Kembalinya Si Tangan Setan
tanztj
September 21, 2015
INDEX BUANG SENGKETA | |
Majikan Gagak Hitam --oo0oo-- Satria Terkutuk Berkaki Tunggal |
PENDEKAR HINA KELANA
Karya : D. Affandy
Cetakan Pertama Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
--₪¦ « 1 » ¦₪--
Kini laki-laki bertubuh kekar yang berasal dari Bukit Kembar itu mulai merintih-rintih di dalam pangkuan Winda Murti, kekasihnya. Beberapa saat lamanya, si gadis nampak mengurut-urut dada si pemuda. Dia nampak menggeliat dan merintih-rintih. Sekejap matanya yang sayu itu nampak memandang pada si gadis. Tapi tiada sepatah katapun yang terucap! Tatapan matanya layu, seluruh permukaan tubuhnya selain bertambah membiru juga mulai nampak membengkak. Perih hati si gadis demi melihat keadaan yang sangat niengenaskan ini. Serta merta dia menitikkan air mata, lalu dalam kesedihannya itu dia berucap:
"Kakang, bertahanlah! Lembah Tapis Angin tidak begitu jauh lagi dari tempat ini...!" katanya tersendat. Pemuda yang bernama Kunta itu nampak diam tiada bergeming. Hal ini semakin menambah kecemasan si gadis.
"Kakang! Engkau dengarkah apa yang kukatakan ini...!" ulang gadis itu. * "Ak... aku dengar... tapi mungkihkah aku dapat bertahan sampai ke sana,. Aku sudah tiada daya lagi untuk mengendalikan kuda...!" jawab pemuda itu dengan suara tertahan.
"Bersemangatlah untuk tetap hidup kakang...? Tabib Setan Gila pasti mau dan dapat menyembuhkanmu,..!" Mendengar kata-kata si gadis, Kunta nampak gelengkan kepalanya berulangulang.
"Aku tak pernah yakin, Tabib gila dari Lembah Tapis Angin itu mau mengobati tubuhku yang terkena pukulan keji, manusia terkutuk itu...!" ujar si pemuda nampak putus asa sekali.
"Tidak cintakah engkau padaku? Mengapa engkau tidak pernah berkeinginan untuk hidup lebih lama...?" tukas si gadis memprotes. Kunta nampak tersenyum, meskipun hanya untuk berbuat seperti itupun dia harus bersusah payah. Tiada sinar kehidupan lagi yang terpancar dari matanya yang kuyu itu. Lalu dengan hati gundah dia kembali berucap:
"Hidup dan mati itu sudah ada ketentuannya, untuk apa harus bersusah payah memaksakan diri. Kalau pada akhirnya sang maut itu sendiri tak mungkin kita hindari...!"
"Itu benar, tetapi kita harus berikhtiar...!" kata si gadis membantah.
Mendengar kata-kata si gadis, akhirnya dia berkata:
"Winda! Aku sudah tidak punya tenaga lagi, bagaimana mungkin aku bisa memegang kendali kuda. Sedangkan untuk membawa diriku sendiri saja aku sudah hampir tak sanggup...." Kunta mengeluh setengah merintih. Winda Murti nampak tercengang untuk beberapa saat lamanya, tetapi kemudian dia sudah mendapat akal. Cepat-cepat dia berkata!
"Kakang. Kudamu merupakan kuda yang tangguh dan kokoh, dia pasti sanggup menanggung beban dua orang sekaligus." Kunta yang sudah nampak kepayahan itu hanya menganggukanggukkan kepalanya. Begitu mengetahui Kunta menyetujui usulnya, cepat-cepat dia menaikkan tubuh sang kekasih di kuda yang berbulu coklat tua itu. Kunta nampak mengerang keras begitu merasakan sakit yang sangat luar biasa. Tak lama setelah itu, Winda Murti pun akhirnya segera memacu kudanya dengan sangat cepat sekali.
Sementara itu, pada saat yang sama di tempat kediaman Tabib Setan Gila: Nampak kesibukan yang sangat luar biasa sekali. Di ruangan depan nampak bergeletakan mereka-mereka yang sangat membutuhkan pertolongan. Orangorang ini nampak merintih-rintih, wajah mereka hampir keseluruhannya nampak biru. Pada saat itu di ruangan dalam, Tabib Setan Gila kelihatan sedang mengobati tiga orang laki-laki lainnya. Pada saat-saat seperti itulah tiba-tiba terdengar bentakan mengancam, melalui ilmu menyusupkan suara.
"Tabib gila. Hari ini engkau kembali ingin menolong musuh-musuhku? Ingatlah andai engkau tetap bersikeras menyelamatkan mereka. Aku tak bisa menjamin lagi keselamatanmu...." ancam suara itu. Mendapat ancaman yang sama dari orang yang memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat sempurna pula. Sudah barang tentu laki-laki berwajah keriput dengan sebuah tongkat tengkorak yang tak pernah lepas-lepas dari sisinya. Kini nampak semakin ketakutan. Sebab siapapun suara ini, tak lain dan tak bukan dia pula yang merupakan biang kerok penyebar pukulan beracun itu.
"Mereka ini membutuhkan pertolongan, siapapun adanya mereka itu, sebagai seorang Tabib aku berkewajiban menolongnya!" menyahuti Tabib Setan Gila setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Engkau hendak membangkang perintah. Sungguh berani engkau pada si Tangan Setan? Agaknya engkau benarbenar ingin merasakan betapa hebatnya pukulan beracunku...!" kata orang pengirim suara itu nampak marah sekali.
"Ah? Engkau telah salah duga. Aku tak bermaksud membantahmu... percayalah...!".....
"Kalau begitu, engkau hentikanlah segala usahamu dalam menyembuhkan mereka. Atau beri racun kematian pada setiap mereka yang coba-coba berobat kepadamu. Hanya dengan jalan itu, mudah-mudahan aku mengampunimu...!" kata suara itu sambil mengekeh. Pucatlah wajah Tabib Setan Gila, begitu mendengar keputusan orang yang mengaku sebagai si Tangan Setan.
"Ta... tapi... mereka membutuhkan pertolongan...!"
"Engkau sayangkah nyawamu atau lebih sayang pada nyawa mereka?"
"Mengenai hidupku sendiri, itu tak begitu aku takutkan. Tapi kalau hal itu memang sudah menjadi kehendakmu, di masa yang akan datang aku tak berani bertanggung jawab atas segala apa yang kau perintahkan ini...!" jawab Tabib Seta Gila. Pengirim suara itu tergelak-gelak!
"Mengapa harus takut. Aku yang bertanggung jawab atas semua perintah. Dan sekarang ikuti kemauanku...!"
"Apa maksudmu?" tanya Tabib Setan Gila tak mengerti.
"Di belakang pondokmu, ada kuletakkan sebungkus racun yang sangat mematikan kau pergunakanlah untuk mengobati orang-orang yang sudah sekarat itu!"
Tabib tua ini nampak sangat terkejut sekali begitu mendengar perintah.yang diberikan oleh si pengirim suara. Rasa ke-manusiaannya memberontak, tetapi dia tidak berani melakukannya. Tiba-tiba dia mendapat akal.
"Baiklah, aku akan melakukan perintahmu. Tetapi aku tak dapat melakukannya pada siang begini." ucap Tabib Setan Gila.
"Jadi kapan engkau melakukannya...?" tanya si pengirim suara.
"Nanti malam...!" jawab si Tabib tua me-nyanggupi.
"Baik. Engkau telah menyanggupi perintahku. Besok aku ingin melihat hasilnya." Tabib Setan Gila merasa lega hatinya, apa-pun yang bakal terjadi dia sudah berniat untuk melarikan diri dari rumahnya. Sedangkan untuk merawat lebih dari lima orang yang sedang berobat kepadanya. Mau tak mau di siang itu dia harus bekerja keras. Meskipun dia sadar orang-orang yang telah terkena pukulan beracun itu mungkin dapat disembuhkan seperti sediakala, tetapi setidak-tidaknya untuk beberapa bulan mereka masih dapat bertahan hidup. Pukulan beracun merupakan pukulan maut milik si Tangan Setan yang hampir setahun belakangan sangat menggemparkan kalangan persilatan, telah membuat kalangan persilatan menjadi sangat penasaran sekali. Korban hampir setiap hari berjatuhan. Selama setahun mungkin sudah dari dua ratus orang yang tewas secara menyedihkan. Tubuhnya dalam keadaan membiru dan tak pernah terobati. Satusatunya Tabib yang benar-benar tahu siapa sesungguhnya si Tangan Setan adalah Tabib Setan Gila dari Lembah Tapis Angin itu. Tetapi belakangan dia selalu mendapat ancaman dari si tangan Setan. Bahkan barusan dia mulai mendapat tekanan yang lebih berat lagi. Menaburkan bubuk beracun dari setiap ramuan yang telah dibuatnya, ini sungguh sangat bertentangan dengan hatinya yang jujur dan penuh cinta kasih sesama. Kalau si Tangan Setan sudah mengancamnya dengan cara seperti itu, tak banyak yang dapat dilakukannya kecuali melarikan diri.
Demikianlah menunggu malam tiba, tanpa sepengetahuan orang-orang yang sedang terbaring di ruang pendopo. Di dalam kamarnya Tabib Setan Gila nampak sibuk menyiapkan segala untuk keperluan perjalanan nanti.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, akhirnya malam yang ditunggutunggu pun tiba. Di langit sana, bulan sabit hanya kelihatan bayang-bayang saja. Cuaca memang nampak mendung di malam itu. Di dalam kamarnya Tabib Setan Gila nampak gelisah sekali. Sementara di ruangan pendopo orangorang yang menanti saat-saat pengobatan terus mengerang dan merintih tanpa henti-hentinya. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang masih mampu menunggu dalam keadaan duduk. Sedangkan belasan orang lainnya, tanpa tertahankan nampak rebah dalam posisi centang perenang.
Demikianlah, ketika malam semakin larut. Ketika rasa sakit akibat racun Raja Kobra sudah tiada tertahankan lagi. Maka di saat itulah Tabib Setan Gila nampak menyelinap melalui pintu belakang. Setelah menutupkan pintu kembali, lalu dalam waktu sekejap saja dia sudah nampak berlari-lari menjauhi pondok. Sebentar saja, tubuh laki-laki tua itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Dalam pada itu, orang-orang yang berada di ruangan pendopo. Nampaknya sudah tidak sabar lagi menunggu saat-saat pengobatan dimulai, bahkan beberapa orang di antara mereka mulai memanggil-manggil nama Tabib Setan Gila.
"Uwa Tabib... cepatlah obati kami! Kami sudah tak tahan, sakit sekali, Uwa Tabib... Suakiit...!" rintih salah seorang di antara mereka.
"Tabib... matilah aku, Tabib... lebih baik engkau cabut saja nyawaku, engkau keterlaluan sekali. Sudah dua hari kami menunggu, mengapa engkau harus menunggu sampai larut malam...!" menyela yang lainnya.
"Ini sudah tengah malam, Panjul! Goblok banget sih elu...!"
"Ah, kalau sudah sakit begini, ngomong ngacopun tidak apa-apa...!"
Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh! Sesaat itu terdengar pula suara bentakan yang menggeledak.
"Hei... orang-orang sekarat! Lebih baik kalian mati saja, kiranya Tabib gila itu tak mau menurut perintah. Dia sudah kabur dari sarangnya.... Tunggu apa kalian di situ?" Menciutlah semua orang yang hadir di situ begitu mendengar suara bentakan yang terdengar begitu mengancam. Lalu secara bersamaan mereka menoleh ke arah datangnya suara. Namun tak seorangpun terlihat di situ, hanya kegelapan malam dan kabut tebal belaka adanya. Akhirnya mereka saling pandang sesamanya. Hati mereka diliputi rasa was-was. Beberapa saat kemudian kembali terdengar suara tadi.
"Sayang sekali, kawanku dalam turun tangan hanya setengah-setengah. Hal ini hanya memperpanjang penderitaan kalian saja. Untuk itu aku akan membebaskan kalian dari penderitaan yang menyakitkan ini...!" Meskipun mereka dalam keadaan terluka dalam cukup menghawatirkan, namun mendapat ancaman seperti itu, mereka yang terdiri dari berbagai golongan dan berasal dari berbagai daerah pula, secara serentak bangkit. Walaupun tak jarang di antaranya terjatuh kembali.
"Manusia setan dari manakah engkau ini, ada suara tak ada rupa. Kalau engkau benar-benar seorang ksatria, tunjukkanlah tampangmu. Biar kami tak segan-segan mencincangmu...!" teriak orang-orang itu nampak sangat marah sekali.
"Ha... ha... ha...! Nyawa sudah di atas tenggorokan, masih juga kalian berani jual lagak!"
* * *
--₪¦ « 2 » ¦₪--
"Celaka! Tabib Setan Gila benarbenar tidak ada di dalam kamarnya...!" ucapnya dengan wajah semakin memucat.
"Sudah kubilang, sebaiknya kalian memang mati saja...!" menyahuti si suara tadi. Maka semakin bertambah gusarlah para pesakitan itu dibuatnya.
"Manusia setan! Siapakah engkau ini, datang-datang mau ingin bunuh saja. Apa kesalahan kami...?" teriak salah seorang di antara mereka yang bertelanjang dada ma-rah sekali. Si suara tertawa rawan.
"Kalau aku inginkan nyawa seseorang, mengapa harus pakai perhitungan salah benar. Kalau aku mau aku punya kekuatan untuk mencabuti nyawa siapa saja, kalian bisa apa...?"
"Jahanam betul! Kau kira kami ini sebangsanya pohon singkong, pakai cabut seenaknya saja...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, serentak yang lain-lainnya segera mencabut senjata masing-masing.
"Hahaha... hahaha...! Mampu berbuat apakah kalian dengan senjatasenjata yang tiada guna itu? Lebih baik kalian gorok leher kalian sendiri demi mengakhiri penderitaan kalian." kata si suara mencemooh.
"Ya... kami memang akan membunuh diri, tetapi itu baru kami lakukan setelah menggorok lehermu terlebih dulu...!" Belum lagi laki-laki bertelanjang baju itu usai dengan kata-katanya, tiba-tiba satu rangkaian gelombang pukulan yang mengandung hawa maut menjijikkan nampak melesat dari sebuah kerimbunan pohon. Pukulan yang mengandung racun ganas itu terus melesat sedemikian cepatnya ke arah orang-orang yang berada di ruangan pendopo. Tanpa ampun lagi pukulanpukulan berhawa maut itupun langsung melabrak orang-orang di situ.
Brak Blaam!
Pekik kematian menggema di malam yang sepi itu, tubuh mereka berpelantingan ke segala arah, lantai pendopo bobol berkeping-keping. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang dapat menyelamatkan diri, sedangkan mereka yang terkena gelombang pukulan yang mematikan itu nampak tewas seketika itu juga. Tak terbayangkan betapa murkanya sisa-sisa orang-orang pesakitan itu begitu mengetahui kawan-kawannya yang lain tewas secara menyedihkan. Lalu ketika mereka memeriksa keadaan mayat-mayat di sekitarnya, berubahlah paras mereka ini. Kalau tadinya sisa-sisa pesakitan itu sudah bermaksud menyerang si pembunuh keji yang kini masih tetap ngumpet di kegelapan malam. Maka kini mereka mulai berfikir-fikir bagaimana caranya untuk dapat menyelamatkan diri.
"Kawan-kawan. Kiranya bangsat pembunuh itu tak lain si Tangan Setan adanya. Kita tak mungkin dapat mengalahkannya dalam keadaan begini. Sedangkan dalam keadaan sehat saja kita tak mungkin mengalahkannya...!" kata salah seorang di antara mereka saling berbisik.
"Ha... ha... ha... tikus-tikus malang. Terlanjur kalian mengetahui siapa adanya aku ini. Untuk itu, aku telah memilihkan jalan yang paling baik buat kalian berempat. Mampuslah kalian...!" Bersamaan dengan ucapannya itu, maka manusia yang berjuluk si Tangan Setan itu kembali kirimkan pukulan beruntun. Laksana kilat, pukulan yang dilancarkan oleh si Tangan Setan menderu sedemikian cepatnya. Di lain pihak meskipun sisa-sisa orang pesakitan ini berusaha segenap kemampuan untuk menghin-dari datangnya pukulan maut tersebut, tetapi pukulan yang dilepas oleh si Tangan Setan bukanlah sambarangan pukulan beracun. Pukulan beracun raja Kobra yang diyakininya selama ini, jangankan sisa-saia pesakitan itu yang hanya memiliki tingkat kepandaian di bawah korban-korban terdahulunya. Sedangkan lebih dari sepuluh orang tokob sakti yang pernah terlibat pertarungan dengan dirinya saja tak satupun yang selamat dari jangkauan tangan mautnya.
Kini pukulan beracun yang dilancarkan oleh si Tangan Setan terus melesat ke segala arah. Tanpa ampun lagi.
"Bummm!"
"Arrgghhk!" Empat orang sisa-sisa pesakitan itu terlolong-lolong. Tubuh mereka berpelantingan ke berbagai arah. Tubuh seketika itu juga membiru, sementara kedua tangan mereka menekan pada bagian leher. Hanya beberapa saat saja tubuh orang-orang itu nampak berkelojotan setelah itu terdiam untuk selama-lamanya. Dari kegelapan malam si Tangan Setan memandang sesaat pada mayat-mayat yang berserakan itu. Sepasang bibirnya menyunggingkan senyum menggidikkan, tetapi beberapa saat kemudian bagai disapu angin kencang, tubuhnya melesat sedemikian cepatnya. Seiring dengan derai tawanya, yang kian menjauh. Seperti tak pernah terjadi suatu apapun pondok Tapis Angin kembali sunyi sepi.
* * *
Sambil terus mengayunkan langkah, pemuda ini nampak berkata-kata seorang diri. Tiada kegembiraan yang terpancar dari sepasang matanya yang setajam mata elang itu, tiada pula terlihat keceriaan di wajahnya yang sangat tampan. Wajahnya yang selalu membuat gadis jatuh cinta pagi ini nampak murung sekali. Hatinya begitu sedih, seingatnya sudah beberapa tahun dia meninggalkan gurunya Si Bangkotan Koreng Seribu. Sesungguhnya dia sudah begitu rindu pada kakek tua yang berusia hampir dua abad itu. Terkadang timbul keraguan dalam hatinya, mungkinkah manusia aneh itu masih hidup hingga saat ini, siapa pula yang merawatnya andai dia sakit. Sedangkan sejauh itu dia tak mungkin kembali ke Tanjung Api untuk menjenguk orang yang sejak bayi merah telah merawatnya, bahkan telah menjadikannya seorang pendekar tiada tanding pembela kebenaran. Si Bangkotan Koreng Seribu pasti tak menghendaki kehadirannya, selama usahanya untuk mencari ayah kandungnya, yaitu si Raja Piton Utara yang kini sedang melakukan tapa di tengah-tengah samudra luas. Teringat akan ayah kandungnya, maka yang ada dalam fikirannya adalah gambaran tentang sosok ular raksasa yang mengerikan. Ganas dan buas! Lalu pemuda penyandang periuk besar tak lain Pendekar Hina Kelana nampak bergumam seorang diri.
"Oh, nasib! Dilahirkan membawa mati emak. Diramalkan bakal menimbulkan malalapetaka. Dibuang dan dipersoalkan. Hingga namaku Buang Sengketa. Hidup sengsara siapa sangka. Ayah seorang raja dari segala raja ular, tetapi yang mana satu di antara mereka. Begitu sulit untuk menemukan ayah, pula mengapa harus menghukum diri sedemikian rupa...!" Mendadak si pemuda hentikan kata-katanya ketika dia mendengar suara-suara bentakan jauh di belakangnya. Begitu dia menoleh ke belakang dia melibat satu titik putih. nampak ber-gerak begitu cepatnya, sementara beberapa titik ini nampak mengejar di belakangnya.
Pendekar Hina Kelana kerutkan wajah, dia tak tahu apa yang sedang terjadi dengan mereka. Kejar-kejaran pun terus berlangsung, semakin lama semakin mendekat ke arah tempat di mana Buang Sengketa berada. Cepatcepat pemuda dari Negeri Bunian itu menyelinap di balik sebatang pohon yang rimbun. Setelah orang-orang itu mendekat, tahulah pendekar ini bahwa titik putih yang dikejar-kejar oleh titik biru tak lain adalah seorang wanita yang sudah terluka parah. Dari wajah empat orang laki-laki yang berpakaian biru-biru terlihat dengan jelas bahwa orang-orang itu bernafsu sekali untuk membunuh gadis berpakaian putih.
Dalam waktu sekejap saja gadis yang sudah nampak terluka itu tersusul oleh pengejarnya. Gadis itu berbalik langkah, serentak para pengejarnya mengurung pula. Karena jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Buang Sengketa tidak begitu jauh. Maka dengan jelas dia dapat mendengar segala apa yang mereka katakan.
"Perempuan sinting! Setelah membawa lari muridku, kini hendak lari ke manakah engkau...!" bentak lakilaki setengah baya yang bernama Wimba nampak marah sekali. Gadis yang tak lain Winda Murti itu nampak tersenyum sedih begitu mendengar tuduhan guru kekasihnya yang telah tewas dalam perjalanan menuju Lembah Tapis Angin. Tetapi kini maksud baiknya malah diartikan lain oleh laki-laki dari Trengganu ini. Diam-diam gadis ini mengeluh, dia menganggap Wimba yang sudah cukup umur itu tak pernah berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu persoalan. Kalaupun gurunya Nilasari dulunya merupakan musuh bebuyutan Wimba, tetapi bukankah gurunya yang pernah berhutang darah pada laki-laki dari Terengganu itu, kini telah menebus segala dosadosanya? Apakah setiap murid seorang sesat, lalu muridnya harus mendapat julukan pewaris kesesatan pula? Hal ini tidak adil, sebab seingat gadis itu, selama ini dia tak pernah mengikuti jejak dan cara hidup gurunya bahkan Nilasari yang menjadi gurunya sebelum tewas di tangan Wimba sering memberi petunjuk padanya agar dia jangan sampai mengikuti jejaknya. Padahal Wimba sendiripun tahu kalau antara Kunta dan dirinya sudah lama saling mencinta.
"Paman guru. Tak pernah aku berniat melarikan kakang Kunta, kami sudah sama-sama sepakat untuk menuju Lembah Tapis Angin untuk menemui Setan Gila. Tetapi, luka dalam akibat pukulan beracun si Tangan Setan nampaknya sangat parah sekali, sehingga seperti paman ketahui, kakang Kunta tewas dalam perjalanan...!" ujar Winda Murti nampak sangat berduka sekali.
"Dia hohong guru, kami bertiga merasa sangat yakin. Ketika guru pergi, bocah ini-ah yang telah menyelinap ke dalam kamar Adi Kunta, kemudian memukulnya dengan pukulan yang keji...!" ucap salah seorang murid Wimba. Dituduh seperti itu Winda Murti nampak sangat marah sekali!
"Kakang Anom Kendor, engkau jangan coba-coba memfitnahku. Bagaimana mungkin aku tega melakukan pukulan keji itu sedangkan sama-sama saling mencinta...?" bantah Winda Murti setengah menjerit. Mendengar ucapan si gadis. Wimba nampak tergelak-gelak.
"Engkau masih mau mengelak juga murid manusia sesat. Padahal muridku yang lainnya sempat mengetahui bahwa engkau di dalam kamar Kunta, saat dia menjerit-jerit karena pukulan beracun itu. Apakah engkau juga masih mau mengelak bahwa sesungguhnya engkaulah si Tangan Setan itu...!" bentak lakilaki setengah baya itu penuh kebencian.
"Paman. Sungguh aku tak pernah melakukannya!"
"Kalau bukan engkau siapa lagi..,?" tanya Wimba tak sabar.
"Aku tak tahu, tetapi aku sempat melihat berkelebatnya seseorang dari balik sebuah pintu...!" Laki-laki dari Trengganu itu kerutkan kening, dipandanginya wajah si gadis lekatlekat. Kembali dia menyela.
"Mustahil engkau tidak dapat mengenalinya, jangan coba-coba mempersulit keadaanmu sendiri...!"
"Aku tak dapat melihat wajahnya. Orang itu menutupi seluruh mukanya dengan selubung kain hitam...!" kata gadis itu, kini mulai menangis sedih. Untuk beberapa saat lamanya keempat orang itu saling pandang sesamanya. Lalu Anom Kendor sebagai murid tertua nampak melangkah beberapa tindak, beberapa kali dia membungkuk hormat pada laki-laki setengah umur itu.
"Guru dia hanya berbohong. Murid seorang sesat mana ada yang jujur, sudah terang-terangan dia yang membunuh adik Kunta. Tetapi dia masih juga mengelak...!"
"Hmm. Kalau kalian tidak percaya pada apa yang kukatakan ini, supaya kalian puas berbuatlah apa saja yang kalian ingini, tetapi ingat meskipun ilmu kepandaian kalian sebanyak buih di lautan. Jangan kalian kira aku akan berpangku tangan begitu saja. Aku tak akan tinggal diam, majulah kalian beramai-ramai...!" tukas Winda Murti marah sekali.
"Bocah sinting. Gurumu sendiri menghadapi aku seorang saja tak pernah unggul, jangankan kini engkau hanya muridnya...!" kata Wimba mencemooh.
"Guru. Membasmi bibit penyakit tak usah kepalang tanggung, kita cincang saja murid manusia sesat ini...!" Menyela Anom Kendor sudah tidak sabaran lagi.
"He., he., ho., ho...! Betui, tunggu apa lagi. Masakan aku yang sudah bangkotan ini yang harus mengeprak bocah itu...?" Bukan main gembiranya murid-murid Wimba begitu mendapat perintah dari gurunya, secara langsung. Orang-orang inipun segera mencabut senjata mereka masing-masing. Walaupun Winda Murti tubuhnya sudah banyak yang terluka, tetapi dia tidak tinggal diam begitu saja. Kini dengan sebuah kipas di tangannya, gadis ini mulai membuka jurus-jurus simpanannya. Dalam waktu sekejap ketiga orang murid dari Wimba telah menyerang si gadis dengan senjata terhunus. Meskipun Winda Murti hanyalah seorang gadis dan ilmu kepandaian silatnya dua tingkat di bawah murid-murid dari Trengganu, tetapi dia nampak begitu gigih dalam melakukan perlawanan. Hingga pertarungan tak seimbang itupun akhirnya berlangsung cukup seru.
Sementara itu, Pendekar Hina Kelana yang sejak tadi mendengar pertengkaran mulut antara si gadis dan Wimba, nampaknya dia sudah mengerti duduk persoalannya.
* * *
--₪¦ « 3 » ¦₪--
"Traang! Praak!"
Winda Murti dalam keterkejutannya lompat mengempos tubuhnyaj hingga melesat ke udara. Sementara kipas di .tangannya nampak hancur berkepingkeping. Paras si gadis yang sudah dipenuhi dengan luka itu nampak semakin memucat. Dan baru saja dia menginjakkan kakinya di atas permukaan tanah, keenrpat murid-murid Winda itu sudah mencecar kembali dengan serangan-serangan yang lebih gencar.
Bagai harimau betina sedang terluka, gadis murid seorang wanita sesat namun dalam sejarah hidupnya belum pernah melakukah kejahatan ini nampak mengamuk tanpa mengenal takut sama sekali. Di lain pihak, Wimba yang sejak tadi nampak memperhatikan jalannya pertarungan agaknya sudah tak sabar lagi melihat pekerjaan muridmuridnya yang dalam penilaiannya sangat lamban sekali. Maka sambil melompat ke tengah-tengah pertarungan, diapun berseru lantang.
"Mundur semua, anak-anak tak becus apa-apa. Dasar murid-murid guoblok. Mencincang tikus sesat yang sudah terluka saja kalian tak bisa apa-apa...!" bentaknya dengan marah sekali.
"Murid-muridmu memang tolol, manusia sempit pandangan. Sekarang engkau yang sudah bangkotan dan sangat picik dalam menilai seseorang majulah. Aku tak pernah takut menghadapi kematian...!" menyela gadis itu dengan sesungging senyum yang sangat di paksakan.
"Bagus! Memang engkau pantasnya cepat-cepat menyusul gurumu ke liang kubur saat ini juga...!"
"Tua dungu. Jangan banyak bicara, cepat-cepatlah laksanakan keinginanmu...!"
"Ha... ha... ha...! Dengan pukulan Prahara Samudra, aku jadi ingin menyaksikan betapa tubuhmu yang bagus itu akan hancur berkepingkeping...!" kata Wimba. Lalu bersamaan dengan ucapannya itu. Laki-laki setengah baya itu rangakapkan kedua tangannya di depan dada. Wimba cepatcepat mengerahkan sebagian tenaga saktinya,ke bagian tangannya. Beberapa saat lamanya tubuh laki-laki itu nampak bergetar hebat. Kemudian dari kedua tangannya yang melekat erat itu, mengepul pula kabut tipis berwarna putih. Sadarlah Winda Murti kalau Wimba benar-benar menghendaki nyawanya. Gadis itu sadar bahwa dia tak mungkin menghindar dari tangan maut, meskipun begitu sedapatnya dia berusaha menghindari pukulan yang akan dilancarkan oleh laki-laki dari Trengganu. Atau kalau sudah tidak mungkin lagi dia akan mengadu jiwa dengan guru dari almarhum Kunta. Beberapa saat kemudian Wimba sudah nampak bersiap-siap melancarkan pukulan mautnya. Lalu dengan diawali dengan satu bentakan yang menggelegar, tubuhnya nampak berkelebat sedemikian cepatnya.
Haitt!
Satu sapuan gelombang pukulan yang teramat dingin menderu mengarah pada Winda Murti. Gadis itu nampak terperangah, sedikitpun dia tiada menyangka kalau pukulan yang dilancarkan oleh Wimba, sampai sedahsyat itu. Memapaki datangnya pukulan baginya sangat tidak mungkin lagi. Dia menyadari kalau dia tak mungkin dapat unggul dalam adu tenaga dalam. Jalan satu-satunya sangat memungkinkan adalah mengelak atau menghindar. Maka!
"Wuaaa!
Tubuh si gadis melentik dan membubung empat meter di atas tanah, namun seperti bermata saja pukulan yang dilepas oleh Wimba nampak mengejarnya ke manapun dia berusaha menghindar. Si gadis terluka itu nampak kalang kabut menghindari sergapan Prahara Samudra yang berhawa sangat dingin itu. Tertawalah muridmurid Wimba demi menyaksikan dengan yang sangat mendebarkan itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya, Pendekar Hina Kelana sudah nampak tak tega lagi melihat keadaan si gadis. Lalu tanpa banyak fikir lagi, pemuda itupun secara lebih cepat lagi segera gerakkan tangan kananya. Selarik sinar Ultra Violet nampak bergulung-gulung dan timbulkan angin ribut. Dengan cepat bagaikan kilat. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang dilepas oleh si pemuda menderu mamapasi, gelombang pukulan Prahara Samudra yang berhawa sangat dingin itu. Lalu beradunya dua kekuatan sakti itupun sudah tak dapat di hindari lagi.
"Blamm!"
Pukulan Empat Anasir Kehidupan terus menderu dan nampak menggulung sinar putih Prahara Samudra milik Wimba. Dua pukulan ini terus membalik dan menyerang laki-laki dari Trengganu itu dengan sangat hebat sekali. Menyadari bahaya yang sedang mengancam jiwanya, Wimba nampak mengelak tunggang langgang.
Braak!
Empat Anasir Kehidupan dan Prahara Samudra menghantam pohon besar yang terdapat di belakang laki-laki dari Terengganu. Wimba nampak mencaci maki habis-habisan, wajahnya nampak pucat pasi. Begitupun dengan empat orang muridnya yang nampak berdiri tidak begitu jauh darinya. Mereka benar-benar merasa sangat heran bagaimana mungkin pukulan yang dilepas oleh gurunya yang terkenal sangat ampuh dan belum ada tandingannya di bagian Tenggara, bisa berbalik seperti itu. Diam-diam mereka sangat penasaran sekali. Dalam pada itu, Wimba yang merasa ada orang lain turut campur dalam perpoalan pribadinya, nampak tidak senang. Secara perlahan dia menoleh. Dia merasa sangat terkejut begitu tiba-tiba di hadapannya telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, namun berpakaian kumal. Begitupun halnya yang terjadi dengan Winda Murti.
"Bocah gembel berperiuk! Siapakah engkau ini, lancang sekali perbuatanmu telah begitu berani mencampuri urusan orang lain...!" hardik Wimba dengan pandangan melotot. Dibentak seperti itu, putra raja ular inipun tersenyum rawan.
"Bukannya aku suka usil dengan urusan orang lain. Tetapi pantang bagiku melihat ketidakadilan di depan hidungku...!" menyela pendekar ini dengan sikap kurang senang.
"Gembel sombong. Dengan kepandaian yang hanya setahi kuku itu, kau kira bisa jual lagak di depanku...!"
Kesal sakali Buang Sengketa mendengar kata-kata Wimba yang memuakkan itu. Lalu pemuda itupun berkata tegas.
"Orang tua keriputan. Bicaramu membuat mual perutku, sebagai orang persilatan yang mengaku banyak memakan asam garam pengalaman. Ternyata otakmu tidak lebih dari otak udang. Sudah ketabuan gadis itu tidak bersalah, mengapa engkau malah hendak membunuhnya...?"
Di hina sedemikian rupa oleh seorang pemuda berpakaian gembel, sudah barang tentu Anom Kendor dan murid yang lainnya 'ak mau terima dan sangat marah sekali. Bagaimana tidak, Wimba adalah seorang guru yang paling mereka hormati selama ini. Kalau kini ada seorang pemuda gembel telah begitu berani menghina orang yang begitu mereka hormati, masakan sebagai murid mereka hanya berpangku tangan. Beberapa saat kemudian Anom Kendor sebagai murid tertua langsung menyela.
"Sial betul engkau ini bocah. Engkau tak tahu persoalan yang sebenarnya, tapi sebelum engkau mampus, ada baiknya kalau kau tahu bahwa gadis yang kau selamatkan itu telah membunuh adik seperguruan kami;..!" bentak Anom Kendor sangat gusarnya.
"Ha... ha... ha...! Manusia kurus cacingan, engkau ini malah lebih tolol lagi dari gurumu. Mana ada di dunia ini seorang manusia telah begitu tega membunuh kekasihnya...!" Tanpa berkata-kata lagi, Anom Kendor dengan pedang terhunus bermaksud menyerang si pemuda. Masih untung Wimba yang agaknya mengetahui bagaimana hebatnya pemuda itu segera mencegah muridnya. Kalau tidak, sudah barang tentu berakibat sangat fatal.
"Anom Kendor, tahan keinginanmu...!" Bentak laki-laki itu. Anom Kendor yang berbadan kurus macam jerangkong hidup itu nampak mengurungkan niatnya. Walau sesungguhnya hatinya jengkel sekali.
"Bocah, di antara kita tidak punya persoalan apapun. Aku mau mengampuni jiwamu asal saja cepatcepat engkau tinggalkan tempat ini...!"
"He... he... he! Aku memang mau pergi, tetapi harus bersama dengan gadis itu. Sebab aku tahu, kalau gadis itu kutinggalkan di tempat ini kalian sudah pasti akan membunuhnya...!" kata Pendekar Hina Kelana seperti pada dirinya sendiri.
"Orang ini benar-benar cari mampus. Dia sengaja cari gara-gara dengan kita!" Anom Kendor nampak sangat tidak senang sekali dengan apa yang baru saja dikatakan oleh si pemuda.
"Bocah, jadi engkau benar-benar tak mau memenuhi keinginan kami. He... he... he... jangan kira engkau dapat begitu saja membawa gadis yang telah banyak bikin kesulitan pada kami. Dia telah membunuh muridku, untuk itu dia harus membayar hutang nyawa."
"Dia bohong! Aku tidak pernah membunuh kakang Kunta...!" Winda Murti yang sedari tadi hanya diam saja kini mulai menyela. Sesaat lamanya Pendekar Hina Kelana memandang pada gadis itu, kemudian perhatiannya kembali tertuju pada Wimba.
"Orang tua, tanpa gadis itu turut bersamaku. Aku tak bisa memenuhi keinginanmu itu...!"
"Bangsat! Kiranya engkau bermaksud cabul dengan gadis itu. Kalau begitu akan kubunuh engkau terlebih dulu, setelah itu aku dengan leluasa membunuh murid manusia sesat Nilasari...!"
"Guru. Jangan-jangan budak inilah manusianya yang berjuluk si Tangan Setan itu...!"
"Iya guru. Mungkin inilah bangsatnya si Tangan Setan itu." menimpali murid-murid yang lainnya. Bukan main terkejutnya hati pemuda dari Negeri Bunian ini begitu mendengar tuduhan yang tidak beralasan sama sekali. Tanpa sadar, wajahnya kelihatan berubah memerah menahan kemarahan yang bagai mengguncangkan syarat otaknya. Geraham berkerokotan, kedua bibirnya nampak terkatup rapat. Hanya sesaat saja tubuhnya nampak menggigil dan menegang. Lalu diapun berseru lantang.
"Setan-setan menjijikkan, kalian benar-benar sangat keterlaluan sekali. Selamanya aku si Hina Kelana tidak pernah turun tangan secara sembarangan. Tetapi hari ini sikap kalian yang sangat keterlaluan benarbenar telah menghabiskan kesabaranku...!" teriak Buang Sengket kalap.
"He... he... he., engkau bisa berbuat apa bocah?" ejek Wimba. Seraya segera memberi isyarat pada keempat orang muridnya. Secara serentak, keempat orang itu segera mengurung Pendekar Hina Kelana. Semakin bertambah marahlah pendekar ini dibuatnya. Kemudian seiring dengan datangnya serangan murid-murid Wimba yang datangnya secara mendadak itu. Pendekar Hina Kelana secepatnya mengerahkan ilmu Pemenggal Roh. Satu lengkingan mengglegar terdengar.
"Haaiikkhgg!" Bumi serasa dilanda gempa yang sangat hebat, daun-daun hijau pun luruh berjatuhan ke bumi. Beberapa orang penyerangnya nampak berpentalan ke berbagai arah. Dari telinga mereka mengalirkan darah kental. Seandainya saja pendekar ini punya niat untuk membunuh orang-orang ini sudah barang tentu hanya menambah sedikit tenaga sakti dalam lengkingan Ilmu Pemenggal Roh tadi, pastilah lawan-lawannya saat ini sudah terkapar dengan jiwa melayang. Tetapi walaupun pendekar ini tidak punya keinginan menghabisi lawan-lawannya. Tetap saja lengkingan Ilmu Pemenggal Roh berakibat tidak lebih baik dari sebuah kematian. Sebab dengan rusaknya gendang-gendang telinga mereka. Sudah barang tentu mereka ini akan menjadi orang tuli seumur hidup.
Wajah Wimba nampak pucat sekali begitu melihat apa yang tak pernah disangka-sangkanya itu terjadi begitu cepat. Sampai-sampai dia sendiri hampir dibuat tak percaya. Pemuda ini memiliki kemampuan di luar dugaannya. Masih begitu muda, tetapi bukan saja sudah memiliki tenaga dalam beberapa tingkat di atasnya, tetapi juga memiliki ilmu lain yang sangat langka, bahkan tak pernah ada di bagian Tenggara. Siapakah pemuda berpakaian gembel ini, dari manakah asal usulnya? Ucapnya dalam hati. Sementara itu Pendekar Hina Kelana kini secara perlahan telah membuka matanya kembali. Dengan nanar, dipandanginya guru dan murid itu satu demi satu. Satu seringai maut menyungging dibibirnya. Tetapi agaknya Wimba, kini setelah mengetahui kehebatan si pemuda, tiba-tiba saja telah berubah pendirian. Lalu dengan sangat berhatihati dia bertanya:
"Orang muda, sesungguhnya siapkah engkau ini, dari mana asal usulmu dan siapa pula gurumu...?"
"Bukankah engkau tadi mau membunuhku? Mengapa perlu tahu asal usul segala...?" Si pemuda balik bertanya.
"Mengingat di antara kita tak pernah ada permusuhan, maka aku menyudahi persoalan sampai di sini saja...!" ujar Wimba pelan. Buang Sengketa nampak tercengang beberapa saat lamanya, tetapi kemudian dia segera bertanya.
"Apakah engkau juga akan membiarkan gadis itu pergi bersamaku, orang tua...?"
"Benar. Asalkan engkau mau mengatakan padaku tentang siapa adanya engkau ini yang sebenarnya...!" Mendengar keputusan gurunya, agak-ya Anom Kendor kurang begitu senang. Maka diapun menyela: "Guru. Mengapa guru malah membebaskan gadis setan itu dengan pemuda ini...?" tanya laki-laki kurus cacingan itu sangat penasaran sekali.
"Diam. Ini keputusanku."
bantah Wimba tegas. Anom Kendor menjadi ciut nyalinya, untuk itu begitu gurunya membentak dia langsung tutup mulut.
"Baiklah orang tua, aku merasa patut berterima kasih atas kebaikanmu. Lebih dari itu, sesungguhnya tentang asal usulku sendiri, rasanya tidak ada yang menarik untuk kuceritakan."
"Apapun alasanmu, aku mau tahu siapakah sesungguhnya dirimu. Pukulan Empat Anasir Kehidupan, dulu hanya merupakan cerita ratusan tahun yang kudengar dari mulut ke mulut. Tetapi siapa sangka hari ini cerita yang telah melegenda itu, aku melihatnya sendiri...!" kata Wimba begitu tibatiba. Dan tentu saja hal itu membuat Pendekar Hina Kelana terkejut bukan main. Sama sekali dia tak pernah menyangka kalau laki-laki dari Terengganu itu bisa mengetahui pukulan yang baru saja dia lepaskan tadi. Maka diapun langsung menjura hormat!
"Sungguh jeli sekali matamu, maafkan atas kekurang ajaran sikapku tadi. Sungguh aku tak punya maksud untuk pamer segala pukulan picisan di depanmu...!" ucap Pendekar Hina Kelana penuh penyesalan. Melihat tingkah si pemuda yang tiba-tiba saja berubah sopan, tahulah laki-laki ini bahwa sesungguhnya pemuda yang rendah hati itu merupakan seorang pendekar yang sangat tangguh.
"Engkau terlalu berlebihan. Siapa bilang Ilmu Pemenggal Roh merupakan ilmu picisan. Bukankah engkau ini muridnya si Bangkotan Koreng Seribu yang namanya saja selama ratusan tahun masih tetap melegenda hingga sampai saat ini!" kejut dihati pendekar ini bukan alang kepalang, sebegitu hebatkah kebesaran gurunya hingga namanya tetap dikenang dan diingat di seantoro penjuru mata angin. Begitupun tiada sedikit rasa bangga di hati si pemuda, sebaliknya dia malah berkata:
"Orang tua, engkau mengetahui begitu banyak tentang si Bangkotan Koreng Seribu. Apakah dia masih punya hubungan darah denganmu...?"
"Oho... tidak. Tetapi Eyang guru kami dulunya merupakan sahabat karib dari kakek sakti mendraguna itu... Bahkan sebelum beliau meninggal empat puluh tahun yang lalu dia bercerita banyak tentang Kakek Bangkotan Koreng Seribu, si manusia pembela kebenaran tersebut," kata Wimba, seperti mencoba mengingat-ingat kejadian puluhan tahun yang telah silam. Legalah hati pendekar Hina Kelana begitu mendengar pengakuan laki-laki dari Trengganu itu. Kini dia merasa tak ragu lagi untuk mencoba cari tahu tentang kehadiran si Tangan Setan.
"Kalau begitu aku pantas memanggilmu paman, sebab ternyata kita masih merupakan orang-orang sendiri...!" desah pemuda ini, lalu membungkuk hormat tiga kali.
"Jadi benarkah engkau ini muridnya kakek sakti itu...?" tanya Wimba nampak kegirangan.
"Benar orang tua... eh... paman Wimba. Namaku Buang Sengketa, Kakek Bangkotan Koreng Seribu memang guruku sekaligus merupakan orang tua angkatku...!" Mendengar jawaban si pemuda, tiba-tiba Wimba menoleh pada muridmuridnya, lalu pada Winda Murti pula.
"Kalian semua cepatlah beri hormat pada Buang Sengketa, selain itu kalian juga harus minta maaf padanya...!" perintah Wimba pada murid-muridnya. Tanpa menunggu diperintah dua kali, keempat orang inipun langsung membungkukkan badannya, begitupun halnya dengan Winda Murti. Lalu, murid Wimba secara serentak berucap.
"Maafkan kami pendekar! Kami memang benar-benar tolol tak tahu diri...!" kata mereka hampir bersamaan. Mendapat perlakuan seperti itu, pemuda ini jadi salah tingkah. Kemudian dengan terburu-buru dia berkata.
"Ah, sudahlah. Semua itu hanya kesalahpahaman belaka, lupakanlah." Dalam pada itu Wimba sudah menyela kembali!
"Pendekar... beruntung sekali kami dapat bertemu dengan murid tokoh sakti seperti gurumu itu. Oh, ya bagaimana keadaan gurumu, apakah beliau masih hidup hingga sampai saat ini... ee... maksudku apakah beliau dalam keadaan sehat-sehat saja...?" Pendekar Hina Kelana nampak tersenyumsenyum, lalu dengan ramah pula dia menjawab.
"Guruku dalam keadaan sehat-sehat saja hingga sampai saat ini!" jawab si pemuda.
"Syukurlah, kami tentu sangat .senang mendengarnya, lebih dari itu kami sudah merasa sangat beruntung bertemu dengan muridnya...!"
"Paman Wimba, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Semoga anda tidak keberatan untuk menjawabnya!" kata si pemuda mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oho, katakan saja, seandainya aku tahu sudah pasti dengan sangat senang hati aku akan menjawabnya...!" jawab Wimba, seraya tersenyum-senyum.
"Begini paman.Wimba... dalam perjalanan menuju ke Tenggara ini, aku sering mendengar orang-orang pada membicarakan adanya si Tangan Setan. Bahkan barusan paman ada menyinggungnyinggung adanya manusia penyebar maut tersebut. Dapatkah paman ceritakan siapakah adanya orang ini, dan apa alasannya sehingga orang itu sampai menyebar onar di mana-mana...?" Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberap saat lamanya dia terdiam. Sepasang matanya yang nampak cekung dan penuh gurat-gurat umur nampak semakin menyipit. Namun pada akhirnya diapun berkata:
"Hemm. Sesungguhnya aku sendiri secara pasti tidak tahu, siapa adanya orang itu. Setahun belakangan dia melakukan pembunuhan secara membabi buta. Pukulan beracun yang dia miliki, tak seorangpun yang dapat menahannya. Atau bahkan mungkin sudah ratusan orang telah menjadi korbannya, tak seorangpun tokoh kelas satu yang mampu menghentikan segala sepak terjang manusia setan itu...!" kata Wimba begitu lirihnya. Lalu tanpa diminta diapun menyambung kembali.
"Setiap orang kini saling curiga mencurigai, seperti yang tadi engkau lihat dan tanpa kehadiranmu mungking gadis itu telah tewas tanpa kesalahan yang pasti. Oh... betapa bodohnya aku ini,. kematian Kunta dan beberapa orang muridku yang lain membuat aku hampir gelap mata...!" desah laki-laki dari Trengganu itu sangat sedih, lalu tanpa disadarinya air matanya menetes.
"Paman Wimba... sudahlah, aku bisa memahami perasaanmu. Percayalah padaku, cepat atau lambat aku akan meringkus manusia keji itu!"
"Benarkah engkau akan mencari orang itu...?" tanya Wimba hampir berteriak kegirangan. Pendekar Hina Kelana mengangguk mantap.
"Sebatas yang aku mampu Paman...!"
"Seperti Kakek Bangkotan Koreng Seribu, nampaknya sebagai seorang murid engkau benar-benar telah mewarisi segala apa yang pernah dimilikinya. Sungguh mulia sekali hatimu, nak,..!" kata Wimba terharu. Pemuda dari Negeri Bunian itu nampak tersenyum-senyum.
"Ada satu yang tak pernah tak ingin kumiliki darinya, Paman."
ucapnya masih tetap dengan senyumnya.
"Apa itu?"
"Aku tak pernah ingin mewarisi korengnya yang tak pernah kunjung sembuh itu." kata Buang Sengketa geli sendiri. Dan untuk pertama kalinya, pemuda ini melihat Wimba tertawa tergelak-gelak.
"Engkau ini ada-ada saja orang muda. Tak baik menceritakan kekurangan guru sendiri."
"Ha... ha... ha! Sesungguhnya aku cuma ingin mengingatkan bahwa tak ada menusia di atas dunia ini yang sempurna...!"
"Engkau benar, tetapi sepenuhnya aku tetap percaya akan kemampuanmu. Oh ya, apakah engkau tidak berniat berkunjung kepondok kami?" tanya Wimba setelah beberapa saat lamanya nampak terdiam.
"Rasa-rasanya untuk sekarang ini tidak, Paman. Tetapi apabila urusah ini telah selesai, tentu aku akan datang ke sana."
"Hmm. Benar juga! Sebagai orang tua aku hanya mendoakan, semoga apa yang menjadi tanggung jawabmu dapat engkau selesaikan dengan baik...!"
"Terima kasih paman!" Kata Pendekar Hina Kelana.lalu diapun menjura beberapa kali. Tak lama setelah itu, maka dengan disertai Winda Murti. Meka pemuda itupun kembali melanjutkan perjalanan.
* * *
Desau angin di senja yang resik, nampak mengibarkan anak-anak rambutnya yang dibiarkan tergerai sebatas bahu. Gadis manis berkulit kuning langsat itu memang tampak cantik mempesona. Apalagi kini dia menanggalkan topeng penyamarannya sebagai seorang lakilaki yang sangat keji. Kini gadis yang bernama Hning Ksaban itu nampak terus melangkah dengan tenangnya meninggalkah Lembah Tapis Angin. Berjalan seorang diri, nampaknya gadis berwajah cantik mempesona itu tidak mengenal rasa takut sedikitpun, kalau-kalau ada orang yang bermaksud jahat terhadap dirinya. Padahal di senja itu dia nampak sedang menelusuri pinggiran hutan. Di Lembah Tapis Angin atau di wilayah Trengganu dan bahkan di daerah bagian Tenggara lainnya. Tak seorang pun yang mengenal siapa gadis montok ini, jangankan lagi tentang asal usulnya. Tetapi apabila orang mau mengingat kejadian sembilan belas tahun yang lalu. Sudah barang pasti mereka akan dibuat terbelalak tak percaya. Masih lekat dalam ingatan gadis itu, ketika dia masih borumur tiga tahun. Betapa pedih hatinya bila teringat malapetaka yang telah menimpa keluarganya.
Dia sadar, semua itu terjadi akibat fitnah dari segelintir golongan yang tidak menyukai ayahnya terpilih menjadi Adipati Trengganu. Sebab menurut kebiasaan di daerah itu, menjadi satu pantangan bagi seorang pendatang menjabat satu kedudukan penting dalam wilayah kekuasaan Istana Giling Wesi. Apapun keputusan sang raja, namun tanpa sepengetahuannya. Sewaktu-waktu pemberontak dapat meletus sebagai akibat rasa ketidak senangan mereka terhadap Adipati yang baru. Dan Panji Paksi yang sesungguhnya.seorang pendekar persilatan berhati luhur. Sebagai seorang pendekar di daerah Trengganu dia telah menunjukkan sifat-sifat yang arif. Agaknya sang raja menaruh simpati padanya. Maka tak salah kalau dalam pemilihan Adipati yang baru dia terpilih menjadi Adipati di daerah Trengganu. Kiranya nama baik yang terangkat tidak selamanya menjanjikan kebahagiaan. Giris Rawa, sebagai Adipati lama merasa kurang puas dengan keputusan sang raja. Kemudian mengutus orang-orang ke-percayaannya untuk menghasut penduduk setempat. Maka malam yang naas itupun tak dapat terelakkan lagi. Bersama Giris Rawa, rakyat memberontak, kemudian secara beramai-ramai mereka mengepung tempat kediaman Panji Paksi. Sedapatnya Adipati yang baru itu bertahan matimatian. Tetapi apa daya. Giris Rawa dan para pembantunya adalah tokoh persilatan juga, ditambah dengan bantuan rakyat yang jumlahnya mencapai ratusan. Sudah barang tentu pada akhirnya Panji Paksi tewas di tangan rakyat. Lebih dari itu yang membuat dendam si gadis terus berkobar-kobar bahkan bersumpah untuk membumi hanguskan Trengganu adalah karena kebiadaban Giris Rawa yang telah memperkosa ibu kandungnya di depan batang hidungnya. Masih segar dalam ingatan gadis itu, bagaimana ibunya merintih-rintih, bahkah menjerit-jerit ampun. Tetapi pada saat itu Giris Rawa dan orang-orangnya tiada pernah perduli. Bahkan secara bergantian mereka terus melampiaskan nafsu binatangnya. Hingga ibunya tewas seketika itu juga.
* * *
--₪¦ « 5 » ¦₪--
Satu saat dia menghentikan langkahnya, begitu pendengarannya yang tajam itu sempat mendengar bergemerisiknya daun-daun di sekitarnya.
"Tikus-tikus hutan. Cepat tunjukkan tampang kalian! Kalau tidak aku akan hancurkan tempat persembunyianmu...!" bentak gadis cantik itu ketus sekali. Selesai dengan ucapannya itu, maka secara serentak bermunculan empat orang lakilaki berbadan gemuk tinggi dengan tampak bengis menyeramkan.
Orang-orang ini langsung terbahak-bahak begitu melihat kehadiran gadis cantik itu di hadapan mereka.
"He... He... He...! Beruntung sekali, hari ini Empat Begal dapat mangsa yang sangat cuantik. Gleek...!" Salah seorang di antara mereka yang berkaki tunggal nampak nyerocos air liurnya demi menyaksikan kecantikan gadis yang berdiri di hadapannya.
"Nampaknya dia akan lebih menyenangkan, daripada hanya sekarung harta, ya kakang...!" menimpali yang lainnya pula. Tanpa memperdulikan ucapan Begal lainnya. Si Kaki Tunggal nampak semakin mendekat pada si gadis.
"Aha... aku yakin bidadari cantik ini tentu sangat hebat di tempat tidur...!" kata si kaki tunggal seperti pada dirinya sendiri.
"Melihat bentuk pinggulnya dia masih perawan, kakang...!" Lagi-lagi yang bertangan tunggal satunya ikut menyela.
Melihat penampilan keempat lakilaki bertampang bengis itu, dan menilik caranya berbicara. Tahulah si gadis bahwa cecunguk yang menghadang perjalanannya itu tak lebih hanyalah merupakan perampok hutan atau sejenisnya. Si gadis yang berjuluk si Tangan Setan itu nampak marah sekali. Jangankan terhadap orang yang telah berkata kotor kasar. Sedangkan kepada semua golongan persilatan yang tak punya urusan dengan dirinya saja, dia turunkan tangan telengas. Kini ada pula keempat monyet hutan yang telah begitu berani berkata sekurang ajar itu. Maka hanya ada satu dalam hatinya. Membunuh dan terus membunuh.
"Segala begal bau! Tidak tahukah kalian siapa yang kalian hadapi...?"
Ditanya seperti itu, keempat begal tertawa panjang pendek.
"Yang aku tahu, tentu engkau ini seorang bidadari yang sengaja dikirim oleh Dewa untuk... he... he... he...!" Tanpa meneruskan ucapannya yang cabul itu. Sebaliknya keempat begal itu terus mengekeh.
"Bagus! Aku memang oleh dewa untuk mencabuti nyawa kalian. Lihatlah ini...!" Tiba-tiba si gadis membuka dua buah kancing bajunya yang paling atas. Sehingga terlihatlah kebagusan bagian dadanya yang nampak terbuka sebagian. Keempat begal itu nampak terbelalak tak percaya. Mata mereka melotot bagai mau melompat ke luar. Layaknya mereka seperti baru saja mendapat hasil rampokan yang sangat mahal harganya. Darah di tubuh masingmasing segera bergolak, nafas mereka nampak memburu dan membuat sesak rongga dada. Tanpa fikir panjang lagi si kaki tunggal yang bertampang paling sangar ini langsung menubruk ke muka. Di luar dugaannya secepat kilat Hning Ksaban gerakkan jemari tangannya.
"Wuuut!"
Empat sinar biru melesat sedemikian cepatnya ke arah empat begal itu. Keempat orang ini tidak sempat menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Ketika sinar biru berhawa dingin itu amblas ke dalam tubuh mereka. Sekejap langkah mereka terhenti. Tiba-tiba saja mata keempat begal itu melotot, bumi serasa semakin gelap dan berputar-putar. Kemudian semaunya menjadi kabur dan samarsamar, lalu secara perlahan tubuh ke empat orang ini mulai mengejang hingga akhirnya ambruk dengan menimbulkan suara bergedebukkan. Orang-orang itu tewas secara menyedihkan pada saat itu juga. Hning Ksaban tersenyum saja. Seolah melakukan pekerjaan itu merupakan suatu hal yang sudah sangat biasa dan wajar. Kemudian tanpa menoleh lagi dengan tenang dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sudah hampir satu pekan Tabib Setan Gila melarikan diri dari rumahnya, hampir sepanjang perjalanan yang dia lalui. Nampak mayat-mayat bergelimpangan, tak ada tanda-tanda lain dari kematian mereka, terkecuali akibat pukulan beracun Raja Cobra. Tabib Setan Gila sudah dapat memastikan siapa gerangan yang telah melakukan tinda-kan keji itu. Si Tangan Setan, ya hanya dialah manusia penyebar maut di mana-mana. Sungguhpun hatinya merasa sangat iba melihat nasib gadis di balik topeng itu. Tetapi pembunuhan yang dilakukan secara semena-mena, telah menimbulkan kebencian di hati Tabib yang arif ini. Pembunuhan dengan alasan apapun dan dilakukan secara membabi buta tidak dapat dia terima. Tiba-tiba fikiran kakek tua bertongkat tengkorak itu menjadi kacau. Ingin rasanya dia melaporkan kejadian itu pada Adipati Giris Rawa yang kini berkuasa kembali di daerah Trengganu. Akan tetapi hatinya menjadi bimbang. Dia tidak tega melihat nasib yang akan menimpa Hning Ksaban andai nanti sampai tertangkap oleh Giris Rawa dan orangorangnya. Sudah barang tentu dia akan menjadi korban nafsu Giris Rawa yang tak pernah bosan menikmati wanitawanita cantik.
Walaupun sesungguhnya gadis itu tak tahu bahwa Tabib Setan Gila masih merupakan sahabat baik ayahhandanya Panji Paksi. Dan gadis itu memang tidak pernah akan mengerti, karena kala itu dia masih merupakan seorang bocah cilik berumur tiga tahun. Ah. Entah dengan siapa keturunan Panji Paksi itu berguru, sehingga memiliki ilmu kepandaian yang pada akhirnya menjadi biang bencana di mana-mana. Tabib Setan Gila tiba-tiba saja mengeluh dalam hati. Dalam keadaan seperti itu, dia benar-benar tak tahu bagaimana harus mengambil sikap. Haruskah bencana yang mengerikan sebagai pelampiasan dendam itu dia biarkan terus-menerus, sementara dia sendiri secara persis sudah mengetahui siapa sesungguhnya si Tangan Setan itu. Sedangkan apabila melaporkannya pada sang Adipati, dia tak tega melihat nasib putri sahabatnya itu, pula Adipati Giris Rawa sesungguhnya merupakan manusia yang licik dan tamak. Dulu manusia iblis itu pula yang telah membunuh dan membakar rumah sahabat karibnya. Jalan satu-satunya adalah bungkam dan mengungsi sejauhjauhnya. Teringat sampai ke situ, tiba-tiba Tabib Setan Gila ambil langkah seribu.
Namun baru saja beberapa tombak dia beranjak, secara tiba-tiba dari arah depannya muncul belasan orang para bawahan Adipati. Beberapa orang di antara para bawahan Adipati ini nampak menyeringai menahan sakit. Agaknya Tabib Setan Gila sudah mengetahui bahwa orang-orang itu merupakan korban si Tangan Setan. Meskipun begitu Tabib Setan Gila nampak berpura-pura, dengan menegur marah.
"Siapakah kalian ini. Minggir aku mau lewat!" Salah seorang di antara mereka yang mungkin saja sebagai pimpinan, nampak melangkah beberapa tindak. Laki-laki ini berpakaian warna yang kembang-kembang, wajahnya tirus dengan beberapa helai kumis hingga selain berkesan menyeramkan namun juga lucu. Sambil menimang-nimang senjata yang berupa sebilah pedang berwarna hitam legam. Laki-laki itu berucap.
"Tabib Setan Gila. Susah payah kami datang ke Lembah Tapis Angin, ternyata engkau telah minggat dari pondokmu. Bahkan engkau biarkan mayatmayat korban kebiadaban si Tangan Setan bergelimpangan begitu saja...!"
Alis si Tabib tua yang sudah nampak memutih secara keseluruhannya itu nampak mengerut. Dia coba mengingat-ingat dan rasa-rasanya dulu dia pernah melihat manusia berwajah tirus itu, tetapi entah di mana. Hmm. Tak salah, orang itulah dulu yang turut memperkosa istri sahabatnya hingga tewas secara menyedihkan. Mendadak hatinya menjadi panas bagai terbakar. Tetapi sedapat-dapatnya dia mencoba menekan kemarahannya.
"Aku memang sengaja meninggalkan tempat itu, karena daerah itu sudah tak aman lagi untuk kutinggali...!" jawab Tabib tua ini berusaha jujur. Laki-laki orang kepercayaan Adipati yang bernama Dingklang itu nampak tersenyum mencibir.
"Tabib Setan Gila! Dengan orang kepercayaan Adipati, janganlah sekali engkau coba-coba berdusta. Kami melihat di tempat itu seperti baru saja beberapa hari telah terjadi pertarungan. Masakan engkau tak tahu sebagai tuan rumah yang sah...!" Andai saja tidak mengingat betapa besarnya pengaruh dan kekuasaan Adipati. Sudah barang tentu Tebib Setan Gila mendengar kata-kata yang setengah menuduh itu. Sudah pasti langsung melabrak laki-laki yang bernama Dingklang itu. Tetapi demi menyadari akibat yang mungkin timbul bila dia bertindak nekad, maka sambil berusaha menahan kedongkolannya dia berkata tegas.
"Kuakui, ketika aku meninggalkan rumahku ada hampir lima belas orang sedang dalam perawatanku, tetapi mengenai pertarungan itu aku tak tahu!"
"Apa alasanmu hingga meninggalkan para pesakitan itu?" tanya laki-laki berwajah tirus itu dipenuhi keingin tahuan
"Sudah kukatakan bahwa Lembah Tapis Angin sudah tak aman lagi bagiku." jawah Tabib Setan Gila nampaknya sudah tak dapat menahan kekesalannya lagi.
"Tentu ada sebabnya bukan?" Sela Dingkling mencemooh. Tabib Setan Gila nampak terdiam dan meragu.
"Katakan saja, mengapa mesti takut! Keberadaanmu sangat di perlukan oleh orang banyak. Dan sebagai orangorang pemerintahan kami punya kewajiban untuk melindungi orang-orang yang sangat di perlukan...!" ucap laki-laki itu dengan sombongnya. Tabib Setan Gila mengangguk, dalam hatinya mencaci maki. Omongan saja yang besar. Sedangkan untuk melindungi diri sendiri saja tidak becus. Buktinya kawan-kawannya saja sampai terkena pukulan beracun si Raja Cobra milik si Tangan Setan. Batinnya.
"Aku tak berani mengatakannya, Kisanak...!"
"Apakah dia pernah bertemu denganmu...?" tanya laki-laki kumis ikan lele ini penasaran. Tabib Setan Gila gelengkan kepalanya.
"Tidak pernah. Dia mengancamkan melalui ilmu menyusupkan suara." Bukan main terkejutnya orang kepercayaan Adipati Giris Rawa ini demi mendengar apa yang dikatakan oleh si Tabib. Hal yang serupa juga pernah terjadi pada mereka dua hari yang lalu. Akibatnya sepuluh orang bawahannya terkena pukulan beracun. Sementara dia sendiri malah sampai kehilangan jejak dalam melacak si penyerang misterius itu.
"Tabib. Adakah orang yang mengancam-mu itu seorang laki-laki?"
"Agaknya begitulah!"
"Dia memakai topeng...?!" tanya si Dingklang lebih lanjut.
"Sudah kukatakan aku tak tahu, sebab akupun tak pernah bertemu dengan orang itu!" jawab Tabib Setan Gila sangat kesal sekali.
"Hemm. Baiklah... baiklah! Kalau engkau tak tahu, tak jadi soal. Siapapun adanya si bangsat keji itu cepat atau lambat dia pasti akan tertangkap juga. Lebih dari itu sekarang ini kami sangat membutuhkan pertolonganmu untuk mengobati kawankawanku yang terkena pukulan si Tangan Setan! Cepatlah kerjakan sekarang juga!" perintah Dingklang sedikit memaksa. Memerah paras laki-laki tua bertongkat dari Lembah Tapis Angin itu demi mendengar kata-kata Dingklang yang bernada memerintah. Seumur hidup belum pernah ada orang yang meminta pertolongannya dengan cara memaksa seperti itu. Tetapi kini, seorang bawahan Adipati yang sangat di bencinya telah berani memberi perintah seperti itu. Menolong para gelandangan yang hidup terlunta-lunta baginya akan baik daripada menolong manusia yang mengaku dari golongan bersih, namun hati yang sesungguhnya dipenuhi dengan kekejian. Tiba-tiba amarahnya yang sejak tadi dia tahan-tahan kini sudah tak dapat dia bendung lagi. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia berkata ketus.
"Kisanak... apakah engkau bermaksud memaksaku...?" tanya Tabib Setan Gila dengan pandangan berapiapi.
"Aku tak punya maksud memaksamu Tabib! Tetapi ini sebuah perintah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi...!"
"Kisanak! Sejak aku meninggalkan Lembah Tapis Angin, aku sudah memutuskan untuk tidak menjadi Tabib lagi...!"
"Ah! Keputusanmu terlalu tergesagesa Tabib. Mengapa pada saat tenagamu dibutuhkan oleh banyak orang, tibatiba engkau mengambil keputusan yang sangat picik seperti itu...?" Tanya laki-laki kepercayaan Adipati Giris Rawa sangat herannya.
"Kalian dengarlah. Meskipun aku berusaha mengobati setiap orang yang terkena pukulan si tangan Setan. Tak seorangpun yang dapat kuselamatkan! Racun itu teramat ganas, dan sejauh ini aku belum menemukan obatnya...!"
"Hok... hok... hok...! Jangan coba-coba mengelabuhi kami, Tabib, semua orang tahu akan kehebatanmu, racun apapun pernah sembuh di tanganmu. Kini engkau malah bertingkah yang tidak-tidak!" bentak si Dingklang bukan main gusarnya.
* * *
--₪¦ « 6 » ¦₪--
"Mengapa engkau hanya diam saja, Tabib? Bukankah benar apa yang aku katakan tadi...?"
"Tidak benar sama sekali." celetuk si Tabib Setan Gila. Dingklang katupkan bibir dan pelototkan matanya yang hampir sebesar jengkol. Lalu diapun membentak marah!
"Sialan betul engkau ini. Jadi engkau tak mau mengobati kawankawanku...?"
"Bukan tak mau, tapi aku telah memutuskan untuk dunia ketabiban..!" jawab si Tabib tenang.
"Bedebah... rupanya engkau benarbenar hendak membangkang perintah penguasa yang sah."
"Di hatiku tidak pernah ada niat untuk membantah kekuasaan siapapun. Aku hanya ingin menepati janjiku sendiril"
"Sekalipun kepalamu akan menggelinding sebagai akibat kesombonganmu itu?" menyela Dingklang berang sekali.
"Sekalipun nyawaku harus melayang, aku tak akan pernah merobah keputusanku sendiri...!" ujar Tabib Setan Gila mantap. Hal ini malah membuat laki-laki dari Trengganu itu semakin bertambah murka.
"Keparaaat... akan sia-sialah keputusanmu itu, sebab aku tak akan pernah membiarkan seorang pembangkang penguasa hidup lebih lama lagi."
Berkata begitu dia menoleh pada orangorangnya, kemudian segera memberi perintah!
"Anak-anak! Cincang Tabib munafik ini...!" perintahnya berang. Lalu diapun segera melolos pedangriya yang berwarna hitam legam menakutkan. Orang-orang yang sudah terluka dalam cukup serius itu, tanpa banyak kata langsung saja mengurung si Tabib Setan Gila. Tatapi sebelum mereka bergerak lebih lanjut dia berseru lantang.
"Kaki tangan Adipati iblis, manusia licik berhati keji. Kulihat hanya engkau seoranglah yang tidak mengidap pukulan beracun itu, kuperingatkan bagimu. Lebih baik engkau cabut ucapanmu, kemudian menyingkirlah dari hadapanku. Andai tidak...!' Tabib Setan Gila hentikan ucapannya.
"Andai tidak, engkau bisa berbuat apa Tabib tolol...?" bentak si Dingklang dengan pedang terhunus.
" Jika tidak, dua langkah di depan orang-orangmu akan segera lumpuh. Racun si Raja Kobra tak pernah ada obatnya! He... he., he...." kata Tabib tua itu sembari mengekeh.
"Bangsat, jangan coba-coba menggertak kami."
"Tak percaya. Cobalah. !"
"Anak-anak, tunggu apa lagi! Bunuh dia...!" Secara serentak empat belas orang itu secara serentak bergertak maju. Namun tepat seperti apa yang dikatakan oleh si Tabib Setan Gila. Baru beberapa tindak mereka melangkah, tiba-tiba langkah mereka terhenti di tengah jalan. Tubuh keempat belas orang itu nampak menggigil dan gemetaran. Wajah mereka sudah pucat kebiru-biruan itu nampak semakin bertambah membiru. Kejut di hati Dingklang bukan alang kepalang, sedikitpun dia tiada menyangka kalau apa yang di katakan oleh Tabib Tangan Setan pada akhirnya akan menjadi sebuah kenyataan. Dan yang semakin membuatnya terlongong-longong adalah karena tidak begitu lama setelah itu.
Satu demi satu, para anak buahnya nampak roboh tanpa daya. Mendidihlah darah, laki-laki yang merupakan tangan kanan Adipati Trengganu ini. Sesaat lamanya Dingklang memandangi orangorangnya yang tewas secara menggenaskan. Kemudian dia kembali berpaling pada Tabib Setan Gila, sorot matanya begitu dingin, sesungging seringai maut membias di wajahnya yang tirus dan sadis. Lalu dengan jerit melengking tinggi, diapun kembali membentak.
"Setan Gila! Puaskah hatimu setelah melihat kematian orangorangku?" Tabib Setan Gila gelengkan kepala, betapapun jiwa welas asih, hatinya sempat terenyuh juga.
"Apapun yang menjadi sebab kematian itu, sesungguhnya tiada seorangpun yang punya kuasa untuk mampu menolaknya, begitupun aku...!" ujar laki-laki dari Lembah Tapis Angin itu pelan.
"Kurang ajar! Aku tak butuh khotbahmu, Tabib kropok...!"
"Jadi apa maumu, Ki Sanak...?" Dingklang memakin panjang pendek, dia merasa Tabib Setan Gila sengaja mengulur-ulur waktu dengan cara mempermainkannya.
"Tak ada yang kuinginkan darimu terkecuali memenggal kepalamu dan meminum darahmu.kata Dingklang geram sekali.
"Ho... ho... ho...! Darahku sangat pahit rasanya, Kisanak... engkau pasti tidak menyukainya."
"Kalau darahmu memang tak enak, biarlah pedangku yang haus darah ini yang akan menyantapnya...!" Teriak tangan kanan Adipati Trengganu. Kemudian serentak mengirimkan serangan-serangan kilat.
"Bagus! Bagus! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu, aku jadi ingin lihat seberapa hebat kepandaian tangan kanan anjing Adipati...!"
"Bangsaaat...!" maki laki-laki berwajah tirus itu sambil kirimkan satu tusukan satu babatan. Pada saat seperti itu kaki kanannya terayun ke atas. Mendapat serangan sedemikian rupa. Tabib Setan Gila yang juga memiliki kepandaian silat satu tingkat di atas Dingklang terlihat tenangtenang saja. Dia berkelit sedikit begitu pedang di tangan Dingklang menderu mengancam bagian lehernya. Sementara tongkatnya yang berupa kepala tengkorak itu memapaki datangnya satu sapuan kaki kanan lawannya yang tiada menyangka si Tabib akan mempergunakan tongkatnya nampak berseru kaget. Lalu sedapatnya berusaha menarik balik kaki kanannya. Tetapi tanpa disangka-sangka, tongkat tengkorak di tangan Tabib Setan Gila malah bergerak lebih cepat lagi. Tak terhindarkan.
"Bletaak!"
Masih untung bagi Dingklang karena Tabib Setan Gila tiada mengerahkan segenap kemampuannya. Seandainya laki-laki tua itu memang mempunyai maksud-maksud tak baik. Sudah barang tentu, kaki Dingklang akan remuk atau setidak-tidaknya menjadi patah. Begitupun laki-laki kepercayaan Adipati Trengganu itu masih tetap menjerit-jerit kesakitan sambil memaki dengan kata-kata kotor. Dia melompat-lompat bagai seekor anjing yang kena gebuk. Begitu dia memeriksa tulang betisnya bagian atas nampaklah olehnya bagian yang terpukul itu memar dan membiru.
"Wah sial betul engkau ini Tabib dungu. Engkau telah memukul tulang keringku...!"
"Tidak kuremukkan saja sudah syukur!" ejek Tabib Setan Gila menyeringai. Hal ini malah semakin membuat laki-laki berwajah tirus itu panas hatinya. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia kembali menyerang si Tabib tua. Senjatanya yang berwarna hitam Itu kembali menderu sebatnya. Dalam waktu sekejap saja pertarungan sudah mencapai puluhan jurus. Karena Dingklang menyerang si Tabib secara nekad dan membabi buta, maka beberapa jurus di depan laki-laki dari Lembah Tapis Angin irii sudah kena didesak. Dengan penuh kesabaran si Tabib terus mengelak dan menangkis.
Satu kesempatan Dingklang melihal salah satu sisi pertahanan lawan nampak terbuka. Tangan kanan Adipati Trengganu itu menyeringai, lalu dengan satu bentak kan keras dia segera putar pedangnya ke segala arah, tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya. Tak ayal, laki-laki itu kini telah mempergunakan jurus yang paling menjadi andalannya. Tarian Sepasang Garuda, yang terkenal ganas dan sangat mematikan itu. Senjata itu terus berkiblat dan menderu-deru mencari sasarannya, tahulah kakek Tabib ini bahwa lawan memang benar-benar menghendaki nyawanya. Tanpa ampun Tabib inipun memutar tongkatnya, nehingga membentuk satu pertahanan yang sangat tangguh.
"Weeer!"
Pedang di tangan si Dingklang menyambar pada bagian perut si Tabib, kakek ini pun dengan cepat menyambuti dengan tongkat tengkoraknya.
"Hayaaa...!"
"Craak!"
Beradunya dua kekuatan besar, membuat si Tabib yang tiada pernah memiliki keinginan untuk membunuh lawannya itu nampak terguling-guling. Tongkat di tangannya terbabat putus, sehingga tinggal sebagian saja. Demi melihat kehebatannya sendiri laki-laki dari Trengganu itu nampak menyeringai puas. Kini dia benar-benar merasa berada di atas angin. Dengan sekali tebas lagi, maka menggelindinglah kepala si Tabib tua itu. Begitulah dia berfikir. Maka tanpa fikir panjang lagi, dia kirimkan satu serangan puncak pada si Tabib Setan Gila. Sudah barang tentu hal itu dalam perhitungan si Tabib dari Lembah Tapis Angin ini. Maka diapun segera mencabut beberapa bantang jarum yang biasa di pergunakan untuk pengobatan, dari balik jubahnya. Begitulah, ketika serangan itu datang dengan cepat, kakek ini tidak berusaha mengindar, seolah-olah dia sudah pasrah menerima kematian. Namun begitu mata pedang yang menebarkan bau menjijikkan itu sejengkal berada di depan dadanya. Dengan sisa tongkat yang masih berada dalam genggamannya dia menangkis dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya bergerak lebih cepat mengarah pada bagian leher.
"Craaak!"
"Creep!"
Bersamaan dengan membenturnya pedang pihak lawan dengan sisa tongkatnya, pada saat itu pula jarumjarum di tangan si kakek ini pun menembus jalan darah si Dingklang. Tiada jerit maupun lolong kematian, seketika itu juga tubuh begundalnya Adipati Trengganu itu terasa sangat kaku dan sulit untuk digerakkan. Laksana patung yang dibentuk sedemikian rupa. Kedua bola matanya nampak melotot, senjatanya tetap tergenggam seperti pada saat melakukan serangan tadi. Tubuh si Dingklang memang dalam keadaan tertotok, tak siapapun yang mampu membebaskan lakilaki itu. Tabib Setan Gila tertawa tergelak-gelak demi menyaksikan kerjanya sendiri.
"Wei... bagus sekali posisimu itu, begundal Adipati. Kalau tubuhmu kujadikan mummi kemudian kujual pada raja, sudah pasti akan sangat mahal sekali hargamu. Sekarang yang mana satu yang akan kau pilih? Yang pertama kucongkel kedua matamu, atau yang kedua kutelanjangi saja...!" kata Tabib tua itu, mendadak berubah konyol kekanak-kanakkan.
"Oh, sial betul aku hari ini!" keluh Dingklang kumis ikan lele.
"Engkau tak perlu mengeluh cepat katakan yang mana satu yang engkau pilih?"
"Tabib kentut bau. Bebaskan totokan terkutuk ini, mari kita bertarung seribu jurus!" teriak lakilaki dari Trengganu itu marah sekali.
"Ho... ho... ho...! Tarian Sepasang Garuda-ompong saja tak mencapai seratus jurus, dari mana lagi engkau mau menambahi yang sembilan ratus jurus lainnya...?" Tabib Setan Gila mengejek.
"Bangsat! Siapakah engkau ini, sehingga tahu kalau jurus-jurus Sepasang Garuda milikku cuina seratus jurus...!" tanya Dingklang bloon.
"Aha., siapa sih yang tidak kenal pada iblis-iblis tukang perkosa dan perampas kedudukan orang. Ingatkah engkau pada Panji Paksi dan istrinya yang tewas karena kalian perkosa...?" Bukan alang kepalang terkejutnya si Dingklang ini, sedikitpun dia tiada pernah menyangka kalau Tabib tua itu mengetahui peristiwa yang pernah terjadi sembilan belas tahun yang lalu itu. Tak berapa lama kemudian dengan sangat ketakutan sekali dia bertanya.
"Siapa.. siapakah engkau ini Tabib sial. Engkau jangan mengada-ada! Semua orang tau kalau Panji Paksi tewas karena kepemimpinannya memang tidak disukai oleh orang banyak!"
"Kurang ajar, masih jugakah engkau mau bohong pada orang tua sepertiku ini? Bukan si bangsat Giris Rawa menghasut rakyat untuk memberontak, hingga malam jahanam itu membuat puas hati kalian...!-" bentak Tabib setan Gila, lalu diapun maju tiga langkah. Sehigga kini mereka benar-benar telah berhadapan muka. Tubuh Dingklang nampak menggigil bagai terserang demam malaria, apa yang telah dikatakan oleh I si Tabib tua benar-benar bagai menelanjangi tubuhnya bulat-bulat. Tiada kata yalig terucap, dia nampak semakin ketakutan sekali begitu si Tabib mengulurkan tangannya pada bagian lehernya.
"Tabib! Apa yang hendak engkau lakukan?"
"He... he... he...! Semestinya aku harus memotong pusaka keramatmu, biar tak bikin melapetaka bagi kaum perempuan. Tetapi aku berobah pendirian, aku telah memutuskan untuk menghukummu seringan-ringannya. Bagaimana kalau kuminta kumismu saja yang cuma beberapa helai itu?" tanya si Tabib.
* * *
--₪¦ « 7 » ¦₪--
"Suakiit! Jangan kau cabut kumisku. Lebih baik kau bunuh saja...!" jeritnya histeris.
"Wee! Engkau ini tolol sekali. Mencabut nyawa itu bukan wewenangku, mengapa engkau harus menjerit-jerit. Sedangkan kala itu engkau malah tertawa-tawa ketika istri Panji Paksi menjerit minta di ampuni...!"
Serentak dengan ucapannya itu, Tabib Setan Gila mulai menarik kumis si Dingklang kanan kiri. Sebentar saja bibir laki-laki dari Trengganu itu nampak terangkat ke atas mengikuti gerakan tangan si Tabib.
"Nah... bagus sekali bibirmu ini! Cengar-cengir bagai kambing bandot yang ketemu betinanya."
"Nah... nah... yang ini lebih bagus lagi. Engkau memang punya bakat menjadi kambing bandot, bisa mengumbar nafsu seenak perutmu saja. He... he... he... persis dan lucu sekali!" ujar laki-laki tua dari Lembah Tapis Angin bagai orang senewen. Sejenak dia melepaskan kumis si Dingklang, sumpah serapah segera berhamburan dari mulut orang ini.
"Tabib goublook, manusia sinting. Bunuh saja aku! Aku benci pada perlakuanmu." makinya panjang pendek.
"Wah engkau malah memakiku! Kurang ajar sekali mulutmu. Tahukah engkau bahwa sesunguhnya aku sendiri sangat benci pada Adipati gendeng dan begundalnya...?"
"Setan gila, segala apa yang engkau katakan itu nanti akan kulaporkan pada Adipati Yang Mulia. Dan engkau akan menyesal seumur-umur!"
"Cerewet sekali mulutmu, kayak nenek-nenek saja. Nih...!" Berkata begitu, tangan si Tabib berkelebat menyambar ke bagian atas bibir.
"Brut!.Bruut!"
Si Dingklang yang tak mampu berbuat banyak itu nampak menjeritjerit kesakitan.
Kumisnya yang cuma beberapa helai itu, kini tercabut sudah. Tetapi si Tabib mana mau perduli dengan keadaan itu, sebaliknya dia terus terkekehkekeh.
"He... he... he...! Semuanya sudah beres, aku sudah muak melihat tampangmu. Maka baiknya aku pergi saja."
Usai dengan ucapannya, Tabib Setan Gila pun membalikkan langkah kemudian setapak demi setapak dia menjauh dari pandangan si Dingklang. Laki-laki ini menjerit-jerit.
"Tabib sial bebaskan totokanku... bebaskan...!" teriaknya.
"Tenang-tenang sajalah engkau di situ, dua hari mendatang engkau sudah terbebas dari totokan. Kalau nasibmu baik, tentu harimau di hutan ini enggan memangsa tubuhmu yang berlumur dengan dosa. !"
"Tabib tolonglah aku!" rintihnya bagai anak kecil. Si Tabib dari Lembah Tapis Angin itu terus berlalu, bahkan semakin lama semakin menjauh.
"Tabib.. toloooong...!" Tiada terdengar jawaban apapun lagi, tinggallah si Dingklang seorang diri, menanti kebebasan dengan harap-harap cemas.
* * *
Udara terasa sangat panas sekali, sejauh-jauh mata memandang. Hanya kegersangan tanah-tanah tandus dan hutan semak yang nampak mulai layu. Hampir setiap tahunnya kemarau panjang memang berakibat buruk pada setiap tanaman maupun mahluk hidup lainnya. Apalagi daerah Trengganu dan wilayah sekitarnya merupakan daerah yang sangat langka dari curahan air hujan.
Suasana yang terasa panas membakar ini, membuat salah seorang dari dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu nampak sering mengeluh.
"Sudah berhari-hari kita melakukan perjalanan. Tetapi masih belum ada tanda-tanda, kita bisa secepatnya bertemu dengan manusia keji itu."
"Cepat atau lambat kita pasti dapat menemukan sarangnya. Sabarlah, Winda?"
"Semua orang memburunya Kelana. Aku merasa begitu yakin orang itu sangat lihai sekali. Coba kita lihat saja, sepanjang perjalanan yang kita lalui hanya mayat-mayat saja yang kita temui. Semuanya dari hasil pekerjaan yang sama, mereka-mereka itu bergelimpangan karena akibat pukulan beracun!" keluh gadis itu. Dalam pada itu tiba-tiba Pendekar Hina Kelana berseru:
"Hei.. lihat! Di depan sana ada sebuah sungai...!"'teriaknya kegirangan.
"Wah kebetulan sekali, badanku terasa gerah dan lengket. Ada baiknya kalau kita mandi dulu." berkata begitu, Winda Murti langsung berlarilari mendahului si pemuda. Memang benar adanya, kini di depan mereka terdapat sebuah sungai yang jernih airnya. Sungai itupun tidak begitu dalam, atau mungkin hanya setinggi dada. Tanpa sepengetahuan Winda Murti, Buang Sengketa nampak meneliti ke sekitar daerah itu. Pohon-pohon liar yang subur, suasana sekitarnya yang terasa dingin. Hal ini benar-benar sangat jauh berbeda dengan daerah yang mereka lalui, kira-kira lima batu di belakang mereka. Gersang dan tandus. Pendekar ini nampak tercenung, dalam hati dia merasa heran. Padahal di bagian barat daya dan sekitarnya panas begitu terik, tetapi mengapa di tempat itu malah sebaliknya. Pemuda itu tibatiba menjadi was-was. Diapun menoleh untuk mengatakan sesuatu pada Winda Murti, akan tetapi ya ampun. Gadis itu kini sudah dalam keadaan telanjang bulat dan sudah siap-siap untuk terjun ke dalam sungai. Wajah si pemuda merah jengah dan sekejap kemudian dia telah memalingkan mukanya.
"Byuuur!"
Si gadis terjun ke dalam sungai, laksana seekor ikan. Dia begitu lincah berenang kian ke mari. Tiba-tiba dia berseru,
"Kelana. Mengapa cuma berdiri di situ saja, engkau tak punya keinginan untuk mandi?" Tanpa berpaling dari posisinya dia berucap.
"Winda, jangan berendam di situ terus. Naluriku mengatakan daerah ini sangat tidak aman...!" kata si pemuda memberi peringatan.
"Ah engkau ini ada-ada saja! Nampaknya pengecut sekali, apakah engkau takut dengan kehadiran si Tangan Setan...?"
"Janganlah berkata sembarangan, aku bersunggguh-sungguh!" tukas si pemuda jengkel sekali.
"Hi... hi... hi... pengecut. Kalaupun engkau tak mau mandi. Tapi jangan bersikap seperti itu. Aku bukan setan, mengapa takut-takut memandangku. Berpalinglah ke mari, siapa tahu kata-katamu terbukti.
Setelah berkata begitu Winda Murti berenang menjauh mengikuti arus sungai. Tanpa fikir panjang lagi si pemuda menoleh. Dilihatnya si gadis sudah nampak menjauh dari tempatnya berdiri. Meskipun tubuh si gadis sepenuhnya berada di dalam air, tetapi si pemuda dapat melihat dengan jelas lekuk lengkung tubuh Winda Murti yang kuning langsat, apalagi air sungai itu memang benar-benar jernih sekali. Si pemuda menggerutu dalam hati. Sial betul gadis itu, yang tidak-tidak saja tingkahnya. Tetapi biarlah daripada dia terus berduka memikirkan kekasihnya yang sudah tiada batinnya.
Di lain pihak sesungguhnya benar apa yang diragukan oleh Pendekar Hina Kelana. Karena ternyata tidak begitu jauh dari pinggiran sungai itu ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik si gadis. Begitu gadis itu mengikuti gerakan arus ke bawah, maka sepasang mata yag penuh dendam itupun tanpa menimbulkan suara ikut bergerak. Hal ini sudah tentu di luar sepengetahuan si pemuda. Karena memang sesungguhnya pemuda ini nampak sangat acuh dan merasa sungkan dengan keadaan si gadis. Sementara itu, Winda murti yang tak pernah menyadari adanya ancaman bahaya maut itu nampak terus berenang-renang mengikuti arus sungai hingga semakin lama semakin bertambah jauh. Sedangkan di pinggiran sungai itu, dengan sangat ringannya sang pengintai berpakaian kuning gading dengan selubung topeng merah itupun mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Begitu dua buah taring Beracun Raja Cobra sudah siap di tangannya, maka tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun tangannya bergerak.
"Wes! Crep!"
"Auuu!"
Bagai orang yang sedang bercanda, Winda Murti merintih begitu senjata rahasia yang berupa Taring Raja Cobra itu menembus punggungnya yang halus mulus. Sebentar kemudian dia berusaha meraba punggungnya yang terasa hangat. Tetapi mendadak kedua tangannya menjadi kaku, seluruh permukaan kulitnya terasa meremang. Seolah bagai orang yang sedang berada dalam gelora asmara yang membara. Dia merintih, tubuhnya menggeliat-geliat tak karuan. Begitupun tiada satu patah katapun yang terucap, sesaat tubuhnya merontaronta, air di dalam sungai itupun beriak. Kemudian tubuh si gadis secara perlahan mulai tenggelam, terkulai dengan nyawa melayang. Sesungging senyum puas membias di wajah bertopeng itu. Setelah dia benar-benar yakin dengan kematian Winda Murti, maka dia cepat-cepat berkelebat pergi.
Hampir setengah jam kejadian itu berlalu, Buang Sengketa yang menunggu di pinggiran sungai lama-kelamaan menjadi curiga. Tak ayal diapun mulai memanggil-manggil Winda Murti.
"Winda... cepatlah.. sebentar lagi matahari akan tenggelam. Apakah engkau mau bermalam di dalam sungai ini...?" panggilnya. Tiada sahutan, hanya desau angin senja saja yang terdengar!
"Winda...!" ulang si pemuda, kemudian dia bangkit dari tempatnya lalu berjalan menelusuri sungai. Jangan-jangan kecurigaannya beralasan. Batinya lagi. Sambil terus menelusuri sungai itu, matanya nampak nanar memandang ke sekelilingnya.
"Winda...!" jeritnya tertahan. Wajah si pemuda mendadak pucat pasi, dalam air yang bening itu dia melihat tubuh si gadis nampak tergeletak di dasarnya.
"Oh, Batara Yang Agung. Hari ini aku benar-benar telah kecolongan! Bangsat betul. Pekerjaan siapa lagikan ini...?" Teriaknya marah sekali. Hanya beberapa saat kemudian tanpa buangbuang waktu lagi dia langsung terjun ke dalam sugai, secepatnya dia berenang. Lalu diangkatnya tubuh Winda Murti yang tiada mengenakan sehelai benangpun. Sesampainya di pinggiran sungai, cepat-cepat dia memeriksa keadaan si gadis. Tubuh itu sudah dingin dan kaku, tahulah si pemuda kalau Winda Murti telah tewas, setidak-tidaknya setengah jam yang lalu. Setelah menutupi bagian-bagian sensitip dengan pakaian si gadis yang sengaja di bawanya. Pendekar Hina Kelana segera memeriksa bagian tubuh yang lainnya. Dia nampak terbelalak tak percaya begitu beberapa saat kemudian dia mendapati di bagian punggung gadis itu terdapat benda runcing berwarna putih. Ketika dia mencabut benda itu, mengertilah dia bahwa Winda Murti tewas karena senjata beracun.
"Malang sekali nasibmu nona. Susah payah aku menyelamatkanmu dari tangan Wimba. Tetapi kini di depan mataku engkau tewas secara mengerikan. Maafkan ketololanku Winda, seharusnya aku mengikutimu ke manapun engkau pergi aku mesti mengikutimu... tetapi penampilanmu yang bersahaja membuat aku tak sanggup melakukannya. Aku tak sanggup...!" ucapnya lirih dengan wajah tertunduk sedih. Sesaat setelahnya si pemuda tengadahkan wajahnya, pandangan matanya kini berubah liar. Kemarahan meledak secara tiba-tiba, kini secara perlahan dia bangkit, pandangan matanya menerawang memandangi alam di sekitarnya. Dalam keadaan seperti itulah tanpa dia sadari tiba-tiba tenaga dalamnya membuncah mencari jalan keluar. Lalu bagai orang yang sedang kesetanan dia berteriak-teriak.
"Oh... tolol sekali aku ini. Manusia hina tiada guna, tiada mampu berbuat apa-apa. Jauh di setiap aku melangkah, mengapa selalu kudapati pembunuhan di mana-mana. Manusia tiada pernah kenal damai...!" Sesaat ucapannya terhenti, kedua tangannya kini dia tengadahkan di depan dada.
"Sang Hyang Widi, inikah jalan getir yang harus kutempuh, menyudahi petualangan orang-orang sesat! Haruskah aku menjadi pembunuh dari setiap mereka yang menyimpang dari jalanMu? Oh... betapa dosa-dosaku akan lebih besar daripada apa yang tidak mereka ketahui. Tidaaaak...!"
Jerit Buang Sengketa histeris. Dan bersamaan dengan teriakannya itu, kedua tangannya pun terpentang ke atas. Tubuhnya menggigil dibakar amarahnya sendiri. Lalu dengan disertai teriakan menggemuruh, karena sesungguhnya dalam suara itu disertai dengan jeritan Ilmu Pemenggal Roh. Maka sesaat kemudian kedua tangannya berkiblat ke segala arah.
"Haiikkgh!"
"Blar! Blar! Blar!"
Pohon-pohon besar di sekitarnya berkerotakkan roboh, dilanda pukulan Si Hina Kelana Merana yang terkenal sangat dahsyat itu. Angin senja terus mendesau menyibakkan anak-anak rambutnya yang diikat sebatas bahu. Kini setelah tenaga dalam yang membucah itu tersalurkan, ada sedikit perasaan lega di hati pemuda itu. Lalu seperti berjanji pada dirinya sendiri dia berucap.
"Winda. Siapapun adanya engkau ini, aku berjanji untuk meringkus si Tangan Setan dalam waktu secepatnya. Aku harus menghentikan sepak terjangnya itu...!" Setelah itu cepatcepat dia merapikan pakaian si mayat dan di tempat itu pula dia menguburkan gadis dari Trengganu ini. Setelah pekerjaannya selesai, malam sudah sangat larut. Tetapi tanpa perduli dia terus melangkahkan kakinya. Pergi! Untuk kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
* * *
--₪¦ « 8 » ¦₪--
Pada saat itu dari arah yang berlawanan, nampak pula seorang gadis berpakaian kuning gading terlihat pula berjalan menyongsong kehadiran orangorang ini. Dengan tenangnya dia terus berjalan melenggang lenggok, hingga pada akhirnya merekapun saling berpapasan. Masing-masing mata menyiratkan rasa saling curiga, tetapi sebelum Wimba dan murid-muridnya sempat berkata sesuatu apapun, Hning Ksaban sudah buka bicara.
"Orang tua, yang manakah jalan menuju Trengganu?" tanya si gadis dengan tatapan mata dingin. Yang ditanya bungkam, beberapa saat lamanya dia nampak memperhatikan gadis itu, rasa-rasanya dia tak pernah melihat gadis berwajah cantik seperti itu berada di Trengganu, kalaupun ada hal itu sudah barang tentu tak luput dari tangan Adipati yang paling gemar mengumpulkan para wanita cantik. Lalu dia berfikir maka wajar saja kalau si gadis tidak mengetahui jalan ke Trengganu. Akhirnya dengan keramahan bercampur rasa curiga diapun berkata.
"Aha... kebetulan kami juga mau pulang ke Trengganu, kalau engkau mau bisa turut serta bersama kami...!"
"Apakah kalian penduduk Trengganu?" tanya si gadis dengan pandangan liar. Tetapi sejauh itu nampaknya Wimba dan murid-muridnya sedikitpun tidak menaruh rasa curiga pada Hning Ksaban.
"Kami memang penduduk sana, dan aku sendiri sebenarnya merupakan sesepuh Adipati Trengganu!" jawab Wimba sedikit bangga. Si gadis nampak terkejut, tetapi hatinya sangat gembira. Nafsu dendampun mulai membara di dalam pembuluh darahnya.
"Oh, jadi engkau termasuk orang tua yang mempunyai pengaruh di daerah Trengganu...?"
"Bukan itu saja. Bahkan aku tahu sejarah yang terjadi di daerah yang subur makmur ini!"
Hning Ksaban tersenyum misterius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah lamakah engkau tinggal di sana orang tua...?" pancing si gadis.
"Ho... ho... sejak kecil aku sudah ada di sana, ada apakah?" tanya Wimba lama-kelamaan menjadi curiga juga rupanya.
"Hemm... ingatkah engkau peristiwa sembilan belas tahun yang lalu?"
Ditanya seperti itu, Wimba nampak sangat terkejut sekali. Semua orang Trengganu sudah pasti tahu tentang kejadian yang menimpa keluarga Panji Paksi. Jangankan lagi dia yang memang pada saat itu ikut membakar rumah kediaman Adipati yang malang itu, lalu timbul pula pertanyaan dalam hati laki-laki ini. Siapakah. sesungguhnya gadis yang sedang berada di hadapan mereka itu? Hatinya mendadak menjadi gelisah tak menentu.
"Siapakah engkau ini yang sesungguhnya, bocah...?" tanya Wimba dengan harap-harap cemas.
"Hiii... hi... hi...! Jangan kira, cuma kalian sendiri yang punya hak untuk bercokol di Trengganu. Kalian memang manusia-manusia serakah berhati keji!" ucap si gadis tibatiba. Hal itu membuat Wimba dan muridnya menjadi heran dan marah sekali.
"Guru, gadis sinting ini terlalu kurang ajar mulutnya. Ada baiknya kalau kutebas saja lehernya!" tukas Anom Kendor kini ikut-ikut menyela.
"Jangan banyak bacot. Orang tua cepat katakan apa yang pernah terjadi sembilan belas tahun yang lalu...!" perintah si gadis, nampaknya dia sudah tak sabar lagi. Wimba gelengkan kepala berulang-ulang. Agaknya dia sudah mulai dapat mengetahui siapa adanya gadis yang tengah dia hadapi itu. Tiba-tiba Wimba tertawa mengekeh.
"Hie... he., he...! Sekarang aku tahu, kiranya engkaulah anaknya Adipati yang malang itu. Hemm, pucuk dicinta ulam tiba! Kalau dulu seseorang masih dapat menyelamatkanmu, tetapi hari ini jangan sekali-kali engkau mimpi dapat lolos dari tanganku!" bentak laki-laki sesepuh Trengganu itu, lalu memberi isyarat pada murid-muridnya. Mengetahui gelagat sebaliknya Hning Ksaban balas membentak.
"Diam di tempat! Selangkah saja kalian bergerak, jiwa kalian pasti tidak akan tertolong!"
"Hei... cepat kalian ringkus dia! Jangan hiraukan ocehannya." perintah Wimba nampak gusar begitu melihat murid-muridnya menjadi ragu-ragu sesaat setelah mendengar ancaman si gadis. Betapapun hati murid-murid Wimba itu menjadi ragu-ragu, tetapi mereka tak ingin mengabaikan perintah gurunya. Bagi mereka, perintah seorang guru adalah di atas segala-galanya, walaupun pada akhirnya dia harus berkorban nyawa sekalipun. Maka tanpa mombuang-buang waktu lagi, mereka itu langsung meloloskan senjata masingmasing. Secepatnya mereka bermaksud mengurung si gadis berpakaian kuning gadis ini. Akan tetapi, sesuai dengan ancamannya. Lebih cepat lagi tangannya bergerak.
"Wuuuuuss!"
"Wua.. arggkh!"
Keempat murid-murid Wimba menjerit-jerit, begitu senjata-senjata rahasia yang disambitkan oleh si gadis, menembus urat leher mereka. Beberapa saat setelahnya, wajah orangorang ini nampak menegang, pucat dan tiba-tiba membiru. Bukan alang kepalang kejut sang guru demi melihat keadaan murid-muridnya. Terlebih-lebih lagi ketika beberapa saat kemudian keempat orang muridnya roboh dan tewas secara mengenaskan. Marah bercampur penasaran berbaur menjadi satu, tanpa sadar kini Wimba telah mencabut pedangnya. Dengan pedang itu dia menuding pada Hning Ksaban.
"Perempuan iblis, begitu berani engkau membunuh murid-muridku. Tidak tahukah engkau, bahwa sesungguhnya kami ini merupakan keamanan kadipaten?"
Si gadis mengekeh!
"Sekalipun engkau pengawal dari kerajaan iblis. Tidak nantinya aku lari meninggalkan lawan-lawan yang telah membunuh orang tuaku." menyela Hning Ksaban.
"Bagus! Bagus! Hari ini juga akan ku-gusur keturunan si Panji Paksi dari kolong langit ini...!"
"Hi... hi., hi...! Majulah...!" Belum lagi Hning Ksaban dengan ucapannya, mendadak pedang hitam di tangan sesepuh dari daerah Trengganu itu sudah menderu, berkelebat mencecar si gadis dengan serangan-serangan yang mematikan. Menghadapi serangan seperti itu, sudah barang tentu Hning Ksaban tidak tinggal diam, sekalipun dia tahu bahwa ilmu pedang yang dimiliki orang sesepuh Trengganu ini tak ada apaapanya. Kini tubuh si gadis berkelebat cepat. Hanya Hning Ksaban memang sengaja memberi kesempatan pada Wimba, untuk mengumbar nafsu amarahnya.
Kini keringat mulai membasahi tubuh si laki-laki, dia terus mengarahkan segenap kemampuannya. Tetapi sampai sejauh itu dia masih belum mampu mendesak lawannya. Hingga lama-kelamaan hatinyapun menjadi jengkel, timbul pula tekadnya untuk mengadu jiwa dengan si gadis. Maka kini tanpa sungkan-sungkan lagi Wimba segera mamainkan jurus pedangnya yang paling dia andalkan. Menebas Hutan Membongkar Gunung. Tak ayal gerakannya semakin lama semakin bertambah cepat, pedang di tangannya yang berwarna hitam menggiriskan menderu ke segala arah. Sese-kali pukulan-pukulan mautpun dia lepaskan. Sialnya pukulanpukulan itupun tak berarti banyak buat Hning Ksaban. Karena dengan baik selalu saja gadis itu dapat menghindarinya. Geram bukan main hati si Wimba begitu melihat semua pukulanpukulan jarak jauhnya luput dari sasaran. Padahal di daerah Tenggara, belum pernah ada seorangpun dapat menghindar dari pukulan maut si Raja Gila hasil ciptaannya. Kalau kini bocah keturunan Panji Paksi yang masih bau kencur itu dengan baik dapat menghindar dari semua serangan. Timbul dalam benaknya bahwa sesungguhnya gadis yang dia hadapi itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Lalu, dengan di awali bentakan-bentakan melengking diapun kembali membangun serangan-serangan yang lebih gencar lagi. Tetapi pada saat itu agaknya Hning Ksaban alias si Tangan Setan nampaknya sudah tidak sabaran lagi. Gadis inipun melompat mundur, detik berikutnya tangan kanan terangkat tinggi-tinggi. Sedangkan tangan sebelah kirinya merapat ke depan dada, sementara mulutnya menyunggingkan senyum sinis. Wimba nampak te-belalak matanya demi menyaksikan gerakangerakan tangan kiri si gadis yang nampak mengelus-elus dadanya. Dia benar-benar tak tahu kalau gerakangerakan tangan kiri itu sesungguhnya hanyalah merupakan siasaat mengalihkan perhatian lawan. Hal itu sangat perlu karena keadaan yang sesungguhnya, dia sedang menyalurkan tenaga dalamnya pada bagian tangan kanannya yang sudah dia rasa sudah cukup, maka kini terlihatlah betapa tangan kanannya yang sudah teraliri tenaga dalam itu nampak menghitam sebatas pangkal lengan. Tanpa kata dengan diawali satu teriakan tinggi meleking, gadis itupun kirimkan satu pukulan mautnya. Wimba nampak terperanjat, tetapi satu rangkaian gelombang sinar hitam itu datangnya lebih cepat dari perhitungannya. Begitupun dia masih berupaya untuk menghindar. Tetapi tetap saja!
"Wusss!"
Tiada terdengar keluhan. Tubuh Wimba nampak terjengkang, lalu terguling-guling. Seluruh permukaan kulit tubuhnya berubah hitam dan melepuh di sana sini, pedang di tanganya mental entah ke mana. Begitupun dia masih berusaha bangkit dari tempatnya. Meskipun hal itu pada akhirnya mampu dia lakukan, tetapi tubuhnya nampak gemetaran. Dini dengan mata melotot karena menahan sakit, dia memandang si gadis. Seolah-olah dia merasa tak percaya dengan apa yang dialaminya.
Hning Ksaban tertawa mengekeh, nampaknya dia begitu puas dengan apa yang telah di lakukannya pada sesepuh dari Trengganu itu. Begitu sinis dia berkata.
"Sesepuh Adipati sialan. Tidak sampai sepuluh menit di muka, engkau segera mampus! Engkau memang pantas mampus, begitupun halnya dengan Giris Rawa si bangsat Adipati yang telah membunuh kedua orang tuaku...!"
"A... apa... kah engkau yang berjuluk si Tangan Setan...?!" Tanya laki-laki yang sudah terkena pukulan beracun itu terbata-bata.
"Hii... hi., hi...! Karena engkau segera mampus, maka tak ada salahnya kalau engkau tahu, bahwa akulah si Tangan Setan itu...!" Begitu mendengar ucapan sigadis, sesepuh dari Trengganu berniat berniat menerjang kembali. Tetapi sebelum niatnya kesampaian, tubuhnya malah terjerembab ke depan.
"Bruugkh! Arrgggkh!" Wimba menekan lehernya yang bagai di cekik tangan raksasa. Sesaat lamanya tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Lagi-lagi sesungging senyum sinis mengembang di bibir Hning. Ksaban, kemudian dia memutar langkah dan bermaksud cepat-cepat meninggalkan tempat itu, ketika di belakangnya terdengar langkah dan suara pelan namun menegur.
"Gadis yang berjuluk si Tangan Setan! Sampai kapankah engkau menyudahi petualanganmu. Ratusan jiwa telah melayang sebagai pelampiasan nafsu dendammu dan apakah engkau tetap akan melakukan pembunuhan di manamana?"
Tanpa merasa terkejut sedikitpun Hning Ksaban secara perlahan menoleh, tahulah dia dengan siapa berhadapan.
"Huh! Engkau Tabib Setan Gila. Jangan kau kira aku tak tahu, bahwa sejak tadi engkau mengintip di balik batu itu. Tapi bagus, kiranya engkau mematuhi semua perintahku...!" bentaknya begitu dingin.
"Dengan pergi dari pondokku, apakah engkau kira aku telah mematuhi perintahmu yang mengancam itu...?" Si Tabib balik bertanya.
"Setidak-tidaknya begitulah kalau engkau memang ingin panjang umur!"
Tabib Setan Gila tertawa, begitu mendengar ancaman si gadis putri sahabatnya.
"Setan! Engkau telah mentertawaiku...! Apakah engkau ingin ku buat mampus seperti bangsat-bangsat itu...?" bentaknya sambil menunjuk pada mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka.
"Kematian tetap kematian, tetapi jangan engkau kira semua itu bisa sekehendakmu. Ada yang lebih berhak atas semua itu...." ujar si Tabib nampak tenang-tenang saja.
"Sial! Engkau benar-benar ingin mampus, Tabib...!" Bersamaandengan kata-kata-nya, si gadis mengangkat tinggi-tinggi. Tetapi Tabib Setan Gila buru-buru menyela.
* * *
--₪¦ « 9 » ¦₪--
"Tidak! Aku tak pernah berhenti sebelum bangsat-bangsat itu mampus di tanganku. Sesungguhnya aku tak butuh kematianmu, tabib. Engkau ingatingalah itu!" sergah si gadis.
"Nduk! Sebagai seorang anak, engkau memang wajib berbakti pada orang tuamu. Tetapi pelampiasan dendam yang membabi buta itu juga tidak baik. Panji Paksi ayahmu juga pasti tidak rela melihat sepak terjang anaknya yang begitu serampangan tak karuan...!" ujar si Tabib. Hning Ksaban nampak terdiam, kedua alis matanya terangkat ke atas. Dia merasa agak heran mengapa si Tabib bisa mengenal nama ayahnya. Padahal seingatnya dia tak pernah bertemu dengan Tabib itu. Dalam keheranannya itu diapun langsung bertanya.
"Tabib Setan Gila! Siapakah engkau ini yang sesungguhnya? Bagaimana engkau bisa tahu nama orang tuaku. Cepat engkau katakan atau kalau engkau hanya bermaksud mengada-ada, kubunuh nanti...!" Bentaknya geram dan penasaran.
"Hning Ksaban... ketahuilah, aku mengenal ayah dan ibumu tak jauh bedanya seperti diriku sendiri. Bahkan ketika kami sama-sama masih seorang bocah, kami sudah saling kenal. Cuma kalau ayahmu pada waktu itu cenderung menyukai ilmu silat maka aku lebih suka belajar ilmu keTabiban. Setelah dewasa ayahmu berkeluarga, kemudian memutuskan untuk merant'au di tanah seberang ini. Maka akupun menyertainya, Hubungan ayahmu dengan aku bak ubahnya seperti saudara kembar saja layaknya. Cuma karena kami memiliki keahlian y'ahg berbeda. Setelah sampai di negeri ini, kiranya ayah dan ibumu lebih suka tinggal di Trengganu yang masih merupakan kota kecil kadipaten. Sedangkan aku lebih suka tinggal di Lembah Tapis Angin yang sunyi. Aku hidup dari hasil bercocok tanam, sekali dua kami saling kunjung mengunjungi. Aku tiada menyangka kalau kiranya ayahmu pada akhirnya lebih suka berkecimpung dalam bidang pemerintahan, dan yang lebih tak kumengerti lagi kiranya diapun akhirnya tewas karena kekuasaan...!" ujar si Tabib dengan wajah tertunduk sedih.
Hning Ksaban terperangah, sedikitpun dia tiada pernah menyangka kalau orang selama ini dalam ancamannya ternyata masih merupakan sahabat baik orang tuanya. Betapapun dia sering berkata kasar pada Tabib dari Lembah Tapis Angin itu. Walaupun dia merupakan yang paling sadis dalam hal menyudahi petualangan lawan-lawannya, Tak urung berhadapan dengan si Tabib, hatinya tersentuh juga. Tibatiba si gadis menundukkan kepala, tanpa di sangka-sangka diapun menjura hormat.
"Uwa Tabib, maafkanlah aku! Sedikitpun aku tiada pernah menyangka kalau Uwa masih merupakan sahabat ayah!" desah Hning Ksaban hampir tak terdengar. Begitu pun tiada air mata yang menetetas.
"Sudahlah, Nduk... semua ini bukan kesalahanmu! Akupun minta maaf, karena pada saat itu aku tak mampu berbuat banyak kala keluargamu mendapat musibah. Mungkin semua itu sudah kehendak Sang Dewata, nduk...!"
"Aku tahu, Uwa... dan sebagai anaknya! Sudah selayaknya kalau aku berbakti pada orang tuaku...!"
"Sepak terjangmu telah membuat dunia persilatan menjadi gempar. Apakah engkau akan meneruskan dendam yang sesungguhnya tidak baik itu, nduk...?" tanya Tabib Setan Gila waswas.
"Itu harus, Uwa! Aku tak akan berhenti selama Giris Rawa masih bercokol di atas kekuasaannya." jawab Hning Ksaban mantap.
"Nduk! Apakah kematian sekian banyak orang di tanganmu tidak pernah membuatmu menjadi puas? Ingatlah di antara mereka yang engkau bunuh itu, aku merasa yakin sebagian besar di antaranya tidak tahu menahu tentang kejadian itu!"
"Siapapun adanya mereka itu, asal dari Trengganu, takkan pernah kubiarkan hidup...!" ucap si gadis geram sekali.
"Aku sedih mendengarnya, tetapi.mengapa harus begitu? Bukankah masih banyak jalan lain yang bisa engkau tempuh.,.?" Hning Ksaban tersenyum sinis! Kemudian dengan sedih dia berucap:
"Uwa tak tahu. Betapa kejadian itu sangat menyakitkan sekali, meskipun saat itu aku masih empat tahun. Tetapi masih segar dalam ingatanku, betapa ayah bertarung matimatian menghadapi keroyokan yang jumlahnya sangat banyak sekali. Aku masih dapat mengingat, betapa ibu merintih dan menjerit-jerit manakala si bangsat Giris Rawa dan beberapa orang kawannya mencabik-cabik pakaian ibu, lalu setelah itu... mereka.. bangsat terkutuk itu secara bergantian menindih tubuh ibu. Kemudian setelah dewasa seperti sekarang ini baru kuketahui bahwa mereka memperkosa ibuku. Aku melihatnya! Haruskah aku berdiam diri, Uwa...?" isak Hning Ksaban, dan untuk pertama kalinya si Tangan Setan ini menitikkan air matanya. Tiada kata yang terucap dari mulut si Tabib. Dia tahu bagaimana perasaan si gadis saat itu. Seandainya dia sendiri yang mengalami kejadian itu, diapun tak tahu apa yang harus diperbuatnya terkecuali membalas dendam.
"Menyesal sakali, waktu itu aku tak sempat mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Terkadang sebagai orang tua aku memang seringkali tak berguna...!" kata Tabib Setan Gila menyesali diri.
"Sudahlah, Uwa tak bersalah! Semuanya terjadi begitu cepat, yang penting Uwa tak perlu menghalangi setiap apa yang ingin ku katakan!"
"Adipati Giris Rawa bukan manusia sembarangan, nduk, di samping itu dia juga memiliki begundal pilihan. Aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu...!"
Mendengar kata-kat si Tabib, tiba-tiba Hning Ksaban tertawa mengekeh. Wajahnya yang tadinya menunduk sedih kini telah berubah kembali menjadi beringas, liar dan galak. Lalu dia berkata lantang!
"Hi... hi... hi! Selama lima belas tahun guruku Setan Tua Tangan Seribu telah mendidikku sedemikian rupa, terlatih pula untuk memburu lawan yang manapun. Tak seorangpun yang mampu melukaiku dengan senjatanya. Giris Rawa dan orangorangnya itu akan kubunuh, Uwa...!" Berkata begitu, tubuh Hning Ksaban nampak berputar-putar. Semakin lama semakin kencang tak ubahnya bagai sebuah gasing. Berssamaan dengan itu bergemuruhlah angin kencang bak laksana suara ribuan lebah. Maka seiringan bagaikan kapas tubuh Hning Ksaban berkelebat lenyap meninggalkan Tabib Setan Gila yang termangu di tempatnya-Orang ini tampak gelengkan kepala begitu mengetahui kehebatan yang dimiliki oleh Hning Ksaban alias si Tangan Setan.
* * *
Rumah kediaman Adipati Giris Rawa malam itu dipenuhi oleh para pembantu pembantunya. Agaknya sebentar lagi akan segera di adakan pertemuan khusus dengan sang penguasa Trengganu itu. Suasana hening menyelimuti segenap ruangan. Tak se-rangpun di antara mereka yang berani buka suara. Wajah masing-masing nampak tertunduk dalamdalam. Tak berapa lama kemudian dari balik sebuah pintu besar yang berukir indah, muncullah sang Adipati Giris Rawa. Laki-laki berbadan tinggi kurus namun berperut bagaikan gentong itu nampak melangkah dengan kewibawaan yang dibuat-buat. Beberapa saat setelahnya dia sudah duduk di singgasananya yang empuk penuh kemegahan. Laki-laki berkulit kuning pucat dengan sepasang matanya yang tak jauh bedanya dengan orang yang sedang mengantuk itu. Untuk beberapa saat lamanya nampak memandangi tujuh orang pembantu-pembantu utamanya. Di antara mereka terdapat pula Dingklang. Lakilaki kumis ikan lele yang beberapa hari lalu sempat menjadi pecundang Tabib Setan Gila.
Setelah puas memandangi para pembantu-pembantunya, Giris Rawa menyenderkan kepalanya. Sejurus dia melirik kanan kiri memberi tanda gundik-gundiknya untuk meninggalkan tempat itu. Setelah perempu-anperempuan peliharaan itu semuanya telah berlalu dari ruangan pertemuan, sambil mengusap-usap perutnya yang gendut dan lucu diapun mulai membuka percakapan.
"Saudara-saudara sekalian, tahukah anda mengapa hari ini tidak seperti biasanya, saya mengundang saudara untuk mengadakan pertemuan ini?" tanya Giris Rawa dengan pongahnya. Yang ditanya saling berbisik-bisik sesamanya. Lalu secara serentak mereka menjawab.
"Tidak tahu, ya Sang Adipati Junjungan...!" ucap mereka serentak sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Bukan main berangnya sang Adipati angkuh itu dibuatnya demi mendengar para bawahannya. Wajahnya yang kuning pucat itu semakin bertambah pucat karena menahan marah.
"Guoblook semua kalian ini! Dua puluh lima sen setiap bulan yang kuberikan pada kalian itu, bukan hanya sekedar untuk mengatakan tidak tahu melulu, mengerti?" ulang sang Adipati. Lagi-lagi secara serentak:
"Mengerti Ketua...!"
"Mengerti apa...?!" bentak Giris Rawa, seraya mengelus-elus jenggotnya yang tidak lebih baik dari buntut kuda.
"Maksud ketua, dua puluh lima sen itu bukan gaji buta pemberian nenek moyangmu, Yang Mulia...!"
"Wei... bangsat betul kalian. Berani kali kalian menyebut-nyebut nenek moyangku yang sudah mampus. Apakah ingin kugantung...?" Maki sang Adipati kesal sekali. Pucat wajah mereka demi mendengar ancaman Sang Junjungan, lalu cepat-cepat mereka meralat ucapannya.
"Ketua maafkan kami! Kami tak bermaksud menyebut-nyebut orang yang sudah tiada. Maksud kami, gaji bulanan itu bukanlah merupakan pemberian yang cuma-cuma. Semua itu dibayar, sebagai imbalan atas tugas-tugas yang telah kami selesaikan selama ini!" ralat si Dingklang mewakili kawan-kawannya yang lain. Giris Rawa angguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda puas!
"Bagus, di antara sekian banyak. Engkau memang salah seorang anak buah yang memiliki kecerdasan lebih. Engkau memang pantas mendapat penghargaan tertinggi dariku...!" ucap sang Adipati. Bukan alang kepalang girangnya hati si Dingklang mendengar keputusan sang Adipati. Tetapi begitu Giris Rawa melanjutkan ucapannya, wajah si Dingklang menjadi lesu kembali.
"Tetapi penghargaan, itu nanti Dingklang! Setelah semua urusan yang akanu kita bicarakan ini dapat diselesaikan dengan baik, dalam arti pelaksanaannya...!"
"Tidak ada, Yang Mulia!" kata si Dingklang berusaha menyembunyikan perasaan.
"Bagus! Bagus! Aku sangat suka pada orang yang punya pengertian sepertimu." kata Giris Rawa Jumawa.
"Yang mulia Adipati, lebih dari sekedar pujian. Kami yakin masih ada hal lain yang akan Adipati bicarakan dengan kami. Kami sudah siap untuk mendengarkannya. Sudilah Adipati memulainya...!" usul salah seorang di antara mereka yang bernama Banu Keling, nampaknya dari sekian banyak pembantu-pembantu Adipati, laki-laki dari Bukit Monyet selalu menunjukkan sikap ketidaksenangannya pada sang Adipati yang selalu membuat mual perutnya.
"Usul yang bagus saudara Banu keling. Saya memang segera akan membuka pertemuan ini." menyela si Adipati. Beberapa saat setelahnya, keadaan di dalam ruangan itu hening kembali. Sesekali daja terdengar desah nafas sang pimpinan. Agaknya dia sedang memikirkan sesuatu yang akan dikatakannya pada para pembantu.
"Begini!" Giris Rawa membuka percakapan kembali. Seperti yang saudara-saudara ketahui, sudah berjalan hampir setahun, wilayah kekuasaanku ini menjadi gempar dengan adanya aksi si Tangan Setan. Korban sudah begitu banyak. Bahkan belakangan diketahui, paman Wimba yang merupakan sesepuh kadipaten dan juga beberapa orang muridnya tewas secara mengerikan di tangan iblis itu. Aku ingin saudara ikut mencari jalan keluarnya untuk dapat menyeret si Tangan Setan yang telah menginjak-injak kewibawaanku...!"
"Ampun Adipati...!" Banu Keling menjura dalam-dalam. Sepintas sang Adipati menoleh ke arah Banu Keling.
"Ya, kalau ada usul! Jangan segan-segan untuk mengatakannya Saudara Banu Keling...!"
"Begini ketua! Seperti kita sudah ketahui, saudara Wimba sesungguhnya bukanlah orang yang bisa dianggap sepele dalam hal ilmu kepandaian silat dan permainan pedang hitamnya. Bahkan diapun seorang guru dari puluhan orang murid! Kalau saudara Wimba dan beberapa orang muridnya saja, yang bisa dikatakan memiliki kepandaian tinggi, dapat dikalahkan oleh si Tangan Setan bahkan sampai tewas di tangannya. Maka aku yang bodoh ini dapat menduga bahwa orang itu berkepandaian sangat tinggi...!" Sang Adipati angguk-anggukkan kepala, lalu diapun menambahi!
"Engkau benar, saudara Banu Keling! Siapapun si Tangan Setan. Sudah pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi, di samping memiliki pukulan beracun yang sampai saat ini tiada obatnya...!"
"Benar yang mulia. Bahkan Tabib Setan Gila sendiri ketika bertemu denganku mengakui kalau dirinya tak sanggup memberikan kesembuhan!" sela si Dingklang malu-malu.
* * *
--₪¦ « 10 » ¦₪--
"Benar! Hal itu terjadi karena Tabib Gila itu mengatakan tak sanggup untuk mengobati kawan-kawan yang terkena pukulan beracun si Tangan Setan...!" kilah si Dingklang. Giris Rawa sempat tercengang demi mendengar pengakuan pembantunya itu. Lalu timbul dalam fikirannya, kalau memang benar bawahannya itu sempat bentrok dengan si Tangan Setan. Itu berarti si Dingklang mengenali siapa adanya si Tangan Setan itu.
"Dingklang, kelau memang benar ucapanmu itu. Sudah barang tentu engkau mengenali bagaimana tampangnya si Tangan Setan itu...?"
"Ee... sulit... untuk mengatakannya, ketua! Sebab orang itu mengenakan topeng, tetapi kalau menitik suaranya, aku yakin si Tangan Setan nampaknya seorang perempuan belaka...!"
"Perempuan...!" gumam Giris Rawa tanpa sadar. Seingatnya dia tak pernah punya musuh seorang wanita. Kalau pun ada, mereka itu tak ada yang berumur panjang! Menurut pendapatnya si Tangan Setan tak mungkin menyebar teror secara mengerikan seperti itu, kalau tak punya alasan tertentu. Tiba-tiba dengan sangat penasaran sekali dia kembali bertanya.
"Tahukah engkau, bagaimana kirakira rupa di balik topeng itu...!"
"Tidak ketua... tetapi menurut keyakinanku, kemungkinan besar wajah di balik topeng itu masih sangat muda...!" jawab si Dingklang tanpa ragu-ragu.
"Dingklang, jangan engkau mengada-ada. Menurutku tak mungkin seorang wanita yang masih sedemikian muda telah begitu berani membuat urusan yang besar di kadipaten Trengganu ini, lagipula apa masuk akal kalau bocah sedemikian bau kencur sudah mampu menguasai pukulan-pukulan maut yang sudah sedemikian sempurna?" menyela Banu Keling merasa kurang sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Dingklang. Lain halnya dengan Banu Keling, lain pula dengan Giris Rawa, Saat Itu dia mulai sudah dapat menduga-duga, siapa adanya perempuan yang berjuluk si Tangan Setan itu. Dia masih ingat betapa waktu itu Panji Paksi, Adipati yang malang itu mempunyai seorang anak perempuan yang tidak keburu mereka binasakan karena ada seseorang berkerudung yang menyelamatkannya. Kejadian itu kini sudah hampir delapan belas tahun yang lalu. Sangat masuk akal kalau bocah itu kini sudah berangkat dewasa, dan mungkin saja dialah yang berjuluk Si Tangan Setan itu. Dengan senyum penuh kelicikan, wajahnya yang kuning pucat itu kini nampak berobah sedikit cerah. Kemudian begitu pongahnya dia memandang pada para bawahannya.
"Saudara Banu Keling! Mungkin apa yang dikatakan oleh adi Dingklang sudah mulai mendekati kebenaran...!" ucapnya dengan sesungging senyum memualkan.
"Apa maksudmu, Ketua...!" tanya yang lainnya.
"Masih ingatkah kalian dengan peristiwa besar delapan belas tahun yang lalu!" Giris Rawa balik bertanya. Yang ditanya masing-masing kerutkan kening. Sama-sama mencoba mengingatingat. Begitu mereka mengerti!
"Maksud Yang Mulia Adipati, mengenai keluarga Panji Paksi...!"
"Benar! Bagus kalau kalian masih mengingatnya. Seperti kita ketahui bukankah kala itu Panji Paksi punya seorang anak perempuan yang sempat diselamatkan oleh orang berkerudung?" Ujar si Adipati.
"Apa hubungannya antara anak si bangsat Panji Paksi dengan si Tangan Setan, Ketua...!" tanya mereka hampir bersamaan. Sudah barang tentu pertanyaan mereka ini membuat jengkel sang Adipati.
"Kalian ini goblok semua. Otak kalian malah tidak lebih baik dari otak keledai dungu. Hubungannya ya sudah jelas ada! Bocah cilik itu sudah barang tentu kalau masih hidup sekarang ini sudah dewasa. Bukan tak mungkin si manusia berkerudung itu telah mengajarkan ilmu sakti kepadanya!"
"Hmm. Benar juga... kalau begitu yang menjadi sasaran utama dalam terornya sudah jelas engkau yang mulai Adipati...!" kata Banu Keling.
"Tolol!. Bukan aku sendiri, tetapi kita semua yang ada di kadipaten ini...!" ucapnya marah sekali.
; "Benar. Mengapa dulu kita tidak membunuhnya sekalian, bikin penyakit saja...!" menyela si Dingklang.
"Sudah... semuanya sudah telat... sudah terlambat! Tak perlu kita mencari kambing hitam. Yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana caranya meringkus bocah itu secepatnya...!" bentak Giris Rawa, lalu ia gebraknya meja berukir indah yang berada di hadapannya. Hingga meja itupun hancur berkeping-keping. Pucat wajah orangorang di sekelilingnya demi melihat kemarahan sang junjungan, wajah mereka nampak tertunduk dalam-dalam. Sepasang mata Giris Rawa yang buas dan keji itu untuk beberapa saat lamanya menyapu pandang pada para bawahannya, setelah itu akhirnya diapun berkata tegas.
"Dalam keadaan segawat sekarang itu, aku tak pernah meminta pada kalian untuk saling berbantahan, kalian kuundang kemari adalah untuk membicarakan bagaimana akal kita menghadapi sepak terjang bocah itu yang sudah melebihi takaran. Bocah itu sangat berbahaya, bahkan bisa menghancurkan kita dalam waktu cepat atau lambat kalau kita tak memasang perangkap untuk menangkapnya. Jangan kalian-fikir kita dapat dengan mudah meringkusnya, kalau kita tidak mempergunakan akal lama...!" Lagi-lagi Adipati Trengganu mendengus.
"Maksud yang mulia kita biarkan si Tangan Setan datang sendiri ke mari...!".:
"Tak salah...!" ujar Giris Rawa dengan sesungging senyum penuh kelicikan. Semua orang yang hadir di situ nampak terdiam begitu mendengar keputusan sang Adipati. Sebagian di antara mereka ada yang setuju dengan siasat yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pengecut, sedangkan sebagian yang lain nampaknya menjadi ragu-ragu. Walaupun mereka ini memang tak berani secara terangterangan mengatakan apa yang terkandung dalam hati masing-masing.
"Bagaimana apakah kalian merasa setuju dengan usulku itu...?" tanya sang Adipati.
"Setuju sih setuju Adipati... tetapi yang jadi persoalannya sekarang ini adalah, apakah si Tangan Setan mau datang ke mari atau tidak!"
"Weii... mahluk apakah engkau ini, kok tolol banget.. Si Tangan Setan mengincar kita, sudah pasti dia cepat atau lambat datang ke mari...!"
"Betul juga... kalau begitu akur saja dah..,!". menyahut Banu Keling dan lain-lainnya secara serentak.
Dalam pada itu salah seorang di antara mereka di pintu utama datang dengan tergopoh-gopoh memberi laporan. Wajah pengawal itu nampak sangat pucat sekali. Sesampainya di depan Adipati pengawal pintu utama itu langsung berlutut dan menjatuhkan diri.
"Celaka Yang Mulia, lapor Yang Terhormat... eeh.. maksud...!" ucapnya tersendat dan terbata-bata.
"Bajul Buntung... mau ngomong saja pakek au.. au.. au... siapa yang mengajarimu menjadi gugup seperti itu? Coba bicara baik-baik...!" bentak sang Adipati nampak sangat marah sekali.
"Ba... baik... yang mulia! Begini ada seorang pengacau di luar sana...!" kata si pengawal memberi laporan.
"Pengacau! Apakah kalian tidak mampu membereskan bangsat itu?.Ke mana kawan-kawanmu yang lain. Apakah mereka tidur saja kerjanya...?" gerutu sang Adipati dengan mata memerah.
"Kami sudah mengadakan perlawanan, yang mulia! Tetapi malah kawan-kawan kami semuanya tewas...!" jawabnya dengan tubuh gemetaran.
"Tewaas...?" Giris Rawa sampai terlonjak dari tempat duduknya demi mendengar laporan pengawalnya. Tiga puluh orang penjaga bukanlah sedikit. Mereka juga telah dilatih dengan berbagai ilmu kanuragan oleh Wimba. Bagaimana bisa terjadi pengawal yang begitu banyak jumlahnya bisa dirobohkan oleh pengacau. Beberapa saat kemudian dia kembali berpaling pada pengawalnya.
"Pengawal linglung! Berapa banyakkah para pengacau itu...?" tanya sang Adipati.
"Tidak banyak, Yang Mulia hanya satu orang...!"
"Tolol... sinting... guoblok... semua! Begitu banyak orang diluaran sana, cuma menangkap satu orang saja nggak becus. Malah pada mati lagi...!"
"Orang itu memiliki pukulan beracun dan berkepandaian silat sangat tinggi, Yang Mulia...!" kata si pengawal memberi penjelasan. Kejut di hati Giris Rawa bukan alang kepalang. Lalu timbul pula dugaannya bahwa orang itulah yang sesungguhnya sedang mereka bicarakan saat itu.
"Kalian semua!" ucap sang Adipati memandang ke segenap ruangan! Kemudian lanjutnya: "Di Trengganu ini tak seorangpun yang memiliki kepandaian melebihi kakang Wimba dan memiliki pukulan beracun pula. Aku merasa yakin, agaknya inilah manusianya si Tangan Setan yang kita sedang tunggutunggu itu. Aku ingin agar kalian mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ringkus manusia biang malapetaka itu hidup atau mati." perintah Giris Rawa. Akhirnya tanpa membuang-buang waktu lagi, Sang Adipati dan orangorangnya nampak berserabutan ke luar dari rumah Adipati. Sampainya di halaman yang begitu luas, persis seperti apa yang dilaporkan oleh penjaga pintu. Terlihatlah pemandangan yang benar-benar menggiriskan. Mayatmayat pengawal kadipaten yang jumlahnya lebih dari tiga puluh orang itu nampak bergelimpangan di berbagai tempat. Mereka semuanya tewas dengan wajah menghitam dan biru akibat terkena pukulan Raja Cobra. Semua mata menyaksikan pemandangan itu nampak bergidik. Ngeri dan cemas berbaur menjadi satu. Merah paras sang Adipati demi melihat seluruh pengawalnya terbantai habis. Tubuhnya yang kurus nampak bergemetaran, kedua bibirnya yang menghintam itu nampak terkatup rapat. Saat itu bulan sabit ketujuh masih berselimut kabut, sang Adipati dan lain-lainnya nampak mengitarkan pandangan kesegenap malam. Suasana terasa sepi mencekam. Dalam kemarahannya yang meluap-luap itu. Tiba-tiba Giris Rawa berteriak lantang:
"Setaaaaan...! Manusia yang mengaku dirinya si Tangan Setan! Jangan hanya ngumpet di gelapannya malam. Keluarlah... pengawal-pengawal itu bukan :apa-apamu! Aku Adipati Trengganu merupakan lawan, keluaarrr...!" perintah sang Adipati memberi tantangan. Namun, sejauh itu tiada sai-hutan apapun, suara Adipati yang sedemikian lantangnya menggema di keheningan malam yang sepi.
"Agaknya orang itu telah pergi dari tempat ini, Adipati...!" menyela Banu Keling. Tanpa berpaling dari posisinya, Giris Rawa berkata gusar: "Huh! Aku tak percaya, dia pasti masih berada di sekitar tempat ini...!" bantah sang Adipati.
"Manusia keparat si Tangan Setan! Keluarlah dari tempat persembunyianmu" Si Dingklang ikut-ikutan pula berteriak.
"Kuatan dikit! Mungkin si Tangan Setan jenis manusia tuli...!"sergah salah seorang di antaranya.
"Bajul Buntung! Tadi juga sudah kuatan, mungkin kupingmu saja yang budek...!" kata si Dingklang pada si botak yang berdiri di sisinya.
"Sial betul kalian ini. Mengapa saling berbantahan... ayo cepat cari di sekitar tempat ini!" bentak Giris Rawa nampak sangat marah sekali.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh. Lalu melesatlah sesosok bayangan dari atas wuwungan rumah, begitu cepat bayangan itu berkelebat hingga tahu-tahu dia sudah menginjakkan kakinya tidak begitu jauh dari tempat Adipati dan orang-orangnya berdiri. Serentak perhatian mereka tertuju pada si manusia yang mengenakan topeng biru. Beberapa saat kemudian tanpa diberi komando, orang-orang Giris Rawa itupun langsung mengepugn si Tangan Setan. Mengetahui gelagat, si Tangan Setan malah tertawa ngikik.
"Hi... hi... hi...! Manusiamanusia serakah, hari ini akan kuhapus nama kebesaranmu dari kolong langit ini...!" teriak si Tangan Setan geram sekali. Berkali-kali Giris Rawa meludah ke tanah demi mendengar ucapan si orang bertopeng itu. Lalu tak kalah gusarnya diapun menyela:
"Ho... ho... ho...! Budak setan, sekalipun seratus lapis engkau kenakan topeng itu jangan kau kira aku tak dapat mengenalimu Ayahmu Panji Paksi telah mampus di tangan kami. Kupikir sebentar lagi engkaupun akan mengalami nasib yang sama pula, atau mungkin lebih mengerikan dari sekedar apa yang di alami oleh orang tuamu...!"
"Bagus kalau engkau mengenaliku! Tahukah kau sudah berapa banyak dosa yang engkau tumpuk...!" tukas si Tangan Setan mencemooh.
"Tolol sekali engkau ini! Pembunuhan yang engkau lakukan semenameha saja sudah menutup jalan bagimu untuk bertobat. Masikah engkau menghitung-hitung kesalahanku yang sesungguhnya teramat kecil...!"
"Keparaat! Hieeeh...!"
"Arrghk!" Sekali lagi tangan si gadis ber-kelebat, dua orang bawahannya terpelanting roboh. Tewas secara mengerikan seketika itu juga, mendidihlah darah sang Adipati dibuatnya.
* * *
--₪¦ « 11 » ¦₪--
"Akupun tak perlu merengek minta ampun padamu, bangsat Giris Rawa...!"
"Sialan...!"
Adipati Giris Rawa sudah bermaksud ke arah si Tangan Setan, tetapi Banu Keling mencegah!
"Ketua biarkan kami yang meringkus bocah setan ini...!" Serentak dengan ucapannnya, Banu Keling, si Dingklang dan dua orang lainnya segera mengepung si Tangan. Setan. Gadis bertopeng itu kembali tergelak-gelak. Begitu cepat tubuhnya berkelebat sambil keluarkan seruan.
"Hari ini Adipati sialan dan para begundal-gundalnya benar-benar segera kukirim ke liang kubur...!"
"Tutup bacotmu betina setan! Sheaaa...!" Banu Keling kirimkan satu babatan satu bacokan mengarah pada bagian kepala dan pinggang. Pada saat yang sama menderu pula satu serangan dari arah samping kiri yang dilancarkan oleh si Dingklang. Si Tangan Setan keluarkan tawa mengekeh, tubuhnya sedikit condong ke samping kanan, lalu tanpa terduga-duga bagaikan seekor jangkrik tubuh itu melentik ke udara.
"Wuaa...!"
"Semprul sialan! Hampir saja kita saling bacok-bacokkan Banu keling...!" gerutu si Dingklang saat mana senjata mereka hampir saja bertemu satu sama lain. Masih untung meskipun suasana gelap remang-re-mang mereka nampak sangat hati-hati dalam melakukan penyerangan. Andai tidak, sudah barang tentu mereka secara tak sengaja sudah saling bunuh.
"Bet! Bet!"
Banu Keling lagi-lagi membuka serangan, kali ini sambil menyerang dia kirimkan satu pukulan maut yang diberi nama, Ular Gunung mencatok Tikus, Begitu tangan kanannya membabat ke arah depan, tengan kiri terentang ke atas, kemudian berkiblat.
Tak ayal satu sapuan gelombang angin yang teramat kencang segera menerjang ke arah si Tangan Setan. Jubah Kuning yang dikenakan oleh si Tangan Setan sampai berkibar-kibar di landa angin pukulan yang dilepaskan oleh Banu Keling. Pembantu Adipati itu berharap satu pukulan yang dilepaskan itu telah mampu merobohkan si Tangan Setan atau setidak-tidaknya membuat dia kelabakan. Akan tetapi tak disangka-sangka si Tangan Setan sebaliknya malah mendengus dan keluarkan ucapan yang membuat orangorang Adipati semakin gusar.
"Puih! Pukulan mainan bocah begini mana ada apa-apanya. Nih kukembalikan. Bersamaan dengan ucapannya. Si Tangan Setan lambaikan tangan kirinya. Praktis pukulan yang dilepaskan oleh Banu Keling bukan saja tak pernah mencapai sasarannya, lebih dari itu. Pukulan itu kini malah berbalik menyerang pemiliknya dengan kekuatan yang berlipat ganda. Seandainya Banu Keling tidak cepatcepat menghindar dengan cara berjumpalitan. Sudah dapat dipastikan dia akan binasa oleh pukulannya sendiri, Sumpah serapah berhamburan dari mulut laki-laki itu, ketika pukulan Ular Gunung Mencatok Tikus masih saja. menyerempet bagian tumit kakinya. Serentak dengan bersurutnya Banu Keling, maka si Dingklang dan dua orang lain nampak bergerak maju.
Dengan senjata sebilah pedang tipis di tangan masing-masing. Ketiga orang ini menggempur si Tangan Setan dari berbagai arah. Akan tetapi nampaknya si Tangan Setan sudah tak ingin mengulur-ulur waktu lagi. Secepatnya serangan-serangan itu datang menggempurnya silih berganti, maka lebih cepat lagi tubuhnya berkelebat, hingga manakala dari si Dingklang dan dua orang lainnya menderu ke arahnya, tanpa sungkansungkan kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam itupun secara tepat memapaki.
"Crak! Crak! Crak!"
"Buk!"
Bagai membentur batu karang saja layaknya, ketika pedang di tangan ketiga orang itu mencapai sasarannya. Kejut di hati mereka bukan alang kepalang, mereka tak pernah menyangka kalau si Tangan Setan memiliki kekebalan tubuh yang sangat luar biasa. Begitupun halnya dengan Adipati Giris Rawa yang saat itu nampak menyaksikan jalannya pertarungan anak buahnya dari tempat yang tidak begitu jauh dari halaman rumah Kadipaten itu.
Sementara itu si Dingklang dan dua orang lainnya begitu mengetahui lawannya , kebal terhadap senjata, mereka bermaksud untuk mencari titik kelemahan lainnya. Tetapi begitu dia berusaha menarik senjata yang menempel di jemari tangan si gadis bertopeng. Ketiga orang ini dibuat lebih terkejut lagi. Karena ternyata mata pedang di tangan mereka telah menempel begitu lekat di antara celah-celah jemari lawannya. Pada saat itu pulalah si Tangan Setan kirimkan tiga pukulan kilat secara bertubi-tubi.
"Buk! Buk! Buk!"
"Wuaea...!"
Bagai ranting kering ditiup topan ketika orang itupun tanpa ampun lagi terlempar sedemian menyedihkan. Tiga jeritan maut terdengar saling susul menyusul. Seandainya kejadian singkat itu berlangsung siang hari, sudah tentu Banu Keling dan Adipati Giris Rawa, akan menjadi jerih begitu melihat tubuh orang-orangnya yang terkena pukulan beracun, nampak melempuh dan berubah menghitam seketika itu juga. Kini tinggallah pentolan-pentolan Kadipaten nampak memandangi mayat-mayat para pembantunya yang tewas secara menyedihkan.
Sungguhpun hati Banu Keling dan Giris Rawa dibakar kemarahan yang meluap-luap, tetapi kini agaknya mereka mulai menyadari bahwa caci maki sudah tiada gunanya. Dan sejauh itu dia sudah dapat menduga seberapa hebat kekuatan dan kedahsyatan. yang dimiliki oleh si Tangan Setan. Maka. kini tanpa banyak kata lagi, Giris Rawa kembali mencabut keris lekuk tujuh bergerigi miliknya. Begitupun Banu keling, laki-laki berkulit arang inipun tak tinggal diam. Segera pula di lolosnya sebuah bola baja berduri yang selama ini nampak melilit di pinggangnya.
Beberapa saat kemudian bagai saling berlomba, dua orang pentolan Kadipaten Trengganu itupun dengan senjata-senjata aneh namun menyeramkan. Segera kirimkan seranganserangan ganas. Dengan senjata di tangan mereka, setiap tusukan maupun babatan selalu saja menimbulkan deru angin yang menggiriskan. Agaknya senjata-senjata milik pentolanpentolan Kadipaten itu juga mengandung racun yang ganas. Ini terbukti si Tangan Setan yang memiliki kekebalan terhadap segala macam racun saja nampak bertindak sangat hati-hati. Hal ini ternyata memang membuka kesempatan yang cukup besar bagi Banu Keling dan Giris Rawa untuk mendesak lawannya dengan sangat leluasa sekali.
Gebrakan-gebrakan berikut ternyata memang si Tangan Setan nampak mulai terdesak, gempuran-gempuran yang dilakukan dari dua arah oleh lawanlawannya secara sambung-menyambung itu. Membuat si Tangan Setan tak mampu mengembangkan jurus-jurus silat yang di milikinya. Akibatnya sambil terus bertahan dia hanya mampu mengelak dan menangkis. Bukan main kesalnya hati si Tangan Setan, demi mangetahui betapa hebat gabungari jurus-jurus silat yang dimainkan oleh lawan-lawannya. Lebih dari itu yang patut di akui oleh si Tangan Setan adalah cara kerjasama di antara kedua orang itu yang sedemikian baiknya, sehingga meskipun permainan ilmu silat mereka bukan berasal dari satu sumber tetapi menunjukkan kekompakkan yang sangat serasi.
Dalam pada itu, Giris Rawa dan Banu Keling kelihatan terus mendesak lawannya sampai ke tembok pagar, beberapa kali senjata di tangan Giris Rawa yang berupa keris bergerigi berhasil merobek beberapa bagian dari pakaian lawannya. Giris Rawa yang saat itu merasa berada di atas angin, nampak terkekeh-kekeh. Begitu melihat bagian-bagian tertentu dari tubuh si Tangan Setan. Yang seperti sama-sama diketahui sesungguhnya merupakan seorang wanita. Beberapa saat kemudian Banu Keling yang sudah semakin kalap dan tak sabaran ini nampak berteriak keras, bersamaan dengan jeritannya itu pula, tubuhnya berkelebat lebih cepat. Bola baja berduri yang berada dalam genggamannya diputar sedemikian cepatnya, hingga menimbulkan bunyi mendengung menyakitkan gendang telinga. Satu kesempatan, Banu Keling tampak memberi isyarat pada Giris Rawa. Mengetahui gelagat, Adipati bangsat itu cepat-cepat menyurut beberapa langkah! Pada saat itu pula Banu Keling yang sudah merencanakan segala sesuatunya segera mengayunkan rantai bola baja di tangannya.
"Nguuuuung!"
Laksana suara ribuan lebah, bola baja berduri itu mendengung. Sesungging seringai maut membias di bibir Banu Keling. Saat senjata di tangannya bergerak sedemikian cepat pada bagian kepala si Tangan Setan.
Si Tangan Setan nampak terkesima begitu mengetahui datangnya serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba ini. Sekejap dia menjadi gugup! Tetapi bukan si Tangan Setan namanya kalau dalam menghadapi serangan yang demikian saja dia sudah kelabakan. Demikianlah ketika bola berduri itu dua jengkal hampir menghancurkan kepalanya. Di saat Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa kali itu si Tangan Setan sudah tak dapat menghindar dari kematian. Secara mendadak dan tiada disangka-sangka oleh pentolan-pentolan Kadipaten Trengganu, tubuh si Tangan Setan nampak kembali menelentik ke udara.
"Haiiiit"
Bola baja yang seharusnya menghantam kepala si Tangan Setan, sebaliknya terus meluncur mencapai sasaran yang kosong.
"Craak! Bluuum"
Luncuran yang sudah sangat sulit pada akhirnya menghantam tembok dinding sehingga mengakibatkan tembok itu menjadi porak poranda.
Agaknya serangan yang gagal mencapai sasarannya itu telah membuat Banu Keling menjadi sangat penasaran sekali. Dengan melarang Giris Rawa terlebih dahalu, pada akhirnya dia maju seorang diri. Sebelum mulai gebrakan berikutnya diapun berteriak lantang.
"Tangan Setan! Karena hari ini aku tak mampu mengembalikanmu ke neraka. Maka lebih baik berhenti jadi manusia. !"
"Bagus! Kalau engkau berhenti jadi gembongnya manusia sesat, aku sarankan engkau jadi Raja Cacing Tanah saja...!"
"Hait...mampuslah engkau bocah sombong...!" teriak Banu Keling. Rantai Bola Baja di tangannya kembali menderu, semakin lama nampak bergerak semakin cepat, hingga pada akhirnya hanya tinggal merupakan bayang-bayang saja. Di lain pihak. Si Tangan Setan yang diserang sedemikian rupa, kini malah nampak tenang-tenang saja. Hal ini sesungguhnya sangat wajar, karena rupanya dalam keadaan terdesak tadi sesungguhnya dia sedang berusaha memecahkan permainan setiap jurus ilmu silat lawannya. Kini setelah misteri jurus-jurus ilmu silat si Giris Rawa dan Banu Keling terpecahkan. Maka makin mudahlah baginya untuk mematahkan serangan pihak lawan apalagi kini Banu Keling yang sudah sangat penasaran itu mencegah Sang Adipati untuk mengeroyok si Tangan Setan.
Dalam gebrakan-gebrakan berikutnya nyatalah bahwa permainan silat maupun pukulan-pukulan yang dilepaskannya, sudah dapat di baca oleh si Tangan Setan. Hingga pada akhirnya, sungguhpun Banu Keling berusaha mati-matian dan bahkan telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun tetap saja setiap serangan yang di lancarkannya selalu saja patah di tengah jalan. Satu kesempatan, bola baja di tangan Banu Keling kembali menderu, bahkan lebih cepat lagi bila dibandingkan dengan serangan-serangan terdahulu. Bersamaan dengan berkelebatnya tubuh Banu Keling. Maka si Tangan Setan yang memang sudah bersiap-siap melepaskan pukulan beracunnya juga ikut bergerak lebih cepat lagi. Tetapi manakala bola baja di tangan Banu Keling mengejar dari arah belakangnya. Sebaliknya dia malah hentikan gerakan dan berdiri tiada bergeming. Banu Keling dan Giris Rawa menyangka bahwa si Tangan Setan kiranya sudah menyerah dan mau menerima kematian.
"Nguuung!"
Beberapa inci lagi bole berduri itu menyambar perut si Tangan Setan, maka tangan kanannya bergerak laksana kilat.
"Creeep!"
Dua orang pentolan Trengganu itu sama-sama terbelalak penuh kejut begitu mengetahui dengan sangat mudah pihak lawannya, bukan saja dapat mengelakkan hantaman bola baja itu, tetapi sebaliknya malah mampu pula menangkap dengan sangat tepat senjata milik musuhnya. Banu Keling tak dapat berfikir panjang manakala satu sentakan dari tenaga yang sangat besar, merenggutkan bola baja itu dari tangannya. Belum lagi habis kejut di hatinya. Tanpa terduga-duga, laksana meteor. Si Tangan Setan menyambitkan bola baja berduri itu pada pemiliknya. Senjata maut itu terus melesat sebegitu cepat, ke arah Banu Keling. Giris Rawa yang sempat melihat kejadian itu berteriak memberi peringatan.
"Saudara Banu Keling... awaaaas...!" Percuma saja Giris Rawa memberi peringatan pada Banu Keling, sebab laki-laki yang sudah sangat gugup itu sudah tak mampu mengelak lagi. Tak ampun senjatanya sendiri, menghantam bagian dadanya.
"Broooook!" '
Banu Keling menjerit lirih manakala bola baja itu membuat remuk dadanya. Darah nampak memancar deras dari tulang-tulang iga yang berserabutan ke luar itu. Tiada keluhan yang terdengar, mata Banu Keling nampak melotot memandang pada si Tangan Setan. Tetapi hanya sesaat saja, karena tidak begitu lama kemudian. Bagai pohon pisang yang ditebang, maka tubuhnya ambruk tanpa mampu berkutik lagi. Mengetahui keadaan lawannya, si Tangan Setan tertawa mengekeh. Secara perlahan dia berpaling pada Giris Rawa, yang kini nampak sangat gusar sekali begitu melihat kematian kawannya. Banu Keling! Dengan tersenyum aneh si Tangan Setan yang hatinya, sudah dipenuhi kobaran nafsu membunuh itupun membentak.
"Giris Rawa...! Apa yang bisa kau perbuat? Semua orang-orangmu telah kubikin mampus... Sebentar lagi, sudah barang tentu tiba giliranmu pula...!"
"Bangsat, jangan kira aku menjadi takut menghadapimu. Majulah! Sekalipun kulitmu sekebal kulit badak, tetapi dengan keris pusaka ini engkau akan segera binasa!" teriak Giris Rawa.
"Mampuslah engkau bangsat pembunuh orang tuaku... haiiit...!" maki si Tangan Setan. Serentak dengan ucapannya itu, si Tangan .Setah alias Hning Ksaban tanpa basa basi lagi langsung saja menerjang dan kirimkan pukulan-pukulan yang sangat diandalkan pada Adipati Trengganu. Sebaliknya dengan sangat gesit pula Giris Rawa memapaki setiap datangnya serangan yang dilancarkan oleh si Tangan Setan. Sementara itu, Buang Sengketa yang baru saja sampai di tempat yang sama kurang lebih sepeminum teh lamanya. Nampak dengan tegang mengintai jalannya pertarungan dari kerimbunan pohon. Dari percakapan dan perdebatan yang sempat dia dengar tadi, tahulah dia kini siapa sesungguhnya si Tangan Setan yang namanya saja menjadi momok bagi masyarakat banyak. Sebelumnya sama sekali dia tiada mengira kalau si Tangan Setan sesungguhnya seorang gadis yang berparas cantik, hal ini dia ketahui beberapa saat kemudian, setelah Giris Rawa berhasil menyetakkan topeng muka yang di kenakan oleh si gadis. Bukan main senang nya Adipati Trengganu itu demi melihat sosok wajah di balik topeng itu. Sambil tertawa-tawa, Giris Rawa segera melancarkan totokan-totokan mautnya. Dia berharap andai si Tangan Setan dapat diringkusnya hidup-hidup sudah barang tentu dia bisa dengan sangat leluasa mempermainkan si Tangan Setan dengan sekehendak hatinya.
Lain halnya dengan pendekar kita ini. Sejak dia tadi mendengar perdebatan antara Giris Rawa dan si Tangan Setan. Akhirnya dia yang semula bermaksud menghukum si Tangan Setan karena sepak terjangnya yang begitu kejam. Kini nampaknya si pemuda agak lunak sedikit dalam menjatuhkan hukuman. Baginya paling tidak si Tangan Setan meskipun cantik harus dipotong kedua tangannya, sebagai hukuman akibat pembunuhan keji yang telah dilakukannya selama ini.
* * *
--₪¦ « 12 » ¦₪--
"Craaak!"
Si Tangan Setan mengekeh begitu melihat senjata di tangan lawan menjadi bengkok karena beradu dengan telapak tangannya. Di tempat persembunyiannya Buang Sengketa sendiri sempat dibuat terbelalak tak percaya begitu menyaksikan bahwa tubuh si gadis tak mempan dengan pusaka apapun. Dalam keadaan seperti itu terdengar pula bentakan si gadis.
"Giris Rawa, senjatamu tak ada gunanya! Sekali ini telah tiba giliranmu untuk terima kematian dariku. Meskipun dendamku padamu setinggi gunung dan sedalam lautan. Tetapi kali ini aku bertindak cukup adil, ingatlah kalau engkau dapat menahan dua pukulan beracun si Raja Cobra aku akan mengampuni jiwamu, tetapi kalau tidak. Engkau memang lebih pantas untuk secepatnya sempai ke neraka!"
Kalau Giris Rawa yang agaknya licik mengerti tentang hal ihwal pukulan beracun si Raja Cobra, tetapi lain lagi halnya dengan pendekar ini. Dia nampak sangat terperanjat sekali demi mendengar pukulan beracun si Raja Cobra ada disebut-sebut oleh si gadis. Sebab seperti apa yang pernah dituturkan oleh gurunya sendiri si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa pukulan beracun Raja Cobra sampai sejauh itu hanya dimiliki oleh seorang datuk sesat tanpa nama yang sampai saat ini tinggal di Pulau Seribu Ular. Dan patut diakui bawah siapapun yang terkena pukulan itu sangat sulit dan tak mungkin ada harapan lagi jiwanya dapat di selamatkan. Sebab hingga saat itu tak seorangpun Tabib di empat penjuru mata angin yang dapat menyembuhkannya. Tetapi kini, bagaimana mungkin gadis yang mengaku dirinya sebagai si Tangan Setan bisa memiliki pukulan yang sangat langka itu. Kalaupun mungkin, bukankah Pulau Seribu Ular itu tak seorangpun yang tahu tempatnya. Diam-diam dia jadi ingin tahu seberapa hebat pukulan beracun si Raja Cobra yang telah banyak merenggut nyawa banyak orang itu.
Pada saat itu. Hning Ksaban alias si Tangan Setan telah bersiap-siap dengan pukulan mautnya. Sementara Giris Rawa tanpa henti-hentinya terus melakukan serangan-serangan gencar. Ketika beberapa saat setelahnya, tangan Hning Ksaban tiba-tiba saja telah berubah menjadi hitam. Lalu tanpa membuang-buang kesempatan lagi, gadis keturunan Panji Paksi itupun langsung melakukan pukulan mautnya yang pertama.
"Haeeet!"
Satu gelombang biru pekat, melesat sedemikian cepatnya pada Giris Rawa yang saat itu sedang berjumpalitan di udara. Sang Adipati nampak sangat terkejut begitu merasakan adanya sambaran angin yang begitu dingin dan menyesakkan rongga dadanya. Secepatnya dengan senjatanya yang sudah tak karuan ujudnya mencoba memapaki datangnya pukulan beracun itu. Tetapi kiranya pukulan si Raja Coba memiliki kekuatan tiga kali lipat dari apa yang diperkirakannya.
"Blaaar!"
Akibatnya bukan saja senjatanya yang sudah sangat rusak itu entah mental ke mana. Tetapi lebih parah lagi tubuhnya terpelanting tujuh tombak dalam keadaan hangus menghitam. Tubuh Giris Rawa membentur tembok rumahnya sendiri, darah mengalir dari mulut, hidung dan telinganya. Beberapa saat lamanya Adipati Trengganu itu nampak memandang sayu pada si Tangan Setan, wajahnya yang semakin menghitam nampak terdiam tiada bergeming. Akhirnya secara perlahan tubuh itu berkelojotan lemah. Hingga kemudian tubuh itupun diam untuk selamalamanya. Tewaslah musuh besar si Tangan Setan itu secara mengerikan, si Tangan Setan terduduk dengan wajah tertunduk. Kini setelah segalanya berakhir dia nampak menitikkan air mata. Tiba-tiba dia berkata lirih namun mengandung penyesalan yang teramat dalam.
"Ibu... ayah...! Aku telah kembali untuk membalaskan sakit hati ini. Aku tahu semua itu tak berarti banyak, bagimu. Tetapi bagi anakmu yang engkau tinggal seorang diri, kematian mereka adalah karena kesombongannya sendiri. Maafkan aku ayah karena aku harus kembali pada datuk tanpa nama yang telah kutinggalkan di Pulau Seribu Ular seorang diri. Biarlah dia nanti yang akan menghukumku atas segala tindakanku yang telah membunuh banyak orang. Aku rela mati di tangan orang yang telah membesarkan aku selama ini!" kata si gadis dengan air mata berlinangan. Namun beberapa saat kemudian tiba-tiba dia hentikan tangisnya, tiba-tiba dia memandang pada kerimbunan pohon tempat di mana Pendekar Hina Kelana bersembunyi. Lalu berkata pelan!
"Manusia yang memiliki julukan Pendekar Hina Kelana! Turunlah dari tempat per-sembunyianmu. Sebagai seorang pendekar, katanya engkau berniat menghukumku dengan membuntungi tanganku. Mengapa ragu, lakukanlah....!" perintah si gadis. Buang Sengketa menjadi terkejut juga, bagaimana mungkin si Tangan Setan bisa mengenali namanya, dan lebih dari itu dari mana dia tahu kalau dia bermaksud menghukum si gadis dengan cara membuntungi tangannya...?
"Anak raja Ular Piton Utara. Ketahuilah membunuh dan menghukum itu bukanlah wewenangmu! Nyawaku menjadi milik guruku. Lebih dari itu pusaka Golok Buntungmu tak kan pernah mau mengotori dirinya dengan darahku. Karena sesungguhnya aku dan gurukulah yang telah menjaga sebagian badan golokmu itu di lautan sekitar tempat tinggal kami...!" jelas si Tangan Setan panjang lebar. Dan tentu saja penjelasan si gadis membuat Pendekar Hina Kelana terheran-heran. Bagaimana mungkin gadis yang berjuluk si Tangan Setan itu bisa me-ngenalinya sedemikian rupa? Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba si gadis kembali menyela."
"Pemuda tampan berperiuk. Mengapa harus bingung, bukankah engkau ini muridnya si Bangkotan Koreng Seribu, apakah gurumu mengatakan bermusuhan dengan guruku?" tanya si Tangan Setan berpura-pura tak sabar lagi, pemuda itu segera melesat turun dari tempat persembunyiannya. Kemudian dengan sangat penasaran sekali dia bertanya.
"Engkau inikah orangnya yang berjuluk si Tangan Setan yang telah bikin onar dimana-mana...?"
"Tak salah! Tetapi salah besar kalau engkau menilaiku sebagai tukang buat onar!" kata si Tangan Setan membantah.
"Engkau telah membunuh orang di mana-mana, masihkah engkau mungkir?"
"Buang Sengketa...!" Lagi-lagi si Tangan Setan membuat kejutan dengan menyebut nama si pemuda.
"Engkau tahu namaku... siapakah engkau...?" tanya si pemuda semakin bloon.
"Ya... karena guruku pernah bercerita tentangmu padaku...!"
"Maksudmu datuk tanpa nama itu, atau yang berjuluk si Tangan Seribu?" Tanya Buang Sengketa, begitu teringat cerita gurunya.
"Ya...!''
"Tetapi mengapa engkau membunuhi begitu banyak orang-orang yang tiada berdosa...?"
"Engkau tak pernah tahu Kelana... bahwa sebelum aku dirawat oleh guruku, yaitu kakek buyutmu sendiri. Sesungguhnya aku adalah anak seorang Adipati di Trengganu ini. Tetapi mereka malah memberontak dan membunuhnya. Sedangkan orang-orang yang engkau lihat bergelimpangan di tanganku, itu sesuai dengan daftar nama yang diberikan oleh sang guru. Sebegitulah orang-orang yang telah membantai orang tuaku dan sangat wajar kalau mereka mendapat ganjaran yang setimpal...!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan kepala, kini dia mulai mengerti bahwa sesungguhnya si Tangan Setan adalah seorang murid sahabat gurunya, untuk itu dia tak perlu turun tangan sebab dia tahu, seperti apa yang dikatakan si Bangkotan Koreng Seribu, bahwa Datuk Tanpa Nama sudah barang tentu sangat konsekwen dalam menghukum muridnya. Tetapi satu yang tiada dia sangka sama sekali. Bahwa Datuk Tanpa nama itu masih merupakan kakek buyutnya sendiri, pula merupakan penjaga setengah bagian yang lainnya dari pusaka yang dimilikinya. Lalu timbul pula dalam fikirannya. Andai dia dapat mengikuti si Tangan Setan, sudah barang tentu dia dapat mengetahui lebih cepat di manakah sesungguhnya tempat pertapaan Raja Piton Utara, yang merupakan ayah kandungnya. Ketika pemuda ini menoleh dan menarik nafas pendek-pendek, agaknya si Tangan Sentan mengetahui apa yang ada di dalam fikiran si pemuda. Maka tak lama kemudian, sebelum si pemuda mengemukakan unegunegnya, dia sudah menyela terlebih dulu.
"Aku tahu engkau sudah tak sabar untuk mempersatukan Golok Buntungmu, dan mungkin juga engkau sudah sangat ingin bertemu dengan ayahmu si Raja Ular Piton Utara. Tetapi ketahuilah, bahwa kebajikan yang engkau perbuat masih belum cukup bagimu untuk di nyatakan layak atau tidak bertemu dengan Yang Mulia Raja. Pesan sang guru, supaya engkau banyak-banyak menolong sesama terlebih dahulu. Setelah itu jumpailah orang tua yang bernama Tabib Setan Gila sewindu kemudian, Orang itu tinggal di Lembah Tapis Angin untuk masa yang akan datang...!" jelas si Tangan Setan penuh wibawa.
"Apa hakmu melarangku untuk dapat bertemu dengan ayahku...!" Kata Buang Sengketa tersinggung.
"Aku tak punya hak untuk melarangmu. Aku hanya menyampaikan pesan buyutmu. Lebih dari itu semua ini merupakan perintah ayahmu. Sang Maharaja Negeri Bunian!" kata si gadis dari Pulau Seribu Ular itu.
"Mengapa harus begitu, satu windu bukanlah sebuah waktu yang singkat " protes Pendekar Hina Kelana.
"Semua itu adalah untuk menguji kesabaranmu, Baiklah, aku tak punya banyak waktu Kelaha... jangan cobacoba menguntitku. Sebab ilmu cepatmu Ajian Sapu Angin tak akan berarti banyak untuk mengejarku...!" Seusai dengan ucapannya, tanpa kata lagi tubuh Hning Ksaban nampak berputarputar laksana sebuah gasing. Semakin lama semakin cepat. Kemudian sekali saja angin kencang bertiup, maka tubuh si Tangan Setan bagai sebuah kapas nampak melayang lenyap tiada berbekas. Buang Sengketa menggerutu. Sialan dia selalu tahu saja setiap apa yang aku rencanakan! Kemudian tak lama setelah itu, tanpa memperdulikan mayat-mayat yang berserakan pendekar ini setapak demi setapak mulai melangkah ke arah Timur. Alam terasa semakin dingin menggigit. Tetapi pemuda ini sudah tiada perduli lagi.
TAMAT
INDEX BUANG SENGKETA | |
Majikan Gagak Hitam --oo0oo-- Satria Terkutuk Berkaki Tunggal |