Life is journey not a destinantion ...

Pertarungan Puncak

INDEX WISANG GENI
Jurus Penakluk Raja --oo0oo-- Wulan dan Sekar

WISANG GENI
Pendekar Tanpa Tanding
Karya : John Halmahera

--↨֍¦ ¦֍↨--

Perjalanan panjang yang melelahkan Geni sejak pencerahan ilmu Wiwaha di lembah kera dan penemuan Prasidha telah berakhir pada hari kemarin. Resiko hampir gila dan hampir tewas telah mewarnai perjalanannya dalam penguasaan ilmu silat kelas utama. Dendam atas kematian orangtuanya dan semangat membayar semua hutang darah perguruannya membuat Wisang Geni tak pernah surut dalam melangkah. Tujuannya jelas, ingin melunasi dendam serta ambisi besar mengangkat kembali citra Lemah Tulis yang sudah terpuruk selama duapuluh lima tahun.
Pencerahan ilmu silat dimulainya ketika dia menemukan rahasia kehebatan Prasidha saat tarung lawan tiga murid Kalayawana di Mahameru Dia berhasil menembus misteri memahami inti falsafah jurus pusaka itu. Kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa (Hendaknya menjadi perahumu menyeberangi lautan kesusahan) telah sempurna dipahaminya pada saat-saat terakhir ketika nyawanya berada di ambang maut.
Jurus Prasidha itu, intinya adalah menyedot dan menyimpan tenaga pukulan lawan lalu dikembalikan dengan tenaga yang sama atau bahkan berlipatganda. Jika Garudamukha mengandalkan tenaga kasar berasal dari nafsu amarah dan kekuasaan manusia, maka Prasidha mengutamakan tenaga batin leburnya dua tenaga inti Gama (Amarah) dan Kadharmestati yang diperoleh dari tenaga dingin. Adanya tenaga panas dan dingin Wiwaha membuat Prasidha makin dahsyat.
Setelah menguasai Prasidha Geni mendapatkan hal baru Bisikan Eyang Sepuh Suryajagad membuka lagi tabir ilmu silat tingkat lebih tinggi. Jurus Penakluk Raja lewat delapan rasa menuju satu aksi. Delapan Sringara menuju satu Bhava.
Tetapi ia terlampau bernafsu menyelesaikan secepatnya sesuatu yang seharusnya ditempuh dalam proses pencerahan yang panjang melalui pengalaman asam garam kehidupan.
Nyaris saja ia celaka!
Memang sebagian telah ia temukan saat tarung lawan Malini dan Kumara. Namun ketika masuk lebih dalam mengorek delapan rasa ia terjebak dalam pemikiran yang njelimet, melingkar dan tak pernah putus. Pertolongan Dewi Obat, Waragang, Sekar dan Wulan pun sebenarnya sia-sia. Geni tidak tertolong lagi dari kegilaan dan maut. Ramuan waragang, rencana Dewi Obat, tari Kinanti dan terapi bercinta Sekar dan Wulan pun sesungguhnya sia-sia. Geni tidak tertolong kecuali datangnya suatu keajaiban.
Di saat kritis itulah, Eyang Sepuh Suryajagad datang menolong. Setiap malam selama tiga malam berturutan Eyang Sepuh hadir di samping Geni. Orangtua itu datang dengan sembunyi Ia menggelar tenaga dalamnya yang sudah mencapai kesempurnaan, membuat siapa saja yang berada di dekat Geni, tertidur pulas.
Ia memijat dahi, mengurut kepala dan seluruh tubuh Geni.
"Semoga Dewa membantuku, cucuku ini adalah murid Lemah Tulis satu-satunya yang bisa mengangkat citra perguruan, jika dia mati, Lemah Tulis akan terkubur. Sudah tugasku si tua, menjaga dan memeliharanya."
Kehadiran dan pertolongan Eyang Sepuh yang tersembunyi, membuat semua orang mengira pengobatan Dewi Obat dan Waragang berjalan sukses. Tetapi Geni samar-samar mengetahui adanya tangan halus empuk yang mengirim tenaga maha dahsyat menelusuri seluruh tubuh dengan sasaran utama di bagian otak. Tenaga itu menarik dan menghidupkan kembali tenaga Wiwaha sampai saatnya tenaga Wiwaha bekerja normal.
Orang itu pasti memiliki ilmu silat dahsyat tak terukur.
Tetapi setiap hendak membuka mata melihat siapa orangnya, ia gagaL Ia tak pernah tahu siapa, tetapi ia yakin dialah Eyang Sepuh. Ketika ia sembuh, pikirannya sudah kembali normal, ia berpura-pura tetap mengikuti terapi pengobatan Dewi Obat dan Waragang serta demonstrasi bercinta Sekar dan Wulan.
Tak seorang pun yang tahu.
Setelah melewati masa kritis itu, Geni ragu-ragu melanjutkan pendalaman Jurus Penakluk Raja, takut gagal yang berakhir kehilangan akal waras lagi. Saat itulah, terdengar suara bisikan, "Kenapa harus takut, takut dan berani sama saja. Jurus Penakluk Raja terlalu ampuh dan agung sehingga pantas untuk dipelajari meskipun ada resiko kematian di situ."
Geni tahu, itu suara Eyang Sepuh.
"Jadi memang benar yang tiap malam menolong aku adalah Eyang Sepuh." Timbul semangat dan keberanian Geni. Ia berlatih kembali, memainkan delapan rasa menuju satu aksi. Mulanya ia mempersiapkan sikap jiwa delapan rasa kemudian baru memainkan jurus-jurus Prasidha. Tahapan berikut ia berhasil memainkan jurus Bhava berbarengan sikap jiwa delapan rasa.
Tidak ada kesulitan atau hambatan setiap ia memainkan aksi jurus. Itulah yang disebut Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu Wisang Geni bahkan tidak sadar bahwa ia kini telah melompati tingkat kepandaian silat kelas utama.
Hari itu, suatu pagi yang cerah Geni terjaga dari tidur lelapnya. Ia melihat dua isterinya masih tidur lelap dalam keadaan bugil. Ia memerhatikan dua perempuan itu. Tubuh keduanya, sama molek, sama-sama sintal. Tetapi dari wajah, tampak Sekar lebih cantik. Geni menepuk bokong keduanya yang langsung lompat saking terkejutnya. Geni tertawa, sembari lari melesat keluar rumah. Ia menemui gurunya, Padeksa.
Padeksa sedang berlatih Prasidha. Geni menanti kemudian setelah melihat gurunya istirahat, ia menegur, "Guru, kenapa pagi ini perguruan kita tampak sepi?"
"Sebagian murid utama dan lapis kedua, dua hari lalu sudah berangkat ke bukit Penanggungan, bersama dimas Gajah Watu."
"Oh, mereka menonton pertarungan pendekar tanah Jawa lawan orang-orang Kuangchou itu? Guru, aku pikir, sebaiknya aku juga pergi ke sana?" Padeksa menatap muridnya.
"Cucuku, selama kamu sakit, ada utusan Mahameru datang mengundang kamu. Belakangan aku mendengar bahwa mereka telah mengganti dirimu dengan Demung Pragola. Tarung itu akan dilaksanakan pada saat purnama bulan Aswina, tempatnya di hutan bagian selatan bukit Penanggungan, sekarang masih ada sisa waktu tiga hari lagi. Jika kau bergegas menunggang kuda, kau akan tiba pada siang di hari tarung."
Sebelum Geni menjawab, terdengar suara Wulan, "Aku dan Sekar ikut bersamamu" Dua perempuan itu sudah berada di situ.
"Guru, aku ke sana hanya sekadar nonton tarung. Aku tak punya maksud unjuk jago." Ia menoleh ke dua isterinya.
"Jadi sebaiknya aku pergi sendiri saja.".....
"Geni, ajaklah isterimu. Kamu perlu ada yang menemani.
Biar aku yang menjaga perdikan ini."
Dua perempuan itu cepat berkemas dan menyediakan kuda. Geni bertiga kemudian pamit pada Padeksa dan sebagian murid. Mereka melecut kuda tunggangannya masing- masing. Malam hari mereka istirahat di hutan. Mereka menemukan tempat bermalam yang tersembunyi dan aman.
Setelah makan malam, Geni memeluk Sekar dan Wulan menciumi dua isterinya, melucuti pakaian dan bercinta.
"Kamu sekarang sudah normal. Sudah pulih seperti biasa. Tetapi waktu kamu masih sakit, perilakumu mengerikan. Kamu brutal dan kasar, seluruh tubuhku sakit," bisik Sekar.
"Kamu hampir membunuh kami berdua, sepanjang malam kamu menyakiti kami. Geni, kamu tidak lagi menciumi tetapi menggigit. Kamu lihat saja bekas gigitanmu masih ada," kata Wulan sambil memperlihatkan bekas merah di sisi buah dadanya dekat ketiak.
Geni tertawa geli.
"Kalian berteriak kesakitan?"
"Gila kamu, mana mungkin kami berteriak, malu didengar orang!" kata Sekar sambil menindih tubuh suaminya.
Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Siang hari mereka istirahat di sebuah desa kecil. Lima orang tampak mengawasi saat ketiganya memasuki warung makan. Salah seorang mendekati pemilik warung.
"Lelaki itu penjahat cabul dua wanita itu tawanan dan terpaksa mengikuti kemauan lelaki itu karena takut mati. Kami orang baik-baik ingin menolong dua wanita itu, maka tolong kamu bantu kami mencampur racun di dalam makanan mereka. Racun ini tidak berbahaya, hanya membuat orang menjadi lemas tak berdaya."
Pemilik warung manggut kepala.
Saking laparnya, semua jenis makanan dipesan.
Menyaksikan dua isterinya makan begitu lahap, Geni tak sampai hati. Ia makan sekadarnya, suap demi suap. Tiba-tiba Wulan dan Sekar, hampir berbarengan memegang kerongkongan, dan mengeluarkan suara ngorok
Geni terkejut. Ia tahu ada racun dalam makanan. Karena ia belum makan banyak racun belum menyerang dirinya. Ia kerahkan tenaga Wiwaha aliran dingin menghentikan kerja pencernaan kemudian tenaga panas menguras dan mendorong makanan yang masuk tadi, keluar lagi Saat berikutnya, ia membungkuk dan memuntahkan semua isi perutnya.
Pada saat berbarengan, lima kawanan tadi menyerang dengan berbagai macam senjata. Wulan dan Sekar sudah rubuh dengan mulut berbusa. Geni tak ayal lagi, menjatuhkan diri telentang, dua tangannya menepuk punggung dua isterinya, sementara dua kakinya menendang bangku-bangku dan meja ke arah lawan. Tenaga Wiwaha membanjir menerobos punggung Wulan dan Sekar berputar-putar di perut. Lima lelaki itu terkejut, tak menyangka bahwa Geni masih bisa memberikan perlawanan hebat meskipun sudah menelan makanan beracun. Karena terkejut, tak menyangka, maka dua orang kena hantaman kursi. Keduanya terjengkang dengan kepala berdarah, sakit tetapi tidak tewas. Tiga lainnya sibuk mengelak.
Geni bergerak pesat Ia tahu racun sangat ganas dan mematikan. Tak ada jalan lain, dia harus memilih siapa yang dia tolong lebih dahulu, resikonyayang belakangan bisa lebih parah. Pada saat kritis itu secara naluriah Wisang Geni akan mendahulukan perempuan yang lebih dicintainya. Pikiran dan gerakannya spontan, dia mendahulukan Sekar. Belakangan memang dia tahu bahwa dia sangat mencintai Sekar. Dia menggapai tubuh Sekar, mengurut perutnya dengan tenaga besar, satu tangan lainnya mengerahkan tenaga Wiwaha menerbos punggung Sekar. Selang beberapa saat, dia ganti memeluk Wulan dan melakukan penyembuhan dengan cara yang sama
Saat itu lima musuh meluruk maju, serangannya ganas. Untung bagi Geni, kepandaian mereka bukan dari kalangan atas, sehingga bisa diatasi. Tetapi serangan itu telah menghambat penyembuhan Wulan. Geni menepuk punggung Sekar, tangan lain menekan perut Wulan, kemudian menggendong keduanya melompat menjauh. Terpisah agak jauh dari musuhnya, dia menekan dan mengurut perut Sekar yang langsung muntah-muntah, semua isi perutnya terkuras keluar. Tak lama kemudian, Wulan pun muntah. Geni merasa lega, pertolongan pertama sudah selesai. Pada tahapan itu, nyawa dua isterinya sudah bisa diselamatkan. Geni berbalik menghadap lima penjahat itu, "Siapa kalian? Aku tidak kenal kalian, mengapa kalian memusuhi aku?"
Lima orang itu menyerang membabi-buta Salah seorang berseru.
"Kamu Wisang Geni telah membunuh guru kami, Ki Sempani, kami harus balas dendam!" Geni tak menanti lagi. Ia bergerak cepat mengandalkan Waringin Sungsang dan Jurus Penakluk Raja sekadar ingin menjajal jurus barunya itu. Tetapi hasilnya luar biasa. Tolakan dua tangan sambil memutar dan mendorong, membuat lima penjahat itu saling hantam satu sama lain. Dua orang tewas oleh senjata kawinnya, tiga lainnya luka parah. Mereka memandang Geni dengan mata mendclong, tak percaya.
"Ilmu siluman!" kata yang seorang.
Tadinya ia sangat marah, tetapi belakangan ia merasa kasihan.
"Kalian membalas dendam kematian gurumu, itu perbuatan lelaki sejati, tak peduli jahat atau buruk kelakuanmu. Kamu pergilah! Lupakan dendam kalian!
Percuma, dendam tak akan pernah selesai. Pergilah, bawa serta mayat temanmu!" Orang itu kabur.
Setelah mencari keliling, Geni menemukan si pemilik warung sedang bersembunyi ketakutan. Geni memanggil berulangkali dengan seruan marah. Pemilik warung muncul dengan ketakutan. Ia menyembah minta ampun. Geni membentak, "Cepat kamu ambil tuak yang banyak!"
Geni memaksa dua isterinya membuka mulut. Ia menuang tuak ke mulut. Hampir empat tabung, masuk kerongkongan Wulan dan Sekar. Ia mendudukkan mereka, kemudian dua tangannya menempel di punggung dan mulai mengurut disertai pengerahan tenaga dalam. Tenaga panas yang disalurkan, membuat dua isterinya merintih kesakitan. Isi perut macam dibakar. Tak lama keduanya muntah lagi, memuntahkan air tuak yang berbusa.
Melihat dua isterinya masih lemah, Geni memutuskan menunda perjalanan. Pemilik warung yang merasa bersalah namun tidak mendapat hukuman, menebus kesalahannya dengan menyediakan kamar di rumahnya sendiri untuk tiga orang itu menginap.
Semalaman Geni bergantian menyembuhkan Sekar dan Wulan. Menjelang fajar, ia istirahat, tidur. Dua perempuan itu memandang sang suami dengan penuh rasa cinta dan terimakasih. Keduanya memijit tubuh dan kaki Geni yang tidur pulas.
Esok harinya, ketika matahari sudah di atas kepala, mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi perjalanan tak bisa cepat karena tubuh Wulan dan Sekar masih lemas. Untuk mengejar waktu yang terbuang, mereka nginap di hutan. Keesokan hari, melihat kondisi tubuh kedua istrinya membaik, Geni memaksakan perjalanan cepat. Siangnya mereka tiba di selatan bukit Penanggungan.
Geni takjub melihat suasana di bukit itu. Di tengah kerilmunan penonton, sebuah panggung raksasa berdiri dengan megahnya. Di atas panggung dua sosok bayangan sedang bertempur sengit. Begitu banyak penonton, tapi anehnya suasana justru sangat sepi. Geni bertiga terlambat, karena pertarungan sudah tiba pada partai terakhir. Ketiganya berdesakan maju mendekati panggung. Mereka berdiri di antara murid-murid Mahameru. Di atas panggung Geni melihat pendeta Macukunda sedang tarung sengit dengan seorang lelaki kurus. Ketua Mahameru memainkan tasbih menghadapi serangan dahsyat sepasang golok.
Mencari-cari wajah yang dia kenal, Geni gembira mengenali Ki Antasena, saudara seperguruan Macukunda. Geni menegur ramah. Ki Antasena melihat dengan sinar mata aneh, kemudian mengalih pandangan ke atas panggung. Geni mengikuti pandangan Ki Antasena. Di panggung pertarungan, Macukunda terdesak. Senjata tasbih yang memainkan duapuluh satu jurus ilmu andalan Mahameru, Brahmanagrha, ternyata tak mampu membendung permainan sepasang golok lawan. Geni mendengar bunyi napas Macukunda sudah ibarat dengus kuda yang habis berlari jauh.
Suasana yang begitu sunyi dan lenggang membuat dengus napas ketua Mahameru terdengar lebih jelas. Lelaki yang jadi lawannya, seorang tua dengan jenggot dan kumis putih bagai salju tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu memutar golok semakin gencar.
Geni melihat keadaan sudah semakin berbahaya. Sesaat lagi Macukunda akan roboh. Saat itu Geni mendengar keluhan seorang perempuan yang suaranya seperti ia kenal.
"Begitu Macukunda roboh, habis sudah nama besar tanah Jawa."
Wisang Geni berpikir sesaat. Ia bertanya kepada perempuan itu yang ternyata Rorowangi, kekasih Setawastra.
"Apa maksudmu, oh kamu adik Rorowangi, apa maksudmu nama tanah Jawa habis?"
Rorowangi terkejut melihat Wisang Geni, "Oh kamu Ki Wisang Geni, kau sudah sembuh, syukurlah! Kau baru datang rupanya, jago-jago kita sudah kalah semua, harapan tinggal pada pendeta Macukunda. Tapi lihatlah sendiri, apa masih ada harapan?"
Tadi sebelum Geni tiba, sudah diselesaikan empat pertarungan. Kok Bun satu-satunya jago pihak lawan yang kalah, ia dikalahkan Ki Antaboga. Jago-jago Kuangchou lainnya menang meski pun lewat keunggulan tipis.
Pak Beng mengalahkan dua lawan beruntun, Antaboga dan Sang Pamegat. Kemudian Liong Kam mengalahkan Demung Pragola. Jago nomor satu Kuangchou, Sam Hong mengalahkan pendekar Merapi, Ki Sagotra dalam pertarungan yang paling seru. Dan kini yang sedang dihadapi pendeta Macukunda adalah jago nomor dua Cina, Sin Thong.
Geni menoleh memandang Sekar dan Wulan yang ikut mendengar penuturan Rorowangi. Geni seperti bisa membaca pikiran Wulan.
Pikiran yang sama seperti apa yang ia pikirkan. Ia tak bisa berdiam diri, karena bagaimanapun juga hal ini menyangkut gengsi tanah Jawa. Tak sabar lagi, Wisang Geni melompat ke atas panggung dengan menggunakan jurus Paghasa dari Waringin Sungsang. Begitu mendekat panggung pertarungan, Geni mengibas dua tangannya. Satu mengarah ke dada Sin Thong. Satunya lagi ke pendeta Macukunda. Gebrakan tiba-tiba oleh Geni mendatangkan kegaduhan di kalangan penonton. Macukunda dan Sin Thong yang sedang memusatkan perhatian, merasa ada serangan angin keras yang mendorong mereka surut beberapa langkah.
Sin Thong berteriak marah. Ia memaki dalam bahasa Cina. Wisang Geni tidak mengerti. Tetapi tiba-tiba timbul humornya, ia membalas dengan meniru perkataan Sin Thong dalam logat Jawa yang kental!
Suasana penonton yang tadi begitu sunyi karena merasa prihatin atas kekalahan jago-jago negeri sendiri, berobah gaduh. Mereka yang pernah hadir di Mahameru dan Tajinan menyaksikan sepak terjang Geni, kontan berseru, "Itu Wisang Geni!"
Dua bulan belakangan ini nama Wisang Geni berkibar di dunia kependekaran, dia dikenal hampir semua pendekar silat. Kemenangan atas Kalayawana dan sepasang pendekar India memang pantas jadi bahan kekaguman orang. Kemarin pun namanya disebut-sebut berkaitan kabar yang mengatakan ia gila lantaran melatih ilmu sesat.
Sin Thong memandang Wisang Geni dengan amarah luar biasa. Ia memaki dalam bahasa Cina. Geni tertawa dingin, balas memaki dengan meniru ucapan Sin Thong. Amarah Sin Thong memuncak.
Dari gebrakan Geni tadi, Sin Thong tahu lawannya berilmu tinggi Itu sebabnya sambil memaki, Sin Thong menyerang sengit. Sepasang goloknya, mengarah empatbelas jalan darah Geni. Melihat lawan begitu telengas, Geni segera mengerahkan jurus Sikepdehak yang inti gerakannya adalah tangkap dan dorong. Geni seperti menyampok punggung golok dan mendorongnya ke sisi berlawanan, gerakan itu dilakukan seperti tidak menggunakan tenaga, namun hasilnya luar biasa. Sepasang golok lawan saling beradu dan Sin Thong terdorong surut dua langkah.
Pada saat itu melayang dua sosok tubuh ke atas panggung.
Geni mengenal yang wanita, yakni Mei Hwa, yang sekarang sudah menjadi isteri Manjangan Puguh, gurunya. Seorang lagi, lelaki kurus jangkung berusia sekitar limapuluhan. Lelaki itu menuding Macukunda dan berkata setengah teriak dengan logat Cina yang patah-patah. Rupanya ia sedikit gagu Mei Hwa menerjemahkan, "beginikah jago tanah jawa bertanding, kalian sudah kalah, lantas mau sengaja mengacau, hayo cepat mengaku kalah!"
Wisang Geni balas membentak, "Siapa kau, berani mengatakan tanah Jawa kalah. Aku belum bertanding bagaimana bisa kalah?"
"Aku, Sam Hong dari partai Whu Than, aku pemimpin rombongan Kuangchou ini. Kau pura-pura tidak tahu atau memang matamu tidak melihat semua jago tanah Jawa sudah kalah!" Mei Hwa sibuk menerjemahkan dari bahasa Cina ke Jawa dan juga sebaliknya dari bahasa Jawa ke bahasa Cina.
"Tidak bisa! Aku belum bertanding, tak bisa dikatakan tanah Jawa kalah! Kalau kalian sudah kalahkan aku, baru boleh temberang dan tepuk dada."
"Kamu siapa, kita sudah membuat aturan sebelum pertarungan dimulai, yaitu masing-masing kubu diwakili lima pendekar. Siapa yang menang paling akhir, dia yang keluar sebagai pemenang. Jago kalian sudah kalah semua. Apalagi yang mau dibicarakan!"
Wisang Geni tahu bahwa ia harus memancing kemarahan orang-orang Kuangchou agar mau membuka pertarungan lagi. Karena ia yakin dengan pengendalian Jurus Penakluk Raja ia akan mampu menghadapi siapa saja di pihak lawan. Kalaupun kalah, ia tak akan kecewa karena sudah berusaha. Lagipula inilah kesempatan bagus mengangkat kembali citra dan kebesaran nama Lemah Tulis.
"Hei, goblok! Aku adalah salah satu peserta yang menang di puncak Mahameru jadi aku berhak tarung dengan kalian. Lagipula pendeta Macukunda belum kalah, jadi layak saja jika aku maju menggantikan beliau."
Ketika itu Mei Hwa berbisik-bisik pada Sam Hong. Sebelum dia mengatakan sesuatu, Geni telah mendahuluinya.
"Ya, bagus, Mei Hwa, kau seorang juru bahasa yang pintar.
Katakan pada ketua partaimu itu, bahwa aku punya ilmu sangat tinggi. Aku adalah jagonya jago, jadi kalau dia takut suruh saja dia pulang ke Cina dan bertapa di puncak gunung!"
Sam Hong berkata dengan nada hormat.
"Rupanya tuan seorang ketua partai besar, tapi kenapa tuan tidak menepati janji. Tuan datang terlambat sehingga tempat tuan diberikan kepada teman pendekar lain."
Wisang Geni terdesak. Tapi ia tak mau kalah. Ia menyahut sembarangan.
"Siapa bilang aku terlambat, lihat aku berdiri di sini, sekarang aku ambil kembali jatahku, tidak salah kan?
Lagipula semua ini salahmu, kenapa kamu tentukan hari pertarungan pada hari perkawinanku. Aku terpaksa kawin dulu, baru datang ke sini."
"Benarkah, tuan merayakan pernikahan dulu? Aku ucapkan selamat, tapi mana isteri tuan apakah tuan bawa serta?"
Saat itu juga Wulan dan Sekar melambungkan tubuh dan salto ke atas panggung.
"Kenapa apa ketua partai Whu Thang tak percaya pada omongan suamiku?" kata Wulan.
Sam Hong berulang-ulang memberi selamat dengan menjura.
"Oh dua perempuan ini isteri kamu. Tetapi sayang aku tetap tak percaya omong kosong ini. Lagipula jika benar, perkawinan ini tak ada hubungannya dengan pertarungan. Aturan tetap aturan, tanah Jawa sudah kalah, habis perkara."
Kini Wisang Geni benar-benar naik pitam.
"Hei, kau dan kawanmu cepat pergi dari sini, sebelum hidung kalian kupindahkan ke pantat atau kaki kalian kupindahkan ke telinga. Kau tahu, kalian tak punya keberanian menghadapi aku, bilang saja takut dan berlutut di depanku, baru aku beri ampun!"
Sepasang mata Sam Hong berkilat. Ia marah. Tiba-tiba Sin Thong menghampiri Sam Hong dan bicara dalam bahasa Cina. Selang sesaat, Sam Hong berkata kepada Wisang Geni dan juga ditujukan kepada semua penonton.
"Baik, karena pendekar Wisang Geni mendesak, maka kami akan bertarung dengan dia. Tapi kalian harus janji, setelah dia kalah tak boleh ada lagi yang menantang kami. Kalau kalian sepakat baru kami siap!"
Semua penonton menjawab serempak "Setuju!"
Sam Hong segera melompat turun bersama Mei Hwa diikuti pendeta Macukunda, Wulan dan Sekar. Tinggal Wisang Geni dan Sin Thong yang akan tarung.
Sin Thong memberi hormat, "Silahkan tuan mengambil senjata!"
Wisang Geni tertawa keras, sengaja pamer tertawa dari lembah kera kemudian menjawab, "Maaf, aku tak pernah pakai senjata!"
Tanpa sungkan Sin Thong menyerang sengit. Ia memutar sepasang goloknya bagai titiran dan menyerang semua jalan darah kematian. Geni menyambut dengan tertawa dingin.
Terlihat ia seperti orang bersedih hati, tangannya ditopang ke dagu, dua kakinya seperti berjalan gontai, tangannya yang lain mendorong ke depan. Percuma memutar goloknya dengan gencar, ada tenaga besar yang membuat Sin Thong terpukul mundur. Pendekar Kuangchou ini terkejut, ilmu apa itu dan betapa besar tenaga yang dikeluarkan Geni
Tetapi pendekar cina ini tak mengendurkan serangan, dalam sepuluh jurus ia sudah mengurung Geni rapat rapat. Terlihat kilat putaran golok di sekeliling tubuh Geni. Tetapi jangankan mengena telak, menyentuh kulit Geni saja tak bisa. Pendekar Lemah Tulis itu tak terjamah.
Geni melihat dan mencari kelemahan lawan. Ia merasa sudah cukup berlaku kendur, ia harus secepatnya menyelesaikan tarung pertama ini. Masih ada beberapa tarung lain yang akan dilaluinya. Segera ia rciainkan jurus Prasada Atishasha (Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan perasaan Prabhawa. Inilah Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu.
Kekuasaan atau sikap Prabhawa yang melapis jurus Prasada Atishasha yang merupakan penampilan Jurus Penakluk Raja itu berhasil membuat sepasang golok Sin Thong mental ke udara, tangan Geni terus melaju menerobos pertahanan dan menggedor pundak lawan. Pendekar Cina itu terpental keluar panggung. Dua goloknya jatuh persis di tangan Geni yang segera menekuk patah menjadi delapan potong. Sin Thong berdiri gontai, muntah darah kemudian terduduk lagi.
Wisang Geni seperti tak peduli keadaan sekeliling, ia memandang ke arah Sam Hong dengan pandangan menghina. Sam Hong merasa darahnya mendidih. Tapi sebelum ia melompat, Pak Beng melompat duluan. Tanpa basa basi, Pak Beng segera menyerang dengan tangan kosong. Ia terkenal dengan pukulan racun dingin. Antaboga dan Sang Pamegat yang kena hajar tangan dinginnya masih saja menggigil sampai sekarang. Wisang Geni tersenyum dan berseru dengan nada sinis, "Kau pamer tenaga dingin di daerah panas, baik aku mau lihat mana lebih dingin tenagamu atau tenagaku?"
Sambil berkata demikian, Geni melontar pukulan dengan Jurus Penakluk Raja dengan aksi jurus Nanawidha dari Bang Bang Alum Alum dan rasa sikap hayu (Keselamatan).
Hebatnya Jurus Penakluk Raja adalah rasa diambil dari delapan sikap jiwa sementara bhava atau aksi tidak harus dari Prasidha tapi bisa dengan jurus apa saja.
Mei Hwa masih saja rajin menerjemahkan semua percakapan di atas panggung. Mendengar Geni mau adu tenaga pukulan dingin, diam-diam Pak Beng merasa senang. Ia yakin, sekali hantam Geni akan rubuh! Sebab tenaga dinginnya ini yang dilatih di puncak gunung bersalju selama ini tak pernah tertandingi. Di daratan Cina hampir tak ada pendekar yang berani adu tenaga dingin dengannya.
Terdengar benturan tenaga, keras lawan keras. Hawa dingin menyambar ke mana-mana, penonton di bawah panggung merasa kedinginan, hampir beku. Beberapa benturan tenaga pukulan menyusul. Wisang Geni menggelar Jurus Penakluk Raja dengan Sringara sikap Syura (Berani) dengan menggabung empat jurus Nanawidha, Gora Andaka, Kinabasang, hokamandala semuanya dari Bang Bang Alum Alum. Tujuh kali terjadi benturan tenaga, Geni tetap berdiri tegar. Pak Beng juga berdiri, hanya mendadak tubuhnya menggigil hebat. Pak Beng roboh dengan wajah keabu-abuan, bibirnya pucat dengan tubuh gemetaran hebat.
Penonton bersorak riuh. Wajah semua anggota tamu pucat pasi. Tidak bisa tidak, kini Sam Hong harus maju meski dalam hati ia agak gentar. Tetapi ini masalah gengsi, lebih baik mati daripada menanggung malu. Sam Hong meloncat ke panggung. Ia berseru, suaranya menggema. Mei Hwa menerjemahkan.
"Ketua Lemah Tulis ternyata seorang pendekar dengan ilmu kepandaian hebat, aku kagum dibuatnya. Terpaksa aku harus mencoba unjuk kepandaianku yang tak seberapa ini".
Wisang Geni menatap lawannya ini, yang merupakan pendekar kenamaan Cina dan juga kepala rombongan. Ia melihat ke dalam mata lawannya. Mata lawannya itu bening, jernih dan berbinar-binar. Itu tanda bahwa Sam Hong memiliki tenaga dalam hebat yang tak terukur. Karenanya Geni tak mau meremehkan lawannya ini. Diam-diam ia menebak lawannya pasti lebih tangguh dan lebih lihai dibanding Sin Thong ataupun Pak Beng.
Sam Hong bertanya yang diterjemahkan Mei Hwa.
"Aku akan menanti di bawah panggung, sampai pendekar Wisang Geni merasa sudah cukup beristirahat, karena aku tak mau mengambil keuntungan dari keadaan tuan yang letih."
Dengan nada angkuh dan sikap jumawa Wisang Geni menegaskan ia tak perlu istirahat.
"Tadi itu, aku hanya melakukan pemanasan saja, karena aku tahu bakal menghadapi pendekar hebat dari Cina yang bernama Sam Hong. Nah silahkan tuan memulai!"
Pertarungan tak terelakkan, keduanya berlaga dengan tangan kosong. Sam Hong dengan delapanbelas jurus Naga Membalik Bumi diladeni Geni yang memainkan Jurus Penakluk Raja namun kini dengan jurus-jurus dari Garudamukha Prasidha yakni Sikbwiriya (Cintaku kepadanya), Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil), Agniwisa (Pijar api), Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah), Prasada Atishasha (Menara tinggi bukan main), Akwamatyana (Biarlah aku membunuh) dan Kacakrawartyan (Penguasaan dunia).
Tujuh jurus Prasidha yang diulang dua kali putaran tak membuat Sam Hong kesulitan. Sepertinya Geni merasa tenaga menghisap dari Prasidha ternyata tidak berarti apa-apa bagi Sam Hong. Pertarungan dari saat ke saat semakin seru. Sam Hong benar-benar seorang jago sejati Ilmu Naga Membalik Bumi merupakan gabungan tenaga keras dan lunak, panas dan dingin. Wisang Geni kewalahan, ilmu Prasidha dan yang diikuti Bang Bang Alum Alum tak berdaya mengimbangi kekuatan lawan.
Sam Hong benar-benar tangguh, jurus-jurusnya penuh perubahan yang membingungkan disertai penggunaan tenaga dalam hebat. Geni sekarang mengerti mengapa pendekar Merapi, Sagotra, dikalahkan pendekar kelas wahid Wu Than ini. Pada jurus limapuluh, tamparan keras Sam Hong menerobos dan menggenjot dada dan pundak Geni.
Geni sempat menangkis sehingga pukulan itu tidak mengena telak dan tenaga pukulan juga sudah hilang lebih dari separuh. Kendali demikian, Geni merasa darahnya bergolak hebat, nyaris ia memuntahkan darah. Sam Hong tahu lawannya terluka, maka ia tak mau memberi kesempatan. Ia menyerang gencar dan telengas. Ia tak peduli soal mati hidup lagi. Dia ingin menang, agar kematian putranya bisa terungkap. Sesuai perjanjian jika tanah Jawa kalah maka seluruh pendekar tanah Jawa harus mencari dan menemukan pembunuh putra Sam Hong itu.
Wisang Geni terdesak, saat itu Sam Hong memukul dari dua arah berlawanan, gerakan menggunting yang banyak kembangan tipu, jurus Naga Langit Mengawini Naga Bumi, salah satu jurus paling hebat dan ganas dari ilmuNagaMembalik Bumi. Geni dalam bahaya. Tenaga dalamnya masih belum teratur akibat pukulan Sam Hong yang cukup keras itu.
Dia tak punya jalan keluar. Sebab ia tahu begitu menangkis maka serangan kaki Sam Hong akan lebih mengancam lagi. Ia bisa membaca itu dari pasangan kuda-kuda Sam Hong. Ini soal mati dan hidup! Tidak ayal lagi, Geni menggelar Waringin Sungsang dengan sikap Harsa (Gembira). Pukulan Sam Hong jatuh di tempat kosong, Geni melejit mundur. Sam Hong memburu, "Mau lari ke mana kamu" Katanya dalam bahasa Cina. Geni melejit mundur memutari panggung, Sam Hong mengejar dengan pukulan-pukulan mematikan. Tetapi berkat ilmu ringan tubuh Geni yang sangat mumpuni, Sam Hong tak mampu mengejarnya. Karuan membuat pendekar Cina ini semakin marah.
Dalam beberapa saat itu, memanfaatkan waktu kejar- kejaran tadi, Geni berhasil menghimpun kembali tenaga Wiwaha meskipun dada dan pundaknya masih sakit. Merasa sudah cukup menghindar dan merasa tenaganya sudah mulai teratur, Geni kembali bertarung dalam jarak dekat.
Tetapi jurus-jurus aneh dari Naga Membalik Bumi kembali unjuk keunggulan. Beberapa kali ancaman itu nyaris menerpa tubuh Geni. Pertarungan memasuki jurus limapuluhan dan Wisang Geni masih saja terdesak. Suatu ketika Sam Hong menghantam dengan jurus dahsyat Ekor Naga Menghentak Bumi. Tenaganya penuh, tampaknya Sam Hong ingin adu pukulan karena ia memang mengandalkan jurus ampuhnya itu.
Wisang Geni tak ingin terus berlari. Ia ingin menyudahi tarung secepatnya. Karenanya ia kerahkan rasa Kapejah, perasaan seseorang waktu hendak mati. Dan Bahva yang ia pilih adalah jurus Akwamatyana dari Garudamukha Prasidha (Biarlah aku mati atau kau yang mati).
"Plaak, plaak, plaak! Plaak, plaak, plak! Dess, dess, desss!"
Sembilan kali benturan tangan dan kaki, menimbulkan suara keras. Penonton di bawah panggung merasakan kesiuran angin panas dan dingin. Untuk pertama kalinya sejak menguasai ilmu silat tingkat tinggi, baru hari ini Geni menemukan tandingan. Tenaga Sam Hong sesungguhnya masih di bawah kekuatan Wiwaha namun jurus Naga pendekar Cina itu bisa membuat tenaga pukulannya ibarat gelombang. Adu pukulan itu menimbulkan akibat pada kedua pendekar.
Geni merasa darahnya meluap kemudian mereda, dadanya merasa ngilu, dua lututnya bergetar hebat. Tubuhnya oleng, hampir jatuh. Mata jeli Geni sempat melihat keadaan Sam Hong.
Tampak mata Sam Hong melotot, tubuhnya bergetar hebat. Ia jatuh terduduk dengan posisi menghadap Geni. Mendadak dua kepalan tangan Sam Hong bergerak putar ke atas kemudian turun mengarah kepala sendiri. Sam Hong hendak bunuh diri! Wisang Geni berteriak, "Jangan", sambil ia melayang ke arah Sam Hong. Ia berupaya hendak menahan tangan Sam Hong, mencegah pendekar Cina itu bunuh diri.
Ternyata tidak, Sam Hong merancang strategi tipuan. Jika Geni tidak berupaya menolong, paling tidak Geni akan terkejut. Saat itulah gerak tangan itu akan berubah menjadi jurus Lidah Api Naga Bumi Menelan Korban menghantam kepala dan dada lawan.
Jika Geni bergerak maju hendak menolong, maka jurus itu akan lebih mudah mengenai sasaran. Dan sudah pasti akan menelan korban. Geni bakal kena hantaman! Sam Hong terpaksa memainkan akal bulus ini, meski di dalam hati ia merasa malu dan risih. Bagi seorang pendekar garis lurus, menciderai lawan dengan cara membokong dan berlaku curang adalah suatu aib tersendiri.
Memang itulah yang terjadi! Geni bergerak maju hendak menolong. Geni melakukan itu tanpa persiapan dan tidak tahu bahwa di balik tipuan itu, ia akan diserang dengan jurus mematikan.
Sam Hong berteriak gembira. Begitu Geni berada di depannya, dua tangan yang mengarah kepala sendiri itu berubah arah, memutar di atas kepala dan menghantam dada Geni. Tenaganya penuh, Sam Hong telah menguras seluruh tenaganya disalurkan dalam jurus maut itu. Jarak sangat dekat, Geni tak punya peluang menghindar. Semangat Geni terbang.
"Matilah aku!"
Di saat-saat terakhir itu, Geni pasrah secara mutlak! Mati sekarang atau mati besok sama saja, selamat tinggal dunia, selamat tinggal Wulan dan Sekar, isteri dan kekasihku! Secara naluriah sikapnya Sringara adalah Kapejah kematian dan Kemuka cinta. Ia pasrah mati, tetapi dalam keadaan mencintai dua kekasihnya. Namun sebagai manusia yang ingin hidup, tanpa sadar ia menarik dua bahunya merapat ke dada sambil dua tangannya berdekap melindungi dada sekaligus memainkan Bhava jurus Sikhmriya (Cintaku kepadanya) dari Garudamukha Prasidha.
"Desss, desss, desss, dess!"
Terdengar suara bentrokan tenaga. Dua tangan Sam Hong membentur dua tangan Geni yang melindungi dada. Saat berikut Sikhmriya beraksi, satu tangan tetap menahan dua tangan lawan, tangan lainnya diangkat ke atas, berputar dan mendorong ke depan. Tangannya telak menghantam dada Sam Hong, sambil ia berseru, "Kalau pun harus mati, maka kita mati berdua!"
Semua penonton menahan napas. Wisang Geni terlempar ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
Sam Hong tak bersuara lagi, dadanya melesak ke dalam, tulang-tulangnya patah. Ia tewas di tempat. Tragis, seorang pendekar kenamaan dari daratan Cina, tewas secara memilukan di bukit Penanggungan. Berita ini bakal menggegerkan dunia persilatan di daratan Cina.
Pada saat itu beberapa bayangan melompat ke atas panggung. Wulan dan Sekar segera merangkul suaminya. Wulan memangku kepala, Sekar memeluk tubuhnya. Dua perempuan cantik itu berseru dengan tangis, "Geni, jangan mati!" Manjangan Puguh dan Gajah Waiu berjaga-jaga di sisi Geni.
Saat berikutnya Geni membuka mata.
"Aku masih hidup. Bagaimana dengan Sam Hong?" Ia memaksa diri duduk dengan dibantu dua isterinya. Ia melihat beberapa pendekar Cina memegang dan menggotong mayat Sam Hong.
Manjangan Puguh berkata lirih, "Sam Hong mati!" Ia memegang lengan Mei Hwa, isterinya Perempuan Cina itu bersandar di pundak suaminya Ada warna duka dalam wajah Mei Hwa Ia sudah pamit tadi sebelum pertarungan, bahwa ia tak akan kembali ke Cina karena mengikuti suaminya, Manjangan Puguh. Berita ini juga akan membuat ibu Mei Hwa, seorang pendekar kenamaan Sian Hwa, Dewi Pedang Gurun Gobi bersedih.
"Geni bagaimana lukamu?" Sekar bertanya dengan suara gemetar saking tegang memikirkan keselamatan kekasihnya. Tanpa mendengar jawaban Geni, sebenarnya ia menyadari luka suaminya cukup parah.
"Aku tak apa-apa. Luka ini memang cukup parah, aku perlu waktu satu bulan untuk sembuh" Geni memandang wajah dua isterinya yang tampak sayu dan bersimbah airmata "Jikalau saja tadi aku tidak mengingat kalian berdua, mengingat cinta kalian padaku dan merasakan cintaku pada kalian, mungkin aku sudah mati sekarang ini!" Dua perempuan itu tak mengerti apa hubungannya cinta dengan pertarungan mati hidup tadi, tetapi keduanya diam dan hanya manggut saja.
Geni melanjutkan, "Tetapi Sam Hong, sungguh kasihan, harus mati seperti itu. Aku heran mengapa ia mengambil jalan pintas dan nekad. Ia memojokkan aku, serangannya itu cuma aku atau dia yang hidup. Salah seorang harus mati! Bagiku tak ada pilihan lagipula jurusku itu keluar begitu saja untuk menyelamatkan diri meski sebenarnya aku sudah pasrah mati, bagiku mati sekarang atau mati besok, sama saja, mati dan hidup pun, sama saja!" Wulan memotong, "Geni, jangan bicara terus. Kau perlu merawat lukamu!"
Saat itu matahari senja tenggelam Semua orang sudah bubar turun gunung. Pendeta Macukunda dan para pendekar lain, memberi selamat dan terimakasih kepada Geni yang telah menyelamatkan gengsi tanah Jawa "Ki Wisang Geni, kamu sekarang sudah pantas disebut Pendekar Tanah Jawa.
Memang masih banyak pendekar lain yang barangkali berilmu lebih tinggi dari kamu, tetapi gebrakanmu tadi telah menyelamatkan kita semua, aku beri kamu gelar Pendekar Tanah Jawa, dan siapa orang yang tak setuju usulku ini boleh berhadapan dengan Mahameru!" 
Geni membalas hormat para pendekar.
"Jangan paman pendeta memberi aku gelar itu, aku belurn pantas menerimanya!"
Semua pendekar menyatakan setuju. Pendekar Merapi Sagotra, Nyi Pancasona, Grajagan, Manjangan Puguh, Gajah Watu, Dewi Obat, Sang Pamegat menyambut baik gelar yang memang pantas diberikan kepada Geni mengingat jasanya yang besar. Kemudian satu per satu mereka bubar turun gunung.
Wisang Geni dipapah dua isterinya. Ia memegang tangan Wulan dan Sekar.
"Kalian berdua takut aku mati kenapa?"
Mendadak tubuh Wisang Geni menggigil. Luka dalam membuat ia lemah, karenanya ia tak tahan angin dingin yang tiba-tiba berhembus dengan kerasnya. Ia memaksa duduk sila, semedi dengan memejamkan mata. Tetapi tak ada gunanya, ia tetap menggigil kedinginan. Wulan dan Sekar menggandeng lengan Geni memasuki desa dekat lereng gunung.
Mereka menemukan sebuah rumah penduduk yang bersedia disewa. Wulan dan Sekar memeluk untuk menghangatkan tubuh kekasihnya. Geni berbisik, "Aku memang luka dalam, tetapi aku masih kuat memberi kalian berdua kepuasan seperti biasa." Tiga insan itu tertawa geli. Saat berikut Geni tak lagi merasa dingin.
Esok paginya seharian, Wisang Geni semedi mengatur kembali tenaga Wiwaha yang sudah semrawut berkeliaran tak teratur di seluruh tubuhnya. Ia tahu, kalau saja tak pernah berlatih Wiwaha nama Wisang Geni saat ini sudah terkubur.
"Terimakasih guru Lalawa. Kamu sudah lama mati, tapi kamu telah memberi kehidupan pada muridmu yang paling beruntung ini!"
Tujuh hari mereka tinggal di desa. Malam hari mereka bercinta, siang hari Geni semedi menyembuhkan luka dalamnya. Di hari pertama Geni mengajari dua kekasihnya mencari rumput dan akar pohon untuk ramuan. Mendadak saja di hari kedelapan muncul Lembu Agra di depan rumah. Ia didampingi empat orang anak buahnya dari perguruan Turangga.
Lembu Agra tertawa keras, "Ha, ha, ha, mau lari ke mana kamu Wisang Geni, kamu tak pernah menyangka aku bisa menemukan kamu di sini. Kamu hebat bisa mengalahkan orang-orang Cina itu, tetapi kamu sekarang luka parah, kamu tak berdaya."
Geni tak pernah menyangka bakal ada kejadian seperti ini. Dia menyesal meminta Manjangan Puguh dan teman-teman lain pergi.
Pikirnya wakiu itu dia ingin menyendiri bertiga isterinya.
Sekarang Jia lak berdaya, jangankan Lembu Agra, menghadapi penjahat kelas teri pun sekarang ini ia tak sanggup.
"Kau memang tak punya malu!"
Wulan dan Sekar pasang kuda-kuda di samping suaminya.
Wulan memaki, "Kamu mau apa ke sini?"
"Sudah tentu membunuh Wisang Geni. Tetapi sebelum itu aku ingin melihat penderitaannya. Aku akan memperkosa kamu berdua di depan matanya. Nah, bagaimana pendapatmu?"
"Kamu memang bejat, pengkhianat busuk, aku akan adu jiwa denganmu!" Wulan hendak menyerang, tetapi tangan Sekar memegang erat lengannya.
"Tahan dulu, mbak. Dia sengaja memancing amarah kita."
Seorang nenek tua, tubuhnya agak bungkuk, rambut putih seluruhnya, dengan tongkat sapu lidi di tangan, mendekat.
"Jangan, jangan berkelahi di sini, rumah ini nanti roboh!"
Tetapi mana mau Lembu Agra menuruti omongan si nenek.
Ia membentak si nenek, "Diam kamu tua bangkotan, cepat kamu minggir!"
Nenek tua itu ketakutan dan melangkah terseok-seok keluar ke pekarangan.
Lembu Agra berkata kepada anak buahnya, "Jangan bunuh Wisang Geni, biarkan dia hidup beberapa saat lagi sampai aku selesai bercinta dengan dua isterinya yang montok"
Empat murid Turangga menyerang Sekar dan Wulan.
Sedang Lembu Agra menyerang Wisang Geni. Saking terkejutnya Sekar dan Wulan berseru, "Bangsat pengecut!" Tetapi dua perempuan ini tak mampu melepaskan diri dari keroyokan empat lawannya yang juga memiliki ilmu silat kelas atas. Wulan mengandalkan Garudamukha Prasidha menyerang gencar dengan jurus Agniwisa (Bisa api) dan Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah) berhasil menghantam salah seorang lawan. Ia membuka jalan menuju Geni, tetapi tiga lawan lainnya menghalangi dengan serangan serentak. Apalagi saat itu Sekar sedang dalam bahaya, membuat Wulan terpaksa menolongnya.
Pada saat berbarengan, hanya dengan satu gebrakan Lembu Agra berhasil menghajar Wisang Geni yang tenaga dalamnya belum pulih. Geni terjengkang dengan muntah darah. Dadanya sakit. Dua isterinya, menggeram marah, ingin membantu suarninya, namun tiga lawannya tidak memberi kesempatan.
Setelah menaklukkan Wisang Geni dengan tawa puas Lembu Agra menghampiri pertarungan. Tiba-tiba ia menerobos masuk dan menyerang Sekar, sementara tiga anak buahnya tetap mengeroyok Wulan.
"Jangan kalian lukai dia," seru Agra.
Beberapa jurus berlangsung, Lembu Agra berhasil menotok titik lemah Sekar yang langsung jatuh terduduk. Setelah itu ia menyerang Wulan dengan jurus dari Pitu Sopakara. Dikeroyok banyak orang, Wulan akhirnya tak berdaya ketika pukulan Agra membuat dia terjungkal. Tubuhnya lemas tak bertenaga karena urat besarnya ditotok, ia lumpuh untuk sementara.
"Kau bunuh saja kami, jangan melakukan penghinaan ini."
Lembu Agra tertawa sinis.
"Aku senang melakukan ini, pertama aku akan memerkosa Sekar, berikutnya nanti giliranmu, dan semua ini disaksikan kekasihmu Wisang Geni yang tak berdaya itu!"
Berkata demikian, Lembu Agra menghampiri Sekar yang ketakutan. Sekar tak berdaya, membayangkan yang akan dia alami membuatnya pucat pasi ketakutan. Dia gemetar ketakutan ketika tangan Lembu Agra meraba pinggul dan bokongnya, merobek baju di dadanya. Melihat payudarayang montok, dia mengelusnya.
"Kamu sungguh montok, pantas Geni tergila-gila padamu!"
Sekar menangis, "Jangan lakukan itu, lebih baik kamu bunuh aku saja!"
Wisang Geni berseru, "Lembu Agra, ini urusan kamu dengan aku, selesaikan sekarang, bunuh aku, tetapi sebagai pendekar kamu tak pantas memperlakukan perempuan dengan caramu yang hina."
"Aku gembira dan menikmati permainan ini, kamu saksikan kehebatanku." Lembu Agra memegang lengan Sekar yang terbaring di tanah. Ia berupaya mencium leher dan mulut Sekar namun gadis ini menggeleng kepalanya menghindar. Agra memegang kepala Sekar. Geni menutup mata, darahnya bergolak, tetapi ia tak berdaya. Tenaga Wiwaha masih tak beraturan, tak bisa dihimpun.
Sekar menangis. Pada saat Lembu Agra hampir mencium Sekar, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat. Lembu Agra terlempar. Ia bereaksi cepat, tubuhnya melenting bangkit. Namun bayangan itu yang ternyata nenek tua bungkuk sudah berada di dekatnya. Tanpa bisa dikelit, tangan si nenek menampar pipi Lembu Agra, enam kali. Pipi itu bengkak, beberapa giginya rontok.
Semua di ruangan itu terperanjat. Siapa nenek tua yang memegang tongkat sapu lidi itu? Betapa hebat ilmu silatnya, ia bisa menampar Lembu Agra berulang kali, tanpa lelaki itu bisa menangkis atau mengelak. Empat orang begundal Lembu Agra maju menyerang, tetapi nenek itu memutar tongkat sapu lidinya, dalam tiga gebrakan cmpat lawan itu tci jengkang.
Baju ili bagian dada robek, kulit dada ikut tersayat, darah mengucur.
Nenek itu mengambil tabung kecil dari saku kebayanya, ia bergerak cepat, sangat pesat. Ia menuang beberapa tetes cairan dari tabung, mengoles ke luka di dada lawan. Empat lelaki menjerit lengking mengerikan. Luka itu perih dan bertambah menganga lebar. Mereka melompat-lompat untuk mengurangi rasa perih.
Lembu Agra mencabut keris panjang, berseru, "Siapa kamu?"
Nenek tua itu tertawa terkekeh.
"Kamu goblok!" Ia bergerak lebih cepat dari serangan Agra. Tangannya menampar pipi, telinga lalu menggaruk dada Lembu Agra dengan tongkat sapu lidi. Setelah itu ia mengolesnya dengan cairan. Semua dilakukan dengan cepat tanpa Lembu Agra mampu menghindar atau menyerang balik. Saat berikut Lembu Agra menjerit kesakitan. Melihat mudahnya ia menghajar Lembu Agra dan empat anak buahnya, jelas nenek tua itu memiliki ilmu silat tingkat tinggi yang sulit diukur.
"Kamu laki-laki binatang! Gadis itu cucuku! Beraninya kamu mau memperkosa dia, seharusnya kubunuh kamu Beruntung kamu, hari ini aku pantang membunuh. Tetapi luka di dada kalian tak mungkin akan sembuh, cacat itu tanda-mata atas kejahatan kalian yang mau memperkosa cucuku. Camkan bangsat-bangsat busuk, suatu waktu jika kalian berani mengganggu cucuku ini, ke mana kamu pergi akan kukejar.
Dan tak ada orang yang bisa menolong kalian dari hajaranku! Sekarang pergi, sebelum aku berubah pikiran." Lembu Agra dan begundalnya pergi dengan menanggung malu.
Nenek itu menghampiri Sekar. Menepuk pundak dan punggung, membebaskan Sekar dari totokan.
"Terimakasih nenek, tetapi tadi nenek katakan aku cucumu, kamu salah, sebenarnya aku sudah punya nenek sendiri, namanya Dewi Obat, aku tak punya nenek lain."
"Dengar nduk, kamu memang cucuku, waktu berusia empat tahun, kamu kena penyakit cacar, aku titipkan kamu pada Kunti? Hebat dia bisa menyembuhkan burik di tubuhmu, kamu kini cantik luar biasa. Tetapi dia patut kuhajar karena bersalah membiarkan kamu jalan sendirian padahal ilmu silatmu masih sangat cetek!"
"Nenekku tak bersalah, aku saja yang malas berlatih. Hai Nek, kamu tahu persis nama kecil nenekku padahal tidak banyak orang mengetahui nama itu."
Nenek tua itu menolong Walang Wulan dan Wisang Geni.
"Sekar bocah goblok kamu itu cucuku, Dewi Obat atau si Kunti itu adik perguruanku. Tetapi dia lebih suka mempelajari pengobatan. Itu sebab ilmu silatnya rendah, maka ilmu silatmu juga rendah. Kamu memang cucuku, kamu anak putraku, orangtuamu mati muda, itu sebab kamu dipelihara si Kunti. Mana dia si Kunti?"
"Jadi aku harus bagaimana, memanggilmu apa?"
"Bocah goblok, ya panggil aku nenek. Jadi kamu punya dua nenek sekarang," ia tertawa geli, membuat Sekar ikut ketawa.
"Tetapi kamu harus ikut aku, belajar ilmu silat dari aku. Sini kamu bocah bodoh!"
Sekar menghampiri neneknya. Wajah neneknya tampak tua, tetapi tidak banyak keriput, masih tampak bekas kecantikan masa muda. Rambutnya putih semua, persis kapas. Tubuhnya bungkuk namun masih tampak segar.
Kulitnya kuning. Mereka saling rangkul.
"Kamu harus ikut aku, akan aku ajari ilmu silat paling dahsyat, supaya tak ada orang lagi yang berani menghinamu"
"Nek, tidak bisa, aku sudah punya suami, aku harus tinggal bersama suamiku."
Nenek tua terkejut. Ia menoleh memandang Wisang Geni.
"Diakah suamimu?" Ia bertanya pada Geni.
"Kamu murid siapa?"
"Aku murid Padeksa dari Lemah Tulis."
"Hah? Lemah Tulis? Eh kamu tahu di mana Suryajagad sembunyi, aku sudah belasan tahun mengejar kakek genit itu. Lantas perempuan ini siapa?" sambil ia menunjuk Wulan.
Wulan menjawab, "Aku juga isterinya."
Nenek tua itu tertawa.
"Kurang ajar memang Suryajagad. Bukan cuma ilmu silat saja yang ia wariskan pada murid- muridnya, sampai pada cara memelet perempuan pun diwariskan. Sekarang ini kamu luka parah, benar?"
Nenek tua itu kemudian membantu Wisang Geni. Ia menotok, mengurut dan menepuk beberapa titik di punggung, dada dan perut kemudian menyalurkan tenaga dalam. Geni merasa suatu tenaga besar menerobos dan merambah ke seputar tubuhnya. Ia takjub, nenek tua ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi Sepenanakan nasi kemudian si nenek menyudahi pertolongannya. Wisang Geni merasa segar, ia berusaha mengerahkan tenaga dalam. Ternyata tenaga Wiwaha langsung bereaksi. Ia gembira dan cepat mengucapkan terimakasih.
"Kau tahu di mana kakek gurumu Suryajagad sembunyi?"
Geni menggeleng kepala.
"Nenek kenal Eyang Sepuh?"
Nenek itu tersenyum, seperti seorang gadis yang senang dipuji kekasihnya.
"Kami saling kasmaran, bercinta sampai tahunan. Kami kawin. Ketika putra kami mati, ia putus asa lantas menghilang bagai ditelan bumi, puluhan tahun ia lenyap. Aku ditinggalkan begitu saja, kurang ajar dia tapi meskipun demikian aku tak bisa melupakan dia."
Ia menoleh menatap Geni dengan tajam, ia mengepal tangannya dan mengacungkan di depan wajah Geni.
"Awas kamu Geni, jangan perlakukan cucuku seperti itu, awas, akan kuhajar babak belur kamu! Eh apa kamu sungguh-sungguh mencintai Sekar?"
Geni mengangguk. Nenek tua memegang lengan Sekar.
"Kamu harus ikut nenekmu, aku akan melatihmu jadi pendekar wanita nomor satu seperti aku, sudah puluhan tahun aku tak punya tandingan. Hanya suamiku seorang yang mampu mengalahkanku. Dan ilmu silatku ini harus ada yang mewarisi sebelum aku mati!"
"Nek, tunggu dulu, biar aku pamit pada suamiku!"
Sekar berlari ke dalam pelukan kekasihnya. Ia tak merasa sungkan, mencium mulut Geni dengan bernafsu. Tiba-tiba ia menggigit pundak dekat leher Geni. Keras. Geni terkejut, ingin berteriak saking sakitnya namun ditahannya. Sekar menjilati darah di bibirnya, berbisik, "Mas, aku sudah mengisap darahmu, darahmu manis, darahmu sudah campur dalam darahku, itu tanda aku tak akan lupa padamu, tak akan ada laki-laki lain dalam hidupku. Dan luka bekas gigitanku itu jangan kamu obati, supaya kamu tidak lupa padaku. Geni, suamiku, aku tak mau kehilangan kamu."
Memeluk erat isterinya, Geni merasa berat untuk berpisah. Ia sadar sekarang, ternyata ia sangat mencintai Sekar.
"Aku tak akan lupa padamu, aku akan mencarimu." Geni menoleh pada nenek tua, "Nek, berapa lama kau bawa isteriku? Dan di mana tempatmu, biar nanti aku menyusul ke sana."
"Duabelas purnama, tidak lama anak muda! Sekarang ini aku ke Lembah Cemara setelah itu aku pergi ke suatu tempat, lalu kembali lagi ke Lembah Cemara. Duabelas purnama, aku sempurnakan ilmu silat isterimu. Setelah duabelas purnama, kamu jemput isterimu di Lembah Cemara, awas jika kamu ingkar janji!"
Sekar pamitan pada Wulan. Mereka berpelukan.
"Mbakyu, kamu jaga suami kita, awasi dia. Sedikit alpa saja, dia akan lari dengan gadis lain."
Wulan mencium pipi Sekar.
"Ilmu silat nenekmu itu tidak terukur tingginya, Sekar kamu berlatih yang rajin supaya menjadi pendekar wanita nomor satu. Aku akan menjaga Wisang Geni, dan mengingatkan dia selalu bahwa isterinya yang bernama Sekar adalah perempuan cantik yang setia. Aku jamin dia tak akan lupa padamu, dan setelah duabelas purnama aku bersama suami kita akan menjemputmu di Lembah Cemara. Dan hari itu kamu akan berduaan dengan dia sehari semalam, bahkan jika perlu dua hari dua malam, asal kamu tahan, adikku."
Sekar tertawa cekikikan.
"Gila, mbak. Bisa mati aku.
Mbakyu Wulan, kamu salah seorang yang paling kusayang di dunia, jangan lupa padaku, mbak. Sekarang aku pergi." Sekar memeluk erat Wulan, menciumi pipi dan lehernya. Dia menangis.
Wulan memeluk dan memandangi wajah Sekar yang cantik.
"Aku juga sangat menyayangimu, adikku. Jangan menangis, Sekar adikku, pergilah." Sekar memandang Wulan, dia mencoba senyum. Kemudian tanpa menoleh lagi dia berlari pergi sambil menangis.

* * *



INDEX WISANG GENI
Jurus Penakluk Raja --oo0oo-- Wulan dan Sekar
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.