Life is journey not a destinantion ...

Satria Terkutuk Berkaki Tunggal

INDEX BUANG SENGKETA
Kembalinya Si Tangan Setan --oo0oo-- Neraka Gunung Dieng

BUANG SENGKETA
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy

Cetakan Pertama Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

--₪¦ « 1 » ¦₪--

Sesungguh pun air di dalam telaga itu hanya tinggal satu jengkal saja jaraknya di atas permukaan lumpur. Namun laki-laki kurus berkepala botak itu tetap saja melemparkan kailnya di dalam telaga yang tidak seberapa airnya itu. Begitu pun tetap seperti waktu-waktu sebelum-nya. Manakala kail yang tidak berumpan itu menyentuh air, begitu cepat benang yang menjadi pengikatnya nampak bergerak-gerak. Secepat itu, laki-laki tua berkepala botak itu pun langsung menyentakkan gagang kail yang berada dalam genggamannya. Anehnya meskipun kail itu tak pernah diberi umpan apapun, akan tetapi tetap dia mendapatkan ikan seperti yang diharapkannya. Siapapun adanya orang ini, kalangan persilatan selaiu memanggilnya dengan julukan si Pengail Aneh. Tak ada yang tahu secara persis, apakah nama itu ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai pemancing atau karena pula kebiasaan hidupnya yang suka bertingkah yang macam-macam.
Pada saat itu si Pengail Aneh tampak tersenyum-senyum begitu mendapatkan seekor ikan besar yang panjang dan gemuk. Cepat-cepat dia memasukkan ikan yang baru saja didapatkannya ke dalam kepis.
"Hem! Lima sepuluh ekor lagi sudah lumayanlah." gumamnya sambil menepuk-nepuk kepis yang melekat di pinggangnya.
"Put! Put!"
Dua ekor ikan jurung besar kembali melayang di udara. Ikan itu menggelepar-gelepar. si Pengail Aneh kembali mengekeh. Tak lama kemudian dia pun berkata pada dirinya sendiri.
"Sepuluh dua puluh ekor lagi sudah lumayan untuk bekal satu minggu...!" kata si Pengail Aneh sambil memasukkan dua ekor ikan itu ke dalam kepisnya. Setelah itu, dia kembali melemparkan mata kailnya. Sama seperti keadaan semula. Begitu kailnya menyentuh kedalaman air telaga, kail itu kembali bergerak-gerak kembali.
"Wuut! Wuut!"
si Pengail Aneh cepat-cepat menyentakkan kailnya, kali ini seekor ikan jurung berukuran sangat besar sekali, nampak mencelat dari dalam telaga. si Pengail Aneh lagi-lagi berucap sembari memasukkan ikan tersebut ke dalam kepis.
"Kalau ada dua puluh sampai tiga puluh ekor lagi sudah sangat lumayan sekali untuk persediaan satu purnama...." Berkata begitu, tiba-tiba dia teringat sesuatu. Kemudian tanpa menoleh, tangannya nampak meraba-raba pada kepis yang melekat di pinggangnya. Seingat laki-laki tua berkepala botak itu, kepis yang dibawanya sesungguhnya berukuran kecil. Akan tetapi kalau tak salah hitung, dia sudah memasukkan ikan ke dalamnya kurang lebih lima belas ekor. Padahal rata-rata ikan-ikan itu berukuran lumayan besarnya. Tetapi mengapa masih belum penuh juga kepis itu. Manakala si Pengail Aneh beranjak berdiri dari tempatnya dengan hati penasaran. Maka semakin bertambah heranlah dia. Karena begitu dia memeriksa pada kepis yang terikat di pinggangnya, kepis tersebut ternyata bolong di bagian pantatnya. Hanya tinggal seekor saja ikan jurung di dalamnya. Sedangkan empat belas lainnya telah raib entah ke mana.
Heran bercampur penasaran, Pengail Aneh ini meneliti rerumputan yang tumbuh di sekitar tempat itu, tetapi tak seekor pun ikan tercecer di sekitar rumput-rumput itu. .
"Ikan-ikan pada tolol semua, sudah dibuatkan sarang yang bagus masih juga kabur, sia-sia saja pekerjaanku hari ini!" si Pengail Aneh nyeletuk panjang pendek. Dalam keadaan kebingungan seperti itu mendadak terdengar pula nada ucapan mencemooh.
"Hek.... hek.... hek....! Pengail Aneh Setan Gempor! Senang sekali hari ini aku bisa ikut menikmati hasil jerih payahmu...!"
Mendengar teguran itu, cepat-cepat Pengail Aneh putar badannya. Dari nada ucapan tadi, agaknya dia sudah mengetahui siapa adanya orang yang bersembunyi di balik sebatang pohon besar tersebut. Bukan main geramnya si Pengail Aneh melihat semua hasil jerih payahnya dihabiskan oleh orang itu. Lalu dengan sekali lompat tubuhnya sudah melayang begitu ringannya. Dan tahu-tahu dia sudah berada di depan orang yang berada di balik pohon besar tersebut. Dalam keadaan kesal bercampur marah si Pengail Aneh berseru.
"Setan Alas. Tak dinyana kiranya engkaulah yang mencuri ikan-ikan tangkapanku di dalam kepis ini. Enak betul...!" bentaknya marah.
"Tinggal makan saja apa susahnya, toh ikan-ikan itu tidak bertuan...!" menyela si laki-laki yang bersembunyi di balik pohon, dan tanpa memperdulikan kehadiran si Pengail Aneh, dia terus saja enak-enakkan menggerogoti ikan jurung yang masih mentah dan berbau amis tak karuan itu dengan lahapnya.
Mual rasanya perut si Pengail Aneh demi melihat cara si laki-laki tua berbadan gemuk itu demi menyaksikan caranya mengunyah ikan yang tak pernah di matangkan sebelumnya itu. Dalam kejengkelannya itu, tiba tiba dia membentak.
"Setan Kroya... sebetulnya kalau engkau yang menjadi maling dari ikan-ikan milikku aku tak pernah keberatan, tetapi caramu memakan ikan itu, yang tak jauh bedanya dengan binatang buas membuat aku muak! Rasanya ingin kugebuk mulutmu yang rakus itu...!"
Mendengar celoteh si Pengail Aneh si tua gemuk yang berjuluk Setan Kroya itu pun tertawa mengekeh. Kemudian sambil mengkremus kepala seekor ikan jurung yang lebih besar lagi, maka dia pun berkata; "Tolol betul engkau ini, masa engkau sampai hati menggebuk mulut sahabat sendiri. Pula sejak dulu engkau mana mampu melakukan itu...!" ucap Setan Kroya mencemooh. Dihina sedemikian rupa, si Pengail Aneh bukannya menjadi marah, sebaliknya dia balik mengejek.
"Heh, andai bapak moyangmu masih hidup, belum tentu dia mampu menghadapi aku dalam sepuluh jurus saja, apalagi cuma engkau, budak kemarin yang hanya memiliki kepandaian silat picisan...!" tukas si Pengail Aneh.
"Frussh!" si Setan Kroya menyemburkan daging ikan mentah yang masih bersisa di mulutnya. Dipandanginya si Pengail Aneh sampai-sampai kedua bola matanya yang lebar itu pun tiada berkedip.
"Berani betul engkau menyebut-nyebut bapak moyangku! Apakah engkau sudah tahu betapa hebatnya bapak moyangku itu...?" bentak Setan Kroya serius sekali.
"Belum...!"
Mendapat jawaban seperti itu, Setan Kroya nampak angguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba pula dia menambahi.
"Kalau begitu sama. Aku pun tak tahu bapak moyangku..... memiliki kepandaian yang hebat atau tidak, atau bahkan tak memiliki kepandaian sama sekali pun aku tak tahu. Sebab, kalau bapak moyangku orang yang hebat, sudah barang tentu aku tak memiliki gelar yang paling jelek di kolong langit ini! Setan Kroya si Gembel Pengemis. Coba bayangkan betapa malunya aku...!" ucap si Gembel Kroya seolah pada dirinya sendiri. Sementara itu demi mendengar pengakuan sahabatnya yang terasa polos dan lucu, tiba-tiba si Pengail Aneh sudah tidak dapat menahan tawanya lagi.
"Hek... hek.. hek! Dulu pernah ada seseorang bercerita, Setan Kroya. Dia bilang begini, kawannya yang bernama Setan Kroya itu, sesungguhnya anak seorang pengemis, sedangkan nenek moyangnya merupakan raja dari seluruh golongan gembel...." si Pengail Aneh tersenyum mahfum, kemudian lanjutnya.
"Jadi sesungguhnya engkau ini masih keturunannya bangsawan, Setan Kroya...!"
"Apa maksudmu...?" tanya laki-laki tua berbadan gemuk itu tak mengerti.
"Ah, masa engkau sudah tua bangka seperti itu tidak bisa mengerti apa yang aku maksudkan...?"
"Bicara muter-muter. Ngomong terus terang saja mengapa...?" bentak Setan Kroya plototkan matanya yang bulat dan besar.
"Maksudku.... engkau ini termasuk ahli waris Pangeran gembel.... he.... he... he....!" si Pengail Aneh kali ini ganti mengekeh.
"Kuya...! Pengail Aneh Manusia sinting, berani sekali engkau menghinaku. Kiranya kau benar-benar ingin kugebuk. !"
"Jangan main gebuk seenak perutmu. Dosamu karena mencuri ikan milikku saja sudah sulit untuk engkau bayar. Tetapi sebagai kawan baik, aku mengampunimu, satu lagi yang perlu kutanyakan padamu Gembel Bangsawan...!" Si Pengail Aneh urungkan ucapannya, hal ini membuat Setan Kroya semakin penasaran.
"Cacing botak, cepat katakan apa yang ingin engkau katakan. Aku muak melihat tampangmu yang menjijikkan itu.. !"
Si Pengail Aneh tertawa ganda.
"Sabar dulu, aku heran. Lima tahun kita tak bertemu. aku fikir engkau sudah menjadi manusia yang betul, tak kusangka engkau malah menjadi nggak benar!" si Pengail Aneh masih tetap pada sikapnya. Setan Kroya kertakkan rahang, dia sangat kesal sekali melihat si Pengail Aneh dengan sengaja mempermainkannya.
"Pengail sinting, selain mencaci maki, apakah tak ada lagi yang lainnya yang hendak kau tanyakan padaku...?"
"Hmm. Sudah kuduga, pasti hal itu yang akan kau tanyakan padaku, Setan Kroya! Tetapi ada baiknya kalau aku ingin mengetahui apa saja yang engkau bawa dari dunia ramai itu, bagus atau malah semakin memuakkan?"
"Pengail sinting, keadaan di rimba persilatan bukan seperti yang kau tanyakan itu, Sebaliknya sangat menegangkan dan penuh harap-harap cemas...!. Mendapat jawaban seperti itu, si Pengail Aneh Kerutkan alisnya. Gurat-gurat ketuaan semakin membekas di keningnya.
Beberapa saat lamanya dia terdiam untuk mencoba menebak apa yang dimaksudkan oleh kawannya yang satu ini. Tetapi karena dia belum juga menemukan jawabannya, maka akhirnya dia pun menyela.
"Nampaknya begitu serius sekali berita yang engkau bawa itu, Setan Kroya! Sampai-sampai orang Ngadiluwih yang sudah lima tahun tak pernah menjambangi Susukan ini, kini muncul didepan hidungku. !"
"Engkau tak perlu menyindir-nyindirku, manusia kropok.... masakan berita persilatan yang begitu santer dan menghebohkan itu tak pernah engkau dengar...?" tukas Setan Kroya dengan mata sebelah terpicing.
si Pengail Aneh tersenyum tawar, dia cukup menyadari. Walaupun dia dan sahabatnya, si Setan Kroya sama-sama edannya. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu laki-laki tua berbadan gembrot itu tidak bisa dibuat main-main. Begitu mengetahui, roman muka si Setan Kroya nampak serius sekali, maka tanpa basa-basi lagi diapun langsung duduk ngejeblok di sisi sahabat karibnya itu.
"Terus.... ceritalah padaku, mengenai segala kemelut rimba persilatan, sesungguhnya aku yang sudah tua bangka ini tak ingin mau perduli. Tapi kalau berita itu, memang ternyata cukup serius, maka kupikir-pikir tak ada salahnya kalau sekali-sekali aku yang sudah hampir masuk liang kubur ini mendengarnya". Si Pengail Aneh menimpali.
Mendengar ucapan si Pengail Aneh, Setan Kroya nampak terdiam untuk beberapa saat lamanya. Lalu dia teringat pada dirinya sendiri. Selama ini sama seperti yang dilakukan oleh si Pengail Aneh, dia sendiri pun sudah tak ingin lagi muncul di rimba persilatan, dia ingin menjauhi segala urusan dunia ramai, semua itu semata-mata karena dia juga ingin memanfaatkan sisa-sisa usianya untuk melebur dosa-dosa masa lalu yang tak bisa terhitung dengan jari. Baik Setan Kroya maupun si Pengail Aneh, dulunya adalah sama-sama merupakan dua orang tokoh golongan lurus di bagian Barat Daya. Dalam menumpas kejahatan mereka sama-sama bertindak tak pandang bulu. Membunuh dengan kesadisan yang luar biasa adalah merupakan pekerjaan rutin mereka. Hal ini sudah barang tentu banyak pihak yang tak senang dengan segala bentuk sepak terjangnya. Meskipun begitu tak seorang pun dari bekas musuh-musuhnya yang berani bertindak maupun mengambil tindakan gegabah terhadap orang-orang ini. Sebab selain kedua tokoh ini memiliki ilmu silat yang tinggi juga selama ini tak seorang pun yang mampu mengalahkan mereka berdua.
"Hehe... he... he...! Orang Bludrek..... Kau pikir cuma engkau saja yang sudah muak dengan segala bentuk sepak terjang dunia persilatan yang penuh dengan angkara murka itu? Huh, aku sendiri sudah sangat bosan sekali untuk mengingat-ingatnya. Pula sampai saat ini semua dosa-dosaku belum semuanya diampuni oleh Sang Hyang Widi...!"
"Kalau sudah merasa bertaubat, mengapa engkau hari ini nongol di depan hidungku?"
Ditanya seperti itu, Setan Kroya tundukkan kepalanya. Dalam hati dia pun sesungguhnya sudah tak ingin keluyuran di dunia ramai, akan tetapi haruskah dia berdiam diri, kalau ada orang lain yang coba-coba mencemarkan nama baiknya di dunia ramai, padahal sudah hampir lima tahun dia menyepi diri di Ngadiluwih. Lalu kini, secara tiba-tiba rimba persilatan menjadi gempar dengan sosok iblis yang mengaku sebagai dirinya.

* * *



--₪¦ « 2 » ¦₪--

Dia tak mau menerima begitu saja, apalagi orang yang mencatut namanya tersebut berasal dari golongan hitam. Baginya lebih baik mati dalam mempertahankan nama baik, ketimbang harus mati menunggu waktu dalam penyepian.
"Pangeran Gembel.... Mengapa engkau diam sedemikian rupa? Ataukah engkau ini sedang berkhayal tentang istrimu yang mampus dalam kesesatan itu...?" Bentakan si Pengail Aneh yang begitu tiba-tiba membuat Setan Kroya alias si Gembel Kroya nampak tersadar dari lamunannya.
"Ah. pertanyaan tadi membuatku teringat pada keadaan sadar atau tidak, Pengail Sinting...!"
"Apa maksudmu...?" tanya si Pengail Aneh tak mengerti.
"Semestinya orang yang sudah setua aku ini, tak usah pergi ke mana-mana, seperti engkau. Sampai saat ini tetap ngejeplok di Susukan ini, tetapi siapa sudi aku terus tetap melakukan nyepi, sementara namaku di luaran sana dicatut orang demi maksud-maksud yang kukira memang tak baik...!"
"Hek.... Hek.... Hek...! siapa sih yang mencatut nama jelekmu itu, hingga membuat panas kupingmu...?" sergah si Pengail Aneh dengan diiringi sesungging tawa mengekeh. Agaknya Setan Kroya merasa kurang senang dengan sikap sahabatnya yang masih saja tetap tak mau serius.
"Pengail goblok, terus saja engkau bercanda, sebentar lagi kail mu itu kupatah-patahkan...!" bentaknya marah.
"Hus. Jangan! Tanpa kail di tanganku ini, mana mungkin engkau bisa makan ikan itu andai tanpa kail itu, pula aku bisa mampus tanpa senjata itu, engkau pikir mana lebih baik antara kailku dengan toya butut pemukul anjing milikmu?" menyela si Pengail Aneh masih tetap saja bercanda.
"Manusia Kropok sialan...!"
Hampir saja Setan Kroj»a mengayunkan toyanya ke arah kepala si Pengail Aneh jika laki-laki tua itu tidak cepat-cepat menyergah
"Gembel Kroya... Baiklah, baiklah.... Aku serius. Sekarang ceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi dengan namamu itu...?" Legalah hati Setan Kroya begitu mendengar ucapan si Pengail Aneh dari Susukan itu. Setan Kroya kemudian nampak menarik nafas pendek pendek, sepasang matanya yang bulat besar itu pun nampak memandang lurus ke depan. Lalu tak berapa lama kemudian dia pun sudah mulai buka bicara.
"Sekarang ini, rimba persilatan sedang dilanda situasi yang serba tak menentu!" desahnya seolah-olah menyesalkan. Kemudian lanjutnya.
"Orang-orang pada mampus tanpa diketahui sebab musababnya. Menurut kabar yang ku dengar, sudah dua bulan purnama ini, di kaki Gunung Gili Manuk telah terjadi pertarungan tokoh-tokoh kelas satu, yang berakhir dengan banyak kematian...!"
"Ee.... tunggu dulu, apa sesungguhnya yang menjadi persoalan sehingga pertarungan itu sampai terjadi...?" potong si Pengail Aneh dengan sangat penasaran sekali. Yang ditanya terdiam sesaat lamanya.
"Menurut kabar yang kudengar pula, sekarang ini kaum rimba persilatan sedang memperebutkan siapa sesungguhnya yang pantas menjadi tokoh kelas satu di kolong langit ini...?"
"Tokoh kelas satu? Untuk apa hal itu diributkan?" tanya si Pengail Aneh merasa sangat heran sekali.
"Ada yang bilang, bahwa siapa pun yang berhasil keluar dalam adu kesaktian itu, maka dialah yang berhak menguasai seluruh kaum persilatan!"
"Puh! Undang-undang orang edan dari mana itu Setan Kroya.. Kau jangan mengada-ada...!" cibir si Pengail Aneh.
"Jangan protes dulu. Itu makanya kalau ada orang sedang bicara engkau jangan seenak perutmu saja main protes...!"
"Baiklah.. baiklah, coba engkau teruskan..." perintah si Pengail Aneh.
"Aku merasa sangat yakin ada pihak-pihak lenentu yang dengan sengaja memanfaatkan ini untuk kepentingan tertentu pula. Hal itu aku tak peduli, tetapi karena ada yang coba-coba memakai namaku untuk suatu tujuan yang tak jelas. Maka hal itu tidak bisa kubiarkan berlarut-larut !" Ketus Setan Kroya menggeram.
"Hek. hek.. hek... Agaknya ketenaran namamu membuat orang lain iri hati, Setan Gembel. Sampai-sampai nama bututmu mereka bawa-bawa untuk kepentingan yang tak jelas ..!" tukas Hi Pengail Aneh dengan tawa mengejek. Tanpa merasa tersinggung sedikit pun Setan Kroya menyambung.
"Kurasa bukan itu yang menjadi tujuan mereka. Cara mereka dalam bertindak atau apa pun yang akan mereka kerjakan, aku malah khawatir kalau pada akhirnya bukan nama kita saja yang terlibat dalam sesuatu yang tak baik. Tetapi akhirnya malah menyeret kita pada sesuatu yang tidak pernah kita ingini...!" ujar Setan Kroya merasa was-was.
"Heh... kiranya, tempat pangasinganmu selama ini malah membuatmu jadi seorang pengecut, Setan Gembel...!" Merah panas Si Setan Kroya begitu mendengar ucapan si Pengai! Aneh dengan nada mencemooh itu. Kemudian tanpa disangka-sangka dia pun cepat-cepat menyela.
"Pengail sinting.... mati bagiku sekarang dan nanti bukanlah apa-apa Tetapi aku sangat tidak rela kalau sampai ada orang yang tak kukenal coba-coba mempergunakan namaku!"
si Pengail Aneh nampak angguk-anggukkan kepalanya. dalam hati dia juga membenarkan kata-kata Setan Kroya. Dalam pada itu mendadak dia teringat sesuatu"
"Lalu apa yang akan engkau lakukan...?" Tanyanya kemudian Si Setan Kroya terdiam untuk sesaat lamanya!
"Kalau menurutmu apa yang paling pantas untuk kulakukan...?" Laki-laki tua berbadan gemuk itu balik bertanya. Yang ditanya garuk-garuk kupingnya yang tak gatal, lalu dia pun memandang pada si Setan Kroya.
"Kalau menurutku, ada baiknya engkau selidiki siapa sesungguhnya orang yang telah mempergunakan namamu itu, kemudian cari tahu apa tujuan dari semua itu!" ujar si Pengail Aneh.
"Tetapi di mana harus kumulai, semua orang-orang di jalanan sana pada bungkam semuanya, manakala aku baru saja mencoba tanyakan pada mereka!"
"Hemmm.... repot juga." gumam si Pengail Aneh sambil menarik nafas dalam-dalam. Tak lama sesudahnya dia pun menyambung kembali.
"Menurutmu apakah pertarungan pemilihan tokoh nomor satu seperti yang didesas desuskan masih mungkin akan berlangsung kembali...?"
"Agaknya sih begitu, sebab sampai saat ini kudengar masih belum ditentukan secara pasti siapa adanya yang menjadi pemenang dalam adu kesaktian tersebut!"
"Huh, tolol sekali engkau ini! Dengan belum ditentukannya siapa yang keluar sebagai pemenang dalam pertandingan maut itu, ini sudah dapat dipastikan bahwa pertarungan gila itu masih akan berlanjut lagi...!" ujar si Pengail Aneh mcmberikan pendapat.
Lagi-lagi si Setan Kroya menganguk-anggukkan kepalanya.
"Oh ya, benar juga pendapatmu itu! Kalau menurut apa yang kudengar tak sampai dua purnama yang akan datang di Gunung Gili Manuk pula pertarungan gila-gilaan itu berlanjut kembali!"
"Aku sangat berkeyakinan dalang dari semua apa yang terjadi itu, pasti juga hadir dalam pertarungan itu.. " ucapnya berpendapat.
"Mungkin juga Pengail Botak. Tetapi yang tak habis kumengerti, mengapa orang-orang itu begitu tololnva mau diadu domba dengan hal-hal yang sesungguhnya kurang patut untuk dilakukan oleh seorang pendekar-pendekar persilatan..." gumam Setan Kroya merasa sangat penasaran sekali.
"Aku merasa yakin semua itu ada yang melatar belakanginya...!"
Lagi-lagi laki-laki berbadan gemuk itu pun mengagguk -angguk kan kepalanya.
"Cukup beralasan juga pendapatmu itu Pengail Sinting, agaknya otakmu semakin tua semakin sehat saja. Apakah itu ada hubungannya dengan rambutmu yang berguguran itu?"
Wei... sial sekali engkau ini, kau pikir aku senang dengan segala pujianmu itu Setan Gembel!" sentak si Pengail Aneh nampak konyol kembali.
"Siapa yang memuji? Masa engkau tidak tau kalau aku malah menghinamu?" kata laki-laki itu sambil tertawa-tawa lucu.
"Kutu kuprat! sial betul engkau ini, cepat-cepat menggelindinglah dari hadapanku...!" perintahnya marah.
"Eiiittt.... Tunggu dulu Aku masih ada satu pertanyaan yang harus engkau jawab hari ini juga...!"
"Cepat cepatlah katakan sebelum aku benar-benar menendangmu ke tengah telaga itu!"
Setan Kroya nampak cengar cengir melihat ulah kawannya sendiri.
"Begini! Apakah engkau juga ingin sama-sama pergi denganku...?" tanya si Gembel Kroya penuh harap. Tetapi yang ditanya malah tersenyum mengejek.
"Sudah kukatakan padamu sejak lima tahun ketika kita bertemu di Bukit Linglung bahwa aku tak mungkin pergi meninggalkan pengasinganku di Susukan ini. Walau seribu orang sekalipun mempergunakan namaku untuk jalan sesat...!" sela si Pengail Aneh mendadak berubah seperti orang pikun. Sebaliknya kini Setan Kroyalah yang meledak tawanya. Dalam keadaan seperti itu, Setan Kroya cukup menyadari bahwa penyakit sinting sahabatnya itu sedang kambuh kembali.
"Pengail geblek! Engkau ini sesungguhnya cerdas namun tolol, pinter namun bodoh. Masakan engkau yang begitu disegani di rimba persilatan, akan membiarkan begitu saja andai namamu dicatut orang untuk tujuan-tujuan tak baik...?" menyela si Setan Kroya. Tiba-tiba seperti orang yang sedang kebingungan si Pengail Aneh, tengok kanan tengok kiri. Bagai orang yang baru terjaga dari tidurnya matanya berkeriapan pula.
"Apa katamu, aku tolol tapi pinter, rupanya aku baru saja bilang apa padamu?" tanyanya seperti tak mengerti apa yang baru saja diucapkannya.
"Dasar pikun! Masakan sebagai orang yang disegani di kalangan rimba persilatan engkau akan membiarkan saja namamu dipakai oleh orang lain. Bagaimana pula andai orang itu mengaku sebagai dirimu setelah memperkosa bini orang...?" tanya si Setan Kroya sembari tersenyum -senyum.
"Waa.... kurang asem. Tidak bisa, orang itu pasti akan kuseret dan kugebuk atau bahkan kupelintir lehernya sampai putus...!" tukasnya terburu-buru.
"Lalu seandainya suatu saat ada seseorang yang mempergunakan namamu untuk tujuan-tujuan yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan hati kecilmu. Apakah engkau sampai mampu akan ngejoprak di Susukan ini...?" tanya Setan Kroya penuh kemenangan.
si Pengail Aneh kernyitkan alisnya yang putih namun hanya tinggal beberapa helai saja.
"Engkau pikir apakah aku tolol, meskipun aku sudah hampir tersungkur ke dalam kubur, tidak nantinya kubiarkan siapa pun memakai namaku secara sembarangan. Engkau tahu bahwa dulu maupun nanti kail mautku ini masih mampu untuk menggantung siapa pun yang punya maksud-maksud tak baik...!"
"Hemmmm! Bagus, jadi engkau pun akan berbuat yang sama. Andai nama besarmu dipergunakaan secara serampangan oleh orang lain...!"
"Tentu saja...!" sahut si Pengail Aneh.
"Bagus.... Karena saat ini namakulah yang paling pertama dicatut oleh orang lain, agaknya aku harus kelayapan terlebih dahulu." kata Setan Kroya, kemudian untuk sesaat lamanya dia menoleh dan memandang pada si Pengail Aneh. Setelah itu dia pun menyambung kembali.
"Pengail sinting! Aku berharap suatu saat namamu menjadi diminati oleh orang lain, sehingga menyebabkanmu harus merangkak dari sarangmu...!" ejek Setan Kroya.
"Mudah-mudahan tidak begitu...!" gumam si Pengail Aneh tersenyum-senyum.
"Harus begitu...!" bantah Setan Kroya.
"Tidak mungkin, Pangeran Gembel"
"Mungkin saja...!" sergah Setan Kroya.
"Mana bisa...!" si Pengail Aneh nampak ngotot.
Dalam pada itu tiba-tiba Setan Kroya menunjuk ke suatu tempat.
"Eh.....Apa itu...?" kata si Setan Kroya pada si Pengail Aneh, serentak pengail ini pun menoleh.
"Mana...?" tanya si Pengail Aneh. Tiada sahutan, akhirnya dengan rasa penasaran dia pun berpaling kembali pada Setan Kroya. Namun dia tidak melihat sahabatnya itu ada di tempat. Maka tahulah dia bahwa Setan Kroya sengaja mengerjainya. Akhirnya tanpa membuang waktu lagi, dia pun berkelebat pergi meninggalkan telaga itu.

* * *



--₪¦ « 3 » ¦₪--

Panas terasa terik membakar. Sejauh-jauh mata memandang hanya kepulan debu-debu jalanan yang diterbangkan oleh hembusan angin kering.
Nun di kejauhan sana, nampak sebuah titik hitam berjalan terseok-seok melintasi padang kerontang yang membentang begitu luas. Semakin lama titik hitam tersebut semakin bertambah jelas, hingga pada akhirnya semakin bertambah nyata. Maka terlihatlah sosok bayangan seorang pemuda berusia kira-kira dua puluh lima tahun. Pemuda berkulit hitam legam itu berperawakan, tinggi semampai dengan bentuk badan kekar berotot menonjol. Sementara. Pakaian yang dikenakannya tak jauh beda dengan warna kulitnya. Sepintas lalu pemuda itu mengesankan sebagai seorang laki-laki yang sangat perkasa. Apalagi dengan sebilah pedang panjang tergantung di punggungnya. Tak pelak lagi siapa pun orangnya sudah pasti dapat menduga bahwa pemuda bertampang dingin itu tentu merupakan seorang pengelana yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sayangnya ada satu sisi terburuk pada penampilan pemuda itu, kakinya yang terkutung sebatas paha, telah membuatnya harus berteman dengan sebuah tongkat, kemana pun dia pergi. Inilah salah satu ciri yang menonjol yang dimiliki oleh pemuda itu. Tetapi walaupun begitu tak seorang pun ada yang berani bertindak sembarangan terhadapnya. Jangankan orang-orang yang sebaya dengannya. Sedangkan beberapa tokoh angkatan tua saja sudah sangat banyak yang telah menjadi pecundangnya. Bahkan puluhan di antaranya menemui ajal secara mengerikan. Betapapun pemuda ini memiliki tubuh yang tidak sempurna, tetapi siapa sangka dia memiliki segudang cita-cita untuk dapat merajai seluruh dunia persilatan. Lebih dari sekedar itu dia pun secara halus dapat memperalat orang lain untuk melakukan tipu muslihat dan adu domba. Salah satu sisi yang benar-benar sangat menyimpang dari kebiasaan pada umumnya adalah kebenciannya terhadap seorang wanita. Dia akan bertindak lebih ganas lagi pada lawan yang berlainan jenis dengannya. Barangkali semua itu ada hubungannya dengan latar belakang kehidupannya.
Kini pemuda itu nampak menghentikan langkahnya di bawah sebatang pohon besar yang terdapat di pinggiran jalan setapak itu. Tak lama setelah itu maka pemuda ini menyandarkan badannya di bawah batang pohon tersebut. Setelah itu dia nampak menarik nafas dalam-dalam. Lalu rasa kantuk pun terasa menyerangnya begitu tiba-tiba. Sorot matanya yang dingin itu semakin lama nampak semakin meredup, hingga pada akhirnya dia pun tertidur dengan pulasnya. Angin kemarau yang berhembus begitu kencangnya, membuatnya sekejap saja telah menjadi pulas sekali. Namun lebih kurang baru setengah jam dia menikmati tidurnya, di luar pengetahuan si pemuda, nampak berkelebat beberapa sosok tubuh mendekati si pemuda ini. Tak lama begitu sampai di depan pemuda itu, maka salah seorang dari ketiga orang itu langsung bertanya pada kawan-kawannya.
"Manusia pincang seperti inikah yang telah membunuh banyak perempuan dan para pendekar lainnya di kaki Gunung Gili Manuk, Boim...?" tanya si Kaki Pincang
Mata Picak.
"Tak salah, Bang.... Manusia Kaki Tunggal inilah orangnya...!" jawab yang bernama Boim itu takut-takut.
"Kalau begitu cepat bunuh dia...!" perintah si Kaki Pincang Mata Picak memberi perintah.
"Bang, apa tak sebaiknya kita banguni dulu, baru kemudian kita bunuh...?" tanya Boim memberi usul.
"Tolol kalian semua. Kalau engkau membanguni dia, itu sama saja artinya dengan mencari penyakit...!" bentak si Kaki Pincang Mata Picak marah sekali. Namun begitu pun masih saja salah seorang di antaranya bertanya lagi.
"Tapi Bang! Membunuh orang yang sedang tidur dosanya berlipat ganda...!" menyela kawannya yang lainnya pula.
"sial! Mengapa harus membantah. Kalian mulai saja atau aku yang akan memenggal kepala kalian satu... satu di sini...?!" bentak si Kaki Tunggal Mata Picak berang bukan main gusarnya. Dan sudah barang tentu suara bentakan yang begitu keras membuat si Kaki Tunggal alias Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal menjadi terjaga dari tidurnya. Walaupun pemuda berkaki tunggal itu tidak membuka kedua matanya yang terpejam, namun ia dapat mengetahui dengan baik. Bahwa di sekelilingnya kini telah, berdiri beberapa orang laki-laki dengan senjata terhunus. Maka masih dengan sikap seperti orang yang sedang tertidur, dia pun menggeram:
"Hekh.... Kiranya di sekitar sini masih saja ada lalat-lalat menjijikkan yang minta digebuk. Gila betul. Tak tahu rupanya kalau majikanmu ini baru saja melakukan pekerjaan yang sangat melelahkan. Cepat-cepat menyingkirlah, atau kepala yang tidak guna itu akan menggelinding satu demi satu..!" ancamnya penuh teguran.
"Kuya. Tikus bangsat berkaki tunggal, dosamu membunuhi anak bini orang, dan nyawa orang yang tidak berdosa itu saja, sudah sulit bagiku untuk mengampunimu. Cepat-cepatlah berdiri untuk menerima kematian dari kami...!" maki Mata Picak Kaki Pincang.
"Hek.... Hek.... !" si Kaki Tunggal tertawa dingin menyeramkan. Serta merta dia pun membuka kedua matanya yang terpejam. Begitu mengetahui orang-orang yang berdiri tak begitu jauh di depannya. Maka gelak tawanya pun kembali menggema di siang yang terik itu. Beberapa orang kawan si Mata Picak Kaki Pincang yang sebelumnya meradang sudah mengetahui sepak terjang dan kesadisan si Kaki Tunggal nampak menggerendek dan ciut nyalinya. Dalam pada itu, Si Kaki Tunggal tiba-tiba sudah membentak kembali.
"Puih. Kaki Pincang Mata Picak, agaknya keadaanmu malah tidak lebih baik dari keadaanku. Aku sudah merasa sedih dengan keadaanku sendiri, akan tetapi aku malah lebih sedih lagi membayangkan nasibmu yang lebih buruk nanti...!"
Memerah wajah Si Mata Picak Kaki Pincang demi mendengar ucapan Si Kaki Tunggal yang terasa sangat mencemooh itu. Lalu tak kalah kerasnya, dia pun memaki.
"Jahanam, Manusia iblis berkaki tunggal..... Berbulan-bulan kaini selalu memata-matai, sepak terjangmu. Kami semua sudah tahu apa sesungguhnya yang menjadi tujuanmu. Heh, satu cara yang keji dan kotor, sebuah kebiadaban yang tak pantas dilakukan oleh seorang demit yang mengaku dirinya sebagai seorang ksatria...!" Si Boim yang sejak tadi hanya terdiam saja kini mulai memberanikan diri ikut menyela.
Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal kernyitkan alisnya begitu mendengar ucapan Si Boim. Beberapa saat lamanya dia memandang pada laki-laki itu, dengan sorot mata penuh kesadisan. Lalu bibirnya yang hitam legam itu pun menyungging seringai maut. Laki-laki kurus yang bernama si Boim itu pun semakin kedodoran saja nyalinya, bahkan cepat-cepat dia palingkan muka. Sementara itu si Kaki Tunggal sudah berkata kembali.
"Cepat katakan apa yang engkau ketahui tentang aku, Cacing Kerempeng...?" perintah si pemuda tak sabaran lagi. Sebaliknya si Mata Picak Kaki Pincang yang mendahului rekannya!
"Manusia bangsanya memedi! Kami tahu, sesungguhnya kaulah yang telah menggembar gemborkan tentang pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi di Gunung Gili Manuk, dua kali purnama yang telah lalu itu. Lebih licik lagi, engkau dengan sengaja mencoba mengadu domba antara satu golongan dengan golongan lainnya. Sehingga mereka berselisih dan saling bunuh. Aku tahu muslihatmu, setelah mereka saling bunuh. Bukankah pada akhirnya sebagai pemenang dalam pertarungan keji itu pada akhirnya akan berhadapan denganmu...!" kata si Mata Picak Kaki Pincang. Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal tertawa ganda begitu mendengar ucapan si Mata Picak Kaki Pincang. Sesungguhnya memang tidak dapat dia sangkal bahwa apa yang dikatakan oleh si Mata Picak memang benar adanya. Maka beberapa saat setelah itu dia pun berkata:
"Bagus! Bagus! Ternyata meskipun matamu picak, tetapi otakmu cukup cerdas juga. Sayangnya tokoh-tokoh sialan itu otaknya tidak sebagus otakmu, mereka sudah terlanjur saling bantai sesamanya. Dan kalian...!" si Kaki Tunggal terdiam sesaat lamanya, lalu menyambung kembali.
"Sayangnya kalian tidak mungkin bisa meralat segala apa yang telah kusebarluaskan pada keledai-keledai dungu itu. Satu purnama yang akan datang, di lereng Gunung Gili Manuk akan terjadi pertarungan yang paling berarti dalam sejarah dunia persilatan. Malang sekali, karena kalian yang sedikit punya kecerdikan tak akan pernah sempat menyaksikan pertarungan yang sangat menegangkan itu...!" menggeram si pemuda. Baik si Mata Picak Berkaki Pincang maupun ketiga orang kawannya nampak sangat terkejut sekali. Mereka sadar, beberapa saat lagi akan terjadi baku hantam yang menjadi penentu hidup matinya mereka. Tetapi berbeda dengan ketiga orang lainnya, kiranya si Mata Picak Kaki Pincang memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Kalau tadi hanya ketiga orang kawannya yang mencabut senjata masing-masing, maka kini dia pun telah meloloskan sebilah pedang berhulu batu hitam. Dunia persilatan mengakui akan keampuhan pedang pusaka yang kini berada dalam genggaman si Mata Picak. Kemudian setelahnya, laki-laki itu pun sudah bersiap-siap untuk menyerang lawannya.
Di luar dugaan mereka, begitu mengetahui pedang batu hitam itu pun si Kaki Tunggal tertawa mengekeh. Sampai-sampai dia memegangi perutnya yang terasa kaku.
"Mata Picak, pedangmu memang bagus, tetapi mungkin permainan pedangmu sangat mengecewakan aku. Hak.... hak.... hak.... Majulah kalian semua! Aku Satria Terkutuk Berkaki Tunggal pasti akan melayani kalian sampai tersungkur ke liang kubur!"
"Bangsaaat! Hiaaaaa. !"
Dengan diawali satu bentakan tinggi melengking, maka keempat orang itu secara serentak langsung menggempur si Kaki Tunggal dari berbagai arah. Sekejap saja senjata di tangan masing-masing telah berkelebat cepat, sehingga membentuk gulungan-gulungan sinar maut yang menggidikkan. Hebat sekali permainan senjata mereka itu. Sehingga dalam waktu sepemakan sirih, Satria Terkutuk Berkaki Tunggal sudah terkurung hebat dalam sambaran-sambaran ganas mata senjata lawan-lawannya. Akan tetapi meskipun permainan pedang lawan yang terkenal dengan nama, Gerombolan Beruang Menyergap Mangsa itu, nampak sedemikian hebatnya, namun si Kaki Tunggal masih nampak tenang-tenang saja. Bahkan berulang kali dia malah keluarkan suara tawa mengekeh. Hal ini sudah barang tentu membuat para pengeroyok yang dipimpin oleh Mata Picak Kaki Pincang, menjadi marah dan penasaran sekali.
Maka akhirnya bagai sebuah titiran, keempat orang itu pun terus memutar senjata di tangan mereka secepatnya. Meskipun gerakan senjata mereka sedemikian sebatnya, namun si Kaki Tunggal masih dengan sangat mudah mengelakkan setiap serangan yang datangnya bagai membadai tersebut. Satu ketika, tubuh si Kaki Tunggal nampak berjingkrak-jingkrak, si Mata Picak Kaki Pincang. kirimkan satu tusukan satu babatan. Dia berharap, kalaupun serangan kilat itu dapat dielakkan oleh si Kaki Tunggal, paling-paling adalah salah satunya saja. Sedangkan serangan yang lain pasti dapat menembus pada bagian tubuh si Kaki Tunggal atau setidak-tidaknya lawan akan terluka parah, maka:
"Beet! Bet!"
Pedang berhulu batu hitam itu pun berkelebat menyambar ke arah dada dan kepala pihak lawannya. Sesaat si Kaki Tunggal berseru aneh.
"Wut!"
Begitu cepat, si Kaki Tunggal menyambar tubuh salah seorang lawannya untuk dijadikan perisai. si Mata Picak yang tiada pernah menyangka lawannya akan berbuat kelicikan, nampak sangat terkejut sekali, sedapatnya dia berusaha untuk membelokkan ujung senjatanya yang nampak meluncur tak terkendali. Namun usahanya itu nampaknya menjadi sia-sia belaka, karena lebih cepat lagi si Kaki Tunggal telah dengan sengaja menyodorkan tubuh lawannya ke ujung senjata yang bermata sangat tajam itu. Maka kejadian fatal pun sudah tak dapat lagi dihindari.
"Jbroos...!"
"Aarrrggghk!"
Mata pedang milik si Mata Picak Kaki Pincang masih menancap di dada kawannya sendiri ketika si Kaki Tunggal melepaskan tubuh lawannya dari tangannya. Darah menyembur dari luka yang menganga, bahkan sebagian di antaranya sampai menyemprot ke muka si Mata Picak. Seketika itu juga si Mata Picak dan dua orang kawannya nampak terperangah, mata mereka sama-sama melotot tak percaya. Meledaklah tawa si Kaki Tunggal demi menyaksikan kejadian dan hasil kerjanya sendiri. Wajahnya membayangkan kepuasan jiwanya yang penuh dengan angkara murka. Sesaat setelahnya, serta merta dia pun membentak
''Satu kesempatan telah begitu baik kuberikan pada kalian. Tetapi karena memang kalian ini tikus-tikus dungu, tak dinyana kalian telah membantai kawan sendiri. Puih, sungguh sangat memalukan sekali...!" menyela Kaki Tunggal masih dengan tawa mengejek. . . 
"Sialan.... Engkau telah berbuat licik! Mengapa bukan dirimu saja yang engkau pasrahkan untuk ditembus pedangku ini...?" maki Mata Picak Kaki Pincang gusar sekali.

* * *



--₪¦ « 4 » ¦₪--

"Bah! Mata Picak, engkau sendiri yang berbuat kesalahan, mengapa kini engkau coba-coba menutup-nutupi ketololanmu...?"
"Bangsaaat...!" maki si Mata Picak Kaki Pincang, tanpa banyak kata lagi dia pun kembali menerjang musuhnya dengan kemarahan yang meluap-luap. Dalam kesempatan seperti itu sambil menghindar si Kaki Tunggal berseru:
"Kunyuk Pincang Mata Picak! Kesempatan bagimu habislah sudah, maka kini bersiap-siaplah kalian untuk menerima kematian...!" Seusai dengan kata-katanya sebentar kemudian si Kaki Tunggal bagai tak memiliki suatu cacat apa pun nampak begitu gesit mulai jurus-jurus silat tingkat tinggi. Ketiga lawan-lawannya nampak tercengang seketika itu juga! Apalagi si Mata Picak Kaki Pincang, Mulanya dia hanya menyangka walaupun si Kaki Tunggal merupakan seorang pemuda sakti, tetapi tidaklah dia mengira sampai sehebat itu. Apalagi dia mengetahui bahwa pemuda itu hanyalah memiliki kaki sebelah. Tidak seperti dirinya, meskipun pincang tetapi memiliki dua kaki.
Maka setelah mengetahui kehebatan pihak lawan, kini dia sudah tak ingin bertindak tanggung lagi. Kaki Pincang Mata Picak segera kerahkan semua kepandaian yang dimilikinya. Begitu juga halnya dengan dua orang kawannya, meskipun dua orang itu memiliki kepandaian beberapa tingkat di bawah si Mata Picak, namun dalam keadaan tertentu kedua orang kawannya itu memiliki kenekatan yang sangat luar biasa. Begitulah, seiring dengan serangan gencar yang dilakukan oleh si Kaki Pincang Mata Picak, maka si Boim dan seorang lainnya yang bernama Tur Tur itu pun melakukan gebrakan gebrakan yang sama.
Matahari terasa kian menyengat, sementara pertarungan itu dalam waktu sekejab saja sudah berlangsung sangat seru. Berulang kali serangan-serangan beruntun dilancarkan oleh si Mata Picak dan kawan-kawannya, namun serangan-serangan yang mereka bangun itu pada akhirnya menjadi kandas di tengah jalan. Satu saat, Kaki Pincang Mata Picak, kirimkan satu tusukan kilat mengarah pada bagian lambung si Kaki Tunggal. Pada saat itu pemuda berkaki tunggal itu nampak sedang sibuk melayani kiblatan-kiblatan senjata si Boim, dan Tur Tur. Tentu saja si Kaki Tunggal tak pernah menyangka akan adanya serangan yang begitu cepat tersebut. Begitulah si Mata Picak berpendapat, maka tanpa dapat dicegah lagi, luncuran pedangnya hanya tinggal beberapa inci saja menembus kepala lawannya. Namun pada saat-saat yang mendebarkan itu tanpa disangka-sangka Satria Terkutuk Berkaki Tunggal, lebih cepat gerakkan tongkatnya ke atas. Tidak cukup sampai di situ saja dia bertindak. Dengan kecepatan yang sangat sulit diikuti mata. Pada saat Yang sama, dia pun mencabut pedang yang menggelantungi punggungnya. Detik itu juga pedang yang telah merenggut puluhan nyawa itu pun berkelebat.
"Creees!"
Terbeliak mata si Kaki Pincang yang hanya cuma melek sebelah itu, mata pedang itu terasa begitu dingin menembus bagian dadanya, hal itu menandakan bahwa pedang milik si Kaki Tunggal benar-benar mengandung racun yang ganas. Kini si Mata Picak nampak menekan dadanya yang tertembus senjata lawan, darah berwarna kehitam-hitaman nampak mengalir begitu deras dari luka yang menganga. Tiada jerit dan lolong yang terdengar, seiring dengan seluruh tubuhnya yang begitu tiba-tiba membiru, maka si Kaki Pincang Mata Picak beberapa saat setelahnya nampak terhuyung-huyung. Hingga akhirnya tersungkur tanpa mampu bangkit lagi. Tinggallah si Boim dan Tur Tur berdua, mereka ini nampak sangat terkejut sekali melihat apa yang dialami oleh si Kaki Pincang Mata Picak. Tetapi hal itu hanya sekejap saja berlangsung, karena pada saat itu si Kaki Tunggal telah menyerang kedua orang ini dengan tongkatnya. Sudah barang tentu meskipun kini mereka bertahan mati-matian. Tetapi si Kaki Tunggal bukanlah lawan mereka yang sepadan, betapapun mereka mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki, namun semua itu tak berarti banyak bagi pemuda berkaki tunggal ini.
Tak ayal, dalam beberapa gebrakan berikutnya, Boim dan Tur Tur sudah nampak berada jauh di bawah angin. Mati-matian mereka memutar senjata untuk melindungi diri, tetapi tetap saja kedua orang ini sering jatuh tunggang langgang. Hingga pada satu kesempatan yang sesungguhnya tidak menguntungkan bagi kedua orang ini. Dengan nekad mereka menyerang si Kaki Tunggal dalam jarak yang sangat dekat sekali. Inilah saat-saat yang paling ditunggu-tunggu oleh si Kaki Tunggal. Begitu kedua lawannya secara serentak membabatkan senjatanya ke bagian leher dan kaki, pada saat itulah laksana kilat si Kaki Tunggal melolos pedangnya dan sekaligus membabat lawan-lawannya. Laksana diterpa badai prahara, kedua orang ini nampak terhuyung-huyung tak menentu, begitu pedang si Kaki Tunggal yang memiliki ketajaman luar biasa membabat putus leher kedua orang itu. Baik kepala Boim maupun kepada Tur Tur, dua-duanya sama-sama menggelinding ke tanah. Sesaat tubuh mereka nampak berputar-putar dengan darah yang membanjir ke mana-mana. Lalu tak lama kemudian tubuh mereka pun segera ambruk di atas tanah berdebu. si Kaki Tunggal tersenyum begitu dingin, demi melihat kematian keempat orang itu. Tiba-tiba saja dia berkata!
"Orang-orang semacam kalian memang pantas mati. Terlebih-lebih kalian tahu banyak tentang segala rencanaku...!" gumam si Kaki Tunggal rawan. Tak lama kemudian dia pun melangkah mendekati mayat si Kaki Pincang Mata Picak. Lalu dipungutnya sebilah pedang milik si Mata Picak yang bergagang batu hitam tersebut. Sesaat dia menimang-nimang senjata tersebut.
Sementara itu si Kaki Tunggal kiranya tak menyadari bahwa dari jarak yang tidak begitu jauh, seorang pemuda lain berpakaian merah dengan sebuah periuk besar yang selalu tergantung di bagian pinggangnya, nampak terus mengawasi si Kaki Tunggal. Pemuda berwajah tampan itu nampak sangat geram sekali begitu melihat cara si Kaki Tunggal memperlakukan lawan-lawannya. Betapa pun tadinya dia memang hendak turun tangan, namun pada akhirnya dia urung. Ilmu pedang yang dimiliki oleh si Kaki Tunggal memang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari permainan silat yang dimilikinya. Tetapi sayangnya si Pemuda Berkaki Tunggal itu, dari perdebatan yang sempat dia dengar agaknya bukanlah seorang kaum persilatan yang bertujuan baik. Bahkan secara terang-terangan telah melakukan satu teror yang berakibat sangat fatal bagi berbagai pihak. Semua itu dia lakukan hanya demi memenuhi ambisinya, menjadi penguasa yang tiada tanding di dalam rimba persilatan. Lebih dari itu, tindakan si Kaki Tunggal yang telah banyak membunuh pendekar-pendekar wanita. Hal ini membuat si jubah merah, alias Pendekar Hina Kelana menjadi naik pitam. Maka kini tanpa tedeng aling-aling lagi dia pun berkata lirih namun menggetarkan pembuluh darah siapa pun. Karena pada dasarnya, saat-saat dia berkata itu disertai dengan tenaga dalam yang tinggi.
"Kejam sekali perbuatanmu, Setan Hitam! Agaknya engkau ini iblis penjagal di neraka yang terlepas dari belenggu yang merantaimu...!" Kata Pendekar Hina Kelana penuh teguran. Yang ditegur berpaling pun tidak, seolah dia begitu memandang rendah pada lawan yang baru saja berkata tadi. Sungguhpun dia cukup menyadari bahwa pada saat orang yang belum dikenalnya itu bicara, sesaat dia merasakan dadanya tergetar hebat. Nyatalah, bahwa sebenarnya dia seorang tokoh yang penuh percaya diri atas segala kemampuan yang dimilikinya. Sejenak si Kaki Tunggal telengkan kepalanya, sorot matanya yang setajam rajawali itu sempat melihat adanya seorang pemuda tampan berperiuk yang kini nampak sedang enak-enakan duduk di salah satu dahan besar bercabang. Alis si Kaki Tunggal nampak mengekerut, dia merasa sebelumnya tak pernah bertemu dengan pemuda berpakaian merah sedemikian rupa. Pula dengan penampilannya yang dekil bagai peminta-minta, mengingatkan si Kaki Tunggal pada gembel-gembel pengemis dari Utara. siapa pula pemuda hina itu? Batin si Kaki Tunggal dalam hati.
"Monyet gembel berperiuk!» Apa pedulimu dengan segala apa yang aku lakukan di tempat ini...?" tanya si Kaki Tunggal masih dengan nada lunak.
"Kulihat kesewenang-wenanganmu terhadap orang itu, hal ini sudah cukup bagiku untuk menanyakannya padamu...!" si Kaki Tunggal tersenyum mencibir begitu mendengar kata-kata Buang Sengketa. Kemudian dengan sangat mencemooh, dia pun menyela!
"Pilih. Apa pedulimu, Monyet Gembel...!"
"Tentu aku wajib mengetahuinya...!" kata pemuda dari Negeri Bunian ini masih dengan kesabarannya.
"Apakah mereka saudaramu, nenek moyangmu, atau mungkin kembrat-kembratmu?" tanya Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
Tanpa menjawab, tubuh Pendekar Hina Kelana nampak melayang turun dari atas sebuah dahan yang cukup tinggi. Kemudian dengan begitu ringannya menjejakkan kaki dua tombak tepat di depan si Kaki Tunggal. Mengetahui ilmu meringankan tubuh Buang Sengketa yang sudah mencapai taraf paling sempurna itu. si Kaki Tunggal malah tersenyum tawar.
"Mereka memang bukan saudaraku, tetapi dari apa yang aku dengar, engkau memang pantas mendapat hukuman yang paling layak...!" berkata pendekar ini kemudian.
"Hak... hak... ha...! Melihat tampangmu, agaknya engkau ini pengemis kerak nasi. Apakah yang bisa engkau perbuat, Gembel Berperiuk...?" kata si Kaki Tunggal menantang. Hal ini sudah barang tentu membuat pendekar berwajah tampan itu menjadi habis kesabarannya. Kini dia mulai nampak marah, bahkan secara perlahan wajahnya pun mulai kelihatan memerah.
"Manusia bukit pantat kwali, sungguh busuk sekali mulutmu. Agaknya cacat yang engkau miliki malah tidak membuatmu menjadi jera atau pun bertobat. Janganlah engkau jual lagak di depanku...!"
si Kaki Tunggal masih tetap pada sikapnya. Bahkan kini malah semakin bertambah menantang.
"Apa yang bisa engkau perbuat terhadapku Monyet Gembel. Kalau engkau punya kebisaan atau kepandaian lainnya. Cepat-cepat keluarkanlah! Sebelum engkau benar-benar mati penasaran...!" perintah si Kaki Tunggal.
"Hak...! Walaupun aku tak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi aku tak menginginkan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku...!''
"Puih. Semut berani coba-coba melawan gajah, engkau akan mati sia-sia, Gembel Berperiuk...?!" .
"Mati atau hidup itu bukan wewenangmu...!" menggeram Buang Sengketa. Si Kaki Tunggal tampak tergelak-gelak demi mendengar apa yang dikatakan oleh. Pendekar kita ini. Nampak sekali bahwa dirinya terlalu sombong dengan segala apa yang dimiliki. Seolah di dunia ini dialah yang paling hebat dalam segala hal.
"Kesombonganmu benar-benar membuatmu menjadi celaka, Gembel Hina...'." maki Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal. Seketika itu juga, wajah Pendekar Hina Kelana berubah menjadi kelam membasi. Kedua bibirnya kini terkatup rapat, sementara rahangnya mengeluarkan bunyi berkerokotan. Dipandanginya si Kaki Tunggal dengan sinar mata berapi-api, tiada satu pun kata yang terucap. Akan tetapi beberapa saat kemudian terdengarlah jerit suaranya yang melengking tinggi. Suara itu terdengar sambung menyambung tak jauh bedanya dengan suara rentetan halilintar. Bumi tempat mereka berpijak terasa bergetar hebat. Seketika lamanya, si Kaki Tunggal nampak terkesima melihat apa yang sedang dilakukan oleh pemuda dari Negeri Bunian ini.
Andai saja pemuda kaki tunggal berbadan hitam legam itu tidak cepat-cepat menutup indera pendengarannya, alamatlah dia mengalami nasib yang sangat mengerikan. Hal itu tak dapat disangkal, sebab dalam kemarahannya itu, Pendekar Hina Kelana telah mengerahkan Lengking Ilmu Pemenggal Roh yang terkenal sangat dahsyat luar biasa. Walaupun si Kaki Tunggal telah mengerahkan sebagian tenaga saktinya, tetapi getaran Ilmu Pemenggal Roh itu masih tetap saja seluruh pembuluh darahnya terasa sakit bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Beberapa saat setelah itu, bersamaan dengan runtuhnya daun-daun hijau yang terakhir, maka si Kaki Tunggal yang baru saja lenyap rasa keterkejutannya, buru-buru membentak.
"Hebat... hebat...! Andai saja ada kambing bunting yang mendengar jeritan lolonganmu itu, sudah pasti akan rontok kandungannya. Gembel Berperiuk, tak dinyana kiranya engkau punya kebisaan juga rupanya?" kata si Kaki Tunggal tanpa sedikit pun ada perasaan jeri terbayang di wajahnya.
"Siapakah namamu, Bocah...?" tanya si Kaki Tunggal masih tetap memandang remeh pada si pemuda. Bukan main geramnya Pendekar Hina Kelana, demi melihat mimik wajah si Kaki Tunggal. Lebih dari itu, agaknya dia pun merasa heran dengan ketahanan yang dimiliki oleh lawannya. Selama ini belum pernah tokoh sakti golongan mana pun yang mampu bertahan hidup dalam menghadapi senangan mendadak dari Ilmu Pemenggal Roh yang dimilikinya. Bahkan Majikan Neraka Lembah Halilintar yang memiliki kesaktian tiada tanding dan seorang ahli sihir pula, tak tahan terhadap gempuran Ilmu Pemenggal Roh miliknya. Tetapi kini ada seorang pemuda berkaki tunggal mampu menghindari serangan yang luar biasa itu.

* * *



--₪¦ « 5 » ¦₪--

Kenyataan itu saja telah membuktikan bahwa sesungguhnya si Kaki Tunggal memang benar-benar seorang tokoh muda yang memiliki kesaktian luar biasa.
"Mengapa engkau malah bengong seperti itu. Jawab pertanyaanku cepat...!" bentak Kstaria Terkutuk Berkaki Tunggal nampak sangat gusar sekali.
"Kalau engkau ingin jawabanku. Marilah bertarung dulu, sampai salah seorang di antara kita terbujur berkalang tanah...!"tukas Buang Sengketa.
"Ho.... ho.... ho....! Agaknya engkau belum tahu bagaimana adatnya, Kstaria Te»rkutuk Berkaki Tunggal rupanya...!"
"Hmmmn, kiranya engkaulah kunyuknya yang telah bikin geger di Kaki Gunung Gili Manuk itu...?!" ucap si Hina Kelana tersenyum lega.
"Tak salah...!"
"Bagus! Bagus sekali! Untuk itu mampuslah...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, maka pendekar dari Negeri Bunian itu, begitu bergebrak sudah kirimkan pukulan-pukulan mautnya. Menyadari bahwa pemuda berkuncir ini merupakan seorang lawan yang tangguh, maka si Kaki Tunggal pun tak ingin bertindak gegabah. Secepat kilat dia pun langsung memutar tongkat penyangga tubuhnya ke segala penjuru. Tongkat penyangga tubuh yang terbuat dari tulang kaki gajah itu pun dalam sekejap saja sudah membentuk sebuah perisai yang sangat sulit untuk dicari titik kelemahannya. Mengetahui pertahanan yang di bentuk oleh pihak lawan nampak begitu kokoh, maka tak ayal lagi tubuh Pendekar Hina Kelana nampak bergerak semakin cepat.
Pada saat itu bukan tongkat di tangannya saja yang berkelebat cepat, akan tetapi tangan kanan si Kaki Tunggal pun mulai lancarkan pukulan-pukulan mautnya. Suara hiruk pikuk dari beradunya dua tenaga sakti, memecah keheningan siang hari yang sangat terik. Debu-debu beterbangan, mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa lepas. Keringat mulai bercucuran dari tubuh Pendekar Hina Kelana. Baru kali ini semenjak meninggalkan Tanjung Api tempat tinggal gurunya si Bangkotan Koreng Seribu, agaknya bagi pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara itu sudah tak ada pilihan lain lagi terkecuali menempur si Kaki Tunggal yang tangguh luar biasa dengan pukulan-pukulan maut tingkat paling tinggi.
Suatu saat, tubuh Buang Sengketa nampak melentik ke atas, kemudian dengan diiringi dengan satu jeritan menggeledek, pemuda ini pun tak sungkan-sungkan lagi langsung melepaskan satu pukulan Empat Anasir Kehidupan yang tak pernah diragukan lagi akan kemampuannya. Tampak selarik sinar yang hampir tak terlihat oleh kasat mata menderu dan timbulkan suara bagai badai topan prahara. Pukulan maut itu melabrak tubuhnya. Sambil tertawa mengekeh, si Kaki Tunggal, cepat-cepat lambaikan tangannya. Aneh sekali, meskipun gerakan tangannya nampak begitu pelan dan lembut, namun akibatnya Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas oleh pendekar dari Negeri Bunian yang terkenal ganas itu segera membalik. Dengan kecepatan dua kali tenaga serangan itu sendiri, pukulan maut itu berbalik menyerang pemiliknya. Pendekar Hina Kelana yang sebelumnya tiada menyangka kalau si Kaki Tunggal mampu mengembalikan pukulan miliknya bahkan berkecepatan dua kali kelipatan tenaga saktinya. Nampak cepat-cepat menghindar. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, meskipun dia dapat terlepas dari pukulan mautnya sendiri. Tak urung bagai seekor monyet kesetanan, dia terpaksa berguling-guling di atas permukaan tanah berdebu.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dapat dikembalikan oleh si Kaki Tunggal itu terus meluncur kemudian melabrak sebatang pohon besar yang telah kering. Pohon itu pun berkerotakan ambruk ke bumi. Debu semakin banyak mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa. Sumpah serapah berhamburan dari mulut si pemuda. si kaki Tunggal nampak mengekeh, kemudian berseru; .
"Hieeeh…he.... he... he...! Gembel Hina, pukulan mautmu memang pantas untuk kupuji. Menjadi jagoan dalam rimba persilatan, agaknya bukan menjadi jalan hidupmu. Bagaimana kalau engkau menjadi penebang pohon-pohon liar di sekitar tempat ini? Tentu hidupmu menjadi makmur...!" ejeknya.
"Bangsat..! Engkau belum melihat seluruh kemampuanku.... jangan sombong dulu, Manusia Cacat...!" Marah sekali Pendekar Hina Kelana begitu mendengar ucapan si Kaki Tunggal
"Bagus! Keluarkanlah seluruh kemampuanmu. Kalau perlu panggil bapak moyangmu sekalian, biar aku tak usah kepalang tanggung dalam bertindak...!" Memerah wajah si pemuda, mendidih darahnya. Maka tak lama setelahnya, tanpa banyak kata lagi, Pendekar Hina Kelana sudah nampak bersiap-siap dengan pukulan si Hina Kelana Merana. Puncak dari seluruh pukulan maut yang dia miliki.
"Hiiiaaaattt...!"
Pemuda itu sudah menggelar pukulan-pukulan dahsyat. Tak tertahankan lagi, kali ini pun si Kaki Tunggal nampaknya juga tengah bersiap-siap dengan pukulan-pukulan andalan, Ksatria Sakti Membelah Gunung. Pukulan inilah yang sengaja dipergunakan oleh si Kaki Tunggal untuk menggempur serangan si pemuda.
Dalam kilatan sinar merah membara dari pukulan si Hina Kelana Merana, nampak berke-lebat-kelebat menyambar ke segala arah. Sementara itu serangkaian sinar ungu dari Pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung yang dilancarkan oleh Kaki Tunggal selalu nampak berhasil mematahkan pukulan-pukulan yarig dilepaskan oleh Buang Sengketa. Sudah barang tentu kegagalan demi kegagalan yang dia telan pada akhirnya membuat si pemuda kita ini menjadi uring-uringan. Lalu dia pun mulai berfikir-fikir untuk mempergunakan Pusaka Golok Buntung, maupun Cambuk Gelap Sayuto yang selalu dia bawa ke mana-mana. Akan tetapi di luar perhitungan, kiranya si Kaki Tunggal di luar pengetahuan si pemuda, detik itu juga melepaskan pukulan beruntun yang sangat sulit untuk dijajaki kemampuannya.
"Wuuusss...!"
Sinar ungu berhawa dingin luar biasa itu datang membadai, menebarkan bau busuk yang memualkan perut. Tak ayal udara di sekitarnya mendadak berubah dingin. Tubuh pendekar ini nampak menggigil. Hanya sekejap, detik berikutnya dia berusaha sedapatnya untuk memapaki serangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Tetapi entah mengapa sekalipun dia berusaha untuk mengerahkan tenaganya, namun hasilnya tetap sia-sia belaka. Sesaat kemudian sadarlah dia bahwa kiranya hawa pukulan yang dilepaskan oleh si Kaki Tungal itulah yang menyebabkannya tak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Celakalah aku kali ini, batin si pemuda. Perkiraan Buang Pemuda kiranya memang tepat sekali. Karena detik berikutnya, pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung telah menghantam tubuhnya.
"Bluaaaar..!?"
Tanpa ampun lagi tubuh pemuda dari Negeri Bunian ini pun terpelanting roboh. Darah kental menyembur dari mulut dan hidungnya, pemandangan di sekitar mendadak gelap gulita. Tubuh Pendekar Hina Kelana nampak diam tiada berkutik. si Kaki Tunggal tertawa-tawa demi melihat keadaan lawannya. Tetapi sedikit pun dia tiada mempunyai maksud untuk meneliti keadaan lawannya yang tangguh itu. Sembari melangkah pergi, Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun berkata seorang diri.
"Baru kali ini aku mendapati lawan yang cukup berarti dalam hidupku. Kalau nasibmu masih beruntung, setidak-tidaknya engkau masih dapat hidup dalam keadaan sekarat. Tetapi seandainya engkau dapat selamat dari pukulan yang tiada duanya itu, sebaiknya pulanglah engkau ke pangkuan ibumu. Kemudian meneteklah sebanyak-banyaknya, agar engkau nantinya bisa melihat Riung Gunung menjadi orang nomor satu dalam dunia persilatan. Hak... hak... hak...!" Tawa si Kaki Tunggal, lalu sekali saja dia menggenjot tubuhnya, maka orang itu pun telah jauh meninggalkan Buang Sengketa yang dalam keadaan pingsan berat.

* * *



Salahna, Hono dan Hini, adalah termasuk orang-orang yang termakan desas desus adanya pemilihan tokoh nomor satu di dunia persilatan. Pagi itu mereka telah sampai di daerah hutan panjang. Bagai sedang memburu sesuatu yang teramat penting, ketiga orang gadis ini nampak saling berlomba memacu kemampuan mereka dalam ilmu lari cepat. Ketiga gadis inilah yang sengaja diperalat oleh si Kaki Tunggal untuk menimbulkan kekisruhan di mana-mana. Mengapa orang-orang ini sampai terseret-seret pengaruh si Kaki Tunggal? singkat ceritanya, setelah kepergian guru mereka ke kaki Gunung Gili Manuk dan tak pernah kembali, ketiga gadis ini bermaksud menyusul si guru. Tetapi di dalam perjalanan menuju Gunung Gili Manuk mereka ini bertemu dengan Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal. Dari orang itulah mereka bertiga mengetahui bahwa gurunya telah tewas dalam pertarungan memperebutkan tokoh nomor satu di tangan Setan Kroya. Dengan kata-kata manis yang sesungguhnya penuh bisa, si Kaki Tunggal menceritakan bagaimana liciknya si Setan Kroya yang sesungguhnya hampir kalah di tangan guru ketiga gadis ini. Mulanya, Salahna Hono dan Hini tidak begitu mempercayai apa yang dikata-kan oleh si Kaki Tunggal. Namun berkat kata-kata si Kaki Tunggal yang begitu mengesankan, akhirnya ketiga orang ini pun berhasil dihasut oleh pemuda kaki tunggal yang bernama Riung Gunung tersebut. Sebagai murid yang sangat berbakti terhadap gurunya, sudah barang tentu, satu hal yang ingin mereka lakukan adalah menuntut balas. Sungguhpun ketiga orang ini menyadari bahwa Setan Kroya adalah seorang tokoh tua yang ilmunya saja sangat sulit untuk diukur, tetapi mereka ini telah mengambil keputusan, lebih baik mati membela guru sendiri daripada hidup harus menanggung malu. Itulah makanya dari niat semula ingin menuju ke Gunung Gili Manuk secepatnya, kini langkah mereka malah berbalik menuju Ngadiluwih yang merupakan tempat tinggal Setan Kroya. Demikianlah tanpa menghiraukan rasa letih ketiga orang ini terus mengerahkan ilmu mengentengi tubuh. Sehingga langkah-Iangkah ilmu lari mereka sedemikian cepat luar biasa.
Satu ketika sampailah ketiga orang ini di sebuah tanah berbatuan terjal dan gersang. Namun mendadak Salahna yang bermata jeli itu nampak menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang bening dan indah memandang tiada berkedip ke arah suatu tempat. Di atas sebuah tebing, tak lama kemudian dia pun berseru:
"Hei.... Lihatlah di sebelah sana itu...!" teriaknya sambil menungjuk ke satu tempat. Sudah barang tentu teriakannya itu membuat dua orang saudara seperguruan lainnya langsung menghentikan larinya. Lalu buru-buru menoleh ke arah yang ditunjuk oleh kakak seperguruannya.
"Eee... siapakah dia?" tanya Hono pada Salahna.
"Dari sini memang tidak begitu jelas. Ada baiknya kalau kita dekati dia, siapa tahu dia orang yang sedang kita cari!" ujar Salahna, lalu tanpa membuang waktu lagi ketiga orang ini pun segera bergegas mendekati orang yang sedang duduk di punggung bukit. Begitu ketiga orang ini hampir berada di depan orang tersebut, mereka nampak terkejut. Sebab orang yang mereka sangka sebagai Setan Kroya, ternyata tak lain Buang Sengketa adanya. Seperti diketahui setelah mendapat pukulan si Kaki Tunggal, selama dua hari dua malam pendekar ini tak sadarkan diri. Setelah dua hari, saat dia sadarkan diri, tahulah dia bahwa si Kaki Tunggal memang sengaja membiarkan dirinya terkapar di tempat itu. Tetapi yang membuat dia begitu heran ialah mengapa dia tidak merasakan rasa sakit di dadanya yangt,terkena pukulan Ksatria Sakti Membelah Gunung milik si Kaki Tunggal. Padahal pukulan tersebut telah menyebabkan luka dalam yang sangat parah. Kiranya di luar kesadaran si pemuda, kharisma Golok Buntung yang terselip di pinggangnya itulah yang sangat banyak mengurangi rasa sakit sekaligus menyembuhkan luka dalam yang dia derita. Hawa hangat yang keluar dari senjata pusaka itu telah membuat gumpalan-gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darahnya mencair kembali.
Kalau saat itu dia telah berada begitu jauh dari tempat pertarungan dengan si Kaki Tunggal, tak lain hanyalah demi mencari laki-laki yang sangat berbahaya itu. Dia ingin menghentikan segala sepak terjang si Kaki Tunggal. Demikianlah dalam keterlanjurannya itu ketiga gadis murid Nini Klarah itu pun pura-pura bertanya.
"Saudara.... apakah saudara pernah berjumpa dengan orang yang bernama Setan Kroya...?" tanya Salahna sambil masih tetap memandangi pemuda yang sangat tampan itu. Yang ditanya hanya gelengkan kepala, sebaliknya dia malah berganti memperhatikan ketiga gadis itu, seolah-olah dia ingin meneliti siapakah sesungguhnya ketiga gadis yang tengah berdiri di hadapannya itu.
"Saudara ini siapakah...?" tanya Hono merasa tertarik dengan penampilan si pemuda dari Negeri Bunian ini.
Pendekar Hina Kelana nampak tersenyum tawar begitu mendapat pertanyaan seperti itu. Tetapi, hal itu hanya berlangsung selama sesaat saja. Sebab dia pun menyadari bahwa ketiga gadis itu nampaknya merupakan gadis baik-baik.
"Namaku tiada arti apa-apa. Untuk apa ditanya...?" desah si pemuda pelan.
"Ah, betapapun buruk nama itu sendiri, sesungguhnya sangat berarti bagi seseorang...!"
"Kalau kalian ingin tahu, namaku si Hina Kelana, pengembara di kolong jagad yang tiada guna!" katanya hampir-hampir tak terdengar.
"Dari manakah asalmu, Saudara Kelana...?"
Ditanya seperti itu sudah barang tentu Buang Sengketa menjadi geli sendiri. Tetapi begitu dia masih menjawab juga.

* * *



--₪¦ « 6 » ¦₪--

"Ah, kalian ini seperti petugas pencacah jiwa dari kadipaten saja. Mengapa harus tanya asal usul segala? Toh aku bukan seorang garong yang patut dicurigai. Aku hanya seorang pengelana hina...!"
"Ah maafkan kami, Saudara Kelana! Sesungguhnya kami sedang mencari seseorang untuk menerima hukuman dari kami...!" menyela gadis yang bernama Salahna, berusaha mengalihkan pembicaraan yang tidak enak.
"Menerima hukuman? Kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang itu?" tanya Buang Sengketa penuh dengan keinginan.
"Orang yang bernama Setan Kroya itu telah membunuh guru kami, di lereng Gunung Gili Manuk...!" tukas si Salahna. Si pemuda nampak tercenung begitu mendengar ucapan gadis itu, lalu teringatlah dia akan kata-kata si Kaki Pincang Mata Picak ketika berhadapan dengan Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
Teringat sampai ke situ, tiba-tiba saja dia menyela;
"Apakah gurumu itu tewas, ketika mengikuti pemilihan tokoh nomor satu, dua atau satu purnama yang telah lalu?" tanya si pemuda mereka-reka.
"Betul...! Eeh, darimana engkau tahu?"
Pendekar Hina Kelana hanya tersenyum getir.
"Seperti yang aku dengar dari seseorang yang hampir saja membuatku mati!"
"Apakah yang engkau maksudkan si Setan Kroya, yang telah membunuh Nini Klaiah guru kami itu...?" tanya ketiga gadis itu secarahampir bersamaan. Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Bukan...!" jawab si pemuda pasti.
"Lalu siapa?"
"Si jahanam itu adalah manusia yang menamakan dirinya Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal!"
Terkejutlah ketiga gadis itu demi mendengar apa yang dikatakan oleh si pemuda. Kini hati mereka diliputi keragu-raguan, benarkah ucapan si pemuda dapat dipercayai? Sedangkan menurut si Kaki Tunggal, dirinya hanyalah manusia biasa yang tiada memiliki kemampuan bermain silat seperti layaknya orang-orang kebanyakan. Tetapi mengapa pula si pemuda di depan mereka itu mengatakan bahwa dirinya hampir tewas di tangan si Kaki Tunggal? Jadi mana yang benar?
"Apakah kata-katamu dapat dipercaya?!" ujar si gadis meragu.
Buang Sengketa kerutkan keningnya begitu mendengar penuturan Salahna. Dia merasa begitu yakin, pastilah si Kaki Tunggal telah menghasut ketiga gadis itu.
"Hem, kiranya kalian sudah kena diperdaya oleh si keparat itu. Agaknya kalian tidak tahu kalau si kaki Tunggal memiliki kepandaian yang sangat tinggi, bahkan pukulan dan ilmu pedangnya hampir saja membuatku celaka...!" tukas si pemuda. Seketika lamanya ketiga gadis itu nampak saling berpandangan, mereka nampak menjadi bingung dengar keterangan yang simpang siur itu."
"Apakah kami bisa mempercayaimu, Saudara Kelana...?" tanya Hono dan Hini dalam kebimbangan.
"Aku tidak pernah memaksa kalian untuk mempercayai ucapanku. Tetapi aku sedang berkata yang sebenarnya...!" jawab si pemuda pasti.
"Kalau begitu orang itu telah mengecoh kita, Kakak tertua...!" ujar si Hono.
"Tetapi menurut si Kaki Tunggal, guru kita tewas di tangan si Setan Kroya." ucap Salahna. masih dalam keragu-raguan.
Meskipun ketiga gadis ini setengah berbisik, tetapi Pendekar Hina Kelana dapat mendengar dengan baik apa yang sedang mereka bicarakan itu. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi dia pun menyela!
"Kalau berita tewasnya guru kalian, hanya kalian ketahui dari si Kaki Tunggal, maka aku sangat yakin bahwa berita itu sengaja dibuat-buat...!"
"Tetapi ternyata guru kami memang tidak pernah kembali sejak dua purnama yang lalu!" bantah ketiga gadis itu secara serentak.
Lagi-lagi Pendekar Hina Kelana tersenyum dibuatnya. Gadis itu meskipun sudah dewasa dan sudah pantas kawin, tetapi masih tolol juga Batin si pemuda.
"Kalaupun guru kalian, memang tewas! Tetapi aku sangat yakin, bukan Setan Kroya yang melakukannya. Sebab seperti yang aku dengar, kakek tua itu pun kini sedang kelabakan mencari orang yang mencoba-coba mempergunakan namanya untuk maksud-maksud yang tak baik. Pula selama ini kudengar kabar bahwa Setan Kroya dan sahabatnya si Pengail Aneh sudah lebih dari lima tahun mengasingkah diri di Ngadiluwih dan Susukan...!"
Bagai burung puntul, ketiga gadis itu nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang di antaranya kemudian sudah menyela!
"Kalau begitu siapa yang telah membunuh guru kami di kaki Gunung Gili Manuk tersebut...?"
"Aku tak bisa mengatakannya secara pasti, sebab pada saat itu, seperti apa yang dikatakan oleh Mata Picak Kaki Pincang sebelum tewas di tangan si Kaki Tunggal, bahwa setiap purnama, di kaki Gunung Gili Manuk terjadi pertarungan maut dari berbagai golongan. Jumlah mereka juga banyak, dalam keadaan begitu, tentu ada pihak-pihak tertentu yang dapat menghalalkan segala cara demi dapat maju pada satu purnama berikutnya. Kiranya mereka tak menyadari bahwa semua itu sesungguhnya merupakan siasat licik si Kaki Tungvgal...!"

* * *



"Apa maksudmu, Saudara Kelana...?" potong Salahna tiada mengerti akan kata-kata yang diucapkan oleh si pemuda.
"Maksudku, orang-orang tolol yang bertarung di kaki Gunung Gili Manuk itu siapa pun yang keluar sebagai pemenang, pada akhimya akan berhadapan dengan si Kaki Tunggal yang tangguh dan memiliki ambisi yang besar untuk merajai seluruh dunia persilatan...!"
"Sial betul...! Kalau begitu kita benar-benar telah dikerjai oleh si Kunyuk cacat itu, Adik Hono, Hini...!" gerutu Salahna jengkel sekali.
"Baiklah, kukira dengan keteranganku ini kalian tak perlu bersusah payah pergi ke Ngadiluwih untuk menemui si Setan Kroya. Kalau kalian ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya, maka datanglah satu purnama mendatang di Kaki Gunung Gili Manuk. Aku merasa sangat yakin bahwa si Kaki Tunggal pasti hadir di sana, karena pada saat itu merupakan malam terakhir yang menjadi penentu siapa sesungguhnya yang berhak menyandang gelar tokoh nomor satu...!" kata Buang Sengketa memberi saran. Gadis-gadis itu pun mengangguk-anggukkan setuju.
"Lalu engkau mau ke manakah, Saudara Kelana?"
"Demi menghindari jatuhnya banyak korban, meskipun aku hampir saja mampus di tangan si Kaki Tunggal tetapi aku akan menyusulnya...!" jawab Pendekar Hina Kelana seadanya.
"Bagaimana kalau kami turut serta denganmu...?" tanya ketiga gadis itu menawarkan diri. Si pemuda nampak tersenyum-senyum. Tetapi kemudian dengan halus dia menolak.
"Ah, alangkah lebih baik lagi kalau kalian langsung menuju kaki Gunung Gili Manuk. Kita bisa bertemu di sana."
Ketiga orang itu nampak saling pandang sesamanya, lalu setelah itu mereka pun kembali menoleh pada Buang Sengketa.
"Baiklah, teritna kasih atas segala saranmu! Kami mohon diri...!" Kemudian setelah berpamitan pada Pendekar Hina Kelana, maka ketiga orarig itu pun bergegas meninggalkan si pemuda. Hanya sesaat pemuda keturunan Raja Ular Piton Utara itu memandangi kepergian mereka, karena tak_ begitu lama kemudian pemuda itu juga telah berkelebat pergi.

* * *



Lembah Tong Tong Bengong adalah merupakan sebuah lembah yang memiliki air terjun berketinggian tidak kurang Air lima tombak. Tak sesosok makhluk pun yang mendiami tempat itu. Karena daerah itu memang dikenal sebagai daerah yang sangat angker. Tiada tanda-tanda kehidupan di sana, terkecuali keturunan golongan orang utan dan sejenisnya. Itu makanya Lembah Tong Tong Bengong juga memiliki satu nama yaitu Lembah Seribu Monyet. Saat itu matahari sesungguhnya sudah meninggi, namun sebagaimana kebiasaan yang terjadi, di sekitar Lembah itu udara di sekitarnya nampak remang-remang berselimut kabut tebal, hanya suara gemuruh air terjun saja yang terdengar. Semua itu mengingatkan pada curahan hujan lebat yang turun dari langit. Demikianlah di antara bergemerosaknya suara air terjun yang terhempas pada batu-batu yang berada di bawahnya, ada pun suara lain yang menonjol adalah suara teriakan ratusan orang utan yang bergelantungan pada oyot-oyot kayu yang terdapat di sekitar lembah itu.
Sementara itu tidak begitu jauh dari curahan air terjun tersebut, pada aliran anak sungai yang bening, nampaklah seorang laki-laki tua berbadan gemuk dan bermata besar. Laki-laki gemuk itu terus berjalan menelusuri pinggiran sungai itu. Sesekali tubuhnya yang gemuk itu melompat-lompat bagaikan seekor kodok buntal yang berlari-lari takut terinjak gajah. siapakah adanya laki-laki tua yang telah begitu nekad datang ke lembah Tong Tong yang terkenal sangat angker itu? Tak lain dialah orangnya si Setan Kroya.
Seperti diketahui di dalam rimba persilatan ada seseorang yang mencoba mencatut namanya untuk tujuan-tujuan yang tak baik. Dia merasa tak rela nama baiknya dicemarkan oleh orang lain. Meskipun orang tersebut dari golongan mana pun. Itu sebabnya setelah keluar dari tempat pengasingannya di Ngadiluwih dan bertemu dengan sahabatnya yaitu si Pengail Aneh, dia langsung melanjutkan perjalanannya menuju ke arah Utara. Akan tetapi di tengah perjalanan siapa sangka, ada seseorang melalui ilmu menyusupkan suara mengaku-aku sebagai orang yang paling bertanggung jawab tentang pencatutan nama tersebut. Bahkan orang yang belum dikenalnya itu telah memberi satu tantangan untuk bertarung di sebuah Lembah yang bernama lembah Seribu Monyet. Setan Kroya yang memiliki watak angin-anginan itu sudah barang tentu tak menampik tantangan tersebut. Apalagi hal itu ada hubungannya dengan nama baik diri sendiri. Itulah mengapa sebabnya hari itu dia telah sampai di Lembah Tong Tong Begong yang menyeramkan tersebut.
Kini kakek gendut bermata lebar itu terus melangkahkan kakinya tnenuju ke bagian hulu sungai tersebut. Sampas disuatu tempat dia menghentikan langkahnya. Sepasang matanya yang bulat dan lebar tersebut nampak memandang pada daerah sekelilingnya. Tiada apapun yang terlihat di sana terkecuali deru suara air terjun dan jerit suara orang-orang utan yang berlompatan kian ke mari. Melihat pemandangan seperti itu, lama-kelamaan Setan Kroya menjadi sangat kesal hatinya. Akhirnya dia pun berteriak-teriak seorang diri.
"Manusia yang mengaku dirinya sebagai calon nomor satu di rimba persilatan keluarlah! Tunjukkan tampangmu...!" perintah si Setan Kroya.
"Groong.... grpoog.... ngok... nggok!" Suara riuh bunyi orang-orang utan menyebabkan suasana di sekitarnya semakin bertambah ramai. sialan, bukan monyet yang aku panggil, orangutan pula yang jadi ribut. Makinya dalam hati.
Saking kesalnya, maka dia pun berteriak kembali!
"Calon nomor satu sialan! Di sinikah tempat tinggalmu, engkau bapak moyangnya orang-orang utan ini...?" Suara si Setan Kroya menggema di mana-mana, tetapi begitu getar-getar suaranya lenyap, maka hanva derai air terjun saja yang terdengar. Setan Kroya semakin bertambah jengkel saja. Maka beberapa saat kemudian dia sudah bermaksud meninggalkan tempat itu. Ketika secara tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggemuruh dari balik kegelapan kabut tebal.
"Hak.... ha.... ho....! Setan Kroya, hendak ke manakah engkau ini, sudah sejak tadi aku menunggumu di sini. Bahkan aku sudah mulai mengantuk sekali...!" tukasnya di antara suara gaduh air terjun.
"Ah, engkaukah yang telah memakai namaku...?.'" tanya si Setan Kroya dengan kedua mata semakin melotot.
"Betul...!"
"Apakah engkau juga yang telah menantangku...?"
"Juga betul...!"
"Betul, betul melulu, Bangsat...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, Setan Kroya pukulkan tongkatnya ke udara. Bersamaan dengan lambaian tongkatnya tersebut, maka serangkum sinar kuning nampak menderu cepat ke arah sumber datangnya suara di kegelapan sana. Tak ayal lagi orang yang berada di kegelapan itu melesat menyongsong ke arah Setan Kroya yang nampak berdiri menanti.
Begitu orang itu sampai di depan Setan Kroya, laki-laki tua berbadan gemuk itu pun terkejut luar biasa.
"Eng.... engkaukah?" ucap Setan Kroya terbata-bata. Kiranya orang yang membuat si Setan Kroya terkejut tak lain adalah si Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal adanya.
Sementara itu si Kaki Tunggal nampak tertawa mengekeh, begitu melihat keterkejutan si Setan Kroya.

* * *



--₪¦ « 7 » ¦₪--

Kemudian dengan sorot mata penuh kebencian pemuda berkaki tunggal itu pun membentak marah.
"Agaknya engkau merasa sangat heran sekali, Setan Kroya. Bangsat! Engkau dan kawanmu si Pengail Aneh memang pernah membuat kakiku cacat seumur hidup, Bahkan kalian berdua pernah melemparkan aku kedalam jurang. Kalian berdua tentu mengira bahwa aku telah mampus di dasar jurang itu. Huh. Tidak sama sekali, Setan Kroya. Monyet-monyet itulah yang telah mengajarku, menolongku bahkan membuatku menjadi manusia yang segera akan menguasai rimba persilatan. Dan engkau, Setan Kroya.... hak... hak... hak.,..! Engkau benar-benar harus mampus di tanganku, Setan Kroya...?!" bentak si Kaki Tunggal sambil tergelak-gelak bagai orang gila.
"Monyet hitam, bagaimana pun hebatnya ilmu kepandaian yang engkau miliki. Tidak nantinya kekal selamanya...!"
"Omong kosong, ternyata kalau memang segala apa yang kau ucapkan dahulu itu benar adanya. Tetapi kini engkau telah melihat sendiri betapa kau akan mampus di tanganku...!" menggeram di Kaki Tunggal.
"Bagus! Engkau ini sudah keturunannya manusia sesat, pencuri nama orang, pengadu domba. Lebih dari itu, kiranya engkau si keparat yang pantas untuk menebus segala dosa-dosa nenek moyangmu...!"
"Ha.... ha.... ha...! Aku jadi ingin lihat sampai di mana kemampuan yang engkau miliki hingga kini, Setan Kroya...!"
Akhirnya tanpa mengulur-ulur waktu lagi, Setan Kroya langsung mencabut tongkatnya. Lalu bagai kesetanan, orang ini pun segera menyerang si Kaki Tunggal dengan jurus-jurus yang sangat ampuh. Sebentar saja suara beradunya dua senjata yang berupa tongkat itu pun terdengarlah. Jerit dan lengking suara teriakan masing-masing lawan meningkahi bergemuruhnya suara air terjun.
Serangan-serangan ganas pun saling mereka lancarkan, Setan Kroya segera berkelebat dan menyerang si Kaki Tunggal dengan ilmu totokan tongkatnya ke bagian-bagian yang mematikan. Namun si Kaki Tunggal tidak menjadi gugup, tanpa tedeng aling-aling dia putar tongkat penyanggah tubuh pada seputar badannya. Karena dua tongkat masing-masing sama-sama dialiri tenaga dalam, maka ketika senjata itu saling beradu, baik tubuh Setan Kroya maupun si Kaki Tunggal sama-sama tergetar hebat.
Lebih dari dua puluh jurus telah berlangsung, nampaknya pertarungan itu benar-benar seimbang, Akan tetapi manakala si Kaki Tunggal mundur dua tombak, lalu dengan disertai satu jeritan laksana merobek gendang-gendang telinga, laki-laki berbadan hitam legam menyerbu kembali. Lambat laun suara pekik yang datangnya bagai dari beribu penjuru itu membuat si Setan Kroya menjadi blingsatan. Serangan maupun pertahanan yang dimiliki menjadi kacau tak beraturan. Sadarlah dia bahwa pihak lawan telah mempergunakan ilmu pemecah konsentrasi. Sebagai sesepuh persilatan yang sudah sangat berpengalaman sudah barang tentu dia tidak membiarkan keadaan ini terus berlarut-larut.
Tiba-tiba dia hentikan gerakan silatnya, setelah sebelumnya melesat beberapa tombak. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dia kini telah merubah jurus-jurus silatnya. Tongkat di tangannya berkelebat laksana kilat, begitu tongkat itu berputar maka tubuhnya lebih cepat lagi berkelebat mengitari si Kaki Tunggal. Pukulan-pukulan dahsyat menyertai serangan-serangan tongkat di tangannya. Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal keluarkan suara tawa mengekeh, manakala serangan beruntun itu mencecar ke bagian tubuhnya.
Namun tatkala si Setan Kroya gerakkan tongkatnya ke arah muka dan perut si Kaki Tunggal, laki-laki ini nampak menjadi gugup. Kelengahannya yang hanya beberapa detik itu membuat si Setan Kroya memiliki satu kesempatan untuk memukulkan tongkatnya. Maka tak ayal lagi.
"Buuuk!"
Bagai memukul seekor anjing kesurupan si tua gemuk bermata lebar itu memukul si Kaki Tunggal. Tubuh laki-laki berbadan legam itu terpelanting, meskipun tidak sampai roboh namun pukulan yang dilakukan oleh Setan Kroya membuat dadanya terasa sesak luar biasa. si Kaki Tunggal memaki dalam hati.
Secepatnya dia bersiap-siap dengan posisinya, sekejap kemudian dia sudah mencabut sebilah pedang panjang yang tergenggam di tangan, pihak lawan yang sudah barang tentu hal ini tak luput dari perhatian si Kaki Tunggal, maka dengan nada berapi-api dia pun membentak gusar! "Setan Kroya manusia malang. Tentu engkau merasa heran mengapa pedang kematian milik si Tangan Buntung ini berada di tanganku. Ha... ha... ha. !
Kudengar engkau dan si Pengail Aneh pernah hampir mampus di tangan pemilik pusaka ini. Hmm! Karena aku ini murid tunggal si Tangan Buntung, maka aku punya kewajiban untuk menyelesaikan tugas guruku yang belum sempat tuntas itu. Kali ini engkau tak mungkin luput dari belenggu maut, Setan Kroya...!" ancam si Kaki Tunggal.
"Hak.... hak.... hak...!" Setan Kroya mengekeh.
"Kiranya engkau ini telah berguru pada manusia sesat itu. Tak disangka, bapak moyangmu sudah tersesat sangat jauh sebagai anaknya kiranya kesesatanmu lebih gila lagi. Meskipun seribu pedang kematian berada dalam genggamanmu, jangan kira aku menjadi segan untuk menghadapimu!"
"Bagus kalau engkau memiliki keberanian seperti itu, sekarang bersiap-siaplah untuk menerima kematian...!" Dengan sekali lompat, pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal menderu laksana badai topan prahara. Ngilu rasa tulang-tulang Setan Kroya demi merasakan angin sambaran pedang kematian itu.
Akhirnya tanpa canggung-canggung lagi, Setan Kroya begitu menyadari akan keganasan pedang di tangan lawannya, cepat-cepat mengerahkan segenap kemampuannya.
Sementara itu dengan senjata di tangannya, si Kaki Tunggal nampak beringas. Raut wajahnya yang nampak kelam membesi itu nampak mengisyaratkan hawa pembunuhan yang menyala-nyala. Sekejap kemudian pertarungan yang menentukan hidup dan mati dari kedua musuh bebuyutan itu pun berlangsung sangat seru dan mendebarkan.
Si Kaki Tunggal segera kirimkan serangan-serangan ganas ke arah bagian-bagian tubuh si Setan Kroya. Melihat datangnya serangan yang sangat dahsyat dari pihak lawan Setan Kroya melompat mundur tiga tombak. Dia segera pukulkan tongkatnya ke udara. Segelombang sinar kuning keemasan laksana topan memapaki datangnya tusukan senjata dari pihak lawannya. Menyadari akan adanya bahaya yang mengancam, si Kaki Tunggal tarik balik serangannya. Akan tetapi dari arah lain si Kaki Tunggal segera membangun serangan kembali.
Setan Kroya membalikkan badan dengan cepat sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin yang begitu dingin. Namun agaknya semua itu sudah terlanjur nasib. Sambaran senjata di tangan lawannya sempat menggores bagian punggungnya. Setan Kroya menggerung, meskipun sudah terluka, dia mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Maka sewaktu senjata di tangan si Kaki Tunggal kembali menderu mengarah pada bagian lehernya, dia pun dengan kenekatan yang luar biasa, langsung saja kiblatkan tongkat di tangannya. Tak pelak lagi, pedang di tangan si Kaki Tunggal berbenturan dengan tongkat di tangan Setan Kroya.
"Traakk...!"
Tongkat di tangan Setan Kroya berantakan menjadi berkeping-keping begitu terhantam mata pedang si Kaki Tunggal. Tidak sampai di situ saja! Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Setan Kroya. Dua tusukan pada bagian leher dan dadanya. Darah kental berwarna kehitam-hitaman tidak lagi sempat menyembur dari luka yang terkoyak panjang. Tak ampun lagi si Setan Kroya tersungkur ke tanah. Begitu jatuh maka nyawa laki-laki gemuk dari Ngadiluwih itu pun terlepas dari jasadnya. si Kaki Tunggal keluarkan suara tawa mengekeh, bagai jeritan monyet hutan yang sedang berpesta pora. Serentak dengan suaranya itu, maka kawanan orang utan yang berada di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan mengerumuni si Kaki Tunggal. Nampak sekali keakraban di antara mereka. Laki-laki berkulit hitam legam itu, untuk beberapa saat lamanya nampak mengelus-elus beberapa ekor kepala orang utan yang sudah begitu jinak padanya.
Setelah itu dengan bahasa isyarat, dia memberi perintah pada binatang-binatang tersebut. Kemudian seperti mengerti saja, binatang-binatang itu pun segera menggotong tubuh si Setan Kroya yang sudah membeku. Lalu tubuh laki-laki tua itu pun mereka campakkan ke dalam air terjun yang menggila. Lega hati si Kaki Tunggal begitu melihat hasil kerja kawan-kawannya yang berupa orang utan tersebut. Mendadak ia pun terkekeh.
"Ha... ha... ha...! Beberapa pembalasan yang sangat menyakitkan telah kulakukan. Dunia persilatan sebentar lagi akan menjadi gempar, mereka saling bunuh karena rencana-rencanaku. Kini hanya tinggal si Pengail Aneh saja yang mungkin merupakan lawan tangguh bagiku. Tetapi semuanya akan mati, ya. mati seperti yang lain-lainnya...!" ucap si Kaki Tunggal tersenyum puas. Lalu beberapa saat kemudian tubuhnya pun segera berkelebat pergi.

* * *



Panas yang terik, kemarau yang panjang. Hal inilah yang sesungguhnya membuat laki-laki berkepala botak itu mengeluh panjang pendek hampir sepanjang perjalanan yang dia lalui. Betapa tidak, sudah hampir sepuluh hari sejak kepergiaannya, Setan Kroya yang berjanji akan tiba kembali di tempat kediaman si Pengail Aneh paling lambat tujuh hari, akan tetapi sampai hari kesepuluh, sahabatnya yang setengah sinting itu belum juga nongol menemuinya. Hal itu sudah barang tentu membuat hati si Pengail Aneh menjadi was-was. Apalagi Nyi Kroya sampai sempat menyusul suaminya di Susukan. Kehadiran nenek keriput yang juga memiliki kepandaian tinggi itu juga membuatnya semakin bertambah repot, bayangkan saja Nyi Kroya bertanya ini dan itu tentang keselamatan suaminya, sedang dia sendiri pun tidak tahu, sedang berada di mana Setan Kroya saat itu. Tak ada pilihan lain, demi menghindari cekcok lebih lanjut maka dia pun telah memutuskan untuk menyusul Setan Kroya, sementara Nyi Kroya dia sarankan untuk sementara waktu supaya tinggal di pondok miliknya. Demikianlah, sambil terus mengomel panjang pendek si Pengail Aneh terus saja melangkahkan kakinya. Udara panas yang terasa begitu menyengat tubuhnya tambah membuat keringat terus bercucuran di sekujur badannya. Sesekali si Pengail Aneh mengitarkan pandangannya ke segenap keadaan di sekeliling. Tatkala sepasang matanya yang sipit berkeriapan itu menangkap berkelebatnya bayangan seseorang, maka dengan cepat dia pun memburu orang yang sedang berlari-lari tersebut. Akan tetapi orang tersebut nampaknya memiliki ilmu lari cepat luar biasa, sehingga lakilaki berkepala botak ini kesal bukan main, demi melihat kemampuan orang yang dikejarnya. Barulah setelah dia mengerahkan segenap kemampuannya tak berapa lama kemudian orang itu pun tersusul. Tiba-tiba si Pengail Aneh membentak.
"Berhenti...!" teriaknya pada orang tersebut.
Tetapi bagaikan tak mendengar saja layaknya, orang itu tetap saja terus berlari-lari cepat sekali. si Pengail Aneh nampak memaki dalam hati begitu melihat orang yang sedang dikejarnya tidak memperdulikan perintah.
"Orang budek! Berhenti kataku...!" perintahnya lebih keras lagi.
Barulah orang itu serentak menoleh dan langsung menghentikan langkahnya. Sesaat lamanya orang penyandang periuk ini nampak cengar-cengir begitu melihat penampilan si Pengail Aneh. siang yang terik dimana di sana sini terjadi kekeringan, sementara saat itu sedang berada di daerah perbukitan tandus. Tetapi orang tua berkepala botak itu malah membawa-bawa sebuah kail. Untuk apakah? Kalau bukan orang yang kurang waras, sudah barang tentu hal itu tak akan dilakukannya. Pemuda berperiuk yang sudah tak asing lagi bagi kita ini, nampaknya ingin mengatakan sesuatu namun pada saat itu si Pengail Aneh sudah membentak.
"Hei, engkau monyet budek tak tahu adat, apa yang engkau tertawakan?" kata si Pengail Aneh nampak berang sekali.
Maka semakin lebarlah tawa Buang Sengketa demi mendengar cercaan si kakek berkepala botak.
"Sinting! Agaknya kau ini bocah gendeng, mana adatmu...?" maki si Pengail Aneh sangat marah sekali.
"Kakek botak! Aku berlari-lari engkau mengejarku. siapa suruh? Kini engkau malah marah-marah pula di depanku, apa hakmu...?" tukas si pemuda nampak sangat tersinggung sekali dengan ucapan si kakek.
"Bocah tolol, berani sekali engkau menyebutku si botak, pula aku mau marah apa perdulimu...?" maki si Pengail Aneh, sepasang matanya itu pun nampak me man dang tajam pada sipemuda. Agaknya kini sadarlah pemuda ini, bahwa sesungguhnya sangat mungkin sekali orang yang dihadapinya itu orang yang kurang waras.
"Aku tak tahu namamu orang tua, itu makanya aku memanggilmu dengan botak saja. Sebabnya kepalamu juga botak!" jawab Pendekar Hina Kelana dengan suara
hampir tak terdengar.
"Sial betul engkau ini. Meskipun kepalaku botak, tetapi aku masih punya nama yang patut untuk engkau hargai!"
"Baik! Aku akan menghargaimu, tetapi coba sebutkan dulu siapa , namamu...!" Mendengar kata-kata si pemuda si Pengail Aneh nampak tergelak-gelak. Kemudian dia pun berucap.

* * *



--₪¦ « 8 » ¦₪--

"Ahk, kiranya engkau punya peradatan juga rupanya. he.... he... he....! Begitu pun atas kekurang ajaranmu aku pantas menghukummu!"
"Apa salahku orang tua...?" tanya Buang Sengketa gusar.
"Apa salahmu? Bukankah engkau tadi mengejekku dengan memanggil-manggilku, si Botak...?"
"Hemmm. Engkau ini lucu sekali, perkara kecil juga engkau besarkan. Sejak tadi juga aku sudah bilang, kupanggil engkau botak, justru karena aku tak tahu namamu, Kalau aku tahu nama kebesaranmu sudah baring tentu aku tak panggil engkau begitu...!"
"Botak lagi botak lagi. sial kau...! Sekali saja engkau sebut kembali, maka kupecahkan batok kepalamu...!" ancam si Pengail Aneh. Dan sudah barang tentu tingkah laki-laki tua itu, lama-kelamaan membuat Buang Sengketa menjadi sangat jengkel. Lalu beberapa saat kemudian dia pun berkata tegas!
"Kakek tua, aku tak tahu apa tujuanmu menghentikan aku. Tetapi kalau engkau masih saja tak mau serius, maka aku akan segera meneruskan perjalananku!"
"Aku si Pengail Aneh. Aku tak perduli orang mau pergi ke Barat atau ke Timur. Tetapi asal tahu saja, sekali aku inginkan sesuatu dari seseorang, maka orang itu baru akan kubiarkan pergi setelah menuruti perintahku terlebih dahulu." menyela kakek berkepala botak ini sambil kedip-kedipkan matanya.
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana nampak sangat terkejut dengan ucapan si Pengail Aneh, namun dia berusaha untuk menutupinya. Kemudian setelah menjura tiga kali, maka dia pun berkata!
"Tak disangka kiranya hari ini aku yang bodoh ini bisa,bertemu denganmu hai orang tua. Maafkan atas kekurang ajaranku...!"
Dalam pada itu kiranya di luar perhitungan si pemuda, tiba-tiba saja si Pengail Aneh nampak berubah sikapnya.
"Tak dinyana, kiranya aku yang sinting ini sedang berhadapan dengan seorang yang tahu tata krama. Atas sikapmu itu aku mencabut segala ucapanku tadi!" kata Pengail Aneh. Dan untuk beberapa saat lamanya dia nampak terdiam, lalu setelah memandang pada si pemuda, sejurus kemudian dia menyambung kembali." Orang muda siapakah engkau ini dan hendak ke mana?" tanya si Pengail Aneh pelan sekali.
Pendekar Hina Kelana pun orang yang tahu diri, begitu si botak aneh tersebut nampak berubah dalam tutur katanya, maka dia pun berubah lunak pula.
"Kakek Pengail Aneh, sesungguhnya aku yang bodoh ini bernama Buang Sengketa dan orang-orang selalu memanggilku dengan si Hina Kelana, saat ini aku sedang berencana untuk pergi ke kaki Gunung Gili Manuk...!"
Si Pengail Aneh terbelalak matanya, dari berita yang tersiar dari mulut ke mulut selama ini dia memang pernah mendengar bahwa ada seorang pendekar muda yang tampan rupanya. Namun memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sepak terjangnya membuat kaum, persilatan beraliran sesat menjadi jeri. Namun sedikit pun tiada menyangka, kalail pendekar muda yang menghebohkan itu berpenampilan seperti seorang gembel. Berpakaian kumuh dan dekil, sementara sebuah periuk menggelantung di pinggangnya lagi. Setengah percaya dan tidak maka dia pun berkata!
"Jadi engkaukah orangnya pendekar yang belakangan ini membuat heboh di mana-mana itu?"
"Engkau terlalu berlebihan orang tua. Aku hanya pengelana biasa yang tiada memiliki arti apa-apa bila dibandingkan dengan dirimu...!" ucap Buang Sengketa merendah.
"Pandai sekali engkau membawa diri, Kelana. Meskipun berkepandaian tinggi, namun memiliki sikap rendah hati. Aku menyukai orang semacammu. Oh ya engkau bilang tadi hendak pergi ke Gunung Gili Manuk, ada keperluan apakah?" tanya si Pengail Aneh kemudian.
Mendapat pertanyaan seperti itu, tiba-tiba si pemuda kerutkan wajah. Dia bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah si Pengail Aneh tidak mengetahui apa yang bakal terjadi di lereng Gunung Gili Manuk? Atau sengaja berpura-purakah dia? Batinnya.
"Orang tua, masa engkau tidak tahu apa yang telah dan bakal terjadi di kaki Gunung Gili Manuk?" Akhirnya pendekar ini bertanya juga.
"He... he... he...! Tentang pemilihan orang nomor satu di rimba persilatan. Itu sih cuma baru kudengar dari oratng-orang yang lewat saja. Tetapi apa tujuanmu ke sana? Apakah engkau berniat menjadi orang nomor satu pula...?" tanya si Pengail Aneh dengan pandangan menyelidik. Pendekar Hina Kelana tersenyum getir.
"Sama sekali tidak, Orang tua! Aku hanya bermaksud mencegah terjadinya pertumpahan darah lebih lanjut. Pula aku ingin menghukum orang yang menjadi penyebab semua mala petaka itu...!" jelas Buang Sengketa.
"Teruskan hai orang muda!" perintah si Pengail Aneh semakin tertarik.
"Pemilihan tokoh nomor satu itu, sesungguhnya hanyalah merupakah gagasan dari seorang pemuda berkaki tunggal. Dialah yang telah merencanakan itu semua, karena dia sendiri memang punya niat untuk menjagoi seluruh dunia persilatan...!"
"Berkaki Tunggal? Hm, agaknya aku baru mendengarnya kali ini, tetapi...!" Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ada apakah orang tua...?"
"Ee.... tidak.... tak mungkin orang itu. !"
ucap si Pengail Aneh agak tergagap. Hal ini sudah barang tentu membuat si pemuda jadi terheran-heran.
"Siapa yang kau maksudkan."?"
"Ah, sudahlah! Oh ya, apakah engkau pernah bertemu dengan orang itu?" si Pengail Aneh mengalihkan pembicaraan.
Meskipun hati Pendekar Hina Kelana diliputi oleh ketidak mengertian, tetapi akhirnya dia menjawab juga.
"Pernah, bahkan aku hampir mampus di tangannya! Orang itu memiliki kepandaian yang sangat sakti sekali. !"
"Kalau begitu demi menghindari korban berjatuhan lebih banyak lagi, aku pun tak akan tinggal diam. Meskipun aku sudah kropok, agaknya sisa-sisa tenagaku masih dapat membantu usahamu itu." si Pengail Aneh menyanggupi.
"Terima kasih, orang tua. Tetapi sesungguhnya engkau ini hendak ke manakah?" si Pengail Aneh kerjap-kerjapkan matanya, lalu garuk-garuk kepalanya.
"Sesungguhnya aku mencari kawanku, namanya si Setan Kroya...!"
"Setan Kroya...?"
"Betul! Kenalkah engkau padanya...?" tanya si Pengail Aneh.
"Tidak, tetapi si Kaki Tunggal pernah menyebut-nyebut nama kawanmu itu. Bahkan dia bermaksud untuk membunuh si Setan Kroya...!"
"Apa....? Sang Hyang Widi, itu berarti kini Setan Kroya sudah tewas di tangan manusia setan itu!" tukas si Pengail Aneh sambil pukul-pukul jidatnya yang pelontos.
"Bagaimana engkau bisa mengatakan kalau sahabatmu itu telah tewas di tangan si Kaki Tunggal...?" Si pemuda nampak keheranan.
"Woale.... Toubaaat.... mengapa aku setolol ini! Kelana, apakah si Kaki Tunggal itu kulit dan wajahnya menyerupai seekor monyet hutan...?" Tanya si Pengail Aneh harap-harap cemas.
"Betul...!" Jawab si pemuda mantap.
Sekali ini mata si Pengail Aneh nampak terperangah.
"Apakah si bangsat itu mengalami cacat pada bagian kaki kirinya...?"
"Juga betul!"
"Celaka! Kiranya si Kaki Tunggal tak lain adalah Riung Gunung yang telah kami lemparkan ke dalam air terjun di lembah Tong Tong Bengong. Akh rupanya dia masih hidup hingga sampai saat ini...!" desah laki-laki berkepala botak itu seperti menyesalkan.
"Apakah dulunya dia musuhmu?"
"Ya, orang tuanya merupakan seorang tokoh sesat yang memiliki pukulan beracun dan banyak menebar onar di mana-mana, aku bersama Setan Kroya pernah terlibat pertarungan di Lembah Tong Tong Bengong. Ayahnya tewas, begitu juga dengan ibunya. Pada saat itu tanpa sengaja Setan Kroya sempat menebas kaki orang itu dan sebagai akibatnya...!" kata laki-laki itu tanpa melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu ada baiknya sekarang juga kita berangkat menuju ke kaki Gunung Gili Manuk...!"
"Baiklah, aku setuju dengan rencanamu itu...!" jawab si Pengail Aneh. Lalu tanpa kata lagi, kedua orang itu pun segera melangkah pergi.

* * *



Ketika ketiga gadis itu sampai di sebuah desa yang cukup ramai, saat itu hari sudah menjelang malam. Mereka berfikir bahwa meneruskan perjalanan itu sendiri masih memakan waktu kurang lebih satu malam lagi. Sedangkan mereka nampaknya sudah terlalu kecapaian setelah melakukan perjalanan berhari-hari tanpa henti. Jalan satu-satunya adalah mencari penginapan dan mendapatkan warung untuk mengganjal perut yang sudah sangat keroncongan. Akhirnya setelah berputar-putar di sekitar Desa Nungging Blentung hampir dari setengah jam, barulah mereka menemukan sebuah warung penjual makanan. Suasana yang lengang di dalam warung itu membuat ketiganya agak menaruh perasaan curiga. Namun begitu pun mereka tetap saja melangkahkan kakinya memasuki warung tersebut. Ketika gadis-gadis ini sudah du-uk di sebuah bangku panjang yang terletak di tengah-tengah ruangan tersebut, seorang pelayan laki-laki nampak menghampiri mereka. Lalu dengan sikap ramah yang dibuat-buat, pelayan ini pun segera menanyakan pesanan mereka.
"Sediakan kami nasi beserta lauk pauknya yang lezat-lezat. Oh ya jangan lupa bawakan kami tiga bumbung nira...!" kata gadis yang bernama Salahna itu.
"Baik Nona....!" Pelayan tua ini kemudian pergi kembali meninggalkan ketiganya untuk menyediakan segala apa yang mereka pesan. Seperginya pelayan warung tersebut, ketiga gadis itu nampak saling pandang sesamanya. Lalu salah seorang di antaranya yang bernama Hini menyeletuk.
"Warung ini sepi, desa ini juga sunyi. Padahal banyak rumah penduduk terdapat di sekitar sini...!"
"Kita ini tak ubahnya sedang di pinggiran gerbang kematian saja layaknya. Keadaan seperti ini wajib kita curigai." Hono menimpali.
"Hush, kalian ini nampaknya terlalu tegang dalam memikirkan sesuatu. Sehmgga warung sunyi saja kalian curigai!" Salahna yang .yang merupakan seorang pimpinan dari dua orang itu pun menukas.
"Pesan guru, dalam situasi bagaimanapun kita diwajibkan selalu waspada!"
"Iya, tetapi lihat-lihat! Tempat yang bagaimana yang harus kita waspadai itu. Masakan di sebuah warung penjual makanan kitapun harus bersikap seperti itu!"
"Sudahlah. Mengapa harus berdebat, lihat pelayan sudah datang...!" kata Hini mengetengahi. Tanpa basa basi, pelayan itu meletakkan makanan pesanan mereka di atas sebuah meja besar yang terletak di hadapannya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, maka pelayan itu kembali pergi.
Tanpa menaruh kecurigaan apa-apa, Salahna yaitu salah seorang yang paling cantik di antara ketiga orang itu, tanpa curiga lagi segera menyantap makanan yang di hidangkan oleh pelayan warung tersebut. Barulah setelah melihat saudara tertuanya menyantap makanan tersebut dan tak berakibat apa-apa, maka Hono dan Hini mengikutinya. Setelah selesai menyantap hidangan yang sangat lezat, maka ketiga orang itu pun segera meneguk air nira yang menyertai makanan. Dalam sekejap saja air nira yang manis itu pun tuntas tanpa bekas! Beberapa saat setelahnya, barulah gadis-gadis ini merasakan kepalanya mulai sakit berdenyut-denyut. Bumi serasa berputar-putar. Bukan main terkejutnya ketiga gadis-gadis ini begitu menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Lama kelamaan orang-orang ini pun tak sadarkan diri lagi.
Tak lama setelah ketiga gadis itu tak sadarkan diri muncullah si Kaki Tunggal di depan pintu warung. Pelayan yang tadi menghidangkan makanan pada gadis-gadis itu, kini dengan sangat tergesa-gesa sekali datang menghampiri si Kaki Tunggal yang saat itu masih saja berdiri mematung di depan pintu, dengan sangat angkernya.
"Bagaimana tugas yang kuberikan padamu. Apakah sudah kaukerjakan dengan baik?" tanya si Kaki Tunggal penuh wibawa.
"Semuanya sesuai dengan apa yang tuan perintahkan...!" jawab si1 pelayan dengan agak terbata.
Mendengar jawaban dari si pelayan, si Kaki Tunggal menyungging senyum licik. Lalu dia memberi perintah.
"Pilihlah salah seorang di antara mereka yang paling cantik buatku. Dan aku akan segera membawanya pergi dari sini...!"
"La... lalu dua orang lainnya bagaimana, Tuan...?" tanya pelayan warung itu nampak kebingungan sekali.

* * *



--₪¦ « 9 » ¦₪--

Beberapa saat lamanya si Kaki Tunggal nampak tercengang. Tetapi tak lama kemudian dia pun sudah berkata:
"Membunuh orang yang sedang tertidur adalah sangat bertentangan dengan naluri kebinatanganku. Sebaiknya biarkan saja orang itu tidur sampai besok pagi di warungmu ini!"
"Tu... tuan! Bagaimana seandainya besok mereka menanyakan tentang kawannya...?"
Melihat ketololan pelayan warung tersebut, si Kaki Tunggall nampak berang sekali. Kedua matanya nampak melotot, hal ini hanya menambah ketakutan si pelayan.
"Sejak kecil mengapa tidak mati saja engkau, manusia dungu. Menghadapi dua ekor tikus perawan saja engkau sudah ketakutan, Bukankah kalau engkau mau, kau bisa bersenang-senang dengannya. Atau kalau engkau seorang banci, tolong kau katakan saja ke mana tujuanku!"
"Ba... baiklah, Tuan...!"
si Kaki Tunggal tak berapa lama kemudian tanpa menghiraukan pelayan warung segera memondong tubuh Salanah, gadis tercantik di antara ketiga gadis itu. Tak lama setelahnya, si Kaki Tunggal segera berlari-lari meninggalkan warung tersebut. Sementara di atas bahunya tubuh Salanah yang tiada sadar akibat obat pembius yang tercampur di dalam minuman. Nampak terkulai tiada daya.
Si Kaki Tunggal nampak masih terus berlari-lari di celah-celah kegelapan malam. Udara malam semakin terasa dingin menggigit, sementara di langit lepas tiada terlihat sinar bulan. Mendung tebal berarak ke arah Utara, suasana itu tidak sedikit pun berpengaruh pada si Kaki Tunggal yang sedang melarikan gadis Salahna murid dari mendiang Nini Klarah. Tanpa mengalami banyak kesulitan Kaki Tunggal berlari dan terus berlari. Namun lebih kurang baru sepemakan sirih tiba-tiba hujan turun begitu lebatnya. Bunyi petir sambung menyambung. Sesaat Kaki Tunggal nampak kebingungan. Namun setelah tengok kanan tengok kiri. Nampaknya, Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal nampak lega, sebab tak begitu jauh dari hadapannya dia melihat ada sebuah dangau yang tidak seberapa besarnya. Cepat-cepat dia berlari-lari ke sana. Setelah membukakan pintu yang terbuat dari balok-balok kayu hutan tersebut. si Kaki Tunggal sambil memanggul tubuh Salahna dia segera masuk ke dalamnya. Di dalam dangau yang sederhana dan nampaknya telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya itu, hanya terdapat sebuah balai-balai yang terbuat dari anyaman belahan bambu. si Kaki Tunggal nampak menyeringai begitu mengetahui adanya tempat yang sederhana itu. Cepat-cepat laki-laki berbadan legam itu pun merebahkan tubuh si gadis. Kemudian setelah menutupkan pintu itu kembali, si Kaki Tunggal segera menghampiri si gadis yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Dia lalu duduk di sampingnya. Dalam pada itu darahnya sudah mulai naik ke ubun-ubun. Jantung berdetak lebih kencang lagi, sementara seluruh tubuh si Kaki Tunggal nampak gemetaran bagai orang yang sedang terserang penyakit demam malaria. Kemudian segalanya berlalu begitu cepat, si Kaki Tunggal yang sudah dirasuki setan itu pun tanpa ampun segera mencabik-cabik pakaian yang dikenakan oleh Salahna. Setelah itu tanpa banyak membuang waktu lagi si Kaki Tunggal segera menindih tubuh si gadis yang sampai saat itu masih belum juga sadarkan diri. Balai-balai yang terbuat dari bambu nampak bergoyang-gonyang. Meskipun di luar sana hujan turun bagai tercurah dan udara sedemikian dinginnya. Namun di dalam dangau itu tubuh si Kaki Tunggal bermandi keringat. Sampai pada akhirnya dia pun terkulai dan tertidur di sisi si gadis.
Ketika di pagi keesokan harinya, gadis itu terjaga dari sebuah ketidak sadaran yang panjang. Dia tampak sangat terkejut sekali begitu mendapati tubuhnya dalam keadaan telanjang. Hatinya menjerit pedih, lebih pedih lagi dari rasa sakit yang terdapat di bagian tubuhnya. Sadarlah dia, bahwa ada seseorang yang telah menodai kesuciannya. Gadis itu menangis, meskipun tangis itu hanya terurai air mata. Namun semua itu telah cukup menggambarkan kedukaan yang teramatdalam. siapa pun adanya pelaku dari semua itu, dia tak ingin hidup menanggung malu. Hanya beberapa saat kemudian tanpa berpikir panjang lagi. Dengan mempergunakan badik kecil miliknya, maka dia pun dengan nekad menghunjamkan senjata itu tepat di tengah-tengah dadanya. Gadis itu nanya keluarkan satu jeritan tertahan maka gadis malang itu pun langsung tersungkur
,di atas lantai dangau. Darah membasahi seluruh lantai dangau, beberapa saat setelah gadis itupun menghembuskan nafasnya yang terakhir. si Kaki Tunggal yang tidak mengetahui kejadian yang begitu singkat itu. Begitu selesai membasuh muka di sebuah parit kecil yang tidak begitu jauh dari dangau nampak melangkah kembali ke arah dangau. Manusia terkutuk itu memang ingin melampiaskan nafsu bejadnya untuk yang terakhir kalinya. Dan agaknya pula kejadian yang berlangsung semalaman itu tidak membuatnya menjadi puas. Begitulah dengan bersiul-siul tak beraturan dia kembali melongokkan kepalanya dari depan pintu tersebut.
Namun betapa terkejutnya si terkutuk berkaki tunggal ini demi melihat pemandangan yang menghampar di hadapannya. Gadis itu kiranya di luar sepengetahuannya telah sadar dari pingsannya, dan secara nekad telah membunuh diri pula. Hanya sesaat kemudian dia sudah berada di depan mayat si gadis. Sedikitpun tiada terlihat penyesalan di wajahnya. Dasar manusia terkutuk, kematian si gadis bukan membuatnya berpikir untuk sadar atau menyesal. Sebaliknya dia malah sumpah serapah yang tersembur dari bibirnya vang hitam legam.
"Dasar orang tolol! Diberi kesenangan yang paling membahagikan, eee... malah bunuh diri! Dasar perempuan goblok...!" maki si 'Kaki Tunggal dengan sesungging senyum sinis.
"Akh, memang sepantasnya perempuan-perempuan pada mati semua. Sebentar lagi... ya sebentar lagi kalau aku sudah berkuasa di dunia persilatan. Hek... hek... hok... hok...!" si Kaki Tunggal tertawa-tawa bagai orang gila. Namun belum sempat si Kaki Tunggal memuntahkan semua uneg-unegnya. Pada saat itu dari luar dangau terdengar suara bentakan-bentakan melengking.
"si Kaki Tunggal manusia terkutuk! Keluarlah engkau dari dalam dangau itu. Di sini ada kubawakan oleh-oleh kepalanya si pelayan sialan itu, terimalah...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, dengan sangat cepat segera melemparkan kepala si pelayan warung.
"Weees!"
"Bruaak!"
Dinding dangau yang terbuat dari tepas itu langsung bobol, dan andai saja si Kaki Tunggal tidak cepat-cepat mengelak, sudah barang tentu kepala si pelayan warung dengan kepalanya sendiri pasti akan saling bertabrakan. Si Kaki Tunggal segera bangkit. Lalu secepatnya tubuhnya sudah melesat ke luar dari dalam dangau tersebut. Dia keluarkn tawa bergelak-gelak begitu melihat siapa adanya mereka yang datang ke tempat itu.
"Wuah! Kalian rupanya. Kukira kalian iblis yang sedang kesurupan, tak dinyana hanyalah dua ekor tikus betina yang sajngat menyenangkan." Ksatria terkutuk berkaki tunggal untuk beberapa saat lamanya nampak termangu-mangu. Dipandanginya kedua gadis itu tanpa pernah berkedip sedikit pun. Sudah barang tentu dipandangi sedemikian rupa kedua gadis ini menjadi merah parasnya.
"Setan kepura-puraan, kau sembunyikan di mana kakak seperguruan kami...?" bentak Hini.
"Engkau galak sekali, Gadis. He... he... he...! Tapi aku suka pada gadis galak semacammu. Engkau pasti seorang gadis yang sangat menyenangkan." tukas Kaki Tunggal dengan tawa mengekeh.
"Monyet cacat tak tahu diri, cepat jawablah pertanyaanku...?"
"Engkau menanyakan kakak seperguruanmu? Coba lihatlah di dalam dangau itu!" Dengan sangat penasaran kedua gadis itu pun cepat-cepat menyerbu ke dalam dangau. Sementara si Kaki Tunggal memang dengan sengaja membiarkan kedua gadis ini melongok ke dalam dangau yang telah reot itu. Begitu sampai di dalam dangau tersebut, betapa sangat terkejut Hono dan Hini. Mereka mendapati tubuh kakak seperguruannya telah terhadap bermandikan darah. Sementara pakaian yang dikenakannya telah acak-acakkan. Tak dapat terbendung lagi kedua gadis itu menangis bermandikan air mata. Sungguhpun mereka sadar bahwa kematian kakaknya karena membunuh diri, tetapi mereka juga tahu apa yang menjadi penyebab dari semua itu. Dengan kemarahan yang meluap-luap mendadak kedua gadis ini secara hampir bersamaan kembali keluar dari dalam dangau tersebut. Pandangan matanya menyinarkan kebencian yang teramat sangat.
"Iblis berhati binatang. Engkau telah membuat kakak seperguruan kami membunuh diri. Puih, jiwa anjingmu tidak cukup untuk membayar hutang darah dan jiwa kakak seperguruan kami...!" kata Hono memaki habis-habisan. Namun sejauh itu, bagai orang yang tiada merasa bersalah, Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal masih nampak tenang-tenang saja.
"Mengapa harus marah-marah, Tikus-tikus perawan. Kakakmu mati karena kesalahannya sendiri. Toh aku tak pernah menyuruhnya untuk membunuh diri..."
"Tetapi engkaulah yang menjadi penyebab kematiannya...!" sergah Hini yang saat itu telah bersiap-siap dengan senjatanya yang berupa setagen biru. Begitu pula halnya dengan Hono.
"Sudah kubilang "semua itu kesalahan kakakmu sendiri. Aku hanya mengajaknya untuk bersenang-senang, kalau kemudian dia memilih jalan ke akhirat, siapa mau perduli...!"
"Monyet sumber malapetaka ini memang tak bisa diajak bicara, Adik Hini. Mari kita gebuk saja!"
"Hei jangan, kalian akan mati sia-sia...!"
Karena memang sudah sangat kalap. Maka kedua gadis itu pun segera menyerang si Kaki Tunggal dengan totokan-totokan ujung Setagen mereka. Serangan-serangan setagen itu begitu cepat dan ganas, sekali waktu melecut ke udara, di lain kesempatan meliuk dan menyambar-nyambar bagaikan seekor ular berbisa yang ingin menyergap mangsanya. Namun sampai sejauh itu, tak satu pun serangan-serangan yang mereka lancarkan dapat dengan tepat mengenai sasarannya.
Menyadari pihak lawannya sedemikian tangguh, maka sekejab kemudian tubuh kedua gadis itu segera berkelebat. Gerakan-gerakan mereka nampak sangat ringan. sekali. Hal ini menandakan bahwa ilmu mengentengi tubuh yang mereka miliki sudah hampir sampai pada tahap paling sempurna. Senjata kedua gadis itu terus melecut ke segala arah, namun si manusia terkutuk itu masih saja dapat mengelakkan setiap serangan dengan sangat begitu mudahnya.
"Hauut!'' Tubuh Hono melentik ke udara, begitu tubuhnya menukik, satu lecutan dan satu pukulan maut yang diberi nama Bunga Jelita Menyergap Kumbang dia lepaskan. Begitu pula halnya yang dilakukan oleh si Hini. Dua pukulan dan dua lecutan datang secara hampir bersamaan. Menderulah selarik sinar berwarna biru kemerah-merahan dengan hebatnya. Pukulan itu mengarah pada bagian kepala dan dada, sementara lecutan setagen mengarah pada bagian selang-kangan dan kaki. Sudah barang tentu meskipun si Kaki Tunggal merupakan tokoh sesat yang sangat sakti, tetapi menghadapi empat serangan yang datangnya secara hampir bersamaan, telah membuatnya jadi kalang kabut. Tetapi sebagai orang yang sudah sangat berpengalaman, sudah barang tentu dia sudah tahu pukulan mana yang paling sangat berbahaya. Karena dia menyadari bahwa pukulan itulah yang paling mengancam. Maka tanpa ragu lagi dia memapaki datangnya sinar biru kemerahan yang sudah begitu dekat dengan tubuhnya.
"Wut! Wut!"
Pukulan Bunga Jelita Menyergap Kumbang menjadi kandas di tengah jalan. Namun serangan setagen yang dilecutkan oleh si Hono terlanjur melibat tongkat penyangga tubuhnya. Sementara lecutan setagen si hini berhasil pula memukul pusaka keramat yang tersimpan di kantung celana si Kaki Tunggal. Tongkat di tangan terlepas dari pemiliknya. Tubuh si Kaki Tunggal nampak berguling-gujing di atas tanah berlumpur. Dia merasakan perutnya sakit luar biasa, rasa-rasanya dua buah jambu miliknya sudah hancur berkeping-keping. Belum lagi laki-laki terkutuk itu sempat bangkit dari tempatnya, lecutan dan pukulan datang beruntun. Namun si Kaki Tunggal yang sudah sangat marah itu, mana mau dirinya menjadi sasaran pukulan-pukulan yang mematikan untuk yang kedua kalinya. Cepat-cepat, tubuhnya melentik dari atas tanah berlumpur. Tanpa tongkat penyangga bersamanya. Terlihatlah keseimbangannya menjadi goyah. Begitu pun dia tak kehilangan akal. Sesaat kemudian dicabutnya pedang kematian yang sangat panjang itu. Sementara sarungnya dia pergunakan sebagai tongkat penyangga tubuhnya.
Kini dengan pedang kematian di tangannya, wajahnya serta merta berubah menjadi sangat menggidikkan. Beberapa saat setelahnya, dia pun menggeram.
"Tikus betina sialan. Jangan sombong dengan kebolehanmu yang tiada seberapa itu. Malang sekali nasib kalian hari ini. Kalian telah bertarung dengan iblis pencabut nyawa yang mematikan...!" mengerang si Kaki Tunggal bagai harimau ganas yang terluka.

* * *



--₪¦ « 10 » ¦₪--

Mendapat ancaman sedemikian rupa nampaknya kedua gadis itu tidak menjadi gentar. Dibentak malah balas membentak! "Bangsat, sekalipun kami mampus di tanganmu. Jangan kira kami mau bertekuk lutut di kaki manusia sinting gila
kekuasaan."
"Bagus.... Sesungguhnya aku paling benci pada betina-betina semacam kalian! Itu sebabnya kalian lebih baik mampus saja...!" teriak si Kaki Tunggal. Laki-laki hitam legam itu segera mengayunkan pedang panjangnya. Sekejap kemudian dia telah berbalik menyerang kedua gadis itu. Pedang di tangan berkelebat kesegala arah. Hawa dingin yang keluar dari pedang kematian mulai menyebar ke mana-mana. Sedikit demi sedikit. Baik si Hono dan si Hini mulai merasakan adanya kelainan dalam diri mereka. Kiranya mereka ini tidak menyadari betapa bau yang tak sedap itu sesungguhnya merupakan hawa beracun yang secara perlahan dapat mematikan syaraf mereka.
Kini pedang di tangan si Kaki Tunggal menderu, mencecar pertahanan lawan. Menghadapi datangnya serangan yang begitu ganas, maka dengan segenap kemampuan kedua orang ini cepat-cepat menggerakkan setagen di tangan menyongsong datangnya sambara-sambaran ganas senjata di tangan si Kaki Tunggal. Satu kesempatan si Hono melecutkan setagennya ke arah bagian dada lawannya yang terbuka. Pada saat itu si Kaki Tunggal sedang berusaha membuka pertahanan si Hini yang menyerang dirinya dalam jarak yang begitu dekat. Namun belum lagi babatan pedang maut itu mencapai sasarannya, mendadak dia merasakan adanya angin sambaran senjata dari arah belakangnya. Maka demi menghindari lecutan yang juga tidak bisa dianggap ringan, maka si Kaki Tunggal menarik balik serangannya. Sebagai gantinya dia sedikit memutar arah, kemudian cepat-cepat kiblatkan senjatanya begitu setagen lawan hampir menghajar tubuhnya.
"Pras!"
Papasan pedang yang sangat tajam itu membuat setagen si Hono menjadi hampir tercabik-cabik. si Hono bersurut dua langkah, pucat parasnya. Begitupun dia tak pernah mengenal putus asa. Maka sementara si Kaki Tunggal berbalik menghadapi lecutan setagen di tangan si Hini. si Hono sudah bersiap-siap kembali dengan pukulan maut Bunga Jelita Menyergap Kumbang. Selarik sinar biru kemerahan berkekuatan lebih besar lagi dari yang terdahu lu. Nampak menderu sedemikian cepatnya. Mau tak mau si Kaki Tunggal kembali membatalkan niatnya untuk menghancurkan setagen di tangan si Hini. Dengan mencaci maki maka dia pun kembali berbalik. Tetapi pukulan yang dilepas oleh si Hini datangnya begitu cepat. Lalu pedangnyalah yang dia tadahkan.
"Wus! Blang!"
Bukan main kharisma pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal itu, karena begitu dia pergunakan untuk memapaki pukulan lawan. Membuat pukulan Bunga Jelita Menyergap Kumbang itu membalik dan menghantam pemiliknya. Tubuh si Hono terlempar sepuluh tombak, dengan dada remuk karena termakan pukulannya sendiri. Begitu tubuh si Hono tersungkur di atas tanah berlumpur Begitu pula darah kental menggelogok bagai tumpahan sayur talas yang sudah basi. Sesaat tubuh si Hono berkelojotan di atas tanah berlumpur. Karena lumpur itu dalamnya sebatas pinggang, maka gerakan-gerakan sekarat dari gadis yang malang itu lama-kelamaan menjadi terbenam, sampai pada akhirnya tak terlihat sama sekali. Terkesima si Hini demi menyaksikan kematian kakak seperguruannya. Tetapi hanya sesaat saja dia dapat bersikap seperti itu. Karena sesaat kemudian si Kaki Tunggal dengan beringas telah menyerangnya. Kini dengan leluasa dia bisa menggasak lawannya yang hanya tinggal seorang itu. Bertahan seorang diri, nampak sekali dalam waktu sekejab si Hini terdesak hebat. Satu ketika si Kaki Tunggal melompat mundur tiga tindak, tangan kanannya nampak menggenggam pedang begitu eratnya. Sesungging seringai maut membias di bibirnya. Kemudian dia pun membentak
dengan penuh kemenangan.
"Tikus betina. Engkau lihatlah kawan-kawanmu sudah pada kojor semua. Meminta ampun padaku rasa-rasanya saat ini sudah tidak guna, aku tak bakal mengampunimu!"
"Aku pun tak akan pernah merengek minta ampun padamu...!" tukas si Hini dengan sangat beraninya.
"Bagus, Bagus sekali... yang paling pantas bagimu adalah mampus...!" Laksana kilat, si Kaki Tunggal langsung membabatkan pedangnya. Sedapat mungkin si Hini berusaha mengelakkan serangan pedang yang dilancarkan oleh lawannya. Maka tak ayal lagi gadis itu segera melecutkan setagennya. si Kaki Tunggal yang sudah merasa kesal dengan hadirnya senjata yang hampir saja menghancurkan jambu kra-matnya, segera menyambutnya dengan tebasan pedang kematian.
"Breet!"
Tak ayal lagi, setagen yang terbuat dari kain sutera itu pun hancur berkeping-keping. si Hini nampak bersurut mundur, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh.
"Bukan saja Stagenmu itu yang kubuat hancur. Sebentar lagi tubuhmu pun akan kubuat berantakan."
"Banyak mulut...!" Satu pukulan di lepaskan oleh si gadis bersamaan dengan ucapannya itu. Lagi-lagi si Kaki Tunggal tertawa mengekeh begitu mengetahui datangnya selarik sinar maut yang di kirimkan oleh si gadis. Lalu dengan kepongahannya, laki-laki hitam legam inipun tadahkan pedang kematian.
"Wees! Blaaam!"
Si gadis terpelanting, secepatnya dia berusaha bangkit berdiri. Namun begitu usaha ini dicobanya, mendadak keseimbangannya menjadi goyah, darah meleleh dari kedua kuping dan hidungnya. Melihat keadaan ini si Kaki Tunggal tak ingin bertindak tanggung-tanggung lagi. Maka dia pun kirimkan satu pukulan pamungkas diberi nama Kunyuk Gila Menendang Gunung. Tak pelak, satu gulungan pukulan maut berwarna jingga melesat dan tanpa ampun lagi langsung melabrak tubuh si Hini yang sudah sekarat. Tiada lolongan maut yang terdengar, begitu pukulan Kunyuk Gila Menendang Gunung melabrak tubuhnya. Hanya asap hitam dan debu saja yang beterbangan. si Hini tewas secara mengerikan seketika itu juga. Kaki Tunggal nampak menarik nafas pendek. Secara perlahan dia pun menyarungkan pedang mautnya. Lalu dengan keluarkan suara nyanyian yang tak beraturan, dia pun segera melangkah meninggalkan dangau tersebut. Dalam waktu sekejap, laki-laki itu pun sudah tak nampak dari pandangan mata. Kini suasana di sekitarnya kembali berubah menjadi sunyi sepi. Bagai tak pernah terjadi sesuatu kejadian apapun di sana.

* * *



Ketika Nini Kroya yang memang sudah mendapat firasat buruk tentang suaminya itu sampai di kaki Gunung Gili Manuk. Malam baru saja menunjukkan pukul delapan. Bulan purnama lima belas nampak menyeruak di pucuk-pucuk cemara. sinarnya yang kuning keemasan itu tersaruk-saruk di balik mega-mega kelabu. Saat itu Nini Kroya yang nampak berdiri seorang diri di tempat yang sepi itu nampak menanti dengan harap-harap cemas. Betapapun dia menyadari bahwa sesungguhnya Setan Kroya suaminya sudah tiada. Sesuai dengan mimpinya ketika berada di pondok milik si Pengail Aneh. Bahwa waktu itu di suatu tempat yang luas dia melihat Setan Kroya datang padanya dengan mengenakan pakaian warna putih, nampak datang bagai ditiup angin menemui dirinya, tetapi tak berapa lama kemudian sang suami dalam mimpi itu segera pergi kembali. Tiba-tiba saja, dia semakin menjauh dengan wajah menyeringai menahan sakit.
Mimpi buruk itu bagi Nini Kroya sudah merupakan suatu bukti bahwa meskipun dia tak melihat keadaan yang sesungguhnya akan tetapi dia merasa begitu sangat yakin bahwa Setan Kroya benar-benar telah tiada. Bagi dirinya siapapun adanya pelaku pembunuhan atas diri suaminya, sebagai istri yang setia dia harus mencari si bangsat pembunuh tersebut. Kalau perlu akan mengadu jiwa dengan orang tersebut. Seperti diketahui, Nini Kroya sesungguhnya memiliki kepandaian silat dua tingkat di atas suaminya. Demikianlah setelah lebih kurang dua jam berdiri menanti di situ seorang diri, namun tak siapapun yang ada di sana selain dirinya sendiri. Lama kelamaan dia menjadi jengkel sendiri.
"Menurut kabar yang aku dengar. Tepat malam inilah di tempat ini akan terjadi pertarungan itu. Tetapi aku tak melihat adanya orang lain yang berada di tempat ini! Ataukah berita tentang pendekar kelas satu itu sesungguhnya hanya merupakan isapan jempol belaka? Tetapi tak mungkin, aku mencium adanya bau kematian yang telah berlangsung lebih kurang tiga puluh hari, satu purnama yang sudah lewat berarti di tempat ini benar-benar telah terjadi pertarungan maut, mungkin ada baiknya kalau aku menunggu!" batin Nini Kroya. Suasana hening terus berlangsung, hingga suatu ketika Nini Kroya merasakan adanya orang lain hadir di tempat itu. Sungguhpun dia sudah teramat tua bila dibandingkan dengan suaminya. Namun pendengarannya yang sudah terlatih dengan baik dapat mengetahui bahwa kehadiran orang lain di tempat itu sudah semakin bertambah dekat sekali. Nini Kroya putar badannya selangkah demi selangkah, tatapan matanya nampak menyapu pandang pada keremangan hutan cemara yang berada di sekitar tempat itu. Namun tak seorang pun terlihat dalam keremangan itu. Nini Kroya semakin bersikap waspada. Sesaat dua saat waktu pun berlalu, sepi, tiada gerakan-gerakan yang mencurigakan. Namun sejauh itu Nini Kroya tetap merasa yakin bahwa ada seseorang yang hadir di tempat itu. Mungkinkah orang itu tak lain merupakan si Pengail Aneh adanya? Kalau memang benar mengapa tak menemuinya? Tiba-tiba Nini Kroya pun berkata:
"Orang yang bersembunyi di balik pohon, keluarlah...?" bentak perempuan tua. Tiada sahutan, suara Nini Kroya menggema ke dasar kaki gunung.
"Orang yang berdiri di balik pohon, mengapa ngumpet seperti tikus parit? Keluarlah...?" kata Nini Kroya tak sabaran. Barulah kemudian nampak berkelebatnya sosok bayangan hitam menyongsong ke arah si Nini Kroya.
"Jliigh!" Begitu berhadapan dengan Nini Kroya, tahulah perempuan tua ini bahwa sesosok bayangan berpakaian hitam dan bertongkat itu tak lain merupakan seorang laki-laki.
"Siapakah engkau ini Kisanak...?" tanya Nini Kroya kemudian. Yang ditanya hanva mendengus.
"Apa kerjamu di tempat ini perempuan tua...?" Si orang bertongkat yang tak lain merupakan si Kaki Tunggal adanya balik bertanya.
"Ahh, aku hanya mencari suamiku...!" jawab Nini Kroya.
"Suamimu? siapakah suamimu...?" tanya si Kaki Tunggal penuh selidik.
"Suamiku bernama Setan Kroya." ucap Nini Kroya tanpa merasa curiga sedikit pun pada si Kaki Tunggal. Tiba-tiba si Kaki Tunggal keluarkan suara tawa mengekeh!
"Setan Kroya? Ha... ha... ha...! Suamimu itu sudah mampus di tanganku." Kata si Kaki Tunggal tanpa tedeng aling-aling.
"Apa...?" kejut di hati perempuan itu bukan alang kepalang, namun belum lagi dia sempat menanyakan sesuatu, si Kaki Tunggal langsung menukas.
"Itu adalah kesalahannya. Karena malam ini engkau hadir pula di Kaki Gunung Gili Manuk, yang sudah kutentukan sebagai tempat kematian siapapun. Maka engkau pun harus mampus di tempat ini." teriak si Kaki Tunggal. Dan sesaat itu juga dia sudah mencabut pedangnya. Maka si Nini Kroya yang saat itu sedang dilanda kemarahan tak kalah cepat dia pun sudah mencabut senjatanya yang berupa sebuah gada yang berukuran sangat kecil namun berat luar biasa.
Tanpa kompromi lagi kedua orang ini mulai saling serang dengan mengirimkan pukulan maupun sabetan-sabetan mautnya. Suasana nampak semakin menegangkan manakala sesaat kemudian Nini Kroya dan Kaki Tunggal mulai melancarkan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Debu dan pasir nampak beterbangan ketika dua pukulan sakti itu saling bertemu antara yang satu dengan yang lainnya. Begitupun pukulan-pukulan maut itu tidak berarti banyak bagi masing-masing lawan, sebab sejauh itu, nampaknya kekuatan tenaga dalam mereka seimbang. Jalan satu-satunya untuk dapat merobohkan pihak lawan dalam waktu yang secepatnya. Tak ada pilihan lain terkecuali mengadu kehebatan permainan pedang ataupun kecepatan lainnya. Tak pelak lagi si Kaki Tunggal nampak memutar pedangnya dengan sangat cepat. Kemudian dengan diawali dengan satu bentakan-bentakan tinggi melengking, dia pun babatkan senjatanya mengarah pada bagian leher pihak lawannya. Sudah barang tentu Nini Kroya tak mau terima begitu saja. Maka sekejap tubuh wanita tua itupun berkelebat dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan sekali. Seketika Gada mustika di tangan memukul dan mengancam bagian kepala lawannya, senjata itu terus meluncur sedemikian cepatnya. si Kaki Tungigal yang sudah berniat membabat bagian pinggang pihak lawannya, sontak terpaksa batalkan niatnya. Lalu dia pun memapaki datangnya Gada Mustika di tangan Nini Kroya.

 



--₪¦ « 11 » ¦₪--

Bunga api nampak berpijaran begitu kedua senjata itu saling berbenturan. Nini Kroya tersurut dua langkah. Sementara tubuhnya tergetar dan tangan seperti kesemutan. Di lain pihak si Kaki Tunggal sendiri merasakan dadanya sesak luar biasa. Jantungnya berdetak lebih keras! Cepat-cepat si Kaki Tunggal telan tiga butir pil yang berwarna kekuning-kuningan. Sesaat dia menunggu. Lalu manakala dia sudah merasa seperti biasa lagi, maka tak ampun lagi dia pun kembali menyerang Nini Kroya dengan kekuatan yang lebih hebat lagi. Nini Kroya yang sudah merasakan kehebatan lawannya, nampak tak ingin bertindak tanggung-tanggung. Kini dikerahkan segenap kemampuannya. Gada Mustika di tangannya yang berwana putih itu berkelebat laksana kilat, menderu timbulkan suara berciutan, sekilas hanya tinggal merupakan bayang-bayang putih belaka.
"Haiit!"
Tak mau kalah si Kaki Tunggal pun kiblatkan senjatanya, lagi-lagi benturan dua senjata yang sudah dialiri oleh tenaga dalam itu pun tak dapat dihindari lagi. Kejadiannya malah sebaliknya. Nini Kroya malah mengalami akibat yang sangat tiada menguntungkan. Gada Mustika di tangannya nampak terbabat putus oleh mata pedang di tangan si Kaki Tunggal. Tidak cukup sampai disitu saja, pedang kematian terus menderu. Bagai bermata terus meluncur dan mengarah pada pangkal leher Nini Kroya. tak ayal lagi sekejap kemudian pedang itupun sudah sampai pada sasarannya. Tak seorang pun yang mampu mencegah kejadian itu.
"Jrooookh!"
Nini Kroya melolong setinggi gunung, matanya nampak melotot, sedangkan kedua tangannya menekan erat pada bagian leher yang terkoyak lebar. Darah menyembur ke mana-mana. Setelah tubuh Nini Kroya nampak terhuyung-huyung untuk beberapa saat lamanya. Maka tubuh yang lama-kelamaan kehabisan darah itu pun nampak limbung pula. Hingga akhirnya tanpa ampun lagi diapun ambruk untuk selama-lamanya. Pada saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba terdengar jerit tertahan dengan disertai hadirnya sosok seorang laki-laki botak.
"Nini...!" Si tua botak tak lain merupakan si Pengail Aneh nampak berjongkok sambil memeluki mayat istri sahabatnya, si Setan Kroya.
"Engkau begitu cepat pergi, Nini, mengapa engkau tak pernah mau mendengar semua apa yang kukatakan. Oh... sahabatku sudah pada pergi semuanya...!" keluh si Pengail Aneh sambil menutupi wajahnya.
"Jangan bersedih orang tua! Engkaupun akan segera menyusul mereka...!" menyela si Kaki Tunggal dengan suaranya yang dingin menggidikkan. Menyadari ada orang di sekitarnya, maka si Pengail Aneh palingkan wajahnya. Lalu terlihatlah si Kaki Tunggal berdiri bertolak pinggang tak jauh dari hadapannya.
"Kau... Siapakah engkau...?!" tanya si Pengail Aneh sambil mengingat-ingat sesuatu. Yang ditanya tertawa ganda.
"Masakan engkau sudah lupa padaku tua pikun...!'
"Jangan bertele-tele cepat katakan...!?" perintah si Pengail Aneh marah sekali. Si Kaki Tunggal kini malah tersenyum sinis.
"Masakan engkau telah lupa pada orang yang pernah kau dan Setan Kroya, buntungi kakinya...?"
"Buntungi kakimu. Kapan aku melakukannya? Bicaralah yang jelas, mengapa harus berbelit-belit!"
"Kata-kataku sudah sangat jelas untuk kau mengerti Pengail sinting!" tukas si Kaki Tunggal nampak kesal.
"Eeh, engkau masih tahu namaku...?" tanya si Pengail Aneh tanpa dibuat-buat.
"Pengail Aneh, kiranya kini semakin tua engkau semakin bertambah pikun saja! Ingatkah engkau ketika terjadi peristiwa di air terjun Lembah Tong Tong Bengong beberapa tahun yang lalu...?"
Andaikan saat itu adalah siang hari, sudah barang tentu si Kaki Tunggal dapat melihat betapa si Pengail Aneh nampak sangat terkejut sekali. Mendadak parasnya nampak pucat. Hal ini bukan berarti dia takut pada si Kaki Tunggal, akan tetapi dalam sepanjang petualangannya, peristiwa di air terjun itu adalah merupakan peristiwa yang paling bersejarah dan tak pernah terlupakan sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak! Saat dia hampir saja tewas di tangan sepasang iblis yang merupakan orang tua si Kaki Tunggal. Andai saja waktu itu Setan Kroya tidak mengalihkan perhatian manusia iblis itu dengan memotong kaki anaknya. Sudah barang tentu dia sudah lama berangkat ke liang kubur. Tetapi mengapa anak yang mereka cemplungkan ke dalam jurang itu sampai kini masih tetap hidup? Batin si Pengail Aneh nampak sangat heran sekali. Dia merasa yakin pasti ada seseorang yang telah menolongnya.
"Botak tua, ingatkah apa yang telah engkau lakukan di air terjun itu...?" Si Pengail Aneh, angguk-anggukkan kepalanya.
"Aku masih ingat, engkaulah si anak malang yang telah di potong kakinya oleh Setan Kroya!" kata Setan Kroya tanpa sungkan-sungkan.
"Bagus! Tahukah engkau waktu itu sangat menyakitkan sekali Pengail sinting?"
"Sayangnya aku tak ikut merasakannya...!"
"Bangsat...!" maki si Kaki Tunggal.
"Engkau tak perlu memaki, dosa nenek moyangmu waktu itu benar-benar sudah sangat bertumpuk. Mereka bakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Mereka rampoki harta bendanya, kemudian mereka bunuh orang yang tiada berdosa hampir sepanjang tahun. Haruskah kami berpangku tangan melihat sepak terjang orang tuamu yang melebihi iblis itu...?" bentak si Pengail Aneh. »
"Ha... ha... ha...! Engkau merasa sebagai yrang yang paling bersih di dunia ini, Pengail Sinting?" *
"Aku tak pernah mengatakannya begitu". ucap si Pengail Aneh tegas.
"Sebagai keturunannya haruskah aku membiarkan semua itu berlalu begitu saja...?" tanya si Kaki Tunggal berpura-pura tolol.
"Engkau tak pernah membiarkan peristiwa itu berlalu, sebab engkau telah melampiaskannya pada banyak korban. Dan jangan kira aku tak tahu bahwa apa yang terjadi di kaki Gunung Manuk ini bahwa sesungguhnya karena ambisi dan keserakahanmu. Dan jangan kira juga aku tak tahu, bahwa si Setan Kroya telah engkau bunuh di Lembah Tong-Tong Bengong beberapa hari yang lalu." kata si Pengail Aneh. Nada ucapannya masih saja nampak sabar dan pelan. si Kaki Tunggal keluarkan tawa mengekeh!
"Bagus kalau engkau sudah tahu semua tentang perbuatanku. Dan barangkali hanya engkau sendiri yang belum terima upah atas pekerjaanmu beberapa tahun yang lalu itu!" ejek Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal.
"Bagiku yang sudah berlalu biarlah berlalu, aku sudah sangat tua. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi...!"
"Enak saja engkau ini, engkau harus bayar nyawa orang tuaku...!" bentak si Kaki Tunggal.
"Baik, kalau engkau berkata begitu, aku terima. Tapi kapan akan kau bayar nyawa dari setiap banyak orang yang telah engkau bunuh semena-mena?" Ditanya seperti itu, si Kaki Tunggal nampak merah parasnya.
"Itu urusanku, Pengail Sinting! Tak perlu engkau menanyakannya padaku...!" Sesabar-sabarnya Pengail Sinting, tentu pada akhirnya marah juga mendapat ucapan yang sangat menyakitkan itu.
"Keturunan manusia sesat, semakin aku mengalah engkau semakin kurang ajar saja. Sungguh pun senjata pedangmu berasal dari neraka sekali pun aku tak pernah merasa takut...!" Dalam kemarahannya itu si Pengail Aneh nampak langsung menyerang si Kaki Tunggal dengan senjatanya yang berupa kail. Begitu senjata itu terayun, maka terdengar bunyi gaung dari kenur-kenur yang terpasang dari padanya. Senjata itu nampak sedemikian ringannya berkelebat-kelebat mencecar sasaran-sasaran yang mematikan. Mengetahui betapa berbahayanya senjata di tangan Pengail Aneh. Maka dengan gesit si Kaki Tunggal mengelak secepatnya. Semakin lama gerakan gagang kail di tangan lawan nampak berputar mengurung dirinya dengan sangat cepat, maka tak ada cara lain lagi. Demi menghindari sambaran di tangan lawan, maka tubuhnya pun melompat-lompat dengan gerakan yang sangat sulit diikuti oleh mata. Sepintas lalu, kalau diperhatikan dengan cermat, nampaklah kedua orang itu seperti dua orang bocah yang sedang bermain tali. Begitupun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengadu dua kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Andai saja si Kaki Tunggal sampai lengah, atau sebaliknya pula dengan si Pengail Aneh. Sudah barang tentu nyawa taruhannya. Sebab walau bagaimana pun sebetulnya pada saat itu si Kaki Tunggal sedang berusaha untuk mencari kesempatan untuk dapat meloloskan pedangnya. Sama seperti apa yang ada dalam pikiran si Pengail Aneh. Jika sampai si Kaki Tunggal dapat meloloskan pedangnya sudah barang tentu dia akan berusaha membabat gagang kail yang sangat panjang itu. Praktis dirinya dapat terbebas dari kail yang mengurung dirinya. Keringat sudah nampak bercucuran dari tubuh kedua orang itu, sementara pertarungan itu semakin lama berlangsung semakin seru. Tak ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya. Karena keduanya nampak sedemikian tangguh.
Sampai pada suatu saat, si Kaki Tunggal yang masih belum dapat membebaskan dirinya dari kepungan kail yang nampak berputar-putar dari berbagai penjuru itu dengan sangat cepat segera mengaiibil tindakan. Disalurkannya sebagian tenaga dalamnya ke bagian tangan. Saat itu dia sudah bermaksud untuk memukul si Pengail Aneh dengan pukulan jarak jauhnya, agaknya diluar kesadaran si Pengail Aneh yang terus sibuk dengan senjata di tangannya.
"Wuuut!"
Satu pukulan Kunyuk Gila Menendang Gunung telah dilepaskan oleh si Kaki Tunggal. Sekejap satu serbuan gelombang dingin yang amat keji menderu laksana badai puting beliung. Kail di tangan si Pengail Aneh nampak terpental dilanda pukulan tersebut. Sungguhpun senjata itu tak sampai terlepas dari tangan si Pengail Aneh, namun akibatnya si Kaki Tunggal sudah punya kesempatan untuk keluar dari kurungan kail yang mengitarinya.
Begitu si Kaki Tunggal dapat terbebas dari kungkungan senjata lawannya maka dia pun langsung mencambut pedang panjang yang menggelantung di pinggangnya. Mengamuklah laki-laki berbadan hitam legani itu sejadi-jadinya. Gerakan silat maupun permainan pedangnya nampak sangat cepat, bahkan serangan demi serangan lama kelamaan nampak semakin menggila. Dengan senjata di tangannya itu, si Kaki Tunggal nampak berubah menjadi beringas. Lama kelamaan permainan kail si kakek botak itu nampak sudah tiada berarti banyak, bahkan dalam beberapa gebrakan berikutnya si Kaki Tunggal sudah nampak berada di atas angin. Sementara si Pengail Aneh sudah semakin terdesak hebat. Tetapi sebagai orang yang telah banyak makan asam garam dunia persilatan, keadaan seperti itu tidak membuat si Pengail Aneh menjadi gugup. Dia tahu senjata di tangan lawannya cukup berbahaya. Untuk sebagai tokoh tua yang tidak memiliki ilmu kebal. Sudah barang tentu dia tidak ingin kontak tangan secara langsung. Jalan satu-satunya adalah melepas pukulan jarak jauh atau juga mempergunakan kailnya untuk melindungi diri. Tak pelak lagi, dia pun segera memutar gagang kail bagai tak ubahnya sebuah baling-baling. Maka sebentar saja tubuh si Pengail Aneh sudah nampak terbungkus putaran kail di tangannya yang begitu cepat. Berulangkali, si Kaki Tunggal berusaha menghancurkan pertahanan lawannya. Namun selalu saja kail yang membentuk perisai itu yang mengkandaskan sergapan-sergapan pedangnya. Pada saat itu, si Pengail Aneh sambil terus memutar senjatanya membentuk perisai. Kini dia sudah lepaskan pukulan maut yang diberi nama Bulan Sembunyi Di Balik Awan. Bukan main hebatnya pukulan yang dilepaskan oleh si Pengail Aneh ini, karena begitu pukulan itu melesat, segera udara di sekitarnya menjadi panas luar biasa. Akibatnya sudah tentu sangat berpengaruh banyak bagi si Kaki Tunggal. Maka tak ayal lagi dia pun melepaskan pukulan, Kunyuk Gila Menendang Gunung dengan kekuatan yang berlipat ganda. Hawa pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal sebaliknya sangat dingin luar biasa. Tak kalah hebatnya pukulan itu pun menderu laksana badai yang menggila. Pukulan berhawa panas bertemu dengan pukulan yang berhawa dingin
"Bummm!"
Tubuh si Kaki Tunggal tersurut beberapa tindak, bahkan pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal membalik terdorong hawa panas yang berasal dari pukulan si Pengail Aneh. Bahkan hawa dingin dengan dorongan hawa panas itu terus meluncur mengarah ke tubuh si Kaki Tunggal. Andai saja laki-laki hitam legam itu tidak cepat-cepat kiblatkan pedangnya sudah barang tentu tubuhnya akan termakan pukulan sendiri ditambah lagi dengan pukulan lawannya.
"Breeees!
Kembali tubuh si Kaki Tunggal tergetar, namun tak berakibat apa-apa. Nyatalah sudah bahwa dalam hal adu tenaga sakti ternyata si Kaki Tunggal berada satu tingkat di bawah si Pengail Aneh. Menyadari akan kekurangannya, maka si Kaki Tunggal kini mengandalkan permainan pedangnya. Dalam perhitungannya kalau si Pengail Aneh tidak pernah diberi kesempatan untuk melepaskan pukulan-pukulan mautnya, sudah barang pasti kemenangan sudah tentu berada di pihaknya. Jalan satu-satunya adalah dengan menggempur si Pengail Aneh dalam jarak yang sangat dekat. Maka tak begitu lama kemudian, si Kaki Tunggal nampak berteriak keras-keras. Bersamaan dengan teriakannya itu maka tubuhnya berkelebat, pedang kematian di tangannya menderu sedemikian hebat. Hawa memuakkan segera menebar ke mana-mana. Sadar bahwa lawan tak memberi kesempatan untuk melepaskan pukulan Bulang Sembunyi Di Balik Awan. Maka si Pengail Aneh kembali memutar kailnya sebagai perisai diri. Akan tetapi semakin cepat si Pengail Aneh memutar kailnya. Maka serangan pedang si Kaki Tunggal datangnya semakin membadai. Tak heran karena si Kaki Tunggal kini telah mempergunakan jurus Pedang Langlang Buana yang tidak perlu diragukan lagi akan kemampuannya.
Hingga pada suatu kesempatan, si laki-laki berbadan hitam ini pun kembali sedikit demi sedikit mendesak lawannya. Lima jurus di depannya si Pengail Aneh benar-benar nampak sangat kepepet sekali. Sering pedang di tangan lawan hampir saja berhasil melukai tubuhnya. Sialan, sialan! Ke mana pula si Hina Kelana sampai saat sekarang belum juga muncul! Gerutu si Pengail Aneh sudah merasa kewalahan. Satu saat si Kaki Tunggal kirimkan satu tusukan satu babatan. Pedang di tangan lawan menderu cepat. Dalam keadaan sedekat itu, sudah barang tentu tak ada pilihan lain bagi si Pengail Aneh, kecuali mengadu gagang kailnya dengan pedang lawannya.
"Crak! Tes! Tes!"
Sambil melompat mundur, si Pengail Aneh berseru kaget, bagaimana tidak. Begitu dia melihat ke atas kailnya. Senjata yang telah dia pergunakan selama puluhan tahun itu kini terputus-putus menjadi puing-puing yang sangat pendek. Belum lagi hilang rasa kejut di hatinya. Sambil tertawa ngakak, si Kaki Tunggal kembali menyerangnya dengan tusukan-tusukan kilat. Tanpa senjata di tangannya terasa begitu sulitlah bagi si Pengail Aneh berkepala botak itu untuk mengimbangi atau pun menangkis kiblatan-kiblatan senjata lawannya. Hingga pada satu ketika, si Pengail Aneh benar-benar sangat kepepet. Jiwa si Pengail Aneh benar-benar dalam keadaan terancam saat itu. Sebab si Kaki Tunggal sudah kirimkan satu tusukan cepat mengarah ke bagian dada. si Pengail Aneh sejauh itu masih saja berupaya untuk mengelak dan berkelit, namun ke mana saja dia menghindar, pedang kematian di tangan si Kaki Tunggal bagai bermata saja layaknya mengejar ke mana saja si kakek botak itu pergi. Dalam keadaan yang sangat keritis itu mendadak menderu selarik sinar berwarna Ultra Violet memapasi serangan pedang yang dilancarkan oleh si Kaki Tunggal.
"Brees!"
Dengan senjata masih tergenggam di tangannya. Tubuh si Kaki Tunggal terguling-guling dilanda pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas oleh Buang Sengketa. Bersamaan dengan terguling-gulingnya tubuh si laki-laki hitam, maka sesosok bayangan nampak berkelebat begitu ringannya. Dan tahu-tahu telah berdiri di hadapan si Pengail Aneh. Kakek berkepala botak itu langsung marah-marah begitu melihat kehadirannya.

* * *



--₪¦ « 12 » ¦₪--

"Sial betul engkau ini, Kelana. Kunyuk itu hampir saja membunuhku. Engkau baru muncul!" dampratnya sambil menunjuk ke arah si Kaki Tunggal yang nampak sedang berusaha berdiri sambil mengurut-urut dadanya yang terasa bagai mau pecah.
"Ah, masa engkau bisa kalah oleh orang semacam dia itu! Bukankah seperti apa yang aku dengar, kakinya yang sebelah itu engkau yang membuntunginya? Mengapa dulu tidak engkau bunuh saja sekalian, lihatlah betapa kini dia telah menjadi bibit penyakit yang sangat menjijikkan...!" kata Buang Sengketa sengaja menyindir si Kaki Tunggal.
"Ah, dulu kukira dia sudah mampus di dasar jurang sana. siapa sangka kalau sampai hari ini dia masih dapat nafas...!" si Pengail Aneh menimpali. Lalu secara bersama-sama mereka tertawa tergelak-gelak. Mendidih darah si Kaki Tunggal, apalagi dilihatnya orang yang telah menyelamatkan si Pengail Aneh dari kematian adalah pemuda berpakaian kumuh yang dulu pernah dia ampuni jiwanya. Sesaat kemudian dia pun sudah membentak.
"Manusia gembel berperiuk. Berani sekali engkau mencampuri segala urusanku?" Yang dibentak malah tertawa rawan.
"Terhadap kunyuk berkaki buntung siapa takut? Jangan kira aku akan lari melihat pedangmu itu...!"
"Sompreet! Kalau dulu tidak kuampuni jiwamu yang tiada berharga itu, tidak nantinya engkau dapat bernafas hingga detik itu!" maki si Kaki Tunggal seolah menyesalkan.
"Ho... ho... ho...! Menyesal pun sekarang sudah tiada guna, sobat...!" tukas si pemuda sambil geleng-gelengkan kepalanya.
"Puih! Jangan kira" malam ini aku mengampunimu..." dengus si Kaki Tunggal.
"Sudah tiada guna, sobat. Karena malam ini engkaulah yang terbuntang ke liang kubur...!"
"Bangsat sombong. Sekalipun kalian maju berdua, tak akan nantinya kalian menang menghadapiku!" bentak si Kaki Tunggal, tangan kananya nampak mengamang-amangkan pedang panjang di tangannya. Sementara itu Pendekar Hina Kelana nampak berpaling pada si Pengail Aneh yang saat itu nampak berdiri termangu-mangu memandangi Buang Sengketa dan si Kaki Tunggal silih berganti.
"Orang tua, kuharap engkau mau menjadi saksi bisu dalam pertarungan ini. Ingat, apa pun yang bakal terjadi pada diriku, jangan coba-coba engkau memberi bantuan apa pun...!"
"Menghadapiku seorang diri, engkau benar-benar akan menyesal Bocah gembel!" tukas si Kaki Tunggal meremehkan.
"Jangan banyak mulut. Seranglah aku dengan pedangmu yang terkenal sangat hebat itu...!"
"Lima gebrakan di depan tubuhmu benar-benar akan kubelah dengan pedang ini, pemuda sombong...!"
"Lakukanlah kalau engkau mampu...!" ejek si pemuda.
"Ho... he... hi...! Aku pasti mampu... ya pasti mampu...!"
Sekali menyerang, si Kaki Tunggal langsung kirimkan tusukan tusukan ganas, Buang Sengketa yang sudah tahu bahwa pukulan-pukulan mautnya tak akan berarti banyak. Untuk menandingi permainan lawannya maka kini dia mengambil keputusan untuk mengimbangi jurus-jurus pedang lawannya dengan sebuah jurus yang sudah tak asing lagi, yaitu Membendung Gelombang Menimba Samudra.
Tangan diputar sedemikian rupa, sehingga merupakan sebuah kitiran yang berputar liat membentuk sebuah pertahanan yang kokoh. si Kaki Tunggal terus merangseknya dengan jurus-jurus pedang tingkat tinggi yang diberi nama Setan Gila Membelah Bumi. Sekejap saja pedang di tangan lawannya menderu-deru menyebarkan bau yang tak sedap.
"Bet! Bet!" '
Dua kali sambaran mata pedang nyaris membeset kulit punggungnya.
"Ih...!" keluh Buang Sengketa sambil menjatuhkan dirinya ke samping kiri. si Kaki Tunggal memburunya lalu menusukkan pedangnya lagi.
"Wut! Put!"
"Bret!"
Sungguhpun Pendekar Hina Kelana bergerak sedemikian cepat, namun tetap saja senjata di tangan lawan berhasil menggores dan merobek bagian samping. Si pemuda nampak menyeringai begitu merasakan sakit yang teramat sangat. Masih untung dia kebal terhadap segala macam racun. Kalau tidak goresan pedang lawan yang mengandung racun jahat sudah membuatnya tewas. Atau paling tidak pingsan seketika itu juga. Darah mulai merembes membasahi baju si pemuda, dari jarak yang tidak begitu jauh nampak si Pengail Aneh memperhatikan keadaan si pemuda dengan pandangan tak tega.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung, tetapi kini jurus-jurus silat yang dipergunakan oleh si pemuda nampak berubah total. Gerakan-gerakan tubuhnya nampak meliuk-liuk tak beraturan, sekali waktu kaki dan tangan menghantam ke arah depan secara serampangan. Di lain kesempatan bagai seekor monyet yang terserang penyakit gatal, dia menggaruk-garuk tak karuan. Sungguh pun gerakan-gerakan silatnya ngaco tak beraturan. Namun sejauh itu selalu saja sergapan-sergapan yang dilakukan oleh si Kaki Tunggal menemui sasaran yang kosong. Tak heran, karena saat itu Pendekar Hina Kelana telah mempergunakan jurus si Gila Mengamuk yang tak perlu diragu kan lagi kehebatannya. Bukan main kesal si Kaki Tunggal demi menghadapi situasi pertarungan seperti itu. Maka ketika lima puluh jurus telah berlalu, dan keadaan masih tetap tak berubah. Maka si Kaki Tunggal kemudian telah bersiap-siap dengan pukulan y,ang diberi nama, Kunyuk Gila Menendang Gunung.
"Weeer!"
Laksana kilat selarik sinar berwarna hitam keungu-unguan nampak melesat sedemikian cepat mengarah pada si pemuda. Buang Sengketa menyadari bahwa pukulan yang dilepaskan oleh lawannya adalah sebuah pukulan ganas yang hampir membuatnya tewas beberapa minggu yang lalu. Maka tak ayal lagi dia pun mengerahkan pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat tinggi.
Wuuut!
Satu gelombang sinar Ultra Violet meluruk sedemikian cepat ke arah datangnya tenaga pukulan yang dilepas oleh si Kaki Tunggal. Maka tak terelakkan lagi kedua tenaga sakti itu pun saling bertabrakan di udara.
"Blaaar!"
Suara berdentumnya dua kekuatan itu laksana merobek langit kelam. Bumi tempat mereka berpijak nampak bergetar hebat. Tubuh si pemuda nampak terlempar beberapa tombak, sementara lawannya hanya tergetar saja. Begitu tubuh Pendekar Hina Kelana tersungkur di atas tanah berbatu, darah terus menggelogok dari mulutnya. Cepat-cepat dia himpun tenaga dalamnya. Sebentar kemudian wajahnya yang nampak memucat itu secara perlahan berangsur-angsur berubah kemerahan kembali. Tetapi pada saat itu dengan pedang terangkat tinggi-tinggi si Kaki Tunggal sudah memburunya kembali. Sementara itu si Pengail Aneh yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, nampak semakin cemas, apalagi sempat mengetahui bahwa si pemuda sampai muntahkan darah segar. Ingin rasanya dia turun tangan membantu. Tetapi dia merasa kurang enak dengan apa yang telah dikatakan oleh pemuda itu sebelumnya. Sungguhpun besar sekali keinginannya untuk dapat terjun kembali dalam pertarungan itu, tetapi pada akhirnya dia tak mampu berbuat banyak. Dia tak ingin melihat Pendekar Hina Kelana menjadi marah karena ulahnya.
Sementara itu Buang Sengketa sedang berpikir-pikir untuk mempergunakan Cambuk Gelap Sayuto atau Pusaka Golok Guntung. Namun akhirnya dia memutuskan untuk mempergunakan dua-duanya. Maka begitu pusaka Golok Buntung tergenggam di tangan Pendekar Hina Kelana, si Kaki Tunggal nampak sangat terkejut sekali. Kedua bola matanya nampak tor belalak bagai mau meloncat ke luar. Apabila golok di tangan si pemuda memancarkan cahaya merah menyala. Dan apabila mulutnya mulai mendesis-desis bagai bunyi seekor ular piton yang sedang marah. Maka pada detik kemudian dia pun berseru lantang!
"Sobat! Senjata di tanganmu tterlatlu, hebat buatku, terpaksa aku mempergunakan golok dan cambuk yang tiada berarti ini bagimu...!" kata si pemuda merendah.
"Sombong, engkaukah Pendekar Hina Kelana keparat itu. Namamu sudah sangat tersohor di mana-mana. Tapi jangan kira aku takut. Sungguhpun engkau memiliki selusin golok buntung, tidak nantinya aku lari meninggalkanmu." tukasnya ketus sekali.
"Haiiit!"
Diawali dengan satu jeritan keras menggelegar, tubuh si pemuda bergerak cepat, si Kaki Tunggal tertawa mengekeh, kemudian babatkan pedangnya untuk menjajal kehebatan golok buntung di tangan lawannya. Dengan sengaja Buang Sengketa memapaki datangnya serangan pedang pihak lawannya.
"Crang! Trang!" Kejut kedua orang ini bukan alang kepalang. Kaki Tunggal terjengkang dua tombak sementara dadanya terasa bagai ditimpa batu gunung. Akan tetapi dia lebih terkejut lagi manakala dia menoleh ke arah pedangnya yang rompal di beberapa bagian. Secepatnya dia berusaha bangkit, begitu dia memandang pada Buang Sengketa yang sudah melecut cambuk gelap Sayuto di angkasa lepas.
"Ctarr! Ctarr! Ctarr!
Mendadak suasana malam yang dalam keadaan bulan purnama, seketika itu menjadi gelap gulita. Bunyi petir saling sambung menyambung. Dalam keadaan seperti itu tak satu pun yang dapat dilihat. Dalam genggaman pendekar Hina Kelana, pusaka Golok Buntungnya memancarkan sinar merah bara, sehingga tak ubahnya bagai lentera dalam kegelapan. Hanya si Kaki Tunggal saja yang melotot memperhatikan ke anehan itu. Tubuh Pendekar Hina Kelana tiba-tiba berkelebat. Cambuk di tangan terus melecut-lecut. Sementara laksana meteor golok di tangan si pemuda berkelebat, mengarah pada bagian tubuh lawannya.
"Trang! Crees!" Pedang di tangan si Kaki Tunggal terpelanting entah ke mana terbabat golok di tangan Buang Sengketa. Tidak cukup sampai di situ saja, pusaka Golok Buntung itu pun langsung menghunjam di pangkal tenggorokan si Kaki Tunggal. Tiada lolongan maut, hanya darah segar saja yang menyembur-nyembur dari luka luka yang menganga dan beberapa saat kemudian, tubuh Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal itu pun terhuyung-huyung kemudian terjungkel di atas tanah berbatu dengan jiwa melayang. Tamatlah riwayat Ksatria Terkutuk Berkaki Tunggal ini, bersamaan dengan itu kabut dan suara petir itu pun secara berangsur-angsur mulai hilang dan tak terdengar lagi. Bulan purnama nampak sudah berada di atas ubun-ubun. Berulang kali si Pengail Aneh berseru dan memuji kehebatan pendekar itu. Tetapi akhirnya dia harus menggerutu, karena begitu dia menoleh pendekar yang diajaknya bicara itu sudah tidak ada di tempat. Tinggallah si Pengail Aneh yang meracau seorang diri sambil berlalu dari tempat itu.

TAMAT



INDEX BUANG SENGKETA
Kembalinya Si Tangan Setan --oo0oo-- Neraka Gunung Dieng

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers