bibir bergetar. "Berarti... apakah dia
pemiliknya? Mungkinkah dia sang pengendali yang
pernah mencelakai pemuda bernama Sebayang
Kallgatha itu...?"
Begitu cahaya lenyap sebagai gantinya dari
dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut, wajah,
sekujur tubuh serta pakaian yang dikenakannya
memancarkan cahaya berkilat seolah dilapisi sejenis
logam putih berkilau. Bahkan dua bola matapun putih
mengingatkan Liris Pramawari pada Resi Garipasthika.
Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil
yang juga berwarna putih dan lebih menyilaukan
dibanding warna putih yang melapisi tubuhnya mulai
dari rambut sampai ke kaki termasuk pakaian ringkas
yang dikenakannya.
"Manusia baja putih...?" ucap Liris Pramawari
dalam hati penuh tanda tanya. "Seumur hidup baru
sekali ini aku melihat mahluk seperti ini. Apakah dia
manusia atau mahluk dari alam gaib atau bagaimana?
Jadi inilah ujud Sri Maharaja Ke Delapan yang selama
ini disebut-sebut keberadaannya di Bhumi Mataram.
Tidak berkumis tidak berjanggut. Lapisan putih
berkilat di wajahnya membuat sulit menduga apakah
dia masih muda atau sudah tua renta."
Mahluk yang disebut sebagai mahluk baja oleh Liris
Pramawari, menyembul keluar dan dalam batang
pohon sampai sejarak satu langkah. Dua tangan
diulurkan untuk mengambil sosok Ananthawuri dari
atas bahu Panglima Pawang Sela. Pada saat
Ananthawuri berpindah ke dalam gendongan Sri Maharaja Ke Delapan dengan tubuh tertelentang, rambut
yang menjulal tersibak, wajah yang tadi tertutup
rambut kini tersingkap. Begitu Liris Pramawari
memperhatikan wajah gadis itu, kejutnya bunga alang
kepalang. Untung saja dia bisa cepat menguasai diri
hingga tidak mengeluarkan seruan bertahan.
"Dewa Jagat Bhatara! Tidak salah mataku melihat?
Wajah gadis itu mengapa sangat mirip dengan
parasku? Tidak heran kalau Arwah Ketua di Candi
Miring mengira aku ibu dua bayi itu..."
Sri Maharaja Ke Delapan tatap sesaat wajah
Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar
karena sebelumnya telah ditotok oleh Pawang Sela.
Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar
terang.
"Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan.
Gadis bernama Ananthawuri. tidak salah kalau Para
Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak
salah kalau aku Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan
Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri.
Aku sungguh berbahagia..."
Sri Maharaja Ke Delapan menatap pada Pawang
Sela.
Sang Panglima cepat berdiri dari berlutut dan
berkata, "Junjungan, kebahagiaanmu menjadi
kebahagiaan saya juga."
"Panglima, aku akan membawa Permaisuriku ini
ke lapisan bumi ke tiga. Otaknya perlu dicuci terlebih
dulu. Aku menunggumu di sana. Namun sebelumnya
kau harus memeriksa tempat pemusatan Tuman Keku
dan Tuman Kean. Juga temui Arwah Hitam Pengawal
Malam. Periksa apakah dia telah melakukan tugas
seperti yang kita kehendaki... Bila keadaan sudah
cukup matang, dalam keadaan hari di muka aku akan
mengambil keputusan kapan kita melakukan
penyerbuan..."
Di atas pohon kening Liris Pramawari
mengernyit
"Tuman Keku, Tuman Kean... Mahluk apa itu?
Penyerbuan...? Penyerbuan kemana? Siapa yang
hendak diserbu. Memangnya ada pasukan..."
"Perintah Junjungan akan saya laksanakan,"
jawab Panglima Pawang Sela. "Sebelum berpisah ada
sesuatu yang ingin saya tanyakan. Maaf kalau perilaku
saya dianggap lancang..."
"Junjungan, kita sudah menguasai perempuan
gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Apakah
kita juga sudah bisa menjajagi siapa adanya orang
yang menyelamatkan dua bayi dari dalam Peti Dewa?
Saya menduga ilmu kesaktian orang itu Jauh lebih
tinggi dari Ratu Dhika. Bahkan tidak berada di bawah
Arwah Ketua..."
Muka bertapis baja putih Sri maharaja Ke Delapan
sungglngkan senyum.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan manusia satu
itu Panglima Pawang Sela. Dia aku ketahui adalah
seorang Resi bernama Garipasthika. Sebelum hari
penyerbuan dia sudah berada di pihak kita. Aku tahu
apa yang menjadi kelemahannya."
Pawang Sela membungkuk.
"Syukurlah kalau begitu wahai Junjungan."
Sri Maharaja Ke Delapan anggukkan kepala. Dia
melangkah mundur. Sosok anehnya bersama
Ananthawuri yang didukungnya masuk ke dalam
batang pohon jati dan sirna dari pemandangan.
Cahaya tiga warna yang ada di pohon itu memancar
terang lalu lenyap.
Di atas pohon Liris Pramawari mengusap wajahnya
yang keringatan berulang kali.
"Sri Maharaja Ke Delapan.. Rencana penyerbuan...
Gadis itu hendak dijadikan permaisuri. Lebih dulu
dicuci otaknya. Tuman Keku dan Tuman Kean...
mahluk apa itu? Lalu kakekku itu hendak mereka
apakan? Resi itu dalam bahaya. Bagaimana ini? Aku
harus membatalkan niat meneruskan perjalanan
membawa golok sakti ke Gunung Mahameru. Aku
harus mencari orang tua itu. Tapi dia berada
dimana...?"
Tiba-tiba golok sakti bersarung gading yang
terselip di punggung Liris Pramawari bergetar lalu
melesat keluar. Di udara senjata sakti ini berputar tiga
kali sebelum diam mengepung dengan ujung golok
memancarkan sinar aneh dan menunjuk ke arah
selatan. Liris Pramawari yang berotak tajam maklum
apa arti kejadian ini.
"Senjata sakti, terima kasih. Kau telah memberi
petunjuk arah dimana aku bisa menemukan orang tua
bermata salju itu..." .
Liris Pramawari cepat mengambil golok sakti yang
mengapung di udara dan memasukkannya ke balik
punggung jubah putih. Tak lama setelah dilihatnya
Panglima Pawang Sela meninggalkan tempat itu maka
diapun melompat turun dari atas pohon jati. berlari
secepat angin ke arah selatan. Mengikuti petunjuk
golok sakti ke arah dimana beradanya Resi
Garipasthika.
Ketika dia sampai di kaki bukit gersang dimana
Candi Minng terletak. Liris melihat Resi Garipasthika
tengah menyerahkan dua bayi pada seseorang
perempuan gemuk mengenakan kemben merah.
"Rupanya pamanku itu ada urusan dengan orangorang Candi Miring. Sebaiknya aku tidak mengganggu.
Biar aku menunggu di balik batu besar sana..."
Tak lama setelah Liris duduk di balik batu besar
di knki bukit tiba-tiba Arwah Ketua muncul, langsung
mencekal leher pakaiannya. Belum sempat gadis ini
berpikir apakah dia akan melawan atau diam saja,
tahu-tahu dia sudah sampai di atas bukit.
***
"KEK. begitu kejadian yang aku alami. Kalau saya
telah bertindak salah tidak meneruskan perjalanan
tapi malah berbalik mencarimu, saya mohon maaf."
Berkata Liris Pramawan begitu selesai menuturkan apa
yang dialaminya di hutan jati. "Tidak, kau tidak m«iakukan kesalahan. Apa yang
kau perbuat yaitu mencariku adaiah satu tindakan
yang sangat benur. Bhumi Mataram, semua tokoh baik
di Kerajaan ini tengah menghadapi satu perkara besar.
Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui atau tidak
menyadari. Kau datang padaku, memberi tahu berarti
merupakan satu kebajikan. Apakah kau tidak
menyadari...?"
"Apa maksudmu Kek?"
Resi Garipasthika tersenyum. Dua tangan diulurkan
memegang tangan si gadis. Lalu dua tangan diangkat,
didekatkan ke mata Liris.
"Kau lihat sendiri..."
Liris Pramawari membuka matanya lebar-lebar.
Dua tangan yang sebelumnya mengelupas tidak
berkulit tidak berdaging sampai sebatas lengan kini
tampak pulih utuh sampai ke ujung kuku.
Liris Pramawari terpekik gembira langsung
memeluk si orang tua sambil menyebut Yang Maha
Kuasa berulang-ulang.
"Kek. saya merasa tidak berbuat kebajikan apaapa..."
Resi Pramawari elus punggung si gadis.
"Kau merasa begitu tapi Para Dewa lebih
mengetahui dan selalu berlaku adil. Apa yang telah
kau lakukan, yaitu mencariku dan menceritakan apa
yang terjadi di hutan jati merupakan satu kebajikan
besar. Karena dengan cara itu kau telah memberi tahu
bahwa Bhumi Mataram tengah menghadapi satu
perkara bahaya sangat besar. Kau telah membantu
usaha menyelamatkan Kerajaan. Kini menjadi
kewajibanku dan para tokoh baik di Mataram untuk
mengambil tindakan... Kalau saja Arwah Ketua mau
bersikap bersahabat dengan diriku, sebenarnya aku
dan dia bisa bekerjasama bahu membahu menyelamatkan Kerajaan. Sayang... sayang sekali. Dia justru
curiga padaku. Dia hanya menurutkan kata hati
sendiri. Pikiran yang jernih terkadang tidak dipakai,
dilupakan begitu saja. Sayang, padahal aku tahu dia
mahluk baik."
Resi Garipasthika lepaskan pelukan dua tangan
si gadis lalu berkata, "Liris kalau tidak salah aku
mengingat riwayat dirimu, berarti sampai saat ini kau
sudah berbuat dua kebajikan besar. Kau masih harus
melakukan satu kebajikan besar lagi hingga hukuman
Dewa hapus atas dirimu..."
"Kek, saya tidak mengkhawatirkan diri saya. Saat
ini saya sembuh. Saya berterima kasih pada Para
Dewa dan dirimu. Saya tahu, dalam beberapa hari di
muka tangan saya kembali akan mengelupas lagi. Kek,
saya saat ini yang saya khawatirkan justru adalah
dirimu. Ingat ucapan orang bertubuh baja putih itu.
Dia tahu keadaan dirimu. Termasuk kelemahanmu.
Mereka hendak mencelakanmu Kek. Mereka juga
hendak mengerjai Ratu Dhika."
"Aku tahu. Mereka hendak mencelakai semua
orang yang tidak sehaluan dengan mereka, apalagi
yang dianggap bisa menghalangi rencana keji mereka.
Termasuk dua bayi suci keramat yang tidak tahu apaapa itu. Mahluk baja putih itu. yang dipanggil Sri
Maharaja Ke Delapan, dia biang keladi semua
perbuatan dan rencana jahat ini. Dia juga yang
menjadi penguasa dan pemilik ilmu yang
memancarkan cahaya tiga warna. Kita harus bisa
menghancurkan sumber ilmunya. Tapi yang harus
dilakukan lebih dulu adalah mencari tahu dimana
sarang kediamannya."
"Saya mendengar dia menyebut satu tempat di
lapisan bumi ke tiga..."
"Lapisan bumi terlalu luas. Tidak mungkin
mencarinya tanpa kepastian letak keberadaannya. Jika
saja Arwah Ketua mau kuajak bekerja sama dia bisa
melesat masuk ke dalam bumi. Mencari tahu.
"Bagaimana kalau kita menemui Arwah Ketua
kembali di Candi Miring..."
"Aku tengah memikirkan hal itu. Hanya saja aku
lebih banyak khawatir dari pada mengharap..." jawab
Resi Garipasthfka yang rupanya sudah tahu betul
seluk beluk sifat peradatan Arwah Ketua.
"Mereka juga saya dengar menyebut Tuman
Keku dan Tuman Kean. Kau tahu mahluk apa itu Kek?" bertanya Liris.
'Kau pernah diserang mahluk bertubuh manusia
berkepala anjing. Benar?"
"Benar Kek"
"Setahuku itulah mahluk bernama Tuman Kean.
Tubuh manusia Kepala Anjing. Ada yang menciptakan
untuk satu keperluan besar. Jangan-jangan ini ada
sangkut pautnya sama Sri Maharaja ke Delapan. Kalau
Tuman Keku aku masih belum paham. Rasanya
manusia juga tapi berkepala binatang. Entah apa.
Dalam waktu tidak lama kita pasti akan mengetahui."
"Kek. sebelum orang yang menculik Ananthawuri
dan mahluk aneh putih itu muncul, saya mendengar
ada suara seperti kuda meringkik..." Memberi tahu
Liris Pramawari.
"Kalau begitu Tuman Keku bisa saja berarti
Tumbuh Manusia Kepala Kuda."
Liris tercengang lalu bertanya lagi.
"Kek, mengapa mahluk berlapis baja putih
menyebut diri dan dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan.
Sungguh sangat takabur..."
Resi Garipasthika menatap ke langit bersih di atas
hutan jati.
"Itu yang sejak beberapa waktu lalu menjadi
tanda tanya dalam diriku. Saat ini dengan petunjuk
Dewa Agung, setelah mendengar penuturanmu, aku
sudah bisa meraba. Raja yang memerintah di Mataram
sekarang ini adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala. Merupakan Sri Maharaja ke tujuh
dalam jajaran Raja-raja Kerajaan Mataram. Mahluk
baja putih itu bermimpi akan menjadi pengganti pada
urutan Sri Maharaja Ke Delapan dengan cara
merampas tahta. Melakukan penyerbuan... Mereka
pasti akan menyerbu Kotaraja..."
"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan Kek?
Apakah saya harus kembali menempuh jalan ke
Gunung Mahameru untuk menyerahkan golok sakti
pada Resi Pewaris di sana?"
"Keponakanku, untuk sementara tugas itu bisa
kau tunda dulu. Yang harus kau lakukan saat ini
adalah mencan kucing yang kau dengar suara
mengeongnya tadi sebelum dua mahluk aneh itu
muncul di pinggiran hutan..."
"Kucing? Untuk apa di cari Kek?"
"Binatang itu bisa membantu kita melebur
tenung yang menyirap beberapa orang yang ada di
dalam rimba belantara. Mereka orang-orang pandai.
Kita perlu bantuan mereka untuk menyelamatkan
Kerajaan sebelum mereka di masukan ke dalam
kelompoknya oleh Sri Maharaja Ke Delapan. Tapi
tindakan itu agaknya harus tertunda beberapa waktu.
Aku punya firasat Arwah Ketua dan perempuan gemuk
yang bernama Ratu Dhika tengah melakukan sesuatu
yang sakral di Candi Miring. Kita tidak boleh
mengganggu mereka..."
"Kalau itu perintah darlmu. akan saya lakukan Kek.
Lalu Kakek sendiri mau melakukan apa atau mau
ke mana?"
Resi Garipasthika tidak menjawab. Dia
menyerahkan tongkat yang ada lapisan putih dan
mengepulkan hawa dingin pada Liris Pramawari.
Walau merasa heran si gadis menerima juga tongkat
itu dan memegangnya di tangan kanan.
"Kek, dulu kau menyerahkan golok sakti padaku.
Lalu minta digendong, sekarang kau menyerahkan
tongkat sakti. Apakah sekarang kau juga mau minta
digendong.?"
Si Mata Salju tertawa. Belum lenyap gema tawa
itu, tubuhnya berubah menjadi asap putih dingin, lalu
lenyap masuk ke dalam tongkat.
"Aku malas berjalan, apalagi lari. Kau saja yang
membawa aku kemana-mana..." Terdengar suara
Sang Resi dari dalam tongkat.
Begitu si orang tua sakti masuk ke dalam tongkat
langsung saja tangan dan bahu kanan Liris Pramawari
tertarik miring karena tongkat itu serta merta menjadi
sangat berat hingga dua kakinya tertekuk dan
akhirnya jatuh terduduk di tanah.
Liris Pramawari kerahkan tenaga luar dalam,
berusaha berdiri sambil mengangkat tongkat. Tapi
sampai tubuhnya keluar keringat dan rahang
menggembung dia tidak mampu melakukan. Malah
kembali jatuh terduduk di tanah! Karena kehabisan
akal gadis Ini akhirnya duduk menjelepok lalu tertawa
geli.
"Keponakanku, mengapa kau tertawa? Anak
perawan tidak baik tertawa di hutan belantara. Apa
kau mau menyuruh datang semua dedemit hutan..."
Keluar suara dari dalam tongkat.
"Ih...jangan bicara membuat aku takut Kek."
"Lalu apa tongkatku berlaku nakal menggelitikmu?"
"Kek tongkatmu tidak nakal. Tapi tongkat ini
kenapa jadi berat begini. Aku tidak mampu mengangkatnya!" jawab Liris Pramawuri.
"Oala... Padahal sudah satu minggu ini aku puasa!
Ah. pasti tua bangka ini masih banyak dosa! Ha...
ha... ha!" Terdengar suara sang resi dari dalam
tongkat disusul suara tawa. "Sekarang coba kau
angkat lagi. Apa masih berat?!"
Liris mencoba. Dia jadi terkejut sendiri. Tongkat
putih mengepulkan hawa dingin itu mendadak bukan
saja berubah sangat ringan. Tapi juga menariknya ke
depan hingga untuk mengikuti dia terpaksa harus
berlari cepat, makin cepat dan tidak terasa dia sudah
dua kali mengelilingi rimba belantara hutan jati di
kaki bukit itu!
"Meong..."
Sekonyong-konyong terdengar suara kucing
mengeong!
14. MENJEJAK BUMI MENERAWANG LANGIT
ILMU Menjejak Bumi Menerawang Langit pada masa
itu hanya dimiliki oleh Arwah Ketua. Dengan ilmu Ini.
berdasarkan bagian tubuh atau pakaian dari seseorang
bisa dijajagi dimana beradanya orang bersangkutan
dan dalam waktu beberapa kejapan mata saja bisa
didatangi sekalipun orang itu berada di dalam perut
bumi, di goa batu di dalam gunung atau di dasar laut.
Konon ketika pada mulanya Arwah Ketua memohon
untuk mendapatkan ilmu tersebut yang dilakukan
melalui doa dan tapa semedi Para Dewa tidak
mengabulkan
Arwah Ketua kemudian melakukan samadi alam
terbuka di situ bukit di Gurun Pasir Dieng. Tanpa
pakaian selembarpun Arwah Ketua melakukan
samadi. Siang kepanasan membuat tubuhnya seolah
leleh oleh terik panas sinar matahari sedang malam
kedinginan laksana dikubur di dalam gundukan es!
Setelah memasuki hari ke empat puluh dimana
keadaan Arwah Ketua tidak lebih dari jerangkong
hidup dan siap sekarat, berkat keteguhan hati serta
niat bahwa ilmu kesaktian itu hanya akan
dipergunakan untuk kebaikan maka Para Dewa
akhirnya mengabulkan tapa samadi Arwah Ketua.
Kepadanya diberikan ilmu sakti mandraguna bernama
Menjejak Bumi Menerawang Langit.
Ratu Gelang Gelang yang sejak tadi berdiam diri
meletakkan dua tangan di depan mata. Tapi dia tidak
melihat apa-apa. Semua serba gelap gulita. Dia
merasa seperti berada dalam satu liang yang sempit.
Ketika tangan disapukan ke kiri dan ke kanan dia
menyentuh tanah lembab!
"Rakanda, kita berada dimana?" bisik Ratu Dhika
yang dia tahu berada di sampingnya tapi tidak dapat
melihat sosoknya.
"Kita sudah di dalam tanah. Jangan ada rasa
khawatir. Bernafas seperti biasa. Kita akan segera
mulai bertapa, memohon pertolongan Dewa Agung.
Waktu kita tidak lama. Sebelum matahari mencapai
titik tertingginya di luar sana. tapa kita harus sudah
selesai. Sekarang ulurkan tanganmu ke samping. Jika
kau menyentuh bahuku, bergeraklah. Pindah ke
sebelah belakang. Dua telapak tanganmu letakkan di
punggungku. Alirkan seluruh tenaga dalam dan hawa
sakti yang kau miliki ke tubuhku. Kosongkan pikiran.
Pada saat samadi berlangsung, kedua mataku akan
menjadi buta. Maka matamu jangan sekali-kali
dipejamkan karena kau yang akan melihat pertanda
yang akan diberikan oleh alam gaib."
Ratu Dhika Gelang Gelang lakukan apa yang
dikatakan Arwah Ketua. Ketika tangan kanan diulurkan
ke samping, dia menyentuh bahu Arwah Ketua. Lalu
dengan cepat dia bergeser duduk bersila di sebelah
belakang, dua tangan ditempelkan di punggung
Arwah Ketua.
"Radinda, selama samadi berlangsung kau tidak
boleh mengeluarkan suara sedikitpun. Kecuali jika
kau bertanya atau kau telah melihat sesuatu maka
kau harus memberi tahu kepadaku..." .
"Aku mengerti Rakanda," bisik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Suaranya masih menyatakan ada
ketegangan dalam dirinya.
Dari kepalan tangan kirinya Arwah Ketua menebar
segenggam tanah bercampur darah yang berasal dari
luka buntungan tangan kanan Panglima Pawang Sela.
"Kita mulail" bisik Arwah Ketua. Maka saat itu juga
meski kedua mata nyalang namun seandainya ada
sinar terang di hadapannya dia tidak akan mampu
melihat.
Di luar, sang surya perlahan-lahan bergerak
mendekati titik tertinggi di pertengahan siang. Di
dalam liang tanah Arwah Ketua dan Ratu Dhika samasama mandi keringat. Satu-satunya suara yang
terdengar adalah hembusan napas mereka. Sepeminuman teh berlalu. Tiba-tiba ada getaran di
empat dinding, lantai dan bagian atas liang tanah.
Lalu Ratu Dhika melihat ada satu titik kecil berwarna
hitam di kejauhan. Perlahan-lahan titik ini bergerak
mendekat dan saat demi saat berubah besar. Pada
waktu mencapai seukuran kepalan titik hitam
bergerak melebar membentuk tabir empat persegi. Di
kehitaman tabir tiba-tiba muncul sebatang pohon jati
kering, tinggi besar namun tidak bercabang dan tidak
beranting, juga tidak memiliki daun selembarpun.
Dari getaran telapak tangan Ratu Dhika yang
menempel di punggungnya Arwah Ketua maklum
kalau gadis gemuk itu telah melihat sesuatu.
"Katakan apa yang kau lihat..." ucap Arwah Ketua
yang dari suaranya jelas dia juga tidak mampu
menekan rasa tegang.
"Aku melihat pohon jati besar.Tinggi tak bercabang,
tidak ada daun..."
"Hanya pohon?" tanya Arwah Ketua.
"Betul, hanya pohon."
"Aneh... kau sudah mengerahkan seluruh tenaga
dalam dan hawa sakti?"
"Nyawaku sudah seperti mau putus..." jawab
Ratu Dhika.
"Apa yang terjadi...? Mungkin ada satu kekuatan
dahsyat melindungi manusia berjubah kuning itu
hingga dia tidak muncul dalam tabir samadi..." Arwah
Ketua berpikir keras. Dia ingat sesuatu, "Radinda
Ratu. coba kau perhatikan lagi. Beri tahu jika ada
perubahan yang kau lihat."
Setelah berkata begitu Arwah Ketua ulurkan
tangan kiri yang kini berada di sebelah kanan
tubuhnya. Di dalam gelap dia kumpulkan kembali
tanah mengandung darah yang tadi ditebar. Begitu
digenggam tanah dalam genggaman memancarkan
cahaya redup. Saat itu juga di sebelah belakang Ratu
Dhika membuka mulut
"Rakanda. aku melihat ada cahaya tiga warna
pada batang pohon Jati kering..."
"Jangan berkesip... Kita hampir dapat menjajagi
manusia berjubah kuning itu. Wahai Dewa Agung,
tolong kami..." ucap Arwah Ketua. Sesaat kemudian
Ratu Dhika tiba-tiba melihat seorang berjubah kuning
bertangan buntung yang memanggul seorang
perempuan berambut panjang di bahu kirinya.
"Aku melihat orang berjubah kuning itu. Orang
yang mengaku Panglima Pawang Sela utusan Sri
Maharaja Ke Delapan. Dia berdiri di depan pohon. Dia
seperti bicara dengan seseorang. Tapi lawan
bicaranya tidak kelihatan... Juga tidak terdengar
suaranya. Aku hanya melihat sebentuk cahaya putih
menyilaukan dari arah pohon jati. Di bahunya aku
jelas melihat Ananthawuri yang diculik dari candi."
Tubuh Arwah Ketua bergetar.
"Orang yang bicara dengan si jubah kuning itu
pasti memiliki kekuatan dahsyat atau dilindungi oleh
cahaya tiga warna hingga kau tidak mampu melihat
dan mendengar suaranya. Perhatikan dan dengar
baik-baik setiap ucapan Pawang Sela..."
"Orang itu memanggil lawan bicaranya dengan
kata-kata Junjungan, Sri Maharaja Ke Delapan..."
"Dewa Jagat Bhatara Dia rupanya."
"Rakanda, si jubah kuning menyerahkan
Ananthawuri pada orang yang tidak kelihatan..."
"Radinda, kau tahu dimana kira-kira mereka
berada? Kau mengenali keadaan sekitar pohon
Jati?"
"Setahuku hutan jati terdekat ada di selatan kaki
bukit"
"Benar, kita akan segera keluar dari dalam tanah.
Aku akan memasuki alam gaib dan melesat ke
kawasan hutan jati. Kau cepat mencari gadis
berpakaian putih yang wajahnya mirip Ananthawuri..."
"Aku sudah tidak sabar cepat-cepat keluar dari
sini. Apakah samadi kita sudah selesai Rakanda.
Olala...tunggu...!"
"Ada apa Radinda Ratu?"
"Aku... aku melihat diriku dalam tabir hitam itu...
Cahaya tiga warna di keningku memancar terang
Rakanda. kepalaku mendadak sakit sekali. Seperti
mau pecah..."
"Ada orang hendak mencelakai dirimu..."
"Rakanda.. aku melihat mahluk aneh. Sekujur
tubuhnya diselubungi benda putih berkilat seperti
timah, mungkin baja. Ada mahkota berkilau di atas
kepalanya. Mahluk ini mengulurkan tangan menarik
tanganku. Rakanda aku... Tubuhku tertarik...!" '
"Dewa Jagat Bathara! Radinda. orang hendak
mengambil dirimu dari jauh. Kau harus cepat keluar
dari sini. Ambil ini cepat telan!"
Arwah Ketua seperti mencongkel sesuatu dari
dalam dadanya ialu benda bercahaya hijau bergemerlap ini dimasukkan ke dalam mulut Ratu Dhika
Gelang Gelang yang saat itu menghuyung ke kanan
seperti ditarik orang.
"Telan!"
"Rakanda kau memberikan batu Asmasewu
padaku?" Ratu Dhika tidak percaya.
"Saat ini hanya batu sakti ini yang bisa kuberikan
untuk menyelamatkan dirimu. Lekas pergi! Cari gadis
berkerudung putih!"
"Tapi bagaimana dengan dirimu?!"
"Jangan pikirkan akui Batu itu akan kembali
padaku jika kau sudah selamat dari mara bahaya!
Cepat telan!"
Tidak ragu lagi Ratu Dhika segera menelan batu
sakti bernama Asmasewu.
Tanpa berpaling ke belakang Arwah Ketua lalu
hunjamkan dua sikutnya ke belakang.
"Bukk! Bukkk!"
Dua sikut menghantam tubuh kiri kanan Ratu
Dhika Gelang Gelang hingga dia menjerit keras
merasa dirinya seolah luluh lantak! Saat itu juga tubuh
gadis gemuk ini melesat keluar dari dalam tanah. Di
udara siang benderang tubuhnya melesat ke arah
barat hutan jati. Sekejapan kemudian Arwah Ketua
telah keluar pula dari dalam tanah, melayang ke ujung
utara hutan jati dan melesat turun di satu tempat
yang bukan lain adalah Lembah Hantu!
TAMAT
Sri Maharaja Ke Delapan berusaha menculik Ratu
Dhika Gelang Gelang secara gaib untuk dimanfaatkan
ilmu kesaktiannya lalu dihabisi. Mampukah batu sakti
Asmasewu menyelamatkan?
Bagaimana dengan Pangeran Bunga Bangkai dan
dua sahabatnya yang masih terkurung di dalam rimba
belantara karena tenungan Arwah Ketua?
Bisakah Ananthawuri lepas dari tangan Sri Maharaja Ke Delapan yang hendak mengambilnya
menjadi Permaisuri?
Siapakah orang tua berpakaian hitam dan meniup
seruling di tangga Candi Miring?
Ikuti Episode selanjutnya berjudul:
PERANG ARWAH DI BHUMI MATARAM