Life is journey not a destinantion ...

Betina Dari Neraka

INDEX SURO BLONDO
Pemikat Iblis --oo0oo-- Memburu Manusia Setan

SURO BLONDO
PENDEKAR BLO'ON
Karya : D. Affandy

EPISODE I PEMIKAT IBLIS
EPISODE II IBLIS BETINA DARI NERAKA
EPISODE III MEMBURU MANUSIA SETAN

Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.

--₪֍¦ 1 ¦֍₪--

Matahari senja menapaki kaki bukit. Suasana di sekitar Malaya terasa sepi seperti berada di daerah kuburan. Dalam suasana senja yang sedemikian mencekam itu. Tiba-tiba dari arah utara terdengar derap langkah suara kaki kuda. Semakin lama langkah kuda yang dipacu dengan tergesa-gesa itu semakin bertambah mendekati sebuah sungai. Sampai kemudian terlihat salah seorang penunggang kuda memakai ikat kepala warna hitam, berbaju hitam dan kuda yang ditungganginya berwarna hitam pula. Laki-laki ini bertampang sangat angker, wajahnya di penuhi jambang dan bawuk lebat. Badannya tegap berisi pertanda bahwa ia memiliki tenaga yang sangat besar. Sungguh sangat jauh berbeda dengan kuda yang ditungganginya, karena kuda tersebut berbadan kurus macam keledai peot. Melihat keadaan kuda kurus kering itu; tentulah ia baru dipacu dari sebuah tempat yang sangat jauh. Terbukti badan kuda itu berkeringat, lidahnya menjulur seperti anjing sedangkan dari hidung dan mulutnya keluar busa berwarna putih.
Sampai di pinggir sungai yang sudah berubah gelap itu. Tiba-tiba penunggang kuda tersebut menghentikan tunggangannya. Ia melompat turun tanpa menghiraukan benda semacam karung yang terus menggelantung di punggung kudanya. Sebentar ia celingak-celinguk memperhatikan suasana di sekelilingnya. Kemudian ia menuruni pinggiran sungai. Sebuah kantong dikeluarkannya dari balik bajunya yang dekil. Dari dalam kantong hitam dikeluarkannya serbuk. Serbuk itu ia tebarkan ke dalam sungai. Hanya dalam waktu singkat terlihat adanya gejolak di dalam sungai tersebut. Jika saja suasana dalam keadaan terang benderang. Tentu segera terlihat bahwa ikan-ikan yang hidup dalam sungai tersebut terkapar mati. Jelas serbuk yang baru di tebarkannya merupakan serbuk racun yang sangat ganas. Laki-laki itu tampak puas sekali.
  "Hanya dalam waktu yang singkat. Ha ha ha...! Hanya dalam waktu yang singkat orang-orang di seantero Jawa Barat ini pasti pada mampus semua!" Laki-laki itu kemudian memasukkan kantong bubuk racun ke balik pakaiannya kembali. Sebentar ia berjalan mendekati kudanya, karung di atas kuda diturunkan. Lalu dengan seenaknya karung itu ditendangnya hingga masuk ke pinggir sungai. Karena terganjal batu, maka karung tersebut tidak langsung masuk ke air melainkan tertahan.
  "Di dunia ini memang tempat bernaungnya para iblis. Tidak heran jika orang seperti Pematung Kelana mampus di tangan iblis pula. Para iblis kini mempunyai urusan dan rencana besar. Bagaimana caranya membuat seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut iblis...!"
  Pengikat karung disentakkan oleh orang bertampang angker ini. Begitu karung terbuka. Maka tercium bau busuk yang sangat menusuk. Bau busuk tersebut sedemikian menyengat. Hingga membuat seseorang yang memperhatikan tingkah penunggang kuda kurus terpaksa menutup hidung dan mulut.
  Ia menyeka keningnya yang berkeringat. Buah durian yang dimakannya kini ia letakkan di samping tempat duduknya pada cabang yang sama.
  "Apa yang dilakukan lutung angker itu? Ia membekal makanan yang busuknya seperti bangkai manusia. Ketika ia bicara pelan tadi aku mendengar ia ada menyebutnyebut tentang Pematung Kelana! Pematung Kelana yang mana yang dimaksudkan monyet itu? Apakah pematungnya para iblis? Atau malah Pematung Kelana yang kujumpai di bukit Watu Cadas beberapa purnama yang lalu?" Si pemuda garuk-garuk kepalanya. Dalam kegelapan itu tatapan matanya yang setajam mata elang terus memperhatikan laki-laki berbadan tegap yang disebutnya dengan 'Monyet Lutung'.
"Pematung Kelana? Kurasa pematung sepertimu sudah tidak ada lagi di antara orang-orang yang segolongan denganmu. Kini kau memang pantas menjadi bangkai menemani ikan-ikan yang sudah mati itu!"
  Kembali terdengar suara serak si laki-laki. Tentu saja pemuda berbaju biru berambut kemerah-merahan ini terkejut sekali mendengar ucapan orang yang berada di bawahnya. Dugaannya tentang Pematung Kelana ternyata meleset. Jadi orang yang telah membusuk di dalam karung itu bukan Pematung Kelana aliran sesat? Weeh... bagaimana aku ini? Kuingat-ingat, ia merupakan seniman aneh dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Berarti orang yang telah membunuh Pematung Kelana merupakan lutung hitam di bawah sana yang kesaktiannya di atas luar biasa pula.
"Aih... keparat betul...!" Pemuda berambut kemerah-merahan ini membatin dihati. Dua suing kulit durian disambarnya. Laksana kilat ia menyambitkannya ke arah laki-laki berbaju hitam yang sudah bersiap-siap melemparkan mayat Pematung Kelana ke dalam sungai.
  Bletak! Buuk!
  Dengan keras kulit durian itu menghantam kepala dan punggung si lakilaki. Sungguh pun yang dilemparkannya hanya kulit durian, namun membawa akibat yang cukup fatal. Kulit durian itu sebagian menancap di punggung penunggang kuda kurus, sedangkan satu di antaranya menghantam keningnya.
  "Wuah... setan alas! Kunyuk mana yang telah begini lancang main-main dengan Sugriwa Kertopati!" Laki-laki baju hitam yang berdiri di bawah pohon yang diduduki di pemuda menggeram marah. Suasana kemudian berubah hening.
  "Bangsat! Kunyuk yang di atas pohon, sebaiknya cepat kau perkenalkan diri. Kau merupakan kawan kami atau hanya seekor monyet yang ingin cepat-cepat mampus?"
  "Ha ha ha...! Kebetulan aku masih mempunyai derajat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan monyet lutung seperti mu! Kalau melihat bawaanmu, tentu kau lutung kesasar dan sesat. Sedangkan aku orang baik-baik yang sangat benci dalam hal racun meracun!" jawab pemuda baju biru yang tidak lain adalah Suro Blondo alias Pendekar Blo'on. Sugriwa Kertopati tentu saja kaget bukan main mendengar semua apa yang dilakukannya telah diketahui oleh orang lain. Sehingga ia sempat terdiam untuk beberapa saat lamanya.
  Dicabutnya kulit durian yang membenam di bagian kening dan punggungnya. Dengan gerakan ringan dan asalasalan ia melemparkannya ke arah kegelapan pohon.
  Wuut! Wuut!.....
  "Aduh...!" Suro Blondo mengeluh. Padahal sambitan yang dilakukan oleh lawannya sama sekali tidak mencapai sasaran.
  "Keparat! Aku tahu kau mengejekku! Cepat kau turun atau aku akan membuatmu tidak berkutik di pohon itu?"
  "Seharusnya kau malu, karena kau ternyata tidak becus apa-apa. Tapi kurasa semakin lama aku semakin bosan bermainmain dengan lutung jelek sepertimu! Aku tanya... harap kau jawab secepatnya...!" tegas Pendekar Blo'on.
  "Huh...!"
  "Benarkah mayat yang baru hendak kau buang itu mayat Pematung Kelana?"
  "Apa perdulimu?" dengus Sugriwa Kertopati.
  "Tentu saja aku sangat perduli. Karena Pematung Kelana masih merupakan kenalan dekatku dan orang yang sangat kuhormati." Sugriwa Kertopati sama sekali tidak menjawab. Tiba-tiba ia merangkapkan tangannya ke depan dada. Secepat tangan hitam berbulu itu bergerak, maka secepat itu pula ia mengibaskannya ke atas pohon.
  Wus!
  Seleret sinar berwarna kemerahmerahan menderu dan menghantam cabang pohon yang diduduki oleh Suro Blondo. Pemuda ini kaget bukan main begitu merasakan sengatan hawa dingin mencucuk menghantam pantatnya. Ia melompat ke pohon lain, lalu melepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir' untuk menghadang pukulan berikut yang dilepaskan oleh Sugriwa Kertopati. Suasana berubah terang laksana kilatan cahaya petir. Sugriwa Kertopati paling sempat melihat wajah si pemuda melalui cahaya yang terpancar dari pukulan lawannya ini. Pemuda bertampang tolol berambut hitam kemerah-merahan. Rasa-rasanya ia pernah mendengar ciriciri seperti dari ketua mereka.

* * *



  Sugriwa Kertopati rasanya sudah tidak dapat berpikir lebih jauh lagi. Karena sinar putih berkilauan laksana perak tersebut langsung melabrak ke arahnya.
  Wuut!
  Seketika ia mengibaskan tangannya memapaki serangan itu. Cahaya merah berhawa dingin menderu. Kemudian terdengar suara ledakan dahsyat menggetarkan.
  "Edan!" Suro Blondo menggerutu sambil basahi bibirnya. Ia kemudian melompat dari cabang pohon dan menginjakkan kedua kakinya di atas sebongkah batu tidak jauh dari tempat Sugriwa berdiri.
"Manusia muka kunyuk bertampang iblis ini boleh juga. Tapi kurasa aku tidak perlu mengulur waktu. Sungai ini sudah tercemar, aku harus bisa paling tidak menangkapnya. Setelah itu segera kuumumkan pada semua penduduk agar tidak memakai air sungai ini untuk kepentingan memasak!" batinnya.
  "Siapakah kau?"
  "Hmm, aku adalah aku. Bukan kau, bukan bapakmu dan juga bukan kakekmu! Lekas kau berlutut di depanku. Aku mau menangkap kau punya badan dan mengumumkan pada orang-orang bahwa kau telah meracuni sungai ini!" Suro Blondo menggelengkan kepala sambil menyeka keringat yang mengucur di keningnya.
  Sugriwa Kertopati tertawa membahak. Tawa itu jelas disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Suro Blondo dapat merasakan getaran itu. Tapi ia malah menyeringai seperti kuda terinjak duri.
  "Bicaramu boleh juga, bocah bertampang tolol. Kau kira dengan kepandaian picisan yang kau miliki kau dapat melawanku? Cobalah berkaca apakah kau pantas mengalahkan aku!"
  "Air yang biasa kupergunakan untuk berkaca telah kau racuni. Mana mungkin aku dapat melakukannya. Menyerah sajalah kau padaku...!"
  "Bangsat rendah! Tidak ada yang dapat memerintah anggota iblis, apalagi hanya monyet tolol sepertimu?" bentak Sugriwa. Tiba-tiba saja ia menerjang ke depan. Tinjunya melayang mengarah pada bagian mata kiri Suro. Sedangkan kaki melakukan serangan tipuan kilat. Tindakan yang dilakukan oleh lawannya ini benarbenar tidak pernah terduga oleh pemuda berambut hitam kemerahan ini.
  "Gila betul!" gerutunya. Ia melompat ke samping kanan selamatkan wajahnya. Namun tendangan Sugriwa sempat menghantam tulang keringnya.
  Duuk!
  "Kampret sialan!" maki si pemuda terpincang-pincang.
  Melihat lawannya dalam keadaan begitu rupa. Tiba-tiba ia menyerang kembali. Jurus yang digunakannya juga bukan merupakan jurus sembarangan. Ia mengerahkan jurus 'Tapak Neraka Dunia' dalam upaya nya mengakhiri perlawanan Suro Blondo.
  Pemuda berbaju biru ini tentu tidak mau bersikap gegabah lagi. Begitu kaki kirinya bergeser ke belakang. Maka Suro pergunakan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'
  "Huup...!" Wuut! Wuut! "Iih...!"
  Suro Blondo terus berkelit dengan gerakan-gerakan lincah, lucu dan konyol. Sesekali ia bahkan melompat-lompat sambil menggaruk-garuk punggungnya. Namun setiap serangan yang dilakukan oleh Sugriwa selalu mengenai sasaran kosong. Sugriwa dalam kegelapan itu sempat terkejut. Sama sekali ia tidak menyangka kalau pemuda tampan bertampang tolol itu dapat menghindari setiap serangan yang dilakukannya.
  "Manusia geblek..!" dengus Sugriwa. Tiba-tiba saja ia merentangkan kedua tangannya.
"Inti Hati Yang Satu!" jerit Sugriwa.
  Laksana kilat ia menerjang ke depan, tapi kali ini ia tidak menyerang secara langsung. Melainkan mengitari tubuh Suro dari segala penjuru arah. Lalu...,
  Deb! Deb!
  Tangan kanan dan tangan kiri menggebrak secara beruntun ke arah empat jalan kematian. Pendekar Blo'on tercekat juga merasakan sambaran-sambaran angin yang begitu menghebat. Satu hantaman keras menderu ke bagian tulang rusuknya. Pemuda ini tampak sekali tidak sempat menghindari serangan ini. Sehingga ia terpaksa menangkisnya dengan siku kirinya. Benturan tidak dapat dihindari lagi.
  Duuk! "Hukh...!"
  "Beeh...!"
  Dua-duanya terkejut sekali. Sugriwa bahkan sempat terhuyung-huyung. Sedangkan Suro Blondo meringis sambil memegangi sikunya yang membengkak merah.
  "Ternyata kau memiliki kebolehan juga, kunyuk!"
  "Hhmm...." Suro Blondo menggumam tidak jelas.
  Dalam keadaan begitu rupa, pemuda berambut hitam kemerahan ini merobah jurus Silatnya dengan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Ini merupakan jurus yang lebih konyol lagi, yang kelihatannya dilakukan secara asalasalan. Namun membawa pengaruh yang sangat berat bagi lawannya. Sugriwa terkesiap ketika di atas lima belas jurus kemudian ia mulai mendapatkan tekanantekanan yang hebat dan dapat membahayakan pertahanannya. Ia berusaha mengerahkan jurus lain yang dimilikinya untuk melakukan serangan balik. Tapi sekali lagi ia dipaksa menghadapi kenyataan yang sangat mengesalkan. Semakin hebat dia berusaha mendesak lawannya, maka semakin gigih pula Suro Blondo melakukan serangan balik. Celakanya sungguh pun gerakan yang dilakukan oleh lawan seperti gerakan monyet melompat dan berayun. Tapi lawan yang bertarung sambil tertawa dan melolong ini sulit dijinakkan.
  Buuk! "Huakgh...!"
  Sekali waktu tinju kiri Pendekar Blo'on mendarat di dada Sugriwa. Lakilaki berkulit hitam legam ini jatuh terpelanting. Sudut-sudut bibirnya mengalirkan darah.
  Anehnya ia sudah dapat bangkit kembali hanya dalam waktu beberapa detik saja. Ia bahkan sekarang telah mencabut senjatanya yang berupa sepasang roda baja yang memiliki ujung runcing seperti mata tombak pada setiap sisinya.
  Cring...!
  Senjata kembar bulat bentuknya dan bergerigi ini sempat memijarkan api ketika Sugriwa mengadunya antara yang satu dengan lain.
  "Kali ini kau tidak mungkin dapat luput dari kematian, bocah tolol! Tapi sebelum kau mampus di tanganku, maukah kau menyebutkan siapa namamu agar nanti dapat kutuliskan di atas nisanmu?" Sugriwa Kertopati. Suro Blondo tersenyum, karena yakin senyumnya tidak mungkin terlihat oleh lawannya. Maka pemuda ini tertawa.
"Malaikat sudah tahu namaku. Kurasa hanya pada iblis saja aku pantas berahasia. Karenanya, kau sajalah yang sebutkan nama. Karena ucapanmu itu bisa saja berbalik menghantam dirimu!"
  "Bangsat!" sambil menggeram, Sugriwa menggerakkan kedua tangannya ke depan.
  Zing! Siing!
  Kedua senjata berbentuk roda itu melesat ke arah Suro Blondo. Bukan main cepat dan berbahaya serangan yang dilakukan oleh Sugriwa. Pendekar Blo'on tentu saja tidak ingin mati konyol. Ia mempergunakan jurus khusus menghindar yang diberi nama 'Seribu Kera Sakti Mengecoh Harimau'. Di samping itu ia juga mengerahkan ilmu mengentengi tubuh 'Kilat Bayangan'. Cepat sekali pemuda berambut merah ini berkelebat lenyap. Seranganserangan yang dilakukan oleh Sugriwa luput. Namun senjata yang dapat kembali pada pemilik dengan sendirinya ini terus bergerak mengejar kemana pun ia berusaha menghindar.
  Suro Blondo sadar betul ia tidak mungkin berkelit seperti itu selamalamanya. Karena bagaimana pun lama kelamaan tenaganya terkuras habis. Maka ia segera menyalurkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangannya. Masih dalam keadaan bergerak menghindar tubuhnya bergetar keras. Kedua tangannya bahkan telah berwarna merah redup. Satu kesempatan ia menjejakkan kakinya, begitu kaki menyentuh tanah. Suro Blondo menghentakkan kedua tangannya ke arah senjata lawan yang tengah melaju deras mencari sasaran. Wuut!
  Angin kencang disertai hawa panas meluruk ke arah senjata Sugriwa. Kemudian terdengar suara ledakan keras berdenting bagaikan suara bertemunya dua benda keras.
  Trang!
  Senjata roda bergerigi milik Sugriwa membalik terdorong pukulan 'Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar' yang melesat dari telapak tangan si pemuda. Sugriwa tentu saja tidak mau mengambil resiko dengan cara menangkap senjata yang hendak mencelakakan dirinya sendiri itu. Ia cepat merunduk sambil terus berguling-gulingan. Satu senjatanya dapat ia hindari. Tapi senjata yang lainnya dengan cepat telah menghantam batok kepalanya. Sugriwa Kertopati menjerit keras, tapi sudah tidak mampu angkat kepalanya yang rengkah. Tubuhnya menggelepar, kepalanya golang-goleng. Lalu diam membeku.
  "Hh, sayang dia mati. Aku tidak bisa tanya siapa orang yang berdiri di belakangnya. Apa yang harus kulakukan!" Pendekar Blo'on menepuk keningnya berulang-ulang.
"Monyet lutung itu cuma punya harta seekor kuda kurus kering." Suro Blondo kemudian menghampiri kuda kurus yang tampak gelisah tersebut.
"Kuda semacammu begini apa yang diharap? Tulangmu lebih banyak daripada dagingmu. Kulitmu juga keriput, paling yang besar cuma kentut sama kotoranmu. Lebih baik kau bawa majikanmu itu ke tempat asal!" kata Suro Blondo. Pemuda berwajah tampan bertampang seperti orang tolol ini kemudian mengangkat mayat Sugriwa. Sama sekali ia tidak menyentuh roda bergerigi yang membuat retak kepala pemiliknya sendiri. Ditepuknya pantat kuda tiga kali. Bibirnya tersenyum lalu berkata:
  "Kalau sudah sampai ke tempat tuanmu yang lain, katakan pada mereka bahwa majikanmu mati bunuh diri...!"
  Kuda yang dalam keadaan ketakutan itu meringkik keras, kemudian lari terbirit-birit dengan membawa mayat Sugriwa Kertopati di punggungnya.

 



--₪֍¦ 2 ¦֍₪--

  Ruangan pertemuan itu sangat luas sekali. Tiang-tiang penyangganya dibuat dari orang-orang yang telah mati. Tentu mayat-mayat yang dijadikan tiang penyangga tersebut berasal dari golongan putih. Keadaan mayat-mayat itu sungguh menyedihkan sekali. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah singgasana, di samping singgasana terdapat pula sebuah patung batu marmar yang sangat indah. Patung itu berujud perempuan berbaju transparan.
  Di atas singgasana itu kini duduk seorang perempuan berpakaian ketat warna ungu. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Tiada henti ia perhatikan patung laki-laki dan patung perempuan di kanan kirinya. Sungguh pun patung perempuan itu sangat cantik tidak terkira. Tapi nampaknya ia menyukai patung laki-laki berbadan kekar dengan otot-otot menonjol yang terdapat di samping kanannya. Lebih dari lima orang tokoh kini berada di dalam ruangan itu. Di antara mereka adalah Mustika Jajar (Dalam Episode Pemikat Iblis), Damerta, Ki Alit. Kedua laki-laki ini berhasil dipengaruhi oleh Mustika Jajar. Mereka berasal dari Samba. Kemudian Wiku Palawa, laki-laki berumur tujuh puluh lima tahun, berbadan bongkok bersenjata tongkat. Kemudian seorang laki-laki berbaju kembang-kembang seperti banci.
  Tidak lama setelah itu muncul pula seorang laki-laki tua berambut serba putih, berjenggot panjang dan punya mata cuma satu. Mata itu senantiasa berwarna kemerah-merahan, seperti orang yang terkena penyakit mata. Ketika melihat kemunculan laki-laki mata satu yang dikenal dengan julukan Tua Tengkorak Mata Api ini. Mustika Jajar yang duduk di atas singgasana langsung menjura hormat.
  "Silakan guru Maha Sesat mengambil tempat!" pinta si gadis pelan.
  Tua Tengkorak Mata Api dari lereng Cilawu ini langsung duduk di atas singgasana lain yang disediakan khusus buatnya.
  "Untuk mempersingkat waktu sebaiknya kita mulai saja pertemuan ini!"
  Mustika Jajar bangkit berdiri. Semua mata memandang kepadanya. Termasuk juga Damerta dan Ki Alit.
  "Kisanak sekalian dan juga guruku yang sangat kumuliakan. Hari ini aku sengaja mengundang kalian ke tempat pertemuan Curing bencana, tentu saja dengan maksud yang sangat baik. Aku ingin membuat sebuah kekuasaan dan kerajaan yang sangat besar. Sebuah partai yang tidak terhingga dan menguasai hajat hidup semua golongan. Karena kulihat di wilayah barat ini tidak ada satu partai pun yang menonjol, baik dari golongan hitam maupun putih. Maka inilah kesempatan yang sangat baik bagi kita...!" kata Mustika Jajar secara panjang lebar.
  "Tunggu dulu! Di wilayah barat ini aku mendengar kehebatan seorang pematung. Katanya ia merupakan tokoh aliran lurus yang mempunyai kepandaian hebat. Di samping itu dari daerah timur kudengar pula ada seorang pendekar bertampang tolol yang memiliki kesaktian luar biasa dan aneh. Setiap orang yang memiliki kesaktian tinggi dari golongan lain, aku menganggap ia merupakan musuh yang harus diperhitungkan!" kata Damerta cemas.
  Mustika Jajar tersenyum, seraya mengelus-elus patung laki-laki di sampingnya penuh kebanggaan.
  "Para Kisanak, lihatlah patung ini! Ia merupakan lambing kesempurnaan dari seorang ahli seni. Hanya Pematung Kelana yang dapat menciptakan patung seperti ini. Menurut kehendak para iblis, patung ini dapat kita hidupkan sebagaimana halnya manusia. Jika ia telah hidup, berarti dia menjadi andalan kita dimasa yang akan datang. Menurut anda, mungkinkah patung sebagus ini oleh pemiliknya diberikan pada kita? Sedangkan saudagar Bergola Mungkur yang kaya raya saja tidak bisa mendapatkannya? Padahal dia bersedia menukarnya dengan tiga kantung uang emas."
  Orang-orang yang hadir dalam ruangan pertemuan saling diam. Tidak lama barulah salah seorang di antara mereka bertanya.
  "Tetua... bagaimana cara anda mendapatkannya? Apakah anda membujuk Pematung Kelana?"
  "Hi hi hi! Tentu saja tidak! Pematung Kelana kubereskan dulu, setelah tubuhnya yang lapuk kucampakkan ke jurang, kemudian kuambil patung ini. Sekarang ini aku mendengar munculnya seorang pendekar...!"
  "Muridku, bicara terus terang dan langsung pada titik persoalan! Aku tidak betah duduk berlama-lama di sini." sergah Tua Tengkorak Mata Api tidak sabar.
  "Maafkan aku guru. Mengenai rencana muridmu ini tentu guru sudah dengar. Ambisiku terang dan jelas. Yaitu ingin mendirikan sebuah kerajaan dan kekuasaan. Sekaligus membuat perjanjian untuk menghidupkan patung ini untuk kujadikan pengawalku kelak...!"
  "Rencanamu sangat gila...?!" dengus laki-laki bermata satu ini tidak setuju.
  "Mengapa gila guru? Bukankah guru punya Ajian Benteng Roh? Guru pernah mengatakan padaku bahwa benda-benda mati yang menyerupai sesuatu yang hidup dapat dihidupkan kembali sebagaimana guru menurunkan ilmu silat padaku?"
  Tua Tengkorak Mata Api terdiam. Bagaimana pun ia sangat sayang pada muridnya. Karena sayangnya, dulu segala keinginan si gadis selalu diturutinya.
  Dan inilah kesalahan sekaligus kelemahannya. Tapi untuk tidak mengabulkan permintaan muridnya. Lakilaki bermata satu ini merasa ragu.
  "Semua apa yang kukatakan memang tidak dapat kupungkiri, tapi ingatlah! Aku bukanlah Tuhan. Tentu caraku sangat jauh bertentangan dengan kehendakNYA. Tentu saja kekuatan yang akan berperan dalam hal ini adalah kekuatan iblis juga!" kata Tua Tengkorak Mata Api.
  "Aku tidak perduli kekuatan apa yang akan mengisinya. Yang jelas aku ingin agar patung ini dapat hidup untuk mendampingiku!" Mustika Jajar rupanya tetap bersikeras juga.
  "Hmm, begitukah?"
"Benar, guru."
  "Watakmu memang keras sejak kecil. Untuk menghidupkan patung itu diperlukan gadis paling tidak tujuh orang yang masih suci. Apakah kau sanggup?"
  "Hi hi hi! Jangankan baru darah tujuh orang gadis suci. Seratus sekalipun kalau memang itu saratnya akan kupenuhi. Bukankah begitu, Wiku Palawa?" Mustika Jajar melirik ke arah Wiku Palawa. Lakilaki berjenggot panjang ini menganggukkan kepala.
  "Sebagai anggota, tentu saja aku akan selalu memenuhi perintah tetua!"
  "Untuk mencari dan mengumpulkan gadis-gadis itu, aku juga mau membantunya." ujar Damerta dan Ki Alit hampir bersamaan.
  "Nah tunggu apa lagi, sekarang berangkatlah kalian!" kata Mustika Jajar. Tanpa menunggu lebih lama lagi berangkatlah Damerta, Ki Alit dan Wiku
  Palawa.
  Kini di ruangan itu hanya tinggal Mustika Jajar, Tua Tengkorak Mata Api dan juga Pamali. Suasana di dalam ruangan begitu hening. Dan Mustika Jajar baru saja ingin mengatakan sesuatu ketika seekor kuda meringkik-ringkik di halaman Curing Bencana
  "Kuda itu seperti kuda tunggangan milik Sugriwa? Ada apa dengannya?" desis Mustika Jajar. Tua Tengkorak Mata Api seakan mengetahui apa yang telah terjadi, sehingga iapun berkata.
  "Orangmu yang bernama Sugriwa telah meninggal, Tika. Racun telah berhasil ditebarkan ke sungai, begitu juga mayat Pematung Kelana telah dicampakkan ke sungai. Tapi seseorang telah membunuhnya!"
  Mustika Jajar terkejut mendengarnya. Ia cepat-cepat berpaling ke arah Pamali. Tanpa diperintah, Pamali langsung menyadari bahwa tetuanya menghendaki agar ia mengambil jenazah Sugriwa. Laki-laki berusia empat puluhan ini menjura hormat, kemudian pergi meninggalkan ruangan. Hanya beberapa saat setelah itu, ia telah kembali sambil memanggul mayat Sugriwa yang dalam keadaan sangat menyedihkan itu.
  "Hem, benar-benar keji pembunuhnya! Aku yakin Sugriwa tewas bukan karena membunuh diri. Kepalanya pecah, benaknya berhamburan. Apakah masih ada kemungkinan untuk menghidupkannya, guru?"
  Tua Tengkorak Mata Api menggelengkan kepala.
  "Keadaannya yang begini mengenaskan, mustahil bagiku untuk menghidupkannya. Terkecuali kau mau mengorbankan sesuatu yang sangat besar!"
  "Apapun persyaratannya akan kulakukan. Aku kasihan padanya, roh Sugriwa pasti tidak tenang di alam sana."
  "Apakah kau mau mengorbankan kehormatanmu?" desis Tua Tengkorak Mata Api berterus terang.
  Mustika Jajar tentu saja tidak menyangka kesuciannya yang harus di jadikan korban untuk menghidupkan Sugriwa. Sungguh pun ia tokoh sesat yang menghalalkan segala cara, rupanya untuk menyerahkan yang satu itu ia tidak rela juga.
  "Kalau itulah persyaratannya, aku tidak dapat menyanggupinya, guru!"
  "Itulah sebabnya, lebih baik kuburkan saja Sugriwa. Kau dapat mengurus persoalan-persoalan lain secepatnya!"
  Mau tidak mau Mustika Jajar terpaksa menurut juga. Ia memerintahkan Pamali untuk membawa mayat Sugriwa, kemudian menguburkannya di suatu tempat.

 



--₪֍¦ 3 ¦֍₪--

  Bukan di daerah Bumi Ayu saja kematian akibat mempergunakan air sungai terjadi. Bahkan para penduduk yang mempergunakan air sumur, juga tidak terlepas dari bahaya racun yang mematikan. Rupanya hanya dalam waktu singkat racun yang ditebarkan oleh Sugriwa ke dalam sungai Cimacan telah meresap ke seluruh mata air tanah. Dalam waktu yang singkat banyak penduduk di wilayah Jawa bagian barat tewas secara sia-sia. Waktu itu sangat dikenal dengan istilah 'Kegebluk'. Tinggallah Suro Blondo dengan dibantu oleh beberapa pemuda, masyarakat bekerja mati-matian untuk menyelamatkan orang-orang yang tidak berdosa. Tapi tidak jarang ia juga mendapat perlakuan kasar bahkan dicaci maki oleh penduduk pada setiap desa yang dilaluinya karena mereka menyangka bahwa Suro Blondo-lah yang menjadi penyebab timbulnya wabah yang sangat mematikan itu.
  "Rasanya memang sulit menghadapi orang-orang bodoh! Aku yang kasih kabar agar mereka tidak minum air sungai. Aku pula yang mereka tuduh telah meracuni sungai. Tapi...!" Suro Blondo menggarukgaruk rambutnya.
"Bagaimana mungkin racun itu dapat merembas sampai ke sumur? Padahal jarak sumur-sumur mereka dengan sungai sangat jauh sekali."
  Pemuda berambut hitam kemerahan ini tiba-tiba menghentikan langkahnya. Angin kencang berhembus, mengibarkan anak-anak rambutnya yang terikat pita biru belangbelang kuning. Pemuda bertampang tolol ini tiba-tiba menutup hidungnya. Udara busuk menyengat hingga membuat perutnya terasa mual.
  "Angin ini berasal dari desa di depan sana. Kalau tidak salah itu adalah desa Cirebon! Apakah mungkin orang-orang di sana juga sudah pada mati? Ah... kasihan. Kalau orang tuanya yang mati, berarti anak kehilangan bapak dan ibunya. Sedangkan kalau gadis yang mati, kasihan sekali karena mereka belum sempat kawin. Bagaimana ini? Apakah aku harus mengurus mayat-mayat atau mencari biang keroknya penebar racun?"
  Pendekar Blo'on tiba-tiba saja hentikan ucapannya. Ia melihat ada cahaya putih berkilauan tampak melesat dari satu arah. Bila Suro menoleh ke arah asal cahaya tadi. Maka jelas cahaya tersebut berasal dari gunung.
  "Gunung apa itu? Mengapa gunung bisa mengeluarkan cahaya? Siang-siang bolong begini, mana mungkin ada hantu berani tunjukkan muka tunjukkan hidung."
  Bumm! Buum!
  Terdengar suara ledakan keras. Pendekar Blo'on sempat merasakan tanah yang dipijaknya bergetar hebat. Dan ia sadar betul ledakan itu berasal dari tempat jatuhnya sinar putih laksana bola tadi.
  "Apa ini! Apa mungkin ada bintang yang jatuh dari langit? Sebaiknya aku lihat. Siapa tahu ada petunjuk yang dapat kujadikan alat untuk membongkar masalah yang sedang kuhadapi."
  Karena jaraknya masih cukup jauh juga. Maka mau tidak mau Suro terpaksa mengerahkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan untuk segera sampai ke tempat terjadinya ledakan tadi.
  Hanya dalam waktu yang singkat Suro telah sampai di depan tempat terjadinya ledakan tadi. Dengan jelas ia dapat melihat sebuah lubang yang menganga. Lubang itu masih mengepulkan asap menyerupai kabut berwarna putih kemerahmerahan. Anehnya selain sebuah lubang yang cukup besar, ia tidak melihat apaapa lagi.
  "Ternyata bukan petunjuk. Hanya sebuah lubang yang babi hutan pun dapat membuatnya." Suro Blondo menggerutu. Lalu seka keringat yang mengucur di dahinya. Tanpa minat pemuda ini bermaksud meninggalkan tempat. Namun langkahnya tertahan ketika melihat sesuatu berwarna putih seperti salju. Sesuatu yang dilihatnya pertama tampak bulat seperti trenggiling. Tapi lama kelamaan mengembang sehingga terlihat bentuk kaki dan tangan yang sangat pendek mirip bayi yang baru berumur satu tahun.
  "Eeh... anak apa itu? Mana mungkin ada orang membuang anaknya di tengahtengah tanah tandus seperti ini? Walaupun menjelang akhir jaman nanti memang banyak perempuan yang membuang anaknya karena tidak punya bapak."
  Suro Blondo merasa penasaran, kemudian ia menghampiri sosok yang dilihatnya sangat aneh itu. Pemuda berambut hitam kemerahan ini tentu saja tercengang begitu melihat sosok serba putih seperti mayat itu ternyata bukan bayi dan juga bukan trenggiling "Gila betul! Mau dikata orang, tapi badannya kecil macam orok satu tahun. Mau kubilang bayi, tapi sudah punya jenggot, kumis dan rambutnya putih. Aneh... mengapa wajahnya memancarkan cahaya. Bocah kecil tapi seperti bocah bangkotan? Pantasnya malah orang yang sudah berumur delapan puluh tahun." Suro Blondo menggaruk rambutnya berulang-ulang.
  "Sial betul, tampangku saja sudah konyol. Tapi tampang kakek setengah meter tidak sampai ini lebih konyol lagi. Ya ampun... di atas tolol masih ada tolol. Ini benar-benar tiruanku yang konyol. Sontoloyo...!"
  Pendekar Blo'on hanya berdiri mematung sambil memandangi wajah tolol yang menggeletak dengan mata terpejam dua tombak di depannya. Pendekar muda berwajah tampan tolol ini menggelengkan kepalanya. Tidak disangka-sangka bocah berjenggot dan berkumis putih ini membuka matanya. Begitu mata terbuka ia malah tertawa sekeras-kerasnya hingga membuat sakit telinga si pemuda.
  Suro Blondo menutup telinganya, rupanya ia lupa. Padahal jika ia mengerahkan tenaga dalamnya saja. Tentu pengaruh suara tawa itu dapat ditangkalnya.
  "Bocah tolol, Pendekar Blo'on. Ilmumu segudang, baru menghadapi aku saja kau seperti melihat hantu jelek telanjang!" kata bocah seperti bayi, namun berkumis dan berjenggot putih ini, lalu hentikan tawanya. Suro Blondo kaget bukan main. Ternyata suara bayi itu seperti suara orang tua. Selain itu ia juga heran bagaimana mungkin orang ini dapat mengetahui namanya?
  "Kau mengenalku, tapi alangkah kurang ajarnya kau karena memanggilku dengan nama saja. Padahal umurmu paling baru satu tahun...!"
  "Hu hu hu! Goblok juga kau. Umurku dengan umur kakekmu mungkin sama. Aku sudah delapan puluh tahun, sedangkan kau baru dua puluhan...!"
  Suro Blondo terlolong-lolong mendengar pengakuan orang yang mempunyai tinggi badan tidak sampai setengah meter tersebut. Pemuda itu akhirnya pun ikut tertawa. Ia geli melihat kenyataan yang sungguh-sungguh berada diluar dugaannya.
  "Ada bayi tapi sudah berkumis dan berjenggot. Berarti anda delapan puluh tahun berada dalam kandungan orang tua. Wah kasihan sekali!"
  "Tolol... justru aku sudah terlalu lama berada di dunia. Karena di dunia ini masih ada orang yang memiliki tampang sepertiku, maka aku keluar dari puncak Gunung Sembung untuk membantu kesulitannya."
"Gila bayi ini... eh kakek ini... lho bagaimana aku harus menyebut orang aneh macam tenggiling ini?" batin Suro Blondo. Masih dalam keadaan telentang dan memakai cawat saja bocah berjenggot itu berkata.
  "Namaku Wiro Suryo dari Gunung Sembung! Tenggiling Kedil sebutanku, aku punya ajian Suket Sekilen dan ajian Pancar Cahaya. Hanya bocah gendeng, kalau kau mau. Aku ikut kau, tapi kuharap kau memanggilku kakek. Karena umurku jauh. lebih tua dari umurmu. He he he...!"
  "Nggak bisa. Badanmu kecil seperti bayi setahun. Ha ha ha... mana mungkin kau lebih tua dariku. Ha ha ha... jangan mengaku-ngaku. Lagi pula siapa tahu kau, bapak moyangnya para tuyul!"
  Wiro Suryo yang menurut pengakuannya telah berumur delapan puluh tahun itu bangkit berdiri. Ketika ia berdiri tegak. Maka tingginya hanya sebatas lutut Suro Blondo, sehingga membuat tawanya semakin keras.
  "Kampret kau... jangan menghinaku. Di Gunung Sembung semua jin baik takluk padaku. Lagipula mana kau bisa hentikan racun darah yang telah dibuang ke sungai oleh Sugriwa! Cuma aku yang bisa menutup semua mata air. Karena aku Tenggiling Kedil yang sakti. Hu hu hu...!"
  "Aku tidak perduli siapa kau. Bagiku kau tidak bedanya dengan bayi, makanya aku tidak mau memanggilmu kakek...!"
  "Goblok! Jangan banyak mulut, nanti kau tahu siapa aku...!"
  "Apa perduliku. Mau setan, mau jin mau bocah bangkotan, kakek-kakek atau anak tuyul. Ha ha ha... bagiku kau tetap bayi berjenggot yang terlalu lama berada dalam kandungan!"
  "Ha ha ha...!" Wiro Suryo tergelakgelak. Kedua kakinya dilipat ke kepala sehingga posisinya melingkar dan berubah bulat seperti tenggiling putih.
  "Apakah kau bisa seperti aku ini?" Suro Blondo tercekat.
  "Hmm, benar-benar aneh manusia yang satu ini. Apakah dia manusia sepertiku atau malah jin penunggu Gunung Sembung sana?" batin Pendekar Blo'on.
  "Ha ha ha...! Benar-benar gila bukan? Aku hidup sampai tua tetap seperti bayi hanya menunggu bertemu dengan seorang sahabat sepertimu."
  "Siapa sudi bersahabat dengan kau?"
"Ah... sudah kubilang kau harus memanggilku kakek! Kalau tidak kau bakal kubuat kelenger...!"
  "Aku tidak mau!"
  "Rasain kalau kau tetap ngotot!" tiba-tiba Tenggiling Kedil melentik ke arah Suro Blondo. Begitu cepatnya, sehingga pemuda itu tidak sempat mengelak. Dilain kejab Wiro Suryo telah merengkuh pinggang si pemuda tidak jauh bedanya dengan tali pengikat pinggang. Lebih mengejutkan lagi, Wiro Suryo berubah bentuk memipih seperti angkin.
  "Hiii... geli. Ha ha ha... geli...!" Suro Blondo melonjak-lonjak kegelian. Ia bahkan berusaha menarik lepas Wiro Suryo yang bergelantungan di pinggangnya. Tapi kakek seperti bayi itu benar-benar mirip tenggiling. Sehingga Suro Blondo tidak mampu melepaskannya.
  "Geli... wuakh... goblok. Jangan kau gelitiki perutku... wuah... geli "
  Suro Blondo menggeliat-geliat sambil berjingkrak-jingkrak dan berlari kian kemari.
  "Goblok. Urusanmu masih banyak, aku bisa menjadi penunjukmu!" kata Wiro Suryo terus menggelantung di pinggang Pendekar Blo'on.
  "Edan...!" Suro Blondo menggerutu.

 



--₪֍¦ 4 ¦֍₪--

  Perjalanan yang di tempuh oleh Pendekar Blo'on Suro Blondo memang memakan waktu yang cukup lama. Apalagi tempat persembunyian atau markas besar Mustika alias Iblis Betina Dari Neraka masih belum jelas entah di mana. Pagi itu udara dingin menyelimuti Daerah Ketemanggungan Batu Sari. Di halaman rumah Tumenggung Bono Sastrojoyo penduduk setempat tampak sedang berkumpul menunggu kehadiran pemimpinnya dengan perasaan harap-harap cemas.
  Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki berpakaian bangsawan dan dikawal oleh dua orang laki-laki berbadan tegap memakai rompi hitam. Tumenggung Bono Sostrojoyo memperhatikan penduduk yang berada di halaman rumahnya dengan sorot mata menyelidik.
  "Ada apa kalian pagi-pagi sekali datang kemari?" suara Tumenggung meningkahi suara-suara sumbang para laki-laki yang tampaknya tidak puas atas sikap lemah pemimpinnya. Seorang laki-laki bertubuh bungkuk mewakili tidak kurang tiga puluh kawannya tampak maju ke depan.
"Kami bukannya lancang, gusti Tumenggung. Cuma kami kurang puas atas sikap Tumenggung yang kelihatannya masih tenang-tenang saja dengan hilangnya tujuh gadis desa yang diculik oleh anggota Iblis Betina Dari Neraka. Kami khawatir sikap ini hanya akan membuat perempuan iblis itu semakin sewenang-wenang. Tidak ada yang ditakuti dan bukan mustahil suatu saat akan semakin banyak penduduk terutama anak-anak gadis di wilayah
  Katemenggungan ini akan menjadi korban!"
"Ki Supit! Kukira hanya kau orang yang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan di daerah kita ini. Mengapa kau tidak mau menghubungi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi untuk mencari gadis-gadis yang hilang itu?" tanya Tumenggung Sastrojoyo penuh teguran.
  "Mana kami berani jika tidak ada perintah dari Tumenggung!" jawab Ki Supit.
  Jalak Seta salah seorang pengawal sekaligus orang kepercayaan Katemenggungan tiba-tiba saja maju ke depan.
  "Jangan sembarangan menuduh! Kami di Katemenggungan telah melakukan segala upaya untuk mencari anak-anak perawan kalian yang hilang itu. Tapi apa mau dikata? Hingga sampai saat ini usaha kami belum mendatangkan hasil. Kalau kalian mau bekerja sama, nanti sore kita dapat bersama-sama mencari mereka yang hilang!" ujar Jalak Seta.
  "Coba kalau hal ini dibicarakan sejak kemarin. Tentu kami tidak penasaran dan terpaksa berkumpul di sini!" kata Ki Supit.
  "Benar...!" kata kawan-kawannya mendukung ucapan Ki Supit.
  "Sudahlah, kalian tidak usah cemas, persiapkan kuda dan segala peralatan senjata yang kita butuhkan. Nanti sore kita bergerak melakukan pencarian...!" kata Tumenggung Sastrojoyo.
  "Hore... hidup Tumenggung. !" teriak para penduduk Batu Sari.
  Para laki-laki yang dipimpin oleh Ki Supit itu akhirnya membawa orangorangnya kembali ke rumahnya masingmasing. Tentu saja mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk nanti sore.
  Ketika hari menjelang senja, maka berangkatlah tidak kurang dari tiga puluh orang penduduk di sertai Tumenggung Sastrojoyo dan juga Jalak Seta. Mereka bersenjata lengkap menyisir sepanjang tepian hutan di mana beberapa hari yang lalu mereka melihat seorang laki-laki bertubuh bungkuk melarikan gadis-gadis dari daerah Batu Sari.
  Belum lama mereka berjalan. Tibatiba saja mereka melihat seorang lakilaki keluar dari dalam semak-semak belukar. Ia memakai baju kembang-kembang. Bagian keningnya menonjol, wajah lakilaki itu dipenuhi jambang dan bawuk lebat. Tumenggung Sastrojoyo menghentikan kudanya diikuti oleh orang-orang yang berada di belakangnya.
  "Kalau tidak punya keperluan. Sebaiknya menyingkir dari hadapanku sekarang juga!" dengus Tumenggung itu dengan suara ketus.
  "Ha ha ha...! Kau tidak layak memberi perintah, Tumenggung! Aku tahu kalian punya tujuan. Tentu kalian ingin mencari Betina Dari Neraka bukan? Apa yang ingin kau lakukan tidak semudah yang kau bayangkan. Karena aku Menak Tandira akan menjadi penghalang bagi kalian!"
  "Hmm, rupanya kau anggota dan begundalnya betina iblis itu?"
  "Belum, tapi aku calon anggota yang ingin bergabung!" kata Menak Tandira tegas.
  "Biarkan kami yang memberi pelajaran pada mereka, Tumenggung!" pinta Ki Supit pula. Tumenggung Sastrojoyo menganggukkan kepalanya. Begitu mendapat isyarat maka belasan penduduk bersenjata golok dan tombak langsung menghambur melakukan penyerangan.
  Menak Tandira tertawa mengekeh. Ia melompat tinggi ke udara begitu senjatasenjata itu berkelebat menghantam tubuhnya. Ketika Menak Tandira meluncur lagi ke bawah. Maka Menak Tandira menyambar salah satu senjata di tangan penyerangnya.
  Bret!
  Golok rampasan tersebut langsung berkelebat menyambar ke segala arah.
  Crak!
  Bret! Bret! "Aaaa...!"
  Terdengar pekik dan jerit kesakitan di sana-sini. Empat orang penduduk biasa roboh dengan tubuh bermandikan darah. Ternyata laki-laki berwajah angker ini memang mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Terbukti hanya dalam beberapa jurus saja ia sudah mampu merobohkan beberapa penduduk.
  Melihat kenyataan ini Ki Supit tidak tinggal diam.
"Menyingkir semuanya...!!" teriak Ki Supit dengan suara keras. Ia pun melompat ke depan. Tinju laki-laki itu menghantam iga Menak Tandira. Dengan sigap lawan menghalaunya.
  Wuus!
  Ki Supit dengan segera menarik tangannya kembali untuk menghindari benturan yang terjadi. Lalu ia lepaskan tendangan kaki ke punggung lawannya.
  Wuuk! Duuk!
  Menak Tandira terhuyung, punggungnya langsung nyeri seperti ada tulangnya yang patah. Ia menggeram keras, lalu tiba-tiba saja ia menerkam Ki Supit dengan tangan terkembang.
  "Hiaa...!"
  Semua orang yang berada di situ dapat melihat betapa jemari tangan Ki Supit berubah menghitam. Namun kawankawannya tetap merasa yakin Ki Supit pasti dapat mengatasinya, mengingat kakek tua berbadan agak bongkok ini juga memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Ternyata dugaan mereka untuk sementara benar adanya. Ketika kedua tangan lawannya hampir mencapai sasaran. Maka Ki Supit mencabut keris Ki Ronda Pamungkas.
  Set! Wus!
  "Heh... gila...?" desis Menak Tandira sambil tarik balik serangan dan berguling-guling selamatkan diri. Ki Supit terus memburu, lalu ia tikamkan senjatanya bertubi-tubi. Kenyataan ini membuat Menak Tandira jadi terdesak. Ia hanya dapat main mundur saja untuk kemudian membentak garang.
  "Haiit! Aiyaaa...!"
  Satu jurus lain dimainkannya. Tangannya mencakar kian kemari, sedangkan kedua kakinya bergerak lincah dengan cepatnya.
  "Graa! Graa!"
  Jelas sekali kalau pada saat itu Menak Tandira sedang mengerahkan jurus Macan Luwe. Salah satu jurus ampuh yang dimilikinya.
  "Haiiiik...!"
  Menak Tandira melompat laksana terbang. Melihat serangan ganas ini Ki Ronda Pamungkas disodokkan ke depan oleh Ki Supit. Senjata itu mendesing ketika membelah udara. Secara aneh Menak Tandira menghindar ke samping dan dilain waktu ia sudah berada di belakang Ki Supit. Dengan begitu tentu saja serangan Ki Supit tidak mengenai sasarannya. Tahu-tahu dari belakangnya....
  Duuk! Beeeeet!
  Sepuluh kuku jari Menak Tandira menghunjam di tubuh lawannya. Ki Supit menjerit. Suaranya seakan merobek langit. Tubuhnya terhuyung ke depan tanpa pernah sempat lagi berbalik ke depan. Tidak lama ia pun tersungkur roboh dan tewas seketika dalam keadaan yang sangat mengerikan sekali.
  Menak Tandira tertawa membahak. Jalak Seta memandangi laki-laki itu dengan tatapan aneh. Namun ia tetap tidak bergerak mengambil tindakan. Sementara itu kawan-kawan Ki Supit sudah tidak sabar lagi. Mereka secara beramai-ramai dan tidak terkontrol lagi langsung segera mengeroyok Menak Tandira. Pertempuran sengit pun segera terjadi. Namun karena para penduduk ini pada dasarnya tidak mempunyai kepandaian silat apa-apa. Maka hanya dalam waktu beberapa jurus saja belasan laki-laki itu telah terkapar dalam keadaan menyedihkan.
  Tumenggung Sastrojoyo dibuat terkesiap. Sekarang hanya tinggal dia dan Jalak Seta saja. Tumenggung dan orang kepercayaannya saling berpandangpandangan.
  "Sebaiknya kau maju, Jalak Seta!" perintah sang Tumenggung.
  Entah mengapa Jalak Seta malah tertawa membahak. Sekejap tawanya yang menyeramkan itu terhenti. Lalu...
  "Sebagai pimpinan seharusnya gusti Tumenggung yang bertindak duluan! Nanti kalau sudah terdesak. Barulah saya yang maju!"
  Belum hilang rasa kaget di hati sang Tumenggung. Laksana kilat Jalak Seta mencabut senjatanya dan langsung menghunjamkannya ke perut Tumenggung Sastrojoyo. Laki-laki bertubuh jangkung ini sudah tidak sempat mengelak lagi. Badik kecil telah menembus perutnya.
  Tidak lama Tumenggung Sastrojoyo terjengkang dari kudanya. Jalak Seta kembali tertawa dengan suara dingin. Tentu saja hal ini membuat kaget Menak Tandira. Masa' ada seorang bawahan begitu tega membunuh majikannya sendiri?
  "Tidak usah heran, sobat! Jika kau benar-benar ingin bergabung dengan tetua Betina Dari Neraka. Aku siap membantumu, karena aku adalah salah seorang anggotanya juga." kata Jalak Seta dengan bangga.
  "Mengapa kau bunuh Tumenggung itu? Bukankah dia atasanmu?" tanya Menak Tandira.
"Memang aku bawahannya. Tetapi aku sudah lama juga menjadi pengikut-pengikut wanita cantik itu. Aku bahkan yang menculik gadis-gadis di Batu Sari untuk keperluan membangkitkan Patung Perkasa. Itu sebabnya aku harus membunuh Tumenggung Sastrojoyo mengingat aku tidak ingin Tumenggung tahu di pihak mana aku berdiri!"
  "Aku tidak menyangka kita orang sehaluan. Lalu... apakah engkau tahu di mana tempat tinggal Betina Dari Neraka saat ini?" tanya Menak Tandira.
  "Tentu saja aku tahu. Jika kau mau, sekarang juga aku dapat mempertemukan kau dengan tetua!"
  "Hhm, aku merasa sekarang memang sudah waktunya untuk menemui beliau. Aku sudah tidak sabar ingin bergabung dengan mereka!"
  Maka tanpa menunggu lebih lama lagi berangkatlah kedua sahabat yang baru saja saling kenal ini. Di sepanjang perjalanan mereka terus berbincang-bincang tentang kehebatan yang dimiliki oleh Mustika Jajar dan gurunya. Tanpa mereka sadari bahwa sejak beberapa saat yang lalu ada dua sosok bayangan yang terus mengikuti langkah mereka dalam jarak yang tidak begitu jauh.

 



--₪֍¦ 5 ¦֍₪--

  Hanya dalam waktu yang sedemikian cepat bayangan yang terus mengikuti di belakangnya telah berada jauh ke depan. Itu pun Jalak Seta dan Menak Tandira tidak tahu kehadiran kedua orang aneh ini.
  "Sebaiknya kita berhenti dulu untuk beristirahat!" kata Jalak Seta.
  "Apakah tempat itu masih jauh dari sini?" tanya Menak Tandira sambil menghentikan langkahnya.
  "Cukup jauh juga, mungkin sekitar dua hari perjalanan." sahut Jalak Seta. Mereka pun akhirnya beristirahat. Namun belum lama mereka duduk, tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa yang menyesakkan dada dan mengacaukan jalan darah.
  Baik Jalak Seta maupun Menak Tandira sama tersentak kaget. Suara tawa tiba-tiba saja lenyap dan berganti dengan kesunyian yang mencekam. Kedua orang ini saling berpandang-pandangan.
  "Rupanya ada orang lain yang pingin mampus di sini, Jalak Seta! Namun betapa pengecutnya dia karena tidak mau tunjukkan diri!" menggeram Menak Tandira.
"Ha ha ha...!" Suara tawa tiba-tiba terdengar kembali dan seakan datang dari seluruh penjuru arah.
"Kami bukan pengecut, sesungguhnya kunyuk jelek seperti kalian tidak pantas melihat kami. Karena kalian termasuk orang-orang licik apalagi jika sampai membunuh Tumenggung yang jadi atasan sendiri hanya karena membantu seorang iblis!" kata suara tadi menimpali. Memerah kuping Jalak Seta mendengarnya. Ia segera memandang ke arah datangnya suara yang bersumber dari atas pohon. Ternyata di sana tidak ada apaapa.
  "Keluarlah jika kalian memang jantan!" tantang Menak Tandira.
  "Hak hak hak! Blo'on kau ditantang supaya keluar dari tempat persembunyian. Tunggu apa lagi, apakah kau ingin jadi pengecut tidak mau tunjukkan diri?"
  "Ah, Tenggiling Kedil, bocah bangkotan namun masih seperti bayi! Sebaiknya jangan kau gurui aku. Lihatlah...!" kata pemuda baju biru pakai ikat kepala biru belang-belang kuning. Pendekar Mandau Jantan ini kemudian melompat turun dari atas kerimbunan pohon. Lalu...
  Jliik!
  Ia menjejakkan kaki tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Wiro Suryo si bocah super kerdil langsung melompat dari pinggang Pendekar Blo'on. Tentu saja kehadiran kedua orang yang sama-sama aneh ini membuat mereka terheran-heran. Yang satu adalah seorang pemuda tampan bertampang ketolol-tololan, lagaknya cengar-cengir dan sambil garukgaruk kepala. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang laki-laki berambut, kumis serta jenggot putih. Namun badannya pendek bukan main. Tingginya bahkan tidak sampai setengah meter. Dilihat sekilas keduanya memang seperti orang konyol.
  "Hmm, orang-orang bertampang kacau seperti ini rupanya yang coba-coba menghalangi niat kami!" dengus Jalak Seta disertai sesungging senyum mengejek.
  "Ha ha ha...! Dia meledekmu, Wiro Suryo. Apa tindakanmu terhadap orang yang telah membunuh penduduk dan mengkhianati Tumenggung nya sendiri? Coba apa?" tanya Pendekar Blo'on sambil menyeka keningnya.
"Pertama dia harus minum kencingku. Sedangkan yang kedua dia harus jilat pantatku pulang pergi!" kata si kakek kerdil kocak.
  "Kencingmu kalau tidak pahit pasti asin rasanya. Bagaimana kalau pantatmu hitam dan bau? Ha ha ha...!",
  "Memang betul. Tapi dia harus berterima kasih. Karena aku termasuk orang terhormat di Gunung Sembung!" sahut Tenggiling Kedil.
  Baik Jalak Seta maupun Menak Tandira sangat marah sekali. Tanpa bicara apa-apa lagi salah seorang di antaranya langsung menerjang Pendekar Blo'on. Melihat lawannya menyerang dengan bersemangat, maka Suro meliukkan tubuhnya dengan gerakan yang lucu.
  Ssst...!
  "We... kecele....'" ejek si pemuda urakan sambil tersenyum-senyum.
  Jalak Seta tidak menanggapi. Ia membalikkan tubuhnya lalu menghantam lagi dengan serangan bertubi-tubi. Kenyataan ini tentu membuat Suro terpaksa mengerahkan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'.
  Tubuhnya kemudian berubah jadi lentur. Tangan mencakar ke berbagai penjuru arah. Namun tidak jarang ia menggaruk kepala atau punggungnya atau terkadang melompat-lompat seperti seekor monyet. Apa yang dilakukan oleh pemuda ini memang terasa menggelikan dan membuat geli yang melihatnya. Malah Wiro Suryo sampai tepuk tangan segala memberi semangat.
  "Ayo, hantam! Pukul monyet itu, nyit-nyit... nyit...!"
  Tentu saja setelah berulangkali mengalami kegagalan Jalak Seta akhirnya menjadi kalap juga. Tiba-tiba saja ia mencabut badik kecil yang dipergunakan untuk menghabisi jiwa Tumenggung Sastrojoyo.
  "Awas Blo'on dia mau mencincangmu dengan senjata itu!" kata Tenggiling Kedil memperingatkan.
  Jalak Seta kemudian dengan senjata terhunus menyerang empat jalan darah di tubuh Suro Blondo. Melihat serangan yang datangnya bagai gelombang air bah ini.
  Suro terpaksa kerahkan jurus Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor. Tubuh pemuda berambut hitam kemerahan ini akhirnya berkelebat lenyap hanya dalam waktu yang sedemikian singkat. Terdengar suara jeritan di sana-sini.
  "Hiya...!"
  Senjata di tangan Jalak Seta menderu membelah udara. Suro tiba-tiba berjongkok lalu melompat tinggi. Sehingga serangan lawannya pun tidak mengenai sasarannya. Melihat serangannya luput, maka Jalak Seta lepaskan tendangan bertubi-tubi. Suro terus menghindar sambil berjingkrak-jingkrak. Rupanya serangan ini tidak memenuhi sasaran sebagaimana yang diharapkan. Sehingga Jalak Seta melompat ke depan sambil hantamkan lututnya.
  "Heaa...!" Duuk! "Nggekk...!"
  Pendekar Blo'on jatuh terduduk. Dadanya sesak sekali seperti orang yang hampir putus nafasnya. Namun begitu pun ia masih dapat cengengesan.
  "Hei, bocah geblek! Baru segitu saja kau sudah kelenger. Tunjukkanlah kejantananmu! Mengapa segan-segan."
  "Edan kowe. Kejantanan itu cuma untuk bini itu pun kalau sudah kawin nanti. Jadi jangan macam-macam!" sahut Pendekar Blo'on. Secepatnya pemuda itu berdiri lagi. Lalu ketika ia melihat lawan melepaskan pukulannya. Tidak mau kalah pemuda ini pun lepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
  Segulung sinar hitam datang menggebu-gebu. Setelah itu terdengar suara dentuman keras ketika Suro mendorongkan kedua tangannya ke depan. Bocah ajaib ini hanya terhuyung-huyung. Jalak Seta sendiri selain tubuh menjadi biru terkena pukulannya yang membalik, juga langsung merasa kesulitan untuk bergerak.
  Kali ini Pendekar Blo'on dengan mimik serius, walau pun pada kenyataannya tetap kacau. Kali ini ia melepaskan pukulan untuk mengakhiri perlawanan Jalak Seta. Pukulan yang dilepaskannya adalah Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar;
  Segelombang sinar redup melabrak habis Jalak Seta. Laki-laki yang sudah terluka parah ini tidak lagi mampu menghindar. Ia menjerit kesakitan bersamaan melayangnya nyawa pembantu Iblis Betina Dari Neraka ini.
  Melihat kejadian ini Menak Tandira menjadi kaget sekaligus marah sekali. Ia melompat ke depan untuk melabrak Suro Blondo. Namun Tenggiling Kedil menghadangnya.
  "Eiit... biarkan kawanku beristirahat dulu. Mari kita main-main sebentar. Jika kau tidak beruntung, tentu secepatnya kau berangkat ke akherat! He he he...!" Wiro Suryo terkekeh-kekeh.
  "Manusia konyol keparat! Aku akan mengirimmu ke neraka!" teriak Menak Tandira dengan marahnya.
  "Boleh saja, tapi bagaimana jika Tuhan malah melemparku ke surga?" ejek Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil sambil menghindar ke samping.
  "Hii...!"
  Sebagai jawaban Tenggiling Kedil lepaskan tendangan kaki ke bagian kepala lawan. Namun Suryo sudah menggelinding dengan kaki dilipat ke kepala.
  "Shaaa...!"
  "Wiih... hebat tapi kurang mantap!" ejek si kakek super pendek lalu kakinya tiba-tiba saja menendang pantat Menak Tandira.
  Buuk! "Aukh...!"
  Menak Tandira menjerit kesakitan. Ia memegangi pantatnya yang pasti langsung berubah membiru. Jalannya pun terpincang-pincang seperti kerbau habis beranak.
  "Keparat betul!" geram Menak Tandira.
  "Betul-betul keparat!" Wiro Suryo menimpali. Secepatnya ia menghindar ketika tendangan lawan menderu menghantam tengkuk si kakek.
  Wuus! "Heh...!"
  Menak Tandira tersentak kaget ketika melihat serangan yang sudah terarah pada sasaran ternyata meleset. Ia rupanya masih belum sadar bahwa si kakek ketika itu telah mengerahkan jurus Suket Sekilen yang mempunyai keunikan tersendiri.
  Lagi-lagi dengan marahnya Menak Tandira melakukan serangan ganas. Sekali ini ia mengerahkan jurus Macan Luwe yang juga merupakan salah satu jurus yang menjadi andalannya.
  "Graaa...!" Menak Tandika berteriak seperti suara harimau.
  "Panas!" si kakek konyol menimpali. Lawan yang sudah dilanda kemarahan ini sama sekali sudah tidak begitu menghiraukannya. Tubuhnya tiba-tiba menyambar ke depan, sedangkan kedua tangannya tertuju lurus ke bagian batok kepala Tenggiling Kedil. Hanya sekejap saja kakek tua yang sama kocaknya dengan Pendekar Blo'on si bocah ajaib itu sudah bergerak ke samping. Praktis serangan lawan-lawannya tidak mengenai sasaran.
  Menak Tandira bukan main kagetnya. Ia sama sekali tidak menyangka serangannya akan gagal mengenai sasaran. Padahal ia telah mengerahkan jurus yang menjadi andalannya. Kini dengan rasa penasaran yang mendalam, Menak Tandira melangkah maju. Kedua tangannya bergerak ke depan dan ke samping. Lalu ia menghantam ke dada Wiro Suryo.
  "Nah bocah kerdil. Dia mau memutus tenggorokanmu. Jika lehermu putus kau bisa dibuatnya mampus!" celetuk Suro Blondo sambil cengar-cengir.
  "Kalau cuma hanya menonton lebih baik kau tutup mulut rapat-rapat. Jangan pula kau kentut seperti suara burung perkutut di dalam karung butut tidak bisa ribut-ribut!" Tenggiling Kedil menimpali.
  "Hraaa...!" Set!
  "Hampir saja...!" dengus Wiro Suryo.
  Lagi-lagi serangan lawan luput. Dan ternyata tokoh kawakan dari Gunung Sembung ini memang bukan lawan Menak Tandira. Terbukti ketika Tenggiling Kedil balas melakukan serangan. Ia langsung saja terdesak dan hanya dapat mengelak seperti babi yang kehilangan nyali.
  Menak Tandira akhirnya memutuskan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah lawan. Sekejap saja ia telah mengalirkan tenaga dalamnya kebagian telapak tangannya.
  "Hiya...!"
  Menak Tandira menghentakkan kedua tangannya. Dari telapak tangan laki-laki itu meleset sinar kuning berhawa dingin bukan main. Si Bocah Kerdil langsung melepaskan ajian Pancar Cahaya. Salah satu pukulan pamungkas yang tidak ada tandingnya.
  Sinar putih laksana perak menghantam sinar kuning yang membuncah di udara.
  Akibatnya Menak Tandira bukan saja terhantam pukulan sendiri yang membalik. Tapi juga terhantam aji Pancar Cahaya milik Wiro Suryo.
  Buum! Buum! "Waaakh...!"
  Menak Tandira menjerit keras, ketika tubuhnya terhempas ke atas batu, maka jiwanya pun tidak tertolong lagi.
  Plok! Plok!
  "Hebat. Ternyata tidak percuma walau pun tubuhmu pendek memalukan!" puji Pendekar Blo'on.
  "Jangan menghina. Tugas masih banyak atau kau mau memanggang mayat mereka?"
  "Hhh, amit-amit!"
  Dan Pendekar Blo'on pun segera berlalu meninggalkan mayat kedua lawan mereka.
  "Hei... geblek. Tunggu...! Aku mau minta gendong!" teriak Tenggiling Kedil sambil mengejar kawan barunya.

 



--₪֍¦ 6 ¦֍₪--

  Pada bagian lain masih di dalam bangunan Curing Bencana ada sebuah altar tempat melakukan persembahan kepada pada iblis. Ruangan itu tidak begitu luas. Dengan penerangan yang redup serta bau-bauan yang khas. Jelas sekali ada kesan mejik yang mendalam. Di dalam ruangan itulah kini patung laki-laki perkasa diletakkan. Sementara seorang perempuan bermuka coreng moreng dan seorang laki-laki tua bermata satu sedang melakukan meditasi. Di tengah-tengah altar terlihat tujuh orang gadis dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Jelas sekali mereka dalam keadaan ketakutan, tidak heran jika sejak tadi mereka terus berteriak-teriak seperti orang yang kesurupan.
  Murid dan guru kini berhadaphadapan. Di tengah-tengah mereka terdapat sebuah pendupaan. Pendupaan itu terus mengepulkan asap tebal menebar bau kemenyan yang sedemikian menusuk. Sementara bibir mereka berkemak-kemik.
  Patung Perkasa yang sangat sempurna. Atas bantuan para iblis yang menghuni alam kegelapan, di dalam hati dan juga yang menyatu dalam pembuluh darah manusia. Hidupkanlah si perkasa untuk menjadi benteng utama muridku. Tuntutanmu atas darah perawan akan kupenuhi. Benteng roh... hai benteng roh...! Titiskanlah satu roh ke dalam diri si perkasa! Bangkit dan bangkitlah...!
  Apa yang diucapkan oleh murid dan guru ini benar-benar sangat berpengaruh. Dinding ruangan bergetar hebat. Dari segala penjuru arah angin bertiup kencang. Lalu.... Sebuah golok besar mirip golok penjagal babi yang terletak di atas nampan tanah pun tiba-tiba melayang dan memenggal putus kepala gadis-gadis yang dalam keadaan terikat itu. Darah menyembur deras. Memancar bagaikan mata air. Darah itu bukan saja membasahi lantai. Tapi juga sosok patung laki-laki yang berada di tengah-tengah mereka.
  Segalanya kemudian berproses. Mulamula patung itu mengalami perubahan pada bentuk kulitnya. Kulit yang berwarna putih itu berubah menjadi kecoklatancoklatan. Lalu matanya yang terpejam mengerjab, tangan, kaki dan bagian-bagian tubuh lainnya bergerak-gerak.
  "Lihat...!" kata Mustika Jajar tidak dapat menyembunyikan rasa takjubnya. Tua Tengkorak Mata Api membuka matanya. Ia menoleh ke arah patung yang telah dihidupkannya.
  "Tugasku telah selesai, Tika! Sekarang sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat ini dan kembali ke Cilawu!" kata laki-laki berwajah tengkorak itu.
  "Mengapa begitu tergesa-gesa, guru?" tanya Mustika Jajar seakan merasa tidak rela melihat kepergian gurunya.
  "Waktuku sangat sempit sekali. Sejak dulu aku sudah mengatakannya padamu bahwa aku ingin menciptakan ilmu-ilmu yang baru. Setelah aku pergi, kau tentu saja dapat menjajal si Perkasa yang telah hidup sebagaimana halnya kau. Semoga kau senang berkawan dengannya!" Tua Tengkorak Mata Api bangkit berdiri. Tidak lama kemudian ia memandang ke arah patung yang telah hidup itu.
  "Mulai saat ini kau harus mengabdi kepada muridku, Perkasa...!" katanya ditujukan pada patung bernyawa tersebut. Si Perkasa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. Tatapan matanya yang dingin memandang tajam pada Tua Tengkorak Mata Api.
  "Selamat tinggal Mustika Jajar...!"
"Guru?"
  Terlambat. Tua Tengkorak Mata Api telah menghilang dari pandangan mata Mustika Jajar. Gadis itu hanya dapat menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
  "Perkasa! Coba kau tunjukkan kehebatan yang kau miliki!" perintah Mustika Jajar beberapa saat kemudian dengan penuh manja.
  "Apakah aku harus menghancurkan bangunan ini, tetua?" tanya Perkasa. Suaranya terdengar begitu serak dan berat.
  "Oh... jangan! Di luar bangunan ini banyak terdapat batu-batu besar yang dapat kau pergunakan bahan uji cobamu!"
  "Sebaiknya kita ke sana, Tetua!" Dengan disertai Perkasa, Mustika Jajar meninggalkan ruangan itu. Tidak lama sampailah mereka di halaman luas.
  "Kau tinggal memilih, mana yang ingin kau hancurkan lebih dulu, yang besar atau yang kecil...!"
  "Aku memilih yang besar!"
  Ki Alit, Damerta dan Wiku Palawa ikut menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Perkasa. Sementara laki-laki yang hanya memakai cawat ini mulai menggerakkan tangan-tangannya. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, tubuh Perkasa telah mengeluarkan cahaya kemerah-merahan seperti bara. Suasana di sekitarnya berubah panas. Hingga membuat Mustika Jajar dan begundal-begundalnya terkesiap kaget.
  "Hiaa...!"
  Terdengar suara teriakan menggeledek. Lalu kedua tangan Perkasa dihentakkannya ke depan
  Wuut! Wuut! Wuus!
  Tiga bola api melesat dari telapak tangan Perkasa. Kemudian dari mulutnya yang terbuka melesat pula bola api yang sama. Melesat keenam sasaran sekaligus. Ini merupakan sebuah kenyataan yang sangat langka.
  Buum! Buum!
  Ledakan-ledakan dahsyat terjadi berturut-turut hingga membuat suasana seperti mau kiamat saja layaknya. Batubatu sebesar kerbau yang terkena pukulan Perkasa hancur berkeping-keping menjadi serpihan debu. Suasana di sekeliling mereka menjadi gelap gulita. Damerta, Ki Alit bahkan sempat terpelanting akibat terpengaruh getaran yang ditimbulkan oleh pukulan itu. Sedangkan Wiku Palawa tergetar tubuhnya. Ia mempergunakan tongkatnya untuk tetap bertahan. Mustika Jajar sendiri terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya agar tidak sampai terjatuh.
  Perkasa terus mengumbar pukulanpukulan dahsyat yang dimilikinya, hingga membuat batu-batu menjadi porak poranda. Ledakan-ledakan terus terdengar. Bola api berpijar menghantam sasaran apa saja yang dikehendaki oleh si Perkasa.
  "Cukup! Cukup Perkasa...!" kata Mustika Jajar.
  "Kalau tetua mengatakan sudah cukup, maka aku segera menyudahinya!" sahut Perkasa dalam kegelapan akibat debu-debu yang berterbangan. Benar saja, Perkasa menghentikan pukulan-pukulan dahsyat yang dimilikinya. Suasana kemudian berubah seperti biasa kembali. Cuma kali ini pemandangan disekeliling mereka benar-benar tidak enak dilihat mata. Pecahan-pecahan batu bertebaran di mana-mana. Sementara bila Mustika Jajar memandang ke arah Perkasa. Jelas sekali terlihat bahwa laki-laki yang hanya memakai cawat ini sama sekali tidak mengalami kelelahan.
  "Kau benar-benar sangat Perkasa sesuai nama yang diberikan guru kepadamu." puji Mustika Jajar bangga.
  "Aku tercipta dari api. Karena itu adalah kekuatan sekaligus asal-usulku. Untuk kepentingan orang-orang yang mengabdi pada para iblis. Tidak salah rasanya jika penghulu kegelapan memberikan yang terbaik pada tetua." jawab si perkasa kalem.
  "Penghulu kegelapan?" tanya Wiku Palawa tercengang.
  "Penghulu kegelapan adalah rajanya dari seluruh para iblis dan setan." jelas Mustika Jajar yang memang sudah banyak tahu tentang hal ini.
  "Benar... memang dari sanalah asalku! Sekarang aku ini bertanya tetua? Tugas apakah yang harus kukerjakan?"
  "Tugasmu tidak sulit! Untuk pertama kau mengawalku di mana saja aku pergi. Sedangkan untuk meneruskan pekerjaan Sugriwa yang tewas di tangan seseorang kuserahkan pada Damerta dan juga uwa Wiku Palawa. Di samping bunuh siapa saja yang mencoba merintangi gerakan kita. Aku yakin mungkin dalam waktu tidak sampai satu purnama, kita telah berhasil menguasai rimba persilatan di tanah Jawa ini."
  "Jika orang-orang itu telah mati semua, kita dapat membuat generasi baru. Yaitu generasinya para iblis!" ujar Wiku Palawa.
  "Benar... dan sebaiknya kalian berangkat sekarang untuk menyapu bersih golongan-golongan yang tidak pernah sejalan dengan kita!" kata Mustika Jajar. Tidak lama kemudian berangkatlah Damerta dan juga Wiku Palawa. Di tengah jalan mereka berpisah. Damerta dan Ki Alit bergabung menjadi satu kelompok. Sedangkan Wiku Palawa melakukan perjalanan seorang diri menuju ke arah timur.

 



--₪֍¦ 7 ¦֍₪--

  Pamali merasa puas dengan hasil kerjanya. Ikan-ikan di sungai Citarum menggelepar mati. Itu pertanda racun Sangkaning Hurip telah bekerja sebagaimana yang diharapkannya. Ia menarik nafas panjang. Senyumnya mengembang.
  "Sugriwa telah mengerjakan sebagian rencana dengan baik. Kematian menyebar di mana-mana. Siapa yang mampu menghalangi sepak terjangnya para iblis. Sebagaimana dalam perjanjian para iblis. Setiap anggota mempunyai tugas untuk menghancurkan seluruh umat manusia di kolong langit ini. Dan tentu saja sebentar lagi di daerah sungai Citarum ini kematian akan menjemput setiap makhluk-makhluk yang bernyawa!"
  "Perbuatan seperti itu memang hanya merupakan perbuatan seorang iblis! Mudahmudahan kau menjadi petunjukku agar aku dapat menjumpai siapa saja yang berdiri di belakangmu, manusia biadab!"
  "Eeh...!" Pamali jelas-jelas terkejut sekali karena tidak menyangka ada orang lain yang mengetahui perbuatannya. Ia cepat sekali memutar tubuhnya ke arah datangnya suara. Tapi kemudian ia tersenyum ketika melihat orang yang baru saja bicara tadi tidak lain hanya seorang pemuda bertampang tolol berambut hitam kemerah-merahan. Hanya ada satu hal yang membuatnya heran. Di bagian pinggang pemuda itu menggelantung tali ikat seperti ujud seorang laki-laki.
  "Kau... siapa kau yang sebenarnya? Cepat pergi dari hadapanku atau kau ingin agar aku membunuhmu?" bentak Pamali dengan garang. Laki-laki berbaju hitam bersenjata pedang dan lipan-lipan berbisa ini maju dua tindak ke depan si pemuda. Suro Blondo seka jidatnya. Lalu menggaruk-garuk rambutnya yang hitam kemerah-merahan.
  "Ini juga salah satu dari iblis itu? Kau pantas memberinya pelajaran kalau perlu membunuhnya sekalian! Tapi kau harus berhati-hati!" Wiro Suryo yang dapat merubah tubuhnya menjadi pipih dan tetap menggelantung di pinggang Suro Blondo tidak bedanya dengan ikat pinggang ini memberi peringatan.
  "Beres!" sahut Suro Blondo. Pamali yang tidak sadar bahwa saat itu Pendekar Blo'on sedang bicara dengan bayi bangkotan itu tentu saja merasa heran mendengar ucapan si pemuda bertampang tolol yang cukup keras.
  "Keparat! Cepat katakan siapa kau? Jangan hanya bilang beres-beres saja!" bentaknya garang.
  "Bagaimana Tenggiling Kedil? Apakah aku harus menjawabnya?"
  "Katakan saja, begok. Mengapa harus tanya aku? Lama kelamaan ia bisa menganggapmu seperti orang gila. Karena dia memang tidak dapat melihatku!"
  "Goblok! Kau juga sama tololnya seperti aku!" maki Suro Blondo. Pamali tentu saja menganggap pemuda berambut hitam kemerahan itu menghinanya sehingga membuatnya semakin bertambah marah.
  "Rupanya kau benar-benar membuat hilang kesabaranku! Sekarang rasakanlah tinjuku ini!"
  Belum selesai dengan ucapannya, Pamali telah menghantam dada Suro Blondo. Pemuda ini yang memang telah bersikap waspada sejak dari tadi segera berkelit menghindar sambil berjingkrak-jingkrak seperti seekor monyet yang baru saja mendapatkan anaknya. Hantaman tinju yang menggeledek itu luput dari sasarannya. Kenyataan ini sudah cukup untuk membuka mata Pamali. Ia terkejut, 'Kepalan Naga Merah' sebagaimana yang diyakininya selama ini bukan merupakan pukulan yang dapat dianggap enteng, karena selain mengandung tenaga dalam tinggi, juga mengandung racun yang sangat ganas. Daya hancurnya setara dengan bisa kelabangkelabang merah yang menjadi senjata rahasianya
  "Rupanya kau mempunyai kepandaian juga, eeh...? Tapi di hadapanku kau tidak dapat bertingkah lebih jauh lagi. Kau akan mati di tanganku!" Pamali menggeram marah.
  Deb! Bet! "Huyaa!"
  Sambil berteriak nyaring, Pamali memutar tubuhnya setengah lingkaran. Setelah itu ia melompat ke depan sambil melancarkan serangan-serangan keras mematikan.
  "Kerahkan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'...!" Wiro Suryo memberi aba-aba. Pendekar Blo'on sempat terkejut juga mendengar ucapan Tenggiling Kedil. Karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa sahabat yang baru dikenal dan wajahnya selalu memancarkan cahaya putih berkilau ini dapat mengetahui jurus-jurus yang dimilikinya. Sungguh pun demikian, ia merasa tidak punya kesempatan untuk berfikir lebih jauh lagi.
  "Hait! Heaaa...!"
  "Nguk...!"
  Dengan lenturnya Suro Blondo bergerak menghindari serangan-serangan ganas yang datang bertubi-tubi. Sesekali ia terhuyung sambil menggaruk-garuk badannya, lalu melompat-lompat. Sungguh pun gerakan-gerakan yang dilakukannya tidak jauh bedanya dengan gerakan monyet. Tapi hingga sampai sejauh itu lawan masih belum dapat menjatuhkannya.
  "Keparat, kunyuk hina...!"
  "Jangan hanya ngebacot! Nih makan tinjuku!"
  Buuk! Jrot!
  Dengan gerakan yang sangat sulit diikuti kasat mata. Suro Blondo berhasil menghantam hidung Pamali hingga mengucurkan darah. Lawan menggeram penuh kemarahan. Laksana kilat ia melakukan serangan balik.
  "Huup...!" Duuk! Duuk! "Wuagkh...!"
  Suro Blondo sempat terhuyunghuyung begitu jemari tangan lawannya menyodok dada. Tapi ternyata jemari tangan Pamali yang mengandung racun itu tidak membawa akibat apa-apa bagi Suro, sehingga membuat lawannya jadi bertambah kaget saja. Tidak heran, karena ketika digembleng oleh gurunya Penghulu Siluman Kera Putih di Gunung Mahameru. Suro Blondo memang digodok di dalam sumur beracun yang di dalamnya juga berkeliaran ular merah dalam jumlah yang tidak terhitung. Itu sebabnya ia kebal terhadap semua jenis racun.
  Jika Pamali sempat tercengangcengang melihat lawan dalam keadaan segar bugar.
  Sebaliknya Wiro Suryo yang memiliki tinggi badan tidak sampai setengah meter itu malah tidur mendengkur sambil bergelayutan di pinggang Suro Blondo.
  "Ha ha ha... keluarkan apa aja yang kau miliki! Jika kau sudah kubekuk. Tidak ada jalan lain bagimu untuk menyelamatkan diri terkecuali menunjukkan di mana tempat tinggal tetuamu!" Melihat lagak Suro Blondo yang petantang-petenteng. Pamali semakin bertambah berang.
  "Makanlah nih."
  Pamali tiba-tiba merogoh sesuatu dari balik bajunya. Begitu tangannya dihantamkan ke arah lawannya. Maka enam buah benda berwarna merah dan cukup panjang melesat ke arah si pemuda. Pemuda tampan bertampang tolol ini masih sempat melihat bahwa lawannya menyambitkan kelabang-kelabang berbisa ke arahnya. Ia tidak tinggal diam. Dengan cepat ia melepaskan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'. Inilah salah satu pukulan yang diwariskan oleh kakek merangkap gurunya, yaitu Malaikat Berambut Api, manusia sakti berwatak aneh yang tinggal di pulau Seribu Satu Malam. Angin kencang laksana badai topan menderu, menggulung apa saja yang dilaluinya. Bersamaan dengan menderunya gelombang angin kencang tersebut terlihat sinar putih laksana salju. Udara dingin terasa sedemikian mencucuk. Lalu.... Terdengar enam kali dentuman menggelegar berturut-turut. Senjata rahasia yang disambitkan Pamali hancur berkeping-keping. Lebih dari itu kaki tangan Iblis Betina Dari Neraka ini sempat terpelanting. Dari mulut dan hidungnya menyembur darah kental. Sekujur badan Pamali berubah memutih setengah membeku. Pamali merasa tubuhnya seperti dibenamkan di lautan es. Lebih celaka lagi ia tidak dapat menggerakkan badannya, sungguh pun ia telah mengerahkan hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin yang bersumber dari pukulan yang dilepaskan oleh Suro Blondo.
  "Bangsat pengecut!" Pamali memaki.
  Sementara itu Suro Blondo hanya cengar-cengir. Seraya berjalan mendekati lawannya yang dalam keadaan kepayahan itu.
  "Bagaimana Wiro Suryo! Apakah kita harus membunuhnya atau mengajak dia menemui atasannya?"
  "Jika kau tidak mau disebut sebagai pendekar pengecut! Sebaiknya kau biarkan hidup saja. Kita dapat memanfaatkannya untuk kita jadikan penunjuk jalan. Kalau kau setuju, tentu saja nasibnya akan lebih baik...!" sahut Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil lalu tertawa membahak.
  "Sialan kau bayi bangkotan. Kau bukan membantuku, tapi malah menjadi bebanku!"
  "Ah... jangan begitu sobat! Hidup delapan puluh tahun aku sudah lebih berjalan. Apa salahnya sekarang aku menumpang di pinggangmu, tokh beratku seperti kapas! Ha ha ha...!"
  "Gila betul...!"
  Pamali sungguh pun dalam keadaan setengah sadar masih sempat mendengar ucapan si pemuda yang tampaknya seperti sedang bicara dengan seseorang. Tapi ia sama sekali tidak melihat siapa orang yang diajak bicara oleh pemuda yang telah menjatuhkannya. Sehingga dalam hati ia berkata.
  "Pemuda bertampang tolol berambut hitam kemerahan ini mempunyai ilmu tinggi. Inikah orangnya yang dikatakan tetua sebagai Pendekar Blo'on. Tapi... mengapa ia bicara seorang diri? Kurasa ia pemuda sinting."
  "Jangan cuma menggerutu. Sekarang sudah waktunya bagimu untuk membawaku kepada tetuamu!" Sungguh pun Pendekar Blo'on bicara dengan serius. Tapi tampangnya tetap saja lucu sehingga membuat lawannya tetap bertahan.
  "Tidak seorang pun yang dapat memaksaku, Aku tidak mau menunjukkan tempat kediaman tetuaku!"
  "Kurang ajar! Dalam keadaan hampir mati membeku, rupanya kau tetap keras kepala juga, ehh...? Jika kau tetap menolak, maka aku akan memotong kuping dan hidungmu! Bagaimana apakah kau masih tetap membangkang?" gertak si pemuda.
  "Jangankan baru kuping dan hidung. Sungguh pun aku harus mempertaruhkan leherku aku tidak takut!"
  "Bagaimana ini Tenggiling Kedil. Ia tetap membangkang! Apakah kau mau telinga dan hidungnya orang jelek ini?" tanya Pendekar Blo'on melalui ilmu menyusupkan suara.
  "Siapa sudi!" dengus Wiro Suryo melalui ilmu menyusupkan suara juga.
"Telinganya congekan, sedangkan hidungnya banyak upilnya. Kalau kau suka yang asinasin dan yang pahit sebaiknya kau saja yang makan!"
  "Gila kau! Aku lebih suka memenggal kepalanya untuk kuhadiahkan pada tetua orang ini."
  "Kalau begitu lakukanlah, kurasa Mandau milikmu sudah saatnya keluar dari rangkanya!" Tenggiling Kedil yang dapat membentuk badannya menjadi bulat macam tenggiling mendukung. Pendekar Blo'on kembali menghadap ke arah Pamali. Ia memegang gagang mandau berbentuk seperti patung pertapa itu di balik bajunya. Tidak lama kemudian ia berkata pelan, namun pasti.
  "Jadi kau tetap tidak mau merubah pendirianmu?"
  "Tidak!" Singg!
  Terdengar suara mendengung ketika Pendekar Blo'on mencabut senjatanya yang berbentuk aneh dan mempunyai lubang pipih pada bagian tengahnya ini. Senjata berwarna hitam ini mempunyai ujung runcing ganda. Dan dapat mengeluarkan berbagai jenis suara bila pemiliknya mengerahkan tenaga dalam pada senjata itu. Pamali hanya dapat membelalakkan matanya ketika senjata maut itu menghantam batang lehernya.
  Hiiiiiik...! Crees! Dheel!
  Kepala Pamali menggelinding, batang lehernya yang terputus menyemburkan darah segar. Kepala itu ditenteng oleh Suro Blondo.
  "Tampangmu geblek, tapi kau sadis juga!" Wiro Suryo mengomentari.
  "Hhh, jika kebaikan tidak mampu mengatasi dalam menegakkan kebenaran. Terkadang kita juga perlu ketegasan. Sudahlah, sebaiknya kau merat dari pinggangku!" kata si pemuda mengungkitungkit persoalan Wiro Suryo yang terus mengikutinya.
  "Jangan cerewet! Ha ha ha...! Pada saatnya nanti aku akan pergi dengan sendirinya!"
  Sambil menenteng kepala Pamali. Suro Blondo mengayunkan langkahnya menelusuri padang ilalang yang cukup luas.

 



--₪֍¦ 8 ¦֍₪--

  Damerta dan Ki Alit tiba-tiba tersentak kaget ketika melihat ada potongan kepala melayang ke arahnya. Mereka lebih terkejut lagi setelah diperiksa ternyata potongan kepala itu tidak lain merupakan potongan kepala kawan mereka sendiri.
  "Pamali? Apa yang telah terjadi dengannya?" desis Ki Alit dengan perasaan kecut bercampur rasa geram. Damerta lain lagi, karena kepala itu bagian wajahnya menghadap ke arahnya. Di samping itu mata Pamali melotot dan lidahnya terjulur. Tentu saja ia cepat melangkah mundur, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
  "Siapa pun yang telah membunuhnya tentu dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi!" desis Damerta kemudian.
  "Apa yang harus kita lakukan? Tugas kita belum beres, apakah salah seorang dari kita harus melaporkan kejadian ini kepada tetua?"
  Damerta terdiam, keningnya berkerut dalam. Ia sendiri merasa heran. Karena seingatnya Pamali, tokoh sesat dari tenggara ini selain memiliki kelabang beracun juga mempunyai ilmu pedang yang sangat tinggi. Jurus Inti Pamungkas adalah salah satu yang sangat diandalkannya. Jika seseorang mampu membunuhnya. Tentu orang itu memiliki kepandaian jauh di atas Pamali.
  "Huh, hanya orang yang sudah bosan hidup saja yang begini gegabah membunuhnya...!"
  Belum sempat Ki Alit meneruskan kata-katanya. Dari atas bukit di sebelah kanan mereka tiba-tiba saja menggelinding batu-batu besar disertai gelak suara seseorang.
  "Sahabatku Tenggiling Kedil! Lihatlah para iblis yang pada kebingungan. Melihat kawannya mati mereka hanya dapat sesumbar, bingung-bingung sambil menggaruk kepala. Jika mereka merupakan kaum yang berfikir. Tentu saat ini mereka sudah harus menggali lubang untuk kubur kawannya dan kubur mereka sendiri!"
  "Lha dalah... sialnya nasibmu dan nasibku, Pendekar Blo'on. Setiap bertemu dengan para iblis kita hanya mendapatkan cecurutnya. Biangnya iblis belum juga kita dapatkan. Apakah kita harus menggebuknya sampai mampus?"
  Lalu terdengar suara tawa ha-ha-hehe. Sementara mereka yang berada di bawah bukit sibuk selamatkan diri dari terjangan batu-batu yang dijatuhkan oleh Suro Blondo. Maka Wiro Suryo, bayi bangkotan yang selalu menggandul di pinggang Suro Blondo melompat dan berdiri di samping pemuda berambut kemerahan itu. Tinggi badannya yang tidak sampai setengah meter itu memang selalu mengundang tawa bagi Suro Blondo. Karena pada dasarnya mereka memang sama-sama konyol. Tidak heran jika mereka kelihatan begitu cocok antara satu dengan yang lainnya.
  "Manusia kurang ajar yang di atas bukit! Apa keinginan kalian sehingga menyerang kami begini rupa?" bentak Ki Alit setelah selamat dari timpahan batubatu. Pendekar Blo'on tidak langsung menjawab, melainkan menoleh ke arah lakilaki super pendek yang berdiri di sebelahnya sambil garuk-garuk kepala.
  "Mereka bertanya apa keinginanmu, Tenggiling Kedil! Hayo coba terangkan apa yang kau inginkan dari mereka?"
  "Goblok! Aku ini hanya penonton, kau yang punya urusan dengan mereka. Kalau kau melihat sekian ribu jiwa tewas akibat ulah mereka, apakah menurutmu nyawa mereka sudah setimpal untuk membayar hutang-hutang nyawa mereka?"
  "Untuk membayar bunganya saja belum cukup. Tapi alangkah baiknya kita ajak bicara dulu mereka sambil minum air sungai beracun!" kata Suro Blondo lugu.
  "Sinting...! Kepada musuh tidak perlu diajak bicara. Mereka dapat melicikimu. Lebih baik aku yang mendatangi mereka dulu setelah itu kau baru menyusul...!"
  Belum sempat Suro Blondo mengatakan sesuatu, Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil itu telah melipat badannya dalam posisi sedemikian rupa. Tubuh Wiro Suryo benar-benar berubah bulat macam buah jeruk. Seperti seekor tenggiling ia menggelinding menuruni bukit. 
  Damerta dan Ki Alit tentu saja terkejut karena menyangka ada batu-batu lagi yang sengaja dilemparkan oleh si pemuda di atas bukit sana. Untuk itu keduanya langsung memasang kuda-kuda untuk mempertahankan diri dari serangan.
  "Gila... benda bulat ini bagaimana mungkin dapat menyerang begini rupa?" batin Damerta sambil menghindari Wiro Suryo yang telah melipat badannya hingga berubah bulat sedemikian rupa.
  "Hei...!" Ki Alit berkelit menghindar saat Wiro Suryo menerjangnya. Tapi apa yang dilakukannya masih kalah cepat dengan gerakan Wiro Suryo. Tidak ayal lagi.
  Buuk! "Heekgh...!"
  Ki Alit terhuyung-huyung. Kini Tenggiling Kedil berbalik menyerang Damerta. Laki-laki ini sempat terkejut beberapa saat tadi. Karena ia melihat benda bulat yang bagaikan jeruk itu menghantam Ki Alit dengan mempergunakan tangannya yang cukup pendek.
  Duk! Duuk! "Hiya...!"
  "Ha ha ha...!"
  Dalam keadaan sulit bernafas, tibatiba Damerta melihat seorang pemuda bertampang tolol telah berdiri di belakang mereka sambil berkacak pinggang.
  "Kau... manusia super kerdil...! Kita telah tertipu oleh orang-orang yang tolol!" maki Ki Alit setelah melihat benda yang menyerangnya tadi ternyata merupakan laki-laki berbadan tidak sampai satu meter, berjenggot serta berkumis putih. Yang membuat mereka sempat terkesima adalah karena wajah orang aneh di depan mereka memancarkan cahaya berwarna putih laksana perak. Silih berganti mereka memandang ke arah Suro Blondo dan Wiro Suryo. Tiba-tiba mereka tertawa geli melihat wajah Wiro Suryo dan Suro Blondo. Wajah pemuda berambut kemerahan di depannya, sungguh pun tampan, namun terkesan seperti orang tolol. Sedangkan bila melihat ke arah laki-laki super pendek dengan tinggi tidak lebih dari anak berumur satu tahun, lebih parah lagi. Hanya yang tua ini sungguh pun tampangnya seperti orang bego namun memancarkan cahaya yang menakjubkan.
  "Orang-orang goblok darimanakah kalian? Kalian tidak ubahnya seperti badut. Jadi karena melihat tampang kalian yang begini lucu, kami sungguh pun telah kalian serang masih ada kesempatan bagi kalian untuk hidup lebih lama!" kata Damerta sambil tertawa lebar. Lain halnya dengan Ki Alit yang agaknya lebih teliti dan mengingat pesan tetua mereka. Kakek tua yang mempunyai badan super pendek memang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi pemuda bertampang tolol berambut hitam kemerah-merahan dan berbaju biru ini mana bisa dia lupa.
  "Ciri-ciri yang disebutkan oleh Mustika Jajar sama persis dengan ciriciri yang dimiliki pemuda ini." Sehingga dengan cepat ia memotong.
  "Tidak bisa! Yang kerdil boleh saja merat dari hadapan kami. Tapi kau pemuda berambut merah... Kau harus tinggal di sini dan menyerahkan diri dengan sukarela!" tegas Ki Alit serius sekali.
  "Bagaimana ini, Tenggiling Kedil? Ternyata mereka lebih suka padamu dari pada denganmu!" kata Suro Blondo melalui ilmu mengirimkan suara. Tapi kepada Damerta dan Ki Alit kata-katanya berubah tegas dan penuh ancaman.
  "Rupanya kita mempunyai tujuan yang sama. Kau memintaku dan aku sesungguhnya memang menginginkan nyawa kalian!"
  "Apakah kau manusianya yang bernama Suro Blondo dengan gelar Pendekar Blo'on?" tanya Ki Alit ingin memastikan dugaannya.
  "Benar! Akulah orangnya." sahut si pemuda.
  "Bagus... tidak bersusah payah rupanya kami mencarimu. Tidak kami kira kau datang menyerahkan diri dengan sukarela." kata Damerta. Laki-laki yang sangat dikenal dengan jurus-jurus tangan kosongnya ini langsung bergerak mengurung buruannya dari arah kanan. Suro Blondo tetap tenang. Malah ia sempat tersenyum, kemudian menyeka keringat yang mengalir di keningnya.
  "Melihat kalian telah mengenalku, dan aku belum mengenai kalian pada waktu sebelumnya. Tentulah orang yang berdiri di belakang kalian merupakan Iblis Betina Dari Neraka, bukan?" Sungguh pun Suro Blondo hanya bersifat menduga-duga saja, tapi melihat calon lawannya sempat berubah air mukanya. Maka kini Pendekar Blo'on sudah dapat memastikan bahwa dugaannya itu benar.
  "Kau tidak perlu tahu siapa tetua kami. Sekarang kau tinggal memilih apakah ingin menyerah secara baik-baik atau memilih jalan kekerasan?" kata Ki Alit. Seraya lalu mencabut senjatanya yang berbentuk aneh. Melengkung seperti bulan sabit. Namun mempunyai ujung pengait bagaikan mata tombak.
  "Tampaknya di antara kita memang sama-sama menghendaki kekerasan." dengus Suro Blondo. Ia kemudian berpaling ke arah Wiro Suryo, tapi rupanya laki-laki bangkotan berbadan super kerdil ini telah menyerang Damerta dengan mengandalkan jurus-jurus Tenggiling Kedilnya.
  "Ha ha ha...! Cocok bukan, kita berhadapan satu lawan satu!" kata Ki Alit tetap menganggap remeh lawannya.
  Tidak perlu berkata lagi, Suro Blondo langsung menyerang lawannya dengan mengandalkan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. Ki Alit langsung tersenyum mengejek melihat jurus konyol yang dimainkan oleh si pemuda. Ia dapat memastikan tidak sampai tujuh jurus tentu pemuda berambut hitam kemerahan itu dapat dirobohkannya. Apalagi ia sekarang memegang senjata andalannya.

* * * *



  Untuk itu ketika ia membuka serangannya, Ki Alit langsung mengerahkan 'Memanah Rembulan Bintang Berguguran'.
  Senjata berbentuk bulan sabit di tangannya dan memiliki sisi lain yang sangat runcing lagi tajam menyodok sekaligus membabat perut Suro Blondo. Dengan gerakan yang sangat indah bagaikan monyet yang sedang bersalto. Pendekar Blo'on berkelit menghindar.
  Wuuk!
  Serangan luput. Ki Alit kembali menghantamkan senjatanya sekaligus melepaskan satu tendangan telak ke dagu lawannya.
  "Hait! Hampir ambrol perutku!" desis Suro sambil melakukan serangkaian liukan indah. Dua kali serangan gencarnya menemui sasaran kosong. Sudah cukup membuka mata Ki Alit bahwa lawannya benar-benar tidak dapat dianggap sepele. Ia pun membuka jurus baru 'Menumpas Badai Topan'. Ini merupakan salah satu jurus terhebat yang dimiliki oleh Ki Alit. Rupanya ia benar-benar menyadari bahwa lawannya tidak dapat dianggap main-main.
  Hanya dalam waktu sepuluh jurus di depan, serangan-serangan Ki Alit berubah cepat dan sangat mematikan sekali. Di mata Suro senjata lawannya tampak berubah menjadi banyak. Ia tentu saja tidak mau bertindak ayal-ayalan lagi. Apalagi orang yang dihadapinya merupakan kaki tangan musuh bebuyutannya. Kini ia mempergunakan jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau. Diiringi dengan suara teriakan melengking tinggi. Suro Blondo berkelebat lenyap. Dalam penglihatan Ki Alit tubuh lawannya berubah menjadi tidak terhitung. Kemana pun ia berusaha membabatkan senjatanya. Tetap saja tidak mencapai sasaran. Ki Alit semakin marah, kedua rahangnya bergemeletukan. Sedangkan bibirnya terkatup rapat. Menghadapi kenyataan sedemikian rupa, tangan kirinya melepaskan pukulan secara beruntun ke arah lawannya.
  Seleret sinar hitam melesat dan menghantam setiap bayangan lawannya yang bergerak cepat bagaikan setan.
  Buum!
  Salah satu pukulan di antara sekian banyak pukulan yang dilepaskannya menghantam Suro Blondo. Hingga membuat pemuda itu jatuh terjengkang. Sudut-sudut bibir Suro Blondo mengalirkan darah. Sebelum ia sempat berdiri sepenuhnya. Lawan telah menghunuskan senjatanya ke bagian perut pemuda itu. Ia terkesiap namun cepat membuang tubuhnya ke kiri sambil lepaskan satu tendangan telak ke arah kaki Ki Alit. Tidak menyangka lawannya yang dalam keadaan terjepit itu masih dapat melepaskan serangan balasan. Sedapat-dapatnya Ki Alit menghindar. Tapi gerakannya kalah cepat.
  Buuk!
  "Aaaa...!" Ki Alit terpincangpincang, rasa sakit akibat tendangan Suro Blondo terasa sampai ke otaknya.
  Suro Blondo bangkit berdiri. Masih dalam keadaan terhuyung-huyung senjata lawannya kembali menderu, menusuk ke bagian iganya. Suro melompat ke samping, tapi lawan masih sempat menghantam punggungnya. Sungguh pun Pendekar Blo'on dapat menghindari serangan senjata yang sangat mirip dengan pengait serta gancu itu.
  Untuk yang kesekian kalinya, Suro terpelanting lagi. Punggungnya yang terkena pukulan lawannya terasa panas seperti terbakar. Sementara dari hidungnya mengalir darah kental. Jelas sekali pemuda ini menderita luka dalam,
  "Goblok! Mengapa kau biarkan dirimu menjadi bulan-bulanan lawan! Kerahkan kepandaian yang kau miliki!" terdengar suara seperti lebah mendengung di telinganya. Dan suara itu jelas suara Wiro Suryo.
"Enak saja kau bicara! Karena kau mempergunakan ajian 'Suket Sekilen', makanya dapat mempecundangi lawanmu tanpa lawan tahu posisimu di mana. Sedangkan aku mana bisa menghilang seperti setan, tolol?" Suro Blondo balas memaki. Tapi kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan oleh manusia super kerdil itu memang ada benarnya. Pendekar Blo'on segera bersiapsiap melepaskan pukulan 'Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar'.
  Sementara itu pertarungan antara Wiro Suryo dengan Damerta memang berlangsung tidak seimbang. Diawal jurusjurus pertama Damerta memang dapat mendesak bahkan menghajar lawannya sampai tunggang langgang. Keadaan itu tentu saja membuat Damerta menjadi senang bukan main mempermainkan bocah bangkotan berbadan pendek ini. Namun menjelang pertarungan berlangsung duapuluh jurus. Keadaan benar-benar sangat berubah. Terlebih-lebih setelah Wiro Suryo mempergunakan ajian 'Suket Sekilen'. Maka terkadang tubuh Wiro Suryo lenyap dari penglihatan Damerta. Dalam keadaan sedemikian rupa tentu saja Wiro Suryo yang tidak kalah konyolnya dengan Suro Blondo langsung menelanjangi Damerta.
  Karena lawan memang tidak terlihat maka sulit bagi Damerta untuk menentukan di mana posisi lawannya. Sementara tindakan Wiro Suryo semakin kurang ajar saja.
  Disentilnya ketimun milik lawan, hingga membuat Damerta melonjak-lonjak kesakitan seperti monyet kebakaran ekor. Dilain saat Wiro Suryo menampar pipi lawannya kanan kiri hingga membuat Damerta keliengan. Maka mengamuklah Damerta seperti orang gila. Pukulanpukulan maut dilepaskannya secara serampangan. Hingga membuat suasana di sekeliling mereka menjadi porak poranda. Karena lawannya yang dapat menghilang itu tidak ditemukan juga. Maka ia sekarang ikut menyerang Pendekar Blo'on.
  "Hei... Wiro Suryo. Sekarang kau malah membiarkan lawanmu yang telanjang itu berkeliaran menyerangku. Apakah kau tidak sanggup mengamankannya?" gerutu Suro Blondo berbisik.
  "Wah... tenang sobat. Tampaknya ia sangat frustasi karena tidak berhasil mendapatkan aku. Lihatlah aku istirahatkan dia...!" kata Tenggiling Kedil.
  Dan benar saja, dalam beberapa saat kemudian tubuh Damerta dalam keadaan kejang kaku karena ditotok oleh Wiro Suryo.
  "Bagaimana, hebat nggak!" Bocah bangkotan yang sudah memperlihatkan diri kembali itu tersenyum. Suro Blondo menggerutu. Pada saat ia sedang menghadapi tekanan-tekanan berat dari lawannya, masih juga Wiro Suryo memperoloknya.
  "Hiya! Jebol perutmu, anak tolol!" Wuus!
  Luput lagi. Suro melompat setinggi pinggang lalu menendang dagu lawannya dengan telak.
  Thaak! Bruuk!
  Ki Alit terjengkang ke belakang. Sama sekali ia tidak mengeluh. Malah dengan cepat ia telah bangkit kembali. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suro Blondo untuk melepaskan pukulan 'Matahari dan Rembulan Tidak Bersinar' untuk yang kedua kalinya.
  "Heaaa...!" Weer! Weer! "Uuts...!"
  Dalam kesempatan yang sama untuk melindungi dirinya dari ancaman sinar redup bersemu biru yang melesat dari telapak tangan Suro Blondo ini. Ki Alit juga melepaskan pukulan 'Wisa Biru'. Sebagaimana namanya, maka dari setiap ujung jemari Ki Alit melesat lima larik sinar berhawa panas menggidikkan. Dua pukulan sakti saling menyongsong dan akhirnya bertemu di udara.
  Blaar! Blaar! Badan Suro Blondo tergetar keras, sedangkan Ki Alit sendiri sempat terdorong mundur. Wiro Suryo jatuh tunggang langgang dan Damerta melolong keras terkena sambaran pukulan yang dilepaskan oleh kawan dan lawannya. Lakilaki itu jatuh terduduk.
  "Edan...!" Wiro Suryo yang baru dapat berdiri memaki. Sementara Pendekar Blo'on sendiri telah melepaskan pukulan susulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'. Inilah salah satu pukulan hebat yang diwariskan oleh kakek gurunya 'Malaikat Berambut Api'. Angin kencang laksana topan menderu disertai menebarnya hawa panas bukan kepalang. Ki Alit terkesiap, lalu memutar senjata di tangan sambil melepaskan pukulan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkannya. Tapi celaka, pukulan yang dilepaskannya membalik dan menghantam diri sendiri. Belum lagi ditambah dengan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma' yang terus menderu tidak terbendung. Pada akhirnya pukulan itu menghantam telak tubuhnya.
  Maka terdengarlah dua jeritan sekaligus, bukan hanya Ki Alit saja yang tewas seketika terkena pukulan tersebut, Damerta yang terkena sambaran pukulan lawannya juga tewas. Hanya saja keadaan Damerta tidak begitu mengerikan dibandingkan mayat Ki Alit.
  "Weii... edan kau Suro! Seharusnya kau tidak membunuhnya. Musuhku tadi pasti mau menunjukkan di mana markas tetuanya!"
"Semestinya kau membiarkan Damerta berdiri mematung di dekat ajang pertempuran. Lagi pula aku sudah dapat meraba dimana kira-kira Mustika Jajar
  berada!" sahut Suro Blondo.
  "Kau yakin dia yang telah melakukan semua ini?"
  "Aku hanya menduga, tapi semoga ada kebenarannya!"
  "Mari kita berangkat!"
  Lagi-lagi Wiro Suryo melompat dan bergelantungan di pinggang si pemuda hingga membuat Suro Blondo menjadi marah
  "Jika urusan ini selesai. Kuharap kau tidak merepotkan aku lagi. Aku muak melihat benalu sepertimu!"
  "Ha ha ha...!"
  Wiro Suryo hanya tertawa mengekeh.

 



--₪֍¦ 9 ¦֍₪--

  Perjalanan menuju ke tempat kediaman gembong iblis ternyata tidak semudah yang dibayangkan oleh Suro Blondo. Karena selain harus naik turun bukit. Juga terlalu banyak jebakan yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan dirinya. Dalam keadaan harus selalu siap waspada ini. Wiro Suryo berulang kali malah mengejek Pendekar Blo'on. Dan tentu saja dengan banyolan-banyolannya yang lucu.
  "Pendekar sepertimu, alangkah semakin bodohnya jika sampai termakan oleh tipuan yang dibuat oleh iblis itu"
  "Diamlah benalu. Kalau tidak mau diam, kau akan kucampakkan ke jurang sana. Eeh... sekarang di sebelah mana lagi kira-kira Iblis Betina Dari Neraka memasang perangkap?"
  "Kalau matamu tidak bisa mencari. Lebih baik kau pergunakan hidungmu untuk mengendus-ngendus seperti anjing. Kemudian menyalak tiga kali dan semuanya akan beres! Ha ha ha...!" kata Wiro Suryo.
  "Berhentilah kau bercanda bayi bangkotan. Jika aku salah langkah, kaupun ikut mati." dengus Suro Blondo sambil menggaruk-garuk kepalanya.
  Sementara itu, Wiku Palawa yang pergi menuju arah timur sampai di tengah perjalanan rupanya perasaannya tidak enak. Ia seperti punya pirasat ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi pada kawan-kawannya. Sebagai tokoh angkatan tua yang sudah sangat berpengalaman. Biasanya pirasatnya itu selalu menjadi kenyataan. Untuk itu, tanpa membuang-buang waktu lagi. Ia segera berbalik langkah kemudian berlari cepat menuju Curing Bencana. Dugaannya ternyata benar, karena ketika ia hampir mencapai bangunan yang menjadi markas sekaligus tempat tinggal tetuanya. Ia melihat seorang pemuda berambut hitam kemerah-merahan menyelinap di balik taman di luar tembok. Hanya ia agak heran karena pemuda itu seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Padahal ia hanya melihat hanya pemuda itu saja tanpa disertai oleh orang lain.
  "Mungkin dia orang yang tidak waras. Tapi siapa pun yang telah masuk ke daerah ini, apalagi telah berani memasuki daerah bangunan Curing Bencana. Ia pantas diseret untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya."
  Berbekal dengan keyakinannya, Wiku Palawa langsung mencegat langkah Pendekar Blo'on.
  Sraaak!
  Hanya dengan mengandalkan gerakan yang cukup cepat. Dalam waktu sekejap Wiku Palawa telah berada di hadapan Suro Blondo. Pendekar Blo'on sempat terkejut juga. Lalu berbisik: "Nampaknya kita mengalami gangguan. Jalan kita tidak mulus, lihat ada keledai gundul di depan!"
  "Dia bukan tuyul, bukan pula pendeta atau biksu dari vihara. Pastilah dia kawannya para iblis. Jangan banyak tanya, sikat saja!" kata Wiro Suryo memberi semangat.
  "Siapakah kau kisanak?" tanya Wiku Palawa,
  "Kau dengar, Tenggiling Kedil. Dia bertanya padaku, apakah aku tidak usah menjawabnya?" Suro Blondo lalu menyeka keningnya.
  "Sudah kubilang sikat saja! Kalau perlu kasih satu jawaban saja sudah cukup!"
  "Ditanya malah cengengesan. Apakah kau orang gila?"
  "Kawanku bilang aku cuma bisa kasih satu jawaban saja. Aku datang kemari untuk mencari biang penyebar racun sekaligus membunuhnya!" kata Suro Blondo.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar
  Blo'on?" pancing Wiku Palawa lebih jauh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wiro Suryo tadi. Maka Pendekar Blo'on tanpa berkata apa-apa lagi langsung menyerang Wiku Palawa.
  "Hati-hati kau. Manusia gundul yang satu ini termasuk salah satu pentolan di Curing Bencana." Wiro Suryo mengingatkan. Tidak tanggung-tanggung. Suro Blondo langsung mengerahkan jurus Tawa Kera Siluman. Wiku Palawa yang semula menganggap remeh lawannya jadi terkejut. Terlebih-lebih setelah mendapatkan kenyataan sambil melakukan seranganserangan dahsyat lawan mengeluarkan suara tawa yang benar-benar sangat mengganggu konsentrasi dan gerakan silatnya. Lebih aneh lagi, suara tawa itu terkadang berubah menjadi suara tangis, atau bahkan suara ringkik kuda.
  Sebagai tokoh angkatan tua yang sudah sangat berpengalaman. Wiku Palawa langsung menutup indera pendengarannya. Namun ia terkesiap juga. Karena sungguh pun Wiku Palawa telah mengerahkan tenaga dalam untuk menghilangkan pengaruh suara tawa lainnya. Tetap saja suara tawa dan tangis Pendekar Blo'on terdengar olehnya.
"Heiit! Edaan...!" Wiku Palawa membentak garang. Ia kemudian menerjang ke depan. Satu tonjokan menderu disertai dengan melesatnya kaki kanan sang Wiku ke bagian lambung Suro Blondo. Dengan gerakan lincah dan sangat manis. Pemuda ini berkelit dan bersalto ke belakang.
"Hiaa...!"
  Serangan awal luput, tapi Wiku Palawa yang mempunyai pengalaman luas dalam rimba persilatan tidak diam sampai di situ saja. Ia pun menerjang kembali. Kali ini tubuhnya melentik ke udara. Kakinya menyapu ke bagian kepala Suro Blondo. Gerakan yang dilakukannya cepat bukan main. Dan Suro Blondo dengan cepat membungkukkan tubuhnya. Tapi tidak disangka hal itu cuma tipuan belaka. Begitu Pendekar Blo'on merunduk, tinju Wiku Palawa menghantam punggung pendekar berambut hitam kemerahan ini.
  "Haaakgh..."
  Suro tersungkur mencium tanah. Kepalanya sakit berkunang-kunang. Sementara punggungnya seperti tertindih batu gunung. Sudut-sudut bibir Suro Blondo mengalirkan darah. Pemuda ini tidak dapat bangkit secepatnya. Padahal pada saat itu Wiku Palawa yang merasa berada di atas angin telah menghunuskan tongkatnya yang berujung runcing ke bagian perut lawannya.
  "Kecurangan inilah yang tidak aku suka!" dengus Wiro Suryo yang sejak awal pertempuran tadi terus menggelantung di pinggang Suro. Badannya yang pendek dan elastis itu melentik dan menghantam wajah Wiku Palawa. Bukan main kerasnya tendangan sekaligus pukulan yang dilepaskan oleh Wiro Suryo. Sehingga membuat sebagian wajah laki-laki tua itu hancur.
  Ia jatuh terpelanting. Namun tongkat mautnya masih tetap tergenggam di tangannya
  "Aaaa...!" Wiku Palawa menjeritjerit sambil menekap mukanya yang berlumuran darah.
  "Bangun anak geblek!" desis Wiro Suryo sambil menepuk pundak Pendekar Blo'on.
  "Eeh... kau telah membantuku...!" kata Suro, lalu meringis sambil mengeluselus bahunya.
  "Bukan hanya membantu, tapi juga menolongmu dari kelicikan-kelicikan para iblis!" gerutu bocah bangkotan berkumis serta berjenggot putih itu.
  Sementara Wiku Palawa sudah bangkit berdiri. Kini ia selain marah juga merasa heran. Karena di depannya telah berdiri dua orang laki-laki. Laki-laki berbadan super pendek yang satunya ini membuat Wiku Palawa terkejut. Seingatnya tadi ia hanya menghadapi satu lawan. Mengapa kini ada dua? Selain itu sama-sama bertampang tolol lagi.
  "Siapakah kalian?"
  "Tidak cukup waktu bagiku untuk menerangkan siapa kami yang sesungguhnya. Bersiap-siaplah untuk mati!" dengus Wiro Suryo.
"Kemudian ia berpaling pada Pendekar Blo'on.
"Kau segera satroni musuh bebuyutanmu. Tapi kau harus ingat, dalam penglihatanku musuhmu itu kini selain mempunyai pengawal luar biasa sakti juga mempunyai kemajuan pesat dengan ilmu-ilmu barunya!"
  "Baiklah, hati-hati, Tenggiling Kedil! Jangan pula badanmu yang kerdil sampai tercincang tongkat bututnya!" Sambil tertawa-tawa Suro Blondo langsung melompati pagar. Sementara Wiro Suryo yang mempunyai ajian Suket Sekilen dan Pancar Wajah ini sudah berhadapan dengan lawannya.
  "Jadi kau benar-benar tidak mau mengatakan siapa kau yang sesungguhnya?" tanya Wiku Palawa.
  "Sebagai musuh! Bertarung ya... bertarung. Jika kita bertanya jawab, berarti kita adalah sahabat. Tapi jika kau tetap penasaran, akulah Wiro Suryo dari Gunung Sembung!"
  Bagaikan mendengar petir di tengah hari bolong, Wiku Palawa belalakkan matanya. Sungguh pun ia belum pernah bertemu dengan tokoh aneh yang konon memiliki kesaktian tinggi ini. Tapi ia sering mendengar tentang adanya manusia kerdil yang selalu muncul dalam rimba persilatan dalam sepuluh tahun sekali.
  "Jadi kau...!" bergetar suara Wiku Palawa sehingga ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
  "Ya... aku kenapa... sekarang apakah kau sudah siap untuk kukirim ke neraka..?" Wiro Suryo tertawa membahak.
  Tiba-tiba ia melipat badannya. Lalu menggelundung menyerang Wiku Palawa.
  "Tenggiling Kedil!" untuk yang kedua kalinya Wiku Palawa dibuat terkejut. Tapi ia segera mengibaskan tongkatnya dengan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Tongkat menderu, seakan mempunyai seribu mata, Wiro Suryo menghindar. Bentuk tubuh Wiro Suryo yang seperti bola tersebut memang sangat menyulitkan lawannya. Apalagi ia dapat bergerak lincah menggelundung kian kemari.
  Tentu saja apa yang dilakukan lawannya sangat menyulitkan Wiku Palawa. Kalau pun ia berhasil menggebuk Wiro Suryo yang terus bergerak dan menghantam perut Wiku Palawa. Namun tampaknya hantaman tongkatnya tidak berakibat apaapa bagi Wiro Suryo alias Tenggiling Kedil. Bahkan ia malah tertawa-tawa seperti orang yang kegelian.
  "Ha ha ha... kau memang iblis yang baik! Badanku sudah berhari-hari terasa pegal. Sukur kau dengan sukarela mau mengurutku. Ha ha ha...!"
  Memerah wajah Wiku Palawa, panas pula hatinya. Tiba-tiba ia melompat mundur, kemudian mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangannya. Hanya dalam waktu sekejap kedua tangannya itu telah berubah menghitam laksana arang. Terlihat kabut tipis berwarna hitam keluar dari ujung jemari Wiku Palawa, selain itu tercium pula bau busuknya bangkai. Ketika itu laki-laki berkepala setengah botak itu memang tengah mengerahkan pukulan 'Banyu Getih'. Inilah salah satu pukulan yang sangat diandalkannya.
  Wiro Suryo yang mempunyai banyak keanehan dan ilmu simpanan yang cukup dahsyat tentu saja dapat membaca bahkan mengetahui jenis pukulan yang dimiliki oleh laki-laki itu. Dengan cepat ia bangkit berdiri merobah posisi. Mulutnya berkomat-kamit. Jelas ia sedang merapal mantra-mantra ajian 'Suket Sekilen'.
  "Hiyaa...!" Wiku Palawa menghentakkan kedua tangannya ke arah Wiro Suryo. Kakek berusia delapan puluh tahun ini tertawa membahak. Kemudian....
  Plaas! Bumm!
  Bersamaan waktunya dengan datangnya pukulan lawan, maka saat itu juga Tenggiling Kedil lenyap dari pandangan mata Wiku Palawa. Pukulan yang dilepaskan Wiku Palawa menghantam sasaran kosong. Sementara itu, Wiro Suryo yang sudah tidak terlihat lagi oleh lawannya menghantam ke depan.
  Buk!
  Kraak! Kraak! "Wuaaakh. !"
  Wiku Palawa menjerit kesakitan. Kedua tulang kakinya patah. Ia jatuh terduduk. Tapi hantaman terus mendera wajahnya. Praak!
  "Uaaakh... bangsat pengecut...!" maki Wiku Palawa sambil mendekap tulang pelipisnya yang hancur.
  "Setiap iblis selalu licik dan pengecut. Apa salahnya kalau sekarang aku terpaksa bertindak curang pula? Lagipula kau bukan lawanku, Wiku Palawa. Kalau pun umurmu bertambah seratus tahun lagi. Kau tetap tidak dapat melawanku. Karena aku sendiri setengah manusia setengah jin!" kata Wiro Suryo yang kini telah memperlihatkan diri lagi.
  "Kalau kau masih mau tobat, sebaiknya kau merat dari sini. Tapi kalau tetap membangkang juga. Maka tempat yang sebaik-baiknya bagimu adalah di neraka jahanam!"
  Wiku Palawa tidak dapat menjawab. Akibat luka-luka yang dideritanya itu ia tidak sadarkan diri.
  "Tidur memang lebih baik bagimu! Huh ha ha ha...! Suro Blondo! Apakah kau sudah menemukan Betina Dari Neraka?"

 



--₪֍¦ 10 ¦֍₪--

  Suro Blondo dan Wiro Suryo memasuki sebuah bangunan yang dikenal dengan sebutan Curing Bencana. Namun ruangan itu terasa sepi. Seakan perempuan yang mereka cari-cari menghilang begitu saja bagaikan ditelan bumi.
  "Apakah ini bukan jebakan, sobatku Tenggiling Kedil?" kata Suro Blondo khawatir.
  "Kalau jebakan. Artinya kita sudah mulai masuk dalam perangkap. Tapi sebaiknya tak usah bersedih. Orang yang menjebak kita perempuan. Siapa tahu ia berkenan denganmu dan mengangkatnya menjadi pendampingnya. Bukankah kau juga yang enak?" kata Wiro Suryo sambil tertawa-tawa.
  "Jangan bicara sembarangan. Dalam keadaan seperti ini rasanya tidak ada waktu bagi kita untuk bercanda!" sahut Pendekar Blo'on.
  "Tenanglah, selama aku bersamamu. Kau tidak akan kesepian. Sebaiknya kita menuju ruangan yang terletak di sebelah kiri itu?" kata Wiro Suryo.
  Sesuai dengan yang dikatakan oleh Tenggiling Kedil. Maka Suro Blondo belok ke kiri. Mereka sampai di sebuah ruanganruangan lainnya. Di dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang seperti ranjang pengantin. Namun baik Wiro Suryo maupun Suro Blondo tetap tidak menemukan apa yang dicari-carinya.
  "Lihatlah, Suro. Kau telah disediakan sebuah ranjang untuk malam pertama..." kelakar Tenggiling Kedil.
  Pendekar Blo'on kerutkan keningnya. Ia tidak tahu arti ucapan manusia super pendek yang terus mengikutinya kemana pun ia pergi.
  "Apa itu malam pertama?" tanya Suro lugu.
  "Tololnya kau ini. Di malam pertama itu kau akan disuguhi makanan yang sangat istimewa di mana kau belum mendapatkannya pada waktu-waktu sebelumnya. Makanan itu sangat enak, matamu pasti terpejam karena begitu enaknya! Ha ha ha...!"
  "Aku sering mendapat makanan yang enak. Jadi tidak usah mengolokku. Kau jangan bercanda terus, kita bisa mati di sini berdua...!"
  "Tapi makanan yang satu ini lain, Suro...!"
  "Diam! Gila kau!" dengus Pendekar Blo'on tidak suka.
  Tenggiling Kedil akhirnya terdiam. Mereka terus melakukan pencarian. Sampai akhirnya menemukan sebuah lorong menuju bawah tanah.
  "Mungkinkah jahanam itu bersembunyi di bawah sana?" tanya Wiro Suryo.
  Pendekar Blo'on garuk-garuk kepalanya. Ia sendiri tidak tahu apakah Betina Dari Neraka bersembunyi di ruangan bawah tanah atau tidak. Yang jelas mereka harus menemukan perempuan sesat itu bagaimana pun caranya. Maka tanpa raguragu lagi Suro Blondo bersama Wiro Suryo menuruni anak tangga yang menghubungkan ke ruangan bawah. Baru beberapa langkah ia mengayunkan kakinya.
  Tanpa diduga-duga pintu di belakangnya tertutup.
  Brak! "Heh...!"
  Suro Blondo terkejut sekali. Ia kembali berbalik dan berusaha mendorong pintu batu tersebut. Namun sedikit pun pintu tersebut tidak bergeming.
  "Edan! Apa yang harus kita lakukan sekarang!" gerutu Suro Blondo sambil menggaruk kepalanya.
  "Rasanya pintu ini memang tidak mudah untuk dihancurkan. Sebaiknya kita teliti dulu ada apa di sini. Baru kemudian kita cari jalan keluarnya dari sini!" kata Wiro Suryo.
  "Orang ini benar-benar licik. Kita kena dikerjainya?"
  "Berhentilah mengumpat. Dia bukan licik, tapi cerdik. Kurasa lebih baik kita ke sana sekarang juga!"
  Sambil bersungut-sungut, Suro Blondo mengikuti apa yang dikatakan oleh si kerdil. Kira-kira dua batang tombak mereka melangkah. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis.
  "Kita memang telah dipersiapkan untuk terkubur di sini hidup-hidup!" maki Pendekar Blo'on.
"Semua ini gara-gara kau, Tenggiling Kedil. Ternyata bukan tubuhmu saja yang pendek. Tapi otakmu tidak dapat dipergunakan berfikir dengan baik!"
  "Jangan marah-marah. Apa salahku?"
"Apa salahmu? Bukankah kau yang menyuruhku belok ke kiri dan juga masuk ke bawah sini?"
  "Kalau itu bukan aku yang salah. Dasar nasib kita saja yang apek!" sahut Wiro Suryo seenaknya.
  Pendekar Blo'on tidak sempat lagi menanggapi ucapan sobat tuanya yang terus bergelantungan di pinggang Suro Blondo. Karena ia terpaksa menghindari serangan ular-ular itu dengan cara melompat-lompat seperti seekor monyet yang sedang menarinari.
  Ternyata ular-ular yang dihadapinya sangat ganas sekali. Sehingga Pendekar Blo'on kehilangan kesabarannya.
  "Hiyaa...!" Tuk! Tuuk! Zzssst!
  Dengan mempergunakan jari tangannya. Suro Blondo segera menyambut serangan ular-ular berbisa tersebut.
  Beberapa diantara binatang melata itu dibuat hancur kepalanya. Ada pula yang digigitnya hingga putus menjadi dua. Pendekar Blo'on Sendiri tidak luput dari patukan ular-ular tersebut. Tapi bisa ular-ular itu tidak berakibat apa-apa karena Suro Blondo memang kebal terhadap segala macam gigitan ular.
  Tidak lama sebagian dari ular-ular yang selamat melarikan diri. Satu kesalahan dilakukan oleh Pendekar Blo'on. Ia memburu ular-ular itu. Wiro Suryo tiba-tiba berteriak.
  "Awas...!!"
  Peringatan Tenggiling Kedil terlambat. Jeruji besi di belakang Suro Blondo melorot turun dan menutup jalan keluar bagi mereka berdua.
  "Kurang ajar! Kita terperangkap!" desis Pendekar Blo'on kaget.
  "Seperti yang kukatakan. Iblis itu ternyata lebih cerdik dari kau." Jawab Tenggiling Kedil
  "Apakah kau sendiri menganggap dirimu cerdik?" cibir pemuda berambut hitam kemerahan ini tidak mau kalah.
  "Tentu aku lebih pandai dari kau!" sahut Wiro Suryo Seenaknya.
  Pendekar Blo'on jadi mendongkol dibuatnya. Ia tidak bicara apa-apa lagi. Melainkan segera berusaha menghancurkan jeruji yang telah membuat mereka terkurung.
  Karena jeruji tersebut tidak dapat dibukanya. Suro Blondo terpaksa melepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
"Heaaa...!" Wut! Wut! Der!
  Jeruji itu sama sekali tidak bergeming. Malah langit-langit ruangan bawah tanah menunjukkan tanda-tanda akan runtuh.
  "Jangan kau teruskan lagi, Suro!" cegah Wiro Suryo setelah melihat keadaan yang cukup gawat itu.
  "Kenapa rupanya?" tanya Pendekar Blo'on tidak mengerti.
  "Ruangan ini bisa runtuh jika kau terus melepaskan pukulanmu. Jika itu terjadi, maka kita terkubur hidup-hidup di sini. Pernahkah kau bayangkan betapa enaknya meregang ajal dalam keadaan sehat seperti kita-kita ini?"
  "Kau jangan mengolokku, kerdil berjenggot. Kita dalam keadaan kesulitan. Tapi kau masih bisa tertawa."
  "Ho ho ho...! Haruskah aku menangis dalam keadaan panik seperti sekarang? Atau aku harus tertawa dalam keadaan senang? Gila betul!"
  "Ya... kau betul-betul gila. Satu purnama lagi aku bersamamu. Aku bisa ketularan penyakit gendengmu!"
  "Sebelum bertemu aku saja kau memang sudah edan. Apalagi sekarang. Paling juga tambahnya sedikit saja!"
  Suro Blondo baru saja ingin mengatakan sesuatu. Namun ia terpaksa menelan ucapannya kembali saat mendengar suara tawa panjang seseorang. Suara tersebut menggetarkan lantai ruangan. Bahkan kemudian lantai runtuh. Maka terperosoklah Suro Blondo ke dalamnya. Tetapi sebelum Pendekar Blo'on dan Wiro Suryo benar-benar tercebur ke dalamnya ia berusaha mengerahkan segenap kemampuannya untuk tidak terjatuh di dalamnya. Usaha yang dilakukannya ini hanya sia-sia saja. Karena ia tidak mungkin terus mengembang di udara.
  Byuur!
  "Gila! Ah... apa yang menggigitku ini...?" tanya Pendekar Blo'on pada Wiro Suryo.
  "Melihat bau dan licinnya. Kurasa kita telah terperangkap ke dalam kolam lintah!" sahut Wiro Suryo sambil berusaha mengusir makhluk-makhluk kecil panjang itu dengan cara mengibaskan tangannya.
  "Gila betul. Kita bisa kehabisan darah. Anehnya bangsat itu mampu meruntuhkan lantai ruangan ini hanya dengan tertawa."
  "Kau yang tolol. Tentu dia sudah menggerakkan peralatan rahasianya yang telah dipersiapkannya untuk menyambut kehadiran kita!"
  "Ha ha ha...! Kalian berdua seperti tikus masuk ke dalam perangkap. Kalian segera mati kehabisan darah. Kalaupun bisa selamat. Kalian tetap tidak bisa keluar dari situ! Tunggulah seminggu lagi Pendekar Blo'on. Kau pasti akan mendapat hukuman dariku!" kata sebuah suara.
  "Bangsat pengecut!" maki Suro Blondo geram.
  "Hik hik hik...!"
  Suara tawa segera lenyap dan berganti dengan kesibukan Wiro Suryo dan Pendekar Blo'on untuk membebaskan diri mereka.

* * * *



  Perkasa duduk santai di tengahtengah ranjang. Sementara Mustika Jajar tampak mondar-mandir di dalam ruangan itu. Ia seperti memikirkan suatu cara untuk membunuh lawan-lawannya yang sudah masuk dalam perangkap.
  "Apa yang junjungan pikirkan? Tetua seharusnya tidak usah memikirkan yang rumit-rumit. Karena hal itu hanya membuat wajah tetua menjadi keriput." kata Perkasa, laki-laki sakti yang berasal dari patung ciptaan Pematung Kelana.
  "Kau memang pandai mengambil hati, Perkasa. Kau orang yang kukagumi. Sekarang ambilkan tuak keras untukku! Malam ini kita rayakan kemenangan kita!" kata Betina Dari Neraka.
"Apa pun perintahmu. Aku selalu menurutinya gadis cantik!" sahut Perkasa. Laki-laki bertubuh tegap tinggi dan hanya memakai koteka ini berlalu meninggalkan majikannya. Mustika Jajar memperhatikan kepergiannya dengan tatapan penuh arti.
  Tidak lama kemudian Perkasa telah datang kembali sambil membawa dua kendi tuak keras. Ia langsung memberikannya pada Mustika Jajar.
  "Kau mau mengawalku?" Betina Dari Neraka menawarkan.
  Perkasa tentu saja tidak menolak. Ia menerima tuak itu lalu meneguk isi kendi yang diberikan padanya hingga tuntas.
  "Malam ini kita merasakan segalagalanya, Perkasa. Kita dapat berbagi cinta. Cintaku yang membara selama beberapa purnama ini." kata gadis cantik berpakaian ketat warna ungu ini sambil meneguk araknya.
  "Kemarilah, kekasihku!" Mustika Jajar yang ketika itu duduk di pinggir ranjang melambaikan tangannya. Perkasa tentu saja tidak menampik. Apalagi ia berasal dari kekuatan iblis.
  "Berilah kehangatan yang kudambakan kepadaku!" desis Mustika sambil memeluk Perkasa. Matanya setengah redup. Bibirnya yang tipis terbuka mengundang gairah.
"Dengan senang hati aku akan memenuhi permintaanmu, tetua. Kau pasti tidak akan kecewa. Karena aku dapat membuatmu puas di dalam sorga dunia!" kata Perkasa.
  Tangan Mustika Jajar menggerayang kemana-mana. Sebaliknya Perkasa mulai melepaskan pakaian gadis cantik itu satu persatu. Sehingga dalam waktu sekejap tubuh mulus Mustika Jajar sudah berada dalam keadaan telanjang dan menantang sekali untuk dijamah. Perkasa melumat habis bibir Mustika, tangannya yang kokoh meremas dada Mustika yang telah berubah mengeras. Dua insan yang berlainan jenis ini memang sudah sama-sama lupa daratan.
  Sampai pada akhirnya mereka saling menyatu. Mustika Jajar mengenang penuh rasa nikmat. Ia memeluk dengan erat tubuh Perkasa yang bidang.
  "Oh... aahh... Perkasa. Ka... kau jangan hentikan...!" desis Mustika Jajar. Pelita di dalam ruangan itu bergoyanggoyang ditiup angin. Bahkan setelah itu tampak redup hingga akhirnya padam. Suara erangan di dalam kamar semakin mendayudayu. Terlebih-lebih ketika sesuatu memasuki diri Mustika Jajar. Ia menjerit keras. Bukan jerit kesakitan. Melainkan jerit penuh rasa nikmat yang tidak terkira. Selanjutnya suasana dalam ruangan itu berubah sepi. Hanya sesekali saja terdengar desah nafas lega dan katakata manja seorang perempuan. Memang tidak dapat dipungkiri, setelah kejadian itu. Maka kejadian-kejadian yang sama terus terulang.
  Lalu bagaimanakah nasib Pendekar Blo'on. Dapatkah mereka menyelamatkan diri? Hukuman apa yang akan dijatuhkan Betina Dari Neraka pada Suro Blondo? Kisah ini masih berlanjut.

TAMAT



INDEX SURO BLONDO
Pemikat Iblis --oo0oo-- Memburu Manusia Setan
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.