Life is journey not a destinantion ...

Bayi Pembawa Petaka

INDEX SUTO SINTING
48.Manusia Pemusnah Raga --oo0oo-- 50.Kutukan Pelacur Tua

SUTO SINTING
Pendekar Mabuk
Karya: Suryadi


\ 1 \

POHON diperbatasan desa menjadi bahan tontonan orang banyak. Bukan karena pohon itu menghasilkan buah yang aneh. tap! karena dipohon itu tergantung sesuatu yang sangat menarik perhatian orang.
Kerumunan orang di pohon itu membuat daya tarik tersendiri bagi Pendekar Mabuk, murid si Gila tuak yang bernama Suto Sinting itu. Dalam perjalanannya memburu Siluman Tujuh Nyawa. sebagai musuh utama yang akan akan dijadikan maskawin bagi pinanganya kepada Dyah Sariningrum, langkah Suto sinting terpaksa membelok ke arah kerumunan orang tersebut. Kepada anak muda berusia belasan tahun yang giginya tongos, Suro menanyakan kerumunan tersebut.
"Ada apa di sana?! Mengapa orang-orang itu mengerumuni pohon besar itu?"
Anak muda yang usianya di bawah Suta Sinting itu menjawab dengan cepat, bagai tak mau ketinggalan jaman.
"Ada bayi gantung diri, Kang."
"Ah, kau ini ditanya baik baik kok malah mengajak bercanda?"
"Benar kang..ada bayi gantung diri. kalau tidak ada bayi gantung diri untuk apa orang-orang menge rumun! pohon itu?"
"Bayi kok gantung diri? Bagaimana caranya memanjat pohon?"
"Ya itulah yang kubingungkan dar! tadi. Kang.
Dengar-dengar bayi itu berusia sekitar satu bulan, tapi kok sudah pandai gantung diri? Sedangkan merangkak saja dia tidak bisa, Kang- Tapi kok bisa gantung diri, ya?
Anak muda itu malah bingung sendiri. Suto sinting juga bingung, bukan karena kabar tersebut, tapi karena membayangkan bagaimana anak muda itu menutup mulut. Giginya yang tongos seakan tldak bisa ditutup dengan bibirnya.
"Bagaimana caranya bersiul. ya? Apa bisa bunyi?" pikir Suto agak usil. "Ah, tapi yang dlkatakan itu apa benar-benar terjadi? Bayi gantung diri? Aneh juga, bayi kok gantung diri? Umumnya yang gantung diri itu orang dewasa, gadis patah hati dan sebagainya. Apakah bayi itu juga patah hati?"
Rasa penasaran membuat Suto sinting semakin menerobos kerumunan orang- Begitu sampai di depan kerumunan, mata Suto tak berkedip memandangi sosok bayi tergantung pada seutas tali yang melingkar di lehernya. Tali itu terikat pada salah satu dahan pohon. wajah si bayi membiru karena tak mendapat aliran darah. dan tentunya sudah tak' bernyawa.
"Kasihan sekali," gumam Suto sinting dengan hati trenyuh.
Orang di sebelahnya mengajak bicara. "Anak siapa ini, ya? Pasti dia anak nakal, kecil-kecil sudah gantung diri. bagaimana keiak jika ia besar. ya? Bapaknya sendiri bisa digantung!"
"Bayi itu tidak gantung diri sendiri!. Pasti ada yang menggantungnya!" kata Suto agak jengkel.
"Dan kalau sudah begini. dia tidak akan menjadi besar. jadi tidak perlu kau tanyakan bagaimana kalau sudah besar nanti."
Di sisi iain., Pendekar mabuk menemukan pemandangan yang lebih indah dari bayi tergantung. Ada seraut wajah yang lebih enak dipandang mata daripada wajah si bayi yang tergantung- wajah itu adalah wajah seorang gadis berpakaian biru muda dengan rambut pendek sepundak diponi bagian depannya. Hidungnya mancung. matanya bundar bening berbuiu lentik. bibirnya mungil rnenggejaskan sepertinya gadis itu bukan masyarakat desa biasa, tapi punya ilmu silat yang entah seberapa tingginya atau seberapa rendahnya- Sebab di pinggang gadis itu terselip sebilah pisau bergagang tanduk rusa.
Buat teman bicara lumayan juga dia." gumam hati Pendekar Mabuk. kemudian ia mendekatinya secara tidak terang-terangan. Pura-pura berjalan mengelilingi pohon sambil memandang ke arah bayi yang tergantung, tapi langkahnya kian mendekati gadis berbaju biru. Bahkan Suto Sinting berlagak menyenggol gadis itu secara tidak sengaja.
"Oh maaf... " kata Suto sambil tersenyum dan dan berpaling pada si gadis.
Gadis itu tersenyum pendek dan tipis, berpaling sebentar lalu memperhatikan ke arah bayi yang tergantung dl pohon. Suto Sinting pun berlagak acuh tak acuh. tapi Ia berdiri dl samping gadis itu dalam jarak sekitar satu jengkal- ia pun berlagak memperhatikan ke arah bay! yang tergantung. -
Tapi hatinya berkecamuk membicarakan tentang gadis berambut poni itu.
"Hemm... harum sekali dia? Pakai minyak wangi atau mandi lulur setanggl?! Harum... seperti bau melati- Jangan-jangan rambutnya yang hitam lembut itu setlap hari dicuci memakai minyak bunga melati?
wilh-.. dadanya sesak lho! Bukan main, ck. ck,
ck.. Sepertinya sengaja dipamerkan untukku. Ah, .
aku tak mau meliriknya terlalu lama. nanti kena kutukan setan bisa bllngsatan*
murld si Gila Tuak yang sedikit konyol itu kembali pusatkan perhatian kepada bayi yang tergantung. Sejauh itu belum ada orang yang berani menurunkan bayi itu karena takut kena perkara. mereka hanya saling bertanya dan saling menduga-duga tentang siapa pemiiik bayi itu- Sampai akhirnya Suto- rnendengar gadis itu bicara pelan. seperti ditujukan pada dirinya sendiri-
"Sepertinya bayi itu dari keluarga Sultan Renggana. "
Suto yang mendengar ucapan lirih itu menyahut. "Dari mana kau tahu?
'Bayi itu nnemakai gelang tali hitam berbandul lonceng perak- Biasanya bayi keluarga Sultan Renggana selalu mengenakan gelang seperti itu sampai
mereka berusia lima tahun. Gelang lonceng ' itu seperti jimat untuk penoiak bala."
"Jadi, bayi itu adalah anak Suitan Renggana? Begitu maksudmu?
Bukan begitu. Sultan Renggana sudah tua sekali. Tapi.-- kudengar sekitar satu purnama yang laIu. Sultan Renggana punya cucu yang baru lahir dari
menantunya yang bernama Ratna Udayani-"
Suto sinting manggut-manggut sambil menggumam karena gadis itu hentikan bicara., sadar bahwa ia sudah bicara akrab dengan pemuda yang belum dikenalnya tapi seperti sudah lama saling mengenal.
Karena terlanjur bicara. gadis itu :akhirnya teruskan bicara sambil memandang ke arah pohon 'Ratma Udayani menlkah dengan Raden Prallta yaitu putra Sultan renggana yang kabarnya tak akan lama lagi dinobatkan menjadi pengganti ayahnya sebagai sultan di Kesultanan Candrawila. Tapi apa
benar bayi Itu anak dari Ratna Udayani dan Raden prajita .jangan-iangan aku saiah duga?
'Coba tanyakan saja-"
tanyakan kepada siapa-?* Apa mungkin aku tanyakan kepada bayi yang sudah tak bernyawa itu . apakah aku ini orang gila? gadis itu
menggerutu sambil bersungut-sungut. Pendekar mabuk tersenyum sambil menahan rasa gelinya.
Lama lama suto sinting merasa risi melihat bayi tergantung menjadi tontonan. ia bermaksud ingin melepaskan tali gantunqan itu dan meletakkan mayat itu di tempat yang layak. Tetapi entah sadar atau tidak tangan si gadis menyambar lengan Suto sinting dan berkata...
apa yang akan kau lakukan?
'menurunkan bayi itu dari gantungannya."
-Jangan ! Kau bisa teriibat urusan ini repot sendiri. Bayi itu pasti digantung seseorang dengan tujuan tertentu- Salah-salah kau bisa disangka sebagai
palakunya!
"O. ya---'?!" suto melirik lengannya. si gadis menjadi malu dan melepaskan genggamannya sambil berlagak ketus dan angkuh.
Sesaat kemudian terdengar suara derap kak! kuda berlari- Semua kepala berpaling memandang ke arah datangnya suara kaki kuda itu. terrnasuk
Suto sinting dan si gadis yang berbaju tanpa lengan warna biru itu.
Dua ekor kuda jantan itu melintasi kerumunan orang-orang. mereka membuka kerumunan secara serentak karena takut ditabrak- Kuda itu segera berhenti tepat di samping pohon. Dua penunggang yang berkumis lebat itu membelalakkan mata yang memang sudah lebar itu.
'Biadab !' bentak yang berikat kepala merah.
"Siapa yang rnelakukan kekejaman ini. hah?! Siapa.--?i*'
Orang berikat kepaia :merah itu memandang wajah orang-orang satu persatu, seakan sedang mencari sang tertuduh. Sedangkan yang tidak
memakai ikat kepaia tapi botak bagian depannya.
ia berseru dengan penuh getaran murka-
'Iblis laknat ! Bayi tidak tahu dosa diperlakukan sedemikian rupa! Siapa pelakunya ? Mengaku siapa pelakunya?i" teriaknya lebih seru.
'Siapa mereka? Kau tahu?" bissik Suto Sinting kepada gadis berbaju biru.
'Yang memakai ikat kepala merah itu bernama sugolo, yang kepalanya agak botak bagian depan bernama mandong-"
*Apakah mereka pemabuk?"
'Ssst... mereka orangnya Sultan Renggana-"
"oo...?!" suto Slnting manggut-manggut sambil menggumam pelan sekali-
Suqolo yang berambut mekar setengkuk berseru dengan mata Iiarnya, "Siapa yang berani menggantung putra Raden -prajita itu?! Ayo, mengaku! Kalau tidak ada yang mau mengaku. kalian kuhajar semua Mandong turun dari atas kudanya dan mencengkeram baju seorang anak muda belasan tahun bergigi tongos yang tadi ditegur Suto dalam perjalanannya.
kau yang melakukannya ! Pasti kau yang menggantung bayi itu '
bukan...bukan Bukan saya, Paman?
mengakulah kau bentak mandong sambil
mencengkeram baju anak muda itu hingga kedua kaki anak muda itu terangkat menggantung- Tentu saja anak muda itu menjadi sangat ketakutan, wajahnya berubah pucat pasi seperti mayat melihat setan.
Bukan ..saaa _ saya.. bukan saya. Paman! Berani mampus tujuh turunan. saya tidak bisa memanjat pohon. Paman?
mandah.. orang orang menggumam dengan mata terbelalak iebar. Bayi daiarn gantungan lenyap seketika. Seseorang telah menyambarnya daiam satu lintasan gerak yang amat cepat. Sugolo yang terbelalak kaget melihat sebuah gerakan cepat bagai hembusan angin yang menyambar mayat bayi tersebut.
Celaka ! Kejar dia, mandongl"
Sugolo yang sejak tadi tetap berada di punggung kuda segera mengejar dengan memacu kud.anya. "Heeah ! w...! Heeah...?
mandong segera melompat- Huup.--i Gusrak bruuus...! Lompatannya terlalu cepat dan panik, hingga tubuhnya melayang melewati punggung kuda dan ia jatuh tersungkur ke tanah. nyaris. patah leher.
° Kurang ajar! Siapa yang mendorongku dari belakang tadi ? bentaknya semakin marah- Oran orang yang tadi ada di belakangnya itu saling
menunduk dan menyingkir dengan rasa takut. Suara temannya terdengar,
"mandooong...! Lekas kejar pencuri mayat itu!"
Mandong terburu-buru lompat ke punggung `kuda. wuuut.-.! blek---! Kali ini ia tepat duduk di punggung kuda dengan sentakan keras. Sang kuda kaget hingga meringkik... lompat kaki beiakangnya sambil meringkik.
'hiieeeekkk...!
Wuunss-..! Tubuh mandong yang kurus itu terlempar karena sentakan ke atas pantat kuda .
melayang di udara dan hampir-hampir jatuh terpelanting. Untung ia cepat kuasai diri dan dapat mendaratkan telapak kakinya ke tanah dengan sedikit limbung- Akhirnya mandong tak mau peduli dengan kudanya lagi. ia berkari mengejar si pencuri mayat bayi putra Raden Prajita itu. wees-..! Ternyata Ia mampu berkelebat cepat melebihi kecepatan lari seekor kuda.
claaap.-.! Suto sinting ikut-ikutan mengejar, bukan karena ingin menangkap penyambar mayat bayi tadi, tapi karena ingin mengetahui :apa yang terjadi selanjutnya.
"Hai". kau..?? seru si gadis memanggll Pendekar mabuk. maksudnya mau menahan gerakan sl pendekar mabuk, tapi gerakan sang pendekar terlalu cepat dan mengejutkan sang gadis- Gerakan itu
melebihl kecepatan anak panah, :sebab suto sinting gunakan jurus yang bernama 'Gerak Siluman'. sehlngga beberapa orang di dekatnya sempap menyangka suto sinting lenyap secara gaib. Gadis berbaju biru Itu pun ikut-Ikutan larl ke arah yang sama.
sedangkan orang orang di sekitar tempat itu sama sama memandang tegang dengan wajah penuh tanda tanya, akhirnya mereka Ikut lari ke arah yang sama dengan berbondong-bondong.
ayo ! kita Ikuti mereka. Apa yang terjadi pada pencuri mayat bayi itui" :seru salah seorang sambil berlari lebih dulu.
Ayo kita kesana melihat si maling bayi!
Maling ...! maling bayi..."
maling . maling.-.! Liiing...! Ling...
Mereka saling bersahutan bagaikan Ingin menjadi pahlawan dalam menyelamatkan mayat bayi keluarga kesultanan itu.
Senmentara itu. seseorang segera memanjat pohon tersebut. mendekati dahan penggantung bayi yang letaknya agak tinggi itu. Orang tersebut melepaskan tambang sisa gantungan yang putus bagaikan dipangkas memakah senjata taiarn. Tali itu dilepaskan dari dahan sarnbii bergumam.
'Lumayan bisa buat ganti tall timba sumurku !'
Tapi malang bagi orang berpakaian abu-abu yang masih berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
karena tiba-tiba seberkas cahaya merah kecil melesat dari tangan seseorang dan menghantam punggungnya. Deees...!
"Aaaa---- pekik orang berbaju abu-abu yang mau melepaskan tambang tersebut. Orang itu pun jatuh tanpa malu-malu lagi- Buuuhk-..! Kemudian
dua orang berjubah hitam dan hijau tua mendekatinya. Mereka memandangi orang yang jatuh dengan 'wajah menyeringai kesakitan. punggungnya terasa terbakar, tapi ia tak bisa meilhat bahwa punggungnya saat itu dalaM keadaan hangus. Orang itu menggeliat sambil Mengerang penuh derita. '
"Tangkap dia dan hadapkan pada raden Prajita.!" kata si jubah hitam, laiu yang berjubah hijau segera mengangkat orang tersebut. memanggulnya
di pundak dan segera berkelebat pergi. Pada waktu Itu suasana di sekitar pohon teiah sepi, mereka pergi mengikuti pelarian si pencuri mayat bayi.
Orang berjubah hitam dan hijau yang sama berbadan kurus dengan usia sekitar enam puluh tahun itu berlari dengan gerakan cepat, bagaikan daun kering terhempas badai. Itu menandakan kedua orang yang berambut sama-sama panjang sepunggung tanpa ikat kepala itu berilmu cukup tinggi.
Sedangkan orang yang tadi mau melepaskan tambang tidak mennpunyal Ilrnu apa-apa- Terbukti ia tak mampu menahan serangan sinar merah yang mengenainya- Tubuh itu menjadi Iemas dan tak berdaya lagi Kedua orang berjubah itu tidak mengetahui bahwa orang tersebut sudah tidak bernyawa lagi-
Mereka tetap membawa orang tersebut ke arah kotaraja, dimana sang Sultan bertakhta. Langkah mereka sempat terhenti mendadak ketika di depannya meluncur sesosok tubuh gemuk berpakaian serba putih dari atas pohon- Orang berpakaian putih itu berusia iebih tua dari meraka.
mata kecil yang tajam dan berkekuatan menggetarkan hati. Tongkatnya terbuat dari besi hitam dlgenggann dengan tangan kanan setinggi kepalanya-
Tongkat itu seakan digunakan untuk menopang badannya yang gemuk. Ujung tongkatnya membentuk cakar lima jari yang dibuat sedentlkian rupa :sehingga mirip cakar tangan raksasa berkuku runcing.
"Apa maksudmu nnenghadang kami, Jubah Kapur?? Sentak Pontang Renta dengan wajah menampakkan kegarangannya.
"Kuingatkan pada kaiian, bahwa hari pertarungan kita tinggal tiga hari lagi- Kuharap kalian benar-benar persiapkan diri untuk hidup atau mati. Sediakan kain kafan yang cukup untuk membungkus raga kembar kalian"
'Keparat Apakah kau Ingin mempercepat hari pertarungan kita, hah?! Terimalah jurus 'Beling Saktlku ini, heeahh !"
pontang Renta nnelompat sambii menghantamkan tangannya bagai menyebar sesuatu ke arah Jubah Kapur- WEES-SSS...! Serbuk beling Beracun
menyebar ke arah Jubah Kapur dengan kerilapan cahaya matahari yang memantui dari tiap butir serbuknya-
Jubah Kapur lornpat ke kanan dan tangan kirinya menyentak ke depan. wuuus*'---! Angin besar bagaikan badai berhembus- Telapak si Jubah Kapur segera menggenggam setelah nyemburkan angin badai Sejurus serbuk beling beracun itu ;membalik arah dan dihindari dari oieh Pontang Renta dengan satu lompatan ke samping-
zraaak...! Serbuk beling beracun itu akhirnya menyergap sebatang pohon, lalu dalam sekejap pohon Itu pun mengkerut dan menjadi kering. Beberapa waktu kemudian baru menjadi keropos bagai 'tanpa cairan sedikit pun. Daun-daunnya berubah kering dan berguguran, ranting dan dahan merentas siap patah diterjang angin sewaktu-waktu.
Si kembar Pontang Renta dan panting Renta bisa saja gunakan senjata mereka yang berupa sepasang 'Piring maut', terbuat dari logam baj. putih mengkllat bertepian tajam bak mata pedang.
tapi agaknya pontang Renta merasa belum waktunya pergunakan :senjata .yang terselip di pinggang mereka itu. karena ia memang belum bermaksud untuk benar2 ingin membunuh Jubah Kapur. Ni-
Niat itu hanya akan terwujud setelah hari pertarungan seperti yang sudah mereka sepakati itu tiba.
Kau boleh saja unjuk gigi padaku dengan jurus beling sakti-mu. Pontang renta. Tapi ketahuilah bahwa aku tak pernah merasa gentar melihat pertunjukanmu itu. itu tidak akan membatalkan 'waktu pertarungan yang sebentar lagi akan tiba itu-"
apakah kau Ingin percepat hari pertarungan Itu ? Aku sudah siap dari sekarang, Jubah Kapur."
Aku hanya mengingatkan kalian. agar pertarungan tidak gagal karena Kepikunan kalian! kutunggu kalian dil bukit Carang!"
° Jubah Kapur sedikit sentakkan badan, tubuhnya melesat naik dengan cepat ke sebuah dahan, lalu melesat lagi menerabas dedaunan bagai bayangan putih yang melintas tanpa :suara.
Sepasang orang kembar yang sama-sama berbadan kurus, berwajah lonjong, dan bermata beng!
itu hanya pandangi kepergian lawannya dengan rahang menggeletuk. Kejap berikutnya pontang Renta :-segera berkata dengan nada datar,
'Lanjutkan langkah kita! Sebentar lagi kita akan menjadi kaya karena berhasil :menangkap buronan kita ini
"Pontang renta, yang kupikirkan seandainy Raden Prajita ingkar janji, tak mau membayar upah kita, lalu apa yang harus kita lakukan??
"Habisl keluarga Suitan Renggana' jawab Pontang Renta dengan tanpa irama sedikit pun. rupanya mereka adalah para pembunuh bayaran dari' Tanah Limpa yang bekerja untuk siapa pun yang mengupahnya dengan harga tinggi.
Dan agaknya kali ini mereka disewa oleh raden Prajita untuk menangkap seseorang yang ada kaitannya dengan tergantungnya bayi tak berdosa.
Berita tentang Kematian bayi itu menyebar dengan sangat cepat dan singkat. sehingga pihak raden Prajita :segera memanggil si kembar pembunuh
bayaran itu untuk ;menangkap seseorang yang curigai kuat olel: Raden Prajita. Sementara prajita dan keluarganya itu tak berani menengok ke
mayat sang bayi, sehingga mereka tak berani menjemput jenazah bayi dl tempat gantungnya.
warna duka yang menyelimuti keluarga kesultanan itu diawali dengan hilangnya sang bayi pada malam hari.
"Tak saiah lagi. Inupaksi pelakunya! Cari dia dan bawa dia kemarl hidup ataupun mati' itulah perintah Raden Prajita dengan bola mata
berkaca-kaca membayangkan kematian putra sulungnya-

***

\ 2 \

PENDUDUK desa yang ikut mdngejar pencuri bayi menjadi bingung sendiri-sendiri. mereka kehilangan arah, tak mengerti ke mana lakukan pengajarannya. Kecepatan lari mereka sangat tidak seimbang dengan kecepatan lari pencuri mayat bayi maupun dua orang kesuitanan itu.
Namun tidak demikian halnya dengan Pendekar mabuk yang diikuti oleh gadis berbaju biru- Gadir itu mampu :menjaga jarak cukup dekat dengan Pendekar mabuk, karena ia pun menggunakan ilmu peringan tubuh sehingga bisa berkecepatan melebigî mandong dan Sugolo.
Si pencuri mayat bayi itu _terpaksa hentikan langkahnya, karena tiba-tiba seseorang lepaskan pukulan jarak jauh yang mampu menyambar
dirinya hingga :si pencuri mayat bayi terpental dl semak-semak. Bruuus...!
"monyet edan!" makinya dengan suara cempreng-
Rupanya ia seorang perempuan tua berusia sekitar enam puluh tahun. nenek itu berjubah dengan rambutnya konde ;warna abu-abu bercampur uban- Sedangkan orang yang lepaskan pukulan jarak jauh sudah ada dl depannya berdiri dengan tenang memperhatikan sang nenek yang memeluk mayat bayi. Orang itu ternyata si jubah Kapur yang agaknya terpaksa mengikuti geger tergantungnya bayi itu-
"Itu Jubah Kapur--??
"sssttt. Pendekar Mabuk menyuruh gadis berbaju biru yang tahu-tahu muncul di belakang persembunyiannya agar tidak bersuara: keras-keras.
tapi suto sinting sendiri :segera berkata dengan Suara bisik, siapaa si Jubah Kapur itu?
ketua Gelandangan!"
suara-bisik itu terhenti. mereka menyimak suara si nenek berjuban merah yang tampak berang kepada si jubah Kapur.
'Apa maksudmu menyerangku. .Jubah Kapur?!? apakah kau ingin cepat dikirim ke liang kubur, hah?|°'
jubah Kapur tampak tenang. Sepertinya la malas malasan menghadapl keberangan nenek si pencuri mayat bayi itu. Suaranya terdengar berkesan meremehkan kémarahan lawannya.
aku melihat geiagat tak baik dari perbuatanmu. mencuri mayat bayi itu. Nyai Songket."
Itu bukan urusanmu. Jubah Kapur! kuingatkan jika kau merlntañgi pekerjaanku kau akan kehilangan nyawa. dalam- kurun waktu kurang dari dua helaan napas.
akan... kucoba untuk tidak merintangimu asal kau terangkan apa maksudmu mencuri mayat bayi itu.
Jantung bayi dapat untuk menambah kekuatan
tenaga inti raga, juga mampu untuk menambah kekuatan mengirim serangan dari jarak jauh!" Nyai Songket menjeiaskan dengan suara seperti orang menggerutu. Barangkaii ia tak ingin penjeiasannya itu didengar oieh pihak iain.
Dari persembunyiannya Suto berucap daiam bisikan, "Aku pernah mendengar nama Nyai Songket. Kaiau tak saiah dia dukun pemanggii roh yang tem¬ po hari sempat dijeiaskan secara singkat oieh Mario Kere." (Baca seriai Pendekar Mabuk daiam episode " Manusia Pemusnah Raga").
"Dia dukun iimu hitam dari Lembah Kubur!" timpal gadis berbaju biru daiam bisikan puia.
"Agaknya kau lebih banyak tahu tentang dia ke¬ timbang aku. Nona"
"Karena aku pernah berseiisih dengannya, ilmunya cukup tinggi."
"Kau kaiah melawannya?"
"Hampir," jawab si gadis agak menutupi kelemahannya.
Mereka menyimak kembali percskapan antara Nyai Songket dengan Jubah Kapur.
"Nyai Songket, kau sudah cukup memakan korban banyak untuk kekuatan ilmumu. Kuharap kaii ini jangan iagi membedah mayat bayi, sebab setahuku bayi itu adalah cucu Sultan Renggana, dan Sultan Renggana adaiah sahabatku."
"Persetan dengan hubunganmu terhadap Sultan Renggana. Aku tak peduii bayi siapa ini, yang penting aku sangat membutuhkan jantung bayi ini Jubah Kapur. Kaiau kau mencoba melarangku, akupun akan mencoba mengambii jantungmu!"
Pada saat itu, dua orang kesuitanan yang berna¬ ma Mandong dan Sugoio itu tiba di tempat tersebut. Entah bagsimana muianya, tahu-tahu mereka da- tsng bersama seekor kuda yang ditunggangi ber¬ dua. Mungkin di perjaianan Mandong merasa iri me¬ lihat temannya masih menunggang kuda sedangkan dia hanya iari dengan kedua kakinya. Mau tak mau ia pun iompat ke punggung kuda dan memaksa Sugolo untuk mau berboncengan dengannya.
"itu dia pencurinya!"
"Wah, celaka kita, Mandong. Nenek tua itu adalah Nyai Songket, si pemakan jantung bayi."
"Kalau kau takut, biar aku yang merebut bayi itu!" Mandong lompat dari punggung kuda saat Sugolo berkata dengan nada tersinggung.
Kau pikir hanya kau yang punya keberanian menghadapi Nyai Songket?! Aku pun mampu menebas kepalanya kaiau dia tak mau serahkan bayi itu".
Nyai songket menatap kedua utusan dari Sultan Renggana dengan senyum sinis meremehkan. Mayat bayi itu semakin dipeluk erat dengan tangan kirinya. Lagaknya ia tahu persis bakal menghadapi pertarungan dengan kedua orang itu, sehingga tangan kanannya dipersiapkan untuk melepaskan pukulan andalannya.
"Nyai Songket, serahkan bayi itu dan jangan kau bawa jenazahnya!" bentak Mandong dengan tangan kanan siap mencabut goloknya.
"Kalau kau menghendaki bayi ini, tebuslah dengan nyawa kalian sekarang juga!"
"Keparat iaknat!" teriak Sugolo, kemudian tu¬ buhnya yang masih ada di punggung kuda itu sege¬ ra melenting ke atas daiam satu hentakan napas. Wuuut...! Tubuh itu bersalto satu kail ke arah Nyai Songket. Kaki Sugoio bermaksud menjejak kepala Nyai Songket.
Weees...!
Nyai Songket miringkan badan dan segera ie- paskan pukuian menggunakan dua jari yang menotok ke arah betis Sugolo. Tees...!
"Aaaaoww...!" Sugoio berteriak keras sekali se¬ perti orang kejatuhan pohon kakinya. Padahai totokan itu tak seberapa berat, hanya gerakannya yang cepat membuat tekanan keras tersendiri pada betis itu. Namun Sugoio segera jatuh lumpuh dan meraung-raung mirip anak kecil.
"Aaauuh...! Mati aku, Mandong! Toiong aku, oooh... tolong aku! Tulangku patah semua, Mandooong...! Wuadoow... sakitnya sampai tujuh turunan beium habis. Mandong...!"
Plaaak...! Mandong menampar dengan kibasan kakinya.
"Cengeng! Baru kena totok seperti itu sudah jerit jeritan seperti perawan di maiam pertama. Dasar manusia kolokan!"
"Maling babi kau, Mandong! Aaaduuh... tubuhku sakit seperti ini malah ditendang seenaknya. Awas kau kalau aku sudah sembuh nanti, Mandong Huaa... huuaaa...!"
Jubah Kapur diam saja, agak menyisih kewah pohon teduh, memperhatikan tingkah laku Nyai Songket daiam menghadapi kedua prajurit kesultanan itu. Sementara itu Nyai Songket sendiri masih memancarkan sinar permusuhan kepada Mandong yang muiai mencabut goioknya dan membuka jurus sebagai kuda-kuda persiapannya.
"Apa kau minta bernasib seperti temanmu itu, hah?!" bentak Nyai Songket, tapi Mandong justru menatap lebih tajam lagi, seakan penuh nafsu untuk membunuhnya.
"Kau boieh bawa pergi mayat bayi itu, asal kau bisa Hindari golokku ini, Nyai! Heeaaat....!"
Mandong menyerang dengan goloknya tanpa lompatan tinggi. Wuuut...! Golok itu ditebaskan ke arah pinggang Nyai Songket. Tapi perempuan tua berbadan kurus itu tiba-tiba melenting ke udara dan bergerak bersaito satu kaii. Wuuut!
Tubuh kurus itu melayang turun dan tiba-tiba kakinya menendang tengkuk kepala Mandong dengan cepat. Deees...!
"Uuhg! hooek—!" Mandong tersentak ke depan langsung muntah keluarkan darah, dan segera roboh terjungkal tanpa ampun iagi. Wajahnya langsung membiru pertanda mengalami luka parah pada bagian saluran darah yang berkisar dalam kepalanya.
Namun agaknya ia masih penasaran dan melepaskan pukuian jarak jauhnya dalam keadaan merayap hendak bangun. Pukulan itu berupa cahaya merah kecil yang melesat dari telapak tangannya! Claaap!
Nyai Songket berlutut satu kaki dan menghen¬ takkan tangan kanannya ke depan. Sinar merah yang datang ke arahnya disambut dengan sinar ku¬ ning yang keluar dari ujung jarinya. Ciaaap...!
Biaaar...!
Ledakan cukup kuat terjadi akibat perpaduan dua sinar tersebut. Ledakan itu keiuarkan geiom- bang menghentak yang membuat tubuh Mandong terpental terbang melambung ke atas dan jatuh terjungkal iagi di tanah bebatuan.
"Aaaauh...!" pekiknya keras sambii terguiing- guiing.
Nyai Songket tetap di tempat, tak bergeming se¬ dikit pun. Namun ketika ia hendak bangkit, kelengahannya dari beiakang dimanfaatkan oieh Sugoio yang terkapar lemas itu. Sugolo masih bisa ;epaskan pukulan jarak jauh menggunakan sentakan napasnya. Pukulan Itu dikeiuarkan melalui telapak tangannya dan meiesatiah sinar merah seperti yang dilepaskan Mandong tadi. Claaap...! Deesss!"
"Uuhg...!" Nyai Songket terkejut, tubuhnya tersentak ke atas dan berjungkir baiik di udara. Mayat bayi dalam gendongan tangan kirinya terlpas. Dansesosok tubuh melsat cepat mnyambar mayat bai tersebut. Wuuut...!
J!eeg...!
Nyai Songket terbanting dari ketinggian terbangnya. Brruk...! Serangkaian caci maki terlempar dari mulut tuanya.
"Babi kurap, anjing kudis, monyet gudik, babi weduusss...! Kuhancurkan kau, Setan Nungging!"
Heeeaah...!"
Siaaap...!
Sinar hijau meiesat dengan cepat dari telapak tangan kiri Nyai Songket. Zrraab...! Sinar hijau itu mengenai tubuh Sugolo. Biaaar...! Tubuh itu pun hancur menjadi serpihan-serpihan mengerikan.
"Giia! Tak kusangka ia akan keiuarkan sinar Itu?!" gumam Suto dengan tegang dan diiiputi penyesalan melihat tubuh Sugoio hancur mengerikan. Perhatiannya tertuju pada Mandong yang tampak berusaha untuk bangkit kembaii, sehingga Pendekar Mabuk tak sempat menghadang sinar hijau yang dapat menghancurkan tubuh Sugoio.
Tampaknya Mandong sendiri tak mampu ber¬ buat apa-apa iagi. Matanya yang memandang kehancuran raga Sugolo menjadi redup, la jatuh terkulai menahan luka parah dan sentakan jiwanya melihat kematian temannya.
Jubah Kapur adaiah orang yang tadi menyambar mayat bayi tersebut. Kini mayat bayi itu ada di pelukannya. la ingin larikan diri, tapi tiba-tiba Nyai Songket lebih cepat bergerak dengan meiambungkan tubuhnya bagaikan terbang menuju ke punggung Jubah Kapur. Wuuus...!
"Kupecahkan ragamu juga, Jubah Kapur!"
Suara Itu membuat Jubah Kapur hentikan langkah dan tiba-tiba tongkatnya menyodok ke belakang. Sodokan yang diiakukan tanpa memandang arah. Tepat kena perut Nyai Songket. Deesss...!
Jreeggg..!Nyui Songket bagaikan membentur dinding tebal. Gerakan melambungnya terhenti total. Tubuhnya jatuh sempoyongan dengan mata mendelik menahan rasa sakit yang menyesakkan pernapasan akibat sodokan pada perutnya, la sempat jatuh terduduk sebentar, lalu cepat bangkit dengan kerahkan tenaga dan gerakkan kedua tangannya sambii berseru membangkitkan semangat.
"Heeaaahh...!"
Jubah Kapur berbaiik arah memandangnya dengan tenang dan penuh kharisma.
"Jubah Kapur!" Nyai Songket menuding dengan mata buas menatapnya. "Kaiau kau nekat membawa pergi mayat bayi itu, akan kubinasakan kau tanpa ragu-ragu iagi!"
"Lakukanlah kalau kau memang mampu membinasakan diriku, Dukun Sesat!"
"Jadah busuk kau! Heeeaat...!"
Kedua tangan Nyai Songket menghentak membuka dengan telapak tangan membentuk cakar. Di ujung-ujung jarinya menyembur asap beracun warna merah kehitam-hitaman. Wuuus..»!
Dengan cepat Jubah Kapur mundur dua langkah dalam lompatan kecil, kemudian tangan kanannnya yang memegangi tongkat segera berkelebat ke depan. Tongkat itu diputar dengan satu tangan. Gerakan putarnya menyerupai baling-baling besar yang menghadirkan angin cukup kencang.
Wuuung, wuuung, wuuung, wuuung...!
Angin kencang membuat asap merah kehitaman itu menyebar ke mana-mana, membalik ke arah pemiiiknya, sehingga Nyai Songket hentikan serangan. la terbatuk-batuk dengan badan terbungkuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, hoooeeek...!"
Darah merah kental menyembur dari mulut Nyai Songket. Wajah tua itu menjadi biru. Rupanya ia telah menghirup asap racunnya sendiri, sehingga tepian matanya berubah cepat menjadi merah. Kuiit lengannya tampak tersayat-sayat dengan darah tipis kian membasah.
"Bangsat! Kau teiah kembalikan racunku dan... dan...Hooooeek...!"
"Muntah lagi?" tanya Jubah Kapur bernada mengejek.
Nyai Songket tak bisa bicara, ia semakin sempoyongan. Wajahnya kian menyeramkan, karena kulit wajah itu muiai retak bagaikan tersayat-sayat benda tajam. Itulah pengaruh dari racunnya sendiri, yang membuatnya terpaksa berkata dengan suara berat.
"Tunggu saat pembalasanku tiba, Jubah Kapur"
"Wesss...! Nyai Songket melesat pergi tinggalkan lawannya. Ia merasa tak akan mampu bertahan dengan keadaan luka seperti itu. Malu tak malu ia harus lari meninggalkan lawan dengan menyimpan dendam pembalasan yang kelak akan dilepaskannya kepada Si Jubah Kapur.
"Tunggu, jangan pergi, Eyang...!" seru Mandong yang masih bisa menggunakan suaranya dengan serak dan berat. Ia merayap mendekati Jubah Kapur dengan susah payah. Jubah Kapur tak jadi pergi, lalu mendekati Mandong.
"Aku tak akan lari, karena aku bukan lawanm Aku ada di pihak sultanmu," kata Jubah Kapur. "'Diamlah dulu di tempat, berbaringiah!"
Mandong memandang agak ragu, tapi akhirnya menuruti perintah itu. ia berbaring dengan kedua tangan terbuka ke samping. Jubah Kapur ada di sebelah kirinya dalam jarak kurang dari satu langkah.
Suto Sinting dan gadis berbaju biru merasa heran meiihat Jubah Kapur mengangkat kaki, kemudian kaki kanannya itu ditempeikan di dada Mandong. Beberapa saat kemudian kaki kanannya tampak kepulkan asap putih. Tubuh Mandong mulai terbungkus asap putih. Makin lama semakin tebal. semakin membuat tubuh Mandong tak terlihat lagi. Anehnya Mandong tidak terbatuk-batuk walaupun asap putih itu membungkus kepalanya juga.
Suto Sinting melompat dari persembunyiann Wuuut...! ia iangsung berseru kepada si Jubah Kapur.
"Jangan celakai orang itu. Dia sudah terluka parah!" Suto Sinting bersuara agak keras dengan kesan membentak, ia tampak cemas, namun hanya dipandangi oleh si Jubah Kapur yang belum mengangkat kaki kanannya dari dada Mandong.
Gadis berbaju biru menyusul Suto dan menarik baju Suto hingga si pendekar tampan itu berpaling kepadanya. Gadis berbaju biru itu berucap kata dengan wajah gemas.
"Mengapa kau larang dia lakukan pengobatan kepada orang itu?!"
"Pengobatan? Oh, jadi dia sedang sembuhkan luka orang itu?"
"Iya! Sikapmu membuatnya marah dan memusuhimu. Kau bisa dihajarnya habis-habisan jika tak segera meminta maaf padanya."
Jubah Kapur turunkan kakinya dari dada Mandong. Asap itu mulai menipis. Tapi Jubah Kapur bagaikan tak peduli dengan asap itu iagi. Ia memandangi Suto Sinting dengan dingin.
Pendekar Mabuk jadi sedikit salah tingkah, karena kejap berikutnya asap yang membungkus Mandong itu lenyap, ia melihat Mandong bangkit berdiri dalam keadaan segar bugar, seperti tak pernah menderita luka apa pun. Bahkan wajahnya tampak memancarkan keberanian dan hasrat untuk mengejar kepergian Nyai Songket.
"Mmaa... maaf, aku tidak... aku tidak bermaksud membentakmu, Jubah Kapur. Aku... aku tidak tahu kalau kau bermaksud menyembuhkan orang itu," Kata Suto Sinting agak gugup karena merasa bersalah telah memmpunyai dugaan buruk kepada tokoh silat berbadan gemuk itu.
Mandong memandang Suto dan membentak dengan langkah maju, "Kau muridnya Nyai Songket, bukan?"
Tubuh Mandong yang bergerak maju terhalang tangan Jubah Kapur yang direntangkan bersama tongkatnya.
"Dia tidak ada hubungannya dengan Nyai Songket". Kata Jubah Kapur "Jangan coba-coba melawannya"
"Aku tidak takut, Eyang Tua!" seru Mandong.
"Kau memang tidak takut, tapi kau tetap akan binasa jika meiawan murid si Giia Tuak itu!"
Bukan hanya Mandong yang terkejut mendengar nama Giia Tuak, tapi Suto Sinting Ikut terperanjat puia, karena ia tak menyangka kaiau Jubah Kapur mengenal nama gurunya. Bahkan s! gadis yang semula ada di samping kiri Suto daiam jarak tiga jengkal, kini mundur dan pandangi Suto dengan dahi berkerut.
"Jadi... jadi kau yang bernama Suto Sinting Pendekar Mabuk, murid si Giia Tuak itu?!" ucap gadis dengan suara pelan namun terdengar jelas, kagum dan keheranannya. Suto Sinting jadi cengar-cengir saiah tingkah dipandang kagum oleh gadis berbaju biru itu.
"Ya, aku memang... memang seperti yang kau ucapkan tadi."
"Oh, pantas...?!" gumam si gadis dengan mata bundarnya memandang wajah Suto tiada berkedip. Tak tahu apa maksud kata ’pantas’ itu, yang jelas gadis tersebut muiai menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tak keiihatan.
"Pendekar Mabuk," kata Jubah Kapur. "Mengapa kau baru muncui sekarang? Seharusnya kau muncul saat Nyai Songket belum bertindak. Aku tidak tahu apa maksudmu bersembunyi di baiik semak itu bersama si Kabut Merana."
Suto agak kikuk karena Jubah Kapur ternyata mengetahui persembunyian Suto sejak tadi. Dahi Pendekar Mabuk segera berkerut begitu si Jubah Kapur sebutkan nama Kabut Merana.
"Oh, jadi kau bernama Kabut Merana?" Suto nyengir geli. "Maaf, aku tidak tahu kalau namamu sebagus itu."
Kabut Merana tidak memberikan balasan kata apapun. Wajahnya memandang ke arah iain dengan sedikit angkuh.
"Pendekar Mabuk," Jubah Kapur perdengarkan suara "Kurasa ada baiknya kalau kau sedikit mencampuri urusan ini. Terutama daiam mengawai si Mandong untuk membawa puiang mayat putra Raden Prajita ini."
"Mengawai...?!" Suto berkerut dahi pertanda heran."Mengapa harus mengawalnya?"
"Karena mayat bayi ini adalah mayat bayi darah biru, pasti banyak tokoh sesat seperti Nyai Songket yang menghendaki mayat bayi ini sebagai tumbal kekuatan ilmu hitamnya. Mandong tak mungkin mampu mempertahankan mayat bayi ini, karena ia cukup Ilmu "
Mandong melirik dengan agak dongkol, namun ia tak berani menyanggah kata-kata tersebut.
"Tapi jika kau keberatan dan punya urusan pribadi dengan si Kabut Merana, aku tidak memaksamu, Pendekar Mabuk. Aku akan mengawasinya sendiri dari kejauhan, walau untuk itu aku terpaksa mengorbankan urusanku di tempat iain."
"Aku akan mengawalnya!" tiba-tiba Kabut Merana lontarkan kata kesanggupan yang membuat Suto Sinting berpaiing memandangnya.
Sambungnya iagi, "Aku tak tahu apakah aku bisa menyelamatkan bayi itu sampai di tangan keluarganya. Tapi jika seorang pendekar merasa keberatan mengawal mayat bayi itu, aku yang akan mengawalnya."
"Aku akan mengawai keselamatanmu saja," kati Suto kepada Kabut Merana.
Gadis itu cemberut angkuh, tap! Jubah Kapur tahu maksud ucapan Pendekar Mabuk. Maka mayat bayi itu pun diserahkan kepada Mandong.
"Bawalah pulang dan makamkan sebagaimana mestinya. Kau akan dikawai oieh Pendekar Mabuk.
"Tapi...."
"Jangan menolak kalau kau ingin awet hidup" sahut Jubah Kapur. Kemudian ia berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Sampaikan salamku kepada gurumu; si Gila Tuak. Kapan-kapan aku akan mengunjunginya di Jurang Lindu untuk meiepas kerinduan."
"Akan kusampaikan salammu itu, Jubah Kapur. Aku yakin Guru akan senang mendengar kabarmu dalam keadaan sehat seperti saat ini."
"Berangkatlah kalian, jangan biarkan mayat ini membusuk di perjalanan!"
"Boiehkah aku menunggang kuda. Eyang?" tanya Mandong.
"Boleh, asal jangan kuda yang menunggangimu!" jawab Jubah Kapur seenaknya, lalu tokoh tua itu segera ienyap. Blaab...! Sebenarnya ia melesat pergi dengan kecepatan tinggi, hingga mirip menghilang secara gaib.

***

\ 3 \

UNTUK mencapai Kesultanan Candrawita harus menyeberangi punggung Gunung Purwa. Sebenarnya jarak tersebut tidak terlalu jauh dengan tempat tergantungnya sang bayi. Tetapi seseorang bisa tersesat di dalam hutan punggung Gunung Purwa jika tidak tahu jalan yang seharusnya dilewati. Tak heran jika seseorang menempuh perjalanan dari kotapraja ke desa tempat tergantungnya bayi itu sampai dua hari lamanya. Itu dikarenakan orang tersebut tersesat di daiam hutan.
Bagi Mandong, jaian melintasi hutan itu sudah di luar kepala. Artinya sudah terlalu hafal karena hutan tersebut adalah satu-satunya jalur tersingkat menuju ke beberapa desa lainnya, termasuk jalan tersingkat menuju ke kerajaan Bumiloka, atau ke Kadipaten Madusari.
Biasanya perjalanan itu dapat ditempuh setengah hari, tapi agaknya kali ini waktu setengah hari tak cukup bagi para pembawa mayat bayi itu. Karena seperti yang dikatakan oleh si Jubah Kapur, ada beberapa orang yang menghendaki jantung bayi keturunan keluarga istana itu untuk kekuatan ilmu hitam mereka. Dengan begitu maka perjaianan mereka terhenti beberapa kali karena terhadang oleh orang-orang beraliran hitam.
Seperti kali ini, mereka terpaksa hentikan perjalanan karena datangnya angin topan dari arah depan mereka. Angin itu berhembus dengan sangat kencang dan menerbangkan beberapa pepohonan. Ada yang langsung tumbang, ada yang tercabut akarnya dan terbang ke mana-mana.
Suto Sinting berseru kepada Mandong agar turun dari kuda dan berlindung di balik batu tinggi yang mirip bukit kecii itu. Hembusan angin kencang yang membawa dedaunan sempat menerpa tubuh mereka, membuat pandangan mata mereka kabur. Deru suara angin dan gemuruhnya pohon tumbang bagai irama menjelang kiamat tiba.
"Ini bukan sembarang angin!" Suto Sinting terpaksa bicara keras untuk imbangi deru angin.
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Seseorang mengirimkan bencana ini untuk kita," seru Suto kepada Kabut Merana.
"Darimana mana kau tahu?!" sahut Mandong.
"Aku dapat rasakan hawa panas dari angin ini."
Kabut Merana pejamkan mata dan menempelkan telunjuk kanan kirinya ke pelipls. Tubuh gadis ini langsung gemetar dengan wajah kian memucat.
"Apa yang dilakukan si Kabut Merana itu?"
"Mungkinmelawan kekuatan angin kiriman ini! perhatikan dulu dia" sambil keduanya pandangi Kabut Merana.
Tiba-tiba kedua tangan gadis itu menyentak kedepan sambil serukan teriakan dan kakinya menghentak ke bumi satu kali.
Wuuurrrsss...!
Dari kedua tangannya keluar kiiatan sinar biru, seperti iidah-iidah petir yang berhamburan menyebar ke udara. Kilatan cahaya biru yang berkelok-kelok melesat ke sana-sini itu menimbulkan gemuruh panjang bagaikan suara langit runtuh dari sisi barat. Bumi pun terasa bergetar, makin lama semakin berguncang-guncang. Kedua tangan gadis itu tetap menengadah ke atas dengan kaki merendah sedikit. Kedua tangan yang ada di atas kepala itu juga masih pancarkan kilatan-kiiatan sinar biru yang makin memenuhi angkasa.
"Heeeaah...!" sentaknya sambii menggenggam seketika dan menarik kedua tangannya ke dada. Ia masih pejamkan mata, sedikit tundukkan wajah. Berdirinya menjadi lurus. Napasnya yang terengah engah mulai tampak mereda.
Suara gemuruh itu hilang dan menjadi sepi. Hembusan angin kencang berhenti, tinggai sisa dedaunan yang masih melayang-layang karena hembusan angin lirih. Mandong dan Suto Sinting masih diam, pandangi si gadis dengan sikap tenang.
"Dia berhasii melawan kekuatan topan kiriman itu," pikir Suto yang segera meneguk tuaknya. "Hebat juga simpanan gadis ini. Ilmu apa yang digunakan untuk meredakan angin sebesar tadi? Aku jadi ingin tahu siapa gurunya."
Angin yang mengamuk memang sudah reda. Alam memang sudah menjadi sepi, tinggai menikmati sisa reruntuhan pohon-pohonnya. Tapi mendadak sebelum mereka lanjutkan perjaianan, tiba-tiba muncul tokoh tua berambut putih rata sepanjang punggung. Tokoh berusia sekitar tujuh puluh tahun itu mengenakan jubah abu-abu dengan celana biru tua. Tubuhnya yang kurus kering itu mempunyai bentuk wajah yang sangar, mata yang iiar dan jari kuku runcing yang berwarna hitam, seperti cakar elang.
Suto Sinting dan Mandong tidak mengenali tokoh tua itu, tetapi agaknya Kabut Merana kenal dengan tokoh itu, sehingga Kabut Merana menyapanya lebih dulu.
"Tulang Naga, apa maksudmu mengirim bencana topan kepada kami?!"
"Aku hanya memberi pertanda kepada kalian, agar kalian tidak meremehkan kehadiranku dan tidak menghalangi niatku untuk dapatkan mayat bayi itu" Jawab Tulang Naga yang bersuara serak itu.
"Siapa orang ini?" bisik Suto Sinting kepada Kabut Merana.
"Penguasa Telaga Siiuman," jawab Kabut Merana. Dia termasuk musuh besar guruku."
"Siapa gurumu itu?"
"Guru Galak Gantung."
"OOhh.." Suto Sinting manggut-manggut, karenamerasa kenal dengan Galak Gantung yang juga merupakan sahabat itu, (Baca seriai Pendekar Mabuk dalam episode "Pusaka Bernyawa").
"Kabut Merana. aku tak mau buang-buang waktu.! Suruh orang bodoh pembawa mayat bayi itu agar menyerahkan mayat bayi itu padaku. Siapa berani menentangku akan kubuat raganya menjadi serpihan-serpihan kecil!"....

\ BERSAMBUNG \



INDEX SUTO SINTING
48.Manusia Pemusnah Raga --oo0oo-- 50.Kutukan Pelacur Tua


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers