Life is journey not a destinantion ...

Memburu Cinta

INDEX WISANG GENI
Bunga Talasari --oo0oo-- Tarung Untuk Cinta

WISANG GENI
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera

--↨֍¦ ¦֍↨--

Hari itu akhir dari bulan Asadha. Senja yang sejuk di lereng gunung Welirang. Prawesti masuk bilik tidur memberitahu Sekar dan Gayatri adanya serombongan orang datang. Bertiga mereka menuju beranda rumah, berdiri memandang ke kaki gunung. Seketika itu juga Gayatri tahu "Itu rombongan orangtuaku," katanya lirih. Jantungnya berdebar-debar.
Dua pendekar Lemah Tulis, Gajah Nila dan Gajah Lengar mendengar ucapan Gayatri. Keduanya merasakan kejanggalan melihat air muka perempuan itu muram padahal seharusnya gembira bertemu dengan orangtua dan keluarganya. Gayatri menoleh kepada dua lelaki itu, "Kangmas, mbakyu Sekar dan adik Westi, ada beberapa permohonanku kepada kalian." Dia menghirup udara dengan tarikan panjang, melepasnya perlahan, kemudian melanjutkan bicaranya, suaranya bergetar.
"Satu, apa pun yang terjadi kalian jangan bentrok dengan siapa pun dari rombongan itu. Mereka adalah keluargaku, kalian juga keluargaku, aku tak mau terjadi tarung.
"Dua, tujuan orangtuaku kemari adalah membawa aku pulang ke Himalaya dan aku tidak berani menentang keinginan mereka, aku harap kalian tidak ikut campur.
"Tiga, apa pun yang terjadi pada diriku, sampaikan pesan pada suamiku bahwa aku menyintainya sampai ajalku.
Katakan pada Geni cepat susul aku ke pelabuhan Jedung, jangan sampai terlambat, karena sesungguhnya aku tidak rela pulang ke Himalaya." Begitu teringat suaminya, Gayatri tak sanggup lagi membendung tangis.
"Aku sangat menyintainya"
Setelah mengutarakan permintaan dan pesannya, Gayatri tampak lemas bagaikan baru saja menyelesaikan pekerjaan yang sangat berat. Air mata masih membasahi pipinya, Gayatri berpegang pada pagar beranda. Sekar dan Prawesti memeluk, mengelus punggung dan bahu Gayatri. Mereka ikut menangis. Rombongan tamu makin mendekat.
Gayatri melepas diri dari pelukan dua sahabatnya. Dia menghapus dan membersihkan airmata di pipinya, memaksa senyum gembira Dia menoleh pada Sekar dan Prawesti.
"Jangan perlihatkan bahwa kita baru saja menangis." Lalu kepada Gajah Lengar, "Kangmasberdua ingat pesanku tadi, jikalau kangmas menyayangi aku, kangmas tak akan melupakan atau melanggar pesanku tadi." Ia tersenyum puas ketika Gajah Lengar dan Gajah Nila mengangguk mengiyakan.
Rombongan itu berhenti di depan rumah. Dua kereta kuda dan sembilan kuda tunggang. Gayatri setengah berlari menghampiri ayahnya Ia merunduk menyentuh kaki ayahnya Sang ayah memeluk sambil mengelus punggung dan mencium kepalanya Kemudian berkata dengan nada penuh kasih sayang dan rindu.
"Pergilah kepada ibumu, dia sangat merindukan kamu"
Dia menghampiri dan melakukan yang sama pada ibunya, menyentuh ujung kaki kemudian menghambur ke dalam pelukan ibunya. Dia memeluk erat ibunya. Tidak tertahankan lagi, dia menangis tersedu-sedu.
Sekar dan Prawesti masih berdiri terkesima menatap wajah Satyawati, tidak ada bedanya dengan Gayatri, sama cantik, kulit sama putih, seperti pinang dibelah dua. Bahkan tubuhnya pun sama tinggi dan sama langsing. Perbedaan mencolok hanya pada pengaruh usia. Satyawati merenggangkan pelukan, menatap wajah putrinya.
"Gayatri, kamu tampak sehat, malah agak gemuk, kau bahagia?" Dia menghapus airmata putrinya
"Iya ibu, aku bahagia, sangat bahagia." Gayatri menciumi wajah ibunya, dan berusaha tersenyum
"Eh pakaianmu itu, pakaian pendekar Jawa, iya?" Satyawati tersenyum Gayatri juga senyum malu-malu.
"Kamu pergilah jumpai kakak-kakakmu, mereka juga merindukan adiknya, si bontot yang kabur," kata ibunya
Dia beranjak menyalami semua keluarganya, kakak dan iparnya Tapi dia tidak mau memandang Wasudeva yang berdiri kaku memerhatikannya Dia menggandeng Susmita dan Ayeshak, dua kakak iparnya. Mereka bisik-bisik, "Kakak, apakah ayah sudah memberitahu apa yang akan dia lakukan padaku?"
Susmita menjawab, "Belum."
Lantas Ayeshak berbisik agak keras, "Kami berdua pasti akan membelamu, jangan khawatir adik ipar."
Berdiri di depan rumah Yudistira memandang sekeliling......
Pemandangan yang luar biasa. Dia takjub dan terpesona melihat keindahan danau dan air terjun. Mendadak saja, dia berlari-lari sambil bersiul. Siulannya keras melengking, gaungnya menggema di mana-mana. Ia berlarian ke danau, air terjun, mendaki tebing. Tanpa dia sadari, dia telah memperlihatkan kepandaiannya yang tinggi. Kakinya kelihatan tidak menyentuh tanah. Dia berlari di atas permukaan danau, langkahnya cepat dan ringan. Melihat tingkah laku ayahnya, Gayatri tertawa kecil, tanpa sadar ia menggumam, "Aneh, kelakuan ayah itu mirip yang dilakukan Wisang Geni."
Ibunya mendengar.
"Mirip? Apanya yang mirip?"
"Iya Bu, mirip sekali, ketika Wisang Geni sangat bergembira akan sesuatu kejadian, dia akan bersiul keras dan berlarian seperti orang kesurupan, persis seperti apa yang ayah lakukan. Bahkan sampai menyelam ke dalam danau. Ketika ia selesai dan masuk rumah, pakaiannya basah kuyup."
Satyawati memandang keliling, mencari-cari.
"Gayatri, mana suamimu, mengapa ia tidak keluar berkenalan?"
Gayatri merunduk. Ia berkata lirih, "Ia pergi ke gunung Bromo, mencari obat, katanya dalam waktu enam hari ia sudah akan kembali. Hari ini baru hari keempat."
"Siapa yang sakit, kamu sakit Gayatri?"
"Tidak ibu, aku tidak sakit," Gayatri menggeleng, tetap merunduk, tak berani menatap mata ibunya.
Didesak akhirnya Gayatri mengaku, bahwa Geni mencari jamu untuk penguat kandungan dan menambah kekuatan pada sang bayi Ibunya terkejut, lalu wajahnya gembira "Kamu hamil? Oh anak bodoh, mengapa tidak dari tadi kau katakan." Keduanya berpelukan. Mendadak seperti teringat sesuatu, Satyawati memegang tangan putrinya.
"Ibu pikir, sebaiknya kita rahasiakan dulu, jangan beritahu siapa pun, ayah atau kakakmu"
Selang beberapa saat kemudian Yudistira masuk ke dalam rumah. Pakaiannya basah kuyup, masing-masing tangannya menggenggam ikan yang cukup besar dan yang masih menggelepar. Satyawati tertawakecil melihat suaminya, "Benar juga katamu, memang mirip, ayahmu juga basah kuyup." Gayatri menundukkan kepala, tidak menjawab namun dalam hatinya ia tertawa.
Tampak Yudistira tertawa senang. Istrinya takjub, sebab belakangan ini, selama perjalanan ke tanah Jawa, dia jarang melihat suaminya tertawa.
"Pemandangan sangat indah.
Udara sejuk. Air danau dingin dan banyak ikan. Ini dia, aku tangkap dua ekor yang paling besar, biar Ayeshak yang memanggang." Wasudeva berkeliling rumah. Dia tadi melihat Gayatri.
Hatinya terbetot melihat perempuan itu yang begitu cantik, montok dan menggairahkan. Nafsu birahinya berkobar melihat lekuk tubuh dan lenggang Gayatri.
"Aku bisa gila memikirkan perempuan itu. Sekarang dia bahkan lebih cantik dan lebih montok. Aku harus dapatkan dia, suaminya harus kubunuh, harus!" Suara hatinya itu seperti bara apiyang makin membakar kebenciannya terhadap suami Gayatri.
"Bagaimana mungkin, lelaki lain bisa mendapatkan Gayatri yang begitu cantik, sungguh tidak adil. Ini tak boleh terjadi, aku harus merebutnya kembali."
Dia berkehling mencari-cari lelaki yang bernama Wisang Geni. Kata orang, rambut lelaki itu semuanya ubanan, putih keperakan. Dia melihat Gajah Lengar dan Gajah Nila serta beberapa murid lelaki, tak ada yang cocok. Ia menenangkan diri, tak perlu tergesa-gesa, pasti nanti akan ketemu lelaki itu.
"Sebaiknya sekarang aku melakukan pendekatan pada Gayatri," gumamnya.
Memasuki ruangan, dilihatnya Gayatri duduk berempat Satyawati, Susmita dan Ayeshak.
"Ibu mertua, aku ingin bicara dengan Gayatri di luar ruangan, boleh?" Pertanyaan Wasudeva itu setengah mendesak dan sangat mendadak membuat Satyawati gugup.
Sebelum ibunya menjawab, Gayatri mendahului dengan ketus, "Maaf, aku tidak boleh bicara dengan tuan, sebab aku sekarang sudah menjadi isteri Wisang Geni. Aku juga tak mau bicara dengan tuan, lagipula aku tak punya urusan dengan tuan."
Wajah Wasudeva merah seperu kepiting direbus. Ia marah dan malu "Aku perlu bicara dengan kamu, sebab tidak lama lagi kamu akan menjadi janda, dan aku akan menikah dengan kamu"
"Siapa bilang aku akan menjadi janda?"
"Aku! Aku memastikan kamu akan menjadi janda, karena aku akan membunuh Wisang Geni. Tidak ada yang bisa mencegah aku membunuh suamimu itu."
Gayatri menjawab dengan berani.
"Kamu tak akan ungkulan menghadapi suamiku, ilmu silatnya tinggi dan ia pendekar tanpa tandingan. Lagipula, aku hanya menikah satu kali dalam hidupku. Ada yang lebih penting lagi yang tuan harus tahu, aku hanya mencintai seorang lelaki dan dia adalah suamiku Wisang Geni."
Laki-laki itu menatap tajam, pandangannya penuh dendam dan amarah. Sesaat kemudian ia berbalik dan melangkah keluar kamar.
Dari ruangan dalam Yudistira muncul dengan tersenyum Ia senyum misterius. Rupanya ia mendengar seluruh pembicaraan.
"Gayatri, kamu membuat laki-laki itu marah." Dia memandang keempat wanita itu, "Malam nanti kita sekeluarga kumpul semua, istriku, anakku dan menantuku."
Malam itu saat Wisang Geni menggeluti tubuh Manohara di gunung Bromo, saat yang sama Gayatri gelisah berhadapan dengan ayahnya.
"Aku sangat menyintai anak-anakku. Barangkah aku terlalu berlebihan memanjakan kamu, sehingga kamu berani mencoreng arang di wajahku, berani mengotori nama dan kehormatanku. Gayatri, kau sudah kujodohkan dengan Wasudeva Lalu kau kabur ke tanah Jawa, kau kawin sembunyi tanpa restu orangtua. Kau kawin dengan lelaki dari golongan luar. Begitu banyak keburukan yang telah kaubuat, coba berikan alasanmu, ayah ingin tahu," katanya dengan sungguh- sungguh.
Gayatri pernah membayangkan suatu waktu nanti ia akan menghadapi saat-saat mencekam seperti malam ini. Saat di mana ia diadili dan hukuman ayahnya akan dijatuhkan. Ketika ia memutuskan kabur dari Himalaya, ia sadar hukumannya berat. Ketika ia memastikan menikah dengan Wisang Geni, ia juga tahu hukumannya akan lebih berat. Mungkin saja hukumannya adalah mati.
Tetapi ia telah menjatuhkan keputusannya, rela mati ketimbang menikah dengan Wasudeva yang telah menghamili kakaknya dan yang kemudian tidak mau bertanggungjawab. Ia tahu pasti dia akan dihukum. Tadinya ia pasrah, bahkan bertekad mengikuti jejak Manisha, bunuh diri. Tapi keadaan sudah berbeda dibanding saat tekad ia cetuskan. Sekarang ia telah merasakan nikmatnya cinta, bahagianya menyinta dan dicinta Wisang Geni. Bahkan dia kini hamil, ada bayi dalam kandungannya, buah dari percintaan dan kebahagiaannya.
Sekarang ini keinginan hidup bergejolak dalam dirinya. Ia ingin hidup lebih lama lagi bersama Geni. Dia ingin mencicipi kebahagiaan hidup lebih lama lagi, bahkan jika mungkin selama-lamanya.
"Aku tidak mau mati!" Tekadnya dalam hati
Dia mengumpulkan segenap keberaniannya, sesaat kemudian menjawab tegas, "Aku kabur dari Himalaya, karena aku tak mau kawin dengan Wasudeva, jikalau aku dipaksa kawin, lebih baik aku menyusul kakak Manisha, bunuh diri.
Aku senang bisa kabur, jadi aku tak perlu terjun dari tebing yang tinggi, bunuh diri, karena sebenarnya aku takut melakukannya."
Selanjutnya dia menceritakan asal muasal kisah perkenalannya dengan Wisang Geni. Semuanya. Tak ada yang ia tutup-tutupi. Dan perkenalan di gubuk reyot saat ia hendak diperkosa penjahat sampai pertemuan di gunung Argowayang yang berakhir dengan pernikahan. Tetapi dia tidak menceritakan malam di desa Gondang ketika Wisang Geni merenggut perawannya. Rahasia percintaan yang begtuu indah di malam itu disimpannya untuk diri sendiri.
Dia meyakinkan ayahnya bahwa keputusannya itu sangat tepat untuk dirinya sendiri.
"Ayah, dia sangat menyintai aku, dia rela melakukan apa saja demi aku, dia lelaki yang bertanggungjawab, dia menghargai aku sebagai wanita dan sebagai isteri, tetapi pada saatnya dia bisa tegas. Ia juga telah memenuhi syarat sumpahku, ilmu silatnya jauh lebih tinggi di atas aku, ia seorang suami idaman."
"Mengapa kamu tidak mau menikah dengan Wasudeva?"
Gayatri berpikir, kini saatnya dia berterusterang menceritakan kisah sedih Manisha, tentang Wasudeva menghamili kakaknya kemudian meninggalkan Manisha begitu saja tanpa niat bertanggungjawab. Itu sebabnya Manisha bunuh diri melompat dari tebing.
Tetapi ia belum sempat membuka mulut, Satyawati memotong pembicaraan. Putri kepala suku Namcha ini berbicara dalam bahasa Namcha. Cuma dia dan suaminya saja yang mengerti bahasa salah satu suku terbesar di gunung Bharwa di Timur Himalaya. Tak seorangpun di ruangan itu yang mengerti pembicaraan Satyawati dan suaminya, tidak juga Wasudeva yang sembunyi-sembunyi nguping di balik dinding.
Satyawati bicara dengan nada rendah, "Ada seseorang nguping di balik dinding, lagipula rahasia ini sebaiknya tidak diketahui oleh kedua putramu Laki-laki itu memang putra sahabatmu, tetapi tidak tahu bahwa putrimu yang tertua,
mati akibat ulah laki laki itu" Dia menatap suaminya yang mendengar dengan seksama, kemudian melanjutkan.
"Dia memerkosa putrimu, satu kali, dua kali. menjanjikan akan mengawini anakmu itu, putrimu jatuh cinta dan bersedia melakukan hubungan intim berulangkali, buntutnya hamil. Tetapi laki-laki itu ingkar janji, ia tidak datang melamae, dia bahkan menghilang. Makin hari perut Manisha makin besar, empat bulan hamil putrimu kemudian menceritakan seluruh kejadian padaku. Terus terang saja, aku tak berani melapor padamu, kamu tahu mengapa, sebab setiap aku membuka percakapan tentang laki-laki itu, kau selalu menjawab bahwa dia itu putra sahabatmu, dan harus diperlakukan istimewa."
"Tunggu!" Yudistira memotong penuturan isterinya.
"Waktu itu, aku memberitahu Manisha bahwa aku sudah menerima lamaran Mahesh dan segera merundingkan hari pernikahan.
Aku ingat wajah putriku pucat, tubuhnya gemetar. Itulah terakhir kali aku melihat wajahnya yang cantik. Esok harinya, aku menerima kabar buruk dia mati bunuh diri, terjun dari tebing." Dia berhenti sesaat lantas melanjutkan, "Aku pikir, ada sesuatu yang ganjil yang tidak aku ketahui. Kamu tahu-, beberapa hari sebelumMahesh datang melamar, aku memenuhi undangan Arjapura bertemu di suatu tempat, dia menjelaskan akan melamar Gayatri menjadi isteri Wasudeva, dan Manisha akan dijodohkan dengan Mahesh, putra sahabatnya. Pernikahan akan dirayakan bersama-sama."
Dia berhenti sejenak kemudian melanjutkan dengan mimik wajah yang keras.
"Sekarang ini aku bisa mereka-reka cerita selengkapnya, kira-kira begini, Wasudeva menghamili Manisha, setelah itu dia jatuh cinta pada Gayatri, ia batal mengawini Manisha, dia memaksa ayahnya melamar Gayatri dan menjodohkan Mahesh dengan Manisha. Putriku Manisha malu karenanya dia bunuh diri. Gayatri mengetahui keburukan lelaki itu, kabur ke tanah Jawa."
Melihat isterinya mengangguk tanda membenarkan ceritanya, Yudistira melanjutkan bicara, "Tetapi kulihat Wasudeva itu sangat menyintai Gayatri, buktinya dia masih mau mengawini Gayatri meski putri kita itu sudah menjadi isteri orang lain."
Isterinya menggelengkan kepala.
"Bukan lantaran menyintai Gayatri, lebih tepatnya dia ingin mewarisi ilmu silat andalanmu Atehai Zaminepar Kabehiyeh Chande Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), sekarang kamu terkejut kan?"
Melihat suaminya terdiam, Satyawati melanjutkan, "Ayahmu menceritakan ini padaku, dia berpesan agar aku dan putrimu waspada menjagamu. Katanya, kamu terlalu jujur dan percaya diri, kamu tak akan pernah percaya siapa pun yang memperingatkan adanya bahaya yang mengancam, sampai bahaya itu datang sendiri baru kamu percaya. Tetapi pada saat itu mungkin sudah terlambat, bahaya itu telah membunuhmu"
Yudistira berkata lirih, "Sebenarnya aku sudah tahu sebagian dari penuturanmu, aku tahu Wasudeva tidak layak menjadi suami Gayatri, terutama setelah aku pelajari sifat dan kelakuannya selama perjalanan, aku tahu ia memerkosa dan menganiaya wanita di tengah perjalanan. Tetapi persoalan Gayatri kabur dan kawin secara diam-diam, itu merupakan kesalahan tersendiri."
"Tetapi semua berpangkal pada kisah Wasudeva dan Manisha, itu yang membuat Gayatri terpaksa berbuat kesalahan. Aku mohon padamu, suamiku, ampunilah Gayatri, dia adalah belahan jiwaku."
Setelah pembicaraan dengan isterinya yang memakan waktu cukup lama, Yudistira menatap Gayatri.
"Aku bicara dengan ibumu dalam bahasa yang tidak kalian mengerti, karena memang tidak perlu kalian tahu. Sekarang ini aku belum tetapkan hukuman bagi Gayatri yang telah berbuat kesalahan besar." Dia menoleh pada dua putranya.
"Besok kita berangkat ke Jedung, jika ada perahu tujuan Malaka atau Puchet, kita langsung pulang. Besok pagi semua sudah harus siap. Satu hal penting, kalian semua bertanggungjawab jika Gayatri kabur lagi, aku tak mau hal itu terjadi. Gayatri akan dihukum setiba kita di perguruan Himalaya. Dan mengenai
laki-laki itu, dia harus membayar semua kesalahannya, aku tidak akan mengampuni orang yang telah menghina dan menganiaya anakku."
Tanpa sadar, Gayatri menyahut spontan, "Dia tidak bersalah, suamiku tidak bersalah. Ayah, kami menikah karena suka sama suka, dan aku rela menjadi isterinya." Selesai bicara, Gayatri merasa heran atas keberaniannya. Dari mana datangnya keberanian tadi?
Yudistira tersenyum misterius.
"Kamu tak mengerti apa yang ayah katakan." Dalam hatinya ia berkata, "Daki-laki yang kumaksud itu Wasudeva, dia harus membayar kesalahannya."
Sampai tengah malam Yudistira duduk menyendiri di tepi danau.
"Wasudeva harus membayar dosanya terhadap Manisha, mungkin aku akan bentrok dengan Arjapura, dan pasti banyak korban berjatuhan. Tetapi apa boleh buat Laki- laki itu tetap harus dihukum, dia telah melanggar kehormatan keluarga dan harga diriku. Tetapi, Wisang Geni, apa salahnya? Ia tak bersalah, ia menyintai Gayatri dan mereka kawin karena saling menyinta. Hanya sehebat apa ilmu silatnya? Ia cucu murid Suryajagad, ia Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa, pasti silatnya sangat unggul. Aku ingin menjajalnya. Apakah sebaiknya aku menunggu dia kembali dari Bromo?"
Semalaman itu Gayatri berada di bilik bersama ibu dan dua kakak iparnya.
"Ibu katakan kepada ayah, aku akan menyusul ke Jedung bersama suamiku, aku tak kan ingkar janji. Biarkan aku tetap di sini menanti suamiku."
Ibunya menggeleng kepala.
"Tidak bisa begitu putuku!
Sebenarnya ayahmu sudah melunak, jika didesak lagi dengan permintaan itu dia bisa berbalik keras dan kaku, sabarlah Gayatri, jika suamimu itu menyintaimu seperti katamu, dia pasti akan menyusul."
Sekembali dari danau, Yudistira didatangi Wasudeva yang mohon keberangkatan ditunda, dan mereka sebaiknya menanti Wisang Geni pulang. Karena dia ingin tarung sekaligus membunuh lelaki itu. Yudistira menolak.
"Esok, hari pertama bulan Srawana, ada perahu ke Puchet, berangkat hari lima bulan Srawana. Kita bisa tepat waktu tiba di Jedung, langsung pulang ke Himalaya. Kau ikut bersama kita. Tetapi aku peringatkan kamu, jangan kamu coba mengganggu wanita-wanita yang ada di rumah ini." Wasudeva terkejut, bertanya-tanya, apakah Yudistira tahu selama ini ia sering memerkosa wanita.
Esoknya, hari pertama bulan Srawana, fajar baru menyingsing, rombongan siap-siap berangkat. Gayatri memeluk Sekar dan Prawesti. Ketiganya menangis. Gayatri menangis di pundak Sekar.
"Mbakyu Sekar, ajak Geni cepat menyusul ke pelabuhan Jedung, waktu sangat sempit, satu hari saja terlambat maka aku sudah berangkat ke Himalaya."
Sekar tersedu-sedu mengiyakan.
"Aku tunggu dia di sini, kita pasti akan menyusulmu, secepatnya. Itu pasti adikku, jangan khawatir."
Saat itu tanpa setahu Gayatri dan Sekar yang masih berpelukan, Prawesti menghampiri Yudistira dan isterinya.
"Pendekar Himalaya yang kenamaan, kamu tidak pantas dan tidak adil jika menghukum putrimu Kalau kamu lakukan itu, maka kamu adalah seorang ayah yang tak punya tanggungjawab, ayah yang jahat, dan sedikit pun tidak menyayangi kemanusiaan."
Alis Yudistira berdiri. Ia menatap gadis cantik ini.
"Kamu siapa, berani lancang bicara padaku?"
"Aku orang kecil, tetapi jika kamu memang suka membunuh, kamu ambil nyawaku sebagai penukar hukuman Gayatri, karena aku lihat kamu ini seorang ayah yang haus darah."
Tubuh Yudistira gemetar, saking marahnya.
"Aku tanya, kamu siapa, apa hubunganmu dengan Wisang Geni?"
"Aku isteri Wisang Geni!"
Saat itu Gayatri dan Sekar sudah melihat apa yang dilakukan Prawesti.
"Gayatri lihat, itu Prawesti sedang bicara dengan ayahmu. Anak edan itu, apa yang dia lakukan?" Gayatri menggeleng kepala.
"Aku sudah berpesan padanya, jangan menentang ayahku. Tetapi dia melanggar pesanku.
Mbak, sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Melihat Yudistira memegang dahi, isterinya tahu suaminya sedang berpikir keras, memikirkan sesuatu yang pelik. Tak sabar Satyawati bertanya kepada Prawesti.
"Jadi kamu itu isteri Wisang Geni, dan Gayatri juga isterinya, begitu maksudmu?"
Diam-diam di dalam hati Prawesti memaki Wisang Geni. Berita ini pasti membangkitkan amarah orangtua Gayatri. Ia menjawab lirih, "Aku pikir kakak Gayatri sudah memberitahu kalian. Tetapi biarlah, karena aku sudah terlanjur akan kuceritakan seluruhnya. Pendekar Himalaya yang terhormat, anak menantumu yang namanya Wisang Geni itu, dia punya tiga isteri. Nomor satu, Sekar, itu orangnya," sambil ia menunjuk arah Sekar.
Ia melanjutkan, "Nomor dua, kakak Gayatri. Nomor tiga, aku, Prawesti. Mungkin di masa datang, dia akan menambah isteri lagi, sebab sekarang ini Sekar dan Gayatri sedang hamil. Itu sebab dia pergi ke gunung Bromo, mencari obat penguat kandungan. Dia ingin banyak anak. Kamu akan menjadi kakek dari banyak cucu, pendekar Himalaya."
Yudistira merasa darahnya seperti mendidih. Bagaimana mungkin ada cerita gila macam ini. Tanpa sadar, ia berteriak, keras dan membahana.
"Gayatriiiiiiii!"
Teriakan itu dilandasi tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya memantul menggema di tebing dan hutan. Semua orang terkejut. Prawesti kaget, mundur sampai di dekat Sekar dan Gayatri. Dalam hati Gayatri berteriak, "Mati aku sekarang!"
Satyawati menggenggam tangan suaminya. Tangan itu gemetar. Sesaat kemudian Yudistira diam, menenangkan diri.
"Ini benar-benar gila, kisah ini lebih gila dari cerita dan kisah yang pernah kudengar. Gayatri, kamu kawin dengan lelaki yang sudah beristeri?"
Kalimat terakhir ini dia kirim lewat tenaga dalam sehingga hanya Gayatri sendiri yang mendengarnya. Gayatri mengirim suara juga dengan tenaga serupa.
"Maafkan aku, ayah, aku jatuh cinta padanya karena dia sangat mencintaiku, dia sangat kasmaran padaku!"
Yudistira tertawa.
"Baik kita lihat bersama nanti, apakah dia benar-benar mencintaimu dan apakah dia sungguh pendekar sejati, kuharap saja kata-katamu benar dan suamimu itu menyusul kita ke Jedung. Kita tunggu dia di Jedung."

* * *



Pada malam di penghujung bulan Asadha, saat Gayatri sedang menghadapi pertemuan keluarga di rumahnya di lereng Welirang, saat yang sama Wisang Geni bertengkar dengan Manohara di dalam goa kecil itu.
"Kau bisa saja menawan aku di sini dengan tidak mengantarkan aku keluar dari hutan kamboja dan padang ilalang, itu urusanmu. Tetapi aku tetap harus berangkat besok pagi, isteriku sedang menanti aku."
Manohara mendekap Geni.
"Aku tak pernah berpikir akan menawanmu di sini, aku bukan perempuan murahan yang licik. Aku akan mengantarmu keluar tetapi aku akan membuntuti sampai gunung Welirang. Aku akan mohon, kalau perlu mengemis pada Sekar dan Gayatri, aku hanya ingin bersamamu sampai hari tua."
Geni menolak, alasannya ia perlu menghemat waktu, jalan cepat agar tidak terlambat.
"Apanya yang terlambat," tukas gadis cantik itu.
"Malam kemarin, kamu mengatakan tidak terburu-buru dan masih ada sisa waktu dua malam lagi, tetapi sekarang ini kamu bilang akan terlambat. Tidak perlu beralasan katakan saja kalau kamu sudah bosan, kalau kau cuma pura-pura menyintai dan menyukai aku, kamu kan sudah puas selama dua hari meniduri aku, merayu dan merayu, tak pernah berhenti."
Geni diam saja. Manohara semakin liar.
"Aku pikir Sekar dan Gayatri pasti mau menerima aku sebagai selirmu. Tak ada wanita yang sanggup menjadi isterimu, melayanimu sendirian, dengan kekuatan dan nafsumu yang tidak normal itu. Kamu perlu paling tidak empat atau lima selir selain dua istrimu itu. Sekarang baru Prawesti, masih ada lowongan tiga selir lagi.
Kenapa? Kamu takut pada Gayatri, takut pada Sekar? Lucu sekali, pendekar tanpa tandingan di tanah Jawa ini takut pada isteri-isterinya."
Wisang Geni menerkam gadis itu.
"Mulutmu tajam. Kamu ini memang kucing liar." Ia memeluk Manohara, menepuk- nepuk bokongnya macam orangtua yang memarahi dan memukuli pantat anaknya yang nakal.
"Benar apa kataku, kamu sudah terangsang lagi, kan," sambil berkata demikian, Manohara berontak dan mengecup mulut lelaki itu Malam itu, Geni kembali menggeluti tubuh molek Manohara, sementara di tempat lain Gayatri menangis dalam pelukan Satyawati berulang kak menyebut nama Geni, sampai ia tertidur. Dalam tidurnya Gayatri bermimpi berpelukan dengan Geni di sebuah goa kecil di tengah kebun bunga di istana keraton Tumapel.
Esok pagi, ketika fajar menyingsing di hari pertama bulan Srawana, pada saat Gayatri pamitan dengan keluarga Gajah Lengar dan Gajah Nila serta murid-murid Lemah Tulis lainnya, saat yang sama di kaki gunung Bromo, Wisang Geni terbangun dari tidur lelap.
Manohara masih terbaring bugil di sampingnya. Geni teringat isterinya. Ia harus berangkat sekarang ini. Samar- samar ia melihat cahaya fajar menerobos sela pintu goa. Ia mengenakan pakaian. Manohara terjaga.
"Aku ikut." Suara gadis itu tegas.
Manohara cepat mengenakan pakaian.
"Aku ikut, aku tak mau ditinggal. Aku ikut, ke neraka pun aku ikut, kamu tak punya hak mencegah aku."
Geni tak bisa lagi menghalangi tekad si gadis.
"Bagaimana dengan gurumu, kamu kan harus pamitan dengan dia."
Manohara tertawa genit.
"Itu tandanya kamu setuju, begitu kan suamiku?"
"Bukan suami, kamu bukan isteriku tetapi selir."
"Kamu salah, Geni. Aku memang selir, tetapi kau tetap
suamiku."
"Sudah tak perlu berdebat lagi, aku tanya tentang gurumu"
Manohara mendekat dan memeluk Geni.
"Kau sudah menyatakan menyintai, menyukai aku dan selalu bernafsu jika aku di dekatmu Itu saja sudah cukup bagiku, aku tak perlu yang lain, belakangan nanti baru aku pamitan pada guru, pasti ia tidak akan marah."
Keduanya bergegas berangkat. Begitu keluar dari kawasan ilalang, keduanya bersamplokan jalan dengan tiga perempuan. Kalandara, Kemara dan Dumilah. Tiga perempuan itu kaget.
Geni tersenyum, agak malu. Manohara melompat mendekati gurunya, memeluk dan berbisik di telinganya, "Ibu, aku sudah menjadi isteri Wisang Geni, dua malam dia meniduri aku, sekarang aku ikut dengannya menemui Sekar dan Gayatri, dua isterinya itu."
Gurunya itu diam, agak bingung.
"Apakah kamu sudah pikir matang dan masak, bisakah kamu mendapatkan cintanya, apakah dia bukannya hanya mempermainkan kamu, nak?"
"Memang aku tidak punya pengalaman dalam bercinta tetapi aku tahu dia tidak mempermainkan aku, jangan khawatir, aku bisa membawa diri, ibu" Kalandara memberi hormat, "Tuan pendekar, pertarungan di desa Bangsal telah mengangkat namamu sebagai pendekar tanpa tandingan, kamu yang nomor satu di tanah Jawa ini.
Ilmu silatku jauh di bawah kehebatanmu, aku tak akan bisa menuntutmu jika semisal kamu mempermainkan Manohara, tetapi sebagai pendekar terhormat aku mengharap kamu memelihara Manohara dengan baik. Jangan sia-siakan dia. Dia anak yang baik, aku mengambilnya sejak bayi, tidak tahu siapa ayah ibunya, ia sudah seperti anakku sendiri, aku sangat menyayanginya, berat bagiku berpisah dengannya."
Lalu dengan agak malu-malu dia memandang Geni dan bertanya, "Kapan-kapan kalau aku kangen kepadanya, boleh aku berkunjung?"
Wisang Geni membungkuk hormat "Sekarang ini ibu adalah ibu mertuaku, jadi kapan saja ibu mau berkunjung aku persilahkan, tapi jika boleh aku memberi saran, jauhi permusuhan dengan siapa pun dan jauhi keraton yang mana pun juga. Tetapi bagaimanapun juga semua terserah padamu. Sekarang aku mohon pamit, sekalian mengajak Manohara."
Gadis itu pamitan dengan kedua kakak perguruan dan ibu angkatnya kemudian berlari menyusul Geni. Sesampainya di desa kecil itu, Geni menyisipkan uang ke pemilik kandang dan mengambil si Hitam "Kuda bagus, ini pasti kuda unggulan, perkasa seperti tuannya," kata Manohara tersenyum menggoda.
"Kamu naiklah, biar aku berlari," kata Geni.
Perjalanan dilakukan tanpa henti, istirahat sejenak hanya untuk makan siang. Waktu senja mereka tiba di desa kecil dekat kali Bejik. Manohara memohon agar istirahat "Pahaku lecet."
Geni setuju karena perjalanan sudah lebih dari separuh. Jika besok pagi berangkat, mungkin malamnya sudah tiba di Welirang Keduanya bermalam di rumah penduduk. Manohara mengeluh, tubuhnya pegaL Ia hendak keluar kamar, Geni menegur.
"Mau ke mana?" Agak malu gadis itu menjawab mencari tukang pijit. Geni merasa lucu.
"Memang kamu kenapa, capek?"
Gadis itu menggeleng. Geni menggapai, "Kenapa kamu tidak minta tolong padaku?"
Manohara menyahut cepat, "Tidak boleh, mestinya aku memijit kamu, kamu kan suamiku jadi aku yang harus melayanimu"
Geni menarik tangannya.
"Kubantu dengan tenaga dalam." Ia menyuruh Manohara membuka baju atasnya, lalu menyalurkan tenaga Wiwaha melalui punggung si gadis.
Manohara merasa tenaga panas merasuk ke semua bagian tubuh. Keringat merembes dari pori-pori si gadis, menebar aroma wangi bunga. Selesai pengobatan, hari sudah malam. Di luar gelap. Gadis itu berpakaian, lalu keluar, "Aku mencari makanan."
Esoknya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka berdua menunggang si hitam. Karena pahanya lecet, gadis itu duduk menyamping di depan Geni. Ia bercerita, terkadang kisah humor membuat Geni tertawa. Suatu saat ia menoleh memandang lekat wajah Geni.
"Sebenarnya kamu tidak terlalu tampan, tetapi ada sesuatu dalam tubuhmu yang memancar daya tarik. Pertama lihat kamu, aku langsung jatuh cinta.
Ketika kamu memegang gemas bokongku, aku tahu kamu juga tertarik padaku. Sejak itu aku mengkhayalketemu denganmu Aku sepatutnya berterimakasih pada Dewi Obat sehingga kamu pergi mencari bunga talasari, tanpa itu mungkin seumur hidup aku tak pernah ketemu kamu, tak pernah bisa menjadi isterimu Sekarang ini aku bahagia." Ia memeluk Geni, "Aku menyintaimu"
Geni memperlambat lari si hitam. Manohara menggumam, "Kamu terangsang, sayang?" Geni mengangguk. Manohara menuntun tangan Geni ke buah dadanya.
"Aku juga, Geni." Dia menunjuk.
"Di semak itu saja."
Geni menunjuk ke depan, "Di depan tidak jauh lagi, ada gubuk tua."
Ketika Geni bercinta dengan Manohara di gubuk tua dekat kaki gunung Welirang, pada saat yang sama Gayatri dan rombongan tiba di desa Tangkur yang jaraknya setengah hari perjalanan ke pelabuhan Jedung.
Gayatri merenung.
"Oh Geni kamu ada di mana, saat ini kamu pasti di tengah jalan dan malam nanti tiba di rumah. Esok pagi atau mungkin malam ini juga kamu berangkat ke Jedung. Jikalau kita dengan perjalanan lamban bisa tiga hari, kamu mungkin bisa dua hari, berarti tiga hari lagi baru kamu tiba di Jedung."
Geni masih berpelukan dengan Manohara. Dari gubuk itu ke rumah di lereng Welirang, sekitar setengah hari.
"Jika berangkat sekarang, kita sampai di rumah pada malam hari. Kamu capek?"
Manohara memang merasa capek, meskipun sudah dibantu dengan tenaga dalam. Perjalanan berkuda serta pergumulan dengan Geni, membuat ia merasa letih. Tetapi ia tak mau mengecewakan kekasihnya.
"Aku tidak terlalu capek, ayo kita berangkat biar cepat sampai dan istirahat di rumah."
Malam hari, Geni dan Manohara tiba di rumah. Ia memanggil nama Sekar dan Gayatri. Namun yang keluar menjemput Sekar, Prawesti bersama Gajah Lengar, Gajah Nila dan isteri mereka.
"Mana Gayatri?" Geni termenung mendengar cerita Sekar.
"Jadi waktu aku bercinta dengan Manohara, pada saat itu Gayatri menghadapi saat kritis diadili ayahnya. Dia menderita saat aku asyik bercinta, ini benar- benar gila, aku memang gila," katanya dalam hati Tak lupa Geni memperkenalkan Manohara kepada Sekar dan Prawesti. Sebenarnya ketiganya sudah saling kenal. Tidak diduga mereka kini berkumpul satu rumah sebagai isteri sang pendekar Wisang Geni.
"Sekarang juga aku berangkat ke Jedung, sendiri, karena aku akan melakukan perjalanan cepat, jika kalian ikut maka hanya memperlambat perjalanan."
Tetapi Sekar memaksa ikut, "Aku tak tahu apa yang menghadangmu di perjalanan, karenanya aku harus ikut. Biar cepat, kita menunggang si hitam dan si putih. Prawesti dan Manohara menyusul dengan kuda lain."
Prawesti menyahut, "Baik, kami berdua menyusul." Dia mengajak Manohara mempersiapkan perbekalan. Tak lama kemudian, setelah menerima buntalan pakaian dan bekal makanan, Geni dan Sekar berangkat.
Sepasang kuda perkasa itu berlari tak kenal lelah. Geni bahkan memaksa perjalanan malam hari. Meskipun gelap namun ia masih mengenal jalanan dari Welirang menuju Dayu. Keesokannya mereka sudah melewati desa Dayu. Mereka memacu kudanya terus. Malam harinya tiba di desa Pandan, mereka istirahat di rumah penduduk.
Meskipun letih namun Geni lebih mengutamakan Sekar yang sedang hamil. Dia membantu dengan penyaluran tenaga dalam memulihkan tenaga isterinya. Selesai membantu isterinya, Geni mengambil posisi semedi.
"Kita istirahat sekadarnya, tengah malam nanti kita melanjutkan perjalanan," kata Geni sambil semedi menata tenaga dalamnya.
Selesai semedi Geni melihat isterinya sedang berbaring memunggungi dia. Sesaat dia bimbang dan ragu. Dia merasa tidak tega membangunkan Sekar tetapi pada sisi lain dia ingin secepatnya tiba di Jedung. Dia menggamit lengan isterinya.
"Sekar, kita berangkat sekarang."
"Kamu berangkat sekarang saja tetapi sendirian. Aku menyusul besok pagi atau besok siang." Suara Sekar lirih dan dingin. Samar-samar Geni menangkap suara sesegukan dan isak tangis yang ditahan-tahan.
"Sekar, ada apa, mengapa kamu menangis? Kamu letih?" Geni memegang lengan isterinya. Tetapi Sekar menepis tangan suaminya, dia berkata ketus, "Jangan pura-pura, aku lebih suka kalau kamu berterus terang, itu lebih baik bagiku meskipun misalnya terasa pahit."
"Aku tidak mengerti apa persoalannya, mengapa kamu mendadak marah seperti ini?" tanya Geni lirih.
Perempuan itu membalik tubuh. Matanya menatap dengan penuh kemarahan. Ada api di dalam mata yang indah itu.
"Terimakasih kamu sudah membantu aku dengan tenagamu yang hebat, tenagaku sudah pulih, aku sudah siap menunggang kuda sehari semalam lagi bahkan kalau perlu dua hari dua malam sampai aku mati di atas punggung kuda."
"Aku tahu kamu marah, tetapi apa salahku?"
Kata-kata Geni itu menambah kemarahan Sekar.
"Aku tahu, Geni. Kamu membantu aku bukan karena sayang dan cinta, tetapi supaya aku bisa menunggang kuda sehari semalam lagi, iya kan. Supaya kamu cepat bertemu dengan Gayatri-muyang sangat kau cintai itu."
Wisang Geni bingung. Dia tahu isterinya marah. Tidak biasanya Sekar marah. Berarti ada sesuatu yang telah menyinggung perasaannya yang membuat dia marah.
"Iya kamu benar, kita melakukan perjalanan cepat ke Jedung supaya tidak terlambat sebab kita harus mencegah jangan sampai Gayatri dibawa pulang ayahnya ke Himalaya."
Mendengar itu, Sekar meledak dalam tangis dan marah.
"Kamu telah membohongi aku, selama ini aku mempercayai kamu, percaya bahwa kamu mencintai aku. Aku mohon padamu Geni, jangan bohongi aku dengan rayuan manismu itu. Katakan dengan jujur, kamu tidak mencintai aku, kamu hanya kasmaran pada tubuhku. Katakan, tak usah ragu, sebab aku tak akan berubah, tetap saja mencintai kamu sebagaimana adanya cintaku yang kemarin. Cintaku tetap sama seperukemarin maupun hari ini. Cintaku tak akan luntur., tapi tolong jangan bohongi aku, jangan menyakiti aku dengan membohongi aku."
Geni memegang tangan isterinya, menciumi tangan yang jari-jarinya lentik.
"Aku tidak pernah bohong, aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, itu hal yang benar, bukan rayuan atau kebohongan. Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu, mengatakan aku membohongi kamu?"
Dia menarik tangannya dari genggaman suaminya.
"Aku tak mau pergi sekarang, aku tak mau berdebat, aku ngantuk dan mau tidur. Kalau kamu mau pergi, pergilah, tinggalkan aku di sini, biar aku mati ditelan macan jangan urusi aku, kamu pergilah ke Jedung urus isterimu itu!"
Pada akhirnya Geni mengerti mengapa Sekar mendadak marah.
"Oh dia cemburu," katanya dalam hati. Geni bergerak sebat, tangannya menotok urat di pundak isterinya. Karena tak menduga akan diserang, Sekar tak bisa berkelit.
Seandainya mengetahui akan diserang pun Sekar tidak akan mampu mengelak. Dua tangannya lemas, tetapi kakunya masih bertenaga. Dia hendak bergerak, tetapi tangan Geni sudah menotok pangkal pahanya. Sekar rubuh di dipan.
"Geni, mau apa kamu?"
"Apa lagi, ya mau memeluk kamu."
"Aku tak mau, tidak mau!"
"Sekarang, ceritakan padaku, mengapa kamu marah, kamu cemburu?"
"Aku tidak cemburu Gayatri adalah adik dan sahabatku. Tetapi aku marah karena merasa kamu bohongi. Tenagamu mumpuni, kamu mampu melakukan perjalanan gila seperti ini. Tetapi aku tidak sekuat kamu, apalagi dalam keadaan hamil. Tetapi kamu tidak memikirkan aku, apakah aku kuat atau letih atau mau mati, kamu hanya memikirkan Gayatri. Hanya Gayatri yang ada di dalam benakmu Padahal kamu sering berbisik di telingaku, Oh Sekar, aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, kamu lebih istimewa dari Gayatri atau perempuan mana pun. Itu rayuan beracun. Aku hanya mohon padamu, sejak malam ini, jangan merayuku lagi, jika perlu tubuhku, kamu hanya perlu berteriak Sekar kemari, aku ingin bercinta denganmu! Maka aku akan datang, buka pakaian dan membiarkan kamu meniduri aku. Bagiku itu lebih jelas dan lebih jujur."
Wisang Geni tertawa geli. Sekar melotot merasa disepelekan. Dia hendak bicara tetapi tangan Geni cepat membungkam mulurnya. Sekar meronta dan menggigit tangan yang membungkam mulurnya. Geni membiarkan. Mata Sekar melotot tetapi tidak tega menyakiti suaminya, akhirnya gigitan itu mengendur.
"Maafkan aku, Sekar. Aku sungguh goblok, aku tidak berpikir waras. Seharusnya aku memberimu waktu istirahat, aku berlaku tidak pantas memaksa kamu berkuda sehari semalaman. Maafkan aku, isteriku." Dia melihat mata isterinya berbinar, ada rasa gembira. Geni melanjutkan, "Sekar, aku tidak pernah membohongi kamu Aku berkata jujur bahwa aku hanya mencintaimu seorang," Geni menarik tangannya dari mulut isterinya.
"Kamu bohong, bohong!" Sekar berteriak. Sesaat kemudian dia melanjutkan lirih, "Kamu mencintai Gayatri. Adapun aku, kamu hanya butuh tubuhku, butuh cara aku melayanimu dalam bercinta."
Wisang Geni memeluk dan menciumi leher isterinya yang berkeringat lalu tangannya yang kekar memegang dua pipi perempuan cantik itu.
"Kamu dengar Sekar, jangan keras kepala, aku hanya mencintai kamu seorang!"
"Jangan bohong, katakan saja, kamu mencintai Gayatri dan kamu akan mati apabila tidak bertemu dengannya di Jedung, kamu juga akan mati jika dia pergike Himalaya, dan kamu akan mengajak semua orang-orangmu pergi ke Himalaya mengejar cintamu yang hilang itu. Katakan saja Geni, jangan khawatir, aku tidak akan berubah, aku tetap mencintaimu," Sekar bicara berapi-api meski dengan nada yang rendah dan lirih.
Lelaki itu diam. Pikirannya bekerja.
"Jika Gayatri dibawa pulang ke Himalaya karena aku terlambat datang, apakah aku akan menyusul dia ke Himalaya? Mengajak semua isteriku?
Atau pergi sendirian? Bagaimana jika sesampai di Jedung, Gayatri sudah dihukum dan tewas misalnya, apa yang akan aku lakukan?"
Melihat suaminya diam, Sekar beranggapan semua tuduhannya benar. Sekar memeluk suaminya, amarahnya reda.
"Geni, aku tetap mencintaimu, aku akan ikut kamu, ke mana pun, ke Himalaya pun aku ikut. Tetapi kamu tak perlu merayuku dan membohongi aku, jujur saja, aku tak akan marah. Aku hanya marah jika aku dibohongi."
Geni duduk di pembaringan, menatap mata indah isterinya.
Mendengar ucapan Sekar yang legowo itu, Geni semakin mencintainya.
"Sekar, aku sudah lama berpikir tentang diriku dan hubunganku dengan kamu, Wulan, Gayatri dan perempuan lain. Sekarang baru aku sadar, bahwa sesungguhnya cintaku hanya satu, aku tidak bisa mencintai dua perempuan sekaligus. Aku hanya mencintai satu perempuan, perempuan lain cuma nafsu birahi!" Sekar memotong cepat, "Dia, Gayatri! Iya kan?"
Seperti tidak mendengar apa yang dikatakan isterinya, Geni melanjutkan dengan mimik serius.
"Pertanyaanmu tadi, jikalau Gayatri dibawa paksa ayahnya, apakah aku akan menyusul ke Himalaya? Aku bisa menjawabnya sekarang ini karena aku sudah tahu siapa sebenarnya perempuan yang paling kucinta " Sekar menatap suaminya, diam menanti ucapan selanjutnya.
"Bagiku tidak penting, apakah Gayatri pulang ke Himalaya atau tetap di sini. Juga tidak penting apakah aku akan menyusul ke Himalaya atau tidak. Aku bisa saja tidak menyusul Gayatri ke Himalaya, hal itu tidak besar artinya bagiku. Artinya aku bisa hidup meskipun tanpa Gayatri, seperti halnya Wulan, aku bisa hidup setelah Wulan mati. Terhadap Gayatri, Wulan, Prawesti dan semua perempuan, aku hanya ingin meniduri mereka, aku tidak mencintai mereka, aku hanya bernafsu. Jika mereka pergi, aku bisa mendapatkan perempuan lain. Tak ada bedanya." Geni menatap isterinya dengan sinar mata yang memancarkan sejuta makna cinta.
"Tetapi terhadap perempuan bernama Sekar, aku nicimuiaiiiya, aku tidak mau kehilangan dia, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku menjalani hidup tanpa dia di sisiku." Geni memeluk dan mencium isterinya. Sekar bereaksi dengan liar.
"Geni, benarkah apa yang kudengar, benarkah kamu mencintai aku seperti itu?"
"Terhadapmu aku mencinta dan bernafsu. Kepada Gayatri dan perempuan lain, hanya nafsu birahi belaka."
"Apakah itu rayuanmu lagi, ataukah ungkapan jujur? Sejak kapan kamu mengetahui perbedaan itu?"
"Aku jujur, Sekar. Sejak di hutan cemara, aku sudah mencintaimu Tapi selama ini kupikir aku mencintai kalian semua. Pertanyaanmu tadi telah menggugah hati dan pikiranku. Seandainya kamu, yang dibawa lari ke Himalaya, aku tidak akan ragu dan akan segera menyusulmu apa pun resikonya. Tetapi jika Gayatri, aku masih akan mempertimbangkan resiko untung ruginya, ini adalah perasaanku yang paling jujur. Aku ingin cepat sampai di Jedung karena ingin mencegah keberangkatan Gayatri, itu tanggungjawabku sebagai suami" Sekar menciumi wajah dan leher suaminya.
"Geni, aku merasa aku adalah perempuan paling beruntung di kolong langit, paling bahagia. Aku mencintaimu, suamiku, dengan segenap raga dan jiwaku" Keduanya larut dalam bhahinya cinta. Selesai bercinta, Sekar berbisik, "Aku bahagia suamiku." Dia memijit dan mengelus-elus tubuh Geni sampai suaminya tertidur pulas. Keesokan harinya, tubuh suami isteri itu bugar kembali. Sebelum matahari terbit, keduanya sudah berada di atas kuda tunggangan.

* * *



INDEX WISANG GENI
Bunga Talasari --oo0oo-- Tarung Untuk Cinta
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.