Goa Cinta di Tebing Cinta
tanztj
September 20, 2019
INDEX WISANG GENI | |
Selamat Tinggal --oo0oo-- Damai Itu Indah |
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera
--↨֍¦ ¦֍↨--
Sekar dan Gayatri menyukai perhiasan emas itu, tampak gembira seperti anak kecil memperoleh mainan. Geni berterimakasih melihat kegembiraan dua isterinya. Ia menulis di balik kulit itu. Terimakasih atas hadiah paduka, isteriku sangat gembira. Ia memberikan surat tersebut kepada dua lelaki itu. Kepada Gayatri, Sekar dan Prawesti, dia berkata, "Sungguh kebetulan mendapat hadiah itu, aku memang sedang membutuhkan kuda."
Usai makan, Gayatri duduk di dekat Geni. Prawesti membereskan sisa makanan. Gayatri menghela napas, memandang Geni dengan rasa cinta.
"Geni, ada sesuatu yang aku harus katakan padamu Aku tidak suka kamu melepas jabatan ketua dengan alasan aku tidak disukai di sini. Aku malu, karena orang pikir aku melapor dan mengadu kepadamu, mereka akan menuduhku jahat Padahal aku tak pernah tersinggung apalagi marah, aku menerimanya dengan hati terbuka. Kupikir, lambat laun sikap mereka akan melunak. Perbuatan mereka tidak melukai aku, lantas mengapa harus melukai kamu, padahal aku tak pernah melapor."
"Memang kamu tidak mengadu padaku, tetapi aku melihat dengan mataku sendiri, ketika kamu masuk dapur, mereka menyingkir keluar dari dapur sambil meludah. Aku mendengar mereka bergunjing di belakangmu. Tentu saja aku sangat tersinggung, karena mereka tidak menyukai isteriku, aturannya kan jelas jika menghormati aku sebagai ketua patutlah jika mereka berbaik hati pada isteri si ketua," kata Geni kesal.
"Ketika kamu menyatakan mundur dari jabatan ketua, aku sungguh terkejut. Kamu pernah mengatakan niat itu padaku beberapa waktu lalu, tetapi kupikir hanya ungkapan rasa kesal. Sekarang sudah terjadi, dan pasti mereka menduga disebabkan kehadiranku sebagai isteri, aku yang mengadu domba, apalagi aku adalah cucu dari musuh Eyang Sepuh Suryajagad. Lengkap sudah citra buruk atas diriku, Gayatri penyebab utama Wisang Geni mundur dari jabatan ketua Lemah Tulis."
"Mereka anak buahku, jika tidak menghargai isteriku, itu hak mereka, tetapi aku juga bisa marah. Seharusnya mereka percaya padaku, itu yang disebut setia kepada pemimpin.
Lagipula aku tidak melakukan sesuatuyang melanggar aturan perguruan. Nah sekarang apa alasan mereka tidak memercayai aku? Jika percaya padaku, mereka harus bisa berteman dengan isteri si ketua," jawab Geni dengan nada tinggi.
"Geni, jangan marah, aku bukannya menentang kamu, melainkan mengutarakan isi hatiku. Aku di sini sebatangkara, aku tak punya siapa-siapa hanya kamu seorang." Gayatri memeluk suaminya, merangkul erat, ia mengecup bibir suaminya.
Prawesti dan Sekar diam-diam melangkah keluar rumah.
Mereka tidak cemburu. Sudah ada kesepakatan tak boleh ada cemburu malahan kadang-kadang memberi kesempatan temannya berduaan dengan Geni.
Sedang Prawesti pernah berjanji bahwa ia akan memberi lebih banyak waktu kepada Sekar dan Gayatri bercinta dengan Geni. Melihat dua perempuan itu keluar rumah, Geni memeluk gemas Gayatri. Saat berikutnya dua kekasih ini larut dalam permainan cinta.
Siang berganti senja, matahari mulai doyong ke Barat. Dua insan itu masih bergelut dalam api asmara Gayatri merebahkan kepala di dada Geni. Ia mendengar degup jantung kekasihnya Geni mengelus-elus rambut Gayatri.
"Kau cantik, hangat, mesra dan mahir bercinta, padahal aku tahu persis kamu masih perawan artinya belum pernah dijamah laki-laki, lantas dari mana kamu pelajari cara bercinta yang begitu memikat?"
Gayatri tertawa......
"Aku belajar dari kamu"
"Tetapi aku tak pernah mengajari kamu"
"Aku mempelajari apa yang kau suka kemudian dari situ aku memikirkan cara untuk memberi kepuasan kepadamu. Mudah kan?" katanya sambil membelai dan mengelus bulu dada suaminya.
"Kamu cerdas, itulah yang membuat aku sangat menyintaimu, lebih dari apa pun di kolong langit ini." Geni berbisik di telinga kekasihnya.
"Kamu lebih hebat dari Sekar dan Westi, lebih cantik, tubuhmu sempurna, caramu bercinta lebih merangsang, aku tidak akan pernah bosan menikmati tubuhmu" Kata-kata ini juga sering dia ucapkan di telinga Sekar.
"Oh Geni, kekasihku, hanya kamu yang kucintai, aku hanya hidup untuk memuaskan dirimu. Nikmatilah tubuhku sepuas- puasnya, karena semakin kamu puas, semakin aku bahagia.
Aku ingin sisa hidupku yang dua bulan ini kita nikmati sepuas- puasnya."
"Tak usah kau sebut-sebut sisa hidupmu tinggal dua bulan, tak mungkin itu terjadi, kita berdua akan hidup lama, seperti kataku, kita menyepi dan hidup bersama anak-anak kita."
Perempuan itu mengalihkan pembicaraan.
"Geni apa alasan sebenarnya kamu mundur itu? Apakah benar kamu bosan dengan pertarungan, jenuh dengan perkelahian di rimba persilatan ini?"
Geni mendekap isterinya.
"Aku tak akan pernah katakan ini pada orang lain. Aku sakit hati karena pada akhirnya aku tahu orang-orang di sekitarku hanya butuh aku sebagai pelindung untuk menghadapi musuh, aku merasa sebagai petarung untuk kepentingan mereka. Tarung ini tak akan pernah berhenti, bisa sepanjang hidupku. Mereka tidak tulus padaku, mungkin yang tulus padaku, hanya Gajah Lengar dan Gajah Nila. Keduanya murid ayahku, mereka mencintai ayahku, mereka menyayangiku dengan tulus. Kamu ingat waktu Gajah Lengar siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu Jika Sekar terlambat sesaat, dia akan mati lebih dulu setelah itu baru kamuyang mari Ia tidak mengenalmu, tetapi ia menyayangiku maka ia juga menyayangi isteriku, tanpa pamrih." Gayatri mengangguk karena dia menyaksikan sendiri sepak terjang Gajah Lengar.
Sudah dua hari sejak Wisang Geni melepas jabatan ketua.
Suasana Lemah Tulis masih muram. Semua murid dilanda kebingungan. Mereka tidak bisa menyembunyikan kenyataan belum ada seorang murid pun yang mumpuni menjadi ketua. Hanya dua yang layak, Padeksa dan Gajah Waiu. Namun kedua sepuh itu menolak, dengan alasan usia sudah lanjut.
Padeksa dan Gajah Watu belum menentukan sikap. Malam itu, keduanya berembuk.
"Tak ada jalan lain, kita harus membujuk Wisang Geni, kalau perlu mengemis kepadanya, ini kan untuk kemajuan Lemah Tulis, kita tak boleh membiarkan Lemah Tulis yang sudah maju pesat ini kembali merosot," kata Gajah Watu
Keduanya menuju rumah Geni. Lelaki itu sedang bercanda dengan tiga isterinya. Gajah Watu membuka percakapan, minta Geni membatalkan niatnya. Namun Geni bersikukuh tetap mundur.
"Aku tak bisa menjilat ludah kembali."
Padeksa menoleh kepada Gayatri dengan air muka muram.
Orang tua itu berkata dengan suara rendah.
"Gayatri aku minta maaf atas nama semua murid jika perlakuan terhadapmu telah menyinggung perasaanmu."
"Tidak perlu begitu kakek yang budiman, aku tidak pernah tersinggung, aku tidak marah, semua itu aku anggap biasa." Gayatri bicara dengan kepala merunduk dan suara yang lirih.
Orangtua itu memandang Gayatri bergantian Wisang Geni.
"Gayatri, kamu bantu melunakkan hati suamimu"
Gayatri tetap merunduk.
"Aku tidak berani lancang terhadap suamiku. Sejak mulai dewasa, aku diajar untuk patuh kepada ayah, setelah kawin, maka harus patuh dan setia melayani suami seperti pelayan dengan majikan." Semua diam. Sekar beringsut mendekati Geni dan berbisik di telinga. Geni batuk kecil lalu menggeleng-geleng kepala.
"Sekar membujuk aku agar menerima permintaan guru, tapi guru maafkan aku, mohon beribu ampun, aku tak sanggup menjadi ketua. Sesungguhnya sekarang ini guru berdua yang layak memimpin Lemah Tulis. Pasti perguruan akan lebih maju."
Padeksa berkata dengan nada tinggi, "Kamu keras kepala, apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu bisa jadi begini hebat karena telah dibesarkan oleh Lemah Tulis?"
"Lebih tepat lagi, aku menjadi besar karena dibesarkan guru. Dan sekarang aku harus membalas jasa. Begitu kan maksud guru?" Geni bicara dengan nada datar tanpa emosi. Tetapi dari air mukanya orang bisa menangkap bahwa dia merasa kecewa dan getir.
Dua orang tua itu terpaku di tempat duduk. Geni melanjutkan, "Aku sudah melewati banyak pertarungan dengan nyawaku di ujung maut, semua kupertaruhkan untuk Lemah Tulis. Tolong guru memahami, aku tak sanggup lagi, aku bosan, capek, aku ingin sendiri, ingin menyepi. Aku akan selesaikan pertarungan lawan pendekar Cina. Setelah itu jika aku selamat dari pertarungan itu dan jika aku masih hidup, ijinkan aku pergi, aku mohon guru, jika memang masih ada setetes kasih sayangmu padaku."
Padeksa melihat mata murid dan cucu angkatnya itu berkaca-kaca. Ia terharu, ia bisa merasakan yang dialami Geni. Semua pendekar pada akhirnya akan dibebani perasaan seperti itu. Ia akhirnya legowo, menghargai keputusan Geni.
"Baik, tetapi kamu masih harus membantu jika Lemah Tulis butuh bantuanmu, dan kamu berjanji akan melatih murid- murid nantinya."
"Terimakasih, kakek. Aku berjanji bahwa aku masih menjadi bagian dari Lemah Tulis. Aku pasti akan membantu perguruanku ini, aku tetap membuka pintu menerima murid yang kau kirim belajar padaku. Besok, aku mengajak kukang Gajah Lengar, Gajah Nila dan beberapa murid lain membantuku membangun rumah."
* * *
Warok Brantas, lelaki berusia empatpuluhan, tubuhnya tidak tinggi tetapi kekar berotot. Kumis dan janggutnya lebat, juga bulu-bulu dadanya. Pakaiannya hitam dengan bagian depan dada telanjang memperlihatkan dada yang bidang. Di sekitarnya lima isteri dan beberapa gundik sibuk melayani.
Warok hidup macam raja, ia memang penguasa perguruan Brantas. Dengan anak murid yang mencapai ratusan orang, tidak heran jika perairan kait Brantas dan kali Porong berada dalam kekuasaannya.
Semua angkutan air, perahu kecil sampai perahu layar besar adalah milik Warok. Siapa saja yang menggunakan jasa perjalanan air harus mendapat pengawalan dari anak murid Brantas. Tentu saja dengan imbalan membayar jasa.
Sesungguhnya penguasa tunggal perguruan itu adalah ayah Warok, julukannya Manyar Edan. Lelaki berusia enampuluhan, pendekar liar dan aneh. Dia sudah lama menghilang dari rimba persilatan. Dia yang membangun perguruan Brantas dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Dia punya banyak isteri dan selir, anaknya berjumlah sebelas, semuanya menguasai ilmu silat kelas satu.
Beberapa tahun lalu ia menunjuk Warok sebagai pemimpin perguruan dan menegaskan aturan keras. Tak boleh ada sengketa di antara sesama saudara, melainkan harus saling membantu. Jika ada yang mengkhianati persaudaraan, akan dihukum mati. Tak ada ampun bagi pengkhianat. Putra Manyar yang tertua, Sampurna dihukum mati, dibunuh dengan tangan Manyar sendiri, lantaran memberontak hendak merampas kursi ketua dari tangan Warok. Manyar Edan tidak cuma memiliki banyak putra, tetapi juga murid yang ia didik langsung. Jumlahnya sama, sebelas.
Mereka ini, sepuluh putra dan sebelas murid utama, ditambah lagi dengan tujuh isteri Manyar adalah orang-orang penting dalam aturan perguruan di bawah pimpinan Warok Brantas sebagai ketua.
Malam hari, di rumah atas air, tempat kediaman Warok Brantas, semua orang penting berkumpul. Duapuluh delapan pendekar kelas satu. Warok Brantas dengan suara serak kasar menjelaskan adanya tantangan dari pendekar Cina. Tidak hanya perguruan Brantas, rombongan pendekar Cina itu menantang semua pendekar yang punya nama besar di tanah Jawa. Termasuk dua perguruan besar lainnya, Mahameru dan Lemah Tulis. Tempat tarung juga sudah ditentukan di desa Bangsal.
Sehari setelah menerima berita tantangan, Warok menugaskan Belut Ireng dan Prabowo melakukan penyelidikan. Prabowo adalah saudara bungsu Warok, sedangkan Belut Ireng salah seorang murid pintar Manyar Edan. Malam itu semua orang penting perguruan Brantas duduk mendengar laporan Prabowo dan Belut Ireng.
"Rombongan Cina itu jumlahnya sebelas, tujuh pria dan empat wanita. Ketuanya, Ciu Tan, tampaknya ingin balas dendam karena adik perguruannya, dibunuh Wisang Geni di pertarungan bukit Penanggungan. Mereka semua pendekar hebat yang di daratan Cina sudah bernama besar."
Secara bergantian Belut Ireng dan Prabowo menceritakan secara rinci peta kekuatan para pendekar Cina, seperti si kembar Mok dengan golok bersatupadu, Li Moy belalang beracun dan Sian Hwa Pendekar Pedang Gurun Gobi.
Mendengar ini, semua pendekar Brantas mengerutkan kening, bertanya-tanya apa maksud tantangan itu.
"Mereka ingin menjajal orang-orang tanah Jawa, mau mempermalukan pendekar negeri ini," tukas Warok marah. Pada akhir pertemuan Warok Brantas setuju siasat yang dikemukakan salah seorang ibu tirinya, selirnya Manyar Edan.
"Ketua tidak perlu maju, sebaiknya salah seorang dari kita yang tarung duluan, dan kita harus memilih lawan yang paling ringan."
Dua murid utama Manyar Edan ditugaskan mencari tahu ilmu silat para pendekar Cina, siapa paling kuat, siapa paling lemah, "Cepat kalian bekerja dan kembali membawa kabar menggembirakan," kata Warok.
Diam-diam Warok Brantas mengumpat pendekar Cina. Apa maunya mereka melibatkan dirinya, selama ini ia tak pernah bentrok dengan mereka. Ketika terjadi pertarungan di bukit Penanggungan, ia bahkan tidak hadir. Dari cerita beberapa saudaranya yang hadir, Warok mengetahui para pendekar Cina itu memiliki kepandaian silat tinggi.
"Jika dua tahun lalu, Demung Pragola, Antaboga, Sagotra, Sang Pamegat dan Macukunda saja bisa dikalahkan, apalagi sekarang ini dengan kekuatan sebelas orang. Pasti para pendekar Cina yang datang kali ini lebih lihai dibanding yang lalu. Aku jelas tak mungkin bisa disejajarkan, aku masih kalah dibanding Macukunda, Sagotra dan Demung Pragola. Bagaimana cara supaya aku bisa lolos dari kekalahan?"
* * *
Rumah itu sangat besar dengan pekarangan luas. Itulah rumah Demung Pragola, juga markas perguruan Daridrayang hampir semua muridnya hidup sebagai pengemis. Orang tua berusia lebih separuh abad itu adalah ketua perguruan. Malam itu ia berkumpul dengan para pentolan perguruan membicarakan tantangan para pendekar Cina.
Demung Pragola, duduk bersila di tilam. Wajahnya teduh dan sangat wibawa. Jenggot dan kumisnya menyatu, putih panjang. Tubuhnya tegap, tinggi. Matanya dingin dan tajam Menatap matanya seperti memandang sumur yang kedalamannya tidak terukur. Itu tanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi
Ia menghela nafas kemudian berkata, suaranya serak dan kasar.
"Aku tidak pernah menyangka, setelah lebih dari satu tahun berlalu, para pendekar Cina datang lagi. Dulu itu di bukit Penanggungan terjadi pertarungan hebat, lima pendekar tanah Jawa ditantang lima pendekar negeri Cina."
Dia melanjutkan cerita. Dalam pertarungan itu, empat pendekar tanah Jawa sudah kalah. Demung Pragola dikalahkan Liong Kam, Antaboga dan Sang Pamegat tumbang oleh Pak Beng, Pendekar Merapi, Sagotra dikalahkan jago nomor satu Cina, Sam Hong. Pertarungan terakhir, pendeta Macukunda sudah didesak oleh jago nomor dua Cina, Sin Thong. Jika Macukunda kalah, maka kubu tanah Jawa dinyatakan kalah.
Sebab sebelum pertandingan disepakati perjanjian bahwa satu kubu dinyatakan kalah jika lima pendekarnya kalah semua. Saat itu empat pendekar tanah Jawa sudah kalah, sementara di kubu Cina hanya seorang yang kalah yakni Kok Bun.
Pada saat Macukunda terdesak hebat oleh Sin Thong, mendadak Wisang Geni menerobos gelanggang dan membuat kekacauan. Ketua Lemah Tulis yang masih muda itu memaksa diri untuk ikut tarung. Macukunda keluar gelanggang digantikan Geni yang dengan ilmu dahsyat menghajar Sin Thong muntah darah, golok pendekar Cina itu ditekuk patah menjadi beberapa potong. Geni kemudian mengalahkan Tangan Salju Pak Beng. Ia kemudian menantang Sam Hong, si jago nomor satu. Pertarungan itu sangat dahsyat, Geni akhirnya memukul mati Sam Hong meski ia sendiri luka parah.
Pertarungan selesai, kubu Cina kalah, mereka pulang membawa malu. Gengsi tanah Jawa diselamatkan Wisang Geni. Sejak-hari itu, nama Wisang Geni berkibar sebagai pendekar paling jago di tanah Jawa. Orang memberinya gelar Pendekar Tanah Jawa.
Hampir semua pendekar Daridra mengetahui kisah pertarungan di Penanggungan. Namun sebagian lain tidak sempat menyaksikan, hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut. Peristiwa itu sempat menjadi bahan cerita menarik di rimba persilatan selama dua tahun dan tentu saja yang paling dipuji dan diagulkan adalah Wisang Geni. Tanpa kehadirannya pasti pendekar tanah Jawa akan kalah dan dipermalukan lawannya.
Itu sebab Demung Pragola terkejut ketika ia menerima tantangan dari sebelas pendekar Cina. Jika mereka datang lagi jauh-jauh dari Cina untuk menantang tarung, sudah pasti membawa serta pendekar yang paling tangguh. Sebelas orang pendekar, suatu jumlah yang besar.
"Lantas siapa saja yang sudah ditantang mereka, apakah termasuk Macukunda, Wisang Geni, Pamegat juga Sagotra? Apakah pendekar negeri ini mau datang mempertaruhkan nama mereka? Bagaimana jika tidak seorang pun yang hadir nanti?" Pertanyaan ini menusuk pikirannya, tanpa dia mampu menjawabnya.
Teringat kekalahannya dari Liong Kam waktu itu, Demung Pragola mengepalkan tangannya. Kebetulan Liong Kam termasuk di antara sebelas orang itu.
"Aku jadi penasaran, selama lebih dari satu tahun aku berlatih, aku ingin menjajal sampai di mana kemajuanku. Kebetulan lawan yang pernah mengalahkan aku dulu, Liong Kam akan hadir. Aku akan tantang dia," ucap Demung Pragola dengan suara bergetar.
Ia teringat bagaimana malunya dia dikalahkan jurus pedang Liong Kam Ia sulit melupakan kekalahan itu, karena kejadiannya disaksikan ratusan pendekar lain.
"Masih ada sisa waktu duapuluh hari, aku akan melatih irnaga, hiar lebih segar." Salah seorang yang hadir, Sardula, tokoh terkemuka yang lihai ilmu silat dan terkenal cerdas, memberi hormat.
"Ketua Demung, aku pikir, kita perlu memastikan semua pendekar terkemuka negeri ini hadir dan membela gengsi tanah Jawa. Kita sebar semua murid ke semua penjuru mengundang para pendekar terutama Wisang Geni, Macukunda, Sagotra, Grajagan, Pamegat, Manyar Edan, Manjangan Puguh dan lain- lain."
* * *
Di rumah sewaan di desa Bangsal, Ciu Tan dan kawan- kawannya berbincang mengenai pertarungan mendatang. Selama dua bulan berkelana ke seluruh pelosok tanah Jawa, Ciu Tan dan beberapa temannya telah memperoleh gambaran jelas peta kependekaran di tanah Jawa. Ada banyak perguruan namun tiga paling berbobot, Lemah Tulis, Mahameru dan Brantas, selain itu ada beberapa pendekar yang tidak terikat suatu perguruan pun.
"Semakin banyak pendekar lihai yang hadir, semakin bagus buat kita, kemenangan terasa lebih nikmat Huuh, aku sudah tidak sabar lagi menanti hari pertarungan," kata Ciu Tan geram Ia tak bisa meredakan api dendam terhadap Wisang Geni. Selama ini ia tidak berdiam saja di desa Bangsal. Ia sering bepergian mencari berita dan pengalaman sehingga ia mengetahui nama Wisang Geni adalah pendekar yang paling berkibar di negeri ini. Di kalangan pendekar, Geni bahkan sudah dinobatkan sebagai Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa. Selama ini Wisang Geni tak punya tandingan.
Ciu Tan sudah menyaksikan sepak terjang Geni bertarung lawan K alandara dan tiga muridnya. Empat pendekar wanita itu tak berdaya, Geni mempermainkan dan mempermalukan mereka. Ciu Tan juga menyaksikan kehebatan Geni di gunung Argowayang ketika menghajar mati Lembu Agra dan beberapa begundalnya, termasuk pertarungannya yang hebat lawan Lembu Ampai.
Pak Beng menuturkan bagaimana ia dikalahkan Geni dua tahun lalu. Ia dikenal dengan tenaga racun dingin. Jika pukulannya mengena maka korban akan menderita kedinginan sebelum tewas. Tetapi Wisang Geni justru melayaninya dengan adu pukulan dingin, ia kalah, muntah darah dan nyaris tewas.
"Aku sudah memperdalam dan melatih racun dingin ini selama dua tahun, tetapi ketika aku melihat kepandaian orang itu, terus terang aku terkejut. Tidak kusangka ia maju begitu pesat, kupikir aku sudah maju pesat, tetapi Wisang Geni maju jauh lebih pesat lagi. Huaaah, rasanya aku tak mungkin bisa membalas sakit hati dua tahun lalu," kata Pak Beng kesal.
Pendapat Sin Thong pun tidak berbeda. Ia pernah menelan pil pahit, goloknya dirampas dan ia terluka muntah darah. Ia hampir tak percaya melihatkebolehan Wisang Geni dalam tarung di gunung Argowayang.
"Ia sulit dikalahkan, tetapi jika kita ingin menang maka ia harus bisa disingkirkan, sebab begitu Wisang Geni kalah maka semangat pendekar lain akan runtuh dan mudah bagi kita untuk mengalahkan mereka semua."
Ciu Tan termenung. Umu kepandaiannya tidak berbeda jauh dengan teman-temannya. Dua tahun lalu Pak Beng dan Sin Thong dikalahkan Wisang Geni. Kalah secara telak. Bahkan adik seperguruannya, Sam Hong, yang dia tahu cukup ting gi ilmu silatnya, juga kalah bahkan mati. Menurut Pak Beng dan Sin Thong, sekarang ini kepandaian Geni maju pesat Keduanya merasa mustahil bisa mengalahkan Wisang Geni.
Sebelas orang itu diam. Masing-masing dengan pikiran sendiri. Sekonyong-konyong Siauw Tong memecah kesunyian.
"Situasi tidak menggembirakan, bahkan terasa sangat sulit, tetapi bukannya kita tak punya harapan menang. Harapan menang selalu ada tetapi harus menggunakan strategi matang. Bahkan jika perlu kita tidak usah malu-malu menggunakan cara yang tidak terhormat"
Agak penasaran Sian Hwa, Pendekar Pedang dari Gurun Gobi menanyakan maksud lelaki itu menyebut cara yang tidak terhormat Siauw Tong yang terkenal cerdas menjelaskan, bahwa jika menggunakan cara terhormat artinya pertarungan satu lawan satu, perkelahian bersih tanpa menggunakan senjata rahasia atau senjata beracun.
"Maksudku, kita tak perlu bicarakan persyaratan terhormat itu, sehingga dalam perkelahian jika diperlukan kita bisa menggunakan senjata rahasia atau senjata beracun, mereka tidak akan bisa menyalahkan kita karena hal itu tak pernah dibicarakan di awal."
Siauw Tong melihat berkeliling. Semua diam, tidak ada tanggapan berarti semuanya setuju. Ia menjelaskan strateginya dengan cermat.
"Paling penting, kita tegaskan sebelas lawan sebelas, dan pendekar yang sudah kalah tidak boleh naik panggung lagi. Pihak mana yang sebelas pendekarnya sudah kalah semua, pihak itu yang kalah.
Dengan demikian, maka kita harus bisa mengalahkan semua sepuluh pendekar itu. Aku berani pastikan bahwa Wisang Geni akan naik panggung sebagai orang terakhir. Dengan demikian Wisang Geni akan kita gilir tanpa harus istirahat Setahuku, pendekar itu tak per i ul i tarung menggunakan senjata, kita manfaatkan kesombongan dia itu, kita justru menggunakan senjata yang ada racunnya, kita siapkan senjata rahasia. Aku yakin Wisang Geni, sehebat apa pun kepandaiannya, tak akan lolos dari kematian."
Semua pendekar diam. Rencana Siauw Tong nyaris sempurna. Kata ahli perang, suatu perencanaan yang sempurna ibarat sudah merebut separuh kemenangan.
"Tinggal kita tentukan siapa-siapa yang maju duluan dan siapa-siapa yang harus dia lawan, hal ini juga sangat menentukan menang kalahnya kita," lanjut Siauw Tong.
* * *
Perguruan Mahameru terletak di kaki gunung Mahameru, sebelah selatan pegunungan Semeru Senja itu suasana di balairung agak riuh. Sebagian besar murid berkumpul, hanya murid yang masih bertugas berjaga atau bekerja di dapur yang tidak hadir. Mereka yang hadir saling pandang penuh tanda-tanya, tidak mengerti apa yang akan diumumkan ketuanya, pendeta Macukunda. Ketika ketua muncul seketika juga suasana hening.
Pendeta Macukunda duduk didampingi saudara perguruannya, Antasena, Bragalba, Rawaja, Matangkis. Lima orang ini duduk bersila, memandang puluhan murid yang duduk berkumpul.
Diantara lima tokoh tua Mahameru hanya Macukunda yang seorang pendeta. Macukunda memecah keheningan, "Dengarkan, sepuluh hari lagi, aku akan ke desa Bangsal menghadiri pertarungan menghadapi sebelas pendekar Cina. Orang-orang seberang itu telah menantang seluruh pendekar negeri ini untuk tarung, sebelas lawan sebelas. Aku sebenarnya tak ingin tarung lagi, tetapi demi membela negeriku, tanah airku, aku harus ikut, ini merupakan darmaku. Aku sudah tua dan aku tidak tahu, apakah aku akan mati atau tetap hidup dalam pertarungan itu. Tetapi hari ini aku akan mengangkat adik Antasena sebagai ketua Mahameru" Terdengar suara bisik-bisik di kalangan murid. Namun empat tetua yang duduk di samping ketua, tampak biasa. Rupanya sebelum itu lima orang itu sudah berunding dan sepakat dengan semua keputusan ketuanya.
Macukunda melanjutkan, "Sebenarnya memang sudah saatnya Antasena maju sebagai ketua, ia lebih muda dari kami berempat, ia cerdas dan bijaksana, ia berilmu tinggi, ia sudah menguasai jurus andalan Sasra Ludira dengan sempurna dan lebih baik dari kami semua. Keberangkatanku ke pertarungan itu bukan suatu alasan pergantian ketua ini. Baik, aku selamat atau mati, Antasena tetap sebagal ketua. Jika aku selamat, aku kembali ke Mahameru dan menyepi. Sebaliknya bila aku mati, kalian sempurnakan jasadku, dan tak boleh seorang pun membalas dendam. Kemarin kami berlima sudah berunding, aku akan didampingi adik Matangkis, muridku Minasih, tiga murid utama Jokonang, Setawastra dan Sawitri serta sepuluh murid lapis dua. Semuanya tidak ikut bertarung, kecuali tenaganya dibutuhkan. Hanya adik Matangkis yang boleh tarung. Isteri Setawastra, Rorowangi karena sedang hamil, jadi tak boleh ikut."
Dia menghirup nafas panjang, matanya menatap ke atas.
"Pertarungan di bukit Penanggungan telah mempermalukan aku, aku sudah hampir kalah malah sebenarnya aku sudah dikalahkan Sin Thong. Mendadak datang Wisang Geni yang mengacau. Ia berhasil mengambil alih semua pertarungan, mengalahkan Sin Thong, Pak Beng termasuk si jago nomor satu Sam Hong. Aku tak perlu malu mengakui kehebatan Wisang Geni, anak muda itu telah membawa Lemah Tulis dari nasib terpuruk menjadi harum, bahkan kini sudah sangat terkenal, murid-muridnya berkelana menjadi penolong kaum tertindas."
Ia melanjutkan dengan bersemangat, "Wisang Geni sebagai orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ternyata bisa membawa diri, tidak sombong, tidak semena-mena, ia menghormati orang yang lebih tua. Aku mau, aku ingin suatu hari kelak, ada seorang atau lebih, murid Mahameru yang berkepandaian tinggi dan perilaku mulia."
Hari itu upacara pengangkatan Antasena sebagai ketua Mahameru berlangsung tertib dan sederhana. Tak ada reaksi berlebihan di kalangan murid. Tradisi dan peraturan Mahameru menetapkan seorang guru melatih secara bergilir, sehingga tak pernah ada murid dilatih khusus seorang guru. Para ketua melatih murid lapis satu dan lapis satu melatih lapis dua dan lapis tiga.
Setelah hari pengangkatan, Macukunda menyepi berlatih silat. Adik perguruannya termasuk Antasena bergantian menjadi lawan tanding. Ia menekuni jurus andalan Sasra Ludira. Jurus ini sudah didalami Macukunda sejak kekalahan dari Sin Thong. Ia berlatih keras meningkatkan kualitas jurus hebat ini. Jurus ini mengutamakan kedalaman tenaga batin sehingga cepat menemukan kelemahan lawan untuk dijadikan sasaran serangan. Dalam cerita Mahabrata Sasra Ludira adalah nama pusaka yang direbut naga kowara, ular sakti, yang menerobos sembunyi di tubuh Prabu Destarata sehingga bisa tepat memilih Dewi Gandari sebagai isteri.
Macukunda juga mendalami jurus Kadharmesta (Kebajikan) dan Amijilakna (Hasil upaya). Dua jurus ini diambil dari sifat Gereh (Guntur) dan Sedung (Badai) saling dukung mendukung. Suatu serangan lawan yang ganas bagaikan guntur dan badai, akan luluh jika dihadapi dengan Kebajikan, selanjutnya serangan balik menggunakan Amijilakna ibarat amuk naga kowara.
Dalam sisa waktu sepuluh hari Macukunda berlatih dan tenggelam dalam ilmu silat. Baginya, inilah darma seorang pendekar untuk tanah airnya. Sekarang ini ia tak punya beban apa pun di dunia. Ia telah menobatkan Antasena sebagaiketua, sehingga tak perlu lagi khawatir kelangsungan Mahameru. Ia tak punya keluarga. Ia kini merasa bebas. Ia akan bertarung hanya karena ingin melaksanakan darma. Mati dalam tugas darma bakti adalah kehormatan, menang pun suatu kehormatan.
* * *
Kabar pertarungan antara para pendekar tanah Jawa lawan pendekar Cina di desa Bangsal itu sampai juga ke Tumapel dan Kediri. Tarung mempertaruhkan gengsi tanah Jawa, menjadi bahan gunjingan di sudut-sudut paling rahasia kedua kerajaan itu.
Di Tumapel, Raja Sang Mapanji Seminingrat alias Ranggawuni dan permaisuri Waning Hyun sangat tertarik mendengarnya. Begitu pun Raja Tohjaya dari keraton Kediri. Berita itu membuat dua penguasa tertinggi Kediri dan Tumapel mengirim wakilnya yang paling mumpuni.
Tumapel mengirim Panji Patipati yang dijuluki Sang Pamegat didampingi beberapa jagoan dari 18 pendekar pengawal Raja Tumapel yakni Dwi, Catur, Dasa, Rewawelas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Siki. Sementara dari kerajaan Kediri, Raja Tohjaya tidak mengutus Pranaraja sang penasehat yang konon ilmu silatnya sangat digjaya. Raja mengutus ketua Sinelir, Senopati Samba si Pedang Hitam bersama delapan anggota Sinelir lainnya. Para jago dari kerajaan Tumapel dan Kediri juga melakukan persiapan matang, siapa tahu akan terlibat tarung.
---ooo0dw0ooo---
Gunung Welirang letaknya sebelah utara gunung Arjuno.
Hutan padat dan lebat merambah seluruh bagian lereng gunung. Hanya lereng bagian timur yang pernah dijamah manusia. Ada jalan setapak namun yang sudah nyaris hilang tertutup semak belukar. Jalan itu menuju ke hutan kecil yang pepohonannya tidak terlalu padat Setelah melewati hutan kecil itu, tampak pemandangan luas. Air terjun dari tebing yang tinggi mencurah ke danau yang cukup besar. Agak jauh dari air terjun, terdapat tebing terjal Ada sepotong bagian tebing, mencuat ke luar sehingga memayungi sebidang tanah di bawahnya. Tanah yang tidak terlalu luas itu terlindung dari curah hujan. Di tanah itu Wisang Geni dan rombongan berhenti setelah menempuh dua hari perjalanan dari Lemah Tulis. Wisang Geni, Sekar, Gayatri dan Prawesti akan menetap.
Sedang Gajah Lengar dan Gajah Nila yang didampingi masing- masing isterinya bersama enam murid pria dan dua murid wanita hanya membantu mendirikan rumah, setelah itu mereka akan kembali ke Lemah Tulis.
Pemandangan alam sekitar lereng timur itu sangat indah. Tampak air terjun dan pepohonan mengelilingi danau. Puncak gunung Welirang kebiru-biruan menjulang tinggi dibungkus kabut dan awan putih. Udara sejuk. Gayatri terpesona.
"Geni, tempat ini luar biasa indah, mengingatkan akan kampungku di lereng Himalaya. Kamu pandai memilih tempat, aku pasti betah hidup di sini."
Wisang Geni, Sekar, Gayatri, Prawesti, Gajah Lengar dan Gajah Nila berdiri di tanah kosong itu. Semak belukar dan pepohonan kecil sedang dibersihkan oleh murid-murid Lemah Tulis. Gayatri menunjuk arah tebing.
"Aku mau rumahku terlindung dan aman dari gangguan, misalnya, hujan. Rumah sudah pasti aman dari curah hujan karena terlindung oleh tebing. Tetapi lantai rumah harus tinggi dan di tepian sebelah barat harus dibendung dengan bebatuan, agar air hujan yang turun mengalir dari atas gunung tidak merembes ke dalam rumah."
Gayatri bersama Sekar mengatur semuanya dengan teliti. Bahkan ia memikirkan tempat strategis, menentukan bagian depan rumah sedemikian rupa sehingga penghuni rumah bisa memandang lepas ke daerah sekitar.
"Jika ada tamu tak diundang datang berkunjung, kita bisa tahu lebih awal," katanya. Mereka pun mulai membangun rumah sesuai kemauan Gayatri.
Empat murid wanita membantu Gayatri, Sekar dan Prawesti menyiapkan dapur. Dua murid lelaki berburu binatang untuk dimasak. Geni dan murid lelaki lainnya bekerja mendirikan rumah darurat untuk tempat bermalam Ketika matahari mulai terbenam, tiga buah rumah darurat sudah siap. Satu untuk Geni sekeluarga Satu untuk Gajah Lengar dan Gajah Nila sekeluarga Rumah ketiga yang lebih besar untuk murid-murid.
Hari-hari di lereng gunung Welirang dilalui dengan pekerjaan membangun rumah. Peralatan lengkap dibawa dari Lemah Tulis, sedangkan semua bahan tersedia di hutan. Dari kayu, bebatuan, daun nipah sampai pun damar untuk penerangan, tersedia dan mudah didapat.
Pada saat saat tertentu Gajah Lengar dan murid lainnya meminta petunjuk Geni tentang ilmu silat. Latihan terkadang dilakukan di air terjun, di danau bahkan juga di tebing-tebing yang curam Duapuluh hari berlalu, rumah besar sudah berdiri berikut kandang kuda untuk si hitam dan si putih. Mereka masih merencana membangun dua rumah lain, yang nantinya tempat nginap para murid Lemah Tulis yang datang berlatih.
Malam itu seperti biasa Wisang Geni melakukan semedi. Ia bersila dengan melipat dua kakinya. Tubuhnya melayang di udara, tidak menyentuh tanah. Tenaganya terpusat di sekitar pusar, berputar-putar merambah ke seluruh jalan darah. Ia merasa angin bergerak di seputar tubuh. Pikirannya melayang jauh mengingat dan memeta kembali secara rinci pertarungannya lawan Sam Hong di bukit Penanggungan dua tahun lalu.
Gayatri duduk bersemedi di samping Geni. Tenaga batinnya tidak sehebat suaminya sehingga tubuhnya hanya terangkat satu jengkal dari tanah. Ia belum mampu melayang-layang seperti Geni. Sekar tak kalah hebat tenaga dalamnya. Hanya Prawesti yang masih tertinggal dalam soal ilmu silat Tetapi ia juga duduk bersila, ikut semedi melatih tenaga dalam.
Prawesti tak bisa memusatkan pikiran. Ia memikirkan pertarungan di desa Bangsal. Ia khawatir keselamatan Geni mengingat sebelas pendekar Cina itu konon memiliki ilmu silat lebih tinggi dari mereka yang pernah dikalahkan Geni di bukit Penanggungan. Kata orang, Ciu Tan, adalah kakak Sam Hong dan memiliki ilmu silat jauh lebih lihai dari Sam Hong. Sebelas pendekar Cina itu merupakan yang paling terkemuka di negerinya. Prawesti gelisah. Pertarungan semakin dekat, lima hari lagi.
Wisang Geni selesai semedi. Ia melihat Gayatri sedang semedi, Prawesti duduk bersila namun tampak gelisah. Geni berseru perlahan, "Sekar, kamu ikut aku, kita berlatih di luar." Gayatri dan Prawesti mengerti bahwa Geni tidak menghendaki mereka ikut. Sekai menghentikan semedi kemudian melesat mengikuti Wisang Geni
Malam itu bulan terang, tak ada awan mendung. Geni menggenggam tangan isterinya. Mereka mendaki tebing menuju ai ah barat Tak berapa lama, mereka tiba di atas tebing yang permukaannya datar dan cukup luas untuk beberapa orang duduk.
Di bawah sinar terang bulan tampak air terjun dan danau.
Kemilau air terjun diterpa sinar rembulan, memantulkan kemilau warna warni, tampak indah. Sekar menggumam, "Oh pemandangannya sangat indah, coba lihat air terjun itu dan air di danau, indah kena pantulan sinar rembulan. Geni kamu pintar mencari tempat."
"Aku ingin hidup seperti ini, terpencil bersama isteriku, tak ada orang lain, tak ada lagi tarung, tak ada balas dendam.
Sekar kekasihku, aku sudah bosan berkelana, bertarung dan membunuh orang. Dalam tarung memang kalau tidak mau dibunuh maka kita harus membunuh. Aku sudah bosan dengan semua ini, aku ingin menyendiri, bercinta dengan kamu seperti malam ini. Sepanjang malam, bercinta sampai puas." Sambil bicara tangan Geni memeluk tubuh isterinya.
Sekar mencubit perut suaminya.
"Tak mungkin bercinta di atas tebing ini. Gila! Dingin sekali, anginnya kencang dan membawa uap air. Aku kedinginan."
"Katanya kamu terbiasa berlatih di laut Kidul yang udaranya justru lebih dingin," Geni menggoda.
"Menurutku udara gunung dengan udara laut sangat berbeda. Di sini jauh lebih dingin. Geni, kita kembali saja."
Geni memeluk isterinya.
"Kita cari tempat lain." Ia memondong Sekar menuju dinding tebing. Ia mendorong batu besar. Sekar kaget. Ia bergerak namun Geni mencegah. Ia berbisik di telinga isterinya, "Kamu diam saja, pejamkan mata, nanti aku bilang buka, baru kau buka matamu."
Ternyata pada dinding tebing ada lubang, ukuran setengah badan manusia. Sambil membopong tubuh isterinya, ia membungkuk masuk ke goa. Gelap gulita Sekar masih memejam mata, merasa tubuhnya diletakkan di tempat yang hangat, seperti rumput kering, angin dingin mendadak lenyap.
Geni meraba-raba Ia memegang batu kemudian menggeseknya. Letupan api menyambar obor. Ada tiga obor, bahan bakarnya damar. Goa terang benderang.
"Buka matamu, sekarang."
Sekar terkejut. Ia terbaring di atas tumpukan rumput kering dan dedaunan. Suhu udara di dalam goa, hangat Goa itu sempit, cukup untuk empat orang berdesakan. Geni tertawa senang. Sekar juga tersenyum "Kapan kamu siapkan tempat ini?"
Geni memeluk isterinya, berbisik, "Dua hari kusiapkan goa ini, aku memang mencari tempat tersembunyi khusus untuk kita bercinta, tak ada siapa-siapa lagi di sini kecuali aku dan kamu."
"Bagaimana dengan Gayatri dan Westi?"
"Mereka akan kebagian jatah. Terkadang aku butuh berduaan saja dengan isteriku, kamu atau Gayatri atau Prawesti." Sambil Geni memeluk, menciumi seantero tubuh molek isterinya. Ia menikmati kecantikan paras isterinya yang cantik rupawan. Geni mengakui bahwa Gayatri cantik, tetapi Sekar lebih cantik. Kecantikan Sekar membias sejuta rasa puas dan bahagia. Dia bisa bersikap pasrah menanti tapi pada saatyang sama bisa liar. Keduanya bergelut dalam pelukan nafsu birahi dan cinta. Sepanjang malam.
Udara pagi terasa sejuk. Di dalam goa masih tetap hangat. Dua insan itu masih berpelukan. Sekar telungkup di atas tubuh Geni. Ia berbisik, "Geni, menurut rencana dua hari lagi kita berangkat ke desa Bangsal. Menurut kangmas Gajah Nila, perjalanan ke Bangsal sekitar dua hari. Entah mengapa setiap memikirkan tarung itu, aku merasa takut."
"Apa yang kau takutkan?"
Sekar menyembunyikan wajahnya di dada suaminya.
"Aku takut kehilangan kamu. Aku tak mau kehilangan kamu, Geni."
Mata Geni menerawang.
"Aku juga takut. Sudah sering aku tarung mati hidup. Di Mahameru menghadapi tokoh kelas atas, aku tidak takut. Di Penanggungan aku merasa takut terutama saat tarung lawan Sam Hong. Di Argowayang, aku tidak takut. Belakangan aku tahu sebabnya, di Mahameru aku belum punya apa-apa, mati pun tak mengapa. Di Penanggungan aku sudah punya isteri yang menyinta dan kucinta, Wulan dan kamu. Di Argowayang aku ingin membalas dendam Sekarang ini aku takut sebab aku tak mau mati, sebab masih ingin hidup bersama kamu dan Gayatri, isteri yang menyinta dan yang kucinta. Manusia selalu takut mati saat dia sedang menikmati miliknya yang paling berharga, isteri, anak, harta atau kekuasaan. Kamu pernah takut menghadapi tarung?"
"Aku jarang terlibat tarung. Tarung paling hebat kualami ketika bersamamu mengadu nyawa menantang Kalayawana dan Malini. Saat-saat itu tak pernah kulupa. Kita berdua luka parah, saling membantu di bawah ancaman musuh yang ilmu silatnya jauh di atas kita."
Geni menciumi buah dada kekasihnya.
"Apa lagi yang kau alami waktu itu, kekasihku?" .
"Aku berpakaian dekil, tubuh dan wajahku burik bekas penyakit cacar. Tetapi ada lelaki tampan yang tidak jijik padaku. Ia memuji tubuhkuindah. Katanya wajahku cantik jika tak ada burik. Aku jatuh cinta padanya, tanpa ragu aku berikan perawanku. Lelaki itu orang pertama dan terakhir yang kucinta"
"Apalagi, Sekar?"
Sekar memeluk dan menggigit leher suaminya.
"Kami bercinta di tengah hutan, dalam keadaan sakit dan terluka, bercinta di Lembah Cemara, bercinta di rerumputan, di atas tanah, tak terhitung Sungguh hari-hari yang paling bahagia bagiku."
"Kamu lupa suatu hal penting, Sekar."
Sekar berbisik sambil menggelitik telinga suaminya.
"Apa?"
"Bahwa lelaki itu mencintaimu. Sejak hari pertama di
tengah hutan sampai sekarang, sampai hari ini di goa ini.
Lelaki itu mencintaimu dari ujung kaki sampai ujung rambutmu."
"Aku senang dan bahagia mengetahui kamu mencintaiku. Tetapi aku lebih senang lagi karena dalam hidup ini ternyata aku sanggup mencintai seorang lelaki, seluruh cintaku telah kuberikan padanya. Tak ada lagi yang tersisa walaupun untuk diriku sendiri, aku hanya hidup untuk memberinya kebahagiaan dan kesenangan."
Sekar seorang perempuan yang cerdas. Ia selalu memerhatikan Geni, setiap rasa dan gerak suaminya tak luput dari pengamatannya. Dalam bercinta, ia selalu mendahulukan kepuasan Geni. Ia melakukan apa saja yang disukai Geni.
Setelah itu, baru ia mengekspresikan diri betapa ia puas dan bahagia Ia memperlihatkan dengan gerak tubuh dan gigitan, bahwa ia takluk dan bertekuk lutut di bawah pesona dan keperkasaan suaminya Kata neneknya, "Kamu harus perlihatkan bahwa kamu bangga dengan keperkasaan suamimu. Pasti ia akan senang dan tidak akan pernah puas bercinta denganmu, dia tak akan pernah bosan. Ia membutuhkan kamu dan akan mencari kamu setiap saat."
Hebatnya Sekar, ia tak memperlihatkan semua pesonanya jika Gayatri atau Prawesti ikut bercinta. Ia tidak mau jurus rayuannya ditiru dua saingannya. Geni merasakan hal ini, dan itu sebab dia sangat bernafsu jika bercinta dengan Sekar, hanya berduaan saja.
Tampaknya Wisang Geni makin terperangkap oleh kenikmatan yang disuapi Sekar. Pagi itu Geni masih menggeluti tubuh molek itu.
"Sekar, kamu luar biasa, bisa merawat dan memelihara tubuhmu sehingga tetap langsing dan sekal. Kamu seperti dewi kecantikan, aku beruntung mendapatkan kamu sebagai isteriku."
"Tubuh ini akan berubah jika aku mengandung anakmu, Geni. Perutku akan besar, gendut."
"Apakah kamu hamil?"
Sekar melingkarkan pahanya ke paha Geni. Ia mengecup mulut Geni. Lalu ia menggeleng kepala, rambutnya yang basah keringat menyapu wajah Geni.
"Aku bisa hamil, bisa juga tidak hamil, semua tergantung ijinmu, suamiku.
Tergantung perintahmu."
"Jangan! Kamu jangan hamil dulu Sekar, karena aku masih ingin menikmati keindahan tubuhmu."
'Tetapi Geni, aku ingin memberimu seorang putra biar dia perkasa dan pendekar macam bapaknya, atau seorang putri cantik seperti ibunya, eh Geni apakah benar aku ini cantik?"
"Sudah kukatakan tadi, kamu cantik macam dewi-dewi, tetapi apa benar kamu ingin hamil?"
Sekar mencium dada suaminya, beralih ke leher di mana gigitannya dulu masih membekas.
"Bekas gigitanku masih ada, tandanya kamu tak akan pernah bisa lupa padaku, Geni."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu ingin hamil?" Sekar manggut.
"Aku pikir aku harus hamil, sebab jika
Gayatri atau Prawesti hamil sedangkan aku tidak, bisa-bisa
cintamu lebih condong kepada mereka. Kamu ingat malam itu di hutan, pertama kaU kita bercinta setelah aku selesai berguru pada nenek. Kau ingat bagaimana aku menikmati cintamu. Kita bercinta begitu Uar dan bernafsu. Malam itu aku sudah mempersiapkan diri untuk hamil."
Geni tertawa.
"Kamu hebat Sekar, perangkap cintamu membuat aku makin hari makin kasmaran padamu. Boleh! Aku ijinkan kamu hamil. Biar perutmu nantinya gendut, tetapi aku yakin kamu akan merancang jurus cinta yang baru."
Sekar memeluk dan mengusap tubuh suaminya dengan lembut. 'Terimakasih, atas ijinmu, suamiku. Kamu tahu Geni, aku tak peduli berapa perempuan yang menjadi isterimu selama aku tetap yang nomor satu seperti sekarang ini. Dan aku sungguh-sungguh akan mempertahankan cintamu padaku ini."
Dua kekasih itu bergumul lagi, bercinta dan bercinta. Siang hari ketika sinar mentari menerobos goa, keduanya kembali ke rumah. Tampak sebagian orang sibuk berkerja, sebagian lain berlatih silat. Sedang para wanita menyediakan makanan.
Sekar menarik Gayatri dan Prawesti ke tempat sunyi. Tiga perempuan itu membicarakan sesuatu. Mereka tertawa-tawa.
Malam itu usai makan, Gayatri berbisik di telinga suaminya, "Geni, kamu tadi malam bercinta dengan Sekar di goa kecil di atas tebing. Kata Sekar, goa itu namanya Goa Cinta, tebingnya kaunamakan Tebing Cinta. Di malam hari pemandangannya indah. Benarkah?"
Geni memeluk Gayatri. Ia mencium harum bunga melati di rambut sang isteri. Geni berkata lirih kepada Gayatri tetapi bisa didengar Sekar dan Prawesti.
"Aku memang mau mengajak kamu ke sana!"
"Aku sudah rindu, dua hari rasanya cukup lama, ayo, Geni kita pergi."
Keduanya berkelebat mendaki tebing. Seperti halnya Sekar, Gayatri juga terpesona indahnya pemandangan di tempat itu. Geni menyalakan obor kemudian membawa isterinya masuk.
Begitu rebah di tumpukan rumput kering. Gayatri menampar pundak sang suami. Berulang-ulang sambil berkata manja, "Kamu curang, kamu tidak mengajak aku ke sini. Kamu hanya mengajak Sekar. Goa ini kan cukup luas untuk kita bertiga"
Geni memeluk, menciumi leher dan ketiak isterinya. Tidak tahan menahan geli, Gayatri meronta. Makin meronta, makin erat Geni menggumulinya Pada akhirnya perempuan itu tenggelam dalam kenikmatan yang sudah menjadi semacam candu. Selesai bercinta keduanya tertidur lelap, berpelukan dalam keadaan bugil.
Tengah malam menjelang fajar, Gayatri terjaga Ia melihat Geni tidur lelap di samping. Gayatri menatap kekasihnya "Lelaki ini telah membuat aku lupa daratan. Ia tidak begitu tampan, banyak lelaki lain lebih tampan. Tetapi ia punya daya tarik yang liar dan aneh. Hanya satu kali jumpa dengannya, aku langsung jatuh cinta Itu juga gara-gara dia menciumku." Pikiran liar ini membuat Gayatri tersenyum sendiri.
Tiba-tiba Geni merangkul erat isterinya "Apa yang membuat kamu tersenyum."
"Aku memikirkan lelaki yang kurangajar, yang mencium paksa seorang wanita yang sedang tidak bertenaga dan tak kuasa melawan."
"Pertama-tama kamu marah, tetapi beberapa saat kemudian kamu membalas ciumanku, kita berciuman lama."
"Tidak hanya itu, kamu juga memeluk erat tubuhku, buah dadaku ini kau himpit ke dadamu, aku sulit bernafas. Apakah kamu selalu berkelakuan liar seperti itu terhadap perempuan?"
Geni menggeleng.
"Tidak pernah. Baru satu kali itu, dan entah mengapa mendadak saja timbul kenakalan menggodamu. Kupikir saat itu aku sudah mencintaimu."
"Cinta! Kau bilang cinta kepada semua perempuan yang kau temui dan yang kau suka, kepada aku, Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan entah siapa lagi yang aku tak pernah kenal. Tetapi aku tidak seperti itu, cintaku hanya satu, dan sudah kuberikan seluruhnya padamu, aku tak mungkin mencintai lelaki lain."
"Aku memang merasa diriku ini aneh, aku bisa mencintai banyak perempuan jika aku bernafsu atau terangsang birahi melihat kecantikan wajah dan tubuhnya. Tetapi terus terang saja cuma dua perempuan yang benar-benar kucinta, Gayatri dan Sekar. Aku tak mau kehilangan kalian berdua."
"Bagaimana dengan Prawesti?"
"Sama halnya perasaanku terhadap perempuan lain, nafsu dan birahi. Tetapi Prawesti, lebih istimewa dari Ekadasa, karena aku kasihan dan sayang padanya. Westi juga banyak berkorban menolong aku saat aku dalam kesulitan."
"Geni kekasihku, aku merasa bersalah jika tidak mengatakan hal ini kepadamu, karena aku harus berlaku jujur padamu sekarang dan selamanya."
Geni memeluk dan mengelus kepala isterinya, "Katakan!"
"Di Argowayang saat aku mengetahui kamu adalah Wisang
Geni, aku marah karena merasa kau telah sengaja menipu aku. Kau telah mencuri perawanku, sesuatu yang suci yang paling kujaga dan menjadi lambang kehormatanku. Aku membencimu, aku ingin membunuhmu Tetapi aku juga mencintaimu" Gayatri menangis tetapi juga tersenyum "Ketika kamu pergi bersama Sekar, aku sudah mengatur rencana akan membunuhmu di rumahku. Kamu akan kuracuni biar mati Tetapi aku tak mampu melakukan itu. Saat memegang racun saat itu juga aku tahu pasti dalam lubuk hatiku aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Mau kamu memaafkan aku, suamiku?"
Geni mencium mata isterinya yang basah air mata.
"Aku maafkan, tetapi kau melakukan hal yang bodoh, bertarung dengan jurus mati hidup. Hampir saja aku atau kamu menjadi korban."
"Aku tak pernah tarung, tak punya pengalaman tarung.
Sewaktu di Himalaya aku hanya tarung lawan perampok atau penjahat kecil untuk membela kaum tertindas, ku pun ada kakak yang mengawasi, siap membantuku. Aku terpaksa harus tarung denganmu"
"Karena balas dendam kakekmu? Atau kesal dan benci padaku?"
"Dua-duanya salah! Yang benar, aku harus memenuhi sumpahku. Aku pernah bersumpah pada ayah dan ibu, bahwa laki-laki yang menjadi suamiku harus bisa silat dan lebih jago dari aku. Itu sumpahku, makanya aku senang kamuyang menang."
"Mengapa demikian, aneh?!"
Gayatri tertawa. Kesedihannya sudah hilang.
"Jika aku menang, maka sesuai sumpahku, kamu tidak boleh menjadi suamiku, padahal setelah malam di desa Gondang itu kamu sebenarnya sudah menjadi suamiku. Untung saja kamu yang menang sehingga aku terbebas dari sumpah itu."
"Sebenarnya mudah, kamu tak perlu menyerang sungguh- sungguh supaya kamu kalah atau bisa saja kamu pura-pura kalah."
"Tidak boleh begitu! Aku harus tarung sungguh-sungguh dan dengan jurus yang paling kuhandalkan. Itu sebab aku memainkan jurus maut Dinak Din Naachu Mein Gae Dil jumne Zamana (Aku menari, hati menyanyi dan dunia bergembira). Tadinya kami bertiga sepakat, jika kamu jatuh maka tarian kuhentikan. Jika sampai tarian itu selesai dan kamu tetap segar bugar, tarian dengan sendirinya berhenti dan aku kalah."
Geni menikmati cerita itu, ia menyukai gerak dan mimik wajah cantik di hadapannya.
"Tetapi Geni, semua tiba-tiba menjadi kacau. Ketika kamu jatuh seharusnya tarian kuhentikan, tetapi aku seperti tidak sadar. Samar-samar aku berpikir mengapa tak bisa menghentikan tarian, pikiran itu hanya sekilas. Pikiranku saat itu dipenuhi ingatan bahwa aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, aku tak bisa hidup sendiri tanpa kamu di sisiku."
"Ketika kamu jatuh, kupikir kamu sudah kalah tetapi saat berikut kamu bangkit seketika aku merasa ada sesuatu yang menghantam keseimbangan tubuhku. Pasti itu penolakan tenaga batinmu, yang lebih besar dan lebih kuat dari tenaga kami bertiga Selanjutnya aku tidak ingat, yang kuingat ketika pukulan melanda tubuhku, aku melihat wajah dua perempuan, setelah itu aku pingsan. Belakangan Urmila dan Shamita bercerita bahwa kau melompat menerjang dua perempuan itu dan menolong aku. Lalu aku ingat ketika kamu menolong dan menciumku di depan semua orang. Saat itu aku merasa bahagia mendapatkan suami yang lebih jago dari aku dan memperoleh ciuman yang selalu kumimpikan."
Geni tertawa menggoda, "Tadinya aku bingung dan panik, aku lega ketika merasa kau membalas ciumanku."
Perempuan itu membalik tubuh, menelungkup di atas tubuh Geni, ia menatap suaminya mesra "Aku sudah bilang, aku menyintamu pada saat kamu menciumku di gubuk reyot itu, kamu membuat aku tergila-gila, aku tak bisa tidur, aku tidak tenang, aku mudah marah. Kau tahu Geni, pada saat kau pergi ke istana, meninggalkan aku di hutan dan berjanji menemui aku di desa Gondang, malam harinya aku menyesal dan berkata pada diri sendiri seharusnya aku ikut ke mana pun kamu pergi."
"Jika kamu ikut aku, tentu aku tak perlu meniduri Ekadasa.
Aku bisa meniduri kamu"
Gayatri mencubit mulut suaminya.
"Mana bisa, kau tak mungkin bisa meniduri aku, aku bukan perempuan gampangan."
"Buktinya malam itu di desa Gondang aku berhasil menidurimu" Geni tertawa dan melanjutkan, "Aku yakin kita saling mencinta."
Gayatri mencium suaminya.
"Malam itu aku sedang gelisah, aku memikirkan kamu, kesal dan kecewa tetapi aku merindu. Terus terang saja, waktu itu aku sedang kasmaran, aku merasa tubuhku menuntut kehadiranmu Maka ketika kamu muncul dan menyentuh dan mencium aku, aku tak bisa berpikir normal, rangsangan birahi itu menguasai diriku. Tetapi sebelum itu, aku sudah berpikir matang, bahwa jika kamu merayuku dan mengajak bercinta, aku bersedia. Alasanku, jika seandainya aku tidak beruntung dan harus kawin dengan lelaki yang tidak kusuka namun yang dipilih ayahku, maka biarlah dia menerima tubuhku yang sudah tidak perawan lagi. Dan tubuhku ini kuberikan kepada orang yang memang kucinta dan mencintai aku."
"Waktu itu kamu percaya bahwa aku mencintaimu Kamu yakin pada janjiku akan mengawinimu"
"Mungkin aku berlaku bodoh saat itu, tetapi aku sudah yakin sejak di hutan itu bahwa kamu sungguh mencintaiku dan bahwa kamu tidak berpura-pura, aku yakin dan percaya pada naluriku." Geni merangkul isterinya, mencium mesra. Keduanya kembali memadu kasih, untuk kesekian kalinya. Beberapa lama kemudian Gayatri tergeletak kelelahan. Terengah-engah ia berkata, "Geni, tenagamu itu, aku heran bagaimana mungkin kamu tak pernah lelah, kamu bisa sepanjang malam sepanjang hari meniduri aku, besoknya dengan Sekar terkadang dengan Prawesti juga, apakah kau tidak berpikir tenagamu susut pada saat kamu butuh tenagamu itu dalam pertarungan."
Geni merenung.
"Tenaga Wiwaha ini kuperoleh dari peninggalan pendekar Lalawa yang konon menurut guru Padeksa, ia hidup di zaman baginda raja Erlangga, itu artinya ratusan tahun lampau. Belakangan aku tahu rahasia paling hebat dari ilmu Wiwaha ini, dia akan bereaksi langsung jika tubuhku diserang penyakit, racun, lelah, apa saja yang tidak disukai pikiranku. Tenaga Wiwaha ini membuat aku selalu segar, tak pernah lelah. Balikan jika selesai bercinta aku justru merasa lebih segar."
Tiba-tiba Gayatri memukul-mukul dada Geni.
"Kamu akan awet muda tidak pernah menjadi tua. Suatu ketika aku sudah tua dan kau pasti akan mencari gadis yang lebih muda."
Geni tertawa terbahak-bahak.
"Gayatri, kau salah, aku tidak bisa awet muda, tidak ada ilmu seperti itu. Aku laki-laki biasa, aku akan menjadi tua seperti juga semua manusia. Justru aku khawatirkan kamu isteriku, kamu jauh lebih muda dari usiaku, pasti jika aku sudah tua, kamu akan mencari lelaki lain yang jauh lebih muda."
Sekarang Gayatri yang tertawa.
"Menurutku sepuluh laki- laki muda tak akan bisa memberi kepuasan kepadaku seperti kamu memuaskan aku, kamu memang penjahat penakluk wanita. Pantas Ekadasa mengejar-ngejar kamu dan hampir membunuhku. Hanya semalam saja kamu tiduri dia tetapi seumur hidup dia tidak akan bisa melupakan kamu. Memang kamu penjahat penakluk perempuan." Saat berikut Gayatri tertidur. Ia kehabisan tenaga.
Matahari tertutup mendung tebal. Tak lama kemudian hujan deras. Guruh dan halilintar saling sahut. Tebing seakan bergetar. Geni memerhatikan keindahan tubuh bugil isterinya di antara remangnya cahaya mentari yang menerobos sela- sela pintu goa. Perempuan itu tidur pulas. Ia bahkan tak mendengar suara guruh dan halilintar yang mengiringi turunnya hujan deras.
Geni bersila melancarkan aliran Wiwaha. Ia memegang telapak kaki Gayatri, menyalurkan tenaga. Hawa panas dingin bergantian merambah seantero tubuh sang isteri. Perempuan itu masih tidur lelap. Ia tersenyum dalam tidur.
Lama berselang Gayatri membuka mata. Di luar goa masih hujan. Geni melepas kaki isterinya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
Gayatri mengangguk. Ia tampak segar. Kulit wajah yang putih tampak kemerahan, berseri memancarkan cahaya bahagia.
"Aku sudah segar kembali, tenagaku sudah pulih kembali, aku siap melayanimu lagi. Tetapi terus terang saja, aku lapar, sangat lapar."
Melihat Geni berdiri.
"Aku akan menangkap ikan, kau tunggu di sini."
"Tidak, aku tak mau tunggu di sini, aku ikut."
Tebing itu licin namun dengan ilmu ringan tubuh yang sudah mencapai puncak kemahiran, Geni dan Gayatri dengan mudah menuruni tebing. Keduanya tiba di danau. Hujan masih deras. Keduanya basah kuyup.
Gayatri menangkap ikan dengan senjata tali.
"Geni, lihat tujuh ekor besar dan gemuk Ayo kita panggang, aku sudah lapar." Geni tidak menjawab sebab masih terpesona memandang isterinya, pakaian Gayatri basah kuyup melekat di tubuh memperlihatkan lekuk tubuhnya yang molek. Gayatri berseru, "Geni jangan melamun, ayo kita kembali ke rumah."
Esok harinya, Geni beserta semua anggota rombongan berangkat menuju desa Bangsal. Geni menunggang si hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si putih. Prawesti bingung. Geni berseru, "Westi, kamu naik si hitam bersamaku."
Tanpa diperintah lagi, Prawesti melompat di depan suaminya. Ia berbisik lirih, "Nanti kalau kamu terangsang bagaimana?"
Geni berbisik di telinganya, "Nanti malam kita cari tempat sunyi"
Sekar dan Gayatri tertawa melihat lagak Geni. Tangan lelaki itu melingkar di atas perut isterinya. Sekali-sekali tangan itu pasti menjamah buah dada Prawesti.
Rombongan lain ada yang menunggang kuda, sebagian lain naik kereta kuda. Semua orang berdebar tegang, ini tarung hidup mati bagi Wisang Geni. Semua orang dengan pikiran masing-masing.
Tadi malam, Gajah Lengar dan Gajah Nila telah melakukan ritual perpisahan dengan isteri masing-masing. Dua perempuan itu menangis haru merasa tidak akan bertemu lagi karena mengerti suaminya siap mengorbankan nyawa membela Wisang Geni.
Dua hari perjalanan, mereka tiba di desa Bangsal. Tidak seperti biasa, tiga hari belakangan ini banyak pendekar datang dan nginap di desa. Rumah-rumah penduduk tidak cukup untuk menampung. Geni dan rombongan akhirnya menemukan tempat berteduh di tepi hutan. Di sekitar hutan itu banyak pendekar membangun gubuk darurat. Murid Lemah Tulis dipimpin Gajah Lengar dengan cepat mendirikan tiga gubuk darurat yang cukup besar. Malam hari semua murid Lemah Tulis istirahat. Wisang Geni dan Prawesti duduk berdampingan di luar gubuk Sekar dan Gayatri bersama wanita lain berbincang di dalam. Geni memeluk isterinya, tangannya merambah ke dalam kebaya.
"Kita pergi ke desa, aku sudah menyewa satu rumah kecil untuk satu malam ini. Kita ke sana Westi."
Fajar menyingsing. Dua insan itu masih lelap, berpelukan dalam keadaan bugil. Cahaya merah mentari menerobos sela- sela pintu, menerangi wajah manis Prawesti yang tidur menghadap pintu. Tak lama kemudian, Geni terjaga Ia membangunkan Prawesti, mencium isterinya. Keduanya cepat berpakaian, kembali ke gubuk di mana rombongan berada.
Pagi itu semua di gubuk sibuk menyiapkan makanan. Prawesti dan Gayatri beserta beberapa murid perempuan. Geni duduk sendirian di luar. Setelah makanan siap, tiga isterinya menghampiri Geni. Ketiganya duduk mengelilingi Geni. Mereka makan bersama.
Sekar beringsut mendekati suaminya, ia berkata perlahan, "Besok pertarungan dimulai, aku dan Gayatri mau ikut tarung! Kami sudah berunding. Prawesti karena ilmu silatnya belum mumpuni, ia hanya akan membantu semua persiapan. Dan ia yang akan melayanimu jika kamu ingin bercinta."
Geni terkejut.
"Jangan, tarung ini amat berbahaya, seseorang bisa mati atau luka parah Aku tidak mau kalian luka apalagi mati"
"Semuanya tergantung pada ijinmu, tetapi kami berdua punya hak untuk ikut tarung membela suami. Kami punya hak karena kami adalah isterimu." Nada bicara Gayatri mengandung keputusan yang teguh.
Prawesti ikut bicara.
"Kemarin ada yang mengantar undangan pendeta Macukunda, para pendekar kumpul nanti malam untuk merundingkan segala sesuatu menyangkut tarung."
"Kami ikut! Kau harus bisa meyakinkan mereka agar kami masuk daftar tarung." Sekar menatap Geni yang sedang merenung. Geni mengangguk. Tetapi matanya menerawang, memikirkan sesuatu.
"Mengapa melamun, apa yang kamu pikirkan, ketua?" tanya Prawesti yang tidak bisa menghilangkan kebiasaan memanggil suaminya dengan sebutan ketua.
"Aku sedang mengingat jurus-jurus yang dimainkan Sam Hong dan juga Sin Thong serta Pak Beng. Kupikir semua jurus silat itu tidak berbeda jauh, satu sama lainnya. Yang berbeda hanyalah pikiran, bobot tenaga dan terutama nasib alias keberuntungan."
Gayatri berbisik, "Geni, kamu harus waspada dan hati-hati sebab dalam tarung nanti, lawan-lawan pasti berlaku curang, membokong kamu, senjata beracun, senjata rahasia dan tipuan apa saja."
Dia mendengar dengan penuh perhatian. Gayatri melanjutkan pembicaraan, "Jika satu lawan satu, aku yakin mereka tidak akan mampu mengalahkan kamu Kupikir mereka tahu kelebihanmu, itu sebab mereka akan berlaku curang. Jika aku berada pada posisi mereka, aku juga akan berpikir demikian, main curang."
"Kau harus waspada jika menghadapi lawan yang mengenakan baju lengan panjang, aku yakin dia pasti menyembunyikan senjata rahasia, di pergelangan tangan, jarumatau paku. Mereka sudah mahir dengan permainan curang itu, dengan sekali sentakan saja, jarum-jarum itu akan melesat keluar. Jika jarakmu hanya terpaut satu tombak, sulit bagimu untuk menghindar sebab begitu kau terkejut, gerakanmu akan terlambat sesaat Lain hal jika kau sudah waspada, dan sudah siap menerima serangan bokongan itu, kau bisa mengelak." Mendadak timbul pemikiran Geni.
"Mungkin aku akan bermain mainan anak-anak, main gasing, berputar-putar dengan angin."
"Apa itu mainan gasing, Geni, ilmu apa itu?" tanya Sekar.
"Itu jurus yang kugunakan menghindar dari dua belas pisau
terbang Lembu Ampai!" katanya tertawa.
Sekar yang sejak awal mendengar dengan teliti, memuji Gayatri,.
"Kamu hebat adik, katamu tak punya pengalaman tarung tapi kamu bisa merinci seluk beluk kecurangan. Pasti ayahmu pendekar pengalaman."
"Tidak seluruhnya benar. Aku banyak belajar dari kakek dan juga dari pengalaman orang lain, pengalaman ayah, ibu, kakek, kakak," tukas Gayatri.
* * *
INDEX WISANG GENI | |
Selamat Tinggal --oo0oo-- Damai Itu Indah |